من خمسة كتب الجزية والحكم في أهل الكتاب وإملاء على كتاب الواقدي وإملاء على غزوة بدر وإملاء على كتاب اختلاف أبي حنيفة والأوزاعي

Dari lima kitab: Kitab Jizyah, Kitab Hukum terhadap Ahlul Kitab, Imla’ atas Kitab al-Waqidi, Imla’ atas Perang Badar, dan Imla’ atas Kitab Ikhtilaf Abu Hanifah dan al-Auza‘i.

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى اخْتَارَ لِرِسَالَتِهِ وَاصْطَفَى لِنُبُوَّتِهِ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ بْنِ هَاشِمِ بْنِ عَبْدِ مَنَافِ بْنِ قَصِيِّ بْنِ كِلَابِ بْنِ مُرَّةَ بْنِ كَعْبِ بْنِ لُؤَيِّ بْنِ غَالِبِ بْنِ فِهْرِ بْنِ مَالِكِ بْنِ النَّضْرِ بْنِ كِنَانَةَ بْنِ خُزَيْمَةَ بْنِ مُدْرِكَةَ بْنِ إِلْيَاسَ بْنِ مُضَرَ بْنِ نِزَارِ بْنِ مَعَدِّ بْنِ عَدْنَانَ فَبَعَثَهُ عَلَى فَتْرَةٍ مِنَ الرُّسُلِ حِينَ وَهَتِ الْأَدْيَانُ وَعُبِدَتِ الْأَوْثَانُ وَغَلَبَ الْبَاطِلُ عَلَى الْحَقِّ وَعَمَّ الْفَسَادُ فِي الْخَلْقِ لِيَخْتِمَ بِهِ رُسُلَهُ وَيُوَضِّحَ بِهِ سُبُلَهُ وَيَسْتَكْمِلَ بِهِ دِينَهُ وَيَحْسِمَ بِهِ مِنَ الْفَسَادِ مَا عَمَّ وَمِنَ الْبَاطِلِ مَا تم فاختاره من بيت اشتهر فِيهِمْ مَبَادِئُ طَاعَتِهِ وَقَوَاعِدُ عِبَادَتِهِ بِالْبَيْتِ الَّذِي جَعَلَهُ مَثَابَةً لِلنَّاسِ وَأَمْنًا وَالْحَجِّ الَّذِي جَعَلَهُ فِي أُصُولِ الدِّينِ رُكْنًا لِيَكُونُوا مُسْتَأْنِسِينَ بِتَدَيُّنٍ سَهْلٍ تَسْهُلُ بِهِ إِجَابَتُهُمْ وَلَا يَكُونُوا مِنْ أَهْلِ مَلِكٍ قَدِ اسْتَحْكَمَ مُعْتَقَدَهُمْ فَتَصْعُبَ إِجَابَتُهُمْ لُطْفًا تَسْهُلُ بِهِ الْمَبَادِئُ وَأَحْكَمَ بِهِ الْعَوَاقِبَ فَكَانَ مِنْ أَوَائِلِ التَّأْسِيسِ لِنُبُوَّتِهِ أَنْ كَثَّرَ اللَّهُ قُرَيْشًا بَعْدَ الْقِلَّةِ وَأَعَزَّهُمْ بَعْدَ الذِّلَّةِ وَجَعَلَهُمْ دَيَّانِينَ الْعَرَبِ وَوُلَاةَ الْحَرَمِ فَكَانَ أَوَّلَ من هجس في نفسه بظهور النُّبُوَّةِ مِنْهُمْ ” كَعْبُ بْنُ لُؤَيِّ بْنِ غَالِبٍ ” فَكَانَ يَجْمَعُ النَّاسَ فِي كُلِّ جُمُعَةٍ وَهُوَ سَمَّاهُ لِجَمْعِ النَّاسِ فِيهِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَكَانَ يُسَمَّى عُرُوبَةَ وَكَانَ يَخْطُبُ فِيهِ عَلَى قُرَيْشٍ وَيَقُولُ بَعْدَ خُطْبَتِهِ حَرَمُكُمْ عَظِّمُوهُ وَتَمَسَّكُوا بِهِ فَسَيَأْتِي لَهُ بِنَاءٌ عَظِيمٌ وَسَيَخْرُجُ بِهِ نَبِيٌّ كَرِيمٌ وَاللَّهِ لَوْ كُنْتُ فِيهِ ذَا سَمْعٍ وبصر ويد ورجل لتنصبت تنصب الجمل ول رقلت إِرْقَالَ الْفَحْلِ ثُمَّ يَقُولُ

Al-Mawardi berkata, sesungguhnya Allah Ta‘ala telah memilih untuk risalah-Nya dan mengistimewakan untuk kenabian-Nya, Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdul Muththalib bin Hasyim bin ‘Abd Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka‘b bin Lu’ayy bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin Nadhir bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma‘ad bin Adnan. Maka Allah mengutusnya pada masa terputusnya para rasul, ketika agama-agama telah melemah, berhala-berhala disembah, kebatilan mengalahkan kebenaran, dan kerusakan merajalela di tengah makhluk, agar Allah menutup para rasul-Nya dengannya, menjelaskan jalan-jalan-Nya melalui dirinya, menyempurnakan agama-Nya dengannya, serta menghapus kerusakan yang telah meluas dan kebatilan yang telah sempurna. Allah memilihnya dari keluarga yang di dalamnya terkenal prinsip-prinsip ketaatan dan dasar-dasar ibadah kepada-Nya, dari rumah yang Allah jadikan sebagai tempat kembali dan keamanan bagi manusia, serta haji yang Allah jadikan sebagai rukun dalam pokok-pokok agama, agar mereka terbiasa dengan agama yang mudah, sehingga mudah pula bagi mereka untuk menerima ajakan, dan agar mereka bukan dari kalangan pemilik kekuasaan yang keyakinannya telah mengakar sehingga sulit menerima ajakan, sebagai kelembutan agar prinsip-prinsip menjadi mudah dan akibat-akibatnya menjadi kokoh. Maka termasuk awal fondasi kenabiannya adalah bahwa Allah memperbanyak jumlah Quraisy setelah sebelumnya sedikit, memuliakan mereka setelah kehinaan, dan menjadikan mereka pemimpin agama Arab dan penjaga Tanah Haram. Maka orang pertama dari mereka yang terlintas dalam benaknya tentang kemunculan kenabian adalah “Ka‘b bin Lu’ayy bin Ghalib”, ia biasa mengumpulkan orang-orang setiap Jumat—dan ia yang menamakan hari itu dengan “Jumat” karena orang-orang berkumpul padanya—dan ia juga disebut ‘Urubah. Ia berkhutbah di hadapan Quraisy dan setelah khutbahnya berkata, “Hormatilah Tanah Haram kalian dan pegang teguhlah ia, karena akan datang padanya bangunan yang agung dan akan keluar darinya seorang nabi yang mulia. Demi Allah, seandainya aku hidup pada masa itu dengan pendengaran, penglihatan, tangan, dan kaki, niscaya aku akan berdiri tegak sebagaimana tegaknya unta, dan aku akan bergegas sebagaimana bergegasnya unta jantan.” Kemudian ia berkata…

يَا لَيْتَنِي شَاهِدٌ فحواء دعوته إذا قريش تبقي الحق خذلانا

Andai saja aku menjadi saksi atas seruan dakwahnya, ketika Quraisy meninggalkan kebenaran dengan penuh pengkhianatan.

وَهَذَا مِنْ فِطَرِ الْإِلْهَامِ وَمَخَائِلِ الْعُقُولِ

Dan ini termasuk dari fitrah ilham dan tanda-tanda kecerdasan akal.

ثُمَّ انْتَقَلَتِ الرِّئَاسَةُ بَعْدَهُ إِلَى ” قُصَيِّ بْنِ كِلَابِ ” فَجَدَّدَ بِنَاءَ الْكَعْبَةِ وَهُوَ أَوَّلُ مَنْ بَنَاهَا بعد إبراهيم وإسماعيل وبن دَارَ النَّدْوَةِ لِلتَّحَاكُمِ وَالتَّشَاجُرِ وَالتَّشَاوُرِ وَعَقْدِ الْأَلْوِيَةِ وَهِيَ أَوَّلُ دَارٍ بُنِيَتْ بِمَكَّةَ وَكَانُوا يُخَيِّمُونَ فِي جِبَالِهَا ثُمَّ بَنَى الْقَوْمُ دُورَهُمْ بِهَا فَزَادَتِ الرِّئَاسَةُ وَقَوِيَ تَأْسِيسُ النُّبُوَّةِ ثُمَّ أُمِّرَتْ قُرَيْشٌ وَكَثُرَتْ حَتَّى قَصَدَهُمْ صَاحِبُ الْفِيلِ لِهَتْكِ الْحَرَمِ وَهَدْمِ الْكَعْبَةِ وَسَبْيِ قُرَيْشٍ فَأَخَذَ عَبْدُ الْمُطَّلِبِ بِحَلْقَةِ الْبَابِ وَقَالَ

Kemudian kepemimpinan berpindah setelahnya kepada Qushay bin Kilab. Ia memperbarui pembangunan Ka’bah, dan ia adalah orang pertama yang membangunnya setelah Ibrahim dan Ismail. Ia juga membangun Darun Nadwah sebagai tempat bermusyawarah, menyelesaikan perselisihan, berdiskusi, dan mengangkat panji-panji. Itulah rumah pertama yang dibangun di Makkah, sementara sebelumnya mereka hanya berkemah di pegunungan sekitarnya. Setelah itu, kaumnya mulai membangun rumah-rumah mereka di sana, sehingga kepemimpinan semakin kuat dan pondasi kenabian pun semakin kokoh. Kemudian suku Quraisy menjadi pemimpin dan jumlah mereka bertambah banyak, hingga datanglah Ashabul Fil (pasukan bergajah) dengan tujuan menodai Tanah Haram, menghancurkan Ka’bah, dan menawan Quraisy. Maka Abdul Muthalib memegang lingkaran pintu Ka’bah dan berkata:

يَا رَبِّ لَا نَرْجُو لَهُمْ سِوَاكَا

Ya Rabb, kami tidak berharap untuk mereka selain kepada-Mu.

يَا رَبِّ فَامْنَعْ مِنْهُمْ حِمَاكَا

Wahai Tuhanku, maka lindungilah wilayah-Mu dari mereka.

إِنَّ عَدُوَّ الْبَيْتِ مَنْ عَادَاكَا

Sesungguhnya musuh rumah adalah orang yang memusuhimu.

امْنَعْهُمْ أَنْ يُخَرِّبُوا قُرَاكَا

Laranglah mereka agar tidak merusak desa-desa kalian.

فَأَرْسَلَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ بِمَا حكاه في كتابه العزيز طيرا أبابيل ترميهم بحجارة من سجيل فجعلهم كعصف مأكول فَهَلَكُوا جَمِيعًا فَقَالَ عَبْدُ الْمُطَّلِبِ

Maka Allah mengirimkan kepada mereka, sebagaimana yang diceritakan dalam Kitab-Nya yang mulia, burung-burung Ababil yang melempari mereka dengan batu dari sijjil, lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat). Maka binasalah mereka semua. Lalu Abdul Muththalib berkata.

أَنْتِ مَنَعْتَ الحبش والأقيالا

Engkaulah yang telah menghalangi bangsa Habsyi dan para pemimpin.

وَقَدْ رَعَوْا بِمَكَّةَ الْأَجْبَالَا

Dan mereka telah menggembalakan hewan di pegunungan Makkah.

وَقَدْ خَشِينَا مِنْهُمُ الْقَتَالَا

Dan sungguh, kami khawatir mereka akan melakukan peperangan.

وَكُلَّ أَمْرٍ لَهُمْ مِعْضَالَا

Dan setiap urusan yang bagi mereka terasa sangat sulit.

حَمْدًا وَشُكْرًا لك ذا الجلالا

Segala puji dan syukur bagi-Mu, wahai Dzat Yang Maha Mulia.

قد شهد بِذَلِكَ تَأْسِيسُ النُّبُوَّةِ فِيهِمْ وَبَقِيَ تَعْيِينُهَا فِي الْمَخْصُوصِ بِهَا مِنْهُمْ

Hal itu telah ditegaskan oleh penetapan kenabian di tengah-tengah mereka, dan yang tersisa hanyalah penetapan secara khusus kepada orang yang memang dikhususkan dari mereka.

فَصْلٌ

Bab

وَكَانَ مِنْ مَبَادِئِ أَمَارَاتِ النُّبُوَّةِ فِي رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إِجَابَةُ دَعْوَةِ جَدِّهِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ حَتَّى هَلَكَ أَصْحَابُ الْفِيلِ تَخْصِيصًا لَهُ بِالْكَرَامَةِ حِينَ خُصَّ بِالنُّبُوَّةِ فِي وَلَدِهِ ثُمَّ ظَهَرَ نُورُ النُّبُوَّةِ فِي وَجْهِ ابْنِهِ عَبْدِ اللَّهِ حَتَّى مَرَّ بِكَاهِنَةٍ مَنْ كَوَاهِنِ الْعَرَبِ وَهُوَ يُرِيدُ أَنْ يَتَزَوَّجَ أُمَّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” آمِنَةَ بِنْتَ وَهْبٍ ” فَرَأَتِ الْكَاهِنَةُ نُورَ النُّبُوَّةِ بَيْنَ عَيْنَيْهِ فَقَالَتْ لَهُ هَلْ لَكَ أَنْ تَقَعَ عَلَيَّ وَلَكَ مِائَةُ نَاقَةٍ مِنَ الْإِبِلِ فَقَالَ

Di antara tanda-tanda awal kenabian pada Rasulullah ﷺ adalah terkabulnya doa kakeknya, Abdul Muththalib, hingga binasalah para pasukan bergajah sebagai bentuk pemuliaan khusus baginya, karena kenabian telah dikhususkan untuk keturunannya. Kemudian cahaya kenabian tampak di wajah putranya, Abdullah, hingga ketika ia melewati seorang dukun perempuan dari kalangan dukun Arab saat ia hendak menikahi ibu Rasulullah ﷺ, Aminah binti Wahb, sang dukun melihat cahaya kenabian di antara kedua matanya. Ia pun berkata kepadanya, “Maukah engkau bersamaku, dan engkau akan mendapatkan seratus unta?” Maka ia menjawab…

أَمَّا الْحَرَامُ فَالْمَمَاتُ دُونَهُ وَالْحِلُّ لَا حِلَّ فَاسْتَبِينُهُ

Adapun yang haram, maka kematian lebih baik daripada melakukannya, dan yang halal, tidak ada keraguan di dalamnya, maka jelaslah bagimu.

فَكَيْفَ بِالْأَمْرِ الَّذِي تَبْغِينَهُ يَحْمِي الْكَرِيمُ عِرْضَهُ وَدِينَهْ

Bagaimana dengan perkara yang engkau inginkan itu, sedangkan orang mulia menjaga kehormatan dan agamanya?

وَمَضَى لِشَأْنِهِ وَنَكَحَ آمِنَةَ فَعَلَقَتْ مِنْهُ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَعَادَ فَمَرَّ بِالْكَاهِنَةِ فَعَرَضَ لَهَا فَلَمْ تَرَ ذَلِكَ النُّورَ فَقَالَتْ قَدْ كَانَ هَذَا مَرَّةً فَالْيَوْمَ لَا فَأُرْسِلَتْ مَثَلًا قَالَ ثُمَّ وُلِدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَامَ الْفِيلِ عَلَى مَا رَوَاهُ أَكْثَرُ النَّاسِ فِي شِعْبِ بَنِي هَاشِمٍ فِي جِوَاءِ أَبِيهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَتَرَكُوا عَلَيْهِ لَيْلَةَ وِلَادَتِهِ جَفْنَةً كَبِيرَةً فَانْفَلَقَتْ عَنْهُ فَلْقَتَيْنِ فَكَانَ ذَلِكَ مِنْ مَبَادِئِ أَمَارَاتِ النُّبُوَّةِ فِي نَفْسِهِ ثُمَّ مَاتَ أَبُوهُ عَبْدُ اللَّهِ وَأُمُّهُ حَامِلٌ بِهِ فَكَفَلَهُ جَدُّهُ عَبْدُ الْمُطَّلِبِ فَكَانَ يَرَى مِنْ شَأْنِهِ مَا يَسُرُّهُ وَمَاتَ بَعْدَ ثَمَانِي سِنِينَ مِنْ وِلَادَتِهِ فَوَصَّى بِهِ إِلَى عَمِّهِ أَبِي طَالِبٍ لِأَنَّهُ كَانَ أَخَا عَبْدِ اللَّهِ لِأُمِّهِ فَخَرَجَ بِهِ أَبُو طَالِبٍ إِلَى الشَّامِ بِتِجَارَةٍ له وَهُوَ ابْنُ تِسْعِ سِنِينَ فَنَزَلَ تَحْتَ صَوْمَعَةٍ بِالشَّامِ عِنْدَ بُصْرَى وَكَانَ في الصومعة راهب يقال له ” بحيرا ” قَدْ قَرَأَ كُتُبَ أَهْلِ الْكِتَابِ وَعَرَفَ مَا فيها من الأنباء والإمارات فرأى بحيرا مِنْ صَوْمَعَتِهِ غَمَامَةً قَدْ أَظَلَّتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مِنَ الشَّمْسِ فَنَزَلَ إِلَيْهِ وَجَعَلَ يَتَفَقَّدُ جَسَدَهُ حَتَّى رَأَى خَاتَمَ النُّبُوَّةِ بَيْنَ كَتِفَيْهِ وَسَأَلَهُ عَنْ حَالِهِ فِي مَنَامِهِ وَيَقَظَتِهِ فَأَخْبَرَهُ بِهَا فَوَافَقَتْ مَا عِنْدَهُ فِي الْكُتُبِ وَسَأَلَ أَبَا طَالِبٍ عَنْهُ فَقَالَ ابْنِي فَقَالَ كَلَّا قَالَ ابْنُ أَخِي مَاتَ أَبُوهُ وَهُوَ حَمْلٌ قَالَ صَدَقْتَ وَعَمِلَ لَهُمْ وَلِمَنْ مَعَهُمْ مِنْ مَشْيَخَةِ قُرَيْشٍ طَعَامًا لَمْ يَكُنْ يَعْمَلُهُ لَهُمْ مِنْ قَبْلُ وَقَالَ احْفَظُوا هَذَا مِنَ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى فَإِنَّهُ سَيِّدُ الْعَالَمِينَ وَسَيُبْعَثُ إِلَيْنَا وَإِلَيْهِمْ أَجْمَعِينَ فَإِنْ عَرَفُوهُ مَعَكُمْ قَتَلُوهُ فَقَالُوا كَيْفَ عَرَفْتَ هَذَا قَالَ بِالسَّحَابَةِ الَّتِي أَظَلَّتْهُ وَرَأَيْتُ خَاتَمَ النُّبُوَّةِ أَسْفَلَ مِنْ غُضْرُوفِ كَتِفِهِ مِثْلَ التُّفَّاحَةِ عَلَى النَّعْتِ الْمَذْكُورِ فَكَانَتْ هَذِهِ أَوَّلَ بُشْرَى نُبُوَّتِهِ وَهُوَ لِصِغَرِهِ غَيْرُ دَاعٍ إِلَيْهَا وَلَا مُتَأَهِّبٌ لَهَا

Lalu ia melanjutkan urusannya dan menikahi Aminah, kemudian Aminah mengandung darinya Rasulullah ﷺ. Setelah itu ia kembali dan melewati seorang kahinah (peramal wanita), lalu ia menampakkan diri kepadanya, namun sang kahinah tidak lagi melihat cahaya itu. Ia pun berkata, “Dulu cahaya itu ada, tapi hari ini tidak ada lagi.” Lalu ia mengucapkan perumpamaan. Kemudian Rasulullah ﷺ lahir pada Tahun Gajah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh kebanyakan orang, di lembah Bani Hasyim, di rumah ayahnya, Abdullah bin Abdul Muthalib. Pada malam kelahirannya, mereka meletakkan sebuah bejana besar di sisinya, lalu bejana itu terbelah menjadi dua bagian. Itu merupakan salah satu tanda awal kenabian pada dirinya. Kemudian ayahnya, Abdullah, wafat saat ibunya sedang mengandungnya, sehingga ia diasuh oleh kakeknya, Abdul Muthalib, yang selalu melihat hal-hal yang menyenangkan dari dirinya. Abdul Muthalib wafat setelah delapan tahun dari kelahirannya, lalu ia berwasiat agar Muhammad diasuh oleh pamannya, Abu Thalib, karena Abu Thalib adalah saudara Abdullah seibu. Kemudian Abu Thalib membawanya ke Syam untuk berdagang, saat itu Muhammad berusia sembilan tahun. Mereka singgah di bawah sebuah biara di Syam, dekat Busra. Di biara itu ada seorang rahib bernama Buhaira yang telah membaca kitab-kitab Ahlul Kitab dan mengetahui berita serta tanda-tanda yang ada di dalamnya. Dari biaranya, Buhaira melihat awan menaungi Rasulullah ﷺ dari panas matahari. Ia pun turun dan memeriksa tubuh Muhammad hingga melihat Khatam an-Nubuwwah (tanda kenabian) di antara kedua pundaknya. Ia bertanya tentang keadaannya saat tidur dan terjaga, lalu Muhammad menceritakannya, dan itu sesuai dengan apa yang ada dalam kitab-kitabnya. Ia juga bertanya kepada Abu Thalib tentang Muhammad. Abu Thalib menjawab, “Ini anakku.” Buhaira berkata, “Bukan.” Abu Thalib berkata, “Ia adalah anak saudaraku. Ayahnya wafat saat ia masih dalam kandungan.” Buhaira berkata, “Engkau benar.” Lalu ia membuatkan makanan untuk mereka dan para pembesar Quraisy yang bersamanya, makanan yang belum pernah ia buatkan sebelumnya. Ia berkata, “Jagalah anak ini dari Yahudi dan Nasrani, karena ia adalah pemimpin seluruh alam, dan ia akan diutus kepada kita dan mereka semua. Jika mereka mengenalinya bersama kalian, mereka akan membunuhnya.” Mereka bertanya, “Bagaimana engkau mengetahui hal ini?” Ia menjawab, “Dengan awan yang menaunginya, dan aku melihat Khatam an-Nubuwwah di bawah tulang rawan pundaknya, seperti buah apel, sesuai dengan ciri yang disebutkan.” Maka inilah kabar gembira pertama tentang kenabiannya, padahal saat itu ia masih kecil, belum menyeru kepada kenabian dan belum bersiap untuknya.

فَصْلٌ

Bab

ثُمَّ نَشَأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي قُرَيْشٍ عَلَى أَحْسَنِ هَدْيٍ وَطَرِيقَةٍ وَأَشْرَفِ خُلُقٍ وَطَبِيعَةٍ وَأَصْدَقِ لِسَانٍ وَلَهْجَةٍ وَكَانَتْ خَدِيجَةُ بِنْتُ خُوَيْلِدٍ ذَاتَ شَرَفٍ وَيَسَارٍ وَكَانَتْ لَهَا مَتَاجِرُ وَمُضَارِبَاتٌ فَلَمَّا عَرَفَتْ أَمَانَةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَصِدْقَ لَهْجَتِهِ أَبَضْعَتْهُ مَالًا يَتَّجِرُ لَهَا بِهِ إِلَى الشَّامِ مُضَارِبًا وَأَنْفَذَتْ مَعَهُ مَوْلَاهَا ” مَيْسَرَةَ ” لِيَخْدِمَهُ فِي طَرِيقِهِ فَنَزَلَ ذَاتَ يَوْمٍ تَحْتَ صَوْمَعَةِ رَاهِبٍ فَرَأَى الرَّاهِبُ مِنْ ظُهُورِ كَرَامَاتِ اللَّهِ مَا عَلِمَ أَنَّهَا لَا تَكُونُ إِلَّا لِنَبِيٍّ مُنْزَلٍ وَقَالَ لِمَيْسَرَةَ مَنْ هَذَا الرَّجُلُ؟ فقال الرجل مِنْ قُرَيْشٍ مِنْ أَهْلِ الْحَرَمِ فَقَالَ إِنَّهُ نَبِيٌّ وَكَانَ مَيْسَرَةُ يَرَاهُ إِذَا رَكِبَ تُظِلُّهُ غَمَامَةٌ تَقِيهِ حَرَّ الشَّمْسِ فَلَمَّا قَدِمَ عَلَى ” خَدِيجَةَ ” قَصَّ مَيْسَرَةُ عَلَيْهَا حَدِيثَ الرَّاهِبِ وَمَا شَاهَدَهُ مِنْ ظِلِّ الْغَمَامَةِ وَتَضَاعَفَ لَهَا رِبْحُ التجارة فكانت هذه بشرى ثانية بِنُبُوَّتِهِ فَرَغِبَتْ خَدِيجَةُ فِي نِكَاحِهِ وَكَانَ قَدْ خَطَبَهَا أَشْرَافُ قُرَيْشٍ فَامْتَنَعَتْ وَسَفَرَ بَيْنَهُمَا فِي النكاح ” ميسرة “

Kemudian Rasulullah saw. tumbuh di tengah kaum Quraisy dengan budi pekerti dan perilaku yang paling baik, akhlak yang paling mulia, tabiat yang paling luhur, serta lisan dan ucapan yang paling jujur. Khadijah binti Khuwailid adalah seorang wanita yang memiliki kedudukan mulia dan kekayaan, ia memiliki usaha perdagangan dan para pekerja yang menjalankan bisnis untuknya. Ketika Khadijah mengetahui amanah Rasulullah saw. dan kejujuran ucapannya, ia mempercayakan hartanya kepada beliau untuk diperdagangkan ke Syam dengan sistem mudharabah, dan ia mengutus pembantunya, Maysarah, untuk melayani beliau selama perjalanan. Suatu hari, beliau singgah di bawah biara seorang rahib. Rahib itu melihat tanda-tanda kemuliaan dari Allah yang ia ketahui tidak mungkin terjadi kecuali pada seorang nabi yang diutus. Ia bertanya kepada Maysarah, “Siapa laki-laki ini?” Maysarah menjawab, “Dia dari Quraisy, dari penduduk Tanah Haram.” Rahib itu berkata, “Dia adalah seorang nabi.” Maysarah juga melihat bahwa setiap kali beliau menunggangi kendaraan, ada awan yang menaungi beliau dari panas matahari. Ketika mereka tiba di hadapan Khadijah, Maysarah menceritakan kepadanya kisah rahib tersebut dan apa yang ia saksikan tentang naungan awan itu, serta keuntungan perdagangan yang berlipat ganda. Maka hal itu menjadi kabar gembira kedua tentang kenabiannya. Khadijah pun tertarik untuk menikah dengannya, padahal para pembesar Quraisy telah melamarnya namun ia menolak. Yang menjadi perantara antara keduanya dalam pernikahan adalah Maysarah.

وقيل مولاة مولدة من مولدات مكة وَخَافَتِ امْتِنَاعَ أَبِيهَا عَلَيْهِ لِفَقْرِهِ فَعَقَرَتْ لَهُ ذبيحة وألبسته حبرة بطيب وعقير وَعَقِيرٍ وَسَقَتْهُ خَمْرًا حَتَّى سَكِرَ وَحَضَرَ رَسُولُ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَمَعَهُ عَمُّهُ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَاخْتُلِفَ فِي حُضُورِ أَبِي طَالِبٍ مَعَهُ وَخَطَبَهَا مِنْ أَبِيهَا فَأَجَابَهُ وَزَوَّجَهُ بِهَا وَهُوَ ابْنُ خَمْسٍ وَعِشْرِينَ سَنَةً وَخَدِيجَةُ ابْنَةُ أَرْبَعِينَ سَنَةً وَدَخَلَ بِهَا مِنْ لَيْلَتِهِ فَلَمَّا أَصْبَحَ خُوَيْلِدٌ وَصَحَا رَأَى آثَارَ مَا عَلَيْهِ فَقَالَ مَا هَذَا الْعَقِيرُ وَالْعَبِيرُ وَالْحَبِيرُ؟ قِيلَ لَهُ زَوَّجْتَ خَدِيجَةَ بِمُحَمَّدٍ قَالَ مَا فَعَلْتُ قِيلَ لَهُ قَبُحَ بِكَ هَذَا وَقَدْ دَخَلَ بِهَا فَرَضِيَ وَلِأَجْلِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بعد ظهور الْإِسْلَامِ ” لَا يُرْفَعُ إِلَيَّ نِكَاحُ نَشْوَانَ إِلَّا أَجَزْتُهُ ثُمَّ إِنَّ خَدِيجَةَ كَفَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أُمُورَ دُنْيَاهُ فَكَانَ ذَلِكَ مِنْ أَسْبَابِ اللُّطْفِ وَوَلَدَتْ لَهُ جَمِيعَ أَوْلَادِهِ إِلَّا ” إِبْرَاهِيمَ ” فَكَانَ لَهُ مِنْهَا مِنَ الْبَنِينَ ” الْقَاسِمُ ” وَبِهِ كَانَ يُكْنَى وَالظَّاهِرُ وَالطَّيِّبُ وَمِنَ الْبَنَاتِ ” زَيْنَبُ ” وَ ” رُقَيَّةُ ” وَ ” أُمُّ كُلْثُومٍ ” وَ ” فَاطِمَةُ ” فَمَاتَ الْبَنُونَ قَبْلَ النُّبُوَّةِ وَعَاشَ الْبَنَاتُ بَعْدَهَا ثُمَّ إِنَّ قُرَيْشًا تَشَاوَرَتْ فِي هَدْمِ الْكَعْبَةِ وَبِنَائِهَا لِقِصَرِ سُمْكِهَا وَكَانَ فَوْقَ الْقَامَةِ وَسِعَةِ حِيطَانِهَا وَأَرَادُوا تَعْلِيَتَهَا وَخَافُوا مِنَ الْإِقْدَامِ عَلَى هَدْمِهَا وَكَانَ يَظْهَرُ فِيهَا حَيَّةٌ يَخَافُ النَّاسُ مِنْهَا فَعَلَتْ ذَاتَ يَوْمٍ عَلَى جِدَارِ الْكَعْبَةِ فَسَقَطَ طائر فاختطفها فقالت قريش إنا لنرجوا أَنْ يَكُونَ اللَّهُ قَدْ رَضِيَ مَا أَرَدْنَا وَكَانَ الْبَحْرُ قَدْ أَلْقَى سَفِينَةً عَلَى سَاحِلِ ” جُدَّةَ ” لِرَجُلٍ مِنْ تُجَّارِ الرُّومِ فَهَدَمُوا الْكَعْبَةَ وَبَنَوْهَا وَأَسْقَفُوهَا بِخَشَبِ السَّفِينَةِ وَذَلِكَ بَعْدَ عَامِ الْفُجَّارِ بِخَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ابْنُ خَمْسٍ وَثَلَاثِينَ سَنَةً فَلَمَّا أَرَادُوا وَضْعَ الْحَجَرَ فِي الرُّكْنِ تَنَازَعَتْ فِيهِ قَبَائِلُ قُرَيْشٍ وَطَلَبَتْ كُلُّ قَبِيلَةٍ أَنْ تَتَوَلَّى وَضْعَهُ فَقَالَ أَبُو أُمَيَّةَ بْنُ الْمُغِيرَةِ وَكَانَ أَسَنَّ قُرَيْشٍ كُلِّهَا حِينَ خَافَ أَنْ يَقْتَتِلُوا عَلَيْهِ يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ تَقَاضُوا إِلَى أَوَّلِ مَنْ يَدْخُلُ مِنْ بَابِ هَذَا الْمَسْجِدِ فَكَانَ أَوَّلَ دَاخِلٍ عَلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَقَالُوا هَذَا ” مُحَمَّدٌ ” وَهُوَ الْأَمِينُ وَكَانَ يُسَمَّى قَبْلَ النُّبُوَّةِ ” الْأَمِينَ ” لِأَمَانَتِهِ وَعِفَّتِهِ وَصِدْقِهِ وَقَالُوا قَدْ رَضِينَا بِهِ فَلَمَّا وَصَلَ إِلَيْهِمْ أَخْبَرُوهُ فَقَالَ ائْتُونِي ثَوْبًا فَأَتَوْهُ بِثَوْبٍ فَأَخَذَ الْحَجَرَ وَوَضَعَهُ فِيهِ بِيَدِهِ وَقَالَ لِتَأْخُذْ كُلُّ قَبِيلَةٍ بِنَاحِيَةٍ مِنَ الثَّوْبِ وَارْفَعُوهُ جَمِيعًا فَفَعَلُوا فَلَمَّا بَلَغَ الْحَجَرُ إِلَى مَوْضِعِهِ وَضَعَهُ فِيهِ بِيَدِهِ فَكَانَ هَذَا الْفِعْلُ مِنْهُمْ وَوُقُوعُ الِاخْتِيَارِ عَلَيْهِ مِنْ بَيْنِهِمْ مِنَ الْأَمَارَاتِ مَا يُحَدِّدُهُ اللَّهُ تَعَالَى بِهِ مِنْ دِينِهِ وَشَوَاهِدَ مَا يُؤْتِيهِ مِنْ نُبُوَّتِهِ

Dikatakan bahwa ia adalah seorang maulah yang dilahirkan di Makkah dari kalangan maulah yang lahir di sana. Ia khawatir ayahnya akan menolak lamaran Muhammad karena kemiskinannya, maka ia menyembelihkan hewan kurban untuk ayahnya, memakaikan pakaian indah yang diberi wewangian dan minuman keras, lalu memberinya minum khamr hingga mabuk. Rasulullah ﷺ pun hadir bersama pamannya, Hamzah bin Abdul Muththalib. Ada perbedaan pendapat tentang kehadiran Abu Thalib bersamanya. Lalu Rasulullah ﷺ melamar Khadijah dari ayahnya, dan ayahnya menerima serta menikahkan Khadijah dengannya saat beliau berusia dua puluh lima tahun, sedangkan Khadijah berusia empat puluh tahun. Rasulullah ﷺ masuk ke rumah Khadijah pada malam itu juga. Ketika pagi tiba, Khuwailid sadar dan melihat bekas-bekas yang ada padanya, lalu ia bertanya, “Apa ini, minuman keras, wewangian, dan pakaian indah?” Dijawab kepadanya, “Engkau telah menikahkan Khadijah dengan Muhammad.” Ia berkata, “Aku tidak melakukannya.” Dijawab lagi, “Sungguh buruk perbuatanmu ini, padahal beliau telah masuk ke rumahnya.” Maka ia pun rela. Karena peristiwa inilah Rasulullah ﷺ setelah munculnya Islam bersabda, “Tidak ada pernikahan orang mabuk yang diajukan kepadaku kecuali aku mengesahkannya.” Kemudian Khadijah telah mencukupi Rasulullah ﷺ dalam urusan duniawinya, dan itu termasuk sebab-sebab kelembutan Allah. Khadijah melahirkan semua anak Rasulullah ﷺ kecuali Ibrahim. Dari Khadijah, Rasulullah ﷺ memiliki anak laki-laki: Qasim (yang menjadi kuniyah beliau), al-Zahir, dan al-Thayyib; serta anak perempuan: Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fatimah. Anak laki-laki beliau wafat sebelum kenabian, sedangkan anak-anak perempuan hidup setelahnya. Kemudian, Quraisy bermusyawarah untuk merobohkan dan membangun kembali Ka’bah karena bangunannya yang rendah, padahal tingginya di atas kepala dan dindingnya lebar. Mereka ingin meninggikannya, namun takut untuk memulai perobohan. Di Ka’bah sering muncul seekor ular yang ditakuti orang-orang. Suatu hari, ular itu naik ke dinding Ka’bah, lalu seekor burung datang dan mencengkeramnya. Maka Quraisy berkata, “Kami berharap Allah telah meridai apa yang kami inginkan.” Pada saat itu, laut telah menghanyutkan sebuah kapal ke pantai Jeddah milik seorang pedagang Romawi. Mereka pun merobohkan Ka’bah, membangunnya kembali, dan menutupinya dengan kayu kapal tersebut. Itu terjadi lima belas tahun setelah Tahun Fujjar, dan Rasulullah ﷺ saat itu berusia tiga puluh lima tahun. Ketika mereka hendak meletakkan Hajar Aswad di sudut Ka’bah, kabilah-kabilah Quraisy berselisih dan masing-masing ingin mendapat kehormatan meletakkannya. Abu Umayyah bin al-Mughirah, orang tertua Quraisy, khawatir akan terjadi pertumpahan darah, lalu berkata, “Wahai kaum Quraisy, serahkan keputusan kepada orang pertama yang masuk dari pintu masjid ini.” Maka orang pertama yang masuk adalah Rasulullah ﷺ. Mereka berkata, “Ini Muhammad, dia adalah al-Amin.” Sebelum kenabian, beliau memang dijuluki al-Amin karena amanah, kesucian, dan kejujurannya. Mereka pun setuju dengan keputusan beliau. Ketika beliau sampai, mereka memberitahunya. Beliau berkata, “Bawakan kepadaku sehelai kain.” Mereka pun membawakannya kain, lalu beliau meletakkan Hajar Aswad di atas kain itu dengan tangannya, dan berkata, “Hendaklah setiap kabilah memegang satu sisi kain dan angkatlah bersama-sama.” Mereka pun melakukannya. Ketika Hajar Aswad sampai di tempatnya, beliau meletakkannya dengan tangannya sendiri. Peristiwa ini dan terpilihnya beliau di antara mereka merupakan tanda-tanda yang Allah tentukan untuk agama-Nya dan bukti-bukti kenabian yang akan diberikan kepadanya.

فَصْلٌ

Fasal

ثُمَّ لَمَّا تَقَارَبَ زَمَانُ نُبُوَّتِهِ انْتَشَرَ فِي الْأُمَمِ أَنَّ اللَّهَ سَيَبْعَثُ نبيا في هذا الزمان أن ظُهُورَهُ قَدْ آنَ فَكَانَتْ كُلُّ أُمَّةٍ لَهَا كِتَابٌ تَعْرِفُ ذَلِكَ مِنْ كِتَابِهَا وَكُلُّ أُمَّةٍ لَا كِتَابَ لَهَا تَرَى مِنَ الْآيَاتِ الْمُنْذِرَةِ مَا تَسْتَدِلُّ عَلَيْهِ بِعُقُولِهَا فَحُكِيَ أَنَّهُ كَانَ لِقُرَيْشٍ عِيدٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ يَنْفَرِدُ فِيهِ النِّسَاءُ عَنِ الرِّجَالِ فَاجْتَمَعْنَ فِيهِ فَوَقَفَ عَلَيْهِنَّ يَهُودِيٌّ وَفِيهِنَّ ” خَدِيجَةُ ” فَقَالَ لَهُنَّ يَا مَعْشَرَ نِسَاءِ قُرَيْشٍ يُوشِكُ أَنْ يُبْعَثَ فِيكُنَّ نَبِيٌّ فَأَيَّتُكُنَّ اسْتَطَاعَتْ أَنْ تَكُونَ لَهُ أَرْضًا فَلْتَفْعَلْ فَوَقَرَ ذَلِكَ فِي نَفْسِ خَدِيجَةَ

Kemudian, ketika masa kenabiannya sudah semakin dekat, tersebarlah di kalangan umat-umat bahwa Allah akan mengutus seorang nabi pada masa itu dan bahwa kemunculannya sudah hampir tiba. Maka setiap umat yang memiliki kitab mengetahui hal itu dari kitab mereka, dan setiap umat yang tidak memiliki kitab melihat tanda-tanda yang memberi peringatan yang dapat mereka pahami dengan akal mereka. Diceritakan bahwa Quraisy memiliki hari raya pada masa jahiliah di mana para wanita terpisah dari laki-laki, lalu mereka berkumpul pada hari itu. Seorang Yahudi mendatangi mereka, di antara mereka ada Khadijah, lalu ia berkata kepada mereka, “Wahai para wanita Quraisy, hampir saja akan diutus di tengah kalian seorang nabi. Maka siapa di antara kalian yang mampu menjadi tanah baginya, lakukanlah.” Perkataan itu pun membekas dalam hati Khadijah.

وَرُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ كُنْتُ عِنْدَ وَثَنٍ مِنْ أَوْثَانِ الْجَاهِلِيَّةِ فِي نَفَرٍ مِنْ قُرَيْشٍ وَقَدْ ذَبَحَ لَهُ رَجُلٌ مِنَ الْعَرَبِ عِجْلًا وَنَحْنُ نَنْظُرُ إِلَيْهِ لِيُقَسِّمَ لَنَا مِنْهُ إِذْ سَمِعْتُ مِنْ جَوْفِ الْعِجْلِ صَوْتًا مَا سَمِعْتُ صَوْتًا قَطُّ أَنْفَذَ مِنْهُ وذلك قبل الإسلام بشهر وشيعه يَقُولُ يَا آلَ ذَرِيحٍ أَمْرٌ نَجِيحٌ وَرَجُلٌ يَصِيحُ يَقُولُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَرُوِيَ عَنْ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ قَالَ كُنَّا جُلُوسًا عِنْدَ صَنَمٍ قَبْلَ أَنْ يَبْعَثْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِشَهْرٍ فَنَحَرْنَا جَزُورًا فَسَمِعْنَا صَائِحًا يَصِيحُ اسْمَعُوا إِلَى الْعَجَبِ ذَهَبَ اسْتِرَاقُ الْوَحْيِ لِنَبِيٍّ بِمَكَّةَ اسْمُهُ ” أَحْمَدُ ” مُهَاجِرٌ إِلَى يَثْرِبَ

Diriwayatkan dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata: Aku pernah berada di dekat sebuah berhala dari berhala-berhala jahiliah bersama sekelompok orang Quraisy. Seorang Arab telah menyembelih seekor anak sapi untuk berhala itu, dan kami sedang menunggu agar ia membagikan dagingnya kepada kami. Tiba-tiba aku mendengar dari dalam perut anak sapi itu sebuah suara yang belum pernah aku dengar suara yang lebih menembus darinya, dan itu terjadi sebulan sebelum datangnya Islam. Suara itu berkata, “Wahai keluarga Dzariḥ, ada perkara yang berhasil, dan ada seorang lelaki yang berseru, ‘La ilaha illallah!’” Diriwayatkan pula dari Jubair bin Muth’im, ia berkata: Kami sedang duduk di dekat sebuah berhala sebulan sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus. Kami menyembelih seekor unta, lalu kami mendengar seorang penyeru berseru, “Dengarkanlah keajaiban ini! Telah hilang pencurian wahyu untuk seorang nabi di Makkah yang bernama Ahmad, yang akan berhijrah ke Yatsrib.”

وَمِثْلُ ذَلِكَ كَثِيرٌ يَطُولُ بِهِ الْكِتَابُ فَجَعَلَ اللَّهُ تَعَالَى هَذِهِ الْمُقَدِّمَاتِ الْخَارِجَةَ عَنِ الْعَادَاتِ تَوْطِئَةً لِلنُّبُوَّةِ وَقَبُولِ رِسَالَتِهِ

Dan seperti itu masih banyak lagi, yang jika disebutkan semua akan membuat kitab ini menjadi panjang. Maka Allah Ta‘ala menjadikan mukadimah-mukadimah yang luar biasa dari kebiasaan ini sebagai pengantar bagi kenabian dan penerimaan risalah-Nya.

فَصْلٌ

Bagian

وَلَمَّا دَنَا مَبْعَثُ رَسُولِ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَحُبِّبَ إِلَيْهِ الْخَلْوَةُ فِي غَارِ حِرَاءٍ فَكَانَ يُؤْتَى بِطَعَامِهِ وَشَرَابِهِ فَيَأْكُلُ مِنْهُ وَيُطْعِمُ الْمَسَاكِينَ حَتَّى ظَهَرَتْ عَلَامَاتُ نُبُوَّتِهِ وَاخْتُلِفَ فِيهَا فَحُكِيَ عَنِ الشَّعْبِيِّ وَدَاوُدَ بْنِ عَامِرٍ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَرَنَ إِسْرَافِيلَ بِنُبُوَّةِ رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ثَلَاثَةَ سِنِينَ يَسْمَعُ حِسَّهُ وَلَا يَرَى شَخْصَهُ وَيُعَلِّمُهُ الشَّيْءَ بَعْدَ الشَّيْءِ وَلَا يَنْزِلُ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ فَلَمَّا مَضَتْ ثَلَاثَةُ سِنِينَ قَرَنَ لِنُبُوَّتِهِ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ فَنَزَلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ

Ketika waktu diutusnya Rasulullah ﷺ semakin dekat, beliau mulai menyukai menyendiri di Gua Hira. Makanan dan minumannya dibawakan kepadanya, lalu beliau makan darinya dan memberi makan kepada orang-orang miskin, hingga tanda-tanda kenabiannya mulai tampak. Terdapat perbedaan pendapat mengenai hal ini. Diriwayatkan dari asy-Sya‘bi dan Dawud bin ‘Amir bahwa Allah Ta‘ala menyertakan Israfil bersama kenabian Rasul-Nya ﷺ selama tiga tahun; beliau mendengar suaranya namun tidak melihat wujudnya, dan Israfil mengajarkan sesuatu demi sesuatu kepadanya, namun al-Qur’an belum diturunkan kepadanya. Setelah tiga tahun berlalu, Allah menyertakan Jibril ‘alaihis salam dalam kenabiannya, lalu al-Qur’an pun diturunkan kepadanya.

وَرَوَى عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ عَنْ أَبِي ذَرٍّ الْغِفَارِيِّ قَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَنْ أَوَّلِ نُبُوَّتِهِ فَقَالَ ” يَا أَبَا ذَرٍّ أَتَانِي مَلَكَانِ وَأَنَا بِبَطْحَاءِ مَكَّةَ فَوَقَعَ أَحَدُهُمَا فِي الْأَرْضِ وَالْآخَرُ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ فَقَالَ أَحَدُهُمَا لَصَاحِبِهِ أَهْوَ هُوَ؟ قَالَ هُوَ هُوَ قَالَ فَزِنْهُ بِرَجُلٍ مِنْ أُمَّتِهِ فَوُزِنْتُ بِرَجُلٍ فَرَجَحْتُهُ ثُمَّ قَالَ زِنْهُ بِعَشَرَةٍ فَوُزِنْتُ بِعَشَرَةٍ فَوَزَنْتُهُمْ ثُمَّ قَالَ زِنْهُ بِمِائَةٍ فَوَزَنَنِي بِمِائَةِ فَرَجَحْتُهُمْ ثُمَّ قَالَ زِنْهُ بِأَلْفٍ فَوَزَنَنِي فَرُجَحَتْهُمْ فَجَعَلُوا يَنْتَشِرُونَ عَلَيَّ مِنْ كِفَّةِ الْمِيزَانِ قَالَ فَقَالَ أَحَدُهُمَا لِلْآخَرِ لَوْ وَزَنْتَهُ بِأُمَّتِهِ لَرَجَحَهَا ثُمَّ قَالَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ شُقَّ بَطْنَهُ فَشَقَّ بَطْنِي ثُمَّ قَالَ شُقَّ قَلْبَهُ فَشَقَّ قَلْبِي فَأَخْرَجَ مِنْهُ مَغْمَزَ الشَّيْطَانِ وَعَلَقَ الدَّمِ ثُمَّ قَالَ اغْسِلْ بَطْنَهُ غَسْلَ الْإِنَاءِ وَاغْسِلْ قَلْبَهُ غسل الملاءة ثم دعى بِالسَّكِينَةِ كَأَنَّهَا وَجْهُ هِرَّةٍ فَأُدْخِلَتْ قَلْبِي ثُمَّ قَالَ خِط بَطْنَهُ فَخَاطَا بَطْنِي وَجَعْلَا الْخَاتَمَ بَيْنَ كَتِفَيَّ فَمَا هُوَ إِلَّا أَنْ وَلَيَّا عَنِّي فَكَأَنَّمَا أُعَايِنُ الْأَمْرَ مُعَايَنَةً ” فَكَانَ هَذَا مُقَدِّمَةَ نُبُوَّتِهِ وَهَذَا قَوْلٌ ثَانٍ

Urwah bin Zubair meriwayatkan dari Abu Dzar al-Ghifari, ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang awal kenabiannya. Beliau bersabda, “Wahai Abu Dzar, dua malaikat mendatangiku saat aku berada di tanah lapang Makkah. Salah satu dari mereka turun ke bumi dan yang lain berada di antara langit dan bumi. Salah satu dari mereka berkata kepada temannya, ‘Apakah dia orangnya?’ Temannya menjawab, ‘Ya, dia orangnya.’ Lalu ia berkata, ‘Timbanglah dia dengan seorang laki-laki dari umatnya.’ Maka aku ditimbang dengan seorang laki-laki dan aku lebih berat darinya. Kemudian ia berkata, ‘Timbanglah dia dengan sepuluh orang.’ Maka aku ditimbang dengan sepuluh orang dan aku lebih berat dari mereka. Lalu ia berkata, ‘Timbanglah dia dengan seratus orang.’ Maka aku ditimbang dengan seratus orang dan aku lebih berat dari mereka. Kemudian ia berkata, ‘Timbanglah dia dengan seribu orang.’ Maka aku ditimbang dengan seribu orang dan aku lebih berat dari mereka. Mereka pun mulai berhamburan dari sisi timbangan. Salah satu dari mereka berkata kepada yang lain, ‘Seandainya engkau menimbangnya dengan seluruh umatnya, niscaya ia akan lebih berat dari mereka.’ Kemudian salah satu dari mereka berkata kepada temannya, ‘Belahlah perutnya.’ Maka perutku dibelah. Lalu ia berkata, ‘Belahlah hatinya.’ Maka hatiku dibelah, lalu dikeluarkan darinya tempat masuknya setan dan segumpal darah. Kemudian ia berkata, ‘Cucilah perutnya seperti mencuci bejana dan cucilah hatinya seperti mencuci kain.’ Lalu ia memanggil ketenangan yang bentuknya seperti wajah kucing, lalu dimasukkan ke dalam hatiku. Kemudian ia berkata, ‘Jahitlah perutnya.’ Maka perutku dijahit dan mereka meletakkan tanda kenabian di antara kedua pundakku. Tidak lama setelah mereka pergi dariku, seakan-akan aku benar-benar menyaksikan peristiwa itu secara nyata.” Maka inilah permulaan kenabiannya, dan ini adalah pendapat kedua.

وَقَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ” أَوَّلُ مَا ابْتُدِئَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ الرُّؤْيَا الصَّادِقَةُ تَجِيءُ مِثْلَ فَلَقِ الصُّبْحِ ” حَتَّى نَزَلَ عَلَيْهِ جِبْرِيلُ فَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ حِينَ نَزَلَ عَلَيْهِ جِبْرِيلُ أَنَّهُ قَالَ فَغَتَّنِي غَتَّةً وَقَالَ اقْرَأْ قُلْتُ وَمَا أَقْرَأُ؟ قَالَ فَغَتَّنِي ثَانِيَةً وَقَالَ اقْرَأْ قُلْتُ وَمَا أَقْرَأُ؟ قَالَ اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خلق إِلَى قَوْلِهِ عَلَّمَ الإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Permulaan wahyu yang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mimpi yang benar, yang datang seperti cahaya fajar.” Hingga Jibril turun kepadanya. Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Jibril turun kepadanya, beliau bersabda, “Maka Jibril memelukku dengan erat, lalu berkata: ‘Bacalah!’ Aku menjawab, ‘Apa yang harus aku baca?’ Maka ia memelukku untuk kedua kalinya dan berkata: ‘Bacalah!’ Aku menjawab, ‘Apa yang harus aku baca?’ Ia berkata: ‘Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan, sampai firman-Nya: Mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.’”

وَهَذَا قَوْلٌ ثَالِثٌ وَلَيْسَ فِي هَذِهِ الرِّوَايَاتِ الثَّلَاثِ تَعَارُضٌ يَمْنَعُ بَعْضَهَا عَنْ بَعْضٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِصِحَّةِ ذَلِكَ فِي اجْتِمَاعٍ وَانْفِرَادٍ

Ini adalah pendapat ketiga, dan tidak ada pertentangan di antara tiga riwayat ini yang menghalangi sebagian dari yang lain. Allah lebih mengetahui kebenaran hal itu, baik dalam keadaan berkumpul maupun sendiri.

وَلَمَّا عَادَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مِنْ حِرَاءٍ وَدَخَلَ عَلَى خَدِيجَةَ وَحَدَّثَهَا مَا كَانَ وَقَالَ لَهَا إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَكُونَ قَدْ عَرَضَ لِي فَقَالَتْ كَلَّا مَا كَانَ رَبُّكَ يَفْعَلُ ذَلِكَ بِكَ وَأَتَتْ خَدِيجَةُ إِلَى ” وَرَقَةَ بْنِ نَوْفَلٍ ” وَكَانَ ابْنَ عَمِّهَا وَخَرَجَ فِي طَلَبِ الدِّينِ وَتَنَصَّرَ وَقَرَأَ التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ وَسَمِعَ مَا فِي الْكُتُبِ فَأَخْبَرَتْهُ بِمَا كَانَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَقَالَ هَذَا هُوَ النَّامُوسُ الَّذِي أُنْزِلَ عَلَى موسى ولئن كنت صادقة فإن زوجك محمد نَبِيُّ هَذِهِ الْأُمَّةِ وَلَيَلْقَيَنَّ مِنْ أُمَّتِهِ شِدَّةً فَإِنَّهُ مَا بُعِثَ نَبِيٌّ إِلَّا عُودِيَ وَلَئِنْ عِشْتُ لَهُ لَأُؤْمِنَنَّ بِهِ وَلَأَنْصُرَنَّهُ نَصْرًا مُؤَزَّرًا

Ketika Rasulullah saw. kembali dari Hira dan masuk menemui Khadijah, beliau menceritakan kepadanya apa yang telah terjadi dan berkata, “Aku khawatir sesuatu telah menimpaku.” Maka Khadijah berkata, “Tidak, sekali-kali tidak! Tuhanmu tidak akan melakukan itu kepadamu.” Lalu Khadijah pergi menemui Waraqah bin Naufal, sepupunya, yang telah mencari agama, memeluk agama Nasrani, membaca Taurat dan Injil, serta mengetahui apa yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut. Khadijah pun menceritakan kepadanya apa yang telah terjadi pada Rasulullah saw. Maka Waraqah berkata, “Itu adalah Namus (malaikat) yang telah diturunkan kepada Musa. Jika engkau benar, maka suamimu, Muhammad, adalah nabi umat ini. Sungguh, ia akan menghadapi kesulitan dari kaumnya, karena tidak ada seorang nabi pun yang diutus kecuali ia dimusuhi. Jika aku masih hidup ketika itu, pasti aku akan beriman kepadanya dan akan menolongnya dengan pertolongan yang sungguh-sungguh.”

فَكَانَتْ هَذِهِ الْحَالَ الثَّانِيَةَ مِنْ أَحْوَالِ نُبُوَّتِهِ وَلَمْ يُؤْمَرْ فِيهَا بِإِنْذَارٍ وَلَا رِسَالَةٍ

Maka inilah keadaan kedua dari keadaan-keadaan kenabiannya, dan pada keadaan ini beliau belum diperintahkan untuk memberi peringatan maupun menyampaikan risalah.

ثُمَّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لَمَّا عَادَ إِلَى مَنْزِلِهِ قَالَ لِخَدِيجَةَ دَثِّرُونِي وصبوا علي ماء بارد فَدَثَّرُوهُ فَنَزَلَ عَلَيْهِ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَقَالَ يَا مُحَمَّدُ أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ وَأَنَا جِبْرِيلُ وأنزل عليه يا أيها المدثر قم فأنذر إِلَى قَوْلِهِ وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ المدثر فَكَانَتْ هَذِهِ الْحَالَ الثَّالِثَةَ الَّتِي تَمَّتْ بِهَا نُبُوَّتُهُ وَتَحَقَّقَتْ بِهَا رِسَالَتُهُ وَكَانَ ذَلِكَ فِي يَوْمِ الِاثْنَيْنِ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ وَهُوَ ابْنُ أَرْبَعِينَ سَنَةً في قول الأكثرين وفي قول فريق ابْنُ ثَلَاثٍ وَأَرْبَعِينَ

Kemudian, ketika Rasulullah saw. kembali ke rumahnya, beliau berkata kepada Khadijah, “Selimuti aku dan siramkan air dingin kepadaku.” Maka mereka menyelimutinya. Lalu Jibril a.s. turun kepadanya dan berkata, “Wahai Muhammad, engkau adalah Rasulullah dan aku adalah Jibril.” Kemudian diturunkan kepadanya (ayat), “Wahai orang yang berselimut, bangunlah lalu berilah peringatan,” hingga firman-Nya, “dan perbuatan dosa tinggalkanlah.” (al-Muddatsir). Inilah keadaan ketiga yang dengan itu kenabiannya sempurna dan kerasulannya menjadi nyata. Peristiwa itu terjadi pada hari Senin di bulan Ramadan, ketika beliau berusia empat puluh tahun menurut kebanyakan pendapat, dan menurut sebagian pendapat lain, beliau berusia tiga dan empat puluh tahun.

قَالَ هِشَامُ بْنُ مُحَمَّدٍ أَوَّلُ مَا تَلَقَّاهُ جِبْرِيلُ لَيْلَةَ السَّبْتِ وَلَيْلَةَ الْأَحَدِ ثُمَّ ظَهَرَ لَهُ بِرِسَالَةِ اللَّهِ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ

Hisyam bin Muhammad berkata, “Pertama kali Jibril menemuinya adalah pada malam Sabtu dan malam Ahad, kemudian Jibril menampakkan diri kepadanya dengan membawa risalah Allah pada hari Senin.”

وَرَوَى أَبُو قَتَادَةَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ ” سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الِاثْنَيْنِ فَقَالَ ” ذَلِكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَأُنْزِلَ عَلَيَّ فِيهِ النُّبُوَّةُ “

Abu Qatadah meriwayatkan dari Umar bin Khattab, ia berkata: “Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang puasa hari Senin, maka beliau bersabda: ‘Itu adalah hari aku dilahirkan dan pada hari itu pula kenabian diturunkan kepadaku.’”

وَاخْتَلَفُوا فِي أَيِّ اثْنَيْنٍ كَانَ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ

Mereka berbeda pendapat mengenai dua hari mana yang termasuk dari bulan Ramadan.

فَقَالَ أَبُو قِلَابَةَ كَانَ فِي الثَّانِي عَشَرَ من شهر رمضان وقال أبو الخلد كَانَ فِي الرَّابِعِ وَالْعِشْرِينَ مِنْهُ ثُمَّ أَخْبَرَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ خَدِيجَةَ بِمَا نَزَلَ عَلَيْهِ فَقَالَتْ لَهُ يَا ابْنَ عَمِّ هَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تُخْبِرَنِي بِصَاحِبِكَ هَذَا الَّذِي أَتَاكَ إِذَا جَاءَكَ؟ قَالَ نَعَمْ قالت فأخبرني به وإذا جاءك فجاء لها جِبْرِيلُ فَقَالَ لَهَا يَا خَدِيجَةُ هَذَا جِبْرِيلُ قَدْ جَاءَنِي قَالَتْ قُمْ فَاجْلِسْ عَلَى فَخْذِي الْيُسْرَى فَجَلَسَ عَلَيْهَا فَقَالَتْ هَلْ تَرَاهُ؟ قَالَ نَعَمْ قَالَتْ تَحَوَّلْ إِلَى فَخْذِي الْيُمْنَى فَتَحَوَّلَ إِلَيْهَا فَقَالَتْ هَلْ تَرَاهُ قَالَ نَعَمْ قَالَتْ فَتَحَوَّلْ فِي حِجْرِي فَتَحَوَّلَ فِي حِجْرِهَا فَقَالَتْ هَلْ تَرَاهُ قَالَ نَعَمْ فَتَحَسَّرَتْ وَأَلْقَتْ خِمَارَهَا وَهُوَ جَالِسٌ فِي حِجْرِهَا فَقَالَتْ هَلْ تَرَاهُ؟ قَالَ لَا فَقَالَتْ يَا ابْنَ عَمِّ اثْبُتْ وَأَبْشِرْ فَوَاللَّهِ إِنَّهُ لَمَلَكٌ وَمَا هُوَ بِشَيْطَانٍ وَآمَنَتْ بِهِ فَكَانَتْ أَوَّلَ مَنْ أَسْلَمَ مِنْ جَمِيعِ النَّاسِ

Abu Qilabah berkata: “Peristiwa itu terjadi pada tanggal dua belas bulan Ramadan.” Dan Abu al-Khald berkata: “Peristiwa itu terjadi pada tanggal dua puluh empat bulan Ramadan.” Kemudian Rasulullah ﷺ memberitahukan kepada Khadijah tentang apa yang telah turun kepadanya. Khadijah berkata kepadanya, “Wahai putra pamanku, bisakah engkau memberitahuku tentang sahabatmu yang datang kepadamu itu jika ia datang lagi?” Beliau menjawab, “Ya.” Khadijah berkata, “Beritahukanlah kepadaku jika ia datang.” Maka ketika Jibril datang kepadanya, beliau berkata kepada Khadijah, “Wahai Khadijah, ini Jibril telah datang kepadaku.” Khadijah berkata, “Bangunlah dan duduklah di atas pahaku yang kiri.” Maka beliau pun duduk di atasnya. Khadijah bertanya, “Apakah engkau masih melihatnya?” Beliau menjawab, “Ya.” Khadijah berkata, “Berpindahlah ke pahaku yang kanan.” Maka beliau pun berpindah ke pahanya yang kanan. Khadijah bertanya, “Apakah engkau masih melihatnya?” Beliau menjawab, “Ya.” Khadijah berkata, “Berpindahlah ke pangkuanku.” Maka beliau pun berpindah ke pangkuannya. Khadijah bertanya, “Apakah engkau masih melihatnya?” Beliau menjawab, “Ya.” Maka Khadijah menyingkap kerudungnya dan meletakkannya, sementara beliau masih duduk di pangkuannya. Khadijah bertanya, “Apakah engkau masih melihatnya?” Beliau menjawab, “Tidak.” Khadijah berkata, “Wahai putra pamanku, teguhkanlah hatimu dan bergembiralah. Demi Allah, sesungguhnya dia adalah malaikat dan bukan setan.” Maka Khadijah pun beriman kepadanya dan ia menjadi orang pertama yang masuk Islam dari seluruh manusia.

فَصْلٌ

Bab

ثُمَّ رُوِيَ أَنَّ جِبْرِيلَ نَزَلَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يَوْمَ الثُّلَاثَاءِ وَهُوَ بِأَعْلَى مَكَّةَ فَهَمَزَ لَهُ بِعَقِبِهِ فِي نَاحِيَةِ الْوَادِي فَانْفَجَرَتْ مِنْهُ عَيْنٌ فَتَوَضَّأَ جِبْرِيلُ مِنْهَا لِيُرِيَهُ كَيْفَ الطُّهُورُ فَتَوَضَّأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مِثْلَ مَا تَوَضَّأَ ثُمَّ قَامَ جِبْرِيلُ فَصَلَّى وَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِصَلَاتِهِ فَكَانَتْ هَذِهِ أَوَّلَ عِبَادَةٍ فُرِضَتْ عَلَيْهِ

Kemudian diriwayatkan bahwa Jibril turun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Selasa ketika beliau berada di bagian atas Makkah. Jibril menghentakkan tumitnya di salah satu sisi lembah, lalu memancarlah mata air dari situ. Jibril berwudu dari mata air itu untuk menunjukkan kepada beliau bagaimana cara bersuci. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berwudu sebagaimana yang dilakukan Jibril. Kemudian Jibril berdiri dan melaksanakan salat, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam salat mengikuti Jibril. Inilah ibadah pertama yang diwajibkan atas beliau.

ثُمَّ انْصَرَفَ جِبْرِيلُ فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إِلَى خَدِيجَةَ فَتَوَضَّأَ لَهَا حَتَّى تَوَضَّأَتْ وَصَلَّى بِهَا كَمَا صَلَّى بِهِ جِبْرِيلُ فَكَانَتْ أَوَّلَ مَنْ تَوَضَّأَ وَصَلَّى بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَاسْتَسَرَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِالْإِنْذَارِ مَنْ يَأْمَنُهُ

Kemudian Jibril pun pergi, lalu Rasulullah saw. datang kepada Khadijah, beliau berwudu untuknya hingga Khadijah pun berwudu, kemudian beliau salat bersamanya sebagaimana Jibril telah salat bersama beliau. Maka Khadijah menjadi orang pertama yang berwudu dan salat setelah Rasulullah saw. Dan Rasulullah saw. pun merahasiakan dakwahnya kepada orang-orang yang beliau percayai.

فَاخْتُلِفَ فِي أَوَّلِ مَنْ أَسْلَمَ بَعْدَ خَدِيجَةَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقَاوِيلَ

Maka terjadi perbedaan pendapat mengenai siapa orang pertama yang masuk Islam setelah Khadijah, menjadi tiga pendapat.

أَحَدُهَا إِنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ أَوَّلُ مَنْ أَسْلَمَ مِنَ الذُّكُورِ وَصَلَّى وَهُوَ ابْنُ تِسْعِ سِنِينَ وَقِيلَ ابْنُ عَشْرِ سِنِينَ وَهَذَا قَوْلُ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ وَجَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ

Salah satunya adalah bahwa Ali bin Abi Thalib merupakan laki-laki pertama yang masuk Islam dan melaksanakan shalat, saat usianya sembilan tahun, dan ada yang mengatakan sepuluh tahun. Pendapat ini dikemukakan oleh Zaid bin Arqam dan Jabir bin Abdillah.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي إنَّ أَوَّلَ مَنْ أَسْلَمَ وَصَلَّى أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ وَقَالَ الشَّعْبِيُّ سَأَلْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ عَنْ أَوَّلِ النَّاسِ إِسْلَامًا فَقَالَ أَمَا سَمِعْتَ قَوْلَ حَسَّانَ بْنِ ثَابِتٍ

Pendapat kedua menyatakan bahwa orang pertama yang masuk Islam dan shalat adalah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu. Ini adalah pendapat Abu Umamah al-Bahili. Asy-Sya‘bi berkata, “Aku bertanya kepada Ibnu ‘Abbas tentang siapa orang pertama yang masuk Islam.” Ia menjawab, “Tidakkah engkau mendengar perkataan Hassan bin Tsabit?”

إِذَا تَذَكَّرْتَ شَجْوًا مِنْ أَخِي ثِقَةٍ فَاذْكُرْ أَخَاكَ أَبَا بَكْرٍ بِمَا فَعَلَا

Jika engkau teringat kesedihan karena saudara terpercaya, maka ingatlah saudaramu Abu Bakar atas apa yang telah ia lakukan.

خَيْرَ الْبَرِيَّةِ أَتْقَاهَا وَأَعْدَلَهَا بعد النبي وأوفاها بما حلا

Manusia terbaik adalah yang paling bertakwa dan paling adil setelah Nabi, serta yang paling menunaikan apa yang telah diwajibkan.

الثاني اثنين المحمود مَشْهَدُهُ وَأَوَّلَ النَاسِ مِنْهُمْ صَدَّقَ الرُسُلَا

Yang kedua dari dua orang yang terpuji kedudukannya, dan yang pertama dari mereka yang membenarkan para rasul.

وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ إنَّ أَوَّلَ مَنْ أَسْلَمَ زَيْدُ بْنُ حَارِثَةَ وَهُوَ قَوْلُ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ وَسُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ وَجَعَلَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عنه يدعوا إِلَى الْإِسْلَامِ مَنْ وَثِقَ بِهِ لِأَنَّهُ كَانَ تاجرا ذا خلق معروف وَكَانَ أَنْسَبَ قُرَيْشٍ لِقُرَيْشٍ وَأَعْلَمَهُمْ بِمَا كَانُوا عَلَيْهِ مِنْ خَيْرٍ وَشَرٍّ حَسَنَ التَّآلُفِ لَهُمْ وَكَانُوا يُكْثِرُونَ غِشْيَانَهُ فَأَسْلَمَ عَلَى يَدَيْهِ عُثْمَانُ بن عفان وَالزُّبَيْرُ بْنُ الْعَوَّامِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عوف وطلحة بن عبد اللَّهِ وَسَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ فَجَاءَ بِهِمْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ حَتَّى اسْتَجَابُوا لَهُ بِالْإِسْلَامِ وَصَلَّوْا فَصَارُوا مَعَ مَنْ تَقَدَّمَ ثَمَانِيَةً أَوَّلَ مَنْ أَسْلَمَ وَصَلَّى ثُمَّ تَتَابَعَ النَّاسُ فِي الدُّخُولِ فِي الْإِسْلَامِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Pendapat ketiga menyatakan bahwa orang pertama yang masuk Islam adalah Zaid bin Haritsah, dan ini adalah pendapat ‘Urwah bin Zubair dan Sulaiman bin Yasar. Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu mulai mengajak orang-orang yang ia percayai untuk masuk Islam, karena ia adalah seorang pedagang yang memiliki akhlak terpuji dan dikenal baik, serta merupakan orang Quraisy yang paling mengetahui nasab Quraisy dan paling memahami keadaan mereka, baik dalam kebaikan maupun keburukan, serta memiliki hubungan yang baik dengan mereka. Mereka pun sering mengunjunginya. Maka masuk Islamlah melalui perantaraannya: Utsman bin ‘Affan, Zubair bin ‘Awwam, Abdurrahman bin ‘Auf, Thalhah bin ‘Abdullah, dan Sa‘d bin Abi Waqqash. Ia membawa mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga mereka menerima ajakan beliau untuk masuk Islam dan melaksanakan shalat. Dengan demikian, mereka bersama orang-orang yang telah lebih dahulu masuk Islam menjadi delapan orang pertama yang masuk Islam dan melaksanakan shalat. Setelah itu, orang-orang pun mulai berbondong-bondong masuk Islam. Dan Allah Maha Mengetahui.

فَصْلٌ

Bab

وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَلَى الِاسْتِسْرَارِ بِدُعَائِهِ مُدَّةَ ثَلَاثِ سِنِينَ مِنْ مَبْعَثِهِ وَقَدِ انْتَشَرَتْ دَعْوَتُهُ فِي قُرَيْشٍ إِلَى أَنْ أُمِرَ بِالدُّعَاءِ جَهْرًا وَنَزَلَ عَلَيْهِ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ فَلَزِمَهُ الْجَهْرُ بِالدُّعَاءِ وَأُمِرَ أَنْ يَبْدَأَ بِإِنْذَارِ عَشِيرَتِهِ فَقَالَ تَعَالَى وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الأقربين وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ

Rasulullah ﷺ selama tiga tahun sejak diutusnya beliau, menyembunyikan dakwahnya. Dakwah beliau telah menyebar di kalangan Quraisy hingga beliau diperintahkan untuk berdakwah secara terang-terangan, dan turunlah firman Allah Ta‘ala: “Maka sampaikanlah secara terang-terangan apa yang diperintahkan kepadamu dan berpalinglah dari orang-orang musyrik.” Maka beliau pun wajib berdakwah secara terbuka dan diperintahkan untuk memulai dengan memberi peringatan kepada kerabat terdekatnya, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang mukmin yang mengikutimu.”

قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ فَصَعِدَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ الصَّفَا فَهَتَفَ يَا صَاحِبَاهُ يَا بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ حَتَّى ذَكَرَ الْأَقْرَبَ فَالْأَقْرَبَ مِنْ قَبَائِلِ قُرَيْشٍ فَاجْتَمَعُوا إِلَيْهِ وَقَالُوا مَا لَكَ؟ فَقَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَخْبَرْتُكُمْ أَنَّ خَيْلًا تَخْرُجُ بِسَفْحِ هَذَا الْجَبَلِ أَمَا كُنْتُمْ تُصَدِّقُونِي؟ قَالُوا بَلَى مَا جَرَّبْنَا عَلَيْكَ كَذِبًا قَالَ فَإِنِّي نَذِيرٌ لَكُمْ بَيْنَ يَدَيْ عَذَابٍ شَدِيدٍ فَقَالَ أَبُو لَهَبٍ تَبًّا لَكَ أَلِهَذَا جَمَعْتَنَا؟ ثُمَّ قَامَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ إِلَى آخِرِ السُّورَةِ

Ibnu Abbas berkata: Maka Rasulullah ﷺ naik ke bukit Shafa lalu berseru, “Wahai para sahabatku! Wahai Bani Abdul Muththalib! Wahai Bani Abdu Manaf!” hingga beliau menyebutkan kabilah-kabilah Quraisy yang paling dekat, lalu yang lebih dekat lagi. Maka mereka pun berkumpul kepadanya dan berkata, “Ada apa denganmu?” Beliau bersabda, “Bagaimana pendapat kalian jika aku memberitahukan kepada kalian bahwa ada pasukan berkuda yang keluar di lereng gunung ini, apakah kalian akan mempercayaiku?” Mereka menjawab, “Tentu, kami tidak pernah mendapati engkau berdusta.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan bagi kalian sebelum datangnya azab yang pedih.” Maka Abu Lahab berkata, “Celaka engkau! Apakah hanya untuk ini engkau mengumpulkan kami?” Lalu ia pun berdiri, maka Allah Ta‘ala menurunkan firman-Nya: “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa ia,” hingga akhir surah.

قَالَ ابْنُ إِسْحَاقَ وَلَمْ يَكُنْ مِنْ قُرَيْشٍ فِي دُعَائِهِ لَهُمْ مُبَاعَدَةٌ لَهُ وَلَكِنْ رَدُّوا عَلَيْهِ بَعْضَ الرَّدِّ حَتَّى ذَكَرَ آلِهَتَهُمْ وَعَابَهَا وَسَفَّهَ أَحْلَامَهُمْ فِي عِبَادَتِهَا فَلَمَّا فَعَلَ ذَلِكَ أَجْمَعُوا عَلَى خِلَافِهِ وَتَظَاهَرُوا بِعَدَاوَتِهِ إِلَّا مَنْ عَصَمَهُ اللَّهُ مِنْهُمْ بِالْإِسْلَامِ وَهُمْ قَلِيلٌ مُسْتَخْفُونَ وَحَدَبَ عَلَيْهِ عَمُّهُ أَبُو طَالِبٍ فَمَنَعَ مِنْهُ وَقَامَ دُونَهُ وَإِنْ كَانَ عَلَى رَأْيِهِمْ فَلَمَّا طَالَ هَذَا عَلَيْهِمُ اجْتَمَعَتْ مَشْيَخَةُ قُرَيْشٍ إِلَى أَبِي طَالِبٍ وَقَالُوا إِنَّ ابْنَ أَخِيكَ قَدْ عَابَ عَلَيْنَا دِينَنَا وَسَبَّ آلِهَتَنَا وَسَفَّهَ أَحْلَامَنَا وَضَلَّلَ آبَاءَنَا فَإِمَّا أَنْ تَكُفَّهُ عَنَّا وَإِمَّا أَنْ تُخَلِّيَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُ فَإِنَّكَ عَلَى مِثْلِ مَا نَحْنُ عَلَيْهِ مِنْ خِلَافِهِ فَقَالَ لَهُمْ أَبُو طَالِبٍ قَوْلًا رَفِيقًا وَرَدَّهُمْ رَدَّا جَمِيلًا وَمَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَلَى دُعَائِهِ فَلَمَّا كَبُرَ ذَلِكَ عَلَى قُرَيْشٍ وَاشْتَدَّ بِهِمْ عَادُوا إِلَى أَبِي طَالِبٍ ثَانِيَةً وَقَالُوا قَدِ اسْتَنْهَيْنَاكَ ابْنَ أَخِيكَ وَلَمْ تَنْهَهُ وَاسْتَكْفَفْنَاكَ فَلَمْ تَكُفَّهُ وَأَنْتَ كَبِيرُنَا فَأَنْصِفْنَا مِنْهُ وَمُرْهُ أَنْ يَكُفَّ عَنْ شَتْمِ آلِهَتِنَا حَتَّى نَدَعَهُ وَإِلَهَهُ الَّذِي يَعْبُدُهُ فَبَعَثَ إِلَيْهِ أَبُو طَالِبٍ فَلَمَّا دَخَلَ عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ لَهُ يَا ابْنَ أَخِي هَؤُلَاءِ مَشْيَخَةُ قَوْمِكَ وَقَدْ سَأَلُوكَ النِّصْفَ أَنْ تَكُفَّ عَنْ شَتْمِ آلِهَتِهِمْ وَيَدَعُوكَ وَإِلَهَكَ فَقَالَ أَو عَمِّ أَوَلَا أَدْعُوهُمْ إِلَى مَا هُوَ خَيْرٌ لَهُمْ مِنْهَا؟ قَالَ وَإِلَى مَا تَدْعُوهُمْ قَالَ أَدْعُوهُمْ إِلَى كَلِمَةٍ تَدِينُ لَهُمْ بِهَا الْعَرَبُ وَيَمْلِكُونَ بِهَا الْعَجَمَ قَالَ أَبُو جَهْلٍ مَا هِيَ وأبيك لَنُعْطِيَنَّكَهَا وَعَشْرَ أَمْثَالِهَا قَالَ تَقُولُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَنَفَرُوا وَقَالُوا لَا سَلْنَا غَيْرَ هَذِهِ فَقَالَ لَوْ جِئْتُمُونِي بِالشَّمْسِ حَتَّى تَضَعُوهَا فِي يَدَيَّ مَا سَأَلْتُكُمْ غَيْرَهَا فَغَضِبُوا وَقَالُوا أَجَعَلَ الآلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عجاب ثُمَّ قَالُوا وَاللَّهِ لَنَشْتُمَنَّكَ وَإِلَهَكَ الَّذِي يَأْمُرُكَ بِهَذَا وَانْطَلَقَ الْمَلأُ مِنْهُمْ أَنِ امْشُوا وَاصْبِرُوا عَلَى آلِهَتِكُمْ إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ يُرَادُ

Ibnu Ishaq berkata, “Tidak ada dari kalangan Quraisy yang menjauhinya ketika ia mengajak mereka, namun mereka hanya membalas sebagian dari ajakannya, sampai ia menyebut berhala-berhala mereka, mencelanya, dan menganggap bodoh pemikiran mereka dalam menyembahnya. Ketika ia melakukan hal itu, mereka sepakat untuk menentangnya dan secara terang-terangan memusuhinya, kecuali orang-orang yang Allah lindungi di antara mereka dengan Islam, dan mereka itu sedikit serta bersembunyi. Pamannya, Abu Thalib, melindunginya, mencegah gangguan terhadapnya, dan membelanya, meskipun ia sependapat dengan mereka. Ketika hal ini berlangsung lama bagi mereka, para pemuka Quraisy berkumpul menemui Abu Thalib dan berkata, ‘Sesungguhnya keponakanmu telah mencela agama kami, menghina berhala-berhala kami, menganggap bodoh akal kami, dan menyesatkan nenek moyang kami. Maka, hentikanlah dia dari kami, atau biarkan kami dan dia, karena engkau pun sependapat dengan kami dalam menentangnya.’ Maka Abu Thalib berkata kepada mereka dengan perkataan yang lembut dan menolak mereka dengan penolakan yang baik, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap melanjutkan dakwahnya. Ketika hal itu semakin berat bagi Quraisy dan mereka semakin keras, mereka kembali menemui Abu Thalib untuk kedua kalinya dan berkata, ‘Kami telah meminta kepadamu agar menahan keponakanmu, namun engkau tidak menahannya. Kami telah meminta agar engkau menghentikannya, namun engkau tidak melakukannya, padahal engkau adalah pemuka kami. Maka, berikanlah keadilan kepada kami darinya, dan perintahkanlah dia agar berhenti mencela berhala-berhala kami, hingga kami membiarkannya dan Tuhannya yang ia sembah.’ Maka Abu Thalib mengutus seseorang memanggil Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika beliau masuk menemuinya, Abu Thalib berkata, ‘Wahai keponakanku, para pemuka kaummu telah meminta keadilan kepadamu agar engkau berhenti mencela berhala-berhala mereka, dan mereka akan membiarkanmu dan Tuhanmu.’ Beliau menjawab, ‘Wahai pamanku, tidakkah aku boleh mengajak mereka kepada sesuatu yang lebih baik bagi mereka dari itu?’ Ia bertanya, ‘Kepada apa engkau mengajak mereka?’ Beliau menjawab, ‘Aku mengajak mereka kepada satu kalimat yang dengan itu bangsa Arab tunduk kepada mereka dan bangsa ‘Ajam (non-Arab) akan mereka kuasai.’ Abu Jahal berkata, ‘Apa itu? Demi ayahmu, kami akan memberikannya kepadamu dan sepuluh kali lipatnya.’ Beliau bersabda, ‘Katakanlah: Lā ilāha illallāh (tidak ada tuhan selain Allah).’ Maka mereka pun menolak dan berkata, ‘Kami tidak meminta selain ini darimu.’ Beliau bersabda, ‘Seandainya kalian mendatangkan matahari kepadaku hingga kalian meletakkannya di tanganku, aku tidak akan meminta kepada kalian selain itu.’ Mereka pun marah dan berkata, ‘Apakah ia menjadikan tuhan-tuhan itu hanya satu Tuhan saja? Sungguh ini adalah perkara yang mengherankan.’ Kemudian mereka berkata, ‘Demi Allah, kami pasti akan mencelamu dan Tuhanmu yang memerintahkanmu melakukan ini.’ Lalu para pemuka mereka pergi seraya berkata, ‘Pergilah dan tetaplah teguh pada berhala-berhala kalian, sungguh ini adalah perkara yang diinginkan.’

فصل الهجرة إلى الحبشة

Bab Hijrah ke Habasyah

وَلَمَّا رَأَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مَا يَنَالُ أَصْحَابُهُ مِنَ الْبَلَاءِ وَمَا هُوَ فِيهِ مِنَ الْعَافِيَةِ بِمَا يَسَّرَهُ اللَّهُ تَعَالَى مِنْ دِفَاعِ عَمِّهِ أَبِي طَالِبٍ قَالَ لِأَصْحَابِهِ ” لَوْ خَرَجْتُمْ إِلَى أَرْضِ الْحَبَشَةِ فَإِنَّ بِهَا مَلِكًا عَادِلًا إِلَى أَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَكُمْ فَرَجَا ” فَهَاجَرَ إِلَيْهَا مَنْ خَافَ عَلَى دِينِهِ وَهِيَ أَوَّلُ هِجْرَةٍ هَاجَرَ إِلَيْهَا الْمُسْلِمُونَ فَكَانَ أَوَّلُ مَنْ خَرَجَ مِنْهُمْ وَذَلِكَ فِي رَجَبٍ سَنَةَ خَمْسٍ مِنَ الْمَبْعَثِ أَحَدَ عَشَرَ رَجُلًا وَأَرْبَعَ نِسْوَةٍ مِنْهُمْ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ وَامْرَأَتُهُ ” رُقَيَّةُ ” بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَأَبُو حُذَيْفَةَ بْنُ عُتْبَةَ بْنِ رَبِيعَةَ وَالزُّبَيْرُ بْنُ الْعَوَّامِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ وَمُصْعَبُ بْنُ عُمَيْرٍ وَعُثْمَانُ بْنُ مَظْعُونٍ ثُمَّ خَرَجَ فِي أَثَرِهِمْ جَعْفَرُ بْنُ أَبِي طَالِبٍ فِي جَمَاعَةٍ صَارُوا مَعَ الْمُتَقَدِّمِينَ اثْنَيْنِ وَثَمَانِينَ نَفْسًا وَصَادَفُوا مِنَ النَّجَاشِيِّ مَا حَمِدُوهُ وَكَانَ قَدْ أَسْلَمَ قَبْلَ ذَلِكَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ ثُمَّ أَسْلَمَ بَعْدَ ذَلِكَ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَجَهَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِالْقُرْآنِ فِي صَلَاتِهِ حِينَ أَسْلَمَ حَمْزَةُ وَلَمْ يَكُنْ يَجْهَرُ قَبْلَ إِسْلَامِهِ وَقَوِيَ بِهِ الْمُسْلِمُونَ وقرأ عبد الله ين مَسْعُودٍ سُورَةَ الرَّحْمَنِ عَلَى الْمَقَامِ جَهْرًا حَتَّى سَمِعَتْهَا قُرَيْشٌ فَنَالُوهُ بِالْأَيْدِي فَلَمَّا رَأَتْ قُرَيْشٌ مَنْ يَدْخُلُ مِنْهُمْ فِي الْإِسْلَامِ وَعَدُوا رَسُولَ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنْ يُعْطُوهُ مَالًا وَيُزَوِّجُوهُ مَنْ شَاءَ مِنْ نِسَائِهِمْ وَيَكُونُوا تَحْتَ عَقِبِهِ وَيَكُفَّ عَنْ ذِكْرِ آلهتهم قالوا فإنا لَمْ يَفْعَلْ فَإِنَّا نَعْرِضُ عَلَيْكَ خَصْلَةً وَاحِدَةً لَنَا وَلَكَ فِيهَا صَلَاحٌ أَنْ تَعْبُدَ آلِهَتَنَا سَنَةً وَنَعْبُدَ إِلَهَكَ سَنَةً فَقَالَ ” حَتَّى أَنْظُرَ مَا يَأْتِينِي بِهِ رَبِّي ” فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى قل يا أيها الكافرون لا أعبد ما تعبدون وَلا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ إِلَى آخِرِ السُّورَةِ فَكَفَّ عَنْ ذَلِكَ وَكَانَ يَتَمَنَّى مِنْ رَبِّهِ أَنْ يُقَارِبَ قَوْمَهُ وَيَحْرِصُ عَلَى صَلَاحِهِمْ بِمَا وَجَدَ إِلَيْهِ السَّبِيلَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِ سُورَةَ ” النَّجْمِ ” فَقَرَأَهَا عَلَى قُرَيْشٍ حَتَّى بَلَغَ إِلَى قَوْلِهِ أَفَرَأَيْتُمُ اللات والعزى وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ الأُخْرَى أَلْقَى الشَّيْطَانُ عَلَى لِسَانِهِ تِلْكَ الْغَرَانِيقُ الْعُلَى وَإِنَّ شَفَاعَتَهُنَّ لَتُرْتَجَى وَانْتَهَى إِلَى السَّجْدَةِ فَسَجَدَ فِيهَا وَسَجَدَ مَعَهُ الْمُسْلِمُونَ اتِّبَاعًا لِأَمْرِهِ وَسَجَدَ مَنْ فِي الْمَسْجِدِ مِنَ الْمُشْرِكِينَ لِمَا سَمِعُوهُ مِنْ مَدْحِ آلِهَتِهِمْ وَكَانَ الْوَلِيدُ بْنُ الْمُغِيرَةِ شَيْخًا كَبِيرًا لَا يستطيع السجود فأخذ بيده حَفْنَةً مِنَ الْبَطْحَاءِ فَسَجَدَ عَلَيْهَا وَتَفَرَّقَ النَّاسُ مِنَ الْمَسْجِدِ مُتَقَارِبِينَ قَدْ سَرَّ الْمُشْرِكُونَ وَسَكَنَ الْمُسْلِمُونَ وَبَلَغَتِ السَّجْدَةُ مَنْ بِأَرْضِ الْحَبَشَةِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَقَالُوا أَسْلَمَتْ قُرَيْشٌ فَنَهَضَ مِنْهُمْ رِجَالٌ قَدِمُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَتَأَخَّرَ آخَرُونَ وَأَتَى جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ رَسُولَ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ مَاذَا صَنَعْتَ؟ لَقَدْ تَلَوْتَ عَلَى النَّاسِ مَا لَمْ آتِكَ بِهِ فَحَزِنَ حزنا شديدا وخاف من الله خوفا كثيرا فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِ مَا عَذَرَهُ فِيهِ فَقَالَ وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ وَلا نَبِيٍّ إِلا إِذَا تَمَنَّى أَلْقَى الشَّيْطَانُ فِي أُمْنِيَّتِهِ فَيَنْسَخُ اللَّهُ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللَّهُ آيَاتِهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ وَنَسَخَ مَا أَلْقَاهُ الشَّيْطَانُ عَلَى لِسَانِهِ بقوله ألكم الذكر وله الأنثى تِلْكَ إِذًا قِسْمَةٌ ضِيزَى فَقَالَتْ قُرَيْشٌ حِينَ سَمِعُوا النَّسْخَ نَدِمَ مُحَمَّدٌ عَلَى مَا ذَكَرَ مِنْ مَدْحِ آلِهَتِنَا وَجَاءَ بِغَيْرِهِ فَازْدَادُوا شَرًّا وَشِدَّةً عَلَى مَنْ أَسْلَمَ وَقَدِمَ مَنْ عَادَ مَنْ أَرْضِ الْحَبَشَةِ وَعَرَفُوا قَبْلَ دُخُولِ مَكَّةَ مَا نُسِخَ مِنْ إِلْقَاءِ الشَّيْطَانِ فَمِنْهُمْ مَنْ رَجَعَ إِلَى أَرْضِ الْحَبَشَةِ مِنْ طَرِيقِهِ وَمِنْهُمْ مَنْ دَخَلَ مَكَّةَ مُسْتَخْفِيًا وَمِنْهُمْ مَنْ دَخَلَهَا فِي جِوَارٍ فَدَخَلَ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ وَزَوْجَتُهُ رُقَيَّةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فِي جِوَارِ عُتْبَةَ بْنِ رَبِيعَةَ وَدَخَلَ عُثْمَانُ بْنُ مَظْعُونٍ فِي جِوَارِ الْوَلِيدِ بْنِ الْمُغِيرَةِ وَدَخَلَ جَعْفَرِ بْنُ أَبِي طَالِبٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ سِرًّا وَكَانَ جَمِيعُهُمْ ثَلَاثَةً وَثَلَاثِينَ نَفْسًا ثُمَّ عَادُوا وَغَيْرُهُمْ إِلَى أَرْضِ الْحَبَشَةِ إِلَّا عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ فَإِنَّهُ أَقَامَ حَتَّى هَاجَرَ إِلَى الْمَدِينَةِ وَهَذِهِ هِيَ الْهِجْرَةُ الثَّانِيَةُ إِلَى أَرْضِ الْحَبَشَةِ

Ketika Rasulullah ﷺ melihat penderitaan yang menimpa para sahabatnya sementara beliau sendiri berada dalam keadaan aman karena perlindungan yang diberikan Allah Ta‘ala melalui pamannya, Abu Thalib, beliau berkata kepada para sahabatnya, “Seandainya kalian pergi ke negeri Habasyah, karena di sana ada seorang raja yang adil, hingga Allah memberikan jalan keluar bagi kalian.” Maka berhijrahlah ke sana orang-orang yang khawatir terhadap agamanya, dan itulah hijrah pertama yang dilakukan kaum Muslimin. Orang pertama yang keluar pada bulan Rajab tahun kelima dari kenabian adalah sebelas laki-laki dan empat perempuan, di antaranya Utsman bin Affan dan istrinya Ruqayyah binti Rasulullah ﷺ, Abu Hudzaifah bin Utbah bin Rabi‘ah, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Mush‘ab bin Umair, dan Utsman bin Mazh‘un. Kemudian menyusul setelah mereka, Ja‘far bin Abi Thalib bersama sekelompok orang sehingga jumlah mereka bersama yang terdahulu menjadi delapan puluh dua jiwa. Mereka mendapatkan kebaikan dari Raja Najasyi yang mereka puji. Sebelumnya, Umar bin Khattab telah masuk Islam, kemudian setelah itu Hamzah bin Abdul Muthalib juga masuk Islam. Maka Rasulullah ﷺ mulai mengeraskan bacaan Al-Qur’an dalam shalatnya setelah Hamzah masuk Islam, padahal sebelumnya beliau tidak melakukannya, dan kaum Muslimin pun menjadi kuat karenanya. Abdullah bin Mas‘ud membaca Surah Ar-Rahman dengan suara keras di depan umum hingga didengar oleh kaum Quraisy, lalu mereka memukulinya. Ketika Quraisy melihat semakin banyak orang yang masuk Islam, mereka menawarkan kepada Rasulullah ﷺ harta, menikahkan beliau dengan wanita mana saja yang beliau inginkan dari kalangan mereka, dan mereka akan tunduk kepadanya, asalkan beliau berhenti menyebut tuhan-tuhan mereka. Mereka berkata, “Jika engkau tidak melakukannya, maka kami tawarkan satu perkara yang baik untuk kita dan untukmu, yaitu engkau menyembah tuhan-tuhan kami selama setahun dan kami menyembah Tuhanmu selama setahun.” Maka beliau berkata, “Aku akan menunggu apa yang akan dibawa Tuhanku kepadaku.” Lalu Allah Ta‘ala menurunkan firman-Nya: “Katakanlah: Wahai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah…” hingga akhir surah. Maka beliau pun berhenti dari tawaran itu. Beliau sangat berharap agar kaumnya mau mendekat dan sangat menginginkan kebaikan mereka dengan segala cara yang beliau mampu. Lalu Allah Ta‘ala menurunkan Surah An-Najm, dan beliau membacakannya kepada kaum Quraisy hingga sampai pada firman-Nya: “Maka apakah kalian telah memperhatikan al-Lat dan al-‘Uzza, dan Manat yang ketiga, yang paling terakhir?” Setan pun membisikkan pada lisannya: “Itulah burung-burung gagah yang tinggi, dan sungguh syafaat mereka benar-benar diharapkan.” Ketika sampai pada ayat sajdah, beliau pun sujud, dan kaum Muslimin pun sujud bersamanya mengikuti perintahnya, dan orang-orang musyrik yang berada di masjid juga sujud karena mendengar pujian terhadap tuhan-tuhan mereka. Al-Walid bin Mughirah yang sudah tua dan tidak mampu sujud, mengambil segenggam tanah lalu sujud di atasnya. Orang-orang pun keluar dari masjid dalam keadaan gembira, kaum musyrik merasa senang dan kaum Muslimin merasa tenang. Berita sujud itu sampai kepada kaum Muslimin di negeri Habasyah, lalu mereka berkata, “Quraisy telah masuk Islam.” Maka sebagian dari mereka kembali kepada Rasulullah ﷺ, sementara yang lain tetap tinggal. Kemudian Jibril ‘alaihissalam datang kepada Rasulullah ﷺ dan berkata, “Wahai Muhammad, apa yang telah engkau lakukan? Engkau telah membacakan kepada manusia sesuatu yang tidak aku bawa kepadamu.” Maka beliau sangat bersedih dan sangat takut kepada Allah. Lalu Allah Ta‘ala menurunkan ayat yang memberikan uzur kepadanya: “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul atau nabi sebelum kamu, melainkan apabila ia mempunyai suatu keinginan, setan pun memasukkan godaan dalam keinginannya; maka Allah menghapus apa yang dimasukkan setan itu, lalu Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Dan Allah menghapus apa yang dibisikkan setan pada lisannya dengan firman-Nya: “Apakah untuk kalian anak laki-laki dan untuk-Nya anak perempuan? Itu adalah pembagian yang tidak adil.” Ketika Quraisy mendengar penghapusan itu, mereka berkata, “Muhammad menyesal atas pujian terhadap tuhan-tuhan kami dan datang dengan yang lain.” Maka mereka semakin jahat dan keras terhadap orang-orang yang masuk Islam. Orang-orang yang kembali dari negeri Habasyah mengetahui sebelum masuk Makkah tentang penghapusan bisikan setan itu. Sebagian dari mereka kembali ke negeri Habasyah, sebagian masuk Makkah secara sembunyi-sembunyi, dan sebagian lagi masuk dengan perlindungan. Utsman bin Affan dan istrinya Ruqayyah radhiyallahu ‘anhuma masuk dengan perlindungan Utbah bin Rabi‘ah, Utsman bin Mazh‘un masuk dengan perlindungan Al-Walid bin Mughirah, Ja‘far bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas‘ud masuk secara diam-diam. Jumlah mereka seluruhnya tiga puluh tiga orang, kemudian mereka dan yang lainnya kembali ke negeri Habasyah, kecuali Utsman bin Affan yang tetap tinggal hingga berhijrah ke Madinah. Inilah hijrah kedua ke negeri Habasyah.

فَصْلٌ

Bab

وَلَمَّا اسْتَقَرَّ نُفُورُ قُرَيْشٍ بَعْدَ سُورَةِ النَّجْمِ عَادَوْا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وأصحابه بأمرين أحدهما مراسلة النجاشي في من هاجر إليه وَالثَّانِي تَحَالُفُهُمْ عَلَى بَنِي هَاشِمٍ وَبَنِي الْمُطَّلِبِ فِيمَنْ بَقِيَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ

Ketika penolakan Quraisy semakin mantap setelah turunnya Surah An-Najm, mereka memusuhi Rasulullah saw. dan para sahabatnya dengan dua hal: yang pertama, mengirim surat kepada Najasyi mengenai orang-orang yang hijrah kepadanya; dan yang kedua, mereka bersekutu untuk memusuhi Bani Hasyim dan Bani Muthalib, yaitu siapa saja yang masih bersama Rasulullah saw.

فَأَمَّا مُرَاسَلَةُ النَّجَاشِيِّ فَأَنْفَذُوا فِيهَا عَمْرَو بْنَ الْعَاصِ وَعُمَارَةَ بْنَ الْوَلِيدِ بْنِ الْمُغِيرَةِ مَعَ هَدَايَا لَهُ وَلِأَصْحَابِهِ لِيُعْلِمُوهُ أَنَّ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ قَدْ أَفْسَدُوا الْأَدْيَانَ وَرُبَّمَا أَفْسَدُوا دِينَكَ وَدِينَ قَوْمِكَ وَكَانَ نَصْرَانِيًّا فَجَمَعَ بَيْنَهُمْ وَفَلَحَتْ حُجَّةُ الْمُسْلِمِينَ عَلَيْهِمْ وَلَمْ يَظْفَرُوا بِطَائِلٍ وَعَادَ عَمْرٌو وَهَلَكَ عُمَارَةُ

Adapun pengiriman surat kepada Raja Najasyi, mereka mengutus Amr bin Ash dan ‘Umārah bin al-Walīd bin al-Mughīrah beserta hadiah-hadiah untuknya dan untuk para pengikutnya, agar mereka memberitahukan kepadanya bahwa orang-orang Muslim yang hijrah kepadanya telah merusak agama-agama, dan mungkin saja mereka akan merusak agamamu dan agama kaummu. Najasyi adalah seorang Nasrani, lalu ia mengumpulkan mereka, dan hujjah kaum Muslimin menang atas mereka, sehingga mereka tidak memperoleh apa-apa. Amr pun kembali, dan ‘Umārah bin al-Walīd bin al-Mughīrah binasa.

وَأَمَّا تَحَالُفُهُمْ عَلَى النَّاسِ فَإِنَّ قُرَيْشًا أَجْمَعَتْ رَأْيَهَا وَتَعَاقَدَتْ عَلَى مُقَاطَعَةِ بَنِي هَاشِمٍ وَأَنْ لَا يُنَاكِحُوهُمْ وَلَا يُبَايِعُوهُمْ وَلَا يُسَاعِدُوهُمْ فِي شَيْءٍ مِنْ أُمُورِهِمْ حِينَ أَقَامَ أَبُو طَالِبٍ عَلَى نُصْرَةِ رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَكَتَبُوا مَا تَعَاقَدُوا عَلَيْهِ مِنْ ذَلِكَ فِي صَحِيفَةٍ وَعَلَّقُوهَا فِي سَقْفِ الْكَعْبَةِ فَجَمَعَ أَبُو طَالِبٍ جَمِيعَ بَنِي هَاشِمٍ وَبَنِي الْمُطَّلِبِ مُسْلِمَهُمْ وَكَافِرَهُمْ وَعَاهَدَهُمْ عَلَى إِجْمَاعِ الْكَلِمَةِ وَدُخُولِ الشِّعْبِ فَأَجَابُوا إِلَّا أَبَا لَهَبٍ وَوَلَدُهُ فَإِنَّهُمُ انْحَازُوا عَنْهُمْ إِلَى قُرَيْشٍ وَأَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي الشِّعْبِ مَعَ أَبِي طَالِبٍ وَسَائِرِ بَنِي هاشم وبني المطلب مدة ثلاثة سِنِينَ لَا يَصِلُ إِلَيْهِمُ الطَّعَامُ إِلَّا سِرًّا وَلَا يَدْخُلُ عَلَيْهِمْ أَحَدٌ إِلَّا مُسْتَخْفِيًا إِلَى أَنْ بَدَأَ مِنْ قُرَيْشٍ هِشَامُ بْنُ عَمْرٍو فَكَلَمَّ زُهَيْرَ بْنَ أَبِي أُمَيَّةَ ثُمَّ كَلَّمَ الْمُطْعِمَ بْنَ عَدِيٍّ ثُمَّ كَلَّمَ أَبَا الْبَخْتَرِيِّ يُقَبِّحُ لِكُلٍّ مِنْهُمْ قَبِيحَ مَا ارْتَكَبُوهُ مِنْ قَطِيعَةِ الْأَرْحَامِ فِي بَنِي هَاشِمٍ وَبَنِي الْمُطَّلِبِ فَوَافَقُوهُ وَاجْتَمَعُوا مِنْ غَدٍ فِي نَادِي قُرَيْشٍ عَلَى نَقْضِ الصَّحِيفَةِ وَبَدَأَ بِالْكَلَامِ هِشَامُ بْنُ عَمْرٍو فَرَدَّ عَلَيْهِ أَبُو جَهْلٍ فَتَكَلَّمَ زُهَيْرُ بْنُ مُطْعِمٍ وَأَبُو الْبَخْتَرِيِّ بِمِثْلِ كَلَامِ هُشَامٍ فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ هَذَا أَمْرٌ أُبْرِمَ بِلَيْلٍ وَأُحْضِرَتِ الصَّحِيفَةُ مِنْ سَقْفِ الْكَعْبَةِ وَقَدْ أَكَلَتْهَا الْأَرَضَةُ إِلَّا قَوْلَهُمْ ” بِاسْمِكَ اللَّهُمَّ ” فَإِنَّهُ بَقِيَ وَشُلَّتْ يَدُ كَاتِبِهَا وَهُوَ مَنْصُورُ بْنُ عِكْرِمَةَ وَخَرَجَ بَنُو هَاشِمٍ وَبَنُو الْمُطَّلِبِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إِلَى مَكَّةَ مُنْتَشِرِينَ فِيهَا كَمَا كَانُوا

Adapun persekutuan mereka terhadap orang-orang, maka Quraisy sepakat dalam pendapatnya dan saling berjanji untuk memboikot Bani Hasyim, yaitu tidak menikahi mereka, tidak berjual beli dengan mereka, dan tidak membantu mereka dalam urusan apa pun, ketika Abu Thalib tetap mendukung Rasulullah ﷺ. Mereka menuliskan perjanjian tersebut dalam sebuah lembaran dan menggantungkannya di atap Ka’bah. Maka Abu Thalib mengumpulkan seluruh Bani Hasyim dan Bani Muthalib, baik yang muslim maupun yang kafir, dan mengikat janji dengan mereka untuk bersatu dan masuk ke dalam Syi‘b (lembah). Mereka pun menyambutnya kecuali Abu Lahab dan anak-anaknya, karena mereka memisahkan diri dan bergabung dengan Quraisy. Rasulullah ﷺ tinggal di Syi‘b bersama Abu Thalib dan seluruh Bani Hasyim serta Bani Muthalib selama tiga tahun, tidak ada makanan yang sampai kepada mereka kecuali secara sembunyi-sembunyi, dan tidak ada seorang pun yang masuk menemui mereka kecuali secara diam-diam. Hingga akhirnya, dari pihak Quraisy, Hisyam bin Amr memulai berbicara dengan Zuhair bin Abi Umayyah, lalu berbicara dengan Al-Muth‘im bin ‘Adi, kemudian berbicara dengan Abu Al-Bakhtari, mencela masing-masing dari mereka atas buruknya tindakan memutus tali silaturahmi terhadap Bani Hasyim dan Bani Muthalib. Mereka pun setuju dengannya, lalu keesokan harinya mereka berkumpul di majelis Quraisy untuk membatalkan lembaran perjanjian itu. Hisyam bin Amr memulai pembicaraan, lalu Abu Jahal membantahnya. Kemudian Zuhair bin Muth‘im dan Abu Al-Bakhtari berbicara dengan ucapan yang serupa dengan Hisyam. Abu Jahal berkata, “Ini adalah urusan yang telah diatur diam-diam pada malam hari.” Lalu lembaran perjanjian itu diambil dari atap Ka’bah, ternyata telah dimakan rayap kecuali tulisan mereka “Bismikallahumma” yang masih tersisa. Tangan penulisnya, yaitu Manshur bin ‘Ikrimah, menjadi lumpuh. Maka keluarlah Bani Hasyim dan Bani Muthalib bersama Rasulullah ﷺ menuju Makkah dan kembali menyebar di dalamnya seperti sediakala.

فَصْلٌ

Fasal

ثُمَّ لَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بَعْدَ خُرُوجِهِ مِنَ الشِّعْبِ عَلَى حَالِهِ الَّتِي كَانَ عَلَيْهَا لَا يَصِلُ إِلَيْهِ مَكْرُوهٌ حَتَّى مَاتَ عَمُّهُ أَبُو طَالِبٍ وَمَاتَتْ خَدِيجَةُ فِي عَامٍ وَاحِدٍ وَذَلِكَ قَبْلَ هِجْرَتِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ بِثَلَاثِ سِنِينَ فَنَالَهُ الْأَذَى بَعْدَ ذَلِكَ حَتَّى نَثَرَ بَعْضُ سُفَهَاءِ قُرَيْشٍ التُّرَابَ عَلَى رَأْسِهِ فَدَخَلَ بَيْتَهُ فَرَأَتْ إِحْدَى بَنَاتِهِ التُّرَابَ عَلَى رَأْسِهِ فَبَكَتْ فَقَالَ ” لَا تَبْكِي فَإِنَّ اللَّهَ يَمْنَعُ أَبَاكِ “

Setelah Rasulullah saw. keluar dari Syi‘b, beliau tetap berada dalam keadaan seperti sebelumnya, tidak ada keburukan yang menimpa beliau hingga wafatnya paman beliau, Abu Thalib, dan wafatnya Khadijah pada tahun yang sama, yaitu tiga tahun sebelum hijrah beliau ke Madinah. Setelah itu, beliau pun mengalami gangguan, hingga sebagian orang bodoh dari Quraisy menaburkan tanah di atas kepala beliau. Lalu beliau masuk ke rumahnya, dan salah satu putri beliau melihat tanah di kepala beliau, maka ia pun menangis. Beliau bersabda, “Janganlah engkau menangis, sesungguhnya Allah akan melindungi ayahmu.”

وَخَرَجَ إِلَى الطَّائِفِ لِيَمْتَنِعَ وَيَسْتَنْصِرَ ثقيف فَلَمَّا انْتَهَى إِلَيْهَا عَمَدَ إِلَى سَادَاتِهَا وَهُمْ ثَلَاثَةُ أُخْوَةٍ عَبْدُ يَالِيلَ وَمَسْعُودٌ وَحَبِيبٌ بَنُو عَمْرِو بْنِ عُمَيْرٍ فَكَلَّمَهُمْ وَدَعَاهُمْ إِلَى الْإِسْلَامِ وَإِلَى نُصْرَتِهِ فَرَدُّوهُ رَدًّا قَبِيحًا وَأَغْرَوْا بِهِ عَبِيدَهُمْ وَسُفَهَاءَهُمْ فَاتَّبَعُوهُ يَرْمُونَهُ بِالْأَحْجَارِ حَتَّى دَمِيَتْ قَدَمَاهُ فَرَجَعُوا عَنْهُ وَمَالَ إِلَى حَائِطٍ لِعُتْبَةَ وَشَيْبَةَ ابْنَيْ رَبِيعَةَ فَاسْتَنَدَ إِلَيْهِ لِيَسْتَرْوِحَ مِمَّا نَالَهُ فَرَآهُ عُتْبَةُ وَشَيْبَةُ فَرَقَّا لَهُ بِالرَّحِمِ مِمَّا لَقِيَ وَأَنْفَذَا إِلَيْهِ طَبَقَ عِنَبٍ مَعَ غُلَامٍ لَهُمَا نَصْرَانِيٍّ يُقَالُ لَهُ ” عَدَّاسٌ ” فَلَمَّا مَدَّ يَدَهُ لِيَأْكُلَ مِنْهُ سَمَّى اللَّهَ فَاسْتَخْبَرَهُ ” عَدَّاسٌ ” عَنْ أَمْرِهِ فَأَخْبَرَهُ وَعَرَفَ نُبُوَّتَهُ فَقَبَّلَ يَدَيْهِ وَقَدَمَيْهِ فَلَمَّا عَادَ ” عَدَّاسٌ ” إِلَى عُتْبَةَ وَشَيْبَةَ فَقَالَا لَهُ رَأَيْنَاكَ فَعَلْتَ مَعَهُ مَا لَمْ تَفْعَلْهُ مَعَنَا قَالَ لِأَنَّهُ نَبِيٌّ فَقَالَا فَتَنَكَ عَنْ دِينِكَ ثُمَّ رَجَعَ رَسُولُ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يُرِيدُ مَكَّةَ حَتَّى إِذَا صَارَ بِنَخْلَةِ الْيَمَامَةِ فَقَامَ فِي اللَّيْلِ يُصَلِّي وَيَقْرَأُ فَمَرَّ بِهِ سَبْعَةُ نَفَرٍ مِنَ الْجِنِّ قِيلَ إِنَّهُمْ مِنْ جِنِّ نَصِيبِينَ الْيَمَنِ فَاسْتَمَعُوا لَهُ فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ صِلَاتِهِ وَلَّوْا إِلَى قَوْمِهِمْ مُنْذِرِينَ قَدْ آمَنُوا وَأَجَابُوا إِلَى مَا سَمِعُوا فَكَانَ مَا قَصَّهُ اللَّهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ وَإِذْ صَرَفْنَا إِلَيْكَ نَفَرًا مِنَ الْجِنِّ يَسْتَمِعُونَ الْقُرْآنَ

Beliau pergi ke Thaif untuk mencari perlindungan dan meminta bantuan dari kabilah Tsaqif. Ketika beliau sampai di sana, beliau mendatangi para pemuka mereka, yaitu tiga bersaudara: ‘Abdu Yalil, Mas‘ud, dan Habib, anak ‘Amr bin ‘Umair. Beliau berbicara kepada mereka dan mengajak mereka kepada Islam serta meminta pertolongan mereka, namun mereka menolak dengan penolakan yang buruk dan menghasut para budak serta orang-orang bodoh mereka untuk menyakiti beliau. Mereka pun mengikuti beliau sambil melemparinya dengan batu hingga kedua kakinya berdarah. Setelah itu mereka meninggalkannya, dan beliau berlindung di kebun milik ‘Utbah dan Syaibah, dua anak Rabi‘ah. Beliau bersandar di sana untuk beristirahat dari apa yang telah menimpanya. ‘Utbah dan Syaibah melihat beliau, lalu mereka merasa iba karena hubungan kekerabatan dan penderitaan yang beliau alami, lalu mereka mengirimkan setangkai anggur bersama seorang budak mereka yang beragama Nasrani bernama ‘Addas. Ketika beliau mengulurkan tangan untuk memakannya, beliau menyebut nama Allah. ‘Addas pun bertanya tentang hal itu, lalu beliau menjelaskan kepadanya dan ‘Addas pun mengenal kenabian beliau, sehingga ia mencium tangan dan kaki beliau. Ketika ‘Addas kembali kepada ‘Utbah dan Syaibah, mereka berkata kepadanya, “Kami melihatmu melakukan sesuatu kepadanya yang tidak pernah kau lakukan kepada kami.” Ia menjawab, “Karena dia adalah seorang nabi.” Mereka berkata, “Janganlah engkau tinggalkan agamamu.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali menuju Makkah. Ketika beliau sampai di Nakhlah al-Yamamah, beliau berdiri di malam hari untuk shalat dan membaca (al-Qur’an). Lalu lewatlah tujuh jin dari Nasibin, Yaman, yang mendengarkan bacaan beliau. Setelah beliau selesai shalat, mereka kembali kepada kaumnya sebagai pemberi peringatan. Mereka telah beriman dan menerima apa yang mereka dengar, sebagaimana yang Allah ceritakan dalam kitab-Nya: “Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan kepadamu sekumpulan jin yang mendengarkan al-Qur’an.”

وَقَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مَكَّةَ وَقُرَيْشٌ عَلَى أَشَدِّ مَا كَانَتْ عَلَيْهِ مِنْ خِلَافِهِ وَفِرَاقِ دِينِهِ

Rasulullah saw. tiba di Makkah sementara kaum Quraisy berada pada puncak penentangan dan perpecahan terhadap agama beliau.

وَقِيلَ إِنَّهُ دَخَلَ فِي جِوَارِ الْمُطْعِمِ بْنِ عَدِيٍّ

Dan dikatakan bahwa beliau masuk ke dalam perlindungan al-Muth‘im bin ‘Adiy.

فَصْلٌ

Bab

فَلَمَّا اشْتَدَّ الْأَذَى بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بَعْدَ مَوْتِ أَبِي طَالِبٍ عَادَ مِنَ الطَّائِفِ غَيْرَ ظَافِرٍ مِنْهُمْ بِإِجَابَةٍ عَرَضَ نَفْسَهُ فِي الْمَوَاسِمِ عَلَى قَبَائِلِ الْعَرَبِ فَبَدَأَ بِكِنْدَةَ فَدَعَاهُمْ إِلَى الْإِسْلَامِ وَعَرَضَ نَفْسَهُ عَلَيْهِمْ فَلَمْ يَقْبَلُوهُ ثُمَّ أَتَى كَلْبًا فَعَرَضَ نَفْسَهُ عَلَى بَنِي عَبْدِ اللَّهِ مِنْهُمْ فَلَمْ يَقْبَلُوهُ ثُمَّ عَرَضَ نَفْسَهُ عَلَى بَنِي حَنِيفَةَ فَكَانُوا أَقْبَحَ الْعَرَبِ رَدًّا لَهُ

Ketika penderitaan yang dialami Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin berat setelah wafatnya Abu Thalib, beliau kembali dari Thaif tanpa mendapatkan jawaban yang diharapkan dari penduduknya. Beliau kemudian menawarkan dirinya pada musim-musim haji kepada kabilah-kabilah Arab. Beliau memulai dengan Kinda, mengajak mereka kepada Islam dan menawarkan dirinya kepada mereka, namun mereka tidak menerimanya. Lalu beliau mendatangi kabilah Kalb dan menawarkan dirinya kepada Bani Abdillah dari mereka, namun mereka juga tidak menerimanya. Kemudian beliau menawarkan dirinya kepada Bani Hanifah, dan mereka adalah kabilah Arab yang paling buruk dalam menolak ajakan beliau.

ثُمَّ عَرَضَ نَفْسَهُ عَلَى بَنِي عَامِرٍ فَقَالَ زَعِيمُهُمْ إِنْ شَارَكَتْنَا فِي هَذَا الْأَمْرِ قَبِلْنَاكَ فَتَرَكَهُمْ وَقَالَ ” الْأَمْرُ لِلَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ ” ثُمَّ حَضَرَ الْمَوْسِمَ سِتَّةُ نَفَرٍ مِنَ الْخَزْرَجِ وَهُمْ أَسْعَدُ بْنُ زُرَارَةَ وَعُقْبَةُ بْنُ عَامِرٍ وَجَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ وَعَوْفُ بْنُ الْحَارِثِ وَرَافِعُ بْنُ مَالِكٍ وَقُطْبَةُ بْنُ عَامِرٍ فَأَتَاهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَدَعَاهُمْ إِلَى الْإِسْلَامِ فَأَجَابُوا إِلَيْهِ وَكَانُوا قَدْ سَمِعُوا يَهُودَ الْمَدِينَةِ يَقُولُونَ إِذَا قَاتَلُوهُمْ لَنَا نَبِيٌّ يُبْعَثُ وَنَحْنُ نَنْتَصِرُ بِهِ عَلَيْكُمْ فَوَقَرَ ذَلِكَ فِي نُفُوسِهِمْ لِمَا أَرَادَ اللَّهُ تَعَالَى بِهِمْ مِنَ الْخَيْرِ فَلِذَلِكَ سَارَعُوا إِلَى الْإِجَابَةِ في دُعَائِهِ وَعَرَضَ عَلَيْهِمْ نَفْسَهُ فَقَالُوا نَقْدَمُ عَلَى قَوْمِنَا وَنُخْبِرُهُمْ بِمَا دَخَلْنَا فِيهِ فَلَمَّا عَادُوا وَذَكَرُوا لَهُمْ مَا دَخَلُوا فِيهِ مِنَ الْإِسْلَامِ فَلَمْ تَبْقَ دَارٌ مِنْ دُورِ الْأَنْصَارِ إِلَّا وَفِيهَا ذِكْرُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَلَمَّا كَانَ فِي الْعَامِ الْمُقْبِلِ وَافَى إِلَى الْمَوْسِمِ مِنَ الْأَنْصَارِ اثْنَا عَشَرَ رَجُلًا مِنْهُمْ تسعة من الخزرج وهو أَسْعَدُ بْنُ زُرَارَةَ وَعُبَادَةُ بْنُ الصَّامِتِ وَعُقْبَةُ بْنُ عَامِرٍ وَعَوْفٌ وَمُعَاذٌ ابْنَا عَفْرَاءَ وَرَافِعُ بْنُ مَالِكٍ وَذَكْوَانُ بْنُ عَبْدِ قَيْسٍ وَيَزِيدُ بْنُ ثَعْلَبَةَ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَعَبَّاسُ بْنُ عُبَادَةَ وَقُطْبَةُ بْنُ عَامِرٍ وَثَلَاثَةٌ مِنَ الْأَوْسِ وَهُمْ أَبُو الْهَيْثَمِ بْنُ التَّيِّهَانِ وَعُوَيْمُ بْنُ سَاعِدَةَ وَالْبَرَاءُ بْنُ مَعْرُورٍ فَلَقَوْا رَسُولَ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي الْعَقَبَةِ الْأُولَى وَكَانَ مَعَهُ أَبُو بَكْرٍ وَعَلِيٌّ فَبَايَعُوهُ عَلَى الْإِسْلَامِ بَيْعَةَ النِّسَاءِ وَذَلِكَ قَبْلَ أَنْ تُفْرَضَ الْحَرْبُ قَالَ عُبَادَةُ بْنُ الصَّامِتِ وَذَلِكَ عَلَى أَنْ لَا نُشْرِكَ بِاللَّهِ شَيْئًا وَلَا نَسْرِقَ وَلَا نَزْنِيَ وَلَا نَقْتُلَ أولادنا ولا نأتي بهتان نَفْتَرِيهِ بَيْنَ أَيْدِينَا وَأَرْجُلِنَا وَلَا نَعْصِيهِ فِي مَعْرُوفٍ فَإِنْ وَفَّيْتُمْ فَلَكُمُ الْجَنَّةُ وَإِنْ غَشَيْتُمْ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ وَأُخِذْتُمْ بَعْدَهُ فِي الدُّنْيَا فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَإِنْ سَتَرْتُمْ عَلَيْهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَأَمْرُكُمْ إِلَى اللَّهِ

Kemudian beliau menawarkan dirinya kepada Bani Amir, lalu pemimpin mereka berkata, “Jika engkau mau berbagi urusan ini dengan kami, kami akan menerimamu.” Maka beliau meninggalkan mereka dan berkata, “Urusan ini milik Allah, Dia memberikannya kepada siapa yang Dia kehendaki.” Kemudian pada musim haji, datang enam orang dari Khazraj, yaitu As‘ad bin Zurarah, ‘Uqbah bin ‘Amir, Jabir bin ‘Abdullah, ‘Auf bin al-Harits, Rafi‘ bin Malik, dan Qutbah bin ‘Amir. Rasulullah ﷺ mendatangi mereka dan mengajak mereka masuk Islam, lalu mereka pun menerima ajakan itu. Mereka sebelumnya telah mendengar orang-orang Yahudi Madinah berkata, “Akan diutus bagi kami seorang nabi, dan kami akan menang atas kalian dengannya.” Maka hal itu tertanam dalam hati mereka, sebagai kebaikan yang Allah Ta‘ala kehendaki bagi mereka, sehingga mereka segera menerima ajakan beliau. Beliau menawarkan dirinya kepada mereka, lalu mereka berkata, “Kami akan kembali kepada kaum kami dan memberitahu mereka tentang apa yang telah kami masuki.” Ketika mereka kembali dan menceritakan kepada kaumnya tentang Islam yang telah mereka anut, tidak ada satu rumah pun di antara rumah-rumah Anshar kecuali di dalamnya disebut-sebut nama Rasulullah ﷺ. Pada tahun berikutnya, datang ke musim haji dua belas orang dari Anshar, sembilan dari Khazraj, yaitu As‘ad bin Zurarah, ‘Ubadah bin ash-Shamit, ‘Uqbah bin ‘Amir, ‘Auf dan Mu‘adz putra ‘Afra’, Rafi‘ bin Malik, Zakwan bin ‘Abd Qais, Yazid bin Ts‘labah Abu ‘Abdurrahman, ‘Abbas bin ‘Ubadah, dan Qutbah bin ‘Amir, serta tiga dari Aus, yaitu Abu al-Haitsam bin at-Taihan, ‘Uwaim bin Sa‘idah, dan al-Bara’ bin Ma‘rur. Mereka bertemu Rasulullah ﷺ di ‘Aqabah pertama, bersama beliau ada Abu Bakar dan Ali. Mereka pun membaiat beliau untuk masuk Islam dengan baiat seperti baiat wanita, dan itu sebelum diwajibkannya perang. ‘Ubadah bin ash-Shamit berkata, “Baiat itu adalah agar kami tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kami, tidak membuat-buat kebohongan yang kami ada-adakan antara tangan dan kaki kami, dan tidak mendurhakai beliau dalam hal yang makruf. Jika kalian menepatinya, maka bagi kalian surga. Jika kalian melakukan sebagian dari itu lalu kalian dihukum di dunia, maka itu menjadi kafaratnya. Namun jika kalian disembunyikan hingga hari kiamat, maka urusan kalian kembali kepada Allah.”

فَلَمَّا انْصَرَفُوا بَعَثَ مَعَهُمْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مُصْعَبَ بْنَ عُمَيْرٍ وَأَمَرَهُ أَنْ يُقْرِئَهُمُ الْقُرْآنَ وَيُعَلِّمَهُمُ الْإِسْلَامَ وَيُفَقِّهَهُمْ فِي الدِّينِ فَقَدِمَ مَعَهُمْ وَنَزَلَ عَلَى أَسْعَدَ بْنِ زُرَارَةَ وَدَعَا الْأَنْصَارَ إِلَى الْإِسْلَامِ فَكَانَ يُسْلِمُ عَلَى يَدِهِ قَوْمٌ بَعْدَ قَوْمٍ وَكَانَ سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ وَأُسَيْدُ بْنُ حُضَيْرٍ وَهُمَّا سَيِّدَا قَوْمِهِمَا بَنِي عَبْدِ الْأَشْهَلِ أَنْكَرَا ذَلِكَ حَتَّى قَرَأَ مُصْعَبُ بْنُ عُمَيْرٍ عَلَيْهِمَا سُورَةَ الزُّخْرُفِ فَلَمَّا سَمِعَاهَا أَسْلَمَا فِي تِلْكَ اللَّيْلَةِ وَجَمِيعُ بَنِي عَبْدِ الْأَشْهَلِ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَكَانُوا أَوَّلَ قَوْمٍ أَسْلَمَ جَمِيعُهُمْ وَصَلَّى مُصْعَبٌ بِالنَّاسِ الْجُمُعَةَ فِي حَرَّةِ بَنِي بَيَاضَةَ وَهِيَ أَوَّلُ جُمُعَةٍ صُلِّيَتْ فِي الْإِسْلَامِ وَعَادَ مُصْعَبٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَهُوَ بِمَكَّةَ فَذَكَرَ لَهُ مَنْ أَسْلَمَ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ فَسَرَّهُ

Setelah mereka kembali, Rasulullah ﷺ mengutus bersama mereka Mush‘ab bin ‘Umair dan memerintahkannya untuk membacakan al-Qur’an kepada mereka, mengajarkan Islam, dan memberi mereka pemahaman agama (fiqh). Maka Mush‘ab datang bersama mereka dan tinggal di rumah As‘ad bin Zurārah. Ia pun mengajak kaum Anshar kepada Islam, sehingga banyak orang yang masuk Islam melalui perantaraannya, satu kelompok demi kelompok. Sa‘d bin Mu‘ādz dan Usayd bin Hudhayr, dua pemuka Bani ‘Abdil Asyhal, pada awalnya menolak hal itu, hingga Mush‘ab bin ‘Umair membacakan kepada mereka Surah az-Zukhruf. Ketika mereka mendengarnya, keduanya masuk Islam pada malam itu juga, begitu pula seluruh laki-laki dan perempuan dari Bani ‘Abdil Asyhal. Mereka adalah kaum pertama yang seluruh anggotanya memeluk Islam. Mush‘ab pun melaksanakan shalat Jumat bersama orang-orang di Harrah Bani Bayādah, dan itu adalah shalat Jumat pertama yang didirikan dalam Islam. Setelah itu, Mush‘ab kembali kepada Rasulullah ﷺ yang saat itu berada di Makkah, lalu menceritakan kepada beliau siapa saja yang telah masuk Islam dari penduduk Madinah, sehingga Rasulullah pun merasa gembira.

وَحَكَى أَبُو عِيسَى قَالَ سَمِعَتْ قُرَيْشٌ فِي اللَّيْلِ قَائِلًا عَلَى أَبِي قبيس يقول

Abu ‘Isa meriwayatkan: “Kaum Quraisy mendengar pada malam hari seseorang berseru di atas (bukit) Abu Qubais, berkata…”

فإن يُسْلِمِ السَّعْدَانِ يُصْبِحُ مُحَمَّدٌ بِمَكَّةَ لَا يَخْشَى خِلَافَ الْمُخَالِفِ

Jika Sa‘dan memeluk Islam, maka Muhammad di Makkah akan hidup tanpa takut terhadap penentangan dari siapa pun yang menentang.

فَلَمَّا أَصْبَحُوا قَالَ أَبُو سُفْيَانَ مَنِ السَعْدَانِ؟ سَعْدُ بَكْرٍ وَسَعْدُ تَمِيمٍ فَلَمَّا كَانَ فِي اللَّيْلَةِ الثَّانِيَةِ سَمِعُوهُ يَقُولُ

Ketika mereka memasuki waktu pagi, Abu Sufyan berkata, “Siapa saja dari kabilah Sa‘d yang ada di sini? Sa‘d Bakr dan Sa‘d Tamim.” Lalu ketika malam kedua tiba, mereka mendengarnya berkata demikian.

أَيَا سَعْدَ الْأَوْسِ كُنْ أَنْتَ نَاصِرًا وَيَا سَعْدُ سَعْدَ الْخَزْرَجِينَ الْغَطَارِفِ

Wahai Sa‘d dari Aus, jadilah engkau penolong, dan wahai Sa‘d, Sa‘d dari Khazraj yang mulia.

أَجِيبَا عَلَى دَاعِي الْهُدَى وَتَمَنَّيَا عَلَى اللَّهِ فِي الْفِرْدَوْسِ مُنْيَةَ عَارِفِ

Jawablah panggilan petunjuk, dan mohonlah kepada Allah di surga Firdaus keinginan seorang arif.

فَإِنَّ ثَوَابَ اللَّهِ لِلطَالِبِ الْهُدَى جِنَانٌ مِنَ الفردوس ذات رفارف

Sesungguhnya ganjaran Allah bagi pencari petunjuk adalah surga-surga dari firdaus yang memiliki naungan-naungan.

فلما أصبحوا قال سُفْيَانُ هُمَا وَاللَّهِ سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ وَسَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ

Ketika pagi tiba, Sufyan berkata, “Demi Allah, mereka berdua adalah Sa‘d bin Mu‘ādz dan Sa‘d bin ‘Ubādah.”

فَصْلٌ

Bagian

وَلَمَّا كَانَ فِي الْعَامِ الْمُقْبِلِ حَجَّ مِنَ الْأَوْسِ وَالْخَزْرَجِ سَبْعُونَ رَجُلًا وَكَانَ فِيهِمُ الْبَرَاءُ بْنُ مَعْرُورٍ فَصَلَّى إِلَى الْكَعْبَةِ حِينَ قَدِمَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَقَالَ لَا أَتْرُكُهَا وَرَاءَ ظَهْرِي ثُمَّ سَأَلَهُ عَنْهَا فَقَالَ لَهُ قَدْ كُنْتَ عَلَى قِبْلَةٍ لَوْ صَبَرْتَ عَلَيْهَا فَعَادَ وَاسْتَقْبَلَ بَيْتَ الْمَقْدِسِ وَكَانَ أَوَّلَ مَنِ اسْتَقْبَلَ الْكَعْبَةَ وَهُوَ أَوَّلُ مَنْ أَوْصَى بِثُلُثِ مَالِهِ وَوَاعَدُوا رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ العقبة في أوسط أيام التشريق فيأتوا تِلْكَ اللَّيْلَةَ فِي رِحَالِهِمْ ثُمَّ خَرَجُوا مِنْهَا بَعْدَ ثَلَاثِ لَيَالٍ لِمَوْعِدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَحَضَرُوا شِعْبَ الْعَقَبَةِ وَوَافَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَمَعَهُ عَمُّهُ الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَأَبُو بَكْرٍ وَعَلِيٌّ فَأَوْقَفَ الْعَبَّاسَ عَلَى فَمِ الشِّعْبِ عَيْنًا لَهُ وَأَوْقَفَ أَبَا بَكْرٍ عَلَى فَمِ الطَّرِيقِ الْآخَرِ عَيْنًا لَهُ وَتَلَا عَلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ الْقُرْآنَ وَأَخَذَ عَلَيْهِمُ الْإِسْلَامَ فَأَسْلَمُوا جَمِيعًا وَقَدْ كَانَ فِيهِمْ مَنْ لَمْ يَكُنْ قَدْ أَسْلَمَ ثُمَّ قَالَ لِلْعَبَّاسِ وَهُوَ عَلَى دِينِ قَوْمِهِ ” خُذْ عَلَيْهِمُ الْعَهْدَ ” وَكَانُوا أَخْوَالَهُ لِأَنَّ أُمَّ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ كَانَتْ سَلْمَى بِنْتَ عَمْرٍو مِنْ بَنِي النَّجَّارِ مِنَ الْخَزْرَجِ فَقَالَ الْعَبَّاسُ يَا مَعْشَرَ الْخَزْرَجِ إِنَّ مُحَمَّدًا مِنَّا فِي عِزٍّ مِنْ قَوْمِهِ وَمَنَعَةٍ فِي بَلَدِهِ وَقَدْ أَبَى إِلَّا الِانْقِطَاعَ إِلَيْكُمْ وَاللُّحُوقَ بِكُمْ فَإِنْ مَنَعْتُمُوهُ مِمَّا تَمْنَعُوا مِنْهُ أَنْفُسَكُمْ وَإِلَّا فَدَعُوهُ بَيْنَ قَوْمِهِ وَفِي بَلَدِهِ فَقَالَ الْبَرَاءُ بْنُ مَعْرُورٍ بَلْ نَمْنَعُهُ مِمَّا نَمْنَعُ مِنْهُ أَنْفُسَنَا وَأَبْنَاءَنَا فَقَالَ أَبُو الْهَيْثَمِ بْنُ التَّيِّهَانِ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ بَيْنَنَا وَبَيْنَ النَّاسِ حِبَالًا يَعْنِي الْيَهُودَ وَإِنَّا قَاطُعُوهَا فَهَلْ عَسَيْتَ إِنْ نَحْنُ فَعَلْنَا ذَلِكَ ثُمَّ أَظْهَرَكَ اللَّهُ أَنْ تَرْجِعَ إِلَى قَوْمِكَ وَتَدَعَنَا؟ فَتَبَسَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ثم قال ” بَلِ الدَّمَ الدَّمَ وَالْهَدْمَ الْهَدْمَ أَنْتُمْ مِنِّي وَأَنَا مِنْكُمْ أُحَارِبُ مَنْ حَارَبْتُمْ وَأُسَالِمُ مَنْ سَالَمْتُمْ “

Pada tahun berikutnya, tujuh puluh orang laki-laki dari Aus dan Khazraj menunaikan haji, di antara mereka terdapat Al-Barā’ bin Ma’rūr. Ketika ia datang kepada Rasulullah ﷺ, ia shalat menghadap Ka’bah dan berkata, “Aku tidak akan meninggalkannya di belakangku.” Kemudian ia menanyakan hal itu kepada beliau, maka Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya, “Sebenarnya engkau telah menghadap kiblat yang seandainya engkau bersabar atasnya.” Maka ia kembali dan menghadap ke Baitul Maqdis. Ia adalah orang pertama yang menghadap Ka’bah dan juga orang pertama yang berwasiat sepertiga hartanya. Mereka pun berjanji kepada Rasulullah ﷺ di Aqabah pada pertengahan hari-hari tasyriq, agar mereka datang pada malam itu di tempat peristirahatan mereka. Setelah tiga malam, mereka keluar menuju tempat yang dijanjikan Rasulullah ﷺ, lalu mereka hadir di lembah Aqabah. Rasulullah ﷺ pun datang bersama pamannya, Al-‘Abbas bin Abdul Muththalib, Abu Bakar, dan Ali. Rasulullah ﷺ menempatkan Al-‘Abbas di mulut lembah sebagai penjaga, dan menempatkan Abu Bakar di mulut jalan yang lain sebagai penjaga. Kemudian Rasulullah ﷺ membacakan Al-Qur’an kepada mereka dan mengambil baiat Islam dari mereka, maka mereka semua masuk Islam, padahal di antara mereka ada yang sebelumnya belum masuk Islam. Kemudian beliau berkata kepada Al-‘Abbas, yang masih memeluk agama kaumnya, “Ambillah janji dari mereka.” Mereka adalah paman-paman beliau, karena ibu Abdul Muththalib adalah Salma binti ‘Amr dari Bani Najjar, dari Khazraj. Maka Al-‘Abbas berkata, “Wahai kaum Khazraj, sesungguhnya Muhammad adalah bagian dari kami, ia berada dalam kemuliaan dan perlindungan kaumnya di negerinya. Namun ia memilih untuk bergabung dan berpindah kepada kalian. Jika kalian mampu melindunginya sebagaimana kalian melindungi diri dan keluarga kalian, maka lakukanlah. Jika tidak, biarkanlah ia bersama kaumnya di negerinya.” Al-Barā’ bin Ma’rūr berkata, “Bahkan kami akan melindunginya sebagaimana kami melindungi diri dan anak-anak kami.” Abu Al-Haitsam bin At-Taihan berkata, “Wahai Rasulullah, antara kami dan manusia (maksudnya Yahudi) ada perjanjian, dan kami pasti akan memutuskannya. Apakah mungkin jika kami melakukan itu, lalu Allah memenangkanmu, engkau akan kembali kepada kaummu dan meninggalkan kami?” Rasulullah ﷺ tersenyum, lalu bersabda, “Tidak, darah dibalas dengan darah, kehancuran dibalas dengan kehancuran. Kalian bagian dariku dan aku bagian dari kalian. Aku memerangi siapa yang kalian perangi dan berdamai dengan siapa yang kalian damaikan.”

فَأَقْبَلَ أَبُو الْهَيْثَمِ بْنُ التَّيِّهَانِ عَلَى الْأَنْصَارِ وَقَالَ يَا قَوْمِ هَذَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ حَقًّا وَأَشْهَدُ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَصَادِقٌ وَإِنَّهُ الْيَوْمَ لَفِي حَرَمِ اللَّهِ وَبَيْنَ عَشِيرَتِهِ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِنْ تُخْرِجُوهُ إِلَيْكُمْ تَرْمِيكُمُ الْعَرَبُ عَنْ قَوْسٍ وَاحِدَةٍ فَإِنْ كَانَتْ أَنْفُسُكُمْ قَدْ طَابَتْ بِالْقِتَالِ وَذَهَابِ الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ فَادْعُوهُ وَإِلَّا فَمِنَ الْآنَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ اشْتَرِطْ عَلَيْنَا لِرَبِّكَ وَلِنَفْسِكَ مَا تُرِيدُ فَقَالَ ” أَشْتَرِطُ لِرَبِّي أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَأَشْتَرِطُ لِنَفْسِي أَنْ تَمْنَعُونِي عَمَّا تَمْنَعُونَ مِنْهُ أَنْفُسَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ ” فَأَجَابُوهُ وَأَحْسَنُوا فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدِ اشْتَرَطْتَ لِرَبِّكِ وَلِنَفْسِكَ فَمَاذَا لَنَا إِذَا أَوْفَيْنَا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ فَقَالَ النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” لَكُمْ عَلَى اللَّهِ الْوَفَاءُ بِالْجَنَّةِ ” فَقَالَ ابْنُ رَوَاحَةَ قَدْ قَبِلْنَا مِنَ اللَّهِ مَا أَعْطَانَا ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” اخْتَارُوا مِنْكُمُ اثْنَيْ عَشَرَ نَقِيبًا كَمَا اخْتَارَ مُوسَى مِنْ قَوْمِهِ وَقَالَ لِلنُّقَبَاءِ أَنْتُمْ عَلَى قومكم بما فيهم كفلاء ككفالة الحواريين يعني ابْنَ مَرْيَمَ ” قَالُوا نَعَمْ فَبَايَعُوهُ عَلَى هَذَا وَكَانَ أَصْغَرَ مَنْ حَضَرَ سِنًّا أَبُو مَسْعُودٍ الْبَدْرِيُّ وَجَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ

Lalu Abu al-Haitsam bin at-Taihan menghadap kepada kaum Anshar dan berkata, “Wahai kaumku, ini adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang benar-benar utusan Allah, dan aku bersaksi demi Allah bahwa beliau benar-benar jujur. Dan saat ini beliau berada di tanah haram Allah dan di tengah-tengah keluarganya. Ketahuilah, jika kalian membawanya ke tempat kalian, seluruh bangsa Arab akan memusuhi kalian dengan satu panah. Maka jika jiwa kalian telah rela untuk berperang, kehilangan harta dan anak-anak, maka undanglah beliau. Jika tidak, maka sejak sekarang jangan lakukan.” Mereka pun berkata, “Wahai Rasulullah, tetapkanlah syarat untuk Tuhanmu dan untuk dirimu apa yang engkau kehendaki.” Beliau bersabda, “Aku mensyaratkan untuk Tuhanku agar kalian menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, dan aku mensyaratkan untuk diriku agar kalian melindungiku sebagaimana kalian melindungi diri dan harta kalian.” Mereka pun menerima dan berbuat baik. Lalu Abdullah bin Rawahah berkata, “Wahai Rasulullah, engkau telah menetapkan syarat untuk Tuhanmu dan untuk dirimu, lalu apa yang menjadi hak kami jika kami memenuhi (janji) kepada Allah dan Rasul-Nya?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bagi kalian, janji Allah adalah surga.” Ibnu Rawahah berkata, “Kami menerima dari Allah apa yang Dia berikan kepada kami.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pilihlah dari kalian dua belas orang naqib sebagaimana Musa memilih dari kaumnya.” Dan beliau berkata kepada para naqib, “Kalian bertanggung jawab atas kaum kalian sebagaimana para hawariyyun bertanggung jawab atas Isa bin Maryam.” Mereka menjawab, “Ya.” Maka mereka pun membaiat beliau atas hal itu. Dan yang termuda di antara mereka yang hadir adalah Abu Mas’ud al-Badri dan Jabir bin Abdullah.

وَاخْتَلَفُوا فِي أَوَّلِ مَنْ بَايَعَهُ فَقَالَ قَوْمٌ أَبُو الْهَيْثَمِ بْنُ التَّيِّهَانِ

Mereka berbeda pendapat tentang siapa yang pertama kali membaiatnya. Sebagian orang mengatakan bahwa yang pertama adalah Abu al-Haitsam bin at-Taihan.

وَقَالَ آخَرُونَ الْبَرَاءُ بْنُ مَعْرُورٍ وَقَالَ آخَرُونَ أَسْعَدُ بْنُ زُرَارَةَ وَكَانَتْ هَذِهِ البيعة على حرب الأحمر والأسود والبيعة الأولة بَيْعَةُ النِّسَاءِ عَلَى غَيْرِ حَرْبٍ وَعَادُوا إِلَى الْمَدِينَةِ عَلَى هَذَا

Dan sebagian yang lain berkata: Al-Barā’ bin Ma‘rūr, dan yang lain lagi berkata: As‘ad bin Zurārah. Baiat ini adalah baiat untuk berperang melawan yang merah dan yang hitam, sedangkan baiat yang pertama adalah baiat wanita yang tidak mengandung unsur peperangan. Mereka pun kembali ke Madinah dalam keadaan seperti itu.

فَصْلٌ

Bagian

وَلَمَّا عَادَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مِنْ بَيْعَةِ الْأَنْصَارِ فِي الْعَقَبَةِ إِلَى مَكَّةَ وَذَلِكَ فِي ذِي الْحِجَّةِ عَادَتِ الْفِتْنَةُ أَشَدَّ مِمَّا كَانَتْ فِي فِتْنَةِ الْهِجْرَةِ إِلَى الْحَبَشَةِ وَاشْتَدَّ الْأَذَى بِأَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لِأَصْحَابِهِ ” إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدْ جَعَلَ لَكُمْ إِخْوَانًا وَدَارًا تَأْمَنُونَ فِيهَا ” فَخَرَجُوا أَرْسَالًا وَكَانَ أَوَّلَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهَا بَعْدَ بَيْعَةِ الْعَقَبَةِ أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الْأَسَدِ الْمَخْزُومِيُّ وَبَعْدَهُ عَامِرُ بْنُ رَبِيعَةَ ثُمَّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَحْشٍ ثُمَّ تَتَابَعَ النَّاسُ أَرْسَالًا وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مُقِيمٌ بِمَكَّةَ يَنْتَظِرُ إِذْنَ رَبِّهِ وَاسْتَأْذَنَهُ أَبُو بَكْرٍ فِي الْهِجْرَةِ فَاسْتَوْقَفَهُ

Ketika Rasulullah saw. kembali dari Bai‘at al-Ansar di ‘Aqabah ke Makkah, yang terjadi pada bulan Dzulhijjah, fitnah pun kembali dengan lebih dahsyat daripada fitnah saat hijrah ke Habasyah, dan penderitaan yang dialami para sahabat Rasulullah saw. pun semakin berat. Maka Rasulullah saw. berkata kepada para sahabatnya, “Sesungguhnya Allah Ta‘ala telah menjadikan bagi kalian saudara-saudara dan negeri yang kalian dapat merasa aman di dalamnya.” Maka mereka pun mulai keluar secara berkelompok. Orang pertama yang hijrah ke sana setelah Bai‘at ‘Aqabah adalah Abu Salamah bin ‘Abd al-Asad al-Makhzumi, kemudian diikuti oleh ‘Amir bin Rabi‘ah, lalu ‘Abdullah bin Jahsy, kemudian orang-orang pun terus menyusul secara berkelompok, sementara Rasulullah saw. masih tinggal di Makkah menunggu izin dari Rabb-nya. Abu Bakar pun meminta izin kepada beliau untuk hijrah, namun beliau menahannya.

وَأُسْرِيَ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إِلَى بَيْتِ الْمَقْدِسِ بَيْنَ بَيْعَتَيِ الْأَنْصَارِ فِي الْعَقَبَةِ

Dan Rasulullah saw. diperjalankan pada malam hari ke Baitul Maqdis di antara dua peristiwa baiat kaum Anshar di Aqabah.

قَالَ الزُّهْرِيُّ قَبْلَ هِجْرَتِهِ بِسَنَةٍ فَأَصْبَحَ وَقَصَّ ذَلِكَ عَلَى قُرَيْشٍ وَذَكَرَ لَهُمْ حَدِيثَ الْمِعْرَاجِ فَازْدَادَ الْمُشْرِكُونَ تَكْذِيبًا وَأَسْرَعُوا إِلَى أَبِي بَكْرٍ وَقَالُوا لَهُ إِنَّ صَاحِبَكَ يَزْعُمُ أَنَّهُ قَدْ ذَهَبَ إِلَى بَيْتِ الْمَقْدِسِ وَعَادَ مِنْ لَيْلَتِهِ فَقَالَ إِنْ قَالَ ذَلِكَ فَهُوَ صَادِقٌ فَلِذَلِكَ سُمِّيَ الصِّدِّيقُ وَوَصَفَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مَا رَأَى فِي طَرِيقِهِ فَكَانَ عَلَى مَا وَصَفَهُ

Az-Zuhri berkata, “Setahun sebelum hijrahnya, beliau (Nabi Muhammad) menceritakan peristiwa itu kepada Quraisy dan menyampaikan kepada mereka kisah mi‘raj. Maka bertambahlah pendustaan orang-orang musyrik, dan mereka segera mendatangi Abu Bakar seraya berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya sahabatmu mengaku telah pergi ke Baitul Maqdis dan kembali pada malam yang sama.’ Maka Abu Bakar berkata, ‘Jika dia mengatakan demikian, maka dia benar.’ Karena itulah ia diberi gelar ash-Shiddiq. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menggambarkan kepada mereka apa yang beliau lihat di sepanjang perjalanannya, dan ternyata sesuai dengan apa yang beliau gambarkan.”

وَاخْتُلِفَ فِي إِسْرَائِهِ هَلْ كَانَ بِجِسْمِهِ أَوْ بِرُوحِهِ؟ فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ أُسْرِيَ بِجِسْمِهِ

Terdapat perbedaan pendapat mengenai peristiwa Isra’, apakah terjadi dengan jasadnya atau hanya dengan ruhnya? Ibnu ‘Abbas berpendapat bahwa Isra’ terjadi dengan jasadnya.

وَقَالَتْ عَائِشَةُ أُسْرِيَ بِرُوحِهِ وَمَا زَالَ جِسْمُهُ عِنْدِي وَلَمَّا صَارَتِ الْمَدِينَةُ دَارَ هِجْرَةٍ وَصَارَ مَنْ بِهَا مِنَ الْأَوْسِ وَالْخَزْرَجِ أَنْصَارًا امْتَنَعَتْ قُرَيْشٌ أَنْ يَنْصُرُوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عليهم فاجتمعوا في دار الندوة ليتشاوروا فِي أَمْرِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَسُمِّيَ ذَلِكَ الْيَوْمُ لِكَثْرَةِ زِحَامِهِمْ فِيهِ يَوْمُ ” الزَّحْمَةِ ” فَقَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ احْبِسُوهُ فِي الْحَدِيدِ وَأَغْلِقُوا عَلَيْهِ بَابًا وَتَرَبَّصُوا بِهِ

Aisyah berkata, “Isra’ itu terjadi hanya pada ruhnya, sedangkan jasadnya tetap berada di sisiku.” Ketika Madinah telah menjadi negeri hijrah dan orang-orang Aus serta Khazraj yang ada di sana telah menjadi kaum Anshar, Quraisy menolak untuk menolong Rasulullah ﷺ terhadap mereka. Maka mereka berkumpul di Darun Nadwah untuk bermusyawarah mengenai urusan Rasulullah ﷺ. Hari itu dinamakan “Yaumul Zahmah” karena banyaknya keramaian mereka pada hari itu. Lalu salah seorang dari mereka berkata, “Tahanlah dia dengan besi, kunci pintu atasnya, dan tunggulah apa yang akan terjadi padanya.”

وَقَالَ آخَرُ أَخْرِجُوهُ مِنْ بَيْنِ أَظْهُرِكُمْ وَلَا عَلَيْكُمْ مَا أَصَابَهُ بَعْدَكُمْ

Dan yang lain berkata, “Keluarkanlah dia dari tengah-tengah kalian, dan kalian tidak perlu memikirkan apa yang akan menimpanya setelah itu.”

وَقَالَ أَبُو جَهْلٍ لَسْتُ أَرَى مَا ذَكَرْتُمْ رَأْيَ كَرِيمٍ وَلَكِنْ أَرَى أَنْ تَأْخُذُوا مِنْ كُلِّ قَبِيلَةٍ فَتًى شَابًّا نَسِيبًا ويجتمعون عليه بأسيافهم فيضربوه ضربة رجل واحد فيقتلوه وَيَتَفَرَّقُ دَمُهُ فِي قَبَائِلِهِمْ فَلَا يَقْدِرُ بَنُو عَبْدِ مَنَافٍ عَلَى حَرْبِ جَمِيعِهِمْ وَيَرْضَوْا بِالْعَقْلِ فَنَعْقِلُهُ لَهُمْ فَأَجْمَعُوا عَلَى هَذَا الرَّأْيِ وَتَفَرَّقُوا عَنْهُ لِيُثْبِتُوهُ مِنْ لَيْلَتِهِ وَتَفَرَّقُوا لِيَجْتَمِعُوا عَلَى قَتْلِهِ فَنَزَلَ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى وَإِذْ يَمْكُرُ بِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِيُثْبِتُوكَ أَوْ يَقْتُلُوكَ أَوْ يُخْرِجُوكَ وَيَمْكُرُونَ وَيَمْكُرُ اللَّهُ وَاللَّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ فَعَلِمَ رَسُولُ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِذَلِكَ فَأَعْلَمَ أَبَا بَكْرٍ بِالْهِجْرَةِ وَقَدْ كَانَ أَعَدَّ لِلْهِجْرَةِ رَاحِلَتَيْنِ وَاسْتَخْلَفَ عَلِيًّا فِي مَنَامِهِ وَأَنْ يَتَّشِحَ بِبُرْدِهِ الْحَضْرَمِيِّ الْأَخْضَرِ لِأَنَّ قُرَيْشًا تَرَى مَنَامَهُ فِيهِ وَأَمَرَ عَلِيًّا أَنْ يَرُدَّ وَدَائِعَ النَّاسِ عَلَيْهِمْ وَخَرَجَ فِي الظَّلَامِ مَعَ أَبِي بَكْرٍ إِلَى غَارِ ثَوْرٍ وَخَرَجَ مَعَهُمَا عَامِرُ بْنُ فُهَيْرَةَ لِخِدْمَتِهِمَا وَلِيَرُوحَ عَلَيْهِمَا بِغَنَمٍ يَرْعَاهَا لِأَبِي بَكْرٍ وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي بَكْرٍ يَأْتِي كُلَّ يَوْمٍ بِمَا يَتَجَدَّدُ مِنْ أَخْبَارِ قُرَيْشٍ بِمَكَّةَ وَتَأْتِي أَسْمَاءُ بِنْتُ أَبِي بَكْرٍ بِطَعَامٍ وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لِعَامِرِ بْنِ فُهَيْرَةَ ” ارْتَدْ لَنَا دَلِيلًا مِنَ الْأَزْدِ فَإِنَّهُمْ أَوْفَى بِالْعَهْدِ ” فَاسْتَأْجَرَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ أُرَيْقِطٍ اللَّيْثِيَّ وَكَانَ مُشْرِكًا وَأَقَامَا فِي الْغَارِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَكَانَ خُرُوجُهُمَا فِي يَوْمِ الِاثْنَيْنِ فِي صَفَرٍ وَخَرَجَتْ قُرَيْشٌ فِي طَلَبِهِ وَجَعَلُوا لِمَنْ جَاءَهُمْ بِهِ مِائَةَ نَاقَةٍ حَمْرَاءَ فَفَاتَهُمْ

Abu Jahal berkata, “Aku tidak melihat apa yang kalian sebutkan itu sebagai pendapat yang mulia. Namun, menurutku, hendaknya kalian mengambil seorang pemuda bangsawan dari setiap kabilah, lalu mereka berkumpul dan menyerangnya dengan pedang mereka secara serentak, sehingga mereka membunuhnya dengan satu pukulan bersama, lalu darahnya tersebar di antara kabilah-kabilah mereka. Maka Bani ‘Abd Manaf tidak akan mampu memerangi semuanya, dan mereka akan rela menerima diyat, lalu kita membayarnya kepada mereka.” Maka mereka sepakat dengan pendapat ini dan berpencar untuk melaksanakannya pada malam itu, dan mereka berpisah untuk berkumpul guna membunuhnya. Maka turunlah firman Allah Ta‘ala: “Dan (ingatlah) ketika orang-orang kafir merencanakan tipu daya terhadapmu untuk menahanmu, atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui hal itu, lalu beliau memberitahukan kepada Abu Bakar tentang hijrah, dan beliau telah menyiapkan dua ekor unta untuk hijrah. Beliau meninggalkan Ali di tempat tidurnya dan memerintahkannya untuk mengenakan selimut Hadrami yang berwarna hijau miliknya, karena Quraisy biasa melihat beliau tidur dengan selimut itu. Beliau juga memerintahkan Ali untuk mengembalikan titipan-titipan orang kepada mereka. Kemudian beliau keluar pada malam hari bersama Abu Bakar menuju Gua Tsur. Bersama mereka juga ‘Amir bin Fuhairah untuk melayani mereka dan menggembalakan kambing milik Abu Bakar agar dapat menghapus jejak mereka. Abdullah bin Abu Bakar setiap hari datang membawa berita terbaru tentang Quraisy di Makkah, dan Asma’ binti Abu Bakar datang membawa makanan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada ‘Amir bin Fuhairah, “Carikan untuk kami penunjuk jalan dari suku Azd, karena mereka paling setia dalam menepati janji.” Maka mereka menyewa Abdullah bin Uraiqith al-Laitsi, yang saat itu masih musyrik. Mereka berdua tinggal di gua selama tiga hari, dan keberangkatan mereka terjadi pada hari Senin di bulan Shafar. Quraisy pun keluar untuk mencari beliau dan mereka menjanjikan seratus ekor unta merah bagi siapa saja yang berhasil membawa beliau kepada mereka, namun mereka tidak berhasil menemukannya.

وَرُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لَمَّا خَرَجَ مِنْ مَكَّةَ بَكَى وَقَالَ ” اللَّهُمَّ إِنَّكَ أَخْرَجْتَنِي مِنْ أَحَبِّ الْبِلَادِ إِلَيَّ فَأَسْكِنِّي أَحَبَّ الْبِلَادِ إِلَيْكَ ” وَقَدِمُوا الْمَدِينَةَ فِي يَوْمِ الِاثْنَيْنِ الثَّانِي عَشَرَ مِنْ شَهْرِ رَبِيعٍ الْأَوَّلِ فَرُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ وُلِدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَبُعِثَ نَبِيًّا يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَهَاجَرَ مِنْ مَكَّةَ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَمَاتَ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَكَانَ قُدُومُهُ قَبْلَ قِيَامِ الظَّهِيرَةِ فَنَزَلَ بِقُبَاءَ عَلَى بَنِي عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ فِي دَارِ كُلْثُومِ بْنِ الْهِدْمِ وَقِيلَ فِي دَارِ سَعْدِ بْنِ خَيْثَمَةَ فَأَقَامَ بَقِيَّةَ يَوْمِ الِاثْنَيْنِ وَيَوْمَ الثُّلَاثَاءِ وَيَوْمَ الْأَرْبِعَاءِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ وَبَنَى مَسْجِدَ قُبَاءَ وَخَرَجَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ مُتَوَجِّهًا إِلَى الْمَدِينَةِ فَأَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فِي بَنِي سَالِمِ بْنِ عَوْفٍ فِي بَطْنِ وَادٍ لَهُمْ فَصَلَّى بِهِمُ الْجُمُعَةَ وَهِيَ أَوَّلُ جُمُعَةٍ صَلَّاهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَلَمَّا دَخَلَ الْمَدِينَةَ أَرْخَى زِمَامَ نَاقَتِهِ فَجَعَلَ لَا يَمُرُّ بِدَارٍ إِلَّا سَأَلَهُ أَهْلُهَا النُّزُولَ عَلَيْهِمْ وَهُوَ يَقُولُ ” خَلُّوا زِمَامَهَا فَإِنَّهَا مَأْمُورَةٌ ” حَتَّى انْتَهَى إِلَى مَوْضِعِ الْمَسْجِدِ الْيَوْمَ فَبَرَكَتْ على باب مسجده وهي يومئذ مريد لِيَتِيمَيْنِ مِنَ الْأَنْصَارِ سَهْلٍ وَسُهَيْلٍ ابْنَيْ عَمْرٍو وَكَانَا فِي حِجْرِ مُعَاذِ بْنِ عَفْرَاءَ فَنَزَلَ عَنْهَا وَاحْتَمَلَ أَبُو أَيُّوبَ رَحْلَهُ فَوَضَعَهُ فِي بَيْتِهِ فَنَزَلَ عَلَيْهِ وَقَالَ ” الْمَرْءُ مَعَ رَحْلِهِ ” وَقَالَ لِلْأَنْصَارِ ثَامِنُونِي بِهَذَا الْمِرْبَدِ؟ فَقَالُوا لَا نَأْخُذُ لَهُ ثَمَنًا فَبَنَاهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِنَفْسِهِ وَبِأَصْحَابِهِ مَسْجِدًا وَهُوَ يَقُولُ

Diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ ketika keluar dari Makkah, beliau menangis dan berkata, “Ya Allah, Engkau telah mengeluarkanku dari negeri yang paling aku cintai, maka tempatkanlah aku di negeri yang paling Engkau cintai.” Mereka tiba di Madinah pada hari Senin tanggal dua belas bulan Rabi‘ul Awwal. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa ia berkata: Rasulullah ﷺ lahir pada hari Senin, diangkat menjadi nabi pada hari Senin, hijrah dari Makkah pada hari Senin, dan wafat pada hari Senin. Kedatangan beliau di Madinah sebelum waktu zuhur, lalu beliau singgah di Quba’ di rumah Bani ‘Amr bin ‘Auf, di rumah Kulthum bin al-Hidm, dan ada yang mengatakan di rumah Sa‘d bin Khaythamah. Beliau tinggal di sana sisa hari Senin, hari Selasa, hari Rabu, dan hari Kamis, serta membangun Masjid Quba’. Kemudian beliau berangkat pada hari Jumat menuju Madinah, lalu waktu salat Jumat tiba di Bani Salim bin ‘Auf di sebuah lembah milik mereka, maka beliau pun melaksanakan salat Jumat bersama mereka, dan itulah salat Jumat pertama yang dilakukan Rasulullah ﷺ. Ketika beliau memasuki Madinah, beliau melepaskan tali kendali untanya, dan setiap kali melewati sebuah rumah, para penghuninya meminta beliau singgah di tempat mereka, namun beliau berkata, “Biarkan talinya, karena ia diperintah.” Hingga unta itu berhenti di tempat masjid yang sekarang, lalu duduk di depan pintu masjidnya, dan saat itu tempat tersebut adalah milik dua anak yatim dari Anshar, Sahl dan Suhail bin ‘Amr, yang berada dalam asuhan Mu‘adz bin ‘Afra’. Maka beliau turun dari untanya, dan Abu Ayyub membawa barang-barang beliau lalu meletakkannya di rumahnya, sehingga Rasulullah ﷺ pun singgah di rumah Abu Ayyub dan berkata, “Seseorang bersama barangnya.” Beliau berkata kepada kaum Anshar, “Taksirlah harga tanah ini untukku.” Mereka berkata, “Kami tidak akan mengambil harga darinya.” Maka Rasulullah ﷺ membangun masjid itu sendiri bersama para sahabatnya, seraya beliau berkata…

اللَّهُمَّ لَا عَيْشَ إِلَّا عَيْشُ الْآخِرَة فَارْحَمِ الْأَنْصَارَ وَالْمُهَاجِرَة

Ya Allah, tidak ada kehidupan yang hakiki kecuali kehidupan akhirat, maka rahmatilah kaum Anshar dan Muhajirin.

وَأَقَامَ عِنْدَ أَبِي أَيُّوبَ حَتَّى فَرَغَ مِنْ بِنَائِهِ وَهَاجَرَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِثَلَاثَةِ أَيَّامٍ قَامَ فِيهَا بِرَدِّ الْوَدَائِعِ عَلَى أَهْلِهَا وَكَانَ آخِرَ مَنْ قَدِمَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ فِي عَشَرَةٍ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَبَنَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِعَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا بَعْدَ سَبْعَةِ أَشْهُرٍ مِنْ مَقْدَمِهِ الْمَدِينَةَ فِي شَوَّالٍ وَكَانَ قَدْ تزوجها بمكة قبل الهجرة بثلاثة سِنِينَ فِي شَوَّالٍ بَعْدَ وَفَاةِ خَدِيجَةَ وَهِيَ ابْنَةُ سِتِّ سِنِينَ

Dan beliau tinggal di rumah Abu Ayyub sampai selesai membangunnya. Ali bin Abi Thalib berhijrah setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiga hari kemudian, di mana selama itu ia mengembalikan titipan-titipan kepada pemiliknya. Orang terakhir dari kaum Muhajirin yang datang adalah Sa‘d bin Abi Waqqash bersama sepuluh orang Muhajirin lainnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Aisyah radhiyallahu ‘anha setelah tujuh bulan kedatangannya di Madinah, yaitu pada bulan Syawwal. Beliau telah menikahinya di Mekah sebelum hijrah, tiga tahun sebelumnya, pada bulan Syawwal setelah wafatnya Khadijah, dan saat itu Aisyah berusia enam tahun.

وَقِيلَ ابْنَةُ سَبْعٍ وَكَانَ قَدْ تَزَوَّجَ قَبْلَهَا بَعْدَ خَدِيجَةَ سَوْدَةَ بِنْتَ زَمْعَةَ وَقَدِمَتْ عَلَيْهِ بَعْدَ هِجْرَتِهِ

Ada juga yang berpendapat bahwa ia berusia tujuh tahun, dan Nabi telah menikahi sebelum dirinya, setelah Khadijah, Saudah binti Zam‘ah, yang datang menemuinya setelah hijrahnya.

وَاخْتَلَفَ أَهْلُ النَّقْلِ فِي مُدَّةِ مَقَامَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بمكة بعد النبوة فقال الأكثرون ثلاث عشر سنة وقال آخرون عشرة سِنِينَ وَيُشْبِهُ أَنْ يَكُونَ هَذَا قَوْلُ مَنْ زَعَمَ أَنَّهُ قُرِنَ بِإِسْرَافِيلَ ثَلَاثَ سِنِينَ ثُمَّ قُرِنَ بِجِبْرِيلَ حَتَّى نَزَلَ عَلَيْهِ الْوَحْيُ

Para ahli sejarah berbeda pendapat mengenai lamanya Rasulullah saw. tinggal di Mekah setelah diangkat menjadi nabi. Mayoritas berpendapat selama tiga belas tahun, sementara yang lain mengatakan sepuluh tahun. Tampaknya pendapat ini berasal dari mereka yang beranggapan bahwa beliau didampingi oleh Israfil selama tiga tahun, kemudian didampingi oleh Jibril hingga wahyu turun kepadanya.

فَصْلٌ

Bagian

وَلَمَّا اسْتَقَرَّتْ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ دَارُ هِجْرَتِهِ وَنَزَلَ الْمُهَاجِرُونَ عَلَى الْأَنْصَارِ آخَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بَيْنَ أَصْحَابِهِ لِيَزِيدَهُمْ أُلْفَةً وَتَنَاصُرًا ثُمَّ وَادَعَ مَنْ حَوْلَهُ مِنَ الْيَهُودِ لِتَسْتَقِرَّ بِهِمُ الدَّارُ وإنهم أهل كتاب يرجوا مِنْهُمْ أَنْ يُؤَدُّوا الْأَمَانَةَ بِإِظْهَارِ مَا فِيهِ مِنْ ذِكْرِ نُبُوَّتِهِ فَخَانُوا الْأَمَانَةَ وَجَحَدُوا الصِّفَةَ وَظَهَرَ الْمُنَافِقُونَ بِالْمَدِينَةِ يُعْلِنُونَ الْإِسْلَامَ وَيُبْطِنُونَ الْكُفْرَ وَيُوَافِقُونَ الْيَهُودَ فِي السِّرِّ عَلَى التَّكْذِيبِ وَكَانَ النِّفَاقُ فِي الشُّيُوخِ وَلَمْ يَكُنْ فِي الْأَحْدَاثِ إِلَّا وَاحِدٌ وَكَانَ رَأْسَ الْمُنَافِقِينَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ ابْنُ سَلُولَ فَصَارَ فِيهِمْ رَسُولُ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِقَبُولِ الظَّاهِرِ مِنْ إِسْلَامِهِمْ وَإِنْكَارِ الْبَاطِنِ مِنْ نِفَاقِهِمْ وَقَصَدَتْهُ الْيَهُودُ بِالْمَكْرِ فَحَرَّضُوا بَيْنَ الْأَوْسِ وَالْخَزْرَجِ وَذَكَّرُوهُمْ تُرَاثَ الْجَاهِلِيَّةِ لِيَخْتَلِفُوا فَيُنْقَضُ بِهِمْ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَأَصْلَحَ بَيْنَهُمْ وَقَطَعَ اخْتِلَافَهُمْ وَعَادَتْ أُلْفَتُهُمْ وَهُوَ مع ذلك يدعوا إِلَى الْإِسْلَامِ حَتَّى أُذِنَ لَهُ فِي الْقِتَالِ فَكَانَ أَوَّلُ لِوَاءٍ عَقَدَهُ فِي سَنَةِ مَقْدَمِهِ لِحَمْزَةَ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فِي ثَلَاثِينَ رَجُلًا مِنَ الْمُهَاجِرِينَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بَعْدَ سَبْعَةِ أَشْهُرٍ مِنْ هِجْرَتِهِ لِيَعْتَرِضَ عِيرًا لِقُرَيْشٍ فِيهَا أَبُو جَهْلِ بْنُ هِشَامٍ فِي ثَلَاثِمِائَةِ رَجُلٍ فَبَلَغُوا سَيْفَ الْبَحْرِ وَاصْطَفَّوْا لِلْقِتَالِ حَتَّى حَجَرَ بَيْنَهُمْ مَجْدِيُّ بْنُ عَمْرٍو الْجُهَنِيُّ فَافْتَرَقُوا وَعَادَ حَمْزَةُ وَلَمْ يَلْقَ كَيْدًا

Setelah Rasulullah saw. menetap di tempat hijrahnya dan para Muhajirin tinggal bersama kaum Anshar, Rasulullah saw. mempersaudarakan para sahabatnya agar semakin erat persatuan dan saling menolong di antara mereka. Kemudian beliau mengadakan perjanjian dengan orang-orang Yahudi di sekitarnya agar mereka dapat hidup tenang bersama, karena mereka adalah Ahli Kitab yang diharapkan akan menunaikan amanah dengan menampakkan apa yang ada dalam kitab mereka tentang kenabian beliau. Namun mereka mengkhianati amanah itu, mengingkari sifat-sifat (Nabi) yang disebutkan, dan muncullah kaum munafik di Madinah yang menampakkan keislaman namun menyembunyikan kekafiran, serta diam-diam bersekongkol dengan Yahudi dalam mendustakan (Nabi). Kemunafikan itu terdapat pada para tokoh tua, dan di kalangan pemuda hanya ada satu orang. Pemimpin kaum munafik adalah Abdullah bin Ubay bin Salul. Maka Rasulullah saw. memperlakukan mereka berdasarkan keislaman lahiriah mereka, namun mengingkari kemunafikan batin mereka. Orang-orang Yahudi pun berusaha menipu beliau dengan mengadu domba antara Aus dan Khazraj, serta mengingatkan mereka pada warisan masa jahiliyah agar mereka berselisih sehingga urusan Rasulullah saw. menjadi kacau. Namun beliau mendamaikan mereka, menghilangkan perselisihan, dan mengembalikan keakraban di antara mereka. Sementara itu, beliau tetap menyeru kepada Islam hingga diizinkan untuk berperang. Panji pertama yang beliau ikat pada tahun kedatangannya adalah untuk Hamzah bin Abdul Muththalib bersama tiga puluh orang Muhajirin pada bulan Ramadan, tujuh bulan setelah hijrah, untuk menghadang kafilah dagang Quraisy yang dipimpin Abu Jahal bin Hisyam bersama tiga ratus orang. Mereka sampai di daerah Syaif al-Bahr dan bersiap untuk bertempur, hingga Majdi bin Amr al-Juhani melerai mereka, sehingga kedua kelompok pun berpisah dan Hamzah kembali tanpa mengalami pertempuran.

ثُمَّ سَرِيَّةُ عُبَيْدَةَ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ عَقَدَ لَهُ فِيهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لِوَاءً فِي شَوَّالٍ وَهُوَ الشَّهْرُ الثَّامِنُ مِنْ هِجْرَتِهِ عَلَى سِتِّينَ رَجُلًا مِنَ الْمُهَاجِرِينَ لِيَعْتَرِضَ عِيرًا لِقُرَيْشٍ فِيهَا أَبُو سُفْيَانَ بْنُ حَرْبٍ فِي مِائَتَيْ رَجُلٍ عَلَى عَشَرَةِ أَمْيَالٍ مِنَ الْجُحْفَةِ فَتَنَاوَشُوا وَلَمْ يُسِلُّوا السُّيُوفَ

Kemudian, pasukan kecil ‘Ubaidah bin al-Harits bin ‘Abdul Muththalib, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkatnya sebagai pemimpin dan memberinya panji pada bulan Syawwal, yaitu bulan kedelapan setelah hijrahnya, dengan enam puluh orang dari kaum Muhajirin untuk menghadang kafilah dagang Quraisy yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb bersama dua ratus orang, di jarak sepuluh mil dari al-Juhfah. Mereka saling berhadapan, namun tidak sampai menghunuskan pedang.

وَرَمَى سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ بِسَهْمٍ فَكَانَ أَوَّلَ سَهْمٍ رُمِيَ فِي الْإِسْلَامِ وَعَادَ وَلَمْ يَلْقَ كَيْدًا

Sa‘d bin Abi Waqqash melepaskan sebuah anak panah, maka itulah anak panah pertama yang dilepaskan dalam Islam, lalu ia kembali tanpa menghadapi bahaya apa pun.

ثُمَّ سَرِيَّةُ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ فِي ذِي الْقَعْدَةِ بَعْدَ تِسْعَةِ أَشْهُرٍ مَنْ هِجْرَتِهِ عَقَدَ لَهُ لِوَاءً عَلَى عِشْرِينَ رَجُلًا لِيَعْتَرِضَ عِيرًا لِقُرَيْشٍ فَفَاتَتْهُ فَكَانَتْ لَهُ فِي السَّنَةِ الأولة من هجرته هذه السرايا الثلاث

Kemudian, ekspedisi Sa‘d bin Abī Waqqāṣ pada bulan Dzulqa‘dah, sembilan bulan setelah hijrahnya, beliau (Nabi) memberinya panji atas dua puluh orang untuk menghadang kafilah dagang Quraisy, namun kafilah itu terlewatkan olehnya. Maka, pada tahun pertama hijrahnya, inilah tiga ekspedisi yang terjadi.

فصل غزوة الابواء

Bab: Perang Abwā’

ثُمَّ دَخَلَتِ السَّنَةُ الثَّانِيَةُ فَغَزَا فِيهَا أَوَّلَ غَزْوَةٍ خَرَجَ فِيهَا بِنَفْسِهِ غَزْوَةَ الْأَبْوَاءِ وَيُقَالُ وَدَّانُ وَبَيْنَهُمَا سِتَّةُ أَمْيَالٍ فِي صَفَرٍ لِيَعْتَرِضَ عِيرًا لِقُرَيْشٍ وَحَمَلَ لِوَاءَهُ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ

Kemudian masuklah tahun kedua, maka pada tahun itu beliau melakukan peperangan pertama yang beliau pimpin sendiri, yaitu Perang Al-Abwā’—dan ada yang menyebutnya Wadān—keduanya berjarak enam mil, pada bulan Shafar, untuk menghadang kafilah dagang milik Quraisy. Panji peperangan saat itu dibawa oleh Hamzah bin Abdul Muththalib.

وَاسْتَخْلَفَ عَلَى الْمَدِينَةِ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ وَكَانَ لِوَاؤُهُ أَبْيَضَ وَعَادَ إِلَى الْمَدِينَةِ بَعْدَ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا وَلَمْ يَلْقَ كَيْدًا

Ia mengangkat Sa‘d bin ‘Ubādah sebagai pengganti di Madinah, dan panjinya berwarna putih. Ia kembali ke Madinah setelah lima belas hari dan tidak menemui adanya tipu daya.

وَفِي هَذَا الشَّهْرِ وَهُوَ صَفَرٌ لِلَيَالٍ بَقِينَ مِنْهُ زَوَّجَ عَلِيًّا بِفَاطِمَةَ عَلَيْهَا السَّلَامُ بَعْدَ اثْنَيْ عَشَرَ شَهْرًا مِنْ هِجْرَتِهِ

Pada bulan ini, yaitu bulan Shafar, pada beberapa malam yang tersisa darinya, Ali menikahi Fathimah ‘alaihas salam setelah dua belas bulan dari hijrahnya.

غَزْوَةُ بُوَاطٍ

Perang Buwāṭ

ثُمَّ غَزَا الثَّانِيَةَ فِي رَبِيعٍ وَهِيَ غَزْوَةُ بُوَاطٍ خَرَجَ بِنَفْسِهِ فِي مِائَتَيْ رَجُلٍ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ فِي شَهْرِ رَبِيعٍ الْأَوَّلِ لِيَعْتَرِضَ عِيرًا لِقُرَيْشٍ فِيهَا أُمَيَّةُ بْنُ خَلَفٍ وَمَعَهُ أَلْفَانِ وَخَمْسُمِائَةِ بَعِيرٍ وَحَمَلَ لِوَاءَهُ سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ وَاسْتَخْلَفَ عَلَى الْمَدِينَةِ سَعْدَ بْنَ مُعَاذٍ فَعَادَ وَلَمْ يَلْقَ كَيْدًا

Kemudian beliau melakukan penyerangan yang kedua pada bulan Rabi‘, yaitu Perang Buwaṭ. Beliau sendiri keluar bersama dua ratus orang dari kaum Muhajirin pada bulan Rabi‘ul Awwal untuk menghadang kafilah dagang Quraisy yang di dalamnya terdapat Umayyah bin Khalaf, yang membawa dua ribu lima ratus unta. Pembawa panjinya adalah Sa‘d bin Abi Waqqas, dan beliau menunjuk Sa‘d bin Mu‘adz sebagai pengganti beliau di Madinah. Lalu beliau kembali tanpa menghadapi perlawanan apa pun.

غَزْوَةُ كُرْزِينٍ

Perang Kurzain

ثُمَّ غَزَا غَزْوَتَهُ الثَّالِثَةَ فِي هَذَا الشَّهْرِ مِنْ رَبِيعٍ الْأَوَّلِ لِطَلَبِ كُرْزِينِ بْنِ جَابِرٍ الْفِهْرِيِّ وَكَانَ قَدِ اسْتَاقَ سَرْحَ الْمَدِينَةِ فَطَلَبَهُ حَتَّى بَلَغَ بَدْرًا فَلَمْ يَلْقَهُ وَهِيَ بَدْرٌ الْأُولَى وَحَمَلَ لِوَاءَهُ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَاسْتَخْلَفَ عَلَى الْمَدِينَةِ زَيْدَ بْنَ حَارِثَةَ

Kemudian beliau melakukan penyerangan yang ketiga pada bulan Rabi‘ul Awwal ini untuk mengejar Kurz bin Jabir al-Fihri, yang telah menggiring ternak milik penduduk Madinah. Maka beliau mengejarnya hingga sampai ke Badar, namun tidak berhasil menemuinya. Inilah yang disebut Badar pertama. Panji pasukan beliau dibawa oleh ‘Ali bin Abi Thalib ‘alaihis salam, dan beliau meninggalkan Zaid bin Haritsah sebagai pengganti di Madinah.

غَزْوَةُ ذَاتِ الْعُشَيْرَةِ

Perang Dzatul ‘Usyairah

وَغَزَا غَزْوَتَهُ الرَّابِعَةَ إِلَى ذَاتِ الْعُشَيْرَةِ فِي جُمَادَى الْآخِرَةِ فِي مِائَةٍ وَخَمْسِينَ رجلا يعتقبون ثلاثون بَعِيرًا لِيَعْتَرِضَ عِيرًا لِقُرَيْشٍ مُتَوَجِّهَةً إِلَى الشَّامِ فَبَلَغَ يَنْبُعَ وَقَدْ فَاتَتْهُ وَهِيَ الْعِيرُ الَّتِي عَادَتْ مِنَ الشَّامِ فَخَرَجَ إِلَيْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إِلَى بَدْرٍ وَكَانَتْ فِيهَا وَقْعَةُ بَدْرٍ الْكُبْرَى وَحَمَلَ لِوَاءَهُ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَاسْتَخْلَفَ عَلَى الْمَدِينَةِ أَبَا سَلَمَةَ بْنَ عَبْدِ الْأَسَدِ وَفِي هَذِهِ الْغَزْوَةِ كَنَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَلِيًّا أَبَا تُرَابٍ مَرَّ بِهِ وَقَدْ نَامَ وَسَفَّتِ الرِّيحُ عَلَيْهِ التُّرَابُ فَقَالَ ” قُمْ يَا أَبَا تُرَابٍ أَلَا أُخْبِرُكَ بِأَشْقَى النَاسِ أُحَيْمِرِ ثَمُودَ عَاقِرِ النَّاقَةِ وَالَّذِي يَضْرِبُكَ عَلَى هَذَا فَخَضَبَ هَذِهِ يَعْنِي عَلَى رَأْسِكَ فَيَخْضِبُ لِحْيَتَهُ “

Beliau melakukan ekspedisi keempatnya ke Dzatul ‘Usyairah pada bulan Jumada Akhirah dengan seratus lima puluh orang yang bergantian menaiki tiga puluh unta, untuk menghadang kafilah dagang Quraisy yang menuju Syam. Beliau sampai di Yanbu‘, namun kafilah itu telah lewat. Itulah kafilah yang kemudian kembali dari Syam, sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju kafilah itu ke Badar, dan terjadilah di sana Perang Badar Kubra. Panji pasukan dipegang oleh Hamzah bin Abdul Muththalib, dan beliau meninggalkan Abu Salamah bin Abdul Asad sebagai pengganti di Madinah. Dalam ekspedisi ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi kunyah kepada Ali dengan sebutan Abu Turab, ketika beliau melewati Ali yang sedang tidur dan debu menutupi tubuhnya karena tertiup angin. Maka beliau bersabda, “Bangunlah, wahai Abu Turab! Maukah aku beritahukan kepadamu tentang orang paling celaka, yaitu si merah kecil dari Tsamud, pembunuh unta, dan orang yang akan memukulmu di sini hingga membasahi ini—yakni kepalamu—sehingga membasahi janggutmu.”

سَرِيَّةُ عَبْدِ اللَّهِ بْنُ جَحْشٍ

Ekspedisi Abdullah bin Jahsy

ثُمَّ سَرِيَّةُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَحْشٍ أَنْفَذَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ في جمادى الآخرة في اثني عشرة رَجُلًا مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَكَتَبَ مَعَهُ كِتَابًا وَأَمَرَهُ أن لا يقرأه إلا ببطن مكة وتعمل بِمَا فِيهِ فَلَمَّا حَصَلَ بِالْمَكَانِ قَرَأَهُ وَإِذَا فِيهِ سِرْ إِلَى نَخْلَةٍ بَيْنَ الطَّائِفِ وَمَكَّةَ وَأَرْضٍ لِقُرَيْشٍ لِتَعْرِفَ أَخْبَارَهُمْ وَتَأْتِيَنَا بِهَا وَلَا تَسْتَكْرِهَ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِكَ فَلَمَّا عَلِمُوا أَطَاعُوا وَرَضِيَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ وَسَارُوا وَأَضَلَّ سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ وَعُتْبَةُ بْنُ غَزْوَانَ بَعِيرًا لَهُمَا فَعَدَلَا فِي طَلَبِهِ حَتَّى بَلَغَا بَنِي سُلَيْمٍ وَمَرَّتْ عِيرٌ لِقُرَيْشٍ فِيهَا ابْنُ الْحَضْرَمِيِّ عَائِدَةً مِنَ الطَّائِفِ تَحْمِلُ خَمْرًا وَأُدُمًا وَزَبِيبًا وَمَعَهُ فِيهَا عَدَدٌ مِنْ قُرَيْشٍ فَوَقَعَ فِي نُفُوسِهِمْ أَخْذُ الْعِيرِ وَكَانَ أَوَّلَ لَيْلَةٍ مِنْ رَجَبٍ وَهُمْ فِيهِ عَلَى شَكٍّ ثُمَّ أَقْدَمُوا عَلَيْهَا فَرَمَى وَاقِدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَمْرَو بْنَ الْحَضْرَمِيِّ بِسَهْمٍ فَقَتَلَهُ وَأُسِرَ عُثْمَانُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُغِيرَةِ وَالْحَكَمُ بْنُ كَيْسَانَ وَغَنِمُوا الْعِيرَ وَكَانَتْ أَوَّلَ غَنِيمَةٍ غَنِمَهَا الْمُسْلِمُونَ فَقِيلَ إِنَّهُمُ اقْتَسَمُوهَا وَعَزَلُوا خُمْسَهَا لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لِيَسْأَلُوا عَنْهَا

Kemudian, Sariyah Abdullah bin Jahsy; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusnya pada bulan Jumadil Akhir bersama dua belas orang dari kaum Muhajirin, dan beliau menuliskan surat untuknya serta memerintahkannya agar tidak membacanya kecuali di lembah Makkah dan melaksanakan apa yang ada di dalamnya. Ketika ia telah sampai di tempat itu, ia pun membacanya, ternyata isinya: “Berangkatlah ke Nakhlah, di antara Thaif dan Makkah, yang merupakan wilayah Quraisy, untuk mengetahui berita mereka dan bawalah berita itu kepada kami, serta jangan memaksa seorang pun dari sahabatmu.” Ketika mereka mengetahui hal itu, mereka menaati dan masing-masing dari mereka pun rela, lalu mereka berangkat. Sa‘d bin Abi Waqqash dan ‘Utbah bin Ghazwan kehilangan unta mereka, maka keduanya berpaling untuk mencarinya hingga sampai ke Bani Sulaim. Kemudian lewatlah kafilah Quraisy yang di dalamnya terdapat Ibnu al-Hadhrami, kembali dari Thaif, membawa khamar, kulit, dan kismis, bersama beberapa orang Quraisy. Timbul keinginan dalam hati mereka untuk mengambil kafilah itu, padahal saat itu adalah malam pertama bulan Rajab, dan mereka masih ragu-ragu. Lalu mereka memutuskan untuk menyerangnya; Waqid bin Abdullah memanah Amr bin al-Hadhrami hingga terbunuh, dan ‘Utsman bin Abdullah bin al-Mughirah serta al-Hakam bin Kaysan ditawan, serta mereka memperoleh harta rampasan dari kafilah itu. Itulah harta rampasan pertama yang didapatkan kaum Muslimin. Dikatakan bahwa mereka membaginya dan memisahkan seperlimanya untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mereka dapat menanyakannya.

وَقِيلَ إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَمَنْ بِمَكَّةَ مِنْ قُرَيْشٍ أَنْكَرُوا فِعْلَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَحْشٍ وَمَا فَعَلَهُ مِنْ قَتْلٍ وَغَنِيمَةٍ فِي رَجَبٍ وَهُوَ مِنَ الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ وَقَالَتْ قُرَيْشٌ قَدِ اسْتَحَلَّ مُحَمَّدٌ الشَّهْرَ الْحَرَامَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ

Dikatakan bahwa kaum Muslimin dan orang-orang Quraisy yang berada di Makkah mengingkari perbuatan Abdullah bin Jahsy dan apa yang telah ia lakukan berupa pembunuhan dan perolehan ghanimah pada bulan Rajab, yang merupakan salah satu dari bulan-bulan haram. Quraisy berkata, “Muhammad telah menghalalkan bulan haram.” Maka Allah Ta‘ala menurunkan (ayat): “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan haram, tentang berperang di dalamnya. Katakanlah: ‘Berperang di dalamnya adalah dosa besar.’”

وَفِي هَذِهِ السَّنَةِ اسْتَقْبَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ الْكَعْبَةَ وَتَحَوَّلَ عَنْ بَيْتِ الْمَقْدِسِ وَاخْتُلِفَ فِي وَقْتِ تَحْوِيلِهَا فَحَكَى الْوَاقِدِيُّ أَنَّهَا حُوِّلَتْ إِلَى الْكَعْبَةِ فِي يَوْمِ الثُّلَاثَاءِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ بَعْدَ مَقْدَمِهِ بِثَمَانِيَةَ عَشَرَ شَهْرًا صَلَّى فِيهَا إِلَى بَيْتِ الْمَقْدِسِ

Pada tahun ini, Rasulullah saw. menghadap ke Ka’bah dan berpindah dari Baitul Maqdis. Terdapat perbedaan pendapat mengenai waktu pemindahan arah kiblat tersebut. Al-Waqidi meriwayatkan bahwa kiblat dipindahkan ke Ka’bah pada hari Selasa pertengahan bulan Sya’ban, setelah kedatangan beliau selama delapan belas bulan, di mana beliau sebelumnya shalat menghadap ke Baitul Maqdis.

وَقَالَ قَتَادَةُ وَابْنُ زَيْدٍ حُوِّلَتْ لِسِتَّةَ عَشَرَ شَهْرًا فِي رَجَبٍ وَفِي هَذِهِ السَّنَةِ فُرِضَ صِيَامُ شَهْرِ رَمَضَانَ فِي شَعْبَانَ وَكَانُوا يَصُومُونَ عَاشُورَاءَ وَفِي هَذِهِ السنة فرضت زكاة االفطر

Qatadah dan Ibnu Zaid berkata, kiblat dipindahkan selama enam belas bulan pada bulan Rajab, dan pada tahun ini diwajibkan puasa bulan Ramadan di bulan Sya‘ban. Mereka dahulu berpuasa pada hari ‘Asyura, dan pada tahun ini pula diwajibkan zakat fitrah.

وَخَطَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ وَفِيهَا خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إِلَى الْمُصَلَّى فَصَلَّى بِالنَّاسِ صَلَاةَ الْعِيدِ وَهُوَ أَوَّلُ عِيدٍ صَلَّى فِيهِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah sehari atau dua hari sebelum Idul Fitri. Pada hari itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju tempat shalat, lalu beliau mengimami shalat ‘id bersama orang-orang. Itulah hari raya pertama yang beliau laksanakan shalat di dalamnya.

وَفِي هَذِهِ السَّنَةِ أُقِرَّتْ صَلَاةُ السَّفَرِ وَزِيدَ فِي صَلَاةِ الْحَضَرِ لأنها كانت ركعتين فجعلت أربعا

Pada tahun ini, shalat safar ditetapkan, dan shalat hadhar ditambah jumlah rakaatnya, karena sebelumnya dua rakaat lalu dijadikan empat rakaat.

فصل

Bab

غزوة بدر الكبرى

Perang Badar Kubra

ثُمَّ غَزَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ غزوة بد ر الْكُبْرَى

Kemudian Rasulullah saw. melakukan ekspedisi perang Badar Kubra.

وَسَبَبُهَا أَنَّ عِيرَ قُرَيْشٍ الَّتِي خَرَجَ بسببها إِلَى ذِي الْعُشَيْرَةِ فَفَاتَتْهُ أَقْبَلَتْ عَائِدَةً مِنَ الشَّامِ فِيهَا أَمْوَالُ قُرَيْشٍ وَعَلَيْهَا أَبُو سُفْيَانَ بْنُ حَرْبٍ فَأَنْفَذَ طَلْحَةَ بْنَ عُبَيْدِ اللَّهِ وسعيد بن زيد ليعودوا بخبرها فلما تأخر عَنْهُ خَرَجَ بَعْدَهَا بِعَشَرَةِ أَيَّامٍ فِي يَوْمِ السَّبْتِ الثَّانِي عَشَرَ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ بَعْدَ تِسْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا مَنْ هِجْرَتِهِ وَعَسْكَرَ فِي بِئْرِ أَبِي عُتْبَةَ عَلَى مِيلٍ مِنَ الْمَدِينَةِ حَتَّى عَرَضَ أَصْحَابَهُ وَكَانُوا فِي رِوَايَةِ ابْنِ إِسْحَاقَ ثَلَاثَمِائَةِ رَجُلٍ وَثَلَاثَةَ عَشَرَ رَجُلًا عِدَّةَ أَصْحَابِ طَالُوتَ حِينَ عَبَرَ النَّهْرَ لِقِتَالِ جَالُوتَ

Penyebabnya adalah bahwa kafilah dagang Quraisy yang karena itulah Nabi keluar menuju Dzu al-‘Usyairah namun tidak berhasil menemukannya, kemudian kafilah itu kembali dari Syam membawa harta kekayaan Quraisy dan dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb. Maka Nabi mengutus Thalhah bin ‘Ubaidillah dan Sa‘id bin Zaid untuk mencari kabar tentang kafilah tersebut. Ketika mereka terlambat kembali, Nabi keluar menyusul kafilah itu sepuluh hari kemudian, pada hari Sabtu tanggal dua belas bulan Ramadan, setelah sembilan belas bulan dari hijrahnya. Nabi berkemah di sumur Abu ‘Utbah, satu mil dari Madinah, hingga beliau memeriksa para sahabatnya. Menurut riwayat Ibnu Ishaq, jumlah mereka adalah tiga ratus tiga belas orang, sebanyak jumlah sahabat Thalut ketika menyeberangi sungai untuk memerangi Jalut.

وَفِي رِوَايَةِ الْوَاقِدِيِّ ثَلَاثُمِائَةٍ وَخَمْسَةُ رِجَالٍ ضَمَّ إِلَيْهِمْ فِي الْقَسْمِ ثَمَانِيَةً لَمْ يَشْهَدُوا بَدْرًا فَصَارَتِ الرِّوَايَتَانِ مُتَّفِقَتَيْنِ لِأَنَّ ابْنَ إِسْحَاقَ عَدَّ الثَّمَانِيَةَ فِيهِمْ وَالْوَاقِدِيَّ لَمْ يَعُدَّهَا فِيهِمْ وَمِنَ الثَّمَانِيَةِ ثَلَاثَةٌ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ أَقَامَ لِمَرَضِ زَوْجَتِهِ رُقَيَّةُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ حَتَّى قُبِضَتْ قَبْلَ مَقْدَمِهِ مِنْ بَدْرٍ وَطَلْحَةُ وَسَعِيدٌ أَنْفَذَهُمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لِاسْتِعْلَامِ حَالِ الْعِيرِ وَخَمْسَةٌ مِنَ الْأَنْصَارِ وَهُمْ أَبُو لُبَابَةَ بْنُ عَبْدِ الْمُنْذِرِ خَلَّفَهُ عَلَى الْمَدِينَةِ وَعَاصِمُ بْنُ عَدِيٍّ خَلَّفَهُ عَلَى أَهْلِ الْعَالِيَةِ وَالْحَارِثُ بْنُ حَاطِبٍ رَدَّهُ مِنَ الرَّوْحَاءِ إِلَى بَنِي عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ لِشَيْءٍ بَلَغَهُ عنهم والحارث بْنُ الصِّمَّةِ أُسِرَ بِالرَّوْحَاءِ وَخَوَّاتُ بْنُ جُبَيْرٍ كُسِرَ

Dalam riwayat al-Waqidi disebutkan tiga ratus lima orang laki-laki, kemudian ia menambahkan kepada mereka dalam pembagian (ghanimah) delapan orang yang tidak ikut serta dalam Perang Badar, sehingga kedua riwayat tersebut menjadi sepakat, karena Ibnu Ishaq memasukkan delapan orang itu dalam hitungan, sedangkan al-Waqidi tidak menghitung mereka. Dari delapan orang itu, tiga berasal dari kaum Muhajirin: Utsman bin Affan yang tinggal di Madinah karena merawat istrinya, Ruqayyah binti Rasulullah ﷺ, hingga ia wafat sebelum kedatangan (pasukan) dari Badar; Thalhah dan Sa’id yang diutus Rasulullah ﷺ untuk mencari informasi tentang keadaan kafilah. Lima orang lainnya dari kaum Anshar, yaitu: Abu Lubabah bin Abdil Mundzir yang ditinggalkan di Madinah, ‘Ashim bin ‘Adi yang ditugaskan menjaga penduduk Al-‘Aliyah, Al-Harits bin Hatib yang dipulangkan dari Ar-Rawha’ kepada Bani ‘Amr bin ‘Auf karena sesuatu yang sampai kepada Rasulullah dari mereka, Al-Harits bin Ash-Shimmah yang ditawan di Ar-Rawha’, dan Khawwat bin Jubair yang mengalami patah tulang.

وَرَدَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ حِينَ اسْتَعْرَضَ أَصْحَابَهُ خَمْسَةً لِصِغَرِهِمْ وَهُمْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ وَزَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَرَافِعُ بْنُ خَدِيجٍ وَالْبَرَاءُ بْنُ عَازِبٍ وَأُسَيْدُ بْنُ ظُهَيْرٍ وَكَانَ عِدَّةُ الْمُهَاجِرِينَ سَبْعَةً وَسَبْعِينَ رَجُلًا وعدة الأنصار مائتين وستة وثلاثين رجلا ومنهم من الْأَوْسِ أَحَدٌ وَسِتُّونَ رَجُلًا وَالْبَاقُونَ مَنِ الْخَزْرَجِ وَكَانَتْ أَوَّلَ غَزْوَةٍ غَزَا فِيهَا الْأَنْصَارُ وَكَانَتْ إِبِلُهُمْ سَبْعِينَ بَعِيرًا يَتَعَقَّبُ الثَّلَاثَةُ عَلَى الْبَعِيرِ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَعَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ وَأَبُو لُبَابَةَ عَلَى بَعِيرٍ وَكَانَتِ الْخَيْلُ فَرَسَيْنِ أَحَدُهُمَا لِلْمِقْدَادِ بْنِ عَمْرٍو وَالْآخَرُ لِمَرْثَدِ بْنِ أَبِي مَرْثَدٍ وَكَانَ صَاحِبَ رَايَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ وَصَاحِبَ رَايَةِ الْأَنْصَارِ سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ وَعَرَفَ أَبُو سُفْيَانَ خُرُوجَ رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لِأَخْذِ الْعِيرِ فَاسْتَنْفَرَ قُرَيْشًا لِحِمَايَةِ الْعِيرِ فَخَرَجَتْ قَبَائِلُ قُرَيْشٍ كُلُّهَا إِلَّا بَنِي عَدِيٍّ فَلَمْ يَخْرُجْ أَحَدٌ مِنْهُمْ وَبَنُو زُهْرَةَ حُرِّضُوا فَلَمَّا نَجَتِ الْعِيرُ عَادُوا مَعَ الْأَخْنَسِ بْنِ شَرِيقٍ وَكَانُوا مِائَةَ رَجُلٍ فَلَمْ يَشْهَدْ بَدْرًا مِنْ هَاتَيْنِ الْقَبِيلَتَيْنِ أَحَدٌ وَلَمَّا فَاتَتِ الْعِيرُ وَكَانَ خروج رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لِأَجْلِهَا لَا لِلْقِتَالِ لِيَقْوَى الْمُسْلِمُونَ بِمَالِهَا عَلَى الجهاد ودعا رسول الله

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak lima orang sahabat ketika meninjau pasukannya karena usia mereka yang masih muda, yaitu Abdullah bin Umar, Zaid bin Tsabit, Rafi‘ bin Khadij, Al-Bara’ bin ‘Azib, dan Usayd bin Zuhayr. Jumlah kaum Muhajirin saat itu adalah tujuh puluh tujuh orang, sedangkan jumlah kaum Anshar dua ratus tiga puluh enam orang. Dari mereka, enam puluh satu orang berasal dari suku Aus, dan sisanya dari suku Khazraj. Itu adalah peperangan pertama yang diikuti oleh kaum Anshar. Mereka memiliki tujuh puluh ekor unta, di mana tiga orang bergantian menunggangi satu unta. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ali bin Abi Thalib, dan Abu Lubabah berada pada satu unta. Kuda yang ada hanya dua ekor, satu milik Al-Miqdad bin ‘Amr dan satu lagi milik Marthad bin Abi Marthad. Pembawa panji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Ali bin Abi Thalib, sedangkan pembawa panji kaum Anshar adalah Sa‘d bin ‘Ubadah. Abu Sufyan mengetahui keberangkatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghadang kafilah dagang, maka ia meminta bantuan Quraisy untuk melindungi kafilah tersebut. Seluruh kabilah Quraisy pun keluar kecuali Bani ‘Adiyy, tidak ada seorang pun dari mereka yang ikut, dan Bani Zuhrah juga telah diprovokasi, namun ketika kafilah dagang itu selamat, mereka kembali bersama Al-Akhnas bin Syarik. Mereka berjumlah seratus orang, sehingga tidak ada seorang pun dari kedua kabilah tersebut yang hadir di Perang Badar. Ketika kafilah dagang itu telah lolos, padahal keberangkatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memang bertujuan untuk menghadang kafilah itu, bukan untuk berperang, agar kaum Muslimin dapat memperkuat diri dengan harta kafilah tersebut dalam berjihad. Lalu Rasulullah berdoa.

حِينَ خَرَجَ بِهِمْ فَقَالَ ” اللَّهُمَّ إِنَّهُمْ حُفَاةٌ فَاحْمِلْهُمْ اللَّهُمَّ إِنَّهُمْ عُرَاةٌ فَاكْسُهُمْ اللَّهُمَّ إِنَّهُمْ جِيَاعٌ فَأَشْبِعْهُمْ “

Ketika beliau keluar bersama mereka, beliau berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya mereka tidak beralas kaki, maka angkutlah mereka. Ya Allah, sesungguhnya mereka tidak berpakaian, maka berilah mereka pakaian. Ya Allah, sesungguhnya mereka lapar, maka kenyangkanlah mereka.”

فَسَمِعَ اللَّهُ دَعَوْتَهُ فَمَا رَجَعَ مِنْهُمْ رَجُلٌ إِلَّا بِحِمْلٍ أَوْ حِمْلَيْنِ وَاكْتَسَوْا وَشَبِعُوا وَلَمْ يَكُنِ الْمُسْلِمُونَ قَدْ تَأَهَّبُوا لِلِقَاءِ الْعَدُوِّ وَعَادَ مَنْ كَانَ عَيْنًا عَلَيْهِمْ فَأَخْبَرَ بِمَنْ فِيهِمْ مِنْ أَشْرَافِ قُرَيْشٍ وَكَانُوا تِسْعَمِائَةٍ وَخَمْسِينَ رَجُلًا فِيهِمْ مِائَةُ فَارِسٍ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لِأَصْحَابِهِ ” هَذِهِ مَكَةُ قَدْ أَلْقَتْ إِلَيْكُمْ أَفْلَاذَ كَبِدِهَا فَمَاذَا تَرَوْنَ؟ فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ أَرَانِي مَصَارِعَ الْقَوْمِ فَقَالَ لَهُ الْمِقْدَادُ بْنُ عَمْرٍو يَا رَسُولَ اللَّهَ امْضِ لِمَا أَمَرَكَ اللَّهُ فَنَحْنُ مَعَكَ وَاللَّهِ لَا نَقُولُ كَمَا قَالَ بنو إسرائيل لموسى اذهب أَنْتَ وَرَبُّكَ فَقَاتِلا إِنَّا هَاهُنَا قَاعِدُونَ وَلَكِنِ اذْهَبْ أَنْتَ وَرَبُّكَ فَقَاتِلَا إِنَّا مَعَكُمْ مُقَاتِلُونَ فَأَعَادَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ الِاسْتِشَارَةَ فَقَالَ لَهُ سَعْدٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّكَ تُرِيدُ الْأَنْصَارَ قَالَ أَجَلْ قَالَ قَدْ آمَنَّا بِكَ فَصَدَّقْنَاكَ وَبَايَعْنَاكَ عَلَى السَمْعِ وَالطَاعَةِ فامضي لِمَ أَرَدْتَ فَوَاللَّهِ لَوِ اسْتَعْرَضْتَ بِنَا الْبَحْرَ وَخُضْتَهُ لَخُضْنَاهُ فَسِرْ بِنَا عَلَى بَرَكَةِ اللَّهِ فَسَارَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ حَتَّى لَقِيَ قُرَيْشًا بِبَدْرٍ فَأَظْفَرَهُ اللَّهُ بِهِمْ ” وَذَلِكَ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ السَّابِعَ عَشَرَ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ وَقِيلَ فَيَ الثَّامِنَ عَشَرَ فَقَتَلَ مِنْهُمْ سَبْعُونَ رَجُلًا فِيهِمْ أَشْرَافُهُمْ وَأَسَرَ مِنْهُمْ سَبْعِينَ رَجُلًا وَغُنِمَتْ أَمْوَالُهُمْ وَقُتِلَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ أَرْبَعَةَ عَشَرَ رَجُلًا مِنْهُمْ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَمِنَ الْأَنْصَارِ ثَمَانِيَةٌ وَأُحِيزَتِ الْغَنَائِمُ فَاخْتَلَفُوا فِيهَا فَجَعَلَهَا الله تعالى خَالِصَةً لِرَسُولِهِ وَفِيهَا نَزَلَ قَوْله تَعَالَى يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأَنْفَالِ قُلِ الأَنْفَالُ لِلَّهِ وَالرَّسُولِ فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِكُمْ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ

Maka Allah mengabulkan doanya, sehingga tidak ada seorang pun dari mereka yang kembali kecuali membawa satu atau dua muatan, mereka pun mendapatkan pakaian dan kenyang. Sementara kaum Muslimin belum bersiap-siap untuk menghadapi musuh. Kemudian orang yang menjadi mata-mata mereka kembali dan memberitakan siapa saja tokoh-tokoh Quraisy yang ada di antara mereka, dan jumlah mereka sembilan ratus lima puluh orang, di antara mereka terdapat seratus penunggang kuda. Rasulullah ﷺ berkata kepada para sahabatnya, “Inilah Mekah telah melemparkan inti hatinya kepada kalian, maka bagaimana pendapat kalian? Sesungguhnya Allah telah memperlihatkan kepadaku tempat-tempat terbunuhnya kaum itu.” Maka berkatalah Al-Miqdad bin Amr, “Wahai Rasulullah, lanjutkanlah apa yang Allah perintahkan kepadamu, kami bersama engkau. Demi Allah, kami tidak akan berkata seperti yang dikatakan Bani Israil kepada Musa: ‘Pergilah engkau bersama Tuhanmu dan berperanglah kalian berdua, sesungguhnya kami di sini hanya duduk-duduk saja.’ Tetapi pergilah engkau bersama Tuhanmu dan berperanglah kalian berdua, sesungguhnya kami bersama kalian ikut berperang.” Rasulullah ﷺ kembali meminta pendapat, lalu Sa‘d berkata kepadanya, “Wahai Rasulullah, seolah-olah engkau menginginkan pendapat kaum Anshar?” Beliau menjawab, “Benar.” Sa‘d berkata, “Kami telah beriman kepadamu, membenarkanmu, dan membaiatmu untuk mendengar dan taat, maka lanjutkanlah apa yang engkau kehendaki. Demi Allah, seandainya engkau membawa kami menyeberangi lautan lalu engkau menyeberanginya, pasti kami akan menyeberanginya bersamamu. Maka berangkatlah bersama kami dengan berkah Allah.” Maka Rasulullah ﷺ pun berangkat hingga bertemu dengan Quraisy di Badar, lalu Allah memenangkan beliau atas mereka. Itu terjadi pada hari Jumat, tanggal tujuh belas Ramadan, dan ada yang mengatakan tanggal delapan belas. Beliau membunuh tujuh puluh orang dari mereka, di antaranya para pemuka mereka, dan menawan tujuh puluh orang, serta merampas harta mereka. Dari kaum Muslimin gugur empat belas orang, di antaranya dari kaum Muhajirin dan delapan dari kaum Anshar. Harta rampasan pun dikumpulkan, lalu mereka berselisih tentang pembagiannya, maka Allah menjadikannya khusus untuk Rasul-Nya. Tentang hal itu turun firman Allah Ta‘ala: “Mereka bertanya kepadamu tentang al-anfāl (harta rampasan perang). Katakanlah: ‘al-anfāl itu milik Allah dan Rasul, maka bertakwalah kepada Allah, perbaikilah hubungan di antara kalian, dan taatilah Allah dan Rasul-Nya.’”

قَالَ عُبَادَةُ بْنُ الصَّامِتِ فِينَا أَصْحَابَ بَدْرٍ نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ حِينَ اخْتَلَفْنَا فِي النَّفْلِ وَسَاءَتْ فِيهِ أَخْلَاقُنَا فَنَزَعَهُ اللَّهُ مِنَّا وَجَعَلَهُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَقَسَمَهُ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ عَلَى سَوَاءٍ وَنَفَلَ بِالنَّفْلِ حَتَّى خَرَجَ مِنْ مَضِيقٍ وَنَزَلَ عَلَى سِيرٍ فَقَسَمَهُ بِهَا وَأُنْفِلَ فِيهَا سَيْفَهُ ذَا الْفَقَارِ وَكَانَ لِمُنَبِّهِ بْنِ الْحَجَّاجِ وَجَمَلَ أَبِي جَهْلٍ وَكَانَ مُهْرِيًّا يَغْزُو عَلَيْهِ وَقُتِلَ بِهَا مِنَ الْأَسْرَى النَّضْرُ بْنُ الْحَارِثِ قَتَلَهُ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ وَلَمَّا بَلَغَ عِرْقَ الظَّبْيَةِ أَمَرَ بِقَتْلِ عُقْبَةَ بْنِ أَبِي مُعَيْطٍ فَقَالَ مَنْ لِلصِّبْيَةِ يَا مُحَمَّدُ قَالَ النَّارُ فَقَتَلَهُ عَاصِمُ بن ثابت بن أبي الافقلح وَسَارَ بِالْأَسْرَى حَتَّى وَصَلَ الْمَدِينَةَ فَخَرَجَ أَهْلُهَا يُهَنِّئُونَهُ بِقُدُومِهِ وَدَخَلَ مِنْ ثَنِيَّةِ الْوَدَاعِ فِي يَوْمِ الْأَرْبِعَاءِ الثَّانِي وَالْعِشْرِينَ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ فَتَلَقَّاهُ الْوَلَائِدُ بِالدُّفُوفِ وَهُنَّ يَقُلْنَ

Ubadah bin ash-Shamit berkata, “Ayat ini turun kepada kami, para sahabat Badar, ketika kami berselisih tentang harta rampasan perang (anfāl) dan akhlak kami menjadi buruk karenanya. Maka Allah mencabutnya dari kami dan menjadikannya milik Rasulullah ﷺ, lalu beliau membagikannya secara merata di antara kaum Muslimin dan memberikan bagian tambahan (nafal) hingga beliau keluar dari tempat yang sempit dan singgah di suatu tempat, lalu membagikannya di sana. Di antara yang diberikan sebagai bagian tambahan adalah pedangnya, Dzulfiqar, yang sebelumnya milik Munabbih bin al-Hajjaj, dan unta milik Abu Jahal, seekor unta betina yang biasa digunakan untuk berperang. Di tempat itu pula, dari para tawanan, an-Nadhr bin al-Harits dibunuh oleh Ali bin Abi Thalib. Ketika sampai di ‘Irq azh-Zhabiyah, Rasulullah memerintahkan untuk membunuh ‘Uqbah bin Abi Mu’ith. Ia berkata, ‘Siapa yang akan mengurus anak-anakku, wahai Muhammad?’ Beliau menjawab, ‘Neraka.’ Lalu ‘Uqbah dibunuh oleh ‘Ashim bin Tsabit bin Abi al-Aqlah. Rasulullah berjalan bersama para tawanan hingga sampai di Madinah. Penduduk Madinah keluar menyambut beliau dan mengucapkan selamat atas kedatangannya. Beliau masuk melalui Tsaniyyah al-Wada‘ pada hari Rabu, tanggal dua puluh dua bulan Ramadan. Para wanita keluar menyambut beliau dengan rebana sambil melantunkan syair.

طَلَعَ الْبَدْرُ عَلَيْنَا مِنْ ثَنِيَّاتِ الْوَدَاعِ وَجَبَ الشُكْرُ عَلَيْنَا مَا دَعَا لِلَّهِ دَاعِ

Telah terbit bulan purnama atas kami dari celah-celah Wada‘, dan wajib atas kami bersyukur selama ada yang berdoa kepada Allah.

وَقَالَ لِأَصْحَابِهِ ” اسْتَوْصُوا بِالْأُسَارَى خَيْرًا ” ثُمَّ اسْتَشَارَ أَصْحَابَهُ فِيهِمْ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ هُمْ أَهْلُكَ وَعَشِيرَتُكَ فَاسْتَبْقِهِمْ وَخُذِ الْفِدَاءَ مِنْهُمْ قُوَّةً فَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَهْدِيَهُمْ فَيَكُونُوا عَضُدًا وَقَالَ عُمَرَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَذَّبُوكَ وَأَخْرَجُوكَ وَهُمْ قَادَتُهُمْ وَصَنَادِيدُهُمْ قَدِّمْهُمْ فَاضْرِبْ أَعْنَاقَهُمْ حَتَّى يَعْلَمَ اللَّهُ أَنْ لَيْسَ فِي قُلُوبِنَا هَوَادَةٌ لِلْكُفَّارِ فَسَكَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَدَخَلَ فَقَالَ أُنَاسٌ يَأْخُذُ بِقَوْلِ أَبِي بَكْرٍ وَقَالَ أُنَاسٌ يَأْخُذُ بِقَوْلِ عُمَرَ ثُمَّ خَرَجَ عَلَيْهِمْ فَقَالَ ” إِنَّ اللَّهَ لَيُلِينُ قُلُوبَ الرِّجَالِ حتى تكون ألين من اللين وَلَيُشَدِّدُ قُلُوبَ رِجَالٍ حَتَّى تَكُونَ أَشَدَّ مِنَ الْحِجَارَةِ وَإِنَّ مِثْلَكَ يَا أَبَا بَكْرٍ مِثْلُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ فَمَنْ تَبِعَنِي فَإِنَّهُ مِنِّي وَمَنْ عَصَانِي فَإِنَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ وَمِثْلَكَ مِثْلُ عِيسَى قَالَ إِنْ تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ وَإِنْ تَغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ وَمِثْلَكَ يَا عُمَرُ مِثْلُ نُوحٍ قَالَ رَبِّ لا تَذَرْ عَلَى الأَرْضِ مِنَ الْكَافِرِينَ دَيَّارًا وَمِثْلَكَ مِثْلُ مُوسَى قَالَ رَبَّنَا اطْمِسْ عَلَى أَمْوَالِهِمْ وَاشْدُدْ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَلا يُؤْمِنُوا حَتَّى يَرَوُا الْعَذَابَ الأَلِيمَ ثُمَّ قَالَ أَنْتُمُ الْيَوْمَ عَالَةٌ فَخُذُوا الْفِدَاءَ فَفُودِيَ كُلُّ أَسِيرٍ بِأَرْبَعَةِ آلَافِ دِرْهَمٍ إِلَى ثَلَاثَةِ آلَافٍ إِلَى أَلْفَيْنِ إِلَى أَلْفٍ وَمَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ مَالٌ وَكَانَ يُحْسِنُ الْكِتَابَةَ لِأَنَّ الْخَطَّ كَانَ فِي أَهْلِ مَكَّةَ وَلَمْ يَكُنْ فِي أَهْلِ الْمَدِينَةِ كَانَ فِدَاؤُهُ أَنْ يُعَلِّمَ عَشَرَةً مِنْ غِلْمَانِ الْمَدِينَةِ الْخَطَّ وَكَانَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ فِيمَنْ عُلِّمَ وَمَنَّ عَلَى مَنْ سِوَاهُمْ وَفِيهِمْ أَبُو عَزَّةَ الْجُمَحِيُّ فَشَرَطَ عَلَيْهِ أَنْ لَا يَعُودَ لِحَرْبِهِ أَبَدًا وَكَانَ فِي الْأَسْرَى الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” افْدِ نَفْسَكَ وَابْنَيْ أَخِيكَ نَوْفَلًا وَعَقِيلًا فَقَالَ إِنِّي مُسْلِمٌ وَأُخْرِجْتُ كَرْهًا وَلَا مَالَ لِي فَقَالَ إِنْ كُنْتَ مُسْلِمًا فَأَجْرُكَ عَلَى اللَّهِ وَمَالُكَ عِنْدَ أُمِّ الْفَضْلِ دَفَعْتَهُ لَهَا يَوْمَ خُرُوجِكَ وَوَصَّيْتَ بِهِ لِأَوْلَادِكَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ لَيَزِيدُنَا بِكَ بَيَانًا ” وَفَدَا نَفْسَهُ وَابْنَيْ أَخِيهِ بِمِائَةٍ وَثَلَاثِينَ أُوقِيَّةً وَرِقًا وَكَانَ فِي الْأَسْرَى أَبُو الْعَاصِ بْنُ الرَّبِيعِ زَوْجُ زَيْنَبَ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَكَانَ ابْنَ أُخْتِ خَدِيجَةَ فَلِذَلِكَ تَزَوَّجَهَا وَكَانَتْ رُقَيَّةُ زَوْجَةَ عُتْبَةَ بْنِ أَبِي لَهَبٍ فَقَالَتْ قُرَيْشٌ لَهُمَا انْزِلَا عَنِ ابْنَتَيْ مُحَمَّدٍ نُزَوِّجْكُمَا بِمَنْ أَحْبَبْتُمَا مِنْ نِسَاءِ قُرَيْشٍ فَنَزَلَ عُتْبَةُ بْنُ أَبِي لَهَبٍ عَنْ رُقَيَّةَ وَتَزَوَّجَتْ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ وَامْتَنَعَ أَبُو الْعَاصِ بْنُ الرَّبِيعِ مِنَ النُّزُولِ عَنْ زَيْنَبَ فَلَمَّا أُسِرَ أَنْفَذَتْ زَيْنَبُ فِي فِدَائِهِ قِلَادَةً لَهَا جَهَّزَتْهَا خَدِيجَةُ بِهَا فَرَآهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَعَرَفَهَا فَرَقَّ لَهَا وَقَالَ لِأَصْحَابِهِ ” إِنْ رَأَيْتُمْ أَنْ تَمُنُّوا عَلَى أَسِيرِهَا فَمُنُّوا عَلَيْهِ ” وَشَرَطَ عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنْ يُخَلِّيَ سَبِيلَهَا وَأَنْفَذَ زَيْدَ بْنَ حَارِثَةَ إِلَى مَكَّةَ حَتَّى حَمَلَهَا إِلَى الْمَدِينَةِ وَأَسْلَمَ أَبُو الْعَاصِ بْنُ الرَّبِيعِ فَرَدَّ عَلَيْهِ زَيْنَبَ

Beliau berkata kepada para sahabatnya, “Perlakukanlah para tawanan dengan baik.” Kemudian beliau bermusyawarah dengan para sahabatnya mengenai mereka. Abu Bakar berkata, “Wahai Rasulullah, mereka adalah kaum kerabat dan keluarga Anda, maka biarkanlah mereka hidup dan ambillah tebusan dari mereka sebagai kekuatan. Mudah-mudahan Allah memberi mereka petunjuk sehingga mereka menjadi penolong bagi kita.” Umar berkata, “Wahai Rasulullah, mereka telah mendustakan Anda dan mengusir Anda. Mereka adalah para pemimpin dan tokoh mereka. Bawalah mereka ke depan dan penggallah leher mereka, agar Allah mengetahui bahwa tidak ada kelembutan di hati kita terhadap orang-orang kafir.” Maka Rasulullah saw. diam dan masuk ke dalam. Sebagian orang berkata, “Beliau akan mengambil pendapat Abu Bakar,” dan sebagian lagi berkata, “Beliau akan mengambil pendapat Umar.” Kemudian beliau keluar menemui mereka dan bersabda, “Sesungguhnya Allah melembutkan hati sebagian orang hingga menjadi lebih lembut dari kelembutan itu sendiri, dan mengeraskan hati sebagian orang hingga menjadi lebih keras dari batu. Wahai Abu Bakar, engkau seperti Ibrahim, yang berkata: ‘Barang siapa mengikutiku, maka dia termasuk golonganku, dan barang siapa mendurhakaiku, maka Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’ Dan engkau juga seperti Isa, yang berkata: ‘Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.’ Dan engkau, wahai Umar, seperti Nuh, yang berkata: ‘Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun dari orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi.’ Dan engkau juga seperti Musa, yang berkata: ‘Ya Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka dan kunci mati hati mereka, maka mereka tidak akan beriman sampai mereka melihat azab yang pedih.’” Kemudian beliau bersabda, “Hari ini kalian dalam keadaan miskin, maka ambillah tebusan.” Maka setiap tawanan ditebus dengan empat ribu dirham, tiga ribu, dua ribu, atau seribu, sesuai kemampuannya. Barang siapa tidak memiliki harta dan pandai menulis, karena menulis hanya ada pada penduduk Makkah dan tidak ada pada penduduk Madinah, maka tebusannya adalah mengajarkan menulis kepada sepuluh anak-anak Madinah. Zaid bin Tsabit termasuk di antara mereka yang diajari. Adapun selain mereka, Rasulullah memberikan pembebasan tanpa tebusan, di antaranya Abu ‘Azzah al-Jumahi, dengan syarat ia tidak kembali memerangi beliau selamanya. Di antara para tawanan juga terdapat Abbas bin Abdul Muthalib. Rasulullah saw. berkata kepadanya, “Tebuslah dirimu dan kedua keponakanmu, Naufal dan Aqil.” Ia berkata, “Aku seorang Muslim, aku dipaksa keluar, dan aku tidak punya harta.” Beliau bersabda, “Jika engkau seorang Muslim, maka pahalamu di sisi Allah. Hartamu ada pada Ummul Fadhl, engkau telah memberikannya kepadanya pada hari engkau keluar dan engkau wasiatkan untuk anak-anakmu.” Ia berkata, “Sungguh Allah menambah penjelasan kepada kami melalui engkau.” Maka ia menebus dirinya dan kedua keponakannya dengan seratus tiga puluh uqiyah perak. Di antara para tawanan juga terdapat Abu al-‘Ash bin Rabi‘, suami Zainab binti Rasulullah saw., yang juga merupakan keponakan Khadijah, sehingga ia menikahinya. Ruqayyah, putri Rasulullah, adalah istri ‘Utbah bin Abu Lahab. Maka Quraisy berkata kepada keduanya, “Ceraikanlah putri-putri Muhammad, kami akan menikahkan kalian dengan siapa saja yang kalian sukai dari wanita Quraisy.” ‘Utbah bin Abu Lahab pun menceraikan Ruqayyah, lalu Ruqayyah menikah dengan Utsman bin ‘Affan. Namun Abu al-‘Ash bin Rabi‘ menolak menceraikan Zainab. Ketika ia tertawan, Zainab mengirimkan kalung sebagai tebusan, yang dahulu dipersiapkan Khadijah untuknya. Rasulullah saw. mengenali kalung itu, lalu beliau terharu dan berkata kepada para sahabatnya, “Jika kalian ingin membebaskan tawanan Zainab, maka bebaskanlah.” Rasulullah saw. mensyaratkan agar Abu al-‘Ash membebaskan Zainab. Beliau mengutus Zaid bin Haritsah ke Makkah untuk menjemput Zainab ke Madinah. Kemudian Abu al-‘Ash bin Rabi‘ masuk Islam, maka Rasulullah saw. mengembalikan Zainab kepadanya.

قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ بَعْدَ سِتِّ سِنِينَ بِالنِّكَاحِ الْأَوَّلِ فَلَمْ يُحْدِثْ شَيْئًا وَهَذِهِ الرِّوَايَةُ إِنْ صَحَّتْ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَقَدْ كَانَ الْإِسْلَامُ فَرَّقَ بَيْنَهُمَا يُحْتَمَلُ أَنْ يُرِيدَ بِقَوْلِهِ ” بِالنِّكَاحِ الْأَوَّلِ ” أَيْ لِأَجْلِ النِّكَاحِ الْأَوَّلِ لِأَنَّهُ لَوْلَاهُ لَعَدَلَ إِلَى غَيْرِهِ مِنَ السَّابِقِينَ الْأَوَّلِينَ

Ibnu Abbas berkata: “Setelah enam tahun dengan pernikahan yang pertama, maka tidak terjadi sesuatu pun.” Dan riwayat ini, jika benar berasal dari Ibnu Abbas, padahal Islam telah memisahkan keduanya, mungkin maksud dari ucapannya “dengan pernikahan yang pertama” adalah karena pernikahan yang pertama itu; sebab jika bukan karena itu, tentu ia akan beralih kepada selainnya dari kalangan orang-orang terdahulu yang pertama.

وَقَوْلُهُ ” وَلَمْ يُحْدِثْ شَيْئًا ” أَيْ لَمْ يُحْدِثْ صَدَاقًا زَائِدًا فَلَمَّا أَخَذَ الْمُسْلِمُونَ فِدَاءَ أَسْرَى بَدْرٍ عَاتَبَ اللَّهُ تَعَالَى رَسُولَهُ عَلَيْهِ فَقَالَ مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَكُونَ لَهُ أَسْرَى حَتَّى يثخن في الأرض الآية وَمَاتَ أَبُو لَهَبٍ بِمَكَّةَ لِأَنَّهُ تَأَخَّرَ عَنْ بَدْرٍ بَعْدَ سَبْعِ لَيَالٍ مِنْ نَعْيِ أَهْلِ بَدْرٍ بِالْغَرْسَةِ وَتُرِكَ لَيْلَتَيْنِ حَتَّى أُنْتِنَ هَرَبًا مَنْ عَدُوَّاهَا وَخَضَعَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بعد بدر جميع المنافقين واليهود

Dan ucapannya “dan dia tidak membuat sesuatu yang baru” maksudnya adalah dia tidak menetapkan mahar tambahan. Ketika kaum Muslimin mengambil tebusan tawanan Perang Badar, Allah Ta‘ala menegur Rasul-Nya atas hal itu, lalu berfirman: “Tidak patut bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum ia benar-benar berkuasa di muka bumi…” (ayat). Abu Lahab wafat di Mekah karena dia tertinggal dari Perang Badar, tujuh malam setelah kabar kematian para peserta Badar diumumkan di al-Gharsah. Ia dibiarkan selama dua malam hingga membusuk, karena orang-orang lari darinya. Setelah Perang Badar, seluruh kaum munafik dan Yahudi tunduk kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

فصل غزوة بني قينقاع

Bab: Perang Bani Qainuqa

وغزا غَزْوَةَ بَنِي قَيْنُقَاعَ وَكَانَ سَبَبُهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ كَانَ وَادَعَهُمْ حِينَ قَدِمَ الْمَدِينَةَ فِي جُمْلَةِ مَنْ وَادَعَهُ مِنَ الْيَهُودِ فَكَانُوا أَوَّلَ مَنْ نَقَضَ عَهْدَهُ وَنَبَذُوهُ وَأَظْهَرُوا الْبُغْضَ وَالْحَسَدَ فَنَزَلَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِنْ قَوْمٍ خِيَانَةً فَانْبِذْ إِلَيْهِمْ عَلَى سَوَاءٍ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْخَائِنِينَ فَصَارَ إِلَيْهِمْ بِهَذِهِ الْآيَةِ فِي يَوْمِ السَّبْتِ النِّصْفِ فِي شَوَّالٍ بَعْدَ بَدْرٍ بِبِضْعٍ وَعِشْرِينَ يَوْمًا وَاسْتَخْلَفَ عَلَى الْمَدِينَةِ أَبَا لُبَابَةَ بْنَ عَبْدِ الْمُنْذِرِ وَحَمَلَ لِوَاءَهُ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَسَارَ إِلَيْهِمْ فَتَحَصَّنُوا مِنْهُ وَكَانُوا أَشْجَعَ الْيَهُودِ فَحَاصَرَهُمْ أَشَدَّ الْحِصَارِ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا حَتَّى قَذَفَ اللَّهُ فِي قُلُوبِهِمُ الرُّعْبَ فَنَزَلُوا عَلَى حُكْمَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَعَلَى أَنَّ لَهُ أَمْوَالَهُمْ وَلَهُمُ النِّسَاءَ وَالذُّرِّيَّةَ فَكُتِّفُوا وَهُوَ يُرِيدُ قَتْلَهُمْ فَكَلَّمَهُ عَبْدُ اللَّهِ بن أبي بن سَلُولَ وَكَانُوا حُلَفَاءَ الْخَزْرَجِ وَقَالَ أَحْسِنْ فِيهِمْ فَأَعْرَضَ عَنْهُ فَرَاجَعَهُ وَقَالَ هَؤُلَاءِ مَوَالِيَّ أَرْبَعُمِائَةِ حاسرا وَثَلَاثُمِائَةِ دَارِعٍ قَدْ مَنَعُونِي مِنَ الْأَحْمَرِ وَمِنَ الْأُسُودِ نَحْصُدُهُمْ فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ وَإِنِّي وَاللَّهِ لَا آمَنُ وَأَخَافُ الدَّوَائِرَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ خَلُّوهُمْ لَعَنَهُمُ اللَّهُ وَلَعَنَهُ مَعَهُمْ وَأَخَذَ أَمْوَالَهُمْ وسلاحهم وكانوا صاغة ولم يكن لهم حرب وَأَمَرَ بِإِخْرَاجِهِمْ إِلَى ” أَذَرِعَاتِ ” الشَّامِ فَسَارَ بِهِمْ عُبَادَةُ بْنُ الصَّامِتِ حَتَّى بَلَغَ ” دِبَابَ ” وَأَخَذَ رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ خُمْسَ غَنَائِمِهِمْ وَصَفِيَّةَ وَسَهْمَهُ وَقَسَّمَ أَرْبَعَةَ أَخْمَاسِهِ بَيْنَ أَصْحَابِهِ فَكَانَتْ أَوَّلَ غَنِيمَةٍ خَمَّسَهَا رَسُولُ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بعد بدر

Beliau melakukan ekspedisi terhadap Bani Qainuqa‘, dan sebabnya adalah bahwa Rasulullah ﷺ telah mengadakan perjanjian damai dengan mereka ketika beliau tiba di Madinah, bersama dengan kelompok Yahudi lain yang juga beliau ajak berdamai. Namun, mereka adalah kelompok pertama yang melanggar perjanjian itu, membatalkannya, serta menampakkan kebencian dan kedengkian. Maka turunlah Jibril ‘alaihis salam kepada Rasulullah ﷺ dengan firman Allah Ta‘ala: “Dan jika engkau khawatir akan adanya pengkhianatan dari suatu kaum, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka secara terbuka. Sungguh, Allah tidak menyukai para pengkhianat.” Maka beliau mendatangi mereka dengan ayat ini pada hari Sabtu pertengahan Syawwal, beberapa puluh hari setelah Perang Badar. Beliau meninggalkan Abu Lubabah bin ‘Abdil Mundzir sebagai pengganti di Madinah, dan panji beliau dibawa oleh Hamzah bin ‘Abdul Muththalib. Beliau berangkat menuju mereka, lalu mereka berlindung dari beliau. Mereka adalah kelompok Yahudi yang paling berani, maka beliau mengepung mereka dengan pengepungan yang sangat ketat selama lima belas hari, hingga Allah menanamkan rasa takut dalam hati mereka. Akhirnya mereka menyerah kepada keputusan Rasulullah ﷺ, dengan syarat bahwa harta mereka menjadi milik beliau, sedangkan perempuan dan anak-anak tetap menjadi milik mereka. Mereka pun diikat, dan beliau bermaksud membunuh mereka. Namun, ‘Abdullah bin Ubay bin Salul, yang merupakan sekutu Khazraj, berbicara kepada beliau dan berkata, “Perlakukanlah mereka dengan baik.” Beliau berpaling darinya, namun ia terus memohon dan berkata, “Mereka adalah sekutuku, empat ratus orang tanpa baju besi dan tiga ratus orang berbaju besi, mereka telah melindungiku dari yang merah dan yang hitam, kami dapat membinasakan mereka dalam satu hari, dan demi Allah, aku tidak merasa aman dan khawatir akan adanya bencana.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Biarkan mereka, semoga Allah melaknat mereka dan melaknat dia bersama mereka.” Beliau mengambil harta dan senjata mereka, sedangkan mereka adalah para pandai emas dan tidak memiliki kekuatan perang. Beliau memerintahkan agar mereka diusir ke Adzra‘at, Syam. Maka ‘Ubadah bin ash-Shamit membawa mereka hingga sampai ke Dhibaab. Rasulullah ﷺ mengambil seperlima dari harta rampasan mereka, bagian khusus beliau, dan bagian beliau sendiri, lalu membagikan empat perlima sisanya kepada para sahabatnya. Itulah harta rampasan pertama yang dibagikan seperlimanya oleh Rasulullah ﷺ setelah Perang Badar.

فصل غزوة السويق

Bab Perang Sawīq

ثُمَّ غَزَا غَزْوَةَ السَّوِيقِ وَسَبَبُهَا أَنَّ أَبَا سُفْيَانَ بْنَ حَرْبٍ حَرَّمَ عَلَى نَفْسِهِ لِمَصْرَعِ بَدْرٍ الرَّهْنَ وَالنِّسَاءَ حَتَّى يَثْأَرَ بِمُحَمَّدٍ وَأَصْحَابِهِ وَخَرَجَ فِي مِائَةِ رَجُلٍ وَقَالَ شِعْرًا يُحَرِّضُ فِيهِ قُرَيْشًا

Kemudian beliau melakukan Perang Sawīq. Adapun sebabnya adalah bahwa Abu Sufyan bin Harb mengharamkan atas dirinya untuk menikmati minuman keras dan wanita karena peristiwa di Badar, sampai ia membalas dendam kepada Muhammad dan para sahabatnya. Ia keluar bersama seratus orang, dan ia mengucapkan syair yang isinya memprovokasi kaum Quraisy.

كُرُّوا عَلَى يَثْرِبَ وَجَمْعِهِمْ فَإِنَّ مَا جَمَعُوا لَكُمْ نَفَلُ

Serbulah Yatsrib dan kelompok mereka, karena apa yang mereka kumpulkan adalah ganjaran (ghanimah) untuk kalian.

إِنْ يَكُ يَوْمُ الْقَلِيبِ كَانَ لَهُمْ فَإِنَّ مَا بَعْدَهُ لَكُمْ دُوَلُ

Jika hari peristiwa Qalib itu milik mereka, maka sesungguhnya setelahnya adalah giliran kalian yang akan berkuasa.

آلَيْتُ لَا أَقْرَبُ النِّسَاءَ وَلَا يَمَسُّ رَأْسِي وَجِسْمِيَ الْغُسُلُ

Aku telah bersumpah untuk tidak mendekati perempuan dan tidak membiarkan kepalaku dan tubuhku tersentuh oleh mandi.

حَتَّى تُبِيرُوا قَبَائِلَ الْأَوْسِ وَالْ خَزْرَجِ إِنَّ الْفُؤَادَ مُشْتَعِلُ

Hingga kalian membinasakan kabilah Aus dan Khazraj, sungguh hati ini terbakar.

وَسَارَ بِهِمْ حَتَّى جَاءَ إِلَى بَنِي النَّضِيرِ لَيْلًا لِيَسْأَلَهُمْ عَنْ أَخْبَارِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَلَمْ يَفْتَحْ لَهُ حُيَيُّ بْنُ أَخْطَبَ وَفَتَحَ لَهُ سَلَّامُ بْنُ مِشْكَمٍ وَكَانَ سَيِّدَهُمْ فَفَتَحَ لَهُمْ فَقَرَاهُمْ وَسَقَاهُمْ خَمْرًا وَعَرَّفَهُمْ مِنْ أَخْبَارِ رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مَا سَأَلُوهُ وَسَارَ أَبُو سُفْيَانَ فِي السَّحَرِ وَمَرَّ بِالْعُرَيْضِ وَبَيْنَهُ وَبَيْنَ الْمَدِينَةِ ثَلَاثَةُ أَمْيَالٍ فَقَتَلَ رَجُلًا مِنَ الْأَنْصَارِ وَأَجِيرًا لَهُ وَرَأَى أَنَّ يَمِينَهُ قَدْ حُلَّتْ وَعَادَ هَارِبًا فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَخَرَجَ فِي طَلَبِهِ يَوْمَ الْأَحَدِ الْخَامِسِ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ فِي مِائَتَيْ رَجُلٍ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَاسْتَخْلَفَ عَلَى الْمَدِينَةِ أَبَا لُبَابَةَ بْنَ عَبْدِ الْمُنْذِرِ فَفَاتَهُ أَبُو سُفْيَانَ وَأَصْحَابُهُ وَوَجَدُوهُمْ قَدْ أَلْقَوْا جُرَبَ السَّوِيقِ طَلَبًا لِلْخِفَّةِ وَكَانَتْ أَزْوَادَهُمْ فَسُمِّيَتْ ” غَزْوَةُ السَّوِيقِ ” وعاد رسول لاله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي أَصْحَابِهِ بَعْدَ خَمْسَةِ أَيَّامٍ مِنْ مَخْرَجِهِ فَصَلَّى عِيدَ الْأَضْحَى وَخَرَجَ إِلَى الْمُصَلَّى وَضَحَّى بِشَاةٍ وَقِيلَ بِشَاتَيْنِ وَضَحَّى مَعَهُ ذَوُو الْيَسَارِ

Ia berjalan bersama mereka hingga tiba di Bani Nadhir pada malam hari untuk menanyakan kepada mereka tentang kabar Rasulullah ﷺ. Namun, Huyay bin Akhtab tidak membukakan pintu untuknya, sedangkan Salam bin Mishkam, yang merupakan pemuka mereka, membukakan pintu untuknya. Ia mempersilakan mereka masuk, menjamu mereka, memberi mereka minum khamr, dan memberitahukan kepada mereka kabar-kabar tentang Rasulullah ﷺ yang mereka tanyakan. Abu Sufyan pun berangkat pada waktu sahur dan melewati Al-‘Uraidh, yang jaraknya tiga mil dari Madinah. Ia membunuh seorang laki-laki dari Anshar dan seorang budaknya, lalu melihat bahwa sumpahnya telah terpenuhi, kemudian ia kembali melarikan diri. Kabar itu sampai kepada Rasulullah ﷺ, maka beliau keluar mencarinya pada hari Ahad, tanggal lima Dzulhijjah, bersama dua ratus orang dari Muhajirin dan Anshar. Beliau mengangkat Abu Lubabah bin ‘Abdil Mundzir sebagai pengganti di Madinah. Namun, Abu Sufyan dan para pengikutnya telah lolos. Mereka mendapati bahwa Abu Sufyan dan rombongannya telah membuang kantong-kantong gandum panggang mereka untuk meringankan beban, yang merupakan bekal mereka, sehingga peristiwa itu dinamakan “Ghazwah As-Sawiq”. Rasulullah ﷺ kemudian kembali bersama para sahabatnya setelah lima hari sejak keberangkatannya, lalu beliau melaksanakan salat Idul Adha, pergi ke lapangan, dan berkurban dengan seekor kambing—ada yang mengatakan dua ekor kambing—dan orang-orang yang mampu pun ikut berkurban bersama beliau.

قَالَ جَابِرٌ ضَحَّيْنَا فِي بَنِي سَلِمَةَ بِسَبْعَ عَشْرَةَ أُضْحِيَّةً وَهُوَ أَوَّلُ عِيدٍ ضَحَّى فِيهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَخَرَجَ فِيهِ إِلَى الْمُصَلَّى لِلصَّلَاةِ

Jabir berkata, “Kami di Bani Salimah berkurban dengan tujuh belas hewan kurban, dan itu adalah hari raya pertama di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkurban dan keluar menuju mushalla untuk melaksanakan shalat.”

وَفِي هَذِهِ السَّنَةِ كُتُبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ الْمَعَاقِلَ وَالدِّيَاتِ فَكَانَ مُعَلِّقًا بِسَيْفِهِ وَسُمِّيَتْ هَذِهِ السَّنَةُ عَامَ بَدْرٍ لِأَنَّهَا أَعْظَمُ وَقَائِعِهَا فَكَانَتْ غزوات الرسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فيها بنفسه سبعا وأسرى سرية واحدة

Pada tahun ini, Rasulullah ﷺ menulis tentang benteng-benteng dan diyat, lalu tulisan itu digantungkan pada pedangnya. Tahun ini dinamakan Tahun Badar karena peristiwa terbesarnya adalah Perang Badar. Pada tahun ini, Rasulullah ﷺ memimpin sendiri tujuh kali peperangan dan mengirim satu pasukan ekspedisi.

فصل غزوة قرقرة الكدر

Bab: Perang Qararatu al-Kudr

ثُمَّ دَخَلَتِ السَّنَةُ الثَّالِثَةُ مِنَ الْهِجْرَةِ فَغَزَا فِيهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ غَزْوَةَ ” قَرْقَرَةِ الْكُدْرِ ” خَرَجَ فِيهَا إِلَى بَنِي سُلَيْمٍ وَغَطَفَانَ لِيَجْمَعَهُمْ هُنَاكَ فَصَارَ إِلَيْهِمْ فِي النِّصْفِ مِنَ الْمُحَرَّمِ وَحَمَلَ لِوَاءَهُ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ وَاسْتَخْلَفَ عَلَى الْمَدِينَةِ عَبْدَ اللَّهِ ابْنَ أُمِّ مَكْتُومٍ فَلَمْ يَرَهُمْ وَظَفَرَ بِنَعَمِهِمْ فَسَاقَهَا كَانَتْ خَمْسَمِائَةِ بَعِيرٍ فَأَخَذَ خُمُسَهَا وَقَسَمَهَا بَيْنَ أَصْحَابِهِ بِضِرَارَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَمْيَالٍ مِنَ الْمَدِينَةِ وَكَانُوا مِائَتَيْ رَجُلٍ فَأَخَذَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ بَعِيرَيْنِ وَحَصَلَ فِي سَهْمِهِ يَسَارٌ لِأَنَّهُ كَانَ فِي النَّعَمِ فَأَعْتَقَهُ لِأَنَّهُ رَآهُ يُصَلِّي وَعَادَ بَعْدَ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا

Kemudian masuklah tahun ketiga hijriah, maka pada tahun itu Rasulullah ﷺ melakukan ekspedisi “Qarqarat al-Kudr”. Beliau keluar menuju Bani Sulaim dan Ghathafan untuk mengumpulkan mereka di sana. Beliau sampai kepada mereka pada pertengahan bulan Muharram, dan panji beliau dibawa oleh Ali bin Abi Thalib. Beliau meninggalkan Abdullah bin Umm Maktum sebagai pengganti di Madinah. Namun beliau tidak menjumpai mereka dan berhasil mendapatkan hewan ternak mereka, lalu beliau menggiringnya; jumlahnya lima ratus ekor unta. Beliau mengambil seperlimanya dan membagikannya di antara para sahabatnya di daerah Dhirar, tiga mil dari Madinah, dan jumlah mereka dua ratus orang. Masing-masing dari mereka mendapatkan dua ekor unta, dan di bagian rampasan terdapat seorang budak bernama Yasar karena ia termasuk dalam hewan ternak tersebut, maka beliau memerdekakannya karena melihatnya melaksanakan shalat. Rasulullah kembali setelah lima belas hari.

مَقْتَلُ كَعْبِ بْنِ الْأَشْرَفِ

Kematian Ka‘b bin al-Asyraf

ثُمَّ أَسْرَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي قَتْلِ كَعْبِ بْنِ الْأَشْرَفِ الْيَهُودِيِّ مُحَمَّدَ بْنَ مَسْلَمَةَ فِي خَمْسَةٍ مِنَ الْأَنْصَارِ مِنْهُمْ أَبُو نَائِلَةَ وَكَانَ أَخَا كَعْبٍ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأَبُو عَبْسٍ وَعَبَّادُ بْنُ بِشْرٍ وَالْحَارِثُ بْنُ أَوْسٍ بَعْدَ مَشُورَةِ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ وَخَرَجَ يشيعهم إلى بقيع الغرقد وقال امضوا على بَرَكَةِ اللَّهِ فِي لَيْلَةِ الْأَرْبَعَ عَشْرَةَ مِنْ شَهْرِ رَبِيعٍ الْأَوَّلِ فَخَدَعُوهُ حَتَّى أَخْرَجُوهُ وَقَتَلُوهُ فِي شِعْبِ الْعَجُوزِ وَأَتَوْا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِرَأْسِهِ وَسَبَبُ قَتْلِهِ أَنَّهُ كَانَ يُؤَلِّبُ قُرَيْشًا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَيَهْجُوهُ بِشِعْرِهِ وَتَشَبَّبَ بِنِسَاءِ أَهْلِهِ

Kemudian Rasulullah saw. memerintahkan Muhammad bin Maslamah bersama lima orang dari kaum Anshar untuk membunuh Ka‘b bin Al-Asyraf, seorang Yahudi. Di antara mereka terdapat Abu Na’ilah, yang merupakan saudara sesusuan Ka‘b, serta Abu ‘Abs, ‘Abbad bin Bisyr, dan Al-Harits bin Aus, setelah bermusyawarah dengan Sa‘d bin Mu‘adz. Rasulullah saw. mengantarkan mereka hingga ke Baqi‘ Al-Gharqad dan bersabda, “Berangkatlah dengan berkah Allah,” pada malam keempat belas bulan Rabi‘ul Awal. Mereka menipu Ka‘b hingga berhasil membawanya keluar dan membunuhnya di Syi‘b Al-‘Ajuz. Mereka kemudian datang kepada Rasulullah saw. dengan membawa kepalanya. Adapun sebab pembunuhannya adalah karena ia menghasut Quraisy untuk memusuhi Rasulullah saw., mencelanya dengan syair-syairnya, dan menggoda para wanita dari keluarga beliau.

وَفِي شَهْرِ رَبِيعٍ الْأَوَّلِ مِنْ هَذِهِ السَّنَةِ تَزَوَّجَ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ أُمَّ كُلْثُومٍ بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَدَخَلَ بِهَا فِي جُمَادَى الْآخِرَةِ

Pada bulan Rabiul Awal tahun ini, Utsman bin Affan menikahi Ummu Kultsum binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ia mulai hidup serumah dengannya pada bulan Jumada Akhirah.

غَزْوَةُ ذِي أَمَّرَّ

Perang Dzi Amarr

ثُمَّ غَزَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ غَزْوَةَ ذِي أَمَرَّ إِلَى بَنِي أَنْمَارٍ حِينَ بَلَغَهُ جَمْعُ بَنِي ثَعْلَبَةَ وَمُحَارِبٍ فَخَرَجَ فِي الثَّامِنَ عَشَرَ مِنْ شَهْرِ رَبِيعٍ الْأَوَّلِ فِي أَرْبَعِمِائَةٍ وَخَمْسِينَ رَجُلًا وَاسْتَخْلَفَ عَلَى الْمَدِينَةِ عُثْمَانَ بن عفان فهربوا منه على رؤوس الْجِبَالِ فَعَادَ وَلَمْ يَلْقَ كَيْدًا بَعْدَ أَحَدَ عَشَرَ يَوْمًا وَفِي هَذِهِ الْغَزْوَةِ وَقَفَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ دُعْثُورُ بْنُ الْحَارِثِ وَهُوَ مُضْطَجِعٌ وَحْدَهُ فَسَلَّ سَيْفَهُ وَقَالَ يَا مُحَمَّدُ مَنْ يَمْنَعُكَ مِنِّي؟ فَقَالَ ” اللَّهُ ” فَسَقَطَ السَّيْفُ فَأَخَذَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فقال لَهُ ” مَنْ يَمْنَعُكَ مِنِّي ” قَالَ لَا أَحَدَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَعَادَ إِلَى قَوْمِهِ يَدْعُوهُمْ إِلَى الْإِسْلَامِ وَفِيهِ نَزَلَ قَوْله تَعَالَى يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ هَمَّ قَوْمٌ أَنْ يَبْسُطُوا إِلَيْكُمْ أَيْدِيَهُمْ فَكَفَّ أَيْدِيَهُمْ عَنْكُمْ

Kemudian Rasulullah saw. melakukan ekspedisi Dzu Amarr menuju Bani Anmar ketika beliau mendapat kabar tentang berkumpulnya Bani Tsa‘labah dan Muharib. Beliau berangkat pada tanggal delapan belas bulan Rabi‘ul Awwal dengan empat ratus lima puluh orang, dan beliau menunjuk ‘Utsman bin ‘Affan sebagai pengganti di Madinah. Mereka pun melarikan diri ke puncak-puncak gunung, sehingga beliau kembali tanpa menghadapi perlawanan setelah sebelas hari. Dalam ekspedisi ini, Dutsur bin al-Harits mendatangi Rasulullah saw. saat beliau sedang berbaring sendirian, lalu Dutsur menghunus pedangnya dan berkata, “Wahai Muhammad, siapa yang akan melindungimu dariku?” Beliau menjawab, “Allah.” Maka pedang itu pun terjatuh, lalu Rasulullah saw. mengambilnya dan berkata kepadanya, “Siapa yang akan melindungimu dariku?” Ia menjawab, “Tidak ada seorang pun. Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah.” Ia pun kembali kepada kaumnya untuk mengajak mereka masuk Islam. Dalam peristiwa ini turun firman Allah Ta‘ala: “Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah nikmat Allah atas kalian ketika suatu kaum berkehendak untuk mengulurkan tangan mereka kepada kalian, lalu Allah menahan tangan mereka dari kalian.”

غَزْوَةُ بَنِي سُلَيْمٍ

Perang Bani Sulaim

وَفِي السَّادِسِ مِنْ جُمَادَى الْأُولَى غَزَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بَنِي سُلَيْمٍ وَهُمْ فِي نَاحِيَةِ بَحْرَانَ قَرِيبًا مِنَ الْفَرْعِ فِي ثَلَاثِمِائَةِ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِهِ وَاسْتَخْلَفَ عَلَى الْمَدِينَةِ ابْنَ أُمِّ مَكْتُومٍ فَلَمَّا عَلِمُوا بِمَسِيرِهِ تَفَرَّقُوا فَعَادَ وَلَمْ يَلْقَ كَيْدًا بَعْدَ عَشَرَةِ أَيَّامٍ

Pada tanggal enam Jumada al-Ula, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat memerangi Bani Sulaim yang berada di daerah Bahran, dekat al-Far‘, bersama tiga ratus orang sahabatnya. Beliau menunjuk Ibnu Umm Maktum sebagai pengganti di Madinah. Ketika mereka (Bani Sulaim) mengetahui keberangkatan beliau, mereka pun berpencar, sehingga beliau kembali tanpa menghadapi perlawanan setelah sepuluh hari.

سَرِيَّةُ قَرْدَةَ

Ekspedisi Qardah

ثُمَّ سَيَّرَ سَرِيَّةَ زَيْدِ بْنِ حَارِثَةَ إِلَى قَرْدَةَ وَهِيَ بَيْنَ الرَّبَذَةِ وَغَمْرَةَ نَاحِيَةَ ذَاتِ عِرْقٍ أَنْفَذَهُ رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إِلَيْهَا فِي جُمَادَى الْآخِرَةِ مِنْ سَنَةِ ثَلَاثٍ وَهِيَ أَوَّلُ سَرِيَّةٍ خَرَجَ زَيْدٌ فِيهَا أَمِيرًا لِيَعْتَرِضَ عِيرًا لِقُرَيْشٍ فِيهَا صَفْوَانُ بْنُ أُمَيَّةَ فَغَنِمَهَا وَهَرَبَ مَنْ فِيهَا وَقَدِمَ بِهَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَأَخَذَ خُمُسَهَا قِيمَةَ عِشْرِينَ أَلْفَ دِرْهَمٍ وَقَسَمَ بَاقِيَهَا عَلَى أَهْلِ السَّرِيَّةِ

Kemudian beliau mengirimkan pasukan Zaid bin Haritsah ke Qardah, yaitu sebuah tempat di antara Rabdzah dan Ghamrah, di daerah Dzat ‘Irq. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusnya ke sana pada bulan Jumada Akhir tahun ketiga. Ini adalah pasukan pertama yang dipimpin oleh Zaid sebagai amir, untuk menghadang kafilah dagang Quraisy yang di dalamnya terdapat Shafwan bin Umayyah. Ia berhasil merampas kafilah itu, sementara orang-orang yang ada di dalamnya melarikan diri. Zaid kemudian membawa hasil rampasan itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau mengambil seperlimanya, senilai dua puluh ribu dirham, dan membagikan sisanya kepada anggota pasukan.

وَفِي شَعْبَانَ مِنْ هَذِهِ السَّنَةِ تَزَوَّجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ حَفْصَةَ بِنْتَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ وَفِي النِّصْفِ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ مِنْ هَذِهِ السَّنَةِ وُلِدَ الحسن بن علي بن أبي طالب عليهما السلام

Pada bulan Sya‘ban tahun ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Hafshah binti ‘Umar bin al-Khaththab, dan pada pertengahan bulan Ramadan tahun ini lahir al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib ‘alaihimassalam.

فصل غزوة أحد وحمراء الأسد

Bab: Perang Uhud dan Hamra’ul Asad

ثُمَّ غَزْوَةُ أُحُدٍ وَسَبَبُهَا أَنَّ مُشْرِكِي قُرَيْشٍ لَمَّا عَادُوا مِنْ بَدْرٍ إِلَى مَكَّةَ وَجَدُوا العير التي قَدِمَ أَبُو سُفْيَانَ بِهَا مِنَ الشَّامِ بِأَمْوَالِهِمْ مَوْقُوفَةٌ فِي دَارِ النَّدْوَةِ فَمَشَى أَشْرَافُهُمْ إِلَى أَبِي سُفْيَانَ وَقَالُوا لَهُ قَدْ طَابَتْ أَنْفُسُنَا أَنْ نُجَهِّزَ بِرِبْحِ هَذِهِ الْعِيرِ جَيْشًا إِلَى مُحَمَّدٍ لِنَثْأَرَ مِنْهُ بِقَتْلَانَا فَقَالَ أَنَا وَبَنِي عَبْدِ مَنَافٍ أَوَّلُ مَنْ يُجِيبُ إِلَى هَذَا وَكَانَتْ أَلْفَ بَعِيرٍ وَالْمَالُ خَمْسُونَ أَلْفَ دِينَارٍ وَكَانُوا يَرْبَحُونَ لِلدِّينَارِ دِينَارًا فَأَخْرَجُوا مِنْهَا أَرْبَاحَهُمْ وَأَنْفَذُوا رُسُلَهُمْ يَسْتَنْفِرُونَ قَبَائِلَ الْعَرَبِ لِنُصْرَتِهِمْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَأَصْحَابِهِ وَأَجْمَعَ رَأْيُهُمْ عَلَى إِخْرَاجِ الظُّعُنِ مِنْ نِسَائِهِمْ مَعَهُمْ لِتَحْرِيضِهِمْ لَهُمْ وَتَذْكِيرِهِمْ بِمَنْ قُتِلَ مِنْهُمْ وَكَانَ أَبُو عَامِرٍ الرَّاهِبُ قَدْ مَضَى إِلَى مَكَّةَ فِي خَمْسِينَ رَجُلًا مِنْ مُنَافِقِي قَوْمِهِ فَحَرَّضَ قُرَيْشًا وَأَعْلَمَهُمْ أَنَّ الْأَنْصَارَ إِذَا رَأَوْهُ أَطَاعُوهُ فَكَتَبَ الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بخبرهم وَسَارَ أَبُو سُفْيَانَ بِهِمْ وَهُمْ ثَلَاثَةُ آلَافِ رَجُلٍ وَظُعُنُهُمْ خَمْسَ عَشْرَةَ امْرَأَةً مِنْ نِسَاءِ أَشْرَافِهِمْ وَفِيهِمْ سَبْعُمِائَةِ دِرْعٍ وَمِائَةُ رَامٍ وَمِائَتَا فَرَسٍ وَثَلَاثَةُ آلَافِ بَعِيرٍ حَتَّى نَزَلَ بِأُحُدٍ وَكَانَ وَحْشِيٌّ غُلَامًا حَبَشِيًّا لِجُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ يقذف بحربة له قذف الحبشة قلما يخطىء فَأَخْرَجَهُ مَعَ النَّاسِ وَقَالَ إِنْ قَتَلْتَ حَمْزَةَ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ عَمَّ مُحَمَّدٍ بِعَمِّي طُعَيْمَةَ بْنِ عَدِيٍّ فَأَنْتَ عَتِيقٌ وَجَعَلَتْ لَهُ هِنْدُ بِنْتُ عُتْبَةَ فِي قَتْلِهِ مَا اقْتَرَحَ وَكَانَ إِذَا مَرَّ بِهَا قَالَتْ إِيهٍ أَبَا دَسْمَةَ اشْفِ وَاشْتَفِ وَكَانَ يُكْنَى أَبَا دَسْمَةَ وَلَمَّا نَزَلَتْ قُرَيْشٌ بِأُحُدٍ ذَلِكَ فِي يَوْمِ الْأَرْبِعَاءِ الرَّابِعِ مِنْ شَوَّالٍ اسْتَشَارَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَصْحَابَهُ وَكَانَ رَأْيُهُ أَلَّا يَخْرُجَ إِلَيْهِمْ وَيُقِيمَ بِالْمَدِينَةِ حَتَّى يُقَاتِلَهُمْ فِيهَا وَوَافَقَهُ عَلَى رَأْيِهِ شُيُوخُ الْأَنْصَارِ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ ابْنُ سَلُولَ وَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا قَاتَلْنَا وَدَخَلَ الْمَدِينَةِ عَلَيْنَا أَحَدٌ إِلَّا ظَفِرْنَا بِهِ وَلَا خَرَجْنَا إِلَيْهِ إِلَّا ظَفِرَ بِنَا وَكَانَ رَأْيُ أَحْدَاثِ الْأَنْصَارِ الْخُرُوجَ إِلَيْهِمْ لِتَأَخُّرِهِمْ عَنْ بَدْرٍ فَغَلَبَ رَأْيُ مَنْ أَرَادَ الْخُرُوجَ وَأَقَامَتْ قُرَيْشٌ بِأُحُدٍ بَقِيَّةَ يَوْمِ الْأَرْبِعَاءِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ وَيَوْمَ الْجُمُعَةِ فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ الْجُمُعَةَ بِالْمَدِينَةِ ثُمَّ الْعَصْرَ ثُمَّ دَخَلَ مَنْزِلَهُ فَلَبِسَ لَأْمَةَ سِلَاحِهِ وَظَاهَرَ بَيْنَ دِرْعَيْنِ فَلَمَّا رَآهُ النَّاسُ نَدِمُوا عَلَى مَا أَشَارُوا عَلَيْهِ مِنَ الْخُرُوجِ وَقَالَ لَهُمْ أُسَيْدُ بْنُ الْحُضَيْرِ وَسَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ أَكْرَهْتُمُوهُ عَلَى الْخُرُوجِ وَالْوَحْيُ ينزل عليه فقالوا يَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ اصْنَعْ مَا شِئْتَ فَقَالَ ” مَا كَانَ لِنَبِيٍّ لَبِسَ لَأْمَةَ سِلَاحِهِ أَنْ يَنْزِعَهَا حَتَّى يُقَاتِلَ ” وَسَارَ فِي أَلْفِ رَجُلٍ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ فِيهِمْ مِائَةُ دَارِعٍ وَلَمْ يَكُنْ مَعَهُمْ إِلَّا فَرَسَانِ أَحَدُهُمَا لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَالْآَخرُ لِأَبِي بُرْدَةَ بْنِ نِيَارٍ وَاسْتَخْلَفَ عَلَى الْمَدِينَةِ عَبْدَ اللَّهِ ابْنَ أُمِّ مَكْتُومٍ وَدَفَعَ لِوَاءَ الْمُهَاجِرِينَ إِلَى عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ

Kemudian terjadilah Perang Uhud. Sebab terjadinya perang ini adalah ketika kaum musyrik Quraisy kembali dari Perang Badar ke Makkah, mereka mendapati kafilah dagang yang dibawa Abu Sufyan dari Syam beserta harta mereka masih tertahan di Darun Nadwah. Para pemuka mereka pun mendatangi Abu Sufyan dan berkata kepadanya, “Kami telah rela untuk mempersiapkan dari keuntungan kafilah ini sebuah pasukan untuk menyerang Muhammad, agar kami dapat membalas dendam atas orang-orang kami yang terbunuh.” Abu Sufyan menjawab, “Aku dan Bani Abd Manaf adalah yang pertama-tama menyetujui hal ini.” Jumlah unta saat itu seribu ekor, dan hartanya lima puluh ribu dinar. Mereka biasa mendapatkan keuntungan satu dinar untuk setiap dinar modal. Maka mereka mengeluarkan keuntungan mereka dari kafilah itu dan mengirimkan utusan-utusan untuk mengajak kabilah-kabilah Arab agar membantu mereka melawan Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya. Mereka pun sepakat untuk membawa serta para wanita mereka agar dapat memotivasi dan mengingatkan mereka tentang orang-orang yang telah terbunuh dari kalangan mereka. Abu Amir ar-Rahib telah pergi ke Makkah bersama lima puluh orang munafik dari kaumnya, lalu ia menghasut Quraisy dan memberitahu mereka bahwa kaum Anshar akan menaatinya jika mereka melihatnya. Abbas bin Abdul Muththalib menulis surat kepada Rasulullah ﷺ memberitahukan kabar mereka. Abu Sufyan pun berangkat bersama mereka, jumlah mereka tiga ribu orang, dan di antara mereka terdapat lima belas wanita dari kalangan wanita terhormat mereka. Mereka memiliki tujuh ratus baju besi, seratus pemanah, dua ratus kuda, dan tiga ribu unta, hingga mereka tiba di Uhud. Di antara mereka ada Wahsyi, seorang budak Habsyi milik Jubair bin Muth’im yang mahir melemparkan tombak seperti orang Habsyi, jarang meleset. Ia pun dibawa serta dan dikatakan kepadanya, “Jika kamu membunuh Hamzah bin Abdul Muththalib, paman Muhammad, sebagai balasan atas pamanku, Tu‘aimah bin ‘Adi, maka kamu akan dimerdekakan.” Hindun binti Utbah juga menjanjikan kepadanya hadiah apa pun yang ia minta jika berhasil membunuh Hamzah. Setiap kali Wahsyi melewati Hindun, ia berkata, “Ayo Abu Dasmah, balaslah dendammu dan tuntaskanlah!” Wahsyi memang biasa dipanggil Abu Dasmah. Ketika Quraisy tiba di Uhud pada hari Rabu, tanggal 4 Syawwal, Rasulullah ﷺ bermusyawarah dengan para sahabatnya. Pendapat beliau adalah agar tidak keluar menghadapi mereka dan tetap tinggal di Madinah untuk melawan mereka di dalam kota. Pendapat ini disetujui oleh para sesepuh Anshar dan Abdullah bin Ubay bin Salul. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, tidaklah kami pernah berperang dan ada musuh yang masuk ke Madinah kecuali kami menang atas mereka, dan tidaklah kami keluar menghadapi mereka kecuali mereka menang atas kami.” Namun pendapat para pemuda Anshar adalah keluar menghadapi musuh, karena mereka tidak ikut dalam Perang Badar. Akhirnya, pendapat yang menginginkan keluar lebih dominan. Quraisy pun tinggal di Uhud selama sisa hari Rabu, Kamis, dan Jumat. Rasulullah ﷺ melaksanakan shalat Jumat di Madinah, lalu shalat Ashar, kemudian masuk ke rumahnya, mengenakan perlengkapan perangnya, dan memakai dua lapis baju besi. Ketika orang-orang melihat hal itu, mereka menyesal atas usulan mereka untuk keluar. Usaid bin Hudhair dan Sa‘d bin Mu‘adz berkata kepada mereka, “Kalian telah memaksa beliau untuk keluar, padahal wahyu turun kepadanya.” Mereka pun berkata, “Wahai Rasulullah ﷺ, lakukanlah apa yang engkau kehendaki.” Beliau bersabda, “Tidaklah pantas bagi seorang nabi yang telah mengenakan perlengkapan perangnya untuk melepaskannya sebelum berperang.” Maka beliau berangkat bersama seribu orang dari kaum Muhajirin dan Anshar, di antara mereka terdapat seratus orang yang mengenakan baju besi, dan mereka hanya memiliki dua ekor kuda, satu milik Rasulullah ﷺ dan satu lagi milik Abu Burdah bin Niyar. Beliau menunjuk Abdullah bin Ummi Maktum sebagai pengganti di Madinah, dan menyerahkan panji kaum Muhajirin kepada Ali bin Abi Thalib.

وَقِيلَ إِلَى مُصْعَبِ بْنِ عُمَيْرٍ وَدَفَعَ لِوَاءَ الْأَوْسِ إِلَى أُسَيْدِ بْنِ حُضَيْرٍ وَلِوَاءَ الْخَزْرَجِ إلى خباب بْنِ الْمُنْذِرِ

Dan dikatakan bahwa (panji) diberikan kepada Mush‘ab bin ‘Umair, dan beliau menyerahkan panji kaum Aus kepada Usayd bin Hudhayr, serta panji kaum Khazraj kepada Khabbab bin al-Mundzir.

وَقِيلَ إِلَى سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ وَنَزَلَ بِالشَّيْخَيْنِ وَهُمَا أُطُمَانِ كَانَ يَهُودِيٌّ وَيَهُودِيَّة أعميان يَقُومَانِ عَلَيْهِمَا فَيَتَحَدَّثَانِ فَنُسِبَا إِلَيْهِمَا وَهُمَا فِي طَرَفِ الْمَدِينَةِ فَصَلَّى الْمَغْرِبَ ثُمَّ اسْتَعْرَضَ أَصْحَابَهُ فَرَدَّ مِنْهُمْ لِصِغَرِهِ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ وَالْبَرَاءَ بْنَ عَازِبٍ وَأَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ وَأُسَيْدَ بْنَ ظُهَيْرٍ وَعَرَابَةَ بْنَ أَوْسٍ وَهُوَ الَّذِي قَالَ فِيهِ الشَّمَّاخُ

Dikatakan bahwa (peristiwa itu) sampai kepada Sa‘d bin ‘Ubādah dan terjadi di tempat dua orang tua, yaitu dua benteng yang di dalamnya tinggal seorang laki-laki Yahudi dan seorang perempuan Yahudi yang keduanya buta, mereka berdua mengurus keduanya dan berbincang-bincang, sehingga keduanya dinisbatkan kepada mereka, padahal keduanya berada di pinggiran Madinah. Lalu Sa‘d menunaikan salat Magrib, kemudian memeriksa para sahabatnya, dan menolak dari mereka karena masih kecil: Zaid bin Tsabit, ‘Abdullah bin ‘Umar, al-Barā’ bin ‘Āzib, Abu Sa‘id al-Khudri, Usayd bin Zuhair, dan ‘Arābah bin Aws, yang tentangnya asy-Syammākh berkata.

رَأَيْتُ عَرَابَةَ الْأَوْسِيَّ يَنْمِي إِلَى الْخَيْرَاتِ مُنْقَطِعَ القرين

Aku melihat ‘Arābah al-Awsī dinisbatkan kepada segala kebaikan, tiada bandingannya.

ورد نافع بْنَ خَدِيجٍ وَسَمُرَةَ بْنَ جُنْدُبٍ ثُمَّ أَجَازَهُمَا وَأَقَامَ بِمَكَانِهِ أَكْثَرَ اللَّيْلِ ثُمَّ سَارَ إِلَى أُحُدٍ فَانْخَذَلَ عَنْهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ ابْنُ سَلُولَ مَعَ ثَلَاثِمِائَةٍ مِنْ قَوْمِهِ وَمَنْ تَابَعَهُ مِنَ الْمُنَافِقِينَ وَعَادَ إِلَى الْمَدِينَةِ وَقَالَ عَلَامَ نَقْتُلُ أَنْفُسَنَا؟ وَبَقِيَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ سَبْعُمِائَةِ رَجُلٍ فَسَارَ حَتَّى نَزَلَ صَبِيحَةَ يَوْمِ السَّبْتِ السَّابِعِ مِنْ شَوَّالٍ بِالشِّعْبِ مِنْ أُحُدٍ وَأَمَرَ الرُّمَاةَ وَهُمْ خَمْسُونَ رَجُلًا أَنْ يَقِفُوا عِنْدَ الْجَبَلِ وَجَعَلَ عَلَيْهِمْ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ جُبَيْرٍ وَأَنْ يَرْمُوا الْجَبَلَ مِنْ وَرَائِهِمْ وَقَالَ لَهُمْ ” لَا تَبْرَحُوا مِنْ مَكَانِكُمْ إِنْ كَانَتْ لَنَا أَوْ عَلَيْنَا ” وَجَعَلَ عَلَى الْخَيْلِ الزُّبَيْرَ بْنَ الْعَوَّامِ وَصَافُّوا الْعَدُوَّ وَتَقَدَّمَ أَبُو عَامِرٍ الرَّاهِبُ فِي الْأَحَابِيشِ وَالْعَبِيدِ وَنَادَى الْأَوْسَ فَقَالُوا لَا مَرْحَبًا بِكَ وَلَا أَهْلًا وَصَدَقُوا الْقِتَالَ فَانْهَزَمَتْ قُرَيْشٌ وَتَشَاغَلَ الْمُسْلِمُونَ بِالْغَنِيمَةِ وَزَالَ الرُّمَاةُ عَنْ مَوَاقِعِهِمْ طَلَبًا لِلْغَنِيمَةِ فَبَدَرَ النِّسَاءُ يَضْرِبْنَ بِالدُّفُوفِ وَيُحَرِّضْنَ الرِّجَالَ وَيَعُلْنَ

Nafi‘ bin Khadij dan Samurah bin Jundub datang, lalu beliau membolehkan keduanya dan tinggal di tempatnya hampir sepanjang malam. Kemudian beliau berangkat menuju Uhud. Lalu, ‘Abdullah bin Ubay bin Salul mundur darinya bersama tiga ratus orang dari kaumnya dan orang-orang munafik yang mengikutinya, lalu kembali ke Madinah. Ia berkata, “Untuk apa kita membunuh diri kita sendiri?” Yang tersisa bersama Rasulullah ﷺ adalah tujuh ratus orang. Beliau berjalan hingga tiba pada pagi hari Sabtu, tanggal tujuh Syawwal, di lembah Uhud. Beliau memerintahkan para pemanah, yang berjumlah lima puluh orang, untuk berdiri di dekat gunung dan menempatkan ‘Abdullah bin Jubair sebagai pemimpin mereka, serta memerintahkan mereka untuk melempari musuh dari belakang gunung. Beliau berkata kepada mereka, “Jangan tinggalkan tempat kalian, baik kemenangan di pihak kita maupun di pihak mereka.” Beliau menugaskan Zubair bin ‘Awwam memimpin pasukan berkuda. Mereka pun berbaris menghadapi musuh. Abu ‘Amir ar-Rahib maju bersama kelompok Ahābīsy dan para budak, lalu memanggil kaum Aus, namun mereka menjawab, “Tidak ada sambutan dan tidak ada kehormatan bagimu,” dan mereka benar-benar berperang. Maka, pasukan Quraisy pun mundur, dan kaum Muslimin sibuk mengumpulkan ghanīmah. Para pemanah meninggalkan posisi mereka untuk mencari ghanīmah. Para wanita pun segera memukul rebana, menyemangati para lelaki, dan bersorak.

نَحْنُ بَنَاتُ طَارِقْ نَمْشِي عَلَى النَمَارِقْ

Kami adalah putri-putri Thariq, berjalan di atas permadani.

إِنْ تُقْبِلُوا نُعَانِقْ أَوْ تُدْبِرُوا نُفَارِقْ

Jika kalian datang, kita akan berpelukan; jika kalian pergi, kita akan berpisah.

فِرَاقَ غَيْرِ وَامِقْ

Perpisahan tanpa kasih sayang.

فَعَادَتْ قُرَيْشٌ وَعَطَفَ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ فِي الْجَبَلِ إِلَى مَوْقِفِ الرُّمَاةِ مِنْ وَرَاءِ الْمُسْلِمِينَ فَانْهَزَمُوا وَوَضَعَ فِيهِمُ السَّيْفَ فَقُتِلَ مِنْهُمْ سَبْعُونَ رَجُلًا عِدَّةَ مَنْ قُتِلَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ يَوْمَ بَدْرٍ فِيهِمْ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ قَتَلَهُ وَحْشِيٌّ وَمَثَّلَ بِهِ وَبَقَرَتْ هِنْدٌ بَطْنَهُ وَأَخَذَتْ كَبِدَهُ فَلَاكَتْهَا بِفَمِهَا ثُمَّ لَفَظَتْهَا وَمُثِّلَ بِجَمَاعَةٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وكسرت رباعية رسول لله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَصَابَهَا عُتْبَةُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ وَشَجَّهُ فِي جَبْهَتِهِ وَضَرَبَهُ ابْنُ قَمِيئَةَ بِالسَّيْفِ عَلَى شِقِّهِ الْأَيْمَنِ فَاتَّقَاهُ طَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ فَشُلَّتْ أُصْبُعُهُ وَادَّعَى أَنَّهُ قَتَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَشَاعَ الْخَبَرُ بِهِ فِي الْمُسْلِمِينَ وَالْمُشْرِكِينَ فَقَالَ أَنَسُ بْنُ النَّضِرِ يَا قَوْمِ إِنْ كَانَ مُحَمَّدٌ قَدْ قُتِلَ فَإِنَّ رَبَّ مُحَمَّدٍ لَمْ يُقْتَلْ وَلَمْ يَبْقَ مَعَ نَبِيِّ اللَّهِ إِلَّا أَرْبَعَةَ عَشَرَ رَجُلًا سَبْعَةٌ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ مِنْهُمْ أَبُو بَكْرٍ وَعَلِيٌّ وَطَلْحَةُ وَالزُّبَيْرُ وَسَبْعَةٌ مِنَ الْأَنْصَارِ وَانْهَزَمَ الْبَاقُونَ بَعْدَ أَنْ قُتِلَ بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ نَحْوُ ثَلَاثِينَ رَجُلًا كُلُّهُمْ يَتَقَدَّمُ بَيْنَ يَدَيْهِ وَيَقُولُ وَجْهِي لِوَجْهِكَ الْوَفَاءُ وَنَفْسِي لِنَفْسِكَ الْفِدَاءُ وَعَلَيْكَ سَلَامُ اللَّهِ غَيْرَ مودع وقتل من المشركين أربعة وعشرين رَجُلًا مَنْهُمْ أَصْحَابُ اللِّوَاءِ مِنْ بَنِي عَبْدِ الدار وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَدْ رَأَى فِي تِلْكَ اللَّيْلَةِ في مَنَامِهِ كَأَنَّهُ فِي دِرْعٍ حَصِينَةٍ وَكَأَنَّ سَيْفَهُ ذَا الْفَقَارِ قَدِ انْثَلَمَ وَكَأَنَّ بَقَرًا تُذْبَحُ وَكَأَنَّهُ مُرْدِفٌ كَبْشًا فَأَخْبَرَ بِهَا أَصْحَابَهُ وَتَأَوَّلَهَا أَنَّ الدِّرْعَ الْحَصِينَةَ هِيَ الْمَدِينَةُ وَأَنَّ انْثِلَامِ سَيْفِهِ هِيَ مُصِيبَةٌ فِي نَفْسِهِ وَأَنَّ ذَبْحَ الْبَقَرِ هُوَ قَتْلٌ فِي أَصْحَابِهِ وَأَنَّ إِرْدَافَ الْكَبْشِ هُوَ كَبْشٌ الْكَتِيبَةِ يَقْتُلُهُ اللَّهُ فَصَحَّ تَأْوِيلُهَا وَكَانَ الْكَبْشُ قِيلَ طَلْحَةَ بْنَ أَبِي طَلْحَةَ صَاحِبَ لِوَاءِ الْمُشْرِكِينَ ثُمَّ إِخْوَتَهَ بعده يَأْخُذُونَ اللواء فيقتلون وكان أبي بن خلف الجمحي بَرَزَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ على فرس له بأحد حلف أن يقتل عَلَيْهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” أنا يقتله عليها إن شاء الله وبرز إليه فرماه بحربة كسر بها أحد أضلاعه بجرح كالخدش فَاحْتَمَلَ وَهُوَ يَخُورُ كَالثَّوْرِ وَيَقُولُ وَاللَّهِ لَوْ تَفَلَ عَلَيَّ لَقَتَلَنِي وَمَاتَ بِسَرِفَ ثُمَّ بَرَزَ أَبُو سُفْيَانَ بَعْدَ انْجِلَاءِ الْحَرْبِ فَنَادَى أَيْنَ مُحَمَّدٌ؟ فَلَمْ يُجِبْهُ أَحَدٌ ثُمَّ قَالَ أَيْنَ ابْنُ أَبِي قُحَافَةَ؟ فَلَمْ يُجِبْهُ أَحَدٌ فَقَالَ أَيْنَ ابْنُ الْخَطَّابِ؟ فَلَمْ يُجِبْهُ أَحَدٌ فَقَالَ أَيْنَ ابْنُ أَبِي طَالِبٍ؟ فَلَمْ يُجِبْهُ أَحَدٌ فَقَالَ الْآنَ قُتِلَ مُحَمَّدٌ وَلَوْ كَانَ حَيًّا لَأُجِبْتُ فَقَالَ عُمَرُ كَذَبْتَ يَا عَدُوَّ اللَّهِ هَذَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يَسْمَعُ كَلَامَكَ فَقَالَ أَبُو سُفْيَانَ أَلَا إِنَّ الْأَيَّامَ دُوَلٌ وَالْحَرْبَ سِجَالٌ يَوْمُ أُحُدٍ بِيَوْمِ بَدْرٍ وَحَنْظَلَةُ بِحَنْظَلَةَ يَعْنِي حَنْظَلَةَ بْنَ الرَّاهِبِ الْمُقْتُولَ بِأُحُدٍ بِحَنْظَلَةَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ الْمُقْتُولِ بِبَدْرٍ فَقَالَ عُمَرُ لَا سَوَاءَ قَتْلَانَا فِي الْجَنَّةِ وَقَتْلَاكُمْ فِي النَّارِ فَقَالَ أَبُو سُفْيَانَ اعْلُ هُبَلُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لِعُمَرَ قُلْ لَهُ اللَّهُ أَعْلَى وَأَجَلُّ فَقَالَ أبو سفيان لنا عزى ولا عزى لكم فقال النبي

Kemudian Quraisy kembali menyerang, dan Khalid bin al-Walid berputar di gunung menuju posisi para pemanah dari belakang kaum Muslimin, sehingga mereka pun kalah dan pedang pun ditebaskan kepada mereka. Tujuh puluh orang dari mereka terbunuh, sejumlah orang yang terbunuh dari kaum musyrik pada hari Perang Badar. Di antara mereka terdapat Hamzah bin Abdul Muththalib yang dibunuh oleh Wahsyi, lalu ia mencincang jasadnya. Hindun membelah perutnya dan mengambil hatinya, lalu mengunyahnya dengan mulutnya kemudian memuntahkannya. Beberapa orang dari kaum Muslimin juga dicincang jasadnya. Gigi seri Rasulullah ﷺ patah, terkena pukulan ‘Utbah bin Abi Waqqash, dan beliau terluka di dahinya. Ibnu Qami’ah memukul beliau dengan pedang di sisi kanan beliau, namun Talhah bin ‘Ubaidillah melindungi beliau sehingga jarinya lumpuh. Ibnu Qami’ah mengaku telah membunuh Rasulullah ﷺ dan kabar itu tersebar di kalangan kaum Muslimin dan kaum musyrik. Maka Anas bin an-Nadhr berkata, “Wahai kaumku, jika Muhammad telah terbunuh, maka sesungguhnya Rabb Muhammad tidak terbunuh.” Tidak tersisa bersama Nabi Allah kecuali empat belas orang: tujuh dari kaum Muhajirin, di antaranya Abu Bakar, Ali, Talhah, dan az-Zubair, serta tujuh dari kaum Anshar. Sementara yang lain melarikan diri setelah sekitar tiga puluh orang dari kaum Muslimin gugur di hadapan beliau, semuanya maju di depan beliau seraya berkata, “Wajahku untuk wajahmu sebagai bentuk kesetiaan, dan jiwaku untuk jiwamu sebagai bentuk pengorbanan. Semoga keselamatan Allah atasmu, bukan perpisahan.” Dari kaum musyrik terbunuh dua puluh empat orang, di antaranya para pemegang panji dari Bani ‘Abd ad-Dar. Rasulullah ﷺ pada malam itu bermimpi seolah-olah beliau berada dalam baju zirah yang kokoh, seolah-olah pedangnya Dzulfiqar patah, seolah-olah sapi disembelih, dan seolah-olah beliau menunggangi seekor domba jantan. Beliau menceritakan mimpi itu kepada para sahabatnya dan menakwilkannya bahwa baju zirah yang kokoh adalah Madinah, patahnya pedang beliau adalah musibah yang menimpa diri beliau, penyembelihan sapi adalah terbunuhnya para sahabat beliau, dan menunggangi domba jantan adalah domba jantan pasukan yang akan dibunuh Allah. Maka takwil itu pun terbukti. Domba jantan itu dikatakan adalah Thalhah bin Abi Thalhah, pemegang panji kaum musyrik, kemudian saudara-saudaranya setelahnya mengambil panji dan mereka pun terbunuh. Ubay bin Khalaf al-Jumahi maju menghadapi Rasulullah ﷺ di Uhud dengan menunggang kudanya, ia bersumpah akan membunuh beliau di atasnya. Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Akulah yang akan membunuhnya di atasnya, insya Allah.” Beliau maju menghadapi Ubay, lalu melemparkan tombak yang mematahkan salah satu tulang rusuknya dengan luka seperti goresan. Ubay pun dipapah dalam keadaan mengerang seperti sapi dan berkata, “Demi Allah, seandainya ia meludahiku saja, pasti aku akan mati.” Ia pun mati di Sarif. Setelah perang usai, Abu Sufyan maju dan berseru, “Di mana Muhammad?” Tidak ada yang menjawabnya. Lalu ia berkata, “Di mana putra Abu Quhafah?” Tidak ada yang menjawabnya. Ia berkata lagi, “Di mana putra al-Khaththab?” Tidak ada yang menjawabnya. Ia berkata, “Di mana putra Abu Thalib?” Tidak ada yang menjawabnya. Ia berkata, “Sekarang Muhammad telah terbunuh. Kalau ia masih hidup, pasti aku akan dijawab.” Umar pun berkata, “Engkau dusta, wahai musuh Allah! Ini Rasulullah ﷺ mendengar ucapanmu.” Abu Sufyan berkata, “Ketahuilah, hari-hari itu silih berganti, dan perang itu berbalas. Hari Uhud sebagai ganti hari Badar, dan Hanzhalah dengan Hanzhalah,” maksudnya Hanzhalah bin ar-Rahib yang terbunuh di Uhud dengan Hanzhalah bin Abu Sufyan yang terbunuh di Badar. Umar berkata, “Tidak sama! Orang-orang yang terbunuh dari kami di surga, sedangkan orang-orang yang terbunuh dari kalian di neraka.” Abu Sufyan berkata, “Tinggikanlah Hubal!” Nabi ﷺ berkata kepada Umar, “Katakan kepadanya: Allah lebih tinggi dan lebih agung.” Abu Sufyan berkata, “Kami punya ‘Uzza, sedangkan kalian tidak punya ‘Uzza.” Maka Nabi pun bersabda…

لِعُمَرَ قُلْ لَهُ ” اللَّهُ مَوْلَانَا وَلَا مَوْلَى لَكُمْ “

Kepada ‘Umar, katakanlah kepadanya: “Allah adalah pelindung kami dan tidak ada pelindung bagi kalian.”

فَقَالَ أَبُو سُفْيَانَ أَمَا إِنَّهُ قَدْ كَانَتْ فِيكُمْ مُثْلَةٌ مَا أَمَرْتُ بِهَا وَلَا نَهَيْتُ عَنْهَا وَلَا سَرَّتْنِي وَلَا سَاءَتْنِي ثُمَّ وَلَّى وَدَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ يَوْمِهِ وَهُوَ يَوْمُ السَّبْتِ وَلَمْ يُغَسِّلْ قَتْلَى أُحُدٍ وَاخْتُلِفَ فِي صَلَاتِهِ عَلَيْهِمْ وَأَمَرَ بِدَفْنِهِمْ فِي مَصَارِعِهِمْ فَدُفِنُوا فِيهَا إِلَّا مَنْ سَبَقَ حَمْلُهُ وَدَفْنُهُ فِي الْمَدِينَةِ وَلَمَّا كَانَ مِنَ الْغَدِ وَهُوَ يَوْمُ الْأَحَدِ الثَّامِنِ مِنْ شَوَّالٍ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ الصُّبْحَ وَأَمَرَ بِلَالًا فَنَادَى فِي النَّاسِ بِالْخُرُوجِ لِطَلَبِ عَدُوِّهِمْ وَأَنْ لَا يَخْرُجَ مَعَهُ إِلَّا مَنْ شَهِدَ أُحُدًا وَسَارَ وَدَفَعَ لِوَاءَهُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ وَقِيلَ إِلَى عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ وَاسْتَخَلَفَ عَلَى الْمَدِينَةِ ابْنَ أُمِّ مَكْتُومٍ وَسَارَ وَهُوَ مَكْلُومٌ إِرْهَابًا لِقُرَيْشٍ حَتَّى بَلَغَ حَمْرَاءَ الْأَسَدِ وَبِهَا قُرَيْشٌ يَتَآمَرُونَ فِي الرُّجُوعِ إِلَى الْمَدِينَةِ وَصَفْوَانُ بْنُ أُمَيَّةَ يَنْهَاهُمْ إِلَى أَنْ سَارُوا إِلَى مَكَّةَ وَعَادَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إِلَى الْمَدِينَةِ يَوْمَ الجُمُعَةِ بَعْدَ خَمْسَةِ أَيَّامٍ لَمْ يَلْقَ كَيْدًا وَسُمِّيَتْ هَذِهِ السَّنَةُ عَامَ أُحُدٍ لِأَنَّهَا أَعْظَمُ وَقَائِعِهَا وَكَانَ فِيهَا خَمْسُ غزوات وسرية واحدة

Abu Sufyan berkata, “Ketahuilah, memang telah terjadi mutilasi di antara kalian, namun aku tidak memerintahkannya, tidak pula melarangnya, tidak membuatku senang maupun sedih.” Kemudian ia berpaling, dan Rasulullah ﷺ memasuki Madinah pada akhir harinya, yaitu hari Sabtu. Beliau tidak memandikan para syuhada Uhud, dan terdapat perbedaan pendapat mengenai apakah beliau menshalatkan mereka atau tidak. Beliau memerintahkan agar mereka dikuburkan di tempat mereka gugur, maka mereka pun dikuburkan di sana, kecuali yang sudah lebih dahulu diangkat dan dikuburkan di Madinah. Ketika esok harinya, yaitu hari Ahad tanggal delapan Syawwal, Rasulullah ﷺ melaksanakan shalat Subuh dan memerintahkan Bilal untuk menyerukan kepada orang-orang agar keluar mengejar musuh mereka, dan bahwa yang boleh keluar bersamanya hanyalah mereka yang telah mengikuti perang Uhud. Beliau pun berangkat dan menyerahkan panjinya kepada Abu Bakar—ada juga yang mengatakan kepada Ali bin Abi Thalib—dan beliau menunjuk Ibnu Ummi Maktum sebagai pengganti di Madinah. Beliau berangkat dalam keadaan terluka untuk menakut-nakuti Quraisy hingga sampai di Hamra’ al-Asad, sementara di sana Quraisy sedang bermusyawarah untuk kembali ke Madinah, namun Shafwan bin Umayyah melarang mereka hingga akhirnya mereka menuju Makkah. Rasulullah ﷺ kembali ke Madinah pada hari Jumat setelah lima hari, tanpa menghadapi tipu daya apa pun. Tahun ini dinamakan Tahun Uhud karena peristiwa terbesarnya adalah Perang Uhud, dan pada tahun itu terjadi lima peperangan dan satu ekspedisi.

فصل سرية قطن

Bagian: Ekspedisi Qatan

ثُمَّ دَخَلَتْ سَنَةُ أَرْبَعٍ فَأَسْرَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي غَزْوَةِ الْمُحَرَّمِ وَأَسْرَى أَبَا سَلَمَةَ بْنَ عَبْدِ الْأَسَدِ الْمَخْزُومِيَّ إِلَى ” قَطَنٍ ” وَهُوَ جَبَلٌ بِنَاحِيَةِ فَيْدٍ فِي مِائَةٍ وَخَمْسِينَ رَجُلًا مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ لِيَلْقَى بَنِي أَسَدٍ لِأَنَّهُمْ هَمُّوا بِحَرْبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَتَفَرَّقُوا عِنْدَ وُرُودِهِ عَلَيْهِمْ وَسَاقَ نَعَمَهُمْ وَقَدِمَ بها المدينة ولم يقاتل أحداً

Kemudian masuk tahun keempat, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus pasukan dalam Perang Muharram dan mengutus Abu Salamah bin ‘Abd al-Asad al-Makhzumi ke “Qatan”, yaitu sebuah gunung di daerah Fayd, bersama seratus lima puluh orang dari kalangan Muhajirin dan Anshar untuk menghadapi Bani Asad karena mereka berniat memerangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun mereka tercerai-berai ketika pasukan itu tiba, lalu pasukan membawa hewan ternak mereka dan kembali ke Madinah tanpa terjadi pertempuran dengan siapa pun.

فصل سرية عرنة

Bagian: Sariyah ‘Urnah

ثُمَّ أَنْفَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ أُنَيْسٍ سَرِيَّةً إِلَى سُفْيَانَ بن نبيح الهذلي بعرنة فِي يَوْمِ الِاثْنَيْنِ الْخَامِسِ مِنَ الْمُحَرَّمِ وَكَانَ يَجْمَعُ الْجُمُوعَ لِمُحَارَبَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فسار إليه وقتلهغيلة واحتز رأسه وأتى رسول الله

Kemudian Rasulullah saw. mengirim Abdullah bin Unais dalam sebuah ekspedisi ke Sufyan bin Nubaīh al-Hudzali di ‘Urnah pada hari Senin, tanggal lima Muharram. Sufyan saat itu sedang mengumpulkan pasukan untuk memerangi Rasulullah saw. Maka Abdullah bin Unais berangkat kepadanya, membunuhnya secara diam-diam, memenggal kepalanya, lalu membawanya kepada Rasulullah.

فِي يَوْمِ الْجَمْعِ بَعْدَ ثَمَانِيَةَ عَشْرَ يَوْمًا وَكَانَ فِي الْمَسْجِدِ فَلَمَّا رَآهُ قَالَ ” أَفْلَحَ الْوَجْهُ مَا صَنَعْتَ قَالَ قَتَلْتُهُ وَهَذَا رَأْسُهُ قَالَ فَدَفَعَ إِلَيَّ عَصًا وَقَالَ تَحَصَّنْ بِهَذِهِ فِي الْجَنَّةِ ” فَلَمَّا حَضَرَتْهُ الْوَفَاةُ أَمَرَ أَهْلَهُ أَنْ يُدْرِجُوهَا فِي كَفَنِهِ فَفَعَلُوا

Pada hari Jumat setelah delapan belas hari, ia berada di masjid. Ketika ia melihatnya, ia berkata, “Beruntunglah wajah ini! Apa yang telah kamu lakukan?” Ia menjawab, “Aku telah membunuhnya, dan ini kepalanya.” Ia lalu memberikan kepadaku sebuah tongkat dan berkata, “Lindungilah dirimu dengan ini di surga.” Ketika ajal menjemputnya, ia memerintahkan keluarganya agar membungkus tongkat itu bersama kain kafannya, maka mereka pun melakukannya.

ذِكْرُ خَبَرِ بِئْرِ مَعُونَةَ

Penyebutan kisah sumur Ma‘ūnah

ثُمَّ سَرِيَّتُهُ إِلَى بِئْرِ مَعُونَةَ في صفر أخرج فيها الْمُنْذِرَ بْنَ عَمْرٍو السَّاعِدِيَّ فِي سَبْعِينَ رَجُلًا مِنَ الْقُرَّاءِ خَرَجُوا فِي جِوَارِ مُلَاعِبِ الْأَسِنَّةِ لِيَدْعُوا قَوْمَهُ إِلَى الْإِسْلَامِ فَجَمَعَ عَلَيْهِمْ عَامِرُ بْنُ الطُّفَيْلِ قَبَائِلَ بَنِي سُلَيْمٍ وَقَتَلَ جَمِيعَهُمْ إِلَّا عَمْرَو بْنَ أُمَيَّةَ الضَّمْرِيَّ فَإِنَّهُ أَعْتَقَهُ عن أُمِّهِ فَعَادَ وَحْدَهُ وَلَقِيَ فِي طَرِيقِهِ رَجُلَيْنِ مِنْ بَنِي كِلَابٍ لَهُمَا أَمَانٌ مِنْ رَسُولِ للاه صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فقتلهما وهو لا يعلم بأمانه لهما فَوَدَاهُمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ حِينَ أَخْبَرَهُ وَوَجَدَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَجْدًا عَظِيمًا وَكَان فِيهِمْ عَامِرُ بْنُ فُهَيْرَةَ فَقَالَ إِنَّ الْمَلَائِكَةَ وَارَتْ جُثَّتَهُ وَأُنْزِلَ عِلِّيِّينَ ونزل فيهم قرآن قرىء ثُمَّ نُسِخَ أَوْ نُسِيَ ” بَلِّغُوا عَنَّا قَوْمَنَا أَنَّا لَقِينَا رَبَّنَا فَرَضِيَ عَنَا وَرَضِينَا عَنْهُ “

Kemudian, pasukan kecil beliau menuju sumur Ma‘ūnah pada bulan Shafar, di mana beliau mengutus al-Mundzir bin ‘Amr as-Sa‘idi bersama tujuh puluh orang dari para qurrā’ (penghafal Al-Qur’an). Mereka berangkat dalam perlindungan Mulā‘ib al-Asinnah untuk mengajak kaumnya memeluk Islam. Namun, ‘Āmir bin ath-Thufail mengumpulkan kabilah Bani Sulaim dan membunuh seluruh rombongan itu kecuali ‘Amr bin Umayyah adh-Dhamri, karena ia dibebaskan demi ibunya. Ia pun kembali sendirian, dan di perjalanan ia bertemu dua orang dari Bani Kilāb yang memiliki jaminan keamanan dari Rasulullah ﷺ, lalu ia membunuh keduanya tanpa mengetahui bahwa mereka memiliki jaminan tersebut. Maka Rasulullah ﷺ membayar diyat keduanya setelah diberi tahu, dan beliau sangat berduka atas peristiwa itu. Di antara mereka terdapat ‘Āmir bin Fuhairah, dan dikatakan bahwa para malaikat telah menguburkan jasadnya dan ia diangkat ke ‘Illiyyīn. Turun pula ayat Al-Qur’an tentang mereka yang pernah dibaca, kemudian di-naskh atau dilupakan: “Sampaikanlah kepada kaum kami bahwa kami telah bertemu dengan Rabb kami, maka Dia ridha kepada kami dan kami pun ridha kepada-Nya.”

وَقَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ شَهْرًا فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ يَدْعُو عَلَى رَعْلٍ وَذَكْوَانَ وَعَصِيَّةَ وَبَنِي لَحْيَانَ وَقَالَ ” اللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ وَاجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ سِنِينَ كَسِنِي يُوسُفَ ” إِلَى أَنْ أَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ فَتَرَكَ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berqunut selama sebulan dalam shalat Subuh, mendoakan keburukan atas (kabilah) Ra‘l, Dzakwan, ‘Ushayyah, dan Bani Lahyan. Beliau bersabda, “Ya Allah, timpakanlah tekanan-Mu atas (kabilah) Mudhar, dan jadikanlah tahun-tahun mereka seperti tahun-tahun (paceklik) pada masa Yusuf,” hingga Allah Ta‘ala menurunkan (ayat), “Bukan urusanmu (wahai Muhammad) sedikit pun dari perkara itu,” maka beliau pun meninggalkannya.

غَزْوَةُ الرَّجِيعِ

Peristiwa Rajī‘

ثُمَّ سَرِيَّةُ الرَّجِيعِ فِي صَفَرٍ وَسَبَبُهَا أَنَّ رَهْطًا مِنْ عَضَلَ وَالْقَارَّةِ قَدِمُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَقَالُوا إِنَّ فِينَا إِسْلَامًا فَابْعَثْ مَعَنَا نَفَرًا يقرؤوننا الْقُرْآنَ وَيُفَقِّهُونَنَا فِي الدِّينِ فَأَنْفَذَ مَعَهُمْ عَشَرَةً أَمَّرَ عَلَيْهِمْ عَاصِمَ بْنَ عَدِيٍّ وَقِيلَ مَرْثَدَ بْنَ أَبِي مَرْثَدٍ

Kemudian peristiwa Sariyyah ar-Raji‘ terjadi pada bulan Shafar. Sebab terjadinya adalah sekelompok orang dari kabilah ‘Adhal dan al-Qārah datang kepada Rasulullah ﷺ dan berkata, “Di antara kami ada yang telah memeluk Islam, maka utuslah bersama kami beberapa orang yang dapat mengajarkan kami al-Qur’an dan memperdalam pemahaman kami dalam agama.” Maka beliau mengutus bersama mereka sepuluh orang, dan menunjuk ‘Āṣim bin ‘Adiyy sebagai pemimpin mereka, dan ada juga yang mengatakan Marthad bin Abī Marthad.

وَالرَّجِيعُ مَاءٌ بِالْهَدَاةِ عَلَى سَبْعَةِ أَمْيَالٍ مِنْ عُسْفَانَ فَغَدَرُوا بِالْقَوْمِ وَقَتَلُوا بَعْضَهُمْ وَبَاعُوا بَعْضَهُمْ عَلَى أَهْلِ مَكَّةَ حَتَّى قتلوا بقتلاهم فقتلوا جميعا

 

فصل غزوة بني النضير

Bab Perang Bani Nadhir

ثُمَّ غَزَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ غَزْوَةَ بَنِي النَّضِيرِ فِي شَهْرِ رَبِيعٍ الْأَوَّلِ

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan ekspedisi (ghazwah) terhadap Bani Nadhir pada bulan Rabiul Awal.

وَسَبَبُهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ خَرَجَ إِلَيْهِمْ فِي نَفَرٍ مِنْ أَصْحَابِهِ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ لِلْعَهْدِ الَّذِي بَيْنَهُ وَبَيْنَهُمْ يَسْتَعِينُ بهم في الديتين على القتيلين الذين قَتَلَهُمَا عَمْرُو بْنُ أُمَيَّةَ الضَّمْرِيُّ فَهَمُّوا بِقَتْلِ رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِإِلْقَاءِ حَجَرٍ عَلَيْهِ فَعَلِمَ بِهِ وَعَادِ إِلَى الْمَدِينَةِ وَتَبِعَهُ أَصْحَابُهُ وَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ سَبَبَ عَوْدِهِ وَرَاسَلَ بَنِي النَّضِيرِ أَنْ يَخْرُجُوا عَنْ بِلَادِهِ فَهَمُّوا بِذَلِكَ حَتَّى رَاسَلَهُمْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ ابْنُ سَلُولَ أَنَّهُ يَنْصُرُهُمْ فِي أَلْفَيْ رَجُلٍ مِنْ قَوْمِهِ وَمِنْ خُلَطَائِهِ فَقَوِيَتْ بِهِ نُفُوسُهُمْ وَامْتَنَعُوا عَنِ الْخُرُوجِ فَسَارَ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِأَصْحَابِهِ فَصَلَّى الْعَصْرَ بِفِنَاءِ بَنِي النَّضِيرِ وَحَمَلَ رَايَتَهُ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَاسْتَخْلَفَ عَلَى الْمَدِينَةِ ابْنَ أُمِّ مَكْتُومٍ وَحَاصَرَهُمْ فِي حُصُونِهِمْ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا وَقَطَعَ عَلَيْهِمْ نخلهم بالنويرة فَقَالُوا نَحْنُ نَخْرُجُ عَنْ بِلَادِكَ فَقَالَ لَا أَقْبَلُهُ الْيَوْمَ مِنْكُمْ وَخَذَلَهُمْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ ثُمَّ أَجْلَاهُمْ عَنْهَا عَلَى أَنَّ لَهُمْ دمائهم وَمَا حَمَلَتْهُ الْإِبِلُ مِنْ أَمْوَالِهِمْ إِلَّا الْحَلْقَةَ يَعْنِي السِّلَاحَ وَوَلَّى مُحَمَّدَ بْنَ مَسْلَمَةَ إِخْرَاجَهُمْ فَخَرَجُوا بِنِسَائِهِمْ وَصِبْيَانِهِمْ وَتَحَمَّلُوا سِتَّمِائَةِ بَعِيرٍ حَتَّى نَزَلُوا خَيْبَرَ وَقَبَضَ الْأَرْضِينَ وَالْحَلْقَةَ فَوَجَدَ فِيهَا خمس وَخَمْسِينَ بَيْضَةً وَثَلَاثَمِائَةٍ وَأَرْبَعِينَ سَيْفًا وَاصْطَفَى أَمْوَالَهُمْ خَالِصَةً لَهُ حَبْسًا لِنَوَائِبِهِ وَلَمْ يُخَمِّسْهَا لِأَنَّهَا مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَوَسَّعَ فِي النَّاسِ فَأَعْطَى مِنْهَا أُنَاسًا مِنْ أَصْحَابِهِ فَأَعْطَى أَبَا بَكْرٍ بِئْرَ حَجَرٍ وَأَعْطَى عُمَرَ بِئْرَ خُمٍّ وأعطى عبد الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ سُؤَالَهُ وَأَعْطَى صُهَيْبَ بْنَ سنان السراطة وَأَعْطَى الزُّبَيْرَ بْنَ الْعَوَّامِ وَأَبَا سَلَمَةَ بْنَ عَبْدِ الْأَسَدِ الْبُوَيْرَةَ

Adapun sebabnya adalah bahwa Rasulullah ﷺ keluar menemui mereka bersama sekelompok sahabatnya dari kalangan Muhajirin dan Anshar, untuk menagih perjanjian yang ada antara beliau dan mereka, serta meminta bantuan mereka dalam membayar diyat atas dua orang yang dibunuh oleh ‘Amr bin Umayyah adl-Dhamri. Namun mereka berencana membunuh Rasulullah ﷺ dengan menjatuhkan batu ke atas beliau. Maka beliau mengetahui rencana itu dan kembali ke Madinah, diikuti oleh para sahabatnya yang tidak mengetahui alasan kembalinya beliau. Kemudian beliau mengirim pesan kepada Bani Nadhir agar mereka keluar dari negeri mereka. Mereka pun hampir melakukannya, hingga Abdullah bin Ubay bin Salul mengirim pesan kepada mereka bahwa ia akan menolong mereka dengan dua ribu orang dari kaumnya dan sekutunya. Hal itu menguatkan hati mereka sehingga mereka menolak untuk keluar. Maka Rasulullah ﷺ berangkat bersama para sahabatnya menuju mereka, lalu beliau shalat Ashar di halaman Bani Nadhir, dan Ali bin Abi Thalib ‘alaihis salam membawa panji beliau, serta beliau menunjuk Ibnu Ummi Maktum sebagai pengganti di Madinah. Rasulullah mengepung mereka di benteng-benteng mereka selama lima belas hari dan menebangi pohon-pohon kurma mereka di daerah an-Nuwairah. Mereka pun berkata, “Kami akan keluar dari negerimu.” Namun beliau berkata, “Hari ini aku tidak menerima itu dari kalian.” Abdullah bin Ubay pun meninggalkan mereka, lalu akhirnya beliau mengusir mereka dari negeri itu dengan syarat mereka boleh membawa darah dan harta yang dapat dibawa unta mereka, kecuali senjata. Beliau menunjuk Muhammad bin Maslamah untuk mengawasi pengusiran mereka. Maka mereka keluar bersama istri-istri dan anak-anak mereka, membawa enam ratus unta hingga mereka menetap di Khaibar. Rasulullah mengambil alih tanah dan senjata mereka, dan didapati di dalamnya lima puluh lima baju besi, tiga ratus empat puluh pedang, dan beliau mengkhususkan harta mereka untuk dirinya sebagai simpanan untuk kebutuhan mendesak, dan beliau tidak membaginya (tidak dilakukan khumus) karena itu termasuk harta fai’ yang Allah berikan kepada beliau, dan beliau membagikannya kepada sebagian orang dari sahabatnya. Beliau memberikan kepada Abu Bakar sumur Hajar, kepada Umar sumur Khumm, kepada Abdurrahman bin Auf apa yang dimintanya, kepada Shuhaib bin Sinan as-Sarathah, kepada Zubair bin Awwam dan Abu Salamah bin Abdul Asad al-Buwairah.

وَأَعْطَى سَهْلَ بْنَ حَنِيفٍ وَأَبَا دُجَانَةَ مَالَ ابْنِ خَرَشَةَ

Dan beliau memberikan kepada Sahl bin Hanif dan Abu Dujanah harta milik putra Kharasyah.

غَزْوَةُ بَدْرٍ الصغرى

Perang Badar Kecil

ثُمَّ غَزَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ غَزْوَةَ بَدْرٍ الصُّغْرَى لِمَوْعِدِ أَبِي سُفْيَانَ بْنِ حَرْبٍ يَوْمَ أُحُدٍ يَا مُحَمَّدُ الْمَوْعِدُ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ ” بَدْرٌ ” وَكَانَتْ بَدْرٌ سُوقًا لِلْعَرَبِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ يَجْتَمِعُونَ فِيهَا فِي هِلَالِ ذِي الْقَعْدَةِ إِلَى الثَّامِنِ مِنْهُ فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إِلَيْهَا عَلَى مَوْعِدِ أَبِي سُفْيَانَ فِي هِلَالِ ذِي الْقَعْدَةِ فِي أَلْفٍ وَخَمْسِمِائَةٍ مِنْ أَصْحَابِهِ فِيهِمْ عَشَرَةُ أَفْرَاسٍ وَحَمَلَ لِوَاءَهُ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ وَاسْتَخْلَفَ عَلَى الْمَدِينَةِ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ رَوَاحَةَ وَخَرَجُوا بِبَضَائِعَ لَهُمْ وَتِجَارَاتٍ فَقَدِمُوا سُوقَ بَدْرٍ وَهِيَ الصَّفْرَاءُ لَيْلَةَ ذِي الْقَعْدَةِ وَخَرَجَ أَبُو سُفْيَانَ مِنْ مَكَّةَ فِي أَلْفَيْنِ مِنْ قُرَيْشٍ وَحُلَفَائِهِمْ حَتَّى بَلَغَ مَرَّ الظَّهْرَانِ وَهُوَ نَادِمٌ عَلَى الْمَوْعِدِ ثُمَّ رَجَعَ لِجَدْبِ الْعَامِ فَعَادُوا لِيَتَأَهَّبُوا لِغَزْوَةِ الْخَنْدَقِ وَرَبِحَ الْمُسْلِمُونَ فِي تِجَارَاتِهِمْ لِلدِّرْهَمِ دِرْهَمًا فَنَزَلَ فِيهِمْ قَوْلُ الله تعالى فانقلبوا بنعمة من الله لَمْ يَمْسَسْهُمْ سُوءٌ

Kemudian Rasulullah saw. melakukan ekspedisi Badr al-Sughra sesuai dengan janji Abu Sufyan bin Harb pada hari Uhud, ketika ia berkata, “Wahai Muhammad, janji antara kami dan kalian adalah di Badr.” Dahulu, Badr adalah pasar bagi bangsa Arab pada masa jahiliah, mereka berkumpul di sana mulai awal bulan Dzulqa’dah hingga tanggal delapan. Maka Rasulullah saw. berangkat ke sana sesuai dengan janji Abu Sufyan pada awal bulan Dzulqa’dah bersama seribu lima ratus sahabatnya, di antara mereka terdapat sepuluh ekor kuda. Panji beliau dibawa oleh Ali bin Abi Thalib, dan beliau menunjuk Abdullah bin Rawahah sebagai pengganti di Madinah. Mereka pun membawa barang dagangan dan perniagaan mereka, lalu tiba di pasar Badr yang disebut juga al-Safra’ pada malam Dzulqa’dah. Sementara itu, Abu Sufyan berangkat dari Makkah bersama dua ribu orang dari Quraisy dan sekutu-sekutu mereka hingga sampai di Marr al-Zhahran, namun ia menyesali janji tersebut, lalu kembali karena tahun itu sedang paceklik. Mereka pun kembali untuk bersiap-siap menghadapi Perang Khandaq. Kaum Muslimin memperoleh keuntungan dalam perdagangan mereka, setiap satu dirham mendapat satu dirham keuntungan. Maka turunlah firman Allah Ta’ala tentang mereka: “Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa pun.”

وَفِي هَذِهِ السنة ولد الحسن بْنُ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ لِلَيَالٍ خَلَوْنَ مِنْ شَعْبَانَ

Pada tahun ini, Hasan bin Ali ‘alaihis salam lahir pada beberapa malam yang telah berlalu dari bulan Sya‘ban.

وَفِي جُمَادَى الْأُولَى مِنْ هَذِهِ السَّنَةِ مَاتَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ مِنْ رُقَيَّةُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَهُوَ ابْنُ سِتِّ سِنِينَ

Pada bulan Jumadil Ula tahun ini, Abdullah bin Utsman bin Affan, putra Ruqayyah binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, wafat dalam usia enam tahun.

وَفِيهَا تَزَوَّجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أُمَّ سَلَمَةَ بِنْتَ أَبِي أُمَيَّةَ فِي شَوَّالٍ وَدَخَلَ بِهَا

Pada tahun itu, Rasulullah saw. menikahi Ummu Salamah binti Abi Umayyah pada bulan Syawwal dan beliau masuk bersamanya.

وَفِيهَا أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ أَنْ يَتَعَلَّمَ كِتَابَ الْيَهُودِ وَقَالَ لَا آمَنُ أَنْ يُبَدِّلُوا كِتَابِي

Dan dalam peristiwa itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mempelajari tulisan orang Yahudi, dan beliau bersabda, “Aku tidak merasa aman jika mereka mengubah suratku.”

وَسُمِّيَتْ هَذِهِ السَّنَةُ عَامَ بَنِي النَّضِيرِ لِأَنَّهُ أَعَمُّ مَا كَانَ فِيهَا فَكَانَ لَهُ فِيهَا غَزْوَتَانِ وأربع سرايا

Tahun ini dinamakan Tahun Bani Nadhir karena peristiwa yang paling menonjol di dalamnya adalah peristiwa tersebut. Pada tahun itu, terjadi dua peperangan dan empat ekspedisi militer.

فصل غزوة ذات الرقاع

Bab Perang Dzat ar-Riqa‘

ثُمَّ دَخَلَتْ سَنَةُ خَمْسٍ فَغَزَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِيهَا غَزْوَةَ ذَاتِ الرِّقَاعِ وَسَبَبُهَا أَنَّ الْخَبَرَ وَرَدَ إِلَى الْمَدِينَةِ بِأَنَّ بَنِي أَنْمَارٍ وَبَنِي ثَعْلَبَةَ قَدْ تَجَمَّعُوا لِحَرْبِ أَهْلِ الْمَدِينَةِ فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي لَيْلَةِ السَّبْتِ الْعَاشِرِ مِنَ الْمُحَرَّمِ فِي أَرْبَعِمِائَةِ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِهِ وَقِيلَ فِي سَبْعِمِائَةٍ وَاسْتَخْلَفَ عَلَى الْمَدِينَةِ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ وَسَارَ حَتَّى بَلَغَ ذَاتَ الرِّقَاعِ وَهُوَ جَبَلٌ فِيهِ حُمْرَةٌ وَسَوَادٌ وَبَيَاضٌ سُمِّيَ بِهِ ذَاتُ الرِّقَاعِ فَوَجَدَ الْقَوْمَ قَدْ تَفَرَّقُوا فِي الْجِبَالِ وَظَفِرَ بِنِسْوَةٍ أَخَذَهُنَّ وَصَلَّى بِهِمْ صَلَاةَ الْخَوْفِ وَهِيَ أَوَّلُ صَلَاةٍ صَلَّاهَا فِي الْخَوْفِ وَعَادَ وَابْتَاعَ مِنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ جَمَلَهُ بِأُوقِيَّةٍ وَشَرَطَ لَهُ ظَهْرَهُ إِلَى الْمَدِينَةِ وَعَادَ إِلَى الْمَدِينَةِ بَعْدَ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا

Kemudian masuk tahun kelima, maka Rasulullah ﷺ melakukan Perang Dzat ar-Riqa‘ pada tahun itu. Sebab terjadinya perang ini adalah karena sampai kabar ke Madinah bahwa Bani Anmar dan Bani Tsa‘labah telah berkumpul untuk memerangi penduduk Madinah. Maka Rasulullah ﷺ berangkat pada malam Sabtu tanggal sepuluh Muharram bersama empat ratus orang sahabatnya—dan ada yang mengatakan tujuh ratus—dan beliau menunjuk ‘Utsman bin ‘Affan sebagai pengganti di Madinah. Beliau berjalan hingga sampai di Dzat ar-Riqa‘, yaitu sebuah gunung yang terdapat warna merah, hitam, dan putih, yang dinamakan Dzat ar-Riqa‘ karena itu. Beliau mendapati kaum tersebut telah berpencar di pegunungan, dan beliau mendapatkan beberapa wanita yang kemudian ditawan. Beliau pun melaksanakan shalat khauf bersama para sahabatnya, dan itu adalah shalat khauf pertama yang beliau lakukan. Setelah itu beliau kembali, dan membeli unta milik Jabir bin ‘Abdullah seharga satu uqiyah, dengan syarat Jabir boleh menungganginya sampai ke Madinah. Kemudian beliau kembali ke Madinah setelah lima belas hari.

غَزْوَةُ دَوْمَةِ الجندل

Perang Dūmatul Jandal

ثُمَّ غَزَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ غَزْوَةَ دَوْمَةِ الْجَنْدَلِ وَهِيَ مِنْ أَطْرَافِ الشَّامِ بَيْنَهَا وَبَيْنَ دِمَشْقَ خَمْسُ لَيَالٍ وَبَيْنَهَا وَبَيْنَ الْمَدِينَةِ خَمْسَ عَشْرَةَ لَيْلَةً

Kemudian Rasulullah saw. melakukan ekspedisi ke Dumatul Jandal, yaitu salah satu daerah di perbatasan Syam, jaraknya antara Dumatul Jandal dan Damaskus adalah lima malam perjalanan, dan antara Dumatul Jandal dan Madinah adalah lima belas malam perjalanan.

وَسَبَبُهَا وُرُودُ الْخَبَرِ أَنَّهُ يُجْمَعُ بِهَا جَمْعٌ كَبِيرٌ يُرِيدُونَ طُرُقَ الْمَدِينَةِ فَخَرَجَ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي الْخَامِسِ وَالْعِشْرِينَ مِنْ شَهْرِ رَبِيعٍ الْأَوَّلِ فِي أَلْفِ رَجُلٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ يَسِيرُ اللَّيْلَ وَيَكْمُنُ النَّهَارَ وَاسْتَخْلَفَ عَلَى الْمَدِينَةِ سِبَاعَ بْنَ عُرْفُطَةَ الْغِفَارِيَّ وَوَصَلَ إِلَيْهَا وَقَدْ هَرَبَ الْقَوْمُ عَنْهَا وَاسْتَاقَ بَعْضَ نَعَمِهِمْ وَأَقَامَ فِيهَا أَيَّامًا يَبُثُّ السَّرَايَا فَلَمْ يَلْقَ كَيْدًا فَعَادَ وَوَادَعَ فِي طَرِيقِهِ عُيَيْنَةَ بْنَ حُصَيْنٍ وَدَخَلَ الْمَدِينَةَ فِي الْعِشْرِينَ مِنْ شَهْرِ رَبِيعٍ الْآخِرِ

Penyebabnya adalah karena adanya kabar bahwa telah berkumpul sekelompok besar orang yang ingin menyerang jalan-jalan menuju Madinah. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menghadapi mereka pada tanggal dua puluh lima bulan Rabi‘ul Awwal bersama seribu orang Muslim. Beliau berjalan pada malam hari dan bersembunyi pada siang hari. Beliau meninggalkan Sibā‘ bin ‘Urfaṭah al-Ghifārī sebagai pengganti di Madinah. Ketika beliau sampai ke tempat itu, ternyata kaum tersebut telah melarikan diri. Beliau mengambil sebagian ternak mereka dan tinggal di sana beberapa hari untuk mengirimkan pasukan-pasukan kecil. Namun beliau tidak menemui adanya perlawanan, lalu kembali. Dalam perjalanan pulang, beliau mengadakan perjanjian damai dengan ‘Uyainah bin Huṣain, dan beliau masuk ke Madinah pada tanggal dua puluh bulan Rabi‘ul Akhir.

غَزْوَةُ المريسيع

Perang Muraisi‘

ثُمَّ غَزَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ غَزْوَةَ الْمُرَيْسِيعِ إِلَى بَنِي الْمُصْطَلَقِ مِنْ خُزَاعَةَ وَالْمُرَيْسِيعُ مَا كَانُوا نُزُولًا عَلَيْهِ

Kemudian Rasulullah saw. melakukan ekspedisi Muraisi‘ ke Bani Musthaliq dari Khuza‘ah, dan Muraisi‘ adalah tempat mereka bermukim.

وَسَبَبُهَا وُرُودُ الْخَبَرِ أَنَّ سَيِّدَهُمُ الْحَارِثَ بْنَ أَبِي ضِرَارٍ يَجْمَعُ قَوْمَهُ وَمَنْ قَدَرَ عَلَيْهِ مِنَ الْعَرَبِ لِقَصْدِ الْمَدِينَةِ فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ في يوم الإثنين الثاني في شَعْبَانَ فِي نَاسٍ كَثِيرٍ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَخَرَجَ مَعَهُ كَثِيرٌ مِنَ الْمُنَافِقِينَ لَمْ يَخْرُجُوا فِي غَزَاةٍ قَبْلَهَا وَكَانَ مَعَهُمْ ثَلَاثُونَ فَرَسًا عَشرة مِنْهَا لِلْمُهَاجِرِينَ وَعِشْرُونَ لِلْأَنْصَارِ وَدَفَعَ رَايَةَ الْمُهَاجِرِينَ إِلَى أَبِي بَكْرٍ وَرَايَةَ الْأَنْصَارِ إِلَى سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ وَاسْتَخْلَفَ عَلَى الْمَدِينَةِ زَيْدَ بْنَ حَارِثَةَ وَوَصَلَ إِلَى الْمُرَيْسِيعِ وَظَفِرَ بِالْقَوْمِ قِيلَ إِنَّهُ شَنَّ الْغَارَةَ عَلَيْهِمْ بَيَاتًا

Penyebab terjadinya peristiwa ini adalah karena adanya kabar bahwa pemimpin mereka, al-Harits bin Abi Dhirar, mengumpulkan kaumnya dan siapa saja dari bangsa Arab yang mampu ia kumpulkan untuk menuju Madinah. Maka Rasulullah saw. keluar pada hari Senin kedua di bulan Sya‘ban bersama banyak orang dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Bersama beliau juga keluar banyak orang munafik yang sebelumnya tidak pernah ikut dalam peperangan. Mereka membawa tiga puluh ekor kuda, sepuluh di antaranya milik kaum Muhajirin dan dua puluh milik kaum Anshar. Rasulullah menyerahkan bendera kaum Muhajirin kepada Abu Bakar dan bendera kaum Anshar kepada Sa‘d bin ‘Ubadah. Beliau menunjuk Zaid bin Haritsah sebagai pengganti beliau di Madinah. Rasulullah sampai di al-Muraisi‘ dan berhasil mengalahkan kaum tersebut. Dikatakan bahwa beliau menyerang mereka pada malam hari.

وَقِيلَ بِقِتَالٍ وَمُحَارَبَةٍ فَقَتَلَ مِنْهُمْ عَشَرَةً وَأَسَرَ بِاقِيَهُمْ فَلَمْ يُفْلَتْ مِنْهُمْ أَحَدٌ وَسَبَى ذَرَارِيَّهُمْ وَكَانُوا مِائَتَيْ ثَيِّبٍ وَاسْتَاقَ نَعَمَهُمْ فَكَانَتِ الْإِبِلُ أَلْفَيْ بعير والشاة خمسة آلَافِ شَاةٍ فَجَعَلَ الْبَعِيرَ بِعَشْرِ شِيَاهٍ وَقَسَمَهُمْ بَعْدَ أَخْذِ الْخُمُسِ وَأَسْهَمَ فِيهَا لِلْفَارِسِ ثَلَاثَةَ أَسْهُمٍ سَهْمًا لَهُ وَسَهْمَيْنِ لِفَرَسِهِ وَلِلرَّاجِلِ سَهْمًا وَاحِدًا وَكَانَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فرسان لزاز والظرب فلم يرو أَنَّهُ أَخَذَ إِلَّا سَهْمَ فَرَسٍ وَاحِدٍ وَكَانَ فِي السَّبْيِ جُوَيْرِيَةُ بِنْتُ الْحَارِثِ بْنِ أَبِي ضِرَارٍ وَحَصَلَتْ فِي سَهْمِ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بن شماس أو لابن هم لَهُ فَكَاتَبَاهَا عَلَى تِسْعِ أَوَاقٍ ذَهَبًا فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي كِتَابَتِهَا فَأَدَّاهَا عَنْهَا وَتَزَوَّجَهَا وَجَعَلَ صَدَاقَهَا عِتْقَ كُلِّ أَسِيرٍ مِنْ قَوْمِهَا

Dikatakan bahwa terjadi pertempuran dan peperangan, lalu beliau membunuh sepuluh orang dari mereka dan menawan sisanya, sehingga tidak ada seorang pun dari mereka yang lolos. Beliau juga menawan anak-anak dan perempuan mereka, yang berjumlah dua ratus wanita yang pernah menikah, serta menggiring hewan ternak mereka, yaitu dua ribu unta dan lima ribu kambing. Beliau menetapkan bahwa satu unta setara dengan sepuluh kambing, lalu membagi harta rampasan itu setelah mengambil seperlimanya (khumus). Beliau memberikan tiga bagian untuk penunggang kuda: satu bagian untuk dirinya dan dua bagian untuk kudanya, sedangkan untuk prajurit pejalan kaki satu bagian. Bersama Rasulullah ﷺ terdapat dua ekor kuda, yaitu Lazzaz dan azh-Zharb, namun tidak diriwayatkan bahwa beliau mengambil lebih dari satu bagian untuk seekor kuda saja. Di antara tawanan terdapat Juwairiyah binti al-Harits bin Abi Dhirar, yang jatuh pada bagian Tsabit bin Qais bin Syammas atau anaknya, lalu mereka berdua melakukan mukatabah dengannya dengan sembilan uqiyah emas. Aku pun meminta kepada Rasulullah ﷺ mengenai pembebasannya, lalu beliau membayarkan tebusannya dan menikahinya, serta menjadikan mahar baginya berupa pembebasan seluruh tawanan dari kaumnya.

وَقِيلَ عَتَقَ أَرْبَعِينَ مِنْهُمْ وَمَنَّ عَلَى أَكْثَرِ السَّبْيِ وَقَدِمَ بِبَاقِيهِمُ الْمَدِينَةَ فَفَدَاهُمْ أَهْلُوهُمْ حَتَّى خَلَصُوا جَمِيعًا وَفِيهَا تَنَازَعَ جَهْجَاهُ بْنُ سَعِيدٍ الْغِفَارِيُّ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَسِنَانُ بْنُ وَبْرٍ مِنَ الْأَنْصَارِ عَلَى مَاءٍ فَضَرَبَهُ جَهْجَاهُ فَتَنَافَرَ الْمُهَاجِرُونَ وَالْأَنْصَارُ وَشَهَرُوا السِّلَاحَ ثُمَّ اصْطَلَحُوا فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ ابْنُ سَلُولَ إِنْ رَجَعْنَا إِلَى الْمَدِينَةِ لَيُخْرِجَنَّ الأَعَزُّ مِنْهَا الأَذَلَّ فَذَكَرَ ذَلِكَ زَيْدُ بْنُ أَرْقَمَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَسَارَ لِوَقْتِهِ وَوَقَفَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُبَيٍّ عَلَى طَرِيقِ الْمَدِينَةِ فَقَالَ لِأَبِيهِ لَا أُفَارِقُكَ حَتَّى تَزْعُمَ أَنَّكَ الذَّلِيلُ وَمُحَمَّدٌ الْعَزِيزُ فَمَرَّ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَقَالَ ” دَعْهُ فَلْنُحْسِنْ صُحْبَتَهُ مَا دَامَ بَيْنَ أَظْهُرِنَا “

Dikatakan bahwa beliau membebaskan empat puluh orang dari mereka dan memberikan ampunan kepada sebagian besar tawanan, lalu beliau membawa sisanya ke Madinah. Keluarga mereka menebus mereka hingga semuanya bebas. Dalam peristiwa itu, terjadi perselisihan antara Jahjah bin Sa‘id al-Ghifari dari kalangan Muhajirin dan Sinan bin Wabr dari kalangan Anshar mengenai air, lalu Jahjah memukulnya. Maka, kaum Muhajirin dan Anshar pun saling bersitegang dan menghunus senjata, kemudian mereka berdamai. Lalu Abdullah bin Ubay bin Salul berkata, “Jika kita kembali ke Madinah, pasti yang mulia akan mengusir yang hina darinya.” Perkataan itu disampaikan oleh Zaid bin Arqam kepada Rasulullah ﷺ, maka beliau segera berangkat. Abdullah bin Abdullah bin Ubay berdiri di jalan menuju Madinah dan berkata kepada ayahnya, “Aku tidak akan berpisah denganmu sampai engkau mengakui bahwa engkaulah yang hina dan Muhammad yang mulia.” Ketika Rasulullah ﷺ melewatinya, beliau bersabda, “Biarkan dia, mari kita perlakukan dia dengan baik selama ia masih berada di tengah-tengah kita.”

وَفِي هَذِهِ الْغَزْوَةِ ضَاعَ عِقْدٌ لِعَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فَأَقَامَ النَّاسُ عَلَى طَلَبِهِ حَتَّى أَصْبَحُوا عَلَى غَيْرِ مَاءٍ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى آيَةَ التَّيَمُّمِ فَقَالَ أُسَيْدُ بْنُ حُضَيْرٍ لَيْسَتْ هَذِهِ أَوَّلَ بَرَكَاتِكُمْ يَا آلَ أَبِي بَكْرٍ فَإِنَّهُ مَا نَزَلَ بِكِ أَمْرٌ تَكْرَهِينَهُ إِلَّا جَعَلَ اللَّهُ فِيهِ مَخْرَجًا وَلِلْمُسْلِمِينَ فِيهِ خَيْرًا

Dalam peperangan ini, kalung ‘Aisyah ra. hilang, sehingga orang-orang berhenti untuk mencarinya hingga pagi hari dalam keadaan tidak ada air. Maka Allah Ta‘ala menurunkan ayat tentang tayammum. Lalu Usaid bin Hudhair berkata, “Ini bukanlah keberkahan pertama dari kalian, wahai keluarga Abu Bakar. Tidaklah suatu perkara yang tidak engkau sukai menimpamu, melainkan Allah menjadikan padanya jalan keluar dan kebaikan bagi kaum Muslimin.”

وَفِي هَذِهِ الْغَزْوَةِ كَانَ حَدِيثُ عَائِشَةَ فِي الْإِفْكِ حَتَّى أَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى فِيهِ مَا أَنْزَلَ وَعَادَ إِلَى الْمَدِينَةِ فِي هِلَالِ شهر رمضان بعد اثنين وعشرين يوما

Dan dalam peperangan ini terjadi peristiwa tuduhan dusta terhadap ‘Aisyah, hingga Allah Ta‘ala menurunkan wahyu tentang hal itu, lalu (Nabi) kembali ke Madinah pada awal bulan Ramadan setelah dua puluh dua hari.

فصل غزوة الخندق

Bab Perang Khandaq

ثُمَّ غَزَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ غَزْوَةَ الْخَنْدَقِ وَهِيَ غَزْوَةُ الْأَحْزَابِ

Kemudian Rasulullah saw. melakukan Perang Khandaq, yaitu Perang Ahzab.

وَسَبَبُهَا أَنَّ بَنِي النَّضِيرِ لَمَّا أُجْلُوا إِلَى خَيْبَرَ فَقَصَدَ أَشْرَافُهُمْ مَكَّةَ وَحَرَّضُوا قُرَيْشًا عَلَى حَرْبِ رَسُولِ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَعَاهَدُوهُمْ فَاجْتَمَعُوا فِي أَرْبَعَةِ آلَافٍ فِيهِمْ ثَلَاثُمِائَةِ فَرَسٍ وَأَلْفٌ وَخَمْسُمِائَةِ بَعِيرٍ عَلَيْهِمْ أَبُو سُفْيَانَ بْنُ حَرْبٍ وَاسْتَعْدَوُا الْعَرَبَ فَجَاءَهُمُ الْأَحْزَابُ مِنَ الْقَبَائِلِ حَتَّى اسْتَكْمَلُوا عَشَرَةَ آلَافٍ وَبَلَغَ رَسُولَ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ خُرُوجُهُمْ مِنْ مَكَّةَ فَذَكَرَ ذَلِكَ لِلْمُسْلِمِينَ وَشَاوَرَهُمْ فِيهِ فَأَشَارَ سَلْمَانُ الْفَارِسِيُّ بِحَفْرِ الْخَنْدَقِ فَأَجْمَعَتِ الْمُسْلِمُونَ وَحَفَرُوهُ وَعَمِلَ مَعَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِنَفْسِهِ وَكَانَ الْأَنْصَارُ يَقُولُونَ وَهُمْ يَحْفِرُونَ الْخَنْدَقَ

Penyebabnya adalah bahwa ketika Bani Nadhir diusir ke Khaibar, para pemuka mereka pergi ke Makkah dan menghasut Quraisy untuk memerangi Rasulullah ﷺ serta membuat perjanjian dengan mereka. Maka mereka berkumpul dalam jumlah empat ribu orang, di antara mereka terdapat tiga ratus ekor kuda dan seribu lima ratus ekor unta, dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb. Mereka juga mengajak suku-suku Arab lainnya, sehingga datanglah al-Ahzab dari berbagai kabilah hingga jumlah mereka mencapai sepuluh ribu orang. Rasulullah ﷺ mendapat kabar tentang keberangkatan mereka dari Makkah, lalu beliau memberitahukan hal itu kepada kaum Muslimin dan bermusyawarah dengan mereka. Salman al-Farisi mengusulkan untuk menggali parit, maka kaum Muslimin sepakat dan mereka pun menggali parit itu, dan Rasulullah ﷺ turut bekerja bersama mereka. Kaum Anshar berkata ketika mereka sedang menggali parit tersebut.

نَحْنُ الَّذِينَ بَايَعُوا مُحَمَّدَا عَلَى الْجِهَادِ مَا بَقِينَا أَبَدَا

Kami adalah orang-orang yang telah berbaiat kepada Muhammad untuk berjihad selama kami masih hidup selamanya.

قَالَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يَقُولُ

Anas bin Malik berkata, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

اللَّهُمَّ إِنَّ الْخَيْرَ خَيْرُ الْآخِرَهْ فَاغْفِرْ لِلْأَنْصَارِ وَالْمُهَاجِرَهْ

Ya Allah, sesungguhnya kebaikan yang sejati adalah kebaikan akhirat, maka ampunilah kaum Anshar dan Muhajirin.

وَرَوَى الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يَنْقُلُ مَعَنَا التُّرَابَ وَقَدْ وَارَى التُّرَابُ بَيَاضَ بَطْنِهِ وَهُوَ يَقُولُ

Al-Barā’ bin ‘Āzib meriwayatkan: Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam pernah mengangkut tanah bersama kami, hingga tanah itu menutupi putih perut beliau, dan beliau bersabda.

اللَّهُمَّ لَوْلَا أَنْتَ مَا اهْتَدَيْنَا وَلَا تَصَدَّقْنَا وَلَا صَلَّيْنَا

Ya Allah, kalau bukan karena Engkau, niscaya kami tidak akan mendapat petunjuk, tidak akan bersedekah, dan tidak akan melaksanakan shalat.

فَأَنْزِلَنْ سَكِينَةً عَلَيْنَا وَثَبِّتِ الْأَقْدَامَ إِنْ لَاقَيْنَا

Maka turunkanlah ketenangan kepada kami dan teguhkanlah langkah kaki kami jika kami menghadapi (musuh).

إِنَّ الْأُولَى قَدْ بَغَوْا عَلَيْنَا إِذَا أَرَادُوا فِتْنَةً أَبَيْنَا

Sesungguhnya kelompok pertama itu telah berbuat zalim kepada kami; jika mereka menginginkan fitnah, kami menolaknya.

وَفَرَغُوا مِنَ الْخَنْدَقِ بَعْدَ سِتَّةِ أَيَّامٍ وَجَعَلُوا النِّسَاءَ وَالصِّبْيَانَ فِي الْآطَامِ وَنَزَلَتْ قُرَيْشٌ وَالْأَحْزَابُ وَعَلَى جَمِيعِهِمْ أَبُو سُفْيَانَ وَعَسْكَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِسَفْحِ ” سَلَعٍ ” وَجَعَلَهُ وَرَاءَ ظَهْرِهِ فِي يَوْمِ الِاثْنَيْنِ مِنْ ذِي الْقَعْدَةِ وَمَعَهُ مِنَ الْمُسْلِمِينَ ثَلَاثَةُ آلَافِ رَجُلٍ هُمْ عَلَى أَشَدِّ خَوْفٍ وَوَجَلٍ وَدَفَعَ لِوَاءَ الْمُهَاجِرِينَ إِلَى زَيْدِ بْنِ حَارِثَةَ وَلِوَاءَ الْأَنْصَارِ إِلَى سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ وَاسْتَخْلَفَ عَلَى الْمَدِينَةِ بأن أبدى أُمِّ مَكْتُومٍ وَدَعَا أَبُو سُفْيَانَ بَنِي قُرَيْظَةَ إِلَى نَقْضِ عَهْدِهِمْ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَأَجَابُوهُ بَعْدَ الِامْتِنَاعِ فَلَمَّا بَلَغَهُ ذَلِكَ قَالَ ” حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ ” لِأَنَّهُ خَافَهُمُ عَلَى الذَّرَارِيِّ وَكَانُوا مِنْ وَرَائِهِمْ وَنَزَلَ فِيهِ قَوْلُ الله تعالى إذ جاؤوكم مِنْ فَوْقِكُمْ وَمِنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَإِذْ زَاغَتِ الأبصار وبلغت القلوب الحناجر الآية

Mereka menyelesaikan penggalian parit setelah enam hari, lalu menempatkan para wanita dan anak-anak di benteng-benteng. Pasukan Quraisy dan sekutu-sekutunya pun datang, dan seluruh pasukan itu dipimpin oleh Abu Sufyan. Rasulullah saw. bersama pasukannya berkemah di lereng Sela‘ dan menjadikan gunung itu di belakang mereka pada hari Senin bulan Dzulqa‘dah. Bersama beliau terdapat tiga ribu orang Muslim yang berada dalam ketakutan dan kecemasan yang sangat. Beliau menyerahkan panji kaum Muhajirin kepada Zaid bin Haritsah dan panji kaum Anshar kepada Sa‘d bin ‘Ubadah, serta menunjuk Ibnu Ummi Maktum sebagai pengganti beliau di Madinah. Abu Sufyan mengajak Bani Quraizhah untuk mengkhianati perjanjian mereka dengan Rasulullah saw., dan mereka pun akhirnya menerima ajakan itu setelah sebelumnya menolak. Ketika Rasulullah saw. mendengar hal tersebut, beliau berkata, “Cukuplah Allah bagi kami dan Dia sebaik-baik Pelindung,” karena beliau khawatir terhadap keselamatan keluarga dan anak-anak, sebab mereka berada di belakang pasukan. Turunlah firman Allah Ta‘ala tentang peristiwa ini: “(Ingatlah) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika pandangan mata terpana dan hati naik sampai ke tenggorokan…” (ayat).

وَكَانَ الْمُشْرِكُونَ يَتَنَاوَبُونَ الْقِتَالَ فَيُقَاتِلُ أَبُو سُفْيَانَ فِي أَصْحَابِهِ يَوْمًا وَيُقَاتِلُ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ يَوْمًا وَيُقَاتِلُ عَمْرُو بْنُ الْعَاصِ يَوْمًا وَيُقَاتِلُ عِكْرِمَةُ بْنُ أَبِي جَهْلٍ يَوْمًا وَيُقَاتِلُ هُبَيْرَةُ بْنُ أَبِي وَهْبٍ يَوْمًا وَالْخَنْدَقُ حَاجِزٌ وَالْمُسْلِمُونَ يَحْفَظُونَ أَقْطَارَهُ فَقَالَ الْمُشْرِكُونَ هَذِهِ مَكِيدَةٌ مَا كَانَتِ الْعَرَبُ تَصْنَعُهَا فَأَنَّى لَهُمْ هَذَا فَقِيلَ لَهُمْ إِنَّ مَعَهُمْ رَجُلًا فَارِسِيًّا أَشَارَ بِهِ عَلَيْهِمْ فَاجْتَمَعُوا بِأَسْرِهِمْ وَقَصَدُوا أَضْيَقَ مَوْضِعٍ فِي الْخَنْدَقِ أَغْفَلَهُ الْمُسْلِمُونَ فَعَبَرَ مِنْهُ عِكْرِمَةُ بْنُ أَبِي جَهْلٍ وَنَوْفَلُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ وَضِرَارُ بْنُ الْخَطَّابِ وَهُبَيْرَةُ بْنُ أَبِي وَهْبٍ وعمرو بن عبدود وطلب عمرو بن البزار وَكَانَ ابْنَ تِسْعِينَ سَنَةً فَبَرَزَ إِلَيْهِ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ فَقَتَلَهُ وَقَتَلَ الزُّبَيْرُ بْنُ الْعَوَّامِ نَوْفَلَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ بِالسَّيْفِ فَقَطَعَهُ اثْنَيْنِ وَانْهَزَمَ الْبَاقُونَ وَقَصَدَ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ الْجِهَةَ الَّتِي فِيهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَتَشَاغَلَ بِحَرْبِهِ حَتَّى أَخَّرَ صَلَاةَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ والمغرب وعشاء الآخرة حتى انكفأوا رَاجِعِينَ مُتَوَاعِدِينَ لِلْغَدِ فَأَمَرَ بِلَالًا فَأَذَّنَ وَأَقَامَ لِلظَّهْرِ وَأَقَامَ لِكُلِّ صَلَاةٍ بَعْدَهَا وَلَمْ يُؤَذِّنْ وَقَالَ ” شَغَلُونَا عَنِ الصَّلَاةِ الْوُسْطَى مَلَأَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ وَقُبُورَهُمْ نَارًا “

Orang-orang musyrik bergantian dalam pertempuran; Abu Sufyan memimpin pasukannya bertempur pada suatu hari, Khalid bin al-Walid bertempur pada hari lain, Amr bin al-Ash bertempur pada hari lain, Ikrimah bin Abu Jahal bertempur pada hari lain, dan Hubairah bin Abu Wahb bertempur pada hari lain. Parit menjadi penghalang, sementara kaum Muslim menjaga seluruh sisinya. Maka orang-orang musyrik berkata, “Ini adalah tipu muslihat yang belum pernah dilakukan oleh bangsa Arab sebelumnya. Dari mana mereka mendapatkan ide ini?” Lalu dikatakan kepada mereka, “Sesungguhnya bersama mereka ada seorang laki-laki Persia yang memberi saran kepada mereka.” Maka mereka berkumpul dengan seluruh kekuatan mereka dan menuju ke tempat yang paling sempit di parit yang telah dilalaikan oleh kaum Muslim. Dari tempat itu, Ikrimah bin Abu Jahal, Naufal bin Abdullah, Dhirar bin al-Khattab, Hubairah bin Abu Wahb, dan Amr bin Abd Wudd berhasil menyeberang, dan Amr bin al-Bazzar yang saat itu berusia sembilan puluh tahun juga ikut menyeberang. Maka Ali bin Abi Thalib keluar menghadapi Amr bin Abd Wudd dan membunuhnya, sedangkan Zubair bin al-Awwam membunuh Naufal bin Abdullah dengan pedang hingga membelahnya menjadi dua, dan sisanya melarikan diri. Khalid bin al-Walid kemudian menuju ke arah tempat Rasulullah ﷺ berada, sehingga beliau sibuk menghadapi perangnya sampai menunda salat Zuhur, Asar, Magrib, dan Isya hingga mereka mundur kembali sambil saling berjanji untuk kembali esok hari. Maka Rasulullah memerintahkan Bilal untuk mengumandangkan azan dan iqamah untuk salat Zuhur, dan iqamah untuk setiap salat berikutnya tanpa azan lagi. Beliau bersabda, “Mereka telah menyibukkan kita dari salat tengah (salat Asar), semoga Allah memenuhi hati dan kuburan mereka dengan api.”

وَصَلَّاهَا جَمِيعُ أَصْحَابِهِ فَلَمَّا كَانَ فِي اللَّيْلِ وَالْمُشْرِكُونَ عَلَى تَرْتِيبِ قِتَالِهِمْ مِنَ الْغَدِ سَعَى بَيْنَهُمْ نُعَيْمُ بْنُ مَسْعُودٍ وَكَانَ قَدْ أَسْلَمَ فَخَذَّلَ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ حَتَّى اخْتَلَفُوا وَدَعَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي مَسْجِدِ الْأَحْزَابِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ يَقُولُ ” اللَّهُمَّ مُنْزِلَ الْكِتَابِ سَرِيعَ الْحِسَابِ اهْزِمِ الْأَحْزَابَ وَزَلْزِلْهُمْ ” فَعَصَفَتِ بِهِمُ الرِّيحُ حَتَّى زَلْزَلَتْهُمْ فَانْهَزَمُوا وَتَفَرَّقَ جَمْعُهُمْ وَقُتِلَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ خَمْسَةٌ مِنْهُمْ سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ رَمَاهُ ابْنُ الْعَرِقَةِ بِسَهْمٍ فِي أَكْحَلِهِ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَدْ بَذَلَ لِعُيَيْنَةَ الثُّلُثَ مِنْ ثِمَارِ الْمَدِينَةِ لِيَرْجِعَ عَنِ الْأَحْزَابِ بِمَنْ مَعَهُ مِنْ غَطَفَانَ فَامْتَنَعَ أَنْ يَأْخُذَ إِلَّا الشَّطْرَ فَشَاوَرَ رَسُولُ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ سَعْدَ بْنَ مُعَاذٍ وَسَعْدَ بْنَ عِبَادَةٍ فَقَالَا إِنْ كُنْتَ قَدْ أُمِرْتَ بِشَيْءٍ فَافْعَلْ وَإِنْ لَمْ تُؤْمَرْ فَمَا تُعْطِيهِمْ إِلَّا السَّيْفَ فَقَالَ إِنَّمَا هُوَ شَيْءٌ شَاوَرْتُكُمَا فِيهِ ثُمَّ هَزَمَ اللَّهُ الْأَحْزَابَ صَبِيحَةَ اخْتِلَافِهِمْ بَعْدَ حِصَارِ الْمَدِينَةِ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا وَعَادَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إِلَى الْمَدِينَةِ مَسْرُورًا فِي يَوْمِ الْأَرْبِعَاءِ الثَّالِثِ والعشرين من ذي القعدة

Semua sahabat beliau pun melaksanakan shalat itu. Ketika malam tiba dan kaum musyrik masih dalam susunan barisan perang mereka untuk esok harinya, Nu‘aim bin Mas‘ud—yang telah masuk Islam—bergerak di antara mereka, lalu ia membuat sebagian dari mereka saling melemahkan hingga mereka berselisih. Rasulullah ﷺ berdoa di Masjid al-Ahzab selama tiga hari seraya mengucapkan, “Ya Allah, Penurun Kitab, yang cepat perhitungan-Nya, kalahkanlah al-Ahzab dan goncangkanlah mereka.” Maka angin kencang menerpa mereka hingga mengguncang mereka, sehingga mereka pun kalah dan pasukan mereka tercerai-berai. Dari kaum Muslimin gugur lima orang, di antaranya Sa‘d bin Mu‘adz yang terkena panah di urat lengannya oleh Ibn al-‘Ariqah. Rasulullah ﷺ pernah menawarkan kepada ‘Uyainah sepertiga hasil kebun Madinah agar ia mundur dari al-Ahzab bersama pasukan Ghathafan yang bersamanya, namun ia menolak kecuali jika diberi setengahnya. Maka Rasulullah ﷺ bermusyawarah dengan Sa‘d bin Mu‘adz dan Sa‘d bin ‘Ubadah. Keduanya berkata, “Jika engkau diperintahkan untuk melakukan sesuatu, lakukanlah. Namun jika tidak, maka jangan berikan kepada mereka kecuali pedang.” Beliau bersabda, “Ini hanya sesuatu yang aku musyawarahkan dengan kalian.” Kemudian Allah mengalahkan al-Ahzab pada pagi hari perselisihan mereka, setelah pengepungan Madinah selama lima belas hari. Rasulullah ﷺ kembali ke Madinah dengan gembira pada hari Rabu, tanggal dua puluh tiga Dzulqa‘dah.

فصل غزوة بني قريظة

Bab: Perang Bani Quraizhah

ثُمَّ غَزَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بَنِي قُرَيْظَةَ لِنَقْضِهِمُ الْعَهْدَ الَّذِي بَيْنَهُ وَبَيْنَهُمْ وَطَاعَتِهِمْ لِأَبِي سُفْيَانَ ذَلِكَ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لَمَّا عَادَ مِنَ الْخَنْدَقِ بَعْدَ انْهِزَامِ الْأَحْزَابِ نَزَلَ عَلَيْهِ الْوَحْيُ حِينَ دَخَلَ مَنْزِلَ عَائِشَةَ يُؤْمَرُ بِالْمَسِيرِ إِلَى بَنِي قُرَيْظَةَ فَدَفَعَ لِوَاءَهُ إِلَى عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ وَنَادَى فِي النَّاسِ ” لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الظُّهْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ ” وَكَانَ يَوْمَ الْأَرْبِعَاءِ الثَّالِثَ وَالْعِشْرِينَ مِنْ ذِي الْقَعْدَةِ الَّذِي انْهَزَمَتْ فِيهِ الْأَحْزَابُ فَتَخَوَّفَ قَوْمٌ فَوَاتَ الصَّلَاةِ فَصَلَّوْا وَقَالَ قَوْمٌ لَا نُصَلِّي إِلَّا حَيْثُ أُمِرْنَا وَإِنْ فَاتَ الْوَقْتُ فَمَا عَنَّفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَاحِدًا مِنَ الْفَرِيقَيْنِ وَاسْتَخْلَفَ عَلَى الْمَدِينَةِ ابْنَ أُمِّ مَكْتُومٍ وَسَارَ إِلَيْهِمْ وَهُوَ رَاكِبٌ عَلَى حِمَارٍ وَغَزَا وَالْمُسْلِمُونَ مَعَهُ وَهُمْ ثَلَاثَةُ آلَافٍ وَالْخَيْلُ سِتَّةٌ وَثَلَاثُونَ فَرَسًا وَحَاصَرَهُمْ فِي حُصُونِهِمْ أَشَدَّ الْحِصَارِ خَمْسَةً وَعِشْرِينَ يَوْمًا وَكَانُوا سَأَلُوا إِنْفَاذَ أَبِي لُبَابَةَ بْنِ عَبْدِ الْمُنْذِرِ إِلَيْهِمْ فلما تقدم شاوروه فِي أَمْرِهِمْ فَأَشَارَ بِيَدِهِ إِلَى حَلْقِهِ أَنَّهُ الذَّبْحُ ثُمَّ نَدِمَ فَاسْتَرْجَعَ وَقَالَ حَنِثَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَانْصَرَفَ وَارْتَبَطَ فِي الْمَسْجِدِ وَلَمْ يَأْتِ رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ حتى أنزل الله توبته ثُمَّ نَزَلُوا عَلَى حُكْمَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَأَمَرَ مُحَمَّدَ بْنَ مَسْلَمَةَ فَكُتِّفُوا وَعُزِلُوا عَنِ النِّسَاءِ وَالذُّرِّيَّةِ وَغَنَمَ مَا فِي حُصُونِهِمْ فَوَجَدَ فِيهَا أَلْفًا وَخَمْسَمِائَةِ سَيْفٍ وَثَلَاثَمِائَةِ دِرْعٍ وَأَلْفَيْ رُمْحٍ وَأَلْفًا وَخَمْسَمِائَةِ تُرْسٍ فَخَمَّسَ وَوَجَدَ خَمْرًا فَأُهْرِيقَ وَلَمْ يُخَمّسْ وَوَجَدَ لَهُمْ مَوَاشِيَ كَثِيرَةً وَبِيعَتِ الْأَمْتِعَةُ فِيمَنْ يُرِيدُ وَقُسِّمَتِ الْغَنِيمَةُ بَعْدَ إِخْرَاجِ خُمُسِهَا عَلَى ثَلَاثَةِ آلَافٍ وَاثْنَيْنِ وَسَبْعِينَ سَهْمًا لِلْفَارِسِ ثَلَاثَةُ أَسْهُمٍ وَلِلرَّاجِلِ سَهْمًا وَاحِدًا وَقَسَمَ السَّبْيَ وَاصْطَفَى مِنْهُ رَيْحَانَةَ بِنْتَ عَمْرٍو لِنَفْسِهِ وَاجْتَمَعَ الْأَوْسُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يَسْأَلُونَهُ فِي بَنِي قُرَيْظَةَ لِحِلْفٍ كَانَ بَيْنَهُمْ فَحَكَّمَ فِيهِمْ سَعْدَ بْنَ مُعَاذٍ وَكَانَ بِهِ الْجُرْحُ الَّذِي رَمَاهُ ابْنُ الْعَرِقَةِ فَحَكَمَ سَعْدٌ أن مَنْ جَرَتْ عَلَيْهِ الْمَوَاسِي قُتِلَ وَمَنْ لَمْ تجر عَلَيْهِ الْمَوَاسِي اسْتُرِقَّ وَتُسْبَى ذَرَارِيُّهُمْ وَتُغْنَمُ أَمْوَالُهُمْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” هَذَا حُكْمُ اللَّهِ مِنْ فَوْقِ سَبْعَةِ أَرْقِعَةٍ ” يعني سبع سموات وَحَكَى حُمَيْدٌ أَنَّ مُعَاذًا حَكَمَ أَنْ يَكُونَ الدِّيَارُ لِلْمُهَاجِرِينَ دُونَ الْأَنْصَارِ فَقَالَتِ الْأَنْصَارُ إِخْوَانُنَا كُنَّا مَعَهُمْ فَقَالَ إِنِّي أَحْبَبْتُ أَنْ يَسْتَغْنَوْا عَنْكُمْ فَلَمَّا حَكَمَ سَعْدٌ بِمَا حَكَمَ وَكَانَ قَدْ رَمَاهُ ابْنُ الْعَرِقَةِ فِي أَكْحَلِهِ دَعَا أَنْ لَا يَمُوتَ حَتَّى يَشْفِيَهُ اللَّهُ مِنْ بَنِي قُرَيْظَةَ فَمُرَّ بِهِ بَعْدَ حُكْمِهِ وَهُوَ مُضْطَجِعٌ فَأَصَابَتِ الْجُرْحَ بِظِلْفِهَا فَمَا رَقَأَ حَتَّى مَاتَ وَانْصَرَفَ رَسُولُ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إلى المدينة في يوم الخميس كسابع مِنْ ذِي الْحِجَّةِ ثُمَّ أَمَرَ بِهِمْ فَأُدْخِلُوا المدينة وحفر لهم أخدود فِي السُّوقِ وَجَلَسَ عَلَيْهِ مَعَ أَصْحَابِهِ وَأُحْضِرُوا إليه رَسَلًا فَضَرَبَ أَعْنَاقَهُمْ وَكَانُوا مَا بَيْنَ سِتِّمِائَةٍ إِلَى سَبْعِمِائَةٍ وَسُمِّيَتْ هَذِهِ السَّنَةُ عَامَ الْخَنْدَقِ لِأَنَّهُ أَعْظَمُ مَا كَانَ فِيهَا

Kemudian Rasulullah ﷺ memerangi Bani Quraizhah karena mereka telah melanggar perjanjian yang ada antara beliau dan mereka, serta karena mereka menaati Abu Sufyan. Hal itu terjadi ketika Rasulullah ﷺ kembali dari (Perang) Khandaq setelah pasukan sekutu dikalahkan. Ketika beliau masuk ke rumah Aisyah, turunlah wahyu yang memerintahkan beliau untuk berangkat menuju Bani Quraizhah. Beliau menyerahkan panji kepada Ali bin Abi Thalib dan mengumumkan kepada orang-orang, “Janganlah seorang pun melaksanakan salat Zuhur kecuali di (perkampungan) Bani Quraizhah.” Itu terjadi pada hari Rabu, tanggal 23 Dzulqa’dah, hari di mana pasukan sekutu dikalahkan. Sebagian orang khawatir akan ketinggalan salat, maka mereka pun melaksanakannya, sementara sebagian lain berkata, “Kami tidak akan salat kecuali di tempat yang diperintahkan, meskipun waktu salat telah lewat.” Rasulullah ﷺ tidak mencela satu pun dari kedua kelompok tersebut. Beliau menunjuk Ibnu Ummi Maktum sebagai pengganti di Madinah, lalu berangkat menuju mereka dengan menunggang keledai, bersama kaum Muslimin yang berjumlah tiga ribu orang, dengan tiga puluh enam ekor kuda. Beliau mengepung mereka di benteng-benteng mereka dengan pengepungan yang sangat ketat selama dua puluh lima hari. Mereka meminta agar Abu Lubabah bin Abdil Mundzir diutus kepada mereka. Ketika ia datang, mereka meminta pendapatnya tentang keadaan mereka. Ia memberi isyarat dengan tangannya ke lehernya, bahwa itu adalah penyembelihan. Kemudian ia menyesal, mengucapkan istirja’, dan berkata bahwa ia telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Ia pun pergi dan mengikatkan dirinya di masjid, tidak mendatangi Rasulullah ﷺ hingga Allah menurunkan taubatnya. Kemudian mereka menyerah kepada keputusan Rasulullah ﷺ. Beliau memerintahkan Muhammad bin Maslamah untuk mengikat mereka dan memisahkan mereka dari wanita dan anak-anak, serta mengambil harta yang ada di benteng-benteng mereka. Didapati di dalamnya seribu lima ratus pedang, tiga ratus baju besi, dua ribu tombak, dan seribu lima ratus perisai. Beliau membagi seperlima (khumus) dari harta rampasan, dan mendapati minuman keras lalu ditumpahkan dan tidak dibagi. Beliau juga mendapati banyak hewan ternak milik mereka, dan barang-barang mereka dijual kepada siapa saja yang menginginkan. Ghanimah (harta rampasan) dibagikan setelah mengeluarkan seperlimanya kepada tiga ribu dua puluh dua bagian; untuk penunggang kuda tiga bagian, dan untuk pejalan kaki satu bagian. Beliau juga membagi tawanan, dan memilih Rayhanah binti Amr untuk dirinya sendiri. Kaum Aus berkumpul kepada Rasulullah ﷺ meminta syafaat untuk Bani Quraizhah karena adanya perjanjian antara mereka. Maka beliau menyerahkan keputusan kepada Sa’ad bin Mu’adz, yang saat itu sedang terluka akibat lemparan Ibnu Al-‘Ariqah. Sa’ad memutuskan bahwa siapa yang telah tumbuh rambut kemaluannya (baligh) dibunuh, dan yang belum dijadikan budak, anak-anak dan wanita mereka dijadikan tawanan, dan harta mereka dirampas. Rasulullah ﷺ bersabda, “Itulah hukum Allah dari atas tujuh lapis langit.” Humaid meriwayatkan bahwa Mu’adz memutuskan agar rumah-rumah mereka menjadi milik kaum Muhajirin, bukan Anshar. Maka kaum Anshar berkata, “Mereka adalah saudara-saudara kami, kami bersama mereka.” Ia berkata, “Aku ingin agar kalian tidak lagi membutuhkan mereka.” Setelah Sa’ad memutuskan sebagaimana keputusannya, dan ia telah dilempar oleh Ibnu Al-‘Ariqah pada urat nadi di lengannya, ia berdoa agar tidak mati sebelum Allah memberikan kemenangan atas Bani Quraizhah. Setelah ia memutuskan, ia dibawa dalam keadaan berbaring, lalu lukanya terbuka kembali dan tidak berhenti hingga ia wafat. Rasulullah ﷺ kembali ke Madinah pada hari Kamis, tanggal 7 Dzulhijjah. Kemudian beliau memerintahkan agar mereka (Bani Quraizhah) dibawa ke Madinah, lalu digali parit untuk mereka di pasar, dan beliau duduk di atasnya bersama para sahabatnya. Mereka dihadirkan secara berkelompok, lalu leher mereka dipenggal; jumlah mereka antara enam ratus hingga tujuh ratus orang. Tahun ini dinamakan Tahun Khandaq karena peristiwa terbesar yang terjadi di dalamnya.

وَفِي هَذِهِ السَّنَةِ تَزَوَّجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ زَيْنَبَ بِنْتَ جَحْشٍ حِينَ نَزَلَ عَنْهَا زَيْدُ بْنُ حَارِثَةَ وَنَزَلَ فِيهَا مِنَ الْقُرْآنِ مَا نزل وكانت غزواته فيها خمسا

Pada tahun ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Zainab binti Jahsy setelah Zaid bin Haritsah menceraikannya, dan turun ayat Al-Qur’an berkaitan dengan peristiwa tersebut. Pada tahun ini pula terjadi lima peperangan yang beliau pimpin.

فصل ذكر أحداث سنة ست من الهجرة سرية ابن مسلمة

Bagian tentang peristiwa-peristiwa tahun keenam hijriah: Ekspedisi Ibnu Maslamah

ثُمَّ دَخَلَتْ سَنَةُ سِتٍّ فَابْتَدَأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِيهَا بِسَرِيَّةِ مُحَمَّدِ بْنِ مَسْلَمَةَ فِي ثَلَاثِينَ رَاكِبًا إِلَى الْقَرْطَاءِ فِي الْعَاشِرِ مِنَ الْمُحَرَّمِ فَقَتَلَ نَفَرًا مِنْهُمْ وَهَرَبَ بَاقُوهُمْ وَاسْتَاقَ نَعَمَهُمْ وَلَمْ يَعْرِضْ لِلسَّبْيِ وَقَدِمَ إِلَى الْمَدِينَةِ بِمِائَةٍ وَخَمْسِينَ بَعِيرًا وَبِأَلْفِ شَاةٍ بَعْدَ تِسْعَةَ عَشَرَ يَوْمًا

Kemudian masuklah tahun keenam, maka Rasulullah ﷺ memulai tahun itu dengan mengutus pasukan Muhammad bin Maslamah yang terdiri dari tiga puluh penunggang menuju al-Qarta’ pada tanggal sepuluh Muharram. Mereka membunuh beberapa orang dari mereka, sementara sisanya melarikan diri, dan mereka menggiring unta-unta milik musuh tanpa mengambil tawanan. Mereka kembali ke Madinah dengan membawa seratus lima puluh unta dan seribu ekor kambing setelah sembilan belas hari.

غَزْوَةُ بَنِي لِحْيَانَ

Perang Bani Lihyan

ثُمَّ غَزَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ غَزْوَةَ بَنِي لِحْيَانَ بِنَاحِيَةِ عُسْفَانَ لِأَجْلِ مَنْ قُتِلَ مِنْ أَصْحَابِهِ فِي بِئْرِ مَعُونَةَ وَخَرَجَ في هلال شهر ربيع الأول مِائَتَيْ رَجُلٍ وَمَعَهُمْ عِشْرُونَ فَرَسًا وَاسْتَخْلَفَ عَلَى الْمَدِينَةِ ابْنَ أُمِّ مَكْتُومٍ وَسَارَ إِلَيْهِمْ فَهَرَبُوا في رؤوس الْجِبَالِ وَنَزَلَ عُسْفَانَ وَبَثَّ مِنْهَا السَّرَايَا فَلَمْ يَلْقَ كَيْدًا وَصَلَّى بِهِمْ بِهَا صَلَاةَ الْخَوْفِ وَخَرَّ رَاكِعًا وَهُوَ يَقُولُ ” آيِبُونَ تَائِبُونَ عَابِدُونَ لِرَبِّنَا حَامِدُونَ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمُنْقَلَبِ وَسُوءِ الْمَنْظَرِ فِي الْأَهْلِ وَالْمَالِ “

Kemudian Rasulullah saw. melakukan ekspedisi ke Bani Lihyan di daerah ‘Usfan sebagai balasan atas terbunuhnya para sahabat beliau di sumur Ma‘unah. Beliau berangkat pada awal bulan Rabi‘ul Awal dengan dua ratus orang dan bersama mereka ada dua puluh ekor kuda. Beliau meninggalkan Ibnu Umm Maktum sebagai pengganti di Madinah, lalu berangkat menuju mereka, namun mereka melarikan diri ke puncak-puncak gunung. Beliau singgah di ‘Usfan dan dari sana mengirimkan pasukan-pasukan kecil, namun tidak menemui perlawanan. Di sana beliau melaksanakan shalat khauf bersama mereka, lalu beliau sujud sambil mengucapkan, “Kami kembali, bertobat, beribadah kepada Tuhan kami, dan memuji-Nya. Aku berlindung kepada Allah dari kesulitan perjalanan, kesedihan saat kembali, dan keburukan pemandangan pada keluarga dan harta.”

وَعَادَ إِلَى الْمَدِينَةِ بَعْدَ أَرْبَعَةَ عَشَرَ يَوْمًا

Dan ia kembali ke Madinah setelah empat belas hari.

غَزْوَةُ الْغَابَةِ

Perang al-Ghabah

ثُمَّ غَزَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ غَزْوَةَ الْغَابَةِ وَهِيَ طَرِيقُ الشَّامِ عَلَى بَرِيدٍ مِنَ الْمَدِينَةِ

Kemudian Rasulullah saw. melakukan ekspedisi ke Ghabah, yaitu di jalan menuju Syam, sejauh satu barid dari Madinah.

وَسَبَبُهَا أَنَّ عِشْرِينَ لِقْحَةً كَانَتْ لرسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِالْغَابَةِ فِيهَا أَبُو ذَرٍّ أَغَارَ عَلَيْهَا عُيَيْنَةُ بْنُ حِصْنٍ فِي أَرْبَعِينَ فَارِسًا وَقَتَلُوا ابْنَ أَبِي ذَرٍّ وَجَاءَ الصَّرِيخُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَنُودِيَ يَا خَيْلَ اللَّهِ ارْكَبِي فَكَانَ أَوَّلَ مَا نُودِيَ بِهَا وَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي وَقْتِهِ مِنْ يَوْمِ الْأَرْبِعَاءِ مُقَنَّعًا بِالْحَدِيدِ فَكَانَ أَوَّلَ مَنْ أَقْبَلَ إِلَيْهِ الْمِقْدَادُ بْنُ عمرو فعقد لَهُ اللِّوَاءَ فِي رُمْحِهِ وَقَدَّمَهُ أَمَامَهُ فَتَلْحَقُهُ الْخُيُولُ وَسَارَ فِي أَثَرِهِ بِخَمْسِمِائَةٍ مِنْ أَصْحَابِهِ وَتَسَرَّعَ سَلَمَةُ بْنُ الْأَكْوَعِ رَاجِلًا فَبَكَى وَأَبْلَى وَهُوَ يَقُولُ

Adapun sebab terjadinya peristiwa ini adalah bahwa terdapat dua puluh unta betina milik Rasulullah ﷺ di daerah Al-Ghabah, di mana Abu Dzar berada di sana. Kemudian Uyainah bin Hishn menyerang mereka bersama empat puluh penunggang kuda, dan mereka membunuh putra Abu Dzar. Lalu datanglah kabar serangan itu kepada Rasulullah ﷺ, maka diserukan, “Wahai pasukan Allah, tunggangilah!” Inilah pertama kali seruan itu dikumandangkan. Rasulullah ﷺ pun keluar pada waktu itu, hari Rabu, dengan mengenakan baju besi. Orang pertama yang datang kepadanya adalah Al-Miqdad bin Amr, lalu beliau mengikatkan bendera di tombaknya dan menempatkannya di depannya, kemudian pasukan berkuda pun menyusulnya. Rasulullah ﷺ berjalan mengikuti jejak mereka bersama lima ratus sahabatnya. Sementara itu, Salamah bin Al-Akwa‘ bergegas berjalan kaki, ia menangis dan berjuang sambil berkata…

أَنَا ابْنُ الْأَكْوَعِ وَالْيَوْمُ يَوْمُ الرُّضَّعِ

Aku adalah putra Al-Akwa‘, dan hari ini adalah harinya para penyusu.

وَاسْتَرْجَعُوا مِنْهُمْ عَشْرَ لَقَائِحَ وَهَرَبُوا بِعَشْرٍ بَعْدَ أَنْ قُتِلَ مِنْهُمْ عَدَدٌ وَقَسَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لِكُلِّ مِائَةٍ جَزُورًا يَنْحَرُونَهَا وَقَالَ ” خَيْرُ فُرْسَانِنَا الْيَوْمَ أَبُو قَتَادَةَ وَخَيْرُ رَجَّالَتِنَا سَلَمَةُ ” وَنَزَلَ بِذِي قَرَدٍ فَأَقَامَ بِهِ يَوْمًا وَلَيْلَةً وَصَلَّى فِيهِ صَلَاةَ الْخَوْفِ وَعَادَ إِلَى الْمَدِينَةِ فِي يَوْمِ الِاثْنَيْنِ بَعْدَ خَمْسَةِ أَيَّامٍ وَأَرْدَفَ سَلَمَةَ بْنَ الْأَكْوَعِ فِي طَرِيقِهِ

Mereka berhasil mengambil kembali dari mereka sepuluh unta betina yang sedang bunting, dan mereka melarikan diri dengan sepuluh unta setelah sejumlah dari mereka terbunuh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membagikan satu unta besar untuk setiap seratus orang agar mereka menyembelihnya. Beliau bersabda, “Penunggang kuda terbaik kita hari ini adalah Abu Qatadah, dan pejalan kaki terbaik kita adalah Salamah.” Beliau singgah di Dzu Qarad dan tinggal di sana selama satu hari satu malam, serta melaksanakan shalat khauf di tempat itu. Kemudian beliau kembali ke Madinah pada hari Senin setelah berlalu lima hari, dan beliau memboncengkan Salamah bin Al-Akwa‘ di perjalanan pulangnya.

سَرِيَّةُ عُكَّاشَةَ بْنِ محصن

Ekspedisi ‘Ukkāsyah bin Miḥṣan

تم سَرِيَّةُ عُكَّاشَةَ بْنِ مِحْصَنٍ إِلَى الْغَمْرِ عَلَى لَيْلَتَيْنِ مِنْ فَيْدَ أَنْفَذَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي شَهْرِ رَبِيعٍ الْأَوَّلِ فِي أَرْبَعِينَ رَجُلًا إِلَى بَنِي أَسَدٍ فَهَرَبُوا وَلَمْ يَلْقَ كَيْدًا وَاسْتَاقَ مِنْهُمْ مِائَتَيْ بَعِيرٍ وَقَدِمَ بِهَا الْمَدِينَةَ

Telah terjadi ekspedisi ‘Ukkāsyah bin Miḥṣan ke al-Ghamr, dua malam perjalanan dari Fayd. Rasulullah ﷺ mengutusnya pada bulan Rabi‘ul Awwal bersama empat puluh orang menuju Bani Asad. Namun mereka melarikan diri dan tidak terjadi pertempuran. Ia berhasil menggiring dua ratus unta dari mereka dan membawanya ke Madinah.

سَرِيَّةُ ذِي الْقَصَّةِ

Ekspedisi Dzi al-Qassah

ثُمَّ أَنْفَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مُحَمَّدَ بْنَ مَسْلَمَةَ سَرِيَّة إِلَى ذِي الْقَصَّةِ إِلَى بَنِي ثَعْلَبَةَ وَبَيْنَهَا وَبَيْنَ الْمَدِينَةِ أَرْبَعَةٌ وَعِشْرُونَ مِيلًا طَرِيقَ الرَّبَذَةِ وَبَعَثَ مَعَهُ عَشَرَةَ نَفَرٍ فِي شَهْرِ رَبِيعٍ الْأَوَّلِ وَأَحَاطَ الْقَوْمُ بِهِمْ وَكَانُوا مِائَةً فَقَتَلُوهُمْ

Kemudian Rasulullah saw. mengirim Muhammad bin Maslamah dalam sebuah ekspedisi ke Dzu al-Qassah, menuju Bani Tsa‘labah, yang jaraknya dari Madinah adalah dua puluh empat mil melalui jalan Rabdzah. Beliau mengutus bersamanya sepuluh orang pada bulan Rabi‘ul Awwal. Lalu kaum itu mengepung mereka, dan mereka berjumlah seratus orang, kemudian membunuh mereka.

وَوَقَعَ مُحَمَّدُ بْنُ مَسْلَمَةَ صَرِيعًا بَيْنَهُمْ فَضُرِبَ كَعْبُهُ فَلَمْ يَتَحَرَّكْ وَجَرَّدُوهُمْ مِنَ الثِّيَابِ وَمَرَّ بِمُحَمَّدِ بْنِ مَسْلَمَةَ رَجُلٌ مُسْلِمٌ فَحَمَلَهُ إِلَى الْمَدِينَةِ فَأَنْفَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَبَا عُبَيْدَةَ بْنَ الْجَرَّاحِ إِلَى ذِي الْقَصَّةِ لِطَلَبِ الْقَوْمِ فِي أَرْبَعِينَ فَهَرَبُوا فِي الْجِبَالِ وَاسْتَاقَ مِنْ نَعَمِهِمْ وَقَدِمَ بِهِ الْمَدِينَةَ فَخَمَّسَهُ رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَقَسَمَ أَرْبَعَةَ أَخْمَاسِهِ فِيهِمْ

Muhammad bin Maslamah tergeletak tak berdaya di antara mereka, lalu tumitnya dipukul sehingga ia tidak bisa bergerak. Mereka menelanjangi para korban dari pakaian mereka. Seorang Muslim melewati Muhammad bin Maslamah, lalu membawanya ke Madinah. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah ke Dzi al-Qassah untuk mengejar kaum itu bersama empat puluh orang. Mereka pun melarikan diri ke pegunungan, dan Abu ‘Ubaidah menggiring hewan ternak mereka, lalu membawanya ke Madinah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil seperlima sebagai khumus dan membagikan empat perlima sisanya di antara mereka.

سَرِيَّةُ زَيْدِ بْنِ حَارِثَةَ إِلَى الْعِيصِ

Ekspedisi Zaid bin Haritsah ke Al-‘Ish

ثُمَّ بَعَثَ سَرِيَّةَ زَيْدِ بْنِ حَارِثَةَ فِي جُمَادَى الْأُولَى فِي مِائَةٍ وَسَبْعِينَ رَاكِبًا لِيَعْتَرِضُوا عِيرًا لِقُرَيْشٍ وَرَدَتْ مِنَ الشَّامِ فِيهَا فِضَّةٌ كَثِيرَةٌ لِصَفْوَانَ بْنِ أُمَيَّةَ وَأَمْوَالٌ فَظَفِرَ بِهَا وَأَسَرَ نَاسًا فِيهَا مِنْهُمْ أَبُو الْعَاصِ بْنُ الرَّبِيعِ وَقَدِمَ بِهِ الْمَدِينَةَ فَاسْتَجَارَ بِزَيْنَبَ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَكَانَتْ زَوْجَتَهُ فَخَرَجَتْ بَعْدَ إِجَارَتِهِ وَنَادَتْ فِي الْمَسْجِدِ بَعْدَ صَلَاةِ الصُّبْحِ إِنِّي قَدْ أَجَرْتُ أَبَا الْعَاصِ بْنَ الرَّبِيعِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” مَا عَلِمْتُ بِشَيْءٍ مِنْ هَذَا وَقَدْ أَجَرْنَا مَنْ أَجَرْتِ ” وَرَدَّ عَلَيْهِ مَا أُخِذَ مِنْهُ وَعَادَ إِلَى مَكَّةَ حَتَّى رَدَّ عَلَى النَّاسِ أَمْوَالَهُمْ وَرَجَعَ إِلَى الْمَدِينَةِ مُسْلِمًا سَرِيَّةُ الطَّرَفِ

Kemudian Nabi mengirimkan pasukan Zaid bin Haritsah pada bulan Jumadil Ula dengan seratus tujuh puluh penunggang kuda untuk menghadang kafilah dagang Quraisy yang datang dari Syam, yang di dalamnya terdapat banyak perak milik Shafwan bin Umayyah dan harta benda lainnya. Mereka berhasil menguasai kafilah itu dan menawan beberapa orang di dalamnya, di antaranya Abu Al-Ash bin Rabi’. Ia kemudian dibawa ke Madinah dan meminta perlindungan kepada Zainab binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang merupakan istrinya. Setelah memberikan perlindungan, Zainab keluar dan mengumumkan di masjid setelah salat Subuh, “Sesungguhnya aku telah memberikan perlindungan kepada Abu Al-Ash bin Rabi’.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku tidak mengetahui apa-apa tentang hal ini, tetapi kami memberikan perlindungan kepada siapa yang engkau lindungi.” Harta yang diambil darinya dikembalikan, lalu ia kembali ke Makkah untuk mengembalikan harta orang-orang, kemudian kembali ke Madinah sebagai seorang Muslim. Ini adalah peristiwa Sariyah ath-Tharf.

ثُمَّ بَعَثَ زَيْدَ بْنَ حَارِثَةَ إِلَى الطَّرَفِ وَهُوَ مَا دُونَ النَّخِيلِ عَلَى سِتَّةٍ وَثَلَاثِينَ مِيلًا مِنَ الْمَدِينَةِ طَرِيقَ النَّقْرَةِ إِلَى بَنِي ثَعْلَبَةَ فِي خَمْسَةَ عَشَرَ رَجُلًا فَأَصَابَ نَعَمًا وَلَمْ يَلْقَ كَيْدًا وَعَادَ بَعْدَ أَرْبَعَةِ أَيَّامٍ وَذَلِكَ فِي جُمَادَى الْآخِرَةِ

Kemudian beliau mengutus Zaid bin Haritsah ke daerah Ath-Tharaf, yaitu suatu tempat sebelum daerah pohon kurma, berjarak tiga puluh enam mil dari Madinah di jalan Naqrah menuju Bani Tsa‘labah, bersama lima belas orang. Mereka berhasil mendapatkan unta dan tidak menemui perlawanan, lalu kembali setelah empat hari, dan itu terjadi pada bulan Jumada Akhirah.

سَرِيَّةُ ابْنِ ثَابِتٍ إِلَى حِسْمَى

Ekspedisi Ibnu Tsabit ke Hisma

ثُمَّ بَعَثَ رَسُولُ الله بن حَارِثَةَ إِلَى حِسْمَى وَهِيَ وَرَاءَ وَادِي الْقُرَى فِي جُمَادَى الْآخِرَةِ فِي خَمْسِمِائَةِ رَجُلٍ

Kemudian Rasulullah mengutus Zaid bin Haritsah ke Hisma, yang terletak di belakang Wadi al-Qura, pada bulan Jumada Akhirah dengan lima ratus orang pasukan.

وَسَبَبُهُ أَنَّ نَاسًا مِنْ جُذَامَ قَطَعُوا عَلَى دِحْيَةَ بْنِ خَلِيفَةَ الْكَلْبِيِّ حِينَ عَادَ مِنْ قَيْصَرَ بِرِسَالَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِجَائِزَةٍ وَكُسْوَةٍ فَصَارَ إِلَيْهِمْ زَيْدٌ فَقَتَلَ فِيهِمْ قَتْلًا ذَرِيعًا وَأَغَارَ عَلَى نَعَمِهِمْ فَأَخَذَ مِنَ الْإِبِلِ أَلْفَ بَعِيرٍ وَمِنَ الشَّاةِ خَمْسَةَ آلَافٍ وَمِنَ السَّبْيِ مِائَةً مِنَ النِّسَاءِ وَالصِّبْيَانِ فَرَدَّ زَيْدُ بْنُ رِفَاعَةَ الْجُذَامِيُّ بِالْكِتَابِ الَّذِي كَتَبَهُ رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ له ولقومه من جذام ليال قَدِمَ عَلَيْهِ وَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَا تُحَرِّمْ عَلَيْنَا حَلَالًا وَلَا تُحِلَّ لَنَا حَرَامًا فَأَنْفَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ إِلَى زَيْدِ بْنِ حَارِثَةَ يَأْمُرُهُ أَنْ يَرُدَّ عَلَيْهِمْ حَرَمَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ فَلَقِيَهُ بِالْفَحْلَتَيْنِ بَيْنَ الْمَدِينَةِ وَذِي الْمَرْوَةِ فَأَبْلَغَهُ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَرَدَّ النَّاسَ وَالنَّعَمَ وَجَمِيعَ مَا كَانَ فِي أَيْدِيِهِمْ

Adapun sebabnya adalah bahwa sekelompok orang dari (kabilah) Juzam telah menghadang Dihyah bin Khalifah al-Kalbi ketika ia kembali dari Kaisar Romawi membawa surat dari Rasulullah ﷺ beserta hadiah dan pakaian. Maka Zaid pun mendatangi mereka dan membunuh banyak dari mereka, serta menyerang ternak mereka, sehingga ia mengambil seribu ekor unta, lima ribu ekor kambing, dan seratus orang tawanan dari kalangan wanita dan anak-anak. Lalu Zaid bin Rifa‘ah al-Judzami mengembalikan surat yang telah ditulis Rasulullah ﷺ untuk dirinya dan kaumnya dari Juzam pada malam-malam ketika ia datang kepada beliau, dan ia berkata, “Wahai Rasulullah, janganlah engkau mengharamkan atas kami sesuatu yang halal, dan jangan pula menghalalkan bagi kami sesuatu yang haram.” Maka Rasulullah ﷺ mengutus Ali bin Abi Thalib kepada Zaid bin Haritsah, memerintahkannya agar mengembalikan kepada mereka harta dan keluarga mereka. Ali pun menemuinya di antara dua tempat bernama al-Fahlatain, antara Madinah dan Dzi al-Marwah, lalu menyampaikan perintah Rasulullah ﷺ kepadanya. Maka Zaid pun mengembalikan orang-orang, ternak, dan seluruh apa yang ada di tangan mereka.

سَرِيَّةُ دُومَةِ الْجَنْدَلِ

Ekspedisi Dūmah al-Jandal

ثُمَّ بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ سَرِيَّةَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ إِلَى دُومَةِ الْجَنْدَلِ لِدُعَاءِ مَنْ بِهَا مِنْ بَنِي كَلْبٍ إِلَى الْإِسْلَامِ فِي شَعْبَانَ فَأَقْعَدَهُ بَيْنَ يَدَيْهِ وَعَمَّمَهُ بِيَدِهِ وَقَالَ لَهُ ” اغْزُ عَلَى اسْمِ اللَّهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَقَاتِلْ مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ وَلَا تُعَذِّبْ وَلَا تَقْتُلْ وَلِيدًا فَإِنِ اسْتَجَابُوا لَكَ فَتَزَوَّجْ بِنْتَ مَلِكِهِمْ ” فَسَارَ إِلَيْهِمْ حَتَّى قَدِمَ دُومَةَ الْجَنْدَلِ وَمَكَثَ بِهَا ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ يَدْعُوهُمْ إِلَى الْإِسْلَامَ فَأَسْلَمَ رَأْسُهُمُ الْأَصْبَغُ بْنُ عَمْرٍو الْكَلْبِيُّ وَكَانَ نَصْرَانِيًّا وَتَزَوَّجَ بِنْتَهُ تماضر بنت الأصبع وَهِيَ أُمُّ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَأَسْلَمَ نَاسٌ كَثِيرٌ وَدَفَعَ الْبَاقُونَ الْجِزْيَةَ

Kemudian Rasulullah ﷺ mengirim pasukan kecil yang dipimpin oleh ‘Abdurrahman bin ‘Auf ke Dumatul Jandal untuk mengajak penduduknya dari Bani Kalb masuk Islam pada bulan Sya‘ban. Beliau mendudukkannya di hadapannya, memakaikan sorban dengan tangannya sendiri, lalu bersabda kepadanya, “Berperanglah atas nama Allah di jalan Allah, dan perangi siapa saja yang ingkar kepada Allah. Jangan menyiksa dan jangan membunuh anak kecil. Jika mereka memenuhi ajakanmu, maka menikahlah dengan putri raja mereka.” Maka ia pun berangkat hingga tiba di Dumatul Jandal dan tinggal di sana selama tiga hari mengajak mereka kepada Islam. Pemimpin mereka, Al-Aṣbagh bin ‘Amr Al-Kalbi, yang sebelumnya beragama Nasrani, masuk Islam, dan ‘Abdurrahman menikahi putrinya, Tamāḍir binti Al-Aṣbagh, yang merupakan ibu dari Abu Salamah bin ‘Abdurrahman. Banyak orang yang masuk Islam, dan sisanya membayar jizyah.

سَرِيَّةُ بَنِي سَعْدٍ

Ekspedisi Bani Sa‘d

ثُمَّ بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ سَرِيَّةَ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ فِي مِائَةِ رَجُلٍ إِلَى بَنِي سَعْدِ بْنِ بَكْرٍ فِي الْهَمَجِ مَا بَيْنَ فَدَكَ وَخَيْبَرَ لِأَنَّهُمْ أَرَادُوا أَنْ يَمُدُّوا أَهْلَ خَيْبَرَ وَذَلِكَ فِي شَعْبَانَ فَقَدِمَ عَلَيْهِمْ فَهَرَبُوا مِنْهُ وَأَخَذَ مِنْهُمْ خَمْسَمِائَةِ بَعِيرٍ وَأَلْفَيْ شَاةٍ وَلَمْ يَلْقَ كَيْدًا وَأَخَذَ مِنْهُ صَفِيَّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لَقُوحًا تُدْعَى الْجَعْدَةَ ثُمَّ عَزَلَ الْخُمُسَ وَقَسَمَ الْبَاقِيَ بَيْنَ الْغَانِمِينَ

Kemudian Rasulullah saw. mengirimkan pasukan Ali bin Abi Thalib a.s. yang terdiri dari seratus orang menuju Bani Sa‘d bin Bakr di daerah al-Hamaj, antara Fadak dan Khaibar, karena mereka bermaksud membantu penduduk Khaibar. Itu terjadi pada bulan Sya‘ban. Ali pun mendatangi mereka, lalu mereka melarikan diri darinya. Ia mengambil dari mereka lima ratus unta dan dua ribu kambing, dan tidak menghadapi perlawanan apa pun. Ia juga mengambil bagian khusus Rasulullah saw., yaitu seekor unta betina yang bernama al-Ja‘dah. Kemudian ia memisahkan seperlima (al-khumus) dan membagikan sisanya kepada para peserta perang.

سَرِيَّةُ أُمِّ قِرْفَةَ

Ekspedisi Umm Qirfah

ثُمَّ بَعَثَ سَرِيَّةَ زَيْدِ بْنِ حَارِثَةَ إِلَى أُمِّ قِرْفَةَ بِنَاحِيَةِ وَادِي الْقُرَى عَلَى سَبْعِ لَيَالٍ مِنَ الْمَدِينَةِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ

Kemudian beliau mengirim pasukan Zaid bin Haritsah ke Ummu Qirfah di daerah Wadi al-Qura, yang berjarak tujuh malam perjalanan dari Madinah, pada bulan Ramadan.

وَسَبَبُهُ أَنَّ زَيْدَ بْنَ حَارِثَةَ خَرَجَ فِي تِجَارَةٍ إِلَى الشَّامِ وَمَعَهُ بَضَائِعُ لِأَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَخَرَجَ عَلَيْهِ نَاسٌ مِنْ فَزَارَةَ فَضَرَبُوهُ وَأَخَذُوا مَا كَانَ مَعَهُ فَقَدِمَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَأَخْبَرَهُ بِمَا كَانَ فَبَعَثَهُ إِلَيْهِمْ فَأَحَاطَ بِالْحَاضِرِ وَأَخَذُوا أُمَّ قِرْفَةَ وَهِيَ فَاطِمَةُ بِنْتُ رَبِيعَةَ وَبِنْتَهَا جَارِيَةَ بِنْتَ مَالِكِ بْنِ حُذَيْفَةَ بْنِ بَدْرٍ

Adapun sebabnya adalah bahwa Zaid bin Haritsah pergi dalam suatu perjalanan dagang ke Syam dengan membawa barang-barang milik para sahabat Rasulullah saw. Lalu sekelompok orang dari kabilah Fazarah menghadangnya, memukulnya, dan mengambil apa yang dibawanya. Maka Zaid kembali kepada Rasulullah saw. dan memberitahukan apa yang telah terjadi. Rasulullah saw. kemudian mengutusnya kepada mereka, lalu mereka mengepung orang-orang yang ada di tempat itu dan menangkap Ummu Qirfah, yaitu Fatimah binti Rabi‘ah, serta putrinya Jariyah binti Malik bin Hudzafah bin Badr.

وَأَمَّا أُمُّ قِرْفَةَ فَقَتَلَهَا قَيْسُ بْنُ الْمُسَحَّرِ قَتْلًا عَنِيفًا رَبَطَ رِجْلَيْهَا بِحَبْلٍ بَيْنَ بَعِيرَيْنِ حَتَّى قَطَعَاهَا وَأَمَّا جَارِيَةُ فَأَخَذَهَا سَلَمَةُ بْنُ الْأَكْوَعِ فَوَهَبَهَا لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَوَهَبَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لِحَزْنِ بْنِ أَبِي وَهْبٍ وَقَدِمَ زَيْدٌ فَقَرَعَ بَابَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَقَامَ إِلَيْهِ عُرْيَانًا يَجُرُّ ثَوْبَهُ حَتَّى اعْتَنَقَهُ وَقَبَّلَهُ وَسَأَلَهُ عَنْ خَبَرِهِ فَأَخْبَرَهُ بِظَفَرِهِ

Adapun Ummu Qirfah, maka Qais bin Al-Mushar membunuhnya dengan pembunuhan yang keras; ia mengikat kedua kakinya dengan tali yang dihubungkan antara dua unta hingga tubuhnya terbelah. Adapun seorang budak perempuan, maka Salamah bin Al-Akwa‘ menangkapnya lalu menghadiahkannya kepada Rasulullah ﷺ, dan Rasulullah ﷺ menghadiahkannya kepada Hazn bin Abi Wahb. Kemudian Zaid datang dan mengetuk pintu Rasulullah ﷺ, lalu beliau keluar menemuinya dalam keadaan tidak berpakaian, menyeret pakaiannya hingga memeluk dan menciumnya, serta menanyakan kabarnya. Maka Zaid pun memberitahukan kemenangan yang diraihnya.

مَقْتَلُ ابْنِ أَبِي الْحُقَيْقِ

Kematian Ibnu Abi al-Huqaiq

ثُمَّ بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ سَرِيَّةً إِلَى قَتْلِ أَبِي رَافِعٍ سَلَّامِ بْنِ أَبِي الْحُقَيْقِ النَّضْرِيِّ بِخَيْبَرَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ لِأَنَّهُ كَانَ يَبْعَثُ قَبَائِلَ الْعَرَبِ عَلَى حَرْبِ رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَبَعَثَ إِلَيْهِ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَتِيكٍ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أُنَيْسٍ وَأَبَا قَتَادَةَ وَخُزَاعِيَّ بْنَ الْأَسْوَدِ فَدَخَلُوا عَلَيْهِ لَيْلًا وَقَتَلُوهُ فِي الظُّلْمَةِ وَادَّعَى كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ قَتْلَهُ فَلَمَّا قَدِمُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَأَخْبَرُوهُ بِقَتْلِهِ وَتَنَازُعِهِمْ فِي قَاتِلِهِ أَخَذَ أَسْيَافَهُمْ فَنَظَرَ إِلَيْهَا فَرَأَى أَثَرَ الدَّمِ فِي ذُبَابِ سَيْفِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُنَيْسٍ فَقَالَ ” هَذَا قَاتِلُهُ “

Kemudian Rasulullah ﷺ mengirimkan satu pasukan kecil untuk membunuh Abu Rafi‘ Salam bin Abi al-Huqaiq an-Nadri di Khaibar pada bulan Ramadan, karena ia telah menghasut kabilah-kabilah Arab untuk memerangi Rasulullah ﷺ. Maka beliau mengutus Abdullah bin Atik, Abdullah bin Unais, Abu Qatadah, dan Khuza‘i bin al-Aswad. Mereka masuk ke rumahnya pada malam hari dan membunuhnya dalam kegelapan. Masing-masing dari mereka mengaku telah membunuhnya. Ketika mereka kembali kepada Rasulullah ﷺ dan memberitahukan tentang terbunuhnya Abu Rafi‘ serta perselisihan mereka mengenai siapa yang membunuhnya, beliau mengambil pedang-pedang mereka dan memeriksanya. Beliau melihat bekas darah pada ujung pedang Abdullah bin Unais, lalu bersabda, “Inilah orang yang membunuhnya.”

سَرِيَّةُ ابْنِ رَوَاحَةَ إِلَى أَسِيرِ بْنِ رَقْرَامٍ

Ekspedisi Ibnu Rawahah kepada Asir bin Raqram.

ثُمَّ بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ سَرِيَّةَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَوَاحَةَ إِلَى أَسِيرِ بْنِ رَقْرَامٍ الْيَهُودِيِّ بِخَيْبَرَ فِي شَوَّالٍ لِأَنَّ الْيَهُودَ أَمَّرُوهُ عَلَى أَنْفُسِهِمْ بَعْدَ قَتْلِ ابْنِ أَبِي الْحُقَيْقِ فَسَارَ إِلَى غَطَفَانَ وَبَعَثَهُمْ عَلَى حَرْبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَبَعَثَ إِلَيْهِ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ رَوَاحَةَ فِي ثَلَاثِينَ رَجُلًا أُمِدَّ بِهِمْ فَاسْتَأْمَنُوهُ وَاسْتَأْمَنَهُمْ لِيَأْتِيَ رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ حَتَّى يَسْتَعْمِلَهُ عَلَى خَيْبَرَ فَطَمِعَ فِي ذَلِكَ وَخَرَجَ مَعَهُمْ فِي ثَلَاثِينَ رَجُلًا قَدِ ارْتَدَفَ كُلُّ يَهُودِيٍّ مَعَ مُسْلِمٍ ثُمَّ نَدِمَ أَسِيرٌ وَأَرَادَ أَنْ يَفْتِكَ بِالْقَوْمِ فَقَتَلَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُنَيْسٍ أَسِيرًا ضَرَبَهُ فَقَدَّ فَخِذَهُ وَضَرَبَهُ أَسِيد فَشَجَّهُ مَأْمُومَةً وَقُتِلُوا جَمِيعًا وَلَمْ يُفْلَتْ مِنْهُمْ إِلَّا رَجُلٌ وَاحِدٌ وَسَلِمَ جَمِيعُ الْمُسْلِمِينَ سَرِيَّةُ كُرْزٍ لِلْعُرَنِيِّينَ

Kemudian Rasulullah ﷺ mengirim pasukan kecil yang dipimpin oleh Abdullah bin Rawahah kepada Asir bin Raqram, seorang Yahudi di Khaibar, pada bulan Syawwal. Hal ini karena orang-orang Yahudi mengangkat Asir sebagai pemimpin mereka setelah terbunuhnya Ibnu Abi al-Huqaiq. Asir kemudian pergi ke Ghathafan dan menghasut mereka untuk memerangi Rasulullah ﷺ. Maka Rasulullah ﷺ mengutus Abdullah bin Rawahah bersama tiga puluh orang yang diperkuat untuk menghadapi Asir. Mereka saling memberikan jaminan keamanan agar Asir dapat datang kepada Rasulullah ﷺ supaya diangkat menjadi pemimpin di Khaibar. Asir pun tergiur dengan tawaran itu dan berangkat bersama mereka, tiga puluh orang, di mana setiap orang Yahudi berboncengan dengan seorang Muslim. Namun kemudian Asir menyesal dan berniat berkhianat terhadap rombongan itu. Maka Abdullah bin Unais membunuh Asir dengan memukul pahanya hingga terbelah, dan Usayd juga memukulnya hingga melukai kepalanya. Mereka semua terbunuh, tidak ada yang selamat kecuali satu orang saja, dan seluruh kaum Muslimin selamat. Inilah kisah pasukan kecil Kuraz untuk menghadapi kaum ‘Uraniyyin.

ثُمَّ بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إِلَى الْعُرَنِيِّينَ سَرِيَّةَ كُرْزِ بْنِ جَابِرٍ الْفِهْرِيِّ فِي شَوَّالٍ

Kemudian Rasulullah saw. mengirimkan pasukan kecil yang dipimpin oleh Kurz bin Jabir al-Fihri kepada kaum ‘Uraniyyin pada bulan Syawwal.

وَسَبَبُهَا أَنَّ ثَمَانِيَةَ نَفَرٍ مِنْ عُرَيْنَةَ قَدِمُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَأَسْلَمُوا وَاسْتَوْبَئُوا الْمَدِينَةَ فَأَنْفَذَهُمْ إِلَى لِقَاحَةٍ بِذِي الْجَدْرِ نَاحِيَةَ قُبَاءَ عَلَى سِتَّةِ أَمْيَالٍ مِنَ الْمَدِينَةِ فَكَانُوا فِيهَا يَشْرَبُونَ مِنْ أَلْبَانِهَا حَتَّى صَحُّوا وَسَمِنُوا فَغَدَوْا عَلَى اللِّقَاحِ فَاسْتَاقُوهَا وَأَدْرَكَهُمْ يَسَارٌ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي نَفَرٍ مَعَهُ فَقَاتَلَهُمْ فَقَطَعُوا يَدَيْهِ وَرِجْلَيْهِ وَغَرَسُوا الشَّوْكَ فِي لِسَانِهِ وَعَيْنَيْهِ حَتَّى مَاتَ فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَبَعَثَ فِي أَثَرِهِمْ عِشْرِينَ فَارِسًا مَعَ كُرْزِ بْنِ جَابِرٍ الْفِهْرِيِّ فَأَدْرَكَهُمْ وَرَبَطَهُمْ وَأَرْدَفَهُمْ عَلَى الْخَيْلِ وَقَدِمَ بِهِمْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَهُوَ بِالْغَابَةِ فَأَمَرَ بِهِمْ فَقُطِعَتْ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ وَسُمِلَتْ أَعْيُنُهُمْ وَصُلِبُوا هُنَاكَ فَنَزَلَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ في الأرض فسادا أن يقتلوا الآية فَمَا سَمَلَ بَعْدَ ذَلِكَ عَيْنًا وَكَانَ اللِّقَاحُ خمس عشرة لقحة فاستردت الألقحة وَاحِدَةٌ نَحَرُوهَا

Adapun sebabnya adalah bahwa delapan orang dari (kabilah) ‘Uraynah datang kepada Rasulullah ﷺ, lalu mereka masuk Islam. Namun, mereka merasa tidak cocok dengan udara Madinah, maka Rasulullah ﷺ mengirim mereka ke unta-unta betina perah di Dzi al-Jadr, daerah Quba’, sekitar enam mil dari Madinah. Mereka tinggal di sana dan meminum susu unta-unta itu hingga sehat dan gemuk. Namun kemudian mereka menyerang unta-unta itu, menggiringnya pergi. Yasar, maula Rasulullah ﷺ, bersama beberapa orang lainnya berhasil mengejar mereka, lalu memerangi mereka. Mereka memotong kedua tangan dan kaki Yasar, menancapkan duri pada lidah dan matanya hingga ia meninggal. Peristiwa itu sampai kepada Rasulullah ﷺ, maka beliau mengirim dua puluh penunggang kuda bersama Kurz bin Jabir al-Fihri untuk mengejar mereka. Mereka berhasil menangkap, mengikat, dan membawa mereka ke hadapan Rasulullah ﷺ di daerah al-Ghabah. Rasulullah ﷺ memerintahkan agar tangan dan kaki mereka dipotong, mata mereka dicungkil, dan mereka disalib di sana. Maka turunlah ayat kepada Rasulullah ﷺ: “Sesungguhnya pembalasan bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya serta membuat kerusakan di muka bumi adalah mereka dibunuh…” (dan seterusnya). Setelah itu, beliau tidak lagi mencungkil mata siapa pun. Adapun jumlah unta betina perah itu ada lima belas ekor, dan semuanya berhasil diambil kembali kecuali satu ekor yang telah mereka sembelih.

سَرِيَّةُ عَمْرٍو وَسَلَمَةَ إِلَى أَبِي سُفْيَانَ

Ekspedisi ‘Amr dan Salamah kepada Abu Sufyan

ثُمَّ بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ سَرِيَّةَ عَمْرِو بْنِ أُمَيَّةَ الضَّمْرِيِّ وَسَلَمَةَ بْنِ أَسْلَمَ إِلَى أَبِي سُفْيَانَ بْنِ حَرْبٍ بِمَكَّةَ

Kemudian Rasulullah saw. mengirimkan pasukan kecil yang dipimpin oleh ‘Amr bin Umayyah adh-Dhamri dan Salamah bin Aslam kepada Abu Sufyan bin Harb di Makkah.

وَسَبَبُهُ أَنَّ أَبَا سُفْيَانَ بْنَ حَرْبٍ قَالَ لِقُرَيْشٍ أَلَا رَجُلٌ يَغْتَالُ مُحَمَّدًا فَإِنَّهُ يَمْشِي فِي الْأَسْوَاقِ فَأَتَاهُ أَعْرَابِيٌّ فَضَمِنَ لَهُ ذَلِكَ فَأَعْطَاهُ رَاحِلَةً وَنَفَقَةً وَبَذَلَ لَهُ جُعْلًا فَقَدِمَ الْمَدِينَةَ بَعْدَ خَامِسَةٍ فَعَقَلَ رَاحِلَتَهُ وَدَخَلَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَهُوَ فِي مَسْجِدِ بَنِي عَبْدِ الْأَشْهَلِ فَلَمَّا رَآهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ” إِنَّ هَذَا لَيُرِيدُ غَدْرًا ” فَذَهَبَ الْأَعْرَابِيُّ لِيَجْنِيَ عَلَيْهِ فَجَذَبَهُ أُسَيْدُ بْنُ حُضَيْرٍ فَوَجَدَ فِي إِزَارِهِ خِنْجَرًا فَقَالٍ دَمِي دَمِي فَسَأَلَهُ رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَنْ حَالِهِ وَقَالَ اصْدُقْنِي قَالَ وَأَنَا آمِنٌ؟ قَالَ نَعَمْ فَأَخْبَرَهُ بِأَمْرِهِ وَمَا جَعَلَ لَهُ أَبُو سُفْيَانَ فِي قَتْلِهِ فَخَلَّاهُ فَأَسْلَمَ وَبَعَثَ رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَمْرَو بْنَ أُمَيَّةَ الضَّمْرِيَّ وَكَانَ مِنْ فُتَّاكِ الْجَاهِلِيَّةِ وَمَعَهُ سَلَمَةُ بْنُ أَسْلَمَ لِيُصَادِفَا مِنْ أَبِي سُفْيَانَ غِرَّةً فَيَقْتُلَاهُ فَقَدِمَا مَكَّةَ وَطَافَ عَمْرُو بْنُ أُمَيَّةَ بِالْبَيْتِ فَرَآهُ مُعَاوِيَةُ بْنُ أَبِي سُفْيَانَ فَعَرَفَهُ فَأَنْذَرَ بِهِ وَقَالَ مَا قَدِمَ هَذَا لِخَيْرٍ فَطُلِبَ فَهَرَبَا وَقَتَلَ عَمْرٌو نَفَسَيْنِ سَمِعَ أَحَدَهُمَا يَتَغَنَّى وَيَقُولُ

Adapun sebabnya adalah bahwa Abu Sufyan bin Harb berkata kepada kaum Quraisy, “Tidakkah ada seorang laki-laki yang membunuh Muhammad? Sungguh, ia berjalan di pasar-pasar.” Maka datanglah seorang Arab badui kepadanya dan menjamin akan melakukan hal itu. Abu Sufyan pun memberinya seekor tunggangan, bekal, dan menjanjikan imbalan kepadanya. Orang itu pun tiba di Madinah pada hari kelima, lalu menambatkan tunggangannya dan masuk menemui Rasulullah ﷺ yang saat itu berada di masjid Bani ‘Abdil Asyhal. Ketika Rasulullah ﷺ melihatnya, beliau bersabda, “Orang ini benar-benar berniat berkhianat.” Orang Arab badui itu pun mendekat hendak mencelakainya, namun Usayd bin Hudhayr menariknya dan menemukan sebilah belati di kainnya. Ia berkata, “Darahku, darahku!” Rasulullah ﷺ lalu menanyainya tentang keadaannya dan bersabda, “Katakan yang sebenarnya kepadaku.” Ia bertanya, “Apakah aku aman?” Beliau menjawab, “Ya.” Maka ia pun memberitahukan urusannya dan apa yang dijanjikan Abu Sufyan kepadanya untuk membunuh beliau. Rasulullah ﷺ pun membebaskannya, lalu ia masuk Islam. Kemudian Rasulullah ﷺ mengutus ‘Amr bin Umayyah ad-Dhamri—yang dahulu termasuk pembunuh ulung di masa jahiliah—bersama Salamah bin Aslam untuk mencari kesempatan lengah dari Abu Sufyan agar bisa membunuhnya. Mereka pun tiba di Makkah, dan ‘Amr bin Umayyah thawaf di Ka‘bah. Mu‘awiyah bin Abu Sufyan melihatnya dan mengenalinya, lalu memperingatkan orang-orang, “Kedatangan orang ini bukan untuk kebaikan.” Maka mereka dicari, lalu keduanya melarikan diri. ‘Amr membunuh dua orang; salah satunya terdengar sedang bernyanyi dan berkata…

وَلَسْتُ بِمُسْلِمٍ مَا دُمْتُ حَيًّا وَلَسْتُ أَدِينُ دِينَ الْمُسْلِمِينَا

Aku bukanlah seorang Muslim selama aku masih hidup, dan aku tidak menganut agama kaum Muslim.

فَقَتَلَهُمَا عَمْرٌو ثُمَّ وَجَدَ فِي طَرِيقِهِ رَسُولَيْنِ لِقُرَيْشٍ فَقَتَلَ أَحَدَهُمَا وَأَسَرَ الْآخَرَ وَقَدِمَ بِهِ الْمَدِينَةَ وَجَعَلَ يُخْبِرُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بحاله وهو يضحك

Lalu ‘Amr membunuh keduanya, kemudian di perjalanannya ia menemukan dua utusan Quraisy, lalu ia membunuh salah satunya dan menawan yang lainnya, kemudian ia membawanya ke Madinah dan mulai menceritakan keadaannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil tertawa.

فصل غَزْوَةُ الْحُدَيْبِيَةِ

Bab: Peristiwa Hudaibiyah

ثُمَّ غَزَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ غَزْوَةَ الْحُدَيْبِيَةِ وَذَلِكَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ دَعَا أَصْحَابَهُ إِلَى الْعُمْرَةِ فَتَهَيَّئُوا وَأَسْرَعُوا فَدَخَلَ بَيْتَهُ فَاغْتَسَلَ وَلَبِسَ ثَوْبَيْنِ وَرَكِبَ رَاحِلَتَهُ الْقَصْوَى وَخَرَجَ فِي يَوْمِ الِاثْنَيْنِ هِلَالَ ذِي الْقَعْدَةِ فِي أَلْفٍ وَسِتِّمِائَةٍ

Kemudian Rasulullah saw. melakukan ekspedisi Hudaibiyah. Hal itu bermula ketika Rasulullah saw. mengajak para sahabatnya untuk menunaikan umrah, maka mereka pun bersiap-siap dan bergegas. Beliau masuk ke rumahnya, mandi, mengenakan dua helai kain, menaiki unta tunggangannya yang bernama al-Qashwa’, lalu berangkat pada hari Senin, awal bulan Dzulqa’dah, bersama seribu enam ratus orang.

وَقِيلَ أَلْفٌ وَأَرْبَعُمِائَةٍ وَمَعَهُ زَوْجَتُهُ أُمُّ سَلَمَةَ وَصَلَّى الظُّهْرَ بِذِي الْحُلَيْفَةِ وَسَاقَ سَبْعِينَ بَدَنَةً مِنْهَا جَمَلُ أَبِي جَهْلٍ الَّذِي غَنِمَهُ يَوْمَ بَدْرٍ فَحَلَّلَهَا وَأَشْعَرَهَا فِي الشِّقِّ الْأَيْمَنِ وَقَلَّدَهَا وَهُنَّ مُوَجَّهَاتٌ إِلَى الْقِبْلَةِ ثُمَّ أَحْرَمَ بِالْعُمْرَةِ وَلَبَّى وَقَدَّمَ أَمَامَهُ عَبَّادَ بْنَ بِشْرٍ فِي عِشْرِينَ فَارِسًا مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ طَلِيعَةً وَبَلَغَ قُرَيْشًا مَسِيرُهُ فَأَجْمَعُوا رَأْيَهُمْ عَلَى صَدِّهِ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَعَسْكَرُوا بِبَلْدَحَ وَقَدَّمُوا خَالِدَ بْنَ الْوَلِيدِ فِي مِائَتَيْ فَارِسٍ إِلَى كُرَاعِ الْغَمِيمِ فَوَقَفَ عَبَّادُ بْنُ بِشْرٍ فِي خَيْلِهِ بِإِزَائِهِ وَحَانَتْ صَلَاةُ الظُّهْرِ فَصَلَّاهَا بِأَصْحَابِهِ فِي عُسْفَانَ صَلَاةَ الْأَمْنِ وَحَانَتْ صَلَاةُ الْعَصْرِ وَقَرُبَتْ خَيْلُ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ فَصَلَّى الْعَصْرَ بِأَصْحَابِهِ صَلَاةَ الْخَوْفِ ثُمَّ صَارَ إِلَى الْحُدَيْبِيَةِ حَتَّى دَنَا مِنْهَا وَهِيَ طَرَفُ الْحَرَمِ عَلَى سَبْعَةِ أَمْيَالٍ مِنْ مَكَّةَ فَبَرَكَتْ نَاقَتُهُ الْقَصْوَاءُ فَزَجَرُوهَا فَأَبَتْ أَنْ تَنْبَعِثَ فَقَالُوا خَلَأَتْ نَاقَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَيْ رَجَعَتْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” مَا خَلَأَتْ وَلَكِنْ حَبَسَهَا حَابِسُ الْفِيلِ أَمَا وَاللَّهِ لَا يَسْأَلُونِي الْيَوْمَ خُطَّةً فِيهَا تَعْظِيمُ حرمة لله إلا أعطيتم إِيَّاهَا ” ثُمَّ زَجَرَهَا فَقَامَتْ فَوَلَّى رَاجِعًا عَوْدَهُ عَلَى بَدْئِهِ حَتَّى نَزَلَ بِالنَّاسِ عَلَى ثَمَدٍ من ثماد الحديبية قليل الماء فانتزع منها مِنْ كِنَانَتِهِ فَأَمَرَ بِهِ فَغُرِسَ فِيهَا فَجَاشَتْ لَهُمْ بِالرِّوَاءِ حَتَّى اغْتَرَفُوا بِآنِيَتِهِمْ جُلُوسًا عَلَى شَفِيرِ الْبِئْرِ وَمُطِرُوا بِالْحُدَيْبِيَةِ حَتَّى كَثُرَتِ الْمِيَاهُ وَجَاءَهُ بُدَيْلُ بْنُ وَرْقَاءَ فِي رَكْبٍ مِنْ خُزَاعَةَ وَقَالَ قَدْ جِئْنَاكَ مِنْ عِنْدِ قَوْمِكَ وَإِنَّهُمْ جَمَعُوا لَكَ مَنْ أَطَاعَهُمْ وَأَقْسَمُوا بِاللَّهِ أَنَّهُمْ لَا يُخَلُّونَ بَيْنَكَ وَبَيْنَ الْبَيْتِ حَتَّى تبيد ضفراءهم فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” مَا جِئْنَا لِقِتَالٍ وَإِنَّمَا جِئْنَا لِلطَّوَافِ بِهَذَا الْبَيْتِ فَمَنْ صَدَّنَا عَنْهُ قَاتَلْنَاهُ ” وَلَمْ يَكُنْ مَعَ أَصْحَابِهِ سِلَاحٌ إِلَّا سُيُوفُ الْمُسَافِرِينَ فِي أَغْمَادِهَا فَعَادَ بُدَيْلُ بْنُ وَرْقَاءَ إِلَى قُرَيْشٍ فَأَخْبَرَهُمْ بِذَلِكَ فَبَعَثُوا عُرْوَةَ بْنَ مَسْعُودٍ الثَّقَفِيَّ فَأَجَابَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِمِثْلِ ذَلِكَ وَبَعَثَ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ بَعْدَ أَنْ بَعَثَ قَبْلَهُ خِرَاشَ بْنَ أُمَيَّةَ الْكَعْبِيَّ وأمره أن ينبىء قُرَيْشًا أَنَّا لَمْ نَأْتِ لِقِتَالٍ وَإِنَّمَا جِئْنَا زُوَّارًا لِهَذَا الْبَيْتِ وَمَعَنَا هَدْيٌ نَنْحَرُهُ وَنَنْصَرِفُ فَأَتَاهُمْ عُثْمَانُ وَأَخْبَرَهُمْ بِذَلِكَ فَقَالُوا لَا كَانَ هَذَا أَبَدًا وَلَا يَدْخُلُهَا فِي هَذَا الْعَامِ وَبَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّ عُثْمَانَ قُتِلَ فَبَايَعَ أَصْحَابَهُ بَيْعَةَ الرِّضْوَانِ تَحْتَ الشَّجَرَةِ وَبَايَعَ لِعُثْمَانَ بِشِمَالِهِ عَلَى يَمِينِهِ وَجَعَلَتِ الرُّسُلُ تَخْتَلِفُ حَتَّى أَجْمَعُوا عَلَى الصُّلْحِ وَالْمُوَادَعَةِ فَبَعَثُوا سُهَيْلَ بْنَ عَمْرٍو فِي عِدَّةٍ مِنْ رِجَالِهِمْ لِعَقْدِ الصُّلْحِ وَمَعَهُ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ فَكَتَبَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُمْ هَذَا مَا اصْطَلَحَ عَلَيْهِ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ وَسُهَيْلُ بْنُ عَمْرٍو اصْطَلَحَا عَلَى وَضْعِ الْحَرْبِ عَشْرَ سِنِينَ يَأْمَنُ فِيهَا النَّاسُ وَيَكُفُّ بَعْضُهُمْ عَنْ بَعْضٍ عَلَى أَنَّهُ لَا أَسْلَالَ وَلَا أَغْلَالَ وَأَنَّ بَيْنَنَا عَيْبَةً مَكْفُوفَةً وَأَنَّهُ مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَدْخُلَ فِي عَهْدِ مُحَمَّدٍ وَعَقْدِهِ دَخَلَ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَدْخُلَ فِي عَقْدِ قُرَيْشٍ وَعَهْدِهَا دَخَلَ وَأَنَّهُ مَنْ أَتَى مِنْهُمْ مُحَمَّدًا بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهِ رَدَّهُ إِلَيْهِمْ وَمَنْ أَتَاهُمْ مِنْ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ لَمْ يَرُدُّوهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا يَرْجِعُ فِي عَامِهِ هَذَا بِأَصْحَابِهِ وَيَدْخُلُ عَلَيْنَا قَابِلَ فِي أَصْحَابِهِ فَيُقِيمُ ثَلَاثًا لَا يَدْخُلُ عَلَيْنَا إلا بسلاح سِلَاحَ الْمُسَافِرِ السُّيُوفَ فِي الْقُرُبِ

Dikatakan jumlahnya seribu empat ratus orang, bersama beliau terdapat istrinya, Ummu Salamah. Beliau melaksanakan salat Zuhur di Dzul Hulaifah dan menggiring tujuh puluh unta kurban, di antaranya unta milik Abu Jahal yang diperolehnya sebagai rampasan pada hari Perang Badar. Beliau menandai dan memberi tanda pada sisi kanan unta-unta tersebut, serta menggantungkannya, sementara unta-unta itu dihadapkan ke arah kiblat. Kemudian beliau berihram untuk umrah dan bertalbiyah, serta mengutus di depannya ‘Abbad bin Bisyr bersama dua puluh penunggang kuda dari kalangan Muhajirin dan Anshar sebagai pasukan pengintai. Berita keberangkatan beliau sampai kepada Quraisy, maka mereka sepakat untuk menghalangi beliau dari Masjidil Haram dan berkemah di Baldah. Mereka mengutus Khalid bin Walid bersama dua ratus penunggang kuda ke Kura‘ al-Ghamim. ‘Abbad bin Bisyr bersama pasukannya berhadapan dengan mereka. Ketika tiba waktu salat Zuhur, beliau melaksanakannya bersama para sahabatnya di ‘Usfan dengan salat khauf (salat dalam keadaan aman). Ketika tiba waktu salat Asar dan pasukan Khalid bin Walid sudah mendekat, beliau melaksanakan salat Asar bersama para sahabatnya dengan salat khauf. Kemudian beliau menuju Hudaibiyah hingga mendekatinya, yang merupakan batas Tanah Haram, berjarak tujuh mil dari Makkah. Unta beliau, al-Qashwa’, tiba-tiba duduk, lalu mereka menggerakkannya namun ia enggan bangkit. Mereka berkata, “Unta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mogok, yakni kembali.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukan, tetapi yang menahannya adalah yang menahan gajah. Demi Allah, jika mereka meminta kepadaku suatu rencana yang di dalamnya terdapat pengagungan terhadap kehormatan Allah, pasti akan aku berikan kepada mereka.” Kemudian beliau menggerakkan unta itu hingga bangkit dan kembali ke arah semula, sampai beliau dan para sahabatnya singgah di sebuah sumur kecil di Hudaibiyah yang airnya sedikit. Beliau mengambil anak panah dari kantongnya, lalu memerintahkan agar ditancapkan ke dalam sumur itu, maka air pun memancar deras hingga mereka semua dapat mengambil air dengan bejana mereka, duduk di tepi sumur. Di Hudaibiyah juga turun hujan hingga air melimpah. Kemudian datang Budail bin Warqa’ bersama rombongan dari Khuza‘ah dan berkata, “Kami datang kepadamu dari kaummu, sungguh mereka telah mengumpulkan siapa saja yang taat kepada mereka, dan mereka bersumpah demi Allah bahwa mereka tidak akan membiarkanmu masuk ke Baitullah sampai mereka semua binasa.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kami tidak datang untuk berperang, kami hanya datang untuk thawaf di Baitullah ini. Siapa yang menghalangi kami darinya, akan kami perangi.” Tidak ada senjata bersama para sahabat beliau kecuali pedang para musafir yang tersarung. Budail bin Warqa’ kembali kepada Quraisy dan menyampaikan hal itu kepada mereka. Lalu mereka mengutus ‘Urwah bin Mas‘ud ats-Tsaqafi, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawabnya dengan jawaban yang sama. Setelah itu, beliau mengutus ‘Utsman bin ‘Affan, setelah sebelumnya mengutus Khirasy bin Umayyah al-Ka‘bi, dan memerintahkannya untuk memberitahu Quraisy bahwa kami tidak datang untuk berperang, melainkan sebagai peziarah ke Baitullah ini, bersama kami ada hewan kurban yang akan kami sembelih lalu kami pulang. Maka ‘Utsman pun mendatangi mereka dan menyampaikan hal itu, namun mereka berkata, “Tidak akan pernah, dan ia tidak boleh masuk tahun ini.” Sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kabar bahwa ‘Utsman telah dibunuh, maka beliau membaiat para sahabatnya dengan Bai‘at Ridwan di bawah pohon, dan beliau membaiat untuk ‘Utsman dengan tangan kirinya atas tangan kanannya. Utusan-utusan pun silih berganti hingga mereka sepakat untuk berdamai dan mengadakan perjanjian damai. Mereka mengutus Suhail bin ‘Amr bersama beberapa orang dari kaumnya untuk mengadakan perjanjian, dan bersama mereka ada ‘Utsman bin ‘Affan. Maka ditulislah perjanjian antara beliau dan mereka: “Inilah yang disepakati oleh Muhammad bin ‘Abdullah dan Suhail bin ‘Amr, yaitu sepakat untuk menghentikan peperangan selama sepuluh tahun, di mana manusia merasa aman dan sebagian tidak mengganggu sebagian yang lain. Tidak ada pengkhianatan dan tidak ada penipuan. Di antara kita saling menjaga kehormatan. Siapa yang ingin masuk ke dalam perjanjian Muhammad dan perjanjiannya, maka ia boleh masuk. Siapa yang ingin masuk ke dalam perjanjian Quraisy dan perjanjiannya, maka ia boleh masuk. Siapa pun dari mereka yang datang kepada Muhammad tanpa izin walinya, maka ia harus dikembalikan kepada mereka. Dan siapa pun dari sahabat Muhammad yang datang kepada mereka, maka mereka tidak wajib mengembalikannya. Muhammad dan para sahabatnya harus kembali tahun ini dan tahun depan boleh masuk ke Makkah bersama para sahabatnya, tinggal selama tiga hari, dan tidak boleh masuk kecuali dengan senjata musafir, yaitu pedang yang tersarung.”

شَهِدَ أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي قُحَافَةَ وَعُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ وَسَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ وَعُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ وَأَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ وَمُحَمَّدُ بْنُ مَسْلَمَةَ وَحُوَيْطِبُ بْنُ عَبْدِ الْعُزَّى وَمِكْرَزُ بْنُ حَفْصٍ وَكَتَبَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ صَدْرَ هَذَا الْكِتَابِ وَكَتَبَ عَلِيٌّ نُسْخَتَيْنِ إِحْدَاهُمَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَالْأُخْرَى مَعَ سُهَيْلِ بْنِ عَمْرٍو وَتَوَاثَبَتْ خُزَاعَةُ فَقَالُوا نَحْنُ نَدْخُلُ فِي عَهْدِ مُحَمَّدٍ وَعَقْدِهِ وَتَوَاثَبَتْ بَنُو بَكْرٍ وَقَالُوا نَحْنُ نَدْخُلُ فِي عَقْدِ قُرَيْشٍ وَعَهْدِهِمْ وَخَرَجَ أَبُو جَنْدَلِ بْنُ سُهَيْلِ بْنِ عَمْرٍو مِنْ مَكَّةَ يُجْعَلُ فِي قَيْدِهِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَقَالَ سُهَيْلٌ هَذَا أَوَّلُ مَنْ أُقَاضِيكَ عَلَيْهِ فَرَدَّهُ إِلَيْهِ وَقَالَ لِأَبِي جَنْدَلٍ ” قَدْ تَمَّ الصلح بيننا وبين القوم فاصبر حتى يجعل اللَّهُ لَكَ فَرَجًا وَمَخْرَجًا ” وَانْطَلَقَ سُهَيْلٌ فَنَحَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ هَدْيَهُ وَحَلَقَ شَعْرَهُ حَلَقَهُ خِرَاشُ بْنُ أُمَيَّةَ الْكَعْبِيُّ وَحَلَقَ بَعْضُ أَصْحَابِهِ وَقَصَرَّ بَعْضُهُمْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” اللَّهْمَ اغْفِرْ لِلْمُحَلِّقِينَ ثَلَاثًا ” فَقِيلَ وَالْمُقَصِّرِينَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ فِي الرَّابِعَةِ ” وَالْمُقَصِّرِينَ ” وَأَقَامَ بالحديبية بضع عشرة يَوْمًا

Abu Bakar bin Abi Quhafah, Umar bin Khattab, Abdurrahman bin Auf, Sa’d bin Abi Waqqash, Utsman bin Affan, Abu Ubaidah bin Jarrah, Muhammad bin Maslamah, Huwaithib bin Abdul ‘Uzza, dan Mikraz bin Hafsh telah menjadi saksi. Ali bin Abi Thalib menulis bagian awal dokumen ini, dan Ali menulis dua salinan: salah satunya bersama Rasulullah ﷺ dan yang lainnya bersama Suhail bin Amr. Suku Khuza’ah pun bergegas dan berkata, “Kami masuk ke dalam perjanjian dan ikatan Muhammad,” dan Bani Bakr pun bergegas dan berkata, “Kami masuk ke dalam ikatan dan perjanjian Quraisy.” Abu Jandal bin Suhail bin Amr keluar dari Makkah dalam keadaan terbelenggu menuju Rasulullah ﷺ. Suhail berkata, “Inilah orang pertama yang aku tuntut kepadamu,” maka beliau mengembalikannya kepadanya dan berkata kepada Abu Jandal, “Perdamaian antara kami dan mereka telah selesai, maka bersabarlah hingga Allah memberimu jalan keluar dan kelapangan.” Suhail pun pergi, lalu Rasulullah ﷺ menyembelih hewan hadyu-nya dan mencukur rambutnya, yang mencukurnya adalah Khirasy bin Umayyah al-Ka’bi. Sebagian sahabat mencukur rambut mereka dan sebagian lagi memendekkannya. Rasulullah ﷺ bersabda, “Ya Allah, ampunilah orang-orang yang mencukur rambutnya,” sebanyak tiga kali. Lalu dikatakan, “Dan orang-orang yang memendekkan rambutnya, wahai Rasulullah?” Maka pada yang keempat beliau bersabda, “Dan orang-orang yang memendekkan rambutnya.” Beliau tinggal di Hudaibiyah selama beberapa belas hari.

وَقِيلَ عِشْرِينَ يَوْمًا فَلَمَّا بَلَغَ كُرَاعَ الْغَمِيمِ نَزَلَ عَلَيْهِ إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُبِينًا فَقَرَأَهَا عَلَى النَّاسِ فَقَالَ رَجُلٌ أو فتح هُوَ؟ قَالَ ” إِي وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّهُ لَفَتْحٌ ” فَهَنَّأَهُ الْمُسْلِمُونَ وَهَنَّأَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا وَذَكَرَ جَابِرٌ أَنَّ عَطَشًا أَصَابَهُمْ فَأَتَى رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِتَوْرٍ فِيهِ مَاءٌ فَوَضَعَ يَدَهُ فِيهِ فَجَعَلَ الْمَاءُ يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ أَصَابِعِهِ كَأَنَّهَا الْعُيُونُ حَتَّى ارْتَوَى جَمِيعُ النَّاسِ وَسُمِّيَتْ هَذِهِ السَّنَةُ عَامَ الْحُدَيْبِيَةَ لِأَنَّهَا أَعْظَمُ مَا كَانَ فِيهَا وَكَانَ أَبْرَكَ عَامٍ وَأَيْمَنَ صُلْحٍ فَإِنَّهُ أَسْلَمَ فِيهِ مِنَ النَّاسِ أَكْثَرُ مِنْ جَمِيعِ مَنْ أسلم من قبل وقرىء فِي عَقْدِ هَذَا الصُّلْحِ ثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ

Dikatakan dua puluh hari, lalu ketika beliau sampai di Kura‘ al-Ghamim, turunlah ayat: “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.” Maka beliau membacakannya kepada orang-orang. Lalu seorang laki-laki bertanya, “Apakah ini kemenangan?” Beliau menjawab, “Ya, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh ini adalah kemenangan.” Maka kaum Muslimin saling memberi selamat, dan sebagian mereka saling mengucapkan selamat satu sama lain. Jabir menyebutkan bahwa mereka pernah mengalami kehausan, lalu Rasulullah ﷺ membawa sebuah bejana berisi air, kemudian beliau meletakkan tangannya ke dalamnya, maka air pun keluar dari sela-sela jari beliau seperti mata air, hingga seluruh orang dapat minum sampai puas. Tahun ini dinamakan Tahun Hudaibiyah karena peristiwa itu adalah yang terbesar yang terjadi pada tahun tersebut, dan merupakan tahun yang paling penuh berkah serta perjanjian yang paling membawa keberuntungan, karena pada tahun itu lebih banyak orang yang masuk Islam dibandingkan dengan seluruh orang yang masuk Islam sebelumnya. Dalam perjanjian ini dibacakan tiga hal.

أَحَدُهَا أَنَّ جَمَاعَةَ الصَّحَابَةِ كَرِهُوهُ حَتَّى قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” أَلَسْتَ رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ بَلَى قَالَ أَوَلَسْنَا بِالْمُسْلِمِينَ؟ قَالَ بَلَى قَالَ أَوَلَيْسُوا بِالْمُشْرِكِينَ؟ قَالَ بَلَى قَالَ فَعَلَامَ نُعْطِي الدَّنِيَّةَ فِي دِينِنَا؟ قَالَ ” أَنَا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ وَلَنْ أُخَالِفَ أَمْرَهُ ” فَكَانَ عُمَرُ يَقُولُ مَا زِلْتُ أَصُومُ وَأَتَصَدَّقُ وَأُصَلِّي وَأُعْتِقُ مِنَ الَّذِي صَنَعْتُ يَوْمَئِذٍ مَخَافَةَ كَلَامِي

Salah satunya adalah bahwa sekelompok sahabat membenci hal itu, sampai-sampai Umar bin Khattab berkata kepada Rasulullah ﷺ, “Bukankah engkau Rasulullah?” Beliau menjawab, “Benar.” Umar berkata, “Bukankah kita orang-orang Muslim?” Beliau menjawab, “Benar.” Umar berkata, “Bukankah mereka orang-orang musyrik?” Beliau menjawab, “Benar.” Umar berkata, “Lalu mengapa kita menerima kehinaan dalam agama kita?” Beliau bersabda, “Aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya, dan aku tidak akan menyalahi perintah-Nya.” Maka Umar berkata, “Aku terus berpuasa, bersedekah, salat, dan memerdekakan budak karena apa yang telah aku lakukan pada hari itu, karena takut terhadap ucapanku.”

وَالثَّانِي أَنَّهُ لَمَّا كَانَتِ الصَّحِيفَةُ ابْتَدَأَتْ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ فَقَالَ سُهَيْلُ بْنُ عَمْرٍو نَعْرِفُ اللَّهَ وَمَا نَعْرِفُ الرَّحْمَنَ الرَّحِيمَ فَكَتَبَ سُهَيْلٌ بِاسْمِكَ اللَّهُمَّ عَلَى مَا كَانُوا عَلَيْهِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَكَتَبَ هَذَا مَا اصْطَلَحَ عَلَيْهِ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ فَقَالَ سُهَيْلٌ لَوْ عَلِمْنَا أَنَّكَ رَسُولُ اللَّهِ مَا نَازَعْنَاكَ فَقَالَ لِعَلِيٍّ ” اكْتُبْ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ ” فقال يَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَمْحُوَ اسْمَكَ مِنَ النُّبُوَّةِ فَمَحَاهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِيَدِهِ وَقَالَ لِعَلِيٍّ ” إِنَّكَ سَتُسَامُ إِلَى مِثْلِهَا فَتُجِيبُ ” فَكَانَ مَا دُعِيَ إِلَيْهِ فِي التَّحْكِيمِ فِي مَحْوِ اسْمِهِ مِنْ إِمَارَةِ الْمُؤْمِنِينَ

Yang kedua, ketika perjanjian itu dimulai dengan “Bismillāh ar-Rahmān ar-Rahīm”, Suhail bin ‘Amr berkata, “Kami mengenal Allah, tetapi kami tidak mengenal ar-Rahmān ar-Rahīm.” Maka Suhail menulis, “Bismikallāhumma” sebagaimana yang biasa mereka lakukan pada masa jahiliah. Kemudian ditulis, “Ini adalah apa yang disepakati oleh Muhammad Rasulullah.” Suhail berkata, “Seandainya kami mengetahui bahwa engkau adalah Rasulullah, tentu kami tidak akan berselisih denganmu.” Maka beliau berkata kepada ‘Ali, “Tulislah: Muhammad bin ‘Abdullah.” ‘Ali berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidak sanggup menghapus namamu dari kenabian.” Maka Rasulullah ﷺ menghapusnya sendiri dengan tangannya, lalu berkata kepada ‘Ali, “Sesungguhnya engkau akan menghadapi hal yang serupa, maka jawablah.” Dan memang, apa yang pernah diajakkan kepadanya dalam tahkīm (arbitrase) adalah menghapus namanya dari gelar Amirul Mukminin.

وَالثَّالِثُ أَنَّهُ لَمَّا أَمَرَ أَصْحَابَهُ بِالنَّحْرِ وَالْحَلْقِ تَوَقَّفُوا فَدَخَلَ عَلَى أُمِّ سَلَمَةَ وَشَكَى ذَلِكَ إِلَيْهَا فقالت ابتدئي أَنْتَ بِالنَّحْرِ وَالْحَلْقِ فَإِنَّهُمْ سَيَتْبَعُونَكَ فَفَعَلَ ذَلِكَ وَفَعَلُوا

Ketiga, ketika beliau memerintahkan para sahabatnya untuk menyembelih hewan kurban dan mencukur rambut, mereka ragu-ragu. Maka beliau masuk menemui Ummu Salamah dan mengadukan hal itu kepadanya. Ummu Salamah berkata, “Mulailah engkau sendiri dengan menyembelih dan mencukur rambut, maka mereka pasti akan mengikutimu.” Lalu beliau melakukannya, dan mereka pun mengikutinya.

خُرُوجُ رُسُلِ رَسُولِ اللَّهِ إِلَى الْمُلُوكِ

Keluarnya para utusan Rasulullah kepada para raja.

وَفِي هَذِهِ السَّنَةِ وَهِيَ سَنَةُ سِتٍّ بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ رُسُلَهُ إِلَى الْمُلُوكِ يَدْعُوهُمْ إِلَى الْإِسْلَامِ فَبَعَثَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ حُذَافَةَ السَّهْمِيَّ إِلَى كِسْرَى مِلْكِ الْفُرْسِ

Pada tahun ini, yaitu tahun keenam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus para utusannya kepada para raja untuk mengajak mereka masuk Islam. Beliau mengutus ‘Abdullah bin Hudzafah as-Sahmi kepada Kisra, raja Persia.

وَبَعَثَ دِحْيَةَ بْنَ خَلِيفَةَ الْكَلْبِيِّ إِلَى قَيْصَرَ مِلْكِ الرُّومِ

Dan beliau mengutus Dihyah bin Khalifah al-Kalbi kepada Kaisar, raja Romawi.

وَبَعَثَ عَمْرَو بْنَ أُمَيَّةَ الضَّمْرِيَّ إِلَى النَّجَاشِيِّ مَلِكِ الْحَبَشَةِ

Dan beliau mengutus ‘Amr bin Umayyah adl-Dhamri kepada Najasyi, Raja Habasyah.

وَبَعَثَ حَاطِبَ بْنَ أَبِي بَلْتَعَةَ إِلَى الْمُقَوْقِسِ صَاحِبِ الْإِسْكَنْدَرِيَّةِ وَبَعَثَ شُجَاعَ بْنَ وَهْبٍ إِلَى الْحَارِثِ بْنِ أَبِي شِمْرٍ الْغَسَّانِيِّ

Dan beliau mengutus Hatib bin Abi Balta‘ah kepada Muqauqis, penguasa Iskandariyah, dan mengutus Syuja‘ bin Wahb kepada al-Harits bin Abi Syamr al-Ghassani.

وَبَعَثَ سَلِيطَ بْنَ عَمْرٍو إِلَى هَوْذَةَ بْنِ عَلِيٍّ الْحَنَفِيِّ صَاحِبِ الْيَمَامَةِ

Dan beliau mengutus Saliṭ bin ‘Amr kepada Hawdzah bin ‘Ali al-Ḥanafi, penguasa Yamamah.

وَبَعَثَ الْعَلَاءَ بْنَ الْحَضْرَمِيِّ إِلَى الْمُنْذِرِ بْنِ سَاوَى صَاحِبِ الْبَحْرَيْنِ

Dan beliau mengutus Al-‘Alā’ bin Al-Hadhramī kepada Al-Mundzir bin Sāwā, penguasa Bahrain.

وَبَعَثَ عَمْرَو بْنَ الْعَاصِ إِلَى جَيَفْرٍ وَعَبَّادِ بْنِ الْجَلَنْدِيِّ صَاحِبَيْ عُمَانَ فَكَانَ لَهُ فِي هَذِهِ السَّنَةِ غَزْوَةٌ وَاحِدَةٌ وَثَلَاثَ عَشْرَةَ سَرِيَّةً

Dan ia mengutus ‘Amr bin al-‘Ash kepada Jaifar dan ‘Abbad bin al-Julandi, penguasa ‘Uman, maka pada tahun ini ia melakukan satu kali ekspedisi perang (ghazwah) dan tiga belas kali pengiriman pasukan kecil (sariyyah).

فصل غزوة خيبر

Bab: Perang Khaibar

ثُمَّ دَخَلَتْ سَنَةُ سَبْعٍ وَغَزَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ غَزْوَةَ خَيْبَرَ فِي جُمَادَى الْأُولَى وَهِيَ عَلَى ثَمَانِيَةِ بُرُدٍ مِنَ الْمَدِينَةِ وَقِيلَ غَزَاهَا فِي الْمُحَرَّمِ نَادَى فِي النَّاسِ بِالْخُرُوجِ إِلَى جِهَادِ خَيْبَرَ فَتَجَهَّزُوا وَخَرَجُوا وَاسْتَخْلَفَ عَلَى الْمَدِينَةِ سِبَاعَ بْنَ عُرْفُطَةَ الْغِفَارِيَّ وَأَخْرَجَ مَعَهُ أُمَّ سَلَمَةَ وَفَرَّقَ الرَّايَاتِ عَلَى أَصْحَابِهِ وَلَمْ يَكُنْ قَبْلَ خَيْبَرَ رَايَاتٌ وَإِنَّمَا كَانَتِ الْأَلْوِيَةُ وَكَانَتْ رَايَاتُهُ سَوْدَاءَ اتَّخَذَهَا مِنْ بُرْدٍ لِعَائِشَةٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فَدَفَعَ إِلَى عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَايَةً وَإِلَى سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ رَايَةً وَإِلَى الْحُبَابِ بْنِ الْمُنْذِرِ رَايَةً وَسَارَ إِلَى خَيْبَرَ فَنَزَلَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ غَطَفَانَ لِئَلَّا يُظَاهِرُوا أَهْلَ خَيْبَرَ عَلَيْهِ وَقَالَ حِينَ رَأَى خَيْبَرَ ” اللَّهُ أَكْبَرُ خَرِبَتْ خَيْبَرُ إِنَّا إِذَا نَزَلْنَا بِسَاحَةِ قَوْمٍ فَسَاءَ صَبَاحُ الْمُنْذَرِينَ ” وَبَدَأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِالْأَمْوَالِ فَأَخَذَهَا ثُمَّ فَتَحَهَا حِصْنًا حِصْنًا فَكَانَ أَوَّلَ حِصْنٍ فَتَحَهُ حِصْنُ نَاعِمٍ وَعِنْدَهُ قُتِلَ مَحْمُودُ بْنُ مَسْلَمَةَ بِرَحًّا أُلْقِيَ عَلَيْهِ مِنَ الْحِصْنِ ثُمَّ فَتَحَ بَعْدَهُ الْقَمُوصَ حِصْنَ ابْنِ أَبِي الْحُقَيْقِ وَاصْطَفَى مِنْ سَبَايَاهُ صَفِيَّةَ بِنْتَ حُيَيِّ بْنِ أَخْطَبَ كَانَتْ عِنْدَ كِنَانَةَ بْنِ الرَّبِيعِ بْنِ أَبِي الْحُقَيْقِ ثُمَّ أَعْتَقَهَا وَتَزَوَّجَهَا وَجَعَلَ عِتْقَهَا صَدَاقَهَا وَرَأَى فِي وَجْهِهَا أَثَرًا فَقَالَ ” مَا هَذَا الْأَثَرُ؟ فَذَكَرَتْ أَنَّهَا رَأَتْ فِي الْمَنَامِ وَهِيَ عَرُوسٌ بِكِنَانَةَ بْنِ الرَّبِيعِ بْنِ أَبِي الْحُقَيْقِ أَنَّ قَمَرًا وَقَعَ فِي حِجْرِهَا فَعَرَضَتْ رُؤْيَاهَا عَلَى زَوْجِهَا فَقَالَ مَا هَذَا إِلَّا أَنَّكِ تُرِيدِينَ مَلِكَ الْحِجَازِ مُحَمَّدًا وَلَطَمَ وَجْهَهَا فَاخْضَرَّ مِنْ لَطْمَتِهِ وَهَذَا أَثَرُهُ وَأَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِكِنَانَةَ بْنِ الرَّبِيعِ بْنِ أَبِي الْحُقَيْقِ وَكَانَ عِنْدَهُ كَنْزٌ لِبَنِي النَّضِيرِ فَسَأَلَهُ عَنْهُ فَأَنْكَرَهُ فَأَتَاهُ يَهُودِيٌّ فَأَخْبَرَهُ أَنَّهُ كَانَ يُطِيفُ بِهَذِهِ الْخَرِبَةِ كُلَّ غَدَاةٍ فَقَالَ لِكِنَانَةَ ” إِنْ وَجَدْتُ هَذَا الْكَنْزَ عِنْدَكَ أَقْتُلْكَ؟ قَالَ نَعَمْ فَأَمَرَ بِالْخَرِبَةِ فَحُفِرَتْ فَخَرَجَ مِنْهَا بَعْضُ الْكَنْزِ وَسَأَلَهُ عَنْ بَاقِيهِ فَأَنْكَرَهُ فَسَلَّمَهُ إِلَى الزُّبَيْرِ فَعَذَّبَهُ حَتَّى اسْتَخْرَجَ مِنْهُ الْبَاقِيَ ثُمَّ سَلَّمَهُ إِلَى مُحَمَّدِ بْنِ مَسْلَمَةَ حَتَّى قَتَلَهُ بِأَخِيهِ مَحْمُودِ بْنِ مَسْلَمَةَ

Kemudian masuklah tahun ketujuh, dan Rasulullah ﷺ melakukan Perang Khaybar pada bulan Jumada al-Ula, yang jaraknya delapan barid dari Madinah. Ada juga yang mengatakan beliau memeranginya pada bulan Muharram. Beliau menyerukan kepada orang-orang untuk keluar berjihad ke Khaybar, maka mereka pun bersiap-siap dan berangkat. Beliau meninggalkan Sibā‘ bin ‘Urfaṭah al-Ghifārī sebagai pengganti di Madinah, dan membawa serta Ummu Salamah. Beliau membagikan panji-panji kepada para sahabatnya, dan sebelum Khaybar belum pernah ada panji-panji, yang ada hanyalah bendera-bendera. Panji-panji beliau berwarna hitam, yang dibuat dari kain milik ‘Aisyah ra. Beliau memberikan panji kepada ‘Ali bin Abi Thalib, kepada Sa‘d bin ‘Ubadah, dan kepada Hubab bin al-Mundzir. Beliau pun berangkat menuju Khaybar dan singgah di antara Khaybar dan Ghatafan agar mereka tidak membantu penduduk Khaybar melawan beliau. Ketika melihat Khaybar, beliau bersabda, “Allāhu Akbar, Khaybar telah hancur. Jika kami turun di halaman suatu kaum, maka buruklah pagi bagi orang-orang yang diperingatkan.” Rasulullah ﷺ memulai dengan harta benda, lalu mengambilnya, kemudian menaklukkan benteng demi benteng. Benteng pertama yang beliau taklukkan adalah Benteng Na‘im, di mana Mahmud bin Maslamah terbunuh oleh batu gilingan yang dilemparkan kepadanya dari atas benteng. Setelah itu beliau menaklukkan al-Qamus, benteng milik Ibnu Abi al-Huqaiq, dan dari tawanan perangnya beliau memilih Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab, yang sebelumnya menjadi istri Kinānah bin Rabi‘ bin Abi al-Huqaiq. Kemudian beliau memerdekakannya dan menikahinya, serta menjadikan kemerdekaannya sebagai maharnya. Beliau melihat ada bekas di wajahnya, lalu bertanya, “Apa bekas ini?” Ia menceritakan bahwa ia bermimpi ketika masih menjadi pengantin Kinānah bin Rabi‘ bin Abi al-Huqaiq, bahwa bulan jatuh ke pangkuannya. Ia pun menceritakan mimpinya kepada suaminya, lalu suaminya berkata, “Itu tidak lain kecuali kamu ingin menikah dengan raja Hijaz, yaitu Muhammad,” lalu ia menampar wajahnya hingga membiru, dan itulah bekasnya. Rasulullah ﷺ kemudian mendatangkan Kinānah bin Rabi‘ bin Abi al-Huqaiq, yang menyimpan harta milik Bani Nadhir. Beliau menanyakannya, namun ia mengingkari. Lalu datang seorang Yahudi dan memberitahu bahwa Kinānah biasa mengelilingi reruntuhan itu setiap pagi. Rasulullah ﷺ berkata kepada Kinānah, “Jika aku menemukan harta itu padamu, aku akan membunuhmu?” Ia menjawab, “Ya.” Maka beliau memerintahkan agar reruntuhan itu digali, lalu ditemukan sebagian harta di sana. Beliau menanyakan sisanya, namun ia tetap mengingkari. Maka beliau menyerahkannya kepada az-Zubair, lalu az-Zubair menyiksanya hingga ia mengeluarkan sisa harta tersebut. Setelah itu beliau menyerahkannya kepada Muhammad bin Maslamah hingga ia membunuhnya sebagai balasan atas kematian saudaranya, Mahmud bin Maslamah.

قَالَ الزُّهْرِيُّ وَلَمْ يُسْبَ أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ خَيْبَرَ إِلَّا آلُ أَبِي الْحُقَيْقِ لأجل هذا ثم فتح حصن الشق وحصن النطاة وحصن الصعب بن معاذ وَكَانَ أَكْبَرَ الْحُصُونِ وَأَكْثَرَهَا مَالًا وَحِصْنَ الْكُتَيْبَةِ وَبَقِيَ حِصْنُ الْوَطِيحِ وَحِصْنُ السَّلَالِمِ فَحَاصَرَهُمَا بِضْعَ عَشْرَةَ لَيْلَةً وَعِنْدَهُمَا اشْتَدَّ الْقِتَالُ وَبَرَزَ مَرْحَبٌ الْيَهُودِيُّ وَهُوَ يَرْتَجِزُ وَيَقُولُ

Az-Zuhri berkata, “Tidak ada seorang pun dari penduduk Khaibar yang dijadikan tawanan kecuali keluarga Abu al-Huqaiq karena hal ini.” Kemudian dibukalah benteng asy-Syaqq, benteng an-Nathat, dan benteng ash-Sha‘b bin Mu‘adz, yang merupakan benteng terbesar dan paling banyak hartanya, serta benteng al-Kutaybah. Yang tersisa adalah benteng al-Wathih dan benteng as-Salalim. Maka Rasulullah mengepung keduanya selama beberapa belas malam, dan di sana pertempuran semakin sengit. Lalu Marhab, seorang Yahudi, keluar sambil bersyair dan berkata:

قَدْ عَلِمَتْ خَيْبَرُ أَنِّي مرْحَبُ شَاكِي السِّلَاحِ بَطَلٌ مُجَرَّبُ

Khaibar telah mengetahui bahwa aku adalah Marhab, yang selalu bersenjata, seorang pahlawan yang telah teruji.

أَطْعَنُ أَحْيَانًا وَحِينًا أَضْرِبُ أَكْفَى إِذَا أَشْهَدُ مَنْ تَغَيَّبَ

Terkadang aku menusuk, dan kadang aku memukul telapak tanganku ketika aku menyaksikan orang yang telah pergi.

فَإِذَا اللُّيُوثُ أَقْبَلَتْ تَحَرَّبُ كَأَنَ حِمَايَ لِلْحِمَى لَا يُقْرَبُ

Maka ketika para singa itu datang, mereka bergerak dengan penuh kewaspadaan, seakan-akan wilayah perlindungan mereka tidak boleh didekati.

فَبَرَزَ إِلَيْهِ مِنْ مَثَّلَهُ وَاخْتُلِفَ فِي قَاتِلِهِ فَحَكَى جَبَّارُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّهُ بَرَزَ إِلَيْهِ مُحَمَّدُ بْنُ مَسْلَمَةَ فَقَتَلَهُ

Maka muncullah seseorang yang sepadan dengannya, lalu terjadi perbedaan pendapat mengenai siapa yang membunuhnya. Jabbar bin Abdullah meriwayatkan bahwa yang maju menghadapi dan membunuhnya adalah Muhammad bin Maslamah.

وَحَكَى بُرَيْدَةُ الْأَسْلَمِيُّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ كَانَ رُبَّمَا أَخَذَتْهُ الشَّقِيقَةُ فَيَلْبَثُ فِيهَا الْيَوْمَ وَالْيَوْمَيْنِ لَا يَخْرُجُ فَأَخَذَتْهُ الشَّقِيقَةُ بِخَيْبَرَ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَى النَّاسِ فَأَخَذَ الرَّايَةَ أَبُو بَكْرٍ وَنَهَضَ فَقَاتَلَ قِتَالًا شَدِيدًا وَرَجَعَ ثُمَّ أَخَذَ الرَّايَةَ عُمَرُ فَنَهَضَ وَقَاتَلَ قِتَالًا شَدِيدًا ثُمَّ رَجَعَ وَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَقَالَ ” وَاللَّهِ لَأُعْطِيَنَّهَا غَدًا رَجُلًا يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيُحِبُّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ ” فَلَمَّا كَانَ مِنَ الْغَدِ دَفَعَ الرَّايَةَ إِلَى عَلِيٍّ وَكَانَ بِعَيْنِهِ رَمَدٌ فَتَفَلَ فِيهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مِنْ رِيقِهِ وَخَرَجَ فَبَرَزَ إِلَيْهِ مَرْحَبٌ مُرْتَجِزًا بِمَا قَالَ مِنْ رَجَزِهِ

Buraidah al-Aslami meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ kadang-kadang terkena sakit kepala sebelah (migrain) sehingga beliau berdiam diri selama satu atau dua hari tanpa keluar menemui orang-orang. Suatu ketika, beliau terkena sakit kepala sebelah di Khaibar sehingga tidak keluar menemui orang-orang. Maka Abu Bakar mengambil panji dan maju berperang dengan sangat gigih, lalu kembali. Kemudian Umar mengambil panji, maju dan berperang dengan sangat gigih, lalu kembali. Hal itu sampai kepada Rasulullah ﷺ, maka beliau bersabda, “Demi Allah, besok aku pasti akan memberikan panji ini kepada seorang laki-laki yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan Allah serta Rasul-Nya pun mencintainya.” Ketika hari esok tiba, beliau memberikan panji itu kepada Ali, padahal saat itu matanya sedang sakit. Maka Rasulullah ﷺ meludahi matanya dengan air liurnya, lalu Ali keluar (ke medan perang). Kemudian Marhab keluar menantangnya sambil melantunkan syair rajaznya.

أَنَا الَّذِي سَمَّتْنِي أُمِّي مَرْحَبُ شَاكِي السَّلَاحِ بَطَلٌ مُجَرَّبُ

Akulah orang yang ibuku menamaiku Marhab, pemilik senjata yang tangguh, seorang pahlawan yang telah teruji.

فَبَرَزَ إِلَيْهِ عَلِيٌّ وَهُوَ يَقُولُ

Maka Ali maju menghadapinya sambil berkata.

أَنَا الَّذِي سَمَّتْنِي أُمِّي حَيْدَرَة أَكِيلُكُمْ بِالسَّيْفِ كَيْلَ السَّنْدَرَة

Akulah yang ibuku menamaiku Haidar, aku akan menyerang kalian dengan pedang seperti serangan singa.

لَيْثُ غابات شديد قسوره

Singa hutan yang sangat kuat dan perkasa.

فَاخْتَلَفَا ضَرْبَتَيْنِ فَضَرَبَهُ عَلِيٌّ فَقَتَلَهُ ثُمَّ فَتَحَ الْحِصْنَيْنِ الْبَاقِيَيْنِ وَلَمَّا اطْمَأَنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَهَدَتْ لَهُ زَيْنَبُ بِنْتُ الْحَارِثِ الْيَهُودِيَّةُ وَهِيَ بِنْتُ أَخِي مَرْحَبٍ وَامْرَأَةُ سَلَّامِ بْنِ مِشْكَمٍ شَاةً مَصْلِيَّةً مَسْمُومَةً وَأَكْثَرَتْ مِنْ سُمِّهَا فِي الذِّرَاعِ لِأَنَّهُ كَانَ أَحَبَّ الشَّاةِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَأَخَذَ الذِّرَاعَ وَمَضَغَهُ وَلَمْ يَسُغْهُ وَأَكَلَ مَعَهُ بِشْرُ بْنُ الْبَرَاءِ بْنِ مَعْرُورٍ فَأَمَّا بِشْرٌ فَمَاتَ وَأَمَّا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَإِنَّهُ قَالَ ” إِنَّ الْعَظْمَ لَيُخْبِرُنِي أَنَّهُ مَسْمُومٌ ” وَدَعَى بِالْمَرْأَةِ وَسَأَلَهَا فَاعْتَرَفَتْ فَقَالَ مَا حَمَلَكِ عَلَى هَذَا؟ فَقَالَتْ بَلَغْتَ مِنْ قَوْمِي مَا بَلَغْتَ فَقُلْتُ إِنْ كَانَ نَبِيًّا فَسَيُخْبَرُ وَإِنْ كَانَ مَلِكًا اسْتَرَحْنَا مِنْهُ وَاخْتُلِفَ فِيهَا هَلْ قَتَلَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَمْ لَا؟ فَحَكَى الْوَاقِدِيُّ أَنَّهُ قَتَلَهَا وَحَكَى ابْنُ إِسْحَاقَ أَنَّهُ تَجَاوَزَ عَنْهَا وَأَنَّ أُمَّ بِشْرِ بْنِ الْبَرَاءِ بْنِ مَعْرُورٍ دَخَلَتْ عَلَيْهِ فِي مَرَضِهِ الَّذِي تُوُفِّيَ فِيهِ فَقَالَ لَهَا ” يَا أُمَّ بِشْرٍ إِنَّ هَذَا أَوَانُ وَجَدْتُ انْقِطَاعَ أَبْهَرِي مِنَ الْأَكْلَةِ الَّتِي أَكَلْتُهَا مَعَ ابْنِكِ بِخَيْبَرَ “

Keduanya saling beradu pukulan, lalu Ali memukulnya hingga terbunuh. Setelah itu, Ali membuka dua benteng yang tersisa. Ketika Rasulullah saw. telah merasa tenang, Zainab binti Al-Harits, seorang wanita Yahudi yang merupakan putri saudara Marhab dan istri Salam bin Misykam, menghadiahkan kepada beliau seekor kambing panggang yang telah diberi racun, dan ia memperbanyak racun pada bagian lengan karena bagian itu adalah yang paling disukai Rasulullah saw. Beliau mengambil lengan tersebut dan mengunyahnya, namun tidak menelannya. Bersama beliau, Bishr bin Al-Bara’ bin Ma’rur juga ikut makan. Bishr pun meninggal dunia, sedangkan Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya tulang ini memberitahuku bahwa ia beracun.” Kemudian beliau memanggil wanita itu dan menanyainya, lalu ia mengakui perbuatannya. Beliau bertanya, “Apa yang mendorongmu melakukan ini?” Ia menjawab, “Engkau telah melakukan terhadap kaumku apa yang telah engkau lakukan, maka aku berkata dalam hati: Jika dia seorang nabi, pasti dia akan diberi tahu; dan jika dia seorang raja, kami akan terbebas darinya.” Terdapat perbedaan pendapat mengenai wanita itu, apakah Rasulullah saw. membunuhnya atau tidak. Al-Waqidi meriwayatkan bahwa beliau membunuhnya, sedangkan Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa beliau memaafkannya. Ibu Bishr bin Al-Bara’ bin Ma’rur pernah masuk menemui beliau pada sakit yang menyebabkan wafatnya, lalu beliau bersabda kepadanya, “Wahai Ummu Bishr, inilah saatnya aku merasakan terputusnya urat nadiku karena makanan yang aku makan bersama anakmu di Khaibar.”

وَالْأَبْهَرُ عِرْقٌ فِي الظَّهْرِ فَكَانَ قَوْمٌ يَرَوْنَ أَنَّهُ مَاتَ مَعَ كَرَامَةِ اللَّهِ له بالنبوة شَهِيدًا وَلَمَّا جُمِعَتِ الْغَنَائِمُ اسْتَعْمَلَ عَلَيْهَا فَرْوَةَ بْنَ عَمْرٍو الْبَيَاضِيَّ وَأَمَّرَ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ إِحْصَاءَ النَّاسِ فَكَانُوا أَلْفًا وَأَرْبَعَمِائَةٍ وَالْخَيْلُ مِائَتَا فَرَسٍ فَجَعَلَ لِكُلِّ فَارِسٍ ثَلَاثَةَ أَسْهُمٍ وَلِلرَّاجِلِ سَهْمًا فَقَسَمَ خَيْبَرَ عَلَى سِتَّةٍ وَثَلَاثِينَ سَهْمًا جَعَلَ نِصْفَهَا ثَمَانِيَةَ عَشَرَ سَهْمًا لِنَوَائِبِهِ وَنَصْفَهَا ثَمَانِيَةَ عَشَرَ سَهْمًا لِلْغَانِمِينَ فَأَعْطَى كُلَّ مِائَةٍ سَهْمًا وَعَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بَعْدَ زَوَالِ مُلْكِهِمْ عَنْهَا عَلَى الشَّطْرِ مِنْ ثَمَرِهَا حَتَّى أَجْلَاهُمْ عُمَرُ عَنْهَا لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ عِنْدَ مُسَاقَاتِهِمْ ” أُقِرُّكُمْ مَا أَقَرَّكُمُ اللَّهُ ” وَكَانَتْ حُصُونُهُمْ ثَمَانِيَةً أَخَذَ مِنْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِالنِّصْفِ الَّذِي لَهُ ثَلَاثَةَ حُصُونٍ الْكُتَيْبَةُ وَالْوَطِيحُ وَالسَّلَالِمُ وَدَفَعَ إِلَى الْمُسْلِمِينَ بِالنِّصْفِ خَمْسَةَ حُصُونٍ ناعم والقموص وشق والنطاة وَحِصْنُ الصَّعْبِ بْنِ جَثَّامَةَ

Abhar adalah urat di punggung. Maka ada sekelompok orang yang berpendapat bahwa ia wafat sebagai syahid dengan kemuliaan Allah kepadanya berupa kenabian. Ketika harta rampasan perang dikumpulkan, Rasulullah menunjuk Farwah bin Amr al-Bayadhi untuk mengurusnya dan menugaskan Zaid bin Tsabit untuk menghitung jumlah orang, ternyata mereka berjumlah seribu empat ratus orang, dan kuda sebanyak dua ratus ekor. Maka setiap penunggang kuda mendapat tiga bagian dan setiap pejalan kaki mendapat satu bagian. Rasulullah membagi Khaybar menjadi tiga puluh enam bagian, separuhnya, yaitu delapan belas bagian, diperuntukkan bagi kebutuhan-kebutuhannya, dan separuhnya lagi, delapan belas bagian, untuk para peserta perang. Setiap seratus orang mendapat satu bagian. Rasulullah memperlakukan penduduk Khaybar setelah kekuasaan mereka berakhir atas tanah itu dengan perjanjian setengah dari hasil buahnya, hingga Umar mengusir mereka dari sana. Karena Rasulullah bersabda ketika melakukan musāqāt dengan mereka, “Aku biarkan kalian selama Allah membiarkan kalian.” Benteng-benteng mereka ada delapan, Rasulullah mengambil tiga benteng sebagai setengah bagian yang menjadi haknya, yaitu al-Kutaybah, al-Wathīh, dan as-Salālim, dan menyerahkan kepada kaum Muslimin lima benteng sebagai setengah bagian mereka, yaitu Na‘im, al-Qamus, asy-Syiqq, an-Nathāh, dan benteng Sha‘b bin Jatsāmah.

وَفِي خَيْبَرَ حَرَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ نِكَاحَ الْمُتْعَةِ وَأَكْلَ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ

Di Khaibar, Rasulullah ﷺ mengharamkan nikah mut‘ah dan memakan keledai jinak.

وَفِي خَيْبَرَ قَدِمَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ الدَّوْسِيُّونَ وَفِيهِمْ أَبُو هُرَيْرَةَ وَقَدِمَ عَلَيْهِ الْأَشْعَرِيُّونَ وَقَدِمَ عَلَيْهِ مِنْ أَرْضِ الْحَبَشَةِ مَنْ تَخَلَّفَ بِهَا مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَكَانُوا سِتَّةَ عَشَرَ نَفَسًا فِيهِمْ جَعْفَرُ بْنُ أَبِي طَالِبٍ فِي سَفِينَتَيْنِ حَمَلَهُمُ النَّجَاشِيُّ فِيهَا وَكَانَ قَدْ أَرْسَلَ لِعَمْرِو بْنِ أُمَيَّةَ الضَّمْرِيِّ فِي حَمْلِهِمْ إِلَيْهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” ما أدري أيهما أُسَرُّ بِقُدُومِ جَعْفَرٍ أَوْ بِفَتْحِ خَيْبَرَ ” وَقَدِمَتْ أُمُّ حَبِيبَةَ بِنْتُ أَبِي سُفْيَانَ بَعْدَ أَنْ تزوجها رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِأَرْضِ الْحَبَشَةِ مِنْ خَالِدِ بْنِ سَعِيدِ بْنِ الْعَاصِ وَسَاقَ النَّجَاشِيُّ صَدَاقَهَا أَرْبَعَمِائَةِ دِينَارٍ وَقُتِلَ بِخَيْبَرَ مِنَ الْيَهُودِ ثَلَاثَةٌ وَتِسْعِينَ رَجُلًا وَقُتِلَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ خَمْسَةَ عَشَرَ رَجُلًا وَلَمَّا سَمِعَ أَهْلُ فَدَكَ مَا فُعِلَ بِأَهْلِ خَيْبَرَ بَعَثُوا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنْ يَحْقِنَ دِمَاءَهُمْ وَيُسَيِّرَهُمْ وَيُخَلُّوَا لَهُ أَمْوَالَهُمْ ومشى وبينه وَبَيْنَهُمْ مُحَيِّصَةُ بْنُ مَسْعُودٍ فَاسْتَقَرَّ عَلَى هَذَا وَصَارَتْ فَدَكُ خَالِصَةً لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لِأَنَّهُ أَخَذَهَا بِلَا إِيجَافِ خَيْلٍ وَلَا رِكَابٍ فَكَانَتْ فَيْئًا لَهُ وَكَانَتْ خَيْرَ غَنِيمَةٍ لِلْمُسْلِمِينَ

Di Khaibar, datang kepada Rasulullah ﷺ orang-orang Daus, di antara mereka terdapat Abu Hurairah. Juga datang kepadanya orang-orang Asy‘ariyyun, dan datang pula kepadanya dari negeri Habasyah orang-orang Muhajirin yang sebelumnya tinggal di sana; mereka berjumlah enam belas orang, di antaranya Ja‘far bin Abi Thalib, dengan dua kapal yang membawa mereka, yang disediakan oleh Najasyi. Najasyi juga telah mengirimkan ‘Amr bin Umayyah adh-Dhamri untuk membawa mereka kepada Rasulullah ﷺ. Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Aku tidak tahu mana yang lebih membahagiakanku, kedatangan Ja‘far atau kemenangan atas Khaibar.” Ummu Habibah binti Abu Sufyan juga datang setelah dinikahi oleh Rasulullah ﷺ di negeri Habasyah melalui Khalid bin Sa‘id bin al-‘Ash, dan Najasyi memberikan mahar untuknya sebanyak empat ratus dinar. Di Khaibar, dari pihak Yahudi terbunuh sembilan puluh tiga orang, dan dari pihak Muslimin gugur lima belas orang. Ketika penduduk Fadak mendengar apa yang terjadi pada penduduk Khaibar, mereka mengirim utusan kepada Rasulullah ﷺ agar beliau menjaga darah mereka, mengusir mereka, dan membiarkan harta mereka untuk beliau. Antara beliau dan mereka, yang menjadi perantara adalah Muhayyishah bin Mas‘ud, maka disepakatilah hal itu. Fadak pun menjadi milik khusus Rasulullah ﷺ karena beliau memperolehnya tanpa peperangan kuda maupun unta, sehingga menjadi fai’ untuk beliau, dan Khaibar menjadi rampasan terbaik bagi kaum Muslimin.

وَلَمَّا صَالَحَ أَهْلَ خَيْبَرَ عَلَى النِّصْفِ مِنَ الثَّمَرِ صَالَحَ أَهْلَ فَدَكَ عَلَى مِثْلِهِ لَهُمْ نِصْفُ الثَّمَرِ بِعَمَلِهِمْ وَنِصْفُهُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِالْفَيْءِ

Ketika Rasulullah ﷺ berdamai dengan penduduk Khaybar dengan ketentuan setengah dari hasil panen, beliau juga berdamai dengan penduduk Fadak dengan ketentuan yang serupa: mereka mendapatkan setengah dari hasil panen sebagai imbalan atas pekerjaan mereka, dan setengahnya lagi menjadi hak Rasulullah ﷺ sebagai fai’.

وَعَادَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مِنْ خَيْبَرَ إِلَى وَادِي الْقُرَى ثُمَّ سَارَ إِلَى الْمَدِينَةِ وَفِي سَفَرِهِ هَذَا نَامَ عَنْ صَلَاةِ الصُّبْحِ حَتَّى طَلَعَتِ الشَّمْسُ فَأَمَرَ بِلَالًا فَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَصَلَّى فَلَمَّا سَلَّمَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ وَقَالَ ” إِذَا نَسِيتُمُ الصَّلَاةَ فَصَلُّوهَا إِذَا ذكرتموها فإن الله تعالى يقول أقم الصَّلاةَ لِذِكْرِي “

Rasulullah saw. kembali dari Khaibar menuju Wadi al-Qura, kemudian beliau melanjutkan perjalanan ke Madinah. Dalam perjalanan ini, beliau tertidur dan melewatkan shalat Subuh hingga matahari terbit. Maka beliau memerintahkan Bilal untuk mengumandangkan iqamah, lalu beliau melaksanakan shalat. Setelah selesai, beliau menghadap kepada orang-orang dan bersabda, “Jika kalian lupa shalat, maka laksanakanlah ketika kalian mengingatnya, karena Allah Ta‘ala berfirman: ‘Dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.’”

وَلَمَّا عَادَ إِلَى الْمَدِينَةِ اتَّخَذَ مِنْبَرَهُ دَرَجَتَيْنِ وَالْمُسْتَرَاحَ وَصَارَ يَخْطُبُ عَلَيْهِ بَعْدَ الْجِذْعِ الَّذِي كَانَ يَسْتَنِدُ إِلَيْهِ وَلَمَّا عدل عنه إلى المنبر حن إليه

Ketika beliau kembali ke Madinah, beliau membuat mimbar dengan dua anak tangga dan tempat duduk, lalu beliau mulai berkhutbah di atasnya setelah sebelumnya bersandar pada batang pohon kurma. Ketika beliau berpindah dari batang pohon itu ke mimbar, batang pohon itu merindukannya.

فصل سَرَايَا رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بعد خيبر

Bab tentang ekspedisi-ekspedisi Rasulullah saw. setelah (Perang) Khaibar

سرية عجز هوازن

Ekspedisi ‘Ajz Hawāzin

ثُمَّ بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بَعْدَ خَيْبَرَ خَمْسَ سَرَايَا فَأَوَّلُهَا سَرِيَّةُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي شَعْبَانَ فِي ثَلَاثِينَ رَجُلًا إلى عجز هوازن وهم في متربة عَلَى أَرْبَعِ لَيَالٍ مِنْ مَكَّةَ طَرِيقًا صَعْبًا فَهَرَبُوا وَعَادَ وَلَمْ يَلْقَ كَيْدًا

Kemudian Rasulullah saw. setelah Perang Khaibar mengirim lima ekspedisi militer, yang pertama adalah ekspedisi Umar bin Khattab pada bulan Sya‘ban dengan tiga puluh orang menuju wilayah belakang suku Hawazin, sementara mereka berada di Metreba, yang berjarak empat malam perjalanan dari Mekah melalui jalan yang sulit. Namun mereka (musuh) melarikan diri, sehingga Umar dan pasukannya kembali tanpa menghadapi perlawanan.

سَرِيَّةُ بَنِي فَزَارَةَ

Ekspedisi Bani Fazarah

ثُمَّ بَعَثَ بَعْدَهُ سَرِيَّةَ أَبِي بَكْرٍ فِي شَعْبَانَ إِلَى بَنِي فَزَارَةَ بِنَجْدٍ فَشَنَّ الْغَارَةَ عَلَيْهِمْ بَعْدَ صَلَاةِ الصُّبْحِ فَسَبَى وَقَتَلَ

Kemudian setelah itu, beliau mengirim pasukan di bawah pimpinan Abu Bakar pada bulan Sya‘ban ke Bani Fazarah di Najd. Maka Abu Bakar menyerang mereka setelah salat Subuh, lalu menawan dan membunuh.

سَرِيَّةُ بَنِي مُرَّةَ

Ekspedisi Bani Murrah

ثُمَّ بَعَثَ بَعْدَهُ سَرِيَّةَ بَشِيرِ بْنِ سَعْدٍ فِي شَعْبَانَ إِلَى بَنِي مُرَّةَ بِنَاحِيَةِ فَدَكَ فِي ثَلَاثِينَ رَجُلًا فَاسْتَاقُوا أَنْعُمَ الْقَوْمِ ثُمَّ أَدْرَكُوهُمْ فَقَتَلُوهُمْ جَمِيعًا إِلَّا بَشِيرَ بْنَ سَعْدٍ نَجَا وَحْدَهُ وَاسْتَرْجَعُوا النَّعَمَ

Kemudian setelah itu, beliau mengirimkan pasukan kecil yang dipimpin oleh Basyir bin Sa‘d pada bulan Sya‘ban menuju Bani Murrah di daerah Fadak dengan tiga puluh orang. Mereka menggiring hewan ternak milik kaum tersebut, lalu penduduk setempat berhasil mengejar mereka dan membunuh seluruh pasukan kecuali Basyir bin Sa‘d yang selamat seorang diri, dan mereka berhasil merebut kembali hewan ternak mereka.

سَرِيَّةُ بَنِي عِمْرَانَ

Ekspedisi Bani Imran

ثُمَّ بَعَثَ بَعْدَهُ سَرِيَّةَ غَالِبِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ اللَّيْثِيِّ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ إِلَى بَنِي عِمْرَانَ وَهُمْ بِالْمِيفَعَةِ وَرَاءَ بَطْنِ نَخْلٍ بِنَجْدٍ فِي مِائَةٍ وَثَلَاثِينَ رَجُلًا فَاسْتَاقُوا نَعَمَهُمْ إِبِلًا وَشِيَاهًا فَقَدِمُوا بِهَا الْمَدِينَةَ وَلَمْ يَأْسِرُوا أَحَدًا

Kemudian setelah itu, beliau mengirimkan pasukan di bawah pimpinan Ghalib bin ‘Abdullah al-Laitsi pada bulan Ramadan kepada Bani ‘Imran yang berada di Mifah, di balik Batn Nakhl di Najd, dengan seratus tiga puluh orang. Mereka berhasil menggiring ternak unta dan kambing milik mereka, lalu membawanya ke Madinah, dan mereka tidak menawan seorang pun.

وَفِيهَا قَتَلَ أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ الرَّجُلَ الَّذِي قَالَ ” لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ” فَأَنْكَرَ عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَقَالَ أُسَامَةُ إِنَّهُ قَالَهَا مُتَعَوِّذًا فَقَالَ هَلَّا شَقَقْتَ عَنْ قَلْبِهِ؟

Pada peristiwa itu, Usamah bin Zaid membunuh seorang laki-laki yang mengucapkan “La ilaha illallah”, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari perbuatannya. Usamah berkata, “Sesungguhnya ia mengucapkannya karena ingin melindungi diri.” Maka beliau bersabda, “Apakah engkau telah membelah hatinya?”

سَرِيَّةُ غَطَفَانَ

Ekspedisi Ghatfan

ثُمَّ بَعَثَ سَرِيَّةَ بَشِيرِ بْنِ سَعْدٍ فِي شَوَّالٍ فِي ثَلَاثِمِائَةِ رَجُلٍ إِلَى غَطَفَانَ وَكَانُوا عَلَى الِاجْتِمَاعِ مَعَ عُيَيْنَةَ بْنِ حِصْنٍ إِلَى الْمَدِينَةِ فَأَدْرَكَ نَعَمَهُمْ فَسَاقَهَا وَهَرَبُوا فَأَسَرَ مِنْهُمْ نَفْسَيْنِ قَدِمَ بهما المدينة فأسلما فأرسلهما

Kemudian beliau mengirimkan pasukan ekspedisi yang dipimpin oleh Basyir bin Sa‘d pada bulan Syawwal, terdiri dari tiga ratus orang, menuju Ghathafan. Mereka (Ghathafan) sedang bersiap-siap bersama ‘Uyainah bin Hishn untuk menuju Madinah. Pasukan itu berhasil mendapatkan hewan ternak mereka lalu menggiringnya, sementara mereka melarikan diri. Dari mereka tertawan dua orang, yang kemudian dibawa ke Madinah. Keduanya memeluk Islam, lalu beliau membebaskan mereka.

فصل عمرة القضاء

Bab ‘Umrah Qadha’

ثُمَّ خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لِعُمْرَةِ الْقَضَاءِ فِي هِلَالِ ذِي الْقَعْدَةِ لِأَنَّهُ شَرَطَ عَلَى قُرَيْشٍ حِينَ صَدُّوهُ فِي الْحُدَيْبِيَةِ عن عمرته أن يقضيها مده العام المقبل فنادى في أصحابه أن لايتخلف أَحَدٌ مِمَّنْ شَهِدَ الْحُدَيْبِيَةَ فَخَرَجُوا جَمِيعًا إِلَّا مَنْ قُتِلَ مِنْهُمْ أَوْ مَاتَ وَخَرَجَ مَعَهُمْ من المسلمين عمار لم يشهد الْحُدَيْبِيَةَ حَتَّى صَارُوا فِي عُمْرَةِ الْقَضِيَّةِ أَلْفَيْنِ وَقَادَ مِائَةَ فَرَسٍ وَخَرَجُوا بِالسِّلَاحِ وَاسْتَخْلَفَ عَلَى الْمَدِينَةِ أَبَا رُهْمٍ الْغِفَارِيَّ وَسَاقَ مَعَهُ سِتِّينَ بَدَنَةً وَخَرَجَ فِي مِثْلِ الشَّهْرِ الَّذِي صُدَّ فِيهِ وَسَارَ عَلَى نَاقَتِهِ الْقَصْوَاءِ حَتَّى انْتَهَى إِلَى ذِي الْحُلَيْفَةِ فَأَحْرَمَ مِنْ بَابِ الْمَسْجِدِ وَلَبَّى وَأَحْرَمَ مَعَهُ الْمُسْلِمُونَ وَلَبَّوْا وَقَدَّمَ أَمَامَهُ مُحَمَّدَ بْنَ مَسْلَمَةَ فِي الْخَيْلِ إِلَى مَرِّ الظَّهْرَانِ وَسَارَ حَتَّى دَخَلَ مَكَّةَ مِنْ ثَنِيَّةِ الْحَجُونِ وَالْمُسْلِمُونَ مُتَوَشِّحُونَ بِالسُّيُوفِ يَمْشُونَ حَوْلَهُ مُلَبِّينَ وَابْنُ رَوَاحَةَ آخِذٌ بِزِمَامِ نَاقَتِهِ وَهُوَ يَقُولُ

Kemudian Rasulullah saw. berangkat untuk melaksanakan ‘umrah qadha’ pada awal bulan Dzulqa’dah, karena beliau telah mensyaratkan kepada Quraisy ketika mereka menghalanginya di Hudaibiyah dari ‘umrahnya, bahwa beliau akan menggantinya pada tahun berikutnya. Maka beliau mengumumkan kepada para sahabatnya agar tidak ada seorang pun yang pernah menyaksikan peristiwa Hudaibiyah yang tertinggal. Maka mereka semua pun berangkat, kecuali yang telah terbunuh atau meninggal di antara mereka. Bersama mereka juga ikut kaum muslimin lainnya yang tidak ikut Hudaibiyah, sehingga jumlah mereka dalam ‘umrah qadha’ mencapai dua ribu orang. Beliau membawa seratus ekor kuda, mereka keluar dengan membawa senjata, dan beliau menunjuk Abu Ruhm al-Ghifari sebagai pengganti di Madinah. Beliau juga membawa enam puluh ekor unta untuk disembelih. Beliau berangkat pada bulan yang sama ketika beliau dahulu dihalangi, dan berjalan di atas unta beliau al-Qashwa’ hingga sampai di Dzul Hulaifah, lalu berihram dari pintu masjid dan bertalbiyah. Kaum muslimin pun berihram bersama beliau dan bertalbiyah. Beliau menugaskan Muhammad bin Maslamah memimpin pasukan berkuda hingga ke Marr azh-Zhahran. Beliau terus berjalan hingga memasuki Makkah dari Tsaniyyah al-Hajun, sementara kaum muslimin mengenakan pedang, berjalan mengelilingi beliau sambil bertalbiyah, dan Ibnu Rawahah memegang tali kekang untanya seraya berkata.

خَلُّوا بَنِي الْكُفَّارِ عَنْ سَبِيلِهْ قَدْ أَنْزَلَ الرَّحْمَنُ فِي تَنْزِيلِهْ

Biarkanlah orang-orang kafir dari jalannya, sungguh Ar-Rahman telah menurunkannya dalam wahyu-Nya.

فِي صُحُفٍ تُتْلَى عَلَى رسوله إني شَهِيدٌ أَنَّهُ رَسُولُهْ

Dalam lembaran-lembaran yang dibacakan kepada Rasul-Nya, sungguh aku bersaksi bahwa dia adalah utusan-Nya.

يَا رَبِّ إِنِّي مُؤْمِنٌ بقبله أَعْرِفُ حَقَّ اللَّهِ فِي قَبُولِهْ

Ya Rabb, sesungguhnya aku adalah seorang mukmin yang menerima-Nya, aku mengetahui hak Allah dalam menerimanya.

فَالْيَوْمَ نَضْرِبُكُمْ عَلَى تَأْوِيلِهْ كَمَا ضَرَبْنَاكُمْ عَلَى تَنْزِيلِهِ

Maka hari ini kami memerangi kalian karena penafsiran (ta’wil)-nya, sebagaimana dahulu kami memerangi kalian karena turunnya (tanzil)-nya.

ضَرْبًا يُزِيلُ الْهَامَ عَنْ مَقِيلِهِ وَيُذْهِلُ الْخَلِيلَ عَنْ خَلِيلِهْ

Pukulan yang memisahkan kepala dari tempatnya dan membuat sahabat lupa kepada sahabatnya.

فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” إِيهًا ابْنَ رَوَاحَةَ قُلْ ” لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ ” فَقَالَهَا وَقَالَهَا النَّاسُ وَدَخَلَ فَاسْتَلَمَ الرُّكْنَ بِمِحْجَنٍ وَطَافٍ عَلَى رَاحِلَتِهِ مُضْطَجِعًا بِثَوْبِهِ مِنْ فَوْقِ مَنْكِبِهِ الْأَيْسَرِ وَتَحْتَ مَنْكِبِهِ الْأَيْمَنِ وَسَعَى فِي الْأَشْوَاطِ الثَّلَاثَةِ وَمَشَى فِي الْأَرْبَعَةِ لِأَنَّ قُرَيْشًا قَالُوا حِينَ رَأَوُا المسلمين وقد هربوا منهم إلى رؤوس الْجِبَالِ أَمَا تَرَوْهُمْ قَدْ أَوْهَنَتْهُمْ حُمَّى يَثْرِبَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” رحم الله امرءا أَظْهَرَ نَشَاطًا وَجَلَدًا وَأَضْطَبَعَ وَرَمَلَ فَاضْطَبَعُوا وَرَمَلُوا “

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ayo, wahai Ibnu Rawahah, ucapkanlah: ‘Lā ilāha illā Allāh wahdahū, shadaqa wa‘dahū, wa nashara ‘abdahū, wa a‘azza jundahū, wa hazama al-ahzāba wahdahū’ (Tiada tuhan selain Allah semata, Dia telah menepati janji-Nya, menolong hamba-Nya, memuliakan pasukan-Nya, dan mengalahkan kelompok-kelompok musuh sendirian).” Maka Ibnu Rawahah mengucapkannya, dan orang-orang pun mengucapkannya. Kemudian beliau masuk (ke Ka’bah), menyentuh rukun dengan tongkatnya, lalu thawaf di atas tunggangannya dalam keadaan berselimut kain dari atas pundak kirinya dan di bawah pundak kanannya. Beliau berlari-lari kecil pada tiga putaran dan berjalan biasa pada empat putaran, karena ketika Quraisy melihat kaum muslimin yang telah melarikan diri ke puncak-puncak gunung, mereka berkata, “Tidakkah kalian lihat, mereka telah dilemahkan oleh demam Yatsrib?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semoga Allah merahmati seseorang yang menampakkan semangat dan kekuatan, lalu berselimut dan berlari-lari kecil.” Maka mereka pun berselimut dan berlari-lari kecil.

قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ إِنَّمَا أَمَرَ بِالسَّعْيِ فِي الثَّلَاثِ وَالْمَشْيِ فِي الْأَرْبَعَةِ بَقْيًا عَلَيْهِمْ ثُمَّ طَافَ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ سَبْعًا رَاكِبًا عَلَى رَاحِلَتِهِ وَنَحَرَ هَدْيَهُ عِنْدَ الْمَرْوَةِ وَقَالَ ” كُلُّ فِجَاجِ مَكَّةَ مَنْحَرٌ ” وَفَعَلَ الْمُسْلِمُونَ مِثْلَ فِعْلِهِ وَكَانَ قَدِ اسْتُوْقِفَ قَوْمٌ مِنْهُمْ بِبَطْن يَأْجِحَ فَمَرَّ مَنْ طَافَ وَسَعَى فَوَقَفَ مَوْقِفَهُمْ وَجَاءَ مَنْ تَخَلَّفَ هُنَاكَ فَطَافُوا وَسَعَوْا ثُمَّ دَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ الكعبة فلم ينزل فِيهَا إِلَى الظُّهْرِ وَأَمَرَ بِلَالًا فَأَذَّنَ عَلَى ظَهْرِ الْكَعْبَةِ وَأَقَامَ بِمَكَّةَ ثَلَاثًا وَتَزَوَّجَ مَيْمُونَةَ بِنْتَ الْحَارِثِ الْهِلَالِيَّةَ زَوَّجَهُ بِهَا الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَلَمَّا كَانَ عِنْدَ الظُّهْرِ مِنَ الْيَوْمِ الرَّابِعِ أَتَاهُ سُهَيْلُ بْنُ عَمْرٍو وَحَاطِبُ بْنُ عَبْدِ الْعُزَّى فَقَالَا لَهُ قَدِ انْقَضَى أَجْلُكَ فَاخْرُجْ عَنَّا وَكَانَ قَدْ نَزَلَ فِي قُبَّةٍ مِنْ أَدَمٍ بِالْأَبْطَحِ فَأَمَرَ أَبَا رَافِعٍ فَنَادَى بِالرَّحِيلِ وَأَنْ لَا يُمْسِيَ بِمَكَّةَ أَحَدٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَرَكِبَ حَتَّى نَزَلَ سَرِفَ وَأَقَامَ أَبُو رَافِعٍ بِمَكَّةَ حَتَّى أَمْسَى ثُمَّ حَمَلَ مَيْمُونَةَ فَبَنَى بِهَا بِسَرِف وَحَمَلَ مَعَهُ عُمَارَةَ بِنْتَ حَمْزَةَ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَاخْتَصَمَ فِيهَا عَلِيٌّ وَجَعْفَرٌ وَزَيْدُ بْنُ حَارِثَةَ فَقَضَى بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لِجَعْفَرٍ لِأَنَّ خَالَتَهَا أَسْمَاءَ بِنْتَ عُمَيْسٍ كَانَتْ عِنْدَهُ وَقَالَ ” الْخَالَةُ وَالِدَةٌ ” ثُمَّ أَدْلَجَ حَتَّى قدم المدينة

Ibnu ‘Abbas berkata, “Sesungguhnya beliau memerintahkan untuk berlari-lari kecil pada tiga putaran dan berjalan biasa pada empat putaran sebagai bentuk kasih sayang kepada mereka. Kemudian beliau thawaf antara Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali dengan menunggangi kendaraannya, lalu menyembelih hadyu-nya di dekat Marwah, dan beliau bersabda, ‘Seluruh lembah Makkah adalah tempat menyembelih.’ Kaum Muslimin pun melakukan seperti apa yang beliau lakukan. Ada sekelompok dari mereka yang tertahan di lembah Ya’jij, lalu orang-orang yang telah thawaf dan sa’i melewati mereka dan berhenti di tempat mereka, kemudian orang-orang yang tertinggal di sana datang, lalu mereka thawaf dan sa’i. Setelah itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke dalam Ka’bah dan tidak turun darinya hingga waktu Zuhur. Beliau memerintahkan Bilal untuk mengumandangkan adzan di atas Ka’bah. Beliau tinggal di Makkah selama tiga hari dan menikahi Maimunah binti Al-Harits Al-Hilaliyyah yang dinikahkan oleh Al-‘Abbas bin Abdul Muththalib. Ketika waktu Zuhur pada hari keempat, datanglah Suhail bin ‘Amr dan Hatib bin ‘Abdul ‘Uzza kepada beliau dan berkata, ‘Waktumu telah habis, maka keluarlah dari kami.’ Beliau saat itu sedang berteduh di sebuah tenda dari kulit di Al-Abthah. Beliau memerintahkan Abu Rafi’ untuk menyerukan keberangkatan dan agar tidak ada seorang pun dari kaum Muslimin yang bermalam di Makkah. Beliau pun berangkat hingga singgah di Sarif. Abu Rafi’ tinggal di Makkah hingga malam, lalu membawa Maimunah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membangun rumah tangga dengannya di Sarif. Beliau juga membawa bersamanya ‘Umrah binti Hamzah bin Abdul Muththalib. Lalu Ali, Ja’far, dan Zaid bin Haritsah berselisih mengenai siapa yang mengasuhnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan agar Ja’far yang mengasuhnya karena bibinya, Asma’ binti ‘Umais, berada di sisinya. Beliau bersabda, ‘Bibi itu seperti ibu.’ Kemudian beliau melanjutkan perjalanan hingga tiba di Madinah.

فصل سرية ابن أبي العوجاء

Bagian tentang ekspedisi Ibnu Abi al-‘Awjā’

ثُمَّ بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بَعْدَ عُمْرَةِ الْقَضَاءِ فِي بَقِيَّةِ هَذِهِ السَّنَةِ سَرِيَّةَ ابْنِ أَبِي الْعَوْجَاءِ فِي ذِي الْحِجَّةِ بَعَثَهُ إِلَى بَنِي سُلَيْمٍ فِي خَمْسِينَ رَجُلًا يَدْعُوهُمْ إِلَى الْإِسْلَامِ فَسَارَ إِلَيْهِمْ وَمَعَهُ عَيْنٌ لَهُمْ تَقْدُمُهُ بِإِنْذَارِهِمْ فَلَمَّا قَدِمَ عَلَيْهِمْ وَدَعَاهُمْ أَحَاطُوا بِجَمِيعِ مَنْ مَعَهُ وَقَتَلُوهُمْ بِأُسَرِهِمْ وَأُصِيبَ ابْنُ أَبِي الْعَوْجَاءِ جَرِيحًا فَتَمَاثَلَ وَوَصَلَ إِلَى الْمَدِينَةِ فِي أَوَّلِ يَوْمٍ مِنْ صَفَرٍ

Kemudian, setelah Umrah Qadha, Rasulullah saw. pada sisa tahun itu mengutus pasukan kecil yang dipimpin oleh Ibnu Abi Al-Awja’ pada bulan Dzulhijjah. Beliau mengutusnya kepada Bani Sulaim dengan lima puluh orang untuk mengajak mereka kepada Islam. Ia pun berangkat kepada mereka, dan bersama mereka ada seorang mata-mata dari pihak Bani Sulaim yang mendahului untuk memperingatkan mereka. Ketika ia sampai kepada mereka dan mengajak mereka, mereka mengepung seluruh pasukannya dan membunuh mereka semuanya. Ibnu Abi Al-Awja’ terluka, namun ia selamat dan sampai di Madinah pada hari pertama bulan Safar.

وَفِي هَذِهِ السَّنَةِ رَدَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِنْتَهُ زَيْنَبَ عَلَى أَبِي الْعَاصِ بْنِ الرَّبِيعِ

Pada tahun ini, Rasulullah saw. mengembalikan putrinya, Zainab, kepada Abul ‘Āsh bin ar-Rabi‘.

وَفِي جُمَادَى الْأُولَى مِنْ هَذِهِ السَّنَةِ قُتِلَ كِسْرَى أَبْرَوَيْزَ وَكَانَتِ الْهِجْرَةُ فِي سَنَةِ إِحْدَى وَثَلَاثِينَ مِنْ مَكَّةَ

Pada bulan Jumada al-Ula tahun ini, Kisra Abrawaiz terbunuh, dan hijrah terjadi pada tahun tiga puluh satu dari Makkah.

سُمِّيَتْ هَذِهِ السَّنَةُ عَامَ خَيْبَرَ لِأَنَّهَا أَعْظَمُ مَا كَانَ فِيهَا فَكَانَ له فيها غزوة وست سرايا

Tahun ini dinamakan Tahun Khaibar karena peristiwa terbesar yang terjadi di dalamnya adalah peristiwa Khaibar; pada tahun itu Nabi melakukan satu kali ghazwah dan enam kali sariyah.

فصل ذِكْرُ سَنَةِ ثَمَانٍ مِنَ الْهِجْرَةِ

Bab: Penjelasan tentang peristiwa tahun kedelapan hijriah

غَزْوَةُ غَالِبٍ الليثي بني الملوح

Perang Ghalib al-Laitsi terhadap Bani al-Muluh

ثُمَّ دَخَلَتْ سَنَةُ ثَمَانٍ بَعَثَ فِيهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إِلَى بَنِي الْمُلَوَّحِ بِالْكَدِيدِ فِي سَبْعَةَ عَشَرَ رَجُلًا فَاسْتَاقُوا نَعَمَهُمْ وَأَدْرَكَهُمُ الطَّلَبُ فَجَاءَتْ سَحَابَةُ مَطَرٍ مَلَأَتِ الْوَادِي مَاءً فَحَالَ بَيْنَهُمْ وَقَدِمُوا بِالنَّعَمِ الْمَدِينَةَ

Kemudian masuklah tahun kedelapan, pada tahun itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus (pasukan) kepada Bani al-Mulawwah di al-Kadid dengan tujuh belas orang. Mereka menggiring unta-unta milik Bani al-Mulawwah, lalu orang-orang Bani al-Mulawwah mengejar mereka. Kemudian datanglah awan hujan yang memenuhi lembah dengan air sehingga menghalangi antara mereka dan para pengejar itu. Mereka pun membawa unta-unta itu ke Madinah.

ثُمَّ بَعَثَ بَعْدَهَا فِي بَقِيَّةِ صَفَرٍ إِلَى حِصَارِ أَصْحَابِ بَشِيرِ بْنِ سَعْدٍ في مائتي رجل فيهم أمامة بْنُ زَيْدٍ وَأَبُو مَسْعُودٍ الْبَدْرِيُّ وَكَعْبُ بْنُ عُجْرَةَ وَقَالَ مَنْ أَطَاعَ أَمِيرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ عَصَى أَمِيرِي فَقَدْ عَصَانِي وَأَمَرَهُمْ بِشَنِّ الْغَارَةِ عَلَيْهِمْ فَقَتَلُوا مِنْهُمْ قَتْلَى وَأَصَابُوا لَهُمْ نَعَمًا

Kemudian setelah itu, pada sisa bulan Safar, ia mengirim pasukan untuk mengepung kelompok Bashir bin Sa‘d, terdiri dari dua ratus orang, di antara mereka terdapat Usamah bin Zaid, Abu Mas‘ud al-Badri, dan Ka‘b bin ‘Ujrah. Ia berkata, “Barang siapa menaati amirku, maka sungguh ia telah menaatiku, dan barang siapa mendurhakai amirku, maka sungguh ia telah mendurhakaiku.” Ia memerintahkan mereka untuk melakukan serangan mendadak terhadap mereka, lalu mereka membunuh sebagian dari mereka dan memperoleh unta-unta mereka.

سَرِيَّةُ شُجَاعٍ إِلَى بَنِي عَامِرٍ بِالسِّيِّ

Ekspedisi Syujā‘ ke Bani ‘Āmir di Siyy.

ثُمَّ بَعَثَ سَرِيَّةَ شُجَاعِ بْنِ وَهْبٍ الْأَسَدِيِّ فِي شَهْرِ رَبِيعٍ الْأَوَّلِ إِلَى جَمْعِ هَوَازِنَ بالسي بِنَاحِيَةِ رُكْبَةَ مِنْ وَرَاءِ الْمَعْدِنِ عَلَى خَمْسِ لَيَالٍ مِنَ الْمَدِينَةِ فِي أَرْبَعَةٍ وَعِشْرِينَ رَجُلًا فَاسْتَاقُوا نَعَمًا كَثِيرًا وَشَاءً أَصَابَ السَّهْمُ خَمْسَةَ عَشَرَ بَعِيرًا وَعَدَلَ الْبَعِيرَ بِعَشَرَةٍ مِنَ الْغَنَمِ وَغَابَتِ السَّرِيَّةُ خَمْسَ عَشْرَةَ لَيْلَةً

Kemudian beliau mengirimkan pasukan kecil yang dipimpin oleh Syuja‘ bin Wahb al-Asadi pada bulan Rabi‘ul Awwal menuju kelompok Hawazin di daerah As-Siy, di wilayah Rukbah, yang terletak di belakang Al-Ma‘din, sekitar lima malam perjalanan dari Madinah, dengan jumlah dua puluh empat orang. Mereka berhasil menggiring unta dan kambing dalam jumlah banyak; bagian rampasan yang didapat dari undian panah adalah lima belas ekor unta, dan seekor unta dinilai setara dengan sepuluh ekor kambing. Pasukan kecil tersebut tidak kembali selama lima belas malam.

ثُمَّ بَعَثَ سَرِيَّةَ عَمْرِو بْنِ كَعْبِ بْنِ عُمَيْرٍ الْغِفَارِيِّ فِي شَهْرِ رَبِيعٍ الْأَوَّلِ إِلَى ذَاتِ أَطْلَاحٍ وَهِيَ وَرَاءَ وَادِي الْقُرَى مِنْ أَرْضِ الشَّامِ فِي خَمْسَةَ عَشَرَ رَجُلًا فَوَجَدُوا بِهَا جَمْعًا كَثِيرًا فَدَعَوْهُمْ إِلَى الْإِسْلَامِ فَلَمْ يَسْتَجِيبُوا وَقَاتَلُوهُمْ أَشَدَّ قِتَالٍ حَتَّى قُتِلُوا جَمِيعًا وَأَفْلَتَ جَرِيحٌ مِنْهُمْ حَتَّى قَدِمَ الْمَدِينَةَ مُتَحَامِلًا فَأَخْبَرَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِخَبَرِهِمْ فَشَقَّ عَلَيْهِ وَهَمَّ أَنْ يَبْعَثَ إِلَيْهِمْ بَعْثًا فَبَلَغَهُ أَنَّهُمْ قَدْ بَعُدُوا فَكَفَّ

Kemudian beliau mengirimkan pasukan kecil yang dipimpin oleh ‘Amr bin Ka‘b bin ‘Umair al-Ghifari pada bulan Rabi‘ul Awwal ke Dzat Athlah, yang terletak di belakang Wadi al-Qura di wilayah Syam, dengan jumlah lima belas orang. Mereka mendapati di sana sekelompok besar orang, lalu mereka mengajak mereka kepada Islam, namun mereka tidak menanggapi dan justru memerangi mereka dengan pertempuran yang sangat sengit hingga seluruh pasukan terbunuh. Hanya satu orang yang terluka berhasil melarikan diri hingga tiba di Madinah dalam keadaan terluka parah, lalu ia memberitahukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kejadian mereka. Hal itu sangat memberatkan beliau dan beliau berniat untuk mengirim pasukan kepada mereka, namun beliau mendapat kabar bahwa mereka telah pergi jauh, maka beliau pun membatalkan niat tersebut.

وَفِي هَذِهِ السَّنَةِ أَسْلَمَ عَمْرُو بْنُ الْعَاصِ عِنْدَ النَّجَاشِيِّ وَقَدِمَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مُسْلِمًا وَقَدِمَ مَعَهُ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ وَعُثْمَانُ بْنُ طَلْحَةَ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ مِنْ بَنِي عَبْدِ الدَّارِ وَأَسْلَمُوا وَبَايَعُوا فَقَالَ عَمْرُو بْنُ الْعَاصِ أُبَايِعُكَ عَلَى أَنْ يُغْفَرَ لِي مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِي وَلَا أَذْكُرُ مَا تَأَخَّرَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” يا عمر بايع فإن الإسلام يجب ما قبله “

Pada tahun ini, Amr bin Al-Ash memeluk Islam di hadapan Najasyi dan datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai seorang Muslim. Bersamanya juga datang Khalid bin Al-Walid dan Utsman bin Thalhah bin Abi Thalhah dari Bani Abdud Dar. Mereka masuk Islam dan berbaiat. Amr bin Al-Ash berkata, “Aku berbaiat kepadamu dengan syarat dosaku yang telah lalu diampuni, dan aku tidak menyebutkan yang kemudian.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai Amr, berbaiatlah, karena Islam menghapus apa yang sebelumnya.”

فصل غزوة مؤتة

Bab Perang Mu’tah

ثُمَّ بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِجَيْشِ مُؤْتَةَ وَهِيَ بِأَرْضِ الشَّامِ بِأَدْنَى الْبَلْقَاءِ وَالْبَلْقَاءُ دُونَ دِمَشْقَ فِي جُمَادَى الْأُولَى

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim pasukan Mu’tah, yang berada di wilayah Syam, di daerah terdekat dengan Balqa’, dan Balqa’ terletak sebelum Damaskus, pada bulan Jumada al-Ula.

وَسَبَبُهَا أَنَّهُ بَعَثَ الْحَارِثَ بْنَ عُمَيْرٍ الْأَزْدِيَّ رَسُولًا بِكِتَابٍ إِلَى مَلِكِ بُصْرَى فَلَمَّا نَزَلَ مُؤْتَةَ عَرَضَ لَهُ شُرَحْبِيلُ بْنُ عَمْرٍو الْغَسَّانِيُّ فَقَتَلَهُ فلم يُقْتَلْ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ رَسُولٌ غَيْرُهُ وَاشْتَدَّ عَلَيْهِ وَنَدَبَ النَّاسَ فَأَسْرَعُوا وَعَسْكَرُوا بِالْجُرْفِ وَهُمْ ثَلَاثَةُ آلَافٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” أَمِيرُ النَّاسِ زَيْدُ بْنُ حَارِثَةَ فَإِنْ قُتِلَ فَجَعْفَرُ بْنُ أَبِي طَالِبٍ فَإِنْ قُتِلَ فَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ فَإِنْ قُتِلَ فَلْيَرْتَضِ الْمُسْلِمُونَ منهم رجلا “

Penyebabnya adalah bahwa Nabi mengutus al-Harits bin Umair al-Azdiy sebagai utusan dengan membawa surat kepada Raja Busra. Ketika ia sampai di Mu’tah, ia dihadang oleh Syurahbil bin ‘Amr al-Ghassani lalu dibunuh olehnya. Tidak pernah ada utusan Rasulullah saw. yang dibunuh selain dia. Hal itu sangat memberatkan Nabi, lalu beliau mengajak orang-orang untuk berangkat, maka mereka segera bersiap dan berkemah di al-Jurf. Jumlah mereka tiga ribu orang. Rasulullah saw. bersabda, “Pemimpin pasukan adalah Zaid bin Haritsah. Jika ia terbunuh, maka Ja’far bin Abi Thalib. Jika ia terbunuh, maka Abdullah bin Rawahah. Jika ia terbunuh, maka hendaklah kaum Muslimin memilih salah seorang dari mereka sebagai pemimpin.”

وأوصاهم أن يأتوا مقتل الْحَارِثِ بْنِ عُمَيْرٍ وَيَدْعُوا مِنْ هُنَاكَ إِلَى الْإِسْلَامِ فَإِنِ اسْتَجَابُوا وَإِلَّا اسْتَعَانُوا بِاللَّهِ وَقَاتَلُوهُمْ وَخَرَجَ مُشَيِّعًا لَهُمْ حَتَّى بَلَغَ ثَنِيَّةَ الْوَدَاعِ فَلَمَّا وَدَّعَهُ أُمَرَاؤُهُ أَتَاهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ مُوَدِّعًا فَقَالَ وَهُوَ يَبْكِي وَاللَّهِ مَا بِي حُبٌّ لِلدُّنْيَا وَلَكِنْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يَقْرَأُ وَذَكَرَ النَّارَ فَقَالَ وَإِنْ مِنْكُمْ إِلا وَارِدُهَا كَانَ عَلَى رَبِّكَ حَتْمًا مَقْضِيًّا فَلَسْتُ أَدْرِي كَيْفَ لِي بِالصَّدْرِ بَعْدَ الْوُرُودِ فَقَالَ الْمُسْلِمُونَ ” صَحِبَكُمُ اللَّهُ وَدَفَعَ عَنْكُمْ وَرَدَّكُمْ إِلَيْنَا صَالِحِينَ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ

Beliau berpesan kepada mereka agar mendatangi tempat terbunuhnya al-Harits bin ‘Umair dan menyeru dari sana kepada Islam. Jika mereka menerima, maka baik; jika tidak, hendaklah mereka memohon pertolongan kepada Allah dan memerangi mereka. Beliau pun keluar mengantarkan mereka hingga sampai di Tsaniyyah al-Wada‘. Ketika para pemimpin pasukan itu berpamitan, datanglah ‘Abdullah bin Rawahah berpamitan sambil menangis. Ia berkata, “Demi Allah, bukan karena aku mencintai dunia, tetapi aku mendengar Rasulullah ﷺ membaca ayat tentang neraka, lalu beliau bersabda: ‘Dan tidak ada seorang pun dari kalian melainkan pasti mendatanginya. Hal itu adalah suatu ketetapan yang sudah diputuskan oleh Tuhanmu.’ Maka aku tidak tahu bagaimana keadaanku setelah melewatinya.” Maka kaum Muslimin pun berkata, “Semoga Allah menyertai kalian, melindungi kalian, dan mengembalikan kalian kepada kami dalam keadaan baik.” Lalu ‘Abdullah bin Rawahah berkata…

لَكِنِّي أَسْأَلُ الرَّحْمَنَ مَغْفِرَةً وَضَرْبَةً ذَاتَ فَرْعٍ تَقْذِفُ الزَّبَدَا

Namun aku memohon kepada Ar-Rahman ampunan dan satu pukulan yang memiliki percikan, yang memercikkan busa.

أَوْ طَعْنَةً بِيَدِي حَرَّانَ مُجْهِزَةً بَحَرْبَةٍ تُنْفِذُ الْأَحْشَاءَ وَالْكَبِدَا

Atau sebuah tusukan dengan tanganku sendiri yang mematikan, menggunakan tombak yang menembus perut dan hati.

حَتَى يَقُولُوا إِذَا مَرُّوا عَلَى جَدَثِي أَرْشَدَكَ اللَّهُ مِنْ غَازٍ وَقَدْ رَشَدَا

Hingga mereka berkata ketika melewati kuburanku: “Semoga Allah memberimu petunjuk, wahai pejuang yang telah mendapat petunjuk.”

ثُمَّ سَارُوا فَسَمِعَ الْعَدُوُّ بِمَسِيرِهِمْ فَجَمَعَ شُرَحْبِيلُ بْنُ عَمْرٍو أَكْثَرَ مِنْ مِائَةِ أَلْفٍ مِنْ لَخْمٍ وَجُذَامٍ وَبَهْرَاءَ وَبَلِيٍّ وَأَقْبَلَ هِرَقْلُ فِي الرُّومِ فِي مِائَةِ أَلْفٍ وَنَزَلَ المسلمون مكان مِنْ أَرْضِ الشَّامِ وَبَلَغَهُمْ كَثْرَةُ الْجُمُوعِ عَلَيْهِمْ فَعَزَمُوا عَلَى الْمَقَامِ بِمَكَانِهِمْ حَتَّى يَسْتَأْمِرُوا رَسُولَ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِيمَا يَأْتُونَهُ فَحَثَّهُمْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ عَلَى الْمَسِيرِ فَسَارُوا حَتَّى نَزَلُوا مُؤْتَةَ مِنْ قُرَى الْبَلْقَاءِ وَالْعُرُوبَةِ حَتَّى نَزَلُوا شَارِقَ مِنْ قُرَى الْبَلْقَاءِ وَالْتَحَمَتِ الْحَرْبُ فِي مُؤْتَةَ وَقَاتَلَ الْمُسْلِمُونَ أَشَدَّ الْقِتَالِ وَتَقَدَّمَ بِالرَّايَةِ زَيْدُ بْنُ حَارِثَةَ فَقَاتَلَ حَتَّى طَاشَتْ بِهِ الرِّمَاحُ فَقُتِلَ به حتى أَخَذَ الرَّايَةَ جَعْفَرُ بْنُ أَبِي طَالِبٍ وَنَزَلَ عن فرس له شفراء عَقَرَهَا وَكَانَ أَوَّلَ فَرَسٍ عَقَرَهَا الْمُسْلِمُونَ وَقَاتَلَ وَالْجِرَاحُ تَأْخُذُهُ حَتَّى ضَرَبَهُ رُومِيٌّ فَقَطَعَهُ نِصْفَيْنِ فَوُجِدَ فِي أَحَدِ نِصْفَيْهِ بِضْعَةٌ وَثَلَاثِينَ جُرْحًا وَفِي النِّصْفِ الْآخَرِ أَكْثَرُ مِنْهُ حَتَّى قِيلَ إِنَّهُ كَانَ فِي بَدَنِهِ اثْنَانِ وَسَبْعُونَ جِرَاحَةً مِنْ ضَرْبَةٍ بِسَيْفٍ وَطَعْنَةٍ بِرُمْحٍ ثُمَّ أَخَذَ الرَّايَةَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ وَرَأَى فِي نفسه ما استبشر لها فقال

Kemudian mereka pun berangkat, lalu musuh mendengar keberangkatan mereka. Maka Syurahbil bin ‘Amr mengumpulkan lebih dari seratus ribu orang dari suku Lakhm, Judzam, Bahra’, dan Baliyy. Heraklius pun datang bersama pasukan Romawi sebanyak seratus ribu orang. Kaum Muslimin singgah di suatu tempat di wilayah Syam, dan mereka mendengar banyaknya pasukan yang berkumpul menghadang mereka. Maka mereka bertekad untuk tetap tinggal di tempat itu sampai meminta petunjuk Rasulullah ﷺ mengenai apa yang harus mereka lakukan. Namun Abdullah bin Rawahah mendorong mereka untuk terus maju, lalu mereka pun melanjutkan perjalanan hingga tiba di Mu’tah, salah satu desa di Balqa’ dan ‘Urubah, hingga mereka singgah di Syarif, salah satu desa di Balqa’. Terjadilah pertempuran sengit di Mu’tah, dan kaum Muslimin bertempur dengan sangat gigih. Zaid bin Haritsah maju membawa panji, lalu bertempur hingga tombak-tombak menancap padanya dan ia pun gugur. Kemudian panji diambil oleh Ja’far bin Abi Thalib. Ia turun dari kudanya yang berwarna keputihan dan menyembelihnya; itu adalah kuda pertama yang disembelih oleh kaum Muslimin. Ia bertempur sementara luka-luka terus mengenainya, hingga seorang Romawi menebasnya hingga tubuhnya terbelah dua. Pada salah satu bagian tubuhnya ditemukan lebih dari tiga puluh luka, dan pada bagian lainnya bahkan lebih banyak, hingga dikatakan bahwa di tubuhnya terdapat tujuh puluh dua luka akibat sabetan pedang dan tusukan tombak. Kemudian panji diambil oleh Abdullah bin Rawahah, dan ia merasakan sesuatu dalam dirinya yang membuatnya gembira, lalu ia berkata:

أقسمت يا نفس لتنزلنه طائعة أو فلتكرهنه

Aku bersumpah, wahai jiwa, engkau pasti akan turun (menghadapinya) dengan sukarela atau engkau akan dipaksa (untuk melakukannya).

إن أجلب الناس وشدوا الرنه مالي أَرَاكِ تَكْرَهِينَ الْجَنَّة

Walaupun orang-orang ramai berdatangan dan mengeraskan suara ratapan, mengapa aku melihatmu membenci surga?

قَدْ طَالَمَا قَدْ كُنْتِ مُطْمَئِنَّة هَلْ أَنْتِ إِلَّا نُطْفَةٌ فِي شَنَّة

Sudah sering engkau merasa tenang, padahal bukankah engkau hanyalah setetes air dalam wadah kulit?

ثم نزل عن فرسه لأن زيدا وجعفر قَاتِلَا رَجَّالَةً وَسَارَ بِالرَّايَةِ وَهُوَ يَقُولُ

Kemudian ia turun dari kudanya karena Zaid dan Ja‘far berperang dalam keadaan berjalan kaki, lalu ia membawa panji sambil berkata.

يَا نَفْسُ إِلَّا تُقْتَلِي تَمُوتِي هَذَا حِمَامُ الْمَوْتِ قد صليت

Wahai jiwa, jika engkau tidak terbunuh, engkau akan mati; inilah ajal kematian yang telah ditetapkan.

وَمَا تَمَنَّيْتِ فَقَدْ أُعْطِيتِ إِنْ تَفْعَلِي فِعْلَهُمَا هُدِيتِ

Dan apa yang engkau inginkan telah diberikan kepadamu; jika engkau melakukan seperti perbuatan mereka berdua, niscaya engkau akan mendapat petunjuk.

وَتَقَدَّمَ فَقَاتَلَ حَتَّى قُتِلَ وَانْهَزَمَ الْمُسْلِمُونَ فَأَخَذَ الرَّايَةَ ثَابِتُ بْنُ أَرْقَمَ وَقَالَ يَا مَعْشَرَ الْمُسْلِمِينَ إِلَيَّ إِلَيَّ وَرَكَزَ الرَّايَةَ حَتَّى اجْتَمَعُوا إِلَيْهَا ثُمَّ قَالَ لَهُمْ اصْطَلِحُوا عَلَى رَجُلٍ مِنْكُمْ فَقَالُوا أَنْتَ لَهَا فَقَالَ مَا أَنَا بِفَاعِلٍ فَاصْطَلَحُوا عَلَى خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ فَأَخَذَ الرَّايَةَ وَدَافَعَ الْقَوْمُ عَنِ الْمُسْلِمِينَ حَتَّى انْصَرَفَ النَّاسُ وَرُفِعَتِ الْأَرْضُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ حَتَّى نَظَرَ مُعْتَرَكَ الْقَوْمِ فَأَمَرَ فَنُودِيَ بِالصَّلَاةِ فَصَعِدَ الْمِنْبَرَ وَقَالَ ” أَيُّهَا النَاسُ بَابُ خَيْرٍ بَابُ خَيْرٍ أُخْبِرُكُمْ عَنْ جَيْشِكُمْ هَذَا الْغَازِي إِنَّهُمُ انْطَلَقُوا فَلَقَوُا الْعَدُوَّ فَقُتِلَ زَيْدٌ شَهِيدًا وَاسْتَغْفَرَ لَهُ ثُمَّ أَخَذَ اللِّوَاءَ جَعْفَرٌ فَشَدَّ عَلَى الْقَوْمِ حَتَّى قُتِلَ شَهِيدًا وَاسْتَغْفَرَ لَهُ ثُمَّ أَخَذَ اللِّوَاءَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ وَأَثْبَتَ قَدَمَيْهِ حَتَّى قُتِلَ شَهِيدًا وَاسْتَغْفَرَ لَهُ ثُمَّ أَخَذَ اللِّوَاءَ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ وَلَمْ يَكُنْ مِنَ الْأُمَرَاءِ وَهُوَ أَمَّرَ نَفْسَهُ ” وَلَكِنَّهُ سَيْفٌ مِنْ سُيُوفِ اللَّهِ فَبَاءَ بِنَصْرٍ فَسُمِّيَ يَوْمَئِذٍ سَيْفَ اللَّهِ ثُمَّ خَرَجَ مِنَ الْغَدِ لِصَلَاةِ الصُّبْحِ وَهُوَ يَبْتَسِمُ فَقَالَ لَهُ الناس قد علم الله ما كان مِنَ الْوَجْدِ فَلِمَاذَا تَبْتَسِمُ فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَحْزَنَنِي قَتْلُ أَصْحَابِي حَتَّى رَأَيْتُهُمْ فِي الْجَنَّةِ إِخْوَانًا عَلَى سُرُرٍ مُتَقَابِلِينَ وَرَأَيْتُ فِي بَعْضِهِمْ إعراضا كأنه كره السيف ورأيت جعفر مَلَكَا ذَا جَنَاحَيْنِ مُضَرَّجًا بِالدِّمَاءِ مَصْبُوغَ الْقَوَادِمِ فَسُمِّيَ يَوْمَئِذٍ الطَّيَّارَ وَلَمَّا قَدِمَ النَّاسُ خَرَجَ الْمُسْلِمُونَ إِلَيْهِمْ وَاسْتَقْبَلُوهُمْ بِالْجُرْفِ وَجَعَلَ قَوْمٌ يَحْثُونَ التُّرَابَ عَلَيْهِمْ وَيَقُولُونَ يَا فُرَّارُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” لَيْسُوا بِالْفُرَّارِ وَلَكِنَّهُمُ الْكُرَّارُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ “

Ia maju bertempur hingga gugur, dan kaum Muslimin pun mundur. Lalu Tsabit bin Arqam mengambil panji dan berkata, “Wahai kaum Muslimin, kemarilah, kemarilah!” Ia menancapkan panji itu hingga mereka berkumpul kepadanya. Kemudian ia berkata kepada mereka, “Sepakatlah kalian memilih seorang dari kalian.” Mereka berkata, “Engkaulah orangnya.” Ia menjawab, “Aku tidak akan melakukannya.” Maka mereka sepakat memilih Khalid bin Walid. Ia pun mengambil panji dan kaum itu membela kaum Muslimin hingga orang-orang pun kembali. Lalu bumi diangkat untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga beliau dapat melihat tempat pertempuran mereka. Beliau memerintahkan agar dikumandangkan seruan shalat, lalu beliau naik mimbar dan berkata, “Wahai manusia, ini adalah pintu kebaikan, pintu kebaikan. Aku akan memberitakan kepada kalian tentang pasukan kalian yang sedang berperang. Mereka telah berangkat, lalu menghadapi musuh, kemudian Zaid gugur sebagai syahid, dan beliau memohonkan ampun untuknya. Lalu Ja’far mengambil panji, menyerang kaum itu hingga gugur sebagai syahid, dan beliau memohonkan ampun untuknya. Kemudian Abdullah bin Rawahah mengambil panji, tetap teguh hingga gugur sebagai syahid, dan beliau memohonkan ampun untuknya. Setelah itu Khalid bin Walid mengambil panji, padahal ia bukan dari para pemimpin, dan ia mengangkat dirinya sendiri sebagai pemimpin. Namun ia adalah salah satu pedang dari pedang-pedang Allah, maka ia kembali dengan kemenangan, dan pada hari itu ia dijuluki ‘Pedang Allah’. Keesokan harinya, beliau keluar untuk shalat Subuh dengan tersenyum. Orang-orang berkata kepadanya, ‘Allah telah mengetahui apa yang kami rasakan, mengapa engkau tersenyum?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Aku bersedih atas gugurnya para sahabatku, hingga aku melihat mereka di surga, sebagai saudara-saudara di atas dipan-dipan saling berhadapan. Aku melihat pada sebagian mereka ada yang berpaling, seakan-akan ia tidak menyukai pedang. Aku melihat Ja’far menjadi malaikat yang memiliki dua sayap berlumuran darah, sayap-sayap depannya berwarna merah, maka pada hari itu ia dijuluki ‘ath-Thayyar’ (yang terbang). Ketika orang-orang kembali, kaum Muslimin keluar menyambut mereka di Jurf. Sebagian orang melempari mereka dengan tanah dan berkata, ‘Wahai para pelarian!’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Mereka bukanlah para pelarian, tetapi mereka adalah para penyerang, insya Allah.’”

فصل سرية ذات السلاسل

Bab: Ekspedisi Dzat as-Salasil

ثُمَّ بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بَعْدَ جَيْشِ مُؤْتَةَ وَقَبْلَ فَتْحِ مَكَّةَ أَرْبَعَ سَرَايَا أَوَّلَهُنَّ سَرِيَّةُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ إِلَى ذَاتِ السَّلَاسِلِ وَرَاءَ وَادِي الْقُرَى عَلَى عَشَرَةِ أَيَّامٍ مِنَ الْمَدِينَةِ فِي جُمَادَى الْآخِرَةِ

Kemudian Rasulullah saw. setelah Perang Mu’tah dan sebelum Penaklukan Makkah mengirimkan empat ekspedisi militer, yang pertama di antaranya adalah ekspedisi Amr bin Ash ke Dzat as-Salasil, yang terletak di belakang Wadi al-Qura, sekitar sepuluh hari perjalanan dari Madinah, pada bulan Jumada Akhirah.

وَسَبَبُهَا أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ جَمْعًا مِنْ قُضَاعَةَ قَدْ تَجَمَّعُوا يُرِيدُونَ أَطْرَافَ الْمَدِينَةِ فَأَنْفَذَ عَمْرَو بْنَ الْعَاصِ إِلَيْهِمْ فِي ثَلَاثِمِائَةِ رَجُلٍ مِنْ سَرَاةِ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَمَعَهُمْ ثَلَاثُونَ فَرَسًا فَسَارَ إِلَيْهِمْ وَبَلَغَهُ كَثْرَةُ جَمْعِهِمْ فَبَعَثَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يَسْتَمِدُّهُ فَبَعَثَ إِلَيْهِ أَبَا عُبَيْدَةَ بْنَ الْجَرَّاحِ فِي مِائَتَيْنِ مِنْ سَرَاةِ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ فِيهِمْ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَأَمَرَهُ أَنْ يَلْحَقَ بِعَمْرٍو وَلَا يَخْتَلِفَانِ فَأَرَادَ أَبُو عُبَيْدَةَ حِينَ اجْتَمَعَا أَنْ يَؤُمَّ بِالنَّاسِ فَقَالَ عَمْرٌو إِنَّمَا وَرَدْتَ مَدَدًا وَأَنَا الْأَمِيرُ فَأَطَاعَهُ أَبُو عُبَيْدَةَ وَصَلَّى عمرو بالناس ووطىء بِلَادَهُمْ وَقَلَّلَ جَمْعَهُمْ حَتَّى انْهَزَمُوا مُتَفَرِّقِينَ

Penyebabnya adalah karena sampai kepada Nabi bahwa sekelompok orang dari Qudā‘ah telah berkumpul dan hendak menyerang pinggiran Madinah. Maka beliau mengirim ‘Amr bin al-‘Āsh kepada mereka bersama tiga ratus orang dari tokoh-tokoh Muhājirīn dan Anshār, dan bersama mereka terdapat tiga puluh ekor kuda. ‘Amr pun berangkat menuju mereka, dan ketika ia mengetahui besarnya jumlah pasukan mereka, ia mengirim utusan kepada Rasulullah ﷺ untuk meminta tambahan pasukan. Maka Rasulullah ﷺ mengirimkan Abū ‘Ubaidah bin al-Jarrāh bersama dua ratus orang dari tokoh-tokoh Muhājirīn dan Anshār, di antara mereka terdapat Abū Bakr dan ‘Umar. Rasulullah ﷺ memerintahkannya agar bergabung dengan ‘Amr dan tidak berselisih dengannya. Ketika keduanya telah bertemu, Abū ‘Ubaidah ingin menjadi imam shalat bagi orang-orang, namun ‘Amr berkata, “Engkau datang sebagai bala bantuan, sedangkan aku adalah amir (pemimpin).” Maka Abū ‘Ubaidah menaatinya dan ‘Amr pun mengimami shalat bersama orang-orang. Ia kemudian memasuki wilayah mereka dan berhasil mengurangi jumlah pasukan mereka hingga mereka pun tercerai-berai dalam keadaan kalah.

سَرِيَّةُ الْخَبَطِ

Ekspedisi al-Khabath

ثُمَّ بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ سَرِيَّةَ الْخَبَطِ فِي رَجَبٍ أَمِيرُهَا أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ فِي ثَلَاثِمِائَةِ رَجُلٍ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ فِيهِمْ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ إِلَى حَيٍّ مِنْ جُهَيْنَةَ بِالْقِبْلِيَّةِ عَلَى سَاحِلِ الْبَحْرِ وَبَيْنَهُمَا وَبَيْنَ الْمَدِينَةِ خُمْسُ لِيَالِ فَأَصَابَهُمْ فِي الطَّرِيقِ جُوعٌ شَدِيدٌ فَأَكَلُوا الْخَبَطَ فَسُمِّيَتْ سَرِيَّةَ الْخَبَطِ وَابْتَاعَ لَهُمْ قَيْسُ بْنُ سَعْدٍ جَزُورًا نَحَرَهَا لَهُمْ وَأَلْقَى الْبَحْرُ إِلَيْهِمْ حُوتًا عَظِيمًا يُقَالُ لَهُ الْعَنْبَرُ فَأَكَلُوا منه وانصرفوا ولم يلقوا كيدا

Kemudian Rasulullah saw. mengirimkan Sariyah al-Khabath pada bulan Rajab, dengan pemimpinnya Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah, terdiri dari tiga ratus orang dari kalangan Muhajirin dan Anshar, di antara mereka terdapat ‘Umar bin al-Khattab, menuju suatu kabilah dari Juhainah di daerah selatan di tepi pantai, yang jaraknya antara mereka dan Madinah adalah lima malam perjalanan. Dalam perjalanan, mereka mengalami kelaparan yang sangat, sehingga mereka memakan daun-daunan, maka dinamakanlah pasukan itu Sariyah al-Khabath. Qais bin Sa‘d membeli seekor unta untuk mereka dan menyembelihnya untuk dimakan. Lalu laut melemparkan kepada mereka seekor ikan besar yang disebut al-‘Anbar, lalu mereka memakannya dan kembali tanpa mengalami bahaya apa pun.

سرية أبي قتادة الأنصاري إلى حضرموت

Ekspedisi Abu Qatadah al-Anshari ke Hadramaut

ثُمَّ بَعَثَ سَرِيَّةَ أَبِي قَتَادَةَ الْأَنْصَارِيِّ إِلَى حَضْرَمَوْتَ وَهِيَ أَرْضُ مُحَارِبٍ بِنَجْدٍ فِي شَعْبَانَ فِي خَمْسَةَ عَشَرَ رَجُلًا إِلَى غَطَفَانَ فَقَتَلَ كَثِيرًا مِنْهُمْ وَسَبَى كَثِيرًا وَغَنَمَ مِائَتَيْ بَعِيرٍ وَأَلْفَيْ شَاةٍ وَأَصَابَ كُلُّ رَجُلٍ بَعْدَ الْخُمُسِ اثْنَيْ عَشَرَ بَعِيرًا وَعَادُوا بَعْدَ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا

Kemudian beliau mengirimkan pasukan kecil yang dipimpin oleh Abu Qatadah al-Anshari ke Hadhramaut, yaitu wilayah Muharib di Najd, pada bulan Sya‘ban, dengan lima belas orang menuju Ghathafan. Mereka berhasil membunuh banyak dari mereka, menawan banyak orang, dan memperoleh dua ratus unta serta dua ribu kambing sebagai rampasan. Setiap orang mendapatkan dua belas unta setelah pembagian seperlima (khumus), dan mereka kembali setelah lima belas hari.

سَرِيَّةُ أَبِي قَتَادَةَ إِلَى بَطْنِ إِضَمٍ

Ekspedisi Abu Qatadah ke Lembah Idham

ثُمَّ بَعَثَ سَرِيَّةَ أَبِي قَتَادَةَ الْحَارِثِ بْنِ رَبْعِيٍّ الْأَنْصَارِيِّ إِلَى بَطْنِ إِضَمَ وَهِيَ فِيمَا بَيْنَ ذِي خَشَبٍ وَذِي الْمَرْوَةِ عَلَى ثَلَاثَةِ بُرُدٍ مِنَ الْمَدِينَةِ فِي أَوَّلِ شَهْرِ رَمَضَانَ فِي ثَمَانِيَةِ أَنْفُسٍ وَذَلِكَ حِينَ هَمَّ بِغَزْوَةِ مَكَّةَ حَتَّى لَا يَظُنَّ ظَانٌّ إِنْ خَرَجَ إِلَّا أَنَّهُ إِلَى جِهَةِ أَبِي قَتَادَةَ فَلَقِيَهُمْ عَامِرُ بْنُ الْأَضْبَطِ الْأَشْجَعِيُّ فَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ بِتَحِيَّةِ الْإِسْلَامِ فَبَرَزَ إِلَيْهِ مُحَلَّمُ بْنُ جَثَّامَةَ اللَّيْثِيُّ فَقَتَلَهُ وَأَخَذَ بِعِيرَهُ وَسَلَبَهُ ثُمَّ لَحِقُوا بِرَسُولِ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لَمَّا عَلِمُوا مُسِيرَهُ إِلَى مَكَّةَ فَلَحِقُوهُ بِالسُّقْيَا وَنَزَلَ فِيهِمُ الْقُرْآنُ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا ضَرَبْتُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَتَبَيَّنُوا وَلا تَقُولُوا لِمَنْ أَلْقَى إِلَيْكُمُ السَّلامَ لَسْتَ مُؤْمِنًا تبتغون عرض الحياة الدنيا

Kemudian beliau mengirimkan pasukan kecil yang dipimpin oleh Abu Qatadah al-Harits bin Rabi‘ al-Anshari ke daerah Batn Idham, yang terletak di antara Dzi Khushab dan Dzi al-Marwah, berjarak tiga barid dari Madinah, pada awal bulan Ramadan, dengan delapan orang. Hal itu terjadi ketika beliau hendak melakukan ekspedisi ke Makkah, agar tidak ada yang menyangka bahwa beliau keluar kecuali menuju ke arah Abu Qatadah. Lalu mereka bertemu dengan ‘Amir bin al-Adhbat al-Asyja‘i, yang memberi salam kepada mereka dengan salam Islam. Maka Muhallim bin Jatstsamah al-Laitsi maju kepadanya lalu membunuhnya dan mengambil untanya serta barang-barangnya. Kemudian mereka menyusul Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah mengetahui keberangkatan beliau ke Makkah, lalu mereka menyusul beliau di daerah Suqya. Maka turunlah ayat Al-Qur’an tentang mereka: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian berpergian di jalan Allah, maka telitilah, dan janganlah kalian mengatakan kepada orang yang mengucapkan salam kepadamu, ‘Kamu bukan seorang mukmin,’ karena kalian menginginkan harta benda kehidupan dunia.”

فصل فتح مكة

Bab Fathu Makkah

ثُمَّ غَزَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مَكَّةَ عَامَ الْفَتْحِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ

Kemudian Rasulullah ﷺ menyerbu Mekah pada tahun penaklukan, pada bulan Ramadan.

وَسَبَبُهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لَمَّا عَقَدَ الصُّلْحَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ قُرَيْشٍ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ دَخَلَتْ خُزَاعَةُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَعَقْدِهِ وَدَخَلَ بَنُو بَكْرٍ مِنْ هُذَيْلٍ فِي عَقْدِ قُرَيْشٍ وَعَهْدِهِمْ وَشَجَرَ نِفَارٌ بَيْنَ بَنِي بَكْرٍ وَخُزَاعَةَ فَاسْتَعَانَ بَنُو بَكْرٍ بِقُرَيْشٍ فَأَعَانُوهُمْ على خُزَاعَةَ وَحَضَرَ مَعَهُمْ مِنْ أَشْرَافِ قُرَيْشٍ مُتَنَكِّرِينَ صَفْوَانُ بْنُ أُمَيَّةَ وَسُهَيْلُ بْنُ عَمْرٍو وَعِكْرِمَةُ بْنُ أَبِي جَهْلٍ وَحَاطِبُ بْنُ عَبْدِ الْعُزَّى وَكُرْزُ بْنُ حَفْصٍ وَبَيَّتُوا خُزَاعَةَ لَيْلًا بِالْوَتِيرِ وَقَتَلُوا مِنْهُمْ عِشْرِينَ رَجُلًا وَذَلِكَ فِي شَعْبَانَ بَعْدَ صُلْحِ الْحُدَيْبِيَةِ بِاثْنَيْنِ وَعِشْرِينَ شَهْرًا وَنَدِمَتْ قُرَيْشٌ عَلَى مَا صَنَعَتْ لِمَا فِيهِ مِنْ نَقْضِ الْعَهْدِ فَقَدِمَ عَمْرُو بْنُ سَالِمٍ الْخُزَاعِيُّ فِي أَرْبَعِينَ رَجُلًا مِنْ خُزَاعَةٍ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَوَقَفَ عَلَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ جَالِسٌ بَيْنَ أَصْحَابِهِ فَقَالَ

Adapun sebabnya adalah bahwa Rasulullah ﷺ ketika mengadakan perjanjian damai antara beliau dan Quraisy pada tahun Hudaibiyah, kabilah Khuza‘ah masuk ke dalam perjanjian dan ikatan Rasulullah ﷺ, sedangkan Bani Bakr dari Hudzail masuk ke dalam perjanjian dan ikatan Quraisy. Kemudian terjadi permusuhan antara Bani Bakr dan Khuza‘ah. Bani Bakr meminta bantuan kepada Quraisy, lalu Quraisy membantu mereka melawan Khuza‘ah. Turut hadir bersama mereka dari kalangan tokoh Quraisy yang menyamar: Shafwan bin Umayyah, Suhail bin ‘Amr, ‘Ikrimah bin Abu Jahal, Hatib bin ‘Abdil ‘Uzza, dan Kurz bin Hafsh. Mereka menyerang Khuza‘ah pada malam hari di daerah Watir dan membunuh dua puluh orang dari mereka. Peristiwa itu terjadi pada bulan Sya‘ban, dua puluh dua bulan setelah Perjanjian Hudaibiyah. Quraisy menyesali apa yang telah mereka lakukan karena hal itu merupakan pelanggaran terhadap perjanjian. Maka datanglah ‘Amr bin Salim al-Khuza‘i bersama empat puluh orang dari Khuza‘ah kepada Rasulullah ﷺ, dan ia berdiri di hadapan beliau yang sedang duduk di masjid bersama para sahabatnya, lalu ia berkata:

لَا هُمَّ إِنِّي نَاشِدٌ مُحَمَّدَا حِلْفَ أَبِينَا وَأَبِيهِ الْأَتْلَدَا

Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada Muhammad demi perjanjian ayah kita dan ayahnya yang paling mulia.

فَوَالِدًا كُنَّا وَكُنْتَ وَلَدَا ثَمَّتْ أَسْلَمْنَا فَلَمْ نَنْزِعْ يَدَا

Dulu kita adalah orang tua dan engkau adalah anak, lalu di sana kita semua masuk Islam, maka kita tidak menarik kembali tangan kita.

فَانْصُرْ رَسُولَ اللَّهِ نَصْرًا أَعْتَدَا وَادْعُ عِبَادَ اللَّهِ يَأْتُوا مَدَدَا

Maka tolonglah Rasulullah dengan pertolongan yang kuat, dan ajaklah hamba-hamba Allah agar mereka datang memberikan bantuan.

فِيهِمْ رَسُولُ اللَّهِ قَدْ تَجَرَّدَا أَبْيَضَ مِثْلَ الْبَدْرِ يَنْمِي صُعُدَا

Di tengah-tengah mereka terdapat Rasulullah, yang telah mengenakan pakaian putih bersih seperti bulan purnama yang cahayanya terus bertambah terang ke atas.

إِنْ سِيمَ خَسَفًا وَجْهُهُ تَرَبَّدَا فِي فَيْلَقٍ كَالْبَحْرِ يَجْرِي مُزْبِدَا

Jika wajahnya tampak suram, ia akan menjadi gelap dalam barisan laksana lautan yang mengalir dengan buih yang bergemuruh.

إِنَّ قُرَيْشًا أَخْلَفُوكَ الْمَوْعِدَا وَنَقَضُوا مِيثَاقَكَ الْمُؤَكَّدَا

Sesungguhnya Quraisy telah mengingkari janji kepadamu dan telah melanggar perjanjianmu yang telah diteguhkan.

وَجَعَلُوا لِي فِي كَدَاءٍ رَصَدَا وَزَعَمُوا أن لست أدعوا أحدا

Mereka telah menempatkan pengintai untukku di Kadaa’, dan mereka mengira bahwa aku tidak akan membiarkan seorang pun.

وهم أذل وأقل عددا هم بيتونا بالوتير هجدا

Padahal mereka lebih hina dan jumlahnya lebih sedikit, merekalah yang menyerang kita di Wutir pada malam hari saat kita sedang tidur.

فقتلونا ركعا سجدا

Maka mereka membunuh kami dalam keadaan rukuk dan sujud.

فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” نُصِرْتَ يَا عَمْرُو بْنَ سَالِمٍ ” ثُمَّ قَامَ يَجُرُّ رِدَاءَهُ وَهُوَ يَقُولُ ” لَا نُصِرْتُ إِنْ لَمْ أَنْصُرْ بَنِي كَعْبٍ مِمَّا أَنْصُرُ مِنْهُ نَفْسِي وَقَالَ إِنَّ هَذَا السَّحَابَ لَيَسْتَهِلُّ بِنَصْرِ بَنِي كَعْبٍ “

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Engkau telah mendapat pertolongan, wahai ‘Amr bin Salim.” Kemudian beliau bangkit sambil menyeret selendangnya, seraya berkata, “Aku tidak akan mendapat pertolongan jika aku tidak menolong Bani Ka‘b sebagaimana aku menolong diriku sendiri. Dan beliau bersabda, ‘Sesungguhnya awan ini benar-benar mulai turun dengan membawa pertolongan untuk Bani Ka‘b.’”

لِأَنَّ الْحَرْبَ كَانَتْ بَيْنَ بَنِي كَعْبٍ مِنْ خُزَاعَةَ وَبَيْنَ بَنِي نُفَاثَةَ مِنْ بَنِي بَكْرٍ ثُمَّ قَالَ لِلنَّاسِ كَأَنَّكُمْ بِأَبِي سُفْيَانَ بْنِ حَرْبٍ قَدْ جَاءَ لِيُجَدِّدَ الْعَهْدَ وَيَزِيدَ فِي الْمُدَّةِ فَقَدِمَ أَبُو سُفْيَانَ بْنُ حَرْبٍ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ جَدِّدِ الْعَهْدَ وَزِدْ فِي الْمُدَّةِ فَقَالَ لَهُ ” هَلْ كَانَ مِنْكُمْ مِنْ حَدَثٍ؟ ” قَالَ لَا قَالَ فَنَحْنُ عَلَى صُلْحِنَا عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ فَلَقِيَ أَبَا بَكْرٍ وَلَقِيَ عُمَرَ وَلَقِيَ عَلِيًّا فَلَمْ يَرَ عِنْدَهُمْ خَيْرًا وَكَانَ أَغْلَظَهُمْ عَلَيْهِ عُمَرُ وَأَرَقَّهُمْ عَلَيْهِ عَلِيٌّ فَلَمَّا لَمْ يَجِدْ أَبُو سُفْيَانَ مَا أَحَبَّ قَامَ فقال إني قد أجرت بين الناس قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” أَنْتَ تَقُولُ هَذَا يَا أَبَا سُفْيَانَ؟ ” وَعَادَ أَبُو سُفْيَانَ إِلَى مَكَّةَ فَتَجَهَّزَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَأَخْفَى أَمْرَهُ وَقَالَ ” اللَّهُمَّ خُذْ عَلَى أَبْصَارِهِمْ حَتَّى لَا يَرَوْنِي إِلَّا بَغْتَةً “

Karena peperangan itu terjadi antara Bani Ka‘b dari Khuza‘ah dan Bani Nufāthah dari Bani Bakr, kemudian beliau berkata kepada orang-orang, “Seolah-olah kalian melihat Abu Sufyan bin Harb telah datang untuk memperbarui perjanjian dan menambah masa perjanjian.” Maka datanglah Abu Sufyan bin Harb kepada Rasulullah ﷺ, lalu ia berkata, “Wahai Muhammad, perbaruilah perjanjian dan tambahlah masa perjanjian itu.” Beliau bersabda kepadanya, “Apakah ada sesuatu yang kalian lakukan?” Ia menjawab, “Tidak.” Beliau bersabda, “Kalau begitu, kita tetap pada perjanjian kita di tahun Hudaibiyah.” Kemudian Abu Sufyan menemui Abu Bakar, lalu menemui Umar, lalu menemui Ali, namun ia tidak mendapatkan kebaikan dari mereka. Yang paling keras sikapnya terhadap Abu Sufyan adalah Umar, dan yang paling lembut adalah Ali. Ketika Abu Sufyan tidak mendapatkan apa yang diinginkannya, ia pun berdiri dan berkata, “Aku telah memberikan perlindungan di antara manusia.” Rasulullah ﷺ bersabda, “Apakah engkau yang mengatakan ini, wahai Abu Sufyan?” Lalu Abu Sufyan kembali ke Makkah. Maka Rasulullah ﷺ pun bersiap-siap dan menyembunyikan urusannya, seraya berdoa, “Ya Allah, tutuplah pandangan mereka sehingga mereka tidak melihatku kecuali secara tiba-tiba.”

فَكَتَبَ حَاطِبُ بْنُ أَبِي بَلْتَعَةَ كِتَابًا إِلَى قُرَيْشٍ يُعْلِمُهُمْ بِخَبَرِهِمْ بِالْمَسِيرِ إِلَيْهِمْ وَأَنَفْذَهُ إِلَيْهِمْ مَعَ امْرَأَةٍ شَدَّتْهُ فِي عِقَاصِ شَعْرِهَا فَأَنْفَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي أَثَرِهَا عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ وَالزُّبَيْرَ بْنَ الْعَوَّامِ فَأَخَذَا الْكِتَابَ مِنْهَا وَأَحْضَرَ حَاطِبًا وَقَالَ مَا حَمَلَكَ عَلَى هَذَا؟ فَاعْتَذَرَ فَعَفَا عَنْهُ وَاسْتَنْفَرَ مَنْ حَوْلَهُ مِنَ العرب وسار إلى مكة في عشر آلَافِ دِرْعٍ وَحَاسِرٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ مِنْهُمْ مَنْ جُهَيْنَةَ أَلْفٌ وَخَمْسُمِائَةٍ وَمَنْ مُزَيْنَةَ أَلْفٌ وَمِنْ سُلَيْمٍ سَبْعُمِائَةٍ وَمِنْ غِفَارَ أَرْبَعُمِائَةٍ وَمِنْ أَسْلَمَ أَرْبَعُمِائَةٍ وَسَائِرُهُمْ مِنْ قُرَيْشٍ وَالْأَنْصَارِ وَطَوَائِفُ مِنْ تَمِيمٍ وَقَيْسٍ وَأَسَدٍ وَخَرَجَ فِي يَوْمِ الْأَرْبِعَاءِ الْعَاشِرِ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ بَعْدَ الْعَصْرِ فَاسْتَخْلَفَ عَلَى الْمَدِينَةِ أَبَا رُهْمٍ الْغِفَارِيَّ وَصَارَ حَتَّى بَلَغَ الْكَدِيدَ مَا بَيْنَ عُسْفَانَ وَأَمَجَ فَأَفْطَرَ وَقَالَ ” مَنْ أَحَبَّ فَلْيَصُمْ وَمَنْ أَحَبَّ فَلْيُفْطِرْ ” ولما وصل قُدَيْدَ عَقَدَ الْأَلْوِيَةَ وَالرَّايَاتِ لِلْقَبَائِلِ وَلَقِيَهُ فِي طَرِيقِهِ بَيْنَ مَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ فِي بَنِيقِ الْعُقَابِ أَبُو سُفْيَانَ بْنُ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَكَانَ شَدِيدًا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ومعه عبد بن اللَّهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ وَكَانَ ابْنَ عَمَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وأرادا الدُّخُولَ عَلَيْهِ فَكَرِهَ دُخُولَهُمَا فَكَلَّمَتْهُ أُمُّ سَلَمَةَ حَتَّى رَقَّ عَلَيْهِمَا فَدَخَلَا عَلَيْهِ وَأَنْشَدَهُ أَبُو سُفْيَانَ بْنُ الْحَارِثِ

Maka Hatib bin Abi Balta’ah menulis sebuah surat kepada Quraisy untuk memberitahukan mereka tentang rencana perjalanan kaum Muslimin menuju mereka, dan ia mengirimkannya bersama seorang wanita yang menyembunyikan surat itu di sanggul rambutnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengutus Ali bin Abi Thalib dan Zubair bin Al-Awwam untuk mengejar wanita itu, lalu mereka mengambil surat tersebut darinya dan menghadapkan Hatib. Beliau bertanya, “Apa yang mendorongmu melakukan ini?” Hatib pun mengemukakan alasannya, lalu Rasulullah memaafkannya. Setelah itu, beliau mengerahkan orang-orang Arab di sekitarnya dan berangkat menuju Makkah bersama sepuluh ribu pasukan, baik yang bersenjata maupun tidak, dari kalangan Muslimin. Di antara mereka terdapat seribu lima ratus dari Juhainah, seribu dari Muzainah, tujuh ratus dari Sulaim, empat ratus dari Ghifar, empat ratus dari Aslam, dan sisanya dari Quraisy, Anshar, serta kelompok-kelompok dari Tamim, Qais, dan Asad. Beliau berangkat pada hari Rabu, tanggal sepuluh Ramadan, setelah Ashar, dan meninggalkan Abu Ruhm Al-Ghifari sebagai pengganti di Madinah. Beliau terus berjalan hingga sampai di Al-Kadid, antara Usfan dan Amaja, lalu beliau berbuka puasa dan bersabda, “Siapa yang ingin berpuasa, silakan berpuasa, dan siapa yang ingin berbuka, silakan berbuka.” Ketika sampai di Qudaid, beliau membagikan panji-panji dan bendera kepada kabilah-kabilah. Dalam perjalanan antara Makkah dan Madinah, di Baniq Al-Uqab, beliau bertemu dengan Abu Sufyan bin Al-Harits bin Abdul Muththalib, yang dahulu sangat keras terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersama Abdullah bin Abi Umayyah bin Al-Mughirah, yang merupakan sepupu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Keduanya ingin menemui beliau, namun beliau enggan menerima mereka. Lalu Ummu Salamah berbicara kepada beliau hingga beliau luluh hati kepada keduanya, maka keduanya pun masuk menemui beliau, dan Abu Sufyan bin Al-Harits membacakan syair kepadanya.

لَعَمْرِي إِنِّي يَوْمَ أَحْمِلُ راية لتغلب خيل الللات خَيْلُ مُحَمَّدِ

Demi hidupku, sungguh pada hari aku mengangkat panji untuk mengalahkan pasukan al-Lat, pasukan itu adalah pasukan Muhammad.

لَكَالْمُدْلِجِ الْخَيْرَانِ أَظْلَمَ لَيْلُهُ فَهَذَا أَوَانِي حِينَ أُهْدِي وَأَهْتَدِي

Seperti orang yang berjalan di malam hari dalam kebingungan, malamnya begitu gelap; inilah saatnya aku mencari petunjuk dan mendapat bimbingan.

وَهَادٍ هَدَانِي غَيْرَ نَفْسِي وَنَالَنِي مَعَ اللَّهِ مَنْ طَرَّدْتُ كُلَّ مطرد

Dan ada seorang pemberi petunjuk yang membimbingku selain diriku sendiri, dan aku mendapatkan bersama Allah seseorang yang aku usir setiap orang yang bisa diusir.

أصد وأنأى جاهدا عن محمد وأدعى ولو لم أنتسب من محمد

Aku berpaling dan menjauh dengan sungguh-sungguh dari Muhammad, dan aku mengaku (berbangga diri), seandainya saja aku tidak bernasab dari Muhammad.

هم ما هم من لم يقل بهواهم وإن كان ذا رأي يلم ويفند

Mereka adalah orang-orang yang tidak mengikuti hawa nafsu mereka, meskipun ia adalah seseorang yang memiliki pendapat, memahami, dan mampu membantah.

أريد لأرضيهم ولست بلائط مع القوم ما لم أهد في كل مقعد

Aku ingin menyenangkan mereka, namun aku bukanlah orang yang mengikuti kaum itu selama aku tidak memberikan hadiah di setiap pertemuan.

فقل لثقيف لا أريد قتالها وقل لثقيف تلك غيري أوعدي

Katakanlah kepada Tsaqif, aku tidak ingin memerangi mereka, dan katakanlah kepada Tsaqif, itu bukan aku yang mengancam, melainkan selainku.

وما كنت في الجيش الذي نال عامرا وما كان عن جرى لساني ولا يدي

Aku tidak termasuk dalam pasukan yang mencelakai ‘Amr, dan tidak pula lisanku maupun tanganku pernah terlibat dalam peristiwa itu.

قبائل جاءت من بلاد بعيدة نزائع جاءت من سهام وسردد

Kabilah-kabilah yang datang dari negeri-negeri yang jauh, kelompok-kelompok yang datang dari Saham dan Sardad.

وَلَمَّا سَارَ بِالسُّقْيَا لَقِيَهُ الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَسَارَ حَتَّى نَزَلَ مَرَّ الظَّهْرَانِ عِشَاءً فَأَمَرَ أَنْ يُوقِدَ كُلُّ رَجُلٍ نَارًا فَأُوقِدَتْ عَشَرَةُ آلَافِ نَارٍ فَهَالَ أَهْلَ مَكَّةَ وَلَمْ يَعْرِفُوا الْخَبَرَ فَخَرَجَ أَبُو سُفْيَانَ بْنُ حَرْبٍ وَحَكِيمُ بْنُ حِزَامٍ يَتَجَسَّسَانِ الْأَخْبَارَ وَقَالَ الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ يَا صَبَاحَ قُرَيْشٍ وَاللَّهِ إِنْ دَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مَكَّةَ عَنْوَةً إِنَّهُ لَهَلَاكُ قُرَيْشٍ آخِرَ الدَّهْرِ فركب بغلة رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ الْبَيْضَاءَ وَتَوَجَّهَ إِلَى مَكَّةَ لِيَرَى مَنْ يُعْلِمُ قُرَيْشًا بِنُزُولِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لِيَخْرُجُوا إِلَيْهِ فَيَسْتَأْمِنُوهُ فَبَيْنَمَا هُوَ يَطُوفُ بَيْنَ الْأَرْكَانِ إِذْ سَمِعَ كَلَامَ أَبِي سُفْيَانَ فَعَرَفَ صَوْتَهُ فَأَرْدَفَهُ عَلَى الْبَغْلَةِ فِي جِوَارِهِ وَعَادَ مَعَهُ حَكِيمُ بْنُ حِزَامٍ قِيلَ وَبُدَيْلُ بْنُ وَرْقَاءَ حَتَّى أَدْخَلَهُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَعَرَفَهُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَدَخَلَ عَلَيْهِ وَقَالَ يا رسول الله هذا أبوسفيان عدو الله وعدو لرسوله قَدْ أَمْكَنَ اللَّهُ مِنْهُ بِغَيْرِ عَهْدٍ وَلَا عَقْدٍ فَاضْرِبْ عُنُقَهُ فَقَالَ الْعَبَّاسُ لِعُمَرَ لَوْ كَانَ مِنْ بَنِي عَدِيٍّ مَا قُلْتَ هَذَا فَقَالَ عُمَرُ مَهْلًا يَا عَبَّاسُ فَوَاللَّهِ لَإِسْلَامُكَ يَوْمَ أَسْلَمْتَ كَانَ أَحَبَّ إِلَيَّ مِنْ إِسْلَامِ الْخَطَّابِ لَوْ أَسْلَمَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لِلْعَبَّاسِ ” اذْهَبْ بِهِ فَقَدْ أَمَّنَّاهُ حَتَّى تَغْدُوَ بِهِ مِنَ الْغَدِ ” فَلَمَّا أَصْبَحَ غَدَا بِهِ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَلَمَّا رَآهُ قَالَ لَهُ ” وَيْحَكَ يَا أَبَا سُفْيَانَ أَلَمْ يَأَنِ لَكَ أَنْ تَعْلَمَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَقَالَ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي مَا أَوْصَلَكَ وَأَحْلَمَكَ وَأَكْرَمَكَ وَاللَّهِ لَقَدْ عَلِمْتُ أَنْ لَوْ كَانَ مَعَ اللَّهِ غَيْرُهُ لَقَدْ أَغْنَى عَنِّي شَيْئًا فَقَالَ وَيْحَكَ يَا أَبَا سُفْيَانَ أَلُمْ يَأْنِ لَكَ بَعْدُ أَنْ تَعْلَمَ أَنِّي رَسُولُ اللَّهِ ” فَقَالَ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي مَا أَوْصَلَكَ وَأَحْلَمَكَ وَأَكْرَمَكَ! أَمَّا هَذِهِ فَفِي النَّفْسِ مِنْهَا شَيْءٌ فَقَالَ لَهُ الْعَبَّاسُ اشْهَدْ شَهَادَةَ الْحَقِّ قَبْلَ أَنْ يَضْرِبَ عُنُقَكَ فَشَهِدَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” انْصَرِفْ وَاحْبِسْهُ عِنْدَ حَطْمِ الْجَبَلِ بِمَضِيقِ الْوَادِي حَتَّى تَمُرَّ عَلَيْهِ جُنُودُ اللَّهِ ” فَقَالَ لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ يُحِبُّ الْفَخْرَ فَاجْعَلْ لَهُ مَا يَكُونُ فِي قَوْمِهِ فَخْرًا فَقَالَ ” مَنْ دَخَلَ دَارَ أَبِي سُفْيَانَ فَهُوَ آمِنٌ ومن دخل دار حكيم بْنِ حِزَامٍ فَهُوَ آمِنٌ وَمَنْ دَخَلَ الْمَسْجِدَ فهو آمن ومن أغلق بابه فهو آمن ” واستثنى قتل سنة رِجَالٍ وَأَرْبَعِ نِسْوَةٍ وَقَالَ يُقْتَلُونَ وَإِنْ تَعَلَّقُوا بِأَسْتَارِ الْكَعْبَةِ فَالرِّجَالُ عِكْرِمَةُ بْنُ أَبِي جَهْلٍ وَهَبَّارُ بْنُ الْأَسْوَدِ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَعْدِ بن أبي سرح ومقيس بن صبابة وَحُوَيْرِثُ بْنُ نُقَيْذٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ خَطَلٍ

Ketika beliau berjalan di daerah Suqya, beliau bertemu dengan Al-‘Abbas bin ‘Abd Al-Muththalib, lalu beliau melanjutkan perjalanan hingga singgah di Marr Azh-Zhahran pada malam hari. Beliau memerintahkan agar setiap orang menyalakan api, maka dinyalakanlah sepuluh ribu api, sehingga membuat penduduk Makkah terkejut dan mereka tidak mengetahui apa yang terjadi. Maka keluarlah Abu Sufyan bin Harb dan Hakim bin Hizam untuk mencari tahu berita. Al-‘Abbas bin ‘Abd Al-Muththalib berkata, “Wahai pagi celaka bagi Quraisy! Demi Allah, jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki Makkah dengan paksa, maka itu adalah kehancuran Quraisy untuk selama-lamanya.” Maka ia menaiki bagal putih milik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menuju ke Makkah untuk mencari siapa yang akan memberitahu Quraisy tentang kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mereka keluar menemuinya untuk meminta perlindungan. Ketika ia berjalan di antara tenda-tenda, ia mendengar suara Abu Sufyan dan mengenali suaranya, lalu ia memboncengkan Abu Sufyan di atas bagalnya dan Hakim bin Hizam ikut bersamanya, dan disebutkan juga Budail bin Warqa’, hingga ia membawa mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Umar bin Khattab mengenali mereka, lalu ia masuk menemui Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, ini Abu Sufyan, musuh Allah dan musuh Rasul-Nya. Allah telah memberimu kekuasaan atasnya tanpa perjanjian dan tanpa ikatan, maka penggallah lehernya!” Al-‘Abbas berkata kepada Umar, “Seandainya ia dari Bani ‘Adi, niscaya engkau tidak akan berkata demikian.” Umar menjawab, “Tahanlah, wahai Abbas! Demi Allah, keislamanmu pada hari engkau masuk Islam lebih aku cintai daripada keislaman Al-Khaththab jika ia masuk Islam.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Al-‘Abbas, “Bawalah dia, sungguh kami telah memberinya perlindungan hingga besok pagi engkau membawanya kembali.” Ketika pagi tiba, Al-‘Abbas membawanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika Rasulullah melihatnya, beliau bersabda, “Celaka engkau wahai Abu Sufyan! Belumkah tiba saatnya bagimu untuk mengetahui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah?” Abu Sufyan menjawab, “Demi ayah dan ibuku, betapa engkau telah menyambung silaturahmi, penyabar, dan mulia! Demi Allah, sungguh aku telah mengetahui bahwa jika ada Tuhan selain Allah, tentu ia telah menolongku.” Rasulullah bersabda, “Celaka engkau wahai Abu Sufyan! Belumkah tiba saatnya bagimu untuk mengetahui bahwa aku adalah Rasulullah?” Abu Sufyan menjawab, “Demi ayah dan ibuku, betapa engkau telah menyambung silaturahmi, penyabar, dan mulia! Namun tentang yang satu ini, masih ada keraguan dalam diriku.” Al-‘Abbas berkata kepadanya, “Bersaksilah dengan syahadat yang benar sebelum lehermu dipenggal!” Maka Abu Sufyan pun bersyahadat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pergilah dan tahanlah dia di Huthm Al-Jabal di celah lembah hingga pasukan Allah melewatinya.” Al-‘Abbas berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang yang suka berbangga diri, maka berikanlah sesuatu yang bisa menjadi kebanggaan bagi kaumnya.” Rasulullah bersabda, “Barangsiapa masuk ke rumah Abu Sufyan, maka ia aman. Barangsiapa masuk ke rumah Hakim bin Hizam, maka ia aman. Barangsiapa masuk ke masjid, maka ia aman. Dan barangsiapa menutup pintunya, maka ia aman.” Rasulullah mengecualikan pembunuhan terhadap enam laki-laki dan empat perempuan, beliau bersabda, “Mereka harus dibunuh meskipun mereka berlindung di tirai Ka’bah.” Adapun laki-laki tersebut adalah: ‘Ikrimah bin Abu Jahl, Hubar bin Al-Aswad, Abdullah bin Sa‘d bin Abi Sarh, Miqyas bin Shubabah, Huwayrith bin Nuqaydz, dan Abdullah bin Khathal.

وَالنِّسْوَةُ هِنْدُ بِنْتُ عُتْبَةَ وَسَارَةُ مَوْلَاةُ عَمْرِو بن هاشم وقينتا بَنْتِ خَطَلٍ وَفَرْتَنَى وَقُرَيْبَة فَلَمَّا أَرَادَ رَسُولُ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ دُخُولَ مَكَّةَ دَفَعَ رَايَةَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ إِلَى سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ فَلَمَّا سَارَ بِهَا سَمِعَهُ بَعْضُ الْمُهَاجِرِينَ وَهُوَ يَقُولُ

Dan para wanita itu adalah Hindun binti ‘Utbah, Sārah mantan budak ‘Amr bin Hasyim, Qainat binti Khathal, Fartanā, dan Quraibah. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak memasuki Makkah, beliau menyerahkan panji kaum Muhajirin dan Anshar kepada Sa‘d bin ‘Ubadah. Ketika Sa‘d berjalan membawa panji itu, sebagian kaum Muhajirin mendengarnya berkata:

الْيَوْمَ يَوْمُ الْمَلْحَمَة الْيَوْمَ تُسْبَى الْحُرْمَةْ

Hari ini adalah hari pertempuran besar, hari ini kehormatan akan ditawan.

فَذُكِرَ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَقَالَ الْيَوْمَ يَوْمُ الْمَرْحَمَةِ وَأَخَذَ الرَايَةَ مِنْهُ وَسَلَّمَهَا إِلَى ابْنِهِ قَيْسِ بْنِ سَعْدٍ وَأَنْفَذَ الزُّبَيْرَ بْنَ الْعَوَّامِ وَمَعَهُ رَايَتُهُ لِيَدْخُلَ مِنْ كَدَاءٍ أَعْلَى مَكَّةَ وَدَارُ أَبِي سُفْيَانَ بِأَعْلَاهَا وَأَنْفَذَ خَالِدَ بْنَ الْوَلِيدِ مِنَ اللَّيْطِ أَسْفَلَ مَكَّةَ وَدَارُ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ بِأَسْفَلِهَا وَوَصَّاهُمَا أَنْ لَا يُقَاتِلَا إِلَّا مَنْ قَاتَلَهُمَا وَدَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي كَتِيبَتِهِ الْخَضْرَاءِ عَلَى نَاقَتِهِ الْقَصْوَاءِ وَعَلَى رَأْسِهِ عِمَامَةٌ سَوْدَاءُ وَهُوَ يَسِيرُ بَيْنَ أَبِي بَكْرٍ وَأُسَيْدِ بْنِ حُضَيْرٍ وَكَانَ أَبُو سُفْيَانَ بِمَضِيقِ الْوَادِي مَعَ الْعَبَّاسِ تَمُرُّ بِهِ الْقَبَائِلُ فَيَرَاهَا فَيَقُولُ لِلْعَبَّاسِ مَنْ هَؤُلَاءِ؟ فَيَقُولُ لَهُ سليم فيقول ما لي وتسليم ثم تمر به أخرى فيقول مَنْ هَؤُلَاءِ؟ فَيَقُولُ لَهُ أَسْلَمُ فَيَقُولُ مَا لِي وَلِأَسْلَمَ ثُمَّ تَمُرُّ بِهِ أُخْرَى فَيَقُولُ مَنْ هَذِهِ؟ فَيَقُولُ مُزَيْنَةُ فَيَقُولُ مَا لِي وَلِمُزَيْنَةَ وَتَمُرُّ بِهِ أُخْرَى فَيَقُولُ مَنْ هَذِهِ؟ فَيَقُولُ لَهُ جُهَيْنَةُ فَيَقُولُ مَا لِي وَلِجُهَيْنَةَ كَذَلِكَ حَتَّى جَازَتْ كَتِيبَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ الْخَضْرَاءُ فَقَالَ مَنْ هَؤُلَاءِ؟ فَقَالَ هَذَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَقَالَ أَبُو سُفْيَانَ يَا أَبَا الْفَضْلِ لَقَدْ أَصْبَحَ مُلْكُ ابْنِ أَخِيكَ عَظِيمًا فَقَالَ لَهُ الْعَبَّاسُ وَيْحَكَ إِنَّهَا النُّبُوَّةُ فَقَالَ نَعَمْ إِذًا فَقَالَ لَهُ الْعَبَّاسُ الْحَقِ الْآنَ بِقَوْمِكَ فَحَذِّرْهُمْ فَأَسْرَعَ حَتَّى دَخَلَ مَكَّةَ فَصَرَخَ فِي الْمَسْجِدِ فَقَالَ يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ هَذَا مُحَمَّدٌ قَدْ جَاءَكُمْ بِمَا لَا قِبَلَ لَكُمْ بِهِ قَالُوا فَمَهْ فَقَالَ مَنْ دَخَلَ دَارِي فَهُوَ آمِنٌ قَالُوا وَيْحَكَ تُغْنِي عَنَّا دَارُكَ قَالَ مَنْ دخل المسجد فهو آمن ومن أغلق بابه فَهُوَ آمِنٌ

Lalu hal itu disampaikan kepada Rasulullah ﷺ, maka beliau bersabda, “Hari ini adalah hari kasih sayang.” Beliau mengambil bendera itu darinya dan menyerahkannya kepada putranya, Qais bin Sa‘d. Beliau mengutus az-Zubair bin al-‘Awwam bersama benderanya agar masuk dari Kadaa’, bagian atas Mekah, dan rumah Abu Sufyan berada di bagian atas itu. Beliau juga mengutus Khalid bin al-Walid dari Lait, bagian bawah Mekah, dan rumah Hakim bin Hizam berada di bagian bawah itu. Beliau berpesan kepada keduanya agar tidak memerangi kecuali siapa yang memerangi mereka. Rasulullah ﷺ masuk bersama pasukan hijaunya di atas unta beliau, al-Qashwa’, dan di atas kepala beliau terdapat sorban hitam, beliau berjalan di antara Abu Bakar dan Usaid bin Hudhair. Abu Sufyan berada di celah lembah bersama al-‘Abbas, kabilah-kabilah melewati mereka, maka Abu Sufyan melihatnya dan berkata kepada al-‘Abbas, “Siapa mereka ini?” Al-‘Abbas menjawab, “Sulaim.” Ia berkata, “Apa urusanku dengan Sulaim?” Lalu lewat lagi kabilah lain, ia bertanya, “Siapa mereka ini?” Al-‘Abbas menjawab, “Aslam.” Ia berkata, “Apa urusanku dengan Aslam?” Kemudian lewat lagi kabilah lain, ia bertanya, “Siapa mereka ini?” Al-‘Abbas menjawab, “Muzainah.” Ia berkata, “Apa urusanku dengan Muzainah?” Lalu lewat lagi kabilah lain, ia bertanya, “Siapa mereka ini?” Al-‘Abbas menjawab, “Juhainah.” Ia berkata, “Apa urusanku dengan Juhainah?” Demikianlah hingga pasukan hijau Rasulullah ﷺ lewat. Ia bertanya, “Siapa mereka ini?” Al-‘Abbas menjawab, “Ini Rasulullah ﷺ.” Maka Abu Sufyan berkata, “Wahai Abu al-Fadl, sungguh kekuasaan anak saudaramu telah menjadi besar.” Al-‘Abbas berkata kepadanya, “Celakalah engkau, itu adalah kenabian.” Ia berkata, “Benar, kalau begitu.” Al-‘Abbas berkata kepadanya, “Segeralah temui kaummu, peringatkan mereka.” Maka Abu Sufyan bergegas hingga masuk ke Mekah, lalu ia berteriak di masjid, “Wahai kaum Quraisy, ini Muhammad telah datang kepada kalian dengan sesuatu yang kalian tidak sanggup menghadapinya!” Mereka berkata, “Lalu apa?” Ia berkata, “Siapa yang masuk ke rumahku, maka ia aman.” Mereka berkata, “Celaka engkau, apa gunanya rumahmu bagi kami?” Ia berkata, “Siapa yang masuk ke masjid, maka ia aman. Dan siapa yang menutup pintunya, maka ia aman.”

وَدَخَلَ الزُّبَيْرُ مِنْ أَعْلَى مَكَّةَ فَلَمْ يُقَاتِلْهُ أَحَدٌ فَغَرَسَ رَايَةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِالْحَجُونِ حَتَّى أَتَاهَا وَدَخَلَ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ مِنْ أَسْفَلِ مَكَّةَ فَلَقِيَهُ بِالْخَنْدَمَةِ عِكْرِمَةُ بْنُ أَبِي جَهْلٍ وَسُهَيْلُ بْنُ عَمْرٍو وَصَفْوَانُ بْنُ أُمَيَّةَ فِي جَمْعٍ مِنْ قُرَيْشٍ وَأَحَابِيشِهِمْ وَحُلَفَائِهِمْ مِنْ بَنِي نُفَاثَةَ بْنِ بَكْرٍ فَقَاتَلَهُمْ خَالِدٌ حَتَّى قَتَلَ أَرْبَعَةً وَعِشْرِينَ رَجُلًا وَمِنْ هُذَيْلٍ أَرْبَعَةَ رِجَالٍ فَانْهَزَمُوا أَعْظَمَ هَزِيمَةٍ فَلَمَّا رَأَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ البارقة على رؤوس الْجِبَالِ قَالَ مَا هَذَا وَقَدْ نَهَيْتُ عَنِ القتال؟ فقيل له إن خالد قُوبِلَ فَقَاتَلَ فَقَالَ قَضَاءُ اللَّهِ خَيْرٌ وَكَانَ فِيمَنْ قَاتَلَ خَالِدًا حَمَاسُ بْنُ قَيْسِ بْنِ خَالِدٍ قَدْ أَعَدَّ سِلَاحًا لِلْقِتَالِ فَلَمَّا أَخَذَهُ لِيُقَاتِلَ فِي هَذَا الْيَوْمِ قَالَتْ لَهُ امْرَأَتُهُ وَاللَّهِ مَا أَرَى أَنَّهُ يَعْتَرِضُ مُحَمَّدًا وَأَصْحَابَهُ بِشَيْءٍ فَقَالَ لَهَا إِنِّي لَأَرْجُو أَنْ أُخْدِمَكِ بَعْضَهُمْ وَأَنْشَأَ يَقُولُ

Zubair masuk dari arah atas Mekah, maka tidak ada seorang pun yang memeranginya. Ia menancapkan panji Rasulullah saw. di Hajun hingga beliau datang kepadanya. Sementara itu, Khalid bin Walid masuk dari arah bawah Mekah, lalu di Khanda-ma ia dihadang oleh Ikrimah bin Abu Jahal, Suhail bin Amr, dan Shafwan bin Umayyah bersama sekelompok Quraisy, sekutu-sekutu mereka dari Bani Nufatsah bin Bakr, serta para Habasyi mereka. Khalid memerangi mereka hingga ia membunuh dua puluh empat orang laki-laki, dan dari kabilah Hudzail empat orang laki-laki, sehingga mereka mengalami kekalahan yang sangat telak. Ketika Rasulullah saw. melihat kilatan pedang di puncak-puncak gunung, beliau bersabda, “Apa ini? Bukankah aku telah melarang peperangan?” Maka dikatakan kepada beliau, “Khalid dihadang, lalu ia berperang.” Beliau bersabda, “Ketetapan Allah lebih baik.” Di antara orang yang memerangi Khalid adalah Hamas bin Qais bin Khalid, yang telah menyiapkan senjata untuk berperang. Ketika ia mengambilnya untuk berperang pada hari itu, istrinya berkata kepadanya, “Demi Allah, aku tidak melihat mereka akan menghalangi Muhammad dan para sahabatnya dengan sesuatu pun.” Ia menjawab, “Aku berharap dapat memperbudak sebagian dari mereka untukmu.” Lalu ia mulai bersyair:

إِنْ تَقْبَلُوا الْيَوْمَ فَمَا بي عِلَّة هَذَا سِلَاحٌ كَامِلٌ وَأَلَّه

Jika kalian menerima hari ini, maka aku tidak memiliki alasan; ini adalah senjata yang lengkap dan kuat.

وَذُو غِرَارَيْنِ سَرِيعُ السِّلَّة

Dan unta yang memiliki dua gumpalan (di punggungnya) adalah hewan yang cepat berlari.

فَلَمَّا لَحِقَ بِعِكْرِمَةَ صَفْوَان عَادَ مُنْهَزِمًا حَتَّى دَخَلَ بَيْتَهُ وَقَالَ لِامْرَأَتِهِ اغْلِقِي عَلَيَّ بَابِي فَقَالَتْ لَهُ امْرَأَتُهُ فَأَيْنَ مَا كنت تقول فقال

Ketika Shafwan menyusul ‘Ikrimah, ia kembali dalam keadaan kalah hingga masuk ke rumahnya dan berkata kepada istrinya, “Tutuplah pintu untukku.” Maka istrinya berkata kepadanya, “Lalu ke mana semua yang dulu biasa kamu katakan?” Maka ia pun menjawab.

إنك لو شهدت يوم الخندمه إذ فر صفوان وفر عكرمه

Seandainya engkau menyaksikan hari Khandaq, ketika Shafwan melarikan diri dan Ikrimah pun lari.

وأبو يزيد قائم كالمؤتمه واستقبلتهم بالسيوف المسلمه

Abu Yazid berdiri seperti orang yang mengikuti imam, dan mereka menghadapi mereka dengan pedang yang terhunus.

يَقْطَعْنَ كُلَّ سَاعِدٍ وَجُمْجُمَهْ ضَرْبًا فَلَا تُسْمَعُ إلا غمغمه

Mereka memotong setiap lengan dan tengkorak dengan pukulan, sehingga yang terdengar hanyalah gumaman.

لهم نهيت خلفنا وهمهمه لَمْ تَنْطِقِي فِي اللَّوْمِ أَدْنَى كَلِمَهْ

Aku melarang mereka di belakang kita, dan mereka hanya bergumam; engkau tak mengucapkan sepatah kata pun dalam celaan.

وَلَمَّا دَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مَكَّةَ وَذَلِكَ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ الْعِشْرِينَ مِنْ رَمَضَانَ ضُرِبَتْ لَهُ بِالْحَجُونِ قُبَّةٌ مِنْ أَدَمٍ لِيَنْزِلَ فِيهَا عِنْدَ رَايَتِهِ الَّتِي غَرَسَهَا الزُّبَيْرُ فَقِيلَ لَهُ أَلَا تَنْزِلَ مَنْزِلَكَ؟ فَقَالَ ” وَهَلْ تَرَكَ لَنَا عَقِيلٌ مِنْ رَبْعٍ وَكَانَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ يَمْشِي بَيْنَ يَدَيْهِ حِينَ دَخَلَ وَهُوَ يَقُولُ

Ketika Rasulullah ﷺ memasuki Makkah, yaitu pada hari Jumat tanggal dua puluh Ramadhan, didirikan untuk beliau sebuah tenda dari kulit di Hajun agar beliau singgah di sana, di dekat panji beliau yang telah ditancapkan oleh Zubair. Lalu dikatakan kepada beliau, “Tidakkah Anda singgah di tempat tinggal Anda?” Maka beliau bersabda, “Apakah Aqil telah menyisakan bagi kita rumah?” Dan saat beliau masuk, Ibnu Ummi Maktum berjalan di depan beliau sambil berkata.

يَا حَبَّذَا مَكَّةُ مِنْ وَادِي أَرْضٌ بِهَا أَهْلِي وَعَوَّادِي

Betapa indahnya Mekah, sebuah lembah tanah tempat keluargaku dan orang-orang yang biasa mengunjungiku berada.

أَرْضٌ بِهَا أَمْشِي بِلَا هادي أرض بِهَا تَرْسَخُ أَوْتَادِي

Tanah tempat aku berjalan tanpa penuntun, tanah tempat tertancapnya pasak-pasakku.

وَطَافَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِالْبَيْتِ عَلَى نَاقَتِهِ الْقَصْوَى وَحَوْلَ الْكَعْبَةِ ثَلَاثُمِائَةٍ وَسِتُّونَ صَنَمًا فَجَعَلَ كُلَّمَا مَرَّ بِصَنَمٍ مِنْهَا يُشِيرُ إِلَيْهِ بِقَضِيبٍ فِي يَدِهِ وَيَقُولُ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا فَيَقَعُ الصَّنَمُ لِوَجْهِهِ وَكَانَ أَعْظَمُهَا هُبَلَ وَهُوَ وِجَاهَ الْكَعْبَةِ وَجَاءَ إِلَى الْمَقَامِ وَهُوَ لَاصِقٌ بِالْكَعْبَةِ فَصَلَّى خَلْفَهُ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ جَلَسَ نَاحِيَتَهُ مِنَ الْمَسْجِدِ وَجَاءَتْهُ قُرَيْشٌ فَأَسْلَمُوا طَوْعًا وكرها وقالوا يَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ اصْنَعْ بِنَا صُنْعَ أَخٍ كَرِيمٍ فَقَالَ أَنْتُمُ الطُّلَقَاءُ ثُمَ قَالَ مَثَلِي وَمَثَلُكُمْ كَمَا قَالَ يُوسُفُ لِإِخْوَتِهِ لا تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ يَغْفِرُ اللَّهُ لَكُمْ وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ

Rasulullah ﷺ melakukan thawaf di Ka’bah dengan menunggang unta al-Qashwa, sementara di sekitar Ka’bah terdapat tiga ratus enam puluh berhala. Setiap kali beliau melewati salah satu berhala itu, beliau menunjuknya dengan tongkat yang ada di tangannya seraya berkata, “Kebenaran telah datang dan kebatilan telah lenyap. Sesungguhnya kebatilan itu pasti lenyap.” Maka berhala itu pun roboh tersungkur. Yang terbesar di antara berhala-berhala itu adalah Hubal, yang terletak di depan Ka’bah. Kemudian beliau mendatangi Maqam Ibrahim yang menempel pada Ka’bah, lalu beliau shalat dua rakaat di belakangnya. Setelah itu beliau duduk di salah satu sisi masjid. Lalu datanglah kaum Quraisy kepada beliau, lalu mereka masuk Islam baik dengan sukarela maupun terpaksa. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah ﷺ, perlakukanlah kami sebagaimana perlakuan seorang saudara yang mulia.” Maka beliau bersabda, “Kalian adalah orang-orang yang dimerdekakan.” Kemudian beliau berkata, “Perumpamaanku dan perumpamaan kalian seperti yang dikatakan Yusuf kepada saudara-saudaranya: ‘Pada hari ini tidak ada celaan atas kalian. Semoga Allah mengampuni kalian, dan Dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang.'”

ثُمَّ أَجْمَعُوا الْمُبَايَعَةَ فَجَلَسَ عَلَى الصَّفَا وَجَلَسَ عُمَرُ أَسْفَلَ مَجْلِسِهِ يَأْخُذُ عَلَى النَّاسِ فَبَايَعُوا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ فِيمَا اسْتَطَاعُوا فَقَالَ ” لَا هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ ” وَجَاءَ النِّسَاءُ لِمُبَايَعَتِهِ وَكَانَ فِيهِنَّ هِنْدُ بِنْتُ عُتْبَةَ مُتَنَكِّرَةً لِأَجْلِ صَنِيعِهَا بِحَمْزَةَ وَكَانَ أَبُو سُفْيَانَ زَوْجُهَا حَاضِرًا فَلَمَّا تَكَلَّمَتْ عَرَفَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَقَالَ ” إِنَّكِ لَهِنْدُ فَقَالَتْ أَنَا هِنْدُ فَاعْفُ عَمَّا سَلَفَ عَفَا اللَّهُ عَنْكَ فَقَالَ تُبَايِعِينَ عَلَى أَنْ لَا تُشْرِكِي بِاللَّهِ شَيْئًا فَقَالَتْ هِنْدُ إِنَّكَ لَتَأْخُذُ عَلَيَّ مَا لَمْ تَأْخُذْهُ عَلَى الرِّجَالِ وَسَنُؤْتِيكَهُ قَالَ وَلَا تَسْرِقْنَ فَقَالَتْ هِنْدُ إِنِّي كُنْتُ أُصِيبُ مِنْ مَالِ أَبِي سُفْيَانَ الْهَنَّةَ وَالْهَنَّةَ فَقَالَ أَبُو سُفْيَانَ أَنْتِ فِي حَلٍّ مِمَّا مَضَى فَقَالَ وَلَا تزنين فقالت يا رسول الله وَهَلْ تَزْنِي الْحُرَّةُ؟ قَالَ وَلَا تَقْتُلْنَ أَوْلَادَكُنَّ قَالَتْ قَدْ رَبَّيْنَاهُمْ صِغَارًا وَقَتَلْتَهُمْ يَوْمَ بَدْرٍ كِبَارًا فَأَنْتَ وَهُمْ أَعْلَمُ فَضَحِكَ عُمَرُ حَتَّى اسْتَغْرَبَ قَالَ وَلَا تَأْتِينَ بِبُهْتَانٍ تَفْتَرِينَهُ بَيْنَ أَيْدِيكُنَّ وَأَرْجُلِكُنَّ فَقَالَتْ وَاللَّهِ إِنَّ إِتْيَانَ الْبُهْتَانِ لَقَبِيحٌ وَلَبَعْضُ التَّجَاوُزِ أَمْثَلُ قَالَ وَلَا تَعْصِينَ في معروف قالت ما جلسنا هذه الْمَجْلِسَ وَنَحْنُ نُرِيدُ أَنْ نَعْصِيَكَ فِي مَعْرُوفٍ فَقَالَ لِعُمَرَ بَايِعْهُنَّ فَبَايَعْهُنَّ وَاسْتَغْفَرَ لَهُنَّ رَسُولُ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ثُمَّ أَرْسَلَ بِلَالًا إِلَى عُثْمَانَ بْنِ طَلْحَةَ لِيَأْتِيَهُ بِمَفَاتِيحِ الْكَعْبَةِ فَأَخَذَهَا مِنْهُ وَفَتَحَ الْكَعْبَةَ وَدَخَلَهَا فَصَلَّى فِيهَا رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ خَرَجَ وَالنَّاسُ حَوْلَ الْكَعْبَةِ فَخَطَبَهُمْ وَدَعَا وَقَالَ يَا أَيُّهَا النَاسُ كُلُّكُمْ بَنُو آدَمَ وَآدَمُ مِنْ تُرَابٍ فَأَذْهِبُوا عَنْكُمْ فَخْرَ الْجَاهِلِيَّةِ وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ مَكَّةَ يَوْمَ خَلَقَ السَمَوَاتِ وَالْأَرْضَ فَهِيَ حَرَامٌ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَلَمْ تَحِلَّ لِيَ إِلَّا سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ ثُمَّ رَجَعَتْ كَحُرْمَتِهَا بِالْأَمْسِ وَلَمْ يَحِلَّ لَنَا مِنْ غَنَائِمِهَا شَيْءٌ فَلْيُبَلِّغْ شَاهِدُكُمْ غَائِبَكُمْ ” وَذَلِكَ مِنْ غَدِ يَوْمِ الْفَتْحِ بَعْدَ صَلَاةِ الظُّهْرِ وَدَعَا عُثْمَانَ بْنَ طَلْحَةَ وَدَفَعَ إِلَيْهِ الْمَفَاتِيحَ وَقَالَ خُذُوهَا يَا بَنِي طَلْحَةَ تَالِدَةً خَالِدَةً لَا يَنْزِعُهَا مِنْكُمْ أَحَدٌ إِلَّا ظُلْمًا وَدَفَعَ السِّقَايَةَ إِلَى الْعَبَّاسِ بن عبد المطلب وقال أعطيكم ما ترزءكم وَلَا تَرْزَؤُونَهَا

Kemudian mereka sepakat untuk melakukan baiat, lalu beliau duduk di atas Shafa dan Umar duduk di bawah majelisnya untuk mengambil baiat dari orang-orang. Maka mereka pun berbaiat untuk mendengar dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya sesuai kemampuan mereka. Beliau bersabda, “Tidak ada hijrah setelah penaklukan.” Kemudian para wanita datang untuk berbaiat kepadanya, di antara mereka terdapat Hindun binti Utbah yang menyamar karena perbuatannya terhadap Hamzah, dan suaminya, Abu Sufyan, hadir saat itu. Ketika ia berbicara, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenalinya dan bersabda, “Engkau adalah Hindun.” Ia menjawab, “Aku Hindun, maka maafkanlah apa yang telah lalu, semoga Allah memaafkanmu.” Beliau bersabda, “Engkau berbaiat untuk tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun.” Hindun berkata, “Engkau mengambil janji dariku sesuatu yang tidak engkau ambil dari para laki-laki, dan kami akan memenuhinya.” Beliau bersabda, “Dan tidak mencuri.” Hindun berkata, “Aku dahulu mengambil dari harta Abu Sufyan ini dan itu.” Abu Sufyan berkata, “Engkau telah dihalalkan dari apa yang telah lalu.” Beliau bersabda, “Dan tidak berzina.” Hindun berkata, “Wahai Rasulullah, apakah wanita merdeka berzina?” Beliau bersabda, “Dan tidak membunuh anak-anak kalian.” Ia berkata, “Kami telah membesarkan mereka saat kecil, lalu engkau membunuh mereka saat dewasa di hari Badar. Maka engkau dan mereka lebih tahu.” Umar pun tertawa hingga heran. Beliau bersabda, “Dan tidak mendatangkan buhtan yang kalian ada-adakan antara tangan dan kaki kalian.” Ia berkata, “Demi Allah, sungguh mendatangkan buhtan itu sangat buruk, dan sebagian kelonggaran lebih baik.” Beliau bersabda, “Dan tidak mendurhakaiku dalam perkara yang makruf.” Ia berkata, “Kami tidak duduk di majelis ini dengan niat untuk mendurhakaimu dalam perkara yang makruf.” Maka beliau berkata kepada Umar, “Baiatlah mereka.” Lalu Umar membaiat mereka dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memohonkan ampunan untuk mereka. Kemudian beliau mengutus Bilal kepada Utsman bin Thalhah untuk membawakan kunci Ka’bah, lalu beliau mengambilnya dan membuka Ka’bah, kemudian masuk ke dalamnya dan shalat dua rakaat di dalamnya. Setelah itu beliau keluar sementara orang-orang mengelilingi Ka’bah, lalu beliau berkhutbah dan berdoa, serta bersabda, “Wahai manusia, kalian semua adalah anak Adam dan Adam berasal dari tanah. Maka hilangkanlah dari kalian kebanggaan jahiliah. Sesungguhnya Allah telah mengharamkan Makkah sejak Dia menciptakan langit dan bumi, maka ia haram hingga hari kiamat. Tidak dihalalkan bagiku kecuali sesaat di siang hari, kemudian kembali keharamannya seperti kemarin. Tidak dihalalkan bagi kami sedikit pun dari rampasannya. Maka hendaklah yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir.” Itu terjadi pada hari setelah penaklukan, setelah shalat Zuhur. Beliau memanggil Utsman bin Thalhah dan menyerahkan kunci kepadanya, serta bersabda, “Ambillah, wahai Bani Thalhah, sebagai warisan yang abadi. Tidak ada yang akan mengambilnya dari kalian kecuali dengan kezaliman.” Beliau juga menyerahkan urusan penyediaan air minum kepada Al-Abbas bin Abdul Muththalib dan bersabda, “Aku berikan kepadamu apa yang dapat membantumu, dan tidak akan diambil darimu.”

ثُمَّ بَعَثَ تَمِيمَ بْنَ أَسَدٍ الْخُزَاعِيَّ فَجَدَّدَ أَنْصَابَ الْحَرَمِ وَحَانَ الظُّهْرُ فَأَذَّنَ بِلَالٌ فَوْقَ ظَهْرِ الْكَعْبَةِ وَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ رَكْعَتَيْنِ وَكَذَلِكَ صَلَّى مُدَّةَ مَقَامِهِ بِمَكَّةَ

Kemudian beliau mengutus Tamim bin Asad al-Khuza‘i untuk memperbarui tanda-tanda batas tanah haram, lalu tibalah waktu zuhur, maka Bilal mengumandangkan azan di atas Ka‘bah, kemudian Rasulullah saw. melaksanakan salat dua rakaat, dan demikianlah beliau lakukan selama masa tinggalnya di Makkah.

ثُمَّ بَثَّ السَّرَايَا إِلَى الْأَصْنَامِ الَّتِي حَوْلَ مَكَّةَ الْعُزَّى وَسُوَاعٍ وَمَنَاةَ فَبَعَثَ خَالِدَ بْنَ الْوَلِيدِ إِلَى الْعُزَّى بِبَطْنِ نَخْلَةَ وَكَانَ مِنْ أَعْظَمِ أَصْنَامِ قُرَيْشٍ فَكَسَرَهُ

Kemudian beliau mengirimkan pasukan-pasukan kecil ke berhala-berhala yang berada di sekitar Mekah, yaitu al-‘Uzzā, Suwā‘, dan Manāt. Beliau mengutus Khalid bin al-Walid ke al-‘Uzzā yang berada di lembah Nakhlah, dan itu adalah salah satu berhala terbesar milik Quraisy, lalu Khalid menghancurkannya.

وَبَعَثَ عَمْرَو بْنَ الْعَاصِ إِلَى رُهَاطٍ وَفِيهِ سُوَاعٌ وَهُوَ صَنَمٌ لِهُذَيْلٍ فَكَسَرَهُ

Dan ia mengutus ‘Amr bin al-‘Ash ke Ruhath, di sana terdapat Suwa‘, yaitu berhala milik (kabilah) Hudzail, lalu ia menghancurkannya.

وَبَعَثَ سَعْدَ بْنَ زَيْدٍ الْأَشْهَلِيَّ إِلَى مَنَاةَ وَكَانَ صَنَمًا بِالْمُشَلَّلِ لِلْأَوْسِ وَالْخْزْرَجِ وَغَسَّانَ فَكَسَرَهُ ثُمَّ قَالَ لِلنَّاسِ ” مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يَدَعُ فِي بَيْتِهِ صَنَمًا إِلَّا كَسَرَهُ “

Dan ia mengutus Sa‘d bin Zaid al-Asyhali ke Manāt, yang merupakan berhala di al-Musyallal milik Aus, Khazraj, dan Ghassan. Maka Sa‘d menghancurkannya, kemudian ia berkata kepada orang-orang, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah ia membiarkan ada berhala di rumahnya kecuali ia menghancurkannya.”

مَسِيرُ خَالِدٍ إِلَى بَنِي جَذِيمَةَ

Perjalanan Khalid menuju Bani Jadzimah

وَلَمَّا رَجَعَ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ مِنَ الْعُزَّى بَعَثَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي أَوَّلِ شَوَّالٍ وَهُوَ بِمَكَّةَ سَرِيَّةً إِلَى بني جذيمة من كنانة وكانوا أسفل من مَكَّةَ عَلَى لَيْلَةٍ مِنْهَا نَاحِيَةَ يَلَمْلَمَ فِي ثَلَاثِمِائَةٍ وَخَمْسِينَ رَجُلًا مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَمِنْ بَنِي سُلَيْمٍ دَاعِيًا إِلَى الْإِسْلَامِ وَلَمْ يَبْعَثْهُ مُقَاتِلًا فَلَمَّا انْتَهَى إِلَيْهِ قَالَ مَا أَنْتُمْ؟ قَالُوا مُسْلِمُونَ قَدْ صَدَّقْنَا بِمُحَمَّدٍ وَصَلَّيْنَا وَبَنَيْنَا الْمَسَاجِدَ فِي سَاحَاتِنَا وَأَذَّنَّا فِيهَا فَقَالَ مَا بَالِكُمْ بِالسِّلَاحِ؟ قَالُوا خِفْنَا أَنْ تَكُونُوا عَدُوًّا قَالَ اسْتَأْسِرُوا فَاسْتَأْسَرُوا وَفَرَّقَهُمْ عَلَى أَصْحَابِهِ فَلَمَّا كَانَ فِي السَّحَرِ أَمَرَهُمْ بِقَتْلِهِمْ فَأَمَّا بَنُو سُلَيْمٍ فَقَتَلُوا كُلَّ مَنْ كان في أيديهم

Ketika Khalid bin al-Walid kembali dari al-‘Uzzā, Rasulullah saw. mengutusnya pada awal Syawwal, saat beliau berada di Makkah, dalam sebuah ekspedisi ke Bani Jadzimah dari Kinanah. Mereka tinggal di daerah yang lebih rendah dari Makkah, sekitar satu malam perjalanan darinya ke arah Yalamlam, bersama tiga ratus lima puluh orang dari kaum Muhajirin, Anshar, dan dari Bani Sulaim, untuk menyeru kepada Islam. Beliau tidak mengutusnya untuk berperang. Ketika Khalid sampai kepada mereka, ia bertanya, “Siapakah kalian?” Mereka menjawab, “Kami adalah kaum Muslimin, kami telah membenarkan Muhammad, kami telah melaksanakan salat, membangun masjid-masjid di halaman kami, dan mengumandangkan azan di dalamnya.” Khalid bertanya, “Mengapa kalian membawa senjata?” Mereka menjawab, “Kami khawatir kalian adalah musuh.” Khalid berkata, “Tunduklah!” Maka mereka pun tunduk dan Khalid membagi mereka di antara para sahabatnya. Ketika waktu sahur tiba, Khalid memerintahkan untuk membunuh mereka. Adapun Bani Sulaim, mereka membunuh semua orang yang ada di tangan mereka.

وأما المهاجرون وال؟ أنصار فَأَرْسَلُوا كُلَّ مَنْ كَانَ فِي أَيْدِيهِمْ وَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فقال اللهم إني أبرأ إليكم مِمَّا صَنَعَ خَالِدٌ وَأَنْفَذَ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ بِدِيَاتِ الْقَتْلَى وَيُسَمَّى هَذَا الْيَوْمُ يَوْمَ الْغُمَيْصَاءِ فَأَمَّا مَنْ أَبَاحَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَتْلَهُ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ فَابْنُ خَطَلٍ تَعَلَّقَ بِأَسْتَارِ الْكَعْبَةِ فَذُكِرَ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَقَالَ ” اقُتُلُوهُ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُ ” فَقَتَلَهُ سَعِيدُ بْنُ حُرَيْثٍ وَأَبُو بَرْزَةَ الْأَسْلَمِيُّ

Adapun kaum Muhajirin dan Anshar, mereka melepaskan semua orang yang berada dalam kekuasaan mereka, dan hal itu sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau berdoa, “Ya Allah, aku berlepas diri kepada-Mu dari apa yang dilakukan oleh Khalid,” lalu beliau mengutus Ali bin Abi Thalib untuk membayarkan diyat (tebusan) para korban yang terbunuh. Hari itu dinamakan Yaum al-Ghumaisa’. Adapun orang-orang yang dihalalkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dibunuh, baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan, di antaranya adalah Ibnu Khathal yang berlindung di tirai Ka’bah. Hal itu pun disampaikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda, “Bunuhlah dia di mana pun kalian menemukannya.” Maka Sa’id bin Huraith dan Abu Barzah al-Aslami pun membunuhnya.

وَأَمَّا مَقِيسُ بْنُ صبابة قتله نُمَيْلَةُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ وَهُوَ فِي قَوْمِهِ

Adapun Maqis bin Shabābah, ia dibunuh oleh Numailah bin ‘Abdullah sementara ia berada di tengah kaumnya.

وَأَمَّا الْحُوَيْرِثُ بْنُ نُقَيْذٍ فَقَتَلَهُ عَلِيُّ بْنُ أبي طالب

Adapun Al-Huwairits bin Nuqaid, maka ia dibunuh oleh Ali bin Abi Thalib.

أما ابْنُ أَبِي سَرْحٍ فَجَاءَ بِهِ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ وَكَانَ أَخَاهُ مِنَ الرَّضَاعَةِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَشَفَعَ لَهُ فَصَمَتَ طَوِيلًا ثُمَّ شَفَّعَهُ فِيهِ وَكَانَ أَحَدَ الْأَنْصَارِ قَدْ نَذَرَ أَنْ يَقْتُلَهُ فَأَخَذَ قَائِمَ سَيْفِهِ وَانْتَظَرَ أَنْ يُؤْذَنَ لَهُ فِي قَتْلِهِ فَلَمَّا وَلَّى قَالَ لِلْأَنْصَارِيِّ ” هَلَّا وفيت بنذرك قال انتظرت أن تومىء إِلَيَّ بِعَيْنِكَ فَقَالَ الْإِيمَاءُ خِيَانَةٌ وَلَيْسَ لِنَبِيٍّ أَنْ تَكُونَ لَهُ خَائِنَةُ الْأَعْيُنِ ” وَأَمَّا عِكْرِمَةُ بْنُ أَبِي جَهْلٍ فَإِنَّهُ هَرَبَ إِلَى الْيَمَنِ وَأَسْلَمَتِ امْرَأَتُهُ أُمُّ حَكِيمِ بِنْتُ الْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ فَاسْتَأْمَنَتْ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَأَمَّنَهُ فَخَرَجَتْ إِلَيْهِ فَقَدِمَتْ بِهِ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَأَمَّا هِنْدٌ فَأَمَّنَهَا وَبَايَعَهَا

Adapun Ibnu Abi Sarh, maka Utsman bin Affan, yang merupakan saudara sesusuannya, membawanya kepada Rasulullah ﷺ dan memohon syafaat untuknya. Rasulullah ﷺ diam cukup lama, kemudian menerima syafaatnya. Salah seorang Anshar telah bernazar untuk membunuhnya, maka ia mengambil gagang pedangnya dan menunggu agar diizinkan membunuhnya. Ketika Ibnu Abi Sarh berpaling, Rasulullah ﷺ berkata kepada orang Anshar itu, “Mengapa engkau tidak menunaikan nazarmu?” Ia menjawab, “Aku menunggu isyarat dari matamu.” Rasulullah ﷺ bersabda, “Isyarat itu adalah bentuk khianat, dan tidak pantas bagi seorang nabi untuk memiliki mata yang berkhianat.” Adapun Ikrimah bin Abu Jahal, ia melarikan diri ke Yaman, sementara istrinya, Ummu Hakim binti Al-Harits bin Hisyam, telah masuk Islam. Ia meminta perlindungan kepada Rasulullah ﷺ untuk suaminya, lalu Rasulullah ﷺ memberinya perlindungan. Ia pun pergi menjemput Ikrimah dan membawanya kepada Rasulullah ﷺ. Adapun Hindun, Rasulullah ﷺ memberinya perlindungan dan menerima baiatnya.

وَأَمَّا سَارَةُ فَاسْتُؤْمِنَ لَهَا فَأَمَّنَهَا وَأَمَّا بِنْتَا ابْنِ خَطَلٍ فَقُتِلَتْ إِحْدَاهُمَا وَهَرَبَتِ الْأُخْرَى حَتَّى اسْتُؤْمِنَ لَهَا فَأَمَنَّهَا وَبَقِيَتْ حَتَّى أَوْطَأَهَا رَجُلٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ فَرَسًا بِالْأَبْطَحِ فِي زَمَانِ عُمَرَ فَقَتَلَهَا

Adapun Sarah, maka ia dimintakan jaminan keamanan, lalu ia pun diberi jaminan keamanan. Adapun dua putri Ibnu Khathal, salah satu dari keduanya dibunuh dan yang lainnya melarikan diri hingga ia dimintakan jaminan keamanan, lalu ia pun diberi jaminan keamanan. Ia tetap hidup sampai seorang laki-laki dari kaum Muslimin menunggangi kuda di Al-Abthah pada masa Umar, lalu membunuhnya.

وَهَرَبَ صَفْوَانُ بْنُ أُمَيَّةَ إِلَى جُدَّةَ لِيَرْكَبَ مِنْهَا إِلَى الْيَمَنِ فَاسْتَأْمَنَ لَهُ عُمَيْرُ بْنُ وَهْبٍ رَسُولَ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَأَمَّنَهُ وَأَعْطَاهُ عِمَامَتَهُ فَخَرَجَ إِلَيْهِ وَأَقْدَمَهُ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ هَذَا يَزْعُمُ أَنَّكَ قَدْ أَمَنَّتْنِي قَالَ ” نَعَمْ قَالَ فَاجْعَلْنِي فِي أَمْرِي بِالْخِيَارِ شَهْرَيْنِ قَالَ أَنْتَ فِيهِ بِالْخِيَارِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ ” وَهَرَبَ هُبَيْرَةُ بْنُ أَبِي وَهْبٍ الْمَخْزُومِيُّ وَكَانَ زوج أم هانىء بِنْتِ أَبِي طَالِبٍ إِلَى نَجْرَانَ وَهَرَبَ إِلَيْهَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزِّبَعْرِي

Shafwan bin Umayyah melarikan diri ke Jeddah untuk berlayar dari sana menuju Yaman. Lalu Umair bin Wahb meminta jaminan keamanan untuknya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau memberinya jaminan keamanan dan memberikan sorbannya kepadanya. Umair pun keluar menemuinya dan membawanya menghadap Rasulullah. Shafwan berkata, “Wahai Muhammad, orang ini mengaku bahwa engkau telah memberiku jaminan keamanan.” Beliau bersabda, “Benar.” Shafwan berkata, “Berikanlah aku pilihan dalam urusanku selama dua bulan.” Beliau bersabda, “Engkau mendapat pilihan selama empat bulan.” Dan Hubairah bin Abi Wahb al-Makhzumi, yang merupakan suami Ummu Hani’ binti Abi Thalib, melarikan diri ke Najran, dan Abdullah bin az-Ziba’ri juga melarikan diri ke sana.

فَأَمَّا هُبَيْرَةُ فَأَقَامَ بِهَا كَافِرًا حَتَّى مَاتَ

Adapun Hubairah, ia tetap tinggal di sana dalam keadaan kafir hingga meninggal.

وَأَمَّا ابْنُ الزِّبَعْرِي فَإِنَّ حَسَّانَ بْنَ ثَابِتٍ رَمَاهُ إِلَى نَجْرَانَ بِبَيْتٍ وَاحِدٍ فَمَا زَادَهُ عَلَيْهِ فَقَالَ

Adapun Ibnu az-Ziba‘ri, maka Hassān bin Tsābit melemparkan satu bait syair kepadanya ke Najran, dan tidak menambahinya lagi selain itu, lalu ia berkata:

لا تعدمن رجل أَحَلَّكَ بُغْضَهُ نَجْرَانَ فِي عَيْشٍ أَحَذَّ لَئِيمِ

Janganlah engkau menganggap remeh seseorang yang kebenciannya terhadapmu telah menempatkanmu di Najran dalam kehidupan yang lebih keras daripada kehidupan orang yang hina.

فجاء مسلما قال

Maka ia datang dalam keadaan telah memeluk Islam, lalu berkata.

يَا رَسُولَ الْمَلِيكِ إِنَّ لِسَانِي رَاتِقٌ مَا فَتَقْتُ إِذْ أَنَا بُورُ

Wahai Rasul Sang Raja, sesungguhnya lidahku tertutup, belum pernah aku membukanya sejak aku masih belum berguna.

إِذْ أُبَارِي الشَّيْطَانَ في سنن الرد ح وَمَنْ مَالَ مَيْلَهُ مَثْبُورُ

Ketika aku menandingi setan dalam kebiasaan membalas dendam, maka siapa pun yang condong mengikuti jalannya, pasti binasa.

آمَنَ اللَّحْمُ وَالْعِظَامُ لربي ثم نفسي الشهيد أنت النذير

Daging dan tulangku telah beriman kepada Tuhanku, kemudian kepada diriku sendiri; engkau adalah syahid, engkau adalah pemberi peringatan.

إنني عنك زاجر ثم حي من لؤي فكلهم مغرور

Sesungguhnya aku menahan diriku darimu, kemudian aku adalah keturunan Luhay, maka semuanya mereka itu tertipu.

وَاسْتَعْمَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَلَى مَكَّةَ عَتَّابَ بْنَ أَسِيدٍ لِلصَّلَاةِ وَالْحَجِّ وَمُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ يُعَلِّمُهُمُ السُّنَنَ وَالْفِقْهَ وَخَرَجَ مِنْهَا بَعْدَ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا لِحَرْبِ هَوَازِنَ

Rasulullah ﷺ mengangkat ‘Attab bin Asid sebagai pemimpin di Makkah untuk mengurus shalat dan haji, serta Mu‘adz bin Jabal untuk mengajarkan mereka sunah dan fiqh. Setelah lima belas hari, beliau keluar dari Makkah untuk memerangi Hawazin.

فَكَانَتْ هَذِهِ سِيرَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي فَتْحِ مَكَّةَ فَاخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ مَعَ نَقْلِ هَذِهِ السِّيرَةِ هَلْ فَتَحَهَا عَنْوَةً أَوْ صُلْحًا؟ فَذَهَبَ الْأَوْزَاعِيُّ وَمَالِكٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ إِلَى أَنَّهُ فَتَحَهَا عَنْوَةً بِالسَّيْفِ ثُمَّ أَمَّنَ أَهْلَهَا

Inilah sikap Rasulullah saw. dalam peristiwa Fathu Makkah. Para ulama berbeda pendapat, meskipun riwayat tentang peristiwa ini telah tersebar, apakah beliau menaklukkannya dengan kekuatan (secara ‘anwah) atau melalui perjanjian damai (ṣulḥ)? Al-Awza‘i, Malik, dan Abu Hanifah berpendapat bahwa beliau menaklukkannya dengan kekuatan (anwah) menggunakan pedang, kemudian memberikan jaminan keamanan kepada penduduknya.

وَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ وَمُجَاهِدٌ إِلَى أَنَّهُ فَتَحَهَا صُلْحًا بِأَمَانٍ عَقَدَهُ بِشَرْطٍ فَلَمَّا وَجَدَ الْكَفَّ لَزِمَ الْأَمَانُ وَالْعَقْدُ الصُّلْحُ

Syafi‘i dan Mujahid berpendapat bahwa kota itu dibuka melalui perdamaian dengan jaminan keamanan yang diadakan berdasarkan suatu syarat. Maka ketika ditemukan adanya penahanan (tidak ada perlawanan), jaminan keamanan dan akad perdamaian menjadi wajib ditepati.

وَالَّذِي أَرَاهُ عَلَى مَا يَقْتَضِيهِ نَقْلُ هَذِهِ السِّيرَةِ أَنَّ أَسْفَلَ مَكَّةَ دَخَلَهُ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ عَنْوَةً لِأَنَّهُ قُوتِلَ فَقَاتَلَ وَقَتَلَ وَأَعْلَى مَكَّةَ دَخَلَهُ الزُّبَيْرُ بْنُ الْعَوَّامِ صُلْحًا لِأَنَّهُمْ كَفُّوا وَالْتَزَمُوا شَرْطَ أَبِي سُفْيَانَ فَكَفَّ عَنْهُمُ الزُّبَيْرُ وَلَمْ يَقْتُلْ مِنْهُمْ أَحَدًا فَلَمَّا دَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَاسْتَقَرَّ بِمَكَّةَ الْتَزَمَ أَمَانَ مَنْ لَمْ يُقَاتِلْ وَاسْتَأْنَفَ أَمَانَ مَنْ قَاتَلَ فَلِذَلِكَ اسْتَجَارَ بِأُمِّ هانىء بِنْتِ أَبِي طَالِبٍ رَجُلَانِ مِنْ أَهْلِ مَكَّةَ فَدَخَلَ عَلَيْهَا عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ لِيَقْتُلَهُمَا فَمَنَعَتْهُ وَأَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَأَخْبَرَتْهُ فَقَالَ ” قَدْ أَجَرْنَا مَنْ أَجَرْتِ يَا أم هانىء ” وَلَوْ كَانَ الْأَمَانُ عَامًّا لَمْ يَحْتَاجَا إِلَى ذَلِكَ وَلَوْ لَمْ يَكُنْ أَمَانٌ لَكَانَ كُلُّ الناس كذلك

Menurut pendapat yang saya anggap benar berdasarkan riwayat sirah ini, bagian bawah Mekah dimasuki oleh Khalid bin al-Walid dengan kekuatan karena ia diserang, lalu ia pun melawan dan membunuh (musuh), sedangkan bagian atas Mekah dimasuki oleh Zubair bin al-Awwam secara damai karena mereka (penduduknya) menahan diri dan menerima syarat Abu Sufyan, sehingga Zubair pun menahan diri dari mereka dan tidak membunuh seorang pun dari mereka. Ketika Rasulullah saw. masuk dan menetap di Mekah, beliau memberikan jaminan keamanan bagi siapa saja yang tidak memerangi, dan memperbarui jaminan keamanan bagi siapa saja yang telah memerangi. Karena itulah, dua orang dari penduduk Mekah meminta perlindungan kepada Ummu Hani’ binti Abi Thalib, lalu Ali bin Abi Thalib masuk ke rumahnya untuk membunuh keduanya, namun Ummu Hani’ mencegahnya dan mendatangi Rasulullah saw. untuk memberitahukan hal itu. Maka beliau bersabda, “Kami telah memberikan perlindungan kepada siapa yang engkau lindungi, wahai Ummu Hani’.” Seandainya jaminan keamanan itu bersifat umum, niscaya keduanya tidak perlu melakukan hal itu, dan seandainya tidak ada jaminan keamanan, niscaya semua orang akan mengalami hal yang sama.

فصل غزوة حنين

Bab: Perang Hunain

ثُمَّ غَزَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ غزوة حنين إلى هوازن وخرج إِلَيْهَا مِنْ مَكَّةَ بَعْدَ مَقَامِهِ بِهَا خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا فِي يَوْمِ السَّبْتِ السَّادِسِ مِنْ شَوَّالٍ فِي اثْنَيْ عَشَرَ أَلْفًا مِنْهُمُ الْعَشَرَةُ آلَافٍ الَّذِينَ فَتَحَ بِهِمْ مَكَّةَ وَأَلْفَانِ مِنْ أَهْلِ مَكَّةَ

Kemudian Rasulullah saw. melakukan Perang Hunain melawan suku Hawazin, dan beliau berangkat menuju ke sana dari Makkah setelah tinggal di sana selama lima belas hari, pada hari Sabtu tanggal enam Syawwal, dengan pasukan sebanyak dua belas ribu orang; sepuluh ribu di antaranya adalah pasukan yang beliau gunakan untuk menaklukkan Makkah, dan dua ribu sisanya berasal dari penduduk Makkah.

وَحُنَيْنٌ وَادٍ إِلَى جَنْبِ ذِي الْمَجَازِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَكَّةَ ثَلَاثُ لَيَالٍ

Hunain adalah sebuah lembah di sebelah Dzi al-Majaz; jarak antara Hunain dan Makkah adalah tiga malam perjalanan.

وَخَرَجَ مَعَهُ نَاسٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ مِنْهُمْ صَفْوَانُ بْنُ أُمَيَّةَ لِأَنَّهُ كَانَ فِي مُدَّةِ خِيَارِهِ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” أعرنا سلاحك ” فقال أغصبيا مُحَمَّدُ قَالَ ” بَلْ عَارِيَةٌ مَضْمُونَةٌ مُؤَدَّاةٌ ” فَقَالَ لَيْسَ بِهَذَا بَأْسٌ فَأَعْطَاهُ مِائَةَ دِرْعٍ بِمَا يُصْلِحُهَا مِنَ السِّلَاحِ فَسَأَلَهُ أَنْ يَكْفِيَهُ حَمْلَهَا فَفَعَلَ

Bersama beliau ikut pula sejumlah orang dari kalangan musyrik, di antaranya Shafwan bin Umayyah, karena ia masih dalam masa tenggang pilihannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Pinjamkan kepada kami senjatamu.” Ia pun bertanya, “Apakah Muhammad akan mengambilnya secara paksa?” Beliau menjawab, “Tidak, melainkan pinjaman yang dijamin dan akan dikembalikan.” Ia pun berkata, “Kalau begitu, tidak masalah.” Lalu ia memberikan seratus baju zirah beserta perlengkapan senjatanya. Ia juga meminta agar Rasulullah membantunya membawa senjata-senjata itu, dan beliau pun melakukannya.

وَسَبَبُ هَذِهِ الْغَزْوَةِ أَنَّ هَوَازِنَ لَمَّا رَأَوْا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَدْ فَتَحَ مَكَّةَ اجْتَمَعَ أَشْرَافُهُمْ وَأَشْرَافُ ثَقِيفٍ عَلَى جَمْعِ النَّاسِ لِمُحَارَبَتِهِ فَلَمَّا عَرَفَ ذَلِكَ وَقَدِ اجْتَمَعُوا ” بِأَوْطَاسٍ ” سَارَ إِلَيْهِمْ مِنْ مَكَّةَ حَتَّى نَزَلَ بِحُنَيْنٍ فِي يَوْمِ الثُّلَاثَاءِ الْعَاشِرِ من شوال عشاء فعبأ أصحا؟ فِي السَّحَرِ وَعَقَدَ الرَّايَاتِ وَالْأَلْوِيَةَ فِي أَهْلِهَا فَدَفَعَ أَلْوِيَةَ الْمُهَاجِرِينَ إِلَى ثَلَاثَةٍ دَفَعَ إِلَى عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ لِوَاءً وَإِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ لِوَاءً وَإِلَى سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ لِوَاءً وَدَفَعَ أَلْوِيَةَ الْأَنْصَارِ إِلَى ثَلَاثَةٍ فَدَفَعَ إِلَى الْحُبَابِ بْنِ الْمُنْذِرِ لِوَاءً وَدَفَعَ إِلَى سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ لِوَاءً وَإِلَى أُسَيْدِ بْنِ حُضَيْرٍ لِوَاءً وَفَرَّقَ فِي الْقَبَائِلِ الْأَلْوِيَةَ يَحْمِلُهَا زُعَمَاؤُهُمْ وَعَبَّأَ النَّاسَ صُفُوفًا فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ لَنْ نُغْلَبَ الْيَوْمَ مِنْ قِلَّةٍ وَظَاهَرَ رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بَيْنَ دِرْعَيْنِ وَلَبِسَ الْمِغْفَرَ وَالْبَيْضَةَ وَرَكِبَ بَغْلَتَهُ دُلْدُلَ وَالشَّهْبَاءَ

Penyebab terjadinya peperangan ini adalah karena ketika suku Hawazin melihat Rasulullah ﷺ telah menaklukkan Makkah, para pemuka mereka dan para pemuka suku Tsaqif berkumpul untuk mengumpulkan pasukan guna memeranginya. Ketika Rasulullah ﷺ mengetahui hal itu dan mereka telah berkumpul di Autas, beliau berangkat dari Makkah menuju mereka hingga singgah di Hunain pada hari Selasa tanggal tiga belas Syawal, pada waktu malam. Maka beliau menyiapkan para sahabatnya pada waktu sahur dan membagikan panji-panji serta bendera kepada pemiliknya. Beliau memberikan panji kaum Muhajirin kepada tiga orang: kepada Ali bin Abi Thalib sebuah panji, kepada Umar bin Khattab sebuah panji, dan kepada Sa’ad bin Abi Waqqash sebuah panji. Beliau juga memberikan panji kaum Anshar kepada tiga orang: kepada Hubab bin Mundzir sebuah panji, kepada Sa’ad bin Ubadah sebuah panji, dan kepada Usaid bin Hudhair sebuah panji. Beliau juga membagikan panji-panji kepada para kabilah yang dibawa oleh para pemuka mereka, dan menata barisan pasukan dalam saf-saf. Lalu Abu Bakar berkata, “Hari ini kita tidak akan kalah karena jumlah yang sedikit.” Rasulullah ﷺ mengenakan dua lapis baju besi, memakai penutup kepala dan helm, serta menaiki bagal beliau yang bernama Duldul dan kuda yang bernama Syahba’.

فَأَمَّا هَوَازِنُ وَثَقِيفٌ فَاجْتَمَعُوا بِأَوْطَاسٍ وَعَلَى جَمِيعِهِمْ مَالِكُ بْنُ عَوْفٍ النَّضِيرِيُّ وَهُوَ الْمُدَبِّرُ لَهُمْ وَكَانَ قَدْ أَمَرَهُمْ بِحَمْلِ ذَرَّارِيِّهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ لِيَحْتَمُوا بِهَا وَيُقَاتِلُوا عَنْهَا وَكَانَ فِي النَّاسِ دُرَيْدُ بْنُ الصِّمَّةِ شَيْخًا كَبِيرًا لَا فَضْلَ فِيهِ إِلَّا التَّيَمُّنُ بِرَأْيِهِ وَكَانَ يُقَادُ فِي شِجَارٍ وَهُوَ سَيِّدُ بَنِي جُشَمَ فَقَالَ لِلنَّاسِ فِي أَيِّ وَادٍ أَنْتُمْ؟ قَالُوا بِأَوْطَاسٍ قال نعم مجال الخيل لا حزنه ضَرِسٌ وَلَا سَهْلٌ دَهْسٌ مَا لِي أَسْمَعُ رُغَاءَ الْبَعِيرِ وَنُهَاقَ الْحَمِيرِ وَبُكَاءَ الصَّغِيرِ قَالُوا سَاقَ مَالِكُ بْنُ عَوْفٍ مَعَ النَّاسِ بِنِسَائِهِمْ؟ وأبناءهم وَأَمْوَالِهِمْ فَدَعَى مَالِكًا وَقَالَ لَهُ سُقْتَ مَعَ الناس بنسائهم وأبنائهم واموالهم ووأنه لَا يَنْفَعُكَ إِلَّا رَجُلٌ بِسَيْفِهِ وَرُمْحِهِ فَارْفَعْهُمْ إِلَى عَلْيَاءِ بِلَادِهِمْ ثُمَّ ألْقَ الْحَرْبَ عَلَى مُتُونِ الْخَيْلِ فَإِنْ كَانَتْ لَكَ لحق بك من وراك وَإِنْ كَانَتْ عَلَيْكَ أَلْفَاكَ وَقَدْ أَحْرَزْتَ أَهْلَكَ وَمَالَكَ وَلَمْ تَفْضَحْ قَوْمَكَ فَلَمْ يُطِعْهُ مَالِكُ بْنُ عَوْفٍ فَقَالَ دُرَيْدُ بْنُ الصِّمَّةَ هَذَا يَوْمٌ لَمْ أَشْهَدْهُ وَلَمْ يَفُتْنِي

Adapun Hawazin dan Tsaqif, mereka berkumpul di Autas dan yang memimpin mereka semua adalah Malik bin ‘Auf an-Nadhiri, dialah yang mengatur urusan mereka. Ia telah memerintahkan mereka untuk membawa keluarga dan harta benda mereka agar mereka dapat berlindung di baliknya dan berperang demi mempertahankannya. Di antara mereka terdapat Duraid bin ash-Shimmah, seorang lelaki tua yang tidak memiliki keutamaan kecuali hanya diambil berkah dari pendapatnya. Ia dibawa dalam tandu, dan ia adalah pemimpin Bani Jusyam. Ia bertanya kepada orang-orang, “Di lembah mana kalian berada?” Mereka menjawab, “Di Autas.” Ia berkata, “Ya, ini adalah tempat yang luas untuk kuda, bukan tanah berbatu yang sulit, dan bukan pula tanah datar yang mudah dilalui. Mengapa aku mendengar suara unta, keledai, dan tangisan anak-anak kecil?” Mereka menjawab, “Malik bin ‘Auf membawa serta kaum wanita, anak-anak, dan harta benda bersama orang-orang.” Maka ia memanggil Malik dan berkata kepadanya, “Engkau membawa orang-orang beserta wanita, anak-anak, dan harta benda mereka. Ketahuilah, yang berguna bagimu hanyalah seorang laki-laki dengan pedang dan tombaknya. Bawalah mereka ke tempat tinggi di negeri mereka, lalu hadapkanlah perang di atas punggung kuda. Jika kemenangan berpihak kepadamu, mereka yang tertinggal akan menyusulmu. Namun jika kekalahan menimpamu, engkau telah menyelamatkan keluarga dan hartamu, dan tidak mempermalukan kaummu.” Namun Malik bin ‘Auf tidak menaatinya. Maka Duraid bin ash-Shimmah berkata, “Ini adalah hari yang belum pernah aku saksikan dan tidak pula terlewatkan dariku.”

يَا لَيْتَنِي فِيهَا جَذَعْ أَخُبُّ فِيهَا وَأَضَعْ

Andai saja aku masih muda di dalamnya, aku akan berlari-lari di dalamnya dan bergerak bebas.

ثُمَّ الْتَقَى الْجَمْعَانِ وَخَرَجَتِ الْكَتَائِبُ فِي غَلَسِ الصُّبْحِ مِنْ مَضِيقِ الْوَادِي وَخَرَجَ كَمِينُ هَوَازِنَ مِنْ شِعَابِهِ فَانْهَزَمَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ فِي أَوَّلِ اللِّقَاءِ بَنُو سُلَيْمٍ ثُمَّ تَبِعَهُمْ فِي الْهَزِيمَةِ أَهْلُ مَكَّةَ ثُمَّ تَبِعَهُمُ النَّاسُ فِي الْهَزِيمَةِ أَفْوَاجًا حَتَّى بَقِيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي نَفَرٍ مِنْ أَصْحَابِهِ وَأَهْلِ بَيْتِهِ الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَعَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ وَأَبُو سُفْيَانَ بْنُ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَرَبِيعَةُ بْنُ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَأُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ وَالْفَضْلُ بْنُ الْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَأَيْمَنُ بْنُ عُبَيْدٍ أَخُو أُسَامَةَ مِنْ أُمِّهِ وَتَكَلَّمَ جُفَاةُ أَهْلِ مَكَّةَ حِينَ رَأَوُا الْهَزِيمَةَ بِمَا فِي نُفُوسِهِمْ من الضغين وَضَرَبَ أَبُو سُفْيَانَ بْنُ حَرْبٍ بِأَزْلَامٍ كَانَتْ فِي كِنَانَتِهِ وَقَالَ قُتِلَ مُحَمَّدٌ وَغُلِبَتْ هَوَازِنُ وَقَالَ كَلَدَةُ بْنُ الْحَنْبَلِ أَلَا بَطَلَ السِّحْرُ الْيَوْمَ! فَقَالَ لَهُ صَفْوَانُ بْنُ أُمَيَّةَ كَانَ أَخَاهُ لِأُمِّهِ اسْكُتْ فَضَّ اللَّهُ فَاكَ قَالَ فوالله لأن ير بني رَجُلٌ مِنْ قُرَيْشٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ يُرَبِّيَنِي رَجُلٌ مِنْ هَوَازِنَ وَصَفْوَانُ يَوْمَئِذٍ مُشْرِكٌ فِي شُهُورِ خِيَارِهِ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَدِ انْحَازَ ذَاتَ الْيَمِينِ فَنَادَى إِلَيَّ عِبَادِ اللَّهِ أَنَا رَسُولُ اللَّهِ أَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَا النَّبِيُّ لَا كَذِبْ أَنَا ابْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ ” فَمَا رُئِيَ فِي النَّاسِ أَشْجَعُ مِنْهُ وَأَمَرَ الْعَبَّاسَ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَكَانَ آخِذًا بِلِجَامِ بَغْلَتِهِ الشَّهْبَاءِ وَهُوَ رَجُلٌ جَهِيرُ الصَّوْتِ أَنْ يُنَادِيَ فِي النَّاسِ يَا مَعْشَرَ الْأَنْصَارِ يَا أَصْحَابَ السَّمُرَةِ يَا أَهْلَ سُورَةِ الْبَقَرَةِ فَأَجَابَهُ مَنْ سَمِعَهُ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ وَتَبِعُوا الصَّوْتَ فَلَمَّا اجْتَمَعَ مِنْهُمْ مِائَةُ رَجُلٍ اسْتَقْبَلُوا النَّاسَ فَاقْتَتَلُوا وَتَلَاحَقَ بِهِمُ النَّاسُ فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ كَفَّ تُرَابٍ أَلْقَاهُ عَلَيْهِمْ وَقَالَ شَاهَتِ الْوُجُوهُ حاميم لَا يُبْصِرُونَ وَاجْتَلَدَ الْقَوْمُ فَلَمَّا أَشْرَفَ رَسُولُ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَلَى مُجْتَلَدِهِمْ قَالَ الْآنَ حَمَى الْوَطِيسُ فَوَلَّتْ هَوَازِنُ مُنْهَزِمَةً وَثَبَتَ بَعْدَهُمْ ثَقِيفٌ فَقُتِلَ مِنْهُمْ سَبْعُونَ رَجُلًا عِدَّةَ مَنْ قُتِلَ بِبَدْرٍ وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” مَنْ قَتَلَ قَتِيلًا فَلَهُ سَلَبُهُ ” فَقَتَلَ أَبُو طلحة عشرين قَتِيلًا أَعْطَاهُ أَسْلَابَهُمْ حَكَاهُ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ وَعَسْكَرَ نَاسٌ بِأَوْطَاسٍ فَأَنْفَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إِلَيْهِمْ أَبَا عَامِرٍ الْأَشْعَرِيَّ فِي جَيْشٍ فَهَزَمَهُمْ وَأَدْرَكَ دُرَيْدَ بْنَ الصِّمَّةِ فِي شِجَارِهِ فَقَتَلَهُ فَبَرَزَ ابْنُهُ سَلَمَةُ بْنُ دُرَيْدٍ مُرْتَجِزًا يَقُولُ إِنْ تَسْأَلُوا عَنِّي فَإِنِّي سَلَمَهْ ابْنُ سَمَادِيرَ لمن توسمه

Kemudian kedua pasukan pun bertemu, dan pasukan-pasukan keluar pada waktu fajar dari celah lembah, dan pasukan penyergap dari Hawazin keluar dari celah-celahnya. Maka pada awal pertempuran, Bani Sulaim dari kaum Muslimin lari, lalu penduduk Makkah mengikuti mereka dalam kekalahan, kemudian orang-orang pun berbondong-bondong ikut lari, hingga akhirnya Rasulullah ﷺ hanya tersisa bersama sekelompok kecil sahabat dan keluarganya: Al-Abbas bin Abdul Muthalib, Ali bin Abi Thalib, Abu Sufyan bin Al-Harits bin Abdul Muthalib, Rabi’ah bin Al-Harits bin Abdul Muthalib, Abu Bakar, Umar, Usamah bin Zaid, Al-Fadhl bin Al-Abbas bin Abdul Muthalib, dan Aiman bin Ubaid saudara Usamah dari pihak ibu. Orang-orang kasar dari Makkah, ketika melihat kekalahan itu, mulai mengungkapkan apa yang tersimpan dalam hati mereka berupa dendam. Abu Sufyan bin Harb mengocok anak panah ramal yang ada di kantongnya dan berkata, “Muhammad telah terbunuh dan Hawazin telah dikalahkan.” Kaladah bin Al-Hanbal berkata, “Hari ini sihir itu telah batal!” Maka Safwan bin Umayyah, saudara seibunya, berkata kepadanya, “Diamlah, semoga Allah membungkam mulutmu! Demi Allah, jika aku harus diasuh oleh seorang laki-laki dari Quraisy, itu lebih aku sukai daripada diasuh oleh seorang laki-laki dari Hawazin.” Saat itu Safwan masih musyrik di masa-masa pilihannya. Rasulullah ﷺ telah menyingkir ke arah kanan, lalu beliau berseru, “Wahai hamba-hamba Allah! Aku adalah Rasulullah! Aku Muhammad bin Abdullah! Aku nabi, tidak dusta! Aku anak Abdul Muthalib!” Tidak ada seorang pun di antara manusia yang lebih berani darinya. Beliau memerintahkan Al-Abbas bin Abdul Muthalib, yang memegang tali kekang bagal putih beliau dan bersuara lantang, untuk berseru di tengah manusia, “Wahai kaum Anshar! Wahai para sahabat pohon Samurah! Wahai ahli Surah Al-Baqarah!” Maka siapa pun yang mendengarnya menjawab, “Labbaik, labbaik!” dan mereka mengikuti suara itu. Ketika seratus orang dari mereka telah berkumpul, mereka menghadapi manusia dan bertempur, lalu orang-orang pun menyusul mereka. Rasulullah ﷺ mengambil segenggam tanah lalu melemparkannya ke arah musuh seraya berkata, “Semoga wajah-wajah itu hancur! Hāmīm, mereka tidak bisa melihat!” Maka kedua pasukan pun saling bertempur. Ketika Rasulullah ﷺ melihat ke medan pertempuran, beliau bersabda, “Sekarang pertempuran telah memanas!” Hawazin pun lari tunggang langgang, dan setelah mereka, kabilah Tsaqif tetap bertahan, lalu dari mereka terbunuh tujuh puluh orang, sebanyak jumlah yang terbunuh di Badar. Rasulullah ﷺ bersabda, “Siapa yang membunuh musuh, maka baginya harta rampasan milik musuh itu.” Abu Thalhah membunuh dua puluh orang, dan beliau memberikan harta rampasan mereka kepadanya, sebagaimana dikisahkan oleh Anas bin Malik. Sebagian orang berkemah di Autas, lalu Rasulullah ﷺ mengutus Abu Amir Al-Asy’ari bersama pasukan ke sana, maka mereka pun dikalahkan. Duraid bin Ash-Shimmah ditemukan di antara mereka lalu dibunuh. Kemudian anaknya, Salamah bin Duraid, maju sambil bersyair, “Jika kalian bertanya tentangku, maka aku adalah Salamah bin Samadir, bagi siapa yang mengenalku.”

أضرب بالسيف رؤوس الْمُسْلِمَهْ

Aku penggal dengan pedang kepala-kepala kaum Muslimah.

وَرَمَى أَبَا عَامِرٍ بِسَهْمٍ فَقَتَلَهُ فَأَدْرَكَهُ أَبُو مُوسَى الْأَشْعَرِيُّ فَقَتَلَهُ وَكَانَ أَبُو عَامِرٍ حِينَ رُمِيَ بِالسَّهْمِ اسْتَخْلَفَ عَلَى الْجَيْشِ أَبَا مُوسَى وَوَصَّاهُ إِذَا لَقِيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنْ يُقْرِئَهُ مِنْهُ السَّلَامَ وَسَأَلَهُ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِأَبِي عَامِرٍ وَاجْعَلْهُ مِنْ أَعْلَى أُمَّتِي فِي الْجَنَّةِ “

Lalu ia melempar Abu ‘Amir dengan sebuah anak panah hingga membunuhnya. Kemudian Abu Musa al-Asy‘ari berhasil menyusulnya dan membunuhnya. Ketika Abu ‘Amir terkena lemparan anak panah itu, ia menunjuk Abu Musa sebagai pengganti memimpin pasukan dan berwasiat kepadanya, jika bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, agar menyampaikan salam darinya dan memintanya untuk memohonkan ampunan baginya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Ya Allah, ampunilah Abu ‘Amir dan jadikanlah ia di antara umatku yang paling tinggi derajatnya di surga.”

وَكَانَ أَبُو عَامِرٍ قَدْ قَتَلَ مِنْهُمْ فِي يَوْمِهِ بِنَفْسِهِ تِسْعَةً مُبَارَزَةً حَتَّى قَتَلَهُ الْعَاشِرُ وَلَمَّا انْهَزَمُوا لَحِقَ مَالِكُ بْنُ عَوْفٍ وَهُوَ رَئِيسُ الْقَوْمِ بِالطَّائِفِ فَتَحَصَّنَ بِهَا وَحَازَ الْمُسْلِمُونَ السَّبَايَا وَالْأَمْوَالَ فَكَانَ السَّبْيُ سِتَّةَ آلَافِ رَأْسِ وَالْإِبِلُ أَرْبَعَةً وَعِشْرِينَ أَلْفَ بَعِيرِ وَالْغَنَمُ أَرْبَعِينَ أَلْفَ شَاةٍ وَالْفِضَّةُ أَرْبَعَةَ آلَافِ أُوقِيَّةٍ وَأَمَّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَحُمِلَ السَّبْيُ وَالْأَمْوَالُ إِلَى الْجِعْرَانَةَ وَوَلَّى عَلَيْهِ مسعود بن عمرو القارىء

Abu ‘Amir pada hari itu telah membunuh sembilan orang dari mereka dalam duel satu lawan satu, hingga akhirnya ia dibunuh oleh orang kesepuluh. Ketika mereka kalah dan melarikan diri, Malik bin ‘Awf, pemimpin kaum mereka, pergi ke Tha’if dan berlindung di sana. Kaum Muslimin pun memperoleh tawanan dan harta rampasan perang. Jumlah tawanan mencapai enam ribu orang, unta sebanyak dua puluh empat ribu ekor, kambing empat puluh ribu ekor, dan perak sebanyak empat ribu uqiyah. Rasulullah ﷺ memerintahkan agar para tawanan dan harta rampasan itu dibawa ke Ji‘ranah, dan beliau menunjuk Mas‘ud bin ‘Amr al-Qari’ sebagai penanggung jawab atasnya.

غَزْوَةُ الطَّائِفِ

Perang Thaif

وَسَارَ إِلَى الطَّائِفِ لِقِتَالِ مَنْ بِهَا مِنْ ثَقِيفٍ وَمَنِ انْضَمَّ إِلَيْهِمْ مِنْ هوازن فاغلقوا حصنم وَقَاتَلُوا فِيهِ وَلَمْ يَخْرُجُوا مِنْهُ فَحَاصَرَهُمْ رَسُولُ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا وَقِيلَ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ يَوْمًا وَنَادَى فِي حِصَارِهَا أَيُّمَا عَبْدٍ خَرَجَ إِلَيْنَا فَهُوَ حُرٌّ فَخَرَجَ مِنْهُمْ بِضْعَةَ عَشَرَ رَجُلًا مِنْهُمْ أَبُو بَكْرَةَ فَنَزَلَ مِنَ الْحِصْنِ فِي بَكْرَةٍ فَقِيلَ لَهُ أَبُو بَكْرَةَ فَأَعْتَقَهُمْ وَدَفَعَ كُلَّ رَجُلٍ مِنْهُمْ إِلَى رَجُلٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ بِمُؤْنَتِهِ فَشَقَّ ذَلِكَ عَلَى أَهْلِ الطَّائِف وَنَاشَدُوهُ بِالرَّحِمِ أَنْ يَنْصَرِفَ عَنْهُمْ بَعْدَ أَنْ أَخَذَ فِي قَطْعٍ كُرُومِهِمْ وَعَلِمَ أَنَّهُ لَمْ يُؤْذَنْ لَهُ فِيهِمْ فَأَزْمَعَ عَلَى الرُّجُوعِ وَكَانَ قَالَ لِأَبِي بَكْرٍ رَأَيْتُ أَنَّهُ أُهْدِيَتْ إِلَيَّ قَعْبَةٌ مَمْلُوءَةٌ زُبْدًا فَنَقَرَهَا دِيكٌ فَأَهْرَاقَ مَا فِيهَا فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ مَا أَظُنُّكَ تُدْرِكُ مِنْهُمْ فِي وَقْتِكَ هَذَا مَا تُرِيدُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَكَذَلِكَ أَقُولُ فَاسْتَشَارَ فِيهِمْ نَوْفَلَ بْنَ مُعَاوِيَةَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هُمْ ثَعْلَبٌ فِي جُحْرٍ إِنْ أَقَمْتَ عَلَيْهِ أَخَذْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَضُرَّكَ فَرَجَعَ عَنْهُمْ بَعْدَ أَنْ نَصَبَ عَلَيْهِمْ مَنْجَنِيقًا وَقَطَعَ عَلَيْهِمْ كُرُومًا لِيَقْسِمَ مَا بالجعرانة من غنائم هوازن فقدم الجعرانة يَوْمَ الْخَمِيسِ مِنْ ذِي الْقَعْدَةِ وَقَدِمَتْ عَلَيْهِ وُفُودُ هَوَازِنَ وَقَدْ أَسْلَمُوا وَفِيهِمْ أَبُو مُبَرِّدٍ زُهَيْرُ بْنُ صُرَدٍ فَقَالَ إِنَّمَا فِي الْحَظَائِرِ عَمَّاتُكُ وَخَالَاتُكَ لِأَنَّهُ قَدْ كَانَ رَضِيعًا فِيهِمْ لأنه صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ارْتَضَعَ مِنْ لَبَنِ حَلِيمَةَ وَكَانَتْ مِنْ هَوَازِنَ ولو كنا ملحنا لِلْحَارِثِ بْنَ أَبِي شِمْرٍ أَوِ النُّعْمَانَ بْنَ الْمُنْذِرِ أَيْ أَرْضَعْنَا ثُمَّ نَزَلْنَا مِنْهُ مَنْزِلَكَ مِنَّا لَرَعَى ذَاكَ وَأَنْتَ خَيْرُ الْكَفِيلَيْنِ وَأَنْشَأَ يَقُولُ

Kemudian beliau berangkat menuju Thaif untuk memerangi orang-orang Tsaqif dan siapa saja dari Hawazin yang bergabung dengan mereka. Mereka menutup rapat benteng mereka dan bertahan di dalamnya, tidak keluar darinya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengepung mereka selama lima belas hari—ada juga yang mengatakan delapan belas hari. Dalam pengepungan itu, beliau mengumumkan: “Barang siapa dari budak yang keluar kepada kami, maka ia merdeka.” Maka keluarlah dari mereka beberapa belas orang, di antaranya Abu Bakrah. Ia turun dari benteng dengan menggunakan ember, sehingga ia dipanggil Abu Bakrah. Rasulullah memerdekakan mereka dan menyerahkan setiap orang dari mereka kepada seorang muslim untuk menanggung kebutuhannya. Hal ini terasa berat bagi penduduk Thaif, lalu mereka memohon kepada beliau dengan hubungan kekerabatan agar beliau meninggalkan mereka, setelah sebelumnya beliau mulai menebang kebun-kebun anggur mereka. Namun beliau mengetahui bahwa beliau tidak diizinkan untuk itu, maka beliau pun bertekad untuk kembali. Beliau pernah berkata kepada Abu Bakar: “Aku bermimpi seolah-olah dihadiahkan kepadaku sebuah mangkuk penuh mentega, lalu dipatuk ayam jantan sehingga tumpah isinya.” Abu Bakar berkata: “Aku kira engkau tidak akan mendapatkan dari mereka pada waktu ini apa yang engkau inginkan.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku pun berpendapat demikian.” Beliau kemudian meminta pendapat Naufal bin Muawiyah tentang mereka. Naufal berkata: “Wahai Rasulullah, mereka itu seperti rubah di dalam lubangnya; jika engkau tetap mengepungnya, engkau akan menangkapnya, dan jika engkau tinggalkan, mereka tidak akan membahayakanmu.” Maka beliau pun meninggalkan mereka setelah sebelumnya memasang manjaniq (alat pelontar batu) terhadap mereka dan menebang kebun-kebun anggur mereka, agar beliau dapat membagi harta rampasan perang Hawazin yang ada di Ji‘ranah. Maka beliau pun tiba di Ji‘ranah pada hari Kamis bulan Dzulqa’dah. Pada saat itu, datanglah delegasi Hawazin yang telah masuk Islam, di antara mereka adalah Abu Mubarrad Zuhair bin Surad. Ia berkata: “Yang ada di tenda-tenda itu adalah para bibimu dan saudari-saudari ibumu, karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah disusui di kalangan mereka, sebab beliau pernah disusui dari susu Halimah yang berasal dari Hawazin. Seandainya kami menyusui al-Harits bin Abi Syamr atau Nu‘man bin al-Mundzir, lalu ia menempati kedudukanmu di tengah kami, tentu ia akan menjaga hal itu, sedangkan engkau adalah sebaik-baik penanggung.” Lalu ia mulai bersyair.

امْنُنْ عَلَيْنَا رَسُولَ اللَّهِ فِي كَرَمٍ فَإِنَّكَ الْمَرْءُ نَرْجُوهُ وَنَدَّخِرُ

Limpahkanlah karunia kepada kami, wahai Rasulullah, dengan kemurahanmu, karena sesungguhnya engkaulah orang yang kami harapkan dan kami andalkan.

امْنُنْ عَلَى نِسْوَةٍ قَدْ كُنْتَ تَرْضَعُهَا إِذْ فُوكَ تَمْلَؤُهُ مِنْ مَحْضِهَا الدُّرَرُ

Berbuat baiklah kepada para wanita yang dahulu pernah menyusuimu, ketika mulutmu dipenuhi oleh mutiara-mutiara dari air susunya.

إِنْ لَمْ تَدَارَكْهُمْ نَعْمَاءُ نَنْثُرُهَا يَا أَرْجَحَ النَّاسِ حِلْمًا حِينَ يُخْتَبَرُ

Jika mereka tidak segera ditolong oleh nikmat yang kami curahkan, wahai manusia yang paling utama dalam kesabaran ketika diuji.

إِنَّا لنشكر آلاء وَإِنْ كُفِرَتْ وَعِنْدَنَا بَعْدَ هَذَا الْيَوْمِ مُدَّخَرُ

Sesungguhnya kami bersyukur atas segala nikmat, meskipun nikmat itu diingkari, dan di sisi kami, setelah hari ini, masih ada simpanan (nikmat) yang tersisa.

فَالْبِسِ الْعَفْوَ مَنْ قَدْ كُنْتَ تَرْضَعُهُ مِنْ أُمَّهَاتِكَ إِنَّ الْعَفْوَ مُشْتَهَرُ

Maka pakailah pakaian sederhana yang biasa engkau kenakan sejak kecil dari ibumu, karena pakaian sederhana itu memang sudah dikenal luas.

إِنَّا نُؤَمِّلُ عَفْوًا منك تلبسه هذي البرية إذ تغفو وتنتصر

Sesungguhnya kami mengharapkan ampunan dari-Mu yang Engkau limpahkan kepada seluruh umat manusia ini ketika mereka lalai dan ketika mereka menang.

فأغفر عَفَا اللَّهُ عَمًّا أَنْتَ وَاهِبُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِذْ يُهْدَى لَكَ الظَّفَرُ

 

فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” إِنَّكُمْ لَتَرَوْنَ مَنْ مَعِي فَأَبْنَاؤُكُمْ وَنِسَاؤُكُمْ أَحَبُّ إِلَيْكُمْ أَمْ أَمْوَالُكُمْ ” فَقَالُوا مَا كُنَّا نَعْدِلُ بِالْأَحْسَابِ شَيْئًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” أما مالي وَلِبَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَهُوَ لَكُمْ وَسَأَسْأَلُ النَاسَ ” فَقَالَ الْمُهَاجِرُونَ وَالْأَنْصَارُ مَا كَانَ لَنَا فَهُوَ لرسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَقَالَ الْأَقْرَعُ بْنُ حَابِسٍ أَمَّا أَنَا وَبَنُو تَمِيمِ فَلَا وَقَالَ عُيَيْنَةُ بْنُ حِصْنٍ أَمَّا أَنَا وَبَنُو فَزَارَةَ فَلَا وَقَالَ الْعَبَّاسُ بْنُ مِرْدَاسٍ أَمَّا أَنَا وَبَنُو سُلَيْمٍ فَلَا فَقَالَتْ بَنُو سُلَيْمٍ مَا كَانَ لَنَا فَهُوَ لِرَسُولِ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَقَالَ الْعَبَّاسُ بْنُ مِرْدَاسٍ وَهَّنْتُمُونِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ للناس إن هؤلاء القوم قد جاؤوا مُسْلِمِينَ وَقَدْ كُنْتُ اسْتَأْنَيْتُ سَبْيَهُمْ وَقَدْ خَيَّرَتْهُمْ فَلَمْ يَعْدِلُوا بِالْأَبْنَاءِ وَالنِّسَاءِ شَيْئًا فَمَنْ كَانَ عنده من مِنْهُمْ شَيْءٌ فَطَابَتْ نَفْسُهُ بِأَنْ يَرُدَّهُ فَسَبِيلُ ذَلِكَ وَمَنْ أَبَى فَلْيَرُدَّ عَلَيْهِمْ وَلَهُ سِتُّ قَلَائِصَ عَنْ كُلِّ رَأْسٍ فَرْضًا عَلَيْنَا مِنْ أَوَّلِ مَا يَفِيءُ اللَّهُ عَلَيْنَا فَرَدُّوا إِلَّا عُيَيْنَةَ بْنَ حِصْنٍ أَبَى أَنْ يَرُدَّ عَجُوزًا مَعَهُ طَلَبًا لِفِدَائِهَا ثُمَّ رَدَّهَا فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ رَدِّ السَّبَايَا رَكِبَ فَاتَّبَعُوهُ النَّاسُ يَقُولُونَ يا رسول الله اقسم علينا فيئنا حتى ألجؤوه إِلَى شَجَرَةٍ اخْتَطَفَتْ رِدَاءَهُ فَقَالَ ” رُدُّوا عَلَيَّ رِدَائِي أَيُّهَا النَّاسُ وَاللَّهِ لَوْ كَانَ لِي عَدَدُ شَجَرِ تِهَامَةَ نَعَمًا لَقَسَمْتُهَا عَلَيْكُمْ وَمَا لَقِيتُمُونِي بَخِيلًا وَلَا جَبَانًا وَلَا كَذَّابًا ثُمَّ أَخَذَ وَبَرَةً وَقَالَ مَا لِي مِنْ فَيْئِكُمْ وَلَا هَذِهِ الْوَبَرَةُ إِلَّا الْخُمُسَ وَالْخُمُسُ مَرْدُودٌ عَلَيْكُمْ فَرُدُّوا الْخِيَاطَ وَالْمِخْيَطَ فَإِنَّ الْغَلُولَ يَكُونُ عَلَى أَهْلِهِ عَارًا وَنَارًا وَشَنَارًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ “

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya kalian melihat siapa yang bersamaku, maka apakah anak-anak dan istri-istri kalian lebih kalian cintai, ataukah harta kalian?” Mereka menjawab, “Kami tidak pernah menyamakan apa pun dengan kehormatan (nasab).” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun hartaku dan harta Bani Abdul Muththalib, itu untuk kalian, dan aku akan meminta kepada manusia.” Maka kaum Muhajirin dan Anshar berkata, “Apa yang menjadi milik kami, itu untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Al-Aqra’ bin Habis berkata, “Adapun aku dan Bani Tamim, maka tidak.” ‘Uyainah bin Hishn berkata, “Adapun aku dan Bani Fazarah, maka tidak.” Al-‘Abbas bin Mirdas berkata, “Adapun aku dan Bani Sulaim, maka tidak.” Maka Bani Sulaim berkata, “Apa yang menjadi milik kami, itu untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka Al-‘Abbas bin Mirdas berkata, “Kalian telah melemahkanku.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada orang-orang, “Sesungguhnya kaum ini telah datang dalam keadaan Muslim, dan aku telah menangguhkan penawanan mereka, dan aku telah memberikan pilihan kepada mereka, namun mereka tidak menyamakan apa pun dengan anak-anak dan istri-istri mereka. Maka barang siapa di antara kalian yang memiliki sesuatu dari mereka dan rela untuk mengembalikannya, maka itu jalannya. Dan barang siapa yang enggan, maka hendaklah ia mengembalikannya kepada mereka dan ia akan mendapat enam unta betina muda untuk setiap kepala, sebagai kewajiban atas kami dari harta rampasan pertama yang Allah berikan kepada kami.” Maka mereka pun mengembalikan kecuali ‘Uyainah bin Hishn yang enggan mengembalikan seorang wanita tua yang bersamanya karena menginginkan tebusannya, kemudian ia pun mengembalikannya. Ketika selesai mengembalikan para tawanan, beliau pun menaiki kendaraan dan orang-orang mengikutinya seraya berkata, “Wahai Rasulullah, bagilah kepada kami harta rampasan kami,” hingga mereka mendesaknya ke sebuah pohon yang akhirnya menarik selendangnya. Maka beliau bersabda, “Kembalikan selendangku kepadaku, wahai manusia! Demi Allah, seandainya aku memiliki sebanyak pohon Tihamah berupa unta, niscaya aku akan membagikannya kepada kalian. Kalian tidak pernah mendapati aku sebagai orang yang kikir, penakut, atau pendusta.” Kemudian beliau mengambil sehelai bulu dan bersabda, “Tidak ada bagian untukku dari harta rampasan kalian, bahkan sehelai bulu ini pun tidak, kecuali seperlima, dan seperlima itu dikembalikan kepada kalian. Maka kembalikanlah jarum dan benang, karena ghulul (penggelapan harta rampasan) akan menjadi aib, api, dan kehinaan bagi pelakunya pada hari kiamat.”

ثُمَّ أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي قِسْمَةِ الْأَمْوَالِ فَبَدَأَ بِإِعْطَاءِ الْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ فَأَعْطَى أَبَا سُفْيَانَ بْنَ حَرْبٍ أَرْبَعِينَ أُوقِيَّةً وَمِائَةَ بَعِيرٍ فَقَالَ ابْنِي مُعَاوِيَةُ فَقَالَ أَعْطُوهُ أَرْبَعِينَ أُوقِيَّةً وَمِائَةَ بَعِيرٍ وَأَعْطَى حَكِيمَ بْنَ حِزَامٍ مِائَةَ بَعِيرٍ ثُمَّ سَأَلَهُ مِائَةً أُخْرَى فَأَعْطَاهُ وَأَعْطَى صَفْوَانَ بْنَ أُمَيَّةَ مِائَةَ بَعِيرٍ وَأَعْطَى سُهَيْلَ بْنَ عَمْرٍو مِائَةَ بَعِيرٍ وَأَعْطَى حويطب بن عبد العزى مِائَةَ بَعِيرٍ وَقَدْ جَاءَهُ مُسْلِمًا مِنَ الطَّائِفِ وَأَعْطَى الْعَلَاءَ بْنَ جَارِيَةَ الثَّقَفِيَّ مِائَةَ بَعِيرٍ وأعطى النضير بن الحارث بن كلدة ماثة بَعِيرٍ وَأَعْطَى مَالِكَ بْنَ عَوْفٍ النَّضْرِيَّ مِائَةَ بَعِيرٍ وَأَعْطَى عُيَيْنَةَ بْنَ حِصْنٍ مِائَةَ بَعِيرٍ وَأَعْطَى الْأَقْرَعَ بْنَ حَابِسٍ مِائَةَ بَعِيرٍ فَهَؤُلَاءِ أَصْحَابُ الْمِائَةِ

Kemudian Rasulullah saw. mulai membagikan harta rampasan perang, beliau memulai dengan memberikan kepada para muallaf (orang-orang yang baru dilunakkan hatinya terhadap Islam). Beliau memberikan kepada Abu Sufyan bin Harb empat puluh uqiyah dan seratus ekor unta. Lalu Abu Sufyan berkata, “Anakku Muawiyah?” Maka beliau bersabda, “Berikan juga kepadanya empat puluh uqiyah dan seratus ekor unta.” Beliau juga memberikan kepada Hakim bin Hizam seratus ekor unta, kemudian Hakim meminta seratus ekor unta lagi, maka beliau memberikannya. Beliau memberikan kepada Shafwan bin Umayyah seratus ekor unta, kepada Suhail bin Amr seratus ekor unta, kepada Huwaitib bin Abdul Uzza seratus ekor unta—yang telah datang masuk Islam dari Thaif—kepada Al-Ala’ bin Jariyah ats-Tsaqafi seratus ekor unta, kepada an-Nadhir bin al-Harits bin Kaladah seratus ekor unta, kepada Malik bin ‘Awf an-Nadri seratus ekor unta, kepada Uyainah bin Hisn seratus ekor unta, dan kepada al-Aqra’ bin Habis seratus ekor unta. Mereka inilah para penerima seratus ekor unta.

وَأَعْطَى غَيْرَهُمَ دُونَهُمْ وَأَعْطَى مَخْرَمَةَ بْنَ نَوْفَلٍ خَمْسِينَ بَعِيرًا وَأَعْطَى سَعِيدَ بْنَ يَرْبُوعٍ خَمْسِينَ بَعِيرًا وَأَعْطَى عُمَيْرَ بْنَ وَهْبٍ خَمْسِينَ بَعِيرًا وَأَعْطَى هِشَامَ بْنَ عَمْرٍو الثَّقَفِيَّ خَمْسِينَ بَعِيرًا وَأَعْطَى الْعَبَّاسَ بْنَ مِرْدَاسٍ أَبَاعِرَ فَسَخِطَهَا وَاسْتَعْتَبَ بِشِعْرٍ فَقَالَ

Beliau memberikan kepada selain mereka, tidak seperti kepada mereka. Beliau memberikan kepada Makhramah bin Nawfal lima puluh unta, memberikan kepada Sa‘id bin Yarbu‘ lima puluh unta, memberikan kepada ‘Umair bin Wahb lima puluh unta, memberikan kepada Hisyam bin ‘Amr ats-Tsaqafi lima puluh unta, dan memberikan kepada al-‘Abbas bin Mirdas beberapa ekor unta, namun ia tidak puas dan mengungkapkan ketidakpuasannya dengan syair, lalu ia berkata:

كَانَتْ نِهَابًا تَلَافَيْتُهَا بِكَرِّي عَلَى الْمُهْرِ فِي الْأَجْرَعِ

Itu adalah harta rampasan yang aku dapatkan kembali dengan seranganku di atas kuda muda di padang yang luas.

وَإِيقَاظِي الْقَوْمَ أَنْ يَرْقُدُوا إِذَا هَجَعَ النَّاسُ لَمْ أَهْجَعِ

Dan aku membangunkan kaum itu agar mereka tidak tidur, ketika orang-orang terlelap aku tidak ikut terlelap.

فأصبح نهبي ونهب العبيد د بين عيينة والأقرع

Maka rampasan milikku dan rampasan para budak menjadi di antara ‘Uyainah dan Al-Aqra‘.

وقد كنت في الحرب ذا تدراء فلم أعط شيئا ولم امنع

Aku dahulu dalam peperangan adalah seseorang yang suka menahan diri; aku tidak pernah memberikan sesuatu, namun juga tidak pernah menolak.

إلا أفائل أعطيتها عديد قوائمها الأربع

Kecuali unta betina yang telah Aku berikan kepadanya keempat kakinya yang banyak.

وَمَا كَانَ حِصْنٌ وَلَا حَابِسٌ يَفُوقَانِ مِرْدَاسَ في المجمع

Tidak ada benteng maupun penahan yang melebihi Mirdas dalam al-mujma‘.

وما كنت دون امرىء مِنْهُمَا وَمَنْ تَضَعِ الْيَوْمَ لَا يُرْفَعِ

Aku tidaklah lebih rendah dari salah satu dari mereka, dan siapa yang merendahkan diri hari ini, tidak akan diangkat derajatnya.

فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” اذْهَبُوا فَاقْطَعُوا عَنِّي لِسَانَهُ ” فَزَادُوهُ حَتَّى رَضِيَ

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pergilah, dan hentikan lisannya dariku.” Maka mereka memberinya tambahan hingga ia merasa puas.

وَاخْتُلِفَ فِيمَا أَعْطَاهُ الْمُؤَلَّفَةَ فَقَالَ قَوْمٌ كَانَ مِنْ أَصْلِ الْغَنِيمَةِ

Terjadi perbedaan pendapat mengenai apa yang diberikan kepada al-mu’allafah, sebagian ulama berpendapat bahwa itu berasal dari pokok harta rampasan perang.

وَقَالَ آخَرُونَ وَهُوَ أَثْبَتُ إِنَّهُ كَانَ مِنَ الْخُمُسِ ثُمَّ أَمَرَ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ بِإِحْصَاءِ النَّاسِ وَالْغَنَائِمِ وَفَضَّهَا عَلَيْهِمْ فَكَانَ سَهْمُ كُلِّ رَجُلٍ مِنْهُمْ أَرْبَعَةً مِنَ الْإِبِلِ وَأَرْبَعِينَ شَاةً وَكَانَ سَهْمُ كُلِّ فَارِسٍ اثْنَيْ عَشَرَ بَعِيرًا وَمِائَةً وَعِشْرِينَ شَاةً وَمَنْ كَانَ مَعَهُ أَكْثَرُ مِنْ فَرَسٍ لَمْ يُسْهِمْ لَهُ وَلَمَّا أَعْطَى رَسُولُ اللَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ الْمُؤَلَّفَةَ وَقَبَائِلَ الْعَرَبِ مَا أَعْطَاهُمْ وَلَمْ يَكُنْ فِي الْأَنْصَارِ مِنْهَا شَيْءٌ وَجَدُوهُ فِي نُفُوسِهِمْ فَدَخَلَ سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ هَذَا الْحَيَّ مِنَ الْأَنْصَارِ قَدْ وَجَدُوا عَلَيْكَ فِي أَنْفُسِهِمْ لِمَا صَنَعْتَ فِي هَذَا الْفَيْءِ أَعْطَيْتَ غَيْرَهُمْ وَحَرَمْتَهُمْ قَالَ فَأَيْنَ أَنْتَ مِنْ ذَلِكَ يَا سَعْدُ؟ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا أَنَا إِلَّا مِنْ قَوْمِي قَالَ فَاجْمَعْ لِي قَوْمَكَ فَلَمَّا اجْتَمَعُوا خَطَبَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ ” يَا معشر الأنصار ما قالة بَلَغَتْنِي عَنْكُمْ وَمَوْجِدَةٌ وَجَدْتُمُوهَا فِي أَنْفُسِكُمْ أَلَمْ آتِكُمْ ضُلَّالًا فَهَدَاكُمُ اللَّهُ وَعَالَةً فَأَغْنَاكُمُ اللَّهُ وَأَعْدَاءً فَأَلَّفَ اللَّهُ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ “

Sebagian yang lain berkata, dan ini yang lebih kuat, bahwa itu berasal dari bagian khumus, kemudian Nabi memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk menghitung jumlah orang dan rampasan perang serta membagikannya kepada mereka. Maka bagian setiap orang dari mereka adalah empat ekor unta dan empat puluh ekor kambing, dan bagian setiap penunggang kuda adalah dua belas ekor unta dan seratus dua puluh ekor kambing. Siapa yang memiliki lebih dari satu kuda, tidak diberikan bagian tambahan untuk kudanya yang lain. Ketika Rasulullah saw. memberikan kepada para mu’allaf dan kabilah-kabilah Arab apa yang beliau berikan kepada mereka, sementara tidak ada bagian untuk kaum Anshar dari pemberian itu, mereka merasakan sesuatu dalam hati mereka. Maka Sa’d bin ‘Ubadah masuk dan berkata, “Wahai Rasulullah, kaum Anshar ini telah merasakan sesuatu terhadapmu karena apa yang engkau lakukan terhadap fai’ ini; engkau memberi kepada selain mereka dan tidak memberi kepada mereka.” Beliau bersabda, “Lalu bagaimana denganmu, wahai Sa’d?” Ia menjawab, “Wahai Rasulullah, aku hanyalah bagian dari kaumku.” Beliau bersabda, “Kumpulkan kaummu untukku.” Ketika mereka telah berkumpul, Rasulullah saw. berkhutbah kepada mereka, memuji Allah dan menyanjung-Nya, lalu bersabda, “Wahai kaum Anshar, apa ucapan yang telah sampai kepadaku dari kalian dan perasaan yang kalian rasakan dalam hati kalian? Bukankah aku datang kepada kalian dalam keadaan sesat lalu Allah memberi kalian petunjuk, dalam keadaan miskin lalu Allah memberikan kecukupan kepada kalian, dan dalam keadaan saling bermusuhan lalu Allah mempersatukan hati kalian?”

قَالُوا لِلَّهِ ولرسوله المن والفضل فقال ” ألا تجيئونني يَا مَعْشَرَ الْأَنْصَارِ أَمَا وَاللَّهِ لَوْ شِئْتُمْ لَقُلْتُمْ أَتَيْتَنَا مُكَذَّبًا فَصَدَّقْنَاكَ وَمَخْذُولًا فَنَصَرْنَاكَ وَطَرِيدًا فَآوَيْنَاكَ وَعَائِلًا فَآسَيْنَاكَ يَا مَعْشَرَ الْأَنْصَارِ وَجَدْتُمْ فِي أَنْفَسِكُمْ فِي لُعَاعَةٍ مِنَ الدُّنْيَا تَأَلَّفْتُ بِهَا قَوْمًا لِيُسْلِمُوا وَوَكَلْتُكُمْ إِلَيَ إِسْلَامِكُمْ أَفَلَا تَرْضَوْنَ يَا مَعْشَرَ الْأَنْصَارِ أَنْ يَرْجِعَ النَّاسُ بِالشَّاةِ وَالْبَعِيرِ وَتَرْجِعُونَ بِرَسُولِ اللَّهِ إِلَى رِحَالِكُمْ فَوَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوْلَا الْهِجْرَةُ لَكُنْتُ رَجُلًا مِنَ الْأَنْصَارِ وَالْأَنْصَارُ شِعَارٌ وَالنَّاسُ دِثَارٌ وَلَوْ سَلَكَ النَّاسُ شِعْبًا وَالْأَنْصَارُ شِعْبًا لَسَلَكْتُ شِعْبَ الْأَنْصَارِ اللَّهُمَّ ارْحَمِ الْأَنْصَارَ وَأَبْنَاءَ الْأَنْصَارِ وَأَبْنَاءَ أَبْنَاءِ الْأَنْصَارِ “

Mereka berkata bahwa anugerah dan keutamaan itu milik Allah dan Rasul-Nya. Maka beliau bersabda, “Tidakkah kalian datang kepadaku, wahai kaum Anshar? Demi Allah, seandainya kalian mau, kalian bisa berkata: ‘Engkau datang kepada kami dalam keadaan didustakan, lalu kami membenarkanmu; engkau datang dalam keadaan ditinggalkan, lalu kami menolongmu; engkau datang sebagai orang yang terusir, lalu kami melindungimu; engkau datang dalam keadaan kekurangan, lalu kami mencukupimu.’ Wahai kaum Anshar, apakah kalian merasa berat dalam hati kalian karena sebagian kecil dari dunia yang dengannya aku telah melunakkan hati suatu kaum agar mereka masuk Islam, sementara aku mempercayakan kalian kepada keislaman kalian sendiri? Tidakkah kalian rela, wahai kaum Anshar, jika orang-orang pulang membawa kambing dan unta, sedangkan kalian pulang bersama Rasulullah ke tempat tinggal kalian? Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, kalau bukan karena hijrah, niscaya aku menjadi salah satu dari kaum Anshar. Kaum Anshar adalah inti, sedangkan manusia lainnya adalah pelengkap. Seandainya manusia menempuh suatu jalan dan kaum Anshar menempuh jalan lain, niscaya aku akan menempuh jalan kaum Anshar. Ya Allah, rahmatilah kaum Anshar, anak-anak kaum Anshar, dan cucu-cucu kaum Anshar.”

فَبَكَى الْقَوْمُ حَتَّى اخْضَلَّتْ لِحَاهُمْ وَقَالُوا رَضِينَا بِاللَّهِ قَسْمًا وَحَظًّا وَتَفَرَّقُوا

Maka menangislah orang-orang itu hingga janggut mereka basah, lalu mereka berkata, “Kami ridha Allah sebagai pembagi dan pemberi bagian,” kemudian mereka pun berpencar.

وَأَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بالجعرانية ثَلَاثَةَ عَشَرَ يَوْمًا فَلَمَّا أَرَادَ الِانْصِرَافَ إِلَى الْمَدِينَةِ خَرَجَ لَيْلَةَ الْأَرْبِعَاءِ الثَّامِنَ عَشَرَ مِنْ ذِي الْقَعْدَةِ لَيْلًا فَأَحْرَمَ بِعُمْرَةٍ وَدَخَلَ مَكَّةَ فَطَافَ وَسَعَى وَحَلَقَ رَأَسَهُ وَرَجَعَ إِلَى الْجِعْرَانَةِ مِنْ لَيْلَتِهِ ثُمَّ غَدَا يَوْمَ الْخَمِيسِ رَاجِعًا إِلَى الْمَدِينَةِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di Ji‘rānah selama tiga belas hari. Ketika beliau hendak kembali ke Madinah, beliau berangkat pada malam Rabu, tanggal delapan belas Dzulqa‘dah, pada malam hari. Beliau berihram untuk ‘umrah, lalu masuk ke Makkah, kemudian thawaf, sa‘i, mencukur rambut kepalanya, dan kembali ke Ji‘rānah pada malam itu juga. Setelah itu, pada hari Kamis pagi, beliau kembali menuju Madinah.

وَفِي هَذِهِ السَّنَةِ أَخَذَ رَسُولُ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ الْجِزْيَةَ مِنْ مَجُوسِ هَجَرَ وَفِيهَا تَزَوَّجَ فَاطِمَةَ بِنْتَ الضَّحَّاكِ بْنِ سُفْيَانَ وَخَيَّرَهَا مَعَ نِسَائِهِ فَاسْتَعَاذَتْ مِنْهُ فَاخْتَارَتِ الدُّنْيَا فَفَارَقَهَا

Pada tahun ini, Rasulullah saw. mengambil jizyah dari kaum Majusi Hajar. Pada tahun ini pula beliau menikahi Fatimah binti Dhahhak bin Sufyan dan memberikan pilihan kepadanya bersama para istrinya. Ia meminta perlindungan dari beliau, lalu memilih dunia, maka beliau pun menceraikannya.

وَفِي ذِي الْحِجَّةِ مِنْ هَذِهِ السَّنَةِ وَلَدَتْ مَارِيَةُ إِبْرَاهِيمَ ابْنَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَغَارَ نِسَاؤُهُ وَاشْتَدَّ عَلَيْهِنَّ حِينَ رُزِقَتْ مِنْهُ الْوَلَدَ فَبَشَّرَهُ أَبُو رَافِعٍ بِهِ فَوَهَبَ لَهُ مَمْلُوكًا

Pada bulan Dzulhijjah tahun itu, Maria melahirkan Ibrahim, putra Rasulullah saw. Istri-istri beliau merasa cemburu dan hal itu terasa berat bagi mereka ketika Maria dikaruniai anak dari beliau. Abu Rafi‘ memberitakan kabar gembira itu kepada beliau, maka beliau menghadiahkan seorang budak kepadanya.

وَاسْتَعْمَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَلَى الْحَجِّ فِي هَذِهِ السَّنَةِ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَأَمَرَهُ أَنْ يَؤُمَّ النَّاسَ كُلَّهُمْ وَسُمِّيَتْ هَذِهِ السَّنَةُ عَامَ الْفَتْحِ لِأَنَّ أَعْظَمَ مَا كَانَ فِيهَا فَتْحُ مَكَّةَ فَكَانَ فيها غزوتان وثلاث عشرة سرية

Rasulullah ﷺ pada tahun ini mengangkat Abu Bakar ra. sebagai pemimpin haji dan memerintahkannya untuk mengimami seluruh jamaah. Tahun ini dinamakan Tahun Fath (Penaklukan) karena peristiwa terbesar yang terjadi di dalamnya adalah penaklukan Makkah. Pada tahun ini juga terjadi dua peperangan dan tiga belas ekspedisi (sariyyah).

فصل ذكر حوادث سنة تسع

Bagian tentang peristiwa-peristiwa tahun sembilan

ثُمَّ دَخَلَتْ سَنَةُ تِسْعٍ وَبَعَثَ فِيهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ الْمُصَدِّقِينَ إِلَى قَبَائِلِ الْعَرَبِ لِأَخْذِ الصَّدَقَةِ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَرَدِّهَا عَلَى فُقَرَائِهِمْ فِي هِلَالِ الْمُحَرَّمِ فَبَعَثَ سَرِيَّةَ ابْنِ الْحُصَيْبِ الْأَسْلَمِيِّ إِلَى أَسْلَمَ وغفار وَبَعَثَ عَبَّادَ بْنَ بِشْرٍ إِلَى سُلَيْمٍ وَمُزَيْنَةَ

Kemudian masuk tahun kesembilan, dan pada tahun itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus para petugas zakat kepada kabilah-kabilah Arab untuk mengambil zakat dari orang-orang kaya mereka dan membagikannya kepada orang-orang fakir mereka pada awal bulan Muharram. Maka beliau mengutus pasukan kecil yang dipimpin Ibnu al-Hushayb al-Aslami kepada kabilah Aslam dan Ghifar, serta mengutus ‘Abbad bin Bisyr kepada kabilah Sulaim dan Muzainah.

وَبَعَثَ رَافِعَ بْنَ مَكِيثٍ إِلَى جُهَيْنَةَ

Dan ia mengutus Rafi‘ bin Makiits kepada suku Juhainah.

وَبَعَثَ عَمْرَو بْنَ الْعَاصِ إِلَى بَنِي فَزَارَةَ

Dan ia mengutus ‘Amr bin al-‘Ash kepada Bani Fazarah.

وَبَعَثَ إلى جيفر وَعَمْرٍو ابْنَيِ الْجَلَنْدِيِّ مِنَ الْأَزِدِ مُصَدِّقًا فَخَلَّيَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الصَّدَقَةِ فَأَخَذَهَا مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَرَدَّهَا عَلَى فُقَرَائِهِمْ وَأَخَذَ الْجِزْيَةَ مِنْ مَجُوسِهِمْ

Dan ia mengutus kepada Jaifar dan ‘Amr, dua putra Al-Jalandi dari kabilah Azd, seorang petugas zakat, lalu mereka membiarkannya mengurus zakat, maka ia mengambil zakat dari orang-orang kaya mereka dan mengembalikannya kepada orang-orang fakir mereka, serta mengambil jizyah dari kaum Majusi di antara mereka.

وَبَعَثَ الضَّحَّاكَ بْنَ سُلَيْمَانَ الْكِلَابِيَّ إِلَى بَنِي كِلَابٍ

Dan ia mengutus Dlahhak bin Sulaiman al-Kilabi kepada Bani Kilab.

وَبَعَثَ بَشِيرَ بْنَ سَعْدٍ الْكَلْبِيَّ إِلَى بَنِي كَعْبٍ وَبَعَثَ ابْنَ الدَّثِنَةِ الْأَزْدِيَّ إِلَى بَنِي ذيبان وَأَمَرَ مُصَدِّقِيهِ أَنْ يَأْخُذُوا الْعَفْوَ مِنْهُمْ وَيَتَوَقَّوْا كَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ

Ia mengutus Basyir bin Sa‘d al-Kalbi kepada Bani Ka‘b, dan mengutus Ibnu ad-Dathinah al-Azdi kepada Bani Dziybān, serta memerintahkan para petugas zakatnya agar mengambil zakat secukupnya dari mereka dan menghindari mengambil harta terbaik mereka.

ثُمَّ بَعَثَ عُيَيْنَةَ بْنَ حِصْنٍ إِلَى بَنِي تَمِيمٍ فِي خَمْسِينَ فَارِسًا مِنَ الْعَرَبِ لَيْسَ فِيهِمْ مُهَاجِرٌ وَلَا أَنْصَارِيٌّ فَلَمَّا رَأَوْهُ وَلَّوْا عَنْهُ فَأَخَذَ مِنْهُمْ أَحَدَ عَشَرَ رَجُلًا وَإِحْدَى عَشْرَةَ امْرَأَةً وَثَلَاثِينَ صَبِيًّا وَقَدِمَ بِهِمُ الْمَدِينَةَ فَأَمَرَ بِهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَحُبِسُوا فِي دَارِ رَمْلَةَ بِنْتِ الْحَارِثِ فَقَدِمَ فِيهِمْ مِنْ رُؤَسَائِهِمْ عُطَارِدُ بْنُ حَاجِبٍ وَالزِّبْرِقَانُ بْنُ بَدْرٍ وَقَيْسُ بْنُ عَاصِمٍ وَالْأَقْرَعُ بْنُ حَابِسٍ وَقَيْسُ بْنُ الْحَارِثِ وَنُعَيْمُ بْنُ سَعْدٍ وَعَمْرُو بْنُ الْأَهْتَمِ وَرَبَاحُ بْنُ الْحَارِثِ فَنَادَوْا يَا مُحَمَّدُ اخْرُجْ إِلَيْنَا فَخَرَجَ إِلَيْهِمْ فَتَعَلَّقُوا بِهِ يُكَلِّمُونَهُ فِيهِمْ فَأَمَرَ بِلَالًا فَأَقَامَ وَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ جَلَسَ فِي صَحْنِ الْمَسْجِدِ فَقَدَّمُوا عُطَارِدَ بْنَ حَاجِبٍ فَتَكَلَّمَ وَخَطَبَ وَأَمَرَ ثَابِتَ بْنَ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ فَأَجَابَهُمْ ثُمَّ قَالُوا يا محمد ائذن لشاعرنا فأذن وفقام الزِّبْرِقَانُ بْنُ بَدْرٍ فَأَنْشَدَ

Kemudian beliau mengutus ‘Uyainah bin Hishn kepada Bani Tamim dengan lima puluh penunggang kuda dari kalangan Arab, yang di antara mereka tidak ada seorang pun dari kaum Muhajirin maupun Anshar. Ketika mereka melihatnya, mereka pun melarikan diri darinya. Maka ia menangkap dari mereka sebelas orang laki-laki, sebelas perempuan, dan tiga puluh anak-anak, lalu membawanya ke Madinah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar mereka ditahan di rumah Ramlah binti al-Harits. Kemudian datanglah beberapa pemuka mereka, yaitu ‘Utard bin Hajib, az-Zibrikan bin Badr, Qais bin ‘Ashim, al-Aqra‘ bin Habis, Qais bin al-Harits, Nu‘aim bin Sa‘d, ‘Amr bin al-Ahtam, dan Rabah bin al-Harits. Mereka memanggil, “Wahai Muhammad, keluarlah kepada kami!” Maka beliau keluar menemui mereka, lalu mereka mengerumuninya dan berbicara kepadanya mengenai tawanan mereka. Beliau memerintahkan Bilal untuk mengumandangkan iqamah, lalu beliau shalat Zuhur, kemudian duduk di halaman masjid. Mereka mengajukan ‘Utard bin Hajib untuk berbicara dan berpidato, kemudian beliau memerintahkan Tsabit bin Qais bin Syammas untuk menjawab mereka. Lalu mereka berkata, “Wahai Muhammad, izinkan penyair kami (untuk membacakan syair).” Maka beliau mengizinkan, lalu berdirilah az-Zibrikan bin Badr dan membacakan syair.

نَحْنُ الْكِرَامُ فَلَا حَيَّ يُعَادِلُنَا مِنَّا الْمُلُوكُ وَفِينَا تُنْصَبُ الْبِيَعُ

Kami adalah kaum mulia, maka tidak ada satu pun kaum yang sebanding dengan kami; dari kalangan kami lah para raja berasal, dan di tengah-tengah kami lah pasar-pasar didirikan.

وَكَمْ قَسَرْنَا مِنَ الْأَحْيَاءِ كُلِّهِمُ عِنْدَ النِّهَابِ وفضل العز يتبع

Betapa sering kami memaksa seluruh kaum yang hidup ketika terjadi perebutan, dan keutamaan kemuliaan selalu mengikuti.

ونحن نطعم عند القحط مطعمنا من الشواء إذا لم يؤنس القزع

Kami memberi makan saat paceklik dengan makanan panggang kami jika tidak tampak adanya awan tipis di langit.

ثم ترى الناس تأتينا سراتهم من كل أرض هويا ثم نطلع

Kemudian engkau melihat orang-orang, para pemuka mereka, datang kepada kami dari setiap negeri dengan penuh kerinduan, lalu kami pun muncul.

فننحر الكوم عبطا في أرومتنا للنازلين إذا ما أنزلوا شبعوا

Maka kami menyembelih unta-unta besar secara langsung di tanah leluhur kami untuk para tamu yang datang; apabila mereka singgah, mereka pun merasa kenyang.

فَلَا تَرَانَا إِلَى حَيٍّ نُفَاخِرُهُمْ إِلَّا اسْتَقَادُوا وكاد الرأس يقتطع

Maka tidaklah engkau melihat kami mendatangi suatu kaum untuk membanggakan diri di hadapan mereka, kecuali mereka pasti tunduk, dan hampir saja kepala mereka terpenggal.

إنا أبينا ولده يَأْبَى لَنَا أَحَدٌ إِنَّا كَذَلِكَ عِنْدَ الْفَخْرِ نَرْتَفِعُ

Sesungguhnya kami, ayah kami, dan anak-anaknya, tidak ada seorang pun yang menolak kami. Sesungguhnya demikianlah kami, ketika berbangga, kami meninggi.

فَمَنْ يُقَادِرُنَا فِي ذَاكَ يَعْرِفُنَا فَيَرْجِعُ الْقَوْلُ وَالْأَخْبَارُ تُسْتَمَعُ

Maka siapa yang mampu menandingi kami dalam hal itu, hendaklah ia mengenal kami, sehingga perkataan akan kembali dan berita-berita akan didengarkan.

وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لِحَسَّانَ بْنِ ثَابِتٍ أَجِبْهُ فَقَامَ حَسَّانُ فَأَنْشَدَ

Rasulullah saw. berkata kepada Hassān bin Tsābit, “Balaslah dia!” Maka Hassān pun berdiri lalu melantunkan syair.

إِنَّ الذَّوَائِبَ مِنْ فِهْرٍ وَإِخْوَتِهِمْ قَدْ بَيَّنُوا سُنَّةً لِلنَّاسِ تُتَّبَعُ

Sesungguhnya para pemuka dari kabilah Fihr dan saudara-saudara mereka telah menjelaskan suatu sunnah bagi manusia yang diikuti.

يَرْضَى بِهَا كُلُّ مَنْ كَانَتْ سَرِيرَتُهُ تَقْوَى الْإِلَهِ وَكُلُّ الْخَيْرِ يُصْطَنَعُ

Setiap orang yang hatinya dipenuhi takwa kepada Allah akan ridha dengannya, dan segala kebaikan akan dilakukan.

قَوْمٌ إِذَا حَارَبُوا ضَرُّوا عَدُوَّهُمُ أَوْ حَاوَلُوا النَّفْعَ فِي أَشْيَاعِهِمْ نَفَعُوا

Suatu kaum yang apabila berperang, mereka membahayakan musuh-musuh mereka, atau apabila berusaha memberikan manfaat kepada para pengikutnya, mereka benar-benar memberi manfaat.

سَجِيَّةٌ تِلْكَ مِنْهُمْ غَيْرُ مُحْدَثَةٍ إِنَّ الْخَلَائِقَ فَاعْلَمْ شَرُّهًا الْبِدَعُ

Itu adalah tabiat mereka yang bukan sesuatu yang baru diada-adakan. Ketahuilah bahwa seburuk-buruk ciptaan adalah bid‘ah.

إِنْ كَانَ فِي النَاسِ سَبَّاقُونَ بَعْدَهُمُ فَكُلُّ سَبْقٍ لِأَدْنَى سَبْقِهِمْ تَبَعُ

Jika di antara manusia ada orang-orang yang lebih dahulu setelah mereka, maka setiap keutamaan orang yang lebih dahulu mengikuti keutamaan yang paling rendah dari mereka yang lebih dahulu.

لَا يَرْفَعُ النَّاسُ مَا أَوْهَتْ أَكُفُّهُمُ عِنْدَ الدِّفَاعِ وَلَا يُوهُونَ ما رقعوا

Manusia tidak akan dapat menegakkan apa yang telah dilemahkan oleh tangan-tangan mereka sendiri ketika membela, dan mereka tidak akan melemahkan apa yang telah mereka bangun.

إِنْ سَابَقُوا النَّاسَ يَوْمًا فَازَ سَبْقُهُمُ أَوْ وازنوا أهل نجد بِالنَّدَى مَتَعُوا

Jika mereka berlomba dengan orang-orang pada suatu hari, maka kemenangan ada pada mereka; atau jika mereka menandingi penduduk Najd dalam kemurahan, mereka pun memperoleh kesenangan.

أَعِفَّةٌ ذُكِرَتْ فِي الْوَحْيِ عِفَّتُهُمْ لَا يَطْبَعُونَ وَلَا يُرْدِيهِمْ طَمَعُ

Orang-orang yang menjaga kehormatan diri yang disebutkan dalam wahyu; mereka menjaga kehormatan diri mereka, tidak mencetak (meninggalkan) jejak, dan tidak menjatuhkan mereka oleh ketamakan.

لَا يَبْخَلُونَ عَلَى جَارٍ بِفَضْلِهِمُ وَلَا يَمَسُّهُمُ مِنْ مَطْمَعٍ طبع

Mereka tidak kikir kepada tetangga dengan kelebihan yang mereka miliki dan tidak tersentuh oleh sifat tamak yang merupakan tabiat manusia.

إذا نصبنا لحي لم ندب لهم كما يدب إلى الوحشية الذرع

Jika kita memasang perangkap untuk suatu kaum, kita tidak akan mengendap-endap mendekati mereka sebagaimana binatang buas mengendap-endap mendekati mangsanya.

نسمو إذا الحرب نالتنا مخالبها إذا الزعانف من أظفارها خشعوا

Kita akan menjulang tinggi ketika perang mencengkeram kita dengan cakarnya, sementara orang-orang lemah tunduk di hadapan kuku-kukunya.

لا فخر إن هم أصابوا من عدوهم وإن أصيبوا فلا خور ولا هلع

Tidak ada rasa bangga jika mereka berhasil mengalahkan musuh mereka, dan jika mereka terluka pun, tidak ada rasa lemah atau panik.

كأنهم في الوغى والموت مكتنع أسد بحلية في أرساغها فدع

Seakan-akan mereka di medan pertempuran dan maut mengintai, seperti singa yang mengenakan perhiasan di pergelangan kakinya, maka biarkanlah.

خُذْ مِنْهُمُ مَا أَتُوا عَفْوًا إِذَا غَضِبُوا ولا يكن همك الأمر الذي منعوا

Ambillah dari mereka apa yang mereka berikan dengan sukarela ketika mereka sedang rela, dan janganlah perhatianmu tertuju pada sesuatu yang mereka tahan.

فإن في حربهم فاترك عداوتهم شرا يخاض عليه السم والسلع

Sesungguhnya dalam memerangi mereka, maka tinggalkanlah permusuhan terhadap mereka, karena itu adalah keburukan yang di atasnya mengalir racun dan penyakit.

أكرم بقول الله شيعتهم إذا تفرقت الأهواء والشيع

Betapa mulianya pengikut mereka menurut firman Allah, ketika hawa nafsu dan kelompok-kelompok telah berpecah-belah.

أهدي لهم مدحتي قلب يوازره فيما أحب لسان حائك صنع

Aku persembahkan kepada mereka pujianku, hati yang mendukungnya dalam apa yang dicintai, dan lisan yang merangkai kata-kata dengan keahlian.

فَإِنَّهُمْ أَفْضَلُ الْأَحْيَاءِ كُلِّهِمُ إِنْ جَدَّ بِالنَّاسِ مجد القول أو شمعوا

Sesungguhnya mereka adalah manusia terbaik di antara seluruh makhluk hidup, jika manusia mendapatkan kemuliaan dalam ucapan atau mereka mendengarnya.

فَلَمَّا فَرَغَ حَسَّانُ مِنْ شِعْرِهِ قَالَ الْأَقْرَعُ بْنُ حَابِسٍ وَأَبِي إِنَّ هَذَا الرَّجُلَ لَمُؤْتَى الْحِكْمَةَ لَخَطِيبُهُ أَخْطَبُ مِنْ خَطِيبِنَا وَلَشَاعِرُهُ أَشْعَرُ مِنْ شَاعِرِنَا ثُمَّ أَسْلَمُوا وَكَانَ الْأَقْرَعُ وَعُيَيْنَةُ قَدْ أَسْلَمَا مِنْ قَبْلُ وَشَهِدَا حُنَيْنًا فَأَجَارَهُمْ رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَرَدَّ عَلَيْهِمُ الْأَسْرَى وَالسَّبْيَ وَفِيهِمْ نَزَلَ قَوْله تَعَالَى إِنَّ الَّذِينَ يُنَادُونَكَ مِنْ وَرَاءِ الْحُجُرَاتِ أَكْثَرُهُمْ لا يَعْقِلُونَ

Setelah Hassān selesai membacakan syairnya, al-Aqra‘ bin Hābis berkata, “Demi ayahku, sungguh lelaki ini benar-benar telah dianugerahi hikmah; oratornya lebih fasih daripada orator kita, dan penyairnya lebih piawai daripada penyair kita.” Kemudian mereka pun masuk Islam, sedangkan al-Aqra‘ dan ‘Uyainah telah lebih dahulu masuk Islam dan ikut serta dalam Perang Hunain. Maka Rasulullah ﷺ memberikan perlindungan kepada mereka, mengembalikan para tawanan dan rampasan perang kepada mereka. Tentang mereka inilah turun firman Allah Ta‘ala: “Sesungguhnya orang-orang yang memanggilmu dari luar kamar-kamar (hujurat), kebanyakan mereka tidak berakal.”

ثُمَّ بَعَثَ الْوَلِيدَ بْنَ عُقْبَةَ بْنِ أَبِي مُعَيْطٍ إِلَى بَنِي الْمُصْطَلِقِ مِنْ خُزَاعَةَ مُصَدِّقًا وَكَانُوا قَدْ أَسْلَمُوا وَبَنَوُا الْمَسَاجِدَ فَلَمَّا سَمِعُوا بِقُدُومِهِ تَلَقَّوْهُ بِالْجَزُورِ وَالنَّعَمِ فَرَحًا بِهِ فَلَمَّا رَآهُمْ عَادَ إِلَى الْمَدِينَةِ فَأَخْبَرَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُمْ تَلَقَّوْهُ بِالسِّلَاحِ وَمَنَعُوهُ الصَّدَقَةَ فَهَمَّ بِغَزْوِهِمْ حَتَّى أَتَاهُ وَفْدُهُمْ فَذَكَرُوا لَهُ مَا كَانَ مِنْهُمْ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا الْآيَةَ وَأَنْفَذَ عَبَّادَ بْنَ بِشْرٍ مَعَهُمْ لِيَأْخُذَ صَدَقَاتِهِمْ وَيُعَلِّمَهُمْ شَرَائِعَ الْإِسْلَامِ فأقام فيهم عشرا وعاد وَلَمَّا أَعْطَى رَسُولُ اللَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ الْمُؤَلَّفَةَ وَقَبَائِلَ الْعَرَبِ مَا أَعْطَاهُمْ وَلَمْ يَكُنْ في الأنصار راضياً فَصْلٌ وَفِيهَا قَدِمَتْ وُفُودُ الْعَرَبِ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَقَدِمَ وَفْدُ بَنِي أَسَدٍ وَقَالُوا قَدِمْنَا قَبْلَ أَنْ تُرْسِلَ إِلَيْنَا رَسُولًا فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى يَمُنُّونَ عَلَيْكَ أَنْ أَسْلَمُوا قُلْ لا تَمُنُّوا عَلَيَّ إِسْلامَكُمْ

Kemudian Nabi mengutus al-Walid bin ‘Uqbah bin Abi Mu‘ayth kepada Bani al-Musthaliq dari Khuza‘ah sebagai petugas pengumpul zakat, padahal mereka telah masuk Islam dan membangun masjid-masjid. Ketika mereka mendengar kedatangannya, mereka menyambutnya dengan unta dan hewan ternak sebagai ungkapan kegembiraan. Namun ketika ia melihat mereka, ia kembali ke Madinah dan memberitahu Rasulullah ﷺ bahwa mereka menyambutnya dengan senjata dan menolak membayar zakat. Maka Rasulullah ﷺ berniat untuk memerangi mereka, hingga datang utusan mereka yang kemudian menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Maka Allah Ta‘ala menurunkan ayat: “Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian seorang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kalian tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum…” (ayat). Kemudian Rasulullah ﷺ mengutus ‘Abbad bin Bisyr bersama mereka untuk mengambil zakat mereka dan mengajarkan syariat Islam kepada mereka. Ia tinggal bersama mereka selama sepuluh hari, lalu kembali. Ketika Rasulullah ﷺ memberikan bagian kepada orang-orang yang baru masuk Islam (al-mu’allafah) dan kabilah-kabilah Arab apa yang telah beliau berikan, tidak ada seorang pun dari kaum Anshar yang merasa puas. Pada bagian ini, delegasi-delegasi Arab datang kepada Rasulullah ﷺ; di antaranya adalah delegasi Bani Asad yang berkata, “Kami datang sebelum engkau mengutus seorang rasul kepada kami.” Maka Allah Ta‘ala menurunkan ayat: “Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah: ‘Janganlah kalian merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislaman kalian.’”

وَقَدِمَ وَفْدُ الدَّارِيِّينَ مِنْ لَخْمٍ وَهُمْ عَشَرَةٌ

Telah datang delegasi dari kaum Dārī dari suku Lakhm, dan mereka berjumlah sepuluh orang.

وَقَدِمَ وَفْدُ بَلِيٍّ فَنَزَلُوا عَلَى رُوَيْفِعٍ الْبَلَوِيِّ وَكَانَ عُرْوَةُ بْنُ مَسْعُودٍ الثَّقَفِيُّ حِينَ انْصَرَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مِنَ الْجِعْرَانَةِ إِلَى الْمَدِينَةِ أَدْرَكَهُ قَبْلَ وُصُولِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ فَأَسْلَمَ وَاسْتَأْذَنَهُ أَنْ يَرْجِعَ إِلَى قَوْمِهِ بِالطَّائِفِ يَدْعُوهُمْ إِلَى الْإِسْلَامِ لِطَاعَتِهِمْ لَهُ فَأَذِنَ لَهُ فَلَمَّا قَدِمَ عَلَيْهِمْ أَشْرَفُوا عَلَيْهِ مِنْ حَصَّنَهُمْ فَأَخْبَرَهُمْ بِإِسْلَامِهِ وَدَعَاهُمْ إِلَى الْإِسْلَامِ فرموه بالنبل من كل جهة وحتى أَصَابَهُ سَهْمُ وَهْبِ بْنِ جَابِرٍ فَقَتَلَهُ فَقِيلَ لِعُرْوَةَ مَا تَرَى مِنْ دَمِكَ؟ فَقَالَ كَرَامَةٌ أَكْرَمَنِي اللَّهُ بِهَا وَشَهَادَةٌ سَاقَهَا اللَّهُ إِلَيَّ فَلَيْسَ لِي فِيهَا إِلَّا مَا لِلشُّهَدَاءِ فَادْفِنُونِي معهم وفلما بَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ” إِنَّ مَثَلَهُ فِي قَوْمِهِ كَمَثَلِ صَاحِبِ لَيْسَ فِي قَوْمِهِ “

Kemudian datanglah delegasi dari Bani Baliy dan mereka singgah di tempat Ruwaifi‘ al-Balawi. Pada saat itu, ‘Urwah bin Mas‘ud ats-Tsaqafi, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali dari Ji‘ranah menuju Madinah, berhasil menyusul beliau sebelum sampai di Madinah, lalu ia masuk Islam dan meminta izin kepada beliau untuk kembali kepada kaumnya di Thaif guna mengajak mereka masuk Islam karena mereka menaati dirinya. Maka Rasulullah mengizinkannya. Ketika ia tiba di tengah kaumnya, mereka mengawasinya dari benteng mereka, lalu ia memberitahukan kepada mereka tentang keislamannya dan mengajak mereka masuk Islam. Namun mereka memanahnya dari segala arah hingga sebuah anak panah milik Wahb bin Jabir mengenainya dan membunuhnya. Lalu dikatakan kepada ‘Urwah, “Apa pendapatmu tentang darahmu ini?” Ia menjawab, “Ini adalah kemuliaan yang Allah anugerahkan kepadaku dan syahadah yang Allah berikan kepadaku, maka aku tidak mendapatkan darinya kecuali seperti yang didapatkan para syuhada. Maka kuburkanlah aku bersama mereka.” Ketika hal itu sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Sesungguhnya perumpamaannya di tengah kaumnya seperti perumpamaan sahabat Yasin di tengah kaumnya.”

فَلَمَّا رَأَتْ ثَقِيفٌ إِسْلَامَ جَمِيعِ مَنْ حَوْلَهُمْ مِنَ الْعَرَبِ وَأَنَّهُمْ لَا قِبَلَ لَهُمْ بِهِمْ لَا يَأْمَنُ لَهُمْ بَهِيمَةٌ وَلَا يَأْمَنُ لَهُمْ سِرْبٌ وَلَا يَطْلُعُ مِنْهُمْ ركب ائتمروا بينهم وحتى اجْتَمَعَ رَأْيُهُمْ عَلَى إِنْفَاذِ عَبْدِ يَالِيلَ بْنِ عَمْرِو بْنِ عُمَيْرٍ وَمَعَهُ عُثْمَانُ بْنُ أَبِي الْعَاصِ وَشُرَحَبِيلُ بْنُ غَيْلَانَ بْنِ سَلَمَةَ وَأَوْسُ بْنُ عَوْفٍ وَنُمَيْرُ بْنُ خَرَشَةَ فَخَرَجَ بِهِمْ وَهُوَ نَابُ الْقَوْمِ وَصَاحِبُ أَمْرِهِمْ فَلَمَّا دَنَوْا مِنَ الْمَدِينَةِ رَآهُمُ الْمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ وَهُوَ يَرْعَى رِكَابَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لِأَنَّ أَصْحَابَهُ كَانُوا يَرْعَوْنَهَا نَوْبًا وَكَانَتْ نَوْبَةُ الْمُغِيرَةِ فَأَسْرَعَ لِيُبَشِّرَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِقُدُومِهِمْ لِلْإِسْلَامِ وَالْبَيْعَةِ فَعَرَفَ أَبُو بَكْرٍ ذَلِكَ مِنْهُ فَبَشَّرَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِقُدُومِهِمْ وَعَادَ الْمُغِيرَةُ إِلَيْهِمْ وَرَاحَ بِالرِّكَابِ مَعَهُمْ وَعَلَّمَهُمْ تَحِيَّةَ الْإِسْلَامِ فَلَمْ يُحَيُّوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ حِينَ قَدِمُوا عَلَيْهِ إِلَّا بِتَحِيَّةِ الْجَاهِلِيَّةِ وَضَرَبَ لَهُمْ قُبَّةً فِي نَاحِيَةِ مَسْجِدِهِ وَمَشَى بَيْنَهُ وَبَيْنَهُمْ خَالِدُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ الْعَاصِ وَكَانُوا لَا يَأْكُلُونَ طَعَامًا يُحْمَلُ إِلَيْهِمْ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ حَتَّى يَأْكُلَ مِنْهُ خَالِدُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ الْعَاصِ حَتَّى أَسْلَمُوا وَشَرَطُوا لِأَنْفُسِهِمْ ثَلَاثَةَ شُرُوطٍ

Ketika Bani Tsaqif melihat seluruh kabilah Arab di sekitar mereka telah memeluk Islam, dan mereka menyadari bahwa mereka tidak mampu menghadapi kaum Muslimin, sehingga tidak ada hewan ternak maupun kafilah yang merasa aman dari mereka, dan tidak ada satu pun rombongan yang berani keluar dari mereka, maka mereka bermusyawarah di antara mereka sendiri hingga akhirnya sepakat untuk mengutus ‘Abd Yalil bin ‘Amru bin ‘Umair bersama ‘Utsman bin Abi al-‘Ash, Syarahbil bin Ghailan bin Salamah, Aus bin ‘Auf, dan Numair bin Kharasyah. Maka berangkatlah mereka, dan ‘Abd Yalil adalah pemimpin dan penanggung jawab urusan mereka. Ketika mereka mendekati Madinah, mereka dilihat oleh al-Mughirah bin Syu‘bah yang sedang menggembalakan unta-unta Rasulullah ﷺ, karena para sahabat secara bergiliran menggembalakan unta-unta itu, dan saat itu adalah giliran al-Mughirah. Ia segera bergegas untuk memberi kabar gembira kepada Rasulullah ﷺ tentang kedatangan mereka untuk masuk Islam dan berbaiat. Abu Bakar mengetahui hal itu darinya, lalu ia pun menyampaikan kabar gembira kepada Rasulullah ﷺ tentang kedatangan mereka. Al-Mughirah kembali kepada mereka dan membawa unta-unta itu bersama mereka, serta mengajarkan kepada mereka salam Islam. Namun, ketika mereka tiba di hadapan Rasulullah ﷺ, mereka tidak memberi salam kecuali dengan salam jahiliah. Rasulullah ﷺ mendirikan sebuah tenda untuk mereka di salah satu sudut masjidnya, dan antara beliau dan mereka terdapat Khalid bin Sa‘id bin al-‘Ash. Mereka tidak mau memakan makanan yang dihidangkan kepada mereka dari Rasulullah ﷺ sampai Khalid bin Sa‘id bin al-‘Ash memakannya terlebih dahulu, hingga akhirnya mereka masuk Islam dan mengajukan tiga syarat untuk diri mereka sendiri.

أَحَدُهَا أَنْ يَدَعَ لَهُمُ الطَّاغِيَةَ وَهِيَ اللَّاتُ ثَلَاثَ سِنِينَ

Salah satunya adalah bahwa ia membiarkan untuk mereka sang thaghut, yaitu al-Lat, selama tiga tahun.

وَالثَّانِي أَنْ يَتَوَلَّوْا كَسْرَ أَوْثَانِهِمْ بِأَنْفُسِهِمْ

Yang kedua adalah mereka sendiri yang menghancurkan berhala-berhala mereka.

وَالثَّالِثُ أَنْ يَعْفِيَهُمْ مِنَ الصَّلَاةِ

Yang ketiga adalah membebaskan mereka dari salat.

فَقَالَ أَمَّا الطَّاغِيَةُ فَلَا أُقِرُّهَا فَاسْتَنْزَلُوهُ عَنْهَا إِلَى شَهْرٍ فَأَبَى وَأَنْفَذَ أَبَا سُفْيَانَ بْنَ حَرْبٍ وَالْمُغِيرَةَ بْنَ شُعْبَةَ لِهَدْمِهَا وَأَنْ يَقْضِيَ أَبُو سُفْيَانَ دَيْنَ عُرْوَةَ بْنِ مَسْعُودٍ مِنْ مَالِهَا فَهَدَمَهَا الْمُغِيرَةُ وَقَضَى أَبُو سُفْيَانَ مِنْ مَالِهَا دَيْنَ عُرْوَةَ قَالَ وَأَمَّا كَسْرُ أَوْثَانِكُمْ بِأَيْدِيكُمْ فَشَأْنُكُمْ وَإِيَّاهَا

Maka beliau berkata, “Adapun thaghiyah itu, aku tidak akan membiarkannya tetap berdiri.” Lalu mereka menurunkannya dari situ selama sebulan, namun beliau tetap menolak. Kemudian beliau mengutus Abu Sufyan bin Harb dan Al-Mughirah bin Syu‘bah untuk merobohkannya dan agar Abu Sufyan melunasi utang ‘Urwah bin Mas‘ud dari harta thaghiyah itu. Maka Al-Mughirah merobohkannya dan Abu Sufyan melunasi utang ‘Urwah dari harta thaghiyah tersebut. Beliau berkata, “Adapun menghancurkan berhala-berhala kalian dengan tangan kalian sendiri, maka itu urusan kalian dan berhala-berhala itu.”

وَأَمَّا الصَّلَاةُ فَلَا خَيْرَ فِي دِينٍ لَيْسَ فِيهِ صَلَاةٌ فَقَالُوا أَمَّا هَذِهِ فَسَنُؤْتِيكَهَا وَإِنْ كَانَ فِيهَا دَنَاءَةٌ وَكَتَبَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُمْ كِتَابًا بِخَطِّ خَالِدِ بْنِ سَعِيدِ وَأَمَرَ عَلَيْهِمْ عُثْمَانَ بْنَ أَبِي الْعَاصِ وَكَانَ مِنْ أَحْدَثِهِمْ سِنًّا لِأَنَّ أَبَا بَكْرٍ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ رَآهُ أَحْرَصَهُمْ عَلَى تَعَلُّمِ الْقُرْآنِ وَالتَّفَقُّهِ فِي الْإِسْلَامِ وَكَانَ ذَلِكَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ

Adapun shalat, maka tidak ada kebaikan dalam agama yang tidak terdapat shalat di dalamnya. Mereka berkata, “Adapun yang ini, kami akan memberikannya kepadamu, meskipun di dalamnya terdapat kehinaan.” Lalu dibuatlah perjanjian tertulis antara beliau dan mereka dengan tulisan Khalid bin Sa‘id, dan beliau mengangkat ‘Utsman bin Abi al-‘Ash sebagai pemimpin mereka, padahal ia adalah yang termuda di antara mereka, karena Abu Bakar memberitahukan bahwa ia melihat ‘Utsman adalah yang paling bersemangat di antara mereka dalam mempelajari al-Qur’an dan mendalami fiqh Islam. Peristiwa itu terjadi pada bulan Ramadan.

فَصْلٌ وَفِي شَهْرِ رَبِيعٍ الْآخِرِ مِنْ هَذِهِ السَّنَةِ بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ علي بن أبي طالب سرية إلى طيء لَهُ رَايَةٌ سَوْدَاءُ وَلِوَاءٌ أَبْيَضُ وَأَمَرَهُ أَنْ يَهْدِمَ الْفُلْسَ صَنَمًا لَهُمْ وَيَشُنَّ عَلَيْهِمُ الْغَارَةَ فَشَنَّهَا عَلَيْهِمْ مَعَ الْفَجْرِ وَسَبَى إِبِلَ حَاتِمٍ وَسَبَى بِنْتَهُ أُخْتَ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ وَهَرَبَ عَدِيُّ بْنُ حَاتِمٍ إِلَى الشَّامِ وَاسْتَاقَ النَّعَمَ وهدم الفلس وكان في بيت الصنم سفيان لَهُمَا ذِكْرٌ يُقَالُ لِأَحَدِهِمَا رَسُوبٌ وَلِلْآخَرِ الْمِخْدَمُ كَانَ الْحَارِثُ بْنُ أَبِي شِمْرٍ نَذَرَهُمَا لَهُ فصار إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِالصَّفِيِّ وَقَسَمَ النَّعَمَ بَعْدَ إِخْرَاجِ خُمُسِهَا وَعَزَلَ آلَ حَاتِمٍ حَتَّى قَدِمَ بِهِمُ الْمَدِينَةَ فَعَزَلَهُمْ فِي حَظِيرَةٍ بِبَابِ الْمَسْجِدِ فَلَمَّا مَرَّ بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَامَتْ إِلَيْهِ أُخْتُ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ وَكَانَتِ امرأة جزلة فقالت يا رسول هَلَكَ الْوَالِدُ وَغَابَ الْوَافِدُ فَامْنُنْ عَلَيَّ مَنَّ اللَّهُ عَلَيْكَ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” مَنْ أَنْتِ فَقَالَتْ بِنْتُ الرَّجُلِ الْجَوَّادِ حَاتِمٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ارْحَمُوا عَزِيزَ قَوْمٍ ذَلَّ ارْحَمُوا غَنِيًّا افْتَقَرَ ارْحَمُوا عَالِمًا ضَاعَ بَيْنَ الْجُهَّالِ ثُمَّ قَالَ لَهَا قَدْ مَنَنْتُ عَلَيْكِ فَلَا تَعْجَلِي بِالْخُرُوجِ حَتَّى تَجِدِي مِنْ ثِقَاتِ قَوْمِكِ مَنْ يُبَلِّغُكِ إِلَى بِلَادِكِ ” فَأَقَامَتْ حَتَّى قَدِمَ رَكْبٌ مِنْ قُضَاعَةَ تَأْمَنُهُمْ فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَكَسَاهَا وَزَوَّدَهَا وَحَمَلَهَا حَتَّى قَدِمَتِ الشَّامَ عَلَى أَخِيهَا عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ فَاسْتَشَارَهَا فِي أَمْرِهِ فَأَشَارَتْ عَلَيْهِ بِالْقُدُومِ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَقَدِمَ عَلَيْهِ بِالْمَدِينَةِ وَدَخَلَ الْمَسْجِدَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” مَنْ أَنْتَ فَقَالَ عَدِيُّ بْنُ حَاتِمٍ فَقَامَ وَانْطَلَقَ بِهِ إِلَى بَيْتِهِ وَأَجْلَسَهُ عَلَى وِسَادَةٍ وَجَلَسَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَلَى الْأَرْضِ قَالَ عَدِيٌّ فَعَلِمْتُ حِينَ فَعَلَ هَذَا أَنَّهُ نَبِيٌّ وَلَيْسَ بِمَلِكٍ ثُمَّ قَالَ لَعَلَّكَ يَا عَدِيُّ بْنَ حَاتِمٍ إِنَمَا مَنَعَكَ مِنَ الدُّخُولِ فِي هَذَا الدِّينِ مَا تَرَى مِنْ حَاجَتِهِمْ فَوَاللَّهِ لَيُوشَكَنَّ الْمَالُ يَفِيضُ فِيهِمْ حَتَّى لَا يُوجَدَ مَنْ يَأْخُذُهُ وَلَعَلَّهُ إِنَّمَا مَنَعَكَ مِنْ ذَلِكَ مَا تَرَى مِنْ قِلَّةِ عَدَدِهِمْ وَكَثْرَةِ عَدُوِّهُمْ فَوَاللَّهِ لَيُوشَكَنَّ أَنْ تَسْمَعَ بِالْمَرْأَةِ تَخْرُجُ مِنَ الْقَادِسِيَّةِ عَلَى بَعِيرِهَا حَتَى تَزُورَ الْبَيْتَ لَا تَخَافُ إِلَّا اللَّهَ وَلَعَلَّهُ إِنَّمَا مَنَعَكَ مِنَ الدُّخُولِ أَنَّكَ تَرَى الْمُلْكَ وَالسُّلْطَانَ فِي غَيْرِهِمْ وَايْمُ اللَّهِ لَيُوشِكَنَّ أَنْ تَسْمَعَ بِالْقُصُورِ الْبِيضِ مِنْ أَرْضِ بَابِلَ قَدْ فتحت ” فَأَسْلَمَ عَدِيُّ بْنُ حَاتِمٍ فَكَانَ يَقُولُ مَضَتِ اثْنَتَانِ وَبَقِيَتِ الثَّالِثَةُ وَاللَّهِ لَتَكُونَنَّ قَدْ رَأَيْتُ الْقُصُورَ الْبِيضَ مِنْ أَرْضِ بَابِلَ قَدْ فُتِحَتْ وَرَأَيْتُ الْمَرْأَةَ تَخْرُجُ مِنَ الْقَادِسِيَّةِ عَلَى بَعِيرِهَا لَا تَخَافُ شَيْئًا حَتَّى تَحُجَّ هَذَا الْبَيْتَ وايم الله لتكونن الثالثة ليفيض المال حتى لا يوجد من يأخذه

Pada bulan Rabi‘ul Akhir tahun ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Ali bin Abi Thalib memimpin sebuah ekspedisi ke (kabilah) Tha’i. Ia membawa panji hitam dan bendera putih. Rasulullah memerintahkannya untuk merobohkan al-Fuls, berhala milik mereka, dan menyerang mereka secara tiba-tiba. Maka Ali pun menyerang mereka saat fajar, menawan unta-unta milik Hatim, dan menawan putri Hatim, saudari ‘Adi bin Hatim. Sementara ‘Adi bin Hatim melarikan diri ke Syam, dan Ali menggiring hewan-hewan ternak serta merobohkan al-Fuls. Di dalam rumah berhala itu terdapat dua patung yang terkenal, salah satunya bernama Rasub dan yang lain al-Mikhdam. Keduanya pernah dinazarkan oleh al-Harits bin Abi Syamr. Ali membawa harta rampasan itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau membagi hewan ternak tersebut setelah mengeluarkan seperlimanya, dan memisahkan keluarga Hatim hingga mereka dibawa ke Madinah. Mereka ditempatkan di sebuah kandang di depan pintu masjid. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati mereka, saudari ‘Adi bin Hatim berdiri menemui beliau. Ia adalah seorang wanita yang cerdas. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, ayahku telah tiada dan pelindungku telah pergi, maka berbuat baiklah kepadaku sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Siapa engkau?” Ia menjawab, “Aku putri lelaki dermawan, Hatim.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kasihanilah orang mulia yang telah terhina, kasihanilah orang kaya yang jatuh miskin, kasihanilah orang alim yang tersesat di tengah orang-orang bodoh.” Kemudian beliau berkata kepadanya, “Aku telah memberimu kebebasan, tetapi janganlah tergesa-gesa keluar hingga engkau menemukan orang-orang terpercaya dari kaummu yang dapat mengantarmu ke negerimu.” Ia pun tinggal hingga datang rombongan dari Qudha‘ah yang ia percayai, lalu ia menyampaikan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau memberinya pakaian, bekal, dan kendaraan hingga ia tiba di Syam menemui saudaranya, ‘Adi bin Hatim. Ia pun meminta pendapatnya tentang urusannya, dan ia menyarankan agar datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka ‘Adi pun datang ke Madinah, masuk ke masjid, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Siapa engkau?” Ia menjawab, “‘Adi bin Hatim.” Rasulullah pun berdiri, membawanya ke rumah, mendudukkannya di atas bantal, sementara beliau duduk di tanah. ‘Adi berkata, “Saat beliau melakukan itu, aku tahu bahwa beliau adalah seorang nabi, bukan raja.” Kemudian beliau bersabda, “Barangkali, wahai ‘Adi bin Hatim, yang menghalangimu masuk ke dalam agama ini adalah karena engkau melihat kebutuhan mereka. Demi Allah, akan tiba saatnya harta melimpah di tengah mereka hingga tidak ada yang mau menerimanya. Barangkali pula yang menghalangimu adalah karena engkau melihat jumlah mereka sedikit dan musuh mereka banyak. Demi Allah, akan tiba saatnya engkau mendengar seorang wanita keluar dari Qadisiyah di atas untanya hingga ia mengunjungi Baitullah tanpa rasa takut kecuali kepada Allah. Barangkali pula yang menghalangimu masuk adalah karena engkau melihat kekuasaan dan pemerintahan tidak berada di tangan mereka. Demi Allah, akan tiba saatnya engkau mendengar istana-istana putih di tanah Babilonia telah dibuka.” Maka ‘Adi bin Hatim pun masuk Islam. Ia biasa berkata, “Dua hal telah terjadi dan satu hal masih tersisa. Demi Allah, pasti akan terjadi. Aku telah melihat istana-istana putih di tanah Babilonia telah dibuka, aku telah melihat seorang wanita keluar dari Qadisiyah di atas untanya tanpa rasa takut sedikit pun hingga ia menunaikan haji ke Baitullah. Demi Allah, yang ketiga pun pasti akan terjadi, yaitu harta akan melimpah hingga tidak ada yang mau menerimanya.”

فصل غزوة تبوك

Bab Perang Tabuk

ثُمَّ غَزْوَةُ تَبُوكَ إِلَى الرُّومِ فِي رَجَبٍ

Kemudian Perang Tabuk melawan Romawi terjadi pada bulan Rajab.

وَسَبَبُهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بَلَغَهُ أَنَّ الرُّومَ قَدِ اجْتَمَعَتْ مَعَ هِرَقْلَ وَانْضَمَّ إِلَيْهَا مِنَ الْعَرَبِ لَخْمٌ وَجُذَامٌ وَعَامِلَةُ وَغَسَّانُ وَعَزَمُوا عَلَى الْمَسِيرَةِ وَقَدَّمُوا مُقَدَّمَاتِهِمْ إِلَى الْبَلْقَاءِ فَنَدَبَ النَّاسَ إِلَى الْخُرُوجِ وَأَعْلَمَهُمْ أَنَّهُ يَتَوَجَّهُ لِحَرْبِ الرُّومِ وَكَانَ عَادَتُهُ أَنْ يُوَرِّيَ إِذَا أَرَادَ الْخُرُوجَ إِلَى وَجْهٍ إِلَّا فِي هَذِهِ الْغَزْوَةِ فَإِنَّهُ صَرَّحَ بِحَالِهِ لِبُعْدِ الْمَسَافَةِ وَالْحَاجَةِ إِلَى كَثْرَةِ الْعَدَدِ وَبَعَثَ إِلَى أَهْلِ مَكَّةَ وَإِلَى قَبَائِلِ الْعَرَبِ يَسْتَنْفِرُهُمْ وَحَثَّ عَلَى الصَّدَقَاتِ فَحُمِلَتْ إِلَيْهِ وَأَنْفَقَ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ فِيهَا مَالًا عَظِيمًا وَكَانَ النَّاسُ فِي عِزَّةٍ مِنَ الْمَالِ وَشِدَّةٍ مِنَ الْحَرِّ وَجَدْبٍ مِنَ الْبِلَادِ وَكَانَ وَقْتُ الثِّمَارِ وَالْمَيْلُ إِلَى الظِّلَالِ فَشَقَّ عَلَى النَّاسِ الْخُرُوجُ عَلَى مِثْلِ هَذِهِ الْحَالِ فِي مِثْلِ هَذِهِ الْجِهَةِ فَعَصَمَ اللَّهُ أَهْلَ طَاعَتِهِ حَتَّى أَجَابُوا

Penyebabnya adalah bahwa Rasulullah saw. mendapat kabar bahwa bangsa Romawi telah berkumpul bersama Heraklius, dan dari kalangan Arab yang bergabung dengan mereka adalah Lakhm, Judzam, ‘Amilah, dan Ghassan. Mereka bertekad untuk bergerak dan telah mengirim pasukan pendahulu mereka ke daerah Balqa’. Maka Rasulullah mengajak orang-orang untuk keluar (berjihad) dan memberitahukan kepada mereka bahwa beliau akan menuju perang melawan Romawi. Biasanya, apabila beliau hendak keluar menuju suatu tujuan, beliau menyamarkan arah tujuannya, kecuali dalam peperangan ini, beliau secara terang-terangan menyampaikan keadaannya karena jauhnya jarak dan kebutuhan akan banyaknya pasukan. Beliau juga mengirim utusan kepada penduduk Makkah dan kabilah-kabilah Arab untuk mengajak mereka bergabung, serta menganjurkan untuk bersedekah, sehingga sedekah pun dikumpulkan untuk beliau. Utsman bin Affan menginfakkan harta yang sangat banyak dalam peperangan ini. Saat itu, orang-orang sedang mengalami kekurangan harta, cuaca sangat panas, negeri dalam keadaan kering, dan musim buah telah tiba sehingga mereka cenderung ingin berteduh. Maka berat bagi mereka untuk keluar dalam kondisi seperti itu dan menuju arah tersebut. Namun Allah menjaga orang-orang yang taat kepada-Nya hingga mereka pun memenuhi seruan itu.

وَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي يَوْمِ الْخَمِيسِ وَكَانَ يُحِبُّ الْخُرُوجَ فِيهِ فَعَسْكَرَ بِثَنِيَّةِ الْوَدَاعِ وَخَرَجَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ ابْنُ سَلُولَ فِي الْمُنَافِقِينَ وَفِي أَحْلَافِهِ مِنَ الْيَهُودِ فَعَسْكَرُوا بِنُفَيْلٍ بِثَنِّيَةِ الْوَدَاعِ وَلَمْ يَكُنْ عَسْكَرُهُ بِأَقَلِّ الْعَسْكَرَيْنِ وَتَأَخَّرَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَصْنَافٌ مِنْهُمُ الْمُنَافِقُونَ وَكَانُوا بِضْعًا وَثَمَانِينَ رَجُلًا وَكَانُوا يُثَبِّطُونَ النَّاسَ وَقَالُوا لا تَنْفِرُوا فِي الْحَرِّ قُلْ نَارُ جَهَنَّمَ أَشَدُّ حَرًّا واستأذنوا في العقود؟ فَأَذِنَ لَهُمْ مِنْهُمُ الْجَدُّ بْنُ قَيْسٍ قَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” لَعَلَّكَ تَحْتَقِبُ بَعْضَ بَنَاتِ الْأَصْفَرِ ” فَقَالَ لَا تَفْتِنِّي بِهِنَّ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ ائْذَنْ لِي وَلا تَفْتِنِّي أَلا فِي الفتنة سقطوا

Rasulullah ﷺ berangkat pada hari Kamis, dan beliau menyukai keluar (berpergian) pada hari itu. Beliau berkemah di Tsaniyyatul Wada‘. Abdullah bin Ubay bin Salul keluar bersama kaum munafik dan sekutu-sekutunya dari kalangan Yahudi, lalu mereka berkemah di Nufail, di Tsaniyyatul Wada‘. Jumlah pasukan mereka tidak lebih sedikit dari dua pasukan yang ada. Sebagian golongan dari kaum munafik tertinggal dari Rasulullah ﷺ, jumlah mereka sekitar delapan puluh lebih orang. Mereka berusaha melemahkan semangat orang-orang dan berkata, “Janganlah kalian berangkat (berjihad) di tengah panas ini.” Katakanlah, “Api neraka Jahannam lebih panas.” Mereka meminta izin untuk tidak ikut serta dengan berbagai alasan, maka Rasulullah ﷺ mengizinkan mereka. Di antara mereka adalah al-Jadd bin Qais. Rasulullah ﷺ berkata kepadanya, “Barangkali engkau ingin meminang sebagian wanita Bani Ashfar?” Ia menjawab, “Janganlah engkau menjerumuskanku ke dalam fitnah mereka.” Maka Allah Ta‘ala menurunkan ayat, “Dan di antara mereka ada yang berkata, ‘Izinkanlah aku (tidak ikut berperang) dan janganlah engkau menjerumuskanku ke dalam fitnah.’ Ketahuilah, mereka telah jatuh ke dalam fitnah itu.”

وصنف منهم المعذورون وَكَانُوا اثْنَيْنِ وَثَمَانِينَ رَجُلًا ذَكَرُوا أَعْذَارًا وَاسْتَأْذَنُوا فِي الْقُعُودِ فَأَذِنَ لَهُمْ وَلَمْ يَعْذُرْهُمْ وصنف منهم البكاؤون وَهُمْ سَبْعَةٌ سَالِمُ بْنُ عُمَيْرٍ وَعُلْبَةُ بْنُ زَيْدٍ وَسَلَمَةُ بْنُ صَخْرٍ وَالْعِرْبَاضُ بْنُ سَارِيَةَ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُغَفَّلِ وَمَعْقِلُ بْنُ يَسَارٍ وَعَمْرُو بْنُ حَمَامٍ آتَوْا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يَسْتَحْمِلُونَهُ فَقَالَ لا أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ تَوَلَّوْا وَأَعْيُنُهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ حَزَنًا أَلا يَجِدُوا مَا يُنْفِقُونَ فَنَزَلَتْ فِيهِ هَذِهِ الْآيَةُ

Dan di antara mereka terdapat golongan orang-orang yang memiliki uzur, mereka berjumlah delapan puluh dua orang laki-laki yang menyampaikan alasan-alasan mereka dan meminta izin untuk tidak ikut serta, maka Rasulullah memberi izin kepada mereka namun tidak membenarkan uzur mereka. Dan ada pula golongan dari mereka yang disebut al-bakkā’ūn, yaitu tujuh orang: Sālim bin ‘Umayr, ‘Ulbah bin Zayd, Salamah bin Shakhr, al-‘Irbādh bin Sāriyah, ‘Abdullāh bin al-Mughaffal, Ma‘qil bin Yasār, dan ‘Amr bin Hammām. Mereka datang kepada Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam meminta agar beliau menyediakan kendaraan untuk mereka, namun beliau bersabda, “Aku tidak menemukan sesuatu yang dapat membawamu.” Maka mereka pun berpaling, sementara mata mereka berlinang air mata karena sedih tidak mendapatkan sesuatu yang dapat mereka infakkan. Maka turunlah ayat ini berkenaan dengan mereka.

وَصِنْفٌ مِنْهُمْ مُتَخَلِّفُونَ بِغَيْرِ شَكٍّ وَلَا ارتياب وهم ثلاثة كَعْبُ بْنُ مَالِكٍ وَمُرَارَةُ بْنُ الرَّبِيعِ وَهِلَالُ بْنُ أُمَيَّةَ تَخَلَّفُوا بِالْمَدِينَةِ إِلَى أَنْ قَدِمَ رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إِلَيْهَا وَاقْتَرَنَ بِهِمُ اثْنَانِ تَأَخَّرَا فِي الطَّرِيقِ ثُمَّ لَحِقَا بِهِ أَبُو ذَرٍّ الْغِفَارِيُّ وَأَبُو خَيْثَمَةَ السَّالِمِيُّ فَأَمَّا أَبُو خَيْثَمَةَ فَإِنَّهُ رَجَعَ إِلَى أَهْلِهِ فَوَجَدَ امْرَأَتَيْنِ لَهُ قَدْ صَنَعَتَا لَهُ طَعَامًا وَرَشَّتْ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا عَرِيشَهَا فَذَكَرَ مَا فِيهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مِنَ الْحَرِّ وَمَا هُوَ فِيهِ مِنَ الْكَنِّ فَحَلَفَ لَا يُقِيمُ حَتَّى يَلْحَقَ بِهِ فَأَدْرَكَهُ وَقَدْ سَارَ إِلَى تَبُوكَ وَهُوَ نَازِلٌ بِهَا فَقَالَ النَّاسُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا رَاكِبٌ عَلَى الطَّرِيقِ فَقَالَ ” كُنْ أَبَا خَيْثَمَةَ ” فَقَالُوا هو والله أبو خيثمة فَلَمَّا أَنَاخَ أَقْبَلَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ وَأَخْبَرَهُ بِخَبَرِهِ فَدَعَا لَهُ وَقَالَ فِيهِ خَيْرًا

Dan sebagian dari mereka benar-benar tertinggal tanpa keraguan sedikit pun, yaitu tiga orang: Ka‘b bin Malik, Murarah bin Rabi‘, dan Hilal bin Umayyah. Mereka tertinggal di Madinah sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali ke sana. Ada pula dua orang yang sempat tertinggal di perjalanan, lalu menyusul beliau, yaitu Abu Dzar al-Ghifari dan Abu Khaitsamah as-Salimi. Adapun Abu Khaitsamah, ia kembali kepada keluarganya dan mendapati dua istrinya telah menyiapkan makanan untuknya, dan masing-masing dari mereka telah membasahi pondoknya. Ia pun teringat keadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang kepanasan, sedangkan ia sendiri berada dalam kenyamanan. Maka ia bersumpah tidak akan tinggal sampai menyusul beliau. Ia pun berhasil menyusul Rasulullah yang saat itu sedang singgah di Tabuk. Orang-orang berkata, “Wahai Rasulullah, ada seseorang yang datang menunggang di jalan.” Beliau bersabda, “Semoga itu Abu Khaitsamah.” Mereka pun berkata, “Demi Allah, dia adalah Abu Khaitsamah.” Ketika ia telah sampai dan menambatkan tunggangannya, ia datang dan memberi salam kepada beliau serta menceritakan keadaannya. Rasulullah pun mendoakannya dan berkata baik tentang dirinya.

وَأَمَّا أَبُو ذَرٍّ فَإِنَّ بَعِيرَهُ بَعْدَ السَّيْرِ أَبْطَأَ بِهِ فَتَأَخَّرَ عَنِ النَّاسِ فَذُكِرَ تَأْخِيرَهُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَقَالَ ” إِنْ يَكُنْ فِيهِ خَيْرٌ فَسَيُلْحِقُهُ اللَّهُ بِكُمْ ” فَلَمَّا لَمْ يَنْهَضْ بِهِ الْبَعِيرُ حَمَلَ متاعه على ظهره وسار تبع الْآثَارِ فَلَمَّا دَنَا مِنَ النَّاسِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا رَجُلٌ يَمْشِي وَحْدَهُ فَقَالَ كُنْ أَبَا ذَرٍّ فَقَالُوا هُوَ وَاللَّهِ أَبُو ذَرٍّ فَقَالَ ” يَرْحُمُ اللَّهُ أَبَا ذَرٍّ يَمْشِي وَحْدَهُ وَيَمُوتُ وَحْدَهُ وَيُبْعَثُ وَحْدَهُ “

Adapun Abu Dzar, unta beliau setelah berjalan menjadi lambat sehingga beliau tertinggal dari rombongan. Keterlambatan beliau pun disebutkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bersabda, “Jika ada kebaikan pada dirinya, niscaya Allah akan menyusulkannya kepada kalian.” Ketika untanya tidak juga mampu berjalan, beliau memikul barang-barangnya di atas punggungnya dan berjalan mengikuti jejak rombongan. Ketika beliau sudah dekat dengan orang-orang, mereka berkata, “Wahai Rasulullah, itu ada seorang laki-laki berjalan sendirian.” Maka beliau bersabda, “Semoga itu Abu Dzar.” Mereka pun berkata, “Demi Allah, itu benar-benar Abu Dzar.” Maka beliau bersabda, “Semoga Allah merahmati Abu Dzar. Ia berjalan sendirian, wafat sendirian, dan akan dibangkitkan sendirian.”

فَلَمَّا نَزَلَ أَبُو ذَرٍّ الرَّبَذَةَ وَحَضَرَتْهُ الْوَفَاةُ وَلَمْ يَكُنْ مَعَهُ إِلَّا امْرَأَتُهُ وَغُلَامُهُ وَصَّاهُمَا أَنْ يُغَسِّلَاهُ وَيُكَفِّنَاهُ وَيَضَعَاهُ عَلَى قَارِعَةِ الطَّرِيقِ فَأَوَّلُ رَكْبٍ يَمُرُّ قُولَا لَهُ هَذَا أَبُو ذَرٍّ صَاحِبُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَأَعِينُونَا عَلَى دَفْنِهِ فَفَعَلَا ذَلِكَ وَوَضَعَاهُ عَلَى قَارِعَةِ الطَّرِيقِ فَأَقْبَلَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ فِي رَهْطٍ مِنْ أَهْلِ الْعِرَاقِ عُمَّارًا فَقَامَ إِلَيْهِمُ الْغُلَامُ فَقَالَ هَذَا أَبُو ذَرٍّ فَأَعِينُونَا عَلَى دَفْنِهِ فَاسْتَهَلَّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ بَاكِيًا وَقَالَ صَدَقَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” تَمْشِي وَحْدَكَ وَتَمُوتُ وَحْدَكَ وَتُبْعَثُ وَحْدَكَ ” فَكَانَ هَذَا وَمَا تَقَدَّمَ مِنْ أَمْرِ أَبِي خَيْثَمَةَ من معجزاته صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ

Ketika Abu Dzar tinggal di Rabdzah dan ajal menjemputnya, tidak ada yang bersamanya selain istrinya dan seorang budaknya. Ia berwasiat kepada keduanya agar memandikannya, mengafani, lalu meletakkannya di pinggir jalan. Ia berkata, “Jika ada rombongan pertama yang lewat, katakan kepada mereka: ‘Ini Abu Dzar, sahabat Rasulullah ﷺ, maka bantulah kami untuk menguburkannya.’” Maka keduanya pun melakukan hal itu dan meletakkannya di pinggir jalan. Kemudian datanglah Abdullah bin Mas‘ud bersama sekelompok orang dari Irak yang sedang menunaikan umrah. Budak itu pun mendatangi mereka dan berkata, “Ini Abu Dzar, maka bantulah kami untuk menguburkannya.” Abdullah bin Mas‘ud pun menangis tersedu-sedu dan berkata, “Benar apa yang dikatakan Rasulullah ﷺ: ‘Engkau berjalan sendirian, wafat sendirian, dan dibangkitkan sendirian.’” Maka kejadian ini dan apa yang telah terjadi sebelumnya pada diri Abu Khaitsamah termasuk di antara mukjizat Rasulullah ﷺ.

وَلَمَّا أَزْمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ الْمَسِيرَ مِنْ مُعَسْكَرِهِ بِثَنِيَّةِ الْوَدَاعِ اسْتَخْلَفَ مُحَمَّدَ بْنَ مَسْلَمَةَ عَلَى الْمَدِينَةِ وَاسْتَخْلَفَ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ عَلَى أَهْلِهِ وَاسْتَخْلَفَ أَبَا بَكْرٍ على الصلاة بالناس في معسكره وصار فِي ثَلَاثِينَ أَلْفًا وَفِيهِمْ عَشَرَةُ آلَافِ فَرَسٍ ورجع عبد اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ ابْنُ سَلُولَ فِيمَنْ مَعَهُ مِنَ الْمُنَافِقِينَ وَالْيَهُودِ وَسَارَ فِي عُسْرَةٍ مِنَ الظَّهْرِ كَانَ الرَّجُلَانِ وَالثَّلَاثَةِ عَلَى بَعِيرٍ وَفِي عُسْرَةٍ مِنَ النَّفَقَةِ وَفِي عُسْرَةٍ مِنَ الْمَاءِ فَظَهَرَ مِنْ مُعْجِزَاتِهِ فِي هَذَا الْمَسِيرِ أَنَّهُ مَرَّ بِالْحِجْرِ فَنَزَلَهَا وَاسْتَقَى النَّاسُ مِنْ مَائِهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” لا تشربوه ولا تتوضأوا مِنْهُ وَمَنْ عَجَنَ بِهِ عَجِينًا فَلَا يَأْكُلْهُ وَيَعْلِفْهُ بَعِيرَهُ وَلَا يَخْرُجْ أَحَدٌ مِنْكُمُ اللَّيْلَةَ إِلَّا مَعَهُ صَاحِبٌ لَهُ ” فَفَعَلُوا مَا أَمَرَهُمْ بِهِ إِلَّا رَجُلَيْنِ خَرَجَ أَحَدُهُمَا وَحْدَهُ لِحَاجَتِهِ وَخَرَجَ الْآخَرُ لِطَلَبِ بِعِيرِهِ فَأَمَّا الْخَارِجُ لِحَاجَتِهِ فخنق على مذهبه وَأَمَّا الْخَارِجُ لِطَلَبِ بَعِيرِهِ فَاحْتَمَلَتْهُ الرِّيحُ حَتَّى طرحته على جبلي طيء فَأَخْبَرَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِذَلِكَ فَقَالَ ” أَلَمْ أَنْهَكُمْ أَنْ يَخْرُجَ رَجُلٌ مِنْكُمْ إِلَّا وَمَعَهُ صَاحِبُهُ ” وَدَعَا لِلَّذِي أُصِيبَ عَلَى مَذْهَبِهِ فَشُفِيَ وَأَمَّا الْوَاقِعُ عَلَى جَبَلٍ طيء فَإِنَّ طَيِّئًا أَهْدَتْهُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ حِينَ قَدِمَ إِلَى الْمَدِينَةِ

Ketika Rasulullah ﷺ bersiap untuk berangkat dari perkemahannya di Tsaniyyatul Wada‘, beliau menunjuk Muhammad bin Maslamah sebagai pengganti di Madinah, Ali bin Abi Thalib sebagai pengganti untuk keluarganya, dan Abu Bakar sebagai imam shalat bagi orang-orang di perkemahannya. Beliau berangkat bersama tiga puluh ribu orang, di antara mereka terdapat sepuluh ribu kuda. Abdullah bin Ubay bin Salul kembali bersama orang-orang munafik dan Yahudi yang bersamanya. Mereka berjalan dalam kesulitan karena kekurangan kendaraan, sehingga dua atau tiga orang bergantian menunggang satu unta, juga dalam kesulitan nafkah dan air. Maka tampaklah sebagian mukjizat beliau dalam perjalanan ini, yaitu ketika beliau melewati Al-Hijr dan singgah di sana, orang-orang mengambil air dari tempat itu. Rasulullah ﷺ bersabda, “Jangan kalian minum atau berwudhu dari air itu. Barang siapa yang telah mengaduk adonan dengan air itu, jangan memakannya, tetapi berikanlah kepada untanya. Jangan ada seorang pun di antara kalian keluar malam ini kecuali bersama temannya.” Maka mereka pun melakukan apa yang diperintahkan, kecuali dua orang: salah satunya keluar sendirian untuk keperluannya, dan yang lain keluar untuk mencari untanya. Adapun yang keluar untuk keperluan pribadinya, ia dicekik oleh sesuatu di jalannya, sedangkan yang keluar mencari untanya, ia dibawa angin hingga dilemparkan ke atas gunung milik kabilah Thayyi’. Ketika hal itu diberitahukan kepada Rasulullah ﷺ, beliau bersabda, “Bukankah aku telah melarang kalian agar tidak ada seorang pun yang keluar kecuali bersama temannya?” Beliau pun mendoakan yang terkena musibah di jalannya hingga sembuh, dan adapun yang terdampar di gunung Thayyi’, maka kabilah Thayyi’ menghadiahkannya kepada Rasulullah ﷺ ketika beliau tiba di Madinah.

فَلَمَّا أَصْبَحَ النَّاسُ وَسَارُوا وَلَا مَاءَ مَعَهُمْ عَطِشُوا فَشَكَوْا ذَلِكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَدَعَا اللَّهَ تَعَالَى فَأَرْسَلَ سَحَابَةً أَمْطَرَتْ فَارْتَوَى النَّاسُ وَاحْتَمَلُوا حَاجَتَهُمْ مِنْهُ وَضَلَّتْ رَاحِلَةُ رَسُولِ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَذَهَبَ أَصْحَابُهُ فِي طَلَبِهَا فَقَالَ بَعْضُ الْمُنَافِقِينَ وَهُوَ زَيْدُ بْنُ اللُّصَيْبِ أَلَيْسَ يَزْعُمُ مُحَمَّدٌ أَنَّهُ نَبِيٌّ يُخْبِرُكُمْ عَنْ خَبَرِ السَّمَاءِ وَهُوَ لَا يَدْرِي أَيْنَ نَاقَتُهُ فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَقَالَ ” وَإِنِّي وَاللَّهِ لَا أَعْلَمُ إِلَّا إِنْ أَعْلَمَنِي اللَّهُ وَقَدْ دَلَّنِي اللَّهُ عَلَيْهَا وَهِيَ فِي الْوَادِي فِي الشِّعْبِ الْفُلَانِيِّ قَدْ حَبَسَتْهَا شَجَرَةٌ بِزَمَامِهَا فَانْطَلِقُوا حَتَى تَأْتُوا بِهَا ” فَانْطَلَقُوا فَوَجَدُوهَا كَذَلِكَ فَأَتَوْهُ بِهَا وَسَارَ حَتَّى نَزَلَ تَبُوكَ فَلَمَّا اسْتَقَرَ بِهَا أَتَاهُ ابْنُ رُؤْبَةَ صاحب أبلة فصالحه على أيله ووأعطاه الْجِزْيَةَ وَأَتَاهُ أَهْلُ جَرْبَاءَ وَأَذْرَحَ فَأَعْطَوْهُ الْجِزْيَةَ وَكَتَبَ لَهُمْ كِتَابًا

Ketika pagi tiba dan orang-orang melanjutkan perjalanan tanpa membawa air, mereka pun merasa kehausan. Lalu mereka mengadukan hal itu kepada Rasulullah ﷺ. Maka beliau berdoa kepada Allah Ta‘ala, lalu Allah mengirimkan awan yang menurunkan hujan, sehingga orang-orang pun dapat minum dan membawa air secukupnya untuk kebutuhan mereka. Unta tunggangan Rasulullah ﷺ pun hilang, sehingga para sahabat pergi mencarinya. Lalu sebagian munafik, yaitu Zaid bin Luṣaib, berkata, “Bukankah Muhammad mengaku sebagai nabi yang memberitakan kepada kalian tentang kabar dari langit, sedangkan dia tidak tahu di mana untanya?” Perkataan itu pun sampai kepada Rasulullah ﷺ, lalu beliau bersabda, “Demi Allah, aku tidak mengetahui kecuali jika Allah memberitahukanku. Dan sungguh Allah telah memberitahuku tentang unta itu, ia berada di lembah, di celah gunung tertentu, telah ditahan oleh sebuah pohon dengan talinya. Maka pergilah kalian hingga membawanya kemari.” Mereka pun pergi dan mendapati unta itu sebagaimana yang beliau katakan, lalu mereka membawanya kepada beliau. Kemudian beliau melanjutkan perjalanan hingga tiba di Tabuk. Setelah menetap di sana, datanglah Ibnu Ru’bah, pemilik Abla, lalu berdamai dengan beliau atas wilayah Ailah dan memberikan jizyah kepadanya. Juga datang penduduk Jarba’ dan Adzrah, lalu mereka pun memberikan jizyah kepada beliau, dan beliau menuliskan surat perjanjian untuk mereka.

وَبَعَثَ خَالِدَ بْنَ الْوَلِيدِ إِلَى أُكَيْدَرَ بِدُومَةِ الْجَنْدَلِ وَهُوَ أُكَيْدِرُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ مِنْ كِنْدَةَ وَهُوَ مَلِكٌ عَلَيْهَا نصراني فصار إِلَيْهِ خَالِدٌ فِي أَرْبَعِمِائَةٍ وَعِشْرِينَ فَارِسًا وَقَالَ لِخَالِدٍ إِنَّكَ سَتَجِدُهُ يَصِيدُ الْبَقَرَ فَلَّمَا دَنَا خَالِدٌ أَقْبَلَتِ الْبَقَرُ تَطِيفُ بِحِصْنِ أُكَيْدَرَ فَلَمَّا رَآهَا فِي لَيْلَةٍ مُقْمِرَةٍ نَزَلَ إِلَيْهَا مَعَ أَخِيهِ حَسَّانَ فِي جَمَاعَةٍ مِنْ أَهْلِهَا لِيَصِيدَهَا فأدركته خيل خالد فقتل حسانا وَأَسَرَ أُكَيْدِرَ وَأَجَارَهُ عَلَى دَمِهِ حَتَّى يَأْتِيَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَلَمَّا أَتَاهُ حَقَنَ دَمَهُ وَكَانَ خَالِدٌ قَدْ أَجَارَهُ مِنَ الْقَتْلِ عَلَى فَتْحِ الْحِصْنِ وَصَالَحَهُ عَلَى عَمَلِهِ بِأَلْفَيْ بَعِيرٍ وَثَمَانِمِائَةِ رَأْسٍ وَأَرْبَعِمِائَةِ دِرْعٍ عَزَلَ مِنْهُ الْخُمُسَ وَالصَّفِيَّ وَقَسَمَ بَاقِيَهُ بَيْنَ الْغَانِمِينَ فَكَانَ السَّهْمُ خَمْسَ فَرَائِضَ وَبَذَلَ الْجِزْيَةَ فَأَقَرَّهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَلَيْهَا وَرَدَّهُ إِلَى مَوْضِعِهِ وَأَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِتَبُوكَ عِشْرِينَ يَوْمًا يَقْصُرُ الصَّلَاةَ وَهِرَقْلُ بِحِمْصَ ثُمَّ انْصَرَفَ عَنْ تَبُوكَ وَلَمْ يَلْقَ كَيْدًا وَقَدِمَ الْمَدِينَةَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ وَلَمَّا نَزَلَ قَبْلَ دُخُولِ الْمَدِينَةِ بِذِي أَوَانٍ وَبَيْنَهُ وَبَيْنَ الْمَدِينَةِ سَاعَةٌ مِنْ نَهَارٍ وَكَانَ أَهْلُ مَسْجِدِ الضِّرَارِ حِينَ مَرَّ بِهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عِنْدَ مَسِيرِهِ إِلَى تَبُوكَ سَأَلُوهُ أَنْ يُصَلِّيَ بِهِمْ فَامْتَنَعَ وَقَالَ ” حَتَّى نَرْجِعَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ ” وَهُمُ اثْنَا عَشَرَ رَجُلًا اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ كَمَا حَكَاهُ اللَّهُ عَنْهُمْ فِي كِتَابِهِ فَأَنْفَذَ مِنْ ذِي أَوَانٍ مَالِكَ بْنَ الدُّخْشُمِ وَعَاصِمَ بْنَ عَدِيٍّ حَتَّى أَضْرَمَا فِي مَسْجِدِ الضِّرَارِ نَارًا وَدَخَلَ الْمَدِينَةَ فَأَتَاهُ المنافقون يحلقون وَيَعْتَذِرُونَ فَصَفَحَ عَنْهُمْ وَإِنْ كَانَ اللَّهُ تَعَالَى لَمْ يَعْذُرْهُمْ وَنَهَى عَنْ كَلَامِ الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ تَخَلَّفُوا وَهُمْ كَعْبُ بْنُ مَالِكٍ وَمُرَارَةُ بْنُ الرَّبِيعِ وَهِلَالُ بْنُ أُمَيَّةَ فَامْتَنَعَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ كَلَامِهِمْ حَتَّى إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِ أَنْفُسُهُمْ وَظَنُّوا أَنْ لَا مَلْجَأَ مِنَ اللَّهِ إِلَّا إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ بَعْدَ أَنِ اعْتَزَلَهُمُ النَّاسُ وَاعْتَزَلُوا النَّاسَ وَقَبِلَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مَعَ مَا كَانُوا عَلَيْهِ مِنْ صِحَّةِ الْإِيمَانِ وَنَفْيِ الِارْتِيَابِ

Nabi Muhammad mengutus Khalid bin al-Walid kepada Ukaydir di Dumatul Jandal, yaitu Ukaydir bin Abdul Malik dari Kinda, seorang raja Nasrani di sana. Khalid berangkat kepadanya dengan empat ratus dua puluh pasukan berkuda. Nabi berkata kepada Khalid, “Engkau akan menemukannya sedang berburu sapi.” Ketika Khalid mendekat, sapi-sapi itu mengelilingi benteng Ukaydir. Pada malam yang terang bulan, Ukaydir melihat sapi-sapi itu lalu turun bersama saudaranya, Hassan, dan sekelompok keluarganya untuk memburu sapi-sapi itu. Pasukan berkuda Khalid berhasil menangkap mereka, membunuh Hassan, dan menawan Ukaydir. Khalid memberikan jaminan keselamatan atas darahnya hingga ia dibawa menghadap Rasulullah ﷺ. Ketika Ukaydir dibawa kepada Nabi, beliau menyelamatkan nyawanya. Khalid telah memberinya perlindungan dari pembunuhan dengan syarat membuka benteng, lalu berdamai dengan Ukaydir atas pembayaran dua ribu unta, delapan ratus ekor ternak, dan empat ratus baju besi. Dari harta rampasan itu, Nabi mengambil seperlima (khumus) dan bagian khusus (shafiy), lalu membagikan sisanya kepada para prajurit yang ikut serta, sehingga setiap bagian terdiri dari lima ekor ternak. Ukaydir juga membayar jizyah, maka Rasulullah ﷺ menetapkannya tetap di wilayahnya dan mengembalikannya ke tempat semula. Rasulullah ﷺ tinggal di Tabuk selama dua puluh hari dengan mengqashar shalat, sementara Heraklius berada di Homs. Setelah itu, beliau kembali dari Tabuk tanpa menghadapi perlawanan, lalu tiba di Madinah pada bulan Ramadan. Ketika beliau singgah di Dzi Awan, yang jaraknya satu jam perjalanan dari Madinah, para penduduk Masjid Dhirar—ketika Rasulullah ﷺ melewati mereka dalam perjalanan ke Tabuk—meminta beliau untuk shalat di masjid mereka, namun beliau menolak dan berkata, “Nanti setelah kami kembali, insya Allah.” Mereka adalah dua belas orang yang membangun masjid itu untuk menimbulkan mudarat, kekafiran, memecah belah kaum mukminin, dan sebagai markas bagi orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana Allah sebutkan dalam Kitab-Nya. Dari Dzi Awan, Nabi mengutus Malik bin Dukhsyum dan ‘Ashim bin ‘Adi untuk membakar Masjid Dhirar. Setelah itu, beliau masuk ke Madinah. Para munafik datang kepada beliau dengan mencukur rambut dan meminta maaf, namun beliau memaafkan mereka, meskipun Allah Ta’ala tidak menerima alasan mereka. Allah juga melarang berbicara dengan tiga orang yang tidak ikut serta, yaitu Ka‘b bin Malik, Murarah bin Rabi‘, dan Hilal bin Umayyah. Maka kaum Muslimin pun tidak berbicara dengan mereka, hingga bumi terasa sempit bagi mereka padahal luas, dan jiwa mereka pun terasa sempit, serta mereka menyangka tidak ada tempat lari dari Allah kecuali kepada-Nya. Kemudian Allah menerima taubat mereka setelah mereka dijauhi oleh manusia dan mereka pun menjauhi manusia. Rasulullah ﷺ menerima mereka kembali, padahal mereka tetap dalam keimanan yang benar dan tanpa keraguan.

وَكَانَتْ هَذِهِ غَزَوَاتَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَأَخَذَ الْمُسْلِمُونَ فِي قُدُومِهِمْ مِنْهَا فِي بَيْعِ أَسْلِحَتِهِمْ وَقَالُوا قَدْ آنَ قَطْعُ الْجِهَادِ فَنَهَاهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَقَالَ ” لَا تَزَالُ عِصَابَةٌ مِنْ أُمَّتِي يُجَاهِدُونَ على الحق حتى يخرج الدجال “

Inilah peperangan-peperangan Nabi ﷺ, dan ketika kaum Muslimin pulang dari peperangan tersebut, mereka mulai menjual senjata-senjata mereka dan berkata, “Telah tiba saatnya menghentikan jihad.” Maka Rasulullah ﷺ melarang mereka dan bersabda, “Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku yang berjihad di atas kebenaran hingga munculnya Dajjal.”

بسم الله الرحمن الرحيم

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.

فَصْلٌ ثُمَّ اسْتَعْمَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَبَا بَكْرٍ عَلَى الْحَجِّ بِالنَّاسِ فَخَرَجَ مِنَ الْمَدِينَةِ فِي ثَلَاثِمِائَةِ رَجُلٍ وَبَعَثَ مَعَهُ عِشْرِينَ بَدَنَةً قَلَّدَهَا وَأَشْعَرَهَا بِيَدِهِ وَعَلَيْهَا نَاجِيَةُ بْنُ جُنْدُبٍ الْأَسْلَمِيُّ وَسَاقَ أَبُو بَكْرٍ خَمْسَ بَدَنَاتٍ وَحَجَّ فِيهَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ وَسَاقَ هَدْيًا وَبَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَلِيًّا عَلَى أَثَرِهِ لِيَقْرَأَ عَلَى النَّاسِ سُورَةَ بَرَاءَةٌ فَأَدْرَكَهُ بِالْعَرَجِ وَأَخَذَهَا مِنْهُ فَقَالَ لَهُ أَبُو بَكْرٍ اسْتَعْمَلَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَلَى الْحَجِّ؟ قَالَ لَا وَلَكِنْ بَعَثَنِي لِأَقْرَأَ سُورَةَ بَرَاءَةٌ عَلَى النَّاسِ وَأَنْبِذَ إِلَى كُلِّ ذِي عَهْدٍ عَهْدَهُ فَحَجَّ أَبُو بَكْرٍ بِالنَّاسِ وَقَرَأَ عَلِيٌّ عَلَيْهِ السَّلَامُ بَرَاءَةٌ إِلَى أَرْبَعِينَ آيَةً مِنْهَا فِي يَوْمِ النَّحْرِ عِنْدَ الْعَقَبَةِ وَقَالَ لَا يَحُجَنَّ بَعْدَ هَذَا الْعَامِ مُشْرِكٌ وَلَا يَطُوفَنَّ بِالْبَيْتِ عُرْيَانٌ وَمَنْ كَانَ بَيْنَهُ وَبَيَّنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَهْدٌ فَلَهُ عَهْدُهُ إِلَى مُدَّتِهِ وَإِنَّ اللَّهَ لَا يُدْخِلُ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ كَانَ مُسْلِمًا

Kemudian Rasulullah saw. mengangkat Abu Bakar sebagai amir haji bagi umat, lalu beliau berangkat dari Madinah bersama tiga ratus orang laki-laki. Rasulullah mengirimkan bersamanya dua puluh unta hadyu, beliau sendiri yang memasang kalung dan menandainya, dan di antara unta-unta itu ada milik Najiyah bin Jundub al-Aslami. Abu Bakar juga menggiring lima ekor unta hadyu, dan di antara rombongan itu terdapat Abdurrahman bin Auf yang juga membawa hadyu. Kemudian Rasulullah saw. mengutus Ali menyusul Abu Bakar untuk membacakan kepada manusia Surah Bara’ah. Ali menyusulnya di al-‘Arj dan mengambil tugas itu darinya. Abu Bakar pun bertanya kepadanya, “Apakah Rasulullah saw. mengangkatmu sebagai amir haji?” Ali menjawab, “Tidak, tetapi beliau mengutusku untuk membacakan Surah Bara’ah kepada manusia dan untuk mengumumkan kepada setiap orang yang memiliki perjanjian bahwa perjanjiannya telah dibatalkan.” Maka Abu Bakar memimpin haji bersama umat, dan Ali—semoga Allah meridhainya—membacakan Surah Bara’ah sebanyak empat puluh ayat pada hari Nahr di dekat Jamrah ‘Aqabah. Ia juga mengumumkan, “Setelah tahun ini, tidak boleh lagi ada musyrik yang berhaji dan tidak boleh ada yang bertawaf di Baitullah dalam keadaan telanjang. Siapa yang memiliki perjanjian dengan Rasulullah saw., maka perjanjiannya berlaku sampai batas waktunya. Dan sesungguhnya Allah tidak akan memasukkan ke dalam surga kecuali orang yang beragama Islam.”

وَفِي هَذِهِ السَّنَةِ نَعَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ النَّجَاشِيَّ إِلَى الْمُسْلِمِينَ وَصَلَّى عَلَيْهِ بِالْمَدِينَةِ فِي رَجَبٍ وَكَبَّرَ أَرْبَعًا

Pada tahun ini, Rasulullah saw. mengumumkan wafatnya Najasyi kepada kaum Muslimin dan menyalatkan jenazahnya di Madinah pada bulan Rajab, serta bertakbir sebanyak empat kali.

وَفِي ذِي الْقَعْدَةِ مِنْهَا مَاتَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ ابْنُ سَلُولَ بَعْدَ أَنْ مَرِضَ عِشْرِينَ يَوْمًا فَكَانَ لَهُ فِي هَذِهِ السَّنَةِ غَزْوَةٌ وَسَرِيَّتَانِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ وأحكم

Pada bulan Dzulqa’dah tahun itu, Abdullah bin Ubay bin Salul wafat setelah menderita sakit selama dua puluh hari. Maka pada tahun ini terjadi satu peperangan dan dua ekspedisi militer, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Menetapkan.

فصل ذِكْرُ حَوَادِثِ سَنَةَ عَشْرٍ سَرِيَّةُ خَالِدِ بْنِ الوليد إلى بني عبد المدان

Bagian: Penyebutan Peristiwa-peristiwa Tahun Kesepuluh: Ekspedisi Khalid bin al-Walid ke Bani ‘Abd al-Madān

ثم دخلت سنة عشر

Kemudian masuk tahun kesepuluh.

فيها بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ إِلَى بَنِي عَبْدِ الْمَدَانِ بِنَجْرَانَ فَأَسْلَمُوا وَأَقْبَلَتْ وُفُودُهُمْ مَعَ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَبَايَعُوهُ وَعَادُوا فَوَلَّى عَلَيْهِمْ عَمْرَو بْنَ حَزْمٍ لِيُفَقِّهَهُمْ فِي الدِّينِ وَكَتَبَ لَهُمْ كِتَابًا لِيَحْمِلَهُمْ على ما من فِيهِ الْأَحْكَامَ وَنُصُبَ الزَّكَوَاتِ وَمَقَادِيرَ الدِّيَاتِ وَكَانَ ذَلِكَ فِي شَهْرِ رَبِيعٍ الْآخِرِ وَقِيلَ فِي جُمَادَى الْأُولَى

Pada tahun itu, Rasulullah saw. mengutus Khalid bin al-Walid kepada Bani ‘Abd al-Madān di Najran, lalu mereka masuk Islam. Delegasi mereka datang bersama Khalid bin al-Walid kepada Rasulullah saw., kemudian mereka berbaiat kepadanya dan kembali pulang. Rasulullah saw. mengangkat ‘Amr bin Hazm sebagai pemimpin mereka untuk mengajarkan fiqh agama kepada mereka, dan beliau menuliskan sebuah surat untuk mereka agar mereka berpegang pada apa yang terdapat di dalamnya berupa hukum-hukum, ketentuan zakat, dan kadar diyat. Peristiwa itu terjadi pada bulan Rabi‘ul Akhir, dan ada yang mengatakan pada bulan Jumada al-Ula.

سَرِيَّةُ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ إِلَى الْيَمَنِ

Ekspedisi Ali bin Abi Thalib ke Yaman

ثُمَّ بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَلِيًّا إِلَى الْيَمَنِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ فَسَارَ إِلَيْهَا فِي ثَلَاثِمِائَةِ فَارِسٍ فَكَانَتْ أَوَّلَ خَيْلٍ دَخَلَتْ تِلْكَ الْبِلَادَ فَنَاوَشُوهُ مِنْ أَوَائِلِهِمْ قَوْمٌ فَقَتَلَ مِنْهُمْ وَسَبَى وَغَنِمَ ثُمَّ تَسَارَعُوا إِلَى الْإِسْلَامِ طَوْعًا وَأَدَّوْا صَدَقَاتِ أَمْوَالِهِمْ وَأَسْلَمَتْ هَمَذَانُ كُلُّهَا فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ فَلَمَّا بَلَّغَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إِسْلَامُهُمْ خَرَّ سَاجِدًا وَقَالَ ” السَّلَامُ عَلَى هَمَذَانَ ” وَتَتَابَعَ أَهْلُ الْيَمَنِ فِي الْإِسْلَامِ

Kemudian Rasulullah saw. mengutus Ali ke Yaman pada bulan Ramadan. Maka ia berangkat ke sana bersama tiga ratus pasukan berkuda. Itu adalah pasukan berkuda pertama yang memasuki negeri tersebut. Sebagian dari penduduk awal negeri itu memeranginya, lalu ia membunuh sebagian dari mereka, menawan, dan memperoleh harta rampasan. Setelah itu, mereka bersegera masuk Islam dengan sukarela dan menunaikan zakat dari harta mereka. Seluruh penduduk Hamadan masuk Islam dalam satu hari. Ketika berita keislaman mereka sampai kepada Rasulullah saw., beliau sujud syukur dan berkata, “Salam sejahtera atas Hamadan.” Kemudian penduduk Yaman pun berbondong-bondong masuk Islam.

قُدُومُ الْوُفُودِ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَوَفْدُ زُبَيْدٍ

Kedatangan para delegasi kepada Rasulullah ﷺ dan delegasi Zubaid.

وَفِي هَذِهِ السَّنَةِ قَدِمَتْ وُفُودُ قَبَائِلِ الْعَرَبِ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يُبَايِعُونَهُ عَلَى الْإِسْلَامِ وَفِيهِمْ وَفْدُ زُبَيْدٍ وعَلَيْهِمْ عَمْرُو بْنُ مَعْد يكَرِبَ الزُّبَيْدِيُّ فَأَسْلَمَ ثُمَّ ارْتَدَّ فِيمَنِ ارْتَدَّ

Pada tahun ini, delegasi-delegasi dari kabilah-kabilah Arab datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berbaiat kepadanya atas Islam. Di antara mereka terdapat delegasi dari Zubaid yang dipimpin oleh ‘Amr bin Ma‘dikarib az-Zubaidi. Ia masuk Islam, kemudian murtad bersama orang-orang yang murtad.

وَفْدُ بَنِي حَنِيفَةَ

Delegasi Bani Hanifah

وَفِيهَا قَدِمَ وَفْدُ بَنِي حَنِيفَةَ وَفِيهِمْ مُسَيْلِمَةُ بْنُ حَبِيبٍ الْكَذَّابُ فَلَمَّا قَدِمُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَأَجَابُوا إِلَى الْإِسْلَامِ أَعْطَاهُمْ وَاخْتُلِفَ فِي مُسَيْلِمَةَ هَلْ أَعْطَاهُ أَوْ مَنَعَهُ؟ ثُمَّ رَجَعَ مَعَ قَوْمِهِ إِلَى الْيَمَامَةِ فَادَّعَى النُّبُوَّةَ وَأَنَّهُ شَرِيكُ رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِيهَا وَوَضَعَ عَنْهُمُ الصَّلَاةَ وَأَحَلَّ الْخَمْرَ وَالزِّنَا

Pada tahun itu, datanglah delegasi Bani Hanifah, di antara mereka terdapat Musailamah bin Habib al-Kadzdzab. Ketika mereka datang kepada Rasulullah ﷺ dan menerima Islam, beliau memberikan sesuatu kepada mereka. Namun, terdapat perbedaan pendapat mengenai Musailamah, apakah beliau memberinya sesuatu atau menolaknya. Kemudian, Musailamah kembali bersama kaumnya ke Yamamah, lalu ia mengaku sebagai nabi dan mengklaim bahwa ia adalah sekutu Rasulullah ﷺ dalam kenabian. Ia juga menggugurkan kewajiban shalat dari mereka serta menghalalkan khamar dan zina.

وَفْدُ كِنْدَةَ

Delegasi Kindah

وَفِيهَا قَدِمَ وَفْدُ كِنْدَةَ عَلَيْهِمُ الْأَشْعَثُ بْنُ قَيْسٍ فِي ثَمَانِينَ رَاكِبًا مُسْلِمِينَ

Pada tahun itu, datanglah delegasi Kindah yang dipimpin oleh Al-Asy‘ats bin Qais, terdiri dari delapan puluh penunggang, dalam keadaan telah memeluk Islam.

وَفِيهَا قَدِمَ عَدِيُّ بْنُ حَاتِمٍ مُسْلِمًا فِي شعبان وأنفذه عاملا على صدقات طيء وَأَسَدٍ

Pada tahun itu, ‘Adiy bin Hatim datang memeluk Islam pada bulan Sya‘ban, lalu ia diutus sebagai amil untuk mengurus zakat dari kabilah Thayyi’ dan Asad.

وَبَعَثَ مَالِكَ بْنَ نُوَيْرَةَ عَامِلًا عَلَى صَدَقَاتِ بَنِي حَنْظَلَةَ

Dan ia mengutus Malik bin Nuwayrah sebagai amil (petugas) untuk mengurus zakat Bani Hanzhalah.

وَبَعَثَ الزِّبْرِقَانَ بْنَ بَدْرٍ وَقَيْسَ بْنَ عَاصِمٍ عَلَى صَدَقَاتِ بَنِي مَعْنٍ

Dan ia mengutus Zibrikan bin Badr dan Qais bin ‘Ashim untuk mengurus zakat Bani Ma‘n.

وَبَعَثَ الْعَلَاءَ بْنَ الْحَضْرَمِيِّ عَامِلًا عَلَى الْبَحْرَيْنِ

Dan beliau mengutus Al-‘Alā’ bin Al-Hadhramī sebagai amil (pejabat) di Bahrain.

وَبَعَثَ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ إِلَى نَجْرَانَ عَلَى صَدَقَاتِهِمْ وَجِزْيَتِهِمْ وَلَحِقَ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي حَجِّهِ وَأَحَرْمَ كَإِحْرَامِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَكَانَ قَدْ أَمَرَ مَنْ لَا هَدْيَ مَعَهُ أَنْ يَتَحَلَّلَ مِنْ إِحْرَامِهِ بِعُمْرَةٍ وَمَنْ مَعَهُ هَدْيٌ أَنْ يُقِيمَ عَلَى إِحْرَامِهِ بِالْحَجِّ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَدْ سَاقَ هَدْيًا فَقَالَ لِعَلِيٍّ أَمَعَكَ هَدْيٌ؟ قَالَ لَا فَأَشْرَكَهُ فِي هَدْيِهِ وَكَانَ إِحْرَامُهُمَا بحج

Rasulullah saw. mengutus Ali bin Abi Thalib ke Najran untuk mengurus zakat dan jizyah mereka. Kemudian Ali menyusul Rasulullah saw. dalam pelaksanaan haji, dan ia berihram sebagaimana ihram Rasulullah saw. Rasulullah saw. memerintahkan siapa saja yang tidak membawa hewan hadyu agar melepaskan ihramnya dengan umrah, sedangkan yang membawa hadyu agar tetap dalam ihram hajinya. Rasulullah saw. sendiri telah membawa hadyu, lalu beliau bertanya kepada Ali, “Apakah engkau membawa hadyu?” Ali menjawab, “Tidak.” Maka Rasulullah saw. pun memasukkan Ali dalam hadyu beliau, dan ihram keduanya adalah untuk haji.

فصل حَجَّةُ الْوَدَاعِ

Bab Haji Wada’

ثُمَّ حَجَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ حجة الوداع وسيمت بِذَلِكَ لِأَنَّهُ وَدَّعَ فِيهَا النَّاسَ

Kemudian Rasulullah saw. menunaikan haji Wada‘, dan dinamakan demikian karena beliau berpamitan kepada manusia dalam haji tersebut.

وَسُمِّيَتْ حَجَّةُ الْبَلَاغِ لِأَنَّهُ بَلَّغَ أُمَّتَهُ فِيهَا مَا تَضَمَّنَتْهُ خُطْبَتُهُ

Dan haji tersebut dinamakan Haji al-Balāgh karena pada saat itu beliau telah menyampaikan kepada umatnya apa yang terkandung dalam khutbahnya.

وَسُمِّيَتْ حَجَّةُ التَّمَامِ لِأَنَّهُ بَيَّنَ تَمَامَهَا وَأَرَاهُمْ مَنَاسِكَهَا

Dan ia disebut Haji al-Tamām karena beliau telah menjelaskan kesempurnaannya dan memperlihatkan kepada mereka manasik-manasiknya.

وَسُمِّيَتْ حَجَّةُ الْإِسْلَامِ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لَمْ يَحُجَّ بَعْدَ فَرْضِ الْحَجِّ غَيْرَهَا

Dan ia dinamakan Haji Islam karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melaksanakan haji setelah diwajibkannya haji selain haji tersebut.

وَقِيلَ لَمْ يَحُجَّ بَعْدَ النُّبُوَّةِ غَيْرَهَا

Dan dikatakan bahwa setelah kenabian, beliau tidak menunaikan haji selain haji tersebut.

وَحَكَى مُجَاهِدٌ أَنَّهُ حَجَّ قَبْلَ الْهِجْرَةِ حَجَّتَيْنِ وَرَوَاهُ جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ فَصَارَتْ حِجَجُهُ ثَلَاثًا فِي رِوَايَتِهِمَا فَخَرَجَ لَهَا مِنَ الْمَدِينَةِ فِي يَوْمِ السَّبْتِ لِخَمْسِ لَيَالٍ بَقِينَ مِنْ ذِي الْقَعْدَةِ فَصَلَّى فِيهِ بِذِي الْحُلَيْفَةِ الظُّهْرَ مَقْصُورَةً رَكْعَتَيْنِ وَأَحْرَمَ مِنْهَا وَخَرَجَ بِجَمِيعِ نِسَائِهِ فِي الْهَوَادِجِ فَاخْتُلِفَ فِي إِحْرَامِهِ

Mujahid meriwayatkan bahwa Nabi telah menunaikan haji sebelum hijrah sebanyak dua kali, dan hal ini juga diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah, sehingga jumlah hajinya menjadi tiga kali menurut riwayat mereka berdua. Nabi berangkat dari Madinah pada hari Sabtu, lima hari tersisa dari bulan Dzulqa’dah. Beliau melaksanakan salat Zuhur di Dzul Hulaifah dengan qashar dua rakaat, lalu berihram dari sana, dan keluar bersama seluruh istrinya yang berada di atas tandu. Terdapat perbedaan pendapat mengenai ihram beliau.

فَرَوَى خَمْسَةٌ مِنْ أَصْحَابِهِ أَنَّهُ أَفْرَدَ الْحَجَّ

Lima orang dari para sahabatnya meriwayatkan bahwa beliau melakukan haji secara ifrād.

وَرَوَى عَنْهُ أَرْبَعَةٌ أَنَّهُ قَرَنَ

Dan empat orang meriwayatkan darinya bahwa ia melakukan qirān.

وَرَوَى عَنْهُ ثَلَاثَةٌ أَنَّهُ تَمَتَّعَ وَسَاقَ مِائَةَ بَدَنَةٍ هَدْيًا مُقَلَّدًا مُشْعَرًا وَدَخَلَ مَكَّةَ فِي يَوْمِ الِاثْنَيْنِ الرَّابِعِ مِنْ ذِي الْحَجَّةِ مِنْ أَعْلَى كَدَاءٍ وَقِيلَ بَلْ دَخَلَهَا فِي يَوْمِ الثُّلَاثَاءِ نَهَارًا وَدَخَلَ الْمَسْجِدَ مِنْ بَابِ بني شيبة وطاف بالبيت سبعا مبتدءا مِنَ الْحَجَرِ الْأَسْوَدِ وَرَمَلَ فِي ثَلَاثَةِ أَشْوَاطٍ مِنْهَا وَاضْطَبَعَ بِرِدَائِهِ فِي جَمِيعِهَا وَصَلَّى خَلْفَ الْمَقَامِ رَكْعَتَيْنِ وَسَعَى بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ سَبْعًا وَكَانَ قَدِ اضْطَرَبَ بِالْأَبْطُحِ فَرَجَعَ إِلَى مَنْزِلِهِ فَلَمَّا كَانَ قَبْلَ يَوْمَ التَّرْوِيَةِ بِيَوْمٍ خَطَبَ بِمَكَّةَ بَعْدَ الظُّهْرِ وَبَاتَ بِهَا وَخَرَجَ فِي يَوْمِ التَّرْوِيَةِ إِلَى مِنًى وَبَاتَ بِهَا وَغَدَا مِنَ الْغَدِ إِلَى عَرَفَاتٍ وَصَلَّى فِي مَسْجِدِ إِبْرَاهِيمَ وَوَقَفَ بِالْهِضَابِ مِنْ عَرَفَاتٍ وَقَالَ ” كُلُّ عَرَفَةَ مَوْقِفٌ إِلَّا بَطْنَ عُرَنَةَ ” فَوَقَفَ بِهَا عَلَى رَاحِلَتِهِ فَلَمَّا غَرَبَتِ الشَّمْسُ دَفَعَ مِنْهَا إِلَى مُزْدَلِفَةَ يَسِيرُ الْعَنَقَ فَإِذَا وَجَدَ فَجْوَةً نَصَّ وَجَمَعَ بِمُزْدَلِفَةَ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَعِشَاءِ الْآخِرَةِ فِي وَقْتِ عِشَاءِ الْآخِرَةِ بِأَذَانٍ وَإِقَامَتَيْنِ وَبَاتَ بِهَا وَأَخَذَ مِنْهَا حَصَى جِمَارِهِ وسار منها إلى منى ليصل صَلَاةَ الْفَجْرِ وَقَدَّمَ الذُّرِّيَّةَ وَالنِّسَاءَ قَبْلَ الْفَجْرِ وَوَقَفَ عَلَى قُزَحَ رَاكِبًا وَأَوْضَعَ السَّيْرَ فِي وَادِي مُحَسِّرٍ وَدَخَلَ مِنًى فَرَمَى جَمْرَةَ الْعَقَبَةِ قَبْلَ الزَّوَالِ وَنَحَرَ وَحَلَقَ وَأَخَذَ مِنْ شَارِبِهِ وَعَارِضَيْهِ وَقَلَّمَ أَظْفَارَهُ وَاقْتَسَمَ شَعْرَهُ أَصْحَابُهُ وَأَمَرَ بِدَفْنِ مَا بَقِيَ مِنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ وَتَطَيَّبَ وَلَبِسَ قَمِيصًا وَأَمَرَ مُنَادِيَهُ فَنَادَى بِمِنًى ” إِنَّهَا أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَبِعَالٍ فَلَا تَصُومُوا ” وَقَالَ لِلنَّاسِ ” خُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ وَنَحَرَ بِيَدِهِ مِنْ هَدْيِهِ نَيِّفًا وَسِتِّينَ بَدَنَةً وَدَفَعَ الْحَرْبَةَ إِلَى عَلِيٍّ فَنَحَرَ بَاقِيَهَا وَقَالَ ” ائْتُونِي مِنْ كُلِّ بَدَنَةٍ بِبَضْعَةٍ ” فَطُبِخَتْ فَأَكَلَ مِنْهَا وَأَكَلَ مَعَهُ عَلِيٌّ وَجَعْفَرٌ

Tiga orang meriwayatkan darinya bahwa beliau melakukan tamattu‘ dan menggiring seratus unta sebagai hadyu yang diberi tanda dan dicukur, lalu beliau memasuki Makkah pada hari Senin tanggal 4 Dzulhijjah dari arah atas Kada’. Ada juga yang mengatakan bahwa beliau memasukinya pada hari Selasa siang, dan beliau masuk ke masjid melalui pintu Bani Syaibah, lalu thawaf di Ka‘bah sebanyak tujuh putaran, dimulai dari Hajar Aswad, dan berjalan cepat (ramal) pada tiga putaran di antaranya, serta meletakkan kain selendangnya di bawah ketiak kanan dan di atas bahu kiri (idlthiba‘) pada seluruh putaran itu. Kemudian beliau shalat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim, lalu sa‘i antara Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali. Beliau pernah singgah di Al-Abthah, lalu kembali ke rumahnya. Ketika sehari sebelum hari Tarwiyah, beliau berkhutbah di Makkah setelah Zuhur dan bermalam di sana, lalu pada hari Tarwiyah beliau berangkat ke Mina dan bermalam di sana, kemudian keesokan harinya menuju Arafat dan shalat di Masjid Ibrahim, lalu wuquf di lereng-lereng Arafat dan berkata, “Seluruh Arafah adalah tempat wuquf kecuali lembah ‘Uranah.” Maka beliau wuquf di sana di atas tunggangannya. Ketika matahari terbenam, beliau berangkat dari sana menuju Muzdalifah dengan berjalan pelan, dan jika menemukan tempat yang lapang, beliau mempercepat jalannya. Di Muzdalifah, beliau menjamak shalat Maghrib dan Isya pada waktu Isya dengan satu adzan dan dua iqamah, lalu bermalam di sana dan mengambil batu kerikil untuk jumrah dari tempat itu. Kemudian beliau berangkat dari sana ke Mina untuk melaksanakan shalat Subuh, dan beliau mendahulukan anak-anak serta wanita sebelum Subuh. Beliau berhenti di Qazah dalam keadaan berkendara, mempercepat perjalanan di lembah Muhassir, lalu masuk ke Mina dan melempar jumrah Aqabah sebelum zawal, kemudian menyembelih hewan kurban, mencukur rambut, memotong kumis dan kedua pelipisnya, memotong kuku, dan rambut beliau dibagi-bagikan kepada para sahabatnya, serta beliau memerintahkan agar sisa rambut dan kuku itu dikuburkan. Beliau memakai wewangian, mengenakan baju, dan memerintahkan muadzin untuk mengumumkan di Mina, “Ini adalah hari-hari makan, minum, dan berhubungan, maka janganlah kalian berpuasa.” Beliau juga berkata kepada orang-orang, “Ambillah manasik kalian dariku.” Beliau menyembelih sendiri dari hadyu miliknya lebih dari enam puluh unta, lalu memberikan tombak kepada Ali untuk menyembelih sisanya. Beliau berkata, “Bawakan kepadaku potongan dari setiap unta,” lalu daging itu dimasak dan beliau memakannya, serta Ali dan Ja‘far makan bersama beliau.

ثُمَّ سَارَ إِلَى مَكَّةَ فَطَافَ بِالْبَيْتِ طَوَافَ الْإِفَاضَةِ قَالَ طَاوُسٌ وَطَافَ رَاكِبًا عَلَى رَاحِلَتِهِ وَدَخَلَ الْبَيْتَ فَصَلَّى فِيهِ رَكْعَتَيْنِ بَيْنَ الْعَمُودَيْنِ وَأَتَى زَمْزَمَ فَشَرِبَ مِنْهَا وَنَفَلَ وَشَرِبَ مِنْ سِقَايَةِ الْعَبَّاسِ وَسَعَى وَعَادَ إِلَى مِنًى فَصَلَّى بِهَا الظُّهْرَ وَجَمِيعَ الصَّلَوَاتِ وَخَطَبَ بِمِنًى بَعْدَ الظُّهْرِ عَلَى نَاقَتِهِ الْقَصْوَى بَيْنَ الحجرات وَتَدَاوَلَهَا الرُّوَاةُ وَذَكَرَهَا الطَّبَرِيُّ فِي تَارِيخِهِ وَأَوْرَدَهَا الجاحظ في كتاب البيان

Kemudian beliau menuju ke Makkah lalu melakukan thawaf ifadhah di Ka’bah. Thawus berkata: Beliau thawaf dengan menunggangi untanya, lalu masuk ke dalam Ka’bah dan shalat di dalamnya dua rakaat di antara dua tiang. Kemudian beliau mendatangi sumur Zamzam, meminum airnya, berwudhu, dan juga meminum dari tempat minum milik Abbas. Setelah itu beliau melakukan sa’i, lalu kembali ke Mina dan di sana beliau melaksanakan shalat Zuhur dan seluruh shalat lainnya. Beliau juga berkhutbah di Mina setelah Zuhur di atas unta Qashwa-nya di antara tenda-tenda. Peristiwa ini telah diriwayatkan oleh para perawi dan disebutkan oleh ath-Thabari dalam kitab Tarikh-nya, serta dicantumkan oleh al-Jahizh dalam kitab al-Bayan.

وقال ” الحمد لله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوبُ إِلَيْهِ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ أُوصِيكُمْ عِبَادَ اللَّهِ بِتَقَوْى اللَّهِ وَأَحُثُّكُمْ عَلَى الْعَمَلِ بِطَاعَتِهِ وَأَسْتَفْتِحُ اللَّهَ بِالَذِي هُوَ خَيْرٌ “

Dia berkata, “Segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya, beriman kepada-Nya, memohon ampunan kepada-Nya, dan bertobat kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kami dan dari keburukan amal perbuatan kami. Barang siapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barang siapa yang Dia sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Aku wasiatkan kepada kalian, wahai hamba-hamba Allah, untuk bertakwa kepada Allah, dan aku menganjurkan kalian untuk taat kepada-Nya, serta aku memohon kepada Allah pembuka yang terbaik.”

أَمَّا بَعْدُ

Adapun setelah itu,

أَيُّهَا النَّاسُ اسْتَمِعُوا مِنِّي أُبَيِّنْ لَكُمْ فَإِنِّي لَا أَدْرِي لَعَلِّي لَا أَلْقَاكُمْ بَعْدَ عَامِي هَذَا فِي مَوْقِفِي هَذَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ إِلَى أَنْ تَلْقَوْا رَبَّكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا وَسَتَلْقُونَ رَبَّكُمْ فَيَسْأَلُكُمْ عَنْ أَعْمَالِكُمْ وَقَدْ بَلَّغْتُ اللَّهُمَّ فَاشْهَدْ فَمَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ أَمَانَةٌ فَلْيُؤَدِّهَا إِلَى مَنِ ائْتَمَنَهُ عَلَيْهَا وَإِنَّ كُلَّ ربا موضوع ولكم رؤوس أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ قَضَى اللَّهُ أَنَّهُ لَا رِبًا وَأَوَّلُ رِبًا أَبْدَأُ بِهِ رِبَا الْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ

Wahai manusia, dengarkanlah perkataanku, aku akan menjelaskannya kepada kalian, sebab aku tidak tahu, barangkali aku tidak akan bertemu lagi dengan kalian setelah tahunku ini di tempatku ini. Wahai manusia, sesungguhnya darah kalian dan harta kalian adalah haram atas kalian hingga kalian bertemu dengan Tuhan kalian, sebagaimana sucinya hari kalian ini, di bulan kalian ini, di negeri kalian ini. Dan kalian pasti akan bertemu dengan Tuhan kalian, lalu Dia akan menanyakan kepada kalian tentang amal perbuatan kalian. Sungguh, aku telah menyampaikan. Ya Allah, saksikanlah. Maka siapa yang memegang amanah, hendaklah ia mengembalikannya kepada orang yang mempercayakannya kepadanya. Dan ketahuilah, setiap riba telah dihapuskan, dan bagi kalian pokok harta kalian, kalian tidak menzalimi dan tidak dizalimi. Allah telah memutuskan bahwa tidak ada riba, dan riba pertama yang aku hapus adalah riba Abbas bin Abdul Muththalib.

وَإِنَّ كُلَّ دَمٍ كَانَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ وَأَوَّلُ دَمٍ وُضِعَ دَمُ عَامِرِ بْنِ أَبِي رَبِيعَةَ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَإِنَّ مَآثِرَ الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعَةٌ غَيْرَ السِّدَانَةِ وَالسِّقَايَةِ وَالْعَمْدُ قَوَدٌ وَشِبْهُ الْعَمْدِ مَا قُتِلَ بِالْعَصَا وَالْحَجَرِ وَفِيهِ مِائَةُ بَعِيرٍ فَمَنِ ازْدَادَ فَهُوَ مِنَ الْجَاهِلِيَّةِ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ يَئِسَ أَنْ يُعْبَدَ بَأَرْضِكُمْ هَذِهِ أَبَدًا وَلَكِنَّهُ قَدْ رَضِيَ أَنْ يُطَاعَ فِيمَا سِوَى ذَلِكَ مِمَّا تُحَقِّرُونَ مِنْ أَعْمَالِكُمْ فَاحْذَرُوهُ عَلَى دِينِكُمْ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا النَّسِيءُ زِيَادَةٌ فِي الْكُفْرِ يُضَلُّ بِهِ الَّذِينَ كَفَرُوا يُحِلُّونَهُ عَامًا وَيُحَرِّمُونَهُ عَامًا لِيُوَاطِئُوا عِدَّةَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فَيُحِلُّوا مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَإِنَّ الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خلق الله السموات والأرض وإن عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا في كتاب الله يوم خلق السموات وَالأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ وَوَاحِدٌ فَرْدٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحَجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبٌ فَهُوَ الَذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ أَلَا هَلْ بَلَّغْتُ اللَّهُمَّ فَاشْهَدْ

Sesungguhnya seluruh darah (pembunuhan) yang terjadi pada masa jahiliah telah dihapuskan, dan darah yang pertama kali dihapuskan adalah darah ‘Amir bin Abi Rabi‘ah bin al-Harits bin ‘Abd al-Muththalib. Dan segala kebanggaan jahiliah telah dihapuskan, kecuali penjagaan Ka‘bah (sidānah) dan pemberian minum jamaah haji (siqāyah). Pembunuhan sengaja (al-‘amdu) berlaku hukum qishāsh, sedangkan pembunuhan yang mirip sengaja, yaitu yang dibunuh dengan tongkat atau batu, maka diyatnya seratus ekor unta. Siapa yang menambah dari itu, maka ia termasuk dari perbuatan jahiliah. Wahai manusia, sesungguhnya setan telah putus asa untuk disembah di negerimu ini selamanya, tetapi ia telah rela untuk ditaati dalam hal-hal selain itu dari perbuatan-perbuatan kalian yang kalian anggap remeh, maka waspadalah terhadapnya dalam urusan agama kalian. Wahai manusia, sesungguhnya penundaan bulan haram (nasī’) adalah penambahan dalam kekufuran, yang dengannya orang-orang kafir menjadi sesat; mereka menghalalkannya pada satu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat menyesuaikan jumlah bulan yang diharamkan Allah, sehingga mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. Sesungguhnya waktu telah kembali seperti keadaannya pada hari Allah menciptakan langit dan bumi. Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah adalah dua belas bulan dalam Kitab Allah pada hari Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram: tiga berturut-turut dan satu terpisah, yaitu Dzulqa‘dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab, yaitu yang berada di antara Jumada dan Sya‘ban. Ketahuilah, sudahkah aku sampaikan? Ya Allah, saksikanlah!

أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ لِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ حَقًّا أَلَّا يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا وَلَا يُدْخِلْنَ بُيُوتَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ إِلَّا بِإِذْنِكُمْ وَلَا يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ فَإِنْ فَعَلْنَ فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ أَذِنَ لَكُمْ أَنْ تَعْضُلُوهُنَّ وَتَهْجُرُوهُنَّ فِيَ الْمَضَاجِعِ وَتَضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ فَإِذَا انْتَهَيْنَ وَأَطَعْنَكُمْ فَعَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكُسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَإِنَّمَا النِّسَاءُ عِنْدَكُمْ عَوَانٌ لَا يَمْلِكْنَ لِأَنْفُسِهِنَّ شَيْئًا أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانَةِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكِتَابِ اللَّهِ فَاتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ وَاسْتَوْصُوا بِهِنَّ خَيْرًا

Wahai manusia, sesungguhnya istri-istri kalian memiliki hak atas kalian, dan kalian pun memiliki hak atas mereka, yaitu agar mereka tidak membiarkan siapa pun menginjakkan kaki di tempat tidur kalian, dan tidak memasukkan siapa pun ke rumah kalian yang kalian benci kecuali dengan izin kalian, serta tidak melakukan perbuatan keji. Jika mereka melakukan hal itu, maka Allah telah mengizinkan kalian untuk menasihati mereka, memisahkan tempat tidur, dan memukul mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Namun jika mereka telah berhenti dan menaati kalian, maka kalian wajib memberi nafkah dan pakaian kepada mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya para istri itu berada di bawah tanggung jawab kalian, mereka tidak memiliki kekuasaan atas diri mereka sendiri sedikit pun. Kalian mengambil mereka dengan amanah Allah dan menghalalkan kehormatan mereka dengan kitab Allah. Maka bertakwalah kepada Allah dalam urusan istri-istri, dan perlakukanlah mereka dengan baik.

أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَلَا يَحِلُّ لِامْرِئٍ مَالُ أَخِيهِ إِلَّا مَا أَعْطَاهُ عَنْ طِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ فَلَا تَظْلِمُوا أَنْفُسَكُمْ أَلَا هَلْ بَلَّغْتُ اللَّهُمَّ فَاشْهَدْ فَلَا تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ فَإِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ لَمْ تَضِلُّوا كِتَابَ اللَّهِ أَلَا هَلْ بَلَّغْتُ اللهم فاشهد

Wahai manusia, sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, maka tidak halal bagi seseorang mengambil harta saudaranya kecuali jika diberikan dengan kerelaan hati darinya. Maka janganlah kalian menzalimi diri kalian sendiri. Ingatlah, sudahkah aku sampaikan? Ya Allah, saksikanlah. Maka janganlah kalian kembali menjadi kafir sepeninggalku, saling memenggal leher satu sama lain. Sesungguhnya aku telah meninggalkan di tengah kalian sesuatu yang jika kalian berpegang teguh padanya, kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah. Ingatlah, sudahkah aku sampaikan? Ya Allah, saksikanlah.

أَيُّهَا النَاسُ إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ كُلُّكُمْ مِنْ آدَمَ وَآدَمُ مِنْ تُرَابٍ أَكْرَمُكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ لَيْسَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ فَضْلٌ إِلَّا بِالتَّقْوَى أَلَا هَلْ بَلَّغْتُ قَالْوَا نَعَمْ قَالَ فَلْيُبَلِّغِ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ

Wahai manusia, sesungguhnya Tuhan kalian satu dan bapak kalian juga satu. Kalian semua berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah. Yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Tidak ada keutamaan bagi orang Arab atas orang non-Arab kecuali dengan takwa. Ingatlah, sudahkah aku sampaikan? Mereka menjawab, “Ya.” Beliau bersabda, “Maka hendaklah yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir.”

أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ قَسَمَ لِكُلِّ وَارِثٍ نَصِيبَهُ مِنَ الْمِيرَاثِ فَلَا يَجُوزُ لِوَارِثٍ وَصِيَّةٌ فِي أَكْثَرَ مِنَ الثُلُثِ الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ وَمَنْ تَوَلَّى غَيْرَ مَوَالِيهِ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أجْمَعِينَ لَا يقبل الله منه صرفا ولا عَدْلًا

Wahai manusia, sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi setiap ahli waris bagian warisannya, maka tidak boleh bagi seorang ahli waris menerima wasiat lebih dari sepertiga. Anak itu milik ranjang (nasab mengikuti suami), dan bagi pezina adalah batu (hukuman). Barang siapa mengaku kepada selain ayahnya, dan barang siapa berloyalitas kepada selain tuannya, maka atasnya laknat Allah, para malaikat, dan seluruh manusia. Allah tidak akan menerima darinya penebusan maupun keadilan.

أَيُّهَا النَّاسُ اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنْ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ حَبَشِيٌّ مُجَدَّعٌ مَا أَقَامَ فِيكُمْ كِتَابَ اللَّهِ أَرِقَّاءَكُمْ أَرِقَّاءَكُمْ أَطْعِمُوهُمْ مِمَّا تَأْكُلُونَ وَأَلْبِسُوهُمْ مما تلبسون فإن جاؤوا بِذَنْبٍ لَا تُرِيدُونَ أَنْ تَغْفِرُوهُ فَبِيعُوا عِبَادَ اللَّهِ وَلَا تُعَذِّبُوهُمْ أَلَا هَلْ بَلَّغْتُ أَلَا يُبَلِغُ الشَّاهِدُ مِنْكُمُ الْغَائِبَ فَلَعَلَّ بَعْضَ مَنْ يَبْلُغُهُ أَنْ يَكُونَ أَوْعَى لَهُ مِمَّنْ سَمِعَهُ وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ

Wahai manusia, dengarkanlah dan taatilah, sekalipun yang memimpin kalian adalah seorang Habsyi yang hidungnya terpotong, selama ia menegakkan Kitab Allah di tengah kalian. Perlakukanlah budak-budak kalian dengan baik, berilah mereka makan dari apa yang kalian makan, dan pakaikanlah mereka dari apa yang kalian pakai. Jika mereka melakukan kesalahan yang kalian tidak ingin memaafkannya, maka juallah hamba-hamba Allah itu dan janganlah kalian menyiksa mereka. Ingatlah, sudahkah aku menyampaikan? Hendaklah yang hadir di antara kalian menyampaikan kepada yang tidak hadir, karena barangkali orang yang disampaikan kepadanya lebih memahami daripada yang mendengarnya langsung. Wassalamu’alaikum warahmatullah.

وَحَكَى ابْنُ إِسْحَاقَ أَنَّ هَذِهِ الْخُطْبَةَ كَانَتْ بِعَرَفَةَ وَكَانَ الْمُبَلِّغُ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ رَبِيعَةَ بْنَ أُمَيَّةَ بْنِ خَلَفٍ فَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ خَطَبَهَا فِي الْمَوْضِعَيْنِ زِيَادَةً فِي الْإِبْلَاغِ وَقَدْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَرْدَفَ فِي حَجِّهِ هَذَا ثَلَاثَةً أَرْدَفَ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ مِنْ عَرَفَةَ إِلَى مُزْدَلِفَةَ وَأَرْدَفَ الْفَضْلَ بْنَ الْعَبَّاسِ مِنْ مُزْدَلِفَةَ إِلَى مِنًى ووأردف مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ مِنْ مِنًى إِلَى مكة قَالَ الشَّعْبِيُّ وَنَزَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَهُوَ وَاقِفٌ بِعَرَفَةَ حِينَ وَقَفَ مَوْقِفَ إِبْرَاهِيمَ وَاضْمَحَلَّ الشِّرْكُ وَهُدِمَتْ مَنَابِرُ الْجَاهِلِيَّةِ وَلَمْ يَطُفْ بِالْبَيْتِ عُرْيَانٌ

Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa khutbah ini disampaikan di Arafah, dan yang menyampaikan kepada orang banyak dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Rabi‘ah bin Umayyah bin Khalaf. Maka boleh jadi beliau menyampaikan khutbah ini di dua tempat sebagai tambahan dalam penyampaian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah memboncengkan tiga orang dalam haji beliau ini: beliau memboncengkan Usamah bin Zaid dari Arafah ke Muzdalifah, memboncengkan Fadhl bin Abbas dari Muzdalifah ke Mina, dan memboncengkan Mu‘awiyah bin Abi Sufyan dari Mina ke Mekah. Asy-Sya‘bi berkata, “Turun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ayat: ‘Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian,’ sementara beliau sedang berdiri di Arafah, di tempat Ibrahim berdiri. Pada saat itu, syirik telah lenyap, mimbar-mimbar jahiliyah telah dihancurkan, dan tidak ada lagi orang yang tawaf di Ka‘bah dalam keadaan telanjang.”

وَفِي هَذِهِ السَّنَةِ قَدِمَ جَرِيرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْبَجَلِيُّ الْمَدِينَةَ مُسْلِمًا فِي شَهْرِ رَمَضَانَ فَأَمَّا مَا اعْتَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بَعْدَ الْهِجْرَةِ فَأَرْبَعُ عُمَرٍ

Pada tahun ini, Jarir bin Abdullah al-Bajali datang ke Madinah sebagai seorang Muslim pada bulan Ramadan. Adapun jumlah umrah yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah hijrah adalah empat kali umrah.

وَفِي هَذِهِ السَّنَةِ أسلم من باليمن فيروز الدليمي وَبَاذَانُ وَوَهْبُ بْنُ مُنَبِّهٍ وَكَانَ فِي هَذِهِ السنة سريتان

Pada tahun ini, orang-orang yang berada di Yaman seperti Fairuz ad-Dailami, Badhan, dan Wahb bin Munabbih memeluk Islam. Pada tahun ini juga terjadi dua ekspedisi militer.

فصل ذِكْرُ حَوَادِثِ سَنَةِ إِحْدَى عَشْرَةَ تَجْهِيزُ جَيْشِ أسامة

Bab: Penyebutan Peristiwa-peristiwa Tahun Sebelas: Persiapan Pasukan Usamah

ثُمَّ دَخَلَتْ سَنَةُ إِحْدَى عَشْرَةَ فِيهَا جَهَّزَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ جَيْشَ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ إِلَى أَهْلِ أُبْنَى وَهِيَ أَرْضُ السَّرَاةِ نَاحِيَةَ الْبَلْقَانِ مِنْ أَرْضِ الشَّامِ

Kemudian masuk tahun kesebelas, pada tahun itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersiapkan pasukan Usamah bin Zaid menuju penduduk Ubna, yaitu wilayah as-Sarāh di daerah Balkan, bagian dari negeri Syam.

قَالَ أَصْحَابُ السِّيَرِ لَمَّا كَانَ يَوْمُ الِاثْنَيْنِ السَّادِسِ وَالْعِشْرِينَ مِنْ صَفَرٍ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِالتَّأَهُّبِ لِغَزْوِ الرُّومِ فَلَمَّا كَانَ مِنَ الْغَدِ دَعَا أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ وَقَالَ سِرْ إِلَى مَوْضِعِ مَقْتَلِ أَبِيكَ فَأَوْطِئْهُمُ الْخَيْلَ فَقَدْ وَلَّيْتُكَ هَذَا الْجَيْشَ فَأَسْرِعِ السَّيْرَ وَاسْبِقِ الْأَخْبَارَ وَخُذْ مَعَكَ الْأَدِلَّاءَ وَقَدِّمِ الْعُيُونَ وَاغْزُ صَبَاحًا عَلَى أَهْلِ أُبْنَى فَأَوْطِئْهُمُ الْخَيْلَ فَإِنْ ظَفَّرَكَ اللَّهُ بِهِمْ فَأَقْلِلِ اللُّبْثَ فَلَمَّا كَانَ مِنَ الْغَدِ وَهُوَ يَوْمُ الْأَرْبِعَاءِ الثَّامِنِ وَالْعِشْرِينَ مِنْ صَفَرٍ مَرِضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَحُمَّ وَصُدِعَ فَلَمَّا كَانَ فِي يَوْمِ الْخَمِيسِ عَقَدَ لِأُسَامَةَ لِوَاءً بِيَدِهِ ثُمَّ قَالَ ” اغْزُ بِاسْمِ اللَّهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَقَاتِلْ مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ فَخَرَجَ بِلِوَائِهِ مَعْقُودًا وَعَسْكَرَ بِالْجُرْفِ وَانْتَدَبَ مَعَهُ وُجُوهَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ فِيهِمْ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَأَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ وَسَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ وَسَعِيدُ بْنُ زَيْدٍ فَتَكَلَّمَ قَوْمٌ مِنْ تَأْمِيرِ أُسَامَةَ فَخَرَجَ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَذَلِكَ فِي يَوْمِ السَّبْتِ الْعَاشِرِ مِنْ شَهْرِ رَبِيعٍ الْأَوَّلِ وَهُوَ مُعَصَّبٌ قَدْ شَدَّ رَأْسَهُ فَصَعِدَ الْمِنْبَرَ وَقَالَ بَعْدَ حَمْدِ اللَّهِ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ بَلَغَنِي عَنْ بَعْضِكُمْ فِي تَأْمِيرِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ وَلَئِنْ طَعَنْتُمُ فِيهِ فَقَدْ طَعَنْتُمْ فِي تَأْمِيرِ أَبِيهِ مِنْ قَبْلِهِ وَايْمُ اللَّهِ إِنْ كَانَ لِلْإِمَارَةِ لَخَلِيقًا وَإِنَّ ابْنَهُ مِنْ بَعْدِهِ لَخَلِيقٌ بِالْإِمَارَةِ وَإِنَّهُمَا أَهْلٌ لِكُلِّ خَيْرٍ فَاسْتَوْصُوا بِهِ خَيْرًا فَإِنَّهُ مِنْ خِيَارِكُمْ ” وَعَادَ إِلَى مَنْزِلِهِ وَجَاءَ مَنِ انْتَدَبَ مَعَهُ مِنَ الْمُسْلِمِينَ يُوَدِّعُونَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَيَمْضُونَ إِلَى الْمُعَسْكَرِ بِالْجُرْفِ فَثَقُلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَجَعَلَ يَقُولُ أَنْفِذُوا بَعْثَ أُسَامَةَ فَلَمَّا كَانَ يَوْمَ الْأَحَدِ اشْتَدَّ مَرَضُهُ فَدَخَلَ أُسَامَةُ فَوَجَدَ رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مَغْمُورًا وَهُوَ الْيَوْمُ الَّذِي كَدُّوهُ فِيهِ فَقَبَّلَ رَأْسَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَخَرَجَ إِلَى مُعَسْكَرِهِ وَعَادَ فِي يَوْمِ الِاثْنَيْنِ ودخل عليه فوجده مغيبا فَقَالَ لَهُ اغْدُ عَلَى بَرَكَةِ اللَّهِ فَوَدَّعَهُ أُسَامَةُ وَخَرَجَ إِلَى مُعَسْكَرِهِ وَأَمَرَ النَّاسَ بِالرَّحِيلِ فَأَنْفَذَتْ إِلَيْهِ أُمُّ أَيْمَنَ رَسُولًا تَقُولُ لَهُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يَمُوتُ فَعُدْ فَأَقْبَلَ وَمَعَهُ عُمَرُ وَأَبُو عُبَيْدَةَ فوجدوا رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يَجُودُ بِنَفْسِهِ فَتُوُفِّيَ حِينَ زَاغَتِ الشَّمْسُ مِنْ يوم الاثنين الثاني عشر من شهر ربيع الْأَوَّلِ فَدَخَلَ جَيْشُ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ إِلَى الْمَدِينَةِ فَلَمَّا بُويِعَ أَبُو بَكْرٍ بِالْخِلَافَةِ أَمَرَ جَيْشَ أُسَامَةَ بِالْخُرُوجِ وَأَمَرَ أُسَامَةَ بِالْمَسِيرِ إِلَى الْوَجْهِ الَّذِي أَمَرَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَكَلَّمَهُ الْمُسْلِمُونَ فِي حَبْسِهِمْ لِقِتَالِ أَهْلِ الرِّدَّةِ فَامْتَنَعَ وَقَالَ لَا أَسْتَوْقِفُ جَيْشًا أَمَرَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِالْمَسِيرِ وَسَأَلَ أَبُو بَكْرٍ أُسَامَةَ أَنْ يَأْذَنَ لِعُمَرَ فِي التَّخَلُّفِ عَنْهُ فَفَعَلَ وَسَارَ بِهِمْ أُسَامَةُ فِي هِلَالِ شَهْرِ رَبِيعٍ الْآخِرِ إِلَى أَهْلِ أُبْنَى فِي عِشْرِينَ يَوْمًا فَشَنَّ عَلَيْهِمُ الْغَارَةَ وَقَتَلَ مَنْ أَشْرَفَ مِنْهُمْ وَقَتَلَ قَاتِلَ أَبِيهِ وَسَبَى مَنْ قَدَرَ عَلَيْهِ وَحَرَّقَ عَلَيْهِمْ مَنَازِلَهُمْ وَأَقَامَ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ وَعَادَ مَوْفُورًا وَمَا أُصِيبَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ أَحَدٌ وَخَرَجَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مَعَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ مُسْتَقْبِلِينَ لهم سرورا بسلامتهم

Para ahli sejarah mengatakan bahwa pada hari Senin tanggal dua puluh enam bulan Shafar, Rasulullah ﷺ memerintahkan untuk bersiap-siap menyerang Romawi. Keesokan harinya, beliau memanggil Usamah bin Zaid dan berkata, “Berangkatlah ke tempat ayahmu terbunuh, injaklah mereka dengan kuda-kuda kalian. Aku telah mengangkatmu sebagai pemimpin pasukan ini, maka percepatlah perjalanan, dahului berita, bawalah para penunjuk jalan, kirimlah mata-mata di depan, dan seranglah penduduk Ubna pada pagi hari, injaklah mereka dengan kuda-kuda kalian. Jika Allah memberikan kemenangan atas mereka, jangan lama-lama tinggal.” Keesokan harinya, yaitu hari Rabu tanggal dua puluh delapan Shafar, Rasulullah ﷺ jatuh sakit, demam, dan sakit kepala. Pada hari Kamis, beliau mengikatkan bendera untuk Usamah dengan tangannya sendiri, lalu berkata, “Berperanglah dengan nama Allah di jalan Allah, perangi siapa saja yang kafir kepada Allah.” Usamah pun keluar dengan benderanya yang telah diikat dan berkemah di Jurf. Bersama dia, turut serta para tokoh Muhajirin dan Anshar, di antaranya Abu Bakar, Umar, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, Sa‘d bin Abi Waqqash, dan Sa‘id bin Zaid. Sebagian orang membicarakan tentang pengangkatan Usamah sebagai pemimpin. Maka Rasulullah ﷺ keluar menemui mereka pada hari Sabtu tanggal sepuluh Rabiul Awal, kepala beliau terikat kain, lalu naik mimbar dan setelah memuji Allah, beliau berkata, “Telah sampai kepadaku bahwa sebagian dari kalian mempermasalahkan pengangkatanku terhadap Usamah bin Zaid. Sungguh, jika kalian mencela dia, berarti kalian juga pernah mencela pengangkatan ayahnya sebelumnya. Demi Allah, sungguh dia layak untuk kepemimpinan, dan anaknya setelahnya juga layak untuk kepemimpinan. Keduanya adalah orang yang pantas untuk segala kebaikan. Maka perlakukanlah dia dengan baik, karena dia termasuk orang terbaik di antara kalian.” Kemudian beliau kembali ke rumahnya. Orang-orang yang telah siap berangkat pun datang berpamitan kepada Rasulullah ﷺ dan pergi ke perkemahan di Jurf. Rasulullah ﷺ semakin berat sakitnya dan terus berkata, “Laksanakanlah pasukan Usamah.” Pada hari Ahad, sakit beliau semakin parah. Usamah masuk menemuinya dan mendapati Rasulullah ﷺ dalam keadaan pingsan, dan hari itu adalah hari ketika mereka membebani beliau. Usamah mencium kepala Rasulullah ﷺ lalu kembali ke perkemahannya. Pada hari Senin, ia kembali masuk dan mendapati beliau tidak sadarkan diri. Rasulullah ﷺ berkata kepadanya, “Berangkatlah dengan keberkahan Allah.” Usamah pun berpamitan dan pergi ke perkemahannya, memerintahkan pasukan untuk bersiap berangkat. Lalu Ummu Aiman mengirim utusan kepadanya, mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ sedang sekarat, maka Usamah kembali bersama Umar dan Abu Ubaidah. Mereka mendapati Rasulullah ﷺ sedang menghadapi sakaratul maut, lalu beliau wafat ketika matahari tergelincir pada hari Senin tanggal dua belas Rabiul Awal. Pasukan Usamah bin Zaid pun kembali ke Madinah. Setelah Abu Bakar dibaiat sebagai khalifah, ia memerintahkan pasukan Usamah untuk berangkat dan memerintahkan Usamah menuju tempat yang telah diperintahkan Rasulullah ﷺ. Kaum Muslimin meminta agar pasukan itu ditahan untuk memerangi kaum murtad, namun Abu Bakar menolak dan berkata, “Aku tidak akan menahan pasukan yang telah diperintahkan Rasulullah ﷺ untuk berangkat.” Abu Bakar meminta Usamah agar mengizinkan Umar tetap tinggal, dan Usamah mengizinkannya. Usamah pun berangkat bersama pasukannya pada awal bulan Rabiul Akhir menuju penduduk Ubna selama dua puluh hari, lalu menyerang mereka, membunuh siapa saja yang tampak dari mereka, membunuh pembunuh ayahnya, menawan siapa saja yang dapat ditawan, membakar rumah-rumah mereka, tinggal sisa hari itu, lalu kembali dengan selamat tanpa ada satu pun Muslim yang terluka. Abu Bakar bersama para Muhajirin dan Anshar keluar menyambut mereka dengan gembira atas keselamatan mereka.

فصل وَفَاةُ سَيِّدِنَا رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ

Bab Wafatnya Sayyidina Rasulullah ﷺ

فِي مَوْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ كَانَ اللَّهُ تَعَالَى قَدْ أَنْذَرَ رَسُولَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِمَوْتِهِ حِينَ أَنْزَلَ عَلَيْهِ إِذَا جَاءَ نَصْرُ الله والفتح فَقَالَ نُعِيَتْ إِلَيَّ نَفْسِي فَحَجَّ حَجَّةَ الْوَدَاعِ وَقَالَ فِيهَا مَا قَالَ وَكَانَ يَنْزِلُ عَلَيْهِ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ كُلَّ سَنَةٍ مَرَّةً فِي شَهْرِ رَمَضَانَ فَيَعْرِضُ عَلَيْهِ الْقُرْآنَ مَرَّةً وَاحِدَةً وَيَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ فَلَمَّا كَانَ فِي سَنَةِ مَوْتِهِ عَرَضَ عَلَيْهِ جِبْرِيلُ الْقُرْآنَ مَرَّتَيْنِ فَقَالَ لَا أَظُنُّ إِلَّا قَدْ حَضَرَ فَاعْتَكَفَ الْعَشْرَ الْأَوْسَطَ وَالْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ فَكَانَ هَذَا نَذِيرًا بِمَوْتِهِ ثُمَّ أَمَرَ بِالْخُرُوجِ إِلَى الْبَقِيعِ لِيَسْتَغْفِرَ لِأَهْلِهِ وَلِلشُّهَدَاءِ وَيُصَلِّيَ عَلَيْهِمْ لِيَكُونَ تَوْدِيعًا لِلْأَمْوَاتِ قَبْلَ الْأَحْيَاءِ فَخَرَجَ إِلَيْهِمْ فَقَالَ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ أَنْتُمْ لَنَا فَرَطٌ أَتَانَا وَإِيَّاكُمْ مَا تُوعَدُونَ وَإِنَّا بِكُمْ لَاحِقُونَ اللَّهُمَّ لَا تَحْرِمْنَا أَجْرَهُمْ وَلَا تَفْتِنَا بَعْدَهُمْ فَكَانَ هَذَا نذيرا آخر بموته

Dalam peristiwa wafat Rasulullah ﷺ, Allah Ta‘ala telah memberi peringatan kepada Rasul-Nya ﷺ tentang wafatnya beliau ketika menurunkan ayat: “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan.” Maka beliau bersabda, “Telah disampaikan kepadaku tentang ajal diriku.” Lalu beliau menunaikan Haji Wada‘ dan dalam haji itu beliau menyampaikan apa yang beliau sampaikan. Biasanya Jibril ‘alaihis salam turun kepada beliau setiap tahun sekali di bulan Ramadan, lalu memperdengarkan Al-Qur’an kepadanya satu kali, dan beliau beri‘tikaf pada sepuluh hari terakhir. Namun pada tahun wafatnya, Jibril memperdengarkan Al-Qur’an kepadanya dua kali. Maka beliau bersabda, “Aku tidak menyangka kecuali ajal telah dekat.” Lalu beliau beri‘tikaf pada sepuluh hari pertengahan dan sepuluh hari terakhir. Itu merupakan tanda akan wafatnya beliau. Kemudian beliau memerintahkan untuk keluar menuju Baqi‘ guna memohonkan ampunan bagi para penghuninya dan para syuhada serta menshalatkan mereka, agar menjadi perpisahan dengan orang-orang yang telah wafat sebelum orang-orang yang masih hidup. Maka beliau keluar menuju mereka dan bersabda, “Salam sejahtera atas kalian, wahai penghuni negeri kaum mukminin. Kalian adalah pendahulu kami, telah datang kepada kami dan kepada kalian apa yang dijanjikan. Dan sesungguhnya kami akan menyusul kalian. Ya Allah, janganlah Engkau haramkan kami dari pahala mereka dan jangan Engkau timpakan fitnah kepada kami setelah mereka.” Maka ini adalah tanda lain akan wafatnya beliau.

ثُمَّ بَدَأَ بِهِ مَرَضُهُ الَّذِي مَاتَ فِيهِ فِي يَوْمِ الْأَرْبِعَاءِ الثَّانِي وَالْعِشْرِينَ مِنْ صَفَرٍ وَهُوَ فِي بَيْتِ مَيْمُونَةَ بِنْتِ الْحَارِثِ فَحُمَّ وصدع

Kemudian mulailah beliau mengalami sakit yang menyebabkan wafatnya, pada hari Rabu tanggal dua puluh dua bulan Shafar, ketika beliau berada di rumah Maimunah binti Al-Harits. Maka beliau pun demam dan sakit kepala.

قال أبو سعيد الخضري وَكَانَ عَلَيْهِ صَالِبُ الْحُمَّى مَا تَكَادُ تَقَرُّ يَدُ أَحَدِنَا عَلَيْهِ مِنْ شِدَّتِهَا فَجَعَلْنَا نُسَبِّحُ فَقَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” لَيْسَ أَحَدٌ أَشَدَّ بَلَاءً مِنَ الْأَنْبِيَاءِ كَمَا يشتد علينا البخلاء كَذَلِكَ يُضَاعَفُ لَنَا الْأَجْرُ “

Abu Sa‘id al-Khudri berkata, “Pada beliau (Nabi) terdapat panas demam yang sangat berat, sehingga tangan salah satu dari kami hampir tidak bisa menetap di atas tubuh beliau karena panasnya. Maka kami pun mulai bertasbih. Lalu Rasulullah ﷺ bersabda kepada kami, ‘Tidak ada seorang pun yang cobaan (bala’)nya lebih berat daripada para nabi. Sebagaimana orang-orang bakhil terasa berat bagi kami, demikian pula pahala kami dilipatgandakan.’”

وَرَوَى سَعْدٌ قَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَنْ أَشَدِّ النَّاسِ بَلَاءً قَالَ ” النَّبِيُّونَ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ ” وَلَمَّا اشْتَدَّ بِهِ الْمَرَضُ صَاحَتْ أُمُّ سَلَمَةَ فَقَالَ مَهْ إِنَّهُ لَا يَصِيحُ إِلَّا كَافِرٌ وَكَانَ إِذَا عَادَ مَرِيضًا أَوْ مرض هو مسح جيده عَلَى وَجْهِهِ قَالَ ” أَذْهِبِ الْبَأْسَ رَبَّ النَّاسِ وَاشْفِ أَنْتَ الشَافِي لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ وشفاء لَا يُغَادِرُ سَقَمًا ” فَلَمَّا كَانَ فِي مَرَضِ مَوْتِهِ تَسَانَدَ إِلَى عَائِشَةَ فَأَخَذَتْ بِيَدِهِ وَجَعَلَتْ تَمْسَحُهَا عَلَى وَجْهِهِ وَتَقُولُ هَؤُلَاءِ الْكَلِمَاتِ فَانْتَزَعَ يَدَهُ مِنْهَا وَقَالَ ” ارْفَعِي عَنِّي فَإِنَهَا إِنَّمَا كَانَتْ تَنْفَعُ فِي الْمِرَّةِ أَسْأَلُ اللَّهَ الرَّفِيقَ الْأَعْلَى اللَّهُمَّ أَدْخِلْنِي جَنَّةَ الْخُلْدِ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا “

Sa‘d meriwayatkan, ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang siapa manusia yang paling berat ujiannya. Beliau bersabda, “Para nabi, kemudian yang paling utama setelah mereka, lalu yang berikutnya.” Ketika sakit beliau semakin parah, Ummu Salamah berteriak, maka beliau bersabda, “Diamlah, sesungguhnya yang berteriak hanyalah orang kafir.” Dan apabila beliau menjenguk orang sakit atau beliau sendiri sakit, beliau mengusap tubuhnya dengan tangan kanannya ke wajahnya seraya berdoa, “Hilangkanlah penyakit, wahai Tuhan manusia, sembuhkanlah, Engkaulah Maha Penyembuh, tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit.” Ketika beliau dalam sakit menjelang wafatnya, beliau bersandar kepada ‘Aisyah, lalu ‘Aisyah memegang tangan beliau dan mengusapkannya ke wajah beliau sambil mengucapkan kalimat-kalimat tersebut. Maka beliau menarik tangannya dari ‘Aisyah dan bersabda, “Angkatlah dariku, karena itu hanya bermanfaat pada masa lalu. Aku memohon kepada Allah ar-Rafīq al-A‘lā. Ya Allah, masukkanlah aku ke surga yang kekal bersama orang-orang yang Engkau beri nikmat dari kalangan para nabi, orang-orang yang jujur, para syuhada, dan orang-orang saleh. Mereka itulah sebaik-baik teman.”

وَكَانَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ يَنْزِلُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إذا مرض قبل مرض موته فيقول بسم اللَّهِ أَرْقِيكَ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ يُؤْذِيكَ وَعَيْنُ اللَّهِ تَشْفِيكَ وَلَمْ يَقُلْ لَهُ ذَلِكَ فِي مَرَضِ مَوْتِهِ وَأَمَّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنْ يُسَدَّ كُلُّ بَابٍ إِلَى الْمَسْجِدِ إِلَّا بَابَ أَبِي بَكْرٍ فَقَالَ لَهُ الْعَبَّاسُ مَا بَالُكَ فَتَحْتَ أَبْوَابَ رِجَالٍ وَسَدَدْتَ أَبْوَابَ رِجَالٍ فِي الْمَسْجِدِ فَقَالَ ” يَا عَبَّاسُ مَا فَتَحْتُ عَنْ أَمْرِي وَمَا سَدَدْتُ عَنْ أَمْرِي “

Jibril ‘alaihissalam biasa turun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau sakit sebelum sakit menjelang wafatnya, lalu berkata: “Dengan nama Allah, aku meruqyahmu dari segala sesuatu yang menyakitimu, dan dengan pengawasan Allah engkau disembuhkan.” Namun, Jibril tidak mengucapkan hal itu kepadanya pada sakit menjelang wafatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar semua pintu yang menuju ke masjid ditutup kecuali pintu Abu Bakar. Maka Abbas berkata kepadanya, “Mengapa engkau membuka pintu sebagian orang dan menutup pintu sebagian orang di masjid?” Beliau menjawab, “Wahai Abbas, aku tidak membukanya atas kehendakku sendiri dan tidak menutupnya atas kehendakku sendiri.”

وَاسْتَأْذَنَ رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ نِسَاءَهُ أَنْ يَحْلِلْنَهُ مِنَ الْقَسْمِ لِيُمَرَّضَ فِي بَيْتِ عَائِشَةَ فَأَذِنَّ لَهُ وَحَلَلْنَهُ فَانْتَقَلَ مِنْ بَيْتِ مَيْمُونَةَ إِلَى بَيْتِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا وَأُغْمِيَ عَلَيْهِ فِي مَرَضِهِ فَلَدُّوهُ فَأَفَاقَ وَأَحَسَّ بِخُشُونَةِ اللَّدُودِ فَقَالَ ” مَا صَنَعْتُمْ؟ قَالُوا لَدَدْنَاكَ قَالَ بِمَاذَا قَالُوا بِالْعُودِ الْهِنْدِيِّ وَشَيْءٍ مِنْ وَرْسٍ وَقَطَرَاتٍ مِنْ زَيْتٍ فَقَالَ مَنْ أَمَرَكُمْ بِهَذَا؟ قَالُوا أَسْمَاءُ بِنْتُ عُمَيْسٍ قَالَ هَذَا رَطْبٌ أَصَابَتْهُ بِأَرْضِ الْحَبَشَةِ لَا يَبَقِيَنَّ أَحَدٌ فِي الْبَيْتِ إِلَّا لُدَّ إِلَّا عَمِّي الْعَبَّاسَ فَجَعَلَ بَعْضُهُمْ يَلُدُّ بَعْضًا وَالْتَدَّتْ مَيْمُونَةُ وَكَانَتْ صَائِمَةً لِقَسَمِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَكَانَ ذَلِكَ مِنْهُ عُقُوبَةً لَهُمْ

Rasulullah ﷺ meminta izin kepada istri-istrinya agar mereka membebaskannya dari kewajiban pembagian giliran, supaya beliau dapat dirawat di rumah Aisyah. Mereka pun mengizinkan dan membebaskannya, lalu beliau pindah dari rumah Maimunah ke rumah Aisyah ra. Dalam sakitnya, beliau sempat pingsan, lalu mereka meminumkan obat kepadanya. Ketika beliau sadar dan merasakan kerasnya obat itu, beliau bertanya, “Apa yang kalian lakukan?” Mereka menjawab, “Kami meminumkan obat kepadamu.” Beliau bertanya, “Dengan apa?” Mereka menjawab, “Dengan kayu India, sedikit wars, dan beberapa tetes minyak.” Beliau bertanya, “Siapa yang memerintahkan kalian melakukan ini?” Mereka menjawab, “Asma binti Umais.” Beliau berkata, “Ini adalah sesuatu yang basah yang ia dapatkan di tanah Habasyah. Janganlah ada seorang pun di rumah ini kecuali juga diberi obat seperti itu, kecuali pamanku Al-Abbas.” Maka sebagian mereka pun saling meminumkan obat, dan Maimunah pun diberi obat padahal ia sedang berpuasa untuk giliran Rasulullah ﷺ, dan hal itu merupakan hukuman dari beliau kepada mereka.

ذِكْرُ الدَّنَانِيرِ الَّتِي قَسَمَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ

Penyebutan dinar-dinar yang dibagikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

وَكَانَ قَدْ بَقِيَ عِنْدَهُ مَالٌ أَصَابَهُ سِتَّةُ دَنَانِيرَ تَرَكَهَا عِنْدَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فَاسْتَدْعَاهَا وَفَرَّقَهَا وَقَالَ مَا ظَنَّ مُحَمَّدٌ لَوْ لَقِيَ اللَّهَ وَهِيَ عِنْدَهُ فَلَمَّا جَدَّ بِهِ الْمَوْتُ أَرْسَلَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا بِمِصْبَاحِهَا إِلَى امْرَأَةٍ مِنَ الْأَنْصَارِ وَقَالَتْ اقْطُرِي فِيهِ مِنْ سَمْنِ عُكَّتِكِ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أمسى في شديد الموت

Dan masih tersisa padanya sejumlah harta yang diperolehnya, yaitu enam dinar yang ditinggalkannya di sisi ‘Aisyah ra. Maka beliau memanggil ‘Aisyah dan membagikannya seraya berkata, “Bagaimana kira-kira keadaan Muhammad jika ia bertemu Allah sementara harta itu masih ada padanya?” Ketika ajal semakin dekat menjemputnya, ‘Aisyah ra. mengirimkan lampunya kepada seorang wanita dari kalangan Anshar dan berkata, “Teteskanlah ke dalamnya sedikit minyak dari wadahmu, karena Rasulullah saw. mengalami sakit yang sangat berat pada malam ini.”

ذكر ما قاله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ في مرضه قبل الوفاة

Penyebutan apa yang dikatakan oleh Nabi ﷺ saat sakit sebelum wafat.

وَرَوَى أَبُو هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ قَبْرِي وَثَنًا لَعَنَ اللَّهُ قَوْمًا اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya Allah, janganlah Engkau jadikan kuburanku sebagai berhala. Allah melaknat suatu kaum yang menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid.”

وَرَوَى ابْنُ عَبَّاسٍ قَالَ اشْتَكَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يَوْمَ الْخَمِيسِ وَاشْتَدَّ وَجَعُهُ فَقَالَ ائْتُونِي بِدَوَاةٍ وَصَحِيفَةٍ أَكْتُبْ لَكُمْ كِتَابًا لَا تَضِلُّوا بَعْدَهُ أَبَدًا فَقَالَ بَعْضُ مَنْ كَانَ عِنْدَهُ إِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ يَهْجُرُ اسْتَفْهِمُوهُ فَأَعَادُوهُ فَقَالَ دَعُونِي فَالَّذِي أَنَا فِيهِ خَيْرٌ مِمَا تَدْعُونَنِي إِلَيْهِ وَأَوْصَى بِثَلَاثٍ فَقَالَ أَخْرِجُوا الْمُشْرِكِينَ مِنْ جَزِيرَةِ العرب فأجيزرا الْوَفْدَ بِنَحْوٍ مِمَّا كُنْتُ أُجِيزُهُمْ ” وَسَكَتَ عَنِ الثالثة وَرَوَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ دَعَا فَاطِمَةَ فِي مَرَضِهِ هَذَا فَنَاجَاهَا فَبَكَتْ ثُمَّ نَاجَاهَا فَضَحِكَتْ فَلَمَّا مَاتَ سَأَلَتْهَا عَنْ بُكَائِهَا وَضَحِكِهَا فَقَالَتْ إِنَّهُ أَخْبَرَنِي أَنَّهُ يُقْبَضُ فِي مَرَضِهِ هَذَا فَبَكَيْتُ ثُمَّ أَخْبَرَنِي أَنِّي أَوَّلُ أَهْلِهِ لُحُوقًا بِهِ وَأَنَّنِي سَيِّدَةُ نِسَاءِ أَهْلِ الْجَنَّةِ بَعْدَ مَرْيَمَ ابْنَةِ عِمْرَانَ فَضَحِكْتُ

Ibnu ‘Abbas meriwayatkan: Rasulullah ﷺ mengeluh sakit pada hari Kamis dan rasa sakitnya semakin parah. Beliau bersabda, “Bawakan kepadaku tinta dan lembaran, akan kutuliskan untuk kalian sebuah tulisan yang kalian tidak akan sesat setelahnya selamanya.” Maka sebagian orang yang hadir berkata, “Sesungguhnya Nabi Allah sedang mengigau, tanyakanlah kepadanya.” Mereka pun mengulanginya, lalu beliau bersabda, “Biarkan aku, karena apa yang sedang aku alami ini lebih baik daripada apa yang kalian ajak aku kepadanya.” Beliau berwasiat dengan tiga hal, beliau bersabda, “Keluarkanlah orang-orang musyrik dari Jazirah Arab, dan berikanlah hadiah kepada delegasi sebagaimana aku biasa memberikannya.” Dan beliau diam dari yang ketiga. ‘Aisyah ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ memanggil Fathimah dalam sakitnya ini, lalu beliau membisikkan sesuatu kepadanya sehingga Fathimah menangis. Kemudian beliau membisikkan lagi, maka Fathimah pun tertawa. Setelah Rasulullah wafat, ‘Aisyah bertanya kepadanya tentang tangis dan tawanya itu. Fathimah menjawab, “Beliau memberitahuku bahwa beliau akan wafat dalam sakitnya ini, maka aku menangis. Kemudian beliau memberitahuku bahwa aku adalah anggota keluarganya yang pertama menyusul beliau, dan bahwa aku adalah pemimpin wanita penghuni surga setelah Maryam binti ‘Imran, maka aku pun tertawa.”

وَبَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ اجتماع الأنصار في مسجده رجالهم ونساءهم وَصِبْيَانُهُمْ يَبْكُونَ عَلَيْهِ فَأَمَرَ أَنْ يُصَبَّ عَلَيْهِ سَبْعَ قِرَبٍ مِنْ سَبْعِ آبَارٍ فَاغْتَسَلَ وَوَجَدَ رَاحَةً فَخَرَجَ فَصَلَّى بِالنَّاسِ ثُمَّ خَطَبَهُمْ فَقَالَ يَا مَعْشَرَ الْمُهَاجِرِينَ إِنَّكُمْ أَصْبَحْتُمْ تَزِيدُونَ وَأَصْبَحَتِ الْأَنْصَارُ لَا تَزِيدُ عَلَى هَيْأَتِهَا الَّتِي هِيَ عَلَيْهَا الْيَوْمَ وَهُمْ عَيْبَتِي الَّتِي أَوَيْتُ إِلَيْهَا وَكَرِشِي الَّتِي آكُلُ فِيهَا فَاحْفَظُونِي فِيهِمْ أَكْرِمُوا كَرِيمَهُمْ وَأَحْسِنُوا إِلَى مُحْسِنِهِمْ لِكُلِّ نَبِيٍّ تَرِكَةٌ وَإِنَّ الْأَنْصَارَ تَرِكَتِي وَقَالَ لِلْأَنْصَارِ يَا مَعْشَرَ الْأَنْصَارِ إِنَّكُمْ تَلْقَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً قَالُوا يَا نَبِيَّ اللَّهِ فَمَا تَأَمُرُنَا؟ قَالَ آمُرُكُمْ أَنْ تصيروا حَتَّى تَلْقَوُا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَكَانَ آخِرَ مَجْلِسٍ جَلَسَهُ حَتَّى قُبِضَ

Kabar tentang berkumpulnya kaum Anshar di masjid mereka, baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak mereka yang menangis karena beliau, sampai kepada Rasulullah ﷺ. Maka beliau memerintahkan agar dituangkan air dari tujuh kendi yang diambil dari tujuh sumur ke atas dirinya, lalu beliau mandi dan merasa segar, kemudian keluar dan shalat bersama orang-orang, lalu berkhutbah kepada mereka. Beliau bersabda, “Wahai kaum Muhajirin, sesungguhnya kalian semakin bertambah banyak, sedangkan kaum Anshar tidak bertambah dari keadaan mereka seperti hari ini. Mereka adalah tempat perlindunganku yang aku berlindung kepadanya, dan perutku yang aku makan darinya. Maka jagalah aku pada mereka, muliakanlah orang mulia mereka, dan berbuat baiklah kepada orang yang berbuat baik di antara mereka. Setiap nabi memiliki warisan, dan sesungguhnya kaum Anshar adalah warisanku.” Dan beliau berkata kepada kaum Anshar, “Wahai kaum Anshar, sesungguhnya kalian akan menghadapi sikap mementingkan diri sendiri (atsarah) setelahku.” Mereka berkata, “Wahai Nabi Allah, apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau bersabda, “Aku perintahkan kalian untuk bersabar hingga kalian bertemu Allah dan Rasul-Nya.” Dan itulah majelis terakhir yang beliau duduki hingga beliau wafat.

وَلَمَّا ضَعُفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَنِ الْخُرُوجِ لِلصَّلَاةِ بِأَصْحَابِهِ قَالَ ” أَصَلَّى النَاسُ؟ فَقَيِلَ لَا هُمْ يَنْتَظِرُونَ خُرُوجَكَ إِلَيْهِمْ فَقَالَ مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ فَقَالَتْ عَائِشَةُ إِنَّ أَبَا بَكْرٍ رَجُلٌ رَقِيقٌ إِذَا وَقَفَ مَوْقِفَكَ بَكَى وَلَمْ يُسْمِعِ النَّاسَ فَلَوْ أَمَرْتَ عُمَرَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ فَقَالَ إِنَّكُنَّ صَوَاحِبُ يُوسُفَ مُرُوا بِلَالًا فَلْيُؤَذِّنْ وَمُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَاسِ فَحَضَرَ أَبُو بَكْرٍ فَصَلَّى بِالنَّاسِ وَكَانَتْ صَلَاةَ عِشَاءِ الْآخِرَةِ وَتَأَخَّرَ بَعْضَ الصَّلَوَاتِ فَتَقَدَّمَ عُمَرُ فَصَلَّى فَسَمِعَ تَكْبِيرَهُ فَقَالَ مَنْ هَذَا؟ قِيلَ عُمَرُ قَالَ مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ فَصَلَّى بِهِمْ أَبُو بَكْرٍ فَلَمَّا كَانَ في يوم االاثنين وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ وَجَدَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ سُكُونًا مِنْ وَجَعِهِ قَالَ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى جعلني قُرَّةَ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ فَكَشَفَ السِّتْرَ

Ketika Rasulullah ﷺ sudah lemah sehingga tidak mampu keluar untuk shalat bersama para sahabatnya, beliau bertanya, “Apakah orang-orang sudah shalat?” Dijawab, “Belum, mereka menunggu engkau keluar menemui mereka.” Maka beliau bersabda, “Perintahkan Abu Bakar agar mengimami shalat.” Aisyah berkata, “Sesungguhnya Abu Bakar adalah seorang yang lembut hati. Jika ia berdiri di tempatmu, ia akan menangis dan suaranya tidak terdengar oleh orang-orang. Seandainya engkau memerintahkan Umar untuk mengimami shalat.” Maka beliau bersabda, “Kalian seperti wanita-wanita Yusuf. Perintahkan Bilal untuk mengumandangkan adzan dan perintahkan Abu Bakar untuk mengimami shalat.” Maka Abu Bakar pun datang dan mengimami shalat bersama orang-orang. Itu adalah shalat Isya yang terakhir. Pada beberapa shalat berikutnya, Abu Bakar terlambat, lalu Umar maju dan mengimami shalat. Ketika Rasulullah ﷺ mendengar takbirnya, beliau bertanya, “Siapa itu?” Dijawab, “Umar.” Beliau bersabda, “Perintahkan Abu Bakar agar mengimami shalat.” Maka Abu Bakar pun mengimami mereka. Ketika tiba hari Senin, Abu Bakar sedang mengimami shalat Subuh, Rasulullah ﷺ merasakan sedikit ketenangan dari sakitnya, lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta‘ala menjadikan penyejuk mataku dalam shalat.” Kemudian beliau menyingkap tirai.

وَخَرَجَ رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يَتَوَكَّأُ عَلَى الْفَضْلِ بْنِ الْعَبَّاسِ وَثَوْبَانَ مَوْلَاهُ حَتَّى دَخَلَ الْمَسْجِدَ وَالنَّاسُ مَعَ أَبِي بَكْرٍ وَهُمْ قِيَامٌ فِي الثَّانِيَةِ مِنَ الصُّبْحِ فَوَقَفَ عَلَى يَمِينِ أَبِي بَكْرٍ فَاسْتَأْخَرَ أَبُو بَكْرٍ فَأَعَادَهُ إِلَى مَوْقِفِهِ وَجَلَسَ وَأَبُو بَكْرٍ قَائِمٌ حَتَّى تَمَّتْ صَلَاةُ أَبِي بَكْرٍ وَأَتَمَّ رَسُولُ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ الرَّكْعَةَ الثَّانِيَةَ وَقَالَ بَعْدَ فَرَاغِهِ ” لَمْ يُقْبَضْ نبي قط حتى يأمه رَجُلٌ مِنْ أُمَّتِهِ وَمَاتَ فِي بَقِيَّةِ يَوْمِهِ ذَلِكَ وَكَانَ عَدَدُ مَا صَلَى أَبُو بَكْرٍ بِالنَّاسِ سَبْعَ عَشْرَةَ صَلَاةً

Rasulullah ﷺ keluar dengan bertumpu pada lengan Al-Fadhl bin Al-Abbas dan Tsauban, pembantunya, hingga beliau masuk masjid, sementara orang-orang bersama Abu Bakar dan mereka sedang berdiri pada rakaat kedua salat Subuh. Beliau berdiri di sebelah kanan Abu Bakar, lalu Abu Bakar mundur, namun beliau mengembalikannya ke tempatnya, kemudian beliau duduk dan Abu Bakar tetap berdiri hingga salat Abu Bakar selesai, dan Rasulullah ﷺ menyempurnakan rakaat keduanya. Setelah selesai, beliau bersabda, “Tidaklah seorang nabi diwafatkan sebelum ada seorang laki-laki dari umatnya yang mengimaminya.” Beliau wafat pada sisa hari itu, dan jumlah salat yang diimami Abu Bakar bersama orang-orang adalah tujuh belas salat.

وَقِيلَ لِعَائِشَةَ لِمَ رَاجَعْتِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنْ يَعْدِلَ بِالصَّلَاةِ عَنْ أَبِيكِ إِلَى عُمَرَ؟ قَالَتْ لِأَنَّهُ وَقَعَ فِي قَلْبِي أَنْ يُحِبَّ النَاسُ بَعْدَهُ رَجُلًا قَامَ مَقَامَهُ

Dan pernah dikatakan kepada ‘Aisyah, “Mengapa engkau meminta Rasulullah ﷺ untuk memindahkan imam shalat dari ayahmu kepada ‘Umar?” Ia menjawab, “Karena terlintas dalam hatiku bahwa manusia setelah beliau akan mencintai seseorang yang menggantikan posisinya.”

وَصَايَا سَيِّدِنَا رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ

Wasiat-wasiat junjungan kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

أَمَّا وَصَايَا رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَرَوَى ابْنُ أَبِي عَوْنٍ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ نَعَى لَنَا نَبِيُّنَا نَفْسَهُ قَبْلَ مَوْتِهِ بِشَهْرٍ فَلَمَّا دَنَا الْفِرَاقُ جَمَعَنَا فِي بَيْتِ عَائِشَةَ وَقَالَ ” مَرْحَبًا بِكُمْ حَيَّاكُمُ اللَّهُ بِالسَّلَامِ رَحِمَكُمُ اللَّهُ حَفِظَكُمُ اللَّهُ جَبَرَكُمُ اللَّهُ رَزَقَكُمُ اللَّهُ وَقَاكُمُ اللَّهُ أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَأُوصِي اللَّهَ بِكُمْ وَأَسْتَخْلِفُ عَلَيْكُمْ وَأُحَذِّرُكُمُ اللَّهَ إِنِّي لَكُمْ مِنْهُ نَذِيرٌ مُبِينٌ أَنْ لَا تَعْلُوا عَلَى اللَّهِ فِي عِبَادِهِ وَبِلَادِهِ ” فَإِنَّهُ قَالَ لِي وَلَكُمْ تِلْكَ الدَّارُ الآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الأَرْضِ وَلا فَسَادًا وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ وَقَالَ أَلَيْسَ فِي جَهَنَّمَ مثوى للمتكبرين قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَتَى أَجَلُكَ؟ قَالَ ” دَنَا الْفِرَاقُ وَالْمُنْقَلَبُ إِلَى اللَّهِ وَإِلَى جَنَّةِ الْمَأْوَى وَإِلَى سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى وَإِلَى الرَّفِيقِ الْأَعْلَى قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ يُغَسِّلُكَ؟ قَالَ ” رِجَالٌ مِنْ أَهْلِي الْأَدْنَى فَالْأَدْنَى ” قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ فَفِيمَ نُكَفِّنُكَ؟ قَالَ فِي ثِيَابِي هَذِهِ إِنْ شِئْتُمْ أَوْ ثِيَابِ حَضَرٍ أَوْ حُلَّةٍ يَمَانِيَةٍ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ يُصَلِّي عَلَيْكَ؟ وَبَكَيْنَا وَبَكَى فَقَالَ ” مَهْلًا رَحِمَكُمُ اللَّهُ وَجَزَاكُمْ عَنْ نَبِيِّكُمْ خَيْرًا إِذَا أَنْتُمْ غَسَّلْتُمُونِي وَكَفَّنْتُمُونِي فَضَعُونِي عَلَى سَرِيرِي هَذَا عَلَى شَفِيرِ قَبْرِي فِي بَيْتِي هَذَا ثُمَّ اخْرُجُوا عَنِّي سَاعَةً فَإِنَّ أَوَّلَ مَنْ يُصَلِّي عَلَيَّ حَبِيبِي وَخَلِيلِي جِبْرِيلُ ثُمَّ مِيكَائِيَلُ ثُمَّ إِسْرَافِيلُ ثُمَّ مَلَكُ الْمَوْتِ مَعَهُ جُنُودٌ مِنَ الْمَلَائِكَةِ ثُمَّ ادْخُلُوا عَلَيَّ فَوْجًا فَوْجًا فَصَلُّوا عَلَيَّ وسلموا تسليما ولا تؤذونني بباكية واقرأوا السلام على من غاب من أصحابي واقرأوا السلام على من تبعني على دِينِي مِنْ قَوْمِي هَذَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ “

Adapun wasiat-wasiat Rasulullah ﷺ, Ibnu Abi ‘Aun meriwayatkan dari Ibnu Mas‘ud, ia berkata: Nabi kita telah memberitahukan kepada kami tentang wafatnya beliau sebulan sebelum wafatnya. Ketika saat perpisahan sudah dekat, beliau mengumpulkan kami di rumah ‘Aisyah dan berkata, “Selamat datang, semoga Allah memberkahi kalian dengan keselamatan, semoga Allah merahmati kalian, semoga Allah menjaga kalian, semoga Allah menguatkan kalian, semoga Allah memberi rezeki kepada kalian, semoga Allah melindungi kalian. Aku wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, dan aku wasiatkan kalian kepada Allah, dan aku serahkan urusan kalian kepada-Nya. Aku memperingatkan kalian kepada Allah, sungguh aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kalian dari-Nya, agar kalian tidak berlaku sombong terhadap Allah dalam urusan hamba-hamba-Nya dan negeri-negeri-Nya.” Beliau bersabda kepadaku dan kepada kalian: “Itulah negeri akhirat, Kami jadikan bagi orang-orang yang tidak menginginkan keangkuhan di bumi dan tidak (pula) membuat kerusakan, dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” Beliau juga bersabda: “Bukankah di neraka Jahanam ada tempat bagi orang-orang yang sombong?” Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, kapan ajalmu?” Beliau menjawab, “Saat perpisahan telah dekat dan tempat kembali adalah kepada Allah, ke surga tempat tinggal, ke Sidratul Muntaha, dan ke teman yang paling tinggi.” Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa yang akan memandikanmu?” Beliau menjawab, “Laki-laki dari keluargaku yang paling dekat, kemudian yang lebih dekat.” Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, dengan apa kami mengafanimu?” Beliau menjawab, “Dengan pakaian-pakaianku ini jika kalian mau, atau dengan pakaian Hadar, atau dengan kain Yaman.” Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa yang akan menshalatkanmu?” Kami pun menangis dan beliau juga menangis, lalu bersabda, “Tenanglah, semoga Allah merahmati kalian dan membalas kalian dengan kebaikan atas (pengabdian) kalian kepada nabi kalian. Jika kalian telah memandikanku dan mengafaniku, letakkanlah aku di atas dipan ini di tepi kuburku di rumah ini, kemudian keluarlah dari sisiku sejenak. Maka sesungguhnya yang pertama kali akan menshalatkanku adalah kekasihku dan sahabatku Jibril, kemudian Mikail, kemudian Israfil, kemudian Malaikat Maut bersama bala tentara malaikat. Setelah itu masuklah kalian kepadaku secara bergelombang, lalu shalatkanlah aku dan ucapkanlah salam dengan salam yang sempurna, dan janganlah kalian menyakitiku dengan tangisan yang keras. Sampaikanlah salam kepada sahabat-sahabatku yang tidak hadir, dan sampaikanlah salam kepada siapa saja dari kaumku yang mengikuti agamaku ini hingga hari kiamat.”

وَرَوَى أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ قَالَ كَانَتْ عَامَّةُ وَصِيَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَهُوَ يُغَرْغِرُ بِنَفْسِهِ الصَّلَاةَ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ

Anas bin Malik meriwayatkan bahwa wasiat Rasulullah saw. yang paling umum ketika beliau sedang sekarat adalah: “Salatlah kalian dan perhatikanlah apa yang menjadi tanggungan tangan kanan kalian (budak-budak kalian).”

وَرَوَى عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ قَالَ كَانَ آخِرُ مَا تَكَلَّمَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ لَا يَبْقَيَنَّ دِينَانِ بِأَرْضِ الْعَرَبِ “

Umar bin Abdul Aziz meriwayatkan, ia berkata: Perkataan terakhir yang diucapkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah, beliau bersabda, “Semoga Allah memerangi orang-orang Yahudi dan Nasrani; mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid. Jangan sampai ada dua agama yang tetap ada di tanah Arab.”

وَرَوَى جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَبْلَ مَوْتِهِ بِثَلَاثٍ وَهُوَ يَقُولُ ” أَلَا لَا يَمُوتَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بالله “

Jabir bin Abdullah meriwayatkan, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiga hari sebelum wafatnya, beliau bersabda: “Ketahuilah, janganlah salah seorang di antara kalian meninggal dunia kecuali dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah.”

وَدَخَلَ الْفَضْلُ بْنُ الْعَبَّاسِ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي مَرَضِهِ فَقَالَ يَا فَضْلُ شُدَّ هَذِهِ الْعِصَابَةَ عَلَى رَأْسِي وَنَهَضَ عَلَى يَدِهِ حَتَّى دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثَمَّ قَالَ إِنَّهُ قَدْ دَنَا مِنِّي حُقُوقٌ مِنْ بَيْنِ أَظْهُرِكُمْ وَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ فَأَيُّمَا رَجُلٍ أَصَبْتُ مِنْ عِرْضِهِ شَيْئًا فَهَذَا عِرْضِي فَلْيَقْتَصَّ وَأَيُّمَا رَجُلٍ أَصَبْتُ مِنْ بَشَرِهِ شَيْئًا فَهَذَا بَشَرِي فَلْيَقْتَصَّ وَأَيُّمَا رَجُلٍ أَصَبْتُ مِنْ مَالِهِ شَيْئًا فَهَذَا مَالِي فَلْيَأْخُذْ وَاعْلَمُوا أَنَّ أَوْلَاكُمْ بِي رَجُلٌ كَانَ لَهُ مِنْ ذَلِكَ شَيْءٌ فَأَخَذَهُ أَوْ حَلَّلَنِي فَلَقِيتُ رَبِّي وَأَنَا مُحَلَّلٌ وَلَا يَقُولَنَّ رَجُلٌ إِنِّي أَخَافُ الْعَدَاوَةَ وَالشَّحْنَاءَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَإِنَّهُمَا لَيْسَا مِنْ طَبِيعَتِي وَلَا خُلُقِي فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ لِي عِنْدَكَ ثَلَاثَةُ دَرَاهِمَ فَقَالَ أَمَّا أَنَا فَلَا أُكَذِّبُ قائلا ولا مستخلفه عَلَى يَمِينٍ فِيمَ كَانَتْ لَكَ عِنْدِي؟ قَالَ أَمَا تَذْكُرُ أَنَّهُ مَرَّ بِكَ سَائِلٌ فَأَمَرْتَنِي فَأَعْطَيْتُهُ ثَلَاثَةَ دَرَاهِمَ قَالَ صَدَقَ أَعْطِهَا إِيَّاهُ يَا فَضْلُ

Al-Fadhl bin Al-Abbas masuk menemui Rasulullah ﷺ saat beliau sedang sakit. Rasulullah bersabda, “Wahai Fadhl, ikatlah kain perban ini di kepalaku.” Lalu beliau bangkit dengan bertumpu pada tangannya hingga masuk ke masjid, kemudian memuji Allah dan menyanjung-Nya, lalu bersabda, “Sesungguhnya telah dekat kepadaku hak-hak dari kalian yang ada di antara kalian. Aku ini hanyalah manusia. Maka siapa saja dari kalian yang pernah aku lukai kehormatannya, inilah kehormatanku, silakan membalas. Siapa saja dari kalian yang pernah aku sakiti tubuhnya, inilah tubuhku, silakan membalas. Siapa saja dari kalian yang pernah aku ambil hartanya, inilah hartaku, silakan diambil. Ketahuilah, bahwa orang yang paling utama bagiku adalah orang yang memiliki hak dariku lalu ia mengambilnya atau memaafkanku, sehingga aku bertemu Tuhanku dalam keadaan telah dimaafkan. Janganlah ada seorang pun berkata, ‘Aku takut permusuhan dan kebencian dari Rasulullah ﷺ,’ karena keduanya bukanlah tabiatku dan bukan pula akhlakku.” Lalu seorang laki-laki berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku punya hak tiga dirham darimu.” Rasulullah bersabda, “Adapun aku, aku tidak mendustakan ucapan siapa pun dan tidak pula meminta seseorang bersumpah atas haknya. Untuk apa tiga dirham itu kau miliki dariku?” Ia menjawab, “Tidakkah engkau ingat, ada seorang pengemis melewatimu, lalu engkau memerintahkanku dan aku memberinya tiga dirham?” Rasulullah bersabda, “Benar. Wahai Fadhl, berikan tiga dirham itu kepadanya.”

وَرُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ فِي مَرَضِهِ هَذَا يَا عَبَّاسُ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ يَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ يَا صَفِيَّةُ عَمَّةَ رَسُولِ اللَّهِ يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ اعْمَلُوا لِمَا عِنْدَ اللَّهِ إِنِّي لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا سَلُونِي مَا شِئْتُمْ فَلَمَّا حَلَّ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ الْمَوْتُ قَالَ يَا نَفْسُ مَا لَكِ تَلُوذِينَ كُلَّ مَلَاذٍ وَكَانَ عِنْدَهُ قَدَحٌ فِيهِ مَاءٌ فَكَانَ يُدْخِلُ يَدَهُ فِيهِ وَيَمْسَحُ بِهَا وَجْهَهُ ثُمَّ يَقُولُ ” اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى سَكَرَاتِ الْمَوْتِ ” ثم مات صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَرَأْسُهُ فِي حِجْرِ عَائِشَةَ قَالَتْ عَائِشَةُ مَاتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بَيْنَ سَحْرِي وَنَحْرِي وَفِي بَيْتِي وَدَوْلَتِي وَلَمْ أَظْلِمْ فِيهِ أَحَدًا

Diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ bersabda dalam sakitnya yang terakhir: “Wahai Abbas bin Abdul Muththalib, wahai Fatimah binti Muhammad, wahai Shafiyyah bibi Rasulullah, wahai Bani Abdul Manaf, beramallah untuk apa yang ada di sisi Allah, sesungguhnya aku tidak dapat menolong kalian sedikit pun dari (azab) Allah. Mintalah kepadaku apa yang kalian inginkan.” Ketika ajal menjemput Rasulullah ﷺ, beliau berkata: “Wahai jiwa, mengapa engkau berlindung ke segala tempat perlindungan?” Di sisinya ada sebuah cawan berisi air, beliau memasukkan tangannya ke dalamnya dan mengusapkan ke wajahnya, lalu berkata: “Ya Allah, tolonglah aku menghadapi sakaratul maut.” Kemudian beliau wafat ﷺ dengan kepalanya di pangkuan Aisyah. Aisyah berkata: “Rasulullah ﷺ wafat di antara dada dan leherku, di rumahku dan pada giliranku, dan aku tidak menzhalimi seorang pun dalam hal itu.”

وَقَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ مَاتَ وَقَدْ أَسْنَدْتُهُ إِلَى صَدْرِي وَوَضَعَ رَأْسَهُ عَلَى مَنْكِبِي فَقَالَ الصَّلَاةَ الصَّلَاةَ قَالَ كَعْبٌ كَذَلِكَ آخِرُ عَهْدِ الْأَنْبِيَاءِ وَبِهِ أُمِرُوا وَعَلَيْهِ يُبْعَثُونَ ثُمَّ سُجِّيَ بِبُرْدٍ حَبِرَةٍ وَكَانَ بَدْءُ مَرَضِهِ يَوْمَ الْأَرْبِعَاءِ لِلَيْلَتَيْنِ بَقِيَتَا مِنْ صَفَرٍ وَقِيلَ لِلَيْلَةٍ بَقِيَتْ مِنْهُ وَمَاتَ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ الثَّانِي عَشَرَ مِنْ شَهْرِ رَبِيعٍ الْأَوَّلِ حَتَّى زَاغَتِ الشَّمْسُ وَهُوَ مِثْلُ الْيَوْمِ الَّذِي دَخَلَ فِيهِ إِلَى الْمَدِينَةِ مُهَاجِرًا لِأَنَّهُ دَخَلَهَا فِي يَوْمِ الِاثْنَيْنِ الثَّانِي عَشَرَ مِنْ شَهْرِ رَبِيعٍ الْأَوَّلِ

Ali bin Abi Thalib—semoga salam tercurah kepadanya—berkata: “Beliau wafat sementara aku menyandarkan beliau ke dadaku dan beliau meletakkan kepalanya di pundakku. Lalu beliau bersabda: ‘Shalat, shalat!’ Ka‘b berkata: ‘Demikianlah akhir wasiat para nabi, dan dengan itulah mereka diperintahkan, dan atas itulah mereka akan dibangkitkan.’ Kemudian beliau diselimuti dengan kain burd habirah. Awal sakit beliau terjadi pada hari Rabu, dua malam tersisa dari bulan Shafar—dan ada yang mengatakan satu malam tersisa darinya—dan beliau wafat pada hari Senin, tanggal dua belas bulan Rabi‘ul Awwal, hingga matahari condong. Itu adalah hari yang sama ketika beliau memasuki Madinah sebagai seorang muhajir, karena beliau memasukinya pada hari Senin, tanggal dua belas bulan Rabi‘ul Awwal.”

وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وُلِدَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يوم الاثنين ونبىء يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَرَفَعَ الْحَجَرَ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَخَرَجَ مُهَاجِرًا يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَدَخَلَ الْمَدِينَةِ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَقُبِضَ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ فَكَانَ مُدَّةُ مَرَضِهِ ثَلَاثَةَ عشرة يَوْمًا وَنَزَلَ عَلَى حَالِهِ مُسَجًّى لَمْ يُدْفَنْ فِي بَقِيَّةِ يَوْمِ الِاثْنَيْنِ وَيَوْمِ الثُّلَاثَاءِ وَدُفِنَ فِي آخِرِهِ وَقِيلَ فِي اللَّيْلِ بَعْدَ أَنْ رَبَا قَمِيصُهُ قَالَ الْقَاسِمُ بْنُ مُحَمَّدٍ وَاخْضَرَّتْ أَظْفَارُهُ وَكَانَ لَهُ يَوْمَ مَاتَ فِي رِوَايَةِ الجمهور ثلاثة وَسِتُّونَ سَنَةً أَقَامَ مِنْهَا بِالْمَدِينَةِ بَعْدَ هِجْرَتِهِ إِلَيْهَا عَشْرَ سِنِينَ يَخْرُجُ فِيهَا إِلَى غَزَوَاتِهِ ويعود إِلَيْهَا وَحَضَرَ غَسَّلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَرْبَعَةٌ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ وَالْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَالْفَضْلُ بْنُ الْعَبَّاسِ وَأُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ فَتَفَرَّدَ عَلِيٌّ بِغَسْلِهِ وَكَانَ الْعَبَّاسُ يَسْتُرُ عَلَيْهِ الثَّوْبَ وَكَانَ الْفَضْلُ يُنَاوِلُهُ الْمَاءَ وَكَانَ أُسَامَةُ يَتَرَدَّدُ إِلَيْهِمْ بِالْمَاءِ وَلَمَّا أَرَادُوا نَزْعَ قَمِيصِهِ لِغَسْلِهِ سَمِعُوا هَاتِفًا يَقُولُ يَسْمَعُونَ صَوْتَهُ وَلَا يَرَوْنَ شَخْصَهُ غَسِّلُوهُ فِي قَمِيصِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ وَلَا تَنْزِعُوهُ عَنْهُ فَغُسِّلَ فِيهِ وَكُفِّنَ فِي ثَلَاثَةِ أَثْوَابٍ بِيضٍ غِلَاظٍ يَمَانِيَّةٍ سَحُولِيَّةٍ لَيْسَ فِيهَا قَمِيصٌ وَلَا عِمَامَةٌ وَحُنِّطَ وَكَانَ فِي حَنُوطِهِ مِسْكٌ

Ibnu ‘Abbas berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan pada hari Senin, diangkat menjadi nabi pada hari Senin, mengangkat Hajar Aswad pada hari Senin, keluar berhijrah pada hari Senin, masuk ke Madinah pada hari Senin, dan wafat pada hari Senin. Masa sakit beliau berlangsung selama tiga belas hari, dan beliau dibiarkan dalam keadaan tertutup kain kafan, belum dimakamkan, pada sisa hari Senin dan hari Selasa, lalu dimakamkan pada akhir hari Selasa, dan ada yang mengatakan pada malam hari setelah baju beliau membengkak. Al-Qasim bin Muhammad berkata: kuku beliau menjadi kehijauan. Menurut riwayat mayoritas, usia beliau saat wafat adalah enam puluh tiga tahun, dan beliau tinggal di Madinah setelah hijrah selama sepuluh tahun, selama itu beliau keluar untuk peperangan dan kembali ke Madinah. Yang hadir memandikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ada empat orang: Ali bin Abi Thalib, Al-‘Abbas bin Abdul Muththalib, Al-Fadhl bin Al-‘Abbas, dan Usamah bin Zaid. Ali sendirian yang memandikan beliau, Al-‘Abbas menutupi beliau dengan kain, Al-Fadhl memberikan air kepadanya, dan Usamah bolak-balik membawa air kepada mereka. Ketika mereka hendak melepas baju beliau untuk memandikannya, mereka mendengar suara yang berkata—mereka mendengar suaranya namun tidak melihat wujudnya—“Mandikanlah beliau dengan baju yang beliau wafat di dalamnya, dan jangan lepaskan baju itu darinya.” Maka beliau dimandikan dengan baju itu, dan dikafani dengan tiga kain putih tebal buatan Yaman, tidak ada baju dan tidak ada sorban di dalamnya, dan beliau diberi wewangian, di antaranya terdapat minyak kesturi.

وَلَمَّا فُرِغَ مِنْ إِكْفَانِهِ وَوُضِعَ عَلَى سَرِيرِهِ وَدَخَلَ النَّاسُ فَصَلَّوْا عَلَيْهِ أَفْوَاجًا لَا يَؤُمُّهُمْ أَحَدٌ لِأَنَّهُ كَانَ إِمَامَ الْأُمَّةِ حَيًّا وَمَيِّتًا فَكَانَ أَوَّلَ مَنْ دَخَلَ لِلصَّلَاةِ عَلَيْهِ بَنُو هَاشِمٍ ثُمَّ الْمُهَاجِرُونَ ثُمَّ الْأَنْصَارُ ثُمَّ مَنْ بَعْدَهُمْ مِنَ الرِّجَالِ ثُمَّ النِّسَاءُ ثُمَّ الصِّبْيَانُ وَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَمَعَهُمَا نَفَرٌ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ فَقَالُوا السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ وَسَلَّمَ النَّاسُ كَمَا سَلَّمَا ثُمَّ قَالَا إِنَّا نَشْهَدُ أَنْ قَدْ بَلَّغَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ جُمْلَةً إِلَيْهِ وَنَصَحَ لِأُمَّتِهِ وَجَاهَدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ حَتَّى أَعَزَّ اللَّهُ دِينَهُ وَتَمَّتْ كَلِمَاتُ رَبِّهِ فَاجْعَلْنَا يَا إِلَهَنَا مِمَّنْ يَتَّبِعُ الْقَوْلَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ وَاجْمَعْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُ حَتَّى يعرفنا ونعرفه فإنه كان بالمؤمنين رؤوفا رَحِيمًا لَا نَبْتَغِي بِالْإِيمَانِ بَدَلًا وَلَا نَشْتَرِي بِهِ ثَمَنًا أَبَدًا فَقَالَ النَّاسُ آمِينَ آمِينَ وَتَفَرَّقُوا

Setelah selesai mengafani beliau dan diletakkan di atas ranjangnya, orang-orang masuk dan menyalatkan beliau secara bergelombang tanpa ada seorang pun yang menjadi imam mereka, karena beliau adalah imam umat baik ketika hidup maupun setelah wafat. Maka yang pertama kali masuk untuk menyalatkan beliau adalah Bani Hasyim, kemudian kaum Muhajirin, lalu kaum Anshar, kemudian orang-orang setelah mereka dari kalangan laki-laki, lalu para wanita, kemudian anak-anak. Abu Bakar dan Umar pun masuk bersama beberapa orang dari kaum Muhajirin dan Anshar, lalu mereka mengucapkan, “Salam sejahtera atasmu, wahai Nabi, rahmat Allah dan berkah-Nya.” Orang-orang pun mengucapkan salam sebagaimana keduanya. Kemudian keduanya berkata, “Kami bersaksi bahwa sungguh beliau telah menyampaikan seluruh apa yang Allah turunkan kepadanya, menasihati umatnya, dan berjihad di jalan Allah hingga Allah memuliakan agama-Nya dan sempurnalah kalimat-kalimat Rabb-Nya. Maka jadikanlah kami, wahai Tuhan kami, termasuk orang-orang yang mengikuti ajaran yang diturunkan bersamanya, dan kumpulkanlah kami bersamanya hingga ia mengenali kami dan kami mengenalinya, karena sungguh beliau sangat penyantun dan penyayang kepada orang-orang beriman. Kami tidak mencari pengganti keimanan ini, dan tidak akan pernah menukarnya dengan apa pun.” Maka orang-orang pun berkata, “Amin, amin,” lalu mereka pun berpencar.

ثُمَّ دَخَلَ بَعْدَهُمْ فَوْجٌ بَعْدَ فَوْجٍ وَابْتَدَأَ النَّاسُ بِالصَّلَاةِ عَلَيْهِ مِنْ حِينِ زَاغَتِ الشَّمْسُ مِنْ يَوْمِ الِاثْنَيْنِ إِلَى أَنْ زَاغَتِ الشَّمْسُ مِنْ يَوْمِ الثُّلَاثَاءِ وَاخْتَلَفُوا فِي مَوْضِعِ قَبْرِهِ فَقَالَ قَائِلٌ عِنْدَ الْمِنْبَرِ

Kemudian setelah mereka, datanglah rombongan demi rombongan, dan orang-orang mulai menyalatkan jenazah beliau sejak matahari tergelincir pada hari Senin hingga matahari tergelincir pada hari Selasa. Mereka pun berselisih pendapat tentang lokasi makam beliau; ada yang berpendapat di dekat mimbar.

وَقَالَ قَائِلٌ حَيْثُ كَانَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ

Dan seseorang berkata ketika ia sedang mengimami orang-orang salat.

وَقَالَ قَائِلٌ يُدْفَنُ مَعَ أَصْحَابِهِ بِالْبَقِيعِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ ادْفِنُوهُ حَيْثُ قَبَضَهُ اللَّهُ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يَقُولُ مَا مَاتَ نَبِيٌّ إِلَّا دُفِنَ حَيْثُ يُقْبَضُ فَرُفِعَ فَرَاشُهُ الَّذِي مَاتَ عَلَيْهِ فَدُفِنَ تحته

Seseorang berkata, “Dimakamkan bersama para sahabatnya di Baqi‘.” Maka Abu Bakar berkata, “Makamkanlah beliau di tempat Allah mewafatkannya, karena aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidaklah seorang nabi wafat kecuali dimakamkan di tempat ia diwafatkan.’ Maka diangkatlah tempat tidur beliau yang menjadi tempat wafatnya, lalu beliau dimakamkan di bawahnya.”

وكانت عائشة تقول لِأَبِي بَكْرٍ إِنِّي رَأَيْتُ فِي الْمَنَامِ كَأَنَّ ثلاثة أقمار سقطن في حجري فَلَمَّا دُفِنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي حُجْرَتِهَا قَالَ لَهَا أَبُو بَكْرٍ هَذَا أَحَدُ أَقْمَارِكِ وَهُوَ خَيْرُهَا

Aisyah berkata kepada Abu Bakar, “Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi seolah-olah tiga bulan jatuh ke pangkuanku.” Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dimakamkan di kamarnya, Abu Bakar berkata kepadanya, “Inilah salah satu bulanmu, dan dia adalah yang terbaik di antara mereka.”

وَاخْتَلَفُوا فِي حَفْرِ قَبْرِهِ لَحْدًا كَأَهْلِ الْمَدِينَةِ أَوْ ضَرِيحًا كَأَهْلِ مَكَّةَ وَكَانَ أَبُو طَلْحَةَ يُلْحِدُ وَأَبُو عُبَيْدَة بْنُ الْجَرَّاحِ يُضْرِحُ فَأَنْفَذَ الْعَبَّاسُ رَجُلَيْنِ أَحَدَهُمَا إِلَى أَبِي طَلْحَةَ وَالْآخَرَ إِلَى أَبِي عُبَيْدَةَ وَقَالَ اللَّهُمَّ خِرْ لِنَبِيِّكَ فَسَبَقَ مَجِيءُ أَبِي طَلْحَةَ فَحَفَرَ لَهُ لَحْدًا فَأَخَذَ بِهِ الشَّافِعِيُّ فِي الِاخْتِيَارِ

Mereka berbeda pendapat tentang cara menggali kuburannya, apakah dengan membuat liang lahad seperti penduduk Madinah atau dengan membuat syiq seperti penduduk Makkah. Abu Thalhah biasa membuat liang lahad, sedangkan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah biasa membuat syiq. Maka Abbas mengutus dua orang, salah satunya kepada Abu Thalhah dan yang lainnya kepada Abu Ubaidah, lalu ia berdoa, “Ya Allah, pilihkan yang terbaik untuk Nabi-Mu.” Ternyata Abu Thalhah yang datang lebih dulu, lalu ia menggali liang lahad untuk beliau. Dalam hal ini, Imam Syafi‘i memilih pendapat tersebut.

وَقَدْ رَوَى جَرِيرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” اللَّحْدُ لَنَا وَالشِّقُّ لِغَيْرِنَا “

Telah meriwayatkan Jarir bin Abdullah dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, “Lahd adalah untuk kita, dan syiq adalah untuk selain kita.”

وَنَزَلَ إِلَى قَبْرِهِ أَرْبَعَةٌ اثْنَانِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِمَا وَهُمَا عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ وَالْفَضْلُ بْنُ الْعَبَّاسِ وَاثْنَانِ مُخْتَلَفٌ فِيهِمَا فَرُوِيَ أَنَّهُمَا الْعَبَّاسُ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ

Dan yang turun ke dalam kuburnya ada empat orang: dua orang yang disepakati, yaitu Ali bin Abi Thalib dan Fadhl bin Abbas, dan dua orang yang diperselisihkan, yang diriwayatkan bahwa keduanya adalah Abbas dan Abdurrahman bin Auf.

وَرُوِيَ أَنَّهُمَا قَثَمُ بْنُ الْعَبَّاسِ وَأُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ

Diriwayatkan bahwa keduanya adalah Qatsam bin Al-‘Abbas dan Usamah bin Zaid.

وَنُصِبَ اللَّبِنُ عَلَى لَحْدِهِ وَبُسِطَ تَحْتَهُ قَطِيفَةٌ حَمْرَاءُ كَانَ يَلْبَسُهَا

Dan diletakkan batu bata di atas liang lahadnya, serta dibentangkan di bawahnya kain beludru merah yang biasa ia kenakan.

وَقِيلَ بَلْ أُلْقِيَتْ فِي قَبْرِهِ فَوْقَ لَحْدِهِ أَلْقَاهَا غُلَامٌ كَانَ يَخْدِمُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فقال صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لَا يَلْبَسُهَا بَعْدِي أَحَدٌ أَبَدًا فَتُرِكَتْ عَلَى حَالِهَا فِي الْقَبْرِ وَلَمْ تُخْرَجْ مِنْهُ وَجُعِلَ بَيْنَ قَبْرِهِ وَبَيْنَ حَائِطِ الْقِبْلَةِ نَحْوُ سَوْطٍ

Dikatakan pula bahwa kain itu dilemparkan ke dalam kuburnya, di atas liang lahadnya, dan yang melemparkannya adalah seorang pelayan yang biasa melayaninya ﷺ. Maka beliau ﷺ bersabda, “Tidak akan ada seorang pun yang memakainya setelahku selamanya.” Maka kain itu dibiarkan tetap di tempatnya di dalam kubur dan tidak dikeluarkan darinya, dan antara kuburnya dan dinding kiblat terdapat jarak sekitar satu cambuk.

فَصْلٌ وَلَمَّا مَاتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ كان أبو بكر في مسكنه بالسنح ولم يَشْهَدْ مَوْتَهُ فَأَقْبَلَ عَلَى فَرَسِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ الْمَسْجِدَ وَالنَّاسُ عَلَى شَكٍّ فِي مَوْتِهِ وَهُمْ يَبْكُونَ وَعُمَرُ قَائِمٌ فِي الْمَسْجِدِ خَطِيبًا يَتَوَعَّدُ النَّاسَ وَيَقُولُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لَمْ يَمُتْ وَلَكِنْ عُرِجَ بِرُوحِهِ كَمَا عُرِجَ بِرُوحِ مُوسَى وَغَابَ عَنْ قَوْمِهِ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرْجُو أَنْ يُقْطَعَ أَيْدِي رِجَالٍ وَأَرْجُلُهُمْ يَزْعُمُونَ أَنَّهُ قَدْ مَاتَ فَقَالَ الْعَبَّاسُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يَأْسَنُ كَمَا يَأْسَنُ الْبَشَرُ وَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَدْ مَاتَ فَادْفِنُوا صَاحِبَكُمْ أَيُمِيتُ اللَّهُ أَحَدَكُمْ إِمَاتَةً وَيُمِيتُ رَسُولَهُ إِمَاتَتَيْنِ وَهُوَ أَكْرَمُ عَلَى اللَّهِ مِنْ ذَلِكَ فَإِنْ كَانَ كَمَا يَقُولُونَ فَلَيْسَ عَلَى اللَّهِ بِعَزِيزٍ أَنْ يَبْحَثَ عَنْهُ التُّرَابَ فَيُخْرِجَهُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ مَا مَاتَ حَتَّى تَرَكَ السَّبِيلَ نَهْجًا وَاضِحًا

Ketika Rasulullah saw. wafat, Abu Bakar berada di rumahnya di Sunh dan tidak menyaksikan wafatnya beliau. Maka ia segera menaiki kudanya dan belum masuk ke masjid, sementara orang-orang masih ragu tentang wafatnya beliau dan mereka menangis. Umar berdiri di masjid berkhutbah, mengancam orang-orang dan berkata, “Sesungguhnya Rasulullah saw. tidak wafat, tetapi ruhnya diangkat sebagaimana ruh Musa diangkat dan ia menghilang dari kaumnya selama empat puluh malam. Demi Allah, aku berharap tangan dan kaki orang-orang yang mengira beliau telah wafat akan dipotong.” Maka Abbas berkata, “Sesungguhnya Rasulullah saw. juga mengalami apa yang dialami manusia, dan sungguh Rasulullah saw. telah wafat. Maka kuburkanlah sahabat kalian. Apakah Allah mematikan salah seorang dari kalian satu kali kematian, lalu mematikan Rasul-Nya dua kali, padahal beliau lebih mulia di sisi Allah daripada itu? Jika memang seperti yang mereka katakan, maka tidaklah sulit bagi Allah untuk membangkitkannya dari tanah dan mengeluarkannya jika Allah menghendaki. Beliau tidak wafat kecuali setelah meninggalkan jalan yang terang dan jelas.”

أَحَلَّ الْحَلَالَ وَحَرَّمَ الْحَرَامَ وَنَكَحَ وَطَلَّقَ وَحَارَبَ وَسَالَمَ فَأَنْتُمْ أصحابه وقالوا تربصوا نبيكم لعله علج بِرُوحِهِ فَتَرَبَّصُوا بِهِ حَتَّى رَبَا بَطْنُهُ فَابْتَدَأَ أَبُو بَكْرٍ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَدَخَلَ عَلَيْهِ وَكَشَفَ الثَّوْبَ عَنْ وَجْهِهِ فَاسْتَرْجَعَ وَقَالَ مَاتَ وَاللَّهِ رَسُولُ اللَّهِ فَقَبَّلَ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَرَفَعَ رَأَسَهُ وَقَالَ وَانَبِيَّاهْ ثُمَّ قَبَّلَ جَبْهَتَهُ وَرَفَعَ رَأَسَهُ وَقَالَ وَاخَلِيلَاهْ ثُمَّ قَبَّلَ جَبْهَتَهُ وَرَفَعَ رَأَسَهُ وَقَالَ وَاصَفِيَّاهْ ثُمَّ أَكَبَّ عَلَيْهِ وَبَكَى وَقَالَ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي مَا أَطْيَبَ حَيَاتَكَ وَأَطْيَبَ مِيتَتَكَ لَأَنْتَ أَكْرَمُ عَلَى اللَّهِ مِنْ أَنْ يَجْمَعَ عَلَيْكَ مَوْتَتَيْنِ فَأَمَّا الموتة التي كتبت عليها فقدمتها ثُمَّ سَجَّاهُ بِثَوْبِهِ وَخَرَجَ فَدَخَلَ الْمَسْجِدَ وَعُمَرُ فِي كَلَامِهِ وَتَوَعُّدِهِ لِلنَّاسِ فَسَكَّتَهُ أَبُو بَكْرٍ فَسَكَتَ ثُمَّ صَعِدَ أَبُو بَكْرٍ الْمِنْبَرَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَرَأَ إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ ثُمَّ قَرَأَ وَمَا مُحَمَّدٌ إِلا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ ثُمَّ قَالَ مَنْ كَانَ يَعْبُدُ مُحَمَّدًا فَإِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ وَمَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللَّهَ فَإِنَّ اللَّهَ حَيٌّ لَا يَمُوتُ فَكَأَنَّ النَّاسَ لَمْ يَكُونُوا يَعْلَمُونَ أَنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ هَذِهِ الْآيَةَ إِلَّا حِينَ تَلَاهَا أَبُو بَكْرٍ وَقَالَ عُمَرُ هَذَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ فَتَلَقَّاهَا النَّاسُ كُلُّهُمْ فَمَا سُمِعَ بَشَرٌ إِلَّا يَتْلُوهَا وقال عمر ما حملني على مقالتي إِلَّا أَنِّي كُنْتُ أَقْرَأُ هَذِهِ الْآيَةَ وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا فَكُنْتُ أَظُنُّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يُسْتَبْقَى فِي أُمَّتِهِ حَتَّى يَشْهَدَ عَلَيْهَا بِآخِرِ أَعْمَالِهَا ثُمَّ أَخَذُوا فِي جَهَازِهِ وَكَانُوا مُمْسِكِينَ عَنِ التَّعْزِيَةِ بِهِ حَتَّى جَاءَتْهُمُ التَّعْزِيَةُ مِنْ شَخْصٍ يَسْمَعُونَ صَوْتَهُ وَلَا يَرَوْنَ شَخْصَهُ فَقَالَ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ فِي اللَّهِ عَزَاءً مِنْ كُلِّ مُصِيبَةٍ وَخَلَفًا مَنْ كُلِّ هَالِكٍ وَدَرْكًا مِنْ كُلِّ فَائِتٍ فَبِاللَّهِ فَثِقُوا وَإِيَّاهُ فَارْجُوا فَإِنَّ الْمُصَابَ مَنْ حُرِمَ الثَّوَابَ فَحِينَئِذٍ عَزَّا الناس بعضهم بعضا

Dia telah menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram, menikah dan menceraikan, berperang dan berdamai, maka kalian adalah para sahabatnya. Mereka berkata, “Tunggulah nabi kalian, barangkali ia pingsan jiwanya.” Maka mereka menunggu beliau hingga perutnya membuncit. Lalu Abu Bakar memulai dengan mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, masuk menemuinya, membuka kain dari wajahnya, lalu mengucapkan istirja‘ dan berkata, “Demi Allah, Rasulullah telah wafat.” Ia mencium di antara kedua matanya, mengangkat kepalanya dan berkata, “Wahai Nabiku!” Lalu ia mencium keningnya, mengangkat kepalanya dan berkata, “Wahai kekasihku!” Kemudian ia mencium keningnya lagi, mengangkat kepalanya dan berkata, “Wahai orang pilihan Allah!” Lalu ia menunduk di atasnya dan menangis seraya berkata, “Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu, betapa indah hidupmu dan betapa indah wafatmu. Sungguh engkau lebih mulia di sisi Allah daripada dikumpulkan atasmu dua kematian. Adapun kematian yang telah ditetapkan atasmu, engkau telah mengalaminya.” Kemudian ia menutupinya dengan kainnya, lalu keluar dan masuk ke masjid, sementara Umar masih berbicara dan mengancam orang-orang. Maka Abu Bakar membungkamnya hingga ia diam. Lalu Abu Bakar naik ke mimbar, memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian membaca, “Sesungguhnya engkau akan mati dan sesungguhnya mereka pun akan mati.” Lalu ia membaca, “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa rasul. Apakah jika ia wafat atau dibunuh kalian akan berbalik ke belakang? Barang siapa berbalik ke belakang, maka ia tidak akan membahayakan Allah sedikit pun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” Kemudian ia berkata, “Barang siapa menyembah Muhammad, maka sungguh Muhammad telah wafat. Dan barang siapa menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Hidup dan tidak mati.” Maka seakan-akan orang-orang tidak mengetahui bahwa Allah telah menurunkan ayat ini kecuali setelah Abu Bakar membacakannya. Umar berkata, “Apakah ini ada dalam Kitabullah?” Ia menjawab, “Ya.” Maka orang-orang pun menerima ayat itu seluruhnya, dan tidak terdengar seorang pun kecuali membacanya. Umar berkata, “Tidaklah aku berkata demikian kecuali karena aku membaca ayat ini: ‘Dan demikianlah Kami jadikan kalian umat pertengahan agar kalian menjadi saksi atas manusia dan Rasul menjadi saksi atas kalian.’ Maka aku menyangka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan tetap tinggal di tengah umatnya hingga beliau bersaksi atas amal terakhir mereka.” Kemudian mereka mulai mempersiapkan jenazah beliau, dan mereka menahan diri dari saling mengucapkan takziah hingga datang takziah kepada mereka dari seseorang yang mereka dengar suaranya namun tidak melihat sosoknya. Ia berkata, “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Setiap jiwa pasti akan merasakan mati, dan sesungguhnya kalian akan disempurnakan balasan kalian pada hari kiamat. Sungguh pada Allah terdapat penghiburan dari setiap musibah, pengganti dari setiap yang binasa, dan pencapaian dari setiap yang luput. Maka percayalah kepada Allah dan hanya kepada-Nya berharaplah, karena yang benar-benar tertimpa musibah adalah orang yang terhalang dari pahala.” Maka saat itulah orang-orang saling mengucapkan takziah satu sama lain.

فصل سقيفة بني ساعدة

Bab Saqifah Bani Sa‘idah

وَلَمَّا قُبِضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ اجْتَمَعَتِ الْأَنْصَارُ وَأَخْرَجُوا سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ وَكَانَ وَجِعًا مِنْ مَرَضٍ بِهِ فَقَالَ سَعْدٌ يَا مَعْشَرَ الْأَنْصَارِ إِنَّ لَكُمْ سَابِقَةً فِي الدِّينِ أَرَادَ بِكُمْ رَبُّكُمُ الْفَضِيلَةَ وَسَاقَ إِلَيْكُمُ الْكَرَامَةَ بِإِعْزَازِ دِينِهِ وَجِهَادِ أَعْدَائِهِ حَتَّى ” أَثْخَنَ ” اللَّهُ لِرَسُولِهِ بِكُمُ الْأَرْضَ وَدَانَتْ لَهُ بِأَسْيَافِكُمُ الْعَرَبُ وَتَوَفَّاهُ اللَّهُ إِلَيْهِ وَهُوَ عَنْكُمْ رَاضٍ فَاشْتَدُّوا بِهَذَا الْأَمْرِ دُونَ النَّاسِ فَإِنَّهُ لَكُمْ دُونَ غَيْرِكُمْ فَأَجَابُوهُ بِأَجْمَعِهِمْ قَدْ وُفِّقْتَ فِي الرَّأْيِ وَأَصَبْتَ فِي الْقَوْلِ وَنَحْنُ نُوَلِّيكَ هَذَا الْأَمْرَ فَبَلَغَ ذَلِكَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ فَأَرْسَلَ إِلَى أبو بَكْرٍ وَهُوَ مَعَ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ فِي جَهَازِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَأَشْعَرَهُ بِالْأَمْرِ فَخَرَجَ وَمَضَى مَعَ عُمَرَ وَلَقِيَا أَبَا عُبَيْدَةَ بْنَ الْجَرَّاحِ فَصَحِبَهُمَا وَلَقِيَهُمَا رَجُلَانِ مِنَ الْأَنْصَارِ مِمَّنْ شَهِدَ بَدْرًا وَهُمَا عُوَيْمُ بْنُ سَاعِدَةَ وَفِيهِ نَزَلَ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى رجال يحبون أن يتطهروا والله يحب المتطهرين فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” نِعْمَ الْمَرْءُ عُوَيْمُ بْنُ سَاعِدَةَ ” وَالْآخَرُ مَعْنُ بْنُ عَدِيٍّ سَمِعَ النَّاسَ حِينَ مَاتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يَبْكُونَ وَيَقُولُونَ وَدِدْنَا لَوْ مُتْنَا قَبْلَهُ فَقَالَ مَعْنٌ وَاللَّهِ مَا أُحِبُّ أَنِّي مِتُّ قَبْلَهُ حَتَّى أُصَدِّقَهُ مَيِّتًا كَمَا صَدَّقْتُهُ حَيًّا فَلَمَّا رأى أبو بَكْرٍ وَمَنْ مَعَهُ قَالَ أَيْنَ تُرِيدُونَ يَا معشر المهاجرين؟ فقالوا نُرِيدُ إِخْوَانَنَا الْأَنْصَارَ فَقَالَ ارْجِعُوا فَاقْضُوا أَمْرَكُمْ بَيْنَكُمْ فَأَبَوْا أَنْ يَرْجِعُوا وَمَشَى إِلَيْهِمُ الثَّلَاثَةُ فجاؤوا وَهُمْ مُجْتَمِعُونَ فِي سَقِيفَةِ بَنِي سَاعِدَةَ عَلَى سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ فَأَرَادَ عُمَرُ أَنْ يَتَكَلَّمَ فَقَالَ لَهُ أَبُو بَكْرٍ رُوَيْدًا فَسَكَتَ وَكَانَ قَدْ زَوَّرَ فِي نَفْسِهِ كَلَامًا وَابْتَدَأَ أَبُو بكر فحمد الله واثنا عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى بَعَثَ مُحَمَّدًا رَسُولًا إِلَى خَلْقِهِ وَشَهِيدًا عَلَى أُمَّتِهِ ليعبدوا الله ويوحدوه وهم يعبدون من دون آلِهَةً شَتَّى يَزْعُمُونَ أَنَّهَا لَهُمْ عِنْدَهُ شَافِعَةٌ وَلَهُمْ نَافِعَةٌ وَإِنَّمَا هِيَ حَجَرٌ مَنْحُوتٌ وَخَشَبٌ مَنْجُورٌ فَصَدَّقَهُ مِنْ قَوْمِهِ مَنْ خَالَفَ جَمِيعَ الْعَرَبِ وَلَمْ يَسْتَوْحِشْ مِنْ قِلَّةِ الْعَدَدِ فَهُمْ أَوَّلُ مَنْ عَبَدَ اللَّهَ فِي الْأَرْضِ وَآمَنَ بِاللَّهِ وَبِالرَّسُولِ وَهُمْ أَوْلِيَاؤُهُ وَعَشِيرَتُهُ وَأَحَقُّ النَّاسِ بِهَذَا الْأَمْرِ بَعْدَهُ وَلَا يُنَازِعُهُمْ فِيهِ إِلَّا ظَالِمٌ وَأَنْتُمْ يَا مَعْشَرَ الْأَنْصَارِ مِمَّنْ لَا يُنْكَرُ فَضْلُهُمْ فِي الدِّينِ وَلَا سَابِقَتُهُمْ فِي الْإِسْلَامِ رَضِيَكُمُ اللَّهُ أَنْصَارًا لِدِينِهِ وَلِرَسُولِهِ وَجَعَلَ إِلَيْكُمْ هِجْرَتَهُ فَلَيْسَ بَعْدَ الْمُهَاجِرِينَ عِنْدَنَا بِمَنْزِلَتِكُمْ فَنَحْنُ الْأُمَرَاءُ وَأَنْتُمُ الْوُزَرَاءُ فَقَامَ الْمُنْذِرُ بْنُ حُبَابِ بْنِ الْجَمُوحِ وَقِيلَ بَلْ هُوَ الْحُبَابُ بْنُ الْمُنْذِرِ فَقَالَ يَا مَعْشَرَ الْأَنْصَارِ امْلِكُوا عَلَى أَيْدِيكُمْ فَإِنَّ النَّاسَ فيكم ولن يجترىء عَلَى خِلَافِكُمْ وَلَنْ يُصْدِرَ النَّاسُ إِلَّا عَنْ رَأْيِكُمْ فَإِنْ أَبَى هَؤُلَاءِ إِلَّا مَا سَمِعْتُمْ فَمِنَّا أَمِيرٌ وَمِنْهُمْ أَمِيرٌ فَقَالَ عُمَرُ هَيْهَاتَ لَا يَجْتَمِعُ اثْنَانِ فِي قَرْنٍ إِنَّهُ وَاللَّهِ لَا تَرْضَى الْعَرَبُ أَنْ تُؤَمِّرَكُمْ وَنَبِيُّهَا مِنْ غَيْرِكُمْ وَأَوْلَاهُمْ بِهَا مَنْ كَانَتِ النُّبُوَّةُ فِيهِمْ لَنَا بِهِ الْحُجَّةُ الظَّاهِرَةُ وَالسُّلْطَانُ الْبَيِّنُ لَا يُنَازِعُنَا سُلْطَانَ مُحَمَّدٍ وَنَحْنُ أَوْلِيَاؤُهُ إِلَّا مُدْلٍ بِبَاطِلٍ أَوْ مُتَجَانِفٌ لِإِثْمٍ أَوْ مُتَوَرِّطٌ فِي هَلَكَةٍ

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, kaum Anshar berkumpul dan mengeluarkan Sa‘d bin ‘Ubadah yang sedang sakit karena penyakitnya. Sa‘d berkata, “Wahai kaum Anshar, sesungguhnya kalian memiliki keutamaan dalam agama. Tuhan kalian menghendaki keutamaan bagi kalian dan menganugerahkan kemuliaan kepada kalian dengan menguatkan agama-Nya dan berjihad melawan musuh-musuh-Nya, hingga Allah menaklukkan bumi untuk Rasul-Nya melalui kalian, dan bangsa Arab tunduk kepadanya dengan pedang-pedang kalian. Allah mewafatkannya dalam keadaan ridha kepada kalian. Maka, peganglah urusan ini tanpa melibatkan orang lain, karena urusan ini adalah hak kalian, bukan hak selain kalian.” Mereka semua menjawab, “Engkau telah tepat dalam pendapat dan benar dalam ucapan. Kami akan menyerahkan urusan ini kepadamu.” Berita itu sampai kepada ‘Umar bin al-Khaththab, lalu ia mengutus seseorang kepada Abu Bakar yang sedang bersama ‘Ali bin Abi Thalib dalam mengurus jenazah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu memberitahukan perihal tersebut kepadanya. Abu Bakar pun keluar bersama ‘Umar, dan mereka bertemu Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah, lalu ia ikut bersama mereka. Kemudian mereka bertemu dua orang dari kaum Anshar yang ikut dalam Perang Badar, yaitu ‘Uwaim bin Sa‘idah—yang tentangnya turun firman Allah Ta‘ala: “Laki-laki yang suka membersihkan diri, dan Allah mencintai orang-orang yang bersuci”—dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik orang adalah ‘Uwaim bin Sa‘idah.” Yang satu lagi adalah Ma‘n bin ‘Adi. Ia mendengar orang-orang menangis ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan berkata, “Kami berharap seandainya kami wafat sebelum beliau.” Maka Ma‘n berkata, “Demi Allah, aku tidak suka jika aku wafat sebelum beliau, hingga aku membenarkannya dalam keadaan wafat sebagaimana aku membenarkannya ketika hidup.” Ketika Abu Bakar dan yang bersamanya melihat mereka, ia berkata, “Ke mana kalian hendak pergi, wahai kaum Muhajirin?” Mereka menjawab, “Kami hendak menemui saudara-saudara kami dari kaum Anshar.” Ia berkata, “Kembalilah dan selesaikan urusan kalian di antara kalian.” Namun mereka enggan kembali, lalu bertigalah mereka berjalan menuju kaum Anshar yang sedang berkumpul di Saqifah Bani Sa‘idah bersama Sa‘d bin ‘Ubadah. ‘Umar hendak berbicara, namun Abu Bakar berkata kepadanya, “Tunggu sebentar,” maka ia diam, padahal ia telah menyiapkan perkataan dalam hatinya. Abu Bakar memulai dengan memuji Allah dan menyanjung-Nya, lalu berkata, “Sesungguhnya Allah Ta‘ala mengutus Muhammad sebagai Rasul kepada makhluk-Nya dan saksi atas umatnya agar mereka menyembah Allah dan mentauhidkan-Nya, padahal mereka menyembah berbagai tuhan selain Allah, mengira bahwa tuhan-tuhan itu memberi syafaat dan manfaat bagi mereka, padahal itu hanyalah batu yang dipahat dan kayu yang dipotong. Maka, yang membenarkannya dari kaumnya adalah orang-orang yang menentang seluruh bangsa Arab dan tidak gentar dengan sedikitnya jumlah mereka. Mereka adalah orang-orang pertama yang menyembah Allah di bumi, beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka adalah para wali dan kerabatnya, serta orang yang paling berhak atas urusan ini setelah beliau. Tidak ada yang menyaingi mereka dalam urusan ini kecuali orang yang zalim. Adapun kalian, wahai kaum Anshar, keutamaan kalian dalam agama dan keutamaan kalian dalam Islam tidak dapat diingkari. Allah telah meridhai kalian sebagai penolong agama-Nya dan Rasul-Nya, serta menjadikan hijrah Rasul-Nya kepada kalian. Maka, setelah kaum Muhajirin, tidak ada yang setara dengan kedudukan kalian di sisi kami. Maka, kami adalah para pemimpin dan kalian adalah para menteri.” Lalu berdirilah al-Mundzir bin Hubab bin al-Jamuh—ada yang mengatakan justru Hubab bin al-Mundzir—seraya berkata, “Wahai kaum Anshar, peganglah urusan kalian, karena manusia berada di pihak kalian dan tidak ada yang berani menentang kalian. Manusia tidak akan mengambil keputusan kecuali berdasarkan pendapat kalian. Jika mereka menolak kecuali seperti yang kalian dengar, maka dari kami ada seorang amir dan dari mereka ada seorang amir.” ‘Umar berkata, “Tidak mungkin! Tidak akan berkumpul dua pemimpin dalam satu tongkat. Demi Allah, bangsa Arab tidak akan rela kalian menjadi pemimpin sementara nabinya bukan dari kalangan kalian. Yang paling berhak atas kepemimpinan ini adalah orang yang kenabian ada pada mereka. Kami memiliki hujjah yang nyata dan kekuasaan yang jelas. Tidak ada yang menyaingi kami dalam kekuasaan Muhammad dan kami adalah para walinya, kecuali orang yang membawa kebatilan, condong pada dosa, atau terjerumus dalam kebinasaan.”

فَقَالَ الْحُبَابُ بْنُ الْمُنْذِرِ يَا مَعْشَرَ الْأَنْصَارِ لَا تَسْتَمِعُوا مُقَالَةَ هَذَا وَأَصْحَابِهِ فَيَذْهَبُوا بِنَصِيبِكُمْ مِنْ هَذَا الْأَمْرِ فَإِنْ أَبَوْا عَلَيْكُمْ فَاجْلُوهُمْ مِنْ بِلَادِكُمْ فَأَنْتُمْ وَاللَّهِ أَحَقُّ بِهَذَا الْأَمْرِ مِنْهُمْ أَنَا جُذَيْلُهَا الْمُحَكَّكُ وعُذَيْقُهَا الْمُرَجَّبُ وَاللَّهِ لَئِنْ شِئْتُمْ لَنُعِيدَنَّهَا جَذَعَةً فَقَالَ عُمَرُ إِذَنْ يَقْتُلُكَ اللَّهُ فَقَالَ بَلْ إِيَّاكَ يَقْتُلُ

Lalu Hubab bin Mundzir berkata, “Wahai kaum Anshar, janganlah kalian mendengarkan perkataan orang ini dan para pengikutnya, sehingga mereka mengambil bagian kalian dari urusan ini. Jika mereka menolak kalian, maka usirlah mereka dari negeri kalian. Demi Allah, kalian lebih berhak atas urusan ini daripada mereka. Aku adalah batang kecilnya yang diasah dan pelepah kurmanya yang kuat. Demi Allah, jika kalian menghendaki, kita bisa mengembalikannya seperti semula.” Maka Umar berkata, “Kalau begitu, Allah akan membunuhmu.” Ia menjawab, “Bahkan justru engkaulah yang akan dibunuh Allah.”

فَقَالَ أَبُو عُبَيْدَةَ يَا مَعْشَرَ الْأَنْصَارِ أَنْتُمْ أَوَّلُ مَنْ نَصَرَ وَآوَى فَلَا تَكُونُوا أَوَّلَ مَنْ غَيَّرَ وَبَدَّلَ

Abu ‘Ubaidah berkata, “Wahai kaum Anshar, kalian adalah orang-orang pertama yang menolong dan melindungi, maka janganlah kalian menjadi orang-orang pertama yang mengubah dan mengganti.”

فَقَامَ بِشْرُ بْنُ سَعْدٍ أَبُو النُّعْمَانِ بْنُ بَشِيرٍ فَقَالَ يَا مَعَاشِرَ الْأَنْصَارِ إِنَّا وَإِنْ كُنَّا أَوَّلَ سَابِقَةٍ فِي الدِّينِ وَجِهَادِ الْمُشْرِكِينَ فَمَا أَرَدْنَا بِهِ إِلَّا رِضَى رَبِّنَا وَطَاعَةَ نَبِيِّنَا أَلَا إِنَّ مُحَمَّدًا مِنْ قُرَيْشٍ وَقَوْمُهُ أَحَقُّ بِهِ وَأَوْلَى وَايْمُ اللَّهِ لَا يَرَانِي اللَّهُ أُنَازِعُهُمْ هَذَا الْأَمْرَ أَبَدًا فَاتَّقُوا اللَّهَ وَلَا تُخَالِفُوهُمْ

Maka berdirilah Bisyir bin Sa‘d, Abu Nu‘man bin Basyir, lalu berkata, “Wahai kaum Anshar, meskipun kita adalah orang-orang yang pertama dalam keutamaan agama dan berjihad melawan kaum musyrik, namun kita tidak menginginkan hal itu kecuali demi keridaan Tuhan kita dan ketaatan kepada Nabi kita. Ketahuilah, sesungguhnya Muhammad berasal dari Quraisy, dan kaumnya lebih berhak serta lebih utama atas urusan ini. Demi Allah, Allah tidak akan melihatku memperebutkan urusan ini dengan mereka selamanya. Maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kalian menentang mereka.”

فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ هَذَا عُمَرُ وَأَبُو عُبَيْدَةَ فَبَايِعُوا أَيَّهُمَا شِئْتُمْ فَقَالَا لَا وَاللَّهِ لَا نَتَوَلَّى هَذَا الْأَمْرَ عَلَيْكَ وَأَنْتَ أَفْضَلُ الْمُهَاجِرِينَ وَثَانِي اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ وَخَلِيفَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَلَى الصَّلَاةِ وَالصَّلَاةُ أَفْضَلُ دِينِ الْمُسْلِمِينَ فَمَنْ ذَا يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَتَقَدَّمَكَ ابْسُطْ يَدَكَ نُبَايِعْكَ فَمَدَّ يَدَهُ فَبَايَعَاهُ وَقِيلَ بَلْ سَبَقَهُمَا إِلَى الْبَيْعَةِ بَشِيرُ بْنُ سَعْدٍ وَجَاءَ أُسَيْدُ بْنُ حُضَيْرٍ فِي الْأَوْسِ فَبَايَعُوهُ وَتَتَابَعَتِ الْأَنْصَارُ إِلَى بَيْعَتِهِ وَأَقْبَلَتْ أَسْلَمُ بِجَمَاعَتِهَا حَتَّى تَضَايَقَتْ بِهِمُ السِّكَكُ فَبَايَعُوهُ فَكَانَ عُمَرُ يَقُولُ مَا هُوَ إِلَّا أَنْ رَأَيْتُ أَسْلَمَ فَأَيْقَنْتُ بِالنَّصْرِ وَقِيلَ لِعَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ قَدْ جَلَسَ أَبُو بَكْرٍ لِلْبَيْعَةِ فَخَرَجَ بِقَمِيصٍ مَا عَلَيْهِ إِزَارٌ حتى بايعه مخافة أن يبطىء عَنِ الْبَيْعَةِ حَكَاهُ حَبِيبُ بْنُ أَبِي ثَابِتٍ

Abu Bakar berkata, “Ini Umar dan Abu Ubaidah, maka baiatlah salah satu dari mereka yang kalian kehendaki.” Keduanya berkata, “Tidak, demi Allah, kami tidak akan mendahului urusan ini atasmu, padahal engkau adalah yang paling utama di antara kaum Muhajirin, orang kedua dari dua orang ketika mereka berada di gua, dan khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam urusan shalat, sedangkan shalat adalah amalan paling utama dalam agama kaum Muslimin. Maka siapa yang pantas mendahuluimu? Ulurkan tanganmu, kami akan membaiatmu.” Maka Abu Bakar mengulurkan tangannya, lalu keduanya membaiatnya. Dikatakan pula bahwa Bashir bin Sa‘d mendahului mereka dalam membaiat, kemudian datang Usayd bin Hudhayr dari kalangan Aus, lalu mereka pun membaiatnya, dan kaum Anshar pun berbondong-bondong membaiatnya. Kemudian datanglah kabilah Aslam beserta rombongannya hingga jalan-jalan menjadi sempit karena mereka, lalu mereka pun membaiatnya. Umar biasa berkata, “Tidaklah aku melihat Aslam kecuali aku yakin akan kemenangan.” Dikatakan kepada Ali ‘alaihis salam, “Abu Bakar telah duduk untuk menerima baiat.” Maka Ali keluar hanya dengan mengenakan gamis, tanpa memakai izar, hingga ia membaiatnya karena khawatir terlambat dari baiat. Hal ini diriwayatkan oleh Habib bin Abi Tsabit.

وروى ابن حجر أَنَّ أَبَا سُفْيَانَ بْنَ حَرْبٍ قَالَ لِعَلِيٍّ مَا بَالُ هَذَا الْأَمْرِ فِي أَقَلِّ حَيٍّ مِنْ قُرَيْش وَاللَّهِ لَئِنْ شِئْتَ لِأَمْلَأَنَّهَا عَلَيْهِ خَيْلًا وَرِجَالًا فَقَالَ عَلِيٌّ يَا أَبَا سُفْيَانَ طَالَمَا عَادَيْتَ الْإِسْلَامَ وَأَهْلَهُ فَلَمْ تَضُرَّهُ بِذَلِكَ شيئا! إنا وجدنا أبا بكر لهما أَهْلًا فَتَمَّتْ بَيْعَةُ أَبِي بَكْرٍ قَبْلَ جَهَازِ رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ثُمَّ أَخَذَ بَعْدَهَا فِي جَهَازِهِ لِئَلَّا يَكُونُوا فوضى على غير جماعة لتنطفىء بِهَا فِتْنَةُ الِاخْتِلَافِ فَلَمَّا كَانَ مِنَ الْغَدِ بُويِعَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ الْبَيْعَةَ الْعَامَّةَ بَعْدَ الْبَيْعَةِ الْخَاصَّةِ فِي سَقِيفَةِ بَنِي سَاعِدَةَ فَجَلَسَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَقَامَ عُمَرُ فَقَالَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ أَبْقَى فِيكُمْ كِتَابَهُ الَّذِي هَدَى بِهِ رَسُولَهُ فَإِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ هُدَاكُمُ اللَّهُ لِمَا هَدَاهُ لَهُ وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ جَمَعَ أَمْرَكُمْ عَلَى خَيْرِكُمْ صَاحِبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ثَانِي اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ فَقُومُوا فَبَايِعُوا فَبَايَعَ النَّاسُ أَبَا بَكْرٍ الْبَيْعَةَ الْعَامَّةَ ثُمَّ تَكَلَّمَ أَبُو بَكْرٍ فَحَمِدَ اللَّهَ تَعَالَى وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ أَيُّهَا النَّاسُ فَإِنِّي قَدْ وُلِّيتُ عَلَيْكُمْ وَلَسْتُ بِخَيْرِكُمْ فَإِنْ أَحْسَنْتُ فَأَعِينُونِي وَإِنْ أَسَأْتُ فَقَوِّمُونِي الصِّدْقُ أَمَانَةٌ وَالْكَذِبُ خِيَانَةٌ وَالضَّعِيفُ مِنْكُمْ قَوِيٌّ عِنْدِي حَتَّى أَدْفَعَ إِلَيْهِ حَقَّهُ وَالْقَوِيُّ مِنْكُمْ ضَعِيفٌ حَتَّى آخُذَ الْحَقَّ مِنْهُ لَا يَدَعُ قَوْمٌ الْجِهَادَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا ضَرَبَهُمُ اللَّهُ بِالذُّلِّ وَلَا تَشِيعُ الْفَاحِشَةُ فِي قَوْمٍ إِلَّا عَمَّهُمُ اللَّهُ بِالْبَلَاءِ أَطِيعُونِي مَا أَطَعْتُ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَإِذَا عَصَيْتُ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَلَا طَاعَةَ لِي عَلَيْكُمْ قُومُوا إِلَى صَلَاتِكُمْ رَحِمَكُمُ اللَّهُ

Ibnu Hajar meriwayatkan bahwa Abu Sufyan bin Harb berkata kepada Ali, “Mengapa urusan ini berada pada kelompok yang paling sedikit dari Quraisy? Demi Allah, jika engkau mau, aku akan penuhi mereka dengan pasukan berkuda dan pejalan kaki.” Maka Ali berkata, “Wahai Abu Sufyan, selama ini engkau memusuhi Islam dan para pemeluknya, namun itu tidak membahayakan Islam sedikit pun! Kami mendapati Abu Bakar adalah orang yang layak untuk itu, maka baiat kepada Abu Bakar pun sempurna sebelum jenazah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diberangkatkan. Setelah itu, barulah mereka mengurus jenazah beliau, agar mereka tidak menjadi kelompok yang kacau tanpa jamaah, sehingga dengan itu padamlah fitnah perpecahan. Ketika keesokan harinya, Abu Bakar dibaiat secara umum setelah baiat khusus di Saqifah Bani Sa’idah. Lalu ia duduk di atas mimbar, kemudian Umar berdiri dan berkata, ‘Wahai manusia, sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla telah meninggalkan di tengah kalian kitab-Nya yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada Rasul-Nya. Jika kalian berpegang teguh padanya, Allah akan memberi kalian petunjuk sebagaimana yang telah Dia berikan. Dan sungguh Allah telah menyatukan urusan kalian pada orang terbaik di antara kalian, sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang kedua dari dua orang ketika mereka berada di gua. Maka berdirilah dan baiatlah!’ Maka manusia pun membaiat Abu Bakar secara umum. Kemudian Abu Bakar berbicara, memuji Allah Ta‘ala dan menyanjung-Nya, lalu berkata, ‘Amma ba‘du, wahai manusia, sungguh aku telah diangkat menjadi pemimpin kalian, padahal aku bukanlah yang terbaik di antara kalian. Jika aku berbuat baik, bantulah aku. Jika aku berbuat salah, luruskanlah aku. Kejujuran adalah amanah, dan dusta adalah khianat. Yang lemah di antara kalian adalah kuat di sisiku hingga aku mengembalikan haknya, dan yang kuat di antara kalian adalah lemah di sisiku hingga aku mengambil hak darinya. Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah kecuali Allah timpakan kehinaan kepada mereka, dan tidaklah perbuatan keji merajalela di suatu kaum kecuali Allah timpakan bencana kepada mereka. Taatilah aku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika aku durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada ketaatan kepadaku atas kalian. Berdirilah untuk shalat kalian, semoga Allah merahmati kalian.’

وَدُعِيَ سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ إِلَى الْبَيْعَةِ فَأَبَى فَأَرَادَ عُمَرُ أَنْ يُعَنِّفَ بِهِ فَأَشَارَ بَشِيرُ بْنُ سَعْدٍ بِتَرْكِهِ فَتُرِكَ وَخَرَجَ مِنَ الْغَدِ فَخَطَبَ النَّاسَ وَقَالَ بَعْدَ حَمْدِ اللَّهِ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا أَنَا مِثْلُكُمْ إِنِّي لَا أَدْرِي لَعَلَّكُمْ سَتُكَلِّفُونِي مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يُطِيقُ وَإِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَى الْعَالَمِينَ وَعَصَمَهُ من الآفات وإنما أنا منيع وَلَسْتُ بِمُبْتَدِعٍ فَإِنِ اسْتَقَمْتُ فَتَابِعُونِي وَإِنْ زِغْتُ فَقَوِّمُونِي وَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قُبِضَ وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَطْلُبُهُ بِمَظْلِمَةٍ أَلَا وَإِنَّ لِي شَيْطَانًا يَعْتَرِينِي فَإِذَا أَتَانِي فَاجْتَنِبُونِي لَا أُؤَثِّرُ فِي أَشْعَارِكُمْ وَأَبْشَارِكُمْ وَإِنَّكُمْ تَغْدُونَ وَتَرُوحُونَ فِي أَجَلٍ قَدْ غُيِّبَ عَنْكُمْ عِلْمُهُ فَإِنِ اسْتَطَعْتُمْ أَلَّا يَمْضِيَ هَذَا الأجل إلا في عمل صالح فافعلوا ولن تستطيعوا ذلك إلا بالله وَسَابِقُوا فِي مَهَلٍ آجَالَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُسْلِمَكُمْ آجَالُكُمْ إِلَى انْقِطَاعِ الْأَعْمَالِ الْجِدَّ الْجِدَّ الْوَحَا الْوَحَا النَّجَا النَّجَا فَإِنَّ وَرَاءَكُمْ طَالِبًا حَثِيثًا أجلا مره سريع احذروا الموت واعتبروا بالآباء والأبناء والأخوات وَلَا تَغْبِطُوا الْأَحْيَاءَ إِلَّا بِمَا تَغْبِطُونَ بِهِ الْأَمْوَاتَ

Sa‘d bin ‘Ubādah dipanggil untuk berbaiat, namun ia menolak. Umar bermaksud bersikap keras terhadapnya, tetapi Basyir bin Sa‘d memberi isyarat agar membiarkannya, maka ia pun dibiarkan. Keesokan harinya, ia keluar dan berkhutbah di hadapan orang-orang. Setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya, ia berkata, “Wahai manusia, sesungguhnya aku hanyalah seperti kalian. Aku tidak tahu, barangkali kalian akan membebankan kepadaku sesuatu yang dahulu Rasulullah ﷺ pun tidak sanggup memikulnya. Sungguh Allah telah memilih beliau di atas seluruh alam dan melindunginya dari segala keburukan, sedangkan aku hanyalah seorang pelindung dan bukan seorang pembuat bid‘ah. Jika aku lurus, maka ikutilah aku, dan jika aku menyimpang, maka luruskanlah aku. Rasulullah ﷺ telah wafat dan tidak seorang pun dari umat ini yang menuntut beliau atas suatu kezaliman. Ketahuilah, sesungguhnya aku memiliki setan yang kadang menguasai diriku. Jika ia datang kepadaku, maka jauhilah aku. Aku tidak akan mempengaruhi perasaan dan kulit kalian. Kalian pergi pagi dan sore dalam batas waktu yang ilmunya telah disembunyikan dari kalian. Maka jika kalian mampu agar waktu itu tidak berlalu kecuali dalam amal saleh, lakukanlah! Dan kalian tidak akan mampu melakukannya kecuali dengan pertolongan Allah. Berlombalah dalam sisa umur kalian sebelum ajal kalian menyerahkan kalian kepada terputusnya amal. Bersungguh-sungguhlah! Bersungguh-sungguhlah! Selamatkanlah diri kalian! Selamatkanlah diri kalian! Karena di hadapan kalian ada sesuatu yang mengejar dengan cepat, yakni ajal yang datang dengan tiba-tiba. Waspadalah terhadap kematian dan ambillah pelajaran dari ayah, anak, dan saudara-saudara kalian. Janganlah kalian iri kepada orang yang masih hidup kecuali terhadap sesuatu yang kalian juga menginginkan untuk orang yang telah mati.”

اعْتَبِرُوا عِبَادَ اللَّهِ بِمَنْ مَاتَ مِنْكُمْ وَتَذَكَّرُوا مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ أَيْنَ كَانُوا أَمْسُ وَأَيْنَ هُمُ الْيَوْمَ هَلْ تُحِسُّ مِنْهُمْ مِنْ أَحَدٍ أَوْ تَسْمَعُ لَهُمْ رِكْزًا أَلَا إِنَّ اللَّهَ أَبْقَى عَلَيْهِمُ التَّبِعَاتِ وَقَطَعَ عَنْهُمُ الشَّهَوَاتِ وَمَضَوْا وَالْأَعْمَالُ أَعْمَالُهُمْ وَالدُّنْيَا دُنْيَا غَيْرِهِمْ وَبَقِينَا خَلَفًا بَعْدَهُمْ فَإِنْ نَحْنُ اعْتَبَرْنَا بِهِمْ نجونا وإن اغتررنا كنا منا مِثْلَهُمْ وَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَحَدٍ مِنْ خَلْقِهِ سَبَبٌ يُعْطِيهِ بِهِ خَيْرًا أو ويصرف عَنْهُ بِهِ شَرًّا إِلَّا بِطَاعَتِهِ وَاتِّبَاعِ أَمْرِهِ

Ambillah pelajaran, wahai hamba-hamba Allah, dari orang-orang yang telah meninggal di antara kalian, dan ingatlah orang-orang sebelum kalian; di manakah mereka kemarin dan di mana mereka hari ini? Apakah engkau merasakan kehadiran salah satu dari mereka atau mendengar suara mereka yang samar? Ketahuilah, sesungguhnya Allah telah membiarkan tanggungan-tanggungan mereka tetap ada atas mereka dan memutuskan dari mereka segala syahwat, mereka telah pergi dan amal-amal mereka adalah amal-amal mereka, dunia pun telah menjadi milik selain mereka, dan kita yang kini tinggal sebagai generasi setelah mereka. Jika kita mengambil pelajaran dari mereka, kita akan selamat; namun jika kita terpedaya, kita akan menjadi seperti mereka. Sesungguhnya Allah Ta‘ala tidak memiliki hubungan khusus dengan siapa pun dari makhluk-Nya yang dapat memberinya kebaikan atau menolak keburukan kecuali dengan ketaatan kepada-Nya dan mengikuti perintah-Nya.

ثُمَّ جَمَعَ الْأَنْصَارَ وَقَالَ لَهُمْ أَنْتُمْ بَعْثُ أُسَامَةَ فَاسْتَنْظَرُوهُ لِأَجْلِ مَنِ ارْتَدَّ مِنَ الْعَرَبِ فَأَبَى وَخَرَجَ إِلَى الْجُرْفِ يُشَيِّعُهُمْ وَهُوَ مَاشٍ وَأُسَامَةُ رَاكِبٌ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ يَقُودُ دَابَّةَ أَبِي بَكْرٍ فَقَالَ أُسَامَةُ يَا خَلِيفَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَاللَّهِ لَتَرْكَبَنَّ أَوْ لَأَنْزِلَنَّ فَقَالَ

Kemudian beliau mengumpulkan kaum Anshar dan berkata kepada mereka, “Kalianlah yang menunda keberangkatan pasukan Usamah, maka kalian memintanya untuk menunggu karena orang-orang Arab ada yang murtad.” Namun beliau menolak dan berangkat ke Jurf untuk melepas keberangkatan mereka, sementara beliau berjalan kaki dan Usamah menaiki kendaraannya, sedangkan Abdurrahman bin Auf menuntun hewan tunggangan Abu Bakar. Maka Usamah berkata, “Wahai Khalifah Rasulullah ﷺ, demi Allah, engkau harus naik atau aku akan turun.” Maka beliau berkata…

وَاللَّهِ لَا تَنْزِلُ وَوَاللَّهِ لَا أَرْكَبُ وَمَا عَلَيَّ أَنْ أُغَبِّرَ قَدَمَيَّ فِي سَبِيلِ اللَّهِ سَاعَةً ثُمَّ قَالَ أَيُّهَا النَّاسُ قِفُوا وَأُوصِيكُمْ بِعَشْرٍ فَاحْفَظُوهَا عَنِّي لَا تَخُونُوا وَلَا تَغُلُّوا وَلَا تَغْدِرُوا وَلَا تُمَثِّلُوا وَلَا تَقْتُلُوا طِفْلًا صَغِيرًا وَلَا شَيْخًا كَبِيرًا وَلَا امْرَأَةً وَلَا تَقْطَعُوا نَخْلًا وَلَا شَجَرَةً مُثْمِرَةً وَلَا تَذْبَحُوا شَاةً وَلَا بَقَرَةً وَلَا بَعِيرًا إِلَّا لِمَأْكَلَةٍ وَسَوْفَ تَمُرُّونَ بِأَقْوَامٍ قَدْ فَرَّغُوا أَنْفُسَهُمْ فِي الصَّوَامِعِ فَدَعُوهُمْ وَمَا فَرَّغُوا أَنْفُسَهُمْ لَهُ وَسَتَقْدَمُونَ عَلَى أَقْوَامٍ يَأْتُونَكُمْ بَآنِيَةٍ فِيهَا الطَّعَامُ فَإِذَا أَكَلْتُمْ مِنْهَا شَيْئًا بَعْدَ شَيْءٍ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا وَسَوْفَ تَلْقَوْنَ أَقْوَامًا قَدْ فَحَصُوا أوساط رؤوسهم وَتَرَكُوا حَوْلَهَا مِثْلَ الْعَصَائِبِ فَاخْفقُوهُمْ بِالسَّيْفِ خَفْقًا امْضُوا عَلَى بَرَكَةِ اللَّهِ

Demi Allah, engkau tidak akan turun, dan demi Allah, aku tidak akan naik, dan tidak ada kewajiban bagiku untuk mengotori kakiku di jalan Allah walau sesaat. Kemudian beliau berkata, “Wahai manusia, berhentilah dan aku wasiatkan kepada kalian sepuluh perkara, maka jagalah wasiat ini dariku: janganlah kalian berkhianat, jangan berbuat curang, jangan mengingkari janji, jangan melakukan mutilasi, jangan membunuh anak kecil, orang tua yang sudah lanjut usia, atau wanita, jangan menebang pohon kurma, jangan memotong pohon yang berbuah, jangan menyembelih kambing, sapi, atau unta kecuali untuk dimakan. Kalian akan melewati suatu kaum yang mengasingkan diri di biara-biara, maka biarkanlah mereka dan apa yang mereka lakukan untuk dirinya. Kalian juga akan mendatangi suatu kaum yang akan menyuguhkan makanan kepada kalian dalam wadah-wadah, maka jika kalian makan darinya sedikit demi sedikit, sebutlah nama Allah atasnya. Kalian juga akan menjumpai suatu kaum yang mencukur bagian tengah kepala mereka dan membiarkan sekelilingnya seperti ikatan kepala, maka pukullah mereka dengan pedang. Majulah dengan keberkahan Allah.”

وَشَرَعَ فِي قِتَالِ أهل الردة ومن اتبع من تنبأ من مسيلمة العنسي وَطُلَيْحَةَ وَسَجَاحِ

Dan beliau memulai memerangi kaum murtad dan orang-orang yang mengikuti para nabi palsu seperti Musailamah al-Kadzdzab, al-Aswad al-‘Ansi, Thulaihah, dan Sajah.

فَأَمَّا الْعَنْسِيُّ فَقُتِلَ غِيلَةً وَكَانَ ظُهُورُ أَمْرِهِ ثَلَاثَةَ أَشْهُرٍ وَقُتِلَ بَعْدَهُ مُسَيْلِمَةُ وَأَسْلَمَ طُلَيْحَةُ وَأَسْلَمَتْ سَجَاحِ وَحَسُنَ إِسْلَامُهُمَا وَنَصَرَ اللَّهُ دِينَهُ وَحَقَّقَ صِدْقَ رَسُولِهِ فِيمَا أَخْبَرَ بِهِ مِنْ إِظْهَارِهِ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ

Adapun al-‘Ansi, ia dibunuh secara diam-diam, dan masa kemunculannya berlangsung selama tiga bulan. Setelah itu, Musailamah dibunuh, sementara Thulaihah masuk Islam, Sajah juga masuk Islam, dan keislaman keduanya menjadi baik. Allah menolong agama-Nya dan membenarkan kebenaran Rasul-Nya dalam apa yang beliau kabarkan tentang kemenangan agama ini atas seluruh agama.

هَذَا آخِرُ مَا نُقِلَ مِنْ سِيرَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إِلَى أَيَّامِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي غَزَوَاتِهِ وَسَرَايَاهُ جُمْلَةً وَتَفْصِيلًا وَاللَّهُ أَعْلَمُ بصحة ذلك

Ini adalah akhir dari apa yang diriwayatkan mengenai sirah Rasulullah ﷺ hingga masa Abu Bakar ra. dalam peperangan dan ekspedisi-ekspedisinya, baik secara umum maupun terperinci, dan Allah lebih mengetahui kebenaran hal itu.

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ ” لَمَا مَضَتْ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مُدَّةٌ مِنْ هِجْرَتِهِ أَنْعَمَ اللَّهُ فِيهَا عَلَى جَمَاعَاتٍ بِاتِّبَاعِهِ حَدَثَتْ لَهَا مَعَ عَوْنِ اللَّهَ قُوَّةٌ بِالْعَدَدِ لَمْ تَكُنْ قَبْلَهَا فَفَرَضَ اللَّهُ عَلَيْهِمُ الْجِهَادَ فَقَالَ تَعَالَى كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وهو كره لكم وقال تعالى وقاتلوا في سبيل الله مَعَ مَا ذَكَرْتُهُ فُرِضَ الْجِهَادُ “

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Ketika telah berlalu suatu masa dari hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah menganugerahkan kepada sekelompok orang dengan mengikuti beliau, maka dengan pertolongan Allah, mereka memperoleh kekuatan dalam jumlah yang sebelumnya belum mereka miliki. Lalu Allah mewajibkan jihad atas mereka. Allah Ta‘ala berfirman: ‘Diwajibkan atas kalian berperang, padahal itu tidak kalian sukai.’ Dan Allah Ta‘ala berfirman: ‘Dan perangilah di jalan Allah.’ Bersamaan dengan apa yang telah aku sebutkan, jihad pun diwajibkan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وإذ قد مضت سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ في أعلام نُبُوَّتِهِ وَتَرْتِيبِ شَرِيعَتِهِ وَمَا سَارَ بِأُمَّتِهِ فِي حَرْبِهِ وَغَزَوَاتِهِ الَّتِي لَا يَسْتَوْضِحُ الْعُلَمَاءُ طَرِيقَ الشَّرْعِ إِلَّا بِهَا فَهَذَا الْبَابُ يَشْمَلُ مِنْهَا عَلَى فَصْلَيْنِ

Al-Mawardi berkata: Setelah sunnah Rasulullah saw. dalam tanda-tanda kenabiannya, penataan syariatnya, serta apa yang beliau jalankan bersama umatnya dalam peperangan dan ekspedisinya—yang mana para ulama tidak dapat memahami jalan syariat kecuali dengannya—telah berlalu, maka bab ini mencakup darinya dua bagian.

أَحَدُهُمَا وُجُوبُ الْهِجْرَةِ

Salah satunya adalah wajibnya hijrah.

وَالثَّانِي فَرْضُ الْجِهَادِ

Dan yang kedua adalah kewajiban jihad.

فَأَمَّا الْفَصْلُ الْأَوَّلُ فِي وُجُوبِ الْهِجْرَةِ فَالْكَلَامُ فِيهَا يَشْمَلُ عَلَى فَصْلَيْنِ

Adapun bagian pertama tentang kewajiban hijrah, maka pembahasannya mencakup dua bagian.

أَحَدُهُمَا حُكْمُهَا فِي زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ

Salah satunya adalah hukumnya pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

وَالثَّانِي حُكْمُهَا بَعْدَهُ

Dan yang kedua adalah hukumnya setelahnya.

فَأَمَّا حُكْمُهَا فِي زَمَانِهِ فَلَهَا حَالَتَانِ

Adapun hukum qiyās pada masa beliau, maka qiyās memiliki dua keadaan.

إِحْدَاهُمَا قَبْلَ هِجْرَتِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ

Salah satunya sebelum hijrahnya ke Madinah.

وَالثَّانِيَةُ بَعْدَ هِجْرَتِهِ إِلَيْهَا

Dan yang kedua setelah hijrahnya ke sana.

فَأَمَّا حُكْمُهَا وَهُوَ بِمَكَّةَ قَبْلَ هِجْرَتِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ فَهِيَ مُخْتَصَّةٌ بِالْإِبَاحَةِ دُونَ الْوُجُوبِ لِأَنَّهَا هِجْرَةٌ عَنِ الرَّسُولِ فَقَدْ كَانَ الْمُسْلِمُونَ حِينَ اشْتَدَّ بِهِمُ الْأَذَى وَتَتَبَّعَتْهُمْ قُرَيْشٌ بِالْمَكَارِهِ رَغِبُوا إِلَى اللَّهِ فِي الْإِذْنِ لَهُمْ بِالْهِجْرَةِ عَنْهُمْ فَقَالُوا مَا حَكَاهُ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمْ رَبَّنَا أَخْرِجْنَا مِنْ هَذِهِ الْقَرْيَةِ الظَّالِمِ أَهْلُهَا يَعْنِي مَكَّةَ وَاجْعَلْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا وَاجْعَلْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ نَصِيرًا فَأَجَابَهُمُ اللَّهُ تَعَالَى إِلَى مَا سَأَلُوا مِنَ الْهِجْرَةِ فَقَالَ تَعَالَى وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً

Adapun hukumnya ketika beliau masih di Makkah sebelum hijrah ke Madinah, maka hijrah tersebut khusus dalam hal kebolehan, bukan kewajiban, karena itu adalah hijrah dari Rasulullah. Ketika kaum Muslimin mengalami penderitaan yang berat dan Quraisy terus-menerus menyakiti mereka dengan berbagai keburukan, mereka memohon kepada Allah agar diizinkan berhijrah meninggalkan mereka. Mereka berkata sebagaimana yang Allah Ta‘ala kisahkan tentang mereka: “Wahai Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri yang penduduknya zalim ini,” yang dimaksud adalah Makkah, “dan berilah kami pelindung dari sisi-Mu, serta berilah kami penolong dari sisi-Mu.” Maka Allah Ta‘ala mengabulkan permintaan mereka untuk berhijrah, sebagaimana firman-Nya: “Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya ia akan mendapatkan di muka bumi tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak.”

وَفِيهَا تَأْوِيلَانِ

Di dalamnya terdapat dua penafsiran.

أَحَدُهُمَا إِنَّ الْمُرَاغِمَ الْمُتَحَوِّلُ مِنْ أَرْضٍ إِلَى أَرْضٍ

Salah satunya adalah bahwa al-murāghim, yaitu orang yang berpindah dari satu negeri ke negeri lain.

وَالسَّعَةُ الْمَالُ

Dan as-sa‘ah adalah harta.

وَالثَّانِي إِنَّ الْمُرَاغَمَ طَلَبُ الْمَعَاشِ

Yang kedua, sesungguhnya al-murāghamah adalah upaya mencari penghidupan.

وَالسَّعَةُ طِيبٌ الْعَيْشِ فَكَانَتِ الْهِجْرَةُ مُبَاحَةً لِمَنْ خَافَ عَلَى نَفْسِهِ مِنَ الْأَذَى أَوْ عَلَى دِينِهِ مِنَ الْفِتْنَةِ

Keluasan adalah baiknya kehidupan, maka hijrah menjadi mubah bagi siapa saja yang khawatir atas dirinya dari bahaya atau atas agamanya dari fitnah.

فَأَمَّا الْآمِنُ عَلَى نَفْسِهِ وَدِينِهِ فَهِجْرَتُهُ عَنِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مَعْصِيَةٌ إِلَّا لِحَاجَةٍ لِمَا فِي مَقَامِهِ مِنْ ظُهُورِ الْإِيمَانِ وَكَثْرَةِ الْعَدَدِ وَهَذِهِ الْهِجْرَةُ قَدْ كَانَتْ مِنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَى أَرْضِ الْحَبَشَةِ وَهِيَ مُبَاحٌ وَلَيْسَتْ بِوَاجِبَةٍ وَفَى هَذِهِ الْهِجْرَةِ إِلَى أَرْضِ الْحَبَشَةِ نَزَلَ قَوْله تَعَالَى وَالَّذِينَ هَاجَرُوا فِي اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مَا ظُلِمُوا يَعْنِي هَاجَرُوا إِلَى أَرْضِ الْحَبَشَةِ مِنْ بَعْدِ مَا ظَلَمَهُمْ أَهْلُ مَكَّةَ لَنُبَوِّئَنَّهُمْ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً فِيهِ

Adapun orang yang merasa aman terhadap diri dan agamanya, maka hijrahnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suatu kemaksiatan kecuali karena kebutuhan, karena di tempat tinggalnya telah tampak keimanan dan jumlah kaum Muslimin yang banyak. Hijrah seperti ini pernah dilakukan oleh kaum Muslimin ke negeri Habasyah, dan hukumnya mubah (boleh), tidak wajib. Tentang hijrah ke negeri Habasyah ini, turun firman Allah Ta‘ala: “Dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah setelah mereka dizalimi,” maksudnya mereka berhijrah ke negeri Habasyah setelah penduduk Makkah menzalimi mereka, “niscaya Kami akan memberikan tempat yang baik bagi mereka di dunia.”

تَأْوِيلَانِ

Dua penafsiran.

أَحَدُهُمَا نُزُولُ الْمَدِينَةِ قَالَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ

Salah satunya adalah tinggal di Madinah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas.

وَالثَّانِي النَّصْرُ عَلَى عَدُوِّهِمْ قاله الضحاك

Yang kedua adalah kemenangan atas musuh-musuh mereka, sebagaimana dikatakan oleh adh-Dhahhak.

وأما حكمهما بَعْدَ هِجْرَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مِنْ مَكَّةَ إِلَى الْمَدِينَةِ فَهِيَ مُخْتَصَّةٌ بِالْوُجُوبِ دُونَ الْإِبَاحَةِ لِأَنَّهَا هِجْرَةٌ إِلَى الرَّسُولِ فَقَدْ كَانَتْ هِجْرَةُ مَنْ أَسْلَمَ مِنْ مَكَّةَ قَبْلَ الْفَتْحِ إِلَيْهِ وَهُمْ فِيهَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ

Adapun hukum keduanya setelah hijrahnya Rasulullah saw. dari Makkah ke Madinah, maka hukumnya khusus berupa kewajiban, bukan sekadar kebolehan, karena hijrah tersebut adalah hijrah menuju Rasulullah. Maka, orang-orang yang masuk Islam dari Makkah sebelum penaklukan (Makkah) berhijrah kepadanya, dan mereka dalam hal ini terbagi menjadi tiga golongan.

أَحَدُهَا مَنْ كَانَ مِنْهُمْ فِي سَعَةِ مَالٍ وَعَشِيرَةٍ لَا يَخَافُ عَلَى نَفْسِهِ وَلَا عَلَى دِينِهِ كَالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَمِثْلُ هَذَا قَدْ كَانَ مَأْمُورًا بِالْهِجْرَةِ نَدْبًا وَلَمْ تَجِبْ عَلَيْهِ حَتْمًا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ

Salah satunya adalah orang yang di antara mereka memiliki kelapangan harta dan keluarga besar, sehingga tidak khawatir terhadap dirinya maupun agamanya, seperti Al-‘Abbas bin ‘Abd al-Muththalib. Maka orang seperti ini diperintahkan untuk berhijrah secara anjuran (nadb), dan tidak diwajibkan secara mutlak. Allah Ta‘ala berfirman: “Barang siapa keluar dari rumahnya untuk berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya, maka sungguh pahalanya telah tetap di sisi Allah.”

وَالْقِسْمُ الثَّانِي مَنْ خَافَ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ دِينِهِ وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى الْخُرُوجِ بِأَهْلِهِ وَمَالِهِ فَهَذَا قَدْ كَانَتِ الْهِجْرَةُ عَلَيْهِ وَاجِبَةً وَهُوَ بِالتَّأَخُّرِ عَنْهَا عَاصٍ لِأَنَّهُ يَتَعَرَّضُ بِالْمَقَامِ لِلْأَذَى وَيَمْتَنِعُ بِالتَّأَخُّرِ عَنِ النُّصْرَةِ قَالَ اللَّهُ تعالى والذين تَوَفَّاهُمُ الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تكن أرض الله واسعة فتهاجروا فيها

Golongan kedua adalah orang yang khawatir terhadap dirinya atau agamanya, sementara ia mampu untuk berhijrah bersama keluarganya dan hartanya. Maka, hijrah wajib atasnya, dan dengan menunda hijrah ia berdosa, karena dengan tetap tinggal ia membiarkan dirinya terkena bahaya dan menahan diri dari memberikan pertolongan. Allah Ta‘ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menzalimi diri sendiri, malaikat bertanya: ‘Dalam keadaan bagaimana kalian ini?’ Mereka menjawab: ‘Kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri itu.’ Malaikat berkata: ‘Bukankah bumi Allah itu luas sehingga kalian dapat berhijrah di dalamnya?’”

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ مَنْ خَافَ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ دِينِهِ وَهُوَ غَيْرُ قَادِرٍ عَلَى الْخُرُوجِ بِنَفْسِهِ وَأَهْلِهِ إِمَّا لِضَعْفِ حَالٍ أَوْ عَجْزِ بَدَنٍ فَهَذَا مِمَّنْ لَمْ يَكُنْ عَلَى مِثْلِهِ فِي الْمَقَامِ حَرَجٌ وَلَا مَأْثَمٌ وَهُوَ بِالتَّأَخُّرِ عَنِ الْهِجْرَةِ مَعْذُورًا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى إِلا الْمُسْتَضْعَفِينَ من الرجال وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلا يَهْتَدُونَ سَبِيلا يَعْنِي لَا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً بِالْخَلَاصِ مِنْ مَكَّةَ وَلَا يَجِدُونَ سَبِيلًا فِي الْهِجْرَةِ إِلَى الْمَدِينَةِ وَيَكُونُ فِي التَّوْرِيَةِ عَنْ دِينِهِ بِإِظْهَارِ الْكُفْرِ وَاسْتِبْطَانِ الْإِسْلَامِ مُخَيَّرًا كَالَّذِي كَانَ مِنْ شَأْنِ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ وَأَبَوَيْهِ حِينَ تَخَلَّفُوا عَنِ الْهِجْرَةِ بِمَكَّةَ فَامْتَنَعَ أَبَوَاهُ مِنْ إِظْهَارِ الْكُفْرِ فَقُتِلَا وَتَظَاهَرَ بِهِ عَمَّارٌ فَاسْتُبْقِيَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى فِيهِ إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بالِإيمان الْآيَةَ فَعَلَى هَذَا كَانَتِ الْهِجْرَةُ فِي زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ

Golongan ketiga adalah orang yang khawatir terhadap dirinya atau agamanya, namun ia tidak mampu keluar bersama dirinya dan keluarganya, baik karena kelemahan kondisi atau ketidakmampuan fisik. Maka, bagi orang seperti ini, tidak ada kesulitan atau dosa baginya, dan ia dimaafkan karena tertinggal dari hijrah. Allah Ta‘ala berfirman: “Kecuali mereka yang tertindas, baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak yang tidak mampu mencari jalan keluar dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah).” Maksudnya, mereka tidak mampu mencari cara untuk keluar dari Makkah dan tidak menemukan jalan untuk berhijrah ke Madinah. Dalam hal menyembunyikan agamanya dengan menampakkan kekufuran dan menyembunyikan keislaman, ia diberi pilihan, sebagaimana yang terjadi pada ‘Ammar bin Yasir dan kedua orang tuanya ketika mereka tertinggal dari hijrah di Makkah. Kedua orang tuanya menolak menampakkan kekufuran sehingga keduanya dibunuh, sedangkan ‘Ammar menampakkan kekufuran sehingga ia selamat. Maka Allah Ta‘ala menurunkan firman-Nya tentang hal ini: “Kecuali orang yang dipaksa, sedang hatinya tetap tenang dengan iman.” Berdasarkan hal ini, hijrah pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti itu keadaannya.

فَصْلٌ فَأَمَّا الْهِجْرَةُ فِي زَمَانِنَا فَتَخْتَصُّ بِمَنْ أَسْلَمَ فِي دَارِ الْحَرْبِ فِي الْهِجْرَةِ مِنْهَا إِلَى دَارِ إِسْلَامٍ وَلَا تَخْتَصُّ بِدَارِ الْإِمَامِ

Adapun hijrah pada zaman kita sekarang ini, maka hijrah itu khusus bagi orang yang masuk Islam di negeri harb, yaitu berhijrah dari negeri tersebut ke negeri Islam, dan tidak khusus ke negeri yang dipimpin oleh imam.

وَحَالُهُ يَنْقَسِمُ فِيهَا خَمْسَةَ أَقْسَامٍ

Keadaannya terbagi dalam lima bagian.

أَحَدُهَا أَنْ يَقْدِرَ عَلَى الِامْتِنَاعِ فِي دَارِ الْحَرْبِ بِالِاعْتِزَالِ وَيَقْدِرَ عَلَى الدُّعَاءِ وَالْقِتَالِ فَهَذَا يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُقِيمَ فِي دَارِ الْحَرْبِ لِأَنَّهَا صَارَتْ بِإِسْلَامِهِ وَاعْتِزَالِهِ دَارَ الْإِسْلَامِ وَيَجِبُ عَلَيْهِ دُعَاءُ الْمُشْرِكِينَ إِلَى الْإِسْلَامِ بِمَا اسْتَطَاعَ مِنْ نُصْرَتِهِ بِجِدَالٍ أَوْ قِتَالٍ

Salah satunya adalah jika seseorang mampu menahan diri di wilayah perang dengan mengasingkan diri, dan mampu melakukan dakwah serta berperang, maka wajib baginya untuk tetap tinggal di wilayah perang tersebut. Sebab, dengan keislamannya dan pengasingannya, wilayah itu menjadi wilayah Islam. Ia juga wajib mengajak orang-orang musyrik kepada Islam semampunya, baik dengan bantuan berupa debat maupun peperangan.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَقْدِرَ عَلَى الِامْتِنَاعِ وَالِاعْتِزَالِ وَلَا يَقْدِرَ عَلَى الدُّعَاءِ وَالْقِتَالِ فَهَذَا يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُقِيمَ وَلَا يُهَاجِرَ لِأَنَّ دَارَهُ قَدْ صَارَتْ بِاعْتِزَالِهِ دَارَ إِسْلَامٍ وَإِنْ هَاجَرَ عَنْهَا عَادَتْ دَارَ حَرْبٍ وَلَا يَجِبُ عَلَيْهِ الدُّعَاءُ وَالْقِتَالُ لِعَجْزِهِ عَنْهَا

Bagian kedua adalah seseorang yang mampu menahan diri dan mengasingkan diri, namun tidak mampu melakukan dakwah dan peperangan. Maka, orang seperti ini wajib tetap tinggal dan tidak berhijrah, karena dengan pengasingannya, tempat tinggalnya telah menjadi Darul Islam. Jika ia meninggalkannya, tempat itu akan kembali menjadi Darul Harb. Ia tidak diwajibkan untuk berdakwah dan berperang karena ketidakmampuannya.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَقْدِرَ عَلَى الِامْتِنَاعِ وَلَا يَقْدِرَ عَلَى الِاعْتِزَالِ وَلَا عَلَى الدُّعَاءِ وَالْقِتَالِ فَهَذَا لَا يَجِبُ عَلَيْهِ الْمَقَامُ لِأَنَّهُ لَمْ تَصِرْ دَارُهُ دَارَ إِسْلَامٍ وَلَا تَجِبُ عَلَيْهِ الْهِجْرَةُ لِأَنَّهُ يَقْدِرُ عَلَى الِامْتِنَاعِ وَلَهُ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ أَحَدُهَا أَنْ يَرْجُوَ ظُهُورَ الْإِسْلَامِ بِمَقَامِهِ فَالْأَوْلَى بِهِ أَنْ يُقِيمَ وَلَا يُهَاجِرَ وَالثَّانِي أَنْ يَرْجُوَ نُصْرَةَ الْمُسْلِمِينَ بِهِجْرَتِهِ فَالْأَوْلَى بِهِ أَنْ يُهَاجِرَ وَلَا يُقِيمَ وَالثَّالِثُ أَنْ تَتَسَاوَى أَحْوَالُهُ فِي الْمَقَامِ وَالْهِجْرَةِ فَهُوَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ الْمَقَامِ وَالْهِجْرَةِ وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ أَنْ لَا يَقْدِرَ عَلَى الِامْتِنَاعِ وَيَقْدِرَ عَلَى الْهِجْرَةِ فَوَاجِبٌ عَلَيْهِ أَنْ يُهَاجِرَ وَهُوَ عَاصٍ إِنْ أَقَامَ وَفِي مِثْلِهِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَا بَرِئٌ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ مَعَ مُشْرِكٍ قِيلَ وَلِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لَا تُرَاءَى نَارَاهُمَا وَمَعْنَاهُ لَا يَتَّفِقُ رَأْيَاهُمَا فَعَبَّرَ عَنِ الرَّأْيِ بالنار لأن الإنسان يستضئ بالرأي كما يستضئ بالنار وَمِثْلُهُ مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ لَا تَسْتَضِيئُوا بِنَارِ أَهْلِ الشِّرْكِ ” أَيْ لَا تَقْتَدُوا بِآرَائِهِمْ

Bagian ketiga adalah seseorang yang mampu menahan diri (dari kekufuran) namun tidak mampu mengasingkan diri, berdoa, atau berperang. Maka, tidak wajib baginya untuk tetap tinggal karena negerinya belum menjadi Dār al-Islām, dan tidak wajib pula baginya hijrah karena ia mampu menahan diri. Dalam hal ini, ada tiga keadaan: Pertama, jika ia berharap Islam akan tampak dengan keberadaannya di sana, maka yang utama baginya adalah tetap tinggal dan tidak hijrah. Kedua, jika ia berharap dapat menolong kaum Muslimin dengan hijrahnya, maka yang utama baginya adalah hijrah dan tidak tetap tinggal. Ketiga, jika keadaannya sama saja antara tetap tinggal dan hijrah, maka ia boleh memilih antara keduanya. Bagian keempat adalah seseorang yang tidak mampu menahan diri namun mampu hijrah, maka wajib baginya untuk hijrah, dan ia berdosa jika tetap tinggal. Dalam hal ini, Rasulullah ﷺ bersabda, “Aku berlepas diri dari setiap Muslim yang tinggal bersama musyrik.” Ditanyakan, “Mengapa, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Jangan sampai api keduanya saling terlihat.” Maksudnya, jangan sampai pandangan atau pendapat mereka saling bertemu. Beliau mengungkapkan pendapat dengan kata “api” karena manusia mengambil penerangan dari pendapat sebagaimana mereka mengambil penerangan dari api. Demikian pula sabda Nabi ﷺ, “Janganlah kalian mengambil penerangan dari api orang-orang musyrik,” maksudnya janganlah kalian mengikuti pendapat-pendapat mereka.

وَالْقِسْمُ الْخَامِسُ أَنْ لَا يَقْدِرَ عَلَى الِامْتِنَاعِ وَيَضْعُفَ عَنِ الْهِجْرَةِ فَتَسْقُطَ عَنْهُ الْهِجْرَةِ لِعَجْزِهِ وَيَجُوزُ أَنْ يَدْفَعَ عَنْ نَفْسِهِ بِإِظْهَارِ الْكُفْرِ وَيَكُونَ مُسْلِمًا بِاعْتِقَادِ الْإِسْلَامِ وَالْتِزَامِ أَحْكَامِهِ وَلَا يَجُوزُ لِمَنْ قَدَرَ عَلَى الْهِجْرَةِ أَنْ يَتَظَاهَرَ بِالْكُفْرِ لِأَنَّهُ غَيْرُ مُضْطَرٍّ وَالْعَاجِزُ عَنِ الْهِجْرَةِ مُضْطَرٌّ وَيَكُونُ فَرْضُ الْهِجْرَةِ عَلَى مَنْ آمَنَ فِيهَا بَاقِيًا مَا بَقِيَ لِلشِّرْكِ دَارٌ

Bagian kelima adalah seseorang yang tidak mampu menahan diri dan lemah untuk berhijrah, maka kewajiban hijrah gugur darinya karena ketidakmampuannya. Ia diperbolehkan melindungi dirinya dengan menampakkan kekufuran, dan ia tetap dianggap Muslim karena keyakinannya terhadap Islam dan komitmennya terhadap hukum-hukumnya. Tidak diperbolehkan bagi orang yang mampu berhijrah untuk menampakkan kekufuran, karena ia tidak dalam keadaan darurat, sedangkan orang yang tidak mampu berhijrah adalah orang yang terpaksa. Kewajiban hijrah tetap berlaku bagi siapa saja yang beriman selama masih ada negeri syirik.

رَوَى مُعَاوِيَةُ بْنُ أَبِي سُفْيَانَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يَقُولُ ” لَا تَنَقطِعُ الْهِجْرَةُ حَتَّى تَنْقَطِعَ التَّوْبَةُ وَلَا تَنَقَطِعُ التَّوْبَةُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا “

Muawiyah bin Abi Sufyan meriwayatkan, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hijrah tidak akan terputus sampai tobat terputus, dan tobat tidak akan terputus sampai matahari terbit dari arah barat.”

فَإِنْ قِيلَ فَقَدْ رَوَى ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ ” لَا هِجْرَةَ بَعْدَ الْيَوْمِ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ “

Jika dikatakan: Ibnu ‘Abbas meriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda pada hari Fathu Makkah, “Tidak ada hijrah setelah hari ini, tetapi yang ada adalah jihad dan niat.”

قِيلَ فِي تَأْوِيلِهِ وَجْهَانِ

Dalam menafsirkan hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا لَا هِجْرَةَ مِنْ مَكَّةَ بَعْدَ الْيَوْمِ لِأَنَّهَا قَدْ صَارَتْ بَعْدَ الْفَتْحِ دَارَ إِسْلَامٍ

Salah satunya adalah tidak ada hijrah dari Makkah setelah hari ini, karena setelah penaklukan, Makkah telah menjadi dār al-Islām.

الثَّانِي لَا فَضِيلَةَ لِلْهِجْرَةِ بَعْدَ الْيَوْمِ كَفَضِيلَتِهَا قَبْلَ الْيَوْمِ لِأَنَّهَا كَانَتْ قَبْلَ الْفَتْحِ أَشَقَّ مِنْهَا بَعْدَهُ فَكَانَ فَضْلُهَا أَكْثَرَ مِنْ فَضْلِهَا بَعْدَهُ

Kedua, keutamaan hijrah setelah hari itu tidaklah seperti keutamaannya sebelum hari itu, karena hijrah sebelum Fathu Makkah lebih berat dibandingkan setelahnya, sehingga keutamaannya sebelum Fathu Makkah lebih besar daripada keutamaannya setelahnya.

وَفِي تَسْمِيَتِهَا هِجْرَةً وَجْهَانِ

Dalam penamaannya sebagai hijrah terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا لِأَنَّهُ يَهْجُرُ فِيهَا مَا أَلِفَ مِنْ وَطَنٍ وَأَهْلٍ

Salah satunya adalah karena ia meninggalkan apa yang telah biasa ia tempati berupa tanah air dan keluarga.

وَالثَّانِي لِأَنَّهُ يَهْجُرُ فِيهَا الْعَادَةَ مِنْ عَمَلٍ أَوْ كَسْبٍ

Dan yang kedua, karena di dalamnya seseorang meninggalkan kebiasaan, baik berupa pekerjaan maupun usaha.

فَصْلٌ

Fasal

وَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّانِي فِي فَرْضِ الْجِهَادِ فَلِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِيهِ أَرْبَعَةُ أَحْوَالٍ

Adapun bagian kedua tentang kewajiban jihad, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki empat keadaan di dalamnya.

أَحَدُهَا وَهِيَ أَوَّلُ أَحْوَالِهِ أَنَّهُ قَدْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مُدَّةَ مَقَامِهِ بِمَكَّةَ مَنْهِيًّا عَنِ الْقِتَالِ مَأْمُورًا بِالصَّفْحِ وَالْإِعْرَاضِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ فِيهِ تَأْوِيلَانِ

Salah satunya, yaitu keadaan pertama beliau, adalah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selama masa tinggalnya di Makkah dilarang berperang dan diperintahkan untuk memaafkan serta berpaling, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Maka sampaikanlah secara terang-terangan apa yang diperintahkan kepadamu dan berpalinglah dari orang-orang musyrik.” Dalam ayat ini terdapat dua penafsiran.

أَحَدُهُمَا أَظْهِرِ الْإِنْذَارَ بِالْوَحْيِ

Salah satunya adalah menampakkan peringatan melalui wahyu.

وَالثَّانِي فَرِّقِ الْقَوْلَ فِيهِمْ مُجْتَمِعِينَ وَفُرَادَى

Dan yang kedua, bedakanlah pendapat tentang mereka ketika mereka berkumpul dan ketika mereka sendiri-sendiri.

وَفِي قَوْلِهِ وَأَعْرِضْ عَنِ المشركين تَأْوِيلَانِ

Dalam firman-Nya “dan berpalinglah dari orang-orang musyrik” terdapat dua penafsiran.

أَحَدُهُمَا أَعْرِضْ عَنْ قِتَالِهِمْ

Salah satunya adalah berpalinglah dari memerangi mereka.

والثاني أعرض عن استهزائهم

Dan yang kedua, berpalinglah dari ejekan mereka.

والمستهزؤون خَمْسَةٌ الْوَلِيدُ بْنُ الْمُغِيرَةِ وَالْعَاصِ بْنُ وَائِلٍ وَأَبُو زَمْعَةَ وَالْأُسُودُ بْنُ عَبْدِ يَغُوثَ وَالْحَارِثُ بْنُ الطُّلَاطِلَةِ أَهْلَكَهُمُ اللَّهُ جَمِيعًا قَبْلَ بَدْرٍ لِاسْتِهْزَائِهِمْ بِرَسُولِهِ وَقَالَ تَعَالَى وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَفِي خَوْضِهِمْ فِي آيَاتِهِ تَأْوِيلَانِ

Orang-orang yang suka mengejek itu ada lima: Al-Walid bin Al-Mughirah, Al-‘Ash bin Wa’il, Abu Zam‘ah, Al-Aswad bin ‘Abd Yaghuts, dan Al-Harits bin Ath-Thalathilah. Allah membinasakan mereka semua sebelum Perang Badar karena ejekan mereka terhadap Rasul-Nya. Allah Ta‘ala berfirman: “Dan apabila kamu melihat orang-orang yang membicarakan ayat-ayat Kami dengan memperolok-olok, maka berpalinglah dari mereka sampai mereka membicarakan pembicaraan yang lain.” Dalam tindakan mereka memperolok-olok ayat-ayat Allah itu terdapat dua penafsiran.

أَحَدُهُمَا تَكْذِيبُهُمْ بِالْقُرْآنِ

Salah satunya adalah pendustaan mereka terhadap al-Qur’an.

وَالثَّانِي تَكْذِيبُهُمْ لرسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وقال تعالى ادع إلى رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ يَعْنِي إِلَى دِينِ رَبِّكَ وَهُوَ الْإِسْلَامُ بِالْحِكْمَةِ فِيهَا تَأْوِيلَانِ

Yang kedua adalah pendustaan mereka terhadap Rasulullah ﷺ. Allah Ta‘ala berfirman: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik,” yang maksudnya adalah serulah kepada agama Tuhanmu, yaitu Islam, dengan hikmah. Dalam hal hikmah ini terdapat dua penafsiran.

أَحَدُهُمَا بِالْقُرْآنِ قَالَهُ الْكَلْبِيُّ

Salah satunya adalah dengan Al-Qur’an, sebagaimana dikatakan oleh Al-Kalbi.

وَالثَّانِي بِالرِّسَالَةِ وَهُوَ محتمل والموعظة الحسنة فِيهِ تَأْوِيلَانِ

Yang kedua adalah dengan risalah, dan hal itu masih mungkin, sedangkan mau‘izhah hasanah di dalamnya terdapat dua penafsiran.

أَحَدُهُمَا بِالْقُرْآنِ مَنْ لَيْسَ مِنَ الْقَوْلِ قَالَهُ الْكَلْبِيُّ

Salah satunya adalah dengan Al-Qur’an, yaitu sesuatu yang bukan berupa ucapan, sebagaimana dikatakan oleh Al-Kalbi.

وَالثَّانِي بِمَا فِيهِ مِنَ الْأَمْرِ وَالنَّهْيِ قَالَهُ مُقَاتِلٌ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فِيهِ أَرْبَعَةُ تَأْوِيلَاتٍ

Dan yang kedua adalah terkait dengan perintah dan larangan yang terkandung di dalamnya, sebagaimana dikatakan oleh Muqatil. Dan debatlah mereka dengan cara yang paling baik, dalam hal ini terdapat empat penafsiran.

أَحَدُهَا بِالْعَفْوِ

Salah satunya adalah dengan memaafkan.

وَالثَّانِي بِأَنْ تُوقِظَ الْقُلُوبَ وَلَا تُسَفِّهَ الْعُقُولَ

Yang kedua adalah dengan membangkitkan hati dan tidak meremehkan akal.

وَالثَّالِثُ بِأَنْ تُرْشِدَ الْخَلَفَ وَلَا تَذُمَّ السَّلَفَ

Yang ketiga adalah dengan memberi petunjuk kepada generasi penerus dan tidak mencela generasi terdahulu.

وَالرَّابِعُ عَلَى قَدْرِ مَا يَحْتَمِلُونَ

Dan yang keempat adalah sesuai dengan kadar yang dapat mereka tanggung.

رَوَى نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” أُمِرْنَا مَعَاشِرَ الْأَنْبِيَاءِ أَنْ نُعَلِّمَ النَّاسَ عَلَى قَدْرِ عُقُولِهِمْ ” وَقَالَ تَعَالَى فَإِنْ حاجوك فقل أسلمت وجهي لله ومن اتبعني وَفِيهِ تَأْوِيلَانِ

Nafi‘ meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, “Kami, para nabi, diperintahkan untuk mengajarkan manusia sesuai dengan kadar akal mereka.” Allah Ta‘ala berfirman, “Jika mereka membantahmu, maka katakanlah: Aku telah menyerahkan diriku kepada Allah, begitu pula orang-orang yang mengikutiku.” Dalam ayat ini terdapat dua penafsiran.

أَحَدُهُمَا مَعْنَاهُ أَسْلَمْتُ نَفَسِي لِامْتِثَالِ أَمْرِ اللَّهِ

Salah satunya maknanya adalah aku menyerahkan diriku untuk menaati perintah Allah.

وَالثَّانِي مَعْنَاهُ أَخْلَصْتُ قَصْدِي لِطَاعَةِ اللَّهِ

Dan yang kedua maknanya adalah aku memurnikan niatku untuk taat kepada Allah.

فَإِنْ قِيلَ فِي أَمْرِهِ عِنْدَ حِجَاجِهِمْ بِأَنْ يَقُولَ أَسْلَمْتُ وَجْهِيَ لِلَّهِ عُدُولٌ عَنْ جَوَابِهِمْ وَتَسْلِيمٌ بِحِجَاجِهِمْ

Jika dikatakan bahwa dalam urusannya ketika berdebat dengan mereka dengan mengatakan, “Aku menyerahkan wajahku kepada Allah,” itu merupakan penyimpangan dari jawaban mereka dan pengakuan atas argumentasi mereka.

قِيلَ فِيهِ جوابان

Dalam hal ini terdapat dua jawaban.

أَحَدُهُمَا إنَّهُ أَمَرَهُ بِذَلِكَ إِخْبَارًا لَهُمْ بِمُعْتَقَدِهِ ثُمَّ هُوَ فِي الْجَوَابِ لَهُمْ وَالِاحْتِجَاجِ عَلَيْهِمْ عَلَى مَا يَقْتَضِيهِ السُّؤَالُ

Salah satunya adalah bahwa ia memerintahkan hal itu sebagai pemberitahuan kepada mereka tentang keyakinannya, kemudian hal itu juga merupakan jawaban bagi mereka dan sebagai hujjah atas mereka sesuai dengan apa yang dituntut oleh pertanyaan.

وَالثَّانِي إنَّهُمْ مَا حَاجُّوهُ طَلَبًا لِلْحَقِّ فَيَلْزَمُهُ الْجَوَابُ وَإِنَّمَا حَاجُّوهُ إِظْهَارًا لِلْعِنَادِ فَجَازَ لَهُ الْإِعْرَاضُ عَنْهُمْ بِمَا أَمَرَهُ أَنْ يَقُولَهُ لَهُمْ

Kedua, sesungguhnya mereka tidak mendebatnya untuk mencari kebenaran sehingga ia wajib menjawabnya, melainkan mereka mendebatnya hanya untuk menunjukkan sikap keras kepala, maka diperbolehkan baginya untuk berpaling dari mereka dengan apa yang diperintahkan kepadanya untuk dikatakan kepada mereka.

فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ على هذا مرة مُقَامِهِ بِمَكَّةَ غَيْرَ مَأْذُونٍ لَهُ فِي الْقِتَالِ لِأَنَّهُ كَانَ يَضْعُفُ عَنْهُ وَكَانَتْ رِسَالَتُهُ مُخْتَصَّةً بِأَمْرَيْنِ

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selama masa tinggalnya di Makkah berada dalam keadaan seperti ini, yaitu belum diizinkan untuk berperang karena beliau belum mampu melakukannya, dan risalah beliau pada waktu itu terbatas pada dua hal.

أَحَدُهُمَا إِنْذَارُ الْمُشْرِكِينَ

Salah satunya adalah memberi peringatan kepada kaum musyrik.

وَالثَّانِي مَا يَشْرَعُهُ مِنْ أَحْكَامِ الدِّينِ

Dan yang kedua adalah apa yang disyariatkan berupa hukum-hukum agama.

ثُمَّ هَاجَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إِلَى الْمَدِينَةِ فَصَارَتْ دَارَ إِسْلَامٍ ظَهَرَتْ لَهُ بِهَا قُوَّةٌ فَأَذِنَ اللَّهُ تَعَالَى أَنْ يُقَاتِلَ مَنْ قَاتَلَهُ وَيَكُفَّ عَمَّنْ كَفَّ عَنْهُ فَقَالَ وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

Kemudian Rasulullah ﷺ hijrah ke Madinah, sehingga Madinah menjadi negeri Islam yang di sana beliau memiliki kekuatan. Maka Allah Ta‘ala mengizinkan beliau untuk memerangi siapa saja yang memeranginya dan menahan diri dari siapa saja yang menahan diri darinya. Allah berfirman: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian, tetapi jangan melampaui batas. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”

وَقَالَ الرَّبِيعُ بْنُ أَنَسٍ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ زَيْدٍ هَذِهِ أَوَّلُ آيَةٍ نَزَلَتْ بِالْمَدِينَةِ فِي قِتَالِ الْمُشْرِكِينَ أَمَرَ اللَّهُ فِيهَا رَسُولَهُ وَالْمُسْلِمِينَ بِقِتَالِ مَنْ قَاتَلَهُمْ وَالْكَفِّ عَمَّنْ كَفَّ عَنْهُمْ

Ar-Rabi‘ bin Anas dan ‘Abdurrahman bin Zaid berkata, “Ini adalah ayat pertama yang turun di Madinah tentang peperangan melawan kaum musyrik. Dalam ayat ini, Allah memerintahkan Rasul-Nya dan kaum Muslimin untuk memerangi siapa saja yang memerangi mereka, dan menahan diri dari orang yang menahan diri dari mereka.”

وفي قوله تعالى ولا تعتدوا تَأْوِيلَانِ

Dalam firman Allah Ta’ala “Dan janganlah kalian melampaui batas” terdapat dua penafsiran.

أَحَدُهُمَا لَا تَعْتَدُوا بِقِتَالِ مَنْ لَمْ يُقَاتِلْكُمْ

Salah satunya adalah janganlah kalian memerangi orang yang tidak memerangi kalian.

وَالثَّانِي لَا تَعْتَدُوا بِالْقِتَالِ عَلَى غَيْرِ الدِّينِ فَكَانَ هَذَا قِتَالُ دَفْعٍ وَهِيَ الْحَالُ الثَّانِيَةُ مِنْ أَحْوَالِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أن يجازي ولا يبتدىء فَلَمَّا مَضَتْ بِهِ مُدَّةٌ ازْدَادَتْ فِيهَا قُوَّتُهُ وَكَثُرَ فِيهَا عَدَدُهُ نَقَلَهُ اللَّهُ تَعَالَى إِلَى حَالَةٍ ثَالِثَةٍ أَذِنَ لَهُ فِيهَا بِقِتَالِ مَنْ رَأَى إِذْنًا خَيَّرَهُ فِيهِ وَلَمْ يَفْرِضْهُ عَلَيْهِ فَقَالَ تَعَالَى أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ فَلَمْ يَقْطَعِ الْإِخْبَارَ بِنَصْرِهِمْ لِأَنَّهُ لَمْ يُحَتِّمْ فَرْضَ الْجِهَادِ عَلَيْهِمْ وَلِذَلِكَ لَمَّا فَرَضَ الْجِهَادَ قَطَعَ بِنَصْرِهِمْ فَقَالَ وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مُخَيَّرًا بَيْنَ الْكَفِّ وَالْقِتَالِ فَأَسْرَى سَرَايَا وَغَزَا بَدْرًا وَهُوَ فِي الْجِهَادِ مُخَيَّرٌ وَلِذَلِكَ خَرَجَ بِبَعْضِ أَصْحَابِهِ وَكَانَ مَنْ أَمَرَهُ بِالْجِهَادِ مَعَهُ يَجِبُ عَلَيْهِ إِجَابَتُهُ لِمَا أَوْجَبَهُ اللَّهُ مِنْ طَاعَةِ رَسُولِهِ فِي أَوَامِرِهِ وَإِنْ لَمْ يَكُنِ الْجِهَادُ فَرْضًا لِقَوْلِهِ تَعَالَى يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ وَفِيهِ تَأْوِيلَانِ

Yang kedua, janganlah kalian memulai peperangan terhadap selain urusan agama; maka ini adalah peperangan untuk membela diri, dan inilah keadaan kedua dari keadaan Rasulullah saw., yaitu membalas tetapi tidak memulai. Setelah berlalu suatu masa di mana kekuatannya bertambah dan jumlah pengikutnya semakin banyak, Allah Ta‘ala memindahkannya ke keadaan ketiga, yaitu Allah mengizinkannya untuk memerangi siapa saja yang dikehendaki dengan izin yang bersifat pilihan, tidak mewajibkannya atas beliau. Allah Ta‘ala berfirman: “Diizinkan bagi orang-orang yang diperangi karena mereka dizalimi, dan sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuasa menolong mereka.” Maka Allah tidak memastikan kabar tentang pertolongan-Nya kepada mereka karena jihad belum diwajibkan atas mereka. Oleh karena itu, ketika jihad telah diwajibkan, Allah memastikan pertolongan-Nya kepada mereka dengan firman-Nya: “Dan sungguh Allah pasti menolong siapa yang menolong-Nya.” Maka Rasulullah saw. diberi pilihan antara menahan diri atau berperang; beliau mengirimkan pasukan-pasukan kecil dan memimpin Perang Badar, dan dalam jihad beliau masih dalam keadaan diberi pilihan. Oleh karena itu, beliau keluar bersama sebagian sahabatnya, dan siapa saja yang beliau perintahkan untuk berjihad bersamanya wajib menjawab panggilannya, karena Allah telah mewajibkan ketaatan kepada Rasul-Nya dalam perintah-perintahnya, meskipun jihad belum menjadi fardhu, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul apabila Rasul menyeru kalian kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kalian.” Dalam hal ini terdapat dua penafsiran.

أَحَدُهُمَا لِمَا يُصْلِحُكُمْ فَعَبَّرَ عَنِ الصَّلَاحِ بِالْحَيَاةِ

Salah satunya adalah untuk sesuatu yang memberi kemaslahatan bagi kalian, maka kebaikan itu diungkapkan dengan istilah “kehidupan”.

وَالثَّانِي لِمَا تَدُومُ بِهِ حَيَاتُكُمْ فِي الْجَنَّةِ بِالْخُلُودِ فِيهَا فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَلَى هَذَا التَّخْيِيرِ حَتَّى قَوِيَ أَمْرُهُ بِوَقْعَةِ بَدْرٍ وَكَثُرَ جَمْعُهُ وَقَوِيَتْ نُفُوسُ أَصْحَابِهِ بِمَا شاهدوه من نَصْرِ اللَّهِ تَعَالَى بِهِ وَلَهُمْ وَحُدُوثِ الْقُوَّةِ بَعْدَ ضَعْفِهِمْ كَمَا قَالَ تَعَالَى وَلَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ بِبَدْرٍ وَأَنْتُمْ أَذِلَّةٌ فَنَقَلَهُ إِلَى الْحَالَةِ الرَّابِعَةِ الَّتِي هِيَ غَايَةُ أَحْوَالِهِ فَحِينَئِذٍ فَرَضَ اللَّهُ تَعَالَى الْجِهَادَ عَلَيْهِ وَعَلَيْهِمْ فَقَالَ فِيهِ يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ

Dan yang kedua adalah agar kalian dapat hidup kekal di surga, dengan keabadian di dalamnya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada dalam keadaan diberi pilihan ini hingga kekuatannya bertambah dengan peristiwa Perang Badar, jumlah pengikutnya semakin banyak, dan semangat para sahabatnya pun menguat karena mereka menyaksikan pertolongan Allah Ta‘ala yang diberikan kepada beliau dan kepada mereka, serta munculnya kekuatan setelah sebelumnya mereka lemah, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: “Dan sungguh Allah telah menolong kalian di Badar, padahal saat itu kalian dalam keadaan lemah.” Maka Allah memindahkan beliau ke keadaan keempat, yaitu puncak dari segala keadaannya. Saat itulah Allah Ta‘ala mewajibkan jihad atas beliau dan para sahabatnya, sebagaimana firman-Nya: “Wahai Nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka.”

وَجِهَادُ الْكُفَّارِ بِالسَّيْفِ وَجِهَادُ الْمُنَافِقِينَ بِالْوَعْظِ إِنْ كَتَمُوا وَبِالسَّيْفِ إن أعلنوا

Dan jihad terhadap orang-orang kafir dilakukan dengan pedang, sedangkan jihad terhadap orang-orang munafik dilakukan dengan nasihat jika mereka menyembunyikan (kemunafikannya), dan dengan pedang jika mereka menampakkannya.

وفي قوله واغلظ عليهم تَأْوِيلَانِ

Dalam firman-Nya “dan bersikap keraslah terhadap mereka” terdapat dua penafsiran.

أَحَدُهُمَا لَا تَبَرَّ لَهُمْ قَسَمًا

Salah satunya adalah janganlah engkau bersumpah untuk mereka.

وَالثَّانِي لَا تَقْبَلْ لَهُمْ عُذْرًا

Dan yang kedua, tidak diterima uzur dari mereka.

وَقَالَ لِلْكَافَّةِ وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ وَفِيهِ تَأْوِيلَانِ

Dan Dia berfirman kepada seluruh manusia, “Berjihadlah di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.” Dalam ayat ini terdapat dua penafsiran.

أَحَدُهُمَا إنَّهُ الصَّبْرُ عَلَى الشَّهَادَةِ

Salah satunya adalah kesabaran dalam menghadapi kesaksian.

وَالثَّانِي إنَّهُ طَلَبُ النِّكَايَةِ فِي الْعَدُوِّ دُونَ الْغَنِيمَةِ

Yang kedua adalah bahwa tujuannya adalah untuk menimpakan kerugian kepada musuh, bukan untuk memperoleh harta rampasan.

وَرَوَى أَبُو مُرَاوِحٍ الْغِفَارِيُّ عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ؟ قَالَ ” إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَجِهَادٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قُلْتُ أَيُّ الرِّقَابِ أَفْضَلُ؟ قَالَ أَغْلَاهَا ثَمَنًا وأَنْفَسُهَا عِنْدَ أَهْلِهَا ” ثُمَّ بَيَّنَ اللَّهُ تَعَالَى فَرْضَهُ عَلَيْهِمْ فَقَالَ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كره لكم وكتب فمعنى فُرِضَ كَمَا قَالَ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ أَيْ فُرِضَ وَفِي قَوْله تَعَالَى وَهُوَ كُرْهٌ لكم تَأْوِيلَانِ

Abu Murawih al-Ghifari meriwayatkan dari Abu Dzar, ia berkata: Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, amal apa yang paling utama?” Beliau menjawab, “Iman kepada Allah dan jihad di jalan Allah.” Aku bertanya lagi, “Budak mana yang paling utama untuk dimerdekakan?” Beliau menjawab, “Yang paling mahal harganya dan paling berharga di mata pemiliknya.” Kemudian Allah Ta‘ala menjelaskan kewajiban-Nya atas mereka dengan firman-Nya, “Diwajibkan atas kalian berperang, padahal itu kalian benci,” dan firman-Nya “diwajibkan” bermakna “difardukan”, sebagaimana firman-Nya, “Diwajibkan atas kalian berpuasa,” yaitu difardukan. Dalam firman-Nya Ta‘ala, “padahal itu kalian benci,” terdapat dua penafsiran.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ مَكْرُوهٌ فِي نُفُوسِكُمْ

Salah satunya adalah sesuatu yang tidak kalian sukai dalam hati kalian.

وَالثَّانِي وَهُوَ شَاقٌّ عَلَى أَبْدَانِكُمْ وَهَلْ ذَلِكَ قَبْلَ التَّعَبُّدِ أَوْ بَعْدَهُ عَلَى وَجْهَيْنِ

Dan yang kedua, yaitu yang memberatkan badan kalian, apakah hal itu sebelum adanya kewajiban ibadah atau sesudahnya, terdapat dua pendapat.

ثُمَّ قَالَ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وعسى أن تحبوا شيئا وهو كره لَكُمْ وَفِيهِ تَأْوِيلَانِ

Kemudian Dia berfirman: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu.” Ayat ini memiliki dua tafsiran.

أَحَدُهُمَا إنَّهُ عَلَى الْعُمُومِ قَدْ تَكْرَهُونَ مَا تَكُونُ عَوَاقِبُهُ خَيْرًا لكم وتحبون ما تكن عَوَاقِبُهُ شَرًّا لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَعْلَمُ عَوَاقِبَ الْأُمُورِ وَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

Salah satunya adalah bahwa secara umum, bisa jadi kalian membenci sesuatu padahal akibatnya baik bagi kalian, dan kalian menyukai sesuatu padahal akibatnya buruk bagi kalian, karena Allah Ta‘ala mengetahui akibat segala urusan sedangkan mereka tidak mengetahui.

وَالثَّانِي إنَّهُ عَلَى الْخُصُوصِ فِي الْقِتَالِ عَلَى أَنْ تَكْرَهُوهُ وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ فِي الدُّنْيَا بِالظَّفَرِ وَالْغَنِيمَةِ وَفِي الْآخِرَةِ بِالْأَجْرِ وَالثَّوَابِ

Yang kedua, sesungguhnya ayat itu khusus mengenai perintah berperang, meskipun kalian membencinya, padahal itu lebih baik bagi kalian; di dunia berupa kemenangan dan harta rampasan, dan di akhirat berupa pahala dan ganjaran.

وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا الْمُوَادَعَةَ وَالْكَفَّ وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ فِي الدُّنْيَا بِالظُّهُورِ عَلَيْكُمْ وَفِي الْآخِرَةِ بِنُقْصَانِ أُجُورِكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا فِيهِ مَصْلَحَتُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ فَثَبَتَ بِهَذِهِ الْآيَةِ فَرْضُ الْجِهَادِ

Dan boleh jadi kalian menyukai perdamaian dan menahan diri, padahal itu buruk bagi kalian di dunia karena musuh akan menguasai kalian, dan di akhirat karena berkurangnya pahala kalian. Allah mengetahui apa yang mengandung kemaslahatan bagi kalian, sedangkan kalian tidak mengetahui. Maka dengan ayat ini, kewajiban jihad pun telah ditetapkan.

فَصْلٌ

Bab

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ فَرْضَ الْجِهَادِ تَرَتَّبَ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَلَى هَذِهِ الْأَحْوَالِ الْأَرْبَعَةِ فَقَدْ كَانَ فِي بتداء فَرْضِهِ مَخْصُوصَ الزَّمَانِ وَالْمَكَانِ فَأَمَّا مَخْصُوصُ زَمَانِهِ ففيما عَدَا الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ لِأَنَّ الْعَرَبَ كَانَتْ تُحَرِّمُ الْقِتَالَ فِي الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ لِيَنْتَشِرُوا فِيهَا آمِنِينَ قَالَ اللَّهِ تَعَالَى إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ وَهِيَ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبٌ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” ثَلَاثَةٌ سَرْدٌ وَوَاحِدٌ فَرْدٌ ” وَكَانُوا يُحَرِّمُونَ الْقِتَالَ في الحرم فقال تَعَالَى أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا جَعَلْنَا حَرَمًا آمِنًا وَيُتَخَطَّفُ النَّاسُ مِنْ حَوْلِهِمْ فَأَثْبَتَ اللَّهُ تَعَالَى فِي ابْتِدَاءِ فَرْضِ الْجِهَادِ تَحْرِيمَ الْقِتَالِ فِي الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ وَتَحْرِيمَ الْقِتَالِ فِي الْحَرَمِ فَقَالَ فِي تَحْرِيمِ الْقِتَالِ فِي الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ فَإِذَا انْسَلَخَ الأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ فَحَرَّمَ اللَّهُ تَعَالَى الْقِتَالَ فِيهَا عَلَى الْعُمُومِ ابْتِدَاءً وَمُقَابَلَةً ثُمَّ أَبَاحَ اللَّهُ تَعَالَى فِيهَا قِتَالَ مَنْ قَاتَلَ وَلَمْ يُبِحْ قِتَالَ مَنْ لَمْ يُقَاتِلْ فَقَالَ تَعَالَى الشَّهْرُ الْحَرَامُ بِالشَّهْرِ الْحَرَامِ وَالْحُرُمَاتُ قِصَاصٌ وَسَبَبُ ذَلِكَ مَا حَكَاهُ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ إنَّ مُشْرِكِي الْعَرَبِ قَالُوا لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” أَنُهِيتَ يَا مُحَمَّدُ عَنْ قِتَالِنَا فِي الشَهْرِ الْحَرَامِ فَقَالَ نَعَمْ فَأَرَادُوا أَنْ يُقَاتِلُوهُ فِي الشَّهْرِ الْحَرَامِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى الشَّهْرُ الْحَرَامُ بالشهر الحرام أَيْ إِنِ اسْتَحَلُّوا قِتَالَكُمْ فِي الشَّهْرِ الْحَرَامِ فَاسْتَحِلُّوا مِنْهُمْ مِثْلَ مَا اسْتَحَلُّوا مِنْكُمْ

Jika telah tetap bahwa kewajiban jihad ditetapkan pada masa Rasulullah saw. dalam empat keadaan ini, maka pada awal pensyariatannya jihad itu dikhususkan pada waktu dan tempat tertentu. Adapun kekhususan waktunya adalah selain bulan-bulan haram, karena bangsa Arab mengharamkan peperangan pada bulan-bulan haram agar mereka dapat bertebaran dengan aman pada bulan-bulan tersebut. Allah Ta‘ala berfirman: “Sesungguhnya bilangan bulan menurut Allah adalah dua belas bulan dalam kitab Allah, pada hari Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram,” yaitu Dzulqa‘dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Nabi saw. bersabda: “Tiga bulan berturut-turut dan satu bulan tersendiri.” Mereka juga mengharamkan peperangan di tanah haram, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: “Dan apakah mereka tidak melihat bahwa Kami telah menjadikan (Mekah) tanah haram yang aman, sedang manusia diculik dari sekeliling mereka?” Maka Allah Ta‘ala menetapkan pada awal pensyariatan jihad pengharaman peperangan di bulan-bulan haram dan pengharaman peperangan di tanah haram. Allah berfirman tentang pengharaman peperangan di bulan-bulan haram: “Apabila telah habis bulan-bulan haram, maka bunuhlah orang-orang musyrik di mana saja kamu menemui mereka.” Maka Allah Ta‘ala mengharamkan peperangan di bulan-bulan itu secara umum pada awalnya dan secara timbal balik, kemudian Allah Ta‘ala membolehkan peperangan terhadap siapa yang memerangi, dan tidak membolehkan memerangi siapa yang tidak memerangi. Allah Ta‘ala berfirman: “Bulan haram dengan bulan haram, dan pelanggaran-pelanggaran itu ada qishash.” Sebabnya adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Hasan al-Bashri, bahwa orang-orang musyrik Arab berkata kepada Rasulullah saw.: “Apakah engkau dilarang, wahai Muhammad, untuk memerangi kami di bulan haram?” Beliau menjawab: “Ya.” Lalu mereka ingin memeranginya di bulan haram, maka Allah Ta‘ala menurunkan ayat: “Bulan haram dengan bulan haram,” artinya jika mereka menghalalkan memerangi kalian di bulan haram, maka halalkanlah terhadap mereka seperti apa yang mereka halalkan terhadap kalian.

وَفِي قوله تعالى والحرمات قصاص تَأْوِيلَانِ

Dalam firman Allah Ta’ala “dan pelanggaran-pelanggaran itu mendapat pembalasan yang setimpal” terdapat dua penafsiran.

أَحَدُهُمَا فِي انْتِهَاكِ الْحُرُمَاتِ وُجُوبُ الْقِصَاصِ

Salah satunya dalam pelanggaran terhadap kehormatan adalah wajibnya qishāsh.

وَالثَّانِي فِي وُجُوبِ الْقِصَاصِ حِفْظُ الْحُرُمَاتِ ثُمَّ أَبَاحَ اللَّهُ تَعَالَى فِيهَا قِتَالَ مَنْ قَاتَلَ وَقِتَالَ مَنْ لَمْ يُقَاتِلْ فَقَالَ تَعَالَى يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ وَصَدٌّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَكُفْرٌ بِهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِخْرَاجُ أَهْلِهِ مِنْهُ أَكْبَرُ عِنْدَ اللَّهِ فَأَعْلَمَهُمْ أَنَّ حُرْمَةَ الدِّينِ أَعْظَمُ مِنْ حُرْمَةِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ وَمَعْصِيَةَ الْكُفْرِ أَعْظَمُ مِنْ مَعْصِيَةِ الْقِتَالِ فَصَارَ لِتَحْرِيمِ الْقِتَالِ فِي الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ

Yang kedua dalam kewajiban qishāsh adalah menjaga kehormatan. Kemudian Allah Ta‘ala membolehkan di dalamnya (qishāsh) untuk memerangi siapa saja yang memerangi, dan juga memerangi siapa saja yang tidak memerangi. Maka Allah Ta‘ala berfirman: “Mereka bertanya kepadamu tentang berperang di bulan haram. Katakanlah: ‘Berperang di dalamnya adalah dosa besar, dan menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada-Nya, (menghalangi masuk) Masjidil Haram, dan mengusir penduduknya darinya lebih besar (dosanya) di sisi Allah.’” Maka Allah memberitahukan kepada mereka bahwa kehormatan agama lebih agung daripada kehormatan bulan haram, dan maksiat kekufuran lebih besar daripada maksiat berperang. Maka, larangan berperang di bulan-bulan haram memiliki tiga keadaan.

الْأُولَى تَحْرِيمُهُ فِيهَا لِمَنْ قَاتَلَ وَلَمْ يُقَاتِلْ

Yang pertama adalah keharamannya di dalamnya, baik bagi yang memerangi maupun yang tidak memerangi.

وَالثَّانِيَةُ إنَّهُ أُبِيحَ فِيهَا قِتَالُ مَنْ قَاتَلَ دُونَ مَنْ لَمْ يُقَاتِلْ

Dan yang kedua, diperbolehkan di dalamnya memerangi siapa saja yang memerangi, tidak terhadap siapa yang tidak memerangi.

وَالثَّالِثَةُ إنَّهُ أُبِيحَ فِيهَا قِتَالُ مَنْ قَاتَلَ وَمَنْ لَمْ يُقَاتِلْ

Dan yang ketiga adalah bahwa dalam hal ini diperbolehkan memerangi baik orang yang memerangi maupun yang tidak memerangi.

وَقَالَ عَطَاءٌ هَذِهِ الْحَالَةُ الثَّالِثَةُ غَيْرُ مُبَاحَةٍ وَأَنَّهُ لَا يُسْتَبَاحُ فِيهَا إِلَّا قِتَالَ مَنْ قَاتَلَ دُونَ مَنْ لَمْ يُقَاتِلْ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَمْرَيْنِ

Atha’ berkata, “Keadaan ketiga ini tidak diperbolehkan, dan tidak dihalalkan di dalamnya kecuali memerangi orang yang memerangi, bukan yang tidak memerangi.” Pendapat ini keliru karena dua alasan.

أَحَدُهُمَا مَا ذَكَرَهُ اللَّهُ تَعَالَى مِنْ تَعْلِيلِ الْإِبَاحَة بقوله والفتنة أكبر من القتل وَهَذَا تَعْلِيلٌ عَامٌّ فَوَجَبَ أَنْ تَكُونَ الْإِبَاحَةُ عَامَّةٌ

Salah satunya adalah apa yang disebutkan Allah Ta‘ala berupa alasan kebolehan dengan firman-Nya: “dan fitnah itu lebih besar daripada pembunuhan.” Ini adalah alasan yang bersifat umum, maka wajiblah kebolehan itu juga bersifat umum.

وَالثَّانِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَقَدَ بَيْعَةَ الرِّضْوَانِ عَلَى قِتَالِ قُرَيْشٍ فِي ذي القعدة وَهُوَ مِنَ الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ وَأَمَّا الْحَرَمُ فَقَدْ كَانَ الْقِتَالُ فِيهِ حَرَامًا عَلَى عُمُومِ الْأَحْوَالِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا ثُمَّ أَبَاحَ اللَّهُ تَعَالَى فِيهِ قِتَالَ مَنْ قَاتَلَ دُونَ مَنْ لَمْ يُقَاتِلْ فَقَالَ وَلا تُقَاتِلُوهُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ حَتَّى يُقَاتِلُوكُمْ فِيهِ فَإِنْ قَاتَلُوكُمْ ثُمَّ أَبَاحَ اللَّهُ تَعَالَى فِيهِ قِتَالَ مَنْ قَاتَلَ وَمَنْ لَمْ يُقَاتِلْ بِقَوْلِهِ تَعَالَى وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ وَبِقَوْلِهِ تَعَالَى فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَقَالَ وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُمْ مِنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ فَصَارَ لِتَحْرِيمِ الْقِتَالِ فِي الْحَرَامِ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ

Yang kedua, bahwa Rasulullah ﷺ mengadakan Bai‘at Ridwan untuk memerangi Quraisy pada bulan Dzulqa‘dah, yang merupakan salah satu dari bulan-bulan haram. Adapun tanah haram, dahulu berperang di dalamnya diharamkan dalam segala keadaan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Dan barang siapa memasukinya, maka ia aman.” Kemudian Allah Ta‘ala membolehkan berperang di dalamnya terhadap orang yang memerangi, bukan terhadap orang yang tidak memerangi, sebagaimana firman-Nya: “Dan janganlah kalian memerangi mereka di sekitar Masjidil Haram kecuali jika mereka memerangi kalian di dalamnya. Jika mereka memerangi kalian…” Kemudian Allah Ta‘ala membolehkan berperang di dalamnya terhadap orang yang memerangi maupun yang tidak memerangi, berdasarkan firman-Nya: “Dan perangilah mereka sampai tidak ada lagi fitnah dan agama hanya untuk Allah,” dan firman-Nya: “Maka bunuhlah orang-orang musyrik di mana saja kalian menemui mereka,” dan firman-Nya: “Dan bunuhlah mereka di mana saja kalian menemui mereka, dan usirlah mereka dari mana mereka telah mengusir kalian.” Maka, larangan berperang di tanah haram menjadi memiliki tiga keadaan.

الْأُولَى تَحْرِيمُهُ فِيهِ لِمَنْ قَاتَلَ وَمَنْ لَمْ يُقَاتِلْ

Yang pertama adalah pengharamannya di dalamnya, baik bagi yang berperang maupun yang tidak berperang.

والثانية إِبَاحَتُهُ لِمَنْ قَاتَلَ دُونَ مَنْ لَمْ يُقَاتِلْ

Yang kedua adalah kebolehan (memerangi) bagi siapa saja yang memerangi (umat Islam), bukan bagi yang tidak memerangi.

وَالثَّالِثَةُ إِبَاحَتُهُ لِمَنْ قَاتَلَ وَمَنْ لَمْ يُقَاتِلْ

Dan yang ketiga adalah kebolehannya bagi siapa saja yang memerangi maupun yang tidak memerangi.

وَقَالَ مُجَاهِدٌ هَذِهِ الْحَالُ الثَّالِثَةُ غَيْرُ مُبَاحَةٍ وَلَا يَسْتَبِيحُ فِيهِ إِلَّا قِتَالَ مَنْ قَاتَلَ دُونَ مَنْ لَمْ يُقَاتِلْ وَهَذَا خَطَأٌ مِنْ وَجْهَيْنِ

Mujahid berkata, “Keadaan ketiga ini tidak diperbolehkan, dan tidak dibenarkan di dalamnya kecuali memerangi orang yang memerangi, bukan yang tidak memerangi.” Ini adalah kesalahan dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قاتل أهل مكة عام الفتح مبتدءا

Salah satunya adalah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi penduduk Makkah pada tahun penaklukan dengan memulai terlebih dahulu.

وَالثَّانِي أَنَّهُ قَاتَلَ فِيهِ أَهْلَ الْمَعَاصِي فَكَانَ تَطْهِيرُ الْحَرَمِ مِنْهُمْ أَوْلَى

Yang kedua, bahwa ia memerangi para pelaku maksiat di dalamnya, maka membersihkan tanah haram dari mereka lebih utama.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا صَارَ فَرْضُ الْجِهَادِ عَامًّا فِي كُلِّ زَمَانٍ وَمَكَانٍ وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي ابْتِدَاءِ فَرْضِهِ هَلْ كَانَ عَلَى الْأَعْيَانِ ثُمَّ انْتَقَلَ إِلَى الْكِفَايَةِ؟ أَوْ لَمْ يَزَلْ عَلَى الْكِفَايَةِ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ

Maka apabila telah tetap apa yang telah kami jelaskan, kewajiban jihad menjadi umum di setiap waktu dan tempat. Para ulama kami berbeda pendapat mengenai permulaan kewajibannya: apakah pada awalnya merupakan fardhu ‘ain kemudian berubah menjadi fardhu kifayah, atau sejak semula tetap sebagai fardhu kifayah? Dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيٍّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ إنَّ ابْتِدَاءَ فَرْضِهِ كَانَ عَلَى الْأَعْيَانِ ثُمَّ نُقِلَ إِلَى الْكِفَايَةِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالا وَفِيهِ سَبْعَةُ تَأْوِيلَاتٍ

Salah satunya adalah pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah bahwa pada awalnya kewajiban tersebut bersifat fardhu ‘ain, kemudian dialihkan menjadi fardhu kifāyah berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Berangkatlah kalian baik dalam keadaan ringan maupun berat,” dan dalam hal ini terdapat tujuh penafsiran.

أَحَدُهَا شَبَابًا وَشُيُوخًا وَهَذَا قَوْلُ الْحَسَنِ

Salah satunya adalah baik yang masih muda maupun yang sudah tua, dan ini adalah pendapat al-Hasan.

وَالثَّانِي أَغْنِيَاءَ وَفُقَرَاءَ وَهَذَا قَوْلُ أَبِي صَالِحٍ

Dan yang kedua adalah orang-orang kaya dan orang-orang fakir, dan ini adalah pendapat Abu Shalih.

وَالثَّالِثُ أَصِحَّاءَ وَمَرْضَى وَهَذَا قَوْلُ جُوَيْبِرٍ

Dan yang ketiga adalah orang-orang sehat dan orang-orang sakit, dan ini adalah pendapat Juwaibir.

وَالرَّابِعُ رُكْبَانًا وَمُشَاةً وَهَذَا قَوْلُ جُوَيْبِرٍ

Keempat, baik dengan berkendaraan maupun berjalan kaki, dan ini adalah pendapat Juwaibir.

وَالْخَامِسُ نَشَاطًا وَكَسَالَى وَهَذَا قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ

Kelima adalah orang yang giat dan yang malas, dan ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas.

وَالسَّادِسُ على خفة النفير وثقله وهذا ابْنِ جَرِيرٍ وَالسَّابِعُ خِفَافًا إِلَى الطَّاعَةِ وَثِقَالًا عَنِ الْمُخَالَفَةِ وَيَحْتَمِلُ تَأْوِيلًا ثَامِنًا خِفَافًا إِلَى الْمُبَارَزَةِ وَثِقَالًا فِي الْمُصَابَرَةِ وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَفِي الْجِهَادِ بِالْمَالِ تَأْوِيلَانِ

Keenam, menurut ringan atau beratnya kesiapan berangkat, dan ini adalah pendapat Ibnu Jarir. Ketujuh, berangkatlah dengan ringan menuju ketaatan dan dengan berat meninggalkan kemaksiatan, dan ini masih memungkinkan adanya penafsiran kedelapan, yaitu berangkatlah dengan ringan untuk menghadapi musuh dan dengan berat dalam keteguhan menghadapi pertempuran. Dan berjihadlah dengan harta dan jiwa kalian di jalan Allah, dan dalam berjihad dengan harta terdapat dua penafsiran.

أَحَدُهُمَا الْإِنْفَاقُ عَلَى نَفْسِهِ بِزَادٍ وَرَاحِلَةٍ

Salah satunya adalah membiayai diri sendiri dengan bekal dan kendaraan.

وَالثَّانِي بِبَذْلِ الْمَالِ لِمَنْ يُجَاهِدُ إِنْ عَجَزَ عَنِ الْجِهَادِ بِنَفْسِهِ

Yang kedua adalah dengan memberikan harta kepada orang yang berjihad, jika ia tidak mampu berjihad dengan dirinya sendiri.

وَفِي الْجِهَادِ بِالنَّفْسِ تَأْوِيلَانِ

Dalam jihad dengan jiwa terdapat dua penafsiran.

أَحَدُهُمَا الْخُرُوجُ مَعَ الْمُجَاهِدِينَ

Salah satunya adalah keluar bersama para mujahid.

وَالثَّانِي الْقِتَالُ إِذَا حَضَرَ الْوَقْعَةَ ذَلِكُمْ خير لكم فيه تأويلان

Dan yang kedua adalah peperangan apabila telah hadir di medan pertempuran; itu lebih baik bagi kalian, terdapat dua penafsiran mengenai hal ini.

أحدهما أن الجهاد خيرا مِنْ تَرْكِهِ

Salah satunya adalah bahwa jihad lebih baik daripada meninggalkannya.

وَالثَّانِي إنَّ الْخَيْرَ فِي الْجِهَادِ لا في تركه

Kedua, sesungguhnya kebaikan itu terdapat dalam jihad, bukan dalam meninggalkannya.

إن كنتم تعلمون فِيهِ تَأْوِيلَانِ

Jika kalian mengetahui, di dalamnya terdapat dua penafsiran.

أَحَدُهُمَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ صِدْقَ اللَّهِ فِي وَعْدِهِ وَوَعِيدِهِ

Salah satunya adalah jika kalian mengetahui kebenaran Allah dalam janji dan ancaman-Nya.

وَالثَّانِي إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ أَنَّ اللَّهَ يُرِيدُ لَكُمُ الْخَيْرَ فَدَلَّتْ هَذِهِ الْآيَةُ عَلَى تَعْيِينِ الْفَرْضِ ثُمَّ دَلَّ عَلَيْهِ قَوْله تَعَالَى وَعَلَى الثَّلاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا يَعْنِي تَابَ اللَّهُ عَلَى الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا وَهُمْ كَعْبُ بْنُ مَالِكٍ وَهِلَالُ بْنُ أُمَيَّةَ وَمُرَارَةُ بْنُ الرَّبِيعِ تَخَلَّفُوا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ وَفِي قَوْلِهِ خُلِّفُوا تَأْوِيلَانِ

Dan yang kedua, jika kalian mengetahui bahwa Allah menghendaki kebaikan bagi kalian, maka ayat ini menunjukkan penetapan kewajiban. Kemudian hal itu juga ditunjukkan oleh firman-Nya Ta‘ala: “Dan atas tiga orang yang ditangguhkan,” yaitu Allah menerima taubat tiga orang yang ditangguhkan, mereka adalah Ka‘b bin Malik, Hilal bin Umayyah, dan Murarah bin Rabi‘, yang tidak ikut bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Perang Tabuk. Dalam firman-Nya “ditangguhkan” terdapat dua penafsiran.

أَحَدُهُمَا خُلِّفُوا عَنِ السَّرِيَّةِ

Salah satu dari keduanya adalah mereka yang tertinggal dari pasukan ekspedisi.

وَالثَّانِي خُلِّفُوا عَنِ الْخُرُوجِ حَتَّى إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ والمسلمين هجروهم وضاقت عليهم أنفسهم يَعْنِي مِمَّا لَقُوهُ مِنْ جَفَاءِ الْمُسْلِمِينَ لَهُمْ وظنوا ألا مَلْجَأَ مِنَ اللَّهِ إِلا إِلَيْهِ أَيْ تيقنوا أنهم لا يجدون ملجأ يلجأون إِلَيْهِ فِي قَبُولِ تَوْبَتِهِمْ وَالصَّفْحِ عَنْهُمْ إِلَّا إِلَى اللَّهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا أَيْ قَبِلَ تَوْبَتَهُمْ لِيَسْتَقِيمُوا قَالَ كَعْبُ بْنُ مَالِكٍ وَذَلِكَ بَعْدَ خَمْسِينَ لَيْلَةً مِنْ مَقْدَمِ رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مِنْ تَبُوكَ فَلَوْ كَانَ فَرْضُ الْجِهَادِ عَلَى الْكِفَايَةِ دُونَ الْأَعْيَانِ لَمْ يَخْرُجْ هَؤُلَاءِ الثَّلَاثَةُ وَقَدْ خَرَجَ فِي هَذِهِ الْغَزْوَةِ ثَلَاثُونَ أَلْفًا لَا يُؤَثِّرُ هَؤُلَاءِ الثَّلَاثَةُ فِيهِمْ

Yang kedua, mereka ditinggalkan dari ikut keluar (berperang) hingga ketika bumi yang luas terasa sempit bagi mereka, karena Rasulullah ﷺ dan kaum muslimin menjauhi mereka, dan jiwa mereka pun terasa sempit, maksudnya karena perlakuan keras kaum muslimin terhadap mereka. Mereka pun menyangka bahwa tidak ada tempat berlindung dari Allah kecuali kepada-Nya, yaitu mereka meyakini bahwa mereka tidak akan menemukan tempat berlindung untuk diterima taubatnya dan diampuni kecuali kepada Allah. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka bertaubat, yaitu Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap istiqamah. Ka‘ab bin Malik berkata, “Itu terjadi setelah lima puluh malam dari kedatangan Rasulullah ﷺ dari Tabuk.” Maka, seandainya kewajiban jihad itu fardhu kifayah dan bukan fardhu ‘ain, niscaya tiga orang ini tidak akan keluar (berjihad). Padahal dalam peperangan ini yang keluar berjumlah tiga puluh ribu orang, sehingga ketidakhadiran tiga orang ini tidak akan berpengaruh pada mereka.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي إنَّ فَرْضَ الْجِهَادِ لَمْ يَزَلْ عَلَى الْكِفَايَةِ دُونَ الْأَعْيَانِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً وَفِيهِ تَأْوِيلَانِ

Pendapat kedua, sesungguhnya kewajiban jihad tetap merupakan fardhu kifayah, bukan fardhu ‘ain, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Tidak sepatutnya bagi seluruh orang beriman untuk pergi (berjihad) semuanya.” Dan dalam ayat ini terdapat dua penafsiran.

أَحَدُهُمَا وَمَا كَانَ عَلَيْهِمْ أَنْ يُجَاهِدُوا جَمِيعًا لِأَنَّ فَرْضَهُ عَلَى الْكِفَايَةِ

Salah satunya adalah bahwa mereka tidak wajib untuk berjihad semuanya, karena kewajiban tersebut adalah fardhu kifayah.

وَالثَّانِي مَا كَانَ لَهُمْ إِذَا جَاهَدُوا قَوْمًا أَنْ يَخْرُجُوا مَعَهُمْ حَتَّى يتخلفوا لحفظ الذَّرَارِيِّ وَطَاعَةِ الرَّسُولِ فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ ليتفقهوا في الدين فِيهِ تَأْوِيلَانِ

Yang kedua adalah bahwa mereka, apabila berjihad melawan suatu kaum, tidak wajib semuanya keluar bersama mereka, melainkan sebagian tetap tinggal untuk menjaga anak-anak dan menaati Rasul. Maka, jika tidak berangkat dari setiap golongan di antara mereka satu kelompok untuk memperdalam pemahaman agama, terdapat dua penafsiran dalam hal ini.

أَحَدُهُمَا لِيَتَفَقَّهَ الطَّائِفَةُ النَّافِرَةُ إِمَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي جِهَادِهِ وَإِمَّا مُهَاجَرَةً إِلَيْهِ فِي إِقَامَتِهِ وَهَذَا قَوْلُ الْحَسَنِ

Salah satunya adalah agar sekelompok orang yang berangkat itu dapat memperdalam ilmu (tafaqquh), baik bersama Rasulullah ﷺ dalam jihadnya maupun dengan berhijrah kepadanya saat beliau menetap, dan inilah pendapat al-Hasan.

وَالثَّانِي لِيَتَفَقَّهَ الطَّائِفَةُ الْمُتَأَخِّرَةُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَنِ النُّفُورِ فِي سَرَايَاهُ وَهَذَا قَوْلُ مُجَاهِدٍ وفي المراد بقوله وليتفقهوا في الدين تَأْوِيلَانِ أَحَدُهُمَا لِيَتَفَقَّهُوا فِيمَا يُشَاهِدُونَهُ مِنْ نَصْرِ اللَّهِ لِرَسُولِهِ وَتَأْيِيدِهِ لِدِينِهِ وَتَصْدِيقِ وَعْدِهِ وَمُشَاهَدَةِ معجزاته ليقوي إيمانهم ويخيروا به قومهم إذا رجعوا إليهم والثاني يتفقهوا فِي أَحْكَامِ الدِّينِ وَمَعَالِمِ الشَّرْعِ وَيَتَحَمَّلُوا عَنِ الرَّسُولِ مَا يَقَعُ بِهِ الْبَلَاغُ لِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ فَدَلَّ هَذَا عَلَى أَنَّ فَرَضَ الْجِهَاد عَلَى الْكِفَايَةِ وَقَالَ تَعَالَى يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا خُذُوا حِذْرَكُمْ فَانْفِرُوا ثُبَاتٍ أو انفروا جميعاً وفي قوله خذوا حذركم تَأْوِيلَانِ أَحَدُهُمَا احْذَرُوا عَدُوَّكُمْ وَالثَّانِي خُذُوا سِلَاحَكُمْ وقوله تعالى فانفروا ثبات يعني فرقاً وعصباً أو انفروا جميعاً أَيْ بِأَجْمَعِكُمْ فَخَيَّرَهُمُ اللَّه تَعَالَى بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ فَرْضَهُ لَا يَتَعَيَّنُ عَلَى الْكَافَّةِ وَإِنَّمَا تَعَيَّنَ عَلَى الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ تَخَلَّفُوا لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ دَعَاهُمْ بِأَعْيَانِهِمْ فَتَعَيَّنَتْ عَلَيْهِمُ الْإِجَابَةُ حِينَ عَيَّنَ الْخُرُوجَ عَلَيْهِمْ فَهَذَا تَوْجِيهُ الْوَجْهَيْنِ فِي ابْتِدَاءِ فَرْضِهِ وَالصَّحِيحُ عِنْدِي أَنَّ ابْتِدَاءَ فَرْضِهِ كَانَ عَلَى الْأَعْيَانِ فِي الْمُهَاجِرِينَ وَعَلَى الْكِفَايَةِ فِي غَيْرِهِمْ لِأَنَّ الْمُهَاجِرِينَ انْقَطَعُوا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لِنُصْرَتِهِ فَتَعَيَّنَ فَرْضُ الْجِهَادِ عَلَيْهِمْ وَلِذَلِكَ كَانَتْ سَرَايَا رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَبْلَ بَدْرٍ بِالْمُهَاجِرِينَ خَاصَّةً وَمَا جَاهَدَ عَلَيْهِ الْأَنْصَارُ قَبْلَ بَدْرٍ فَتَعَيَّنَ الْفَرْضُ عَلَى مَنِ ابتدىء به ولم يتعين على من لم يبتدأ بِهِ وَمِنْ أَجْلِ ذَلِكَ سَمَّى أَهْلَ الْفَيْءِ مِنَ الْمُقَاتِلَةِ مُهَاجِرِينَ وَجَعَلَ فَرْضَ الْعَطَاءِ فِيهِمْ وَسَمَّى غَيْرَهُمْ وَإِنْ جَاهَدُوا أَعْرَابًا كَمَا قَالَ الشَّاعِرِ

Yang kedua, agar sekelompok orang yang datang belakangan dapat memperdalam pemahaman bersama Rasulullah ﷺ tanpa ikut berangkat dalam pasukan-pasukan beliau. Ini adalah pendapat Mujāhid. Terkait maksud dari firman-Nya “agar mereka memperdalam pemahaman dalam agama”, terdapat dua penafsiran: pertama, agar mereka memperdalam pemahaman terhadap apa yang mereka saksikan berupa pertolongan Allah kepada Rasul-Nya, penguatan-Nya terhadap agama-Nya, pembenaran janji-Nya, dan penyaksian mukjizat-mukjizatnya, sehingga keimanan mereka menjadi kuat dan mereka dapat memberikan pilihan kepada kaumnya ketika kembali kepada mereka; kedua, agar mereka memperdalam pemahaman dalam hukum-hukum agama dan pokok-pokok syariat, serta menerima dari Rasul apa yang dapat menjadi penyampaian (risalah) agar mereka dapat memberi peringatan kepada kaumnya ketika kembali kepada mereka. Maka, hal ini menunjukkan bahwa kewajiban jihad adalah fardhu kifāyah. Allah Ta‘ala berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, ambillah langkah waspada kalian, lalu berangkatlah secara berkelompok atau berangkatlah semuanya.” Terkait firman-Nya “ambillah langkah waspada kalian”, terdapat dua penafsiran: pertama, waspadalah terhadap musuh kalian; kedua, ambillah senjata kalian. Firman-Nya “maka berangkatlah secara berkelompok” maksudnya adalah secara berkelompok dan berpasukan, atau “berangkatlah semuanya” yakni seluruh kalian. Maka Allah Ta‘ala memberikan pilihan kepada mereka antara dua hal tersebut, sehingga menunjukkan bahwa kewajiban jihad tidak ditetapkan atas seluruh umat, melainkan hanya diwajibkan atas tiga orang yang tertinggal, karena Rasulullah ﷺ memanggil mereka secara khusus, sehingga menjadi wajib bagi mereka untuk memenuhi panggilan ketika telah ditetapkan bagi mereka untuk berangkat. Inilah penjelasan dua sisi dalam permulaan kewajiban jihad. Menurut pendapat yang benar menurutku, permulaan kewajiban jihad adalah fardhu ‘ayn bagi kaum Muhājirīn dan fardhu kifāyah bagi selain mereka, karena kaum Muhājirīn telah mengkhususkan diri untuk menolong Rasulullah ﷺ, sehingga kewajiban jihad menjadi wajib atas mereka. Oleh karena itu, pasukan-pasukan Rasulullah ﷺ sebelum Perang Badar hanya terdiri dari kaum Muhājirīn saja, dan kaum Anshār belum berjihad sebelum Perang Badar. Maka, kewajiban jihad menjadi wajib atas siapa yang pertama kali dikenai kewajiban itu dan tidak wajib atas siapa yang belum dikenai. Karena itu pula, orang-orang yang mendapatkan bagian ghanīmah dari kalangan pejuang disebut Muhājirīn dan kewajiban pemberian bagian (‘athā’) ditetapkan pada mereka, sedangkan selain mereka, meskipun berjihad, disebut ‘Arab Badui, sebagaimana dikatakan oleh penyair.

قَدْ حَسَّهَا اللَّيْلُ بِعُصْلُبِيٍّ أَرْوَعَ خَرَّاجٍ مِنَ الدَّارِيِّ

Malam telah menyentuhnya dengan seorang pemberani dari suku ‘Uṣlubī, yang lebih hebat daripada seorang penyerbu dari suku Dāriyy.

مُهَاجِرًا لَيْسَ بِأَعْرَابِيِّ

Seorang muhājir, bukan seorang a‘rābī.

فَصْلٌ

Bagian

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ فَرْضَ الْجِهَادِ الْآنَ مُسْتَقِرٌّ عَلَى الْكِفَايَةِ دُونَ الْأَعْيَانِ فَالَّذِي يَلْزَمُ مِنْ فَرْضِ الْجِهَادِ شَيْئَانِ

Maka apabila telah tetap bahwa kewajiban jihad saat ini berlaku sebagai fardhu kifayah, bukan fardhu ‘ain, maka yang menjadi konsekuensi dari kewajiban jihad ada dua hal.

أَحَدُهُمَا كَفُّ الْعَدُوِّ عَنْ بِلَادِ الْإِسْلَامِ أَنْ يَتَخَطَّفَهَا لِيَنْتَشِرَ الْمُسْلِمُونَ فِيهَا آمِنِينَ عَلَى نُفُوسِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ فَإِنْ أَظَلَّ الْعَدُوُّ عَلَيْهِمْ وَخَافُوهُ عَلَى بِلَادِهِمْ تَعَيَّنَ فَرْضُ الْجِهَادِ عَلَى كُلِّ مَنْ أَطَاقَهُ وَقَدَرَ عَلَيْهِ مِنَ الْبِلَادِ الَّتِي أَظَلَّهَا الْعَدُوُّ وَكَانَ فَرْضُهُ عَلَى غَيْرِهِمْ بَاقِيًا عَلَى الْكِفَايَةِ

Salah satunya adalah menahan musuh agar tidak menguasai negeri-negeri Islam, sehingga kaum Muslimin dapat hidup di dalamnya dengan aman atas jiwa dan harta mereka. Jika musuh mengancam mereka dan mereka khawatir terhadap negeri-negeri mereka, maka kewajiban jihad menjadi fardhu ‘ain bagi setiap orang yang mampu dan sanggup dari negeri-negeri yang terancam oleh musuh, sedangkan bagi selain mereka kewajiban tersebut tetap sebagai fardhu kifayah.

وَالثَّانِي أَنْ يَطْلُبَ الْمُسْلِمُونَ بِلَادَ الْمُشْرِكِينَ لِيُقَاتِلُوهُمْ عَلَى الدِّينِ حَتَّى يُسْلِمُوا أَوْ يَبْذُلُوا الْجِزْيَةَ إِنْ لَمْ يُسْلِمُوا لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى فَرَضَ الْجِهَادَ لِنُصْرَةِ دِينِهِ فَقَالَ تَعَالَى وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لا تَكُونَ فِتْنَةٌ ويكون الدين كله لله وَهَذَا مِمَّا لَا يَتَعَيَّنُ فَرْضُ الْجِهَادِ فِيهِ وَلَا يَكُونُ إِلَّا عَلَى الْكِفَايَةِ وَإِنْ جَازَ أَنْ يَتَعَيَّنَ فِي الْأَوَّلِ وَلَا يَجُوزُ لِلْإِمَامِ وَكَافَّةُ الْمُسْلِمِينَ أَنْ يَقْتَصِرُوا فِي الْجِهَادِ عَلَى أَحَدِ هَذَيْنِ الْأَمْرَيْنِ حَتَّى يَجْمَعُوا بَيْنَهُمَا فَيَذُبُّوا عَنْ بِلَادِ الْإِسْلَامِ وَيُقَاتِلُوا عَلَى بِلَادِ الشِّرْكِ فإن وقع الاقتصار على أحدهما حرج أَهْلُ الْجِهَادِ لِإِخْلَالِهِمْ بِفَرْضِ الْكِفَايَةِ وَفَرْضُ الْكِفَايَةُ مَا إِذَا قَامَ بِهِ بَعْضُهُمْ سَقَطَ فَرْضُهُ عَنِ الْبَاقِينَ وَفَرْضُ الْأَعْيَانِ مَا لَا يَسْقُطُ فَرْضُهُ إِلَّا عَنْ فَاعِلِهِ وَالْكِفَايَةُ فِي الْجِهَادِ تَكُونُ مِنْ وَجْهَيْنِ

Kedua, yaitu kaum Muslimin menyerang negeri-negeri musyrik untuk memerangi mereka demi agama, hingga mereka masuk Islam atau membayar jizyah jika mereka tidak masuk Islam. Sebab Allah Ta‘ala telah mewajibkan jihad untuk menolong agama-Nya, sebagaimana firman-Nya: “Dan perangilah mereka hingga tidak ada lagi fitnah dan agama seluruhnya hanya untuk Allah.” Dalam hal ini, kewajiban jihad tidak bersifat individu, melainkan hanya fardhu kifayah, meskipun boleh jadi pada kasus pertama bisa menjadi fardhu ‘ain. Tidak boleh bagi imam dan seluruh kaum Muslimin membatasi jihad hanya pada salah satu dari dua perkara ini, melainkan harus menggabungkan keduanya: membela negeri Islam dan memerangi negeri syirik. Jika hanya salah satunya yang dilakukan, maka para pelaku jihad berdosa karena telah mengabaikan fardhu kifayah. Fardhu kifayah adalah kewajiban yang jika telah dilaksanakan oleh sebagian orang, gugur kewajiban itu dari yang lain; sedangkan fardhu ‘ain adalah kewajiban yang tidak gugur kecuali dari pelakunya. Fardhu kifayah dalam jihad ada dalam dua bentuk.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَتَوَلَّاهُ الْإِمَامُ بِنَفْسِهِ وَيَقُومَ فِيهِ بِحَقِّهِ فَيَسْقُطَ فَرْضُهُ عَنِ الْكَافَّةِ لِمُبَاشَرَةِ الْإِمَامِ لَهُ بِأَعْوَانِهِ

Salah satunya adalah imam sendiri yang menangani urusan itu dan melaksanakannya dengan benar, sehingga kewajiban tersebut gugur dari seluruh masyarakat karena imam telah langsung menanganinya bersama para pembantunya.

وَالثَّانِي أَنْ تَكُونَ ثُغُورُ الْمُسْلِمِينَ مَشْحُونَةً مِنَ الْمُقَاتِلَةِ بِمَنْ يَذُبُّ عَنْهَا وَيُقَاتِلُ مَنْ يَتَّصِلُ بِهَا فَيَسْقُطَ بِهِمْ فَرْضُ الْجِهَادِ عَمَّنْ خَلْفَهُمْ فَإِنْ ضَعُفُوا وَاسْتَنْفَرُوا وَجَبَ عَلَى مَنْ وَرَاءَهُمْ مِنَ الْمُسْلِمِينَ أَنْ يَمُدُّوهُمْ مِنْ أَنْفُسِهِمْ بِمَنْ يَتَقَوَّوْنَ بِهِ عَلَى قِتَالِ عَدُوِّهُمْ وَيَصِيرُ جَمِيعُ مَنْ تَخَلَّفَ عَنْ إِمْدَادِهِمْ دَاخِلًا فِي فَرْضِ الْكِفَايَةِ حَتَّى يَمُدُّوهُمْ بِأَهْلِ الْكِفَايَةِ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” الْمُسْلِمُونَ تَتَكَافَؤُ دِمَاؤُهُمْ وَهُمْ يَدٌ عَلَى مَنْ سِوَاهُمْ وَيَسْعَى بِذِمَتِهِمْ أَدْنَاهُمْ ” وَفِي تَسْمِيَتِهِ جِهَادًا تَأْوِيلَانِ

Kedua, bahwa perbatasan kaum Muslimin dipenuhi oleh para pejuang yang menjaga dan membela perbatasan tersebut serta memerangi siapa saja yang mengancamnya, sehingga kewajiban jihad gugur dari mereka yang berada di belakang mereka. Namun, jika mereka melemah dan meminta bantuan, maka wajib bagi kaum Muslimin yang berada di belakang mereka untuk membantu mereka dengan mengirimkan orang-orang yang dapat memperkuat mereka dalam memerangi musuh. Maka, semua orang yang tidak ikut membantu mereka termasuk dalam kewajiban kifayah, hingga mereka mengirimkan orang-orang yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Hal ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Darah kaum Muslimin setara, mereka bersatu menghadapi selain mereka, dan perlindungan yang diberikan oleh yang paling rendah di antara mereka berlaku bagi semuanya.” Adapun dalam penamaan jihad di sini terdapat dua penafsiran.

أَحَدُهُمَا لِأَنَّهُ يَجْهَدُ فِي قَهْرِ عَدُوِّهِ

Salah satunya adalah karena ia bersungguh-sungguh dalam menundukkan musuhnya.

وَالثَّانِي لِأَنَّهُ يَبْذُلُ فِيهِ جَهْدَ نَفْسِهِ

Dan yang kedua, karena ia mencurahkan upaya dirinya sendiri di dalamnya.

رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ وَقَدْ رَجَعَ مِنْ بَعْضِ غَزَوَاتِهِ ” رَجَعْنَا مِنَ الْجِهَادِ الْأَصْغَرِ إِلَى الْجِهَادِ الْأَكْبَرِ ” يعني جهاد النفس

Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda ketika kembali dari salah satu peperangannya: “Kita telah kembali dari jihad kecil menuju jihad besar,” yang beliau maksud adalah jihad melawan hawa nafsu.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَدَلَّ كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ثُمَّ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ لَمْ يُفْرَضِ الْجِهَادُ عَلَى مُمْلِوكٍ وَلَا أُنْثَى وَلَا عَلَى مَنْ لَمْ يَبْلُغْ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ الله فَحَكَمَ أَنْ لَا مَالَ لِلْمُلُوكِ وَقَالَ حَرِّضِ المؤمنين على القتال فدل على أنهم الذكور وعرض ابن عمر على النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يوم أحد وهو ابن أربع عشرة سنة فرده وعرض عليه عام الخندق وهو ابن خمس عشرة سنة فأجازه وحضر مع النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ في غزوة عبيد ونساء غير بالغين فرضخ لهم وأسهم لضعفاء أحرار وجرحى بالغين فدل على أن السهمان إنما تكون إن شهد القتال من الرجال الأحرار فدل بذلك أن لا فرض على غيرهم في الجهاد “

Syafi‘i berkata, “Kitab Allah ‘Azza wa Jalla, kemudian melalui lisan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah menunjukkan bahwa jihad tidak diwajibkan atas budak, perempuan, maupun orang yang belum baligh, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: ‘Dan berjihadlah dengan harta dan jiwa kalian di jalan Allah.’ Maka diputuskan bahwa budak tidak memiliki harta. Dan firman-Nya: ‘Berilah semangat orang-orang mukmin untuk berperang,’ maka ini menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah laki-laki. Ibnu ‘Umar pernah mengajukan diri kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Uhud ketika ia berumur empat belas tahun, lalu beliau menolaknya. Ia mengajukan diri lagi pada tahun Khandaq ketika berumur lima belas tahun, lalu beliau menerimanya. Ia juga hadir bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perang ‘Ubīd, dan juga perempuan serta anak-anak yang belum baligh, maka Nabi memberikan bagian rampasan perang kepada mereka, dan memberikan bagian penuh kepada orang-orang merdeka yang lemah dan para laki-laki dewasa yang terluka. Maka ini menunjukkan bahwa bagian rampasan perang hanya diberikan kepada laki-laki merdeka yang ikut berperang. Dengan demikian, jelas bahwa jihad tidak diwajibkan atas selain mereka.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ مَنْ يَسْقُطُ عَنْهُ فَرْضُ الْجِهَادِ ضَرْبَانِ

Al-Mawardi berkata, orang yang gugur darinya kewajiban jihad terbagi menjadi dua golongan.

أَحَدُهُمَا مَنْ يَسْقُطُ عَنْهُ بِعُذْرٍ وَإِنْ كَانَ فِي أَهْلِهِ وَيَأْتِي ذِكْرُهُمْ فِي الْبَابِ الْآتِي

Salah satunya adalah orang yang gugur kewajibannya karena uzur, meskipun ia berada di tengah keluarganya, dan mereka akan disebutkan pada bab berikutnya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي مَنْ يَسْقُطُ عَنْهُ لِأَنَّهُ لَيْسَ مَنْ أَهِلْهُ

Golongan kedua adalah orang yang gugur kewajibannya karena ia bukan termasuk ahlinya.

وَالْفَرْقُ بَيْنَ الضَّرْبَيْنِ أَنَّ مَنْ سَقَطَ عَنْهُ بِعُذْرٍ أُسْهِمَ لَهُ إِذَا حَضَرَ وَمَنْ سَقَطَ عَنْهُ لِغَيْرِ عُذْرٍ لَمْ يُسْهَمْ لَهُ إِذَا حَضَرَ اعْتِبَارًا بِصَلَاةِ الْجُمُعَةِ أَنَّ مَنْ سَقَطَ فَرْضُهَا عَنْهُ بِعُذْرٍ لَزِمَتْهُ إِذَا حَضَرَهَا وَمَنْ سَقَطَتْ عَنْهُ بِغَيْرِ عُذْرٍ لَمْ تَلْزَمْهُ إِذَا حَضَرَهَا اعْتِبَارًا بِالْحَجِّ أَنَّ مَنْ سَقَطَ عَنْهُ فَرْضُهُ لِأَنَّهُ لَيْسَ مَنْ أَهْلِهِ لَمْ يُجْزِ إِذَا حَجَّ عَنْ فَرْضِهِ وَمَنْ سَقَطَ عَنْهُ بِغَيْرِ عُذْرٍ أَجْزَأَهُ إِذَا حَجَّ عَنْ فَرْضِهِ

Perbedaan antara dua jenis ini adalah bahwa siapa pun yang gugur kewajibannya karena uzur, maka ia tetap mendapatkan bagian jika hadir. Sedangkan siapa pun yang gugur kewajibannya tanpa uzur, maka ia tidak mendapatkan bagian jika hadir. Hal ini diqiyaskan dengan shalat Jumat, bahwa siapa pun yang gugur kewajiban shalat Jumat darinya karena uzur, maka ia wajib melaksanakannya jika hadir. Sedangkan siapa pun yang gugur kewajibannya tanpa uzur, maka ia tidak wajib melaksanakannya jika hadir. Demikian pula diqiyaskan dengan haji, bahwa siapa pun yang gugur kewajiban hajinya karena ia bukan termasuk orang yang wajib haji, maka hajinya tidak sah jika ia melaksanakan haji fardhu. Sedangkan siapa pun yang gugur kewajibannya tanpa uzur, maka hajinya sah jika ia melaksanakan haji fardhu.

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا فَفَرْضُ الْجِهَادِ مُتَوَجِّهٌ إِلَى مَنْ تَكَامَلَ فِيهِ أَرْبَعَةُ شُرُوطٍ

Maka apabila telah tetap apa yang telah kami jelaskan, kewajiban jihad berlaku atas orang yang telah terpenuhi padanya empat syarat.

أَحَدُهَا الْحُرِّيَّةُ فَإِنْ كَانَ عَبْدًا أَوْ مُكَاتَبًا أَوْ مُدَبَّرًا أَوْ فِيهِ جُزْءٌ مِنَ الرِّقِّ وَإِنْ قَلَّ فَلَيْسَ مِنْ أَهْلِ الْجِهَادِ وَلَا يَدْخُلُ فِيمَنْ تَوَجَّهَ إِلَيْهِ فَرْضُ الْكِفَايَة لِقَوْلِهِ تَعَالَى

Salah satu syaratnya adalah kebebasan. Jika seseorang adalah budak, mukatab, mudabbar, atau pada dirinya terdapat sebagian status perbudakan meskipun sedikit, maka ia bukan termasuk orang yang layak untuk berjihad dan tidak termasuk dalam kelompok yang terkena kewajiban kifayah, berdasarkan firman Allah Ta‘ala.

وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَهَذَا خِطَابٌ لَا يَتَوَجَّهُ إِلَى الْمَمْلُوكَ لِأَنَّهُ لَا يَمْلِكُ فَصَارَ دَاخِلًا فِي قَوْله تَعَالَى لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلا عَلَى الْمَرْضَى وَلا عَلَى الَّذِينَ لا يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ لِأَنَّ الْعَبْدَ لَا يَجِدُ مَا يُنْفِقُ وَرَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ قَالَ غَزَوْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَمَرَرْنَا بِقَوْمٍ مِنْ مُزَيْنَةَ فَتَبِعَنَا مَمْلُوكٌ لِامْرَأَةٍ مِنْهُمْ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” استَأَذَنْتَ مَوْلَاتَكَ؟ فَقَالَ لَا فَقَالَ لَوْ مُتَّ لم أصل عليك ارجع واستأذنها وأقرءها مِنِّي السَّلَامَ فَرَجَعَ فَاسْتَأْذَنَهَا فَأَذِنَتْ لَهُ “

Berjihadlah dengan harta dan jiwa kalian di jalan Allah. Seruan ini tidak ditujukan kepada seorang budak, karena ia tidak memiliki (harta), sehingga ia termasuk dalam firman Allah Ta‘ala: “Tidak ada dosa atas orang-orang yang lemah, tidak pula atas orang-orang yang sakit, dan tidak pula atas orang-orang yang tidak mendapatkan sesuatu untuk mereka infakkan.” Sebab, seorang budak tidak memiliki sesuatu untuk diinfakkan. Abdullah bin ‘Amir bin Rabi‘ah meriwayatkan: Kami pernah berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu kami melewati suatu kaum dari (kabilah) Muzainah. Seorang budak milik seorang wanita dari mereka mengikuti kami. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apakah engkau sudah meminta izin kepada tuan wanitamu?” Ia menjawab, “Belum.” Maka beliau bersabda, “Seandainya engkau mati, aku tidak akan menyalatkanmu. Kembalilah dan mintalah izin kepadanya, serta sampaikan salam dariku kepadanya.” Maka ia pun kembali, meminta izin kepada tuannya, dan tuannya pun mengizinkannya.

وَرُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” كان إذ أَسْلَمَ عَلَى يَدِهِ رَجُلٌ لَا يَعْرِفُهُ سَأَلَ أَحُرٌّ هُوَ أَمْ مَمْلُوكٌ فَإِنْ قَالَ أَنَا حُرٌّ بَايَعَهُ عَلَى الْإِسْلَامِ وَالْجِهَادِ وَإِذَا قَالَ أَنَا مَمْلُوكٌ بَايَعَهُ عَلَى الْإِسْلَامِ وَلَمْ يُبَايِعْهُ عَلَى الْجِهَادِ ” وَلِأَنَّهُ لَا يُسْهِمُ لَهُ وَلَوْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْجِهَادِ أَسْهَمَ لَهُ وَلِأَنَّ الْعِبَادَةَ إِذَا تَعَلَّقَتْ بِقَطْعِ مَسَافَةٍ بَعِيدَةٍ خَرَجَ الْعَبْدُ مَنْ فَرَّ مِنْهَا كَالْحَجِّ وَلَا يُنْتَقَضُ بِالْهِجْرَةِ لِأَنَّ الْمَسَافَةَ فِيهَا هِيَ الْعِبَادَةُ وَالْمَسَافَةُ في الحج والجهاد يتعلق بها فَرَّ مِنَ الْعِبَادَةِ وَلَيْسَتْ هِيَ الْعِبَادَةُ

Diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ, apabila ada seorang laki-laki yang masuk Islam melalui beliau dan beliau tidak mengenalnya, beliau akan bertanya: “Apakah engkau seorang merdeka atau budak?” Jika ia menjawab, “Saya merdeka,” maka beliau membaiatnya atas Islam dan jihad. Namun jika ia berkata, “Saya budak,” maka beliau membaiatnya atas Islam saja dan tidak membaiatnya atas jihad. Hal ini karena budak tidak diberi bagian (ghanimah), dan seandainya ia termasuk ahli jihad, niscaya ia akan diberi bagian. Selain itu, jika suatu ibadah berkaitan dengan menempuh jarak yang jauh, maka budak keluar dari kewajiban tersebut, seperti dalam ibadah haji. Adapun hijrah tidak dapat dijadikan pembanding, karena dalam hijrah, jarak tempuh itu sendiri adalah bagian dari ibadah, sedangkan dalam haji dan jihad, jarak tempuh hanya berkaitan dengan ibadah, bukan merupakan ibadah itu sendiri.

وَالشَّرْطُ الثَّانِي الذُّكُورِيَّةُ فَإِنْ كَانَتِ امْرَأَةً أَوْ خُنْثَى مُشْكَلًا فَلَا جِهَادَ عَلَيْهَا وَلَا يَتَوَجَّهُ فَرْضُ الْجِهَادِ إِلَيْهَا لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ وَإِطْلَاقُ لَفْظِ الْمُؤْمِنِينَ يَتَوَجَّهُ إِلَى الرِّجَالِ دُونَ النِّسَاءِ وَلَا يَدْخُلْنَ فِيهِ إِلَّا بِدَلِيلٍ وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ

Syarat kedua adalah laki-laki. Jika seseorang adalah perempuan atau khuntsa musykil, maka tidak ada kewajiban jihad atasnya dan kewajiban jihad tidak diarahkan kepadanya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Wahai Nabi, kobarkanlah semangat orang-orang mukmin untuk berperang,” dan penggunaan lafaz “orang-orang mukmin” dalam ayat ini ditujukan kepada laki-laki, bukan perempuan, dan perempuan tidak termasuk di dalamnya kecuali ada dalil yang menunjukkan demikian. Inilah mazhab Syafi‘i.

وَرَوَى مُعَاوِيَةُ بْنُ إِسْحَاقَ عَنْ عَائِشَةُ بِنْتُ طَلْحَةَ عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَنِ الْجِهَادِ قَالَ ” جِهَادُكِ الْحَجُّ “

Muawiyah bin Ishaq meriwayatkan dari Aisyah binti Thalhah, dari Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha, ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang jihad. Beliau bersabda, “Jihadmu adalah haji.”

وَرَوَى أَبُو سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ” جِهَادُ الْكَبِيرِ الضَّعِيفِ وَالْمَرْأَةِ الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ ” وَلِأَنَّ مَقْصُودَ الْجِهَادِ الْقِتَالُ وَالنِّسَاءُ يَضْعُفْنَ عَنْهُ

Abu Salamah meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jihad bagi orang tua, orang lemah, dan wanita adalah haji dan umrah.” Karena tujuan dari jihad adalah pertempuran, sedangkan wanita tidak mampu melakukannya.

رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مَرَّ بِامْرَأَةٍ مَقْتُولَةٍ فَقَالَ ” مَا بَالُ هَذِهِ تُقْتَلُ وَلَا تُقَاتِلُ ” وَلِاسْتِفَاضَةِ ذَلِكَ فِي النَّاسِ قَالَ فِيهِ الشَّاعِرُ عُمَرُ بْنُ أَبِي رَبِيعَةَ وَقَدْ مَرَّ بِامْرَأَةٍ مَقْتُولَةٍ

Diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ melewati seorang wanita yang terbunuh, lalu beliau bersabda, “Mengapa wanita ini dibunuh padahal ia tidak ikut berperang?” Karena peristiwa itu tersebar luas di tengah masyarakat, penyair ‘Umar bin Abi Rabi‘ah pun mengungkapkannya ketika ia melewati seorang wanita yang terbunuh.

إِنَّ مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ عِنْدِي قَتْلَ بَيْضَاءَ حُرَّةٍ عُطْبُولِ

Sesungguhnya termasuk dosa besar yang paling besar menurutku adalah membunuh seorang wanita merdeka yang suci dan tidak bersalah.

كُتِبَ الْقَتْلُ وَالْقِتَالُ عَلَيْنَا وَعَلَى الْغَانِيَاتِ جَرُّ الذُّيُولِ

Telah ditetapkan bagi kita kewajiban membunuh dan berperang, dan bagi para wanita cantik kewajiban menyeret ujung pakaian panjang.

وَلِأَنَّهُنَّ عَوْرَةٌ يَجِبُ صَوْنُهُنَّ عَنْ بِذْلَةِ الْحَرْبِ وَلِأَنَّهُنَّ لَا يُسْهَمُ لَهُنَّ لَوْ حَضَرْنَ وَلَوْ تَوَجَّهَ الْفَرْضُ إِلَيْهِنَّ لَأُسْهِمَ لَهُنَّ وَالشَّرْطُ الثَّالِثُ البلوغ فإ كان صبياً قلا جِهَادَ عَلَيْهِ وَلَا يَتَوَجَّهُ فَرْضُ الْكِفَايَةِ إِلَيْهِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلا عَلَى الْمَرْضَى وَلا عَلَى الَّذِينَ لا يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ وَفِي الضُّعَفَاءِ تَأْوِيلَانِ أَحَدُهُمَا أَنَّهُمُ الصِّبْيَانُ وَهُوَ أَظْهَرُ وَالثَّانِي الْمَجَانِينُ وَلَمْ يُرِدْ بِالضَّعْفِ الْفَقْرَ لِأَنَّهُ قَالَ وَلا عَلَى الَّذِينَ لا يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ ولقول النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَفِيقَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يتنبه ” ولأن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ رَدَّ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ وَرَافِعَ بْنَ خَدِيجٍ وَالْبَرَاءَ بْنَ عَازِبٍ وَأَنَسَ بْنَ مَالِكٍ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ يَوْمَ بَدْرٍ لِصِغَرِهِمْ وَرَوَى نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ عُرِضْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يَوْمَ أُحُدٍ وَأَنَا ابْنُ أَرْبَعَ عَشْرَةَ سَنَةً فَرَدَّنِي وَلَمْ يُجِزْنِي فِي الْقِتَالِ وَعُرِضْتُ عَلَيْهِ يوم الخندق وأنا ابن خمسة عَشْرَةَ سَنَةً فَأَجَازَنِي وَلِأَنَّ الْقِتَالَ تَكْلِيفٌ وَالصَّبِيُّ غَيْرُ مُكَلَّفٍ وَلِأَنَّهُ ذُرِّيَّةٌ يُقَاتَلُ عَنْهُ وَلَا يُقَاتِلُ وَلِأَنَّهُ يَضْعُفُ عَنْ مَعْرِفَةِ الْقِتَالِ وَمُقَاوَمَةِ الرِّجَالِ وَلِأَنَّهُ لَا يُسْهَمُ لَهُ لَوْ حَضَرَ

Karena perempuan adalah aurat yang wajib dijaga dari kehinaan peperangan, dan karena mereka tidak mendapatkan bagian ghanimah (harta rampasan perang) jika mereka hadir. Seandainya kewajiban itu ditujukan kepada mereka, niscaya mereka akan mendapat bagian. Syarat ketiga adalah baligh; jika masih anak-anak, maka tidak ada kewajiban jihad atasnya dan kewajiban kifayah tidak ditujukan kepadanya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Tidak ada dosa atas orang-orang yang lemah, tidak pula atas orang-orang sakit, dan tidak pula atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka infakkan.” Tentang makna “orang-orang yang lemah” ada dua penafsiran: pertama, mereka adalah anak-anak, dan ini yang lebih kuat; kedua, mereka adalah orang-orang gila. Yang dimaksud dengan kelemahan di sini bukanlah kemiskinan, karena Allah berfirman: “dan tidak pula atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka infakkan.” Dan berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Pena (pencatatan dosa) diangkat dari tiga golongan: dari anak kecil sampai ia bermimpi (baligh), dari orang gila sampai ia sadar, dan dari orang yang tidur sampai ia bangun.” Juga karena Nabi ﷺ menolak Zaid bin Tsabit, Rafi‘ bin Khadij, al-Bara’ bin ‘Azib, Anas bin Malik, dan Abdullah bin Umar pada hari Perang Badar karena mereka masih kecil. Nafi‘ meriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata: “Aku diperlihatkan kepada Rasulullah ﷺ pada hari Uhud, saat itu aku berumur empat belas tahun, maka beliau menolakku dan tidak mengizinkanku ikut berperang. Aku diperlihatkan kepada beliau pada hari Khandaq, saat itu aku berumur lima belas tahun, maka beliau mengizinkanku.” Karena peperangan adalah taklif (beban syariat), sedangkan anak kecil belum mukallaf, dan karena ia adalah keturunan yang diperjuangkan, bukan yang berjuang, dan karena ia lemah dalam memahami peperangan dan menghadapi laki-laki, serta karena ia tidak mendapat bagian ghanimah jika ia hadir.

وَالشَّرْطُ الرَّابِعُ الْعَقْلُ فَلَا يَتَوَجَّهُ فَرْضُ الْجِهَادِ إِلَى مَجْنُونٍ وَمَنْ لَا يَصِحُّ تَمْيِيزُهُ وَتَحْرِيرُهُ لِمَا قَدَّمْنَاهُ وَلِأَنَّ حُضُورَهُ مُفْضٍ لِقِلَّةِ تَمْيِيزِهِ

Syarat keempat adalah akal, maka kewajiban jihad tidak ditujukan kepada orang gila dan orang yang tidak sah kemampuan membedakan dan membebaskannya, sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya, dan karena kehadirannya akan menyebabkan kurangnya kemampuan membedakan.

إِمَّا إِلَى الْهَزِيمَةِ

Atau menuju kekalahan.

وَإِمَّا إِلَى إِلْقَاءِ نَفْسِهِ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَكِلَاهُمَا ضَرَرٌ

Atau melemparkan dirinya sendiri ke dalam kebinasaan, dan keduanya merupakan bahaya.

فَإِذَا اسْتُكْمِلَتْ هَذِهِ الشُّرُوطُ الْأَرْبَعَةُ فِي مُسْلِمٍ كَانَ مَنِ اسْتُكْمِلَتْ فِيهِ مِنْ أَهْلِ الْجِهَادِ وَتَوَجَّهَ فَرْضُ الْكِفَايَةِ إِلَيْهِ سَوَاءً كَانَ يُحْسِنُ الْقِتَالَ أَوْ لَا يُحْسِنُ لِأَنَّهُ إِنْ كَانَ يُحْسِنُ الْقِتَالَ حَارَبَ وَإِنْ كَانَ لَا يُحْسِنُ كَثَّرَ وَهِيبَ أَوْ تَخَلَّفَ عَنِ الْوَقْعَةِ لِحِفْظِ رِحَالِ الْمُحَارِبِينَ فَكَانَ لِخُرُوجِهِ مَعَهُمْ تَأْثِيرٌ

Apabila keempat syarat ini telah terpenuhi pada seorang Muslim, maka siapa pun yang telah terpenuhi padanya syarat-syarat tersebut termasuk golongan yang layak untuk berjihad, dan kewajiban kifayah pun tertuju kepadanya, baik ia mahir dalam bertempur maupun tidak. Sebab, jika ia mahir bertempur, ia akan berperang; dan jika tidak mahir, ia akan menambah jumlah pasukan dan menimbulkan kewibawaan, atau ia dapat tertinggal dari pertempuran untuk menjaga barang-barang milik para pejuang. Maka, keikutsertaannya bersama mereka tetap memberikan pengaruh.

وَيَجُوزُ لِلْإِمَامِ أَنْ يَأْذَنَ لِلْعَبِيدِ فِي الْجِهَادِ إِذَا خَرَجُوا مَعَ سَادَاتِهِمْ أو بإذنهم

Dan diperbolehkan bagi imam untuk memberikan izin kepada para budak dalam berjihad apabila mereka keluar bersama tuan-tuan mereka atau dengan izin mereka.

ويأذن في خروج ذوات غير الْهَيْئَاتِ مِنَ النِّسَاءِ لِمُدَاوَاةِ الْجَرْحَى وَتَعْلِيلِ الْمَرْضَى وَإِصْلَاحِ الطَّعَامِ فَقَدْ فَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ذَلِكَ فِي غَزَوَاتِهِ وَيَأْذَنُ فِي خُرُوجِ مَنِ اشْتَدَّ مِنَ الصِّبْيَانِ لِأَنَّهُمْ أَعْوَانٌ وَلَا يَأْذَنُ فِي خُرُوجِ الْمَجَانِينِ لِأَنَّ خُرُوجَهُمْ ضَارٌّ

Diperbolehkan bagi perempuan yang bukan termasuk wanita berpenampilan menarik untuk keluar guna merawat para korban luka, mengobati orang sakit, dan menyiapkan makanan, sebagaimana Rasulullah saw. telah melakukan hal itu dalam peperangan-peperangannya. Juga diperbolehkan bagi anak-anak yang sudah kuat untuk ikut keluar karena mereka dapat membantu, namun tidak diperbolehkan bagi orang gila untuk keluar karena keikutsertaan mereka dapat menimbulkan bahaya.

فَأَمَّا الْبُلُوغُ فَقَدْ ذَكَرَهُ الشَّافِعِيُّ هَاهُنَا وَقَدْ قَدَّمْنَا شَرْحَهُ فِي كِتَابِ الْحَجْرِ وَغَيْرِهِ بِمَا أَغْنَى عَنْ إِعَادَتِهِ وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ

Adapun tentang baligh, Imam Syafi‘i telah menyebutkannya di sini, dan kami telah menjelaskan penjelasannya dalam Kitab al-Hajr dan lainnya dengan penjelasan yang cukup sehingga tidak perlu diulang kembali. Hanya kepada Allah-lah taufik.

بَابٌ مَنْ لَهُ عُذْرٌ بِالضَّعْفِ وَالضَّرَرِ وَالزَّمَانَةِ والعذر بترك الجهاد من كتاب الجزية

Bab tentang orang yang memiliki uzur karena lemah, sakit, atau cacat, serta uzur meninggalkan jihad dari Kitab Jizyah.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” قَالَ اللَّهُ تَعَالَى لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلا على المرضى الآية قال إِنَّمَا السَّبِيلُ عَلَى الَّذِينَ يَسْتَأْذِنُونَكَ وَهُمْ أَغْنِيَاءُ وَقَالَ لَيْسَ عَلَى الأَعْمَى حَرَجٌ وَلا عَلَى الأعرج حرج ولا على المريض حرج فَقِيلَ الْأَعْرَجُ الْمُقْعَدُ وَالْأَغْلَبُ أَنَّهُ عَرَجُ الرِّجْلِ الْوَاحِدَةِ وَقِيلَ نَزَلَتْ فِي وَضْعِ الْجِهَادِ عَنْهُمْ قال ولا يحتمل غيره فإن كان سالم البدن قويه لا يجد أهبة الخروج ونفقة من تلزمه نفقته إلى قدر ما يرى لمدته في غزوة فهو ممن لا يجد ما ينفق فليس له أن يتطوع بالخروج ويدع الفرض “

Imam Syafi‘i berkata, “Allah Ta‘ala berfirman: ‘Tidak ada dosa atas orang-orang yang lemah dan tidak pula atas orang-orang yang sakit…’ (ayat). Allah juga berfirman: ‘Sesungguhnya jalan (dosa) hanyalah atas orang-orang yang meminta izin kepadamu, padahal mereka adalah orang-orang kaya…’ Dan Allah berfirman: ‘Tidak ada dosa atas orang buta, tidak pula atas orang pincang, dan tidak pula atas orang sakit.’ Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan orang pincang adalah yang lumpuh, namun yang lebih umum adalah pincang pada salah satu kaki. Ada juga yang mengatakan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan gugurnya kewajiban jihad atas mereka. Ia berkata, ‘Dan tidak mungkin dimaknai selain itu. Jika seseorang sehat jasmani dan kuat, namun tidak memiliki perlengkapan untuk berangkat dan tidak memiliki nafkah untuk dirinya dan orang yang wajib ia nafkahi selama masa peperangan, maka ia termasuk orang yang tidak memiliki apa yang dapat dinafkahkan. Maka, ia tidak boleh keluar berjihad secara sukarela dan meninggalkan kewajiban yang lain.’”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا الْأَعْذَارُ الَّتِي يَسْقُطُ بِهَا فَرْضُ الْحَجِّ وَالْجِهَادِ عَنْ أَهْلِهِ فَقَدْ ذَكَرَهَا الشَّافِعِيُّ أَرْبَعَةَ أَعْذَارٍ الْعَمَى وَالْعَرَجُ وَالْمَرَضُ وَالْعُسْرَةُ وَقَدْ بَيَّنَهَا اللَّهُ تَعَالَى فِي آيَتَيْنِ مِنْ كِتَابِهِ

Al-Mawardi berkata: Adapun uzur-uzur yang menyebabkan gugurnya kewajiban haji dan jihad dari orang yang terkena kewajiban tersebut, maka asy-Syafi‘i telah menyebutkan empat uzur: buta, pincang, sakit, dan kesulitan (secara finansial), dan Allah Ta‘ala telah menjelaskannya dalam dua ayat di dalam Kitab-Nya.

أَحَدُهُمَا قَوْلُهُ فِي سُورَةِ التَّوْبَةِ لَيْسَ على وَفِيهِمْ ثَلَاثَةُ تَأْوِيلَاتٍ

Salah satunya adalah firman-Nya dalam Surah At-Taubah, yang padanya terdapat tiga penafsiran.

أَحَدُهَا إنَّهُمُ الصِّغَارُ لِضَعْفِ أَبْدَانِهِمْ

Salah satunya adalah bahwa mereka adalah anak-anak kecil karena lemahnya tubuh mereka.

وَالثَّانِي الْمَجَانِينُ لِضَعْفِ عُقُولِهِمْ

Dan yang kedua adalah orang-orang gila karena lemahnya akal mereka.

وَالثَّالِثُ إنَّهُمُ الْعُمْيَانُ لِضَعْفِ تَصَرُّفِهِمْ كَمَا قِيلَ فِي تَأْوِيلِ قوله تعالى في شعيب إنا لَنَرَاكَ فِينَا ضَعِيفًا أَيْ ضَرِيرًا ثُمَّ قَالَ وَلا عَلَى الْمَرْضَى يُرِيدُ بِهِ مَرْضَى الْبَدَنِ إِذَا عَجَزَ بِهِ تَصَرُّفُهُ الصَّحِيحُ وَلا عَلَى الَّذِينَ لا يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ وَهُمُ الْفُقَرَاءُ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نَفَقَةَ جِهَادِهِمْ إِذَا نَصَحُوا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ فيه تأويلان

Ketiga, mereka adalah orang-orang buta karena lemahnya kemampuan bertindak mereka, sebagaimana dikatakan dalam tafsir firman Allah Ta‘ala tentang Nabi Syu‘aib: “Sesungguhnya kami melihatmu di antara kami sebagai orang yang lemah,” yaitu maksudnya orang yang buta. Kemudian Allah berfirman: “Dan tidak (pula) atas orang-orang yang sakit,” maksudnya adalah orang-orang yang sakit badan apabila mereka tidak mampu melakukan tindakan sebagaimana orang sehat. Dan tidak pula atas orang-orang yang tidak mendapatkan apa yang dapat mereka infakkan terdapat dosa, yaitu mereka adalah orang-orang fakir yang tidak memiliki biaya untuk berjihad apabila mereka telah berbuat dengan tulus untuk Allah dan Rasul-Nya. Dalam hal ini terdapat dua penafsiran.

أحدهما أن يبرؤوا مِنَ النِّفَاقِ

Salah satunya adalah agar mereka terbebas dari nifaq.

وَالثَّانِي أَنْ يَقُومُوا بِحِفْظِ الْمُخَلَّفِينَ

Dan yang kedua adalah mereka menjaga orang-orang yang ditinggalkan.

فَإِنْ قِيلَ بِالتَّأْوِيلِ الْأَوَّلِ كَانَ رَاجِعًا إِلَى جَمِيعِ مَنْ تَقَدَّمَ ذِكْرُهُ مِنَ الضُّعَفَاءِ وَالْمَرْضَى وَالَّذِينَ لَا يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ وَإِنْ قِيلَ بِالتَّأْوِيلِ الثَّانِي كَانَ رَاجِعًا إِلَى الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ خَاصَّةً

Jika ditafsirkan dengan penafsiran pertama, maka maksudnya kembali kepada seluruh orang yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu orang-orang lemah, orang-orang sakit, dan orang-orang yang tidak mendapatkan apa yang dapat mereka infakkan. Namun jika ditafsirkan dengan penafsiran kedua, maka maksudnya kembali khusus kepada orang-orang yang tidak mendapatkan apa yang dapat mereka infakkan saja.

وَقِيلَ إِنَّ هَذِهِ الْآيَةَ نَزَلَتْ فِي عَائِذِ بْنِ عَمْرٍو وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُغَفَّلٍ ثُمَّ قَالَ بَعْدَهَا وَلا عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لا أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ فِيهِ وَجْهَانِ

Dikatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan ‘Āyidz bin ‘Amr dan ‘Abdullāh bin Mughaffal. Kemudian setelah itu Allah berfirman: “Dan tidak (pula) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu agar kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: ‘Aku tidak menemukan sesuatu untuk membawamu di atasnya’.” Dalam ayat ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ لَمْ يَجِدْ لَهُمْ زَادًا لِأَنَّهُمْ طَلَبُوا مَا يَتَزَوَّدُونَهُ وَهَذَا قَوْلُ أَنَسٍ

Salah satunya adalah bahwa mereka tidak mendapatkan bekal karena mereka telah mencari sesuatu yang dapat dijadikan bekal, dan ini adalah pendapat Anas.

وَالثَّانِي أَنَّهُ لَمْ يَجِدْ لَهُمْ نِعَالًا لأنهم طلبوا النعال وهذا قول الحسن بْنِ صَالِحٍ

Yang kedua adalah bahwa ia tidak menemukan sandal untuk mereka karena mereka meminta sandal, dan ini adalah pendapat Hasan bin Shalih.

وَرَوَى أَبُو هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ فِي هَذِهِ الْغَزْوَةِ وَهِيَ غَزْوَةُ تَبُوكَ ” أَكْثِرُوا مِنَ النِّعَالِ فَإِنَّ الرَّجُلَ لَا زَالَ رَاكِبًا مَا كَانَ مُنْتَعِلًا ” وَفِيمَنْ نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ bersabda dalam peperangan ini, yaitu Perang Tabuk: “Perbanyaklah memakai sandal, karena seseorang akan senantiasa seperti orang yang berkendara selama ia memakai sandal.” Terkait siapa yang menjadi sebab turunnya ayat ini, terdapat tiga pendapat.

أَحَدُهَا أَنَّهَا نَزَلَتْ فِي الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ وَهَذَا قَوْلُ يَحْيَى بْنِ أَبِي الْمُطَاعِ

Salah satunya adalah bahwa ayat ini turun berkenaan dengan ‘Irbādh bin Sāriyah, dan ini adalah pendapat Yahyā bin Abī al-Mutā‘.

وَالثَّانِي أَنَّهَا نَزَلَتْ فِي أَبِي مُوسَى وَأَصْحَابِهِ وَهَذَا قَوْلُ الْحَسَنِ

Yang kedua, bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abu Musa dan para sahabatnya, dan ini adalah pendapat al-Hasan.

وَالثَّالِثُ أَنَّهَا نَزَلَتْ فِي بَنِي مُقَرِّنٍ مِنْ مُزَيْنَةَ ثُمَّ قَالَ بَعْدَهَا إِنَّمَا السَّبِيلُ عَلَى الَّذِينَ يَسْتَأْذِنُونَكَ وَهُمْ أَغْنِيَاءُ رَضُوا بِأَنْ يَكُونُوا مَعَ الْخَوَالِفِ فِيهِمْ تَأْوِيلَانِ

Ketiga, bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan Bani Muqarrin dari kabilah Muzainah. Kemudian setelah itu Allah berfirman: “Sesungguhnya jalan (celaan) hanyalah terhadap orang-orang yang meminta izin kepadamu, padahal mereka adalah orang-orang kaya, mereka rela untuk tinggal bersama orang-orang yang tinggal.” Dalam ayat ini terdapat dua penafsiran.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُمُ الذَّرَارِيُّ مِنَ النِّسَاءِ وَالْأَطْفَالِ

Salah satunya adalah bahwa mereka adalah anak-anak dari kalangan perempuan dan anak-anak kecil.

وَالثَّانِي أَنَّهُمُ الْمُتَخَلِّفُونَ بِالنِّفَاقِ فَدَلَّتْ هَذِهِ الْآيَةُ عَلَى وُجُوبِ الْجِهَادِ فِي ذَوِي الْقُدْرَةِ وَالْيَسَارِ

Dan yang kedua adalah bahwa mereka adalah orang-orang yang tertinggal karena kemunafikan, maka ayat ini menunjukkan wajibnya jihad bagi orang-orang yang memiliki kemampuan dan kelapangan.

وَأَمَّا الْآيَةُ الثَّانِيَةُ فِي ذَوِي الْأَعْذَارِ فَقَوْلُهُ تَعَالَى لَيْسَ عَلَى الأَعْمَى حَرَجٌ وَلا عَلَى الأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلا عَلَى الْمَرِيضِ حرج ذَكَرَهَا اللَّهُ تَعَالَى فِي سُورَتَيْنِ مِنْ كِتَابِهِ

Adapun ayat kedua tentang orang-orang yang memiliki uzur adalah firman Allah Ta‘ala: “Tidak ada dosa atas orang buta, tidak pula atas orang pincang, dan tidak pula atas orang sakit.” Allah Ta‘ala menyebutkan ayat ini dalam dua surat di dalam Kitab-Nya.

إِحْدَاهُمَا سُورَةُ النُّورِ

Salah satunya adalah Surah an-Nur.

وَالْأُخْرَى سُورَةُ الْفَتْحِ

Dan yang lainnya adalah Surah al-Fath.

فِلْم يَخْتَلِفِ الْمُفَسِّرُونَ أَنَّ الَّتِي فِي سُورَةِ الْفَتْحِ وَارِدَةٌ فِي إِسْقَاطِ الْجِهَادِ عَنْهُمْ

Para mufassir berbeda pendapat bahwa ayat yang terdapat dalam Surah Al-Fath itu berkenaan dengan pengguguran kewajiban jihad dari mereka.

وَاخْتَلَفُوا فِي الَّتِي فِي سُورَةِ النُّورِ

Mereka berselisih pendapat mengenai (ayat) yang terdapat dalam Surah an-Nur.

فَذَهَب الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ زَيْدٍ إِلَى أَنَّهَا وَارِدَةٌ فِي الْجِهَادِ أَيْضًا كَرَّرَهَا اللَّهُ تَعَالَى فِي سُورَتَيْنِ تَأْكِيدًا

Al-Hasan al-Bashri dan Abdurrahman bin Zaid berpendapat bahwa ayat tersebut juga berkaitan dengan jihad; Allah Ta’ala mengulanginya dalam dua surah sebagai penegasan.

وَذَهَبَ جُمْهُورُ الْمُفَسِّرِينَ إِلَى أَنَّهَا فِي النُّورِ وَارِدَةٌ فِي الْمُؤَاكَلَةِ

Mayoritas mufassir berpendapat bahwa ayat tersebut dalam surah An-Nur berkaitan dengan masalah makan bersama.

وَاخْتَلَفَ مَنْ قَالَ بِهَذَا فِي الْمُرَادِ بِالْمُؤَاكَلَةِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقَاوِيلَ

Orang-orang yang berpendapat demikian berbeda pendapat mengenai maksud dari “al-mu’ākalah” menjadi tiga pendapat.

أَحَدُهَا أَنَّ الْأَنْصَارَ كَانُوا يَتَحَرَّجُونَ أَنْ يَأْكُلُوا مَعَ هَؤُلَاءِ إِذَا دُعُوا إِلَى طَعَامٍ لِأَنَّ الْأَعْمَى لَا يُبْصِرُ أَطْيَبَ الطَّعَامِ وَالْأَعْرَجَ لَا يَسْتَطِيعُ الزِّحَامَ وَالْمَرِيضُ يَضْعُفُ عَنْ مُشَارَكَةِ الصَّحِيحِ فِي الطَّعَامِ وَكَانُوا يَعْزِلُونَ طَعَامَهُمْ مُفْرَدًا وَيَرَوْنَ ذَلِكَ أَفْضَلَ مِنْ مُشَارَكَتِهِمْ فِيهِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى ذَلِكَ فِي رَفْعِ الْحَرَجِ عَنْ مُؤَاكَلَتِهِم وَهَذَا قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ وَالضَّحَّاكِ

Salah satunya adalah bahwa kaum Anshar merasa sungkan untuk makan bersama mereka (orang-orang yang disebutkan) ketika diundang ke suatu hidangan, karena orang buta tidak dapat melihat makanan yang paling enak, orang pincang tidak mampu berdesakan, dan orang sakit lemah untuk ikut serta bersama orang sehat dalam makan. Maka mereka memisahkan makanan mereka secara tersendiri dan menganggap hal itu lebih utama daripada makan bersama mereka. Maka Allah Ta‘ala menurunkan ayat tersebut untuk menghilangkan kesulitan dalam makan bersama mereka. Inilah pendapat Ibnu ‘Abbas dan adh-Dhahhak.

وَالثَّانِي أَنَّهُ كَانَ هَؤُلَاءِ الْمَذْكُورُونَ مِنْ أَهَلِّ الزَّمَانَةِ يَخْلُفُونَ الْأَنْصَارَ فِي مَنَازِلِهِمْ إِذَا خَرَجُوا لِلْجِهَادِ وَكَانُوا يَتَحَرَّجُونَ أَنْ يَأْكُلُوا مِنْهَا فَرَخَّصَ اللَّهُ لَهُمْ فِي الْأَكْلِ مِنْ بُيُوتِ مَنِ اسْتَخْلَفُوهُمْ فِيهَا وَهَذَا قَوْلُ الزُّهْرِيِّ

Kedua, bahwa orang-orang yang disebutkan ini dari kalangan ahli zamanah menggantikan kaum Anshar di rumah-rumah mereka ketika mereka keluar untuk berjihad, dan mereka merasa sungkan untuk makan dari rumah-rumah tersebut. Maka Allah memberikan keringanan bagi mereka untuk makan dari rumah orang-orang yang mereka gantikan di dalamnya. Inilah pendapat az-Zuhri.

وَالثَّالِثُ أَنَّهُ لَيْسَ عَلَى مَنْ ذُكِرَ مِنْ أَهْلِ الزَّمَانَةِ حَرَجٌ إِذَا دُعِيَ إِلَى طَعَامٍ أَنْ يَأْخُذَ مَعَهُ قَائِدَهُ وَهَذَا قَوْلُ عَبْدِ الْكَرِيمِ

Ketiga, bahwa tidak ada keberatan bagi orang-orang yang disebutkan dari kalangan penyandang disabilitas, apabila mereka diundang ke suatu jamuan, untuk membawa pendampingnya bersama mereka; dan ini adalah pendapat ‘Abd al-Karim.

فَصْلٌ

Bab

فَإِذَا تَقَرَّرَ تَفْسِيرُ مَا اسْتَدَلَّ بِهِ الشَّافِعِيُّ مِنَ الْآيَاتِ فَأَوَّلُ الْمَذْكُورِينَ مِنْ أَصْحَابِ الْأَعْذَارِ الْأَعْمَى وَهُوَ الذَّاهِبُ الْبَصَرِ فَإِنْ كَانَ ضَعِيفَ الْبَصَرِ لِعِلَّةٍ فِيهِ فَإِنْ كَانَ يرى الأشخاص وإن لم يعرف صورها وويمكنه أَنْ يَتَّقِيَ أَخْفَى السِّلَاحَ وَهُوَ السِّهَامُ تَوَجَّهَ إِلَيْهِ فَرْضُ الْجِهَادِ وَإِنْ لَمْ يُدْرِكْ ذَلِكَ لَمْ يَتَوَجَّهْ إِلَيْهِ فَرْضُهُ فَأَمَّا الْأَعْوَرُ فَيَتَوَجَّهُ إِلَيْهِ فَرْضُ الْجِهَادِ لِأَنَّهُ يُدْرِكُ بِالْعَيْنِ الْبَاقِيَةِ مَا كَانَ يُدْرِكُهُ بِهِمَا

Setelah penafsiran terhadap ayat-ayat yang dijadikan dalil oleh Imam Syafi‘i telah dijelaskan, maka orang pertama yang disebutkan dari kalangan pemilik uzur adalah orang buta, yaitu yang kehilangan penglihatan. Jika ia memiliki penglihatan yang lemah karena suatu penyakit, dan ia masih dapat melihat orang meskipun tidak mengenali wajah mereka, serta masih memungkinkan baginya untuk menghindari senjata tersembunyi seperti panah, maka kewajiban jihad tetap berlaku baginya. Namun, jika ia tidak mampu melakukan hal tersebut, maka kewajiban jihad tidak berlaku baginya. Adapun orang yang bermata satu, maka kewajiban jihad tetap berlaku baginya karena dengan satu mata yang tersisa ia masih dapat melihat sebagaimana ia melihat dengan kedua matanya.

وَكَذَلِكَ الْأَعْشَى الَّذِي يُبْصِرُ نَهَارًا وَلَا يُبْصِرُ لَيْلًا وَالْأَحْوَلُ وَالْأَعْمَشُ يَتَوَجَّهُ فَرْضُ الْجِهَادِ إِلَى جَمِيعِهِمْ وَهَكَذَا الْأَصَمُّ لِأَنَّ الْمُعْتَبَرَ النَّظَرُ دُونَ السَّمْعِ

Demikian pula orang yang rabun, yang dapat melihat pada siang hari tetapi tidak dapat melihat pada malam hari, juga orang yang juling dan orang yang penglihatannya kabur, kewajiban jihad tetap berlaku bagi semuanya. Begitu juga bagi orang tuli, karena yang menjadi pertimbangan adalah penglihatan, bukan pendengaran.

وَرَوَى زَيْدُ بْنِ ثَابِتٍ قَالَ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ اكتب لا يستوي القاعدون من المؤمنين والمجاهدون في سبيل الله الْآيَةَ فَكَتَبْتُهَا فِي كَتِفٍ فَقَالَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ وَكَانَ أَعْمَى _ فَكَيْفَ بِمَنْ لَا يَستَطيعُ قَالَ فَأَخَذَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ السَّكِينَةُ ثُمَّ سُرِّيَ عَنْهُ فَقَالَ اقْرَأْ يَا زَيْدُ مَا كَتَبْتَ فَقَرَأْتُ لا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فَقَالَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَكَتَبْتُهَا

Zaid bin Tsabit meriwayatkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, “Tulislah: ‘Tidaklah sama antara orang-orang mukmin yang duduk dan orang-orang yang berjihad di jalan Allah’ (ayat tersebut).” Maka aku menuliskannya di atas tulang belikat. Lalu Ibnu Ummi Maktum, yang saat itu buta, berkata, “Bagaimana dengan orang yang tidak mampu?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diliputi ketenangan, kemudian setelah itu beliau bersabda, “Bacalah, wahai Zaid, apa yang telah engkau tulis.” Maka aku membacakan, “Tidaklah sama antara orang-orang mukmin yang duduk…” Beliau bersabda, “…kecuali mereka yang memiliki uzur, dan orang-orang yang berjihad di jalan Allah.” Maka aku pun menuliskannya.

وَالثَّانِي من أهل الأعذار الأعرج وفي المراد في من الْآيَةِ قَوْلَانِ

Yang kedua dari golongan orang-orang yang memiliki uzur adalah orang pincang, dan mengenai siapa yang dimaksud dalam ayat tersebut terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا الْمُقْعَدُ

Salah satunya adalah orang yang duduk.

وَالثَّانِي وَهُوَ تَأْوِيلُ الشَّافِعِيِّ وَالظَّاهِرُ مِنَ الْآيَةِ أَنَّهُ الْأَعْرَجُ مِنْ إِحْدَى رِجْلَيْهِ لِقُصُورِهَا عَنِ الْأُخْرَى وَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ

Yang kedua adalah takwil menurut Imam Syafi‘i, dan makna yang tampak dari ayat tersebut adalah bahwa yang dimaksud adalah orang yang pincang pada salah satu kakinya karena kaki itu lebih pendek dari yang lainnya, dan hal ini terbagi menjadi dua jenis.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَضْعُفَ بِهِ عَنِ الرُّكُوبِ وَيَعْجِزَ عَنِ الْمَشْيِ فَلَا يَتَوَجَّهُ فَرْضُ الْجِهَادِ إِلَيْهِ لِأَنَّهُ يَعْجِزُ عَنِ الطَّلَبِ وَيَضْعُفُ عَنِ الْهَرَبِ

Salah satunya adalah ketika seseorang menjadi lemah karenanya sehingga tidak mampu naik kendaraan dan tidak sanggup berjalan, maka kewajiban jihad tidak berlaku baginya karena ia tidak mampu melakukan penyerangan dan lemah untuk melarikan diri.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَقْدِرَ عَلَى الرُّكُوبِ وَالْمَشْيِ وَيَضْعُفَ عَنِ السَّعْيِ فَيَتَوَجَّهُ إِلَيْهِ فَرْضُ الْجِهَادِ

Jenis yang kedua adalah seseorang yang mampu berkendara dan berjalan, namun lemah untuk berlari, maka kepadanya tetap berlaku kewajiban jihad.

وَأَمَّا الْأَقْطَعُ الْيَدِ أَوْ أَشَلُّهَا فَلَا يَتَوَجَّهُ فَرْضُ الْجِهَادِ إِلَيْهِ لِعَجْزِهِ عَنِ الْقِتَالِ سَوَاءٌ قُطِعَتْ يُمْنَاهُ أَوْ يسراه لأنه يقاتل باليمنى وتبقى بِالْيُسْرَى

Adapun orang yang terputus tangannya atau lumpuh tangannya, maka kewajiban jihad tidak ditujukan kepadanya karena ia tidak mampu berperang, baik yang terputus adalah tangan kanannya maupun kirinya, karena ia berperang dengan tangan kanan dan masih tersisa tangan kiri.

وَإِنْ ذَهَبَ شَيْءٌ مِنْ أَصَابِعِ يَدِهِ أَوْ رِجْلِهِ بِقَطْعٍ أَوْ شَلَلٍ نُظِرَ

Jika ada sesuatu dari jari-jari tangan atau kakinya yang hilang karena terpotong atau lumpuh, maka diperhatikan…

فَإِنْ بَقِيَ أَكْثَرُ بَطْشِهِ تَوَجَّهَ الْفَرْضُ إِلَيْهِ

Jika sebagian besar kekuatannya masih tersisa, maka kewajiban diarahkan kepadanya.

وَإِنَّ ذَهَبَ أَكْثَرُهُ سَقَطَ الْفَرْضُ عَنْهُ

Dan jika sebagian besarnya telah hilang, maka kewajiban itu gugur darinya.

وَالثَّالِثُ مِنْ أَهْلِ الْأَعْذَارِ الْمَرِيضُ وَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ

Yang ketiga dari golongan orang-orang yang memiliki uzur adalah orang sakit, dan orang sakit ini terbagi menjadi dua jenis.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَعْجِزَ بِهِ عَنِ النُّهُوضِ فَيَسْقُطَ الْفَرْضُ عَنْهُ

Salah satunya adalah jika dengan sebab itu ia tidak mampu untuk berdiri, maka gugurlah kewajiban darinya.

وَالثَّانِي أَنْ يَقْدِرَ عَلَى النُّهُوضِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ

Kedua, mampu untuk berdiri, dan ini terbagi menjadi dua jenis.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ مَنْدُوبًا بِالزِّيَادَةِ الَّتِي تَعْجِزُ عَنِ النُّهُوضِ فَيَسْقُطَ الْفَرْضُ عَنْهُ

Salah satunya adalah bahwa hal itu menjadi mandub karena tambahan yang tidak mampu dilakukan, sehingga kewajiban gugur darinya.

وَالثَّانِي أَنْ لَا يُعْذَرَ بِهِ فَيَتَوَجَّهُ الْفَرْضُ إِلَيْهِ لِأَنَّهُ قَلَّ مَا يَخْلُو حَيٌّ مِنْ مَرَضٍ وَإِنْ خَفِيَ

Yang kedua adalah bahwa hal itu tidak menjadi alasan yang dapat diterima, sehingga kewajiban tetap diarahkan kepadanya, karena jarang sekali ada seseorang yang benar-benar terbebas dari penyakit, meskipun penyakit itu tersembunyi.

وَالرَّابِعُ مِنْ أَهْلِ الْأَعْذَارِ الْمُعْسِرُ الَّذِي لَا يَجِدُ نَفَقَةَ جِهَادِهِ وَهُوَ الَّذِي أَرَادَهُ اللَّهُ تَعَالَى بِقَوْلِهِ تَعَالَى وَلا عَلَى الَّذِينَ لا يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ وَالَّذِي يُعْتَبَرُ مِنَ الْمَالِ فِي اسْتِطَاعَتِهِ لِلْجِهَادِ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْمَغْزَى فَإِنْ كَانَ قَرِيبَ الْمَسَافَةِ عَلَى أَقَلَّ مِنْ مَسِيرَةِ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بِحَيْثُ لَا تُقْصَرُ إِلَيْهِ الصَّلَاةُ لَمْ يُعْتَبَرْ فِيهِ وُجُودُ الرَّاحِلَةِ كَمَا لَا تُعْتَبَرُ فِي اسْتِطَاعَتِهِ الْحَجَّ وَاعْتُبِرَ فِي اسْتِطَاعَتِهِ ثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ

Dan yang keempat dari golongan orang-orang yang memiliki uzur adalah orang yang kesulitan (mu‘sir), yaitu yang tidak menemukan nafkah untuk berjihad. Dialah yang dimaksud oleh Allah Ta‘ala dalam firman-Nya: “Dan tidak ada dosa atas orang-orang yang tidak mendapatkan sesuatu yang dapat mereka infakkan.” Harta yang diperhitungkan dalam kemampuan berjihad berbeda-beda sesuai dengan perbedaan tujuan jihad. Jika tujuannya dekat, yaitu kurang dari jarak perjalanan sehari semalam sehingga tidak boleh mengqashar shalat ke sana, maka tidak disyaratkan adanya kendaraan, sebagaimana tidak disyaratkan dalam kemampuan berhaji. Dalam hal ini, yang diperhitungkan dalam kemampuannya ada tiga hal.

نَفَقَةُ سفرة

Nafkah safar

ونفقة من تخلفه مِنْ أَهْلِهِ

Dan nafkah bagi keluarga yang ia tinggalkan.

وَثَمَنُ سِلَاحِهِ

Dan harga senjatanya.

وَإِنْ بَعُدَتِ الْمَسَافَةُ إِلَى حَيْثُ تُقْصَرُ بِهَا الصَّلَاةُ اعْتُبِرَ فِي اسْتِطَاعَتِهِ مَعَ الثَّلَاثَةِ الْمُتَقَدِّمَةِ وُجُودُ الرَّاحِلَةِ سَوَاءٌ قَدَرَ عَلَى الْمَشْيِ أَوْ ضَعُفَ عَنْهُ كَالْحَجِّ فَإِنَّ عَجَزَ عَنْ أَحَدِ هَذِهِ الْأَرْبَعَةِ سَقَطَ عَنْهُ فَرْضُ الْجِهَادِ مَا كَانَ بَاقِيًا عَلَى عَجْزِهِ فَلَوْ بُذِلَ لَهُ مَا عَجَزَ عَنْهُ مِنَ الْمَالِ نُظِرَ فِي الْبَاذِلِ فَإِنْ كَانَ الْإِمَامُ قَدْ بَذَلَهُ مِنْ بَيْتِ الْمَالِ لَزِمَهُ قَبُولُهُ إِذَا تَكَامَلَتْ

Dan jika jarak menuju tempat di mana shalat boleh diqashar itu jauh, maka dalam menilai kemampuannya, selain tiga syarat yang telah disebutkan sebelumnya, juga dipertimbangkan adanya kendaraan, baik ia mampu berjalan kaki maupun tidak, sebagaimana dalam ibadah haji. Jika ia tidak mampu memenuhi salah satu dari empat syarat tersebut, maka kewajiban jihad gugur darinya selama ketidakmampuannya itu masih ada. Namun, jika ada yang memberinya apa yang tidak mampu ia penuhi berupa harta, maka dilihat siapa yang memberikannya; jika yang memberikannya adalah imam dari baitul mal, maka ia wajib menerimanya apabila seluruh syarat telah terpenuhi.

فِيهِ شُرُوطُ الْجِهَادِ وَلَزِمَهُ فَرْضُهُ لِأَنَّ لَهُ فِي بَيْتِ الْمَالِ حَقًّا

Di dalamnya terdapat syarat-syarat jihad dan kewajiban jihad berlaku atasnya, karena ia memiliki hak atas Baitul Mal.

وَإِنْ بَذَلَهُ غَيْرُ الْإِمَامِ مِنْ مَالِهِ لَمْ يَلْزَمْهُ قَبُولُهُ لِأَنَّهُ لَا يَجِبُ عَلَيْهِ قَبُولُ الْمَالِ لِالْتِزَامِ الْفَرْضِ كَمَا لَا يَلْزَمُهُ قَبُولُهُ فِي الْحَجِّ فَإِنْ قَبِلَهُ لَزِمَهُ فَرْضُ الْجِهَادِ بَعْدَ الْقَبُولِ وَاللَّهُ أعلم

Dan jika seseorang selain imam memberikan harta dari miliknya, maka tidak wajib baginya (yang menerima) untuk menerimanya, karena tidak wajib baginya menerima harta untuk menunaikan kewajiban fardhu, sebagaimana tidak wajib baginya menerimanya dalam ibadah haji. Namun jika ia menerimanya, maka wajib atasnya menunaikan fardhu jihad setelah penerimaan itu. Dan Allah lebih mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَلَا يُجَاهِدَ إِلَّا بِإِذْنِ أَهْلِ الدَّيْنِ “

Imam Syafi‘i berkata, “Dan tidak boleh berjihad kecuali dengan izin dari para pemuka agama.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا كَانَ عَلَى رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ الْجِهَادِ دَيْنٌ لَمْ يَخُلْ دَيْنُهُ مِنْ أَنْ يَكُونَ حَالًّا أَوْ مُؤَجَّلًا

Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar, apabila ada seseorang dari kalangan ahli jihad memiliki utang, maka utangnya itu tidak lepas dari dua kemungkinan: utang tersebut bersifat segera (jatuh tempo) atau ditangguhkan (berjangka).”

فَإِنْ كَانَ حَالًّا لَمْ يَخْلُ مِنْ أَنْ يَكُونَ مُوسِرًا بِهِ أَوْ مُعْسِرًا فَإِنْ كَانَ مُوسِرًا وَلَمْ يَسْتَنِبْ فِي قَضَائِهِ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يُجَاهِدَ إِلَّا بِإِذْنِ صَاحِبِ الدَّيْنِ وَسَوَاءٌ كَانَ الدَّيْنُ لِمُسْلِمٍ أَوْ كَافِرٍ لِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى “

Jika ia dalam keadaan harus segera membayar utang, maka tidak lepas dari dua kemungkinan: ia mampu membayarnya atau tidak mampu. Jika ia mampu membayar dan tidak mewakilkan kepada orang lain untuk melunasinya, maka ia tidak boleh ikut berjihad kecuali dengan izin pemilik utang, baik utang itu kepada seorang Muslim maupun non-Muslim, berdasarkan riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Jiwa seorang mukmin tergantung pada utangnya hingga utang itu dilunasi.”

وَرُوِيَ أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ صَابِرًا مُحْتَسِبًا أَيَحْجِزُنِي عَنِ الْجَنَّةِ شَيْءٌ؟ فَقَالَ ” لَا إِلَّا الدَّيْنُ “

Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku terbunuh dalam keadaan sabar dan mengharap pahala, adakah sesuatu yang dapat menghalangiku dari surga?” Beliau menjawab, “Tidak, kecuali utang.”

وَرُوِيَ أَنَّهُ قَالَ لَا فَنَزَلَ عَلَيْهِ جِبْرِيلُ فَقَالَ لَهُ ” إِلَّا الدَّيْنَ ” فَقَالَ لَهُ ” إِلَّا الدَّيْنَ ” وَمَا حُجِزَ عَنِ الْجَنَّةِ لَمْ يُتَوَصَّلْ بِالْجِهَادِ إِلَيْهَا وَلِأَنَّ فَرْضَ الدَّيْنِ مُتَعَيِّنٌ عَلَيْهِ وَفَرْضَ الْجِهَادِ عَلَى الْكِفَايَةِ وَفُرُوضُ الْأَعْيَانِ مُقَدَّمَةٌ عَلَى فُرُوضِ الْكِفَايَةِ وَلِأَنَّ الْجِهَادَ مِنْ حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى هِيَ أَوْسَعُ مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ وَهِيَ أَضْيَقُ فَقَدَّمَ الْأَضْيَقَ عَلَى الْأَوْسَعِ

Diriwayatkan bahwa beliau berkata, “Tidak,” lalu turunlah Jibril kepadanya dan berkata, “Kecuali utang,” maka beliau pun berkata, “Kecuali utang.” Dan apa yang menghalangi seseorang dari surga tidak dapat dicapai dengan jihad. Karena kewajiban membayar utang adalah kewajiban yang bersifat pribadi atas dirinya, sedangkan kewajiban jihad adalah fardhu kifayah. Kewajiban individu (fardhu ‘ain) didahulukan atas kewajiban kolektif (fardhu kifayah). Selain itu, jihad termasuk hak-hak Allah Ta‘ala yang cakupannya lebih luas daripada hak-hak manusia, sedangkan hak-hak manusia lebih sempit, sehingga yang lebih sempit didahulukan atas yang lebih luas.

وَكَذَلِكَ لَوْ كَانَ مُعْسِرًا لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يُجَاهِدَ إِلَّا بِإِذْنِهِ لِأَنَّهُ يَنْقَطِعُ بِالْجِهَادِ عَنِ الْكَسْبِ وَيَتَعَرَّضُ لِلشَّهَادَةِ

Demikian pula, jika seseorang dalam keadaan sulit (miskin), maka ia tidak boleh berjihad kecuali dengan izin orang tuanya, karena dengan berjihad ia akan terputus dari mencari nafkah dan berisiko mengalami syahadah (mati syahid).

وَإِنِ اسْتَنَابَ الْمُوسِرُ فِي قَضَاءِ دَيْنِهِ نُظِرَ فَإِنْ كَانَ الْمَالُ حَاضِرًا لَمْ يَلْزَمِ اسْتِئْذَانُ صَاحِبِ الدَّيْنِ عَنِ الْجِهَادِ لِأَنَّهُ كَالْمُؤَدِّي

Dan jika orang yang mampu melunasi utangnya mewakilkan kepada orang lain untuk membayar utangnya, maka dilihat keadaannya: jika hartanya sudah tersedia, maka tidak wajib meminta izin kepada pemilik utang untuk berjihad, karena ia seperti orang yang telah melunasi.

وَإِنْ كَانَ الْمَالُ غَائِبًا لَزِمَهُ اسْتِئْذَانُهُ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يُجَاهِدَ بِغَيْرِ إِذْنِهِ لِجَوَازِ أَنْ يُتْلِفَ الْمَالَ قَبْلَ قَضَاءِ الدَّيْنِ فَيَبْقَى عَلَى صَاحِبِهِ

Jika harta itu tidak ada di tempat (ghaib), maka wajib baginya meminta izin (dari pemilik harta), dan ia tidak boleh berjihad tanpa izinnya, karena mungkin saja harta itu rusak sebelum utang dilunasi sehingga tanggungannya tetap ada pada pemiliknya.

وَإِنْ كَانَ الدَّيْنُ مُؤَجَّلًا فَفِي جَوَازِ جِهَادِهِ بِغَيْرِ إِذْنِ صَاحِبِ الدَّيْنِ وَجْهَانِ

Jika utang itu berjangka (ditangguhkan pembayarannya), maka dalam kebolehan berjihad tanpa izin dari pemilik utang terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يَجُوزُ أَنْ يُجَاهِدَ بِغَيْرِ إِذْنِهِ كَمَا يَجُوزُ أَنْ يُسَافِرَ فِي غَيْرِ الْجِهَادِ بِغَيْرِ إِذْنِهِ

Salah satunya adalah boleh baginya berjihad tanpa izinnya, sebagaimana boleh baginya bepergian selain untuk jihad tanpa izinnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا يَجُوزُ أَنْ يُجَاهِدَ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَإِنْ جَازَ أَنْ يُسَافِرَ بِغَيْرِ إِذْنِهِ لِأَنَّ مَقْصُودَ الْجِهَادِ التَّعَرُّضُ لِلشَّهَادَةِ فَخَالَفَ غَيْرَهُ مِنَ الْأَسْفَارِ الَّتِي لَا يُتَعَرَّضُ لِلشَّهَادَةِ فِيهَا فَصَارَ مَنْ عَلَيْهِ الدَّيْنُ غَيْرَ مَوْصُوفٍ بِفَرْضِ الْجِهَادِ عَلَيْهِ وَلَا بِسُقُوطِهِ عَنْهُ لِوُقُوفِهِ عَلَى إِذْنِ رَبِّهِ فَإِنْ أَذِنَ صَارَ مِنْ أَهْلِ الْجِهَادِ وَإِنْ لَمْ يَأْذَنْ خَرَجَ مِنْهُمْ وَإِذَا جَاهَدَ بِإِذْنِ صَاحِبِ الدَّيْنِ لَمْ يَتَعَرَّضْ لِلشَّهَادَةِ وَلَمْ يَتَقَدَّمْ أَمَامَ الصُّفُوفِ وَوَقَفَ فِي وَسَطِهَا أَوْ حَوَاشِيهَا لِيُتَحَفَّظَ الدَّيْنُ بِحِفْظِ نَفْسِهِ وَهُوَ اخْتِيَارُ الشَّافِعِيِّ فَإِنْ رَجَعَ صَاحِبُ الدَّيْنِ عَنْ إِذْنِهِ كَانَ كَالَّذِي مَضَى فِي حُدُوثِ الْأَعْذَارِ

Pendapat kedua menyatakan bahwa tidak boleh seseorang berjihad kecuali dengan izin dari pemilik utang, meskipun ia boleh bepergian tanpa izinnya, karena tujuan jihad adalah menghadapi kemungkinan syahid, sehingga berbeda dengan perjalanan lain yang tidak mengandung risiko syahid. Maka, orang yang memiliki utang tidak dapat digolongkan sebagai orang yang wajib berjihad, maupun sebagai orang yang gugur kewajiban jihad darinya, karena hal itu bergantung pada izin dari pemilik utang. Jika diizinkan, maka ia termasuk golongan yang wajib berjihad; jika tidak diizinkan, maka ia keluar dari golongan tersebut. Jika ia berjihad dengan izin pemilik utang, maka ia tidak boleh menempatkan diri dalam bahaya syahid, tidak maju ke barisan depan, dan hendaknya berdiri di tengah atau di pinggir barisan agar utangnya tetap terjaga dengan menjaga dirinya. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh asy-Syafi‘i. Jika pemilik utang menarik kembali izinnya, maka keadaannya seperti orang yang telah terjadi uzur baginya.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قال الشافعي ” وَبِإِذْنِ أَبَوَيْهِ لِشَفَقَتِهِما وَرِقَّتِهِمَا عَلَيْهِ إِذَا كَانَا مُسْلِمَيْنِ وَإِنْ كَانَا عَلَى غَيْرِ دِينِهِ فَإنَمَا يُجَاهِدُ أَهْلَ دِينِهِمَا فَلَا طَاعَةَ لَهُمَا عَلَيْهِ قد جاهد ابن عتبة بن ربيعة مع النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ولست أشك في كراهية أبيه لجهاده مع النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وجاهد عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُبَيٍّ مع النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وأبوه متخلف عن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ب ” أحد ” يخذل من أطاعه “

Syafi‘i berkata, “Dan dengan izin kedua orang tuanya, karena kasih sayang dan kelembutan mereka terhadapnya jika keduanya adalah Muslim. Namun jika keduanya tidak seagama dengannya, maka ia berjihad melawan orang-orang yang seagama dengan kedua orang tuanya, sehingga tidak ada ketaatan kepada keduanya atasnya. Ibnu ‘Utbah bin Rabi‘ah telah berjihad bersama Nabi ﷺ, dan aku tidak meragukan kebencian ayahnya terhadap jihadnya bersama Nabi ﷺ. Abdullah bin Abdullah bin Ubay juga berjihad bersama Nabi ﷺ, sementara ayahnya tidak ikut bersama Nabi ﷺ dalam Perang Uhud dan justru melemahkan semangat orang yang menaatinya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا كَانَ لِلْمُجَاهِدِ أَبَوَانِ مُسْلِمَانِ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يُجَاهِدَ إِلَّا بِإِذْنِهِمَا لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَقَضَى رَبُّكَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا فَجَمَعَ بَيْنَ طَاعَتِهِ وَطَاعَةِ الْوَالِدَيْنِ ثُمَّ قَالَ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاهُمَا فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ يَعْنِي حِينَ تَرَى مِنْهُمَا الْأَذَى وَتُمِيطُ عَنْهُمَا الْقَذَى فَلَا تَضْجَرْ كَمَا كَانَا يُمِيطَانِهِ عَنْك صَغِيرًا مِنْ غَيْرِ ضَجَرٍ وَفِي هَذَا الْأُفِّ تَأْوِيلَانِ

Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar, apabila seorang mujahid memiliki kedua orang tua yang Muslim, maka ia tidak boleh berjihad kecuali dengan izin keduanya, berdasarkan firman Allah Ta’ala: ‘Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua.’ Maka Allah menggabungkan antara ketaatan kepada-Nya dan ketaatan kepada kedua orang tua. Kemudian Allah berfirman: ‘Jika salah satu dari keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka janganlah sekali-kali kamu mengatakan kepada mereka perkataan “ah”.’ Maksudnya, ketika engkau melihat dari keduanya sesuatu yang menyakitimu dan engkau membersihkan kotoran dari mereka, maka janganlah engkau merasa jengkel, sebagaimana dahulu mereka membersihkan kotoran darimu ketika engkau masih kecil tanpa merasa jengkel. Dan dalam kata ‘ah’ ini terdapat dua penafsiran.”

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ كُلُّ مَا غَلُظَ مِنَ الْكَلَامِ وَقَبُحَ قاله مقاتل

Salah satunya adalah bahwa segala ucapan yang kasar dan buruk, demikian dikatakan oleh Muqatil.

والثاني أنهما كَلِمَةٌ تَدُلُّ عَلَى التَّبَرُّمِ وَالضَّجَرِ خَرَجَتْ مَخْرَجَ الْأَصْوَاتِ الْمَحْكِيَّةِ وَالْعَرَبُ تَقُولُ أُفٍّ وَتَفٍّ وَالْأُفُّ فِي اللُّغَةِ وَسَخُ الْأُذُنِ وَالْتَفُّ وَسَخُ الْأَظْفَارِ وَلا تَنْهَرْهُمَا فِيهِ تَأْوِيلَانِ

Kedua, bahwa keduanya adalah kata yang menunjukkan kejengkelan dan rasa kesal, yang keluar sebagai suara yang diucapkan; orang Arab mengatakan “uff” dan “taff”. “Uff” dalam bahasa berarti kotoran telinga, sedangkan “taff” berarti kotoran kuku. Adapun larangan “jangan membentak keduanya”, terdapat dua penafsiran di dalamnya.

أَحَدُهُمَا لَا تَرُدَّ عَلَيْهِمَا قَوْلًا

Salah satunya adalah jangan membantah perkataan mereka.

وَالثَّانِي لَا تُنْكِرْ مِنْهُمَا فعلا وقل لهما قولا كريما فِيهِ تَأْوِيلَانِ

Dan yang kedua, janganlah engkau mengingkari perbuatan keduanya, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia; dalam hal ini terdapat dua tafsiran.

أَحَدُهُمَا لَيِّنًا

Salah satunya bersifat lembut.

وَالثَّانِي حَسَنًا وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ فِيهِ تَأْوِيلَانِ

Dan yang kedua adalah hasan, dan rendahkanlah dirimu kepada keduanya dengan penuh kasih sayang; dalam ayat ini terdapat dua tafsiran.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ الْخُضُوعُ لَهُمَا

Salah satunya adalah ketundukan kepada keduanya.

وَالثَّانِي تَرْكُ الِاسْتِعْلَاءِ عَلَيْهِمَا مَأْخُوذٌ مِنْ عُلُوِّ الطَّائِرِ بِجَنَاحِهِ وَالْمُرَادُ بِالرَّحْمَةِ الْحُنُوُّ وَالشَّفَقَةُ فَدَلَّ عُمُومُ مَا أَمَرَ بِهِ مِنْ طَاعَتِهِمَا عَلَى أَنْ يُرْجَعَ فِي الْجِهَادِ إِلَيْهِمَا

Yang kedua adalah tidak berlaku tinggi hati terhadap keduanya, yang diambil dari gambaran burung yang terbang dengan sayapnya. Yang dimaksud dengan rahmah adalah kelembutan dan kasih sayang. Maka, keumuman perintah untuk menaati keduanya menunjukkan bahwa dalam perkara jihad pun harus kembali meminta izin kepada keduanya.

ثُمَّ مِنْ نَصِّ السُّنَّةِ مَا رَوَاهُ أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ أَنَّ رَجُلًا هَاجَرَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مِنَ الْيَمَنِ فَقَالَ ” قَدْ هَجَرْتَ الشِّرْكَ وَبَقِيَتْ هِجْرَةُ الْجِهَادِ فَهَلْ لَكَ بِالْيَمَنِ أَحَدٌ؟ قَالَ نعم أبواي قال استأذنتهما فَإِنْ أَذِنَاكَ فَجَاهِدْ وَإِلَّا فَبَرَّهُمَا “

Kemudian, dari nash sunnah adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Sa‘id al-Khudri bahwa seorang laki-laki berhijrah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Yaman, lalu beliau bersabda, “Engkau telah meninggalkan kesyirikan dan yang tersisa adalah hijrah untuk berjihad. Apakah engkau masih memiliki keluarga di Yaman?” Ia menjawab, “Ya, kedua orang tuaku.” Beliau bersabda, “Apakah engkau telah meminta izin kepada mereka?” Ia menjawab, “Sudah.” Beliau bersabda, “Jika mereka mengizinkanmu, maka berjihadlah. Jika tidak, maka berbaktilah kepada keduanya.”

وَرَوَى حَبِيبُ بْنُ أَبِي ثَابِتٍ عَنْ أَبِي الْعَبَّاسِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يَسْتَأْذِنُهُ فِي الْجِهَادِ فَقَالَ أَحَيٌّ وَالِدَاكَ؟ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ “

Habib bin Abi Tsabit meriwayatkan dari Abu al-Abbas dari Abdullah bin Amr, ia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Nabi ﷺ meminta izin kepadanya untuk berjihad. Beliau bersabda, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” Ia menjawab, “Ya.” Beliau bersabda, “Maka pada keduanya engkau berjihad.”

وَرَوَى عَطَاءُ بْنُ السَّائِبِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَقَالَ ” جِئْتُ أُبَايِعُكَ وَتَرَكْتُ أَبَوَيَّ يَبْكِيَانِ فَقَالَ ارْجِعْ إِلَيْهِمَا فَأَضْحِكْهُمَا كَمَا أَبْكَيْتَهُمَا وَأَبَى أَنْ يُبَايِعَهُ “

Atha’ bin as-Sa’ib meriwayatkan dari ayahnya, dari Abdullah bin Amr, ia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Nabi ﷺ lalu berkata, “Aku datang untuk berbaiat kepadamu, dan aku meninggalkan kedua orang tuaku dalam keadaan menangis.” Maka beliau bersabda, “Kembalilah kepada keduanya, lalu buatlah mereka tertawa sebagaimana engkau telah membuat mereka menangis,” dan beliau menolak untuk membaiatnya.

وَرُوِيَ أَنَّ رَجُلًا آتِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أُبَايِعُكَ عَلَى الْجِهَادِ فَقَالَ هَلْ لَكَ مِنْ بَعْلٍ؟ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَانْطَلِقْ فَجَاهِدْ فَإِنَّ لَكَ فِيهِ مُجَاهِدًا حَثِيثًا يُرِيدُ بِالْبَعْلِ مَنْ تَلْزَمُهُ طَاعَتُهُ مِنْ وَالِدٍ أَوْ وَالِدَةٍ مَأْخُوذٌ مِنْ قَوْلِهِمْ بَعْلُ الدَّارِ أَيْ مَالِكُهَا وَمِنْهُ سُمِّيَ الزَّوْجُ بَعْلًا

Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah ﷺ lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku membaiatmu untuk berjihad.” Beliau bersabda, “Apakah engkau memiliki ba‘l?” Ia menjawab, “Ya.” Beliau bersabda, “Maka pergilah dan berjihadlah, karena sesungguhnya engkau memiliki dalam hal itu seorang mujahid yang bersungguh-sungguh.” Yang dimaksud dengan ba‘l adalah orang yang wajib ditaati, baik ayah maupun ibu, diambil dari ucapan mereka “ba‘l ad-dār” yang artinya pemilik rumah, dan dari situlah suami disebut ba‘l.

وَلِأَنَّ فَرْضَ الْجِهَادِ عَلَى الْكِفَايَةِ وَطَاعَةَ الْأَبَوَيْنِ مِنْ فُرُوضِ الْأَعْيَانِ فَكَانَ أَوْكَدَ فَأَمَّا إذاْ كَانَ أَبَوَاهُ مَشركَيْنِ لَمْ يَلْزَمْهُ اسْتِئْذَانُهُمَا لِأَنَّهُمَا يَمْنَعَانِهِ تَدَيُّنًا وَقَدْ جَاهَدَ أَبُو حُذَيْفَةَ بْنُ عُتْبَةَ بْنِ رَبِيعَةَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَأَبُوهُ عُتْبَةُ يُقَاتِلُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يَوْمَ بَدْرٍ حَتَّى قُتِلَ وَكَانَ سَيِّدَ الْمُشْرِكِينَ

Karena kewajiban jihad adalah fardhu kifayah, sedangkan menaati kedua orang tua termasuk fardhu ‘ain, maka menaati keduanya lebih ditekankan. Adapun jika kedua orang tuanya adalah musyrik, maka tidak wajib meminta izin kepada mereka, karena mereka melarangnya demi alasan agama mereka. Abu Hudzaifah bin ‘Utbah bin Rabi‘ah pernah berjihad bersama Rasulullah ﷺ, sementara ayahnya, ‘Utbah, memerangi Rasulullah ﷺ pada hari Perang Badar hingga terbunuh, padahal ia adalah pemimpin kaum musyrik.

وَقَاتَلَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُبَيٍّ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يَوْمَ أُحُدٍ وَأَبُوهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ ابْنُ سَلُولَ رَأْسُ الْمُنَافِقِينَ يُخَذِلُ النَّاسَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَيَصُدُّهُمْ عَنِ اتِّبَاعِهِ وَيَقُولُ مَا وَعَدَنَا اللَّهُ ورسوله إلا غرورا

Abdullah bin Abdullah bin Ubay berperang bersama Rasulullah ﷺ pada hari Uhud, sementara ayahnya, Abdullah bin Ubay bin Salul, pemimpin kaum munafik, melemahkan semangat orang-orang untuk membela Rasulullah ﷺ, menghalangi mereka mengikuti beliau, dan berkata, “Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kita selain tipuan belaka.”

وَقِيلَ إِنَّ الْقَائِلَ لِهَذَا قُشَيْرُ بْنُ مُعَتِّبٍ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ لَا اعْتِبَارَ بِإِذْنِ مَنْ أَشْرَكَ أَوْ نَافَقَ لِأَنَّ النِّفَاقَ هُوَ الشِّرْكُ الْخَفِيُّ

Dan dikatakan bahwa yang mengatakan hal ini adalah Qusyair bin Mu‘attib, sehingga hal ini menunjukkan bahwa tidak dianggap izin dari orang yang musyrik atau munafik, karena nifaq adalah syirik yang tersembunyi.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا لَمْ يَخْلُ حَالُ الْأَبَوَيْنِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ

Maka apabila hal ini telah tetap, keadaan kedua orang tua tidak lepas dari tiga bagian.

أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَا مُسْلِمَيْنِ فَعَلَيْهِ أَنْ يَسْتَأْذِنَهُمَا وَلَهُمَا فِي الإذن ثلاثة أحوال

Salah satunya adalah keduanya harus beragama Islam, maka ia wajib meminta izin kepada mereka berdua, dan bagi mereka dalam memberikan izin terdapat tiga keadaan.

أحدهما أَنْ يَأْذَنَا لَهُ مَعًا فَلَهُ الْجِهَادُ فَإِنْ رَجَعَا عَنِ الْإِذْنِ رُدَّ عَلَيْهِمَا مَا لَمْ يتلق الزَّحْفَانِ

Pertama, jika keduanya (orang tua) memberi izin kepadanya secara bersama-sama, maka ia boleh berjihad. Namun, jika keduanya menarik kembali izin tersebut, maka izin itu dikembalikan kepada mereka selama dua pasukan belum saling berhadapan.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ يَمْتَنِعَا مِنَ الْإِذْنِ فَيُمْنَعُ مِنَ الْجِهَادِ فَإِنْ أَذِنَا بَعْدَ الْمَنْعِ سَقَطَ حُكْمُ الْمَنْعِ

Keadaan kedua adalah apabila keduanya (orang tua) tidak memberikan izin, maka ia dilarang untuk berjihad. Namun jika keduanya memberikan izin setelah sebelumnya melarang, maka larangan tersebut menjadi gugur.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ أَنْ يَأْذَنَ لَهُ أَحَدُهُمَا وَيَمْنَعَهُ الْآخَرُ فَيُغَلَّبُ حُكْمُ الْمَنْعِ على الإذن سَوَاءٌ كَانَ الْمَانِعُ أَبًا أَوْ أُمًّا لِقَوْلِ النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” لَا تُوَلَّهُ وَالِدَةٌ عَلَى وَلَدِهَا “

Keadaan ketiga adalah apabila salah satu dari keduanya mengizinkan sementara yang lain melarang, maka hukum larangan lebih diutamakan daripada izin, baik yang melarang itu ayah maupun ibu, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Seorang ibu tidak boleh diberi kekuasaan penuh atas anaknya.”

وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَا كَافِرَيْنِ فَلَا يَلْزَمُهُ أَنْ يَسْتَأْذِنَهُمَا فَإِنْ أَسْلَمَا بَعْدَ كُفْرِهِمَا لَزِمَهُ اسْتِئْذَانُهُمَا إِنْ قَدَرَ عَلَيْهِ مَا لَمْ يَلْتَقِ الزَّحْفَانِ وَهَكَذَا لَوْ كَانَ الْأَبَوَانِ مُنَافِقَيْنِ لَمْ يَلْزَمْهُ اسْتِئْذَانُهُمَا فَإِنْ تَابَا مِنَ النِّفَاقِ اسْتَأْذَنَهُمَا قَبْلَ الْتِقَاءِ الزَّحْفَيْنِ

Bagian kedua adalah apabila kedua orang tua itu kafir, maka tidak wajib baginya untuk meminta izin kepada mereka. Namun, jika mereka masuk Islam setelah sebelumnya kafir, maka ia wajib meminta izin kepada keduanya jika ia mampu, selama dua pasukan belum saling berhadapan. Demikian pula, jika kedua orang tua itu munafik, maka tidak wajib baginya meminta izin kepada mereka. Namun, jika mereka bertobat dari kemunafikan, maka ia harus meminta izin kepada keduanya sebelum dua pasukan saling berhadapan.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ أَحَدُهُمَا مُسْلِمًا وَالْآخَرُ مُشْرِكًا أَوْ مُنَافِقًا فَيَلْزَمُهُ اسْتِئْذَانُ الْمُسْلِمِ مِنْهُمَا دُونَ الْمُشْرِكِ وَالْمُنَافِقِ

Bagian ketiga adalah apabila salah satu dari keduanya adalah seorang Muslim dan yang lainnya adalah musyrik atau munafik, maka yang wajib dimintai izin hanyalah Muslim di antara mereka, bukan musyrik atau munafik.

فَإِنْ قِيلَ فَهَلَّا كَانَ شِرْكُ الْأَبَوَيْنِ كَشِرْكِ صَاحِبِ الدَّيْنِ فِي أَنْ يَلْزَمَ اسْتِئْذَانُ الْأَبَوَيْنِ مَعَ شِرْكِهِمَا كَمَا يلزم استئذان صاحب الدين أولا يَلْزَمُ اسْتِئْذَانُ صَاحِبِ الدَّيْنِ إِذَا كَانَ مُشْرِكًا كَمَا لَا يَلْزَمُ اسْتِئْذَانُ الْأَبَوَيْنِ

Jika dikatakan, “Mengapa syirik kedua orang tua tidak disamakan dengan syirik pemilik utang dalam hal kewajiban meminta izin kepada kedua orang tua yang musyrik, sebagaimana wajib meminta izin kepada pemilik utang? Ataukah tidak wajib meminta izin kepada pemilik utang jika ia musyrik, sebagaimana tidak wajib meminta izin kepada kedua orang tua?”

قِيلَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الِاسْتِئْذَانَ فِي الدَّيْنِ لِحِفْظِهِ عَلَى مُسْتَحِقِّهِ فَاسْتَوَى فِيهِ الْمُسْلِمُ وَالْمُشْرِكُ وَاسْتِئْذَانَ الْأَبَوَيْنِ لِأَجْلِ التَّدَيُّنِ فَافْتَرَقَ فِيهِ الْمُسْلِمُ وَالْمُشْرِكُ

Dikatakan bahwa perbedaan antara keduanya adalah bahwa meminta izin dalam urusan utang bertujuan untuk menjaga haknya bagi yang berhak, sehingga dalam hal ini muslim dan musyrik sama saja. Adapun meminta izin kepada kedua orang tua berkaitan dengan urusan agama, sehingga dalam hal ini muslim dan musyrik berbeda.

فَصْلٌ

Bagian

فَأَمَّا اسْتِئْذَانُ الْجَدِّ وَالْجَدَّةِ فَإِنْ كَانَ الْأَبَوَانِ مَعْدُومَيْنِ أَوْ مُشْرِكَيْنِ أَوْ مُنَافِقَيْنِ قَامَا مَقَامَ الْأَبَوَيْنِ فِي وُجُوبِ اسْتِئْذَانِهِمَا وَإِنْ كَانَ الْأَبَوَانِ بَاقِيَيْنِ مُسْلِمَيْنِ فَفِي وُجُوبِ اسْتِئْذَانِ الْجَدِّ وَالْجَدَّةِ وَجْهَانِ

Adapun izin kepada kakek dan nenek, jika kedua orang tua tidak ada, atau keduanya musyrik, atau munafik, maka kakek dan nenek menempati posisi kedua orang tua dalam kewajiban meminta izin kepada mereka. Namun, jika kedua orang tua masih ada dan beragama Islam, maka dalam kewajiban meminta izin kepada kakek dan nenek terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا لَا يَجِبُ اسْتِئْذَانُهُمَا لِحَجْبِهِمَا عَنِ الْوِلَايَةِ وَالْحَضَانَةِ بِالْأَبَوَيْنِ

Salah satunya adalah tidak wajib meminta izin kepada mereka berdua karena mereka terhalang dari hak perwalian dan hak hadhanah oleh kedua orang tua.

وَالثَّانِي يَجِبُ اسْتِئْذَانُهُمَا لِوُجُودِ إِشْفَاقِ الْأَبَوَيْنِ فِيهِمَا

Yang kedua, wajib meminta izin kepada keduanya karena terdapat kasih sayang orang tua pada mereka.

فَصْلٌ

Bab

وَلَوْ كَانَ الْأَبَوَانِ مَمْلُوكَيْنِ لَمْ يَلْزَمِ اسْتِئْذَانُهُمَا لِأَنَّهُمَا لَا إِذْنَ لَهُمَا فِي أَنْفُسِهِمَا فَلَمْ يُعْتَبَرْ إِذْنُهُمَا فِي غَيْرِهِمَا

Dan jika kedua orang tua adalah budak, maka tidak wajib meminta izin kepada mereka berdua, karena mereka tidak memiliki izin atas diri mereka sendiri, sehingga izin mereka tidak dianggap dalam urusan selain diri mereka.

وَلَوْ كَانَ الْوَلَدُ مَمْلُوكًا وَلَهُ أَبَوَانِ حُرَّانِ فَأَذِنَ لَهُ السَّيِّدُ وَلَمْ يَأْذَنْ لَهُ الْأَبَوَانِ كَانَ إِذْنُ السَّيِّدِ مُغَلَّبًا عَلَى مَنْعِ الْأَبَوَيْنِ لِأَنَّهُ أَحَقُّ بِالتَّصَرُّفِ فِيهِ مِنْهُمَا

Jika seorang anak adalah budak dan kedua orang tuanya adalah orang merdeka, lalu tuannya mengizinkannya (melakukan sesuatu) sementara kedua orang tuanya tidak mengizinkan, maka izin tuan lebih diutamakan daripada larangan kedua orang tuanya, karena tuan lebih berhak untuk bertindak atas anak tersebut dibandingkan kedua orang tuanya.

وَلَوْ كَانَ بَعْضُ الْوَلَدِ حُرًّا وَبَعْضُهُ مَمْلُوكًا لَزِمَهُ اسْتِئْذَانُ الْأَبَوَيْنِ بِمَا فِيهِ مِنْ حُرِّيَّةٍ وَاسْتِئْذَانُ السَّيِّدِ بِمَا فِيهِ مِنْ رِقٍّ فَإِنِ اجْتَمَعُوا عَلَى الْإِذْنِ جَاهَدَ وَإِنِ افْتَرَقُوا فِيهِ مُنِعَ

Jika sebagian anak adalah merdeka dan sebagian lagi adalah budak, maka ia wajib meminta izin kepada kedua orang tuanya untuk bagian yang merdeka, dan meminta izin kepada tuannya untuk bagian yang budak. Jika mereka semua sepakat memberikan izin, maka ia boleh berjihad. Namun jika mereka berbeda pendapat dalam hal izin, maka ia dilarang berjihad.

فَصْلٌ

Bagian

وَإِذَا أَرَادَ الْوَلَدُ أَنْ يُسَافِرَ فِي غَيْرِ الْجِهَادِ لِتِجَارَةٍ أَوْ طَلَبِ عِلْمٍ لَمْ يَخْلُ حَالُ أَبَوَيْهِ مِنْ أَمْرَيْنِ

Dan apabila seorang anak ingin bepergian bukan untuk berjihad, melainkan untuk berdagang atau menuntut ilmu, maka keadaan kedua orang tuanya tidak lepas dari dua kemungkinan.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَا غَنِيَّيْنِ لَا تَجِبُ عَلَيْهِ نَفَقَتُهُمَا فَلَا يَلْزَمُهُ أَنْ يَسْتَأْذِنَهُمَا فِي سَفَرِهِ

Salah satunya adalah jika kedua orang tua itu kaya dan tidak wajib baginya menafkahi mereka, maka ia tidak diwajibkan meminta izin kepada mereka untuk bepergian.

وَإِنْ لَزِمَهُ اسْتِئْذَانُهُمَا لِلْجِهَادِ لِلْفَرْقِ بَيْنَهُمَا فِي الْمَقْصُودِ بِهِمَا لِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِالْجِهَادِ التَّعَرُّضُ لِلشَّهَادَةِ وَالْمَقْصُودَ بِغَيْرِهِ طَلَبُ السَّلَامَةِ

Dan jika ia diwajibkan untuk meminta izin kepada kedua orang tuanya dalam (pergi) berjihad, maka hal itu karena terdapat perbedaan antara keduanya dalam tujuan yang dimaksud; sebab tujuan dari jihad adalah menghadapi kemungkinan mati syahid, sedangkan tujuan dari selainnya adalah mencari keselamatan.

وَالثَّانِي أَنْ يَكُونَ الْأَبَوَانِ فَقِيرَيْنِ تَجِبُ عَلَيْهِ نَفَقَتُهُمَا أَوْ نَفَقَةُ أَحَدِهِمَا فَيَكُونُ كَصَاحِبِ الدَّيْنِ لِأَنَّ وُجُوبَ نَفَقَتِهِمَا كَالدَّيْنِ لَهُمَا فَيَجِبُ اسْتِئْذَانُهُمَا أَوِ اسْتِئْذَانُ مَنْ وَجَبَتْ نَفَقَتُهُ مِنْهُمَا مُسْلِمًا كَانَ أَوْ كَافِرًا إِلَّا أَنْ يَسْتَنِيبَ فِي الْإِنْفَاقِ عَلَيْهِمَا مِنْ مَالٍ حَاضِرٍ فَلَا يَلْزَمُهُ اسْتِئْذَانُهُمَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Kedua, apabila kedua orang tua dalam keadaan fakir sehingga wajib atasnya menafkahi mereka berdua atau salah satu dari mereka, maka kedudukannya seperti orang yang memiliki utang, karena kewajiban menafkahi kedua orang tua itu seperti utang bagi mereka. Maka wajib meminta izin kepada keduanya atau kepada siapa saja yang wajib dinafkahi dari keduanya, baik Muslim maupun kafir, kecuali jika ia mewakilkan kepada orang lain untuk menafkahi mereka dari harta yang ada, maka tidak wajib baginya meminta izin kepada mereka. Dan Allah Maha Mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَمَنْ غَزَا مِمَّنْ لَهُ عُذْرٌ أَوْ حَدَثَ لَهُ بَعْدَ الْخُرُوجِ عُذْرٌ كَانَ عَلَيْهِ الرُّجُوعُ مَا لَمْ يَلْتَقِ الزَّحْفَانِ أَوْ يَكُونُ فِي مَوْضِعٍ يَخَافُ إِنْ رَجَعَ أَنْ يَتْلَفَ “

Imam Syafi‘i berkata, “Barang siapa yang pergi berperang namun memiliki uzur, atau setelah keluar kemudian terjadi uzur baginya, maka wajib baginya untuk kembali selama dua pasukan belum saling berhadapan atau ia berada di tempat yang jika ia kembali, ia khawatir akan binasa.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ ” وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا غَزَا أَصْحَابُ الْأَعْذَارِ وَكَانُوا مِنْ أَهْلِ الْجِهَادِ فَحَدَثَتْ لَهُمْ أَعْذَارٌ وَأَرَادُوا الرُّجُوعِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ

Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar apabila para pemilik uzur ikut berperang dan mereka termasuk ahli jihad, lalu terjadi uzur pada mereka dan mereka ingin kembali, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan.”

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ قَبْلَ الْتِقَاءِ الزَّحْفَيْنِ

Salah satunya adalah hal itu terjadi sebelum kedua pasukan saling berhadapan.

وَالثَّانِي بَعْدَهُ فَإِنْ كَانَ قَبْلَ الْتِقَاءِ الزَّحْفَيْنِ فَلَا يَخْلُو حَالُهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ

Dan yang kedua setelahnya, maka jika itu terjadi sebelum bertemunya dua pasukan, keadaannya tidak lepas dari tiga bagian.

أَحَدُهَا أَنْ يَقْدِرَ عَلَى الرُّجُوعِ مِنَ الطَّرِيقِ وَلَا يَقْدِرُ عَلَى التَّوَجُّهِ لِشِدَّةِ زَمَانَتِهِ أَوْ تَزَايُدِ مَرَضِهِ أَوْ ذَهَابِ نَفَقَتِهِ أَوْ تَلَفِ مَرْكُوبِهِ فَيُؤْمَرُ بِالرُّجُوعِ وَيُمْنَعُ مِنَ التَّوَجُّهِ

Salah satunya adalah jika seseorang mampu kembali dari perjalanan, tetapi tidak mampu melanjutkan perjalanan karena beratnya penyakit yang dideritanya, bertambahnya sakitnya, habisnya bekal, atau rusaknya kendaraannya, maka ia diperintahkan untuk kembali dan dilarang untuk melanjutkan perjalanan.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَقْدِرَ عَلَى التَّوَجُّهِ وَلَا يَقْدِرُ عَلَى الرُّجُوعِ بِخَوْفِ الطَّرِيقِ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ مَالِهِ مِنْ عَدُوٍّ أَوْ حَدَثٍ فَيُؤْمَرُ بِالتَّوَجُّهِ وَيُمْنَعُ مِنَ الرُّجُوعِ

Bagian kedua adalah seseorang yang mampu untuk berangkat, tetapi tidak mampu untuk kembali karena takut bahaya di jalan terhadap dirinya atau hartanya, baik dari musuh maupun peristiwa lain. Maka ia diperintahkan untuk berangkat dan dilarang untuk kembali.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَقْدِرَ عَلَى الْأَمْرَيْنِ مِنَ التَّوَجُّهِ وَالرُّجُوعِ فَلَهُ حَالَتَانِ

Bagian ketiga adalah seseorang mampu melakukan kedua hal, yaitu menghadap dan kembali, maka ia memiliki dua keadaan.

إِحْدَاهُمَا أَنْ يَكُونَ متطوعا بالغزو

Salah satunya adalah seseorang yang secara sukarela ikut berperang.

والثانية أن يكون مستعجلا عَلَيْهِ مِنَ السُّلْطَانِ فَانْ كَانَ مُتَطَوِّعًا فَلَا يَخْلُو عُذْرُهُ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ

Yang kedua adalah apabila ia didesak oleh penguasa; jika ia melakukannya secara sukarela, maka uzurnya tidak lepas dari dua keadaan.

إِمَّا أَنْ يَكُونَ عُذْرُهُ فِي حَقِّ نَفْسِهِ

Atau bisa jadi uzur itu berlaku untuk dirinya sendiri.

أَوْ يَكُونَ فِي حَقِّ غَيْرِهِ

Atau berlaku atas hak orang lain.

فَإِنْ كَانَ عُذْرُهُ فِي حَقِّ نَفْسِهِ كَالزَّمَانَةِ وَذَهَابِ النَّفَقَةِ فَهُوَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ التَّوَجُّهِ وَالرُّجُوعِ وَلَيْسَ لِلسُّلْطَانِ أَنْ يُعَارِضَهُ فِي وَاحِدٍ مِنْهُمَا

Jika uzur itu berkaitan dengan dirinya sendiri, seperti sakit menahun atau hilangnya biaya perjalanan, maka ia berhak memilih antara tetap berangkat atau kembali, dan penguasa tidak berhak menghalanginya dalam salah satu dari keduanya.

وَإِنْ كَانَ عُذْرُهُ فِي حَقِّ غَيْرِهِ كَرُجُوعِ صَاحِبِ الدَّيْنِ فِي إِذْنِهِ أَوْ رُجُوعِ أَحَدِ الْأَبَوَيْنِ فِيهِ فَعَلَيْهِ أَنْ يَرْجِعَ وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَتَوَجَّهَ فَإِنْ لَمْ يَرْجِعْ أَخَذَهُ السُّلْطَانُ بِهِ جَبْرًا وَإِنْ كَانَ مستعجلا عَلَى غَزْوَةٍ مِنَ السُّلْطَانِ نُظِرَ فِي عُذْرِهِ فَإِنْ كَانَ فِي حَقِّ غَيْرِهِ لَمْ يَرْجِعْ لِمَا وَجَبَ عَلَيْهِ مِنْ حَقِّ الْجَعَالَةِ الْمُشْتَرِكَةِ بَيْنَ حُقُوقِ اللَّهِ وَحُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ فَكَانَتْ أَوْكَدَ مِمَّا انْفَرَدَ بِحُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ وَإِنْ كَانَ عُذْرُهُ فِي حَقِّ نَفْسِهِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ

Jika uzur itu berkaitan dengan hak orang lain, seperti penarikan izin oleh pemilik utang atau penarikan izin oleh salah satu dari kedua orang tua, maka ia wajib kembali dan tidak boleh melanjutkan perjalanan. Jika ia tidak kembali, penguasa akan memaksanya untuk kembali. Namun, jika ia sedang tergesa-gesa untuk mengikuti peperangan yang diperintahkan oleh penguasa, maka dilihat dulu uzurnya; jika uzur itu berkaitan dengan hak orang lain, maka ia tidak perlu kembali karena ia telah memiliki kewajiban atas ja‘ālah yang merupakan hak bersama antara hak Allah dan hak manusia, sehingga hal itu lebih kuat dibandingkan dengan hak yang hanya berkaitan dengan hak manusia saja. Dan jika uzurnya berkaitan dengan hak dirinya sendiri, maka ada dua keadaan.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ الْعُذْرُ مُتَقَدِّمًا عَلَى الْجَعَالَةِ فَيُمْنَعُ مِنَ الرجوع لأنه دخل في الجعالة متلزما لَهَا مَعَ عُذْرِهِ

Salah satunya adalah jika uzur itu sudah ada sebelum akad ju‘ālah, maka tidak diperbolehkan menarik kembali, karena ia telah masuk dalam akad ju‘ālah dengan menanggungnya bersama uzurnya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ الْعُذْرُ حَادِثًا بَعْدَ الْجَعَالَةِ لِحُدُوثِ زَمَانَةٍ أَوْ تَلَفِ نَفَقَةٍ فَيَجُوزُ لَهُ الرُّجُوعُ وَلَا يَمْنَعُ السُّلْطَانُ مِنْهُ لِظُهُورِ عَجْزِهِ وَعَدَمِ تَأَثُّرِهِ وَلَا يَسْتَرْجِعُ مِنْهُ مَا أَخَذَ لِأَنَّهُ قَدِ اسْتَحَقَّهُ مِنْ مَالِ اللَّهِ تعالى

Jenis yang kedua adalah apabila uzur itu terjadi setelah akad ju‘ālah karena munculnya cacat fisik atau hilangnya nafkah, maka boleh baginya untuk menarik diri dan penguasa tidak melarangnya karena telah nyata ketidakmampuannya dan tidak ada pengaruh darinya. Ia juga tidak diminta mengembalikan apa yang telah diambilnya karena ia telah berhak atasnya dari harta Allah Ta‘ala.

أَمَّا الضَّرْبُ الثَّانِي وَهُوَ أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ بَعْدَ الْتِقَاءِ الزَّحْفَيْنِ فَهَذَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ

Adapun jenis kedua, yaitu apabila hal itu terjadi setelah kedua pasukan saling berhadapan, maka ini terbagi menjadi tiga bagian.

أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ رُجُوعُهُ أَصْلَحَ مِنْ مَقَامِهِ لِتَشَاغُلِ الْمُجَاهِدِينَ بِهِ فَيَرْجِعُ وَلَا يُقِيمُ

Salah satunya adalah apabila kembalinya lebih baik daripada tetap tinggalnya, karena para mujahid menjadi sibuk dengannya, maka ia kembali dan tidak tetap tinggal.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ مَقَامُهُ أَصْلْحَ مِنْ رُجُوعِهِ لِاضْطِرَابِ الْمُجَاهِدِينَ بِرُجُوعِهِ فَيُقِيمُ وَلَا يَرْجِعُ

Bagian kedua adalah apabila keberadaannya lebih maslahat daripada jika ia kembali, karena kembalinya akan menyebabkan kegoncangan di kalangan para mujahid, maka ia tetap tinggal dan tidak kembali.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَتَسَاوَى مَقَامُهُ وَرُجُوعُهُ فَلَهُ حَالَتَانِ

Bagian ketiga adalah ketika kedudukannya dan kembalinya sama, maka ada dua keadaan baginya.

إِحْدَاهُمَا أَنْ يَكُونَ عُذْرُهُ حَادِثًا فَلَهُ أَنْ يَرْجِعَ بِهِ سَوَاءٌ كَانَ فِي حَقِّ نَفْسِهِ أَوْ فِي حَقِّ غَيْرِهِ لِأَنَّهُ قَدْ خَرَجَ بِهِ مِنْ فَرْضِ الْجِهَادِ

Salah satunya adalah apabila uzurnya berupa suatu peristiwa (alasan yang baru terjadi), maka ia boleh kembali karena uzur tersebut, baik itu berkaitan dengan dirinya sendiri maupun dengan orang lain, karena dengan uzur itu ia telah keluar dari kewajiban jihad.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ يَكُونَ عُذْرُهُ مُتَقَدِّمًا فَعَلَى ضَرْبَيْنِ

Keadaan kedua adalah apabila uzurnya telah ada sebelumnya, maka terbagi menjadi dua jenis.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ عُذْرُهُ فِي حَقِّ نَفْسِهِ فَيُمْنَعُ مِنَ الرُّجُوعِ لِتَوَجُّهِ الْفَرْضِ إِلَيْهِ بِالْحُضُورِ

Salah satunya adalah jika uzur itu berlaku bagi dirinya sendiri, maka ia dilarang untuk kembali karena kewajiban telah tertuju kepadanya dengan kehadirannya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ عُذْرُهُ فِي حَقِّ غَيْرِهِ كَرُجُوعِ الْأَبَوَيْنِ وَصَاحِبِ الدَّيْنِ فَفِي رُجُوعِهِ وَجْهَانِ حَكَاهُمَا أَبُو حَامِدٍ الْمَرْوَزِيُّ فِي ” جَامِعِهِ “

Jenis kedua adalah apabila uzur itu berkaitan dengan hak orang lain, seperti kembalinya kedua orang tua atau pemilik utang. Dalam hal kembalinya mereka, terdapat dua pendapat yang dikemukakan oleh Abu Hamid al-Marwazi dalam karyanya “Jami‘”.

أَحَدُهُمَا أَنْ يُقِيمَ وَلَا يَرْجِعَ كَعُذْرِهِ فِي حَقِّ نَفْسِهِ

Salah satunya adalah ia tetap tinggal dan tidak kembali, seperti uzur yang berlaku atas dirinya sendiri.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي يَرْجِعُ وَلَا يُقِيمُ لِتَعَيُّنِ الْحَقَّيْنِ فَقُدِّمَ أَسْبَقُهُمَا

Pendapat kedua menyatakan bahwa ia kembali dan tidak menetap, karena kedua hak tersebut telah ditetapkan, maka didahulukan hak yang lebih dahulu di antara keduanya.

فَصْلٌ

Bagian

وَإِذَا ذَهَبَتْ دَابَّتُهُ أَوْ نفقته فرجع ثم أفاد مثل ذَهَبَ مِنْهُ نُظِرَ

Dan apabila hewan tunggangannya hilang atau bekalnya habis, lalu ia kembali dan memperoleh yang serupa dengan yang telah hilang darinya, maka hal itu perlu diteliti.

فَإِنْ أَفَادَهُ فِي أَرْضِ الْعَدُوِّ وَجَبَ عَلَيْهِ الْعَوْدُ إِلَى الْجِهَادِ لِبَقَائِهِ فِيهَا عَلَى حُكْمِ الْجِهَادِ وَإِنْ وَجَدَهُ فِي بِلَادِ الْإِسْلَامِ كَانَ مُخَيَّرًا فِي الْعَوْدِ وَالْعَوْدُ أَفْضَلُ وَلَوْ أَعْطَاهُ السُّلْطَانُ بَدَلَ مَا تَلَفَ مِنْهُ نُظِرَ فَإِنْ كَانَ فِي أَرْضِ الْعَدُوِّ لَزِمَهُ قَبُولُهُ لِلْعَوْدِ إِلَى الْجِهَادِ فَإِنْ عَادَ وَلَمْ يَقْبَلْهُ لَمْ يُجْبَرْ عَلَى الْقَبُولِ وَإِنْ لَمْ يَعُدْ أُجْبِرَ عَلَى الْقَبُولِ لِيُؤْخَذَ بِالْعَوْدِ جَبْرًا

Jika ia memperolehnya di wilayah musuh, maka ia wajib kembali berjihad karena keberadaannya di sana masih berada dalam hukum jihad. Namun jika ia mendapatkannya di negeri Islam, maka ia boleh memilih untuk kembali atau tidak, dan kembali adalah lebih utama. Jika penguasa memberinya ganti atas apa yang telah hilang darinya, maka dilihat keadaannya: jika itu terjadi di wilayah musuh, ia wajib menerimanya untuk kembali berjihad. Jika ia kembali namun tidak menerimanya, maka ia tidak dipaksa untuk menerima. Namun jika ia tidak kembali, maka ia dipaksa untuk menerima agar dapat diwajibkan kembali secara paksa.

وَإِنْ كَانَ فِي بِلَادِ الْإِسْلَامِ كَانَ مُخَيَّرًا بَيْنَ قَبُولِهِ وَرَدِّهِ فَإِنْ قَبِلَهُ وَجَبَ عَلَيْهِ الْعَوْدُ إِلَى الْجِهَادِ وَإِنْ لَمْ يَقْبَلْهُ كَانَ مُخَيَّرًا فِي الْعَوْدِ وَلَمْ يُجْبَرْ عَلَى قَبُولِهِ وَلَا عَوْدَ

Jika ia berada di negeri Islam, maka ia diberi pilihan antara menerima atau menolaknya. Jika ia menerimanya, maka ia wajib kembali berjihad. Namun jika ia tidak menerimanya, maka ia diberi pilihan untuk kembali atau tidak, dan tidak dipaksa untuk menerima maupun kembali.

فَصْلٌ

Bagian

وَإِذَا غَزَا أَصْحَابُ الْأَعْذَارِ ثُمَّ ارْتَفَعَتْ أَعْذَارُهُمْ فَأَبْصَرَ الْأَعْمَى وَصَحَّ الْمَرِيضُ وَاسْتَقَامَ الْأَعْرَجُ وَأَيْسَرَ الْمُعْسِرُ فَهَذَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ

Jika orang-orang yang memiliki uzur ikut berperang, kemudian uzur mereka hilang—seperti orang buta dapat melihat, orang sakit menjadi sehat, orang pincang menjadi normal, dan orang yang kesulitan menjadi mampu—maka hal ini terbagi menjadi tiga bagian.

أَحَدُهَا أَنْ يَحْدُثَ ذَلِكَ فِي بِلَادِ الْإِسْلَامِ فَيَكُونُوا فِيهِ عَلَى خِيَارِهِمْ فِي التوجه والعود

Salah satunya adalah jika hal itu terjadi di negeri-negeri Islam, maka mereka berada dalam keadaan boleh memilih antara tetap tinggal atau kembali.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَحْدُثَ ذَلِكَ بَعْدَ دُخُولِ أَرْضِ الْعَدُوِّ وَقَبْلَ الْتِقَاءِ الزَّحْفَيْنِ فَيُنْظَرُ

Bagian kedua adalah apabila hal itu terjadi setelah memasuki wilayah musuh dan sebelum kedua pasukan saling berhadapan, maka diperhatikan…

فَإِنْ كَانَ الْمُشْرِكُونَ أَظْهَرَ مُنِعُوا مِنَ الْعَوْدِ

Jika orang-orang musyrik tampak menang, mereka dicegah untuk kembali.

وَإِنْ كَانَ الْمُسْلِمُونَ أَظْهَرَ كَانُوا عَلَى خِيَارِهِمْ فِي الْمَقَامِ وَالْعَوْدِ

Dan jika kaum Muslimin berada dalam posisi yang lebih kuat, maka mereka memiliki pilihan untuk tetap tinggal atau kembali.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَحْدُثَ ذَلِكَ بَعْدَ الْتِقَاءِ الزَّحْفَيْنِ يُتَعَيَّنُ عَلَيْهِمُ الْمَقَامُ وَيُمْنَعُوا مِنَ الْعَوْدِ إِلَى انْجِلَاءِ الْحَرْبِ

Bagian ketiga adalah apabila hal itu terjadi setelah kedua pasukan saling berhadapan, maka wajib bagi mereka untuk tetap bertahan dan dilarang mundur hingga perang benar-benar usai.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قال الشافعي ” وَيَتَوَقَّى فِي الْحَرْبِ قَتْلَ أَبِيهِ “

Syafi‘i berkata, “Dan hendaknya ia berhati-hati dalam peperangan agar tidak membunuh ayahnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا فَكَانَ مِنَ الْمَعْرُوفِ فِي حَقِّهِمَا الْكَفُّ عَنْ قَتْلِهِمَا وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” صِلُوا أَرْحَامَكُمْ وَلَوْ بِالسَّلَامِ “

Al-Mawardi berkata, “Ini benar, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: ‘Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu taati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.’ Maka termasuk berbuat baik kepada keduanya adalah menahan diri dari membunuh mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sambunglah silaturahmi kalian, meskipun hanya dengan salam.’”

وَرُوِيَ أَنَّ أَبَا حُذَيْفَةَ بْنَ عُتْبَةَ بْنِ رَبِيعَةَ هَمَّ بِمُبَارَزَةِ أَبِيهِ وَقَتْلِهِ فَكَفَّهُ عَنْهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَقَالَ ” دَعْهُ يَتَوَلَّاهُ غَيْرُكَ ” فَبَرَزَ إِلَيْهِ حَمْزَةُ فَقَتَلَهُ وَكَفَّ أَبَا بَكْرٍ عَنْ قَتْلِ ابْنِهِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ يَوْمَ أُحُدٍ وَكَفَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ عَنْ قَتْلِ أَبِيهِ

Diriwayatkan bahwa Abu Hudzaifah bin ‘Utbah bin Rabi‘ah berniat untuk menantang ayahnya dalam duel dan membunuhnya, namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menahannya dan bersabda, “Biarkan orang lain yang menghadapinya.” Maka Hamzah maju melawannya dan membunuhnya. Rasulullah juga menahan Abu Bakar dari membunuh putranya, ‘Abdurrahman, pada hari Uhud, dan ‘Abdurrahman bin ‘Auf juga menahan diri dari membunuh ayahnya.

فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا كَرِهْنَا لَهُ أَنْ يَعْمَدَ فِي الْحَرْبِ قَتْلَ أَحَدٍ مِنْ وَالِدَيْهِ أَوْ مَوْلُودَيْهِ وَإِنَّ تعدو وَقَتْلَ كُلِّ ذِي رَحِمٍ مُحَرَّمٍ كَالْإِخْوَةِ وَالْأَعْمَامِ وَالْعَمَّاتِ وَالْأَخْوَالِ وَالْخَالَاتِ وَفِيمَنْ عَدَاهُمْ مِنَ الْأَقَارِبِ وَالْعَصَبَاتِ كَبَنِي الْأَعْمَامِ وَالْعَمَّاتِ وَجْهَانِ

Maka apabila hal ini telah tetap, kami memakruhkan baginya untuk sengaja membunuh salah satu dari kedua orang tuanya atau anak-anaknya dalam peperangan, meskipun mereka melampaui batas, dan juga membunuh setiap kerabat yang haram dibunuh seperti saudara-saudara, paman-paman dari pihak ayah dan ibu, bibi-bibi dari pihak ayah dan ibu, serta selain mereka dari kalangan kerabat dan ‘ashabah seperti anak-anak paman dan bibi, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا لَا يُكْرَهُ لَهُ قَتْلُهُمْ كَالْأَجَانِبِ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ

Salah satu pendapat menyatakan bahwa tidak makruh membunuh mereka seperti orang-orang asing, dan ini adalah pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي يُكْرَهُ لَهُ قَتْلُهُمْ حَتَّى يَتَرَاخَى نَسَبُهُمْ وَيَبْعُدَ

Pendapat kedua, makruh baginya untuk membunuh mereka sampai nasab mereka menjadi jauh dan terputus.

وَالَّذِي عِنْدِي أَنْ يُنْظَرَ حَالُهُمْ بَعْدَ ذَوِي الْمَحَارِمِ فَإِنْ كَانَ مِمَّنْ يَرِثُ بِنَسَبِهِ وَيُورَثُ كُرِهَ لَهُ قَتْلُهُمْ لِقُوَّةِ النَّسَبِ وَتَأْكِيدِ حُرْمَتِهِ وَإِنْ كَانُوا مِمَّنْ لَا يَرِثُ وَلَا يُورَثُ لَمْ يُكْرَهْ فَإِنْ عَمِدَ قَتْلَ أَحَدِهِمْ فَلَا حَرَجَ عَلَيْهِ وَيُنْظَرُ

Menurut pendapat saya, hendaknya dilihat keadaan mereka setelah kerabat mahram; jika termasuk orang yang mewarisi karena nasabnya dan juga diwarisi, maka makruh baginya membunuh mereka karena kuatnya hubungan nasab dan penegasan kehormatan mereka. Namun jika termasuk orang yang tidak mewarisi dan tidak diwarisi, maka tidak makruh. Jika ia sengaja membunuh salah satu dari mereka, maka tidak ada dosa atasnya, dan hendaknya diperhatikan…

فَإِنْ كَانَ لِشِدَّةِ عِنَادِهِ لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ وَالتَّعَرُّضِ لِسَبِّهِمَا فَلَيْسَ بِمُسِيءٍ وَإِنْ كَانَ لِغَيْرِهِ فَقَدْ أَسَاءَ

Jika hal itu karena kerasnya sikap membangkangnya terhadap Allah dan Rasul-Nya serta karena berani mencela keduanya, maka ia tidak dianggap berbuat buruk. Namun jika karena selain itu, maka sungguh ia telah berbuat buruk.

وَرُوِيَ أَنَّ أَبَا عُبَيْدَةَ بْنَ الْجَرَّاحِ قَتَلَ أَبَاهُ وَأَتَى بِرَأْسِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَثَقُلَ عَلَيْهِ وَقَالَ مَا حَمَلَكَ عَلَى قَتْلِهِ؟ قَالَ سَمِعْتُهُ يَسُبُّكَ فَأَمْسَكَ عَنْهُ وَوَجَمَ أَبُو عُبَيْدَةَ حَتَّى أَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى فِيهِ لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ فَأَقَرَّهُ عَلَى قَتْلِهِ وَعَذَرَهُ فِيهِ

Diriwayatkan bahwa Abu ‘Ubaidah bin Al-Jarrah membunuh ayahnya dan membawa kepalanya kepada Nabi ﷺ. Hal itu terasa berat bagi beliau, lalu beliau bertanya, “Apa yang mendorongmu membunuhnya?” Ia menjawab, “Aku mendengarnya mencacimu.” Maka Nabi ﷺ diam dan Abu ‘Ubaidah pun merasa sedih, hingga Allah Ta‘ala menurunkan ayat tentangnya: “Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, walaupun mereka itu adalah bapak-bapak mereka, atau anak-anak mereka, atau saudara-saudara mereka, atau keluarga mereka sendiri.” Maka Nabi ﷺ membenarkan tindakannya membunuh ayahnya dan memaafkannya dalam hal itu.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَغْزُوَ بِجُعْلٍ مِنْ مَالِ رجل ويوده إِنْ غَزَا بِهِ وَإِنَّمَا أُجْرَتُهُ مِنَ السُّلْطَانِ لِأَنَّهُ يَغْزُو بِشَيْءٍ مِنْ حَقِّهِ “

Syafi‘i berkata, “Tidak boleh seseorang berperang (berjihad) dengan imbalan dari harta milik seseorang lalu ia mengembalikannya jika ia telah berperang dengannya. Sesungguhnya upahnya hanya dari penguasa, karena ia berperang dengan sesuatu yang merupakan haknya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ لَا يَجُوزُ لِأَحَدٍ أَنْ يَغْزُوَ عَنْ غَيْرِهِ مِنْ أَعْيَانِ النَّاسِ بِجُعْلٍ أَوْ غَيْرِ جُعْلٍ لِثَلَاثَةِ أُمُورٍ

Al-Mawardi berkata: “Ini benar, tidak boleh bagi seseorang untuk berperang (berjihad) menggantikan orang lain dari kalangan individu masyarakat, baik dengan imbalan maupun tanpa imbalan, karena tiga hal.”

أَحَدُهَا أَنَّهُ إِذَا الْتَقَى الزَّحْفَانِ تَعَيَّنَ فَرْضُ الثَّبَاتِ عَلَيْهِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَنُوبَ فِيهِ عَنْ غَيْرِهِ كَالْحَجِّ لَا يَجُوزُ أَنْ يَنُوبَ فِيهِ عَنْ غَيْرِهِ إِذَا كَانَ عَلَيْهِ فَرْضُهُ

Salah satunya adalah bahwa apabila dua pasukan telah saling berhadapan, maka kewajiban untuk tetap bertahan menjadi wajib atasnya, sehingga tidak boleh seseorang mewakilkan kewajiban itu kepada orang lain, sebagaimana dalam ibadah haji tidak boleh seseorang mewakilkan kepada orang lain jika kewajiban itu telah menjadi wajib atas dirinya.

وَالثَّانِي أَنَّهُ يَدْفَعُ إِذَا حَضَرَ الزَّحْفَ عَنْ نَفْسِهِ وَيَقْصِدُ حَقْنَ دَمِهِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَدْفَعَ عَنْ نَفْسِهِ بِعِوَضٍ عَلَى غَيْرِهِ

Yang kedua, bahwa ia menolak (serangan) ketika telah hadir di medan perang untuk melindungi dirinya sendiri dan bermaksud menjaga darahnya (nyawanya), maka tidak boleh baginya menolak (serangan) dari dirinya dengan mengorbankan orang lain.

وَالثَّالِثُ أَنَّهُ يَمْلِكُ لِحُضُورِ الْوَقْعَةِ سَهْمَهُ مِنَ الْغَنِيمَةِ وَلَوْ صَحَّتِ الْجَعَالَةُ لَمَلَكَهُ صَاحِبُهَا دُونَهُ

Ketiga, bahwa ia berhak mendapatkan bagian dari ghanīmah karena kehadirannya dalam peristiwa tersebut, dan seandainya ja‘ālah itu sah, maka yang berhak atas bagian itu adalah pemberi ja‘ālah, bukan dia.

فَإِنْ قِيلَ لَوْ حَجَّ عَنْ نَفْسِهِ جَازَ أَنْ يَحُجَّ عَنْ غَيْرِهِ بِجُعْلٍ وَغَيْرِ جُعْلٍ فَهَلَّا جَازَ إِذَا غَزَا عَنْ نَفْسِهِ أَنْ يَغْزُوَ عَنْ غَيْرِهِ بِجُعْلٍ أَوْ غَيْرِ جُعْلٍ

Jika dikatakan: Jika seseorang telah menunaikan haji untuk dirinya sendiri, maka boleh baginya berhaji untuk orang lain, baik dengan imbalan maupun tanpa imbalan. Lalu, mengapa tidak boleh, jika seseorang telah berjihad untuk dirinya sendiri, ia berjihad untuk orang lain, baik dengan imbalan maupun tanpa imbalan?

قِيلَ لِأَنَّ فَرْضَ الْحَجِّ لَا يَتَكَرَّرُ فَصَحَّتْ فِيهِ النِّيَابَةُ وَلَوْ تَكَرَّرَ فَرْضُ الْحَجِّ فِي كُلِّ عَامٍ بِأَنْ قَالَ إن شفى الله مرضي فلله عَلَيَّ أَنْ أَحُجَّ فِي كُلِّ سَنَةٍ لَمْ تَصِحَّ مِنْهُ النِّيَابَةُ لِبَقَاءِ فَرْضِهِ عَلَيْهِ كَالْجِهَادِ فَإِذَا صَحَّ فَسَادُ النِّيَابَةِ فِي الْجِهَادِ وَجَبَ عَلَى الْغَازِي رَدُّ الْجَعَالَةِ وَكَانَتْ دَيْنًا عَلَيْهِ إِنِ اسْتَهْلَكَهَا

Dikatakan bahwa karena kewajiban haji tidak berulang, maka boleh dilakukan perwakilan (niyābah) dalam pelaksanaannya. Namun, jika kewajiban haji itu berulang setiap tahun, misalnya seseorang berkata, “Jika Allah menyembuhkan penyakitku, maka aku wajib berhaji setiap tahun,” maka perwakilan (niyābah) tidak sah baginya, karena kewajiban itu tetap melekat padanya, seperti halnya jihad. Maka, jika telah jelas bahwa perwakilan (niyābah) dalam jihad tidak sah, maka wajib bagi orang yang berangkat berjihad untuk mengembalikan upah (ja‘ālah), dan jika telah digunakan, maka menjadi utang atasnya.

فَأَمَّا جَعَالَةُ السُّلْطَانِ إِذَا بَذَلَهَا لِلْغُزَاةِ مِنْ بَيْتِ الْمَالِ فَجَائِزٌ لِأَمْرَيْنِ

Adapun hadiah (ja‘ālah) dari penguasa apabila ia memberikannya kepada para mujahid dari baitul mal, maka hal itu diperbolehkan karena dua alasan.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ بَذَلَهَا لِلْجِهَادِ عَنِ الْكَافَّةِ دُونَهُ وَلَوْ بَذَلَهَا لِلنِّيَابَةِ عَنْهُ لَمْ تَصِحَّ

Salah satunya adalah bahwa ia menyerahkannya untuk jihad atas nama seluruh kaum, bukan hanya untuk dirinya sendiri. Jika ia menyerahkannya untuk mewakili dirinya saja, maka tidak sah.

وَالثَّانِي أَنَّهُ بَذَلَهَا لَهُمْ مِنْ مَالٍ هُوَ مُسْتَحَقٌّ لَهُمْ لِأَنَّهُمْ إِنْ كَانُوا مِنْ مُرْتَزِقَةِ أَهْلِ الْفَيْءِ كَانَ لَهُمْ حَقٌّ فِي مَالِ الْفَيْءِ وَإِنْ كَانُوا مِنْ مُتَطَوِّعَةِ الْأَعْرَابِ وَأَهْلِ الصَّدَقَاتِ كَانَ لَهُمْ حَقٌّ فِي سَهْمِ سَبِيلِ اللَّهِ مِنْ أَمْوَالِ الصَّدَقَاتِ وَلِذَلِكَ إِذَا رَجَعُوا عَنِ الْحَرْبِ لِمَانِعٍ لَمْ يَسْتَرْجِعْ مِنْهُمْ مَا أَخَذُوهُ لِحَقِّهِمْ فِيهِ وَلَكِنْ لَا بَأْسَ أَنْ يَبْذُلَ الْإِنْسَانُ مَالًا يَبَرُّ بِهِ الْغَازِي وَالْحَاجَّ وَفَاعِلُ الْبِرِّ مَعُونَةً لَهُ لِيَكُونَ لِلْبَاذِلِ ثَوَابُ بَذْلِهِ وَلِلْعَامِلِ ثَوَابُ عَمَلِهِ لِأَنَّهُ يَنُوبُ فِيهِ عَنْ نَفْسِهِ لَا عَنْ بَاذِلِ الْمَالِ

Kedua, bahwa ia memberikan harta itu kepada mereka dari harta yang memang menjadi hak mereka. Sebab, jika mereka termasuk para penerima gaji dari kalangan ahl al-fay’, maka mereka memiliki hak atas harta fay’. Dan jika mereka termasuk para sukarelawan dari kalangan Arab dan ahl al-sadaqat, maka mereka memiliki hak atas bagian fi sabilillah dari harta sadaqah. Oleh karena itu, jika mereka kembali dari peperangan karena suatu halangan, tidak diambil kembali dari mereka apa yang telah mereka terima, karena itu memang hak mereka. Namun, tidak mengapa seseorang memberikan harta untuk berbuat baik kepada para mujahid, jamaah haji, dan pelaku kebajikan sebagai bantuan bagi mereka, agar yang memberi mendapatkan pahala atas pemberiannya dan yang melaksanakan mendapatkan pahala atas amalnya, karena dalam hal ini ia bertindak atas nama dirinya sendiri, bukan atas nama pemberi harta.

رَوَى زَيْدُ بْنُ خَالِدٍ الْجُهَنِيُّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” مَنْ جَهَّزَ غَازِيًا أَوْ حَاجًّا أَوْ مُعْتَمِرًا أَوْ خَلَفَهُ فِي أَهْلِهِ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ “

Zaid bin Khalid al-Juhani meriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, “Barang siapa yang mempersiapkan perlengkapan bagi seorang yang berperang di jalan Allah, atau seorang yang menunaikan haji, atau umrah, atau menggantikan posisinya dalam menjaga keluarganya, maka baginya pahala yang sama seperti orang tersebut.”

وَرُوِيَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” لِلْغَازِي أَجْرُهُ وَلِلْجَاعِلِ أَجْرُهُ وَأَجْرُ الغازي “

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, dari Nabi ﷺ, bahwa beliau bersabda: “Bagi mujahid (orang yang berperang di jalan Allah) pahalanya, dan bagi orang yang memberikan imbalan (untuk jihad) pahalanya dan pahala mujahid.”

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَمَنْ ظَهَرَ مِنْهُ تَخْذِيلٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَإِرْجَافٌ بِهِمْ أَوْ عَوْنٌ عَلَيْهِمْ مَنَعَهُ الْإِمَامُ الْغَزْوَ مَعَهُمْ لِأَنَّهُ ضَرَرٌ عَلَيْهِمْ وَإِنْ غَزَا لَمْ يُسْهِمْ لَهُ “

Imam Syafi‘i berkata, “Barang siapa yang tampak darinya sikap melemahkan kaum mukminin, menimbulkan kegelisahan di tengah mereka, atau memberikan bantuan kepada musuh atas mereka, maka imam melarangnya ikut berperang bersama mereka, karena hal itu membahayakan mereka. Dan jika ia tetap ikut berperang, maka tidak diberikan bagian ghanimah kepadanya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ يَنْبَغِي لِلْإِمَامِ أَنْ يَتَفَقَّدَ الْغُزَاةَ إِذَا خَرَجُوا حَتَّى يَغْزُوَ مَنْ يُرْجَى نَفْعُهُ وَيُرَدَّ مَنْ يُخَافُ ضَرَرُهُ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى لَوْ خَرَجُوا فِيكُمْ مَا زادوكم إلا خبالا فيه تَأْوِيلَانِ

Al-Mawardi berkata, “Ini benar; sepatutnya bagi imam untuk memeriksa para pasukan yang akan berangkat berperang, agar yang pergi berperang adalah orang yang diharapkan manfaatnya, dan yang dikhawatirkan akan membawa mudarat dikembalikan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: ‘Jika mereka berangkat bersama kalian, niscaya mereka tidak akan menambah kalian kecuali kekacauan.’ Ayat ini memiliki dua tafsir.”

أَحَدُهُمَا يَعْنِي فَسَادًا

Salah satunya maksudnya adalah kerusakan.

وَالثَّانِي اضْطِرَابًا وَلأَوْضَعُوا خِلالَكُمْ فِيهِ تَأْوِيلَانِ

Dan yang kedua adalah kekacauan, dan mereka pasti akan menebarkan kekacauan di tengah-tengah kalian; dalam hal ini terdapat dua penafsiran.

أَحَدُهُمَا لَأَوْقَعُوا بَيْنَكُمُ الِاخْتِلَافَ

Salah satunya adalah agar mereka menimbulkan perbedaan di antara kalian.

وَالثَّانِي لَأَسْرَعُوا فِي تَفْرِيقِ جَمْعِكُمْ

Dan yang kedua, mereka akan lebih cepat dalam memecah belah persatuan kalian.

يَبْغُونَكُمُ الْفِتْنَةَ فِيهِ تَأْوِيلَانِ

Mereka menginginkan fitnah terhadap kalian; dalam hal ini terdapat dua penafsiran.

أَحَدُهُمَا الْهَزِيمَةُ وَالثَّانِي التَّكْذِيبُ بِوَعْدِ الرَّسُولِ

Salah satunya adalah kekalahan, dan yang kedua adalah mendustakan janji Rasul.

وَفِيكُمْ سَمَّاعُونَ لَهُمْ فِيهِ تَأْوِيلَانِ

Dan di antara kalian ada yang suka mendengarkan mereka; tentang hal ini terdapat dua penafsiran.

أَحَدُهُمَا وَفِيكُمْ مَنْ يَسْمَعُ كَلَامَهُمْ وَيُطِيعُهُمْ

Salah satunya adalah di antara kalian ada yang mendengar ucapan mereka dan menaatinya.

وَالثَّانِي وَفِيكُمْ عُيُونٌ مِنْكُمْ يَنْقُلُونَ إِلَيْهِمْ أَخْبَارَكُمْ

Dan yang kedua, di antara kalian ada mata-mata dari kalangan kalian sendiri yang menyampaikan berita-berita kalian kepada mereka.

فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا فَمِنْ ذَوِي الْأَضْرَارِ الْمَرْدُودِينَ مِنَ الْغَزْوِ مَعَ الْمُسْلِمِينَ مَنْ ذَكَرَهُ الشَّافِعِيُّ وَهُمْ ثَلَاثَةُ أَصْنَافٍ

Jika hal ini telah ditetapkan, maka termasuk golongan orang-orang yang memiliki uzur yang tidak diperbolehkan ikut berperang bersama kaum Muslimin adalah sebagaimana yang disebutkan oleh asy-Syafi‘i, yaitu mereka terdiri dari tiga golongan.

أَحَدُهَا مَنْ ظَهَرَ مِنْهُ تَخْذِيلُ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا تَضْعُفُ بِهِ قُلُوبُهُمْ مِنْ تَكْثِيرِ الْمُشْرِكِينَ وَقُوَّتِهِمْ وَتَقْلِيلِ الْمُؤْمِنِينَ وَضَعْفِهِمْ وَالْإِخْبَارِ بِمَا يُخَافُ مِنْ شِدَّةِ حَرٍّ أَوْ بَرْدٍ أَوْ عَطَشٍ أَوْ جَدْبٍ وَبِمَا جَرَى مَجْرَى هَذِهِ الْأُمُورِ الَّتِي تَضْعُفُ بِهَا الْقُلُوبُ وتفضي إلى الهزيمة

Salah satunya adalah orang yang menampakkan sikap melemahkan kaum mukminin dengan hal-hal yang dapat melemahkan hati mereka, seperti membesarkan jumlah dan kekuatan kaum musyrikin, memperkecil jumlah dan kelemahan kaum mukminin, serta memberitakan hal-hal yang dikhawatirkan seperti panas yang sangat, dingin yang sangat, kehausan, kekeringan, dan hal-hal lain semacam itu yang dapat melemahkan hati dan berujung pada kekalahan.

والصنف الثاني من يرحف بالمؤمنين فينجو بِهَزِيمَتِهِمْ أَوْ بِمَدَدٍ يَرِدُ بِعَدُوِّهِمْ أَوْ بِكَمِينٍ لَهُمْ وَرَاءَهُمْ أَوْ أَنَّهُمْ قَدْ ظَفِرُوا بِأَسْرَى أَوْ سَبَوْا ذَرَارِيَّ أَوْ قَطَعُوا مِيرَةً وَمَا جَرَى مَجْرَى هَذِهِ الْأَرَاجِيفِ الَّتِي تُفْضِي إِلَى الْفَشَلِ وَالْوَجَلِ

Golongan kedua adalah mereka yang menakut-nakuti kaum mukminin sehingga kaum mukminin mengalami kekalahan, atau dengan datangnya bala bantuan kepada musuh mereka, atau dengan adanya pasukan yang bersembunyi di belakang mereka, atau bahwa musuh telah berhasil menangkap tawanan, atau menawan anak-anak mereka, atau memutus jalur logistik mereka, dan kabar-kabar bohong semacam ini yang dapat menyebabkan kegagalan dan ketakutan.

وَالصِّنْفُ الثَّالِثُ مَنْ يَكُونُ عَوْنًا لِلْمُشْرِكِينَ بِإطْلَاعِهِمْ عَلَى عَوْرَاتِ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْشَادِهِمْ إِلَى أَسْبَابِ الظَّفَرِ وَتَحْذِيرِهِمْ مِنْ وُقُوعِ الضَّرَرِ وَإِيوَاءِ عيونهم إذا وردوا والذي عَنْهُمْ إِذَا ظَفِرُوا إِلَى مَا جَرَى مَجْرَى هَذِهِ الْمَعُونَةِ لَهُمُ الْقَوِيَّةِ لِأَمْرِهِمْ فَتُرَدُّ هَذِهِ الْأَصْنَافُ وَمَنْ شَاكَلَهَا لِأَنَّ الْمَقْصُودَ مِنَ الِانْتِفَاعِ بِهِمْ مَعْدُومٌ وَالْمَخُوفَ مِنَ الضَّرَرِ بِهِمْ مَوْجُودٌ

Golongan ketiga adalah mereka yang menjadi penolong bagi kaum musyrik dengan memberitahukan kepada mereka kelemahan-kelemahan kaum mukmin, menunjukkan kepada mereka sebab-sebab kemenangan, memperingatkan mereka dari terjadinya bahaya, serta melindungi mata-mata mereka jika datang, dan hal-hal lain yang serupa dengan bantuan kuat semacam ini untuk urusan mereka. Maka golongan-golongan ini dan yang serupa dengannya harus ditolak, karena tujuan untuk mengambil manfaat dari mereka tidak ada, sedangkan kekhawatiran akan bahaya dari mereka justru ada.

فَإِنْ قِيلَ فَقَدْ كَانَ يَغْزُو أَمْثَالُ هَؤُلَاءِ مِنَ الْمُنَافِقِينَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَيُقِرُّهُمْ وَلَا يَرُدُّهُمْ فَهَلَّا وَجَبَ الِاقْتِدَاءُ بِهِ فِيهِمْ

Jika dikatakan, “Bukankah orang-orang munafik semacam mereka dahulu ikut berperang bersama Rasulullah ﷺ, lalu beliau membiarkan mereka dan tidak menolak mereka? Maka mengapa kita tidak wajib meneladani beliau dalam hal ini?”

قِيلَ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدْ خَصَّ رَسُولَهُ مِنْ ذَلِكَ بِأَمْرَيْنِ عُدِمَا فِيمَنْ بَعْدَهُ من الولاة

Dikatakan bahwa Allah Ta‘ala telah mengkhususkan Rasul-Nya dari hal itu dengan dua perkara yang tidak terdapat pada para penguasa setelah beliau.

أحدها مَا يُوحَى إِلَيْهِ مِنْ مَكْرِ الْمُنَافِقِينَ فَيَحْتَرِزُ مِنْهُ

Salah satunya adalah wahyu yang diberikan kepadanya tentang tipu daya orang-orang munafik, sehingga ia dapat mewaspadainya.

وَالثَّانِي اخْتِيَارُ أَصْحَابِهِ بِقُوَّةِ الْإِيمَانِ وَتَصْدِيقِ الْوَعْدِ

Yang kedua adalah pemilihan para sahabatnya karena kekuatan iman dan kepercayaan terhadap janji.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِنْ شَهِدَ أَحَدُ هَؤُلَاءِ الْوَقْعَةَ لَمْ يُسْهَمْ لَهُ وَلَمْ يُرْضَخْ لِمَعْصِيَتِهِ بِالْحُضُورِ وَخُرُوجِهِ بِهِ مِنْ أَهْلِ الْجِهَادِ

Jika salah satu dari mereka hadir dalam pertempuran tersebut, maka tidak diberikan bagian ghanimah kepadanya dan tidak pula diberikan bagian khusus, karena kehadirannya merupakan maksiat, dan dengan kehadirannya itu ia keluar dari golongan ahli jihad.

فَإِنْ قِيلَ فَمَنْ شَهِدَ الْوَقْعَةَ بِغَيْرِ إِذْنِ أَبَوَيْهِ وَإِذْنِ صَاحِبِ الدَّيْنِ عَاصٍ وَيُسْهَمُ لَهُ والصَّبِيُّ مِنْ غَيْرِ أَهْلِ الْجِهَادِ وَيُرْضَخُ لَهُ فَهَلَّا كَانَ هَؤُلَاءِ بِمَثَابَتِهِمْ

Jika dikatakan: Lalu bagaimana dengan orang yang ikut serta dalam pertempuran tanpa izin kedua orang tuanya atau tanpa izin dari pemilik utang, maka ia berdosa namun tetap mendapat bagian rampasan perang; sedangkan anak kecil yang bukan termasuk ahli jihad, ia mendapat bagian hadiah. Apakah mereka ini tidak sama kedudukannya?

قِيلَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ مَنْعَ ذَوِي الضَّرَرِ لِمَعْنًى يَخْتَصُّ بِمَقْصُودِ الْجِهَادِ الْمُتَعَبَّدِ بِهِ فَبَطَلَ حَقُّهُمْ مِنْهُ وَمَنْعَ ذِي الْأَبَوَيْنِ وَمَنْ عَلَيْهِ الدَّيْنُ لِمَعْنًى فِي غَيْرِ الْجِهَادِ فَلَمْ يَبْطُلْ حَقُّهُمْ مِنْهُ اعْتِبَارًا بِالْأُصُولِ فِي غَيْرِ الْجِهَادِ كَمَنْعِ الْمُصَلِّي بِالنَّجَاسَةِ وَفِي الدَّارِ الْمَغْصُوبَةِ تَبْطُلُ صَلَاتُهُ بِالنَّجَاسَةِ لِاخْتِصَاصِ الْمَنْعِ بِمَعْنًى يَعُودُ إِلَى الصَّلَاةِ وَلَا يَبْطُلُ فِي الدَّارِ الْمَغْصُوبَةِ لِاخْتِصَاصِ الْمَنْعِ بِمَا لَا يَعُودُ إِلَيْهَا لِأَنَّهُ يُمْنَعُ مِنْ دُخُولِهَا مُصَلٍّ وَغَيْرُ مُصَلٍّ

Dikatakan bahwa perbedaan antara keduanya adalah bahwa larangan terhadap orang-orang yang memiliki mudarat (kerugian) berkaitan dengan tujuan khusus dari jihad yang merupakan ibadah, sehingga hak mereka atasnya menjadi batal. Adapun larangan terhadap orang yang memiliki kedua orang tua atau orang yang memiliki utang, maka itu karena alasan yang tidak berkaitan dengan jihad, sehingga hak mereka atasnya tidak batal, dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip dalam perkara selain jihad. Seperti larangan orang yang shalat dengan najis dan di rumah yang dirampas; shalatnya batal karena najis, karena larangan tersebut berkaitan langsung dengan shalat, sedangkan tidak batal jika di rumah yang dirampas karena larangan tersebut tidak berkaitan langsung dengan shalat, sebab ia dilarang memasuki rumah itu baik sebagai orang yang shalat maupun bukan.

فَإِنْ تَظَاهَرَ هَؤُلَاءِ بِالتَّوْبَةِ نُظِرَ فَإِنْ كَانَتْ بَعْدَ تَوَجُّهِ الظَّفَرِ لَمْ يُسْهَمْ لَهُمْ وَإِنْ كَانَتْ قَبْلَ تَوَجُّهِ الظَّفَرِ كُشِفَ عَنْهَا

Jika mereka menampakkan diri dengan taubat, maka diperhatikan: jika taubat itu dilakukan setelah kemenangan telah diraih, maka mereka tidak diberi bagian ghanimah; namun jika taubat itu dilakukan sebelum kemenangan diraih, maka taubat mereka diselidiki.

فَإِنْ كَانَتْ لِتَقِيَّةٍ وَحَذَرٍ لَمْ يُسْهَمْ لَهُمْ وَكَذَلِكَ لَوْ كَانَتْ لِرَغْبَةٍ فِي الْمَغْنَمِ فَإِنْ كَانَتْ لَتَدَيُّنٍ قَدْ ظَهَرَ مِنْهُمْ أُسْهِمَ لَهُمْ وَإِنْ أَشْكَلَتْ أَحْوَالُهُمْ لَمْ يُسْهَمْ لَهُمْ لِتَرَدُّدِهَا بَيْنَ إِسْقَاطِهِ وَاسْتِحْقَاقِهِ وَلَوْ غَزَا مِنْ ذَوِي النِّفَاقِ مَنْ أَضْمَرَهُ وَلَمْ يَتَظَاهَرْ بِالضَّرَرِ أُسْهِمَ لَهُ وَلَمْ يَكْشِفْ عَنْ بَاطِنِ مُعْتَقَدِهِ

Jika keikutsertaan mereka karena taqiyyah dan kehati-hatian, maka mereka tidak diberi bagian. Demikian pula jika keikutsertaan itu karena keinginan terhadap harta rampasan perang. Namun, jika keikutsertaan itu karena motivasi agama yang telah tampak dari mereka, maka mereka diberi bagian. Jika keadaan mereka masih samar, maka mereka tidak diberi bagian karena adanya keraguan antara gugurnya hak dan berhaknya mereka. Jika ada orang munafik yang ikut berperang, yang menyembunyikan kemunafikannya dan tidak menampakkan bahaya, maka ia tetap diberi bagian dan tidak diungkap keyakinan batinnya.

قَدْ أَسْهَمَ رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لِمَنْ شَهِدَ غَزَوَاتِهِ مِنَ الْمُنَافِقِينَ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan bagian (ghanimah) kepada orang-orang munafik yang ikut serta dalam peperangan beliau.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قال الشافعي وَوَاسِعٌ لِلْإِمَامِ أَنْ يَأْذَنَ لِلْمُشْرِكِ أَنْ يَغْزُوَ مَعَهُ إِذَا كَانَتْ فِيهِ لِلْمُسْلِمِينَ مَنْفَعَةٌ وَقَدْ غَزَا عَلَيْهِ السَّلَامُ بِيَهُودٍ مِنْ بَنِي قَيْنُقَاعَ بَعْدَ بَدْرٍ وَشَهِدَ مَعَهُ صَفْوَانُ حُنَيْنًا بَعْدَ الْفَتْحِ وَصَفْوَانُ مُشْرِكٌ “

Syafi‘i berkata, “Diperbolehkan bagi imam untuk mengizinkan orang musyrik ikut berperang bersamanya jika di dalamnya terdapat manfaat bagi kaum Muslimin. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berperang bersama orang-orang Yahudi dari Bani Qainuqa‘ setelah Perang Badar, dan Shafwan pernah ikut bersamanya dalam Perang Hunain setelah penaklukan (Makkah), padahal saat itu Shafwan masih musyrik.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَدْ غَزَا النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِيَهُودِ بَنِي قَيْنُقَاعَ بَعْدَ بَدْرٍ وَشَهِدَ مَعَهُ صفوان

Al-Mawardi berkata: Nabi ﷺ telah berperang melawan Yahudi Bani Qaynuqa‘ setelah Perang Badar, dan Shafwan turut hadir bersamanya.

حنينا بعد الفتح وصفوان مشرك

Setelah penaklukan, Hunaīn masih dalam keadaan kafir, dan Shafwān juga seorang musyrik.

حكي عَنْ مَالِكٍ وَأَبِي حَنِيفَةَ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ لِلْإِمَامِ أَنْ يَسْتَعِينَ بِمُشْرِكٍ عَلَى قِتَالِ الْمُشْرِكِينَ احْتِجَاجًا بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَمَا كُنْتُ مُتَّخِذَ الْمُضِلِّينَ عَضُدًا وَبقَوْلِهِ تَعَالَى لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَبِمَا رَوَى حَبِيبُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي غَزْوَةٍ فَأَتَيْتُهُ وَرَجُلٌ آخَرُ قَبْلَ أَنْ نُسْلِمَ فَقُلْنَا لَهُ إِنَّا نستَحْي أَنْ يَشْهَدَ قَوْمُنَا مَشْهَدًا لَا نَشْهَدُهُ فَقَالَ أَسْلَمْتُمَا؟ قُلْنَا لَا فَقَالَ إِنَّا لَا نَسْتَعِينُ بِالْمُشْرِكِينَ عَلَى قِتَالِ الْمُشْرِكِينَ فَأَسْلَمْنَا وَخَرَجْنَا مَعَهُ فَشَهِدْتُ فَلَقِيَنِي رَجُلٌ ضَرَبَنِي فَقَتَلْتُهُ وَتَزَوَّجْتُ بِنْتَهُ فَقَالَتِ لِي لَا عُدِمْتَ مَنْ وَشَّحَكَ هَذَا الْوِشَاحَ؟ فَقُلْتُ لَا عُدِمْتِ مَنْ أَلْحَقَ أَبَاكِ بَالنَّارِ؟ وَهَذَا نَصٌّ

Diriwayatkan dari Malik dan Abu Hanifah bahwa tidak boleh bagi imam untuk meminta bantuan orang musyrik dalam memerangi orang-orang musyrik, dengan dalil firman Allah Ta‘ala: “Dan Aku tidak pernah menjadikan orang-orang yang sesat sebagai penolong,” dan firman-Nya Ta‘ala: “Janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai wali, sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain,” serta berdasarkan riwayat dari Habib bin Abdurrahman dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata: Rasulullah ﷺ keluar dalam suatu peperangan, lalu aku dan seorang laki-laki lain mendatanginya sebelum kami masuk Islam. Kami berkata kepadanya, “Kami malu jika kaum kami menyaksikan suatu peristiwa sedangkan kami tidak ikut menyaksikannya.” Beliau bertanya, “Apakah kalian sudah masuk Islam?” Kami menjawab, “Belum.” Maka beliau bersabda, “Sesungguhnya kami tidak meminta bantuan orang musyrik untuk memerangi orang musyrik.” Maka kami pun masuk Islam dan berangkat bersama beliau, lalu aku ikut serta. Kemudian aku bertemu dengan seorang laki-laki yang memukulku, lalu aku membunuhnya dan menikahi putrinya. Ia berkata kepadaku, “Semoga engkau tidak kehilangan orang yang memakaikanmu selendang ini?” Aku menjawab, “Semoga engkau tidak kehilangan orang yang telah memasukkan ayahmu ke neraka?” Dan ini adalah nash.

قَالُوا وَلِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لَمْ يَسْتَعِنْ بِمُشْرِكٍ فِي غَزْوَةِ بَدْرٍ مَعَ قِلَّةِ الْعَدَدِ فَكَانَ أَوْلَى أَنْ لَا يُسْتَعَانَ بِهِمْ مَعَ الْكَثْرَةِ وَظُهُورِ الْقُوَّةِ

Mereka berkata: Karena Nabi ﷺ tidak meminta bantuan orang musyrik dalam Perang Badar meskipun jumlah pasukan sedikit, maka lebih utama untuk tidak meminta bantuan mereka ketika jumlah pasukan banyak dan kekuatan telah tampak.

وَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ إِلَى جَوَازِ الِاسْتِعَانَةِ بِهِمْ لِقَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ وَلِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ اسْتَغْزَى بَعْدَ بَدْرٍ يَهُودَ بَنِي قَيْنُقَاعَ فَغَزَوْا مَعَهُ وَشَهِدَ مَعَهُ صَفْوَانُ بْنُ أُمَيَّةَ حُنَيْنًا فِي شِرْكِهِ بَعْدَ الْفَتْحِ فِي حَرْبِ هَوَازِنَ وَاسْتَعَارَ مِنْهُ سَبْعِينَ دِرْعًا فَقَالَ أَغَصْبٌ يَا مُحَمَّدُ قَالَ ” بَلْ عَارِيَةٌ مَضْمُونَةٌ مُؤَدَّاةٌ ” وَسَمِعَ رَجُلًا يَقُولُ غَلَبَتْ هَوَازِنُ وَقُتِلَ مُحَمَّدٌ فَقَالَ ” بِفِيكَ الَحَجَرُ لَرَبٌّ مِنْ قُرَيْشٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ رَبٍّ مِنْ هَوَازِنَ ” وَلِأَنَّ الْمُشْرِكِينَ خَوَلٌ كَالْعَبِيدِ فَجَازَتِ الِاسْتِعَانَةُ بِهِمْ وَالِاسْتِخْدَامُ لَهُمْ وَلِأَنَّهُمْ إِنْ قُتِلُوا فَعَلَى شِرْكٍ وَإِنْ قَتَلُوا فَلِلْمُشْرِكِ فَلَمْ يَكُنْ لِلْمَنْعِ وَجْهٌ وَلَمْ يَتَّخِذْهُمْ عَضُدًا فَنَمْتَنِعُ مِنْهُمْ بِالْآيَةِ الْأُولَى وَإِنَّمَا اتَّخَذْنَاهُمْ خَدَمًا وَلَمْ نَتَّخِذْهُمْ أَوْلِيَاءَ فَنَمْتَنِعُ مِنْهُمْ بِالْآيَةِ الثَّانِيَةِ وإنما اتخذناهم أعوانا فأما الخبر محمول عَلَى أَحَدِ وَجْهَيْنِ

Imam Syafi‘i rahimahullah berpendapat bolehnya meminta bantuan mereka, berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla: “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi,” maka ayat ini berlaku umum. Juga karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah Perang Badar pernah mengajak Bani Qaynuqa‘ (Yahudi) berperang, lalu mereka berperang bersamanya. Safwan bin Umayyah juga ikut serta bersamanya dalam Perang Hunain saat masih musyrik, setelah penaklukan (Mekah), dalam perang melawan Hawazin. Rasulullah meminjam darinya tujuh puluh baju besi, lalu Safwan berkata, “Apakah ini rampasan, wahai Muhammad?” Beliau menjawab, “Bukan, ini pinjaman yang dijamin akan dikembalikan.” Rasulullah juga mendengar seseorang berkata, “Hawazin telah menang dan Muhammad telah terbunuh,” maka beliau bersabda, “Mulutmu dipenuhi batu! Tuhan dari Quraisy lebih aku cintai daripada tuhan dari Hawazin.” Selain itu, kaum musyrik adalah pelayan seperti budak, maka boleh meminta bantuan dan mempekerjakan mereka. Jika mereka terbunuh, maka mereka terbunuh dalam keadaan syirik, dan jika mereka membunuh, maka yang mereka bunuh adalah orang musyrik, sehingga tidak ada alasan untuk melarangnya. Rasulullah tidak menjadikan mereka sebagai penolong utama sehingga kita dilarang berdasarkan ayat pertama, dan kita hanya menjadikan mereka sebagai pelayan, bukan sebagai wali sehingga kita dilarang berdasarkan ayat kedua. Kita hanya menjadikan mereka sebagai pembantu. Adapun hadis (yang melarang), maka dapat dipahami dalam salah satu dari dua kemungkinan.

إِمَّا أَنِ امْتَنَعَ مِنْ ذلك تجوزا تَحْرِيضًا عَلَى الْإِسْلَامِ وَهَكَذَا كَانَ وَإِمَّا لِاسْتِغْنَائِهِمْ عَنْهُمْ وَهَكَذَا يَكُونُ

Bisa jadi ia menolak hal itu sebagai bentuk toleransi untuk mendorong masuk Islam, dan demikianlah yang terjadi; atau bisa juga karena mereka merasa tidak membutuhkan hal tersebut, dan demikian pula yang terjadi.

وَأَمَّا تَرْكُ إِخْرَاجِهِمْ إِلَى بَدْرٍ فَعَنْهُ ثَلَاثَةُ أَجْوِبَةٍ

Adapun tidak dikeluarkannya mereka ke Badar, maka mengenai hal itu terdapat tiga jawaban.

أَحَدُهَا أَنَّهُ لَمْ يَأْمَنْهُمْ وَهَكَذَا حُكْمُ مَنْ لَمْ يُؤْمَنْ

Salah satunya adalah bahwa ia tidak merasa aman dari mereka, dan demikian pula hukum bagi orang yang tidak merasa aman.

وَالثَّانِي أَنَّهُ مَا ابْتَدَأَ بِالْخُرُوجِ لِلْجِهَادِ وَإِنَّمَا قَصَدَ أَخْذَ الْعِيرِ وَصَادَفَ فَوَاتُهَا قِتَالَ الْمُشْرِكِينَ

Kedua, bahwa ia tidak memulai dengan keluar untuk berjihad, melainkan ia bermaksud mengambil kafilah dagang, dan ketika kafilah itu terlewatkan, ia justru mendapati pertempuran dengan orang-orang musyrik.

وَالثَّالِثُ أَنَّهُ قَدِ اسْتَعَانَ بِهِمْ بَعْدَ بَدْرٍ فَكَانَ مَا تَأَخَّرَ قَاضِيًا عَلَى مَا تَقَدَّمَ

Ketiga, sesungguhnya beliau telah meminta bantuan mereka setelah Perang Badar, maka apa yang datang kemudian menjadi penentu atas apa yang telah lalu.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ الِاسْتِعَانَةِ بِهِمْ فَعَلَى ثَلَاثَةِ شُرُوطٍ

Maka apabila telah tetap kebolehan meminta bantuan kepada mereka, maka ada tiga syarat.

أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ بِالْمُسْلِمِينَ إِلَيْهِمْ حَاجَةٌ فَإِنِ اسْتَغْنَوْا عَنْهُمْ لَمْ يَجُزْ

Salah satunya adalah apabila kaum Muslimin membutuhkan mereka; maka jika kaum Muslimin tidak lagi membutuhkan mereka, hal itu tidak diperbolehkan.

وَالثَّانِي أَنْ يَأْمَنَهُمُ الْمُسْلِمُونَ بِحُسْنِ نِيَّاتِهِمْ فَإِنْ خَافُوا لَمْ يَجُزْ

Kedua, kaum Muslimin harus merasa aman terhadap mereka karena baiknya niat mereka; jika kaum Muslimin merasa khawatir, maka tidak diperbolehkan.

وَالثَّالِثُ أَنْ يُخَالِفُوا مُعْتَقَدَ الْمُشْرِكِينَ كَالْيَهُودِ مَعَ النَّصَارَى وَعَبَدَةِ الْأَوْثَانِ فَإِنْ وَافَقُوهُمْ لَمْ يَجُزْ فَإِذَا خَرَجُوا مَعَهُمْ عَلَى هَذِهِ الشُّرُوطِ اجْتَهَدَ وَالِي الْجَيْشِ رَأْيَهُ فِيهِمْ فَإِنْ كَانَ أَفْرَادُهُمْ مُتَمَيِّزِينَ أَصْلَحَ لِتَعَلُّمِ نِكَايَتِهِمْ أَفْرَدَهُمْ بِحَيْثُ يَرَى أَنَّهُ أَصْلَحُ إِمَّا فِي حَاشِيَةِ الْعَسْكَرِ أَوْ مِنْ أَمَامِهِ أَوْ مِنْ وَرَائِهِ إِنْ كَانَ اخْتِلَاطُهُمْ بِالْمُسْلِمِينَ أَوْلَى لِئَلَّا تَقْوَى شَوْكَتُهُمْ خَلَطَهُمْ بِهِمْ فَإِنَّ الْعَمَلَ بِشَوَاهِدِ الْأَحْوَالِ الْمُخْتَلِفَةِ أَوْلَى مِنَ الْقَطْعِ بِأَحَدِهَا

Ketiga, hendaknya mereka berbeda keyakinan dengan kaum musyrik, seperti Yahudi dengan Nasrani dan para penyembah berhala. Jika mereka menyetujui keyakinan kaum musyrik, maka tidak diperbolehkan. Apabila mereka keluar bersama kaum muslimin dengan syarat-syarat tersebut, maka pemimpin pasukan hendaknya berijtihad dalam mengambil keputusan terhadap mereka. Jika individu-individu mereka dapat dibedakan, maka lebih baik untuk memisahkan mereka agar dapat mengetahui sejauh mana pengaruh mereka, sehingga pemimpin dapat menempatkan mereka di posisi yang dianggap paling baik, baik di pinggiran pasukan, di depan, atau di belakang. Namun, jika mencampurkan mereka dengan kaum muslimin lebih utama agar kekuatan mereka tidak menjadi besar, maka hendaknya mereka dicampur. Karena bertindak berdasarkan pertimbangan kondisi yang berbeda-beda lebih utama daripada memutuskan secara pasti pada salah satunya.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قال الشافعي ” وَأُحِبُّ أَنْ لَا يُعْطَى الْمُشْرِكُ مِنَ الْفَيْءِ شَيْئًا وَيُسْتَأْجَرَ إِجَارَةً مِنْ مَالٍ لَا مَالِكَ لَهُ بِعَيْنِهِ وَهُوَ سَهْمُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَإِنْ أَغْفَلَ ذَلِكَ الِإمَامُ أُعْطِيَ مِنْ سَهْمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ “

Syafi‘i berkata, “Aku lebih suka agar orang musyrik tidak diberikan apa pun dari fai’, dan jika hendak disewa, maka disewa dengan harta yang tidak ada pemiliknya secara khusus, yaitu bagian Nabi ﷺ. Jika imam lalai dalam hal itu, maka diberikan dari bagian Nabi ﷺ.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ إِذَا أَرَادَ الْإِمَامُ أَنْ يَسْتَعِينَ بِأَهْلِ الذِّمَّةِ مِنَ الْمُشْرِكِينَ فَحَالُهُ مَعَهُمْ تَنْقَسِمُ أَرْبَعَةَ أَقْسَامٍ

Al-Mawardi berkata, “Jika imam ingin meminta bantuan kepada ahludz-dzimmah dari kalangan musyrikin, maka keadaannya bersama mereka terbagi menjadi empat bagian.”

أَحَدُهَا وَهُوَ أَوْلَاهَا بِهِ أَنْ يَسْتَأْجِرَهُمْ بِأُجْرَةٍ مَعْلُومَةٍ يَعْقِدُهَا مَعَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ أَوْ مَعَ أَحَدِهِمْ نِيَابَةً عَنْ جَمِيعِهِمْ فَتَصِحُّ هَذِهِ الْإِجَارَةُ مَعَهُمْ وَإِنْ لَمْ تَصِحَّ مَعَ الْمُسْلِمِينَ لِوُقُوعِ الْفَرْقِ بَيْنَهُمَا بِأَنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا شَهِدَ الْوَقْعَةَ لَزِمَهُ الثَّبَاتُ فِي حَقِّ نَفْسِهِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُسْتَأْجَرَ عَلَيْهِ وَالْمُشْرِكَ إِذَا شَهِدَهَا لَمْ يَلْزَمْهُ الثَّبَاتُ فِي حَقِّ نَفْسِهِ فَجَازَ أَنْ يُسْتَأْجَرَ عَلَيْهِ وَيَجُوزُ أَنْ تَزِيدَ الْأُجْرَةُ عَلَى سَهْمِ رَاجِلٍ وَفَارِسٍ

Salah satu cara, dan ini yang paling utama, adalah dengan menyewa mereka dengan upah yang jelas, yang diakadkan dengan masing-masing dari mereka atau dengan salah satu dari mereka sebagai wakil dari seluruhnya. Maka akad ijarah ini sah bersama mereka, meskipun tidak sah bersama kaum Muslimin, karena terdapat perbedaan antara keduanya, yaitu bahwa seorang Muslim jika hadir dalam peristiwa tersebut, maka ia wajib tetap bertahan demi dirinya sendiri, sehingga tidak boleh disewa untuk itu. Sedangkan orang musyrik jika hadir dalam peristiwa tersebut, ia tidak wajib bertahan demi dirinya sendiri, sehingga boleh disewa untuk itu. Dan boleh pula upahnya melebihi bagian seorang pejalan kaki maupun penunggang kuda.

وَقَالَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ لَا يَجُوزُ أَنْ تَبْلُغَ سَهْمَ فَارِسٍ وَلَا رَاجِلٍ لِخُرُوجِهِ عَنْ أَهْلِ الْجِهَادِ كَمَا لَا يَبْلُغُ بِرُضْخٍ صَبِيٌّ وَلَا عَبْدٌ سَهْمَ فَارِسٍ وَلَا رَاجِلٍ وَهَذَا خَطَأٌ مِنْ وَجْهَيْنِ

Abu ‘Ali bin Abi Hurairah berkata, “Tidak boleh bagian rampasan perang (ghanimah) yang diberikan kepada penunggang kuda maupun prajurit pejalan kaki diberikan kepada orang yang keluar dari barisan ahli jihad, sebagaimana anak kecil dan budak yang hanya mendapat bagian kecil (rudhkh) tidak boleh mendapatkan bagian seperti penunggang kuda maupun prajurit pejalan kaki. Pendapat ini keliru dari dua sisi.”

أَحَدُهُمَا أَنَّهَا أُجْرَةٌ فِي عَقْدِ إِجَارَةٍ فَلَمْ تَتَقَدَّرْ إِلَّا عَنْ مُرَاضَاةٍ كَسَائِرِ الْإِجَارَاتِ وَكَمَا يَجُوزُ أَنْ تَكُونَ أُجْرَةُ مَنْ يُسْتَأْجَرُ لِحَمْلِ الْغَنِيمَةِ أَكْبَرَ مِنْ سَهْمِ رَاجِلٍ وَفَارِسٍ فِي تِلْكَ الْغَنِيمَةِ

Salah satunya adalah bahwa itu merupakan upah dalam akad ijarah, sehingga nilainya tidak dapat ditentukan kecuali berdasarkan kerelaan kedua belah pihak, sebagaimana pada akad-akad ijarah lainnya. Dan sebagaimana diperbolehkan upah bagi orang yang disewa untuk membawa harta rampasan perang lebih besar daripada bagian seorang prajurit berjalan kaki maupun prajurit berkuda dalam harta rampasan tersebut.

وَالثَّانِي أَنَّ عَقْدَ الْإِجَارَةِ مَعَهُمْ قَبْلَ الْمَغْنَمِ وَسِهَامُ الْغَانِمِينَ الْمُسْتَحَقَّةُ مِنْ بَعْدُ مَجْهُولَةٌ تَزِيدُ بِكَثْرَةِ الْغَنَائِمِ وَتَنْقُصُ بِقِلَّتِهَا فَلَمْ يَصِحَّ أَنْ يُعْتَبَرَ فِي عَقْدٍ تَقَدَّمَهَا فَإِذَا شَهِدُوا الْوَقْعَةَ أَخَذُوا بِالْقِتَالِ جَبْرًا وَإِنْ لَمْ يُجْبَرِ الْمُسْلِمُ عَلَيْهِ إلا عند ظهور لعدو وَاسْتِيلَائِهِ

Kedua, bahwa akad ijarah dengan mereka dilakukan sebelum adanya harta rampasan perang, sedangkan bagian-bagian yang menjadi hak para pejuang setelahnya masih belum diketahui, bisa bertambah jika harta rampasan banyak dan berkurang jika sedikit. Maka tidak sah untuk dijadikan pertimbangan dalam akad yang mendahuluinya. Maka apabila mereka menyaksikan pertempuran, mereka diwajibkan ikut berperang secara paksa, meskipun seorang Muslim tidak diwajibkan melakukannya kecuali ketika musuh tampak dan menguasai.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ قِتَالَ الْمُشْرِكِ هُوَ الْعَمَلُ الَّذِي اسْتُؤْجِرَ عَلَيْهِ فَوَجَبَ اسْتِيفَاؤُهُ مِنْهُ جَبْرًا لِأَنَّهُ مُتَعَيِّنٌ عَلَيْهِ وَقِتَالَ الْمُسْلِمِ فِي حَقِّ نَفْسِهِ عَلَى وَجْهِ الْكِفَايَةِ غَيْرُ مُتَعَيِّنٍ فَلَمْ يُجْبَرْ عَلَيْهِ وَلَا تَمْنَعُ جَهَالَةُ الْقِتَالِ وَجَهَالَةُ مُدَّتِهِ مِنْ جَوَازِ الْإِجَارَةِ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ مِنْ عُمُومِ الْمَصَالِحِ فَجَازَ فِيهِ مِنَ الْجَهَالَةِ مَا لَمْ يَجُزْ فِي الْعُقُودِ الْخَاصَّةِ

Perbedaan antara keduanya adalah bahwa memerangi musyrik merupakan pekerjaan yang disewa atasnya, sehingga wajib dipenuhi secara paksa karena itu sudah menjadi kewajibannya. Sedangkan memerangi muslim untuk dirinya sendiri dalam bentuk kifayah tidaklah menjadi kewajiban tertentu, sehingga tidak dipaksa atasnya. Ketidaktahuan tentang pertempuran dan ketidaktahuan tentang lamanya tidak menghalangi bolehnya ijarah atasnya, karena hal itu termasuk dalam kemaslahatan umum, sehingga dibolehkan adanya ketidaktahuan di dalamnya yang tidak dibolehkan dalam akad-akad khusus.

فَإِنْ حَضَرُوا وَلَمْ يُقَاتِلُوا نُظِرَ فِيهِ فَإِنْ تَعَذَّرَ الْقِتَالُ لِانْهِزَامِ الْعَدُوِّ اسْتَحَقُّوا الْأُجْرَةَ لِأَنَّهُمْ قَدْ بَذَلُوا أَنْفُسَهُمْ لِمَا اسْتُؤْجِرُوا عَلَيْهِ فَصَارُوا كَمَنْ أَجَّرَ نَفْسَهُ لِلْخِدْمَةِ فَلَمْ يُسْتَخْدَمْ أَوْ أَجَّرَ دَارًا فَسَلَّمَهَا وَلَمْ تُسْكَنْ

Jika mereka hadir namun tidak bertempur, maka hal itu perlu diteliti; jika pertempuran tidak dapat dilakukan karena musuh melarikan diri, mereka berhak mendapatkan upah, karena mereka telah menyerahkan diri mereka untuk sesuatu yang mereka disewa untuknya, sehingga mereka seperti orang yang menyewakan dirinya untuk suatu pekerjaan namun tidak digunakan, atau seperti orang yang menyewakan rumah lalu menyerahkannya namun tidak ditempati.

وَإِنْ أَمْكَنَ الْقِتَالُ فَلَمْ يُقَاتِلُوا مَعَ الْحَاجَةِ إِلَى قِتَالِهِمْ رُدَّ مِنَ الْأُجْرَةِ بِالْقِسْطِ مِمَّا تَتَقَسَّطُ عَلَيْهِ الْأُجْرَةُ وَفِيهِ وَجْهَانِ

Jika memungkinkan untuk berperang namun mereka tidak ikut berperang padahal ada kebutuhan untuk melibatkan mereka dalam peperangan, maka bagian upah yang sepadan dengan bagian yang menjadi dasar pembagian upah harus dikembalikan. Dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا أَنَّهَا تَتَقَسَّطُ عَلَى الْمَسَافَةِ مِنْ بَلَدِ الْإِجَارَةِ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ إِلَى مَوْضِعِ الوُقْعَةِ مِنْ دَارِ الْحَرْبِ وَعَلَى الْقِتَالِ فِيهَا لِأَنَّهَا إِجَارَةٌ عَلَى مَسَافَةٍ وَعَمَلٍ

Salah satunya adalah bahwa upah tersebut dibagi berdasarkan jarak dari negeri tempat akad ijarah di wilayah Islam hingga lokasi pertempuran di wilayah perang, serta berdasarkan pertempuran yang terjadi di sana, karena ijarah tersebut adalah akad atas jarak tempuh dan pekerjaan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهَا تَتَقَسَّطُ عَلَى مَسَافَةِ مَسِيرِهِ مِنْ بِلَادِ الْحَرْبِ إِلَى مَوْضِعِ الْوَقْعَةِ وَعَلَى الْقِتَالِ فِيهَا وَلَا تَتَقَسَّطُ عَلَى مَسَافَةِ مَسِيرِهِ فِي بِلَادِ الْإِسْلَامِ

Pendapat kedua adalah bahwa pembagian itu dilakukan berdasarkan jarak perjalanan dari negeri perang ke tempat terjadinya pertempuran dan juga berdasarkan pertempuran yang terjadi di sana, namun tidak dibagi berdasarkan jarak perjalanan di wilayah negeri Islam.

وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْمَسَافَتَيْنِ أَنَّ مَسِيرَهُ فِي بِلَادِ الْإِسْلَامِ سَبَبٌ يَتَوَصَّلُ بِهِ إِلَى الْعَمَلِ لِأَنَّهُ فِي غَيْرِهَا فَلَمْ تَتَقَسَّطْ عَلَيْهِ الْأُجْرَةُ وَمَسِيرَهُ فِي دَارِ الْحَرْبِ شُرُوعٌ في العمل المستحق عليه لأنه كُلُّ مَوْضِعٍ فِي دَارِ الْحَرْبِ مَحَلٌّ لِقِتَالِ أَهْلِهِ فَتُقَسَّطُ عَلَيْهِ الْأُجْرَةُ وَهَذَانِ الْوَجْهَانِ مَبْنِيَّانِ عَلَى اخْتِلَافِ الْوَجْهَيْنِ فِي مَسَافَةِ الْحَجِّ هَلْ تَتَقَسَّطُ عَلَيْهِ أُجْرَةُ الْمُعَلِّمِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ فَإِنْ صَالَحَ الْإِمَامُ أَهْلَ الثَّغْرِ الَّذِينَ اسْتَأْجَرَهُمْ لِلْغَزْوِ إِلَيْهِ نُظِرَ فَإِنْ كَانَ الصُّلْحُ بَعْدَ دُخُولِهِ بِهِمْ إِلَى دَارِ الْحَرْبِ لَمْ يَسْتَرْجِعْ مِنْهُمُ الْأُجْرَةَ لِأَنَّ مَسِيرَهُمْ قَدْ أَثَّرَ فِي الرَّهْبَةِ الْمُفْضِيَةِ إِلَى الصُّلْحِ وَإِنْ كَانَ الصُّلْحُ قَبْلَ مَسِيرِهِ بِهِمْ مِنْ بِلَادِ الْإِسْلَامِ اسْتَرْجَعَ مِنْهُمْ جَمِيعَ الْأُجْرَةِ وَكَانَ هَذَا عُذْرًا بِجَوَازِ أَنْ يَفْسَخَ بِهِ مَا تَعَلَّقَ بِعُمُومِ الْمَصَالِحِ مِنَ الْإِجَارَةِ وَإِنْ سُلِّمَ تُفْسَخُ بِمِثْلِهِ الْعُقُودُ الْخَاصَّةُ

Perbedaan antara dua jarak perjalanan itu adalah bahwa perjalanannya di negeri Islam merupakan sebab yang mengantarkannya kepada pelaksanaan pekerjaan, karena jika perjalanannya di selain negeri Islam, maka upah tidak dibagi rata atasnya. Sedangkan perjalanannya di wilayah perang merupakan permulaan pelaksanaan pekerjaan yang menjadi kewajibannya, karena setiap tempat di wilayah perang adalah tempat untuk memerangi penduduknya, sehingga upah dibagi rata atasnya. Kedua pendapat ini didasarkan pada perbedaan pendapat dalam masalah jarak haji, apakah upah guru dibagi rata atasnya atau tidak; terdapat dua pendapat. Jika imam berdamai dengan penduduk perbatasan yang telah disewanya untuk berperang, maka dilihat keadaannya: jika perdamaian terjadi setelah ia masuk bersama mereka ke wilayah perang, maka tidak diambil kembali upah dari mereka, karena perjalanan mereka telah memberikan pengaruh berupa rasa takut yang mengantarkan kepada perdamaian. Namun jika perdamaian terjadi sebelum ia berangkat bersama mereka dari negeri Islam, maka diambil kembali seluruh upah dari mereka. Hal ini menjadi alasan bolehnya membatalkan akad ijarah yang berkaitan dengan kemaslahatan umum, dan jika diterima, maka akad-akad khusus pun dapat dibatalkan dengan sebab yang serupa.

وَإِنْ كَانَ الصُّلْحُ بَعْدَ مَسِيرِهِ فِي بِلَادِ الْإِسْلَامِ وَقَبْلَ دُخُولِهِ إِلَى أَرْضِ الْحَرْبِ فَفِي اسْتِحْقَاقِهِمْ مِنَ الْأُجْرَةِ بِقَدْرِ الْمَسَافَةِ وَجْهَانِ مِنَ الْوَجْهَيْنِ الْمُتَقَدِّمَيْنِ

Jika perdamaian terjadi setelah ia berangkat di negeri Islam dan sebelum memasuki wilayah musuh, maka dalam hal hak mereka atas upah sesuai jarak tempuh terdapat dua pendapat, sebagaimana dua pendapat yang telah disebutkan sebelumnya.

أَحَدُهُمَا يَسْتَحِقُّ بِهِ إِذَا قِيلَ إِنَّ الْأُجْرَةَ تَتَقَسَّطُ عَلَيْهِ

Salah satunya menjadi berhak dengannya jika dikatakan bahwa upah itu dibagi atasnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا يَسْتَحِقُّ بِهِ إِذَا قِيلَ إِنَّ الْأُجْرَةَ لَا تَتَقَسَّطُ عَلَيْهِ

Pendapat kedua tidak berhak mendapatkannya jika dikatakan bahwa upah tidak dibagi-bagi atasnya.

وَلَوِ اسْتَأْجَرَهُمْ لِلْغَزْوِ إِلَى ثَغْرٍ فَأَرَادَ أَنْ يَعْدِلَ بِهِمْ إِلَى غَيْرِهِ لِعُذْرٍ أَوْ غَيْرِ عُذْرٍ نُظِرَ فَإِنْ كَانَتْ مَسَافَةُ الثَّغْرِ الثَّانِيِ أَبْعَدَ وَكَانَ طَرِيقُهُ أَوْعَرَ وَكَانَ أَهْلُهُ أَشْجَعَ لَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ وَإِنْ كَانَ مِثْلَ الْأَوَّلِ أَوْ أَسْهَلَ كَانَ لَهُ ذَلِكَ كَمَنِ اسْتَأْجَرَ أَرْضًا لِيَزْرَعَهَا برا فليس لَهُ أَنْ يَزْرَعَهَا مَا يَضُرُّ بِهَا أَكْثَرَ مِنْ ضَرَرِ الْبُرِّ وَلَهُ أَنْ يَزْرَعَهَا مَا يَضُرُّ بِهَا مِثْلَ ضَرَرِ الْبُرِّ وَمَا هُوَ أَقَلُّ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Dan jika seseorang menyewa mereka untuk berperang ke suatu perbatasan, lalu ia ingin memindahkan mereka ke perbatasan lain, baik karena ada uzur maupun tanpa uzur, maka hal itu perlu ditinjau. Jika jarak ke perbatasan yang kedua lebih jauh, jalannya lebih sulit, dan penduduknya lebih berani, maka ia tidak boleh melakukan hal itu. Namun jika kondisinya sama dengan yang pertama atau lebih mudah, maka ia boleh melakukannya. Hal ini seperti seseorang yang menyewa sebidang tanah untuk ditanami gandum, maka ia tidak boleh menanaminya dengan sesuatu yang menimbulkan kerusakan lebih besar daripada kerusakan gandum, tetapi ia boleh menanaminya dengan sesuatu yang kerusakannya sama atau lebih ringan daripada kerusakan gandum. Dan Allah Maha Mengetahui.

فَصْلٌ

Fasal

وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَخْرُجُوا مَعَهُ بِجَعَالَةٍ يَبْذُلُهَا فَيَقُولُ مَنْ غَزَا مَعِي فَلَهُ دِينَارٌ

Bagian kedua adalah mereka keluar bersamanya dengan imbalan yang ia tawarkan, misalnya ia berkata: “Siapa yang berperang bersamaku, maka baginya satu dinar.”

قِيلَ يَجُوزُ مَعَ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُشْرِكِينَ لِأَنَّهُ يَجُوزُ فِي خُصُوصِ الْحُقُوقِ فَكَانَ أَوْلَى بِالْجَوَازِ فِي عُمُومِ الْمَصَالِحِ وَلِلْإِمَامِ فِي بَذْلِ الْجَعَالَةِ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ

Dikatakan bahwa hal itu boleh dilakukan bersama kaum Muslimin dan kaum musyrikin, karena hal itu dibolehkan dalam perkara hak-hak khusus, maka lebih utama lagi dibolehkan dalam kemaslahatan umum. Dan bagi imam dalam memberikan imbalan (ja‘ālah) terdapat tiga keadaan.

أَحَدُهَا أَنْ يَجْعَلَهَا لِأَهْلِ الذِّمَّةِ مِنَ الْمُشْرِكِينَ فَتَخْتَصُّ بِهِمْ دُونَ الْمُسْلِمِينَ وَيَسْتَحِقُّهَا مَنْ غَزَا مَعَهُمْ مِنْ رِجَالِهِمْ دُونَ نِسَائِهِمْ لِأَنَّ الْغَزْوَ مُتَوَجِّهٌ إِلَى أَهْلِهِ وَهُمُ الرِّجَالُ دُونَ النِّسَاءِ

Salah satunya adalah menjadikannya khusus bagi ahludz-dzimmah dari kalangan musyrik, sehingga hal itu menjadi kekhususan mereka dan tidak berlaku bagi kaum Muslimin. Yang berhak mendapatkannya adalah laki-laki dari mereka yang ikut berperang, bukan perempuan-perempuan mereka, karena peperangan itu ditujukan kepada kaum laki-laki mereka, bukan kepada perempuan-perempuan mereka.

وَلَوْ قَالَ قَائِلٌ مَنْ قَاتَلَ مَعِي فَلَهُ دِينَارٌ اسْتَحَقَّهُ مَنْ قَاتَلَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ لِأَنَّ الْغَزْوَ حُكْمٌ فَتَوَجَّهَ إِلَى أَهْلِهِ وَالْقِتَالَ فِعْلٌ فَتَوَجَّهَ إِلَى مَنْ وَجَدَ مِنْهُ وَلَمْ يَسْتَحِقَّهُ الصِّبْيَانُ فِي الْحَالَيْنِ لِأَنَّ الْجَعَالَةَ عَقْدٌ فَلَمْ تَصِحَّ إِلَّا مَعَ أَهْلِ الْعُقُودِ

Jika seseorang berkata, “Siapa yang berperang bersamaku maka baginya satu dinar,” maka yang berhak mendapatkannya adalah laki-laki dan perempuan yang ikut berperang, karena peperangan adalah hukum yang ditujukan kepada mereka, sedangkan pertempuran adalah perbuatan yang ditujukan kepada siapa saja yang melakukannya. Anak-anak tidak berhak mendapatkannya dalam kedua keadaan tersebut, karena ju‘ālah adalah akad, sehingga tidak sah kecuali bersama orang yang layak melakukan akad.

فَأَمَّا عَبِيدُهُمْ فَإِنْ أُذِنَ لَهُمْ دَخَلُوا فِي الْجَعَالَةِ وَاسْتَحَقُّوهَا وَإِنْ لَمْ يُؤْذَنْ لَهُمْ لَمْ يَدْخُلُوا فِيهَا

Adapun para budak mereka, jika diizinkan kepada mereka, maka mereka masuk dalam ja‘ālah dan berhak mendapatkannya. Namun jika tidak diizinkan, maka mereka tidak termasuk di dalamnya.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ يَبْذُلَهَا لِلْمُسْلِمِينَ فَتَخْتَصَّ بِهِمْ دُونَ الْمُشْرِكِينَ وَيَسْتَحِقُّهَا مَنْ غَزَا مَعَهُ مِنْ غَيْرِ أَهْلِ الْفَيْءِ وَلَا يَسْتَحِقُّهَا أَهْلُ الْفَيْءِ لِأَنَّ غَزْوَ أَهِلِ الْفَيْءِ مَعَهُ مُسْتَحَقٌّ عَلَيْهِمْ بِغَيْرِ الْجَعَالَةِ وَهُوَ مَا يَأْخُذُونَهُ مِنْ دِيوَانِ الْعَطَاءِ فَلَمْ يَجْمَعُوا فِيهِ بَيْنَ حَقَّيْنِ وَالْكَلَامُ فِي دُخُولِ النساء والعبيد على ما معنى

Keadaan kedua adalah apabila ia memberikannya kepada kaum Muslimin, maka hal itu menjadi khusus bagi mereka dan tidak untuk kaum musyrik. Yang berhak menerimanya adalah orang-orang yang berperang bersamanya selain ahli fai’, dan ahli fai’ tidak berhak menerimanya karena peperangan ahli fai’ bersamanya adalah kewajiban atas mereka tanpa imbalan (ja‘ālah), yaitu apa yang mereka terima dari dīwān al-‘aṭā’, sehingga mereka tidak menggabungkan dua hak sekaligus. Adapun pembahasan mengenai keterlibatan perempuan dan budak adalah sebagaimana makna yang dimaksud.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ أَنْ تَعُمَّ الْجَعَالَةُ وَلَا تَخُصَّ فَيَدْخُلُ فِيهَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ مَنْ كَانَ مِنْ غَيْرِ أَهْلِ الْفَيْءِ وَلَا يَدْخُلُ فِيهَا أَهْلُ الْفَيْءِ وَيَدْخُلُ فِيهَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ وَلَا يَدْخُلُ فِيهَا أَهْلُ الْعَهْدِ لِأَنَّ أَحْكَامَ الْإِسْلَامِ تَجْرِي عَلَى أَهْلِ الذِّمَّةِ دُونَ الْمُعَاهَدِينَ وَيَكُونُ الْحُكْمُ فِي النِّسَاءِ وَالصِّبْيَانِ وَالْعَبِيدِ مِنَ الْفَرِيقَيْنِ عَلَى مَا تَقَدَّمَ فإذا استقر حكمها على ما معنى ملاحق فِيهَا لِمَنْ لَمْ يَشْهَدِ الْوَقْعَةَ سَوَاءٌ دَخَلَ دَارَ الْحَرْبِ أَوْ لَمْ يَدْخُلْ بِخِلَافِ الْإِجَارَةِ لِأَنَّ الْجَعَالَةَ تُسْتَحَقُّ عَلَى كَمَالِ الْعَمَلِ وَالْإِجَارَةَ تَتَقَسَّطُ عَلَى أَجْزَائه فَإِنْ شَهِدَ الْوَقْعَةَ نُظِرَ فِي لَفْظِ الْجَعَالَةِ فَإِنْ قَالَ مَنْ غَزَا مَعِي فَلَهُ دِينَارٌ اسْتَحَقَّهُ بِحُضُورِ الْوَقْعَةِ سَوَاءٌ قَاتَلَ أَوْ لَمْ يُقَاتِلْ وَإِنْ قَالَ مَنْ قَاتَلَ فَلَهُ دِينَارٌ لَمْ يَسْتَحِقَّهُ إِلَّا مَنْ قَاتَلَ دُونَ مَنْ لَمْ يُقَاتِلْ ثُمَّ يُنْظَرُ فِي مُسْتَحِقِّهِ فَإِنْ كَانَ مُسْلِمًا جَازَ أَنْ تَزِيدَ الْجَعَالَةُ عَلَى سِهَامِ الْغَانِمِينَ وَيُسْهَمَ لِمُسْتَحَقِّهَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَإِنْ كَانَ مُشْرِكًا فَعَلَى قَوْلِ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ يَسْتَحِقُّهَا إِنْ لَمْ تَبْلُغْ سَهْمَ فَارِسٍ وَلَا رَاجِلٍ عَلَى الوجه

Keadaan ketiga adalah apabila ja‘ālah bersifat umum dan tidak khusus, sehingga di dalamnya termasuk dari kalangan Muslimin orang-orang yang bukan ahli fai’, dan tidak termasuk di dalamnya ahli fai’. Dari kalangan musyrikin, yang termasuk adalah ahludz-dzimmah, sedangkan ahlul-‘ahd tidak termasuk, karena hukum-hukum Islam berlaku atas ahludz-dzimmah dan tidak berlaku atas orang-orang yang terikat perjanjian. Adapun hukum bagi perempuan, anak-anak, dan budak dari kedua kelompok adalah sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Jika hukum ja‘ālah telah tetap sebagaimana maknanya, maka hak atasnya juga berlaku bagi orang yang tidak hadir dalam peristiwa tersebut, baik ia telah memasuki wilayah perang maupun belum, berbeda dengan ijarah, karena ja‘ālah menjadi hak atas sempurnanya pekerjaan, sedangkan ijarah terbagi atas bagian-bagiannya. Jika ia hadir dalam peristiwa tersebut, maka dilihat pada lafaz ja‘ālah-nya; jika dikatakan, “Barang siapa yang berperang bersamaku, maka baginya satu dinar,” maka ia berhak mendapatkannya hanya dengan hadir dalam peristiwa tersebut, baik ia bertempur maupun tidak. Namun jika dikatakan, “Barang siapa yang bertempur, maka baginya satu dinar,” maka yang berhak hanyalah orang yang bertempur, tidak termasuk yang tidak bertempur. Kemudian dilihat pada siapa yang berhak menerimanya; jika ia seorang Muslim, maka boleh ja‘ālah itu melebihi bagian para ghanimīn dan diberikan bagian kepada yang berhak dari kalangan Muslimin. Jika ia seorang musyrik, maka menurut pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, ia berhak menerimanya selama tidak mencapai bagian seorang penunggang kuda maupun pejalan kaki, sesuai ketentuan.

الَّذِي اخْتَرْتُهُ يَسْتَحِقُّهَا وَإِنْ بَلَغَ ذَلِكَ وَزَادَ عَلَيْهِ وَلَا يَسْتَحِقُّ الْمُشْرِكُ مِنَ الْغُنْمِ سَهْمًا وَلَا رَضْخًا لِأَنَّهُ لَا يَسْتَحِقُّ بِغَيْرِ جَعَالَةٍ فَكَانَ أَوْلَى أَنْ لَا يَسْتَحِقَّهُ مَعَ الْجَعَالَةِ

Pendapat yang aku pilih adalah bahwa ia berhak mendapatkannya, meskipun jumlahnya mencapai itu atau melebihinya. Sedangkan orang musyrik tidak berhak mendapatkan bagian atau hadiah dari harta rampasan perang, karena ia tidak berhak mendapatkannya kecuali dengan imbalan tertentu, maka lebih utama lagi ia tidak berhak mendapatkannya bersama dengan adanya imbalan tersebut.

فَصْلٌ

Fasal

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يُجْعَلَ لِجَمِيعِ مَنْ غَزَا مَعَهُ أَلْفُ دِينَارٍ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ

Bagian ketiga adalah memberikan seribu dinar kepada seluruh orang yang berperang bersamanya; hal ini terbagi menjadi dua macam.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ الْمَالُ فِي الذِّمَّةِ فَيَدْخُلُ فِي الْجَعَالَةِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ مَنْ غَزَا مِنَ الْمُتَطَوِّعَةِ دُونَ مُرْتَزِقَةِ أَهْلِ الْفَيْءِ وَيَدْخُلُ فِيهَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ أَهْلُ الذِّمَّةِ دُونَ الْمُعَاهَدِينَ عَلَى مَا ذَكَرْنَا فِي الْجَعَالَةِ الْمُفْرَدَةِ ثُمَّ يُقْسَمُ ذلك بين جمعيهم من المسلمين وأهل الذمة على أعداد رؤوسهم قَلُّوا أَوْ كَثُرُوا وَلَا يُفَضَّلُ مُسْلِمٌ عَلَى ذِمِّيٍّ وَلَا مَنْ يُسْهَمُ لَهُ عَلَى مَنْ لَا يُسْهَمُ لَهُ وَلَا يَدْخُلُ فِيهَا مِنَ الْعَبِيدِ الْمَأْذُونِ لَهُمْ إِلَّا مَنْ لَا يَدْخُلُ فِيهَا سَيِّدُهُ لِأَنَّهُ يَعُودُ عَلَى سَيِّدِهِ وَلَا يَمْلِكُ فَيَصِيرُ سَيِّدُهُ بِذَلِكَ مُفَضَّلًا عَلَى غَيْرِهِ وَوُجُوبُ التَّسْوِيَةِ بَيْنَهُمْ تَمْنَعُ مِنَ التَّفْضِيلِ بِخِلَافِ الْجَعَالَةِ الْمُفْرَدَةِ

Salah satunya adalah bahwa harta itu berada dalam tanggungan (dzimmah), sehingga dalam ja‘ālah termasuk dari kaum Muslimin adalah mereka yang berperang dari kalangan sukarelawan, bukan dari tentara bayaran yang mendapat bagian fai’, dan termasuk pula dari kalangan musyrikin adalah ahludz-dzimmah, bukan orang-orang yang terikat perjanjian, sebagaimana telah kami sebutkan dalam pembahasan ja‘ālah secara khusus. Kemudian harta itu dibagikan di antara seluruh kelompok mereka, baik dari kalangan Muslimin maupun ahludz-dzimmah, berdasarkan jumlah kepala mereka, sedikit atau banyak, dan tidak boleh seorang Muslim diutamakan atas dzimmi, atau orang yang mendapat bagian diutamakan atas yang tidak mendapat bagian. Tidak termasuk di dalamnya budak-budak yang diizinkan kecuali yang tuannya tidak termasuk di dalamnya, karena hasilnya akan kembali kepada tuannya dan budak itu tidak memiliki, sehingga tuannya menjadi diutamakan atas yang lain. Kewajiban untuk menyamaratakan di antara mereka mencegah adanya keutamaan, berbeda dengan ja‘ālah secara khusus.

وَأَمَّا النِّسَاءُ فَإِنْ جُعِلَتْ عَلَى الْقِتَالِ دَخَلْنَ وَإِنْ جُعِلَتْ عَلَى الْغَزْوِ لَمْ يَدْخُلْنَ كَالْجَعَالَةِ الْمُفْرَدَةِ

Adapun para perempuan, jika syaratnya ditetapkan atas pertempuran, maka mereka termasuk di dalamnya; namun jika syaratnya ditetapkan atas peperangan (secara umum), maka mereka tidak termasuk, sebagaimana pada ja‘ālah yang bersifat khusus.

فَأَمَّا الصِّبْيَانُ فَإِنْ لَمْ يَدْخُلْ فِيهَا أَوْلِيَاؤُهُمْ لَمْ يَدْخُلُوا كَالْجَعَالَةِ الْمُفْرَدَةِ وَإِنْ دَخَلَ فِيهَا أَوْلِيَاؤُهُمْ دَخَلُوا بِخِلَافِ الْجَعَالَةِ الْمُفْرَدَةِ لِأَنَّ الْعَقْدَ فِي الْجَعَالَةِ الْجَامِعَةِ وَاحِدٌ فَدَخَلُوا فِيهِ تَبَعًا وَفِي الْمُفْرَدَةِ عُقُودٌ فَلَمْ يَكُونُوا فِيهِ تَبَعًا

Adapun anak-anak, jika wali mereka tidak ikut serta dalam akad tersebut, maka mereka pun tidak ikut serta, seperti pada ja‘ālah yang bersifat individu. Namun jika wali mereka ikut serta dalam akad tersebut, maka mereka pun ikut serta, berbeda dengan ja‘ālah yang bersifat individu. Hal ini karena dalam ja‘ālah yang bersifat kolektif, akadnya satu sehingga mereka masuk di dalamnya secara ikut-ikutan, sedangkan pada ja‘ālah yang bersifat individu terdapat beberapa akad, sehingga mereka tidak termasuk di dalamnya secara ikut-ikutan.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ مَالُ هَذِهِ الْجَعَالَةِ مُعَيَّنًا فَيَقُولُ قَدْ حَصَلَتْ لِجَمِيعِ مَنْ غَزَا مَعِي هَذَا الْمَالُ الْحَاضِرُ فَيَصِحُّ هَذَا سَوَاءٌ كَانَ الْمَالُ مَعْلُومًا أَوْ مَجْهُولًا لِأَنَّهُ لَمَّا صَحَّ بِالْمَعْلُومِ لِعَدَدٍ مَجْهُولٍ صَحَّ بِالْمَجْهُولِ وَيَكُونُ الدَّاخِلُ فِي هَذِهِ الْجَعَالَةِ مُعْتَبَرًا بِحُكْمِ الْمَالِ وَهُوَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ

Jenis kedua adalah apabila harta ja‘ālah ini ditentukan, misalnya ia berkata: “Harta yang ada ini menjadi milik semua orang yang berperang bersamaku.” Maka hal ini sah, baik hartanya diketahui maupun tidak diketahui, karena ketika sah dengan harta yang diketahui untuk jumlah orang yang tidak diketahui, maka sah pula dengan harta yang tidak diketahui. Orang yang ikut serta dalam ja‘ālah ini dipertimbangkan berdasarkan ketentuan harta, dan hal ini terbagi menjadi tiga jenis.

أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ مِنْ مَالِ الصَّدَقَاتِ فَيَخْرُجُ الْمُشْرِكُونَ مِنْ هَذِهِ الْجَعَالَةِ لِأَنَّهُ لَا حَقَّ لَهُمْ فِي مَالِ الصَّدَقَاتِ وَيَدْخُلُ فِيهَا الْمُتَطَوِّعَةُ مِنَ الْمُسْلِمِينَ دُونَ مُرْتَزِقَةِ أَهْلِ الْفَيْءِ وَلَا يجوز أن يسترجع منهم إن لم يغزو لِأَنَّهُمْ أَخَذُوا مَا يَسْتَحِقُّونَهُ بِغَيْرِ جَعَالَةٍ

Salah satunya adalah jika berasal dari harta sedekah, maka orang-orang musyrik tidak termasuk dalam ja‘ālah ini karena mereka tidak memiliki hak atas harta sedekah, dan yang termasuk di dalamnya adalah para relawan dari kalangan Muslim, bukan para tentara bayaran dari harta fai’. Tidak boleh diambil kembali dari mereka jika mereka tidak ikut berperang, karena mereka telah mengambil apa yang menjadi hak mereka tanpa adanya ja‘ālah.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ مِنْ مَالِ الْمَصَالِحِ وَهُوَ سَهْمِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ الْمُعَدُّ لِمَصَالِحِ الْمُسْلِمِينَ الْعَامَّةِ فَيَدْخُلُ فِيهَا مُتَطَوِّعَةُ المسلمين وأهل الذمة من المشركين لأنه ما ل يصح مصرفه إلى الفريقين فإن لم يغزو اسْتُرْجِعَ مَا أَخَذَهُ الْمُشْرِكُونَ وَلَمْ يُسْتَرْجَعْ مَا أَخَذَهُ الْمُسْلِمُونَ لِأَنَّهُ مَالٌ مُرْصَدٌ لِمَصَالِحِ الْمُسْلِمِينَ دُونَ الْمُشْرِكِينَ

Jenis yang kedua adalah harta yang berasal dari dana kemaslahatan, yaitu bagian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diperuntukkan bagi kemaslahatan umum kaum Muslimin. Dalam hal ini termasuk juga para relawan dari kaum Muslimin dan ahludz-dzimmah dari kalangan musyrikin, karena harta tersebut boleh diberikan kepada kedua kelompok tersebut. Jika mereka tidak ikut berperang, maka apa yang telah diambil oleh kaum musyrikin harus dikembalikan, sedangkan apa yang telah diambil oleh kaum Muslimin tidak perlu dikembalikan, karena harta itu memang diperuntukkan bagi kemaslahatan kaum Muslimin, bukan untuk kaum musyrikin.

وَالضَّرْبُ الثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ الْمَالُ مِنْ أَرْبَعَةِ أَخْمَاسِ الْفَيْءِ فَفِي هَذِهِ الْجَعَالَةِ الْمَعْقُودَةِ بِهِ قَوْلَانِ مِنِ اخْتِلَافِ الْقَوْلَيْنِ فِي وجوب مصرفه

Jenis yang ketiga adalah apabila harta itu berasal dari empat perlima fai’, maka dalam pemberian imbalan yang diadakan dengan harta tersebut terdapat dua pendapat, yang bersumber dari perbedaan dua pendapat mengenai kewajiban penggunaannya.

أَحَدُهُمَا أَنَّهَا بَاطِلَةٌ إِذَا قِيلَ إِنْ مَصْرِفَهُ فِي الْجَيْشِ خَاصَّةً لِأَنَّهُ مَوْقُوفٌ عَلَى أَرْزَاقِهِمْ فَإِذَا اسْتَوْفَوْهَا لَمْ يَسْتَحِقُّوا غَيْرَهَا وَلَمْ يَسْتَحِقَّهُ غَيْرُهُمْ

Salah satunya adalah bahwa hal itu batal jika dikatakan bahwa penyalurannya khusus untuk tentara, karena itu telah ditetapkan untuk tunjangan mereka. Maka apabila mereka telah menerima tunjangan tersebut, mereka tidak berhak atas yang lain, dan orang lain pun tidak berhak atasnya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّهَا جَائِزَةٌ إِذَا قِيلَ إِنَّ مَصْرِفَهُ فِي الْمَصَالِحِ الْعَامَّةِ وَدَخَلَ فِيهَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ مَنْ عَدَا مُرْتَزِقَةَ أَهْلِ الْفَيْءِ سَوَاءٌ كَانُوا مِنْ أَهْلِ الصَّدَقَاتِ أَوْ لَا؟ فَإِنْ قِيلَ أَفَلَيْسَ أَهْلُ الصَّدَقَةِ مَمْنُوعِينَ مِنْ مَالِ الْفَيْءِ

Pendapat kedua menyatakan bahwa hal itu diperbolehkan jika dikatakan bahwa penyalurannya untuk kemaslahatan umum, dan di dalamnya termasuk kaum Muslimin selain para tentara yang menerima gaji dari harta fai’, baik mereka termasuk golongan penerima zakat maupun tidak. Jika dikatakan, bukankah para penerima zakat dilarang menerima harta fai’?

قِيلَ إِنَّمَا مُنِعُوا مِنْ أَخْذِهِ بالفقر والمسكنة الذي يَسْتَحِقُّونَ بِهِمَا الصَّدَقَةَ وَلَمْ يُمْنَعُوا مِنْ أَخْذِهِ عَلَى عَمَلٍ كَمَا يَجُوزُ دَفْعُهُ إِلَيْهِمْ فِي بِنَاءِ الْمَسَاجِدِ وَالْحُصُونِ وَلِذَلِكَ دَخَلَ فِي هَذِهِ الْجَعَالَةِ الْأَغْنِيَاءُ وَالْفُقَرَاءُ فَأَمَّا الْمُشْرِكُونَ فَعَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ فِي دُخُولِ أَهْلِ الذِّمَّةِ فِيهَا دُونَ الْمُعَاهَدِينَ

Dikatakan bahwa mereka dilarang menerima (zakat) karena kefakiran dan kemiskinan yang dengannya mereka berhak menerima sedekah, dan mereka tidak dilarang menerimanya karena suatu pekerjaan, sebagaimana boleh diberikan kepada mereka dalam pembangunan masjid dan benteng. Oleh karena itu, dalam pemberian imbalan ini, baik orang kaya maupun orang fakir termasuk di dalamnya. Adapun orang-orang musyrik, maka sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, yang termasuk di dalamnya adalah ahludz-dzimmah, bukan orang-orang mu‘āhad.

فَإِذَا تَقَرَّرَ حُكْمُ الدَّاخِلِينَ فِي هَذِهِ الْجَعَالَةِ فَغَزَا بِهَا مَنْ أَخْرَجَهُ حُكْمُ الشَّرْعِ مِنْهَا لَمْ يَخْلُ حَالُهُ مِنْ أَنْ يَكُونَ عَالِمًا بِالْحُكْمِ أَوْ جَاهِلًا فَإِنْ كَانَ عَالِمًا بِهِ كَانَ مُتَطَوِّعًا ولَا شَيْءَ لَهُ مُسْلِمًا كَانَ أَوْ كَافِرًا وَإِنَّ جَهِلَ حُكْمَ الشَّرْعِ فِيهِ فَفِيهِ وَجْهَانِ

Jika telah ditetapkan hukum bagi orang-orang yang termasuk dalam ja‘ālah ini, lalu seseorang yang telah dikeluarkan oleh hukum syariat dari golongan tersebut ikut berperang dengan ja‘ālah itu, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: ia mengetahui hukumnya atau tidak mengetahuinya. Jika ia mengetahui hukumnya, maka ia dianggap sebagai sukarelawan dan tidak berhak mendapatkan apa pun, baik ia seorang Muslim maupun kafir. Namun, jika ia tidak mengetahui hukum syariat dalam hal ini, maka terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَسْتَحِقَّ جَعَالَةَ مِثْلِهِ وَلَا يَسْتَحِقَّ أُجْرَةَ مِثْلِهِ لِأَنَّهُ دَخَلَ فِي جَعَالَةٍ فَاسِدَةٍ وَلَمْ يَدْخُلْ فِي إِجَارَةٍ فَاسِدَةٍ

Salah satunya adalah bahwa ia berhak mendapatkan ja‘ālah yang sepadan, namun tidak berhak mendapatkan upah yang sepadan, karena ia telah masuk dalam akad ja‘ālah yang fasid, dan tidak masuk dalam akad ijarah yang fasid.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا شَيْءَ لَهُ لِأَنَّهُ لَمْ يَدْخُلْ فِي الْجَعَالَةِ فَيَتَوَجَّهُ إِلَيْهِ حُكْمُ فَسَادِهَا وَقَدْ كَانَ يُمْكِنُهُ أَنْ يَسْتَعْمِلَ حُكْمَ الشَّرْعِ فِيهَا فَكَانَ مُفْرِطًا وَبِغَزْوِهِ مُتَبَرِّعًا

Pendapat kedua tidak mendapatkan apa-apa, karena ia tidak termasuk dalam akad ju‘ālah sehingga hukum rusaknya akad tersebut tidak berlaku padanya. Sebenarnya, ia bisa saja menggunakan hukum syariat dalam hal ini, sehingga ia dianggap telah lalai, dan dengan keikutsertaannya dalam peperangan, ia dianggap sebagai orang yang berbuat sukarela.

فَصْلٌ

Bab

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ أَنْ يَغْزُوَ مَعَهُ الْمُشْرِكُونَ بِغَيْرِ إِجَارَةٍ وَلَا جَعَالَةٍ فَهَذَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ

Bagian keempat adalah apabila orang-orang musyrik ikut berperang bersamanya tanpa adanya perjanjian perlindungan maupun imbalan tertentu, maka hal ini terbagi menjadi tiga macam.

أَحَدُهَا أَنْ يُكْرِهَهُمُ الْإِمَامُ فَيَخْرُجُوا مَعَهُمْ مُكْرَهِينَ فَيَسْتَحِقُّوا عَلَيْهِ بِالْإِكْرَاهِ أُجُورَ أَمْثَالِهِمْ مِنْ غَيْرِ سَهْمٍ وَلَا رَضْخٍ لِاسْتِهْلَاكِ عَمَلِهِمْ عَلَيْهِمْ كَمَا لَوِ اسْتَكْرَهَهُمْ فِي حُمُولَةٍ أَوْ بِنَاءٍ وَسَوَاءٌ كَانُوا أَهْلَ ذِمَّةٍ أَوْ مُعَاهَدِينَ وَلَيْسَ يُرَاعَى فِي هَذَا الْإِكْرَاهِ الضَّرْبُ وَالْحَبْسُ الْمُرَاعَى فِي الْإِكْرَاهِ عَلَى الطَّلَاقِ وَالْعَتَاقِ وَإِنَّمَا يُرَاعَى أَنْ لَا يُفْسِحَ لَهُمْ فِي التَّأَخُّرِ وَيُجْبِرَهُمْ عَلَى الْخُرُوجِ لِأَنَّهُمْ بِالذِّمَّةِ وَالْعَهْدِ فِي قَبْضَتِهِ وَتَحْتَ حِجْرِهِ فَلَمْ يَحْتَجْ مَعَ الْقَوْلِ إِلَى غَيْرِهِ

Salah satunya adalah apabila imam memaksa mereka, lalu mereka keluar bersamanya dalam keadaan terpaksa, maka mereka berhak atas imam karena paksaan tersebut mendapatkan upah yang setara dengan pekerjaan mereka, tanpa mendapat bagian ghanimah maupun bonus, karena pekerjaan mereka telah digunakan untuk kepentingan imam, sebagaimana jika mereka dipaksa untuk mengangkut barang atau membangun sesuatu. Hal ini berlaku baik mereka adalah ahludz-dzimmah maupun orang-orang yang terikat perjanjian. Dalam paksaan seperti ini, tidak disyaratkan adanya pemukulan atau penahanan sebagaimana yang disyaratkan dalam paksaan terhadap talak dan pembebasan budak. Yang diperhatikan hanyalah bahwa mereka tidak diberi kesempatan untuk menunda dan dipaksa untuk keluar, karena mereka berada dalam perlindungan dan perjanjian yang berada di bawah kekuasaan dan pengawasan imam, sehingga tidak diperlukan selain ucapan imam untuk memaksa mereka.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَأْذَنَ لَهُمْ فَيَخْرُجُوا مَعَهُ مُخْتَارِينَ فَلَا أُجْرَةَ لَهُمْ وَيَسْتَحِقُّوا بِالْحُضُورِ رَضْخًا وَلَا يَسْتَحِقُّوا بِهِ سَهْمًا لِأَنَّ الْمُشْرِكَ لَا يُسْهَمُ لَهُ وَيَسْتَحِقُّهُ بِالْحُضُورِ مَنْ قَاتَلَ وَمَنْ لَمْ يُقَاتِلْ لَكِنْ يُفَضَّلُ رَضْخُ مَنْ قَاتَلَ عَلَى مَنْ لَمْ يُقَاتِلْ كَالْمُسْلِمِ فَمَنْ كَانَ مِنْهُمْ رَاجِلًا لَمْ يَبْلُغْ بِرَضْخِهِ سَهْمَ فَارِسٍ وَلَا رَاجِلٍ وَمَنْ كَانَ مِنْهُمْ فَارِسًا لَمْ يَبْلُغْ بِرَضْخِهِ سَهْمَ فَارِسٍ وَفِي جَوَازِ أَنْ يَبْلُغَ بِهِ سَهْمَ رَاجِلٍ وَجْهَانِ

Jenis kedua adalah jika mereka diizinkan untuk keluar bersamanya secara sukarela, maka mereka tidak berhak mendapatkan upah, dan mereka berhak mendapatkan radkh karena kehadiran mereka, namun tidak berhak mendapatkan bagian (ghanimah), karena orang musyrik tidak diberikan bagian. Radkh karena kehadiran diberikan baik kepada yang ikut berperang maupun yang tidak, namun radkh bagi yang ikut berperang lebih diutamakan daripada yang tidak, sebagaimana halnya pada muslim. Barang siapa di antara mereka yang berjalan kaki, maka radkh yang diterimanya tidak mencapai bagian seorang penunggang kuda maupun bagian seorang pejalan kaki. Dan barang siapa di antara mereka yang menunggang kuda, maka radkh yang diterimanya tidak mencapai bagian seorang penunggang kuda, dan dalam hal boleh atau tidaknya radkh itu mencapai bagian seorang pejalan kaki terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا لَا يَجُوزُ لِأَنَّهُ لَا يُسَاوِي بِهِ مُسْلِمًا وَهَذَا قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ

Salah satu pendapat menyatakan tidak boleh, karena ia tidak menyamakan dengan seorang Muslim, dan ini adalah pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ عِنْدِي أَظْهَرُ أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَبْلُغَ بِهِ سَهْمَ رَاجِلٍ لِأَنَّ الرَّضْخَ مُشْتَرِكٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ فَرَسِهِ وَإِنْ مَلَكَهَا فَصَارَ فِي رَضْخِ نَفْسِهِ مُقَصِّرًا عَنْ سَهْمِ الرَّاجِلِ

Pendapat kedua, yang menurut saya lebih jelas, adalah bahwa boleh saja ia mendapatkan bagian seperti bagian pejalan kaki, karena al-radkh (bagian yang diberikan kepada non-pasukan inti) itu dibagi antara dia dan kudanya, meskipun ia memilikinya. Maka dalam hal ini, bagian al-radkh yang ia terima untuk dirinya sendiri menjadi lebih sedikit daripada bagian pejalan kaki.

وَالضَّرْبُ الثَّالِثُ أَنْ يَبْتَدِئُوا بِالْخُرُوجِ مُتَبَرِّعِينَ مِنْ غَيْرِ إِكْرَاهٍ وَلَا إِذْنٍ فَلَا أُجْرَةَ لَهُمْ وَلَا سَهْمَ فَأَمَّا الرَّضْخُ فَإِنْ قَاتَلُوا رُضِخَ لَهُمْ وَإِنْ لَمْ يُقَاتِلُوا لَمْ يُرْضَخْ لَهُمْ بِخِلَافِ مَا تَقَدَّمَ فِي الْمَأْذُونِ لَهُمْ لِأَنَّ الْإِذْنَ اسْتِعَانَةٌ فَقُوبِلُوا عَلَيْهَا بِالرَّضْخِ وَحُضُورِهِمْ مَعَ عَدَمِ الْإِذْنِ فَلَمْ يُقَابَلُوا عَلَيْهِ بِالرَّضْخِ إِلَّا عَلَى عَمَلٍ خَالَفُوا فِيهِ الْمُسْلِمَ لِأَنَّهُ مِنْ أَهْلِ الدَّفْعِ بِخِلَافِ الْمُشْرِكِ

Jenis yang ketiga adalah mereka yang memulai keluar (berperang) secara sukarela tanpa paksaan dan tanpa izin, maka mereka tidak mendapatkan upah dan tidak pula bagian (ghanimah). Adapun radkh, jika mereka ikut berperang maka diberikan radkh kepada mereka, dan jika mereka tidak ikut berperang maka tidak diberikan radkh kepada mereka, berbeda dengan yang telah disebutkan sebelumnya tentang orang-orang yang diberi izin, karena izin itu merupakan bentuk bantuan sehingga mereka mendapatkan radkh karenanya. Sedangkan kehadiran mereka tanpa izin tidak membuat mereka mendapatkan radkh kecuali atas perbuatan yang mereka lakukan yang berbeda dengan kaum muslimin, karena mereka termasuk golongan yang berhak untuk menolak (musuh), berbeda dengan musyrik.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنْ حُكْمِ مَنْ يُسْتَعَانُ بِهِمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ فِيمَا يَسْتَحِقُّونَهُ مِنْ أُجْرَةٍ أَوْ جَعَالَةٍ أَوْ رَضْخٍ نُظِرَ فَإِنْ كَانَ الْمُسْتَحَقُّ أُجْرَةً دُفِعَتْ مِنْ مَالِ الْمَصَالِحِ الْحَاصِلِ قَبْلَ هَذِهِ الْغَنِيمَةِ لِأَنَّ الْأُجْرَةَ تُسْتَحَقُّ بِالْعَقْدِ الْوَاقِعِ قَبْلَهَا فَوَجَبَتْ فِي الْمَالِ الْحَاصِلِ قَبْلَهَا مِنْ أَمْوَالِ الْمَصَالِحِ وَهُوَ خُمْسِ الْخُمْسِ سَهْمِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مِنَ الْفَيْءِ وَالْغَنَائِمِ الْمُعَدُّ لِعُمُومِ الْمَصَالِحِ وَفِي جَوَازِ دَفْعِهَا مِنْ أَرْبَعَةِ أَخْمَاسِ الْفَيْءِ قَوْلَانِ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِهِمَا فِي مَصْرِفِهِ

Jika telah dipastikan sebagaimana yang telah kami jelaskan mengenai hukum orang-orang musyrik yang dimintai bantuan, terkait apa yang menjadi hak mereka berupa upah, imbalan, atau bagian tertentu, maka perlu diperhatikan: jika yang menjadi hak adalah upah, maka upah itu diambil dari harta kemaslahatan yang telah ada sebelum harta rampasan perang tersebut, karena upah itu menjadi hak berdasarkan akad yang terjadi sebelumnya, sehingga wajib diambil dari harta yang sudah ada sebelumnya dari harta-harta kemaslahatan. Harta tersebut adalah seperlima dari seperlima bagian Rasulullah saw. dari fai’ dan ghanimah yang memang disiapkan untuk kemaslahatan umum. Adapun kebolehan memberikan upah itu dari empat perlima bagian fai’, terdapat dua pendapat, tergantung pada perbedaan mereka dalam menentukan penggunaannya.

فَإِنْ قِيلَ إِنَّهُ لِلْجَيْشِ خَاصَّةً لَمْ يَجُزْ دَفْعُ أُجُورِهِمْ مِنْهُ

Jika dikatakan bahwa itu khusus untuk tentara, maka tidak boleh membayarkan upah mereka dari situ.

وَإِنْ قِيلَ إِنَّهُ لِلْمَصَالِحِ الْعَامَّةِ جَازَ دَفْعُ أُجُورِهِمْ مِنْهُ وَإِنْ كَانَ الْمُسْتَحَقُّ جَعَالَةً دُفِعَتْ مِنْ مَالِ الْمَصَالِحِ الْحَاصِلِ مِنْ مَالِ الْمَغْنَمِ بِخِلَافِ الْأُجْرَةِ لِأَنَّ الْجَعَالَةَ تُسْتَحَقُّ بَعْدَ الْعَمَلِ فَوَجَبَتْ فِي الْمَالِ الْحَاصِلِ بِالْعَمَلِ الْأُجْرَةُ مُسْتَحَقَّةٌ قَبْلَ الْعَمَلِ فَكَانَتْ مِنَ الْمَالِ الْحَاصِلِ قَبْلَهُ

Dan jika dikatakan bahwa itu untuk kemaslahatan umum, maka boleh membayarkan upah mereka dari dana tersebut. Jika yang berhak menerima adalah imbalan (ja‘ālah), maka dibayarkan dari dana kemaslahatan yang diperoleh dari harta rampasan perang (māl al-maghnam), berbeda dengan upah (‘ujrah), karena ja‘ālah menjadi hak setelah pekerjaan selesai, sehingga wajib diambil dari harta yang diperoleh melalui pekerjaan itu. Sedangkan upah (‘ujrah) menjadi hak sebelum pekerjaan dilakukan, sehingga diambil dari harta yang sudah ada sebelumnya.

وَإِنْ كَانَ الْمُسْتَحَقُّ رَضْخًا فَفِيمَا يُدْفَعُ مِنْهُ رَضْخُهُمْ ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ

Jika yang berhak menerima adalah orang yang mendapat bagian radkh, maka dalam hal apa yang diberikan dari harta itu sebagai radkh mereka terdapat tiga pendapat.

أَحَدُهَا مِنْ مَالِ الْمَصَالِحِ

Salah satunya berasal dari dana kemaslahatan.

وَالثَّانِي مِنْ أَصْلِ الْغَنِيمَةِ

Dan yang kedua berasal dari pokok harta rampasan perang.

وَالثَّالِثُ مِنْ أَرْبَعَةِ أَخْمَاسِهَا وَكُلُّ ذَلِكَ مِنْ غَنَائِمِ مَا قَاتَلُوا عَلَيْهِ

Dan sepertiga dari empat perlima bagian itu, dan semua itu berasal dari ghanimah atas apa yang mereka perangi.

فَأَمَّا رَضْخُ مَنْ حَضَرَهَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ فَفِيهِ قَوْلَانِ

Adapun pemberian bagian (radhkh) kepada kaum Muslimin yang hadir (dalam peperangan tersebut), maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا مِنْ أَصْلِ الْغَنِيمَةِ

Salah satunya berasal dari pokok ghanīmah.

وَالثَّانِي مِنْ أَرْبَعَةِ أَخْمَاسِهَا وَسَنَذْكُرُ تَوْجِيهَ ذَلِكَ من بعد والله أعلم

Dan yang kedua adalah dari empat perlima bagian darinya, dan kami akan menjelaskan alasannya setelah ini. Allah Maha Mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَيَبْدَأُ الْإِمَامُ بِقِتَالِ مَنْ يَلِيهِ مِنَ الْكُفَّارِ وَبِالْأَخْوَفِ فَإِنْ كَانَ الْأَبْعَدُ الْأَخْوَفَ فَلَا بَأْسَ أَنْ يَبْدَأَ بِهِ عَلَى مَعْنَى الضَّرُورَةِ الَّتِي يَجُوزُ فِيهَا مَا لَا يَجُوزُ فِي غَيْرِهَا “

Syafi‘i berkata, “Imam memulai memerangi orang-orang kafir yang paling dekat dengannya dan yang paling dikhawatirkan. Jika yang lebih jauh justru lebih berbahaya, maka tidak mengapa memulai dengan mereka atas dasar keadaan darurat, di mana dalam keadaan tersebut dibolehkan sesuatu yang tidak dibolehkan dalam keadaan lain.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ اعْلَمْ أَنَّ عَلَى الْإِمَامِ فِي جِهَادِ الْمُشْرِكِينَ حَقَّيْنِ

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa atas imam dalam jihad melawan kaum musyrik terdapat dua hak.

أَحَدُهُمَا تَحْصِينُ بِلَادِ الْإِسْلَامِ مِنْهُمْ

Salah satunya adalah melindungi negeri-negeri Islam dari mereka.

وَالثَّانِي قِتَالُهُمْ فِي دِيَارِهِمْ فَيَبْدَأُ الْإِمَامُ قَبْلَ قِتَالِهِمْ بِتَحْصِينِ بِلَادِ الْإِسْلَامِ مِنْهُمْ لِيَأْمَنُوا فِيهَا عَلَى نُفُوسِهِمْ وَذَرَارِيِّهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ

Yang kedua adalah memerangi mereka di negeri mereka, maka imam memulai sebelum memerangi mereka dengan memperkuat pertahanan negeri-negeri Islam dari mereka, agar kaum Muslimin merasa aman di dalamnya atas jiwa, anak keturunan, dan harta mereka.

وَتَحْصِينُهَا يَكُونُ بِأَرْبَعَةِ أُمُورٍ

Dan penjagaannya dilakukan dengan empat hal.

أَحَدُهَا أَنْ يَشْحَنَ ثُغُورَهَا مِنَ الْمُقَاتِلَةِ بِمَنْ يَقُومُ بِقِتَالِ مَنْ يَلِيهَا

Salah satunya adalah memperkuat perbatasannya dengan para pejuang yang mampu menghadapi musuh yang berada di sekitarnya.

وَالثَّانِي أَنْ يَقُومَ بِمَوَارِدِهِمْ بِحَسَبِ أَحْوَالِهِمْ فِي الِانْقِطَاعِ إِلَى الْقِتَالِ أَوِ الْجَمْعِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّكَسُّبِ

Kedua, hendaknya ia memenuhi kebutuhan mereka sesuai dengan keadaan mereka, baik yang sepenuhnya mencurahkan diri untuk berperang maupun yang menggabungkan antara berperang dan mencari penghasilan.

وَالثَّالِثُ أَنْ يَبْنِيَ حُصُونَهُمْ حَتَّى يَمْتَنِعُوا إِلَيْهَا مِنَ الْعَدُوِّ إِنْ طَرَقَهُمْ أَوْ طَلَبَ غَرَّتَهُمْ لِتَكُونَ لَهُمْ وَلِذَرَارِيِّهِمْ مَلْجَأً يَسْتَدْفِعُونَ بِهِ عَدُوَّهُمْ

Ketiga, membangun benteng-benteng mereka agar mereka dapat berlindung di dalamnya dari musuh jika musuh menyerang mereka atau berusaha mengejutkan mereka, sehingga benteng itu menjadi tempat perlindungan bagi mereka dan anak-anak mereka untuk menahan serangan musuh.

وَالرَّابِعُ أَنْ يُقَلِّدَ عَلَيْهِمْ أَمِيرًا يَحْمِيهِمْ فِي الْمَقَامِ وَيُدَرِّبُهُمْ فِي الجهاد ولا يجعلهم فوضى فيختلفوا ويضعفوا وَتَقْلِيدُ هَذَا الْأَمْرِ يَصِحُّ إِذَا تَكَامَلَتْ فِيهِ أَرْبَعَةُ شُرُوطٍ

Keempat, hendaknya ia mengangkat seorang amir atas mereka yang melindungi mereka di tempat tersebut dan melatih mereka dalam jihad, serta tidak membiarkan mereka dalam keadaan tanpa pemimpin sehingga mereka berselisih dan menjadi lemah. Pengangkatan amir ini sah apabila telah terpenuhi empat syarat.

أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ مُسْلِمًا لِأَنَّهُ يُقَاتِلُ عَلَى دِينٍ إِنْ لَمْ يَعْتَقِدْهُ لَمْ يُؤْمَنْ عَلَيْهِ مَعَ قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ

Salah satunya adalah harus seorang Muslim, karena ia berperang demi agama; jika ia tidak meyakininya, maka tidak dapat dipercaya darinya, sesuai firman Allah Ta‘ala: “Janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai wali; sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain.”

وَالثَّانِي أَنْ يَكُونَ مَأْمُونًا عَلَى مَنْ يليه من الجيش أن يَخُونَهُمْ وَعَلَى مَنْ يُقَاتِلُهُ مِنَ الْعَدُوِّ أَنْ يُعِينَهُمْ لِأَنَّهُ مُسْتَحْفِظٌ عَلَيْهِمْ فَاعْتُبِرَتْ فِيهِ الْأَمَانَةُ كَوَلِيِّ الْيَتِيمِ

Kedua, hendaknya ia dapat dipercaya terhadap pasukan yang dipimpinnya, tidak mengkhianati mereka, dan terhadap musuh yang diperanginya, tidak membantu mereka, karena ia bertanggung jawab atas mereka. Maka, kejujuran dianggap sebagai syarat padanya sebagaimana pada wali yatim.

وَالثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ شُجَاعًا فِي الْحَرْبِ يَثْبُتُ عِنْدَ الْهَرَبِ وَيُقْدِمُ عِنْدَ الطَّلَبِ لِأَنَّهُ مُعَدٌّ لَهُمَا فَوَجَبَ أَنْ يُعْتَبَرَ فِيهِ آلَتَهُمَا

Ketiga, hendaknya ia pemberani dalam peperangan, tetap teguh ketika orang-orang lari, dan maju ke depan ketika diminta, karena ia dipersiapkan untuk kedua hal tersebut, maka wajib mempertimbangkan alat untuk keduanya.

وَالرَّابِعُ أَنْ يَكُونَ ذَا رَأْيٍ فِي السِّيَاسَةِ وَالتَّدْبِيرِ يَسُوسُ الْجَيْشَ عَلَى اتِّفَاقِ الْكَلِمَةِ فِي الطَّاعَةِ وَيُدِيرُ الْحَرْبَ فِي انْتِهَازِ الْفُرْصَةِ وَأَمْنِ الْغِرَّةِ لِأَنَّهُ مَنْدُوبٌ لَهُمَا فَاعْتُبِرَ فِيهِ موجبهما

Keempat, hendaknya ia memiliki pandangan dalam urusan politik dan pengelolaan, mampu memimpin pasukan dengan menyatukan kata dalam ketaatan, serta mengatur peperangan dengan memanfaatkan peluang dan menjaga dari kelengahan, karena ia ditugaskan untuk kedua hal tersebut, maka syarat-syarat yang dituntut dari keduanya pun harus dipenuhi padanya.

فإذ تَكَامَلَتْ فِيهِ هَذِهِ الشُّرُوطُ الْأَرْبَعَةُ كَانَتْ وِلَايَتُهُ عَلَى ضَرْبَيْنِ

Maka apabila telah terpenuhi padanya keempat syarat ini, maka kepemimpinannya terbagi menjadi dua jenis.

وِلَايَةُ تَنْفِيذٍ وَوِلَايَةُ تَفْوِيضٍ

Wilayah tanfīż dan wilayah tafwīḍ

فَأَمَّا وِلَايَةُ التَّنْفِيذِ فَهِيَ مَا كَانَتْ مَوْقُوفَةً عَلَى رَأْيِ الْإِمَامِ فِي تَنْفِيذِ أَوَامِرِهِ فَتَصِحُّ وِلَايَتُهُ بِتَكَامُلِ الشُّرُوطِ الْأَرْبَعَةِ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا مِنْ غَيْرِ أَهْلِ الِاجْتِهَادِ

Adapun wilayah at-tanfīż adalah kekuasaan yang pelaksanaannya bergantung pada pendapat imam dalam menjalankan perintah-perintahnya. Maka sah kekuasaannya apabila telah terpenuhi empat syarat, meskipun ia seorang budak dan bukan termasuk ahli ijtihad.

وَأَمَّا وِلَايَةُ التَّفْوِيضِ فَهِيَ مَا فُوِّضَتْ إِلَى رَأْيِ الْأَمِيرِ لِيَعْمَلَ فِيهَا بِاجْتِهَادِهِ فَيُعْتَبَرُ فِي انْعِقَادِهَا مَعَ تَكَامُلِ الشُّرُوطِ الْأَرْبَعَةِ شَرْطَانِ آخَرَانِ

Adapun wilāyah tafwīdh adalah kekuasaan yang diserahkan kepada pendapat seorang amir agar ia dapat bertindak di dalamnya dengan ijtihadnya. Maka dalam pengangkatannya, selain terpenuhinya empat syarat, juga dipertimbangkan dua syarat lainnya.

أَحَدُهُمَا الْحُرِّيَّةُ لِأَنَّ التَّفْوِيضَ وِلَايَةٌ لَا تَصِحُّ مَعَ الرِّقِّ

Salah satunya adalah kemerdekaan, karena pendelegasian merupakan suatu bentuk wilayah yang tidak sah jika disertai dengan perbudakan.

وَالثَّانِي أَنْ يَكُونَ مِنْ أَهْلِ الِاجْتِهَادِ فِي أَحْكَامِ الْجِهَادِ لِأَنَّهُ مَوْكُولٌ إِلَى رَأْيِهِ فَاعْتُبِرَ فِيهِ عِلْمُهُ بِهِ وَهَلْ يُعْتَبَرُ فِيهِ أَنْ يَكُونَ مِنْ أَهْلِ الِاجْتِهَادِ فِي غَيْرِهِ مِنْ أَحْكَامِ الدِّينِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا فِي هَذَا الْأَمْرِ هَلْ يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَنْظُرَ فِي أحكام جيشه إذ كَانَ مُطْلَقَ الْوِلَايَةِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ يَجُوزُ لَهُ النَّظَرُ فِي أَحْكَامِهِمْ فَعَلَى هَذَا يَلْزَمُ أَنْ يَكُونَ مِنْ أَهْلِ الِاجْتِهَادِ فِي جَمِيعِ الْأَحْكَامِ وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ لَا يَجُوزُ لَهُ النَّظَرُ فِي أَحْكَامِهِمْ وَيَكُونُ الْقَاضِي أَحَقَّ بِالنَّظَرِ فِيهَا مِنْهُ فَعَلَى هَذَا لَا يَلْزَمُ أَنْ يَكُونَ مِنْ أَهْلِ الِاجْتِهَادِ فِي غَيْرِ الْجِهَادِ

Kedua, hendaknya ia termasuk orang yang memiliki kemampuan ijtihad dalam hukum-hukum jihad, karena urusan tersebut diserahkan kepada pendapatnya, sehingga pengetahuannya tentang hal itu menjadi syarat. Apakah juga disyaratkan baginya untuk memiliki kemampuan ijtihad dalam hukum-hukum agama lainnya atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat, berdasarkan perbedaan pendapat para ulama kami mengenai masalah ini: Apakah boleh baginya untuk memutuskan hukum terkait pasukannya, karena ia memiliki wewenang penuh? Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa ia boleh memutuskan hukum terkait pasukannya, sehingga berdasarkan pendapat ini, ia harus termasuk orang yang memiliki kemampuan ijtihad dalam seluruh hukum. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa ia tidak boleh memutuskan hukum terkait pasukannya, dan bahwa qādī lebih berhak untuk memutuskan perkara tersebut daripada dirinya. Maka berdasarkan pendapat ini, tidak disyaratkan baginya untuk memiliki kemampuan ijtihad selain dalam masalah jihad.

فَصْلٌ

Bagian

وَأَمَّا الثَّانِي وَهُوَ قِتَالُ الْمُشْرِكِينَ فِي دِيَارِهِمْ فَيَنْبَغِي لِلْإِمَامِ أَنْ يَبْدَأَ بِقِتَالِ الْأَقْرَبِ فَالْأَقْرَبِ مِنْ بِلَادِ الْإِسْلَامِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى قاتلوا الذين يلونكم من الكفار وَلِأَنَّ سِيرَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي قِتَالِهِمْ جَارِيَةٌ بِذَلِكَ وَلِأَنَّ الْأَقْرَبَ أَخْوَفُ وَهُوَ عَلَى انْتِهَازِ الْفُرْصَةِ مِنْهُمْ أَحْذَرُ وَلِأَنَّ قِتَالَ الْأَقْرَبِ أَسْهَلُ وَالْخِبْرَةَ بِهِ أَكْثَرُ وَهَذَا أَصْلٌ يُعْمَلُ عَلَيْهِ تَكَافُؤُ الْأَحْوَالِ وَجُمْلَتُهُ أَنَّ لِلْأَقْرَبِ وَالْأَبْعَدِ ثَلَاثَةَ أَحْوَالٍ

Adapun yang kedua, yaitu memerangi kaum musyrik di negeri mereka, maka sepatutnya bagi imam untuk memulai dengan memerangi yang paling dekat, kemudian yang lebih dekat dari negeri-negeri Islam, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kalian,” dan karena sirah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memerangi mereka juga berjalan seperti itu. Selain itu, yang paling dekat lebih dikhawatirkan, lebih waspada terhadap kesempatan yang mungkin mereka ambil, dan memerangi yang paling dekat lebih mudah serta pengetahuan tentang mereka lebih banyak. Ini adalah kaidah yang dijalankan jika keadaan setara, dan secara ringkas, bahwa untuk yang paling dekat dan yang lebih jauh terdapat tiga keadaan.

أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ الْأَقْرَبُ أَخْوَفَ جَانِبًا وَأَقْوَى عُدَّةً فَوَجَبَ أَنْ يَبْدَأَ بِالْأَقْرَبِ وَلَا يُقَاتِلَ الْأَبْعَدَ إِلَّا بَعْدَ فَرَاغِهِ مِنْ قِتَالِ الْأَقْرَبِ إِمَّا بِظَفَرٍ أَوْ صُلْحٍ

Salah satunya adalah bahwa pihak yang lebih dekat lebih menakutkan dan lebih kuat persiapannya, maka wajib memulai dengan yang lebih dekat dan tidak boleh memerangi yang lebih jauh kecuali setelah selesai memerangi yang lebih dekat, baik dengan kemenangan maupun dengan perdamaian.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ يَكُونَ الْأَبْعَدُ أَخْوَفَ مِنَ الْأَقْرَبِ فَيَبْدَأُ بِقِتَالِ الْأَبْعَدِ لِقُوَّتِهِ لَكِنْ بَعْدَ أَنْ يَفْعَلَ مَا يَأْمَنُ بِهِ الْأَقْرَبَ مِنْ مُهَادَنَتِهِ وَأَنْ يَجْعَلَ بِإِزَائِهِ مَنْ يَرُدُّهُ إِنْ قَصَدَهُ

Keadaan kedua adalah apabila musuh yang lebih jauh lebih menakutkan daripada yang lebih dekat, maka dimulai dengan memerangi musuh yang lebih jauh karena kekuatannya. Namun, hal itu dilakukan setelah mengambil langkah-langkah yang membuat musuh yang lebih dekat merasa aman dengan adanya perjanjian damai, dan menempatkan pasukan di hadapannya untuk menahannya jika ia berniat menyerang.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ أَنْ يَتَسَاوَى الْأَبْعَدُ وَالْأَقْرَبُ فِي الْقُوَّةِ وَالْخَوْفِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ

Keadaan ketiga adalah ketika yang lebih jauh dan yang lebih dekat sama dalam kekuatan dan rasa takut, maka hal ini terbagi menjadi dua macam.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ الْبُعْدَى وَرَاءَ الْقُرْبَى لِأَنَّ تفريق الجيش مضيعة

Salah satunya adalah bahwa pasukan yang berada di belakang harus tetap di belakang pasukan yang berada di depan, karena memecah belah pasukan merupakan tindakan yang merugikan.

والضرب الثاني أن يكون الْقُرْبَى فِي جِهَةٍ والْبُعْدَى فِي أُخْرَى فَإِنْ كَانَ إِذَا تَفَرَّقَ الْجَيْشُ عَلَيْهِمَا قَدَرُوا عَلَى قِتَالِهِمَا جَازَ أَنْ يُقَاتِلَ أَيَّتَهُمَا شَاءَ بِحَسَبِ مَا يُؤَدِّيهِ اجْتِهَادُهُ إِلَيْهِ وَيَسْتَبْقِيَ لِلْأُخْرَى مَنْ يَقُومُ بِقِتَالِهَا إِنْ نَفَرَتْ أَوْ يَجْمَعَ قِتَالَهُمَا مَعًا وَإِنْ كَانَ إِذَا تَفَرَّقَ الْجَيْشُ ضَعُفُوا عَنْهُ وَجَبَ أَنْ يَبْدَأَ بِقِتَالِ الْقُرْبَى قَبِلَ الْبُعْدَى لِمَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الدَّلِيلِ

Jenis kedua adalah apabila kelompok yang dekat berada di satu arah dan yang jauh di arah lain. Jika ketika pasukan dibagi ke dua arah tersebut mereka mampu memerangi keduanya, maka boleh memerangi salah satu dari keduanya sesuai dengan hasil ijtihadnya, dan menyisakan sebagian pasukan untuk menghadapi kelompok lainnya jika mereka bergerak, atau memerangi keduanya sekaligus. Namun jika dengan membagi pasukan mereka menjadi lemah dan tidak mampu menghadapi musuh, maka wajib memulai memerangi kelompok yang dekat sebelum yang jauh, sebagaimana telah kami sebutkan dalilnya.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قال الشافعي ” وَأَقَلُّ مَا عَلَى الْإِمَامِ أَنْ لَا يَأْتِيَ عَامٌ إِلَّا وَلَهُ فِيهِ غَزْوٌ بِنَفْسِهِ أَوْ بِسَرَايَاهُ عَلَى حُسْنِ النَّظَرِ لِلْمُسْلِمِينَ حَتَّى لَا يَكُونَ الْجِهَادُ مُعَطَّلًا فِي عَامٍ إِلَّا مِنْ عذر “

Syafi‘i berkata, “Kewajiban paling minimal bagi seorang imam adalah tidak membiarkan satu tahun pun berlalu kecuali ia melakukan penyerangan (ghazwah) baik dengan dirinya sendiri maupun dengan pasukan-pasukan kecilnya (saraya), dengan pertimbangan yang terbaik bagi kaum Muslimin, agar jihad tidak pernah ditinggalkan dalam satu tahun pun kecuali karena uzur.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ أَنَّ عَلَى الْإِمَامِ بعد تحصين الثغور بما قدمناه شيئان

Al-Mawardi berkata, dan ini benar, bahwa atas imam setelah memperkuat perbatasan sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya, terdapat dua hal.

أَحَدُهُمَا مُرَاعَاةُ كُلِّ ثَغْرٍ فِي مُقَاوَمَةِ مَنْ بِإِزَائِهِمْ مِنَ الْأَعْدَاءِ فَإِنَّهُمْ لَا يَخْلُونَ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ

Salah satunya adalah menjaga setiap perbatasan dalam menghadapi musuh yang berada di hadapan mereka, karena mereka tidak lepas dari tiga keadaan.

أَحَدُهَا أَنْ يَكُونُوا أَكْفَاءَهُمْ فِي الْمُقَاوَمَةِ وَالْمُطَاوَلَةِ فَيُقِرُّهُمْ عَلَى حَالِهِمْ فَلَا يَمُدُّهُمْ وَلَا يَسْتَمِدُّهُمْ

Salah satunya adalah bahwa mereka seimbang dalam kekuatan dan ketahanan, sehingga ia membiarkan mereka dalam keadaan mereka, tidak membantu mereka dan tidak pula meminta bantuan dari mereka.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ يَكُونُوا أَقَلَّ مِنْ أَكْفَاءِ عَدُوِّهِمْ فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَسْتَمِدَّهُمْ وَعَلَيْهِ أَنْ يُمِدَّهُمْ بِمَنْ يَصِيرُوا مَعَهُ أَكْفَاءَ أَعْدَائِهِمْ إِنْ طَلَبَهُمُ الْعَدُوُّ امْتَنَعُوا مِنْهُ وَإِنْ طلبوا العدو وقدروا عَلَيْهِ وَهَذَا هُوَ الْحَدُّ الْمَقْصُودُ فِي تَدْبِيرِهِمْ

Keadaan kedua adalah ketika mereka lebih sedikit daripada kekuatan musuh mereka, maka tidak boleh baginya untuk meminta bantuan dari mereka, melainkan ia wajib membantu mereka dengan menambah pasukan sehingga mereka menjadi sebanding dengan musuh-musuh mereka. Jika musuh menyerang mereka, mereka mampu menahan serangan tersebut, dan jika mereka yang menyerang musuh dan mampu mengalahkannya. Inilah batas yang dimaksud dalam pengelolaan mereka.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ أَنْ يَكُونُوا أَكْثَرَ مِنْ أَكْفَاءِ عَدُوِّهُمْ فَلَيْسَ عَلَيْهِ أَنْ يُمِدَّهُمْ وَلَهُ أَنْ يَسْتَمِدَّهُمْ إِذَا احْتَاجَ وَلَهُمْ حَالَتَانِ

Keadaan ketiga adalah apabila mereka lebih banyak daripada jumlah musuh yang sebanding dengan mereka, maka tidak wajib baginya untuk memberikan bantuan kepada mereka, dan ia boleh meminta bantuan mereka jika membutuhkan, dan mereka memiliki dua keadaan.

إِحْدَاهُمَا أَنْ لَا يَحْتَمِلَهُمُ الثَّغْرُ لِكَثْرَتِهِمْ فَعَلَيْهِ أَنْ يَنْقُلَهُمْ إِلَى غَيْرِهِ

Salah satunya adalah jika perbatasan tidak mampu menampung mereka karena jumlah mereka yang banyak, maka wajib baginya untuk memindahkan mereka ke tempat lain.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ يَحْتَمِلَهُمُ الثَّغْرُ فَيُقِرُّهُمْ فِيهِ عُدَّةً لِحَاجَتِهِ إِلَيْهِمْ وَيَفْعَلُ ذَلِكَ فَيَ كُلِّ عَامٍ لِأَنَّ أُمُورَ الثُّغُورِ قَدْ تَنْتَقِلُ مِنْ قُوَّةٍ إِلَى ضَعْفٍ وَمِنْ ضَعْفٍ إِلَى قُوَّةٍ لِيَكُونُوا أَبَدًا قَادِرِينَ عَلَى الِامْتِنَاعِ وَالطَّلَبِ

Keadaan kedua adalah jika perbatasan mampu menampung mereka, maka mereka tetap ditempatkan di sana sebagai pasukan cadangan karena kebutuhan terhadap mereka, dan hal itu dilakukan setiap tahun, karena kondisi perbatasan bisa berubah dari kuat menjadi lemah, atau dari lemah menjadi kuat, agar mereka selalu siap untuk bertahan dan menyerang.

فَصْلٌ

Fasal

وَالثَّانِي أَنْ يَغْزُوَ كُلَّ عَامٍ إِمَّا بِنَفْسِهِ أَوْ بِسَرَايَاهُ وَلَا يُعَطِّلَ الْجِهَادَ إدا قَدَرَ عَلَيْهِ لِأَنَّ فَرْضَهُ عَلَى الْأَبَدِ مَا بَقِيَ لِلْكُفَّارِ دَارٌ وَالَّذِي اسْتَقَرَّتْ عَلَيْهِ سِيرَةُ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ أَنْ يَكُونَ لَهُمْ فِي كُلِّ سَنَةٍ أَرْبَعُ غَزَوَاتٍ صَيْفِيَّةٌ فِي الصَّيْفِ وَشَتْوِيَّةٌ فِي الشِّتَاءِ وَرَبِيعِيَّةٌ فِي الرَّبِيعِ وَخَرِيفِيَّةٌ فِي الْخَرِيفِ وَقَدْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بَعْدَ فَرْضِ الْجِهَادِ عَلَيْهِ عَلَى هَذَا وَأَكْثَرَ مِنْهُ لِأَنَّ لَهُ فِي تِسْعِ سِنِينَ سَبْعًا وَعِشْرِينَ غَزْوَةً بِنَفْسِهِ قَاتَلَ مِنْهَا فِي تِسْعِ غَزَوَاتٍ وَسَبْعًا وَأَرْبَعِينَ سَرِيَّةً بِأَصْحَابِهِ وَيَنْبَغِي أَنْ يَجْعَلَ كُلَّ غَزْوَةٍ مِنْهَا إِلَى ثَغْرٍ حَتَّى لَا يَكُونَ أَحَدُ الثُّغُورِ مُعَطَّلًا وَلَا يَجْمَعُهُمَا عَلَى ثَغْرٍ وَاحِدٍ فَيَتَعَطَّلُ مَا عَدَاهُ إِلَّا أَنْ يَرْجُوَ الِاسْتِيلَاءَ عَلَيْهِ إِنْ وَالَى غَزْوَهُ فَلَا بَأْسَ أَنْ يُوَالِيَهُ حَتَّى يَفْتَحَهُ فَيَصِيرَ مِنْ بِلَادِ الْإِسْلَامِ

Kedua, hendaknya ia (pemimpin) melakukan ekspedisi militer setiap tahun, baik dengan dirinya sendiri maupun dengan pasukan-pasukannya, dan tidak menelantarkan jihad jika ia mampu melakukannya, karena kewajiban jihad itu berlaku terus-menerus selama masih ada negeri kaum kafir. Adapun yang menjadi kebiasaan para khalifah rasyidīn adalah mereka melakukan empat ekspedisi militer setiap tahun: satu di musim panas, satu di musim dingin, satu di musim semi, dan satu di musim gugur. Nabi ﷺ setelah diwajibkannya jihad juga melakukan hal ini, bahkan lebih banyak lagi, karena dalam sembilan tahun beliau melakukan dua puluh tujuh ekspedisi dengan dirinya sendiri, sembilan di antaranya beliau ikut berperang, dan mengirimkan empat puluh tujuh pasukan bersama para sahabatnya. Hendaknya setiap ekspedisi diarahkan ke perbatasan yang berbeda agar tidak ada satu pun perbatasan yang dibiarkan tanpa penjagaan, dan tidak mengumpulkan seluruh pasukan pada satu perbatasan sehingga perbatasan lainnya menjadi terbengkalai, kecuali jika ia berharap dapat menguasai wilayah tersebut dengan terus-menerus melakukan ekspedisi ke sana, maka tidak mengapa melakukannya hingga wilayah itu terbuka dan menjadi bagian dari negeri Islam.

فَإِنْ عَجَزَ الْإِمَامُ عَنْ أَرْبَعِ غَزَوَاتٍ فِي كُلِّ عَامٍ اقْتَصَرَ مِنْهَا عَلَى مَا قَدَرَ عَلَيْهِ وَأَقَلُّ مَا عَلَيْهِ أَنْ يَغْزُوَ فِي كُلِّ عَامٍ مَرَّةً وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَتْرُكَهَا إِلَّا مِنْ ضَرُورَةٍ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى أَوَلا يَرَوْنَ أَنَّهُمْ يُفْتَنُونَ فِي كُلِّ عَامٍ مَرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ قَالَ قَتَادَةُ إِنَّهَا وَرَدَتْ فِي الْجِهَادِ وَلِأَنَّ فَرْضَ الْجِهَادِ مُتَكَرِّرٌ وَأَقَلُّ الْفُرُوضِ الْمُتَكَرِّرَةِ مَا وَجَبَ في كل عَامٍ مَرَّةً كَالصِّيَامِ وَالزَّكَاةِ وَلِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى جَعَلَ لِلْغُزَاةِ سَهْمَ سَبِيلِ اللَّهِ فِي الزَّكَاةِ وَفَرْضُهَا يَجِبُ فِي كُلِّ عَامٍ مَرَّةً فَكَذَلِكَ الجهاد

Jika imam tidak mampu melakukan empat kali ekspedisi perang dalam setiap tahun, maka ia cukup melakukannya sebanyak yang ia mampu. Kewajiban paling sedikit baginya adalah melakukan ekspedisi perang sekali dalam setiap tahun, dan tidak boleh meninggalkannya kecuali karena darurat, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Tidakkah mereka melihat bahwa mereka diuji setiap tahun sekali atau dua kali?” Qatadah berkata bahwa ayat ini turun berkenaan dengan jihad. Karena kewajiban jihad itu berulang, dan kewajiban yang berulang paling sedikit adalah yang diwajibkan sekali dalam setiap tahun, seperti puasa dan zakat. Dan karena Allah Ta‘ala telah menetapkan bagian fi sabilillah bagi para mujahid dalam zakat, sedangkan kewajiban zakat itu berlaku sekali dalam setiap tahun, maka demikian pula jihad.

مسألة

Masalah

قال الشافعي وَيُغْزِي أَهْلُ الْفَيْءِ كُلَّ قَوْمٍ إِلَى مَنْ يَلِيهِمْ “

Syafi‘i berkata, “Orang-orang yang mendapatkan fai’ mengirim pasukan kepada setiap kaum menuju pihak yang berdekatan dengan mereka.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ يُوجِبُهُ الِاقْتِدَاءُ بِالسَّلَفِ وَتَقْتَضِيهِ السِّيَاسَةُ لِأَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مَصَّرَ الْبَصْرَةَ وَأَسْكَنَهَا أَهْلَ الْفَيْءِ لِيُقَاتِلُوا مَنْ يَلِيهِمْ وَمَصَّرَ الْكُوفَةَ وَأَسْكَنَهَا أَهْلَ الْفَيْءِ لِقِتَالِ مَنْ يَلِيهِمْ وَلِأَنَّ كُلَّ قَوْمٍ أَخْبَرُ بِقِتَالِ مَنْ يَلِيهِمْ مِنْ غَيْرِهِمْ وَلِأَنَّهُمْ عَلَى انْتِهَازِ الْفُرْصَةِ أَقْدَرُ وَلِأَنَّ الْمَشَقَّةَ عَلَيْهِمْ أَسْهَلُ والمؤونة أَقَلُّ وَهَكَذَا يُكَلِّفُ أَهْلَ الْبَحْرِ الْقِتَالَ فِي الْبَحْرِ لِأَنَّهُمْ أَخْبَرُ بِهِ وَأَعْرَفُ وَلَا يُكَلِّفُهُمُ الْقِتَالَ فِي الْبَرِّ فَيَضْعُفُوا عَنْهُ وَيُكَلِّفُ أَهْلَ الْبَرِّ الْقِتَالَ فِي الْبَرِّ لِأَنَّهُمْ بِهِ أَعْرَفُ وَلَا يُكَلِّفُهُمُ الْقِتَالَ فِي الْبَحْرِ فَيَضْعُفُوا عَنْهُ

Al-Mawardi berkata, “Ini benar, dan hal itu diwajibkan oleh mengikuti teladan para salaf serta dituntut oleh kebijakan, karena Umar radhiyallahu ‘anhu telah membangun kota Basrah dan menempatkan di sana penduduk yang memperoleh fai’ agar mereka memerangi musuh di sekitar mereka, dan beliau juga membangun Kufah serta menempatkan di sana penduduk yang memperoleh fai’ untuk memerangi musuh di sekitar mereka. Setiap kaum lebih mengetahui cara memerangi musuh di sekitar mereka dibandingkan selain mereka, mereka juga lebih mampu memanfaatkan peluang, beban yang mereka tanggung lebih ringan, dan biaya yang dikeluarkan lebih sedikit. Demikian pula, penduduk laut dibebani untuk berperang di laut karena mereka lebih mengetahui dan lebih menguasainya, dan tidak dibebani untuk berperang di darat sehingga mereka menjadi lemah. Penduduk darat dibebani untuk berperang di darat karena mereka lebih menguasainya, dan tidak dibebani untuk berperang di laut sehingga mereka menjadi lemah.”

وَقَدْ رُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ أَغْزَى فِي الْبَحْرِ جَيْشًا مِنَ الْمَدِينَةِ وَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ عَمْرَو بْنَ الْعاصِ فَلَمَّا قَدِمُوا عَلَيْهِ سَأَلَ عَمْرَو بْنَ الْعاصِ عَنْهُمْ فَقَالَ لَهُ ” دُودٌ عَلَى عُودٍ بَيْنَ غَرَقٍ أَوْ فَرَقٍ فَآلَى أَنْ لَا يُغْزِيَ فِي الْبَحْرِ أَحَدًا مِنْهُمْ وَكَتَبَ إِلَيْهِ مُعَاوِيَةُ يَسْتَأْذِنُهُ فِي غَزْوِ الْبَحْرِ فَكَتَبَ إِلَيْهِ عُمَرُ إِنِّي لَا أَحْمِلُ الْمُسْلِمِينَ عَلَى أَعْوَادٍ نَجَرَهَا النَّجَّارُ وجَلْفَظَهَا الْجِلْفَاظُ يَحْمِلُهُمْ عَدُوُّهُمْ إِلَى عَدُوِّهِمْ والْجِلْفَاظُ الَّذِي يُشَيِّدُ أَعْوَادَ السُّفُنِ

Diriwayatkan dari Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu bahwa ia pernah mengirim pasukan dari Madinah untuk berperang di laut dan mengangkat Amr bin al-‘Ash sebagai pemimpin mereka. Ketika mereka kembali kepadanya, Umar bertanya kepada Amr bin al-‘Ash tentang keadaan mereka. Amr menjawab, “Bagaikan ulat di atas kayu, di antara tenggelam atau ketakutan.” Maka Umar bersumpah untuk tidak lagi mengirim siapa pun dari mereka berperang di laut. Muawiyah kemudian menulis surat kepadanya meminta izin untuk berperang di laut. Umar membalas surat itu, “Aku tidak akan membebani kaum Muslimin dengan menaiki kayu-kayu yang dibuat oleh tukang kayu dan diperkuat oleh para jalfazh, yang akan membawa mereka dari musuh mereka menuju musuh mereka.” Jalfazh adalah orang yang memperkuat kayu-kayu kapal.

وَفِي قَوْلِهِ يَحْمِلُهُمْ عَدُوُّهُمْ إِلَى عَدُوِّهِمْ تَأْوِيلَانِ

Dalam ucapannya “musuh mereka membawa mereka kepada musuh mereka” terdapat dua penafsiran.

أَحَدُهُمَا أَنَّ الْمَلَّاحِينَ كَانُوا إِذْ ذَاكَ كُفَّارًا يَحْمِلُونَهُمْ إِلَى الْكُفَّارِ

Salah satunya adalah bahwa para pelaut pada waktu itu adalah orang-orang kafir yang membawa mereka kepada orang-orang kafir.

وَالثَّانِي أَنَّ الْبَحْرَ عَدُوُّ رَاكِبِهِ يَحْمِلُهُمْ إِلَى أَعْدَائِهِمْ مِنَ الْكَفَّارِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ

Yang kedua, bahwa laut adalah musuh bagi orang yang mengarunginya; laut membawa mereka kepada musuh-musuh mereka dari kalangan orang-orang kafir. Dan Allah lebih mengetahui kebenaran.

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى إلا تنفروا يعذبكم عذابا أليما وَقَالَ لا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أولي الضرر والمجاهدون إلى قوله وكلا وعد الله الحسنى فَلَمَّا وَعَدَ الْقَاعِدِينَ الْحُسْنَى دَلَّ أَنَّ فَرْضَ النَّفِيرِ عَلَى الْكِفَايَةِ “

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: Allah Ta‘ala berfirman, “Jika kalian tidak berangkat (berjihad), niscaya Allah akan mengazab kalian dengan azab yang pedih,” dan Allah berfirman, “Tidaklah sama antara orang-orang mukmin yang duduk (tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah,” hingga firman-Nya, “Kepada masing-masing Allah telah menjanjikan kebaikan.” Maka ketika Allah menjanjikan kebaikan kepada orang-orang yang duduk, hal itu menunjukkan bahwa kewajiban berangkat (berjihad) adalah fardhu kifayah.

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كَمَا ذُكِرَ جِهَادُ الْمُشْرِكِينَ فِي بِلَادِهِمْ مِنْ فُرُوضِ الْكِفَايَةِ إِذَا قَامَ بِهِ الْمُكَافَئُونَ سَقَطَ فَرْضُهُ عَنِ الْبَاقِينَ وَهُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ

Al-Mawardi berkata, “Demikian pula sebagaimana disebutkan bahwa jihad melawan kaum musyrik di negeri mereka termasuk fardhu kifayah; jika telah dilaksanakan oleh sejumlah orang yang mencukupi, maka kewajiban tersebut gugur dari yang lainnya, dan ini adalah pendapat jumhur (mayoritas ulama).”

وَقَالَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ هُوَ مِنْ فُرُوضِ الْأَعْيَانِ لَا يَسَعُ أَحَدًا مِنْ أَهْلِهِ أَنْ يَتَخَلَّفَ عَنْهُ احْتِجَاجًا بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى إِلا تَنْفِرُوا يُعَذِّبْكُمْ عَذَابًا أَلِيمًا وَبِقَوْلِهِ انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالا وَبِقَوْلِهِ مَا كَانَ لأَهْلِ الْمَدِينَةِ وَمَنْ حَوْلَهُمْ مِنَ الأَعْرَابِ أَنْ يَتَخَلَّفُوا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ وَلا يَرْغَبُوا بِأَنْفُسِهِمْ عَنْ نَفْسِهِ

Said bin al-Musayyab berkata bahwa ini termasuk fardhu ‘ain, tidak boleh seorang pun dari mereka meninggalkannya, dengan berdalil pada firman Allah Ta‘ala: “Jika kalian tidak berangkat, niscaya Allah akan mengazab kalian dengan azab yang pedih,” dan firman-Nya: “Berangkatlah kalian baik dalam keadaan ringan maupun berat,” serta firman-Nya: “Tidak pantas bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui di sekitar mereka untuk tidak mengikuti Rasulullah dan tidak mengutamakan diri mereka di atas diri beliau.”

وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّ فَرْضَهُ عَلَى الْكِفَايَةِ قَوْلُ الله تعالى فضل الله المجاهدين عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى فَلَمَّا وَعَدَ الْقَاعِدِينَ بِالْحُسْنَى دَلَّ عَلَى أَنَّهُ لَمْ يَتَخَلَّفْ عَنْ فَرْضٍ

Dan dalil bahwa kewajiban jihad itu fardhu kifayah adalah firman Allah Ta‘ala: “Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang-orang yang duduk (tidak ikut berjihad) satu derajat. Dan masing-masing Allah janjikan kebaikan (surga).” Maka ketika Allah menjanjikan kebaikan kepada orang-orang yang duduk, itu menunjukkan bahwa mereka tidak meninggalkan suatu kewajiban.

وقَوْله تَعَالَى وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً وَلِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ كَانَ إِذَا غَزَا لَمْ يَخْرُجْ بِجَمِيعِ الْمُسْلِمِينَ وَيَتَأَخَّرُ عَنْهُ مِنْهُمْ قَوْمٌ فَلَوْ كَانَ فَرْضُهُ عَلَى الْأَعْيَانِ لَخَرَجَ جَمِيعُهُمْ فَإِنْ قِيلَ فَقَدْ أَنْكَرَ اللَّهُ تَعَالَى عَلَى مَنْ تَأَخَّرَ عَنْهُ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ فَعَنْهُ جَوَابَانِ

Firman Allah Ta‘ala: “Tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang).” Dan karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila berperang tidak keluar bersama seluruh kaum Muslimin, dan sebagian dari mereka tetap tinggal. Maka, jika kewajiban itu bersifat fardhu ‘ain, tentu semuanya akan keluar. Jika ada yang berkata, “Bukankah Allah Ta‘ala telah mencela orang-orang yang tidak ikut bersama beliau dalam Perang Tabuk?” Maka ada dua jawaban untuk hal itu.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُمْ عَادُوا بَعْدَ خُرُوجِهِمْ فَأَنْكَرَ اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِمْ عَوْدَهُمْ

Salah satu di antaranya adalah bahwa mereka kembali setelah keluar, maka Allah Ta‘ala mengingkari kembalinya mereka.

وَالثَّانِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ دَعَاهُمْ بِأَعْيَانِهِمْ فَأَنْكَرَ عَلَيْهِمْ تَرْكَ إِجَابَتِهِ

Yang kedua, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil mereka satu per satu, lalu beliau mengingkari mereka karena tidak memenuhi panggilannya.

وَلِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ غَزَا بِنَفْسِهِ تَارَةً وَبِسَرَايَاهُ أُخْرَى وَلَوْ تَعَيَّنَ عَلَيْهِ لَمْ يَتَأَخَّرْ عَنْهُ

Dan karena Rasulullah saw. pernah berperang dengan dirinya sendiri pada suatu waktu dan dengan pasukan-pasukannya pada waktu yang lain, dan seandainya itu diwajibkan atas beliau, niscaya beliau tidak akan meninggalkannya.

فَرَوَى أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بَعَثَ إِلَى بَنِي لِحْيَانَ لِيَخْرُجْ مِنْ كُلِّ رَجُلَيْنِ مِنْكُمْ رَجُلٌ يَكُونُ خَلَفَ الْخَارِجِ فِي أَهْلِهِ وَمَالِهِ وَلَهُ مِثْلُ نِصْفِ أَجْرِ الْخَارِجِ

Abu Sa‘id al-Khudri meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. mengutus kepada Bani Lihyan agar dari setiap dua orang di antara kalian, satu orang keluar (berjihad), sedangkan yang lain menjadi pengganti bagi yang keluar dalam menjaga keluarga dan hartanya, dan baginya mendapat setengah pahala dari orang yang keluar.

وَلِأَنَّهُ لَوْ تَعَيَّنَ فَرْضُهُ لَخَلَتِ الْبِلَادُ مِنْ أَهْلِهَا وَضَاعَتِ الذَّرَارِيُّ وَتَعَطَّلَتْ مَوَادُّ الزِّرَاعَةِ وَالتِّجَارَةِ وَهَذَا فَسَادٌ يَعُمُّ فَكَانَ بِالْمَنْعِ أَحَقَّ

Dan karena jika kewajiban itu ditetapkan secara pasti, niscaya negeri-negeri akan kosong dari penduduknya, anak-anak akan terlantar, serta aktivitas pertanian dan perdagangan akan terhenti, dan ini merupakan kerusakan yang bersifat umum, maka pencegahan lebih utama untuk dilakukan.

فَأَمَّا الِاسْتِدْلَالُ بِمَا تَقَدَّمَ فَعَنْهُ ثَلَاثَةُ أَجْوِبَةٍ

Adapun istidlāl dengan apa yang telah disebutkan sebelumnya, maka terdapat tiga jawaban atasnya.

أَحَدُهَا أَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى تَعْيِينِ فَرْضِهِ فِي أَوَّلِ الْإِسْلَامِ قَبْلَ نَسْخِهِ بِمَا بَيَّنَّاهُ

Salah satunya adalah bahwa hal itu dimaknai sebagai penetapan kewajiban puasa pada awal Islam sebelum di-nasakh sebagaimana telah kami jelaskan.

وَالثَّانِي أَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى مَنْ دَعَاهُ الرَّسُولُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي عَيْنِهِ فَتَأَخَّرَ عَنْهُ

Yang kedua, bahwa hal itu dimaksudkan bagi orang yang dipanggil secara langsung oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia terlambat datang kepadanya.

وَالثَّالِثُ أَنَّهُ مُسْتَعْمَلٌ فيما لم تقع به الكفاية

Ketiga, bahwa ia digunakan pada perkara yang belum tercapai kecukupan dengannya.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” فَإِذَا لَمَّ يَقُمْ بِالنَّفِيرِ كِفَايَةٌ خَرَجَ مَنْ تَخَلَّفَ وَاسْتَوْجَبُوا مَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى فِيهِمْ كِفَايَةٌ حَتَّى لَا يَكُونَ النَّفِيرُ مُعَطَّلًا لَمْ يَأْثَمْ مِنْ تَخَلَّفَ لِأَنَّ اللَهَ تَعَالَى وَعَدَ جَمِيعَهُمُ الْحُسْنَى “

Syafi‘i berkata: “Jika pasukan yang berangkat belum mencukupi, maka orang-orang yang masih tinggal pun harus keluar, dan mereka akan mendapatkan apa yang Allah Ta‘ala firmankan tentang mereka, yaitu kecukupan, sehingga pasukan tidak menjadi terbengkalai. Maka, siapa yang tidak ikut serta tidak berdosa, karena Allah Ta‘ala telah menjanjikan kebaikan bagi semuanya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَجُمْلَتُهُ أَنَّ قِتَالَ الْعَدُوِّ يَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ

Al-Mawardi berkata, “Secara keseluruhan, peperangan melawan musuh terbagi menjadi tiga bagian.”

أَحَدُهَا أَنْ يَكُونُوا مُقِيمِينَ فِي بِلَادِهِمْ مُتَشَاغِلِينَ بِأُمُورِهِمْ مِنْ مَزَارِعَ وَصَنَائِعَ وَمَتَاجِرَ فَفَرْضُ جِهَادِهِمْ عَلَى الْكِفَايَةِ وَأَقَلُّ مَا يُقَاتِلُوا فِي كُلِّ عَامٍ مَرَّةً فَإِنْ كَانَ فِي ثَغْرِهِمْ أَمِيرٌ مُقَلَّدًا عَلَى غَزْوِهِمْ تَعَيَّنَ عَلَيْهِ فَرْضُ تَجْهِيزِهِمْ فِي الْغَزْوِ وَتَدْبِيرِهِمْ فِي وَقْتِ الْخُرُوجِ عَلَى مَا يَأْمَنُونَ ضَرَرَهُ مِنَ اشْتِدَادِ حَرٍّ أَوْ بَرْدٍ وَيَسْلُكُ بِهِمْ أَسْهَلَ الطُّرُقِ وَأَوْطَأَهَا وَأَكْثَرَهَا مَاءً وَمَرْعَى وَأَقَلُّ مَا يُخْرِجُهُ إِلَيْهِمْ أَنْ يُقَاتِلَ كُلُّ رَجُلٍ مِنْهُمْ رَجُلَيْنِ مِنْ عَدُوِّهِمْ كَمَا قَالَ اللَّهُ تعالى إن يكن مِائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَأَكْثَرُ مَا يُخْرِجُهُ مِنْ أَهْلِ الثَّغْرِ أَنْ يُخْرِجَ مِنْ كُلِّ رَجُلَيْنِ رَجُلًا كَمَا فَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ فَإِذَا اسْتَقَلَّ ذَلِكَ الثَّغْرَ عَلَى هَذَا التَّقْدِيرِ قَامَ بِهِمْ فَرْضُ الْكِفَايَةِ وَسَقَطَ عَنْ كَافَّةِ الْأُمَّةِ مَا لَمْ يَحْدُثْ فَيَتَغَيَّرُ هَذَا التَّقْدِيرُ بِحَسَبِ الْحَادِثَةِ

Salah satunya adalah jika mereka tinggal di negeri mereka, sibuk dengan urusan mereka seperti pertanian, industri, dan perdagangan, maka kewajiban jihad atas mereka adalah fardhu kifayah, dan paling sedikit mereka berperang sekali dalam setiap tahun. Jika di perbatasan mereka ada seorang amir yang diangkat untuk memimpin peperangan, maka menjadi kewajibannya untuk mempersiapkan mereka dalam peperangan dan mengatur waktu keberangkatan mereka sesuai dengan waktu yang aman dari bahaya, baik karena panas yang sangat atau dingin yang sangat, serta memilihkan bagi mereka jalan yang paling mudah, paling rata, paling banyak air dan padang rumputnya. Jumlah paling sedikit yang dikeluarkan untuk berperang adalah setiap orang dari mereka menghadapi dua orang musuh, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: “Jika ada seratus orang yang sabar di antara kamu, mereka akan mengalahkan dua ratus orang.” Jumlah terbanyak yang dikeluarkan dari penduduk perbatasan adalah satu orang dari setiap dua orang, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah ﷺ dalam Perang Tabuk. Jika perbatasan itu telah cukup dengan jumlah tersebut, maka kewajiban kifayah telah terpenuhi dan gugur dari seluruh umat, selama tidak terjadi sesuatu yang mengharuskan perubahan ketentuan ini sesuai dengan kejadian yang ada.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنَّ يَسِيرَ الْعَدُوُّ مِنْ بِلَادِهِ إِلَى نَحْوِ بِلَادِ الْإِسْلَامِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ

Bagian kedua adalah apabila musuh bergerak dari negerinya menuju ke arah negeri-negeri Islam, maka hal ini terbagi menjadi dua macam.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ بِغَيْرِ الْقِتَالِ فَيَكُونُ حُكْمُ قِتَالِهِ كَحُكْمِهِ لَوْ كَانَ مُقِيمًا لَمْ يَسِرْ عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ فَرْضِ الْكِفَايَةِ فِي وَقْتِ غَزْوِهِ وَلَكِنْ يَنْبَغِي أَنْ يَتَحَرَّزَ مِنْ مَكْرِهٍ فِي طَلَبِ غِرَّةٍ وَانْتِهَازِ فُرْصَةٍ

Salah satunya adalah jika tanpa adanya pertempuran, maka hukum memeranginya sama seperti hukumnya jika ia menetap dan tidak bepergian, sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya tentang fardhu kifayah pada waktu penyerangan. Namun, sebaiknya tetap berhati-hati terhadap tipu daya dalam mencari kelengahan dan memanfaatkan kesempatan.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يكون بأهبة القتال مستعدا لحرب فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ

Jenis yang kedua adalah seseorang yang telah bersiap-siap untuk berperang dan siap menghadapi peperangan; maka ini terbagi menjadi dua macam.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ عَلَى مَسَافَةِ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَصَاعِدًا مِنْ بِلَادِ الْإِسْلَامِ ففرض جهاده عَلَى الْكِفَايَةِ غَيْرُ مُتَعَيِّنٍ عَلَى الْكَافَّةِ كَمَا لَوْ كَانَ مُقِيمًا فِي دَارِهِ لِأَنَّهُ مَا تَعَدَّاهَا لَكِنْ يَجِبُ التَّأَهُّبُ لِقِتَالِهِ وَفَرْضُ هَذَا التَّأَهُّبِ عَلَى أَعْيَانِ أَهْلِ ذَلِكَ الثَّغْرِ

Salah satunya adalah apabila (musuh) berada pada jarak sehari semalam atau lebih dari negeri Islam, maka kewajiban jihad terhadap mereka adalah fardhu kifayah, tidak menjadi kewajiban yang ditetapkan atas seluruh kaum Muslimin, sebagaimana jika seseorang tinggal di negerinya sendiri, karena (musuh) itu tidak melampaui batas tersebut. Namun, wajib bersiap-siap untuk memerangi mereka, dan kewajiban bersiap-siap ini menjadi fardhu ‘ain bagi penduduk daerah perbatasan tersebut.

وَالضَّرْبُ الثَّالِثُ أَنَّ يَسِيرَ إِلَى مَسَافَةٍ أَقَلَّ مِنْ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَهَذَا فِي حُكْمِ مَنْ قَدْ أَظَلَّ بِلَادَ الْإِسْلَامِ وَوَصَلَ إِلَيْهَا لِقُرْبِ الْمَسَافَةِ التي لا تقصد فِيهَا الصَّلَاةُ فَتَعَيَّنَ فَرْضُ قِتَالِهِ عَلَى جَمِيعِ أَهْلِ ذَلِكَ الثَّغْرِ مِنَ الْمُجَاهِدِينَ سِوَى النِّسَاءِ وَالصِّبْيَانِ وَالْمَرْضَى وَيَدْخُلُ فِي فَرْضِ الْقِتَالِ مَنْ عَلَيْهِ دَيْنٌ وَمَنْ لَهُ أَبَوَانِ لَا يَأْذَنَانِ لَهُ لِأَنَّهُ قِتَالُ دِفَاعٍ وَلَيْسَ بِقِتَالِ غَزْوٍ فَتَعَيَّنَ فَرْضُهُ عَلَى كُلِّ مُطِيقٍ ثُمَّ يُنْظَرُ عَدَدُ الْعَدُوِّ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ثُلُثِ أَهْلِ الثَّغْرِ لَمْ يَسْقُطْ بِأَهْلِ الثَّغْرِ فَرْضُ الْكِفَايَةِ عَنْ كَافَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَوَجَبَ عَلَى الْإِمَامِ إِمْدَادُهُمْ بِمَنْ يَقُومُ بِهِ الْكِفَايَةُ فِي دَفْعِ عَدُوِّهِمْ وَإِنْ كَانُوا ثُلُثَيْ أَهْلِ الثَّغْرِ فَمَا دُونَ فَهَلْ يَسْقُطُ بِهِمْ فَرْضُ الْكِفَايَةِ عَنْ كَافَّةِ الْمُسْلِمِينَ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ حَكَاهُمَا ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ

Jenis yang ketiga adalah apabila musuh bergerak menuju jarak yang kurang dari satu hari satu malam, maka ini dihukumi seperti orang yang telah berada di wilayah Islam dan telah sampai ke sana karena dekatnya jarak yang tidak diniatkan untuk melakukan shalat di dalamnya. Maka wajib bagi seluruh penduduk perbatasan dari kalangan mujahidin, selain perempuan, anak-anak, dan orang sakit, untuk memerangi mereka. Kewajiban berperang ini juga mencakup orang yang memiliki utang dan orang yang memiliki kedua orang tua yang tidak mengizinkannya, karena ini adalah perang defensif, bukan perang ofensif, sehingga kewajibannya menjadi fardhu ‘ain bagi setiap orang yang mampu. Kemudian dilihat jumlah musuh; jika mereka lebih banyak dari sepertiga penduduk perbatasan, maka kewajiban fardhu kifayah tidak gugur dari seluruh kaum Muslimin, dan wajib bagi imam untuk mengirim bala bantuan yang dapat memenuhi kebutuhan dalam menghadapi musuh mereka. Jika jumlah musuh sepertiga hingga dua pertiga penduduk perbatasan atau kurang, apakah dengan itu gugur kewajiban fardhu kifayah dari seluruh kaum Muslimin atau tidak? Ada dua pendapat yang dinukilkan oleh Ibn Abi Hurairah.

أَحَدُهُمَا يَسْقُطُ بِهِمَا فَرْضُ الكفاية عن من عَدَاهُمْ لِمَا أَوْجَبَهُ اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِمْ مِنْ قِتَالِ مِثْلَيْهِمْ فَيَصِيرُ فَرْضُ الْقِتَالِ عَلَيْهِمْ مُتَعَيِّنًا وَعَنْ غَيْرِهِمْ سَاقِطًا

Salah satunya adalah bahwa dengan keduanya gugurlah kewajiban kifayah dari selain mereka, karena Allah Ta‘ala telah mewajibkan kepada mereka untuk memerangi dua kali lipat dari jumlah mereka, sehingga kewajiban qitāl menjadi wajib ‘ain atas mereka dan gugur dari selain mereka.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهُ لَا يَسْقُطُ عَنْ غَيْرِهِمْ فَرْضُ الْكِفَايَةِ خَوْفًا مِنَ الظَّفَرِ بِهِمْ فَيَصِيرُ فَرْضُ الْقِتَالِ مُتَعَيِّنًا عَلَيْهِمْ وَبَاقِيًا عَلَى الْكِفَايَةِ فِي غَيْرِهِمْ

Pendapat kedua adalah bahwa kewajiban kifayah tidak gugur dari selain mereka karena dikhawatirkan musuh akan mengalahkan mereka, sehingga kewajiban berperang menjadi fardhu ‘ain atas mereka dan tetap menjadi fardhu kifayah bagi selain mereka.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أن يدخل العدو بلاد الإسلام ويطؤها فَيَتَعَيَّنُ فَرْضُ قِتَالِهِ عَلَى أَهْلِ الْبِلَادِ الَّتِي وَطِئَهَا وَدَخَلَهَا فَإِنْ لَمْ يَكُنْ بِأَهْلِهَا قُدْرَةٌ عَلَى دَفْعِهِ تَعَيَّنَ فَرْضُ الْقِتَالِ عَلَى كَافَّةِ الْمُسْلِمِينَ حَتَّى يَنْكَشِفَ الْعَدُوُّ عَنْهُمْ إِلَى بِلَادِهِ وَإِنْ كَانَ بِهِمْ قُدْرَةٌ عَلَى دَفْعِهِ لَمْ يسقط بهم فرض الكفاية عن كافة المسلمين مَا كَانَ الْعَدُوُّ بَاقِيًا فِي دَارِهِمْ وَهَلْ يَصِيرُ فَرْضُ قِتَالِهِ مُتَعَيِّنًا عَلَى كَافَّةِ الْمُسْلِمِينَ كَمَا تَعَيَّنَ عَلَى أَهْلِ الثَّغْرِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ

Bagian ketiga adalah apabila musuh memasuki negeri-negeri Islam dan menginjakinya, maka wajib secara individu bagi penduduk negeri yang diinjak dan dimasuki itu untuk memerangi mereka. Jika penduduk negeri tersebut tidak mampu mengusir musuh, maka kewajiban berperang menjadi wajib atas seluruh kaum Muslimin sampai musuh itu terusir kembali ke negerinya. Namun, jika penduduk negeri tersebut mampu mengusir musuh, kewajiban kifayah tidak gugur dari seluruh kaum Muslimin selama musuh masih berada di negeri mereka. Apakah kewajiban memerangi musuh itu menjadi wajib individu atas seluruh kaum Muslimin sebagaimana telah menjadi wajib atas penduduk perbatasan, atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يَتَعَيَّنُ لِأَنَّ جَمِيعَ الْمُسْلِمِينَ يَدٌ عَلَى مَنْ سِوَاهُمْ فَيَصِيرُ فَرْضُ قِتَالِهِمْ مُتَعَيِّنًا عَلَى كَافَّةِ الْمُسْلِمِينَ

Salah satunya menjadi wajib, karena seluruh kaum Muslimin bersatu melawan selain mereka, sehingga kewajiban memerangi mereka menjadi kewajiban yang ditetapkan atas seluruh kaum Muslimin.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنْ لَا يَتَعَيَّنَ عَلَيْهِمْ وَيَكُونُ بَاقِيًا عَلَى الْكِفَايَةِ لِقُدْرَةِ أَهْلِ الثَّغْرِ عَلَى دَفْعِهِمْ فَيَصِيرُ فَرْضُ قِتَالِهِ عَلَى أَهْلِ الثَّغْرِ مُتَعَيِّنًا وَعَلَى الْكَافَّةِ مِنْ فُرُوضِ الْكِفَايَاتِ وَلَا يُرَاعَى بَعْدَ دُخُولِ الْعَدُوِّ دَارَ الْإِسْلَامِ أَنْ يَكُونُوا مِثْلَيْنِ كَمَا يُرَاعَى قَبْلَ دُخُولِهِ بَلْ يُرَاعَى الْقُدْرَةُ عَلَى دَفْعِهِمْ لِأَنَّ الْعَدُوَّ بَعْدَ الدُّخُولِ ظَافِرٌ وَقَبَلَهُ مُتَعَرِّضٌ فَإِنِ انْهَزَمَ أَهْلُ ذَلِكَ الثَّغْرِ عَنْهُمْ صَارَ فَرْضُ جِهَادِهِمْ مُتَعَيِّنًا عَلَى كَافَّةِ الْأُمَّةِ وَجْهًا وَاحِدًا حَتَّى يَرُدُّوهُ إِلَى بِلَادِهِ فَإِذَا رَدُّوهُ إِلَيْهَا لَمْ يَخْلُ حَالُهُ مِنْ أَحَدِ أمرين

Pendapat kedua adalah bahwa kewajiban itu tidak menjadi kewajiban yang ditetapkan atas mereka, melainkan tetap sebagai fardhu kifayah karena penduduk perbatasan masih mampu menahan mereka. Maka kewajiban memerangi musuh menjadi kewajiban yang ditetapkan atas penduduk perbatasan, sedangkan bagi seluruh kaum muslimin tetap sebagai fardhu kifayah. Setelah musuh memasuki wilayah Islam, tidak lagi disyaratkan jumlah kaum muslimin harus dua kali lipat dari jumlah musuh sebagaimana disyaratkan sebelum mereka masuk, melainkan yang diperhatikan adalah kemampuan untuk menahan mereka. Sebab, setelah musuh masuk, mereka telah menang, sedangkan sebelumnya mereka hanya mencoba-coba. Jika penduduk perbatasan kalah dari mereka, maka kewajiban jihad menjadi kewajiban yang ditetapkan atas seluruh umat secara mutlak sampai mereka berhasil mengusir musuh kembali ke negeri mereka. Jika mereka telah berhasil mengusir musuh kembali, maka keadaan tidak lepas dari dua kemungkinan.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَعُودَ خَالِيًا مِنْ سَبْيٍ وَأَسْرَى فَقَدْ سَقَطَ مَا تَعَيَّنَ مِنْ فَرْضِ قِتَالِهِ بِرَدِّهِ

Salah satunya adalah jika pasukan kembali tanpa membawa tawanan perang dan orang-orang yang ditawan, maka gugurlah kewajiban yang telah ditetapkan untuk memerangi mereka dengan kembalinya pasukan tersebut.

وَالثَّانِي أَنْ يَعُودَ بِسَبْيٍ وَأَسْرَى فَيَكُونُ فَرْضُ قِتَالِهِ بَاقِيًا حَتَّى يُسْتَرْجَعَ مَنْ فِي يده من السبي والأسرى

Yang kedua adalah jika mereka kembali dengan membawa tawanan dan para tahanan, maka kewajiban memerangi mereka tetap berlaku hingga orang-orang yang berada di tangan mereka dari kalangan tawanan dan para tahanan berhasil direbut kembali.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَكَذَلِكَ رَدُّ السَّلَامِ وَدَفْنُ الْمَوْتَى وَالْقِيَامُ بِالْعِلْمِ وَنَحْوُ ذَلِكَ فَإِذَا قَامَ بِذَلِكَ مَنْ فِيهِ الْكِفَايَةُ لَمْ يُحَرَّجِ الْبَاقُونَ وَإِلَّا حُرِّجُوا أَجْمَعُونَ “

Imam Syafi‘i berkata, “Demikian pula membalas salam, menguburkan jenazah, menegakkan ilmu, dan hal-hal semacam itu; apabila telah dilakukan oleh orang yang jumlahnya mencukupi, maka yang lain tidak lagi dibebani kewajiban. Namun jika tidak, maka seluruhnya menanggung dosa.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَإِنَّمَا ذَكَرَ هَذَا وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مِنْ أَحْكَامِ الْجِهَادِ لِأَنَّهُ مِنْ فُرُوضِ الْكِفَايَاتِ بِالْجِهَادِ فَذَكَرَ ثَلَاثَةَ أَشْيَاءَ رَدُّ السَّلَامِ وَدَفْنُ الْمَوْتَى وَطَلَبُ الْعِلْمِ

Al-Mawardi berkata, “Ia menyebutkan hal ini meskipun bukan termasuk hukum-hukum jihad, karena hal tersebut termasuk fardu kifayah yang berkaitan dengan jihad. Maka ia menyebutkan tiga hal: menjawab salam, menguburkan jenazah, dan menuntut ilmu.”

فَأَمَّا السَّلَامُ فَيَتَعَلَّقُ بِهِ حُكْمَانِ

Adapun salam, maka terdapat dua hukum yang berkaitan dengannya.

أَحَدُهُمَا فِي ابْتِدَائِهِ

Salah satunya berkaitan dengan permulaannya.

وَالثَّانِي فِي رَدِّهِ

Dan yang kedua adalah dalam menolaknya.

فَأَمَّا ابْتِدَاؤُهُ فَيَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ أَدَبٌ وَسُنَّةٌ وَمُخْتَلَفٌ فِيهِ

Adapun permulaannya terbagi menjadi tiga bagian: adab, sunnah, dan yang diperselisihkan di dalamnya.

فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ وَهُوَ الْأَدَبُ فَسَلَامُ الْمُتَلَاقِيَيْنِ وَهُوَ خَاصٌّ وَلَيْسَ بِعَامٍّ لِأَنَّهُ لَوْ سَلَّمَ عَلَى كُلِّ مَنْ لَقِيَ لتشاغل به كل مهم وَيَخْرُجُ بِهِ عَنِ الْعُرْفِ وَإِنَّمَا يَقْصِدُ بِهِ أَحَدَ أَمْرَيْنِ

Adapun bagian pertama, yaitu adab, maka salam antara dua orang yang saling bertemu adalah khusus dan tidak bersifat umum. Sebab, jika seseorang mengucapkan salam kepada setiap orang yang ditemuinya, tentu ia akan sibuk dengan hal itu dari segala urusan penting dan keluar dari kebiasaan yang berlaku. Salam tersebut hanya dimaksudkan untuk salah satu dari dua hal.

إِمَّا أَنْ يَكْسِبَ بِهِ وُدًّا وَإِمَّا أَنْ يَسْتَدْفِعَ بِهِ بَذْءًا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَقِيلَ فِي تَأْوِيلِهِ ادْفَعْ بِالسَّلَامِ إِسَاءَةَ الْمُسِيءِ فَصَارَ هَذَا السَّلَامُ خَاصًّا وَلَيْسَ بِعَامٍّ وَكَانَ مِنْ آداب الشرع لا من سننه لأن يَفْعَلُهُ لِاجْتِلَابِ تَآلُفٍ وَالْأَوْلَى فِي ابْتِدَاءِ هَذَا السَّلَامِ أَنْ يَبْدَأَ بِهِ الصَّغِيرُ عَلَى الْكَبِيرِ وَالرَّاكِبُ عَلَى الْمَاشِي وَالْقَائِمُ عَلَى الْقَاعِدِ لِأَنَّ ذَلِكَ مَرْوِيٌّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فإيهما اسْتَوَيَا فَأَيُّهُمَا بَدَأَ بِهِ كَانَ لَهُ فَضْلُ التَّحِيَّةِ

Bisa jadi seseorang memperoleh simpati dengannya, atau bisa juga ia menolak keburukan dengan salam tersebut. Allah Ta‘ala berfirman: “Tolaklah (kejahatan) dengan cara yang lebih baik.” Maka dikatakan dalam tafsir ayat ini: “Tolaklah keburukan orang yang berbuat jahat dengan salam.” Maka salam ini menjadi khusus, tidak umum, dan termasuk adab syariat, bukan sunnahnya, karena dilakukan untuk menarik keharmonisan. Yang lebih utama dalam memulai salam ini adalah yang lebih muda kepada yang lebih tua, yang berkendara kepada yang berjalan, dan yang berdiri kepada yang duduk, karena hal itu diriwayatkan dari Rasulullah ﷺ. Jika keduanya setara, maka siapa saja yang memulai salam, dialah yang mendapatkan keutamaan memberi salam.

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي وَهُوَ سَلَامُ السُّنَّةِ فَهُوَ سَلَامُ الْقَاصِدِ عَلَى الْمَقْصُودِ وَهُوَ عَامٌّ يَبْتَدِئُ بِهِ كُلُّ قَاصِدٍ عَلَى كُلِّ مَقْصُودٍ مِنْ صَغِيرٍ وَكَبِيرٍ وَرَاكِبٍ وَمَاشٍ قَدْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يَبْتَدِئُ بِالسَّلَامِ إِذَا قَصَدَ وَيَبْتَدِئُ بِهِ إِذَا لُقِيَ وَقُصِدَ وَهُوَ مِنْ سُنَنِ الشَّرْعِ لِأَنَّهُ مَنْدُوبٌ إِلَيْهِ لِغَيْرِ سَبَبٍ مُجْتَلَبٍ وَبَيْنَهُ وَبَيْنَ سَلَامِ الْأَدَبِ فَرْقَانِ

Adapun bagian kedua, yaitu salam sunnah, maka itu adalah salam yang diucapkan oleh orang yang mendatangi kepada orang yang didatangi, dan ini bersifat umum, di mana setiap orang yang mendatangi memulai salam kepada setiap orang yang didatangi, baik yang muda maupun yang tua, yang berkendara maupun yang berjalan kaki. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu memulai salam ketika beliau mendatangi, dan juga memulai salam ketika beliau bertemu dan didatangi. Salam ini termasuk sunnah syariat karena dianjurkan tanpa sebab tertentu yang disengaja, dan antara salam ini dengan salam adab terdapat dua perbedaan.

أَحَدُهُمَا عُمُومُ هَذَا وَخُصُوصُ ذَاكَ

Salah satunya adalah keumuman yang ini dan kekhususan yang itu.

وَالثَّانِي تَعْيِينُ الْمُبْتَدِئِ بِهَذَا وَتَكَافُؤُ ذَاكَ وَهُوَ ضَرْبَانِ

Yang kedua adalah penetapan permulaan dengan hal ini dan kesetaraan yang itu, dan hal ini terbagi menjadi dua macam.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ الْمَقْصُودُ وَاحِدًا فَيَتَعَيَّنُ السَّلَامُ عَلَيْهِ مِنَ الْقَاصِدِ وَيَتَعَيَّنُ الرَّدُّ فِيهِ عَلَى الْمَقْصُودِ

Salah satunya adalah apabila yang dimaksud hanya satu orang, maka wajib bagi orang yang datang untuk mengucapkan salam kepadanya, dan wajib pula bagi orang yang menjadi tujuan untuk menjawab salam tersebut.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ الْمَقْصُودُ جَمَاعَةً فَذَلِكَ ضَرْبَانِ

Jenis kedua adalah jika yang dimaksud adalah sekelompok orang, maka hal itu terbagi menjadi dua macam.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ عَدَدُ الْجَمَاعَةِ قَلِيلًا يَعُمُّهُمُ السَّلَامُ الْوَاحِدُ فَلَيْسَ يَحْتَاجُ فِي قَصْدِهِمْ إِلَى أَكْثَرَ مِنْ سَلَامٍ وَاحِدٍ يُقِيمُ بِهِ سُنَّةَ السَّلَامِ وَمَا زَادَ عَلَيْهِ مِنْ تَخْصِيصِ بَعْضِهِمْ فَهُوَ أَدَبٌ وَلَيْسَ يَلْزَمُ رَدُّ السَّلَامِ إِلَّا مِنْ وَاحِدٍ وَمَنْ زَادَ عَلَيْهِ فَهُوَ مِنْ أَدَبٍ

Salah satunya adalah jika jumlah jamaah sedikit sehingga salam yang satu dapat mencakup mereka semua, maka tidak diperlukan lebih dari satu salam yang ditujukan kepada mereka; dengan satu salam itu sudah menegakkan sunnah salam. Adapun jika menambah dengan mengkhususkan sebagian dari mereka, maka itu termasuk adab, dan tidak wajib menjawab salam kecuali dari salah satu di antara mereka; siapa yang menambah di luar itu, maka itu termasuk adab.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ جَمْعًا لَا يَنْتَشِرُ فِيهِمْ سَلَامُ الْوَاحِدِ كَالْجَامِعِ وَالْمَسْجِدِ الحافل بأهله فسنة السلام أن يبتدىء بِهِ الدَّاخِلُ فِي أَوَّلِ دُخُولِهِ إِذَا شَاهَدَ أوائلهم ويؤدي سنة السلام من جميع سَمِعَهُ وَيَدْخُلُ فِي فَرْضِ الْكِفَايَةِ الرَّدِّ جَمِيعُ مَنْ سَمِعَهُ فَإِذَا أَرَادَ الْجُلُوسَ فِيهِمْ سَقَطَتْ عَنْهُ سُنَّةُ السَّلَامِ فِيمَنْ لَمْ يَسْمَعْهُ مِنَ الْبَاقِينَ وَإِنْ أَرَادَ أَنْ يَجْلِسَ فِيمَنْ بَعْدَهُمْ مِمَّنْ لَمَّ يَسْمَعُوا سَلَامَهُ الْمُتَقَدِّمَ فَفِيهِ وَجْهَانِ

Jenis kedua adalah kelompok yang di dalamnya salam seseorang tidak tersebar kepada semua, seperti majelis atau masjid yang penuh dengan jamaahnya. Maka sunnah salam adalah dimulai oleh orang yang masuk pertama kali ketika ia melihat sebagian dari mereka, dan sunnah salam telah ditunaikan oleh siapa saja yang mendengarnya. Kewajiban kifayah dalam menjawab salam berlaku bagi semua yang mendengarnya. Jika ia ingin duduk bersama mereka, maka gugurlah sunnah salam kepada orang-orang yang belum mendengarnya dari sisanya. Namun jika ia ingin duduk bersama orang-orang setelah mereka, yaitu yang belum mendengar salamnya yang pertama, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا أَنَّ سُنَّةَ السَّلَامِ عَلَيْهِمْ قَدْ سَقَطَتْ بِالسَّلَامِ عَلَى أَوَائِلِهِمْ لِأَنَّهُمْ جَمْعٌ وَاحِدٌ فَإِنْ سَلَّمَ عَلَيْهِمْ كَانَ أَدَبًا فَعَلَى هَذَا إِذَا أَحَدُ أَهْلِ الْمَسْجِدِ رَدَّ عَلَيْهِ سَقَطَ بِهِ فَرْضُ الْكِفَايَةِ عَنْ جَمِيعِهِمْ

Salah satu di antaranya adalah bahwa sunnah memberi salam kepada mereka telah gugur dengan memberi salam kepada sebagian dari mereka, karena mereka adalah satu kelompok. Jika seseorang memberi salam kepada mereka, maka itu adalah adab. Berdasarkan hal ini, jika salah satu dari penghuni masjid menjawab salam, maka kewajiban kifayah telah gugur dari seluruh mereka.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّ سُنَّةَ السَّلَامِ بَاقِيَةٌ عَلَيْهِ فِيمَنْ لَمْ يَنْتَشِرْ فِيهِمْ سَلَامُهُ إِذَا أَرَادَ الْجُلُوسَ بَيْنَهُمْ لِأَنَّهُمْ بِسَلَامِهِ أَخَصُّ فَعَلَى هَذَا لَا يَسْقُطُ فَرْضُ الرَّدِّ عَنِ الْأَوَائِلِ بِرَدِّ الْأَوَاخِرِ

Pendapat kedua adalah bahwa sunnah memberi salam tetap berlaku baginya kepada orang-orang yang belum tersebar salam darinya, jika ia ingin duduk di tengah-tengah mereka, karena mereka lebih khusus dengan salamnya. Berdasarkan hal ini, kewajiban menjawab salam tidak gugur dari orang-orang yang pertama dengan jawaban dari orang-orang yang terakhir.

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ وَهُوَ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ فَسَلَامُ الْقَاصِدِ إِذَا لَزِمَهُ الِاسْتِئْذَانُ عَلَى الْمَقْصُودِ فَيُؤْمَرُ الْقَاصِدُ بِالِاسْتِئْذَانِ وَالسَّلَامِ لِقَوْلِ اللَّهُ تَعَالَى يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا وَفِي قَوْلِهِ حتى تستأنسوا تَأْوِيلَانِ

Adapun bagian ketiga, yaitu yang diperselisihkan, maka salam dari orang yang datang apabila ia wajib meminta izin kepada orang yang dituju, maka orang yang datang itu diperintahkan untuk meminta izin dan mengucapkan salam, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.” Pada firman-Nya “sebelum meminta izin” terdapat dua penafsiran.

أَحَدُهُمَا يَعْنِي حَتَّى تَسْتَأْذِنُوا قَالَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ

Salah satunya, yaitu sampai kalian meminta izin, demikian dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas.

وَالثَّانِي حَتَّى تَعْلَمُوا أَنَّ فِيهَا مَنْ يَأْذَنُ لَكُمْ مِنْ قَوْلِهِ آنَسَ مِنْ جَانِبِ الطُّورِ نَارًا أَيْ عَلِمَ قَالَهُ ابْنُ قُتَيْبَةَ وَفِيمَا يَبْتَدِئُ بِهِ مِنَ الِاسْتِئْذَانِ وَالسَّلَامِ وَجْهَانِ

Yang kedua, hingga kalian mengetahui bahwa di dalamnya ada seseorang yang mengizinkan kalian, berdasarkan firman-Nya: “Ia melihat api dari arah bukit Thur,” maksudnya ia mengetahui, demikian menurut Ibnu Qutaibah. Dalam hal memulai dengan meminta izin dan mengucapkan salam, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يَبْدَأُ بِالِاسْتِئْذَانِ قَبْلَ السَّلَامِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الِاسْتِئْذَانُ وَاجِبًا وَالسَّلَامُ سُنَّةً

Salah satu pendapat menyatakan bahwa seseorang memulai dengan meminta izin sebelum mengucapkan salam, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “hingga kalian meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.” Maka menurut pendapat ini, meminta izin hukumnya wajib, sedangkan salam hukumnya sunnah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنْ يَبْدَأَ بِالسَّلَامِ قَبْلَ الِاسْتِئْذَانِ لِأَنَّهُ وَإِنْ كَانَ مُقَدَّمًا فِي التِّلَاوَةِ فَهُوَ مُؤَخَّرٌ فِي الْحُكْمِ لِرِوَايَةِ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ أَنَّ رَجُلًا اسْتَأْذَنَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لِرَجُلٍ ” قُمْ ” فَعَلِّمْ هَذَا كَيْفَ يَسْتَأْذِنُ فَإِنَّهُ لَمْ يُحْسِنْ فَسَمِعَهَا الرَّجُلُ فَسَلَّمَ وَاسْتَأْذَنَ وَالْأُولَى عِنْدِي مِنِ اخْتِلَافِ هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ أَنْ يَكُونَ محمولا على اخْتِلَافِ حَالَيْنِ لَا يَتَعَارَضُ فِيهِمَا كِتَابٌ وَلَا سُنَّةٌ وَهُوَ إِنْ وَقَعَتْ عَيْنُ الْقَاصِدِ عَلَى الْمَقْصُودِ قَبْلَ دُخُولِهِ قَدَّمَ السَّلَامَ عَلَى الِاسْتِئْذَانِ عَلَى مَا جَاءَتْ بِهِ السُّنَّةُ وَإِنْ لَمْ تَقَعْ عَيْنُهُ عَلَيْهِ قَدَّمَ الِاسْتِئْذَانَ عَلَى السَّلَامِ عَلَى مَا جَاءَ بِهِ الْكِتَابُ فَعَلَى هَذَا إِذَا أُمِرَ أَنْ يَبْتَدِئَ بِالسَّلَامِ فَسَلَّمَ فَهَلْ يَكُونُ سَلَامُهُ اسْتِئْذَانًا أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ

Pendapat kedua adalah memulai dengan salam sebelum meminta izin, karena meskipun dalam urutan tilawah didahulukan, namun dalam hukum didahulukan meminta izin. Hal ini berdasarkan riwayat Muhammad bin Sirin bahwa seorang laki-laki meminta izin kepada Rasulullah ﷺ, lalu Rasulullah ﷺ berkata kepada seorang laki-laki, “Berdirilah, ajarkanlah orang ini bagaimana cara meminta izin, karena ia belum melakukannya dengan benar.” Maka laki-laki itu mendengarnya, lalu ia mengucapkan salam dan meminta izin. Menurut saya, yang lebih utama dari perbedaan dua pendapat ini adalah bahwa keduanya dapat dibawa pada dua keadaan yang berbeda, yang tidak saling bertentangan antara al-Kitab dan as-Sunnah. Jika mata orang yang datang telah melihat orang yang dituju sebelum masuk, maka ia mendahulukan salam atas meminta izin sebagaimana yang diajarkan oleh Sunnah. Namun jika matanya belum melihat orang yang dituju, maka ia mendahulukan meminta izin atas salam sebagaimana yang diajarkan oleh al-Kitab. Berdasarkan hal ini, jika seseorang diperintahkan untuk memulai dengan salam lalu ia mengucapkan salam, apakah salamnya itu dianggap sebagai izin atau tidak? Ada dua pendapat dalam hal ini.

أَحَدُهُمَا يَكُونُ اسْتِئْذَانًا وَيَكُونُ رَدُّهُ إِذْنًا فَعَلَى هَذَا يَكُونُ هَذَا السَّلَامُ وَاجِبًا وَإِعَادَتُهُ بَعْدَ الوجوب أدب

Salah satunya adalah bahwa salam itu merupakan permintaan izin, dan jawaban atas salam itu adalah izin. Dengan demikian, salam ini hukumnya wajib, dan mengulangi salam setelah kewajiban tersebut adalah adab.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا يَكُونُ اسْتِئْذَانًا وَلَا يَكُونُ رَدُّهُ إِذْنًا فَعَلَى هَذَا يَكُونُ هَذَا السَّلَامُ مَسْنُونًا قَدْ سَقَطَتْ بِهِ سُنَّةُ السَّلَامِ بَعْدَ الْإِذْنِ

Adapun pendapat kedua, tidak dianggap sebagai permohonan izin dan penolakannya pun tidak dianggap sebagai pemberian izin. Dengan demikian, salam ini hukumnya sunnah, dan dengan salam tersebut gugurlah sunnah mengucapkan salam setelah mendapat izin.

فَصْلٌ

Fasal

وَأَمَّا رَدُّ السَّلَامِ فِيمَا ذَكَرْنَاهُ مِنَ الْأَقْسَامِ فَضَرْبَانِ

Adapun menjawab salam pada bagian-bagian yang telah kami sebutkan, maka terbagi menjadi dua jenis.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ السَّلَامُ عَلَى وَاحِدٍ وَيَكُونَ رَدُّهُ فَرْضًا مُتَعَيِّنًا عَلَى ذَلِكَ الْوَاحِدِ سَوَاءٌ كَانَ السَّلَامُ مِنْ مُسْلِمٍ أَوْ كَافِرٍ

Salah satunya adalah apabila salam diberikan kepada satu orang, maka menjawab salam tersebut menjadi kewajiban yang pasti atas orang itu, baik salam tersebut berasal dari seorang Muslim maupun dari seorang kafir.

وَقَالَ عَطَاءٌ يَجِبُ رَدُّهُ عَلَى الْمُسْلِمِ وَلَا يَجِبُ رَدُّهُ عَلَى الْكَافِرِ وَالدَّلِيلُ عَلَى اسْتِوَائِهِمَا فِي وُجُوبِ الرَّدِّ عَلَيْهِمَا وَإِنِ اخْتَلَفَا فِي صِفَةِ الرَّدِّ عُمُومُ قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا

Atha’ berkata, “Wajib membalas salam kepada Muslim, dan tidak wajib membalas salam kepada kafir.” Dalil yang menunjukkan kesamaan keduanya dalam kewajiban membalas salam—meskipun berbeda dalam sifat balasannya—adalah keumuman firman Allah Ta‘ala: “Apabila kalian diberi penghormatan dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik darinya atau balaslah dengan yang serupa.”

وَفِي هَذِهِ التَّحِيَّةِ تَأْوِيلَانِ

Dalam salam ini terdapat dua penafsiran.

أَحَدُهُمَا أَنَّهَا الدُّعَاءُ

Salah satunya adalah bahwa ia merupakan doa.

وَالثَّانِي السَّلَامُ

Dan yang kedua adalah salam.

وَفِي قَوْلِهِ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رَدُّوهَا تَأْوِيلَانِ

Dalam firman-Nya “maka balaslah dengan yang lebih baik darinya atau balaslah (dengan yang serupa)”, terdapat dua penafsiran.

أَحَدُهُمَا فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا لِلْمُسْلِمِ أَوْ رُدُّوا مِثْلَهَا عَلَى الْكَافِرِ

Salah satunya adalah membalas dengan yang lebih baik kepada seorang Muslim, atau membalas dengan yang serupa kepada orang kafir.

وَالثَّانِي فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا بِالزِّيَادَةِ عَلَى الدُّعَاءِ أَوْ رُدُّوهَا بِمِثْلِهَا مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ

Dan yang kedua, maka balaslah dengan yang lebih baik darinya dengan menambah atas doanya, atau balaslah dengan yang serupa tanpa ada tambahan.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ السَّلَامُ عَلَى جَمَاعَةٍ فَرَدُّهُ مِنْ فُرُوضِ الْكِفَايَاتِ عَلَى تِلْكَ الْجَمَاعَةِ فَأَيُّهُمْ تَفَرَّدَ بِالرَّدِّ سَقَطَ فَرْضُهُ عَنِ الْبَاقِينَ وَكَانَ الْمُرَادُ مِنْهُمْ هُوَ الْمُخْتَصُّ بِثَوَابِ رَدِّهِ دُونَهُمْ وَإِنْ أَمْسَكُوا عَنْهُ حَرِجُوا أَجْمَعِينَ وَلَا يَسْقُطُ الْفَرْضُ عَنْهُمْ بِرَدِّ غَيْرِهِمْ

Jenis yang kedua adalah apabila salam diucapkan kepada sekelompok orang, maka menjawab salam tersebut merupakan fardhu kifayah bagi kelompok itu. Siapa saja di antara mereka yang telah menjawab salam, maka kewajiban itu gugur dari yang lainnya, dan yang dimaksud dari mereka adalah orang yang secara khusus mendapatkan pahala karena menjawab salam tersebut, bukan yang lainnya. Namun jika mereka semua tidak menjawab, maka mereka semua berdosa. Kewajiban itu tidak gugur dari mereka dengan jawaban dari selain mereka.

فَأَمَّا صِفَةُ السَّلَامِ وَصِفَةُ الرَّدِّ فَهُوَ مُخْتَلَفٌ بِاخْتِلَافِ المسلم والمراد وَذَلِكَ ضَرْبَانِ

Adapun tata cara mengucapkan salam dan tata cara menjawabnya, maka hal itu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan orang yang memberi salam dan maksudnya, dan hal itu terbagi menjadi dua macam.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ السَّلَامُ بَيْنَ مسلمين وفصفته مِنَ الْمُبْتَدِئِ بِالسَّلَامِ أَنْ يَقُولَ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ سواء كان السلام على واحدا أَوْ عَلَى جَمَاعَةٍ لِأَنَّ لَفْظَ الْجَمْعِ يَتَوَجَّهُ إِلَيْهِ وَإِلَى حَافِظِيهِ مِنَ الْمَلَائِكَةِ وَمَا زَادَ بَعْدَهُ مِنْ قَوْلِهِ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ فَهُوَ زِيَادَةُ فَضْلٍ

Salah satunya adalah bahwa salam itu terjadi antara sesama Muslim, dan tata cara salam dari orang yang memulai salam adalah dengan mengucapkan “Assalāmu ‘alaikum”, baik salam itu ditujukan kepada satu orang maupun kepada sekelompok orang, karena lafaz jamak itu juga mencakup dirinya dan para malaikat penjaganya. Adapun tambahan setelahnya, seperti ucapan “wa rahmatullāhi wa barakātuh”, maka itu merupakan tambahan keutamaan.

فَأَمَّا رَدُّهُ فَأَقَلُّهُ أَنْ يُقَابَلَ عَلَيْهِ بِمِثْلِهِ رُوِيَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ لَا تُغَارُّ التَّحِيَّةُ وَالْغِرَارُ النُّقْصَانُ أَيْ لَا تُنْقِصْ مِنَ السَّلَامِ إِذَا سُلِّمَ عَلَيْكَ وَالسُّنَّةُ أَنْ تُزَادَ فِي الرَّدِّ عَلَيْهِ رَوَى الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ أَنَّ رَجُلًا سَلَّمَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَقَالَ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَعَلَيْكُمُ السَّلَامُ وَرَحْمَةُ اللَّهِ ثُمَّ جَاءَ آخَرُ فَقَالَ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَعَلَيْكُمُ السَّلَامُ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ ثُمَّ جَاءَ آخر فقال عليكم السلام وَرَحْمَةُ اللَهِ وَبَرَكَاتُهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَعَلَيْكُمْ فَقِيلَ لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ زِدْتَ الأول والثاني وقلت للثالثة وَعَلَيْكُمْ فَقَالَ إِنَّ الْأَوَّلَ وَالثَّانِيَ أَبْقَيَا مِنَ التَّحِيَّةِ شَيْئًا فَرَدَدْتُ عَلَيْهِمَا أَحْسَنَ مِنْ تَحِيَّتِهِمَا وَإِنَّ الثَّالِثَ جَاءَ بِالتَّحِيَّةِ كُلِّهَا فَرَدَدْتُ عَلَيْهِ مِثْلَهَا وَإِنْ كَانَ السَّلَامُ بَيْنَ مُسْلِمٍ وَكَافِرٍ فضربان أحدهما أن يكون الكافر مبتدءاً بِالسَّلَامِ فَيَجِبُ عَلَى الْمُسْلِمِ رَدُّ سَلَامِهِ وَفِي صِفَةِ رَدِّهِ وَجْهَانِ أَحَدُهُمَا أَنْ يَرُدَّ عَلَيْهِ الْمُسْلِمُ فَيَقُولُ وَعَلَيْكَ السَّلَامُ وَلَا يَزِيدُ عَلَيْهِ وبرحمة اللَّهِ وبَرَكَاتُهُ وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنْ يَقْتَصِرَ فِي رَدِّهِ عَلَيْهِ بِقَوْلِهِ وَعَلَيْكَ لِأَنَّهُ رُبَّمَا نَوَى سوءا بسلامه وإن كان المسلم مبتدءا بِالسَّلَامِ فَفِي جَوَازِ ابْتِدَائِهِ بِالسَّلَامِ وَجْهَانِ أَحَدُهُمَا يَجُوزُ أَنْ يَبْتَدِئَ بِالسَّلَامِ لِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ السَّلَامُ أَدَبًا وَسُنَّةً كَانَ الْمُسْلِمُ بِفِعْلِهِ أَحَقَّ فَعَلَى هَذَا يَقُولُ لَهُ الْمُسْلِمُ السَّلَامُ عَلَيْكَ عَلَى لَفْظِ الْوَاحِدِ وَلَا يَذْكُرُهُ عَلَى لَفْظِ الْجَمْعِ كَالْمُسْلِمِ لِيَقَعَ بِهِ الْفَرْقُ بَيْنَ السَّلَامِ عَلَى الْمُسْلِمِ وَالْكَافِرِ وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا يَبْدَأُ بالسلام حتى يبتدئ بِهِ فَيُجَابُ لِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ

Adapun membalas salam, paling sedikit adalah membalas dengan yang semisal. Diriwayatkan dari Rasulullah ﷺ bahwa beliau bersabda: “Janganlah mengurangi salam.” Al-ghirar artinya kekurangan, yaitu janganlah mengurangi salam jika engkau diberi salam. Sunnahnya adalah menambah dalam membalas salam. Al-Hasan al-Bashri meriwayatkan bahwa seorang laki-laki memberi salam kepada Rasulullah ﷺ dengan mengucapkan, “Assalamu ‘alaikum,” maka Nabi ﷺ menjawab, “Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullah.” Kemudian datang orang lain dan mengucapkan, “Assalamu ‘alaikum,” maka Nabi ﷺ menjawab, “Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullahi wa barakatuh.” Lalu datang orang ketiga dan mengucapkan, “Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh,” maka Nabi ﷺ menjawab, “Wa ‘alaikum.” Lalu ditanyakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, engkau menambah pada yang pertama dan kedua, tetapi pada yang ketiga engkau hanya menjawab, ‘Wa ‘alaikum’?” Beliau menjawab, “Karena yang pertama dan kedua masih menyisakan bagian dari salam, maka aku balas dengan yang lebih baik dari salam mereka. Sedangkan yang ketiga telah menyempurnakan seluruh salam, maka aku balas dengan yang semisal.” Jika salam terjadi antara seorang Muslim dan kafir, maka ada dua keadaan: Pertama, jika orang kafir yang memulai salam, maka wajib bagi Muslim membalas salamnya. Dalam tata cara membalasnya ada dua pendapat: salah satunya, Muslim membalas dengan mengucapkan, “Wa ‘alaikas salam,” dan tidak menambah dengan “wa rahmatullah wa barakatuh.” Pendapat kedua, cukup membalas dengan ucapan, “Wa ‘alaik,” karena bisa jadi ia berniat buruk dengan salamnya. Jika Muslim yang memulai salam, maka dalam kebolehan memulai salam terdapat dua pendapat: salah satunya, boleh memulai salam karena salam adalah adab dan sunnah, sehingga Muslim lebih berhak melakukannya. Dalam hal ini, Muslim mengucapkan, “Assalamu ‘alaika” dengan lafaz tunggal, dan tidak menggunakan lafaz jamak seperti kepada sesama Muslim, agar terdapat perbedaan antara salam kepada Muslim dan kafir. Pendapat kedua, tidak memulai salam hingga orang kafir yang memulai, lalu dijawab, berdasarkan riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda…

لَا تَبْتَدِئُوا الْيَهُودَ بالسَّلَامِ فَإِنْ بدؤوكم فَقُولُوا وَعَلَيْكُمْ

Janganlah kalian memulai memberi salam kepada orang Yahudi. Jika mereka memulai memberi salam kepada kalian, maka katakanlah, “Wa ‘alaikum.”

فَهَذَا وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مِنْ سُنَنِ الْجِهَادِ فَهُوَ مِنَ الْسُنَنِ وَالْآدَابِ فَلَمْ أَسْتَجِزْ ذِكْرَهُ مَعَ ذِكْرِ الشَّافِعِيِّ لَهُ إنْ أُخِلَّ بِاسْتِيفَائِهِ وَاللَّهُ الْمُوَفِّقُ لِلصَّوَابِ

Maka hal ini, meskipun bukan termasuk sunah-sunah jihad, ia termasuk sunah dan adab. Karena itu, aku tidak membolehkan menyebutkannya bersamaan dengan penyebutan pendapat asy-Syafi‘i tentangnya jika hal itu menyebabkan kekurangan dalam penjelasannya secara lengkap. Dan Allah-lah yang memberi taufik kepada kebenaran.

فَصْلٌ

Fasal

وَأَمَّا دفن الموتى فحكمه وحكم نسلهم والصلاة عليهم واحد فهو مفروض الْكِفَايَاتِ عَلَى مَنْ عَلِمَ بِحَالِهِ حَتَّى يَقُومَ بِهِ أَحَدُهُمْ وَهَلْ يَكُونُ أَوْلِيَاؤُهُ فِيهِ أُسْوَةَ غَيْرِهِمْ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ

Adapun pemakaman jenazah, hukumnya, hukum keturunannya, dan shalat atas mereka adalah sama, yaitu termasuk fardhu kifayah bagi siapa saja yang mengetahui keadaannya, hingga salah satu dari mereka melaksanakannya. Apakah para wali jenazah dalam hal ini sama kedudukannya dengan selain mereka atau tidak, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا أَنَّ جَمِيعَ الْمُسْلِمِينَ فِيهِ أُسْوَةٌ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ

Salah satunya adalah bahwa seluruh kaum Muslimin di dalamnya menjadi teladan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara.”

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهُمْ أَحَقُّ بِهِ مِنْ غَيْرِهِمْ وَإِنْ لَمْ يَتَعَيَّنْ فَرْضُهُ عَلَيْهِمْ فَمَأْثَمُ تَرْكِهِ فِيهِمْ أَغْلَظُ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَأُولُو الأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فَيَكُونُ الْفَرْقُ بَيْنَ الْوَجْهَيْنِ أَنَّ عَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ لَا يَجُوزُ لِمَنْ عَلِمَ بِحَالِهِ مِنَ الْأَقَارِبِ وَالْأَجَانِبِ أَنْ يُمْسِكُوا عَنْهُ حَتَّى يَقُومَ بِهِ أَحَدُهُمْ فَيَسْقُطُ فَرْضُهُ عَنْ جَمِيعِهِمْ وَعَلَى الْوَجْهِ الثَّانِي يَجُوزُ لِلْأَجَانِبِ أَنْ يُفَوِّضُوا أَمْرَهُ إِلَى الْأَقَارِبِ فَإِنْ أَمْسَكَ عَنْهُ الْأَقَارِبُ شَارَكَهُمْ فِي فَرْضِهِ الْأَجَانِبُ فَإِنْ لَمْ يَعْلَمْ بِحَالِ الْمَيِّتِ إِلَّا وَاحِدٌ تَعَيَّنَ فَرْضُهُ عَلَيْهِ وَذَلِكَ ضَرْبَانِ

Adapun pendapat kedua adalah bahwa mereka (kerabat) lebih berhak atasnya daripada selain mereka, meskipun kewajiban itu tidak ditetapkan khusus atas mereka. Maka dosa meninggalkannya pada mereka lebih berat, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Dan orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagian mereka lebih berhak terhadap sebagian yang lain.” Maka perbedaan antara dua pendapat itu adalah: menurut pendapat pertama, tidak boleh bagi siapa pun dari kerabat maupun orang lain yang mengetahui keadaannya untuk menahan diri darinya sampai salah satu dari mereka melaksanakannya, sehingga gugurlah kewajiban itu dari seluruh mereka. Sedangkan menurut pendapat kedua, boleh bagi orang lain untuk menyerahkan urusannya kepada kerabat. Jika kerabat menahan diri darinya, maka orang lain pun turut serta dalam kewajiban itu bersama kerabat. Jika hanya satu orang yang mengetahui keadaan mayit, maka kewajiban itu menjadi khusus atasnya. Dan hal itu terbagi menjadi dua macam.

أَحَدُهُمَا أَنْ لَا يُوجَدَ غَيْرُهُ مِمَّنْ يَقُومُ بِهِ فَيَتَعَيَّنُ عَلَيْهِ فَرْضُ الْقِيَامِ بِهِ فِي الْغُسْلِ وَالتَّكْفِينِ وَالصَّلَاةِ وَالدَّفْنِ

Salah satunya adalah tidak adanya orang lain yang dapat melaksanakan tugas tersebut, sehingga menjadi kewajiban baginya untuk melakukan tugas memandikan, mengafani, menshalatkan, dan menguburkan.

وَالثَّانِي أَنْ يُوجَدَ غَيْرُهُ مِمَّنْ يَقُومُ بِمُوَارَاتِهِ فَيَكُونُ فِيمَا تَعَيَّنَ عَلَيْهِ مِنْ فرضه بين خيارين

Yang kedua adalah adanya orang lain yang dapat melaksanakan pengurusan jenazahnya, sehingga dalam kewajiban yang telah ditetapkan atasnya, ia berada di antara dua pilihan.

إما أن تنفرد بِمُوَارَاتِهِ وَإِمَّا أَنْ يُخْبِرَ بِهِ مَنْ يَقُومُ بِمُوَارَاتِهِ فَيَسْقُطُ فَرْضُ التَّعْيِينِ وَيَبْقَى فَرْضُ الْكِفَايَةِ عَلَى الْمُخْبِرِ وَالْمُخْبَرِ حَتَّى يُوَارِيَهُ أَحَدُهُمْ فَتَصِيرُ هَذِهِ الْمُوَارَاةُ مِنْ فُرُوضِ الْكِفَايَةِ فِي الْعُمُومِ وَمِنْ فُرُوضِ الْأَعْيَانِ فِي الْخُصُوصِ

Bisa saja ia sendiri yang menguburkannya, atau ia memberitahukan kepada orang lain yang akan menguburkannya, sehingga gugurlah kewajiban yang bersifat individu dan tetaplah kewajiban kifayah atas orang yang memberitahu dan yang diberi tahu, sampai salah satu dari mereka menguburkannya. Maka penguburan ini menjadi bagian dari fardhu kifayah secara umum dan menjadi fardhu ‘ain secara khusus.

فَصْلٌ

Bagian

أَمَّا طلب العلم فعلى أربعة أقسام

Adapun menuntut ilmu terbagi menjadi empat bagian.

أحدهما مَا تَعَيَّنَ فَرْضُهُ عَلَى كُلِّ مُكَلَّفٍ وَهُوَ مَا لَا يَخْلُو مُكَلَّفٌ مِنْ وُجُوبِ فَرْضِهِ عليه كالطهارة والصلاة الصيام فَيَلْزَمُهُ الْعِلْمُ بِوُجُوبِهِ وَصِفَةِ أَدَائِهِ عَلَى تَفْصِيلِهِ لِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” عَلِّمُوهُمُ الطَّهَارَةَ وَالصَّلَاةَ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعٍ ” فَلَمَّا أَمَرَ بِتَعْلِيمِ مَنْ لَمْ يَلْزَمْهُ الْفَرْضُ كَانَ تَعْلِيمُ مَنْ لَزِمَهُ أَوْلَى وَلَا يَلْزَمُهُ أَنْ يَعْرِفَ أَحْكَامَ الْحَوَادِثِ فِيهَا لِأَنَّهَا عَارِضَةٌ وَإِنَّمَا يَلْتَزِمُ الرَّاتِبَ مِنْ شُرُوطِهَا

Pertama, yaitu kewajiban yang telah ditetapkan atas setiap mukallaf, yaitu kewajiban yang tidak mungkin terlepas dari setiap mukallaf, seperti thaharah, shalat, dan puasa. Maka wajib baginya mengetahui kewajiban tersebut dan tata cara pelaksanaannya secara rinci, berdasarkan riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, “Ajarkanlah mereka thaharah dan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun.” Maka ketika beliau memerintahkan untuk mengajarkan kepada orang yang belum wajib baginya kewajiban tersebut, tentu mengajarkan kepada orang yang sudah wajib baginya lebih utama. Dan tidak wajib baginya untuk mengetahui hukum-hukum kejadian baru di dalamnya, karena hal itu bersifat insidental, sedangkan yang wajib hanyalah mengetahui syarat-syarat tetapnya.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي مَا يَتَعَيَّنُ فَرْضُ الْعِلْمِ بِوُجُوبِهِ عَلَى كُلِّ مُكَلَّفٍ وَيَتَعَيَّنُ فَرْضُ الْعِلْمِ بِأَحْكَامِهِ عَلَى بَعْضِ الْمُكَلَّفِينَ دُونَ جَمِيعِهِمْ وَهُوَ الزَّكَاةُ وَالْحَجُّ لِأَنَّ فَرْضَهُمَا لَا يَتَعَيَّنُ عَلَى كُلِّ مُكَلَّفٍ وَيَتَعَيَّنُ عَلَى بَعْضِهِمْ فَتَعَيَّنَ فَرْضُ الْحُكْمِ عَلَى مَنْ تَعَيَّنَ عَلَيْهِ فَرْضُ الْفِعْلِ فَيَكُونُ فَرْضُ الْعِلْمِ بِوُجُوبِهِ عَامًّا وَفَرْضُ الْعِلْمِ بِأَحْكَامِهِ خَاصًّا

Bagian kedua adalah perkara yang wajib diketahui kewajibannya oleh setiap mukallaf, namun kewajiban mengetahui hukum-hukumnya hanya berlaku bagi sebagian mukallaf, tidak seluruhnya, yaitu zakat dan haji. Sebab, kewajiban kedua ibadah tersebut tidak berlaku atas setiap mukallaf, melainkan hanya atas sebagian mereka. Maka, kewajiban mengetahui hukumnya menjadi wajib bagi siapa saja yang telah wajib baginya melaksanakan perbuatan tersebut. Dengan demikian, kewajiban mengetahui tentang kewajibannya bersifat umum, sedangkan kewajiban mengetahui hukum-hukumnya bersifat khusus.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ مَا يَتَعَيَّنُ فَرْضُ الْعِلْمِ بِوُجُوبِهِ وَلَا يَتَعَيَّنُ فَرْضُ الْعِلْمِ بِأَحْكَامِهِ وَهُوَ تَحْرِيمُ الزِّنَا وَالرِّبَا وَالْقَتْلِ وَالْغَصْبِ وَأَكْلِ الْخِنْزِيرِ وَشُرْبِ الْخَمْرِ فَيَلْزَمُهُمُ الْعِلْمُ بِتَحْرِيمِهِ لِيَنْتَهُوا عَنْهُ وَلَا يَلْزَمُهُمُ الْعِلْمُ بِأَحْكَامِهِ إِذَا فُعِلَ لِأَنَّهُمْ مُنْتَهُونَ عَنْهُ

Bagian ketiga adalah perkara yang wajib diketahui kewajiban haramnya, namun tidak wajib mengetahui hukum-hukumnya secara rinci, yaitu seperti keharaman zina, riba, pembunuhan, perampasan, memakan daging babi, dan meminum khamar. Maka, mereka wajib mengetahui keharamannya agar dapat menjauhinya, namun tidak wajib mengetahui hukum-hukumnya secara rinci jika perbuatan itu dilakukan, karena mereka memang sudah menjauhinya.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ مَا كَانَ فَرْضُ الْعِلْمِ بِهِ عَلَى الْكِفَايَةِ وَهُوَ جَمِيعُ الْأَحْكَامِ مِنْ أُصُولٍ وَفُرُوعٍ وَنَوَازِلَ لِقَوْلِ اللَّهُ تَعَالَى فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ فِيهِ تَأْوِيلَانِ

Bagian keempat adalah ilmu yang kewajiban mempelajarinya bersifat kifayah, yaitu seluruh hukum baik yang bersifat ushul, furu‘, maupun nawāzil, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Maka hendaklah ada sekelompok dari setiap golongan mereka yang berangkat untuk memperdalam pengetahuan agama.” Ayat ini memiliki dua tafsiran.

أَحَدُهُمَا فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ فِي الْجِهَادِ لِتُفَقِّهَ الطَّائِفَةَ الْمُقِيمَةَ

Salah satunya adalah, seandainya tidak ada sekelompok dari setiap golongan mereka yang berangkat untuk berjihad agar mereka dapat memberikan pemahaman kepada kelompok yang tetap tinggal.

وَالثَّانِي فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ فِي طَلَبِ الْفِقْهِ لِتُجَاهِدَ الطَّائِفَةُ الْمُتَأَخِّرَةُ

Dan yang kedua, maka seandainya tidak ada sekelompok dari setiap golongan mereka yang berangkat untuk mencari ilmu fiqh, niscaya kelompok yang datang belakangan akan berjihad.

وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ ” وَفِيهِ تَأْوِيلَانِ

Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim.” Dalam hal ini terdapat dua penafsiran.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ أَرَادَ عِلْمَ مَا لَا يَسَعُ جَهْلُهُ

Salah satunya adalah bahwa ia menginginkan pengetahuan tentang hal-hal yang tidak boleh diabaikan ketidaktahuannya.

وَالثَّانِي أَنَّهُ أَرَادَ جُمْلَةَ الْعِلْمِ إِذَا لَمْ يَقُمْ بِطَلَبِهِ مَنْ فِيهِ كِفَايَةٌ

Dan yang kedua, bahwa yang dimaksud adalah seluruh ilmu apabila tidak ada orang yang mencukupi untuk menuntutnya.

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ طَلَبَ الْعِلْمِ مِنْ فُرُوضِ الْكِفَايَةِ تَوَجَّهَ فَرْضُهُ إِلَى مَنْ تَكَامَلَتْ فِيهِ أَرْبَعَةُ شُرُوطٍ

Maka apabila telah tetap bahwa menuntut ilmu termasuk fardhu kifāyah, kewajiban tersebut ditujukan kepada orang yang telah terpenuhi padanya empat syarat.

أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ مُكَلَّفًا بِالْبُلُوغِ وَالْعَقْلِ لِأَنَّ دُخُولَهُ فِي فَرْضِ الكفاية تكليف

Salah satunya adalah bahwa ia harus mukallaf, yaitu telah baligh dan berakal, karena keterlibatannya dalam fardhu kifayah merupakan suatu taklif (pembebanan kewajiban).

والثاني أنه يَكُونَ مِمَّنْ يَجُوزُ أَنْ يُقَلَّدَ الْقَضَاءَ بِالْحُرِّيَّةِ وَالذُّكُورِيَّةِ لِأَنَّ تَقْلِيدَ الْقَضَاءِ مِنْ فُرُوضِ الْكِفَايَةِ فَلَمْ يَدْخُلْ فِي فَرْضِ الْكِفَايَةِ امْرَأَةٌ وَلَا عَبْدٌ

Kedua, hendaknya ia termasuk orang yang boleh diangkat menjadi qadhi karena memiliki sifat merdeka dan laki-laki, sebab pengangkatan qadhi termasuk fardhu kifayah, sehingga dalam fardhu kifayah ini tidak termasuk perempuan maupun budak.

وَالثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ مِنْ أَهْلِ الذَّكَاءِ وَالتَّصَوُّرِ لِيَكُونَ قَابِلًا لِلْعِلْمِ فَإِنْ كَانَ بَلِيدًا لَا يَتَصَوَّرُ خَرَجَ مِنْ فَرْضِ الْكِفَايَةِ لِفَقْدِ آلَةِ التَّعَلُّمِ كَمَا يَسْقُطُ فَرْضُ الْجِهَادِ عَنِ الْأَعْمَى وَالزَّمِنِ

Ketiga, hendaknya ia termasuk orang yang cerdas dan mampu memahami, agar dapat menerima ilmu. Jika ia bodoh dan tidak mampu memahami, maka ia keluar dari kewajiban kifayah karena tidak memiliki alat untuk belajar, sebagaimana gugurnya kewajiban jihad dari orang buta dan orang yang lumpuh.

وَالرَّابِعُ أَنْ يَقْتَدِرَ عَلَى الِانْقِطَاعِ إِلَيْهِ بِمَا يَمُدُّهُ فَإِنْ عَجَزَ عَنْهُ بِعُسْرِهِ خَرَجَ مِنْ فَرْضِ الْكِفَايَةِ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ “

Keempat, hendaknya ia mampu mencukupi kebutuhannya sendiri dengan sesuatu yang dapat menopangnya. Jika ia tidak mampu karena kesulitan, maka ia keluar dari kewajiban kifayah, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Cukuplah seseorang dianggap berdosa jika ia menelantarkan orang yang menjadi tanggungannya.”

فَإِذَا تَكَامَلَتْ هَذِهِ الشُّرُوطُ الْأَرْبَعَةُ فِي عَدْلٍ أَوْ فَاسْقٍ تَوَجَّهَ فَرْضُ الْكِفَايَةِ إِلَيْهِ لِأَنَّ الْفَاسِقَ مَأْمُورٌ بِالْإِقْلَاعِ عَنْ فِسْقِهِ فَصَارَ مِمَّنْ تَوَجَّهَ إِلَيْهِ فَرْضُ الْكِفَايَةِ مَعَ فِسْقِهِ فَإِنْ لَمْ يَقُمْ بِطَلَبِهِ مَنْ فِيهِ كِفَايَةٌ خَرَجَ مِنَ النَّاسِ مَنْ تَكَامَلَتْ فِيهِ هَذِهِ الشُّرُوطُ الْأَرْبَعَةُ وَإِنْ أَقَامَ بِطَلَبِهِ مَنْ فِيهِ كِفَايَةٌ انْقَسَمَتْ حَالُهُ وَحَالُ مَنْ دَخَلَ فِي فَرْضِ الْكِفَايَةِ أَرْبَعَةَ أَقْسَامٍ

Apabila keempat syarat ini telah terpenuhi pada seseorang yang adil maupun fasik, maka kewajiban fardhu kifayah menjadi tertuju kepadanya. Sebab, orang fasik juga diperintahkan untuk meninggalkan kefasikannya, sehingga ia termasuk di antara orang yang terkena kewajiban fardhu kifayah meskipun dalam keadaan fasik. Jika tidak ada orang yang memenuhi syarat-syarat tersebut yang melaksanakan pencarian (ilmu), maka orang-orang yang telah sempurna pada dirinya keempat syarat ini keluar dari golongan manusia. Namun, jika ada yang telah memenuhi syarat tersebut melaksanakan pencarian (ilmu), maka keadaan mereka dan keadaan orang yang masuk dalam fardhu kifayah terbagi menjadi empat bagian.

أَحَدُهَا مَنْ يَدْخُلُ فِي فَرْضِ الْكِفَايَةِ وَيَسْقُطُ بِهِ فَرْضُهَا إِذَا عُلِمَ وَهُوَ مَنْ تَكَامَلَتْ فِيهِ الشُّرُوطُ الْأَرْبَعَةُ إِذَا كَانَ عَدْلًا

Salah satunya adalah orang yang termasuk dalam kewajiban kifayah dan dengan keikutsertaannya gugurlah kewajiban tersebut jika telah diketahui, yaitu orang yang telah terpenuhi padanya empat syarat apabila ia adalah seorang yang adil.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي مَنْ يَدْخُلُ فِيهِ فَرْضُ الْكِفَايَةِ وَلَا يَسْقُطُ بِهِ فَرْضُهَا إِذَا عُلِمَ وَهُوَ مَنْ تَكَامَلَتْ فِيهِ هَذِهِ الشُّرُوطُ الْأَرْبَعَةُ إِذَا كَانَ فَاسِقًا لِأَنَّ قَوْلَهُ غَيْرُ مَقْبُولٍ

Bagian kedua adalah orang yang termasuk di dalamnya kewajiban kifayah, dan kewajiban tersebut tidak gugur dengannya jika diketahui keadaannya, yaitu orang yang telah terpenuhi padanya empat syarat ini namun ia seorang fāsiq, karena perkataannya tidak dapat diterima.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ مَنْ لَا يَدْخُلُ فِي فَرْضِ الْكِفَايَةِ وَيَسْقُطُ بِهِ فَرْضُهَا إِذَا عُلِمَ وهو من أعسر بما يستمده وقد كمل مَا عَدَاهُ فَلَا يَدْخُلُ فِي فَرْضِ الْكِفَايَةِ لعسرته وَيَسْقُطُ فَرْضُهَا لِكِفَايَتِهِ

Bagian ketiga adalah orang yang tidak termasuk dalam kewajiban kifayah dan kewajiban kifayah gugur darinya jika diketahui keadaannya, yaitu orang yang mengalami kesulitan dalam hal yang menjadi sumbernya, sementara selainnya telah sempurna. Maka, ia tidak termasuk dalam kewajiban kifayah karena kesulitannya, dan kewajiban kifayah gugur darinya karena telah tercukupi.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ مَنْ لَا يَدْخُلُ فِي فَرْضِ الْكِفَايَةِ وَفِي سُقُوطِ فَرْضِهَا بِهِ وَجْهَانِ وَهُوَ الْمَرْأَةُ وَالْعَبْدُ

Bagian keempat adalah mereka yang tidak termasuk dalam kewajiban kifayah, dan dalam hal gugurnya kewajiban tersebut karena mereka terdapat dua pendapat, yaitu perempuan dan budak.

أَحَدُهُمَا يَسْقُطُ بِهَا فَرْضُ الْكِفَايَةِ لِأَنَّ قَوْلَهُمَا فِي الْفَتَاوَى مَقْبُولٌ

Salah satunya adalah bahwa dengan adanya mereka berdua, kewajiban kifayah menjadi gugur, karena pendapat mereka berdua dalam fatwa dapat diterima.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا يَسْقُطُ بِهِمَا فَرْضُهُمَا لِقُصُورِهِمَا عَنْ وِلَايَةِ الْقَضَاءِ الدَّاخِلِ فِي فَرْضِ الْكِفَايَةِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Pendapat kedua menyatakan bahwa kewajiban mereka tidak gugur dengan keduanya, karena keduanya tidak memenuhi syarat untuk menjalankan tugas kehakiman yang termasuk dalam fardhu kifayah. Dan Allah lebih mengetahui.

قال الشافعي ” الْحُكْمُ فِي الْمُشْرِكِينَ حُكْمَانِ فَمَنْ كَانَ مِنْهُمْ أَهْلَ أَوْثَانٍ أَوْ مَنْ عَبَدَ مَا اسْتَحْسَنَ مِنْ غَيْرِ أَهْلِ الْكِتَابِ لَمْ تُؤْخَذْ مِنْهُمُ الْجِزْيَةُ وَقُوتِلُوا حَتَّى يُقتَلُوا أَوْ يُسْلِمُوا لِقَوْلِ الله تبارك وتعالى وقاتلوا المشركين حيث وجدتموهم وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ “

Imam Syafi‘i berkata, “Hukum terhadap orang-orang musyrik ada dua. Barang siapa di antara mereka adalah penyembah berhala atau menyembah sesuatu yang mereka anggap baik selain dari Ahlul Kitab, maka tidak diambil jizyah dari mereka dan mereka diperangi hingga terbunuh atau masuk Islam, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: ‘Dan perangilah orang-orang musyrik di mana saja kamu menemui mereka,’ dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan la ilaha illallah (tidak ada tuhan selain Allah).’”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ مِنْ كِتَابِ الْجِزْيَةِ وَإِنَّمَا قَدَّمَهَا الْمُزَنِيُّ فِي الجهاد لتعلقها بأحكامه والمشركون ثلاثة أصناف

Al-Mawardi berkata: “Masalah ini termasuk dalam Kitab Jizyah, namun al-Muzani mendahulukannya dalam bab jihad karena berkaitan dengan hukum-hukumnya. Orang-orang musyrik terbagi menjadi tiga golongan.”

أحدهما أَهْلُ كِتَابٍ

Salah satunya adalah Ahlul Kitab.

وَالثَّانِي مَنْ لَهُمْ شُبْهَةُ كِتَابٍ

Dan yang kedua adalah mereka yang memiliki syubhat kitab.

وَالثَّالِثُ مَنْ لَيْسَ بِأَهْلِ كِتَابٍ وَلَا لَهُمْ شُبْهَةُ كِتَابٍ

Dan yang ketiga adalah orang yang bukan ahli kitab dan juga tidak memiliki syubhat kitab.

فَإِنْ قِيلَ فَلِمَ جَعَلَهُمُ الشَّافِعِيُّ صِنْفَيْنِ وَهُمْ أَكْثَرُ فَعَنْهُ جَوَابَانِ

Jika ada yang bertanya, “Mengapa asy-Syafi‘i membaginya menjadi dua golongan padahal mereka lebih banyak dari itu?” Maka dari beliau ada dua jawaban.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُمْ فِي حُكْمِ الْجِزْيَةِ صِنْفَانِ وَإِنْ كَانُوا فِي غَيْرِهَا مِنَ الْأَحْكَامِ أَكْثَرَ

Salah satunya adalah bahwa mereka dalam hukum jizyah terbagi menjadi dua golongan, meskipun dalam hukum-hukum lainnya mereka lebih banyak.

وَالثَّانِي لِأَنَّ الَّذِينَ جَاهَدَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ كَانُوا عَلَى عَهْدِهِ صِنْفَيْنِ

Dan alasan kedua adalah karena orang-orang yang diperangi oleh Rasulullah saw. pada masa beliau terbagi menjadi dua golongan.

فَإِنْ قِيلَ فَلِمَ أَدْخَلَ أَهْلَ الْكِتَابِ فِي الْمُشْرِكِينَ وَأَطْلَقَ عَلَيْهِمُ اسْمَ الشِّرْكِ وَقَدْ مَنَعَ غَيْرُهُ مِنَ الْفُقَهَاءِ إِطْلَاقَ اسْمِ الشِّرْكِ عَلَيْهِمْ لِأَنَّهُ يَنْطَلِقُ عَلَى مَنْ جَعَلَ لِلَّهِ شَرِيكًا مَعْبُودًا فَعَنْهُ جَوَابَانِ

Jika ada yang bertanya, “Mengapa Ahlul Kitab dimasukkan ke dalam golongan musyrik dan dilekatkan kepada mereka sebutan syirik, padahal sebagian fuqaha’ melarang penyematan istilah syirik kepada mereka karena istilah itu digunakan untuk orang yang menjadikan sekutu bagi Allah dalam hal ibadah?” Maka ada dua jawaban atas pertanyaan tersebut.

أَحَدُهُمَا لِأَنَّ فِيهِمْ مَنْ جَعَلَ لِلَّهِ وَلَدًا وَفِيهِمْ مَنْ جَعَلَهُ ثَالِثَ ثَلَاثَةٍ

Salah satunya adalah karena di antara mereka ada yang menetapkan bagi Allah seorang anak, dan di antara mereka ada yang menjadikan-Nya sebagai salah satu dari tiga dalam trinitas.

وَالثَّانِي لِأَنَّهُمْ لَمَّا أَنْكَرُوا مُعْجِزَاتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَأَضَافُوهَا إِلَى غَيْرِهِ جَعَلُوا لَهُ شَرِيكًا فِيهَا فَلَمْ يَمْتَنِعْ لِهَذَيْنَ أَنْ يَنْطَلِقَ عَلَيْهِمُ اسْمُ الشِّرْكِ

Kedua, karena ketika mereka mengingkari mukjizat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menisbatkannya kepada selain beliau, mereka telah menjadikan orang lain sebagai sekutu dalam hal itu. Maka, tidaklah mustahil bagi kedua kelompok ini untuk disebut dengan istilah syirik.

فَأَمَّا أَهْلُ الْكِتَابِ فَصِنْفَانِ

Adapun Ahlul Kitab itu terbagi menjadi dua golongan.

أَحَدُهُمَا الْيَهُودُ وَمَنْ تَبِعَهُمْ مِنَ السَّامِرَةِ وَكِتَابُهُمُ التَّوْرَاةُ

Salah satu dari mereka adalah kaum Yahudi dan orang-orang Samaria yang mengikuti mereka, dan kitab mereka adalah Taurat.

وَالثَّانِي النَّصَارَى وَمَنْ تَبِعَهُمْ مِنَ الصَّابِئِينَ وَكِتَابُهُمُ الْإِنْجِيلُ فَهُوَ لَا يُجَوِّزُ أَخْذَ الْجِزْيَةِ مِنْهُمْ إِنْ بَذَلُوهَا مَعَ أَكْلِ ذَبَائِحِهِمْ وَنِكَاحِ نِسَائِهِمْ وَأَمَّا مَنْ لَيْسَ بِأَهْلِ كِتَابٍ وَلَهُمْ شُبْهَةُ كِتَابٍ فَهُمُ الْمَجُوسُ لِأَنَّ وُقُوعَ الشَّكِّ فِي كِتَابِهِمْ أَجْرَى عَلَيْهِمْ حُكْمَهُ فِي حَقْنِ دِمَائِهِمْ فَيَجُوزُ أَنْ تُؤْخَذَ مِنْهُمُ الْجِزْيَةُ ولا يجوز أكل ذبائحهم لأن وقع الشَّكِّ فِي كِتَابِهِمْ أَجْرَى عَلَيْهِمْ حُكْمَهُ فِي حَقْنِ دِمَائِهِمْ فَيَجُوزُ أَنْ تُؤْخَذَ مِنْهُمُ الْجِزْيَةُ وَلَا يَجُوزُ أَكْلُ ذَبَائِحِهِمْ وَلَا نِكَاحُ نِسَائِهِمْ على الصحيح من الْمَذْهَبِ وَسَيَأْتِي شَرْحُهُ

Yang kedua adalah kaum Nasrani dan orang-orang yang mengikuti mereka dari kalangan Shabi’in, dan kitab mereka adalah Injil. Maka, tidak diperbolehkan mengambil jizyah dari mereka jika mereka menyerahkannya, bersamaan dengan dibolehkannya memakan sembelihan mereka dan menikahi perempuan mereka. Adapun orang yang bukan Ahlul Kitab namun memiliki syubhat kitab, mereka adalah kaum Majusi, karena adanya keraguan terhadap kitab mereka menyebabkan diberlakukannya hukum yang sama dalam hal menjaga darah mereka, sehingga diperbolehkan mengambil jizyah dari mereka, tetapi tidak diperbolehkan memakan sembelihan mereka. Karena adanya keraguan terhadap kitab mereka menyebabkan diberlakukannya hukum yang sama dalam hal menjaga darah mereka, sehingga diperbolehkan mengambil jizyah dari mereka dan tidak diperbolehkan memakan sembelihan mereka serta tidak boleh menikahi perempuan mereka menurut pendapat yang sahih dalam mazhab, dan penjelasannya akan datang.

وَأَمَّا مَنْ لَيْسَ بِأَهْلِ كِتَابٍ وَلَا لَهُمْ شُبْهَةُ كِتَابٍ فَهُمْ أَهْلُ الْأَوْثَانِ وَمَنْ عَبَدَ مَا اسْتَحْسَنَ مِنَ الشَّمْسِ وَالنَّارِ فَلَا يَجُوزُ أَنْ تُقْبَلَ جِزْيَتُهُمْ وَلَا تُؤْكَلَ ذَبَائِحُهُمْ وَلَا تُنْكَحَ نِسَاؤُهُمْ سَوَاءٌ كَانُوا عَرَبًا أَوْ عَجَمًا وَيُقَاتَلُوا حَتَّى يُسْلِمُوا أَوْ يُقْتَلُوا

Adapun orang-orang yang bukan Ahlul Kitab dan tidak pula memiliki syubhat Kitab, maka mereka adalah para penyembah berhala dan orang-orang yang menyembah apa saja yang mereka anggap baik seperti matahari dan api. Maka tidak boleh diterima jizyah dari mereka, tidak halal memakan sembelihan mereka, dan tidak boleh menikahi perempuan mereka, baik mereka itu bangsa Arab maupun non-Arab. Mereka harus diperangi hingga mereka masuk Islam atau terbunuh.

وَقَالَ مَالِكٌ تُقْبَلُ جِزْيَتُهُمْ إِلَّا أَنْ يَكُونُوا مِنْ قُرَيْشٍ فَلَا يُقْبَلُ مِنْهُمْ إِلَّا الْإِسْلَامُ

Malik berkata, “Jizyah diterima dari mereka kecuali jika mereka berasal dari Quraisy, maka tidak diterima dari mereka kecuali Islam.”

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ تُقْبَلُ جِزْيَتُهُمْ إِلَّا إِنْ كَانُوا عَجَمًا وَلَا تُقْبَلُ جِزْيَتُهُمْ إِنْ كَانُوا عَرَبًا حَتَّى يُسْلِمُوا احْتِجَاجًا بِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى كَلِمَةٍ تَدِينُ لَكُمْ بِهَا الْعَرَبُ وَتُؤَدِّي الْجِزْيَةَ إِلَيْكُمْ بِهَا الْعَجَمُ؟ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ” فَعَمَّ بِالْجِزْيَةِ جَمِيعَ الْعَجَمِ مَا عَمَّ بِالدِّينِ جَمِيعَ الْعَرَبِ فَدَلَّ عَلَى افْتِرَاقِهِمَا فِي حُكْمِ الْجِزْيَةِ

Abu Hanifah berpendapat bahwa jizyah diterima dari mereka kecuali jika mereka adalah bangsa ‘Ajam, dan tidak diterima jizyah dari mereka jika mereka adalah bangsa Arab sampai mereka masuk Islam, dengan berdalil pada riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, “Maukah kalian aku tunjukkan pada suatu kalimat yang dengannya bangsa Arab tunduk kepada kalian dan bangsa ‘Ajam membayar jizyah kepada kalian? Yaitu syahadat bahwa tidak ada tuhan selain Allah.” Maka Nabi mengumumkan kewajiban jizyah atas seluruh bangsa ‘Ajam sebagaimana beliau mengumumkan kewajiban agama atas seluruh bangsa Arab, sehingga hal ini menunjukkan adanya perbedaan hukum jizyah di antara keduanya.

وَرَوَى سُلَيْمَانُ بْنُ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إِذَا بَعَثَ أَمِيرًا عَلَى سَرِيَّةٍ أَوْصَاهُ بِتَقْوَى اللَّهِ فِي خَاصَّةِ نَفْسِهِ وَبِمَنْ مَعَهُ مِنَ الْمُسْلِمِينَ خَيْرًا وَقَالَ ” إِذَا لَقِيتَ عَدُوَّكَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ فَادْعُهُمْ إِلَى إِحْدَى خِصِالٍ ثَلَاثٍ فَإِلَى أَيَّتِهِنَّ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةٍ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فإن أجابوك فاقبل منهم وكف عنهم فإن أَبَوْا فَادْعُهُمْ إِلَى إِعْطَاءِ الْجِزْيَةِ فَإِنْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلَ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ فَإِنْ أَبَوْا فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَقَاتِلْهُمْ ” وَهَذَا نَصٌّ فِي أَخْذِ الْجِزْيَةِ مِنَ الْمُشْرِكِينَ مِنْ غَيْرِ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلِأَنَّ مَنْ جَازَ اسْتِرْقَاقُ نِسَائِهِمْ جَازَ أَخْذُ الْجِزْيَةِ مِنْ رِجَالِهِمْ كَأَهْلِ الْكِتَابِ وَلِأَنَّ الْجِزْيَةَ ذُلٌّ وَصَغَارٌ فَإِذَا جَرَتْ عَلَى أَهْلِ الْكِتَابِ وَهُمْ أَفْضَلُ كَانَ إِجْرَاؤُهَا عَلَى مَنْ دُونَهُمْ مِنْ عَبَدَةِ الْأَوْثَانِ أَوْلَى

Sulaiman bin Buraidah meriwayatkan dari ayahnya, ia berkata: Rasulullah saw. apabila mengutus seorang amir (pemimpin) pada suatu pasukan kecil, beliau berwasiat kepadanya agar bertakwa kepada Allah secara khusus pada dirinya sendiri dan berbuat baik kepada kaum Muslimin yang bersamanya. Beliau bersabda, “Jika engkau bertemu musuhmu dari kalangan musyrikin, ajaklah mereka kepada salah satu dari tiga hal. Jika mereka menjawab salah satunya, terimalah dari mereka dan hentikanlah (serangan) terhadap mereka. Ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah. Jika mereka menjawabnya, terimalah dari mereka dan hentikanlah (serangan) terhadap mereka. Jika mereka menolak, ajaklah mereka untuk membayar jizyah. Jika mereka menjawabnya, terimalah dari mereka dan hentikanlah (serangan) terhadap mereka. Jika mereka menolak, mintalah pertolongan kepada Allah dan perangilah mereka.” Ini adalah nash (teks) yang jelas tentang pengambilan jizyah dari kaum musyrikin selain Ahlul Kitab. Karena siapa saja yang boleh diperbudak perempuan-perempuannya, maka boleh pula diambil jizyah dari laki-laki mereka, sebagaimana Ahlul Kitab. Dan karena jizyah itu merupakan bentuk kehinaan dan kerendahan, maka jika hal itu berlaku atas Ahlul Kitab yang kedudukannya lebih mulia, maka penerapannya atas selain mereka dari para penyembah berhala tentu lebih utama.

وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى فَإِذَا انْسَلَخَ الأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ فَكَانَ الْأَمْرُ بِقَتْلِهِمْ حَتَّى يُسْلِمُوا عَامًّا وَخَصَّ مِنْهُمْ أَهْلَ الْكِتَابِ بِقَبُولِ الْجِزْيَةِ فَقَالَ قَاتِلُوا الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلا بِالْيَوْمِ الآخر إِلَى قَوْله تَعَالَى مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ فَكَانَ الدَّلِيلُ فِي هَذَا مِنْ وَجْهَيْنِ

Dan dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: “Apabila telah berlalu bulan-bulan haram, maka bunuhlah orang-orang musyrik di mana saja kamu menemui mereka, tangkaplah mereka, kepunglah mereka, dan intailah mereka di setiap tempat pengintaian. Jika mereka bertobat, mendirikan salat, dan menunaikan zakat, maka bebaskanlah jalan mereka.” Maka perintah untuk membunuh mereka sampai mereka masuk Islam bersifat umum, kemudian dikhususkan dari mereka Ahlu Kitab dengan menerima jizyah, sebagaimana firman-Nya: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir…” hingga firman-Nya: “…dari kalangan orang-orang yang diberi Kitab, sampai mereka membayar jizyah dengan tangan mereka…” Maka dalil dalam hal ini ada dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّ اسْتِثْنَاءَ أَهْلِ الْكِتَابِ مِنْهُمْ يَقْتَضِي خُرُوجَ غَيْرِهِمْ مِنَ اسْتِثْنَائِهِمْ وَدُخُولَهُمْ فِي عُمُومِ الْأَمْرِ

Salah satunya adalah bahwa pengecualian Ahlul Kitab dari mereka menuntut keluarnya selain mereka dari pengecualian tersebut dan masuknya mereka ke dalam keumuman perintah.

وَالثَّانِي أَنَّهُ جَعَلَ قَبُولَ الْجِزْيَةِ مَشْرُوطًا بِالْكِتَابِ فَاقْتَضَى انْتِفَاؤُهَا عَنْ غَيْرِ أَهْلِ الْكِتَابِ

Yang kedua, ia mensyaratkan penerimaan jizyah hanya untuk Ahlul Kitab, sehingga hal itu mengharuskan tidak diberlakukannya jizyah atas selain Ahlul Kitab.

وَرَوَى أَبُو صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ” أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَإِذَا قَالُوهَا عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ ” فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ إِلَّا مَا خَصَّهُ دَلِيلٌ وَلِأَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ امْتَنَعَ مِنْ أَخْذِ الْجِزْيَةِ مِنَ الْمَجُوسِ لِشَكِّهِ فِيهِمْ أَنَّهُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ حَتَّى أَخْبَرَهُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَخَذَهَا مِنْ مَجُوسِ هَجَرَ وَقَالَ ” سُنُّوا بِهِمْ سُنَّةَ أَهْلِ الْكِتَابِ ” وَقَالَ رَجُلٌ لِعَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ ” عَجِبْتُ مِنْ أَخْذِ الْجِزْيَةِ مِنَ الْمَجُوسِ وَلَيْسَ لَهُمْ كِتَابٌ فَقَالَ عَلِيٌّ كَيْفَ تَعْجَبُ وَقَدْ كَانَ لَهُمْ كِتَابٌ فَبَدَّلُوا فَأُسْرَى بِهِ فَدَلَّ ذَلِكَ عَلَى إِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ عَلَى أَنَّهَا لَا تُؤْخَذُ مِنْ غَيْرِ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلِأَنَّ كُلَّ مُشْرِكٍ لَمْ تَثْبُتْ لَهُ حُرْمَةُ الْكِتَابِ لَمْ يَجُزْ قَبُولُ جِزْيَتِهِ كَالْعَرَبِ وَلِأَنَّ كُلَّ مَا مَنَعَ الشِّرْكُ مِنْهُ فِي الْعَرَبِ مُنِعَ مِنْهُ الْعَجَمُ كَالْمَنَاكِحِ وَالذَّبَائِحِ

Abu Shalih meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan la ilaha illallah. Jika mereka telah mengucapkannya, maka mereka telah melindungi darah dan harta mereka dariku.” Maka, hukum ini berlaku secara umum kecuali ada dalil yang mengkhususkannya. Umar radhiyallahu ‘anhu pernah enggan mengambil jizyah dari kaum Majusi karena ia ragu apakah mereka termasuk Ahlul Kitab, hingga Abdurrahman bin Auf memberitahunya bahwa Nabi ﷺ pernah mengambil jizyah dari Majusi Hajar dan bersabda, “Perlakukanlah mereka seperti Ahlul Kitab.” Seorang laki-laki berkata kepada Ali bin Abi Thalib ‘alaihis salam, “Aku heran mengapa jizyah diambil dari kaum Majusi padahal mereka tidak memiliki kitab.” Ali menjawab, “Bagaimana engkau heran, padahal dahulu mereka memiliki kitab lalu mereka mengubahnya, sehingga kitab itu diangkat dari mereka.” Hal ini menunjukkan adanya ijma‘ para sahabat bahwa jizyah tidak diambil dari selain Ahlul Kitab. Setiap musyrik yang tidak terbukti memiliki kehormatan sebagai Ahlul Kitab, maka tidak boleh diterima jizyahnya, seperti bangsa Arab. Segala hal yang dilarang karena syirik pada bangsa Arab, juga dilarang pada bangsa ‘ajam, seperti pernikahan dan sembelihan.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْحَدِيثِ الْأَوَّلِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun jawaban terhadap hadis yang pertama adalah dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ ضَعِيفٌ نَقَلَهُ أَهْلُ الْمَغَازِي وَلَمْ يَنْقُلْهُ أَصْحَابُ الْحَدِيثِ

Salah satunya adalah bahwa riwayat tersebut lemah, diriwayatkan oleh para ahli maghāzī dan tidak diriwayatkan oleh para ahli hadits.

وَالثَّانِي حَمْلُهُ عَلَى أَهْلِ الْكِتَابِ بِدَلِيلِنَا

Yang kedua adalah memaknainya untuk Ahlul Kitab berdasarkan dalil kami.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْحَدِيثِ الثَّانِي فَمِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun jawaban terhadap hadis yang kedua adalah dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّ أَكْثَرَ السَّرَايَا كَانَتْ إِلَى أَهْلِ الْكِتَابِ

Salah satunya adalah bahwa sebagian besar ekspedisi militer ditujukan kepada Ahli Kitab.

وَالثَّانِي حَمْلُهُ بِأَدِلَّتِنَا عَلَى أَهْلِ الْكِتَابِ

Yang kedua adalah menafsirkannya dengan dalil-dalil kita atas Ahli Kitab.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى أَهْلِ الْكِتَابِ فَالْمَعْنِيُّ فِيهِمْ مَا ثَبَتَ لَهُمْ مِنْ حُرْمَةِ كِتَابِهِمْ وَأَنَّهُمْ كَانُوا عَلَى حَقٍّ فِي اتِّبَاعِهِ وَهَذَا مَعْدُومٌ فِي غَيْرِهِمْ مِنْ عَبَدَةِ الْأَوْثَانِ وَقَوْلُهُمْ إِنَّهَا صَغَارٌ فَكَانَتْ بِعَبَدَةِ الأوثان أحق

Adapun jawaban terhadap qiyās mereka atas Ahli Kitab, maka maksud yang terdapat pada mereka adalah apa yang telah tetap bagi mereka berupa kehormatan terhadap kitab mereka dan bahwa mereka dahulu berada di atas kebenaran dalam mengikuti kitab tersebut. Hal ini tidak terdapat pada selain mereka dari para penyembah berhala. Adapun perkataan mereka bahwa hal itu adalah dosa kecil, maka para penyembah berhala lebih berhak terhadapnya.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَمَنْ كَانَ مِنْهُمْ أَهْلَ كِتَابٍ قُوتِلُوا حَتَّى يُسْلِمُوا أَوْ يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ فَإِنْ لَمْ يُعْطُوا قُوتِلُوا وَقُتِلُوا وَسُبِيَتْ ذَرَارِيهِمْ وَنِسَاؤُهُمْ وَأَمَوَالُهُمْ وَدِيَارُهُمْ “

Syafi‘i berkata, “Dan siapa pun di antara mereka yang termasuk Ahlul Kitab, maka mereka diperangi hingga mereka masuk Islam atau membayar jizyah dengan tangan mereka sendiri dalam keadaan tunduk. Jika mereka tidak membayar, maka mereka diperangi dan dibunuh, serta anak-anak, perempuan, harta, dan rumah-rumah mereka dijadikan tawanan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ اعْلَمْ أَنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ يُوَافِقُونَ عَبَدَةَ الْأَوْثَانِ فِي حُكْمَيْنِ وَيُفَارِقُونَهُمْ فِي حُكْمَيْنِ فَأَمَّا الْحُكْمَانِ فِي الِاتِّفَاقِ

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa Ahli Kitab sependapat dengan para penyembah berhala dalam dua hukum, dan berbeda dengan mereka dalam dua hukum lainnya. Adapun dua hukum yang mereka sepakati…

فَأَحَدُهُمَا أَنَّهُ يَجُوزُ قَتْلُ أَهْلِ الْكِتَابِ كَمَا يَجُوزُ قَتْلُ عَبَدَةِ الْأَوْثَانِ

Salah satunya adalah bahwa diperbolehkan membunuh Ahli Kitab sebagaimana diperbolehkan membunuh para penyembah berhala.

وَالثَّانِي يَجُوزُ سَبْيُ أَهْلِ الْكِتَابِ كَمَا يَجُوزُ سَبْيُ عَبَدَةِ الأوثان

Yang kedua, boleh menawan (menjadikan tawanan) Ahlul Kitab sebagaimana boleh menawan para penyembah berhala.

وَأَمَّا الْحُكْمَانِ فِي الِافْتِرَاقِ فَأَحَدُهُمَا أَنَّهُ يَجُوزُ أَخْذُ الْجِزْيَةِ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلَا يَجُوزُ أَخْذُهَا مِنْ عَبَدَةِ الْأَوْثَانِ

Adapun dua hukum dalam perbedaan tersebut, salah satunya adalah bahwa diperbolehkan mengambil jizyah dari Ahli Kitab dan tidak diperbolehkan mengambilnya dari para penyembah berhala.

وَالثَّانِي أَنَّهُ تُسْتَبَاحُ مَنَاكِحُ أَهْلِ الْكِتَابِ وَذَبَائِحُهُمْ وَلَا يُسْتَبَاحُ ذَلِكَ مِنْ عَبَدَةِ الْأَوْثَانِ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ وَجَبَ اسْتِوَاءُ الْفَرِيقَيْنِ فِي وُجُوبِ الْقِتَالِ وَاخْتِلَافُهُمَا فِي الْكَفِّ عَنْهُمْ

Kedua, bahwa dihalalkan menikahi wanita Ahli Kitab dan memakan sembelihan mereka, sedangkan hal itu tidak dihalalkan dari para penyembah berhala. Jika demikian, maka kedua kelompok tersebut harus disamakan dalam kewajiban memerangi mereka, namun berbeda dalam hal larangan untuk memerangi mereka.

فَأَمَّا أَهْلُ الْكِتَابِ فَيَجِبُ قِتَالُهُمْ حَتَّى يُسْلِمُوا أَوْ يُعْطُوا الْجِزْيَةَ فَإِنْ أَسْلَمُوا أَوْ بَذَلُوا الْجِزْيَةَ وَجَبَ الْكَفُّ عَنْهُمْ وَإِنِ امْتَنَعُوا مِنْهَا وَجَبَ قِتَالُهُمْ حَتَّى يُقْتَلُوا

Adapun Ahlul Kitab, maka wajib memerangi mereka hingga mereka masuk Islam atau membayar jizyah. Jika mereka masuk Islam atau membayar jizyah, maka wajib menahan diri dari mereka. Namun jika mereka menolak keduanya, maka wajib memerangi mereka hingga mereka terbunuh.

وَأَمَّا عَبَدَةُ الْأَوْثَانِ فَيَجِبُ قِتَالُهُمْ حَتَّى يُسْلِمُوا فَإِنْ أَسْلَمُوا وَجَبَ الْكَفُّ عَنْهُمْ وَإِنْ لَمْ يُسْلِمُوا وَجَبَ قِتَالُهُمْ حَتَّى يُقْتَلُوا وَالْفَرِيقَانِ فِي الْمُهَادَنَةِ سَوَاءٌ إِنْ دَعَتْ إِلَيْهَا حَاجَةٌ هُودِنُوا وَإِنْ لَمْ تَدْعُ إِلَيْهَا حَاجَةٌ لَمْ يُهَادَنُوا

Adapun para penyembah berhala, maka wajib memerangi mereka sampai mereka masuk Islam. Jika mereka masuk Islam, maka wajib menahan diri dari memerangi mereka. Namun jika mereka tidak masuk Islam, maka wajib memerangi mereka sampai mereka terbunuh. Kedua kelompok (musuh) dalam hal perjanjian gencatan senjata adalah sama: jika ada kebutuhan yang mengharuskan untuk mengadakan perjanjian, maka boleh dilakukan perjanjian; namun jika tidak ada kebutuhan, maka tidak diadakan perjanjian.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قال الشافعي ” وَكَانَ ذَلِكَ كُلُّهُ فَيْئًا بَعْدَ السَّلَبِ لِلْقَاتِلِ في الأنفال قال ذلك الإمام أو لم يقله لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ نفل أبا قتادة يوم حنين سلب قتيله وما نفله إياه إلا بعد تقضي الحرب ونفل محمد بن مسلمة سلب مرحب يوم خيبر ونفل يوم بدر عددا ويوم أحد رجلا أو رجلين أسلاب قتلاهم وما علمته صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ حضر محضرا قط فقتل رجل قتيلا في الأقتال إلا نفله سلبه وقد فعل ذلك بعد النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أبو بكر وعمر رضي الله عنهما “

Syafi’i berkata, “Dan semua itu adalah fai’ setelah harta rampasan (salab) diberikan kepada pembunuh di dalam masalah anfal, baik imam mengatakannya atau tidak, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan kepada Abu Qatadah pada hari Hunain harta rampasan dari orang yang dibunuhnya, dan beliau tidak memberikannya kecuali setelah peperangan selesai. Beliau juga memberikan kepada Muhammad bin Maslamah harta rampasan dari Marhab pada hari Khaibar, dan pada hari Badar beliau memberikan kepada beberapa orang, serta pada hari Uhud kepada satu atau dua orang, harta rampasan dari orang-orang yang mereka bunuh. Sepengetahuan saya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menghadiri suatu peperangan lalu ada seseorang yang membunuh musuh, kecuali beliau memberikan harta rampasan dari orang yang dibunuh itu kepadanya. Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma juga melakukan hal yang sama.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ يُرِيدُ الشَّافِعِيُّ بِهَذَا مَا غَنِمَ مِنْ أَهْلِ أَمْوَالِ الْفَرِيقَيْنِ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَعَبَدَةِ الْأَوْثَانِ يَكُونُ بَعْدَ تَخْمِيسِهِ لِلْغَانِمِينَ وَسَمَّاهُ فَيْئًا وَإِنْ كَانَ بِاسْمِ الْغَنِيمَةِ أَخَصُّ لِرُجُوعِهِ إِلَى أَوْلِيَاءِ اللَّهِ

Al-Mawardi berkata, “Yang dimaksud asy-Syafi‘i dengan hal ini adalah harta yang diperoleh dari harta kedua kelompok, yaitu Ahlul Kitab dan penyembah berhala, yang setelah dilakukan pembagian seperlima (takhmis), sisanya menjadi milik para pemenang (al-ghanimin). Ia menyebutnya fai’, meskipun secara istilah ghanimah lebih khusus, karena harta tersebut kembali kepada para wali Allah.”

فَيَبْدَأُ الْإِمَامُ مِنَ الْغَنَائِمِ بِأَسْلَابِ الْقَتْلَى فَيَدْفَعُ سَلَبَ كُلِّ قَتِيلٍ إِلَى قَاتِلِهِ سَوَاءٌ شَرَطَهُ الْإِمَامُ أَمْ لَمْ يَشْرُطْهُ

Maka imam memulai dari harta rampasan perang dengan membagikan barang-barang pribadi milik para korban yang terbunuh, lalu menyerahkan barang milik setiap orang yang terbunuh kepada orang yang membunuhnya, baik imam mensyaratkannya maupun tidak.

وَقَالَ مَالِكٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ إِنْ شَرَطَهُ الْإِمَامُ كَانَ لَهُمْ وَإِنْ لَمْ يَشْرُطْهُ كَانُوا فِيهِ أُسْوَةَ الْغَانِمِينَ احْتِجَاجًا بِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” لَيْسَ لِأَحَدٍ إِلَّا مَا طَابَتْ بِهِ نَفْسُ إِمَامِهِ ” وَدَلِيلُنَا قَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” مَنْ قَتَلَ قَتِيلًا لَهُ عَلَيْهِ بَيِّنَةٌ فَلَهُ سلبه ” وروى عمرو بْنُ مَالِكٍ الْأَشْجَعِيُّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَضَى بِالسَّلَبِ لِلْقَاتِلِ ” وَرُوِيَ أَنَّهُ وَجَدَ فِي بَعْضِ غَزَوَاتِهِ قَتِيلًا فَسَأَلَ عَنْ قَاتِلِهِ فَقَالُوا سَلَمَةُ بْنُ الْأَكْوَعِ ” فَقَالَ ” لَهُ سَلَبُهُ أَجْمَعُ ” وَقَدْ مَضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ مُسْتَوْفَاةً فِي كِتَابِ قِسْمَةِ الْفَيْءِ وَالْغَنِيمَةِ

Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa jika imam mensyaratkannya, maka itu menjadi hak mereka, dan jika imam tidak mensyaratkannya, maka mereka diperlakukan sama seperti para peraih ghanimah lainnya, dengan berdalil pada sabda Nabi ﷺ: “Tidak ada hak bagi seseorang kecuali apa yang dihalalkan oleh imamnya.” Dalil kami adalah sabda Nabi ﷺ: “Barang siapa membunuh seseorang (musuh) dan ia memiliki bukti atasnya, maka baginya harta rampasan (salab) orang yang dibunuh itu.” Amr bin Malik al-Asyja‘i meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ memutuskan harta rampasan (salab) bagi pembunuhnya. Diriwayatkan pula bahwa dalam salah satu peperangannya, beliau menemukan seseorang terbunuh, lalu beliau bertanya tentang siapa yang membunuhnya. Mereka menjawab, “Salamah bin al-Akwa‘.” Maka beliau bersabda, “Baginya seluruh harta rampasan (salab) orang itu.” Masalah ini telah dijelaskan secara rinci dalam Kitab Pembagian Fai’ dan Ghanimah.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا ثَبَتَ عَطَاءُ السَّلَبِ لِلْقَاتِلِ اسْتَحَقَّهُ بِأَرْبَعَةِ شُرُوطٍ

Maka apabila telah tetap pemberian salab bagi pembunuh, ia berhak mendapatkannya dengan empat syarat.

أَحَدُهَا أَنْ يَقْتُلَهُ وَالْحَرْبُ قَائِمَةٌ ليكف كيده فإن قتله قتل اشْتِبَاكِ الْحَرْبِ أَوْ بَعْدَ انْكِشَافِهَا فَلَا سَلَبَ لَهُ

Salah satunya adalah membunuhnya sementara peperangan masih berlangsung untuk mencegah kejahatannya. Maka jika ia membunuhnya dalam keadaan pertempuran yang sedang berlangsung atau setelah pertempuran usai, maka ia tidak berhak mendapatkan harta rampasan darinya.

وَالثَّانِي أَنْ يَكُونَ مُقْبِلًا عَلَى الْقِتَالِ ليكف شره وفإن قَتَلَهُ مُدْبِرًا عَنِ الْقِتَالِ أَوْ مُعْتَزِلًا لَهُ فَلَا سَلَبَ لَهُ

Kedua, hendaknya ia menghadapi pertempuran untuk menahan keburukannya. Jika ia membunuhnya dalam keadaan mundur dari pertempuran atau menjauh darinya, maka tidak ada hak atas rampasan baginya.

وَالثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ ذَا بَطْشٍ فِي الْقِتَالِ وَقُوَّةٍ فَإِنْ قَتَلَ زَمِنًا أَوْ مَرِيضًا أَوْ شَيْخًا هَرِمًا أَوْ صَبِيًّا لَا يُقَاتَلُ مِثْلُهُ أَوِ امْرَأَةً تَضْعُفُ عَنِ الْقِتَالِ فَلَا سَلَبَ لَهُ وَلَوْ كَانَ الصَّبِيُّ وَالْمَرْأَةُ يُقَاتِلَانِ عَنْ قُوَّةٍ وَبَطْشٍ كَانَ لَهُ سَلَبُهُمَا

Ketiga, hendaknya orang yang dibunuh itu memiliki kekuatan dan kemampuan dalam pertempuran. Jika ia membunuh orang yang lemah seperti orang cacat, orang sakit, orang tua renta, anak kecil yang tidak mungkin ikut berperang, atau wanita yang lemah dalam peperangan, maka ia tidak berhak mendapatkan harta rampasan (salab) dari mereka. Namun, jika anak kecil atau wanita tersebut ikut berperang dengan kekuatan dan kemampuan, maka ia berhak mendapatkan harta rampasan dari keduanya.

وَالرَّابِعُ أَنْ يَكُونَ الْقَاتِلُ مُغَرِّرًا بِنَفْسِهِ فِي قَتْلِهِ بِأَنْ يُبَارِزَهُ فَيَقْتُلَهُ أَوْ يَقْتَحِمَ الْمَعْرَكَةَ فَيَقْتُلَهُ فَأَمَّا إِنْ رَمَاهُ بِسَهْمٍ مِنْ بُعْدٍ بِحَيْثُ يَأْمَنُ عَلَى نَفْسِهِ فَلَا سَلَبَ لَهُ

Keempat, yaitu apabila pembunuh mempertaruhkan dirinya sendiri dalam membunuh, seperti dengan menantangnya berduel lalu membunuhnya, atau menerobos ke tengah medan pertempuran lalu membunuhnya. Adapun jika ia membunuhnya dari jarak jauh dengan memanah sehingga ia merasa aman atas dirinya sendiri, maka ia tidak berhak mendapatkan harta rampasan (salab).

فَإِذَا اسْتُكْمِلَتْ هَذِهِ الشُّرُوطُ الْأَرْبَعَةُ فِي الْقَتْلِ لَمْ يَخْلُ حَالُ الْقَاتِلِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ

Maka apabila telah terpenuhi empat syarat ini dalam kasus pembunuhan, keadaan pelaku pembunuhan tidak lepas dari tiga golongan.

أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ مِمَّنْ يُسْهَمُ لَهُ كَالرَّجُلِ الْحُرِّ الْمُسْلِمِ فَيَسْتَحِقُّ السَّلَبَ وَلَا يُخَمِّسُهُ الْإِمَامُ

Salah satunya adalah bahwa ia termasuk orang yang berhak mendapat bagian, seperti laki-laki merdeka yang muslim, maka ia berhak memperoleh salab dan imam tidak mengambil seperlimanya.

وَقَالَ مَالِكٌ يَأْخُذُ خُمْسَهُ لِأَهْلِ الْخُمْسِ وليس بصحيح لما قدمناه مِنْ إِعْطَاءِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَبَا قَتَادَةَ سَلَبَ قَتِيلِهِ وَلَمْ يُخَمِّسْهُ وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ يَسْتَحِقُّ السَّلَبَ مَعَ سَهْمِهِ مِنَ الْمَغْنَمِ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ

Malik berpendapat bahwa seperlimanya diambil untuk ahli khumus, namun pendapat ini tidak benar karena telah kami sebutkan sebelumnya bahwa Rasulullah saw. memberikan rampasan (salab) milik orang yang terbunuh kepada Abu Qatadah dan beliau tidak mengambil seperlimanya. Para ulama mazhab kami berbeda pendapat, apakah seseorang berhak mendapatkan rampasan (salab) bersamaan dengan bagian (saham) dari ghanimah atau tidak, terdapat dua pendapat dalam hal ini.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ ظَاهِرُ نَصِّ الشَّافِعِيِّ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ أَنَّهُ يُجْمَعُ لَهُ بَيْنَهُمَا لِأَنَّ السَّلَبَ زِيَادَةٌ اسْتَحَقَّهَا بِالتَّغْرِيرِ كَالنَّفْلِ

Salah satu pendapat, dan inilah yang tampak dari teks Imam Syafi‘i dalam masalah ini, adalah bahwa keduanya digabungkan baginya, karena barang rampasan tambahan itu merupakan tambahan yang ia peroleh karena penipuan, seperti halnya anfal.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا يُجْمَعُ لَهُ بَيْنَهُمَا وَيُنْظَرُ فِي السَّلَبِ فَإِنْ كَانَ بِقَدْرِ سَهْمِهِ فَأَكْثَرَ أَخَذَهُ وَلَا شَيْءَ لَهُ سِوَاهُ وَإِنْ كَانَ أَقَلَّ مِنْ سَهْمِهِ أُعْطِيَ تَمَامَ سَهْمِهِ لِمَا يَلْزَمُ مِنَ التَّسْوِيَةِ بَيْنَ الْغَانِمِينَ

Pendapat kedua, tidak boleh digabungkan antara keduanya, melainkan dilihat pada bagian yang diambil. Jika bagian yang diambil itu sebesar atau lebih dari bagiannya, maka ia mengambilnya dan tidak ada hak lain baginya selain itu. Namun jika bagian yang diambil itu kurang dari bagiannya, maka ia diberikan pelengkap bagiannya, karena keharusan untuk menyamakan di antara para penerima ghanimah.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ مِمَّنْ لَا يُسْهَمُ لَهُ وَلَا يُرْضَخُ لَهُ كَالْمُرْجِفِ وَالْمُخَذِّلِ وَالْكَافِرِ إِذَا لَمْ يُؤْذَنْ لَهُ فَلَا يَسْتَحِقُّ السَّلَبَ لأن لَا حَقَّ لَهُ فِي الْمَغْنَمِ

Bagian kedua adalah mereka yang tidak diberikan bagian dan tidak pula diberikan hadiah, seperti orang yang menyebarkan kegelisahan, orang yang melemahkan semangat, dan orang kafir jika tidak diizinkan (ikut berperang), maka mereka tidak berhak mendapatkan harta rampasan karena mereka tidak memiliki hak atas ghanīmah.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ مِمَّنْ يُرْضَخُ لَهُ وَلَا يُسْهَمُ كالصبي والعبد والمرأة والكافر والمأذون لَهُ فَفِي اسْتِحْقَاقِهِ لِلسَّلَبِ وَجْهَانِ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا فِي إِعْطَاءِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ السَّلَبَ لِلْقَاتِلِ هَلْ هُوَ ابْتِدَاءُ عَطِيَّةٍ مِنْهُ أو بيان لقول الله تعالى واعلموا أن ما غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ الآية

Bagian ketiga adalah mereka yang hanya diberi bagian tambahan (rudhkh) dan tidak mendapat bagian pokok, seperti anak kecil, budak, perempuan, orang kafir, dan orang yang diizinkan (untuk ikut berperang). Dalam hal berhak atau tidaknya mereka atas harta rampasan (salab), terdapat dua pendapat, berdasarkan perbedaan pendapat di kalangan ulama kami mengenai pemberian salab oleh Rasulullah ﷺ kepada pembunuh musuh: apakah itu merupakan pemberian khusus dari beliau, ataukah sebagai penjelasan dari firman Allah Ta‘ala: “Dan ketahuilah bahwa apa saja yang kalian peroleh sebagai ghanīmah, maka sesungguhnya seperlimanya adalah untuk Allah…” (QS. Al-Anfal: 41).

فَأَحَدُ الْوَجْهَيْنِ أَنَّهُ ابْتِدَاءُ عَطِيَّةٍ فَعَلَى هَذَا يَسْتَحِقُّهُ الْقَاتِلُ وَإِنْ لَمْ يَسْتَحِقَّهُ سَهْمًا

Salah satu pendapat adalah bahwa itu merupakan pemberian yang baru, sehingga berdasarkan pendapat ini, pembunuh berhak menerimanya meskipun ia tidak berhak mendapatkannya sebagai bagian.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهُ بَيَانٌ لِمُجْمَلِ الْآيَةِ فَعَلَى هَذَا لَا يَسْتَحِقُّ إِذَا لَمْ يَسْتَحِقَّ فِي الْغَنِيمَةِ سَهْمًا فَإِذَا قِيلَ بِاسْتِحْقَاقِهِ لِلسَّلَبِ لَمْ يُرْضَخْ لَهُ وَجْهًا وَاحِدًا وَقَدْ نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي سِيَرِ الْوَاقِدِيِّ

Pendapat kedua adalah bahwa hal itu merupakan penjelasan atas makna global dari ayat tersebut. Maka, berdasarkan pendapat ini, ia tidak berhak mendapat bagian jika ia memang tidak berhak mendapatkan bagian dalam ghanīmah. Jika dikatakan bahwa ia berhak atas salab, maka ia tidak diberi radhkh dengan alasan apa pun. Hal ini telah ditegaskan oleh asy-Syāfi‘ī dalam kitab Siyar al-Wāqidī.

وَإِنْ قِيلَ لَا يَسْتَحِقُّهُ كَانَ السَّلَبُ مَغْنَمًا وَزِيدَ الْقَاتِلُ فِي رَضْخِهِ لِأَجْلِ بَلَائِهِ فِي قَتْلِهِ

Dan jika dikatakan bahwa ia tidak berhak mendapatkannya, maka harta rampasan itu menjadi bagian ghanimah, dan bagian pembunuh ditambah dalam pembagiannya karena usahanya dalam membunuh.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِنْ لَمْ يَقْتُلْهُ وَلَكِنْ قَطَعَ بَعْضَ أَعْضَائِهِ فَعَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ

Jika ia tidak membunuhnya, tetapi memotong sebagian anggota tubuhnya, maka hal itu terbagi menjadi tiga bagian.

أَحَدُهَا أَنْ يَقْطَعَ مِنْهُ مَا لَا يَمْنَعُهُ مِنَ الْحُضُورِ وَلَا مِنَ الْقِتَالِ كَقَطْعِ أَسْنَانِهِ أَوْ جَدْعِ أَنْفِهِ أَوْ سَمَلِ إِحْدَى عَيْنَيْهِ فَلَا يَسْتَحِقُّ سَلَبَهُ لِأَنَّهُ لَمْ يَكُفَّ كَيْدَهُ

Salah satunya adalah jika ia memotong anggota tubuh musuh yang tidak menghalanginya untuk hadir atau berperang, seperti memotong giginya, memotong hidungnya, atau membutakan salah satu matanya, maka ia tidak berhak mendapatkan harta rampasan (salab)-nya, karena musuh tersebut belum berhenti dari tipu dayanya.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَقْطَعَ مِنْهُ مَا يَمْنَعُهُ مِنَ الْحُضُورِ وَالْقِتَالِ جَمِيعًا كَقَطْعِ يَدَيْهِ وَرِجْلَيْهِ فَيَسْتَحِقُّ سَلَبَهُ لِأَنَّهُ قَدْ عَطَّلَهُ فَصَارَ كَقَتْلِهِ

Bagian kedua adalah jika ia memotong anggota tubuhnya sehingga menghalanginya untuk hadir dan berperang sekaligus, seperti memotong kedua tangan dan kakinya, maka ia berhak atas barang rampasannya, karena ia telah membuatnya tidak berdaya sehingga keadaannya seperti membunuhnya.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَقْطَعَ مِنْهُ مَا يَمْنَعُهُ مِنَ الْحُضُورِ وَلَا يَمْنَعُهُ مِنَ الْقِتَالِ كَقَطْعِ الرِّجْلَيْنِ أَوْ يَقْطَعَ مَا يَمْنَعُهُ مِنَ الْقِتَالِ وَلَا يَمْنَعُهُ مِنَ الْحُضُورِ كَقَطْعِ الْيَدَيْنِ فَعَلَى اسْتِحْقَاقِهِ لِسَلَبِهِ وَجْهَانِ

Bagian ketiga adalah jika dipotong darinya sesuatu yang menghalanginya untuk hadir tetapi tidak menghalanginya untuk berperang, seperti memotong kedua kakinya, atau dipotong sesuatu yang menghalanginya untuk berperang tetapi tidak menghalanginya untuk hadir, seperti memotong kedua tangannya, maka mengenai haknya atas harta rampasan (salab), terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يَسْتَحِقُّهُ لِأَنَّهُ قَدْ كَفَّهُ عَنْ كَمَالِ الْكَيْدِ

Salah satunya berhak mendapatkannya karena ia telah menahannya dari kesempurnaan tipu daya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا يَسْتَحِقُّهُ لِأَنَّهُ إِنْ قَطَعَ رِجْلَيْهِ قَدَرَ عَلَى الْقِتَالِ بِيَدَيْهِ إِذَا رَكِبَ وَإِنْ قَطَعَ يَدَيْهِ قَدَرَ عَلَى الْحُضُورِ بِرِجْلَيْهِ مُكَثِّرًا وَمُهَيِّبًا وَلَوْ أَخَذَهُ أَسِيرًا فَفِي اسْتِحْقَاقِهِ لِسَلَبِهِ قَوْلَانِ

Pendapat kedua tidak berhak mendapatkannya, karena jika ia memotong kedua kakinya, ia masih mampu berperang dengan kedua tangannya ketika menunggang; dan jika ia memotong kedua tangannya, ia masih mampu hadir dengan kedua kakinya, menambah jumlah dan menimbulkan kewibawaan. Dan jika ia menangkapnya sebagai tawanan, maka dalam hal berhak atau tidaknya atas rampasannya terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يَسْتَحِقُّ سَلَبَهُ لِأَنَّ مَنْ قَدَرَ عَلَى أَسْرِهِ كَانَ عَلَى قَتْلِهِ أَقْدَرَ وَالْقَوْلُ الثَّانِي لَا سَلَبَ لَهُ لِأَنَّهُ مَا كَفَّ كَيْدَهُ وَلَا كَفَّ شَرَّهُ

Salah satu pendapat menyatakan bahwa ia berhak mendapatkan harta rampasan (salab) karena siapa yang mampu menawannya, tentu lebih mampu untuk membunuhnya. Pendapat kedua menyatakan bahwa tidak ada harta rampasan (salab) baginya karena ia tidak menghentikan tipu dayanya dan tidak menghentikan kejahatannya.

فَصْلٌ

Fasal

وَأَمَّا السَّلَبُ مِنْ مال المقتول ينقسم ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ

Adapun harta rampasan dari milik orang yang terbunuh terbagi menjadi tiga bagian.

أَحَدُهَا مَا يَكُونُ كُلُّهُ سَلَبًا يَسْتَحِقُّهُ الْقَاتِلُ وَهُوَ مَا كَانَ مُقَاتَلًا فِيهِ مِنْ ثِيَابٍ وَجُبَّةٍ أَوْ مُقَاتَلًا عَلَيْهِ مِنْ فَرَسٍ أَوْ مَطِيَّةٍ أَوْ مُقَاتَلًا بِهِ مِنْ سِلَاحٍ وَآلَةٍ

Salah satunya adalah semua harta rampasan yang sepenuhnya menjadi hak si pembunuh, yaitu apa saja yang dipakai untuk berperang seperti pakaian dan jubah, atau yang diperjuangkan seperti kuda atau tunggangan, atau yang digunakan untuk berperang seperti senjata dan perlengkapan.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي مَا يَكُونُ مَغْنَمًا وَلَا يَكُونُ سَلَبًا وَهُوَ مَا لَهُ فِي الْعَسْكَرِ مِنْ كُرَاعٍ وَسِلَاحٍ وَخِيَمٍ وَآلَةٍ

Bagian kedua adalah harta yang menjadi rampasan perang tetapi bukan termasuk harta rampasan pribadi (salab), yaitu segala sesuatu yang dimiliki seseorang di dalam pasukan berupa kuda, senjata, tenda, dan perlengkapan.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ مَا اخْتُلِفَ فِيهِ وَهُوَ مَا كَانَ مَعَهُ فِي الْمَعْرَكَةِ لَا يُقَاتِلُ بِهِ وَلَكِنَّهُ قُوَّةٌ لَهُ عَلَى الْقِتَالِ كَفَرَسٍ يُجَنِّبُهُ مَعَهُ أَوْ مَالٍ فِي وَسَطِهِ أَوْ حُلِيٍّ عَلَى بَدَنِهِ فَفِي كَوْنِهِ سَلَبًا وَجْهَانِ

Bagian ketiga adalah apa yang diperselisihkan, yaitu sesuatu yang dibawa bersamanya di medan pertempuran namun tidak digunakan untuk bertempur, melainkan menjadi kekuatan baginya dalam pertempuran, seperti kuda yang disisihkan bersamanya, atau harta yang ada di tengah-tengahnya, atau perhiasan yang melekat pada tubuhnya. Maka, dalam hal ini apakah termasuk salab (barang rampasan pribadi) terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يَكُونُ سَلَبًا لِقُوَّتِهِ بِهِ

Salah satunya adalah menjadi penghilang kekuatannya dengannya.

وَالثَّانِي لَا يَكُونُ سَلَبًا لِأَنَّهُ لَا يُقَاتِلُ بِهِ وَاللَّهُ أعلم

Yang kedua tidak dianggap sebagai senjata karena tidak digunakan untuk berperang dengannya, dan Allah lebih mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” ثم يرفع بَعْدَ السَّلَبِ خُمْسَهُ لِأَهْلِهِ “

Imam Syafi‘i berkata, “Kemudian setelah mengambil harta rampasan, seperlimanya diangkat untuk diberikan kepada yang berhak.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ السَّلَبَ مُقَدَّمٌ فِي الْمَغَانِمِ لِلْقَاتِلِ وَفِيمَا يَسْتَحِقُّ إِخْرَاجَهُ مِنْهَا بَعْدَ السَّلَبِ قَوْلَانِ

Al-Mawardi berkata: Kami telah menyebutkan bahwa salab (barang rampasan pribadi milik musuh yang terbunuh) didahulukan dalam harta ghanimah untuk pembunuhnya, dan mengenai apa yang berhak dikeluarkan darinya setelah salab, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ الْمَنْصُوصُ عَلَيْهِ هَاهُنَا أَنَّهُ يُخْرِجُ خُمْسَ الْمَغَانِمِ بَعْدَ السَّلَبِ مُقَدَّمًا عَلَى الرَّضْخِ يَصْرِفُهُ فِي أَهْلِ الْخُمْسِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى واعلموا أن ما غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ فِي جَمِيعِ الْغَنِيمَةِ إِلَّا مَا خَصَّهُ السُّنَّةُ مِنَ السَّلَبِ

Salah satu pendapat, yaitu yang dinyatakan secara eksplisit di sini, adalah bahwa seperlima dari harta rampasan perang (maghānim) dikeluarkan setelah dikurangi barang rampasan pribadi (salab), dan ini didahulukan atas pemberian tambahan (radkh). Seperlima tersebut dibagikan kepada para penerima bagian khumus, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Dan ketahuilah bahwa apa saja yang kalian peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlimanya adalah untuk Allah, Rasul, …” Maka ayat ini berlaku umum untuk seluruh harta rampasan, kecuali yang dikecualikan oleh sunnah dari barang rampasan pribadi (salab).

وَالْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّهُ يُقَدَّمُ إِعْطَاءُ الرَّضْخِ قَبْلَ إِخْرَاجِ الْخُمْسِ لِأَنَّهُ مِنْ جُمْلَةِ الْمَصَالِحِ اعْتِبَارًا بِالسَّلَبِ وَيَسْتَوِي عَلَى الْقَوْلَيْنِ قَلِيلُ الْغَنِيمَةِ وَكَثِيرُهَا سَوَاءٌ أُخِذَتْ قَهْرًا بِقُوَّةٍ أَوْ أُخِذَتْ خِلْسَةً بِضَعْفٍ فِي إِخْرَاجِ خُمْسِهَا

Pendapat kedua menyatakan bahwa pemberian al-radkh didahulukan sebelum mengeluarkan khumus, karena ia termasuk bagian dari kemaslahatan, sebagaimana halnya dengan al-salab. Pada kedua pendapat tersebut, baik sedikit maupun banyaknya ghanimah, baik diperoleh dengan kekuatan secara paksa maupun diambil secara diam-diam karena kelemahan, tetap sama dalam hal kewajiban mengeluarkan khumusnya.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ إِنْ أَخَذُوهَا قَهْرًا وَهُمْ مُمْتَنِعُونَ بقوَةٍ خُمِّسَتْ وَإِنْ أَخَذُوهَا خِلْسَةً وَهُمْ فِي غَيْرِ مَنَعَةٍ لَمْ تُخَمَّسْ

Abu Hanifah berkata: Jika mereka mengambilnya secara paksa sementara mereka (pemiliknya) dalam keadaan mempertahankan dengan kekuatan, maka harta itu harus dibagi seperlima (khumus). Namun jika mereka mengambilnya secara diam-diam sementara mereka (pemiliknya) tidak dalam keadaan mempertahankan, maka harta itu tidak wajib dibagi seperlima.

وَقَالَ أَبُو يُوسُفَ الْمَنَعَةُ عَشَرَةٌ فَأَكْثَرُ احْتِجَاجًا بِأَنَّ الْغَنِيمَةَ مِنْ أَحْكَامِ الظَّفَرِ الَّذِي يُعَزُّ بِهِ الْإِسْلَامُ وَيُذَلُّ بِهِ الشِّرْكُ وَهَذَا فِي الْمَأْخُوذِ خِلْسَةً وَتَلَصُّصًا

Abu Yusuf berpendapat bahwa jumlah minimal pasukan yang menjadi penghalang (untuk memperoleh ghanīmah) adalah sepuluh orang atau lebih, dengan alasan bahwa ghanīmah merupakan salah satu hukum kemenangan yang dengannya Islam dimuliakan dan syirik direndahkan. Adapun harta yang diambil secara sembunyi-sembunyi dan dengan cara mencuri, maka hukumnya berbeda.

وَدَلِيلُنَا عُمُومُ قَوْلِ الله تعالى واعلموا أن ما غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ وَلِأَنَّ الْغَنِيمَةَ مَا غُلِبَ الْمُشْرِكُ عَلَيْهِ وَأُخِذَ مِنْهُ بِغَيْرِ اخْتِيَارِهِ وَهَذَا مَوْجُودٌ فِي هَذَا الْمَأْخُوذِ وَلِأَنَّ كُلَّ مَا وَجَبَ إِخْرَاجُ خُمْسِهِ إِذَا وَصَلَ بِالْعَدَدِ الْكَثِيرِ وَجَبَ إِخْرَاجُ خُمْسِهِ إِذَا وَصَلَ بِالْعَدَدِ الْقَلِيلِ كَالرِّكَازِ وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ خُمِّسَتْ غَنِيمَتُهُ إِذَا كَانَ فِي مَنَعَةٍ خُمِّسَتْ وَإِنْ كَانَ فِي غَيْرِ مَنَعَةٍ كَمَا لَوْ أَذِنَ لَهُ الْإِمَامُ وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ خُمِّسَتْ غَنِيمَتُهُ إِذَا أَذِنَ لَهُ الْإِمَامُ خُمِّسَتْ وَإِنْ لَمْ يَأْذَنْ لَهُ كَمَا لَوْ كَانُوا فِي مَنَعَةٍ وَلِأَنَّهُ لَا فَرْقَ بَيْنَ التِّسْعَةِ وَالْعَشَرَةَ فِي الْعِزِّ وَالذُّلِّ فَلَمْ يَقَعِ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا فِي الْغَنِيمَةِ وَالتَّلَصُّصِ

Dan dalil kami adalah keumuman firman Allah Ta‘ala: “Dan ketahuilah bahwa apa saja yang kalian peroleh sebagai ghanīmah, maka sesungguhnya bagi Allah seperlimanya.” Maka ayat ini tetap berlaku secara umum. Selain itu, ghanīmah adalah apa saja yang direbut dari orang musyrik dan diambil darinya tanpa kerelaannya, dan hal ini terdapat pada harta yang diambil ini. Juga, setiap harta yang wajib dikeluarkan seperlimanya ketika diperoleh dengan jumlah besar, maka wajib pula dikeluarkan seperlimanya jika diperoleh dengan jumlah sedikit, seperti rikāz. Dan setiap orang yang ghanīmahnya dikenakan khumus jika ia berada dalam keadaan kuat, maka dikenakan pula khumus meskipun ia tidak dalam keadaan kuat, seperti jika diizinkan oleh imam. Demikian pula, setiap orang yang ghanīmahnya dikenakan khumus jika diizinkan oleh imam, maka dikenakan pula khumus meskipun tanpa izin imam, seperti jika mereka dalam keadaan kuat. Dan tidak ada perbedaan antara sembilan dan sepuluh dalam hal kemuliaan dan kehinaan, maka tidak ada perbedaan antara keduanya dalam hal ghanīmah dan perampasan.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا كَانَ ذَلِكَ بَعْدَ إخراج خمسه ملكا لغانمه

Maka apabila hal ini telah tetap, hal itu dilakukan setelah mengeluarkan seperlima sebagai hak milik bagi ghanimah.

وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ يُؤْخَذُ مِنْهُمْ لِبَيْتِ الْمَالِ عُقُوبَةً لَهُمْ وَيُعَزَّرُوا عَلَيْهِ لِتَغْرِيرِهِم بِأَنْفُسِهِمْ وَهَذَا خَطَأٌ لِعُمُومِ الْآيَةِ وَلِأَنَّهُ لَيْسَ التَّغْرِيرُ مَعَ الْعَدُوِّ مَحْظُورًا يُوجِبُ التَّعْزِيرَ

Al-Hasan al-Bashri berkata, “Diambil dari mereka untuk Baitul Mal sebagai hukuman bagi mereka dan mereka diberi ta‘zīr karena membahayakan diri mereka sendiri.” Namun, pendapat ini keliru karena keumuman ayat, dan karena membahayakan diri sendiri bersama musuh bukanlah sesuatu yang terlarang sehingga mewajibkan ta‘zīr.

رَوَى مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ حَرَّضَ عَلَى الْجِهَادِ يَوْمَ بَدْرٍ وَنَفَلَ كُلَّ امرء مَا أَصَابَ وَقَالَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُقَاتِلُهُمُ الْيَوْمَ رَجُلٌ فَيُقْتَلَ صَابِرًا مُحْتَسِبًا مُقْبِلًا غَيْرَ مُدْبِرٍ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ ” فَقَالَ عُمَيْرُ بن حمام وفي يده ثمرات يَأْكُلُهُنَّ بَخٍ بَخٍ مَا بَيْنِي وَبَيْنَ أَنْ أَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلَّا أَنْ يَقْتُلَنِي هَؤُلَاءِ الْقَوْمُ ثم قذف الثمرات مِنْ يَدِهِ وَأَخَذَ سَيْفَهُ فَقَاتَلَ الْقَوْمَ حَتَّى قُتِلَ وَهُوَ يَقُولُ

Muhammad bin Ishaq meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong untuk berjihad pada hari Perang Badar dan memberikan setiap orang bagian dari apa yang ia peroleh. Beliau bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang memerangi mereka hari ini lalu ia terbunuh dalam keadaan sabar, mengharap pahala, maju ke depan dan tidak mundur, kecuali ia akan masuk surga.” Maka Umair bin Hamam, yang di tangannya ada beberapa butir kurma yang sedang ia makan, berkata, “Wah, wah, tidak ada yang menghalangiku dengan surga kecuali jika kaum ini membunuhku.” Lalu ia melemparkan kurma-kurma itu dari tangannya, mengambil pedangnya, dan memerangi kaum tersebut hingga ia terbunuh, sementara ia terus mengucapkan (dzikir).

رَكْضًا إِلَى اللَّهِ بِغَيْرِ زَادِ إِلَّا التُّقَى وَعَمَلِ الْمَعَادِ

Berlari menuju Allah tanpa bekal kecuali takwa dan amal untuk kehidupan akhirat.

وَالصَّبرِ فِي الله على الجهاد وكل زاد عرضة النقاد

Dan bersabar karena Allah dalam berjihad, serta setiap bekal pasti akan diuji oleh para pengkritik.

غير التقى والبر والرشاد

Selain takwa, kebajikan, dan petunjuk.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَتُقَسَّمُ أَرْبَعَةُ أَخْمَاسِهِ بَيْنَ مَنْ حَضَرَ الْوَقْعَةَ دُونَ مَنْ بَعْدَهَا وَاحْتَجَّ بِأَنَّ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَا ” الْغَنِيمَةُ لِمَنْ شَهِدَ الْوَقْعَةَ “

Syafi‘i berkata, “Empat per lima dari harta rampasan perang dibagikan kepada mereka yang hadir dalam pertempuran, bukan kepada yang datang setelahnya. Ia berdalil dengan perkataan Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma, ‘Harta rampasan perang adalah milik orang yang menghadiri pertempuran.’”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كَمَا ذَكَرَ إِذَا خَرَجَ مِنَ الْغَنِيمَةِ خُمْسُهَا وَرَضَخَ مَنْ لَا سَهْمَ لَهُ فِيهَا كَانَ بَاقِيهَا لِلْغَانِمِينَ الَّذِينَ شَهِدُوا الْوَقْعَةَ يَشْتَرِكُ فِيهَا مَنْ قَاتَلَ وَمِنْ لَمِ يُقَاتِلْ لِأَنَّهُ كَانَ رَدًّا لِلْمُقَاتِلِ قال الله تعالى واعلموا أن ما غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ فَلَمَّا أَضَافَ الْغَنِيمَةَ إِلَيْهِمْ وَاسْتَثْنَى خُمْسَهَا مِنْهُمْ دَلَّ عَلَى أَنَّ بَاقِيهَا لَهُمْ كَمَا قَالَ تَعَالَى وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأُمِّهِ الثُّلُثُ فَكَانَ الْبَاقِي بَعْدَ الثُّلُثِ لِلْأَبِ فَإِنْ لَحِقَ بِمَنْ شَهِدَ الْوَقْعَةَ مَدَدٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ عَوْنًا لَهُمْ فَعَلَى ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ

Al-Mawardi berkata, “Sebagaimana telah disebutkan, apabila seperlima dari ghanimah telah dikeluarkan dan diberikan bagian kepada mereka yang tidak memperoleh bagian di dalamnya, maka sisanya menjadi milik para mujahid yang hadir dalam pertempuran. Dalam hal ini, baik yang ikut bertempur maupun yang tidak, semuanya berhak mendapat bagian, karena itu merupakan pengganti bagi para pejuang.” Allah Ta‘ala berfirman, “Dan ketahuilah bahwa apa saja yang kalian peroleh sebagai ghanimah, maka sesungguhnya seperlimanya adalah untuk Allah dan Rasul-Nya.” Maka ketika Allah menisbatkan ghanimah kepada mereka dan mengecualikan seperlimanya dari mereka, hal itu menunjukkan bahwa sisanya adalah milik mereka, sebagaimana firman-Nya, “Dan kedua orang tuanya mewarisinya, maka untuk ibunya sepertiga.” Maka sisanya setelah sepertiga menjadi milik ayah. Jika kemudian datang bala bantuan dari kaum Muslimin yang bergabung dengan mereka dalam pertempuran, maka ada tiga keadaan.

أَحَدُهَا أَنْ يَلْحَقُوا بِهِمْ قَبْلَ تَقَضِّي الْحَرْبِ وَانْكِشَافِهَا فَالْمَدَدُ يُشْرِكُهُمْ فِي غَنِيمَتِهَا إِذَا شَهِدُوا بَقِيَّةَ حَرْبِهَا

Salah satunya adalah jika mereka menyusul pasukan sebelum perang selesai dan berakhir, maka bala bantuan tersebut berhak mendapat bagian dari ghanimahnya apabila mereka turut menyaksikan sisa peperangannya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَلْحَقُوا بِهِمْ بَعْدَ تَقَضِّي الْحَرْبِ وَإِجَازَةِ غَنَائِمِهَا فَلَا حَقَّ لَهُمْ فِي غَنِيمَتِهَا سَوَاءٌ أَدْرَكُوهُمْ فِي دَارِ الْحَرْبِ أَوْ بَعْدَ خُرُوجِهِمْ مِنْهَا

Jenis yang kedua adalah mereka yang menyusul setelah peperangan selesai dan rampasan perangnya telah dibagikan, maka mereka tidak memiliki hak atas rampasan tersebut, baik mereka menyusul di wilayah musuh maupun setelah pasukan keluar dari wilayah itu.

وَالضَّرْبُ الثَّالِثُ أَنْ يَلْحَقُوا بِهِمْ بَعْدَ تَقَضِّي الْحَرْبِ وَإِجَازَةِ غَنَائِمِهَا فَشَهِدُوا مَعَهُمْ إِجَازَتَهَا فَفِيهَا قَوْلَانِ

Golongan ketiga adalah mereka yang menyusul kepada mereka setelah peperangan selesai dan rampasan perangnya telah dibagi, lalu mereka turut menyaksikan pembagiannya bersama mereka; dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يُشَارِكُونَهُمْ فِيهَا

Salah satunya adalah mereka turut serta bersama mereka di dalamnya.

وَالثَّانِي لَا يُشَارِكُونَهُمْ

Dan yang kedua, mereka tidak ikut serta bersama mereka.

وَهَذَانِ الْقَوْلَانِ مَبْنِيَّانِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيِ الشَّافِعِيِّ فِيمَا تُمَلَّكُ بِهِ الْغَنِيمَةُ بَعْدَ إِجَازَتِهَا فَأَحَدُ قَوْلَيْهِ إِنَّهَا تُمَلَّكُ بِحُضُورِ الْوَقْعَةِ فَعَلَى هَذَا لَا حَقَّ لِلْمَدَدِ فِيهَا

Kedua pendapat ini didasarkan pada perbedaan dua pendapat Imam Syafi‘i mengenai cara kepemilikan harta rampasan perang setelah diizinkan. Salah satu dari dua pendapat beliau menyatakan bahwa harta rampasan perang menjadi milik dengan hadirnya dalam pertempuran. Maka berdasarkan pendapat ini, pasukan tambahan tidak memiliki hak atasnya.

وَالْقَوْلُ الثاني إنهم ملكوا بِالْحُضُورِ أَنْ يَتَمَلَّكُوهَا بِالْإِجَازَةِ فَعَلَى هَذَا يُشَارِكُهُمُ الْمَدَدُ فِيهَا وَيَخْرُجُ عَلَى الْقَوْلَيْنِ الْمَدَدُ اللَّاحِقُ بِهِمْ بَعْدَ الْوَقْعَةِ وَإِجَازَةِ الْغَنَائِمِ وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٌ وَالْأَوْزَاعِيُّ وَاللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ

Pendapat kedua menyatakan bahwa mereka yang hadir memiliki hak kepemilikan dengan kehadiran, dan mereka dapat memilikinya dengan izin. Berdasarkan pendapat ini, bala bantuan juga turut serta dalam harta rampasan tersebut. Menurut kedua pendapat, bala bantuan yang datang setelah peristiwa dan setelah harta rampasan diizinkan tidak termasuk di dalamnya. Ini adalah mazhab Mālik, al-Awzā‘ī, al-Laits bin Sa‘d, Ahmad, dan Ishāq.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ إِنْ لَحِقَ بِهِمُ الْمَدَدُ وَهُمْ فِي دَارِ الْحَرْبِ أَوْ بَعْدَ خُرُوجِهِمْ منها وقيل قِسْمَتِهَا شَارَكُوهُمْ فِيهَا وَإِنْ لَحِقُوا بِهِمْ بَعْدَ خُرُوجِهِمْ مِنْ دَارِ الْحَرْبِ وَبَعْدَ قِسْمَةِ الْغَنَائِمِ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ لَمْ يُشْرِكُوهُمُ اسْتِدْلَالًا بِمَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بَعَثَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَامِرٍ إِلَى أَوْطَاسَ فَعَادَ وَقَدْ فَتَحَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ حُنَيْنًا فَأَشْرَكَهُمْ فِي غَنَائِمِهَا

Abu Hanifah berkata: Jika bala bantuan menyusul mereka sementara mereka masih berada di wilayah musuh, atau setelah mereka keluar dari wilayah tersebut namun sebelum pembagian harta rampasan, maka mereka (bala bantuan) berhak mendapat bagian bersama mereka. Namun, jika bala bantuan itu menyusul setelah mereka keluar dari wilayah musuh dan setelah pembagian harta rampasan di wilayah Islam, maka mereka tidak mendapat bagian. Hal ini didasarkan pada riwayat bahwa Nabi ﷺ mengutus Abdullah bin Amir ke Autas, lalu ia kembali ketika Nabi ﷺ telah menaklukkan Hunain, maka Nabi ﷺ pun memberikan bagian dari harta rampasan Hunain kepada mereka.

وَبِمَا رُوِيَ أَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَتَبَ إِلَى أُمَرَاءِ الأجناد أن من جاءكم من الأمدادا قَبْلَ أَنْ يَتَفَقَّأَ الْقَتْلَى فَأَعْطُوهُ مِنَ الْغَنِيمَةِ

Dan berdasarkan riwayat bahwa Umar radhiyallahu ‘anhu menulis kepada para pemimpin pasukan bahwa siapa saja yang datang kepada kalian dari pasukan bantuan sebelum mayat-mayat terbuka (membusuk), maka berikanlah kepadanya bagian dari ghanīmah.

وَرَوَى الشَّعْبِيُّ أَنَّ عُمَرَ كَتَبَ بِذَلِكَ إِلَى سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ وَلِأَنَّ الْقُوَّةَ بِالْمَدَدِ هِيَ الْمُؤَثِّرَةُ فِي الظَّفَرِ فَصَارُوا فِيهَا كَالْمُكْثِرِ وَالْمَهِيبِ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونُوا بِمَثَابَتِهِمْ فِي الْمَغْنَمِ وَلِأَنَّ الْغَنِيمَةَ لَا تُمَلَّكُ عِنْدَهُ إِلَّا بِالْقِسْمَةِ لِأَمْرَيْنِ

Dan asy-Sya‘bi meriwayatkan bahwa Umar menulis tentang hal itu kepada Sa‘d bin Abi Waqqash. Karena kekuatan dengan adanya bantuan pasukan itulah yang berpengaruh dalam meraih kemenangan, maka mereka (pasukan bantuan) dalam hal ini seperti pasukan utama dan pasukan yang disegani, sehingga wajib bagi mereka untuk mendapatkan bagian yang sama dalam harta rampasan perang. Selain itu, harta ghanīmah tidak menjadi milik seseorang kecuali setelah dibagikan, karena dua alasan.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ لَا يَجُوزُ لِوَاحِدٍ مِنْهُمْ بَيْعُ سَهْمِهِ مِنْهَا قَبْلَ الْقِسْمَةِ وَيَجُوزُ بَيْعُهُ بَعْدَهَا

Salah satunya adalah bahwa tidak boleh bagi salah satu dari mereka menjual bagiannya sebelum pembagian, dan boleh menjualnya setelah pembagian.

وَالثَّانِي أَنَّهُ لَوِ اسْتَوْلَى الْمُسْلِمُونَ عَلَى قَرْيَةٍ مِنْ بِلَادِهِمْ دَفَعَهُمُ الْمُشْرِكُونَ عَنْهَا وَفَتَحَهَا آخَرُونَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ كَانَتْ غَنِيمَةً لِلْآخَرِينَ دُونَ الْأَوَّلِينَ

Yang kedua, jika kaum Muslimin menguasai sebuah desa dari negeri mereka, lalu kaum musyrikin mengusir mereka darinya, kemudian desa itu ditaklukkan oleh kelompok Muslimin yang lain, maka harta rampasan perang menjadi milik kelompok yang terakhir, bukan milik kelompok yang pertama.

وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ فَأَضَافَهَا إِلَى الْغَانِمِينَ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ لَا حَقَّ فِيهَا لِغَيْرِهِمْ

Dan dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: “Dan ketahuilah bahwa apa saja yang kalian peroleh sebagai ghanīmah, maka sesungguhnya seperlimanya adalah untuk Allah dan Rasul-Nya.” Maka Allah menyandarkan (ghanimah) itu kepada para ghanimīn (orang-orang yang memperoleh ghanīmah), sehingga hal itu menunjukkan bahwa tidak ada hak di dalamnya bagi selain mereka.

وَرَوَى أَبُو هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بَعَثَ أَبَانَ بْنَ سَعيِدِ بِنِ الْعَاصِ مِنَ الْمَدِينَةِ فِي سَرِيَّةٍ قِبَلَ نَجْدٍ فَقَدِمَ أَبَانٌ وَأَصْحَابُهُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِحُنَيْنٍ وَقَدْ فَتَحَهَا فَقَالَ أَبَانٌ اقْسِمْ لَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ ” اجْلِسْ يَا أَبَانُ ولم يقسم له “

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ mengutus Aban bin Sa‘id bin Al-‘Ash dari Madinah dalam sebuah pasukan kecil menuju Najd. Maka Aban dan para sahabatnya datang kepada Rasulullah ﷺ di Hunain, sedangkan beliau telah menaklukkannya. Lalu Aban berkata, “Bagikanlah untuk kami, wahai Rasulullah.” Maka beliau bersabda, “Duduklah, wahai Aban,” dan beliau tidak membagikan untuknya.

وروى أبو بكر رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ الْغَنِيمَةُ لِمَنْ شَهِدَ الْوَقْعَةَ

Abu Bakar radhiyallāhu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Ghanīmah adalah milik orang yang hadir dalam pertempuran.”

وَقَدْ رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ مَوْقُوفًا عَلَى أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رضي الله عنهما وَهُوَ أَثْبَتُ وَوُقُوفُهُ عَلَيْهِمَا حُجَّةٌ لِأَنَّهُ لَمْ يظهر لهما مخالف ولأن أبا حنيفة وافقها فِي الْمَدَدِ لَوْ كَانُوا أَسْرَى فِي أَيْدِيهِمْ فَأَفْلَتُوا مِنْهُمْ وَلَحِقُوا بِالْمُسْلِمِينَ لَمْ يُسْهِمْ لَهُمْ فكذلك غير الأسرى ولو لحقوا بهم في الوقعة شاركوهم فَكَذَلِكَ غَيَرُ الْأَسْرَى وَيَتَحَرَّرُ مِنْ هَذَا الِاسْتِدْلَالِ قِيَاسَانِ

Imam Syafi‘i meriwayatkan hadis ini secara mauquf kepada Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma, dan riwayat ini lebih kuat. Status mauquf pada keduanya menjadi hujjah karena tidak tampak adanya pihak yang menyalahi pendapat mereka, dan juga karena Abu Hanifah sependapat dengan mereka dalam hal pasukan bantuan: jika mereka adalah tawanan di tangan musuh lalu berhasil melarikan diri dan bergabung dengan kaum Muslimin, maka tidak diberikan bagian ghanimah kepada mereka; demikian pula bagi selain tawanan. Namun, jika mereka bergabung dalam pertempuran, mereka mendapatkan bagian bersama yang lain; demikian pula bagi selain tawanan. Dari istidlal ini dapat diambil dua qiyās.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ وُصُولٌ بَعْدَ الْقُفُولِ فَلَمْ يُشْرَكُوا فِي الْغَنِيمَةِ كَالْأَسْرَى

Salah satunya adalah bahwa mereka datang setelah pasukan kembali, sehingga mereka tidak disertakan dalam pembagian ghanīmah, seperti para tawanan.

وَالثَّانِي أَنَّ مَا لَمْ يُشَارِكْهُمْ فِيهِ الْأَسْرَى لَمْ يُشَارِكْهُمْ فِيهِ الْمَدَدُ قِيَاسًا عَلَى مَا بَعْدَ قِسْمَةِ الْغَنِيمَةِ

Kedua, bahwa apa yang tidak diikutsertai oleh para tawanan di dalamnya, maka bala bantuan pun tidak diikutsertakan di dalamnya, berdasarkan qiyās terhadap apa yang terjadi setelah pembagian ghanīmah.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَامِرٍ فَهُوَ أَنَّهُ كَانَ فِي جَيْشِ رَسُولِ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِحُنَيْنٍ وَأَنْفَذَهُ إِلَى أَوْطَاسَ وَهُوَ وَادٍ بِقُرْبِ حُنَيْنٍ حِينَ بَلَغَهُ أَنَّ فِيهِ قَوْمًا مِنْ هوازن فكن مِنْ جُمْلَةِ جَيْشِهِ وَمُسْتَحِقِّ الْغَنِيمَةِ فَلِذَلِكَ قَسَمَ لَهُ وَخَالَفَ مَنْ لَيْسَ مِنْهُمْ

Adapun jawaban mengenai hadis Abdullah bin Amir adalah bahwa ia termasuk dalam pasukan Rasulullah saw. di Hunain, lalu beliau mengutusnya ke Autas, yaitu sebuah lembah dekat Hunain, ketika beliau mengetahui bahwa di sana terdapat sekelompok kaum Hawazin. Maka ia termasuk bagian dari pasukan beliau dan berhak atas ghanīmah, karena itu beliau membagikan bagian untuknya dan tidak membagikan kepada orang yang bukan dari mereka.

وَأَمَّا حَدِيثُ عُمَرَ فَهُوَ إِنْ صَحَّ مِمَّا لَا يَقُولُ بِهِ أَبُو حَنِيفَةَ لِأَنَّهُ جَعَلَ اسْتِحْقَاقَ الْغَنِيمَةِ معتبرا بفقوء القتلى وفقؤهم غَيْرُ مُعْتَبَرٍ فَلَمْ تَكُنْ فِيهِ حُجَّةٌ

Adapun hadis Umar, jika memang sahih, adalah sesuatu yang tidak dipegang oleh Abu Hanifah, karena beliau menjadikan hak atas ghanīmah bergantung pada terbunuhnya musuh, sedangkan melukai mereka tidak dianggap sebagai dasar. Maka, hadis tersebut tidak dapat dijadikan hujah.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الظَّفَرِ بِالْمَدَدِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun jawaban mengenai memperoleh bantuan adalah dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا بُطْلَانُهُ بِالْمَدَدِ اللَّاحِقِ بَعْدَ الْقَسْمِ

Salah satunya adalah batalnya dengan waktu tambahan setelah pembagian.

وَالثَّانِي أَنَّ أَسْبَابَ الظَّفَرِ مَا تَقَدَّمَتْ أَوْ قَارَبَتْ وَلَوْ كَانَتْ مِمَّا تَأَخَّرَتْ لَكَانَتْ بِمَنْ أَقَامَ وَلَمْ يَنْفِرْ وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِأَنَّهَا لَا تُمَلَّكُ إِلَّا بِالْقِسْمَةِ فَهُوَ أَنَّهُ أَصْلٌ لَهُمْ يُخَالِفُهُمْ فِيهِ كَالْخِلَافِ فِي قُرْعَةٍ وَاحْتِجَاجُهُمْ فِيهِ بِأَنَّ الْقَرْيَةَ لِلْآخَرِينَ فَنَحْنُ نَجْعَلُهَا لِلْأَوَّلِينَ وَقَوْلُهُمْ إِنَّ بَيْعَهَا قَبْلَ الْقِسْمَةِ لَا يَجُوزُ فَنَحْنُ نُجَوِّزُهُ إِذَا اخْتَارَ الْغَانِمُ تَمَلُّكَهَا وَنَجْعَلُ بَيْعَهَا اخْتِيَارًا لِتَمَلُّكِهَا فَلَمْ يُسَلَّمْ لَهُمْ بِنَاءً عَلَى أصل ولا استشهاد

Kedua, bahwa sebab-sebab memperoleh harta rampasan adalah apa yang telah terjadi atau yang mendekati terjadinya; seandainya sebab-sebab itu termasuk yang datang belakangan, maka itu berlaku bagi orang yang tetap tinggal dan tidak ikut berperang. Adapun jawaban atas dalil mereka bahwa harta rampasan tidak dimiliki kecuali dengan pembagian, maka itu adalah prinsip mereka sendiri yang diperselisihkan oleh pihak lain, sebagaimana perbedaan pendapat dalam masalah undian. Dalil mereka bahwa desa itu milik kelompok lain, maka kami menjadikannya milik kelompok pertama. Dan pernyataan mereka bahwa menjual harta rampasan sebelum pembagian tidak diperbolehkan, maka kami membolehkannya jika seorang peserta perang memilih untuk memilikinya, dan kami menganggap penjualan itu sebagai pilihan untuk memilikinya. Maka, tidak diterima argumen mereka, baik berdasarkan prinsip maupun dalil.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَيُسْهَمُ لِلْبِرْذَوْنِ كَمَا يُسْهَمُ لِلْفَرَسِ سَهْمَانِ وَلِلْفَارِسِ سَهْمٌ “

Imam Syafi‘i berkata, “Diberikan bagian untuk bardaun sebagaimana diberikan bagian untuk kuda, yaitu dua bagian, dan untuk prajurit satu bagian.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ لَا اخْتِلَافَ أَنَّ الْفَارِسَ يُفَضَّلُ فِي الْغَنِيمَةِ عَلَى الرَّاجِلِ لِفَضْلِ عَنَائِهِ وَاخْتَلَفُوا فِي قَدْرِ تَفْضِيلِهِ فَالَّذِي ذَهَبَ إِلَيْهِ الشَّافِعِيُّ وَأَهْلُ مَكَّةَ وَمَالِكٌ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ وَالْأَوْزَاعِيُّ فِي أَهْلِ الشَّامِ وَاللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ فِي أَهْلِ مِصْرَ وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ أَهْلِ الْعِرَاقِ أَنَّ لِلْفَارِسِ ثَلَاثَةَ أَسْهُمٍ سَهْمٌ لَهُ وَسَهْمَانِ لِفَرَسِهِ وَلِلرَّاجِلِ سَهْمٌ وَاحِدٌ

Al-Mawardi berkata, “Ini benar, tidak ada perbedaan bahwa penunggang kuda diutamakan dalam pembagian ghanīmah atas prajurit pejalan kaki karena keutamaan jerih payahnya. Namun, mereka berbeda pendapat tentang kadar keutamaannya. Pendapat yang dipegang oleh asy-Syafi‘i dan penduduk Makkah, serta Malik dari penduduk Madinah, al-Auza‘i dari penduduk Syam, dan al-Laits bin Sa‘d dari penduduk Mesir, juga merupakan pendapat mayoritas penduduk Irak, adalah bahwa penunggang kuda mendapat tiga bagian: satu bagian untuk dirinya dan dua bagian untuk kudanya, sedangkan prajurit pejalan kaki mendapat satu bagian.”

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ دُونَ أَصْحَابِهِ وَلَا يُعْرَفُ لَهُ مُوَافِقٌ عَلَيْهِ أَنَّ لِلْفَارِسِ سَهْمَيْنِ سَهْمٌ لَهُ وَسَهْمٌ لِفَرَسِهِ لِئَلَّا يُفَضَّلَ فَرَسُهُ عَلَيْهِ وَلِلرَّاجِلِ وَاحِدٌ وَقَدْ تَقَدَّمَ الْكَلَامُ مَعَهُ فِيهَا فِي كِتَابِ ” قَسْمِ الْفَيْءِ وَالْغَنِيمَةِ ” بِمَا أَغْنَى عَنْ إِعَادَتِهِ

Abu Hanifah, tidak seperti para sahabatnya, berpendapat—dan tidak diketahui ada yang sependapat dengannya—bahwa bagi seorang penunggang kuda mendapat dua bagian: satu bagian untuk dirinya dan satu bagian untuk kudanya, agar kudanya tidak lebih diutamakan darinya. Sedangkan bagi prajurit pejalan kaki mendapat satu bagian. Pembahasan mengenai hal ini telah dijelaskan sebelumnya bersamanya dalam Kitab “Pembagian Fay’ dan Ghanimah” sehingga tidak perlu diulang kembali.

وَقَدْ رَوَى عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ جَعَلَ لِلرَّجُلِ وَلِفَرَسِهِ ثَلَاثَةَ أَسْهُمٍ سَهْمًا لَهُ وَسَهْمَيْنِ لِفَرَسِهِ

Telah meriwayatkan ‘Ubaidullah bin ‘Umar dari Nafi‘ dari Ibnu ‘Umar bahwa Nabi ﷺ menetapkan bagi seorang laki-laki dan kudanya tiga bagian: satu bagian untuk dirinya dan dua bagian untuk kudanya.

وَرَوَى يَحْيَى بْنِ عَبَّادِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ ضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَامَ خَيْبَرَ لِلزُّبَيْرِ بْنِ الْعَوَّامِ بِأَرْبَعَةِ أَسْهُمٍ سَهْمٌ لَهُ وَسَهْمَانِ لِفَرَسِهِ وَسَهْمٌ لِأُمِّهِ صَفِيَّةَ بِنْتِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ مِنْ سَهْمِ ذِي الْقُرْبَى

Yahya bin ‘Abbad bin ‘Abdullah bin az-Zubair meriwayatkan dari kakeknya bahwa ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun Khaibar memberikan kepada az-Zubair bin al-‘Awwam empat bagian: satu bagian untuk dirinya, dua bagian untuk kudanya, dan satu bagian untuk ibunya, Shafiyyah binti ‘Abd al-Muththalib, dari bagian dzawil qurba.

فَصْلٌ

Fasal

وَلَا فَرْقَ فِي الْخَيْلِ بَيْنَ عِتَاقِهَا وَهِجَانِهَا وَبَيْنَ سَوَابِقِهَا وَبَرَاذِينِهَا فِي الِاسْتِحْقَاقِ سَهْمَيْنِ لَهُمَا وَسَهْمًا لِفَارِسِهِمَا

Tidak ada perbedaan pada kuda antara yang murni maupun yang campuran, antara yang cepat maupun yang biasa, dalam hal berhak mendapatkan dua bagian untuk keduanya dan satu bagian untuk penunggangnya.

وَقَالَ سَلْمَانُ بْنُ رَبِيعَةَ وَالْأَوْزَاعِيُّ يُسْهَمُ لِلْخَيْلِ الْعِتَاقِ وَلَا يُسْهَمُ لِلْبَرَاذِينِ الْهِجَانِ وَيُعْطَى فَارِسُهَا سَهْمُ رَاجِلٍ

Salman bin Rabi‘ah dan Al-Auza‘i berkata: Kuda Arab asli diberi bagian (ghanimah), sedangkan kuda barazin (kuda campuran) yang berwarna putih tidak diberi bagian, dan penunggangnya diberikan bagian seperti bagian seorang pejalan kaki.

وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ يُسْهَمُ لِلْبِرْذَوْنِ الْهَجِينِ نِصْفُ سَهْمِ الْعَرَبِيِّ الْعَتِيقِ فَيُعْطَى فَارِسُ الْبِرْذَوْنِ سَهْمَيْنِ وَيُعْطَى فَارِسُ الْعَرَبِيِّ الْعَتِيقِ ثَلَاثَةَ أَسْهُمٍ وَفَرَّقُوا بَيْنَ الْبَرَاذِينِ وَالْعِتَاقِ بِأَنَّ الْبِرْذَوْنَ يَثْنِي يَدَهُ إِذَا شَرِبَ وَلَا يَثْنِيهَا الْعَتِيقُ احْتِجَاجًا بِأَنَّ الْبَرَاذِينَ لَا تُعْنَى عَنَاءَ الْعِتَاقِ وَالسَّوَابِقِ فِي طَلَبٍ وَلَا هَرَبٍ فَشَابَهَتِ الْبِغَالَ وَالْحَمِيرَ وَهَذَا خَطَأٌ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ فَعَمَّ الْحُكْمُ فِي ارْتِبَاطِ الْخَيْلِ بِمَا يَجْعَلُ مِنْ رَهْبَةِ الْعَدُوِّ بِهَا وَهَذَا مَوْجُودٌ فِي عُمُومِ الْخَيْلِ وَفِي قَوْلِهِ وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ فِيهِ أَرْبَعَةُ تَأْوِيلَاتٍ

Ahmad bin Hanbal berkata, “Untuk kuda hasil persilangan (barzawn) diberikan setengah bagian dari bagian kuda Arab murni, sehingga penunggang kuda barzawn mendapat dua bagian, sedangkan penunggang kuda Arab murni mendapat tiga bagian.” Mereka membedakan antara kuda barzawn dan kuda murni dengan ciri bahwa kuda barzawn melipat kakinya saat minum, sedangkan kuda murni tidak melipatnya. Mereka beralasan bahwa kuda barzawn tidak mampu bersusah payah seperti kuda murni dan kuda pacu dalam pengejaran maupun pelarian, sehingga kuda barzawn dianggap mirip dengan bagal dan keledai. Ini adalah kekeliruan, karena firman Allah Ta‘ala, “dan dari kuda yang ditambatkan untuk berperang,” maka hukum berlaku umum pada seluruh kuda yang ditambatkan untuk menimbulkan rasa takut pada musuh, dan hal ini terdapat pada semua jenis kuda. Dalam firman-Nya, “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi,” terdapat empat penafsiran.

أَحَدُهَا أَنَّ الْقُوَّةَ التَّصَافِي وَاتِّفَاقُ الْكَلِمَةِ

Salah satunya adalah kekuatan kejernihan dan kesepakatan kata.

وَالثَّانِي أَنَّ الْقُوَّةَ الثِّقَةُ بِالنَّصْرِ وَالرَّغْبَةُ فِي الثَّوَابِ

Dan yang kedua adalah kekuatan berupa keyakinan akan pertolongan dan keinginan terhadap pahala.

وَالثَّالِثُ أَنَّ الْقُوَّةَ السِّلَاحُ قَالَهُ الْكَلْبِيُّ

Ketiga, bahwa kekuatan itu adalah senjata; demikian pendapat al-Kalbi.

وَالرَّابِعُ أَنَّ الْقُوَّةَ فِي الرَّمْيِ

Keempat, bahwa kekuatan itu terletak pada melempar.

وَرَوَى عُقْبَةُ بْنُ عَامِرٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يَقُولُ عَلَى الْمِنْبَرِ ” قَالَ اللَّهُ تَعَالَى وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ ” أَلَا إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ ثَلَاثًا “

Uqbah bin Amir meriwayatkan: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di atas mimbar, “Allah Ta‘ala berfirman: ‘Dan siapkanlah untuk mereka kekuatan apa saja yang kalian mampu.’ Ketahuilah, sesungguhnya kekuatan itu adalah melempar (memanah), beliau mengucapkannya tiga kali.”

وَرَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” ارْبُطُوا الْخَيْلَ فَإنَ ظُهُورَهَا عِزٌّ وَبَطُونَهَا لَكُمْ كَنْزٌ ” فَعَمَّ بِالْخَيْلِ جَمِيعَ الْجِنْسِ وَلِأَنَّ عِتَاقَ الْخَيْلِ أَجْرَى وَأَسْبَقُ وَبَرَاذِينَهَا أَكَرُّ وَأَصْبَرُ فَكَانَ فِي كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مَا لَيْسَ فِي الْآخَرِ فَتَقَابَلَا وَلِأَنَّ عِتَاقَ الْخَيْلِ عِرَابٌ وَبَرَاذِينَهَا أَعَاجِمُ وَلَيْسَ يُفَرَّقُ فِي الْفُرْسَانِ بَيْنَ الْعَرَبِ وَالْعَجَمِ وَكَذَلِكَ الْخَيْلُ لَا يُفَرَّقُ بَيْنَ شَدِيدِ الْخَيْلِ وَضَعِيفِهِ فَكَذَلِكَ فِي السَّابِقِ وَالْمُتَأَخِّرِ

Abdullah bin Amr bin Al-Ash meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ikatlah kuda, karena punggungnya adalah kemuliaan dan perutnya adalah harta simpanan bagi kalian.” Maka beliau menggeneralisasi kuda untuk seluruh jenisnya. Karena kuda ras lebih cepat dan lebih unggul, sedangkan barda (kuda campuran) lebih kuat dan lebih sabar, sehingga pada masing-masing dari keduanya terdapat kelebihan yang tidak dimiliki oleh yang lain, maka keduanya saling melengkapi. Dan karena kuda ras adalah bangsa Arab, sedangkan barda adalah bangsa non-Arab, dan tidak dibedakan dalam pasukan berkuda antara orang Arab dan non-Arab, demikian pula pada kuda tidak dibedakan antara kuda yang kuat dan yang lemah, maka demikian pula dalam hal yang lebih dahulu dan yang belakangan.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قال الشافعي رحمه الله تعالى ” وَلَا يُعْطَى إِلَّا لِفَرَسٍ وَاحِدٍ “

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Dan tidak diberikan kecuali untuk satu kuda saja.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهُوَ كَمَا ذَكَرَ وَقَالَ الْأَوْزَاعِيُّ وَأَبُو يُوسُفَ وَأَحْمَدُ يُسْهَمُ لِفَرَسَيْنِ وَلَا يُسْهَمُ لِأَكْثَرَ مِنْهُمَا لِأَنَّهُ قَدْ يَعْطَبُ الْوَاحِدُ فَيَحْتَاجُ إِلَى ثَانٍ فَصَارَ مُعَدًّا لِلْحَاجَةِ فَوَجَبَ أَنْ يُسْهَمَ لَهُ وَهَذَا التَّعْلِيلُ مَوْجُودٌ فِي الثَّالِثِ لِأَنَّهُ قَدْ يَعْطَبُ الثَّانِي وَلَا يُوجِبُ ذَلِكَ أَنْ يُسْهَمَ لِثَالِثٍ فَكَذَلِكَ الثَّانِي وَلِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَدْ حَضَرَ بِأَفْرَاسٍ فَلَمْ يَأْخُذْ إِلَّا سَهْمَ فَرَسٍ وَاحِدٍ وَكَذَلِكَ حَضَرَ كَثِيرٌ مِنْ أَصْحَابِهِ فَلَمْ يُعْطُوا إِلَّا سَهْمَ فَرَسٍ وَاحِدٍ وَبِذَلِكَ جَرَتْ سِيرَةُ خُلَفَائِهِ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِهِ وَلِأَنَّهُ لَا يُقَاتِلُ إِلَّا عَلَى فَرَسٍ وَاحِدٍ وَمَا عَدَاهُ زِينَةٌ أَوْ عُدَّةٌ فَلَمْ يَقَعِ الِاسْتِحْقَاقُ إِلَّا فِي الْمُبَاشِرِ بِالْعَمَلِ كَخِدْمَةِ الزَّوْجَةِ لَمَّا بَاشَرَهَا الْوَاحِدُ وَكَانَ مَنْ عَدَاهُ زِينَةً أَوْ عُدَّةً لَمْ يَسْتَحِقَّ إِلَّا نَفَقَةَ خَادِمٍ وَاحِدٍ

Al-Mawardi berkata, “Pendapatnya sebagaimana yang telah disebutkan.” Al-Awza‘i, Abu Yusuf, dan Ahmad berpendapat bahwa bagian (ghanimah) diberikan untuk dua ekor kuda, dan tidak diberikan untuk lebih dari itu, karena bisa jadi salah satunya rusak sehingga membutuhkan yang kedua, maka yang kedua itu dipersiapkan untuk kebutuhan, sehingga wajib diberikan bagian untuknya. Namun alasan ini juga terdapat pada kuda yang ketiga, karena bisa jadi kuda kedua juga rusak, tetapi hal itu tidak mewajibkan pemberian bagian untuk kuda ketiga, demikian pula untuk kuda kedua. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah hadir dengan beberapa ekor kuda, namun beliau hanya mengambil bagian untuk satu ekor kuda saja. Demikian pula banyak sahabat beliau yang hadir dengan beberapa ekor kuda, tetapi mereka hanya diberi bagian untuk satu ekor kuda saja. Begitulah pula yang menjadi kebiasaan para khalifah rasyidin setelah beliau. Karena seseorang tidak berperang kecuali dengan satu ekor kuda, sedangkan selainnya hanya sebagai perhiasan atau perlengkapan, maka hak hanya diberikan kepada yang langsung digunakan dalam amal, sebagaimana dalam pelayanan istri, ketika hanya satu orang yang melayaninya, sedangkan yang lainnya hanya sebagai perhiasan atau perlengkapan, maka yang berhak hanya satu orang pelayan saja.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا قَاتَلَ الْمُسْلِمُ عَلَى فَرَسٍ مَغْصُوبٍ أَخَذَ بِهِ سَهْمَ فَارِسٍ ثَلَاثَةَ أَسْهُمٍ ثُمَّ نَظَرَ فِي مَالِكِهِ فَإِنْ كَانَ مُسْلِمًا حَاضِرًا كَانَ سَهْمُ الْفَرْسِ وَهُوَ سَهْمَانِ مِنَ الثَّلَاثَةِ مِلْكًا لِرَبِّ الْفَرَسِ دُونَ غَاصِبِهِ لِأَنَّهُ إِذَا حَضَرَ بِهِ الْوَقْعَةَ اسْتَحَقَّ سَهْمَهُ وَإِنْ لَمْ يُقَاتِلْ عَلَيْهِ فَكَذَلِكَ يَسْتَحِقُّهُ وَإِنْ قَاتَلَ عَلَيْهِ غَيْرُهُ وَإِنْ كَانَ مَالِكُ الْفَرَسِ غَيْرَ حَاضِرٍ كَانَ سَهْمُهُ لِغَاصِبِهِ دُونَ مَالِكِهِ وَلِلْمَالِكِ عَلَى الْغَاصِبِ أُجْرَةُ مِثْلِهِ وَكَذَلِكَ لَوْ كَانَ مَالِكُهُ ذِمِّيًّا حَاضِرًا لَأَنَّ سَهْمَ الْفَرَسِ صَارَ مُسْتَحَقًّا بِالْقِتَالِ عَلَيْهِ وَذَلِكَ مَوْجُودٌ فِي الْغَاصِبِ دُونَ المالك

Apabila seorang Muslim berperang dengan menunggang kuda yang digasap (diambil secara tidak sah), maka ia mendapatkan bagian penunggang kuda, yaitu tiga bagian. Kemudian dilihat kepada pemilik kudanya: jika pemiliknya adalah seorang Muslim yang hadir, maka bagian kuda, yaitu dua dari tiga bagian tersebut, menjadi milik pemilik kuda, bukan milik penggasapnya. Sebab, jika ia hadir dalam pertempuran, ia berhak atas bagiannya, meskipun ia tidak ikut berperang dengan kuda itu. Demikian pula, ia tetap berhak atas bagian itu meskipun yang berperang dengan kuda tersebut adalah orang lain. Namun, jika pemilik kuda tidak hadir, maka bagiannya menjadi milik penggasap, bukan milik pemiliknya, dan pemilik berhak menuntut upah sewa yang sepadan dari penggasap. Demikian pula jika pemiliknya adalah seorang dzimmi yang hadir, karena bagian kuda menjadi hak atas dasar pertempuran dengan kuda itu, dan hal itu terdapat pada penggasap, bukan pada pemilik.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَيُرْضَخُ لِمَنْ لَمْ يَبْلُغْ وَالْمَرَأَةِ وَالْعَبْدِ وَالْمُشْرِكِ إِذَا قَاتَلَ وَلِمَنِ اسْتُعِينَ بِهِ مِنَ الْمُشْرِكِينَ “

Imam Syafi‘i berkata, “Diberikan bagian (ghanimah) kepada anak yang belum baligh, perempuan, budak, dan orang musyrik jika mereka ikut berperang, serta kepada siapa pun dari kaum musyrik yang dimintai bantuan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ مَنْ لَمْ يَكُنْ مِنْ أَهْلِ الْجِهَادِ إِذَا حَضَرَ الْوَقْعَةَ رُضِخَ لَهُ وَلَمْ يُسْهِمْ وَهُوَ الصَّبِيُّ وَالْمَرْأَةُ وَالْعَبْدُ

Al-Mawardi berkata: Kami telah menyebutkan bahwa siapa saja yang bukan termasuk ahli jihad, apabila hadir dalam pertempuran, maka diberikan bagian (rudhkh) kepadanya namun tidak diberikan bagian harta rampasan (ghanimah) penuh. Mereka itu adalah anak kecil, perempuan, dan budak.

وَقَالَ الْأَوْزَاعِيُّ يُسْهَمُ لِجَمِيعِ مَنْ شَهِدَ الْوَقْعَةَ وَإِنْ كَانُوا صِبْيَانًا وَنِسَاءً وَعَبِيدًا احْتِجَاجًا بِمَا رَوَاهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَسْهَمَ لَهُمْ وَهَذَا خَطَأٌ لِمَا رُوِيَ أَنَّ نَجْدَةَ الْحَرُورِيَّ كَتَبَ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ يَسْأَلُهُ عَنِ النِّسَاءِ هَلْ كُنَّ يَشْهَدْنَ الْحَرْبَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ؟ وَهَلْ كَانَ يُضْرَبُ لَهُنَّ سَهْمٌ فَكَتَبَ إِلَيْهِ ابْنُ عَبَّاسٍ قَدْ كُنَّ يَحْضُرْنَ الْحَرْبَ وَيَسْقِينَ الْمَاءَ وَيُدَاوِينَ الْجَرْحَى فَكَانَ يُرْضَخُ لَهُنَّ وَلَا يُسْهَمُ وَلِأَنَّ السَّهْمَ حَقٌّ يُقَابِلُ فَرْضَ الْجِهَادِ فَاقْتَضَى أَنْ يَسْقُطَ مِنْ حَقِّ مَنْ لَمْ يُفْتَرَضْ عَلَيْهِ الْجِهَادُ وَخَالَفَ أَصْحَابُ الْأَعْذَارِ مِنَ الْفُقَرَاءِ وَالْمَرْضَى الَّذِينَ يُسْهَمُ لَهُمْ إِذَا حَضَرُوا لِأَنَّ فَرْضَهُ يَجِبُ عَلَيْهِمْ بِالْحُضُورِ وَلِذَلِكَ لَمْ يَجُزْ لِأَصْحَابِ الْأَعْذَارِ أَنْ يُوَلُّوا عَنِ الْوَقْعَةِ وَجَازَ لِمَنْ لَيْسَ مِنْ أَهْلِ الْجِهَادِ أَنْ يولى عنها وما رواه الأوزاعي من االسهم لَهُمْ مَحْمُولٌ عَلَى الرَّضْخِ لِأَنَّ السَّهْمَ النَّصِيبُ وَهَكَذَا مَنِ اسْتَعَانَ بِهِ الْإِمَامُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ رُضِخَ لَهُمْ وَلَمْ يُسْهَمْ لِرِوَايَةِ مِقْسَمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ اسْتَعَانَ بِقَوْمٍ مِنْ يَهُودِ بَنِي قَيْنُقَاعَ فَرَضَخَ لَهُمْ وَلَمْ يُسْهِمْ

Al-Auza‘i berpendapat bahwa bagian (ghanimah) diberikan kepada semua orang yang hadir dalam pertempuran, meskipun mereka adalah anak-anak, perempuan, dan budak, dengan alasan berdasarkan riwayat bahwa Nabi ﷺ memberikan bagian kepada mereka. Namun, pendapat ini keliru karena terdapat riwayat bahwa Najdah al-Haruri pernah menulis surat kepada Ibnu ‘Abbas menanyakan tentang perempuan: apakah mereka ikut serta dalam peperangan bersama Rasulullah ﷺ? Dan apakah mereka mendapatkan bagian? Maka Ibnu ‘Abbas menjawab bahwa memang mereka hadir dalam peperangan, memberi minum, dan merawat orang-orang yang terluka, sehingga mereka diberi hadiah (radhkh) namun tidak mendapat bagian (saham). Karena saham adalah hak yang diberikan sebagai imbalan atas kewajiban jihad, maka sudah seharusnya hak itu gugur bagi orang yang tidak diwajibkan jihad atasnya. Hal ini berbeda dengan para pemilik uzur dari kalangan fakir miskin dan orang sakit yang tetap mendapat bagian jika mereka hadir, karena kewajiban jihad tetap berlaku bagi mereka dengan kehadiran tersebut. Oleh karena itu, para pemilik uzur tidak boleh meninggalkan pertempuran, sedangkan orang yang bukan ahli jihad boleh meninggalkannya. Adapun riwayat dari al-Auza‘i tentang pemberian saham kepada mereka, itu dimaknai sebagai pemberian hadiah (radhkh), karena saham adalah bagian tertentu. Demikian pula orang-orang musyrik yang dimintai bantuan oleh imam, mereka diberi hadiah (radhkh) dan tidak mendapat bagian (saham), berdasarkan riwayat dari Miqsam dari Ibnu ‘Abbas bahwa Nabi ﷺ pernah meminta bantuan dari sekelompok Yahudi Bani Qaynuqa‘, lalu beliau memberi mereka hadiah (radhkh) dan tidak memberikan bagian (saham).

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ يَرْضَخُ لَهُمْ وَلَا يُسْهَمُ فَإِنْ كَانَ مُسْتَحِقُّ الرَّضْخِ مُسْلِمًا كَانَ رَضْخُهُ مِنَ الْغَنِيمَةِ وَهَلْ يَكُونُ مِنْ أَصْلِهَا؟ أَوْ مِنْ أَرْبَعَةِ أَخْمَاسِهَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ مَضَيَا وَإِنْ كَانَ مُشْرِكًا فَعَلَى قَوْلَيْنِ

Maka apabila telah tetap bahwa ia diberi bagian (radhkh) dan tidak diberi bagian (saham), jika orang yang berhak menerima radhkh itu seorang Muslim, maka radhkh-nya diambil dari ghanimah. Apakah diambil dari pokoknya atau dari empat perlima bagiannya? Ada dua pendapat yang telah disebutkan. Dan jika ia seorang musyrik, maka juga ada dua pendapat.

أَحَدُهُمَا مِنْ سَهْمِ الْمَصَالِحِ وَهُوَ خُمْسِ الْخُمْسِ سَهْمِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ

Salah satunya berasal dari bagian untuk kemaslahatan, yaitu seperlima dari seperlima, bagian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّهُ مِنَ الْغَنِيمَةِ وَهَلْ يَكُونُ مِنْ أَصْلِهَا أَوْ مِنْ أَرْبَعَةِ أَخْمَاسِهَا؟ عَلَى قولين كالمسلم

Pendapat kedua menyatakan bahwa (harta tersebut) termasuk bagian dari ghanīmah. Apakah ia diambil dari pokok ghanīmah atau dari empat perlima bagiannya? Dalam hal ini terdapat dua pendapat, sebagaimana berlaku pada kaum Muslimin.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَيُسْهَمُ لِلتَّاجِرِ إِذَا قَاتَلَ “

Imam Syafi‘i berkata, “Dan diberikan bagian ghanimah kepada pedagang jika ia ikut berperang.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَلِلتَّاجِرِ إِذَا خَرَجَ مَعَ الْمُجَاهِدِينَ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ

Al-Mawardi berkata, “Bagi seorang pedagang yang keluar bersama para mujahid terdapat tiga keadaan.”

أَحَدُهَا أَنْ يَقْصِدَ الْجِهَادَ بِخُرُوجِهِ وَتَكُونَ التِّجَارَةُ تَبَعًا لِجِهَادِهِ فَهَذَا يُسْهَمُ لَهُ إِذَا حَضَرَ الْوَقْعَةَ وسواء قاتل أولم يُقَاتِلْ يَكُونُ كَغَيْرِهِ مِنَ الْمُجَاهِدِينَ الَّذِينَ لَمْ يَتَّجِرُوا كَمَا لَوْ قَصَدَ الْحَجَّ فَاتَّجَرَ كَانَ لَهُ حَجَّةٌ وَلَا تُؤَثِّرُ فِيهِ تِجَارَتُهُ

Salah satunya adalah jika seseorang berniat berjihad dengan kepergiannya, dan perdagangan hanya menjadi hal yang mengikuti jihadnya, maka ia berhak mendapatkan bagian jika hadir dalam pertempuran, baik ia ikut bertempur maupun tidak. Ia diperlakukan seperti para mujahid lainnya yang tidak berdagang, sebagaimana jika seseorang berniat haji lalu berdagang, maka ia tetap mendapatkan pahala haji dan perdagangannya tidak mempengaruhi hajinya.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ يَقْصِدَ التِّجَارَةَ وَيَتَخَلَّفَ فِي الْمُعَسْكَرِ تَشَاغُلًا بِهَا فَهَذَا لَا يُسْهَمُ اعْتِبَارًا بِقَصْدِهِ وَعَدَمِ أَثَرِهِ فِي الْوَقْعَةِ

Keadaan kedua adalah ketika seseorang berniat untuk berdagang dan ia tetap tinggal di perkemahan karena sibuk dengan perdagangan tersebut, maka orang ini tidak mendapatkan bagian (ghanimah), dengan mempertimbangkan niatnya dan karena tidak ada pengaruhnya dalam pertempuran.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ أَنْ يَقْصِدَ التِّجَارَةَ وَيَشْهَدَ الْوَقْعَةَ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ

Keadaan ketiga adalah seseorang berniat berdagang dan menyaksikan pertempuran; maka hal ini terbagi menjadi dua macam.

أَحَدُهُمَا أَنْ يُقَاتِلَ فَيُسْهَمَ لَهُ نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ لِبَلَائِهِ فِي الْحَرْبِ

Salah satunya adalah bahwa ia ikut berperang lalu diberikan bagian (ghanimah) untuknya—ini dinyatakan secara tegas oleh asy-Syafi‘i—karena peran serta dan jasanya dalam peperangan.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ لَا يُقَاتِلَ فَفِيهِ قَوْلَانِ

Jenis yang kedua adalah tidak ikut berperang, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يُسْهَمُ لَهُ لِقَوْلِهِ ” الْغَنِيمَةُ لِمَنْ شَهِدَ الْوَقْعَةَ ” وَلِأَنَّهُ قَدْ كَثَّرَ وَهَيَّبَ وَتِجَارَتُهُ مَنْفَعَةٌ تَعُودُ عَلَى الْمُجَاهِدِينَ فَلَمْ يُحْرَمْ بِهَا سَهْمُهُ مَعَهُمْ

Salah satunya diberi bagian karena sabda beliau, “Ghanimah itu bagi siapa yang hadir dalam pertempuran,” dan karena kehadirannya telah menambah jumlah pasukan dan menimbulkan kewibawaan, serta perniagaannya memberikan manfaat yang kembali kepada para mujahid, sehingga ia tidak dihalangi dari mendapatkan bagiannya bersama mereka.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي لا يسهم له ولا يعطى رضخ كَالْأَتْبَاعِ لِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي مُهَاجِرِ أُمِّ قَيْسٍ ” مَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ ” وَلِأَنَّ مَا قَصَدَهُ بِالْخُرُوجِ مِنْ فَضْلِ التِّجَارَةِ قَدْ وَصَلَ إِلَيْهِ فَلَمْ يَزِدْ عَلَيْهِ فَيَصِيرُ بِهِ مُفَضَّلًا عَلَى ذَوِي النِّيَّاتِ فِي الْجِهَادِ وَهَذَا لَا يَجُوزُ وَاللَّهُ أعلم

Pendapat kedua menyatakan bahwa ia tidak mendapat bagian ghanimah dan tidak pula diberikan bagian tambahan seperti para pengikut, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Muhajir Ummu Qais: “Barang siapa hijrahnya karena dunia yang ingin diraihnya atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu hanya kepada apa yang ia niatkan.” Selain itu, apa yang ia tuju dengan keluar demi keuntungan perdagangan telah ia peroleh, sehingga tidak ada tambahan baginya. Jika ia diberi keutamaan atas orang-orang yang berniat jihad, maka ini tidak diperbolehkan. Allah lebih mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَتُقَسَّمُ الْغَنِيمَةُ فِي دَارِ الْحَرْبِ قَسَّمَهَا رَسُولُ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ حَيْثُ غَنِمَهَا وَهِيَ دَارُ حَرْبِ بَنِي الْمُصْطَلِقِ وحنين وأما ما احتج به أبو يوسف بأن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قسم غنائم بدر بعد قدومه المدينة وقوله الدليل على ذلك أنه أسهم لعثمان وطلحة ولم يشهدا بدراً فإن كان كما قال فقد خَالَفَ سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لا يعطي أحدا لم يشهد الوقعة ولم يقدم مددا عليهم في دار الحرب وليس كما قال قال الشافعي ما قسم عليه السلام غنائم بدر إلا بسير شعب من شعاب الصفراء قريب من بدر فلما تشاح أصحاب النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ في غنيمتها أنزل الله عز وجل يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأَنْفَالِ قُلِ الأَنْفَالُ لِلَّهِ وَالرَّسُولِ فاتقوا الله وأصلحوا ذات بينكم فقسمها بينهم وهي له تفضلا وأدخل معهم ثمانية أنفار من المهاجرين والأنصار بالمدينة وإنما نزلت وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خمسه وللرسول بعد بدر ولم نعلمه أسهم لأحد لم يشهد الوقعة بعد نزول الآية ومن أعطى من المؤلفة وغيرهم فمن ماله أعطاهم لا من الأربعة الأخماس وأما ما احتج به من وقعة عبد الله بن جحش وابن الحضرمي فذلك قبل بدر ولذلك كانت وقعتهم في آخر الشهر الحرام فتوقفوا فيما صنعوا حتى نزلت يسألونك عن الشهر الحرام قتال فيه وليس مما خالف فيه الأوزاعي في شيء “

Syafi‘i berkata, “Ghanimah dibagikan di wilayah perang; Rasulullah saw. membagikannya di tempat beliau memperolehnya, yaitu di wilayah perang Bani Musthaliq dan Hunain. Adapun dalil yang digunakan oleh Abu Yusuf bahwa Nabi saw. membagikan ghanimah Badar setelah beliau tiba di Madinah, dan ucapannya bahwa buktinya adalah Nabi memberikan bagian kepada Utsman dan Thalhah padahal keduanya tidak ikut dalam Perang Badar, maka jika memang demikian, berarti itu bertentangan dengan sunnah Rasulullah saw., karena beliau tidak memberikan bagian kepada siapa pun yang tidak hadir dalam pertempuran dan tidak datang sebagai bala bantuan kepada mereka di wilayah perang. Namun, kenyataannya tidak seperti yang dikatakan. Syafi‘i berkata, Nabi saw. tidak membagikan ghanimah Badar kecuali di sebuah jalan di lembah Shafra yang dekat dengan Badar. Ketika para sahabat Nabi saw. berselisih dalam pembagian ghanimahnya, Allah Swt. menurunkan firman-Nya: ‘Mereka bertanya kepadamu tentang anfal (harta rampasan perang). Katakanlah: anfal itu milik Allah dan Rasul, maka bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara kalian.’ Maka beliau membagikannya di antara mereka, dan itu merupakan kemurahan dari beliau. Beliau juga memasukkan delapan orang dari kalangan Muhajirin dan Anshar yang berada di Madinah. Adapun ayat ‘Dan ketahuilah bahwa apa saja yang kalian peroleh sebagai ghanimah, maka sesungguhnya seperlimanya untuk Allah dan Rasul’ turun setelah Perang Badar. Kami tidak mengetahui bahwa beliau memberikan bagian kepada siapa pun yang tidak hadir dalam pertempuran setelah turunnya ayat tersebut. Siapa pun yang diberi bagian dari kalangan mu’allaf dan lainnya, maka itu berasal dari harta beliau sendiri, bukan dari empat per lima bagian ghanimah. Adapun dalil yang digunakan tentang peristiwa Abdullah bin Jahsy dan Ibnu Hadhrami, itu terjadi sebelum Perang Badar. Oleh karena itu, peristiwa mereka terjadi di akhir bulan haram, sehingga mereka ragu dengan apa yang mereka lakukan sampai turun ayat: ‘Mereka bertanya kepadamu tentang berperang di bulan haram.’ Dan itu bukanlah perkara yang menyelisihi pendapat al-Auza‘i dalam hal apa pun.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كَمَا ذَكَرَ الْأَوْلَى بِالْإِمَامِ أَنْ يُعَجِّلَ قِسْمَةَ الْغَنِيمَةِ فِي دَارِ الْحَرْبِ إِذَا لَمْ يَخَفْ ضَرَرًا فَإِنْ أَخَّرَهَا إِلَى دَارِ الْإِسْلَامِ كُرِهَ لَهُ ذَلِكَ إِلَّا مِنْ عذر

Al-Mawardi berkata, “Sebagaimana telah disebutkan, yang lebih utama bagi imam adalah segera membagikan ghanimah di wilayah perang jika tidak dikhawatirkan adanya bahaya. Namun, jika ia menundanya hingga sampai di wilayah Islam, maka hal itu makruh baginya kecuali jika ada uzur.”

وقال أَبُو حَنِيفَةَ يُؤَخِّرُ قَسْمَهَا إِلَى دَارِ الْإِسْلَامِ وَلَا يُقَسِّمْهَا فِي دَارِ الْحَرْبِ

Abu Hanifah berkata, “Ia menunda pembagian harta tersebut hingga di Darul Islam dan tidak membaginya di Darul Harb.”

وَقَالَ مَالِكٌ يُعَجِّلُ قِسْمَةَ الْأَمْوَالِ فِي دَارِ الْحَرْبِ وَيُؤَخِّرُ قَسْمَ السَّبْيِ إِلَى دَارِ الْإِسْلَامِ وَاسْتَدَلَّ مَنْ مَنَعَ قَسْمَهَا فِي دَارِ الْحَرْبِ بِرِوَايَةِ مِقْسَمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَسَّمَ غَنَائِمَ بَدْرٍ بَعْدَ مُقْدَمِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ وَأَعْطَى عُثْمَانَ وَطَلْحَةَ بْنَ عُبَيْدِ اللَّهِ وَعَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ مِنْهَا وَلِأَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ جَحْشٍ حِينَ غَنِمَ ابْنُ الْحَضْرَمِيِّ بَعْدَ قَتْلِهِ لَمْ يُقَسِّمْ غَنِيمَتَهُ حَتَّى قَدِمَ بِهَا الْمَدِينَةَ وَكَانَتْ أَوَّلَ مَالٍ غَنِمَهُ الْمُسْلِمُونَ

Malik berpendapat bahwa pembagian harta rampasan dipercepat di wilayah musuh, sedangkan pembagian tawanan ditunda hingga di wilayah Islam. Adapun pihak yang melarang pembagian di wilayah musuh berdalil dengan riwayat Miqsam dari Ibnu Abbas bahwa Nabi ﷺ membagi harta rampasan Perang Badar setelah beliau tiba di Madinah, dan beliau memberikan bagian kepada Utsman, Thalhah bin Ubaidillah, dan Abdurrahman bin Auf dari harta tersebut. Selain itu, ketika Abdullah bin Jahsy memperoleh harta rampasan dari Ibnu al-Hadhrami setelah membunuhnya, beliau tidak membagikan rampasan itu hingga membawanya ke Madinah, dan itu adalah harta rampasan pertama yang diperoleh kaum Muslimin.

قَالُوا وَقَدْ رَوَى مَكْحُولٌ قَالَ مَا قَسَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ غَنِيمَتَهُ قَطُّ فِي دَارِ الْحَرْبِ وَلَا يَقُولُ مَكْحُولٌ هَذَا قَطْعًا وَهُوَ تَابِعِيٌّ إِلَّا عَنِ اتِّفَاقِ الصَّحَابَةِ قَالُوا وَلِأَنَّهَا فِي دَارِ الْحَرْبِ تَحْتَ أَيْدِيهِمْ وَاسْتِدَامَةِ قَبْضَتِهِمْ فَوَجَبَ أَنْ يُمْنَعُوا مِنْ قَسْمِهَا كَمَا مُنِعُوا مِنْ بَيْعِ مَا لَمْ يُقْبَضْ وَلِأَنَّهَا فِي دَارِ الْحَرْبِ مُعَرَّضَةٌ لِلِاسْتِرْجَاعِ فَلَمْ يَجُزْ قَسْمُهَا كَمَا لَوْ كَانَتِ الْحَرْبُ قَائِمَةً

Mereka berkata: Makḥūl meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. tidak pernah membagi ghanīmah sama sekali di wilayah perang. Dan Makḥūl tidak akan mengatakan hal ini secara tegas—padahal ia adalah seorang tābi‘ī—kecuali berdasarkan kesepakatan para sahabat. Mereka juga berkata: Karena ghanīmah itu di wilayah perang masih berada di bawah kekuasaan mereka dan masih dalam penguasaan mereka secara berkelanjutan, maka wajib untuk melarang mereka membaginya, sebagaimana mereka dilarang menjual sesuatu yang belum mereka terima. Selain itu, karena ghanīmah di wilayah perang masih berpotensi untuk direbut kembali, maka tidak boleh dibagi, sebagaimana jika peperangan masih berlangsung.

وَدَلِيلُنَا مَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ بِإِسْنَادِهِ أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ نَفَلَ ابْنَ مَسْعُودٍ سَيْفَ أَبِي جَهْلٍ بِبَدْرٍ وَالنَّفْلُ مِنَ الْقَسْمِ

Dan dalil kami adalah apa yang diriwayatkan oleh asy-Syafi‘i dengan sanadnya bahwa Nabi ﷺ memberikan bagian tambahan kepada Ibnu Mas‘ud berupa pedang milik Abu Jahal pada Perang Badar, dan an-nafl (bagian tambahan) itu diambil dari pembagian harta rampasan.

وَرَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إِلَى بَدْرٍ فِي ثَلَاثِمِائَةٍ وَخَمْسَةَ عَشَرَ رَجُلًا حُفَاةً عُرَاةً جِيَاعًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” اللَّهُمَّ إِنَّهُمْ حُفَاةٌ فَاحْمِلْهُمْ وَعُرَاةٌ فَاكْسُهُمْ وَجِيَاعٌ فَأَشْبِعْهُمْ ” فَانْقَلَبَ الْقَوْمُ حَيْثُ انْقَلَبُوا وَمَعَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمُ الْحِمْلُ وَالْحِمْلَانِ وَقَدْ كَسَاهُمْ وَأَطْعَمَهُمْ وَانْقِلَابُهُمْ مِنْ بَدْرٍ بِهَذَا يَكُونُ بَعْدَ الْقِسْمَةِ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ قَسَّمَهَا بِبَدْرٍ

Abdullah bin Amr bin al-Ash meriwayatkan, ia berkata: Rasulullah saw. berangkat ke Badar bersama tiga ratus lima belas orang, mereka dalam keadaan tanpa alas kaki, tanpa pakaian, dan lapar. Maka Rasulullah saw. berdoa, “Ya Allah, mereka tidak beralas kaki, maka berilah mereka tunggangan; mereka tidak berpakaian, maka berilah mereka pakaian; mereka lapar, maka kenyangkanlah mereka.” Lalu rombongan itu kembali dari mana mereka berangkat, dan setiap orang dari mereka membawa satu atau dua muatan, dan Allah telah memberi mereka pakaian dan makanan. Kepulangan mereka dari Badar dengan keadaan seperti ini terjadi setelah pembagian (ghanimah), sehingga hal ini menunjukkan bahwa beliau telah membagikannya di Badar.

وَرُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَسَّمَ غَنَائِمَ بَنِي الْمُصْطَلِقِ يَوْمَ الْمُرَيْسِيعِ عَلَى مِيَاهِهِمْ وَوَقَفَتْ جُوَيْرِيَةُ فِي سَهْمِ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ فَاشْتَرَاهَا مِنْهُ وَأَعْتَقَهَا وَتَزَوَّجَهَا وَقَسَّمَ غَنَائِمَ خَيْبَرَ لَهَا وَعَامَلَ عَلَيْهَا أَهْلَهَا وَقَسَّمَ غَنَائِمَ حُنَيْنٍ مَعَ السَّبْيِ بِأَوْطَاسَ وَهُوَ وَادِي حُنَيْنٍ وَأَعْطَى مِنْهَا الْمُؤَلَّفَةَ قُلُوبُهُمْ وَقَدْ نَقَلَ أَهْلُ السِّيَرِ وَالْمَغَازِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مَا غَنِمَ غَنِيمَةً قَطُّ إِلَّا قَسَّمَهَا حَيْثُ غَنِمَهَا وَلِأَنَّ كُلَّ مَوْضِعٍ صَحَّتْ فِيهِ الْغَنِيمَةُ لَمْ يُمْنَعْ فِيهِ مِنَ الْقِسْمَةِ كَدَارِ الْإِسْلَامِ وَلِأَنَّ كُلَّ غَنِيمَةٍ صَحَّ قَسْمُهَا فِي دَارِ الْإِسْلَامِ لَمْ تُكْرَهْ قِسْمَتُهَا فِي دَارِ الْحَرْبِ كَالثِّيَابِ فَإِنَّ أَبَا حَنِيفَةَ وَافَقَ عَلَى تَعْجِيلِ قِسْمَتِهَا فِي دَارِ الْحَرْبِ وَلِأَنَّ فِي تَعْجِيلِ قِسْمَتِهَا فَي دَارِ الْحَرْبِ تَعْجِيلَ الْحُقُوقِ إِلَى مُسْتَحِقِّيهَا فَكَانَ أَوْلَى مِنْ تَأْخِيرِهَا وَلِأَنَّ حِفْظَ مَا قُسِّمَ أَسْهَلُ وَالْمَؤُونَةَ فِي نَقْلِهِ أَخَفُّ فَكَانَ أَوْلَى

Diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ membagi harta rampasan perang Bani Musthaliq pada hari Muraisi‘ di tempat air mereka, dan Juwairiyah termasuk dalam bagian Tsabit bin Qais bin Syammas, lalu beliau membelinya darinya, memerdekakannya, dan menikahinya. Beliau juga membagi harta rampasan perang Khaibar untuknya dan mengelola hasilnya bersama penduduknya, serta membagi harta rampasan perang Hunain bersama tawanan di Autas, yaitu lembah Hunain, dan memberikan sebagian darinya kepada orang-orang yang baru dilunakkan hatinya (al-mu’allafah qulubuhum). Para ahli sejarah dan peperangan telah meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ tidak pernah memperoleh harta rampasan perang kecuali beliau membaginya di tempat beliau memperolehnya. Karena setiap tempat yang sah untuk memperoleh ghanimah, tidak dilarang untuk membaginya di sana, seperti di Dar al-Islam. Dan setiap ghanimah yang sah dibagi di Dar al-Islam, maka tidak dimakruhkan pembagiannya di Dar al-Harb, seperti pakaian. Abu Hanifah pun sepakat atas kebolehan mempercepat pembagiannya di Dar al-Harb. Karena dalam mempercepat pembagian di Dar al-Harb terdapat percepatan hak kepada yang berhak menerimanya, maka itu lebih utama daripada menundanya. Selain itu, menjaga apa yang telah dibagi lebih mudah dan biaya untuk memindahkannya lebih ringan, sehingga itu lebih utama.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَسَّمَ غَنَائِمَ بَدْرٍ بِالْمَدِينَةِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun jawaban terhadap hadis Ibnu Abbas bahwa ia membagikan harta rampasan perang Badar di Madinah adalah dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّا رَوَيْنَا خِلَافَهُ فَتَعَارَضَتِ الرِّوَايَتَانِ

Salah satunya adalah bahwa kami meriwayatkan pendapat yang berbeda darinya, sehingga kedua riwayat tersebut saling bertentangan.

وَالثَّانِي أَنَّ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارَ تَشَاجَرُوا فِيهَا فَأَخَّرَهَا لِتَشَاجُرِهِمْ حَتَّى جَعَلَهَا اللَّهُ تَعَالَى لِرَسُولِهِ بِقَوْلِهِ تَعَالَى يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأَنْفَالِ قُلِ الأَنْفَالُ لِلَّهِ وَالرَّسُولِ فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِكُمْ فَحِينَئِذٍ قَسَّمَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَلَى رَأْيِهِ وَأَدْخَلَ فِيهِمْ ثَمَانِيَةً لَمْ يَشْهَدُوا بَدْرًا ثَلَاثَةً مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَخَمْسَةً مِنَ الْأَنْصَارِ

Kedua, bahwa kaum Muhajirin dan Anshar berselisih pendapat mengenai hal itu, maka Rasulullah menunda pembagiannya karena perselisihan mereka, hingga Allah Ta‘ala menjadikannya untuk Rasul-Nya dengan firman-Nya: “Mereka bertanya kepadamu tentang anfal (harta rampasan perang). Katakanlah: ‘Anfal itu milik Allah dan Rasul.’ Maka bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara kalian.” Maka pada saat itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaginya menurut pendapat beliau, dan beliau memasukkan ke dalamnya delapan orang yang tidak ikut serta dalam Perang Badar, yaitu tiga dari kaum Muhajirin dan lima dari kaum Anshar.

وَأَمَّا حَدِيثُ مَكْحُولٍ مُرْسَلٌ وَالنَّقْلُ الْمَشْهُورُ بِخِلَافِهِ

Adapun hadis Makḥūl adalah mursal, dan riwayat yang masyhur bertentangan dengannya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ تَأْخِيرِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَحْشٍ غَنِيمَةَ ابْنِ الْحَضْرَمِيِّ إِلَى الْمَدِينَةِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun jawaban mengenai penundaan ‘Abdullah bin Jahsy membawa harta rampasan milik Ibnu al-Hadhrami ke Madinah, maka hal itu dapat dijelaskan dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّهَا كَانَتْ فِي الْأَشْهُرِ الْحُرُمُ فَشَكُّوا فِي اسْتِبَاحَتِهَا فَأَخَّرُوهَا حَتَّى قَدِمُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَسَأَلُوهُ عَنْهَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ الْآيَةَ

Salah satu alasannya adalah karena peristiwa itu terjadi pada bulan-bulan haram, sehingga mereka ragu tentang kebolehannya, lalu mereka menundanya hingga mereka datang kepada Rasulullah ﷺ dan menanyakan hal itu kepadanya. Maka Allah Ta‘ala menurunkan firman-Nya: “Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah: ‘Berperang di dalamnya adalah dosa besar…’” (ayat).

وَالثَّانِي أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ جَحْشٍ لَمْ يَعْلَمْ مُسْتَحِقَّ الْغَنِيمَةِ وَكَيْفَ تُقَسَّمُ فَأَخَّرَهَا حَتَّى اسْتَعْلَمَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَنْهَا وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى بَيْعِ مَا لَمْ يُقْبَضْ فَمِنْ وَجْهَيْنِ

Kedua, bahwa ‘Abdullah bin Jahsy tidak mengetahui siapa yang berhak atas ghanimah dan bagaimana cara membaginya, maka ia menundanya hingga ia menanyakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun jawaban terhadap qiyās mereka dengan jual beli barang yang belum diterima, maka ada dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّ مَا لَمْ يُقْبَضْ مِنَ الْمَبِيعَاتِ مَضْمُونٌ عَلَى بَائِعِهِ فَمَنَعَ مِنْ بَيْعِهِ قَبْلَ قَبْضِهِ وَهَذَا غير مضمون فافتقرا

Salah satunya adalah bahwa barang yang belum diterima dari barang-barang yang dijual masih menjadi tanggungan penjualnya, sehingga dilarang untuk menjualnya sebelum diterima. Adapun yang ini (barang yang tidak dijamin), maka tidak demikian sehingga membutuhkan penjelasan.

وَالثَّانِي أَنَّ يَدَ الْغَانِمِينَ أَثْبَتُ لِأَنَّ يَدَ الْمُشْرِكِينَ عَلَيْهِ بِحُكْمِ الدَّارِ وَيَدَ الْغَانِمِينَ عَلَيْهِ بِالِاسْتِيلَاءِ وَالْمُشَاهَدَةِ فَصَارَ كَرَجُلٍ فِي دَارِ رَجُلٍ وَفِي يَدِهِ ثَوْبٌ فَادَّعَاهُ صَاحِبُ الدَّارِ لِأَنَّ صاحب اليد أحق من صاحب الدار ولأن صَاحِبَ الدَّارِ يَدُهُ مِنْ طَرِيقِ الْحُكْمِ وَيَدُ الْقَابِضِ مِنْ طَرِيقِ الْمُشَاهِدَةِ فَكَانَتْ أَقْوَى وَكَانَ بِالْمِلْكِ أَحَقَّ

Kedua, bahwa kekuasaan (yad) para pemenang perang (ghānimīn) lebih kuat, karena kekuasaan kaum musyrik atas harta itu berdasarkan hukum wilayah (ḥukm al-dār), sedangkan kekuasaan para pemenang perang atasnya berdasarkan penguasaan langsung dan penyaksian. Maka keadaannya seperti seorang laki-laki yang berada di rumah orang lain dan di tangannya ada sebuah pakaian, lalu pemilik rumah mengakuinya. Karena pemegang barang lebih berhak daripada pemilik rumah, dan sebabnya adalah kekuasaan pemilik rumah berasal dari sisi hukum, sedangkan kekuasaan pemegang barang berasal dari sisi penyaksian langsung, sehingga lebih kuat dan lebih berhak atas kepemilikan.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ إِنَّهَا مُعَرَّضَةٌ لِلِاسْتِرْجَاعِ فَهُوَ أَنَّهَا كَذَلِكَ فِيمَا اتَّصَلَ مِنْ دَارِ الْإِسْلَامِ بِدَارِ الْحَرْبِ وَلَا يَمْنَعُ ذَلِكَ مِنْ جَوَازِ قِسْمَتِهَا فَكَذَلِكَ فِي دَارِ الْحَرْبِ فَأَمَّا مَعَ بَقَاءِ دَارِ الْحَرْبِ فَلَمْ يَسْتَقِرَّ الظَّفَرُ فَيَسْتَقِرَّ عَلَيْهَا مِلْكٌ لِلْغَانِمِينَ أَوْ يد

Adapun jawaban terhadap pernyataan mereka bahwa harta rampasan itu berpotensi untuk direbut kembali, maka hal itu juga berlaku pada harta yang berasal dari wilayah Islam yang bersambung dengan wilayah perang, dan hal tersebut tidak menghalangi kebolehan pembagiannya. Demikian pula halnya di wilayah perang. Adapun selama wilayah perang masih ada, maka kemenangan belum benar-benar tetap, sehingga kepemilikan atas harta rampasan itu pun belum tetap bagi para pemenang atau…

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَلَهُمْ أَنْ يَأْكُلُوا وَيَعْلِفُوا دَوَابَّهُمْ فِي دَارِ الْحَرْبِ فَإِنْ خَرَجَ أَحَدٌ مِنْهُمْ مِنْ دَارِ الْحَرْبِ وَفِي يَدِهِ شَيْءٌ صَيَّرَهُ إِلَى الْإِمَامِ “

Syafi‘i berkata, “Mereka (kaum muslimin) boleh makan dan memberi makan hewan tunggangan mereka di wilayah musuh. Jika salah seorang dari mereka keluar dari wilayah musuh dengan membawa sesuatu, maka ia harus menyerahkannya kepada imam.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ يَجُوزُ لِأَهْلِ الْجِهَادِ إِذَا دَخَلُوا دَارَ الْحَرْبِ أَنْ يَأْكُلُوا طَعَامَهُمْ وَيَعْلِفُوا دَوَابَّهُمْ مَا أَقَامُوا فِي دَارِهِمْ وَلَا يُحْتَسَبُ بِهِ عَلَيْهِمْ مِنْ سَهْمِهِمْ لِرِوَايَةِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُغَفَّلٍ قَالَ دُلِّيَ جِرَابٌ مِنْ شَحْمِ يَوْمِ خَيْبَرَ قَالَ فَأَتَيْتُهُ فَالْتَزَمْتُهُ وَقُلْتُ لَا أُعْطِي الْيَوْمَ مِنْهُ أَحَدًا شَيْئًا ثُمَّ الْتَفَتُّ فَإِذَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يَبْتَسِمُ فَدَلَّ تَبَسُّمُهُ مِنْهُ وَتَرْكُهُ عَلَيْهِ عَلَى إِبَاحَتِهِ لَهُ

Al-Mawardi berkata, diperbolehkan bagi para mujahid ketika memasuki wilayah musuh untuk memakan makanan mereka dan memberi makan hewan tunggangan mereka selama mereka tinggal di negeri itu, dan hal tersebut tidak diperhitungkan dari bagian ghanimah mereka. Hal ini berdasarkan riwayat dari Abdullah bin Mughaffal, ia berkata: “Pada hari Khaibar, sebuah kantong berisi lemak ditunjukkan kepadaku. Aku pun mendatanginya, memeluknya, dan berkata, ‘Hari ini aku tidak akan memberikan sedikit pun darinya kepada siapa pun.’ Lalu aku menoleh, ternyata Rasulullah ﷺ tersenyum.” Maka senyuman beliau dan membiarkannya menunjukkan kebolehan hal itu baginya.

وَرَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أَوْفَى قَالَ أَصَبْنَا طَعَامًا يَوْمَ خَيْبَرَ قَالَ فَكَانَ الرَّجُلُ يَجِيءُ فَيَأْخُذُ مِنْهُ مِقْدَارَ مَا يَكْفِيهِ وَيَنْصَرِفُ فَدَلَّ ذَلِكَ عَلَى إِبَاحَتِهِ وَلِأَنَّ أزواد المجاهدين تنفذ وَيَصْعُبُ نَقْلُهَا مِنْ بِلَادِ الْإِسْلَامِ إِلَيْهِمْ وَلَا يَظْفَرُونَ بِمَنْ يَبِيعُهَا عَلَيْهِمْ فَدَعَتِ الضَّرُورَةُ إِلَى إِبَاحَتِهَا لَهُمْ

Abdullah bin Abi Aufa meriwayatkan: Kami memperoleh makanan pada hari Khaibar. Ia berkata: Maka seseorang datang lalu mengambil dari makanan itu sekadar yang mencukupinya, kemudian pergi. Hal itu menunjukkan kebolehannya. Selain itu, perbekalan para mujahid bisa habis dan sulit untuk membawanya dari negeri Islam kepada mereka, serta mereka tidak mendapatkan orang yang menjualnya kepada mereka. Maka kebutuhan mendesak mengharuskan kebolehan tersebut bagi mereka.

فَإِذَا ثَبَتَ إِبَاحَتُهَا لَهُمْ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ تُعْتَبَرُ الْحَاجَةُ فِي اسْتِبَاحَتِهَا أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ

Maka apabila telah tetap kebolehannya bagi mereka, para ulama kami berbeda pendapat apakah kebutuhan menjadi syarat dalam kebolehannya atau tidak; terdapat dua pendapat dalam hal ini.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ وَالظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ أَنَّ الْحَاجَةَ غَيْرُ مُعْتَبَرَةٍ فِي اسْتِبَاحَتِهَا وَأَنَّهُ يَجُوزُ لَهُمْ أَنْ يَأْكُلُوا وَيَعْلِفُوا دَوَابَّهُمْ مَعَ الْحَاجَةِ وَالْغِنَى وَالْوُجُودِ وَالْعَدَمِ وَاعْتِبَارًا بِطَعَامِ الْوَلَائِمِ

Salah satu pendapat, yaitu pendapat jumhur dan yang tampak dari mazhab Syafi‘i, menyatakan bahwa kebutuhan tidak dianggap dalam membolehkannya, dan bahwa mereka boleh makan dan memberi makan hewan tunggangan mereka baik dalam keadaan membutuhkan maupun tidak, baik dalam keadaan kaya maupun miskin, ada atau tidak adanya (kebutuhan), dengan pertimbangan seperti makanan pada acara walimah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أبي هريرة إِنَّهُمْ لَا يَسْتَبِيحُونَهُ إِلَّا مَعَ الْحَاجَةِ اعْتِبَارًا بِأَكْلِ الْمُضْطَرِّ مِنْ طَعَامِ غَيْرِهِ هُوَ مَمْنُوعٌ مِنْهُ إِلَّا عِنْدَ حَاجَتِهِ وَاعْتِبَارُهُ بِالْمُضْطَرِّ خَطَأٌ مِنْ وَجْهَيْنِ

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, menyatakan bahwa mereka tidak membolehkannya kecuali dalam keadaan kebutuhan, dengan pertimbangan seperti orang yang terpaksa memakan makanan milik orang lain—yang pada dasarnya dilarang kecuali dalam keadaan darurat. Namun, menganalogikan hal ini dengan kondisi orang yang terpaksa adalah keliru dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّ الْمُضْطَرَّ لَا يَسْتَبِيحُ إِلَّا عِنْدَ خَوْفِ التَّلَفِ وَهَذَا مُبَاحٌ وَإِنْ لَمْ يَخَفِ التَّلَفَ

Salah satunya adalah bahwa orang yang dalam keadaan darurat tidak diperbolehkan melakukan sesuatu kecuali ketika ada kekhawatiran akan binasa, sedangkan yang ini dibolehkan meskipun tidak ada kekhawatiran akan binasa.

وَالثَّانِي أَنَّ الْمُضْطَرَّ ضَامِنٌ وَهَذَا غَيْرُ ضَامِنٍ فَافْتَرَقَا

Yang kedua, bahwa orang yang dalam keadaan darurat itu wajib mengganti rugi, sedangkan yang ini tidak wajib mengganti rugi, maka keduanya berbeda.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنْ إِبَاحَةِ الْأَكْلِ جَازَ أَنْ يَأْكُلَ مَا يَقْتَاتُهُ وَمَا يَتَأَدَّمُ بِهِ وَيَتَفَكَّهُ مِنْ ذَلِكَ وَلَا يَقْتَصِدُ عَلَى الْأَقْوَاتِ وَحْدَهَا بِاتِّفَاقٍ مِنْ أَصْحَابِنَا وَهُوَ حُجَّةُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ فِي اعْتِبَارِ الْحَاجَةِ وَيَجُوزُ أَنْ يَدَّخِرَ مِنْهُ إِذَا اتَّسَعَ قَدْرُ مَا يَقْتَاتُهُ مُدَّةَ مُقَامِهِ فَإِنْ ضَاقَ كَانَ أُسْوَةَ غَيْرِهِ فِيهِ وَيَجُوزُ أَنْ يَذْبَحَ الْمَوَاشِيَ لِيَأْكُلَهَا وَلَا يَذْبَحْهَا لِغَيْرِ الْأَكْلِ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ نَهَى عَنْ ذَبْحِ الْبَهَائِمِ إِلَّا لِمَأْكَلِهِ

Apabila telah tetap apa yang telah kami jelaskan mengenai kebolehan makan, maka boleh baginya memakan apa saja yang menjadi makanan pokoknya, makanan pelengkap, dan buah-buahan dari hal tersebut. Ia tidak harus membatasi diri hanya pada makanan pokok saja, menurut kesepakatan para ulama kami. Ini merupakan hujjah Abu ‘Ali bin Abi Hurairah dalam mempertimbangkan kebutuhan. Ia juga boleh menyimpan sebagian darinya jika jumlah makanan pokok yang dimilikinya cukup untuk masa tinggalnya. Namun, jika persediaannya terbatas, maka ia sama seperti orang lain dalam hal itu. Ia juga boleh menyembelih hewan ternak untuk dimakan, tetapi tidak boleh menyembelihnya untuk selain dimakan. Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau melarang menyembelih hewan kecuali untuk dimakan.

وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَتَّخِذَ جُلُودَهَا حِذَاءً وَلَا سِقَاءً لِاخْتِصَاصِ الْإِبَاحَةِ بِالْأَكْلِ فَأَشْبَهَ طَعَامَ الْوَلَائِمِ ولا يجوز أن يعدل عن المأكول وَالْمَشْرُوبِ إِلَى مَلْبُوسٍ وَمَرْكُوبٍ فَأَمَّا الْأَدْوِيَةُ فَضَرْبَانِ طلاء ومأكول

Dan tidak boleh menjadikan kulitnya sebagai alas kaki atau wadah air, karena kebolehan itu khusus untuk dimakan, sehingga ia serupa dengan makanan pada acara walimah. Dan tidak boleh beralih dari yang dapat dimakan dan diminum kepada yang dipakai atau ditunggangi. Adapun obat-obatan, maka ada dua jenis: yang digunakan sebagai olesan dan yang dimakan.

فَأَمَّا الطِّلَاءُ مِنَ الدُّهْنِ وَالضِّمَادِ فَمَحْسُوبٌ عَلَيْهِ إِنِ اسْتَعْمَلَهُ وَأَمَّا الْمَأْكُولُ فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ

Adapun penggunaan minyak oles dan balutan, maka hal itu tetap dihitung baginya jika ia menggunakannya. Adapun sesuatu yang dimakan, terdapat tiga pendapat mengenai hukumnya.

أَحَدُهَا أَنَّهُ مَمْنُوعٌ مِنْهُ إِلَّا بِقِيمَةٍ مَحْسُوبَةٍ عَلَيْهِ مِنْ سَهْمِهِ لِخُرُوجِهَا عَنْ مَعْهُودِ الْمَأْكُولِ

Salah satunya adalah bahwa hal itu dilarang kecuali dengan nilai yang diperhitungkan dari bagiannya, karena ia keluar dari kebiasaan makanan yang lazim.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهَا مُبَاحَةٌ لَهُ وَغَيْرُ مَحْسُوبَةٍ عَلَيْهِ لِأَنَّ ضَرُورَتَهُ إِلَيْهَا أَدْعَى فَكَانَتِ الْإِبَاحَةُ أَوْلَى

Adapun pendapat kedua, bahwa hal itu diperbolehkan baginya dan tidak dihitung atasnya, karena kebutuhannya terhadapnya lebih mendesak, maka kebolehan itu lebih utama.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ لَا تُؤْكَلُ إِلَّا تَدَاوِيًا حُسِبَتْ عَلَيْهِ مِنْ سَهْمِهِ وإن أكلت لدواء غير دَوَاءٍ لَمْ تُحْسَبْ عَلَيْهِ

Pendapat ketiga adalah bahwa jika makanan itu tidak dimakan kecuali untuk pengobatan, maka dihitung sebagai bagian dari haknya; namun jika dimakan untuk tujuan selain pengobatan, maka tidak dihitung sebagai bagian dari haknya.

فَصْلٌ

Fasal

فَأَمَّا عُلُوفَةُ دَوَابِّهِمْ وَبَهَائِمهِمْ فَتَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ

Adapun pakan hewan tunggangan dan ternak mereka, maka terbagi menjadi tiga bagian.

أَحَدُهَا مَا لَا يُسْتَغْنَى عَنْهُ فِي جِهَادِهِ مِنْ فَرَسٍ يُقَاتِلُ عَلَيْهِ وَبَهِيمَةٍ يَحْمِلُ عَلَيْهَا رَحْلَهُ فَيَجُوزُ أَنْ يَعْلِفَهَا مِنْ مَالِ أَهْلِ الْحَرْبِ مَا تَعْتَلِفُهُ الْبَهَائِمُ مِنْ شَعِيرٍ وَتِبْنٍ وَقَتٍّ وَلَا يَتَعَدَّى الْعُرْفَ فِيهِ إِلَى غَيْرِهِ لِأَنَّ ضَرُورَتَهَا فِيهِ كَضَرُورَتِهِ

Salah satunya adalah sesuatu yang tidak dapat ditinggalkan dalam jihad, seperti kuda yang digunakan untuk berperang dan hewan tunggangan yang digunakan untuk membawa perbekalannya. Maka diperbolehkan memberinya makan dari harta milik ahl al-harb berupa apa yang biasa dimakan hewan, seperti jelai, jerami, dan rumput, dan tidak boleh melampaui kebiasaan dalam hal itu kepada selainnya, karena kebutuhan hewan tersebut sama dengan kebutuhan pemiliknya.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي مَا اسْتُصْحِبَ لِلزِّينَةِ وَالْفُرْجَةِ كَالْفُهُودِ وَالنُّمُورِ وَالْبُزَاةِ الْمُعَدَّةِ لِلِاصْطِيَادِ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَعْلِفَهَا مِنْ مَالِ أَهْلِ الْحَرْبِ لِأَنَّهَا غَيْرُ مُؤَثِّرَةٍ فِي الْجِهَادِ فَإِنْ أُطْعِمْهَا كَانَ مَحْسُوبًا عَلَيْهَا

Bagian kedua adalah hewan-hewan yang dipelihara untuk perhiasan dan hiburan, seperti macan tutul, harimau, dan burung elang yang disiapkan untuk berburu. Maka tidak boleh memberi makan hewan-hewan tersebut dari harta orang-orang kafir harbi, karena hewan-hewan itu tidak berpengaruh dalam jihad. Jika tetap diberi makan, maka itu akan diperhitungkan atasnya.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ مَا حَمَلَهُ لِلِاسْتِظْهَارِ بِهِ لِحَاجَةٍ رُبَّمَا دَعَتْ إِلَيْهِ كَالْجَنِيبَةِ الَّتِي يَسْتَظْهِرُ بِهَا لِرُكُوبِهِ أَوْ بِهَائِمَ يَسْتَظْهِرُ بِهَا لِحُمُولَتِهِ فَفِيهِ وَجْهَانِ

Bagian ketiga adalah apa yang dibawa untuk berjaga-jaga karena suatu kebutuhan yang mungkin diperlukan, seperti hewan tunggangan cadangan yang digunakan untuk berjaga-jaga jika diperlukan untuk ditunggangi, atau hewan ternak yang dibawa untuk berjaga-jaga jika diperlukan untuk membawa barang. Dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَعْلِفَهَا مِنْ أَمْوَالِهِمْ لِأَنَّهَا عُدَّةٌ يَقْوَى بِهَا عَلَيْهِمْ

Salah satunya adalah bahwa diperbolehkan memberi makan hewan-hewan itu dari harta mereka, karena hewan-hewan tersebut merupakan perlengkapan yang dapat memperkuat dirinya dalam menghadapi mereka.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا يَجُوزُ أَنْ يتعدى بها مال لنفسه وإن علفها من أموالهم كان محسوبا عليها مِنْ سَهْمِهِ اعْتِبَارًا لِحَاجَتِهِ فِي الْحَالِ الَّتِي هُمْ عَلَيْهَا وَكَمَا لَا يُسْهَمُ إِلَّا لِفَرَسٍ وَاحِدٍ وَإِنِ اسْتَظْهَرَ بِغَيْرِهِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَتَجَاوَزَ الْعُلُوفَةَ إِلَى إِنْعَالِ دَوَابِّهِ وَلَا أَنْ يُوقِحَ حَوَافِرَهَا وَيَدْهِنَ أَشَاعِرَهَا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَإِنْ فَعَلَ كَانَ مَحْسُوبًا عَلَيْهِ

Pendapat kedua: Tidak boleh seseorang mengambil harta untuk dirinya sendiri, dan jika ia memberi makan hewan tunggangannya dari harta mereka, maka itu dihitung atas bagiannya sendiri, mengingat kebutuhannya dalam kondisi yang sedang mereka alami. Sebagaimana tidak boleh diberikan bagian kecuali hanya untuk satu ekor kuda, meskipun ia memperkuat dirinya dengan hewan lain. Tidak boleh pula ia melebihi pemberian pakan hingga ke pemberian alas kaki pada hewan tunggangannya, atau melapisi kuku-kukunya, atau meminyaki bulunya dari harta mereka. Jika ia melakukannya, maka itu dihitung atas bagiannya sendiri.

فَصْلٌ

Bagian

فَأَمَّا مَا عَدَا الطَّعَامَ وَالْعُلُوفَةَ مِنَ الثِّيَابِ وَالدَّوَابِّ وَالْآلَةِ وَالْمَتَاعِ فَجَمِيعُهُ غَنِيمَةٌ مُشْتَرَكَةٌ يُمْنَعُ مِنْهَا وَإِنِ احْتَاجَ إِلَيْهَا فَإِنْ لَبِسَ ثَوْبًا مِنْهَا فَأَخْلَقَهُ أَوْ رَكِبَ دَابَّةً فَهَزَلَهَا اسْتَرْجَعَ ذَلِكَ مِنْهُ وَلَزِمَهُ أُجْرَةُ مِثْلِهِ وَغَرِمَ نَقْصَهُ كَالْغَاصِبِ

Adapun selain makanan dan pakan ternak, seperti pakaian, hewan tunggangan, peralatan, dan barang-barang lainnya, semuanya adalah ghanimah (harta rampasan perang) yang bersifat bersama dan tidak boleh diambil darinya, meskipun seseorang membutuhkannya. Jika ia memakai pakaian dari harta tersebut lalu merusaknya, atau menunggangi hewan lalu membuatnya lemah, maka hal itu harus diambil kembali darinya, dan ia wajib membayar sewa yang sepadan serta menanggung kerugiannya, sebagaimana halnya seorang ghashib (perampas).

رَوَى رُوَيْفِعُ بْنُ ثَابِتٍ الْأَنْصَارِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ” مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يَرْكَبْ دَابَّةً مِنْ فَيْءِ الْمُسْلِمِينَ حَتَّى إِذَا أَعْجَفَهَا رَدَّهَا فِيهِ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخَرِ فَلَا يَلْبَسْ ثَوْبًا مِنْ فَيْءِ الْمُسْلِمِينَ حَتَّى إِذَا خَلِقَ رَدَّهُ فِيهِ ” وَلِأَنَّ الْمُضْطَرَّ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ يَسْتَبِيحُ أَكْلَ الطَّعَامِ دُونَ الثِّيَابِ فَكَذَلِكَ الْمُجَاهِدُ فِي دَارِ الْحَرْبِ فَإِنِ اشْتَدَّتْ ضَرُورَةُ بَعْضِ الْمُجَاهِدِينَ إِلَى ثَوْبٍ يَلْبَسُهُ اسْتَأْذَنَ فِيهِ الْإِمَامَ وَأَعْطَاهُ مِنَ الثِّيَابِ مَا يَدْفَعُ بِهِ ضَرُورَتَهُ وَيَكُونُ مَحْسُوبًا عَلَيْهِ مِنْ سَهْمِهِ وَإِذَا نُفِقَتْ دَابَّتُهُ أَوْ قُتِلَتْ فِي الْمَعْرَكَةِ لَمْ يَسْتَحِقَّ بَدَلَهَا مِنَ الْمَغْنَمِ كَمَا لَوْ مَاتَ الْمُجَاهِدُ أَوْ قُتِلَ لَمْ يَلْزَمْ غُرْمُ دِيَتِهِ فَإِنِ اشْتَدَّتْ ضَرُورَتُهُ إِلَى مَا يَرْكَبُهُ لِقِتَالٍ أَوْ غَيْرِهِ اسْتَأْذَنَ الْإِمَامَ حَتَّى يُعْطِيَهُ إِمَّا مِنْ خُمْسِ الْخُمْسِ نَفْلًا وَإِمَّا مِنَ الْغَنِيمَةِ سَلَفًا مِنْ سَهْمِهِ يَفْعَلُ مِنْهَا مَا يُؤَدِّيهِ اجْتِهَادُهُ إِلَيْهِ فَإِنْ شَرَطَ لَهُمُ الْإِمَامُ أَنَّ مَنْ قُتِلَ فَرَسُهُ فِي الْمَعْرَكَةِ كَانَ لَهُ مِثْلُهَا أَوْ ثَمَنُهَا جَازَ لِيُحَرِّضَهُمْ عَلَى الْإِقْدَامِ وَوَفَّى بِشَرْطِهِ وَدَفَعَ إِلَيْهِمْ مِثْلَهَا أَوْ ثَمَنَهَا بِحَسَبِ الشَّرْطِ وَلَمْ يَقْتَصِرْ عَلَى حُكْمِ ضَمَانِ الْمُسْتَهْلِكِ فِي غُرْمِ قِيمَةِ الدَّابَّةِ وَجَازَ لَهُ أَنْ يَعْدِلَ إِلَى الْمِثْلِ وَالثَّمَنِ لِأَنَّ ذَلِكَ مِنْ عُمُومِ الْمَصَالِحِ الَّتِي يَتَّسِعُ حُكْمُهَا وَيَكُونُ مَا يَدْفَعُهُ مِنْ ذَلِكَ مِنْ خُمْسِ الْخُمْسِ سَهْمِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ الْمُعَدِّ لِلْمَصَالِحِ الْعَامَّةِ

Diriwayatkan dari Ruwaifi‘ bin Tsabit al-Anshari bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah ia menunggangi hewan dari fai’ kaum Muslimin hingga jika ia telah membuatnya kurus, ia kembalikan lagi ke dalamnya. Dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah ia memakai pakaian dari fai’ kaum Muslimin hingga jika telah usang, ia kembalikan lagi ke dalamnya.” Karena orang yang dalam keadaan darurat di negeri Islam dibolehkan memakan makanan tanpa pakaian, maka demikian pula mujahid di negeri perang. Jika sebagian mujahid sangat membutuhkan pakaian untuk dipakai, ia meminta izin kepada imam dan imam memberinya pakaian sekadar untuk menghilangkan kebutuhannya, dan itu dihitung dari bagian (ghanimah) miliknya. Jika hewan tunggangannya habis atau terbunuh di medan perang, ia tidak berhak mendapat gantinya dari harta rampasan, sebagaimana jika mujahid itu wafat atau terbunuh, tidak wajib membayar diyatnya. Jika ia sangat membutuhkan sesuatu untuk ditunggangi, baik untuk berperang atau keperluan lain, ia meminta izin kepada imam hingga imam memberinya, baik dari khumusul khumus sebagai tambahan, atau dari ghanimah sebagai pinjaman dari bagiannya, sesuai dengan ijtihad imam. Jika imam mensyaratkan bahwa siapa yang kudanya terbunuh di medan perang maka ia mendapat ganti yang serupa atau harganya, itu boleh, untuk mendorong mereka maju, dan imam menepati syaratnya serta memberikan yang serupa atau harganya sesuai syarat, dan tidak terbatas pada hukum jaminan konsumsi dalam menanggung nilai hewan, dan boleh baginya memilih antara yang serupa atau harga, karena itu termasuk kemaslahatan umum yang hukumnya luas, dan apa yang diberikan dari itu diambil dari khumusul khumus, yaitu bagian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diperuntukkan bagi kemaslahatan umum.

فَصْلٌ

Fasal

وَيَجُوزُ أَنْ يُتَابِعَ الْمُجَاهِدُونَ فِي دَارِ الْحَرْبِ مَا أَخَذُوهُ مِنْ طَعَامِهِمْ رِطْلًا بِرِطْلَيْنِ وَلَا يَكُونُ رِبًا إِذَا بَاعَهُ مُجَاهِدٌ عَلَى مُجَاهِدٍ لِأَنَّهُ مُبَاحُ الْأَصْلِ بَيْنَهُمْ فَسَقَطَ فِيهِ حُكْمُ الرِّبَا نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي سِيَرِ الْوَاقِدِيِّ وَإِنْ كَانَ تَحْرِيمُ الرِّبَا عِنْدَهُ فِي دَارِ الْمُشْرِكِينَ كَتَحْرِيمِهِ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَبِيعَهُ بِذَهَبٍ وَلَا وَرِقٍ وَيَكُونُ مَقْصُورًا عَلَى بَيْعِ الْمَأْكُولِ بِمَأْكُولٍ كَمَا كَانَ مَقْصُورًا عَلَى إِبَاحَةِ الْمَأْكُولِ فَإِنْ تَأَخَّرَ قَبْضُ الْبَدَلِ فِيهِ سَقَطَتِ الْمُطَالَبَةُ بِهِ لِإِبَاحَةِ أَصْلِهِ فَإِنْ أَرَادَ الْمُجَاهِدُ أَنْ يَبِيعَهُ عَلَى مَنْ لَيْسَ بِمُجَاهِدٍ لَمْ يَجُزْ بَيْعُهُ بِأَكْثَرَ مِنْهُ وَلَا بِثَمَنِهِ وَلَا بِثَمَنٍ فِي الذِّمَّةِ وَيَكُونُ مَبِيعًا بَاطِلًا عَلَى الْأَحْوَالِ كُلِّهَا وَإِنْ عُقِدَ عَلَى شُرُوطِ الصِّحَّةِ لِأَنَّ الْإِبَاحَةَ مَقْصُورَةٌ عَلَى الْأَكْلِ دُونَ الْبَيْعِ كَطَعَامِ الْوَلَائِمِ وَهَكَذَا لَوْ دَفَعَهُ الْمُجَاهِدُ قَرْضًا لِغَيْرِهِ مُنِعَ إِنْ كَانَ مُقْتَرِضُهُ غَيْرَ مُجَاهِدٍ وَلَمْ يُمْنَعْ إِنْ كَانَ مُقْتَرِضُهُ مُجَاهِدًا وَيَصِيرُ مُقْتَرِضُهُ أَحَقَّ بِهِ وَلَا يَسْتَحِقُّ اسْتِرْجَاعَ بَدَلِهِ وَإِذَا أَرَادَ الْمُجَاهِدُ أَنْ يَبِيعَ طَعَامًا لَهُ حَمَلَهُ مِنْ دَارِ الْإِسْلَامِ عَلَى مُجَاهِدٍ أَوْ غَيْرِ مُجَاهِدٍ جَازَ وَحُرِّمَ لَهُ فِيهِ الرِّبَا وَإِنْ أَقْرَضَهُ اسْتَحَقَّ اسْتِرْجَاعَ بَدَلِهِ بِخِلَافِ الْمَأْخُوذِ مِنْ طَعَامِ أَهْلِ الْحَرْبِ لِلْفَرْقِ بَيْنَهُمَا بِإِبَاحَةِ هَذَا وَحَظْرِ ذَاكَ

Diperbolehkan bagi para mujahid di wilayah perang untuk saling menukar makanan yang mereka ambil dari musuh, misalnya satu rithl ditukar dengan dua rithl, dan hal itu tidak dianggap riba jika seorang mujahid menjualnya kepada mujahid lain, karena asal makanan tersebut memang mubah di antara mereka, sehingga hukum riba tidak berlaku padanya. Hal ini ditegaskan oleh asy-Syafi‘i dalam kitab Siyar al-Waqidi, meskipun menurut beliau, keharaman riba di wilayah musyrik sama dengan keharamannya di wilayah Islam. Tidak boleh menjualnya dengan emas atau perak, dan jual beli tersebut hanya terbatas pada makanan dengan makanan, sebagaimana kebolehan itu hanya terbatas pada makanan. Jika penyerahan barang pengganti dalam transaksi itu ditunda, maka gugur tuntutan atasnya karena asal barang tersebut memang mubah. Jika seorang mujahid ingin menjualnya kepada orang yang bukan mujahid, maka tidak boleh menjualnya dengan jumlah yang lebih banyak, tidak pula dengan harga, dan tidak pula dengan harga yang menjadi utang, dan jual beli tersebut batal dalam segala keadaan, meskipun dilakukan dengan syarat-syarat sah, karena kebolehan itu hanya terbatas pada konsumsi, bukan pada jual beli, seperti makanan dalam acara walimah. Demikian pula, jika mujahid memberikan makanan itu sebagai pinjaman kepada selain mujahid, maka tidak diperbolehkan jika yang meminjam bukan mujahid, dan diperbolehkan jika yang meminjam adalah mujahid, sehingga yang meminjam lebih berhak atasnya dan tidak berhak menuntut pengganti. Jika mujahid ingin menjual makanan yang ia bawa dari wilayah Islam kepada mujahid atau selain mujahid, maka hal itu boleh dan riba tetap diharamkan padanya. Jika ia meminjamkannya, maka ia berhak menuntut pengganti, berbeda dengan makanan yang diambil dari makanan penduduk wilayah perang, karena ada perbedaan antara keduanya, yaitu yang satu mubah dan yang lain terlarang.

فَصْلٌ

Fasal

وَإِذَا خَرَجَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ دَارِ الْحَرْبِ وَمَعَهُمْ مِنْ بَقَايَا مَا أَخَذُوهُ مِنْ طَعَامِهِمْ فَفِي وُجُوبِ رَدِّهِ إِلَى الْمَغْنَمِ قَوْلَانِ

Apabila kaum Muslimin keluar dari wilayah perang dan bersama mereka masih terdapat sisa-sisa makanan yang mereka ambil dari musuh, maka mengenai kewajiban mengembalikannya ke harta rampasan perang (maghnam) terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا نَصَّ عَلَيْهِ هَاهُنَا أَنَّ عَلَيْهِمْ رَدَّهُ إِلَى الْمَغْنَمِ لِارْتِفَاعِ الْحَاجَةِ فَإِنِ اسْتَهْلَكُوهُ كَانَ مَحْسُوبًا عَلَيْهِ مِنْ سِهَامِهِمْ

Salah satu pendapat yang beliau tegaskan di sini adalah bahwa mereka wajib mengembalikannya ke baitul mal karena kebutuhan telah hilang. Jika mereka telah menghabiskannya, maka itu dihitung sebagai bagian dari jatah mereka.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي نَصَّ عَلَيْهِ فِي سِيَرِ الْأَوْزَاعِيِّ لَا يَلْزَمُهُمْ رَدُّهُ لِأَنَّهُ مَوْضُوعٌ عَلَى الْإِبَاحَةِ وَبِهِ قَالَ الْأَوْزَاعِيُّ وَقَدْ رَوَى نَافِعٌ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ جَيْشًا غَنِمُوا فِي زَمَنِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ طَعَامًا وَعَسَلًا فَلَمْ يُؤْخَذْ مِنْهُمُ الْخُمْسُ

Pendapat kedua, yang dinyatakan secara tegas dalam Siyar al-Awza‘i, adalah bahwa mereka tidak wajib mengembalikannya karena barang tersebut memang diperuntukkan untuk kebolehan (mubah). Pendapat ini dikemukakan oleh al-Awza‘i. Nafi‘ meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwa suatu pasukan pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperoleh rampasan berupa makanan dan madu, namun tidak diambil dari mereka seperlimanya (khumus).

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَأَبُو يُوسُفَ مَا بَقِيَ معهم من الطعام قبل قسم الغنيمة رده فِي الْغَنَائِمِ وَمَا بَقِيَ بَعْدَ قِسْمَتِهَا بَاعُوهُ وَتَصَدَّقُوا بِثَمَنِهِ وَعَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ إِنْ لَمْ يَجِبْ رَدُّهُ عَلَى أَحَدِ قَوْلَيْهِ كَانُوا أَحَقَّ به قبل الغنم وَيَجُوزُ لَهُمْ بَيْعُهُ بَعْدَ خُرُوجِهِمْ مِنْ دَارِ الْحَرْبِ وَلَا يَجُوزُ لَهُمْ بَيْعُهُ قَبْلَ خُرُوجِهِمْ مِنْهَا وَتَكُونُ أَيْدِيهِمْ عَلَيْهِ فِي دَارِ الْحَرْبِ يَدَ اسْتِبَاحَةٍ وَفِي دَارِ الْإِسْلَامِ يَدَ مِلْكٍ وَإِنْ وَجَبَ رَدُّهُ عَلَى الْقَوْلِ الثَّانِي رَدُّوهُ إِلَى الْمَغْنَمِ قَبْلَ الْقَسْمِ وَعَلَى الْإِمَامِ بَعْدَ الْقَسْمِ وَلَيْسَ لَهُمْ بَيْعُهُ وَلَا التَّصَدُّقُ بِثَمَنِهِ لِأَنَّهُ حَقٌّ لِلْغَانِمِينَ وَتَكُونُ أَيْدِيهِمْ عَلَيْهِ فِي دَارِ الْحَرْبِ يَدَ اسْتِبَاحَةٍ وَفِي دَارِ الْإِسْلَامِ يَدَ حَظْرٍ فَيَجُوزُ أَنْ يَأْكُلُوهُ فِي دَارِ الْحَرْبِ وَلَا يَأْكُلُوهُ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ وَلَا يَجُوزُ لَهُمْ بَيْعُهُ فِي دَارِ الْحَرْبِ وَلَا فِي دَارِ الْإِسْلَامِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Abu Hanifah dan Abu Yusuf berpendapat bahwa sisa makanan yang masih ada pada mereka sebelum pembagian ghanimah harus dikembalikan ke dalam harta rampasan perang. Adapun sisa makanan setelah pembagiannya, mereka menjualnya dan mensedekahkan hasil penjualannya. Menurut mazhab Syafi‘i, jika tidak wajib mengembalikannya menurut salah satu dari dua pendapat, maka mereka lebih berhak atasnya sebelum pembagian, dan mereka boleh menjualnya setelah keluar dari wilayah perang, namun tidak boleh menjualnya sebelum keluar dari wilayah tersebut. Kepemilikan mereka atas makanan itu di wilayah perang adalah kepemilikan istibahah (kepemilikan karena dihalalkan), sedangkan di wilayah Islam adalah kepemilikan milik. Jika wajib dikembalikan menurut pendapat kedua, maka mereka harus mengembalikannya ke harta rampasan sebelum pembagian, dan kepada imam setelah pembagian, dan mereka tidak boleh menjualnya atau mensedekahkan hasil penjualannya karena itu adalah hak para peserta perang. Kepemilikan mereka atas makanan itu di wilayah perang adalah kepemilikan istibahah, sedangkan di wilayah Islam adalah kepemilikan yang terlarang. Maka mereka boleh memakannya di wilayah perang dan tidak boleh memakannya di wilayah Islam, serta tidak boleh menjualnya baik di wilayah perang maupun di wilayah Islam. Allah Maha Mengetahui.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قال الشافعي ” وَمَا كَانَ مِنْ كُتُبِهِمْ فِيهِ طِبٌّ أَوْ مَا لَا مَكْرُوهَ فِيهِ بِيعَ وَمَا كَانَ فِيهِ شِرْكٌ أُبْطِلَ وَانْتُفِعَ بِأَوْعِيَتِهِ “

Asy-Syafi‘i berkata, “Adapun kitab-kitab mereka yang di dalamnya terdapat ilmu pengobatan atau hal-hal yang tidak mengandung kemungkaran, maka boleh diperjualbelikan. Namun, jika di dalamnya terdapat unsur syirik, maka harus dibatalkan dan hanya boleh memanfaatkan sampul atau wadahnya saja.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ كُتُبُهُمْ مَغْنُومَةٌ عَنْهُمْ لِأَنَّهَا مِنْ أَمْوَالِهِمْ وَهِيَ ضَرْبَانِ

Al-Mawardi berkata: Buku-buku mereka merupakan harta rampasan dari mereka karena itu termasuk harta milik mereka, dan buku-buku itu terbagi menjadi dua jenis.

أَحَدُهُمَا مَا لَيْسَ بِمَحْظُورٍ عَلَى الْمُسْلِمِينَ وَهُوَ مَا فِيهِ طِبٌّ أَوْ حِسَابٌ أَوْ شِعْرٌ أَوْ أَدَبٌ فَتُتْرَكُ عَلَى حَالِهَا وَتُقَسَّمُ فِي الْمَغْنَمِ مَعَ سَائِرِ أَمْوَالِهِمْ

Salah satunya adalah sesuatu yang tidak dilarang bagi kaum Muslimin, yaitu yang di dalamnya terdapat ilmu kedokteran, ilmu hisab, syair, atau sastra, maka dibiarkan sebagaimana adanya dan dibagikan dalam harta rampasan perang bersama dengan harta mereka yang lain.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي مَا كَانَ مَحْظُورًا عَلَى الْمُسْلِمِينَ مِنْ كُتُبِ شِرْكِهِمْ وَشُبَهِ كُفْرِهِمْ فَلَا يَجُوزُ أَنْ تُتْرَكَ عَلَى حَالِهَا وَكَذَلِكَ التَّوْرَاةُ وَالْإِنْجِيلُ لِأَنَّهُمَا قَدْ بُدِّلَا وَغُيِّرَا عَمَّا أَنْزَلَهُمَا اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِ فَجَرَتْ فِي الْمَنْعِ مِنْ تَرْكِهَا عَلَى حَالِهَا مَجْرَى كُتُبِ شِرْكِهِمْ فَتُغْسَلُ وَلَا تُحْرَقُ بِالنَّارِ وَإِنِ اخْتَارَ بَعْضُ الْفُقَهَاءِ إِحْرَاقَهَا لِأَنَّهُ رُبَّمَا كَانَ فِيهَا مِنْ أَسْمَاءِ اللَّهِ تَعَالَى مَا يُصَانُ عَنِ الْإِحْرَاقِ وَلِأَنَّ فِي أَوْعِيَتِهَا إِذَا غُسِلَتْ مَنْفَعَةً لَا يَجُوزُ اسْتِهْلَاكُهَا عَلَى الْغَانِمِينَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ غَسْلُهَا مُزِّقَتْ حَتَّى يَخْفَى مَا فِيهَا مِنَ الشِّرْكِ ثُمَّ بِيعَتْ فِي الْمَغْنَمِ إِنْ كَانَ لَهَا قِيمَةٌ

Jenis kedua adalah kitab-kitab yang dilarang bagi kaum Muslimin, yaitu kitab-kitab syirik mereka dan syubhat kekufuran mereka. Maka tidak boleh dibiarkan dalam keadaannya. Demikian pula Taurat dan Injil, karena keduanya telah diubah dan diganti dari apa yang Allah Ta‘ala turunkan kepada mereka, sehingga dalam hal larangan membiarkannya dalam keadaan semula, hukumnya sama seperti kitab-kitab syirik mereka. Maka kitab-kitab itu harus dicuci dan tidak dibakar dengan api, meskipun sebagian fuqaha memilih untuk membakarnya, karena mungkin di dalamnya terdapat nama-nama Allah Ta‘ala yang harus dijaga dari pembakaran, dan karena pada wadah-wadahnya jika dicuci terdapat manfaat yang tidak boleh dimusnahkan oleh para peraih ghanimah. Jika tidak memungkinkan untuk mencucinya, maka kitab-kitab itu harus dicabik-cabik hingga tersembunyi apa yang ada di dalamnya berupa syirik, kemudian dijual di tempat rampasan perang jika memang masih memiliki nilai.

فَصْلٌ

Fasal

فَأَمَّا خُمُورُهُمْ فَتُرَاقُ وَلَا تُبَاعُ عَلَيْهِمْ وَلَا عَلَى غيرهم لتحريها وَتَحْرِيمِ أَثْمَانِهَا فَأَمَّا أَوَانِيهَا فَإِنْ أَمْكَنَ حَمْلُهَا إِلَى دَارِ الْإِسْلَامِ لِنَفَاسَتِهَا وَكَثْرَةِ أَثْمَانِهَا ضُمَّتْ إِلَى الْغَنَائِمِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ حَمْلُهَا فَإِنْ غَلَبَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى دَارِهِمْ قُسِّمَتْ بَيْنَهُمْ لِيَنْتَفِعُوا بِهَا بَعْدَ غَسْلِهَا وَإِنْ لَمْ يَغْسِلُوا عَلَى دَارِهِمْ كُسِّرَتْ وَلَمْ تُتْرَكْ عَلَيْهِمْ صِحَاحًا لِئَلَّا يعاود الانتفاع بها في حظور

Adapun khamar mereka, maka harus dibuang dan tidak boleh dijual kepada mereka maupun kepada selain mereka karena keharamannya dan keharaman harganya. Adapun wadah-wadahnya, jika memungkinkan untuk dibawa ke Darul Islam karena nilainya yang tinggi dan harganya yang mahal, maka dimasukkan ke dalam harta rampasan perang. Jika tidak memungkinkan untuk membawanya, maka jika kaum Muslimin menguasai negeri mereka, wadah-wadah itu dibagi di antara mereka agar dapat dimanfaatkan setelah dicuci. Namun jika tidak dicuci di negeri mereka, maka wadah-wadah itu dipecahkan dan tidak dibiarkan dalam keadaan utuh agar mereka tidak menggunakannya kembali.

وَأَمَّا خَنَازِيرُهُمْ فَتُقْتَلُ سَوَاءً كَانَتْ مُؤْذِيَةً أَوْ غَيْرَ مُؤْذِيَةٍ وَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي سِيَرِ الْوَاقِدِيِّ تُقْتَلُ إِنْ كَانَ فِيهَا عَدْوَى وَلَمْ يُرِدْ بِذَلِكَ تَرْكَهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهَا عَدْوَى وَإِنَّمَا أَرَادَ تَعْجِيلَ قَتْلِهَا خَوْفَ ضَرَرِهَا وَإِنْ كَانَتْ عَادِيَةً وَإِنْ وَجَبَ قَتْلُهَا عَادِيَّةً وغير عادية لِأَنَّ الْخَمْرَ تُرَاقُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ عَدْوَى فَإِنْ تَعَذَّرَ عَلَيْهِمْ قَتْلُهَا تَرَكَهَا كَمَا يَتْرُكُهُمْ إِذَا تَعَذَّرَ قَتْلُهُمْ

Adapun babi-babi mereka, maka harus dibunuh, baik yang membahayakan maupun yang tidak membahayakan. Imam Syafi‘i berkata dalam kitab Siyar al-Waqidi bahwa babi-babi itu dibunuh jika di dalamnya terdapat penyakit menular, namun beliau tidak bermaksud membiarkannya jika tidak ada penyakit menular, melainkan yang beliau maksud adalah mempercepat pembunuhan babi tersebut karena dikhawatirkan menimbulkan bahaya, baik yang biasanya membahayakan maupun yang tidak. Maka wajib membunuhnya, baik yang biasa membahayakan maupun yang tidak, karena khamr juga harus dibuang meskipun tidak ada penyakit menular di dalamnya. Jika mereka kesulitan untuk membunuh babi-babi itu, maka dibiarkan saja, sebagaimana membiarkan mereka jika kesulitan untuk membunuh mereka.

وَأَمَّا جَوَارِحُ الصَّيْدِ فَمَا كَانَ مُبَاحَ الْأَثْمَانِ مِنَ الْفُهُودِ وَالنُّمُورِ وَالْبُزَاةِ قُسِّمَتْ بَيْنَ الْغَانِمِينَ مَعَ الْغَنَائِمِ فَأَمَّا الْكِلَابُ فَضَرْبَانِ

Adapun hewan-hewan buruan, maka hewan yang halal harganya seperti macan tutul, harimau, dan elang, dibagi di antara para pemenang bersama dengan harta rampasan perang. Adapun anjing, maka ada dua jenis.

أَحَدُهُمَا مَا لَا مَنْفَعَةَ فِيهِ فَلَا يُتَعَرَّضُ لِأَخْذِهِ ثُمَّ يُنْظَرُ فِيهَا فَمَا كَانَ مِنْهَا عَقُورًا مُؤْذِيًا قُتِلَ وَتُرِكَ مَا عَدَاهُ

Salah satunya adalah yang tidak memiliki manfaat, maka tidak perlu diambil. Kemudian diperhatikan di antara hewan-hewan itu, mana yang bersifat buas dan membahayakan maka dibunuh, dan selainnya dibiarkan.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي يَكُونُ مُنْتَفَعًا بِهَا إِمَّا فِي صَيْدٍ أَوْ مَاشِيَةٍ أَوْ حَرْثٍ فَيَجُوزُ أَخْذُهَا لِيَخْتَصَّ بِهَا مِنَ الْغَانِمِينَ أَهْلِ الِانْتِفَاعِ بِهَا فَيُدْفَعُ كِلَابُ الصَّيْدِ إِلَى أَهْلِ الصَّيْدِ خَاصَّةً وَتُدْفَعُ كِلَابُ الْمَاشِيَةِ إِلَى أَهْلِ الْمَاشِيَةِ وَكِلَابُ الْحَرْثِ إِلَى أَهْلِ الْحَرْثِ وَلَا يُعَوَّضُ بَقِيَّةُ الْغَانِمِينَ عَنْهَا لِأَنَّهُ لَا قِيمَةَ لَهَا فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي الْغَانِمِينَ مَنْ يَنْتَفِعُ بها أعدها لِأَهْلِ الْخُمْسِ لِأَنَّ فِيهِمْ مَنْ يَنْتَفِعُ بِهَا

Jenis kedua adalah barang yang dapat diambil manfaatnya, baik untuk berburu, ternak, atau pertanian. Maka boleh mengambilnya agar dimiliki secara khusus oleh para penerima ghanimah yang memang memanfaatkannya. Anjing pemburu diberikan khusus kepada para pemburu, anjing penjaga ternak diberikan kepada para peternak, dan anjing penjaga ladang diberikan kepada para petani. Sisa penerima ghanimah tidak mendapat kompensasi atas hal itu karena barang tersebut tidak memiliki nilai. Jika di antara para penerima ghanimah tidak ada yang memanfaatkannya, maka barang tersebut dikembalikan kepada para penerima khumus, karena di antara mereka ada yang dapat memanfaatkannya.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَمَا كَانَ مِثْلُهُ مُبَاحًا فِي بِلَادِ الْإِسْلَامِ مِنْ شَجَرٍ أَوْ حَجَرٍ أَوْ صَيْدٍ فِي بَرٍّ أَوْ بَحْرٍ فَهُوَ لِمَنْ أَخَذَهُ “

Syafi‘i berkata, “Segala sesuatu yang sejenis dengannya yang mubah di negeri-negeri Islam, baik berupa pohon, batu, atau hewan buruan di darat maupun di laut, maka itu menjadi milik siapa saja yang mengambilnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا وَجَدَ فِي دَارِ الْحَرْبِ مَا يَكُونُ مِثْلَهُ مُبَاحًا فِي دَارِ الْإِسْلَامِ وَذَلِكَ خَمْسَةُ أَنْوَاعٍ صَيْدٌ وَأَشْجَارٌ وَأَحْجَارٌ وَثِمَارٌ وَنَبَاتٌ فَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ

Al-Mawardi berkata, “Ini seperti yang dikatakan: Jika seseorang menemukan di wilayah perang sesuatu yang sejenisnya boleh dimanfaatkan di wilayah Islam, yaitu ada lima jenis: hewan buruan, pepohonan, batu-batuan, buah-buahan, dan tumbuh-tumbuhan, maka hal itu terbagi menjadi dua macam.”

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ عَلَيْهِ آثَارُ الْمِلْكِ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ الصَّيْدُ مَوْسُومًا أَوْ مُقَرَّطًا أَوْ تَكُونَ الْأَشْجَارُ مَقْطُوعَةً وَأَنْ تَكُونَ الْأَحْجَارُ مَصْنُوعَةً وَأَنْ تَكُونَ الثِّمَارُ مَقْطُوفَةً وَأَنْ يَكُونَ النَّبَاتُ مَجْذُوذًا فَهَذِهِ آثَارٌ تَدُلُّ عَلَى الْمِلْكِ فَتَكُونُ غَنِيمَةً لَا يَنْفَرِدُ بِهَا وَاجِدُهَا لِأَنَّ مِثْلَ هَذِهِ الْآثَارِ تَمْنَعُ مِنَ اسْتِبَاحَتِهَا فِي دَارِ الْإِسْلَامِ فَخَرَجَتْ عَنْ حُكْمِ الْمُبَاحِ فِي دَارِ الشِّرْكِ

Salah satunya adalah adanya tanda-tanda kepemilikan, yaitu ketika hewan buruan diberi tanda atau diberi anting, atau pohon-pohon telah ditebang, batu-batu telah dibentuk, buah-buahan telah dipetik, dan tanaman telah dicabut. Ini semua adalah tanda-tanda yang menunjukkan adanya kepemilikan, sehingga menjadi ghanīmah yang tidak boleh dimiliki sendiri oleh orang yang menemukannya. Sebab, tanda-tanda seperti ini mencegah kebolehan mengambilnya secara bebas di Dar al-Islām, sehingga keluar dari hukum mubah di Dar al-Syirk.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ عَلَى خَلْقِهِ الْأَصْلِيِّ لَيْسَ فِيهَا آثَارُ يَدٍ وَلَا صَنْعَةٌ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ

Jenis kedua adalah sesuatu yang masih dalam bentuk aslinya, tidak terdapat bekas tangan maupun hasil karya manusia di dalamnya. Jenis ini terbagi menjadi dua macam.

أَحَدُهُمَا أَنْ تَكُونَ فِي أَمْلَاكِهِمْ فَهِيَ غَنِيمَةٌ لَا يَمْلِكُهَا وَاجِدُهَا اعْتِبَارًا بِأُصُولِهَا إِلَّا الصَّيْدَ فَإِنْ كَانَ مَرْبُوطًا فَهُوَ فِي حُكْمِهَا غَنِيمَةٌ وَإِنْ كَانَ مُرْسَلًا فَهُوَ عَلَى أَصْلِ الْإِبَاحَةِ وَمَا فِيهِ مِنْ أَحْجَارٍ وَأَشْجَارٍ وَثِمَارٍ وَنَبَاتٍ وَعَسَلِ نَحْلٍ وَصَيْدٍ مُبَاحٍ تَبَعٌ لِأَصْلِهِ يَأْخُذُهُ وَاجِدُهُ وَلَا يَكُونُ غَنِيمَةً

Salah satunya adalah bahwa (harta) itu berada di dalam kepemilikan mereka, maka ia adalah ghanīmah yang tidak dimiliki oleh orang yang menemukannya berdasarkan asal-usulnya, kecuali hewan buruan; jika hewan buruan itu terikat, maka hukumnya seperti ghanīmah, dan jika dilepaskan maka kembali kepada hukum asal kebolehan. Adapun apa yang ada di dalamnya berupa batu, pohon, buah-buahan, tumbuhan, madu lebah, dan hewan buruan yang mubah, semuanya mengikuti hukum asalnya; siapa pun yang menemukannya boleh mengambilnya dan tidak dianggap sebagai ghanīmah.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ يَكُونُ جَمِيعُهُ غَنِيمَةً يُمْنَعُ وَاجِدُهُ مِنْهُ إِلَّا الْحَشِيشَ وَحْدَهُ لقول النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” المسلمون شركاء في ثلاث الماء والنار والكلاء ” وَمَا عَدَاهُ غَنِيمَةٌ تُقَسَّمُ بَيْن الْغَانِمِينَ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّهُ ذُو قِيمَةٍ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ مَغْنُومًا كَسَائِرِ أَمْوَالِهِمْ

Abu Hanifah berpendapat bahwa seluruhnya adalah ghanīmah yang pemiliknya tidak boleh mengambilnya, kecuali hanya rumput (al-ḥashīsh), berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal: air, api, dan padang rumput.” Adapun selain itu adalah ghanīmah yang harus dibagi di antara para pemenang perang, dengan alasan bahwa ia memiliki nilai, sehingga wajib dianggap sebagai harta rampasan seperti harta mereka yang lain.

وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّ مَا كَانَ أَصْلُهُ عَلَى الْإِبَاحَةِ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ كَانَ عَلَى الْإِبَاحَةِ فِي دَارِ الْحَرْبِ كَالْحَشِيشِ وَلِأَنَّهَا دَارٌ يُسْتَبَاحُ حَشِيشُهَا فَاسْتَبَاحَ مَا لَمْ يَجْرِ عَلَيْهِ مِلْكٌ مِنْ مُبَاحِهَا كَدَارِ الْإِسْلَامِ وَلِأَنَّ دَارَ الْإِسْلَامِ أَغْلَظُ حَظْرًا مِنْ دَارِ الشِّرْكِ فَكَانَ مَا اسْتُبِيحَ فِيهَا أَوْلَى أَنْ يُسْتَبَاحَ فِي دَارِ الشِّرْكِ

Dalil kami adalah bahwa sesuatu yang asalnya mubah di Dar al-Islam juga tetap mubah di Dar al-Harb, seperti hashish. Karena di sana adalah negeri yang hashish-nya boleh diambil, maka boleh juga mengambil apa saja dari barang mubahnya yang belum dimiliki, sebagaimana di Dar al-Islam. Selain itu, Dar al-Islam lebih ketat dalam hal larangan dibandingkan Dar al-Syirk, maka sesuatu yang dibolehkan di Dar al-Islam tentu lebih utama untuk dibolehkan di Dar al-Syirk.

وَالْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِ مَعَ انْتِقَاضِهِ بِالْحَشِيشِ أَنَّ مَعْنَى أَصْلِهِ أَنَّهُ مَمْلُوكٌ وَهَذَا غَيْرُ مَمْلُوكٍ

Jawaban terhadap qiyās yang diajukannya, yang telah dibatalkan dengan perbandingan kepada hashish, adalah bahwa makna asalnya adalah sesuatu yang dimiliki, sedangkan ini bukan sesuatu yang dimiliki.

فَصْلٌ

Fasal

فَأَمَّا مَعَادِنُ بِلَادِهِمْ فَإِنْ كَانَتْ مَمْلُوكَةً فَهِيَ غَنِيمَةٌ وَإِنْ كَانَتْ فِي مَوَاتٍ مُبَاحٍ فَهِيَ كَمَعَادِنِ مَوَاتِنَا وَنُظِرَ مَا فِيهِ فَإِنْ كَانَ ظَهَرَ بِعَمَلٍ تَقَدَّمَ فَهُوَ غَنِيمَةٌ لَا يَمْلِكُهُ آخِذُهُ وَإِنْ كَانَ كَامِنًا فَهُوَ مِلْكُهُ أَخَذَهُ

Adapun tambang-tambang di negeri mereka, jika tambang itu dimiliki, maka ia termasuk ghanīmah. Namun jika berada di tanah mati yang mubah, maka hukumnya seperti tambang di tanah mati milik kita. Kemudian dilihat keadaannya: jika telah tampak hasilnya karena usaha sebelumnya, maka itu adalah ghanīmah dan tidak dimiliki oleh orang yang mengambilnya. Tetapi jika masih tersembunyi, maka itu menjadi milik orang yang mengambilnya.

وَأَمَّا الرِّكَازُ فَإِنْ كَانَ فِي أَرْضٍ مَمْلُوكَةٍ فَهُوَ غَنِيمَةٌ وَإِنْ كَانَ فِي مَوَاتٍ مُبَاحٍ أَوْ طَرِيقٍ سَابِلٍ فَعَلَى ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ

Adapun rikāz, jika ditemukan di tanah yang dimiliki, maka ia termasuk ghanīmah. Jika ditemukan di tanah mati yang mubah atau di jalan umum, maka rikāz itu terbagi menjadi tiga jenis.

أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ عَلَيْهِ طَابِعٌ قَرِيبُ الْعَهْدِ وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ أَرْبَابُهُ أَحْيَاءً فَهَذَا غَنِيمَةٌ لَا يَمْلِكُهَا وَاجِدُهَا

Salah satunya adalah jika pada barang tersebut terdapat tanda (stempel) yang masih baru, dan boleh jadi pemiliknya masih hidup, maka ini adalah ghanīmah yang tidak boleh dimiliki oleh orang yang menemukannya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ عَلَيْهِ طَابِعٌ قَدِيمٌ لَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ أَرْبَابُهُ أَحْيَاءً فَهَذَا رِكَازٌ يَمْلِكُهُ وَاجِدُهُ وَعَلَيْهِ إِخْرَاجُ خُمْسِهِ

Jenis yang kedua adalah apabila terdapat cap kuno padanya yang tidak mungkin pemiliknya masih hidup, maka ini disebut rikāz, yang menjadi milik orang yang menemukannya dan ia wajib mengeluarkan seperlimanya.

وَالضَّرْبُ الثَّالِثُ مَا اسْتُشْكِلَ وَاحْتَمَلَ الْأَمْرَيْنِ فَفِيهِ وَجْهَانِ

Jenis yang ketiga adalah perkara yang masih samar dan memungkinkan dua kemungkinan, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يَكُونُ غَنِيمَةً اعْتِبَارًا بِالدَّارِ

Salah satunya menjadi ghanīmah dengan mempertimbangkan (status) wilayah.

وَالثَّانِي يَكُونُ رِكَازًا اعْتِبَارًا بِالْمَالِ

Dan yang kedua dianggap sebagai rikāz berdasarkan statusnya sebagai harta.

وَأَمَّا مَا وُجِدَ مِنْ عِدَّةِ الْمُحَارِبِينَ وَآلَةِ الْقِتَالِ مِنْ خِيَمٍ وَسِلَاحٍ فَعَلَى ثَلَاثَةٍ أَضْرُبٍ

Adapun apa yang ditemukan dari perlengkapan para muharibīn dan alat-alat peperangan seperti tenda dan senjata, maka hal itu terbagi menjadi tiga jenis.

أَحَدُهَا أَنَّهُ يَعْلَمُ أَنَّهُ لِأَهْلِ الْحَرْبِ فَيَكُونُ غَنِيمَةً

Salah satunya adalah bahwa ia mengetahui bahwa barang itu milik ahl al-harb sehingga menjadi ghanīmah.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَعْلَمَ أَنَّهُ لِلْمُسْلِمِينَ فَيَكُونَ لُقَطَةً

Jenis yang kedua adalah apabila diketahui bahwa barang itu milik kaum Muslimin, maka barang tersebut menjadi luqathah.

وَالضَّرْبُ الثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ مَشْكُوكًا فِيهِ فَيُنْظَرَ فَإِنْ وُجِدَ فِي مُعَسْكَرِ أَهْلِ الْحَرْبِ كَانَ غَنِيمَةً وَإِنْ وَجَدَهُ فِي مُعَسْكَرِ الْمُسْلِمِينَ كَانَ لُقَطَةً اعتبارا باليد

Jenis yang ketiga adalah sesuatu yang masih diragukan statusnya, maka perlu diteliti; jika ditemukan di perkemahan pasukan musuh, maka itu dianggap sebagai ghanīmah (harta rampasan perang), dan jika ditemukan di perkemahan kaum Muslimin, maka itu dianggap sebagai luqathah (barang temuan), berdasarkan pertimbangan siapa yang memegangnya.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَمَنْ أُسِرَ مِنْهُمْ فَإِنْ أُشْكِلَ بُلُوغُهُمْ فَمَنْ لَمْ يُنْبِتْ فَحُكْمُهُ حُكْمُ طِفْلٍ وَمَنْ أَنْبَتَ فهو بالغ والإمام في البالغين بالخيار بين أن يقتلهم بلا قطع يد ولا عضو أو يسلم أهل الأوثان ويؤدي الجزية أهل الكتاب أو يمن عليهم أو يفاديهم بمال أو بأسرى من المسلمين أو يسترقهم فإن استرقهم أو أخذ منهم فسبيله سبيل الغنيمة أسر رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أهل بدر فقتل عقبة بن أبي معيط والنضر بن الحارث ومن على أبي عزة الجحمي على أن لا يقاتله فأخفره وقاتله يوم أحد فدعا عليه أن لا يفلت فما أسر غيره ثم أسر ثمامة بن أثال الحنفي فمن عليه ثم أسلم وحسن إسلامه وفدى النبي عليه السلام رجلا من المسلمين برجلين من المشركين “

Imam Syafi‘i berkata, “Barang siapa di antara mereka yang ditawan, jika sulit diketahui apakah ia sudah baligh atau belum, maka siapa yang belum tumbuh rambut kemaluannya, hukumnya seperti anak kecil. Sedangkan siapa yang sudah tumbuh rambut kemaluannya, maka ia dianggap sudah baligh. Untuk tawanan yang sudah baligh, imam (pemimpin) memiliki pilihan: membunuh mereka tanpa memotong tangan atau anggota tubuh, atau membuat mereka masuk Islam, atau memungut jizyah dari ahli kitab, atau membebaskan mereka, atau menukar mereka dengan harta atau dengan tawanan Muslim, atau memperbudak mereka. Jika mereka diperbudak atau diambil dari mereka (harta), maka hukumnya seperti harta ghanimah. Rasulullah ﷺ menawan para tawanan Badar, lalu membunuh ‘Uqbah bin Abi Mu‘ayth dan an-Nadhr bin al-Harits, serta membebaskan Abu ‘Azza al-Juhami dengan syarat tidak memerangi beliau, namun ia mengingkari janji dan memerangi beliau pada Perang Uhud, maka beliau mendoakannya agar tidak lolos, dan tidak ada yang ditawan selain dia, lalu ia pun ditawan. Kemudian Rasulullah ﷺ menawan Tsumaamah bin Utsal al-Hanafi, lalu membebaskannya, kemudian ia masuk Islam dan keislamannya menjadi baik. Nabi ﷺ juga pernah menukar seorang Muslim dengan dua orang musyrik.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ الْأَسْرَى ضَرْبَانِ ذُرِّيَّةٌ وَمُقَاتِلَةٌ

Al-Mawardi berkata: Tawanan perang itu ada dua jenis, yaitu anak-anak (keturunan) dan para pejuang (yang ikut berperang).

فَأَمَّا الذُّرِّيَّةُ فَهُمُ النِّسَاءُ وَالصِّبْيَانُ فَلَا يَجُوزُ قَتْلُهُمْ لِنَهْيِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَنْ قَتْلِ النِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ وَيُسْتَرَقُّونَ عَلَى مَا سَيَأْتِي حُكْمُهُ وَأَمَّا الْمُقَاتِلَةُ فَهُمُ الرِّجَالُ وَكُلُّ مَنْ بَلَغَ مِنَ الذُّكُورِ فَهُوَ رَجُلٌ سَوَاءٌ اشْتَدَّ وَقَاتَلَ أَمْ لَا وَيَكُونُ الْإِنْبَاتُ فِيهِمْ بُلُوغًا أَوْ فِي حُكْمِ الْبُلُوغِ عَلَى مَا مَضَى مِنَ الْقَوْلَيْنِ لِمَا رُوِيَ أَنَّ النبيِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ حَكَّمَ سَعْدَ بْنَ مُعَاذٍ فِي بَنِي قُرَيْظَةَ فَحَكَمَ أن مَنْ جَرَتْ عَلَيْهِ الْمَوَاسِي قُتِلَ وَمَنْ لَمْ تَجْرِ عَلَيْهِ اسْتُرِقَّ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” هَذَا حُكْمُ اللَّهِ مِنْ فَوْقِ سَبْعَةِ أَرْقِعَةٍ ” يعني سبع سموات وَالْإِمَامُ فِي رِجَالِهِمْ إِذَا أَقَامُوا عَلَى شِرْكِهِمْ مُخَيَّرٌ بَيْنَ أَرْبَعَةِ أَحْكَامٍ يَجْتَهِدُ فِيهَا رَأْيَهُ لِيَفْعَلَ أَصْلَحَهَا فَيَكُونُ خِيَارَ نَظَرٍ وَاجْتِهَادٍ لَا خِيَارَ شَهْوَةٍ وَتَحَكُّمٍ

Adapun yang dimaksud dengan dzurriyyah adalah para perempuan dan anak-anak, maka tidak boleh membunuh mereka karena larangan Nabi ﷺ untuk membunuh perempuan dan anak-anak. Mereka boleh dijadikan budak, sebagaimana hukum yang akan dijelaskan nanti. Adapun yang dimaksud dengan muqātilah adalah para laki-laki dan setiap laki-laki yang telah baligh, maka ia termasuk laki-laki, baik ia telah kuat dan ikut berperang ataupun belum. Tumbuhnya rambut (kemaluan) pada mereka dianggap sebagai tanda baligh atau dalam hukum baligh, menurut dua pendapat yang telah disebutkan sebelumnya. Hal ini berdasarkan riwayat bahwa Nabi ﷺ menyerahkan keputusan kepada Sa‘d bin Mu‘ādz dalam perkara Bani Quraizhah, lalu Sa‘d memutuskan bahwa siapa saja yang telah tumbuh rambut padanya maka dibunuh, dan siapa yang belum tumbuh rambut maka dijadikan budak. Nabi ﷺ pun bersabda, “Ini adalah hukum Allah dari atas tujuh lapis langit,” maksudnya tujuh langit. Imam (pemimpin) terhadap laki-laki mereka, jika mereka tetap dalam kemusyrikannya, diberi pilihan di antara empat hukum, yang ia berijtihad dalam memilihnya untuk melakukan yang paling maslahat, sehingga pilihannya adalah pilihan berdasarkan pertimbangan dan ijtihad, bukan pilihan karena hawa nafsu dan kesewenang-wenangan.

وَخِيَارُهُ فِي الْأَرْبَعَةِ بَيْنَ أن يقتل أو يستوق أَوْ يُفَادَى عَلَى مَالٍ أَوْ أَسْرَى أَوْ يَمُنَّ بِغَيْرِ فِدَاءٍ وَقَالَ أَبُو يُوسُفَ يَكُونُ مُخَيَّرًا بَيْنَ ثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ أَنْ يُقْتَلَ أَوْ يسترق أو يفادى على مال أو أسرى وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَمُنَّ

Dan pilihan (imam) dalam empat hal adalah antara membunuh, memperbudak, menukar dengan harta atau tawanan, atau membebaskan tanpa tebusan. Abu Yusuf berkata: Imam diberi pilihan di antara tiga hal, yaitu membunuh, memperbudak, atau menukar dengan harta atau tawanan, dan tidak boleh baginya membebaskan tanpa tebusan.

وَقَالَ مَالِكٌ يَكُونُ مُخَيَّرًا بَيْنَ ثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ أَنْ يُقْتَلَ أَوْ يُسْتَرَقَّ أَوْ يُفَادَى عَلَى مَالٍ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُفَادَى بِأَسْرَى وَلَا أَنْ يَمُنَّ

Malik berkata, seseorang diberi pilihan di antara tiga hal: dibunuh, diperbudak, atau ditebus dengan harta. Tidak boleh menebus dengan tawanan, dan tidak boleh membebaskan tanpa tebusan.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ يَكُونُ مُخَيَّرًا بَيْنَ شَيْئَيْنِ أَنْ يُقْتَلَ أَوْ يُسْتَرَقَّ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُفَادَى وَلَا أَنْ يَمُنَّ فَصَارَ الْقَتْلُ وَالِاسْتِرْقَاقُ مُتَّفَقًا عَلَيْهِمَا أَمَّا الْقَتْلُ فَلِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَقَتَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عُقْبَةَ بْنَ أَبِي مُعَيْطٍ صَبْرًا يَوْمَ بَدْرٍ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ مَنْ لِلصَّبِيَّةِ فَقَالَ النَّارُ وَقَتَلَ النَّضِرَ بْنَ الْحَارِثِ يَوْمَ بَدْرٍ صَبْرًا

Abu Hanifah berpendapat bahwa (imam) diberi pilihan antara dua hal: membunuh atau memperbudak (tawanan), dan tidak boleh menebus (tawanan) maupun membebaskannya tanpa tebusan. Maka, pembunuhan dan perbudakan menjadi dua hal yang disepakati. Adapun pembunuhan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Maka bunuhlah orang-orang musyrik di mana saja kamu menemui mereka,” dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membunuh ‘Uqbah bin Abi Mu‘ith secara sabar pada hari Perang Badar. Ia berkata, “Wahai Muhammad, siapa yang akan mengurus anak-anak kecil?” Beliau menjawab, “Neraka.” Dan beliau juga membunuh an-Nadhr bin al-Harits pada hari Perang Badar secara sabar.

وَأَمَّا الِاسْتِرْقَاقُ فَلِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ اسْتَرَقَّ سَبْيَ بَنِي قُرَيْظَةِ وَبَنِي الْمُصْطَلِقِ وَهَوَازِنَ يَوْمَ حُنَيْنٍ

Adapun perbudakan, hal itu karena Rasulullah saw. memperbudak tawanan Bani Quraizhah, Bani Musthaliq, dan Hawazin pada hari Hunain.

وَأَمَّا الْفِدَاءُ وَالْمَنُّ فَاسْتَدَلَّ أَبُو حَنِيفَةَ عَلَى الْمَنْعِ مِنْهُمَا بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى فِي فِدَاءِ أَسْرَى بَدْرٍ مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَكُونَ لَهُ أَسْرَى حَتَّى يُثْخِنَ فِي الأَرْضِ تُرِيدُونَ عَرَضَ الدنيا يعني المال و الله يُرِيدُ الآخِرَةَ يَعْنِي الْعَمَلَ بِمَا يُفْضِي إِلَى ثَوَابِ الْآخِرَةِ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ شَاوَرَ فِيهِمْ أَصْحَابَهُ فَأَشَارَ أَبُو بَكْرٍ بِاسْتِبْقَائِهِمْ وَأَخْذِ فِدَائِهِمْ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَهْدِيَهُمْ وَأَشَارَ عُمَرُ بِقَتْلِهِمْ لِأَنَّهُمْ أَعْدَاءُ اللَّهِ وَأَعْدَاءُ رَسُولِهِ فَعَمِلَ عَلَى قَوْلِ أَبِي بَكْرٍ وَفَادَى كُلَّ أَسِيرٍ بِأَرْبَعَةِ آلَافِ دِرْهَمٍ فَأَنْكَرَ اللَّهُ تَعَالَى على رسوله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مَا فَعَلَهُ مِنَ الْفِدَاءِ وَقَالَ لَوْلا كِتَابٌ مِنَ اللَّهِ سَبَقَ لَمَسَّكُمْ فِيمَا أَخَذْتُمْ عَذَابٌ عظيم وفيه تأويلان أحدهما ولولا كتاب من الله سبق أَنَّهُ سَيَحِلُّ الْمَغَانِمَ لَكُمْ لَمَسَّكُمْ فِيمَا أَخَذْتُمْ من فداء الأسرى عذاب عظيم قَالَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ

Adapun mengenai fidyah dan pembebasan (tanpa tebusan), Abu Hanifah berdalil atas pelarangan keduanya dengan firman Allah Ta‘ala tentang fidyah tawanan Perang Badar: “Tidak patut bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum ia benar-benar mengalahkan musuh di muka bumi. Kalian menginginkan keuntungan dunia, yakni harta, sedangkan Allah menghendaki akhirat, yakni beramal dengan sesuatu yang mengantarkan kepada pahala akhirat.” Karena Rasulullah ﷺ bermusyawarah dengan para sahabatnya mengenai para tawanan itu, Abu Bakar mengusulkan agar mereka dipertahankan hidup dan diambil fidyah-nya, barangkali Allah akan memberi mereka petunjuk. Sementara Umar mengusulkan agar mereka dibunuh karena mereka adalah musuh Allah dan musuh Rasul-Nya. Maka Rasulullah ﷺ mengikuti pendapat Abu Bakar dan menebus setiap tawanan dengan empat ribu dirham. Lalu Allah Ta‘ala mengingkari apa yang dilakukan Rasulullah ﷺ terkait fidyah tersebut, dan berfirman: “Sekiranya bukan karena ketetapan dari Allah yang telah terdahulu, niscaya kalian akan ditimpa azab yang besar karena apa yang kalian ambil.” Dalam ayat ini terdapat dua penafsiran: salah satunya, “Sekiranya bukan karena ketetapan dari Allah yang telah terdahulu bahwa Dia akan menghalalkan ghanimah bagi kalian, niscaya kalian akan ditimpa azab yang besar karena apa yang kalian ambil dari fidyah para tawanan,” sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas.

وَالثَّانِي ” لَوْلا كِتَابٌ مِنَ الله سبق ” أَنْ لَا يُؤَاخِذَ أَحَدًا بِعَمَلٍ أَتَاهُ عَلَى جهالة لمسكم فيما أخذتم من الفداء عذاب عظيم قَالَهُ ابْنُ إِسْحَاقَ قَالَ وَإِذَا مَنَعَ مِنَ الفداء كالمنع مِنَ الْمَنِّ أَوْلَى وَالدَّلِيلُ عَلَى جَوَازِ الْمَنِّ وَالْفِدَاءِ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى فَإِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا فَضَرْبَ الرِّقَابِ وَفِيهِ تَأْوِيلَانِ

Dan yang kedua, “Kalau bukan karena ketetapan dari Allah yang telah terdahulu” bahwa Dia tidak akan menghukum siapa pun atas perbuatan yang dilakukan karena ketidaktahuan, niscaya kalian akan ditimpa azab yang besar atas apa yang kalian ambil berupa tebusan; demikian dikatakan oleh Ibnu Ishaq. Ia berkata, jika Allah melarang tebusan, maka larangan itu lebih kuat daripada larangan membebaskan tanpa tebusan. Dalil yang menunjukkan bolehnya membebaskan (al-mann) dan menerima tebusan (al-fidā’) adalah firman Allah Ta‘ala: “Apabila kalian bertemu dengan orang-orang kafir, maka penggallah leher mereka,” dan ayat ini memiliki dua tafsiran.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ ضَرَبَ رِقَابَهُمْ صَبْرًا بَعْدَ الْقُدْرَةِ

Salah satunya adalah bahwa beliau memenggal leher mereka secara sabar setelah memiliki kemampuan.

وَالثَّانِي أَنَّهُ قِتَالُهُمُ الْمُفْضِي إِلَى ضَرْبِ رِقَابِهِمْ فِي المعركة حتى إذا أثخنتموهم فشدوا الوثاق يَعْنِي بِالْإِثْخَانِ الْجِرَاحَ وَبِشَدِّ الْوَثَاقِ الْأَسْرَ ثُمَّ قَالَ بَعْدَ الْأَسْرِ فَإِمَّا مَنًّا بَعْدُ وَإِمَّا فداء والمن والعفو وَالْفِدَاءُ مَا فُودِيَ بِهِ الْأَسِيرُ مِنْ مَالٍ أَوْ أَسِيرٍ ثُمَّ قَالَ حَتَّى تَضَعَ الْحَرْبُ أوزارها فِيهِ تَأْوِيلَانِ

Kedua, bahwa yang dimaksud adalah memerangi mereka yang berujung pada penebasan leher-leher mereka di medan pertempuran, hingga apabila kalian telah melemahkan mereka maka tawanlah mereka. Yang dimaksud dengan “melemahkan” adalah melukai, dan dengan “menawan” adalah penahanan sebagai tawanan. Kemudian Allah berfirman setelah penawanan: “Maka setelah itu, bebaskanlah mereka sebagai anugerah atau tebuslah mereka.” Yang dimaksud dengan anugerah adalah pembebasan dan pengampunan, sedangkan tebusan adalah apa yang digunakan untuk menebus tawanan, baik berupa harta atau tawanan lain. Kemudian Allah berfirman: “Hingga perang meletakkan bebannya,” yang memiliki dua penafsiran.

أَحَدُهُمَا أَوْزَارُ الْكُفْرِ بِالْإِسْلَامِ

Salah satunya adalah dosa-dosa kekufuran terhadap Islam.

وَالثَّانِي أَثْقَالُ السِّلَاحِ بِالظَّفَرِ فَوَرَدَ بِإِبَاحَةِ الْمَنِّ وَالْفِدَاءِ نَصُّ الْقُرْآنِ الَّذِي لَا يَجُوزُ دَفْعُهُ ثُمَّ جَاءَتْ بِهِ السُّنَّةُ وَرُوِيَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مَنَّ عَلَى ثُمَامَةَ بْنِ أُثَالٍ بَعْدَ أَنْ رَبَطَهُ إِلَى سَارِيَةِ الْمَسْجِدِ أَسْرًا فَمَضَى وَأَسْلَمَ فِي جَمَاعَةٍ مِنْ قَوْمِهِ وَحَسُنَ إِسْلَامُهُ وَمَنَّ عَلَى أَبِي عَزَّةَ الْجُمَحِيِّ يَوْمَ بَدْرٍ وَشَرَطَ عَلَيْهِ أَنْ لَا يَعُودَ لِقِتَالِهِ فَلَمَّا عَادَ إِلَى مَكَّةَ قَالَ سَخِرْتُ مِنْ مُحَمَّدٍ وَعَادَ إلى قتاله في أحد فدعى رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنْ لَا يُفْلِتَ فَمَا أُسِرَ يَوْمَئِذٍ غَيْرُهُ فَقَالَ امْنُنْ عَلَيَّ فَقَالَ ” هَيْهَاتَ تَرْجِعُ إِلَى قَوْمِكَ فَتَقُولُ سَخِرْتُ مِنْ مُحَمَّدٍ مَرَّتَيْنِ لَا يُلْدَغُ الْمُؤْمِنُ مِنْ جُحْرٍ مَرَّتَينِ ” وَضَرَبَ عُنُقَهُ وَلَيْسَ هَذَا الْقَوْلِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَلَى طَرِيقِ الْخَبَرِ لِأَنَّ الْمُؤْمِنَ قَدْ يُلْدَغُ مِنْ جُحْرٍ مَرَّتَيْنِ وَإِنَّمَا هُوَ عَلَى طَرِيقِ التَّحْذِيرِ

Kedua, beban berat senjata dalam kemenangan, maka telah datang nash Al-Qur’an yang membolehkan pemberian ampunan (man) dan tebusan (fida’), yang tidak boleh ditolak. Kemudian, hal ini juga datang dalam sunnah. Diriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ memberikan ampunan kepada Tsamamah bin Utsal setelah beliau mengikatnya di tiang masjid sebagai tawanan, lalu ia pergi dan masuk Islam bersama sekelompok kaumnya, dan keislamannya menjadi baik. Rasulullah ﷺ juga memberikan ampunan kepada Abu ‘Azzah al-Jumahi pada hari Perang Badar, dengan syarat ia tidak kembali memerangi beliau. Namun, ketika ia kembali ke Makkah, ia berkata, “Aku telah mempermainkan Muhammad,” lalu ia kembali memerangi beliau di Perang Uhud. Maka Rasulullah ﷺ berdoa agar ia tidak lolos, dan pada hari itu tidak ada tawanan selain dia. Ia berkata, “Berilah aku ampunan,” maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidak mungkin, engkau akan kembali kepada kaummu dan berkata, ‘Aku telah mempermainkan Muhammad dua kali.’ Seorang mukmin tidak akan disengat dari lubang yang sama dua kali.” Lalu beliau memenggal lehernya. Perkataan Rasulullah ﷺ ini bukan dalam bentuk pemberitaan, karena seorang mukmin bisa saja disengat dari lubang yang sama dua kali, melainkan sebagai bentuk peringatan.

وَيَدُلُّ عَلَى إِبَاحَةِ الْفِدَاءِ بِالْأَسْرَى مَا رَوَاهُ عِمْرَانَ بْنِ الْحُصَيْنِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَادَى يَوْمَ بَدْرٍ رَجُلًا بِرَجُلَيْنِ وَعَلَى الْفِدَاءِ بِالْمَالِ مَا فَادَى بِهِ أَسْرَى بَدْرٍ

Dan yang menunjukkan kebolehan fidyah terhadap tawanan adalah riwayat dari ‘Imrān bin Hushain bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Perang Badar menukar satu orang (Muslim) dengan dua orang (tawanan), dan tentang fidyah dengan harta adalah apa yang beliau lakukan terhadap para tawanan Perang Badar.

فَإِنْ قِيلَ فَقَدْ أَنْكَرَهُ اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِ فَعَنْهُ جَوَابَانِ

Jika dikatakan, “Allah Ta‘ala telah mengingkari hal itu atasnya,” maka ada dua jawaban terkait hal tersebut.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ أَنْكَرَهُ عَلَيْهِ قَبْلَ وُرُودِ إِبَاحَتِهِ وَقَدْ وَرَدَتِ الْإِبَاحَةُ فَزَالَ الْإِنْكَارُ

Salah satunya adalah bahwa ia mengingkarinya sebelum datangnya kebolehan, dan setelah kebolehan itu datang maka hilanglah pengingkaran tersebut.

وَالثَّانِي أَنَّهُ قَيَّدَ إِنْكَارَهُ بِشَرْطٍ وَهُوَ قَوْلُهُ حتى يثخن في الأرض وَفِي إِثْخَانِهِ دَلِيلَانِ

Yang kedua, ia membatasi pengingkarannya dengan suatu syarat, yaitu ucapannya “hingga ia menimbulkan kekuatan di muka bumi”, dan dalam penimbulan kekuatan tersebut terdapat dua dalil.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ كَثْرَةُ الْقَتْلِ

Salah satunya adalah banyaknya pembunuhan.

وَالثَّانِي الِاسْتِيلَاءُ وَالظَّفَرُ وَقَدْ أَنْعَمَ اللَّهُ تَعَالَى بِهِمَا فَزَالَ الْإِنْكَارُ وَارْتَفَعَ الْمَنْعُ

Yang kedua adalah penguasaan dan kemenangan, dan Allah Ta‘ala telah menganugerahkan keduanya, maka hilanglah penolakan dan terangkatlah larangan.

فَصْلٌ

Fashl (Bagian)

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْإِمَامَ أَوْ أَمِيرَ الْجَيْشِ مُخَيَّرٌ فِي الْأَسْرَى بَيْنَ أَرْبَعَةِ أَشْيَاءَ يَفْعَلُ مِنْهُمَا أَصْلَحَهَا فِي كُلِّ أَسِيرٍ فَعَلَيْهِ أَنْ يُقَدِّمَ عَرْضَ الْإِسْلَامِ عَلَيْهِمْ فَإِنْ لَمْ يُسْلِمُوا نَظَرَ فَمَنْ كَانَ مِنْهُمْ عَظِيمَ الْعَدَاوَةِ شَدِيدَ النِّكَايَةِ فَهُوَ الْمَنْدُوبُ إِلَى قَتْلِهِ فَيَقْتُلُهُ صَبْرًا يَضْرِبُ الْعُنُقَ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى فَضَرْبَ الرِّقَابِ

Jika telah tetap bahwa imam atau amir pasukan memiliki pilihan terhadap para tawanan antara empat hal, maka ia melakukan di antara pilihan itu yang paling maslahat bagi setiap tawanan. Maka wajib baginya untuk mendahulukan menawarkan Islam kepada mereka. Jika mereka tidak masuk Islam, maka ia melihat, siapa di antara mereka yang sangat besar permusahannya dan sangat berbahaya, maka yang dianjurkan adalah membunuhnya, lalu ia membunuhnya dengan sabar, yaitu dengan memenggal lehernya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Maka penggalah leher-leher mereka.”

وَقَوْلِهِ فَاضْرِبُوا فَوْقَ الأَعْنَاقِ وَلَا يُمَثِّلُ بِهِ لِنَهْيِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَنِ الْمُثْلَةِ وَقَالَ ” إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ الْإِحْسَانَ فِي كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى فِي الْقَتْلِ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ “

Dan firman-Nya: “Maka penggallah di atas leher-leher itu,” dan janganlah melakukan mutilasi, karena Nabi ﷺ melarang melakukan mutilasi, dan beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berbuat ihsan dalam segala hal, bahkan dalam membunuh sekalipun. Maka apabila kalian membunuh, lakukanlah dengan cara yang baik.”

فَإِنْ قِيلَ فَقَدْ مَثَّلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بالعرنيين فقطع أيدين وَأَرْجُلَهُمْ وَسَمَلَ أَعْيُنَهُمْ وَأَلْقَاهُمْ فِي حَرِّ الرَّمْضَاءِ فَعَنْهُ جَوَابَانِ

Jika ada yang berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan contoh dengan (hukuman terhadap) orang-orang ‘Urainiyyin, yaitu memotong tangan dan kaki mereka, membutakan mata mereka, dan melemparkan mereka ke panasnya padang pasir,” maka terhadap hal ini terdapat dua jawaban.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ فَعَلَ ذَلِكَ فِي مُتَقَدَّمِ الْأَمْرِ ثُمَّ نُهى

Salah satunya adalah bahwa ia melakukan hal itu pada masa awal, kemudian dilarang.

وَالثَّانِي أَنَّهُ فَعَلَ ذَلِكَ بِهِمْ جَزَاءً وَقِصَاصًا لِأَنَّهُمْ قَتَلُوا رَاعِيَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَمَثَّلُوا بِهِ فَقَاتَلَهُمْ عَلَيْهِ بِمِثْلِهِ وَقَدْ قَالَ اللَّهِ تَعَالَى وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَحْرِقَهُمْ بِالنَّارِ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” لَا يُعَذِّبُ بِعَذَابِ اللَّهِ غَيْرُ اللَّهِ “

Kedua, bahwa beliau melakukan hal itu kepada mereka sebagai balasan dan qishāsh, karena mereka telah membunuh penggembala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan telah melakukan mutilasi terhadapnya, maka beliau membalas mereka dengan perlakuan yang sama. Allah Ta‘ala telah berfirman: “Jika kalian membalas, maka balaslah dengan balasan yang setimpal dengan apa yang telah ditimpakan kepada kalian.” Dan tidak boleh membakar mereka dengan api, karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak ada yang boleh menyiksa dengan siksa Allah selain Allah.”

فَإِنْ قِيلَ فَقَدْ جَمَعَ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ حِينَ قَاتَلَ أَهْلَ الرِّدَّةِ بِالْيَمَامَةِ جَمَاعَةً مِنَ الْأَسْرَى وَأَلْقَاهُمْ فِي حُفَيْرَةٍ وَأَحْرَقَهُمْ بِالنَّارِ وَأَخَذَ رَأْسَ زَعِيمِهِمْ فَأَوْقَدَهُ تَحْتَ قِدْرِهِ قِيلَ عَنْهُ جَوَابَانِ

Jika ada yang berkata, “Khalid bin al-Walid ketika memerangi kaum murtad di Yamamah telah mengumpulkan sekelompok tawanan, lalu melemparkan mereka ke dalam lubang dan membakar mereka dengan api, serta mengambil kepala pemimpin mereka lalu menyalakannya di bawah periuknya,” maka tentang hal ini terdapat dua jawaban.

أحدهما إِنَّ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنْكَرَا ذَلِكَ مِنْ فِعْلِهِ وَبَرِئَا إِلَى اللَّهِ مِنْ فِعْلِهِ

Salah satunya adalah bahwa Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma mengingkari perbuatan itu dan berlepas diri kepada Allah dari perbuatan tersebut.

وَالثَّانِي أَنَّهَا كَانَتْ حَالًا لَمْ يَنْتَشِرْ فِيهَا حُكْمُ النَّهْيِ فَفَعَلَ خَالِدٌ مِنْ ذَلِكَ مَا اقْتَضَاهُ حُكْمُ السِّيَاسَةِ عِنْدَهُ لِأَنَّهُ كَانَ فِي مُتَقَدَّمِ الْإِسْلَامِ وَكَانُوا أَوَّلَ قَوْمٍ تظاهروا بِالرِّدَّةِ بَعْدَ قَبْضِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَآمَنُوا بِمُسَيْلِمَةَ الْكَذَّابِ فَأَظْهَرَ بِمَا فَعَلَ مِنْ إِحْرَاقِهِمْ بِالنَّارِ أَعْظَمَ الْعُقُوبَاتِ لِارْتِكَابِهِمْ أَعْظَمَ الْكُفْرِ ثُمَّ عَلِمَ بِالنَّهْيِ فَكَفَّ وَامْتَنَعَ فَإِنِ ادَّعَى وَاحِدٌ مِمَّنْ أَمَرَ الْإِمَامُ بِقَتْلِهِ أَنَّهُ غَيْرُ بَالِغٍ نُظِرَ فَإِنْ لَمْ يَنْبُتْ شَعْرُ عَانَتِهِ قُبِلَ قَوْلُهُ وَإِنْ نَبَتَ شَعْرُ عَانَتِهِ لَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهُ بِغَيْرِ بَيِّنَةٍ وَفِي قَبُولِ قَوْلِهِ مَعَ الْبَيِّنَةِ قَوْلَانِ بِنَاءً عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي الْإِنْبَاتِ هَلْ يَكُونُ بُلُوغًا أَوْ دَلَالَةً عَلَيْهِ

Kedua, bahwa pada saat itu belum tersebar hukum larangan tersebut, sehingga Khalid melakukan tindakan itu sesuai dengan ketentuan siyasah menurutnya, karena hal itu terjadi pada masa awal Islam dan mereka adalah kaum pertama yang menampakkan riddah setelah wafatnya Rasulullah ﷺ dan mereka beriman kepada Musailamah al-Kadzdzab. Maka dengan membakar mereka dengan api, Khalid menampakkan hukuman yang paling berat atas perbuatan mereka yang merupakan kekufuran terbesar. Kemudian setelah mengetahui adanya larangan, ia pun berhenti dan tidak melakukannya lagi. Jika ada seseorang dari mereka yang diperintahkan imam untuk dibunuh mengaku bahwa ia belum baligh, maka akan diperiksa; jika rambut kemaluannya belum tumbuh, pengakuannya diterima, dan jika rambut kemaluannya telah tumbuh, pengakuannya tidak diterima kecuali dengan bukti. Dalam hal menerima pengakuannya beserta bukti, terdapat dua pendapat, berdasarkan perbedaan pendapat mengenai apakah tumbuhnya rambut kemaluan itu merupakan tanda baligh atau hanya petunjuk ke arah itu.

فَإِنْ قِيلَ إِنَّهُ بُلُوغٌ لَمْ تُسْمَعْ بَيِّنَتُهُ وَقُتِلَ وَإِنْ قِيلَ إِنَّهُ دَلَالَةٌ عَلَى الْبُلُوغِ سُمِعَتْ بَيِّنَتُهُ أَنَّهُ لَمْ يَسْتَكْمِلْ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً وَلَمْ يُقْتَلْ فَهَذَا حُكْمُ الْقَتْلِ

Jika dikatakan bahwa itu adalah baligh, maka kesaksiannya tidak didengar dan ia tetap dihukum mati. Namun jika dikatakan bahwa itu adalah tanda baligh, maka kesaksiannya bahwa ia belum genap berusia lima belas tahun didengar dan ia tidak dihukum mati. Inilah hukum terkait hukuman mati.

فَصْلٌ

Fasal

وَأَمَّا الِاسْتِرْقَاقُ فَمَنْ عُلِمَ أَنَّهُ قَوِيُّ الْبَطْشِ ذَلِيلُ النَّفْسِ فَهُوَ مِنْ أَهْلِ الِاسْتِرْقَاقِ وَلَهُ حَالَتَانِ

Adapun perbudakan, maka siapa yang diketahui kuat dalam memukul namun rendah diri, maka ia termasuk golongan yang layak untuk diperbudak, dan ia memiliki dua keadaan.

إِحْدَاهُمَا أَنْ يَكُونَ مِمَّنْ يَجُوزُ إِقْرَارُهُ بِالْجِزْيَةِ كَأَهْلِ الْكِتَابِ مِنَ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى أَوْ مَنْ لَهُ شُبْهَةُ كِتَابٍ كَالْمَجُوسِ فَيَجُوزُ أَنْ يُسْتَرَقَّ وَيُقَرَّ عَلَى كُفْرِهِ بِالرِّقِّ كَمَا يُقَرُّ عَلَيْهِ بِالْجِزْيَةِ

Salah satunya adalah bahwa ia termasuk golongan yang boleh diakui dengan jizyah, seperti Ahlul Kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani, atau orang yang memiliki syubhat kitab seperti Majusi, maka boleh diperbudak dan dibiarkan tetap dalam kekafirannya dengan status budak, sebagaimana mereka diakui dengan jizyah.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ يَكُونَ مِمَّنْ لَا يُقَرُّ عَلَى كُفْرِهِ بِالْجِزْيَةِ كَعَبَدَةِ الْأَوْثَانِ فَفِي جَوَازِ إِقْرَارِهِ عَلَى كُفْرِهِ بِالِاسْتِرْقَاقِ وَجْهَانِ

Keadaan kedua adalah jika ia termasuk golongan yang tidak diakui kekafirannya dengan pembayaran jizyah, seperti para penyembah berhala, maka dalam hal kebolehan mengakui kekafirannya melalui perbudakan terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ وسنة الرسول صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يَجُوزُ أَنْ يُسْتَرَقَّ وَيُقَرَّ عَلَى كُفْرِهِ بِالرِّقِّ وَإِنْ لَمْ يُقَرَّ عَلَيْهِ بِالْجِزْيَةِ لِأَنَّ كُلَّ مَنْ جَازَ إِقْرَارُهُ بِالْأَمَانِ جَازَ إِقْرَارُهُ بِالِاسْتِرْقَاقِ كَالْكِتَابِيِّ طَرْدًا وَكَالْمُرْتَدِّ عَكْسًا

Salah satu pendapat, yang merupakan pendapat yang zahir dari mazhab Syafi‘i dan sunnah Rasulullah ﷺ, adalah boleh seseorang dijadikan budak dan dibiarkan tetap dalam kekafirannya melalui perbudakan, meskipun tidak dibiarkan dengan membayar jizyah. Sebab, setiap orang yang boleh dibiarkan dengan perlindungan (aman), maka boleh pula dibiarkan dengan perbudakan, seperti ahli kitab secara konsisten, dan seperti murtad secara kebalikannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ إِنَّهُ لَا يَجُوزُ إِقْرَارُهُ بِالِاسْتِرْقَاقِ كَمَا لَا يَجُوزُ إِقْرَارُهُ بِالْجِزْيَةِ وَيَبْقَى خِيَارُ الْإِمَامِ فِيهِ بَيْنَ الْقَتْلِ أَوِ الْفِدَاءِ أَوِ الْمَنِّ وَلَا فَرْقَ عَلَى كِلَا الْوَجْهَيْنِ بَيْنَ الْعَرَبِ مِنْهُمْ وَالْعَجَمِ

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Sa‘id al-Istakhri, menyatakan bahwa tidak boleh menetapkan status perbudakan atas mereka, sebagaimana tidak boleh menetapkan jizyah atas mereka. Pilihan tetap berada di tangan imam, antara membunuh, menebus, atau membebaskan mereka. Tidak ada perbedaan, menurut kedua pendapat tersebut, antara orang Arab dan non-Arab di antara mereka.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ إِنْ كَانُوا عَجَمًا جَازَ اسْتِرْقَاقُهُمْ وَإِنْ كَانُوا عَرَبًا وَجَبَ قَتْلُهُمْ وَلَا يَجُوزُ اسْتِرْقَاقُهُمْ لِمُبَالَغَةِ الْعَرَبِ فِي عَدَاوَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَإِخْرَاجِهِ مِنْ بَلَدِهِ فَصَارُوا بِذَلِكَ أَغْلَظَ جُرْمًا وَصَارَ قَتْلُهُمْ مُحَتَّمًا وَهَذَا خَطَأٌ لِأَمْرَيْنِ

Abu Hanifah berkata, jika mereka adalah bangsa ‘ajam, maka boleh diperbudak; namun jika mereka adalah bangsa Arab, wajib dibunuh dan tidak boleh diperbudak, karena bangsa Arab sangat keras permusuhannya terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan telah mengusir beliau dari negerinya, sehingga dengan sebab itu mereka menjadi lebih besar dosanya dan pembunuhan terhadap mereka menjadi suatu keharusan. Namun, pendapat ini keliru karena dua alasan.

أَحْدُهُمَا أَنَّ الِاسْتِرْقَاقَ عُقُوبَةٌ تَتَعَلَّقُ بِالْكُفْرِ فَوَجَبَ أَنْ يَسْتَوِيَ فِيهَا الْعَرَبِيُّ وَالْعَجَمِيُّ كَالْقَتْلِ

Salah satunya adalah bahwa perbudakan merupakan hukuman yang berkaitan dengan kekufuran, sehingga wajib diberlakukan sama baik terhadap orang Arab maupun non-Arab, sebagaimana hukuman mati.

وَالثَّانِي أَنَّ كُلَّ كَافِرٍ جَازَ اسْتِرْقَاقُهُ إِذَا كَانَ أَعْجَمِيًّا جَازَ اسْتِرْقَاقُهُ إِذَا كَانَ عَرَبِيًّا كَأَهْلِ الْكِتَابِ فَهَذَا حُكْمُ الِاسْتِرْقَاقِ

Yang kedua, bahwa setiap orang kafir boleh diperbudak; jika ia adalah orang non-Arab, maka boleh diperbudak, dan jika ia adalah orang Arab seperti Ahlul Kitab, maka juga boleh diperbudak. Inilah hukum perbudakan.

فَصْلٌ

Fasal

” وَأَمَّا الْفِدَاءُ بِالْمَالِ فَمَنْ عُلِمَ أَنَّهُ كَثِيرُ الْمَالِ مَأْمُونُ الْعَاقِبَةِ وَافْتَدَى نَفْسَهُ بِمَالٍ قُبِلَ مِنْهُ الْفِدَاءُ وَأَطْلَقَهُ عَلَيْهِ وَكَانَ الْمَالُ الْمَأْخُوذُ مِنْهُ غَنِيمَةً تُقَسَّمُ بين الْغَانِمِينَ وَيَكُونُ الَّذِي اسْتَأْسَرَهُ فِي فِدَائِهِ وَغَيْرُهُ مِنَ الْغَانِمِينَ سَوَاءً كَمَا يَكُونُ الْغَانِمُ لِلْمَالِ وَغَيْرُهُ فِيهِ سَوَاءً

Adapun tebusan dengan harta, maka siapa saja yang diketahui memiliki banyak harta dan aman dari akibat buruk, lalu menebus dirinya dengan sejumlah harta, maka tebusannya diterima darinya dan ia dibebaskan karenanya. Harta yang diambil darinya menjadi ghanīmah (harta rampasan perang) yang dibagikan di antara para peserta perang, dan orang yang menawannya dalam hal tebusan itu sama kedudukannya dengan peserta perang lainnya, sebagaimana dalam hal harta rampasan perang, baik yang mendapatkannya langsung maupun tidak, semuanya sama dalam pembagiannya.

فَإِنْ قِيلَ فَقَدْ كَانَ فِدَاءُ أَسْرَى بَدْرٍ بِأَخْذِهِ مَنِ اسْتَأْسَرَهُمْ وَلِذَلِكَ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي أَبِي الْعَاصِ بْنِ الرَّبِيعِ وَقَدْ أُسِرَ يَوْمَ بَدْرٍ وَهُوَ زَوْجُ زَيْنَبَ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَأَنْفَذَتْ فِي جُمْلَةِ فِدَائِهِ قِلَادَةً كَانَتْ لَهَا جَهَّزَتْهَا بِهَا خَدِيجَةُ فَلَمَّا أَبْصَرَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَرَفَهَا وَرَقَّ لَهَا وَقَالَ إِنْ رَأَيْتُمْ أَنْ تُطْلِقُوا لَهَا أَسِيرَهَا وَتَرُدُّوا عَلَيْهَا مَالَهَا فَافْعَلُوا فَلَوْلَا حَقُّهُمْ فِيهِ لَتَفَرَّدَ بِالرَّدِّ وَلَمَا سَأَلَهُمْ فعنه ثلاثة أجوبة

Jika dikatakan, “Bukankah penebusan tawanan Perang Badar dilakukan dengan mengambil tebusan dari orang yang menawan mereka? Karena itu, Rasulullah saw. pernah meminta pendapat terkait Abu Al-‘Ash bin Ar-Rabi‘, yang ditawan pada hari Badar, padahal ia adalah suami Zainab binti Rasulullah saw. Zainab mengirimkan sebagai bagian dari tebusannya sebuah kalung yang dulu diberikan Khadijah kepadanya sebagai bekal. Ketika Rasulullah saw. melihat kalung itu, beliau mengenalinya dan merasa iba kepadanya, lalu bersabda, ‘Jika kalian memandang baik untuk membebaskan tawanannya dan mengembalikan hartanya kepadanya, maka lakukanlah.’ Kalau bukan karena hak mereka dalam hal itu, tentu beliau akan memutuskan sendiri untuk mengembalikannya, dan tidak akan meminta pendapat mereka.” Maka, atas hal ini terdapat tiga jawaban.

أحدهما أَنَّهُ قَالَ ذَلِكَ اسْتِطَابَةً لِقُلُوبِهِمْ وَإِنْ كَانَ أَمْرُهُ فِيهِ نَافِذًا

Salah satunya adalah bahwa beliau mengatakan hal itu untuk menyenangkan hati mereka, meskipun urusannya dalam hal tersebut tetap berlaku.

وَالثَّانِي أَنَّهُ كَانَ قَبْلَ أَنْ يَسْتَقِرَّ حُكْمُ الْأَسْرَى وَالْغَنَائِمِ

Yang kedua adalah bahwa hal itu terjadi sebelum ketetapan hukum tentang tawanan perang dan harta rampasan perang ditetapkan.

وَالثَّالِثُ أَنَّهُ حَقٌّ لِجَمِيعِهِمْ لَا لِوَاحِدٍ مِنْهُمْ فَاسْتَطَابَ نُفُوسَهُمْ فِيهِ

Ketiga, bahwa itu adalah hak bagi seluruh mereka, bukan hanya untuk salah satu dari mereka saja, sehingga mereka semua rela terhadapnya.

وَأَمَّا الْفِدَاءُ وَالْأَسْرَى فَهُوَ لِمَنْ كَانَ فِي أَيْدِي قَوْمِهِ أَسْرَى مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَهُمْ مُشْفِقُونَ عَلَيْهِ مِنَ الْأَسْرَى وَمُفْتَدُونَ لَهُ بِمَنْ فِي أَيْدِيهِمْ فَيُفَادِي بِهِ مَنْ قَدَرَ عَلَيْهِ مِنْ أَسْرَى الْمُسْلِمِينَ وَالْأَوْلَى أَنْ يَأْخُذَ بِهِ أَكْثَرَ مِنْهُ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَادَى كُلَّ رَجُلٍ مِنَ الْمُشْرِكِينَ بِرَجُلَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ فَإِنْ لَمْ يَقْدِرْ أَنْ يُفَادِيَ كُلَّ رَجُلٍ إِلَّا بِرَجُلٍ جَازَ وَلَوْ دَعَتْهُ الضَّرُورَةُ أَنْ يُفَادِيَ رَجُلَيْنِ مِنَ الْمُشْرِكِينَ بِرَجُلٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ فَعَلَ فَهَذَا حُكْمُ الْفِدَاءِ

Adapun mengenai fidyah dan tawanan, maka hal itu berlaku bagi siapa saja yang di antara kaumnya terdapat tawanan dari kaum Muslimin, dan mereka merasa iba terhadap para tawanan tersebut serta ingin menebus mereka dengan orang yang ada di tangan mereka. Maka, ia dapat menebus dengan orang yang mampu ia tukar dari tawanan kaum Muslimin, dan yang lebih utama adalah ia mengambil tebusan yang lebih banyak dari yang ia berikan. Sebab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menukar setiap satu orang musyrik dengan dua orang Muslim. Namun, jika ia tidak mampu menukar setiap satu orang kecuali dengan satu orang saja, maka itu dibolehkan. Bahkan, jika dalam keadaan darurat ia harus menukar dua orang musyrik dengan satu orang Muslim, maka itu pun boleh dilakukan. Inilah hukum fidyah.

فَصْلٌ

Fasal

وَأَمَّا الْمَنُّ بِغَيْرِ الْفِدَاءِ فَهُوَ فِيمَنْ عُلِمَ مِنْهُ ميلا إِلَى الْإِسْلَامِ أَوْ طَاعَةٌ فِي قَوْمِهِ يَتَأَلَّفُهُمْ بِهِ فَهُوَ الَّذِي يُمَنُّ عَلَيْهِ كَمَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَلَى ثُمَامَةَ بْنِ أُثَالٍ فَعَادَ مُسْلِمًا فِي عَدَدٍ مِنْ قَوْمِهِ وَيَنْبَغِي أَنْ يَسْتَظْهِرَ عَلَيْهِ بِأَنْ يَشْتَرِطَ عَلَيْهِ بِأَنْ لَا يَعُودَ إِلَى قِتَالِهِ كَمَا شَرَطَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ على أبي عزة الجحمي فَلَمْ يَفِ بِهِ وَعَادَ لِقِتَالِهِ وَظَفِرَ بِهِ فَضَرَبَ رَقَبَتَهُ

Adapun memaafkan tanpa tebusan, hal itu dilakukan terhadap orang yang diketahui memiliki kecenderungan kepada Islam atau memiliki pengaruh di kaumnya sehingga dapat menarik hati mereka, maka dialah yang diberi maaf, sebagaimana Rasulullah ﷺ memaafkan Tsamamah bin Utsal, lalu ia kembali sebagai seorang Muslim bersama sejumlah kaumnya. Dan sebaiknya untuk lebih berhati-hati, disyaratkan kepadanya agar tidak kembali memerangi, sebagaimana Rasulullah ﷺ mensyaratkan kepada Abu ‘Azzah al-Juhani, namun ia tidak menepatinya dan kembali memerangi, lalu ketika ia tertangkap, Rasulullah ﷺ memerintahkan untuk memenggal lehernya.

فَأَمَّا إِنْ كَانَ فِي الْأَسْرَى عَبْدٌ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُمَنَّ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ مَالٌ كَمَا لَا يَجُوزُ أَنْ يُرَدَّ عَلَيْهِمْ غَنَائِمُهُمْ وَلَمْ يُحْتَجْ إِلَى اسْتِرْقَاقِهِ لِأَنَّهُ مُسْتَرَقٌّ وَكَانَ الْإِمَامُ فِيهِ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يُقَسِّمَهُ بَيْنَ الْغَنَائِمِ مَعَ الْأَمْوَالِ وَبَيْنَ أَنْ يَقْتُلَهُ إِنْ خَالَفَ عَاقِبَتَهُ وَيُعَوِّضَ الْغَانِمِينَ عَنْهُ لِأَنَّهُ مَالٌ بِخِلَافِ مَنْ قَتَلَهُ مِنَ الْأَحْرَارِ وَبَيْنَ أَنْ يَفْتَدِيَ بِهِ أَسْرَى مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَيُعَوِّضَ عَنْهُ الْغَانِمِينَ وَسَنَذْكُرُ مَنْ أَسْلَمَ

Adapun jika di antara para tawanan terdapat seorang budak, maka tidak boleh diberikan pembebasan kepadanya karena ia adalah harta, sebagaimana tidak boleh mengembalikan harta rampasan perang kepada mereka. Tidak diperlukan pula untuk memperbudaknya karena ia memang sudah berstatus budak. Dalam hal ini, imam memiliki pilihan antara membaginya bersama harta rampasan perang lainnya, atau membunuhnya jika ia menentang akibatnya dan memberikan kompensasi kepada para peraih rampasan perang karena ia adalah harta, berbeda dengan orang merdeka yang dibunuh, atau menukarnya dengan tawanan Muslim dan memberikan kompensasi kepada para peraih rampasan perang. Dan kami akan menyebutkan tentang orang yang masuk Islam.

فَصْلٌ

Bagian

فَإِنْ قَتَلَ مُسْلِمٌ هَذَا الْأَسِيرَ فَلَا يَخْلُو حَالُ قَتْلِهِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ

Jika seorang Muslim membunuh tawanan ini, maka keadaan pembunuhannya tidak lepas dari salah satu dari dua kemungkinan.

إِمَّا أَنْ يَكُونَ بَعْدَ نُفُوذِ حُكْمِ الْإِمَامِ فِيهِ أَوْ يَكُونَ قَبْلَهُ

Bisa jadi setelah keputusan imam berlaku padanya, atau bisa juga sebelumnya.

فَإِنْ قَتَلَهُ بَعْدَ نُفُوذِ حُكْمِ الْإِمَامِ فِيهِ فَلَا يَخْلُ حُكْمُهُ مِنْ أَحَدِ أَرْبَعَةِ أحكام

Jika ia membunuhnya setelah keputusan imam telah ditetapkan atasnya, maka hukumnya tidak lepas dari salah satu dari empat hukum.

أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ قَدْ حَكَمَ بِقَتْلِهِ فَلَا ضَمَانَ عَلَى قَاتِلِهِ لَكِنْ يُعَزَّرُ لِافْتِيَاتِهِ عَلَى الْإِمَامِ فِي قَتْلِ مَنْ لَمْ يَأْمُرْهُ بِقَتْلِهِ وَإِنْ كَانَ قَتْلُهُ مُبَاحًا

Salah satunya adalah apabila telah diputuskan hukuman mati atasnya, maka tidak ada kewajiban ganti rugi atas orang yang membunuhnya. Namun, ia tetap dikenai ta‘zīr karena telah mendahului wewenang imam dalam membunuh seseorang yang belum diperintahkan olehnya untuk dibunuh, meskipun pembunuhan tersebut dibolehkan.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ الْإِمَامُ قَدِ اسْتَرَقَّهُ فَيَضْمَنُهُ قَاتِلُهُ بِقِيمَتِهِ عَبْدًا وَتَكُونُ الْقِيمَةُ مِنَ الْغَنِيمَةِ تُقَسَّمُ بَيْنَ الْغَانِمِينَ

Bagian kedua adalah apabila imam telah memperbudaknya, maka orang yang membunuhnya wajib mengganti dengan membayar nilainya sebagai seorang budak, dan nilai tersebut diambil dari harta rampasan perang yang kemudian dibagikan kepada para pasukan yang memperoleh ghanimah.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ الْإِمَامُ قَدْ فَادَى بِهِ عَلَى مَالٍ أَوْ أَسْرَى فَهَذَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ

Bagian ketiga adalah apabila imam telah menebusnya dengan harta atau tawanan, maka hal ini terbagi menjadi tiga macam.

أَحَدُهَا أَنْ يَقْتُلَهُ قَبْلَ فرض الإمام فدا فَيَضْمَنَ دِيَتَهُ مِنْ مَالِ الْغَنِيمَةِ لِأَنَّهُ صَارَ له بالفداء أمان فضمن دِيَتَهُ وَصَارَ بَقَاءُ الْفِدَاءِ مُوجِبًا لِصَرْفِ الدِّيَةِ إِلَى الْغَنِيمَةِ

Salah satunya adalah jika ia membunuhnya sebelum imam menetapkan fidyah, maka ia wajib membayar diyatnya dari harta rampasan perang, karena dengan fidyah itu ia telah memperoleh jaminan keamanan, sehingga diyatnya menjadi tanggungan, dan keberadaan fidyah tersebut menyebabkan diyat itu dialokasikan ke harta rampasan perang.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَقْتُلَهُ بَعْدَ فَرْضِ الْإِمَامِ فِدَاءً وَقَبْلَ إِطْلَاقِهِ فَيَضْمَنُهُ بِالدِّيَةِ لِوَرَثَتِهِ دُونَ الْغَانِمِينَ لِاسْتِيفَاءِ فِدَائِهِ

Jenis yang kedua adalah apabila ia membunuhnya setelah imam menetapkan pembayaran fidyah dan sebelum membebaskannya, maka ia wajib menanggungnya dengan membayar diyat kepada ahli warisnya, bukan kepada para mujahid yang mendapatkan ghanimah, karena fidyahnya telah diambil.

وَالضَّرْبُ الثَّالِثُ أَنْ يَقْتُلَهُ بَعْدَ قَبْضِ فِدَائِهِ وَإِطْلَاقِهِ إِلَى مَأْمَنِهِ فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ لِعَوْدِهِ إِلَى مَا كَانَ عَلَيْهِ قَبْلَ أَسْرِهِ

Jenis yang ketiga adalah apabila ia membunuhnya setelah menerima tebusannya dan membebaskannya hingga sampai ke tempat aman, maka tidak ada tanggungan atasnya karena ia telah kembali kepada keadaan semula sebelum ditawan.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ مِنْ أَقْسَامِ الْأَصْلِ أَنْ يَكُونَ الْإِمَامُ قَدْ مَنَّ عَلَيْهِ فَقَتَلَهُ بَعْدَ الْمَنِّ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ

Bagian keempat dari macam-macam asal adalah apabila imam telah memberikan pengampunan kepadanya, lalu membunuhnya setelah pengampunan tersebut; maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَقْتُلَهُ قَبْلَ حُصُولِهِ فِي مَأْمَنِهِ فَيَضْمَنَهُ بِالدِّيَةِ لِوَرَثَتِهِ

Salah satunya adalah membunuhnya sebelum ia sampai di tempat amannya, maka pelaku wajib membayar diyat kepada ahli warisnya.

وَالثَّانِي أَنْ يَقْتُلَهُ بَعْدَ حُصُولِهِ فِي مَأْمَنِهِ فَلَا يَضْمَنَهُ وَيَكُونَ دَمُهُ هَدْرًا

Yang kedua adalah jika ia membunuhnya setelah orang itu berada di tempat amannya, maka ia tidak menanggung diyat, dan darahnya menjadi sia-sia (tidak ada tuntutan hukum atasnya).

وَأَمَّا إِذَا قَتَلَهُ قَبْلَ أَنْ يَقْضِيَ الْإِمَامُ فِيهِ بِأَحَدِ هَذِهِ الْأَحْكَامِ الْأَرْبَعَةِ فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ لَكِنْ يُعَزَّرُ أَدَبًا وَقَالَ الْأَوْزَاعِيُّ يَضْمَنُهُ بِالدِّيَةِ لِلْغَانِمِينَ لِافْتِيَاتِهِ عَلَيْهِمْ وَهَذَا خَطَأٌ خَطَأٌ لِأَمْرَيْنِ

Adapun jika ia membunuhnya sebelum imam memutuskan salah satu dari empat hukum tersebut, maka tidak ada kewajiban ganti rugi atasnya, namun ia tetap diberi hukuman ta‘zīr sebagai pelajaran. Al-Awzā‘ī berpendapat bahwa ia wajib membayar diyat kepada para penakluk karena telah melampaui hak mereka, namun pendapat ini keliru karena dua alasan.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ عَلَى أَصْلِ الْإِبَاحَةِ مَا لَمْ يَحْدُثْ حَظْرٌ فَأَشْبَهَ الْمُرْتَدَّ

Salah satunya adalah bahwa hukum asalnya adalah mubah selama tidak ada larangan yang muncul, sehingga serupa dengan hukum murtad.

وَالثَّانِي أَنَّ قَتْلَ الْإِمَامِ لَهُ لَمَّا لَمْ يُوجِبْ ضَمَانًا لَمْ يُوجِبْ قَتْلَ غَيْرِهِ كَالْحَرْبِيِّ

Kedua, bahwa pembunuhan yang dilakukan oleh imam terhadapnya, karena tidak mewajibkan adanya tanggungan (diyat), maka tidak pula mewajibkan pembunuhan terhadap selainnya, seperti halnya orang harbi.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قال الشافعي ” وَإِنْ أَسْلَمُوا بَعْدَ الْأَسْرِ رُقُّوا وَإِنْ أَسْلَمُوا قَبْلَ الْأَسْرِ فَهُمْ أَحْرَارٌ “

Syafi‘i berkata, “Jika mereka masuk Islam setelah ditawan, maka mereka menjadi budak. Namun jika mereka masuk Islam sebelum ditawan, maka mereka tetap merdeka.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَجُمْلَةُ إِسْلَامِهِمْ ضَرْبَانِ

Al-Mawardi berkata, “Secara umum, keislaman mereka terbagi menjadi dua jenis.”

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ قَبْلَ أَسْرِهِمْ فَيَسْقُطَ خِيَارُ الْإِمَامِ فِيهِمْ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُقْتَلَ وَلَا يُسْتَرَقَّ وَلَا يُفَادَى وَهُمْ كَمَنْ أَسْلَمَ قَبْلَ الْقِتَالِ فِي جَمِيعِ أَحْكَامِ الْمُسْلِمِينَ وَسَوَاءٌ أَسْلَمُوا وَهُمْ قَادِرُونَ عَلَى الْهَرَبِ أَوْ كَانُوا فِي حِصَارٍ أَوْ مَضِيقٍ قَدْ أُحِيطَ بِهِمْ وَلَوْ فِي بِئْرٍ لِأَنَّهُمْ قَبْلَ الْإِسَارِ يَجُوزُ أَنْ يَتَخَلَّصُوا فَجَرَى عَلَى إِسْلَامِهِمْ حُكْمُ الاختيار

Salah satunya adalah jika mereka masuk Islam sebelum ditawan, maka hak pilihan imam terhadap mereka gugur, sehingga tidak boleh dibunuh, tidak boleh dijadikan budak, dan tidak boleh ditebus. Mereka diperlakukan seperti orang yang masuk Islam sebelum pertempuran dalam seluruh hukum yang berlaku bagi kaum Muslimin. Sama saja apakah mereka masuk Islam ketika masih mampu melarikan diri, atau ketika sedang dalam pengepungan atau dalam kondisi terjepit yang telah dikepung, bahkan sekalipun berada di dalam sumur, karena sebelum ditawan mereka masih mungkin untuk melepaskan diri, sehingga atas keislaman mereka berlaku hukum pilihan.

وَقَدْ أَسْلَمَ ابْنَا شُعْبَةَ الْيَهُودِيَّانِ فِي حِصَارٍ فَأَحْرَزَا بِإِسْلَامِهِمَا دِمَاءَهُمَا وَأَمْوَالَهُمَا وَهَكَذَا مَنْ بَذَلَ الْجِزْيَةَ قَبْلَ الْإِسَارِ حُقِنَ بِهَا دَمُهُ وَحَرُمَ بِهَا اسْتِرْقَاقُهُ وَصَارَتْ لَهُ بِهَا ذِمَّةٌ كَسَائِرِ أَهْلِ الذِّمَّةِ فَإِنْ أَقَامَ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ مَنَعْنَا عَنْهُ نُفُوسَنَا وَغَيْرَنَا وَإِنْ أَقَامَ فِي دَارِ الْحَرْبِ مَنَعْنَا عَنْهُ نُفُوسَنَا وَلَمْ يَلْزَمْ أَنْ نَمْنَعَ مِنْهُ غَيْرَنَا

Dua orang Yahudi dari Bani Syu‘bah telah masuk Islam saat pengepungan, sehingga dengan keislaman mereka, darah dan harta mereka terlindungi. Demikian pula, siapa saja yang membayar jizyah sebelum ditawan, maka darahnya terlindungi dengan itu, diharamkan untuk diperbudak, dan ia mendapatkan perlindungan (dzimmah) seperti halnya seluruh ahludz-dzimmah. Jika ia tinggal di Darul Islam, kita wajib melindunginya dari diri kita sendiri dan dari orang lain. Namun jika ia tinggal di Darul Harb, kita hanya wajib melindunginya dari diri kita sendiri, dan tidak wajib melindunginya dari orang lain.

فَصْلٌ

Fasal

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يُسْلِمُوا بَعْدَ الْإِسَارِ وَحُصُولِهِمْ فِي أَيْدِي الْمُسْلِمِينَ فَيَسْقُطُ الْقَتْلُ عَنْهُمْ بِإِسْلَامِهِمْ وَيَحْقِنُوا بِهِ دِمَاءَهُمْ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَإِذَا قَالُوهَا عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمَوَالَهُمْ ” فَثَبَتَ أَنَّ الْإِسْلَامَ مُوجِبٌ لِحَقْنِ دمائهم فإن بذلوا الجزية بعد الإسراء وَلَمْ يُسْلِمُوا نُظِرِ فِيهِمْ فَإِنْ كَانُوا مِنْ عَبَدَةِ الْأَوْثَانِ لَمْ تُقْبَلْ جِزْيَتُهُمْ وَلَمْ تُحْقَنْ بها دماؤهم ووإن كان مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَفِي حَقْنِ دِمَائِهِمْ وَقَبُولِ الْجِزْيَةِ بَعْدَ الْإِسَارِ وَجْهَانِ حَكَاهُمَا ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ

Jenis yang kedua adalah apabila mereka masuk Islam setelah tertawan dan berada dalam kekuasaan kaum Muslimin, maka gugurlah hukuman bunuh terhadap mereka karena keislaman mereka, dan dengan itu darah mereka terlindungi, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘Lā ilāha illā Allāh’, maka apabila mereka telah mengucapkannya, mereka telah melindungi darah dan harta mereka dariku.” Maka telah tetap bahwa Islam menjadi sebab perlindungan darah mereka. Jika mereka menawarkan jizyah setelah tertawan dan tidak masuk Islam, maka perlu dilihat keadaan mereka: jika mereka adalah penyembah berhala, maka jizyah mereka tidak diterima dan darah mereka tidak terlindungi dengan itu; namun jika mereka termasuk Ahlul Kitab, maka dalam hal perlindungan darah mereka dan penerimaan jizyah setelah tertawan terdapat dua pendapat yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hurairah.

أَحَدُهُمَا تُحْقَنُ بِهَا دِمَاؤُهُمْ بَعْدَ الْإِسَارِ كَمَا تُحْقَنُ بِهَا دِمَاؤُهُمْ قَبْلَ الْإِسَارِ كَالْإِسْلَامِ

Salah satunya adalah yang dengannya darah mereka dilindungi setelah tertawan, sebagaimana darah mereka juga dilindungi dengannya sebelum tertawan, seperti Islam.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا تُحْقَنُ بِهَا دِمَاؤُهُمْ بَعْدَ الْإِسَارِ وَإِنْ حُقِنَتْ بِهَا قَبْلَهُ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَلَيْسَ لَهُمْ بَعْدَ الْإِسَارِ يَدٌ

Pendapat kedua: darah mereka tidak dilindungi setelah mereka menjadi tawanan, meskipun sebelumnya darah mereka dilindungi, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “hingga mereka membayar jizyah dengan tangan mereka sendiri,” dan setelah menjadi tawanan, mereka tidak lagi memiliki “tangan” (kekuasaan atau kemampuan untuk membayar jizyah).

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا سَقَطَ قَتْلُهُمْ بَعْدَ الْإِسَارِ بِالْإِسْلَامِ فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ هَاهُنَا فَإِنْ أَسْلَمُوا بَعْدَ الْإِسَارِ رُقُّوا وَإِنْ أَسْلَمُوا قَبْلَ الْإِسَارِ فَهُمْ أَحْرَارٌ وَظَاهِرُ هَذَا الْكَلَامِ أَنَّهُمْ قَدْ صَارُوا رَقِيقًا بِالْإِسْلَامِ مِنْ غَيْرِ اسْتِرْقَاقٍ وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ إِنَّهُمْ لَا يَصِيرُونَ رَقِيقًا حَتَّى يُسْتَرَقُّوا فَخَرَّجَهُ أَصْحَابُنَا عَلَى قَوْلَيْنِ

Maka apabila gugur hukuman membunuh mereka setelah mereka menjadi tawanan karena masuk Islam, maka asy-Syafi‘i berkata di sini: Jika mereka masuk Islam setelah menjadi tawanan, mereka menjadi budak; dan jika mereka masuk Islam sebelum menjadi tawanan, maka mereka tetap merdeka. Lafal perkataan ini menunjukkan bahwa mereka menjadi budak dengan masuk Islam tanpa proses perbudakan. Namun, beliau berkata di tempat lain bahwa mereka tidak menjadi budak sampai benar-benar diperbudak. Para ulama kami pun mengeluarkan dua pendapat dalam masalah ini.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُمْ قَدْ رُقُّوا بِالْإِسْلَامِ لِأَنَّ كُلَّ أَسِيرٍ حَرُمَ قَتْلُهُ رُقَّ كَالنِّسَاءِ وَالصِّبْيَانِ فَعَلَى هَذَا يَسْقُطُ خِيَارُ الْإِمَامِ فِي الْفِدَاءِ وَالْمَنِّ

Salah satu pendapat menyatakan bahwa mereka telah menjadi budak karena Islam, sebab setiap tawanan yang diharamkan untuk dibunuh menjadi budak, seperti perempuan dan anak-anak. Dengan demikian, pilihan imam dalam hal tebusan dan pembebasan menjadi gugur.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي وَهُوَ أَصَحُّ إنهم لا يرقوا إِلَّا بِالِاسْتِرْقَاقِ لِأَنَّ سُقُوطَ الْخِيَارِ مِنَ الْقَتْلِ لَا يُوجِبُ سُقُوطَهُ فِي الْبَاقِي كَالْكَفَّارَةِ إِذَا سَقَطَ خِيَارُهُ فِي الْعِتْقِ لِعَدَمِهِ لَمْ يَسْقُطْ خِيَارُهُ فِيمَا عَدَاهُ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ الْإِمَامُ عَلَى خِيَارِهِ فِيهِ بَيْنَ الِاسْتِرْقَاقِ أَوِ الْفِدَاءِ أَوِ الْمَنِّ لِمَا رُوِيَ أَنَّ الْعُقَيْلِيَّ أُسِرَ وَأُوثِقَ فِي الْحَرَّةِ فَمَرَّ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فقال يَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِمَ أُخِذْتُ وَأُخِذَتْ سَابِقَةُ الْحَاجِّ فَقَالَ بِجَرِيرَتِكَ وَجَرِيرَةِ حُلَفَائِكَ مِنْ ثَقِيفٍ فَقَالَ إِنِّي جَائِعٌ فَأَطْعِمْنِي وَعَطْشَانُ فَأَسْقِنِي فَأَطْعَمَهُ وَسَقَاهُ فَقَالَ لَهُ أَسْلِمْ فَأَسْلَمَ فَقَالَ لَوْ قُلْتَهَا قَبْلَ هَذَا لَأَفْلَحْتَ كُلَّ الْفَلَاحِ وَفَادَاهُ بِرَجُلَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Pendapat kedua, yang lebih shahih, adalah bahwa mereka tidak boleh dijadikan budak kecuali dengan proses istirqāq, karena gugurnya pilihan untuk membunuh tidak menyebabkan gugurnya pilihan dalam hal-hal lainnya, seperti dalam kasus kafārah; jika pilihan untuk memerdekakan budak gugur karena tidak adanya budak, maka pilihan dalam hal lainnya tidak gugur. Berdasarkan hal ini, imam tetap memiliki pilihan antara istirqāq, fidyah, atau pembebasan (man), sebagaimana diriwayatkan bahwa ‘Uqaili pernah ditawan dan diikat di al-Harrah. Rasulullah ﷺ melewatinya, lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah ﷺ, karena apa aku ditawan dan juga Sabiqah al-Hajj?” Beliau menjawab, “Karena kesalahanmu dan kesalahan sekutu-sekutumu dari Tsaqif.” Ia berkata, “Aku lapar, maka berilah aku makan; aku haus, maka berilah aku minum.” Maka beliau memberinya makan dan minum. Kemudian beliau berkata kepadanya, “Masuk Islamlah!” Maka ia pun masuk Islam. Beliau bersabda, “Seandainya engkau mengucapkannya sebelum ini, niscaya engkau akan memperoleh keberuntungan yang sempurna.” Lalu beliau menebusnya dengan dua orang Muslim.

فَدَلَّ هَذَا الْخَبَرُ عَلَى أَنَّهُ لَا يُرَقُّ بِالْإِسْلَامِ حَتَّى يُسْتَرَقَّ وَأَنَّهُ لَا يَسْقُطُ خِيَارُهُ فِي الْفِدَاءِ وَالْمَنِّ وَقَوْلُهُ وَأُخِذَتْ سَابِقَةُ الْحَاجِّ يَعْنِي بِهَا نَاقَةً كَانَتْ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ سَابِقَةَ الْحَاجِّ أَخَذَهَا الْمُشْرِكُونَ وَصَارَتْ إِلَى الْعُقَيْلِيِّ فَأُخِذَتْ مِنْهُ بَعْدَ أَسْرِهِ فَأَرَادَ بِذَلِكَ أَنَّ سَابِقَةَ الْحَاجِّ قَدْ أُخِذَتْ مِنِّي فَفِيمَ أُوخَذُ بَعْدَهَا فَقَالَ لَهُ ” بِجَرِيرَتِكَ وَجَرِيرَةِ قَوْمِكَ ” يَعْنِي بجنايتك وجناية قومك لأنهم نقصوا عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ

Maka hadis ini menunjukkan bahwa seseorang tidak menjadi budak hanya karena masuk Islam sampai ia benar-benar diperbudak, dan bahwa hak pilihannya dalam tebusan dan pembebasan tidak gugur. Adapun ucapannya “dan telah diambil Sābiqah al-Ḥājj,” maksudnya adalah seekor unta milik Rasulullah ﷺ yang bernama Sābiqah al-Ḥājj, yang diambil oleh kaum musyrik dan kemudian berpindah ke tangan al-‘Uqaili, lalu diambil darinya setelah ia ditawan. Dengan itu, ia bermaksud bahwa Sābiqah al-Ḥājj telah diambil dariku, maka untuk apa aku diambil setelahnya? Maka dikatakan kepadanya, “karena kesalahanmu dan kesalahan kaummu,” maksudnya karena pelanggaranmu dan pelanggaran kaummu, karena mereka telah melanggar perjanjian Rasulullah ﷺ.

فَإِنْ قِيلَ فَكَيْفَ يُؤْخَذُ بِجِنَايَةِ غَيْرِهِ مِنْ قومه

Jika dikatakan, “Lalu bagaimana mungkin seseorang dibebani akibat kejahatan orang lain dari kaumnya?”

قيل لما كان منهم ومشاركا لهم فِي أَفْعَالِهِمْ صَارَ مُشَارِكًا لَهُمْ فِي الْأَخْذِ بجنايتهم فأما إن سقط عنه القتل به الْإِسَارُ بِبَذْلِ الْجِزْيَةِ عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ مِنَ الْوَجْهَيْنِ لَمْ يُرَقَّ بِبَذْلِهَا قَوْلًا وَاحِدًا حَتَّى يُسْتَرَقَّ وَكَانَ الْإِمَامُ فِيهِ عَلَى خِيَارِهِ بَيْنَ اسْتِرْقَاقِهِ وَمُفَادَاتِهِ وَالْمَنِّ عَلَيْهِ بِخِلَافِ الْإِسْلَامِ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ لِأَنَّ بَقَاءَ كُفْرِهِ يُوجِبُ إِبْقَاءَ أحكامه

Dikatakan bahwa karena ia termasuk golongan mereka dan turut serta dalam perbuatan-perbuatan mereka, maka ia pun turut serta bersama mereka dalam menerima hukuman atas kejahatan mereka. Adapun jika hukuman mati gugur darinya karena ia menjadi tawanan dengan membayar jizyah, sebagaimana telah kami sebutkan dari dua sisi, maka ia tidak menjadi budak hanya dengan membayar jizyah menurut satu pendapat, sampai ia benar-benar diperbudak. Dalam hal ini, imam memiliki pilihan antara memperbudaknya, menebusnya, atau membebaskannya, berbeda dengan Islam menurut salah satu pendapat, karena tetapnya kekufurannya mengharuskan tetapnya hukum-hukumnya.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَإِذَا الْتَقَوْا وَالْعَدُوَّ فَلَا يُوَلُّوهُمُ الْأَدْبَارَ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ ” مَنْ فَرَّ مِنْ ثَلَاثَةٍ فَلَمْ يَفِرَّ وَمَنْ فَرَّ مِنَ اثْنَيْنِ فَقَدْ فَرَّ ” قال الشافعي هذا على معنى التنزيل فإذا فر الواحد من الاثنين فأقل إِلا مُتَحَرِّفًا لِقِتَالٍ أَوْ مُتَحَيِّزًا إِلَى فِئَةٍ من المسلمين قلت أو كثرت بحضرته أو مبينة عنه فسواء ونيته في التحريف والتحيز ليعود للقتال المستثنى المخرج من سخط الله فإن كان هربه على غير هذا المعنى خفت عليه إلا أن يعفو الله أن يكون قد باء بسخط من الله “

Syafi‘i berkata, “Apabila mereka bertemu dengan musuh, maka janganlah mereka membelakangi musuh. Ibnu ‘Abbas berkata, ‘Barang siapa lari dari tiga orang, maka ia tidak dianggap lari; dan barang siapa lari dari dua orang, maka sungguh ia telah lari.’ Syafi‘i berkata, ini sesuai dengan makna ayat. Jika seseorang lari dari dua orang atau kurang, kecuali karena bermanuver untuk bertempur atau bergabung dengan kelompok kaum muslimin, baik kelompok itu sedikit atau banyak, berada di dekatnya atau terpisah darinya, maka hukumnya sama saja. Niatnya dalam bermanuver atau bergabung adalah untuk kembali bertempur, sebagaimana dikecualikan dari kemurkaan Allah. Namun, jika pelariannya bukan karena alasan tersebut, aku khawatir ia akan terkena murka Allah, kecuali Allah mengampuninya, karena ia telah kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الْجِهَادَ مِنْ فُرُوضِ الْكِفَايَاتِ قَبْلَ الْتِقَاءِ الزَّحْفَيْنِ وَمِنْ فُرُوضِ الْأَعْيَانِ إِذَا الْتَقَى الزَّحْفَانِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى يأيها الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا فَأَمَرَ بِمُصَابَرَةِ الْعَدُوِّ بَعْدَ لِقَائِهِ وَالثَّبَاتِ لِقِتَالِهِ وقال تعالى يأيها الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا الْآيَةَ وَفِيهِ تَأْوِيلَانِ

Al-Mawardi berkata: Kami telah menyebutkan bahwa jihad merupakan fardhu kifayah sebelum dua pasukan saling berhadapan, dan menjadi fardhu ‘ain apabila kedua pasukan telah saling berhadapan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian bertemu dengan suatu golongan (musuh), maka tetaplah teguhlah kalian,” maka Allah memerintahkan untuk bersabar menghadapi musuh setelah pertemuan itu dan tetap teguh dalam memerangi mereka. Dan firman Allah Ta‘ala: “Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian, kuatkanlah kesabaran kalian, dan tetaplah bersiaga…” (ayat). Dalam hal ini terdapat dua penafsiran.

أَحَدُهُمَا اصْبِرُوا عَلَى طَاعَةِ اللَّهِ وَصَابِرُوا أَعْدَاءَ اللَّهِ وَرَابِطُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَهَذَا قَوْلُ الْحَسَنِ وَقَتَادَةَ

Salah satunya adalah: bersabarlah dalam ketaatan kepada Allah, saling menguatkanlah dalam menghadapi musuh-musuh Allah, dan berjaga-jagalah di jalan Allah. Inilah pendapat al-Hasan dan Qatadah.

وَالثَّانِي اصْبِرُوا عَلَى دِينِكُمْ وَصَابِرُوا الْوَعْدَ الَّذِي وَعَدَكُمْ وَ ” رَابِطُوا ” عَدُوِّي وَعَدُّوَكُمْ وَهَذَا قَوْلُ مُحَمَّدِ بْنِ كَعْبٍ

Dan yang kedua, bersabarlah kalian dalam menjaga agama kalian, dan teguhlah dalam menanti janji yang telah dijanjikan kepada kalian, serta “berjaga-jagalah” terhadap musuhku dan musuh kalian. Inilah pendapat Muhammad bin Ka‘b.

وَقَوْلُهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ أَيْ لِتُفْلِحُوا وَفِيهِ تَأْوِيلَانِ

Dan firman-Nya “agar kalian beruntung” maksudnya adalah supaya kalian beruntung, dan dalam hal ini terdapat dua penafsiran.

أَحَدُهُمَا لِتُؤَدُّوا فَرْضَكُمْ

Salah satunya adalah agar kalian menunaikan kewajiban kalian.

وَالثَّانِي لِتُنْصَرُوا عَلَى عَدُوِّكُمْ

Dan yang kedua, agar kalian mendapat pertolongan atas musuh kalian.

وَأَصْلُ هَذَا أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَوْجَبَ فِي ابْتِدَاءِ فَرْضِ الْجِهَادِ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ أَنْ يُصَابِرَ فِي الْقِتَالِ عَشَرَةً مِنَ الْمُشْرِكِينَ بِقَوْلِهِ تعالى يأيها النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَفْقَهُونَ وَفِيهِ تَأْوِيلَانِ

Dasar dari hal ini adalah bahwa Allah Ta‘ala pada permulaan pensyariatan kewajiban jihad mewajibkan kepada setiap Muslim untuk bersabar dalam pertempuran menghadapi sepuluh orang musyrik, sebagaimana firman-Nya Ta‘ala: “Wahai Nabi, kobarkanlah semangat orang-orang mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kalian, mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang di antara kalian, mereka akan dapat mengalahkan seribu orang dari orang-orang kafir, karena mereka adalah kaum yang tidak memahami.” Dalam ayat ini terdapat dua penafsiran.

أَحَدُهُمَا لَا يَعْلَمُونَ مَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ مِنَ الْإِسْلَامِ

Salah satunya adalah mereka tidak mengetahui apa yang telah Allah wajibkan atas kalian dari ajaran Islam.

وَالثَّانِي لَا يَعْلَمُونَ مَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ مِنَ الْقِتَالِ ثُمَّ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى نَسَخَ ذَلِكَ عَنْهُمْ عِنْدَ كَثْرَتِهِمْ وَاشْتِدَادِ شوكتهم لعلمه لدخول الْمَشَقَّةِ عَلَيْهِمْ فَأَوْجَبَ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ لَاقَى الْمُشْرِكِينَ مُحَارِبًا أَنْ يَقِفَ بِإِزَاءِ رَجُلَيْنِ بَعْدَ أَنْ كَانَ عَلَيْهِ أَنْ يَقِفَ بِإِزَاءِ عَشَرَةٍ تَخْفِيفًا وَرُخْصَةً بِقَوْلِهِ تَعَالَى الآنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا فَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ منكم ألف يغلبون أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ وَفِيهِ تَأْوِيلَانِ

Dan yang kedua, mereka tidak mengetahui apa yang telah Allah wajibkan atas kalian berupa kewajiban berperang. Kemudian Allah Ta‘ala telah menghapus (hukum) tersebut dari mereka ketika jumlah mereka telah banyak dan kekuatan mereka telah bertambah, karena Allah mengetahui adanya kesulitan yang akan menimpa mereka. Maka Allah mewajibkan atas setiap Muslim yang menghadapi kaum musyrik dalam peperangan untuk berdiri menghadapi dua orang (musuh), setelah sebelumnya ia diwajibkan untuk menghadapi sepuluh orang, sebagai bentuk keringanan dan kemurahan, sebagaimana firman-Nya Ta‘ala: “Sekarang Allah telah meringankan kalian dan Dia mengetahui bahwa ada kelemahan pada kalian. Maka jika di antara kalian ada seratus orang yang sabar, mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika di antara kalian ada seribu orang, mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang dengan izin Allah. Dan Allah bersama orang-orang yang sabar.” Dalam ayat ini terdapat dua penafsiran.

أَحَدُهُمَا بِمَعُونَةِ اللَّهِ

Salah satunya dengan pertolongan Allah.

وَالثَّانِي بِمَشِيئَةِ الله والله مع الصابرين وَفِيهِ تَأْوِيلَانِ

Dan yang kedua adalah dengan kehendak Allah, dan Allah bersama orang-orang yang sabar, dan di dalamnya terdapat dua penafsiran.

أَحَدُهُمَا مَعَ الصَّابِرِينَ عَلَى الْقِتَالِ فِي مَعُونَتِهِمْ عَلَى عَدُوِّهِمْ

Salah satunya adalah bersama orang-orang yang sabar dalam peperangan, dengan membantu mereka menghadapi musuh mereka.

وَالثَّانِي مَعَ الصَّابِرِينَ عَلَى الطَّاعَةِ فِي قَبُولِ عَمَلِهِمْ وَإِجْزَالِ ثَوَابِهِمْ فَصَارَ فَرْضًا عَلَى كُلِّ رَجُلٍ مُسْلِمٍ لَاقَى عَدُوَّهُ زَحْفًا فِي الْقِتَالِ أَنْ يُقَاتِلَ رَجُلَيْنِ مُصَابِرًا لِقِتَالِهِمَا وَلَا يَلْزَمُهُ مُصَابَرَةَ أَكْثَرَ مِنْ رَجُلَيْنِ وَلَيْسَ الْمُرَادُ بِهِ الْوَاحِدَ إِذَا انْفَرَدَ أَنْ يُصَابِرَ قِتَالَ رَجُلَيْنِ وَإِنَّمَا الْمُرَادُ بِهِ الْجَمَاعَةُ مِنَ الْمُسْلِمِينَ إِذَا لَاقَوْا عَدُوَّهُمْ أَنْ يُصَابِرُوا قِتَالَ مِثْلَيْ عَدَدِهِمْ هَذَا مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَبِهِ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ

Yang kedua adalah bersama orang-orang yang sabar dalam ketaatan, dalam menerima amal mereka dan melipatgandakan pahala mereka. Maka menjadi kewajiban bagi setiap laki-laki Muslim yang menghadapi musuhnya dalam pertempuran untuk melawan dua orang musuh dengan penuh kesabaran, dan tidak diwajibkan baginya untuk bersabar melawan lebih dari dua orang. Yang dimaksud di sini bukanlah satu orang jika sendirian harus bersabar melawan dua orang, melainkan yang dimaksud adalah sekelompok kaum Muslimin apabila mereka menghadapi musuh mereka, maka mereka harus bersabar melawan musuh yang jumlahnya dua kali lipat dari jumlah mereka. Inilah mazhab Syafi‘i dan pendapat ini juga dikatakan oleh ‘Abdullah bin ‘Abbas.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ هَذَا إِخْبَارٌ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى عَنْ حَالِهِمْ وَمَوْعِدٌ مِنْهُ إِذَا صَابَرُوا مِثْلَيْ عَدَدِهِمْ أَنْ يَغْلِبُوا وَلَيْسَ بِأَمْرٍ مَفْرُوضٍ اعْتِبَارًا بِلَفْظِ الْقُرْآنِ وَأَنَّهُ خَارِجٌ مَخْرَجَ الْخَبَرِ دُونَ الْأَمْرِ

Abu Hanifah berkata, “Ini adalah pemberitahuan dari Allah Ta‘ala tentang keadaan mereka dan janji dari-Nya bahwa jika mereka bersabar menghadapi dua kali lipat jumlah musuh, maka mereka akan menang. Ini bukanlah perintah yang diwajibkan, dengan mempertimbangkan lafaz Al-Qur’an, dan bahwa ayat tersebut berbentuk pemberitahuan, bukan perintah.”

وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ وَقَتَادَةُ هُوَ خَارِجٌ مَخْرَجَ الْأَمْرِ لَكِنَّهُ خَاصٌّ فِي أَهْلِ بَدْرٍ دُونَ غَيْرِهِمْ وَكِلَا الْقَوْلَيْنِ فَاسِدٌ لِأَنَّهُ لَوْ خَرَجَ مَخْرَجَ الْخَبَرِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ بِخِلَافِ مُخْبَرِهِ وَقَدْ يُوجَدُ أَحْيَانًا خِلَافُهُ وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَخْتَصَّ بِأَهْلِ بَدْرٍ لِنُزُولِ الْآيَةِ بَعْدَ بَدْرٍ وَأَنَّ مَنْ قَاتَلَ بِبَدْرٍ إِنْ لم نخفف عَنْهُمْ لَمْ يُغْلَظْ عَلَيْهِمْ فَثَبَتَ أَنَّهُ أَمْرٌ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى مَحْمُولٌ عَلَى الْعُمُومِ

Al-Hasan al-Bashri dan Qatadah berkata bahwa ayat tersebut berbentuk perintah, namun khusus ditujukan kepada para peserta Perang Badar saja, tidak kepada selain mereka. Kedua pendapat ini rusak, karena jika ayat itu berbentuk khabar (pemberitaan), maka tidak boleh bertentangan dengan apa yang diberitakan, sementara terkadang ditemukan adanya pertentangan. Dan tidak boleh pula ayat itu dikhususkan hanya untuk para peserta Perang Badar, karena ayat tersebut turun setelah Perang Badar, dan siapa pun yang telah berperang di Badar, jika tidak diringankan bagi mereka, maka tidak akan dipersulit atas mereka. Maka tetaplah bahwa ayat itu adalah perintah dari Allah Ta‘ala yang berlaku umum.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّ فَرْضَ الْمُصَابَرَةِ فِي قِتَالِ الْمُشْرِكِينَ أَنْ يَقِفُوا مُصَابِرِينَ لِقِتَالِهِمْ مِثْلَيْهِمْ وَلَا يَلْزَمَهُمْ مُصَابَرَةُ أَكْثَرَ مِنْ مِثْلَيْهِمْ فَلَهُمْ فِي القتال حالتان

Maka apabila telah ditetapkan bahwa kewajiban bertahan dalam pertempuran melawan orang-orang musyrik adalah mereka harus tetap bertahan menghadapi dua kali lipat jumlah musuh, dan tidak diwajibkan bagi mereka untuk bertahan melawan lebih dari dua kali lipat jumlah musuh, maka dalam peperangan mereka memiliki dua keadaan.

إحداهما أن يرجو الظَّفَرَ بِهِمْ إِنْ صَابَرُوهُمْ فَوَاجِبٌ عَلَيْهِمْ مُصَابَرَةُ عَدُوِّهُمْ حَتَّى يَظْفَرُوا بِهِمْ سَوَاءٌ قَلُّوا أَوْ كَثُرُوا وَهَذَا أَكْثَرُ مُرَادِ الْآيَةِ

Salah satunya adalah jika mereka berharap dapat mengalahkan musuh apabila mereka bersabar dalam menghadapi mereka, maka wajib bagi mereka untuk bersabar menghadapi musuh mereka sampai mereka berhasil mengalahkan mereka, baik jumlah mereka sedikit maupun banyak, dan inilah makna yang paling banyak dimaksudkan dari ayat tersebut.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أن لا يرجو الظَّفَرَ بِهِمْ فَهَاهُنَا يُعْتَبَرُ الْمُشْرِكُونَ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ مِثْلَيِ الْمُسْلِمِينَ جَازَ أَنْ يُوَلُّوا الْمُسْلِمِينَ عَنْهُمْ وَيَرْجِعُوا عَنْ قِتَالِهِمْ فَإِنْ أَقَامُوا عَلَى الْمُصَابَرَةِ وَالْقِتَالِ كَانَ مُقَامُهُمْ أَفْضَلَ إِنْ لَمْ يَتَحَقَّقُوا التَّلَفَ وَفِي جَوَازِهِ إِنْ تُحُقِّقَ وَجْهَانِ

Keadaan kedua adalah ketika tidak ada harapan untuk meraih kemenangan atas mereka. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah kaum musyrik. Jika jumlah mereka lebih dari dua kali lipat jumlah kaum Muslimin, maka boleh bagi kaum Muslimin untuk mundur dari mereka dan kembali dari peperangan melawan mereka. Namun, jika mereka tetap bertahan untuk bersabar dan terus berperang, maka bertahan mereka itu lebih utama selama mereka tidak yakin akan binasa. Adapun jika keyakinan akan binasa itu benar-benar terjadi, maka terdapat dua pendapat mengenai kebolehannya.

أَحَدُهُمَا يَجِبُ عَلَيْهِمْ أَنْ يُوَلُّوا وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُصَابِرُوا

Salah satunya wajib bagi mereka untuk mengangkat pemimpin, dan tidak boleh bagi mereka untuk tetap bersabar tanpa pemimpin.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي يَجُوزُ لَهُمْ أَنْ يُصَابِرُوا وَلَا يَجِبُ عَلَيْهِمْ أَنْ يُوَلُّوا وهذان الوجهان بناء على الاختلاف الوجهين فِيمَنْ أُرِيدَتْ نَفْسُهُ هَلْ يَجِبُ عَلَيْهِ الْمَنْعُ عَنْهُمَا أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ وَإِنْ كَانُوا مِثْلَيِ الْمُسْلِمِينَ فَأَقَلُّ حرم عَلَى الْمُسْلِمِينَ أَنْ يُوَلُّوا عَنْهَا وَيَنْهَزِمُوا مِنْهُمْ إِلَّا فِي حَالَتَيْنِ

Pendapat kedua, mereka boleh tetap bertahan dan tidak wajib bagi mereka untuk mundur. Dua pendapat ini didasarkan pada perbedaan pendapat mengenai seseorang yang jiwanya diincar: apakah wajib baginya untuk mencegah hal itu atau tidak? Ada dua pendapat. Jika jumlah mereka sama dengan atau lebih sedikit dari jumlah kaum Muslimin, maka diharamkan bagi kaum Muslimin untuk mundur dan melarikan diri dari mereka kecuali dalam dua keadaan.

إِحْدَاهُمَا أَنْ يَتَحَرَّفُوا لِقِتَالٍ

Salah satunya adalah mereka berpindah posisi untuk berperang.

وَالثَّانِيَةُ أَنْ يَتَحَيَّزُوا إلى فئة لقول الله تعالى يأيها الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا زَحْفًا فلا تولوهم الأدبار وَمَنْ يُوَلِّهِمْ يَوْمَئِذٍ دُبُرَهُ إِلا مُتَحَرِّفًا لِقِتَالٍ أَوْ مُتَحَيِّزًا إِلَى فِئَةٍ الْآيَةَ فَدَلَّ هَذَا الْوَعِيدُ عَلَى أَنَّ الْهَزِيمَةَ لِغَيْرِ هَذَيْنِ مِنْ كَبَائِرِ الْمَعَاصِي وَقَدْ ذَكَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ الْكَبَائِرَ فَذَكَرَ فِيهَا الْفِرَارَ مِنَ الزَّحْفِ

Dan yang kedua adalah berpindah ke kelompok lain, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian bertemu dengan orang-orang kafir dalam peperangan, maka janganlah kalian membelakangi mereka. Barang siapa pada hari itu membelakangi mereka, kecuali karena taktik perang atau hendak bergabung dengan kelompok lain, maka…” (ayat). Ancaman ini menunjukkan bahwa melarikan diri dari peperangan selain karena dua alasan tersebut termasuk dosa besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menyebutkan dosa-dosa besar, dan di antaranya beliau menyebutkan lari dari medan perang.

وَرُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ ” مَنْ فَرَّ مِنْ ثَلَاثَةٍ لَمْ يَفِرَّ وَمَنْ فَرَّ مِنَ اثْنَيْنِ فَقَدْ فَرَّ “

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa ia berkata, “Barangsiapa lari dari tiga orang, maka ia tidak dianggap lari, dan barangsiapa lari dari dua orang, maka sungguh ia telah lari.”

فَأَمَّا التَّحَرُّفُ لِلْقِتَالِ فَهُوَ أَنْ يَعْدِلَ عَنِ الْقِتَالِ إِلَى مَوْضِعٍ هُوَ أَصْلَحُ لِلْقِتَالِ بِأَنْ يَنْتَقِلَ مِنْ مَضِيقٍ إِلَى سَعَةٍ وَمِنْ حَزْنٍ إِلَى سُهُولَةٍ وَمِنْ مَعْطَشَةٍ إِلَى مَاءٍ وَمِنَ اسْتِقْبَالِ الرِّيحِ وَالشَّمْسِ إِلَى اسْتِدْبَارِهِمَا وَمِنْ مَوْضِعِ كَمِينٍ إِلَى حِرْزٍ أَوْ يُوَلِّيَ هَارِبًا لِيَعُودَ طَالِبًا لِأَنَّ الْحَرْبَ هَرَبٌ وَطَلَبٌ وَكَرٌّ وَفَرٌّ فَهَذَا وَمَا شَاكَلَهُ هُوَ التَّحَرُّفُ لِقِتَالٍ

Adapun berpindah tempat untuk bertempur adalah beralih dari posisi pertempuran ke tempat yang lebih baik untuk bertempur, seperti berpindah dari tempat yang sempit ke tempat yang lebih luas, dari medan yang sulit ke medan yang mudah, dari tempat yang kekurangan air ke tempat yang ada airnya, dari posisi menghadapi angin dan matahari ke posisi membelakangi keduanya, dari tempat yang rawan serangan mendadak ke tempat yang lebih aman, atau mundur untuk kemudian kembali menyerang, karena peperangan itu memang terdiri dari mundur dan maju, menyerang dan menarik diri. Inilah yang disebut berpindah tempat untuk bertempur dan segala sesuatu yang serupa dengannya.

وَأَمَّا التَّحَيُّزُ إِلَى فِئَةٍ فَهُوَ أَنْ يُوَلِّيَ لِيَنْضَمَّ إِلَى طَائِفَةٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ لِيَعُودَ مَعَهُمْ مُحَارِبًا وَسَوَاءٌ كَانَتِ الطَّائِفَةُ قَرِيبَةً أَوْ بَعِيدَةً

Adapun berpindah ke kelompok (tahayyuz) adalah seseorang pergi untuk bergabung dengan sekelompok kaum Muslimin agar ia dapat kembali bersama mereka dalam peperangan, baik kelompok itu dekat maupun jauh.

قَالَ الشَّافِعِيُّ ” قَرِيبَةً أَوْ مُبِينَةً ” يَعْنِي مُتَأَخِّرَةً حَتَّى لَوِ انْهَزَمَ مِنَ الرُّومِ إِلَى طَائِفَةٍ مِنَ الْحِجَازِ كَانَ مُتَحَيِّزًا إِلَى فِئَةٍ

Imam Syafi‘i berkata, “(Firqah) yang dekat atau yang jelas,” maksudnya adalah (firqah) yang datang belakangan, sehingga jika seseorang mundur dari pasukan Romawi menuju sekelompok orang dari Hijaz, maka ia dianggap telah bergabung kepada kelompok (fī’ah).

رُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ يَوْمَ الْقَادِسِيَّةِ أَنَا فِئَةُ كُلِّ مُسْلِمٍ فَإِنِ انْهَزَمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ مِثْلَيْ عَدَدِهِمْ غَيْرَ مُتَحَرِّفِينَ لِقِتَالٍ أَوْ مُتَحَيِّزِينَ إِلَى فِئَةٍ فَهُمْ عُصَاةٌ لِلَّهِ تَعَالَى فَسَقَةٌ فِي دِينِهِمْ إِلَّا أَنْ يَتُوبُوا

Diriwayatkan dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata pada hari Perang Qadisiyah: “Aku adalah kelompok penolong bagi setiap Muslim. Jika kaum Muslimin mundur dari musuh yang jumlahnya dua kali lipat dari mereka, tanpa bermaksud mengatur siasat perang atau bergabung dengan kelompok lain, maka mereka telah durhaka kepada Allah Ta‘ala dan fasik dalam agama mereka, kecuali jika mereka bertobat.”

وَهَلْ يَكُونُ مِنْ شُرُوطِ التَّوْبَةِ مُعَاوَدَةُ الْقِتَالِ اسْتِدْرَاكًا لِتَفْرِيطِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ

Apakah termasuk syarat taubat harus kembali berperang sebagai bentuk penebusan atas kelalaiannya atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا أن من شرط صحتها ومعاودة الْقِتَالِ اسْتِدْرَاكًا لِتَفْرِيطِهِ

Salah satunya adalah bahwa di antara syarat sahnya adalah mengulangi pertempuran sebagai upaya memperbaiki kelalaiannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَيْسَ مِنْ صِحَّتِهَا الْعَوْدُ وَلَكِنْ يَنْوِي أَنَّهُ مَتَى عَادَ لَمْ يَنْهَزِمْ إِلا مُتَحَرِّفًا لِقِتَالٍ أَوْ مُتَحَيِّزًا إِلَى فِئَةٍ وَسَوَاءٌ كَانَ الْمُسْلِمُونَ فُرْسَانًا وَالْمُشْرِكُونَ رَجَّالَةً فِي جَوَازِ انْهِزَامِهِمْ مِنْ أَكْثَرَ مِنْ مِثْلَيْ عَدَدِهِمْ أَوْ كَانَ الْمُسْلِمُونَ رَجَّالَةً وَالْمُشْرِكُونَ فُرْسَانًا فِي تَحْرِيمِ انْهِزَامِهِمْ مِنْ مِثْلِ عَدَدِهِمْ

Pendapat kedua bukanlah tentang sahnya kembali, tetapi berniat bahwa jika ia kembali, ia tidak akan mundur kecuali karena bermanuver untuk bertempur atau bergabung dengan kelompok lain. Sama saja apakah kaum Muslimin adalah pasukan berkuda dan kaum musyrikin pasukan pejalan kaki dalam kebolehan mundur mereka dari musuh yang jumlahnya lebih dari dua kali lipat mereka, atau kaum Muslimin adalah pasukan pejalan kaki dan kaum musyrikin pasukan berkuda dalam keharaman mundur mereka dari musuh yang jumlahnya sama dengan mereka.

فَصْلٌ

Fasal

فَأَمَّا الرَّجُلُ الْوَاحِدُ مِنَ الْمُسْلِمِينَ إِذَا لَقِيَ رَجُلَيْنِ مِنَ الْمُشْرِكِينَ فَإِنْ طَلَبَاهُ وَلَمْ يَطْلُبْهُمَا جَازَ لَهُ أَنْ يَنْهَزِمَ عَنْهُمَا لِأَنَّهُ غَيْرُ مُتَأَهِّبٍ لِقِتَالِهِمَا وَإِنْ طَلَبَهُمَا وَلَمْ يَطْلُبَاهُ فَفِي جَوَازِ انْهِزَامِهِ عَنْهُمَا وَجْهَانِ

Adapun seorang laki-laki muslim yang sendirian apabila menghadapi dua orang musyrik, maka jika keduanya mengejarnya dan ia tidak mengejar mereka, boleh baginya untuk mundur dari keduanya karena ia tidak siap untuk melawan mereka. Namun jika ia yang mengejar keduanya dan mereka tidak mengejarnya, maka dalam kebolehan mundur darinya terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ يَجُوزُ أَنْ يَنْهَزِمَ عَنْهُمَا بِخِلَافِ الْجَمَاعَةِ مَعَ الْجَمَاعَةِ لِأَنَّ فَرْضَ الْجِهَادِ فِي الْجَمَاعَةِ دُونَ الِانْفِرَادِ

Salah satu pendapat, yang merupakan pendapat yang tampak dari mazhab Syafi‘i, membolehkan untuk mundur dari keduanya, berbeda dengan kelompok bersama kelompok, karena kewajiban jihad itu berlaku pada kelompok, bukan pada individu.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي يَحْرُمُ عَلَيْهِ أَنْ يَنْهَزِمَ عَنْهُمَا إِلا مُتَحَرِّفًا لِقِتَالٍ أَوْ مُتَحَيِّزًا إِلَى فِئَةٍ كَالْجَمَاعَةِ لِأَنَّ طَلَبَهُ لَهُمَا قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِ حُكْمَ الْجَمَاعَةِ

Pendapat kedua, haram baginya untuk mundur dari keduanya kecuali jika bermanuver untuk strategi perang atau bergabung ke kelompok lain seperti jamaah, karena pencariannya terhadap keduanya telah mewajibkan atasnya hukum jamaah.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِنْ تَحَقَّقَتِ الْجَمَاعَةُ الْمُقَاتِلَةُ لِمِثْلَيْ عَدُوِّهِمْ أَنَّهُمْ إِنْ صَابَرُوهُمْ هَلَكُوا فَفِي جَوَازِ هَزِيمَتِهِمْ مِنْهُمْ غَيْرَ مُتَحَرِّفِينَ لِقِتَالٍ أَوْ مُتَحَيِّزِينَ إِلَى فِئَةٍ وَجْهَانِ

Jika suatu kelompok pejuang benar-benar yakin bahwa jika mereka tetap bertahan melawan musuh yang jumlahnya dua kali lipat dari mereka, niscaya mereka akan binasa, maka mengenai kebolehan mereka mundur dari musuh tersebut tanpa bermaksud mengatur siasat perang atau bergabung dengan kelompok lain, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يَجُوزُ لَهُمْ أَنْ يَنْهَزِمُوا لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

Salah satunya adalah mereka boleh mundur karena firman Allah Ta‘ala: “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.”

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا يَجُوزُ لَهُمْ أَنْ يَنْهَزِمُوا لِأَنَّ فِي التَّعَرُّضِ لِلْجِهَادِ أَنْ يكون قاتلا أو مقتولا ولأنهم يَقْدِرُونَ عَلَى اسْتِدْرَاكِ الْمَأْثَمِ فِي هَزِيمَتِهِمْ أَنْ ينووا التحرف لقتال أوالتحيز إلى فئة والله أعلم

Adapun pendapat kedua, tidak boleh bagi mereka untuk mundur, karena dalam keterlibatan dalam jihad terdapat kemungkinan menjadi pembunuh atau terbunuh. Selain itu, mereka mampu menghindari dosa dalam kemunduran mereka dengan berniat untuk berpindah guna bertempur kembali atau bergabung dengan kelompok lain. Dan Allah lebih mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَنَصَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَلَى أَهْلِ الطَّائِفِ مَنْجَنِيقًا أَوْ عَرَادَةً وَنَحْنُ نَعْلَمُ أَنَّ فِيهِمُ النِّسَاءَ وَالْوِلْدَانَ وَقَطَعَ أَمْوَالَ بَنِي النَّضِيرِ وَحَرَّقَهَا وَشَنَّ الْغَارَةَ عَلَى بَنِي الْمُصْطَلِقِ غَارِّينَ وَأَمَرَ بِالْبَيَاتِ وَالتَّحْرِيقِ “

Syafi‘i berkata, “Rasulullah saw. memasang manjaniq atau ‘arādah terhadap penduduk Thaif, padahal kita mengetahui bahwa di antara mereka terdapat perempuan dan anak-anak. Beliau juga memotong dan membakar harta Bani Nadhir, serta melakukan serangan mendadak terhadap Bani Musthaliq ketika mereka lengah, dan beliau memerintahkan penyerangan malam serta pembakaran.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كَمَا ذَكَرَ وَيَجُوزُ لِلْإِمَامِ أَنْ يُقَاتِلَ الْمُشْرِكِينَ بِكُلِّ مَا عَلِمَ أَنَّهُ يُفْضِي إِلَى الظَّفَرِ بِهِمْ مِنْ نَصْبِ الْمَنْجَنِيقِ وَالْعَرَادَةِ عَلَيْهِمْ وَقَدْ نَصَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَلَى الطَّائِفِ حِينَ حَاصَرَهَا بَعْدَ فَتْحِ مَكَّةَ مَنْجَنِيقًا أَوْ عَرَادَةً وَيَجُوزُ أَنْ يَشُنَّ عَلَيْهِمُ الْغَارَةَ وَهُمْ غَارُّونَ لَا يَعْلَمُونَ قَدْ شَنَّ رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ الْغَارَةَ عَلَى بَنِي الْمُصْطَلِقِ غَارِّينَ وَيَجُوزُ أَنْ يَضَعَ عَلَيْهِمُ الْبَيَاتَ لَيْلًا وَيَحْرِقَ عَلَيْهِمْ دِيَارَهُمْ ويلقي عليهم النِّيرَانَ وَالْحَيَّاتِ وَالْعَقَارِبَ وَيَهْدِمَ عَلَيْهِمُ الْبُيُوتَ وَيُجْرِيَ عليهم السيل وبقطع عَنْهُمُ الْمَاءَ وَيَفْعَلَ بِهِمْ جَمِيعَ مَا يُفْضِي إِلَى هَلَاكِهِمْ وَلَا يَمْنَعُ مَنْ فِيهِمْ مِنَ النِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ أَنْ يَفْعَلَ ذَلِكَ بِهِمْ وَإِنْ أفضى إلى هلاك نسائهم وأطفالهم لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لَمْ يَمْنَعْهُ مَنْ فِي بَنِي الْمُصْطَلِقِ مِنْهُمْ مِنْ شَنِّ الْغَارَاتِ عَلَيْهِمْ وَلَا مِنْ ثَقِيفٍ مِنْ نَصْبِ الْمَنْجَنِيقِ عَلَيْهِمْ وَلِأَنَّ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَنْ قَتْلِ النِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ إِنَّمَا كَانَ فِي السَّبْيِ الْمَغْنُومِ أَنْ يُقْتَلُوا صَبْرًا وَلِأَنَّهُمْ غَنِيمَةٌ فَأَمَّا وَهُمْ فِي دَارِ الْحَرْبِ فَهِيَ دَارُ إِبَاحَةٍ يَصِيرُونَ فِيهَا تَبَعًا لِرِجَالِهِمْ

Al-Mawardi berkata: “Hal ini sebagaimana yang telah disebutkan, dan dibolehkan bagi imam untuk memerangi kaum musyrik dengan segala cara yang diyakini dapat membawa kemenangan atas mereka, seperti memasang manjaniq (alat pelontar batu) dan ‘arādah (alat perang sejenis) terhadap mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memasang manjaniq atau ‘arādah terhadap Thaif ketika beliau mengepungnya setelah penaklukan Makkah. Dibolehkan juga melakukan serangan mendadak terhadap mereka saat mereka lengah dan tidak mengetahui, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyerang Bani Musthaliq ketika mereka lengah. Dibolehkan pula melakukan serangan malam terhadap mereka, membakar rumah-rumah mereka, melemparkan api, ular, dan kalajengking kepada mereka, merobohkan rumah-rumah mereka, mengalirkan banjir ke arah mereka, memutus pasokan air mereka, dan melakukan segala hal yang dapat menyebabkan kebinasaan mereka. Tidak ada larangan untuk melakukan hal-hal tersebut terhadap perempuan dan anak-anak yang ada di antara mereka, meskipun hal itu dapat menyebabkan kematian perempuan dan anak-anak mereka. Sebab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarang melakukan serangan terhadap Bani Musthaliq maupun memasang manjaniq terhadap Tsaqif, meskipun di antara mereka terdapat perempuan dan anak-anak. Larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membunuh perempuan dan anak-anak hanyalah berlaku pada tawanan perang yang telah menjadi harta rampasan, yaitu agar mereka tidak dibunuh secara sengaja, karena mereka adalah bagian dari ghanimah. Adapun ketika mereka masih berada di wilayah perang, maka wilayah itu adalah wilayah yang dibolehkan (untuk tindakan tersebut), sehingga mereka menjadi pengikut laki-laki mereka.”

رَوَى الصَّعْبِ بْنِ جَثَّامَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ سُئِلَ عَنْ دَارِ الشِّرْكِ فَيُصَابُ مِنْ نِسَائِهِمْ وَأَبْنَائِهِمْ فَقَالَ ” هُمْ مِنْهُمْ ” يَعْنِي فِي حُكْمِهِمْ فأما إن كان فيهم أساري مسلمين فَلَا يَخْلُو جَيْشُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ أَنْ يَخَافُوا اصْطِدَامَ الْعَدُوِّ أَوْ يَأْمَنُوهُ فَإِنْ خَافُوا اصْطِدَامَهُ جَازَ أَنْ يَفْعَلَ بِهِمْ مَا يُفْضِي إِلَى هَلَاكِهِمْ وَإِنْ هَلَكَ مَعَهُمْ مَنْ بَيْنَهُمْ مِنَ الْمُسْلِمِينَ لِأَنَّ سَلَامَةَ الْأَكْثَرِ مَعَ تَلَفِ الْأَقَلِّ أَوْلَى

Diriwayatkan dari Sha‘b bin Jatsamah bahwa Rasulullah ﷺ pernah ditanya tentang negeri syirik, lalu mengenai perempuan dan anak-anak mereka yang terkena (dampak peperangan), maka beliau bersabda, “Mereka termasuk dari golongan mereka,” maksudnya dalam hukum mereka. Adapun jika di antara mereka terdapat tawanan muslim, maka pasukan kaum muslimin tidak lepas dari dua keadaan: mereka khawatir akan serangan musuh atau merasa aman darinya. Jika mereka khawatir akan serangan musuh, maka boleh melakukan tindakan yang dapat menyebabkan kebinasaan mereka, meskipun di antara mereka terdapat kaum muslimin yang turut binasa, karena keselamatan mayoritas dengan kerugian minoritas lebih diutamakan.

وَإِنْ أَمِنُوا اصْطِدَامَهُمْ نُظِرَ فِي عَدَدِ الْمُسْلِمِينَ مِنَ الْأَسْرَى فَإِنْ كَثُرَ وَعُلِمَ أَنَّهُمْ لَا يُسَلِّمُونَ إِنْ رَمَوْا كُفَّ عَنْ رَمْيِهِمْ وَتَحْرِيقِهِمْ وَإِنْ قَلُّوا وَأَمْكَنَ أَنْ يُسَلِّمُوا إِنْ رَمَوْا جَازَ رَمْيُهُمْ وَقَدْ تَوَقَّى الْمُسْلِمينَ مِنْهُمْ لِأَنَّ إِبَاحَةَ الدَّارِ يَجْرِي عَلَيْهَا حُكْمُ الْإِبَاحَةِ وَإِنْ كَانَ فِيهَا حَظْرٌ كَمَا أَنَّ حَظْرَ دَارِ الْإِسْلَامِ يَجْرِي عَلَيْهَا حُكْمُ الْحَظْرِ وَإِنْ جَازَ أَنْ يَكُونَ فِيهَا مُبَاحُ الدَّمِ لِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” مَنَعَتْ دَارُ الْإِسْلَامِ مَا فِيهَا وَأَبَاحَتْ دَارُ الشِّرْكِ مَا فِيهَا “

Jika mereka merasa aman dari kemungkinan bentrokan, maka dilihat jumlah kaum Muslimin dari para tawanan. Jika jumlah mereka banyak dan diketahui bahwa mereka tidak akan menyerah jika dilempari, maka dihentikan pelemparan dan pembakaran terhadap mereka. Namun jika jumlah mereka sedikit dan memungkinkan mereka untuk menyerah jika dilempari, maka boleh melempari mereka, dan kaum Muslimin telah berhati-hati terhadap mereka. Sebab, kebolehan suatu wilayah berlaku atasnya hukum kebolehan, meskipun di dalamnya terdapat larangan, sebagaimana larangan di Darul Islam berlaku atasnya hukum larangan, meskipun mungkin di dalamnya ada yang halal darahnya. Sebagaimana diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, “Darul Islam melindungi apa yang ada di dalamnya, dan Darul Syirk membolehkan apa yang ada di dalamnya.”

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قال الشافعي ” وَقَطَعَ بِخَيْبَرَ وَهِيَ بَعْدَ النَّضِيرِ وَالطَّائِفِ وَهِيَ آخر غزوة غزاها قط عليه السلام لقي فيها قتالا فبهذا كله أقول وما أصيب بذلك من النساء والولدان فلا بأس لأنه على غير عمد فإن كان في دارهم أساري مسلمون أو مستأمنون كرهت النصب عليهم بما يعم من التحريق والتغريق احتياطا غير محرم له تحريما بينا وذلك أن الدار إذا كانت مباحة فلا يبين أن يحرم بأن يكون فيها مسلم يحرم دمه “

Syafi‘i berkata, “Dan beliau memotong (tangan pencuri) di Khaibar, yang terjadi setelah (perang) Nadhir dan Tha’if, dan itu adalah peperangan terakhir yang beliau ikuti secara langsung, di mana beliau menghadapi pertempuran di dalamnya. Berdasarkan semua ini aku berpendapat: apa yang terkena (dampak) dari kalangan perempuan dan anak-anak, maka tidak mengapa, karena itu bukan disengaja. Jika di rumah mereka terdapat tawanan Muslim atau orang yang mendapat perlindungan (musta’man), maka aku tidak suka melakukan tindakan yang bersifat umum seperti pembakaran atau penenggelaman terhadap mereka, sebagai bentuk kehati-hatian, meskipun tidak diharamkan secara jelas. Hal itu karena jika suatu tempat telah menjadi halal (untuk diperangi), maka tidak jelas keharamannya hanya karena di dalamnya ada seorang Muslim yang darahnya haram ditumpahkan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهُوَ كَمَا ذُكِرَ يَجُوزُ أَنْ يَقْطَعَ عَلَى أَهْلِ الْحَرْبِ نَخْلَهُمْ وَشَجَرَهُمْ وَيَسْتَهْلِكَ عَلَيْهِمْ زَرْعَهُمْ وَثَمَرَهُمْ إِذَا عَلِمَ أَنَّهُ يُفْضِي إِلَى الظَّفَرِ بِهِمْ وَمَنَعَ أَبُو حَنِيفَةَ مِنْ ذَلِكَ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَلا تَعْثَوْا فِي الأَرْضِ مُفْسِدِينَ وَهَذَا فَسَادٌ وَلِمَا رُوِيَ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ بَعَثَ جَيْشًا إِلَى الشَّامِ وَنَهَاهُمْ عَنْ قَطْعِ شَجَرِهَا وَلِأَنَّهَا قَدْ تَصِيرُ دَارَ إِسْلَامٍ فَيَصِيرُ ذَلِكَ غَنِيمَةً لِلْمُسْلِمِينَ

Al-Mawardi berkata, sebagaimana telah disebutkan, boleh memotong pohon kurma dan pohon-pohon milik orang-orang kafir harbi, serta menghabiskan tanaman dan buah-buahan mereka jika diketahui bahwa hal itu akan mengantarkan kepada kemenangan atas mereka. Namun, Abu Hanifah melarang hal tersebut dengan berdalil pada firman Allah Ta‘ala: “Janganlah kalian berbuat kerusakan di muka bumi,” dan hal itu termasuk kerusakan. Juga berdasarkan riwayat bahwa Abu Bakar pernah mengirim pasukan ke Syam dan melarang mereka memotong pohon-pohonnya. Selain itu, karena daerah itu bisa saja menjadi wilayah Islam sehingga hasilnya akan menjadi ghanīmah bagi kaum Muslimin.

وَدَلِيلُنَا مَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ حَاصَرَ بَنِي النَّضِيرِ فِي حُصُونِهِمْ بِالْبُوَيْرَةِ حِينَ نقضوا عَهْدَهُمْ فَقَطَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَيْهِمْ عَدَدًا مِنْ نَخْلِهِمْ ورسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يَرَاهُمْ إِمَّا بِأَمْرِهِ وَإِمَّا لِإِقْرَارِهِ

Dan dalil kami adalah apa yang diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ mengepung Bani Nadhir di benteng-benteng mereka di Buwayrah ketika mereka melanggar perjanjian mereka, lalu kaum Muslimin menebang sejumlah pohon kurma milik mereka, sementara Rasulullah ﷺ melihat mereka, baik atas perintah beliau maupun karena persetujuan beliau.

وَاخْتُلِفَ فِي سَبَبِ قَطْعِهَا فَقِيلَ لِإِضْرَارِهِمْ بِهَا وَقِيلَ لِتَوْسِعَةِ مَوْضِعِهَا لِقِتَالِهِمْ فِيهِ فَقَالُوا وَهُمْ يَهُودُ أَهْلِ الْكِتَابِ يَا مُحَمَّدُ أَلَسْتَ تَزْعُمُ أَنَّكَ نَبِيٌّ تُرِيدُ الصَّلَاحَ فَمِنَ الصَّلَاحِ عَقْرُ الشَّجَرِ وَقَطْعُ النَّخْلِ وَقَالَ شَاعِرُهُمْ سِمَاكٌ الْيَهُودِيُّ

Terjadi perbedaan pendapat mengenai sebab penebangan pohon-pohon itu; ada yang mengatakan karena mereka membahayakan kaum Muslimin dengan pohon-pohon tersebut, dan ada pula yang mengatakan untuk memperluas tempat itu agar dapat digunakan untuk memerangi mereka. Maka orang-orang Yahudi, ahli kitab itu, berkata, “Wahai Muhammad, bukankah engkau mengaku sebagai nabi yang menginginkan kebaikan? Apakah termasuk kebaikan menebang pohon dan memotong pohon kurma?” Lalu salah seorang penyair mereka, Simak al-Yahudi, berkata:

أَلَسْنَا وَرِثْنَا كِتَابَ الْحَكِيمِ عَلَى عَهْدِ مُوسَى وَلَمْ يَصْدِفِ

Bukankah kita telah mewarisi Kitab al-Hakim pada masa Musa dan tidak berpaling darinya?

وَأَنْتُمْ رِعَاءٌ لِشَاءٍ عِجَافٍ بِسَهْلِ تِهَامَةَ وَالْأَخْيَفِ

Dan kalian adalah para penggembala kambing-kambing kurus di dataran rendah Tihamah dan Al-Akhyaf.

تَرَوْنَ الرِّعَايَةَ مَجْدًا لَكُمْ لَدَى كُلِّ دَهْرٍ لَكُمْ مُجْحِفِ

Kalian memandang penggembalaan sebagai sebuah kemuliaan bagi kalian, padahal di setiap masa, hal itu justru merugikan kalian.

فَيَا أَيُّهَا الشَّاهِدُونَ انْتَهُوا عَنِ الظُّلْمِ وَالْمَنْطِقِ الْمُؤْنِفِ

Wahai para saksi, hentikanlah kezaliman dan ucapan yang menyakitkan.

لَعَلَّ اللَّيَالِيَ وَصَرْفَ الدُّهُورِ يُدْرِكْنَ عَنِ الْعَادِلِ الْمُنْصِفِ

Semoga malam-malam dan pergantian zaman dapat mempertemukan kita dengan orang yang adil dan bijaksana.

بِقَتْلٍ النَّضِيرِ وَإِجْلَائِهَا وَعَقْرِ النَّخِيلِ وَلَمْ تُخْطَفِ

Dengan pembunuhan (Bani) Nadhir, pengusiran mereka, dan penebangan pohon kurma, dan tidak ada yang keliru dalam hal itu.

فَقَالَ حَسَّانُ بْنُ ثَابِتٍ

Maka Hassān bin Tsābit berkata.

هُمْ أُوتُوا الْكِتَابَ فَضَيَّعُوهُ وَهُمْ عُمْيٌ عن التوراة نور

Mereka adalah orang-orang yang telah diberikan kitab, lalu mereka menyia-nyiakannya, dan mereka buta terhadap Taurat yang merupakan cahaya.

كفرتم بالقرآن وقد أوتيتم بِتَصْدِيقِ الَّذِي قَالَ النَّذِيرُ

Kalian telah mengingkari Al-Qur’an, padahal kalian telah diberi pembenaran terhadap apa yang disampaikan oleh sang pemberi peringatan.

فَهَانَ عَلَى سَرَاةِ بَنِي لُؤَيٍّ حَرِيقٌ بِالْبُوَيْرَةِ مُسْتَطِيرُ

Maka menjadi remeh bagi para pemuka Bani Lu’ayy, kebakaran yang meluas di Buwayrah.

فَقَالَ الْمُسْلِمُونَ يَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ هَلْ لَنَا فِيمَا قَطَعْنَا مِنْ أَجْرٍ؟ أَوْ هَلْ عَلَيْنَا فِيمَا قَطَعْنَا مِنْ وِزْرٍ؟ فَحِينَئِذٍ أَنْزَلَ اللَّهُ قَوْله تَعَالَى مَا قَطَعْتُمْ مِنْ لِينَةٍ أَوْ تَرَكْتُمُوهَا قَائِمَةً عَلَى أُصُولِهَا فَبِإِذْنِ اللَّهِ وَلِيُخْزِيَ الْفَاسِقِينَ وَفِي اللِّينَةِ ثَلَاثَةُ أقاويل

Maka kaum Muslimin berkata, “Wahai Rasulullah ﷺ, apakah kami mendapatkan pahala atas apa yang telah kami tebang? Ataukah kami berdosa atas apa yang telah kami tebang?” Maka saat itu Allah menurunkan firman-Nya: “Apa saja yang kalian tebang dari pohon kurma atau yang kalian biarkan berdiri di atas akarnya, maka itu dengan izin Allah, dan agar Dia menghinakan orang-orang fasik.” Tentang makna “līnah” terdapat tiga pendapat.

أحدهما أَنَّهَا الْعَجْوَةُ مِنَ النَّخْلِ لِأَنَّهَا أُمُّ الْإِنَاثِ كَمَا أَنَّ الْعِتْقَ أُمُّ الْفُحُولِ وَكَانَتَا مَعَ نُوحٍ فِي السَّفِينَةِ وَلِذَلِكَ شَقَّ عَلَيْهِمْ قَطْعُهَا

Pertama, karena ajwah adalah induk dari pohon kurma betina, sebagaimana ‘itq adalah induk dari pohon kurma jantan, dan keduanya (ajwah dan ‘itq) bersama Nabi Nuh di dalam kapal, oleh karena itu mereka merasa berat untuk menebangnya.

وَالثَّانِي أَنَّهَا الْفَسِيلَةُ لِأَنَّهَا أَلْيَنُ مِنَ النَّخْلَةِ

Yang kedua adalah bahwa itu adalah fasīlah, karena ia lebih lunak daripada pohon kurma.

وَالثَّالِثُ أَنَّهَا جَمِيعُ النَّخْلِ وَالشَّجَرِ لِلِينِهَا بِالْحَيَاةِ

Ketiga, bahwa semua pohon kurma dan pohon-pohon lainnya termasuk karena kelembutannya sebagai makhluk hidup.

فَإِنْ قِيلَ فَهَذَا مَنْسُوخٌ بِقَوْلِهِ تَعَالَى وَلا تُفْسِدُوا فِي الأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاحِهَا فَعَنْهُ جَوَابَانِ

Jika dikatakan, “Ini telah di-naskh dengan firman Allah Ta‘ala: ‘Dan janganlah kalian berbuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya,’” maka ada dua jawaban atas hal itu.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ يُفْضِي إِلَى الظَّفَرِ بِالْمُشْرِكِينَ وَقُوَّةُ الدِّينِ كَانَ صَلَاحًا وَلَمْ يَكُنْ فَسَادًا وَفِي الْآيَةِ تَأْوِيلَانِ

Salah satunya adalah bahwa hal itu mengantarkan kepada kemenangan atas kaum musyrik dan menguatkan agama, maka itu merupakan kebaikan dan bukan kerusakan. Dan pada ayat tersebut terdapat dua penafsiran.

أَحَدُهُمَا وَلَا تُفْسِدُوا فِي الأرض بالكفر بعد إصلاحها بالإيمان

Salah satunya adalah: “Janganlah kalian berbuat kerusakan di bumi dengan kekufuran setelah diperbaiki dengan keimanan.”

والثاني لا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بِالْجَوْرِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا بِالْعَدْلِ

Dan yang kedua, janganlah kalian membuat kerusakan di bumi dengan kezaliman setelah Allah memperbaikinya dengan keadilan.

وَالْجَوَابُ الثَّانِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَدْ فَعَلَ بَعْدَ بَنِي النَّضِيرِ مِثْلَ مَا فَعَلَ بِهِمْ فَقَطَعَ عَلَى أَهْلِ خَيْبَرَ نَخْلًا وَقَطَعَ عَلَى أَهْلِ الطَّائِفِ وَهِيَ آخِرُ غَزَوَاتِهِ الَّتِي قَاتَلَ فِيهَا لُزُومًا عَلَى بَقَاءِ الْحُكْمِ فِي قَطْعِهَا وَأَنَّهُ غَيْرُ مَنْسُوخٍ وَلِأَنَّ حُرْمَةَ النُّفُوسِ أَعْظَمُ وَقَتْلَهَا أَغْلَظُ فَلَمَّا جَازَ قَتْلُ نُفُوسِهِمْ عَلَى الْكُفْرِ كَانَ قَطْعُ نَخْلِهِمْ وَشَجَرِهِمْ عَلَيْهِمْ أَوْلَى فَأَمَّا اسْتِدْلَالُهُمْ بِجَوَابِهِ مَا ذَكَرْنَا

Jawaban kedua adalah bahwa Rasulullah ﷺ telah melakukan setelah peristiwa Bani Nadhir seperti apa yang beliau lakukan terhadap mereka, yaitu beliau menebang pohon kurma milik penduduk Khaibar dan menebang pohon milik penduduk Thaif, dan itu terjadi pada peperangan terakhir yang beliau ikuti secara langsung, sebagai penegasan bahwa hukum menebang pohon tersebut tetap berlaku dan tidak di-nasakh. Karena kehormatan jiwa lebih agung dan pembunuhan jiwa lebih berat, maka ketika diperbolehkan membunuh mereka karena kekufuran, maka menebang pohon kurma dan pohon-pohon mereka terhadap mereka tentu lebih utama. Adapun dalil mereka dengan jawaban beliau atas apa yang telah kami sebutkan…

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا ثَبَتَ مَا ذَكَرْنَا لَمْ يَخْلُ حَالُ نَخْلِهِمْ وَشَجَرِهِمْ فِي مُحَارَبَتِهِمْ مِنْ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ

Maka apabila telah tetap apa yang telah kami sebutkan, tidak lepas keadaan pohon kurma dan pohon-pohon mereka dalam peperangan melawan mereka dari empat bagian.

أَحَدُهَا أَنْ نَعْلَمَ أَنْ لَا نَصِلَ إِلَى الظَّفَرِ بِهِمْ إِلَّا بِقَطْعِهَا فَقَطْعُهَا وَاجِبٌ لِأَنَّ مَا أَدَّى إِلَى الظَّفَرِ بِهِمْ وَاجِبٌ

Salah satunya adalah bahwa kita mengetahui bahwa kita tidak dapat mencapai kemenangan atas mereka kecuali dengan memotongnya, maka memotongnya menjadi wajib, karena segala sesuatu yang dapat mengantarkan kepada tercapainya kemenangan atas mereka hukumnya wajib.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ تَقْدِرَ عَلَى الظَّفَرِ بِهِمْ وَبِهَا مِنْ غَيْرِ قَطْعِهَا فَقَطْعُهَا مَحْظُورٌ لِأَنَّهَا مَغْنَمٌ وَاسْتِهْلَاكُ الْغَنَائِمِ مَحْظُورٌ وَعَلَى هَذَا حَمْلُ نهي أبي بكر رضي الله عنه عَنْ قَطْعِ الشَّجَرِ بِالشَّامِ

Bagian kedua adalah jika kamu mampu menguasai mereka dan pohon-pohon itu tanpa harus menebangnya, maka menebangnya adalah terlarang karena pohon-pohon itu termasuk harta rampasan perang (maghnam), dan menghabiskan harta rampasan perang adalah terlarang. Atas dasar inilah larangan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu untuk menebang pohon di Syam dipahami.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ لَا يَنْفَعَهُمْ قَطْعُهَا وَيَنْفَعَنَا قَطْعُهَا فَقَطْعُهَا مُبَاحٌ وَلَيْسَ بِوَاجِبٍ

Bagian ketiga adalah apabila pemutusan itu tidak bermanfaat bagi mereka, tetapi bermanfaat bagi kita, maka pemutusan itu boleh dilakukan dan tidak wajib.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ لَا يَنْفَعُهُمْ قَطْعُهَا وَلَا يَنْفَعُنَا قَطْعُهَا فَقَطْعُهَا مَكْرُوهٌ وَلَيْسَ بِمَحْظُورٍ وَكَذَلِكَ الْحُكْمُ فِي هَدْمِ مَنَازِلِهِمْ عَلَيْهِمْ عَلَى هَذِهِ الْأَقْسَامِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى يُخْرِبُونَ بُيُوتَهُمْ بأيديهم وأيدي المؤمنين وفيه ثلاث تَأْوِيلَاتِ

Golongan keempat adalah golongan yang memotongnya tidak memberi manfaat bagi mereka dan tidak memberi manfaat bagi kita, maka memotongnya hukumnya makruh dan tidak terlarang. Demikian pula hukum dalam merobohkan rumah-rumah mereka atas mereka menurut pembagian ini. Allah Ta‘ala berfirman: “Mereka menghancurkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin.” Dalam ayat ini terdapat tiga penafsiran.

أَحَدُهَا بِأَيْدِيهِمْ فِي نَقْضِ الْمُوَادَعَةِ وَأَيْدِي الْمُؤْمِنِينَ بِالْمُقَابَلَةِ وَهَذَا قَوْلُ الزُّهْرِيِّ

Salah satunya adalah tangan mereka dalam membatalkan perjanjian damai, dan tangan orang-orang mukmin dalam membalasnya, dan ini adalah pendapat az-Zuhri.

وَالثَّانِي بِأَيْدِيهِمْ فِي إِخْرَابِ دَوَاخِلِهَا حَتَّى لَا يَأْخُذَهَا الْمُسْلِمُونَ مِنْهُمْ وَبِأَيْدِي الْمُؤْمِنِينَ فِي إِخْرَابِ ظَوَاهِرِهَا حَتَّى يَصِلُوا إِلَيْهَا وَهَذَا قَوْلُ عِكْرِمَةَ

Dan yang kedua, oleh tangan mereka sendiri dalam merusak bagian dalamnya agar kaum Muslimin tidak dapat mengambilnya dari mereka, dan oleh tangan orang-orang beriman dalam merusak bagian luarnya agar mereka dapat mencapainya. Inilah pendapat ‘Ikrimah.

وَالثَّالِثُ بِأَيْدِيهِمْ فِي تَرْكِهَا وَبِأَيْدِي الْمُؤْمِنِينَ بِإِجْلَائِهِمْ عَنْهَا وَهَذَا قَوْلُ أَبِي عَمْرِو بْنِ الْعَلَاءِ

Dan yang ketiga adalah berada di tangan mereka dalam meninggalkannya, dan di tangan orang-orang mukmin dengan mengusir mereka darinya. Inilah pendapat Abu ‘Amr bin al-‘Ala’.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قال الشافعي ” وَلَكِنْ لَوِ الْتَحَمُوا فَكَانَ يَتَكَامَلُ الْتِحَامُهُمْ أَنْ يفعلوا ذلك رأيت لهم أن يفعلوا وكانوا مأجورين لأمرين أحدهما الدفع عن أنفسهم والآخر نكاية عدوهم ولو كانوا غير ملتحمين فترسوا بأطفالهم فقد قيل يضرب المتترس منهم ولا يعمد الطفل وقد قيل يكف “

Syafi‘i berkata, “Namun, jika mereka saling berhadapan dan pertempuran mereka hampir sempurna sehingga mereka melakukan hal itu, aku melihat bahwa mereka boleh melakukannya dan mereka akan mendapatkan pahala karena dua hal: yang pertama adalah membela diri mereka sendiri, dan yang kedua adalah memberikan kerugian kepada musuh mereka. Namun, jika mereka tidak saling berhadapan dan berlindung dengan anak-anak mereka, maka ada pendapat yang mengatakan bahwa orang yang berlindung itu boleh diserang tanpa sengaja mengenai anak-anak, dan ada pula pendapat yang mengatakan agar menahan diri.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كَمَا ذَكَرَ إِذَا تَتَرَّسَ الْمُشْرِكُونَ بِأَطْفَالِهِمْ لِعِلْمِهِمْ أَنَّ شَرْعَنَا يَمْنَعُ مِنْ تَعَمُّدِ قَتْلِهِمْ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ

Al-Mawardi berkata, “Hal ini sebagaimana yang telah disebutkan, yaitu apabila orang-orang musyrik berlindung di balik anak-anak mereka karena mereka mengetahui bahwa syariat kita melarang sengaja membunuh anak-anak, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan.”

أَحَدُهُمَا أَنْ يَفْعَلُوا ذَلِكَ فِي الْتِحَامِ الْقِتَالِ مَعَ إِقْبَالِهِمْ عَلَى حَرْبِنَا فَلَا يَمْنَعُ ذَلِكَ مِنْ قِتَالِهِمْ وَلَا حَرَجَ فِيمَا أَفْضَى مِنْهُ إِلَى قَتْلِ أَطْفَالِهِمْ لِأَمْرَيْنِ

Salah satunya adalah bahwa mereka melakukan hal itu dalam pertempuran sengit ketika mereka sedang menyerang kita, maka hal itu tidak menghalangi untuk memerangi mereka dan tidak ada dosa atas apa yang menyebabkan terbunuhnya anak-anak mereka karena dua alasan.

أَحَدُهُمَا أَنَّ تَرْكَ قِتَالِهِمْ بِهَذَا مُفْضٍ إِلَى تَرْكِ جِهَادِهِمْ

Salah satunya adalah bahwa meninggalkan memerangi mereka dengan cara ini akan berujung pada meninggalkan jihad terhadap mereka.

وَالثَّانِي أَنَّهُمْ مُقْبِلُونَ عَلَى حَرْبِنَا فَحَرُمَ أَنْ نُوَلِّيَ عَنْهُمْ

Yang kedua, sesungguhnya mereka sedang memerangi kita, maka haram bagi kita untuk berpaling dari mereka.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَتَتَرَّسُوا بِهِمْ فِي غَيْرِ الْتِحَامِ الْقِتَالِ عِنْدَ مُتَارِكَتِهِمْ لَنَا وَقَدْ بَدَأْنَا بِقِتَالِهِمْ وَهُمْ فِي حِصَارِنَا فَخَافُونَا فِيهِ ففعلوا ذلك لتمتنع من رَمْيِهِمْ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ

Jenis kedua adalah apabila mereka menjadikan orang-orang tersebut sebagai tameng dalam situasi selain pertempuran yang sengit, yaitu ketika mereka meninggalkan peperangan dengan kita, sementara kita telah memulai memerangi mereka dan mereka berada dalam kepungan kita, lalu mereka takut kepada kita dalam keadaan itu sehingga mereka melakukan hal tersebut agar kita menahan diri dari menyerang mereka. Maka, keadaan ini terbagi menjadi dua macam.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَفْعَلُوا ذَلِكَ مَكْرًا مِنْهُمْ فَلَا يُوجِبُ ذَلِكَ تَرْكَ حِصَارِهِمْ وَلَا الِامْتِنَاعُ مِنْ رَمْيِهِمْ وَلَوْ أَفْضَى إِلَى قَتْلِ أَطْفَالِهِمْ

Salah satunya adalah jika mereka melakukan hal itu sebagai tipu daya dari mereka, maka hal itu tidak mewajibkan untuk meninggalkan pengepungan terhadap mereka dan tidak pula menahan diri dari melempari mereka, meskipun hal itu dapat berujung pada terbunuhnya anak-anak mereka.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَفْعَلُوهُ دَفْعًا عَنْهُمْ فَلَا يَمْنَعُ ذَلِكَ مِنْ حِصَارِهِمْ وَفِي الْمَنْعِ مِنْ رَمْيِهِمْ وَضَرْبِهِمْ قَوْلَانِ

Jenis kedua adalah jika mereka melakukannya untuk membela diri mereka, maka hal itu tidak menghalangi pengepungan terhadap mereka. Adapun mengenai larangan melempari dan memukul mereka, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ لَا يَمْنَعُ مِنْ رَمْيِهِمْ كَالْمُقَاتِلِينَ تَغْلِيبًا لِفَرْضِ الْجِهَادِ

Salah satunya adalah bahwa hal itu tidak mencegah untuk melempari mereka seperti halnya terhadap para pejuang, dengan mengedepankan kewajiban jihad.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي أَنْ يَمْنَعَ مِنْ رَمْيِهِمْ وَيُؤَخَّرَ الْكَفُّ عَنْهُمْ بِخِلَافِ الْمُقَاتِلِينَ لِأَنَّ جِهَادَهُمْ نَدْبٌ وَجِهَادُ الْمُقَاتِلِينَ فَرْضٌ وَإِذَا قَابَلَ النَّدْبَ حَظْرٌ كَانَ حُكْمُ الْحَظْرِ أَغْلَبَ

Pendapat kedua adalah melarang melempari mereka dan menunda penahanan terhadap mereka, berbeda dengan para muqatilīn (yang memerangi), karena jihad terhadap mereka hukumnya sunnah, sedangkan jihad terhadap para muqatilīn hukumnya wajib. Jika anjuran bertemu dengan larangan, maka hukum larangan lebih diutamakan.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قال الشافعي ” وَلَوْ تَتَرَّسُوا بِمُسْلِمٍ رَأَيْتُ أَنْ يَكُفَّ إِلَّا أَنْ يَكُونُوا مُلْتَحِمِينَ فَيُضْرَبُ الْمُشْرِكَ وَيَتَوَقَّى الْمُسْلِمَ جَهْدَهُ فَإِنْ أَصَابَ فِي هَذِهِ الْحَالِ مُسْلِمًا قَالَ فِي كِتَابِ حُكْمِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَعْتَقَ رَقَبَةً وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ مِنْ هَذَا الْكِتَابِ إِنْ كَانَ عَلِمَهُ مُسْلِمًا فَالدِّيَّةُ مَعَ الرقبة قَالَ الْمُزَنِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ لَيْسَ هَذَا عِنْدِي بمختلف ولكنه يقول إن كان قتله مع العلم بأنه محرم الدم مع الرقبة فإذا ارتفع العلم فالرقبة دون الدية “

Imam Syafi‘i berkata, “Jika mereka berlindung di balik seorang Muslim, menurutku hendaknya ditahan (tidak menyerang), kecuali jika mereka sudah bercampur-baur (dalam pertempuran), maka pukullah orang musyrik dan usahakan semaksimal mungkin untuk menghindari (mengenai) Muslim. Jika dalam keadaan seperti ini seorang Muslim terkena (terbunuh), beliau berkata dalam Kitab Hukum Ahli Kitab: hendaknya memerdekakan seorang budak. Dan beliau berkata di tempat lain dalam kitab ini: jika diketahui bahwa yang terbunuh itu seorang Muslim, maka (wajib) membayar diyat beserta memerdekakan budak. Al-Muzani rahimahullah berkata, ‘Menurutku ini bukanlah perbedaan pendapat, tetapi beliau mengatakan: jika membunuhnya dengan mengetahui bahwa darahnya haram (untuk ditumpahkan), maka (wajib) memerdekakan budak beserta diyat. Jika tidak diketahui (bahwa yang terbunuh itu Muslim), maka cukup memerdekakan budak tanpa diyat.’”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَصُورَتُهَا أَنْ يَتَتَرَّسَ الْمُشْرِكُونَ بِمَنْ فِي أَيْدِيهِمْ مِنَ الْمُسْلِمِينَ إِمَّا لِيَدْفَعُونَا عَنْهُمْ وَإِمَّا لِيَفْتَدُوا بِهِمْ نُفُوسَهُمْ فَالْكَلَامُ فِيهَا يَشْتَمِلُ عَلَى فَصْلَيْنِ

Al-Mawardi berkata, “Kondisinya adalah ketika orang-orang musyrik menjadikan kaum Muslimin yang berada di tangan mereka sebagai tameng, baik untuk mencegah kita menyerang mereka maupun untuk menebus diri mereka sendiri dengan kaum Muslimin tersebut. Maka pembahasan mengenai hal ini mencakup dua bagian.”

أَحَدُهُمَا فِي الْكَفِّ عَنْهُمْ

Salah satunya adalah menahan diri dari mereka.

وَالثَّانِي فِي ضَمَانِ مَنْ قُتِلَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ فِيهِمْ

Yang kedua adalah tentang jaminan (diyah) bagi kaum Muslimin yang terbunuh di antara mereka.

فَأَمَّا الْفَصْلُ الْأَوَّلُ فِي الْكَفِّ عَنْهُمْ فَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ

Adapun bagian pertama tentang menahan diri dari mereka, maka hal itu terbagi menjadi dua jenis.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ فِي غَيْرِ الْتِحَامِ الْحَرْبِ فَوَاجِبٌ أَنْ يَكُفَّ عَنْ رَمْيِهِمْ قَوْلًا وَاحِدًا بِخِلَافٍ مَا لَوْ تَتَرَّسُوا بِأَطْفَالِهِمْ فِي جَوَازِ رَمْيِهِمْ عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ لَأَنَّ نَفْسَ الْمُسْلِمِ مَحْظُورَةٌ لِحُرْمَةِ دِينِهِ وَنُفُوسَ أَطْفَالِهِمْ مَحْظُورَةٌ لِحُرْمَةِ الْمَغْنَمِ وَلَوْ كَانَ فِي دَارِهِمْ مُسْلِمٌ وَلَمْ يَتَتَرَّسُوا بِهِ جَازَ رَمْيُهُمْ بِخِلَافِ لَوْ تَتَرَّسُوا بِهِ لِأَنَّهُمْ إِذَا تَتَرَّسُوا بِهِ كَانَ مَقْصُودًا وَإِذَا لَمْ يَتَتَرَّسُوا بِهِ فَهُوَ غَيْرُ مَقْصُودٍ فَهَذَا حُكْمُهُ فِي وُجُوبِ الْكَفِّ عَنْ رَمْيِهِمْ فَأَمَّا الْكَفُّ عَنْ حِصَارِهِمْ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ

Salah satunya adalah jika berada di luar pertempuran langsung, maka wajib menahan diri untuk tidak menyerang mereka menurut satu pendapat, berbeda halnya jika mereka berlindung di balik anak-anak mereka, maka diperbolehkan menyerang mereka menurut salah satu dari dua pendapat. Sebab, jiwa seorang Muslim itu terlarang karena kehormatan agamanya, sedangkan jiwa anak-anak mereka terlarang karena kehormatan harta rampasan. Jika di rumah mereka ada seorang Muslim dan mereka tidak menjadikannya sebagai tameng, maka boleh menyerang mereka, berbeda jika mereka menjadikannya sebagai tameng, karena jika mereka menjadikannya sebagai tameng, maka ia menjadi sasaran, sedangkan jika tidak, maka ia bukan sasaran. Inilah hukumnya dalam kewajiban menahan diri dari menyerang mereka. Adapun menahan diri dari mengepung mereka, maka ada dua macam.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَأْمَنَ عَلَى مَا فِي أَيْدِيهِمْ مِنْ أَسْرَى الْمُسْلِمِينَ أَنْ يَقْتُلُوهُمْ فَيَجُوزُ حِصَارُهُمْ وَالْمُقَامُ عَلَى قِتَالِهِمْ

Salah satunya adalah jika dikhawatirkan terhadap tawanan Muslim yang berada di tangan mereka akan dibunuh, maka diperbolehkan mengepung mereka dan tetap melanjutkan pertempuran melawan mereka.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ لَا يَأْمَنَ عَلَيْهِمْ وَيَغْلِبَ فِي الظَّنِّ أَنَّهُمْ يَقْتُلُونَهُمْ إِنْ أَقَمْنَا عَلَى قِتَالِهِمْ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ

Jenis kedua adalah apabila tidak ada rasa aman terhadap mereka dan kuat dugaan bahwa mereka akan membunuh kita jika kita tetap memerangi mereka, maka keadaan ini terbagi menjadi dua macam.

أَحَدُهُمَا أَنْ لَا يَكُونَ عَلَيْنَا فِي الْكَفِّ عَنْهُمْ ضَرَرٌ فَالْوَاجِبُ أَنْ يَكُفَّ عن حصارهم استبقاءا لِنُفُوسِ الْمُسْلِمِينَ لِئَلَّا يَتَعَجَّلَ بِقَتْلِهِمْ ضَرَرًا وَلَيْسَ فِي مُتَارَكَتِهِمْ ضَرَرٌ

Salah satunya adalah tidak ada mudarat bagi kita jika menahan diri dari mereka, maka yang wajib adalah menghentikan pengepungan terhadap mereka demi menjaga jiwa-jiwa kaum Muslimin, agar tidak tergesa-gesa membunuh mereka yang dapat menimbulkan mudarat, dan tidak ada mudarat dalam membiarkan mereka.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ عَلَيْنَا فِي الْكَفِّ عَنِ الْمُشْرِكِينَ ضَرَرٌ لِخَوْفِنَا مِنْهُمْ عَلَى حَرِيمِ الْمُسْلِمِينَ وَحَرَمِهِمْ فَلَا يَجِبُ الْكَفُّ عَنْهُمْ وَلَا الِامْتِنَاعُ عَنْ قِتَالِهِمْ فَإِنْ قَتَلُوهُمُ اسْتِدْفَاعًا لِأَكْثَرِ الضَّرَرَيْنِ بِأَقَلِّهِمَا وَكَانَ وُجُوبُ الْمُقَامِ عَلَى قِتَالِهِمْ مُعْتَبَرًا بِالضَّرَرِ الْمُخَوِّفِ مِنْهُمْ فَإِنْ كَانَ مُعَجَّلًا وَجَبَ الْمُقَامُ عَلَيْهِمْ وَإِنْ كَانَ مُؤَجَّلًا لَمْ يَجُزِ الْمُقَامُ إِلَّا عِنْدَ تَجَدُّدِهِ وَحُدُوثِهِ فَهَذَا حُكْمُ الضَّرْبِ الْأَوَّلِ إِذَا تَتَرَّسُوا بِهِمْ قَبْلَ الْتِحَامِ الْقِتَالِ

Jenis yang kedua adalah apabila menahan diri dari memerangi orang-orang musyrik akan menimbulkan bahaya bagi kita karena kekhawatiran kita terhadap kehormatan kaum Muslimin dan keluarga mereka, maka tidak wajib menahan diri dari mereka dan tidak pula dilarang memerangi mereka. Jika mereka membunuh (kaum Muslimin) sebagai upaya menolak bahaya yang lebih besar dengan bahaya yang lebih kecil, maka kewajiban bertahan untuk memerangi mereka bergantung pada bahaya yang dikhawatirkan dari mereka. Jika bahaya itu segera terjadi, maka wajib bertahan melawan mereka; namun jika bahaya itu masih akan terjadi di kemudian hari, maka tidak boleh bertahan kecuali ketika bahaya itu benar-benar muncul dan terjadi. Inilah hukum untuk jenis yang pertama apabila mereka menjadikan (kaum Muslimin) sebagai tameng sebelum terjadinya pertempuran sengit.

فَصْلٌ

Fasal

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَتَتَرَّسُوا بِهِمْ بَعْدَ الْتِحَامِ الْقِتَالِ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُوَلِّيَ الْمُسْلِمُونَ عَنْهُمْ لِأَجْلِ الأسرى فإن فَرْضَ قِتَالِهِمْ قَدْ تَعَيَّنَ بِالْتِقَاءِ الزَّحْفَيْنِ وَيَجُوزُ أَنْ يَرْمِيَهُمُ الْمُسْلِمُونَ مَا أَقَامُوا عَلَى حَرْبِهِمْ ويتعمدون بِالرَّمْيِ وَيَتَوَقَّوْا رَمْيَ مَنْ تَتَرَّسُوا بِهِمْ مِنَ الْمُسْلِمِينَ فَإِنْ وَلَّوْا عَنِ الْحَرْبِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ

Jenis kedua adalah apabila mereka menjadikan para tawanan sebagai tameng setelah pertempuran sengit terjadi. Maka, tidak boleh bagi kaum Muslimin mundur dari mereka hanya karena adanya para tawanan, karena kewajiban memerangi mereka telah menjadi pasti dengan bertemunya dua pasukan. Diperbolehkan bagi kaum Muslimin untuk menyerang mereka selama mereka tetap memerangi kaum Muslimin, dan mereka sengaja menyerang serta berusaha menghindari mengenai kaum Muslimin yang dijadikan tameng. Jika mereka mundur dari peperangan, maka ada dua keadaan.

أَحَدُهُمَا أَنْ يُمْكِنَ اسْتِنْقَاذُ الْأَسْرَى مِنْهُمْ إِنِ اتَّبَعُوا فَوَاجِبٌ أَنْ يَتَّبِعُوا حَتَّى يَسْتَنْقِذَ الْأَسْرَى مِنْهُمْ لِمَا يَلْزَمُ مِنْ حِرَاسَةِ الْإِسْلَامِ وَأَهْلِهِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا

Salah satunya adalah apabila memungkinkan untuk membebaskan para tawanan dari mereka jika mereka diikuti, maka wajib untuk mengikuti mereka hingga para tawanan dapat dibebaskan dari mereka, karena hal itu merupakan kewajiban dalam menjaga Islam dan pemeluknya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seseorang, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan seluruh manusia.”

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ لَا يمكن اسنتقاذ الْأَسْرَى مِنْهُمْ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ

Jenis yang kedua adalah apabila tidak memungkinkan membebaskan para tawanan dari mereka, maka hal ini terbagi menjadi dua macam.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَخَافَ الْمُسْلِمُونَ مِنَ اتِّبَاعِهِمْ فَلَا يَجُوزُ لَهُمْ أَنْ يَتَّبِعُوهُمْ وَعَلَيْهِمْ أَنْ يَكُفُّوا عَنْهُمْ إِذَا انْهَزَمُوا لِتَحْرِيمِ التَّغْرِيرِ بِالْمُسْلِمِينَ

Salah satunya adalah jika kaum Muslimin khawatir akan diikuti oleh mereka, maka tidak boleh bagi kaum Muslimin untuk mengikuti mereka, dan mereka wajib menahan diri dari mengejar mereka jika mereka mundur, karena diharamkannya membahayakan kaum Muslimin.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ لَا يَخَافَهُمُ الْمُسْلِمُونَ إِلَّا كَخَوْفِهِمْ فِي الْمَعْرَكَةِ فَلَا يَجِبُ اتِّبَاعُهُمْ وَلَا يَجِبُ الْكَفُّ عَنْهُمْ وَأَمِيرُ الْجَيْشِ فِيهِمْ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ فِي اعْتِمَادِ الأصلح من اتباعه أَوِ الْكَفِّ عَنْهُمْ

Jenis yang kedua adalah apabila kaum Muslimin tidak takut kepada mereka kecuali seperti ketakutan mereka dalam pertempuran, maka tidak wajib mengikuti mereka dan tidak wajib menahan diri dari mereka. Dalam hal ini, amir pasukan memilih salah satu dari dua pandangan yang terbaik, yaitu memilih yang lebih maslahat antara mengikuti mereka atau menahan diri dari mereka.

فَصْلٌ

Bagian

وَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّانِي فِي ضَمَانِ مَنْ قُتِلَ مِنْهُمْ مِنَ الْمُسْلِمِينَ فَهَذَا عَلَى أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ

Adapun bagian kedua membahas tentang tanggungan atas siapa yang terbunuh di antara mereka dari kalangan Muslimin, maka hal ini terbagi menjadi empat bagian.

أَحَدُهَا أَنْ يَعْمِدَ قَتْلَهُ وَيَعْلَمَ أَنَّهُ مُسْلِمٌ فَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ

Salah satunya adalah sengaja membunuhnya dan mengetahui bahwa ia seorang Muslim, maka hal ini terbagi menjadi dua jenis.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَقْتُلَهُ لِغَيْرِ ضَرُورَةٍ دَعَتْهُ إِلَى قَتْلِهِ فَهَذَا يَجِبُ عَلَيْهِ الْقَوَدُ كَمَا لَوْ قَتَلَهُ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ لَأَنَّ دَارَ الشِّرْكِ لَا تُبِيحُ دَمَ مُسْلِمٍ

Salah satunya adalah membunuhnya tanpa adanya kebutuhan mendesak yang mengharuskannya untuk membunuh, maka dalam hal ini wajib atasnya qishāsh, sebagaimana jika ia membunuhnya di wilayah Islam, karena wilayah syirik tidak membolehkan darah seorang Muslim.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ تَدْعُوَهُ الضَّرُورَةُ إِلَى قَتْلِهِ لِيَتَوَصَّلَ بِهِ إِلَى دَفْعِ الشِّرْكِ عَنْ نَفْسِهِ فَفِي وُجُوبِ الْقَوَدِ عَلَيْهِ وَجْهَانِ حَكَاهُمَا ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ تَخْرِيجًا مِنَ اخْتِلَافِ قَوْلَيِ الشَّافِعِيِّ فِي وُجُوبِ الْقَوَدِ عَلَى الْمُكْرَهِ إِذَا قَتَلَ

Jenis yang kedua adalah apabila seseorang didorong oleh keadaan darurat untuk membunuh orang lain agar dapat menyelamatkan dirinya dari syirik, maka dalam hal kewajiban qawad (pembalasan setimpal) atas dirinya terdapat dua pendapat yang dinukil oleh Ibnu Abi Hurairah, yang merupakan hasil istinbat dari perbedaan pendapat Imam Syafi‘i mengenai kewajiban qawad atas orang yang dipaksa apabila ia membunuh.

أَحَدُهُمَا عَلَيْهِ الْقَوَد إِذَا قَتَلَ كَوُجُوبِ الْقَوَدِ عَلَى الْمُكْرِهِ لِاشْتِرَاكِهِمَا فِي الضَّرُورَةِ

Salah satunya wajib dikenai qishāsh jika membunuh, sebagaimana wajibnya qishāsh atas orang yang memaksa, karena keduanya sama-sama terlibat dalam keadaan darurat.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا قَوَدَ عَلَيْهِ إِذَا قَتَلَ لِأَنَّهُ لَا قَوَدَ عَلَى الْمُكْرَهِ وَيَكُونُ عَلَيْهِ الدِّيَةُ وَالْكَفَّارَةُ وَتَكُونُ هَذِهِ الدِّيَةُ فِي مَالِهِ مَعَ الْكَفَّارَةِ لِأَنَّهَا دِيَةُ عَمْدٍ سَقَطَ الْقَوَدُ فِيهِ بِشُبْهَةٍ

Pendapat kedua menyatakan bahwa tidak ada qishāsh atasnya jika ia membunuh, karena tidak ada qishāsh atas orang yang dipaksa. Maka, ia wajib membayar diyat dan kafārah, dan diyat ini diambil dari hartanya bersama dengan kafārah, karena ini adalah diyat pembunuhan sengaja yang gugur qishāsh-nya karena adanya syubhat.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ لَا يَعْمِدَ قَتْلَهُ وَلَا يَعْلَمَ أَنَّهُ مُسْلِمٌ فَلَا قَوَدَ عَلَيْهِ وَلَا دِيَةَ وَعَلَيْهِ الْكَفَّارَةُ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَاقْتَصَرَ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى بِهِ عَلَى وُجُوبِ الْكَفَّارَةِ دُونَ الدِّيَةِ لِأَنَّ دَارَ الْكُفْرِ مَوْضُوعَةٌ عَلَى الْإِبَاحَةِ

Bagian kedua adalah apabila seseorang tidak sengaja membunuhnya dan tidak mengetahui bahwa ia seorang Muslim, maka tidak ada qishāsh atasnya dan tidak ada diyat, namun ia wajib membayar kafārah, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Jika ia berasal dari kaum yang memusuhi kalian, sedangkan ia seorang mukmin, maka (wajib) memerdekakan seorang budak.” Maka firman Allah Ta‘ala hanya mewajibkan kafārah tanpa diyat, karena negeri kufur pada dasarnya merupakan wilayah yang diizinkan (untuk membunuh musuh).

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَعْمِدَ قَتْلَهُ وَلَا يَعْلَمَ أَنَّهُ مُسْلِمٌ فَلَا قَوَدَ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ يَجْهَلُ بِحَالِهِ مَعَ الْغَالِبِ مِنْ حُكْمِ الدَّارِ شُبْهَةٌ فِي سقوط القود وعليه الداية وَالْكَفَّارَةُ وَتَكُونُ دِيَةَ عَمْدٍ يَتَحَمَّلُهَا فِي مَالِهِ

Bagian ketiga adalah seseorang sengaja membunuhnya namun tidak mengetahui bahwa korban adalah seorang Muslim, maka tidak ada qishāsh atasnya karena ia tidak mengetahui keadaan korban, sementara hukum yang berlaku di negeri tersebut mayoritas menimbulkan syubhat dalam menggugurkan qishāsh. Namun, ia tetap wajib membayar diyat dan kafārah, dan diyat tersebut adalah diyat ‘amdan (diyat pembunuhan sengaja) yang harus ia tanggung dari hartanya sendiri.

وَقَالَ أَبُو إِبْرَاهِيمَ الْمُزَنِيُّ عَلَيْهِ الْكَفَّارَةُ دُونَ الدِّيَةِ لِجَهْلِهِ بِإِسْلَامِهِ

Abu Ibrahim al-Muzani berkata, “Wajib baginya membayar kafarat tanpa diwajibkan diyat, karena ia tidak mengetahui keislamannya.”

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ أَنْ لَا يَعْمِدَ قَتْلَهُ وَيَعْلَمَ أَنَّهُ مُسْلِمٌ فَلَا قَوَدَ عَلَيْهِ وَعَلَيْهِ الْكَفَّارَةُ

Bagian keempat adalah apabila seseorang tidak sengaja membunuhnya dan ia mengetahui bahwa korban adalah seorang Muslim, maka tidak ada qishāsh atasnya, namun ia wajib membayar kafārah.

وَفِي وُجُوبِ الدِّيَةِ قَوْلَانِ

Dalam kewajiban membayar diyat terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا لَا دِيَةَ عَلَيْهِ تَغْلِيبًا لِإِبَاحَةِ الدَّارِ

Salah satu pendapat menyatakan bahwa tidak ada diyat atasnya, dengan pertimbangan kuat karena kebolehan wilayah tersebut.

والقول الثاني عليه الداية تَغْلِيبًا لِحُرْمَةِ الْإِسْلَامِ وَتَكُونُ دِيَةَ خَطَأٍ تَتَحَمَّلُهَا العاقلة

Pendapat kedua menyatakan bahwa diyat tetap wajib dibayarkan karena mengutamakan kehormatan Islam, dan diyat tersebut adalah diyat karena kesalahan (diyat khata’), yang ditanggung oleh ‘aqilah.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” لَوْ رَمَى فِي دَارِ الْحَرْبِ فَأَصَابَ مُسْتَأْمَنًا وَلَمْ يَقْصِدْهُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ إِلَّا رَقَبَةٌ وَلَوْ كان عالما بِمَكَانِهِ ثُمَّ رَمَاهُ غَيْرَ مُضْطَرٍّ إِلَى الرَّمْيِ فَعَلَيْهِ رَقَبَةٌ وَدِيَةٌ “

Imam Syafi‘i berkata, “Jika seseorang melemparkan sesuatu di wilayah musuh lalu mengenai seorang musta’man (orang non-Muslim yang mendapat jaminan keamanan) tanpa sengaja, maka ia hanya wajib membebaskan seorang budak. Namun, jika ia mengetahui keberadaan musta’man tersebut lalu tetap melemparnya tanpa ada keterpaksaan untuk melempar, maka ia wajib membebaskan seorang budak dan membayar diyat (tebusan darah).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَجُمْلَتُهُ أَنَّ حُكْمَ الْمُسْتَأْمَنِ وَالذِّمِّيِّ فِي دَارِ الْحَرْبِ فِي تَحْرِيمِ دِمَائِهِمَا كَالْمُسْلِمِ إِنْ تَتَرَّسُوا بِهِمْ يَجِبُ تَوَقِّيهِمْ كَمَا يَجِبُ تَوَقِّي الْمُسْلِمِ فَإِنْ أُصِيبَ أَحَدُهُمْ قَتِيلًا كَانَ فِي حُكْمِ الْمُسْلِمِ عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ مِنَ الْأَقْسَامِ الْأَرْبَعَةِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَيَسْتَوِي أَحْكَامُهَا إِلَّا فِي شَيْئَيْنِ

Al-Mawardi berkata: Secara keseluruhan, hukum bagi musta’man dan dzimmi di wilayah perang dalam hal pengharaman darah mereka adalah seperti hukum bagi seorang muslim. Jika mereka dijadikan tameng, maka wajib menghindari membunuh mereka sebagaimana wajib menghindari membunuh seorang muslim. Jika salah satu dari mereka terbunuh, maka hukumnya sama dengan hukum seorang muslim, sebagaimana yang telah kami sebutkan dalam empat bagian, berdasarkan firman Allah Ta’ala: “Dan jika ia dari kaum yang antara kamu dan mereka ada perjanjian, maka (wajib membayar) diyat yang diserahkan kepada keluarganya dan memerdekakan seorang budak yang beriman.” Hukum-hukum ini sama kecuali dalam dua hal.

أَحَدُهُمَا الْقَوَدُ لِسُقُوطِهِ بَيْنَ الْمُسْلِمِ وَالذِّمِّيِّ

Salah satunya adalah qawad yang gugur antara seorang Muslim dan seorang dzimmi.

وَالثَّانِي قَدْرُ الدِّيَةِ لِاخْتِلَافِهِمَا بالإسلام والكفر وهما في ما عَدَاهُنَّ سَوَاءٌ فَإِنْ وَجَبَ فِي قَتْلِ الْمُسْلِمِ الدِّيَةُ وَالْكَفَّارَةُ وَجَبَا فِي قَتْلِ الذِّمِّيِّ وَإِنْ وَجَبَ فِي قَتْلِ الْمُسْلِمِ الْقَوَدُ وَالْكَفَّارَةُ وَجَبَ فِي دِيَةِ الذِّمِّيِّ الدِّيَةُ وَالْكَفَّارَةُ فَإِنْ وَجَبَ فِي قَتْلِ الْمُسْلِمِ الْكَفَّارَةُ دُونَ الدِّيَةِ كَانَ الذِّمِّيُّ بِمَثَابَتِهِ يَجِبُ فِي قَتْلِهِ الْكَفَّارَةُ دُونَ الدِّيَةِ وَيَسْتَوِي الْمُسْتَأْمَنُ وَالذِّمِّيُّ فِي ضَمَانِهِمَا بِالدِّيَةِ أَوْ بِالْكَفَّارَةِ وَيَفْتَرِقَانِ فِي شَيْءٍ وَاحِدٍ وَهُوَ أَنَّ الذِّمِّيَّ يَلْزَمُنَا دَفْعُ أَهْلِ الْحَرْبِ عَنْهُ وَالْمُسْتَأْمَنَ لَا يَلْزَمُنَا دَفْعُ أَهْلِ الْحَرْبِ عَنْهُ وبالله التوفيق

Yang kedua adalah besaran diyat, karena perbedaan antara keduanya (muslim dan dzimmi) dalam hal Islam dan kekufuran, sedangkan dalam hal-hal selain itu keduanya sama. Jika dalam kasus pembunuhan seorang muslim diwajibkan diyat dan kafarat, maka dalam kasus pembunuhan seorang dzimmi juga diwajibkan keduanya. Jika dalam pembunuhan seorang muslim diwajibkan qishash dan kafarat, maka dalam kasus diyat dzimmi juga diwajibkan diyat dan kafarat. Jika dalam pembunuhan seorang muslim hanya diwajibkan kafarat tanpa diyat, maka dzimmi pun diperlakukan sama, yaitu dalam pembunuhannya hanya diwajibkan kafarat tanpa diyat. Orang musta’man dan dzimmi sama dalam hal jaminan diyat atau kafarat, namun berbeda dalam satu hal, yaitu bahwa terhadap dzimmi kita wajib melindunginya dari serangan ahl al-harb, sedangkan terhadap musta’man kita tidak wajib melindunginya dari serangan ahl al-harb. Dan hanya kepada Allah-lah taufik.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَلَوْ أَدْرَكُونَا وَفِي أَيْدِينَا خَيْلُهُمْ أَوْ مَاشِيَتُهُمْ لَمْ يَحِلَّ قَتْلُ شَيْءٍ مِنْهَا وَلَا عَقْرُهُ إلا أن يذبح لمأكله ولو جاز ذلك لغيظهم بقتلهم طلبنا غيظهم بقتل أطفالهم “

Asy-Syafi‘i berkata, “Seandainya mereka mendapati kita sementara di tangan kita terdapat kuda atau ternak mereka, maka tidak halal membunuh atau melukai sedikit pun dari hewan-hewan itu kecuali jika disembelih untuk dimakan. Jika hal itu dibolehkan hanya karena ingin membuat mereka marah dengan membunuhnya, tentu kita juga akan mencari kemarahan mereka dengan membunuh anak-anak mereka.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا غَنِمْنَا خَيْلَهُمْ وَمَوَاشِيَهُمِ ثُمَّ أَدْرَكُونَا وَلَمْ نَقْدِرْ عَلَى دَفْعِهِمْ عَنْهَا جَازَ تَرْكُهَا عَلَيْهِمْ وَلَمْ يَجُزْ قَتْلُهَا وَعَقْرُهَا طَلَبًا لِغَيْظِهِمْ أَوْ قَصْدًا لِإِضْعَافِهِمْ

Al-Mawardi berkata: “Dan ini benar, yaitu apabila kita memperoleh harta rampasan berupa kuda dan ternak mereka, kemudian mereka berhasil menyusul kita dan kita tidak mampu mencegah mereka mengambilnya kembali, maka boleh meninggalkannya untuk mereka dan tidak boleh membunuh atau melukai hewan-hewan itu dengan tujuan membuat mereka marah atau dengan maksud melemahkan mereka.”

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ يَجُوزُ قَتْلُهَا وَعَقْرُهَا لِإِحْدَى حَالَتَيْنِ إِمَّا لِغَيْظِهِمْ وَإِمَّا لِإِضْعَافِهِمُ احْتِجَاجًا بِأَمْرَيْنِ

Abu Hanifah berkata, boleh membunuh dan melukai hewan tersebut dalam dua keadaan: pertama, karena membuat mereka marah; kedua, karena melemahkan mereka, dengan berdalil pada dua hal.

أَحَدُهُمَا أَنَّ مَا أَفْضَى إِلَى إِضْعَافِهِمْ جَازَ اسْتِهْلَاكُهُ عَلَيْهِمْ كَالْأَمْوَالِ

Salah satunya adalah bahwa segala sesuatu yang menyebabkan mereka menjadi lemah, maka boleh dihabiskan atas mereka, seperti harta benda.

وَالثَّانِي أَنَّ نَمَاءَ الْحَيَوَانِ لَا يَمْنَعُ مِنْ إِتْلَافِهِ عَلَيْهِمْ كَالْأَشْجَارِ

Yang kedua, bahwa pertumbuhan hewan tidak menghalangi untuk membinasakannya atas mereka, sebagaimana pada pohon-pohon.

وَدَلِيلُنَا مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” أَنَّهُ نَهَى عَنْ ذَبْحِ الْحَيَوَانِ إِلَّا لِمَأكَلِهِ ” وروي عنه صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” أَنَّهُ نَهَى أَنْ تُصْبَرَ الْبَهَائِمُ أَوْ تُتَّخَذَ غَرَضًا “

Dan dalil kami adalah apa yang diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau melarang menyembelih hewan kecuali untuk dimakan. Dan diriwayatkan dari beliau ﷺ bahwa beliau melarang agar hewan-hewan ditahan (untuk disiksa) atau dijadikan sasaran (latihan).

وَرَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” مَنْ قَتَلَ عُصْفُورًا بِغَيْرِ حَقِّهَا سَأَلَهُ اللَّهُ عَنْ قَتْلِهَا ” قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا حَقُّهَا قَالَ ” أَنْ يَذْبَحَهَا فَيَأْكُلَهَا وَلَا يَقْطَعَ رَأْسَهَا وَيَرْمِيَ بِهَا ” وَهَذِهِ أَخْبَارٌ تَمْنَعُ مِنْ عَقْرِهَا وَقَتْلِهَا وَلِأَنَّ كُلَّ حَيَوَانٍ لَا يَحِلُّ قَتْلُهُ إِذَا قُدِرَ عَلَى اسْتِنْقَاذِهِ لَمْ يَحِلَّ قَتْلُهُ إِذَا عَجَزَ عَنِ اسْتِنْقَاذِهِ كَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ وَلِأَنَّهُ لَوْ جَازَ قَتْلُهَا لِغَيْظِهِمْ بِهَا كَانَ غَيْظُهُمْ بِقَتْلِ نِسَائِهِمْ أَكْثَرَ وَذَلِكَ مَحْظُورٌ وَلَوْ قَتَلَهُ لِإِضْعَافِهِمْ كَانَ إِضْعَافُهُمْ بِقَتْلِ أَوْلَادِهِمْ وَذَلِكَ مُحَرَّمٌ فَبَطَلَ الْمَعْنَيَانِ فِي قَتْلِ الْبَهَائِمِ وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِهْلَاكِ الْأَمْوَالِ وَقَطْعِ الْأَشْجَارِ فَأَبُو حَنِيفَةَ يَمْنَعُ مِنْ قَطْعِ الْأَشْجَارِ وَيُبِيحُ قَتْلَ الْحَيَوَانِ وَالشَّافِعِيُّ يُبِيحُ قَطْعَ الْأَشْجَارِ وَيَمْنَعُ مِنْ قَتْلِ الْحَيَوَانِ فَصَارَا مُجْمِعَيْنِ عَلَى الْفَرْقِ بَيْنَ الْأَشْجَارِ وَالْحَيَوَانِ وَإِنْ كَانَا مُخْتَلِفَيْنِ فِي الْمُبَاحِ مِنْهُمَا وَالْمَحْظُورِ فَصَارَ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا مُمْتَنِعًا وَإِبَاحَةُ الْأَشْجَارِ وَحَظْرُ الْحَيَوَانِ أَوْلَى مِنْ عَكْسِهِ لِأَنَّ لِلْحَيَوَانِ حُرْمَتَيْنِ إِحْدَاهُمَا لِمَالِكِهِ وَالْأُخْرَى لِخَالِقِهِ فَإِذَا سَقَطَتْ حُرْمَةُ الْمَالِكِ لِكُفْرِهِ بَقِيَتْ حُرْمَةُ الْخَالِقِ فِي بَقَائِهِ عَلَى حَظْرِهِ وَلِذَلِكَ مُنِعَ مَالِكُ الْحَيَوَانِ مِنْ تَعْطِيشِهِ وَإِجَاعَتِهِ لِأَنَّهُ إِنْ أَسْقَطَ حُرْمَةَ ملكه بَقِيَتْ حُرْمَةُ خَالِقِهِ وَحُرْمَتُهُ أَكْبَرُ مِنْ حُرْمَةِ الْأَمْوَالِ وَأَكْثَرُ مِنْ حَقِّ الْمَالِكِ وَحْدَهُ فَإِذَا سَقَطَ حُرْمَةُ مَالِكِهِ لِكُفْرِهِ جَازَ اسْتِهْلَاكُهُ لِزَوَالِ حُرْمَتِهِ وَلِذَلِكَ لَمْ يَحْرُمْ عَلَى مَالِكِ الْمَالِ وَالشَّجَرِ اسْتِهْلَاكُهُ وَإِنْ حَرُمَ عَلَيْهِ اسْتِهْلَاكُ حَيَوَانِهِ

Abdullah bin Amr bin Al-Ash meriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, “Barang siapa membunuh seekor burung tanpa haknya, maka Allah akan menanyakannya tentang pembunuhan itu.” Ditanyakan, “Wahai Rasulullah, apa haknya?” Beliau menjawab, “Yaitu ia menyembelihnya lalu memakannya, dan tidak memotong kepalanya lalu membuangnya.” Ini adalah riwayat-riwayat yang melarang melukai dan membunuhnya. Karena setiap hewan yang tidak halal dibunuh jika masih memungkinkan untuk diselamatkan, maka tidak halal pula membunuhnya jika tidak mampu menyelamatkannya, seperti halnya wanita dan anak-anak. Dan jika dibolehkan membunuhnya karena kemarahan terhadap mereka, maka kemarahan mereka karena dibunuhnya wanita-wanita mereka tentu lebih besar, dan itu dilarang. Jika ia membunuhnya untuk melemahkan mereka, maka melemahkan mereka dengan membunuh anak-anak mereka juga dilarang, maka kedua alasan itu batal dalam membunuh hewan. Adapun jawaban mengenai pembinasaan harta dan penebangan pohon, Abu Hanifah melarang penebangan pohon dan membolehkan membunuh hewan, sedangkan Asy-Syafi‘i membolehkan penebangan pohon dan melarang membunuh hewan. Maka keduanya sepakat adanya perbedaan antara pohon dan hewan, meskipun berbeda dalam hal mana yang boleh dan mana yang terlarang dari keduanya. Maka menggabungkan keduanya menjadi tidak mungkin, dan membolehkan pohon serta melarang hewan lebih utama daripada sebaliknya, karena hewan memiliki dua kehormatan: satu untuk pemiliknya dan satu lagi untuk Penciptanya. Jika kehormatan pemiliknya hilang karena kekafirannya, maka tetap ada kehormatan Penciptanya sehingga tetap terlarang membunuhnya. Karena itu, pemilik hewan dilarang membuatnya kehausan dan kelaparan, karena jika ia menghilangkan kehormatan kepemilikannya, tetap ada kehormatan Penciptanya, dan kehormatannya lebih besar daripada kehormatan harta dan lebih banyak daripada hak pemilik semata. Jika kehormatan pemiliknya hilang karena kekafirannya, maka boleh membinasakannya karena hilangnya kehormatan itu. Oleh karena itu, tidak diharamkan bagi pemilik harta dan pohon untuk membinasakannya, meskipun diharamkan baginya membinasakan hewannya.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” لَوْ قَاتَلُونَا عَلَى خَيْلِهِمْ فَوَجَدْنَا السَّبِيلَ إِلَى قَتْلِهِمْ بِأَنْ نَعْقِرَ بِهِمْ فَعَلْنَا لِأَنَّهَا تَحْتَهُمْ أَدَاةٌ لِقَتْلِنَا وَقَدْ عَقَرَ حَنْظَلَةُ بْنُ الرَّاهِبِ بأبي سفيان بن حرب يوم أحد فانعكست بِهِ فَرَسُهُ فَسَقَطَ عَنْهَا فَجَلَسَ عَلَى صَدْرِهِ لِيَقْتُلَهُ فَرَآهُ ابْنُ شَعُوبٍ فَرَجَعَ إِلَيْهِ فَقَتَلَهُ وَاسْتَنْقَذَ أَبَا سُفْيَانَ مِنْ تَحْتِهِ “

Imam Syafi‘i berkata, “Jika mereka memerangi kita dengan menunggang kuda mereka, lalu kita menemukan cara untuk membunuh mereka dengan melukai kuda tersebut, maka kita lakukan, karena kuda itu di bawah mereka adalah alat untuk membunuh kita. Hanzhalah bin ar-Rahib pernah melukai kuda Abu Sufyan bin Harb pada hari Perang Uhud, sehingga kudanya terjungkal dan Abu Sufyan terjatuh darinya. Lalu Hanzhalah duduk di atas dadanya untuk membunuhnya, namun Ibnu Sya‘ub melihatnya, kemudian kembali kepadanya dan membunuh Hanzhalah serta menyelamatkan Abu Sufyan dari bawahnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كَمَا ذَكَرَ إِذَا قَاتَلُونَا عَلَى خَيْلِهِمْ جَازَ لَنَا أَنْ نَعْقِرَهَا عَلَيْهِمْ لِنَصِلَ بِعُقْرِهَا إِلَى قَتْلِهِمْ وَالظَّفَرِ بِهِمْ لِأَنَّهُمْ مُمْتَنِعُونَ بِهَا فِي الطَّلَبِ وَالْهَرَبِ أَكْثَرَ مِنَ امْتِنَاعِهِمْ بِحُصُونِهِمْ وَسِلَاحِهِمْ فَصَارَتْ أَذًى لَنَا فَجَازَ اسْتِهْلَاكُهَا لِأَجْلِ الْأَذَى كَمَا جَازَ اسْتِهْلَاكُ مَا صَالَ مِنَ الْبَهَائِمِ وَإِنْ لَمْ يَجُزِ اسْتِهْلَاكُ مَا لَمْ يَصِلْ وَقَدْ عَقَرَ حَنْظَلَةُ بْنُ الرَّاهِبِ فَرَسَ أَبِي سُفْيَانَ بْنِ حَرْبٍ يَوْمَ أُحُدٍ وَاسْتَعْلَى عَلَيْهِ لِيَقْتُلَهُ فَرَآهُ ابْنُ شَعُوبٍ فَبَدَرَ إِلَى حَنْظَلَةَ وَهُوَ يَقُولُ

Al-Mawardi berkata, “Dan hal ini sebagaimana yang telah disebutkan, yaitu apabila mereka memerangi kita dengan menunggang kuda-kuda mereka, maka boleh bagi kita untuk melukai kuda-kuda itu agar dengan melukainya kita dapat membunuh mereka dan meraih kemenangan atas mereka. Sebab, mereka berlindung dengan kuda-kuda itu dalam upaya menyerang dan melarikan diri, bahkan perlindungan mereka dengan kuda lebih kuat daripada perlindungan mereka dengan benteng dan senjata. Maka kuda-kuda itu menjadi bahaya bagi kita, sehingga boleh membinasakannya karena bahayanya, sebagaimana dibolehkan membinasakan hewan buas yang menyerang, meskipun tidak dibolehkan membinasakan hewan yang tidak menyerang. Hanzhalah bin ar-Rahib pernah melukai kuda Abu Sufyan bin Harb pada hari Uhud dan menguasainya untuk membunuhnya. Lalu Ibnu Sya‘ub melihatnya, maka ia segera menuju Hanzhalah sementara ia berkata…”

لَأَحْمِيَنَّ صَاحِبِي وَنَفْسِي بِطَعْنَةٍ مِثْلِ شُعَاعِ الشَّمْسِ

Sungguh aku akan melindungi sahabatku dan diriku sendiri dengan sebuah tikaman yang seperti sinar matahari.

ثُمَّ طَعَنَ حَنْظَلَةَ فَقَتَلَهُ وَاسْتَنْقَذَ أَبَا سُفْيَانَ مِنْهُ فَخَلَصَ أَبُو سُفْيَانَ وَهُوَ يَقُولُ

Kemudian ia menikam Hanzhalah hingga membunuhnya dan menyelamatkan Abu Sufyan darinya, maka Abu Sufyan pun selamat sementara ia berkata:

فَمَا زَالَ مُهْرِي مَزْجَرَ الْكَلَبِ مِنْهُمْ لَدَى غُدْوَةٍ حَتَّى دَانَتْ لِغُرُوبِ

Maka kudaku senantiasa menjadi tempat anjing-anjing mereka diusir pada suatu pagi, hingga akhirnya tunduk pada waktu senja.

أُقَاتِلُهُمْ وادعي يال غالب وَأَدْفَعُهُمْ عَنِّي بُرِكُنِ صَلِيبِ

Aku memerangi mereka dan berseru, “Wahai Yang Maha Menang!” dan aku menghalau mereka dariku dengan keberkahan salib.

وَلَوْ شِئْتُ نَحَّتْنِي كُمَيْتٌ لِحَمْرَةٍ وَلَمْ أَحْمِلِ النَّغْمَاءَ لِابْنِ شَعُوبِ

Dan seandainya aku mau, kuda Kumait akan membawaku karena kemerahannya, namun aku tidak membawakan lagu untuk Ibnu Sya‘ub.

فَبَلَغَ ذَلِكَ ابْنَ شَعُوبٍ فَقَالَ مُجِيبًا لَهُ حِينَ لَمْ يَشْكُرْهُ

Maka hal itu sampai kepada Ibnu Sya‘ub, lalu ia berkata menjawabnya ketika orang itu tidak berterima kasih kepadanya.

وَلَوْلَا دِفَاعِي يَا ابْنَ حَرْبٍ وَمَشْهَدِي لَأَلْفَيْتَ يَوْمَ النَّعْفِ غَيْرَ مُجِيبِ

Wahai putra Harb, kalau bukan karena aku membela dan hadir di sana, niscaya pada hari di Na‘f engkau tidak akan menemukan seorang pun yang menjawab (panggilanmu).

وَلَوْلَا مَكَرِّي الْمُهْرَ بِالنَّعْفِ قَرْقَرَتْ ضِبَاعٌ عَلَيْهِ أَوْ ضِرَاءُ كَلِيبِ

Kalau bukan karena kecerdikanku menutupi anak kuda dengan kulit, niscaya serigala atau anjing-anjing liar sudah menggeram di atasnya.

وَمَوْضِعُ الدَّلِيلِ مِنْ هَذَا الْخَبَرِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ رَأَى حَنْظَلَةَ وَقَدْ عَقَرَ فَرَسَ أَبِي سُفْيَانَ فَأَقَرَّهُ عَلَيْهِ وَلَمْ يُنْكِرْهُ

Letak dalil dari hadis ini adalah bahwa Rasulullah saw. melihat Hanzhalah telah melukai kuda milik Abu Sufyan, lalu beliau membenarkannya dan tidak mengingkarinya.

فَصْلٌ

Fasal

وَإِذَا كَانَ رَاكِبُ الْفَرَسِ مِنْهُمُ امْرَأَةً أَوْ صَبِيًّا كَانَا يُقَاتِلَانِ عَلَيْهَا جَازَ عَقْرُهَا مِنْ تَحْتِهِمَا كَمَا لَوْ كَانَ رَاكِبُهَا رَجُلًا مُقَاتِلًا وَإِنْ كَانَا لَا يُقَاتِلَانِ عَلَيْهَا لَمْ يَجُزْ عَقْرُهَا كَمَا لَوْ كَانَتْ غَيْرَ مَرْكُوبَةٍ

Jika penunggang kuda di antara mereka adalah seorang wanita atau anak kecil yang keduanya ikut berperang di atasnya, maka boleh melukai kudanya dari bawah mereka sebagaimana jika penunggangnya adalah seorang laki-laki yang berperang. Namun jika keduanya tidak ikut berperang di atasnya, maka tidak boleh melukai kudanya, sebagaimana jika kuda tersebut tidak sedang ditunggangi.

فَصْلٌ

Fasal

وَلَوْ أَدْرَكُونَا وَمَعَنَا خَيْلُهُمْ وَهُمْ رَجَّالَةٌ إِنْ أُطْلِقَتْ عَلَيْهِمْ وَرَكِبُوهَا قَهَرُونَا بِهَا جَازَ عَقْرُهَا لِاسْتِدْفَاعِ الْأَذَى بِهَا كَمَا لَوْ كَانُوا رُكْبَانًا عَلَيْهَا

Dan jika mereka menyusul kita sementara kuda-kuda mereka bersama kita dan mereka berjalan kaki, lalu jika kuda-kuda itu dilepaskan kepada mereka dan mereka menungganginya, niscaya mereka akan mengalahkan kita dengan kuda-kuda itu, maka boleh melukai kuda-kuda tersebut untuk menolak bahaya dari mereka, sebagaimana jika mereka sedang menungganginya.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قال الشافعي ” فِي كِتَابِ حُكْمِ أَهْلِ الْكِتَابِ وَإِنَّمَا تَرَكْنَا قتل الرهبان اتباعا لأبي بكر الصديق رضي الله عنه وَقَالَ فِي كِتَابِ السِّيَرِ وَيُقْتَلُ الشُّيُوخُ وَالْأُجَرَاءُ والرهبان قتل دريد بن الصمة ابن خمسين ومائة سنة في شجار لا يستطيع الجلوس فذكر ذلك للنبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فلم ينكر قتله قال ورهبان الديات والصوامع والمساكن سواء ولو ثبت عَنْ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ خلاف هذا لأشبه أن يكون أمرهم بالجد على قتال من يقاتلهم ولا يتشاغلون بالمقام على الصوامع عن الحرب كالحصون لا يشغلون بالمقام بها عما يستحق النكاية بالعدو وليس أن قتال أهل الحصون حرام وكما روي عنه أنه نهى عن قطع الشجر المثمر ولعله لأنه قد حظر رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يقطع على بني النضير وحضره يترك وعلم أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وعدهم بفتح الشام فترك قطعه لتبقى لهم منفعته إذا كان واسعا لهم ترك قطعه قال المزني رحمه الله هذا أولى القولين عندي بالحق لأن كفر جميعهم واحد وكذلك سفك دمائهم بالكفر في القياس واحد “

Imam Syafi‘i berkata dalam Kitab Hukum Ahli Kitab: “Kami meninggalkan pembunuhan terhadap para rahib semata-mata mengikuti Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu.” Dan beliau berkata dalam Kitab as-Siyar: “Orang tua, para pekerja, dan para rahib boleh dibunuh. Duraid bin ash-Shimmah yang berusia seratus lima puluh tahun dibunuh dalam pertempuran padahal ia sudah tidak mampu duduk. Hal itu disebutkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau tidak mengingkari pembunuhannya.” Ia juga berkata: “Para rahib di tempat pembayaran diyat, biara, dan tempat tinggal hukumnya sama. Jika benar Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu berpendapat sebaliknya, maka lebih mirip bahwa beliau memerintahkan mereka untuk bersungguh-sungguh memerangi siapa saja yang memerangi mereka, dan tidak menyibukkan diri berdiam di biara dari peperangan, sebagaimana benteng tidak membuat orang yang tinggal di dalamnya lalai dari melakukan serangan terhadap musuh. Bukan berarti memerangi penghuni benteng itu haram. Sebagaimana diriwayatkan dari beliau bahwa beliau melarang menebang pohon yang berbuah, mungkin karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan penebangan pohon milik Bani Nadhir dan kadang membiarkannya, dan beliau mengetahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjanjikan penaklukan Syam kepada mereka, maka beliau membiarkan pohon itu agar tetap bermanfaat bagi mereka jika wilayah itu telah luas bagi mereka, sehingga beliau membiarkan penebangannya.” Al-Muzani rahimahullah berkata: “Ini adalah pendapat yang menurutku paling benar, karena kekafiran mereka semua sama, demikian pula penumpahan darah mereka karena kekafiran menurut qiyās juga sama.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَجُمْلَةُ الْمُشْرِكِينَ بَعْدَ الظَّفَرِ بِهِمْ يَنْقَسِمُ أَرْبَعَةَ أَقْسَامٍ

Al-Mawardi berkata, “Seluruh orang musyrik setelah berhasil ditaklukkan terbagi menjadi empat golongan.”

أَحَدُهَا الْمُقَاتِلَةُ أَوْ مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْقِتَالِ وَإِنْ لَمْ يُقَاتِلْ فَهُوَ مِنَ الْمُقَاتِلَةِ وَيَجُوزُ قَتْلُهُمْ عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ خِيَارِ الْإِمَامِ فِيهِمْ

Salah satunya adalah kelompok yang memerangi atau orang-orang yang termasuk golongan yang layak berperang, meskipun mereka tidak ikut berperang, maka mereka tetap termasuk kelompok yang memerangi, dan boleh dibunuh berdasarkan apa yang telah kami jelaskan sebelumnya mengenai pilihan imam terhadap mereka.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي وَهُمْ أَهْلُ الرَّأْيِ وَالتَّدْبِيرِ مِنْهُمْ دُونَ الْقِتَالِ فَيَجُوزُ قَتْلُهُمْ أَيْضًا

Golongan kedua adalah mereka yang termasuk ahli ra’yu dan perencana di antara mereka, tanpa ikut berperang, maka boleh juga membunuh mereka.

شُبَّانًا كَانُوا أَوْ شُيُوخًا قَدَرُوا عَلَى الْقِتَالِ أَوْ لَمْ يَقْدِرُوا لِأَنَّ التَّدْبِيرَ عِلْمٌ بِالْحَرْبِ وَالْقِتَالُ عَمَلٌ وَالْعِلْمُ أَصْلٌ لِلْعَمَلِ وَقَدْ أَفْصَحَ الْمُتَنَبِّي حَيْثُ قَالَ

Baik mereka masih muda maupun sudah tua, baik mampu berperang maupun tidak, karena strategi adalah ilmu tentang peperangan, sedangkan pertempuran adalah tindakan; dan ilmu merupakan dasar dari tindakan. Al-Mutanabbi telah menjelaskannya dengan jelas ketika ia berkata:

الرَّأْيُ قَبْلَ شَجَاعَةِ الشُّجْعَانِ هُوَ أَوَّلٌ وَهِيَ الْمَحَلُّ الثَّانِي

Pendapat sebelum keberanian para pemberani adalah yang utama, sedangkan keberanian itu menempati posisi kedua.

وَلِأَنَّ التَّدْبِيرَ أَنْكَى وَأَضَرُّ وَهُوَ مِنَ الشَّيْخِ أَقْوَى وَأَصَحُّ هَذَا دُرَيْدُ بْنُ الصِّمَّةِ أَشَارَ عَلَى هَوَازِنَ يَوْمَ حُنَيْنٍ أَنْ يَتَجَرَّدُوا لِلْقِتَالِ وَلَا يُخْرِجُوا مَعَهُمُ الذَّرَارِيَ فَخَالَفَهُ مَالِكُ بْنُ عَوْفٍ النَّضْرِيُّ وَخَرَجَ بِهِمْ فَهُزِمُوا فَقَالَ دريد في ذلك

Karena strategi itu lebih mematikan dan lebih merugikan, dan dari seorang yang tua lebih kuat dan lebih benar. Inilah Duraid bin Ash-Shimmah yang memberi saran kepada Hawazin pada hari Hunain agar mereka memusatkan diri untuk berperang dan tidak membawa serta anak-anak kecil mereka, namun Malik bin ‘Auf an-Nadri menyelisihinya dan tetap membawa mereka, lalu mereka pun kalah. Maka Duraid berkata tentang hal itu:

وَرَايَاتُهُ مَنْشُورَةٌ وَسُيُوفُهُ مَشْهُورَةٌ قَالُوا وَهَذِهِ صِفَةُ الْعَنْوَةِ الَّتِي حَلَفَ بِهَا أَنْ يَغْزُوَهُمْ

Dan panji-panjinya berkibar, pedang-pedangnya terhunus. Mereka berkata, “Inilah sifat al-‘anwatu yang ia bersumpah dengannya untuk memerangi mereka.”

قَالَ وَقَدْ رَوَى أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ دَخَلَ مَكَّةَ يَوْمَ الْفَتْحِ عَنْوَةً وَهُوَ مِنْ أَخَصِّ أَصْحَابِهِ وَأَقْرَبِهِمْ مِنْهُ فَكَانَ ذَلِكَ نَصًّا

Ia berkata, “Telah diriwayatkan oleh Ubay bin Ka‘b bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki Makkah pada hari Fathu Makkah secara ‘anwatan (dengan kekuatan), dan Ubay adalah salah satu sahabat beliau yang paling khusus dan paling dekat dengannya, maka hal itu merupakan nash (teks yang jelas).”

قَالُوا وَقَدْ رَوَى أَبُو هُرَيْرَةَ قَالَ شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَتْحَ مَكَّةَ فَقَالَ لِي يَا أَبَا هُرَيْرَةَ ادْعُ الْأَنْصَارَ فَدَعَوْتُهُمْ فَأَتَوْهُ مُهَرْوِلِينَ فَقَالَ لَهُمْ ” إِنَّ قُرَيْشًا قَدْ أَوْبَشَتْ أَوْبَاشَهَا فَإِذَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاحْصُدُوهُمْ حَصْدًا حَتَّى تَلْقَوْنِي عَلَى الصَّفَا ” فَكَانَ أَمْرُهُ بِالْقَتْلِ نَافِيًا لِعَقْدِ الصُّلْحِ

Mereka berkata: Abu Hurairah meriwayatkan, “Aku menyaksikan bersama Rasulullah ﷺ penaklukan Makkah. Beliau berkata kepadaku, ‘Wahai Abu Hurairah, panggillah kaum Anshar.’ Maka aku memanggil mereka, lalu mereka datang dengan bergegas. Beliau berkata kepada mereka, ‘Sesungguhnya Quraisy telah mengerahkan kelompok-kelompoknya, maka jika kalian menemui mereka, habisilah mereka sampai kalian menemuiku di Shafa.’ Maka perintah beliau untuk membunuh itu meniadakan adanya akad perdamaian.”

قَالُوا وَلِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ يَوْمَ الْفَتْحِ مَنْ أَغْلَقَ بَابَهُ فَهُوَ آمِنٌ وَمَنْ أَلْقَى سِلَاحَهُ فَهُوَ آمِنٌ ” وَلَوْ كَانَ دُخُولُهُ عَنْ صُلْحٍ لكَانَ جَمِيعُ النَّاسِ آمِنِينَ بِالْعَقْدِ

Mereka berkata: Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada hari Fathu Makkah, “Siapa yang menutup pintunya, maka ia aman, dan siapa yang meletakkan senjatanya, maka ia aman.” Seandainya masuknya (Rasulullah ke Makkah) itu melalui perdamaian (ṣulḥ), tentu seluruh manusia akan aman karena adanya akad (perjanjian).

قَالُوا وَلِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ حِينَ دَخَلَ مَكَّةَ طَافَ بِالْبَيْتِ وَفِيهِ جَمَاعَةٌ مِنْ أَشْرَافِ قُرَيْشٍ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مَا تَرَوْنِي صَانِعًا بِكُمْ قَالُوا أَخٌ كَرِيمٌ وَابْنُ أَخٍ كَرِيمٍ فَاصْنَعْ بِنَا صُنْعَ أَخٍ كَرِيمٍ ” فَقَالَ اذْهَبُوا فَأَنْتُمُ الطُّلَقَاءُ وَمَثَلِي وَمَثَلُكُمْ كَمَا قَالَ يُوسُفُ لِإِخْوَتِهِ لا تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ واليوم يَغْفِرُ اللَّهُ لَكُمْ وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ وَهَذَا دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُمْ بِالْعَفْوِ آمَنُوا لَا بالصلح

Mereka berkata: Karena Rasulullah ﷺ ketika memasuki Makkah, beliau thawaf di Ka’bah sementara di sana terdapat sekelompok pembesar Quraisy. Maka Rasulullah ﷺ berkata kepada mereka, “Menurut kalian, apa yang akan aku lakukan terhadap kalian?” Mereka menjawab, “Engkau adalah saudara yang mulia dan anak dari saudara yang mulia, maka perlakukanlah kami sebagaimana perlakuan seorang saudara yang mulia.” Maka beliau bersabda, “Pergilah, kalian adalah orang-orang yang dibebaskan. Perumpamaanku dan perumpamaan kalian seperti apa yang dikatakan Yusuf kepada saudara-saudaranya: ‘Tidak ada celaan atas kalian hari ini, semoga Allah mengampuni kalian, dan Dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang.'” Ini adalah dalil bahwa mereka masuk Islam karena pemaafan, bukan karena perdamaian (ṣulḥ).

قالوا ولأن أم هانىء أَمَّنَتْ يَوْمَ الْفَتْحِ رَجُلَيْنِ فَهَمَّ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ بِقَتْلِهِمَا فَمَنَعَتْهُ وَأَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَأَخْبَرَتْهُ فَقَالَ ” قَدْ أَجَرْنَا مَنْ أَجَرْتِ يَا أم هانىء ” وَلَوْ كَانَ صُلْحًا لَاسْتَحَقَّا الْأَمَانَ لَا بِالْإِجَارَةِ وَلَمَا اسْتَجَازَ عَلِيٌّ أَنْ يَهُمَّ بِقَتْلِهِمَا

Mereka berkata: Karena Ummu Hani’ telah memberikan perlindungan kepada dua orang laki-laki pada hari penaklukan (Makkah), lalu Ali bin Abi Thalib bermaksud membunuh keduanya, namun ia (Ummu Hani’) mencegahnya dan mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu memberitahukan hal itu kepadanya. Maka beliau bersabda, “Kami telah memberikan perlindungan kepada siapa yang engkau lindungi, wahai Ummu Hani’.” Seandainya itu merupakan shulh (perjanjian damai), tentu keduanya berhak mendapatkan perlindungan bukan karena ijārah (pemberian perlindungan), dan Ali pun tidak akan membolehkan dirinya berniat membunuh keduanya.

قَالُوا وَقَدْ رُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ كُلُّ الْبِلَادِ فُتِحَتْ بِالسَّيْفِ إِلَّا الْمَدِينَةَ فَإِنَّهَا فُتِحَتْ بِالْقُرْآنِ أَوْ قَالَتْ بِلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ مَكَّةَ فُتِحَتْ بِالسَّيْفِ عَنْوَةً

Mereka berkata, telah diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallāhu ‘anhā bahwa ia berkata: “Seluruh negeri dibuka dengan pedang kecuali Madinah, karena ia dibuka dengan al-Qur’an,” atau ia berkata: “dengan Lā ilāha illallāh.” Maka hal ini menunjukkan bahwa Makkah dibuka dengan pedang secara ‘anwatan (penaklukan paksa).

قَالُوا وَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” إِنَّ اللَّهَ حَبَسَ الْفِيلَ عَنْ مَكَّةَ وَسَلَّطَ عَلَيْهَا رَسُولَهُ وَالْمُؤْمِنِينَ وَإِنَّهَا لَا تَحِلُّ لِأَحَدٍ بَعْدِي وَلَمْ تَحِلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي وَإِنَّمَا أُحِلَّتْ لِي سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ ثُمَّ هِيَ حَرَامٌ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ ” فَدَلَّ تَسْلِيطُهُ عَلَيْهَا سَاعَةً مِنَ النَّهَارِ عَلَى أَنَّهُ كَانَ مُحَارِبًا فِيهَا غَيْرَ مُصَالِحٍ

Mereka berkata, telah diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menahan gajah dari (memasuki) Mekah dan telah menundukkan Mekah kepada Rasul-Nya dan orang-orang mukmin. Sesungguhnya Mekah tidak dihalalkan bagi siapa pun setelahku, dan tidak pernah dihalalkan bagi siapa pun sebelumku. Mekah hanya dihalalkan bagiku selama sesaat di siang hari, kemudian setelah itu ia tetap haram hingga hari kiamat.” Maka, penundukan Mekah kepadanya selama sesaat di siang hari menunjukkan bahwa beliau saat itu berstatus sebagai muharib (pihak yang berperang), bukan sebagai pihak yang berdamai.

قَالُوا وَقَدْ رُوِيَ أَنَّ حِمَاسَ بْنَ قَيْسِ بْنِ خَالِدٍ أَعَدَّ سِلَاحًا لِلْقِتَالِ يَوْمَ الْفَتْحِ فَقَالَتْ لَهُ امْرَأَتُهُ وَاللَّهِ مَا أَرَى أَنَّكَ تَقُومُ بِمُحَمَّدٍ وَأَصْحَابِهِ فقال لها إني لأرجو أن أخدمك بعضهم وَخَرَجَ مُرْتَجِزًا يَقُولُ

Mereka berkata, telah diriwayatkan bahwa Himās bin Qais bin Khalid menyiapkan senjata untuk berperang pada hari Fathu (Penaklukan Makkah). Maka istrinya berkata kepadanya, “Demi Allah, aku tidak melihat engkau mampu menghadapi Muhammad dan para sahabatnya.” Ia pun menjawab kepadanya, “Sesungguhnya aku berharap dapat membawakan untukmu salah satu dari mereka sebagai tawanan.” Lalu ia keluar sambil bersyair:

إِنْ تُقْبِلُوا الْيَوْمَ فَمَا لي علة هذا سلاح كامل وأله

Jika kalian menerima hari ini, maka apa alasanku? Ini adalah senjata yang lengkap dan alatnya.

وَذُو غِزَارَيْنِ سَرِيعُ السَّلَّهْ

Dan yang memiliki dua kantong air mani adalah yang cepat mengeluarkan mani.

وَلَحِقَ بِصَفْوَانَ بْنِ أُمَيَّةَ وَعِكْرِمَةَ بْنِ أَبِي جَهْلٍ وَسُهَيْلِ بْنِ عَمْرٍو فِيمَنْ يُقَاتِلُ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ فِي قُرَيْشٍ وَعَادَ مُنْهَزِمًا فَدَخَلَ بَيْتَهُ وَقَالَ لِامْرَأَتِهِ أَغْلِقِي عَلَيَّ الْبَابَ فَقَالَتْ لَهُ امْرَأَتُهُ فَأَيْنَ مَا كُنْتَ تَعِدُنَا فَقَالَ

Bersama Shafwan bin Umayyah, Ikrimah bin Abu Jahal, dan Suhail bin Amr, termasuk di antara orang-orang yang diperangi oleh Khalid bin Walid dari kalangan Quraisy, lalu ia kembali dalam keadaan kalah, masuk ke rumahnya, dan berkata kepada istrinya, “Tutuplah pintu untukku.” Maka istrinya berkata kepadanya, “Lalu di mana janji-janji yang dulu engkau berikan kepada kami?” Ia pun menjawab…

إِنَّكِ لَوْ شَهِدْتِ يوم الخندمه إذا فر صفوان وفر عكرمه

 

وأبو يزيد قائم كالمؤتمة واستقبلتهم بالسيوف المسامه

Abu Yazid berdiri seperti seorang makmum, dan mereka menghadapi mereka dengan pedang-pedang yang terhunus.

يَقْطَعْنَ كُلَّ سَاعِدٍ وَجُمْجُمَهْ ضَرْبًا فَلَا تُسْمَعُ إلا غمغمه

Mereka memotong setiap lengan dan tengkorak dengan pukulan, sehingga tidak terdengar kecuali gumaman.

لهم نهيت خلفنا وهمهمه لم تنطقي في اللوم أدنى كلمه

Aku telah melarang mereka di belakang kita, namun engkau hanya diam, tidak mengucapkan sepatah kata pun untuk menegur.

فدل على دخولها بالقتال

Maka hal itu menunjukkan bahwa wilayah tersebut dimasuki melalui peperangan.

قالوا ولأنه صَالَحَهُمْ عَلَى دُخُولِهَا لَتَرَدَّدَتْ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُمُ الرُّسُلُ وَلَكَتَبَ فِيهِ الصُّحُفَ كَمَا فَعَلَ مَعَهُمْ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ وَهُوَ لَمْ يَلْبَثْ حَتَّى دُخُولِهَا بِعَسْكَرِهِ قَهْرًا فَكَيْفَ يَكُونُ صُلْحًا

Mereka berkata: Karena jika ia berdamai dengan mereka untuk memasukinya, tentu akan ada utusan yang bolak-balik antara dia dan mereka, dan tentu akan ditulis dokumen perjanjian sebagaimana yang dilakukan bersamanya pada tahun Hudaibiyah. Namun, ia tidak lama kemudian masuk ke dalamnya bersama pasukannya dengan kemenangan, maka bagaimana mungkin itu disebut sebagai perdamaian?

وَدَلِيلُنَا عَلَى دُخُولِهَا صُلْحًا قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى وَلَوْ قَاتَلَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوَلَّوُا الأَدْبَارَ ثُمَّ لا يَجِدُونَ وَلِيًّا ولا نصيرا يعني والله أعلم أَهْلَ مَكَّةَ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُمْ لَمْ يُقَاتِلُوا وَلَوْ قَاتَلُوا لَمْ يُنْصَرُوا وَقَالَ تَعَالَى وَهُوَ الَّذِي كَفَّ أَيْدِيَهُمْ عَنْكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ عَنْهُمْ بِبَطْنِ مَكَّةَ فَأَخْبَرَ بِكَفِّ الْفَرِيقَيْنِ وَالْكَفُّ يَمْنَعُ من العنوة وقوله تعالى من بعد أن أظفركم عليهم يُرِيدُ بِهِ الِاسْتِعْلَاءَ وَالدُّخُولَ وَقَدْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مُسْتَعْلِيًا فِي دُخُولِهِ وَقَالَ تَعَالَى لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ آمِنِينَ وَالْمُحَارِبُ لَا يَكُونُ آمِنًا فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ دُخُولُهَا صُلْحًا لَا عَنْوَةً وَقَالَ تَعَالَى فِي سُورَةِ الرعد ولا يزال الذين كفروا يصيبهم بِمَا صَنَعُوا قَارِعَةٌ أَوْ تَحُلُّ قَرِيبًا مِنْ دَارِهِمْ حَتَّى يَأْتِيَ وَعْدُ اللَّهِ الْآيَةَ فأخبر بإصابة القوارع ولهم إِلَى أَنْ يَحُلَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَرِيبًا مِنْهُمْ فَصَارَ غَايَةَ قَوَارِعَهُمْ وَهَذِهِ حَالُ أَهْلِ مَكَّةَ إِلَى أَنْ نَزَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِمَرِّ الظَّهْرَانِ فَانْتَهَتِ الْقَوَارِعُ فَصَارَ مَا بَعْدَهَا غَيْرَ قَارِعَةٍ وَالْمُخَالِفُ يَجْعَلُ مَا بَعْدُ بَحْلُولِهِ أَعْظَمَ الْقَوَارِعِ وَفِي هَذَا إِبْطَالٌ لِقَوْلِهِ وَفِيهَا مُعْجِزَةٌ وَهُوَ الْإِخْبَارُ بِالشَّيْءِ قَبْلَ كَوْنِهِ لِأَنَّ سُورَةَ الرَّعْدِ مَكِّيَّةٌ

Dan dalil kami tentang masuknya (Makkah) dengan jalan perdamaian adalah firman Allah Ta‘ala: “Dan sekiranya orang-orang kafir itu memerangi kalian, niscaya mereka akan berbalik melarikan diri ke belakang, kemudian mereka tidak akan mendapatkan pelindung maupun penolong.” Maksudnya, menurut Allah lebih mengetahui, adalah penduduk Makkah. Maka ini menunjukkan bahwa mereka tidak memerangi, dan seandainya mereka memerangi, mereka tidak akan mendapat pertolongan. Dan firman-Nya Ta‘ala: “Dan Dialah yang menahan tangan mereka dari kalian dan tangan kalian dari mereka di lembah Makkah.” Maka Allah mengabarkan tentang tertahannya kedua kelompok, dan penahanan itu mencegah dari penaklukan dengan kekerasan (‘anwah). Dan firman-Nya Ta‘ala: “Setelah Allah memenangkan kalian atas mereka,” maksudnya adalah penguasaan dan masuk (ke Makkah), dan sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berada dalam posisi menguasai ketika beliau masuk. Dan firman-Nya Ta‘ala: “Sungguh, kalian pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah, dalam keadaan aman.” Sedangkan orang yang berperang tidaklah dalam keadaan aman, maka ini menuntut bahwa masuknya (Makkah) adalah dengan perdamaian, bukan dengan kekerasan. Dan firman-Nya Ta‘ala dalam Surah ar-Ra‘d: “Dan orang-orang kafir itu senantiasa ditimpa bencana karena perbuatan mereka, atau bencana itu turun dekat dengan tempat tinggal mereka, hingga datang janji Allah.” Maka Allah mengabarkan tentang datangnya bencana kepada mereka sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di dekat mereka, sehingga itu menjadi akhir dari bencana mereka. Dan inilah keadaan penduduk Makkah sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Marr azh-Zhahran, maka bencana pun berakhir, sehingga setelah itu tidak lagi disebut bencana. Sedangkan pihak yang menyelisihi menjadikan apa yang terjadi setelah kedatangan beliau sebagai bencana yang lebih besar, dan ini membatalkan pendapatnya. Dalam hal ini terdapat mukjizat, yaitu pemberitaan tentang sesuatu sebelum terjadinya, karena Surah ar-Ra‘d adalah surah Makkiyyah.

وَيَدُلُّ عَلَيْهِ نَقْلُ السِّيرَةِ فِي الدُّخُولِ إِلَيْهَا وَاتِّفَاقُ الرُّوَاةِ عَلَيْهَا وَهُوَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ حِينَ تَأَهَّبَ لِلْمَسِيرِ إِلَيْهَا أَخْفَى أَمْرَهُ وَقَالَ اللَّهُمَّ خُذْ عَلَى أَبْصَارِهِمْ حَتَّى لَا يَرَوْنِي إِلَّا بَغْتَةً ” وَسَارَ مُحِثًّا حَتَّى نَزَلَ بِمَرِّ الظَّهْرَانِ وَهِيَ عَلَى سَبْعَةِ أَمْيَالٍ مِنْ مَكَّةَ وَكَانَ الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ قَدْ لَقِيَهُ قَبْلَ ذَلِكَ بِالسُّقْيَا فَسَارَ مَعَهُ وَأَمَرَ كُلَّ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِهِ أَنْ يُوقِدَ نَارًا فَأُوقِدَتْ عَشَرَةُ آلَافِ نَارٍ أَضَاءَتْ بِهَا بُيُوتُ مَكَّةَ وفعل ذلك؟ ؟

Hal ini didukung oleh riwayat sirah tentang masuknya (Rasulullah ke Mekah) dan kesepakatan para perawi atasnya, yaitu bahwa Rasulullah saw. ketika bersiap-siap untuk berangkat ke sana, beliau merahasiakan urusannya dan berdoa, “Ya Allah, tutuplah pandangan mereka sehingga mereka tidak melihatku kecuali secara tiba-tiba.” Beliau pun berjalan dengan cepat hingga singgah di Marr azh-Zhahran, yang berjarak tujuh mil dari Mekah. Abbas bin Abdul Muththalib telah menemuinya sebelumnya di Suqya, lalu berjalan bersamanya. Beliau memerintahkan setiap orang dari para sahabatnya untuk menyalakan api, maka dinyalakanlah sepuluh ribu api yang menerangi rumah-rumah Mekah. Apakah beliau melakukan hal itu?

إِرْهَابًا لَهُمْ وَإِيثَارًا لِلْبُقْيَا عَلَيْهِمْ لِيَنْقَادُوا إِلَى الصُّلْحِ وَالطَّاعَةِ وَلَوْ أَرَادَ اصْطِلَامَهُمْ لَفَاجَأَهُمْ بِالدُّخُولِ وَلَكِنَّهُ أَنْذَرَ وَحَذَّرَ فَلَمَّا خَفِيَ عَلَيْهِمْ مَنْ نَزَلَ بِهِمْ خَرَجَ أَبُو سُفْيَانَ بْنُ حَرْبٍ وَحَكِيمُ بْنُ حِزَامٍ وَبُدَيْلُ بْنُ وَرْقَاءَ يَتَحَسَّسُونَ الْأَخْبَارَ وَقَالَ الْعَبَّاسُ وَأَشْيَاخُ قُرَيْشٍ وَاللَّهِ لَئِنْ دَخَلَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عنوة إنه لهلاك قريش آخر الدهر فركب بَغْلَةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ الشهباء وتوجه إلى مكة ليعلم قريش حَتَّى يَسْتَأْمِنُوهُ فَبَيْنَمَا هُوَ بَيْنَ الْأَرَاكِ لَيْلًا وإذا سَمِعَ كَلَامَ أَبِي سُفْيَانَ فَعَرَفَ صَوْتَهُ فَتَعَارَفَا وَاسْتَخْبَرَهُ عَنِ الْحَالِ فَأَخْبَرَهُ بِنُزُولِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي عَشَرَةِ آلَافٍ لَا طَاقَةَ لَهُمْ بِهَا فَاسْتَشَارَهُ فَقَالَ تَأْتِيهِ فِي جِوَارِي فَتُسْلِمُ وَتَسْتَأْمِنُهُ لِنَفْسِكَ وَقَوْمِكَ وَأَرْدَفَهُ عَلَى عَجُزِ الْبَغْلَةِ وَعَادَ مُسْرِعًا بِهِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَأَخْبَرَهُ بِحَالِهِ فَقَالَ اذْهَبْ بِهِ فَقَدْ أَمَّنَاهُ حَتَّى تَأْتِيَنِي بِهِ مِنَ الْغَدِ فَلَمَّا أَصْبَحَ أتاه به وفأسلم وَعَقَدَ مَعَهُ الْأَمَانَ لِأَهْلِ مَكَّةَ عَلَى أَنْ لَا يُقَاتِلُوهُ فَقَالَ الْعَبَّاسُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ يُحِبُّ الْفَخْرَ فَقَالَ عَلَيْهِ السَّلَامُ مَنْ دَخَلَ دَارَ أَبِي سُفْيَانَ فَهُوَ آمِنٌ من دَخَلَ دَارَ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ فَهُوَ آمِنٌ من ألقى سلاحه فهو آمن من أَغْلَقَ بَابَهُ فَهُوَ آمِنٌ ” فَكَانَ عَقْدُ الْأَمَانِ مُتَعَلِّقًا بِهَذَا الشَّرْطِ

Agar mereka merasa gentar dan demi mengutamakan keselamatan mereka supaya mereka mau menerima perdamaian dan ketaatan. Seandainya beliau ingin membinasakan mereka, tentu beliau akan mengejutkan mereka dengan masuk secara tiba-tiba, namun beliau justru memberi peringatan dan ancaman. Ketika mereka tidak mengetahui siapa yang datang kepada mereka, Abu Sufyan bin Harb, Hakim bin Hizam, dan Budail bin Warqa’ keluar untuk mencari tahu berita. Abbas dan para pemuka Quraisy berkata, “Demi Allah, jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke kota ini dengan paksa, itu berarti kehancuran Quraisy untuk selama-lamanya.” Maka Abbas menaiki bighal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berwarna kelabu dan menuju Mekah untuk memberitahu Quraisy agar mereka meminta perlindungan kepadanya. Ketika ia berada di antara pepohonan arak pada malam hari, ia mendengar suara Abu Sufyan dan mengenali suaranya, lalu mereka saling mengenal dan saling bertanya tentang keadaan. Abbas memberitahunya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah datang bersama sepuluh ribu pasukan yang tidak mungkin mereka lawan. Abu Sufyan meminta pendapatnya, maka Abbas berkata, “Datanglah kepadanya dalam perlindunganku, masuk Islamlah, dan mintalah perlindungan untuk dirimu dan kaummu.” Abbas memboncengkannya di belakang bighal dan segera membawanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu memberitahukan keadaannya. Rasulullah bersabda, “Bawalah dia, sungguh kami telah memberinya perlindungan sampai engkau membawanya kepadaku besok.” Ketika pagi tiba, Abbas membawanya dan Abu Sufyan masuk Islam. Rasulullah mengadakan perjanjian keamanan dengan Abu Sufyan untuk penduduk Mekah dengan syarat mereka tidak memeranginya. Abbas berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang suka berbangga diri.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang masuk ke rumah Abu Sufyan, maka ia aman; siapa yang masuk ke rumah Hakim bin Hizam, maka ia aman; siapa yang meletakkan senjatanya, maka ia aman; siapa yang menutup pintunya, maka ia aman.” Maka perjanjian keamanan itu tergantung pada syarat-syarat ini.

وَهَذَا يُخَالِفُ حُكْمَ الْعَنْوَةِ فَدَلَّ عَلَى انْعِقَادِ الصُّلْحِ وُجُودُ هَذَا الشَّرْطِ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لما أَمَّنَ أَبَا سُفْيَانَ وَعَقَدَ مَعَهُ أَمَانَ قُرَيْشٍ عَلَى الشُّرُوطِ الْمُقَدَّمَةِ أَنْفَذَهُ؟ إِلَى مَكَّةَ مَعَ الْعَبَّاسِ ثُمَّ اسْتَدْرَكَ مَكْرَ أَبِي سُفْيَانَ وَأَنْفَذَ إِلَى الْعَبَّاسِ أَنْ يَسْتَوْقِفَ أَبَا سُفْيَانَ بِمَضِيقِ الْوَادِي لِيَرَى جُنُودَ اللَّهِ فَقَالَ أَبُو سُفْيَانَ أَغَدْرًا يَا بَنِي هَاشِمٍ فَقَالَ لَهُ الْعَبَّاسُ بَلْ أَنْتَ أَغْدَرُ وَأَفْجَرُ وَلَكِنْ لِتَرَى جُنُودَ اللَّهِ فِي إِعْزَازِ دِينِهِ وَنُصْرَةِ رَسُولِهِ فَلَوْ كَانَ دُخُولُهُ عَنْوَةً لَمْ يَقُلْ أَبُو سُفْيَانَ أَغَدْرًا وَلَمْ يَجْعَلِ اسْتِيقَافَهُ غَدْرًا فَلَمَّا أَقْبَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بَعْدَ كَتَائِبِهِ الْمُتَقَدِّمَةِ قَالَ أَبُو سُفْيَانَ لِلْعَبَّاسِ لَقَدْ أُوتِيَ ابْنُ أَخِيكَ مُلْكًا عَظِيمًا فَقَالَ لَهُ الْعَبَّاسُ وَيْحَكَ إِنَّهَا النُّبُوَّةُ فَقَالَ نَعَمْ إِذًا ثُمَّ أَرْسَلَهُ الْعَبَّاسُ إِلَى مَكَّةَ مُنْذِرًا لِقَوْمِهِ؟ بِالْأَمَانِ فَأَسْرَعَ حَتَّى دَخَلَ مَكَّةَ فَصَرَخَ فِي الْمَسْجِدِ فَقَالَ يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ هَذَا مُحَمَّدٌ قَدْ جَاءَ بِمَا لَا قِبَلَ لَكُمْ بِهِ قَالُوا فَمَهْ قَالَ مَنْ دَخَلَ دَارِي فَهُوَ آمِنٌ قَالُوا وَمَا تُغْنِي عَنَّا دَارُكَ قال من دخل المسجد فهو آمن من أغلق بابه فهو آمن من أَلْقَى سِلَاحَهُ فَهُوَ آمِنٌ فَحِينَئِذٍ كَفُّوا وَاسْتَسْلَمُوا وَهَذَا مِنْ شَوَاهِدِ الصُّلْحِ دُونَ الْعَنْوَةِ

Hal ini berbeda dengan hukum ‘anwah, sehingga keberadaan syarat ini menunjukkan terjadinya akad shulh, karena ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan jaminan keamanan kepada Abu Sufyan dan mengadakan perjanjian keamanan dengan Quraisy berdasarkan syarat-syarat yang telah disebutkan sebelumnya, beliau mengutus Abu Sufyan ke Mekah bersama Al-‘Abbas. Kemudian beliau menyadari tipu daya Abu Sufyan dan mengutus kepada Al-‘Abbas agar menahan Abu Sufyan di celah lembah supaya ia dapat melihat tentara Allah. Maka Abu Sufyan berkata, “Apakah ini suatu pengkhianatan, wahai Bani Hasyim?” Al-‘Abbas menjawab, “Bahkan engkaulah yang lebih berkhianat dan lebih durhaka, tetapi ini agar engkau melihat tentara Allah dalam memuliakan agama-Nya dan menolong Rasul-Nya.” Seandainya masuknya (Rasulullah ke Mekah) itu dengan ‘anwah, niscaya Abu Sufyan tidak akan berkata, “Apakah ini suatu pengkhianatan?” dan tidak pula menganggap penahanannya sebagai pengkhianatan. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang setelah pasukan-pasukan beliau yang mendahului, Abu Sufyan berkata kepada Al-‘Abbas, “Sungguh, anak saudaramu telah memperoleh kekuasaan yang besar.” Al-‘Abbas berkata kepadanya, “Celakalah engkau, itu adalah kenabian.” Abu Sufyan berkata, “Benar, kalau begitu.” Kemudian Al-‘Abbas mengutusnya ke Mekah untuk memperingatkan kaumnya dengan jaminan keamanan. Maka ia segera masuk ke Mekah dan berseru di masjid, “Wahai kaum Quraisy, ini Muhammad telah datang dengan sesuatu yang kalian tidak mampu menghadapinya.” Mereka bertanya, “Lalu apa yang harus kami lakukan?” Ia menjawab, “Siapa yang masuk ke rumahku, maka ia aman.” Mereka berkata, “Apa gunanya rumahmu bagi kami?” Ia berkata, “Siapa yang masuk ke masjid, maka ia aman. Siapa yang menutup pintunya, maka ia aman. Siapa yang meletakkan senjatanya, maka ia aman.” Maka saat itulah mereka berhenti dan menyerah. Ini merupakan salah satu bukti terjadinya shulh, bukan ‘anwah.

وَيَدُلُّ عَلَيْهِ أَنَّ رَايَةَ الْأَنْصَارِ كَانَتْ مَعَ سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ عِنْدَ دُخُولِهِ مَكَّةَ فَقَالَ سَعْدٌ وَهُوَ يُرِيدُ دُخُولَهَا

Hal ini ditunjukkan oleh kenyataan bahwa panji kaum Anshar berada di tangan Sa‘d bin ‘Ubadah ketika ia memasuki Mekah, lalu Sa‘d berkata saat hendak memasukinya.

الْيَوْمَ يَوْمُ الْمَلْحَمَة الْيَوْمَ تُسْبَى الْحُرْمَة

Hari ini adalah hari pertempuran besar, hari ini kehormatan akan ditawan.

الْيَوْمَ يَوْمٌ يُذِلُّ اللَّهُ قُرَيْشًا

Hari ini adalah hari di mana Allah menghinakan Quraisy.

فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَعَزَلَهُ عَنِ الرَّايَةِ وَسَلَّمَهَا إِلَى ابْنِهِ قَيْسِ بْنِ سَعْدٍ وَقَالَ

Maka berita itu sampai kepada Rasulullah saw., lalu beliau mencopotnya dari panji dan menyerahkannya kepada putranya, Qais bin Sa‘d, dan beliau bersabda.

الْيَوْمَ يَوْمُ الْمَرْحَمَهْ الْيَوْمَ تُسْتَرُ فِيهِ الْحُرْمَهْ

Hari ini adalah hari kasih sayang, hari ini kehormatan akan dijaga.

الْيَوْمَ يُعِزُّ اللَّهُ قُرَيْشًا

Hari ini Allah memuliakan Quraisy.

فَجَعلَهُ يَوْمَ مَرْحَمَةٍ وَأَنْكَرَ أَنْ يَكُونَ يَوْمَ مَلْحَمَةٍ فَدَلَّ عَلَى الصُّلْحِ دُونَ الْعَنْوَةِ وَيَدُلُّ عَلَيْهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَدَّمَ أَمَامَهُ الزُّبَيْرَ بْنَ الْعَوَّامِ وَمَعَهُ رَايَتُهُ وَأَمَرَهُ أَنْ يَدْخُلَ مَكَّةَ مِنْ كَدَاءٍ الْعُلْيَا وَهِيَ أَعْلَى مَكَّةَ وَفِيهَا دَارُ أَبِي سُفْيَانَ وَأَنْفَذَ خَالِدَ بْنَ الْوَلِيدِ لِيَدْخُلَ مِنَ اللَّيْطِ وَهِيَ أَسْفَلَ مَكَّةَ وَفِيهَا دَارُ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ وَوَصَّاهُمَا أَنْ لَا يُقَاتِلَا إِلَّا مَنْ قَاتَلَهُمَا عَلَى مَا قَرَّرَهُ مِنَ الشَّرْطِ مَعَ أَبِي سُفْيَانَ فَأَمَّا الزُّبَيْرُ فَلَمْ يُقَاتِلْهُ أَحَدٌ وَدَخَلَ حَتَّى غَرَسَ الرَّايَةَ بِالْحَجُونِ وَأَمَّا خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ فَإِنَّهُ لَقِيَهُ جَمْعٌ مِنْ قُرَيْشٍ وَحُلَفَائِهِمْ بَنِي بَكْرٍ فِيهِمْ عِكْرِمَةُ بْنُ أَبِي جهل وصفوان بن أمية وسهيل بن عمرو وَقَاتَلُوهُ فَقَاتَلَهُمْ حَتَّى قَتَلَ مِنْ قُرَيْشٍ أَرْبَعَةً وَعِشْرِينَ رَجُلًا وَمِنْ هُذَيْلَ أَرْبَعَةَ رِجَالٍ وَلُّوا مُنْهَزِمِينَ فَلَمَّا رَأَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ البارقة على رؤوس الْجِبَالِ قَالَ مَا هَذَا وَقَدْ نَهَيْتُ خَالِدًا عَنِ الْقِتَالِ ” فَقِيلَ لَهُ إِنَّ خَالِدًا قُوتِلَ فَقَاتَلَ فَقَالَ ” قَضَى اللَّهُ خَيْرًا ” وَأَنْفَذَ إِلَيْهِ أن يرفع السَّيْفَ وَهَذَا مِنْ دَلَائِلِ الصُّلْحِ دُونَ الْعَنْوَةِ لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ عَنْوَةً لَمْ يَذْكُرِ الْقِتَالَ وَلَمْ يَنْهَ عَنْهُ وَيَدُلُّ عَلَيْهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي يَوْمِ الْفَتْحِ حِينَ سَارَ لِدُخُولِ مَكَّةَ كان يسير أَبِي بَكْرٍ وَأُسَيْدِ بْنِ حُضَيْرٍ عَلَى نَاقَتِهِ لقصوى وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ سَوْدَاءُ وَلَوْ دَخَلَهَا مُحَارِبًا لَرَكِبَ فَرَسًا ثُمَّ قَصَّ عَلَى أَبِي بَكْرٍ أَنَّهُ رَأَى فِي الْمَنَامِ أَنَّ كَلْبَةً أَقْبَلَتْ مِنْ مَكَّةَ فَاسْتَلْقَتْ عَلَى ظَهْرِهَا وَانْفَتَحَ فَرْجُهَا وَدُرَّ لَبَنُهَا فَقَالَ لَهُ أَبُو بَكْرٍ ذَهَبَ كَلْبُهُمْ وأقبل خيرهم وسيتضرعون إليك بالرحم ثم خرج نِسَاءُ مَكَّةَ فَلَطَّخْنَ وُجُوهَ الْخَيْلِ بِالْخَلُوقِ وَفِيهِمْ قتيلة بنت النضير بْنِ الْحَارِثِ فَاسْتَوْقَفَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَوَقَفَ لَهَا وَكَانَ قَتَلَ أَبَاهَا النَّضْرَ بْنَ الحارث صبرا فأنشدته

Maka beliau menjadikannya sebagai hari kasih sayang dan menolak bahwa itu adalah hari pertumpahan darah, sehingga hal itu menunjukkan adanya perdamaian, bukan penaklukan dengan kekerasan. Hal ini juga ditunjukkan oleh tindakan Rasulullah ﷺ yang mengutus Zubair bin Awwam di depan dengan membawa panjinya dan memerintahkannya untuk masuk ke Mekah dari arah Kada’ al-‘Ulya, yaitu bagian atas Mekah yang di sana terdapat rumah Abu Sufyan. Beliau juga mengutus Khalid bin Walid untuk masuk dari al-Layth, yaitu bagian bawah Mekah yang di sana terdapat rumah Hakim bin Hizam. Keduanya diwasiatkan agar tidak memerangi kecuali siapa yang memerangi mereka, sesuai syarat yang telah ditetapkan bersama Abu Sufyan. Adapun Zubair, tidak ada seorang pun yang memeranginya hingga ia menancapkan panjinya di Hajun. Sedangkan Khalid bin Walid, ia dihadang oleh sekelompok Quraisy dan sekutu mereka dari Bani Bakr, di antara mereka terdapat Ikrimah bin Abu Jahal, Shafwan bin Umayyah, dan Suhail bin Amr. Mereka memeranginya, maka Khalid pun memerangi mereka hingga membunuh dari Quraisy dua puluh empat orang laki-laki dan dari Hudzail empat orang laki-laki, lalu mereka pun lari tunggang langgang. Ketika Rasulullah ﷺ melihat kilatan pedang di puncak-puncak gunung, beliau bertanya, “Apa ini? Bukankah aku telah melarang Khalid dari berperang?” Lalu dijawab kepadanya, “Khalid diserang, maka ia pun melawan.” Maka beliau bersabda, “Allah telah menetapkan kebaikan,” dan mengutus pesan kepadanya agar menahan pedangnya. Ini merupakan salah satu tanda adanya perdamaian, bukan penaklukan dengan kekerasan, karena jika itu penaklukan dengan kekerasan, tentu beliau tidak akan menyebutkan larangan berperang dan tidak melarangnya. Hal ini juga ditunjukkan oleh kenyataan bahwa Rasulullah ﷺ pada hari Fathu Mekah ketika berjalan untuk memasuki Mekah, beliau berjalan bersama Abu Bakar dan Usaid bin Hudhair di atas unta Qashwa’ miliknya, dan beliau mengenakan sorban hitam. Seandainya beliau masuk sebagai seorang pejuang, tentu beliau akan menunggang kuda. Kemudian beliau menceritakan kepada Abu Bakar bahwa beliau bermimpi melihat seekor anjing betina datang dari Mekah, lalu berbaring di punggungnya, terbuka kemaluannya, dan mengalir air susunya. Maka Abu Bakar berkata kepadanya, “Anjing mereka telah pergi dan kebaikan mereka telah datang, dan mereka akan memohon belas kasih kepadamu.” Kemudian keluarlah para wanita Mekah, mereka mengoleskan wajah kuda-kuda dengan minyak wangi, di antara mereka ada Qutailah binti Nadhir bin al-Harits. Ia menghentikan Rasulullah ﷺ, maka beliau pun berhenti untuknya, padahal beliau telah membunuh ayahnya, Nadhir bin al-Harits, secara tertawan. Lalu ia membacakan syair kepadanya.

يا راكبا إن الأثيا مَظِنَّةٌ عَنْ صُبْحِ خَامِسَةٍ وَأَنْتَ مُوَفَّقُ

Wahai pengendara, sesungguhnya daerah Athiya adalah tempat yang diharapkan pada pagi hari kelima, dan engkau adalah orang yang mendapat taufik.

بَلِّغْ بِهِ مَيْتًا فَإْنَّ تَحِيَّةً مَا إِنْ تَزَالُ بِهَا الرَّكَائِبُ تَخْفُقُ

Sampaikanlah salam ini kepada orang yang telah tiada, karena sesungguhnya salam itu adalah sesuatu yang terus berkibar bersama kendaraan-kendaraan yang berjalan.

مِنِّي إِلَيْهِ وَغَيْرَةٌ مَسْفُوحَةٌ جادت لمانحها وأخرى تخنق

Dari diriku kepadanya ada kecemburuan yang tumpah ruah, tercurah bagi yang memberinya, dan ada pula kecemburuan lain yang mencekik.

أمحمد ها أنت صنو نجيبة من فوقها وَالْفَحْلُ فَحُلٌ مُعْرِقُ

Wahai Muhammad, engkau adalah saudara dari Najibah yang di atasnya terdapat pejantan yang benar-benar murni keturunannya.

فَالنَّضْرُ أَقْرَبُ مَنْ قَتَلْتَ قَرَابَةً وَأَحَقُّهُمْ إِنْ كَانَ عِتْقًا يُعْتَقُ

Maka kerabat terdekat dari orang yang terbunuh adalah yang paling berhak, dan jika ada budak yang dimerdekakan, maka dialah yang berhak dimerdekakan.

مَا كان ضرك لو منت وربما من الفتى وهو المغيظ المخنق

Apa ruginya bagimu jika engkau berbuat baik, padahal terkadang seorang pemuda berbuat baik justru ketika ia sedang menahan amarah dan kesal.

فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” لَوْ كُنْتُ سَمِعْتُ شِعْرَهَا مَا قَتَلْتُهُ وَلَمَّا رَأَى الْخَلُوقَ عَلَى خَيْلِهِ وَالنِّسَاءُ يَمْسَحُونَ وُجُوهَ الْخَيْلِ بِخُمُورِهِنَّ قَالَ ” لِلَّهِ دَرُّ حَسَّانَ كَأَنَّمَا ينطق عن رُوحِ الْقُدُسِ فَقَالَ لَهُ الْعَبَّاسُ كَأَنَّكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ تريد قوله

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya aku mendengar syairnya, niscaya aku tidak akan membunuhnya.” Dan ketika beliau melihat parfum pada kuda-kudanya dan para wanita mengusap wajah kuda-kuda itu dengan kerudung mereka, beliau bersabda, “Sungguh luar biasa Hassān, seakan-akan ia berbicara dengan Ruh al-Qudus.” Maka Abbas berkata kepadanya, “Sepertinya engkau, wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, menginginkan ucapannya.”

عدمنا خيلنا إن لم نروها تنير النقع موعدها كَدَاءُ

Kami akan kehilangan kuda-kuda kami jika kami tidak memberinya minum; debu pertempuran akan bersinar, dan tempat janjinya adalah Kada’.

تُنَازِعُنَا الْأَعِنَّةُ مُسْرِعَاتٍ يُلَطِّمُهُنَّ بِالْخُمُرِ النِّسَاءُ

Tali kekang kuda-kuda kami saling berebut dengan cepat, sementara para wanita menepuk-nepuknya dengan kerudung mereka.

فإن أعرضتم عنا اعتمرنا وكان الفتح وَانْكَشَفَ الْغِطَاءُ

Jika kalian berpaling dari kami, kami akan melaksanakan ‘umrah, maka kemenangan akan diraih dan tabir pun akan tersingkap.

وَإِلَّا فَاصْبِرُوا لِجَلَادِ يَوْمٍ يُعِزُّ اللَّهُ فِيهِ مَنْ يَشَاءُ

Kalau tidak, maka bersabarlah menghadapi cambuk pada hari ketika Allah memuliakan siapa yang Dia kehendaki.

فَقَالَ نَعَمْ وَدَخَلَ مَكَّةَ وَابْنَ أُمِّ مَكْتُومٍ وَهُوَ ضَرِيرٌ بَيْنَ يَدَيْهِ وَهُوَ يَقُولُ

Maka beliau menjawab, “Ya,” lalu beliau masuk ke Makkah bersama Ibnu Umm Maktum, yang saat itu buta, berada di depannya, sementara beliau berkata:

يَا حَبَّذَا مَكَّةُ مِنْ وَادِي أَرْضٌ بِهَا أَهْلِي وَعُوَّادِي

Betapa indahnya Mekah, sebuah lembah yang tanahnya di sana terdapat keluargaku dan orang-orang yang biasa mengunjungiku.

بِهَا أَمْشِي بِلَا هَادِي أرض بِهَا تَرْسَخُ أَوْتَادِي

Dengan itu aku berjalan tanpa penuntun di bumi, dengannya pula tertancap kokoh pasak-pasakku.

فَدَلَّتْ هَذِهِ الْحَالُ فِي اسْتِقْبَالِ النِّسَاءِ وَسُكُونِ النُّفُوسِ إِلَيْهِ وَالرُّؤْيَا الَّتِي قَصَّهَا عَلَى الصُّلْحِ دُونَ الْعَنْوَةِ وَيَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ اسْتَثْنَى يَوْمَ الْفَتْحِ قَتْلَ سِتَّةٍ مِنَ الرِّجَالِ وَأَرْبَعٍ مِنَ النِّسَاءِ وَإِنْ تَعَلَّقُوا بِأَسْتَارِ الْكَعْبَةِ

Keadaan ini, berupa sambutan kaum wanita dan ketenangan jiwa mereka terhadapnya, serta mimpi yang beliau ceritakan, menunjukkan bahwa (masuknya Nabi ke Mekah) adalah melalui perdamaian, bukan dengan kekerasan. Hal ini juga ditunjukkan oleh fakta bahwa Rasulullah saw. pada hari penaklukan (Mekah) hanya mengecualikan enam orang laki-laki dan empat orang wanita untuk dibunuh, meskipun mereka berlindung di tirai Ka’bah.

فَأَمَّا الرِّجَالُ فَعِكْرِمَةُ بْنُ أَبِي جَهْلٍ وَهَبَّارُ بْنُ الْأَسْوَدِ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَعْدِ بْنِ أَبِي سَرْحٍ وَمَقِيسُ بْنُ صُبَابَةَ وَالْحُوَيْرِثُ بْنُ نُقَيْذٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ خَطَلٍ

Adapun laki-laki itu adalah ‘Ikrimah bin Abī Jahl, Habbār bin al-Aswad, ‘Abdullāh bin Sa‘d bin Abī Sarḥ, Maqīs bin Ṣubābah, al-Ḥuwairith bin Nuqaiż, dan ‘Abdullāh bin Khaṭal.

وَأَمَّا النِّسْوَةُ فَهِنْدُ بِنْتُ عُتْبَةَ وَسَارَّةُ مَوْلَاةُ عَمْرِو بْنِ هَاشِمٍ وَبِنْتَانِ لِابْنِ خَطَلٍ فَقُتِلَ مِنَ الرِّجَالِ ثَلَاثَةٌ ابْنُ خَطَلٍ تَعَلَّقَ بِأَسْتَارِ الْكَعْبَةِ فَقَتَلَهُ سَعِيدُ بْنُ حُرَيْثٍ وَأَبُو بَرْزَةَ الْأَسْلَمِيُّ وَأَمَّا مَقِيسُ بْنُ صُبَابَةَ فَقَتَلَهُ نُمَيْلَةُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ وَأَمَّا الْحُوَيْرِثُ بْنُ نُقَيْذٍ فَقَتَلَهُ عَلِيُّ بن أبي طالب وَقُتِلَتْ إِحْدَى بِنْتَيِ ابْنِ خَطَلٍ وَاسْتُؤْمِنَ لِمَنْ بَقِيَ مِنْهُمْ فَدَلَّ اسْتِثْنَاءُ هَؤُلَاءِ النَّفَرِ عَلَى عموم الأمان ولو لم يكن أمان لم يحتج إلى استثناء وَقَدْ قَالَ زُهَيْرُ بْنُ أَبِي سُلْمَى فِي هَذَا الصُّلْحِ ما عير به قريش فَقَالَ

Adapun para wanita itu adalah Hindun binti ‘Utbah, Sārah mantan budak ‘Amr bin Hāsyim, dan dua putri dari Ibnu Khathal. Dari kalangan laki-laki, tiga orang terbunuh: Ibnu Khathal yang berlindung di tirai Ka‘bah, lalu dibunuh oleh Sa‘id bin Huraits dan Abu Barzah al-Aslamī. Adapun Maqīs bin Shubābah, ia dibunuh oleh Numaīlah bin ‘Abdullah. Sedangkan al-Huwairith bin Nuqaydh dibunuh oleh ‘Ali bin Abi Thalib. Salah satu dari dua putri Ibnu Khathal juga terbunuh, dan sisanya diberikan jaminan keamanan. Pengecualian terhadap orang-orang ini menunjukkan adanya keumuman jaminan keamanan; seandainya tidak ada jaminan keamanan, maka tidak diperlukan pengecualian. Zuhair bin Abi Sulmā telah mengatakan dalam perjanjian ini apa yang dijadikan celaan bagi Quraisy, ia berkata:

وَأَعْطَيْنَا رَسُولَ اللَّهِ مِنَّا مَوَاثِيقًا عَلَى حسن التصادف

Dan kami telah memberikan kepada Rasulullah dari kami janji-janji atas dasar kebaikan dalam pertemuan.

وأعطينا المقادة حين قلنا تعالوا بارزونا بالتقاف

Dan kami memberikan kendali ketika kami berkata, “Mari, tantanglah kami dengan kecerdikan.”

وَيَدُلُّ عَلَيْهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ حِينَ دَخَلَ مَكَّةَ ضُرِبَتْ لَهُ بِالْحَجُونِ قُبَّةٌ أَدَمٌ عِنْدَ رَايَتِهِ الَّتِي رَكَزَهَا الزُّبَيْرُ فَقِيلَ لَهُ هَلَّا نَزَلْتَ فِي دُورِكَ فَقَالَ ” وَهَلْ تَرَكَ لَنَا عَقِيلٌ مِنْ رَبْعٍ ” وَلَوْ كَانَ دُخُولُهُ مَكَّةَ عَنْوَةً لَكَانَ رِبَاعُ مَكَّةَ كُلُّهَا لَهُ ثُمَّ بَدَأَ بِالطَّوَافِ عَلَى نَاقَتِهِ الْقصْوَى وَكَانَ حَوْلَ الْكَعْبَةِ ثَلَاثُمِائَةٍ وَسِتُّونَ صَنَمًا وَكَانَ أَعْظَمَهَا هُبَلُ وَهُوَ تُجَاهَ الْكَعْبَةِ فَكَانَ كُلَّمَا مَرَّ بِصَنَمٍ مِنْهَا أَشَارَ إِلَيْهَا بِعُودٍ فِي يَدِهِ وَقَالَ ” جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا ” فَيَسْقُطُ الصَّنَمُ لِوَجْهِهِ وَصَلَّى خَلْفَ الْمَقَامِ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَتَاهُ الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ فَأَسْلَمُوا طَوْعًا وَكَرْهًا وَبَايَعُوهُ وَلَيْسَ هَذِهِ حَالَ مَنْ قَاتَلَ وَقُوتِلَ فَدَلَّتْ عَلَى الصُّلْحِ وَالْأَمَانِ وَيَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ مَا رَوَاهُ عُبَيْدُ بْنُ عُمَيْرٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ” لَمْ تَحِلَّ لِي غَنَائِمُ مَكَّةَ ” وَالْعَنْوَةُ تُوجِبُ إِحْلَالَ غَنَائِمِهَا فَدَلَّ عَلَى دُخُولِهَا صُلْحًا وَفَقَدَتْ أُخْتُ أَبِي بَكْرٍ عُقْدًا لَهَا فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لِأَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ ذَهَبَتْ أَمَانَاتُ النَّاسِ وَلَوْ حَلَّتِ الْغَنَائِمُ لَمْ يَكُنْ أَخْذُهُ خِيَانَةً تَذْهَبُ بِهَا الْأَمَانَةُ

Hal ini ditunjukkan oleh kenyataan bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki Makkah, didirikan untuk beliau sebuah tenda dari kulit di Hajun, di dekat panji beliau yang ditancapkan oleh Zubair. Lalu dikatakan kepadanya, “Mengapa engkau tidak turun di rumahmu?” Beliau menjawab, “Apakah Aqil masih menyisakan rumah untuk kita?” Seandainya beliau memasuki Makkah dengan cara penaklukan (‘anwatan), tentu seluruh rumah di Makkah menjadi miliknya. Kemudian beliau memulai dengan thawaf di atas unta beliau, al-Qashwa’, sementara di sekitar Ka’bah terdapat tiga ratus enam puluh berhala, dan yang terbesar adalah Hubal yang berada di hadapan Ka’bah. Setiap kali beliau melewati salah satu berhala itu, beliau menunjuknya dengan tongkat di tangannya dan berkata, “Telah datang kebenaran dan lenyaplah kebatilan. Sesungguhnya kebatilan itu pasti lenyap.” Maka berhala itu pun jatuh tersungkur. Beliau shalat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim, lalu datanglah para laki-laki dan perempuan kepada beliau, lalu mereka masuk Islam dengan sukarela maupun terpaksa, dan membaiat beliau. Ini bukanlah keadaan orang yang berperang dan diperangi, sehingga hal ini menunjukkan adanya perdamaian dan keamanan. Hal ini juga ditunjukkan oleh riwayat dari ‘Ubaid bin ‘Umair bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ghanimah Makkah tidak dihalalkan bagiku.” Padahal penaklukan (‘anwah) mengharuskan dihalalkannya ghanimah, maka ini menunjukkan bahwa beliau memasuki Makkah dengan perdamaian. Saudari Abu Bakar kehilangan kalungnya, lalu ia menceritakan hal itu kepada Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu. Maka Abu Bakar berkata, “Amanah manusia telah hilang. Seandainya ghanimah itu halal, maka mengambilnya bukanlah sebuah pengkhianatan yang menghilangkan amanah.”

فَإِنْ قِيلَ إِنَّمَا لَمْ تَحِلَّ غِنَائِمُهَا لِأَنَّهَا حَرَمُ اللَّهِ الَّذِي يُمْنَعُ مَا فِيهِ فَعَنْهُ ثَلَاثُ أَجْوِبَةٍ

Jika dikatakan: “Sesungguhnya harta rampasan perangnya tidak dihalalkan karena itu adalah tanah suci Allah yang diharamkan mengambil apa yang ada di dalamnya,” maka terhadap hal itu terdapat tiga jawaban.

أَحَدُهَا أَنَّ عُمُومَ قَوْلِ الله تعالى واعلموا أنما ما غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ يَمْنَعُ مِنْ تَخْصِيصِ الْحَرَمِ بِغَيْرِ دَلِيلٍ

Salah satunya adalah bahwa keumuman firman Allah Ta‘ala, “Dan ketahuilah, apa saja yang kalian peroleh sebagai ghanīmah, maka sesungguhnya seperlimanya adalah untuk Allah,” mencegah pengkhususan wilayah Haram tanpa dalil.

وَالثَّانِي أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يُمْنَعِ الْحَرَمُ مِنَ الْقَتْلِ وَهُوَ أَغْلَظُ مِنَ الْمَالِ حَتَّى قَتَلَ رَسُولُ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مَنْ قَتَلَ كَانَ أَوْلَى أَنْ لَا يُمْنَعَ مِنْ غَنَائِمِ الْأَمْوَالِ وَلَوْ مَنَعَهُمُ الْحَرَمُ مِنْ ذَلِكَ لَمَا احْتَاجُوا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إِلَى أَمَانٍ

Kedua, karena tanah Haram tidak diharamkan dari pembunuhan, padahal ia lebih berat (kehormatannya) daripada harta, bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membunuh orang yang membunuh (di sana), maka lebih utama lagi bahwa tanah Haram tidak diharamkan dari harta rampasan. Dan seandainya tanah Haram melarang mereka dari hal itu, niscaya mereka tidak membutuhkan perlindungan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

وَالثَّالِثُ أَنَّ مَا فِي الْكَعْبَةِ مِنَ الْمَالِ أَعْظَمُ حُرْمَةً مِمَّا فِي مَنَازِلِ الرِّجَالِ

Yang ketiga, bahwa harta yang ada di dalam Ka’bah memiliki kehormatan yang lebih agung dibandingkan dengan harta yang ada di rumah-rumah manusia.

وَقَدْ رَوَى مُجَالِدٌ عَنِ الشَّعْبِيِّ قَالَ لَمَّا افْتَتَحَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مَكَّةَ وَجَدَ فِي الْكَعْبَةِ مَالًا كَانَتِ الْعَرَبُ تُهْدِيهِ فَقَسَّمَهُ فِي قُرَيْشٍ فَكَانَ أَوَّلَ مَنْ دَعَاهُ لِلْعَطَاءِ مِنْهُمْ سَعِيدُ بْنُ حُرَيْثٍ ثُمَّ دعى حَكِيمُ بْنُ حِزَامٍ فَقَالَ خُذْ كَمَا أَخَذَ قَوْمُكَ فَقَالَ حَكِيمٌ آخُذُ خَيْرًا أَوْ أَدَعُ قال بل تدع قال ومنك؟ قَالَ وَمِنِّي ” الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى ” فَقَالَ حَكِيمٌ لَا آخُذُ مِنْ أَحَدٍ بَعْدَكَ أَبَدًا فَلَمَّا لَمْ تَمَنَعِ الْكَعْبَةُ مَا فِيهَا وَحُرْمَةُ الْحَرَمِ بِهَا كَانَ الْحَرَمُ أَوْلَى أَنْ لَا يَمْنَعَ مَا فِيهِ لَكِنْ لَمَّا كَانَ مَا فِي الْحَرَمِ أَمْوَالٌ لِمَنْ قَدِ اسْتَأْمَنُوهُ حَرُمَتْ عَلَيْهِ بِالْأَمَانِ وَلَمَّا لَمْ يَكُنْ مَا فِي الْكَعْبَةِ مَالٌ لِمُسْتَأْمَنٍ لَمْ يَحْرُمْ عليه بالأمان

Mujālid meriwayatkan dari al-Sya‘bī, ia berkata: Ketika Rasulullah ﷺ menaklukkan Makkah, beliau menemukan di dalam Ka‘bah sejumlah harta yang dahulu dihadiahkan oleh orang-orang Arab. Maka beliau membagikannya kepada kaum Quraisy. Orang pertama yang beliau panggil untuk menerima bagian dari harta itu adalah Sa‘īd bin Hurayts, kemudian beliau memanggil Hakīm bin Hizām dan berkata, “Ambillah sebagaimana yang diambil oleh kaummu.” Hakīm berkata, “Apakah aku mengambilnya atau meninggalkannya, mana yang lebih baik?” Beliau menjawab, “Bahkan, engkau meninggalkannya.” Hakīm bertanya, “Termasuk engkau juga?” Beliau menjawab, “Termasuk aku juga. Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.” Maka Hakīm berkata, “Aku tidak akan mengambil dari siapa pun setelah engkau selamanya.” Ketika Ka‘bah saja tidak melarang apa yang ada di dalamnya, dan kehormatan al-Haram tidak menghalangi apa yang ada di dalamnya, maka al-Haram lebih utama untuk tidak melarang apa yang ada di dalamnya. Namun, karena apa yang ada di al-Haram adalah harta milik orang yang telah memberikan amanah, maka haram diambil karena amanah itu. Sedangkan apa yang ada di Ka‘bah bukanlah harta milik orang yang diberi amanah, maka tidak haram diambil karena amanah.

فإن قيل إنما لم يغنمها وإن ملك غنائمها لِأَنَّهُ عَفَا عَنْهَا كَمَا عَفَا عَنْ قَتْلِ النفوس فهل يجوز له وللأمة بعده أن يعفو عَنِ الْقِتَالِ لِأَنَّهُ مِنْ حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى الْمَحْضَةِ الْمُعْتَبَرَةِ بِالْمَصْلَحَةِ وَلَيْسَ لَهُ وَلِلْأَئِمَّةِ بَعْدَهُ أَنْ يَعْفُوا عَنِ الْغَنَائِمِ إِلَّا بِطِيبِ أَنْفُسِ الغانمين لأن مِنْ حُقُوقِهِمْ أَلَّا تَرَاهُ لَمَّا أَرَادَ الْعَفْوَ عن سبي هوازن استطاب نفوس الغانمين حتى ضمن لمن لم تطب نفسه بِحَقِّهِ سِتَّ قَلَائِصَ عَنْ كُلِّ رَأْسٍ وَمَا اسْتَطَابَ فِي غَنَائِمِ مَكَّةَ نَفْسَ أَحَدٍ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهَا لَمْ تُمْلَكْ لِأَجْلِ الْأَمَانِ الَّذِي انْعَقَدَ بِهِ الصُّلْحُ فَلَمْ يَحْتَجْ فِيهَا إِلَى اسْتِطَابَةِ النُّفُوسِ وَقَدْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يَنْفُذُ السَّرَايَا مِنْ مَكَّةَ إِلَى مَا حَوْلَهَا مِنْ عَرَفَاتٍ وَغَيْرِهَا فَيَأْتُوهُ بِغَنَائِمِهَا لِأَنَّهَا لَمْ يَكُنْ لَهُمْ أَمَانٌ

Jika dikatakan bahwa Nabi tidak mengambil harta rampasan perang (ghanimah) dari mereka, meskipun beliau memiliki hak atas ghanimah mereka, karena beliau memaafkannya sebagaimana beliau memaafkan pembunuhan jiwa, maka apakah boleh bagi beliau dan umat setelahnya untuk memaafkan peperangan, karena hal itu termasuk hak Allah Ta‘ala semata yang dipertimbangkan berdasarkan kemaslahatan? Dan tidak boleh bagi beliau maupun para imam setelahnya untuk memaafkan ghanimah kecuali dengan kerelaan hati para mujahid, karena itu adalah hak mereka. Bukankah engkau melihat bahwa ketika beliau ingin memaafkan tawanan Hawazin, beliau meminta kerelaan hati para mujahid, bahkan beliau menjamin bagi siapa saja yang tidak rela dengan haknya sebanyak enam unta betina untuk setiap kepala, sedangkan dalam ghanimah Mekah beliau tidak meminta kerelaan hati siapa pun. Hal ini menunjukkan bahwa ghanimah tersebut tidak dimiliki karena adanya jaminan keamanan yang terikat dengan perjanjian damai, sehingga tidak diperlukan kerelaan hati dalam hal itu. Rasulullah ﷺ juga pernah mengirim pasukan kecil dari Mekah ke daerah sekitarnya seperti Arafah dan lainnya, lalu mereka membawa ghanimahnya kepada beliau, karena daerah-daerah itu tidak memiliki jaminan keamanan.

وَيَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ مَا كَانَ أَبُو حَامِدٍ الْمَرْوَزِيُّ يَعْتَمِدُهُ أَنَّ نَقْلَ الْمُوجِبِ يُغْنِي عَنْ نَقْلِ الْمُوجَبِ وَمُوجِبُ الْعَنْوَةِ الْقَتْلُ وَالْغَنِيمَةُ وَمُوجِبُ الصُّلْحِ الْعَفْوُ وَالْمَنُّ فَلَمَّا عَفَا وَمَنَّ وَلَمْ يَقْتُلْ وَلَمْ يَغْنَمْ وَأَنْكَرَ حِينَ رَأَى خَالِدًا قَدْ قُتِلَ كَانَ هَذَا دَلِيلًا عَلَى الصُّلْحِ وَمَانِعًا مِنَ الْعَنْوَةِ وَصَارَ الصُّلْحُ كَالْمَنْقُولِ لِنَقْلِ مُوجِبِهِ مِنَ الْعَفْوِ

Hal ini ditunjukkan oleh apa yang dijadikan pegangan oleh Abu Hamid al-Marwazi, yaitu bahwa pemindahan sebab hukum (al-mūjib) sudah mencukupi tanpa perlu memindahkan akibat hukumnya (al-mūjab). Sebab hukum dari penaklukan (‘anwah) adalah pembunuhan dan perolehan harta rampasan (ghanimah), sedangkan sebab hukum dari perdamaian (ṣulḥ) adalah pengampunan (‘afw) dan pembebasan (mann). Maka, ketika telah terjadi pengampunan dan pembebasan, tidak ada pembunuhan dan tidak ada perolehan harta rampasan, serta ketika ia mengingkari saat melihat Khalid telah dibunuh, hal itu menjadi bukti adanya perdamaian dan menjadi penghalang dari penaklukan (‘anwah). Dengan demikian, perdamaian (ṣulḥ) menjadi seperti sesuatu yang dipindahkan karena sebab hukumnya telah berpindah, yaitu pengampunan.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ فَمِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun jawaban terhadap firman Allah Ta‘ala “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan” adalah dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّ الْفَتْحَ يَنْطَلِقُ عَلَى الصُّلْحِ وَالْعَنْوَةِ لِقَوْلِهِمْ فُتِحَتْ مَكَّةُ صُلْحًا وَفُتِحَتْ عَنْوَةً لِأَنَّ الْفَتْحَ هُوَ الظَّفَرُ بِالْبَلَدِ بَعْدَ امْتِنَاعِهِ وَكِلَا الْأَمْرَيْنِ ظَفَرٌ بِمُمْتَنَعٍ

Salah satunya adalah bahwa istilah al-fath dapat digunakan baik untuk sulh maupun ‘anwah, sebagaimana ungkapan mereka: “Makkah dibuka dengan sulh” dan “dibuka dengan ‘anwah”, karena al-fath berarti memperoleh kemenangan atas suatu negeri setelah sebelumnya menolak, dan kedua hal tersebut sama-sama merupakan kemenangan atas sesuatu yang menolak.

وَالثَّانِي أَنَّ هَذِهِ السُّورَةَ نَزَلَتْ بَعْدَ فُتُوحِهِ كُلِّهَا فَكَانَتْ خَبَرًا عَنْ مَاضِيهَا قَالَ مُقَاتِلٌ نَزَلَتْ بَعْدَ فَتْحِ الطَّائِفِ وَالطَّائِفُ آخِرُ فُتُوحِهِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إِنَّ آخِرَ وَطْأَةٍ وَطِئَهَا اللَّهُ بِوَجٍّ ” يَعْنِي آخَرَ مَا أَظْفَرَ اللَّهُ بِالْمُشْرِكِينَ بِوَجٍّ وَوَجٌّ هِيَ الطَّائِفُ فَلَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ السُّورَةُ فَرِحَ بِهَا أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا وَبَكَى الْعَبَّاسُ لَهَا فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مَا يُبْكِيكَ يَا عَمِّ قَالَ نُعِيَتْ إِلَيْكَ نَفْسُكَ قَالَ إِنَّهُ لَكمَا تَقُولُ وَسُمِّيَتْ هَذِهِ السُّورَةُ سُورَةَ التَّوْدِيعِ

Kedua, bahwa surah ini turun setelah seluruh penaklukan selesai, sehingga ia merupakan kabar tentang masa lalu. Muqatil berkata, surah ini turun setelah penaklukan Thaif, dan Thaif adalah penaklukan terakhir beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya langkah terakhir yang Allah tapakkan di Wajj,” maksudnya adalah kemenangan terakhir yang Allah berikan atas kaum musyrik di Wajj, dan Wajj adalah Thaif. Ketika surah ini turun, Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma bergembira karenanya, sementara Abbas menangis. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis, wahai pamanku?” Ia menjawab, “Telah disampaikan kepadamu tentang ajalmu.” Beliau bersabda, “Memang sebagaimana yang engkau katakan.” Surah ini pun dinamakan Surah al-Tawdi‘ (perpisahan).

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُبِينًا فَمِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun jawaban terhadap ucapannya “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata” adalah dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا مَا حَكَاهُ الشَّعْبِيُّ أَنَّهَا نَزَلَتْ فِي صُلْحِ الْحُدَيْبِيَةِ قَبْلَ فَتْحِ مَكَّةَ لِأَنَّهُ أَصَابَ فِيهَا مَا لَمْ يُصِبْ فِي غَيْرِهَا بُويِعَ بَيْعَةَ الرِّضْوَانِ وَأُطْعِمُوا نَخْلَ خَيْبَرَ وَظَهَرَتِ الرُّومُ عَلَى فَارِسَ تَصْدِيقًا لِخَبَرِهِ وَبَلَغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ

Salah satunya adalah apa yang diriwayatkan oleh asy-Sya‘bi bahwa ayat tersebut turun pada peristiwa Perjanjian Hudaibiyah sebelum penaklukan Makkah, karena pada peristiwa itu terjadi hal-hal yang tidak terjadi pada selainnya: mereka melakukan Bai‘at Ridwan, mereka diberi makan dengan kurma Khaibar, Romawi menang atas Persia sebagai pembenaran atas kabar yang disampaikan, dan hewan kurban pun sampai ke tempat penyembelihannya.

وَالثَّانِي أَنَّهَا نَزَلَتْ فِي فَتْحِ مَكَّةَ وَالْفَتْحُ يَكُونُ عَلَى كِلَا الْوَجْهَيْنِ

Dan yang kedua, bahwa ayat tersebut turun pada peristiwa Fathu Makkah, dan penaklukan itu bisa terjadi dengan kedua cara.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ وَهُوَ الَّذِي كَفَّ أَيْدِيَهُمْ عَنْكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ عَنْهُمْ فَهُوَ أَنَّ الْكَفَّ يَمْنَعُ مِنَ الْقِتَالِ وَقَوْلُهُ مِنْ بَعْدِ أَنْ أَظْفَرَكُمْ عَلَيْهِمْ فَهُوَ أَنَّهُ قَدْ أَظْفَرَهُ بِهِمْ حِينَ لَمْ يُقَاتِلُوهُ وَاسْتَسْلَمُوا عَفْوًا فَكَانَ أَبْلَغَ الظَّفَرِ بَعْدَ الْمُحَارَبَةِ وَقَدْ ذَكَرَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا أَنَّهَا نَزَلَتْ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ وَأَنَّ قَوْلَهُ بِبَطْنِ مكة يَعْنِي الْحَرَمَ وَحُكِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ مَضْرِبَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي الْحُدَيْبِيَةِ قَدْ كَانَ فِي الْحِلِّ وَمُصَلَّاهُ فِي الْحَرَمِ وَقَدْ يُعَبَّرُ بِمَكَّةَ عَنِ الْحَرَمِ وهذا تكلف فِي الْجَوَابِ يُخَالِفُ الظَّاهِرَ

Adapun jawaban atas ucapannya: “Dan Dialah yang menahan tangan mereka dari kalian dan tangan kalian dari mereka,” maka maksudnya adalah bahwa penahanan itu mencegah terjadinya peperangan. Dan firman-Nya: “Setelah Dia memenangkan kalian atas mereka,” maksudnya adalah bahwa Allah telah memberikan kemenangan kepada Nabi atas mereka ketika mereka tidak memeranginya dan mereka menyerah secara sukarela, sehingga itu merupakan kemenangan yang lebih sempurna setelah adanya peperangan. Sebagian ulama kami menyebutkan bahwa ayat ini turun pada tahun Hudaibiyah, dan bahwa firman-Nya “di lembah Mekah” maksudnya adalah di wilayah Haram. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa tempat perkemahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Hudaibiyah berada di luar wilayah Haram, sedangkan tempat shalat beliau berada di dalam wilayah Haram. Kadang-kadang, istilah Mekah digunakan untuk menyebut wilayah Haram, namun ini merupakan penafsiran yang dipaksakan dalam menjawab dan bertentangan dengan makna lahiriah.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قوله تعالى قاتلوهم يعذبهم الله بأيدكم فَهُوَ أَنَّهُ أُمِرَ بِقِتَالِهِمْ إِنِ امْتَنَعُوا وَبِالْكَفِّ عَنْهُمْ إِنِ اسْتَسْلَمُوا لِقَوْلِهِ تَعَالَى وَإِنْ جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا وَهُمْ يَوْمَ الْفَتْحِ اسْتَسْلَمُوا وَلَمْ يَمْتَنِعُوا

Adapun jawaban atas firman Allah Ta‘ala: “Perangilah mereka, niscaya Allah akan mengazab mereka dengan tangan-tangan kalian,” adalah bahwa perintah untuk memerangi mereka berlaku jika mereka menolak, dan perintah untuk menahan diri dari mereka berlaku jika mereka menyerah, sebagaimana firman-Nya Ta‘ala: “Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya.” Dan pada hari Fathu Makkah, mereka telah menyerah dan tidak menolak.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قوله فَلا تَهِنُوا وَتَدْعُوا إِلَى السَّلْمِ فَهُوَ أَنَّ النَّهْيَ تَوَجَّهَ إِلَى أَنْ يَدْعُوَ الْمُسْلِمُونَ إِلَى الصُّلْحِ وَهُمْ مَا دَعَوْا إِلَيْهِ وَإِنَّمَا دَعَا إِلَيْهِ الْمُشْرِكُونَ فَخَرَجَ عَنِ النَّهْيِ

Adapun jawaban terhadap ucapannya “Maka janganlah kamu lemah dan mengajak kepada perdamaian,” adalah bahwa larangan itu ditujukan agar kaum Muslimin tidak mengajak kepada perdamaian, sedangkan mereka (kaum Muslimin) tidak mengajak kepada perdamaian itu, melainkan yang mengajak adalah orang-orang musyrik, sehingga mereka (kaum Muslimin) tidak termasuk dalam larangan tersebut.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الِاسْتِدْلَالِ بِصِفَةِ مَسِيرِهِ وَقَسَمِهِ بِاللَّهِ أن يغزوهم ودخوله إليه بِسُيُوفٍ مَشْهُورَةٍ وَرَايَاتٍ مَنْشُورَةٍ فَمِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun jawaban terhadap argumentasi dengan sifat perjalanannya dan sumpahnya demi Allah bahwa ia akan memerangi mereka, serta masuknya ia kepada mereka dengan pedang terhunus dan panji-panji yang dikibarkan, maka hal itu dapat dijawab dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّ الصُّلْحَ وَالْأَمَانَ تَحَدَّدَ بِمَرِّ الظَّهْرَانِ فَلَا اعْتِبَارَ بِمَا كَانَ قَبْلَهُ وَقَسَمُهُ أَنْ يغزوهم فقد قال فيه ” إنشاء اللَّهُ فَاسْتَثْنَى عَلَى أَنَّهُ قَدْ غَزَاهُمْ لِأَنَّهُ قَهَرَهُمْ وَدَخَلَ عَلَيْهِمْ غَالِبًا “

Salah satunya adalah bahwa perdamaian dan perlindungan telah ditetapkan di Marr az-Zahran, sehingga apa yang terjadi sebelumnya tidak dianggap. Dan bagian dari hal ini adalah jika beliau hendak menyerang mereka, beliau berkata, “Insya Allah,” maka beliau memberikan pengecualian dengan maksud bahwa beliau telah menyerang mereka karena beliau telah mengalahkan mereka dan memasuki wilayah mereka sebagai pihak yang menang.

وَالثَّانِي أَنَّ نَشْرَ الرَّايَاتِ وَسَلَّ السُّيُوفِ مِنْ عَادَاتِ الْجُيُوشِ فِي الصلح والعنوة وإنما يقع بين الفرق الْحَالَتَيْنِ بِالْقِتَالِ وَالْمُحَارَبَةِ

Yang kedua, bahwa mengibarkan panji-panji dan menghunus pedang adalah kebiasaan pasukan dalam situasi damai maupun penaklukan dengan kekerasan, dan hal itu hanya terjadi di antara dua keadaan tersebut melalui pertempuran dan peperangan.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ أَنَّهُ دَخَلَهَا عَنْوَةً مِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun jawaban terhadap hadis Ubay bin Ka‘b bahwa ia memasukinya secara paksa adalah dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ لَمَّا دَخَلَهَا عَلَى كُرْهٍ مِنْهُمْ وَظُهُورٍ عَلَيْهِمْ صَارَ مَوْصُوفًا بِالْعَنْوَةِ

Salah satunya adalah bahwa ketika ia memasukinya dengan paksaan dari mereka dan tampak menguasai mereka, maka ia menjadi disifati dengan al-‘anwatu (penguasaan dengan paksa).

وَالثَّانِي أَنَّ الْعَنْوَةَ الْخُضُوعُ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى وَعَنَتِ الْوُجُوهُ لِلْحَيِّ الْقَيُّومِ أَيْ خَضَعَتْ وَهُمْ قَدْ خَضَعُوا حِينَ اسْتَسْلَمُوا لِأَمَانِهِ

Kedua, bahwa al-‘anwah adalah ketundukan, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: “Dan tunduklah wajah-wajah kepada Dzat Yang Maha Hidup lagi Maha Berdiri Sendiri,” yaitu mereka tunduk. Mereka telah tunduk ketika mereka menyerahkan diri kepada perlindungannya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ ” احْصُدُوهُمْ حَصْدًا حَتَّى تَلْقَوْنِي عَلَى الصَّفَا ” فَمِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun jawaban terhadap hadis Abu Hurairah, “Bunuhlah mereka secara habis-habisan hingga kalian menemuiku di Shafa,” maka ada dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ قَالَ قَبْلَ نُزُولِهِ بِمَرِّ الظَّهْرَانِ وَعَقْدِ الْأَمَانِ مَعَ أَبِي سُفْيَانَ لِأَنَّ أَبَا بَكْرِ ابن الْمُنْذِرِ رَوَى أَنَّهُ قَالَ ” احْصُدُوهُمْ غَدًا حَصْدًا حَتَّى تَلْقَوْنِي عَلَى الصَّفَا ” وَرَوَاهُ أَبُو عُبَيْدٍ الْقَاسِمُ بْنُ سَلَّامٍ فِي كِتَابِ ” الْأَمْوَالِ ” عَنْ حَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَبَاحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ

Salah satunya adalah bahwa ia mengatakannya sebelum tiba di Marr az-Zhahran dan sebelum perjanjian keamanan dengan Abu Sufyan, karena Abu Bakr Ibn al-Mundzir meriwayatkan bahwa ia berkata, “Tebaslah mereka besok dengan tebasan hingga kalian menemuiku di Shafa.” Riwayat ini juga diriwayatkan oleh Abu Ubaid al-Qasim bin Sallam dalam kitab “al-Amwal” dari Hammad bin Salamah, dari Tsabit, dari Abdullah bin Rabah, dari Abu Hurairah.

وَالثَّانِي أَنَّهُ أَشَارَ بِذَلِكَ إِلَى مَنْ قَاتَلَ خَالِدَ بْنَ الْوَلِيدِ أَسْفَلَ مَكَّةَ مِنْ قُرَيْشٍ وَبُنِيَ نُفَاثَةَ وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ لَوْ كَانَ صُلْحًا لَأَمِنَ جَمِيعُ النَّاسِ وَلَمْ يَخُصَّهُ بِمَنْ أَلْقَى سِلَاحَهُ وَأَغْلَقَ بَابَهُ فَهُوَ أَنَّهُ جَعَلَ عَقْدَ الْأَمَانِ مُعَلَّقًا بِهَذَا الشَّرْطِ فَصَارَ خَاصًّا فِي اللَّفْظِ عَامًّا فِي الْحُكْمِ وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ لِقُرَيْشٍ ” أَنْتُمُ الطُّلَقَاءُ ” فَهُوَ لِأَنَّهُ أَمَّنَهُمْ بَعْدَ الْخَوْفِ وَأَحْسَنَ إِلَيْهِمْ بَعْدَ إِسَاءَتِهِمْ وَصَفَحَ عَنْهُمْ مَعَ قُدْرَتِهِ عَلَيْهِمْ فَصَارُوا بِتَرْكِ الْمُؤَاخَذَةِ طُلَقَاءَ وَبِالْإِحْسَانِ عُتَقَاءَ وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ قَدْ أَجَرْنَا مَنْ أَجَرْتِ يَا أَمَّ هَانِئٍ ” فَهُوَ أَنَّ الرَّجُلَيْنِ لَمْ يَظْهَرْ مِنْهُمَا شَرْطُ الْأَمَانِ لِأَنَّهُمَا كَانَا شَاكَّيْنِ فِي سِلَاحِهِمَا وَقَدْ عَلَّقَ شَرْطَ الْأَمَانِ بِإِلْقَاءِ السِّلَاحِ وَغَلْقِ الْأَبْوَابِ فَبَقِيَا عَلَى حُكْمِ الْأَصْلِ فَلِذَلِكَ اسْتَجَازَ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَنَّ يَقْتُلَهُمَا حَتَّى اسْتَجَارَا بِأُمِّ هَانِئٍ فَأَمَّنَهُمَا رَسُولُ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ

Kedua, bahwa yang dimaksud dengan hal itu adalah orang-orang yang memerangi Khalid bin al-Walid di bagian bawah Mekah dari kalangan Quraisy dan Bani Nufatsah. Adapun jawaban atas pernyataan mereka, “Seandainya itu adalah perdamaian, tentu semua orang akan merasa aman dan tidak dikhususkan bagi siapa yang meletakkan senjatanya dan menutup pintunya,” maka jawabannya adalah bahwa Nabi menjadikan akad keamanan itu tergantung pada syarat tersebut, sehingga menjadi khusus dalam lafaz, namun umum dalam hukum. Adapun jawaban atas ucapannya kepada Quraisy, “Kalian adalah orang-orang yang dibebaskan,” maka itu karena beliau telah memberikan rasa aman kepada mereka setelah rasa takut, berbuat baik kepada mereka setelah mereka berbuat buruk, dan memaafkan mereka padahal beliau mampu menguasai mereka. Maka mereka, dengan tidak diberi sanksi, menjadi orang-orang yang dibebaskan, dan dengan kebaikan beliau, mereka menjadi orang-orang yang dimerdekakan. Adapun jawaban atas ucapannya, “Kami telah memberikan perlindungan kepada siapa yang engkau lindungi, wahai Ummu Hani’,” maka itu karena kedua laki-laki tersebut belum menampakkan syarat keamanan, karena keduanya masih ragu terhadap senjata mereka, dan Nabi telah menggantungkan syarat keamanan dengan meletakkan senjata dan menutup pintu, sehingga keduanya tetap pada hukum asal. Oleh karena itu, Ali bin Abi Thalib—semoga salam tercurah kepadanya—menganggap boleh membunuh keduanya hingga keduanya meminta perlindungan kepada Ummu Hani’, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan perlindungan kepada mereka.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ” كُلُّ الْبِلَادِ فُتِحَتْ بِالسَّيْفِ إِلَّا الْمَدِينَةَ ” فَهُوَ أَنَّ مَعْنَاهُ أَنَّ كُلَّ الْبِلَادِ فُتِحَتْ بِالْخَوْفِ مِنَ السَّيْفِ إِلَّا الْمَدِينَةَ وَلَمْ تَرِدِ به الْعَنْوَةُ وَالصُّلْحُ لِأَنَّهُ قَدْ فَتَحَ بَعْضَ الْبِلَادِ صُلْحًا

Adapun jawaban terhadap hadis ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Semua negeri dibuka dengan pedang kecuali Madinah,” maka maksudnya adalah bahwa semua negeri dibuka karena rasa takut terhadap pedang, kecuali Madinah. Hadis ini tidak bermaksud membedakan antara al-‘anwatu dan ash-shulh, karena sebagian negeri memang dibuka melalui perdamaian (ash-shulh).

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ إِنَّ اللَّهَ حَبَسَ الْفِيلَ عَنْ مَكَّةَ وَسَلَّطَ عَلَيْهَا رسوله ” فهو مَحْمُولٌ عَلَى أَنَّ الْفِيلَ لَمْ يَظْفَرْ بِهَا وَلَا دَخَلَهَا وَأَظْفَرَ اللَّهُ رَسُولَهُ بِهَا حَتَّى دَخَلَهَا

Adapun jawaban atas ucapannya bahwa Allah telah menahan gajah dari (memasuki) Makkah dan menundukkan Makkah kepada Rasul-Nya, maka maksudnya adalah bahwa gajah itu tidak berhasil menguasai Makkah dan tidak memasukinya, sedangkan Allah memenangkan Rasul-Nya atas Makkah hingga beliau dapat memasukinya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ حِمَاسِ بْنِ قَيْسٍ وَمَا أَنْشَدَهُ مِنْ شِعْرِهِ فَهُوَ أَنَّهُ كَانَ حَلِيفَ بَنِي بَكْرٍ الَّذِينَ قَاتَلُوا خَالِدًا وَلَمْ يَكُنْ مِنْ قُرَيْشٍ الْقَابِلِينَ لِأَمَانِ رَسُولِ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ثُمَّ قَدْ أمَّنَ مَنْ أَلْقَى سِلَاحَهُ وَأَغْلَقَ بَابَهُ فَلَئِنْ دَلَّ أَوَّلُ أَمْرِهِ عَلَى الْعَنْوَةِ فَلَقَدْ دَلَّ آخِرُهُ عَلَى الصُّلْحِ وَابْتَدَأَ بِالْقِتَالِ بِجَهْلِهِ بِعَقْدِ الْأَمَانِ ثُمَّ رَجَعَ إِلَى شَرْطِ الْأَمَانِ حِينَ عَلِمَ بِهِ

Adapun jawaban terhadap hadis Himās bin Qais dan syair yang ia bacakan adalah bahwa ia merupakan sekutu Bani Bakr yang memerangi Khalid, dan ia bukan termasuk dari kalangan Quraisy yang menerima jaminan keamanan dari Rasulullah ﷺ. Kemudian, Rasulullah telah memberikan jaminan keamanan bagi siapa saja yang meletakkan senjatanya dan menutup pintu rumahnya. Maka, jika permulaan peristiwa itu menunjukkan adanya penaklukan dengan kekuatan, maka akhirnya menunjukkan adanya perdamaian. Rasulullah memulai peperangan karena ketidaktahuannya terhadap adanya perjanjian keamanan, lalu beliau kembali kepada syarat keamanan setelah beliau mengetahuinya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِأَنَّ عَقْدَ الصُّلْحِ مَا تَرَدَّدَتْ فِيهِ الرُّسُلُ وَكُتِبَ فِيهِ الصُّحُفَ كَالْحُدَيْبِيَةِ فَهُوَ أَنَّ ذَلِكَ صُلْحٌ عَلَى الْمُوَادَعَةِ وَالْكَفِّ فَاحْتَاجَ إِلَى الرُّسُلِ وَكَتْبِ الصُّحُفِ وَهَذَا أَمَانُ اسْتِسْلَامٍ وَتَمْكِينٍ عُلِّقَ بِشَرْطٍ فَاسْتَغْنَى فِيهِ عَنْ تَرَدُّدِ الرُّسُلِ وَكَتْبِ الصُّحُفِ وَاقْتَصَرَ فِيهِ عَلَى أَخْبَارِ أَبِي سُفْيَانَ وَحَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ بِحَالِهِ وَذِكْرِهِ لِقُرَيْشٍ مَا تَعَلَّقَ بِشَرْطِهِ وَاقْتَصَرَ مِنْ قَبُولِهِمْ عَلَى الْعَمَلِ بِهِ دُونَ الرِّضَا وَالِاخْتِبَارِ

Adapun jawaban atas dalil mereka bahwa akad perdamaian yang para utusan bolak-balik di dalamnya dan ditulis surat-surat seperti peristiwa Hudaibiyah, maka hal itu adalah perdamaian atas dasar gencatan senjata dan saling menahan, sehingga membutuhkan adanya utusan dan penulisan surat. Adapun ini adalah jaminan keamanan berupa penyerahan diri dan pemberian kesempatan yang digantungkan pada suatu syarat, sehingga tidak membutuhkan bolak-balik utusan dan penulisan surat, cukup dengan kabar dari Abu Sufyan dan Hakim bin Hizam tentang keadaannya serta penyampaiannya kepada Quraisy mengenai apa yang terkait dengan syarat tersebut, dan cukup dari penerimaan mereka dengan pelaksanaan syarat itu tanpa harus ada kerelaan dan pengujian.

فَصْلٌ

Fasal

وَإِذْ قَدْ مَضَتْ دَلَائِلُ الْفَتْحِ فِي الْعَنْوَةِ وَالصُّلْحِ فَالَّذِي أَرَاهُ عَلَى مَا يَقْتَضِيهِ نَقْلُ هَذِهِ السِّيرَةِ وَشُرُوطِ الْأَمَانِ فِيهَا لِمَنْ لَمْ يُقَاتِلْ وَأَنَّهُ يَخْرُجُ مِنْهُ مَنْ قَاتَلَ أَنَّ أَسْفَلَ مَكَّةَ دَخْلَهُ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ عَنْوَةً وَأَعْلَى مَكَّةَ دَخَلَهُ الزُّبَيْرُ بْنُ الْعَوَّامِ صُلْحًا لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بَعْدَ عَقْدِ الْأَمَانِ بَعَثَ خَالِدَ بْنَ الْوَلِيدِ مِنْ أَسْفَلِ مَكَّةَ وَبَعَثَ الزُّبَيْرَ مِنْ أَعْلَاهَا وَأَمَرَهُمَا أَنْ لَا يُقَاتِلَا إِلَّا مَنْ قَاتَلَهُمَا فَأَمَّا خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ فَإِنَّهُ دَخَلَ مِنْ أَسْفَلِ مَكَّةَ فَقُوتِلَ فَقَاتَلَ فَلَمْ يُوجَدْ فِيهِمْ قَبُولُ الشَّرْطَ قَالَ الشَّافِعِيُّ إِنَّمَا قَاتَلَهُ بَنُو بَكْرٍ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ بِمَكَّةَ دَارٌ وَقَدْ ثَبَتَ أَنَّهُ كَانَ فِي مُقَاتَلَةِ عِكْرِمَةَ بْنِ أبي جهل وصفوان بن أمية وسهيل بن عَمْرٍو وَهُمْ مِنْ أَكَابِرِ قُرَيْشٍ وَأَعْيَانِ أَهْلِ مَكَّةَ وَهِيَ دَارُهُمْ وَأَمَّا الزُّبَيْرُ بْنُ الْعَوَّامِ فَإِنَّهُ دَخَلَ مِنْ أَعْلَى مَكَّةَ فَلَمْ يُقَاتِلْهُ أَحَدٌ وَلَا قَاتَلَ أَحَدًا فَوَجَدَ شَرْطَ الْأَمَانِ مِنْهُمْ فَانْعَقَدَ الصُّلْحُ لَهُمْ وَدَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وجميع جيشه من جهة الزبير ابن الْعَوَّامِ فَصَارَ حُكْمُ جَبْهَتِهِ هُوَ الْأَغْلَبُ فَلَمَّا اسْتَقَرَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِمَكَّةَ الْتَزَمَ أَمَانَ مَنْ لَمْ يُقَاتِلْ وَاسْتَأْنَفَ أَمَانَ مَنْ قَاتَلَ وَلِذَلِكَ اسْتَجَدَّ لِعِكْرِمَةَ بْنِ أبي جهل وصفوان ابن أُمَيَّةَ أَمَانًا وَأَمَّنَ مَنْ أَجَارَتْهُ أُمُّ هَانِئٍ وَلَمْ يَغْنَمْ أَسْفَلَ مَكَّةَ لِأَنَّ الْقِتَالَ كَانَ عَلَى جِبَالِهَا وَلَمْ يَكُنْ فِيهَا فَهَذَا مَا اقْتَضَاهُ نَقْلُ السِّيرَةِ وَشَوَاهِدُ حَالِهَا

Setelah penjelasan mengenai dalil-dalil penaklukan dengan ‘anwatan dan dengan perdamaian, maka menurut pendapat saya, berdasarkan riwayat sirah ini dan syarat-syarat aman di dalamnya bagi siapa saja yang tidak memerangi, serta bahwa yang memerangi keluar dari ketentuan itu, adalah bahwa bagian bawah Mekah dimasuki oleh Khalid bin al-Walid dengan ‘anwatan (kekuatan), sedangkan bagian atas Mekah dimasuki oleh Zubair bin al-Awwam dengan perdamaian. Hal ini karena Rasulullah saw., setelah menetapkan perjanjian aman, mengutus Khalid bin al-Walid dari arah bawah Mekah dan mengutus Zubair dari arah atasnya, serta memerintahkan keduanya agar tidak memerangi kecuali terhadap siapa yang memerangi mereka. Adapun Khalid bin al-Walid, ia masuk dari bawah Mekah lalu diserang, maka ia pun memerangi, sehingga tidak didapati pada mereka penerimaan terhadap syarat tersebut. Asy-Syafi‘i berkata, yang memerangi Khalid hanyalah Bani Bakr, dan mereka tidak memiliki rumah di Mekah. Telah tetap pula bahwa dalam pertempuran itu terdapat Ikrimah bin Abu Jahal, Shafwan bin Umayyah, dan Suhail bin ‘Amr, yang mereka adalah para pembesar Quraisy dan tokoh utama penduduk Mekah, dan itu adalah negeri mereka. Adapun Zubair bin al-Awwam, ia masuk dari atas Mekah, maka tidak ada seorang pun yang memeranginya dan ia pun tidak memerangi siapa pun, sehingga ia mendapati syarat aman dari mereka, maka terjadilah perdamaian bagi mereka. Rasulullah saw. dan seluruh pasukannya pun masuk dari arah Zubair bin al-Awwam, sehingga hukum pada sisi itu menjadi yang dominan. Ketika Rasulullah saw. telah menetap di Mekah, beliau meneguhkan keamanan bagi siapa saja yang tidak memerangi, dan memperbarui keamanan bagi siapa saja yang sebelumnya memerangi. Karena itu, Ikrimah bin Abu Jahal dan Shafwan bin Umayyah mendapatkan keamanan yang baru, dan beliau juga memberikan keamanan kepada siapa saja yang dijamin oleh Ummu Hani’. Bagian bawah Mekah tidak dijadikan ghanimah, karena pertempuran terjadi di pegunungan sekitarnya dan bukan di dalamnya. Inilah yang ditunjukkan oleh riwayat sirah dan bukti-bukti keadaannya.

فَإِنْ قِيلَ فَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ لَمَّا قَاتَلَ خَالِدٌ وَقَتَلَ ” اللَّهُمَّ إِنِّي أَبْرَأُ إِلَيْكَ مِمَّا صَنَعَ خَالِدٌ ” فَدَلَّ عَلَى أَنَّ خَالِدًا قَاتَلَ وَقَتَلَ بِغَيْرِ حَقٍّ ففِيهِ وَجْهَانِ

Jika dikatakan: Telah diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda ketika Khalid berperang dan membunuh, “Ya Allah, aku berlepas diri kepada-Mu dari apa yang dilakukan Khalid.” Maka hal ini menunjukkan bahwa Khalid berperang dan membunuh tanpa hak. Dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا أَنَّ هَذَا قَالَهُ لِخَالِدٍ فِي غَيْرِ يَوْمِ الْفَتْحِ لِأَنَّهُ بَعَثَهُ بَعْدَ اسْتِقْرَارِ الْفَتْحِ سَرِيَّةً مِنْ مَكَّةَ إِلَى بَنِي جذيمة من كنانة وكانوا أسفل من مكة عَلَى لَيْلَةٍ مِنْهَا نَاحِيَةَ يَلَمْلَمَ لِيَدْعُوهُمْ إِلَى الْإِسْلَامِ فَأَتَاهُمْ وَقَدْ أَسْلَمُوا وَصَلُّوا فَقَتَلَ مَنْ ظَفَرَ بِهِ مِنْهُمْ فَلَمَّا بَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ” اللَّهُمَّ إِنِّي أَبْرَأُ إِلَيْكَ مِمَّا صَنَعَ خَالِدٌ وَأَنْفَذَ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ بِدِيَاتِ مَنْ قُتِلَ مِنْهُمْ “

Salah satunya adalah bahwa hal ini dikatakan kepada Khalid bukan pada hari Fathu Makkah, karena ia (Nabi) mengutusnya setelah penaklukan Makkah telah mantap, sebagai pasukan kecil dari Makkah menuju Bani Jadzimah dari Kinanah, dan mereka berada di bawah Makkah, sekitar satu malam perjalanan darinya ke arah Yalamlam, untuk mengajak mereka masuk Islam. Maka Khalid mendatangi mereka, dan ternyata mereka telah masuk Islam dan melaksanakan shalat, namun ia membunuh siapa saja dari mereka yang ia dapati. Ketika hal itu sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Ya Allah, aku berlepas diri kepada-Mu dari apa yang dilakukan Khalid,” dan beliau mengutus Ali bin Abi Thalib untuk membayarkan diyat (tebusan) atas orang-orang yang terbunuh dari mereka.

وَالثَّانِي أَنَّهُ لَوْ قَالَهُ يَوْمَ الْفَتْحِ جَازَ أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ مِنْهُ قَبْلَ عِلْمِهِ بِأَنَّهُمْ قَاتَلُوهُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ

Yang kedua, jika beliau mengucapkannya pada hari Fathu Makkah, boleh jadi hal itu terjadi sebelum beliau mengetahui bahwa mereka telah memeranginya. Dan Allah lebih mengetahui kebenaran.

بَابُ وُقُوعِ الرَّجُلِ عَلَى الْجَارِيَةِ قَبْلَ الْقَسْمِ أَوْ يَكُونُ لَهُ فِيهِمْ أَبٌ أَوِ ابْنٌ وحكم السبي

Bab tentang seorang laki-laki menggauli budak perempuan sebelum pembagian, atau jika di antara mereka ada ayah atau anak, dan hukum tawanan perang.

قال الشافعي رحمه الله تعالى ” إن وقع على جَارِيَةٍ مِنَ الْمَغْنَمِ قَبْلَ الْقَسْمِ فَعَلْيهِ مَهْرُ مِثْلِهَا يُؤَدِّيهِ فِي الْمَغْنَمِ وَيُنْهَى إِنْ جَهِلَ وَيُعَزَّرُ إِنْ عَلِمَ وَلَا حَدَّ لِلشُّبْهَةِ لِأَنَّ لَهُ فِيهَا شَيْئًا قَالَ وَإِنْ أَحْصَوُا الْمَغْنَمَ فَعُلِمَ كَمْ حَقُّهُ فِيهَا مَعَ جَمَاعَةِ أَهْلِ الْمَغْنَمِ سَقَطَ عَنْهُ بِقَدْرِ حِصَّتِهِ مِنْهَا “

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Jika seseorang berhubungan dengan seorang budak perempuan dari harta rampasan perang sebelum pembagian, maka ia wajib membayar mahar yang sepadan dengannya dan menyerahkannya ke dalam harta rampasan perang. Ia ditegur jika tidak tahu, dan dihukum ta‘zīr jika tahu, dan tidak dikenakan had karena adanya syubhat, sebab ia memiliki bagian di dalamnya. Beliau juga berkata, jika harta rampasan perang telah dihitung dan diketahui berapa haknya di dalamnya bersama para anggota lain dari harta rampasan perang, maka gugur darinya sebesar bagian yang menjadi haknya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا الْغَنَائِمُ قَبْلَ إِحَازَتِهَا وَاسْتِقْرَارِ الظَّفَرِ بِهَزِيمَةِ أَهْلِهَا فَهِيَ بَاقِيَةٌ عَلَى مِلْكِ أَرْبَابِهَا فإن وطىء منهم جارية كان الواطىء زَانِيًا يَجِبُ عَلَيْهِ الْحَدُّ فَأَمَّا إِذَا اسْتَقَرَّ الظَّفَرُ بِالْهَزِيمَةِ وَأُحِيزَتِ الْأَمْوَالُ وَالسَّبْيُ فَقَدْ مَلَكَهَا جَمِيعُ الْغَانِمِينَ عَلَى وَجْهِ الِاسْتِحْقَاقِ لَا عَلَى وَجْهِ التَّعْيِينِ كَمَا يَمْلِكُ أَهْلُ السَّهْمَانِ الزَّكَاةَ قَبْلَ دَفْعِهَا فَأَمَّا كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الْغَانِمِينَ فإنما يملك بالحضور أن يتملك بِالْقَسْمِ كَالشُّفْعَةِ مِلْكُ الْخَلِيطِ بِالْبَيْعِ أَنْ يَتَمَلَّكَ بالأخذ وإنما ملك الغانم أَنْ يَتَمَلَّكْ وَلَمْ يَتَعَيَّنْ لَهُ الْمِلْكُ لِمَعْنَيَيْنِ

Al-Mawardi berkata: Adapun harta rampasan perang sebelum dikuasai sepenuhnya dan sebelum kemenangan benar-benar pasti dengan kekalahan pemiliknya, maka harta itu masih tetap menjadi milik pemilik aslinya. Jika ada di antara mereka yang menyetubuhi seorang budak perempuan dari rampasan itu, maka pelakunya dianggap pezina dan wajib dikenai hukuman had. Adapun jika kemenangan telah benar-benar pasti dengan kekalahan musuh dan harta serta tawanan telah dikuasai, maka seluruh harta rampasan itu menjadi milik semua pasukan yang berhak mendapatkannya, bukan milik secara individu tertentu, sebagaimana orang-orang yang berhak menerima zakat telah memiliki hak atas zakat sebelum zakat itu diserahkan kepada mereka. Adapun setiap individu dari pasukan yang mendapat rampasan, maka ia hanya memiliki hak hadir untuk mendapatkan bagian melalui pembagian, seperti hak syuf‘ah yang dimiliki oleh rekan dalam jual beli, yaitu hak untuk memiliki dengan cara mengambil bagian. Jadi, kepemilikan pasukan atas rampasan itu adalah hak untuk memiliki, namun belum menjadi milik yang pasti karena dua alasan.

أحدهما أن حقه فيها يزول بتركه ويعود إلى غيره كالشفعة ولو ملكه لم يزل بِتَرْكِهِ كَالْوَرَثَةِ

Pertama, bahwa haknya dalam hal itu hilang ketika ia meninggalkannya dan kembali kepada orang lain, seperti hak syuf‘ah. Namun, jika ia memilikinya, hak itu tidak hilang dengan ia meninggalkannya, seperti para ahli waris.

وَالثَّانِي لَوْ تَأَخَّرَ قَسْمُهَا حِينَ حَالَ حَوْلُهَا لَمْ تَجِبْ زَكَاتُهَا وَلَوْ مُلِكَتْ وَجَبَتْ زَكَاتُهَا فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَا فَصُورَةُ مَسْأَلَةِ الْكِتَابِ فِي رجل من الغانمين وطىء جَارِيَةً مِنَ السَّبْيِ الْمَغْنُومِ فَهُوَ وَطْءٌ مُحَرَّمٌ لِأَنَّهُ لَمْ يَمْلِكْهَا وَلَا حَدَّ عَلَيْهِ لِلشُّبْهَةِ

Kedua, jika pembagian harta rampasan itu ditunda ketika telah berlalu satu haul (satu tahun hijriah), maka zakatnya tidak wajib. Namun, jika telah dimiliki, maka zakatnya wajib. Jika hal ini telah dipahami, maka gambaran masalah dalam kitab ini adalah tentang seorang laki-laki dari para tentara yang menaklukkan, yang menggauli seorang budak perempuan dari tawanan perang yang diperoleh sebagai rampasan. Maka perbuatan itu adalah perbuatan yang diharamkan karena ia belum memilikinya, namun tidak dikenakan had atasnya karena adanya syubhat.

وَقَالَ مَالِكُ وَالْأَوْزَاعِيُّ وَأَبُو ثَوْرٍ عَلَيْهِ الْحَدُّ لِأَنَّهُ وَطْءٌ مُحَرَّمٌ فِي غَيْرِ مَلِكٍ فَوَجَبَ بِهِ الْحَدُّ كَالزِّنَا وَدَلِيلُنَا فِي سُقُوطِ الْحَدِّ عَنْهُ قَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ادرؤوا الْحُدُودَ بِالشُّبُهَاتِ ” وَشُبْهَةُ الْوَطْءِ فِيهَا أَنَّهُ مَلَكَ مِنْهَا أَنْ يَتَمَلَّكَهَا فَكَانَتْ أَقْوَى مِنْ شُبْهَةِ الْأَبِ فِي جَارِيَةِ ابْنِهِ الَّتِي مَا مَلَكَ أَنْ يَتَمَلَّكَهَا فَلَمَّا سَقَطَ الْحَدُّ عَنِ الْأَبِ فِي جَارِيَةِ ابْنِهِ كَانَ سُقُوطُهُ عَنْ هَذَا أَوْلَى وَبِهِ خَالَفَ مَحْضَ الزِّنَا وَصَارَ كَوَطْءِ الْأَجْنَبِيَّةِ بِشُبْهَةٍ

Malik, Al-Auza’i, dan Abu Tsaur berpendapat bahwa orang tersebut dikenai had, karena itu adalah perbuatan hubungan seksual yang diharamkan di luar kepemilikan yang sah, sehingga wajib dijatuhi had seperti zina. Adapun dalil kami tentang gugurnya had darinya adalah sabda Nabi ﷺ: “Hindarilah penerapan hudud dengan adanya syubhat.” Syubhat dalam perbuatan ini adalah bahwa ia memiliki kemungkinan untuk memilikinya secara sah, sehingga syubhat ini lebih kuat daripada syubhat seorang ayah terhadap budak perempuan milik anaknya yang tidak mungkin ia miliki. Maka, ketika had gugur dari ayah dalam kasus budak perempuan milik anaknya, maka gugurnya had dalam kasus ini lebih utama. Dengan demikian, kasus ini berbeda dari zina murni dan menjadi seperti hubungan dengan perempuan asing karena adanya syubhat.

فَإِذَا ثَبَتَ سُقُوطُ الْحَدِّ نُظِرَ فَإِنْ عَلِمَ بِالتَّحْرِيمِ عُزِّرَ لِأَنَّ الشُّبْهَةَ لَا تَمْنَعُ مِنَ التَّعْزِيرِ وَإِنْ مَنَعَتِ الْحَدَّ لِحَظْرِ الْإِقْدَامِ عَلَى الشُّبُهَاتِ وَإِنْ لَمْ يَعْلَمْ بِالتَّحْرِيمِ فَلَا حَدَّ عَلَيْهِ وَلَا تَعْزِيرَ فَأَمَّا الْمَهْرُ فَوَاجِبٌ عَلَيْهِ فِي الْحَالَيْنِ مَعَ عِلْمِهِ بِالتَّحْرِيمِ وَجَهْلِهِ بِهِ كَغَيْرِهِ مِنْ وَطْءِ الشُّبْهَةِ فَإِذَا وَجَبَ عَلَيْهِ نُظِرَ فِي عَدَدِ الْغَانِمِينَ فَإِنْ كَانَ غَيْرَ مَحْصُورٍ لِكَثْرَتِهِمْ دَفَعَ جَمِيعَ الْمَهْرِ وَضُمَّ إِلَى الْغَنِيمَةِ حَتَّى يُقَسَّمَ مَعَهَا فِي جَمِيعِ الْغَانِمِينَ فَلَوْ صَارَتِ الْجَارِيَةُ الَّتِي وَطِئَهَا فِي سَهْمِهِ وَمَلَكَهَا بِالْقِسْمَةِ بَعْدَ وَطْئِهِ لَمْ يَسْتَرْجِعِ الْمَهْرَ بَعْدَ دَفْعِهِ وَلَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ قَبْلَ دَفْعِهِ لِأَنَّهُ اسْتَحْدَثَ مِلْكَهَا بَعْدَ وُجُوبِ مَهْرِهَا فَصَارَتْ كَأَمَةٍ وَطِئَهَا بِشُبْهَةٍ ثُمَّ ابْتَاعَهَا بَعْدَ الْوَطْءِ مِنْ سَيِّدِهَا لَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ مَهْرُهَا وَإِنْ كَانَ عَدَدُ الْغَانِمِينَ مَحْصُورًا فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ يَسْقُطُ عَنْهُ مِنَ الْمَهْرِ بِقَدْرِ حِصَّتِهِ فِيهَا فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي مَحَلِّ سُقُوطِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ حَكَاهُمَا أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ

Jika telah dipastikan bahwa hudud gugur, maka dilihat kembali: jika ia mengetahui keharaman (perbuatan itu), maka ia dikenai ta‘zīr, karena adanya syubhat tidak menghalangi penerapan ta‘zīr meskipun syubhat itu mencegah penerapan hudud, sebab dilarang melakukan perbuatan yang syubhat. Namun, jika ia tidak mengetahui keharaman tersebut, maka tidak ada hudud atasnya dan tidak pula ta‘zīr. Adapun mahar, maka tetap wajib atasnya dalam kedua keadaan, baik ia mengetahui keharaman maupun tidak, sebagaimana dalam kasus wath‘u syubhat lainnya. Jika mahar telah menjadi kewajibannya, maka dilihat jumlah para ghanimīn (penerima ghanīmah): jika jumlah mereka tidak terbatas karena banyaknya, maka ia membayar seluruh mahar dan mahar itu digabungkan ke dalam ghanīmah hingga dibagikan bersama seluruh ghanimīn. Jika budak perempuan yang digaulinya itu kemudian jatuh ke dalam bagiannya dan ia memilikinya melalui pembagian setelah digauli, maka ia tidak mengambil kembali mahar yang telah dibayarkan, dan mahar itu tidak gugur darinya sebelum dibayarkan, karena ia memperoleh kepemilikan atas budak itu setelah kewajiban mahar ditetapkan, sehingga keadaannya seperti seorang yang menggauli budak perempuan dengan syubhat lalu membelinya dari tuannya setelah digauli; mahar tidak gugur darinya. Jika jumlah ghanimīn terbatas, maka menurut pendapat asy-Syāfi‘ī, gugur darinya bagian mahar sesuai dengan bagiannya dalam ghanīmah. Para ulama kami berbeda pendapat mengenai tempat gugurnya kewajiban tersebut, dan terdapat dua pendapat yang diriwayatkan oleh Abū Ishāq al-Marwazī.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ يَسْقُطُ عَنْهُ قَدْرُ حَقِّهِ مِنْهَا إِذَا كَانَ قَدْ تَمَلَّكَهَا بِالْقِسْمَةِ مَعَ جَمَاعَةٍ مِنَ الْغَانِمِينَ مَحْصُورِينَ وَأَمَّا إِنْ كَانَ وَطِئَهَا قَبْلَ أَنْ يَتَمَلَّكَهَا فَلَا يَسْقُطُ عَنْهُ شَيْءٌ مِنْ مَهْرِهَا وَإِنْ كَانَ عَدَدُهُمْ مَحْصُورًا لِأَنَّهُ وَطْءٌ فِي حَالٍ لَيْسَ بِمَالِكٍ فِيهَا وَإِنَّمَا مَلَكَ أَنْ يَتَمَلَّكَ

Salah satunya adalah bahwa gugur darinya bagian haknya jika ia telah memilikinya melalui pembagian bersama sekelompok orang yang turut berperang yang jumlahnya terbatas. Adapun jika ia telah menggaulinya sebelum memilikinya, maka tidak gugur darinya sedikit pun dari maharnya, meskipun jumlah mereka terbatas, karena itu adalah hubungan suami istri dalam keadaan ia belum menjadi pemiliknya, dan ia hanya memiliki hak untuk memilikinya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهُ يَسْقُطُ عَنْهُ فِي الْحَالَيْنِ بِقَدْرِ حِصَّتِهِ مِنْهَا سَوَاءٌ كَانَ وَطْؤُهُ قَبْلَ التَّمَلُّكِ أَوْ بَعْدَهُ لِأَنَّ مِلْكَهَا مَوْقُوفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا حَقَّ فيها لغيرهم والأول أشبه

Pendapat kedua adalah bahwa kewajiban itu gugur darinya dalam kedua keadaan tersebut, sesuai dengan bagiannya, baik ia melakukan hubungan sebelum kepemilikan maupun sesudahnya, karena kepemilikan atasnya tergantung pada mereka dan tidak ada hak bagi selain mereka di dalamnya. Namun, pendapat pertama lebih mendekati kebenaran.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رحمه الله تعالى ” وَإِنْ حَمَلَتْ فَهَكَذَا وَتُقَوَّمُ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ بِهَا حَمْلٌ وَكَانَتْ لَهُ أُمَّ وَلَدٍ “

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Jika ia mengandung, maka hukumnya demikian juga, dan ia dinilai (dengan taksiran harga) atasnya jika ia sedang hamil dan ia adalah umm walad baginya.”

قَالَ الماوردي وصورتها أن تحمل مِنْهُ الْجَارِيَةَ الَّتِي وَطِئَهَا مِنَ الْمَغْنَمِ فَيَتَعَلَّقَ بِحَمْلِهَا أَرْبَعَةُ أَحْكَامٍ بَعْدَ ثَلَاثَةٍ قَدَّمْنَا ذِكْرَهَا فِي اخْتِصَاصِهَا بِالْوَطْءِ

Al-Mawardi berkata: Bentuk kasusnya adalah seseorang mengambil dari rampasan perang seorang budak perempuan yang telah digaulinya, maka pada kehamilannya itu terdapat empat hukum yang terkait setelah tiga hukum yang telah kami sebutkan sebelumnya mengenai kekhususannya dalam hal hubungan suami istri.

أَحَدُهَا سُقُوطُ الْحَدِّ

Salah satunya adalah gugurnya hadd.

وَالثَّانِي وُجُوبُ التَّعْزِيرِ مَعَ الْعِلْمِ بِالتَّحْرِيمِ

Kedua, wajibnya ta‘zīr apabila diketahui adanya pengetahuan tentang keharaman.

وَالثَّالِثُ اسْتِحْقَاقُ الْمَهْرِ فَأَمَّا الْأَحْكَامُ الْأَرْبَعَةُ الْمُتَعَلِّقَةُ بِإِحْبَالِهَا

Ketiga adalah berhaknya perempuan atas mahar. Adapun empat hukum yang berkaitan dengan kehamilannya…

فَأَحَدُهَا لُحُوقُ الْوَلَدِ بِهِ

Salah satunya adalah keterkaitan anak dengannya.

وَالثَّانِي حُرِّيَّتُهُ

Dan yang kedua adalah kemerdekaannya.

وَالثَّالِثُ وُجُوبُ قِيمَتِهِ

Ketiga, wajib membayar nilai (barang tersebut).

وَالرَّابِعُ أَنْ تَصِيرَ الْجَارِيَةُ بِهِ أُمَّ ولد

Keempat, budak perempuan menjadi umm walad karenanya.

فأما لحوق الولد فهو لا حق بِهِ سَوَاءٌ اعْتَرَفَ بِهِ أَوْ لَمْ يَعْتَرِفْ إِذَا وَضَعَتْهُ لِزَمَانٍ يُمْكِنُ أَنْ يَكُونَ مِنْهُ

Adapun mengenai nasab anak, maka anak itu dinasabkan kepadanya, baik ia mengakuinya maupun tidak, jika si ibu melahirkan anak itu pada waktu yang memungkinkan anak tersebut berasal darinya.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا يُلْحَقُ بِهِ وَبَنَاهُ عَلَى أَصْلِهِ فِي أَنَّ وَلَدَ الْأَمَةِ لَا يُلْحَقُ بِسَيِّدِهَا إِلَّا بِالِاعْتِرَافِ وَعِنْدَنَا يُلْحَقُ بِالْفِرَاشِ وَقَدْ صَارَتْ فِرَاشًا بِهَذَا الْوَطْءِ لِأَنَّهُ وَطْءُ شُبْهَةٍ يَسْقُطُ فِيهِ الْحَدُّ فَأَشْبَهَ وَطْءَ الْحُرَّةِ وَأَمَّا حُرِّيَّةُ الْوَلَدِ فَهُوَ حُرٌّ لِأَنَّهُ لَحِقَ بِهِ عَنْ شُبْهَةِ مِلْكٍ وَعِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ يَكُونُ مَمْلُوكًا لِأَنَّهُ لَمْ يُلْحِقْهُ بِهِ

Abu Hanifah berpendapat bahwa anak tersebut tidak dinasabkan kepadanya, dan ia mendasarkan pendapatnya pada prinsipnya bahwa anak dari seorang budak perempuan tidak dinasabkan kepada tuannya kecuali dengan pengakuan. Sedangkan menurut kami, anak tersebut dinasabkan kepada pemilik ranjang (suami), dan budak perempuan itu telah menjadi ranjang baginya melalui hubungan ini, karena hubungan tersebut adalah hubungan syubhat yang menggugurkan hukuman had, sehingga menyerupai hubungan dengan perempuan merdeka. Adapun mengenai status kemerdekaan anak, maka anak itu merdeka karena dinasabkan kepadanya berdasarkan syubhat kepemilikan. Sedangkan menurut Abu Hanifah, anak itu menjadi budak karena ia tidak menasabkannya kepadanya.

وَأَمَّا قِيمَةُ الْوَلَدِ فَتُعْتَبَرُ بِحَالِ الْأُمِّ فِيمَا يَسْتَقِرُّ لَهَا مِنْ حُكْمٍ وَالْأُمُّ قَدْ أَحْبَلَهَا فِي شُبْهَةِ مِلْكٍ وَوَلَدُ الْمَمْلُوكَةِ يَنْقَسِمُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ قَدْ تَكَرَّرَتْ فِي كَثِيرٍ مِنْ هَذَا الْكِتَابِ

Adapun nilai anak dipertimbangkan berdasarkan keadaan ibu dalam hal hukum yang tetap baginya, dan sang ibu telah dihamili dalam syubhat milik. Anak dari budak perempuan terbagi menjadi tiga bagian, yang telah berulang kali disebutkan dalam banyak bagian kitab ini.

أَحَدُهَا مَا تَصِيرُ بِهِ الْمَمْلُوكَةُ أُمَّ وَلَدٍ هُوَ أَنْ تَلِدَ حُرًّا مِنْ مَالِكٍ كَالسَّيِّدِ

Salah satunya yang menyebabkan seorang budak perempuan menjadi umm walad adalah ia melahirkan anak yang merdeka dari tuannya, seperti seorang sayyid.

وَالثَّانِي مَا لَا تَصِيرُ بِهِ أُمَّ وَلَدٍ وَهُوَ أَنْ تَلِدَ مَمْلُوكًا مِنْ غَيْرِ مَالِكٍ كَالزَّوْجِ

Yang kedua adalah keadaan di mana seorang perempuan budak tidak menjadi umm walad, yaitu apabila ia melahirkan anak dari sesama budak yang bukan tuannya, seperti suami.

وَالثَّالِثُ مَا اخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ فِيهِ وَهُوَ أَنْ تَلِدَ حُرًّا مِنْ غَيْرِ مَالِكٍ كالحر إذا وطىء أَمَةَ غَيْرِهِ بِشُبْهَةٍ فَلَا تَكُونُ قَبْلَ أَنْ يملكها الواطىء أُمَّ وَلَدٍ وَهَلْ تَصِيرُ لَهُ بَعْدَ مِلْكِهَا أُمَّ وَلَدٍ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ

Ketiga, yaitu perkara yang terdapat perbedaan pendapat dari Imam Syafi‘i di dalamnya, yaitu apabila seorang perempuan melahirkan anak yang merdeka dari selain tuannya, seperti seorang merdeka yang menggauli budak milik orang lain karena syubhat, maka sebelum orang yang menggaulinya memiliki budak tersebut, perempuan itu tidak menjadi umm walad baginya. Namun, apakah setelah ia memilikinya, perempuan itu menjadi umm walad baginya atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا تَصِيرُ لَهُ أُمَّ وَلَدٍ قَالَهُ فِي كِتَابِ حَرْمَلَةَ

Salah satunya adalah ia menjadi umm walad; demikian disebutkan dalam Kitab Harmalah.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي لَا تَصِيرُ لَهُ أُمَّ وَلَدٍ قَالَهُ فِي كِتَابِ الْأُمِّ وَهَذِهِ الْجَارِيَةُ المسبِيَّةُ قَدْ وَلَدَتْ حُرًّا فِي شُبْهَةِ مِلْكٍ وَلَهَا حَالَتَانِ

Pendapat kedua menyatakan bahwa ia tidak menjadi umm walad; pendapat ini disebutkan dalam Kitab al-Umm. Adapun jariyah (budak perempuan) yang ditawan ini telah melahirkan anak yang merdeka dalam keadaan syubhat kepemilikan, dan ia memiliki dua keadaan.

إِحْدَاهُمَا أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ قَبْلَ قِسْمَتِهَا بَيْنَ الْغَانِمِينَ

Salah satunya adalah jika hal itu terjadi sebelum pembagian harta rampasan perang di antara para pemenang perang.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ تَكُونَ بَعْدَ قِسْمَتِهَا بَيْنَ الْقَبَائِلِ

Keadaan yang kedua adalah setelah tanah tersebut dibagi-bagikan di antara kabilah-kabilah.

فَأَمَّا الْحَالُ الْأُولَى فَهِيَ أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ قَبْلَ قِسْمَتِهَا فِي الْغَانِمِينَ وَهِيَ مَسْأَلَةُ الْكِتَابِ أَنْ يَطَأَهَا بَعْدَ السَّبْيِ وَقَبْلَ أَنْ يَتَعَيَّنَ فِيهَا حَقُّ أَحَدٍ مِنَ الْغَانِمِينَ فَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ

Adapun keadaan pertama adalah ketika hal itu terjadi sebelum pembagian harta rampasan perang kepada para pemenang perang, yaitu permasalahan yang disebutkan dalam kitab, yaitu seseorang menggauli budak perempuan setelah penawanan dan sebelum hak salah satu dari para pemenang perang ditetapkan atasnya. Dalam hal ini terdapat dua keadaan.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكْثُرَ عَدَدُ الْغَانِمِينَ حَتَّى لَا يَنْحَصِرَ حَقُّ الواطىء مِنْ هَذِهِ الْجَارِيَةِ فَيَكُونَ وَاطِئًا لِجَارِيَةٍ لَمْ يَمْلِكْهَا وَلَا مَلَكَ شَيْئًا مِنْهَا وَإِنَّمَا لَهُ فِيهَا شُبْهَةُ مِلْكٍ وَهُوَ أَنَّهُ يَمْلِكُ مِنْهَا فِي الْحَالِ أَنْ يَتَمَلَّكَهَا فِي ثَانِي حَالٍ فَهَلْ تَصِيرُ أُمَّ وَلَدٍ بِحَبْلِهَا إِذَا مَلَكَهَا أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ فَعَلَى هَذَا قَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ تُقَوَّمُ عَلَيْهِ قَبْلَ الْوِلَادَةِ لِأَجْلِ عُلُوقِهَا مِنْهُ بِحُرٍّ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ

Salah satunya adalah jika jumlah orang yang mendapatkan ghanimah sangat banyak sehingga hak orang yang menyetubuhi jariyah tersebut tidak dapat ditentukan, sehingga ia menjadi orang yang menyetubuhi seorang jariyah yang tidak ia miliki dan tidak pula memiliki bagian apapun darinya, melainkan ia hanya memiliki syubhat milik, yaitu bahwa ia pada saat itu memiliki kemungkinan untuk memilikinya di waktu berikutnya. Maka, apakah ia menjadi umm walad karena hamil darinya jika kemudian ia memilikinya atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat. Berdasarkan hal ini, para ulama kami berbeda pendapat, apakah ia harus ditebus darinya sebelum melahirkan karena kehamilannya dari seorang merdeka, terdapat tiga pendapat dalam masalah ini.

أَحَدُهَا لَا تُقَوَّمُ عَلَيْهِ مُوسِرًا كَانَ أَوْ مُعْسِرًا سَوَاءٌ قِيلَ إِنَّهَا تَصِيرُ لَهُ أُمَّ وَلَدٍ إِذَا مَلَكَهَا أَمْ لَا؟ كَمَا لَا تُقَوَّمُ عَلَيْهِ أَمَةُ غَيْرِهِ إِذَا أَحْبَلَهَا بِشُبْهَةٍ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ عَلَيْهِ قِيمَةُ وَلَدِهَا إِذَا وَضَعَتْهُ فَإِنْ قُسِّمَتْ فَصَارَتْ فِي سَهْمِهِ فَهَلْ تَصِيرُ لَهُ أُمَّ وَلَدٍ أَمْ لَا؟ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْقَوْلَيْنِ

Salah satunya adalah tidak dikenakan penilaian harga atas budak perempuan tersebut, baik dia orang yang mampu maupun tidak mampu, sama saja apakah dikatakan bahwa budak itu menjadi umm walad baginya ketika ia memilikinya atau tidak. Sebagaimana juga tidak dikenakan penilaian harga atas budak perempuan milik orang lain jika ia menghamilinya karena syubhat. Maka, dalam hal ini, yang wajib atasnya adalah membayar nilai anaknya jika budak itu melahirkan. Jika kemudian budak itu dibagi dan jatuh ke dalam bagiannya, apakah budak itu menjadi umm walad baginya atau tidak? Hal ini kembali kepada dua pendapat yang telah kami sebutkan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي تُقَوَّمُ عَلَيْهِ سَوَاءٌ قِيلَ إِنَّهَا تَصِيرُ لَهُ أُمَّ وَلَدٍ إِذَا مَلَكَهَا أَمْ لَا؟ لِأَنَّهَا حَامِلٌ مِنْهُ بِحُرٍّ وَفِي قَسْمِهَا قَبْلَ وِلَادَتِهِ ضَرَرٌ عَلَى وَلَدِهِ وَفِي تَأْخِيرِهَا إِلَى الْوِلَادَةِ ضَرَرٌ عَلَى الْغَانِمِينَ فَوَجَبَ أَنْ تُؤْخَذَ بِقِيمَتِهَا لِأَجْلِ الضَّرَرِ الْحَادِثِ عَنْ فِعْلِهِ فَإِنْ كَانَتْ قِيمَتُهَا بِقَدْرِ سَهْمِهِ مِنَ الْمَغْنَمِ حَصَلَتْ قِصَاصًا وَإِنْ كَانَتْ أَكْثَرَ رَدَّ الْفَضْلَ وَإِنْ كَانَتْ أَقَلَّ دَفَعَ الْبَاقِيَ فَإِذَا وَضَعَتْ لَمْ يَلْزَمْهُ قِيمَةُ وَلَدِهَا وَهَلْ لَهُ بَيْعُهَا أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ يَجُوزُ لَهُ بَيْعُهَا فِي أَحَدِهِمَا إِذَا قِيلَ إِنَّهَا لَا تَصِيرُ لَهُ أُمَّ وَلَدٍ

Pendapat kedua, ia dinilai (dengan harga) atasnya, baik dikatakan bahwa ia menjadi umm walad miliknya jika ia memilikinya atau tidak. Karena ia sedang hamil darinya dengan anak yang merdeka, dan dalam pembagiannya sebelum melahirkan terdapat mudarat bagi anaknya, sedangkan menundanya hingga melahirkan terdapat mudarat bagi para ghanimīn (penerima ghanimah). Maka wajib diambil (dari laki-laki itu) sesuai dengan nilainya karena mudarat yang timbul akibat perbuatannya. Jika nilainya sebesar bagian yang menjadi haknya dari ghanimah, maka itu menjadi sebagai qishāsh (ganti rugi yang setimpal). Jika nilainya lebih besar, ia harus mengembalikan kelebihannya. Jika nilainya lebih kecil, ia harus membayar sisanya. Maka apabila ia telah melahirkan, ia tidak wajib membayar nilai anaknya. Apakah ia boleh menjualnya atau tidak? Ada dua pendapat. Dalam salah satunya, ia boleh menjualnya jika dikatakan bahwa ia tidak menjadi umm walad miliknya.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ أَنَّهَا تُقَوَّمُ عَلَيْهِ إِذَا قِيلَ إِنَّهَا تَصِيرُ لَهُ أُمَّ وَلَدٍ إِذَا مَلَكَهَا وَلَا تُقَوَّمُ عَلَيْهِ إِذَا قِيلَ إِنَّهَا لَا تَصِيرُ أُمَّ وَلَدٍ إِذَا مَلَكَهَا اعْتِبَارًا بِمَا يَتَعَدَّى إِلَيْهَا مِنْ حُكْمِ إِيلَادِهِ فَعَلَى هَذَا إِنْ قُوِّمَتْ عَلَيْهِ لَمْ يَلْزَمْهُ قِيمَةُ وَلَدِهَا وَإِنْ لَمْ تُقَوَّمْ عَلَيْهِ لَزِمَهُ قِيمَةُ وَلَدِهَا

Pendapat ketiga adalah bahwa ia (budak perempuan) dinilai (dengan harga) atasnya jika dikatakan bahwa ia menjadi umm walad baginya apabila ia memilikinya, dan tidak dinilai atasnya jika dikatakan bahwa ia tidak menjadi umm walad apabila ia memilikinya, dengan mempertimbangkan hukum yang berkaitan dengannya dari status anak yang dilahirkan darinya. Berdasarkan hal ini, jika ia dinilai atasnya, maka ia tidak wajib membayar nilai anaknya; dan jika tidak dinilai atasnya, maka ia wajib membayar nilai anaknya.

فَصْلٌ

Fasal

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَقِلَّ عَدَدُ الْغَانِمِينَ حَتَّى يَنْحَصِرَ سَهْمُهُ مِنْهَا مِثْلُ أَنْ يَكُونُوا عَشَرَةً فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ

Jenis yang kedua adalah apabila jumlah orang yang mendapatkan ghanimah sedikit, sehingga bagian mereka menjadi terbatas, misalnya hanya sepuluh orang; maka hal ini terbagi menjadi dua macam.

أَحَدُهُمَا أَنْ لَا يَكُونَ فِي الْغَنِيمَةِ غَيْرُهَا وَهِيَ جَمِيعُ الْمَغْنُومِ فَيَصِيرَ حَقُّهُ فِيهَا مُمْتَنِعًا لَا يَجُوزُ أَنْ يَعْدِلَ بِهِ إِلَى غَيْرِهِ فَيَصِيرَ قَدْرُ حَقِّهِ مِنْهَا أُمَّ وَلَدٍ لَهُ وَالْبَاقِي يَكُونُ عَلَى مَا سَنَذْكُرُهُ فِي قِسْمَةِ الْقَبَائِلِ

Salah satunya adalah tidak ada dalam ghanimah selain budak perempuan itu, dan ia merupakan seluruh harta rampasan, sehingga haknya atas harta tersebut menjadi tidak mungkin dialihkan kepada selainnya. Maka bagian haknya dari harta itu menjadi umm walad baginya, dan sisanya akan dibagi sebagaimana yang akan kami sebutkan dalam pembagian untuk kabilah-kabilah.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ فِي الْغَنِيمَةِ غَيْرُهَا من خيل ومواشي فَلِأَمِيرِ الْجَيْشِ أَنْ يُقَسِّمَ هَذِهِ الْغَنِيمَةَ قِسْمَةَ تَحَكُّمٍ لَا قِسْمَةَ مُرَاضَاةٍ فَيَجْعَلَ كُلَّ نَوْعٍ مِنَ الْغَنِيمَةِ فِي سَهْمِ مَنْ شَاءَ مِنَ الْغَانِمِينَ وَرُبَّمَا جَعَلَ هَذِهِ الْجَارِيَةَ فِي سَهْمِهِ وَرُبَّمَا جَعَلَهَا فِي سَهْمِ غَيْرِهِ فَعَلَى هَذَا هل يصير قدر سهمه المحصور أو وَلَدٍ لَهُ قَبْلَ الْقِسْمَةِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ بِنَاءً عَلَى الْوَجْهَيْنِ فِي سُقُوطِ قَدْرِ سَهْمِهِ مِنْ مَهْرِهَا إِذَا حَصَرَ عَدَدَهُمْ قَبْلَ الْقِسْمَةِ كَذَلِكَ هَاهُنَا هَلْ يَصِيرُ قَدْرُ سَهْمِهِ مِنْهَا إِذَا انْحَصَرَ قَبْلَ الْقِسْمَةِ أُمَّ وَلَدٍ لَهُ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ

Jenis yang kedua adalah apabila dalam ghanimah terdapat selainnya, seperti kuda dan ternak, maka bagi amir pasukan boleh membagikan ghanimah ini dengan pembagian secara otoritatif, bukan pembagian berdasarkan kerelaan. Ia dapat menempatkan setiap jenis dari ghanimah pada bagian siapa saja dari para peraih ghanimah yang ia kehendaki. Kadang ia menempatkan budak perempuan ini pada bagiannya, dan kadang ia menempatkannya pada bagian orang lain. Berdasarkan hal ini, apakah bagian yang telah ditentukan untuknya atau anaknya sebelum pembagian menjadi miliknya atau tidak? Ada dua pendapat, berdasarkan dua pendapat dalam masalah gugurnya bagian dari maharnya jika jumlah mereka telah ditentukan sebelum pembagian. Demikian pula di sini, apakah bagian yang telah ditentukan untuknya dari budak perempuan itu, jika telah ditentukan sebelum pembagian, menjadi umm walad baginya? Ada dua pendapat.

أَحَدُهُمَا لَا تَصِيرُ أُمَّ وَلَدٍ فَيَكُونُ عَلَى مَا مَضَى إِذَا لَمْ يَنْحَصِرْ عَدَدُهُمْ

Salah satunya adalah ia tidak menjadi umm walad, sehingga tetap seperti keadaan sebelumnya jika jumlah mereka tidak terbatas.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي تَصِيرُ أُمَّ وَلَدٍ لَهُ وَيَكُونُ مَحْسُوبًا عَلَيْهِ مِنْ حَقِّهِ وَيَكُونُ حُكْمُ بَاقِيهَا عَلَى مَا سَيَأْتِي فِي وَطْئِهَا بَعْدَ قِسْمَةِ الْقَبَائِلِ فَعَلَى هَذَا هَلْ يَسْقُطُ خِيَارُ الْإِمَامِ فِي قسمها لِمَنْ شَاءَ وَيَلْزَمُهُ دَفْعُهَا إِلَيْهِ؟ أَوْ يَكُونُ عَلَى خِيَارِهِ؟ فِيهِ وَجْهَانِ مُحْتَمَلَانِ لِاحْتِمَالِ التَّعْلِيلِ

Pendapat kedua: ia menjadi umm walad baginya dan dihitung sebagai bagian haknya, serta hukum sisanya mengikuti apa yang akan dijelaskan mengenai hubungan suami istri dengannya setelah pembagian kabilah. Berdasarkan hal ini, apakah gugur hak pilihan imam dalam membagikannya kepada siapa yang ia kehendaki dan ia wajib menyerahkannya kepada orang tersebut? Ataukah tetap menjadi hak pilihannya? Dalam hal ini terdapat dua pendapat yang mungkin, karena adanya kemungkinan alasan yang berbeda.

فَصْلٌ

Fasal

وَأَمَّا الْحَالُ الثَّانِيَةُ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ إِحْبَالُهُ لَهَا بَعْدَ قَسْمِهَا بَيْنَ الْقَبَائِلِ بِأَنْ حَصَلَتْ مِلْكًا لِعَشَرَةٍ مِنَ الْغَانِمِينَ لِأَنَّ الْحُكْمَ لِأَمِيرِ الْجَيْشِ إِذَا قَلَّتِ الْغَنِيمَةُ وَكَثُرَ الْعَدَدُ أَنْ يُشْرِكَ بَيْنَ الْجَمَاعَةِ فِي الرَّأْسِ الْوَاحِدِ فَيُعْطِيَ لِعَشَرَةٍ فَرَسًا وَلِعَشَرَةٍ جَارِيَةً وَلِعَشَرَةٍ بَعِيرًا فَإِذَا اخْتَارُوا ذَلِكَ وَقَبِلُوهُ صَارَ مُشْتَرِكًا بَيْنَهُمْ كَسَائِرِ أَمْوَالِهِمُ الْمُشْتَرَكَةِ بِابْتِيَاعٍ أَوْ مِيرَاثٍ فَيَكُونُ فِي حُكْمِ هَذِهِ الْجَارِيَةِ بَعْدَ إِحْبَالِهَا كَحُكْمِ الْجَارِيَةِ الْمُشْتَرَكَةِ إِذَا أَحْبَلَهَا أَحَدُ الشُّرَكَاءِ فَلَا حَدَّ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ قَدْرُ مِلْكِهِ فِيهَا شُبْهَةٌ فِي بَاقِيهَا وَعَلَيْهِ مِنْ مَهْرِ مِثْلِهَ بِقَدْرِ حِصَصِ شُرَكَائِهِ فِيهَا وَيَصِيرُ مِلْكُهُ مِنْهَا أُمَّ وَلَدٍ لَهُ لِأَنَّهُ قَدْ أَحْبَلَهَا بِحُرٍّ في ملك ولا يخلوا فِي بَاقِيهَا مِنْ أَنْ يَكُونَ مُوسِرًا بِقِيمَتِهِ أَوْ مُعْسِرًا بِهِ فَإِنْ كَانَ مُوسِرًا بِبَاقِيهَا قُوِّمَ عَلَيْهِ كَمَا تُقَوَّمُ عَلَيْهِ حِصَصُ شُرَكَائِهِ لَوْ أَعْتَقَ قَدْرَ سَهْمِهِ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ جَمِيعُ وَلَدِهِ حُرًّا لِأَنَّهَا عُلِّقَتْ بِهِ فِي مِلْكٍ وَفِي شُبْهَةِ مِلْكٍ وَلَا قِيمَةَ عَلَيْهِ للولد لأنها ولدتها فِي مِلْكِهِ وَقَدْ صَارَ جَمِيعُهَا أُمَّ وَلَدٍ لَهُ لِأَنَّهَا عُلِّقَتْ مِنْهُ بِحَرٍّ فِي مِلْكٍ وَإِنْ كَانَ مُعْسِرًا بِحِصَصِ شُرَكَائِهِ مِنْهَا لَمْ يُقَوَّمْ عَلَيْهِ بَاقِيهَا وَكَانَ مِلْكًا لِشُرَكَائِهِ فِيهَا وَكَانَ قَدْرُ سَهْمِهِ مِنَ الْوَلَدِ وَهُوَ الْعُشْرُ لِأَنَّ أَحَدَ الشُّرَكَاءِ الْعَشَرَةِ حُرٌّ لِأَنَّهُ قَدْرُ مَا يَمْلِكُهُ مِنْهُ كَمَا قَدْ صَارَ عُشْرُ الأم أم ولد في تَقْوِيمِ بَاقِي الْوَلَدِ عَلَيْهِ مَعَ إِعْسَارِهِ وَجْهَانِ

Adapun keadaan kedua, yaitu apabila kehamilan budak perempuan itu terjadi setelah ia dibagi-bagikan di antara kabilah-kabilah, misalnya ia menjadi milik sepuluh orang dari para pemenang ghanimah, karena hukum bagi amir pasukan apabila ghanimah sedikit dan jumlah pasukan banyak adalah memperbolehkan adanya kepemilikan bersama atas satu kepala (budak atau barang), sehingga ia memberikan seekor kuda kepada sepuluh orang, seorang budak perempuan kepada sepuluh orang, dan seekor unta kepada sepuluh orang. Jika mereka memilih dan menerima hal itu, maka barang tersebut menjadi milik bersama di antara mereka seperti harta-harta mereka yang lain yang dimiliki secara bersama, baik melalui pembelian atau warisan. Maka hukum atas budak perempuan ini setelah ia hamil adalah seperti hukum budak perempuan yang dimiliki bersama apabila salah satu dari para pemiliknya menghamilinya; maka tidak ada had atasnya karena kepemilikannya atas budak tersebut masih ada syubhat pada bagian yang lain, dan ia wajib membayar mahar mitsil sesuai dengan bagian kepemilikan para pemilik lainnya. Bagian miliknya dari budak perempuan itu menjadi umm walad baginya karena ia telah menghamilinya dalam status kepemilikan yang sah, dan tidak lepas pada bagian lainnya dari dua kemungkinan: apakah ia mampu membayar nilai bagian yang lain atau tidak mampu. Jika ia mampu membayar nilai bagian yang lain, maka bagian itu dinilai atasnya sebagaimana dinilai bagian para pemilik lain jika ia memerdekakan bagian miliknya; dengan demikian seluruh anaknya menjadi merdeka karena kehamilan itu terjadi dalam kepemilikan dan dalam syubhat kepemilikan, dan tidak ada kewajiban membayar nilai anak karena anak itu lahir dalam kepemilikannya, dan seluruh budak perempuan itu menjadi umm walad baginya karena kehamilan itu terjadi dalam kepemilikan yang sah. Namun jika ia tidak mampu membayar bagian para pemilik lainnya, maka bagian yang lain tetap menjadi milik para pemilik lainnya, dan bagian anak yang menjadi miliknya adalah sepersepuluh, karena salah satu dari sepuluh pemilik adalah merdeka sesuai dengan bagian yang ia miliki, sebagaimana sepersepuluh dari ibu menjadi umm walad dalam penilaian sisa anak atasnya ketika ia tidak mampu membayar, dan dalam hal ini ada dua pendapat.

أحدهما لا يقوم عليه مع الإعسار كما لا يقم عَلَيْهِ بَاقِي الْأُمِّ إِذَا كَانَ مُعْسِرًا فَعَلَى هَذَا يَكُونُ عُشْرُ الْوَلَدِ حُرًّا وَبَاقِيهِ مَمْلُوكًا وَعُشْرُ الْجَارِيَةِ أُمَّ وَلَدٍ وَبَاقِيهَا مَمْلُوكًا وَإِنْ مَلَكَ بَاقِيَهَا مِنْ بَعْدُ بِابْتِيَاعٍ أَوْ مِيرَاثٍ كَانَ بَاقِيهَا عَلَى رِقِّهِ وَلَمْ تَصِرْ أُمَّ وَلَدٍ لَهُ لِأَنَّهُ مُقَابِلٌ لِرِقِّ وَلَدِهِ لِأَنَّهَا عُلِّقَتْ بِمَمْلُوكٍ فِي غَيْرِ مِلْكٍ

Salah satunya adalah tidak wajib menanggungnya ketika dalam keadaan tidak mampu, sebagaimana tidak wajib menanggung bagian ibu lainnya jika ia tidak mampu. Dengan demikian, sepersepuluh anak menjadi merdeka dan sisanya tetap menjadi milik (budak), dan sepersepuluh perempuan budak itu menjadi umm walad, sedangkan sisanya tetap menjadi milik (budak). Jika ia kemudian memiliki sisa bagian perempuan budak itu melalui pembelian atau warisan, maka sisa bagian tersebut tetap dalam status budak dan tidak menjadi umm walad baginya, karena bagian tersebut berhadapan dengan status budak anaknya, sebab status umm walad itu bergantung pada bagian yang dimiliki, bukan pada bagian yang tidak dimiliki.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي يُقَوَّمُ عَلَيْهِ بِقِيمَةِ الْوَلَدِ مَعَ إِعْسَارِهِ وَإِنْ لم تقوم عليه بقية الْأُمِّ بِإِعْسَارِهِ

Pendapat kedua, ia dikenakan penilaian (denda) berdasarkan nilai anak tersebut jika ia tidak mampu membayar, meskipun sisa bagian ibu tidak dinilai atas ketidakmampuannya.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا إنَّ الْحُرِّيَّةَ فِي الْوَلَدِ أَصْلٌ مُتَقَدِّمٌ وَهِيَ فِي الْأُمِّ فَرْعٌ طَارِئٌ فَلَمْ تَتَبَعَّضْ حُرِّيَّةُ الْوَلَدِ لِأَنَّ الرِّقَّ لَا يَطْرَأُ عَلَى حُرِّيَّةٍ ثَابِتَةٍ فَجَازَ أَنْ يَتَبَعَّضَ فِي الْأُمِّ لِأَنَّ الْعِتْقَ يَجُوزُ أَنْ يَطْرَأَ عَلَى رِقٍّ ثَابِتٍ فَعَلَى هَذَا يَصِيرُ جَمِيعُ الْوَلَدِ حُرًّا وَيَكُونُ عُشْرُ الْأُمِّ أُمَّ وَلَدٍ فَإِنْ مَلَكَ بَاقِيَهَا مِنْ بَعْدُ فَهَلْ تصير أم ولد له عَلَى قَوْلَيْنِ لِأَنَّهُ قَدْ أَوْلَدَهَا حُرًّا فِي غير ملك والله أعلم

Perbedaan antara keduanya adalah bahwa kemerdekaan pada anak merupakan asal yang mendahului, sedangkan pada ibu merupakan cabang yang datang kemudian. Maka, kemerdekaan anak tidak dapat terbagi-bagi karena perbudakan tidak dapat terjadi pada kemerdekaan yang telah tetap. Adapun pada ibu, kemerdekaan dapat terbagi-bagi karena pembebasan (’itq) dapat terjadi pada perbudakan yang telah tetap. Dengan demikian, seluruh anak menjadi merdeka dan sepersepuluh bagian ibu menjadi umm walad. Jika kemudian ia memiliki sisa bagian ibu tersebut, apakah ia menjadi umm walad baginya? Ada dua pendapat dalam hal ini, karena ia telah melahirkan anak dalam keadaan merdeka di luar kepemilikan, dan Allah Maha Mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رحمه الله تعالى ” وَإِنْ كَانَ فِي السَّبْيِ ابْنٌ وَأَبٌ لِرَجُلٍ لَمْ يُعْتَقْ عَلَيْهِ حَتَّى يُقَسِّمَهُ وَإِنَّمَا يُعْتَقُ عَلَيْهِ مَنِ اجْتَلَبَهُ بِشِرَاءٍ أَوْ هِبَةٍ وَهُوَ لَوْ تَرَكَ حَقَّهُ مِنْ مَغْنَمِهِ لَمْ يُعْتَقْ عليه حتى يقسم قال المزني رحمه الله وإذا كان فيهم ابنه فلم يعتق منه عليه نصيبه قبل القسم كانت الأمة تحمل منه من أن تكون له أم ولد أبعد “

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Jika dalam tawanan perang terdapat seorang anak dan ayah dari seorang laki-laki, maka keduanya tidak menjadi merdeka baginya hingga dilakukan pembagian. Yang menjadi merdeka baginya hanyalah yang ia peroleh melalui pembelian atau hibah. Jika ia meninggalkan haknya dari ghanimahnya, maka tidak menjadi merdeka baginya hingga dilakukan pembagian.” Al-Muzani rahimahullah berkata, “Jika di antara mereka terdapat anaknya, lalu bagian anak itu tidak menjadi merdeka baginya sebelum pembagian, maka seorang budak perempuan yang mengandung darinya lebih jauh lagi dari kemungkinan menjadi umm walad baginya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَصُورَتُهَا أَنْ يَكُونَ فِي السَّبْيِ الْمُسْتَرَقِّ أَحَدُ مَنْ يُعْتَقُ بِالْمِلْكِ عَلَى الْغَانِمِينَ مِنْ وَالِدَيْهِ أَوْ مَوْلُودَيْهِ كَالْآبَاءِ وَالْأُمَّهَاتِ وَالْبَنِينَ وَالْبَنَاتِ فَلَهُ فِي عِتْقِهِ عَلَيْهِ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ حَالٌ لَا يُعْتَقُ عَلَيْهِ وَحَالٌ يُعْتَقُ عَلَيْهِ وَحَالٌ مُخْتَلَفٌ فِيهَا

Al-Mawardi berkata, “Gambaran kasusnya adalah apabila di antara tawanan perang yang dijadikan budak terdapat seseorang yang termasuk golongan yang akan merdeka karena kepemilikan oleh para pemenang perang, yaitu dari orang tua atau anak-anaknya, seperti ayah, ibu, anak laki-laki, dan anak perempuan. Maka, dalam hal memerdekakan mereka atas dirinya, terdapat tiga keadaan: keadaan di mana tidak merdeka atas dirinya, keadaan di mana merdeka atas dirinya, dan keadaan yang diperselisihkan di dalamnya.”

فَأَمَّا الْحَالُ الَّتِي لَا تعتق عَلَيْهِ فِيهَا فَهُوَ قَبْلَ الْقِسْمَةِ وَالْغَانِمُونَ عَدَدٌ كَثِيرٌ لَا يَنْحَصِرُونَ وَلَا يَتَحَقَّقُ فِيهِ قَدْرُ سَهْمِهِ مِنْهُ فَلَا يُعْتَقُ عَلَيْهِ شَيْءٌ مِنْهُ لِأَنَّهُ لَمْ يَمْلِكْهُ وَإِنْ مَلَكَ أَنْ يَتَمَلَّكَهُ لِأَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يُجْعَلَ فِي سَهْمِ غيره

Adapun keadaan di mana tidak terjadi pembebasan budak atasnya adalah sebelum pembagian harta rampasan perang, sementara para penerima ghanimah berjumlah sangat banyak sehingga tidak dapat dihitung dan tidak dapat dipastikan bagian miliknya dari harta tersebut. Maka, tidak ada sesuatu pun dari harta itu yang dibebaskan atasnya, karena ia belum memilikinya, meskipun ia memiliki kemungkinan untuk memilikinya, sebab bisa jadi harta tersebut dimasukkan ke dalam bagian orang lain.

وَأَمَّا الْحَالُ الَّتِي يَعْتِقُ عَلَيْهِ فِيهَا قَدْرَ سَهْمِهِ مِنْهُ فَهُوَ أَنْ يُقَسِّمَ الْغَنَائِمَ فَيَجْعَلَ فِي سَهْمٍ عشره هُوَ أَحَدُهُمْ فَيُعْتَقُ عَلَيْهِ مِنْهُ قَدْرُ حَقِّهِ وَهُوَ عشرة لِاسْتِقْرَارِ مِلْكِهِ عَلَى عُشْرِهِ وَيُقَوَّمَ عَلَيْهِ بَاقِيهِ إِنْ كَانَ مُوسِرًا لِأَنَّهُ مَلَكَهُ بِاخْتِيَارِهِ

Adapun keadaan di mana seseorang merdeka atas bagian miliknya dari seorang budak adalah ketika ia membagi harta rampasan perang, lalu ia menempatkan sepuluh orang dalam satu bagian, dan ia adalah salah satu dari mereka. Maka, bagian haknya dari budak itu menjadi merdeka atas dirinya, yaitu sepersepuluh, karena kepemilikannya telah tetap atas sepersepuluhnya. Dan ia diwajibkan membayar nilai sisa budak itu jika ia mampu, karena ia memilikinya dengan pilihannya sendiri.

وَأَمَّا الْحَالُ الْمُخْتَلَفُ فِيهَا فَهُوَ قَبْلَ الْقِسْمَةِ إِذَا كَانَ عَدَدُ الْغَانِمِينَ مَحْصُورًا فَيَكُونُ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنْ حكم أو الْوَلَدِ وَهُوَ أَنْ يَنْظُرَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي تِلْكَ الْغَنِيمَةِ غَيْرُهُ فَقَدْ تَعَيَّنَ مِلْكُهُ فِيهِ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَعْدِلَ بِهِ إِلَى غَيْرِهِ فَعَلَى هَذَا يَعْتِقُ عَلَيْهِ قَدْرَ حَقِّهِ مِنْهُ وَلَا يُقَوَّمُ عَلَيْهِ بَاقِيهِ لِأَنَّهُ مَلَكَ بِغَيْرِ اخْتِيَارِهِ وَإِنْ كَانَ فِي الْقِسْمَةِ غَيْرُهُ وَهِيَ الْحَالُ الَّتِي يَجُوزُ لِأَمِيرِ الْجَيْشِ أَنْ يقسم فيها الغنيمة بحكمه على اختياره لايعتبر فِيهَا الْمُرَاضَاةُ فَفِي نُفُوذِ عِتْقِ حَقِّهِ مِنْهُ وَجْهَانِ

Adapun keadaan yang diperselisihkan adalah sebelum pembagian, jika jumlah para pemenang (ghanimīn) terbatas, maka hukumnya seperti yang telah kami sebutkan mengenai anak, yaitu hendaknya dilihat: jika dalam ghanīmah itu tidak ada selain dirinya, maka kepemilikan telah ditetapkan baginya, sehingga tidak boleh dialihkan kepada orang lain. Dalam hal ini, yang merdeka adalah bagian haknya saja, dan ia tidak dibebani menebus sisanya, karena ia memilikinya tanpa pilihannya sendiri. Namun, jika dalam pembagian itu terdapat orang lain—yaitu keadaan di mana amīr pasukan boleh membagi ghanīmah menurut kebijakannya tanpa harus ada kerelaan dari semua pihak—maka dalam hal berlakunya pembebasan haknya dari ghanīmah tersebut terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا لَا يُعْتَقُ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ مَا مَلَكَ وَإِنَّمَا جَازَ أَنْ يَمْلِكَهُ لِجَوَازِ أَنْ يُجْعَلَ فِي سَهْمِ غَيْرِهِ

Salah satunya tidak merdeka atas dirinya karena ia belum memilikinya, dan sesungguhnya ia hanya boleh memilikinya karena dimungkinkan untuk dimasukkan ke dalam bagian (saham) orang lain.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي يُعْتَقُ عَلَيْهِ قَدْرَ حَقِّهِ مِنْهُ لِأَنَّهُ عَلَى مِلْكِ جميع الغانمين فغلب فيه حكم الإشاعة فإذا أَعْتَقَ قَدْرَ حَقِّهِ كَانَ مَحْسُوبًا عَلَيْهِ مِنْ سهمه ولم يقوم عَلَيْهِ بَاقِيه لِأَنَّهُ عُتِقَ عَلَيْهِ بِلَا اخْتِيَارِهِ

Pendapat kedua menyatakan bahwa ia merdeka atas bagian yang menjadi haknya, karena ia berada dalam kepemilikan seluruh para ghanim (orang yang memperoleh ghanimah), sehingga berlaku padanya hukum penyertaan. Maka apabila ia memerdekakan bagian yang menjadi haknya, hal itu dihitung sebagai bagian dari sahamnya dan tidak dibebankan kepadanya sisa bagian lainnya, karena bagian itu telah merdeka atasnya tanpa pilihannya.

فَأَمَّا إِذَا بَدَأَ أَحَدُ الْغَانِمِينَ فِي هَذِهِ الْحَالِ فَأَعْتَقَ أَحَدَ السَّبْيِ لَمْ يُعْتَقُ عَلَيْهِ بِحَالٍ بِخِلَافِ أُمِّ الْوَلَدِ وَعِتْقِ بَعْضِ الْمُنَاسِبِينَ لأن ما يُعْتَقُ بِغَيْرِ اخْتِيَارٍ أَقْوَى وَمَا يُعْتَقُ بِالِاخْتِيَارِ أَضْعَفُ وَلِذَلِكَ نَفَذَ فِي حَقِّ الْمَحْجُورِ عَلَيْهِ عتق ما ملكه من ما سبيه وَأَنْ تَصِيرَ أَمَتُهُ إِذَا أَحْبَلَهَا أُمَّ وَلَدٍ وَلَمْ يُعْتَقُ عَلَيْهِ مَنْ تَلَفَّظَ بِعِتْقِهِ فَأَمَّا اعْتِرَاضُ الْمُزَنِيِّ بِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يُعْتَقُ عَلَيْهِ قَدْرُ حَقِّهِ مِنْ أَبِيهِ فَكَذَلِكَ فِي أُمِّ الْوَلَدِ فَهُوَ فَاسِدٌ لِأَنَّهُمَا فِي الْحُكْمِ سَوَاءٌ وَإِنَّمَا يُخَالِفَانِ عِتْقَ الْمُبَاشَرَةِ لِلْفَرْقِ الَّذِي ذَكَرْنَا

Adapun jika salah satu dari para peraih ghanimah dalam keadaan ini memulai lalu memerdekakan salah satu tawanan, maka tidak menjadi merdeka baginya dalam keadaan apa pun, berbeda dengan umm al-walad dan memerdekakan sebagian kerabat, karena apa yang dimerdekakan tanpa pilihan lebih kuat, sedangkan yang dimerdekakan dengan pilihan lebih lemah. Oleh karena itu, berlaku bagi orang yang dibatasi haknya (mahjur ‘alaih) kemerdekaan atas apa yang dimilikinya dari hasil tawanan, dan budaknya yang ia hamili menjadi umm al-walad, dan tidak menjadi merdeka atasnya orang yang mengucapkan kemerdekaan. Adapun sanggahan al-Muzani bahwa ketika tidak menjadi merdeka bagian haknya dari ayahnya, maka demikian pula dalam kasus umm al-walad, maka itu adalah keliru, karena keduanya dalam hukum adalah sama, dan keduanya hanya berbeda dengan kemerdekaan langsung karena perbedaan yang telah kami sebutkan.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رحمه الله تعالى ” وَمَنْ سُبِيَ مِنْهُمْ مِنَ الْحَرَائِرِ فَقَدْ رُقَّتْ وَبَانَتْ مِنَ الزَّوْجِ كَانَ مَعَهَا أَوْ لَمْ يَكُنْ سَبَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ نِسَاءَ أَوْطَاسٍ وَبَنِي الْمُصْطَلِقِ وَرِجَالَهَمْ جَمِيعًا فَقَسَّمَ السَّبْيَ وَأَمَرَ أَنْ لَا تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلَا حَائِلٌ حَتَّى تَحِيضَ وَلَمْ يَسْأَلْ عَنْ ذَاتِ زَوْجٍ وَلَا غَيْرِهَا وَلَيْسَ قَطْعُ الْعِصْمَةِ بَيْنَهُنَّ وَبَيْنَ أَزْوَاجِهِنَّ بِأَكثَرَ مِنَ اسْتِبَائِهِنَّ “

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Perempuan merdeka di antara mereka yang ditawan, maka ia menjadi budak dan terpisah dari suaminya, baik suaminya ikut bersamanya atau tidak. Nabi ﷺ pernah menawan perempuan dan laki-laki dari penduduk Awtas dan Bani Musthaliq seluruhnya, lalu beliau membagi tawanan tersebut dan memerintahkan agar perempuan yang sedang hamil tidak digauli hingga melahirkan, dan yang tidak hamil tidak digauli hingga haid. Beliau tidak menanyakan apakah mereka masih bersuami atau tidak, dan tidak ada yang memutuskan ikatan antara mereka dan suami-suami mereka selain dari peristiwa penawanan itu sendiri.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَمُقَدِّمَةُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ سَبْيَ الذُّرِّيَّةِ مُوجِبٌ لِرِقِّهِمْ وَالذُّرِّيَّةُ هُمُ النِّسَاءُ وَالْأَطْفَالُ فَإِذَا أُحِيزُوا بَعْدَ تَقَضِّي الْحَرْبِ رُقُّوا فَأَمَّا سَبْيُ الْمُقَاتِلَةِ فَلَا يُرَقُّونَ بِالسَّبْيِ حَتَّى يُسْتَرَقُّوا

Al-Mawardi berkata, “Pendahuluan dari masalah ini adalah bahwa penawanan terhadap dzurriyah (keturunan) menyebabkan mereka menjadi budak. Yang dimaksud dengan dzurriyah adalah para wanita dan anak-anak. Maka apabila mereka ditawan setelah peperangan usai, mereka menjadi budak. Adapun penawanan terhadap para muqatilah (pejuang/pasukan tempur), maka mereka tidak langsung menjadi budak hanya karena ditawan, kecuali jika mereka diperbudak.”

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ لِأَمِيرِ الْجَيْشِ خِيَارًا فِي الرِّجَالِ بَيْنَ الْقَتْلِ وَالْفِدَاءِ وَالْمَنِّ وَالِاسْتِرْقَاقِ فَلَمْ يَتَعَيَّنِ الِاسْتِرْقَاقُ إِلَّا بِالِاخْتِيَارِ وَلَا خِيَارَ لَهُ فِي الذَّرَّارِي فَرُقُّوا بِالسَّبْيِ لِاخْتِصَاصِهِمْ بِحُكْمِ الرِّقِّ

Perbedaan antara keduanya adalah bahwa seorang amir pasukan memiliki pilihan terhadap para laki-laki antara membunuh, menebus, membebaskan, atau memperbudak, sehingga perbudakan tidak menjadi ketetapan kecuali dengan pilihan. Sedangkan terhadap anak-anak, ia tidak memiliki pilihan, sehingga mereka menjadi budak dengan sebab penawanan karena mereka secara khusus terkena hukum perbudakan.

فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَا لَمْ يَخْلُ حُدُوثُ السَّبْيِ فِي الزَّوْجَيْنِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ أَحَدُهَا أَنْ تُسْبَى الزَّوْجَةُ دُونَ الزَّوْجِ فَقَدْ بَطَلَ نِكَاحُهَا بِالسَّبْيِ بِوِفَاقٍ مِنَ الشَّافِعِيِّ وَأَبِي حَنِيفَةَ فِي الْحُكْمِ مَعَ اخْتِلَافِهِمَا فِي الْعِلَّةِ فَهِيَ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ حُدُوثُ الرِّقِّ وَعِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ اخْتِلَافُ الدَّارِ

Jika hal ini telah dipastikan, maka terjadinya perbudakan (saby) pada pasangan suami istri tidak lepas dari tiga keadaan. Pertama, jika istri saja yang menjadi tawanan tanpa suaminya, maka batal akad nikahnya karena perbudakan tersebut, menurut kesepakatan Imam Syafi‘i dan Abu Hanifah dalam hukum, meskipun mereka berbeda pendapat dalam hal sebabnya. Menurut Imam Syafi‘i, sebabnya adalah terjadinya status budak (riqq), sedangkan menurut Abu Hanifah, sebabnya adalah perbedaan negeri (ikhtilāf ad-dār).

وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يُسْبَى الزَّوْجُ دُونَ الزَّوْجَةِ فَإِنْ لَمْ يُسْتَرَقَّ وَمُنَّ عَلَيْهِ أَوْ فُودِيَ بِهِ لَمْ يَبْطُلْ نِكَاحُ زَوْجَتِهِ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ وَأَبِي حَنِيفَةَ لَكِنْ عَلَيْهِ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ حُدُوثُ الرِّقِّ وَعِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ اخْتِلَافُ الدَّارِ

Bagian kedua adalah apabila suami ditawan tanpa istrinya. Jika suami tidak dijadikan budak dan diberikan ampunan atau ditebus, maka menurut Imam Syafi‘i dan Abu Hanifah, pernikahan dengan istrinya tidak batal. Namun, menurut Imam Syafi‘i, yang menjadi pertimbangan adalah terjadinya status budak, sedangkan menurut Abu Hanifah adalah perbedaan negeri.

والْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يُسْبَى الزَّوْجَانِ مَعًا فَعِنْدَ الشَّافِعِيِّ يَبْطُلُ النِّكَاحُ بَيْنَهُمَا بِحُدُوثِ الرِّقِّ وَعِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ لَا يَبْطُلُ النِّكَاحُ لِأَنَّهُ لَمْ يَخْتَلِفِ الدَّارُ بِهِمَا اسْتِدْلَالًا بِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ لَمَّا اسْتَرَقَّ سَبْيَ هَوَازِنَ بِأَوْطَاسَ جَاءَتْهُ هوازن بعد إسلامهم ليستعطفونه وَيَسْتَنْزِلُونَهُ مِنْ عَلَى سَبْيِهِمْ وَرَدِّهِمْ عَلَيْهِمْ وَأَكْثَرُهُمْ ذَوَاتُ أَزْوَاجٍ وَأَقَرَّهُمْ عَلَى مَنَاكِحِهِمْ وَلَوْ بَطَلَ النِّكَاحُ بِحُدُوثِ الرِّقِّ لَأَعْلَمَهُمْ وَلَأَمَرَهُمْ بِاسْتِئْنَافِ النِّكَاحِ بَيْنَهُمْ وَفِي تَرْكٍ ذَلِكَ دَلِيلٌ عَلَى بَقَاءِ النِّكَاحِ وَصِحَّتِهِ وَلِأَنَّ الرِّقَّ لَا يَمْنَعُ مِنَ ابْتِدَاءِ النِّكَاحِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَمْتَنِعَ مِنَ اسْتِدَامَتِهِ كَالصِّغَرِ وَلِأَنَّهُ قَدْ يَطْرَأُ الرِّقُّ عَلَى الْحُرِّيَّةِ كَمَا تَطْرَأُ الْحَرِيَّةُ عَلَى الرِّقِّ فَلَمَّا لَمْ يَبْطُلِ النِّكَاحُ بِحُدُوثِ الْحُرِّيَّةِ عَلَى الرِّقِّ وَجَبَ أَنْ لَا يَبْطُلَ بِحُدُوثِ الرِّقِّ عَلَى الْحُرِّيَّةِ

Bagian ketiga adalah apabila suami istri ditawan bersama-sama. Menurut Imam Syafi‘i, pernikahan antara keduanya batal karena terjadinya status budak (riqq). Sedangkan menurut Abu Hanifah, pernikahan tidak batal karena keduanya tidak berpindah negeri (dār) secara terpisah. Hal ini didasarkan pada riwayat dari Nabi ﷺ bahwa ketika beliau menawan tawanan Hawāzin di Autās, Hawāzin datang kepada beliau setelah mereka masuk Islam untuk memohon belas kasihan dan meminta agar tawanan mereka dikembalikan. Kebanyakan dari mereka adalah wanita yang bersuami, dan Nabi ﷺ membiarkan mereka tetap dalam pernikahan mereka. Seandainya pernikahan batal karena terjadinya status budak, tentu beliau akan memberitahu mereka dan memerintahkan mereka untuk memperbarui akad nikah di antara mereka. Dengan tidak melakukannya, hal itu menjadi dalil bahwa pernikahan tetap ada dan sah. Selain itu, status budak tidak menghalangi dimulainya pernikahan, maka seharusnya tidak menghalangi kelangsungannya, sebagaimana halnya dengan usia anak-anak (ṣighar). Juga, terkadang status budak terjadi pada orang merdeka, sebagaimana kemerdekaan bisa terjadi pada budak. Maka, ketika pernikahan tidak batal karena terjadinya kemerdekaan pada budak, seharusnya juga tidak batal karena terjadinya status budak pada orang merdeka.

وَدَلِيلُنَا قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أمهاتكم إِلَى قَوْلِهِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ وَالْمُرَادُ بِالْمُحْصَنَاتِ هَاهُنَا ذَوَاتُ الْأَزْوَاجِ فَحَرَّمَهُنَ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُنَا بِحُدُوثِ السَّبْيِ فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ فِي الْإِبَاحَةِ فِيمَنْ كَانَ مَعَهَا زَوْجُهَا أَوْ لَمْ يَكُنْ

Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: “Diharamkan atas kalian (menikahi) ibu-ibu kalian…” hingga firman-Nya, “dan perempuan-perempuan yang bersuami, kecuali yang kalian miliki melalui tangan kanan kalian (budak perempuan).” Yang dimaksud dengan al-muhshanāt di sini adalah perempuan-perempuan yang memiliki suami. Maka Allah mengharamkan mereka, kecuali yang dimiliki oleh tangan kanan kita karena terjadinya penawanan (sebagai tawanan perang), sehingga hukum ini berlaku umum dalam kebolehan, baik perempuan itu masih bersama suaminya maupun tidak.

وَرَوَى أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ أَنَّ هَذِهِ الْآيَةَ نَزَلَتْ فِي سَبْيِ هَوَازِنَ وَلَوْ كَانَ النِّكَاحُ بَاقِيًا لَمَا جَازَتِ الْإِبَاحَةُ وَلَكَانَ التَّحْرِيمُ بَاقِيًا

Abu Sa‘id al-Khudri meriwayatkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan tawanan Hawazin, dan seandainya pernikahan masih berlaku, niscaya tidak diperbolehkan pembebasan itu, dan keharamannya pun akan tetap berlaku.

وَالْقِيَاسُ هُوَ أَنَّهُ رِقٌّ طَرَأَ عَلَى نِكَاحٍ فَوَجَبَ أَنْ يَبْطُلَ بِهِ كَمَا لَوِ اسْتُرِقَّ أَحَدُهُمَا

Qiyās adalah bahwa status budak muncul pada pernikahan, maka wajib batal karenanya, sebagaimana jika salah satu dari keduanya menjadi budak.

فَإِنْ قِيلَ إِنَّمَا بَطَلَ النِّكَاحُ بِاسْتِرْقَاقِ أَحَدِهِمَا لِاخْتِلَافِ الدَّارِينَ فَالْجَوَابُ عَنْهُ مِنْ وَجْهَيْنِ

Jika dikatakan bahwa pernikahan itu batal karena salah satu dari keduanya menjadi budak akibat perbedaan dua negeri, maka jawabannya ada dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ إِذَا اتَّفَقَ مُوجِبُ الْعِلَّتَيْنِ لَمْ يَتَنَافَيَا فَلَمْ يَصِحَّ التَّعَارُضُ

Salah satunya adalah bahwa jika konsekuensi dari dua ‘illat itu sama dan tidak saling bertentangan, maka tidak sah terjadi ta‘āruḍ (pertentangan).

وَالثَّانِي أَنَّ اخْتِلَافَ الدَّارَيْنِ لَا يَمْنَعُ مِنْ صِحَّةِ النِّكَاحِ لِأَنَّ أَبَا سُفْيَانَ بْنَ حَرْبٍ وَحَكِيمَ بْنَ حِزَامٍ أَسْلَمَا بِمَرِّ الظَّهْرَانِ وَزَوْجَاتُهُمَا بِمَكَّةَ فَأَقَرَّهُمَا عَلَى نِكَاحِهِمَا مَعَ اخْتِلَافِ الدَّارَيْنِ بينهما أو لا تَرَى أَنَّ الْمُسْلِمَ لَوْ دَخَلَ دَارَ الْحَرْبِ فنكح زوجة وله دَارِ الْإِسْلَامِ أُخْرَى لَمْ يَبْطُلْ نِكَاحُ زَوْجَتِهِ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ وَلَوْ عَادَ إِلَى دَارِ الْإِسْلَامِ لَمْ يَبْطُلْ نِكَاحُ زَوْجَتِهِ فِي دَارِ الْحَرْبِ مَعَ اخْتِلَافِ الدَّارَيْنِ فَبَطَلَ أَنْ تَكُونَ عِلَّةً فِي فَسْخِ النِّكَاحِ

Kedua, perbedaan wilayah (dār) tidak menghalangi keabsahan pernikahan, karena Abu Sufyan bin Harb dan Hakim bin Hizam masuk Islam di Marr az-Zhahran sementara istri-istri mereka berada di Mekah, dan keduanya tetap diakui atas pernikahan mereka meskipun terdapat perbedaan wilayah di antara mereka. Bukankah engkau melihat bahwa seorang Muslim jika masuk ke wilayah perang (dār al-ḥarb) lalu menikahi seorang istri, sementara ia memiliki istri lain di wilayah Islam (dār al-islām), maka pernikahan dengan istrinya di wilayah Islam tidak menjadi batal? Dan jika ia kembali ke wilayah Islam, pernikahan dengan istrinya di wilayah perang pun tidak menjadi batal meskipun terdapat perbedaan wilayah. Maka, jelaslah bahwa perbedaan wilayah bukanlah alasan untuk membatalkan pernikahan.

وَقِيَاسٌ آخَرُ أَنَّ النِّكَاحَ مِلْكٌ فَوَجَبَ أَنْ يَزُولَ بِحُدُوثِ الرِّقِّ كَالْأَمْوَالِ عَلَى أَنَّ مِلْكَ الْأَمْوَالِ يَشْتَمِلُ عَلَى الْعَيْنِ وَالْمَنْفَعَةِ وَالنِّكَاحُ مُخْتَصٌّ بِالِاسْتِمْتَاعِ الَّذِي هُوَ منفعة ولك من هَذَا التَّعْلِيلِ قِيَاسٌ ثَالِثٌ أَنَّهُ عَقْدٌ عَلَى مَنْفَعَةٍ فَوَجَبَ أَنْ يَبْطُلَ بِحُدُوثِ الرِّقِّ كَمَا لَوْ آجَرَهُ الْحَرْبِيُّ نَفْسَهُ ثُمَّ اسْتُرِقَّ

Qiyās lain adalah bahwa nikah merupakan kepemilikan, maka wajib batal dengan terjadinya perbudakan, sebagaimana harta benda. Namun, kepemilikan harta mencakup benda dan manfaat, sedangkan nikah khusus pada kenikmatan yang merupakan manfaat. Dari alasan ini, terdapat qiyās ketiga, yaitu bahwa nikah adalah akad atas manfaat, maka wajib batal dengan terjadinya perbudakan, sebagaimana jika seorang harbi menyewakan dirinya lalu ia menjadi budak.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِسَبْيِ هَوَازِنَ هُوَ أَنَّهُمْ كَانُوا عِنْدَ ذَلِكَ عَلَى شِرْكِهِمْ وَإِنَّمَا ظَهَرَ إِسْلَامُ وَافِدِهِمْ فَلَمْ يَلْزَمْهُ بَيَانُ مَنَاكِحِهِمْ قَبْلَ إِسْلَامِهِمْ

Adapun jawaban terhadap dalil mereka dengan peristiwa penawanan (saby) suku Hawazin adalah bahwa pada saat itu mereka masih dalam keadaan musyrik, dan baru tampak keislaman delegasi mereka setelahnya. Maka tidak wajib menjelaskan hukum pernikahan mereka sebelum mereka memeluk Islam.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ تَعْلِيلِهِمْ بِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَمْنَعِ الرِّقُّ مِنَ ابْتِدَاءِ النِّكَاحِ لَمْ يمنع من استدامته فمن وجهين أحدهما انْتِقَاضهُ بِالْخُلْعِ يَمْنَعُ مِنَ اسْتِدَامَةِ النِّكَاحِ وَلَا يَمْنَعُ مِنَ ابْتِدَائِهِ

Adapun jawaban terhadap alasan mereka bahwa karena perbudakan tidak menghalangi dimulainya pernikahan, maka tidak menghalangi pula kelangsungannya, adalah dari dua sisi: Pertama, alasan tersebut batal dengan adanya khulu‘, yang menghalangi kelangsungan pernikahan namun tidak menghalangi dimulainya.

وَالثَّانِي أَنَّ حُدُوثَ الرِّقِّ لَا يُتَصَوَّرُ فِي ابْتِدَاءِ الْعَقْدِ وَيُتَصَوَّرُ فِي أثنائه فلم يصح الجمع بين بَيْنَ مُمْكِنٍ وَمُمْتَنِعٍ

Kedua, bahwa terjadinya status budak tidak dapat dibayangkan pada awal akad, namun dapat dibayangkan terjadi di tengah-tengahnya, sehingga tidak sah menggabungkan antara sesuatu yang mungkin dan yang mustahil.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يُؤَثِّرْ فِي النِّكَاحِ حُدُوثُ الْحُرِّيَّةِ عَلَى الرِّقِّ كَذَلِكَ لَا يُؤَثِّرُ فِيهِ حُدُوثُ الرِّقِّ عَلَى الْحُرِّيَّةِ فَهُوَ أَنَّ حُدُوثَ الْحُرِّيَّةِ كَمَالٌ فَلَمْ يُؤَثِّرْ فِي النِّكَاحِ وَحُدُوثُ الرِّقِّ نَقْصٌ فَجَازَ أَنْ يُؤَثِّرَ فِي النِّكَاحِ

Adapun jawaban terhadap dalil mereka bahwa ketika terjadinya kemerdekaan setelah perbudakan tidak berpengaruh pada pernikahan, maka demikian pula terjadinya perbudakan setelah kemerdekaan juga tidak berpengaruh pada pernikahan, adalah bahwa terjadinya kemerdekaan merupakan suatu kesempurnaan sehingga tidak berpengaruh pada pernikahan, sedangkan terjadinya perbudakan adalah suatu kekurangan sehingga boleh jadi hal itu berpengaruh pada pernikahan.

فَصْلٌ

Fasal

وَإِنْ كَانَ الزَّوْجَانِ الْحَرْبِيَّانِ مَمْلُوكَيْنِ فَسُبِيَا أَوْ أَحَدُهُمَا فَفِي بُطْلَانِ النِّكَاحِ بَيْنَهُمَا وَجْهَانِ

Jika kedua suami istri dari kalangan harbi adalah budak, lalu keduanya atau salah satu dari mereka tertawan, maka dalam hal batalnya akad nikah di antara mereka terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا لَا يَبْطُلُ وَيَكُونَانِ عَلَى النِّكَاحِ لِأَنَّ رِقَّهُمَا مُتَقَدِّمٌ وَلَيْسَ بِحَادِثٍ فَصَارَ انْتِقَالُ مِلْكِهِمَا بِالسَّبْيِ كَانْتِقَالِهِ بِالْبَيْعِ

Salah satunya tidak batal dan keduanya tetap berada dalam status pernikahan, karena status budak mereka sudah ada sebelumnya dan bukan sesuatu yang baru terjadi. Maka, perpindahan kepemilikan mereka melalui penawanan sama seperti perpindahan melalui jual beli.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّ النِّكَاحَ يَبْطُلُ لِأَنَّ الِاسْتِرْقَاقَ الثَّانِيَ أَثْبَتُ مِنَ الرِّقِّ الْأَوَّلِ لِثُبُوتٍ الْحَادِثِ بِالْإِسْلَامِ وَثُبُوتِ الْأَوَّلِ بِالشِّرْكِ فَتَعَلَّقَ حُكْمُ الرِّقِّ بِأَثْبَتِهِمَا وَكَانَ الْأَوَّلُ دَاخِلًا فيه

Pendapat kedua adalah bahwa pernikahan menjadi batal karena perbudakan yang kedua lebih kuat daripada perbudakan yang pertama, sebab yang kedua terjadi setelah masuk Islam, sedangkan yang pertama terjadi ketika masih dalam keadaan syirik. Maka, hukum perbudakan terkait dengan yang paling kuat di antara keduanya, dan yang pertama termasuk di dalamnya.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رحمه الله تعالى ” وَلَا يُفَرَّقُ بَيْنَهَا وَبَيْنَ وَلَدِهَا حَتَّى يَبْلُغَ سَبْعَ أَوْ ثَمَانِ سِنِينَ وَهُوَ عِنْدَنَا اسْتِغْنَاءُ الْوَلَدِ عَنْهَا وَكَذَلِكَ وَلَدُ الْوَلَدِ “

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Tidak boleh dipisahkan antara ibu dan anaknya hingga anak itu mencapai usia tujuh atau delapan tahun, yaitu menurut kami ketika anak sudah dapat mandiri darinya. Demikian pula halnya dengan cucu.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ لَا يَجُوزُ أَنْ يُفَرِّقَ بَيْنَ الْأُمِّ وَوَلَدِهَا فِي الْقِسْمَةِ إِذَا سَبَوْا وَلَا فِي الْبِيَعِ إِذَا مَلَكُوا لِرِوَايَةِ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ” مَنْ فَرَّقَ بَيْنَ وَالِدَةٍ وَوَلَدِهَا فَرَّقَ اللَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَحِبَّتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ “

Al-Mawardi berkata, “Ini benar, tidak boleh memisahkan antara ibu dan anaknya dalam pembagian jika mereka menjadi tawanan, dan tidak pula dalam jual beli jika mereka dimiliki, berdasarkan riwayat dari Abu Ayyub al-Anshari bahwa Nabi ﷺ bersabda: ‘Barang siapa memisahkan antara seorang ibu dan anaknya, maka Allah akan memisahkan antara dia dan orang-orang yang dicintainya pada hari kiamat.’”

وَرَوَى عِمْرَانُ بْنُ حُصَيْنٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ” مَلْعُونٌ مَلْعُونٌ مَنْ فَرَّقَ بَيْنَ امْرَأَةٍ وَبَيْنَ وَلَدِهَا “

Imran bin Husain meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Terkutuk, terkutuklah orang yang memisahkan antara seorang wanita dan anaknya.”

وَرَوَى أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ سَمِعَ امْرَأَةً تَبْكِي فَقَالَ مَا لِهَذِهِ تَبْكِي فَقِيلَ لَهُ فُرِّقَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ وَلَدِهَا فَقَالَ ” لَا تُوَلَّهْ وَالِدَةٌ عَلَى وَلَدِهَا “

Abu Sa‘id al-Khudri meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ mendengar seorang wanita menangis, lalu beliau bertanya, “Mengapa wanita ini menangis?” Dikatakan kepada beliau, “Dia dipisahkan dari anaknya.” Maka beliau bersabda, “Janganlah seorang ibu dibiarkan merana karena dipisahkan dari anaknya.”

أَيْ لَا يُفَرَّقُ بَيْنَهُمَا بِالْبَيْعِ فَتُوَلِّهُ عَلَيْهِ بِالْحُزْنِ وَالْأَسَفِ مَأْخُوذٌ مِنَ الْوَلَهِ وَلِأَنَّ فِي التَّفْرِقَةِ بَيْنَهُمَا فِي الصِّغَرِ إِدْخَالُ ضَرَرٍ عَلَيْهِمَا بِحُزْنِ الْأُمِّ وَضَيَاعِ الْوَلَدِ

Artinya, tidak boleh dipisahkan antara keduanya dengan cara dijual, karena hal itu akan menyebabkan sang ibu diliputi kesedihan dan penyesalan yang mendalam, yang diambil dari kata “walah”. Selain itu, memisahkan antara keduanya saat masih kecil akan menimbulkan mudarat bagi keduanya, berupa kesedihan sang ibu dan hilangnya anak.

فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا فَفِي الزَّمَانِ الَّذِي تَحْرُمُ فِيهِ التَّفْرِقَةُ بَيْنَهُمَا قَوْلَانِ لِلشَّافِعِيِّ

Maka apabila hal ini telah tetap, maka mengenai waktu di mana diharamkan memisahkan antara keduanya, terdapat dua pendapat dari Imam Syafi‘i.

أَحَدُهُمَا نَصَّ عَلَيْهِ فِي سِيَرِ الْوَاقِدِيِّ وَنَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ إِلَى هَذَا الْمَوْضِعِ إِلَى اسْتِكْمَالِ سَبْعِ سِنِينَ ثُمَّ يُفَرَّقُ بَيْنَهُمَا مِنْ بَعْدُ وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ لِأَنَّهُ حَدُّ التَّفْرِقَةِ فِي تَخْيِيرِ الْكَفَالَةِ وَلِأَنَّهُ يَسْتَقِلُّ فِيهَا بِنَفْسِهِ فِي لِبَاسِهِ وَمَطْعَمِهِ

Salah satunya dinyatakan secara tegas dalam kitab Siyar al-Waqidi dan dinukil oleh al-Muzani ke bagian ini, yaitu sampai anak tersebut mencapai usia tujuh tahun, kemudian setelah itu keduanya dipisahkan. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Malik, karena itu adalah batas pemisahan dalam memilih penjaminan (kafalah), dan karena pada usia itu anak sudah mandiri dalam berpakaian dan makannya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي إِلَى وَقْتِ الْبُلُوغِ وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لِرِوَايَةِ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ” لَا يُفَرَّقُ بَيْنَ وَالِدَةٍ وَوَلَدِهَا ” قِيلِ إِلَى مَتَى؟ قَالَ ” حَتَّى يَبْلُغَ الْغُلَامُ وَتَحِيضَ الْجَارِيَةُ ” وَلَوْلَا أَنَّ فِي هَذَا الْحَدِيثِ ضَعْفًا لِأَنَّ رَاوِيَهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ سَعِيدِ بْنِ الرَّبِيعِ بْنِ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ وَقَدْ طَعَنَ عَلِيُّ بْنُ الْمَدِينِيِّ فِي عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ سَعِيدٍ وَنَسَبَهُ إِلَى الْكَذِبِ لَمَّا اخْتَلَفَ الْقَوْلُ فِيهِ وَلَمَّا شَاعَ خِلَافُهُ وَلِأَنَّهُ لَمَّا اسْتَحَقَّتِ الْكَفَالَةُ عَلَى الْوَالِدَيْنِ إِلَى الْبُلُوغِ ثُمَّ يُفَارِقُهُمَا الْوَلَدُ بَعْدَ الْبُلُوغِ كَانَ الْبُلُوغُ حَدًّا فِي التَّفْرِقَةِ

Pendapat kedua adalah sampai waktu baligh, dan inilah pendapat Abu Hanifah berdasarkan riwayat ‘Ubadah bin Shamit bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Tidak boleh dipisahkan antara seorang ibu dan anaknya.” Ditanyakan, “Sampai kapan?” Beliau menjawab, “Sampai anak laki-laki itu baligh dan anak perempuan itu haid.” Seandainya tidak ada kelemahan dalam hadis ini—karena perawinya adalah ‘Abdullah bin ‘Amr bin Sa‘id bin Rabi‘ bin ‘Ubadah bin Shamit, dan ‘Ali bin al-Madini telah mencela ‘Abdullah bin ‘Amr bin Sa‘id serta menuduhnya berdusta, karena adanya perbedaan pendapat tentang dirinya dan tersebarnya perselisihan mengenai dirinya—dan karena ketika hak kafalah ditetapkan atas kedua orang tua sampai baligh, kemudian anak berpisah dari keduanya setelah baligh, maka baligh menjadi batas dalam pemisahan tersebut.

وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ لَا تَجُوزُ التَّفْرِقَةُ بَيْنَهُمَا عَلَى الْأَبَدِ تَمَسُّكًا بِعُمُومِ الظَّاهِرِ وَحَدِيثُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الصَّامِتِ دَلِيلٌ عَلَيْهِ إِنْ صَحَّ ثُمَّ الْمَعْنَى الْمُعْتَبَرُ فِي الْجَمْعِ بَيْنَهُمَا فِي الصِّغَرِ مَفْقُودٌ فِي الْكِبَرِ مِنْ وَجْهَيْنِ

Ahmad bin Hanbal berkata, tidak boleh memisahkan antara keduanya untuk selamanya, berpegang pada keumuman makna lahir dan hadis Abdullah bin Ash-Shamit menjadi dalil atas hal itu jika sahih. Kemudian, makna yang dianggap dalam penggabungan antara keduanya saat masih kecil tidak ditemukan pada saat dewasa dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ مُضِرٌّ فِي الصِّغَرِ وَغَيْرُ مُضِرٍّ فِي الْكِبَرِ

Salah satunya adalah bahwa hal itu membahayakan pada masa kecil dan tidak membahayakan pada masa dewasa.

وَالثَّانِي أَنَّهُ مَعْهُودٌ فِي الْكِبَرِ وَغَيْرُ مَعْهُودٍ فِي الصِّغَرِ

Yang kedua adalah bahwa hal itu lazim terjadi pada usia dewasa dan tidak lazim terjadi pada usia anak-anak.

فَصْلٌ

Fashl (Bagian)

فَأَمَّا التَّفْرِقَةُ بَيْنَ الْوَلَدِ وَوَالِدِهِ فَفِيهِ وَجْهَانِ

Adapun pemisahan antara anak dan orang tuanya, dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا لَا يُفَرَّقُ بَيْنَهُمَا كَالْأُمِّ لِمَا فِيهِ مِنَ الْبَعْضِيَّةِ الْمُفْضِيَةِ لِلشَّفَقَةِ وَالْحُنُوِّ

Salah satunya adalah yang tidak dapat dipisahkan antara keduanya, seperti ibu, karena di dalamnya terdapat unsur sebagian yang menyebabkan kasih sayang dan kelembutan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي يُفَرَّقُ بَيْنَهُمَا بِخِلَافِ الْأُمِّ لِعَدَمِ التَّرْبِيَةِ فِي الْأَبِ وَوُجُودِهَا فِي الْأُمِّ فَأَمَّا الْأَجْدَادُ وَالْجَدَّاتُ فَمَنْ كَانَ مِنْهُمْ غَيْرَ مُسْتَحِقٍّ لِلْحَضَانَةِ كَالْجَدِّ أَبَى الْأُمِّ وَأُمَّهَاتِهِ لَمْ تَحْرُمِ التَّفْرِقَةُ بَيْنَهُمَا لِضَعْفِ سَبَبِهِ وَمَنْ كَانَ مِنْهُمْ مُسْتَحِقًّا لِلْحَضَانَةِ فَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ

Pendapat kedua membedakan antara keduanya, berbeda dengan ibu, karena tidak adanya unsur pengasuhan pada ayah dan adanya unsur tersebut pada ibu. Adapun kakek dan nenek, siapa pun di antara mereka yang tidak berhak atas hadhanah, seperti kakek dari pihak ibu dan ibu-ibu mereka, maka tidak diharamkan memisahkan antara keduanya karena lemahnya sebabnya. Sedangkan siapa pun di antara mereka yang berhak atas hadhanah, maka mereka terbagi menjadi dua golongan.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ الْوَلَدُ مُجْتَمِعًا مَعَ الْأُمِّ فَحُكْمُ الْجَمْعِ مُخْتَصًّا بِهَا وَلَا تَحْرُمُ التَّفْرِقَةُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَنْ عَدَاهَا

Salah satunya adalah apabila anak berkumpul bersama ibu, maka hukum berkumpul itu khusus berlaku bagi ibu, dan tidak diharamkan memisahkan anak dari selain ibu.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ لَا يَكُونَ مُجْتَمِعًا مَعَ الْأُمِّ إِمَّا لِمَوْتِ الْأُمِّ أَوْ بُعْدِهَا فَعَلَى ضَرْبَيْنِ

Jenis kedua adalah tidak berkumpul bersama ibu, baik karena ibu telah meninggal dunia atau karena jauhnya ibu, maka hal ini terbagi menjadi dua jenis.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ مُجْتَمِعًا مَعَ جَدَّاتِهِ الْمُدْلِيَاتِ بِأُمِّهِ فَلَا يَجُوزُ التَّفْرِقَةُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقُرْبَى مِنْ جَدَّاتِ أُمِّهِ لقيامها فِي الْحَضَانَةِ مَقَامَ أُمِّهِ

Salah satunya adalah jika ia berkumpul bersama nenek-neneknya yang memiliki hubungan melalui ibunya, maka tidak boleh dipisahkan antara dia dan nenek-nenek terdekat dari pihak ibu, karena nenek-nenek tersebut dalam hak hadhanah menempati posisi ibunya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ مُجْتَمِعًا مَعَ جَدَّاتِهِ وَأَجْدَادِهِ مِنْ قِبَلِ أَبِيهِ فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ

Jenis yang kedua adalah apabila ia berkumpul bersama nenek-nenek dan kakek-kakeknya dari pihak ayah, maka dalam hal ini terdapat tiga pendapat.

أَحَدُهَا تَجُوزُ التَّفْرِقَةُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ جَمِيعِهِمْ ذُكُورًا كَانُوا أَوْ إِنَاثًا إِذَا قِيلَ تَجُوزُ التَّفْرِقَةُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْأَبِ الَّذِي أَدْلَوْا بِهِ

Salah satunya adalah boleh dilakukan pembedaan antara dia dan seluruh mereka, baik laki-laki maupun perempuan, jika dikatakan boleh dilakukan pembedaan antara dia dan ayah yang menjadi perantara mereka.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا يَجُوزُ التَّفْرِقَةُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَقْرَبِهِمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى إِذَا قِيلَ بِتَحْرِيمِ التَّفْرِقَةِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْأَبِ

Pendapat kedua, tidak boleh membedakan antara dia dan kerabat terdekatnya, baik laki-laki maupun perempuan, jika dikatakan bahwa haram membedakan antara dia dan ayahnya.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ إِنْ كَانَ ذَكَرًا كَالْجَدِّ أَبِي الْأَبِ جَازَ التَّفْرِقَةُ بَيْنَهُمَا وَإِنْ كَانَتْ أُنْثَى كَالْجَدَّةِ أُمِّ الْأَبِ لَمْ تَجُزِ التَّفْرِقَةُ بَيْنَهُمَا لِأَنَّ فِي الْجَدَّةِ تَرْبِيَةٌ لَيْسَتْ فِي الْجَدِّ

Pendapat ketiga: jika yang dimaksud adalah laki-laki seperti kakek (ayah dari ayah), maka boleh dipisahkan antara keduanya. Namun jika yang dimaksud adalah perempuan seperti nenek (ibu dari ayah), maka tidak boleh dipisahkan antara keduanya, karena pada nenek terdapat unsur pengasuhan yang tidak terdapat pada kakek.

فَصْلٌ

Bagian

وَإِذَا كَانَ مَعَ الْأُمِّ أَوْ مَنْ قَامَ مَقَامَهَا فِي تَحْرِيمِ التَّفْرِقَةِ بَيْنَهُمَا فَرَضِيَتْ بِالتَّفْرِقَةِ بَيْنَهُمَا لَمْ يَجُزْ لِأَنَّ حَقَّ الْجَمْعِ مُشْتَرِكٌ بَيْنَهُمَا وَبَيْنَ الْوَلَدِ فَإِنْ رَضِيَتْ بِسُقُوطِ حَقِّهَا لَمْ يَسْقُطْ بِهِ حَقُّ الْوَلَدِ وَتُؤْخَذْ بِحَضَانَتِهِ فِي زَمَانِهَا فَإِنْ عُتِقَ أَحَدُهُمَا جَازَ بَعْدَ عِتْقِهِ التَّفْرِقَةُ بَيْنَهُمَا سَوَاءٌ أُعْتِقَتِ الْأُمُّ أَوِ الْوَلَدُ لِأَنَّهُ لَا يَدَ عَلَى الْحُرِّ وَالْيَدُ مُخْتَصَّةٌ بِالْمَمْلُوكِ فَانْفَرَدَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِحُكْمِهِ

Apabila bersama ibu atau orang yang menggantikan posisinya dalam larangan memisahkan antara keduanya, lalu ia rela dipisahkan dari anaknya, maka hal itu tidak diperbolehkan, karena hak untuk tetap bersama adalah hak bersama antara ibu dan anak. Jika ibu rela melepaskan haknya, hak anak tidak gugur karenanya, dan anak tetap harus diasuh olehnya selama masa pengasuhan. Jika salah satu dari keduanya dimerdekakan, maka setelah merdeka boleh dipisahkan antara keduanya, baik yang dimerdekakan itu ibu maupun anak, karena tidak ada kekuasaan atas orang yang merdeka, dan kekuasaan itu khusus bagi budak, sehingga masing-masing dari keduanya berdiri sendiri dengan hukumnya.

فَصْلٌ

Bagian

وَإِذَا حَرَّمَ التَّفْرِقَةَ بَيْنَهُمَا فَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا بِبَيْعٍ فَفِي بُطْلَانِ الْبَيْعِ وَجْهَانِ

Dan apabila ia mengharamkan memisahkan antara keduanya, lalu ia memisahkan keduanya dengan suatu jual beli, maka dalam batal atau tidaknya jual beli tersebut terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ مَذْهَبُ الْبَغْدَادِيِّينَ أَنَّ الْبَيْعَ بَاطِلٌ وَبِهِ قَالَ أَبُو يُوسُفَ لِرِوَايَةِ الْحَكَمِ عَنْ مَيْمُونِ بن أبي شبيب عن علي عليه السلام أَنَّهُ فَرَّقَ بَيْنَ جَارِيَةٍ وَبَيْنَ وَلَدِهَا فَنَهَاهُ النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَنْ ذَلِكَ وَرَدَّ الْبَيْعَ

Salah satu pendapat, yaitu mazhab para ulama Baghdad, menyatakan bahwa jual beli tersebut batal. Pendapat ini juga dipegang oleh Abu Yusuf, berdasarkan riwayat al-Hakam dari Maimun bin Abi Syabib dari Ali ra., bahwa ia pernah memisahkan antara seorang budak perempuan dan anaknya, lalu Nabi ﷺ melarang hal itu dan membatalkan jual belinya.

وَرَوَى ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَدِمَ أَبُو أُسَيْدٍ بِسَبْيٍ مِنَ الْبَحْرِينِ فَصَفُّوا لِيَنْظُرَ إِلَيْهِمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فرأى امرأة تبكي فقال مالك تَبْكِينَ؟ قَالَتْ بِيعَ وَلَدِي فِي بَنِي عَبْسٍ فَقَالَ لِأَبِي أُسَيْدٍ لَتَرْكَبَنَّ وَلَتَجِئَنَّ بِهِ كَمَا بِعْتَهُ

Ibnu Abi Dzi’b meriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata: Abu Usayd datang membawa tawanan dari Bahrain, lalu mereka berbaris agar Nabi ﷺ dapat melihat mereka. Nabi melihat seorang wanita menangis, lalu beliau bertanya, “Mengapa engkau menangis?” Wanita itu menjawab, “Anakku dijual kepada Bani ‘Abs.” Maka Nabi berkata kepada Abu Usayd, “Engkau harus menaiki kendaraan dan membawanya kembali seperti saat engkau menjualnya.”

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ مَذْهَبُ الْبَصْرِيِّينَ أَنَّ الْبَيْعَ صَحِيحٌ وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لِأَنَّ النَّهْيَ لِمَعْنًى فِي غَيْرِ الْمَعْقُودِ عَلَيْهِ كَالنَّهْيِ عَنِ الْبَيْعِ فِي وَقْتِ الْجُمُعَةِ وَأَنْ يَبِيعَ الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ لَكِنْ لَا يُقِرُّ الْمُتَبَايِعَانِ عَلَى التَّفْرِقَةِ بَيْنَهُمَا وَيُقَالُ لِلْمُشْتَرِي وَالْبَائِعِ إِنْ تَرَاضَيْتُمَا بِبَيْعِ الْآخَرِ لِتَجْتَمِعَا فِي الْمِلْكِ كَانَ الْبَيْعُ الْأَوَّلُ مَاضِيًا وَإِنْ تَمَانَعْتُمَا فُسِخَ الْبَيْعُ الْأَوَّلُ بَيْنَكُمَا لِيَجْمَعَ بَيْنَهُمَا وَعَلَى هَذَا يُحْمَلُ فَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ فَسَخَ الْبَيْعَ لِتَعَذُّرِ الْجَمْعِ دُونَ فَسَادِ العقد والله أعلم

Pendapat kedua, yaitu mazhab para ulama Basrah, menyatakan bahwa jual beli tersebut sah, dan inilah pendapat Abu Hanifah, karena larangan itu berkaitan dengan sesuatu di luar objek akad, seperti larangan jual beli pada waktu Jum‘at dan larangan seseorang menjual atas jual beli saudaranya. Namun, kedua pihak yang berjual beli tidak dibiarkan tetap dalam keadaan terpisah; pembeli dan penjual dikatakan: “Jika kalian berdua rela dengan jual beli yang lain agar kalian dapat berkumpul dalam kepemilikan, maka jual beli yang pertama tetap berlaku. Namun jika kalian berdua saling menolak, maka jual beli yang pertama dibatalkan di antara kalian agar keduanya dapat disatukan.” Atas dasar inilah dipahami perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau membatalkan jual beli karena tidak memungkinkan untuk digabungkan, bukan karena rusaknya akad. Allah Maha Mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” فَأَمَّا الْأَخَوَانِ فَيُفَرَّقُ بَيْنَهُمَا “

Imam Syafi‘i berkata, “Adapun dua saudara, maka keduanya dipisahkan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ يَجُوزُ التَّفْرِقَةُ فِي الْمِلْكِ بَيْنَ مَا عَدَا الْوَالِدَيْنِ وَالْمَوْلُودِينَ مِنَ الْأُخْوَةِ وَالْأَخَوَاتِ وَالْأَعْمَامِ وَالْعَمَّاتِ وَالْأَخْوَالِ وَالْخَالَاتِ وَإِنْ كَانَ مَكْرُوهًا

Al-Mawardi berkata: Ini benar, diperbolehkan melakukan pembedaan dalam pemberian kepemilikan selain kepada kedua orang tua dan anak-anak, seperti kepada saudara laki-laki, saudara perempuan, paman dari pihak ayah, bibi dari pihak ayah, paman dari pihak ibu, dan bibi dari pihak ibu, meskipun hal itu makruh.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ تَحْرُمُ التَّفْرِقَةُ بَيْنَ كُلِّ ذِي رَحِمٍ مُحَرَّمٍ اسْتِدْلَالًا بِرِوَايَةِ أَبَى مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ” لَا يُفَرَّقُ بَيْنَ وَالِدَةٍ وَوَلَدِهَا وَلَا بين والد وولده ولا يبن أَخٍ وَأَخِيهِ ” وَبِرِوَايَةِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ قَالَ قَدِمَ سَبْيٌ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَأَمَرَنِي بِبَيْعِ غُلَامَيْنِ أَخَوَيْنِ فَبِعْتُهُمَا وَفَرَّقْتُ بَيْنَهُمَا فَبَلَغَ ذَلِكَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَقَالَ أَدْرِكْهُمَا فَارْتَجِعْهُمَا وَبِعْهُمَا مَعًا وَلَا تُفَرِّقْ بَيْنَهُمَا “

Abu Hanifah berpendapat bahwa haram hukumnya memisahkan setiap kerabat mahram, dengan berdalil pada riwayat Abu Musa al-Asy‘ari bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Tidak boleh dipisahkan antara seorang ibu dan anaknya, tidak pula antara seorang ayah dan anaknya, dan tidak pula antara seorang saudara dan saudaranya.” Juga berdasarkan riwayat ‘Abdurrahman bin Abi Laila dari ‘Ali bin Abi Thalib ‘alaihis salam, ia berkata: “Pernah didatangkan tawanan kepada Nabi ﷺ, lalu beliau memerintahkanku untuk menjual dua budak laki-laki yang bersaudara. Maka aku menjual keduanya dan memisahkan mereka. Hal itu sampai kepada Nabi ﷺ, lalu beliau bersabda: ‘Segeralah kejar mereka, kembalikan keduanya, dan juallah mereka berdua bersama-sama, dan jangan engkau pisahkan antara keduanya.’”

وَمِنَ الْقِيَاسِ أَنَّهُ ذُو رَحِمٍ مُحَرَّمٌ بِنَسَبٍ فَلَمْ تَجُزِ التَّفْرِقَةُ بَيْنَهُمَا فِي الْمِلْكِ كَالْوَالِدينَ وَالْمَوْلُودِينَ

Dan berdasarkan qiyās, ia adalah kerabat mahram karena nasab, maka tidak boleh dipisahkan kepemilikannya di antara keduanya, sebagaimana orang tua dan anak-anak.

وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّ كُلَّ نَسَبٍ لَا يَمْنَعُ مِنْ قَبُولِ الشَّهَادَةِ وَلَا يَمْنَعُ مِنْ جَوَازِ الزَّوْجِيَّةِ كَغَيْرِ ذَوِي الْمَحَارِمِ طَرْدًا وَكَالْوَالِدِينَ وَالْمَوْلُودِينَ عَكْسًا وَلِأَنَّ الْأَحْكَامَ الْمُخْتَصَّةَ بِالْأَنْسَابِ إِذَا وَقَفَتْ عَلَى بَعْضِ الْمُنَاسِبِينَ كَانَتْ مَقْصُورَةً عَلَى الْوَالِدِينَ مَعَ الْمَوْلُودِينَ كَالْوِلَايَةِ وَالشَّهَادَةِ وَالْقِصَاصِ وَحَدِّ الْقَذْفِ وَهَذِهِ أَرْبَعَةُ أَحْكَامٍ وَافَقُوا عَلَيْهَا فَكَذَلِكَ فِي أَرْبَعَةِ أَحْكَامٍ خَالَفُوا فِيهَا وَهِيَ وُجُوبُ النَّفَقَةِ وَالْعِتْقِ بِالْمِلْكِ وَالْقَطْعِ فِي السَّرِقَةِ وَالتَّفْرِقَةِ فِي الْبَيْعِ فَأَمَّا الْخَبَرَانِ فَضَعِيفَانِ وَلَوْ صَحَّا حُمِلَا عَلَى الِاسْتِحْبَابِ بِدَلِيلِنَا وَقِيَاسِهِمْ عَلَى الْوَالِدَيْنِ فَالْمَعْنَى فِيهِ وُجُودُ الْبَعْضِيَّةِ الْمَانِعَةِ مِنْ قبول الشهادة

Dalil kami adalah bahwa setiap hubungan nasab yang tidak menghalangi diterimanya kesaksian dan tidak menghalangi bolehnya pernikahan, seperti selain mahram secara umum, dan seperti orang tua dengan anak secara sebaliknya. Karena hukum-hukum yang khusus berkaitan dengan nasab, jika terbatas pada sebagian kerabat, maka itu hanya khusus bagi orang tua dan anak, seperti dalam hal perwalian, kesaksian, qishāsh, dan had qazaf. Ini adalah empat hukum yang mereka sepakati. Demikian pula dalam empat hukum yang mereka perselisihkan, yaitu kewajiban nafkah, pembebasan budak karena kepemilikan, pemotongan tangan dalam pencurian, dan pemisahan dalam jual beli. Adapun dua hadis yang ada, keduanya lemah, dan seandainya sahih pun, maka dibawa kepada anjuran saja berdasarkan dalil dan qiyās kami atas orang tua, karena maknanya di situ adalah adanya sebagian hubungan yang menghalangi diterimanya kesaksian.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَإِنَّمَا نَبِيعُ أَوْلَادَ الْمُشْرِكِينَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ بَعْدَ مَوْتِ أُمَّهَاتِهِمْ إِلَّا أَنْ يَبْلُغُوا فَيَصِفُوا الْإِسْلَامَ قال المزني رحمه الله ومن قوله إ ذا سبي الطفل وليس معه أبواه ولا أحدهما أنه مسلم وإذا سبي ومعه أحدهما فعلى دينهما فمعنى هذه المسألة في قوله أن يكون سبي الأطفال مع أمهاتهم فيثبت في الإسلام حكم أمهاتهم ولا يوجب إسلامهم موت أمهاتهم ” قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَمُقَدِّمَةُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ الْمُسْبي مِنْ أَوْلَادِ الْمُشْرِكِينَ لَا يَخْلُو حَالُ سَبْيِهِ أَنْ يَكُونَ مَعَ أَحَدِ أَبَوَيْهِ أَوْ مُفْرَدًا فَإِنْ سُبِيَ مَعَ أَحَدِ أَبَوَيْهِ كَانَ حُكْمُهُ بَعْدَ السَّبْيِ كَحُكْمِ الْمُسبي مَعَ أَبَوَيْهِ فَإِنْ أَسْلَمَ أَبَوَاهُ أَوْ أَحَدُهُمَا كَانَ إِسْلَامًا لَهُ وَلِصِغَارِ أَوْلَادِهِمَا سَوَاءٌ اجْتَمَعَ الْأَبَوَانِ عَلَى الْإِسْلَامِ أَوْ أَسْلَمَ أَحَدُهُمَا وَسَوَاءٌ كَانَ الْمُسْلِمُ مِنْهُمَا أَبَاهُ أَوْ أُمَّهُ وَلَا اعْتِبَارَ بِحُكْمِ السَّابِي وَإِنْ لَمْ يُسْلِمْ وَاحِدٌ مِنْ أَبَوَيْهِ كَانَ مُشْرِكًا بِشِرْكِهِمَا وَلَا يَصِيرُ مُسْلِمًا بِإِسْلَامِ سَابِيهِ وَلِأَنَّ اعْتِبَارَهُ بِأَحَدِ أَبَوَيْهِ أَوْلَى مِنَ اعْتِبَارِ سَابِيهِ لِأَجْلِ الْبَعْضِيَّةِ وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ

Imam Syafi‘i berkata, “Kami hanya memperjualbelikan anak-anak musyrik dari kalangan musyrik setelah kematian ibu-ibu mereka, kecuali jika mereka telah dewasa lalu memilih Islam.” Al-Muzani rahimahullah berkata, “Menurut pendapat beliau, jika seorang anak kecil ditawan dan tidak bersama kedua orang tuanya atau salah satunya, maka ia dihukumi sebagai Muslim. Namun jika ia ditawan bersama salah satu dari kedua orang tuanya, maka ia mengikuti agama keduanya. Makna permasalahan ini menurut pendapat beliau adalah jika anak-anak ditawan bersama ibu-ibu mereka, maka hukum Islam berlaku pada mereka karena mengikuti ibu-ibu mereka, dan kematian ibu-ibu mereka tidak secara otomatis menjadikan mereka Muslim.” Al-Mawardi berkata, “Pendahuluan dari permasalahan ini adalah bahwa anak-anak musyrik yang ditawan tidak lepas dari dua keadaan: ditawan bersama salah satu dari kedua orang tuanya, atau sendirian. Jika ia ditawan bersama salah satu dari kedua orang tuanya, maka hukumnya setelah penawanan sama seperti hukum yang ditawan bersama kedua orang tuanya. Jika kedua orang tuanya atau salah satunya masuk Islam, maka keislaman itu berlaku juga untuk anak tersebut dan anak-anak kecil mereka, baik kedua orang tuanya masuk Islam bersama-sama, atau hanya salah satunya, baik yang masuk Islam adalah ayahnya atau ibunya. Tidak dianggap hukum dari orang yang menawan, meskipun orang yang menawan itu Muslim. Jika tidak ada satu pun dari kedua orang tuanya yang masuk Islam, maka anak itu tetap musyrik mengikuti kemusyrikan keduanya, dan tidak menjadi Muslim hanya karena orang yang menawannya Muslim. Sebab, pertimbangan hukum pada salah satu dari kedua orang tuanya lebih utama daripada pertimbangan hukum orang yang menawannya, karena adanya hubungan sebagian (nasab). Pendapat ini juga dikatakan oleh Abu Hanifah.”

وَقَالَ الْأَوْزَاعِيُّ يَصِيرُ مُسْلِمًا بِإِسْلَامِ السَّابِي وَإِنْ كَانَ مَعَ أَحَدِ أَبَوَيْهِ وَهَذَا خَطَأٌ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ “

Al-Awza‘i berpendapat bahwa seorang anak menjadi Muslim dengan keislaman tawanan perang, meskipun salah satu dari kedua orang tuanya masih bersamanya. Namun, pendapat ini keliru berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, lalu kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”

وَقَالَ مَالِكٌ يَصِيرُ الْوَلَدُ مُسْلِمًا بِإِسْلَامِ أَبِيهِ وَلَا يَصِيرُ مُسْلِمًا بِإِسْلَامِ أُمِّهِ وَيَكُونُ فِي الدِّينِ تَابِعًا لِسَابِيهِ دُونَ أُمِّهِ وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ لِأَمْرَيْنِ

Malik berkata, anak menjadi Muslim karena keislaman ayahnya dan tidak menjadi Muslim karena keislaman ibunya, dan dalam urusan agama, ia mengikuti agama orang yang menawannya, bukan ibunya. Namun, pendapat ini tidak benar karena dua alasan.

أَحَدُهُمَا قَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ ” فَاعْتَبَرَ حُكْمَهُ بِأَبَوَيْهِ دُونَ سَابِيهِ

Salah satunya adalah sabda Nabi ﷺ: “Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” Maka, hukum anak tersebut dikaitkan dengan kedua orang tuanya, bukan dengan orang yang menawannya.

وَالثَّانِي أَنَّهُ مِنْ أُمِّهِ يَقِينًا وَمِنْ أَبِيهِ ظَنًّا فَلَمَّا صَارَ مُعْتَبَرًا بِأَبِيهِ فَأَوْلَى أَنْ يَصِيرَ مُعْتَبَرًا بِأُمِّهِ

Yang kedua, bahwa ia (anak) secara yakin berasal dari ibunya dan secara dugaan berasal dari ayahnya. Maka ketika ia dijadikan sebagai pertimbangan berdasarkan ayahnya, maka lebih utama lagi untuk dijadikan pertimbangan berdasarkan ibunya.

فَصْلٌ

Fasal

فَأَمَّا إِذَا سُبِيَ الصَّغِيرُ وَحْدَهُ وَلَمْ يَكُنْ مَعَ أَحَدِ أَبَوَيْهِ فَحُكْمُهُ حُكْمُ سَابِيهِ وَيَصِيرُ مُسْلِمًا بِإِسْلَامِهِ لِأَنَّ الطِّفْلَ لَا بُدَّ أَنْ يُعْتَبَرَ فِي الدِّينِ بِغَيْرِهِ إِذْ لَيْسَ يَصِحُّ مَعَ عَدَمِ التَّكْلِيفِ أَنْ يُعْتَبَرَ بِنَفْسِهِ فَإِذَا ثَبَتَ اعْتِبَارُهُ بِالسَّابِي فِي جَرَيَانِ حُكْمِ الْإِسْلَامِ عَلَيْهِ فَفِيهِ وَجْهَانِ

Adapun jika seorang anak kecil ditawan sendirian tanpa disertai salah satu dari kedua orang tuanya, maka hukumnya mengikuti hukum orang yang menawannya, dan ia menjadi Muslim dengan keislaman penawannya. Sebab, anak kecil harus dianggap dalam urusan agama berdasarkan orang lain, karena tidak sah baginya untuk dianggap berdasarkan dirinya sendiri selama belum mukallaf. Jika telah tetap bahwa ia dianggap berdasarkan penawannya dalam penerapan hukum Islam atasnya, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ يَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ الْإِسْلَامِ قَطْعًا فِي الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ كَمَا يَصِيرُ بِأَحَدِ أَبَوَيْهِ مُسْلِمًا فَإِنْ بَلَغَ وَوَصَفَ الشِّرْكَ لَمْ يُقِرَّ عَلَيْهِ وَبِهِ قَالَ الْمُزَنِيُّ وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ وَقَوْلِ جُمْهُورِ الْبَغْدَادِيِّينَ

Salah satunya adalah bahwa atas dirinya berlaku hukum Islam secara pasti, baik lahir maupun batin, sebagaimana ia menjadi Muslim karena salah satu dari kedua orang tuanya Muslim. Maka jika ia telah baligh dan memilih kekafiran, tidak dibiarkan tetap dalam keadaan itu. Inilah pendapat al-Muzani, dan ini pula yang tampak dari mazhab asy-Syafi‘i serta pendapat mayoritas ulama Baghdad.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهُ يَجْرِيَ عَلَيْهِ حُكْمُ الْإِسْلَامِ فِي الظَّاهِرِ دُونَ الْبَاطِنِ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ السَّابِي فَإِنْ بَلَغَ وَصَفَ الشِّرْكَ أُقِرَّ عَلَيْهِ بَعْدَ إِرْهَابِهِ وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ الْبَصْرِيِّينَ كَمَا يُعْتَبَرُ إِسْلَامُ اللَّقِيطِ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ بِحُكْمِ الدَّارِ فَيَكُونُ مُسْلِمًا فِي الظَّاهِرِ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الدَّارِ فَإِنْ بَلَغَ وَوَصَفَ الشِّرْكَ أُقِرَّ عَلَيْهِ بَعْدَ إِرْهَابِهِ

Pendapat kedua adalah bahwa berlaku atasnya hukum Islam secara lahiriah, bukan batiniah, dengan mengedepankan hukum terhadap tawanan. Jika ia telah dewasa dan menyatakan kemusyrikan, maka ia dibiarkan tetap dalam keyakinannya setelah terlebih dahulu ditakut-takuti. Ini adalah pendapat mayoritas ulama Basrah, sebagaimana Islamnya anak temuan di negeri Islam dianggap berdasarkan hukum negeri, sehingga ia dihukumi sebagai Muslim secara lahiriah dengan mengedepankan hukum negeri. Jika ia telah dewasa dan menyatakan kemusyrikan, maka ia dibiarkan tetap dalam keyakinannya setelah terlebih dahulu ditakut-takuti.

فَصْلٌ

Bagian

فَإِذَا ثَبَتَتْ هَذِهِ الْمُقَدِّمَةُ فِي أَوْلَادِ الْمُشْرِكِينَ إِذَا سُبُوا صِغَارًا فمتى أجرينا عَلَيْهِمْ حُكْمَ الْإِسْلَامِ إِمَّا بِأَحَدِ الْأَبَوَيْنِ أَوْ بِالسَّابِي جَازَ بَيْعُهُمْ عَلَى الْمُسْلِمِينَ وَلَمْ يَجُزْ بَيْعُهُمْ عَلَى الْمُشْرِكِينَ وَإِنْ أَجْرَيْنَا عَلَيْهِ حُكْمَ الشِّرْكِ جَازَ بَيْعُهُمْ عَلَى الْمُسْلِمِينَ وَعَلَى الْمُشْرِكِينَ وَلَمْ يُكْرَهْ

Maka apabila ketetapan ini telah berlaku pada anak-anak orang musyrik yang ditawan saat masih kecil, maka kapan pun kita memberlakukan hukum Islam atas mereka, baik melalui salah satu dari kedua orang tua atau melalui penawan, maka boleh menjual mereka kepada kaum Muslimin dan tidak boleh menjual mereka kepada orang-orang musyrik. Namun jika kita memberlakukan atas mereka hukum kemusyrikan, maka boleh menjual mereka kepada kaum Muslimin maupun kepada orang-orang musyrik, dan hal itu tidak dimakruhkan.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ يَجُوزُ بَيْعُهُمْ عَلَى الْمُشْرِكِينَ وَلَكِنْ يُكْرَهُ

Abu Hanifah berkata: Boleh menjualnya kepada orang-orang musyrik, namun hal itu makruh.

وَقَالَ أَبُو يُوسُفَ وَأَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ لَا يَجُوزُ بَيْعُهُمْ عَلَى المشركين حال احْتِجَاجًا بِأَمْرَيْنِ

Abu Yusuf dan Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa tidak boleh menjualnya kepada orang-orang musyrik dalam keadaan apa pun, dengan berdalil pada dua hal.

أَحَدُهُمَا مَا فِي بَيْعِهِمْ مِنْ تَقْوِيَةِ الْمُشْرِكِينَ بِهِمْ

Salah satunya adalah bahwa dalam jual beli mereka terdapat penguatan terhadap kaum musyrik bersama mereka.

وَالثَّانِي أَنَّهُمْ يَصِيرُونَ فِي الْأَغْلَبِ عَلَى دِينِ سَادَتِهِمْ إِذَا بَلَغُوا

Yang kedua, bahwa mereka pada umumnya akan mengikuti agama tuan-tuan mereka apabila telah dewasa.

وَدَلِيلُنَا مَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ سَبَى بَنِي قُرَيْظَةَ سَنَةَ خَمْسٍ فَفَرَّقَ سَبْيَهُمْ أَثْلَاثًا فَبَعَثَ ثُلُثًا بِيعُوا بِتِهَامَةَ وَثُلُثًا بِيعُوا بِنَجْدِ وَثُلُثًا بِيعُوا بِالشَّامِ وَكَانَتْ مَكَّةُ وَالشَّامُ دَارَ شِرْكٍ وَكَذَلِكَ أَكْثَرُ بِلَادِ تِهَامَةَ وَنَجْدٍ وَلِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مَنَّ عَلَى سَبْيِ هَوَازِنَ وَرَدَّهُمْ عَلَى أَهْلِهِمْ وَإِنْ كَانَ فِيهِمْ مَنْ بَقِيَ عَلَى شِرْكِهِ وَلِأَنَّ الْمَمْلُوكَ إِذَا جَرَى عَلَيْهِ حُكْمُ دِينٍ جَازَ عَلَيْهِ بَيْعُهُ مِنْ أَهْلِ دِينِهِ كَالْعَبْدِ الْبَالِغِ وَيَبْطُلُ بِهِ مَا احْتَجُّوا بِهِ مِنْ تَقْوِيَتِهِمْ بِهِ وَيَبْطُلُ أَيْضًا بَيْعُ الطَّعَامِ عَلَيْهِمْ مَعَ مَا فِيهِ مِنْ تَقْوِيَتِهِمْ بِهِ وَبِهِ يَبْطُلُ احْتِجَاجُهُمْ أَنَّهُمْ يَصِيرُونَ فِي الْأَغْلَبِ عَلَى دين سادتهم

Dalil kami adalah riwayat bahwa Nabi ﷺ menawan Bani Quraizhah pada tahun kelima, lalu beliau membagi tawanan mereka menjadi tiga bagian: sepertiga dijual di Tihamah, sepertiga dijual di Najd, dan sepertiga dijual di Syam. Padahal Makkah dan Syam adalah negeri syirik, demikian pula sebagian besar wilayah Tihamah dan Najd. Rasulullah ﷺ juga pernah memberikan ampunan kepada tawanan Hawazin dan mengembalikan mereka kepada keluarga mereka, meskipun di antara mereka ada yang masih tetap dalam keadaan syirik. Selain itu, seorang budak jika telah berlaku atasnya hukum suatu agama, maka boleh dijual kepada orang yang seagama dengannya, seperti budak yang sudah baligh. Dengan demikian, gugurlah dalil yang mereka gunakan tentang penguatan (orang musyrik) dengan budak tersebut, dan juga gugur larangan menjual makanan kepada mereka meskipun di dalamnya terdapat unsur penguatan. Dengan ini pula gugur alasan mereka bahwa para budak itu pada umumnya akan mengikuti agama tuan mereka.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” ومن أعتق منهم فلا يورث كمثل أن لا تقوم بنسبه بينة “

Imam Syafi‘i berkata, “Dan siapa pun dari mereka yang dimerdekakan, maka ia tidak mendapat warisan, seperti halnya jika tidak ada bukti yang menegaskan nasabnya.”

قال الماوردي إما لحميل فِي النَّسَبِ فَضَرْبَانِ

Al-Mawardi berkata: Adapun mengenai hamil dalam nasab, maka terdapat dua macam.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَمْلِكَ مُسْلِمٌ بِالسَّبْيِ مُشْرِكًا فَيُعْتِقَهُ وَيَسْتَلْحِقَ بِهِ وَيَجْعَلَهُ لِنَفْسِهِ وَلَدًا فَيَصِيرَ مَحْمُولَ النَّسَبِ عَنْ أَبِيهِ إِلَى سَابِيهِ وَيَكُونَ الْحَمِيلُ بِمَعْنَى الْمَحْمُولِ كَمَا يُقَالُ قَتِيلٌ بِمَعْنَى مَقْتُولٍ فَهَذَا لَا يَلْحَقُ النَّسَبَ وَلَا يَتَغَيَّرُ بِهِ حُكْمُ الْمُسْتَلْحِقِ وَهُوَ إِجْمَاعٌ لقول النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ ” فَنَقَلَهُمْ عَمَّا كَانُوا عَلَيْهِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ مِنَ اسْتِلْحَاقِ الْأَنْسَابِ إِلَى مَا اسْتَقَرَّ عَلَيْهِ الْإِسْلَامُ مِنْ إِلْحَاقِهَا بِالْفِرَاشِ

Salah satunya adalah seorang Muslim memiliki seorang musyrik melalui penawanan, lalu membebaskannya dan mengakuinya sebagai anak, serta menjadikannya sebagai anak bagi dirinya sendiri, sehingga nasabnya berpindah dari ayahnya kepada orang yang menawannya. Dalam hal ini, istilah “hamīl” bermakna “yang dinasabkan”, sebagaimana kata “qatīl” bermakna “yang dibunuh”. Maka, dalam kasus ini, nasab tidak dapat dihubungkan (kepada orang yang mengakuinya) dan hukum bagi orang yang mengakuinya tidak berubah, dan ini merupakan ijmā‘, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Anak itu milik pemilik ranjang, dan bagi pezina adalah batu (hukuman).” Dengan demikian, beliau memindahkan mereka dari kebiasaan jahiliah dalam menghubungkan nasab kepada pengakuan, menuju ketetapan Islam yang menghubungkan nasab kepada pemilik ranjang.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يُقِرَّ الْمُسْبي بَعْدَ عِتْقِهِ بِنَسَبٍ وَارِدٍ مِنْ بِلَادِ الْمُشْرِكِينَ وَيَكُونَ الْحَمِيلُ بِمَعْنَى الْحَامِلِ فَيُقَسَّمَ النَّسَبُ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ مَرْدُودٌ وَمَقْبُولٌ وَمُخْتَلَفٌ فِيهِ

Jenis kedua adalah apabila seorang tawanan yang telah dimerdekakan mengakui adanya nasab yang berasal dari negeri kaum musyrik, dan kata “al-hamīl” bermakna “al-hāmil” (yang mengandung), maka nasab tersebut dibagi menjadi tiga bagian: ditolak, diterima, dan diperselisihkan.

فَأَمَّا الْقِسْمُ الْمَرْدُودُ فَهُوَ أَنْ يُقِرَّ بِنَسَبٍ يَسْتَحِقُّ بِهِ الْمِيرَاثَ وَلَا يَمْلِكُ الْمُقِرُّ اسْتِحْدَاثَ مِثْلِهِ كَالْمُقِرِّ بِأَبٍ أَوْ بِأَخٍ أَوْ عَمٍّ فَيَرِدُ إِقْرَارُهُ بِهِ وَلَا يُقْبَلُ إِلَّا بِبَيِّنَةٍ تَشْهَدُ بِنَسَبِهِ وَسَوَاءٌ كَانَ يَرِثُ جَمِيعَ الْمَالِ كَالْأَبِ أَوْ بَعْضَهُ كَالْأُمِّ لِرِوَايَةِ الشَّعْبِيُّ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَتَبَ إِلَى شُرَيْحٍ أَنْ لَا يُوَرِّثَ حَمِيلًا حَتَّى تَقُومَ بِهِ بَيِّنَةٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ “

Adapun bagian yang ditolak adalah apabila seseorang mengakui nasab yang dengannya ia berhak mendapatkan warisan, sedangkan orang yang mengakui tersebut tidak berhak menetapkan nasab serupa, seperti seseorang yang mengakui adanya ayah, saudara, atau paman. Maka pengakuan tersebut ditolak dan tidak diterima kecuali dengan adanya bayyinah yang membuktikan nasabnya, baik ia mewarisi seluruh harta seperti ayah, atau sebagian seperti ibu. Hal ini berdasarkan riwayat dari asy-Sya‘bi bahwa ‘Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah menulis surat kepada Syuraih agar tidak mewariskan kepada seseorang yang diakui sebagai kerabat (hamīl) sampai ada bayyinah dari kaum Muslimin yang membuktikan hal itu.

وَرَوَى الزُّهْرِيُّ قَالَ جَمَعَ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَاسْتَشَارَهُمْ فِي الْحَمِيلِ فَأَجْمَعُوا أَنَّهُ لَا يُوَرَّثُ إِلَّا بِبَيِّنَةٍ وَلِأَنَّ مُعْتِقَهُ قَدْ مَلَكَ وَلَاءَهُ عَنِ الرِّقِّ الَّذِي لَا يَمْلِكُ الْعَبْدُ إِزَالَةَ مَا اسْتَحَقَّهُ مِنَ الْمِلْكِ فَكَذَلِكَ إِذَا أُعْتِقَ لَا يَمْلِكُ إِزَالَةَ مَا اسْتَحَقَّهُ مُعْتِقُهُ بِوَلَائِهِ مِنَ الْإِرْثِ فَإِنْ قِيلَ أَلَيْسَ لَوْ أَقَرَّ الْحُرُّ بِأَخٍ وَلَهُ عَمٌّ قُبِلَ إِقْرَارُهُ وَإِنْ حَجَبَ الْأَخُ الْعَمَّ فَهَلَّا كَانَ إِقْرَارُهُ بِالنَّسَبِ مَعَ الْوَلَاءِ مَقْبُولًا كَذَلِكَ قِيلَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ النَّسَبَ يَرِثُ بِهِ وَيُوَرَّثُ فَزَالَتِ التُّهْمَةُ وَالْوَلَاءُ لَا يَرِثُ بِهِ وَلَا يُوَرَّثُ فَلَحِقَتِ التُّهْمَةُ

Az-Zuhri meriwayatkan: Utsman bin Affan mengumpulkan para sahabat Rasulullah saw., lalu meminta pendapat mereka tentang kasus hamil (anak yang masih dalam kandungan), maka mereka sepakat bahwa ia tidak dapat mewarisi kecuali dengan bukti yang jelas. Karena tuannya telah memiliki hak wala’ atasnya dari status budak, di mana seorang budak tidak memiliki kuasa untuk menghilangkan hak kepemilikan yang telah diperoleh tuannya. Demikian pula, jika ia dimerdekakan, ia tidak berhak menghilangkan hak yang telah diperoleh tuannya melalui wala’ dalam hal warisan. Jika dikatakan: Bukankah jika seorang merdeka mengakui adanya saudara, sementara ia juga memiliki paman, maka pengakuannya diterima meskipun saudara tersebut menutup hak waris paman? Mengapa pengakuan nasab bersama wala’ tidak diterima seperti itu juga? Maka dijawab: Perbedaannya adalah bahwa nasab dapat mewarisi dan diwarisi, sehingga tuduhan (rekayasa) hilang, sedangkan wala’ tidak dapat mewarisi dan tidak diwarisi, sehingga tuduhan (rekayasa) tetap ada.

وَأَمَّا الْقِسْمُ الْمَقْبُولُ فَهُوَ أَنْ يُقِرَّ بِنَسَبٍ لَا يَسْتَحِقُّ بِهِ الْمِيرَاثَ كَالْخَالِ وَالْجَدِّ مِنَ الْأُمِّ فَمَقْبُولٌ مِنْهُ بِغَيْرِ بَيِّنَةٍ لِأَنَّهُ لَا يَسْقُطُ بِهِ حَقُّ مُعْتِقِهِ مِنَ الْمِيرَاثِ

Adapun bagian yang diterima adalah apabila seseorang mengakui nasab yang tidak berhak mendapatkan warisan, seperti paman dari pihak ibu (khāl) dan kakek dari pihak ibu, maka pengakuan tersebut diterima darinya tanpa perlu bukti, karena dengan pengakuan itu tidak gugur hak mu‘tiq-nya dari warisan.

وَأَمَّا الْقِسْمُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ فَهُوَ أَنْ يُقِرَّ بِنَسَبٍ يَسْتَحِقُّ بِهِ الْمِيرَاثَ وَيَمْلِكُ اسْتِحْدَاثَ مِثْلِهِ كَإِقْرَارِهِ بِابْنٍ أَوْ بِنْتٍ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي ثُبُوتِ نَسَبِهِ بِإِقْرَارِهِ مِنْ غَيْرِ بَيِّنَةٍ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ

Adapun bagian yang diperselisihkan adalah apabila seseorang mengakui nasab yang dengannya berhak mendapatkan warisan dan ia berkuasa untuk menetapkan nasab serupa, seperti pengakuannya terhadap seorang anak laki-laki atau anak perempuan. Maka para ulama kami berbeda pendapat tentang penetapan nasab tersebut dengan pengakuannya tanpa adanya bukti, menjadi tiga pendapat.

أَحَدُهَا أَنَّهُ لَا يَقْبَلُ إِقْرَارَهُ بِنَسَبِهِ إِلَّا بِبَيِّنَةٍ تَشْهَدُ بِهِ كَالنَّسَبِ الَّذِي لَا يَمْلِكُ اسْتِحْدَاثَ مِثْلِهِ لِعُمُومِ مَا اجْتَمَعَتْ عَلَيْهِ الصَّحَابَةُ مِنَ الْمَنْعِ مِنْ تَوْرِيثِ الْحَمِيلِ وَلِمَا جَمَعَهُمَا التَّعْلِيلُ مِنْ إِسْقَاطِ الْمِيرَاثِ بِالْوَلَاءِ

Salah satunya adalah bahwa pengakuannya terhadap nasabnya tidak diterima kecuali dengan adanya bukti yang menyaksikannya, seperti nasab yang tidak dapat ia ciptakan sendiri, karena keumuman kesepakatan para sahabat mengenai larangan mewariskan kepada anak angkat, dan karena alasan yang sama, yaitu gugurnya hak waris karena wala’.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي يَقْبَلُ إِقْرَارَهُ بِبَيِّنَةٍ بِخِلَافٍ مَا لَا يَمْلِكُ اسْتِحْدَاثَ مِثْلِهِ لِأَمْرَيْنِ

Pendapat kedua menerima pengakuannya dengan disertai bukti, berbeda dengan sesuatu yang tidak dapat ia ciptakan semisalnya, karena dua alasan.

أَحَدُهُمَا أَنَّ مِنْ مَلَكَ اسْتِحْدَاثَهُ جَازَ أَنْ يَمْلِكَ الْإِقْرَارَ بِهِ أَوْلَى

Salah satunya adalah bahwa siapa pun yang berhak menciptakan sesuatu, maka ia tentu lebih berhak untuk memiliki pengakuan atasnya.

وَالثَّانِي أَنَّ وَلَدَهُ يَدْخُلُ فِي وَلَاءِ مُعْتِقِهِ وَلَا يَدْخُلُ فِيهِ أَبُوهُ فَافْتَرَقَا

Kedua, bahwa anaknya masuk dalam wilayah (hubungan wala’) mu‘tiq-nya, sedangkan ayahnya tidak masuk di dalamnya, maka keduanya berbeda.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ أَنَّهُ يَقْبَلُ إِقْرَارَهُ بِمَنْ وُلِدَ بَعْدَ عِتْقِهِ وَلَا يَقْبَلُ إِقْرَارَهُ بِمَنْ وُلِدَ قَبْلَ عِتْقِهِ لِأَنَّهُ بَعْدَ الْعِتْقِ يَمْلِكُ اسْتِحْدَاثَ مِثْلِهِ بِغَيْرِ إِذْنٍ وَلَا يَمْلِكُ قَبْلَ الْعِتْقِ اسْتِحْدَاثَ مِثْلِهِ إِلَّا عَنْ إِذْنٍ فَافْتَرَقَا والله أعلم

Pendapat ketiga adalah bahwa pengakuannya diterima terhadap anak yang lahir setelah ia dimerdekakan, dan tidak diterima pengakuannya terhadap anak yang lahir sebelum ia dimerdekakan. Sebab, setelah dimerdekakan ia memiliki hak untuk menciptakan yang semisal tanpa izin, sedangkan sebelum dimerdekakan ia tidak memiliki hak untuk menciptakan yang semisal kecuali dengan izin. Maka keduanya berbeda. Allah lebih mengetahui.

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ ” وَلَا بَأْسَ بِالْمُبَارَزَةِ وَقَدْ بَارَزَ يَوْمَ بَدْرٍ عُبَيْدَةُ بْنُ الْحَارِثِ وَحَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَعَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ بإذن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَبَارَزَ مُحَمَّدُ بْنُ مَسْلَمَةَ مَرْحَبًا يَوْمَ خَيْبَرَ بأمر النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَبَارَزَ يَوْمَئِذٍ الزُّبَيْرُ بْنُ الْعَوَّامِ يَاسِرًا وَعَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَوْمَ الْخَنْدَقِ عَمْرَو بْنَ عَبْدِ وُدٍّ “

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Tidak mengapa melakukan mubarazah (duel satu lawan satu), dan pada hari Perang Badar, Ubaidah bin al-Harits, Hamzah bin Abdul Muththalib, dan Ali bin Abi Thalib telah melakukan mubarazah dengan izin Nabi ﷺ. Muhammad bin Maslamah juga melakukan mubarazah melawan Marhab pada hari Khaibar atas perintah Nabi ﷺ. Pada hari itu pula, Zubair bin al-Awwam melakukan mubarazah melawan Yasir, dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pada Perang Khandaq melakukan mubarazah melawan Amr bin Abd Wudd.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ الْمُبَارَزَةُ فِي قِتَالِ الْمُشْرِكِينَ ضَرْبَانِ إِجَابَةٌ وَدُعَاءٌ

Al-Mawardi berkata, “Mubārazah (duel satu lawan satu) dalam pertempuran melawan kaum musyrik terbagi menjadi dua jenis: menjawab tantangan dan mengajukan tantangan.”

فأما الإجابة فهو أن يبتدىء الْمُشْرِكُ وَيَدْعُوَ الْمُسْلِمِينَ إِلَى الْمُبَارَزَةِ فَيُجِيبَهُ مِنَ الْمُسْلِمِينَ مَنْ يَبْرُزُ إِلَيْهِ وَهَذِهِ الْإِجَابَةُ مُسْتَحَبَّةٌ لِمَنْ أَقْدَمَ عَلَيْهَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ فَإِنَّ أَوَّلَ حَرْبٍ شَهِدَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يَوْمَ بَدْرٍ دُعي إِلَى الْمُبَارَزَةِ فِيهَا ثَلَاثَةٌ مِنْ مُشْرِكِي قُرَيْشٍ وَهُمْ عُتْبَةُ بْنُ رَبِيعَةَ وأخوه شبيبة بْنُ رَبِيعَةَ وَابْنُهُ الْوَلِيدُ بِنُ عُتْبَةَ فَبَرَزَ إِلَيْهِمْ مِنَ الْأَنْصَارِ عَوْفٌ وَمُعَوِّذٌ ابْنَا عَفْرَاءَ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ فَقَالُوا لِيَبْرُزْ إِلَيْنَا أَكْفَاؤُنَا فَمَا نَعْرِفُكُمْ فَبَرَزَ إِلَيْهِمْ ثَلَاثَةٌ مِنْ بَنِي هَاشِمٍ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَعَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ وَعُبَيْدَةُ بْنُ الْحَارِثِ فَمَالَ حَمْزَةُ عَلَى عُتْبَةَ فَقَتَلَهُ وَمَالَ عَلِيٌّ عَلَى الْوَلِيدِ فَقَتَلَهُ وَاخْتَلَفَ عُبَيْدَةُ وَشَيْبَةُ ضَرْبَتَيْنِ أَثْبَتَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا صَاحِبَهُ بِهَا فَمَاتَ شَيْبَةُ لِوَقْتِهِ وَقُدَّتْ رِجْلُ عُبْيَدَةَ وَاحْتُمِلَ حَيًّا فَمَاتَ بالصفراء فقال فيه كعب بن مالك

Adapun al-ijābah (menjawab tantangan duel) adalah ketika seorang musyrik memulai dan menantang kaum Muslimin untuk berduel, lalu salah seorang dari kaum Muslimin maju untuk menghadapi tantangan tersebut. Jawaban atas tantangan ini dianjurkan bagi siapa saja dari kaum Muslimin yang berani melakukannya. Sebab, pada perang pertama yang dihadiri Rasulullah ﷺ, yaitu pada hari Perang Badar, tiga orang dari kaum musyrik Quraisy menantang untuk berduel, yaitu ‘Utbah bin Rabi‘ah, saudaranya Syaibah bin Rabi‘ah, dan anaknya al-Walid bin ‘Utbah. Maka dari kaum Anshar, yang maju menghadapi mereka adalah ‘Auf dan Mu‘awwidz, kedua putra ‘Afra’, serta ‘Abdullah bin Rawahah. Namun mereka (kaum musyrik) berkata, “Hendaknya yang maju menghadapi kami adalah orang-orang yang sepadan dengan kami, karena kami tidak mengenal kalian.” Maka tiga orang dari Bani Hasyim pun maju menghadapi mereka, yaitu Hamzah bin ‘Abdul Muththalib, ‘Ali bin Abi Thalib, dan ‘Ubaidah bin al-Harits. Hamzah menghadapi ‘Utbah lalu membunuhnya, ‘Ali menghadapi al-Walid lalu membunuhnya, sedangkan ‘Ubaidah dan Syaibah saling beradu dua kali pukulan, masing-masing dari keduanya melukai lawannya, lalu Syaibah pun tewas seketika itu juga, sedangkan kaki ‘Ubaidah terluka parah dan ia dibawa dalam keadaan hidup, lalu wafat di daerah Shafra’. Mengenai peristiwa ini, Ka‘b bin Malik berkata:

أيا عَيْنُ جُودِي وَلَا تَبْخَلِي بِدَمْعِكِ حَقًّا وَلَا تنزري

Wahai mata, cucurkanlah air matamu dan janganlah engkau pelit meneteskan air matamu dengan sebenar-benarnya, dan janganlah engkau meremehkannya.

على سيد هدنا هَلْكُهُ كَرِيمِ الْمَشَاهِدِ وَالْعُنْصُرِ

Atas junjungan kami, kehancurannya adalah mulia dalam segala penampakan dan asal-usulnya.

عُبَيْدَةُ أَمْسَى وَلَا نَرْتَجِيهِ لِعُرْفٍ عَرَانَا وَلَا مُنْكَرِ

‘Ubaidah telah pergi malam hari dan kami tidak lagi mengharapkannya untuk kebaikan yang biasa maupun untuk kemungkaran.

وَقَدْ كَانَ يَحْمِي غَدَاةَ الَقِتَالِ لِحَامِيَةِ الْجَيْشَ بِالْمُبْتِرِ

Dan sungguh, pada pagi hari pertempuran, ia melindungi barisan pelindung pasukan dengan pedang yang tajam.

ثُمَّ شَهِدَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بَعْدَهَا أُحُدًا فَدَعَاهُ أُبَيُّ بْنُ خَلَفٍ الجمحي إِلَى الْمُبَارَزَةِ وَهُوَ عَلَى فَرَسٍ لَهُ حَلَفَ أَنْ يَقْتُلَهُ عَلَيْهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بَلْ أَنَا أَقْتُلُهُ عَلَيْهَا إِنْ شَاءَ اللَّهُ وبرز إليه فرماه بحربة كسر بها أحد أضلاعه بجرح كالخدش فاحتمل وهو يخور كالثور فَقِيلَ لَهُ مَا بِكَ فَقَالَ وَاللَّهِ لَوْ تَفَلَ عَلَيَّ لَقَتَلَنِي ثُمَّ دَعَا إِلَى الْمُبَارَزَةِ فِي حَرْبِ الْخَنْدَقِ عَمْرُو بْنُ عَبْدِ وُدٍّ فَلَمْ يُجِبْهُ مِنَ الْمُسْلِمِينَ أَحَدٌ ثُمَّ دَعَا إِلَيْهَا فِي الْيَوْمِ

Kemudian Rasulullah ﷺ setelah itu menghadiri (perang) Uhud. Lalu Ubay bin Khalaf al-Jumahi menantangnya untuk berduel, sementara ia berada di atas kudanya yang ia bersumpah akan membunuh Rasulullah di atasnya. Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Justru aku yang akan membunuhnya di atasnya, insya Allah.” Lalu beliau maju menghadapinya dan melemparkan tombak yang mematahkan salah satu tulang rusuknya dengan luka seperti goresan. Ia pun dibawa pergi dalam keadaan mengerang seperti sapi jantan. Lalu dikatakan kepadanya, “Apa yang terjadi padamu?” Ia menjawab, “Demi Allah, seandainya ia meludahi aku saja, pasti ia telah membunuhku.” Kemudian dalam perang Khandaq, Amr bin Abd Wudd menantang untuk berduel, namun tidak ada seorang pun dari kaum Muslimin yang menyambut tantangannya. Lalu ia kembali menantang pada hari itu juga.

الثَّانِي فَلَمْ يُجِبْهُ أَحَدٌ ثُمَّ دَعَا إِلَيْهَا فِي الْيَوْمِ الثَّالِثِ فَلَمْ يُجِبْهُ أَحَدٌ فَلَمَّا رَأَى الْإِحْجَامَ عَنْهُ قَالَ يَا مُحَمَدُ أَلَسْتُمْ تَزْعُمُونَ أَنَّ قَتْلَاكُمْ فِي الْجَنَّةِ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ وَقَتْلَانَا فِي النَّارِ يُعَذَّبُونَ فَمَا يُبَالِي أَحَدُكُمْ أَيَقْدُمُ عَلَى كَرَامَةٍ مِنْ رَبِّهِ أَوْ يُقْدِمُ عَدْوًا إِلَى النَّارِ وَأَنْشَأَ يَقُولُ

Yang kedua, tidak ada seorang pun yang menjawabnya. Kemudian ia mengundang mereka lagi pada hari ketiga, namun tetap tidak ada yang menjawabnya. Ketika ia melihat keengganan mereka, ia berkata, “Wahai Muhammad, bukankah kalian mengklaim bahwa orang-orang yang terbunuh dari pihak kalian berada di surga, hidup di sisi Rabb mereka dan diberi rezeki, sedangkan orang-orang yang terbunuh dari pihak kami berada di neraka dan disiksa? Maka, mengapa salah seorang dari kalian peduli apakah ia maju menuju kemuliaan dari Rabb-nya ataukah ia mendorong musuh ke neraka?” Lalu ia mulai berkata:

ولقد دنوت من النداء ء بجمعكم هَلْ مِنْ مُبَارِزْ

Aku telah mendekati seruan kepada kalian semua: adakah di antara kalian yang ingin maju bertarung?

وَوَقَفْتُ إِذْ جَبُنَ الشُّجَا عُ بَمَوقِفِ الْقَرْنِ الْمُنَاجِزْ

Aku berhenti ketika para pemberani menjadi gentar di medan pertempuran yang menentukan.

إِنِّي كَذَلِكَ لَمْ أَزَلْ مُتَشَوِّقًا نَحْوَ الْهَزَاهِزْ

Aku pun demikian, selalu merasakan kerinduan terhadap keguncangan-keguncangan itu.

إِنَّ الشَّجَاعَةَ فِي الْفَتَى وَالْجُودَ مِنْ خَيْرِ الْغَرَائِزْ

Sesungguhnya keberanian pada seorang pemuda dan kedermawanan adalah termasuk akhlak terbaik.

فَقَامَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ فَاسْتَأْذَنَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي مُبَارَزَتِهِ فَأَذِنَ لَهُ وَقَالَ ” اخْرُجْ يَا عَلِيُّ فِي حِفْظِ اللَّهِ وَعِيَاذِهِ ” فَخَرَجَ وَهُوَ يقول

Lalu ‘Ali bin Abi Thalib berdiri dan meminta izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menantangnya berduel. Maka beliau mengizinkannya dan bersabda, “Keluarlah, wahai ‘Ali, dalam penjagaan dan perlindungan Allah.” Maka ‘Ali pun keluar sambil berkata.

يا عمرو ويحك قد أتاك مجيب صوتك غَيْرَ عَاجِزْ

Wahai Amr, celakalah engkau, sungguh telah datang kepadamu orang yang menjawab panggilanmu, bukanlah ia seorang yang lemah.

ذُو نِيَّةٍ وَبَصِيرَةٍ وَالصَّدْقُ مُنْجِي كل فائز

Orang yang memiliki niat dan pemahaman, serta kejujuran adalah penyelamat bagi setiap orang yang berhasil.

إني لأرجو أن أقيم عليك نائحة الجنائز

Sungguh aku berharap dapat mendatangkan atasmu seorang perempuan yang meratapi jenazah.

من ضربة نجلاء يَبْقَى صِيتُهَا عِنْدَ الْهَزَاهِزْ

Dari satu pukulan dahsyat, namanya tetap harum di saat-saat genting.

فَتَجَاوَلَا وَثَارَتْ عَجَاجَةٌ أَخْفَتْهُمَا عَنِ الْأَبْصَارِ ثُمَّ أَجْلَتْ عَنْهُمَا وَعَلِيٌّ يَمْسَحُ سَيْفَهُ بِثَوْبِ عَمْرٍو وَهُوَ قَتِيلٌ حَكَاهُ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ

Mereka berdua saling menyerang, lalu debu tebal pun membubung hingga menutupi pandangan dari keduanya. Setelah debu itu reda, tampaklah Ali sedang membersihkan pedangnya dengan pakaian ‘Amr, sementara ‘Amr telah terbunuh. Hal ini diriwayatkan oleh Muhammad bin Ishaq.

ثُمَّ دَعَا إِلَى الْمُبَارَزَةِ بِخَيْبَرَ سَنَةَ سَبْعٍ مَرْحَبٌ الْيَهُودِيُّ فَخَرَجَ مُرْتَجِزًا يقول

Kemudian, pada tahun ketujuh Hijriah di Khaibar, Marhab si Yahudi menantang untuk berduel, lalu ia keluar sambil bersyair, berkata:

قَدْ عَلِمَتْ خَيْبَرُ أَنِّي مرْحَبُ شَاكِي السِّلَاحِ بطل مجرب

Khaibar telah mengetahui bahwa aku adalah Marhab, yang senjata-senjatanya tajam, seorang pahlawan yang telah teruji.

أطعن أحيانا وحينا أضرب إذا الحروب أقبلت تلهب

Kadang-kadang aku menusuk, dan di waktu lain aku memukul, ketika peperangan datang menyala-nyala.

إذا اللُّيُوثُ أَقْبَلَتْ تَحَرَّبُ كَأَنَ حِمَايَ لِلْحِمَى لَا يُقْرَبُ

Jika para singa datang, mereka akan mengaum seakan-akan wilayah kekuasaanku adalah perlindungan yang tak bisa didekati.

فَبَرَزَ إِلَيْهِ مَنْ قَتَلَهُ وَاخْتُلِفَ فِي قَاتِلِهِ فَحَكَى جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ إلي بَرَزَ إِلَيْهِ فَقَتَلَهُ مُحَمَّدُ بْنُ مَسْلَمَةَ الْأَنْصَارِيُّ وَهُوَ الَّذِي حَكَاهُ الشَّافِعِيُّ وَحَكَى بُرَيْدَةُ الْأَسْلَمِيُّ أَنَّ الَّذِي بَرَزَ إِلَيْهِ فَقَتَلَهُ عَلِيُّ بْنُ أبي طالب خرج إليه مرتجزا يقول

Maka muncullah kepadanya seseorang yang membunuhnya, dan terjadi perbedaan pendapat mengenai siapa yang membunuhnya. Jabir bin Abdullah meriwayatkan bahwa yang maju kepadanya lalu membunuhnya adalah Muhammad bin Maslamah al-Anshari, dan inilah yang diriwayatkan oleh asy-Syafi‘i. Sedangkan Buraidah al-Aslami meriwayatkan bahwa yang maju kepadanya lalu membunuhnya adalah Ali bin Abi Thalib, yang keluar menemuinya sambil bersyair:

أَنَّا الَذي سَمَتْنِي أُمِّي حَيْدَرَهْ لَيْثُ غَابَاتٍ شديد القصورة

Akulah yang ibuku menamaiku Haidar, singa hutan yang sangat kuat cengkeramannya.

أَكِيلُكُمْ بِالسَّيْفِ كَيْلَ السَّنْدَرَة

Aku akan menimpakan pedang kepadamu sebagaimana timbangan sanderah.

وَدَعَا يَاسِرٌ إِلَى الْمُبَارَزَةِ بِخَيْبَرَ فَبَرَزَ إِلَيْهِ الزُّبَيْرُ بْنُ الْعَوَّامِ فَقَالَتْ أُمُّهُ صَفِيَّةُ يُقْتَلُ ابْنِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” بَلِ ابْنُكِ يَقْتُلُهُ ” فَقَتَلَهُ الزُّبَيْرُ فَهَذِهِ مَوَاقِفُ قَدْ أَجَابَ إِلَى الْمُبَارَزَةِ فِيهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ومن ذكرنا من أهله وأصحابه فدل إلى استحبابه

Yasir menantang untuk melakukan duel di Khaibar, lalu Zubair bin al-Awwam maju menghadapinya. Ibunya, Shafiyyah, berkata, “Anakku akan terbunuh.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Justru anakmu yang akan membunuhnya.” Lalu Zubair membunuhnya. Inilah beberapa peristiwa di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang telah kami sebutkan dari keluarga serta sahabat beliau telah menerima tantangan duel, sehingga hal ini menunjukkan disunahkannya.

فصل

Bab

فأما الدعاء على الْمُبَارَزَةِ فَهُوَ أَنْ يَبْتَدِئَ الْمُسْلِمُ بِدُعَاءِ الْمُشْرِكِينَ إِلَيْهَا فَهُوَ مُبَاحٌ وَلَيْسَ بِمُسْتَحَبٍّ وَلَا مَكْرُوهٍ

Adapun menantang untuk berduel, yaitu ketika seorang Muslim memulai dengan mengajak orang-orang musyrik untuk berduel, maka hukumnya mubah (boleh), tidak disunnahkan dan tidak pula makruh.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ هُوَ مَكْرُوهٌ وَبِهِ قَالَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ احْتِجَاجًا بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كافة وَبِمَا رُوِيَ أَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ نَهَى بِصِفِّينَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ عَنِ الْمُبَارَزَةِ وَقَالَ لِابْنِهِ مُحَمَّدِ ابْنِ الْحَنَفِيَّةِ لَا تَدْعُوَنَّ إِلَى الْبِرَازِ فَإِنْ دُعِيتَ فَأَجِبْ فَإِنَّ الدَّاعِيَ بَاغٍ وَالْبَاغِيَ مَصْرُوعٌ

Abu Hanifah berpendapat bahwa hal itu makruh, dan pendapat ini juga dipegang oleh Abu ‘Ali bin Abi Hurairah dengan berdalil pada firman Allah Ta‘ala: “Dan perangilah orang-orang musyrik itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kalian semuanya,” serta berdasarkan riwayat bahwa ‘Ali bin Abi Thalib melarang ‘Abdullah bin ‘Abbas untuk melakukan mubārazah di Shiffin, dan ia berkata kepada putranya, Muhammad bin al-Hanafiyyah: “Janganlah kamu mengajak untuk berduel, tetapi jika kamu diajak maka jawablah, karena orang yang mengajak itu adalah pelaku kezaliman, dan pelaku kezaliman pasti akan dikalahkan.”

وَدَلِيلُنَا قَوْلُ اللَّهِ تعالى انفروا خفافا وثقالا قِيلَ خِفَافًا فِي الْإِسْرَاعِ إِلَى الْمُبَارَزَةِ وَثِقَالًا فِي الثَّبَاتِ لِلْمُصَابَرَةِ

Dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: “Berangkatlah kalian baik dalam keadaan ringan maupun berat.” Dikatakan, “Ringan” maksudnya bersegera menuju pertempuran, dan “berat” maksudnya tetap teguh dalam keteguhan menghadapi perlawanan.

وَرَوَى أَبُو الزِّنَادِ عَنِ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ سُئِلَ عَنِ الْمُبَارَزَةِ بَيْنَ الصَّفَّيْنِ فَقَالَ ” لَا بَأْسَ بِهِ ” وَجَهَّزَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ جَيْشَ مُؤْتَةَ وَقَالَ الْأَمِيرُ زَيْدُ بْنُ حَارِثَةَ فَإِنْ أُصِيبَ فَالْأَمِيرُ جَعْفَرُ بْنُ أَبِي طَالِبٍ فَإِنْ أُصِيبَ فَالْأَمِيرُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ فإن أصيب فليرتضي الْمُسْلِمُونَ رَجُلًا فَتَقَدَّمَ زَيْدُ بْنُ حَارِثَةَ وَبَرَزَ فَقَاتَلَ حَتَّى قُتِلَ ثُمَّ تَقَدَّمَ جَعْفَرٌ فَقَاتَلَ حَتَّى قُتِلَ وَتَقَدَّمَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ وَبَرَزَ فَقَاتَلَ حَتَّى قُتِلَ فَاخْتَارَ الْمُسْلِمُونَ خَالِدَ بْنَ الْوَلِيدِ فَقَاتَلَ وَحَمَى الْمُسْلِمِينَ حَتَّى خَاضُوا وَعَادُوا فَلَمَّا بَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَثْنَى عَلَيْهِمْ وَأَخْبَرَ بِعِظَمِ ثَوَابِهِمْ

Abu al-Zinad meriwayatkan dari al-A‘raj dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah ﷺ pernah ditanya tentang duel antara dua barisan, maka beliau bersabda, “Tidak mengapa.” Rasulullah ﷺ pun mempersiapkan pasukan Mu’tah dan bersabda, “Pemimpin pasukan adalah Zaid bin Haritsah. Jika ia gugur, maka pemimpin berikutnya adalah Ja‘far bin Abi Thalib. Jika ia gugur, maka pemimpin berikutnya adalah Abdullah bin Rawahah. Jika ia juga gugur, maka hendaklah kaum Muslimin memilih seorang laki-laki di antara mereka.” Maka Zaid bin Haritsah maju dan berduel, lalu berperang hingga gugur. Kemudian Ja‘far maju dan berperang hingga gugur. Setelah itu Abdullah bin Rawahah maju dan berduel, lalu berperang hingga gugur. Maka kaum Muslimin memilih Khalid bin al-Walid, lalu ia berperang dan melindungi kaum Muslimin hingga mereka dapat menembus barisan musuh dan kembali. Ketika hal itu sampai kepada Rasulullah ﷺ, beliau memuji mereka dan mengabarkan besarnya pahala mereka.

وَرَوَى مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ظَاهَرَ يَوْمَ أُحُدٍ بَيْنَ دِرْعَيْنِ وَأَخَذَ سَيْفًا فَهَزَّهُ وَقَالَ ” مَنْ يَأْخُذُ هَذَا السَّيْفَ بِحَقِّهِ ” فَقَالَ عُمَرُ أَنَا آخُذُهُ بِحَقِّهِ فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ هَزَّهُ ثَانِيَةً وَقَالَ ” مَنْ يَأْخُذُ هَذَا السَّيْفَ بِحَقِّهِ ” فَقَالَ الزُّبَيْرُ أَنَا آخُذُهُ فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ هَزَّهُ ثَالِثَةً وَقَالَ ” مَنْ يَأْخُذُهُ بِحَقِّهِ ” فَقَامَ أَبُو دُجَانَةَ سِمَاكُ بْنُ خَرَشَةَ فَقَالَ وَمَا حَقُّهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ أَنْ تَضْرِبَ بِهِ فِي الْعَدُوِّ حَتْيَ يَنْحَنِيَ فَأَخَذَهُ مِنْهُ وَتَعَمَّمَ بِعِصَابَةٍ حَمْرَاءَ وَمَشَى إِلَى الْحَرْبِ مُتَبَخْتِرًا وَهُوَ يَقُولُ

Muhammad bin Ishaq meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ pada hari Uhud mengenakan dua baju zirah, lalu mengambil sebuah pedang dan mengayunkannya seraya berkata, “Siapa yang akan mengambil pedang ini dengan haknya?” Umar berkata, “Aku akan mengambilnya dengan haknya,” namun beliau berpaling darinya. Kemudian beliau mengayunkannya lagi dan berkata, “Siapa yang akan mengambil pedang ini dengan haknya?” Zubair berkata, “Aku akan mengambilnya,” namun beliau berpaling darinya. Lalu beliau mengayunkannya untuk ketiga kalinya dan berkata, “Siapa yang akan mengambilnya dengan haknya?” Maka berdirilah Abu Dujanah, Simak bin Kharashah, lalu berkata, “Apa haknya, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Engkau memukul musuh dengannya hingga ia melengkung.” Maka Abu Dujanah mengambil pedang itu dari beliau, mengenakan ikat kepala merah, dan berjalan menuju medan perang dengan penuh kebanggaan sambil berkata.

أَنَا أَخَذْتُهُ فِي رِقِّهِ إِذْ قِيلَ مَنْ يَأْخُذُهُ بِحَقِّهِ

Aku mengambilnya saat ia masih dalam status budak, ketika dikatakan: “Siapa yang akan mengambilnya dengan haknya?”

قَبِلْتُهُ بِعَدْلِهِ وَصِدْقِهِ لِلْقَادِرِ الرَّحْمَنِ بَيْنَ خَلْقِهِ

Aku menerimanya dengan keadilan dan kejujurannya untuk Dzat Yang Mahakuasa dan Maha Pengasih di antara makhluk-Nya.

الْمُدْرِكِ الْقَابِضِ فَضْلَ رِزْقِهِ مَنْ كَانَ فِي مَغْرِبِهِ وشرقه

Yang menyadari dan menggenggam kelebihan rezekinya adalah siapa pun yang berada di barat maupun di timurnya.

فعاد وقد تكأ وَجَعَلَ يَتَبَخْتَرُ فِي مَشْيِهِ بَيْنَ الصَّفَّيْنِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” إِنَّهَا لَمِشْيَةٌ يُبْغِضُهَا اللَّهُ إِلَّا فِي هَذَا الْمَوْطِنِ ” فَإِذَا لَمْ يَكْرَهْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي مُبَارَزَةِ جَمِيعِ الْمُشْرِكِينَ فَأَوْلَى أَنْ لَا يَكْرَهَ لَهُمْ مُبَارَزَةَ أَحَدِهِمْ

Maka ia kembali dengan bersandar dan mulai berjalan dengan penuh kebanggaan di antara dua barisan. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya itu adalah cara berjalan yang dibenci Allah kecuali di tempat ini.” Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membenci hal itu dalam duel melawan seluruh kaum musyrik, maka lebih utama lagi beliau tidak membencinya dalam duel melawan salah satu dari mereka.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَمَّا احْتَجَّ بِهِ مِنَ الْآيَةِ فَهُوَ أَنَّهُ إِذَا أَمَرَ بِقِتَالِهِمْ كَافَّةً إِذَا قَاتَلُوا كَافَّةً جَازَ أَنْ يُقَاتَلُوا آحَادًا وَكَافَّةً لِأَنَّ الْوَاحِدَ بَعْضُ الْكَافَّةِ وَأَمَّا نَهْيُ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ عَنْهُ فَلِمَصْلَحَةٍ رَآهَا خَافَ مِنْهَا عَلَى وَلَدِهِ وَابْنِ عَمِّهِ خُصُوصًا فِي قِتَالِ الْمُسْلِمِينَ كَيْفَ وَقَدْ لَبِسَ دِرْعَ ابْنِ عَبَّاسٍ وَبَرَزَ عَنْهُ حَتَّى قَتَلَ اللَّخْمِيَّ الَّذِي بَارَزَهُ وَفِعْلُهُ أَوْكَدُ مِنْ نَهْيِهِ

Adapun jawaban terhadap dalil yang dikemukakan dari ayat tersebut adalah bahwa jika Allah memerintahkan untuk memerangi mereka secara keseluruhan apabila mereka memerangi secara keseluruhan, maka boleh pula memerangi mereka satu per satu maupun secara keseluruhan, karena satu orang adalah bagian dari keseluruhan. Adapun larangan Ali—‘alaihis salam—terhadap hal itu, adalah karena suatu kemaslahatan yang ia lihat, ia khawatirkan menimpa anaknya dan sepupunya, khususnya dalam peperangan melawan kaum Muslimin. Terlebih lagi, ia sendiri mengenakan baju zirah Ibnu ‘Abbas dan maju ke medan perang hingga membunuh laki-laki dari Bani Lakhm yang menantangnya, dan perbuatannya itu lebih kuat daripada larangannya.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا صَحَّ جَوَازُ الْمُبَارِزَةِ إِمَّا اسْتِحْبَابًا إِنْ أَجَابَ أَوْ إِبَاحَةً إِنْ دَعَا فَلِجَوَازِهَا ثَلَاثَةُ شُرُوطٍ

Maka apabila telah sah kebolehan melakukan mubarazah, baik itu dianjurkan jika menjawab tantangan, atau dibolehkan jika mengajukan tantangan, maka kebolehan mubarazah itu memiliki tiga syarat.

أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ قَوِيًّا عَلَى مُقَاوَمَةِ مَنْ بَرَزَ إِلَيْهِ بِقُوَّةِ جِسْمِهِ وَفَضْلِ شَجَاعَتِهِ وَظُهُورِ عُدَّتِهِ فَإِنْ ضَعُفَ عَنْهُ لَمْ يَجُزْهُ

Salah satunya adalah bahwa ia harus kuat dalam menghadapi siapa pun yang menantangnya dengan kekuatan fisiknya, keunggulan keberaniannya, dan tampaknya perlengkapan yang dimilikinya. Jika ia lemah dalam hal itu, maka tidak diperbolehkan baginya.

فَإِنْ قِيلَ فَلَوْ تَعَرَّضَ بَعْضُ الْمُسْلِمِينَ لِلشَّهَادَةِ جَازَ وَإِنْ كَانَ ضَعِيفًا فَهَلَّا كَانَ الْمُبَارِزُ كَذَلِكَ قُلْنَا لِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِالْمُبَارَزَةِ ظُهُورُ الْغَلَبَةِ فَلَمْ يَتَعَرَّضْ لَهَا إِلَّا مَنْ وَثِقَ بِنَفْسِهِ فِيهَا وَالْمَقْصُودُ بِالشَّهَادَةِ فَضْلُ الثَّوَابِ فَجَازَ أَنْ يَتَعَرَّضَ لَهَا مَنْ شَاءَ

Jika dikatakan, “Kalau begitu, jika sebagian kaum Muslimin menginginkan syahadah (mati syahid), itu diperbolehkan meskipun ia lemah. Lalu mengapa tidak demikian halnya dengan orang yang maju berduel?” Kami katakan, karena tujuan dari mubarazah (duel) adalah untuk menampakkan kemenangan, maka tidak ada yang maju kecuali orang yang percaya diri dalam hal itu. Sedangkan tujuan dari syahadah adalah keutamaan pahala, maka siapa saja boleh menginginkannya.

وَالشَّرْطُ الثَّانِي أَنْ لَا يَدْخُلَ بِقَتْلِ الْمُبَارِزَةِ ضَرَرٌ عَلَى الْمُسْلِمِينَ لِهَزِيمَةٍ تَنْكَأُهُمْ أَوْ لِأَنَّهُ أَمِيرُهُمُ الَّذِي تَخْتَلُّ بِفَقْدِهِ أُمُورُهُمْ فَإِنْ كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُبَارِزَ

Syarat kedua adalah bahwa pembunuhan dalam duel tidak boleh menimbulkan bahaya bagi kaum Muslimin, seperti menyebabkan kekalahan yang melemahkan mereka, atau karena orang yang akan berduel itu adalah pemimpin mereka yang jika ia hilang, urusan mereka menjadi kacau. Jika demikian keadaannya, maka tidak boleh baginya untuk berduel.

وَالشَّرْطُ الثَّالِثُ أَنْ يَسْتَأْذِنَ أَمِيرَ الْجَيْشِ فِي بِرَازِهِ لِيَكُونَ رَدْءًا لَهُ وَعَوْنًا وَلِفَضْلِ عِلْمِهِ بِالْمُبَارَزَةِ وَمَنْ بَرَزَ إِلَيْهِ فَإِنْ لَمْ يَأْذَنْ لَهُ كَفَّ وَإِن أَذِنَ لَهُ أَقْدَمَ

Syarat ketiga adalah meminta izin kepada pemimpin pasukan dalam duel, agar ia menjadi pendukung dan penolong baginya, serta karena keutamaan pengetahuannya tentang duel dan siapa yang maju untuk menghadapinya. Jika pemimpin tidak mengizinkannya, maka ia menahan diri, dan jika diizinkan, maka ia maju.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قال الشافعي رحمه الله تعالى ” فَإِذَا بَارَزَ مُسْلِمٌ مُشْرِكًا أَوْ مُشْرِكٌ مُسْلِمًا عَلَى أَن لَا يُقَاتِلَهُ غَيْرُهُ وَفَى بِذَلِكَ لَهُ فَإِنْ وَلَّى عَنْهُ الْمُسْلِمُ أَوْ جَرَحَهُ فَأَثْخَنَهُ فَلَهُمْ أَنْ يَحْمِلُوا عَلَيْهِ وَيَقْتُلُوهُ لِأَنَّ قِتَالَهُمَا قَدِ انْقَضَى وَلَا أَمَانَ لَهُ عَلَيْهِمْ إِلَّا أَنْ يَكُونَ شَرَطَ أَنَّهُ آمِنٌ حَتَى يَرْجِعَ إِلَى مَخْرَجِهِ مِنَ الصَّفِّ فَلَا يَكُونُ لَهُمْ قَتْلُهُ وَلَهُمْ دَفْعُهُ وَاسْتِنْقَاذُ الْمُسْلِمِ مِنْهُ فإن امتنع وعرض دونه ليقاتلهم قاتلوه لأنه نقض أمان نفسه أعان حمزة علي على عتبة بعد أن لم يكن في عبيدة قتال ولم يكن لعتبة أمان يكفون به عنه ولو أعان المشركون صاحبهم كان حقا على المسلمين أن يعينوا صاحبهم ويقتلوا من أعان عليه ولا يقتلون المبارز ما لم يكن استنجدهم “

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika seorang Muslim menantang seorang musyrik untuk berduel, atau seorang musyrik menantang seorang Muslim, dengan syarat tidak ada orang lain yang boleh memerangi selain keduanya, dan syarat itu dipenuhi untuknya, maka jika Muslim itu mundur darinya atau melukainya hingga melemahkannya, maka kaum Muslimin boleh menyerangnya dan membunuhnya, karena pertarungan di antara keduanya telah selesai dan tidak ada jaminan keamanan baginya dari mereka, kecuali jika disyaratkan bahwa ia aman sampai kembali ke tempat semula dari barisan, maka mereka tidak boleh membunuhnya, tetapi mereka boleh menolaknya dan menyelamatkan Muslim dari ancamannya. Jika ia menolak dan menghadang mereka untuk memerangi mereka, maka mereka boleh memeranginya karena ia telah membatalkan jaminan keamanannya sendiri. Hamzah membantu ‘Ali melawan ‘Utbah setelah tidak ada lagi perlawanan dari ‘Ubaidah, dan ‘Utbah tidak memiliki jaminan keamanan yang membuat mereka menahan diri darinya. Jika orang-orang musyrik membantu teman mereka, maka wajib bagi kaum Muslimin untuk membantu teman mereka dan membunuh siapa saja yang membantu musuh mereka, dan tidak membunuh orang yang berduel kecuali jika ia meminta bantuan kepada mereka.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ وَإِذَا بَارَزَ مُسْلِمٌ مُشْرِكًا إِمَّا دَاعِيًا أَوْ مُجِيبًا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ

Al-Mawardi berkata, “Ini benar. Jika seorang Muslim menantang seorang musyrik untuk berduel, baik sebagai pihak yang mengajak maupun yang menerima tantangan, maka hal ini terbagi menjadi dua keadaan.”

أَحَدُهُمَا أَنْ لَا يَكُونَ لِلْمُشْرِكِ الْمُبَارِزِ شَرْطٌ فَيَجُوزَ لِلْمُسْلِمِينَ أَنْ يُقَاتِلُوهُ مَعَ الْمُبَارِزِ مِنْهُمْ وَيَقْتُلُوهُ لِأَنَّهُ عَلَى أَصْلِ الْإِبَاحَةِ وَإِنِ اخْتَصَّ بِالْمُبَارَزَةِ الْوَاحِدُ قَالَ الشَّافِعِيُّ اللَّهُمَّ إلا أن العادة جارة أَنَّ مَنْ بَارَزَ لَا يُعْرَضُ لَهُ حَتَّى يَعُودَ إِلَى صَفِّهِ فَيُحْمَلُ عَلَى مَا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ وَتَصِيرُ الْعَادَةُ كَالشَّرْطِ

Salah satunya adalah jika tidak ada syarat dari pihak musyrik yang maju berduel, maka kaum Muslimin boleh memeranginya bersama dengan orang yang maju berduel dari kalangan mereka dan membunuhnya, karena hal itu kembali kepada hukum asal kebolehan. Namun, jika duel itu dikhususkan untuk satu orang saja, asy-Syafi‘i berkata: “Kecuali jika kebiasaan yang berlaku adalah bahwa siapa pun yang maju berduel tidak boleh diganggu sampai ia kembali ke barisannya.” Maka, hal itu mengikuti kebiasaan yang berlaku, dan kebiasaan menjadi seperti syarat.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ لَهُ شَرْطٌ فَضَرْبَانِ

Jenis kedua adalah yang memiliki syarat, dan ini terbagi menjadi dua macam.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَشْتَرِطَ أَنْ لَا يُقَاتِلَهُ غَيْرُ مَنْ بَرَزَ إِلَيْهِ فَيَجِبَ الْوَفَاءُ بِشَرْطِهِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى أَوْفُوا بِالْعُقُودِ وَقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” الْمُسْلِمُونَ عِنْدَ شُرُوطِهِمْ ” فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُقَاتِلَ الْمُشْرِكَ مَا كَانَ الْمُسْلِمُ عَلَى قِتَالِهِ فَإِذَا انْقَضَى الْقِتَالُ بَيْنَهُمَا إِمَّا بِأَنْ وَلَّى الْمُسْلِمُ أَوْ جُرِحَ فَكَفَّ عَنِ الْقِتَالِ أَوْ وَلَّى الْمُشْرِكُ أَوْ جُرِحَ فَكَفَّ عَنِ الْقِتَالِ كَانَ لَنَا أَنْ نُقَاتِلَ الْمُشْرِكَ وَنَقْتُلَهُ لِأَنَّ أَمَانَهُ كَانَ مَشْرُوطًا بِمُدَّةِ الْمُقَاتَلَةِ فَانْقَضَى بِزَوَالِ الْمُقَاتَلَةِ وَلِأَنَّ شَيْبَةَ بْنَ رَبِيعَةَ لَمَّا أَثْخَنَ عُبَيْدَةَ بْنَ الْحَارِثِ يَوْمَ بَدْرٍ وَلَمْ يَبْقَ فِيهِ قِتَالٌ مَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ وَحَمْزَةُ بن عبد المطلب على شيبة حتى أجازا عَلَيْهِ

Salah satunya adalah jika disyaratkan bahwa tidak boleh ada yang memerangi selain orang yang maju ke medan duel, maka wajib menepati syarat tersebut berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Penuhilah akad-akad itu,” dan sabda Nabi ﷺ: “Kaum Muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka.” Maka tidak boleh memerangi orang musyrik selama Muslim tersebut masih dalam pertempuran dengannya. Jika pertempuran antara keduanya telah selesai, baik karena Muslim itu mundur atau terluka sehingga berhenti bertempur, atau orang musyrik itu mundur atau terluka sehingga berhenti bertempur, maka kita boleh memerangi dan membunuh orang musyrik itu, karena jaminan keamanannya bersyarat selama masa pertempuran, dan itu telah berakhir dengan selesainya pertempuran. Sebagaimana ketika Syaibah bin Rabi‘ah telah melukai ‘Ubaidah bin Al-Harits pada hari Perang Badar dan tidak ada lagi pertempuran padanya, maka ‘Ali bin Abi Thalib dan Hamzah bin Abdul Muththalib menyerang Syaibah hingga mereka mengalahkannya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَسْتَظْهِرَ فِي إِشْرَاطِ الْأَمَانِ لِنَفْسِهِ أَنْ يَكُونَ آمِنًا حَتَّى يَرْجِعَ إِلَى صَفِّهِ فَيُحْمَلَ عَلَى شَرْطِهِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُقَاتَلَ بَعْدَ انْقِضَاءِ الْمُبَارَزَةِ حَتَّى يَرْجِعَ إِلَى صَفِّهِ وَفَاءً بِالشَّرْطِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مِنَ الْمُشْرِكِ إِحْدَى ثَلَاثِ خِصَالٍ يَبْطُلُ بِهَا أَمَانُهُ

Jenis kedua adalah seseorang mensyaratkan dalam permintaan aman bagi dirinya bahwa ia tetap aman sampai kembali ke baris pasukannya, maka hal itu harus dipenuhi sesuai syaratnya. Tidak boleh diperangi setelah selesai duel sampai ia kembali ke baris pasukannya, sebagai bentuk pemenuhan terhadap syarat tersebut, kecuali jika dari pihak musyrik terdapat salah satu dari tiga hal yang dapat membatalkan keamanannya.

إِحْدَاهُنَّ أَنْ يُوَلِّيَ عَنْهُ الْمُسْلِمُ فَيَتْبَعَهُ فيبطل أمانه ويجوز لنا أنا نُقَاتِلَهُ وَنَقْتُلَهُ لِأَنَّ الْمُبَارَزَةَ قَدِ انْقَضَتْ وَأَمَانَهُ مِنَّا مُسْتَحَقٌّ عِنْدَ أَمَانِنَا مِنْهُ فَإِذَا لَمْ نأمنه لم نؤمنه

Salah satunya adalah jika seorang Muslim berpaling darinya, lalu ia mengikutinya, maka jaminan keamanannya batal dan kita boleh memeranginya serta membunuhnya, karena duel telah selesai dan jaminan keamanannya dari kita menjadi hak jika kita juga mendapat jaminan keamanan darinya. Maka jika kita tidak merasa aman darinya, kita pun tidak memberinya jaminan keamanan.

والخصلة الثاني أَنْ يَظْهَرَ الْمُشْرِكُ عَلَى الْمُسْلِمِ وَيَعْزِمَ عَلَى قَتْلِهِ فَيَجِبَ عَلَيْنَا أَنْ نَسْتَنْقِذَ مِنْهُ الْمُسْلِمَ لما يَلْزَمُ مِنْ حِرَاسَةِ نَفْسِهِ فَإِنْ قَدَرَ عَلَى اسْتِنْقَاذِهِ مِنْهُ بِغَيْرِ قَتْلِهِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُقْتَلَ وَإِنْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى اسْتِنْقَاذِهِ مِنْهُ إِلَّا بِقَتْلِهِ جَازَ لَنَا أَنْ نَقْتُلَهُ لِأَنَّهُ لا أمان على قتل مسلم

Sifat kedua adalah apabila seorang musyrik mengalahkan seorang muslim dan berniat membunuhnya, maka wajib bagi kita untuk menyelamatkan muslim tersebut darinya, karena hal itu merupakan kewajiban menjaga jiwa. Jika kita mampu menyelamatkannya tanpa membunuh musyrik itu, maka tidak boleh membunuhnya. Namun jika tidak mampu menyelamatkannya kecuali dengan membunuhnya, maka boleh bagi kita untuk membunuhnya, karena tidak ada jaminan keamanan atas pembunuhan seorang muslim.

والخصلة الثالث أَنْ يَسْتَنْجِدَ الْمُشْرِكُ أَصْحَابَهُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ فِي مَعُونَتِهِ عَلَى الْمُسْلِمِ فيَبْطُلُ أَمَانُهُ لِأَنَّهُ كَانَ مَشْرُوطًا بِالْمُبَارَزَةِ وَقَدْ زَالَ حُكْمُهَا بِالِاسْتِنْجَادِ فَإِنْ أَعَانُوهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَسْتَنْجِدَهُمْ نُظِرَ فَإِنْ نَهَاهُمْ عَنْ مَعُونَتِهِ فَلَمْ يَنْتَهُوا كَانَ عَلَى أَمَانِهِ وَكَانَ لَنَا قِتَالُ مَنْ أَعَانَهُ دُونَهُ وإن لم ينهم كَانَ إِمْسَاكُهُ عَنْهُمْ رِضًا مِنْهُ بِمَعُونَتِهِمْ لَهُ فَصَارَ كَاسْتِنْجَادِهِ لَهُمْ فِي نَقْضِ أَمَانِهِ وَجَوَازِ قتاله وقتله

Sifat ketiga adalah apabila seorang musyrik meminta bantuan kepada teman-temannya sesama musyrik untuk menolongnya melawan seorang muslim, maka batalah perlindungannya, karena perlindungan itu disyaratkan dengan adanya duel satu lawan satu, dan ketentuan itu hilang dengan adanya permintaan bantuan tersebut. Jika mereka menolongnya tanpa ia meminta bantuan kepada mereka, maka perlu dilihat: jika ia melarang mereka untuk membantunya namun mereka tetap tidak mengindahkan larangannya, maka perlindungannya tetap berlaku dan kita boleh memerangi orang yang membantunya, bukan dirinya. Namun jika ia tidak melarang mereka, maka sikap diamnya terhadap mereka dianggap sebagai kerelaannya atas bantuan mereka kepadanya, sehingga hal itu sama dengan ia meminta bantuan kepada mereka dalam membatalkan perlindungannya dan bolehnya memerangi serta membunuhnya.

فصل

Bab

وإذا أخذت رؤوس الْمُشْرِكِينَ بَعْدَ قَتْلِهِمْ لِتُحْمَلَ إِلَى بِلَادِ الْإِسْلَامِ فَقَدْ كَرِهَ الْأَوْزَاعِيُّ وَالزُّهْرِيُّ ذَلِكَ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ بِقَتْلَى بَدْرٍ

Apabila kepala-kepala orang musyrik diambil setelah mereka dibunuh untuk dibawa ke negeri Islam, maka Al-Auza‘i dan Az-Zuhri memakruhkan hal itu karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan hal tersebut terhadap para korban Perang Badar.

وَرَوَى عُقْبَةُ بْنُ عَامِرٍ أَنَّهُ حَمَلَ إِلَى أبي بكر رضي الله عنه رؤوس مَنْ قُتِلَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ فِي فَتْحِ دِمَشْقَ فَكَرِهَ ذَلِكَ وَقَالَ تَحْمِلُ جِيَفَ الْمُشْرِكِينَ إِلَى مدينة الرسول صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ

Uqbah bin Amir meriwayatkan bahwa ia membawa kepala-kepala orang musyrik yang terbunuh dalam penaklukan Damaskus kepada Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu. Maka Abu Bakar tidak menyukai hal itu dan berkata, “Apakah engkau membawa bangkai orang-orang musyrik ke kota Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”

وَأَجَازَ آخَرُونَ ذَلِكَ عَلَى الْإِطْلَاقِ وَلَيْسَ لِلشَّافِعِيِّ فِيهِ نَصٌّ وَذَهَبَ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِي إِلَى كَرَاهِيَتِهِ وَعِنْدِي أَنَّ إِطْلَاقَ الْكَرَاهِيَةِ فِيهِ أَوِ الِاسْتِحْبَابِ غَيْرُ صَوَابٍ وَيَجِبُ أَنْ يُنْظَرَ فِي نَقْلِهَا فَإِنْ كَانَ فِيهِ وَهَنٌ عَلَى الْمُشْرِكِينَ أو قوة للمسلمين فنقلها مستحب لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يُكْرَهْ نَقْلُهُمْ إِلَى بِلَادِ الإسلام أحياء ليقتلوا بها كان نقل رؤوسهم أَقْرَبَ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي نَقْلِهَا وَهَنٌ لِمُشْرِكٍ وَلَا قُوَّةٌ لِمُسْلِمٍ كَانَ نَقْلُهَا مَكْرُوهًا على هَذَا يُحْمَلُ نَهْيُ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ

Sebagian ulama lain membolehkannya secara mutlak, dan tidak ada nash dari Imam Syafi‘i mengenai hal ini. Abu Hamid al-Isfara’ini berpendapat hukumnya makruh. Menurut saya, menetapkan hukum makruh atau mustahab secara mutlak dalam masalah ini tidaklah tepat. Harus dilihat pada proses pemindahannya: jika dalam pemindahan itu terdapat pelemahan bagi kaum musyrik atau penguatan bagi kaum muslimin, maka pemindahan itu dianjurkan (mustahab), karena ketika tidak dimakruhkan memindahkan mereka ke negeri Islam dalam keadaan hidup untuk kemudian dibunuh di sana, maka memindahkan kepala mereka lebih utama. Namun, jika dalam pemindahan itu tidak terdapat pelemahan bagi kaum musyrik ataupun penguatan bagi kaum muslimin, maka pemindahan itu hukumnya makruh. Dengan demikian, larangan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dapat dipahami dalam konteks ini. Allah lebih mengetahui mana yang benar.

بَابُ فَتْحِ السَّوَادِ وَحُكْمُ مَا يُوقِفُهُ الْإِمَامُ من الأرض للمسلمين

Bab Penaklukan Wilayah Sawad dan Hukum Tanah yang Ditetapkan oleh Imam untuk Kaum Muslimin

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ ” وَلَا أَعْرِفُ مَا أَقُولُ فِي أَرْضِ السَّوَادِ إِلَّا بِظَنٍّ مَقْرُونٍ إِلَى عِلْمٍ وَذَلِكَ أَنِّي وَجَدْتُ أَصَحَّ حَدِيثٍ يَرْوِيهِ الْكُوفِيُّونَ عِنْدَهُمْ فِي السَّوَادِ لَيْسَ فِيهِ بَيَانٌ وَوَجَدْتُ أَحَادِيثَ مِنْ أَحَادِيثِهِمْ تُخَالِفُهُ مِنْهَا أَنَّهُمْ يَقُولُونَ إِنَّ السَّوَادَ صُلْحٌ وَيَقُولُونَ إِنَّ السَّوَادَ عَنْوَةٌ وَيَقُولُونَ بَعْضُ السَّوَادِ صُلْحٌ وَبَعْضُهُ عَنْوَةٌ وَيَقُولُونَ إِنَّ جَرِيرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ البجلي وهذا أثبت حديث عندهم فيه قال الشافعي أخبرنا الثقة عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي خَالِدٍ عَنْ قَيْسِ بْنِ أبي حازم عن جرير قَالَ كَانَتْ بَجِيلَةُ رُبْعَ النَّاسِ فَقُسِّمَ لَهُمْ ربع السواد فاستغلوه ثلاث أو أربع سنين شك الشافعي ثم قدمت عَلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ومعي بِنْتُ فُلَانٍ امْرَأَةٌ مِنْهُمْ قَدْ سَمَّاهَا وَلَمْ يحضرني ذكر اسمها قال عمر لولا أني قاسم مسؤول لتركتكم على ما قسم لكم ولكني أَرَى أَنْ تَرُدُّوا عَلَى النَّاسِ قَالَ الشَّافِعِيُّ وكان في حديثه وعاضني من حقي فيه نيفا وثمانين دينارا وكان في حديثه فَقَالَتْ فُلَانَةُ قَدْ شَهِدَ أَبِي الْقَادِسِيَّةَ وَثَبَتَ سَهْمُهُ وَلَا أُسْلِمُ حَتَّى تُعْطِيَنِي كَذَا وَكَذَا فأعطاها إياه قال الشافعي رحمه الله ففي هذا الحديث دلالة إذ أعطى جريرا عوضا من سهمه والمرأة عوضا من سهم أبيها على أنه استطاب أنفس الذين أوجفوا عليه فتركوا حقوقهم منه فجعله وقفا للمسلمين وقد سبى النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ هوازن وقسم الأربعة الأخماس بين الموجفين ثم جاءته وفود هوازن مسلمين فسألوه أن يمن عليهم وأن يرد عليهم ما أخذ منهم فخيرهم النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بين الأموال والسبي فقالوا خيرتنا بين أحسابنا وأموالنا فنختار أحسابنا فترك النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ حقه وحق أهل بيته فسمع بذلك المهاجرون فتركوا له حقوقهم وسمع بذلك الأنصار فتركوا له حقوقهم ثم بقي قوم من المهاجرين والأنصار فأمر فعرف على كل عشرة واحدا ثم قال ائتوني بطيب أنفس من بقي فمن كره فله علي كذا وكذا من الإبل إلى وقت ذكره قال فجاءوه بطيب أنفسهم إلا الأقرع بن حابس وعيينة بن بدر فإنهما أتيا ليعيرا هوازن فلم يكرههما صلى الله عليه وسلم على ذلك حتى كانا هما تركا بعد أن خدع عيينة عن حقه وسلم لهم عليه السلام حق من طاب نفسا عن حقه قال وهذا أولى الأمرين بعمر عندنا في السواد وفتوحه إن كان عنوة لا ينبغي أن يكون قسم إلا عن أمر عمر لكبر قدره ولو يفوت عليه من بغى أن يغيب عنه قسمه ثلاث سنين ولو كان القسم ليس لمن قسم له ما كان له منه عوض ولكان عليهم أن يردوا الغلة والله أعلم كيف كان وهكذا صنع صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ في خيبر وبني قريظة لمن أوجف عليها أربعة أخماس والخمس لأهله فمن طاب نفسا عن حقه فجائز للإمام نظرا للمسلمين أن يجعلها وقفا عليهم تقسم غلته على أهل الفيء والصدقة وحيث يرى الإمام ومن يطب نفسا فهو أحق بماله “

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Aku tidak mengetahui apa yang harus aku katakan tentang tanah Sawad kecuali dengan dugaan yang disertai pengetahuan. Hal itu karena aku mendapati hadis paling sahih yang diriwayatkan oleh orang-orang Kufah tentang Sawad di sisi mereka tidak terdapat penjelasan, dan aku juga mendapati hadis-hadis lain dari mereka yang bertentangan dengannya. Di antaranya, mereka mengatakan bahwa Sawad adalah hasil perdamaian (ṣulḥ), mereka juga mengatakan bahwa Sawad adalah hasil penaklukan dengan kekuatan (‘anwatan), dan sebagian mereka mengatakan bahwa sebagian Sawad adalah ṣulḥ dan sebagian lagi ‘anwatan. Mereka juga mengatakan bahwa Jarir bin ‘Abdullah al-Bajali—dan ini adalah hadis paling sahih menurut mereka—Imam Syafi‘i berkata, telah mengabarkan kepada kami orang tepercaya dari Isma‘il bin Abi Khalid dari Qais bin Abi Hazim dari Jarir, ia berkata: Bajilah adalah seperempat dari penduduk, maka dibagikan kepada mereka seperempat tanah Sawad, lalu mereka memanfaatkannya selama tiga atau empat tahun—Imam Syafi‘i ragu—kemudian aku datang kepada ‘Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu bersama seorang perempuan dari mereka, putri Fulan, yang namanya telah disebutkan namun aku lupa namanya. ‘Umar berkata, ‘Kalau bukan karena aku adalah pembagi yang bertanggung jawab, niscaya aku biarkan kalian atas apa yang telah dibagikan kepada kalian. Namun aku berpendapat kalian harus mengembalikannya kepada masyarakat.’ Imam Syafi‘i berkata, ‘Dalam hadisnya disebutkan bahwa aku diberi ganti rugi dari hakku di dalamnya sebanyak lebih dari delapan puluh dinar, dan dalam hadis itu disebutkan bahwa perempuan tersebut berkata, ‘Ayahku telah ikut serta dalam Perang Qadisiyyah dan hak bagiannya telah tetap, dan aku tidak akan menyerahkannya sampai engkau memberiku sekian dan sekian.’ Maka ia pun diberi. Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, ‘Dalam hadis ini terdapat petunjuk bahwa ketika Jarir diberi ganti rugi atas bagiannya dan perempuan itu diberi ganti rugi atas bagian ayahnya, berarti ‘Umar telah meminta kerelaan hati orang-orang yang telah berjuang sehingga mereka meninggalkan hak-hak mereka, lalu menjadikannya sebagai wakaf bagi kaum muslimin. Nabi Muhammad ﷺ juga pernah menawan Hawazin dan membagi empat perlima rampasan perang kepada para pejuang, lalu datanglah delegasi Hawazin dalam keadaan muslim dan mereka meminta agar Nabi berkenan membebaskan mereka dan mengembalikan harta mereka. Nabi ﷺ pun memberi pilihan antara harta dan tawanan, lalu mereka berkata, ‘Engkau memberi kami pilihan antara kehormatan dan harta kami, maka kami memilih kehormatan kami.’ Maka Nabi ﷺ pun meninggalkan haknya dan hak keluarga beliau. Ketika kaum Muhajirin mendengar hal itu, mereka pun meninggalkan hak mereka, demikian pula kaum Anshar. Kemudian masih tersisa sebagian dari Muhajirin dan Anshar, maka Nabi memerintahkan agar setiap sepuluh orang diwakili satu orang, lalu beliau berkata, ‘Datangkan kepadaku kerelaan hati dari yang tersisa. Siapa yang tidak rela, maka bagiku sekian dan sekian unta sampai waktu yang disebutkan.’ Maka mereka pun datang dengan kerelaan hati mereka, kecuali al-Aqra‘ bin Habis dan ‘Uyainah bin Badr, keduanya datang untuk menuntut Hawazin, namun Nabi ﷺ tidak memaksa mereka sampai akhirnya keduanya pun meninggalkan hak mereka setelah ‘Uyainah tertipu dari haknya. Nabi ﷺ pun menyerahkan hak siapa saja yang rela meninggalkan haknya. Imam Syafi‘i berkata, ‘Inilah pendapat yang lebih utama menurut kami tentang ‘Umar dalam masalah Sawad dan penaklukannya. Jika penaklukan itu dengan kekuatan (‘anwatan), maka tidak sepatutnya ada pembagian kecuali atas perintah ‘Umar karena besarnya kedudukan beliau. Tidak mungkin ada yang berani membagi tanpa sepengetahuan beliau selama tiga tahun. Jika pembagian itu bukan untuk yang dibagikan kepadanya, maka ia tidak berhak mendapat ganti rugi, dan seharusnya mereka mengembalikan hasilnya. Allah lebih mengetahui bagaimana sebenarnya. Demikian pula yang dilakukan Nabi ﷺ di Khaibar dan Bani Quraizhah, bagi siapa yang berjuang atasnya diberikan empat perlima, dan seperlima untuk ahlinya. Siapa yang rela meninggalkan haknya, maka boleh bagi imam, demi kemaslahatan kaum muslimin, menjadikannya wakaf untuk mereka, hasilnya dibagikan kepada ahli fai’ dan sedekah, serta sesuai kebijakan imam. Namun siapa yang tidak rela, maka ia lebih berhak atas hartanya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا أَرْضُ السَّوَادِ فَهُوَ سَوَادُ كِسْرَى مَلِكِ الْفُرْسِ الَّذِي فَتَحَهُ الْمُسْلِمُونَ وَمَلَكُوهُ عَنْوَةً فِي أَيَّامِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بَعْدَ أَنْ فُتِحَتْ أَطْرَافُهُ فِي أَيَّامِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ

Al-Mawardi berkata: Adapun tanah Sawad, yaitu Sawad milik Kisra, raja Persia, yang ditaklukkan dan dikuasai oleh kaum Muslimin secara ‘anwah (dengan kekuatan) pada masa Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, setelah sebagian wilayahnya dibuka pada masa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu.

وَحَدُّهُ طُولًا مِنْ حُرَيْثَةِ الْمَوْصِلِ إِلَى عَبَّادَانَ وَعَرْضًا مِنْ عُذَيْبِ الْقَادِسِيَّةِ إِلَى حُلْوَانَ يَكُونُ طُولُهُ مِائَةً وَسِتِّينَ فَرْسَخًا وَعَرْضُهُ ثَمَانِينَ فَرْسَخًا وَلَيْسَتِ الْبَصْرَةُ وَإِنْ دَخَلَتْ فِي هَذَا الْحَدِّ مِنْ أَرْضِ السَّوَادِ لِأَنَّهَا مِمَّا أَحْيَاهُ الْمُسْلِمُونَ مِنَ الْمَوَاتِ إِلَّا مَوَاضِعَ مِنْ شَرْقِيِّ دَجْلَتِهَا يُسَمِّيهِ أهل البصرة الفرات ومن غربي دجلتها لنهر معروف بنهر المرات وَيُسَمَّى بِالْفَهْرَجِ

Batas wilayahnya secara panjang dari Huraitha di Mosul hingga ‘Abbadān, dan secara lebar dari ‘Udhaib al-Qadisiyyah hingga Hulwan. Panjangnya seratus enam puluh farsakh dan lebarnya delapan puluh farsakh. Basrah sendiri, meskipun termasuk dalam batas ini, bukan bagian dari tanah Sawad karena Basrah adalah tanah mati yang dihidupkan oleh kaum Muslimin, kecuali beberapa tempat di sebelah timur Sungai Tigris yang oleh penduduk Basrah disebut sebagai al-Furat, dan di sebelah barat Sungai Tigris terdapat sungai yang dikenal dengan nama Nahr al-Marāt dan juga disebut al-Fahraj.

وَحَضَرْتُ الشَّيْخَ أَبَا حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِي وَهُوَ يُدَرِّسُ تَحْدِيدَ السَّوَادِ فِي كِتَابِ ” الرَّهْنِ ” وَأَدْخَلَ فِيهِ الْبَصْرَةَ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيَّ وَقَالَ هَكَذَا تَقُولُ قُلْتُ لَا قَالَ وَلِمَ؟ قُلْتُ لِأَنَّهَا كَانَتْ مَوَاتًا أَحْيَاهُ الْمُسْلِمُونَ فَأَقْبَلَ عَلَى أَصْحَابِهِ وَقَالَ عَلِّقُوا مَا يَقُولُ فَإِنَّ أَهْلَ الْبَصْرَةِ أَعْرَفُ بِالْبَصْرَةِ

Aku pernah menghadiri majelis Syekh Abu Hamid al-Isfara’ini ketika beliau sedang mengajar tentang penentuan batas wilayah dalam kitab “ar-Rahn”, lalu beliau memasukkan Basrah ke dalam pembahasan itu. Kemudian beliau menoleh kepadaku dan berkata, “Begitukah pendapatmu?” Aku menjawab, “Tidak.” Beliau bertanya, “Mengapa?” Aku menjawab, “Karena Basrah dulunya adalah tanah mati yang dihidupkan oleh kaum Muslimin.” Maka beliau menoleh kepada para muridnya dan berkata, “Catatlah apa yang ia katakan, karena penduduk Basrah lebih mengetahui tentang Basrah.”

وَفِي تَسْمِيَتِهِ سَوَادًا ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ

Dalam penamaannya sebagai “sawād” terdapat tiga pendapat.

أَحَدُهَا لِكَثْرَتِهِ مَأْخُوذٌ مِنْ سَوَادِ الْقَوْمِ إِذَا كَثُرُوا وَهَذَا قَوْلُ الْأَصْمَعِيِّ

Salah satunya, karena jumlahnya yang banyak, diambil dari istilah sawād al-qawm ketika mereka banyak, dan ini adalah pendapat al-Aṣma‘ī.

وَالثَّانِي لِسَوَادِهِ بِالزُّرُوعِ وَالْأَشْجَارِ لِأَنَّ الْخُضْرَةَ تُرَى مِنَ الْبُعْدِ سَوَادًا ثُمَّ تَظْهَرُ الْخُضْرَةُ بِالدُّنُوِّ مِنْهَا فَقَالُوا المسلمون حين اقبلوا من بياض الفلات مَا هَذَا السَّوَادُ فَسَمَّوْهُ سَوَادًا

Yang kedua, dinamakan “sawād” karena warna hitamnya disebabkan oleh tanaman dan pepohonan, sebab warna hijau dari kejauhan tampak seperti hitam, kemudian ketika didekati barulah tampak kehijauannya. Maka, ketika kaum Muslimin datang dari padang pasir yang putih, mereka berkata, “Apakah hitam-hitam itu?” Lalu mereka menamakannya “sawād”.

وَالثَّالِثُ لِأَنَّ الْعَرَبَ تَجْمَعُ بَيْنَ الْخُضْرَةِ وَالسَّوَادِ فِي الِاسْمِ قَالَ أَبُو عُبَيْدَةَ وَمِنْهُ قَوْلُ الشَّاعِرِ

Ketiga, karena orang Arab menggabungkan antara warna hijau dan hitam dalam satu nama. Abu ‘Ubaidah berkata, dan di antaranya adalah perkataan seorang penyair:

وَرَاحَتْ رواحا مِنْ زُرُودٍ فَصَادَفَتْ زُبَالَةَ جِلْبَابًا مِنَ اللَّيْلِ أَخْضَرَا

Dan rombongan itu berangkat dari Zurud, lalu sampai di Zubalah pada malam hari yang gelap gulita.

يَعْنِي أَسْوَدَ وَسَوَادُ كِسْرَى أَزْيَدُ مِنَ الْعِرَاقِ بِخَمْسَةٍ وَثَلَاثِينَ فَرْسَخًا فَيَكُونُ الْعِرَاقُ أَقْصَرَ مِنَ السَّوَادِ بِخُمْسِهِ وَالسَّوَادُ أَطْوَلَ مِنَ الْعِرَاقِ بِرُبْعِهِ لِأَنَّ أَوَّلَ الْعِرَاقِ مِنْ شَرْقِيِّ دِجْلَةَ الْعَلْثُ وَمِنْ غَرْبِيِّهَا جَرْبَى وَطُولُهُ مائة وخمسة وعشرين فَرْسَخًا وَعَرْضُهُ مُسْتَوْعِبٌ لِعَرْضِ السَّوَادِ

Artinya, Sawad dan Sawad Kisra lebih panjang dari Irak sebanyak tiga puluh lima farsakh, sehingga Irak lebih pendek dari Sawad sebanyak seperlimanya, dan Sawad lebih panjang dari Irak sebanyak seperempatnya. Karena awal wilayah Irak dari sebelah timur Dajlah adalah Al-‘Alth, dan dari sebelah baratnya adalah Jarba, dengan panjangnya seratus dua puluh lima farsakh, dan lebarnya mencakup seluruh lebar Sawad.

وَسُمِّيَ عِرَاقًا لِاسْتِوَاءِ أَرْضِهِ حِينَ خَلَتْ مِنْ جِبَالٍ تَعْلُو وَأَوْدِيَةٍ تَنْخَفِضُ وَالْعِرَاقُ فِي كَلَامِ الْعَرَبِ الِاسْتِوَاءُ كَمَا قَالَ الشَّاعِرُ

Dan dinamakan Irak karena permukaannya yang rata, ketika tidak terdapat gunung-gunung yang menjulang maupun lembah-lembah yang dalam. Dalam bahasa Arab, “al-‘irāq” berarti permukaan yang rata, sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair.

سُقْتُمْ إِلَى الْحَقِّ مَعًا وَسَاقُوا سِيَاقَ مَنْ لَيْسَ لَهُ عِرَاقُ

Kalian digiring menuju kebenaran bersama-sama, dan mereka menggiring seperti menggiring orang yang tidak memiliki kekuatan.

أَيْ لَيْسَ لَهُ اسْتِوَاءٌ

Artinya: Tidak ada baginya istiwa’.

وَقَالَ قُدَامَةُ بْنُ جَعْفَرٍ تَكُونُ مِسَاحَةُ الْعِرَاقِ مُكَسَّرًا مِنْ ضَرْبِ طُولِهِ فِي عُرْضِهِ عَشَرَةَ آلَافِ فَرْسَخٍ يَصِيرُ تَكْسِيرُ مساحة مِسَاحَةِ السَّوَادِ مُكَسَّرًا بِزِيَادَةِ الرُّبْعِ مِسَاحَةُ الْعِرَاقِ اثنا عشر أَلْفَ فَرْسَخٍ وَخَمْسُمِائَةِ فَرْسَخٍ وَمِسَاحَةُ تَكْسِيرِ فَرْسَخٍ في فَرْسَخٍ اثْنَانِ وَعِشْرُونَ أَلْفَ جَرِيبٍ وَخَمْسُمِائَةِ جَرِيبٍ لِأَنَّ طُولَ الْفَرْسَخِ اثْنَا عَشَرَ أَلْفَ ذِرَاعٍ بِالْمُرْسَلَةِ وَيَكُونُ بِذِرَاعِ الْمِسَاحَةِ وَهِيَ الذِّرَاعُ الْهَاشِمِيَّةُ تِسْعَةَ آلَافِ ذِرَاعٍ فَيَكُونُ مِسَاحَةُ أَرْضِ الْعِرَاقِ وهي عشرة آلاف فرسخ مكسرة مائتا أَلْفِ أَلْفِ جَرِيبٍ وَخَمْسَةً وَعِشْرِينَ أَلْفَ أَلْفِ جَرِيبٍ يَزِيدُ عَلَيْهَا فِي مِسَاحَةِ السَّوَادِ رُبْعُهَا فيصير مساحة السواد مائتا أَلْفِ أَلْفِ جَرِيبٍ وَثَمَانِينَ أَلْفَ أَلْفِ جَرِيبٍ يَسْقُطُ مِنْهَا مَجَارِي الْأَنْهَارِ وَالْآجَامُ وَالسِّبَاخُ وَالْآكَامُ وَمَوَاضِعُ الْمُدُنِ وَالْقُرَى وَمَدَارِسُ الطُّرُقِ نَحْوَ ثُلْثِهَا وَيَبْقَى مِائَتَا أَلْفِ أَلْفِ جَرِيبٍ يُرَاحُ نِصْفُهَا ويزرع نصفها إذا تكاملت مصالحنا وَعِمَارَتُهَا وَذَلِكَ نَحْوُ مِائَةِ أَلْفِ أَلْفِ جَرِيبٍ يَنْقُصُ عَنْهَا فِي مِسَاحَةِ الْعِرَاقِ خُمْسُهَا وَقَدْ كَانَتْ مِسَاحَةُ الْمَزْرُوعِ فِي أَيَّامِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ اثْنَيْنِ وَثَلَاثِينَ أَلْفَ أَلْفِ جَرِيبٍ إِلَى سِتَّةٍ وَثَلَاثِينَ أَلْفَ أَلْفِ جريب لأن البطائح تعطلت بالماء ونواحي تعطلت بالبتوق وَفِي الْمُتَقَدِّرَاتِ تَتَكَامَلُ جَمِيعُ الْعِبَارَاتِ حَتَّى تَسْتَوْعِبَ مَنْ زَرَعَهَا لِأَنَّ الْعَوَارِضَ وَالْحَوَادِثَ لَا يَخْلُو الزَّمَانُ مِنْهَا خُصُوصًا وَعُمُومًا

Qudāmah bin Ja‘far berkata, “Luas wilayah Irak dihitung dengan mengalikan panjang dan lebarnya, yaitu sepuluh ribu farsakh persegi. Maka hasil perhitungan luas wilayah Sawād adalah lebih besar seperempat dari luas wilayah Irak, yaitu dua belas ribu lima ratus farsakh persegi. Luas satu farsakh persegi adalah dua puluh dua ribu lima ratus jarīb, karena panjang satu farsakh adalah dua belas ribu hasta mursal, dan dengan hasta pengukuran (yaitu hasta Hāsyimiyyah) adalah sembilan ribu hasta. Maka luas tanah Irak, yang sepuluh ribu farsakh persegi, adalah dua ratus dua puluh lima juta jarīb. Luas wilayah Sawād bertambah seperempatnya, sehingga menjadi dua ratus delapan puluh juta jarīb. Dari jumlah itu dikurangi aliran sungai, rawa-rawa, tanah asin, bukit-bukit, serta lokasi kota, desa, dan jalan-jalan, sekitar sepertiganya, sehingga tersisa dua ratus juta jarīb, setengahnya digunakan untuk istirahat dan setengahnya lagi ditanami jika seluruh kepentingan dan pembangunannya telah terpenuhi, yaitu sekitar seratus juta jarīb. Dari luas wilayah Irak, jumlah ini berkurang seperlimanya. Pada masa ‘Umar bin al-Khattāb radhiyallāhu ‘anhu, luas lahan yang ditanami adalah tiga puluh dua juta jarīb hingga tiga puluh enam juta jarīb, karena sebagian rawa-rawa tidak dapat digunakan akibat air dan sebagian wilayah tidak dapat digunakan akibat kerusakan. Dalam perkiraan, seluruh keterangan ini akan terpenuhi jika semua lahan dapat ditanami, karena hambatan dan peristiwa tidak pernah lepas dari setiap masa, baik secara khusus maupun umum.”

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا اسْتَقَرَّ ما ذكرنا من حدود السواد ومساحة أراضيه وَقَدْرِ مزدرعة وَفَضْلِ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْعِرَاقِ فَقَدِ اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي فَتْحِهِ هَلْ كَانَ عَنْوَةً أَوْ صُلْحًا فَقَدِمَ الشَّافِعِيُّ مِنَ الْحِجَازِ إلى العراق وأهل الْعِرَاقِ أَعْلَمُ بِفُتُوحِ سَوَادِهِمْ مِنْ أَهْلِ الْحِجَازِ فَسَأَلَهُمُ عَنْهُ فَاخْتَلَفُوا عَلَيْهِ فَرَوَى بَعْضُهُمْ إنَّ السَّوَادَ فُتِحَ صُلْحًا

Setelah jelas apa yang telah kami sebutkan mengenai batas-batas wilayah Sawad, luas lahannya, jumlah lahan yang ditanami, serta kelebihan antara Sawad dan Irak, para ulama pun berbeda pendapat tentang penaklukannya: apakah dilakukan secara ‘anwah (perang) atau melalui perdamaian (ṣulḥ). Syafi‘i datang dari Hijaz ke Irak, sementara penduduk Irak lebih mengetahui tentang penaklukan wilayah Sawad mereka dibandingkan penduduk Hijaz. Maka ia pun bertanya kepada mereka tentang hal itu, namun mereka pun berbeda pendapat. Sebagian dari mereka meriwayatkan bahwa Sawad ditaklukkan melalui perdamaian (ṣulḥ).

وَرَوَى لَهُ بَعْضُهُمْ إنَّ السَّوَادَ فُتِحَ عَنْوَةً

Sebagian dari mereka meriwayatkan darinya bahwa wilayah Sawad dibuka secara ‘anwatan (dengan penaklukan paksa).

وَرَوَى لَهُ آخَرُونَ إنَّ بَعْضَ السَّوَادِ فُتِحَ صُلْحًا وَبَعْضَهُ فُتِحَ عَنْوَةً

Dan diriwayatkan oleh yang lain bahwa sebagian wilayah Sawad dibuka melalui perjanjian damai (ṣulḥ), dan sebagian lainnya dibuka dengan penaklukan secara paksa (‘anwatan).

فَلَمَّا اخْتَلَفُوا عَلَيْهِ فِي النَّقْلِ وَالرِّوَايَةِ نَظَرَ أَثْبَتَ مَا رَوَوْهُ مِنَ الْأَحَادِيثِ وَأَصَحَّهَا فَكَانَ حَدِيثُ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْبَجَلِيِّ

Maka ketika mereka berselisih mengenai periwayatan dan penyampaian hadis, mereka pun meneliti hadis-hadis yang mereka riwayatkan, memilih yang paling kuat dan paling sahih di antaranya. Maka hadis Jarir bin Abdillah al-Bajali-lah yang dianggap paling kuat.

قَالَ الشَّافِعِيُّ أَخْبَرَنَا الثِّقَةُ يَعْنِي أَبَا أُسَامَةَ عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي خَالِدٍ عَنْ قَيْسِ بْنِ أبي حازم عم جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ كَانَتْ بَجِيلَةُ رُبْعَ النَّاسِ فَقُسِّمَ لَهُمْ رُبْعُ السَّوَادِ فَاسْتَغَلُّوهُ ثَلَاثًا أَرْبَعَ سِنِينَ شَكَّ الشَّافِعِيُّ فَقَدِمْتُ عَلَى عُمَرَ وَمَعِي فُلَانَةُ بِنْتُ فُلَانٍ امْرَأَةٌ مِنْهُمْ قَدْ سَمَّاهَا وَلَمْ يَحْضُرْنِي ذِكْرُ اسْمِهَا فقال عمر ” لولا أني قاسم مسؤول لَتَرَكْتُكُمْ عَلَى مَا قُسِّمَ لَكُمْ وَلَكِنْ أَرَى أَنْ تَرُدُّوا عَلَى النَّاسِ ” قَالَ الشَّافِعِيُّ ” وَكَانَ فِي حَدِيثِهِ وَعَافِنِي مِنْ حَقِّي نَيِّفًا وَثَمَانِينَ دِينَارًا وَفِي الْحَدِيثِ فَقَالَتْ فُلَانَةُ قَدْ شَهِدَ أَبِي الْقَادِسِيَّةَ وَثَبَتَ سَهْمُهُ وَلَا أُسْلِمُ حَتَّى تُعْطِيَنِي كَذَا وَكَذَا فَأَعْطَاهَا إِيَّاهُ

Syafi‘i berkata, “Orang tepercaya telah memberitakan kepada kami—yaitu Abu Usamah—dari Isma‘il bin Abi Khalid, dari Qais bin Abi Hazim, dari Jarir bin ‘Abdullah al-Bajali, ia berkata: ‘Bajilah adalah seperempat dari penduduk, maka dibagikan kepada mereka seperempat wilayah Sawad, lalu mereka memanfaatkannya selama tiga atau empat tahun—Syafi‘i ragu tentang jumlah tahunnya. Kemudian aku datang kepada ‘Umar bersama seorang perempuan dari mereka, yaitu Fulanah binti Fulan—ia telah menyebutkan namanya, namun aku lupa namanya. Maka ‘Umar berkata, “Kalau bukan karena aku adalah pembagi yang akan dimintai pertanggungjawaban, niscaya aku biarkan kalian tetap pada bagian yang telah dibagikan kepada kalian. Namun aku melihat kalian harus mengembalikannya kepada masyarakat.” Syafi‘i berkata, “Dalam riwayatnya juga disebutkan: ‘Bebaskan aku dari hakku sejumlah lebih dari delapan puluh dinar.’ Dan dalam hadis itu disebutkan bahwa Fulanah berkata, ‘Ayahku telah ikut serta dalam Perang Qadisiyah dan hak bagiannya telah tetap, dan aku tidak akan menyerahkan (hak itu) sampai engkau memberiku sekian dan sekian.’ Maka ‘Umar pun memberikannya kepada perempuan itu.”

وَرَوَى غَيْرُ الشَّافِعِيِّ فَقَالَتْ أُمُّ كُرْزٍ لَا أَنْزِلُ عَنْ حَقِّي حَتَّى تَحْمِلَنِي عَلَى نَاقَةٍ ذَلُولٍ عَلَيْهَا قَطِيفَةٌ حَمْرَاءُ وَتَمْلَأَ كَفِّي ذَهَبًا فَفَعَلَ ذَلِكَ بِهَا فَكَانَ مَا أَعْطَاهَا مِنَ الْعَيْنِ ثَمَانِينَ دِينَارًا فَمَنْ ذَهَبَ إِلَى أَنَّ السَّوَادَ فُتِحَ صُلْحًا فَقَدْ أَشَارَ الشَّافِعِيُّ إِلَيْهِ فِي كِتَابِ قَسْمِ الْفَيْءِ وَاسْتَدَلَّ بِهَذَا الْحَدِيثِ مِنْ وَجْهَيْنِ

Dan selain asy-Syafi‘i meriwayatkan bahwa Ummu Kurz berkata, “Aku tidak akan melepaskan hakku sampai engkau membawaku dengan unta jinak yang di atasnya terdapat selimut merah dan memenuhi telapak tanganku dengan emas.” Maka hal itu pun dilakukan kepadanya, dan emas yang diberikan kepadanya berjumlah delapan puluh dinar. Maka barang siapa yang berpendapat bahwa wilayah Sawad dibuka melalui perjanjian damai, asy-Syafi‘i telah menyinggung hal itu dalam Kitab Qism al-Fay’, dan beliau berdalil dengan hadis ini dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّ عُمَرَ انْتَزَعَهُ مِنْ أَيْدِي الْغَانِمِينَ حِينَ عَلِمَ بِحُصُولِهِ مَعَهُمْ وَلَوْ كَانَ عَنْوَةً لَكَانَ غَنِيمَةً لَهُمْ وَلَمْ يَجُزِ انْتِزَاعُهُ مِنْهُمْ

Salah satu alasannya adalah bahwa Umar mengambilnya dari tangan para peraih rampasan perang ketika beliau mengetahui bahwa harta itu ada bersama mereka. Seandainya harta itu diperoleh dengan penaklukan (secara paksa), maka harta tersebut menjadi ghanīmah bagi mereka dan tidak boleh diambil dari mereka.

والثاني قول عمر لولا أني قاسم مسؤول لَتَرَكْتُكُمْ عَلَى مَا قُسِّمَ لَكُمْ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ انْتَزَعَهُ مِنْهُمْ بِحَقٍّ لَمْ يَسْتَجِزْ تَرْكُهُ مَعَهُمْ وَهَذَا حُكْمُ الصُّلْحِ دُونَ الْعَنْوَةِ

Yang kedua adalah perkataan Umar: “Seandainya aku bukanlah seorang pembagi yang akan dimintai pertanggungjawaban, niscaya aku akan membiarkan kalian tetap pada apa yang telah dibagikan kepada kalian.” Ini menunjukkan bahwa ia mengambilnya dari mereka dengan hak yang tidak membolehkannya membiarkan tetap bersama mereka. Dan ini adalah hukum shulh, bukan hukum al-‘anwah.

وَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ إِلَى أَنَّ فَتْحَ السَّوَادِ عَنْوَةٌ وَهُوَ الَّذِي نَصَّ عَلَيْهِ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ الْمَنْقُولِ عَنْهُ فِي أَكْثَرِ كُتُبِهِ

Syafi‘i berpendapat bahwa penaklukan wilayah Sawad dilakukan secara ‘anwah, dan inilah yang beliau tegaskan dalam pembahasan ini sebagaimana yang dinukil dari beliau dalam sebagian besar kitab-kitabnya.

وَالدَّلِيلُ عَلَيْهِ مِنْ هَذَا الْحَدِيثِ خَمْسَةُ أَوْجُهٍ

Dan dalil atas hal itu dari hadis ini ada lima aspek.

أَحَدُهَا أَنَّهُ أَقَرَّ السَّوَادَ فِي أَيْدِي الْغَانِمِينَ ثَلَاثَ سِنِينَ أَوْ أَرْبَعَ يَسْتَغِلُّونَهُ وَلَمْ يَنْتَزِعْهُ مِنْهُمْ وَلَوْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ فِيهِ حَقُّ الْغَنِيمَةِ لَمْ يَسْتَجِزْ تَرْكَهُ عَلَيْهِمْ هَذِهِ الْمُدَّةَ

Salah satunya adalah bahwa ia membiarkan tanah Sawad tetap di tangan para penakluk selama tiga atau empat tahun, mereka memanfaatkannya, dan ia tidak mengambilnya dari mereka. Seandainya mereka tidak memiliki hak atas ghanīmah di dalamnya, tentu ia tidak akan membiarkan tanah itu tetap pada mereka selama waktu tersebut.

وَالثَّانِي أَنَّهُمُ اقْتَسَمُوهُ قِسْمَةَ الْغَنَائِمِ حَتَّى صَارَ لِبَجِيلَةَ وَهُمْ رُبْعُ النَّاسِ رُبْعُ السَّوَادِ وَمَا اقْتَسَمُوهُ إِلَّا بِأَمْرِ عُمَرَ وَعَنْ عِلْمِهِ لِأَنَّهُ مِنَ الْأُمُورِ الْعَامَّةِ وَالْفُتُوحِ الْعَظِيمَةِ الَّتِي لَا يَسْتَبِدُّ الْجَيْشُ فِيهَا بآرائهم إلا بمطالعته وأمره

Kedua, bahwa mereka membaginya seperti pembagian ghanimah, sehingga bagian untuk Bani Bajilah—yang merupakan seperempat dari jumlah manusia—adalah seperempat wilayah Sawad. Mereka tidak membaginya kecuali atas perintah ‘Umar dan sepengetahuannya, karena hal itu termasuk urusan umum dan penaklukan besar yang tidak boleh diputuskan oleh pasukan hanya dengan pendapat mereka sendiri kecuali setelah mengajukan kepada ‘Umar dan atas perintahnya.

والثاني؟ أَنَّهُمْ لَوْ تَصَرَّفُوا فِيهِ بِغَيْرِ حَقٍّ لَاسْتَرَدَّ مِنْهُمْ مَا اسْتَغَلُّوهُ لِأَنَّهُ يَكُونُ لِكَافَّةِ الْمُسْلِمِينَ دُونَهُمْ

Dan yang kedua, bahwa jika mereka memanfaatkannya tanpa hak, maka apa yang telah mereka ambil darinya harus diambil kembali dari mereka, karena hal itu adalah milik seluruh kaum Muslimin, bukan hanya milik mereka.

وَالرَّابِعُ أَنَّهُ عَاوَضَ مَنْ لَمْ يَطِبْ نَفْسًا بِالنُّزُولِ عَنْ سَهْمِهِ بِعِوَضٍ دَفَعَهُ إِلَيْهِمْ جَرَى عَلَيْهِ حُكْمُ الثَّمَنِ حَتَّى أَعْطَى جَرِيرًا وَأُمَّ كُرْزٍ مَا أَعْطَى وَهُوَ لَا يَبْذُلُ مِنْ مَالِ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا فِي حَقٍّ

Keempat, bahwa ia telah memberikan ganti rugi kepada orang yang tidak rela melepaskan bagiannya dengan imbalan yang ia berikan kepada mereka, maka berlaku atasnya hukum harga, sehingga ia memberikan kepada Jarir dan Ummu Kurz apa yang telah ia berikan, dan ia tidak mengeluarkan dari harta kaum Muslimin kecuali pada perkara yang benar.

وَالْخَامِسُ أَنَّهُ اسْتَطَابَ نُفُوسَهُمْ عَنْهُ وَلَوْ كَانَتْ أَيْدِيهِمْ فِيهِ بِغَيْرِ حَقٍّ لَأَخَذَهُ مِنْهُمْ جَبْرًا

Kelima, bahwa beliau telah membuat hati mereka rela terhadapnya, dan seandainya tangan mereka mengambilnya tanpa hak, niscaya beliau akan mengambilnya kembali dari mereka secara paksa.

فَدَلَّتْ هَذِهِ الْوُجُوهُ عَلَى أَنَّهُ كَانَ عَنْوَةً مَغْنُومًا اقْتِدَاءً فِي اسْتِطَابَةِ نُفُوسِهِمْ عَنْهُ بِرَسُولِ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي سَبْيِ هَوَازِنَ حِينَ سَأَلُوهُ بَعْدَ إِسْلَامِهِمُ الْمَنَّ عَلَيْهِمْ فَخَيَّرَهُمْ بَيْنَ أَمْوَالِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ فَاخْتَارُوا الْأَهْلَ وَالْأَوْلَادَ فَمَنَّ عَلَيْهِمْ وَعَرَّفَ الْعُرَفَاءَ عَنِ اسْتِنْزَالِ النَّاسِ عَنْوًا وَجَعَلَ لِمَنْ لَمْ يَطِبْ نَفْسًا بِالنُّزُولِ عَنْ كُلِّ رَأْسٍ مِنَ السَّبْيِ ست قلائص حَتَّى نَزَلَ جَمِيعُهُمْ إِلَّا عُيَيْنَةَ وَالْأَقْرَعَ إِلَى أَنْ جُدِعَ عُيَيْنَةُ وَنَزَلَ الْأَقْرَعُ فَلَمَّا اسْتَنْزَلَهُمْ رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ للْمَنّ وَالتَّكْرِيم كَانَ اسْتِنْزَالُ عُمَرَ لِلْغَانِمِينَ فِي عُمُومِ الْمَصَالِحِ لِلْمُسْلِمِينَ أَوْلَى وَأَوْكَدَ وَاخْتُلِفَ فِي السَّبَبِ الَّذِي اسْتَنْزَلَهُمْ عُمَرُ لِأَجْلِهِ عَلَى قَوْلَيْنِ

Maka berbagai penjelasan ini menunjukkan bahwa harta tersebut adalah harta rampasan perang yang diperoleh secara paksa, dan hal itu mengikuti teladan Rasulullah saw. dalam mengambil hati mereka atas harta tersebut, sebagaimana yang terjadi pada tawanan Hawazin ketika mereka meminta kepada beliau, setelah mereka masuk Islam, agar beliau membebaskan mereka. Maka beliau memberi mereka pilihan antara harta benda mereka atau keluarga mereka, lalu mereka memilih keluarga dan anak-anak mereka, sehingga beliau membebaskan mereka. Beliau juga memerintahkan para pemuka untuk meminta orang-orang agar menyerahkan tawanan secara sukarela, dan bagi siapa yang tidak rela menyerahkan, maka setiap kepala tawanan diganti dengan enam ekor unta betina, hingga akhirnya semua orang menyerahkan kecuali ‘Uyainah dan Al-Aqra‘, sampai akhirnya ‘Uyainah pun menyerah dan Al-Aqra‘ juga menyerahkan. Ketika Rasulullah saw. meminta mereka menyerahkan tawanan demi kemurahan hati dan penghormatan, maka permintaan ‘Umar kepada para perampas harta rampasan perang demi kemaslahatan umum kaum Muslimin lebih utama dan lebih kuat. Terdapat perbedaan pendapat mengenai sebab yang mendorong ‘Umar meminta mereka menyerahkan harta tersebut, yang terbagi dalam dua pendapat.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ رَأَى إِنْ أَقَامُوا فِيهِ عَلَى عِمَارَتِهِ وَاسْتِغْلَالِهِ وَأَلِفُوا رِيفَ الْعِرَاقِ وَخِصْبَهُ تَعَطَّلَ الجهاد وإن انهضم عَنْهُ مَعَ بَقَائِهِ عَلَى مِلْكِهِمْ خَرِبَ مَعَ جلالة قدره وكثرة استغلاله فعلى أن الأصلح إقرار فِي أَيْدِي الدَّهَاقِينِ وَالْأُكْرَةِ الَّذِينَ هُمْ بِعِمَارَتِهِ أَعْرَفُ وَزِرَاعَتِهِ أَقْوَمُ بِخَرَاجٍ يَضْرِبُهُ عَلَيْهِمْ يَعُودُ نَفْعُهُ عَلَى الْمُسْلِمِينَ وَيَتَوَفَّرُوا بِهِ عَلَى جِهَادِ الْمُشْرِكِينَ

Salah satu pendapatnya adalah bahwa jika mereka tetap tinggal di sana untuk membangun dan memanfaatkan tanah itu, serta telah terbiasa dengan pedesaan Irak dan kesuburannya, maka jihad akan terbengkalai. Namun jika mereka diusir darinya sementara kepemilikan tetap pada mereka, maka tanah itu akan rusak meskipun nilainya agung dan hasilnya banyak. Maka yang lebih maslahat adalah membiarkan tanah itu tetap di tangan para dehqan dan petani yang lebih mengetahui cara mengelolanya dan lebih mampu mengusahakan pertaniannya, dengan kewajiban membayar kharaj yang ditetapkan atas mereka, yang manfaatnya akan kembali kepada kaum Muslimin dan dapat digunakan untuk mendukung jihad melawan kaum musyrik.

وَالثَّانِي أَنَّهُ فَعَلَ ذَلِكَ لِنَظَرِهِ فِي الْمُتَعَقِّبِ لِأَنَّهُ جَعَلَ مَصْرَيِ الْعِرَاقِ الْبَصْرَةَ وَالْكُوفَةَ وَطَنًا لِلْمُجَاهِدِينَ لِيَخُصُّوا بِجِهَادِ مَنْ بِإِزَائِهِمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَيَسْتَمِدُّوا بِسَوَادِ عِرَاقِهِمْ فِي أَرْزَاقِهِمْ وَنَفَقَاتِهِمْ فِي جِهَادِهِمْ وَعَلِمَ أَنَّهُ إِنْ أَقَرَّهُ عَلَى مِلْكِهِمْ مَعَ سِعَتِهِ وَكَثْرَةِ ارْتِفَاعِهِ بَقِيَ مِنْ بَعْدِهِمْ لَا يَجِدُونَ مَا يَسْتَمِدُّونَهُ وَقَدْ قَامُوا مَقَامَهُمْ وَسَدُّوا مَسَدَّهُمْ فَرَأَى أَنَّ الْأَعَمَّ فِي صَلَاحِ أَهْلِ كُلِّ عَصْرٍ أَنْ يَكُونَ وَقْفًا عَامًّا عَلَى جَمِيعِ الْمُسْلِمِينَ لِيَكُونَ لِأَهْلِ كُلِّ عَصْرٍ فِيهِ حَظٌّ يَقُومُ بِكِفَايَتِهِمْ فَاسْتَنْزَلَهُمْ عَنْ أَصْلِ مِلْكِهِ وَأَمَدَّهُمْ بِارْتِفَاعِهِ لِيَكُونَ مَنْ يَأْتِي بَعْدَهُمْ فِيهِ بِمَثَابَتِهِمْ

Kedua, bahwa ia melakukan hal itu karena pertimbangannya terhadap orang-orang yang akan datang setelahnya, sebab ia menjadikan dua kota Irak, Basrah dan Kufah, sebagai tempat tinggal bagi para mujahid agar mereka secara khusus berjihad melawan kaum musyrik yang berada di hadapan mereka, dan agar mereka mendapatkan bantuan dari wilayah Irak mereka dalam hal rezeki dan nafkah untuk jihad mereka. Ia mengetahui bahwa jika ia membiarkan tanah itu tetap menjadi milik mereka, dengan luas dan banyaknya hasil yang diperoleh, maka setelah mereka tiada, orang-orang yang menggantikan mereka tidak akan mendapatkan apa yang bisa mereka manfaatkan, padahal mereka telah menempati posisi mereka dan menggantikan peran mereka. Maka ia memandang bahwa kemaslahatan yang lebih umum bagi seluruh kaum Muslimin di setiap masa adalah menjadikan tanah itu sebagai wakaf umum bagi seluruh kaum Muslimin, sehingga setiap generasi mendapatkan bagian yang mencukupi kebutuhan mereka. Karena itu, ia mengambil tanah itu dari kepemilikan pribadi mereka dan memberikan hasilnya kepada mereka, agar orang-orang yang datang setelah mereka mendapatkan kedudukan yang sama seperti mereka.

وَقَدْ رَوَى زَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَنَّهُ قَالَ لَوْلَا أَخْشَى أَنْ يَبْقَى آخِرُ النَّاسِ لَا شَيْءَ لَهُمْ لَتَرَكْتُكُمْ وَمَا قُسِّمَ لَكُمْ لَكِنْ أُحِبُّ أَنْ يَلْحَقَ آخِرُهُمْ أَوَّلَهُمْ وتلا قوله تعالى والذين جاؤوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإِيمَانِ

Zaid bin Aslam meriwayatkan dari ayahnya, dari Umar bin Khattab, bahwa ia berkata: “Seandainya aku tidak khawatir bahwa generasi terakhir manusia tidak akan memiliki apa-apa, niscaya aku akan membiarkan kalian dan apa yang telah dibagikan kepada kalian. Namun aku ingin agar generasi terakhir mereka dapat menyusul generasi pertama mereka.” Lalu ia membacakan firman Allah Ta‘ala: “Dan orang-orang yang datang setelah mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah lebih dahulu beriman dari kami.’”

فَصْلٌ

Bab

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ فَتْحَ أَرْضِ السَّوَادِ عَنْوَةٌ انْتَقَلَ الْكَلَامُ إِلَى فَصْلَيْنِ

Maka apabila telah tetap bahwa penaklukan negeri Sawad dilakukan secara ‘anwah, maka pembahasan berpindah kepada dua bab.

أَحَدُهُمَا حُكْمُ أَرْضِ الْعَنْوَةِ

Salah satunya adalah hukum tanah ‘anwah.

وَالثَّانِي مَا اسْتَقَرَّ عَلَيْهِ حُكْمُ أَرْضِ السَّوَادِ بَعْدَ الِاسْتِنْزَالِ

Yang kedua adalah hukum yang telah tetap atas tanah Sawad setelah dilakukan al-istinzāl.

فَأَمَّا الْفَصْلُ الْأَوَّلُ فِي حُكْمِ كُلِّ أَرْضٍ إِذَا فُتِحَتْ عَنْوَةً فَقَدِ اخْتَلَفَ فِيهِ الْفُقَهَاءُ عَلَى مَذَاهِبَ شَتَّى

Adapun bagian pertama membahas hukum setiap tanah yang dibuka secara ‘anwah, maka para fuqaha berbeda pendapat mengenai hal ini dalam berbagai mazhab.

فَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ إِلَى أَنَّهَا تَكُونُ غَنِيمَةً كَسَائِرِ الْأَمْوَالِ يُخْرَجُ خُمْسُهَا لِأَهْلٍ الْخُمْسِ وَتُقَسَّمُ بَاقِيهَا بَيْنَ الْغَانِمِينَ كَقِسْمَةِ الْأَمْوَالِ الْمَنْقُولَةِ إِلَّا أَنْ يَرَى إِمَامُ الْعَصْرِ أَنْ يَسْتَنْزِلَهُمْ عَنْهُ بِطِيبِ أَنْفُسِهِمْ أَوْ بِعِوَضٍ يَبْذُلُهُ لَهُمْ لِيَفُضَّهَا عَلَى كَافَّةِ الْمُسْلِمِينَ فَيَمْضِي وَإِلَّا فَهِيَ غَنِيمَةٌ مَقْسُومَةٌ لِعُمُومِ قَوْلِ اللَّهُ تَعَالَى وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ مَا سِوَى الْخُمْسِ لِلْغَانِمِينَ كَمَا قَالَ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأُمِّهِ الثُّلُثُ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ مَا سِوَى الثُّلُثِ لِلْأَبِ

Syafi‘i berpendapat bahwa harta tersebut menjadi ghanīmah seperti harta-harta lainnya, yang dikeluarkan seperlimanya untuk ahl al-khums, dan sisanya dibagikan kepada para pemenang perang seperti pembagian harta bergerak, kecuali jika imam pada masanya memandang perlu untuk mengambilnya dari mereka dengan kerelaan hati mereka atau dengan memberikan ganti rugi kepada mereka agar dapat dibagikan kepada seluruh kaum Muslimin, maka hal itu boleh dilakukan. Jika tidak, maka harta itu adalah ghanīmah yang dibagi, berdasarkan keumuman firman Allah Ta‘ala: “Dan ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang kalian peroleh sebagai ghanīmah, maka sesungguhnya seperlimanya adalah untuk Allah dan Rasul-Nya.” Maka ayat ini menunjukkan bahwa selain seperlima adalah milik para pemenang perang, sebagaimana firman-Nya: “Dan kedua orang tuanya mewarisinya, maka untuk ibunya sepertiga.” Maka ayat ini menunjukkan bahwa selain sepertiga adalah milik ayahnya.

وَقَالَ مَالِكٌ وَالْأَوْزَاعِيُّ الْأَرْضُ غَيْرُ مَغْنُومَةٍ وَتَصِيرُ بِالْفَتْحِ وَقْفًا عَلَى كَافَّةِ الْمُسْلِمِينَ لَا يَجُوزُ لَهُمْ بَيْعُهَا

Malik dan Al-Auza‘i berpendapat bahwa tanah yang bukan hasil rampasan perang akan menjadi wakaf bagi seluruh kaum Muslimin dengan terjadinya penaklukan, dan tidak boleh bagi mereka untuk menjualnya.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ يَكُونُ الْإِمَامُ فِيهَا مُخَيَّرًا بَيْنَ ثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ بَيْنَ أَنْ يُقَسِّمَهَا عَلَى الْغَانِمِينَ كَالَّذِي قَالَهُ الشَّافِعِيُّ وَبَيْنَ أَنْ يُقِرَّهَا عَلَى مِلْكِ أَرْبَابِهَا وَيَضْرِبَ عَلَيْهِمْ جزيتين

Abu Hanifah berpendapat bahwa imam dalam hal ini diberi pilihan di antara tiga hal: membagikannya kepada para pemenang perang sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh asy-Syafi‘i, atau membiarkannya tetap menjadi milik para pemiliknya dan menetapkan atas mereka dua jenis jizyah.

إحداهما على رؤوسهم وَالْأُخْرَى عَلَى أَرْضِهِمْ

Salah satunya berada di atas kepala mereka dan yang lainnya di atas tanah mereka.

فَإِذَا أَسْلَمُوا سَقَطَتْ جِزْيَةُ رؤوسهم وَبَقِيَتْ جِزْيَةُ أَرْضِهِمْ تُؤْخَذُ بِاسْمِ الْخَرَاجِ وَيَجُوزُ لَهُمْ بَيْعُهَا

Apabila mereka masuk Islam, jizyah atas kepala mereka gugur, namun jizyah atas tanah mereka tetap ada dan dipungut dengan nama kharāj, serta mereka diperbolehkan menjualnya.

وَبَيْنَ أَنْ يَقِفَهَا عَلَى كَافَّةِ الْمُسْلِمِينَ فَلَا يَجُوزُ لَهُمْ بَيْعُهَا

Dan antara mewakafkannya untuk seluruh kaum Muslimin, maka tidak boleh bagi mereka menjualnya.

وَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّانِي فِيمَا اسْتَقَرَّ عَلَيْهِ حُكْمُ أَرْضِ السَّوَادِ بَعْدَ الِاسْتِنْزَالِ عَنْهَا فَالَّذِي نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي سِيَرِ الْوَاقِدِيِّ أَنَّ عُمَرَ وَقَفَهَا عَلَى كَافَّةِ الْمُسْلِمِينَ فَلَا تُبَاعُ وَلَا تُوهَبُ وَلَا تُوَرَّثُ كَسَائِرِ الْوُقُوفِ وَقَالَ فِي مِثْلِهِ مِنْ كِتَابِ الرَّهْنِ إِنَّهُ لَوْ رَهَنَ أَرْضًا مِنْ أَرْضِ الْخَرَاجِ كَانَ الرَّهْنُ بَاطِلًا ثُمَّ إِنَّ عُمَرَ بَعْدَ وَقْفِهَا أَجَّرَهَا لِلدَّهَاقِينِ وَالْأُكَرَةِ بِالْخَرَاجِ الَّذِي ضَرَبَهُ عَلَيْهَا يُؤَدِّيهِ فِي كُلِّ سَنَةٍ أُجْرَةً عَنْ رِقَابِهَا فَيَكُونُوا أَحَقَّ بِالتَّصَرُّفِ فِيهَا لِأَصْلِ الْإِجَازَةِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ مِلْكًا لَهُمْ وَإِذَا مَاتَ أَحَدُهُمُ انْتَقَلَ إِلَى وَارِثِهِ يَدًا لَا مِلْكًا كَالْمَوْرُوثِ وَبِهِ قَالَ أَبُو سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيُّ وَأَكْثَرُ الْبَصْرِيِّينَ وَاخْتَلَفَ مَنْ قَالَ بِهَذَا فِيمَا تُوُجَّهَ الْوَقْفُ إِلَيْهِ عَلَى وَجْهَيْنِ

Adapun bagian kedua membahas tentang hukum yang telah ditetapkan atas tanah Sawad setelah dilakukan penyerahan atasnya. Pendapat yang ditegaskan oleh asy-Syafi‘i dalam Siyar al-Waqidi adalah bahwa ‘Umar telah mewakafkan tanah tersebut untuk seluruh kaum Muslimin, sehingga tanah itu tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwariskan seperti halnya wakaf-wakaf lainnya. Ia juga berkata dalam kitab ar-Rahn, bahwa jika seseorang menggadaikan tanah dari tanah kharaj, maka gadai tersebut batal. Kemudian, setelah mewakafkannya, ‘Umar menyewakan tanah itu kepada para dehqan dan petani dengan kharaj yang telah ditetapkan atasnya, yang harus dibayarkan setiap tahun sebagai sewa atas pengelolaan tanah tersebut. Dengan demikian, mereka lebih berhak mengelola tanah itu berdasarkan asal kebolehan, meskipun tanah itu bukan milik mereka. Jika salah satu dari mereka meninggal, hak pengelolaan itu berpindah kepada ahli warisnya sebagai hak pengelolaan, bukan kepemilikan, seperti halnya warisan. Pendapat ini juga dipegang oleh Abu Sa‘id al-Istakhri dan mayoritas ulama Basrah. Namun, di antara yang berpendapat demikian terdapat perbedaan pendapat mengenai kepada siapa wakaf itu diarahkan, yang terbagi menjadi dua pendapat.

أَحَدُهُمَا إِلَى جَمِيعِ الْأَرْضِ مِنْ مَزَارِعَ وَمَنَازِلَ

Salah satunya mencakup seluruh tanah, baik berupa lahan pertanian maupun tempat tinggal.

وَالثَّانِي إِلَى الْمَزَارِعِ دُونَ الْمَنَازِلِ لِأَنَّ وَقْفَ الْمَنَازِلِ مُفْضٍ إِلَى خَرَابِهَا فَهَذَا قَوْلُ مَنْ جَعَلَهَا وَقْفًا

Dan yang kedua adalah (wakaf) untuk lahan pertanian, bukan untuk rumah-rumah, karena mewakafkan rumah akan menyebabkan kerusakannya. Inilah pendapat orang yang menjadikannya sebagai wakaf.

وَقَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ وَأَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ لَمْ يَقِفْهَا عُمَرُ وَإِنَّمَا بَاعَهَا عَلَى أَرْبَابِهَا بِثَمَنٍ يُؤَدَّى فِي كُلِّ سَنَةٍ عَلَى الْأَبَدِ بِالْخَرَاجِ الْمَضْرُوبِ عَلَيْهَا لِيَنْتَفِعَ بِهَا الْآخَرُونَ كَمَا انْتَفَعَ بِهَا الْأَوَّلُونَ وَيَكُونَ الْخَرَاجُ ثَمَنًا وَيَجُوزُ أَنْ تُبَاعَ وَتُوهَبَ وَتُوَرَّثَ قَالُوا وَإِنَّمَا كَانَتْ مَبِيعَةً وَلَمْ تَكُنْ وَقْفًا لِأَمْرَيْنِ

Abu al-Abbas bin Surayj dan Abu Ishaq al-Marwazi berkata: Umar tidak mewakafkannya, melainkan menjualnya kepada para pemiliknya dengan harga yang dibayarkan setiap tahun untuk selamanya berupa kharaj yang ditetapkan atasnya, agar orang-orang setelahnya dapat mengambil manfaat darinya sebagaimana orang-orang sebelumnya telah mengambil manfaat darinya. Kharaj itu menjadi harga, dan boleh dijual, dihibahkan, serta diwariskan. Mereka berkata: Tanah itu memang dijual dan tidak dijadikan wakaf karena dua alasan.

أَحَدُهُمَا أَنَّ عُمَرَ قَصَدَ بِمَا فَعَلَهُ فِيهَا حِفْظَ عِمَارَتِهَا وَلَوْ كَانَتْ وَقْفًا لَا يَمْلِكُهَا الْمُتَصَرِّفُ وَيَرَى أَنَّهَا لَيْسَتْ مِلْكًا مَبِيعًا مَوْرُوثًا لَمْ يَشْرَعْ أَهْلُهَا فِي تَأْبِيدِ عِمَارَتِهَا وَرَاعَوْا مَا يَتَعَجَّلُونَ بِهِ اسْتِغْلَالَهَا فَأَفْضَى ذَلِكَ إِلَى خَرَابِهَا وَزَوَالِ الْغَرَضِ الْمَقْصُودِ بِهَا

Salah satunya adalah bahwa Umar bermaksud dengan apa yang dilakukannya terhadapnya untuk menjaga kelestarian bangunannya. Jika itu adalah wakaf yang tidak dimiliki oleh pengelolanya, dan ia memandang bahwa tanah itu bukanlah milik yang bisa dijual atau diwariskan, maka para pemiliknya tidak akan menetapkan aturan untuk menjaga kelestarian bangunannya secara abadi, dan mereka hanya memperhatikan keuntungan yang bisa segera mereka peroleh dari pemanfaatannya. Hal itu akhirnya menyebabkan kerusakan bangunan tersebut dan hilangnya tujuan utama yang dimaksudkan darinya.

وَالثَّانِي أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَزُلْ أَهْلُهَا عَلَى قَدِيمِ الْوَقْتِ وَحَدِيثِهِ يَتَبَايَعُونَهَا وَيَتَوَارَثُونَهَا وَلَا يُنْكِرُهُ عَلَيْهِمْ أَحَدٌ مِنْ أَئِمَّةِ الْأَمْصَارِ وَلَا يُبْطِلُهُ أَحَدٌ مِنَ الْقُضَاةِ وَالْحُكَّامِ وَلَا يَمْتَنِعُ أَحَدٌ مِنَ الْعُلَمَاءِ مِنْ أَهْلِ الدِّيَانَاتِ أَنْ يَتَبَايَعُوهَا وَيَتَوَارَثُوهَا دَلَّ عَلَى انْعِقَادِ الْإِجْمَاعِ عَلَى خُرُوجِهَا مِنْ أَحْكَامِ الْوَقْفِ إِلَى أَحْكَامِ الْأَمْلَاكِ

Kedua, karena penduduknya sejak dahulu hingga sekarang senantiasa memperjualbelikan dan mewariskan (harta tersebut), dan tidak ada seorang pun dari para imam di berbagai negeri yang mengingkarinya, tidak ada seorang pun dari para qadhi dan penguasa yang membatalkannya, serta tidak ada seorang pun dari para ulama ahli agama yang menolak untuk memperjualbelikan dan mewariskannya, maka hal itu menunjukkan terjadinya ijmā‘ atas keluarnya (harta tersebut) dari hukum waqaf menuju hukum kepemilikan.

قَالُوا وَإِنَّمَا اسْتَجَازَ عُمَرُ بَيْعَهَا بِهَذَا الثَّمَنِ الْمَجْهُولِ الْمُؤَبَّدِ لِأَمْرَيْنِ

Mereka berkata, sesungguhnya ‘Umar membolehkan penjualannya dengan harga yang tidak diketahui dan bersifat permanen itu karena dua hal.

أَحَدُهُمَا لِوُصُولِهَا مِنْ جِهَةِ الْمُشْرِكِينَ الْمَعْفُوِّ عَنِ الْجَهَالَةِ فِيمَا صَارَ مِنْهُمْ كَمَا بَذَلَ رَسُولُ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي الْبَدْأَةِ وَالرَّجْعَةِ الثُّلُثَ وَالرُّبْعَ مِنَ الْغَنِيمَةِ وَإِنْ كَانَ قَدْرُهَا مَجْهُولًا وَكَمَا يَجُوزُ أَنْ يُبْذُلَ لِمَنْ دَلَّ عَلَى الْقَلْعَةِ فِي بِلَادِ الشِّرْكِ جَارِيَةٌ مِنْ أَهْلِهَا وَإِنْ جُهِلَتْ

Salah satunya adalah karena datangnya dari pihak musyrik yang dimaafkan ketidaktahuan terhadap apa yang berasal dari mereka, sebagaimana Rasulullah saw. pada awal dan akhir peperangan memberikan sepertiga dan seperempat dari ghanīmah, meskipun jumlahnya tidak diketahui, dan sebagaimana boleh memberikan kepada orang yang menunjukkan letak benteng di negeri musyrik seorang budak perempuan dari penduduknya, meskipun budak itu tidak diketahui secara pasti.

وَالثَّانِي أَنَّ مَا تَعَلَّقَ بِالْمَصَالِحِ الْعَامَّةِ يُخَفَّفُ حُكْمُ الْجَهَالَةِ فِيهِ لِلْجَهَالَةِ بِأَحْكَامِ الْعُمُومِ

Kedua, bahwa perkara yang berkaitan dengan kemaslahatan umum, hukum jahalah (ketidakjelasan) padanya diringankan karena adanya ketidakjelasan dalam hukum-hukum yang bersifat umum.

وَإِطْلَاقُ هَذَيْنِ الْمَذْهَبَيْنِ فِي وَقْفِهَا وَبَيْعِهَا عِنْدِي مَعْلُولٌ لِأَنَّ مَا فَعَلَهُ عُمَرُ فِيهَا لَا يَثْبُتُ بِالِاجْتِهَادِ حَتَّى يَكُونَ نَقْلًا مَرْوِيًّا وَقَوْلًا مَحْكِيًّا عَنْ عَقْدٍ صَرِيحٍ يَسْتَوْثِقُ فِيهِ بِالْكِتَابِ وَالشَّهَادَاتِ فِي الْأَغْلَبِ وَهَذَا مَعْدُومٌ فِيهِ فَلَمْ يَصِحَّ الْقَطْعُ بِوَقْفِهَا لِمَا عَلَيْهِ النَّاسُ مِنْ تَبَايُعِهَا وَلَا الْقَطْعُ بِبَيْعِهَا بِالْخَرَاجِ الْمَضْرُوبِ عَلَيْهَا لِأَمْرَيْنِ

Penerapan dua mazhab ini dalam hal mewakafkan dan menjual tanah tersebut menurut saya masih bermasalah, karena apa yang dilakukan Umar terhadap tanah itu tidak dapat ditetapkan hanya dengan ijtihad, kecuali jika ada riwayat yang jelas dan perkataan yang dinukil dari akad yang tegas, yang biasanya diperkuat dengan pencatatan dan kesaksian. Namun, hal ini tidak ditemukan dalam kasus tersebut. Oleh karena itu, tidak dapat dipastikan keabsahan wakaf atas tanah itu karena kebiasaan masyarakat yang memperjualbelikannya, dan juga tidak dapat dipastikan keabsahan penjualannya karena adanya pajak (kharāj) yang dikenakan atasnya, karena dua alasan.

أَحَدُهُمَا أَنَّ الْخَرَاجَ مُخَالِفٌ لِلْأَثْمَانِ بِالْجَهَالَةِ وَأَنَّهُ مُقَدَّرٌ بِالزِّرَاعَةِ

Salah satunya adalah bahwa kharāj berbeda dengan harga-harga karena adanya ketidakjelasan, dan bahwa kharāj ditetapkan berdasarkan pertanian.

وَالثَّانِي أَنَّ مُشْتَرِيَهَا يَدْفَعُ خَرَاجَهَا دُونَ بَائِعِهَا فَيَصِيرُ دَافِعًا لِثَمَنَيْنِ وَلَيْسَ لِلْمَبِيعِ إِلَّا ثُمُنٌ وَاحِدٌ وَيَكُونُ مَا قِيلَ مِنْ وَقْفِهَا مَحْمُولًا عَلَى أَنَّهُ وَقَفَهَا عَلَى قِسْمَةِ الْغَانِمِينَ وَوَقَفَ خَرَاجَهَا عَلَى كَافَّةِ الْمُسْلِمِينَ فَيَكُونُ مِلْكُهَا مُطْلَقًا لِمَنْ أَقَرَّتْ عَلَيْهِ اسْتِصْحَابًا لِقَدِيمِ مِلْكِهِمْ لِمَا عُلِمَ مِنْ عُمُومِ الْمَصْلَحَةِ فِيهِ وَدَوَامِ الانتفاع به فتصير مخالفا للأرض الصُّلْحِ مِنْ وَجْهَيْنِ وَمُوَافِقَةً لَهَا مِنْ وَجْهَيْنِ

Kedua, bahwa pembelinya membayar kharaj-nya, bukan penjualnya, sehingga ia menjadi pembayar dua harga, padahal barang yang dijual itu hanya memiliki satu harga saja. Dan apa yang dikatakan tentang penahanannya (wakaf) dapat dimaknai bahwa ia mewakafkannya untuk pembagian kepada para pemenang perang (ghanimīn), dan mewakafkan kharaj-nya untuk seluruh kaum Muslimin. Maka kepemilikannya menjadi mutlak bagi siapa saja yang telah ditetapkan atasnya, berdasarkan kelangsungan kepemilikan lama mereka, karena diketahui adanya kemaslahatan umum di dalamnya dan keberlanjutan manfaatnya. Maka hal ini menjadi berbeda dengan tanah sulh dari dua sisi, dan serupa dengannya dari dua sisi pula.

فَأَمَّا الْوَجْهَانِ مِنَ الْمُخَالَفَةِ فَأَحَدُهُمَا أَنَّ أَرْضَ الصُّلْحِ لَا حَقَّ لِلْغَانِمِينَ فِي رِقَابِهَا فَيُمْنَعُونَ مِنْهَا جَبْرًا وَأَرْضَ السَّوَادِ كَانَتْ رِقَابُهَا لِلْغَانِمِينَ فَاسْتُنْزِلُوا عَنْهَا عَفْوًا وَعُوِّضَ مِنْهُن مَنْ أَبَى

Adapun dua sisi perbedaan itu, yang pertama adalah bahwa tanah shulh tidak ada hak bagi para penakluk atas kepemilikannya, sehingga mereka dicegah darinya secara paksa. Sedangkan tanah Sawad, kepemilikannya dahulu adalah milik para penakluk, lalu mereka diminta melepaskannya secara sukarela, dan bagi siapa yang enggan maka diberikan ganti rugi.

وَالثَّانِي أَنَّ خَرَاجَ أَرْضِ الصُّلْحِ لِأَهْلِ الْفَيْءِ خَاصَّةً وَفِيهِ الْخُمْسُ لِأَهْلِ الْخُمْسِ وَخَرَاجَ أَرْضِ السَّوَادِ لِكَافَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَلَا خُمْسَ فِيهِ لِأَهْلِ الْخُمْسِ لِأَنَّ الْخُمْسَ أُخْرِجَ عَنْهُ عِنْدَ قَسْمِهِ

Kedua, bahwa kharāj atas tanah shulh adalah khusus untuk ahl al-fay’ saja, dan di dalamnya terdapat seperlima (khumus) untuk ahl al-khumus. Adapun kharāj atas tanah Sawad adalah untuk seluruh kaum Muslimin, dan tidak ada seperlima (khumus) di dalamnya untuk ahl al-khumus, karena seperlima telah dikeluarkan darinya pada saat pembagiannya.

وَأَمَّا الْوَجْهَانِ فِي الْمُوَافَقَةِ فَأَحَدُهُمَا وَضْعُ الْخَرَاجِ عَلَى رِقَابِهَا

Adapun dua sisi dalam hal kesesuaian, maka salah satunya adalah penetapan kharāj atas leher-leher mereka.

وَالثَّانِي جَوَازُ بَيْعِهَا

Dan yang kedua adalah bolehnya menjualnya.

فَإِنْ قِيلَ فَقَدْ رُوِيَ عَنْ فَرْقَدٍ السَّبْخِيِّ أَنَّهُ قَالَ اشْتَرَيْتُ شَيْئًا مِنْ أَرْضِ السَّوَادِ فَأَتَيْتُ عُمَرَ فَأَخْبَرْتُهُ بِذَلِكَ فَقَالَ مِمَّنِ اشْتَرَيْتَهَا؟ فَقُلْتُ مِنْ أَرْبَابِهَا فَقَالَ هَؤُلَاءِ أَرْبَابُهَا يَعْنِي الصَّحَابَةَ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ بَيْعَهَا لَا يَجُوزُ

Jika dikatakan: Telah diriwayatkan dari Farqad as-Sabkhi bahwa ia berkata, “Aku membeli sesuatu dari tanah Sawad, lalu aku mendatangi Umar dan memberitahukan hal itu kepadanya. Umar bertanya, ‘Dari siapa kamu membelinya?’ Aku menjawab, ‘Dari para pemiliknya.’ Umar berkata, ‘Mereka itu adalah para pemiliknya,’ maksudnya para sahabat. Hal ini menunjukkan bahwa jual beli tanah tersebut tidak diperbolehkan.”

فَعَنْهُ جَوَابَانِ

Mengenai hal itu, ada dua jawaban.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ أَنْكَرَ الْبَائِعَ وَلَمْ يُنْكِرِ الْبَيْعَ

Salah satunya adalah bahwa ia mengingkari penjual, namun tidak mengingkari akad jual beli.

وَالثَّانِي أَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى مَا قَبْلَ اسْتِنْزَالِهِمْ عَنْهَا أَنَّ ابْتِيَاعَهَا لَا يَجُوزُ إِلَّا مِنَ الْغَانِمِينَ

Dan yang kedua, bahwa hal itu dimaknai pada masa sebelum mereka diturunkan darinya, yaitu bahwa pembeliannya tidak boleh kecuali dari para ghanimīn (orang-orang yang memperoleh harta rampasan perang).

فَصْلٌ

Fasal

فَأَمَّا بَيْعُ الْعِمَارَةِ وَالْيَدِ الْمُتَصَرِّفَةِ فَقَدِ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي جَوَازِهِ

Adapun jual beli ‘imārah dan hak pengelolaan (al-yad al-mutaṣarrifah), para fuqaha berbeda pendapat mengenai kebolehannya.

فَقَالَ مَالِكٌ يَجُوزُ بَيْعُهَا سَوَاءٌ كَانَ فِيهَا إِثَارَةٌ أَوْ لَمْ يَكُنْ

Maka Malik berkata, “Boleh menjualnya, baik di dalamnya terdapat pengadukan maupun tidak.”

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ إِنْ كَانَ فِيهَا إِثَارَةٌ جَازَ بَيْعُهَا وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهَا إِثَارَةٌ لَمْ يَجُزْ بيعها

Abu Hanifah berkata, “Jika di dalamnya terdapat atsar (bekas atau tanda), maka boleh menjualnya. Namun jika tidak terdapat atsar di dalamnya, maka tidak boleh menjualnya.”

وَقَالَ الشَّافِعِيُّ إِنْ كَانَ فِيهَا أَعْيَانٌ كَالزَّرْعِ وَالشَّجَرِ جَازَ بَيْعُهَا وَإِنْ كَانَتْ آثَارًا كَالْأثَارَةِ لَمْ يَجُزْ بَيْعُهَا لِأَنَّهَا مَنَافِعُ وَالْبَيْعُ إِنَّمَا يَصِحُّ فِي الْأَعْيَانِ دُونَ الْمَنَافِعِ كَمَا أَنَّ الْإِجَارَةَ تَصِحُّ فِي الْمَنَافِعِ دُونَ الْأَعْيَانِ لِأَنَّ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْعَقْدَيْنِ حُكْمًا

Syafi‘i berkata: Jika di dalamnya terdapat benda-benda nyata seperti tanaman dan pohon, maka boleh menjualnya. Namun jika hanya berupa bekas-bekas seperti sisa-sisa, maka tidak boleh menjualnya karena itu adalah manfaat, sedangkan jual beli hanya sah pada benda-benda nyata, bukan pada manfaat. Sebagaimana ijarah (sewa-menyewa) sah pada manfaat, bukan pada benda-benda nyata, karena masing-masing dari kedua akad tersebut memiliki hukum tersendiri.

فَصْلٌ

Fasal

فَأَمَّا قَدْرُ الْخَرَاجِ الْمَطْلُوبِ عَلَى الْأَرْضِ السَّوَادِ فَقَدْ رَوَى قَتَادَةُ عَنْ أَبِي مِجْلَزٍ أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ حُنَيْفٍ جَعَلَ عَلَى كُلِّ جَرِيبٍ مِنَ الْكَرْمِ عَشْرَةَ دَرَاهِمَ وَقِيلَ عَلَى كُلِّ جَرِيبٍ مِنَ النَّخْلِ ثَمَانِيَةَ دَرَاهِمَ وَعَلَى كُلِّ جَرِيبٍ مِنْ قَصَبِ السُّكَّرِ سِتَّةَ دَرَاهِمَ وَعَلَى كُلِّ جَرِيبٍ مِنَ الرَّطْبَةِ خَمْسَةَ دَرَاهِمَ وَعَلَى كُلِّ جَرِيبٍ مِنَ الْبُرِّ أَرْبَعَةَ دَرَاهِمَ وَعَلَى كُلِّ جَرِيبٍ مِنَ الشعير درهمين

Adapun besaran kharāj yang ditetapkan atas tanah Sawad, telah diriwayatkan oleh Qatadah dari Abu Mijlaz bahwa Utsman bin Hunaif menetapkan atas setiap jarīb kebun anggur sebesar sepuluh dirham, dan dikatakan atas setiap jarīb pohon kurma sebesar delapan dirham, atas setiap jarīb tebu sebesar enam dirham, atas setiap jarīb tanaman basah sebesar lima dirham, atas setiap jarīb gandum sebesar empat dirham, dan atas setiap jarīb jelai sebesar dua dirham.

وَحَكَى الشَّعْبِيُّ أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ حُنَيْفٍ مَسَحَ السَّوَادَ فَوَجَدَهُ سِتَّةً وَثَلَاثِينَ أَلْفَ أَلْفِ جَرِيبٍ فَوَضَعَ عَلَى كُلِّ جَرِيبٍ دِرْهَمًا وَقَفِيزًا

Asy-Sya‘bi meriwayatkan bahwa ‘Utsman bin Hunayf pernah mengukur wilayah Sawad dan mendapati luasnya tiga puluh enam juta jarib, lalu ia menetapkan pada setiap jarib satu dirham dan satu qafiz.

قَالَ يَحْيَى بْنُ آدَمَ وَهُوَ الْمَخْتُومُ الْحَجَّاجِيُّ وقِيلَ إِنَّ وَزَنَهُ ثَمَانِيَةُ أَرْطَالٍ فَكَانَ خَرَاجُهَا سِوَى الْبُرِّ وَالشَّعِيرِ مُتَّفَقًا عَلَى قَدْرِهِ فِي الرِّوَايَاتِ كُلِّهَا

Yahya bin Adam berkata, dan yang dimaksud adalah yang berstempel resmi dari Hajjaj, dan dikatakan bahwa beratnya delapan rithl, maka kharaj-nya selain gandum dan jelai telah disepakati kadarnya dalam seluruh riwayat.

وَاخْتُلِفَ فِي خَرَاجِ الْبُرِّ وَالشَّعِيرِ فَذَهَبَ أَهْلُ الْعِرَاقِ إِلَى تَقْدِيرِهِ بِقَفِيزٍ وَدِرْهَمٍ وَهَو الْمَأْخُوذُ مِنْهُمْ فِي الْأَيَّامِ الْعَادِلَةِ مِنْ مَمَالِكِ الْفُرْسِ وَقَدْ ذَكَرَهُ زُهَيْرٌ فِي شِعْرِهِ فَقَالَ

Terjadi perbedaan pendapat mengenai kharāj gandum dan jelai. Penduduk Irak berpendapat bahwa takarannya adalah satu qafīz dan satu dirham, dan inilah yang diambil dari mereka pada masa-masa keadilan di kerajaan Persia. Hal ini juga telah disebutkan oleh Zuhair dalam puisinya, ia berkata:

فَتُغْلِلْ لَكُمْ مَا تُغِلُّ لِأَهْلِهَا قُرًى بِالْعِرَاقِ مِنْ قَفِيزٍ وَدِرْهَمِ

Maka akan dipungut dari kalian sebagaimana dipungut dari penduduk negeri-negeri di Irak berupa satu qafiz dan satu dirham.

وَذَهَبَ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ وَطَائِفَةٌ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ إِلَى أَنَّ خَرَاجَ الْبُرِّ أَرْبَعَةُ دَرَاهِمَ وَخَرَاجَ الشَّعِيرِ دِرْهَمَانِ تَعْوِيلًا عَلَى رِوَايَةِ أَبِي مِجْلَزٍ

Abu Hamid al-Isfarayini dan sekelompok ulama dari kalangan Syafi’iyah berpendapat bahwa kharaj untuk gandum adalah empat dirham dan kharaj untuk jelai adalah dua dirham, berdasarkan riwayat dari Abu Majlaz.

وَكِلَا الْقَوْلَيْنِ عَلَى إِطْلَاقِهِ مَعْلُولٌ عِنْدِي لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا إسقاط للآخر والصحيح أن كلا الروايتين صحيحتين وإنما اختلفا لِاخْتِلَافِ النَّوَاحِي فَوُضِعَ عَلَى بَعْضِهَا قَفِيزٌ وَدِرْهَمٌ وَعَلَى بَعْضِهَا أَرْبَعَةُ دَرَاهِمَ عَلَى الْبُرِّ وَدِرْهَمَانِ عَلَى الشَّعِيرِ فَأَخَذَ الدِّرْهَمَ وَالْقَفِيزَ فَمَا كَانَ غالب زرعه برا وشعيرا وأخذ الأربعة دراهم عن الْبُرِّ وَالدِّرْهَمَيْنِ عَلَى الشَّعِيرِ مِمَّا كَانَ أَقَلُّ مُنْزَرَعِهِ بُرًّا وَشَعِيرًا لِأَنَّ مَا قَلَّ مَنْ نَاحِيَتِهِ غَلَا وَمَا كَثُرَ فِيهَا رَخُصَ فَزِيدَ مِنْ خَرَاجِ الْمَالِ وَنُقِصَ مِنْ خَرَاجِ الرَّخِيصِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Kedua pendapat tersebut, jika dipahami secara mutlak, menurutku tidak tepat, karena masing-masing dari keduanya meniadakan yang lain. Yang benar adalah bahwa kedua riwayat itu sama-sama sahih, hanya saja perbedaan keduanya disebabkan oleh perbedaan daerah. Maka, di sebagian daerah ditetapkan kewajiban satu qafiz dan satu dirham, dan di sebagian daerah lain ditetapkan empat dirham atas gandum dan dua dirham atas jelai. Maka, diambil ketentuan satu dirham dan satu qafiz untuk daerah yang mayoritas tanamannya adalah gandum dan jelai, dan diambil ketentuan empat dirham atas gandum dan dua dirham atas jelai untuk daerah yang sedikit tanaman gandum dan jelainya. Sebab, sesuatu yang sedikit di suatu daerah biasanya menjadi mahal, sedangkan yang banyak menjadi murah. Maka, ditambah beban pajak atas yang mahal dan dikurangi atas yang murah. Dan Allah Maha Mengetahui.

فَكَانَتْ ذِرَاعُ عُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ فِي مِسَاحَتِهِ ذِرَاعَ الْيَدِ وَقَبْضَةً وَإِبْهَامًا مَمْدُودَةً وَكَانَ مَبْلَغُ ارْتِفَاعِ السَّوَادِ فِي أَيَّامِ عُمَرَ بن الخطاب مائة ألف ألف وحياة عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ زِيَادٍ مِائَةَ أَلْفِ أَلْفٍ درهم وعشرين ألف ألف درهم وحياة زيادة مائة ألف ألف وخمسة وعشرين ألف ألف وحياة عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ زِيَادٍ مِائَةَ أَلْفِ أَلْفٍ وخمسة وثلاثين ألف ألف وحياة الحجاج الله ثمانية عشر ألف ألف لغشمه وإخرابه وَحَيَاة عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ ثَمَانِينَ أَلْفَ أَلْفٍ ثُمَّ بَلَغَ فِي آخِرِ أَيَّامِهِ مِائَةَ أَلْفِ أَلْفٍ وَعِشْرِينَ أَلْفَ أَلْفٍ لِعَدْلِهِ وَعِمَارَتِهِ

Panjang hasta ‘Utsman bin Hunaif dalam pengukurannya adalah sepanjang lengan tangan, satu genggaman, dan ibu jari yang direntangkan. Jumlah pendapatan wilayah pada masa ‘Umar bin Khattab mencapai seratus juta dirham, pada masa hidup ‘Ubaidullah bin Ziyad seratus dua puluh juta dirham, pada masa Ziyad seratus dua puluh lima juta dirham, pada masa hidup ‘Ubaidullah bin Ziyad seratus tiga puluh lima juta dirham, dan pada masa hidup al-Hajjaj delapan belas juta dirham karena kezalimannya dan kerusakannya. Pada masa ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz delapan puluh juta dirham, kemudian pada akhir masa pemerintahannya mencapai seratus dua puluh juta dirham karena keadilannya dan kemakmurannya.

فَصْلٌ

Fasal

وَلَا يَسْقُطُ عُشْرُ الزُّرُوعِ بِخَرَاجِ الْأَرْضِ وَيُجْمَعُ بَيْنَهُمَا عِنْدَ الشَّافِعِيِّ لِأَنَّ الْخَرَاجَ إِمَّا أَنْ يَكُونَ أُجْرَةً عَلَى قَوْلِهِ أَوْ ثَمَنًا عَلَى قَوْلِ مَنْ خَالَفَهُ مِنْ أَصْحَابِهِ وَالْعُشْرُ يَسْقُطُ بِوَاحِدٍ مِنْهُمَا

Zakat ‘usyur atas tanaman tidak gugur karena adanya kharaj atas tanah, dan menurut Imam Syafi‘i, keduanya dapat digabungkan. Sebab, kharaj itu bisa dianggap sebagai upah menurut salah satu pendapat beliau, atau sebagai harga menurut pendapat sebagian sahabat beliau yang lain, sedangkan zakat ‘usyur tidak gugur hanya dengan salah satu dari keduanya.

وَمَنَعَ أَبُو حَنِيفَةَ مِنَ الْجَمْعِ بَيْنَهُمَا وَأَسْقَطَ الْعُشْرَ بِالْخَرَاجِ وَقَدْ تَقَدَّمَ الْكَلَامُ مَعَهُ فِي كِتَابِ الزَّكَاةِ فَأَمَّا عُشْرُ زُرُوعِهِ فَمَصْرُوفٌ فِي أَهْلِ الصَّدَقَاتِ كَسَائِرِ الزَّكَوَاتِ

Abu Hanifah melarang penggabungan antara keduanya dan menggugurkan kewajiban ‘usyur dengan adanya kharāj. Pembahasan mengenai hal ini telah dijelaskan sebelumnya dalam Kitab Zakat. Adapun ‘usyur hasil tanaman, maka disalurkan kepada para penerima sedekah sebagaimana zakat-zakat lainnya.

وَخَالَفَ فِيهِ أَبُو حَنِيفَةَ فَجَعَلَ مَصْرِفَ الْغَنِيمَةِ وَالْفَيْءِ مُشْتَرَكًا وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ مَعَهُ فِي كِتَابِ قَسْمِ الصَّدَقَاتِ

Abu Hanifah berbeda pendapat dalam hal ini, beliau menjadikan penyaluran ghanīmah dan fai’ sebagai sesuatu yang bersifat bersama, dan pembahasan mengenai hal ini telah dijelaskan bersamanya dalam Kitab Pembagian Sedekah.

وَأَمَّا خَرَاجُ السَّوَادِ فَمَصْرِفُهُ فِي كُلِّ مَصْلَحَةٍ عَادَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ نَفْعُهَا مِنْ أَرْزَاقِ الْجَيْشِ وَتَحْصِينِ الثُّغُورِ وَابْتِيَاعِ الْكُرَاعِ وَالسِّلَاحِ وَبِنَاءِ الْمَسَاجِدِ وَالْقَنَاطِرِ وَأَرْزَاقِ الْقُضَاةِ وَالْأَئِمَّةِ وَمَنِ انْتَفَعَ بِهِ الْمُسْلِمُونَ مِنَ الْفُقَهَاءِ وَالْقُرَّاءِ وَالْمُؤَذِّنِينَ

Adapun kharāj wilayah Sawad, penggunaannya adalah untuk segala kemaslahatan yang manfaatnya kembali kepada kaum Muslimin, seperti untuk gaji pasukan, memperkuat perbatasan, membeli kuda dan senjata, membangun masjid dan jembatan, gaji para qādī, imam, serta siapa saja yang kaum Muslimin mengambil manfaat darinya seperti para fuqahā’, qurrā’, dan mu’adzzin.

فَصْلٌ

Bab

وَلَا يَجُوزُ لِلْإِمَامِ وَلَا لِوَالٍ مِنْ قِبَلِهِ يَضْمَنُ الْعُشْرَ وَالْخَرَاجَ لِأَحَدٍ مِنَ الْعُمَّالِ فَإِنْ عَقَدَ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا ضَمَانًا كَانَ عَقْدُهُ بَاطِلًا لَا يَتَعَلَّقُ بِهِ فِي الشَّرْعِ حُكْمٌ لِأَنَّ الْعَامِلَ مُؤْتَمَنٌ يَسْتَوْفِي مَا وَجَبَ وَيُؤَدِّي مَا حَصَّلَ لَا يَضْمَنُ نُقْصَانًا وَلَا يَمْلِكُ زِيَادَةً وَضَمَانُ الْأَمْوَالِ بِمُقَدَّرٍ مَعْلُومٍ يَقْتَضِي الِاقْتِصَارَ عَلَيْهِ وَيَمْلِكُ مَا زَادَ وَيَغْرَمُ مَا نَقَصَ وَهَذَا مُنَافٍ لِوَضْعِ الْعِمَالَةِ وَحُكْمِ الْأَمَانَةِ فَبَطَلَ

Tidak boleh bagi imam maupun pejabat yang diangkat olehnya untuk menjamin pembayaran ‘usyur dan kharaj kepada salah satu dari para amil. Jika mereka mengadakan akad jaminan atas salah satu dari keduanya, maka akad tersebut batal dan tidak memiliki konsekuensi hukum syar‘i, karena amil adalah orang yang dipercaya, ia hanya memungut apa yang wajib dan menyerahkan apa yang telah diperoleh, tidak menanggung kekurangan dan tidak berhak atas kelebihan. Jaminan harta dengan jumlah tertentu yang diketahui mengharuskan pembatasan pada jumlah itu, sehingga ia berhak atas kelebihan dan menanggung kekurangan, dan ini bertentangan dengan hakikat tugas amil dan hukum amanah, maka batal lah akad tersebut.

حُكِيَ أَنَّ رَجُلًا أَتَى ابْنَ عَبَّاسٍ يَتَقَبَّلُ مِنْهُ الْأُبُلَّةَ بِمِائَةِ أَلْفِ دِرْهَمٍ فضربه مائة سوط وصلبه حيا تعزيرا وأدبا

Diceritakan bahwa seorang laki-laki datang kepada Ibnu Abbas untuk menerima pengelolaan al-Ubullah darinya dengan seratus ribu dirham, maka Ibnu Abbas memukulnya seratus cambukan dan menyalibnya dalam keadaan hidup sebagai bentuk ta‘zīr dan pelajaran.

وَلَا يَجُوزُ تَضْمِينُ الْأَرْضِ لِأَرْبَابِهَا فِي عُشْرٍ وَلَا خَرَاجٍ لِأَنَّ الْعُشْرَ مُسْتَحَقٌّ إِنْ زُرِعَ وَسَاقِطٌ إِنْ قُطِعَ وَالْخَرَاجُ مُقَدَّرٌ عَلَى الْمِسَاحَةِ لَا يَجُوزُ أَنْ يُزَادَ فِيهِ وَلَا يُنْقَصَ مِنْهُ وَمَا هَذِهِ سَبِيلُهُ لَا يَصِحُّ تَضْمِينُهُ

Tidak boleh menetapkan tanggungan atas tanah kepada pemiliknya dalam hal ‘usyur maupun kharaj, karena ‘usyur itu menjadi hak jika tanahnya ditanami dan gugur jika tidak ditanami, sedangkan kharaj itu telah ditetapkan berdasarkan luas tanah, tidak boleh ditambah ataupun dikurangi, dan sesuatu yang keadaannya seperti ini tidak sah untuk dijadikan tanggungan.

فَأَمَّا إِجَارَتُهَا فَيَصِحُّ أَنْ يُؤَجِّرَهَا أَرْبَابُهَا وَلَا يَصِحُّ أَنْ يُؤَجِّرَهَا غَيْرُهَا لِأَنَّ حَقَّ السُّلْطَانِ فِيهَا قَدْ سَقَطَ بِخَرَاجِهَا

Adapun penyewaan tanah tersebut, maka sah bagi para pemiliknya untuk menyewakannya, dan tidak sah bagi selain mereka untuk menyewakannya, karena hak penguasa atas tanah itu telah gugur dengan adanya pembayaran kharaj.

فَصْلٌ

Bagian

فَأَمَّا تَفْسِيرُ كَلَامِ الشَّافِعِيِّ فِي أَوَّلِ الْبَابِ وَهُوَ قَوْلُهُ ” لَا أَعْرِفُ مَا أَقُولُهُ فِي أَرْضِ السَّوَادِ إِلَّا بِظَنٍّ مَقْرُونٍ إِلَى عِلْمٍ ” فَقَدْ أَُنكر هَذَا الْكَلَامُ عَلَى الشَّافِعِيِّ مِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun penjelasan ucapan asy-Syafi‘i di awal bab, yaitu perkataannya: “Aku tidak mengetahui apa yang harus aku katakan tentang tanah Sawad kecuali dengan dugaan yang disertai dengan ilmu,” maka ucapan ini telah diingkari atas asy-Syafi‘i dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا قَوْلُهُ لَا أَعْرِفُ مَا أَقُولُ فِي أَرْضِ السَّوَادِ مَا أَحَدٌ بَدَأَ فِي كِتَابٍ فِي عِلْمٍ بِمِثْلِ هَذَا اللَّفْظِ لِأَنَّ مَنْ لَمْ يَعْرِفْ شَيْئًا لَمْ يَجُزْ أَنْ يَتَعَرَّضَ لِإِثْبَاتِ حُكْمِهِ

Salah satunya adalah ucapannya: “Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan tentang tanah Sawad; tidak ada seorang pun yang memulai dalam sebuah kitab ilmu dengan ungkapan seperti ini, karena siapa yang tidak mengetahui sesuatu, tidak boleh baginya untuk menetapkan hukumnya.”

وَالثَّانِي قَوْلُهُ إِلَّا بِظَنٍّ مَقْرُونٍ إِلَى عِلْمٍ وَالظَّنُّ شَكٌّ وَالْعِلْمُ يَقِينٌ وَهُمَا ضِدَّانِ فَكَيْفَ يَصِحُّ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا وَهُوَ مُمْتَنِعٌ؟

Yang kedua adalah ucapannya “kecuali dengan dugaan (ẓann) yang disertai dengan ilmu.” Dugaan (ẓann) adalah keraguan, sedangkan ilmu adalah keyakinan, dan keduanya adalah dua hal yang saling bertentangan. Maka bagaimana mungkin keduanya dapat digabungkan, padahal itu mustahil?

قِيلَ أَمَّا قَوْلُهُ لَا أَعْرِفُ مَا أَقُولُ فِي أرض السواد فلأن الطريق إلى العلم يفتحها النَّقْلُ الْمَرْوِيُّ وَقَدِ اخْتَلَفَتِ الرِّوَايَةُ عَنْهُ فَرَوَى بَعْضُهُمْ أَنَّهَا فُتِحَتْ صُلْحًا وَرَوَى بَعْضُهُمْ أَنَّهَا فُتِحَتْ عَنْوَةً وَرَوَى آخَرُونَ أَنَّ بَعْضَهَا فُتِحَ صُلْحًا وَبَعْضَهَا فُتِحَ عَنْوَةً

Dikatakan, adapun ucapannya “Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan tentang tanah Sawad,” itu karena jalan untuk mengetahui hal tersebut dibuka melalui riwayat yang diriwayatkan, dan telah terjadi perbedaan riwayat tentangnya. Sebagian mereka meriwayatkan bahwa tanah itu dibuka melalui perdamaian (ṣulḥ), sebagian lagi meriwayatkan bahwa tanah itu dibuka dengan penaklukan secara paksa (‘anwatan), dan yang lain meriwayatkan bahwa sebagian tanah itu dibuka melalui perdamaian dan sebagian lagi dibuka dengan penaklukan secara paksa.

وَهَذَا الِاخْتِلَافُ فِي النَّقْلِ يَمْنَعُ مِنَ الْأَخْذِ بِأَحَدِهَا إِلَّا بِدَلِيلٍ فَحَسُنَ أَنْ يَقُولَ لَا أَعْرِفُ إِثْبَاتَ أَحَدِهِمَا وَإِنْ كُنْتُ أَعْرِفُ نَقْلَ جَمِيعِهَا

Perbedaan dalam riwayat ini menghalangi untuk mengambil salah satunya kecuali dengan adanya dalil, maka baiklah seseorang mengatakan, “Saya tidak mengetahui penetapan salah satunya, meskipun saya mengetahui riwayat seluruhnya.”

وَأَمَّا قَوْلُهُ ” إِلَّا بِظَنٍّ مَقْرُونٍ إِلَى عِلْمٍ ” فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي مُرَادِهِ بِهِ عَلَى مَا هُوَ مَحْمُولٌ عَلَى فَتْحِهَا أَوْ عَلَى حُكْمِهَا عَلَى وَجْهَيْنِ

Adapun ucapannya “kecuali dengan dugaan yang disertai dengan ilmu”, para ulama kami berbeda pendapat mengenai maksudnya, apakah yang dimaksud adalah berdasarkan lafazhnya atau berdasarkan hukumnya, terdapat dua pendapat dalam hal ini.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى فَتْحِهَا أَنَّهُ عَنْوَةٌ لَا صُلْحًا وَهُوَ الْمَشْهُورُ مِنْ قَوْلِهِ

Salah satunya adalah bahwa hal itu dimaknai sebagai penaklukan dengan kekuatan (anwah), bukan melalui perdamaian (ṣulḥ), dan inilah pendapat yang masyhur dari beliau.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى حُكْمِهَا أَنَّهَا وَقْفٌ لَا يَجُوزُ بَيْعُهَا وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِهِ

Pendapat kedua adalah bahwa hal itu dimaknai menurut hukumnya, yaitu bahwa ia adalah wakaf yang tidak boleh dijual, dan inilah yang tampak dari mazhabnya.

فَإِنْ قِيلَ إِنَّ الْمُرَادَ فَتْحُهَا فَفِي تَأْوِيلِ قَوْلِهِ ” إِلَّا بِظَنٍّ مَقْرُونٍ إِلَى عِلْمٍ ” وَجْهَانِ

Jika dikatakan bahwa yang dimaksud adalah membukanya, maka dalam penafsiran firman-Nya “kecuali dengan dugaan yang disertai dengan ilmu” terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ أَرَادَ بِالظَّنِّ هُنَا الِاجْتِهَادَ الَّذِي هُوَ غَلَبَةُ الظَّنِّ وَأَرَادَ بِالْعِلْمِ الْخَبَرَ لِأَنَّ جِنْسَ الْأَخْبَارِ قَدْ يُفْضِي إِلَى الْعِلْمِ فَكَأَنَّهُ تَوَصَّلَ بِاجْتِهَادِهِ وَغَلَبَةِ ظَنِّهِ إِلَى إِثْبَاتِ خَبَرِ جَرِيرٍ وَعَلِمَ مِنْ خَبَرِ جَرِيرٍ أَنَّهَا فُتِحَتْ عَنْوَةً

Salah satu penjelasannya adalah bahwa yang dimaksud dengan “zann” di sini adalah ijtihad, yaitu dugaan kuat, dan yang dimaksud dengan “ilmu” adalah khabar, karena jenis khabar dapat mengantarkan kepada ilmu. Seolah-olah ia telah sampai, melalui ijtihad dan dugaan kuatnya, pada penetapan khabar dari Jarir, dan ia mengetahui dari khabar Jarir bahwa kota itu dibuka secara ‘anwatan (dengan kekuatan).

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّ الِاجْتِهَادَ وَغَلَبَةَ الظَّنِّ هُوَ فِيمَا خَفِيَ وَاشْتَبَهَ مَنْ سَبَبِ فَتْحِهَا وَالْعِلْمُ هُوَ فِيمَا ظَهَرَ وَانْتَشَرَ مِنْ قَسْمِهَا فَاسْتَدَلَّ بِظَاهِرِ الْقِسْمَةِ عَلَى بَاطِنِ الْعَنْوَةِ

Adapun alasan yang kedua adalah bahwa ijtihad dan dominasi dugaan kuat (ghalabat azh-zhann) berlaku pada hal-hal yang samar dan tersembunyi dari sebab pembukaannya, sedangkan ilmu berlaku pada hal-hal yang jelas dan tersebar dari jenisnya. Maka, digunakanlah yang tampak dari pembagian untuk menunjukkan yang tersembunyi dari an-nuwah.

وَإِنْ قِيلَ إِنَّ الْمُرَادَ بِهِ حُكْمُهَا لِأَنَّهَا وَقْفٌ فَفِي تَأْوِيلِ قَوْلِهِ إِلَّا بِظَنٍّ مَقْرُونٍ إِلَى عِلْمٍ وَجْهَانِ

Dan jika dikatakan bahwa yang dimaksud dengannya adalah hukumnya karena ia adalah wakaf, maka dalam penafsiran firman-Nya “kecuali dengan dugaan yang disertai dengan ilmu” terdapat dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّ الْعِلْمَ مَا فَعَلَهُ عُمَرُ مِنَ اسْتِنْزَالِهِمْ عَنْهَا وَغَلَبَةَ الظَّنِّ فِيمَا حَكَمَ بِهِ مِنْ وَقْفِهَا

Salah satunya adalah bahwa pengetahuan itu adalah apa yang dilakukan Umar dengan menurunkan mereka darinya dan dugaan kuat dalam apa yang ia putuskan berupa penahanan atasnya.

وَالثَّانِي أَنَّ الْعِلْمَ وَضْعُ الْخَرَاجِ عَلَيْهَا وَغَلَبَةَ الظَّنِّ فِي الْمَنْعِ مِنْ بَيْعِهَا وَاللَّهُ أعلم

Kedua, bahwa yang diketahui adalah penetapan kharaj atasnya dan kuatnya dugaan dalam larangan menjualnya. Allah lebih mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَأَيُّ أَرْضٍ فُتِحَتْ صُلْحًا عَلَى أَنَّ أَرْضَهَا لأهلها يودون فِيهَا خَرَاجًا فَلَيْسَ لِأَحَدٍ أَخْذُهَا مِنْ أَيْدِيهِمْ وَمَا أُخِذَ مِنْ خَرَاجِهَا فَهُوَ لِأَهْلِ الْفَيْءِ دون أهل الصدقات لأنه فيء من مال مشرك وإنما فرق بين هذه المسألة والمسألة قبلها أن ذلك وإن كان من مشرك فقد ملك المسلمون رقبة الأرض أفليس بحرام أن يأخذ منه صاحب صدقة ولا صاحب فيء ولا غني ولا فقير لأنه كالصدقة الموقوفة يأخذها من وقفت عليه “

Imam Syafi‘i berkata, “Setiap tanah yang dibuka melalui perdamaian dengan syarat tanahnya tetap milik penduduknya dan mereka membayar kharāj atasnya, maka tidak boleh seorang pun mengambil tanah itu dari tangan mereka. Apa yang diambil dari kharāj tanah tersebut adalah hak bagi ahl al-fay’ dan bukan untuk ahl al-shadaqāt, karena itu adalah fay’ dari harta orang musyrik. Perbedaan antara masalah ini dan masalah sebelumnya adalah bahwa pada kasus sebelumnya, meskipun berasal dari orang musyrik, kaum muslimin telah memiliki kepemilikan penuh atas tanah tersebut. Bukankah haram bagi pemilik shadaqah, pemilik fay’, orang kaya, maupun orang miskin untuk mengambilnya, karena ia seperti shadaqah yang diwakafkan, hanya boleh diambil oleh pihak yang memang diperuntukkan baginya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ اعْلَمْ أَنَّ مَا اسْتُولِيَ عَلَيْهِ من أرض بلاد الترك يَنْقَسِمُ عَلَى خَمْسَةِ أَقْسَامٍ

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa tanah yang dikuasai dari negeri-negeri Turk terbagi menjadi lima bagian.

أَحَدُهَا مَا فَتَحُوهُ عَنْوَةً وَاسْتَوْلَوْا عَلَيْهِ قَهْرًا فَهِيَ مِلْكٌ لِلْغَانِمِينَ تُقَسَّمُ بَيْنَهُمْ قِسْمَةَ الْأَمْوَالِ بَعْدَ أَخْذِ خُمْسِهَا لِأَهْلِ الْخُمْسِ وَلِلْغَانِمِينَ أَنْ يَتَصَرَّفُوا فِيمَا قُسِّمَ لَهُمْ تَصَرُّفَ الْمَالِكِينَ بِالْبَيْعِ وَالرَّهْنِ وَالْهِبَةِ وَإِنْ خَالَفَ فِيهَا مَالِكٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ خِلَافًا قَدَّمْنَاهُ وَتَكُونُ أَرْضَ عُشْرٍ لَا خَرَاجَ عَلَيْهَا إِلَّا أَنْ يَسْتَنْزِلَهُمُ الْإِمَامُ عَنْهَا كَالَّذِي فَعَلَهُ عُمَرُ فَيَكُونَ حُكْمًا عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ فِي أَرْضِ السَّوَادِ

Salah satunya adalah tanah yang mereka taklukkan dengan paksa dan kuasai secara paksa, maka tanah itu menjadi milik para mujahid yang berperang, dibagikan di antara mereka seperti pembagian harta setelah diambil seperlimanya untuk ahli khumus. Para mujahid berhak memperlakukan bagian yang dibagikan kepada mereka seperti hak milik, baik dengan menjual, menggadaikan, maupun menghadiahkannya, meskipun dalam hal ini Malik dan Abu Hanifah memiliki pendapat berbeda yang telah kami sebutkan sebelumnya. Tanah tersebut menjadi tanah ‘usyur yang tidak dikenakan kharaj, kecuali jika imam menurunkan mereka darinya sebagaimana yang dilakukan Umar, maka hal itu menjadi hukum atas apa yang telah kami sebutkan sebelumnya tentang tanah Sawad.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي مَا أَسْلَمَ عَلَيْهِ أَهْلُهُ فَقَدْ صَارَتْ تِلْكَ الْأَرْضُ بِإِسْلَامِ أَهْلِهَا دَارَ إِسْلَامٍ وَأَرْضُهَا مَعْشُورَةٌ لَا يَجُوزُ أَنْ يُوضَعَ عَلَيْهَا خَرَاجٌ

Bagian kedua adalah tanah yang penduduknya masuk Islam, maka tanah tersebut dengan keislaman penduduknya telah menjadi dar al-Islam dan tanahnya menjadi tanah ‘usyur, tidak boleh dikenakan kharaj atasnya.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ الْإِمَامُ مُخَيَّرٌ فِيهَا بَيْنَ أَنْ يَجْعَلَهَا عُشْرًا أَوْ خَرَاجًا فَإِنْ جَعْلَهَا خَرَاجًا لَمْ يَجُزْ أَنْ يَنْقُلَهَا إِلَى الْعُشْرِ وَإِنْ جَعَلَهَا عُشْرًا جَازَ أَنْ يَنْقُلَهَا إِلَى الْخَرَاجِ وَهَذَا فَاسِدٌ مِنْ وَجْهَيْنِ نَصٌّ وَتَعْلِيلٌ

Abu Hanifah berpendapat bahwa imam diberi pilihan dalam hal ini antara menjadikannya sebagai ‘usyur atau sebagai kharaj. Jika imam telah menjadikannya sebagai kharaj, maka tidak boleh dialihkan menjadi ‘usyur. Namun jika imam telah menjadikannya sebagai ‘usyur, boleh dialihkan menjadi kharaj. Pendapat ini rusak dari dua sisi: dari sisi nash dan dari sisi alasan (‘illat).

أَحَدُهُمَا أَنَّ أَهْلَ الطَّائِفِ أَسْلَمُوا فَأَقَرَّهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَلَى أَمْلَاكِهِمْ فِي أَرْضِهِمْ فَكَانَتْ أَرْضَ عُشْرٍ لَمْ يَضْرِبْ عَلَيْهَا خَرَاجًا

Salah satunya adalah bahwa penduduk Thaif telah memeluk Islam, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membiarkan mereka tetap memiliki harta mereka di tanah mereka, sehingga tanah tersebut menjadi tanah ‘usyur dan tidak dikenakan kharaj atasnya.

وَالثَّانِي أَنَّ الْخَرَاجَ أحد الجزيتين فلم يجز أن يؤحذ من مسلم كالجزية على الرؤوس

Kedua, bahwa kharaj adalah salah satu dari dua jenis jizyah, sehingga tidak boleh diambil dari seorang Muslim seperti halnya jizyah yang dikenakan atas kepala.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ مَا جَلَا عَنْهُ أَهْلُهُ مِنَ الْبِلَادِ خَوْفًا حَتَّى اسْتَوْلَى عَلَيْهِ الْمُسْلِمُونَ فَأَرْضُهُمْ فِي مَخْمُوسٍ تُوقَفُ رِقَابُهَا وَيُصْرَفُ ارْتِفَاعُهَا مَصْرِفَ الْفَيْءِ فَإِنْ ضَرَبَ الْإِمَامُ عَلَيْهَا خَرَاجًا جَازَ وَكَانَ الْخَرَاجُ أُجْرَةً يُصْرَفُ مَصْرِفَ الْفَيْءِ فَيَكُونُ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ بَعْدَ الْخُمْسِ مَصْرُوفًا إِلَى الْجَيْشِ خَاصَّةً وَفِي الْقَوْلِ الثَّانِي فِي جَمِيعِ الْمَصَالِحِ الَّتِي مِنْهَا أَرْزَاقُ الْجَيْشِ وَفِيمَا يَصِيرُ بِهِ وَقْفًا وَجْهَانِ

Bagian ketiga adalah tanah yang penduduknya meninggalkannya karena takut, sehingga kaum Muslimin menguasainya. Maka tanah mereka termasuk dalam kategori khumus, di mana kepemilikannya ditahan dan hasilnya disalurkan ke pos-pos fai’. Jika imam menetapkan kharaj atasnya, maka hal itu diperbolehkan dan kharaj tersebut menjadi semacam sewa yang disalurkan ke pos-pos fai’. Dalam salah satu pendapat, setelah seperlimanya (khumus) diambil, sisanya khusus disalurkan untuk pasukan. Dalam pendapat kedua, sisanya disalurkan untuk seluruh kemaslahatan, termasuk di dalamnya tunjangan pasukan, dan dalam hal tanah tersebut dijadikan wakaf, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يَصِيرُ وَقْفًا بِالِاسْتِيلَاءِ عَلَيْهَا وَلَا يُرَاعَى فِيهَا لَفْظُ الْإِمَامِ بِوَقْفِهَا

Salah satunya menjadi wakaf dengan penguasaan atasnya dan tidak dipertimbangkan lafaz imam dalam mewakafkannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا تَصِيرُ وَقْفًا إِلَّا أَنْ يَتَلَفَّظَ الْإِمَامُ بِوَقْفِهَا

Pendapat kedua, tidak menjadi wakaf kecuali jika imam mengucapkan secara lisan perihal pewakafannya.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ مَا صُولِحَ عَلَيْهِ الْمُشْرِكُونَ مِنْ أَرْضِهِمْ عَلَى أَنْ يَكُونَ مِلْكًا لِلْمُسْلِمِينَ بِخَرَاجٍ يُؤَدِّيهِ أَهْلُهَا إِلَى الْإِمَامِ فَهَذِهِ الْأَرْضُ فِي ذَلِكَ الِاسْتِيلَاءِ عَلَيْهَا بِغَيْرِ إِيجَافِ خَيْلٍ وَلَا رِكَابٍ وَتَصِيرُ وَقْفًا عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْوَجْهَيْنِ

Bagian keempat adalah tanah yang disepakati dengan kaum musyrik dari negeri mereka, yaitu agar tanah itu menjadi milik kaum Muslimin dengan kewajiban membayar kharāj yang diserahkan penduduknya kepada imam. Maka tanah ini, dalam penguasaan atasnya tanpa penyerangan dengan kuda atau kendaraan, menjadi wakaf sebagaimana yang telah kami sebutkan pada dua pendapat sebelumnya.

أَحَدُهُمَا قَدْ صَارَتْ وَقْفًا بِمُجَرَّدِ الصُّلْحِ

Salah satunya telah menjadi wakaf sejak terjadinya akad sulh.

وَالثَّانِي بِأَنْ يَتَلَفَّظَ الْإِمَامُ أَوْ مَنِ اسْتَنَابَهُ فِيهَا بِوَقْفِهَا وَتَصِيرُ الْأَرْضُ مِنْ بِلَادِ الْإِسْلَامِ وَلَا يَجُوزُ بَيْعُهَا كَسَائِرِ الْوُقُوفِ وَلَا يَقَرُّ فِيهَا أَهْلُهَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ إلا بالجزية المؤداة عن رؤوسهم وَلَا تَسْقُطُ جِزْيَتُهُمْ بِخَرَاجِ أَرْضِهِمْ لِأَنَّ خَرَاجَهَا أُجْرَةٌ لَا جِزْيَةٌ

Kedua, yaitu dengan imam atau orang yang mewakilinya mengucapkan secara lisan tentang penetapan tanah tersebut sebagai wakaf, maka tanah itu menjadi bagian dari negeri Islam dan tidak boleh dijual seperti wakaf-wakaf lainnya. Penduduknya yang berasal dari kalangan musyrik tidak boleh tetap tinggal di sana kecuali dengan membayar jizyah yang dibayarkan atas kepala mereka. Jizyah mereka tidak gugur dengan pembayaran kharaj atas tanah mereka, karena kharaj itu adalah sewa, bukan jizyah.

فَإِنِ انْتَقَلَتْ إِلَى يَدِ مُسْلِمٍ لَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ خَرَاجُهَا وَكَذَلِكَ لَوْ أسلم أهلها

Jika tanah tersebut berpindah ke tangan seorang Muslim, maka kewajiban membayar kharaj atasnya tidak gugur, demikian pula jika penduduknya memeluk Islam.

وَالْقِسْمُ الْخَامِسُ وَهُوَ مَسْأَلَةُ الْكِتَابِ أَنْ يُصَالِحُوا عَلَى الْأَرَضِينَ لَهُمْ بِخَرَاجٍ يُؤَدُّونَهُ عَنْهَا فَيَجُوزُ ويكون هذا الخراج جزية والأملاك طلق يَجُوزُ بَيْعُهَا وَيُنْظَرُ فِي بِلَادِهَا فَإِنْ لَمْ يَسْتَوْطِنْهَا الْمُسْلِمُونَ فَهِيَ دَارُ عَهْدٍ وَلَيْسَتْ دَارَ إِسْلَامٍ وَلَا دَارَ حَرْبٍ وَيَجُوزُ أَنْ يُقِرَّ أهلها بالخراج من غير جزية رؤوسهم وَلَا يَجْرِي عَلَيْهَا مِنْ أَحْكَامِنَا إِلَّا مَا يَجْرِي عَلَى الْمُعَاهِدِينَ دُونَ أَهْلِ الذِّمَّةِ وَالْمُسْلِمِينَ وَإِنِ اسْتَوْطَنَهَا الْمُسْلِمُونَ بِالِاسْتِيلَاءِ عَلَيْهَا صَارَتْ دَارَ إِسْلَامٍ وَصَارَ الْمُشْرِكُونَ فِيهَا أَهْلَ ذِمَّةٍ يَجِبُ عليهم جزية رؤوسهم فإن جمع عليهم بين جزية رؤوسهم وبين جزية أرضهم جَازَ وَإِنِ اقْتَصَرَ مِنْهُمْ عَلَى جِزْيَةِ أَرْضِهِمْ وَحْدَهَا جَازَ إِذَا بَلَغَ مَا يُؤْخَذُ مِنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْ أَهْلِهَا دِينَارًا فَصَاعِدًا

Bagian kelima, yaitu masalah kitab, adalah bahwa mereka dapat melakukan perjanjian damai atas tanah-tanah dengan kewajiban membayar kharaj yang harus mereka tunaikan atas tanah tersebut, maka hal itu diperbolehkan. Kharaj ini menjadi seperti jizyah, dan kepemilikan tanah tetap bebas sehingga boleh diperjualbelikan. Kemudian dilihat keadaan negerinya; jika kaum Muslimin tidak menetap di sana, maka negeri itu adalah Dār ‘Ahd, bukan Dār Islām dan bukan pula Dār Ḥarb. Diperbolehkan pula penduduknya tetap tinggal dengan kewajiban membayar kharaj tanpa jizyah atas kepala mereka, dan tidak berlaku atas mereka hukum-hukum kita kecuali yang berlaku atas kaum mu‘āhadīn, bukan atas ahludz-dzimmah maupun kaum Muslimin. Namun, jika kaum Muslimin menetap di sana dengan menguasainya, maka negeri itu menjadi Dār Islām dan orang-orang musyrik di dalamnya menjadi ahludz-dzimmah yang wajib membayar jizyah atas kepala mereka. Jika digabungkan antara kewajiban membayar jizyah kepala dan jizyah tanah atas mereka, maka itu boleh. Jika hanya diambil dari mereka jizyah tanah saja, maka itu juga boleh, selama jumlah yang diambil dari setiap orang di antara mereka mencapai satu dinar atau lebih.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ يَجِبُ أَنْ يَجْمَعَ عَلَيْهِمْ بَيْنَ جزية روؤسهم وَجِزْيَةِ أَرْضِهِمْ وَلَا يَجُوزُ الِاقْتِصَارُ عَلَى جِزْيَةِ الْأَرْضِ وَحْدَهَا وَهَذَا فَسَادٌ لِأَنَّ الْجِزْيَةَ وَاحِدَةٌ لَا يَجُوزُ مُضَاعَفَتُهَا عَلَى ذِي مَالٍ وَلَا غَيْرِهِ كَسَائِرِ أَهْلِ الذِّمَّةِ فَإِنْ أَسْلَمُوا سَقَطَتْ عنهم جزية رؤوسهم وَجِزْيَةُ أَرْضِهِمْ

Abu Hanifah berpendapat bahwa wajib untuk menggabungkan atas mereka antara jizyah kepala dan jizyah tanah mereka, dan tidak boleh hanya mencukupkan dengan jizyah tanah saja. Ini adalah pendapat yang rusak, karena jizyah itu satu, tidak boleh dilipatgandakan atas orang yang memiliki harta maupun yang tidak, sebagaimana berlaku pada seluruh ahludz-dzimmah. Jika mereka masuk Islam, maka gugurlah dari mereka jizyah kepala dan jizyah tanah mereka.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا تَسْقُطُ عَنْهُمْ جِزْيَةُ أَرْضِهِمْ بِالْإِسْلَامِ احْتِجَاجًا لَا خَرَاجَ عَنْ أَرْضٍ فَلَمْ يَسْقُطْ بِالْإِسْلَامِ كَالْخَرَاجِ عَلَى سَوَادِ الْعِرَاقِ

Abu Hanifah berpendapat bahwa jizyah atas tanah mereka tidak gugur dengan masuk Islam, dengan alasan bahwa tidak ada kharaj atas suatu tanah yang gugur karena Islam, sebagaimana kharaj atas tanah Sawad Irak.

وَدَلِيلُنَا مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” لَا يَنْبَغِي لِمُسْلِمٍ أَنْ يُؤَدِّيَ الْخَرَاجَ وَلَا لِمُشْرِكٍ أَنْ يَدْخُلَ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ ” وَلِأَنَّهُ مَالٌ حُقِنَتْ بِهِ دِمَاؤُهُمْ فَوَجَبَ أَنْ يسقط بإسلامهم كالجزية على الرؤوس

Dan dalil kami adalah apa yang diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Tidak sepantasnya bagi seorang Muslim untuk membayar kharāj dan tidak pula bagi seorang musyrik untuk masuk ke Masjidil Haram.” Selain itu, karena kharāj adalah harta yang dengan itu darah mereka terlindungi, maka wajib gugur dengan keislaman mereka sebagaimana jizyah atas kepala.

فَأَمَّا خَرَاجُ أَرْضِ السَّوَادِ فَلَيْسَ بِجِزْيَةٍ وَهُوَ أجرة أَحَدِ الْوَجْهَيْنِ وَثَمَنٌ فِي الْوَجْهِ الثَّانِي عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ اخْتِلَافِ أَصْحَابِنَا فِيهِ فَافْتَرَقَا وَهَكَذَا لَوْ بَاعُوا أَرْضَهُمْ عَلَى مُسْلِمٍ سَقَطَ خَرَاجُهَا عَنْهُ كَمَا يَسْقُطُ عَنْهُ بِإِسْلَامِهِمْ

Adapun kharāj atas tanah Sawad, maka itu bukanlah jizyah, melainkan merupakan sewa menurut salah satu pendapat, dan harga menurut pendapat yang lain, sebagaimana telah kami sebutkan perbedaan pendapat di antara para sahabat kami tentang hal itu, sehingga keduanya berbeda. Demikian pula, jika mereka menjual tanah mereka kepada seorang Muslim, maka kharāj atas tanah tersebut gugur darinya, sebagaimana kharāj itu gugur karena keislaman mereka.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قال الشافعي ” وَلَا بَأْسَ أَنْ يَكْتَرِيَ الْمُسْلِمُ مِنْ أَرْضِ الصُّلْحِ كَمَا يَكْتَرِي دَوَابَّهُمْ وَالْحَدِيثُ الَذِي جَاءَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لَا يَنْبَغِي لِمُسْلِمٍ أَنْ يُؤَدِّيَ الْخَرَاجَ وَلَا لِمُشْرِكٍ أَنْ يَدْخُلَ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ إِنَّمَا هُوَ خَرَاجُ الْجِزْيَةِ وَهَذَا كِرَاءٌ “

Imam Syafi‘i berkata, “Tidak mengapa seorang Muslim menyewa tanah dari wilayah shulh sebagaimana ia menyewa hewan-hewan mereka. Adapun hadits yang datang dari Nabi ﷺ: ‘Tidak sepantasnya bagi seorang Muslim membayar kharaj dan tidak pula bagi seorang musyrik memasuki Masjidil Haram,’ yang dimaksud adalah kharaj jizyah, sedangkan ini adalah sewa-menyewa.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا كَانَتْ أَرْضُ الصُّلْحِ مِلْكًا لِلْمُشْرِكِينَ وَعَلَيْهَا خَرَاجٌ لِلْمُسْلِمِينَ جَازَ لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَسْتَأْجِرَهَا مِنْهُمِ وَلَا يُكْرَهُ لَهُ ذَلِكَ وَكَرِهَهُ الإسلام لقول النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ

Al-Mawardi berkata, “Ini sebagaimana yang dikatakan, apabila tanah shulh adalah milik kaum musyrik dan atasnya terdapat kharaj untuk kaum Muslimin, maka boleh bagi seorang Muslim untuk menyewanya dari mereka dan hal itu tidak dimakruhkan baginya. Namun, Islam memakruhkannya berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

لَا يَنْبَغِي لِمُسْلِمٍ أَنْ يُؤَدِّيَ الْخَرَاجَ وَلَا لِمُشْرِكٍ أَنْ يَدْخُلَ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ “

Tidak sepantasnya seorang Muslim membayar kharāj, dan tidak sepantasnya seorang musyrik memasuki Masjidil Haram.

وَدَلِيلُنَا عَلَى إِبَاحَتِهِ وَعَدَمِ كَرَاهَتِهِ مَا رُوِيَ أَنَّ الْحَسَنَ بْنَ عَلِيٍّ عَلَيْهِمَا السَّلَامُ اسْتَأْجَرَ قِطْعَةً كَبِيرَةً مِنْ أَرْضِ الْخَرَاجِ وَكَذَلِكَ رُوِيَ عن ابن مسعود ومعاذ بن جبل رضي الله عنهما وَلَيْسَ يُعْرَفُ لَهُمْ مُخَالِفٌ وَلِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يُكْرَهْ أَنْ يَسْتَأْجِرَ مِنْهُمْ غَيْرَ الْأَرْضِينَ مِنَ الدَّوَابِّ وَالْآلَاتِ لَمْ يُكْرَهْ أَنْ يَسْتَأْجِرَ مِنْهُمُ الْأَرْضِينَ

Dalil kami tentang kebolehannya dan tidak makruhnya adalah riwayat bahwa Hasan bin Ali ‘alaihimas salam pernah menyewa sebidang besar tanah kharaj. Demikian pula diriwayatkan dari Ibnu Mas‘ud dan Mu‘adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhuma, dan tidak diketahui ada yang menyelisihi mereka. Selain itu, karena ketika tidak dimakruhkan menyewa dari mereka selain tanah, seperti hewan dan alat-alat, maka tidak dimakruhkan pula menyewa tanah dari mereka.

فَأَمَّا الْخَبَرُ فَلَا دَلِيلَ فِيهِ لِأَنَّ الْخَرَاجَ يُؤْخَذُ مِنْ مُؤَجِّرِهَا وَالْأُجْرَةَ تُؤْخَذُ مِنْ مُسْتَأْجِرِهَا فَإِنْ شَرَطَ الْخَرَاجَ عَلَى مُسْتَأْجِرِهَا صَحَّ إِنْ كَانَ مَعْلُومًا وَكَانَ أُجْرَةً فِي حَقِّ الْمُسْتَأْجِرِ وَخَرَاجًا فِي حَقِّ الْمُؤَجِّرِ

Adapun hadis tersebut, maka tidak terdapat dalil di dalamnya, karena kharāj diambil dari pihak yang menyewakan, sedangkan upah diambil dari pihak yang menyewa. Jika kharāj disyaratkan atas pihak yang menyewa, maka hal itu sah apabila kadarnya diketahui dan dianggap sebagai upah bagi pihak penyewa dan sebagai kharāj bagi pihak yang menyewakan.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِنْ بَاعَ الْمُشْرِكُ أَرْضَهُ هَذِهِ عَلَى مُشْرِكٍ صَحَّ وَكَانَ خَرَاجُهَا بَاقِيًا وَإِنْ بَاعَهَا عَلَى مُسْلِمٍ صَحَّ الْبَيْعُ وَسَقَطَ الْخَرَاجُ بِانْتِقَالِهَا إِلَى مِلْكِ الْمُسْلِمِ كَمَا لَوْ كَانَ مَالِكُهَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ قَدْ أَسْلَمَ

Jika seorang musyrik menjual tanahnya itu kepada musyrik lain, maka jual belinya sah dan kharajnya tetap berlaku. Namun jika ia menjualnya kepada seorang Muslim, maka jual belinya sah dan kewajiban kharaj gugur karena tanah itu berpindah ke kepemilikan Muslim, sebagaimana jika pemiliknya dari kalangan musyrik telah masuk Islam.

وَقَالَ بَيْعُهَا عَلَى الْمُسْلِمِ بَاطِلٌ لِأَنَّهُ مُفْضٍ إِلَى سُقُوطِهِ مَا اسْتَحَقَّهُ الْمُسْلِمُونَ عَلَيْهَا مِنَ الْخَرَاجِ وَهَذَا بَاطِلٌ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَلِأَنَّ كُلَّ ما صح بيعه من مشرك صَحَّ بَيْعُهُ مِنْ مُشْرِكٍ كَسَائِرِ الْأَمْوَالِ وَلِأَنَّ الْمُسْلِمَ لَوْ بَاعَ أَرْضَهُ عَلَى مُسْلِمٍ صَحَّ وَإِنْ أَفْضَى إِلَى إِسْقَاطِ الْعُشْرِ فَلِأَنْ يَجُوزَ بَيْعُ أَرْضِ الْمُشْرِكِ عَلَى الْمُسْلِمِ وَإِنْ أَفْضَى إِلَى إِسْقَاطِ الْخَرَاجِ أَوْلَى وَفِيهِ انْفِصَالٌ فَإِذَا ثَبَتَ صِحَّةُ الْبَيْعِ وَسُقُوطُ الْخَرَاجِ فَقَدْ قَالَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ يَرْجِعُ الْإِمَامُ بِمَا سَقَطَ مِنْ خَرَاجِهَا عَلَى أَهْلِ الصُّلْحِ فَإِنْ بَذَلُوهُ وَإِلَّا نَبَذَ إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ وَهَذَا خَطَأٌ مِنْ وَجْهَيْنِ

Ia berkata bahwa menjualnya kepada seorang Muslim adalah batal karena hal itu menyebabkan hilangnya hak kaum Muslimin atas tanah tersebut berupa kharāj, dan pendapat ini batal berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Allah telah menghalalkan jual beli,” serta karena segala sesuatu yang sah dijual oleh seorang musyrik, maka sah pula dijual dari musyrik, seperti harta-harta lainnya. Dan jika seorang Muslim menjual tanahnya kepada Muslim lain, maka sah, meskipun hal itu menyebabkan hilangnya kewajiban ‘usyur; maka lebih utama lagi bolehnya menjual tanah milik musyrik kepada Muslim, meskipun hal itu menyebabkan hilangnya kharāj. Dalam hal ini terdapat rincian: apabila telah tetap keabsahan jual beli dan hilangnya kharāj, maka Abu ‘Ali bin Abi Hurairah berkata: imam dapat menuntut kepada ahli shulh apa yang hilang dari kharājnya; jika mereka membayarnya, maka diterima, dan jika tidak, maka imam membatalkan perjanjian mereka. Ini adalah kesalahan dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّ الْمُسْتَحَقَّ عَلَيْهِمْ خَرَاجُ أَمْلَاكِهِمْ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُؤْخَذَ مِنْهُمْ خَرَاجُ مَا خَرَجَ عَنْ أَمْلَاكِهِمْ

Salah satunya adalah bahwa yang wajib atas mereka adalah membayar kharāj atas harta milik mereka, sehingga tidak boleh diambil dari mereka kharāj atas sesuatu yang telah keluar dari kepemilikan mereka.

وَالثَّانِي أَنَّهُ لَمَّا كَانَ سُقُوطُ خَرَاجِهَا بِإِسْلَامِ مَالِكِهَا لَا يَقْتَضِي الرُّجُوعَ عَلَيْهَا بِخَرَاجِهَا كَانَ بِإِسْلَامِ غَيْرِهِ أَوْلَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Kedua, ketika gugurnya kewajiban membayar kharaj atas tanah itu karena pemiliknya masuk Islam tidak menuntut untuk kembali membebankan kharaj atas tanah tersebut, maka dengan masuk Islamnya orang lain (selain pemilik) tentu lebih utama (untuk tidak dibebankan kharaj). Dan Allah lebih mengetahui.

بَابُ الْأَسِيرِ يُؤْخَذُ عَلَيْهِ الْعَهْدُ أَنْ لَا يهرب أو على الفداء

Bab tentang tawanan: diambil darinya janji agar tidak melarikan diri atau sebagai tebusan.

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ ” وَإِذَا أُسِرَ الْمُسْلِمُ فَأَحْلَفَهُ الْمُشْرِكُونَ عَلَى أَنْ لَا يَخْرُجَ مِنْ بِلَادِهِمْ إِلَّا أَنْ يُخْلُوهُ فَلَهُ أَنْ يَخْرُجَ لَا يَسَعُهُ أَنْ يُقِيمَ وَيَمِينُهُ يَمِينُ مُكْرَهٍ “

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Apabila seorang Muslim ditawan, lalu orang-orang musyrik memaksanya bersumpah untuk tidak keluar dari negeri mereka kecuali jika mereka membebaskannya, maka ia boleh keluar; tidak dibenarkan baginya untuk tetap tinggal, dan sumpahnya itu adalah sumpah orang yang dipaksa.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَمُقَدِّمَةُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ هِجْرَةُ مَنْ أَسْلَمَ مِنْ أَهْلِ الْحَرْبِ فَلَا يَخْلُو أَنْ يَكُونَ فِيهَا مُمْتَنِعًا أَوْ مُسْتَضْعَفًا فَإِنْ كَانَ فِيهَا مُسْتَضْعَفًا لَا يَأْمَنُ أَهْلَهَا عَلَى نَفْسِهِ وَأَهْلِهِ وَمَالِهِ وَجَبَ عَلَيْهِ إِذَا قَدَرَ عَلَى الْهِجْرَةِ أَنْ يُهَاجِرَ مِنْهَا إِلَى دَارِ الْإِسْلَامِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ الله واسعة فتهاجروا فيها الآية فَدَلَّ عَلَى وُجُوبِ الْهِجْرَةِ وَلِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” أَنَا بَرِيءٌ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ مَعَ مُشْرِكٍ قِيلَ وَلِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لَا تَرَاءَا نَارَاهُمَا ” يَعْنِي تُنْظَرُ نَارُهُ إِلَى نَارِهِ فَيَكْثُرُ سَوَادُ الْمُشْرِكِينَ

Al-Mawardi berkata: Pendahuluan dari masalah ini adalah hijrah orang yang masuk Islam dari kalangan ahl al-harb. Dalam hal ini, keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: ia berada di sana dalam keadaan mampu bertahan atau dalam keadaan lemah. Jika ia berada dalam keadaan lemah, tidak merasa aman terhadap dirinya, keluarganya, dan hartanya dari penduduk negeri tersebut, maka wajib baginya, jika mampu melakukan hijrah, untuk berhijrah dari negeri itu ke Dar al-Islam. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan oleh para malaikat dalam keadaan menzalimi diri sendiri, para malaikat bertanya: ‘Dalam keadaan bagaimana kamu ini?’ Mereka menjawab: ‘Kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri itu.’ Para malaikat berkata: ‘Bukankah bumi Allah itu luas sehingga kamu dapat berhijrah di dalamnya?’” (QS. an-Nisa’: 97). Ayat ini menunjukkan wajibnya hijrah. Juga berdasarkan riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Aku berlepas diri dari setiap Muslim yang tinggal bersama musyrik.” Ditanyakan: “Mengapa demikian, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Agar api mereka tidak saling terlihat.” Maksudnya, agar api (tempat tinggal) seorang Muslim tidak terlihat oleh api (tempat tinggal) orang musyrik, sehingga tidak memperbanyak jumlah kaum musyrik.

وَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” مَنْ كَثَّرَ سَوَادَ قَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ ” وَلِأَنَّهُ لَا يَأَمَنُ أَنْ يُفْتَنَ عَنْ دِينِهِ أَوْ تُسْبَى الدَّارُ فَيُسْتَرَقُّ وَلَدُهُ فَإِنْ عَجَزَ عَنِ الْهِجْرَةِ لِضَعْفِهِ كَانَ مَعْذُورًا فِي التَّأَخُّرِ عَنِ الْهِجْرَةِ حَتَّى يَقْدِرَ عَلَيْهَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى إِلا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلا يَهْتَدُونَ سَبِيلا فَأُولَئِكَ عَسَى اللَّهُ أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُمْ وَكَانَ اللَّهُ عَفُوًّا غَفُورًا

Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, “Barang siapa memperbanyak jumlah suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” Selain itu, seseorang tidak aman dari fitnah yang dapat menyesatkannya dari agamanya, atau negerinya bisa diserang sehingga anak-anaknya menjadi budak. Jika ia tidak mampu berhijrah karena kelemahannya, maka ia dimaafkan atas keterlambatannya berhijrah sampai ia mampu melakukannya. Allah Ta‘ala berfirman, “Kecuali mereka yang tertindas, baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak, yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan keluar; maka mereka itu mudah-mudahan Allah memaafkan mereka. Dan Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.”

فَأَمَّا إِذَا كَانَ الْمُسْلِمُ فِي دَارِ الْحَرْبِ مُمْتَنِعًا فِي أَهْلٍ وَعَشِيرَةٍ فَإِنْ لَمْ يَأْمَنِ الِافْتِتَانَ عَنْ دِينِهِ كَانَ فَرْضُ الْهِجْرَةِ بَاقِيًا عَلَيْهِ

Adapun jika seorang Muslim berada di negeri harb, terlindungi bersama keluarga dan kabilahnya, maka jika ia tidak merasa aman dari fitnah terhadap agamanya, kewajiban hijrah tetap berlaku atasnya.

وَإِنْ أَمِنَ الِافْتِتَانَ فِي دِينِهِ سَقَطَ فَرْضُ الْهِجْرَةِ عَنْهُ لِاخْتِصَاصِ وُجُوبِهَا نَصًّا بِالْمُسْتَضْعَفِينَ وَكَانَ مُقَامُهُ بَيْنَهُمْ مكروها لأن المقام على مشاهدة المنكرات منكرا وَالْإِقْرَارَ عَلَى الْبَاطِلِ مَعْصِيَةٌ لِأَنَّهَا تَبْعَثُ عَلَى الرِّضَا وَتُفْضِي إِلَى الْوَلَاءِ

Dan jika ia merasa aman dari fitnah dalam agamanya, maka kewajiban hijrah gugur darinya karena kewajiban tersebut secara nash hanya dikhususkan bagi orang-orang yang lemah. Namun, tinggal di tengah-tengah mereka tetap makruh karena menetap sambil menyaksikan kemungkaran adalah kemungkaran, dan membiarkan kebatilan adalah maksiat, karena hal itu mendorong kepada kerelaan dan dapat berujung pada loyalitas.

وَقَالَ اللَّهُ تَعَالَى لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بعض

Allah Ta‘ala berfirman: “Janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai wali; sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain.”

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا ثَبَتَ حُكْمُ الْهِجْرَةِ فِيمَنْ أَسْلَمَ مِنْ أَهْلِ الْحَرْبِ فَصُورَةُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ فِي الْمُسْلِمِ إِذَا أَسَرَهُ أَهْلُ الْحَرْبِ فَالْأَسِيرُ مُسْتَضْعَفٌ تَكُونُ الْهِجْرَةُ عَلَيْهِ إِذَا قَدَرَ عَلَيْهَا فَرْضًا وَيَجُوزُ لَهُ أَنْ يَغْتَالَهُمْ فِي نُفُوسِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ وَيُقَاتِلَهُمْ إِنْ أَدْرَكُوهُ هَارِبًا فَإِنْ أَطْلَقُوهُ وَأَحْلَفُوهُ أَنْ يُقِيمَ بَيْنَهُمْ وَلَا يَخْرُجَ عَنْهُمْ وَجَبَ عَلَيْهِ الْخُرُوجُ عَنْهُمْ مُهَاجِرًا وَلَمْ تَمْنَعْهُ الْيَمِينُ مِنَ الْخُرُوجِ الْمَفْرُوضِ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَى غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَلْيَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ وَلْيُكَفِّرْ عَنْ يَمِينِهِ “

Jika telah tetap hukum hijrah bagi orang yang masuk Islam dari kalangan ahl al-harb, maka gambaran masalah ini pada seorang Muslim adalah apabila ia ditawan oleh ahl al-harb, maka tawanan tersebut adalah orang yang lemah, sehingga hijrah menjadi wajib atasnya jika ia mampu melakukannya. Ia juga diperbolehkan untuk menipu mereka dalam hal jiwa dan harta mereka, serta boleh memerangi mereka jika mereka mengejarnya saat ia melarikan diri. Jika mereka membebaskannya dan memaksanya bersumpah untuk tetap tinggal di antara mereka dan tidak keluar dari wilayah mereka, maka ia tetap wajib keluar dari mereka dengan berhijrah, dan sumpah tersebut tidak menghalanginya dari kewajiban keluar yang telah diwajibkan, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barang siapa bersumpah atas suatu sumpah, lalu ia melihat ada yang lebih baik darinya, maka hendaklah ia melakukan yang lebih baik itu dan membayar kafarat atas sumpahnya.”

فَأَمَّا حِنْثُهُ فِي يَمِينِهِ إِذَا خَرَجَ فَمُعْتَبَرٌ بِحَالِ إِحْلَافِهِ وَلَهُ فِيهَا ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ

Adapun pelanggaran sumpahnya ketika ia keluar, maka hal itu dinilai berdasarkan keadaan saat ia disumpahkan, dan dalam hal ini terdapat tiga keadaan baginya.

أحدها أن يبدؤا بِهِ فَيُحَلِّفُوهُ فِي حَبْسِهِ قَبْلَ إِطْلَاقِهِ أَنَّهُمْ إِذَا أَطْلَقُوهُ لَمْ يَخْرُجْ عَنْهُمْ فَهَذِهِ يَمِينُ مُكْرَهٍ لَا يَلْزَمُهُ الْحِنْثُ فِيهَا

Pertama, mereka memulai dengannya dengan meminta ia bersumpah saat masih dalam tahanan sebelum membebaskannya, bahwa jika mereka membebaskannya, ia tidak akan keluar dari tempat mereka. Ini adalah sumpah orang yang dipaksa, sehingga ia tidak wajib menanggung dosa jika melanggarnya.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ يُطْلِقُوهُ عَلَى غَيْرِ يَمِينٍ فَيَحْلِفَ لَهُمْ بَعْدَ إِطْلَاقِهِ أَنَّهُ لَا يَخْرُجُ عَنْهُمْ فَهَذِهِ يَمِينُ مُخْتَارٍ يَحْنَثُ فِيهَا إِذَا خَرَجَ وَكَانَ الْتِزَامُهُ لِلْحِنْثِ مُسْتَحَقًّا

Keadaan kedua adalah apabila mereka membebaskannya tanpa adanya sumpah, lalu ia bersumpah kepada mereka setelah pembebasan itu bahwa ia tidak akan meninggalkan mereka. Maka ini adalah sumpah seorang yang memilih, yang akan melanggar sumpahnya jika ia keluar, dan komitmennya untuk melanggar sumpah itu menjadi sesuatu yang memang seharusnya dilakukan.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ أَنْ يَبْتَدِئَ قَبْلَ إِطْلَاقِهِ فَيَتَبَرَّعَ بِالْيَمِينِ أَنَّهُمْ إِنْ أَطْلَقُوهُ لَمْ يَخْرُجْ عَنْهُمْ فَفِي يَمِينِهِ وَجْهَانِ

Keadaan ketiga adalah apabila ia memulai sebelum dibebaskan, lalu ia bersumpah secara sukarela bahwa jika mereka membebaskannya, ia tidak akan keluar dari mereka. Maka dalam sumpahnya itu terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا أَنَّهَا يَمِينُ اخْتِيَارٍ يَحْنَثُ فِيهَا لِابْتِدَائِهِ بِهَا كَمَا لَوْ حَلَفَ مُطْلَقًا

Salah satunya adalah bahwa itu merupakan sumpah pilihan, di mana seseorang dapat melanggarnya karena ia sendiri yang memulainya, sebagaimana jika ia bersumpah secara mutlak.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهَا يَمِينُ إِكْرَاهٍ لَا يَحْنَثُ فِيهَا لِأَنَّهُ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى الْخُرُوجِ مِنَ الْحَبْسِ إِلَّا بِهَا كما لو أحلفوه محبوسا

Pendapat kedua adalah bahwa sumpah tersebut merupakan sumpah karena paksaan, sehingga tidak menyebabkan pelanggaran sumpah, karena ia tidak mampu keluar dari penahanan kecuali dengan sumpah itu, sebagaimana jika mereka memaksanya bersumpah saat ia sedang ditahan.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَغْتَالَهُمْ فِي أَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ لِأَنَّهُمْ إِذَا أَمَّنُوهُ فَهُمْ فِي أَمَانٍ مِنْهُ وَلَوْ حَلَفَ وَهُوَ مُطْلَقٌ كَفَّرَ “

Asy-Syafi‘i berkata, “Ia tidak boleh menipu mereka dalam harta maupun jiwa mereka, karena jika mereka telah memberinya jaminan keamanan, maka mereka berada dalam perlindungan darinya. Dan jika ia bersumpah dalam keadaan bebas (tanpa paksaan), maka ia wajib membayar kafarat.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ اعْلَمْ أَنَّ لِلْأَسِيرِ إِذَا أُطْلِقَ فِي دَارِ الحرب أربعة أحوال أحدها أن يأمنوه وَيَسْتَأْمِنُوهُ فَيَحْرُمَ عَلَيْهِ بَعْدَ اسْتِئْمَانِهِمْ لَهُ أَنْ يغتالهم في أنفسهم وأموالهم لقوله تعالى يأيها الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ إِلَّا أَنْ يَنْقُضُوا أَمَانَهُمْ لَهُ فَيَنْتَقِدَ بِهِ أَمَانُهُ لَهُمْ لِقَوْلِهِ تَعَالَى وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِنْ قَوْمٍ خِيَانَةً فَانْبِذْ إِلَيْهِمْ عَلَى سَوَاءٍ وَلَوِ اسْتَرَقُّوهُ بَعْدَ أَمَانِهِمْ كَانَ الِاسْتِرْقَاقُ نَقْضًا لِأَمَانِهِمْ وَاسْتِئْمَانِهِمْ

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa bagi tawanan perang yang dibebaskan di wilayah musuh terdapat empat keadaan. Pertama, jika mereka memberinya rasa aman dan memberikan perlindungan kepadanya, maka haram baginya setelah mereka memberinya perlindungan untuk mengkhianati mereka, baik terhadap jiwa maupun harta mereka, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu,” kecuali jika mereka membatalkan perlindungan mereka kepadanya, maka perlindungan yang ia berikan kepada mereka pun menjadi batal, berdasarkan firman-Nya Ta‘ala: “Dan jika engkau khawatir akan adanya pengkhianatan dari suatu kaum, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka secara terbuka.” Jika mereka memperbudaknya setelah memberikan perlindungan, maka perbudakan itu merupakan pembatalan atas perlindungan dan jaminan keamanan yang telah mereka berikan.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ لَا يُؤَمِّنُوهُ وَلَا يَسْتَأْمِنُوهُ فَلَا يَكُونُ الْإِطْلَاقُ اسْتِئْمَانًا كَمَا لَمْ يَكُنْ أَمَانًا وَيَجُوزُ أَنْ يَغْتَالَهُمْ فِي أَنْفُسِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ وَلَوْ أَطْلَقُوهُ بَعْدَ أَنِ اسْتَرَقُّوهُ لَمْ يَكُنِ الِاسْتِرْقَاقُ أَمَانًا فِيهِمْ وَلَا أَمَانًا لَهُمْ

Keadaan kedua adalah ketika mereka tidak memberinya jaminan keamanan dan tidak pula meminta jaminan keamanan darinya, maka pembebasan itu tidak dianggap sebagai pemberian jaminan keamanan, sebagaimana juga tidak dianggap sebagai aman. Maka boleh baginya untuk menyerang mereka, baik terhadap jiwa maupun harta mereka. Dan jika mereka membebaskannya setelah sebelumnya menjadikannya budak, maka perbudakan itu tidak dianggap sebagai jaminan keamanan bagi mereka, dan tidak pula sebagai jaminan keamanan baginya.

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ أَنْ يَسْتَأْمِنُوهُ وَلَا يُؤَمِّنُوهُ فَيُنْظَرَ فَإِنْ كَانَ لَا يَخَافُهُمْ إِمَّا لِقُدْرَتِهِ عَلَى الْخُرُوجِ وَإِمَّا لِثِقَتِهِ بِكَفِّهِمْ عَنْهُ فَهُمْ عَلَى أَمَانِهِمْ مِنْهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَغْتَالَهُمْ فِي نَفْسٍ وَلَا مَالَ وَإِنْ لَمْ يَأْمَنْهُمْ فَلَا أَمَانَ لهم ويحوز لَهُ اغْتِيَالُهُمْ لِقَوْلِهِ تَعَالَى فَانْبِذْ إِلَيْهِمْ عَلَى سَوَاءٍ

Keadaan ketiga adalah ketika mereka meminta perlindungan kepadanya, namun ia tidak memberi perlindungan kepada mereka. Maka dilihat keadaannya: jika ia tidak takut kepada mereka, baik karena ia mampu keluar dari mereka maupun karena ia yakin mereka tidak akan mengganggunya, maka mereka tetap berada dalam perlindungan darinya; tidak boleh baginya untuk membunuh mereka secara diam-diam, baik terhadap jiwa maupun harta mereka. Namun jika ia tidak merasa aman dari mereka, maka tidak ada perlindungan bagi mereka dan boleh baginya membunuh mereka secara diam-diam, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Maka nyatakanlah kepada mereka secara terang-terangan.”

وَالْحَالُ الرَّابِعَةُ أَنْ يُؤَمِّنُوهُ وَلَا يَسْتَأْمِنُوهُ فَفِيهِ وَجْهَانِ

Keadaan keempat adalah mereka memberikan jaminan keamanan kepadanya, namun ia tidak meminta jaminan keamanan dari mereka; dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ إِنَّهُمْ لَا أَمَانَ لَهُمْ مِنْهُ وَإِنْ عَقَدُوا لَهُ أَمَانًا مِنْهُمْ لِأَنَّ تَرْكَهُمْ لِاسْتِئْمَانِهِ قِلَّةُ رَغْبَةٍ فِي أَمَانِهِ

Salah satu pendapat, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, menyatakan bahwa mereka tidak mendapatkan perlindungan (amān) darinya, meskipun mereka telah memberikan perlindungan (amān) kepadanya, karena sikap mereka yang tidak meminta perlindungan darinya menunjukkan kurangnya keinginan terhadap perlindungan darinya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ وَقَوْلِ جُمْهُورِ أَصْحَابِهِ إِنَّهُ قَدْ صَارَ لَهُمْ بِأَمَانِهِمْ لَهُ أَمَانٌ مِنْهُ وَإِنْ لَمْ يَسْتَأْمِنُوهُ لِمَا يُوجِبْهُ عَقْدُ الْأَمَانِ مِنَ التَّكَافُؤِ فِيهِ

Pendapat kedua, yang merupakan pendapat yang tampak dari mazhab Syafi‘i dan juga pendapat mayoritas para pengikutnya, adalah bahwa mereka (non-Muslim) telah memperoleh jaminan keamanan dari pihak Muslim dengan adanya jaminan keamanan yang mereka berikan kepadanya (Muslim), meskipun mereka (Muslim) tidak memintanya, karena akad jaminan keamanan itu mengharuskan adanya kesetaraan di dalamnya.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَلَوْ خَلَّوْهُ عَلَى فِدَاءٍ إِلَى وَقْتٍ فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ عَادَ إِلَى أَسْرِهِمْ فَلَا يَعُودُ ولايدعه الْإِمَامُ أَنْ يَعُودَ وَلَوِ امْتَنَعُوا مِنْ تَخْلِيَتِهِ إِلَّا عَلَى مَالٍ يُعْطِيهِمُوهُ فَلَا يُعْطِيهِمْ مِنْهُ شَيْئًا لِأَنَّهُ مَالٌ أَكْرَهُوهُ عَلَى دَفْعِهِ بِغَيْرِ حَقٍّ “

Syafi‘i berkata, “Jika mereka membebaskannya dengan syarat tebusan sampai waktu tertentu, lalu ia tidak melakukannya dan kembali ke tawanan mereka, maka ia tidak kembali dan imam tidak membiarkannya untuk kembali. Jika mereka menolak membebaskannya kecuali dengan harta yang mereka minta darinya, maka tidak boleh diberikan kepada mereka sedikit pun dari harta itu, karena itu adalah harta yang mereka paksa untuk diberikan tanpa hak.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ إِذَا أَطْلَقَ أَهْلُ الْحَرْبِ أَسِيرًا عَلَى اشْتِرَاطِ فِدَاءٍ يَحْمِلُهُ إِلَيْهِمْ فَإِنْ حَمَلَهُ وَإِلَّا عَادَ إِلَيْهِمْ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ حَمْلُ الْفِدَاءِ وَلَا الْعَوْدُ إِلَيْهِمْ وَيَكُونُ الشَّرْطَانِ بَاطِلَيْنِ

Al-Mawardi berkata: Jika pihak musuh membebaskan seorang tawanan dengan syarat ia membawa tebusan kepada mereka, maka jika ia membawanya (tebusan), atau jika tidak, ia harus kembali kepada mereka, maka tidak wajib atasnya membawa tebusan maupun kembali kepada mereka, dan kedua syarat tersebut batal.

وَقَالَ الزُّهْرِيُّ وَالْأَوْزَاعِيُّ الشَّرْطَانِ وَاجِبَانِ فَيُؤْخَذُ بِحَمْلِ الْمَالِ إِلَيْهِمْ فَإِنْ حَمَلَهُ وَإِلَّا أَخَذَ بِالْعَوْدِ إِلَيْهِمْ

Az-Zuhri dan Al-Auza‘i berpendapat bahwa kedua syarat tersebut wajib, sehingga orang tersebut harus membawa harta itu kepada mereka. Jika dia membawanya, maka selesai; jika tidak, dia diwajibkan kembali kepada mereka.

وَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ وَالْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ وإبراهيم النخعي وسفيان الثوري اشتراط الفداء لا زم وَاشْتِرَاطُ الْعَوْدِ بَاطِلٌ

Abu Hurairah, Al-Hasan Al-Bashri, Ibrahim An-Nakha‘i, dan Sufyan Ats-Tsauri berkata bahwa pensyaratan fidyah itu wajib, sedangkan pensyaratan untuk kembali (melakukan sesuatu) adalah batal.

وَاحْتَجُّوا بِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَقَدَ صُلْحَ الْحُدَيْبِيَةِ مَعَ قُرَيْشٍ عَلَى أَنَّهُ يَرُدُّ إِلَيْهِمْ مَنْ جَاءَ مُسْلِمًا مِنْهُمْ فَجَاءَهُ أَبُو جَنْدَلِ بْنُ سَهْلِ بْنِ عَمْرٍو مُسْلِمًا فَرَدَّهُ إِلَى أَبِيهِ وَجَاءَهُ أَبُو بَصِيرٍ مُسْلِمًا فَرَدَّهُ إِلَيْهِمْ مَعَ رَسُولٍ لَهُمْ فَقَتَلَ الرَّسُولَ وَعَادَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ وَفَّيْتُ لَهُمْ وَنَجَّانِي اللَّهُ مِنْهُمْ فَلَمْ يُنْكِرْهُ عَلَيْهِ

Mereka berdalil bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadakan perjanjian Hudaibiyah dengan Quraisy, dengan syarat bahwa beliau akan mengembalikan kepada mereka siapa saja dari kalangan mereka yang datang dalam keadaan Muslim. Maka datanglah Abu Jandal bin Suhail bin Amr dalam keadaan Muslim, lalu beliau mengembalikannya kepada ayahnya. Kemudian datang pula Abu Bashir dalam keadaan Muslim, lalu beliau mengembalikannya kepada mereka bersama seorang utusan mereka. Namun Abu Bashir membunuh utusan itu dan kembali, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah memenuhi janji kepada mereka dan Allah telah menyelamatkanku dari mereka.” Maka Rasulullah tidak mengingkarinya.

وَدَلِيلُنَا مَا رُوِيَ أَنَّ أُمَّ كُلْثُومٍ بِنْتَ عُقْبَةَ بْنِ أَبِي مُعَيْطٍ قَدِمْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بعد صلح الحديبية مسلمة وجاء أَخَوَاهَا فِي طَلَبِهَا فَنَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَنْ رَدِّهَا إِلَيْهِمْ بِقَوْلِهِ تَعَالَى فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ وَلِأَنَّ المعارضة عَنْ رَقَبَةِ الْحُرِّ لَا تَصِحُّ فَبَطَلَ الْفِدَاءُ وَسَقَطَ الْمَالُ

Dan dalil kami adalah apa yang diriwayatkan bahwa Ummu Kultsum binti ‘Uqbah bin Abi Mu‘ith datang kepada Rasulullah ﷺ setelah Perjanjian Hudaibiyah sebagai seorang muslimah, lalu kedua saudaranya datang untuk menjemputnya. Maka Rasulullah ﷺ melarang mengembalikannya kepada mereka dengan firman Allah Ta‘ala: “Jika kalian mengetahui bahwa mereka adalah perempuan-perempuan beriman, maka janganlah kalian kembalikan mereka kepada orang-orang kafir.” Dan juga karena mu‘aradhah (pertukaran tawanan) atas diri orang merdeka tidak sah, maka batal pula pembayaran fidyah dan gugurlah harta (tebusan).

وَالْهِجْرَةُ مِنْ دَارِ الْحَرْبِ وَاجِبَةٌ وَالْعَوْدُ إِلَيْهَا مَعْصِيَةٌ فَلَمْ يَجُزِ الْعَوْدُ فَأَمَّا حَدِيثُ أَبِي جَنْدَلٍ وَأَبِي بَصِيرٍ فَهُوَ مَنْسُوخٌ بِحَدِيثِ أُمِّ كُلْثُومٍ وَعَلَى أَنَّهُمَا كَانَا ذَوِي عِشْرَةٍ طُلِبَا رَغْبَةً فِيهِمَا وَإِشْفَاقًا عَلَيْهِمَا فَخَالَفَا مَنْ عَدَاهُمَا

Hijrah dari darul harb adalah wajib, dan kembali ke sana merupakan maksiat, sehingga tidak boleh kembali. Adapun hadis Abu Jandal dan Abu Bashir, maka hadis itu telah di-nasakh dengan hadis Ummu Kultsum. Selain itu, keduanya adalah orang yang memiliki keluarga dan dicari karena keinginan terhadap mereka dan rasa kasih sayang kepada mereka, sehingga keduanya berbeda dengan selain mereka.

فَصْلٌ

Bab

فَإِذَا ثَبَتَ سُقُوطُ الْفِدَاءِ وَتَحْرِيمُ الْعَوْدِ فَالْوَفَاءُ لَهُمْ بِالْفِدَاءِ مُسْتَحَبٌّ وَإِنْ لَمْ يَجِبْ لِيَكُونَ ذَرِيعَةً إِلَى إِطْلَاقِ الأسرى

Maka apabila telah tetap gugurnya kewajiban fidyah dan diharamkannya kembali (menawan), maka memenuhi (janji) kepada mereka dengan memberikan fidyah adalah sesuatu yang dianjurkan, meskipun tidak wajib, agar hal itu menjadi jalan untuk membebaskan para tawanan.

والوفاء بالعود محظور يَجِبُ وَلَا يُسْتَحَبُّ لِمَا فِيهِ مِنَ الْخَوْفِ عَلَى نَفْسِهِ وَدِينِهِ

Memenuhi janji untuk kembali adalah terlarang, wajib tidak dilakukan, dan tidak disunnahkan, karena di dalamnya terdapat kekhawatiran terhadap keselamatan jiwa dan agamanya.

فَإِنِ افْتَدَى نَفْسَهُ بِمَالِ سَاقَهُ إِلَيْهِمْ ثُمَّ غَنِمَهُ الْمُسْلِمُونَ مِنْهُمْ نُظِرَ فَإِنْ كَانَ بَذْلُهُ لَهُمْ مُبْتَدِئًا كَانَ ذَلِكَ الْمَالُ مَغْنُومًا وَإِنْ شَرَطُوهُ عَلَى إِطْلَاقِهِ كَانَ ذَلِكَ الْمَالُ بَاقِيًا عَلَى مِلْكِهِ وَيَكُونُ أَحَقَّ مِنَ الْغَانِمِينَ بِهِ

Jika seseorang menebus dirinya dengan harta yang ia serahkan kepada mereka, lalu harta itu kemudian diperoleh kembali oleh kaum Muslimin dari mereka, maka hal itu perlu diteliti: jika penyerahan harta tersebut dilakukan secara sukarela dari pihaknya, maka harta itu menjadi harta rampasan perang (ghanimah); namun jika penyerahan harta itu merupakan syarat yang mereka tetapkan untuk membebaskannya, maka harta tersebut tetap menjadi miliknya dan ia lebih berhak atas harta itu dibandingkan para perampas (ghanimīn).

وَهَكَذَا إِذَا افْتَدَى الْإِمَامُ أَسْرَى فِي دَارِ الْحَرْبِ بِمَال سَاقَهُ إِلَيْهِمْ مِنْ بَيْتِ الْمَالِ ثُمَّ غَنِمَ ذَلِكَ الْمَالَ مِنْهُمْ لَمْ يَمْلِكْهُ الْغَانِمُونَ عَنْهُمْ لِأَنَّهُ مَالُ الْمُسْلِمِينَ صَارَ إِلَيْهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ فَوَجَبَ أَنْ يَعُودَ إِلَى حَقِّهِ فِي بَيْتِ الْمَالِ

Demikian pula, apabila imam menebus para tawanan di wilayah musuh dengan harta yang ia serahkan kepada mereka dari Baitul Mal, kemudian harta tersebut diperoleh kembali sebagai rampasan perang dari mereka, maka para perampas perang tidak memilikinya dari mereka, karena itu adalah harta kaum Muslimin yang telah sampai kepada mereka tanpa hak, sehingga wajib dikembalikan kepada haknya di Baitul Mal.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قال الشافعي ” وَلَوْ أَعْطَاهُمُوهُ عَلَى شَيْءٍ أَخَذَهُ مِنْهُمْ لَمْ يَحِلَّ لَهُ إِلَّا أَدَاؤُهُ إِلَيْهِمْ إِنَّمَا أَطْرَحُ عَنْهُ مَا اسْتُكْرِهَ عَلَيْهِ “

Syafi‘i berkata, “Jika mereka memberikannya kepadanya atas sesuatu yang ia ambil dari mereka, maka tidak halal baginya kecuali mengembalikannya kepada mereka. Aku hanya menggugurkan darinya apa yang dipaksakan kepadanya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ إِذَا ابْتَاعَ الْأَسِيرُ مِنْ أَهْلِ الْحَرْبِ مَالًا بِثَمَنٍ أَطْلَقُوهُ عَلَيْهِ لِيَحْمِلَهُ إِلَيْهِمْ مِنْ بِلَادِ الْإِسْلَامِ لَمْ يَخْلُ ابْتِيَاعُهُ مِنْ أَنْ يَكُونَ عَنْ مُرَاضَاةٍ أَوْ إِكْرَاهٍ

Al-Mawardi berkata: Jika seorang tawanan dari kalangan ahl al-harb membeli suatu harta dengan harga tertentu, lalu mereka membebaskannya agar ia membawa harta itu kepada mereka dari negeri Islam, maka pembelian tersebut tidak lepas dari dua kemungkinan: dilakukan atas dasar kerelaan atau karena paksaan.

فَإِنْ كَانَ عَنْ مُرَاضَاةٍ لَزِمَهُ الْوَفَاءُ بِهِ وَحَمَلَ الثَّمَنَ إِلَيْهِمْ لِأَنَّ الْعُقُودَ فِي دَارِ الْحَرْبِ لَازِمَةٌ كَلُزُومِهَا فِي دَارِ الْإِسْلَامِ وَلِذَلِكَ كَانَ تَحْرِيمُ الرِّبَا فِي الدَّارَيْنِ سَوَاءً وَإِنْ كَانَ عَنْ إِكْرَاهٍ فَعَقْدُ الْمُكْرَهِ بَاطِلٌ وَيَجِبُ عَلَيْهِ رَدُّ الْمَالِ لِأَنَّهُ قَبَضَهُ عِنْدَ اسْتِئْمَانٍ وَفِيمَا يَلْزَمُهُ مِنْ رَدِّهِ وَجْهَانِ

Jika transaksi itu dilakukan atas dasar kerelaan, maka ia wajib menepatinya dan membawa harga barang tersebut kepada mereka, karena akad-akad di negeri perang bersifat mengikat sebagaimana mengikatnya akad di negeri Islam. Oleh karena itu, keharaman riba di kedua negeri tersebut adalah sama. Namun jika dilakukan karena paksaan, maka akad orang yang dipaksa adalah batal dan ia wajib mengembalikan harta tersebut karena ia menerimanya dalam keadaan diberi kepercayaan. Dalam hal kewajiban mengembalikannya, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يَلْزَمُهُ رَدُّ مَا ابْتَاعَهُ لِفَسَادِ الْعَقْدِ وَضَمَانِهِ الرَّدَّ وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ

Salah satunya adalah ia wajib mengembalikan barang yang dibelinya karena rusaknya akad dan menanggung kewajiban pengembalian tersebut, dan inilah pendapat yang tampak dari mazhab Syafi‘i.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ يَكُونُ مُخَيَّرًا بَيْنَ رد ما ابتاعه منهم لأن عَيْنُ مَالِهِمْ وَبَيْنَ دَفْعِ ثَمَنِهِ لِأَنَّهُمْ قَدِ امْتَنَعُوا بِهِ فَلَوْ تَلِفَ مِنْهُ مَا ابْتَاعَهُ نُظِرَ فِي تَلَفِهِ

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, menyatakan bahwa ia diberi pilihan antara mengembalikan barang yang dibelinya dari mereka karena itu adalah harta mereka sendiri, atau membayar harganya karena mereka telah menahan harta tersebut. Jika barang yang dibelinya itu rusak, maka akan dilihat bagaimana kerusakannya.

فَإِنْ كَانَ بِفِعْلِهِ فَعَلَيْهِ ضَمَانُهُ وَإِنْ تَلِفَ بِغَيْرِ فِعْلِهِ اعْتُبِرَ حَالُ قَبْضِهِ مِنْهُمْ فَإِنْ كَانَ بِاخْتِيَارِهِ وَجَبَ عَلَيْهِ ضَمَانُهُ وَإِنْ كَانَ مُكْرَهًا عَلَيْهِ لَمْ يَضْمَنْهُ

Jika kerusakan itu disebabkan oleh perbuatannya, maka ia wajib menanggung ganti rugi. Namun jika kerusakan itu terjadi bukan karena perbuatannya, maka dilihat keadaan saat ia menerima barang tersebut dari mereka. Jika ia menerimanya secara sukarela, maka ia wajib menanggung ganti rugi. Tetapi jika ia dipaksa untuk menerimanya, maka ia tidak wajib menanggung ganti rugi.

وَفِي ضَمَانِهِ إِذَا لَزِمَ مَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الوجهين

Dan dalam hal tanggungannya, jika telah wajib, maka berlaku seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya dari dua pendapat.

أَحَدُهُمَا قِيمَتُهُ إِذَا قِيلَ إِنَّ الْوَاجِبَ رَدُّ عَيْنِهِ وَالثَّانِي يَكُونُ مُخَيَّرًا بَيْنَ الْقِيمَةِ وَالثَّمَنِ إِذَا قِيلَ مَعَ بَقَائِهِ إِنَّهُ مُخَيَّرٌ فِيهِمَا

Salah satunya adalah nilainya, jika dikatakan bahwa yang wajib adalah mengembalikan barang itu sendiri; dan yang kedua, ia boleh memilih antara nilai dan harga jika dikatakan bahwa selama barang itu masih ada, ia diberi pilihan di antara keduanya.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَإِذَا قُدِّمَ لِيُقْتَلَ لَمْ يَجُزْ لَهُ مِنْ مَالِهِ إِلَّا الثُّلُثُ ” قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا الْأَسِيرُ فِي دَارِ الْحَرْبِ وَمَنْ وَجَبَ عَلَيْهِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ الْقِصَاصُ فِي النَّفْسِ إِذَا وَهَبَا مَالًا وَأَعْطَيَا عَطَايَا لَمْ يَخْلُ حَالُهَا مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ أَحَدُهَا أَنْ تَكُونَ هِبَاتُهُمَا وَعَطَايَاهُمَا قَبْلَ تقديمهما للقتل والقصاص فيكون ذلك من رؤوس أَمْوَالِهِمْ دُونَ الثُّلُثِ لِأَنَّ السَّلَامَةَ عَلَيْهَا فِي هَذِهِ الْحَالِ أَغْلَبُ مِنَ الْخَوْفِ وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ تَكُونَ عَطَايَاهُمَا بَعْدَ تَقْدِيمِهِمَا لِلْقَتْلِ وَالْقِصَاصِ وَوُقُوعِ الْجُرْحِ بِهِمَا وَإِنْهَارِ دَمِهِمَا فَيَكُونَ مِنَ الثُّلُثِ لَا مِنْ رَأْسِ الْمَالِ لِأَنَّ الْخَوْفَ عَلَيْهِمَا بَعْدَ الْجُرْحِ أَغْلَبُ وَالسَّلَامَةَ فِيهَا نَادِرَةٌ فَأَجْرَى عَلَيْهِمَا فِي الْحَيَاةِ حُكْمَ الْوَصَايَا بَعْدَ الْمَوْتِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَلَقَدْ كُنْتُمْ تَمَنَّوْنَ الْمَوْتَ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَلْقَوْهُ فَقَدْ رَأَيْتُمُوهُ وَأَنْتُمْ تَنْظُرُونَ فَأَجْرَى عَلَيْهِمَا عِنْدَ حُضُورِ أَسْبَابِ الْمَوْتِ حُكْمَ الْمَوْتِ وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ عَطَايَاهُمَا بَعْدَ تَقْدِيمِهِمَا لِلْقَتْلِ وَالْقِصَاصِ وَقَبْلَ وُقُوعِ الْجُرْحِ بِهِمَا فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْأَسِيرِ تَكُونُ عَطَايَاهُ مِنَ الثُّلُثِ فَجَعَلَ الْخَوْفَ عَلَيْهِ أَغْلَبَ وَقَالَ فِي الْمُقْتَصِّ مِنْهُ تَكُونُ عَطَايَاهُ مِنْ رَأْسِ الْمَالِ دُونَ الثُّلُثِ فَجَعَلَ السَّلَامَةَ عَلَيْهِ أَغْلَبَ فَخَالَفَ بَيْنَهُمَا فِي الْجَوَازِ مَعَ اتِّفَاقِهِمَا فِي الصُّورَةِ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي ذَلِكَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ أَحَدُهَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إسحاق المروزي إن جَمع بَيْنَ الْمَسْأَلَتَيْنِ وَجَمع اخْتِلَاف الْجَوَابَيْنِ وَخَرَّجَهُمَا عَلَى قَوْلَيْنِ

Imam Syafi‘i berkata, “Apabila seseorang telah diserahkan untuk dibunuh, maka tidak boleh baginya memberikan dari hartanya kecuali sepertiga.” Al-Mawardi berkata, adapun tawanan di wilayah perang dan seorang muslim yang wajib dikenai qishāsh atas jiwa, apabila keduanya memberikan harta atau memberikan hadiah, maka keadaannya tidak lepas dari tiga bagian. Pertama, jika hibah dan hadiah keduanya diberikan sebelum diserahkan untuk dibunuh atau dikenai qishāsh, maka itu diambil dari pokok harta mereka, bukan dari sepertiga, karena keselamatan pada keadaan ini lebih dominan daripada kekhawatiran. Bagian kedua, jika hadiah keduanya diberikan setelah diserahkan untuk dibunuh atau dikenai qishāsh dan setelah terjadi luka serta mengalir darah keduanya, maka itu diambil dari sepertiga, bukan dari pokok harta, karena kekhawatiran atas keduanya setelah terluka lebih dominan dan keselamatan sangat jarang, sehingga terhadap keduanya dalam keadaan hidup diberlakukan hukum wasiat setelah kematian, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Dan sungguh kalian dahulu menginginkan kematian sebelum kalian menghadapinya, maka sekarang kalian telah melihatnya sedang kalian menyaksikan.” Maka terhadap keduanya, ketika hadir sebab-sebab kematian, diberlakukan hukum kematian. Bagian ketiga, jika hadiah keduanya diberikan setelah diserahkan untuk dibunuh atau dikenai qishāsh namun sebelum terjadi luka pada keduanya, maka Imam Syafi‘i berkata tentang tawanan: hadiahnya diambil dari sepertiga, sehingga beliau menganggap kekhawatiran atasnya lebih dominan. Dan beliau berkata tentang orang yang dikenai qishāsh: hadiahnya diambil dari pokok harta, bukan dari sepertiga, sehingga beliau menganggap keselamatan atasnya lebih dominan. Maka beliau membedakan antara keduanya dalam kebolehan, meskipun keduanya sama dalam bentuknya. Maka para sahabat kami berbeda pendapat dalam hal ini menjadi tiga pendapat. Salah satunya, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, yang menggabungkan kedua permasalahan dan menggabungkan perbedaan dua jawaban, serta mengembalikannya pada dua pendapat.

أَحَدُهُمَا تَكُونُ عَطَايَاهُمَا مِنَ الثُّلُثِ عَلَى مَا نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْأَسِيرِ لِأَنَّ الْخَوْفَ عَلَيْهِمَا أَرْجَى مِنَ الْخَوْفِ عَلَى الْمَرِيضِ

Salah satunya adalah bahwa pemberian mereka berasal dari sepertiga (harta), sebagaimana yang telah ditegaskan mengenai tawanan, karena kekhawatiran terhadap keduanya lebih dapat diharapkan (untuk selamat) dibandingkan kekhawatiran terhadap orang sakit.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي تَكُونُ عَطَايَاهُمَا مِنْ رَأْسِ الْمَالِ عَلَى مَا نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْمُقْتَصِّ مِنْهُ بِخِلَافِ الْمَرِيضِ مَا لَمْ يَقَعْ بِهِ جُرْحٌ لِأَنَّ سَبَبَ الْمَوْتِ حَالٌ فِي بَدَنِ الْمَرِيضِ وَلَيْسَ بِحَالٍ فِي بَدَنِ الْأَسِيرِ وَالْمُقْتَصِّ مِنْهُ فَهَذَا وَجْهٌ

Pendapat kedua menyatakan bahwa hibah keduanya diambil dari pokok harta, sebagaimana yang ditegaskan dalam kasus orang yang akan dikenai qishāsh, berbeda dengan orang sakit selama belum terjadi luka padanya, karena sebab kematian berada pada tubuh orang sakit dan tidak berada pada tubuh tawanan dan orang yang akan dikenai qishāsh; inilah alasannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّ الْجَوَابَ عَلَى ظَاهِرِهِ فِيهِمَا فَتَكُونُ عَطَايَا الْأَسِيرِ مِنَ الثُّلُثِ وَعَطَايَا الْمُقْتَصِّ مِنْهُ مِنْ رَأْسِ الْمَالِ وَيَكُونُ الْأَسِيرُ أَخْوَفَ حَالًا مِنْهُ لِأَنَّهُ مَعَ أَعْدَائِهِ فِي الدِّينِ يَرَوْنَ قَتْلَهُ تَدَيُّنًا وَقُرْبَةً وَالْمُقْتَصُّ مِنْهُ مَعَ مُوَافِقِينَ فِيهِ وَصَفَهُمُ اللَّهُ بِالرَّأْفَةِ وَالرَّحْمَةِ وَنَدَبَهُمْ إِلَى الْعَفْوِ مَعَ الْمَقْدِرَةِ

Pendapat kedua adalah bahwa jawaban atas keduanya diambil menurut zahirnya; maka pemberian orang yang menjadi tawanan diambil dari sepertiga harta, sedangkan pemberian orang yang dikenai qishāsh diambil dari pokok harta. Keadaan tawanan lebih menakutkan daripada orang yang dikenai qishāsh, karena ia berada di tengah-tengah musuh agama yang memandang pembunuhannya sebagai ibadah dan pendekatan diri kepada Allah. Adapun orang yang dikenai qishāsh berada di tengah-tengah orang yang seagama dengannya, yang Allah sifatkan dengan kelembutan dan kasih sayang, serta menganjurkan mereka untuk memaafkan ketika mampu.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ أَنْ تَغْلِبَ شَوَاهِدُ الْحَالِ فِيهِمَا فَإِنْ شُوهِدَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ فِي الْأَسِيرِ رِقَّةٌ وَلِينٌ كَانَتْ عَطَايَاهُ مِنْ رَأْسِ الْمَالِ وَإِنْ لَمْ يُشَاهَدْ ذَلِكَ كَانَتْ مِنَ الثُّلُثِ

Pendapat ketiga adalah jika terdapat indikasi kuat berdasarkan situasi pada keduanya; maka jika terlihat dari kaum musyrik adanya kelembutan dan kasih sayang terhadap tawanan, maka pemberian kepada mereka diambil dari pokok harta. Namun jika tidak terlihat hal tersebut, maka pemberian itu diambil dari sepertiga harta.

وَإِنْ شُوهِدَ مِنْ أَوْلِيَاءِ الْقِصَاصِ غِلْظَةٌ وَحَنَقٌ كَانَتْ عَطَايَاهُ مِنَ الثُّلُثِ وَإِنْ لَمْ يُشَاهَدْ ذَلِكَ كَانَتْ مِنْ رَأْسِ الْمَالِ وَهَذَا مَحْكِيٌّ عَنْ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ وَقَدْ ذَكَرْنَا فِي كِتَابِ الْوَصَايَا مِنَ التَّفْرِيعِ عَلَى هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ فِيمَنْ وَجَبَ عَلَيْهِ الْقَتْلُ فِي الْحِرَابَةِ وَالرَّجْمُ فِي الزِّنَا وَالْحَامِلُ إِذَا ضَرَبَهَا الطَّلْقُ وَرَاكِبُ الْبَحْرِ إِذَا اشْتَدَّ بِهِ الرِّيحُ وَالْمُلْتَحِمُ فِي الْقِتَالِ بَيْنَ الصَّفَّيْنِ مَا أَغْنَى عَنِ الْإِعَادَةِ وَبِاللَّهِ التوفيق

Jika terlihat dari para wali qishāsh adanya kekasaran dan kemarahan, maka pemberian mereka diambil dari sepertiga harta; namun jika hal itu tidak terlihat, maka diambil dari pokok harta. Pendapat ini dinukil dari Abu al-‘Abbās Ibn Surayj. Kami telah menyebutkan dalam Kitab al-Washāyā tentang rincian masalah ini pada orang yang wajib dibunuh karena hirābah, dirajam karena zina, wanita hamil yang mengalami kontraksi, orang yang naik kapal ketika angin kencang, dan orang yang terlibat dalam pertempuran di antara dua barisan, sehingga tidak perlu diulang kembali. Dan hanya kepada Allah-lah taufik diberikan.

بَابُ إِظْهَارِ دِينِ النَّبِيِّ عَلَى الْأَدْيَانِ كُلِّهَا من كتاب الجزية

Bab Menampakkan Agama Nabi di Atas Seluruh Agama Lain dari Kitab Jizyah

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى قَالَ اللَّهُ تعالى لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ وَرُوِيَ مُسْنَدًا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ” إِذَا هَلَكَ كِسْرَى فَلَا كِسْرَى بَعْدَهُ وَإِذَا هَلَكَ قَيْصَرُ فَلَا قَيْصَرَ بَعْدَهُ وَالَّذِي نفسي بيده لتنفقن كنوزهما في سبيل الله ” وقال ولما أتى كتاب النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إلى كسرى مزقه فقال صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” يمزق ملكه ” قال وحفظنا أن قيصر أكرم كتابه ووضعه في مسك فقال صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يثبت ملكه قال الشافعي رحمه الله ووعد رسول الله الناس فتح فارس والشام فأغزى أبو بكر الشام على ثقة من فتحها لقول النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ففتح بعضها وتم فتحها في زمن عمر وفتح عمر رضي الله عنه العراق وفارس قال الشافعي رحمه الله تعالى فقد أظهر الله دين نبيه صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ على سائر الأديان بأن أبان لكل من تبعه أنه الحق وما خالفه من الأديان فباطل وأظهره بأن جماع الشرك دينان دين أهل الكتاب ودين الأميين فقهر النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ الأميين حتى دانوا بالإسلام طوعا وكرها وقتل من أهل الكتاب وسبى حتى دان بعضهم بالإسلام وأعطى بعض الجزية صاغرين وجرى عليهم حكمه صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قال فهذا ظهوره على الدين كله قال ويقال ويظهر دينه على سائر الأديان حتى لا يدان لله إلا به وذلك متى شاء الله قال وكانت قريش تنتاب الشام انتيابا كثيرا وكان كثير من معاشهم منه وتأتي العراق فلما دخلت في الإسلام ذكرت للنبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ خوفها من انقطاع معاشها بالتجارة من الشام والعراق إذا فارقت الكفر ودخلت في الإسلام مع خلاف ملك الشام والعراق لأهل الإسلام فقال صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” إذا هلك كسرى فلا كسرى بعده ” فلم يكن بأرض العراق كسرى ثبت له أمر بعده وقال إذا هلك قيصر فلا قيصر بعده فلم يكن بأرض الشام قيصر بعده وأجابهم عليه الصلاة والسلام على نحو ما قالوا وكان كما قال عليه السلام وقطع الله الأكاسرة عن العراق وفارس وقيصر ومن قام بعده بالشام وقال في قيصر يثبت ملكه فثبت له ملكه ببلاد الروم وتنحى ملكه عن الشام وكل هذا متفق يصدق بعضه بعضا “

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: Allah Ta‘ala berfirman, “Agar Dia memenangkannya atas seluruh agama, meskipun orang-orang musyrik membencinya.” Diriwayatkan secara musnad bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Jika Kisra binasa, maka tidak ada Kisra setelahnya. Jika Kaisar binasa, maka tidak ada Kaisar setelahnya. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh harta simpanan keduanya akan diinfakkan di jalan Allah.” Dan disebutkan pula, ketika surat Nabi ﷺ sampai kepada Kisra, ia merobeknya. Maka Nabi ﷺ bersabda, “Kerajaannya akan hancur.” Dikatakan pula bahwa Kaisar memuliakan surat beliau dan meletakkannya di dalam kulit (wadah dari kulit), maka Nabi ﷺ bersabda, “Kerajaannya akan tetap.” Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: Rasulullah ﷺ telah menjanjikan kepada manusia penaklukan Persia dan Syam, maka Abu Bakar mengirim pasukan ke Syam dengan keyakinan akan terbukanya negeri itu karena sabda Nabi ﷺ, lalu sebagian wilayahnya ditaklukkan dan seluruhnya ditaklukkan pada masa Umar. Umar radhiyallahu ‘anhu menaklukkan Irak dan Persia. Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: Maka sungguh Allah telah memenangkan agama Nabi-Nya ﷺ atas seluruh agama dengan menjelaskan kepada setiap pengikutnya bahwa agama itu adalah kebenaran, dan agama yang menyelisihinya adalah batil. Allah juga memenangkannya dengan menjadikan seluruh bentuk syirik terbagi menjadi dua agama: agama Ahli Kitab dan agama kaum ummi (musyrik Arab). Nabi ﷺ menaklukkan kaum ummi hingga mereka masuk Islam dengan suka rela maupun terpaksa, dan beliau membunuh sebagian Ahli Kitab serta menawan mereka hingga sebagian dari mereka masuk Islam dan sebagian lainnya membayar jizyah dalam keadaan hina, serta berlaku atas mereka hukum beliau ﷺ. Maka inilah makna kemenangan atas seluruh agama. Dikatakan pula, agama beliau akan tampak di atas seluruh agama hingga tidak ada yang beragama kepada Allah kecuali dengan agama itu, dan itu terjadi kapan saja Allah menghendaki. Dahulu Quraisy sering bepergian ke Syam berkali-kali, dan banyak penghidupan mereka berasal dari sana, juga mereka pergi ke Irak. Ketika mereka masuk Islam, mereka menyampaikan kepada Nabi ﷺ kekhawatiran mereka akan terputusnya penghidupan dari perdagangan Syam dan Irak jika mereka meninggalkan kekufuran dan masuk Islam, sementara penguasa Syam dan Irak tidak sejalan dengan kaum Muslimin. Maka Nabi ﷺ bersabda, “Jika Kisra binasa, maka tidak ada Kisra setelahnya.” Maka tidak ada Kisra di tanah Irak yang tetap berkuasa setelahnya. Dan beliau bersabda, “Jika Kaisar binasa, maka tidak ada Kaisar setelahnya.” Maka tidak ada Kaisar di tanah Syam setelahnya. Beliau ﷺ menjawab mereka sesuai dengan apa yang mereka katakan, dan terjadi sebagaimana yang beliau sabdakan. Allah memutus kekuasaan para Kisra dari Irak dan Persia, serta Kaisar dan penguasa setelahnya dari Syam. Dan tentang Kaisar, beliau bersabda, “Kerajaannya akan tetap,” maka tetaplah kerajaannya di negeri Romawi dan kekuasaannya terlepas dari Syam. Semua ini saling menguatkan dan membenarkan satu sama lain.

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا الْبَابُ أَوْرَدَهُ الشَّافِعِيُّ وَلَيْسَ مِنَ الْفِقْهِ لِيُوَضِّحَ بِهِ صِدْقَ اللَّهِ تَعَالَى فِي وَعْدِهِ وَصِدْقَ رَسُولِهِ فِي خَبَرِهِ لِيَرُدَّ بِهِ عَلَى مَنِ ارْتَابَ بِهِمَا فَصَارَ تَالِيًا لِلسِّيَرِ

Al-Mawardi berkata: Bab ini dicantumkan oleh asy-Syafi‘i, dan ia bukan termasuk fiqh, melainkan untuk menjelaskan kebenaran Allah Ta‘ala dalam janji-Nya dan kebenaran Rasul-Nya dalam berita yang beliau sampaikan, agar dapat membantah orang-orang yang meragukan keduanya. Maka bab ini menjadi lanjutan dari pembahasan tentang sirah.

فَأَمَّا كِتَابُ اللَّهِ تَعَالَى فَقَالَ هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ أما قوله بالهدى ودين الحق فَفِيهِ ثَلَاثُ تَأْوِيلَاتٍ

Adapun Kitab Allah Ta‘ala, maka Dia berfirman: Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya atas seluruh agama, meskipun orang-orang musyrik membencinya. Adapun firman-Nya “dengan petunjuk dan agama yang benar”, maka di dalamnya terdapat tiga penafsiran.

أَحَدُهَا أَنَّ الْهُدَى هُوَ دِينُ الْحَقِّ وَإِنَّمَا جَمَعَ بَيْنَهُمَا لِتَغَايُرِ لَفْظَيْهِمَا لِيَكُونَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا تَفْسِيرًا لِلْآخَرِ

Salah satunya adalah bahwa al-hudā (petunjuk) adalah dīn al-ḥaqq (agama yang benar), dan keduanya digabungkan karena perbedaan lafaznya, agar masing-masing menjadi penjelas bagi yang lainnya.

وَالتَّأْوِيلُ الثَّانِي مَعْنَاهُ أَنَّهُ أَرْسَلَهُ بِالْهُدَى إِلَى دِينِ الْحَقِّ لِأَنَّ الرَّسُولَ هَادٍ وَالْقُرْآنَ هِدَايَةٌ وَالْمَأْمُورَ بِهِ هُوَ دِينُ الْحَقِّ

Dan tafsir kedua maksudnya adalah bahwa Allah mengutusnya dengan petunjuk menuju agama yang benar, karena Rasul adalah pemberi petunjuk, Al-Qur’an adalah petunjuk, dan yang diperintahkan adalah agama yang benar.

وَالتَّأْوِيلُ الثَّالِثُ أَنَّ الْهُدَى هُوَ الدَّلِيلُ وَدِينَ الْحَقِّ هُوَ الْمَدْلُولُ عَلَيْهِ

Penafsiran yang ketiga adalah bahwa al-hudā (petunjuk) adalah dalil, dan dīn al-ḥaqq (agama yang benar) adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh dalil tersebut.

وَأَمَّا قَوْلُهُ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ فَقَدْ دَفَعَهُ الْمُتَشَكِّكُونَ فِي أَدْيَانِهِمْ وَقَالُوا قَدْ بَقِيَتْ أَطْرَافُ الْأَرْضِ مِنَ الرُّومِ وَالتُّرْكِ وَالْهِنْدِ وَالزِّنْجِ وَغَيْرِهِمْ مِنَ الْأُمَمِ الْقَاصِيَةِ مَا أَظْهَرَ دِينَهُ عَلَى أَدْيَانِهِمْ فَلَمْ يَصِحَّ هَذَا الْمَوْعِدُ

Adapun firman-Nya “agar Dia memenangkannya atas seluruh agama, meskipun orang-orang musyrik membenci,” maka hal ini telah dibantah oleh orang-orang yang meragukan agama mereka. Mereka berkata, “Masih ada bagian-bagian bumi dari bangsa Romawi, Turki, India, Zinj, dan bangsa-bangsa lain yang jauh, di mana agama-Nya belum menang atas agama-agama mereka, sehingga janji ini tidak terbukti.”

وَالْجَوَابُ عَنْ هَذَا الْقَدْحِ أَنَّ أَهْلَ التَّأْوِيلِ قَدِ اخْتَلَفُوا فِي هَاءِ الْكِنَايَةِ الَّتِي فِي قَوْلِهِ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدين كله إِلَى مَاذَا تَعُودُ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ

Jawaban atas kritikan ini adalah bahwa para ahli ta’wil telah berbeda pendapat mengenai dhamir “-nya” pada firman-Nya “agar Dia memenangkannya atas seluruh agama”, kepada apa dhamir itu kembali, dan terdapat tiga pendapat dalam hal ini.

أَحَدُهَا أَنْ تَعُودَ إِلَى الْهُدَى

Salah satunya adalah kembali kepada petunjuk.

وَالثَّانِي أَنَّهَا تَعُودُ إِلَى دِينِ الْحَقِّ وَحْدَهُ

Dan yang kedua, bahwa ia kembali kepada agama yang benar saja.

وَالثَّالِثُ أَنَّهَا تَعُودُ إِلَيْهِمَا وَهُوَ الْأَظْهَرُ

Dan yang ketiga adalah bahwa (hak itu) kembali kepada keduanya, dan inilah pendapat yang lebih kuat.

فَأَمَّا الْهُدَى فَفِي مَعْنَى إِظْهَارِهِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ

Adapun petunjuk, maka dalam makna penampakannya terdapat tiga sisi.

أَحَدُهَا أَنَّهُ إِظْهَارُ دَلَائِلِهِ وَحُجَجِهِ وَقَدْ حَقَّقَ اللَّهُ فِعْلَ ذَلِكَ فَإِنَّ حُجَجَ الْإِسْلَامِ أَظْهَرُ وَدَلَائِلَهُ أَقْهَرُ

Salah satunya adalah bahwa hal itu merupakan penampakan dalil-dalil dan hujah-hujahnya, dan Allah benar-benar telah mewujudkan hal tersebut, karena hujah-hujah Islam lebih jelas dan dalil-dalilnya lebih kuat.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهُ إِظْهَارُ رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَقَدْ حَقَّقَ اللَّهُ تَعَالَى ذَلِكَ فَإِنَّهُ مَا حَارَبَ قَوْمًا إِلَّا انْتَصَفَ مِنْهُمْ وَظَهَرَ عَلَيْهِمْ

Adapun sisi yang kedua adalah bahwa hal itu merupakan penampakan (pertolongan) Allah kepada Rasul-Nya ﷺ, dan Allah Ta‘ala benar-benar telah mewujudkan hal tersebut, karena tidaklah beliau memerangi suatu kaum melainkan beliau mendapatkan kemenangan atas mereka dan tampak keunggulan atas mereka.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ أَنَّهُ بَقَاءُ إِعْجَازِهِ مَا بَقِيَ الدَّهْرُ فَإِنَّ مُعْجَزَ الْقُرْآنِ بَاقِ عَلَى مُرُورِ الْأَعْصَارِ وَمُعْجَزَ مُوسَى فَلْقُ الْبَحْرِ وَعِيسَى فِي إِحْيَاءِ الْمَوْتَى مُنْقَطِعٌ لَمْ يَبْقَ

Adapun alasan yang ketiga adalah bahwa keajaiban (mu‘jizat) Al-Qur’an tetap ada selama masa masih berlangsung, karena mu‘jizat Al-Qur’an tetap abadi sepanjang zaman, sedangkan mu‘jizat Musa berupa membelah laut dan mu‘jizat Isa dalam menghidupkan orang mati telah terputus dan tidak lagi ada.

وَأَمَّا الدِّينُ فَفِي إِظْهَارِهِ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ

Adapun agama, maka dalam makna penampakannya di atas seluruh agama terdapat tiga pendapat.

أَحَدُهَا أَنَّ إِظْهَارَهُ هُوَ انْتِشَارُ ذِكْرِهِ فِي الْعَالَمِينَ وَمَعْرِفَةُ الْخَلْقِ بِهِ أَجْمَعِينَ وَهَذَا مَوْجُودٌ لِأَنَّهُ لَمْ يَبْقَ فِي أَقْطَارِ الْأَرْضِ أُمَّةٌ إِلَّا وَقَدْ عَلِمَتْ بِدِينِ الْإِسْلَامِ وَدَعْوَةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إِلَيْهِ وَهُوَ بِالْحِجَازِ وَهُوَ أَحَدُ التَّأْوِيلَاتِ فِي قَوْله تَعَالَى وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ

Salah satunya adalah bahwa yang dimaksud dengan penampakannya adalah tersebarnya penyebutannya di seluruh alam dan dikenalnya oleh seluruh makhluk. Hal ini telah terwujud karena tidak ada satu pun bangsa di penjuru bumi kecuali telah mengetahui tentang agama Islam dan dakwah Muhammad ﷺ kepadanya, padahal beliau berada di Hijaz. Ini adalah salah satu penafsiran dari firman Allah Ta‘ala: “Dan Kami tinggikan bagimu sebutanmu.”

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّ إِظْهَارَهُ هُوَ عُلُوُّهُ عَلَى الْأَدْيَانِ كُلِّهَا فَهُوَ طَالِبٌ وَغَيْرُهُ مَطْلُوبٌ وَقَاهِرٌ وَغَيْرُهُ مَقْهُورٌ وَغَانِمٌ وَغَيْرُهُ مَغْنُومٌ وَزَائِدٌ وَغَيْرُهُ مَنْقُوصٌ وَهَذَا ظَاهِرٌ مَوْجُودٌ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” الإسلام يعلوا وَلَا يُعْلَى وَيَزِيدُ وَلَا يَنْقَصُ “

Adapun penjelasan kedua adalah bahwa yang dimaksud dengan penampakannya adalah keunggulannya atas seluruh agama, sehingga Islam adalah pihak yang menuntut, sedangkan selainnya adalah yang dituntut; Islam adalah yang menaklukkan, sedangkan selainnya adalah yang ditaklukkan; Islam adalah yang memperoleh kemenangan, sedangkan selainnya adalah yang dikalahkan; Islam bertambah, sedangkan selainnya berkurang. Hal ini jelas dan nyata adanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam itu unggul dan tidak ada yang mengunggulinya, ia akan bertambah dan tidak akan berkurang.”

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ أَنَّ إِظْهَارَهُ عَلَى الْأَدْيَانِ كُلِّهَا سَيَكُونُ عِنْدَ ظُهُورِ عِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ وَنُزُولِهِ مِنَ السَّمَاءِ حَتَّى لَا يُعْبَدَ اللَّهُ تَعَالَى بِغَيْرِهِ مِنَ الْأَدْيَانِ كَمَا قَالَ تَعَالَى وَإِنْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ إِلا لَيُؤْمِنَنَّ بِهِ قَبْلَ مَوْتِهِ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكُونُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا

Pendapat ketiga adalah bahwa penampakan Islam di atas seluruh agama akan terjadi ketika Isa bin Maryam muncul dan turun dari langit, sehingga tidak ada lagi yang menyembah Allah Ta‘ala kecuali dengan agama Islam, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: “Dan tidak ada seorang pun dari Ahli Kitab, kecuali pasti akan beriman kepadanya sebelum kematiannya, dan pada hari Kiamat dia (Isa) akan menjadi saksi atas mereka.”

وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” زُوِيَتْ لِيَ الْأَرْضُ فَأُرِيتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَسَيَبْلُغُ مُلْكُ أُمَّتِي مَا زُوِيَ لِي مِنْهَا ” وَمَعْنَى زُوِيَتْ أَيْ جُمِعَتْ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bumi telah dilipat untukku, maka aku diperlihatkan bagian-bagian timur dan baratnya, dan kekuasaan umatku akan mencapai apa yang telah dilipatkan untukku darinya.” Makna “dilipat” adalah dikumpulkan.

فَصْلٌ

Bagian

وَأَمَّا السُّنَّةُ فَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ خَبَرَانِ

Adapun sunnah, maka telah diriwayatkan dari Nabi ﷺ dua hadis.

أَحَدُهُمَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” إِذَا هَلَكَ كِسْرَى فَلَا كِسْرَى بَعْدَهُ وَإِذَا هَلَكَ قَيْصَرُ فَلَا قَيْصَرَ بَعْدَهُ والذي نفسي بيده لتنفقن كنوزهما في سبيل اللَّهِ “

Salah satunya diriwayatkan oleh asy-Syafi‘i dari Sufyan bin ‘Uyainah, dari az-Zuhri, dari Sa‘id bin al-Musayyab, dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Jika Kisra binasa, maka tidak ada Kisra setelahnya. Jika Kaisar binasa, maka tidak ada Kaisar setelahnya. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh harta simpanan keduanya akan diinfakkan di jalan Allah.”

وَالْخَبَرُ الثَّانِي مَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ كَتَبَ إِلَى كِسْرَى يَدْعُوهُ إِلَى الْإِسْلَامِ فَلَمَّا وَصَلَ كِتَابُهُ إِلَيْهِ مَزَّقَهُ فَبَلَغَ ذَلِكَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَقَالَ ” تَمَزَّقَ مُلْكُهُ “

Dan riwayat kedua adalah apa yang diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ menulis surat kepada Kisra mengajaknya masuk Islam. Ketika surat itu sampai kepadanya, ia merobeknya. Maka hal itu sampai kepada Nabi ﷺ, lalu beliau bersabda, “Kerajaannya akan hancur.”

وَكَتَبَ إِلَى قَيْصَرَ كِتَابًا إِلَى الْإِسْلَامِ لَمَّا وَصَلَ كِتَابُهُ إِلَيْهِ قَبَّلَهُ وَأَكْرَمَهُ فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَقَالَ ” ثَبَّتَ مُلْكَهُ “

Dan beliau menulis surat kepada Kaisar, mengajaknya kepada Islam. Ketika surat beliau sampai kepadanya, Kaisar menerimanya dan memuliakannya. Maka hal itu sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda, “Ia telah meneguhkan kerajaannya.”

وَالْأَكَاسِرَةُ هُمْ مُلُوكُ الْفُرْسِ وَدِينُهُمُ الْمَجُوسِيَّةُ وَالْقَيَاصِرَةُ هُمْ مُلُوكُ الرُّومِ وَدِينُهُمُ النَّصْرَانِيَّةُ فَكَانَ الْخَبَرَانِ فِي الْأَكَاسِرَةِ مُتَّفِقَيْنِ وَقَدْ وُجِدَ الْخَبَرُ فِيهِمَا عَلَى مُخْبَرِهِ لِأَنَّهُ قَالَ فِي الْخَبَرِ الْأَوَّلِ ” إِذَا هَلَكَ كِسْرَى فَلَا كِسْرَى بَعْدَهُ ” وَقَالَ فِي الْخَبَرِ الثَّانِي ” تَمَزَّقَ مُلْكُهُ ” وَكَانَ ظَاهِرُ الْخَبَرَيْنِ فِي الْقَيَاصِرَةِ مُخْتَلِفًا وَالْمُخْبَرُ فِيهِمَا مُتَنَافِيًا لِأَنَّهُ قَالَ فِي الْأَوَّلِ ” وَإِذَا هَلَكَ قَيْصَرُ فَلَا قَيْصَرَ بَعْدَهُ ” وَقَالَ فِي الثَّانِي ” ثَبَّتَ مُلْكَهُ ” وَهَذَا مُتَنَافٍ وَقَدْ نَرَى مُلْكَ الرُّومِ ثَابِتًا فَكَانَ ثَبَاتُهُ مُوَافِقًا لِلْخَبَرِ الثَّانِي مُنَافِيًا لِلْخَبَرِ الْأَوَّلِ فَعَنْهُ جَوَابَانِ يَمْنَعَانِ مِنَ التَّنَافِي

Para Akasirah adalah para raja Persia dan agama mereka adalah Majusi, sedangkan para Qayashirah adalah para raja Romawi dan agama mereka adalah Nasrani. Maka kedua hadis tentang Akasirah saling sesuai, dan kenyataannya pun terjadi sebagaimana yang diberitakan, karena dalam hadis pertama disebutkan, “Jika Kisra binasa, maka tidak ada Kisra setelahnya,” dan dalam hadis kedua disebutkan, “Kerajaannya akan terpecah-belah.” Adapun makna lahiriah kedua hadis tentang Qayashirah tampak berbeda dan isi beritanya saling bertentangan, karena dalam hadis pertama disebutkan, “Jika Qaisar binasa, maka tidak ada Qaisar setelahnya,” dan dalam hadis kedua disebutkan, “Kerajaannya akan tetap tegak.” Ini tampak bertentangan, dan kita melihat bahwa kerajaan Romawi masih tetap ada, sehingga keberlangsungannya sesuai dengan hadis kedua dan bertentangan dengan hadis pertama. Maka, ada dua jawaban yang dapat mencegah adanya pertentangan tersebut.

أَحَدُهُمَا أَنَّ مَعْنَى قَوْلِهِ ” إِذَا هَلَكَ قَيْصَرُ فَلَا قَيْصَرَ بَعْدَهُ ” يَعْنِي بِهِ زَوَالَ هَذَا الِاسْمِ عَنْ مُلُوكِهِمْ وَكَانَ اسْمًا لِكُلِّ مَلِكٍ مِنْهُمْ فَلَمَّا هَلَكَ قَيْصَرُ لَمْ يَتَسَمَّ بِهِ أَحَدٌ مِنْ مُلُوكِهِمْ وَثَبَتَ مُلْكُهُ الْآنَ فِي بِلَادِهِمْ

Salah satu maknanya adalah bahwa ucapan beliau “Jika Kaisar binasa, maka tidak ada Kaisar setelahnya” maksudnya adalah hilangnya nama tersebut dari para raja mereka, di mana nama itu adalah gelar bagi setiap raja dari mereka. Maka ketika Kaisar binasa, tidak ada seorang pun dari para raja mereka yang menggunakan nama itu, meskipun kekuasaan mereka tetap ada hingga sekarang di negeri-negeri mereka.

وَالْجَوَابُ الثَّانِي أَنَّ لِهَذَا الْحَدِيثِ سَبَبًا وَهُوَ أَنَّ قُرَيْشًا كَانَتْ تَنْتَابُ الْيَمَنَ فِي الشِّتَاءِ وَالشَّامَ وَالْعِرَاقَ فِي الصَّيْفِ وَهُوَ مَعْنَى قَوْله تَعَالَى إِيلافِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاءِ وَالصَّيْفِ فَلَمَّا أَسْلَمُوا وَبِلَادُ الرِّحْلَتَيْنِ عَلَى شِرْكِهِمْ شَكَوْا ذَلِكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لِانْقِطَاعِ الرِّحْلَتَيْنِ عَنْهُمْ بِالشَّامِ وَالْعِرَاقِ فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مَا طَيَّبَ بِهِ نُفُوسَهُمْ ” إِذَا هَلَكَ كِسْرَى فَلَا كِسْرَى بَعْدَهُ ” يَعْنِي بِالْعِرَاقِ فَهَلَكَ فَلَمْ يَبْقَ بِالْعِرَاقِ وَلَا بِغَيْرِهَا مِنَ الْبِلَادِ وَإِذَا هَلَكَ قَيْصَرُ فَلَا قَيْصَرَ بَعْدَهُ يَعْنِي بِالشَّامِ فَهَلَكَ وَلَمْ يَبْقَ لَهُمْ مُلْكٌ بِالشَّامِ وَإِنْ بَقِيَ فِي غَيْرِهَا فِي بِلَادِ الرُّومِ فَصَدَقَ خَبَرُهُ وَصَحَّ مَوْعِدُهُ وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ

Jawaban kedua adalah bahwa hadits ini memiliki sebab, yaitu bahwa Quraisy biasa melakukan perjalanan ke Yaman pada musim dingin dan ke Syam serta Irak pada musim panas. Inilah makna firman Allah Ta‘ala: “Karena kebiasaan mereka melakukan perjalanan musim dingin dan musim panas.” Ketika mereka telah masuk Islam, sementara negeri-negeri tujuan perjalanan itu masih dalam keadaan syirik, mereka mengadukan hal tersebut kepada Rasulullah ﷺ karena terputusnya perjalanan mereka ke Syam dan Irak. Maka Rasulullah ﷺ menenangkan hati mereka dengan sabdanya: “Jika Kisra binasa, maka tidak ada Kisra setelahnya,” maksudnya adalah mengenai Irak, dan memang Kisra telah binasa sehingga tidak tersisa lagi kekuasaan di Irak maupun di negeri lain. “Dan jika Kaisar binasa, maka tidak ada Kaisar setelahnya,” maksudnya adalah mengenai Syam, dan memang Kaisar telah binasa sehingga tidak tersisa lagi kekuasaan mereka di Syam, meskipun masih ada di negeri lain di wilayah Romawi. Maka benarlah berita beliau dan tepatlah janji beliau. Hanya kepada Allah-lah taufik.

فَصْلٌ يَشْتَمِلُ على فروع من كتاب الأسارى والغلول

Bagian ini mencakup beberapa cabang pembahasan dari Kitab al-Asrā dan al-Ghulūl.

وَإِذَا سَبَى الْحَرْبِيُّ جَارِيَةً لِمُسْلِمٍ فَأَوْلَدَهَا فِي دَارِ الْحَرْبِ أَوَّلًا ثُمَّ غَنِمَهَا الْمُسْلِمُونَ لَمْ يَمْلِكُوهَا وَكَانَ مَالِكُهَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ أَحَقَّ بِهَا وَبِأَوْلَادِهَا

Apabila seorang harbi menawan seorang jariyah milik seorang Muslim lalu menghamilinya di negeri harb terlebih dahulu, kemudian kaum Muslimin memperoleh jariyah tersebut sebagai rampasan perang, maka kaum Muslimin tidak memilikinya, dan pemiliknya dari kalangan Muslimin lebih berhak atas dirinya dan anak-anaknya.

وَلَوْ أَسْلَمَ الْحَرْبِيُّ وَهِيَ مَعَهُ وَأَوْلَادُهَا لَمْ يَمْلِكْهَا لِأَنَّهَا مِلْكٌ لِمُسْلِمٍ غَلَبَ عَلَيْهَا بِغَيْرِ حَقٍّ

Dan jika seorang harbi masuk Islam sementara istrinya dan anak-anaknya bersamanya, maka ia tidak memiliki (hak atas) istrinya itu, karena ia adalah milik seorang Muslim yang menguasainya tanpa hak.

فَأَمَّا قِيمَةُ أَوْلَادِهَا وَمَهْرُ مِثْلِهَا فَمُعْتَبِرٌ بِحَالِ إِيلَادِهِ لَهَا فَإِنْ كَانَ قَبْلَ إِسْلَامِهِ فَلَا قِيمَةَ عَلَيْهِ لِأَوْلَادِهَا وَلَا مَهْرَ لَهَا عَلَيْهِ لِأَنَّ ذَلِكَ اسْتِهْلَاكٌ مِنْهُ فِي حَالِ كُفْرِهِ وَمَا اسْتَهْلَكَهُ الْحَرْبِيُّ عَلَى الْمُسْلِمِينَ هَدْرٌ

Adapun nilai anak-anaknya dan mahar mitsil (mahar sepadan) baginya, maka hal itu dilihat berdasarkan keadaan saat ia melahirkan anak-anak tersebut. Jika itu terjadi sebelum ia masuk Islam, maka tidak ada kewajiban membayar nilai anak-anaknya dan tidak ada mahar baginya, karena hal itu merupakan tindakan menghilangkan (harta) pada saat ia masih kafir, dan apa yang dihilangkan oleh orang harbi dari kaum Muslimin adalah gugur (tidak ada tuntutan).

وَإِنْ أَوَلَدَهَا بَعْدَ إِسْلَامِهِ كَانَ عَلَيْهِ قِيمَةُ أَوْلَادِهَا وَمَهْرُ مِثْلِهَا لِأَنَّهُ أَوْلَدَهَا بِشُبْهَةِ مِلْكٍ فَلَحِقُوا بِهِ وَعُتِقُوا عَلَيْهِ وَهُوَ مُسْلِمٌ فَلَا يَنْهَدِرُ مَا اسْتَهْلَكَهُ كَالْمُسْلِمِ

Dan jika ia menghamilinya setelah masuk Islam, maka ia wajib membayar nilai anak-anaknya dan mahar yang sepadan dengannya, karena ia menghamilinya dengan syubhat kepemilikan, sehingga anak-anak itu dinisbatkan kepadanya dan mereka merdeka karena dirinya, sedangkan ia seorang Muslim, maka tidak gugur apa yang telah ia konsumsi, sebagaimana halnya seorang Muslim.

فَرْعٌ

Cabang

وَلَوْ دَخَلَ مُسْلِمٌ دَارَ الْحَرْبِ فَدَفَعَ إِلَيْهِ أَهْلُهَا مَالًا لِيَشْتَرِيَ لَهُمْ بِهِ مَتَاعًا مِنْ بِلَادِ الْإِسْلَامِ فَلِلْمَالِ أَمَانٌ إِذَا دَخَلَ بِهِ الْمُسْلِمُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لِمَالِكِهِ أَمَانٌ لِأَنَّ اسْتِئْمَانَهُمْ لَهُ أَمَانٌ مِنْهُ وَلَوْ خَرَجَ بِالْمَالِ ذِمِّيٌّ كَانَ أَمَانُهُ فَاسِدًا فَإِنْ عَلِمَ مَالِكُهُ مِنْ أَهْلِ الْحَرْبِ فَسَادَ أَمَانِهِ كَانَ الْمَالُ مَغْنُومًا وَإِنْ لَمْ يَعْلَمْ فَسَادَ أَمَانِهِ كَانَ مَحْرُوسًا عَلَيْهِ حَتَّى يَصِلَ إِلَيْهِ وَحَالُ الصَّبِيِّ وَالْمَجْنُونِ إِذَا أَمَّنَ أَحَدُهُمَا حَرْبِيًّا كَانَ الْأَمَانُ فَاسِدًا وَكَانَ مُسْتَأْمَنُ الصَّبِيِّ وَالْمَجْنُونِ مَحْقُونَ الدَّمِ حَتَّى يَعُودَ إِلَى مَأْمَنِهِ إِنْ لَمْ يُعْلَمْ بِفَسَادِ الْأَمَانِ فَإِنْ عُلِمَ بِهِ كَانَ مُبَاحَ الدَّمِ وَخَرَّجَ الرَّبِيعُ اسْتِئْمَانَ الذِّمِّيِّ عَلَى الْمَالِ عَلَى قَوْلَيْنِ وَهُوَ خَطَأٌ مِنْهُ وَحَمْلُهُ عَلَى هَذَا التفصيل أصح

Jika seorang Muslim masuk ke wilayah perang, lalu penduduknya memberikan kepadanya sejumlah harta agar ia membelikan barang untuk mereka dari negeri Islam, maka harta tersebut mendapatkan perlindungan (aman) ketika Muslim itu membawanya masuk, meskipun pemilik hartanya sendiri tidak mendapat perlindungan. Sebab, permintaan perlindungan mereka kepadanya berarti perlindungan dari pihak mereka. Namun, jika yang membawa harta itu adalah seorang dzimmi, maka perlindungannya tidak sah. Jika pemilik harta dari kalangan penduduk wilayah perang mengetahui bahwa perlindungan itu tidak sah, maka harta tersebut menjadi harta rampasan. Tetapi jika ia tidak mengetahui kerusakan perlindungan itu, maka harta tersebut tetap dijaga hingga sampai kepadanya. Adapun keadaan anak kecil dan orang gila, jika salah satu dari mereka memberikan perlindungan kepada seorang harbi, maka perlindungan itu tidak sah, namun orang yang diberi perlindungan oleh anak kecil atau orang gila tetap terjaga darahnya hingga ia kembali ke tempat amannya, selama tidak diketahui bahwa perlindungan itu tidak sah. Jika diketahui bahwa perlindungan itu tidak sah, maka darahnya menjadi halal (boleh ditumpahkan). Ar-Rabi‘ mengeluarkan pendapat tentang perlindungan dzimmi atas harta dengan dua pendapat, namun itu adalah kesalahan darinya, dan menafsirkannya dengan rincian ini adalah yang lebih benar.

فَرْعٌ

Cabang

وَلَوْ أَسْلَمَ عَبْدٌ لِحَرْبِيٍّ فِي دَارِ الْحَرْبِ وَخَرَجَ إِلَيْنَا عُتِقَ وَلَوْ أَقَامَ فِي دَارِ الْحَرْبِ كَانَ عَلَى رِقِّهِ فَإِنْ سُبِيَ الْعَبْدُ مَلَكَهُ الْغَانِمُونَ لِأَنَّهُ وَإِنْ كَانَ مُسْلِمًا فَهُوَ عَبْدٌ لِحَرْبِيٍّ

Jika seorang budak milik orang harbi memeluk Islam di wilayah musuh lalu keluar menuju wilayah kita, maka ia menjadi merdeka. Namun jika ia tetap tinggal di wilayah musuh, statusnya tetap sebagai budak. Jika budak tersebut kemudian tertawan, maka para penakluk berhak memilikinya, karena meskipun ia telah menjadi Muslim, ia tetap merupakan budak milik orang harbi.

وَالْفَرْقُ بَيْنَ أَنْ يُعْتَقَ إِذَا خَرَجَ إِلَى دَارِ الْإِسْلَامِ أَوْ لَا يُعْتَقَ إِنْ أَقَامَ فَيَ دَارِ الْحَرْبِ أَنَّهُ إِذَا خَرَجَ فَقَدْ قَهَرَ سَيِّدَهُ عَلَى نَفْسِهِ فَعُتِقَ وَإِذَا أَقَامَ لَمْ يَقْهَرْهُ عَلَيْهَا فَرُقَّ أَلَا تَرَى أَنَّ الْعَبْدَ لَوْ أَسْلَمَ وَغَلَبَ عَلَى سَيِّدِهِ الْحَرْبِيِّ وَأَوْلَادِهِ وَأَزْوَاجِهِ وَدَخَلَ دَارَ الْإِسْلَامِ عُتِقَ وَصَارُوا لَهُ رَقِيقًا فَرْعٌ وَإِذَا دَخَلَ الْحَرْبِيُّ دَارَ الْإِسْلَامِ وَاشْتَرَى عَبْدًا مُسْلِمًا وَدَخَلَ بِهِ دَارَ الْحَرْبِ فَسُبِيَ الْعَبْدُ فَهَلْ يَمْلِكُهُ غَانِمُوهُ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ عَلَى اخْتِلَافِ قَوْلَيِ الشَّافِعِيِّ فِي صِحَّةِ ابْتِيَاعِ الْكَافِرِ لِلْعَبْدِ الْمُسْلِمِ فَإِنْ قِيلَ بِصِحَّةِ مِلْكِهِ مَلَكَهُ الْغَانِمُونَ وَإِنْ قِيلَ بِفَسَادِهِ لَمْ يَمْلِكُوهُ وَكَانَ بَاقِيًا عَلَى مِلْكِ سَيِّدِهِ الْمُسْلِمِ فَرْعٌ وَإِذَا دَخَلَ الْحَرْبِيُّ دَارَ الْإِسْلَامِ بِأَمَانٍ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَسْتَكْمِلَ مَقَامَ حَوْلٍ إِلَّا بِبَذْلِ الْجِزْيَةِ وَإِنْ شَرَطَ الْإِمَامُ عَلَيْهِ عِنْدَ دُخُولِهِ أَنَّهُ إِنْ أَقَامَ حَوْلًا أُخِذَتْ مِنْهُ الْجِزْيَةُ فَأَقَامَ حَوْلًا وَجَبَتْ عَلَيْهِ الْجِزْيَةُ وَلَوْ شَرَطَ عَلَيْهِ أَنَّهُ إِنْ أَقَامَ حَوْلًا جَعَلَ نَفْسَهُ مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ فَاسْتَكْمَلَ حَوْلًا لَمْ يَصِرْ مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ إِلَّا بِاخْتِيَارِهِ

Perbedaan antara seorang budak yang dimerdekakan jika ia keluar ke Dar al-Islam dan tidak dimerdekakan jika ia tetap tinggal di Dar al-Harb adalah bahwa jika ia keluar, berarti ia telah mengalahkan tuannya atas dirinya sendiri sehingga ia menjadi merdeka. Sedangkan jika ia tetap tinggal, ia tidak mengalahkan tuannya atas dirinya, sehingga ia tetap menjadi budak. Tidakkah engkau melihat bahwa jika seorang budak masuk Islam lalu mengalahkan tuan harbinya, anak-anak, dan istrinya, kemudian masuk ke Dar al-Islam, maka ia menjadi merdeka dan mereka menjadi budaknya sebagai cabang hukum. Dan jika seorang harbi masuk ke Dar al-Islam lalu membeli seorang budak Muslim dan membawanya ke Dar al-Harb, kemudian budak itu ditawan, apakah para penawannya menjadi pemilik budak itu atau tidak? Ada dua pendapat, sesuai perbedaan pendapat Imam Syafi‘i tentang sah atau tidaknya pembelian budak Muslim oleh orang kafir. Jika dikatakan sah kepemilikannya, maka para penawan menjadi pemiliknya. Jika dikatakan batal, maka mereka tidak memilikinya dan budak itu tetap menjadi milik tuan Muslimnya, sebagai cabang hukum. Dan jika seorang harbi masuk ke Dar al-Islam dengan jaminan keamanan, maka ia tidak boleh menetap selama satu tahun penuh kecuali dengan membayar jizyah. Jika imam mensyaratkan kepadanya saat masuk bahwa jika ia menetap selama setahun maka jizyah diambil darinya, lalu ia benar-benar menetap selama setahun, maka jizyah wajib atasnya. Namun jika imam mensyaratkan bahwa jika ia menetap selama setahun maka ia menjadi bagian dari ahl al-dhimmah, lalu ia benar-benar menetap selama setahun, maka ia tidak menjadi bagian dari ahl al-dhimmah kecuali dengan pilihannya sendiri.

وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْمَسْأَلَتَيْنِ أَنَّ الشَّرْطَ فِي الْأُولَى لِلْإِمَامِ فَالْتَزَمَهُ الْحَرْبِيُّ بِغَيْرِ اخْتِيَارِهِ وَفِي الثَّانِيَةِ لِلذِّمِّيِّ فَلَمْ يَلْزَمْهُ إِلَّا بِاخْتِيَارِهِ

Perbedaan antara kedua permasalahan tersebut adalah bahwa syarat pada kasus pertama ditetapkan untuk imam, sehingga orang harbi terikat dengannya tanpa pilihannya sendiri, sedangkan pada kasus kedua syarat tersebut untuk dzimmi, sehingga ia tidak terikat kecuali dengan pilihannya sendiri.

وَسَوَّى أَبُو حَنِيفَةَ بَيْنَهُمَا فِي اللُّزُومِ وَالْفَرْقُ يَمْنَعُ مِنَ اسْتِوَائِهِمَا فَرْعٌ وَإِذَا غَزَا صِبْيَانٌ لَا بَالِغَ فِيهِمْ أَوْ نِسَاءٌ لَا رَجُلَ بَيْنَهُنَّ أَوْ عَبِيدٌ لَا حُرَّ مَعَهُمْ وَغَنِمُوا أَخَذَ الْإِمَامُ خُمْسَ غَنِيمَتِهِمْ وَفِي أَرْبَعَةِ أَخْمَاسِهَا وَجْهَانِ أَشَارَ إِلَيْهِمَا ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ

Abu Hanifah menyamakan keduanya dalam hal kewajiban, namun perbedaan di antara keduanya mencegah kedudukan yang setara. Cabang: Jika sekelompok anak-anak yang belum baligh pergi berperang tanpa ada orang dewasa di antara mereka, atau sekelompok perempuan tanpa ada laki-laki di antara mereka, atau sekelompok budak tanpa ada orang merdeka bersama mereka, lalu mereka memperoleh harta rampasan perang, maka imam mengambil seperlima dari harta rampasan mereka. Adapun mengenai empat perlima sisanya, terdapat dua pendapat yang ditunjukkan oleh Ibn Abi Hurairah.

أَحَدُهُمَا أَنْ يُقَسِّمَ جَمِيعَهُ بَيْنَهُمْ بِاسْمِ الرَّضْخِ وَإِنْ كَانَ فِي حُكْمِ السِّهَامِ وَلِيُسَوِّيَ بَيْنَهُمْ فِيهِ كَأَهْلِ السِّهَامِ

Salah satunya adalah membagikan seluruhnya di antara mereka dengan nama al-radkh, meskipun dalam hukum seperti bagian (saham), dan hendaknya ia menyamakan di antara mereka di dalamnya sebagaimana para penerima bagian (saham).

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهُ يَحْبِسُ بَعْضَهُ عَنْهُمْ بِحَسْبِ مَا يُؤَدِّيهِ اجْتِهَادُهُ إِلَيْهِ لِئَلَّا يُسَاوُوا فِيهِ أَهْلَ السِّهَامِ وَيُقَسِّمُ الْبَاقِيَ بَيْنَهُمْ بِحَسْبَ مَا يَرَاهُ مِنْ مُسَاوَاةٍ وَتَفْضِيلٍ

Pendapat kedua adalah bahwa ia menahan sebagian dari mereka sesuai dengan hasil ijtihadnya, agar mereka tidak disamakan dengan ahli saham, dan ia membagikan sisanya di antara mereka sesuai dengan apa yang ia pandang layak, baik secara merata maupun dengan memberikan keutamaan.

فَصْلٌ

Fasal

وَإِذَا حَاصَرَ الْإِمَامُ بَلَدًا أَوْ قَلْعَةً فِي دَارِ الْحَرْبِ ثُمَّ صَالَحَهُمْ عَلَى تَحْكِيمِ رَجُلٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ لِيُحَكِّمَ فِيهِمْ بِمَا يُؤَدِّيهِ اجْتِهَادُهُ إِلَيْهِ إِذَا كَانَ مِنْ أَهْلِ الِاجْتِهَادِ مُسْتَوْفِيًا لِشُرُوطِ الْحُكَّامِ وَهِيَ الْبُلُوغُ وَالْعَقْلُ وَالْحُرِّيَّةُ وَالْإِسْلَامُ وَالذُّكُورِيَّةُ وَالْعِلْمُ

Apabila imam mengepung sebuah kota atau benteng di wilayah perang, kemudian mereka berdamai dengan syarat menyerahkan keputusan kepada seorang muslim untuk memutuskan perkara mereka berdasarkan ijtihadnya, jika orang tersebut termasuk ahli ijtihad dan memenuhi syarat-syarat hakim, yaitu baligh, berakal, merdeka, muslim, laki-laki, dan berilmu.

فَإِذَا اسْتَكْمَلَ هَذِهِ الشُّرُوطَ السَّبْعَةَ صَحَّ أَنْ يُحَكِّمَ فِيهِمْ بِرَأْيِهِ كَمَا حُكْمَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ سَعْدَ بْنَ مُعَاذٍ فِي بَنِي قُرَيْظَةَ فَحَكَمَ أن مَنْ جَرَتْ عَلَيْهِ الْمَوَاسِي قُتِلَ وَمَنْ لَمْ تَجْرِ عَلَيْهِ اسْتُرِقَّ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” وهذا حُكْمُ اللَّهِ مَنْ فَوْقِ سَبْعِ أَرْقُعَةٍ ” وَهِيَ سَبْعُ سَمَاوَاتٍ ” وَإِنْ أَخَلَّ بِشَرْطٍ مِنْهَا لَمْ يجز أن يحكم فيها فَإِنْ كَانَ هَذَا الْمُحَكَّمُ فِيهِمْ أَعْمَى جَازَ تَحْكِيمُهُ وَإِنْ كَانَ لَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ حَاكِمًا فِي عُمُومِ الْأَحْكَامِ لِأَنَّهُ يَحْكمُ بِمَا اشْتَهَرَتْ فِيهِ أَحْوَالُهُمْ وَتَظَاهَرَتْ بِهِ أَخْبَارُهُمْ فَاسْتَوَى فِيهَا الْأَعْمَى وَالْبَصِيرُ كَمَا يَسْتَوِيَانِ فِي الشَّهَادَةِ بِمَا تُعَلَّقُ بِاسْتِفَاضَةِ الْأَخْبَارِ فَإِنْ صُولِحُوا عَلَى تَحْكِيمِ غَيْرِ مُعَيَّنٍ لِيَقَعَ الِاخْتِيَارُ لَهُ أَوِ التَّعْيِينُ عَلَيْهِ مِنْ بَعْدُ لَمْ يَخْلُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ

Apabila telah terpenuhi tujuh syarat ini, maka sah baginya untuk memutuskan perkara di antara mereka dengan pendapatnya, sebagaimana Rasulullah ﷺ memutuskan perkara Sa‘d bin Mu‘ādz terhadap Bani Quraizhah, lalu ia memutuskan bahwa siapa saja yang telah tumbuh rambut kemaluannya maka dibunuh, dan siapa yang belum tumbuh maka dijadikan budak. Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Inilah hukum Allah dari atas tujuh lapis langit,” yaitu tujuh langit. Namun jika salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi, maka tidak boleh ia memutuskan perkara itu. Jika pihak yang diputuskan perkara di antara mereka itu adalah orang buta, maka boleh ia dijadikan hakim, meskipun tidak boleh menjadi hakim dalam seluruh hukum secara umum, karena ia memutuskan berdasarkan perkara yang telah masyhur keadaannya dan telah tersebar beritanya, sehingga dalam hal ini orang buta dan orang yang dapat melihat adalah sama, sebagaimana keduanya sama dalam kesaksian yang berkaitan dengan tersebarnya berita. Jika mereka berdamai untuk menunjuk hakim yang tidak tertentu agar dapat dipilih atau ditentukan kemudian, maka tidak lepas dari tiga keadaan.

أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ مَوْقُوفًا عَلَى اخْتِيَارِ الْمُسْلِمِينَ لَهُ فَيَصِحَّ

Salah satunya adalah jika penetapannya didasarkan pada pilihan kaum Muslimin terhadapnya, maka hal itu sah.

وَالثَّانِي أَنْ يَكُونَ مَوْقُوفًا عَلَى اخْتِيَارِ الْمُشْرِكِينَ لَهُ فَلَا يَصِحَّ

Kedua, jika hal itu diserahkan pada pilihan orang-orang musyrik, maka tidak sah.

وَالثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ مَوْقُوفًا عَلَى اخْتِيَارِ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُشْرِكِينَ فَيَصِحَّ لِأَنَّ بَنِي قُرَيْظَةَ سَأَلُوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ تَحْكِيمَ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ فَأَجَابَهُمْ إِلَيْهِ فَإِنِ اتَّفَقَ الْمُسْلِمُونَ وَالْمُشْرِكُونَ عَلَى اخْتِيَارِهِ انْعَقَدَ تَحْكِيمُهُ وَنَفَذَ فِيهِمْ حُكْمُهُ وَإِنِ اخْتَلَفُوا لَمْ يَنْعَقِدْ تَحْكِيمُهُ وَأُعِيدُوا إِلَى مَأْمَنِهِمْ حَتَّى يَسْتَأْنِفُوا اخْتِيَارًا أَوْ صُلْحًا فَإِنْ صُولِحُوا عَلَى تَحْكِيمِ أَسِيرٍ فِي أَيْدِيهِمْ نُظِرَ

Ketiga, apabila penunjukan hakim itu diserahkan kepada pilihan kaum Muslimin dan musyrikin, maka hal itu sah. Sebab, Bani Quraizhah pernah meminta kepada Rasulullah saw. agar Sa‘d bin Mu‘adz dijadikan hakim, lalu beliau mengabulkan permintaan mereka. Jika kaum Muslimin dan musyrikin sepakat memilihnya, maka penunjukan hakim itu sah dan keputusannya berlaku atas mereka. Namun, jika mereka berselisih, maka penunjukan hakim tidak sah dan mereka dikembalikan ke tempat aman mereka sampai mereka memulai kembali dengan pilihan atau perdamaian yang baru. Jika mereka berdamai dengan menunjuk seorang tawanan yang berada di tangan mereka sebagai hakim, maka hal itu perlu diteliti lebih lanjut.

فَإِنْ كَانَ فِي وَقْتِ اخْتِيَارِهِ لِلتَّحْكِيمِ أَسِيرًا لَمْ يَصِحَّ تَحْكِيمُهُ لِأَنَّهُ مَقْهُورٌ لَا يَنْفَذُ حُكْمُهُ وَإِنْ كَانَ قَدْ أطلق قبل تحكيمه كرهناه حذرا للممايلة وَصَحَّ تَحْكِيمُهُ لِأَنَّ دِينَهُ يَمْنَعُهُ مِنَ الْمُمَايَلَةِ وَهَكَذَا لَوْ عُقِدَ التَّحْكِيمُ عَلَى رَجُلٍ مِنْهُمْ قَدْ أَسْلَمَ قَبْلَ التَّحْكِيمِ جَازَ وَإِنْ كُرِهَ

Jika pada saat ia dipilih sebagai hakam ia sedang menjadi tawanan, maka pengangkatannya sebagai hakam tidak sah karena ia berada dalam keadaan terpaksa sehingga keputusannya tidak dapat dijalankan. Namun, jika ia telah dibebaskan sebelum diangkat sebagai hakam, maka kami memakruhkannya sebagai bentuk kehati-hatian terhadap kemungkinan keberpihakan, tetapi pengangkatannya tetap sah karena agamanya mencegahnya dari keberpihakan. Demikian pula, jika pengangkatan hakam dilakukan terhadap seseorang dari mereka yang telah masuk Islam sebelum diangkat, maka hal itu diperbolehkan meskipun dimakruhkan.

وَإِذَا انْعَقَدَ الصُّلْحُ عَلَى تَحْكِيمِ رَجُلَيْنِ جَازَ لِأَنَّ اجْتِهَادَهُمَا أَقْوَى وَنَفَذَ حُكْمُهُمَا إِنِ اتَّفَقَا عَلَيْهِ وَلَمْ يَنْفُذْ إِنِ اخْتَلَفَا فِيهِ وَإِذَا مَاتَ الْحَكَمُ قَبْلَ حُكْمِهِ أَوِ اسْتَعْفَى وَاعْتَزَلَ أُعِيدُوا إِلَى مَأْمَنِهِمْ حَتَّى يَسْتَأْنِفُوا صُلْحًا عَلَى تَحْكِيمِ غَيْرِهِ

Jika perdamaian disepakati dengan menunjuk dua orang sebagai hakim, maka hal itu diperbolehkan karena ijtihad keduanya lebih kuat, dan keputusan mereka berdua berlaku jika keduanya sepakat atasnya, namun tidak berlaku jika mereka berselisih dalam hal itu. Jika salah satu hakim meninggal sebelum memberikan keputusan, atau mengundurkan diri dan melepaskan tugasnya, maka para pihak dikembalikan ke tempat aman mereka hingga mereka memulai kembali perdamaian dengan menunjuk hakim lain.

فَإِذَا تَقَرَّرَتْ هَذِهِ الْجُمْلَةُ وَانْعَقَدَ التَّحْكِيمُ عَلَى رَجُلٍ بِعَيْنِهِ اجْتَهَدَ رَأْيَهُ فِي الْأَصْلَحِ لِلْمُسْلِمِينَ دُونَ الْمُشْرِكِينَ لِعُلُوِّ الْإِسْلَامِ عَلَى الشِّرْكِ فَإِنْ أَدَّاهُ اجْتِهَادُهُ إِلَى قَتْلِ رِجَالِهِمْ وَسَبْيِ ذَرَارِيهِمْ جَازَ وَلَزِمَهُمْ حُكْمُهُ كَالَّذِي حَكَمَ لَهُ سَعْدٌ فِي بَنِي قُرَيْظَةَ فَإِنْ رَأَى الْإِمَامُ بَعْدَ ذَلِكَ الْمَنَّ عَلَى مَنْ حُكِمَ بِقَتْلِهِ مِنْ رِجَالِهِمْ جَازَ وَإِنْ رَأَى الْمَنَّ عَلَى مَنْ حُكِمَ بِسَبْيِهِ مِنْ ذَرَارِيهِمْ نُظِرَ

Maka apabila ketentuan ini telah dipahami dan penunjukan hakim telah ditetapkan atas seorang laki-laki tertentu, ia harus berijtihad dengan pendapatnya untuk mencari yang terbaik bagi kaum Muslimin, bukan bagi kaum musyrikin, karena keunggulan Islam atas syirik. Jika ijtihadnya membawanya pada keputusan untuk membunuh laki-laki mereka dan menawan anak-anak serta perempuan mereka, maka hal itu boleh dan keputusan tersebut wajib dijalankan atas mereka, sebagaimana keputusan yang dijatuhkan Sa‘d terhadap Bani Quraizhah. Jika setelah itu imam memandang untuk memberikan ampunan kepada laki-laki mereka yang telah diputuskan untuk dibunuh, maka hal itu boleh. Dan jika imam memandang untuk memberikan ampunan kepada anak-anak serta perempuan mereka yang telah diputuskan untuk ditawan, maka hal itu perlu dipertimbangkan.

فَإِنْ كَانَ بَعْدَ اسْتِرْقَاقِهِمْ لَمْ يَجُزْ إِلَّا بِمُرَاضَاةِ الْغَانِمِينَ كَمَا فَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي سَبْيِ هَوَازِنَ حِينَ مَنَّ وَإِنْ كَانَ قَبْلَ اسْتِرْقَاقِهِمْ جَازَ لِأَنَّ سَعْدًا لَمَّا حَكَمَ فِي بَنِي قُرَيْظَةَ بِالْقَتْلِ وَالسَّبْيِ جَاءَ ثَابِتٌ الْأَنْصَارِيُّ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ الزُّبَيْرَ بْنَ بَاطَأَ الْيَهُودِيَّ عِنْدِي وَقَدْ سَأَلَ أَنْ نَهَبَ لَهُ دَمَهُ وَمَالَهُ فَفَعَلَ وَوَهَبَ لَهُ دَمَهُ وَمَالَهُ

Jika hal itu dilakukan setelah mereka dijadikan budak, maka tidak boleh kecuali dengan kerelaan para penakluk, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah ﷺ terhadap tawanan Hawazin ketika beliau membebaskan mereka. Namun jika dilakukan sebelum mereka dijadikan budak, maka hal itu boleh, karena ketika Sa‘d memutuskan hukuman bagi Bani Quraizhah berupa pembunuhan dan penawanan, datanglah Tsabit al-Anshari dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Zubair bin Baṭa’ al-Yahudi ada padaku, dan ia telah meminta agar aku mengampuni darah dan hartanya.” Maka Rasulullah pun melakukannya dan mengampuni darah serta hartanya.

وَإِنْ رَأَى الْإِمَامُ أَنْ يَسْتَرِقَّ رِجَالَهُمْ أَوْ يَأْخُذَ فِدَاهُمَ لَمْ يَجُزْ إِلَّا عَنْ مُرَاضَاتِهِمْ لِأَنَّهُ نَقْضُ حُكْمٍ نَفَذَ بِالِاسْتِئْنَافِ لِحُكْمٍ مُجَدَّدٍ وَلَوْ كَانَ الْمُحَكَّمُ فِيهِمْ قَدْ حَكَمَ بِالْمَنِّ عَلَى رِجَالِهِمْ وَذَرَارِيهِمْ نَفَذَ حُكْمُهُ إِذَا أَدَّاهُ اجْتِهَادُهُ إِلَيْهِ وَلَمْ يَجُزْ لِلْإِمَامِ أَنْ يَفْسَخَ حُكْمَهُ عَلَيْهِ وَإِنْ حَكَمَ عَلَيْهِ بِالْفِدَاءِ لَمْ يَلْزَمْهُمْ حُكْمُهُ إِنْ كَانَ الْمَالُ غَيْرَ مَقْدُورٍ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ عَقْدُ مُعَاوَضَةٍ لَا يَلْزَمُ إِلَّا عَنْ مُرَاضَاةٍ وَلَزِمَهُمْ حُكْمُهُ إِنْ كَانَ الْمَالُ مَقْدُورًا عَلَيْهِ لِأَنَّهُ حُكْمٌ مِنْهُ بِغَنِيمَةِ ذَلِكَ الْمَالِ فَنَفَذَ حُكْمُهُ بِهِ وَإِنْ حَكَمَ بِاسْتِرْقَاقِهِمْ صَارُوا بِحُكْمِهِ رَقِيقًا وَلَمْ يَجُزْ لِلْإِمَامِ أَنْ يَمُنَّ عَلَيْهِمْ إِلَّا بِاسْتِطَابَةِ نُفُوسِ الْغَانِمِينَ وَإِنْ حَكَمَ عَلَيْهِمْ بِالْجِزْيَةِ وَأَنْ يَكُونُوا أَهْلَ ذِمَّةٍ لَمْ يَلْزَمْهُمْ حُكْمُهُ بِذَلِكَ لِأَنَّهَا عَقْدُ مُعَاوَضَةٍ لَا يَصِحُّ إِلَّا عَنْ مُرَاضَاةٍ وَلَوْ حَكَمَ بِقَتْلِهِمْ فَأَسْلَمُوا سَقَطَ الْقَتْلُ عَنْهُمْ وَلَمْ يَجُزِ اسْتِرْقَاقُهُمْ وَلَوْ حَكَمَ اسْتِرْقَاقَهُمْ فَأَسْلَمُوا لَمْ يَسْقُطِ اسْتِرْقَاقُهُمْ لِأَنَّهُ يَجُوزُ اسْتِرْقَاقُهُمْ بَعْدَ إِسْلَامِهِمْ وَلَا يَجُوزُ قتلهم بعد إسلامهم وبالله التوفيق

Jika imam memandang untuk memperbudak laki-laki mereka atau mengambil tebusan dari mereka, maka tidak boleh dilakukan kecuali dengan kerelaan mereka, karena hal itu merupakan pembatalan hukum yang telah berlaku dengan memulai hukum baru. Jika hakim telah memutuskan untuk membebaskan laki-laki dan anak-anak mereka, maka keputusannya berlaku jika hasil ijtihadnya mengarah ke sana, dan tidak boleh bagi imam untuk membatalkan keputusannya atas mereka. Jika hakim memutuskan agar mereka ditebus, maka keputusan itu tidak wajib bagi mereka jika harta tebusan itu tidak dapat diperoleh, karena itu merupakan akad mu‘āwadah (pertukaran) yang tidak wajib kecuali dengan kerelaan. Namun, jika harta tebusan itu dapat diperoleh, maka keputusan itu wajib bagi mereka, karena itu merupakan keputusan tentang ghanīmah (rampasan perang) atas harta tersebut, sehingga keputusannya berlaku. Jika hakim memutuskan untuk memperbudak mereka, maka dengan keputusannya itu mereka menjadi budak, dan tidak boleh bagi imam untuk membebaskan mereka kecuali dengan kerelaan para ghanimīn (penerima rampasan perang). Jika hakim memutuskan agar mereka dikenakan jizyah dan menjadi ahl al-dhimmah, maka keputusan itu tidak wajib bagi mereka, karena itu merupakan akad mu‘āwadah yang tidak sah kecuali dengan kerelaan. Jika hakim memutuskan untuk membunuh mereka lalu mereka masuk Islam, maka hukuman bunuh itu gugur dari mereka dan tidak boleh diperbudak. Namun, jika hakim memutuskan untuk memperbudak mereka lalu mereka masuk Islam, maka status perbudakan mereka tidak gugur, karena boleh memperbudak mereka setelah mereka masuk Islam, sedangkan membunuh mereka tidak boleh setelah mereka masuk Islam. Dan hanya kepada Allah-lah taufik diberikan.

وما دخل فيه من اختلاف الأحاديث ومن كتاب الواقدي واختلاف الأوزاعي وأبي حنيفة رحمة الله عليهم باب من يلحق بأهل الكتاب

Dan apa yang termasuk di dalamnya berupa perbedaan hadis-hadis, dan dari kitab al-Waqidi, serta perbedaan pendapat al-Awza‘i dan Abu Hanifah rahimahumullah, adalah bab tentang siapa yang disamakan dengan Ahlul Kitab.

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ ” انْتَوَتْ قَبَائِلُ مِنَ الْعَرَبِ قَبْلَ أَنْ يَبْعَثَ اللَّهُ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَيُنْزِلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنَ فَدَانَتْ دِينَ أَهْلِ الْكِتَابِ فَأَخَذَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ الْجِزْيَةَ مِنْ أُكَيْدَرِ دَوْمَةَ وَهُوَ رَجُلٌ يُقَالُ إِنَّهُ مِنْ غَسَّانَ أَوْ مِنْ كِنْدَةَ وَمِنْ أَهْلِ ذِمَّةِ الْيَمَنِ وَعَامَّتُهُمْ عَرَبٌ وَمِنْ أَهْلِ نَجْرَانَ وَفِيهِمْ عَرَبٌ فَدَلَّ مَا وَصَفْتُ أَنَّ الْجِزْيَةَ لَيْسَتْ عَلَى الْأَحْسَابِ وَإِنَّمَا هِيَ عَلَى الْأَدْيَانِ “

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Beberapa kabilah Arab telah memeluk agama Ahli Kitab sebelum Allah mengutus Muhammad ﷺ dan menurunkan Al-Qur’an kepadanya. Maka Rasulullah ﷺ mengambil jizyah dari Ukaydir Dumat, seorang laki-laki yang dikatakan berasal dari Ghassan atau Kindah, juga dari penduduk dzimmah Yaman yang mayoritasnya adalah orang Arab, dan dari penduduk Najran yang di antara mereka terdapat orang Arab. Maka apa yang telah aku sebutkan menunjukkan bahwa jizyah itu tidak ditetapkan berdasarkan keturunan, melainkan berdasarkan agama.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ والأصل في أخذ الجزية وأن يَصِيرَ الْمُشْرِكُونَ بِهَا أَهْلَ ذِمَّةِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ قَاتِلُوا الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلا بِالْيَوْمِ الآخر إِلَى أَنْ قَالَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ أَمَّا قَوْلُهُ هَاهُنَا قَاتِلُوا فَفِيهِ وَجْهَانِ

Al-Mawardi berkata: Dasar dalam pengambilan jizyah dan bahwa orang-orang musyrik dengan itu menjadi ahludz-dzimmah adalah al-Kitab dan as-Sunnah, yaitu firman Allah: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari akhir,” hingga firman-Nya: “sampai mereka membayar jizyah dengan tangan mereka dalam keadaan tunduk.” Adapun firman-Nya di sini “perangilah”, maka di dalamnya terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يَعْنِي جَاهِدُوا

Salah satunya maksudnya adalah berjihadlah.

وَالثَّانِي اقْتُلُوا فَعَبَّرَ عَنِ الْقَتْلِ بِالْمُقَاتَلَةِ لِحُدُوثِهِ فِي الأغلب عن القتال وفي قوله الذين لا يؤمنون بالله وَجْهَانِ

Yang kedua adalah “bunuhlah”, maka ia mengungkapkan pembunuhan dengan istilah pertempuran karena kebanyakan pembunuhan terjadi akibat pertempuran. Dalam firman-Nya “orang-orang yang tidak beriman kepada Allah” terdapat dua makna.

أَحَدُهُمَا لَا يُؤْمِنُونَ بِكِتَابِ اللَّهِ

Salah satu dari keduanya adalah mereka tidak beriman kepada Kitab Allah.

وَالثَّانِي لَا يُؤْمِنُونَ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لِأَنَّ تَصْدِيقَ الرَّسُولِ إِيمَانٌ بِالرُّسُلِ وَإِلَّا فَهُمْ مُؤْمِنُونَ بِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى وَاحِدٌ مَعْبُودٌ

Dan yang kedua, mereka tidak beriman kepada Rasulullah ﷺ karena membenarkan rasul adalah bagian dari iman kepada para rasul. Adapun selain itu, mereka tetap beriman bahwa Allah Ta‘ala adalah Tuhan yang Esa dan yang disembah.

وَفِي قوله ولا باليوم الآخر وَإِنْ كَانُوا يَعْتَقِدُونَ الْبَعْثَ وَالْجَزَاءَ وَجْهَانِ

Dalam ucapannya “dan tidak (beriman) kepada hari akhir”, meskipun mereka meyakini adanya kebangkitan dan pembalasan, terdapat dua sisi penafsiran.

أَحَدُهُمَا أَنَّ إِقْرَارَهُمْ بِالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوجِبُ الْإِقْرَارَ بِجَمِيعِ حُقُوقِهِ فَصَارُوا بِتَرْكِ الْإِقْرَارِ بِحُقُوقِهِ كَمَنْ لَمْ يُقِرَّ بِهِ

Salah satunya adalah bahwa pengakuan mereka terhadap hari akhir menuntut pengakuan terhadap seluruh hak-haknya, sehingga dengan tidak mengakui hak-haknya, mereka menjadi seperti orang yang tidak mengakuinya sama sekali.

وَالثَّانِي أَنَّهُمْ لَا يَخَافُونَ وَعِيدَ الْيَوْمِ الْآخِرِ فَذَمَّهُمْ ذَمَّ مَنْ لَا يُؤْمِنُ باليوم الآخر

Dan yang kedua, mereka tidak takut terhadap ancaman pada hari akhir, maka Allah mencela mereka sebagaimana celaan terhadap orang yang tidak beriman kepada hari akhir.

وقوله ولا يحرمون ما حرم الله ورسوله ^ فِيهِ وَجْهَانِ

Dan firman-Nya, “Dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya,” dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ مَا أَمَرَ بِنَسْخِهِ من شرائعهم

Salah satunya adalah bahwa apa yang diperintahkan untuk di-naskh dari syariat-syariat mereka.

وَالثَّانِي أَنَّهُ مَا أَحَلَّهُ لَهُمْ وَحَرَّمَهُ عَلَيْهِمْ

Dan yang kedua adalah bahwa apa yang dihalalkan untuk mereka dan diharamkan atas mereka.

وقوله ولا يدينون دين الحق فِيهِ وَجْهَانِ

Dan firman-Nya “dan mereka tidak menganut agama yang benar” di dalamnya terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا مَا فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ مِنَ اتِّبَاعِ الرَّسُولِ وَهُوَ قَوْلُ الْكَلْبِيِّ

Salah satunya adalah apa yang terdapat dalam Taurat dan Injil tentang mengikuti Rasul, dan ini adalah pendapat al-Kalbi.

وَالثَّانِي الدُّخُولُ فِي شَرِيعَةِ الْإِسْلَامِ وَهُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ والحق هاهنا هو الله تعالى

Yang kedua adalah masuk ke dalam syariat Islam, dan inilah pendapat jumhur, dan kebenaran di sini adalah milik Allah Ta‘ala.

وقوله من الذين أوتوا الكتاب فِيهِ وَجْهَانِ

Dan ucapannya “dari kalangan orang-orang yang diberi kitab” memiliki dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يَعْنِي مِنْ آبَاءِ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَالثَّانِي مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لأنهم في اتباعه كآبائهم

Salah satunya maksudnya adalah dari para leluhur orang-orang yang diberi kitab, dan yang kedua dari orang-orang yang diberi kitab, karena mereka dalam mengikutinya seperti leluhur mereka.

وقوله حتى يعطوا الجزية فِيهِ وَجْهَانِ

Dan firman-Nya “hingga mereka membayar jizyah” terdapat dua pendapat di dalamnya.

أَحَدُهُمَا حَتَّى يَدْفَعُوا الْجِزْيَةَ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ لِأَنَّهُ يُوجِبُهُ فِي أَوَّلِ الْحَوْلِ

Salah satunya adalah sampai mereka membayar jizyah, dan ini adalah pendapat Abu Hanifah karena ia mewajibkannya pada awal tahun.

وَالثَّانِي حَتَّى يَضْمَنُوا الْجِزْيَةَ وَهُوَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ لِأَنَّهُ يُوجِبُهَا بِانْقِضَاءِ الْحَوْلِ وَالْجِزْيَةُ اسْمٌ مُشْتَقٌّ مِنَ الْجَزَاءِ إِمَّا عَلَى إِقْرَارِهِمْ عَلَى الْكُفْرِ وَإِمَّا عَلَى مُقَامِهِمْ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ وَالْجِزْيَةُ هُوَ الْمَالُ الْمَأْخُوذُ مِنْهُمْ عَنْ رِقَابِهِمْ وَفِيهَا وَجْهَانِ

Dan pendapat kedua adalah agar mereka menjamin pembayaran jizyah, dan ini adalah pendapat asy-Syafi‘i, karena ia mewajibkannya setelah berlalu satu tahun. Jizyah adalah nama yang diambil dari kata al-jazā’, yaitu sebagai balasan, baik atas pengakuan mereka tetap dalam kekufuran maupun atas keberadaan mereka di wilayah Islam. Jizyah adalah harta yang diambil dari mereka sebagai kewajiban atas diri mereka, dan dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا أَنَّهَا مِنَ الْمُجْمَلِ الَّذِي يَفْتَقِرُ إِلَى الْبَيَانِ

Salah satunya adalah bahwa ia termasuk dalam kategori mujmal yang membutuhkan penjelasan.

وَالثَّانِي أَنَّهَا مِنَ الْعُمُومِ الَّذِي يَعْمَلُ مَا اشْتَمَلَ عَلَيْهِ مِنْ قَلِيلٍ وكثير ما لم يخصه دليل

Dan yang kedua, bahwa ia termasuk keumuman yang berlaku atas segala sesuatu yang tercakup di dalamnya, baik sedikit maupun banyak, selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya.

وقوله عن يد فِيهِ وَجْهَانِ

Dan ucapannya “secara langsung (an yad)” di dalamnya terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا عَنْ غِنًى وَقُدْرَةٍ

Salah satunya berasal dari kecukupan dan kemampuan.

وَالثَّانِي أن يروا لنا أخذها منهم يدا عليهم

Dan yang kedua, agar mereka melihat bahwa kita mengambilnya dari mereka sebagai bentuk keunggulan atas mereka.

وقوله وهم صاغرون ^ فِيهِ وَجْهَانِ

Dan firman-Nya “sedangkan mereka dalam keadaan hina” memiliki dua pendapat.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونُوا أَذِلَّاءَ مَقْهُورِينَ

Salah satunya adalah bahwa mereka berada dalam keadaan hina dan tertindas.

وَالثَّانِي أَنَّ تَجْرِيَ عَلَيْهِمْ أَحْكَامُ الْإِسْلَامِ فَدَلَّتْ هَذِهِ الْآيَةُ عَلَى ثَلَاثَةِ أَحْكَامٍ

Dan yang kedua adalah bahwa hukum-hukum Islam berlaku atas mereka, maka ayat ini menunjukkan tiga hukum.

أَحَدُهَا وُجُوبُ جِهَادِهِمْ

Salah satunya adalah wajibnya melakukan jihad terhadap mereka.

وَالثَّانِي جَوَازُ قَتْلِهِمْ

Dan yang kedua adalah bolehnya membunuh mereka.

وَالثَّالِثُ حَقْنُ دِمَائِهِمْ بِأَخْذِ الْجِزْيَةِ مِنْهُمْ

Ketiga, menjaga darah mereka dengan mengambil jizyah dari mereka.

وَيَدُلُّ عَلَيْهِ مِنَ السُّنَّةِ مَا رَوَى سُلَيْمَانُ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ كَانَ إِذَا بَعَثَ أَمِيرًا عَلَى جَيْشٍ أَوْصَاهُ بتقوى الله تعالى فِي خَاصَّةِ نَفْسِهِ وَبِمَنْ مَعَهُ مِنَ الْمُسْلِمِينَ خَيْرًا وَقَالَ لَهُ ” إِذَا لَقِيتَ عَدُوَّكَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ فَادْعُهُمْ إِلَى إِحْدَى خِصَالٍ ثَلَاثٍ أَيَّتُهُنَّ أَجَابُوكَ إِلَيْهَا فَاقْبَلْ مِنْهُمْ ادْعُهُمْ إِلَى الْإِسْلَامِ فَإِنْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ وَإِنْ أَبَوْا فَالْجِزْيَةُ فَإِنْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ وَإِنْ أَبَوْا فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَقَاتِلْهُمْ “

Dan dalil dari sunnah adalah apa yang diriwayatkan oleh Sulaiman bin Buraidah dari ayahnya, bahwa Rasulullah ﷺ apabila mengutus seorang amir (pemimpin) atas suatu pasukan, beliau menasihatinya agar bertakwa kepada Allah Ta‘ala secara khusus pada dirinya sendiri dan agar berbuat baik kepada kaum Muslimin yang bersamanya. Beliau bersabda kepadanya: “Jika engkau bertemu musuhmu dari kalangan musyrikin, ajaklah mereka kepada salah satu dari tiga hal; mana saja yang mereka terima darimu, terimalah dari mereka. Ajaklah mereka kepada Islam; jika mereka menerima, terimalah dari mereka dan hentikanlah (perang) terhadap mereka. Jika mereka menolak, maka (ajaklah) kepada jizyah; jika mereka menerima, terimalah dari mereka dan hentikanlah (perang) terhadap mereka. Jika mereka menolak, maka mintalah pertolongan kepada Allah dan perangilah mereka.”

وَقَدْ أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ الْجِزْيَةَ مِنْ أَهْلِ نَجْرَانَ وَمِنْ مَجُوسِ هَجَرَ وأخذها من أهل أيلة وهم ثلاث مائة رَجُلٍ أَخَذَ مِنْهُمْ ثَلَاثَمِائَةِ دِينَارٍ وَلِأَنَّ فِي أَخْذِ الْجِزْيَةِ مِنْهُمْ مَعُونَةً لِلْمُسْلِمِينَ وَأَنَاةً بِالْمُشْرِكِينَ فِي تَوَقُّعِ اسْتِنْصَارِهِمْ وَذِلَّةً لَهُمْ رُبَّمَا تَبْعَثُهُمْ على الإسلام فجور النَّصُّ لِهَذِهِ الْمَعَانِي الثَّلَاثَةِ أَخْذَهَا مِنْهُمْ

Rasulullah ﷺ telah mengambil jizyah dari penduduk Najran dan dari kaum Majusi Hajar, serta mengambilnya dari penduduk Ailah yang berjumlah tiga ratus orang; beliau mengambil dari mereka tiga ratus dinar. Karena pengambilan jizyah dari mereka merupakan bantuan bagi kaum Muslimin, memberi waktu bagi kaum musyrik dalam mengharapkan pertolongan mereka, dan sebagai bentuk kehinaan bagi mereka yang mungkin mendorong mereka untuk masuk Islam. Maka nash (teks) syariat menunjukkan tiga makna ini dalam pengambilan jizyah dari mereka.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا تَقَرَّرَ وُجُوبُ أَخْذِ الْجِزْيَةِ مِنَ الْكُفَّارِ لِإِقْرَارِهِمْ عَلَى الْكُفْرِ فهي مَأْخُوذَةٍ مِنْ بَعْضِهِمْ دُونَ جَمِيعِهِمْ

Maka apabila telah ditetapkan kewajiban memungut jizyah dari orang-orang kafir sebagai bentuk pengakuan atas kekufuran mereka, maka jizyah itu diambil dari sebagian mereka saja, tidak dari seluruhnya.

وَاخْتُلِفَ فِي الْمَأْخُوذِ مِنْهُمْ عَلَى أَرْبَعَةِ مَذَاهِبَ

Terdapat perbedaan pendapat mengenai harta yang diambil dari mereka, yang terbagi menjadi empat mazhab.

أَحَدُهَا وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ إنَّهَا تُؤْخَذُ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ عَرَبًا كَانُوا أَوْ عَجَمًا وَلَا تُؤْخَذُ مِنْ غَيْرِ أَهْلِ الْكِتَابِ عَرَبًا وَلَا عَجَمًا فَاعْتَبَرَهَا بِالْأَدْيَانِ دُونَ الْأَنْسَابِ

Salah satunya, yaitu mazhab Syafi‘i, berpendapat bahwa jizyah diambil dari Ahlul Kitab, baik mereka bangsa Arab maupun non-Arab, dan tidak diambil dari selain Ahlul Kitab, baik Arab maupun non-Arab. Jadi, ia mempertimbangkan jizyah berdasarkan agama, bukan berdasarkan keturunan.

وَالثَّانِي عَلَى مَا قَالَهُ أَبُو حَنِيفَةَ بِأَنَّهَا تُؤْخَذُ مِنْ جَمِيعِ أَهْلِ الْكِتَابِ وَمِنْ عَبَدَةِ الْأَوْثَانِ إِذَا كَانُوا عَجَمًا وَلَا تُؤْخَذُ مِنْهُمْ إِذَا كَانُوا عَرَبًا

Dan pendapat kedua adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Hanifah, bahwa jizyah diambil dari seluruh Ahlul Kitab dan dari para penyembah berhala jika mereka adalah orang-orang non-Arab (‘ajam), dan tidak diambil dari mereka jika mereka adalah orang Arab.

وَالثَّالِثُ مَا قَالَهُ مَالِكٌ إِنَّهَا تُؤْخَذُ مِنْ كُلِّ كَافِرٍ مِنْ كِتَابِيٍّ وَوَثَنِيٍّ وَعَجَمِيٍّ وَعَرَبِيٍّ إِلَّا مِنْ كُفَّارِ قُرَيْشٍ فَلَا تُؤْخَذُ مِنْهُمْ وَإِنْ دَانُوا دِينَ أَهْلِ الْكِتَابِ

Pendapat ketiga adalah apa yang dikatakan oleh Malik, bahwa jizyah diambil dari setiap orang kafir, baik dari kalangan Ahli Kitab, penyembah berhala, non-Arab, maupun Arab, kecuali dari orang-orang kafir Quraisy; dari mereka jizyah tidak diambil, meskipun mereka menganut agama Ahli Kitab.

وَالْمَذْهَبُ الرَّابِعُ مَا قَالَهُ أَبُو يُوسُفَ إِنَّهَا تُؤْخَذُ مِنَ الْعَجَمِ سَوَاءً كَانُوا أَهْلَ كِتَابٍ أَوْ عَبَدَةَ أَوْثَانٍ وَلَا تُؤْخَذُ مِنَ الْعَرَبِ سَوَاءً كَانُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ أَوْ مِنْ عَبَدَةِ الْأَوْثَانِ فَجَعَلَهَا مُعْتَبَرَةً بِالْأَنْسَابِ دُونَ الْأَدْيَانِ فَصَارَ الْخِلَافُ مَعَ الشَّافِعِيِّ فِي حُكْمَيْنِ

Mazhab keempat adalah pendapat Abu Yusuf, yaitu bahwa jizyah diambil dari orang-orang non-Arab, baik mereka ahli kitab maupun penyembah berhala, dan tidak diambil dari orang-orang Arab, baik mereka dari kalangan ahli kitab maupun penyembah berhala. Maka, ia menjadikannya bergantung pada nasab, bukan pada agama. Dengan demikian, perbedaan pendapat dengan Imam Syafi‘i terjadi dalam dua hukum.

أَحَدُهُمَا فِي عَبَدَةِ الْأَوْثَانِ فَعِنْدَ الشَّافِعِيِّ لَا تُقْبَلُ جِزْيَتُهُمْ وَعِنْدَ غَيْرِهِ تُقْبَلُ

Salah satunya adalah dalam hal penyembahan berhala; menurut Imam Syafi‘i, jizyah mereka tidak diterima, sedangkan menurut selain beliau, jizyah mereka diterima.

وَالثَّانِي فِي الْعَرَبِ فَعِنْدَ الشَّافِعِيِّ تُقْبَلُ جِزْيَتُهُمْ وَعِنْدَ غَيْرِهِ لَا تُقْبَلُ

Yang kedua, mengenai orang Arab, menurut Imam Syafi‘i jizyah mereka diterima, sedangkan menurut selain beliau tidak diterima.

فَأَمَّا الْحُكْمُ الْأَوَّلُ فِي عَبَدَةِ الْأَوْثَانِ فَاسْتَدَلَّ مَنْ ذَهَبَ إِلَى قَبُولِ جِزْيَتِهِمْ بِحَدِيثِ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ كَانَ إِذَا بَعَثَهُ عَلَى جَيْشٍ قَالَ لَهُ ” ادْعُهُمْ إِلَى الْإِسْلَامِ فَإِنْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ” وَلَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ عَبَدَةِ الْأَوْثَانِ وَأَهْلِ الْكِتَابِ وَإِنْ كَانَ أَكْثَرُهُمْ عَبَدَةَ أَوْثَانٍ وَلِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أخذ الجزية من المجوس وليس لهم كِتَابٌ فَكَذَلِكَ عَبَدَةُ الْأَوْثَانِ وَلِأَنَّهُ اسْتِذْلَالٌ يَجُوزُ فِي أَهْلِ الْكِتَابِ فَجَازَ فِي عَبَدَةِ الْأَوْثَانِ كَالْقَتْلِ

Adapun hukum pertama mengenai para penyembah berhala, maka orang yang berpendapat bolehnya menerima jizyah dari mereka berdalil dengan hadis Sulaiman bin Buraidah bahwa Nabi ﷺ apabila mengutusnya dalam suatu pasukan, beliau bersabda kepadanya: “Ajaklah mereka kepada Islam, jika mereka memenuhi ajakanmu maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tidak memerangi) mereka.” Dalam hadis tersebut tidak dibedakan antara para penyembah berhala dan Ahli Kitab, padahal kebanyakan mereka adalah penyembah berhala. Selain itu, Rasulullah ﷺ juga mengambil jizyah dari kaum Majusi padahal mereka tidak memiliki kitab, maka demikian pula halnya dengan para penyembah berhala. Dan karena hal itu merupakan bentuk perendahan yang dibolehkan terhadap Ahli Kitab, maka dibolehkan pula terhadap para penyembah berhala, sebagaimana halnya pembunuhan.

وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ فَجَعَلَ الْكِتَابَ شَرْطًا فِي قَبُولِهَا مِنْهُمْ فَلَمْ يَجُزْ لِعَدَمِ الشَّرْطِ أَنْ تُقْبَلَ مِنْ غَيْرِهِمْ

Dan dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: “dari orang-orang yang diberi kitab”, maka Allah menjadikan kitab sebagai syarat dalam penerimaan (sembelihan) dari mereka, sehingga tidak boleh (diterima) dari selain mereka karena tidak terpenuhinya syarat tersebut.

وَرَوَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ فِي الْمَجُوسِ ” سُنُّوا بِهِمْ سُنَّةَ أَهْلِ الْكِتَابِ ” فَدَلَّ عَلَى اخْتِصَاصِ الْجِزْيَةِ بِهِمْ

Abdurrahman bin ‘Auf meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ bersabda tentang orang-orang Majusi: “Perlakukanlah mereka sebagaimana perlakuan terhadap Ahlul Kitab.” Maka hal ini menunjukkan bahwa kewajiban jizyah khusus berlaku bagi mereka.

وَرَوَى عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ كَتَبَ إِلَى أَهْلِ الْيَمَنِ أَنْ تُؤْخَذَ الْجِزْيَةُ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَخَصَّهُمْ بِالذِّكْرِ لِاخْتِصَاصِهِمْ بِالْحُكْمِ وَلِأَنَّهُ وَثَنِيٌّ فَلَمْ يُقَرَّ عَلَى حُكْمِهِ بِالْجِزْيَةِ كَالْعَرَبِيِّ وَلِأَنَّ مَنْ لَمْ يُقَرَّ بِالْجِزْيَةِ مِنَ الْعَرَبِ لَمْ يُقَرَّ بِهَا مِنَ الْعَجَمِ كَالْمُرْتَدِّ ولأن لأهل الكتاب حرمتين

Amr bin Syu‘aib meriwayatkan dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi ﷺ menulis surat kepada penduduk Yaman agar jizyah diambil dari Ahlul Kitab. Beliau menyebutkan mereka secara khusus karena kekhususan hukum yang berlaku bagi mereka, dan karena orang musyrik tidak diakui dengan hukum jizyah sebagaimana orang Arab, serta karena siapa pun dari kalangan Arab yang tidak diakui dengan jizyah, maka dari kalangan non-Arab pun tidak diakui dengannya, seperti halnya orang murtad. Dan karena Ahlul Kitab memiliki dua kehormatan.

إحداها حُرْمَةُ الْكِتَابِ الَّذِي نُزِّلَ عَلَيْهِمْ

Salah satunya adalah kehormatan kitab yang telah diturunkan kepada mereka.

وَالثَّانِيَةُ حُرْمَةُ دِينِ الْحَقِّ الَّذِي كَانُوا عَلَيْهِ

Dan yang kedua adalah kehormatan agama yang benar yang dahulu mereka anut.

وَهَاتَانِ الْحُرْمَتَانِ مَعْدُومَتَانِ فِي عَبَدَةِ الْأَوْثَانِ فَافْتَرَقَا فِي حُكْمِ الْإِقْرَارِ بِالْجِزْيَةِ

Kedua kehormatan ini tidak terdapat pada para penyembah berhala, maka keduanya pun berbeda dalam hukum pengakuan terhadap jizyah.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ ابْنِ بُرَيْدَةَ فَمِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun jawaban terhadap hadis Ibnu Buraidah adalah dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا تَخْصِيصُ عُمُومِهِ بِأَدِلَّتِنَا

Salah satunya adalah mengkhususkan keumumannya dengan dalil-dalil kita.

وَالثَّانِي أَنَّهُ لَا يَصِحُّ التَّعَلُّقُ بِظَاهِرِهِ حَتَّى يقترن بِهِ إِضْمَارٌ فَهُمْ يُضْمِرُونَ أَخْذَ الْجِزْيَةِ مِنْهُمْ إِذَا كَانُوا عَجَمًا وَنَحْنُ نُضْمِرُ أَخْذَ الْجِزْيَةِ مِنْهُمْ إِذَا كَانُوا أَهْلَ كِتَابٍ وَلَوْ تَكَافَأَ الإضمار إن سَقَطَ الدَّلِيلُ وَاخْتِيَارُنَا أَوْلَى لِثُبُوتِ حُكْمِهِ عَنْ إِجْمَاعٍ

Kedua, bahwa tidak sah berpegang pada zahirnya hingga disertai dengan penyisipan makna (idmar). Maka mereka menyisipkan makna pengambilan jizyah dari mereka jika mereka adalah bangsa ‘ajam, sedangkan kami menyisipkan makna pengambilan jizyah dari mereka jika mereka adalah Ahlul Kitab. Jika penyisipan makna itu seimbang, maka dalilnya gugur, dan pilihan kami lebih utama karena ketetapan hukumnya berdasarkan ijmā‘.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ أَخْذِهَا مِنَ الْمَجُوسِ فَهُوَ مَا سَنَذْكُرُهُ مِنْ بَعْدُ فِي أَنَّ لَهُمْ كِتَابًا وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْقَتْلِ فَغَيْرُ صَحِيحٍ لِأَمْرَيْنِ

Adapun jawaban mengenai pengambilan (jizyah) dari kaum Majusi, maka hal itu akan kami sebutkan nanti bahwa mereka memiliki kitab. Adapun qiyās mereka dengan (hukuman) pembunuhan, maka itu tidak benar karena dua alasan.

أَحَدُهُمَا أَنَّ الْقَتْلَ لَا يَبْقَى مَعَهُ إِقْرَارٌ عَلَى الْكُفْرِ وَفِي الْجِزْيَةِ إِقْرَارٌ عَلَى الْكُفْرِ فَافْتَرَقَا

Salah satunya adalah bahwa dalam pembunuhan tidak ada pengakuan terhadap kekufuran, sedangkan dalam jizyah terdapat pengakuan terhadap kekufuran, maka keduanya pun berbeda.

وَالثَّانِي أَنَّ الْقَتْلَ أَغْلَظُ مِنَ الْجِزْيَةِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَلْحَقَ بِهِ مَا هُوَ أَخَفُّ مِنْهُ إِذَا كَانَ مَحْمُولًا عَلَى التَّغْلِيظِ

Yang kedua, bahwa pembunuhan itu lebih berat daripada jizyah, maka tidak boleh disamakan dengannya sesuatu yang lebih ringan darinya jika didasarkan pada pengetatan (hukuman).

فَصْلٌ

Fasal

وَأَمَّا الْحُكْمُ الثَّانِي فَيَ الْعَرَبِ فَاسْتَدَلَّ مَنْ مَنَعَ مِنْ قَبُولِ جِزْيَتهمْ بِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” أَنَّهُ كَانَ إِذَا عَرَضَ نَفْسَهُ فِي الْمَوَاسِمِ قَبْلَ هِجْرَتِهِ عَلَى الْقَبَائِلِ قَالَ لَهُمْ ” هَلْ لَكُمْ فِي كَلِمَةٍ إِذَا قُلْتُمُوهَا دَانَتْ لَكُمُ الْعَرَبُ وَأَدَّتْ إِلَيْكُمُ الْجِزْيَةَ الْعَجَمُ ” فَأَضَافَ الْجِزْيَةَ إِلَى الْعَجَمِ وَنَفَاهَا عَنِ الْعَرَبِ

Adapun hukum kedua mengenai orang Arab, maka orang yang melarang diterimanya jizyah dari mereka berdalil dengan riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau, ketika menawarkan dirinya pada musim-musim (haji) sebelum hijrahnya kepada kabilah-kabilah, beliau berkata kepada mereka: “Maukah kalian pada satu kalimat yang jika kalian mengucapkannya, niscaya Arab akan tunduk kepada kalian dan bangsa ‘ajam akan membayar jizyah kepada kalian?” Maka beliau mengaitkan jizyah dengan bangsa ‘ajam dan menafikannya dari bangsa Arab.

وَبِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” لَا يَجْرِي عَلَى عَرَبِيٍّ صَغَارٌ “

Dan berdasarkan riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, “Tidak berlaku hukum shighar atas orang Arab.”

وَالْجِزْيَةُ صَغَارٌ بِالنَّصِّ وَقَدْ نَفَاهُ عَنْهُمْ فَلَمْ يُجِزْهُ أَخْذُهَا مِنْهُمْ وَلِأَنَّ كُلَّ حُرْمَةٍ ثَبَتَتْ بِالْإِسْلَامِ مَنَعَتْ مِنْ قَبُول الْجِزْيَةَ كَالْإِسْلَامِ وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ لَمْ يَجُزِ اسْتِرْقَاقُهُ لَمْ تُؤْخَذْ جِزْيَتُهُ كَالْمُرْتَدِّ

Jizyah adalah bentuk penghinaan berdasarkan nash, dan hal itu telah dinafikan dari mereka, sehingga tidak boleh diambil dari mereka. Karena setiap kehormatan yang ditetapkan oleh Islam mencegah diterimanya jizyah, seperti halnya Islam itu sendiri. Dan setiap orang yang tidak boleh diperbudak, maka jizyah tidak diambil darinya, seperti halnya murtad.

وَدَلِيلُنَا قَوْله تَعَالَى مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ مِنْ كُلِّ كِتَابِيٍّ مِنْ عَجَمِيٍّ وَعَرَبِيٍّ وَلِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَخَذَ الْجِزْيَةَ مِنَ الْعَرَبِ فَأَخَذَهَا مِنْ أُكَيْدَرِ دَوْمَةَ بَعْدَ أَسْرِهِ وَحَمَلَهُ إِلَى الْمَدِينَةِ وَكَانَ مِنْ غَسَّانَ أَوْ مِنْ كِنْدَةَ وَأَخَذَهَا مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ وَأَكْثَرُهُمْ عَرَبٌ وَمِنْ أَهْلِ نَجْرَانَ وَفِيهِمْ عَرَبٌ وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ جَازَ إِقْرَارُهُ عَلَى كُفْرِهِ جَازَ أَخْذُ جِزْيَتِهِ كَالْعَجَمِ وَلِأَنَّ وُجُوبَ الْقَتْلِ أَغْلَظُ مِنْ أَخْذِ الْجِزْيَةِ فَلَمَّا لَمْ يَمْنَعِ النَّسَبُ مِنَ الْقَتْلِ فَأَوْلَى أَنْ لَا يَمْنَعَ مِنَ الْجِزْيَةِ وَلِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يُحْقَنَ بِالْجِزْيَةِ دَمٌ ضَعُفَتْ حُرْمَتُهُ مِنَ الْعَجَمِ فَلِأَنْ يُحْقَنَ بِهَا دَمُ مَنْ قَوِيَتْ حُرْمَتُهُ مِنَ الْعَرَبِ أَوْلَى

Dan dalil kami adalah firman Allah Ta‘ala: “dari orang-orang yang diberi Kitab, hingga mereka membayar jizyah,” maka ayat ini berlaku umum untuk setiap ahli kitab, baik dari kalangan non-Arab maupun Arab. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah mengambil jizyah dari orang Arab; beliau mengambilnya dari Ukaydir Dumat setelah ia ditawan dan dibawa ke Madinah, padahal ia berasal dari Ghassan atau Kindah. Beliau juga mengambilnya dari penduduk Yaman, yang kebanyakan adalah orang Arab, dan dari penduduk Najran, di antara mereka juga terdapat orang Arab. Selain itu, setiap orang yang boleh dibiarkan tetap dalam kekafirannya, maka boleh pula diambil jizyah darinya, seperti halnya dari kalangan non-Arab. Kewajiban membunuh itu lebih berat daripada mengambil jizyah, maka jika nasab (keturunan) tidak menghalangi dari pembunuhan, maka lebih utama lagi tidak menghalangi dari pengambilan jizyah. Dan karena jika darah seseorang yang lemah kehormatannya dari kalangan non-Arab boleh diselamatkan dengan jizyah, maka menyelamatkan darah orang yang lebih kuat kehormatannya dari kalangan Arab dengan jizyah tentu lebih utama.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْخَبَرِ الْأَوَّلِ فَهُوَ إنَّ الْمَقْصُودَ بِهِ سُرْعَةُ إِجَابَةِ الْعَرَبِ إِلَى الْإِسْلَامِ وَإِبْطَاءُ أَهْلِ الْكِتَابِ عَنْهُ وَهَذَا مَوْجُودٌ وَمَعْهُودٌ

Adapun jawaban atas hadis pertama itu adalah bahwa yang dimaksud dengannya adalah kecepatan orang-orang Arab dalam menerima Islam dan keterlambatan Ahli Kitab darinya, dan hal ini memang ada dan dikenal.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ ” لَا يَجْرِي عَلَى عَرَبِيٍّ صَغَارٌ ” فَالْقَتْلُ أَغْلَظُ وَهُوَ يَجْرِي عَلَيْهِ فَكَانَتِ الْجِزْيَةُ أَقْرَبَ وَهُوَ مَحْمُولٌ عَلَى أَحَدِ وَجْهَيْنِ إِمَّا صَغَارُ الِاسْتِرْقَاقِ

Adapun jawaban atas ucapannya “tidak berlaku penghinaan (‘ṣaghār’) atas orang Arab,” maka hukuman mati itu lebih berat dan itu berlaku atasnya, sehingga jizyah lebih dekat (untuk diterapkan). Ucapan tersebut dapat dimaknai dengan salah satu dari dua penafsiran: bisa jadi maksudnya adalah penghinaan berupa perbudakan.

وَالثَّانِي أَنْ يَكُونَ مَحْمُولًا عَلَى أَهْلِ مَكَّةَ حِينَ مَنَّ عَلَيْهِمْ بَعْدَ الْفَتْحِ أَنَّهُمْ لَا يُغْزَوْنَ بَعْدَهُ وَبِهِ قَالَ الشَّافِعِيُّ

Yang kedua adalah bahwa (hadis tersebut) dibawa maknanya untuk penduduk Makkah ketika Allah memberikan karunia kepada mereka setelah penaklukan, bahwa mereka tidak akan diserang setelah itu, dan inilah pendapat Imam Syafi‘i.

فَأَمَّا قَوْلُ أَبِي يُوسُفَ إِنَّهُ لَا تُؤْخَذُ الْجِزْيَةُ مِنَ الْعَرَبِ فَنَحْنُ كُنَّا عَلَى هَذَا أَحْرَصَ وَلَوْلَا أَنْ نَأْثَمَ بِثَمَنٍ بَاطِلٍ لَرَدَدْنَاهُ كَمَا قَالَ وَأَنْ لَا يَجْرِيَ عَلَى عَرَبِيٍّ صَغَارٌ ولكن الله أجل في أعيينا مِنْ أَنْ نُحِبَّ غَيْرَ مَا حَكَمَ بِهِ فَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْإِسْلَامِ فَبَاطِلٌ لِأَنَّ الْكُفْرَ ضِدُّ الْإِسْلَامِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُقَاسَ عَلَيْهِ

Adapun pendapat Abu Yusuf bahwa jizyah tidak diambil dari orang Arab, maka kami sebenarnya lebih bersemangat dalam hal ini, dan kalau bukan karena kami takut berdosa dengan mengambil harta yang batil, tentu kami akan menolaknya sebagaimana yang ia katakan, dan agar tidak berlaku kehinaan atas orang Arab. Namun Allah lebih agung di mata kami daripada kami mencintai sesuatu selain apa yang telah Dia tetapkan. Adapun qiyās mereka terhadap Islam, maka itu batil, karena kekufuran adalah lawan dari Islam, sehingga tidak boleh diqiyaskan kepadanya.

وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْمُرْتَدِّ فَالْمُرْتَدُّ لَا يَجُوزُ أَنْ يُقَرَّ عَلَى رِدَّتِهِ فَلَمْ يَجُزْ قَبُولُ جِزْيَتِهِ وَالْعَرَبِيُّ يُقَرُّ عَلَى كُفْرِهِ فَجَازَ أَخْذُ جِزْيَتِهِ

Adapun qiyās mereka terhadap orang murtad, maka orang murtad tidak boleh dibiarkan tetap dalam kemurtadannya, sehingga tidak boleh menerima jizyah darinya. Sedangkan orang Arab dibiarkan tetap dalam kekafirannya, maka boleh diambil jizyah darinya.

فَأَمَّا اسْتِرْقَاقُهُ فَفِيهِ قَوْلَانِ مَضَيَا

Adapun perihal memperbudaknya, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat yang telah disebutkan.

فَأَمَّا قَوْلُ الشَّافِعِيِّ ” انْتَوَتْ قَبَائِلُ مِنَ الْعَرَبِ ” فَفِيهِ تَأْوِيلَانِ

Adapun perkataan asy-Syafi‘i, “Suku-suku dari bangsa Arab berkumpul,” maka di dalamnya terdapat dua penafsiran.

أَحَدُهُمَا مَعْنَاهُ قَرُبَتْ مِنْ بِلَادِ أَهْلِ الْكِتَابِ

Salah satunya maknanya adalah mendekati negeri-negeri Ahlul Kitab.

وَالثَّانِي اخْتَلَطَتْ بِأَهْلِ الْكِتَابِ فَدَانَتْ دِينَ أَهْلِ الْكِتَابِ فَأَخَذَهَا عُمَرُ بِالشَّامِ

Yang kedua, ia bergaul dengan Ahli Kitab lalu memeluk agama Ahli Kitab, maka Umar menahannya di Syam.

مِنْ تَنُوخَ وَبَهْرَاءَ وَبَنِي تَغْلِبَ فَدَلَّتْ سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَسُنَّةُ خُلَفَائِهِ مِنْ بَعْدِهَا عَلَى جَوَازِ أَخْذِهَا مِنَ الْعَرَبِ كَمَا جَازَ أَخْذُهَا مِنْ غَيْرِ العرب

Dari Tanukh, Bahra’, dan Bani Taghlib, maka sunnah Rasulullah saw. dan sunnah para khalifah setelah beliau menunjukkan bolehnya mengambilnya dari orang Arab sebagaimana dibolehkan mengambilnya dari selain Arab.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَكَانَ أَهْلُ الْكِتَابِ الْمَشْهُورُ عِنْدَ الْعَامَّةِ أَهْلَ التَّوْرَاةِ مِنَ الْيَهُودِ وَالْإِنْجِيلِ مِنَ النَّصَارَى وَكَانُوا من بني إسرائيل وأحطنا بأن الله تعالى أنزل كتبا من التوراة والإنجيل والفرقان بقوله تَعَالَى أَمْ لَمْ يُنَبَّأْ بِمَا فِي صُحُفِ موسى وإبراهيم الذي وفى وقال تعالى وإنه لفي زبر الأولين فأخبر أن له كتابا سوى هذا المشهور قال فأما قول أبي يوسف لَا تُؤْخَذُ الْجِزْيَةُ مِنَ الْعَرَبِ فَنَحْنُ كُنَّا على هذا أحرص ولولا أن نأثم بتمني باطل لوددناه كَمَا قَالَ وَأَنْ لَا يَجْرِيَ عَلَى عَرَبِيٍّ صغار ولكن الله أجل في أعيينا من أن نحب غير ما حكم الله به تعالى “

Syafi‘i berkata, “Ahli Kitab yang dikenal luas di kalangan masyarakat umum adalah para penganut Taurat dari kalangan Yahudi dan Injil dari kalangan Nasrani, dan mereka berasal dari Bani Israil. Kita mengetahui bahwa Allah Ta‘ala menurunkan kitab-kitab berupa Taurat, Injil, dan Furqan, sebagaimana firman-Nya Ta‘ala: ‘Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang terdapat dalam lembaran-lembaran Musa dan Ibrahim yang menunaikan (segala perintah)?’ dan firman-Nya Ta‘ala: ‘Dan sesungguhnya (Al-Qur’an) itu benar-benar terdapat dalam kitab-kitab orang yang terdahulu.’ Maka Allah memberitakan bahwa Dia memiliki kitab selain yang sudah masyhur ini. Adapun pendapat Abu Yusuf yang mengatakan bahwa jizyah tidak diambil dari bangsa Arab, maka kami pun dahulu sangat menginginkan hal itu. Kalau saja kami tidak berdosa karena mengharapkan sesuatu yang batil, tentu kami akan menginginkannya, sebagaimana yang ia katakan, dan agar tidak berlaku kehinaan atas orang Arab. Namun Allah lebih agung di mata kami daripada kami mencintai sesuatu selain apa yang telah Allah tetapkan sebagai hukum-Nya Ta‘ala.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْجِزْيَةَ تُؤْخَذُ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ دُونَ غَيْرِهِمْ فَالْكِتَابُ الْمَشْهُورُ كِتَابَانِ

Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar, apabila telah tetap bahwa jizyah diambil dari Ahlul Kitab dan bukan dari selain mereka, maka kitab yang masyhur itu ada dua.”

أَحَدُهُمَا أَنَّ التَّوْرَاةَ أُنْزِلَتْ عَلَى مُوسَى وَدَانَ بِهَا الْيَهُودُ وَالْإِنْجِيلَ أُنْزِلَ عَلَى عِيسَى وَدَانَ بِهِ النَّصَارَى

Salah satunya adalah bahwa Taurat diturunkan kepada Musa dan dianut oleh kaum Yahudi, serta Injil diturunkan kepada Isa dan dianut oleh kaum Nasrani.

قَالَ اللَّهُ تَعَالَى أَنْ تَقُولُوا إِنَّمَا أُنْزِلَ الْكِتَابُ عَلَى طَائِفَتَيْنِ مِنْ قَبْلِنَا فَكَانَ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى أَهْلَ كِتَابٍ مَقْطُوعٍ بِصِحَّتِهِ فَأَمَّا غَيْرُ التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ مِنْ كُتُبِ اللَّهِ الْمُنَزَّلَةِ عَلَى أَنْبِيَائِهِ فَقَدْ أَخْبَرَ اللَّهُ تَعَالَى بِهَا وَإِنْ لَمْ يُسَمِّهَا وَلَمْ يُعَيِّنْ مَنْ دَانَ بِهَا

Allah Ta‘ala berfirman agar kalian tidak berkata, “Sesungguhnya kitab hanya diturunkan kepada dua golongan sebelum kami.” Maka, orang-orang Yahudi dan Nasrani adalah Ahlul Kitab yang kebenarannya telah pasti. Adapun selain Taurat dan Injil dari kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada para nabi-Nya, Allah Ta‘ala telah memberitakan tentangnya, meskipun Dia tidak menyebutkan namanya dan tidak menentukan siapa yang memeluknya.

قَالَ الله تعالى أولم ينبأ بما في صحف موسى وَإِبْرَاهِيمَ الَّذِي وَفَّى

Allah Ta‘ala berfirman: “Apakah dia belum diberitahu tentang apa yang terdapat dalam lembaran-lembaran Musa dan Ibrahim yang telah menunaikan (segala perintah)?”

وَقَالَ تَعَالَى إِنَّ هذا لفي الصحف الأولى صُحُفِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى الأعلى

Dan Allah Ta‘ala berfirman: “Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu, (yaitu) kitab-kitab Ibrahim dan Musa.”

وَقَالَ وَإِنَّهُ لَفِي زُبُرِ الأَوَّلِينَ

Dan Dia telah berfirman, “Dan sungguh, (Al-Qur’an) itu benar-benar terdapat dalam kitab-kitab orang-orang terdahulu.”

فَإِنْ عَرَفْنَا مِنْ كُتُبِ اللَّهِ تَعَالَى غَيْرَ التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ وَعَرَفْنَا مَنْ دَانَ بِهَا غَيْرَ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى فَقَدِ اخْتَلَفَ أصحابنا هل يكونوا أهل كتاب يقرون عليهم بِالْجِزْيَةِ وَتُنْكَحُ نِسَاؤُهُمْ وَتُؤْكَلُ ذَبَائِحُهُمْ كَالْيَهُودِ وَالنَّصَارَى أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ

Jika kita mengetahui dari kitab-kitab Allah selain Taurat dan Injil, dan kita mengetahui ada orang yang menganutnya selain Yahudi dan Nasrani, maka para ulama kami berbeda pendapat: Apakah mereka termasuk Ahlul Kitab yang boleh dibiarkan dengan membayar jizyah, boleh menikahi wanita mereka, dan boleh memakan sembelihan mereka seperti halnya Yahudi dan Nasrani, atau tidak? Ada dua pendapat dalam hal ini.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُمْ أَهْلُ كِتَابٍ يُقَرُّونَ عَلَى التَّدَيُّنِ بِهِ وَتُؤْخَذُ جِزْيَتُهُمْ وَتُنْكَحُ نِسَاؤُهُمْ وَتُؤْكَلُ ذَبَائِحُهُمْ كَالْيَهُودِ وَالنَّصَارَى وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ

Salah satu pendapat adalah bahwa mereka (Zoroaster) termasuk Ahlul Kitab yang diakui untuk tetap memeluk agama mereka, jizyah diambil dari mereka, wanita-wanita mereka boleh dinikahi, dan sembelihan mereka boleh dimakan seperti halnya Yahudi dan Nasrani, dan inilah pendapat yang tampak dari mazhab Syafi‘i.

وَبِهِ قَالَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ لِأَنَّ حُرْمَةَ الْكِتَابِ لِنُزُولِهِ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى وَحُرْمَة مَنْ دَانَ بِهِ أَنَّهُ كَانَ عَلَى حَقٍّ فَكَانَ كِتَابُهُمْ مُسَاوِيًا لِلتَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ وَكَانُوا هُمْ مُسَاوِينَ لِلْيَهُودِ وَالنَّصَارَى كَمَا كَانَتِ التَّوْرَاةُ وَالْإِنْجِيلُ فِي أَيَّامِ مُوسَى وَعِيسَى مُسَاوِيَيْنِ لِلْقُرْآنِ فِي نُزُولِهِ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَكَانَ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فِي أَيَّامِهَا مُسَاوِينَ لِلْمُسْلِمِينَ وَلَيْسَ التَّفَاضُلُ بَيْنَهُمْ بِمَانِعٍ مِنَ التَّسَاوِي فِي الْحَقِّ

Dan pendapat ini juga dikatakan oleh Abu Ishaq al-Marwazi, karena kehormatan kitab itu disebabkan kitab tersebut diturunkan dari Allah Ta‘ala, dan kehormatan orang yang berpegang pada kitab itu adalah karena mereka berada di atas kebenaran. Maka kitab mereka setara dengan Taurat dan Injil, dan mereka pun setara dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani, sebagaimana Taurat dan Injil pada masa Musa dan Isa setara dengan Al-Qur’an ketika diturunkan kepada Muhammad ﷺ, dan orang-orang Yahudi serta Nasrani pada masa itu setara dengan kaum Muslimin. Tidak ada keutamaan di antara mereka yang menghalangi adanya kesetaraan dalam kebenaran.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهُمْ لَا يُقَرُّونَ عَلَى كِتَابِهِمْ وَلَا تُقْبَلُ جِزْيَتُهُمْ وَلَا تُنْكَحُ نِسَاؤُهُمْ فَيَكُونُونَ مُخَالِفِينَ لِلْيَهُودِ وَالنَّصَارَى فِي تَمَسُّكِهِمْ بِالتَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَمَّا رَفَعَهَا بَعْدَ نُزُولِهَا دَلَّ عَلَى ارْتِفَاعِ حُكْمِهَا فَزَوَالُ حُرْمَتِهَا وَلَمَّا بَقي التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ دَلَّ عَلَى بَقَاءِ حُكْمِهِمَا وَثُبُوتِ حُرْمَتِهِمَا وَإِطْلَاقُ هَذَيْنِ الْجَوَابَيْنِ عِنْدِي غَيْرُ صَحِيحٍ فَالْوَاجِبُ اعْتِبَارُ كِتَابِهِمْ فَإِنْ كَانَ يَتَضَمَّنُ تَعَبُّدًا وَأَحْكَامًا يَكْتَفِي أَهْلُهُ بِهِ عَنْ غَيْرِهِ كَانَ كَالتَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ فِي ثُبُوتِ حُرْمَتِهِ وَإِقْرَارِ أَهْلِهِ

Adapun pendapat kedua adalah bahwa mereka tidak diakui atas kitab mereka, jizyah mereka tidak diterima, dan perempuan mereka tidak boleh dinikahi, sehingga mereka berbeda dengan Yahudi dan Nasrani dalam berpegang pada Taurat dan Injil. Sebab, ketika Allah Ta‘ala telah mengangkat kitab tersebut setelah diturunkan, hal itu menunjukkan hilangnya hukum kitab itu dan hilangnya kehormatannya. Sedangkan tetapnya Taurat dan Injil menunjukkan tetapnya hukum keduanya dan tetapnya kehormatan keduanya. Namun, menurut saya, membiarkan dua jawaban ini secara mutlak tidaklah benar. Yang wajib adalah mempertimbangkan kitab mereka; jika kitab itu memuat tata cara ibadah dan hukum-hukum yang membuat para penganutnya cukup dengannya tanpa selainnya, maka kedudukannya seperti Taurat dan Injil dalam hal tetapnya kehormatan dan pengakuan terhadap penganutnya.

وَإِنْ لَمْ يَتَضَمَّنْ تَعَبُّدًا وَأَحْكَامًا وَكَانَ مُشْتَمِلًا عَلَى مَوَاعِظَ وَأَمْثَالٍ يَفْتَقِرُ أَهْلُهُ فِي التَّعَبُّدِ وَالْأَحْكَامِ إِلَى غَيْرِهِ كَانَ مُخَالِفًا لِحُرْمَةِ التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُقَرَّ أَهْلُهُ عَلَيْهِ

Dan jika (kitab tersebut) tidak memuat unsur pengabdian (ibadah) dan hukum-hukum, melainkan hanya berisi nasihat-nasihat dan perumpamaan-perumpamaan sehingga para pemeluknya membutuhkan sumber lain dalam hal ibadah dan hukum, maka hal itu bertentangan dengan kehormatan Taurat dan Injil, dan tidak boleh membiarkan para pemeluknya tetap memegangnya.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا تَقَرَّرَ حُكْمُ أَهْلِ الْكِتَابِ أَنَّهُمْ مُقَرُّونَ بِالْجِزْيَةِ عَلَى مَا تَدَيَّنُوا بِهِ مِنْ شَرَائِعِهِمْ فَالْكَلَامُ فِي تَعْيِينِهِمْ وَحُكْمِ مَنْ دَخَلَ فِي أَدْيَانِهِمْ مُشْتَمِلٌ عَلَى فَصْلَيْنِ

Apabila telah ditetapkan hukum bagi Ahlul Kitab bahwa mereka diakui dengan membayar jizyah atas agama yang mereka anut beserta syariat-syariatnya, maka pembahasan mengenai penetapan siapa saja mereka dan hukum bagi orang yang masuk ke dalam agama-agama mereka mencakup dua bagian.

أَحَدُهُمَا مَنْ عَرَفَ كِتَابَهُ وَدِينَهُ مِنَ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى

Salah satunya adalah orang yang mengetahui kitab dan agamanya dari kalangan Yahudi dan Nasrani.

وَالثَّانِي مَنْ لَمْ يَعْرِفْ

Dan yang kedua adalah orang yang tidak mengetahui.

فَأَمَّا الْمَعْرُوفُونَ مِنَ الْيَهُودِ الْمُتَدَيِّنُونَ بِالتَّوْرَاةِ وَالنَّصَارَى الْمُتَدَيِّنُونَ بِالْإِنْجِيلِ فَضَرْبَانِ

Adapun orang-orang Yahudi yang dikenal sebagai penganut agama yang berpegang pada Taurat, dan orang-orang Nasrani yang dikenal sebagai penganut agama yang berpegang pada Injil, maka mereka terbagi menjadi dua golongan.

أَحَدُهُمَا مَنْ عَايَنَهُ وَآمَنَ بِهِ وَتَدَيَّنَ بِكِتَابِهِ كَالْيَهُودِ الَّذِينَ كَانُوا فِي عَصْرِ مُوسَى وَالنَّصَارَى الَّذِينَ كَانُوا فِي عَصْرِ عِيسَى مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَإِسْرَائِيلُ هُوَ يَعْقُوبُ بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ وَأَبْنَاءُ هَؤُلَاءِ الْآبَاءِ مُقَرُّونَ عَلَى دِينِهِمْ بِالْجِزْيَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ مَنْ عَاصَرَ مُوسَى وَعِيسَى فَإِنْ لَمْ يُبَدِّلُوا كَانَتْ لَهُمْ حُرْمَتَانِ حُرْمَةُ آبَائِهِمْ أَنَّهُمْ كَانُوا عَلَى حَقٍّ وَحُرْمَةٌ بِأَنْفُسِهِمْ فِي تَمَسُّكِهِمْ بِكِتَابِهِمْ وَإِنْ بَدَّلُوا أَقَرُّوا مَعَ التَّبْدِيلِ لِإِحْدَى الْحُرْمَتَيْنِ وَهِيَ حُرْمَةُ آبَائِهِمْ وَلَيْسَ لَهُمْ حُرْمَةُ أَنْفُسِهِمْ فِي التَّمَسُّكِ بِكِتَابِهِمْ لِأَنَّ الْمُبَدِّلَ لَا حُرْمَةَ لَهُ

Salah satu dari keduanya adalah orang yang menyaksikannya, beriman kepadanya, dan beragama dengan kitabnya, seperti kaum Yahudi yang hidup pada masa Musa dan kaum Nasrani yang hidup pada masa Isa dari kalangan Bani Israil. Israil adalah Ya‘qub bin Ishaq bin Ibrahim, dan anak-anak dari para bapak ini diakui tetap pada agama mereka dengan membayar jizyah. Mereka adalah anak-anak dari orang-orang yang sezaman dengan Musa dan Isa. Jika mereka tidak mengubah (ajaran), maka mereka memiliki dua kehormatan: kehormatan karena nenek moyang mereka yang berada di atas kebenaran, dan kehormatan bagi diri mereka sendiri karena berpegang teguh pada kitab mereka. Namun jika mereka mengubah (ajaran), maka mereka tetap diakui meskipun telah mengubah, hanya karena salah satu dari dua kehormatan, yaitu kehormatan nenek moyang mereka, dan mereka tidak memiliki kehormatan bagi diri mereka sendiri dalam berpegang pada kitab mereka, karena orang yang mengubah (ajaran) tidak memiliki kehormatan.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي مَنْ دَخَلَ فِي دِينِهِمَا مِنْ غَيْرِهِمَا بَعْدَ انْقِضَاءِ عَصْرِ نُبُوَّتِهِمَا وَهُوَ أَنْ يَدْخُلَ فِي الْيَهُودِيَّةِ بَعْدَ مُوسَى وَفِي النَّصْرَانِيَّةِ بَعْدَ عِيسَى فهذا على ثلاثة أقسام

Golongan kedua adalah orang yang masuk ke dalam agama keduanya (Yahudi dan Nasrani) dari selain mereka berdua setelah berakhirnya masa kenabian keduanya, yaitu seseorang yang masuk ke dalam agama Yahudi setelah (wafatnya) Musa dan ke dalam agama Nasrani setelah (wafatnya) Isa. Maka golongan ini terbagi menjadi tiga bagian.

أحدهما أَنْ يَدْخُلُوا فِيهِ قَبْلَ تَبْدِيلِهِ

Salah satunya adalah mereka masuk ke dalamnya sebelum terjadi perubahan terhadapnya.

وَالثَّانِي أَنْ يَدْخُلُوا فِيهِ بَعْدَ نَسْخِهِ

Dan yang kedua adalah mereka masuk ke dalamnya setelah hukum itu di-nasakh.

وَالثَّالِثُ أَنْ يَدْخُلُوا فِيهِ بَعْدَ تَبْدِيلِهِ وَقَبْلَ نَسْخِهِ

Dan yang ketiga adalah mereka masuk ke dalamnya setelah terjadi perubahan padanya dan sebelum dinasakh.

فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ وَهُوَ أَنْ يَدْخُلُوا فِيهِ قَبْلَ تَبْدِيلِهِ فَهُمْ مُقَرُّونَ عَلَيْهِ بِالْجِزْيَةِ كَالدَّاخِلِ فِيهِ عَلَى عَصْرِ نَبِيِّهِ وَسَوَاءٌ كَانَ أَبْنَاؤُهُمُ الْآنَ مُبدلِينَ أَوْ غَيْرَ مُبَدِّلِينَ لِأَنَّ لَهُمْ حُرْمَتَيْنِ إِنْ لم يبدلوا وحرمة واحدة عن بَدَّلُوا لِأَنَّ دِينَهُمْ عَلَى حَقٍّ بَعْدَ مَوْتِ نَبِيِّهِمْ كَمَا كَانَ عَلَى حَقٍّ قَبْلَ مَوْتِهِ فَاسْتَوَتْ حُرْمَةُ الدُّخُولِ فِيهِ مِنَ الْحَالَيْنِ

Adapun kelompok pertama, yaitu mereka yang masuk ke dalam agama tersebut sebelum terjadinya perubahan, maka mereka tetap diakui atas agama itu dengan membayar jizyah, seperti halnya orang yang memeluknya pada masa nabi mereka. Sama saja apakah anak-anak mereka sekarang telah melakukan perubahan atau belum, karena mereka memiliki dua kehormatan jika tidak melakukan perubahan, dan satu kehormatan jika melakukan perubahan, sebab agama mereka tetap berada di atas kebenaran setelah wafat nabi mereka sebagaimana ia berada di atas kebenaran sebelum wafatnya, sehingga kedudukan kehormatan masuk ke dalam agama itu sama dalam kedua keadaan tersebut.

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي وَهُوَ أَنْ يَدْخُلُوا فِيهِ بَعْدَ نَسْخِهِ وَبَعْدَ نَسْخِ شَرِيعَةِ عِيسَى فِي النَّصْرَانِيَّةِ بِشَرِيعَةِ الْإِسْلَامِ

Adapun bagian kedua, yaitu mereka masuk ke dalamnya setelah syariat itu di-nasakh dan setelah syariat Isa dalam agama Nasrani di-nasakh dengan syariat Islam.

فَأَمَّا نَسْخُ شَرِيعَةِ مُوسَى فَفِيهِ وَجْهَانِ حَكَاهُمَا أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ

Adapun tentang nasakh syariat Musa, terdapat dua pendapat yang dikemukakan oleh Abu Ishaq al-Marwazi.

أَحَدُهُمَا أَنَّهَا تَكُونُ مَنْسُوخَةً بِالنَّصْرَانِيَّةِ شَرِيعَةِ عِيسَى وَهُوَ أَظْهَرُهَا لِاخْتِلَافِهِمَا وَأَنَّ الْحَقَّ فِي أَحَدِهِمَا

Salah satunya adalah bahwa ia telah di-naskh oleh ajaran Nasrani, yaitu syariat Isa, dan pendapat ini yang paling jelas karena adanya perbedaan di antara keduanya, serta kebenaran terdapat pada salah satunya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أنها منسوخة بشريعة الإسلام دون النصرانية ولأن عِيسَى نَسَخَ مِنْ شَرِيعَةِ مُوسَى مَا خَالَفَهَا وَلَمْ يَنْسَخْ مِنْهَا مَا وَافَقَهَا وَإِنَّمَا نَسَخَ الْإِسْلَامُ جَمِيعَ مَا تَقَدَّمَهُ مِنَ الشَّرَائِعِ

Pendapat kedua adalah bahwa hukum-hukum tersebut telah di-nasakh oleh syariat Islam, bukan oleh Nasrani, karena Isa hanya menasakh dari syariat Musa apa yang bertentangan dengannya dan tidak menasakh apa yang sesuai dengannya. Adapun Islam, ia telah menasakh seluruh syariat yang mendahuluinya.

فَإِذَا ثَبَتَ مَا نَسَخَ بِهِ كُلَّ شَرِيعَةٍ فَمَنْ دَخَلَ فِي دِينٍ بَعْدَ نَسْخِهِ لَمْ يُقَرَّ عَلَيْهِ لِعَدَمِ حُرْمَتِهِ عِنْدَ دُخُولِهِ فِيهِ فَصَارَ كَعَبَدَةِ الْأَوْثَانِ فِي عَدَمِ الْحُرْمَةِ

Maka apabila telah tetap apa yang telah menasakh setiap syariat, maka siapa saja yang masuk ke dalam suatu agama setelah dinasakh, ia tidak diakui tetap di atasnya karena tidak adanya kehormatan (keabsahan) agama itu ketika ia memasukinya, sehingga ia menjadi seperti para penyembah berhala dalam hal tidak adanya kehormatan.

وَقَالَ الْمُزَنِيُّ يُقَرُّ الدَّاخِلُ فِيهِ بَعْدَ نَسْخِهِ كَمَا يُقَرُّ الدَّاخِلُ فِيهِ قَبْلَ نَسْخِهِ وَتَبْدِيلِهِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ وَهَذَا فَاسِدٌ بِمَا عَلَّلْنَا بِهِ مِنْ عَدَمِ الْحُرْمَةِ فِيمَا دَخَلَ فِيهِ

Al-Muzani berkata, “Orang yang masuk ke dalamnya setelah di-nasakh tetap diakui sebagaimana orang yang masuk ke dalamnya sebelum di-nasakh dan diubah, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: ‘Barang siapa di antara kalian yang loyal kepada mereka, maka sungguh dia termasuk golongan mereka.’ Namun, pendapat ini rusak (tidak benar) karena alasan yang telah kami jelaskan, yaitu tidak adanya keharaman pada apa yang telah dimasuki.”

وَقَوْلُهُ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ منكم فإنه منهم يَعْنِي فِي وُجُوبِ الْقَتْلِ لِأَنَّ مَنْ تَوَلَّاهُمْ مِنَّا مُرْتَدٌّ لَا يُقَرُّ عَلَى رِدَّتِهِ

Dan firman-Nya, “Barang siapa di antara kalian yang menjadikan mereka sebagai wali, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka,” maksudnya adalah dalam kewajiban hukuman mati, karena siapa pun di antara kita yang menjadikan mereka sebagai wali adalah murtad yang tidak dibiarkan tetap dalam kemurtadannya.

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ وَهُوَ أَنْ يَدْخُلُوا فِيهِ بَعْدَ التنزيل وقبل النسخ فعلى ثلاثة أقسام

Adapun bagian ketiga, yaitu mereka masuk ke dalamnya setelah turunnya (hukum) dan sebelum adanya nasakh, maka hal ini terbagi menjadi tiga bagian.

أحدهما أَنْ يَدْخُلُوا فِيهِ مَعَ غَيْرِ الْمُبَدِّلِينَ مِثْلَ الروم فيكونوا كَالدَّاخِلِ فِيهِ قَبْلَ التَّبْدِيلِ فِي إِقْرَارِهِمْ بِالْجِزْيَةِ وَنِكَاحِ نِسَائِهِمْ وَأَكْلِ ذَبَائِحِهِمْ لِأَنَّ حُرْمَتَهُ فِي غَيْرِ الْمُبَدِّلِينَ ثَابِتَةٌ

Pertama, mereka masuk ke dalamnya bersama orang-orang yang tidak melakukan perubahan, seperti bangsa Romawi, sehingga mereka dianggap seperti orang yang masuk ke dalamnya sebelum terjadi perubahan, dalam hal diperbolehkannya menetapkan jizyah atas mereka, menikahi perempuan mereka, dan memakan sembelihan mereka, karena kehalalannya pada orang-orang yang tidak melakukan perubahan tetap berlaku.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَدْخُلُوا فِيهِ مَعَ الْمُبَدِّلِينَ كَطَوَائِفَ مِنْ نَصَارَى الْعَرَبِ فَيَكُونُوا كَالدَّاخِلِ فِيهِ بَعْدَ النَّسْخِ

Bagian kedua adalah mereka yang masuk ke dalamnya bersama para pengubah, seperti kelompok-kelompok dari Nasrani Arab, sehingga mereka seperti orang yang masuk ke dalamnya setelah terjadinya nasakh.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يُشْكِلَ حَالُ دُخُولِهِمْ فِيهِ هَلْ كَانَ مَعَ الْمُبَدِّلِينَ أَوْ مَعَ غَيْرِ الْمُبَدِّلِينَ؟ أَوْ يُشْكِلَ هَلْ دَخَلُوا قَبْلَ التَّبْدِيلِ أَوْ بَعْدَ التَّبْدِيلِ كَتَنُوخَ وَبَهْرَاءَ وَبَنِي تَغْلِبَ فَهَؤُلَاءِ قَدْ وَقَفَهُمُ الْإِشْكَالُ بَيْنَ أَصْلَيْنِ

Bagian ketiga adalah apabila keadaan mereka saat masuk (Islam) masih samar, apakah mereka bersama orang-orang yang mengubah (ajaran) atau bersama selain orang-orang yang mengubah? Atau masih samar apakah mereka masuk sebelum terjadinya perubahan atau setelah perubahan, seperti (kabilah) Tanukh, Bahra’, dan Bani Taghlib. Maka mereka ini terhenti statusnya karena adanya kesamaran antara dua dasar hukum.

أَحَدُهُمَا يُوجِبُ حَقْنَ دِمَائِهِمْ وَاسْتِبَاحَةَ نِكَاحِهِمْ كَالدَّاخِلِ فِيهِ مَعَ غَيْرِ الْمُبَدِّلِينَ

Salah satunya mewajibkan perlindungan darah mereka dan membolehkan pernikahan dengan mereka, seperti orang yang masuk ke dalamnya bersama selain orang-orang yang mengubahnya.

وَالثَّانِي يُوجِبُ إِبَاحَةَ دِمَائِهِمْ وَحَظْرَ مَنَاكِحِهِمْ كَالدَّاخِلِ فِيهِ مَعَ الْمُبَدِّلِينَ فَوَجَبَ أَنْ يَغْلِبَ فِي الْأَصْلَيْنِ مَعًا حُكْمُ الْحَظْرِ دُونَ الْإِبَاحَةِ فَيُقَرُّوا بِالْجِزْيَةِ حَقْنًا لِدِمَائِهِمْ لِأَنَّ أَصْلَ الدِّمَاءِ عَلَى الْحَظْرِ وَلَا تُنْكَحُ نِسَاؤُهُمْ وَلَا تُؤْكَلُ ذَبَائِحُهُمْ لِأَنَّ أَصْلَ الْفُرُوجِ عَلَى الْحَظْرِ وَالْحَظْرُ تَعْيِينٌ وَالْإِبَاحَةُ شَكٌّ فَغَلَبَ حُكْمُ الْيَقِينِ عَلَى الشَّكِّ وَصَارُوا فِي ذَلِكَ كَالْمَجُوسِ فَهَذَا حُكْمُ الْكِتَابِ الْمَشْهُورِ وَالدِّينِ الْمَعْرُوفِ

Yang kedua mewajibkan kebolehan menumpahkan darah mereka dan pelarangan menikahi mereka, seperti orang yang masuk ke dalamnya bersama para pengubah (agama), maka wajiblah agar dalam kedua asal tersebut berlaku hukum pelarangan, bukan kebolehan. Maka mereka dibiarkan membayar jizyah demi menjaga darah mereka, karena asal hukum darah adalah pelarangan, dan wanita-wanita mereka tidak boleh dinikahi, serta sembelihan mereka tidak boleh dimakan, karena asal hukum kemaluan adalah pelarangan. Pelarangan adalah sesuatu yang pasti, sedangkan kebolehan adalah keraguan, maka hukum yang pasti lebih diutamakan daripada yang meragukan, dan dalam hal ini mereka seperti kaum Majusi. Inilah hukum kitab yang masyhur dan agama yang dikenal.

فَصْلٌ

Bagian

وَأَمَّا الضَّرْبُ الثَّانِي وَهُوَ مَنِ ادَّعَى كِتَابًا غَيْرَ مَشْهُورٍ وَدِينًا غَيْرَ مَعْرُوفٍ كَالزُّبُرِ الْأُولَى وَالصُّحُفِ الْمُتَقَدِّمَةِ

Adapun golongan kedua, yaitu orang yang mengaku mengikuti kitab yang tidak masyhur dan agama yang tidak dikenal, seperti kitab-kitab terdahulu dan suhuf-suhuf yang telah lampau.

فَإِنْ قِيلَ إِنَّهُ لَا يَجْرِي عَلَيْهِمْ حُكْمُ أَهْلِ الْكِتَابِ لَمْ يُقَرُّوا عَلَى دِينِهِمْ وَإِنْ تَحَقَّقْنَا كِتَابَهُمْ

Jika dikatakan bahwa hukum Ahlul Kitab tidak berlaku atas mereka, maka mereka tidak dibolehkan tetap pada agama mereka, meskipun kita telah memastikan adanya kitab suci pada mereka.

وَإِنْ قِيلَ إِنَّهُمْ يُقَرُّونَ عَلَى دِينِهِمْ وَتُحْفَظُ حُرْمَةُ كِتَابِهِمْ فَلَا يَخْلُو حَالُهُمْ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ

Dan jika dikatakan bahwa mereka dibiarkan tetap pada agama mereka dan kehormatan kitab mereka dijaga, maka keadaan mereka tidak lepas dari tiga bagian.

أحدهما أن يتحقق صدقهم يعرف كِتَابُهُمْ فَيَكُونُوا كَالْيَهُودِ وَالنَّصَارَى فِي إِقْرَارِهِمْ بِالْجِزْيَةِ وَاسْتِبَاحَةِ مَنَاكِحِهِمْ وَأَكْلِ ذَبَائِحِهِمْ

Pertama, jika kebenaran mereka dapat dipastikan, kitab mereka dikenal, maka mereka diperlakukan seperti Yahudi dan Nasrani dalam pengakuan jizyah, diperbolehkannya menikahi perempuan mereka, dan memakan sembelihan mereka.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَتَحَققوا كَذِب قَوْلِهِمْ وَأَنْ لَا كِتَابَ لَهُمْ فَيَكُونُوا كَعَبَدَةِ الْأَوْثَانِ فِي اسْتِبَاحَةِ دِمَائِهِمْ وَحَظْرِ مَنَاكِحِهِمْ

Bagian kedua adalah apabila telah dipastikan kebohongan ucapan mereka dan bahwa mereka tidak memiliki kitab suci, maka mereka diperlakukan seperti para penyembah berhala dalam hal dihalalkannya darah mereka dan diharamkannya pernikahan dengan mereka.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَحْتَمِلَ مَا قَالُوهُ الصِّدْقَ وَالْكَذِبَ وَلَيْسَ عَلَى أَحَدِهِمَا دَلِيلٌ يُقْطَعُ بِهِ فَلَا يُقْبَلُ فِيهِمْ قَوْلُ كُفَّارِهِمْ

Bagian ketiga adalah apabila apa yang mereka katakan masih mungkin benar atau salah, dan tidak ada dalil yang pasti pada salah satunya, maka dalam hal ini tidak diterima perkataan orang-orang kafir di antara mereka.

فَإِنْ أَسْلَمَ مِنْهُمْ عَدَدٌ يَكُونُ خَبَرُهُمْ مُسْتَفِيضًا حُكِمَ بِقَوْلِهِمْ فِي ثُبُوتِ كِتَابِهِمْ وَإِقْرَارِهِمْ بِالْجِزْيَةِ عَلَى دِينِهِمْ وَاسْتِبَاحَةِ مَنَاكِحِهِمْ

Jika sejumlah dari mereka masuk Islam sehingga kabar mereka menjadi masyhur (mutawatir), maka keputusan diambil berdasarkan perkataan mereka dalam penetapan kitab mereka, pengakuan mereka atas pembayaran jizyah dengan tetap di atas agama mereka, dan kebolehan menikahi perempuan mereka.

وَإِنْ لَمْ يُسْلِمْ مِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ خَبَرُهُ مُسْتَفِيضًا مُتَوَاتِرًا وَلَمْ يُعْلَمْ قَوْلُهُمْ إِلَّا مِنْهُمْ فِي حَالِ كُفْرِهِمْ فَيُقَرُّونَ بِالْجِزْيَةِ لِأَنَّهَا مَالٌ بَذَلُوهُ لَا يَحْرُمُ عَلَيْنَا أَخْذُهُ وَأَصْلُ الدِّمَاءِ عَلَى الْحَظْرِ فَلَا يَحِلُّ لنا قتلهم

Dan jika tidak ada di antara mereka yang masuk Islam yang beritanya tersebar luas dan mutawātir, dan tidak diketahui ucapan mereka kecuali dari mereka sendiri ketika masih dalam keadaan kafir, maka mereka tetap diakui dengan membayar jizyah, karena jizyah itu adalah harta yang mereka serahkan dan tidak haram bagi kita untuk mengambilnya. Sedangkan asal hukum darah (jiwa) adalah terlarang, maka tidak halal bagi kita untuk membunuh mereka.

فَأَمَّا اسْتِبَاحَةُ مَنَاكِحِهِمْ وَأَكْلُ ذَبَائِحِهِمْ فَلَا يُقْبَلُ قَوْلُهُمْ فِيهَا لِأَنَّهَا عَلَى أَصْلِ الْحَظْرِ فَلَا تُسْتَبَاحُ بِقَوْلِ مَنْ لَا يُوثَقُ بِصِدْقِهِ وَاللَّهُ أعلم

Adapun kebolehan menikahi wanita mereka dan memakan sembelihan mereka, maka tidak diterima perkataan mereka dalam hal ini, karena hukum asalnya adalah larangan. Maka, tidak boleh dihalalkan hanya dengan perkataan orang yang tidak dapat dipercaya kejujurannya. Allah lebih mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَالْمَجُوسُ أَهْلُ كِتَابٍ دَانُوا بِغَيْرِ دِينِ أَهْلِ الْأَوْثَانِ وَخَالَفُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى فِي بَعْضِ دِينِهِمْ كَمَا خَالَفَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فِي بَعْضِ دِينِهِمْ وكانت المجوس في طرف من الأرض لا يعرف السلف من أهل الحجاز من دينهم ما يعرفون من دين اليهود والنصارى حتى عرفوه وأن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أخذها من مجوس هجر وَقَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عنه هم أهل كتاب بدلوا فأصبحوا وقد أسري بكتابهم وأخذها منهم أبو بكر وعمر رضي الله عنهما “

Syafi‘i berkata, “Majusi adalah Ahlul Kitab yang menganut agama selain agama para penyembah berhala, dan mereka berbeda dengan Yahudi dan Nasrani dalam sebagian ajaran agama mereka, sebagaimana Yahudi dan Nasrani juga berbeda dalam sebagian ajaran agama mereka. Dahulu, Majusi berada di suatu wilayah yang jauh sehingga para ulama terdahulu dari Hijaz tidak mengetahui ajaran agama mereka sebagaimana mereka mengetahui ajaran agama Yahudi dan Nasrani, hingga akhirnya mereka mengetahuinya. Nabi ﷺ mengambil jizyah dari Majusi Hajar. Ali bin Abi Thalib ra. berkata, ‘Mereka adalah Ahlul Kitab yang telah mengubah (kitab mereka), sehingga kitab mereka pun diangkat dari mereka.’ Abu Bakar dan Umar ra. juga mengambil jizyah dari mereka.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَأَمَّا الْمَجُوسُ فَقَدْ كَانُوا عَلَى بُعْدٍ مِنَ الْحِجَازِ وَكَانَتْ دِيَارُهُمُ الْعِرَاقَ وَفَارِسَ وهم يتديون بِنُبُوَّةِ زَرَادُشْتَ وَإِقْرَارِهِمْ بِالْجِزْيَةِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ لِمَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” أَخَذَ الْجِزْيَةَ مِنْ مَجُوسِ هَجَرَ ” وَرُوِيَ أَنَّ عُمَرَ أُشْكِلَ عَلَيْهِ أَمْرُ الْمَجُوسِ حِينَ افْتَتَحَ بِلَادَهُمْ بالْعِرَاقِ وَقَالَ مَا أَدْرِي مَا أَصْنَعُ فِي أَمْرِهِمْ؟ فَقَالَ لَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ أَشْهَدُ لَقَدْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يَقُولُ ” سُنُّوا بِهِمْ سُنَّةَ أَهْلِ الْكِتَابِ ” فَأَخَذَ عُمَرُ مِنْهُمُ الْجِزْيَةَ بِالْعِرَاقِ وَفَارِسَ وَقَدْ كَانَ أَبُو بَكْرٍ أَخَذَهَا مِنْهُمْ فِيمَا افْتَتَحَهُ مِنْ أَطْرَافِ الْعِرَاقِ وَأَخَذَهَا بَعْدَهُمَا عُثْمَانُ وَعَلِيٌّ فَكَانَ أَخْذُهَا مِنْهُمْ سُنَّةً عَنِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَأَثَرًا عَنِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ

Al-Mawardi berkata: Adapun kaum Majusi, mereka berada jauh dari Hijaz dan negeri mereka adalah Irak dan Persia. Mereka menganut ajaran kenabian Zarathustra. Kesepakatan tentang kewajiban membayar jizyah atas mereka telah disepakati, berdasarkan riwayat dari asy-Syafi‘i bahwa Rasulullah ﷺ “memungut jizyah dari Majusi Hajar.” Diriwayatkan bahwa Umar merasa bingung mengenai urusan kaum Majusi ketika menaklukkan negeri mereka di Irak. Ia berkata, “Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan terhadap urusan mereka.” Maka Abdurrahman bin Auf berkata kepadanya, “Aku bersaksi bahwa aku telah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Perlakukanlah mereka sebagaimana perlakuan terhadap Ahlul Kitab.’” Maka Umar pun memungut jizyah dari mereka di Irak dan Persia. Abu Bakar juga telah memungut jizyah dari mereka di wilayah Irak yang ia taklukkan, dan setelah keduanya, Utsman dan Ali juga memungut jizyah dari mereka. Maka, pemungutan jizyah dari mereka menjadi sunnah dari Rasulullah ﷺ dan jejak dari Khulafaur Rasyidin.

فَصْلٌ

Bagian

فَأَمَّا كِتَابُ الْمَجُوسِ فَلَمْ يَبْقَ لَهُمْ فِي شَرِيعَةِ الْإِسْلَامِ كِتَابٌ وَاخْتُلِفَ هَلْ كَانَ لَهُمْ فَذَكَرَ الشَّافِعِيُّ فِيمَا نَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ هَاهُنَا أَنَّهُمْ أَهْلُ كِتَابٍ وَقَدْ نَصَّ عَلَيْهِ فِي كِتَابِ الْأُمِّ وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ لَا كِتَابَ لَهُمْ وَقَدْ عَلَّقَ الْقَوْلَ فِي مَوْضِعٍ ثَالِثٍ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُهُ فِي مَذْهَبِهِ فَذَهَبَ الْبَغْدَادِيُّونَ إِلَى أَنَّهُ عَلَى قَوْلَيْنِ بِحَسْبَ اخْتِلَافِ نَصِّهِ فِي الْمَوْضِعَيْنِ

Adapun kitab orang Majusi, maka tidak tersisa bagi mereka kitab dalam syariat Islam, dan terjadi perbedaan pendapat apakah dahulu mereka memiliki kitab. Asy-Syafi‘i, sebagaimana yang dinukil oleh Al-Muzani di sini, menyebutkan bahwa mereka adalah Ahlul Kitab, dan ia telah menegaskan hal itu dalam Kitab Al-Umm. Namun, di tempat lain ia mengatakan bahwa mereka tidak memiliki kitab, dan di tempat ketiga ia menggantungkan pendapatnya. Maka para pengikutnya pun berbeda pendapat dalam mazhabnya; golongan Baghdadi berpendapat bahwa ada dua pendapat sesuai perbedaan nash beliau di dua tempat tersebut.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُمْ أَهْلُ كِتَابٍ

Salah satunya adalah bahwa mereka adalah Ahlul Kitab.

وَالثَّانِي لَيْسَ لَهُمْ كِتَابٌ

Dan yang kedua, mereka tidak memiliki kitab.

وَذَهَبَ الْبَصْرِيُّونَ إِلَى أَنَّ قَوْلَهُ لَمْ يَخْتَلِفْ فِيهِمْ وَحَمَلُوا قَوْلَهُ إِنَّهُمْ أَهْلُ كِتَابٍ عَلَى أَنَّ حُكْمَهُمْ حُكْمُ أَهْلِ الْكِتَابِ فِي إِقْرَارِهِمْ بِالْجِزْيَةِ خَاصَّةً وَقَوْلِهِ إِنَّهُ لَا كِتَابَ لَهُمْ فِي أَنَّهُ لَا تُسْتَبَاحُ مَنَاكِحِهِمْ وَلَا تُؤْكَلُ ذَبَائِحُهُمْ وَأَنَّهُمْ لَا يَتْلُونَ كِتَابًا لَهُمْ

Para ulama Basrah berpendapat bahwa ucapannya “tidak ada perbedaan di antara mereka” dan mereka menafsirkan ucapannya “sesungguhnya mereka adalah Ahlul Kitab” sebagai maksud bahwa hukum mereka sama dengan hukum Ahlul Kitab dalam hal diperbolehkannya mengambil jizyah dari mereka saja. Adapun ucapannya “sesungguhnya mereka tidak memiliki kitab” maksudnya adalah tidak halal menikahi perempuan mereka dan tidak halal memakan sembelihan mereka, serta mereka tidak membaca kitab suci apa pun yang dimiliki oleh mereka.

وَالَّذِي عَلَيْهِ الْجُمْهُورُ مِنْ أَصْحَابِنَا مَا قَالَهُ الْبَغْدَادِيُّونَ مِنَ الْقَوْلَيْنِ دُونَ مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ الْبَصْرِيُّونَ مِنَ اخْتِلَافِ الْحَالَيْنِ

Pendapat yang dipegang oleh jumhur dari kalangan ulama kami adalah sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama Baghdad dari dua pendapat yang ada, bukan sebagaimana yang dipilih oleh para ulama Bashrah mengenai perbedaan dua keadaan tersebut.

فَإِذَا قِيلَ إِنَّهُ لَا كِتَابَ لَهُمْ وَهُوَ مَذْهَبُ أَهْلِ الْعِرَاقِ فَدَلِيلُهُ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى أَنْ تَقُولُوا إِنَّمَا أُنْزِلَ الْكِتَابُ عَلَى طَائِفَتَيْنِ مِنْ قَبْلِنَا

Maka apabila dikatakan bahwa mereka tidak memiliki kitab, dan ini adalah mazhab Ahlul ‘Iraq, maka dalilnya adalah firman Allah Ta‘ala: “Agar kalian tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya kitab hanya diturunkan kepada dua golongan sebelum kami.’”

فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ لَا كِتَابَ لِمَنْ عَدَاهُمَا وَلِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ حِينَ كَاتَبَ كِسْرَى وَقَيْصَرَ قَالَ فِي كِتَابِهِ إِلَى قَيْصَرَ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بيننا وبينكم أن لا نَعْبُدَ إِلا اللَّهَ وَلا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا

Maka hal itu menunjukkan bahwa tidak ada kitab bagi selain mereka berdua, dan karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengirim surat kepada Kisra dan Kaisar, beliau menulis dalam suratnya kepada Kaisar: “Wahai Ahli Kitab, marilah menuju kepada suatu kalimat yang sama antara kami dan kalian, yaitu bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.”

فَجَعَلَهُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلَمْ يَكْتُبْ إِلَى كِسْرَى بِهَذَا وَكَتَبَ ” أَسْلِمِ تَسْلَمْ ” فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ لَهُمْ كِتَابٌ وَلِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ ” سُنُّوا بِهِمْ سُنَّةَ أَهْلِ الْكِتَابِ ” وَلَوْ كَانَ لَهُمْ كِتَابٌ لَاسْتَغْنَى عَنْ هَذَا بِأَنْ قَالَ هُمْ أَهْلُ الْكِتَابِ

Maka beliau menjadikan mereka termasuk Ahlul Kitab dan tidak menulis kepada Kisra dengan hal ini, melainkan menulis, “Masuk Islamlah, niscaya engkau selamat.” Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki kitab, dan karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perlakukanlah mereka sebagaimana perlakuan terhadap Ahlul Kitab.” Seandainya mereka memiliki kitab, tentu beliau cukup mengatakan bahwa mereka adalah Ahlul Kitab.

وَلِرِوَايَةِ ابْنِ عَبَّاسٍ إنَّ الْمُسْلِمِينَ بِمَكَّةَ قَبْلَ الْهِجْرَةِ كَانُوا يُحِبُّونَ أَنْ يَظْهَرَ الرُّومُ عَلَى فَارِسَ لِأَنَّهُمْ أَهْلُ كِتَابٍ وَكَانَ مُشْرِكُو قُرَيْشٍ يُحِبُّونَ أَنْ يَظْهَرَ فَارِسُ عَلَى الرُّومِ لِأَنَّهُمْ غَيْرُ أَهْلِ كِتَابٍ فَلَمَّا غَلَبَتْ فَارِسُ الرُّومَ سُرَّ الْمُشْرِكُونَ وَقَالُوا لِلْمُسْلِمِينَ تَزْعُمُونَ أَنَّكُمْ سَتَغْلِبُونَا لِأَنَّكُمْ أَهْلُ كِتَابٍ وَقَدْ غَلَبَتْ فَارِسُ الرُّومَ وَالرُّومُ أَهْلُ كِتَابٍ فَأَخْبَرَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِذَلِكَ فَسَاءَهُ فَنَزَلَ عَلَيْهِ قَوْله تَعَالَى الم غلبت الروم في أدنى الأرض وهم بعد غلبهم سيغلبون فِي بِضْعِ سِنِينَ لِلَّهِ الأَمْرُ مِنْ قَبْلُ ومن بعد ويومئذ يفرح المؤمنون بِنَصْرِ اللَّهِ يَنْصُرُ مَنْ يَشَاءُ فَفَرِحَ الْمُسْلِمُونَ بِذَلِكَ وَبَادَرَ أَبُو بَكْرٍ إِلَى كَفَّارِ قُرَيْشٍ فَأَخْبَرَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَنَّ الرُّومَ سَتَغْلِبُ فَارِسًا وَتَقَامَرَ أَبُو بَكْرٍ وَأُبَيُّ بْنُ خَلَفٍ عَلَى هَذَا بِأَرْبَعِ قَلَائِصَ إِلَى ثَلَاثِ سِنِينَ وَكَانَ الْقِمَارُ يَوْمَئِذٍ حَلَالًا فَلَمَّا عَلِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ قَدَّرَ لَهُمْ هَذِهِ الْمُدَّةَ أَنْكَرَهَا وَقَالَ ” مَا حَمَلَكَ عَلَى مَا فَعَلْتَ؟ ” قَالَ ثِقَةٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ قَالَ فَكَمِ الْبِضْعُ؟ قَالَ مَا بَيْنَ الثَّلَاثِ إِلَى الْعَشْرِ فَقَالَ لَهُ زِدْهُمْ فِي الْخَطَرِ وَازْدَدْ فَيَ الْأَجَلِ فَزَادَهُمْ قَلُوصَيْنِ وَازْدَادَ مِنْهُمْ فِي الْأَجَلِ سَنَتَيْنِ فَصَارَتِ الْقَلَائِصُ سِتًّا وَالْأَجَلُ خَمْسًا فَلَمَّا أَرَادَ أَبُو بَكْرٍ الْهِجْرَةَ عَلِقَ بِهِ أُبَيُّ بْنُ خَلَفٍ وَقَالَ لَهُ أَعْطِنِي كَفِيلًا بِالْخَطَرِ إِنْ غَلَبْتُ فَكَفَلَ بِهِ ابْنَهُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ أَبِي بَكْرٍ ثُمَّ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَنْجَزَ وَعْدَهُ فِي غَلَبَةِ الرُّومِ لِفَارِسَ فِي عَامِ بَدْرٍ وَنَصَرَ رَسُولَهُ عَلَى قُرَيْشٍ يَوْمَ بَدْرٍ وَقِيلَ إِنَّهُ كَانَ النَّصْرَانِ فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ فَعُلِمَ بِهَذَا الْخَبَرِ أَنَّ الْفُرْسَ وَهُمُ الْمَجُوسُ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ كِتَابٌ وَأَنَّ الرُّومَ مِنَ النَّصَارَى هُمْ أَهْلُ الْكِتَابِ وَلِأَنَّهُمْ لَوْ كَانُوا أَهْلَ كِتَابٍ لَظَهَرَ فِيهِمْ كَظُهُورِ التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ وَلَجَرَتْ عَلَيْهِمْ مِنَ اسْتِبَاحَةِ مَنَاكِحِهِمْ وَأَكْلِ ذَبَائِحِهِمْ أَحْكَامُ أَهْلِ الْكِتَابِ كَالْيَهُودِ وَالنَّصَارَى

Menurut riwayat Ibnu ‘Abbas, kaum Muslimin di Makkah sebelum hijrah ingin agar Romawi menang atas Persia karena Romawi adalah Ahlul Kitab, sedangkan kaum musyrik Quraisy ingin agar Persia menang atas Romawi karena Persia bukan Ahlul Kitab. Ketika Persia mengalahkan Romawi, kaum musyrik pun bergembira dan berkata kepada kaum Muslimin, “Kalian mengira akan mengalahkan kami karena kalian Ahlul Kitab, padahal Persia telah mengalahkan Romawi, padahal Romawi itu Ahlul Kitab.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diberitahu tentang hal itu dan beliau pun bersedih, lalu turunlah firman Allah Ta‘ala: “Alif Lam Mim. Telah dikalahkan bangsa Romawi di negeri yang paling dekat dan mereka setelah dikalahkan itu akan menang dalam beberapa tahun. Kepunyaan Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan pada hari itu bergembiralah orang-orang beriman dengan pertolongan Allah. Allah menolong siapa yang Dia kehendaki.” Maka kaum Muslimin pun bergembira dengan turunnya ayat itu. Abu Bakar segera mendatangi orang-orang kafir Quraisy dan memberitahukan kepada mereka apa yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, bahwa Romawi akan mengalahkan Persia. Abu Bakar dan Ubay bin Khalaf pun bertaruh atas hal itu dengan empat ekor unta muda dalam waktu tiga tahun, dan saat itu taruhan masih halal. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui bahwa Abu Bakar menentukan waktu tersebut, beliau mengingkarinya dan bersabda, “Apa yang mendorongmu melakukan itu?” Abu Bakar menjawab, “Kepercayaan kepada Allah dan Rasul-Nya.” Beliau bertanya, “Berapa lama ‘beberapa tahun’ itu?” Abu Bakar menjawab, “Antara tiga sampai sepuluh tahun.” Maka beliau bersabda, “Tambahkanlah taruhannya dan perpanjanglah waktunya.” Maka Abu Bakar menambah dua ekor unta muda lagi dan memperpanjang waktu dua tahun, sehingga menjadi enam ekor unta muda dan waktu lima tahun. Ketika Abu Bakar hendak hijrah, Ubay bin Khalaf menagihnya dan berkata, “Berikanlah penjamin atas taruhan itu jika aku menang.” Maka Abu Bakar menjaminkan putranya, Abdurrahman bin Abu Bakar. Kemudian Allah Ta‘ala menepati janji-Nya dengan kemenangan Romawi atas Persia pada tahun Perang Badar, dan Allah menolong Rasul-Nya atas Quraisy pada hari Badar. Ada yang mengatakan bahwa kedua kemenangan itu terjadi pada hari yang sama. Dengan berita ini diketahui bahwa bangsa Persia, yaitu Majusi, tidak memiliki kitab suci, sedangkan Romawi dari kalangan Nasrani adalah Ahlul Kitab. Sebab, jika mereka (Persia) adalah Ahlul Kitab, tentu kitab itu akan tampak di tengah mereka sebagaimana Taurat dan Injil, dan tentu berlaku atas mereka hukum-hukum Ahlul Kitab seperti bolehnya menikahi wanita mereka dan memakan sembelihan mereka, sebagaimana berlaku pada Yahudi dan Nasrani.

وَإِذَا قُلْنَا بِالْقَوْلِ الثَّانِي إِنَّهُمْ أَهْلُ كِتَابٍ فَدَلِيلُنَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ عَنْ أَبِي سَعِيدِ بْنِ الْمَرْزُبَانِ عَنْ نَصْرِ بْنِ عَاصِمٍ قَالَ قَالَ فَرْوَةُ بْنُ نَوْفَلٍ الْأَشْجَعِيُّ

Dan jika kita berpendapat dengan pendapat kedua bahwa mereka adalah Ahlul Kitab, maka dalil kami adalah riwayat yang dibawakan oleh asy-Syafi‘i dari Sufyan bin ‘Uyainah, dari Abu Sa‘id bin al-Marzuban, dari Nashr bin ‘Ashim, ia berkata: Farwah bin Nawfal al-Asyja‘i berkata…

عَلَى مَا تُؤْخَذُ الْجِزْيَةُ مِنَ الْمَجُوسِ وَلَيْسُوا بِأَهْلِ كِتَابٍ فَقَامَ إِلَيْهِ الْمُسْتَوْرِدُ فَأَخَذَ بِلَبَّتِهِ وَقَالَ يَا عَدُوَّ اللَّهِ تَطْعَنُ عَلَى أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعَلَى أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ يَعْنِي عَلِيًّا وَقَدْ أَخَذُوا مِنْهُمُ الْجِزْيَةَ فَذَهَبَ بِهِ إِلَى القصر فخرج علي عليه السلام فَقَالَ اتَّئِدَا فَجَلَسْنَا فِي ظِلِّ الْقَصْرِ فَقَالَ؟ أَنَا أَعْلَمُ النَّاسِ بِالْمَجُوسِ كَانَ لَهُمْ عِلْمٌ يُعَلِّمُونَهُ وَكِتَابٌ يُدَرِّسُونَهُ وَإِنَّ مَلِكَهُمْ سَكِرَ فَوَقَعَ عَلَى ابْنَتِهِ أَوْ أُخْتِهِ فَاطَّلَعَ عَلَيْهِ بَعْضُ أهل مملكته فلما صحا جاؤوا يُقِيمُونَ عَلَيْهِ الْحَدَّ فَامْتَنَعَ مِنْهُمْ فَدَعَا أَهْلَ مَمْلَكَتِهِ فَلَمَّا أَتَوْهُ قَالَ أَتَعْلَمُونَ دِينًا خَيْرًا مِنْ دِينِ آدَمَ وَقَدْ كَانَ يُنْكِحُ بَنِيهِ مِنْ بَنَاتِهِ وَأَنَا عَلَى دِينِ آدَمَ مَا نَزَعْتُ بِكُمْ عَنْ دِينِهِ فَبَايَعُوهُ وَقَاتَلُوا الَّذِينَ خَالَفُوهُمْ حَتَّى قَتَلُوهُمْ فَأَصْبَحُوا وَقَدْ أُسْرِيَ عَلَى كِتَابِهِمْ فَرُفِعَ مِنْ بَيْنِ أَظْهُرِهِمْ وَذَهَبَ الْعِلْمُ الَّذِي فِي صُدُورِهِمْ فَهُمْ أَهْلُ كِتَابٍ

Tentang apa dasar diambilnya jizyah dari kaum Majusi padahal mereka bukan Ahlul Kitab, maka Al-Mustawrid berdiri mendekatinya, memegang kerah bajunya dan berkata, “Wahai musuh Allah, engkau mencela Abu Bakar, Umar, dan Amirul Mukminin, yakni Ali, padahal mereka telah mengambil jizyah dari kaum Majusi.” Lalu ia membawanya ke istana. Kemudian Ali ‘alaihis salam keluar dan berkata, “Tenanglah kalian berdua.” Maka kami duduk di bawah naungan istana. Lalu beliau berkata, “Aku adalah orang yang paling mengetahui tentang kaum Majusi. Dahulu mereka memiliki ilmu yang mereka ajarkan dan kitab yang mereka pelajari. Namun rajanya pernah mabuk lalu berbuat zina dengan putrinya atau saudarinya. Sebagian rakyat kerajaannya mengetahuinya. Ketika ia sadar, mereka datang hendak menegakkan hudud atasnya, namun ia menolak. Lalu ia memanggil rakyat kerajaannya. Ketika mereka datang, ia berkata, ‘Apakah kalian mengetahui ada agama yang lebih baik daripada agama Adam, padahal Adam menikahkan putra-putranya dengan putri-putrinya? Aku berada di atas agama Adam, aku tidak memalingkan kalian dari agamanya.’ Maka mereka membaiatnya dan memerangi orang-orang yang menentang mereka hingga membunuh mereka. Maka pada pagi harinya, kitab mereka telah diangkat dari tengah-tengah mereka dan ilmu yang ada di dada mereka pun hilang. Maka mereka adalah Ahlul Kitab.”

وَقَدْ أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ مِنْهُمُ الْجِزْيَةَ وَانْتِشَارُ هَذَا مَعَ عَدَمِ الْمُخَالِفِ فِيهِ إِجْمَاعٌ مُنْعَقِدٌ وَلِأَنَّ الِاتِّفَاقَ عَلَى جَوَازِ أَخْذِ الْجِزْيَةِ مِنْهُمْ وَهِيَ مَقْصُورَةٌ عَلَى أَهْلِ الْكِتَابِ تَجْعَلُهُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ الدَّاخِلِينَ فِي قَوْله تَعَالَى مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَلِأَنَّهُمْ قَدْ كَانُوا يَنْتَسِبُونَ إِلَى نَبِيٍّ مَبْعُوثٍ وَيَتَعَبَّدُونَ بِدِينٍ مَشْرُوعٍ وَلَا يَكُونُ ذَلِكَ إِلَّا عَنْ كِتَابٍ يَلْتَزِمُونَ أَحْكَامَهُ وَيَعْتَقِدُونَ حَلَالَهُ وَحَرَامَهُ

Rasulullah ﷺ, Abu Bakar, dan Umar telah memungut jizyah dari mereka, dan tersebarnya praktik ini tanpa ada yang menentang merupakan ijmā‘ yang telah terwujud. Selain itu, kesepakatan atas kebolehan memungut jizyah dari mereka—yang hanya terbatas pada Ahlul Kitab—menjadikan mereka termasuk Ahlul Kitab yang dimaksud dalam firman Allah Ta‘ala: “dari orang-orang yang telah diberi kitab, hingga mereka membayar jizyah dengan tangan mereka.” Karena mereka juga mengaku mengikuti seorang nabi yang diutus dan beribadah dengan agama yang disyariatkan, dan hal itu tidak mungkin terjadi kecuali berdasarkan kitab yang mereka pegang, yang mereka terima hukum-hukumnya serta meyakini kehalalan dan keharamannya.

فَصْلٌ

Bagian

فَإِذَا تَقَرَّرَ تَوْجِيهُ أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ فَإِنْ قِيلَ بِالْأَوَّلِ مِنْهُمَا إِنَّهُ لَيْسَ لَهُمْ كِتَابٌ جَازَ إِقْرَارُهُمْ عَلَى الْجِزْيَةِ بِالسُّنَّةِ وَالْإِجْمَاعِ وَلَمْ يَجُزِ اسْتِبَاحَةُ مَنَاكِحِهِمْ وَلَا أَكْلُ ذَبَائِحِهِمْ

Maka apabila telah ditetapkan penguatan salah satu dari dua pendapat tersebut, jika dipilih pendapat pertama bahwa mereka tidak memiliki kitab, maka boleh membiarkan mereka dengan membayar jizyah berdasarkan sunnah dan ijmā‘, namun tidak boleh menghalalkan pernikahan dengan wanita mereka dan tidak pula memakan sembelihan mereka.

وَإِنْ قِيلَ بِالثَّانِي إِنَّهُمْ أَهْلُ كِتَابٍ فَفِي اسْتِبَاحَةِ مَنَاكِحِهِمْ وَأَكْلِ ذَبَائِحِهِمْ وَجْهَانِ حَكَاهُمَا أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ

Dan jika dikatakan pendapat kedua, bahwa mereka adalah Ahlul Kitab, maka dalam hal kebolehan menikahi wanita mereka dan memakan sembelihan mereka terdapat dua pendapat yang diriwayatkan oleh Abu Ishaq al-Marwazi.

أَحَدُهُمَا يَحِلُّ نِكَاحُ نِسَائِهِمْ وَأَكْلُ ذَبَائِحِهِمْ لِثُبُوتِ كِتَابِهِمْ وَلِأَنَّ حُذَيْفَةَ بْنَ الْيَمَانِ نَكَحَ مَجُوسِيَّةً بِالْعِرَاقِ وَهَذَا قَوْلُ أَبِي ثَوْرٍ

Salah satunya membolehkan menikahi perempuan-perempuan mereka dan memakan sembelihan mereka karena adanya kitab suci mereka, dan karena Hudzaifah bin al-Yaman menikahi perempuan Majusi di Irak, dan ini adalah pendapat Abu Tsaur.

والوجه الثاني وهو أظهر أنه لا يحل نِسَاؤُهُمْ وَلَا أَكْلُ ذَبَائِحِهِمْ وَإِنْ كَانُوا أَهْلَ كِتَابٍ لِأَنَّ كِتَابَهُمْ رُفِعَ فَارْتَفَعَ حُكْمُهُ وَقَدْ رُوِيَ عَنْ إِبْرَاهِيمَ الْحَرْبِيِّ مَعَ مَا انْعَقَدَ عليه إجماع الأعصار أنه قول بضعة عشرة مِنَ الصَّحَابَةِ وَمَا عَلِمْنَا مُخَالِفًا مِنَ الْمُسْلِمِينَ حَتَّى بُعِثَ نَبِيٌّ مِنَ الْكَرْخِ يَعْنِي أَبَا ثَوْرٍ يُرِيدُ أَنَّهُ لَمَّا تَفَرَّدَ بِقَوْلٍ خَالَفَ فِيهِ مَنْ تَقَدَّمَهُ صَارَ كَنَبِيٍّ يُشَرِّعُ الْأَحْكَامَ

Pendapat kedua, yang lebih jelas, adalah bahwa perempuan-perempuan mereka tidak halal dinikahi dan sembelihan mereka tidak halal dimakan, meskipun mereka adalah Ahlul Kitab, karena kitab mereka telah dihapus sehingga hukumnya pun terangkat. Telah diriwayatkan dari Ibrahim al-Harbi, sejalan dengan ijmā‘ yang telah disepakati sepanjang masa, bahwa ini adalah pendapat belasan sahabat, dan kami tidak mengetahui ada seorang pun dari kaum Muslimin yang menyelisihinya hingga muncul seorang nabi dari al-Karkh, yaitu Abu Tsaur. Maksudnya, karena ia menyendiri dengan pendapat yang menyelisihi para pendahulunya, ia seakan-akan seperti nabi yang menetapkan hukum-hukum baru.

مسألة

Masalah

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ ” وَالصَّابِئُونَ وَالسَّامِرَةُ مِثْلُهُمْ يُؤْخَذُ مِنْ جَمِيعِهِمُ الْجِزْيَةُ وَلَا تُؤْخَذُ الْجِزْيَةُ مَنْ أَهِلِ الْأَوْثَانِ وَلَا مِمَنْ عَبَدَ مَا اسْتَحْسَنَ مِنْ غَيْرِ أَهْلِ الْكِتَابِ “

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Kaum Shabi’in dan Samirah sama seperti mereka; jizyah diambil dari semuanya, dan jizyah tidak diambil dari para penyembah berhala maupun dari orang yang menyembah sesuatu yang mereka anggap baik selain dari Ahlul Kitab.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا الصَّابِئَةُ فَطَائِفَةٌ تَنْضَمُّ إِلَى النَّصَارَى وَالسَّامِرَةُ طَائِفَةٌ تَنْضَمُّ إِلَى الْيَهُودِ وَلَا يَخْلُو حَالُ انْضِمَامِهَمَا إِلَى الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى مِنْ خَمْسَةِ أَقْسَامٍ

Al-Mawardi berkata: Adapun Shabi’in adalah suatu kelompok yang bergabung dengan Nasrani, dan Samirah adalah kelompok yang bergabung dengan Yahudi. Keadaan bergabungnya kedua kelompok ini dengan Yahudi dan Nasrani tidak lepas dari lima bagian.

أحدها أن نَعْلَمَ أَنَّهُمْ يُوَافِقُونَ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى فِي أُصُولِ دِينِهِمْ وَفُرُوعِهِ فَيَجُوزُ أَنْ يُقَرُّوا بِالْجِزْيَةِ وَتُنْكَحَ نِسَاؤُهُمْ وَتُؤْكَلَ ذَبَائِحُهُمْ

Pertama, kita mengetahui bahwa mereka (ahlul kitab) sejalan dengan Yahudi dan Nasrani dalam pokok-pokok agama dan cabang-cabangnya, sehingga boleh bagi mereka untuk diakui dengan jizyah, dinikahi perempuan-perempuannya, dan dimakan sembelihannya.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يُخَالِفُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى فِي أُصُولِ دِينِهِمْ وَفُرُوعِهِ فَلَا يَجُوزُ إِقْرَارُهُمْ بِالْجِزْيَةِ وَلَا تُسْتَبَاحُ مَنَاكِحُهُمْ وَلَا تُؤْكَلُ ذَبَائِحُهُمْ كَعَبَدَةِ الْأَوْثَانِ

Bagian kedua adalah bahwa mereka (ahlul kitab) berbeda dengan Yahudi dan Nasrani dalam pokok-pokok agama dan cabang-cabangnya, maka tidak boleh membiarkan mereka dengan membayar jizyah, tidak halal menikahi wanita mereka, dan tidak boleh memakan sembelihan mereka, seperti para penyembah berhala.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يُوَافِقُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى فِي أُصُولِ دِينِهِمْ وَيُخَالِفُوهُمْ فِي فُرُوعِهِ فَيَجُوزُ أَنْ يُقَرُّوا بِالْجِزْيَةِ وَتُسْتَبَاحُ مَنَاكِحُهُمْ وَأَكْلُ ذَبَائِحِهِمْ لِأَنَّ الْأَحْكَامَ تَجْرِي عَلَى أُصُولِ الْأَدْيَانِ وَلَا يُؤَثِّرُ الِاخْتِلَافُ فِي فُرُوعِهَا كَمَا لَمْ يُؤَثِّرِ اخْتِلَافُ الْمُسْلِمِينَ فِي فُرُوعِ دِينِهِمْ

Bagian ketiga adalah mereka yang menyetujui orang Yahudi dan Nasrani dalam pokok-pokok agama mereka, namun berbeda dengan mereka dalam cabang-cabangnya. Maka boleh menetapkan jizyah atas mereka, dan halal menikahi perempuan mereka serta memakan sembelihan mereka, karena hukum-hukum itu mengikuti pokok-pokok agama dan perbedaan dalam cabang-cabangnya tidak berpengaruh, sebagaimana perbedaan kaum Muslimin dalam cabang-cabang agama mereka juga tidak berpengaruh.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ أَنْ يُوَافِقُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى فِي فُرُوعِ دِينِهِمْ وَيُخَالِفُوهُمْ فِي أُصُولِهِ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُقَرُّوا بِالْجِزْيَةِ وَلَا تُسْتَبَاحَ مَنَاكِحُهُمْ وَلَا أَكْلُ ذَبَائِحِهِمْ تَعْلِيلًا بِاعْتِبَارِ الْأُصُولِ فِي الدِّينِ

Bagian keempat adalah mereka yang mengikuti Yahudi dan Nasrani dalam cabang-cabang agama mereka, namun menyelisihi mereka dalam pokok-pokoknya. Maka tidak boleh mereka diberi pengakuan dengan jizyah, tidak halal menikahi perempuan mereka, dan tidak boleh memakan sembelihan mereka, dengan alasan mempertimbangkan pokok-pokok dalam agama.

وَالْقِسْمُ الْخَامِسُ أَنْ يُشْكِلَ أَمْرُهُمْ وَلَا يعلم ما خلفوهم فِيهِ وَوَافَقُوهُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَصْلٍ وَفَرْعٍ فَيُقَرُّوا بِالْجِزْيَةِ حَقْنًا لِدِمَائِهِمْ وَلَا تُنْكَحُ نِسَاؤُهُمْ وَلَا تُؤْكَلُ ذَبَائِحُهُمْ تَغْلِيبًا لِلْحَظْرِ فِي الْأَمْرَيْنِ كَالَّذِي قُلْنَاهُ فِيمَنْ أُشْكِلَ دُخُولُهُ فِي الْيَهُودِيَّةِ وَالنَّصْرَانِيَّةِ هَلْ كَانَ مِنَ الْمُبَدِّلِينَ

Bagian kelima adalah apabila keadaan mereka masih samar dan tidak diketahui apa yang mereka tinggalkan serta apa yang mereka sepakati bersama pendahulu mereka, baik dalam masalah pokok maupun cabang. Maka mereka dibiarkan membayar jizyah demi menjaga darah mereka, namun perempuan mereka tidak boleh dinikahi dan sembelihan mereka tidak boleh dimakan, dengan mengedepankan sikap kehati-hatian dalam kedua perkara tersebut, sebagaimana yang telah kami sebutkan tentang orang yang tidak jelas status masuknya ke dalam agama Yahudi atau Nasrani, apakah termasuk golongan yang telah melakukan perubahan (ajaran).

فَإِنْ أَسْلَمَ اثْنَانِ مِنَ الصَّابِئِينَ وَالسَّامِرَةِ فَشَهِدَا بِمَا وَافَقُوا عَلَيْهِ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى مِنْ أَصْلٍ وَفَرْعٍ حُكِمَ بِشَهَادَتِهِمَا وَأُجْرِيَ عَلَيْهِمْ حُكْمُهَا وَلَا يُرَاعَى فِي هَذِهِ الشَّهَادَةِ عَدَدُ التَّوَاتُرِ وَيُرَاعَى عَدَدُ التَّوَاتُرِ فِيمَنِ ادَّعَوْا أَنَّ لَهُمْ كِتَابًا غَيْرَ التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ لِأَنَّ هَذَا إِخْبَارٌ عَنْ أَصْلِ دِينٍ مَجْهُولٍ فراعينا فيه خبر التواتر والاستفاضة وومعتقد الصَّابِئِينَ وَالسَّامِرَةِ دِينٌ مَعْرُوفٌ يُعَوَّلُ فِي صِفَتِهِ عَلَى الشَّهَادَةِ فَافْتَرَقَا وَقَدْ قَالَ ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ إِنَّ السَّامِرَةَ مِنْ نَسْلِ السَّامِرِيِّ وَإِنَّهُمُ اعْتَزَلُوا عَنِ الْيَهُودِ بِأَنْ يَقُولُوا لَا مِسَاسَ فَإِنْ كَانَ هَذَا صَحِيحًا فَهُمْ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ يَحِلُّ نِكَاحُ نِسَائِهِمْ وَأَكْلُ ذَبَائِحِهِمْ

Jika dua orang dari kalangan Shabi’in dan Samirah masuk Islam, lalu keduanya memberikan kesaksian tentang hal-hal yang mereka sepakati dengan Yahudi dan Nasrani, baik dalam pokok maupun cabang, maka kesaksian mereka diterima dan hukum yang berlaku atasnya dijalankan. Dalam kesaksian ini, tidak disyaratkan jumlah mutawatir, namun jumlah mutawatir dipertimbangkan bagi mereka yang mengaku memiliki kitab selain Taurat dan Injil, karena hal itu merupakan pemberitaan tentang asal-usul agama yang tidak diketahui, sehingga dalam hal ini kami memperhatikan berita mutawatir dan penyebarannya. Adapun keyakinan Shabi’in dan Samirah adalah agama yang dikenal, sehingga dalam penjelasannya cukup dengan kesaksian. Keduanya pun berbeda. Ibnu Abi Hurairah berkata bahwa Samirah berasal dari keturunan Samiri, dan mereka memisahkan diri dari Yahudi dengan mengatakan “laa misaas” (tidak boleh bersentuhan). Jika hal ini benar, maka mereka termasuk Bani Israil, sehingga halal menikahi perempuan mereka dan memakan sembelihan mereka.

وَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيُّ فِي الصَّابِئِينَ إِنَّهُمْ يَقُولُونَ إِنَّ الْمَلِكَ حَيٌّ نَاطِقٌ وَإِنَّ الْكَوَاكِبَ السَّبْعَةَ آلِهَةٌ وَاسْتُفْتِيَ فِيهِمْ فِي أَيَّامِ الْقَاهِرِ فَأَفْتَى فهمّ القاهر بقتلهم وإن لَمْ يُسْلِمُوا فَاسْتَدْفَعُوا الْقَتْلَ بِبَذْلِ مَالٍ جَزِيلٍ فَإِنْ كَانُوا عَلَى مَا حَكَاهُ أَبُو سَعِيدٍ فَهُمْ كَعَبَدَةِ الْأَوْثَانِ لَا يَجُوزُ أَنْ يُقَرُّوا بِالْجِزْيَةِ وَلَا تُسْتَبَاحَ مَنَاكِحُهُمْ وَلَا يَحِلَّ أَكْلُ ذَبَائِحِهِمْ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Abu Sa‘id al-Ishthakhri berkata tentang kaum Shabi’in bahwa mereka berkeyakinan bahwa al-Malik adalah makhluk hidup yang berbicara dan bahwa tujuh bintang adalah tuhan-tuhan. Pernah dimintakan fatwa tentang mereka pada masa al-Qahir, maka para ulama memberi fatwa, sehingga al-Qahir berniat membunuh mereka jika mereka tidak masuk Islam. Namun, mereka menolak pembunuhan itu dengan memberikan sejumlah besar harta. Jika memang keyakinan mereka seperti yang dikisahkan Abu Sa‘id, maka mereka seperti para penyembah berhala; tidak boleh dibiarkan membayar jizyah, tidak halal menikahi perempuan mereka, dan tidak halal memakan sembelihan mereka. Allah Maha Mengetahui.

بَابُ الْجِزْيَةِ عَلَى أَهْلِ الْكِتَابِ وَالضِّيَافَةِ وَمَا لهم وعليهم

Bab Jizyah atas Ahlul Kitab, jamuan, serta hak dan kewajiban mereka

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ ” أَمَرَ اللَّهُ تَعَالَى بِقِتَالِ الْمُشْرِكِينَ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ قَالَ وَالصَّغَارُ أَنْ تُؤْخَذَ مِنْهُمْ وَتُجْرَى عَلَيْهِمْ أَحْكَامُ الْإِسْلَامِ “

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Allah Ta‘ala memerintahkan untuk memerangi orang-orang musyrik dari kalangan Ahlul Kitab hingga mereka membayar jizyah dengan tangan mereka sendiri dalam keadaan tunduk. Beliau berkata, dan makna kehinaan (ṣaghār) adalah jizyah diambil dari mereka dan hukum-hukum Islam diberlakukan atas mereka.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ اعْلَمْ أَنَّ مَا تُحْقَنُ بِهِ دِمَاءُ الْمُشْرِكِينَ يَنْقَسِمُ أَرْبَعَةَ أَقْسَامٍ هُدْنَةٌ وَعَهْدٌ وَأَمَانٌ وَذِمَّةٌ

Al-Mawardi berkata: Ketahuilah bahwa hal-hal yang dapat mencegah penumpahan darah orang-orang musyrik terbagi menjadi empat bagian: hudnah (gencatan senjata), ‘ahd (perjanjian), amān (jaminan keamanan), dan dhimmah (perlindungan permanen).

فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ وَهُوَ الْهُدْنَةُ فَهُوَ أَنْ يُوَادَعَ أَهْلُ الْحَرْبِ فِي دَارِهِمْ عَلَى تَرْكِ الْقِتَالِ مُدَّةً أَكْثَرُهَا عَشْرُ سِنِينَ كَمَا هَادَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قُرَيْشًا عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَتَوَلَّى عَقْدَهَا إِلَّا الْإِمَامُ أَوْ مَنْ يَسْتَنِيبُهُ فِيهَا عِنْدَ الْحَاجَةِ إِلَيْهَا وَظُهُورِ الْمَصْلَحَةِ فِيهَا

Adapun bagian pertama, yaitu hudnah, adalah melakukan perjanjian damai dengan ahl al-harb di negeri mereka untuk meninggalkan peperangan dalam jangka waktu tertentu, paling lama sepuluh tahun, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan perjanjian damai dengan Quraisy pada tahun Hudaibiyah. Maka tidak boleh yang mengadakan perjanjian ini kecuali imam atau orang yang diberi wewenang olehnya ketika ada kebutuhan dan tampak adanya kemaslahatan di dalamnya.

وَيَجُوزُ أَنْ يَعْقِدَ عَلَى مَالٍ يُؤْخَذُ مِنْهُمْ إِذَا أَمْكَنَ وَعَلَى غَيْرِ مَالٍ إِذَا تَعَذَّرَ وَعَلَى مَالٍ يُدْفَعُ إِلَيْهِمْ عِنْدَ الضَّرُورَةِ كَالَّذِي هَمَّ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَامَ الْخَنْدَقِ حِينَ تَمَالَأَتْ عَلَيْهِ قُرَيْشٌ وَغَطَفَانُ وَالْأَحَابِيشُ أَنْ يُعْطِيَهُمْ شَطْرَ ثِمَارِ الْمَدِينَةِ لِيَنْصَرِفُوا عَنْهَا فَقَالَ أَهْلُهَا مِنَ الْأَنْصَارِ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ كُنْتَ تَفْعَلُ هَذَا بِوَحْيٍ مِنَ السَّمَاءِ فَالسَّمْعُ وَالطَّاعَةُ وَإِنْ كَانَ رَأْيًا رَأَيْتَهُ فَوَاللَّهِ مَا كُنَّا نُعْطِيهِمْ فِي الْجَاهِلِيَّةِ تَمْرَةً إِلَّا قِرًى أَوْ شَرًّا فَكَيْفَ وَقَدْ أَعَزَّنَا اللَّهُ بِالْإِسْلَامِ؟ فَلَمَّا عَرَفَ قُوَّةَ أَنْفُسِهِمْ كَفَّ وَصَابَرَهُمْ عَلَى الْقِتَالِ حَتَّى انْصَرَفُوا فَكَانَ فِيمَا هَمَّ بِفِعْلِهِ مِنْ ذَلِكَ دَلِيلٌ عَلَى جَوَازِهِ

Dan boleh melakukan akad atas harta yang diambil dari mereka jika memungkinkan, dan atas selain harta jika tidak memungkinkan, serta atas harta yang diberikan kepada mereka dalam keadaan darurat, sebagaimana yang hampir dilakukan oleh Rasulullah ﷺ pada tahun Khandaq ketika Quraisy, Ghathafan, dan Ahabis bersatu melawannya, yaitu beliau hendak memberikan kepada mereka setengah hasil kebun Madinah agar mereka pergi meninggalkannya. Maka penduduk Madinah dari kalangan Anshar berkata, “Wahai Rasulullah, jika engkau melakukan ini berdasarkan wahyu dari langit, maka kami mendengar dan taat. Namun jika ini adalah pendapat yang engkau lihat sendiri, demi Allah, kami tidak pernah memberikan kepada mereka satu butir kurma pun di masa jahiliah kecuali sebagai jamuan atau karena terpaksa, lalu bagaimana sekarang ketika Allah telah memuliakan kami dengan Islam?” Maka ketika beliau mengetahui kekuatan jiwa mereka, beliau pun mengurungkan niatnya dan memotivasi mereka untuk bersabar dalam menghadapi pertempuran hingga musuh pun pergi. Maka apa yang hampir beliau lakukan tersebut menjadi dalil atas bolehnya hal itu.

فَصْلٌ

Fasal

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي وَهُوَ الْعَهْدُ فَهُوَ أَنْ يُجْعَلَ لِمَنْ دَخَلَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ إِلَى دَارِ الْإِسْلَامِ أَمَانٌ إِلَى مُدَّةٍ مُقَدَّرَةٍ بِأَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَلَا يَجُوزُ أَنْ تَبْلُغَ سَنَةً وَفِيمَا بَيْنَ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَسَنَةٍ قَوْلَانِ

Adapun bagian kedua, yaitu ‘ahd (perjanjian), maka maksudnya adalah memberikan jaminan keamanan bagi orang musyrik yang masuk ke wilayah Islam untuk jangka waktu tertentu, yaitu selama empat bulan, dan tidak boleh melebihi satu tahun. Terdapat dua pendapat mengenai jangka waktu antara empat bulan dan satu tahun.

فَإِنْ كَانَ عَلَى مَالٍ يُؤْخَذُ مِنْهُمْ كَانَ أَوْلَى وَإِنْ كَانَ عَلَى غَيْرِ مَالٍ جَازَ وَلَا يَجُوزُ أن يعقد على مال ويدفع إِلَيْهِمْ وَلَا أَنْ يَتَوَلَّى عَهْدَهُمْ غَيْرُ الْإِمَامِ فَيَكُونَ الْعَهْدُ مُوَافِقًا لِلْهُدْنَةِ مِنْ وَجْهَيْنِ وَمُخَالِفًا لَهَا مِنْ وَجْهَيْنِ

Jika perjanjian itu berkaitan dengan harta yang diambil dari mereka, maka itu lebih utama, dan jika berkaitan dengan selain harta, maka boleh. Tidak boleh membuat perjanjian atas harta lalu diberikan kepada mereka, dan tidak boleh pula selain imam yang mengadakan perjanjian dengan mereka. Dengan demikian, perjanjian itu serupa dengan hudnah (gencatan senjata) dari dua sisi dan berbeda dengannya dari dua sisi pula.

فَأَمَّا الْوَجْهَانِ فِي الْمُوَافَقَةِ

Adapun dua sisi dalam hal kesesuaian.

فَأَحَدُهُمَا أَنْ لَا يَتَوَلَّاهُمَا إِلَّا الْإِمَامُ أَوْ نَائِبُهُ

Salah satunya adalah bahwa yang melaksanakannya hanyalah imam atau wakilnya.

وَالثَّانِي أَنْ لَا يُجِيبَ إِلَيْهِمَا إِلَّا عِنْدَ الْمَصْلَحَةِ فِيمَا لِلْمُسْلِمِينَ دُونَهُمْ

Yang kedua, tidak boleh memenuhi permintaan mereka kecuali jika terdapat kemaslahatan bagi kaum Muslimin, bukan bagi mereka.

وَأَمَّا الْوَجْهَانِ فِي الْمُخَالَفَةِ

Adapun dua sisi dalam perbedaan pendapat.

فَأَحَدُهُمَا أَنَّ الْهُدْنَةَ يَجُوزُ أَنْ تُعْقَدَ عَلَى مَالٍ يُدْفَعُ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُعْقَدَ الْعَهْدُ عَلَى مَالٍ يُدْفَعُ إِلَيْهِمْ

Salah satunya adalah bahwa hudnah boleh diadakan dengan memberikan sejumlah harta kepada mereka, sedangkan perjanjian (al-‘ahd) tidak boleh diadakan dengan memberikan harta kepada mereka.

وَالثَّانِي فِي قَدْرِ الْمُدَّةِ وَاخْتِلَافِهِمَا فِيهِمَا مِنْ وَجْهَيْنِ

Yang kedua adalah dalam hal kadar (batasan) waktu, dan perbedaan pendapat mereka berdua dalam hal ini terdapat pada dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّ انْتِهَاءَ مُدَّةِ الْهُدْنَةِ مُقَدَّرَةٌ بِعَشْرِ سِنِينَ وَانْتِهَاءَ مُدَّةِ الْمُقَامِ فِي الْعَهْدِ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ

Salah satunya adalah bahwa berakhirnya masa gencatan senjata ditetapkan selama sepuluh tahun, sedangkan berakhirnya masa tinggal dalam perjanjian adalah empat bulan.

وَالثَّانِي أَنَّهُ يَجُوزُ فِي مُدَّةِ الْعَهْدِ أَنْ يَتَكَرَّرَ دُخُولُهُمْ بِذَلِكَ الْعَهْدِ وَلَا يَجُوزُ بَعْدَ مُدَّةِ الْهُدْنَةِ أَنْ تَتَكَرَّرَ مُوَادَعَتُهُمْ إِلَّا بِاسْتِئْنَافِ عَقْدٍ

Kedua, bahwa selama masa perjanjian, mereka boleh beberapa kali masuk berdasarkan perjanjian tersebut, namun setelah masa gencatan senjata berakhir, tidak boleh diadakan perjanjian damai lagi dengan mereka kecuali dengan membuat akad baru.

فَصْلٌ

Bagian

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ وَهُوَ الْأَمَانُ فَهُوَ مَا بَذَلَهُ الْوَاحِدُ مِنَ الْمُسْلِمِينَ أَوْ عَدَدٌ يَسِيرٌ لِوَاحِدٍ مِنَ الْمُشْرِكِينَ أَوْ لِعَدَدٍ كَثِيرٍ فَيَكُونُ مُوَافِقًا لِلْعَهْدِ مِنْ وَجْهَيْنِ وَمُخَالِفًا لَهُ مِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun bagian ketiga, yaitu al-amān, adalah jaminan keamanan yang diberikan oleh seorang muslim atau sejumlah kecil muslim kepada seorang musyrik atau kepada sejumlah besar dari mereka. Dalam hal ini, al-amān memiliki kesesuaian dengan al-‘ahd (perjanjian) dari dua sisi dan berbeda dengannya dari dua sisi lainnya.

فَأَمَّا الْوَجْهَانِ فِي الْمُوَافَقَةِ

Adapun dua sisi dalam hal kesesuaian.

فَأَحَدُهُمَا فِي تَقْدِيرِ مُدَّتِهَا بِأَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ

Salah satunya adalah dalam penetapan durasinya selama empat bulan.

وَالثَّانِي الْتِزَامُ حُكْمِهِمَا فِي دَارِ الْإِسْلَامِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَلَا يَلْزَمُ فِي دَارِ الْحَرْبِ وَلَا مِنَ الْمُحَارِبِينَ

Yang kedua adalah kewajiban mengikuti hukum keduanya di wilayah Islam bagi kaum Muslimin, dan tidak wajib di wilayah perang serta tidak pula bagi orang-orang yang memerangi.

وَأَمَّا الْوَجْهَانِ فِي الْمُخَالَفَةِ

Adapun dua sisi dalam perbedaan.

فَأَحَدُهُمَا أَنَّ الْعَهْدَ عَامٌّ لَا يَتَوَلَّاهُ إِلَّا الْإِمَامُ وَالْأَمَانَ خَاصٌّ يَجُوزُ أَنْ يَتَوَلَّاهُ غَيْرُ الْإِمَامِ

Salah satunya adalah bahwa al-‘ahd bersifat umum yang hanya boleh dilakukan oleh imam, sedangkan al-amān bersifat khusus yang boleh dilakukan oleh selain imam.

وَالثَّانِي أَنَّ الْعَهْدَ يَلْزَمُ فِيهِ الْمُمَاثَلَةُ فَنَأْمَنُهُمْ إِذَا دَخَلْنَا إِلَيْهِمْ كَمَا نُؤَمِّنُهُمْ إِذَا دَخَلُوا إِلَيْنَا

Yang kedua, bahwa perjanjian itu mewajibkan adanya kesetaraan, sehingga kita memberikan jaminan keamanan kepada mereka ketika kita memasuki wilayah mereka, sebagaimana kita memberikan jaminan keamanan kepada mereka ketika mereka memasuki wilayah kita.

وَالْأَمَانُ الْخَاصُّ لَا تَلْزَمُ فِيهِ الْمُمَاثَلَةُ فَيَجُوزُ أَنْ يُؤَمَّنَ آحَادُهُمْ إِذَا دَخَلُوا إِلَيْنَا وَإِنْ لَمْ يُؤَمِّنُوا آحَادَنَا إِذَا دَخَلْنَا إِلَيْهِمْ

Perlindungan khusus tidak mensyaratkan adanya kesetaraan, sehingga boleh memberikan perlindungan kepada individu mereka jika mereka masuk ke wilayah kita, meskipun mereka tidak memberikan perlindungan kepada individu kita jika kita masuk ke wilayah mereka.

فَصْلٌ

Fasal

وَأَمَّا الْقِسْمُ الرَّابِعُ وَهُوَ عَقْدُ الذِّمَّةِ فَهُوَ أَنْ يُقَرَّ أَهْلُ الْكِتَابِ عَلَى الْمُقَامِ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ بِجِزْيَةٍ يُؤَدُّونَهَا عَنْ رِقَابِهِمْ فِي كُلِّ عَامٍ وَهُوَ أَوْكَدُ الْعُقُودِ الْأَرْبَعَةِ لِأَنَّهَا مُوَافِقَةٌ لَهَا مِنْ وَجْهَيْنِ وَمُخَالِفَةٌ لَهَا مِنْ وَجْهَيْنِ وَزَائِدَةٌ عَلَيْهَا مِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun bagian keempat, yaitu akad dzimmah, adalah memberikan izin kepada Ahli Kitab untuk tetap tinggal di wilayah Islam dengan kewajiban membayar jizyah yang mereka tunaikan setiap tahun atas diri mereka. Akad ini merupakan yang paling kuat di antara empat akad, karena ia sejalan dengan akad-akad lainnya dari dua sisi, berbeda dari dua sisi, dan memiliki tambahan dari dua sisi.

فَأَمَّا الْوَجْهَانِ فِي الْمُوَافَقَةِ

Adapun dua sisi dalam hal kesesuaian.

فَأَحَدُهُمَا الْأَمَانُ

Salah satunya adalah keamanan.

وَالثَّانِي كَفُّهُمْ عَنْ مُطَاوَلَةِ الْإِسْلَامِ

Yang kedua adalah menahan mereka dari menentang Islam.

وَأَمَّا الْوَجْهَانِ مِنَ الْمُخَالَفَةِ

Adapun dua sisi dari perbedaan…

فَأَحَدُهُمَا اخْتِصَاصُ الذِّمَّةِ بِأَهْلِ الْكِتَابِ وَعُمُومُ مَا عَدَاهَا فِي أَهْلِ الْكِتَابِ وَغَيْرِ أَهْلِ الْكِتَابِ

Salah satunya adalah bahwa status dzimmah dikhususkan bagi Ahlul Kitab, sedangkan selain itu berlaku umum, mencakup Ahlul Kitab dan selain Ahlul Kitab.

وَالثَّانِي وُجُوبُ الْجِزْيَةِ عَلَى أَهْلِ الذِّمَّةِ وَسُقُوطُهَا عَنْ غَيْرِ أَهْلِ الذِّمَّةِ

Kedua, wajibnya jizyah atas ahludz-dzimmah dan tidak diwajibkannya atas selain ahludz-dzimmah.

وَأَمَّا الْوَجْهَانِ فِي الزِّيَادَةِ

Adapun dua pendapat dalam hal penambahan.

فَأَحَدُهُمَا أَنَّ عَقْدَ الذِّمَّةِ مُؤَبَّدٌ وَمَا عَدَاهُ مُقَدَّرٌ فَإِنْ قَدَرَهَا بِمُدَّةٍ فَهِيَ نَاقِصَةٌ عَنْ حُكْمِ الْكَمَالِ وَيَتَقَدَّرُ أَقَلُّهَا بِسَنَةٍ يَسْتَحِقُّ فِيهَا الْجِزْيَةَ وَلَا يَتَقَدَّرُ أَكْثَرُهَا بِالشَّرْعِ وَتَتَقَدَّرُ بِالشَّرْطِ وَإِنْ زَادَتْ عَلَى مُدَّةِ الْهُدْنَةِ أَضْعَافًا لِأَنَّهَا لَمَّا انْعَقَدَتْ عَلَى الْأَبَدِ جَازَ أَنْ تُعْقَدَ مُقَدَّرَةً بِأَكْثَرِ الْأَبَدِ

Salah satunya adalah bahwa akad dzimmah bersifat permanen, sedangkan selainnya bersifat terbatas. Jika ditentukan dengan jangka waktu tertentu, maka ia kurang dari hukum kesempurnaan, dan batas minimalnya adalah satu tahun, di mana dalam waktu itu jizyah menjadi hak. Tidak ada batas maksimalnya menurut syariat, namun dapat ditentukan berdasarkan syarat, meskipun melebihi masa gencatan senjata berkali-kali lipat. Karena ketika akad itu disepakati untuk selamanya, maka boleh juga diadakan dengan batas waktu yang lebih panjang dari sebagian besar masa hidup.

وَالثَّانِي أَنَّ عَقْدَ الذِّمَّةِ يُوجِبُ الذَّبَّ عَنْهُمْ مِنْ كُلِّ مَنْ أَرَادَهُمْ مِنْ مُسْلِمٍ وَكَافِرٍ وَمَا عَدَاهُ يُوجِبُ ذَبَّ الْمُسْلِمِينَ عَنْهُمْ دُونَ غَيْرِهِمْ

Yang kedua, bahwa akad dzimmah mewajibkan perlindungan terhadap mereka dari siapa pun yang ingin mencelakai mereka, baik dari kalangan Muslim maupun non-Muslim, sedangkan selain akad dzimmah hanya mewajibkan perlindungan kaum Muslimin terhadap mereka, tidak terhadap selain mereka.

فَإِنْ عَقَدَهَا لِأَهْلِ الذِّمَّةِ عَلَى أَنْ لَا يَذُبَّ أَهْلَ الْحَرْبِ عَنْهُمْ نُظِرَ

Jika ia mengadakan perjanjian dengan ahludz-dzimmah dengan syarat tidak membela mereka dari serangan ahlul-harb, maka hal itu perlu diteliti.

فَإِنْ كَانُوا فِي بِلَادِ الْإِسْلَامِ لَمْ يَجُزْ وَإِنْ كَانُوا فِي بِلَادِ الْحَرْبِ جَازَ لِأَنَّ التَّمْكِينَ مِنْهُمْ فِي بِلَادِ الْإِسْلَامِ تَسْلِيطٌ لِأَهْلِ الْحَرْبِ عَلَى الْمُسْلِمِينَ وَلَوْ عُقِدَ الْعَهْدُ عَلَى أَنْ يَمْنَعَ أَهْلَ الْحَرْبِ عَنْهُمْ فَإِنْ كَانُوا فِي بِلَادِ الْإِسْلَامِ جَازَ وَإِنْ كَانُوا فِي دَارِ الْحَرْبِ لَمْ يَجُزْ إِلَّا بِشَرْطَيْنِ

Jika mereka berada di negeri Islam, maka tidak diperbolehkan. Namun jika mereka berada di negeri perang, maka diperbolehkan, karena memberikan kesempatan kepada mereka di negeri Islam berarti memberikan kekuasaan kepada orang-orang kafir atas kaum Muslimin. Jika perjanjian diadakan dengan syarat melindungi mereka dari orang-orang kafir, maka jika mereka berada di negeri Islam, hal itu diperbolehkan. Tetapi jika mereka berada di negeri perang, tidak diperbolehkan kecuali dengan dua syarat.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَعْلَمَ الْإِمَامُ مِنْ نَفْسِهِ قُوَّةً عَلَى الْمَنْعِ

Salah satunya adalah imam mengetahui dari dirinya sendiri adanya kemampuan untuk mencegah.

وَالثَّانِي أَنْ يَعْقِدَهَا عَلَى مَالٍ يَبْذُلُونَهُ

Yang kedua adalah mengadakan akad atas harta yang mereka serahkan.

فَإِنْ عُدِمَ أَحَدُ الشَّرْطَيْنِ لَمْ يَجُزْ

Jika salah satu dari dua syarat tersebut tidak terpenuhi, maka tidak diperbolehkan.

فَأَمَّا جَرَيَانُ أَحْكَامِنَا عَلَيْهِمْ فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي تَأْوِيلِ قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ إِنَّ الصَّغَارَ أَنْ يَجْرِيَ عَلَيْهِمْ أَحْكَامُ الْإِسْلَامِ وَلَهُ فِي الْمُرَادِ بِهَذِهِ الْأَحْكَامِ قَوْلَانِ

Adapun penerapan hukum-hukum kita atas mereka, maka asy-Syafi‘i berkata dalam menafsirkan firman Allah Ta‘ala: “hingga mereka membayar jizyah dengan tangan mereka dalam keadaan tunduk,” bahwa makna ketundukan adalah diberlakukannya hukum-hukum Islam atas mereka. Dan mengenai maksud dari hukum-hukum ini, beliau memiliki dua pendapat.

أَحَدُهُمَا التَّحَكُّمُ بِالْقُوَّةِ وَالِاسْتِطَالَةِ

Salah satunya adalah bertindak sewenang-wenang dengan kekuatan dan kesombongan.

وَالثَّانِي الْأَحْكَامُ الشرعية

Dan yang kedua adalah hukum-hukum syar‘i.

فَعَلَى الْأَوَّلِ لَا نلْزمُهُمْ أَحْكَامُنَا

Maka menurut pendapat pertama, kita tidak mewajibkan hukum-hukum kita atas mereka.

وَعَلَى الثَّانِي نلزمُهُمْ أَحْكَامُنَا وَلَا تَلْزَمُ مَنْ عَدَاهُمْ قَوْلًا وَاحِدًا وَلَا يَتَوَلَّى عَقْدَ الذِّمَّةِ إِلَّا الْإِمَامُ وَإِذَا بَذَلُوا الْجِزْيَةَ وَجَبَ عَلَى الْإِمَامِ أَنْ يعقد لهم الذمة

Menurut pendapat kedua, kita memberlakukan hukum-hukum kita atas mereka dan tidak berlaku atas selain mereka menurut satu pendapat, dan tidak ada yang berhak mengadakan akad dzimmah kecuali imam. Jika mereka telah membayar jizyah, maka wajib bagi imam untuk mengadakan akad dzimmah bagi mereka.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَلَا نَعْلَمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ صَالَحَ أَحَدًا عَلَى أَقَلَّ مِنْ دِينَارٍ فَمَنْ أَعْطَى مِنْهُمْ دِينَارًا غَنِيًّا كَانَ أَوْ فَقِيرًا فِي كُلِّ سَنَةٍ قُبِلَ مِنْهُ وَلَمْ يَزِدْ عَلَيْهِ وَلَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ أقَلُّ مِنْ دِينَارٍ مِنْ غَنِيٍّ وَلَا فَقِيرٍ فَإِنْ زَادُوا قُبِلَ مِنْهُمْ “

Syafi‘i berkata, “Kami tidak mengetahui bahwa Nabi ﷺ pernah membuat perjanjian dengan siapa pun dengan jumlah kurang dari satu dinar. Maka siapa pun dari mereka yang memberikan satu dinar, baik ia kaya maupun miskin, setiap tahun diterima darinya dan tidak ditambah atasnya, dan tidak diterima darinya kurang dari satu dinar, baik dari orang kaya maupun miskin. Jika mereka menambah, maka diterima dari mereka.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي أَقَلِّ الْجِزْيَةِ وَأَكْثَرِهَا فَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ إِلَى أَنَّ أَقَلَّهَا مُقَدَّرٌ بِدِينَارٍ لَا يَجُوزُ الِاقْتِصَارُ عَلَى أَقَلَّ مِنْهُ مَنْ غَنِيٍّ وَلَا فَقِيرٍ وَأَكْثَرُهَا غَيْرُ مُقَدَّرٍ وَهُوَ مُوَكَلٌ إِلَى اجْتِهَادِ الْإِمَامِ فَإِنْ لَمْ يُجِيبُوا إِلَى الزِّيَادَةِ عَلَى الدِّينَارِ مِنْ غَنِيٍّ وَلَا فَقِيرٍ وَجَبَ عَلَى الْإِمَامِ إِجَابَتُهُمْ إليه وإن طبقوا أنفسهم بالغنى والتوسط والذي عاقدهم عليه

Al-Mawardi berkata: Para fuqaha berbeda pendapat tentang batas minimal dan maksimal jizyah. Imam Syafi‘i berpendapat bahwa batas minimalnya ditetapkan satu dinar, tidak boleh kurang dari itu, baik bagi yang kaya maupun yang miskin. Adapun batas maksimalnya tidak ditentukan, dan hal itu diserahkan kepada ijtihad imam. Jika mereka (ahli dzimmah) tidak mau menerima tambahan atas satu dinar, baik yang kaya maupun yang miskin, maka imam wajib menerima permintaan mereka tersebut, meskipun mereka menganggap diri mereka kaya atau menengah, dan sesuai dengan apa yang telah disepakati bersama mereka.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ هِيَ مُقَدَّرَةُ الْأَقَلِّ وَالْأَكْثَرِ بِحَسَبِ طَبَقَاتِهِمْ فَيُؤْخَذُ مِنَ الْغَنِيِّ ثَمَانِيَةٌ وَأَرْبَعُونَ درهما مصارفة اثنا عشر بدينار ومن المتوسط أربعة وعشرين دِرْهَمًا وَمِنَ الْفَقِيرِ الْمُعْتَمِلِ اثْنَا عَشَرَ دِرْهَمًا

Abu Hanifah berkata: Kadar (nafkah) itu ditentukan menurut yang paling sedikit dan yang paling banyak sesuai dengan tingkatan mereka. Maka dari orang kaya diambil delapan puluh empat dirham, dengan perhitungan dua belas dirham setara satu dinar; dari orang menengah diambil dua puluh empat dirham; dan dari orang miskin yang bekerja diambil dua belas dirham.

وَقَالَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ لَا يَتَقَدَّرُ أَقَلُّهَا وَلَا أَكْثَرُهَا وَهِيَ مَوْكُولَةٌ إِلَى اجْتِهَادِ الْإِمَامِ فِي أقلها وأكثرها فإن رأى الإقصار عَلَى أَقَلَّ مِنْ دِينَارٍ جَازَ وَإِنْ رَأَى الزِّيَادَةَ عَلَى الْأَرْبَعَةِ فَعَلَ

Sufyan ats-Tsauri berkata, “Tidak ada batasan paling sedikit maupun paling banyaknya, dan hal itu diserahkan kepada ijtihad imam dalam menentukan batas minimal dan maksimalnya. Jika imam memandang cukup dengan kurang dari satu dinar, maka itu boleh, dan jika ia memandang perlu menambah lebih dari empat, maka ia melakukannya.”

وَقَدْ حُكِيَ عَنْ مَالِكٍ كِلَا الْمَذْهَبَيْنِ مِنْ قَوْلِ أَبِي حَنِيفَةَ وَقَوْلِ سُفْيَانَ

Telah dinukil dari Malik kedua mazhab, yaitu pendapat Abu Hanifah dan pendapat Sufyan.

وَاسْتَدَلَّ أَبُو حَنِيفَةَ عَلَى تَقْدِيرِ أَقَلِّهَا وَأَكْثَرِهَا بِأَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ضَرَبَ الْجِزْيَةَ عَلَى أَهْلِ الذِّمَّةِ فِيمَا فَتَحَهُ مِنْ سَوَادِ الْعِرَاقِ عَلَى الْفَقِيرِ الْمُعْتَمِلِ اثْنَا عَشَرَ دِرْهَمًا وَعَلَى الْمُتَوَسِّطِ أَرْبَعَةٌ وَعِشْرُونَ دِرْهَمًا وَعَلَى الْغَنِيِّ ثَمَانِيَةٌ وَأَرْبَعُونَ دِرْهَمًا عَنْ رَأْيٍ شَاوَرَ فِيهِ الصَّحَابَةَ فَصَارَ إِجْمَاعًا وَلِأَنَّهُ مَالٌ يَتَعَيَّنُ وُجُوبُهُ بِالْحَوْلِ فَوَجَبَ أَنْ يَخْتَلِفَ بِزِيَادَةِ الْمَالِ كَالزَّكَاةِ وَلِأَنَّ الْمَأْخُوذَ بِالشِّرْكِ صَارَ جِزْيَةً وَخَرَاجًا فَلَمَّا اخْتَلَفَ الْخَرَاجُ بِاخْتِلَافِ الْمَالِ وَجَبَ أَنْ تَخْتَلِفَ الْجِزْيَةُ بِاخْتِلَافِ الْمَالِ

Abu Hanifah berdalil tentang penetapan batas minimal dan maksimal jizyah dengan peristiwa bahwa Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu menetapkan jizyah atas ahludz-dzimmah di wilayah Sawad Irak yang telah dibuka, yaitu atas orang miskin yang bekerja sebesar dua belas dirham, atas golongan menengah dua puluh empat dirham, dan atas orang kaya empat puluh delapan dirham, berdasarkan pendapat yang telah dimusyawarahkan bersama para sahabat sehingga menjadi ijmā‘. Karena jizyah adalah harta yang wajib ditetapkan setiap tahun, maka wajib pula berbeda sesuai dengan bertambahnya harta, sebagaimana zakat. Selain itu, harta yang diambil dari orang musyrik menjadi jizyah dan kharaj, maka ketika kharaj berbeda sesuai dengan perbedaan harta, wajib pula jizyah berbeda sesuai dengan perbedaan harta.

وَاسْتَدَلَّ الثَّوْرِيُّ بِأَنْ قَالَ الْهُدْنَةُ لَمَّا كَانَتْ مَوْكُولَةً إِلَى اجْتِهَادِ الْإِمَامِ وَلَمْ يَتَقَدَّرْ أَقَلُّهَا وَأَكْثَرُهَا وَجَبَ أَنْ تَكُونَ الْجِزْيَةُ بِمَثَابَتِهَا لَا يَتَقَدَّرُ أَقَلُّهَا وَأَكْثَرُهَا

Ats-Tsauri berdalil bahwa karena hudnah (gencatan senjata) diserahkan kepada ijtihad imam dan tidak ditentukan batas minimal maupun maksimalnya, maka wajib pula agar jizyah diperlakukan seperti itu, yaitu tidak ditentukan batas minimal maupun maksimalnya.

وَدَلِيلُنَا مَا رَوَاهُ أَبُو وَائِلٍ شَقِيقُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَمَرَهُ حِينَ بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ أَنْ يَأْخُذَ مِنْ كُلِّ حَالِمٍ دِينَارًا وَعِدْلَهُ مِنَ الْمُعَافِرِ وَمَعْلُومٌ أَنَّهُمْ كَانُوا عَلَى اخْتِلَافٍ فِي الْغِنَى وَالتَّوَسُّطِ فَسَوَّى بَيْنَهُمْ وَلَمْ يُفَاضِلْ

Dan dalil kami adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Wa’il Syaqiq bin Salamah dari Masruq dari Mu’adz bin Jabal, bahwa Nabi ﷺ memerintahkannya ketika mengutusnya ke Yaman agar mengambil dari setiap orang yang telah baligh satu dinar atau yang senilai dengannya dari kain mu‘āfir. Dan diketahui bahwa mereka berbeda-beda dalam hal kekayaan dan tingkat kecukupan, namun beliau menyamakan mereka dan tidak membedakan.

وَرُوِيَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ صَالَحَ أُكَيْدِرَ دَوْمَةَ عَلَى نَصَارَى أَيْلَةَ وَهُمْ ثَلَاثُمِائَةِ رَجُلٍ عَلَى ثَلَاثِمِائَةِ دِينَارٍ فَجَعَلَهَا مُعْتَبَرَةً بعددهم وليس يَعْتَبِرهَا بِيَسَارِهِمْ وَإِعْسَارِهِمْ

Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengadakan perjanjian damai dengan Ukaydir Dūmah atas orang-orang Nasrani Ailah, yang berjumlah tiga ratus orang, dengan kewajiban membayar tiga ratus dinar. Maka beliau menjadikan jumlah tersebut berdasarkan jumlah mereka, dan tidak mempertimbangkannya berdasarkan kemampuan atau kesulitan ekonomi mereka.

وَلِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَخَذَ جِزْيَةَ نَصْرَانِيٍّ بِمَكَّةَ يُقَالُ لَهُ أَبُو مَوْهِبٍ دِينَارًا وَلَمْ يَذْكُرْ يَسَارَهُ وَلَا إِعْسَارَهُ فَدَلَّ عَلَى اسْتِوَاءِ الْحَالَيْنِ

Dan karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengambil jizyah dari seorang Nasrani di Makkah yang bernama Abu Mawhib satu dinar, dan beliau tidak menyebutkan apakah orang itu dalam keadaan mampu atau tidak mampu, maka hal ini menunjukkan bahwa kedua keadaan tersebut (mampu maupun tidak mampu) diperlakukan sama.

وَرَوَى عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَمَرَ بِأَخْذِ الْجِزْيَةِ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ مِنْ كُلِّ حَالِمٍ دِينَارًا وَلَمْ يُفَضِّلْ فَدَلَّ عَلَى التَّسَاوِي

Amru bin Syu’aib meriwayatkan dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengambil jizyah dari Ahli Kitab, dari setiap orang yang telah baligh, sebesar satu dinar, dan beliau tidak membedakan, sehingga hal itu menunjukkan adanya kesetaraan.

وَمِنَ الْقِيَاسِ أَنَّ كُلَّ مَنْ حَقَنَ دَمَهُ بِالْجِزْيَةِ جَازَ أَنْ يَتَقَدَّرَ بِالدِّينَارِ كَالْمُقِلِّ وَلِأَنَّ كُلَّ مَا جَازَ أنَ يَتَقَدَّرَ بِهِ جِزْيَةُ الْمُقِلِّ جَازَ أَنْ يَتَقَدَّرَ بِهِ جِزْيَةُ الْمُكْثِرِ كَالْأَرْبَعَةِ وَلِأَنَّ حُرْمَةَ دَمِهِمَا وَاحِدَةٌ فَوَجَبَ أَنْ تَكُونَ جِزْيَتُهُمَا وَاحِدَةً

Dan menurut qiyās, setiap orang yang darahnya dilindungi dengan membayar jizyah, boleh ditetapkan nilainya dengan dinar seperti orang yang memiliki harta sedikit. Karena segala sesuatu yang boleh dijadikan ukuran untuk jizyah orang yang memiliki harta sedikit, juga boleh dijadikan ukuran untuk jizyah orang yang memiliki harta banyak, seperti empat (dinar). Dan karena kehormatan darah keduanya sama, maka wajib pula agar jizyah keduanya sama.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَمَّا فَعَلَهُ عُمَرُ فَهَذَا أَنَّهُ قَدَّرَهُ عَلَيْهِمْ عَنْ مُرَاضَاةٍ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُمْ لَا يُنْكِرُ مِثْلَهَا إِذَا فعلوه

Adapun jawaban mengenai apa yang dilakukan oleh Umar, maka hal itu adalah bahwa ia menetapkannya atas mereka berdasarkan kesepakatan antara dia dan mereka, dan tidak ada yang mengingkari hal semacam itu jika mereka melakukannya.

وقياسهم عَلَى الزَّكَاةِ مُنْتَقصٌ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ الَّتِي لَا تَزِيدُ زِيَادَةَ الْمَالِ ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الزَّكَاةِ وجوبها في عين المال فجاز أن تختلف بِقِلَّتِهِ وَكَثْرَتِهِ وَالْجِزْيَةُ فِي الذِّمَّةِ عَنْ حَقْنِ الدَّمِ كَالْأُجْرَةِ فَلَمْ تَخْتَلِفْ بِزِيَادَةِ الْمَالِ وَكَثْرَتِهِ كَالْإِجَارَةِ

Qiyās mereka terhadap zakat menjadi kurang tepat dengan adanya zakat fitrah, yang tidak bertambah seiring bertambahnya harta. Selain itu, makna dalam zakat adalah kewajibannya pada harta itu sendiri, sehingga boleh berbeda sesuai sedikit atau banyaknya harta. Sedangkan jizyah adalah kewajiban dalam tanggungan (dzimmah) sebagai imbalan atas perlindungan darah (jiwa), seperti upah, sehingga tidak berbeda karena bertambah atau banyaknya harta, sebagaimana halnya upah.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ جَمْعِهِمْ بَيْنَ الْجِزْيَةِ وَالْخَرَاجِ فَهُوَ أَنَّ الْخَرَاجَ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ أُجْرَةٌ عَنْ أَرْضٍ ذَاتِ مَنْفَعَةٍ فَجَازَ أَنْ يَخْتَلِفَ بِاخْتِلَافِ الْمَنَافِعِ وَالْجِزْيَةُ عِوَضٌ عَنْ حَقْنِ الدَّمِ وَالْإِقْرَارِ عَلَى الْكُفْرِ وَذَلِكَ غَيْرُ مُخْتَلِفٍ بِاخْتِلَافِ الْمَالِ فَلَمْ يَتَفَاضَلْ بِتَفَاضُلِ الْمَالِ

Adapun jawaban atas penggabungan mereka antara jizyah dan kharāj adalah bahwa menurut asy-Syāfi‘ī, kharāj merupakan upah atas tanah yang memiliki manfaat, sehingga boleh berbeda-beda sesuai perbedaan manfaatnya. Sedangkan jizyah adalah kompensasi atas perlindungan darah dan pengakuan atas kekufuran, dan hal itu tidak berbeda-beda karena perbedaan harta, maka tidak ada perbedaan dalam jizyah karena perbedaan harta.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ بِالْهُدْنَةِ فَهُوَ أَنَّ الْهُدْنَةَ لَمَّا جَازَ أَنْ تَكُونَ مَوْقُوفَةً عَلَى رَأْيِ الْإِمَامِ فِي عَقْدِهَا بِمَالٍ وَغَيْرِ مَالٍ جَازَ عَقْدُهَا عَلَى رَأْيِ الْإِمَامِ فِي قَدْرِ الْمَالِ وَالْجِزْيَةُ لَا تَقِفُ عَلَى رَأْيِهِ فِي عَقْدِهَا بِغَيْرِ مَالٍ فَلَمْ تَقِفْ عَلَى رَأْيِهِ في تقدير المال

Adapun jawaban terhadap dalil Sufyan ats-Tsauri dengan perjanjian gencatan senjata (hudnah) adalah bahwa hudnah, ketika diperbolehkan untuk digantungkan pada pendapat imam dalam mengadakannya baik dengan harta maupun tanpa harta, maka diperbolehkan pula mengadakannya berdasarkan pendapat imam dalam menentukan jumlah harta. Sedangkan jizyah tidak bergantung pada pendapat imam dalam mengadakannya tanpa harta, maka tidak pula bergantung pada pendapatnya dalam menentukan jumlah harta.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” فِي كِتَابِ السِّيَرِ مَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ لَا جِزْيَةَ عَلَى فَقِيرٍ حَتَّى يَسْتَغْنِيَ قَالَ الْمُزَنِيُّ وَالْأَوَّلُ أَصَحُّ عَنْدِي فِي أَصْلِهِ وَأَوْلَى عِنْدِي بِقَوْلِهِ “

Imam Syafi‘i berkata, “Dalam Kitab as-Siyar terdapat petunjuk bahwa tidak ada jizyah atas orang fakir sampai ia menjadi mampu.” Al-Muzani berkata, “Pendapat yang pertama lebih sahih menurutku dalam asalnya, dan lebih utama menurutku untuk diikuti.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَأَمَّا الْمُقِلُّ الَّذِي يَمْلِكُ قَدْرَ الْجِزْيَةِ وَلَا يَمْلِكُ مَا سِوَاهَا فَهِيَ عَلَيْهِ وَاجِبَةٌ لِقُدْرَتِهِ عَلَى أَدَائِهَا فَأَمَّا الْفَقِيرُ الَّذِي لَا يَمْلِكُ قَدْرَ الْجِزْيَةِ فَضَرْبَانِ

Al-Mawardi berkata, “Adapun orang yang memiliki harta sedikit yang hanya memiliki sejumlah nilai jizyah dan tidak memiliki selain itu, maka jizyah tetap wajib atasnya karena ia mampu membayarnya. Adapun orang fakir yang tidak memiliki sejumlah nilai jizyah, maka terbagi menjadi dua golongan.”

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ مُعْتَمِلًا يَكْسِبُ بِعَمَلِهِ فِي السُّنَّةِ قَدْرَ جِزْيَتِهِ فَاضِلَةً عَنْ نَفَقَتِهِ فَالْجِزْيَةُ عَلَيْهِ وَاجِبَةٌ

Salah satunya adalah seseorang yang bekerja dan memperoleh penghasilan dari usahanya selama satu tahun sejumlah yang melebihi kebutuhan nafkahnya, maka jizyah wajib atasnya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ غَيْرَ مُعْتَمِلٍ لَا يَقْدِرُ عَلَى الِاكْتِسَابِ إِلَّا بِالْمَسْأَلَةِ لِقَدْرِ قُوتِهِ مِنْ غَيْرِ فَضْلٍ فَفِي وُجُوبِ الْجِزْيَةِ عَلَيْهِ قَوْلَانِ

Jenis kedua adalah seseorang yang tidak bekerja dan tidak mampu mencari penghasilan kecuali dengan meminta-minta sekadar untuk kebutuhan pokoknya tanpa kelebihan. Dalam hal kewajiban jizyah atasnya terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ الْمَنْصُوصُ عَلَيْهِ فِي كِتَابِ الْجِزْيَةِ وَعَامَّةِ كُتُبِهِ أَنَّهَا وَاجِبَةٌ عَلَيْهِ وَلَا تُعْقَدُ لَهُ الذِّمَّةُ إِلَّا بِهَا وَهُوَ اخْتِيَارُ الْمُزَنِيِّ

Salah satu pendapat, yaitu yang dinyatakan secara tegas dalam Kitab Jizyah dan mayoritas kitab-kitab beliau, adalah bahwa jizyah itu wajib atasnya dan perjanjian dzimmah tidak dapat diadakan untuknya kecuali dengan membayarnya, dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh al-Muzani.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي نُصَّ عَلَيْهِ فِي سِيَرِ الْوَاقِدِيِّ أَنَّهُ لَا جِزْيَةَ عَلَيْهِ وَيَكُونُ فِي عَقْدِ الذِّمَّةِ تَبَعًا لِأَهْلِ الْمَسْكَنَةِ كَالنِّسَاءِ وَالْعَبِيدِ وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ احْتِجَاجًا بِأَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حِينَ طَبَّقَ فِي الْجِزْيَةِ أَهْلَ الْعِرَاقِ ثَلَاثَ طَبَقَاتٍ جَعَلَ أَدْنَاهَا الْفَقِيرَ الْمُعْتَمِلَ فَدَلَّ عَلَى سُقُوطِهَا عَنْ غَيْرِ الْمُعْتَمِلِ وَلِأَنَّهُ مَالٌ يَجِبُ فِي كُلِّ حَوْلٍ فَلَمْ تَجِبْ عَلَى الْفَقِيرِ كالزكاة ولأن الجزية ضربان على الرؤوس وَالْأَرَضِينَ فَلَمَّا سَقَطَتْ عَنِ الْأَرْضِ إِذَا أَعْوَزَ نفقتها سقطت عن الرؤوس إِذَا أَعْوَزَ وُجُودُهَا

Pendapat kedua dinyatakan dalam kitab Siyar al-Waqidi bahwa tidak ada jizyah atasnya, dan ia termasuk dalam akad dzimmah sebagai pengikut orang-orang miskin seperti perempuan dan budak. Pendapat ini juga dipegang oleh Abu Hanifah dengan alasan bahwa Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, ketika menerapkan jizyah kepada penduduk Irak dalam tiga golongan, menjadikan golongan terendah adalah orang miskin yang bekerja, sehingga hal ini menunjukkan gugurnya kewajiban jizyah atas selain yang bekerja. Selain itu, karena jizyah adalah harta yang wajib dibayarkan setiap tahun, maka tidak diwajibkan atas orang miskin sebagaimana zakat. Dan karena jizyah itu ada dua macam, yaitu atas kepala dan atas tanah, maka ketika gugur dari tanah jika tidak mampu menanggung biayanya, maka gugur pula dari kepala jika tidak mampu membayarnya.

وَالدَّلِيلُ عَلَى وُجُوبِهَا عَلَى الْفَقِيرِ قَاتِلُوا الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلا باليوم الآخر إِلَى قَوْلِهِ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ فَلَمَّا كَانَ قِتَالُهُمْ عَامًّا فِي الْمُوسِرِ وَالْمُعْسِرِ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ مَا جَعَلَهُ غَايَةً فِي الْكَفِّ عَنْ قِتَالِهِمْ مِنْ بَذْلِ الْجِزْيَةِ عَامًّا فِي الْمُوسِرِ وَالْمُعْسِرِ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ لِمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ _ حِينَ بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ ” ” خُذْ مِنْ كُلِّ حَالِمٍ دِينَارًا ” وَقَدْ عَلِمَ أَنَّ فِيهِمْ فَقِيرًا وَلَمْ يُمَيِّزْهُمْ فَدَلَّ عَلَى أَخْذِهَا مِنْهُمْ فَإِنْ قِيلَ فَالْأَمْرُ بِالْأَخْذِ في الكتاب والسنة مشروطة بِالْقُدْرَةِ وَيَسْقُطُ التَّكْلِيفُ فِيمَا خَرَجَ مِنَ الْقُدْرَةِ

Dalil tentang kewajiban membayar jizyah atas orang fakir adalah firman Allah: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari akhir…” hingga firman-Nya: “…sampai mereka membayar jizyah dengan tangan mereka…” Maka, karena perintah memerangi mereka berlaku umum, baik bagi yang mampu maupun yang tidak mampu, maka apa yang dijadikan sebagai batasan untuk menghentikan peperangan terhadap mereka, yaitu penyerahan jizyah, juga berlaku umum bagi yang mampu maupun yang tidak mampu. Karena Nabi ﷺ bersabda kepada Mu‘adz bin Jabal ketika mengutusnya ke Yaman: “Ambillah dari setiap orang yang telah baligh satu dinar,” padahal beliau mengetahui di antara mereka ada yang fakir, dan beliau tidak membedakan mereka. Hal ini menunjukkan bahwa jizyah diambil dari mereka semua. Jika dikatakan, “Perintah untuk mengambil (jizyah) dalam Al-Qur’an dan Sunnah itu bersyarat kemampuan, dan kewajiban itu gugur pada hal-hal yang di luar kemampuan.”

قِيلَ هَذَا الْأَمْرُ إِنَّمَا تَوَجَّهَ إِلَى الضَّمَانِ دُونَ الدَّفْعِ لِأَنَّهُ فِي ابْتِدَاءِ الْحَوْلِ وَالدَّفْعُ يَكُونُ بَعْدَ الْحَوْلِ وَقَدْ يَتَوَجَّهُ الضَّمَانُ إِلَى الْمُعْسِرِ لِيَدْفَعَهُ إِذَا أَيْسَرَ كَسَائِرِ الْحُقُوقِ

Dikatakan bahwa perkara ini sesungguhnya ditujukan kepada tanggungan (ḍamān) dan bukan kepada pembayaran (daf‘), karena ia berada pada permulaan tahun, sedangkan pembayaran terjadi setelah berlalu satu tahun. Dan bisa jadi tanggungan (ḍamān) itu dibebankan kepada orang yang sedang kesulitan (mu‘sir) agar ia membayarnya ketika telah mampu, sebagaimana hak-hak lainnya.

وَمِنَ الْقِيَاسِ أَنَّهُ حُرٌّ مُكَلَّفٌ فَلَمْ يَجُزْ إِقْرَارُهُ عَلَى كُفْرِهِ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ بِغَيْرِ جِزْيَةٍ كَالْمُوسِرِ وَفِيهِ احْتِرَازٌ مِنَ الْمَرْأَةِ لِأَنَّهَا تَدْخُلُ فِي اللَّفْظِ الْمُذَكِّرِ وَلِأَنَّ كُلَّ مَنْ حَلَّ قَتْلُهُ بِالْأَسْرِ لَمْ تَسْقُطْ عَنْهُ الْجِزْيَةُ بِالْفَقْرِ كَالْغَنِيِّ إِذَا افْتَقَرَ وَلِأَنَّهُ أَحَدُ سَبَبَيْ مَا يُحْقَنُ بِهِ الدَّمُ فَوَجَبَ أَنْ يَقْوَى فِيهِ الْغَنِيُّ وَالْفَقِيرُ كَالْإِسْلَامِ وَلِأَنَّ الْجِزْيَةَ فِي مُقَابَلَةِ أَمْرَيْنِ

Dan menurut qiyās, ia adalah seorang yang merdeka dan mukallaf, maka tidak boleh dibiarkan tetap dalam kekafirannya di negeri Islam tanpa membayar jizyah, seperti halnya orang yang mampu. Dalam hal ini terdapat pengecualian terhadap perempuan, karena ia termasuk dalam lafaz mudzakkar (laki-laki), dan karena setiap orang yang halal darahnya dibunuh ketika tertawan, tidak gugur darinya kewajiban jizyah karena kefakiran, sebagaimana orang kaya jika menjadi fakir. Dan karena jizyah adalah salah satu dari dua sebab yang dengannya darah seseorang dapat terjaga, maka wajib berlaku sama antara yang kaya dan yang fakir di dalamnya, sebagaimana dalam Islam. Dan karena jizyah itu sebagai imbalan atas dua hal.

أَحَدُهُمَا حَقْنُ الدَّمِ

Salah satunya adalah menjaga darah (jiwa).

وَالْآخَرُ الْإِقْرَارُ فِي دَارِنَا عَلَى الْكُفْرِ وَمَا حُقِنَ بِهِ الدَّمُ لَمْ يَسْقُطْ بِالْإِعْسَارِ كَالدِّيَةِ

Adapun yang lain adalah pengakuan di negeri kita atas kekufuran, dan apa yang dengannya darah terjaga tidak gugur karena kefakiran, seperti diyat.

وَمَا اسْتَحَقَّ بِهِ الْمُقَامُ فِي مَكَانٍ لَمْ يَسْقُطْ بِالْإِعْسَارِ كَالْأُجْرَةِ

Dan apa yang menjadi hak untuk menempati suatu tempat tidak gugur karena ketidakmampuan membayar, seperti upah.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ فِعْلِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَمِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun jawaban mengenai perbuatan Umar radhiyallahu ‘anhu, maka ada dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّ أَخْذَهَا مِنَ الْفَقِيرِ الْمُعْتَمِلِ لَا يُوجِبُ سُقُوطَهَا عَنْ غَيْرِ الْمُعْتَمِلِ

Salah satunya adalah bahwa pengambilan zakat dari orang fakir yang bekerja tidak menyebabkan kewajiban zakat gugur dari orang fakir yang tidak bekerja.

وَالثَّانِي أَنَّ الْمُعْتَمِلَ هُوَ الْمُكْتَسِبُ بِالْعَمَلِ وَغَيْرُ الْمُعْتَمِلِ قَدْ يَتَكَسَّبُ بِالْمَسْأَلَةِ وَهِيَ عَمَلٌ فَصَارَ كَالْمُعْتَمِلِ وَالْقِيَاسُ عَلَى الزَّكَاةِ فَاسِدٌ مِنْ وَجْهَيْنِ

Kedua, bahwa orang yang bekerja adalah orang yang memperoleh penghasilan melalui kerja, sedangkan orang yang tidak bekerja bisa saja memperoleh penghasilan melalui meminta-minta, dan itu juga merupakan suatu bentuk usaha, sehingga ia menjadi seperti orang yang bekerja. Adapun qiyās kepada zakat adalah tidak sah dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّ الزَّكَاةَ تَجِبُ فِي الْمَالِ فَاعْتَبَرْنَاهُ فِي الْوُجُوبِ وَالْجِزْيَةُ تَجِبُ فِي الذِّمَّةِ فَلَمْ يُعْتَبَرِ الْمَالُ فِي الْوُجُوبِ

Salah satunya adalah bahwa zakat diwajibkan atas harta, maka harta diperhitungkan dalam kewajiban tersebut; sedangkan jizyah diwajibkan atas tanggungan (dzimmah), sehingga harta tidak diperhitungkan dalam kewajibannya.

وَالثَّانِي أَنَّ الْجِزْيَةَ تَجِبُ عَلَى الْفَقِيرِ الْمُعْتَمِلِ وَلَا تَجِبُ عَلَيْهِ الزَّكَاةُ فَلَمْ يَجُزِ اعْتِبَارُهَا بِالزَّكَاةِ

Kedua, bahwa jizyah wajib atas orang fakir yang bekerja, sedangkan zakat tidak wajib atasnya, maka tidak boleh menjadikan jizyah diqiyaskan dengan zakat.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْجَمْعِ بَيْنَ الْجِزْيَةِ وَالْخَرَاجِ مَعَ اخْتِلَالِهِ مِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun jawaban mengenai penggabungan antara jizyah dan kharaj, meskipun terdapat kekeliruan dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّ الْخَرَاجَ لَا يَسْقُطُ بِالْفَقْرِ فَكَذَلِكَ الْجِزْيَةُ

Salah satunya adalah bahwa kharāj tidak gugur karena kefakiran, demikian pula jizyah.

وَالثَّانِي أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَسْقُطْ مَا فِي مُقَابَلَةِ الْجِزْيَةِ مِنْ حَقْنِ الدَّمِ فِي حق الفقير لم يسقط الْجِزْيَةُ وَلَمَّا سَقَطَ مَا فِي مُقَابَلَةِ الْخَرَاجِ مِنَ الْمَنْفَعَةِ سَقَطَ بِهِ الْخَرَاجُ

Kedua, karena hak perlindungan jiwa yang menjadi imbalan dari pembayaran jizyah tidak gugur bagi orang fakir, maka jizyah pun tidak gugur darinya. Namun, karena manfaat yang menjadi imbalan dari pembayaran kharaj telah gugur, maka kharaj pun gugur bersamanya.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا تَقَرَّرَ تَوْجِيهُ الْقَوْلَيْنِ فَإِنْ قُلْنَا إِنَّهُ لَا جِزْيَةَ عَلَى الْفَقِيرِ كَانَتِ الْقُدْرَةُ عَلَيْهَا شَرْطًا فِي الْوُجُوبِ وَالْأَدَاءِ فَلَا يُخَاطَبُ بِوُجُوبِهَا مَعَ الْفَقْرِ إِذَا أَيْسَرَ بِهَا اسْتُوقِفَ حَوْلَهُ وَأُخِذَتْ منه انقضائه

Jika telah dijelaskan argumentasi kedua pendapat tersebut, maka jika kita mengatakan bahwa tidak ada jizyah atas orang fakir, maka kemampuan membayarnya menjadi syarat wajib dan pelaksanaannya. Maka, orang fakir tidak dibebani kewajiban membayar jizyah. Jika kemudian ia mampu membayarnya, ia ditahan hingga membayarnya dan diambil darinya setelah ia mampu.

وَإِنْ قُلْنَا إِنَّ الْجِزْيَةَ وَاجِبَةٌ عَلَى الْفَقِيرِ لَمْ تَكُنِ الْقُدْرَةُ شَرْطًا فِي وُجُوبِهَا فَإِذَا حَالَ الْحَوْلُ وَهُوَ فَقِيرٌ وَجَبَتْ عَلَيْهِ الْجِزْيَةُ وَفِيهَا وَجْهَانِ دَلَّ كَلَامُ ابْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ عَلَيْهِمَا

Dan jika kita mengatakan bahwa jizyah wajib atas orang fakir, maka kemampuan (membayar) bukanlah syarat wajibnya. Maka apabila telah berlalu satu tahun sementara ia masih fakir, jizyah tetap wajib atasnya. Dalam hal ini terdapat dua pendapat yang ditunjukkan oleh perkataan Ibnu Abi Hurairah mengenai keduanya.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ يُنْظَرُ بِهَا إِلَى مَيْسَرَتِهِ مَعَ إِقْرَارِهِ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ كَسَائِرِ الدُّيُونِ الَّتِي يَجِبُ الْإِنْظَارُ بِهَا إِلَى وَقْتِ الْيَسَارِ

Salah satunya adalah bahwa ia dipertimbangkan berdasarkan kemampuannya membayar, dengan tetap tinggalnya di wilayah Islam, seperti halnya utang-utang lain yang wajib diberi tenggang waktu hingga saat mampu membayar.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا يَجُوزُ أَنْ يُنْظَرَ بِهَا لِإِعْسَارِهِ لِأَنَّ لَهَا بَدَلًا فِي حَقْنِ دَمِهِ وَهُوَ قَائِمٌ عَلَيْهِ وَهُوَ الْإِسْلَامُ فَإِذَا امْتَنَعَ مِنْهُ لَمْ يَجُزْ إِنْظَارُهُ

Pendapat kedua menyatakan bahwa tidak boleh diberi penangguhan karena ketidakmampuannya, karena ada pengganti dalam menjaga darahnya, yaitu Islam, yang tetap berlaku atasnya. Maka jika ia menolak Islam, tidak boleh diberi penangguhan.

وَقِيلَ إِنْ لَمْ تُسْلِمْ وَلَمْ يُتَوَصَّلْ إِلَى تَحْصِيلِ الْجِزْيَةِ بِالطَّلَبِ وَالْمَسْأَلَةِ لَمْ يَجُزْ أَنْ تُقَرَّ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ وَأُبْلِغْتَ مَأْمَنَكَ ثُمَّ كُنْتَ حَرْبًا أَلَا تَرَى أَنَّ الْكَفَّارَةَ لَمَّا كَانَ الصَّوْمُ فِيهَا بَدَلًا لَمْ تَسْقُطْ بِالْإِعْسَارِ؟ وَلَمْ يَجِبْ فِيهَا إِنْظَارٌ إِلَى وَقْتِ الْيَسَارِ؟ كَذَلِكَ الْجِزْيَةُ

Dan dikatakan: Jika ia tidak masuk Islam dan tidak dapat diperoleh jizyah darinya dengan permintaan dan penawaran, maka tidak boleh ia dibiarkan tetap di Darul Islam, dan ia harus disampaikan ke tempat amannya, kemudian setelah itu ia menjadi musuh. Tidakkah engkau melihat bahwa dalam kafarah, ketika puasa menjadi pengganti, maka kewajiban itu tidak gugur karena ketidakmampuan? Dan tidak wajib menunggu sampai waktu mampu? Demikian pula halnya dengan jizyah.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَإِنْ صَالَحُوا عَلَى ضِيَافَةِ مَا ضِفْتَ ثَلَاثًا قَالَ وَيُضِيفُ الْمُوسِرُ كَذَا وَالْوَسَطُ كَذَا وَيُسَمَّى مَا يُطْعِمُونَهُمْ خُبْزُ كَذَا وَيَعْلِفُونَ دَوَابَّهُمْ مِنَ التِّبْنِ وَالشَعِيرِ كَذَا وَيُضِيفُ مَنْ مَرَّ بِهِ مِنْ وَاحِدٍ إِلَى كَذَا وَأَيْنَ يُنْزِلُونَهُمْ مِنْ فُضُولِ مَنَازِلِهِمْ أَوْ فِي كَنَائِسِهِمْ أَوْ فِيمَا يُكِنُّ مِنْ حَرٍّ وَبَرْدٍ “

Imam Syafi‘i berkata, “Jika mereka berdamai dengan syarat memberikan jamuan selama tiga hari, maka orang yang kaya menjamu dengan kadar tertentu, orang yang pertengahan dengan kadar tertentu pula, dan disebutkan apa yang mereka berikan berupa roti dengan kadar tertentu, serta mereka memberi makan hewan tunggangan dari jerami dan jelai dengan kadar tertentu. Setiap orang yang dilewati menjamu dari satu orang hingga sejumlah tertentu, dan disebutkan di mana mereka menempatkan tamu, apakah di rumah-rumah mereka yang lebih, atau di gereja-gereja mereka, atau di tempat yang dapat melindungi dari panas dan dingin.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ يَجُوزُ أَنْ يُصَالَحَ أَهْلُ الذِّمَّةِ عَلَى عَقْدِ الْجِزْيَةِ عَلَى ضِيَافَةِ مَنْ يَمُرُّ بِهِمْ مِنَ الْمُسْلِمِينَ لِمَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ صَالَحَ أُكَيْدِرَ دُومَةَ عَنْ نَصَارَى أَيْلَةَ عَلَى ثَلَاثِمِائَةِ دِينَارٍ وَكَانُوا ثَلَاثَمِائَةِ رَجُلٍ وَأَنْ يُضِيفُوا مَا مَرَّ بِهِمْ مِنَ الْمُسْلِمِينَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ لَا يَغُشُّوا مُسْلِمًا

Al-Mawardi berkata, boleh melakukan perjanjian dengan ahludz-dzimmah dalam akad jizyah dengan syarat mereka menjamu siapa saja dari kaum Muslimin yang melewati mereka, berdasarkan riwayat bahwa Nabi ﷺ pernah melakukan perjanjian dengan Ukaydir Duma dari Nasrani Ailah atas pembayaran tiga ratus dinar, sementara mereka berjumlah tiga ratus orang, dan agar mereka menjamu siapa saja dari kaum Muslimin yang melewati mereka selama tiga hari, serta tidak menipu seorang Muslim pun.

وَصَالَحَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ نَصَارَى الشَّامِ عَلَى أَنْ ضَرَبَ عَلَيْهِمُ الْجِزْيَةَ عَلَى أَهْلِ الذَّهَبِ أَرْبَعَةَ دَنَانِيرَ وَعَلَى أَهْلِ الْوَرِقِ ثَمَانِيَةً وَأَرْبَعُونَ دِرْهَمًا وَضِيَافَةَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ وَلِأَنَّهُ مِرْفَقٌ يُسْتَزَادُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَيَسْتَعِينُ بِهِ سَابِلَةُ الْمُسْلِمِينَ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَالْكَلَامُ فِي عَقْدِ هَذِهِ الضِّيَافَةِ مُشْتَمِلٌ عَلَى ثَلَاثَةِ فُصُولٍ

Umar bin al-Khattab ra. telah membuat perjanjian dengan kaum Nasrani Syam, yaitu menetapkan jizyah atas mereka: bagi yang memiliki emas sebesar empat dinar, dan bagi yang memiliki perak sebesar empat puluh delapan dirham, serta kewajiban menjamu selama tiga hari. Hal ini karena jamuan tersebut merupakan kemaslahatan yang dapat diambil dari kaum musyrik, dan dengannya para musafir Muslim dapat terbantu. Jika demikian, maka pembahasan mengenai akad jamuan ini mencakup tiga bagian.

أَحَدُهَا حُكْمُهَا فِيمَنْ يُشْتَرَطُ عَلَيْهِ

Salah satunya adalah hukum mengenai orang yang disyaratkan atasnya.

وَالثَّانِي حُكْمُهَا فِيمَنْ تُشْتَرَطُ لَهُ

Kedua, hukum syarat tersebut bagi orang yang disyaratkan untuknya.

وَالثَّالِثُ حُكْمُ بَيَانِهَا

Ketiga, hukum penjelasannya.

فَأَمَّا الْفَصْلُ الْأَوَّلُ فِيمَنْ يُشْتَرَطُ عَلَيْهِ فَمُعْتَبَرٌ بِثَلَاثَةِ شُرُوطٍ

Adapun bagian pertama mengenai siapa yang disyaratkan atasnya, maka hal itu dipertimbangkan dengan tiga syarat.

أَحَدُهَا أَنْ يَبْذُلُوهَا طَوْعًا لَا يُجْبَرُونَ عَلَيْهَا لِأَنَّهَا عَقْدُ مُرَاضَاةٍ فَلَمْ يَصِحَّ إِلَّا عَنِ اخْتِيَارٍ كَالْجِزْيَةِ فَإِنِ امْتَنَعُوا مِنَ الضِّيَافَةِ وَلَمْ يُجِيبُوا إِلَى غَيْرِ الدِّينَارِ قُبِلَ مِنْهُمْ وَأُسْقِطَتِ الضِّيَافَةُ عَنْهُمْ كَمَا تَسْقُطُ عَنْهُمُ الزِّيَادَةُ عَلَى الدِّينَارِ إِذَا امْتَنَعُوا مِنْهَا فَإِنِ امْتَنَعَ مِنْهَا بَعْضُهُمْ وَأَجَابَ إِلَيْهَا بَعْضُهُمْ سَقَطَتْ عَمَّنِ امْتَنَعَ وَلَزِمَتْ مَنْ أَجَابَ

Salah satunya adalah bahwa mereka harus memberikannya secara sukarela, tidak dipaksa, karena ini adalah akad kerelaan sehingga tidak sah kecuali atas dasar pilihan, seperti jizyah. Jika mereka menolak untuk memberikan jamuan dan tidak menerima selain dinar, maka diterima dari mereka dan kewajiban jamuan dihapuskan dari mereka, sebagaimana tambahan atas dinar juga gugur dari mereka jika mereka menolak tambahan itu. Jika sebagian dari mereka menolak dan sebagian lagi menerima, maka kewajiban itu gugur dari yang menolak dan tetap berlaku bagi yang menerima.

وَالثَّانِي أَنْ يَكُونَ بِهِمْ قُوَّةٌ عَلَيْهَا لَا يَضْعُفُونَ عَنْهَا إِمَّا لِخِصْبِ بِلَادِهِمْ وَإِمَّا لِكَثْرَةِ أَمْوَالِهِمْ فَإِنْ ضَعُفُوا عَنْهَا لَمْ يُؤْخَذُوا بِهَا وَاخْتَصَّ وَجُوبُهَا بِالْأَغْنِيَاءِ وَالْمُتَوَسِّطِينَ دُونَ الْمُقِلِّينَ بِخِلَافِ الْجِزْيَةِ لِأَنَّ الضِّيَافَةَ تَتَكَرَّرُ فِي السُّنَّةِ وَالْجِزْيَةَ لَا تَتَكَرَّرُ

Kedua, hendaknya mereka memiliki kemampuan untuk melaksanakannya dan tidak lemah dalam menunaikannya, baik karena kesuburan negeri mereka maupun karena banyaknya harta mereka. Jika mereka lemah untuk melaksanakannya, maka mereka tidak dibebani dengannya, dan kewajibannya khusus bagi orang-orang kaya dan menengah, tidak bagi orang-orang yang kekurangan, berbeda dengan jizyah, karena kewajiban menjamu tamu itu berulang setiap tahun, sedangkan jizyah tidak berulang.

وَالثَّالِثُ أَنْ تُشْتَرَطَ عَلَيْهِمْ بَعْدَ جزية رؤوسهم وَهُوَ الدِّينَارُ الَّذِي هُوَ أَصْلُ الْمَأْخُوذِ مِنْهُمْ لِيَكُونَ زِيَادَةَ مَعُونَةٍ وَمِرْفَقٍ فَإِنْ جُعِلَتِ الضِّيَافَةُ هِيَ الْجِزْيَةَ وَلَمْ يُؤْخَذْ دِينَارُ الْجِزْيَةِ فَفِي جَوَازِهِ لِأَصْحَابِنَا وَجْهَانِ

Ketiga, yaitu disyaratkan atas mereka setelah pembayaran jizyah per kepala, yaitu dinar yang merupakan pokok yang diambil dari mereka, agar menjadi tambahan bantuan dan kemudahan. Jika jamuan (untuk pasukan Muslim) dijadikan sebagai jizyah dan tidak diambil dinar jizyah, maka menurut mazhab kami terdapat dua pendapat mengenai kebolehannya.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ وَأَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَجُمْهُورِ الْبَغْدَادِيِّينَ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ إِلَّا بَعْدَ الدِّينَارِ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ صَالَحَ أَهْلَ أَيْلَةَ عَلَيْهِمَا وَكَذَلِكَ عُمَرُ فِي صُلْحِ أَهْلِ الشَّامِ وَلِأَنَّ الدِّينَارَ مَعْلُومٌ يَعُمُّ نَفْعُهُ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَسْقُطَ بِالضَّيَافَةِ الَّتِي يَخُصُّ نَفْعُهَا وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ كَثِيرٍ مِنَ الْبَصْرِيِّينَ يَجُوزُ الِاقْتِصَارُ عَلَيْهَا إِذَا لَمْ يبدلوا الدِّينَارَ مَعَهَا إِذَا كَانَ مَبْلَغُهَا فِي السُّنَّةِ مَعْلُومًا قَدْرُ الدِّينَارِ فَمَا زَادَ لِأَنَّ الضِّيَافَةَ جِزْيَةٌ فَلَمْ يَلْزَمْ أَنْ يَجْمَعَ عَلَيْهِمْ بَيْنَ جزيئين كما يلزم في نصارى بني تغلب حين وَلِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يُصَالَحُوا عَلَى الدِّينَارِ دُونَ الضِّيَافَةِ جَازَ أَنْ يُصَالَحُوا عَلَى الضِّيَافَةِ دُونَ الدِّينَارِ فَعَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ يَجُوزُ أَنْ يُشْتَرَطَ عَلَيْهِمْ ضِيَافَةُ مَنْ يَمُرُّ بِهِمْ وَإِنْ لَمْ يُعْلَمْ عَدَدُهُمْ فِي جَمِيعِ السَّنَةِ وَإِنْ لَمْ يَمُرَّ بِهِمْ أَحَدٌ لَمْ يُؤْخَذْ مِنْهُمْ ثَمَنُ الضِّيَافَةِ وَعَلَى الْوَجْهِ الثَّانِي لَا يَصِحُّ حَتَّى يُعْلَمَ عَدَدُ الْأَضْيَافِ فِي جَمِيعِ السَّنَةِ وَإِنْ لَمْ يَمُرَّ بِهِمْ أَحَدٌ أَوْ مَرَّ بِهِمْ بَعْضُ الْعَدَدِ حُوسِبُوا وَأُخِذَ مِنْهُمْ ثَمَنُ ضِيَافَةِ مَنْ بَقِيَ فَيَكُونُ الْفَرْقُ بَيْنَ الْوَجْهَيْنِ مِنْ وَجْهَيْنِ أَحَدُهُمَا جَوَازُهُ عَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ وَإِنْ لَمْ يُعْلَمْ عَدَدُهُمْ فِي جَمِيعِ السَّنَةِ وَلَا يَجُوزُ عَلَى الْوَجْهِ الثَّانِي حَتَّى يُعْلَمَ عَدَدُهُمْ فِي جَمِيعِ السَّنَةِ وَالثَّانِي أَنْ لَا يُؤْخَذَ مِنْهُمْ عَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ قِيمَةُ الضِّيَافَةِ إِنْ تَأَخَّرَ الْأَضْيَافُ وَتُؤْخَذَ مِنْهُمْ عَلَى الْوَجْهِ الثَّانِي قِيمَتُهَا إِنْ تَأَخَّرُوا

Pendapat pertama, yang merupakan pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, Abu Ali bin Abi Hurairah, dan mayoritas ulama Baghdad, menyatakan bahwa tidak boleh (dikenakan jizyah) kecuali setelah dinar, karena Rasulullah ﷺ membuat perjanjian dengan penduduk Ailah atas dua hal tersebut, demikian pula Umar dalam perjanjian dengan penduduk Syam. Selain itu, dinar adalah sesuatu yang diketahui dan manfaatnya bersifat umum, sehingga tidak boleh digugurkan dengan kewajiban menjamu tamu yang manfaatnya khusus. Pendapat kedua, yang merupakan pendapat banyak ulama Basrah, membolehkan mencukupkan dengan jamuan saja jika tidak digabungkan dengan dinar, selama jumlahnya dalam setahun diketahui setara dengan kadar dinar atau lebih, karena jamuan itu adalah bagian dari jizyah, sehingga tidak wajib menggabungkan dua jenis jizyah atas mereka sebagaimana yang diwajibkan kepada Nasrani Bani Taghlib. Selain itu, jika boleh membuat perjanjian atas dinar tanpa jamuan, maka boleh pula membuat perjanjian atas jamuan tanpa dinar. Menurut pendapat pertama, boleh disyaratkan kepada mereka untuk menjamu siapa saja yang melewati mereka, meskipun jumlahnya dalam setahun tidak diketahui; dan jika tidak ada seorang pun yang melewati mereka, maka tidak diambil dari mereka biaya jamuan. Sedangkan menurut pendapat kedua, tidak sah kecuali jumlah tamu dalam setahun diketahui; dan jika tidak ada seorang pun yang melewati mereka atau hanya sebagian yang melewati, maka mereka tetap diperhitungkan dan diambil dari mereka biaya jamuan untuk yang tersisa. Maka perbedaan antara kedua pendapat ini ada pada dua hal: pertama, menurut pendapat pertama boleh meskipun jumlahnya dalam setahun tidak diketahui, sedangkan menurut pendapat kedua tidak boleh kecuali jumlahnya dalam setahun diketahui; kedua, menurut pendapat pertama tidak diambil dari mereka biaya jamuan jika para tamu terlambat datang, sedangkan menurut pendapat kedua diambil dari mereka biayanya jika para tamu terlambat.

فَصْلٌ

Fasal

وَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّانِي وَهُوَ مَنْ يُشْتَرَطُ لَهُ مِنَ الْأَضْيَافِ فَهُمْ أَهْلُ الْفَيْءِ مِنَ الْمُجْتَازِينَ بِهِمْ دُونَ الْمُقِيمِينَ بَيْنَهُمْ لِأَنَّ الضِّيَافَةَ جِزْيَةٌ وَالْجِزْيَةَ لِأَهْلِ القيء خاصة فعلى هذا تكون مقصورة على الجيش الْمُجَاهِدِينَ خَاصَّةً أَوْ تَكُونُ لَهُمْ وَلِغَيْرِهِمْ مِنْ أَهْلِ الْفَيْءِ عَلَى قَوْلَيْنِ مِنْ مَصْرِفِ مَالِ الْفَيْءِ هَلْ يَخْتَصُّ بِالْجَيْشِ أَوْ يَعُمُّ جَمِيعَ أَهْلِ الْفَيْءِ؟ فَإِنْ شُرِطَتِ الضِّيَافَةُ لِغَيْرِ أَهْلِ الْفَيْءِ مِنْ تُجَّارِ الْمُسْلِمِينَ وَجَمِيعِ السابَلَةِ جَازَ عَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ إِذَا قِيلَ إِنَّهَا تُشْتَرَطُ بَعْدَ الدِّينَارِ وَلَمْ تَجُزْ عَلَى الْوَجْهِ الثَّانِي إِذَا قِيلَ إنه يَجُوزُ الِاقْتِصَارُ عَلَيْهَا وَحْدَهَا فَإِنْ أَرَادَ الضَّيْفُ أَنْ يَأْخُذَ مِنْهُمْ قَدْرَ ضِيَافَتِهِ وَلَا يَأْكُلَ مِنْ عِنْدِهِمْ نُظِرَ فَإِنْ طَالَبَهُمْ بِثَمَنِ الضِّيَافَةِ لَمْ يَلْزَمْهُمْ دَفْعُهُ وَإِنْ طَالَبَهُمْ بِطَعَامِ الضِّيَافَةِ لَزِمَهُمْ دَفْعُهُ وَفَارَقَ مَا أُبِيحُ مِنْ أَكْلِ طَعَامِ الْوَلَائِمِ الَّذِي لَا يَجُوزُ أَخْذُهُ لِأَنَّ هَذِهِ مُعَاوَضَةٌ وَالْوَلِيمَةُ مَكْرُمَةٌ وَلَا يُطَالِبُهُمْ بِطَعَامِ الْأَيَّامِ الثَّلَاثَةِ فِي الْأَوَّلِ منها لأنه مؤجل فيها فلا يطالبوا بِهِ قَبْلَ حُلُولِهِ وَيُطَالِبُ فِي كُلِّ يَوْمٍ بِقَدْرِ ضِيَافَتِهِ فَإِنْ لَمْ يُطَالِبْ بِضِيَافَةِ الْيَوْمِ حَتَّى مَضَى لَمْ يَجُزْ أَنْ يُطَالِبَهُمْ بِهِ عَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ إِذَا جُعِلَ تَبَعًا لِلدِّينَارِ وَجَازَ أَنْ يُطَالِبَهُمْ بِهِ عَلَى الْوَجْهِ الثَّانِي إِذَا جُعِلَ مَقْصُودًا كَالدِّينَارِ

Adapun bagian kedua, yaitu tentang siapa saja dari para tamu yang disyaratkan untuknya (kewajiban) ini, maka mereka adalah Ahl al-Fay’ dari orang-orang yang melewati mereka, bukan dari kalangan yang menetap di antara mereka. Sebab, dhiyāfah (jamuan) adalah bagian dari jizyah, dan jizyah itu khusus untuk Ahl al-Fay’. Berdasarkan hal ini, maka kewajiban tersebut terbatas hanya untuk tentara mujahidin saja, atau bisa juga berlaku untuk mereka dan selain mereka dari Ahl al-Fay’, menurut dua pendapat tentang penyaluran harta al-fay’: apakah khusus untuk tentara atau mencakup seluruh Ahl al-Fay’? Jika dhiyāfah disyaratkan untuk selain Ahl al-Fay’ dari para pedagang Muslim dan seluruh musafir, maka hal itu dibolehkan menurut pendapat pertama jika dikatakan bahwa kewajiban itu disyaratkan setelah dinar, dan tidak dibolehkan menurut pendapat kedua jika dikatakan boleh mencukupkan hanya dengan dhiyāfah saja. Jika tamu ingin mengambil dari mereka sejumlah hak jamuannya dan tidak makan dari mereka, maka dilihat: jika ia menuntut mereka untuk membayar harga jamuan, mereka tidak wajib membayarnya; namun jika ia menuntut mereka untuk makanan jamuan, maka mereka wajib memberikannya. Hal ini berbeda dengan makanan walimah yang dihalalkan untuk dimakan, namun tidak boleh diambil, karena ini adalah bentuk mu’āwadah (timbal balik), sedangkan walimah adalah bentuk pemuliaan. Ia tidak boleh menuntut mereka untuk makanan tiga hari pertama, karena pada hari-hari itu masih ditangguhkan, sehingga tidak boleh menuntutnya sebelum waktunya tiba. Ia boleh menuntut setiap hari sesuai kadar jamuannya. Jika ia tidak menuntut jamuan hari itu hingga hari berlalu, maka tidak boleh menuntutnya menurut pendapat pertama jika dhiyāfah dijadikan sebagai tambahan dari dinar, dan boleh menuntutnya menurut pendapat kedua jika dhiyāfah dijadikan tujuan utama seperti dinar.

وَلَوْ تَكَاثَرَ أَهْلُ الذِّمَّةِ عَلَى ضَيْفٍ تَنَازَعُوهُ كَانَ الْخِيَارُ إِلَى الضَّيْفِ دُونَ الْمُضِيفِ فِي نُزُولِهِ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْهُمْ بِغَيْرِ قُرْعَةٍ وَلَوْ تَكَاثَرَ الْأَضْيَافُ عَلَى الْمُضِيفِ كَانَ الْخِيَارُ إِلَى الْمُضِيفِ دُونَ الأضياف إلى أن يقصد عَدَدُ أَهْلِ النَّاحِيَةِ عَنْ إِضَافَةِ جَمِيعِهِمْ فَيُقْرَعَ بَيْنَهُمْ وَيُضِيفُ كُلُّ وَاحِدِ مِنْهُمْ مَنْ قَرَعَ وَالْأَوْلَى أَنْ يَكُونَ لِلْأَضْيَافِ عَرِّيفٌ يَكُونُ هُوَ الْمُرَتِّبَ لَهُمْ لِيَنْقَطِعَ التَّنَازُعُ بَيْنَهُمْ

Jika para ahludz-dzimmah beramai-ramai memperebutkan seorang tamu, maka hak memilih ada pada tamu, bukan pada tuan rumah, untuk menetap di rumah siapa pun yang ia kehendaki di antara mereka tanpa undian. Namun jika para tamu yang beramai-ramai mendatangi tuan rumah, maka hak memilih ada pada tuan rumah, bukan pada para tamu, sampai jumlah penduduk daerah tersebut tidak mampu lagi menjamu semuanya, maka diadakan undian di antara mereka, dan masing-masing menjamu tamu yang namanya keluar dalam undian. Yang lebih utama adalah agar para tamu memiliki seorang ‘arif (ketua) yang mengatur mereka, sehingga perselisihan di antara mereka dapat dihindari.

فَصْلٌ

Fasal

وَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّالِثُ فِي بَيَانِ الضِّيَافَةِ فَيُعْتَبَرُ فِيهَا ثَلَاثَةُ شُرُوطٍ

Adapun bagian ketiga adalah penjelasan tentang diyafah (menjamukan tamu), yang di dalamnya dipertimbangkan tiga syarat.

أَحَدُهَا عَدَدُ الْأَضْيَافِ

Salah satunya adalah jumlah tamu.

وَالثَّانِي أَيَّامُ الضِّيَافَةِ

Yang kedua adalah hari-hari jamuan.

وَالثَّالِثُ قَدْرُ الضِّيَافَةِ

Yang ketiga adalah kadar (batas) jamuan.

فَأَمَّا الشَّرْطُ الْأَوَّلُ فِي عَدَدِ الْأَضْيَافِ فَهُوَ أَنْ يُشْتَرَطَ عَلَى الْمُوسِرِ مَا اسْتَقَرَّ عَلَيْهِ مِنْ خَمْسَةٍ إِلَى عَشَرَةٍ وَعَلَى الْمُتَوَسِّطِ مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَى خَمْسَةٍ بِحَسَبِ مَا يَقَعُ عَلَيْهِ التَّرَاضِي لِيُضِيفَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمُ الْقَدْرَ الْمَشْرُوطَ عَلَيْهِ فِي يَسَارِهِ وَتَوَسُّطِهِ فَإِنْ سَوَّى بَيْنِ الْمُوسِرِ وَالْمُتَوَسِّطِ فِي عَدَدِ الْأَضْيَافِ جَازَ مَعَ الْمُرَاضَاةِ كَمَا يَجُوزُ أَنْ يُسَوَّى بَيْنَهُمْ فِي دِينَارِ الْجِزْيَةِ فَإِنْ شَرَطَ عَلَى جَمِيعِ النَّاحِيَةِ عَدَدًا مِنَ الْأَضْيَافِ كَأَنَّهُ شَرَطَ عَلَى النَّاحِيَةِ ضِيَافَةَ أَلْفِ رَجُلٍ جَازَ وَاجْتَمَعُوا عَلَى تَقْسِيطِ الْأَلْفِ بَيْنَهُمْ عَلَى مَا يُنْفِقُونَ عَلَيْهِ مِنْ تُفَاضِلٍ أَوْ تَسَاوٍ فَإِنِ اخْتَلَفُوا وَتَنَازَعُوا إِلَيْنَا قُسِّطَتْ بَيْنَهُمْ عَلَى التَّسَاوِي دُونَ التَّفَاضُلِ فَإِنْ كَانَتْ لَهُمْ جِزْيَةُ رؤوس تَفَاضَلُوا فِيهَا فَفِي اعْتِبَارِ الضِّيَافَةِ بِهَا وَجْهَانِ

Adapun syarat pertama dalam jumlah tamu adalah bahwa kepada orang yang mampu disyaratkan jumlah yang telah disepakati, yaitu antara lima sampai sepuluh orang, dan kepada orang yang pertengahan (kemampuannya) antara tiga sampai lima orang, sesuai dengan kesepakatan yang terjadi, agar masing-masing dari mereka menjamu tamu sesuai kadar yang telah disyaratkan berdasarkan kemampuan dan tingkat kecukupannya. Jika disamakan antara orang yang mampu dan yang pertengahan dalam jumlah tamu, maka hal itu boleh dengan adanya kerelaan, sebagaimana boleh juga disamakan di antara mereka dalam jumlah dinar jizyah. Jika disyaratkan kepada seluruh wilayah jumlah tamu tertentu, misalnya disyaratkan kepada suatu wilayah untuk menjamu seribu orang, maka hal itu boleh, dan mereka berkumpul untuk membagi seribu tamu itu di antara mereka sesuai dengan apa yang mereka sepakati, baik dengan perbedaan maupun persamaan. Jika mereka berselisih dan membawa perkara itu kepada kami, maka pembagiannya dilakukan secara merata tanpa perbedaan. Jika mereka memiliki jizyah kepala yang berbeda-beda, maka mereka juga berbeda dalam hal itu, dan dalam mempertimbangkan jamuan tamu berdasarkan hal tersebut terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يَتَفَاضَلُونَ فِي الضِّيَافَةِ بِحَسَبِ تَفَاضُلِهِمْ فِي جزية الرؤوس إِذَا جُعِلَتِ الضِّيَافَةُ تَبَعًا

Salah satunya adalah mereka saling berbeda dalam hal kewajiban menjamu tamu sesuai dengan perbedaan mereka dalam pembayaran jizyah kepala, jika kewajiban menjamu tamu itu dijadikan sebagai turunan dari jizyah.

وَالثَّانِي يَتَسَاوَوْنَ فِي الضِّيَافَةِ وَإِنْ تَفَاضَلُوا فِي الْجِزْيَةِ إِذَا جُعِلَتِ الضِّيَافَةُ أَصْلًا

Yang kedua, mereka disamakan dalam hal kewajiban menjamu tamu, meskipun mereka berbeda dalam pembayaran jizyah, jika kewajiban menjamu tamu dijadikan sebagai ketentuan pokok.

وَأَمَّا الشَّرْطُ الثَّانِي فِي أَيَّامِ الضِّيَافَةِ فَالْعُرْفُ وَالشَّرْعُ فِيهَا لِكُلِّ ضَيْفٍ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ أَمَّا الْعُرْفُ فَمَشْهُورٌ فِي النَّاسِ تَقْدِيرُهَا بِالثَّلَاثِ

Adapun syarat kedua pada hari-hari menjamu tamu, maka menurut ‘urf dan syariat, bagi setiap tamu adalah tiga hari. Adapun menurut ‘urf, telah masyhur di kalangan masyarakat penetapannya selama tiga hari.

وَأَمَّا الشَّرْعُ فَلِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ

Adapun dalil syariat adalah berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

الضِّيَافَةُ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ وَمَا زَادَ عَلَيْهَا مَكْرُمَةٌ

Menjamu tamu itu selama tiga hari, dan selebihnya adalah bentuk kemuliaan.

وَرُوِيَ ” صَدَقَةٌ ” وَلِأَنَّ الضِّيَافَةَ مُسْتَحَقَّةٌ لِلْمُسَافِرِ وَمُقَامُهُ فِي سَفَرِهِ ثَلَاثٌ وَمَا زَادَ عَلَيْهَا مُغَيِّرٌ لحكم السفر إلى الإقاة وَالضِّيَافَةُ لَا يَسْتَحِقُّهَا مُقِيمٌ فَإِنْ زَادَ فِي الشرط عَلَى ثَلَاثٍ أَوْ نَقَصَ مِنْهَا كَانَ الشَّرْطُ أَحَقَّ مِنْ مُطْلَقِ الشَّرْعِ وَالْعُرْفِ وَيَذْكَرُ عَدَدَ أَيَّامِ الضِّيَافَةِ فِي السَّنَةِ أَنَّهَا مِائَةُ يَوْمٍ أَوْ أَقَلُّ أَوْ أَكْثَرُ لِيَكُونَ أَنْفَى لِلْجَهَالَةِ فَإِنْ لَمْ يَذْكُرْ عَدَدَ الضِّيَافَةِ وَأَيَّامَهَا فِي السَّنَةِ وَاقْتَصَرَ عَلَى ذِكْرِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ عِنْدَ قُدُومِ كُلِّ قَوْمٍ كَانَ عَلَى الْوَجْهَيْنِ فِي الضِّيَافَةِ

Diriwayatkan juga dengan lafaz “sedekah”. Karena jamuan (ḍiyāfah) merupakan hak yang diberikan kepada musafir, sedangkan masa tinggalnya dalam safar adalah tiga hari, dan selebihnya dari itu mengubah hukum safar menjadi hukum mukim. Jamuan (ḍiyāfah) tidak menjadi hak bagi orang yang bermukim. Jika dalam syarat disebutkan lebih dari tiga hari atau kurang darinya, maka syarat tersebut lebih diutamakan daripada ketentuan umum syariat dan ‘urf (kebiasaan). Jumlah hari jamuan dalam setahun disebutkan, misalnya seratus hari, atau kurang, atau lebih, agar lebih menghilangkan ketidakjelasan. Jika tidak disebutkan jumlah jamuan dan hari-harinya dalam setahun, dan hanya disebutkan tiga hari setiap kali kedatangan suatu kaum, maka terdapat dua pendapat mengenai jamuan (ḍiyāfah) tersebut.

أَحَدُهُمَا يَجُوزُ إِذَا جُعِلَتْ تَبَعًا وَالثَّانِي لَا يَجُوزُ إِذَا جُعِلَتْ أَصْلًا

Salah satunya boleh jika dijadikan sebagai pengikut, dan yang kedua tidak boleh jika dijadikan sebagai pokok.

وَأَمَّا الشَّرْطُ الثَّالِثُ فَهُوَ قَدْرُ الضِّيَافَةِ فَمُعْتَبَرَةٌ مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ

Adapun syarat ketiga adalah kadar jamuan, maka hal itu dipertimbangkan dari tiga aspek.

أَحَدُهَا جِنْسُ الطَّعَامِ وَذَلِكَ غَالِبُ أَقْوَاتِهِمْ مِنَ الْخُبْزِ وَالْأُدْمِ فَإِنْ كَانُوا يَقْتَاتُونَ الْحِنْطَةَ ويتأدمون باللحم فإن عليهم يُضِيفُوهُمْ بِخُبْزِ الْحِنْطَةِ وَأُدْمِ اللَّحْمِ

Salah satunya adalah jenis makanan, yaitu makanan pokok mereka yang umumnya berupa roti dan lauk. Jika mereka biasa mengonsumsi gandum dan lauknya adalah daging, maka mereka wajib menjamu tamu dengan roti gandum dan lauk daging.

وَإِنْ كَانُوا يَقْتَاتُونَ الشَّعِيرَ وَيَتَأَدَّمُونَ بِالْأَلْبَانِ أَضَافُوهُمْ مِنْهُ أَوْ بِمَا سِوَى ذَلِكَ مِمَّا هُوَ غَالِبُ قُوتِهِمْ وَإِدَامِهِمْ وَإِنْ كَانَتْ لَهُمْ ثِمَارٌ وَفَوَاكِهُ يَأْكُلُونَهَا غَالِبًا فِي كُلِّ يَوْمٍ شَرَطَهَا عَلَيْهِمْ فِي زَمَانِهَا وَلَيْسَ لِلْأَضْيَافِ أَنْ يُكَلِّفُوهُمْ مَا لَيْسَ بِغَالِبٍ مِنْ أَقْوَاتِهِمْ وَإِدَامِهِمْ وَلَا ذَبْحَ حُمْلَانِهِمْ وَدَجَاجِهِمْ وَلَا الْفَوَاكِهَ النَّادِرَةَ وَالْحَلْوَى الَّتِي لَا تُؤْكَلُ فِي يَوْمٍ غَالِبًا وَلَا مَا لَمْ يَتَضَمَّنْهُ شَرْطُ صُلْحِهِمْ

Jika mereka biasa mengonsumsi gandum jelai dan menjadikan susu sebagai lauk, maka mereka menambahkan (untuk tamu) dari bahan tersebut atau dari selainnya yang merupakan makanan pokok dan lauk utama mereka. Jika mereka memiliki buah-buahan dan makanan manis yang biasa mereka makan hampir setiap hari, maka hal itu juga disyaratkan atas mereka pada musimnya. Namun, para tamu tidak boleh membebani mereka dengan sesuatu yang bukan merupakan makanan pokok dan lauk utama mereka, seperti menyembelih anak domba, ayam, buah-buahan langka, atau makanan manis yang tidak biasa dimakan setiap hari, serta sesuatu yang tidak tercantum dalam syarat perdamaian mereka.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي مِقْدَارُ الطَّعَامِ وَالْإِدَامِ وَلِلطَّعَامِ فِي الشَّرْعِ أَصْلٌ أَكْثَرُهُ ” مُدَّانِ ” مِنْ حَبٍّ فِي فِدْيَةِ الْأَذَى وَأَقَلُّهُ ” مُدٌّ ” فِي كَفَّارَةِ الْأَيْمَانِ لِأَنَّهُ لَيْسَ يَحْتَاجُ أَحَدٌ فِي الْأَغْلَبِ إِلَى أَكْثَرَ مِنْ ” مُدَّيْنِ ” وَلَا يَقْتَنِعُ فِي الْأَغْلَبِ بِأَقَلَّ مِنْ ” مُدٍّ ” و ” الْمُدُّ ” رِطْلٌ وَثُلُثٌ وَيَكُونُ خُبْزُهُ رَطْلَيْنِ وَالْمُدَّانِ أَرْبَعَةُ أَرْطَالٍ خُبْزًا

Adapun aspek kedua adalah takaran makanan dan lauk-pauk. Dalam syariat, makanan memiliki ketentuan asal, yang paling banyak adalah “dua mud” dari biji-bijian pada fidyah karena gangguan, dan yang paling sedikit adalah “satu mud” pada kafarat sumpah. Sebab, umumnya seseorang tidak membutuhkan lebih dari “dua mud”, dan biasanya tidak cukup dengan kurang dari “satu mud”. Satu mud setara dengan satu rithl dan sepertiga, dan jika dijadikan roti menjadi dua rithl, sedangkan dua mud menjadi empat rithl roti.

فَأَمَّا الْإدَامُ فَلَا أَصْلَ لَهُ فِي الشَّرْعِ فَيَكُونُ مِقْدَارُهُ مُعْتَبَرًا بِالْعُرْفِ الْغَالِبِ يَشْرِطُ لِكُلِّ ضَيْفٍ مِنَ الْخُبْزِ كَذَا فَإِنْ ذَكَرَ أَقَلَّ مِنْ رِطْلَيْنِ لَمْ يَقْتَنِعْ وَإِنْ ذَكَرَ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعَةٍ لَمْ يَحْتَجْ إِلَيْهَا وَلَوْ شَرَطَ ثَلَاثَةً كَانَ وَسَطًا وَيَذْكُرُ جِنْسَ الْإِدَامِ وَمِقْدَارَهُ لِلضَّيْفِ فِي كُلِّ يَوْمٍ وإن كانت له دواب ذكر ما يعلقه الْوَاحِدُ مِنْهَا فِي كُلِّ يَوْمٍ مِنَ التِّبْنِ وَالْقَتِّ وَالشَّعِيرِ بِمِقْدَارٍ كَافٍ لَا سَرَفَ فِيهِ ولا تقتير فإن شرط علفها وأطلقه علقت التِّبْنَ وَالْقَتَّ وَلَا يَلْزَمُهُمْ لِلْأَضْيَافِ أُجْرَةُ حَمَّامٍ وَلَا طَبِيبٍ وَيُشْتَرَطُ عَلَيْهِمْ أَنَّ مَنِ انْقَطَعَ مَرْكُوبُهُ حَمَلُوهُ إِلَى أَقْرَبِ بِلَادِ الضِّيَافَةِ لَهُمْ فَإِنْ لَمْ يُشْتَرَطْ عَلَيْهِمْ لَمْ يَلْزَمْهُمْ

Adapun lauk-pauk, tidak ada asal hukumnya dalam syariat, sehingga kadarnya ditentukan berdasarkan ‘urf (kebiasaan) yang berlaku. Disyaratkan untuk setiap tamu roti sejumlah tertentu; jika disebutkan kurang dari dua rithl maka tidak mencukupi, dan jika disebutkan lebih dari empat rithl maka tidak diperlukan sebanyak itu. Jika disyaratkan tiga rithl, itu adalah pertengahan. Disebutkan pula jenis lauk-pauk dan kadarnya untuk tamu setiap hari. Jika ia memiliki hewan tunggangan, disebutkan pula apa yang diberikan kepada masing-masing hewan setiap hari berupa jerami, rumput kering, dan jelai dengan kadar yang cukup, tidak berlebihan dan tidak pula kekurangan. Jika disyaratkan pemberian pakan dan tidak dirinci, maka diberikan jerami dan rumput kering. Tidak wajib bagi mereka (tuan rumah) untuk membayar biaya pemandian atau dokter bagi para tamu. Disyaratkan pula kepada mereka bahwa jika kendaraan salah satu tamu rusak, mereka harus mengantarnya ke negeri terdekat yang menyediakan layanan tamu bagi mereka. Jika tidak disyaratkan demikian, maka tidak wajib atas mereka.

وَالْوَجْهُ الثالث السكن لحاجتهم إليه ب فِي الْحَرِّ وَالْبَرْدِ فَيُشْتَرَطُ عَلَيْهِمْ أَنْ يُسَكِّنُوهُمْ مِنْ فُضُولِ مَنَازِلِهِمْ وَكَنَائِسِهِمْ وَبِيَعِهِمْ لِيَكِنُّوا فِيهَا مِنْ حَرٍّ وَبَرْدٍ وَكَذَلِكَ لِدَوَابِّهِمْ وَقَدْ كَتَبَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى الشَّامِ أَنْ يُؤْخَذَ أَهْلُ الذِّمَّةِ بِتَوْسِيعِ أَبْوَابِ كَنَائِسِهِمْ وَبِيَعِهِمْ لِيَدْخُلَهَا الرَّاكِبُ إِذَا نَزَلَهَا وَلَيْسَ لِلْأَضْيَافِ إِخْرَاجُهُمْ مِنْ مَسَاكِنِهِمْ إِذَا نَزَلُوا عَلَيْهِمْ وَإِنْ ضَاقَتْ بِهِمْ

Adapun alasan ketiga adalah tempat tinggal, karena mereka membutuhkannya untuk berlindung dari panas dan dingin. Maka disyaratkan atas mereka agar memberikan tempat tinggal kepada tamu dari kelebihan rumah, gereja, dan biara mereka, agar tamu tersebut dapat berlindung di dalamnya dari panas dan dingin, begitu pula untuk hewan tunggangan mereka. Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah menulis surat ke Syam agar penduduk dzimmi diperintahkan untuk memperluas pintu-pintu gereja dan biara mereka, supaya orang yang berkendara dapat memasukinya ketika singgah di sana. Namun, para tamu tidak berhak mengusir mereka dari tempat tinggal mereka jika para tamu singgah di sana, meskipun tempat itu menjadi sempit bagi mereka.

وَيُثْبِتُ الْإِمَامُ مَا اسْتَقَرَّ مِنْ صُلْحِ هَذِهِ الضِّيَافَةِ فِي دِيوَانِ كُلِّ بَلَدٍ مِنْ بِلَادِ الضِّيَافَةِ لِيَأْخُذَهُمْ عَامِلُ ذَلِكَ الْبَلَدِ بِمُوجِبِهِ ثُمَّ يُثْبِتُهُ فِي الدِّيوَانِ الْعَامِّ لِثُبُوتِ الْأَمْوَالِ كُلِّهَا لِيُرْفَعَ إِلَيْهِ عِنْدَ الْحَاجَةِ إِذَا تَنَازَعَ فِيهِ الْمُسْلِمُونَ وَأَهْلُ الذِّمَّةِ وَإِنْ فُقِدَ الدِّيوَانُ وَلَمْ يُعْرَفْ فِيهِ مَا صُولِحُوا عَلَيْهِ عَمِلَ مَا يَشْهَدُ بِهِ شَاهِدَانِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُمْ شَهَادَةٌ قُبِلَ فِيهِ قَوْلُ أَهْلِ الذِّمَّةِ إِقْرَارًا لَا خَبَرًا وَلَا شَهَادَةً فَإِنْ عَمِلَ عَلَى قَوْلِهِمْ فِيهَا ثُمَّ بَانَ لَهُ زِيَادَةٌ رَجَعَ عليهم بها

Imam mencatat kesepakatan yang telah tetap dari perdamaian terkait pajak tamu ini dalam diwan (catatan administrasi) setiap negeri dari negeri-negeri yang menerima tamu, agar pejabat negeri tersebut dapat memungutnya berdasarkan catatan itu. Kemudian, imam juga mencatatnya dalam diwan umum untuk mencatat seluruh harta, agar dapat diangkat kepadanya ketika diperlukan jika terjadi perselisihan antara kaum Muslimin dan ahludz-dzimmah. Jika diwan itu hilang dan tidak diketahui apa yang telah disepakati, maka digunakan kesaksian dua orang Muslim. Jika mereka tidak memiliki saksi, maka diterima pengakuan dari ahludz-dzimmah, bukan sebagai berita atau kesaksian, melainkan sebagai pengakuan. Jika telah dijalankan berdasarkan pengakuan mereka, lalu kemudian diketahui ada kelebihan, maka kelebihan itu diambil kembali dari mereka.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَلَا يُؤْخَذُ مِنِ امْرَأَةٍ وَلَا مَجْنُونٍ حَتَّى يَفِيقَ وَلَا مَمْلُوكٍ حَتَّى يَعْتِقَ وَلَا صَبِيٍّ حَتَّى يَنْبُتَ الشَعْرُ تَحْتَ ثِيَابِهِ أَوْ يَحْتَلِمَ أَوْ يَبْلُغَ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً فَيَلْزَمُهُ الْجِزْيَةُ كَأَصْحَابِهِ “

Syafi‘i berkata, “Tidak diambil (jizyah) dari perempuan, tidak pula dari orang gila sampai ia sadar, tidak dari budak sampai ia merdeka, dan tidak dari anak-anak sampai tumbuh rambut di bawah pakaiannya, atau ia bermimpi basah, atau mencapai usia lima belas tahun, maka ketika itu wajib atasnya jizyah sebagaimana atas orang-orang lain.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ ذَكَرَ الشَّافِعِيُّ فِيمَنْ تَسْقُطُ الْجِزْيَةُ عَنْهُ أَرْبَعَةَ أَصْنَافٍ النِّسَاءَ وَالْمَجَانِينَ وَالْعَبِيدَ وَالصِّبْيَانَ

Al-Mawardi berkata: Asy-Syafi‘i menyebutkan bahwa di antara golongan yang gugur kewajiban jizyah atas mereka ada empat golongan: perempuan, orang gila, budak, dan anak-anak.

فَأَمَّا النِّسَاءُ فَلَا جِزْيَةَ عَلَيْهِمْ لِخُرُوجِهِنَّ عَنِ الْمُقَاتِلَةِ وَتَحْرِيمِ قَتْلِهِنَّ عِنْدَ السَّبْيِ وَاللَّهُ تَعَالَى يَقُولُ قَاتِلُوا الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَهُنَّ غَيْرُ مُقَاتِلَاتٍ وَقَدْ مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي بَعْضِ غَزَوَاتِهِ بِامْرَأَةٍ مَقْتُولَةٍ فَقَالَ ” مَا بَالُ هَذِهِ تُقْتَلُ وَهِيَ لَا تُقَاتِلُ ” فَلِذَلِكَ قُلْنَا إِنَّهُ لَا جِزْيَةَ عَلَيْهَا سَوَاءٌ كَانَتْ ذَاتَ زَوْجٍ يُؤَدِّي الْجِزْيَةَ أَوْ كَانَتْ خَالِيَةً لَا تَتْبَعُ رَجُلًا وَهَكَذَا الْخُنْثَى الْمُشْكِلُ لَا جِزْيَةَ عَلَيْهِ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ امْرَأَةً فَلَوْ بَذَلَتِ امْرَأَةٌ مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ الْجِزْيَةَ عَنْ نَفْسِهَا لَمْ يَلْزَمْ لِخُرُوجِهَا مِنْ أَهْلَ الْجِزْيَةِ فَإِنْ دَفَعَتْهَا مُخْتَارَةً جَازَ قَبُولُهَا مِنْهَا وَتَكُونُ هَدِيَّةً لَا جِزْيَةً فَإِنِ امْتَنَعَتْ مِنْ إِقْبَاضِهَا لَمْ تُجْبَرْ عَلَى دَفْعِهَا لِأَنَّ الْهَدَايَا لَا إِجْبَارَ فِيهَا وَإِذَا نَزَلَ جَيْشُ الْمُسْلِمِينَ حِصْنًا فَبَذَلَ نِسَاؤُهُ الْجِزْيَةَ لَمْ يَخْلُ حَالُهُنَّ مِنْ أَمْرَيْنِ

Adapun perempuan, maka tidak ada jizyah atas mereka karena mereka tidak termasuk golongan yang berperang dan diharamkan membunuh mereka ketika terjadi penawanan. Allah Ta‘ala berfirman: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah,” sedangkan mereka (perempuan) bukanlah orang-orang yang berperang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati seorang perempuan yang terbunuh dalam salah satu peperangannya, lalu beliau bersabda, “Mengapa perempuan ini dibunuh padahal ia tidak ikut berperang?” Oleh karena itu, kami katakan bahwa tidak ada jizyah atas perempuan, baik ia memiliki suami yang membayar jizyah maupun ia seorang diri yang tidak mengikuti laki-laki. Demikian pula khuntsa musykil, tidak ada jizyah atasnya karena mungkin saja ia adalah perempuan. Jika seorang perempuan dari kalangan ahludz-dzimmah menawarkan jizyah atas dirinya sendiri, maka itu tidak wajib diterima karena ia bukan termasuk golongan yang dikenai jizyah. Namun, jika ia memberikannya secara sukarela, boleh diterima darinya dan itu dianggap sebagai hadiah, bukan jizyah. Jika ia menolak untuk menyerahkannya, maka ia tidak dipaksa untuk membayarnya, karena hadiah tidak ada unsur paksaan di dalamnya. Apabila pasukan kaum Muslimin mengepung sebuah benteng lalu para perempuan di dalamnya menawarkan jizyah, maka keadaan mereka tidak lepas dari dua kemungkinan.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ مَعَهُنَّ رِجَالٌ فَلَا يَصِحُّ عَقْدُ الْجِزْيَةِ مَعَهُنَّ سَوَاءٌ بَذَلْنَ الْجِزْيَةَ مِنْ أَمْوَالِهِنَّ أَوْ مِنْ أَمْوَالِ رِجَالِهِنَّ لِأَنَّهُنَّ إِنْ بَذَلْنَهَا مِنْ أَمْوَالِهِنَّ فَلَسْنَ مِنْ أَهْلِ الْجِزْيَةِ فَلَا تَلْزَمُهُنَّ وَإِنْ بَذَلْنَهَا مِنْ أَمْوَالِ رِجَالِهِنَّ لَمْ يُلْزَمِ الرِّجَالُ بِعَقْدِ غَيْرِهِمْ

Salah satunya adalah jika bersama mereka terdapat laki-laki, maka tidak sah akad jizyah dengan mereka, baik mereka membayar jizyah dari harta mereka sendiri maupun dari harta laki-laki mereka. Sebab, jika mereka membayarnya dari harta mereka sendiri, maka mereka bukan termasuk ahl al-jizyah sehingga tidak wajib atas mereka. Dan jika mereka membayarnya dari harta laki-laki mereka, maka laki-laki tersebut tidak dibebani dengan akad yang dilakukan oleh selain mereka.

وَالثَّانِي أَنْ يَنْفَرِدَ النِّسَاءُ فِي الْحِصْنِ عَنْ رَجُلٍ مُخْتَلِطٍ بِهِنَّ فَفِي انْعِقَادِ الْجِزْيَةِ مَعَهُنَّ مُنْفَرِدَاتٍ قَوْلَانِ حَكَاهُمَا أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ وَأَشَارَ إِلَيْهِمَا أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ تَوْجِيهًا

Kedua, apabila para wanita berada di benteng tanpa ada seorang laki-laki pun yang bercampur dengan mereka, maka mengenai sah atau tidaknya perjanjian jizyah dengan mereka secara terpisah terdapat dua pendapat yang diriwayatkan oleh Abu Hamid al-Isfara’ini, dan Abu ‘Ali bin Abi Hurairah juga mengisyaratkan kedua pendapat tersebut sebagai penjelasan.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ لَا تَنْعَقِدُ بِهِمَا الذِّمَّةُ لَهُنَّ لِخُرُوجِهِنَّ من أهل الجزية فلم تنعقد معهم الْجِزْيَةُ فَعَلَى هَذَا يُصَمِّمُ أَمِيرُ الْجَيْشِ عَلَى حِصَارِهِنَّ حَتَّى يُسْبَيْنَ

Salah satunya adalah bahwa tidak terjalin perjanjian dzimmah bagi mereka (perempuan) karena mereka keluar dari golongan ahl al-jizyah, sehingga jizyah tidak berlaku atas mereka. Oleh karena itu, amir pasukan menetapkan untuk mengepung mereka sampai mereka menjadi tawanan.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي تَنْعَقِدُ مَعَهُنَّ الذِّمَّةُ بِمَا بَذَلْنَهُ مِنَ الْجِزْيَةِ وَيَحْرُمُ سَبْيُهُنَّ لِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ إِقْرَارُهُنَّ بِالْجِزْيَةِ تَبَعًا كَانَ إِقْرَارُهُنَّ بِمَا بَذَلْنَهُ مُنْفَرِدَاتٍ أَوْلَى فَعَلَى هَذَا هَلْ تَلْزَمُهُنَّ الْجِزْيَةُ بِبَذْلِهِنَّ أَمْ لَا عَلَى وَجْهَيْنِ أَشَارَ إِلَيْهِمَا ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ

Pendapat kedua menyatakan bahwa dzimmah dapat terjalin dengan mereka (perempuan) melalui pembayaran jizyah yang mereka berikan, dan haram memperbudak mereka, karena ketika pengakuan mereka dengan jizyah itu bersifat mengikuti (laki-laki), maka pengakuan mereka dengan apa yang mereka berikan secara mandiri lebih utama. Berdasarkan hal ini, apakah jizyah wajib atas mereka karena penyerahan mereka atau tidak, terdapat dua pendapat yang disebutkan oleh Ibnu Abi Hurairah.

أَحَدُهُمَا يَلْزَمُهُنَّ أَدَاؤُهَا بَعْدَ إِعْلَامِهِنَّ عِنْدَ عَقْدِهَا أَنَّهُنَّ مِنْ غَيْرِ أَهْلِهَا فَإِنِ امْتَنَعْنَ مِنْ بَذْلِهَا بَعْدَ لُزُومِهَا خَرَجْنَ عَنِ الذِّمَّةِ

Salah satunya adalah mereka wajib menunaikannya setelah memberitahukan kepada mereka saat akad bahwa mereka bukan dari kalangan keluarganya. Jika mereka menolak untuk memberikannya setelah kewajiban itu berlaku, maka mereka keluar dari tanggungan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهُ لَا يَلْزَمُهُنَّ أَدَاؤُهَا وَتَكُونُ كَالْهَدِيَّةِ تُؤْخَذُ مِنْهُنَّ إِذَا أَجَبْنَ إِلَيْهَا وَلَا تُؤْخَذُ إِذَا امْتَنَعْنَ مِنْهَا وَهَلْ عَلَى ذِمَّتِهِنَّ فِي حَالَتَيِ الْإِجَابَةِ وَالْمَنْعِ

Pendapat kedua adalah bahwa mereka tidak wajib membayarnya, dan itu seperti hadiah yang diambil dari mereka jika mereka menerima, dan tidak diambil jika mereka menolak. Lalu, apakah tetap menjadi tanggungan mereka baik dalam keadaan menerima maupun menolak?

وَإِذَا اجْتَمَعَ الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ فَبَذَلَ الرجال الجزية عن أنفسهم ونساءهم نُظِرَ

Apabila laki-laki dan perempuan berkumpul, lalu para laki-laki membayar jizyah untuk diri mereka sendiri dan untuk perempuan-perempuan mereka, maka hal itu perlu diteliti.

فَإِنْ بَذَلُوهَا مِنْ أَمْوَالِهِمْ جَازَ وَلَزِمَهُمْ مَا بَذَلُوهُ وَجَرَى مَجْرَى زِيَادَةٍ بَذَلُوهَا مِنْ جِزْيَتِهِمْ وَلَا يُؤْخَذُ الرِّجَالُ إِلَّا بِجِزْيَةِ أَنْفُسِهِمْ دُونَ نِسَائِهِمْ

Jika mereka menyerahkannya dari harta mereka, maka hal itu boleh dan menjadi kewajiban atas mereka apa yang telah mereka serahkan, dan hal itu berlaku seperti tambahan yang mereka berikan dari jizyah mereka. Dan laki-laki tidak diambil (jizyahnya) kecuali atas diri mereka sendiri, tidak atas perempuan-perempuan mereka.

فَصْلٌ

Fasal

وَأَمَّا الْمَجَانِينُ فَلَا جِزْيَةَ عَلَيْهِمْ لِارْتِفَاعِ الْقَلَمِ عَنْهُمْ وَأَنَّهُمْ فِي جُمْلَةِ الذَّرَارِي وَلَا يُقْتَلُ الْمَجْنُونُ إِذَا سُبِيَ هَذَا إِذَا كَانَ جُنُونُهُ مُطْبِقًا فَأَمَّا إِذَا جُنَّ فِي زَمَانٍ وَأَفَاقَ فِي زَمَانٍ فَقَدْ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ يُرَاعَى فِيهِ أَغْلَبُ حَالَتَيْهِ

Adapun orang-orang gila, maka tidak ada jizyah atas mereka karena pena (taklif) terangkat dari mereka dan mereka termasuk golongan anak-anak. Orang gila juga tidak dibunuh jika ia ditawan, yaitu jika kegilaannya terus-menerus. Adapun jika ia gila pada suatu waktu dan sadar pada waktu lain, maka menurut pendapat Abu Hanifah, yang diperhatikan adalah keadaan yang paling dominan dari keduanya.

فَإِنْ كان المجنون أَكْثَرَ فَلَا جِزْيَةَ وَإِنْ كَانَ أَقَلَّ فَعَلَيْهِ الْجِزْيَةُ

Jika kegilaan lebih banyak (dominan), maka tidak ada kewajiban jizyah; namun jika kegilaan lebih sedikit, maka tetap wajib membayar jizyah.

وَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ يُلَفَّقُ زَمَانُ الْإِفَاقَةِ قَلَّ أَوْ كَثُرَ حَتَّى يَسْتَكْمِلَ حَوْلًا فَإِنْ كَانَ يُجَنُّ يَوْمًا وَيُفِيقُ يَوْمًا أُخِذَتْ مِنْهُ جِزْيَةُ سَنَةٍ مِنْ سَنَتَيْنِ وَإِنْ كَانَ يُجَنُّ يَوْمَيْنِ وَيُفِيقُ يَوْمًا أُخِذَتْ مِنْهُ جِزْيَةُ سَنَةٍ مِنْ ثَلَاثِ سِنِينَ وَإِنْ كَانَ يُجَنُّ يَوْمًا وَيُفِيقُ يَوْمَيْنِ أُخِذَتْ مِنْهُ جِزْيَةُ سَنَةٍ مِنْ سَنَةٍ وَنِصْفٍ ثُمَّ عَلَى هَذَا الْقِيَاسِ لِأَنَّهُ لَمَّا اخْتَلَفَ حُكْمُ الْإِفَاقَةِ وَحُكْمُ الْجُنُونِ كَانَ تَمَيُّزُهَا أَوْلَى مِنْ تَغْلِيبِ أَحَدِهِمَا لِأَنَّ فِي التَّمْيِيزِ جَمْعًا بَيْنَ الْحُكْمَيْنِ وَفِي تَغْلِيبِ الْأَكْثَرِ إِسْقَاطُ أَحَدِهِمَا

Menurut mazhab Syafi‘i, masa sadar dijumlahkan, baik sedikit maupun banyak, hingga genap satu tahun. Jika seseorang mengalami gangguan jiwa sehari dan sadar sehari, maka diambil darinya jizyah satu tahun dari dua tahun. Jika ia mengalami gangguan jiwa dua hari dan sadar satu hari, maka diambil darinya jizyah satu tahun dari tiga tahun. Jika ia mengalami gangguan jiwa sehari dan sadar dua hari, maka diambil darinya jizyah satu tahun dari satu setengah tahun, dan demikian seterusnya menurut qiyās. Karena ketika hukum masa sadar dan hukum masa gangguan jiwa berbeda, maka membedakan keduanya lebih utama daripada mengunggulkan salah satunya, sebab dalam pembedaan terdapat penggabungan kedua hukum, sedangkan dalam mengunggulkan yang lebih banyak berarti menggugurkan salah satunya.

فَصْلٌ

Fasal

وَأَمَّا الْعَبِيدُ فَلَا جِزْيَةَ عَلَيْهِمْ لِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ

Adapun para budak, maka tidak ada jizyah atas mereka, berdasarkan riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda.

لَا جِزْيَةَ عَلَى الْعَبِيدِ

Tidak ada jizyah atas para budak.

وَقَالَ عُمَرُ لَا جِزْيَةَ عَلَى مَمْلُوكٍ

Umar berkata, “Tidak ada jizyah atas seorang budak.”

وَلِأَنَّهُمْ تَبَعٌ لساداتهم لوأنهم لَا يَمْلِكُونَ فَكَانُوا أَسْوَأَ حَالًا مِنَ الْفُقَرَاءِ وَلِأَنَّهُمْ مَمَالِيكُ فَكَانُوا كَسَائِرِ الْأَمْوَالِ وَكَذَا لَا جِزْيَةَ عَلَى مُدَبَّرٍ وَلَا مُكَاتَبٍ وَلَا أُمِّ وَلَدٍ لِأَنَّهُمْ عَبِيدٌ وَلَا جِزْيَةَ عَلَى مَنْ بَعْضُهُ حُرٌّ وَبَعْضُهُ مَمْلُوكٌ لِأَنَّ أَحْكَامَ الرِّقِّ عَلَيْهِ أَغْلَبُ

Karena mereka adalah pengikut tuan-tuan mereka dan mereka tidak memiliki kepemilikan, maka keadaan mereka lebih buruk daripada orang-orang fakir. Karena mereka adalah budak, maka kedudukan mereka seperti harta benda lainnya. Demikian pula, tidak ada kewajiban jizyah atas mudabbir, mukatab, maupun umm walad, karena mereka adalah budak. Tidak ada pula kewajiban jizyah atas seseorang yang sebagian dirinya merdeka dan sebagian lagi budak, karena hukum-hukum perbudakan lebih dominan atas dirinya.

وَقِيلَ إِنَّهُ يُؤَدِّي مِنَ الْجِزْيَةِ بِقَدْرِ مَا فِيهِ مِنَ الْحُرِّيَّةِ لِأَنَّهُ يُمْلَكُ بِهَا فَإِذَا عَتَقَ الْعَبْدُ عَلَى كُفْرِهِ وَكَانَ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ اسْتُؤْنِفَتْ جِزْيَتُهُ وَسَوَاءٌ أَعْتَقَهُ مُسْلِمٌ أَوْ كَافِرٌ

Dikatakan bahwa ia membayar jizyah sesuai dengan kadar kebebasan yang ada padanya, karena ia dimiliki dengannya. Maka jika seorang budak dimerdekakan dalam keadaan tetap kafir dan ia termasuk Ahlul Kitab, maka jizyahnya dimulai kembali, baik yang memerdekakannya adalah seorang Muslim maupun kafir.

وَقَالَ مَالِكٌ إِنْ أَعْتَقَهُ مُسْلِمٌ فَلَا جِزْيَةَ عَلَيْهِ لِحُرْمَةِ وَلَائِهِ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ حُرْمَةَ النَّسَبِ أَغْلَظُ وَلَا تَسْقُطُ الْجِزْيَةُ بِإِسْلَامِ الْأَبِ فَكَانَ أَوْلَى أَنْ لَا تَسْقُطَ بِإِسْلَامِ الْمُعْتِقِ لَكِنْ إِنْ كَانَ الْمُعْتِقُ مُسْلِمًا اسْتُؤْنِفَتْ جِزْيَتُهُ عَنْ مُرَاضَاةٍ وَإِنْ كَانَ مُعْتِقُهُ ذِمِّيًّا فَفِيهَا ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ

Malik berkata: Jika seorang Muslim memerdekakannya, maka tidak ada jizyah atasnya karena kehormatan hubungan wala’. Namun, pendapat ini keliru karena kehormatan hubungan nasab lebih kuat, dan jizyah tidak gugur dengan keislaman ayah, maka lebih utama jika jizyah tidak gugur dengan keislaman orang yang memerdekakannya. Akan tetapi, jika orang yang memerdekakannya adalah seorang Muslim, maka jizyahnya dimulai kembali berdasarkan kesepakatan. Dan jika yang memerdekakannya adalah seorang dzimmi, maka dalam hal ini terdapat tiga pendapat.

أَحَدُهَا أَنَّهُ يَلْزَمُهُ جِزْيَةُ مُعْتِقِهِ لِأَنَّهَا لَزِمَتْهُ بِعِتْقِهِ

Salah satunya adalah bahwa ia wajib membayar jizyah milik tuannya yang memerdekakannya, karena jizyah itu menjadi wajib atasnya disebabkan oleh pembebasannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي يَلْزَمُهُ جِزْيَةُ عَصَبَتِهِ لِأَنَّهُمْ أَخَصُّ بِمِيرَاثِهِ وَنُصْرَتِهِ

Pendapat kedua, wajib atasnya membayar jizyah untuk kerabat laki-laki dari pihak ayahnya, karena mereka lebih berhak atas warisannya dan lebih dekat dalam memberikan pertolongan kepadanya.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ أَنَّهُ لَا يَلْزَمُهُ إِلَّا مَا اسْتَأْنَفَ الصُّلْحَ عَلَيْهِ بِمُرَاضَاتِهِ لِيُفْرِدَهُ بِهَا مِنْ غَيْرِهِ فَإِنِ امتنع منها بنذر إِلَيْهِ عَهْدُهُ ثُمَّ صَارَ حُرًّا وَعَلَى الْوَجْهَيْنِ الْأَوَّلِينَ تُؤْخَذُ مِنْهُ جَبْرًا

Pendapat ketiga adalah bahwa tidak wajib atasnya kecuali apa yang ia mulai akad perdamaian dengannya dengan kerelaannya, agar ia mengkhususkannya dari selainnya. Jika ia menolak hal itu dengan sumpah kepadanya, maka urusannya kembali kepadanya, kemudian ia menjadi merdeka. Dan menurut dua pendapat pertama, hal itu diambil darinya secara paksa.

فَصْلٌ

Fasal

وَأَمَّا الصِّبْيَانُ فَلَا جِزْيَةَ عَلَيْهِمْ لِارْتِفَاعِ الْقَلَمِ عَنْهُمْ وَلِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ لِمُعَاذٍ ” خُذْ مِنْ كُلِّ حَالِمٍ دِينَارًا ” فَدَلَّ عَلَى سُقُوطِهَا عَنْ غَيْرِ الْحَالِمِ وَلِأَنَّهُمْ مِنْ غَيْرِ أَهْلِ الْقِتَالِ وَلِأَنَّهُمْ يُسْتَرَقُّونَ إِذَا سُبُوا فَصَارُوا أَمْوَالًا فَإِذَا بَلَغُوا وَجَبَتْ عَلَيْهِمُ الْجِزْيَةُ

Adapun anak-anak, maka tidak dikenakan jizyah atas mereka karena pena (taklif) belum berlaku bagi mereka, dan karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu‘adz: “Ambillah dari setiap orang yang telah baligh satu dinar,” sehingga hal ini menunjukkan gugurnya jizyah dari selain yang telah baligh. Selain itu, mereka bukan termasuk ahli qitāl (orang yang mampu berperang), dan mereka dapat dijadikan budak jika ditawan sehingga menjadi harta. Namun, apabila mereka telah dewasa, maka wajib atas mereka membayar jizyah.

وَالظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُمْ يَلْتَزِمُونَ جِزْيَةَ آبَائِهِمْ مِنْ غَيْرِ اسْتِئْنَافِ عَقْدٍ مَعَهُمْ لِأَنَّهُمْ خَلَفٌ لِسَلَفِهِمْ

Pendapat yang tampak dari mazhab Syafi‘i adalah bahwa mereka (keturunan) tetap diwajibkan membayar jizyah seperti yang dibebankan kepada nenek moyang mereka, tanpa perlu memperbarui akad dengan mereka, karena mereka adalah penerus dari pendahulu mereka.

وَقَالَ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ لَا تَلْزَمُهُمْ جِزْيَةُ آبَائِهِمْ وَيُسْتَأْنَفُ مَعَهُمْ عَقْدُهَا عَنْ مُرَاضَاتِهِمْ إِمَّا بِمِثْلِهَا أَوْ بِأَكْثَرَ أَوْ أَقَلَّ إِذَا لَمْ يَنْقُصْ عَنِ الدِّينَارِ وَهَذَا وَهَمٌ فِيهِ يَفْسُدُ مِنْ وَجْهَيْنِ مَذْهَبٍ وَحِجَاجٍ

Abu Hamid al-Isfara’ini berkata, “Jizyah yang menjadi kewajiban ayah-ayah mereka tidak wajib atas mereka, dan akad jizyah harus diperbarui bersama mereka dengan kerelaan mereka, baik dengan jumlah yang sama, lebih banyak, atau lebih sedikit, selama tidak kurang dari satu dinar.” Ini adalah kekeliruan yang rusak dari dua sisi, yaitu dari sisi mazhab dan dari sisi argumentasi.

أَمَّا الْمَذْهَبُ فَإِنَّ الشَّافِعِيَّ قَدْ جَعَلَ جِزْيَةَ الْوَلَدِ إِذَا اخْتَلَفَتْ جِزْيَةُ أَبَوَيْهِ أَنَّ جِزْيَتَهُ جِزْيَةُ أَبِيهِ دُونَ أُمِّهِ

Adapun menurut mazhab, asy-Syafi‘i menetapkan bahwa jizyah anak, jika jizyah kedua orang tuanya berbeda, maka jizyahnya mengikuti jizyah ayahnya, bukan ibunya.

وَأَمَّا الْحِجَاجُ فَمِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun argumentasi itu ada dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُمْ لَمَّا كَانُوا تَبَعًا لِآبَائِهِمْ فِي أَمَانِ الذِّمَّةِ كَانُوا تَبَعًا لَهُمْ فِي قَدْرِ الْجِزْيَةِ

Salah satunya adalah bahwa ketika mereka mengikuti orang tua mereka dalam perlindungan dzimmah, maka mereka juga mengikuti mereka dalam besaran jizyah.

وَالثَّانِي أَنَّ عَقْدَ الذِّمَّةِ مُؤَبَّدٌ وَهَذَا يَجْعَلُهُ مُؤَقَّتًا يَلْزَمُ اسْتِئْنَافُهُ مَعَ بُلُوغِ كُلِّ وَلَدٍ وَفِيهِ أَعْظَمُ مَشَقَّةٍ وَمَا فَعَلَهُ أَحَدٌ مِنَ الْأَئِمَّةِ

Kedua, bahwa akad dzimmah itu bersifat permanen, sedangkan hal ini menjadikannya bersifat sementara sehingga harus diperbarui setiap kali anak mencapai usia baligh, dan di dalamnya terdapat kesulitan yang sangat besar, serta tidak ada seorang pun dari para imam yang melakukannya.

فَأَمَّا الْبُلُوغُ فَيَكُونُ بِالِاحْتِلَامِ وَبِاسْتِكْمَالِ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً وَيُحْكَمُ بِبُلُوغِهِ بِإِنْبَاتِ الشَّعْرِ لِأَنَّ سَعْدَ بْنَ مُعَاذٍ حَكَمَ فِي بَنِي قُرَيْظَةَ أَنَّ مَنْ جَرَتْ عَلَيْهِ الْمَوَاسِي قُتِلَ وَمَنْ لَمْ تَجْرِ عَلَيْهِ اسْتُرِقَّ

Adapun baligh itu terjadi dengan mimpi basah, atau dengan sempurna berusia lima belas tahun, dan seseorang dihukumi telah baligh dengan tumbuhnya rambut (kemaluan), karena Sa‘d bin Mu‘ādz memutuskan dalam perkara Bani Quraizhah bahwa siapa yang telah tumbuh rambut padanya maka dibunuh, dan siapa yang belum tumbuh maka dijadikan budak.

فقال النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” هَذَا حُكْمُ اللَّهِ مِنْ فَوْقِ سَبْعَةِ أَرْقِعَةٍ “

Maka Nabi ﷺ bersabda, “Inilah hukum Allah dari atas tujuh lapis langit.”

وَهَلْ يَكُونُ ذَلِكَ بُلُوغًا فِيهِمْ كَالسِّنِّ وَالِاحْتِلَامِ أَوْ يَكُونُ دَلِيلًا عَلَى بُلُوغِهِمْ فِيهِ قَوْلَانِ مَضَيَا

Apakah hal itu dianggap sebagai tanda baligh bagi mereka seperti usia dan mimpi basah, ataukah hanya menjadi petunjuk atas balighnya mereka? Dalam hal ini terdapat dua pendapat yang telah disebutkan.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا وَبَلَغَ الصَّبِيُّ وَأُعْتِقَ الْعَبْدُ وَأَفَاقَ الْمَجْنُونُ نُظِرَ

Maka apabila telah tetap apa yang telah kami jelaskan, lalu anak kecil telah baligh, budak telah dimerdekakan, dan orang gila telah sembuh, maka diperhatikan…

فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ فِي أَوَّلِ الْحَوْلِ فَقَدْ سَاوَوْا أَهْلَ دِينِهِمْ فِي حَوْلِ جِزْيَتِهِمْ وَإِنْ كَانَ ذَلِكَ فِي تَضَاعِيفِ الْحَوْلِ مِثْلَ أَنْ يَكُونَ قَدْ مَضَى مِنَ الْحَوْلِ نِصْفُهُ قِيلَ لَهُمْ لَا يُمْكِنُ أَنْ يُسْتَأْنَفَ لَكُمْ حَوْلٌ غَيْرُ حَوْلِ أَهْلِ دِينِكُمْ لِأَنَّهُ شَاقٌّ وَأَنْتُمْ بِالْخِيَارِ إِذَا حَالَ حَوْلُ الْجَمَاعَةِ وَقَدْ مَضَى لَكُمْ مِنَ الْحَوْلِ نِصْفُهُ بَيْنَ أَنْ تُعْطُوا جِزْيَةَ نِصْفِ سَنَةٍ ثُمَّ يُسْتَأْنَفُ لَكُمُ الْحَوْلُ مَعَ الْجَمَاعَةِ وَبَيْنَ أَنْ تَتَعَجَّلُوا جِزْيَةَ سَنَةٍ حَتَّى تُؤْخَذَ مِنْكُمْ فِي السَّنَةِ الثَّانِيَةِ جِزْيَةُ نِصْفِ سَنَةٍ وَبَيْنَ أَنْ تَسْتَنْظِرُوا بِجِزْيَةِ نِصْفِ هَذِهِ السَّنَةِ حَتَّى تُؤْخَذَ مِنْكُمْ مَعَ جِزْيَةِ السَّنَةِ الثَّانِيَةِ إِذَا تَمَّتْ جِزْيَةُ سَنَةٍ وَنِصْفٍ فَأَيُّ هذه الثلاثة سألوها أجيبوا إليها

Jika hal itu terjadi pada awal tahun, maka mereka disamakan dengan orang-orang seagama mereka dalam perhitungan tahun jizyah mereka. Namun, jika hal itu terjadi di pertengahan tahun, misalnya telah berlalu setengah tahun, maka dikatakan kepada mereka: Tidak mungkin dibuatkan tahun baru khusus untuk kalian yang berbeda dengan tahun orang-orang seagama kalian, karena hal itu memberatkan. Kalian diberi pilihan, ketika tahun kelompok itu telah berlalu dan kalian telah melewati setengah tahun, antara: membayar jizyah untuk setengah tahun terlebih dahulu, lalu tahun berikutnya dimulai bersama kelompok tersebut; atau membayar jizyah satu tahun penuh di awal, sehingga pada tahun kedua kalian hanya membayar jizyah untuk setengah tahun; atau menunda pembayaran jizyah setengah tahun ini, lalu pada tahun berikutnya membayar jizyah untuk satu setengah tahun sekaligus. Maka, dari tiga pilihan ini, mana saja yang mereka pilih, hendaknya dikabulkan.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَتُؤْخَذُ مِنَ الشَّيْخِ الْفَانِي وَالزَّمِنِ “

Imam Syafi‘i berkata, “(Zakat) juga diambil dari orang tua renta dan orang yang sakit menahun.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا مَبْنِيٌّ عَلَى إِبَاحَةِ قَتْلِ مَنْ أُسِرَ مِنْهُمْ وَقَدِ اخْتَلَفَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ فِي إِبَاحَةِ قَتْلِ الرُّهْبَانِ وَأَصْحَابِ الصَّوَامِعِ وَالْأَعْمَى وَمَنْ لَا نَهْضَةَ فِيهِ مِنَ الشُّيُوخِ وَالزَّمْنَى الَّذِينَ لَا يُقَاتِلُونَ إِمَّا لِتَعَبُّدٍ كَالرُّهْبَانِ أَوْ لِعَجْزٍ كَالشَّيْخِ الْفَانِي فَفِي جَوَازِ قَتْلِهِمْ قَوْلَانِ

Al-Mawardi berkata, “Hal ini didasarkan pada kebolehan membunuh siapa saja dari mereka yang tertawan. Pendapat Imam Syafi‘i berbeda mengenai kebolehan membunuh para rahib, penghuni biara, orang buta, dan orang tua renta serta orang cacat yang tidak mampu berperang, baik karena mereka beribadah seperti para rahib, atau karena ketidakmampuan seperti orang tua yang sangat lemah. Dalam hal kebolehan membunuh mereka, terdapat dua pendapat.”

أَحَدُهُمَا يَجُوزُ قَتْلُهُمْ لِأَنَّهُمْ مِنْ جِنْسٍ مُبَاحِ الْقَتْلِ وَلِأَنَّهُمْ كَانَ رَأْيُهُمْ وَتَدْبِيرُهُمْ أَضَرَّ عَلَيْنَا مِنْ قِتَالِ غَيْرِهِمْ فَعَلَى هَذَا لَا يُقَرُّونَ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ إِلَّا بِجِزْيَةٍ

Salah satu pendapat menyatakan bahwa boleh membunuh mereka karena mereka termasuk golongan yang halal darahnya, dan karena pendapat serta siasat mereka lebih berbahaya bagi kita dibandingkan memerangi selain mereka. Oleh karena itu, menurut pendapat ini, mereka tidak boleh dibiarkan tinggal di Dar al-Islam kecuali dengan membayar jizyah.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّهُ لَا يَجُوزُ قَتْلُهُمْ لِأَنَّ الْقَتْلَ لِلْكَفِّ عَنِ الْقِتَالِ وَقَدْ كَفُّوا أَنْفُسَهُمْ عَنْهُ فَلَمْ يُقْتَلُوا فَعَلَى هَذَا يُقَرُّونَ بِغَيْرِ جِزْيَةٍ وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ فَصَارَ فِي إِقْرَارِهِمْ بِغَيْرِ جِزْيَةٍ قَوْلَانِ

Pendapat kedua menyatakan bahwa tidak boleh membunuh mereka, karena pembunuhan itu bertujuan untuk menghentikan peperangan, sedangkan mereka telah menahan diri dari peperangan tersebut sehingga mereka tidak dibunuh. Oleh karena itu, mereka dibiarkan tetap hidup tanpa membayar jizyah, dan ini adalah mazhab Abu Hanifah. Maka, dalam hal membiarkan mereka tanpa jizyah terdapat dua pendapat.

فَصْلٌ

Bagian

فَأَمَّا يَهُودُ خَيْبَرَ فَالَّذِي عَلَيْهِ الْفُقَهَاءُ أَنَّهُمْ مِمَّنْ أُخِذَ الْجِزْيَةُ مِنْهُمْ كَغَيْرِهِمْ وَقَدْ تَظَاهَرُوا فِي هَذَا الزَّمَانِ بِأَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي كِتَابٍ نَسَبُوهُ إِلَيْهِ أَسْقَطُوا بِهِ الْجِزْيَةَ عَنْ نُفُوسِهِمْ وَلَمْ يَنْقُلْهُ أَحَدٌ مِنْ رُوَاةِ الْأَخْبَارِ وَلَا مِنْ أَصْحَابِ الْمَغَازِي وَلَمْ أَرَ لِأَحَدٍ مِنَ الْفُقَهَاءِ فِي إِثْبَاتِهِ قَوْلًا غَيْرَ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ فَإِنَّهُ جَعَلَ مُسَاقَاةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي نَخْلِ خَيْبَرَ حِينَ افْتَتَحَهَا وَقَوْلُهُ لَهُمْ ” أُقِرُّكُمْ مَا أَقَرَّكُمُ اللَّهُ ” أَمَانًا وَجَعْلَهُمْ بِالْمُسَاقَاةِ خَوَلًا وَأَنَّ بِهَذَيْنِ سَقَطَتِ الْجِزْيَةُ عَنْهُمْ وَهَذَا قَوْلٌ تَفَرَّدَ بِهِ لَا أَعْرِفُ لَهُ مُوَافِقًا عَلَيْهِ وَلَيْسَ الْأَمَانُ مُوجِبًا لِسُقُوطِ الْجِزْيَةِ لِأَنَّهَا تَجِبُ بِالْأَمَانِ فَلَمْ تَسْقُطْ بِهِ وَلَا تَسْقُطُ بِالْمُعَامَلَةِ كَمَا لَا تَسْقُطُ بِهَا جِزْيَةُ غَيْرِهِمْ وَلَوْ جَازَ هَذَا فِيهِمْ لَكَانَ فِي أَهْلِ فَدَكَ أَجْوَزَ لِأَنَّهُ فَتَحَهَا صُلْحًا وَفَتَحَ خَيْبَرَ عَنْوَةً وَأَحْسَبُ أَبَا عَلِيِّ بْنَ أَبِي هُرَيْرَةَ لَمَّا رَأَى الْوُلَاةَ عَلَى هَذَا أَخْرَجَ لِفِعْلِهِمْ وَجْهًا وَمَا لَمْ يُثْبِتْهُ الْفُقَهَاءُ لِنَقْلٍ أَوْجَبَ التَّخْصِيصَ فَحُكْمُ الْعُمُومِ فِيهِ أمضى والله أعلم

Adapun Yahudi Khaibar, maka pendapat yang dipegang para fuqaha adalah bahwa mereka termasuk golongan yang diambil jizyah dari mereka sebagaimana selain mereka. Pada masa ini, mereka menampakkan adanya jaminan keamanan dari Rasulullah saw. dalam sebuah surat yang mereka nisbatkan kepadanya, yang dengannya mereka menggugurkan kewajiban jizyah atas diri mereka. Namun, tidak ada seorang pun dari para perawi berita maupun dari para ahli maghazi yang meriwayatkan hal itu, dan aku tidak menemukan seorang pun dari para fuqaha yang menetapkan hal tersebut kecuali Abu ‘Ali bin Abi Hurairah. Ia menjadikan perjanjian musāqah Rasulullah saw. di kebun kurma Khaibar ketika beliau menaklukkannya dan sabdanya kepada mereka, “Aku biarkan kalian selama Allah membiarkan kalian,” sebagai bentuk jaminan keamanan, dan menjadikan mereka sebagai pekerja musāqah, serta dengan dua hal itu, menurutnya, jizyah gugur dari mereka. Ini adalah pendapat yang ia sendiri yang berpegang padanya, aku tidak mengetahui ada yang sependapat dengannya. Padahal, jaminan keamanan bukanlah sebab gugurnya jizyah, karena jizyah itu wajib dengan adanya jaminan keamanan, sehingga tidak gugur karenanya, dan tidak pula gugur karena adanya akad kerja sama, sebagaimana jizyah orang lain pun tidak gugur karenanya. Seandainya hal itu dibolehkan pada mereka, tentu pada penduduk Fadak lebih layak, karena Fadak ditaklukkan dengan perjanjian damai, sedangkan Khaibar ditaklukkan dengan peperangan. Aku kira Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, ketika melihat para penguasa melakukan hal itu, ia mencari alasan untuk perbuatan mereka. Dan apa yang tidak ditetapkan para fuqaha karena adanya riwayat yang mewajibkan pengkhususan, maka hukum keumuman tetap berlaku padanya. Allah lebih mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَمَنْ بَلَغَ وَأُمُّهُ نَصْرَانِيَّةٌ وَأَبُوهُ مَجُوسِيٌّ أَوْ أُمُّهُ مَجُوسِيَّةٌ وَأَبُوهُ نَصْرَانِيٌّ فَجِزْيَتُهُ جِزْيَةُ أَبِيهِ لِأَنَّ الْأَبَ هُوَ الَذِي عَلَيْهِ الْجِزْيَةُ لَسْتُ أَنْظُرُ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ “

Syafi‘i berkata, “Barang siapa yang telah baligh sementara ibunya beragama Nasrani dan ayahnya Majusi, atau ibunya Majusi dan ayahnya Nasrani, maka jizyahnya mengikuti jizyah ayahnya, karena ayahlah yang dikenakan jizyah. Aku tidak melihat kepada selain itu.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَجُمْلَتُهُ أَنَّهُ إِذَا اخْتَلَفَ حُكْمُ أَبَوَيِ الْكَافِرِ فِي حُكْمِ كُفْرِهِمَا الْمُتَعَدِّي عَنْهُمَا إِلَى وَلَدِهِمَا تَعَلَّقَ بِاخْتِلَافِهِمَا أَرْبَعَةُ أَحْكَامٍ

Al-Mawardi berkata: Secara keseluruhan, apabila hukum kedua orang tua kafir berbeda dalam status kekafiran mereka yang berpengaruh kepada anak mereka, maka perbedaan tersebut berkaitan dengan empat hukum.

أَحَدُهَا الْجِزْيَةُ

Salah satunya adalah jizyah.

وَالثَّانِي النِّكَاحُ وَالذَّبِيحَةُ

Kedua adalah nikah dan penyembelihan.

وَالثَّالِثُ عَقْدُ الذِّمَّةِ

Ketiga adalah akad dzimmah.

وَالرَّابِعُ الدِّيَةُ

Keempat adalah diyat.

فَأَمَّا الْحُكْمُ الْأَوَّلُ وَهُوَ الْجِزْيَةُ فَهُوَ أَنْ يَكُونَ أَبُوهُ نَصْرَانِيًّا لَهُ جِزْيَةٌ وَأُمُّهُ يَهُودِيَّةً لِقَوْمِهَا جِزْيَةٌ أُخْرَى فَجِزْيَةُ الْوَلَدِ جِزْيَةُ أَبِيهِ دُونَ أُمِّهِ سَوَاءٌ قَلَّتْ جِزْيَةُ أَبِيهِ أَوْ كَثُرَتْ لِأَمْرَيْنِ

Adapun hukum yang pertama, yaitu jizyah, maka jika ayahnya seorang Nasrani yang dikenakan jizyah dan ibunya seorang Yahudi yang juga dikenakan jizyah oleh kaumnya, maka jizyah anak tersebut mengikuti jizyah ayahnya, bukan ibunya, baik jizyah ayahnya itu sedikit maupun banyak, karena dua alasan.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ دَاخِلٌ فِي نَسَبِ أَبِيهِ دُونَ أُمِّهِ فَدَخَلَ فِي جِزْيَتِهِ دُونَهَا

Salah satunya adalah bahwa ia termasuk dalam nasab ayahnya, bukan ibunya, sehingga ia masuk dalam jizyah ayahnya, bukan jizyah ibunya.

وَالثَّانِي أَنَّ الْجِزْيَةَ عَلَى أَبِيهِ دُونَ أُمِّهِ فَدَخَلَ فِي جِزْيَةِ مَنْ تَجِبُ عَلَيْهِ الْجِزْيَةُ دُونَ مَنْ لَا تَجِبْ عَلَيْهِ

Yang kedua, bahwa jizyah dikenakan atas ayahnya, bukan atas ibunya, maka ia termasuk dalam jizyah yang wajib atas orang yang dikenai kewajiban jizyah, dan tidak termasuk pada orang yang tidak wajib atasnya.

وَأَمَّا الْحُكْمُ الثَّانِي وَهُوَ اسْتِبَاحَةُ النِّكَاحِ وَالذَّبِيحَةِ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ أَحَدُ أَبَوَيْهِ يَهُودِيًّا وَالْآخَرُ مَجُوسِيًّا فَيُنْظَرُ

Adapun hukum yang kedua, yaitu kebolehan menikah dan memakan sembelihan, yaitu apabila salah satu dari kedua orang tuanya adalah Yahudi dan yang lainnya Majusi, maka hal ini perlu diteliti.

فَإِنْ كَانَ أَبُوهُ مَجُوسِيًّا وَأُمُّهُ نَصْرَانِيَّةً لَمْ تَحِلَّ ذَبِيحَةُ الْوَلَدِ وَلَمْ يُنْكَحْ إِنْ كَانَ امْرَأَةً تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الْحَظْرِ وَاعْتِبَارًا بِلُحُوقِ النَّسَبِ

Jika ayahnya seorang Majusi dan ibunya seorang Nasrani, maka sembelihan anak tersebut tidak halal dan ia tidak boleh dinikahi jika ia seorang perempuan, dengan mengedepankan hukum larangan dan mempertimbangkan keterkaitan nasab.

وَإِنْ كَانَ أَبُوهُ نَصْرَانِيًّا وَأُمُّهُ مَجُوسِيَّةً فَفِيهِ قَوْلَانِ

Jika ayahnya seorang Nasrani dan ibunya seorang Majusi, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يُعْتَبَرُ بِأَبِيهِ وَاسْتِبَاحَةِ نِكَاحِهِ وَأَكْلِ ذَبِيحَتِهِ تَعْلِيلًا بِلُحُوقِ النَّسَبِ بِهِ

Salah satunya dipertimbangkan berdasarkan ayahnya, kebolehan menikahinya, dan memakan sembelihannya, dengan alasan karena nasabnya yang tersambung kepadanya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي يُعْتَبَرُ بِأُمِّهِ فِي حَظْرِ نِكَاحِهِ وَتَحْرِيمِ ذَبِيحَتِهِ تَعْلِيلًا لِتَغْلِيبِ الْحَظْرِ عَلَى الْإِبَاحَةِ

Pendapat kedua menyatakan bahwa yang dijadikan acuan adalah ibu dalam hal larangan menikahinya dan keharaman sembelihannya, sebagai alasan untuk mengedepankan larangan atas kebolehan.

وَأَمَّا الْحُكْمُ الثَّالِثُ وَهُوَ عَقْدُ الذِّمَّةِ فَهُوَ أَنْ يَكُونَ أَحَدُ أَبَوَيْهِ كِتَابِيًّا يُقَرُّ بِالْجِزْيَةِ وَالْآخَرُ وَثَنِيًّا لَا يُقَرُّ بِالْجِزْيَةِ فَقَدِ اخْتَلَفَ كَلَامُ أَصْحَابِنَا فِيهِ لِأَنَّ الشَّافِعِيَّ عَطَفَ بِهِ عَلَى اسْتِبَاحَةِ النِّكَاحِ وَالذَّبِيحَةِ عَطْفًا مُرْسَلًا فَخَرَجَ عَنِ اخْتِلَافِهِمْ فِيهِ أَرْبَعَةُ أَوْجُهٍ

Adapun hukum yang ketiga, yaitu akad dzimmah, maka jika salah satu dari kedua orang tuanya adalah ahli kitab yang diakui dengan pembayaran jizyah, sedangkan yang lainnya adalah penyembah berhala yang tidak diakui dengan jizyah, maka para ulama kami berbeda pendapat dalam hal ini. Sebab, asy-Syafi‘i mengaitkannya dengan kebolehan menikahi dan memakan sembelihan (ahli kitab) secara mutlak, sehingga dari perbedaan pendapat mereka muncul empat pendapat (wajah).

أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ فِي ذِمَّتِهِ وَدِينِهِ مُلْحَقًا بِأَبِيهِ دُونَ أُمِّهِ اعْتِبَارًا بِنَسَبِهِ فَعَلَى هَذَا إِنْ كَانَ أَبُوهُ كِتَابِيًّا فَهُوَ كِتَابِيٌ يُقَرُّ بِالْجِزْيَةِ وَإِنْ كَانَ وَثَنِيًّا فَهُوَ وَثَنِيٌّ لَا يُقَرُّ بِالْجِزْيَةِ

Salah satunya adalah bahwa dalam tanggungan dan agamanya, ia disandarkan kepada ayahnya, bukan kepada ibunya, berdasarkan nasabnya. Maka, jika ayahnya adalah seorang ahli kitab, maka ia juga dianggap ahli kitab dan diperbolehkan membayar jizyah. Namun jika ayahnya adalah seorang penyembah berhala, maka ia juga dianggap penyembah berhala dan tidak diperbolehkan membayar jizyah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ فِي دِينِهِ مُلْحَقًا بِأُمِّهِ دُونَ أَبِيهِ اعْتِبَارًا بِجِزْيَتِهِ وَرِقِّهِ فِي لُحُوقِهِ بِأُمِّهِ دُونَ أَبِيهِ وَلِحُدُوثِهِ عَنِ اخْتِلَافِ الدِّينِ فَعَلَى هَذَا إِنْ كَانَتْ أُمُّهُ كِتَابِيَّةً فَهُوَ كِتَابِيٌّ يُقَرُّ بِالْجِزْيَةِ وَإِنْ كَانَتْ وَثَنِيَّةً فَهُوَ وَثَنِيٌّ لَا يُقَرُّ بِالْجِزْيَةِ

Pendapat kedua adalah bahwa dalam urusan agama, ia disandarkan kepada ibunya, bukan kepada ayahnya, sebagaimana dalam hal jizyah dan status budaknya, ia mengikuti ibunya, bukan ayahnya, karena hal itu terjadi akibat perbedaan agama. Maka berdasarkan pendapat ini, jika ibunya adalah seorang ahli kitab, maka anak tersebut dianggap ahli kitab dan diperbolehkan membayar jizyah. Namun jika ibunya adalah penyembah berhala, maka anak tersebut dianggap penyembah berhala dan tidak diperbolehkan membayar jizyah.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ أَنْ يُلْحَقَ بِأَثْبَتِهِمَا دِينًا كَمَا يُلْحَقُ بِالْمُسْلِمِ مِنْهُمَا دُونَ الْكَافِرِ فَعَلَى هَذَا إِنْ كَانَ أَبُوهُ كِتَابِيًّا وَأُمُّهُ وَثَنِيَّةً أُلْحِقَ بِأَبِيهِ وَجُعِلَ كِتَابِيًّا يُقَرُّ بِالْجِزْيَةِ وَإِنْ كَانَتْ أُمُّهُ كِتَابِيَّةً وَأَبُوهُ وَثَنِيًّا أُلْحِقَ بِأُمِّهِ وَجُعِلَ كِتَابِيًّا يُقَرُّ بِالْجِزْيَةِ

Pendapat ketiga adalah bahwa anak tersebut disandarkan kepada orang tuanya yang paling kuat agamanya, sebagaimana anak dari kedua orang tua Muslim disandarkan kepada yang Muslim, bukan kepada yang kafir. Berdasarkan pendapat ini, jika ayahnya adalah seorang ahli kitab dan ibunya seorang penyembah berhala, maka anak itu disandarkan kepada ayahnya dan dianggap sebagai ahli kitab yang dikenakan jizyah. Jika ibunya adalah ahli kitab dan ayahnya penyembah berhala, maka anak itu disandarkan kepada ibunya dan dianggap sebagai ahli kitab yang dikenakan jizyah.

وَالْوَجْهُ الرَّابِعُ أَنْ يُلْحَقَ بِأَغْلَظِهِمَا كُفْرًا لِأَنَّ التَّخْفِيفَ رُخْصَةٌ مُسْتَثْنَاةٌ فَعَلَى هَذَا أَيُّهُمَا كَانَ فِي دِينِهِ وَثَنِيًّا فَهُوَ وَثَنِيٌّ لَا يُقَرُّ بِالْجِزْيَةِ سَوَاءٌ كَانَ الْوَثَنِيُّ مِنْهُمَا أَبًا أَوْ أُمًّا وَهُوَ ضِدُّ الْوَجْهِ الثَّالِثِ كَمَا أَنَّ الْوَجْهَ الثَّانِيَ ضِدُّ الْوَجْهِ الْأَوَّلِ

Pendapat keempat adalah disamakan dengan yang paling berat kekufurannya, karena keringanan adalah rukhṣah yang dikecualikan. Maka berdasarkan hal ini, siapa pun di antara keduanya yang dalam agamanya adalah penyembah berhala, maka ia dianggap penyembah berhala dan tidak diakui dengan pembayaran jizyah, baik penyembah berhala itu ayah maupun ibu. Ini adalah kebalikan dari pendapat ketiga, sebagaimana pendapat kedua adalah kebalikan dari pendapat pertama.

وَأَمَّا الْحُكْمُ الرَّابِعُ وَهُوَ الدِّيَةُ إِذَا قُتِلَ فَهُوَ أَنْ يَكُونَ أَحَدُ أَبَوَيْهِ نَصْرَانِيًّا وَالْآخَرُ مَجُوسِيًّا فَهُوَ مُلْحَقٌ فِي الدِّيَةِ بِأَكْثَرِ أَبَوَيْهِ دِيَةً سَوَاءٌ كَانَ أَبًا أَوْ أُمًّا نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي ” الْأُمِّ “

Adapun hukum yang keempat, yaitu diyat apabila seseorang terbunuh, maka jika salah satu dari kedua orang tuanya beragama Nasrani dan yang lainnya Majusi, maka ia mengikuti dalam diyat kepada orang tuanya yang diyatnya lebih besar, baik itu ayah atau ibu. Hal ini ditegaskan oleh asy-Syafi‘i dalam kitab “al-Umm”.

وَالْفَرْقُ بَيْنَ الدِّيَةِ وَالنَّسَبِ مِنْ وَجْهَيْنِ

Perbedaan antara diyat dan nasab terdapat pada dua aspek.

أَحَدُهُمَا أَنَّ الدِّيَةَ لَمَّا اخْتَلَفَتْ بِاخْتِلَافِ الدِّينِ وَلَمْ تَخْتَلِفْ بِاخْتِلَافِ النِّسَبِ وَكَانَ فِي الدِّينِ مُلْحَقًا بِالْمُسْلِمِ مِنْهُمَا تَغْلِيظًا كَانَ فِي الدِّيَةِ مُلْحَقًا بِأَغْلَظِهِمَا دِيَةً

Salah satu alasannya adalah bahwa diyat berbeda-beda sesuai perbedaan agama, dan tidak berbeda karena perbedaan nasab. Karena dalam hal agama, yang disamakan dengan Muslim di antara keduanya adalah dalam rangka pengetatan (hukuman), maka dalam hal diyat pun disamakan dengan yang paling berat diyat-nya di antara keduanya.

وَالثَّانِي أَنَّ مَا أَوْجَبَ ضَمَانَ النُّفُوسِ كَانَ مُعْتَبَرًا بِأَغْلَظِ الْحُكْمَيْنِ كَالْمُحْرِمِ إِذَا قَتَلَ مَا تَوَلَّدُ مِنْ بين وحشي وأهلي ومأكول ومحظور لزمه الجزاء تغليظا

Yang kedua, bahwa apa yang mewajibkan adanya tanggungan atas jiwa (nyawa) dipertimbangkan dengan hukum yang paling berat di antara dua hukum, seperti seseorang yang sedang ihram apabila membunuh hewan hasil persilangan antara hewan liar dan hewan jinak, atau antara hewan yang boleh dimakan dan yang dilarang, maka ia wajib membayar denda dengan ketentuan yang lebih berat.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” فَأَيُّهُمْ أَفْلَسَ أَوْ مَاتَ فَالْإِمَامُ غَرِيمٌ يَضْرِبُ مَعَ غُرَمَائِهِ “

Imam Syafi‘i berkata, “Siapa pun di antara mereka yang jatuh pailit atau meninggal dunia, maka imam adalah pihak yang berpiutang yang berhak mengambil bagian bersama para kreditur lainnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا مَاتَ الذِّمِّيُّ أَوْ أَفْلَسَ بَعْدَ الْحَوْلِ لَمْ تَسْقُطْ عَنْهُ الْجِزْيَةُ بِمَوْتِهِ وَفَلَسِهِ وَأَسْقَطَهَا أَبُو حَنِيفَةَ بِمَوْتِهِ احْتِجَاجًا بِأَنَّ الْجِزْيَةَ عُقُوبَةٌ تَسْقُطُ عَنِ الْمَيِّتِ كَالْحُدُودِ لِأَنَّهُ يَخْرُجُ بِالْمَوْتِ مِنْ أَهْلِ الْقِتَالِ فَوَجَبَ أَنْ تَسْقُطَ عَنْهُ الْجِزْيَةُ كَالنِّسَاءِ وَالصِّبْيَانِ

Al-Mawardi berkata, “Ini benar, yaitu jika seorang dzimmi meninggal dunia atau bangkrut setelah berlalu satu tahun, maka jizyah tidak gugur darinya karena kematian atau kebangkrutannya.” Namun, Abu Hanifah menggugurkannya karena kematian, dengan alasan bahwa jizyah adalah hukuman yang gugur dari orang yang telah meninggal sebagaimana hudud, karena dengan kematian seseorang keluar dari golongan yang layak untuk berperang, sehingga wajiblah jizyah itu gugur darinya sebagaimana gugur dari perempuan dan anak-anak.

وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّهُ مَالٌ اسْتَقَرَّ قَبُولُهُ فِي ذِمَّتِهِ فَلَمْ يَسْقُطْ بِمَوْتِهِ كَالدُّيُونِ ولأن الْجِزْيَةَ عِوَضٌ عَنْ حَقْنِ دَمِهِ وَإِقْرَارِهِ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ عَلَى كُفْرِهِ فَلَمْ يَسْقُطْ مَا وَجَبَ مِنْهَا بِمَوْتِهِ كَالْأُجُورِ

Dalil kami adalah bahwa ia merupakan harta yang telah tetap penerimaannya dalam tanggungannya, sehingga tidak gugur dengan kematiannya, seperti halnya utang. Selain itu, jizyah adalah sebagai imbalan atas perlindungan darahnya dan pengakuan dirinya di negeri Islam atas kekafirannya, maka apa yang telah menjadi kewajibannya dari jizyah itu tidak gugur dengan kematiannya, seperti halnya upah.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اعْتِبَارِهِمْ بِالْحُدُودِ فَهُوَ أَنَّ الْحَدَّ مُتَعَلِّقٌ بِالْبَدَنِ فَسَقَطَ بِالْمَوْتِ كَالْقِصَاصِ وَالْجِزْيَةَ مُتَعَلِّقَةٌ بِالْمَالِ فَلَمْ تَسْقُطْ بِالْمَوْتِ كَالدِّيَةِ

Adapun jawaban terhadap pertimbangan mereka dengan hudūd adalah bahwa hudūd berkaitan dengan badan, sehingga gugur dengan kematian, seperti qishāsh. Sedangkan jizyah berkaitan dengan harta, maka tidak gugur dengan kematian, seperti diyat.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ اسْتِدْلَالِهِمْ بِخُرُوجِهِ مِنْ أَهْلِ الْقِتَالِ فَهُوَ أَنَّهَا تُؤْخَذُ عَلَى مَا مَضَى فِي حَيَاتِهِ وَقَدْ كَانَ فِيهِ مِنْ أَهْلِ الْقِتَالِ

Adapun jawaban terhadap dalil mereka dengan keluarnya (seseorang) dari golongan ahli qitāl (orang-orang yang berhak menerima zakat karena ikut berperang), maka (jawabannya) adalah bahwa zakat itu diambil berdasarkan keadaan yang telah lalu dalam hidupnya, dan pada waktu itu ia termasuk golongan ahli qitāl.

فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّهَا لَا تَسْقُطُ بِالْمَوْتِ وَالْفَلَسِ كَانَتْ كَالدُّيُونِ الْمُسْتَقِرَّةِ تُقَدَّمُ عَلَى الْوَصَايَا وَالْوَرَثَةِ وَيُسَاهِمُ فِيهَا الْغُرَمَاءُ بِالْحِصَصِ وَيَكُونُ مَا عَجَزَ الْمَالُ عَنْهَا دَيْنًا فِي ذِمَّةِ الْمُفْلِسِ وَثَابِتًا عَلَى الْمَيِّتِ

Maka apabila telah dipastikan bahwa kewajiban tersebut tidak gugur karena kematian atau pailit, maka ia seperti utang yang tetap, didahulukan atas wasiat dan ahli waris, para kreditur berbagi di dalamnya sesuai porsi, dan apa yang tidak mampu ditunaikan oleh harta menjadi utang yang tetap dalam tanggungan orang yang pailit dan tetap menjadi kewajiban atas orang yang telah meninggal.

وَهَكَذَا لَوْ زَمِنَ أَوْ عَمِيَ أَوْ جُنَّ لَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ وَأَسْقَطَهَا أَبُو حَنِيفَةَ عَنْهُ وَدَلِيلُهُ ما قدمناه

Demikian pula, jika seseorang menjadi lumpuh, buta, atau gila, kewajiban tersebut tidak gugur darinya. Namun, Abu Hanifah berpendapat bahwa kewajiban itu gugur darinya, dan dalilnya adalah apa yang telah kami kemukakan sebelumnya.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَإِنْ أَسْلَمَ وَقَدْ مَضَى بَعْضُ السَّنَةِ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَا مَضَى مِنْهَا “

Imam Syafi‘i berkata, “Jika seseorang masuk Islam sementara sebagian tahun telah berlalu, maka diambil darinya zakat sesuai dengan bagian tahun yang telah berlalu.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا أَسْلَمَ الذِّمِّيُّ بَعْدَ وُجُوبِ الْجِزْيَةِ عَلَيْهِ لَمْ تَسْقُطْ بِإِسْلَامِهِ

Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar, jika seorang dzimmi masuk Islam setelah kewajiban jizyah ditetapkan atasnya, maka kewajiban jizyah itu tidak gugur dengan keislamannya.”

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ تَسْقُطُ عَنْهُ بِإِسْلَامِهِ اسْتِدْلَالًا بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ وَالْمُسْلِمُ لَا صَغَارَ عَلَيْهِ وَبِقَوْلِهِ تَعَالَى قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ وَقَدِ انْتَهَى بِالْإِسْلَامِ فَوَجَبَ أَنْ يُغْفَرَ لَهُ مَا سَلَفَ مِنَ الْجِزْيَةِ

Abu Hanifah berpendapat bahwa kewajiban jizyah gugur darinya dengan masuk Islam, dengan berdalil pada firman Allah Ta‘ala: “Hingga mereka membayar jizyah dengan tangan mereka dalam keadaan tunduk,” dan seorang Muslim tidak terkena kehinaan. Juga dengan firman-Nya Ta‘ala: “Katakanlah kepada orang-orang kafir: Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka akan diampuni bagi mereka apa yang telah lalu,” dan ia telah berhenti (dari kekafiran) dengan masuk Islam, maka wajib diampuni baginya apa yang telah lalu dari kewajiban jizyah.

وَبِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ

Dan berdasarkan riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda.

الْإِسْلَامُ يَجُبُّ مَا قَبْلَهُ

Islam menghapus dosa-dosa yang terjadi sebelumnya.

وَبِمَا رَوَى مُحَارِبُ بْنُ دِثَارٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ

Dan berdasarkan riwayat yang disampaikan oleh Muhārib bin Dithār dari Ibnu ‘Umar dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda.

لَا جِزْيَةَ عَلَى مُسْلِمٍ

Tidak ada jizyah atas seorang Muslim.

وَهَذَا نَصٌّ

Dan ini adalah sebuah nash.

وَمِنَ الْقِيَاسِ أَنَّهَا عُقُوبَةٌ تَتَعَلَّقُ بِالْكُفْرِ فَوَجَبَ أَنْ تَسْقُطَ بِالْإِسْلَامِ كَالْقِتَالِ

Dan berdasarkan qiyās, hukuman tersebut adalah hukuman yang berkaitan dengan kekufuran, maka wajib gugur dengan masuk Islam, sebagaimana (kewajiban) berperang.

وَلِأَنَّ الْجِزْيَةَ تُؤْخَذُ مِنْهُ صَغَارًا وَذِلَّةً وَالْمُسْلِمُ لَا صَغَارَ عَلَيْهِ فَوَجَبَ سُقُوطُهَا عَنْهُ

Karena jizyah diambil dari seseorang sebagai bentuk kerendahan dan kehinaan, sedangkan seorang Muslim tidak dikenai kerendahan, maka wajiblah jizyah itu gugur darinya.

وَدَلِيلُنَا قَوْلُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ

Dan dalil kami adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

الزَّعِيمُ غَارِمٌ

Penjamin bertanggung jawab menanggung kerugian.

وَقَدْ ضَمِنَهَا فَوَجَبَ أَنْ يَلْزَمَهُ غرمها

Dan ia telah menanggungnya, maka wajib baginya untuk menanggung ganti ruginya.

وَمِنَ الْقِيَاسِ أَنَّهُ مَالٌ اسْتَقَرَّ ثُبُوتُهُ فِي ذِمَّتِهِ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَسْقُطَ بِإِسْلَامِهِ كَالدُّيُونِ

Dan menurut qiyās, itu adalah harta yang penetapannya telah tetap dalam tanggungannya, maka seharusnya tidak gugur dengan keislamannya, seperti halnya utang-utang.

فَإِنْ قِيلَ يَبْطُلُ بِالزَّوْجَيْنِ الْوَثَنِيَّيْنِ إِذَا أَسْلَمَ الزَّوْجُ مِنْهُمَا قَبْلَ الدُّخُولِ سَقَطَ عَنْهُ صَدَاقُهَا بِإِسْلَامِهِ

Jika dikatakan, “Ini batal pada pasangan suami istri yang keduanya penyembah berhala, apabila suami di antara mereka masuk Islam sebelum terjadi hubungan suami istri, maka mahar istrinya gugur karena keislamannya.”

قِيلَ صَدَاقُهَا إِنَّمَا بَطَلَ بِوُقُوعِ الْفُرْقَةِ كَمَا يَبْطُلُ صَدَاقُهَا بِالرِّدَّةِ لِوُقُوعِ الْفُرْقَةِ أَلَا تَرَى أَنَّ مَنْ تَكَلَّمَ فِي صَلَاتِهِ فَبَطَلَتْ بِكَلَامِهِ حَلَّ لَهُ الْكَلَامُ بِبُطْلَانِ الصَّلَاةِ لَا بِالْكَلَامِ؟

Dikatakan bahwa maharnya batal karena terjadinya perpisahan, sebagaimana maharnya batal karena riddah (keluar dari Islam) akibat terjadinya perpisahan. Tidakkah engkau melihat bahwa seseorang yang berbicara dalam salatnya, lalu salatnya batal karena perkataannya, maka menjadi halal baginya untuk berbicara karena batalnya salat, bukan karena perkataannya?

فَإِنْ قِيلَ إِنَّمَا لَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ الدَّيْنُ بِإِسْلَامِهِ لِأَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَثْبُتَ ابْتِدَاؤُهُ فِي إِسْلَامِهِ وَسَقَطَتِ الْجِزْيَةُ بِإِسْلَامِهِ لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَثْبُتَ ابْتِدَاؤُهَا فِي إِسْلَامِهِ

Jika dikatakan: Sesungguhnya utang tidak gugur darinya karena keislamannya, karena boleh jadi utang itu bisa terjadi (atau muncul) sejak ia masuk Islam, sedangkan jizyah gugur karena keislamannya, karena tidak mungkin jizyah itu bisa terjadi (atau muncul) sejak ia masuk Islam.

فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّهُ تَبْطُلُ عِلَّةُ الْأَصْلِ بِالْمَوْتِ لِأَنَّهُ يَمْنَعُ مِنِ ابْتِدَاءِ الدِّينِ وَلَا يَمْنَعُ مِنِ اسْتَدَامَتِهِ وَتُبْطُلُ عِلَّةُ الْفَرْعِ بِالِاسْتِرْقَاقِ وَيَمْنَعُ الْإِسْلَامُ مِنِ ابْتِدَائِهِ وَلَا يَمْنَعُ مِنِ اسْتَدَامَتِهِ وَلِأَنَّ الجزية والخراج مستحقان بالكفر لما لَمْ يَسْقُطْ بِالْإِسْلَامِ مَا وَجَبَ مِنَ الْخَرَاجِ لَمْ يَسْقُطْ بِهِ مَا وَجَبَ مِنَ الْجِزْيَةِ

Maka jawabannya adalah bahwa ‘illat asal menjadi batal karena kematian, karena kematian mencegah dimulainya kewajiban, namun tidak mencegah kelanjutannya; dan ‘illat cabang menjadi batal karena perbudakan, dan Islam mencegah dimulainya kewajiban, namun tidak mencegah kelanjutannya. Karena jizyah dan kharaj menjadi hak atas kekufuran, maka sebagaimana kewajiban kharaj tidak gugur dengan masuk Islam, demikian pula kewajiban jizyah tidak gugur karenanya.

وَتَحْرِيرُهُ قِيَاسًا أَنَّهُ مَالٌ مُسْتَحَقٌّ بِالْكُفْرِ فَلَمْ يَسْقُطْ مَا وَجَبَ مِنْهُ بِالْإِسْلَامِ كَالْخَرَاجِ وَعَبَّرَ عَنْهُ بَعْضُ أَهْلِ خُرَاسَانَ بِأَنَّ مَا وَجَبَ عَلَى الْكَافِرِ بِالِالْتِزَامِ لَمْ يَسْقُطْ بِالْإِسْلَامِ كَالْخَرَاجِ وَلِأَنَّ الْجِزْيَةَ مُعَاوَضَةٌ عَنْ حَقْنِ الدَّمِ وَالْمُسَاكَنَةِ فَلَمْ يَسْقُطْ مَا وَجَبَ مِنْهَا بِالْإِسْلَامِ كَالْأُجْرَةِ

Penjelasannya secara qiyās adalah bahwa ia merupakan harta yang menjadi hak karena kekufuran, sehingga apa yang telah menjadi kewajiban darinya tidak gugur dengan masuk Islam, seperti kharāj. Sebagian ulama Khurasan mengungkapkannya dengan bahwa apa yang menjadi kewajiban atas orang kafir karena komitmen tidak gugur dengan masuk Islam, seperti kharāj. Karena jizyah adalah sebagai imbalan atas perlindungan darah dan tempat tinggal, maka apa yang telah menjadi kewajiban darinya tidak gugur dengan masuk Islam, seperti upah.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْله تَعَالَى وَهُمْ صَاغِرُونَ فَهُوَ أَنَّ الصَّغَارَ عِلَّةٌ فِي الْوُجُوبِ دُونَ الْأَدَاءِ وَوُجُوبُهَا يَسْقُطُ بِالْإِسْلَامِ وَأَدَاؤُهَا لَا يَسْقُطُ

Adapun jawaban terhadap firman Allah Ta‘ala “sedangkan mereka dalam keadaan hina” adalah bahwa kehinaan (ash-shaghār) merupakan ‘illat (alasan hukum) dalam kewajiban (membayar jizyah), bukan dalam pelaksanaannya. Kewajibannya gugur dengan masuk Islam, sedangkan pelaksanaannya tidak gugur.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْله تَعَالَى يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ فَهُوَ أَنَّ الْغُفْرَانَ مُخْتَصٌّ بِالْآثَامِ دُونَ الْحُقُوقِ

Adapun jawaban terhadap firman Allah Ta‘ala “akan diampuni bagi mereka apa yang telah lalu” adalah bahwa ampunan itu khusus untuk dosa-dosa, bukan untuk hak-hak (manusia).

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ

Adapun jawaban terhadap sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam

الْإِسْلَامُ يَجُبُّ مَا قَبْلَهُ

Islam menghapus dosa-dosa yang terjadi sebelumnya.

فَهُوَ أَنَّهُ يَقْطَعُ وُجُوبَ مَا قَبْلَهُ وَلَا يَرْفَعُ مَا وَجَبَ مِنْهُ

Maksudnya adalah bahwa hal itu memutuskan kewajiban atas apa yang sebelumnya, namun tidak menghapus apa yang telah menjadi kewajiban darinya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ

Adapun jawaban atas ucapannya

لَا جِزْيَةَ عَلَى مُسْلِمٍ

Tidak ada jizyah atas seorang Muslim.

فَهُوَ أَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى ابْتِدَاءِ

Maka maksudnya adalah bahwa hal itu dimaknai sebagai permulaan.

الْوُجُوبِ دُونَ الِاسْتِيفَاءِ

Kewajiban tanpa pemenuhan.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الْقَتْلِ فَهُوَ أَنَّ الْجِزْيَةَ مُعَاوَضَةٌ وَلَيْسَتْ عُقُوبَةً ثُمَّ هُوَ مُنْتَقِضٌ بِالِاسْتِرْقَاقِ لَا يَبْطُلُ بِالْإِسْلَامِ وَإِنْ وَجَبَ بِالْكُفْرِ ثُمَّ الْمَعْنَى فِي الْقَتْلِ أَنَّهُ وَجَبَ بِالْإِصْرَارِ عَلَى الْكُفْرِ وَقَدْ زَالَ الْإِصْرَارُ بِالْإِسْلَامِ فَلِذَلِكَ سَقَطَ وَالْجِزْيَةُ وَجَبَتْ مفاوضة عَنِ الْمُسَاكَنَةِ وَتِلْكَ الْمُسَاكَنَةُ لَمْ تَنْزِلْ فَلَمْ تسقط بالإسلام

Adapun jawaban terhadap qiyās mereka dengan pembunuhan adalah bahwa jizyah merupakan bentuk mu‘āwaḍah (imbalan) dan bukan hukuman. Kemudian, qiyās tersebut juga batal dengan adanya perbudakan, yang tidak gugur dengan masuk Islam meskipun diwajibkan karena kekufuran. Selanjutnya, makna dalam pembunuhan adalah bahwa hukuman itu diwajibkan karena tetapnya kekufuran, dan ketetapan itu telah hilang dengan masuk Islam, sehingga hukuman tersebut gugur. Adapun jizyah diwajibkan sebagai imbalan atas adanya hidup berdampingan, dan hidup berdampingan itu belum hilang, maka jizyah tidak gugur dengan masuk Islam.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ إِنَّهُمْ صَغَارٌ فَهُوَ أَنَّهُ مُنْتَقِضٌ بِالِاسْتِرْقَاقِ وَبِالْخَرَاجِ وَيَفْسُدُ بِالْحُدُودِ وَهِيَ عقوبة وإزلال وَلَا تَسْقُطُ بِالْعُقُوبَةِ بَعْدَ الْوُجُوبِ عَلَى أَنَّ الصَّغَارَ عَلَيْهِ فِي الْوُجُوبِ دُونَ الِاسْتِيفَاءِ وَقَدْ يمنع الإسلام من وجوب ما ل ايمنع مِنِ اسْتِيفَائِهِ كَذَلِكَ الْجِزْيَةُ

Adapun jawaban terhadap pernyataan mereka bahwa mereka adalah orang-orang yang berada dalam keadaan kehinaan (ṣighār), maka hal itu tertolak dengan adanya perbudakan (istirqāq) dan pajak tanah (kharāj), serta menjadi batal dengan adanya hudūd, yaitu hukuman dan penghinaan, dan tidak gugur dengan hukuman setelah kewajiban itu ditetapkan. Sesungguhnya kehinaan itu berkaitan dengan kewajiban, bukan dengan pelaksanaan. Islam bisa saja mencegah kewajiban sesuatu, namun tidak mencegah pelaksanaannya; demikian pula halnya dengan jizyah.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الْإِسْلَامَ لَا يُسْقِطُ مَا وَجَبَ مِنَ الجزية لم يخل إسلامه مِنْ أَنْ يَكُونَ بَعْدَ انْقِضَاءِ الْحَوْلِ أَوْ مِنْ تَضَاعِيفِهِ

Maka apabila telah tetap bahwa Islam tidak menggugurkan kewajiban membayar jizyah yang telah menjadi kewajiban, maka keislamannya tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah terjadi setelah berakhirnya satu tahun atau pada pecahan-pecahan waktunya.

فَإِنْ كَانَ بَعْدَ انْقِضَاءِ الْحَوْلِ وَاسْتِقْرَارِ الْوُجُوبِ اسْتُوفِيَتْ مِنْهُ جَبْرًا وَحُبِسَ بِهَا إِنِ امْتَنَعَ

Jika setelah berlalu satu tahun dan kewajiban telah tetap, maka zakat diambil darinya secara paksa dan ia ditahan karenanya jika menolak.

وَإِنْ كَانَ إِسْلَامُهُ فِي تَضَاعِيفِ الْحَوْلِ سَقَطَتْ عَنْهُ جِزْيَةُ مَا بَقِيَ مِنَ الحول وهل تؤخذ مِنْهُ جِزْيَةُ مَا مَضَى قَبْلَ إِسْلَامِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ مِنِ اخْتِلَافِ قَوْلَيِ الشَّافِعِيِّ فِي حَوْلِ الْجِزْيَةِ هَلْ هُوَ مَضْرُوبٌ لِلْوُجُوبِ أَوْ لَا

Jika seseorang masuk Islam di tengah-tengah tahun, maka jizyah untuk sisa tahun tersebut gugur darinya. Adapun apakah jizyah yang telah berlalu sebelum ia masuk Islam tetap diambil darinya atau tidak, terdapat dua pendapat dalam perbedaan pendapat Imam Syafi‘i mengenai tahun jizyah: apakah tahun tersebut ditetapkan sebagai syarat kewajiban atau tidak.

فَأَحَدُ قَوْلَيْهِ أَنَّهُ مَضْرُوبٌ لِلْوُجُوبِ كَالْحَوْلِ فِي الزَّكَاةِ فَعَلَى هَذَا لَا جِزْيَةَ عَلَيْهِ فِيمَا مَضَى مِنْهُ قَبْلَ إِسْلَامِهِ

Salah satu pendapat menyatakan bahwa itu ditetapkan untuk kewajiban, seperti haul dalam zakat. Maka berdasarkan pendapat ini, tidak ada jizyah atasnya untuk masa yang telah berlalu sebelum ia masuk Islam.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّهُ مَضْرُوبٌ لِلْأَدَاءِ كَالْحَوْلِ فِي عَقْلِ الدِّيَةِ فَعَلَى هَذَا تَجِبُ عَلَيْهِ جِزْيَةُ مَا مَضَى قَبْلَ إِسْلَامِهِ

Pendapat kedua menyatakan bahwa waktu tersebut ditetapkan untuk pelaksanaan, seperti haul dalam pembayaran diyat, sehingga menurut pendapat ini, ia tetap wajib membayar jizyah atas masa yang telah berlalu sebelum ia masuk Islam.

وَخَالَفَ أَبُو حَنِيفَةَ الْقَوْلَيْنِ مَعًا وَقَالَ الْجِزْيَةُ تَجِبُ بِأَوَّلِ الْحَوْلِ وَتُؤْخَذُ فِي أَوَّلِهِ وَلَيْسَ الْحَوْلُ فِيهَا مَضْرُوبًا لِلْوُجُوبِ وَلَا لِلْأَدَاءِ وِإِنَّمَا هُوَ مَضْرُوبٌ لِانْقِضَاءِ مُدَّتِهَا احْتِجَاجًا بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى قَاتِلُوا الَّذِينَ لا يؤمنون بالله ولا باليوم الآخر إِلَى قَوْلِهِ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ فَأَمَرَ بِالْكَفِّ عَنْ قِتَالِهِمْ بإعطاء الجزية فدل على استحقاقها بالكف عنه دُونَ الْحَوْلِ

Abu Hanifah berbeda pendapat dengan kedua pendapat tersebut dan mengatakan bahwa jizyah menjadi wajib pada awal tahun dan diambil pada awal tahun itu pula. Masa satu tahun pada jizyah bukanlah ditetapkan untuk kewajiban maupun untuk pelaksanaan pembayaran, melainkan hanya sebagai batas berakhirnya masa jizyah. Ia berdalil dengan firman Allah Ta‘ala: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari akhir,” hingga firman-Nya, “sampai mereka membayar jizyah dengan tangan mereka dalam keadaan tunduk.” Maka Allah memerintahkan untuk menghentikan peperangan terhadap mereka dengan pembayaran jizyah, sehingga hal itu menunjukkan bahwa jizyah menjadi hak dengan dihentikannya peperangan terhadap mereka, bukan karena telah berlalu satu tahun.

وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّهَا لَا يَتَعَلَّقُ بِأَوَّلِ الْحَوْلِ وُجُوبُهَا وَلَا أَدَاؤُهَا مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ كَتَبَ إِلَى أَهْلِ الْيَمَنِ أَنْ تُؤْخَذَ جِزْيَةُ أَهْلِ الْكِتَابِ مِنْ كُلِّ حَالِمٍ دِينَارًا فِي كُلِّ سَنَةٍ ” فَاقْتَضَى أَنْ يَكُونَ وُجُوبُهَا وَأَدَاؤُهَا بَعْدَ انْقِضَاءِ السَّنَةِ وَلِأَنَّهُ مَالٌ يَتَكَرَّرُ وُجُوبُهُ فِي كُلِّ حَوْلٍ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَلْزَمَ أَدَاؤُهُ قَبْلَ انْقِضَاءِ حَوْلِهِ كَالزَّكَاةِ وَالدِّيَةِ عَلَى الْعَاقِلَةِ

Dan dalil bahwa kewajiban dan penunaian jizyah tidak terkait dengan awal tahun adalah riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau menulis surat kepada penduduk Yaman agar jizyah dari Ahli Kitab diambil dari setiap orang dewasa sebesar satu dinar setiap tahun. Maka hal ini menunjukkan bahwa kewajiban dan penunaian jizyah itu setelah berakhirnya tahun. Karena jizyah adalah harta yang kewajibannya berulang setiap tahun, maka tidak wajib menunaikannya sebelum berakhirnya tahun, sebagaimana zakat dan diyat atas ‘āqilah.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الدِّيَةِ فَهُوَ أَنَّ الْمُرَادَ بِإِعْطَاءِ الْجِزْيَةِ ضَمَانُهَا دُونَ دَفْعِهَا لِإِجْمَاعِنَا عَلَى أَنَّهُمْ إِذَا ضَمِنُوا الْجِزْيَةَ حَرُمَ قَتْلُهُمْ قَبْلَ دَفْعِهَا

Adapun jawaban mengenai diyat adalah bahwa yang dimaksud dengan pemberian jizyah adalah penjaminannya, bukan pembayarannya, karena kita telah berijmā‘ bahwa apabila mereka telah menjamin jizyah, maka haram membunuh mereka sebelum mereka membayarnya.

فَصْلٌ

Fasal

وَإِذَا تَعَذَّرَ أَخْذُ الْجِزْيَةِ مِنَ الذِّمِّيِّ حَتَّى مَضَتْ عَلَيْهِ سَنَوَاتٌ لَمْ تَتَدَاخَلْ وَأُخِذَتْ مِنْهُ جِزْيَةُ مَا مَضَى مِنَ السِّنِينَ كُلِّهَا

Dan apabila tidak memungkinkan untuk memungut jizyah dari seorang dzimmi hingga berlalu beberapa tahun yang tidak berurutan, maka jizyah dari seluruh tahun-tahun yang telah berlalu tetap diambil darinya.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ تَتَدَاخَلُ وَلَا يُؤْخَذُ مِنْهُ إِلَّا جِزْيَةُ سَنَةٍ وَاحِدَةٍ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ الْجِزْيَةَ عُقُوبَةٌ فَوَجَبَ أَنْ لَا تَتَدَاخَلَ كَالْحُدُودِ

Abu Hanifah berkata: Jizyah itu saling masuk (berkaitan), dan tidak diambil darinya kecuali jizyah untuk satu tahun saja, dengan alasan bahwa jizyah adalah hukuman, maka wajib agar tidak saling masuk seperti hudud.

وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّهَا مَالٌ يَتَكَرَّرُ وُجُوبُهُ فِي كُلِّ حَوْلٍ فَوَجَبَ أَنْ لَا يَتَدَاخَلَ كَالزَّكَاةِ وَالدِّيَةِ عَلَى الْعَاقِلَةِ وَلِأَنَّ الْجِزْيَةَ مُعَاوَضَةٌ عَنْ حَقْنِ الدَّمِ وَالْمُسَاكَنَةِ فَوَجَبَ أَنْ لَا تَتَدَاخَلَ كَالْأُجْرَةِ

Dalil kami adalah bahwa ia merupakan harta yang kewajibannya berulang setiap tahun, maka wajib untuk tidak saling tumpang tindih, seperti zakat dan diyat atas ‘āqilah. Selain itu, jizyah adalah sebagai imbalan atas perlindungan darah dan hidup berdampingan, maka wajib untuk tidak saling tumpang tindih, seperti upah.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِ عَلَى الْحُدُودِ مَعَ انْتِقَاضِهِ بِمَنْ أَفْطَرَ بِجِمَاعٍ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ ثُمَّ أَفْطَرَ فِيهِ فِي يَوْمٍ ثَانٍ لَمْ تَتَدَاخَلِ الْكَفَّارَتَانِ وَإِنْ كَانَتَا مِنْ جِنْسٍ وَاحِدٍ فَهُوَ أَنَّ الْمَعْنَى فِي الْحُدُودِ أَنْ لَا مَالَ فِيهَا فَجَازَ أَنْ تَتَدَاخَلَ كَالْقَطْعِ فِي السَّرِقَةِ وَالْجِزْيَةُ مَالٌ فَلَمْ تَتَدَاخَلْ كَالْمَالِ فِيهَا

Adapun jawaban atas qiyās-nya dengan hudūd, meskipun telah dibatalkan dengan (kasus) seseorang yang berbuka karena jima‘ di bulan Ramadan, kemudian ia berbuka lagi pada hari lain di bulan itu, maka kedua kafārah tersebut tidak saling masuk meskipun keduanya dari jenis yang sama, adalah bahwa makna dalam hudūd adalah tidak ada unsur harta di dalamnya, sehingga boleh untuk saling masuk seperti (hukuman) potong tangan dalam pencurian. Sedangkan jizyah adalah harta, maka tidak boleh saling masuk, sebagaimana harta dalam hal itu.

فَإِذَا ثَبَتَ هَذَا وَغَابَ الذِّمِّيُّ سِنِينَ ثُمَّ عَادَ مُسْلِمًا وَادَّعَى تَقَدُّمَ إِسْلَامِهِ وَسُقُوطَ جِزْيَتِهِ فِي جَمِيعِ مُدَّتِهِ قَالَ الشَّافِعِيُّ قُبِلَ قَوْلُهُ فِي سُقُوطِهَا عَنْهَا وَأُحْلِفَ إِنِ اتُّهِمَ

Maka apabila hal ini telah tetap, lalu seorang dzimmi pergi selama bertahun-tahun kemudian kembali dalam keadaan Muslim dan mengaku bahwa ia telah masuk Islam sebelumnya dan bahwa jizyahnya telah gugur selama seluruh masa itu, menurut pendapat asy-Syafi‘i, pengakuannya diterima dalam hal gugurnya jizyah tersebut darinya, dan ia diminta bersumpah jika ada kecurigaan.

قَالَ الرَّبِيعُ وَفِيهَا قَوْلٌ آخَرُ أَنَّهُ لَا يُقْبَلُ مِنْهُ إِلَّا بِبَيِّنَةٍ لِأَنَّهَا عَلَى أَصْلِ الْوُجُوبِ فَلَمْ تَسْقُطْ بِمُجَرَّدِ الدَّعْوَى

Ar-Rabi‘ berkata: Ada pendapat lain dalam masalah ini, yaitu bahwa tidak diterima darinya kecuali dengan bukti, karena kewajiban itu tetap berdasarkan hukum asalnya, sehingga tidak gugur hanya dengan sekadar pengakuan.

وَالْأَشْبَهُ أَنَّهُ قَالَ مَذْهَبًا لِنَفْسِهِ وَلَيْسَ يَصِحُّ لِأَنَّهُ خُلْفٌ فِي أَصْلِ الْوُجُوبِ وَالْأَصْلُ بَرَاءَةُ الذِّمَّةِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بالصواب

Dan yang lebih mendekati adalah bahwa ia mengemukakan pendapat sebagai mazhab untuk dirinya sendiri, namun pendapat itu tidak sah karena bertentangan dengan dasar kewajiban, sedangkan asalnya adalah berlepasnya tanggungan (dari kewajiban). Dan Allah lebih mengetahui kebenaran.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَيَشْتَرِطُ عَلَيْهِمْ أَنَّ مَنْ ذَكَرَ كِتَابَ اللَّهِ تَعَالَى أَوْ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أو دين الله بما لا ينبغي أو زنى بمسلمة أو أصابها باسم نكاح أو فتن مسلما عن دينه أو قطع عليه الطريق أو أعان أهل الحرب بدلالة على المسلمين أو آوى عينا لهم فقد نقض عهده وأحل دمه وبرئت منه ذمة الله تعالى وذمة رسوله عليه الصلاة والسلام ويشترط عليهم أن لا يسمعوا المسلمين شركهم وقولهم في عزير والمسيح ولا يسمعونهم ضرب ناقوس وإن فعلوا عزروا ولا يبلغ بهم الحد “

Asy-Syafi‘i berkata, “Disyaratkan atas mereka bahwa siapa saja di antara mereka yang menyebut Kitab Allah Ta‘ala, atau Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau agama Allah dengan sesuatu yang tidak pantas, atau berzina dengan perempuan Muslimah, atau menzinainya dengan mengatasnamakan nikah, atau menyesatkan seorang Muslim dari agamanya, atau merampas di jalan, atau membantu musuh dengan menunjukkan jalan kepada kaum Muslimin, atau melindungi mata-mata mereka, maka sungguh ia telah membatalkan perjanjiannya, halal darahnya, dan terlepaslah jaminan Allah Ta‘ala dan jaminan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam darinya. Dan disyaratkan atas mereka agar tidak memperdengarkan kepada kaum Muslimin syirik mereka dan ucapan mereka tentang ‘Uzair dan Al-Masih, serta tidak memperdengarkan bunyi lonceng gereja. Jika mereka melakukannya, maka mereka diberi ta‘zir, namun tidak sampai pada hukuman had.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَجُمْلَتُهُ أَنَّ الْمَقْصُودَ بِعَقْدِ الْجِزْيَةِ تَقْوِيَةُ الْإِسْلَامِ وَإِعْزَازُهُ وَإِضْعَافُ الْكُفْرِ وَإِذْلَالُهُ لِيَكُونَ الْإِسْلَامُ أَعْلَى وَالْكُفْرُ أَخْفَضَ كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ

Al-Mawardi berkata, secara keseluruhan maksud dari akad jizyah adalah untuk memperkuat Islam dan memuliakannya, serta melemahkan kekufuran dan merendahkannya, agar Islam menjadi lebih tinggi dan kekufuran lebih rendah, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

الْإِسْلَامُ يَعْلُو وَلَا يُعْلَى

Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya.

فَكُلُّ مَا دَعَا إِلَى هَذَا كَانَ الْإِمَامُ مَأْمُورًا بِاشْتِرَاطِهِ عَلَيْهِمْ وَمَا يُؤْخَذُونَ بِهِ مِنْ ذَلِكَ فِي عَقْدِ جِزْيَتِهِمْ يَنْقَسِمُ خَمْسَةَ أَقْسَامٍ

Maka segala sesuatu yang mendorong kepada hal ini, imam diperintahkan untuk mensyaratkannya atas mereka, dan hal-hal yang mereka dibebani darinya dalam akad jizyah terbagi menjadi lima bagian.

أَحَدُهَا مَا وَجَبَ بِالْعَقْدِ دُونَ الشَّرْطِ

Salah satunya adalah apa yang menjadi wajib karena akad, bukan karena syarat.

وَالثَّانِي مَا وَجَبَ بِالشَّرْطِ وَاخْتُلِفَ فِي وُجُوبِهِ بِالْعَقْدِ

Yang kedua adalah sesuatu yang menjadi wajib karena syarat, dan terjadi perbedaan pendapat mengenai kewajibannya karena akad.

وَالثَّالِثُ مَا لَمْ يَجِبْ بِالْعَقْدِ وَوَجَبَ بِالشَّرْطِ

Ketiga, yaitu sesuatu yang tidak menjadi wajib karena akad, tetapi menjadi wajib karena syarat.

وَالرَّابِعُ مَا لَمْ يَجِبْ بِالْعَقْدِ وَاخْتُلِفَ فِي وُجُوبِهِ بِالشَّرْطِ

Keempat adalah sesuatu yang tidak wajib karena akad, dan para ulama berbeda pendapat tentang kewajibannya karena syarat.

وَالْخَامِسُ مَا لَمْ يَجِبْ بِعَقْدٍ وَلَا شَرْطٍ

Kelima, yaitu sesuatu yang tidak wajib karena akad maupun syarat.

فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ وَهُوَ مَا وَجَبَ بِالْعَقْدِ وَكَانَ الشَّرْطُ فِيهِ مُؤَكَّدًا لَا مُوجَبًا فَثَلَاثَةُ أَشْيَاءٍ

Adapun bagian pertama, yaitu apa yang menjadi kewajiban karena akad dan syarat di dalamnya bersifat penegasan, bukan sebagai sebab kewajiban, maka ada tiga hal.

أَحَدُهَا الْتِزَامُ الْجِزْيَةِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ أي يضمنوها

Salah satunya adalah kewajiban membayar jizyah, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Hingga mereka membayar jizyah dengan tangan mereka dalam keadaan tunduk,” yaitu mereka menjaminnya.

وَالثَّانِي الْتِزَامُ أَحْكَامِهَا بِالْإِسْلَامِ فِيمَا أَجَابُوهُ مِنَ المسلمين لقوله تعالى وهم صاغرون والصغار أَنْ تَجْرِيَ أَحْكَامُ الْإِسْلَامِ عَلَيْهِمْ

Kedua, mereka wajib mematuhi hukum-hukum Islam dalam hal-hal yang telah mereka setujui dari kaum muslimin, berdasarkan firman Allah Ta’ala: “sedangkan mereka dalam keadaan tunduk,” dan makna tunduk adalah bahwa hukum-hukum Islam berlaku atas mereka.

وَالثَّالِثُ أَنْ لَا يَجْتَمِعُوا عَلَى قِتَالِ الْمُسْلِمِينَ لِيَكُونُوا آمِنِينَ مِنْهُمْ كَمَا أَمِنُوهُمْ نَقْضًا لِعَهْدِهِمْ فَلَوْ قَاتَلَ الْمُسْلِمِينَ بَعْضُهُمْ وَقَعَدَ عَنْهُمْ بَعْضُهُمُ انْتَقَضَ عَقْدُ الْمُقَاتِلِ وَنُظِرَ فِي الْقَاعِدِ فَإِنْ ظَهَرَ مِنْهُ الرِّضَا كَانَ نَقْضًا لِعَهْدِهِ وَإِنْ لَمْ يَظْهَرْ مِنْهُ الرِّضَا كَانَ عَلَى عَهْدِهِ وَلَوِ امْتَنَعُوا جَمِيعًا مِنْ بَذْلِ الْجِزْيَةِ كَانَ نَقْضًا لِعَهْدِهِمْ سَوَاءٌ امْتَنَعُوا جَمِيعًا مِنِ الْتِزَامِهَا أَوْ مِنْ أَدَائِهَا وَإِنِ امْتَنَعَ وَاحِدٌ مِنْهُمْ مِنْ بَذْلِهَا نُظِرَ فَإِنِ امْتَنَعَ مِنِ الْتِزَامِهَا كَانَ نَقْضًا لِعَهْدِهِ كَالْجَمَاعَةِ وَإِنِ امْتَنَعَ مِنْ أَدَائِهَا مَعَ بَقَائِهِ عَلَى الْتِزَامِهَا لَمْ يَكُنْ نَقْضًا لِعَهْدِهِ وَأُخِذَتْ مِنْهُ بِخِلَافِ الْجَمَاعَةِ لِأَنَّ إِجْبَارَ الْجَمَاعَةِ عَلَيْهَا مُتَعَذِّرٌ وَإِجْبَارَ الْوَاحِدِ عَلَيْهَا مُمْكِنٌ

Ketentuan yang ketiga adalah mereka tidak boleh berkumpul untuk memerangi kaum Muslimin agar mereka (kaum Muslimin) merasa aman dari mereka sebagaimana mereka (ahludz-dzimmah) merasa aman dari kaum Muslimin; jika mereka melanggar hal ini, berarti mereka telah membatalkan perjanjian mereka. Jika sebagian dari mereka memerangi kaum Muslimin dan sebagian lainnya tidak ikut serta, maka perjanjian pihak yang memerangi batal, sedangkan terhadap pihak yang tidak ikut serta perlu diteliti: jika tampak adanya kerelaan dari mereka, maka itu juga membatalkan perjanjian mereka; namun jika tidak tampak kerelaan, maka mereka tetap berada di atas perjanjian mereka. Jika mereka semua menolak membayar jizyah, maka itu membatalkan perjanjian mereka, baik mereka semua menolak untuk berkomitmen terhadapnya maupun menolak untuk membayarnya. Jika hanya satu orang di antara mereka yang menolak membayar jizyah, maka perlu diteliti: jika ia menolak untuk berkomitmen terhadapnya, maka itu membatalkan perjanjiannya seperti halnya kelompok; namun jika ia hanya menolak membayar sementara ia tetap berkomitmen, maka itu tidak membatalkan perjanjiannya dan jizyah tetap diambil darinya, berbeda dengan kelompok, karena memaksa kelompok untuk membayar jizyah adalah hal yang sulit, sedangkan memaksa satu orang masih memungkinkan.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا يَنْتَقِضُ عَهْدُهُمْ إِذَا امْتَنَعُوا مِنْ أَدَائِهَا وَيَنْتَقِضُ إِذَا امْتَنَعُوا مِنْ بَذْلِهَا كَالْآحَادِ وَفِيمَا ذَكَرْنَا مِنَ الْفَرْقِ

Abu Hanifah berkata: “Perjanjian mereka tidak batal jika mereka enggan menunaikannya, tetapi batal jika mereka menolak untuk menyerahkannya, sebagaimana halnya pada individu-individu, dan dalam hal perbedaan yang telah kami sebutkan.”

فَصْلٌ

Bagian

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي وَهُوَ مَا وَجَبَ بِالشَّرْطِ وَاخْتُلِفَ فِي وُجُوبِهِ بِالْعَقْدِ وَهُوَ مَا مُنِعُوا مِنْهُ لِتَحْرِيمِهِ وَذَلِكَ سِتَّةُ أَشْيَاءَ

Adapun bagian kedua, yaitu apa yang diwajibkan karena syarat dan diperselisihkan kewajibannya melalui akad, yaitu sesuatu yang mereka dilarang darinya karena keharamannya, dan hal itu ada enam perkara.

أَحَدُهَا أَنْ لَا يَذْكُرُوا كِتَابَ اللَّهِ بِطَعْنٍ عَلَيْهِ وَلَا تَحْرِيفٍ لَهُ

Salah satunya adalah mereka tidak menyebut Kitab Allah dengan celaan terhadapnya atau melakukan tahrif (penyimpangan) terhadapnya.

وَالثَّانِي أَنْ لَا يَذْكُرُوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِتَكْذِيبٍ لَهُ وَلَا إِزْرَاءٍ عَلَيْهِ

Kedua, mereka tidak boleh menyebut Rasulullah saw. dengan mendustakan beliau atau merendahkan beliau.

وَالثَّالِثُ أَنْ لَا يَذْكُرُوا دِينَ اللَّهِ بِذَمٍّ لَهُ وَلَا قَدْحٍ فِيهِ

Dan yang ketiga adalah mereka tidak menyebut agama Allah dengan celaan atau merendahkannya.

وَالرَّابِعُ أَنْ لَا يَفْتِنُوا مُسْلِمًا عَنْ دِينِهِ وَلَا يَتَعَرَّضُوا لِدَمِهِ أَوْ مَالِهِ

Keempat, mereka tidak boleh memfitnah seorang Muslim dari agamanya dan tidak boleh mengganggu darah atau hartanya.

وَالْخَامِسُ أَنْ لَا يُصِيبُوا مُسْلِمَةً بِزِنًا وَلَا بِاسْمِ نِكَاحٍ

Kelima, mereka tidak boleh menodai seorang perempuan Muslimah dengan perzinaan, maupun dengan nama pernikahan.

وَالسَّادِسُ أَنْ لَا يُعِينُوا أَهْلَ الحرب ولا يؤوا عَيْنًا لَهُمْ وَلَا يَنْقُلُوا أَخْبَارَ الْمُسْلِمِينَ إِلَيْهِمْ

Keenam, mereka tidak boleh membantu pihak yang memerangi (kaum Muslimin), tidak boleh melindungi mata-mata mereka, dan tidak boleh menyampaikan berita-berita kaum Muslimin kepada mereka.

فَهَذِهِ السِّتَّةُ تَجِبُ بِالشَّرْطِ وَفِي وُجُوبِهَا بِالْعَقْدِ قَوْلَانِ

Enam hal ini wajib karena syarat, dan mengenai kewajibannya karena akad terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا تَجِبُ بِالْعَقْدِ وَيَكُونُ الشَّرْطُ تَأْكِيدًا تَعْلِيلًا بِدُخُولِ الضَّرَرِ بِهَا عَلَى الْمُسْلِمِينَ فَعَلَى هَذَا إِنْ خَالَفُوهَا انْتَقَضَ عَهْدُهُمْ

Salah satunya wajib karena akad, dan syarat tersebut menjadi penegasan sebagai alasan karena adanya mudarat yang ditimbulkan olehnya terhadap kaum Muslimin. Maka berdasarkan hal ini, jika mereka melanggarnya, perjanjian mereka menjadi batal.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي إِنَّهَا لَا تَجِبُ بِالْعَقْدِ تَعْلِيلًا بِدُخُولِهِمْ تَحْتَ الْقُدْرَةِ وَخُرُوجِهَا عَنْ لَوَازِمِ الْجِزْيَةِ لَكِنَّهَا تَلْزَمُ بِالشَّرْطِ لِتَحْرِيمِهَا وَظُهُورِ الضَّرَرِ بِهَا وَقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ ” فَعَلَى هَذَا إِنْ خَالَفُوهَا بَعْدَ اشْتِرَاطِهَا فَفِي انْتِقَاضِ عَهْدِهِمْ بِهَا قَوْلَانِ

Pendapat kedua menyatakan bahwa kewajiban tersebut tidak berlaku hanya dengan akad, dengan alasan bahwa mereka (ahludz-dzimmah) telah masuk dalam kekuasaan (Islam) dan kewajiban tersebut bukan termasuk konsekuensi jizyah. Namun, kewajiban itu menjadi mengikat jika disyaratkan, karena keharamannya dan jelasnya mudarat yang ditimbulkannya, serta berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Kaum Muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka.” Berdasarkan hal ini, jika mereka melanggarnya setelah syarat itu ditetapkan, maka terdapat dua pendapat mengenai batal atau tidaknya perjanjian mereka karenanya.

أَحَدُهُمَا يَنْتَقِضُ بِهَا عَهْدُهُمْ لِلُزُومِهَا بِالشَّرْطِ

Salah satunya adalah batalnya perjanjian mereka karena kewajiban menunaikannya berdasarkan syarat.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي لَا يَنْتَقِضُ بِهَا عَهْدُهُمْ لِخُرُوجِهَا عَنْ لَوَازِمِ الْعَقْدِ

Pendapat kedua menyatakan bahwa perjanjian mereka tidak batal karenanya, karena hal itu keluar dari konsekuensi akad.

فَصْلٌ

Fasal

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ وَهُوَ مَا لَا يَجِبُ بِالْعَقْدِ وَيَجِبُ بِالشَّرْطِ وَهُوَ مَا مَنَعُوا مِنْهُ لِأَنَّهُ مُنْكَرٌ فَذَلِكَ سِتَّةُ أَشْيَاءَ

Adapun bagian ketiga, yaitu sesuatu yang tidak wajib karena akad namun menjadi wajib karena syarat, dan itulah yang mereka larang karena dianggap mungkar, maka hal itu ada enam perkara.

أَحَدُهَا أَنْ لَا يَعْلُوا عَلَى الْمُسْلِمِينَ فِي الْأَبْنِيَةِ وَيَكُونُوا إِنْ لَمْ يَنْخَفِضُوا عَنْهُمْ مُسَاوِينَ لَهُمْ

Salah satunya adalah bahwa mereka (non-Muslim) tidak boleh membangun bangunan yang lebih tinggi dari kaum Muslimin, dan jika mereka tidak dapat merendahkan bangunannya, maka bangunan mereka harus setara tingginya dengan bangunan kaum Muslimin.

وَالثَّانِي أَنْ لَا يُحْدِثُوا فِي بِلَادِ الْإِسْلَامِ بَيْعَةً وَلَا كَنِيسَةً وَإِنْ أُقِرُّوا عَلَى مَا تَقَدَّمَ مِنْ بِيَعِهِمْ وَكَنَائِسِهِمْ

Yang kedua, mereka tidak boleh membangun gereja atau rumah ibadah baru di negeri Islam, meskipun mereka tetap diizinkan untuk mempertahankan gereja dan rumah ibadah yang telah ada sebelumnya.

وَالثَّالِثُ أَنْ لَا يُجَاهِرُوا الْمُسْلِمِينَ بِإِظْهَارِ صُلْبَانِهِمْ

Dan yang ketiga adalah mereka tidak menampakkan salib-salib mereka secara terang-terangan di hadapan kaum Muslimin.

وَالرَّابِعُ أَنْ لَا يَتَظَاهَرُوا بِشُرْبِ خُمُورِهِمْ وَخَنَازِيرِهِمْ وَلَا يَسْقُوا مُسْلِمًا خَمْرًا وَلَا يُطْعِمُونَهُمْ خِنْزِيرًا

Keempat, mereka tidak menampakkan secara terang-terangan minum khamar dan memakan babi mereka, serta tidak memberikan minuman khamar kepada seorang Muslim dan tidak pula memberinya makan daging babi.

وَالْخَامِسُ أَنْ لَا يَتَظَاهَرُوا بِمَا قَدَّرَهُ الشَّرْعُ مِنْ قَوْلِهِمْ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَالْمَسِيحُ

Kelima, mereka tidak boleh menampakkan secara terang-terangan apa yang telah ditetapkan syariat dari ucapan mereka, “Uzair adalah putra Allah” dan “Al-Masih adalah putra Allah.”

وَالسَّادِسُ أَنْ لَا يُظْهِرُوا بِتِلَاوَةِ مَا نُسِخَ مِنْ كُتُبِهِمْ وَلَا يُظْهِرُوا فِعْلَ مَا نُسِخَ مِنْ صَلَوَاتِهِمْ وَأَصْوَاتِ نَوَاقِيسِهِمْ

Keenam, mereka tidak boleh menampakkan bacaan dari kitab-kitab mereka yang telah dinasakh, dan tidak boleh menampakkan pelaksanaan shalat-shalat mereka yang telah dinasakh, serta suara lonceng-lonceng mereka.

فَهَذِهِ سِتَّةٌ تَجِبُ عَلَيْهِمْ بِالشَّرْطِ لِأَنَّهَا مَنَاكِيرُ لَزِمَ الْمَنْعُ مِنْهَا بِالشَّرْعِ فَإِنْ خَالَفُوهَا فَفِي بُطْلَانٍ عَهْدِهِمْ بِهَا قَوْلَانِ عَلَى مَا مَضَى

Maka, enam hal ini wajib atas mereka berdasarkan syarat, karena hal-hal tersebut merupakan kemungkaran yang wajib dicegah menurut syariat. Jika mereka melanggarnya, maka terdapat dua pendapat mengenai batal atau tidaknya akad mereka karenanya, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

فَصْلٌ

Fasal

وَأَمَّا الْقِسْمُ الرَّابِعُ وَهُوَ مَا لَمْ يَجِبْ بِالْعَقْدِ وَاخْتُلِفَ فِي وُجُوبِهِ بِالشَّرْطِ وَهُوَ مَا مُنِعُوا مِنْهُ لِتَطَاوُلِهِمْ بِهِ وَذَلِكَ سِتَّةُ أَشْيَاءٍ

Adapun bagian keempat, yaitu sesuatu yang tidak wajib karena akad dan diperselisihkan kewajibannya karena syarat, yaitu sesuatu yang mereka dilarang darinya karena mereka dapat melampaui batas dengannya, dan hal itu ada enam perkara.

أَحَدُهَا أَنْ يُمْنَعُوا مِنْ رُكُوبِ الْخَيْلِ عِتَاقًا وَهِجَانًا وَلَا يُمْنَعُوا مِنْ رُكُوبِ الْبِغَالِ وَالْحَمِيرِ

Salah satunya adalah mereka dilarang menunggang kuda yang bagus dan cepat, baik kuda Arab maupun kuda campuran, namun mereka tidak dilarang menunggang bighal (bagal) dan keledai.

وَالثَّانِي تَغْيِيرُ هَيْئَاتِهِمْ بِلُبْسِ الْغُبَارِ وَشَدِّ الزُّنَّارِ لِيَتَمَيَّزُوا مِنَ الْمُسْلِمِينَ بِاخْتِلَافِ الهيئة ولواحدة نِسَائِهِمْ إِذَا بَرَزَتْ بِأَنْ يَكُونَ أَحَدُ الْخُفَّيْنِ أَحْمَرَ وَالَآخَرُ أَسْوَدَ لِيَتَمَيَّزَ بِهِ نِسَاؤُهُمْ

Yang kedua adalah mengubah penampilan mereka dengan mengenakan pakaian berdebu dan mengikatkan zunnar agar mereka dapat dibedakan dari kaum Muslimin melalui perbedaan penampilan, dan untuk perempuan mereka apabila keluar rumah, yaitu dengan cara salah satu dari kedua sepatu mereka berwarna merah dan yang lainnya berwarna hitam, agar perempuan mereka dapat dikenali dengan hal itu.

وَأَنْ يَكُونَ عَلَى أَبْوَابِهِمْ أَثَرٌ يَتَمَيَّزُ بِهَا دُورُهُمْ فَقَدْ أَخَذَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بَعْضَ أَهْلِ الذِّمَّةِ بِذَلِكَ فَكَانَ أَوْلَى

Dan hendaknya pada pintu-pintu rumah mereka terdapat tanda yang membedakan rumah mereka, karena Umar radhiyallahu ‘anhu pernah memberlakukan hal itu kepada sebagian ahludz-dzimmah, maka hal itu lebih utama.

وَالثَّالِثُ أَنْ يُخْفُوا دَفْنَ مَوْتَاهُمْ وَلَا يُظْهِرُوا إِخْرَاجَ جَنَائِزِهِمْ وَالرَّابِعُ أَنْ لَا يُظْهِرُوا عَلَى مَوْتَاهُمْ لَطْمًا وَلَا نَدْبًا وَلَا نَوْحًا وَالْخَامِسُ أَنْ لَا يَدْخُلُوا مَسَاجِدَنَا صِيَانَةً لَهَا مِنْهُمْ وَالسَّادِسُ أَنْ لَا يَتَمَلَّكُوا مِنْ رَقِيقِ الْمُسْلِمِينَ عَبْدًا وَلَا أَمَةً لِئَلَّا يُذِلُّوهُمْ بِالِاسْتِرْقَاقِ وَيَحْمِلُوهُمْ عَلَى الِارْتِدَادِ فَهَذِهِ السِّتَّةُ إِنْ لَمْ تُشْتَرَطْ عَلَيْهِمْ لَمْ تَلْزَمْهُمْ وَفِي لُزُومِهَا إِذَا شُرِطَتْ عَلَيْهِمْ وَجْهَانِ أَحَدُهُمَا لَا تَلْزَمُ لِخُرُوجِهَا عَلَى مُحَرَّمٍ وَمُنْكَرٍ فَعَلَى هَذَا إِنْ خَالَفُوهَا بَعْدَ اشْتِرَاطِهَا غزروا عَلَيْهَا وَلَمْ يَنْتَقِضْ بِهَا عَهْدُهُمْ وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهَا تَلْزَمُ بِالشَّرْطِ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” الْإِسْلَامُ يَعْلُو وَلَا يُعْلَى عَلَيْهِ ” فَعَلَى هَذَا إذا خالفوها بعد بالشرط فَعَلَى انْتِقَاضِ عَهْدِهِمْ بِهَا قَوْلَانِ عَلَى مَا مَضَى

Ketiga, mereka harus menyembunyikan pemakaman jenazah mereka dan tidak menampakkan pengeluaran jenazah mereka. Keempat, mereka tidak boleh menampakkan ratapan, meratapi, atau meratap keras atas kematian mereka. Kelima, mereka tidak boleh memasuki masjid-masjid kita sebagai bentuk penjagaan terhadap masjid dari mereka. Keenam, mereka tidak boleh memiliki budak laki-laki atau perempuan dari kalangan kaum Muslimin, agar mereka tidak menghinakan kaum Muslimin dengan perbudakan dan tidak memaksa mereka untuk murtad. Enam hal ini, jika tidak disyaratkan atas mereka, maka tidak wajib bagi mereka. Adapun tentang kewajibannya jika disyaratkan atas mereka, terdapat dua pendapat: salah satunya, tidak wajib karena hal itu termasuk perkara yang diharamkan dan mungkar; menurut pendapat ini, jika mereka melanggarnya setelah disyaratkan, maka mereka hanya dikenai sanksi atas pelanggaran tersebut dan perjanjian mereka tidak batal karenanya. Pendapat kedua, bahwa hal itu menjadi wajib karena adanya syarat, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya.” Menurut pendapat ini, jika mereka melanggarnya setelah disyaratkan, maka mengenai batal atau tidaknya perjanjian mereka, terdapat dua pendapat sebagaimana telah disebutkan.

فَصْلٌ

Fasal

وَأَمَّا الْقِسْمُ الْخَامِسُ وَهُوَ مَا لَا يَجِبُ بِعَقْدٍ وَلَا شَرْطٍ وَهُوَ مَا زَادَ عَلَى إِذْلَالِهِمْ وَذَلِكَ سِتَّةُ أَشْيَاءٍ أَحَدُهَا أَنْ لَا يُعْلُوا أَصْوَاتهُمْ عَلَى الْمُسْلِمِينَ وَالثَّانِي أَنْ لَا يَتَقَدَّمُوا عَلَيْهِمْ فِي الْمَجَالِسِ وَالثَّالِثُ لَا يُضَايِقُوهُمْ فِي الطَّرِيقِ وَلَا يَمْشُوا فِيهَا إِلَّا أَفْرَادًا مُتَفَرِّقِينَ وَالرَّابِعُ أَنْ يَبْدَءُوهُمْ بِالسَّلَامِ وَلَا يُسَاوُوهُمْ فِي الرَّدِّ فَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” اضْطَرُّوهُمْ إِلَى أَضْيَقِ الطُرُقِ وَلَا تَبْدَءُوهُمْ بِالسَّلَامِ ” وَالْخَامِسُ إِذَا اسْتَعَانَ بِهِمْ مُسْلِمٌ فيما لا يستضروا بِهِ أَعَانُوهُ وَالسَّادِسُ أَنْ لَا يَسْتَبْذِلُوا الْمُسْلِمِينَ مِنْ مِهَنِ الْأَعْمَالِ بِأَجْرٍ وَلَا تَبَرُّعٍ فَهَذِهِ السِّتَّةُ تُشْتَرَطُ عَلَيْهِمْ إِذْلَالًا لَهُمْ فَإِنْ خَالَفُوهَا لَمْ يَنْتَقِضْ بِهَا عَهْدُهُمْ وَجبِرُوا عَلَيْهَا إِنِ امْتَنَعُوا مِنْهَا فَإِنْ أَقَامُوا عَلَى الِامْتِنَاعِ عُزِّرُوا

Adapun bagian kelima, yaitu hal-hal yang tidak wajib berdasarkan akad maupun syarat, yaitu hal-hal yang melebihi dari merendahkan mereka, dan itu ada enam perkara: Pertama, mereka tidak boleh mengeraskan suara mereka di atas suara kaum Muslimin; kedua, mereka tidak boleh mendahului kaum Muslimin dalam majelis; ketiga, mereka tidak boleh menyempitkan jalan bagi kaum Muslimin dan tidak berjalan di jalan itu kecuali secara terpisah dan sendiri-sendiri; keempat, mereka harus memulai salam kepada kaum Muslimin dan tidak menyamai mereka dalam membalas salam, sebagaimana telah diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: “Paksa mereka ke jalan yang paling sempit dan jangan kalian memulai salam kepada mereka”; kelima, jika seorang Muslim meminta bantuan kepada mereka dalam sesuatu yang tidak membahayakan mereka, maka mereka wajib membantunya; keenam, mereka tidak boleh menggantikan kaum Muslimin dalam pekerjaan-pekerjaan dengan upah maupun secara sukarela. Keenam perkara ini disyaratkan atas mereka sebagai bentuk merendahkan mereka. Jika mereka melanggarnya, maka perjanjian mereka tidak batal karenanya, namun mereka dipaksa untuk melaksanakannya jika mereka enggan, dan jika mereka tetap menolak, maka mereka diberi hukuman ta‘zīr.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا يَنْتَقِضُ بِهِ الْعَهْدُ وَلَا يَنْتَقِضُ فَإِنْ لَمْ يَنْتَقِضْ بِهِ عَهْدُهُمْ أُخِذُوا بِمَا وَجَبَ عَلَيْهِمْ مِنَ الْحُقُوقِ وَأُقِيمَ عَلَيْهِمْ مِنْ قَتْلٍ وَلَزِمَهُ مِنْ حَدٍّ وَقُوِّمُوا بِهِ مِنْ تَأْدِيبٍ وَإِنِ انْتَقَضَ عَهْدُهُمْ نُظِرَ حَالُهُمْ بَعْدَ نَقْضِهِمْ فَإِنْ قَاتَلُوا بَطَلَ أَمَانُهُمْ وَكَانُوا حَرْبًا يُقْتَلُونَ وَيُسْتَرَقُّونَ وَإِنْ لَمْ يُقَاتِلُونَا فَفِي بُطْلَانِ أَمَانِهِمْ بِانْتِقَاضِ عَهْدِهِمْ قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا نَصَّ عَلَيْهِ فِي كِتَابِ الْجِزْيَةِ أَنَّ أَمَانَهُمْ لَا يَبْطُلُ بِنَقْضِ الْعَهْدِ لِأَنَّهُ مُسْتَحَقٌّ فِي عَقْدٍ فَالْتَزَمْنَا حُكْمَهُ وَإِنْ لَمْ يَلْتَزِمُوهُ وَلَا يَجُوزُ بَعْدَ نَقْضِ الْعَهْدِ أَنْ يُقَرُّوا فِي دَارِ الْإِسْلَامِ وَلَزِمَ أَنْ يَبْلُغُوا مَأْمَنَهُمْ ثُمَّ يَكُونُوا بَعْدَ بُلُوغِ مَأْمَنِهِمْ حَرْبًا وَالْقَوْلُ الثَّانِي نَصَّ عَلَيْهِ فِي كِتَابِ النِّكَاحِ مِنَ الْأُمِّ أَنَّ أَمَانَهُمْ قَدْ بَطَلَ لِأَنَّهُ مُسْتَحَقٌّ بِالْعَهْدِ فَبَطَلَ بِانْتِقَاضِهِ مَا اسْتَحَقَّ بِهِ كَسَائِرِ الْعُقُودِ فَعَلَى هَذَا قَدْ صَارُوا بِبُطْلَانِ الْأَمَانِ حَرْبًا يَجْرِي عَلَيْهِمْ حُكْمُ الْأَسْرَى إِمَّا الِاسْتِرْقَاقُ أَوِ الْمَنُّ أَوِ الْفِدَاءُ فَلَوْ أَسْلَمُوا قَبْلَهَا سَقَطَتْ عَنْهُمْ وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُسْتَرَقُّوا وَيُفَادَوْا بَعْدَ إِسْلَامِهِمْ وَإِنْ جَازَ اسْتِرْقَاقُ الْأَسِيرِ الْمُحَارِبِ بَعْدَ إِسْلَامِهِ لِأَنَّ لِهَؤُلَاءِ أَمَانًا مُتَقَدِّمًا لَمْ يَكُنْ لِلْأَسِيرِ فَصَارَ حُكْمُهُمْ بِهِ أَضْعَفَ وَأَخَفَّ مِنَ الْأَسِيرِ فَأَمَّا أَمَانُ ذَرَارِيهِمْ مِنَ النِّسَاءِ وَالصِّبْيَانِ فَفِي بُطْلَانِ أَمَانِهِمْ وَجْهَانِ أَحَدُهُمَا يَبْطُلُ لِأَنَّهُمْ تَبَعٌ فِي لُزُومِهِ فَكَانُوا تَبَعًا فِي بُطْلَانِهِ فَيَصِيرُوا سَبْيًا وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ أَظْهَرُ أَنَّ أَمَانَهُمْ لَا يَبْطُلُ لِاسْتِقْرَارِهِ فِيهِمْ فَلَمْ يَبْطُلْ بِبُطْلَانِهِ فِي غَيْرِهِمْ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُسْبَوْا وَيَجُوزَ إِقْرَارُهُمْ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ فَإِنْ سَأَلُوا الرُّجُوعَ لِدَارِ الْحَرْبِ أُعِيدَ الصِّبْيَانُ لِأَنَّهُ لَا حُكْمَ لِاخْتِيَارِ مَنْ لَمْ يَبْلُغْ وَأَقَامَ الصِّبْيَانَ حَتَّى يَبْلُغُوا ثُمَّ يُخَاطَبُوا بِالْجِزْيَةِ فَإِنِ الْتَزَمُوهَا اسْتُؤْنِفَ عَهْدُهُمْ عَلَيْهَا وَإِنِ امْتَنَعُوا مِنْهَا بَلَغُوا مَأْمَنَهُمْ ثُمَّ كَانُوا حَرْبًا فَإِنْ لَمْ يَبْلُغِ الصغار مطلبهم أهلوهم مِنْ دَارِ الْحَرْبِ نُظِرَ فَإِنْ كَانَ طَالِبُهُمْ هُوَ الْمُسْتَحِقَّ لِحَضَانَتِهِمْ أُجِيبَ إِلَى رَدِّهِمْ عَلَيْهِ وَإِنْ كَانَ غَيْرَ الْمُسْتَحِقِّ لِحَضَانَتِهِمْ مُنِعَ مِنْهُمْ

Jika telah ditetapkan hal-hal yang membatalkan dan tidak membatalkan perjanjian, maka jika perjanjian mereka tidak batal karenanya, mereka tetap dikenai kewajiban hak-hak yang harus mereka penuhi, ditegakkan atas mereka hukuman qishash, dikenai hudud, dan dididik dengan ta‘zīr. Namun jika perjanjian mereka batal, maka dilihat keadaan mereka setelah membatalkannya. Jika mereka memerangi, maka jaminan keamanan mereka batal dan mereka menjadi musuh yang boleh diperangi, dibunuh, dan diperbudak. Jika mereka tidak memerangi kita, maka dalam hal batalnya jaminan keamanan mereka karena pembatalan perjanjian, terdapat dua pendapat. Salah satunya, sebagaimana dinyatakan dalam Kitab Jizyah, bahwa jaminan keamanan mereka tidak batal dengan pembatalan perjanjian, karena jaminan itu diperoleh melalui akad yang telah kita sepakati hukumnya, meskipun mereka tidak mematuhinya. Namun, setelah pembatalan perjanjian, tidak boleh lagi mereka tetap tinggal di Darul Islam, dan mereka wajib mencapai tempat aman mereka, kemudian setelah sampai di tempat aman, mereka menjadi musuh. Pendapat kedua, sebagaimana dinyatakan dalam Kitab Nikah dari al-Umm, bahwa jaminan keamanan mereka telah batal, karena jaminan itu diperoleh melalui perjanjian, sehingga batal dengan batalnya perjanjian, sebagaimana akad-akad lainnya. Maka, dengan batalnya jaminan keamanan, mereka menjadi musuh yang berlaku atas mereka hukum tawanan, yaitu boleh diperbudak, dimerdekakan, atau ditebus. Jika mereka masuk Islam sebelum itu, maka hukuman tersebut gugur dari mereka, dan tidak boleh diperbudak atau ditebus setelah mereka masuk Islam, meskipun diperbolehkan memperbudak tawanan musuh setelah masuk Islam, karena mereka memiliki jaminan keamanan sebelumnya yang tidak dimiliki oleh tawanan, sehingga hukum mereka lebih ringan daripada tawanan. Adapun jaminan keamanan anak-anak dan wanita mereka, terdapat dua pendapat tentang batal atau tidaknya. Salah satunya, batal, karena mereka mengikuti dalam kewajiban, maka mereka juga mengikuti dalam pembatalan, sehingga mereka menjadi tawanan. Pendapat kedua, dan ini yang lebih kuat, bahwa jaminan keamanan mereka tidak batal karena telah tetap pada mereka, sehingga tidak batal dengan batalnya pada selain mereka, maka tidak boleh mereka dijadikan tawanan dan boleh tetap tinggal di Darul Islam. Jika mereka meminta kembali ke Darul Harb, maka anak-anak dikembalikan, karena tidak ada hukum bagi pilihan anak yang belum baligh, dan anak-anak tetap tinggal sampai mereka baligh, lalu mereka ditawari jizyah. Jika mereka menerima, maka perjanjian mereka diperbarui atasnya, dan jika menolak, mereka dikirim ke tempat aman mereka, lalu menjadi musuh. Jika anak-anak belum mencapai tujuan mereka, lalu keluarga mereka dari Darul Harb menuntut mereka, maka dilihat; jika yang menuntut adalah orang yang berhak mengasuh mereka, maka dikabulkan untuk dikembalikan kepadanya, dan jika bukan yang berhak mengasuh, maka tidak diberikan.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَلَا يُحْدِثُوا فِي أَمْصَارِ الْإِسْلَامِ كَنِيسَةً وَلَا مَجْمَعًا لِصَلَاتِهِمْ وَلَا يُظْهِرُوا فِيهَا حَمْلَ خَمْرٍ وَلَا إِدْخَالَ خِنْزِيرٍ ” قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا قَدْ دَخَلَ فِي جُمْلَةِ الْقِسْمِ الثَّالِثِ مِنْ مُنْكَرَاتِهِمْ فيمنعوا مِنْ إِحْدَاثِ الْبِيَعِ وَالْكَنَائِسِ فِي أَمْصَارِ الْمُسْلِمِينَ لِمَا رَوَى مَسْرُوقٌ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ غَنْمٍ قَالَ لَمَّا صَالَحَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ نَصَارَى الشَّامِ كَتَبَ لَهُمْ كِتَابًا فَذَكَرَ فِيهِ إنَّهُمْ لَا يَبْنُونَ فِي بِلَادِهِمْ وَلَا فِيمَا حَوْلَهَا دِيرًا وَلَا كَنِيسَةً وَلَا صَوْمَعَةَ رَاهِبٍ وَأَنْ لَا يَمْنَعُوا الْمَارَّةَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَأَبْنَاءِ السَّبِيلِ وَأَنْ لَا يُجَدِّدُوا مَا خَرِبَ مِنْهَا ذَكَرَهُ أَبُو الْوَلِيدِ فِي الْمُخَرَّجِ عَلَى كِتَابِ الْمُزَنِيِّ وَلِأَنَّ إِحْدَاثَهَا مَعْصِيَةٌ لِاجْتِمَاعِهِمْ فِيهَا عَلَى إِظْهَارِ الْكُفْرِ وَلِذَلِكَ أَبْطَلْنَا الْوُقُوفَ عَلَى الْبِيَعِ وَالْكَنَائِسِ وَعَلَى كُتُبِ التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ وَلِأَنَّهُمْ يَقْتَطِعُونَ مَا بَنَوْهُ مِنْ غَيْرِ إِظْهَارِ الْإِسْلَامِ فِيهَا وَيَجِبُ أَنْ يَكُونَ الْإِسْلَامُ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ ظَاهِرًا فَلِهَذِهِ الْأُمُورِ الثَّلَاثَةِ مُنِعُوا فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّ حُكْمَ بِلَادِ الْإِسْلَامِ مَوْضُوعَةٌ عَلَى هَذَا لَمْ يَخْلُ حَالُهُمْ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ أَحَدُهَا مَا أَحْيَاهُ الْمُسْلِمُونَ وَالثَّانِي مَا فَتَحُوهُ عَنْوَةً وَالثَّالِثُ مَا فَتَحُوهُ صُلْحًا فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ وَهُوَ مَا ابْتَدَأَ الْمُسْلِمُونَ إِنْشَاءَهُ فِي بِلَادِ الْإِسْلَامِ مِنْ مَوَاتٍ لَمْ يَجْرِ عَلَيْهِ مِلْكٌ كَالْبَصْرَةِ وَالْكُوفَةِ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُصَالَحَ لِأَهْلِ الذِّمَّةِ فِي نُزُولِهَا عَلَى إِحْدَاثِ بَيْعَةٍ وَلَا كَنِيسَةٍ فِيهَا لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يُصَالَحُوا عَلَى مَا يَمْنَعُ مِنْهُ الشَّرْعُ وَيَكُونُ خَارِجًا مِنْ جُمْلَةِ صُلْحِهِمْ وَإِنْ تَمَسَّكُوا فِيهِ بِعَقْدِ الصُّلْحِ قِيلَ لَهُمْ إِنْ رَضِيتُمْ بِإِبْطَالِ هَذَا مِنْهُ وَإِلَّا نَقَضْنَا عَهْدَكُمْ وَبَلَّغْنَاكُمْ مَآمِنَكُمْ وَلَا يَبْطُلُ أَمَانُهُمْ بِنَقْضِنَا بِعَهْدِهِمْ لِأَنَّنَا نَحْنُ نَقَضْنَاهُ بِمَا مَنَعَ الشَّرْعُ مِنْهُ

Imam Syafi‘i berkata, “Dan mereka (ahli dzimmah) tidak boleh membangun gereja atau tempat pertemuan untuk ibadah mereka di kota-kota Islam, dan mereka tidak boleh menampakkan membawa khamar atau memasukkan babi ke dalamnya.” Al-Mawardi berkata, “Ini termasuk dalam kategori ketiga dari kemungkaran-kemungkaran mereka, yaitu mereka dilarang membangun gereja dan tempat ibadah di wilayah kaum Muslimin, berdasarkan riwayat dari Masruq dari ‘Abdurrahman bin Ghanm, ia berkata: Ketika ‘Umar bin al-Khaththab berdamai dengan kaum Nasrani Syam, ia menuliskan surat kepada mereka yang di dalamnya disebutkan bahwa mereka tidak boleh membangun biara, gereja, atau tempat pertapaan rahib di negeri mereka maupun di sekitarnya, dan mereka tidak boleh menghalangi orang-orang yang lewat dari kaum Muslimin dan para musafir, serta tidak boleh memperbarui apa yang telah rusak darinya.” Hal ini disebutkan oleh Abu al-Walid dalam al-Mukharraj ‘ala Kitab al-Muzani. Sebab, membangun tempat-tempat tersebut adalah maksiat karena mereka berkumpul di sana untuk menampakkan kekufuran, dan karena itu pula kami membatalkan wakaf atas gereja, tempat ibadah, serta atas kitab Taurat dan Injil. Selain itu, mereka membangun tempat-tempat tersebut tanpa menampakkan Islam di dalamnya, padahal Islam harus tampak di Dar al-Islam. Karena tiga alasan inilah mereka dilarang. Jika telah ditetapkan bahwa hukum negeri-negeri Islam didasarkan atas hal ini, maka keadaan mereka tidak lepas dari tiga bagian: pertama, tanah yang dihidupkan oleh kaum Muslimin; kedua, tanah yang dibuka dengan peperangan (‘anwah); dan ketiga, tanah yang dibuka dengan perjanjian damai (shulh). Adapun bagian pertama, yaitu tanah yang mulai dibangun oleh kaum Muslimin di negeri Islam dari tanah mati yang belum pernah dimiliki, seperti Basrah dan Kufah, maka tidak boleh dibuat perjanjian damai dengan ahli dzimmah untuk tinggal di sana dengan membangun gereja atau tempat ibadah, karena tidak boleh dibuat perjanjian damai atas sesuatu yang dilarang oleh syariat, dan hal itu keluar dari cakupan perjanjian damai mereka. Jika mereka berpegang pada akad damai tersebut, dikatakan kepada mereka: “Jika kalian rela dengan pembatalan hal itu dari perjanjian, maka silakan; jika tidak, kami batalkan perjanjian kalian dan kami antarkan kalian ke tempat yang aman.” Dan jaminan keamanan mereka tidak batal dengan pembatalan perjanjian tersebut, karena kitalah yang membatalkannya atas sesuatu yang dilarang oleh syariat.

فَإِنْ قِيلَ فَقَدْ نَرَى فِي هَذِهِ الْأَمْصَارِ بِيَعًا وَكَنَائِسَ كَالْبَصْرَةِ وَالْكُوفَةِ وَبَغْدَادَ وَهُوَ مِصْرٌ إِسْلَامِيٌّ بَنَاهُ الْمَنْصُورُ

Jika dikatakan, “Sesungguhnya kita melihat di negeri-negeri ini terdapat gereja-gereja dan rumah ibadah seperti di Bashrah, Kufah, dan Baghdad, padahal itu adalah negeri Islam yang dibangun oleh al-Manshur.”

قُلْنَا إِنْ عَلِمْنَا أَنَّهَا أُحْدِثَتْ وَجَبَ هَدْمُهَا وَإِنْ عَلِمْنَا أَنَّهَا كَانَتْ قَدِيمَةً فِي الْمِصْرِ قَبْلَ إِنْشَائِهِ لِأَنَّ النَّصَارَى قَدْ كَانُوا يَبْنُونَ صَوَامِعَ وَدِيَارَاتٍ وَبِيَعًا فِي الصَّحَارِي يَنْقَطِعُونَ إِلَيْهَا فَتُقَرُّ عَلَيْهِمْ وَلَا تُهْدَمُ وَإِنْ أَشْكَلَ أَمْرُهَا أُقِرَّتِ اسْتِصْحَابًا لِظَاهِرِ حَالِهَا

Kami katakan: Jika kami mengetahui bahwa bangunan itu dibangun setelahnya, maka wajib dihancurkan. Namun jika kami mengetahui bahwa bangunan itu sudah ada sejak lama di kota tersebut sebelum didirikannya (kota), karena orang-orang Nasrani dahulu membangun menara, biara, dan gereja di padang pasir yang mereka datangi untuk beribadah, maka bangunan itu tetap dibiarkan dan tidak dihancurkan. Jika statusnya tidak jelas, maka bangunan itu tetap dibiarkan berdasarkan istishhab atas keadaan lahiriahnya.

فَصْلٌ

Fasal

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي وَهُوَ مَا فَتَحَهُ الْمُسْلِمُونَ عَنْوَةً مِنْ بِلَادِ الشِّرْكِ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُصَالَحُوا عَلَى اسْتِئْنَافِ بِيَعٍ وَكَنَائِسَ فِيهَا فَأَمَّا مَا تَقَدَّمَ مِنْ بِيَعِهِمْ وَكَنَائِسِهِمْ فَمَا كَانَ مِنْهَا خَرَابًا عِنْدَ فَتْحِهَا لَمْ يَجُزْ أَنْ يُعَمِّرُوهُ لِدُرُوسِهَا قَبْلَ الْفَتْحِ فَصَارَتْ كَالْمَوَاتِ

Adapun bagian kedua, yaitu negeri-negeri kaum musyrik yang dibuka oleh kaum Muslimin dengan kekuatan (‘anwatan), maka tidak boleh dilakukan perjanjian dengan mereka untuk membangun kembali gereja-gereja dan rumah-rumah ibadah baru di sana. Adapun gereja-gereja dan rumah-rumah ibadah mereka yang telah ada sebelumnya, jika ketika penaklukan tempat itu sudah dalam keadaan rusak, maka tidak boleh mereka membangunnya kembali karena tempat itu telah ditinggalkan sebelum penaklukan, sehingga statusnya menjadi seperti tanah mati.

فَأَمَّا الْعَامِرُ مِنَ الْبِيَعِ وَالْكَنَائِسِ عِنْدَ فَتْحِهَا فَفِي جَوَازِ إِقْرَارِهَا عَلَيْهِمْ إِذَا صُولِحُوا وَجْهَانِ

Adapun gereja dan rumah ibadah yang masih digunakan ketika suatu wilayah ditaklukkan, maka dalam hal kebolehan membiarkan mereka tetap memilikinya jika telah diadakan perjanjian damai, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يَجُوزُ إِقْرَارُهَا عَلَيْهِمْ لِخُرُوجِهَا عَنْ أَمْلَاكِهِمُ الْمَغْنُومَةِ وَهُوَ الصَّحِيحُ وَلِذَلِكَ أُقِرَّتِ الْبِيَعُ وَالْكَنَائِسُ فِي بِلَادِ الْعَنْوَةِ

Salah satu pendapat menyatakan bahwa boleh membiarkan mereka tetap memilikinya karena harta tersebut telah keluar dari kepemilikan mereka yang dirampas, dan inilah pendapat yang benar. Oleh karena itu, jual beli dan gereja-gereja tetap diakui keberadaannya di negeri-negeri yang ditaklukkan dengan kekuatan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي يَمْلِكُهَا الْمُسْلِمُونَ عَلَيْهِمْ وَيَزُولُ عَنْهَا حُكْمُ الْبِيَعِ وَالْكَنَائِسِ وَتَصِيرُ مِلْكًا لَهُمْ مَغْنُومًا لَا حَقَّ فِيهَا لِأَهْلِ الذِّمَّةِ لِأَنَّهُ لَيْسَ لِمَا ابْتَنَوْهُ مِنْهَا حُرْمَةٌ فَدَخَلَتْ فِي عُمُومِ الْمَغَانِمِ فَعَلَى هَذَا إِنْ بِيعَتْ عَلَيْهِمْ لِتَكُونَ عَلَى حَالِهَا بِيَعًا وَكَنَائِسَ لَهُمْ فَفِي جَوَازِهِ وَجْهَانِ

Adapun pendapat kedua, kaum Muslimin memiliki (tempat-tempat itu) atas mereka, dan hukum gereja serta rumah ibadah hilang darinya, lalu menjadi milik kaum Muslimin sebagai harta rampasan perang, sehingga tidak ada hak bagi ahludz-dzimmah di dalamnya. Sebab, apa yang mereka bangun dari tempat-tempat itu tidak memiliki kehormatan, sehingga termasuk dalam keumuman harta rampasan perang. Berdasarkan hal ini, jika tempat-tempat itu dijual kepada mereka agar tetap menjadi gereja dan rumah ibadah bagi mereka, maka dalam kebolehannya terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يَجُوزُ اسْتِصْحَابًا لِحَالِهَا

Salah satunya boleh dilakukan dengan tetap mempertahankan keadaan asalnya (istishhāb).

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا تَجُوزُ لِزَوَالِهَا عَنْهُمْ بِمِلْكِ الْمُسْلِمِينَ لَهَا فَصَارَتْ كَالْبِنَاءِ الْمُبْتَدَأِ

Pendapat kedua menyatakan tidak boleh, karena statusnya telah hilang dari mereka akibat kepemilikan kaum muslimin atasnya, sehingga ia menjadi seperti bangunan yang baru dibangun.

فَصْلٌ

Fasal

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ وَهُوَ مَا فَتَحَهُ الْمُسْلِمُونَ صُلْحًا فَضَرْبَانِ

Adapun bagian ketiga, yaitu wilayah yang dibuka oleh kaum Muslimin melalui perdamaian, maka terbagi menjadi dua macam.

أَحَدُهُمَا أن نصالحهم على أن يكون ملك الدار لَنَا دُونَهُمْ وَيَسْكُنُونَ مَعَنَا فِيهَا بِالْجِزْيَةِ فَيُنْظَرُ فِي بِيَعِهِمْ وَكَنَائِسِهِمْ فَإِنِ اسْتَثْنَوْهَا فِي صُلْحِهِمْ أُقِرَّتْ عَلَيْهِمْ لِأَنَّ الصُّلْحَ يَجُوزُ أَنْ يَقَعَ عَامًّا فِي جَمِيعِ أَرْضِهِمْ وَخَاصًّا فِي بَعْضِهِمْ فَيُقَرُّوا عَلَيْهَا بِالصُّلْحِ وَيُمْنَعُوا مِنِ اسْتِحْدَاثِ غَيْرِهَا وَإِنْ لَمْ يَسْتَثْنُوهَا فِي صُلْحٍ صَارَتْ كَأَرْضِ الْعَنْوَةِ هَلْ يَمْلِكُ الْمُسْلِمُونَ بِيَعَهُمْ وَكَنَائِسَهُمْ إِذَا فَتَحُوهَا؟ عَلَى مَا تَقَدَّمَ مِنَ الْوَجْهَيْنِ

Salah satu bentuknya adalah kita berdamai dengan mereka dengan syarat kepemilikan rumah menjadi milik kita, bukan milik mereka, dan mereka tinggal bersama kita di dalamnya dengan membayar jizyah. Maka, dilihat pada gereja-gereja dan biara-biara mereka; jika mereka mengecualikannya dalam perjanjian damai, maka itu tetap menjadi milik mereka, karena perjanjian damai boleh berlaku secara umum untuk seluruh tanah mereka atau khusus pada sebagian dari mereka. Maka mereka tetap memilikinya berdasarkan perjanjian damai dan dilarang membangun yang baru. Namun, jika mereka tidak mengecualikannya dalam perjanjian damai, maka statusnya seperti tanah ‘anwah: apakah kaum Muslimin memiliki gereja dan biara mereka ketika menaklukkannya? Hal ini kembali pada dua pendapat yang telah disebutkan sebelumnya.

وَيَكُونُ حُكْمُ هَذَا الْبَلَدِ فِي مَنْعِ أَهْلِ الذِّمَّةِ فِي الْأَقْسَامِ الْخَمْسَةِ عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ أَحْكَامِنَا

Dan hukum negeri ini dalam melarang ahludz-dzimmah pada lima bagian adalah sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya dalam ketentuan-ketentuan kami.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ نُصَالِحَهُمْ عَلَى أَنْ يَكُونَ مِلْكُ الدَّارِ لَهُمْ دُونَنَا عَلَى جِزْيَةٍ يؤدونها إلينا عن رؤوسهم أَوْ عَنْ أَرْضِهِمْ أَوْ عَنْهُمَا جَمِيعًا فَيَجُوزُ أَنْ يُقَرُّوا عَلَى بِيَعِهِمْ وَكَنَائِسِهِمْ وَيَجُوزُ أَنْ يَسْتَأْنِفُوا فِيهَا إِحْدَاثَ بِيَعٍ وَكَنَائِسَ لِأَنَّهُ لَمْ يَجْرِ عَلَيْهَا لِلْمُسْلِمِينَ مَلِكٌ

Jenis kedua adalah kita melakukan perjanjian damai dengan mereka dengan ketentuan bahwa kepemilikan negeri itu tetap milik mereka, bukan milik kita, dengan kewajiban membayar jizyah kepada kita, baik atas kepala mereka, atau atas tanah mereka, atau atas keduanya sekaligus. Maka boleh bagi mereka untuk tetap memiliki gereja dan rumah ibadah mereka, dan boleh pula mereka membangun gereja dan rumah ibadah yang baru di sana, karena negeri itu belum pernah menjadi milik kaum Muslimin.

فَأَمَّا الْأَقْسَامُ الْخَمْسَةُ الَّتِي يُؤْخَذُ أَهْلُ الذِّمَّةِ بِهَا فِي بِلَادِ الْإِسْلَامِ فَيُؤْخَذُ هَؤُلَاءِ فِي بَلَدِهِمْ بِقِسْمَيْنِ مِنْهَا وَهُوَ الْأَوَّلُ وَالثَّانِي لِأَنَّ الْأَوَّلَ هُوَ الْمَقْصُودُ بِعَقْدِ الْجِزْيَةِ وَهِيَ الْأَحْكَامُ الثَّلَاثَةُ لِأَنَّهُمْ قَدْ صَارُوا بِهَذَا الصُّلْحِ مِنْ أَهْلِ الْجِزْيَةِ

Adapun lima macam hukum yang diberlakukan kepada ahludz-dzimmah di negeri Islam, maka kepada mereka di negeri mereka hanya diberlakukan dua macam saja, yaitu yang pertama dan kedua. Sebab yang pertama adalah tujuan dari akad jizyah, yaitu tiga hukum tersebut, karena dengan perjanjian ini mereka telah menjadi bagian dari ahludz-dzimmah.

وَبِالْقِسْمِ الثَّانِي وَهِيَ الشُّرُوطُ السِّتَّةُ لِأَنَّهَا مُحَرَّمَاتٌ مَنَعَ الشَّرْعُ مِنْهَا فَأَمَّا الْأَقْسَامُ الثَّلَاثَةُ الْبَاقِيَةُ مِنْ منكراتهم واستعلائهم فلا يؤخذ بِهَا وَلَا يُمْنَعُوا مِنْهَا لِأَنَّهَا دَارُهُمْ وَهِيَ دَارُ مُنْكَرٍ فِي مُعْتَقَدٍ وَفِعْلٍ فَكَانَ أَقَلُّ أَحْوَالِهِمْ فِيهَا أَنْ يَكُونُوا مُقَرِّينَ عَلَى مَا يُقَرُّونَ عَلَيْهِ فِي بِيَعِهِمْ وَكَنَائِسِهِمْ فِي بِلَادِ الْإِسْلَامِ

Adapun pada bagian kedua, yaitu enam syarat tersebut, karena semuanya adalah hal-hal yang diharamkan dan dilarang oleh syariat. Adapun tiga bagian lainnya dari kemungkaran dan sikap tinggi hati mereka, maka tidak diambil tindakan terhadapnya dan mereka tidak dicegah darinya, karena itu adalah negeri mereka, yang merupakan negeri kemungkaran dalam keyakinan dan perbuatan. Maka keadaan paling ringan bagi mereka di sana adalah mereka dibiarkan atas apa yang mereka lakukan di tempat jual beli dan gereja-gereja mereka di negeri Islam.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَا مِنْ حُكْمِ الْبِيَعِ وَالْكَنَائِسِ الَّتِي لَا يَجُوزُ أَنْ تُسْتَحْدَثَ فَهِيَ مَا كَانَتْ مَجْمَعًا لِصَلَوَاتِهِمْ وَمَا اخْتُصَّ بِعِبَادَاتِهِمْ وَتِلَاوَةِ كُتُبِهِمْ وَدِرَاسَةِ كُفْرِهِمْ فَهِيَ الْمَخْصُوصَةُ بِالْحَظْرِ وَالْمَنْعِ فَأَمَّا بِنَاءُ مَا سِوَاهَا فَضَرْبَانِ

Maka apabila telah tetap apa yang telah kami sebutkan tentang hukum jual beli dan gereja-gereja yang tidak boleh didirikan, maka yang dimaksud adalah tempat yang menjadi pusat ibadah mereka, yang dikhususkan untuk peribadatan mereka, pembacaan kitab-kitab mereka, dan pengkajian kekufuran mereka; maka itulah yang secara khusus dilarang dan dicegah. Adapun pembangunan selain itu, maka terbagi menjadi dua jenis.

أَحَدُهُمَا أَنْ تَكُونَ أَمْلَاكًا خاصة يسكنها أربابها فلا يمنعوا بنائها وَلَا أَنْ يَبِيعَهَا الْمُسْلِمُونَ عَلَيْهِمْ وَيَشْتَرُونَهَا مِنْهُمْ لِأَنَّهَا مَنَازِلُ سُكْنَى وَلَيْسَتْ بُيُوتَ صَلَاةٍ

Salah satunya adalah berupa kepemilikan khusus yang dihuni oleh pemiliknya, maka tidak boleh melarang mereka membangunnya, dan kaum Muslimin tidak boleh menjualnya kepada mereka atau membeli dari mereka, karena itu adalah tempat tinggal, bukan rumah ibadah.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَبْنُوا مَا يَسْكُنُهُ بَنُو السَّبِيلِ مِنْهُمْ لِكُلِّ مَارٍّ وَمُجْتَازٍ وَلَا يَخْتَصُّ أَحَدٌ مِنْهُمْ بِمِلْكِهِ فَيُنْظَرُ

Jenis yang kedua adalah mereka membangun tempat tinggal bagi para musafir di antara mereka, untuk setiap orang yang lewat dan melintas, dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang memiliki kepemilikan khusus atasnya, maka hal ini perlu diperhatikan.

فَإِنْ شَارَكَهُمُ الْمُسْلِمُونَ فِي سُكْنَاهُ فَجَعَلُوهُ لِكُلِّ مَارٍّ مِنْ مُسْلِمٍ وَذِمِّيٍّ جَازَ وَلَمْ يُمْنَعُوا مِنْ بَقَائِهِ وَإِنْ جَعَلُوهُ مَقْصُورًا عَلَى أَهْلِ دِينِهِمْ دُونَ الْمُسْلِمِينَ فَفِي جَوَازِ تَمْلِيكِهِمْ مِنْ بِنَائِهِ وَجْهَانِ

Jika kaum Muslimin bersama mereka menempati tempat itu, lalu mereka menjadikannya untuk setiap orang yang lewat, baik Muslim maupun dzimmi, maka hal itu diperbolehkan dan mereka tidak dilarang untuk tetap tinggal di sana. Namun jika mereka menjadikannya khusus hanya untuk orang-orang seagama mereka saja dan tidak untuk kaum Muslimin, maka dalam kebolehan memberikan kepemilikan bangunannya kepada mereka terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يَجُوزُ لِأَنَّهُ مَنْزِلُ سَكَنٍ فَصَارَ كَالْمَنْزِلِ الْخَاصِّ

Salah satunya diperbolehkan karena itu adalah tempat tinggal, sehingga kedudukannya seperti rumah pribadi.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا يَجُوزُ أَنْ يُمَكَّنُوا مِنْهُ كَالْبِيَعِ وَالْكَنَائِسِ لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ مَقْصُورًا عَلَيْهِمْ عُمُومًا لِيَتَعَبَّدَ فِيهِ سَابِلَتُهُمْ فَلَمْ يَكُنْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ البيع والكنائس فرق وقد يؤول بِهِمْ إِلَى أَنْ يَصِيرَ بَيْعَةً أَوْ كَنِيسَةً لَهُمْ

Pendapat kedua menyatakan bahwa tidak boleh membiarkan mereka (orang non-Muslim) melakukannya, seperti halnya membangun bi‘ah dan gereja, karena tempat itu telah menjadi khusus bagi mereka secara umum agar para pengikut mereka dapat beribadah di sana. Maka tidak ada perbedaan antara tempat itu dengan bi‘ah dan gereja, dan bisa jadi pada akhirnya tempat itu akan berubah menjadi bi‘ah atau gereja bagi mereka.

فَصْلٌ

Bagian

فَأَمَّا مَا اسْتُهْدِمَ مِنْ بِيَعِهِمْ وَكَنَائِسِهِمِ الَّتِي يَجُوزُ إِقْرَارُهُمْ عَلَيْهَا مَعَ عِمَارَتِهَا فَفِي جَوَازِ إِعَادَتِهِمْ لِبِنَائِهَا وَجْهَانِ

Adapun bangunan gereja dan biara mereka yang telah runtuh, yang boleh dibiarkan tetap ada bersama pembangunannya, maka dalam hal kebolehan mereka membangunnya kembali terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيِّ يُمْنَعُونَ مِنْ إِعَادَةِ بِنَائِهَا وَيَكُونُ إِقْرَارُهُمْ عَلَيْهَا مَا كَانَتْ بَاقِيَةً عَلَى عِمَارَتِهَا لِأَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ شَرَطَ عَلَى نَصَارَى الشَّامِ أَنْ لَا يُجَدِّدُوا مَا خَرِبَ مِنْهَا

Salah satu pendapat, yaitu pendapat Abu Sa‘id al-Istakhri, menyatakan bahwa mereka dilarang membangun kembali (rumah ibadah) tersebut, dan keberadaan mereka di atasnya dibolehkan selama bangunannya masih tetap berdiri, karena ‘Umar radhiyallāhu ‘anhu mensyaratkan kepada kaum Nasrani Syam agar mereka tidak membangun kembali apa yang telah rusak darinya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي يَجُوزُ لَهُمْ إِعَادَةُ بِنَائِهَا اسْتِصْحَابًا لِحُكْمِهَا وَأَنَّ الْأَبْنِيَةَ لَا تَبْقَى عَلَى الْأَبَدِ فَلَوْ مُنِعُوا مِنْ بِنَائِهَا بَطَلَتْ عَلَيْهِمْ

Pendapat kedua menyatakan bahwa mereka boleh membangunnya kembali dengan tetap mempertahankan hukumnya, dan karena bangunan tidak akan bertahan selamanya. Maka jika mereka dilarang membangunnya, hukumnya menjadi batal atas mereka.

وَالصَّحِيحُ عِنْدِي مِنْ إِطْلَاقِ هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ أَنْ يُنْظَرَ فِي خَرَابِهَا فَإِنْ صَارَتْ دَارِسَةً مُسْتَطْرَفَةً كَالْمَوَاتِ مُنِعُوا مِنْ بِنَائِهَا لِأَنَّهُ اسْتِئْنَافُ إِنْشَاءٍ وَإِنْ كَانَتْ شَعِثَةً بَاقِيَةَ الْآثَارِ وَالْجُدْرَانِ جَازَ لَهُمْ بِنَاؤُهَا وَلَوْ هَدَمُوهَا لِاسْتِئْنَافِهَا لَمْ يُمْنَعُوا لِأَنَّ عِمَارَةَ الْمُسْتَهْدَمِ اسْتِصْلَاحٌ وَإِنْشَاءَ الدارس استئناف

Pendapat yang benar menurut saya dari dua pendapat ini adalah melihat keadaan kerusakannya: jika sudah menjadi lahan yang benar-benar rusak dan tidak terpakai seperti tanah mati (al-mawāt), maka mereka dilarang membangunnya kembali karena itu dianggap sebagai memulai pembangunan baru. Namun, jika masih ada sisa-sisa bangunan dan dindingnya masih tersisa, maka mereka boleh membangunnya kembali, bahkan jika mereka merobohkannya untuk membangunnya kembali dari awal pun tidak dilarang, karena memperbaiki bangunan yang masih ada adalah bentuk perbaikan (istishlāh), sedangkan membangun kembali yang sudah benar-benar rusak adalah memulai dari awal (isti’nāf).

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَلَا يُحْدِثُونَ بِنَاءً يَتَطَوَّلُونَ بِهِ بِنَاءَ الْمُسْلِمِينَ “

Imam Syafi‘i berkata, “Dan mereka (non-Muslim) tidak boleh membangun bangunan yang melebihi bangunan kaum Muslimin.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ اعْلَمْ أَنَّهُ لَا تَخْلُو مَسَاكِنُهُمْ فِي بِلَادِ الْإِسْلَامِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ

Al-Mawardi berkata, “Ketahuilah bahwa tempat tinggal mereka di negeri-negeri Islam tidak lepas dari tiga golongan.”

أَحَدُهَا أَنْ يَسْتَأْنِفُوا بِنَاءَهَا

Salah satunya adalah mereka memulai kembali pembangunannya.

وَالثَّانِي أَنْ يَسْتَدِيمُوا سُكْنَاهَا

Dan yang kedua adalah mereka terus-menerus menempatinya.

وَالثَّالِثُ أَنْ يُعِيدُوا بِنَاءَهَا

Yang ketiga adalah mereka membangunnya kembali.

فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ وَهُوَ أَنْ يَسْتَأْنِفُوا بِنَاءَهَا بَعْدَ الْعَهْدِ فَلَا يَخْلُو مُجَاوِرُوهُمْ فِي مَوْضِعِهِمْ مِنَ الْمِصْرِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ

Adapun bagian pertama, yaitu mereka memulai kembali pembangunannya setelah masa sebelumnya, maka para tetangga mereka di tempat itu dalam kota tidak lepas dari tiga keadaan.

أَحَدُهَا أَنْ يَكُونُوا مُسْلِمِينَ

Salah satunya adalah bahwa mereka harus beragama Islam.

وَالثَّانِي أَنْ يَكُونُوا مِنْ أَهْلِ دِينِهِمْ

Yang kedua, mereka harus berasal dari kalangan pemeluk agama mereka sendiri.

وَالثَّالِثُ أَنْ يَكُونُوا أَهْلَ ذِمَّةٍ مِنْ غَيْرِ دِينِهِمْ

Ketiga, mereka adalah ahludz-dzimmah yang bukan berasal dari agama mereka.

فَإِنْ كَانَ مُجَاوِرُوهُمْ مُسْلِمِينَ لَمْ يكن لهم أن يعلو بِأَبْنِيَتِهِمْ عَلَى أَبْنِيَةِ الْمُسْلِمِينَ فَيَطَّوَّلُوا عَلَى أَبْنِيَتِهِمْ لقول النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ

Jika tetangga mereka adalah kaum Muslimin, maka mereka tidak boleh meninggikan bangunan mereka melebihi bangunan kaum Muslimin, sehingga mereka menjulang di atas bangunan kaum Muslimin, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

الإسلام يعلو ولا يعلى

Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya.

فإن علو بِأَبْنِيَتِهِمْ هُدِمَتْ عَلَيْهِمْ وَهَلْ يُمَكَّنُونَ مِنْ مُسَاوَاتِهِمْ فِي الْأَبْنِيَةِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ

Jika mereka meninggikan bangunan mereka, maka bangunan itu akan diruntuhkan atas mereka. Apakah mereka diperbolehkan untuk menyamakan bangunan mereka dengan yang lain atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يُمَكَّنُونَ مِنْ الْمُسَاوَاةِ لِأَنَّهُ قَدْ أُمِنَ الِاسْتِعْلَاءُ وَالِاسْتِشْرَافُ

Salah satunya adalah mereka dibolehkan untuk disamakan karena telah terjamin tidak adanya sikap merasa lebih tinggi dan keinginan untuk menonjol.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي يُمْنَعُونَ مِنَ الْمُسَاوَاةِ حَتَّى تُنْقَصَ أَبْنِيَتُهُمْ عَنْ أَبْنِيَةِ الْمُسْلِمِينَ كَمَا يُمْنَعُونَ مِنَ الْمُسَاوَاةِ فِي اللِّبَاسِ وَالرُّكُوبِ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ

Adapun pendapat kedua, mereka (non-Muslim) dilarang untuk disamakan hingga bangunan-bangunan mereka lebih rendah daripada bangunan kaum Muslimin, sebagaimana mereka juga dilarang untuk disamakan dalam hal pakaian dan kendaraan, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

الإسلام يعلو ولا يعلى

Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya.

وهل يراعى المنع مِنَ الِاسْتِعْلَاءِ فِي مَوْضِعِهِمْ مِنَ الْمِصْرِ أَوْ فِي جَمِيعِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ

Apakah larangan untuk menempati tempat yang lebih tinggi itu diperhatikan hanya pada tempat mereka di kota tersebut, ataukah di seluruh kota? Terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا فِي مَوْضِعِهِمُ الَّذِي هُمْ فِيهِ جِيرَةٍ لِأَنَّ مَا بَعُدَ عَنْهُمْ فَقَدْ أَمِنَ إِشْرَافَهُمْ عَلَيْهِ

Salah satunya berada di tempat mereka yang berdekatan, karena sesuatu yang jauh dari mereka telah aman dari pengawasan mereka.

وَالثَّانِي يُمْنَعُونَ فِي جَمِيعِ الْمِصْرِ أَنْ يَتَطَاوَلُوا بِالِاسْتِعْلَاءِ عَلَى أَهْلِ الْمِصْرِ وَإِنْ كَانَ مُجَاوِرُوهُمْ فِي مَوْضِعِهِمْ مِنْ أَهْلِ دِينِهِمْ جَازَ لَهُمْ أَنْ يَتَطَاوَلُوا فِيهَا بِأَبْنِيَتِهِمْ فَيَعْلُوَ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ كَمَا يَعْلُو بَعْضُ الْمُسْلِمِينَ عَلَى بَعْضٍ وَهَلْ يُمْنَعُ جميعهم أن يعلو بِأَبْنِيَتِهِمْ عَلَى أَبْنِيَةِ مَنْ لَا يُجَاوِرُهُمْ مِنَ الْمُسْلِمِينَ فِي الْمِصْرِ أَوْ لَا؟ عَلَى الْوَجْهَيْنِ الْمُتَقَدِّمَيْنِ

Kedua, mereka dilarang di seluruh kota untuk meninggikan diri dengan membangun di atas bangunan penduduk kota. Namun, jika tetangga mereka di tempat tinggalnya adalah sesama pemeluk agamanya, maka mereka boleh saling meninggikan bangunan di antara mereka, sehingga sebagian mereka lebih tinggi dari yang lain, sebagaimana sebagian kaum Muslimin lebih tinggi dari sebagian yang lain. Apakah mereka semua dilarang untuk meninggikan bangunan mereka di atas bangunan kaum Muslimin yang bukan tetangga mereka di kota tersebut atau tidak? Hal ini kembali kepada dua pendapat yang telah disebutkan sebelumnya.

وَإِنْ كَانَ مُجَاوِرُوهُمْ فِي مَوْضِعِهِمْ أَهْلَ ذِمَّةٍ عَلَى غَيْرِ دِينِهِمْ كَالْيَهُودِ مَعَ النَّصَارَى فَفِيهِ وَجْهَانِ

Dan jika tetangga-tetangga mereka di tempat itu adalah ahludz-dzimmah yang tidak seagama dengan mereka, seperti Yahudi dengan Nasrani, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَتَعَالَى بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْأَبْنِيَةِ لِأَنَّ جَمِيعَهُمْ أَهْلُ ذِمَّةٍ

Salah satunya adalah bahwa diperbolehkan sebagian dari mereka meninggikan bangunan di atas yang lain, karena semuanya adalah ahludz-dzimmah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي يُمْنَعُ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِذَا اسْتَعْدَوْنَا وَلَا يُمْنَعُونَ مِنَ الْمُسَاوَاةِ لِأَنَّ عَلَيْنَا أَنْ نَمْنَعَ كُلَّ صِنْفٍ مِنْهُمْ مِمَّا نَمْنَعُ بِهِ أَنْفُسَنَا

Pendapat kedua, sebagian dari mereka dicegah atas sebagian yang lain jika mereka saling berbuat aniaya, namun mereka tidak dicegah dari persamaan (dalam hak), karena kita wajib mencegah setiap golongan dari mereka dari apa yang kita cegah atas diri kita sendiri.

فَصْلٌ

Fasal

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي مِنْ مَسَاكِنِهِمْ أَنْ تَكُونَ قَدِيمَةَ الْأَبْنِيَةِ إِمَّا لِأَنَّهُمْ سَكَنُوهَا قَبْلَ صُلْحِهِمْ أَوْ لِأَنَّهُمُ اشْتَرَوْهَا مِنْ مُسْلِمٍ بَعْدَ الصُّلْحِ فَيَجُوزُ إِقْرَارُهُمْ عَلَيْهِمَا وَإِنِ اسْتَعْلَوْا بِهَا عَلَى الْمُسْلِمِينَ كَمَا نُقِرُّهُمْ عَلَى مَا تَقَدَّمَ مِنَ الْبِيَعِ وَالْكَنَائِسِ وَإِنْ مُنَعُوا مِنَ اسْتِحْدَاثِهَا لَكِنَّهُمْ يُمْنَعُونَ مِنَ الْإِشْرَافِ عَلَى الْمُسْلِمِينَ وَأَنْ لَا يَعْلُوا عَلَى سُطُوحِهَا إِلَّا بَعْدَ تَحْجِيرِهَا وَإِنْ لَمْ يُؤْمَرِ الْمُسْلِمُ بِتَحْجِيرِ سَطْحِهِ مِنْ جَارِهِ وَيُمْنَعُ صِبْيَانُهُمْ مِنَ الْإِشْرَافِ وَإِنْ لَمْ يُمْنَعْ صِبْيَانُ الْمُسْلِمِينَ مِنَ الْإِشْرَافِ فَيَصِيرُوا مَأْخُوذِينَ مِنَ الْمَنْعِ مِنْ إِشْرَافِهِمْ عَلَى الْمُسْلِمِينَ كَمَا يُؤْخَذُ الْمُسْلِمُ بِالْمَنْعِ منْ إِشْرَافِهِ عَلَى جَارِهِ الْمُسْلِمِ وَيُؤْمَرُ بِالتَّحْجِيرِ وَإِنْ لَمْ يُؤْمَرْ بِهِ الْمُسْلِمُ لِأَنَّ الْمُسْلِمَ مَأْمُونٌ وَهُمْ غَيْرُ مَأْمُونِينَ

Adapun bagian kedua dari tempat tinggal mereka adalah bangunan-bangunan lama, baik karena mereka telah menempatinya sebelum adanya perjanjian damai, atau karena mereka membelinya dari seorang Muslim setelah perjanjian damai. Maka boleh membiarkan mereka tetap tinggal di sana, meskipun dengan tempat itu mereka lebih tinggi dari kaum Muslimin, sebagaimana kita membiarkan mereka atas gereja-gereja dan rumah-rumah ibadah lama yang telah ada sebelumnya, meskipun mereka dilarang membangun yang baru. Namun, mereka dilarang untuk mengawasi kaum Muslimin dari tempat itu dan tidak boleh naik ke atapnya kecuali setelah membuat pembatas, meskipun seorang Muslim tidak diperintahkan untuk membuat pembatas di atap rumahnya dari tetangganya. Anak-anak mereka juga dilarang untuk mengawasi (kaum Muslimin), meskipun anak-anak Muslim tidak dilarang untuk mengawasi. Maka mereka tetap dikenai larangan untuk mengawasi kaum Muslimin, sebagaimana seorang Muslim juga dikenai larangan untuk mengawasi tetangga Muslimnya dan diperintahkan untuk membuat pembatas, meskipun seorang Muslim tidak diperintahkan untuk itu, karena seorang Muslim dapat dipercaya, sedangkan mereka tidak dapat dipercaya.

فَصْلٌ

Bagian

وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ وَهُوَ أَنْ يُعِيدُوا أَبْنِيَةَ مَسَاكِنِهِمْ بَعْدَ اسْتِهْدَامِهَا فَفِيهَا وَجْهَانِ

Adapun bagian ketiga, yaitu mereka membangun kembali bangunan tempat tinggal mereka setelah rusak, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا أَنَّهُمْ يَصِيرُونَ كَالْمُسْتَأْنِفِينَ لِبِنَائِهَا فَيُمْنَعُوا مِنَ الِاسْتِعْلَاءِ بِهَا عَلَى الْمُسْلِمِينَ وَإِنْ كَانَتْ عَالِيَةً قَبْلَ هَدْمِهَا وَهَذَا عَلَى الْوَجْهِ الَّذِي يُمْنَعُونَ مِنْ إِعَادَةِ بِيَعِهِمْ وَكَنَائِسِهِمْ إِذَا اسْتُهْدِمَتْ فَأَمَّا إِذَا أَرَادُوا أَنْ يَرْتَفِقُوا فِي أَبْنِيَتِهِمْ بِإِخْرَاجِ الرَّوَاشِينَ وَالْأَجْنِحَةِ إِلَى طُرُقِ السَّابِلَةِ فَفِيهَا وَجْهَانِ

Salah satunya adalah bahwa mereka dianggap seperti memulai kembali pembangunannya, sehingga mereka dilarang meninggikannya di atas bangunan kaum Muslimin, meskipun sebelumnya bangunan itu sudah tinggi sebelum dihancurkan. Ini sebagaimana mereka juga dilarang membangun kembali gereja dan rumah ibadah mereka jika telah dihancurkan. Adapun jika mereka ingin memanfaatkan bangunan mereka dengan mengeluarkan balkon dan sayap bangunan ke jalan umum, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا لَا يُمْنَعُونَ ارْتِفَاقَهُمْ بِهَا كَالْمُسْلِمِينَ لِاشْتِرَاكِهِمْ فِي اسْتِطْرَاقِهَا

Salah satunya adalah mereka tidak dilarang memanfaatkan fasilitas umum tersebut seperti kaum Muslimin, karena mereka sama-sama memiliki hak untuk mengaksesnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي يُمْنَعُونَ مِنْهَا وَإِنْ لَمْ يُمْنَعْ مِنْهَا الْمُسْلِمُونَ لِأَنَّهَا طُرُقُ الْمُسْلِمِينَ دُونَهُمْ كمَا يُمْنَعُونَ مِنْ إِحْيَاءِ الْمَوَاتِ الَّذِي لَا يُمْنَعُ مِنْهُ الْمُسْلِمُ وَهَكَذَا الْقَوْلُ فِي آثَارِ حُشُوشِهِمْ إِذَا أَرَادُوا حَفْرَهَا فِي أَفَنِيَةِ دُورِهِمْ كَانَ عَلَى هَذَيْنِ الوجهين

Pendapat kedua, mereka (non-Muslim) dilarang menggunakannya, meskipun kaum Muslimin tidak dilarang menggunakannya, karena itu adalah jalan-jalan milik kaum Muslimin, bukan milik mereka, sebagaimana mereka juga dilarang menghidupkan tanah mati yang kaum Muslimin tidak dilarang menghidupkannya. Demikian pula pendapat mengenai bekas-bekas jamban mereka, apabila mereka ingin menggali jamban di halaman rumah mereka, maka hukumnya mengikuti dua pendapat ini.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَأَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ هَيْئَتِهِمْ فِي الْمَلْبَسِ وَالْمَرْكَبِ وبين هيآت الْمُسْلِمِينَ وَأَنْ يَعْقِدُوا الزَّنَانِيرَ عَلَى أَوْسَاطِهِمْ “

Syafi‘i berkata, “Dan hendaknya mereka membedakan diri dalam penampilan mereka, baik dalam pakaian maupun kendaraan, dari penampilan kaum Muslimin, serta hendaknya mereka mengenakan ikat pinggang (zannār) di pinggang mereka.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا الْفَرْقُ بَيْنَ أَهْلِ الذِّمَّةِ وَالْمُسْلِمِينَ فِي هَيْئَاتِ الْمَلْبَسِ وَالْمَرْكَبِ فَيُؤْخَذُونَ بِهِ فِي عَقْدِ ذِمَّتِهِمْ مَشْرُوطًا عَلَيْهِمْ لِيَتَمَيَّزُوا بِهِ فَيُعْرَفُوا ولا يشتبهوا بِالْمُسْلِمِينَ فَيَخْفَوْا لِمَا بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ الْمُسْلِمِينَ مِنِ افْتِرَاقِ الْأَحْكَامِ

Al-Mawardi berkata, “Adapun perbedaan antara ahludz-dzimmah dan kaum Muslimin dalam bentuk pakaian dan kendaraan, maka mereka dikenai ketentuan tersebut dalam akad dzimmah mereka sebagai syarat atas mereka, agar mereka dapat dibedakan dengannya sehingga dikenal dan tidak disamakan dengan kaum Muslimin, sehingga tidak tersembunyi perbedaan hukum yang berlaku antara mereka dan kaum Muslimin.”

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ الْمُسْلِمِينَ فِي الْهَيْئَاتِ مُعْتَبَرٌ مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ

Perbedaan antara mereka dan kaum Muslimin dalam hal penampilan dianggap penting dari tiga aspek.

أَحَدُهَا فِي مَلَابِسِهِمْ

Salah satunya terdapat pada pakaian mereka.

وَالثَّانِي فِي أَبْدَانِهِمْ

Dan yang kedua berkaitan dengan tubuh-tubuh mereka.

وَالثَّالِثُ فِي مَوَاكِبِهِمْ

Dan yang ketiga adalah dalam iring-iringan mereka.

فَأَمَّا الْمُعْتَبَرُ فِي مَلَابِسِهِمْ فَالِاخْتِيَارُ أَنْ يُجْمَعَ فِيهِ بَيْنَ أَمْرَيْنِ

Adapun yang dipertimbangkan dalam pakaian mereka, maka yang utama adalah menggabungkan dua hal di dalamnya.

أَحَدُهُمَا لُبْسُ الْغِيَارِ

Salah satunya adalah mengenakan al-ghiyār.

وَالثَّانِي شَدُّ الزُّنَّارِ

Yang kedua adalah mengenakan zunnar.

فَأَمَّا الْغِيَارُ فَهُوَ أَنْ يُغَيِّرُوا لَوْنَ ثَوْبٍ وَاحِدٍ مِنْ مَلَابِسِهِمْ لَا يَلْبَسُ الْمُسْلِمُونَ مِثْلَ لَوْنِهِ إِمَّا في عمائهم وَإِمَّا فِي قُمُصِهِمْ وَيَكُونُوا فِيمَا سِوَاهُ مِثْلَ مَلَابِسِ الْمُسْلِمِينَ وَيُفَرَّقُ بَيْنَ غِيَارِ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى لِيَتَمَيَّزُوا وَعَادَةُ الْيَهُودِ أَنْ يَكُونَ غِيَارُهُمِ الْعَسَلِيَّ وهو الماثل إِلَى الصُّفْرَةِ كَالْعَسَلِ وَرُبَّمَا غَيَّرُوا بِنَوْعٍ مِنَ الأزرق يخالف معهود الأزرق وغيار النَّصَارَى أَنْ يَكُونَ غِيَارُهُمُ الْأَدْكَنَ وَهُوَ نَوْعٌ مِنَ الْفَاخِتِيِّ وَرُبَّمَا غَيَّرُوا بِنَوْعٍ مِنَ الصُّوفِ

Adapun ghiyār adalah mengubah warna salah satu pakaian mereka dengan warna yang tidak dipakai oleh kaum Muslimin, baik pada sorban mereka maupun pada gamis mereka, sedangkan pada pakaian lainnya mereka sama seperti pakaian kaum Muslimin. Dibedakan antara ghiyār Yahudi dan Nasrani agar mereka dapat dikenali. Kebiasaan Yahudi adalah ghiyār mereka berwarna ‘asali, yaitu warna yang cenderung kuning seperti madu, dan terkadang mereka mengubahnya dengan jenis biru yang berbeda dari biru yang biasa dikenal. Sedangkan ghiyār Nasrani adalah berwarna adkan, yaitu sejenis warna fākhtī, dan terkadang mereka mengubahnya dengan jenis wol tertentu.

وَلَيْسَتْ هَذِهِ الْأَلْوَانُ شَرْطًا لَا يُتَجَاوَزُ إِنَّمَا الِاعْتِبَارُ بِلَوْنٍ مُتَمَيِّزٍ فَإِذَا صَارَ مَأْلُوفًا مُنِعُوا مِنَ الْعُدُولِ عَنْهُ إِلَى غَيْرِهِ لِئَلَّا يَقَعَ الِاشْتِبَاهُ وَالْإِشْكَالُ فَإِنْ تَشَابَهَ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فِي لَوْنِ الْغِيَارِ جَازَ وَإِنْ كَانَ تَمَيُّزُهُمْ فِيهِ أَوْلَى

Warna-warna ini bukanlah syarat yang tidak boleh dilanggar, melainkan yang menjadi pertimbangan adalah adanya warna yang berbeda. Jika suatu warna telah menjadi kebiasaan, maka mereka dilarang beralih darinya ke warna lain agar tidak terjadi kekeliruan dan kesamaran. Jika orang Yahudi dan Nasrani memiliki kesamaan dalam warna pakaian pembeda, maka hal itu diperbolehkan, meskipun membedakan mereka dalam hal ini lebih utama.

وَأَمَّا الزُّنَّارُ فَهُوَ كَالْخَيْطِ الْمُسْتَغْلِظِ يَشُدُّونَهُ في أوساطهم فوق ثيابهم وأرديتهم ويمنعوا أَنْ يَسْتَبْدِلُوا بِشَدِّ الْمَنَاطِقِ وَالْمِنْدِيلِ لِأَنَّ الْمِنْطَقَةَ مِنْ لُبْسِ الْمُتَخَصِّصِينَ بِالرُّتَبِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَالْمَنَادِيلِ فِي الْأَوْسَاطِ مِنْ لُبْسِ ذَوِي الصَّنَائِعِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ فَلَمْ يَتَمَيَّزْ بِهَا أَهْلُ الذِّمَّةِ وَجَمِيعُ الْأَلْوَانِ مِنَ الزَّنَانِيرِ سَوَاءٌ بِخِلَافِ الْغِيَارِ لِأَنَّ أَصْلَ الزُّنَّارِ كَالْغِيَارِ

Adapun zunnar, ia adalah seperti tali tebal yang mereka ikatkan di pinggang mereka di atas pakaian dan jubah mereka. Mereka dilarang mengganti pengikatan zunnar dengan ikat pinggang (minṭaqah) atau sapu tangan (mindīl), karena ikat pinggang adalah pakaian khusus bagi orang-orang Muslim yang memiliki jabatan tertentu, dan sapu tangan yang diikat di pinggang adalah pakaian para pekerja dari kalangan Muslim. Maka, dengan itu, Ahli Dzimmi tidak dapat dibedakan. Semua warna zunnar hukumnya sama, berbeda dengan giyār, karena asal zunnar itu seperti giyār.

فَإِنْ شُرِطَ عَلَى أَهْلِ الذِّمَّةِ أَحَدُ الْأَمْرَيْنِ فِي غِيَارٍ أَوْ زُنَّارٍ جَازَ لِأَنَّهُمْ يَتَمَيَّزُونَ بِهِ وَإِنْ شَرَطَ عَلَيْهِمُ الْجَمْعَ بَيْنَ الْغِيَارِ وَالزُّنَّارِ أَخَذُوا بِهِمَا مَعًا لِأَنَّهُ أَبْلَغُ فِي التَّمَيُّزِ مِنْ أَحَدِهِمَا فَأَمَّا نساء أهل الذمة فيؤخذون بِلُبْسِ الْغِيَارِ فِي الْخِمَارِ الظَّاهِرِ الَّذِي يُشَاهَدُ ويلبسوا خُفَّيْنِ مِنْ لَوْنَيْنِ أَحَدُهُمَا أَسْوَدُ وَالْآخَرُ أَحْمَرُ أَوْ أَبْيَضُ لِيَتَمَيَّزَ نِسَاؤُهُمْ عَنْ نِسَاءِ الْمُسْلِمِينَ ويؤخذوا بِشَدِّ الزُّنَّارِ دُونَ الْخِمَارِ لِئَلَّا تَصِفَهَا بِثِيَابِهَا بَعْدَ أَنْ يَكُونَ ظَاهِرًا فَإِنِ اقْتَصَرَ فِي النِّسَاءِ عَلَى التَّمَيُّزِ بِأَحَدِهِمَا جَازَ وَإِنْ كَانَ الْجَمْعُ بَيْنَ الثَّلَاثَةِ أَوْلَى فَإِنْ لَبِسَ أَهْلُ الذِّمَّةِ الْعَمَائِمَ وَالطَّيَالِسَةَ لَمْ يُمْنَعُوا

Jika kepada Ahludz-dzimmah disyaratkan salah satu dari dua hal, yaitu ghiyār atau zunnār, maka itu diperbolehkan karena dengan itu mereka dapat dibedakan. Namun jika disyaratkan kepada mereka untuk menggabungkan antara ghiyār dan zunnār, maka mereka harus melaksanakan keduanya sekaligus, karena hal itu lebih kuat dalam membedakan mereka daripada hanya salah satunya. Adapun perempuan Ahludz-dzimmah, maka mereka dikenai kewajiban memakai ghiyār pada kerudung yang tampak dan terlihat, serta memakai dua sepatu dengan dua warna yang berbeda, salah satunya hitam dan yang lain merah atau putih, agar perempuan mereka dapat dibedakan dari perempuan Muslim. Mereka juga dikenai kewajiban mengikat zunnār tanpa kerudung, agar tidak menggambarkan bentuk tubuhnya dengan pakaiannya setelah menjadi tampak. Jika pada perempuan hanya diwajibkan salah satu dari keduanya untuk membedakan, maka itu diperbolehkan, meskipun menggabungkan ketiganya lebih utama. Jika Ahludz-dzimmah memakai sorban dan mantel, mereka tidak dilarang.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَأَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ يُمْنَعُونَ مِنْ لُبْسِ الْعَمَائِمِ وَالطَّيَالِسَةِ لِأَنَّهَا مِنْ أَجْمَلِ مَلَابِسِ الْمُسْلِمِينَ وَهَذَا لَيْسَ بِصَحِيحٍ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ تَمَيُّزُهُمْ عَنِ الْمُسْلِمِينَ فَإِذَا تَمَيَّزُوا بِالْغِيَارِ وَالزُّنَّارِ جَازَ أَنْ يُسَاوُوهُمْ فِي صِفَاتِ مَلَابِسِهِمْ كَمَا يُسَاوُوهُمْ فِي أنواع مأكلهم

Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa mereka (non-Muslim) dilarang mengenakan sorban dan mantel panjang karena itu termasuk pakaian terindah kaum Muslimin. Namun, pendapat ini tidak benar, karena yang dimaksud adalah membedakan mereka dari kaum Muslimin. Jika mereka sudah dibedakan dengan pakaian khusus (ghiyār) dan ikat pinggang (zunnār), maka boleh saja mereka menyamai kaum Muslimin dalam model pakaian mereka, sebagaimana mereka juga boleh menyamai kaum Muslimin dalam jenis makanan mereka.

وَأَمَّا لُبْسُ فَاخِرِ الدِّيبَاجِ وَالْحَرِيرِ فَلَا يُمْنَعُونَ مِنْهُ فِي مَنَازِلِهِمْ وَفِي مَنْعِهِمْ مِنْهُ ظَاهِرًا وَجْهَانِ

Adapun memakai pakaian mewah dari dibaj dan sutra, maka mereka (para laki-laki) tidak dilarang memakainya di rumah-rumah mereka, dan dalam pelarangan mereka memakainya secara terang-terangan terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يُمْنَعُونَ مِنْهُ لِمَا فِيهِ مِنَ التَّطَاوُلِ بِهِ عَلَى الْمُسْلِمِينَ

Salah satunya adalah mereka dilarang darinya karena di dalamnya terdapat unsur menyombongkan diri terhadap kaum Muslimin.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا يُمْنَعُونَ مِنْهُ كَمَا لَا يُمْنَعُونَ مِنْ فَاخِرِ الثِّيَابِ الْقُطْنِ وَالْكَتَّانِ وَلِأَنَّهُمْ يَصِيرُونَ مُتَمَيِّزِينَ بِلُبْسِهِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ لِتَحْرِيمِ لُبْسِهِ عَلَيْهِمْ

Pendapat kedua menyatakan bahwa mereka tidak dilarang memakainya, sebagaimana mereka juga tidak dilarang memakai pakaian mewah dari katun dan linen. Selain itu, mereka menjadi berbeda dengan kaum Muslimin karena pakaian tersebut diharamkan bagi mereka (kaum Muslimin).

فَصْلٌ

Fasal

وَأَمَّا الْفَرْقُ الْمُعْتَبَرُ فِي أَبْدَانِهِمْ فَمِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun perbedaan yang dianggap sah pada tubuh mereka, maka terdapat dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا فِي شُعُورِهِمْ

Salah satunya berkaitan dengan perasaan mereka.

وَالثَّانِي فِي أَجْسَادِهِمْ

Dan yang kedua berkaitan dengan tubuh-tubuh mereka.

فَأَمَّا الشُّعُورُ فَيُمَيَّزُونَ فِيهَا مِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun rambut, mereka membedakannya dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَنْحَذِفُوا في مقدم رؤوسهم عراضا تخالف شوابير الأشراف

Salah satunya adalah mereka mencukur bagian depan kepala mereka secara melintang yang berbeda dengan cara mencukur para bangsawan.

والثاني لا يفرقوا شعورهم في رؤوسهم وَيُرْسِلُونَهَا ذَوَائِبَ لِأَنَّ هَذَا مِنَ الْمُبَاهَاةِ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ

Kedua, mereka tidak membelah rambut di kepala mereka dan membiarkannya terurai, karena hal itu termasuk perbuatan membanggakan diri di hadapan sesama Muslim.

وَأَمَّا فِي أَجْسَادِهِمْ فَهُوَ أَنْ تُطْبَعَ خَوَاتِيمُ الرَّصَاصِ مَشْدُودَةً فِي أَيْدِيهِمْ أَوْ رِقَابِهِمْ وَهُوَ أَوْلَى لِأَنَّهُ أَذَلُّ وَإِنَّمَا أُخِذُوا بِالتَّمَيُّزِ فِي أَبْدَانِهِمْ فِي هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ لِأَمْرَيْنِ

Adapun pada tubuh mereka, maka caranya adalah dengan mencetak cincin-cincin timah yang diikatkan pada tangan atau leher mereka, dan ini lebih utama karena lebih merendahkan. Mereka diberi tanda pembeda pada tubuh mereka dengan dua cara ini karena dua alasan.

أَحَدُهُمَا عِنْدَ دُخُولِ الْحَمَّامَاتِ فَإِذَا تَجَرَّدُوا فِيهَا مِنْ ثِيَابِهِمْ وَقَدِ اخْتِيرَ أَنْ يَدْخُلُوهَا وَفِي أَيْدِيهِمْ جَلْجَلٌ

Salah satunya adalah ketika memasuki pemandian umum; maka apabila mereka menanggalkan pakaian mereka di dalamnya, telah dipilih agar mereka memasukinya dengan membawa lonceng di tangan mereka.

وَالثَّانِي لِأَنَّهُمْ رُبَّمَا وُجِدُوا مَوْتَى لِيُعْرَفُوا فَيُدْفَعُوا إِلَى أَهْلِ دِينِهِمْ فَيَدْفِنُونَهُمْ فِي مَقَابِرِهِمْ وَلَا يَتَشَبَّهُوا بِالْمُسْلِمِينَ فَيُصَلُّوا عَلَيْهِمْ وَيَدْفِنُونَهُمْ فِي مَقَابِرِهِمْ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُمَيَّزُوا بِمِيسَمٍ وَلَا وَسْمٍ لِأَنَّهُ مُؤْلِمٌ وَغَيْرُ مَأْثُورٍ فَإِنِ اقْتَصَرُوا عَلَى أَحَدِ الْأَمْرَيْنِ فِي أَبْدَانِهِمْ إِمَّا بِالشُّعُورِ أَوْ بِخَوَاتِيمِ الرَّصَاصِ الْمَطْبُوعَةِ جَازَ لِوُقُوعِ التَّمْيِيزِ بِهِ وَإِنْ كَانَ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا أَوْلَى لِأَنَّهُ أظهر

Yang kedua, karena mereka mungkin ditemukan dalam keadaan sudah meninggal agar dapat dikenali, lalu diserahkan kepada keluarga seagama mereka sehingga mereka dapat menguburkannya di pemakaman mereka sendiri, dan agar mereka tidak menyerupai kaum Muslimin dengan menyalatkan jenazah mereka dan menguburkannya di pemakaman Muslim. Tidak boleh pula mereka dibedakan dengan tanda bakar atau cap, karena itu menyakitkan dan tidak ada riwayat yang mendukungnya. Jika mereka hanya membedakan dengan salah satu dari dua cara pada tubuh mereka, yaitu dengan rambut atau cincin timah yang dicap, maka itu diperbolehkan karena sudah terjadi pembedaan dengannya, meskipun menggabungkan keduanya lebih utama karena lebih jelas.

فأما النساء فلا يعرض لتحذيف شعورهم ويمنعوا مِنَ الْفَرْقِ وَالذَّوَائِبِ فِي الْحَمَّامَاتِ دُونَ مَنَازِلِهِنَّ وَهُنَّ فِي طَابَعِ خَوَاتِيمِ الرَّصَاصِ إِذَا خَرَجْنَ كَالرِّجَالِ

Adapun para wanita, maka tidak diperbolehkan memangkas rambut mereka dan mereka dilarang membuat belahan dan kepangan di pemandian umum, kecuali di rumah mereka sendiri, dan mereka berada dalam keadaan seperti cincin timah ketika keluar rumah, seperti halnya laki-laki.

فَصْلٌ

Fasal

فَأَمَّا الْفَرْقُ الْمُعْتَبَرُ فِي مَرَاكِبِهِمْ فَمِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun perbedaan yang dianggap sah dalam metode mereka, maka berasal dari dua aspek.

أَحَدُهُمَا فِي جِنْسِ الْمَرْكُوبِ

Salah satunya berkaitan dengan jenis kendaraan yang digunakan.

وَالثَّانِي فِي صِفَةِ الْمَرْكُوبِ

Dan yang kedua berkaitan dengan sifat kendaraan yang digunakan.

فَأَمَّا جِنْسُ الْمَرْكُوبِ فَيَرْكَبُونَ الْبِغَالَ وَالْحَمِيرَ وَيُمْنَعُونَ مِنْ رُكُوبِ الْخَيْلِ عِتَاقًا وَهِجَانًا لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ فَأَخْبَرَ بِإِعْدَادِهَا لِأَوْلِيَائِهِ فِي جِهَادِ أَعْدَائِهِ

Adapun jenis hewan tunggangan, mereka (non-Muslim dzimmi) diperbolehkan menunggangi bighal (bagal) dan himar (keledai), namun dilarang menunggangi kuda, baik kuda ras maupun kuda campuran, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang, yang dengan itu kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu.” Maka Allah memberitakan tentang penyediaan kuda tersebut bagi para wali-Nya dalam berjihad melawan musuh-musuh-Nya.

وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ

Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda.

الْخَيْلُ مَعْقُودٌ بِنَوَاصِيهَا الْخَيْرُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Kebaikan senantiasa terikat pada ubun-ubun kuda hingga hari kiamat.

يَعْنِي بِالْخَيْرِ الْغَنِيمَةَ وَهُمُ الْمَغْنُومُونَ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَصِيرُوا بِهَا غَانِمِينَ

Yang dimaksud dengan “al-khair” adalah harta rampasan perang, sedangkan mereka adalah pihak yang dirampas hartanya, maka tidak sah jika mereka menjadi pihak yang memperoleh harta rampasan tersebut.

وَرُوِيَ أَنَّهُ قَالَ

Dan telah diriwayatkan bahwa beliau berkata.

الْخَيْلُ ظُهُورُهَا عِزٌّ وَبُطُونُهَا كَنْزٌ

Kuda, punggungnya adalah kemuliaan dan perutnya adalah harta simpanan.

وَأَمَّا صِفَةُ الْمَرْكُوبِ فَيُخْتَارُ أَنْ يَرْكَبُوا عَلَى الْأُكُفِ عُرْضًا لِرِوَايَةِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَتَبَ إِلَى أُمَرَاءِ الْأَجْنَادِ يَأْمُرُهُمْ أَنْ يَخْتِمُوا فِي رِقَابِ أَهْلِ الذِّمَّةِ بِالرَّصَاصِ وَأَنْ يُظْهِرُوا مَنَاطِقَهُمْ وَيَجُزُّوا نَوَاصِيَهُمْ وَيَرْكَبُوا الْأُكُفِ عُرْضًا وَلَا يَتَشَبَّهُوا بِالْمُسْلِمِينَ فِي لَبُوسِهِمْ

Adapun mengenai sifat tunggangan, maka dipilih agar mereka menunggang di atas pelana secara melintang, berdasarkan riwayat Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar bahwa Umar bin Khattab menulis surat kepada para pemimpin pasukan, memerintahkan mereka untuk memberi tanda di leher penduduk ahludz-dzimmah dengan timah, menampakkan ikat pinggang mereka, memangkas rambut bagian depan kepala mereka, menunggang pelana secara melintang, dan tidak menyerupai kaum Muslimin dalam pakaian mereka.

فَأَمَّا الْخَتْمُ بِالرَّصَاصِ فِي رِقَابِهِمْ فَقَدْ ذَكَرْنَاهُ وَأَمَّا إِظْهَارُ مَنَاطِقِهِمْ فَهُوَ شَدُّ الزُّنَّارِ فِي أَوْسَاطِهِمْ فَوْقَ ثِيَابِهِمْ وَأَمَّا جَزُّ نَوَاصِيهِمْ فَهُوَ مَا ذَكَرْنَا مِنْ تحذيفهم في مقدم رؤوسهم وَأَمَّا رُكُوبُ الْأُكُفِ عُرْضًا فَهُوَ أَنْ تَكُونَ رِجْلَا الرَّاكِبِ إِلَى جَانِبٍ وَظَهْرُهُ إِلَى جَانِبٍ فَإِنَّ تَجَاوُزَ الْأُكُفَ إِلَى ضِدِّهِ بِحَمْلِ الْأَثْقَالِ إِلَى السُّرُوجِ بِمَا تَمَيَّزَ مِنْ سُرُوجِ الْمُسْلِمِينَ وَكَانَتْ رُكُبُهُمْ فِيهَا خَشَبًا وَلَمْ تَكُنْ حَدِيدًا وَيُمْنَعُونَ مَنْ تَخَتُّمِ الْفِضَّةِ وَالذَّهَبِ لِمَا فِيهَا مِنَ التَّطَاوُلِ وَالْمُبَاهَاةِ وَلَوْ وُسِمَتْ بِغَالُهُمْ بِمَا يتميز به عما للمسلمين كان أولى

Adapun memberi cap dengan timah pada leher mereka, telah kami sebutkan sebelumnya. Adapun menampakkan daerah pinggang mereka, maksudnya adalah mengenakan zunnar di pinggang mereka di atas pakaian mereka. Adapun mencukur bagian depan rambut mereka, itu adalah seperti yang telah kami sebutkan, yaitu memangkas bagian depan kepala mereka. Adapun menaiki pelana secara melintang, maksudnya adalah kedua kaki penunggang berada di satu sisi dan punggungnya di sisi lain. Jika mereka melampaui penggunaan pelana tersebut dengan membawa beban berat ke pelana yang berbeda dari pelana kaum Muslimin—yang mana pelana kaum Muslimin terbuat dari kayu, bukan dari besi—maka mereka juga dilarang memakai cincin dari perak dan emas karena di dalamnya terdapat unsur kesombongan dan bermegah-megahan. Jika bagal-bagal mereka diberi tanda khusus yang membedakannya dari milik kaum Muslimin, maka itu lebih utama.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَلَا يَدْخُلُوا مَسْجِدًا “

Imam Syafi‘i berkata, “Dan mereka tidak boleh memasuki masjid.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا مُعْتَبَرٌ بِعَقْدِ الذِّمَّةِ مَعَهُمْ فَإِنْ شُرِطَ فِيهِ أَنْ لَا يَدْخُلُوا مَسْجِدَ الْمُسْلِمِينَ مُنِعُوا مِنْ دُخُولِهِ بِحُكْمِ الشَّرْطِ وَإِنْ أُغْفِلَ شَرْطُهُ عَلَيْهِمْ مُنِعُوا مِنْ دُخُولِهِ لِأَكْلٍ وَمَنَامٍ لِمَا فِيهِ مِنِ اسْتِبْذَالِهِمْ لَهُ وَإِنْ لَمْ يُمْنَعْ مِنْهُ الْمُسْلِمُ لِأَنَّ الْمُسْلِمَ يَعْتَقِدُ تَعْظِيمَهُ دِينًا وَالْمُشْرِكَ يَرَى اسْتِبْذَالَهُ دِينًا

Al-Mawardi berkata, “Hal ini bergantung pada akad dzimmah dengan mereka. Jika dalam akad tersebut disyaratkan bahwa mereka tidak boleh memasuki masjid kaum Muslimin, maka mereka dilarang memasukinya berdasarkan ketentuan syarat tersebut. Jika syarat itu tidak dicantumkan atas mereka, maka mereka tetap dilarang masuk ke dalam masjid untuk makan dan tidur, karena hal itu termasuk meremehkan masjid. Adapun Muslim tidak dilarang melakukannya, karena Muslim meyakini pengagungan masjid sebagai bagian dari agama, sedangkan musyrik memandang meremehkannya sebagai bagian dari agamanya.”

وَأَمَّا دُخُولُهَا لِغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ سَمَاعِ الْقُرْآنِ وَمَا يَعْرِضُ فِيهِ مِنْ حَاجَةٍ إِلَى مُسْلِمٍ فَيَجُوزُ بِإِذْنٍ وَيُمْنَعُونَ مِنْهُ بِغَيْرِ إِذَنٍ

Adapun masuknya (perempuan haid) ke masjid bukan untuk tujuan tersebut, seperti mendengarkan Al-Qur’an atau karena ada keperluan lain yang berkaitan dengan seorang Muslim, maka hal itu diperbolehkan dengan izin, dan dilarang tanpa izin.

قَالَ اللَّهُ تَعَالَى وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلامَ اللَّهِ فَدَلَّتْ هَذِهِ الْآيَةُ عَلَى إِبَاحَةِ الدُّخُولِ بَعْدَ الْإِذْنِ

Allah Ta‘ala berfirman: “Jika ada seorang dari kaum musyrik meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia sampai ia mendengar firman Allah.” Maka ayat ini menunjukkan bolehnya masuk (ke wilayah kaum Muslim) setelah mendapat izin.

فَإِنْ قَدِمَتْ وُفُودُ الْمُشْرِكِينَ فَالْأَوْلَى أَنْ يُنْزِلَهُمُ الْإِمَامُ فِي غَيْرِ الْمَسَاجِدِ فَإِنْ أَرَادَ إِنْزَالَهُمْ فِي الْمَسَاجِدِ اعْتُبِرَتْ حَالُهُمْ

Jika delegasi kaum musyrik datang, maka yang utama adalah imam menempatkan mereka di selain masjid. Namun jika ingin menempatkan mereka di dalam masjid, maka keadaan mereka harus dipertimbangkan.

فَإِنْ خِيفَ مِنْهُمْ تَنْجِيسُ الْمَسْجِدِ مُنِعُوا مِنْ نُزُولِهِ وَإِنْ أُمِنَ مِنْهُمْ تَنْجِيسُهُ نُظِرَ فيه إن لم يرج إِسْلَامَهُمْ مُنِعُوا مِنْ نُزُولِهِ صِيَانَةً لَهُ مِنَ الِاسْتِبْذَالِ وَإِنْ رُجي إِسْلَامُهُمْ عِنْدَ سَمَاعِ الْقُرْآنِ جَازَ إِنْزَالُهُمْ فِيهِ

Jika dikhawatirkan mereka akan menajiskan masjid, maka mereka dilarang singgah di dalamnya. Namun jika aman dari kemungkinan mereka menajiskannya, maka dilihat lagi: jika tidak diharapkan mereka akan masuk Islam, mereka tetap dilarang singgah di dalamnya demi menjaga kehormatan masjid dari penghinaan. Tetapi jika diharapkan mereka akan masuk Islam ketika mendengarkan Al-Qur’an, maka boleh membiarkan mereka singgah di dalamnya.

قَدْ أَنْزَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَفْدَ ثَقِيفٍ فِي الْمَسْجِدِ فَكَانَ سَبَبًا لِإِسْلَامِهِمْ وَإِسْلَامِ قَوْمِهِمْ

Rasulullah saw. telah menempatkan delegasi Tsaqif di masjid, sehingga hal itu menjadi sebab keislaman mereka dan keislaman kaum mereka.

وَلَوْ دَعَتِ الضَّرُورَةُ فِيمَنْ لَمْ يَرْجُ إِسْلَامَهُمْ إِلَى إِنْزَالِهِمْ فِي الْمَسْجِدِ لِتَعَذُّرِ مَا يَنْزِلُونَ فِيهِ مُسْتَكِنِّينَ فِيهِ مِنْ حَرٍّ أَوْ بَرْدٍ جَازَ لِأَجْلِ الضَّرُورَةِ أَنْ يَنْزِلُوا لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنْزَلَ سَبْيَ بَنِي قُرَيْظَةَ وَبَنِيَ النَّضِيرِ مِنْ ضَرُورَةٍ حَتَّى أَمَرَ بِهِمْ فَبِيعُوا وَرَبَطَ ثُمَامَةَ بْنَ أُثَالٍ الْحَنَفِيَّ إِلَى سَارِيَةٍ فِي مَسْجِدِهِ

Dan jika keadaan darurat menuntut untuk menempatkan orang-orang yang tidak diharapkan masuk Islam di dalam masjid, karena tidak adanya tempat lain yang dapat mereka tempati untuk berlindung dari panas atau dingin, maka hal itu dibolehkan karena alasan darurat. Sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menempatkan tawanan Bani Quraizhah dan Bani Nadhir di masjid karena keadaan darurat, hingga beliau memerintahkan agar mereka dijual, dan beliau juga pernah mengikat Tsamamah bin Utsal al-Hanafi pada salah satu tiang di masjidnya.

فَأَمَّا مَنْ يَصِحُّ مِنْهُ الْإِذْنُ فَلَا يَخْلُو أَنْ يَكُونَ لِمُقَامٍ أَوِ اجْتِيَازٍ فَإِنْ كَانَ لِمُقَامٍ أَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ تَزِيدُ عَلَى مُقَامِ السَّفَرِ لَمْ يَصِحَّ الْإِذْنُ فِيهِ إِلَّا مِنْ سُلْطَانٍ يَنْفُذُ أَمْرُهُ فِي الدِّينِ أَوْ يَجْتَمِعُ عَلَيْهِ أَهْلُ تِلْكَ النَّاحِيَةِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَيَكُونُ الْإِذْنُ مَشْرُوطًا أَنْ لَا يَسْتَضِرَّ بِهِ أَحَدٌ مِنَ الْمُصَلِّينَ

Adapun orang yang sah memberikan izin, maka tidak lepas dari dua keadaan: untuk menetap atau hanya sekadar lewat. Jika izinnya untuk menetap lebih dari tiga hari, melebihi batas waktu menetap dalam safar, maka izin tersebut tidak sah kecuali dari seorang penguasa yang perintahnya berlaku dalam urusan agama, atau dari orang yang disepakati oleh kaum Muslimin di daerah tersebut. Dan izin itu harus disyaratkan tidak menimbulkan mudarat bagi salah satu jamaah yang melaksanakan shalat.

وَإِنْ كَانَ دُخُولُهُ لِاجْتِيَازٍ أَوْ لُبْثٍ يَسِيرٍ نُظِرَ فِي الْمَسْجِدِ

Dan jika ia masuk ke masjid hanya untuk lewat atau tinggal sebentar, maka hal itu perlu diperhatikan dalam masjid.

فَإِنْ كَانَ مِنَ الْجَوَامِعِ الَّتِي لَا يَتَرَتَّبُ الْأَئِمَّةُ فِيهَا إِلَّا بِإِذْنِ السُّلْطَانِ لَمْ يَصِحَّ الْإِذْنُ فِي دُخُولِهِ إِلَّا مِنْ سُلْطَانٍ لِأَنَّهُ لَمَّا اعْتُبِرَ إِذْنُهُ فِي إِمَامَةِ الصَّلَاةِ الْمَفْرُوضَةِ كَانَ أَوْلَى أَنْ يُعْتَبَرَ فِيمَا أُبِيحَ مِنْ دُخُولِ أَهْلِ الذِّمَّةِ

Jika masjid tersebut termasuk masjid jami‘ yang para imamnya tidak boleh ditetapkan kecuali dengan izin penguasa, maka izin untuk masuk ke dalamnya pun tidak sah kecuali dari penguasa. Sebab, ketika izin penguasa dianggap syarat dalam penetapan imam untuk salat fardu, maka lebih utama lagi izin itu dipertimbangkan dalam hal diperbolehkannya masuknya ahludz-dzimmah.

وَإِنْ كَانَ الْمَسْجِدُ مِنْ مَسَاجِدِ الْقَبَائِلِ وَالْعَشَائِرِ الَّتِي يَتَرَتَّبُ فِيهَا أَئِمَّتُهَا بِغَيْرِ إِذَنِ السُّلْطَانِ لَمْ يُعْتَبَرْ إِذَنُ السُّلْطَانِ فِي دُخُولِهِ

Dan jika masjid tersebut adalah salah satu masjid milik kabilah atau kabilah-kabilah yang para imamnya ditetapkan tanpa izin dari penguasa, maka izin penguasa tidak dianggap dalam hal memasuki masjid tersebut.

وَفِيمَنْ يَصِحُّ إِذْنُهُ وَجْهَانِ

Ada dua pendapat mengenai siapa yang sah izinnya.

أَحَدُهُمَا كُلٌّ مَنْ صَحَّ أَمَانُهُ لِمُشْرِكٍ مِنْ رَجُلٍ وَامْرَأَةٍ وَحُرٍّ وَعَبْدٍ صَحَّ إِذْنُهُ فِي الْمَسْجِدِ لِأَنَّ حُكْمَ الْأَمَانِ أَغْلَظُ

Pertama, setiap orang yang sah memberikan aman kepada seorang musyrik, baik laki-laki maupun perempuan, merdeka maupun hamba sahaya, maka sah pula izinnya untuk masuk masjid, karena hukum aman lebih berat.

والْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّهُ لَا يَصِحُّ إِلَّا إِذْنُ مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْجِهَادِ مِنَ الرِّجَالِ الْأَحْرَارِ لِمَا تَعَلَّقَ بِهِمْ حَقُّ اللَّهِ تَعَالَى وَالْأَوَّلُ أَظْهَرُ

Pendapat kedua adalah bahwa izin itu tidak sah kecuali dari orang yang termasuk ahli jihad dari kalangan laki-laki merdeka, karena pada mereka terdapat hak Allah Ta‘ala. Namun, pendapat pertama lebih kuat.

فَصْلٌ

Bagian

فَأَمَّا تَعْلِيمُهُمُ الْقُرْآنَ فَيَجُوزُ بِهِ إِذَا رُجِيَ بِهِ إِسْلَامُهُمْ وَلَا يَجُوزُ إِذَا خِيفَ بِهِ الِاسْتِهْزَاءُ بِهِ

Adapun mengajarkan Al-Qur’an kepada mereka, maka hal itu diperbolehkan jika diharapkan dengan itu mereka akan masuk Islam, dan tidak diperbolehkan jika dikhawatirkan akan terjadi penghinaan terhadapnya.

قَدْ سَمِعَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُخْتَهُ تَقْرَأُ سُورَةَ ” طه ” فَأَسْلَمَ وَقَالَ جُبَيْرُ بْنُ مُطْعِمٍ إِذَا سَمِعْتُ الْقُرْآنَ كَادَ أَنْ يَنْقَطِعَ قَلْبِي

Umar bin Khattab pernah mendengar saudarinya membaca Surah Thaha, lalu ia pun masuk Islam. Jubair bin Muth’im berkata, “Setiap kali aku mendengar Al-Qur’an, hampir saja hatiku terputus.”

وَهَكَذَا الْقَوْلُ فِي تَعَلُّمِ الْفِقْهِ وَالْكَلَامِ وَأَخْبَارِ الرَّسُولِ إِنْ رُجِيَ بِهِ إِسْلَامُهُمْ لَمْ يُمْنَعُوا مِنْهُ وَإِنْ خِيفَ اعْتِرَاضُهُمْ وَجَرْحُهُمْ فِيهِ مُنِعُوا مِنْهُ وَلَا يُمْنَعُونَ مِنْ تَعْلِيمِ الشِّعْرِ وَالنَّحْوِ وَمَنَعَهُمْ بَعْضُ الْفُقَهَاءِ مِنْ تَعَلُّمِهِ لِأَنَّهُ فِي اسْتِقَامَةِ أَلْسِنَتِهِمْ بِهِ تَطَاوُلًا عَلَى مَنْ قَصَّرَ فِيهِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَأَنَّهُمْ رُبَّمَا اسْتَعَانُوا بِهِ فِي الِاعْتِرَاضِ عَلَى الْقُرْآنِ وَهَذَا فَاسِدٌ لأنه ليس من حلوم الدِّينِ وَأَشْبَهَ عِلْمَ الطِّبِّ وَالْحِسَابِ وَلِأَنَّ اللَّهَ تعالى

Demikian pula halnya dalam mempelajari fiqh, ilmu kalam, dan berita-berita Rasul; jika diharapkan dengan itu mereka akan masuk Islam, maka mereka tidak dilarang darinya. Namun jika dikhawatirkan mereka akan mengkritik dan mencela dalam hal itu, maka mereka dilarang darinya. Mereka tidak dilarang untuk belajar syair dan nahwu, namun sebagian fuqaha melarang mereka mempelajarinya karena dengan kefasihan lisan mereka dalam hal itu, mereka bisa merasa lebih unggul atas kaum Muslimin yang kurang dalam bidang tersebut, dan karena mereka mungkin akan memanfaatkannya untuk mengkritik Al-Qur’an. Pendapat ini tidak benar, karena hal itu bukan termasuk urusan agama, dan lebih mirip dengan ilmu kedokteran dan hisab. Dan karena Allah Ta‘ala…

قد صان كتابه عن قدم بدليل واعتراض بحجة

Ia telah menjaga kitabnya dari anggapan qadim dengan dalil dan menolak keberatan dengan hujjah.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَلَا يَسْقُوا مُسْلِمًا خَمْرًا وَلَا يُطْعِمُوهُ خِنْزِيرًا “

Imam Syafi‘i berkata, “Dan mereka (non-Muslim) tidak boleh memberi minum seorang Muslim dengan khamar, dan tidak boleh memberi makan daging babi kepadanya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ وَلَهُمْ فِي ذَلِكَ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ

Al-Mawardi berkata, “Ini benar, dan mereka memiliki tiga keadaan dalam hal itu.”

أَحَدُهَا أَنْ يُكْرِهُوا الْمُسْلِمِينَ عَلَى شُرْبِ الْخَمْرِ وَأَكْلِ الْخِنْزِيرِ فَإِنَّ التَّبَعَةَ فِيهِ عليهم لا على المسلم فيعزروا سَوَاءٌ شُرِطَ عَلَيْهِمْ فِي عَهْدِهِمْ أَوْ لَمْ يُشْرَطْ وَلَا يَنْتَقِضْ بِهِ الْعَهْدُ إِنْ لَمْ يُشْتَرَطْ وَفِي انْتِقَاضِهِ بِهِ إِنْ شُرِطَ وَجْهَانِ

Salah satunya adalah jika mereka memaksa kaum Muslimin untuk meminum khamar dan memakan daging babi, maka tanggung jawabnya ada pada mereka, bukan pada Muslim tersebut, sehingga mereka layak diberi ta‘zir, baik hal itu disyaratkan dalam perjanjian mereka atau tidak. Perjanjian tidak batal karenanya jika tidak disyaratkan, dan mengenai batal atau tidaknya perjanjian jika disyaratkan, terdapat dua pendapat.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ يَغْلِبَهُمُ الْمُسْلِمُ عَلَيْهِ كَرْهًا فَيَشْرَبَ خَمْرَهُمْ وَيَأْكُلَ خِنْزِيرَهُمْ فَيُقَامُ عَلَى الْمُسْلِمِ حَدُّ الْخَمْرِ وَيُعَزَّرُ لِأَكْلِ الْخِنْزِيرِ وَيُعَزَّرُ فِي حَقِّ أَهْلِ الذِّمَّةِ لِتَعَدِّيهِ عَلَيْهِمْ وَلَا قِيمَةَ عَلَيْهِ فِيمَا شَرِبَهُ مِنَ الْخَمْرِ وَأَكَلَهُ مِنَ الخنزير

Keadaan kedua adalah apabila seorang Muslim menguasai mereka (Ahludz-dzimmah) secara paksa, lalu ia meminum khamar mereka dan memakan daging babi mereka. Maka terhadap Muslim tersebut ditegakkan hudud karena meminum khamar, dan dijatuhi ta‘zir karena memakan daging babi, serta dijatuhi ta‘zir pula atas pelanggarannya terhadap hak Ahludz-dzimmah. Namun, tidak ada kewajiban membayar ganti rugi atas khamar yang diminumnya dan daging babi yang dimakannya.

والحالة الثَّالِثَةُ أَنْ يَعْرِضُوهُ عَلَى الْمُسْلِمِ مِنْ غَيْرِ إِكْرَاهٍ وَيَقْبَلُهُ الْمُسْلِمُ مِنْهُمْ مِنْ غَيْرِ تَغْلِيبٍ فَيُقَامُ عَلَى الْمُسْلِمِ حَدُّ الْخَمْرِ فِي حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى وَلَا يُعَزَّرُ فِي حَقِّهِمْ وَيُعَزَّرُ الذِّمِّيُّ إِنْ كَانَ ذَلِكَ مَشْرُوطًا فِي عَهْدِهِمْ وَلَا يُعَزَّرُ إِنْ لَمْ يُشْتَرَطْ وَهَكَذَا لَوِ ابْتَدَأَ الْمُسْلِمُ بِطَلَبِهِ فَأَجَابُوهُ إِلَّا أَنَّ تَعْزِيرَهُمْ فِي الِابْتِدَاءِ بِعَرْضِهِ أَغْلَظُ مِنْ تَعْزِيرِهِمْ فِي إِجَابَتِهِمْ وَإِنِ اسْتَوَتِ الْحَالَاتُ فِي حَدِّ الْمُسْلِمِ وتعزيره

Keadaan ketiga adalah ketika mereka (non-Muslim) menawarkan (khamr) kepada Muslim tanpa paksaan, dan Muslim menerimanya dari mereka tanpa adanya pemaksaan. Maka, terhadap Muslim ditegakkan had khamr karena hak Allah Ta‘ala, dan tidak dijatuhkan ta‘zīr atas Muslim tersebut dalam hak mereka (non-Muslim). Adapun dzimmī, ia dijatuhi ta‘zīr jika hal itu disyaratkan dalam perjanjian mereka, dan tidak dijatuhi ta‘zīr jika tidak disyaratkan. Demikian pula jika Muslim yang memulai dengan memintanya lalu mereka memenuhi permintaannya, kecuali bahwa ta‘zīr atas mereka karena memulai menawarkan lebih berat daripada ta‘zīr atas mereka karena memenuhi permintaan. Namun, dalam hal had atas Muslim dan ta‘zīrnya, kedua keadaan tersebut sama.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” فَإِنْ كَانُوا فِي قَرْيَةٍ يَمْلِكُونَهَا مُنْفَرِدِينَ لَمْ نَتَعَرَّضْ لَهُمْ فِي خَمْرِهِمْ وَخَنَازِيرِهِمْ وَرَفْعِ بُنْيَانِهِمْ وإن كان لهم بمصر المسلمين كنيسة أو بناء طائل لبناء المسلمين لم يكن للمسلمين هدم ذلك وتركوا على ما وجدوا ومنعوا إحداث مثله وهذا إن كان المصر للمسلمين أحيوه أو فتحوه عنوة وشرط هذا على أهل الذمة وإن كانوا فتحوا بلادهم على صلح منهم على تركهم ذلك خلو وإياه ولا يجوز أن يصالحوا على أن ينزلوا بلاد الإسلام يحدثوا فيه ذلك “

Imam Syafi‘i berkata, “Jika mereka (ahli dzimmah) berada di sebuah desa yang mereka miliki secara mandiri, maka kita tidak mengganggu mereka dalam urusan khamar, babi, dan pembangunan bangunan mereka. Namun, jika mereka memiliki gereja atau bangunan besar di kota kaum Muslimin yang melebihi bangunan kaum Muslimin, maka kaum Muslimin tidak berhak merobohkannya dan mereka dibiarkan sebagaimana ditemukan, tetapi mereka dilarang membangun yang serupa. Hal ini berlaku jika kota tersebut milik kaum Muslimin, baik mereka menghidupkannya atau menaklukkannya dengan kekuatan, dan syarat ini telah ditetapkan atas ahli dzimmah. Namun, jika mereka menaklukkan negeri mereka melalui perjanjian damai yang membolehkan mereka tetap memiliki itu, maka mereka dibiarkan dan tidak diganggu. Tidak boleh ada perjanjian damai yang membolehkan mereka tinggal di negeri Islam lalu membangun hal-hal tersebut di dalamnya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ وَقَدْ ذَكَرْنَاهُ مِنْ قَبْلُ إِنْ تَفَرَّدُوا بِمِلْكِهِ وَسُكْنَاهُ مِنَ الْقُرَى وَالْبِلَادِ لَمْ يُعْتَرَضْ عَلَيْهِمْ فِي إِظْهَارِ خُمُورِهِمْ وَخَنَازِيرِهِمْ فِيهِ وَضَرْبِ نَوَاقِيسِهِمْ وَابْتِنَاءِ بِيَعِهِمْ وَكَنَائِسِهِمْ وَتَعْلِيَةِ مَنَازِلِهِمْ وَتَرْكِ الْغِيَارِ وَالزُّنَّارِ وَلِأَنَّهَا زَادُهُمْ فَأَشْبَهَتْ دَوَاخِلَ مَنَازِلِهِمْ فَأَمَّا رُكُوبُهُمُ الْخَيْلَ فِيهَا فيحتمل وجهين

Al-Mawardi berkata, “Ini benar, dan kami telah menyebutkannya sebelumnya: jika mereka (non-Muslim) memiliki dan menempati sendiri desa-desa dan kota-kota, maka tidak boleh ada keberatan terhadap mereka dalam menampakkan minuman keras dan babi mereka di sana, membunyikan lonceng, membangun gereja dan biara mereka, meninggikan rumah-rumah mereka, serta tidak mengenakan pakaian pembeda (ghiyār) dan ikat pinggang khusus (zunnār), karena semua itu adalah kebutuhan mereka, sehingga keadaannya serupa dengan bagian dalam rumah-rumah mereka. Adapun mengenai mereka menunggang kuda di tempat-tempat tersebut, maka ada dua kemungkinan pendapat.”

أَحَدُهُمَا لَا يُمْنَعُونَ مِنْ رُكُوبِهَا كَمَا لَمْ يُمْنَعُوا مِمَّا سِوَاهَا

Salah satunya adalah mereka tidak dilarang untuk menungganginya, sebagaimana mereka juga tidak dilarang dari selainnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي يُمْنَعُونَ مِنْ رُكُوبِهَا لِأَنَّهَا رُبَّمَا صَارَتْ قُوَّةً لَهُمْ تَدْعُوهُمْ إِلَى نَقْضِ الْعَهْدِ فَخَالَفَتْ بِذَلِكَ مَا سِوَاهَا ثُمَّ ذَكَرَ الشَّافِعِيُّ بَعْدَ هَذَا مِنْ حُكْمِهِمْ فِي بِلَادِ الْإِسْلَامِ الَّتِي فُتِحَتْ عَنْوَةً وَصُلْحًا ما قد مضى شرحه

Pendapat kedua, mereka dilarang menungganginya karena bisa jadi hal itu menjadi kekuatan bagi mereka yang mendorong mereka untuk melanggar perjanjian, sehingga hal itu berbeda dengan selainnya. Kemudian, setelah itu, asy-Syafi‘i menyebutkan tentang hukum mereka di negeri-negeri Islam yang dibuka secara ‘anwah dan shulh, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَيَكْتُبُ الْإِمَامُ أَسْمَاءَهُمْ وَحُلَاهُمْ فِي دِيوَانٍ وَيُعَرِّفُ عَلَيْهِمْ عُرَفَاءَ لَا يَبْلُغُ مَوْلُودٌ وَلَا يَدْخُلُ فِيهِمْ أَحَدٌ مِنْ غَيْرِهِمْ إِلَّا رَفَعَهُ إِلَيْهِ “

Imam Syafi‘i berkata, “Dan imam menuliskan nama-nama mereka dan ciri-ciri mereka dalam sebuah diwan, serta menunjuk para ‘arif (pengawas) atas mereka, sehingga tidak ada seorang pun yang lahir atau masuk ke dalam kelompok mereka dari selain mereka kecuali dilaporkan kepadanya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهُوَ كَمَا قَالَ لِأَنَّ عَقْدَ الذِّمَّةِ مَوْضُوعٌ لِلتَّأْبِيدِ فَاحْتَاجَ إِلَى دِيوَانٍ يُفْرَدُ لَهُ وَقَدْ سُمِّيَ دِيوَانَ الْجَوَالِي لِأَنَّهُمْ أُجْلُوا عَنِ الْحِجَازِ فَسُمُّوا جَوَالِيَ وَهَذَا الدِّيوَانُ مَوْضُوعٌ فِيهِمْ لِثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ

Al-Mawardi berkata, dan memang sebagaimana yang ia katakan, karena akad dzimmah ditetapkan untuk jangka waktu yang terus-menerus, maka dibutuhkan sebuah diwan (catatan administrasi) yang dikhususkan untuknya. Catatan ini dinamakan Diwan al-Jawali karena mereka (para dzimmi) diusir dari Hijaz sehingga mereka disebut Jawali, dan diwan ini dibuat untuk tiga hal yang berkaitan dengan mereka.

أَحَدُهَا أَنْ يَذْكُرَ فِيهِ عَقْدُ ذِمَّتِهِمْ وَمَبْلَغُ مَا صُولِحُوا عَلَيْهِ مِنْ قَدْرِ جِزْيَتِهِمْ وَمَا شُرِطَ عَلَيْهِمْ مِنَ الْأَحْكَامِ لِيُحْمَلُوا عَلَيْهَا فِيمَا عَلَيْهِمْ وَلَهُمْ مِمَّنْ تَوَلَّاهُ مِنَ الْأَئِمَّةِ وَذِكْرُ الْإِمَامِ احْتِيَاطٌ وَلَيْسَ بِوَاجِبٍ

Salah satunya adalah menyebutkan dalamnya akad dzimmah mereka, besaran yang disepakati atas mereka berupa jumlah jizyah mereka, serta syarat-syarat hukum yang dibebankan kepada mereka agar mereka melaksanakannya baik yang menjadi kewajiban maupun hak mereka dari pihak yang mengurusnya, yaitu para imam. Penyebutan nama imam adalah bentuk kehati-hatian dan bukanlah suatu kewajiban.

وَالثَّانِي أَنْ يَكْتُبَ فِيهِ اسْمَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ وَيَرْفَعَ فِي نَسَبِهِ وَقَبِيلَتِهِ وَصِنَاعَتِهِ حَتَّى يَتَمَيَّزَ عَنْ غَيْرِهِ وَيَذْكُرَ حِلْيَةَ بَدَنِهِ الَّتِي لَا تَتَغَيَّرُ بِالْكِبَرِ كَالطُّولِ وَالْقِصَرِ وَالْبَيَاضِ وَالسُّمْرَةِ وَالسَّوَادِ وَحِلْيَةَ الْوَجْهِ وَالْأَعْضَاءِ لِيَتَمَيَّزَ إِنْ وَافَقَ اسْمٌ اسْمًا وَيَذْكُرَ فِيهِ الذُّكُورَ مِنْ أَوْلَادِهِمْ دُونَ الْإِنَاثِ لِاعْتِبَارِ الْجِزْيَةِ بِبُلُوغِ الذُّكُورِ دُونَ الْإِنَاثِ وَإِنْ وُلِدَ لِأَحَدِهِمْ مَوْلُودٌ أَثْبَتَهُ وَإِنْ مَاتَ مِنْهُمْ مَيِّتٌ أَسْقَطَهُ

Kedua, hendaknya ia menuliskan nama masing-masing dari mereka, serta mencantumkan nasab, kabilah, dan profesinya, agar dapat dibedakan dari yang lain. Ia juga harus menyebutkan ciri-ciri tubuh yang tidak berubah karena usia, seperti tinggi, pendek, warna putih, sawo matang, atau hitam, serta ciri-ciri wajah dan anggota tubuh, agar dapat dibedakan jika ada kesamaan nama. Ia hanya mencantumkan anak laki-laki mereka, tidak anak perempuan, karena jizyah hanya diperhitungkan bagi laki-laki yang telah baligh, bukan perempuan. Jika salah satu dari mereka memiliki anak yang lahir, maka ia mencatatnya, dan jika ada yang meninggal, maka ia menghapusnya.

وَالثَّالِثُ أَنْ يُثْبِتَ فِيهِ مَا أَدَّوْهُ مِنَ الْجِزْيَةِ لِيُعْلَمَ بِهِ مَا بَقِيَ وَمَا اسْتُوْفِيَ وَيَكْتُبَ لَهُمْ بِالْأَدَاءِ بَرَاءَةً يَكْتُبُ اسْمَ الْمُؤَدِّي وَنَسَبَهُ وَحِلْيَتَهُ لِيَكُونَ حُجَّةً لَهُ تَمْنَعُ مِنْ مُطَالَبَتِهِ وَيُخْتَارُ أَنْ يَكُونَ حَوْلُ الْجِزْيَةِ مُعْتَبَرًا بِالْمُحَرَّمِ لِأَنَّهُ أَوَّلُ السَّنَةِ الْعَرَبِيَّةِ وَتُعْتَبَرُ فِيهِ السَّنَةُ الْهِلَالِيَّةُ كَمَا تُعْتَبَرُ فِي الزَّكَاةِ

Ketiga, hendaknya dicatat di dalamnya apa yang telah mereka bayarkan dari jizyah, agar diketahui berapa yang masih tersisa dan berapa yang sudah dipenuhi, dan hendaknya diberikan kepada mereka surat keterangan pelunasan atas pembayaran tersebut, yang di dalamnya ditulis nama orang yang membayar, nasabnya, dan ciri-cirinya, agar menjadi bukti bagi dirinya yang dapat mencegah dari penagihan kembali. Dianjurkan agar perhitungan tahun jizyah didasarkan pada bulan Muharram, karena itu adalah awal tahun Arab, dan tahun yang digunakan adalah tahun hijriah sebagaimana yang digunakan dalam zakat.

فَصْلٌ

Fasal

وَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنْ حُكْمِ دِيوَانِهِمْ عَرَّفَ الْإِمَامُ عَلَيْهِمُ العرفاء وضم إلى كل عريف قوما معينين أَثْبَتَ مَعَهُمُ اسْمَ عَرِّيفِهِمْ فِي الدِّيوَانِ وَيَكُونُوا عَدَدًا يَضْبُطُهُمُ الْعَرِّيفُ الْوَاحِدُ فِيمَا نُدِبَ لَهُ

Dan apabila telah ditetapkan apa yang telah kami jelaskan mengenai hukum diwan mereka, maka imam akan menunjuk para ‘arif (pemimpin kelompok) atas mereka dan menggabungkan kepada setiap ‘arif sekelompok orang tertentu, serta mencatat nama ‘arif mereka bersama mereka di dalam diwan. Jumlah mereka haruslah sebanyak yang dapat diawasi oleh satu ‘arif dalam tugas yang dibebankan kepadanya.

وَالْعَرِّيفُ مَنْدُوبٌ لِثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ

Arif (ketua kelompok) disunnahkan untuk tiga hal.

أَحَدُهَا أَنْ يَعْرِفَ حَالَ مَنْ وُلِدَ فِيهِمْ فَيُثْبِتَهُ وَحَالَ مَنْ مَاتَ مِنْهُمْ فَيُسْقِطَهُ وَمَنْ قَدِمَ عَلَيْهِمْ مِنْ غَرِيبٍ وَمِنْ مُسَافِرٍ عَنْهُمْ وَمُقِيمٍ وَيُثْبِتُ جَمِيعَ ذَلِكَ فِي دِيوَانِهِمْ

Salah satunya adalah mengetahui keadaan orang yang lahir di antara mereka, lalu mencatatnya; keadaan orang yang meninggal dari mereka, lalu menghapusnya; orang yang datang kepada mereka dari kalangan pendatang; orang yang bepergian dari mereka; dan orang yang menetap, serta mencatat semua itu dalam daftar mereka.

وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مَنْ قَامَ بِهَذَا مِنَ الْوَفَاءِ إِلَّا مُسْلِمًا يقبل خبره

Dan tidak boleh orang yang melaksanakan hal ini dalam pemenuhan (akad) kecuali seorang Muslim yang diterima keterangannya.

وَجَوَّزَ أَبُو حَنِيفَةَ أَنْ يَكُونَ ذِمِّيًّا بِنَاءً عَلَى أَصْلِهِ فِي قَبُولِ شَهَادَةِ بَعْضِهِمْ لِبَعْضٍ

Abu Hanifah membolehkan (hakim) itu seorang dzimmi, berdasarkan pada prinsip dasarnya dalam menerima kesaksian sebagian mereka atas sebagian yang lain.

وَالثَّانِي أَنْ يَعْرِفَ حَالَ مَنْ دَخَلَ فِي جِزْيَتِهِمْ وَمَنْ خَرَجَ مِنْهَا فَيُثْبِتَهُ وَالدَّاخِلُ فِيهَا الصَّبِيُّ إِذَا بَلَغَ وَالْمَجْنُونُ إِذَا أَفَاقَ وَالْعَبْدُ إِذَا عَتَقَ

Yang kedua adalah mengetahui keadaan orang yang masuk dalam kewajiban jizyah mereka dan siapa yang keluar darinya, lalu mencatatnya. Orang yang masuk ke dalamnya adalah anak kecil ketika telah baligh, orang gila ketika telah sembuh, dan budak ketika telah merdeka.

وَالْخَارِجُ مِنْهَا مَنْ مَاتَ أَوْ جُنَّ بَعْدَ إِفَاقَتِهِ أَوِ افْتَقَرَ بَعْدَ غِنَاهُ عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ وَكَذَلِكَ مَنْ عَمِيَ أَوْ زَمِنَ وَيَعْرِفَ حَالَ مَنْ نَقَضَ عَهْدَهُ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مَنْ قَامَ بِهَذَا مِنَ الْعُرَفَاءِ إِلَّا مُسْلِمٌ وَالثَّالِثُ أَنْ يُحْضِرَهُمْ إِذَا أريدوا لأداء الجزيرة وَلِاسْتِيفَاءِ حَقٍّ عَلَيْهِمْ وَلِيَشْكُوا إِلَيْهِ مَا يُنْهِيهِ عنهم إلى الإمام من حَقٍّ لَهُمْ يَسْتَوْفُونَهُ أَوْ مِنْ تَعَدِّي مُسْلِمٍ عَلَيْهِمْ يَكُفُّ عَنْهُمْ وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مَنْ قَامَ بِهَذَا مِنَ الْعُرَفَاءِ ذِمِّيًّا مِنْهُمْ لِأَنَّهَا نِيَابَةٌ عَنْهُمْ لَا يُعْمَلُ فِيهَا عَلَى خَبَرِهِ

Dan yang keluar dari golongan ini adalah orang yang meninggal dunia, atau menjadi gila setelah sebelumnya sadar, atau menjadi miskin setelah sebelumnya kaya menurut salah satu dari dua pendapat. Demikian pula orang yang menjadi buta atau cacat, dan hendaknya diketahui keadaan orang yang melanggar janjinya. Tidak boleh orang yang menjalankan tugas ini dari kalangan para ‘urafā’ (tokoh masyarakat) kecuali seorang Muslim. Ketentuan ketiga adalah menghadirkan mereka ketika mereka diminta untuk membayar jizyah, atau untuk menagih hak atas mereka, atau untuk mengadukan kepada mereka sesuatu yang akan diteruskan kepada imam, baik berupa hak yang harus mereka penuhi, atau karena adanya pelanggaran dari seorang Muslim terhadap mereka yang harus dihentikan. Diperbolehkan orang yang menjalankan tugas ini dari kalangan ‘urafā’ adalah seorang dzimmi dari golongan mereka, karena tugas ini merupakan perwakilan dari mereka dan tidak dijalankan berdasarkan beritanya semata.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَإِذَا أَشْكَلَ عَلَيْهِ صُلْحُهُمْ بَعَثَ فِي كُلِّ بِلَادٍ فَجُمِعَ الْبَالِغُونَ مِنْهُمْ ثُمَّ يُسْأَلُونَ عَنْ صُلْحِهِمْ فَمَنْ أَقَرَّ بِأَقَلِّ الْجِزْيَةِ قُبِلَ مِنْهُ وَمَنْ أَقَرَّ بِزِيَادَةٍ لَمْ يَلْزَمْهُ غَيْرُهَا “

Imam Syafi‘i berkata, “Jika perdamaian mereka masih samar baginya, maka ia mengirim utusan ke setiap negeri, lalu dikumpulkan orang-orang dewasa dari mereka, kemudian mereka ditanya tentang perjanjian damai mereka. Siapa yang mengakui jumlah jizyah yang paling sedikit, maka pengakuannya diterima; dan siapa yang mengakui jumlah yang lebih banyak, maka yang lain tidak dibebani selain yang diakuinya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا عَقَدَ الْإِمَامُ مَعَهُمُ الذِّمَّةَ عَلَى جِزْيَةٍ وَشُرُوطٍ يَجُوزُ مِثْلُهَا وَجَبَ عَلَى مَنْ بَعْدَهُ مِنَ الْأَئِمَّةِ إِمْضَاءُ عَهْدِهِ وَأَجْرَى أَهْلَ الذِّمَّةِ فِيهِ عَلَى شَرْطِهِ لِأَنَّ عَقْدَ الذِّمَّةِ مُؤَبَّدٌ

Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar, apabila imam mengadakan perjanjian dzimmah dengan mereka atas pembayaran jizyah dan syarat-syarat yang dibolehkan semisal itu, maka wajib bagi imam-imam setelahnya untuk melanjutkan perjanjiannya dan memberlakukan ahlu dzimmah sesuai dengan syarat tersebut, karena akad dzimmah itu bersifat permanen.”

فَإِنْ كَانَ فِي عَقْدِهِ مَا يَمْنَعُ مِنَ الشَّرْعِ وَهُوَ أَنْ يُصَالِحَهُمْ عَلَى أَقَلَّ مِنْ دِينَارٍ أَوْ يَشْتَرِطَ لَهُمْ شُرُوطًا يَمْنَعُ الشَّرْعُ مِنْهَا أَبْطَلَ الْإِمَامُ بَعْدَهُ ذَلِكَ وَاسْتَأْنَفَ الصُّلْحَ مَعَهُمْ عَلَى مَا يَجُوزُ فِي الشَّرْعِ فَإِنْ أَجَابُوهُ إِلَيْهِ غَيَّرَ فِي الديوان ما تقدم من الصلح الفاسد وأثبتت فِيهِ مَا اسْتَأْنَفَهُ مِنَ الصُّلْحِ الْجَائِزِ

Jika dalam perjanjian terdapat sesuatu yang dilarang oleh syariat, yaitu apabila ia berdamai dengan mereka dengan jumlah kurang dari satu dinar atau mensyaratkan kepada mereka syarat-syarat yang dilarang syariat, maka imam setelahnya membatalkan perjanjian tersebut dan memulai kembali perjanjian damai dengan mereka sesuai dengan apa yang dibolehkan syariat. Jika mereka menerima hal itu, maka dalam diwan diubah catatan perjanjian damai yang rusak sebelumnya dan dicatat di dalamnya perjanjian damai yang sah yang baru dilakukan.

وَإِنِ امْتَنَعُوا مِنْ إِجَابَتِهِمْ إِلَيْهِ نَقَضَ عَهْدَهُمْ وَبَلَّغَهُمْ منهم وَعَادُوا حرمًا

Dan jika mereka menolak untuk memenuhi ajakan mereka kepadanya, maka perjanjian mereka dibatalkan dan mereka diberi tahu tentang hal itu, lalu mereka kembali menjadi haram.

فَصْلٌ

Bagian

فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَا وَتَطَاوَلَ الزَّمَانُ وَأَشْكَلَ عَلَى إِمَامِ الْوَقْتِ قَدْرُ جِزْيَتِهِمْ فَإِنِ اسْتَفَاضَتْ بِهَا الْأَخْبَارُ وَانْتَشَرَ ذِكْرُهَا فِي الْأَمْصَارِ عَمِلَ فِيهَا عَلَى الْخَبَرِ الْمُسْتَفِيضِ

Jika hal ini telah ditetapkan dan waktu telah berlalu lama, lalu menjadi samar bagi imam pada masanya tentang besaran jizyah mereka, maka jika berita tentangnya telah tersebar luas dan penyebutannya telah dikenal di berbagai negeri, maka dalam hal ini berpedoman pada berita yang telah tersebar luas.

وَإِنْ لَمْ تُعْرَفِ اسْتِفَاضَتُهَا رَجَعَ إِلَى شَهَادَةِ الْعُدُولِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ فَإِذَا شَهِدَ مِنْهُمْ عَدْلَانِ بِمِقْدَارٍ مِنَ الْجِزْيَةِ يَجُوزُ أَنْ يُصَالَحُوا عَلَى مِثْلِهِ حَكَمَ بِشَهَادَتِهِمْ وَإِنْ لَمْ يَشْهَدْ بِهِ عَدْلَانِ وَكَانَ فِي دِيوَانِهِمُ الْمَوْضُوعِ بِجِزْيَتِهِمْ قَدْرُ جِزْيَتِهِمْ وَشُرُوطِ صُلْحِهِمْ فَإِنِ ارْتَابَ بِهِ وَلَمْ تَقَعْ فِي النَّفْسِ صِحَّتُهُ لِخُطُوطٍ مُشْتَبِهَةٍ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَعْمَلَ عَلَيْهِ

Jika tidak diketahui adanya istifādhah (penyebaran informasi yang luas), maka kembali kepada kesaksian para ‘adūl (orang-orang yang adil) dari kaum Muslimin. Apabila dua orang yang adil di antara mereka bersaksi tentang besaran jizyah, maka boleh melakukan perdamaian (ṣulḥ) dengan jumlah yang sama berdasarkan kesaksian mereka. Namun, jika tidak ada dua orang yang adil yang bersaksi, dan dalam diwan (catatan administrasi) mereka yang berkaitan dengan jizyah tercantum besaran jizyah dan syarat-syarat ṣulḥ mereka, lalu timbul keraguan terhadapnya dan tidak ada keyakinan akan kebenarannya karena adanya tulisan-tulisan yang samar, maka tidak boleh beramal berdasarkan catatan tersebut.

وَإِنِ انْتَفَتْ عَنْهُ الرِّيبَةُ وَكَانَ تَحْتَ خَتْمِ أُمَنَاءِ الْكِتَابِ فَفِي جَوَازِ الْعَمَلِ عَلَيْهِ وَجْهَانِ

Dan jika keraguan telah hilang darinya dan ia berada di bawah segel para penjaga kitab, maka dalam kebolehan beramal dengannya terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا لَا يَجُوزُ الْعَمَلُ عَلَيْهِ فِي حُقُوقِ بَيْتِ الْمَالِ كَمَا لَا يَجُوزُ أَنْ يَعْمَلَ عَلَيْهِ الْقُضَاةُ وَالْحُكَّامُ وَعَلَى هَذَا لَوِ ادَّعَى ذِمِّيٌّ دَفْعَ جِزْيَتِهِ بِبَرَاءَةٍ أَحْضَرَهَا لَمْ يَبْرَأْ بِهَا

Salah satunya tidak boleh dijadikan dasar dalam pelaksanaan hak-hak Baitul Mal, sebagaimana tidak boleh dijadikan dasar oleh para qadhi dan hakim. Berdasarkan hal ini, jika seorang dzimmi mengaku telah membayar jizyahnya dengan membawa bukti pembebasan, maka ia tidak terbebas hanya dengan bukti tersebut.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي يَجُوزُ أَنْ يَعْمَلَ عَلَيْهِ فِي حُقُوقِ بَيْتِ الْمَالِ اعْتِبَارًا بِعُرْفِ الْأَئِمَّةِ فِيهِ لِأَنَّ الدِّيوَانَ مَوْضُوعٌ لَهُ وَكَمَا يَجُوزُ فِي رِوَايَةِ الْحَدِيثِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّاوِي عَلَى خَطِّهِ إِذَا تَحَقَّقَهُ وَخَالَفَ مَا عَلَيْهِ الْقُضَاةُ وَالْحُكَّامُ مِنَ الْعَمَلِ بِمَا فِي دَوَاوِينِهِمْ مِنْ وَجْهَيْنِ

Pendapat kedua membolehkan untuk beramal dengannya dalam hak-hak Baitul Mal, dengan mempertimbangkan kebiasaan para imam dalam hal ini, karena diwan memang diperuntukkan untuk itu. Sebagaimana dalam periwayatan hadis, diperbolehkan bagi perawi untuk beramal berdasarkan tulisannya jika ia telah memastikannya. Ini berbeda dengan apa yang dilakukan para qadhi dan hakim yang beramal berdasarkan apa yang ada dalam diwan mereka, dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا إِنَّ حُقُوقَ بَيْتِ الْمَالِ عَامَّةٌ فَكَانَ حُكْمُهَا أَوْسَعَ وَأَحْكَامَ الْقُضَاةِ خَاصَّةٌ فَكَانَ حُكْمُهَا أَضْيَقَ

Salah satunya adalah bahwa hak-hak Baitul Mal bersifat umum sehingga ketentuannya lebih luas, sedangkan ketentuan para qadhi bersifat khusus sehingga ketentuannya lebih sempit.

وَالثَّانِي إِنَّ حُقُوقَ بَيْتِ الْمَالِ لَا يَتَعَيَّنُ مُسْتَحِقُّهَا وَيَتَعَذَّرُ مَنْ يَتَوَلَّى الْإِشْهَادَ فِيهَا وَحُقُوقَ الْخُصُومِ عِنْدَ الْقُضَاةِ يَتَعَيَّنُ مُسْتَحِقُّهَا وَلَا يَتَعَذَّرُ عَلَيْهِ أَنْ يَتَوَلَّى الْإِشْهَادَ فِيهَا

Kedua, sesungguhnya hak-hak Baitul Mal tidak dapat ditentukan siapa yang berhak menerimanya, dan sulit untuk menemukan pihak yang dapat melaksanakan penyaksian atasnya. Adapun hak-hak para pihak yang bersengketa di hadapan para qadhi, maka dapat ditentukan siapa yang berhak menerimanya, dan tidak sulit bagi qadhi untuk melaksanakan penyaksian atasnya.

وَعَلَى هَذَا لَوِ ادَّعَى ذِمِّيٌّ دَفْعَ جِزْيَتِهِ ببراءة أحضرها تقع في النفس صحتها برىء منها

Dengan demikian, jika seorang dzimmi mengaku telah membayar jizyahnya dengan membawa surat pembebasan yang tampak meyakinkan kebenarannya, maka ia terbebas darinya.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِنْ لَمْ يَجِدِ الْإِمَامُ مَا يَعْمَلُ عَلَيْهِ مِنْ جِزْيَتِهِمْ مِنْ خَبَرٍ مُسْتَفِيضٍ ولا شهادة خاصة ولا ديوان موثوق وبصحته أَوْ وَجَدَهُ وَقُلْنَا إِنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَعْمَلَ بِهِ فَعَلَيْهِ أَنْ يَجْمَعَ أَهْلَ الذِّمَّةِ مِنْ جَمِيعِ الْأَمْصَارِ وَيَسْأَلَهُمْ عَنْ قَدْرِ جِزْيَتِهِمْ وَالْأَوْلَى أَنْ يَسْأَلَهُمْ أَفْرَادًا غَيْرَ مُجْتَمِعِينَ فَإِذَا اعْتَرَفُوا بِقَدْرٍ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ جِزْيَةً لَمْ يَقْبَلْ مِنْهُمْ وَكَانَ مَعَهُمْ عَلَى مَا مَضَى لَوْ صُولِحُوا عَلَى مَا لَا يَجُوزُ

Jika imam tidak menemukan dasar yang dapat dijadikan pegangan mengenai jumlah jizyah mereka, baik berupa kabar yang tersebar luas, kesaksian khusus, maupun catatan resmi yang terpercaya dan valid, atau jika ia menemukannya namun kita berpendapat bahwa tidak boleh beramal dengannya, maka ia harus mengumpulkan ahludz-dzimmah dari seluruh negeri dan menanyai mereka tentang besaran jizyah mereka. Yang lebih utama adalah menanyai mereka secara individu, tidak secara berkelompok. Jika mereka mengakui suatu jumlah yang mungkin dijadikan jizyah, maka tidak boleh diterima dari mereka, dan mereka tetap berada dalam keadaan seperti sebelumnya, seandainya mereka pernah berdamai atas sesuatu yang tidak boleh.

وَإِنِ اعْتَرَفُوا بِقَدْرٍ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ جِزْيَةً قَبِلَهُ مِنْهُمْ وَلَهُمْ فِيهِ حَالَتَانِ

Dan jika mereka mengakui sejumlah yang mungkin dijadikan sebagai jizyah, maka ia menerimanya dari mereka, dan dalam hal ini terdapat dua keadaan bagi mereka.

إِحْدَاهُمَا أَنْ يَتَّفِقُوا جَمِيعًا عَلَى الْقَدْرِ فَيَعْمَلَ عَلَيْهِ مَعَ جَمِيعِهِمْ بَعْدَ إِحْلَافِهِمْ عَلَيْهِ وَالْيَمِينُ وَاحِدَةٌ

Salah satunya adalah mereka semua sepakat atas suatu kadar, lalu ia bertindak berdasarkan kesepakatan mereka semua setelah mereka disumpah atas hal itu, dan sumpahnya hanya satu.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ يَخْتَلِفُوا فِيهَا فَيُقِرُّ بَعْضُهُمْ بِدِينَارٍ وَيُقِرُّ بَعْضُهُمْ بِأَكْثَرَ فَيَلْزَمُ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ مَا أَقَرَّ بِهِ وَلَا تُقْبَلُ شَهَادَةُ بَعْضِهِمْ عَلَى بَعْضٍ وَإِنْ جَوَّزَهُ أَبُو حَنِيفَةَ وَيَكْتُبُ الْإِمَامُ فِي دِيوَانِ الْجِزْيَةِ أَنَّهُ رَجَعَ إِلَى قَوْلِهِمْ حِينَ أَشْكَلَ عَلَيْهِمْ صُلْحُهُمْ فَاعْتَرَفُوا بِكَذَا وَكَذَا

Keadaan kedua adalah apabila mereka berbeda pendapat di dalamnya; sebagian mereka mengakui satu dinar, dan sebagian lainnya mengakui lebih dari itu. Maka, masing-masing dari mereka wajib membayar sesuai dengan apa yang mereka akui, dan kesaksian sebagian mereka atas sebagian yang lain tidak diterima, meskipun Abu Hanifah membolehkannya. Imam mencatat dalam diwan jizyah bahwa ia kembali kepada pendapat mereka ketika perdamaian mereka menjadi samar baginya, lalu mereka mengakui demikian dan demikian.

وَإِنِ اخْتَلَفُوا أَثْبَتَ أَسْمَاءَ الْمُخْتَلِفِينَ وَمَا لَزِمَ كُلَّ وَاحِدٍ بِإِقْرَارِهِ وَأَنَّهُ أَمْضَاهُ بَعْدَ إِحْلَافِهِ لِجَوَازِ أَنْ تَتَجَدَّدَ بَيِّنَةٌ عَادِلَةٌ يُخَالِفُهَا فَيَحْكُمَ بِهَا وَإِنْ قَامَتْ بَيِّنَةٌ بِأَكْثَرِهِمَا أَقَرُّوا بِهِ عَمِلَ عَلَيْهَا وَاسْتَوْفَى مَا لَمْ يَأْخُذْهُ مِنَ الزِّيَادَةِ وَعَادَ إِلَى دِيوَانِهِ فَأَثْبَتَ مَا قَامَتْ بِهِ الْبَيِّنَةُ بَعْدَمَا أَخَذَ مِنَ الْإِقْرَارِ وَصَارَ ذَلِكَ حُكْمًا مُؤَبَّدًا وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Dan jika mereka berselisih, maka ia menetapkan nama-nama orang yang berselisih tersebut dan apa yang menjadi tanggungan masing-masing berdasarkan pengakuannya, serta bahwa ia telah menetapkannya setelah mereka disumpah, karena dimungkinkan adanya bukti baru yang adil yang bertentangan dengannya sehingga ia dapat memutuskan berdasarkan bukti tersebut. Jika ada bukti yang menunjukkan jumlah yang lebih besar dari apa yang mereka akui, maka ia berpegang pada bukti itu dan mengambil sisa kelebihan yang belum diambil, lalu kembali ke catatannya dan menetapkan apa yang dibuktikan oleh bukti setelah mengambil dari pengakuan, dan hal itu menjadi keputusan yang tetap. Allah Maha Mengetahui.

مسألة

Masalah

قال الشافعي ” وَلَيْسَ لِلْإِمَامُ أَنْ يُصَالِحَ أَحَدًا مِنْهُمْ عَلَى أَنْ يَسْكُنَ الْحِجَازَ بِحَالٍ وَلَا يَبِينُ أَنْ يَحْرُمَ أَنْ يَمُرَّ ذِمِّيٌّ بِالْحِجَازِ مَارًّا لَا يُقِيمُ بِهَا أَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثِ لَيَالٍ وَذَلِكَ مقام مسافر لاحتمال أمر النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بإجلائهم عنها أن لا يسكنوها ولا بأس أن يدخلها الرسل لقوله تعالى وإن أحد من المشركين أستجارك الآية ولولا أن عمر رضي الله عنه أجل من قدم المدينة منهم تاجرا ثلاثة أيام لا يقيم فيها بعد ثلاث لرأيت أن لا يصالحوا على أن لا يدخلوها بحال ولا يتركوا يدخلونها إلا بصلح كما كان عمر رضي الله عنه يأخذ من أموالهم إذا دخلوا المدينة “

Syafi‘i berkata, “Tidak boleh bagi imam untuk melakukan perdamaian dengan siapa pun dari mereka agar mereka tinggal di Hijaz dalam keadaan apa pun, dan tidak jelas bahwa haram bagi seorang dzimmi untuk melewati Hijaz sebagai orang yang lewat, selama ia tidak menetap di sana lebih dari tiga malam, karena itu adalah kedudukan seorang musafir. Hal ini karena kemungkinan perintah Nabi ﷺ untuk mengusir mereka dari sana adalah agar mereka tidak menetap di sana. Tidak mengapa para utusan masuk ke sana, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: ‘Dan jika salah seorang dari orang musyrik meminta perlindungan kepadamu…’ (ayat). Kalau saja Umar ra. tidak mengizinkan orang yang datang ke Madinah dari mereka sebagai pedagang untuk tinggal tiga hari dan tidak menetap di sana lebih dari tiga hari, niscaya aku berpendapat bahwa tidak boleh berdamai dengan mereka agar mereka tidak masuk ke sana dalam keadaan apa pun, dan tidak boleh membiarkan mereka masuk kecuali dengan perjanjian, sebagaimana Umar ra. mengambil harta mereka jika mereka masuk ke Madinah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ اعْلَمْ أَنَّ بِلَادَ الْإِسْلَامِ ثَلَاثَةُ أَقْسَامٍ حَرَمٌ وَحِجَازٌ وَمَا عَدَاهُمَا

Al-Mawardi berkata, “Ketahuilah bahwa negeri-negeri Islam terbagi menjadi tiga bagian: Haram, Hijaz, dan selain keduanya.”

فَأَمَّا الْحَرَمُ فَهُوَ أَشْرَفُهَا لِمَا خَصَّهُ اللَّهُ تَعَالَى مِنْ بَيْتِهِ الْحَرَامِ الَّذِي عَلَّقَ عَلَيْهِ الصَّلَاةَ وَالْحَجَّ وَشَرَّفَهُ بِهَاتَيْنِ الْعِبَادَتَيْنِ مَا مَيَّزَهُ مِنْ سَائِرِ الْبِلَادِ بِحُكْمَيْنِ

Adapun al-Haram, maka ia adalah yang paling mulia di antara semuanya karena Allah Ta‘ala telah mengkhususkannya dengan rumah-Nya yang suci, yang Dia kaitkan dengan ibadah salat dan haji, serta memuliakannya dengan kedua ibadah tersebut, sehingga membedakannya dari negeri-negeri lain dengan dua ketentuan hukum.

أَحَدُهُمَا أَنْ لَا يَدْخُلَهُ قَادِمٌ إِلَّا مُحْرِمٌ بِحَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ

Salah satunya adalah bahwa tidak boleh seorang pun memasukinya kecuali dalam keadaan ihram untuk haji atau umrah.

وَالثَّانِي تَحْرِيمُ صَيْدِهِ أَنْ يُصَادَ وَشَجَرِهِ أَنْ يُعْضَدَ

Yang kedua adalah haramnya berburu hewan buruan di dalamnya, yaitu hewan tersebut tidak boleh diburu, dan haramnya menebang pohon di dalamnya, yaitu pohon tersebut tidak boleh ditebang.

وَلَمَّا كَانَتْ لَهُ هَذِهِ الْحُرْمَةُ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَدْخُلَهُ مُشْرِكٌ مِنْ كِتَابِيٍّ وَلَا وَثَنِيٍّ لِمَقَامٍ وَلَا اجْتِيَازٍ

Karena tempat itu memiliki kehormatan seperti ini, maka tidak boleh seorang musyrik, baik dari kalangan Ahli Kitab maupun penyembah berhala, memasukinya, baik untuk menetap maupun sekadar melewati.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ يَجُوزُ دُخُولُهُمْ إِلَيْهِ لِلتِّجَارَةِ وَحَمْلِ الْمِيرَةِ مِنْ غَيْرِ اسْتِيطَانٍ وَيُمْنَعُونَ مِنَ الطَّوَافِ بِالْبَيْتِ احْتِجَاجًا بِأَنَّ شَرَفَ الْبِقَاعِ لَا يَمْنَعُ مِنْ دُخُولِهِمْ إِلَيْهَا كَالْمَسَاجِدِ وَلَمَّا لَمْ تَمْنَعِ الْجَنَابَةُ مِنْ دُخُولِهِ لَمْ يُمْنَعْ مِنْهُ الْمُشْرِكُ

Abu Hanifah berpendapat bahwa orang-orang musyrik boleh masuk ke sana untuk berdagang dan membawa perbekalan tanpa menetap, dan mereka dilarang melakukan thawaf di Ka’bah. Ia berdalil bahwa kemuliaan suatu tempat tidak menghalangi mereka untuk memasukinya, sebagaimana masjid-masjid, dan karena hadas besar (janabah) tidak menghalangi seseorang untuk masuk ke sana, maka orang musyrik pun tidak dilarang memasukinya.

وَقَالَ جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ وَقَتَادَةُ يَجُوزُ أَنْ يُقِيمَ فِيهِ الذِّمِّيُ دُونَ الْوَثَنِيِّ وَالْعَبْدُ الْمُشْرِكُ إِذَا كَانَ مِلْكًا لِمُسْلِمٍ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” أَخَذَ الْجِزْيَةَ مِنْ نَصْرَانِيٍّ بِمَكَّةَ يُقَالُ لَهُ مَوْهَبٌ ” وَلَا تُؤْخَذُ الْجِزْيَةُ إِلَّا مِنْ مُسْتَوْطِنٍ وَهَذَا خَطَأٌ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هذا وفي قوله نجس ثَلَاثَةُ تَأْوِيلَاتٍ

Jabir bin Abdillah dan Qatadah berpendapat bahwa boleh bagi dzimmi untuk tinggal di sana, tetapi tidak bagi penyembah berhala, dan budak musyrik jika ia adalah milik seorang Muslim, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengambil jizyah dari seorang Nasrani di Makkah yang bernama Mauhab. Jizyah tidak diambil kecuali dari penduduk tetap, namun pendapat ini keliru berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram setelah tahun ini.” Dalam kata “najis” terdapat tiga penafsiran.

أَحَدُهَا أَنَّهُمْ أَنْجَاسُ الْأَبْدَانِ كَنَجَاسَةِ الْكَلْبِ وَالْخِنْزِيرِ وَهَذَا قَوْلُ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَالْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ حَتَّى أَوْجَبَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ الْوُضُوءَ عَلَى مَنْ ضَاجَعَهُمْ

Salah satu pendapat adalah bahwa mereka najis secara fisik seperti najisnya anjing dan babi, dan ini adalah pendapat Umar bin Abdul Aziz dan Hasan al-Bashri, bahkan Hasan al-Bashri mewajibkan wudu bagi siapa saja yang bergaul dengan mereka.

وَالثَّانِي إِنَّهُ سَمَّاهُمْ أَنْجَاسًا لِأَنَّهُمْ يَجْنُبُونَ فَلَا يَغْتَسِلُونَ فَصَارُوا لِوُجُوبِ الْغُسْلِ عَلَيْهِمْ كَالْأَنْجَاسِ وَإِنْ لَمْ يَكُونُوا أَنْجَاسًا وَهَذَا قَوْلُ قَتَادَةَ وَالثَّالِثُ إِنَّهُ لَمَّا كَانَ عَلَيْنَا أَنْ نَجْتَنِبَهُمْ كَالْأَنْجَاسِ صَارُوا بِالِاجْتِنَابِ فِي حُكْمِ الْأَنْجَاسِ وَهَذَا قول جمهور أهل العلم وقوله فَلا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا يُرِيدُ بِهِ الْحَرَمَ فَعَبَّرَ عَنْهُ بِالْمَسْجِدِ لِحُلُولِهِ فِيهِ كَمَا قَالَ سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ يُرِيدُ بِهِ مَكَّةَ لِأَنَّهُ أُسْرِيَ بِهِ مِنْ مَنْزِلِ أُمِّ هَانِئٍ وَهَكَذَا كُلُّ مَوْضِعٍ ذَكَرَ اللَّهُ تَعَالَى فَقَالَ اللَّهُ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ فَإِنَّمَا أَرَادَ بِهِ الْحَرَمَ إِلَّا فِي قَوْلِهِ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ يُرِيدُ بِهِ الْكَعْبَةَ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ وَقَدْ مَنَعَ أَنْ يَقْرَبَهُ مُشْرِكٌ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْمَنْعُ مَحْمُولًا عَلَى عُمُومِهِ فِي الدُّخُولِ وَالِاسْتِيطَانِ وَقَالَ تَعَالَى وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا آمِنًا يَعْنِي مَكَّةَ وَحَرَمَهَا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ قَالَ وَمَنْ كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ قَلِيلا  يَعْنِي بِمَكَّةَ وَهُوَ قَبْلَ فَتْحِهَا فَدَلَّ عَلَى تَحْرِيمِهَا عَلَى الْكَافِرِ بَعْدَ فَتْحِهَا وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ ” أَلَا لَا يَحُجَّنَّ بَعْدَ هَذَا الْعَامِ مُشْرِكٌ ” وَهَذَا مَحْمُولٌ عَلَى الْقَصْدِ فَكَانَ عَلَى عُمُومِهِ وَلِأَنَّهُ لَمَّا اخْتُصَّ الْحَرَمُ بِمَا شَرَّفَهُ اللَّهُ تَعَالَى فِيهِ عَلَى سَائِرِ الْبِقَاعِ تَعْظِيمًا لِحُرْمَتِهِ كَانَ أَوْلَى أَنْ يُصَانَ مِمَّنْ عَانَدَهُ وَطَاعَنَهُ وَلِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لَمَّا ذَكَرَ فَضَائِلَ الْأَعْمَالِ فِي الْبِقَاعِ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ فَقَالَ

Kedua, sesungguhnya mereka disebut najis karena mereka dalam keadaan junub namun tidak mandi, sehingga karena kewajiban mandi atas mereka, mereka menjadi seperti najis, meskipun mereka sebenarnya bukan najis. Ini adalah pendapat Qatadah. Ketiga, karena kita diwajibkan untuk menjauhi mereka sebagaimana najis, maka dengan menjauhi mereka, mereka dalam hukum seperti najis. Ini adalah pendapat mayoritas ahli ilmu. Adapun firman-Nya, “Maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram setelah tahun ini,” yang dimaksud adalah tanah haram, dan disebutkan dengan istilah masjid karena ia berada di dalamnya, sebagaimana firman-Nya, “Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada malam hari dari Masjidil Haram,” yang dimaksud adalah Makkah, karena beliau diperjalankan dari rumah Ummu Hani’. Demikian pula setiap tempat yang Allah Ta‘ala sebutkan dengan firman-Nya “Masjidil Haram”, maka yang dimaksud adalah tanah haram, kecuali dalam firman-Nya, “Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram,” yang dimaksud adalah Ka‘bah. Jika demikian, dan telah dilarang seorang musyrik untuk mendekatinya, maka larangan itu berlaku umum, baik dalam hal masuk maupun menetap. Allah Ta‘ala berfirman, “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata, ‘Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman,’” maksudnya adalah Makkah dan tanah haramnya, “dan berilah rezeki kepada penduduknya dari buah-buahan, yaitu orang yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari akhir.” Allah berfirman, “Dan barang siapa kafir, maka akan Aku beri kesenangan sementara,” maksudnya di Makkah, dan itu sebelum penaklukannya. Maka ini menunjukkan keharamannya atas orang kafir setelah penaklukannya. Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, “Ketahuilah, setelah tahun ini tidak boleh ada musyrik yang berhaji.” Ini berlaku bagi yang sengaja, sehingga hukumnya tetap umum. Karena tanah haram telah dikhususkan oleh Allah Ta‘ala dengan keutamaan di atas seluruh tempat lain sebagai bentuk pengagungan terhadap kehormatannya, maka lebih utama untuk dijaga dari orang yang memusuhinya dan menentangnya. Dan karena Rasulullah ﷺ ketika menyebutkan keutamaan amal di berbagai tempat, beliau mengutamakannya atas tempat lain, maka beliau bersabda:

صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي بِأَلْفِ صَلَاةٍ وَصَلَاةٌ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ بِمِائَةِ أَلْفِ صَلَاةٍ فِي مَسْجِدِي هَذَا

Salat di masjidku ini setara dengan seribu salat, dan salat di Masjidil Haram setara dengan seratus ribu salat di masjidku ini.

وَهَذَا التَّفْضِيلُ يُوجِبُ فَضْلَ الْعِبَادَةِ فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ أَخْذِ الْجِزْيَةِ مِنْ مَوْهَبٍ النَّصْرَانِيِّ بِمَكَّةَ فَهُوَ أَنَّهُ قَبْلَ نُزُولِ هَذِهِ الْآيَةِ لِأَنَّها نَزَلَتْ سَنَةَ تِسْعٍ وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ دُخُولِ الْمَسَاجِدِ فَهُوَ أَنَّ حُرْمَةَ الْحَرَمِ أَعْظَمُ لِتَقَدُّمِ تَحْرِيمِهِ وَلِوُجُوبِ الْإِحْرَامِ فِي دُخُولِهِ وَلِلْمَنْعِ مِنْ قَتْلِ صَيْدِهِ وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنِ الْمُسْلِمِ الْجُنُبِ فَهُوَ أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يُمْنَعِ الْجُنُبُ وَالْحَائِضُ مِنْ الِاسْتِيطَانِ لَمْ يُمْنَعْ مِنَ الدُّخُولِ وَالْمُشْرِكُ مَمْنُوعٌ مِنْ الِاسْتِيطَانِ فَمُنِعَ مِنَ الدُّخُولِ فَإِذَا تَقَرَّرَ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَدْخُلَ الْحَرَمَ مُشْرِكٌ وَوَرَدَ الْمُشْرِكُ رَسُولًا إِلَى الْإِمَامِ وَهُوَ فِي الْحَرَمِ خَرَجَ الْإِمَامُ إِلَيْهِ وَلَمْ يَأْذَنْ لَهُ فِي الدُّخُولِ فَلَوْ دَخَلَ مُشْرِكٌ إِلَى الْحَرَمِ لَمْ يُقْتَلْ وَعُزِّرَ إِنْ عَلِمَ بِالتَّحْرِيمِ وَلَمْ يُعَزَّرْ إِنْ جَهِلَ وَأُخْرِجَ فَإِنْ مَاتَ فِي الْحَرَمِ لَمْ يُدْفَنْ فِيهِ فَلَوْ دُفِنَ فِيهِ نُبِشَ وَنُقِلَ إِلَى الْحِلِّ إِلَّا أَنْ يَكُونَ قَدْ بَلِيَ فَيُتْرَكَ كَسَائِرِ الْأَمْوَاتِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ

Pembedaan ini menunjukkan keutamaan ibadah. Adapun jawaban mengenai pengambilan jizyah dari Wahib, seorang Nasrani di Makkah, maka itu terjadi sebelum turunnya ayat ini, karena ayat tersebut turun pada tahun kesembilan. Adapun jawaban mengenai masuknya ke masjid, maka kehormatan tanah haram lebih agung karena telah lebih dahulu diharamkan, diwajibkannya ihram saat memasukinya, dan larangan membunuh hewan buruan di dalamnya. Adapun jawaban mengenai seorang Muslim yang junub, maka karena junub dan haid tidak dilarang untuk menetap, maka tidak dilarang pula untuk masuk. Sedangkan musyrik dilarang untuk menetap, maka ia pun dilarang untuk masuk. Jika telah tetap bahwa tidak boleh seorang musyrik masuk ke tanah haram, lalu ada musyrik yang datang sebagai utusan kepada imam dan ia berada di tanah haram, maka imam keluar menemuinya dan tidak mengizinkannya masuk. Jika ada musyrik yang masuk ke tanah haram, maka ia tidak dibunuh, tetapi dihukum ta‘zir jika ia mengetahui keharamannya, dan tidak dihukum jika ia tidak tahu, lalu ia dikeluarkan. Jika ia mati di tanah haram, maka tidak boleh dikuburkan di sana. Jika ia dikuburkan di sana, maka kuburannya dibongkar dan dipindahkan ke luar tanah haram, kecuali jika jasadnya telah hancur, maka dibiarkan seperti mayat-mayat lain pada masa jahiliah.

وَلَوْ أَرَادَ مُشْرِكٌ أَنْ يَدْخُلَ الْحَرَمَ لِيُسْلِمَ بِهِ مُنِعَ مِنْ دُخُولِهِ حَتَّى يُسْلِمَ ثُمَّ يَدْخُلَهُ بَعْدَ إِسْلَامِهِ فَلَوْ صَالَحَ الْإِمَامُ مُشْرِكًا عَلَى دُخُولِ الْحَرَمِ بِمَالٍ بَذَلَهُ كَانَ الصُّلْحُ بَاطِلًا وَيُمْنَعُ الْمُشْرِكُ مِنَ الدُّخُولِ فَإِنْ دَخَلَ إِلَيْهِ أُخْرِجَ مِنْهُ وَلَزِمَهُ الْمَالُ الَّذِي بَذَلَهُ مَعَ فَسَادِ الصُّلْحِ لِحُصُولِ مَا أَرَادَ مِنَ الدُّخُولِ وَاسْتَحَقَّ عَلَيْهِ مَا سَمَّاهُ دُونَ أُجْرَةِ الْمِثْلِ وَإِنْ فَسَدَ لِأَنَّهُ لَا أُجْرَةَ لِمِثْلِهِ لِتَحْرِيمِهِ

Jika seorang musyrik ingin masuk ke Tanah Haram untuk memeluk Islam di sana, maka ia dicegah untuk memasukinya hingga ia masuk Islam terlebih dahulu, kemudian setelah masuk Islam barulah ia boleh memasukinya. Jika seorang imam berdamai dengan seorang musyrik dengan imbalan harta yang diberikan oleh musyrik tersebut agar diizinkan masuk ke Tanah Haram, maka perdamaian itu batal dan musyrik tersebut tetap dicegah dari masuk. Jika ia tetap masuk ke dalamnya, maka ia harus dikeluarkan, dan harta yang telah ia berikan tetap menjadi tanggungannya meskipun perdamaian itu rusak, karena ia telah memperoleh apa yang ia inginkan, yaitu masuk ke Tanah Haram, dan ia berhak atas apa yang telah disepakati tanpa mendapatkan upah sepadan, meskipun perjanjiannya rusak, karena tidak ada upah sepadan untuk hal seperti itu disebabkan keharamannya.

وَحَدُّ الْحَرَمِ مِنْ طَرِيقِ الْمَدِينَةِ دُونَ التَّنْعِيمِ عِنْدَ بُيُوتِ نِفَارٍ عَلَى ثَلَاثَةِ أَمْيَالٍ

Batas wilayah Haram dari arah jalan Madinah terletak sebelum Tan‘im, yaitu di dekat rumah-rumah Nifār, pada jarak tiga mil.

وَمِنْ طَرِيقِ الْعِرَاقِ عَلَى بنية خَلٍّ بِالْمُقَطِّعِ عَلَى سَبْعَةِ أَمْيَالٍ

Dan dari jalur Irak, di atas bangunan tempat pembuatan cuka yang terputus, pada jarak tujuh mil.

وَمِنْ طَرِيقِ الْجِعِرَّانَةِ مِنْ شِعْبِ آلِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ خَالِدٍ عَلَى تِسْعَةِ أَمْيَالٍ

Dan dari jalan Ji‘irranah, dari lembah keluarga ‘Abdullah bin Khalid, berjarak sembilan mil.

وَمِنْ طَرِيقِ الطَّائِفِ عَلَى عَرَفَةَ مِنْ بَطْنِ نَمِرَةَ عَلَى سَبْعَةِ أَمْيَالٍ

Dan dari arah Thā’if menuju Arafah melalui lembah Namirah, berjarak tujuh mil.

وَمِنْ طَرِيقِ جَدَّةَ مُنْقَطَعُ الْأَعْشَاشِ عَلَى عَشَرَةِ أَمْيَالٍ

Dan dari jalur Jeddah, tempat yang disebut Al-A‘syāsh terputus pada jarak sepuluh mil.

فَصْلٌ

Fasal

وَأَمَّا الْحِجَازُ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَسْتَوْطِنَهُ مُشْرِكٌ مِنْ كِتَابِيٍّ وَلَا وَثَنِيٍّ وَجَوَّزَهُ أَبُو حَنِيفَةَ كَسَائِرِ الْأَمْصَارِ احْتِجَاجًا بِإِقْرَارِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لَهُمْ إِلَى أَنْ قَبَضَهُ اللَّهُ تَعَاَلَى إِلَيْهِ وَلِأَنَّ كُلَّ أَرْضٍ حَلَّ صَيْدُهَا حَلَّ لَهُمُ اسْتِيطَانُهَا كَغَيْرِ الْحِجَازِ

Adapun wilayah Hijaz, maka tidak boleh seorang musyrik, baik dari kalangan Ahli Kitab maupun penyembah berhala, menetap di sana. Namun, Abu Hanifah membolehkannya seperti halnya di negeri-negeri lain, dengan alasan bahwa Rasulullah saw. membiarkan mereka hingga Allah mengambil beliau (wafat), dan karena setiap tanah yang halal binatang buruanya, maka halal pula bagi mereka untuk menetap di sana, sebagaimana selain Hijaz.

وَدَلِيلُنَا مَا رَوَاهُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ مَسْعُودٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَتْ آخِرُ مَا عَهِدَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنْ قَالَ

Dan dalil kami adalah apa yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Utbah bin Mas‘ud dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: “Perkara terakhir yang diwasiatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau bersabda…”

لَا يَجْتَمِعُ فِي جَزِيرَةِ الْعَرَبِ دِينَانِ

Tidak boleh ada dua agama yang berdampingan di Jazirah Arab.

وَهَذَا نَصٌّ

Dan ini adalah sebuah nash.

وَلَمَّا قَبَضَهُ اللَّهُ تَعَالَى قَبْلَ عَمَلِهِ بِهِ لَمْ يَسْقُطْ حُكْمُ قَوْلِهِ وَتَشَاغَلَ أَبُو بَكْرٍ فِي أَيَّامِهِ مَعَ قِصَرِهَا بِأَهْلِ الرِّدَّةِ وَمَانِعِي الزَّكَاةِ وَتَطَاوَلَتِ الْأَيَّامُ بِعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَتَكَامَلَتْ لَهُ جَزِيرَةُ الْعَرَبِ وَفَتَحَ مَا جَاوَرَهَا نَفَّذَ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِيهِمْ فَاجْتَمَعَ رَأْيُهُ وَرَأْيُ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ عَلَى إِجْلَائِهِمْ وَكَانَ فِيهِمْ تُجَّارٌ وَأَطِبَّاءُ وَصُنَّاعٌ يَحْتَاجُ الْمُسْلِمُونَ إِلَيْهِمْ فَضَرَبَ لِمَنْ قَدِمَ مِنْهُمْ تَاجِرًا وَصَانِعًا مَقَامَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ يُنَادَى فِيهِمْ بَعْدَهَا اخْرُجُوا وَهُنَا إِجْمَاعٌ بَعْدَ نَصٍّ لَا يَجُوزُ خِلَافُهُمَا وَلِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ لِيَهُودِ خَيْبَرَ حِينَ سَاقَاهُمْ عَلَى نَخْلِهَا ” أُقِرُّكُمْ مَا أَقَرَّكُمُ اللَّهُ ” فَدَلَّ عَلَى أَنَّ مُقَامَهُمْ غَيْرُ مُسْتَدَامٍ وَأَنَّ لِحَظْرِهِ فِيهِمْ حُكْمًا مُسْتَجَدًّا

Dan ketika Allah Ta‘ala mewafatkannya sebelum beliau sempat melaksanakan perintah itu, hukum dari sabdanya tidak gugur. Abu Bakar pun pada masa pemerintahannya yang singkat sibuk menghadapi kaum murtad dan orang-orang yang menolak zakat. Hari-hari pun berlalu bersama ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, hingga Jazirah Arab sepenuhnya berada di bawah kekuasaannya dan wilayah sekitarnya pun telah dibuka. Maka ia pun melaksanakan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap mereka. Pendapatnya dan pendapat para sahabat radhiyallahu ‘anhum pun sepakat untuk mengusir mereka. Di antara mereka terdapat para pedagang, tabib, dan pengrajin yang dibutuhkan kaum Muslimin. Maka bagi siapa pun dari mereka yang datang sebagai pedagang atau pengrajin, diberikan izin tinggal selama tiga hari, setelah itu diumumkan kepada mereka agar keluar. Di sini terdapat ijmā‘ setelah adanya nash, yang tidak boleh diselisihi. Dan karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada Yahudi Khaibar ketika beliau mengizinkan mereka mengelola kebun kurma: “Aku biarkan kalian selama Allah membiarkan kalian.” Maka ini menunjukkan bahwa keberadaan mereka tidak bersifat permanen dan bahwa larangan terhadap mereka merupakan hukum baru yang ditetapkan.

وَرُوِيَ عَنْهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَنَّهُ قَالَ

Diriwayatkan dari beliau ﷺ bahwa beliau bersabda.

لَئِنْ عِشْتُ إِلَى قَابِلٍ لَأَنْفِيَنَّ الْيَهُودَ مِنْ جَزِيرَةِ الْعَرَبِ

Jika aku masih hidup sampai tahun depan, pasti akan aku usir orang-orang Yahudi dari Jazirah Arab.

فَمَاتَ قَبْلَ نَفْيِهِمْ وَلِأَنَّ الْحِجَازَ لَمَّا اخْتُصَّ بِحَرَمِ اللَّهِ تَعَالَى وَمَبْعَثِ رِسَالَتِهِ وَمُسْتَقَرِّ دِينِهِ وَمُهَاجَرَةِ رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ صَارَ أَشْرَفَ مِنْ غَيْرِهِ فَكَانَتْ حُرْمَتُهُ أَغْلَظَ فَجَازَ أَنْ يُصَانَ عَنْ أَهْلِ الشِّرْكِ كَالْحَرَمِ فَإِذَا ثَبَتَ حَظْرُ اسْتِيطَانِ أَهْلِ الذِّمَّةِ لِلْحِجَازِ فَيَجُوزُ أَنْ يَدْخُلُوهُ دُخُولَ الْمُسَافِرِينَ لَا يُقِيمُوا مِنْ مَوْضِعٍ مِنْهُ أَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ لِأَنَّ عُمَرَ حِينَ أَجْلَاهُمْ ضَرَبَ لِمَنْ قَدِمَ مِنْهُمْ تَاجِرًا أَوْ صَانِعًا مَقَامَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فَكَانَ هَذَا الْقَدْرُ مُسْتَثْنًى مِنَ الْحَظْرِ اسْتُدِلَّ بِهِ عَلَى أَنَّ قَوْلُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ

Maka jika ia meninggal sebelum mereka diusir, dan karena wilayah Hijaz telah dikhususkan dengan kehormatan Allah Ta‘ala, sebagai tempat turunnya risalah-Nya, pusat agama-Nya, dan tempat hijrah Rasul-Nya ﷺ, maka wilayah itu menjadi lebih mulia daripada yang lain sehingga kehormatannya pun lebih besar. Oleh karena itu, boleh dijaga dari orang-orang musyrik seperti halnya tanah haram. Maka jika telah tetap larangan menetapnya ahludz-dzimmah di Hijaz, maka boleh bagi mereka memasukinya seperti musafir, tidak menetap di suatu tempat di dalamnya lebih dari tiga hari. Karena Umar, ketika mengusir mereka, menetapkan bagi siapa saja dari mereka yang datang sebagai pedagang atau pekerja, boleh tinggal selama tiga hari. Maka batas waktu ini menjadi pengecualian dari larangan, dan dijadikan dalil bahwa sabda Rasulullah ﷺ…

لا يجتمع دينان في جزيرة العرب

Tidak boleh ada dua agama yang berdampingan di Jazirah Arab.

محمول عَلَى الِاسْتِيطَانِ دُونَ الِاجْتِيَازِ وَلِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ وَيَكْفِيهِ أَنْ يَهْتَدِيَ بِسَمَاعِ كَلَامِ اللَّهِ تَعَالَى فِي مُدَّةِ ثَلَاثٍ وَلِأَنَّهُ لَمَّا انْخَفَضَتْ حُرْمَةُ الْحِجَازِ عَنِ الْحَرَمِ وَفُضِّلَتْ عَلَى غَيْرِهِ أُبِيحَ لَهُمْ مِنْ مُقَامِ مَا لَمْ يَسْتَبِيحُوهُ فِي الْحَرَمِ وَحُرِّمَ عَلَيْهِمْ مِنِ اسْتِيطَانِ الْحِجَازِ مَا اسْتَبَاحُوهُ فِي غَيْرِهِ فَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ اخْتُصَّتِ الْإِبَاحَةُ بِمُقَامِ الْمُسَافِرِ وَهُوَ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ لَا يَتَجَاوَزُونَهَا وَيُمْنَعُونَ مِنْ دُخُولِ الْحِجَازِ وَإِنْ كَانُوا أَهْلَ ذِمَّةٍ إِلَّا بِإِذْنِ الْإِمَامِ لِأَنَّ مَقْصُودَهُ التَّصَرُّفُ دُونَ الْأَمَانِ

Hal ini berlaku untuk menetap, bukan untuk sekadar lewat. Karena Allah Ta‘ala berfirman: “Jika ada seorang dari kaum musyrik meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia sampai ia mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya.” Cukuplah baginya untuk mendapatkan petunjuk dengan mendengarkan firman Allah Ta‘ala dalam waktu tiga hari. Dan karena ketika kehormatan wilayah Hijaz lebih rendah dibandingkan dengan Tanah Haram, dan wilayah Hijaz lebih utama daripada selainnya, maka dibolehkan bagi mereka untuk tinggal di tempat yang tidak dibolehkan bagi mereka di Tanah Haram, dan diharamkan bagi mereka untuk menetap di wilayah Hijaz apa yang dibolehkan bagi mereka di selainnya. Jika demikian, maka kebolehan itu khusus untuk tinggal sebagai musafir, yaitu selama tiga hari yang tidak boleh mereka lewati, dan mereka dilarang masuk ke wilayah Hijaz, meskipun mereka adalah ahludz-dzimmah, kecuali dengan izin imam, karena maksudnya adalah untuk urusan tertentu, bukan untuk mendapatkan perlindungan.

فَلَوْ أَذِنَ لَهُمْ وَاحِدٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَدْخُلُوا بِإِذْنِهِ وَإِنْ كَانَ لَوْ أَذِنَ لِحَرْبِيٍّ جَازَ أَنْ يَدْخُلَ دَارَ الْإِسْلَامِ بِإِذْنِهِ

Maka jika salah seorang dari kaum Muslimin memberi izin kepada mereka, tidak boleh bagi mereka masuk dengan izinnya, meskipun jika ia memberi izin kepada seorang harbi, maka boleh bagi harbi itu masuk ke Darul Islam dengan izinnya.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْمَقْصُودَ بِإِذْنِهِ لِلْحَرْبِيِّ أَمَانُهُ وَأَمَانُ الْوَاحِدِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ يَجُوزُ وَالْمَقْصُودَ بِإِذْنِهِ لِلذِّمِّيِّ فِي دُخُولِ الْحِجَازِ التَّصَرُّفُ الْمَقْصُورُ عَلَى إِذْنِ الْإِمَامِ فَلَوْ دَخَلَ ذِمِّيٌّ الْحِجَازَ بِغَيْرِ إِذْنٍ عُزِّرَ وَأُخْرِجَ وَلَا يُغْنَمُ مَالُهُ لِأَنَّ لَهُ بِالذِّمَّةِ أَمَانًا وَلَوْ دَخَلَ حَرْبِيٌّ بِلَادَ الْإِسْلَامِ بِغَيْرِ إِذْنٍ غُنِمَ مَالُهُ لِأَنَّهُ لَا أَمَانَ لَهُ وَيَجُوزُ إِذَا أَقَامُوا بِبَلَدٍ مِنَ الْحِجَازِ ثَلَاثًا أَنْ يَنْتَقِلُوا إِلَى غَيْرِهِ فَيُقِيمُوا فِيهِ ثَلَاثًا ثُمَّ كَذَلِكَ فِي بَلَدٍ بَعْدَ بَلَدٍ فَإِنْ لَمْ يَقْضِ حَاجَتَهُ فِي الثَّلَاثِ وَاحْتَاجَ إِلَى زِيَادَةِ مَقَامٍ لِاقْتِضَاءِ الدُّيُونِ مُنِحَ وَقِيلَ لَهُ وَكِّلْ مَنْ يَقْبِضُهَا لَكَ وَلَوْ مَرِضَ وَلَمْ يَقْدِرْ عَلَى النُّهُوضِ مُكِّنَ مِنَ الْمُقَامِ لِأَنَّهَا حَالُ ضَرُورَةٍ حَتَّى يَبْرَأَ فَيَخْرُجَ بِخِلَافِ الدَّيْنِ الَّذِي يَقْدِرُ عَلَى قَبْضِهِ فَإِنْ مَاتَ فِي الْحِجَازِ لَمْ يُدْفَنْ فِيهِ لِأَنَّ الدَّفْنَ مَقَامُ تَأْبِيدٍ إِلَّا أَنْ يَتَعَذَّرَ إِخْرَاجُهُ وَيَتَغَيَّرَ إِنِ اسْتُبْقَى مِنْ غَيْرِ دَفْنٍ فَيُدْفَنُ فِي الْحِجَازِ لِلضَّرُورَةِ كَمَا يُقِيمُ فِيهِ مَرِيضًا

Perbedaan antara keduanya adalah bahwa maksud dari izin kepada harbi adalah untuk memberikan keamanan baginya, dan keamanan yang diberikan oleh seorang muslim pun dibolehkan. Sedangkan maksud dari izin kepada dzimmi untuk masuk ke wilayah Hijaz adalah untuk melakukan aktivitas yang hanya boleh dilakukan dengan izin imam. Maka jika seorang dzimmi masuk ke Hijaz tanpa izin, ia akan dikenai ta‘zir dan dikeluarkan, namun hartanya tidak dirampas karena ia memiliki jaminan keamanan melalui perjanjian dzimmah. Adapun jika seorang harbi masuk ke negeri Islam tanpa izin, maka hartanya boleh dirampas karena ia tidak memiliki jaminan keamanan. Diperbolehkan bagi mereka, jika tinggal di suatu kota di Hijaz selama tiga hari, untuk berpindah ke kota lain dan tinggal di sana selama tiga hari, demikian seterusnya dari satu kota ke kota lain. Jika ia belum dapat menyelesaikan keperluannya dalam tiga hari dan membutuhkan tambahan waktu untuk menagih utang, maka ia diberi izin, namun dikatakan kepadanya, “Tunjuklah wakil yang akan menagihnya untukmu.” Jika ia sakit dan tidak mampu pergi, maka ia dibolehkan tinggal karena itu adalah keadaan darurat, hingga ia sembuh lalu keluar, berbeda dengan utang yang masih bisa ia tagih sendiri. Jika ia meninggal di Hijaz, maka tidak boleh dikuburkan di sana karena penguburan merupakan bentuk tinggal permanen, kecuali jika sulit untuk mengeluarkannya dan jasadnya akan rusak jika tidak segera dikuburkan, maka ia boleh dikuburkan di Hijaz karena darurat, sebagaimana ia dibolehkan tinggal di sana dalam keadaan sakit.

فَأَمَّا الْحِجَازُ فَهُوَ بَعْضُ جَزِيرَةِ الْعَرَبِ وَلِأَنَّ كُلَّ قَوْلٍ لرسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مُتَوَجِّهٌ إِلَى جَزِيرَةِ الْعَرَبِ مُخْتَلَفٌ فِيهِ فَهِيَ فِي قَوْلِ الْأَصْمَعِيِّ مِنْ أَقْصَى عَدَنَ إِلَى أَقْصَى رِيفِ الْعِرَاقِ فِي الطُّولِ وَمِنْ جَدَّةَ وَمَا وَالَاهَا إِلَى أَطْرَافِ الشَّامِ فِي الْعَرْضِ

Adapun Hijaz, ia merupakan sebagian dari Jazirah Arab. Setiap perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ditujukan kepada Jazirah Arab masih diperselisihkan maknanya. Menurut pendapat al-Ashma‘i, Jazirah Arab itu membentang dari ujung Aden sampai ujung pedalaman Irak secara memanjang, dan dari Jeddah serta daerah sekitarnya sampai ke perbatasan Syam secara melebar.

وَقَالَ أَبُو عُبَيْدَةَ جَزِيرَةُ الْعَرَبِ فِي الطُّولِ مَا بَيْنَ حَفْرِ أَبِي مُوسَى إِلَى أَقْصَى الْيَمَنِ وَفِي الْعَرْضِ مَا بَيْنَ رَمْلَ إِلَى يَبْرِينَ إِلَى مُنْقَطَعِ السَّمَاوَةِ وَفِي جَزِيرَةِ الْعَرَبِ أَرْضُ نَجْدٍ وَتِهَامَةَ وَحَدُّ نَجْدٍ وَتِهَامَةَ مُخْتَلَفٌ فِيهِ فَقَالَ الْأَصْمَعِيُّ إِذَا خَلَّفْتَ عَجَازَ مُصْعِدًا فَقَدْ أَنْجَدْتَ فَلَا تَزَالُ مُنْجِدًا حَتَّى تَنْحَدِرَ فِي ثَنَايَا ذَاتِ عِرْقٍ فَإِذَا فَعَلْتَ فَقَدْ أَتْهَمْتَ وَلَا تَزَالُ مُتْهِمًا فِي ثَنَايَا الْعَرْجِ حَتَّى يَسْتَقْبِلَكَ الْأَرَاكُ وَالْمَدَارِجُ وَقَالَ غَيْرُهُ جَبَلُ السُّرَاةِ فِي جَزِيرَةِ الْعَرَبِ وَهُوَ أَعْظَمُ جِبَالِهَا يُقْبِلُ مِنْ ثُغْرَةِ الْيَمَنِ حَتَّى يَنْتَهِيَ إِلَى وَادِي الشَّامِ فَمَا دُونَ هَذَا الْجَبَلِ فِي غَرْسِيَّةَ مِنْ أَسْيَافِ الْبَحْرِ إِلَى ذَاتِ عِرْقٍ وَالْجُحْفَةِ هُوَ تِهَامَةُ وَمَا دُونَ هَذَا الْجَبَلِ فِي شَرْقِيِّ مَا بَيْنَ أَطْرَافِ الْعِرَاقِ إِلَى السَّمَاوَةِ فَهُوَ نَجْدٌ

Abu ‘Ubaidah berkata, “Jazirah Arab secara panjang membentang dari Hafar Abi Musa hingga ujung Yaman, dan secara lebar dari Raml hingga Yabrin sampai ke batas Samawah. Di Jazirah Arab terdapat wilayah Najd dan Tihamah, dan batas antara Najd dan Tihamah diperselisihkan. Al-Ashma‘i berkata, ‘Jika engkau telah melewati ‘Ajaz menuju utara, maka engkau telah memasuki wilayah Najd, dan engkau akan terus berada di Najd hingga menuruni lembah-lembah Dzat ‘Irq. Jika engkau telah melakukannya, maka engkau telah memasuki Tihamah, dan engkau akan terus berada di Tihamah di lembah-lembah al-‘Arj hingga engkau berhadapan dengan al-Araak dan al-Madarij.’ Ada pula yang mengatakan, ‘Gunung as-Surrah berada di Jazirah Arab dan merupakan gunung terbesarnya, membentang dari perbatasan Yaman hingga berakhir di lembah Syam. Wilayah di bawah gunung ini, di sisi barat dari tepi laut hingga Dzat ‘Irq dan al-Juhfah, adalah Tihamah. Sedangkan wilayah di bawah gunung ini di sisi timur, dari perbatasan Irak hingga Samawah, adalah Najd.’”

وَأَمَّا الْحِجَازُ فَهُوَ حَاجِزٌ بَيْنَ تِهَامَةَ وَنَجْدٍ وَهُوَ مِنْهُمَا وَحَدُّهُ مُخْتَلَفٌ فِيهِ فَقَالَ قَوْمٌ هُوَ مَا احْتَجَزَ بِالْجَبَلِ فِي شَرْقِيِّهِ وَغَرْبِيِّهِ عَنْ بِلَادِ مَذْحِجَ إِلَى فَيْدَ

Adapun Hijaz, ia merupakan pemisah antara Tihamah dan Najd, dan ia termasuk dari keduanya. Batasannya diperselisihkan; sebagian orang mengatakan bahwa Hijaz adalah wilayah yang dipisahkan oleh pegunungan di bagian timur dan baratnya dari negeri Madhij hingga ke Fayd.

وَقَالَ آخَرُونَ هُوَ اثنا عَشْرَةَ دَارًا لِلْعَرَبِ

Dan sebagian yang lain berkata, “Itu adalah dua belas wilayah bagi bangsa Arab.”

فَالْحَدُّ الْأَوَّلُ بَطْنُ مَكَّةَ وأعلا رُمَّةَ وَظَهْرُهُ وَحَرَّةُ لَيْلَى

Batas pertama adalah perut Makkah, bagian atas Rummat, bagian belakangnya, dan Harrah Layla.

وَالْحَدُّ الثَّانِي يَلِي الشَّامَ شَفْى وَبَدَا وَهُمَا جَبَلَانِ

Batas kedua berbatasan dengan Syam, yaitu Syafā dan Badā, keduanya adalah dua gunung.

وَالْحَدُّ الثَّالِثُ يَلِي تِهَامَةَ بَدْرٌ وَالسُّقْيَا وَرِهَاطُ وَعُكَاظُ

Batas ketiga setelah Tihamah adalah Badr, Suqya, Ruhat, dan ‘Ukaz.

وَالْحَدُّ الرَّابِعُ سَاكَةُ وَوَدَّانُ

Batas keempat adalah Sākah dan Waddān.

وَاخْتُلِفَ فِي تَسْمِيَتِهِ بِالْحِجَازِ فَقَالَ الْأَصْمَعِيُّ لِأَنَّهُ حَجَزَ بَيْنَ نَجْدٍ وَتِهَامَةَ

Terjadi perbedaan pendapat mengenai penamaan wilayah tersebut dengan nama al-Hijaz. Al-Ashma‘i berpendapat bahwa dinamakan demikian karena wilayah itu menjadi pembatas antara Najd dan Tihamah.

وَقَالَ ابْنُ الْكَلْبِيِّ سُمِّيَ حِجَازًا لِمَا أَحْجَزَ مِنَ الْجِبَالِ وَأَمَّا غَيْرُ الْحِجَازِ فَضْلٌ مِنْ بِلَادِ الْإِسْلَامِ فَمَنْ دَخَلَهَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ بِغَيْرِ ذِمَّةٍ وَلَا عَهْدٍ فَهُوَ حَرْبٌ كَالْأَسْرَى يُغْنَمُ وَيُسْبَى وَيَكُونُ الْإِمَامُ فِيهِ مُخَيَّرًا كَتَخْيِيرِهِ فِي الْأَسِيرِ بَيْنَ الْأَحْكَامِ الْأَرْبَعَةِ مِنَ الْقَتْلِ أَوِ الْأَسْرِ أَوِ الْمَنِّ أَوِ الْفِدَاءِ وَيَجُوزُ أَنْ يَعْفُوَ مِنْ سَبْيِ ذُرِّيَّتِهِ بِخِلَافِ السَّبَايَا فِي الْحَرْبِ لِأَنَّ الْغَانِمِينَ قَدْ مَلَكُوهُمْ فَلَا يَصِحُّ العفو عنهم إلا بإذنهم وَذُرِّيَّةُ هَذَا الدَّاخِلِ بِغَيْرِ عَهْدٍ لَمْ يَمْلِكْهُمْ أحد فجاز فوق الْإِمَامِ

Ibnu al-Kalbi berkata: Dinamakan Hijaz karena dipisahkan oleh pegunungan. Adapun selain wilayah Hijaz adalah bagian dari negeri-negeri Islam, maka siapa saja dari kaum musyrik yang memasukinya tanpa perlindungan (dzimmah) dan tanpa perjanjian, maka ia dianggap sebagai musuh yang statusnya seperti tawanan perang; boleh diambil hartanya dan dijadikan tawanan, dan imam (pemimpin) diberi pilihan dalam hal ini sebagaimana pilihannya terhadap tawanan perang antara empat hukum: dibunuh, ditawan, dimaafkan, atau ditebus. Diperbolehkan pula untuk memaafkan dari penawanan anak keturunannya, berbeda dengan tawanan perang, karena para pemenang perang telah memiliki hak atas mereka sehingga tidak sah memaafkan mereka kecuali dengan izin mereka. Adapun anak keturunan orang yang masuk tanpa perjanjian ini, tidak ada seorang pun yang memilikinya, maka boleh bagi imam untuk memaafkan mereka.

فَأَمَّا مَنْ دَخَلَ دَارَ الْإِسْلَامِ بِأَمَانٍ فَضَرْبَانِ أَهْلُ ذِمَّةِ وَأَهْلُ عَهْدٍ

Adapun siapa saja yang masuk ke wilayah Islam dengan jaminan keamanan, maka mereka terbagi menjadi dua golongan: ahlu dzimmah dan ahlu ‘ahd.

فَأَمَّا أَهْلُ الذِّمَّةِ فَهُوَ الْمُسْتَوْطِنُ وَلَا يَجُوزُ اسْتِيطَانُهُمْ إِلَّا بِجِزْيَةٍ إِذَا كَانُوا أَهْلَ كِتَابٍ أَوْ شُبْهَةِ كِتَابٍ

Adapun ahludz-dzimmah adalah mereka yang menetap, dan tidak diperbolehkan mereka menetap kecuali dengan membayar jizyah, jika mereka adalah ahlul kitab atau yang serupa dengan ahlul kitab.

وَأَمَّا أَهْلُ الْعَهْدِ فَهُوَ الدَّاخِلُ إِلَى بِلَادِ الْإِسْلَامِ بِغَيْرِ اسْتِيطَانٍ فَيَكُونُ مَقَامُهُمْ مَقْصُورًا عَلَى مُدَّةٍ لَا يَتَجَاوَزُونَهَا وَهِيَ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى فَسِيحُوا فِي الأَرْضِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ

Adapun ahl al-‘ahd adalah mereka yang masuk ke negeri Islam tanpa bermaksud menetap, sehingga keberadaan mereka dibatasi pada jangka waktu tertentu yang tidak boleh mereka lewati, yaitu empat bulan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Maka berjalanlah kamu (bebas) di muka bumi selama empat bulan.”

فَأَمَّا مُدَّةُ سَنَةٍ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُقِيمُوهَا إِلَّا بِجِزْيَةٍ وَفِي جَوَازِ إِقَامَتِهِمْ بِغَيْرِ جِزْيَةٍ فِيمَا بَيْنَ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَبَيْنَ سَنَةٍ قَوْلَانِ

Adapun untuk masa satu tahun, maka tidak boleh mereka menetap kecuali dengan membayar jizyah. Adapun mengenai kebolehan mereka menetap tanpa jizyah dalam rentang waktu antara empat bulan hingga satu tahun, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يَجُوزُ لِأَنَّهَا دُونَ السَّنَةِ كالأربعة

Salah satunya diperbolehkan karena kurang dari satu tahun, seperti empat bulan.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي لَا يَجُوزُ لِأَنَّهُ فَوْقَ الْأَرْبَعَةِ كَالسَّنَةِ وَسَوَاءٌ كَانُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ أَوْ لم يكونوا

Pendapat kedua menyatakan tidak boleh, karena lebih dari empat itu seperti satu tahun, baik mereka berasal dari Ahlul Kitab maupun bukan.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رحمه الله تعالى ” وَلَا يُتْرَكْ أَهْلُ الْحَرْبِ يَدْخُلُونَ بِلَادَ الْإِسْلَامِ تُجَّارًا فَإِنْ دَخَلُوا بِغَيْرِ أَمَانٍ وَلَا رِسَالَةٍ غُنِمُوا “

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Orang-orang kafir harbi tidak boleh dibiarkan masuk ke negeri Islam sebagai pedagang. Jika mereka masuk tanpa adanya jaminan keamanan (aman) dan tanpa surat izin (risalah), maka harta mereka boleh dirampas (menjadi ghanimah).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ يَجِبُ عَلَى الْإِمَامِ أَنْ يُرَاعِيَ ثُغُورَ الْمُسْلِمِينَ الْمُتَّصِلَةَ بِدَارِ الْحَرْبِ مِنْ دُخُولِ الْمُشْرِكِينَ إِلَيْهَا لِأَنَّهُمْ لَا يُؤْمَنُونَ عَلَيْهَا مِنْ غِرَّةٍ يَظْفَرُونَ بِهَا أَوْ مَكِيدَةٍ يُوقِعُونَهَا وَمَنْ دَخَلَهَا مِنْهُمْ فَهُوَ حَرْبٌ مَغْنُومٌ يَتَحَكَّمُ الْإِمَامُ فِيهِ بِخِيَارِهِ مِنْ قَتْلِهِ أَوِ اسْتِرْقَاقِهِ أَوْ فِدَائِهِ أَوِ الْمَنِّ عَلَيْهِ إِلَّا فِي حَالَتَيْنِ

Al-Mawardi berkata, “Ini benar, wajib bagi imam untuk menjaga perbatasan kaum Muslimin yang berbatasan dengan wilayah perang dari masuknya kaum musyrik ke dalamnya, karena mereka tidak dapat dipercaya untuk tidak melakukan serangan mendadak yang dapat mereka menangkan atau tipu daya yang dapat mereka lakukan. Siapa pun dari mereka yang masuk ke wilayah tersebut, maka ia adalah musuh yang boleh diperangi dan menjadi harta rampasan, sehingga imam berhak menentukan pilihannya terhadap mereka, apakah membunuhnya, memperbudaknya, menebusnya, atau membebaskannya, kecuali dalam dua keadaan.”

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ رَسُولًا لِلْمُشْرِكِينَ فِيمَا يَعُودُ بِمَصْلَحَةِ الْمُسْلِمِينَ مِنْ صُلْحٍ يُجَدَّدُ أَوْ هُدْنَةٍ تُعْقَدُ أَوْ فِدَاءِ أَسْرَى لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ

Salah satunya adalah menjadi utusan kepada kaum musyrik dalam hal-hal yang membawa kemaslahatan bagi kaum Muslimin, seperti perjanjian damai yang diperbarui, gencatan senjata yang diadakan, atau penebusan tawanan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Dan jika salah seorang dari kaum musyrik meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia sampai ia mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya.”

قِيلَ إِنَّهَا فِي الْمُرْسَلِ فَيَكُونُ لَهُ بِالرِّسَالَةِ أَمَانٌ عَلَى نَفْسِهِ وَمَالِهِ لَا يَحْتَاجُ مَعَهَا إِلَى اسْتِئْنَافِ أَمَانٍ إِلَّا أَنْ يَكُونَ رَسُولًا فِي وَعِيدٍ وَتَهْدِيدٍ فَلَا يَكُونُ أَمَانٌ وَيَكُونُ حَرْبًا يَفْعَلُ فِيهِ الْإِمَامُ مَا يَرَاهُ مِنَ الْأُمُورِ الْأَرْبَعَةِ لِأَنَّ فِي هَذِهِ الرِّسَالَةِ مَضَرَّةً وَفِي الْأُولَى مَنْفَعَةً فَصَارَ بِالْمَنْفَعَةِ مُوَالِيًا فَأَمِنَ وَبِالْمَضَرَّةِ مُعَادِيًا فَغُنِمَ

Dikatakan bahwa hal itu berlaku pada utusan, sehingga dengan tugas pengutusan tersebut ia mendapatkan jaminan keamanan atas diri dan hartanya, dan tidak membutuhkan jaminan keamanan baru kecuali jika ia diutus untuk menyampaikan ancaman dan intimidasi, maka tidak ada jaminan keamanan baginya dan ia dianggap sebagai musuh perang, sehingga imam boleh melakukan salah satu dari empat tindakan yang dipandangnya tepat. Sebab, dalam pengutusan yang seperti ini terdapat mudarat, sedangkan dalam pengutusan yang pertama terdapat manfaat. Maka, dengan adanya manfaat, ia menjadi sekutu sehingga mendapat keamanan, dan dengan adanya mudarat, ia menjadi musuh sehingga hartanya boleh dirampas.

فَلَوِ ادَّعَى وَقَدْ دَخَلَ بِلَادَ الْإِسْلَامِ أَنَّهُ رَسُولٌ نُظِرَ فِي دَعْوَاهُ

Maka jika seseorang mengaku, padahal ia telah memasuki negeri Islam, bahwa ia adalah seorang rasul, maka pengakuannya itu akan diteliti.

فَإِنْ عُلِمَ صِدْقُهُ فِيهَا كَانَ آمِنًا وَإِنْ عُلِمَ كَذِبُهُ فِيهَا كَانَ مَغْنُومًا وَإِنْ أَشْبَهَتْ حَالُهُ قُبِلَ قَوْلُهُ وَكَانَ آمِنًا وَلَمْ يَلْزَمْ إِحْلَافُهُ عَلَى الرِّسَالَةِ لِأَنَّهُ مُبَلِّغٌ مَا عَلَى الرَّسُولِ إِلا الْبَلاغُ

Jika diketahui bahwa ia jujur dalam hal itu, maka ia aman; dan jika diketahui bahwa ia berdusta dalam hal itu, maka ia merugi; dan jika keadaannya samar, maka ucapannya diterima dan ia tetap aman, serta tidak wajib baginya untuk bersumpah atas pesan tersebut, karena ia hanyalah seorang penyampai, dan tidak ada kewajiban atas seorang rasul kecuali menyampaikan.

وَلَا يَجُوزُ إِذَا دَخَلَ الرُّسُلُ بِلَادَ الْإِسْلَامِ أَنْ يُظْهِرُوا فِيهَا مُنْكَرًا مِنْ صُلْبَانِهِمْ وَخُمُورِهِمْ وَخَنَازِيرِهِمْ وَجَوَّزَ لَهُمْ أَبُو حَنِيفَةَ إِظْهَارَ خُمُورِهِمْ وَخَنَازِيرِهِمْ؟ لِأَنَّهَا عِنْدَهُ مِنْ جُمْلَةِ أَمْوَالِهِمُ الْمَضْمُونَةِ الِاسْتِهْلَاكِ وَهَذَا فَاسِدٌ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ

Tidak boleh ketika para utusan memasuki negeri Islam, mereka menampakkan kemungkaran di dalamnya berupa salib-salib mereka, minuman keras mereka, dan babi mereka. Abu Hanifah membolehkan mereka menampakkan minuman keras dan babi mereka, karena menurut beliau keduanya termasuk harta mereka yang dijamin jika musnah. Namun, pendapat ini rusak (tidak benar) karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

الإسلام يعلوا وَلَا يُعْلَى

Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya.

فَصْلٌ

Fasal

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ يَكُونَ لِهَذَا الدَّاخِلِ مِنْ دَارِ الْحَرْبِ أَمَانٌ يَدْخُلُ بِهِ دَارَ الْإِسْلَامِ فَيَصِيرُ آمِنًا عَلَى نَفْسِهِ وَمَالِهِ وَلَا يَنْبَغِي أَنْ يَتَوَلَّاهُ إِلَّا الْإِمَامُ أَوْ مَنْ نَابَ عَنْهُ مِنْ أُولِي الْأَمْرِ لِأَنَّهُ أَعْرَفُ بِالْمَصْلَحَةِ مِنْ أَشْذَاذٍ وَأَقْدَرُ عَلَى الِاحْتِرَازِ مِنْ كَيْدِهِ فَإِنْ قَدَّرَ لَهُ الْإِمَامُ مُدَّةَ الْأَمَانِ أُقِرَّ عَلَيْهَا إِلَى انْقِضَائِهَا مَا انْتَهَتْ إِلَى أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَلَا يَبْلُغُ بِهِ سَنَةً إِلَّا بِجِزْيَةٍ وَفِيمَا بَيْنَ الْأَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَالسَّنَةِ قَوْلَانِ مَضَيَا وَلَا تُنْقَضُ عَلَيْهِ مُدَّةُ أَمَانِهِ وَلَا يَخْرُجُ قَبْلَ انْقِضَائِهَا إِلَّا بِمُوجِبٍ لِنَقْضِ الْأَمَانِ لِوُجُوبِ الْوَفَاءِ بِالْعُقُودِ فَإِنْ كَانَ الَّذِي أَمَّنَهُ فِي دُخُولِهِ رَجُلٌ مِنْ جُمْلَةِ الْمُسْلِمِينَ كَانَ أَمَانُهُ مَقْصُورًا عَلَى حَقْنِ دَمِهِ وَمَالِهِ دُونَ مُقَامِهِ وونظر الْإِمَامُ فِي حَالِهِ فَإِنْ رَأَى مِنَ الْمَصْلَحَةِ إِقْرَارَهُ أَقَرَّهُ عَلَى الْأَمَانِ وَقَرَّرَ لَهُ مُدَّةَ مُقَامِهِ وَلَمْ يَكُنْ لِمَنْ أَمَّنَهُ مِنَ الْمُسْلِمِينَ تَقْدِيرُ مُدَّتِهِ وَإِنْ لَمْ يَرَ الْإِمَامُ مِنَ الْمَصْلَحَةِ إِقْرَارَهُ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ أَخْرَجَهُ مِنْهَا آمِنًا حَتَّى يَصِلَ إِلَى مَأْمَنِهِ ثُمَّ يَصِيرُ حَرْبًا فَيَكُونُ أَمَانُ الْمُسْلِمِ لَهُ مُوجِبًا لِحَقْنِ دَمِهِ وَلِمُقَامِهِ وَإِقْرَارِهِ فَافْتَرَقَا فِي الْحُكْمِ مِنْ وَجْهٍ وَاجْتَمَعَا فِيهِ مِنْ وَجْهٍ

Keadaan kedua adalah apabila orang yang masuk dari Dar al-Harb memiliki aman (jaminan keamanan) yang dengannya ia masuk ke Dar al-Islam, sehingga ia menjadi aman atas jiwa dan hartanya. Tidak sepantasnya yang memberikan aman itu selain imam atau orang yang mewakilinya dari kalangan ulil amri, karena mereka lebih mengetahui kemaslahatan daripada orang-orang yang tidak berkompeten dan lebih mampu untuk waspada terhadap tipu dayanya. Jika imam telah menentukan jangka waktu aman baginya, maka ia tetap berada dalam aman itu hingga masa tersebut berakhir, selama tidak melebihi empat bulan. Tidak boleh diperpanjang hingga satu tahun kecuali dengan membayar jizyah. Dalam rentang waktu antara empat bulan dan satu tahun terdapat dua pendapat yang telah berlalu. Masa aman itu tidak boleh dibatalkan atasnya, dan ia tidak boleh dikeluarkan sebelum masa itu berakhir kecuali ada alasan yang membatalkan aman, karena wajib menepati akad. Jika yang memberinya aman ketika masuk adalah seorang dari kalangan kaum Muslimin, maka aman itu hanya berlaku untuk menjaga darah dan hartanya, bukan untuk menetapnya. Imam kemudian meneliti keadaannya; jika menurut imam ada kemaslahatan untuk membiarkannya, maka ia tetap dalam aman dan imam menentukan masa tinggalnya. Orang yang memberinya aman dari kalangan Muslimin tidak berwenang menentukan lamanya. Jika menurut imam tidak ada kemaslahatan membiarkannya di Dar al-Islam, maka ia dikeluarkan dari sana dalam keadaan aman hingga sampai ke tempat amannya, kemudian ia kembali menjadi harbi. Maka aman yang diberikan oleh seorang Muslim kepadanya mewajibkan perlindungan darahnya, tempat tinggalnya, dan penetapannya, sehingga keduanya berbeda dalam satu sisi hukum dan sama dalam sisi yang lain.

فَصْلٌ

Fasal

وَإِذَا دَخَلَ الْحَرْبِيُّ بِأَمَانِ الْإِمَامِ ثُمَّ عَادَ إِلَى دَارِ الْحَرْبِ انْقَضَى حُكْمُ أَمَانِهِ فَإِنْ عَادَ ثَانِيَةً بِغَيْرِ أَمَانٍ غُنِمَ حَتَّى يَسْتَأْنِفَ أَمَانًا لِأَنَّهُ خَاصٌّ فَلَمْ يَتَكَرَّرْ فَلَوْ عَقَدَ لَهُ الْأَمَانَ عَلَى تَكْرَارِ الدُّخُولِ صَحَّ اعْتِبَارًا بِصَرِيحِ الْعَقْدِ وَكَانَ فِي عَوْدِهِ وَتَرَدُّدِهِ آمِنًا يُقِيمُ فِي كُلِّ دَفْعَةٍ مَا شُرِطَ لَهُ مِنَ الْمُدَّةِ وَإِذَا كَانَ أَمَانُ الْحَرْبِيِّ مِنْ قِبَلِ الْإِمَامِ كَانَ عَامًّا فِي جَمِيعِ بِلَادِ الْإِسْلَامِ إِلَّا أَنْ يَجْعَلَهُ مَقْصُورًا عَلَى بَلَدٍ بِعَيْنِهِ فَلَا يَصِيرُ آمِنًا فِي غَيْرِهِ وَإِذَا كَانَ أَمَانُهُ مِمَّنِ اسْتَنَابَهُ الْإِمَامُ كَانَ عَامًّا فِي بِلَادِ وِلَايَتِهِ وَلَا يَكُونُ عَامًّا فِي بِلَادِ الْإِسْلَامِ كُلِّهَا لِأَنَّ وِلَايَةَ الْإِمَامِ عَامَّةٌ وَوِلَايَةَ النَّائِبِ عَنْهُ خَاصَّةٌ وَإِذَا كَانَ أَمَانُهُ مِنْ جِهَةِ وَاحِدٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ كَانَ أَمَانُهُ مَقْصُورًا عَلَى بَلَدِهِ خَاصَّةً وَفِيمَا كَانَ طَرِيقًا لَهُ إِلَى دَارِ الْحَرْبِ لِأَنَّ الْأَمَانَ يَقْتَضِي عَوْدَهُ إِلَى مَأْمَنِهِ وَلَا يَكُونُ لَهُ أَمَانٌ إِنْ يتجاوز ذَلِكَ إِلَى غَيْرِهِ مِنْ بِلَادِ الْإِسْلَامِ وَإِذَا دَخَلَ حَرْبِيٌّ دَارَ الْإِسْلَامِ وَادَّعَى أَنَّهُ دَخَلَهَا بِأَمَانِ مُسْلِمٍ فَإِنْ كَانَ مَنِ ادَّعَى أَمَانَهُ حَاضِرًا رَجَعَ إِلَى قَوْلِهِ فَإِنْ صَدَّقَهُ عَلَى الْأَمَانِ قُبِلَ قَوْلُهُ لِأَنَّهُ لَوْ أَمَّنَهُ فِي حَالِ تَصْدِيقِهِ صَحَّ أَمَانُهُ وَإِنْ أَكْذَبَهُ عَلَى الْأَمَانِ كَانَ الْحَرْبِيُّ مَغْنُومًا وَإِنْ كَانَ مَنِ ادَّعَى أَمَانَهُ غَائِبًا فَفِي قَبُولِ قَوْلِ الْحَرْبِيِّ وَجْهَانِ

Apabila seorang harbi masuk ke wilayah Islam dengan jaminan keamanan dari imam, kemudian kembali ke wilayah harbi, maka hukum jaminan keamanannya telah berakhir. Jika ia kembali lagi tanpa jaminan keamanan, maka ia boleh ditawan hingga ia memperbarui jaminan keamanan, karena jaminan tersebut bersifat khusus sehingga tidak berulang. Namun, jika jaminan keamanan diberikan kepadanya untuk berulang kali masuk, maka hal itu sah berdasarkan kejelasan akad, dan dalam setiap kali ia kembali dan keluar-masuk, ia tetap aman selama masa yang disyaratkan baginya pada setiap kedatangan. Jika jaminan keamanan bagi harbi berasal dari imam, maka jaminan itu berlaku umum di seluruh negeri Islam, kecuali jika imam membatasinya hanya pada negeri tertentu, maka ia tidak menjadi aman di selain negeri itu. Jika jaminan keamanannya berasal dari orang yang diwakilkan imam, maka jaminan itu berlaku umum di wilayah kekuasaannya saja dan tidak berlaku di seluruh negeri Islam, karena kekuasaan imam bersifat umum sedangkan kekuasaan wakilnya bersifat khusus. Jika jaminan keamanannya berasal dari salah satu kaum Muslimin, maka jaminan itu terbatas hanya pada negerinya saja dan pada jalan yang menjadi akses menuju wilayah harbi, karena jaminan keamanan menuntut ia kembali ke tempat amannya, dan ia tidak memiliki jaminan keamanan jika melewati batas itu ke negeri Islam lainnya. Jika seorang harbi masuk ke wilayah Islam dan mengaku bahwa ia masuk dengan jaminan keamanan dari seorang Muslim, maka jika orang yang disebutkan memberikan jaminan itu hadir, maka dikembalikan kepada ucapannya; jika ia membenarkan adanya jaminan keamanan, maka ucapannya diterima, karena jika ia memberikan jaminan keamanan pada saat membenarkan, maka jaminan itu sah. Jika ia mendustakan adanya jaminan keamanan, maka harbi tersebut menjadi tawanan. Jika orang yang disebutkan memberikan jaminan keamanan itu tidak hadir, maka dalam hal diterimanya ucapan harbi terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يُقْبَلُ قَوْلُهُ وَيَكُونُ آمِنًا كَمَا يُقْبَلُ قَوْلُ مَنِ ادَّعَى الرِّسَالَةَ

Salah satunya adalah ucapannya diterima dan ia berada dalam keadaan aman, sebagaimana diterimanya ucapan orang yang mengaku sebagai rasul.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا يُقْبَلُ وَإِنْ قُبِلَ فِي الرِّسَالَةِ لِأَنَّ إقامة البينة على الرسالة متعذر قبل قَوْلُهُ فِيهَا وَإِقَامَتُهَا عَلَى الْأَمَانِ مُمْكِنَةٌ فَلَمْ يقبل قوله فيه

Pendapat kedua tidak dapat diterima, meskipun diterima dalam hal risalah, karena penegakan bukti atas risalah itu mustahil sebelum ia mengucapkan sesuatu di dalamnya, sedangkan penegakan bukti atas amanah itu memungkinkan, maka perkataannya dalam hal risalah tidak diterima.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رحمه الله تعالى ” فَإِنْ دَخَلُوا بِأَمَانٍ وَشُرِطَ عَلَيْهِمْ أَنْ يُؤْخَذَ مِنْهُمْ عُشْرٌ أَوْ أَقَلُّ أَوْ أَكْثَرُ أُخِذَ “

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Jika mereka masuk dengan jaminan keamanan dan disyaratkan atas mereka untuk diambil sepersepuluh, atau kurang, atau lebih, maka diambil sesuai yang disyaratkan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَجُمْلَتُهُ أَنَّهُ يَجِبُ عَلَى الْإِمَامِ أَنْ يَشْتَرِطَ فِي مَتَاجِرِ أَهْلِ الْحَرْبِ إِذَا دَخَلُوا بِلَادَ الْإِسْلَامِ لِمَنَافِعِهِمْ وَكَانَ انْقِطَاعُهَا عَنِ الْمُسْلِمِينَ غَيْرَ ضَارٍّ بِهِمْ حَتَّى يَأْخُذَهُ الْإِمَامُ مِنْهُمْ مِنْ عُشْرٍ أَوْ أَقَلَّ أَوْ أَكْثَرَ بِحَسَبِ مَا يُؤَدِّيهِ اجْتِهَادُهُ إِلَيْهِ يَكُونُ عِبْئًا مَصْرُوفًا فِي أَهْلِ الْفَيْءِ لِأَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ صَالَحَ أَهْلَ الْحَرْبِ فِي حَمْلِ مَتَاجِرِهِمْ إِلَى بِلَادِ الْإِسْلَامِ عَلَى الْعُشْرِ وَصَالَحَ أَهْلَ الذِّمَّةِ فِي حَمْلِهَا إِلَى الْمَدِينَةِ عَلَى نِصْفِ الْعُشْرِ لِيَكُونَ ذَلِكَ ضِعْفَ مَا يُؤْخَذُ فِي زَكَاةِ الْمُسْلِمِ مِنْ رُبْعِ العشر ولأن الْإِمَامَ مَنْدُوبٌ إِلَى تَوْفِيرِ مَا يَصِلُ إِلَى الْمُسْلِمِينَ مِنْ أَمْوَالِ الْمُشْرِكِينَ إِمَّا بِغَنِيمَةٍ إِنْ قُهِرُوا وَإِمَّا بِجِزْيَةٍ وَخَرَاجٍ إِنْ صُولِحُوا فَكَذَلِكَ عُشْرُ أَمْوَالِهِمْ إِذَا اتَّجَرُوا وَإِنْ كَانَ ذَلِكَ مِنَ الشُّرُوطِ الْوَاجِبَةِ عَلَيْهِمْ كَانَ الْعُرْفُ الَّذِي عَمِلَ بِهِ الْأَئِمَّةُ الْعُشْرَ وَلَيْسَ بِحَدٍّ لَا يَجُوزُ مُجَاوَزَتُهُ إِلَى زِيَادَةٍ أَوْ نُقْصَانٍ لِأَنَّهُ مَوْقُوفٌ عَلَى مَا يُؤَدِّي إِلَيْهِ الِاجْتِهَادُ الْمُعْتَبَرُ مِنْ وَجْهَيْنِ

Al-Mawardi berkata, secara ringkas, wajib bagi imam untuk mensyaratkan pada perdagangan orang-orang Ahlul Harb ketika mereka masuk ke negeri Islam demi kemaslahatan mereka, dan jika terputusnya perdagangan itu dari kaum Muslimin tidak membahayakan mereka, hingga imam mengambil dari mereka sepersepuluh, atau kurang, atau lebih, sesuai dengan hasil ijtihadnya. Hal itu menjadi beban yang dialokasikan untuk Ahlul Fai’, karena Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu telah mengadakan perjanjian dengan Ahlul Harb dalam membawa barang dagangan mereka ke negeri Islam dengan mengambil sepersepuluh, dan mengadakan perjanjian dengan Ahludz Dzimmah dalam membawa barang dagangan mereka ke Madinah dengan mengambil setengah dari sepersepuluh, agar itu menjadi dua kali lipat dari yang diambil pada zakat kaum Muslimin, yaitu seperempat dari sepersepuluh. Karena imam dianjurkan untuk memperbanyak harta orang-orang musyrik yang sampai kepada kaum Muslimin, baik melalui ghanimah jika mereka dikalahkan, maupun melalui jizyah dan kharaj jika mereka berdamai, demikian pula sepersepuluh dari harta mereka jika mereka berdagang. Jika itu termasuk syarat yang wajib atas mereka, maka kebiasaan yang dijalankan oleh para imam adalah sepersepuluh, dan itu bukanlah batas yang tidak boleh dilampaui, baik dengan penambahan maupun pengurangan, karena hal itu tergantung pada hasil ijtihad yang dipertimbangkan dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا فِي كَثْرَةِ الْحَاجَةِ إِلَيْهِ وقلتها فإن كثرت الحاجة إليه كالأموات كَانَ الْمَأْخُوذُ مِنْهُ أَقَلَّ وَإِنْ قَلَّتِ الْحَاجَةُ إِلَيْهِ كَالطَّرَفِ وَالدَّقِيقِ كَانَ الْمَأْخُوذُ مِنْهُ أَكْثَرَ فَإِنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَخَذَ مِنْ الْقُطْنِيَّةِ الْعُشْرَ وَأَخَذَ مِنَ الْحِنْطَةِ وَالزَّبِيبِ نِصْفَ الْعُشْرِ

Salah satunya berkaitan dengan banyak atau sedikitnya kebutuhan terhadap barang tersebut. Jika kebutuhan terhadapnya banyak, seperti halnya mayat, maka yang diambil darinya lebih sedikit. Namun jika kebutuhannya sedikit, seperti anggota tubuh atau sesuatu yang halus, maka yang diambil darinya lebih banyak. Sesungguhnya Umar radhiyallahu ‘anhu mengambil sepersepuluh dari kapas, dan mengambil setengah dari sepersepuluh dari gandum dan kismis.

وَالثَّانِي الرُّخْصُ وَالْغَلَاءُ فَإِنْ كَانَ انْقِطَاعُهَا يُحْدِثُ الْغَلَاءَ كَانَ الْمَأْخُوذُ أَقَلَّ وَإِنْ كَانَ لَا يُحْدِثُ الْغَلَاءَ كَانَ الْمَأْخُوذُ أَكْثَرَ وَإِذَا كَانَ الِاجْتِهَادُ فِيهِ مُعْتَبَرًا مِنْ هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ عَمِلَ الْإِمَامُ فِي تَقْرِيرِهِ عَلَى مَا يُؤَدِّيهِ اجْتِهَادُهُ إِلَيْهِ فَإِنْ رَأَى مِنَ الْمَصْلَحَةِ اشْتِرَاطَ الْعُشْرِ فِي جَمِيعِهَا فَعَلَ وَإِنْ رَأَى اشْتِرَاطَ نِصْفِ الْعُشْرِ فَعَلَ وَإِنْ رَأَى اشْتِرَاطَ الْخُمُسِ فَعَلَ وَإِنْ رَأَى أَنْ يُنَوِّعَهَا بِحَسَبِ الْحَاجَةِ إِلَيْهَا فَيَشْرِطَ فِي نَوْعٍ مِنْهَا الْخُمُسَ وَفِي نَوْعٍ الْعُشْرَ وَفِي نَوْعٍ نِصْفَ الْعُشْرِ فَعَلَ وَصَارَ مَا انْعَقَدَ شَرْطُهُ عَلَيْهِ حَقًّا وَاجِبًا فِي مَتَاجِرِهِمْ مَا أَقَامُوا عَلَى صُلْحِهِمْ كَالْجِزْيَةِ لَا يَجُوزُ لِغَيْرِهِ مِنَ الْأَئِمَّةِ أَنْ يَنْقُضَهُ إِلَى زِيَادَةٍ أَوْ نُقْصَانٍ فَإِنْ نَقَضُوا شَرْطَهُمْ بطل حكم الشرط بنقضهم وجار اسْتِئْنَافٌ وَصُلْحٌ مَعَهُمْ يَبْتَدِئُهُ بِمَا يَرَاهُ مِنْ زِيَادَةٍ عَلَى الْأَوَّلِ أَوْ نُقْصَانٍ مِنْهُ

Kedua, mengenai murah dan mahalnya harga. Jika penghentian barang tersebut menyebabkan kenaikan harga, maka yang diambil (sebagai pajak atau kewajiban) menjadi lebih sedikit. Namun jika tidak menyebabkan kenaikan harga, maka yang diambil menjadi lebih banyak. Apabila ijtihad dalam hal ini dipertimbangkan dari dua sisi tersebut, maka imam dalam menetapkannya mengikuti hasil ijtihad yang dicapainya. Jika menurutnya maslahat mensyaratkan pengambilan sepersepuluh dari seluruhnya, maka ia lakukan; jika menurutnya setengah dari sepersepuluh, maka ia lakukan; jika menurutnya seperlima, maka ia lakukan; dan jika menurutnya perlu membedakan sesuai kebutuhan, sehingga ia mensyaratkan seperlima pada satu jenis, sepersepuluh pada jenis lain, dan setengah dari sepersepuluh pada jenis lainnya, maka ia lakukan. Ketentuan yang telah disepakati dalam perjanjian menjadi hak dan kewajiban yang berlaku di antara mereka selama mereka tetap pada perjanjian tersebut, seperti halnya jizyah. Tidak boleh bagi imam lain untuk membatalkannya dengan menambah atau mengurangi. Jika mereka membatalkan syarat tersebut, maka hukum syarat itu batal karena pembatalan mereka, dan dimulai kembali perjanjian baru dengan mereka sesuai yang dipandang imam, baik dengan penambahan dari sebelumnya atau pengurangan darinya.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا لَمْ يَخْلُ حَالُ الْعُشْرِ مِنْ أَنْ يَكُونَ مَشْرُوطًا فِي عَيْنِ الْمَالِ أَوْ يَكُونَ فِي ذِمَمِهِمْ عَنِ الْمَالِ فَإِنْ كَانَ مَشْرُوطًا فِي الْمَالِ وَجَبَ عَلَى كُلِّ مَنْ حَمَلَهُ إِلَى بِلَادِ الْإِسْلَامِ مِنْ حَرْبِيٍّ وَذِمِّيٍّ وَمُسَالِمٍ أَنْ يُؤْخَذَ مِنْهُ الْعُشْرُ وَلَا يَمْنَعُ الْإِسْلَامُ مِنْ أَخْذِهِ وَلَا يَكُونُ أَخْذُهُ مِنَ الْمُسْلِمِ جِزْيَةً إِنَّمَا يَكُونُ ثَمَنًا يُضَافُ إِلَى الثَّمَنِ الَّذِي ابْتَاعَهُ مِنْ أَهْلِ الْحَرْبِ وَيَكُونُ مَا أَدَّاهُ إِلَيْهِمْ تِسْعَةُ أَعْشَارِ ثَمَنِهِ وَمَا أَدَّاهُ إِلَى الْإِمَامِ عُشْرُ الثَّمَنِ أَوْ عُشْرُ الْأَصْلِ وَإِنْ كَانَ مَشْرُوطًا فِي ذِمَمِهِمْ لِأَجْلِ الْمَالِ وَعَنْهُ أُخِذَ عُشْرَهُ مِنَ الْحَرْبِيِّ إِذَا حَمَلَهُ وَلَمْ يُؤْخَذْ مِنَ الْمُسْلِمِ لِأَنَّهُ جِزْيَةٌ مَحْضَةٌ وَفِي أَخْذِهِ مِنَ الذِّمِّيِّ وَجْهَانِ

Jika telah jelas apa yang telah kami uraikan, maka status ‘usyur tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah disyaratkan pada zat harta itu sendiri, ataukah menjadi tanggungan mereka atas harta tersebut. Jika disyaratkan pada harta itu sendiri, maka wajib bagi setiap orang yang membawa harta itu ke negeri Islam—baik dari kalangan harbi, dzimmi, maupun mu‘āhad—untuk diambil darinya ‘usyur, dan keislaman tidak menghalangi pengambilan ‘usyur tersebut. Pengambilan ‘usyur dari seorang Muslim bukanlah dianggap sebagai jizyah, melainkan sebagai harga tambahan yang ditambahkan pada harga yang ia beli dari ahli harb. Maka, yang ia bayarkan kepada mereka adalah sembilan per sepuluh dari harganya, dan yang ia bayarkan kepada imam adalah sepersepuluh dari harga atau sepersepuluh dari pokoknya. Namun, jika disyaratkan sebagai tanggungan mereka karena harta itu dan ‘usyur diambil dari harbi ketika ia membawanya, maka tidak diambil dari Muslim, karena itu adalah jizyah murni. Adapun pengambilan dari dzimmi, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يُؤْخَذُ مِنْهُ لِشِرْكِهِ

Salah satunya diambil darinya karena kesyirikannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا يُؤْخَذُ مِنْهُ لِجَرَيَانِ حُكْمِ الْإِسْلَامِ عَلَيْهِ

Pendapat kedua tidak dapat diambil darinya karena hukum Islam tetap berlaku atasnya.

فَأَمَّا الذِّمِّيُّ إِذَا اتَّجَرَ فِي بِلَادِ الْإِسْلَامِ فَلَا عُشْرَ عَلَيْهِ فِي مَالِهِ لِأَنَّ الْجِزْيَةَ مَأْخُوذَةٌ مِنْهُ عَنْ نَفْسِهِ وَعَنْ مَالِهِ إِلَّا أَنْ يَدْخُلَ تَاجِرًا إِلَى الْحِجَازِ فَيُمْنَعَ مِنْ دُخُولِهِ إِلَّا بِمَا يُشْتَرَطُ عَلَيْهِ مِنْ عُشْرِ مَالِهِ لِأَنَّهُ مَمْنُوعٌ مِنِ اسِتِيطَانِ الْحِجَازِ فَمُنِعَ مِنَ التِّجَارَةِ فِيهِ إِلَّا مَعْشُورًا وَهُوَ لَا يُمْنَعُ مِنِ اسْتِيطَانِ غَيْرِهِ فَلَمْ يُعْشَرْ

Adapun dzimmi, jika ia berdagang di negeri-negeri Islam, maka tidak dikenakan ‘usyur atas hartanya, karena jizyah telah diambil darinya sebagai pengganti atas dirinya dan hartanya, kecuali jika ia masuk sebagai pedagang ke wilayah Hijaz, maka ia dilarang masuk kecuali dengan syarat membayar ‘usyur atas hartanya, karena ia dilarang menetap di Hijaz, sehingga ia juga dilarang berdagang di sana kecuali dengan membayar ‘usyur. Adapun di selain Hijaz, ia tidak dilarang menetap, maka tidak dikenakan ‘usyur atasnya.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رحمه الله تعالى ” فَإِنْ لَمْ يَكُنْ شُرِطَ عَلَيْهِمْ لَمْ يُؤْخَذْ مِنْهُمْ شَيْءٌ وَسَوَاءٌ كَانُوا يَعْشِرُونَ الْمُسْلِمِينَ إِذَا دَخَلُوا بِلَادَهُمْ أَوْ يُخَمِّسُونَهُمْ أَوْ لَا يَعْرِضُونَ لَهُمْ “

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Jika tidak ada syarat yang ditetapkan atas mereka, maka tidak diambil apa pun dari mereka, baik mereka membebankan ‘usyur kepada kaum Muslimin ketika memasuki negeri mereka, atau mengambil seperlima dari mereka, ataupun tidak memperlakukan mereka dengan apa pun.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا دَخَلَ أَهْلُ الْحَرْبِ بِأَمَانٍ وَلَمْ يُشْتَرَطْ عَلَيْهِمْ عُشُورُ أَمْوَالِهِمْ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِمْ فِيهَا إِذَا حَمَلُوهَا عهم وَلَا وَجْهَ لِمَا قَالَهُ بَعْضُ أَصْحَابِنَا إِنَّهُمْ يَعْشِرُونَ اعْتِبَارًا بِالْعُرْفِ الْمَعْهُودِ مِنْ فِعْلِ عُمَرَ

Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar, yaitu apabila orang-orang kafir harbi masuk dengan jaminan keamanan dan tidak disyaratkan atas mereka pembayaran ‘usyur atas harta mereka, maka tidak ada kewajiban apa pun atas mereka terkait hal itu apabila mereka membawanya keluar dari negeri kaum muslimin. Tidak ada alasan bagi pendapat sebagian ulama kami yang mengatakan bahwa mereka tetap dikenakan ‘usyur dengan pertimbangan kebiasaan yang telah dikenal dari perbuatan Umar.”

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ يُفْعَلُ مَعَهُمْ مَا يَفْعَلُونَهُ مَعَ تُجَّارِنَا إِذَا دَخَلُوا إِلَيْهِمْ فَإِنْ كَانُوا يَعْشِرُونَهُمْ عُشِرُوا وَإِنْ كَانُوا يَخْمِسُونَهُمْ خُمِسُوا وَإِنْ كَانُوا يَتْرُكُونَهُمْ تُرِكُوا لِأَنَّها عُقُوبَةٌ وَقَدْ قَالَ اللَّهِ تَعَالَى وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ وَهَذَا خَطَأٌ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ

Abu Hanifah berkata, “Diperlakukan terhadap mereka sebagaimana yang mereka lakukan terhadap para pedagang kita jika mereka masuk ke negeri mereka; jika mereka mengenakan ‘usyur, maka dikenakan ‘usyur; jika mereka mengenakan khumus, maka dikenakan khumus; dan jika mereka membiarkan, maka dibiarkan, karena hal itu merupakan hukuman. Allah Ta‘ala berfirman: ‘Jika kamu membalas, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan apa yang ditimpakan kepadamu.’ Namun, ini adalah kekeliruan menurut sabda Nabi ﷺ.”

الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُطِهِمْ

Kaum Muslimin terikat dengan syarat-syarat yang mereka buat.

وَلِأَنَّ عُمَرَ لَمْ يَأْخُذْ عُشْرَهُمْ إِلَّا بَعْدَ اشْتِرَاطِهِ عَلَيْهِمْ وَلِأَنَّهُ مَالٌ مَأْخُوذٌ عَنْ أَمَانٍ فَلَمْ يَلْزَمْ بِغَيْرِ شَرْطٍ كالجزية لوأن عُلُوَّ الْإِسْلَامِ يَمْنَعُ مِنْ الِاقْتِدَاءِ بِهِمْ كَمَا يقتضى بِهِمْ فِي الْغَدْرِ إِنْ غَدَرُوا فَأَمَّا الْآيَةُ فَوَارِدَةٌ فِي الِاقْتِصَاصِ مِمَّنْ مُثِّلَ بِهِ مِنْ قتلى أحد ثم قال ولئن صبرتم له خير للصابرين النحل

Karena Umar tidak mengambil sepersepuluh dari mereka kecuali setelah mensyaratkan hal itu kepada mereka, dan karena itu adalah harta yang diambil berdasarkan jaminan keamanan, maka tidak wajib kecuali dengan syarat, seperti halnya jizyah. Seandainya keunggulan Islam mencegah untuk mengikuti mereka, sebagaimana juga diikuti dalam hal pengkhianatan jika mereka berkhianat. Adapun ayat tersebut turun berkaitan dengan pembalasan terhadap orang yang diperlakukan secara kejam dari kalangan yang terbunuh dalam Perang Uhud, kemudian Allah berfirman: “Tetapi jika kamu bersabar, itu lebih baik bagi orang-orang yang sabar.” (An-Nahl).

مسألة

Masalah

قال الشافعي رحمه الله تعالى ” وَإِذَا اتَّجَرُوا فِي بِلَادِ الْمُسْلِمِينَ إِلَى أُفُقٍ مِنَ الْآفَاقِ لَمْ يُؤْخَذْ مِنْهُمْ فِي السَّنَةِ إلا مرة كالجزية وقد ذكر عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ أَنَّهُ كَتَبَ أن يؤخذ مما ظهر من أموالهم أموال المسلمين وأن يكتب لهم براءة إلى مثله من الحول ولولا أن عمر رضي الله عنه أخذه منهم ما أخذناه ولم يبلغنا أنه أخذ من أحد في سنة إلا مرة قال ويؤخذ منهم ما أخذ عمر من المسلمين ربع العشر ومن أهل الذمة نصف العشر ومن أهل الحرب العشر اتباعا له على ما أخذ قال المزني رحمه الله قد روى الشافعي رحمه الله عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ من حديث صحيح الإسناد أنه أخذ من النبط من الحنطة والزيت نصف العشر يريد بذلك أن يكثر الحمل إلى المدينة ومن القطنية العشر قال الشافعي ولا أحسبه أخذ ذلك منهم إلا بشرط “

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Jika mereka berdagang di negeri-negeri kaum Muslimin ke suatu wilayah dari berbagai wilayah, maka tidak diambil dari mereka dalam setahun kecuali sekali saja seperti jizyah. Telah disebutkan dari Umar bin Abdul Aziz bahwa beliau menulis agar diambil dari harta mereka yang tampak sebagaimana diambil dari harta kaum Muslimin, dan agar diberikan kepada mereka surat bebas pungutan hingga waktu yang sama di tahun berikutnya. Kalau bukan karena Umar radhiyallahu ‘anhu mengambilnya dari mereka, niscaya kami tidak akan mengambilnya, dan tidak sampai kepada kami bahwa beliau mengambil dari seseorang dalam setahun kecuali sekali saja.” Beliau berkata, “Dan diambil dari mereka sebagaimana yang diambil Umar dari kaum Muslimin, yaitu seperempat dari sepersepuluh, dan dari ahludz-dzimmah setengah dari sepersepuluh, dan dari ahlul-harb sepersepuluh, mengikuti apa yang diambil oleh Umar.” Al-Muzani rahimahullah berkata, “Imam Syafi‘i rahimahullah telah meriwayatkan dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu dengan sanad yang sahih bahwa beliau mengambil dari kaum Nabath dari gandum dan minyak zaitun setengah dari sepersepuluh, dengan maksud agar banyak yang membawa barang ke Madinah, dan dari barang-barang kapas sepersepuluh.” Imam Syafi‘i berkata, “Dan aku tidak mengira beliau mengambil itu dari mereka kecuali dengan syarat tertentu.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا أَخَذَ مِنَ الْحَرْبِيِّ عُشْرَ مَالِهِ فِي دُخُولِهِ ثُمَّ نَقَلَهُ إِلَى بَلَدٍ آخَرَ لَمْ يُعْشَرْ وَكَذَلِكَ لَوْ طَافَ بِهِ فِي بِلَادِ الْإِسْلَامِ لِأَنَّهَا دَارٌ وَاحِدَةٌ فَإِنَّهُ بَاعَ مَالَهُ وَاشْتَرَى بِهِ مَتَاعًا مِنْ بِلَادِ الْإِسْلَامِ وَأَرَادَ حَمْلَهُ إِلَى دَارِ الْحَرْبِ رُوعِيَ شَرْطُ صُلْحِهِمْ فَإِنْ كَانَ مَشْرُوطًا عَلَيْهِمْ تَعْشِيرُ أَمْوَالِهِمْ مِنْ دُخُولِهِمْ وَخُرُوجِهِمْ عُشِرُوا خَارِجِينَ كَمَا عُشِرُوا دَاخِلِينَ

Al-Mawardi berkata, “Ini seperti yang telah dikatakan, yaitu jika seseorang mengambil sepersepuluh dari harta orang harbi ketika ia masuk, kemudian ia memindahkan harta itu ke negeri lain, maka tidak diambil lagi sepersepuluhnya. Demikian pula jika ia membawa harta itu berkeliling di negeri-negeri Islam, karena semuanya adalah satu wilayah. Namun, jika ia menjual hartanya lalu membeli barang dari negeri-negeri Islam dan bermaksud membawanya ke negeri harbi, maka dilihat syarat perjanjian damai mereka. Jika dalam perjanjian itu disyaratkan pengambilan sepersepuluh harta mereka saat masuk dan keluar, maka mereka juga dikenai pungutan sepersepuluh saat keluar sebagaimana saat masuk.”

وَإِنْ لَمْ يُشْتَرَطْ عَلَيْهِمْ لَمْ يُعْشَرُوا فِي الْخُرُوجِ وَعُشِرُوا فِي الدُّخُولِ وَإِذَا اتَّجَرُوا فِي بِلَادِ الْإِسْلَامِ حَتَّى حَالَ عَلَيْهِمُ الْحَوْلُ قَالَ الشَّافِعِيُّ عُشِرُوا بَعْدَ انْقِضَاءِ الْحَوْلِ ثَانِيَةً وَاعْتَبَرَهُمْ بِالْمُسْلِمِينَ فِي أَخْذِ الزَّكَاةِ مِنْهُمْ فِي كل حول وهذا عند مُعْتَبَرٌ بِالشَّرْطِ الْمَعْقُودِ مَعَهُمْ فَإِنْ تَضَمُّنَ تَعْشِيرَ أَمْوَالِهِمْ فِي كُلِّ حَوْلٍ عُشِرُوا وَإِنْ تَضَمَّنَ تَعْشِيرَهَا مَا حَمَّلُوهُ مِنْ دَارِ الْحَرْبِ لَمْ يُعْشَرُوا اعْتِبَارًا بِمُوجِبِ الشَّرْطِ

Jika tidak disyaratkan atas mereka, maka mereka tidak dikenai ‘usyur saat keluar, tetapi dikenai ‘usyur saat masuk. Jika mereka berdagang di negeri Islam hingga berlalu satu haul atas mereka, menurut pendapat asy-Syafi‘i, mereka dikenai ‘usyur lagi setelah berakhirnya haul yang kedua, dan beliau mengqiyaskan mereka dengan kaum Muslimin dalam pengambilan zakat dari mereka setiap haul. Hal ini bergantung pada syarat yang disepakati bersama mereka; jika syaratnya mencakup pengenaan ‘usyur atas harta mereka setiap haul, maka mereka dikenai ‘usyur; dan jika syaratnya hanya mencakup pengenaan ‘usyur atas barang yang mereka bawa dari dar al-harb, maka mereka tidak dikenai ‘usyur, sesuai dengan konsekuensi syarat tersebut.

فَأَمَّا الذِّمِّيُّ إِذَا اتَّجَرَ فِي الْحِجَازِ بَعْدَ تَعْشِيرِ مَالِهِ حَتَّى حَالَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ عُشِرَ ثَانِيَةً فِي كُلِّ حَوْلٍ لِأَنَّ لِلذِّمِّيِّ فِي الْجِزْيَةِ حَوْلًا مُقَيَّدًا تَتَكَرَّرُ جِزْيَتُهُ فِيهِ فَجُعِلَ أَصْلًا لِعَشْرِ مَالِهِ فِي كُلِّ حَوْلٍ وَلَيْسَ هُوَ فِي حَوْلِ الْجِزْيَةِ أَصْلًا وَلِأَنَّ أَحْكَامَ الْإِسْلَامِ جَارِيَةٌ عَلَى الذِّمِّيِّ دُونَ الْحَرْبِيِّ فَلَمَّا اسْتَقَرَّ حُكْمُ الْإِسْلَامِ عَلَى أَخْذِ الزَّكَاةِ مِنْ مَالِ الْمُسْلِمِ فِي كُلِّ حَوْلٍ صَارَ ذَلِكَ أَصْلًا فِي تَعْشِيرِ مَالِ الذِّمِّيِّ فِي الْحِجَازِ فِي كُلِّ حَوْلٍ

Adapun seorang dzimmi, apabila ia berdagang di wilayah Hijaz setelah hartanya dikenakan ‘usyur, kemudian berlalu satu tahun atasnya, maka hartanya dikenakan ‘usyur lagi pada setiap tahun. Hal ini karena bagi dzimmi dalam pembayaran jizyah terdapat satu tahun yang ditentukan, di mana jizyahnya diulang setiap tahun, sehingga hal itu dijadikan sebagai dasar untuk pengenaan ‘usyur atas hartanya setiap tahun. Namun, tahun jizyah itu sendiri bukanlah dasar (untuk ‘usyur). Selain itu, hukum-hukum Islam berlaku atas dzimmi, tidak seperti terhadap harbi. Maka, ketika hukum Islam telah menetapkan pengambilan zakat dari harta seorang Muslim setiap tahun, hal itu pun dijadikan dasar dalam pengenaan ‘usyur atas harta dzimmi di Hijaz setiap tahun.

فَأَمَّا إِذَا اتَّجَرَ الذِّمِّيُّ فِي غَيْرِ الْحِجَازِ مِنْ بِلَادِ الْإِسْلَامِ فَلَا عُشْرَ عَلَيْهِ لِجَوَازِ اسْتِيطَانِهِ لَهَا بِخِلَافِ بِلَادِ الْحِجَازِ الَّتِي لَا يَجُوزُ أَنْ يَسْتَوْطِنَهَا فَإِنْ شَرَطَ الْإِمَامُ عَلَيْهِمْ ذَلِكَ حُمِلُوا عَلَى شُرُوطِهِ وَكَانَ زِيَادَةً فِي جزيتهم

Adapun jika seorang dzimmi berdagang di luar wilayah Hijaz dari negeri-negeri Islam, maka tidak dikenakan ‘usyur atasnya karena dibolehkannya mereka menetap di sana, berbeda dengan wilayah Hijaz yang tidak boleh mereka jadikan tempat menetap. Namun, jika imam mensyaratkan hal itu atas mereka, maka mereka harus mengikuti syarat-syaratnya, dan hal itu menjadi tambahan dalam jizyah mereka.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رحمه الله تعالى ” وَيُحَدِّدُ الْإِمَامُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُمْ فِي تِجَارَاتِهِمْ مَا يَبِينُ لَهُ وَلَهُمْ وَلِلْعَامَّةِ لِيَأْخُذَهُمْ بِهِ الْوُلَاةُ وَأَمَّا الْحَرَمُ فَلَا يَدْخُلَهُ مِنْهُمْ أَحَدٌ بِحَالٍ كان له بها مال أو لم يكن ويخرج الإمام منه إلى الرسل ومن كان بها منهم مريضا أو مات أخرج ميتا ولم يدفن بها وروي أنه سمع عددا من أهل المغازي يرون أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قال “

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Imam menentukan batasan antara dia dan mereka dalam urusan perdagangan mereka dengan sesuatu yang jelas baginya, bagi mereka, dan bagi masyarakat umum, agar para penguasa dapat menegakkannya atas mereka. Adapun Masjidil Haram, maka tidak seorang pun dari mereka boleh memasukinya dalam keadaan apa pun, baik dia memiliki harta di sana maupun tidak. Imam hanya boleh mengeluarkan utusan dari sana, dan jika ada di antara mereka yang sakit atau meninggal di sana, maka jenazahnya dikeluarkan dan tidak dikuburkan di sana. Diriwayatkan bahwa beliau mendengar sejumlah ahli maghāzī berpendapat bahwa Nabi ﷺ bersabda.”

لا يجتمع مسلم ومشرك في الحرم بعد عامهم هذا

Seorang Muslim dan seorang musyrik tidak boleh berkumpul di Tanah Haram setelah tahun ini.

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ حَتَّى يَنْتَشِرَ فِي كَافَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَفِيهِمْ يَزُولُ الْخِلَافُ مَعَهُمْ فَإِذَا انْتَشَرَ فِي بِلَادِ الْإِسْلَامِ كُلِّهَا فِي عَصْرٍ بَعْدَ عَصْرٍ اكْتَفَى بِانْتِشَارِهِ عَنْ تَجْدِيدِهِ فَإِنْ خِيفَ بِتَطَاوُلِ الزَّمَانِ أَنْ يُخْفَى جَدَّدَهُ كَمَا يَفْعَلُ الْحُكَّامُ فِي الْوُقُوفِ إِذَا خِيفَ دُرُوسُهَا جَدَّدُوا الْإِسْجَالَ بِهَا لِتَكُونَ حُجَجُ سَبِيلِهَا دَائِمَةَ الثُّبُوتِ

Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar, sampai tersebar di seluruh kaum Muslimin dan di antara mereka hilanglah perbedaan pendapat mengenai hal itu. Maka jika telah tersebar di seluruh negeri Islam dari satu generasi ke generasi berikutnya, maka cukup dengan penyebarannya tanpa perlu pembaruan. Namun, jika dikhawatirkan karena berlalunya waktu akan terlupakan, maka diperbarui sebagaimana yang dilakukan para hakim terhadap wakaf; jika dikhawatirkan akan hilang, mereka memperbarui pencatatannya agar bukti-bukti atasnya tetap terjaga.”

فَصْلٌ

Fasal

وَإِذَا رَأَى الْإِمَامُ أَنْ يُسْقِطَ عَنْ أَهْلِ الْحَرْبِ تَعْشِيرَ أَمْوَالِهِمْ بِحَادِثٍ اقْتَضَاهُ نَظَرُهُ مِنْ جَدَبٍ أَوْ قَحْطٍ أَوْ لِخَوْفٍ مِنْ قُوَّةٍ تَجَدَّدَتْ لَهُمْ جَازَ إِسْقَاطُهُ عَنْهُمْ وَلَوْ رَأَى إِسْقَاطَ الْجِزْيَةِ عَنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ لَمْ يَجُزْ إِسْقَاطُهَا لِأَنَّ الْجِزْيَةَ نَصٌّ وَالْعُشْرَ اجْتِهَادٌ

Apabila imam memandang perlu untuk menggugurkan pungutan sepersepuluh atas harta orang-orang kafir harbi karena suatu peristiwa yang menurut pertimbangannya menuntut hal itu, seperti musim paceklik, kekeringan, atau karena kekhawatiran terhadap kekuatan baru yang muncul pada mereka, maka boleh baginya menggugurkan pungutan tersebut dari mereka. Namun, jika imam ingin menggugurkan jizyah dari ahludz-dzimmah, maka tidak boleh menggugurkannya, karena jizyah didasarkan pada nash, sedangkan pungutan sepersepuluh didasarkan pada ijtihad.

وَإِذَا زَالَ السَّبَبُ الَّذِي تَرَّكَهُ تَعْشِيرَ أَمْوَالِهِمْ لَمْ يَأْخُذْهُمْ بِعُشْرِ مَا كَانُوا حَمَلُوهُ وَنَظَرَ فِي التَّرْكِ فَإِنْ كَانَ مُسَامَحَةً لَهُمْ أَخَذَ عُشْرَهُمْ بَعْدَ زَوَالِ السَّبَبِ بِالشَّرْطِ الْأَوَّلِ وَإِنْ كَانَ إِسْقَاطًا لَمْ يَأْخُذْهُ بَعْدَ زَوَالِ سَبَبِهِ إِلَّا بِشَرْطٍ مُسْتَأْنَفٍ

Dan apabila sebab yang membuat ia meninggalkan pengambilan ‘usyur atas harta mereka telah hilang, maka ia tidak mengambil dari mereka sepersepuluh dari apa yang dahulu mereka bawa. Ia harus memperhatikan alasan penundaan tersebut; jika penundaan itu berupa keringanan bagi mereka, maka ia mengambil ‘usyur mereka setelah hilangnya sebab tersebut dengan syarat yang pertama. Namun jika penundaan itu berupa penghapusan, maka ia tidak mengambilnya setelah sebabnya hilang kecuali dengan syarat yang baru.

وَإِذَا دَعَتِ الْإِمَامَ الضَّرُورَةُ فِي الِاسْتِعَانَةِ بِأَهْلِ الذِّمَّةِ عَلَى قِتَالِ أَهْلِ الْحَرْبِ أَنْ يَتْرُكَ عَلَيْهِمُ الْجِزْيَةَ لِيَسْتَعِينُوا بِهَا عَلَى مَعُونَةِ الْمُسْلِمِينَ كَانَ الْأَوْلَى قَبْضُهَا مِنْهُمْ وَرَدُّهَا عَلَيْهِمْ فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ وَأَرْفَقَهُمْ بِتَرْكِهَا عَلَيْهِمْ جَازَ وَكَانَ ذَلِكَ إِبْرَاءً مِنْهَا فِي وَقْتِهَا وَلَمْ يَكُ إِسْقَاطًا لَهَا مِنْ أَصْلِهَا فَإِذَا زَالَ السَّبَبُ عَادَ إِلَى أَخْذِهَا بِالْعَقْدِ الْأَوَّلِ

Apabila imam karena kebutuhan mendesak harus meminta bantuan Ahludz-dzimmah dalam memerangi musuh, sehingga ia membebaskan mereka dari kewajiban membayar jizyah agar mereka dapat menggunakan harta tersebut untuk membantu kaum Muslimin, maka yang lebih utama adalah tetap memungut jizyah dari mereka lalu mengembalikannya kepada mereka. Namun jika imam tidak melakukan hal itu dan lebih memudahkan mereka dengan membebaskan jizyah, maka hal itu boleh dan dianggap sebagai pembebasan jizyah pada waktu itu saja, bukan penghapusan kewajiban jizyah secara keseluruhan. Maka apabila sebab pembebasan itu telah hilang, kewajiban membayar jizyah kembali berlaku berdasarkan akad yang pertama.

فَصْلٌ

Bagian

وَإِذَا عُقِدَتِ الذِّمَّةُ مَعَ قَوْمٍ وَجَبَ الذَّبُّ عَنْهُمْ مِنْ كُلِّ مَنْ آذَاهُمْ مِنْ مُسْلِمٍ وَمُشْرِكٍ سَوَاءٌ اخْتَلَطُوا بِالْمُسْلِمِينَ أَوِ اعْتَزَلُوهُمْ فَلَوْ عَجَّلَ الْإِمَامُ بِجِزْيَتِهِمْ وَقَصَدَهُمُ الْعَدُوُّ فَلَمْ يَذُبَّ عَنْهُمْ وَجَبَ عَلَيْهِ أَنْ يَرُدَّ مِنْ جِزْيَتِهِمْ مَا قَابَلَ زَمَانَ مُتَارَكَتِهِمْ مَعَ عَدُوِّهِمْ دُونَ مَا عَدَاهُ فَإِنِ اشْتَرَطُوا فِي عَقْدِ صُلْحِهِمْ أَنْ لَا يَذُبَّ أَهْلَ الْحَرْبِ عَنْهُمْ لَمْ يَصِحَّ الشَّرْطُ إِنْ كَانُوا مُخْتَلِطِينَ بِالْمُسْلِمِينَ لِئَلَّا يَتَعَدَّى ذَلِكَ إِلَى الْمُسْلِمِينَ وَإِنِ اعْتَزَلُوا الْمُسْلِمِينَ بِقَرْيَةٍ انْفَرَدُوا بِسُكْنَاهَا فَإِنْ كَانَ بَيْنَهُمْ مُسْلِمٌ أَوْ مَالُ مُسْلِمٍ أَوْ كَانَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ دَارِ الْحَرْبِ قَرْيَةٌ لِلْمُسْلِمِينَ لَمْ يَصِحِّ هَذَا الشَّرْطُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِمْ وَلَا فِيمَا بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ أَهْلِ الْحَرْبِ مُسْلِمٌ حُمِلُوا عَلَى الشَّرْطِ فِي مُتَارِكَتِهِمْ مَعَ أَهْلِ الْحَرْبِ وَلَمْ يَلْزَمِ الذَّبُّ عَنْهُمْ إِلَّا أَنْ يَخَافَ عَلَيْهِمُ الِاصْطِلَامَ فَيَلْزَمُ اسْتِنْقَاذُ نُفُوسِهِمْ دُونَ أَمْوَالِهِمْ لِأَنَّ لِلذِّمَّةِ حَقًّا فِي حِفْظِهَا وَسَقَطَ حِفْظُ أَمْوَالِهِمْ بِالشَّرْطِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Apabila akad dzimmah telah diadakan dengan suatu kaum, maka wajib melindungi mereka dari siapa pun yang menyakiti mereka, baik dari kalangan Muslim maupun musyrik, baik mereka berbaur dengan kaum Muslimin atau hidup terpisah dari mereka. Jika imam telah menerima jizyah mereka lebih awal, lalu musuh menyerang mereka dan imam tidak melindungi mereka, maka wajib baginya mengembalikan bagian dari jizyah mereka yang sepadan dengan masa di mana mereka ditinggalkan menghadapi musuh, dan tidak selain itu. Jika mereka mensyaratkan dalam akad perdamaian bahwa kaum Muslimin tidak wajib melindungi mereka dari serangan musuh, maka syarat itu tidak sah jika mereka berbaur dengan kaum Muslimin, agar tidak berdampak kepada kaum Muslimin. Namun, jika mereka hidup terpisah dari kaum Muslimin di sebuah desa yang mereka tempati sendiri, lalu di antara mereka ada seorang Muslim atau harta milik Muslim, atau antara mereka dan wilayah musuh terdapat desa milik kaum Muslimin, maka syarat itu juga tidak sah. Tetapi jika di antara mereka maupun di antara mereka dan musuh tidak ada seorang Muslim pun, maka mereka dibebankan pada syarat tersebut dalam hal saling membiarkan antara mereka dan musuh, dan tidak wajib melindungi mereka kecuali jika dikhawatirkan mereka akan dibinasakan seluruhnya, maka wajib menyelamatkan jiwa mereka saja, bukan harta mereka, karena dzimmah memiliki hak untuk dijaga, sedangkan penjagaan harta mereka gugur karena syarat tersebut. Dan Allah Maha Mengetahui.

بَابٌ فِي نَصَارَى الْعَرَبِ تُضَعَّفُ عَلَيْهُمِ الصَّدَقَةُ ومسلك الجزية

Bab tentang Nasrani Arab: sedekah dilipatgandakan atas mereka dan cara penetapan jizyah.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رحمه الله تعالى ” اخْتَلَفَتِ الْأَخْبَارُ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي نَصَارَى الْعَرَبِ مِنْ تَنُوخَ وَبَهْرَاءَ وَبَنِي تَغْلِبَ فَرُوِيَ عَنْهُ أَنَّهُ صَالَحَهُمْ عَلَى أَنْ يُضَعِّفَ عَلَيْهُمُ الْجِزْيَةَ وَلَا يُكْرَهُوا على غير دينهم وهكذا حفظ أهل المغازي قالوا رامهم عمر على الجزية فقالوا نَحْنُ عَرَبٌ لَا نُؤَدِّي مَا يُؤَدِّي الْعَجَمُ وَلَكِنْ خُذْ مِنَّا كَمَا يَأْخُذُ بَعْضُكُمْ مِنْ بعض يعنون الصدقة فقال عمر رضي الله عنه لا هذا فرض على المسلمين فقالوا فزد مَا شِئْتَ بِهَذَا الِاسْمِ لَا بِاسْمِ الْجِزْيَةِ فراضاهم على أن يضعف عليهم الصدقة قال فإذا ضعفها عليهم فانظر إلى مواشيهم وذهبهم وورقهم وأطعمتهم وما أصابوا من معادن بلادهم وركازها وكل أمر أخذ فيه من مسلم خمس فخذ خمسين أو عشر فخذ عشرين أو نصف عشر فخذ عشرا أو ربع عشر فخذ نصف عشر وكذلك ماشيتهم خذ الضعف منها “

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Terdapat perbedaan riwayat dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu mengenai Nasrani Arab dari Tanukh, Bahra’, dan Bani Taghlib. Diriwayatkan darinya bahwa beliau berdamai dengan mereka dengan menetapkan kewajiban jizyah yang dilipatgandakan atas mereka, namun mereka tidak dipaksa untuk keluar dari agama mereka. Demikian pula yang dihafal oleh para ahli maghazi, mereka berkata: Umar menawarkan jizyah kepada mereka, lalu mereka berkata, ‘Kami adalah orang Arab, kami tidak membayar seperti yang dibayar oleh orang ‘ajam (non-Arab), tetapi ambillah dari kami sebagaimana sebagian kalian mengambil dari sebagian yang lain,’ maksudnya adalah sedekah. Maka Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Tidak, itu adalah kewajiban bagi kaum Muslimin.’ Mereka berkata, ‘Kalau begitu, tambahkanlah sesukamu dengan nama ini, bukan dengan nama jizyah.’ Maka Umar pun menyetujui mereka dengan menetapkan sedekah yang dilipatgandakan atas mereka. Beliau berkata, ‘Jika kamu melipatgandakannya atas mereka, maka perhatikanlah hewan ternak mereka, emas mereka, perak mereka, makanan mereka, hasil tambang dan harta terpendam di negeri mereka, dan setiap perkara yang diambil seperlima dari seorang Muslim, maka ambillah lima puluh; atau jika diambil sepersepuluh, ambillah dua puluh; atau setengah dari sepersepuluh, ambillah sepuluh; atau seperempat dari sepersepuluh, ambillah setengah dari sepersepuluh. Demikian pula hewan ternak mereka, ambillah dua kali lipat darinya.’”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا دِينُ الْعَرَبِ فَلَمْ يَكُونُوا أَهْلَ كِتَابٍ وَكَانُوا عَبَدَةَ أَوْثَانٍ فَجَاوَرَتْ طَائِفَةٌ مِنْهُمُ الْيَهُودَ فَتَهَوَّدُوا وَجَاوَرَتْ طَائِفَةٌ مِنْهُمُ النَّصَارَى فَتَنَصَّرُوا فَكَانَ فِي قَحْطَانَ بِالشَّامِ تَنُوخُ وَبَهْرَاءُ وَبَنُو تَغْلِبَ مُجَاوِرِينَ لِلنَّصَارَى فَتَنَصَّرُوا وَأَشْكَلَتْ حَالُهُمْ عِنْدَ فَتْحِ الشَّامِ عَلَى عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ هَلْ دَخَلُوا فِي النَّصْرَانِيَّةِ قَبْلَ التَّبْدِيلِ فَيُقَرُّونَ أَوْ بَعْدَ التَّبْدِيلِ مَعَ الْمُبَدِّلِينَ فَلَا يُقَرُّونَ فَغَلَّبَ فِيهِمْ حُكْمَ الْحَظْرِ فِي حَقْنِ دِمَائِهِمْ وَتَحْرِيمِ مَنَاكِحِهِمْ وَذَبَائِحِهِمْ فَأَقَرَّهُمْ عَلَى هَذَا وَشَرَطَ عَلَيْهِمْ أَلَّا يُنَصِّرُوا أَوْلَادَهُمْ ثُمَّ طَالَبَهُمْ بِالْجِزْيَةِ حِينَ أَقَرَّهُمْ عَلَى النَّصْرَانِيَّةِ فَأَبَوْا أَنَفَةً مِنْ ذُلِّ الْجِزْيَةِ وَقَالُوا نَحْنُ عَرَبٌ لَا نُؤَدِّي مَا يُؤَدِّي الْعَجَمُ وَلَكِنْ خُذْ مِنَّا كَمَا يَأْخُذُ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ الصَّدَقَةَ فَقَالَ عُمَرُ لَا آخُذُ مِنْ مُشْرِكٍ صَدَقَةً فَرَضَهَا اللَّهُ عَلَى الْمُسْلِمِينَ طُهْرَةً فَنَفَرَ بَعْضُهُمْ وَلَحِقَ بِالرُّومِ وَكَادَ الْبَاقُونَ أَنْ يَلْحَقُوا بِهِمْ فَقَالَ عُبَادَةُ بْنُ النُّعْمَانِ التَّغْلِبِيُّ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ إن للقوم بأسا وشدة فلا تعز عَدُوَّكَ بِهِمْ وَخُذْ مِنْهُمُ الْجِزْيَةَ بِاسْمِ الصَّدَقَةِ فَأَعَادَ مَنْ رَحَلَ إِلَى مَنْ أَقَامَ وَقَالُوا زِدْ مَا شِئْتَ بِهَذَا الِاسْمِ لَا بِاسْمِ الْجِزْيَةِ فَرَاضَاهُمْ عُمَرُ عَلَى أَنْ أَضْعَفَ عَلَيْهِمُ الصَّدَقَةَ وَجَعَلُوهَا جِزْيَةً بِاسْمِ الصَّدَقَةِ تُؤْخَذُ مِنْ أَمْوَالِهِمُ الظَّاهِرَةِ وَالْبَاطِنَةِ كَمَا تَجِبُ الصَّدَقَةُ عَلَى الْمُسْلِمِينَ فِي الْأَمْوَالِ الظَّاهِرَةِ وَالْبَاطِنَةِ مِنَ الْمَوَاشِي وَالزُّرُوعِ وَالثِّمَارِ وَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَعَرُوضِ التِّجَارَةِ إِذَا بَلَغَتْ نِصَابًا وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِمْ دُونَ النِّصَابِ وَلَا فِي الدُّورِ وَالْعَقَارِ وَلَا فِي الْخَيْلِ وَالْبِغَالِ وَالْحَمِيرِ فَيُؤْخَذُ مِنْهُمْ عَنْ كل خمس من الإبل شاتان عن كل ثلاثين بقرة تسعين وَعَلَى كُلِّ أَرْبَعِينَ شَاةً شَاتَانِ وَعَمَّا سَقَتْهُ السَّمَاءُ مِنَ الزُّرُوعِ وَالثِّمَارِ الَّتِي يَجِبُ فِيهَا العشر الخمس وعما سقي بنضج أَوْ غَرْبٍ يَجِبُ فِيهِ نِصْفُ الْعُشْرِ الْعُشْرُ وَعَمَّا وَجَبَ فِيهِ رُبُعُ الْعُشْرِ مِنَ الْفِضَّةِ وَالذَّهَبِ نِصْفُ الْعُشْرِ فَيُؤْخَذُ مِنْ عِشْرِينَ مِثْقَالًا من الذهب وَمِنْ مِائَتَيْ دِرْهَمٍ مِنَ الْوَرِقِ عَشَرَةُ دَرَاهِمَ وَعَمَّا وَجَبَ فِيهِ الْخُمُسُ مِنَ الرِّكَازِ وَالْمَعَادِنِ الخمسين فكان لعقد صُلْحِهِمْ مَعَ عُمَرَ مُسْتَقِرًّا عَلَى هَذَا وَحَمَلَهُمْ عَلَيْهِ بَعْدَ عُمَرَ عُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا وَعَلِيٌّ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَلَمْ يَمْنَعُوهُمْ أَنْ يُنَصِّرُوا أَوْلَادَهُمْ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ اشْتِرَاطَ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ كَانَ إِرْهَابًا وَلَمْ يَكُنْ إِلْزَامًا

Al-Mawardi berkata: Adapun agama bangsa Arab, mereka bukanlah ahli kitab dan mereka adalah penyembah berhala. Sebagian dari mereka bertetangga dengan kaum Yahudi lalu memeluk agama Yahudi, dan sebagian lagi bertetangga dengan kaum Nasrani lalu memeluk agama Nasrani. Maka di antara kabilah Qahtan di Syam terdapat Tanukh, Bahra’, dan Bani Taghlib yang bertetangga dengan kaum Nasrani sehingga mereka pun memeluk agama Nasrani. Ketika penaklukan Syam, keadaan mereka menjadi samar bagi Umar radhiyallahu ‘anhu: apakah mereka masuk agama Nasrani sebelum terjadi perubahan (tahrif) sehingga mereka bisa dibiarkan, ataukah setelah perubahan bersama orang-orang yang mengubah sehingga tidak boleh dibiarkan? Maka Umar lebih mengedepankan hukum larangan terhadap mereka dalam hal perlindungan darah, pengharaman pernikahan dengan mereka, dan sembelihan mereka. Umar pun membiarkan mereka dalam keadaan seperti itu dan mensyaratkan agar mereka tidak menasranikan anak-anak mereka. Kemudian Umar menuntut mereka membayar jizyah ketika membiarkan mereka tetap dalam agama Nasrani, namun mereka menolak karena merasa hina dengan jizyah dan berkata, “Kami adalah bangsa Arab, kami tidak membayar seperti yang dibayar oleh bangsa ‘ajam (non-Arab), tetapi ambillah dari kami sebagaimana sebagian kalian mengambil zakat dari sebagian yang lain.” Maka Umar berkata, “Aku tidak mengambil zakat dari musyrik, karena zakat itu Allah wajibkan atas kaum muslimin sebagai pensucian.” Sebagian dari mereka pun pergi dan bergabung dengan Romawi, dan yang lainnya hampir saja mengikuti mereka. Lalu ‘Ubadah bin Nu‘man at-Taghlibi berkata, “Wahai Amirul Mukminin, mereka adalah kaum yang kuat dan tangguh, maka janganlah engkau menguatkan musuhmu dengan mereka. Ambillah dari mereka jizyah dengan nama zakat.” Maka orang-orang yang telah pergi dikembalikan kepada yang tetap tinggal, dan mereka berkata, “Tambahkanlah sesukamu dengan nama ini, bukan dengan nama jizyah.” Umar pun menyetujui mereka dengan menggandakan zakat atas mereka dan menjadikannya sebagai jizyah dengan nama zakat, yang diambil dari harta mereka yang tampak maupun tersembunyi, sebagaimana zakat wajib atas kaum muslimin dari harta yang tampak dan tersembunyi, berupa hewan ternak, tanaman, buah-buahan, emas, perak, dan barang dagangan jika telah mencapai nishab. Tidak ada kewajiban atas mereka di bawah nishab, juga tidak pada rumah, tanah, kuda, bagal, dan keledai. Maka diambil dari mereka: untuk setiap lima ekor unta dua ekor kambing, untuk setiap tiga puluh ekor sapi sembilan puluh ekor, untuk setiap empat puluh ekor kambing dua ekor kambing, dan dari tanaman serta buah-buahan yang diairi oleh hujan yang wajib dizakati sepersepuluh, diambil seperlima; dari yang diairi dengan tenaga atau alat, yang wajib dizakati setengah dari sepersepuluh, diambil sepersepuluh; dari emas dan perak yang wajib dizakati seperempat dari sepersepuluh, diambil setengah dari sepersepuluh, yaitu dari dua puluh dinar emas dan dari dua ratus dirham perak diambil sepuluh dirham; dari rikaz dan tambang yang wajib dizakati seperlima, diambil lima puluh. Maka perjanjian damai mereka dengan Umar tetap berlaku atas dasar ini, dan setelah Umar, Utsman radhiyallahu ‘anhuma dan Ali ‘alaihis salam juga memberlakukan hal yang sama kepada mereka, dan mereka tidak melarang mereka untuk menasranikan anak-anak mereka. Hal ini menunjukkan bahwa persyaratan tersebut hanyalah sebagai ancaman, bukan kewajiban.

فَصْلٌ

Bab

فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَاهُ مِنْ صُلْحِ عُمَرَ فَهُوَ شَيْءٌ يَزِيدُ وَيَنْقُصُ بِكَثْرَةِ الْمَالِ وَقِلَّتِهِ وَيَجِبُ ولا يَجِبُ بِوُجُودِ الْمَالِ وَعَدَمِهِ وَيُعْلَمُ وَلَا يُعْلَمُ بظهور المال واستبطانه فصار مجهولا لتبرزه بَيْنَ قَلِيلٍ وَكَثِيرٍ وَوُجُوبٍ وَإِسْقَاطٍ وَمَكْتُومٍ وَمَشْهُورٍ

Maka apabila telah jelas apa yang telah kami jelaskan mengenai perdamaian ‘Umar, maka itu adalah sesuatu yang bisa bertambah dan berkurang sesuai dengan banyak atau sedikitnya harta, dan bisa menjadi wajib atau tidak wajib tergantung ada atau tidaknya harta, dan bisa diketahui atau tidak diketahui dengan tampaknya harta atau tersembunyinya, sehingga menjadi sesuatu yang tidak jelas karena perbedaannya antara sedikit dan banyak, antara kewajiban dan pengguguran, antara yang tersembunyi dan yang terkenal.

وَقَدْ ثَبَتَ أَنَّ عُمَرَ صَالَحَهُمْ عَلَيْهِ وَلَمْ يَأْخُذْ مِنْهُمْ دِينَارَ الْجِزْيَةِ لِأَنَّهُمُ امْتَنَعُوا مِنْ بذل الجزية لئلا يجري عليه صَغَارٌ فَصَارَتْ مُضَاعَفَةُ الصَّدَقَةِ هِيَ الْجِزْيَةَ مَأْخُوذَةً بِاسْمِ الصَّدَقَةِ وَقَدْ قَالَ عُمَرُ هَؤُلَاءِ قَوْمٌ حَمْقَى أَبَوْا الِاسْمَ وَرَضُوا بِالْمَعْنَى

Telah tetap bahwa Umar telah membuat perjanjian damai dengan mereka atas hal itu dan tidak mengambil dari mereka satu dinar pun jizyah, karena mereka menolak membayar jizyah agar tidak terkena kehinaan. Maka, sedekah yang dilipatgandakan itu menjadi jizyah yang diambil dengan nama sedekah. Umar pun berkata, “Mereka ini adalah kaum yang bodoh, mereka menolak namanya tetapi menerima maknanya.”

وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي عَقْدِ الصُّلْحِ عَلَى هَذَا الْوَجْهِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ

Para ulama mazhab kami berbeda pendapat mengenai akad perdamaian dengan cara seperti ini menjadi tiga pendapat.

أَحَدُهُمَا يَجُوزُ حَمْلُهُمْ عَلَيْهِ سَوَاءٌ بَلَغَ الْمَأْخُوذُ مِنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ دِينَارًا أَوْ نَقَصَ عَنْهُ وَمَنْ لَمْ يَبْلُغْ مَالُهُ نِصَابَ الزَّكَاةِ لَمْ يُؤْخَذْ مِنْهُ وَمَنْ لَمْ يَمْلِكْ مَالًا مُزَكًّى فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ فِعْلِ عُمَرَ فَكَانَ إِمْضَاؤُهُ عَلَى هَذَا وَإِنْ نَقَصَ الْمَأْخُوذُ مِنْ كُلِّ وَاحِدٍ عَلَى الدِّينَارِ لِأَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يَزِيدَ فِي وَقْتٍ آخَرَ عَلَى الدِّينَارِ لِمَا يَسْتَفِيدُهُ وَيَجُوزُ أَنْ يَمْلِكَ مَنْ لَا مِلْكَ لَهُ فَيُؤَدَّى فَيَكُونُ الِاعْتِبَارُ بِهَا لَا بِالدِّينَارِ وَيَكُونُ مَا يُخَافُ مِنْ نُقْصَانِ الدِّينَارِ فِي وَقْتٍ مَجْبُورًا بِمَا يُرْجَى مِنَ الزِّيَادَةِ عَلَيْهِ فِي وَقْتٍ

Salah satu pendapat membolehkan untuk memberlakukan ketentuan ini kepada mereka, baik jumlah yang diambil dari masing-masing mereka mencapai satu dinar atau kurang dari itu. Siapa yang hartanya belum mencapai nisab zakat, maka tidak diambil darinya, dan siapa yang tidak memiliki harta yang wajib dizakati, maka tidak ada kewajiban atasnya. Inilah yang tampak dari perbuatan ‘Umar, sehingga kebijakannya berjalan di atas dasar ini, meskipun jumlah yang diambil dari masing-masing kurang dari satu dinar. Sebab, bisa jadi pada waktu lain jumlahnya melebihi satu dinar sesuai dengan tambahan yang diperoleh, dan bisa jadi orang yang sebelumnya tidak memiliki harta kemudian memilikinya sehingga wajib membayar. Maka yang menjadi tolok ukur adalah ketentuan ini, bukan satu dinar. Kekhawatiran akan kekurangan dari satu dinar pada suatu waktu akan tertutupi dengan harapan adanya kelebihan pada waktu yang lain.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي يَجُوزُ أَنْ يُصَالَحُوا عَلَى هَذَا إِذَا عُلِمَ أَنَّ الْمَأْخُوذَ مِنْ ذَوِي الْأَمْوَالِ مِنْهُمْ يَفِي بِدِينَارٍ عَنْ كُلِّ رَأْسٍ مِنْ جَمِيعِهِمْ وَإِنْ لَمْ يَفِ بِالدِّينَارِ عَنْ كُلِّ رَأْسٍ لَمْ يَجُزْ

Pendapat kedua, boleh melakukan perdamaian (ṣulḥ) atas hal ini jika diketahui bahwa harta yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka mencukupi satu dinar untuk setiap kepala dari seluruh mereka. Namun, jika tidak mencukupi satu dinar untuk setiap kepala, maka tidak diperbolehkan.

مِثَالُهُ أَنْ يَكُونُوا أَلْفَ رَجُلٍ فَإِنْ عُلِمَ أَنَّ الْمَأْخُوذَ بِمُضَاعَفَةِ الصَّدَقَةِ أَلْفُ دِينَارٍ فَصَاعِدًا جَازَ وَإِنْ عُلِمَ أَنَّهُ أَقَلُّ مِنْ دِينَارٍ لَمْ يَجُزْ وَلَا يَضُرُّ أَنْ يُؤْخَذَ مِنْ بَعْضِهِمْ أَقَلُّ مِنْ دِينَارٍ إِذَا أُخِذَ مِنْ غَيْرِهِ أَكْثَرُ مِنْهُ ولا شيء على من لا ماله لَهُ مِنْ مُزَكًّى لِأَنَّهُ قَدْ أُخِذَ مِنْ غَيْرِهِ مَا جَبَرَهُ فَصَارَ بَدَلًا مِنْهُ وَحَمَلَ قَائِلُ هَذَا الْوَجْهِ صُلْحَ عُمَرَ عَلَى أَنَّهُ عَلِمَ كَثْرَةَ أَمْوَالِهِمْ وَأَنَّ الْمَأْخُوذَ مِنْ ذَوِي الْأَمْوَالِ يَفِي بِجِزْيَةِ جَمِيعِهِمْ

Contohnya adalah jika mereka berjumlah seribu orang, maka jika diketahui bahwa yang diambil dari penggandaan sedekah itu seribu dinar atau lebih, maka itu diperbolehkan. Namun jika diketahui bahwa yang diambil kurang dari satu dinar, maka tidak diperbolehkan. Tidak mengapa jika diambil dari sebagian mereka kurang dari satu dinar, selama diambil dari yang lain lebih banyak darinya. Tidak ada kewajiban apa pun atas orang yang tidak memiliki harta yang wajib dizakati, karena telah diambil dari selainnya sejumlah yang menutupi kekurangannya, sehingga menjadi pengganti baginya. Pendapat ini menafsirkan perjanjian damai Umar bahwa beliau mengetahui banyaknya harta mereka, dan bahwa yang diambil dari para pemilik harta mencukupi untuk membayar jizyah seluruh mereka.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ بِأَنَّهُ يَجُوزُ حَمْلُهُمْ عَلَيْهِ إِذَا بَلَغَ الْمَأْخُوذُ مِنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ دِينَارًا فَصَاعِدًا فَإِنْ نَقَصَ عَنِ الدِّينَارِ أُخِذَ مِنْهُ تَمَامُ الدِّينَارِ وَلَا يُجْبَرُ بِزِيَادَةِ غَيْرِهِ وَمَنْ لَمْ يَمْلِكْ نِصَابًا مُزَكًّى أُخِذَ مِنْهُ دِينَارُ الْجِزْيَةِ وَلَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ بِأَخْذِهَا مِنْ غَيْرِهِ لِأَنَّ أَهْلَ الذِّمَّةِ لَا يَجُوزُ أَنْ يُقَرُّوا فِي دَارِ الْإِسْلَامِ عَلَى التَّأْبِيدِ بِغَيْرِ جِزْيَةٍ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُنْقَصَ وَاحِدٌ مِنْهُمْ عَنْ دِينَارِ الْجِزْيَةِ وَحَمْلُ صُلْحِ عُمَرَ عَلَى أَنَّهُ عَلِمَ أَنَّ جَمِيعَهُمْ أَغْنِيَاءُ لِمَا شَاهَدَهُ مِنْ كَثْرَةِ أَمْوَالِهِمْ وَأَنَّهُ لَيْسَ فِيهِمْ مَنْ يَعْجِزُ عَنِ الْمَأْخُوذِ مِنْهُ عَنْ دِينَارٍ وَهَذَا الْوَجْهُ هُوَ الْأَقْيَسُ وَالْأَوَّلُ هُوَ الْأَشْبَهُ بِصُلْحِ عُمَرَ

Pendapat ketiga, yang merupakan pendapat yang tampak dari mazhab Syafi‘i, adalah bahwa boleh membebankan mereka (ahludz-dzimmah) jika jumlah yang diambil dari masing-masing mereka mencapai satu dinar atau lebih. Jika kurang dari satu dinar, maka diambil darinya hingga genap satu dinar dan tidak boleh ditambah dari harta orang lain. Siapa yang tidak memiliki nishab yang wajib dizakati, tetap diambil darinya satu dinar jizyah dan tidak gugur kewajibannya dengan diambilkan dari orang lain, karena ahludz-dzimmah tidak boleh dibiarkan tinggal di Darul Islam untuk selamanya tanpa membayar jizyah, dan tidak boleh seorang pun dari mereka dibebankan kurang dari satu dinar jizyah. Adapun perjanjian damai yang dilakukan oleh Umar dapat dipahami bahwa beliau mengetahui seluruh mereka adalah orang kaya karena melihat banyaknya harta mereka, dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang tidak mampu membayar satu dinar. Pendapat ini lebih sesuai dengan qiyās, sedangkan pendapat pertama lebih mirip dengan perjanjian damai Umar.

فَصْلٌ

Bagian

فَإِذَا ثَبَتَ مَا ذَكَرْنَا كَانَتْ مُضَاعَفَةُ الصَّدَقَةِ مَأْخُوذَةً مِنْ أَمْوَالِ الرِّجَالِ دُونَ النِّسَاءِ وَالصِّبْيَانِ

Maka apabila telah tetap apa yang telah kami sebutkan, maka penggandaan sedekah itu diambil dari harta laki-laki, bukan dari perempuan dan anak-anak.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ آخُذُهَا مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ دُونَ الصِّبْيَانِ احْتِجَاجًا بِأَنَّ مَا أُخِذَ بِاسْمِ الصَّدَقَةِ وَكَانَ النِّصَابُ فِيهِ وَالْحَوْلُ فِيهِ مُعْتَبَرَيْنِ اشْتَرَكَ فِيهِ الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ كَالزَّكَاةِ عَلَى الْمُسْلِمِينَ وَخَرَجَ مِنْهُ الصِّبْيَانُ لِأَنَّهُ لَا زَكَاةَ عَلَيْهِمْ

Abu Hanifah berkata, “Aku mengambilnya dari laki-laki dan perempuan, tidak dari anak-anak, dengan alasan bahwa apa yang diambil atas nama sedekah dan di dalamnya disyaratkan nishab dan haul, maka laki-laki dan perempuan sama-sama terkena kewajiban, sebagaimana zakat atas kaum muslimin. Adapun anak-anak dikecualikan darinya karena tidak ada kewajiban zakat atas mereka.”

وَدَلِيلُنَا هُوَ أَنَّ الْمَأْخُوذَ بِالْإِقْرَارِ عَلَى الْكُفْرِ جِزْيَةٌ فَوَجَبَ أَنْ يَخْتَصَّ بِالرِّجَالِ دُونَ النِّسَاءِ كَالدِّينَارِ وَلِأَنَّ النِّسَاءَ مَحْقُونَاتُ الدِّمَاءِ فَلَمْ تُضَاعَفْ صَدَقَةُ الْجِزْيَةِ كَالصِّبْيَانِ وَالْمَجَانِينِ

Dalil kami adalah bahwa yang diambil berdasarkan pengakuan atas kekufuran adalah jizyah, maka wajib dikhususkan bagi laki-laki saja, tidak untuk perempuan, sebagaimana dinar. Karena perempuan darahnya dilindungi, maka tidak dilipatgandakan kewajiban jizyah atas mereka, sebagaimana anak-anak dan orang gila.

فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قِيَاسِهِمْ عَلَى الزَّكَاةِ فَمِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun jawaban terhadap qiyās mereka dengan zakat adalah dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا إِنَّهَا جِزْيَةٌ فَكَانَ اعْتِبَارُهَا بِالْجِزْيَةِ أَوْلَى مِنَ اعْتِبَارِهَا بِالزَّكَاةِ وَالْوَجْهُ الثَّانِي إِنَّهَا لَمَّا خَرَجَتْ عَنِ الزَّكَاةِ قَدْرًا وَمَصْرِفًا خَرَجَتْ عَنْهَا حُكْمًا وَالْتِزَامًا

Salah satu pendapat adalah bahwa itu merupakan jizyah, sehingga mempertimbangkannya sebagai jizyah lebih utama daripada mempertimbangkannya sebagai zakat. Pendapat kedua, ketika ia telah keluar dari ketentuan dan penyaluran zakat, maka ia juga keluar dari hukum dan kewajiban zakat.

فَصْلٌ

Fasal

وَإِذَا كَانَ النِّصَابُ فِي مُضَاعَفَةِ الصَّدَقَةِ عَلَيْهِمْ مُعْتَبَرًا فَفِي زَمَانِهِ وَجْهَانِ

Apabila nishab dalam penggandaan sedekah atas mereka dianggap sebagai pertimbangan, maka pada masanya terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا إِنَّهُ يُعْتَبَرُ بِوُجُودِ النِّصَابِ فِي الْحَوْلِ كُلِّهِ كَالزَّكَاةِ

Salah satunya adalah bahwa keberadaan nishab diperhitungkan sepanjang tahun, seperti halnya zakat.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي إِنَّهُ يُعْتَبَرُ وُجُودُهُ فِي رَأْسِ الْحَوْلِ لِأَنَّهُ لَمَّا اعْتُبِرَ الْيَسَارُ بِدِينَارِ الْجِزْيَةِ فِي رَأْسِ الْحَوْلِ كَذَلِكَ النِّصَابُ لِأَنَّ الْمَأْخُوذَ مِنْهُ جِزْيَةٌ

Pendapat kedua adalah bahwa keberadaannya dianggap pada awal tahun, karena ketika kemampuan finansial dinilai dengan dinar jizyah pada awal tahun, demikian pula nisab, karena yang diambil darinya adalah jizyah.

فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَانِ الْوَجْهَانِ لَمْ يَخْلُ النِّصَابُ من أربعة أحوال

Jika kedua sisi ini telah dijelaskan, maka nishab tidak lepas dari empat keadaan.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ مَوْجُودًا فِي الْحَوْلِ كُلِّهِ فيؤخذ منه

Salah satunya adalah bahwa ia harus ada sepanjang tahun, sehingga dapat diambil darinya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ مَعْدُومًا فِي الْحَوْلِ كُلِّهِ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ

Adapun kemungkinan kedua adalah jika (harta tersebut) tidak ada sepanjang tahun, maka tidak ada kewajiban apa pun atasnya.

وَالثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ مَوْجُودًا فِي آخِرِهِ مَعْدُومًا فِي أَوَّلِهِ فَعَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ لَا شَيْءَ فِيهِ اعْتِبَارًا بِالزَّكَاةِ وَعَلَى الْوَجْهِ الثَّانِي يَجِبُ فِيهِ ضِعْفُ الصَّدَقَةِ اعْتِبَارًا بِالْجِزْيَةِ

Dan yang ketiga adalah sesuatu yang ada pada akhir tahun tetapi tidak ada pada awalnya. Maka menurut pendapat pertama, tidak ada kewajiban apa pun padanya, sebagaimana pertimbangan dalam zakat. Sedangkan menurut pendapat kedua, wajib atasnya dua kali lipat sedekah, sebagaimana pertimbangan dalam jizyah.

وَالرَّابِعُ أَنْ يَكُونَ مَوْجُودًا فِي اول الحول معدوما في آخره فينتظر فِيهِ فَإِنْ عُدِمَ بِالتَّلَفِ فَلَا شَيْءَ فِيهِ وإن عدم بنقله إلى مال غيره مُزَكًّى أُخِذَ مِنْهُ لِأَنَّهُمْ مُتَّهَمُونَ لَا يَتَدَيَّنُونَ بِأَدَائِهَا فَأُخِذَتْ مِنْهُمْ وَالْمُسْلِمُونَ لَا يُتَّهَمُونَ لِأَنَّهُمْ يَتَدَيَّنُونَ بِأَدَائِهَا فَلَمْ تُؤْخَذْ مِنْهُمْ

Keempat, jika harta itu ada pada awal haul namun tidak ada pada akhir haul, maka ditunggu keadaannya. Jika hilangnya karena musnah, maka tidak ada kewajiban apa pun atasnya. Namun jika hilangnya karena dipindahkan kepada harta milik orang lain yang wajib dizakati, maka zakat diambil darinya, karena mereka (non-Muslim) dicurigai dan tidak menjalankan kewajiban zakat, sehingga zakat diambil dari mereka. Adapun kaum Muslimin tidak dicurigai karena mereka menjalankan kewajiban zakat, maka zakat tidak diambil dari mereka.

فَصْلٌ

Fasal

وَإِذَا بَذَلَ قَوْمٌ مِنْ أَهْلِ الْحَرْبِ لِلْإِمَامِ فِي وَقْتِنَا أَنْ يَعْقِدَ مَعَهُمُ الذِّمَّةَ عَلَى مُضَاعَفَةِ الصدقة كالذي فعله عمر جاز اقتداء به واتباعا وَلَوْ سَأَلُوهُ أَنْ يَعْقِدَهَا عَلَى صَدَقَةٍ وَاحِدَةٍ مِنْ غَيْرِ مُضَاعَفَةٍ جَازَ إِذَا لَمْ تَنْقُصْ عَنْ دِينَارِ الْجِزْيَةِ فَإِنْ نَقَصَتْ عَنْهُ لَمْ يجز أن بعقدها مَعَهُمْ وَجْهًا وَاحِدًا لِأَنَّ مَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الْأَوْجُهِ الثَّلَاثَةِ إِنَّمَا هِيَ فِي عَقْدٍ أَمْضَاهُ إِمَامٌ مُجْتَهِدٌ فَإِذَا عَقَدَ عَقْدًا مُسْتَأْنَفًا فَلَا يَمْضِي بِأَقَلَّ مِنْ دِينَارِ الْجِزْيَةِ فَإِنْ بَلَغَ أَخْذَهَا مِنْ بَعْضِهِمْ دِينَارًا عَلَى كُلِّ رَأْسٍ مِنْهُمْ فَفِي جَوَازِهِ وَجْهَانِ

Jika sekelompok dari kalangan ahl al-harb pada masa kita menawarkan kepada imam untuk mengadakan perjanjian dzimmah dengan mereka dengan syarat membayar sedekah yang dilipatgandakan, seperti yang dilakukan oleh Umar, maka boleh meneladani dan mengikutinya. Dan jika mereka meminta agar perjanjian itu diadakan dengan membayar satu kali sedekah saja tanpa dilipatgandakan, maka itu juga boleh selama tidak kurang dari satu dinar jizyah. Namun, jika kurang dari itu, maka tidak boleh mengadakan perjanjian dengan mereka dalam keadaan apa pun. Karena pendapat yang telah kami sebutkan dari tiga sisi sebelumnya hanyalah berlaku pada perjanjian yang telah disahkan oleh imam mujtahid. Maka jika imam membuat perjanjian baru, tidak boleh menetapkannya dengan jumlah kurang dari satu dinar jizyah. Jika pengambilan dari sebagian mereka mencapai satu dinar untuk setiap kepala, maka dalam kebolehannya terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ لَا يَجُوزُ لِأَنَّ فِيهِمْ مَنْ لَا يُؤَدِّي دِينَارًا

Salah satunya adalah pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, yaitu tidak boleh, karena di antara mereka ada yang tidak membayar satu dinar pun.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ يَجُوزُ لِأَنَّ الْمَطْلُوبَ أَخْذُ دِينَارٍ عَنْ كُلِّ رَأْسٍ وَقَدْ أُخِذَ

Pendapat kedua adalah pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, yaitu boleh, karena yang dimaksud adalah mengambil satu dinar dari setiap kepala, dan hal itu telah diambil.

فَعَلَى هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ لَوْ أَنَّ رَجُلًا مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ عَقَدَ الْجِزْيَةَ عَلَى نَفْسِهِ وَمِائَةِ رَجُلٍ مِنْ قَوْمِهِ عَلَى مِائَةِ دِينَارٍ يُؤَدُّونَهَا مِنْ مَالِهِ نُظِرَ فِي مَوْضُوعِهَا فإن أوجبها عليهم وتحملها عنهم جاز لأن تَبَرَّعَ بِهَا وَهُمْ مَأْخُوذُونَ بِهَا إِنِ امْتَنَعَ مِنْهَا وَإِنْ أَوْجَبَهَا عَلَى نَفْسِهِ لِتَكُونَ عَنْهُ وَعَنْهُمْ فَفِي جَوَازِهِ مَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الْوَجْهَيْنِ

Maka berdasarkan dua pendapat tersebut, jika seorang dari ahludz-dzimmah mengadakan akad jizyah atas dirinya sendiri dan seratus orang dari kaumnya dengan seratus dinar yang mereka bayarkan dari hartanya, maka dilihat pada maksudnya. Jika ia mewajibkannya atas mereka dan menanggungnya dari mereka, maka itu boleh, karena ia telah bersedekah dengan itu dan mereka tetap terkena kewajiban jizyah jika ia menolak membayarnya. Namun jika ia mewajibkannya atas dirinya sendiri agar jizyah itu berlaku untuk dirinya dan mereka, maka kebolehannya kembali kepada dua pendapat yang telah kami sebutkan sebelumnya.

أحدهما هو قول أبو إِسْحَاقَ لَا يَجُوزُ لِأَنَّهُمْ يُقِيمُونَ بِغَيْرِ جِزْيَةٍ تلزمهم

Salah satunya adalah pendapat Abu Ishaq, yaitu tidak diperbolehkan karena mereka tinggal tanpa kewajiban membayar jizyah yang harus mereka tanggung.

والثاني وهو قول أبو عَلِيٍّ يَجُوزُ لِحُصُولِ الْفَرْضِ الْمَطْلُوبِ مِنْهُمْ

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu ‘Ali, membolehkan hal itu karena telah terpenuhinya kewajiban yang dituntut dari mereka.

فَصْلٌ

Fasal

إِذَا قَالَ مَنْ بَذَلَ ضِعْفَ الصَّدَقَةِ أَنَفَةً مِنَ اسْمِ الْجِزْيَةِ قَدْ أَسْقَطْتُ اسْمَ الصَّدَقَةِ عَنِّي وَرَضِيتُ بِاسْمِ الْجِزْيَةِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي سُقُوطِهَا وَالِاقْتِصَارِ عَلَى دِينَارِ الْجِزْيَةِ عَلَى وَجْهَيْنِ

Jika seseorang yang membayar dua kali lipat sedekah karena enggan disebut dengan nama jizyah berkata, “Aku telah menggugurkan nama sedekah dari diriku dan aku rela dengan nama jizyah,” maka para ulama kami berbeda pendapat mengenai gugurnya (kewajiban membayar lebih dari jizyah) dan cukupnya dengan satu dinar jizyah, terdapat dua pendapat dalam hal ini.

أَحَدُهُمَا تَسْقُطُ مُضَاعَفَةُ الصَّدَقَةِ عَلَيْهِ لِأَنَّهَا فِي مُقَابَلَةِ مَا قَدْ أَسْقَطَ عَنْ نَفْسِهِ

Salah satunya adalah gugurnya kewajiban membayar sedekah secara berlipat ganda atas dirinya, karena sedekah tersebut sebagai pengganti dari apa yang telah ia gugurkan dari dirinya sendiri.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ أَصَحُّ أَنَّهُ لَا تَسْقُطُ عَنْهُ لِأَنَّ حُكْمَ الْجِزْيَةِ مَوْجُودٌ فِي الْحَالَيْنِ فَلَمْ يَكُنْ لِاخْتِلَافِ الْأَسْمَاءِ تَأْثِيرٌ

Pendapat kedua, dan ini yang lebih sahih, adalah bahwa kewajiban jizyah tidak gugur darinya, karena hukum jizyah tetap ada dalam kedua keadaan tersebut, sehingga perbedaan nama tidak berpengaruh.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رحمه الله تعالى ” وَكُلُّ مَا أُخِذَ مِنْ ذِمِّيٍّ عَرَبِيٍّ فَمَسْلَكُهُ الْفَيْءُ وَمَا اتَّجَرَ بِهِ نَصَارَى الْعَرَبِ وَأَهْلُ دينهم “

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Segala sesuatu yang diambil dari dzimmi Arab, maka jalurnya adalah fai’, begitu pula apa yang diperdagangkan oleh Nasrani Arab dan para penganut agama mereka.”

قال الماوردي وهذا صحيح الْمَأْخُوذَ مِنْ ذِمَّةِ الْعَرَبِيِّ بِاسْمِ الصَّدَقَةِ جِزْيَةٌ وَلَيْسَتْ زَكَاةً وَإِنْ كَانَتْ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ فِي إِيجَابِهَا عَلَى النِّسَاءِ زَكَاةً

Al-Mawardi berkata: Ini benar, bahwa yang diambil dari tanggungan orang Arab dengan nama sedekah adalah jizyah dan bukan zakat, meskipun menurut Abu Hanifah dalam mewajibkannya atas perempuan itu disebut zakat.

وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّهَا لَيْسَتْ زَكَاةً قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ الْآيَةَ وَالْكَافِرُ لَا يَتَطَهَّرُ بِمَا يُؤَدِّيهِ مِنْهَا

Dan dalil bahwa itu bukanlah zakat adalah firman Allah Ta‘ala: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…” (QS. at-Taubah: 103), sedangkan orang kafir tidak menjadi suci dengan apa yang ia keluarkan darinya.

وَقَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ هَذِهِ فَرِيضَةُ الصَّدَقَةِ الَّتِي فَرَضَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَلَى الْمُسْلِمِينَ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهَا لَا تَجِبُ عَلَى الْمُشْرِكِينَ

Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Inilah ketentuan zakat yang telah diwajibkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atas kaum Muslimin,” sehingga hal ini menunjukkan bahwa zakat tidak wajib atas orang-orang musyrik.

وَقَالَ عُمَرُ النَّاسُ رَجُلَانِ مُسْلِمٌ فَرَضَ اللَّهُ عَلَيْهِ الصَّدَقَةَ وَكَافِرٌ فَرْضَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجِزْيَةَ

Umar berkata, “Manusia itu ada dua golongan: Muslim yang Allah wajibkan atasnya zakat, dan kafir yang Allah wajibkan atasnya jizyah.”

وَقَالَ عَلِيٌّ لَا زَكَاةَ عَلَى مُشْرِكٍ فَكَانَ هَذَا إِجْمَاعُ الْأَئِمَّةِ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ

Ali berkata, “Tidak ada zakat atas orang musyrik.” Maka hal ini merupakan ijmā‘ para imam, semoga Allah meridai mereka.

وَإِذَا ثَبَتَ هَذَا وَجَبَ أَنْ يَكُونَ مَصْرُوفًا فِي أَهْلِ الْفَيْءِ دُونَ أَهْلِ الصَّدَقَةِ

Jika hal ini telah tetap, maka wajib dialokasikan kepada para penerima fai’ dan bukan kepada para penerima sedekah.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رحمه الله تعالى ” وَإِنْ كَانُوا يَهُودًا تُضَاعَفْ عَلَيْهِمِ فِيهِ الصَدَقَةُ “

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Jika mereka adalah orang-orang Yahudi, maka zakat atas mereka dilipatgandakan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ لِأَنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى فِي جَوَازِ صُلْحِهِمْ عَلَى مُضَاعَفَةِ الصَّدَقَةِ سَوَاءٌ وَإِنْ كَانَ صُلْحُ عُمَرَ مَعْقُودًا عَلَى نَصَارَى الْعَرَبِ فَلَيْسَ يَمْتَنِعُ أَنْ يُعْقَدَ مَعَ الْيَهُودِ ومع نصار الْعَجَمِ لِأَنَّ جَمِيعَهُمْ فِي الْجِزْيَةِ سَوَاءٌ فَإِذَا اتَّجَرُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَجَبَ أَنْ يُؤْخَذَ مِنْهَا بَعْدَ الْحَوْلِ ضِعْفُ الزَّكَاةِ لِأَنَّ أَمْوَالَ التِّجَارَةِ مُزَكَّاةٌ فَلَوْ تَجِرَ بَعْضُ نَصَارَى الْعَرَبِ إِلَى الْحِجَازِ أخذ من الْعُشْرُ فِي دُخُولِ الْحِجَازِ وَضِعْفُ الصَّدَقَةِ بِعَقْدِ الصُّلْحِ وَجُمِعَ عَلَيْهِ بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ وَإِنْ كَانَا حَرْبِيَّيْنِ كَمَا يُجْمَعُ عَلَيْهِ بَيْنَ الدِّينَارِ وَالْعُشْرِ والله أعلم

Al-Mawardi berkata, “Ini benar, karena kaum Yahudi dan Nasrani dalam kebolehan perdamaian dengan mereka atas pelipatgandaan sedekah adalah sama. Meskipun perjanjian damai Umar diadakan dengan Nasrani Arab, tidaklah terlarang untuk diadakan juga dengan Yahudi dan Nasrani non-Arab, karena semuanya sama dalam hal jizyah. Maka jika mereka berdagang dengan harta mereka, wajib diambil darinya setelah satu tahun dua kali lipat zakat, karena harta perdagangan dikenai zakat. Jika sebagian Nasrani Arab berdagang ke wilayah Hijaz, maka diambil darinya sepersepuluh saat memasuki Hijaz dan dua kali lipat sedekah berdasarkan akad perdamaian, dan keduanya digabungkan atasnya. Jika mereka adalah harbi, maka digabungkan pula antara dinar dan sepersepuluh, dan Allah lebih mengetahui.”

بَابُ الْمُهَادَنَةِ عَلَى النَّظَرِ لِلْمُسْلِمِينَ وَنَقْضِ مَا لا يجوز من الصلح

Bab tentang perjanjian damai dengan tujuan kemaslahatan bagi kaum Muslimin dan pembatalan perjanjian damai yang tidak dibenarkan.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رحمه الله تعالى ” إِنْ نَزَلَتْ بِالْمُسْلِمِينَ نَازِلَةٌ بِقُوَّةِ عَدُوٍّ عَلَيْهِمْ وَأَرْجُو أَنْ لَا يُنْزِلَهَا اللَّهُ بِهِمْ هَادَنَهُمُ الْإِمَامُ عَلَى النَّظَرِ لِلْمُسْلِمِينَ إِلَى مُدَّةٍ يَرْجُو إِلَيْهَا الْقُوَّةَ عَلَيْهِمْ لَا تُجَاوِزُ مُدَّةَ أَهْلِ الْحُدَيْبِيَةِ الَّتِي هَادَنَهُمْ عَلَيْهَا عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَهِيَ عَشْرُ سِنِينَ “

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Jika kaum Muslimin ditimpa musibah berupa serangan musuh yang kuat terhadap mereka—dan aku berharap Allah tidak menimpakan hal itu kepada mereka—maka imam boleh melakukan perjanjian damai dengan musuh demi kemaslahatan kaum Muslimin untuk jangka waktu tertentu yang diharapkan dalam waktu itu kaum Muslimin memperoleh kekuatan atas musuh, dan tidak boleh melebihi jangka waktu perjanjian Hudaibiyah yang pernah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan, yaitu sepuluh tahun.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا الْمُهَادَنَةُ فَهِيَ الْمُسَالَمَةُ وَالْمُوَادَعَةُ عَنْ عَهْدٍ يَمْنَعُ مِنَ الْقِتَالِ وَالْمُنَافَرَةِ وَقَدْ كَانَ اللَّهُ تَعَالَى بَعْدَ فَرْضِ الْجِهَادِ مَنَعَ مِنْهَا بِقَوْلِهِ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ وَجَعَلَ غَايَةَ أَمْرِهِمْ فِي قَتْلِهِمْ أَنْ يسلموا فقال فإن تابوا الْآيَةَ ثُمَّ إِنَّهُ تَعَالَى أَمَرَ بِقِتَالِهِمْ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ إِنْ لَمْ يُسْلِمُوا فَقَالَ تَعَالَى قاتلوا الذين إِلَى قَوْلِهِ وَهُمْ صَاغِرُونَ فَكَانَ هَذَا بَعْدَ قُوَّةِ الْإِسْلَامِ لَكِنْ بِهَا تُؤْخَذُ جِزْيَتُهُمْ ثُمَّ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَذِنَ فِي مُهَادَنَتِهِمْ وَمُسَالَمَتِهِمْ عِنْدَ الْحَاجَةِ إِلَيْهَا فَقَالَ تَعَالَى وَإِنْ جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا

Al-Mawardi berkata: Adapun muhadanah, maka itu adalah perdamaian dan perjanjian damai berdasarkan suatu perjanjian yang mencegah terjadinya peperangan dan permusuhan. Setelah diwajibkannya jihad, Allah Ta‘ala melarang hal itu dengan firman-Nya: “Maka bunuhlah orang-orang musyrik,” dan Allah menjadikan tujuan akhir dari urusan mereka dalam pembunuhan itu adalah agar mereka masuk Islam, sebagaimana firman-Nya: “Jika mereka bertobat…” (ayat). Kemudian Allah Ta‘ala memerintahkan untuk memerangi mereka hingga mereka membayar jizyah jika mereka tidak masuk Islam, sebagaimana firman-Nya: “Perangilah orang-orang yang…” sampai firman-Nya: “…sedangkan mereka dalam keadaan tunduk.” Maka ini terjadi setelah Islam menjadi kuat, namun dengan itu jizyah mereka dapat diambil. Kemudian Allah Ta‘ala mengizinkan untuk mengadakan muhadanah dan perdamaian dengan mereka ketika ada kebutuhan terhadapnya, sebagaimana firman-Nya: “Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya.”

وَقَالَ تَعَالَى إلا الذين عاهدتم إِلَى قَوْلِهِ عَهْدَهُمْ إِلَى مُدَّتِهِمْ فَوَادَعَ رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يَهُودَ بَنِي النَّضِيرِ وَبَنِي قُرَيْظَةَ وَبَنِي قَيْنُقَاعَ بِالْمَدِينَةِ لِيَكُفُّوا عَنْ مَعُونَةِ الْمُشْرِكِينَ وَيَكُونُوا عَوْنًا لِلْمُسْلِمِينَ فَكَانَ ذَلِكَ مِنْ أَوَّلِ عُهُودِهِ حَتَّى نَقَضُوا الْعَهْدَ فَكَانَ أَوَّلُ مَنْ نَقَضَ عَهْدَهُ مِنْهُمْ بَنُو قَيْنُقَاعَ فِي مَعُونَةِ قُرَيْشٍ يَوْمَ بَدْرٍ فَسَارَ إِلَيْهِمْ وَأَظْفَرَهُ اللَّهُ بِهِمْ وَأَرَادَ قتلهم فسأله أبي بن سَلُولَ فِيهِمْ وَكَانُوا ثَلَاثَمِائَةِ دَارِعٍ وَأَرْبَعَمِائَةِ حَاسِرٍ فَنَفَاهُمْ إِلَى أَذْرِعَاتَ مِنَ الشَّامِ

Allah Ta‘ala berfirman: “Kecuali orang-orang yang kamu telah mengadakan perjanjian dengan mereka…” hingga firman-Nya: “…perjanjian mereka sampai batas waktunya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadakan perjanjian damai dengan Yahudi Bani Nadhir, Bani Quraizhah, dan Bani Qainuqa‘ di Madinah, agar mereka tidak membantu kaum musyrik dan menjadi penolong bagi kaum Muslimin. Itu adalah di antara perjanjian pertama beliau dengan mereka, hingga mereka melanggar perjanjian tersebut. Yang pertama kali melanggar perjanjian di antara mereka adalah Bani Qainuqa‘ dalam membantu Quraisy pada hari Perang Badar. Maka Rasulullah pergi kepada mereka, lalu Allah memberikan kemenangan kepada beliau atas mereka, dan beliau bermaksud membunuh mereka. Namun, ‘Abdullah bin Ubay bin Salul memohon kepada beliau mengenai mereka, padahal mereka berjumlah tiga ratus orang bersenjata dan empat ratus orang tanpa pelindung. Maka beliau mengusir mereka ke Adzra‘at di Syam.

ثُمَّ نَقَضَ بَنُو النَّضِيرِ عُهُودَهُمْ بَعْدَ أُحُدٍ لِأَنَّهُمْ هَمُّوا أَنْ يَفْتِكُوا بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَسَارَ إِلَيْهِمْ وَأَظْفَرَهُ اللَّهُ بِهِمْ فَأَجْلَاهُمْ إِلَى أَرْضِ خَيْبَرَ

Kemudian Bani Nadhir melanggar perjanjian mereka setelah Perang Uhud karena mereka berencana untuk membunuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau pun mendatangi mereka, lalu Allah memberikan kemenangan kepada beliau atas mereka, sehingga beliau mengusir mereka ke wilayah Khaibar.

ثُمَّ نَقَضَ بَنُو قُرَيْظَةَ عُهُودَهُمْ بِمَعُونَةِ أَبِي سُفْيَانَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَامَ الْخَنْدَقِ فَسَارَ إِلَيْهِمْ فَأَظْفَرَهُ اللَّهُ بِهِمْ وَحَكَمَ سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ فَحَكَمَ بِسَبْيِ الذَّرَارِيِّ وَقَتْلِ مَنْ جَرَتْ عَلَيْهِ الْمَوَاسِي فَقَتَلَهُمْ وَكَانُوا سَبْعَمِائَةِ رَجُلٍ

Kemudian Bani Quraizhah mengingkari perjanjian mereka dengan bantuan Abu Sufyan terhadap Rasulullah ﷺ pada tahun Khandaq. Maka beliau berangkat menuju mereka, lalu Allah memberikan kemenangan kepada beliau atas mereka. Sa‘d bin Mu‘adz ditunjuk sebagai hakim, dan ia memutuskan agar wanita dan anak-anak dijadikan tawanan, serta membunuh siapa saja yang telah tumbuh rambut kemaluannya. Maka mereka pun dibunuh, dan jumlah mereka sekitar tujuh ratus orang laki-laki.

ثُمَّ هَادَنَ قُرَيْشًا عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ عَشْرَ سِنِينَ وَفِيهِ نَزَلَ قَوْله تَعَالَى إِلا الذين عاهدتم عند المسجد الحرام بما اسْتَقَامُوا لَكُمْ فَاسْتَقِيمُوا لَهُمْ حَتَّى نَقَضَتْ قُرَيْشٌ الْعَهْدَ بِمَعُونَةِ أَحْلَافِهِمْ مِنْ بَنِي بَكْرٍ عَلَى قِتَالِ أَحْلَافِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مِنْ خُزَاعَةَ فَسَارَ إِلَيْهِمْ سَنَةَ ثَمَانٍ حَتَّى فَتَحَ مَكَّةَ وَكَانَ صُلْحُ الْحُدَيْبِيَةِ سَنَةَ سِتٍّ وَعُمْرَةُ الْقَضِيَّةِ سَنَةَ سَبْعٍ وَكَانَ هَذَا الصُّلْحُ عَظِيمَ الْبَرَكَةِ أَسْلَمَ بَعْدَهُ أَكْثَرُ مِمَّنْ أَسْلَمَ قَبْلَهُ

Kemudian Nabi mengadakan perjanjian damai dengan Quraisy pada tahun Hudaibiyah selama sepuluh tahun, dan pada saat itu turun firman Allah Ta‘ala: “Kecuali orang-orang yang kamu telah mengadakan perjanjian dengan mereka di dekat Masjidil Haram, selama mereka berlaku lurus terhadapmu, maka berlaku luruslah terhadap mereka,” hingga Quraisy melanggar perjanjian tersebut dengan bantuan sekutu-sekutu mereka dari Bani Bakr untuk memerangi sekutu-sekutu Rasulullah ﷺ dari Khuza‘ah. Maka beliau berangkat menuju mereka pada tahun kedelapan hingga berhasil menaklukkan Makkah. Perjanjian Hudaibiyah terjadi pada tahun keenam, sedangkan ‘Umrah Qadha pada tahun ketujuh. Perjanjian ini sangat besar keberkahannya, karena setelahnya lebih banyak orang yang masuk Islam dibandingkan sebelumnya.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا تَقَرَّرَتْ هَذِهِ الْجُمْلَةُ لَمْ يَخْلُ حَالُ الْمُسْلِمِينَ عِنْدَ إِرَادَةِ الْهُدْنَةِ مِنْ ثلاثة أحوال

Jika ketentuan ini telah dipahami, maka keadaan kaum Muslimin ketika hendak melakukan hudnah tidak lepas dari tiga keadaan.

أحدهما أَنْ تَكُونَ بِهِمْ قُوَّةٌ وَلَيْسَ لَهُمْ فِي الْمُوَادَعَةِ مَنْفَعَةٌ فَلَا يَجُوزُ لِلْإِمَامِ أَنْ يُهَادِنَهُمْ وَعَلَيْهِ أَنْ يَسْتَدِيمَ جِهَادَهُمْ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَلا تَهِنُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ آل عمران

Pertama, jika mereka memiliki kekuatan dan tidak ada manfaat bagi mereka dalam melakukan perjanjian damai, maka tidak boleh bagi imam untuk berdamai dengan mereka, dan ia wajib terus melanjutkan jihad terhadap mereka, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Janganlah kamu merasa lemah dan jangan pula bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (Ali Imran).

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ أَنْ يَكُونَ بِهِمْ قُوَّةٌ لَكِنَّ لَهُمْ فِي الْمُوَادَعَةِ مَنْفَعَةً وَذَلِكَ بِأَنْ يَرْجُو بِالْمُوَادَعَةِ إِسْلَامَهُمْ وَإِجَابَتَهُمْ إِلَى بَذْلِ الْجِزْيَةِ أَوْ يَكُفُّوا عَنْ مَعُونَةِ عَدُوٍّ ذِي شَوْكَةٍ أَوْ يُعِينُوهُ عَلَى قِتَالِ غَيْرِهِمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ مِنْ مَنَافِعِ الْمُسْلِمِينَ فَيَجُوزُ أَنْ يُوَادِعَهُمْ مُدَّةَ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَمَا دُونَهَا لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى بَرَاءَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ المشركين فَسِيحُوا فِي الأَرْضِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَأَعْطَى رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ صَفْوَانَ بْنَ أُمَيَّةَ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ فَإِنْ أَرَادَ الْإِمَامُ أَنْ يَبْلُغَ بِمُدَّةِ مُوَادَعَتِهِمْ فِي هَذِهِ الْحَالِ سَنَةً لَمْ يَجُزْ لِأَنَّهَا مُدَّةُ الْجِزْيَةِ الَّتِي لَا يَجُوزُ أَنْ يُقَرَّ فِيهَا مُشْرِكٌ إِلَّا بِهَا فَأَمَّا مَا دُونَ السَّنَةِ وَفَوْقَ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَفِي جَوَازِ مُوَادِعَتِهِمْ قَوْلَانِ

Keadaan kedua adalah ketika kaum Muslimin memiliki kekuatan, namun terdapat manfaat dalam melakukan perjanjian damai dengan mereka. Hal ini bisa terjadi, misalnya, dengan harapan melalui perjanjian damai tersebut mereka akan masuk Islam, atau mereka bersedia membayar jizyah, atau mereka berhenti membantu musuh yang kuat, atau mereka membantu kaum Muslimin memerangi kaum musyrik lainnya, atau manfaat-manfaat lain bagi kaum Muslimin. Maka, diperbolehkan untuk mengadakan perjanjian damai dengan mereka selama empat bulan atau kurang, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “(Inilah) pernyataan pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya kepada orang-orang musyrik yang kamu telah mengadakan perjanjian dengan mereka. Maka berjalanlah kamu (kaum musyrik) di muka bumi selama empat bulan…” Dan Rasulullah ﷺ memberikan jaminan keamanan kepada Shafwan bin Umayyah selama empat bulan. Jika imam ingin memperpanjang masa perjanjian damai tersebut dalam keadaan ini hingga satu tahun, maka tidak diperbolehkan, karena itu adalah masa jizyah, di mana tidak boleh seorang musyrik dibiarkan tetap tinggal kecuali dengan membayar jizyah. Adapun jika masa perjanjian damai itu kurang dari satu tahun namun lebih dari empat bulan, maka terdapat dua pendapat mengenai kebolehannya.

أَحَدُهُمَا نص عليه هاهنا وَفِي الْجِزْيَةِ مِنْ كِتَابِ الْأُمِّ إِنَّهُ لَا يَجُوزُ مُوَادَعَتُهُمْ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى فَسِيحُوا فِي الأَرْضِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ فجعلها حدا لغاية الموادعة

Salah satunya dinyatakan secara tegas di sini dan dalam bab jizyah dari Kitab al-Umm, bahwa tidak boleh mengadakan perjanjian damai dengan mereka lebih dari empat bulan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Maka berjalanlah kalian di bumi selama empat bulan,” sehingga Allah menjadikannya sebagai batas akhir masa perjanjian damai.

والقول الثانية نَصَّ عَلَيْهِ فِي سِيَرِ الْوَاقِدِيِّ يَجُوزُ أَنْ يُوَادِعَهُمْ مَا دُونُ السَّنَةِ وَإِنْ زَادَ عَلَى أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ لِأَنَّهَا دُونَ مُدَّةِ الْجِزْيَةِ كَالْأَرْبَعَةِ مَعَ عُمُومِ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

Pendapat kedua, yang dinyatakan dalam Siyar al-Waqidi, membolehkan untuk mengadakan perjanjian damai dengan mereka kurang dari satu tahun, meskipun melebihi empat bulan, karena itu masih di bawah masa jizyah, seperti empat bulan, sejalan dengan keumuman firman Allah Ta‘ala: “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.”

وَالْحَالُ الثَّالِثَةُ أَنْ لَا يَكُونَ بِالْمُسْلِمِينَ قُوَّةٌ وَهُمْ عَلَى ضَعْفٍ يَعْجِزُونَ مَعَهُ عَنْ قِتَالِ الْمُشْرِكِينَ فَيَجُوزُ أَنْ يُهَادِنَهُمُ الْإِمَامُ إِلَى مُدَّةٍ تَدْعُوهُ الْحَاجَةُ إِلَيْهَا أَكْثَرُهَا عَشْرُ سِنِينَ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ هَادَنَ قُرَيْشًا عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ عَشْرَ سِنِينَ لَا أَغْلَالَ فِيهَا وَلَا أَسْلَالَ وَدَامَتْ هَذِهِ الْمُهَادَنَةُ سَنَتَيْنِ حَتَّى نَقَضُوهَا فَبَطَلَتْ فَإِنِ احْتَاجَ الْإِمَامُ إِلَى مُهَادَنَتِهِمْ أَكْثَرَ مِنْهَا لَمْ يَجُزْ لِأَنَّهَا مَخْصُوصَةٌ عَنْ حَظْرٍ فَوَجَبَ الِاقْتِصَارُ عَلَى مُدَّةِ الِاسْتِئْنَافِ وَالتَّخْصِيصِ وَقِيلَ لِلْإِمَامِ اعْقِدِ الْهُدْنَةَ عَشْرَ سِنِينَ فَإِذَا انْقَضَتْ وَالْحَاجَةُ بَاقِيَةٌ اسْتَأْنَفْتَهَا عَشْرًا ثَانِيَةً فَإِنْ عَقَدَهَا عَلَى أَكْثَرَ مِنْ عَشْرِ سِنِينَ بَطَلَتِ الْهُدْنَةُ فِيمَا زَادَ عَلَى الْعَشْرِ وَفِي بُطْلَانِهَا فِي الْعَشْرِ قَوْلَانِ مِنْ تَفْرِيقِ الصفقة

Keadaan ketiga adalah ketika kaum Muslimin tidak memiliki kekuatan dan mereka dalam keadaan lemah sehingga tidak mampu memerangi kaum musyrik. Maka, boleh bagi imam untuk mengadakan perjanjian damai dengan mereka dalam jangka waktu yang dibutuhkan, paling lama sepuluh tahun. Hal ini karena Rasulullah ﷺ mengadakan perjanjian damai dengan Quraisy pada tahun Hudaibiyah selama sepuluh tahun, tanpa adanya penipuan atau pengkhianatan di dalamnya. Perjanjian damai ini berlangsung selama dua tahun hingga mereka melanggarnya, sehingga perjanjian itu pun batal. Jika imam membutuhkan perjanjian damai lebih dari itu, maka tidak boleh, karena hal itu merupakan pengecualian dari larangan, sehingga harus dibatasi pada masa permulaan dan pengecualian tersebut. Ada juga pendapat yang mengatakan kepada imam: “Buatlah perjanjian damai selama sepuluh tahun, jika telah habis dan kebutuhan masih ada, maka perbaruilah selama sepuluh tahun kedua.” Jika perjanjian damai diadakan lebih dari sepuluh tahun, maka perjanjian itu batal untuk kelebihan dari sepuluh tahun tersebut. Adapun tentang batalnya perjanjian dalam masa sepuluh tahun, terdapat dua pendapat berdasarkan perbedaan akad.

أَحَدُهُمَا تَبْطُلُ إِذَا مُنِعَ تَفْرِيقُهَا

Salah satunya menjadi batal jika dilarang untuk dipisahkan.

وَالثَّانِي تَصِحُّ إِذَا أُجِيزَ تَفْرِيقُهَا وَهُوَ الْمَنْصُوصُ وَهَكَذَا إِنْ دَعَتْهُ الْحَاجَةُ أَنْ يُهَادِنَهُمْ خَمْسَ سِنِينَ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُهَادِنَهُمْ أَكْثَرَ مِنْهَا فَإِنْ فَعَلَ كَانَ مَا زَادَ عَلَى الْخَمْسِ بَاطِلًا وَفِي بُطْلَانِ الْهُدْنَةِ فِي الْخَمْسِ قَوْلَانِ وَلَوْ هَادَنَهُمْ عَشْرَ سِنِينَ لِحَاجَةٍ دَعَتْ إِلَيْهَا ثُمَّ ارْتَفَعَتِ الْحَاجَةُ كَانَتِ الْهُدْنَةُ بَاقِيَةً إِلَى انْقِضَاءِ مُدَّتِهَا بَعْدَ زَوَالِ الْحَاجَةِ إِلَيْهَا وَإِنْ لَمْ يَجُزْ أن يبتدىء بِهَا فِي هَذِهِ الْحَالِ الْتِزَامًا لِمَا اسْتَقَرَّ مِنْ عَقْدِهَا بِقَوْلِهِ تَعَالَى أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

Kedua, perjanjian itu sah jika diperbolehkan untuk dipisah-pisahkan, dan inilah pendapat yang ditegaskan. Demikian pula, jika ada kebutuhan yang mengharuskan untuk mengadakan perjanjian damai dengan mereka selama lima tahun, maka tidak boleh mengadakan perjanjian damai lebih dari itu. Jika dilakukan lebih dari lima tahun, maka kelebihan dari lima tahun itu batal. Terdapat dua pendapat mengenai batal atau tidaknya perjanjian damai dalam lima tahun tersebut. Jika diadakan perjanjian damai selama sepuluh tahun karena ada kebutuhan yang mengharuskannya, lalu kebutuhan itu hilang, maka perjanjian damai tetap berlaku hingga habis masa waktunya, meskipun kebutuhan itu telah tiada. Meskipun tidak boleh memulai perjanjian damai dalam keadaan seperti itu, namun tetap harus mematuhi apa yang telah disepakati dalam akad tersebut, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Penuhilah akad-akad itu.”

مسألة

Masalah

قال الشافعي رحمه الله تعالى ” فَإِنْ أَرَادَ أَنْ يُهَادِنَ إِلَى غَيْرِ مُدَّةٍ عَلَى أَنَّهُ مَتَى بَدَا لَهُ نَقْضُ الْهُدْنَةِ فجائز وإن كان قويا على العدو كم يُهَادِنْهُمْ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ لِقَوْلِهِ تَعَالَى لَمَّا قَوِيَ الْإِسْلَامُ بَرَاءَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إلى الذين عاهدتم من المشركين الْآيَةَ وَجَعَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لِصَفْوَانَ بَعْدَ فَتْحِ مَكَّةَ بِسِنِينَ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ لا أعلمه زاد أحد بَعْدَ قُوَّةِ الْإِسْلَامِ عَلَيْهَا “

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Jika seseorang ingin melakukan perjanjian damai tanpa batas waktu tertentu, dengan syarat bahwa kapan saja ia ingin membatalkan perjanjian damai tersebut maka itu diperbolehkan, dan jika ia kuat menghadapi musuh, maka ia tidak boleh mengadakan perjanjian damai dengan mereka lebih dari empat bulan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta‘ala ketika Islam telah kuat: ‘Ini adalah pernyataan pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya kepada orang-orang musyrik yang kamu telah mengadakan perjanjian dengan mereka’ (ayat), dan Nabi ﷺ memberikan kepada Shafwan setelah penaklukan Makkah selama empat bulan—aku tidak mengetahui ada yang menambahkannya setelah Islam menjadi kuat.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ

Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar.”

يَجُوزُ فِي الْهُدْنَةِ أَنْ تَكُونَ غَيْرَ مُقَدَّرَةِ الْمُدَّةِ إِذَا عُلِّقَتْ بِشَرْطٍ أَوْ عَلَى صِفَةٍ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ حِينَ وَادَعَ يَهُودَ خَيْبَرَ قَالَ ” أُقِرُّكُمْ مَا أَقَرَّكُمُ اللَّهُ ” وَيَكُونُ الْإِمَامُ مُخَيَّرًا فِيهَا إِذَا أراد نقضها وليست من عقود المعاوضات الَّتِي تُمْنَعُ الْجَهَالَةُ فِيهَا وَإِذَا جَازَ إِطْلَاقُهَا بِغَيْرِ مُدَّةٍ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَقُولَ لَهُمْ أُقِرُّكُمْ مَا أَقَرَّكُمُ اللَّهُ وَإِنْ قَالَهُ رَسُولُ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لِأَهْلِ خَيْبَرَ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُوحِي إِلَى رَسُولِهِ مُرَادَهُ دُونَ غَيْرِهِ وَكَذَلِكَ لَوْ قَالَ أُقِرُّكُمْ مَا شِئْتُ فَيَجُوزُ وَيَكُونُ مَوْقُوفًا عَلَى مشيئته فيما يراه صلاحا كم استدامة الْهُدْنَةِ أَوْ نَقْضِهَا فَإِنْ عَقَدَهَا عَلَى مَشِيئَتِهِمْ لَمْ يَجُزْ لِأَنَّهُمْ يَصِيرُونَ مُتَحَكِّمِينَ عَلَى الْإِسْلَامِ وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ الْإِسْلَامُ يَعْلُو وَلَا يُعْلَى ” وَإِنْ عَقَدَهَا الْإِمَامُ عَلَى مَشِيئَةِ غَيْرِهِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ جَازَ إِذَا اجْتَمَعَتْ فِيهِ ثَلَاثَةٌ شُرُوطٍ

Dalam perjanjian gencatan senjata, boleh saja tidak ditentukan batas waktunya jika digantungkan pada suatu syarat atau dalam bentuk tertentu, karena Rasulullah saw. ketika berdamai dengan Yahudi Khaibar bersabda, “Aku biarkan kalian selama Allah membiarkan kalian.” Dalam hal ini, imam diberi pilihan jika ingin membatalkannya, dan perjanjian ini bukan termasuk akad mu‘āwadah yang dilarang adanya ketidakjelasan di dalamnya. Jika boleh dilakukan tanpa batas waktu, maka tidak boleh imam mengatakan kepada mereka, “Aku biarkan kalian selama Allah membiarkan kalian,” meskipun Rasulullah saw. mengatakannya kepada penduduk Khaibar, karena Allah Ta‘ala mewahyukan kehendak-Nya kepada Rasul-Nya, tidak kepada selainnya. Demikian pula, jika imam berkata, “Aku biarkan kalian selama aku menghendaki,” maka itu boleh dan bergantung pada kehendaknya sesuai dengan apa yang dipandang maslahat, seperti melanjutkan atau membatalkan gencatan senjata. Namun, jika perjanjian itu digantungkan pada kehendak mereka, maka tidak boleh, karena mereka akan menjadi pihak yang menentukan terhadap Islam, padahal Rasulullah saw. bersabda, “Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengunggulinya.” Jika imam mengadakan perjanjian atas kehendak selain dirinya dari kalangan kaum Muslimin, maka itu boleh jika terpenuhi tiga syarat.

أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ مِنْ ذَوِي الِاجْتِهَادِ فِي أَحْكَامِ الدِّينِ

Salah satunya adalah bahwa ia termasuk orang-orang yang memiliki kemampuan ijtihad dalam hukum-hukum agama.

وَالثَّانِي أَنْ يَكُونَ مِنْ ذَوِي الرَّأْيِ فِي تَدْبِيرِ الدُّنْيَا

Dan yang kedua adalah bahwa ia termasuk orang-orang yang memiliki pandangan dalam mengatur urusan dunia.

وَالثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ مِنْ ذَوِي الْأَمَانَةِ فِي حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى وَحُقُوقِ عِبَادِهِ

Dan yang ketiga adalah bahwa ia termasuk orang-orang yang amanah dalam hak-hak Allah Ta‘ala dan hak-hak hamba-Nya.

فَإِنْ تَكَامَلَتْ فِيهِ صَحَّ وُقُوفُ الْهُدْنَةِ عَلَى مَشِيئَتِهِ وَإِنْ أَخَلَّ بِشَرْطٍ مِنْهَا لَمْ يَصِحَّ فَإِذَا انعقدت نظر

Jika seluruh syarat tersebut terpenuhi pada dirinya, maka sah menjadikan perjanjian gencatan senjata bergantung pada kehendaknya. Namun jika ada satu syarat yang tidak terpenuhi, maka tidak sah. Setelah perjanjian itu terjalin, maka diperhatikan…

فَإِنْ كَانَ مِنْ وُلَاةِ الْجِهَادِ عَمِلَ عَلَى رَأْيِهِ فِي اسْتِدَامَةِ الْهُدْنَةِ بِالْمُوَادَعَةِ أَوْ نَقْضِهَا بِالْقِتَالِ وَلَمْ يَلْزَمْهُ اسْتِئْذَانُ الْإِمَامِ فِي الْحَالَيْنِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مِنْ وُلَاةِ الْجِهَادِ جَازَ لَهُ اسْتَدَامَتُهَا بِغَيْرِ إِذَنِ الْإِمَامِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ نَقْضُهَا إِلَّا بِإِذْنِ الْإِمَامِ لِأَنَّهُ مُوَافِقٌ فِي الِاسْتِدَامَةِ وَمُخَالِفٌ فِي النَّقْضِ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْلُ حَالُهُ وَحَالُ الْإِمَامِ مِنْ أربعة أحوال

Jika ia termasuk para wali jihad, maka ia boleh bertindak menurut pendapatnya sendiri dalam melanjutkan gencatan senjata dengan perjanjian damai atau membatalkannya dengan peperangan, dan ia tidak wajib meminta izin imam dalam kedua keadaan tersebut. Namun jika ia bukan termasuk para wali jihad, maka ia boleh melanjutkan gencatan senjata tanpa izin imam, tetapi ia tidak boleh membatalkannya kecuali dengan izin imam, karena dalam melanjutkan ia sejalan, sedangkan dalam membatalkan ia bertentangan. Jika demikian, maka keadaannya dan keadaan imam tidak lepas dari empat keadaan.

أحدهما أَنْ يَتَّفِقَا عَلَى اسْتَدَامَتِهَا فَتَلْزَمَ

Pertama, keduanya sepakat untuk melanjutkannya, maka hal itu menjadi wajib.

وَالثَّانِي أَنْ يَتَّفِقَا عَلَى نَقْضِهَا فَتَنْحَلَّ

Kedua, jika kedua belah pihak sepakat untuk membatalkannya, maka akad tersebut menjadi batal.

وَالثَّالِثُ أَنْ يَرَى الْمُحَكَّمُ نَقْضَهَا وَيَرَى الْإِمَامُ اسْتَدَامَتَهَا فَتَغْلِبُ اسْتِدَامَةُ الْإِمَامِ وَيَصِيرُ كَالْمُبْتَدِئِ بِهَا

Ketiga, apabila hakim memandang akad tersebut harus dibatalkan, sedangkan imam memandang harus tetap dilanjutkan, maka pendapat imam yang melanjutkan akad tersebut yang diutamakan, dan akad itu menjadi seperti akad yang baru dimulai olehnya.

وَالرَّابِعُ أَنْ يَرَى الْمُحَكَّمُ اسْتَدَامَتَهَا وَيَرَى الْإِمَامُ نَقْضَهَا فَيُنْظَرُ فَإِنْ كان لعذر يقلب نَقْضُ الْإِمَامِ وَإِنْ كَانَ لِغَيْرِ عُذْرٍ غُلِّبَ اسْتِدَامَةُ الْمُحَكَّمِ كَالْمُدَّةِ الْمُقَدَّرَةِ

Keempat, apabila hakim (muḥakkam) memandang keputusan itu tetap berlaku, sedangkan imam memandang perlu membatalkannya, maka dilihat sebabnya: jika pembatalan imam itu karena ada uzur, maka yang diutamakan adalah pembatalan imam; namun jika tanpa uzur, maka yang diutamakan adalah keberlangsungan keputusan hakim, seperti pada masa yang telah ditentukan.

وَلَوْ أَطْلَقَ الْهُدْنَةَ مِنْ غَيْرِ شَرْطٍ أَوْ عَلَى غَيْرِ صِفَةٍ فَقَالَ قَدْ هَادَنْتُكُمْ لَمْ يَجُزْ لِأَنَّ إِطْلَاقَهَا يَقْتَضِي التَّأْبِيدَ وَهُوَ لَوْ أَبَّدَهَا بَطَلَتْ كَذَلِكَ إِذَا أَطْلَقَهَا وَإِذَا أَرَادَ الْإِمَامُ نَقْضَ الْعَهْدِ لَمْ يَبْدَأْ بِقِتَالِهِمِ إِلَّا بَعْدَ إِنْذَارِهِمْ وَإِعْلَامِهِمْ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِنْ قَوْمٍ خِيَانَةً فَانْبِذْ إِلَيْهِمْ عَلَى سَوَاءٍ إِنَّ اللَّهَ لا يحب الخائنين

Dan jika seseorang mengikrarkan hudnah tanpa syarat atau tanpa ketentuan tertentu, lalu ia berkata, “Aku telah berdamai dengan kalian,” maka itu tidak diperbolehkan, karena pengikraran secara mutlak mengandung makna keabadian, padahal jika ia menetapkannya secara abadi maka batal, demikian pula jika ia mengikrarkannya secara mutlak. Dan apabila imam ingin membatalkan perjanjian, ia tidak boleh memulai memerangi mereka kecuali setelah memberi peringatan dan memberitahu mereka, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Dan jika engkau takut akan adanya pengkhianatan dari suatu kaum, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka secara terbuka. Sungguh, Allah tidak menyukai para pengkhianat.”

مسألة

Masalah

قال الشافعي رحمه الله تعالى ” وَلَا يَجُوزَ أَنْ يُؤَمَّنَ الرَسُولُ وَالْمُسْتَأَمَنُ إِلَّا بَقَدْرِ مَا يَبْلُغَانِ حَاجَتَهُمَا وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُقِيمَ بِهَا سَنَةً بَغَيْرِ جِزْيَةٍ “

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Tidak boleh memberikan jaminan keamanan kepada utusan dan orang yang diberi jaminan keamanan kecuali sebatas untuk memenuhi kebutuhan mereka, dan tidak boleh mereka tinggal di sana selama setahun tanpa membayar jizyah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَدْ مَضَى الْكَلَامُ وَأَنَّ لِلرَّسُولِ أَمَانًا يُبَلِّغُ فِيهِ رِسَالَتَهُ وَأَنَّهُ لَا يُعْشَرُ مَا دَخَلَ مَعَهُ مِنْ مَالٍ وَإِنْ كَانَ الْعُشْرُ مَشْرُوطًا عَلَيْهِمْ لِأَنَّهُ لَمَّا تَمَيَّزَ عَنْهُمْ فِي أَمَانِ الرِّسَالَةِ تَمَيَّزَ عَنْهُمْ فِي تَعْشِيرِ الْمَالِ تَغْلِيبًا لِنَفْعِ الْإِسْلَامِ بِرِسَالَتِهِ فَإِنِ انْقَضَتْ رِسَالَتُهُ فِيمَا دُونَ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ جَازَ أَنْ يَسْتَكْمِلَهَا وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُقِيمَ سَنَةً إِلَّا بِجِزْيَةٍ وَإِنْ لَمْ تُنْقَضْ رِسَالَتُهُ إِلَّا فِي سَنَةٍ جَازَ أَنْ يُقِيمَهَا بِغَيْرِ جِزْيَةٍ لِأَنَّ حُكْمَ الرِّسَالَةِ مَخْصُوصٌ فِي أَحْكَامِ جَمَاعَتِهِمْ وَهَكَذَا الْأَسِيرُ إِذَا حُبِسَ فِي الْأَسْرِ مُدَّةً لِمَصْلَحَةٍ رَآهَا الْإِمَامُ لَمْ تَجِبْ عَلَيْهِ الْجِزْيَةُ لِأَنَّهُ مُقِيمٌ بِغَيْرِ اخْتِيَارٍ فَصَارَ مُسَاوِيًا لِلرَّسُولِ فِي سُقُوطِ الْجِزْيَةِ ومخالفا في العلة

Al-Mawardi berkata: Telah dijelaskan sebelumnya bahwa seorang utusan memiliki jaminan keamanan agar dapat menyampaikan risalahnya, dan bahwa tidak dikenakan ‘usyur (pungutan sepersepuluh) atas harta yang dibawanya bersamanya, meskipun ‘usyur itu disyaratkan atas kaumnya. Sebab, ketika ia dibedakan dari mereka dalam hal jaminan keamanan risalah, maka ia juga dibedakan dari mereka dalam hal pengenaan ‘usyur atas harta, demi mengutamakan kemaslahatan Islam melalui risalahnya. Jika masa tugas risalahnya selesai dalam waktu kurang dari empat bulan, maka boleh baginya untuk menyempurnakannya, dan tidak boleh ia tinggal selama setahun kecuali dengan membayar jizyah. Namun, jika masa tugas risalahnya tidak selesai kecuali dalam waktu setahun, maka boleh baginya tinggal tanpa membayar jizyah, karena hukum risalah itu khusus dalam ketentuan yang berlaku atas kaumnya. Demikian pula tawanan, jika ia ditahan dalam kurun waktu tertentu demi kemaslahatan yang dipandang oleh imam, maka tidak wajib atasnya membayar jizyah, karena ia tinggal bukan atas pilihannya sendiri, sehingga ia setara dengan utusan dalam hal gugurnya kewajiban jizyah, meskipun berbeda dalam sebabnya.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رحمه الله تعالى ” وَلَا يَجُوزَ أَنْ يُهَادِنَهُمْ عَلَى أَنْ يُعْطِيَهُمُ الْمُسْلِمُونَ شَيْئًا بِحَالٍ لِأَنَّ الْقَتْلَ لِلْمُسْلِمِينَ شَهَادَةٌ وَأَنَّ الْإِسْلَامَ أَعَزُّ مِنْ أَنْ يُعْطَى مُشْرِكٌ عَلَى أَنْ يَكُفَّ عَنْ أَهْلِهِ لِأَنَّ أَهْلَهُ قَاتِلِينَ وَمَقْتُولِينَ ظَاهِرُونَ عَلَى الْحَقِّ إِلَّا فِي حال يَخَافُونَ الِاصْطِلَامَ فَيُعْطُونَ مِنْ أَمْوَالِهِمْ أَوْ يَفْتَدِي مَأْسُورًا فَلَا بَأْسَ لِأَنَّ هَذَا مَوْضِعُ ضَرُورَةٍ “

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Tidak boleh melakukan perjanjian damai dengan mereka dengan syarat kaum Muslimin memberikan sesuatu kepada mereka dalam keadaan apa pun, karena terbunuhnya kaum Muslimin adalah syahadah (kesyahidan), dan Islam itu lebih mulia daripada harus memberikan sesuatu kepada orang musyrik agar mereka menahan diri dari kaum Muslimin, sebab kaum Muslimin adalah para pejuang dan yang terbunuh di jalan yang benar, kecuali dalam keadaan mereka khawatir akan binasa seluruhnya, maka boleh memberikan harta mereka atau menebus tawanan, karena ini adalah situasi darurat.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ وَالْأَوْلَى مِنَ الْهُدْنَةِ أَنْ تُعْقَدَ عَلَى مَالٍ يَبْذُلُهُ الْمُشْرِكُونَ لَنَا إِذَا أَجَابُوا إِلَيْهِ فَإِنْ تَعَذَّرَتْ إِجَابَتُهُمْ إِلَيْهِ وَدَعَتِ الْحَاجَةُ إِلَى مُهَادَنَتِهِمْ عَلَى غَيْرِ مَالٍ جَازَ فَأَمَّا عَقْدُهَا عَلَى مَالٍ يَحْمِلُهُ الْمُسْلِمُونَ إِلَيْهِمْ فَلَا يَجُوزُ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدْ أَعَزَّ الْإِسْلَامَ وَأَهْلَهُ وَأَظْهَرَهُ عَلَى الْأَدْيَانِ كُلِّهَا وَجَعَلَ لَهُمُ الْجَنَّةَ قَاتِلِينَ وَمَقْتُولِينَ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ فَلَمْ يَجُزْ مَعَ ثَوَابِ الشَّهَادَةِ وَعِزِّ الْإِسْلَامِ أَنْ يَدْخُلُوا فِي ذُلِّ الْبَذْلِ وَصَغَارِ الدَّفْعِ مَا لَمْ تَدْعُ ضَرُورَةٌ إِلَيْهِ فَإِنْ دَعَتْ إِلَيْهِ الضَّرُورَةُ وَذَلِكَ فِي إِحْدَى حَالَتَيْنِ

Al-Mawardi berkata, “Ini benar, dan yang lebih utama dari perjanjian damai adalah perjanjian itu diadakan atas harta yang diberikan oleh kaum musyrik kepada kita jika mereka menyetujuinya. Namun, jika mereka tidak dapat menyetujuinya dan ada kebutuhan untuk berdamai dengan mereka tanpa harta, maka hal itu diperbolehkan. Adapun mengadakan perjanjian damai atas harta yang harus diberikan oleh kaum Muslimin kepada mereka, maka itu tidak diperbolehkan, karena Allah Ta‘ala telah memuliakan Islam dan pemeluknya, menampakkannya di atas semua agama, dan menjadikan surga bagi mereka, baik yang membunuh maupun yang terbunuh, sebagaimana firman Allah Ta‘ala, ‘Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka; mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh.’ Maka, tidak diperbolehkan, dengan adanya pahala syahadah dan kemuliaan Islam, bagi mereka untuk masuk ke dalam kehinaan memberi dan kerendahan membayar, kecuali jika ada kebutuhan mendesak. Jika kebutuhan mendesak itu terjadi, maka hal itu ada dalam dua keadaan.”

إِمَّا أَنْ يُحَاطَ بِطَائِفَةٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ فِي قِتَالٍ أَوْ وَطْءٍ يَخَافُونَ مَعَهُ الِاصْطِلَامَ فَلَا بَأْسَ أَنْ يَبْذُلُوا فِي الدفع عن اصطلامهم مالا يحقنون به دمائهم قَدْ هَمَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَامَ الْخَنْدَقِ أَنْ يُصَالِحَ الْمُشْرِكِينَ عَلَى الثُّلُثِ مِنْ ثِمَارِ الْمَدِينَةِ وَشَاوَرَ الْأَنْصَارَ فَقَالَ إِنْ كَانَ هَذَا بِأَمْرِ اللَّهِ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَإِنْ كَانَ بِغَيْرِ أَمْرِهِ لَمْ نَقْبَلْهُ

Apabila sekelompok kaum Muslimin terkepung dalam suatu pertempuran atau dalam situasi yang mengancam sehingga mereka khawatir akan dibinasakan, maka tidak mengapa mereka memberikan harta untuk mencegah kebinasaan tersebut demi menjaga darah mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berniat pada tahun Khandaq untuk berdamai dengan kaum musyrikin dengan memberikan sepertiga hasil buah-buahan Madinah, lalu beliau bermusyawarah dengan kaum Anshar. Mereka berkata, “Jika ini merupakan perintah Allah, kami dengar dan taat; namun jika bukan perintah-Nya, kami tidak akan menerimanya.”

وَرَوَى أَبُو سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ إِنَّ الْحَارِثَ بْنَ عَمْرٍو الْغَطَفَانِيَّ رَئِيسَ غَطَفَانَ قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إِنْ جَعَلْتَ لِي شَطْرَ ثِمَارِ الْمَدِينَةِ وَإِلَّا مَلَأْتُهَا عَلَيْكَ خَيْلًا وَرَجُلًا فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” حَتَّى أَسْتَأْذِنَ السُّعُودَ ” يَعْنِي سَعْدَ بْنَ مُعَاذٍ وَسَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ وَأَسْعَدَ بْنَ زُرَارَةَ فَاسْتَأْمَرَهُمْ فَقَالُوا إِنْ كَانَ هَذَا بِأَمْرٍ مِنَ السَّمَاءِ فَنُسَلِّمُ لِأَمْرِ اللَّهِ وَإِنْ كَانَ بِرَأْيِكَ فَرَأْيُنَا تَبَعٌ لِرَأْيِكَ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ بِأَمْرٍ مِنَ السَّمَاءِ وَلَا بِرَأْيِكَ فَوَاللَّهِ مَا كُنَّا نُعْطِيهِمْ فِي الْجَاهِلِيَّةِ ثَمَرَةً إِلَّا بِشِرًى أَوْ قِرًى فَكَيْفَ وَقَدْ أَعَزَّنَا اللَّهُ بِكَ فَقَالَ لَهُ هوذا تَسْمَعُ مَا يَقُولُونَ وَلَمْ يُعْطِهِ شَيْئًا فَهُوَ وَإِنْ لَمْ يُعْطِهِمْ فَقَدْ نَبَّهَ بِالرُّجُوعِ إِلَى الْأَنْصَارِ عَلَى جَوَازِ عَطَائِهِمْ عِنْدَ الضَّرُورَةِ وَلِأَنَّ مَا يَنَالُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ نِكَايَةِ الِاصْطِلَامِ أَعْظَمُ ضَرَرًا مِنْ ذِلَّةِ الْبَذْلِ فَافْتَدَى بِهِ أَعْظَمَ الضَّرَرَيْنِ

Abu Salamah meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa al-Harits bin ‘Amr al-Ghathafani, pemimpin Ghathafan, berkata kepada Nabi ﷺ, “Jika engkau memberikan kepadaku setengah hasil kebun Madinah, atau aku akan memenuhi Madinah dengan pasukan berkuda dan pejalan kaki untuk menyerangmu.” Maka Nabi ﷺ bersabda kepadanya, “Sampai aku meminta izin kepada para pemuka,” yaitu Sa‘d bin Mu‘adz, Sa‘d bin ‘Ubadah, dan As‘ad bin Zurarah. Lalu beliau meminta pendapat mereka, dan mereka berkata, “Jika ini adalah perintah dari langit, maka kami akan menerima perintah Allah. Jika ini adalah pendapatmu, maka pendapat kami mengikuti pendapatmu. Namun jika ini bukan perintah dari langit dan bukan pula pendapatmu, demi Allah, kami tidak pernah memberikan kepada mereka satu buah pun di masa jahiliah kecuali dengan jual beli atau jamuan, lalu bagaimana mungkin sekarang, padahal Allah telah memuliakan kami denganmu?” Maka Nabi ﷺ berkata kepadanya, “Kau dengar sendiri apa yang mereka katakan,” dan beliau tidak memberinya apa pun. Maka meskipun beliau tidak memberikannya, dengan mengembalikan urusan kepada kaum Anshar, beliau telah menunjukkan bolehnya memberikan (hasil kebun) kepada mereka dalam keadaan darurat. Karena bahaya yang menimpa kaum Muslimin akibat serangan yang mematikan lebih besar daripada kehinaan karena memberi, sehingga beliau menebus dengan memilih bahaya yang lebih ringan di antara dua bahaya tersebut.

وَالْحَالُ الثَّانِيَةُ افْتِدَاءُ مَنْ فِي أَيْدِيهِمْ مِنَ الْأَسْرَى إِذَا خِيفَ عَلَى نُفُوسِهِمْ وَكَانُوا يَسْتَذِلُّونَهُمْ بِعَذَابٍ أَوِ امْتِهَانٍ فَيَجُوزُ أَنْ يَبْذُلَ لَهُمُ الْإِمَامُ فِي افْتِكَاكِهِمْ مَالًا لِيَسْتَنْقِذَهُمْ بِهِ من الذل والخطر وافتداهم بِأَسْرَى كَانَ أَوْلَى

Keadaan kedua adalah menebus para tawanan yang berada di tangan musuh apabila dikhawatirkan keselamatan jiwa mereka dan mereka diperlakukan dengan hinaan atau siksaan. Maka dibolehkan bagi imam untuk memberikan harta dalam rangka membebaskan mereka dari kehinaan dan bahaya tersebut, dan menebus mereka dengan tawanan lain adalah lebih utama.

وَرَوَى أَبُو الْمُهَلَّبِ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ الْحُصَيْنِ ” أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَادَى رَجُلًا بِرَجُلَيْنِ “

Abu al-Muhallab meriwayatkan dari Imran bin Husain bahwa Nabi ﷺ menebus satu orang dengan dua orang.

وَمَا بَذَلَهُ الْمُسْلِمُونَ مِنْ مَالٍ فِي اصْطِلَامٍ أَوْ فِدَاءٍ فَهُوَ كَالْمَغْصُوبِ لِأَخْذِهِ مِنْهُمْ جَبْرًا بِغَيْرِ حَقٍّ فَإِنْ ظَفِرَ بِهِ الْمُسْلِمُونَ عَنْوَةً لَمْ يَغْنَمُوهُ وَأُعِيدَ إِلَى مستحقه الذي خرج منه من مال المسلم أَوْ مِنْ بَيْتِ الْمَالِ وَإِنْ وَجَدُوهُ مَعَ مُسْتَأْمَنٍ نُظِرَ فِيهِ فَإِنْ كَانَ سَبَبُ بَذْلِهِ بَاقِيًا لَمْ يُسْتَرْجَعْ مِنْهُ؟ لِمَا فِي اسْتِرْجَاعِهِ مِنْ عَوْدِ الضَّرَرِ وَإِنْ زَالَ سَبَبُ بَذْلِهِ اسْتُرْجِعَ مِنْهُ وَأُعِيدَ إِلَى مُسْتَحِقِّهِ وَلَمْ يُعْتَرَضْ عَلَيْهِ فِي غَيْرِهِ مِنْ أَمْوَالِهِ لِأَمَانِهِ

Apa yang dikeluarkan oleh kaum Muslimin berupa harta dalam bentuk tebusan atau fidyah, maka hukumnya seperti harta yang dirampas, karena diambil dari mereka secara paksa tanpa hak. Jika kaum Muslimin berhasil merebutnya kembali secara paksa, maka harta itu tidak dianggap sebagai ghanimah (harta rampasan perang), melainkan dikembalikan kepada pihak yang berhak, yaitu pemilik asal dari kalangan Muslim atau dari Baitul Mal. Jika harta itu ditemukan bersama seorang musta’man (orang non-Muslim yang mendapat jaminan keamanan), maka perlu diteliti: jika sebab penyerahan harta itu masih ada, maka tidak diambil kembali darinya, karena pengambilan kembali akan menimbulkan mudarat yang sama. Namun jika sebab penyerahan harta itu telah hilang, maka harta tersebut diambil kembali darinya dan dikembalikan kepada yang berhak, dan tidak boleh diambil dari harta lain miliknya karena ia berada dalam jaminan keamanan.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رحمه الله تعالى ” وَإِنْ صَالَحَهُمُ الْإِمَامُ عَلَى مَا لَا يَجُوزُ فالطاعة نفضه كَمَا صَنَعَ النَبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ في النساء وقد أعطى المشركين فيهن ما أعطاهم في الرجال ولم يستثن فجاءته أُمُّ كُلْثُومٍ بِنْتُ عُقْبَةَ بْنِ أَبِي مُعَيْطٍ مسلمة مهاجرة فجاء أخواها يطلبانها فمنعها منهما وأخبر أن الله منع الصلح في النساء وحكم فيهن غير حكمه في الرجال وبهذا قلنا لو أعطى الإمام قوما من المشركين الأمان على أسير في أيديهم من المسلمين أو مال ثم جاؤوه لم يحل له إلا نزعه منهم بلا عوض وإن ذهب ذاهب إلى أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ رد أبا جندل بن سهيل إلى أبيه وعياش بن أبي ربيعة إلى أهله قيل أهلوهم أشفق الناس عليهم وأحرصهم على سلامتهم ولعلهم يقونهم بأنفسهم مما يؤذيهم فضلا عن أن يكونوا متهمين على أن ينالوا بتلف أو عذاب وإنما نقموا منهم دينهم فكانوا يشددون عليهم بترك دينهم كرها وقد وضع الله المأثم في إكراههم أو لا ترى أن النساء إذا أريد بهن الفتنة ضعفن ولم يفهمن فهم الرجال وكان التقية تسعهن وكان فيهن أن يصيبهن أزواجهن وهن حرام عليهن قال وإن جاءتنا امرأة مهادنة أو مسلمة من دار الحرب إلى موضع الإمام فجاء سوى زوجها في طلبها منع منها بلا عوض وإن جاء زوجها ففيها قولان أحدهما يعطى ما أنفق وهو ما دفع إليها من المهر والآخر لا يعطى وقال في آخر الجواب واشبههما أن لا يعطوا عوضا قال المزني هذا أشبه بالحق عندي “

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: “Jika imam melakukan perdamaian dengan mereka atas sesuatu yang tidak boleh, maka ketaatan adalah membatalkannya, sebagaimana yang dilakukan Nabi ﷺ terhadap perempuan-perempuan (yang hijrah), di mana beliau memberikan kepada orang-orang musyrik dalam urusan mereka apa yang beliau berikan kepada laki-laki, tanpa pengecualian. Kemudian datanglah Ummu Kultsum binti ‘Uqbah bin Abi Mu‘ayth sebagai seorang muslimah yang hijrah, lalu kedua saudaranya datang menuntutnya, namun beliau menolak menyerahkannya kepada mereka dan memberitahukan bahwa Allah melarang perdamaian dalam urusan perempuan dan menetapkan hukum bagi mereka yang berbeda dengan hukum bagi laki-laki. Berdasarkan hal ini, kami berpendapat bahwa jika imam memberikan jaminan keamanan kepada suatu kaum musyrik atas tawanan muslim yang ada di tangan mereka atau atas harta, kemudian mereka datang (menyerahkannya), maka tidak halal baginya kecuali mengambilnya dari mereka tanpa imbalan. Jika ada yang berpendapat bahwa Nabi ﷺ mengembalikan Abu Jandal bin Suhail kepada ayahnya dan ‘Ayyasy bin Abi Rabi‘ah kepada keluarganya, maka dikatakan: Keluarga mereka adalah orang yang paling sayang dan paling menjaga keselamatan mereka, dan mungkin mereka akan melindungi mereka dengan diri mereka sendiri dari hal-hal yang membahayakan, apalagi jika mereka tidak dituduh akan menyebabkan kematian atau siksaan. Mereka hanya memusuhi karena agama mereka, sehingga mereka memperberat dengan memaksa mereka meninggalkan agama mereka, dan Allah telah menghapus dosa atas paksaan itu. Tidakkah engkau melihat bahwa perempuan, jika dihadapkan pada fitnah, mereka lemah dan tidak memahami seperti pemahaman laki-laki, sehingga takiyah mencukupi mereka, dan di antara mereka ada yang bisa saja digauli oleh suaminya padahal mereka haram baginya. Ia berkata: Jika ada perempuan dari kalangan mu‘ahadah (yang terikat perjanjian damai) atau muslimah yang datang dari negeri harb ke tempat imam, lalu selain suaminya datang menuntutnya, maka ia dicegah tanpa imbalan. Jika suaminya yang datang, maka ada dua pendapat: salah satunya, ia diberi apa yang telah ia nafkahkan, yaitu mahar yang telah diberikan kepadanya; pendapat lainnya, tidak diberi. Dan dalam jawaban terakhir beliau berkata: Yang lebih mendekati kebenaran adalah tidak diberi imbalan. Al-Muzani berkata: Ini lebih mendekati kebenaran menurutku.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ لَا يَجُوزُ لِلْإِمَامِ أَنْ يَعْقِدَ الْهُدْنَةَ عَلَى شُرُوطٍ مَحْظُورَةٍ قَدْ مَنَعَ الشَّرْعُ مِنْهَا

Al-Mawardi berkata, tidak boleh bagi imam untuk mengadakan perjanjian gencatan senjata dengan syarat-syarat yang terlarang yang telah dilarang oleh syariat.

فَمِنْهَا أَنْ يُهَادِنَهُمْ عَلَى مَالٍ يَحْمِلُهُ إِلَيْهِمْ فَهُوَ مَحْظُورٌ لِمَا قَدَّمْنَاهُ

Di antaranya adalah melakukan perjanjian damai dengan mereka dengan memberikan harta yang diserahkan kepada mereka; maka hal itu terlarang sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya.

وَمِنْهَا أَنْ يُهَادِنَهُمْ عَلَى خَرَاجٍ يَضْرِبُونَهُ عَلَى بِلَادِ الْإِسْلَامِ

Di antaranya adalah melakukan perjanjian damai dengan mereka dengan menetapkan kharaj yang mereka kenakan atas negeri-negeri Islam.

وَمِنْهَا أَنْ يُهَادِنَهُمْ عَلَى رَدِّ مَا غَنِمَ مِنْ سَبْيِ ذَرَارِيهِمْ لِأَنَّهَا أَمْوَالٌ مَغْنُومَةٌ

Di antaranya adalah bahwa ia berdamai dengan mereka dengan syarat mengembalikan apa yang telah diperoleh dari tawanan anak-anak keturunan mereka, karena itu adalah harta rampasan perang.

فَإِنْ قِيلَ فَقَدْ رَدَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ سَبْيَ هَوَازِنَ عَلَيْهِمْ

Jika dikatakan, “Bukankah Rasulullah saw. telah mengembalikan tawanan Hawazin kepada mereka?”

قِيلَ إِنَّمَا رَدَّهُمْ عَلَيْهِمْ بَعْدَ إِسْلَامِهِمْ عَنْ طِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ تَفَضُّلًا عَلَيْهِمْ فَخَالَفَ الْتِزَامَهُ لِلْمُشْرِكِينَ عَنْ عَقْدٍ

Dikatakan bahwa ia mengembalikan mereka kepada kaum musyrik setelah mereka masuk Islam atas kerelaan hatinya sebagai bentuk kemurahan hati kepada mereka, sehingga hal itu berbeda dengan komitmennya kepada kaum musyrik berdasarkan suatu akad.

وَمِنْهَا أَنْ يُهَادِنَهُمْ عَلَى دُخُولِ الْحَرَمِ أَوِ اسْتِيطَانِ الْحِجَازِ فَلَا يَجُوزُ

Di antaranya adalah melakukan perjanjian damai dengan mereka agar mereka dapat memasuki wilayah Haram atau menetap di Hijaz, maka hal itu tidak diperbolehkan.

وَمِنْهَا أَنْ يُهَادِنَهُمْ عَلَى تَرْكِ قِتَالِهِمْ عَلَى الْأَبَدِ لِمَا فِيهِ مِنْ تَعْطِيلِ الْجِهَادِ

Di antaranya adalah melakukan perjanjian damai dengan mereka untuk tidak memerangi mereka selamanya, karena hal itu mengakibatkan terhentinya jihad.

وَمِنْهَا أَنْ يُهَادِنَهُمْ وَلَيْسَ بِهِ حَاجَةٌ إِلَى مُهَادَنَتِهِمْ لِقُوَّتِهِ عَلَيْهِمْ وَعَدَمِ النَّفْعِ بِمُهَادَنَتِهِمْ

Di antaranya adalah melakukan perjanjian damai dengan mereka padahal tidak ada kebutuhan untuk berdamai dengan mereka, karena kekuatannya atas mereka dan tidak adanya manfaat dari perjanjian damai tersebut.

وَمِنْهَا أَنْ يُهَادِنَهُمْ أَكْثَرَ مِنْ عَشْرِ سِنِينَ وَإِنْ كَانَ مُحْتَاجًا إِلَيْهَا

Di antaranya adalah melakukan gencatan senjata dengan mereka lebih dari sepuluh tahun, meskipun ia membutuhkannya.

وَمِنْهَا أَنْ يُهَادِنَهُمْ عَلَى إِظْهَارِ مَنَاكِيرِهِمْ فِي بِلَادِنَا مِنْ صُلْبَانِهِمْ وَخُمُورِهِمْ وَخَنَازِيرِهِمْ

Di antaranya adalah melakukan perjanjian damai dengan mereka dengan membiarkan mereka menampakkan kemungkaran-kemungkaran mereka di negeri kita, seperti salib-salib mereka, minuman keras mereka, dan babi-babi mereka.

وَمِنْهَا أَنْ يُهَادِنَهُمْ عَلَى إِسْقَاطِ الْجِزْيَةِ عَمَّنْ أَقَامَ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ مِنْهُمْ

Di antaranya adalah bahwa ia boleh melakukan perjanjian damai dengan mereka dengan membebaskan pembayaran jizyah bagi siapa saja dari mereka yang tinggal di wilayah Islam.

وَمِنْهَا أَنْ يُهَادِنَهُمْ عَلَى تَعْشِيرِ أَمْوَالِنَا إِذَا دَخَلْنَا إِلَيْهِمْ

Di antaranya adalah bahwa ia membuat perjanjian damai dengan mereka dengan syarat kita membayar sepersepuluh dari harta kita apabila kita memasuki wilayah mereka.

وَمِنْهَا أَنْ يُهَادِنَهُمْ عَلَى أَلَّا نَسْتَنْقِذَ أَسْرَانَا مِنْهُمْ فَهَذِهِ وَمَا شَاكَلَهَا مَحْظُورَةٌ قَدْ مَنَعَ الشَّرْعُ مِنْهَا فَلَا يَجُوزُ اشْتِرَاطُهَا فِي عَقْدِ الْهُدْنَةِ فَإِنْ شُرِطَتْ بَطَلَتْ وَوَجَبَ عَلَى الْإِمَامِ نَقْضُهَا لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ رُدُّوا الْجَهَالَاتِ إِلَى السُّنَنِ وَلَا تَبْطُلُ الْهُدْنَةُ وَإِنْ كَانَتْ شَرْطًا فِيهَا لِأَنَّهَا لَيْسَتْ كَالْبُيُوعِ مِنْ عُقُودِ الْمُعَاوَضَاتِ الَّتِي تَبْطُلُ بِفَسَادِ الشَّرْطِ لِمَا يُؤَدِّي إِلَيْهِ مِنْ جَهَالَةِ الثَّمَنِ وَلَيْسَتْ بِأَوْكَدَ فِي عُقُودِ الْمُنَاكَحَاتِ الَّتِي لَا تَبْطُلُ بِفَسَادِ الْمَهْرِ وَلَا يَلْزَمُ الْإِمَامَ أَنْ يُعْلِمَهُمْ بُطْلَانَ الشُّرُوطِ قَبْلَ مُطَالَبَتِهِمْ بِهَا فَإِنْ طَالَبُوهُ بِالْتِزَامِهَا أَعْلَمَهُمْ حِينَئِذٍ بُطْلَانَهَا فِي شَرْعِنَا وَأَنَّهُ لَا يَجُوزُ لَنَا الْعَمَلُ بِهَا فَإِنْ دَعَوْهُ إِلَى نَقْضِ الْهُدْنَةِ نَقَضَهَا إِلَّا أَنْ يَخَافَ مِنْهُمُ الِاصْطِلَامَ فَيَجُوزُ لِلضَّرُورَةِ أَنْ يَلْتَزِمَهَا مَا كَانَ عَلَى ضَرُورَتِهِ كَمَا قُلْنَا فِي بَذْلِ الْمَالِ

Di antaranya adalah melakukan perjanjian damai dengan mereka dengan syarat kita tidak membebaskan tawanan kita dari mereka. Syarat ini dan yang semisalnya adalah terlarang dan telah dicegah oleh syariat, sehingga tidak boleh mensyaratkannya dalam akad gencatan senjata. Jika syarat tersebut dicantumkan, maka batal dan wajib bagi imam untuk membatalkannya, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Kembalikanlah perkara-perkara yang tidak jelas kepada sunnah.” Namun, perjanjian damai tidak batal meskipun syarat itu ada di dalamnya, karena perjanjian damai tidak seperti akad jual beli yang merupakan akad mu‘āwaḍah yang batal karena rusaknya syarat, karena hal itu menyebabkan ketidakjelasan harga. Perjanjian damai juga tidak sekuat akad pernikahan yang tidak batal karena rusaknya mahar. Imam tidak wajib memberitahukan kepada mereka tentang batalnya syarat-syarat tersebut sebelum mereka menuntut pelaksanaannya. Jika mereka menuntut agar syarat itu dipenuhi, maka saat itu imam memberitahukan kepada mereka bahwa syarat itu batal menurut syariat kita dan tidak boleh kita melaksanakannya. Jika mereka mengajak untuk membatalkan perjanjian damai, maka imam membatalkannya, kecuali jika ia khawatir akan terjadi kehancuran dari pihak mereka, maka dalam keadaan darurat boleh untuk tetap berkomitmen pada syarat tersebut selama masih dalam kondisi darurat, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hal pemberian harta.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا تَقَرَّرَتْ هَذِهِ الْمُقَدِّمَةُ فَصُورَةُ مَسْأَلَتِنَا أَنْ يُهَادِنَهُمْ عَلَى أَنْ يَرُدَّ عَلَيْهِمْ مَنْ جَاءَنَا مُسْلِمًا مِنْهُمْ فَقَدْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ صَالَحَ قُرَيْشًا فِي الْحُدَيْبِيَةِ عَلَى هَذَا فَنَذْكُرُ حُكْمَهَا فِي صُلْحِهِ ثُمَّ نَذْكُرُهُ فِي صُلْحِنَا

Jika premis ini telah ditetapkan, maka gambaran masalah kita adalah bahwa seseorang berdamai dengan mereka dengan syarat mengembalikan kepada mereka siapa saja dari mereka yang datang kepada kita sebagai Muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdamai dengan Quraisy di Hudaibiyah atas dasar ini. Maka, kita akan menyebutkan hukumnya dalam perjanjian damai beliau, kemudian kita akan menyebutkannya dalam perjanjian damai kita.

أَمَّا حُكْمُهَا فِي صُلْحِهِ فَقَدْ كَانَتْ هُدْنَتُهُ بِالْحُدَيْبِيَةِ مَعْقُودَةً عَلَى هَذَا أَنْ يَرُدَّ عَلَيْهِمْ مَنْ جَاءَهُ مُسْلِمًا مِنْهُمْ فَجَاءَهُ أَبُو جَنْدَلِ بْنُ سُهَيْلِ بْنِ عَمْرٍو مُسْلِمًا فَقَالَ لَهُ سُهَيْلٌ هَذَا ابْنِي أَوَّلُ مَنْ أُقَاضِيكَ عَلَيْهِ فرد إليه وقال لأبي جندل قد تم الصلح بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْقَوْمِ فَاصْبِرْ حَتَّى يَجْعَلَ اللَّهُ لَكَ فَرَجًا وَمَخْرَجًا ثُمَّ رَدَّ بَعْدَهُ عَيَّاشَ بْنَ أَبِي رَبِيعَةَ وَأَبَا بَصِيرٍ فَرَدَ هَؤُلَاءِ الثَّلَاثَةَ مِنَ الرِّجَالِ ثُمَّ جَاءَتْ أُمُّ كُلْثُومٍ بِنْتُ عُقْبَةَ بْنِ أَبِي مُعَيْطٍ مُسْلِمَةً فَجَاءَ أَخَوَاهَا فِي طَلَبِهَا عِمَارَةُ وَالْوَلِيدُ ابْنَا عُقْبَةَ وجاءت سعيدة زوجة صيفي بن الراهب مُسْلِمَةً فَجَاءَ فِي طَلَبِهَا وَجَاءَتْ سَبِيعَةُ بِنْتُ الْحَارِثِ الْأَسْلَمِيَّةُ مُسْلِمَةً فَجَاءَ زَوْجُهَا وَاسْمُهُ مُسَافِرٌ مِنْ قَوْمِهَا فِي طَلَبِهَا وَقَالُوا يَا مُحَمَّدُ قَدْ شَرَطْتَ لَنَا رَدَّ النِّسَاءِ وَطِينُ الْكِتَابِ لَمْ يَجِفَّ فَارْدُدْ عَلَيْنَا نِسَاءَنَا فَتَوَقَّفَ رَسُولُ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عن رَدِّهِنَّ تَوَقُّعًا لِأَمْرِ اللَّهِ تَعَالَى فِيهِنَّ حَتَّى نَزَلَ عَلَيْهِ قَوْله تَعَالَى يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ الْآيَةَ وَالَّتِي بَعْدَهَا فَامْتَنَعَ حِينَئِذٍ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ من ردهن ومن رد النساء كلهن وولم يَمْتَنِعْ مِنْ رَدِّ الرِّجَالِ لِوُقُوعِ الْفَرْقِ بَيْنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ مِنْ وَجْهَيْنِ

Adapun hukum mengenai perjanjian damainya, maka perjanjian damai Nabi di Hudaibiyah telah disepakati atas dasar bahwa beliau harus mengembalikan kepada mereka siapa saja dari pihak mereka yang datang kepada beliau dalam keadaan Muslim. Maka datanglah Abu Jandal bin Suhail bin Amr dalam keadaan Muslim, lalu Suhail berkata kepadanya, “Ini adalah anakku, orang pertama yang aku tuntut kepadamu.” Maka beliau mengembalikannya dan berkata kepada Abu Jandal, “Perjanjian damai antara kami dan mereka telah selesai, maka bersabarlah hingga Allah memberimu kelapangan dan jalan keluar.” Setelah itu beliau juga mengembalikan ‘Ayyasy bin Abi Rabi‘ah dan Abu Bashir, sehingga beliau mengembalikan tiga orang laki-laki tersebut. Kemudian datanglah Ummu Kultsum binti ‘Uqbah bin Abi Mu‘ayth dalam keadaan Muslimah, lalu kedua saudaranya, ‘Imarah dan al-Walid bin ‘Uqbah, datang untuk menjemputnya. Datang pula Sa‘idah, istri Shaifi bin ar-Rahib, dalam keadaan Muslimah, lalu suaminya datang untuk menjemputnya. Datang juga Sabi‘ah binti al-Harits al-Aslamiyyah dalam keadaan Muslimah, lalu suaminya yang bernama Musafir dari kaumnya datang untuk menjemputnya. Mereka berkata, “Wahai Muhammad, engkau telah mensyaratkan kepada kami untuk mengembalikan para wanita, dan tinta perjanjian belum kering, maka kembalikanlah para wanita kami kepada kami.” Maka Rasulullah saw. menahan diri untuk tidak mengembalikan mereka, menunggu perintah Allah Ta‘ala mengenai mereka, hingga turun firman Allah Ta‘ala: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila datang kepada kalian para wanita mukmin yang berhijrah, maka ujilah mereka. Allah lebih mengetahui iman mereka. Jika kalian telah mengetahui bahwa mereka benar-benar beriman, maka janganlah kalian kembalikan mereka kepada orang-orang kafir…” dan ayat setelahnya. Maka saat itu Rasulullah saw. menolak untuk mengembalikan mereka dan seluruh wanita, dan tidak menolak untuk mengembalikan laki-laki, karena terdapat perbedaan antara laki-laki dan wanita dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا إِنَّ الرِّجَالَ أَثْبَتُ مِنَ النِّسَاءِ وَأَقْدَرُ عَلَى التَّوْبَةِ إِنْ أُكْرِهُوا عَلَى الْكُفْرِ

Salah satunya adalah bahwa laki-laki lebih teguh daripada perempuan dan lebih mampu untuk bertobat jika dipaksa melakukan kekufuran.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي إِنَّ النِّسَاءَ ذَوَاتَ الْأَزْوَاجِ يَحْرُمْنَ عَلَى أَزْوَاجِهِنَّ مِنَ الْكُفَّارِ ولا يقدرون عَلَى الِامْتِنَاعِ مِنْهُمْ وَالرِّجَالُ بِخِلَافِهِنَّ فَلِهَذَيْنِ وَقَعَ الْفَرْقُ فِي الرَّدِّ بَيْنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ فَرَّدَ الرِّجَالَ وَلَمْ يَرُدَّ النِّسَاءَ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Adapun alasan kedua, sesungguhnya para perempuan yang bersuami menjadi haram atas suami-suami mereka dari kalangan orang kafir dan mereka (para perempuan) tidak mampu menolak (hubungan) dari mereka, sedangkan laki-laki berbeda dengan mereka. Karena dua alasan inilah terdapat perbedaan dalam pengembalian antara laki-laki dan perempuan; maka laki-laki dikembalikan, sedangkan perempuan tidak dikembalikan. Allah lebih mengetahui.

فَصْلٌ

Fasal

وَنَحْنُ نَبْدَأُ بِشَرْحِ مَا تَضَمَّنَتْهُ الْآيَةُ مِنْ تَفْسِيرٍ وَفِقْهٍ

Kita akan memulai dengan penjelasan mengenai apa yang terkandung dalam ayat tersebut, baik dari segi tafsir maupun fiqh.

أَمَّا قَوْله تَعَالَى إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ فَفِيمَا يُمْتَحَنُ بِهِ وَجْهَانِ

Adapun firman Allah Ta‘ala: “Apabila datang kepadamu para perempuan mukmin yang berhijrah, maka ujilah mereka,” maka dalam hal apa mereka diuji terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا بِأَنْ يَشْهَدْنَ بِأَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ

Salah satunya adalah dengan bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي بِمَا فِي السُّورَةِ مِنْ قَوْلِهِ يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَى أَنْ لا يُشْرِكْنَ بِاللَّهِ شَيْئًا الْآيَةَ ثُمَّ قَالَ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ يَعْنِي بِمَا فِي قُلُوبِهِنَّ لِأَنَّ الِامْتِحَانَ يُعْلَمُ بِهِ ظَاهِرُ إِيمَانِهِنَّ وَاللَّهُ يَعْلَمُ ظَاهِرَهُ وَبَاطِنَهُ ثُمَّ قال تعالى فإن علمتموهن مؤمنات يَعْنِي بِالِامْتِحَانِ فَلا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ يَعْنِي تَمْنَعُوهُنَّ مِنَ الرُّجُوعِ إِلَى الْكُفَّارِ مِنْ أَهْلِيهِنَّ وَأَزْوَاجِهِنَّ لا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ يَعْنِي أَنَّ الْمُسْلِمَةَ لَا تَحِلُّ لِكَافِرٍ بِحَالٍ وَلا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ فِيهِ وَجْهَانِ

Pendapat kedua didasarkan pada firman Allah dalam surah ini: “Wahai Nabi, apabila datang kepadamu para perempuan mukmin untuk berbaiat kepadamu agar mereka tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun…” (ayat). Kemudian Allah berfirman: “Allah lebih mengetahui tentang iman mereka,” maksudnya apa yang ada dalam hati mereka, karena ujian hanya dapat mengetahui keimanan mereka secara lahiriah, sedangkan Allah mengetahui yang lahir maupun yang batin. Kemudian Allah berfirman: “Jika kalian telah mengetahui bahwa mereka beriman,” maksudnya melalui ujian, “maka janganlah kalian kembalikan mereka kepada orang-orang kafir,” artinya kalian harus mencegah mereka kembali kepada orang-orang kafir dari keluarga dan suami mereka. Mereka (para perempuan mukmin) tidak halal bagi orang-orang kafir, maksudnya perempuan muslimah tidak halal bagi laki-laki kafir dalam keadaan apa pun, dan mereka (orang-orang kafir) pun tidak halal bagi perempuan muslimah. Dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يَعْنِي أَنَّ الْكُفَّارَ لَا يَحِلُّونَ لِلْمُسْلِمَاتِ بِحَالٍ

Salah satunya adalah bahwa orang-orang kafir sama sekali tidak halal bagi perempuan-perempuan Muslimah dalam keadaan apa pun.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي يَعْنِي أَنَّ الْمُسْلِمَ لَا يَحِلُّ لَهُ نِكَاحُ كَافِرَةٍ وَثَنِيَّةٍ وَلَا مُرْتَدَّةٍ ثم قال تعالى وآتوهم ما أنفقوا يعني مهورهن وفيمن تُدْفَعُ إِلَيْهِ مُهُورُهُنَّ قَوْلَانِ

Adapun pendapat kedua, maksudnya adalah bahwa seorang Muslim tidak halal menikahi perempuan kafir penyembah berhala maupun perempuan murtad. Kemudian Allah Ta‘ala berfirman: “Dan berikanlah kepada mereka apa yang telah kamu nafkahkan,” maksudnya adalah mahar-mahar mereka. Terkait kepada siapa mahar-mahar mereka itu diberikan, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ أَزْوَاجُهُنَّ دُونَ غَيْرِهِمْ مِنْ أَهْلِيهِنَّ فَعَلَى هَذَا يُدْفَعُ ذَلِكَ إِلَيْهِمْ إِنْ كُنَّ قَدْ أخذنه منهم ولم يُدْفَعُ إِنْ لَمْ يَأْخُذْنَهُ

Salah satu pendapat, yaitu pendapat Imam Syafi‘i, adalah bahwa yang dimaksud adalah para suami mereka saja, bukan selain mereka dari keluarga mereka. Maka berdasarkan pendapat ini, harta itu diberikan kepada para suami jika para istri telah mengambilnya dari mereka, dan tidak diberikan jika para istri belum mengambilnya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي إِلَى كُلِّ طَالِبٍ لَهُنَّ مِنْ زَوْجٍ وَأَهْلٍ وَهُوَ شَاذٌّ

Pendapat kedua adalah bahwa nafkah diberikan kepada setiap orang yang menuntutnya dari mereka, baik suami maupun keluarga, dan ini adalah pendapat yang ganjil.

فَعَلَى هَذَا يُدْفَعُ إِلَى مَنْ كَانَ مُسْتَحِقًّا لِطَلَبِهِنَّ مِنْ زَوْجٍ وَأَهْلٍ سَوَاءٌ أَخَذْنَهُ أَوْ لَمْ يَأْخُذْنَهُ وَهَذَا فَاسِدٌ لِأَنَّهُ قَالَ وَآتُوهُمْ مَا أَنْفَقُوا فَلَا يَأْخُذُ مَنْ لَمْ يُنْفِقْ ثُمَّ قَالَ وَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ يَعْنِي الْمُؤْمِنَاتِ اللَّاتِي جِئْنَ مِنْ دَارِ الشِّرْكِ مُسْلِمَاتٍ عَنْ أَزْوَاجٍ مُشْرِكِينَ أَبَاحَ الله تعالى نكاحهن للمسلمين إذا انقضت عددهن أَوْ كُنَّ غَيْرَ مَدْخُولٍ بِهِنَّ

Oleh karena itu, harta tersebut diberikan kepada pihak yang berhak menuntutnya, baik suami maupun keluarga, tanpa membedakan apakah mereka telah mengambilnya atau belum. Namun, pendapat ini tidak benar, karena Allah berfirman, “Berikanlah kepada mereka apa yang telah mereka nafkahkan,” sehingga tidak boleh mengambilnya bagi yang tidak mengeluarkan nafkah. Kemudian Allah berfirman, “Dan tidak ada dosa atas kalian untuk menikahi mereka apabila kalian telah memberikan mahar kepada mereka,” maksudnya adalah para perempuan mukmin yang datang dari negeri syirik dalam keadaan telah masuk Islam, sementara suami mereka masih musyrik. Allah Ta‘ala membolehkan kaum muslimin menikahi mereka jika masa iddah mereka telah selesai atau mereka belum pernah digauli.

وَقَوْلُهُ إِذَا آتيتموهن أجورهن يَعْنِي مُهُورَهُنَّ وَلَيْسَ يُرِيدُ بِالْإِيتَاءِ الدَّفْعَ إِلَّا أَنْ يَتَضَمَّنَهُ الْعَقْدُ فَيَصِيرُ مُسْتَحِقًّا ثُمَّ قَالَ وَلا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ يَعْنِي أَنَّ الْكَافِرَ إِذَا أَسْلَمَ عَنْ زَوْجَةٍ وَثَنِيَّةٍ لَمْ يُقِمْ عَلَى نِكَاحِهَا تَمَسُّكًا بِعِصْمَتِهَا إِلَّا أَنْ يسلم في عدتها وفي العصمة هاهنا وَجْهَانِ

Dan firman-Nya, “Apabila kalian telah memberikan kepada mereka maharnya,” maksudnya adalah maskawin mereka, dan yang dimaksud dengan “memberikan” di sini bukanlah penyerahan secara langsung, melainkan agar hal itu tercantum dalam akad sehingga menjadi hak yang harus dipenuhi. Kemudian Allah berfirman, “Dan janganlah kalian mempertahankan ikatan (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir,” maksudnya adalah apabila seorang kafir masuk Islam sementara istrinya masih musyrik, maka ia tidak boleh tetap mempertahankan pernikahannya kecuali jika istrinya masuk Islam dalam masa iddahnya. Dalam hal ikatan pernikahan di sini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا الْجَمَالُ

Salah satunya adalah keindahan.

وَالثَّانِي الْعَقْدُ ثُمَّ قَالَ تَعَالَى وَاسْأَلُوا مَا أَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنْفَقُوا يَعْنِي أَنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا ارْتَدَّتْ زَوْجَتُهُ فَلَحِقَتْ بِأَهْلِ الْعَهْدِ رَجَعَ الْمُسْلِمُ عَلَيْهَا بِمَهْرِهَا كَمَا يَرْجِعُ أَهْلُ الْعَهْدِ عَلَيْنَا بِمَهْرِ مَنْ أَسْلَمَ مِنْهُمْ ثُمَّ قَالَ وَإِنْ فَاتَكُمْ شَيْءٌ من أزواجكم يَعْنِي مَنِ ارْتَدَّتْ إِلَى الْكُفَّارِ وَهِيَ زَوْجَةُ الْمُسْلِمِ إِذَا ارْتَدَّتْ فَلَحِقَتْ بِأَهْلِ الْعَهْدِ وَفَوَاتُهَا أَنْ تَنْقَضِيَ عِدَّتُهَا فِي الرِّدَّةِ ثُمَّ قَالَ فعاقبتم فآتوا الذين ذهبت أزواجهم مَا أَنْفَقُوا فِيهِ وَجْهَانِ

Kedua adalah akad. Kemudian Allah Ta‘ala berfirman: “Dan tanyakanlah apa yang telah kalian nafkahkan, dan hendaklah mereka juga menanyakan apa yang telah mereka nafkahkan.” Maksudnya, apabila seorang muslim istrinya murtad lalu bergabung dengan ahl al-‘ahd, maka si muslim berhak meminta kembali mahar yang telah diberikan kepadanya, sebagaimana ahl al-‘ahd juga berhak meminta kembali mahar dari perempuan mereka yang masuk Islam. Kemudian Allah berfirman: “Dan jika ada sesuatu dari istri-istri kalian yang hilang dari kalian,” maksudnya adalah perempuan yang murtad kepada orang kafir, yaitu istri seorang muslim yang murtad lalu bergabung dengan ahl al-‘ahd, dan yang dimaksud dengan “hilang” di sini adalah habisnya masa ‘iddahnya dalam keadaan murtad. Kemudian Allah berfirman: “Lalu kalian membalas, maka berikanlah kepada orang-orang yang istri-istrinya pergi apa yang telah mereka nafkahkan.” Dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا فَعَاقَبْتُمُ الْمُرْتَدَّةَ بِالْقَتْلِ فَلِزَوْجِهَا أَنْ يَرْجِعَ بِمَهْرِهَا فِي غَنَائِمِ الْمُسْلِمِينَ وَهَذَا قَوْلٌ شَاذٌّ ذَهَبَ إِلَيْهِ بَعْضُ الْمُتَكَلِّمِينَ

Salah satunya adalah jika kalian menghukum mati perempuan murtad, maka suaminya berhak mengambil kembali maharnya dari harta rampasan kaum Muslimin. Ini adalah pendapat yang ganjil yang diikuti oleh sebagian mutakallim.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي يَعْنِي فَعَاقَبْتُمُ الَّذِينَ لَحِقَتِ الْمُرْتَدَّةُ بِهِمْ مِنَ الْكَفَّارِ وَفِيمَا أُرِيدَ بِمُعَاقَبَتِهِمْ وَجْهَانِ

Adapun pendapat kedua, yaitu kalian menghukum orang-orang kafir yang diikuti oleh wanita murtad itu, dan dalam hal maksud dari penghukuman terhadap mereka terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا إِصَابَةُ الْعَاقِبَةِ مِنْهُمْ بِالْقَتْلِ وَالسَّبْيِ وَالْغَنِيمَةِ فَيُدْفَعُ مِنْ غَنَائِمِهِمْ مَهْرُ مَنِ ارْتَدَّ إِلَيْهِمْ

Salah satunya adalah bahwa mereka memperoleh hasil akhir berupa pembunuhan, penawanan, dan harta rampasan perang, sehingga dari harta rampasan perang mereka dibayarkan mahar bagi siapa saja yang murtad dan kembali kepada mereka.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي إِنَّهُ كَمَا يُوجِبُ عَلَيْهِمْ مَهْرَ مَنِ ارْتَدَّ إِلَيْهِمْ وَوَجَبَ لَهُمْ مَهْرُ مَنْ أَسْلَمَ أَيْضًا جَعَلَ ذَلِكَ قِصَاصًا تَسَاوِيًا وَرَدَّ فِعْلٍ إِنْ زَادَ فَيَكُونُ مَعْنَى ” فعاقبتم ” أَيْ تَقَاصَصْتُمْ وَهُوَ عَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ مِنَ الْعَقِبِ

Adapun penjelasan kedua, sebagaimana diwajibkan atas mereka mahar bagi siapa yang murtad kepada mereka, dan diwajibkan bagi mereka mahar bagi siapa yang masuk Islam juga, maka hal itu dijadikan sebagai qishāsh, yaitu saling menyeimbangkan dan membalas perbuatan jika ada kelebihan. Maka makna “fa‘āqabtum” adalah saling membalas (taqāṣṣum), dan ini sesuai dengan penjelasan pertama dari kata “‘aqib”.

فَصْلٌ

Bagian

وَإِذَا كَانَ اللَّهُ تَعَالَى قَدْ مَنَعَ رَسُولَهُ بِهَذِهِ الْآيَةِ مِنْ رَدِّ النِّسَاءِ إِذَا أَسْلَمْنَ دُونَ الرِّجَالِ وَأَوْجَبَ لِأَزْوَاجِهِنَّ مُهُورَهُنَّ فَقَدِ اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ وَأَصْحَابُنَا مَعَهُمْ هَلِ اشْتَرَطَ فِي عَقْدِ هُدْنَتِهِ رَدَّ مَنْ أَسْلَمَ مِنَ الرجال والنساء أو جعله منصورا عَلَى الرِّجَالِ دُونَ النِّسَاءِ؟ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقَاوِيلَ

Dan ketika Allah Ta‘ala telah melarang Rasul-Nya melalui ayat ini untuk mengembalikan perempuan-perempuan yang masuk Islam tanpa laki-laki, serta mewajibkan kepada suami-suami mereka untuk memberikan mahar mereka, maka para ulama dan para sahabat kami bersama mereka telah berbeda pendapat: apakah dalam perjanjian gencatannya disyaratkan untuk mengembalikan siapa pun yang masuk Islam, baik laki-laki maupun perempuan, ataukah hanya berlaku atas laki-laki tanpa perempuan? Dalam hal ini terdapat tiga pendapat.

أَحَدُهَا إِنَّهُ خَرَجَ فِي شَرْطِهِ أَنْ يَرُدَّ مَنْ أَسْلَمَ مِنَ الرِّجَالِ دُونَ النِّسَاءِ لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَشْتَرِطَ لَهُمْ مَا لَا يَجُوزُ وَلَكِنْ سَأَلُوهُ لَمَّا أَسْلَمَ مِنْ نِسَائِهِمْ مَنْ أَسْلَمَ أَنْ يُجْرِيَهُنَّ فِي الرَّدِّ مُجْرَى الرِّجَالِ لِيَمُنَّ عَلَيْهِنَّ بِرَدِّهِنَّ لِظَنِّهِمْ أَنَّ رَدَّهُنَّ جَائِزٌ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى عَلَى رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ الْمَنْعَ مِنْ رَدِّهِنَّ لِيَكُونَ حُجَّةً لِرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مِنْ الِامْتِنَاعِ وَإِنْ كَانَ مُمْتَنِعًا مِنْهُ وَجَعَلَ رَدَّ الْمَهْرِ عَلَى الْأَزْوَاجِ تَوْكِيدًا لِعَقْدِ الْهُدْنَةِ

Salah satunya adalah bahwa dalam syarat perjanjian itu disebutkan kewajiban mengembalikan laki-laki yang masuk Islam, bukan perempuan, karena tidak boleh mensyaratkan sesuatu yang tidak dibenarkan. Namun, mereka (kaum musyrik) meminta kepada Nabi ketika ada perempuan dari kalangan mereka yang masuk Islam, agar perempuan-perempuan itu diperlakukan sama seperti laki-laki dalam hal pengembalian, supaya mereka dapat mengambil keuntungan dengan mengembalikan perempuan-perempuan itu, karena mereka mengira bahwa pengembalian perempuan juga dibolehkan. Maka Allah Ta‘ala menurunkan larangan kepada Rasul-Nya ﷺ untuk mengembalikan mereka, agar hal itu menjadi hujjah bagi Rasul-Nya ﷺ dalam menolak permintaan tersebut, meskipun beliau memang sudah menolaknya. Allah juga menetapkan kewajiban mengembalikan mahar kepada para suami sebagai penegasan atas akad gencatan senjata.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَطْلَقَ فِي شَرْطِ الْعَقْدِ رَدَّ مَنْ أَسْلَمَ وَلَمْ يُصَرِّحْ بِذِكْرِ النِّسَاءِ فِي رَدٍّ وَلَا مَنْعٍ فَكَانَ ظَاهِرُ الْعُمُومِ مِنَ الشَّرْطِ اشْتِمَالَهُ عَلَيْهِنَّ مَعَ الرِّجَالِ وَإِنْ كَانَ تَخْصِيصُهُ مُحْتَمِلًا فِي دِينِ اللَّهِ تَعَالَى خُرُوجَهُنَّ مِنْ عُمُومِهِ وَكَذَلِكَ كَانَ مُرَادُ رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ

Pendapat kedua menyatakan bahwa Nabi ﷺ memberikan ketentuan secara umum dalam syarat perjanjian mengenai pengembalian orang yang masuk Islam, tanpa menyebutkan secara tegas tentang perempuan, baik dalam hal pengembalian maupun pelarangan. Maka, makna lahiriah dari keumuman syarat tersebut mencakup mereka (perempuan) bersama laki-laki, meskipun kemungkinan adanya pengkhususan dalam agama Allah Ta‘ala, yaitu keluarnya mereka dari keumuman syarat tersebut, dan demikian pula itulah yang dimaksud oleh Rasulullah ﷺ.

وَتَمَسَّكَتْ قُرَيْشٌ بِظَاهِرِ الْعُمُومِ فِي رَدِّ النِّسَاءِ فَأَظْهَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ خروجهن من العموم بما نزل عَلَيْهِ مِنْ الِاسْتِثْنَاءِ

Quraisy berpegang pada makna lahiriah dari keumuman dalam menolak perempuan, maka Rasulullah saw. menjelaskan bahwa perempuan dikecualikan dari keumuman tersebut berdasarkan wahyu yang turun kepadanya berupa pengecualian.

وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ صَرَّحَ بِرَدِّهِنَّ فِي شَرْطِ هُدْنَتِهِ كَمَا صَرَّحَ بِذِكْرِ الرِّجَالِ حَتَّى مَنَعَهُ اللَّهُ تَعَالَى مِنْ رَدِّهِنَّ بِهَذِهِ الْآيَةِ فَعَلَى هَذَا اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فيوجه اشْتِرَاطِهِ لِرَدِّهِنَّ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ

Pendapat ketiga menyatakan bahwa Nabi ﷺ secara tegas menyebutkan pengembalian mereka (para perempuan) dalam syarat perjanjian gencatannya, sebagaimana beliau juga secara tegas menyebutkan tentang laki-laki, hingga Allah Ta‘ala melarang beliau mengembalikan mereka dengan ayat ini. Berdasarkan hal ini, para ulama kami berbeda pendapat mengenai alasan disyaratkannya pengembalian mereka menjadi tiga pendapat.

أَحَدُهَا إِنَّهُ كَانَ ذَلِكَ مِنْهُ عَلَى وَجْهِ السَّهْوِ وَلَوْلَا سَهْوُهُ عَنْهُ لَمَا أَقْدَمَ عَلَيْهِ وَقَدْ يَسْهُو كَغَيْرِهِ مِنْ أُمَّتِهِ لَكِنْ لَا يُقِرُّهُ اللَّهُ تَعَالَى عَلَى خَطَأٍ فَيَكُونُ مُسَاوِيًا لَهُمْ فِي السَّهْوِ مُبَايِنًا لَهُمْ فِي الْإِقْرَارِ فَنَزَلَتِ الْآيَةُ عَلَيْهِ اسْتِدْرَاكًا لِسَهْوِهِ

Salah satunya adalah bahwa hal itu terjadi padanya karena lupa, dan seandainya ia tidak lupa, tentu ia tidak akan melakukannya. Ia bisa saja lupa sebagaimana yang lain dari umatnya, namun Allah Ta‘ala tidak membiarkannya tetap dalam kesalahan. Maka, ia sama dengan mereka dalam hal lupa, tetapi berbeda dengan mereka dalam hal dibiarkan dalam kesalahan. Maka turunlah ayat tersebut kepadanya sebagai koreksi atas kelupaannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي إِنَّهُ فَعَلَهُ مَعَ عِلْمِهِ بِحَظْرِهِ لَكِنْ دَعَتْهُ الضَّرُورَةُ إِلَيْهِ لِمَصْلَحَةِ وَقْتِهِ فِي حَسْمِ الْقِتَالِ لِأَنَّهُ كَانَ فِي أَلْفٍ وَأَرْبَعِمِائَةٍ مِنْ أَصْحَابِهِ وَكَانَ الْمُشْرِكُونَ نَحْوَ أَرْبَعَةِ آلَافٍ وَقَدْ يُفْعَلُ فِي الِاضْطِرَارِ مَا لَا يَجُوزُ أَنْ يُفْعَلَ فِي الِاخْتِيَارِ فَلَمَّا زَالَتْ ضَرُورَتُهُ مَنَعَ مِنْهُ

Adapun alasan kedua adalah bahwa beliau melakukannya dengan mengetahui keharamannya, namun kebutuhan mendesak mendorong beliau untuk melakukannya demi kemaslahatan pada saat itu dalam rangka mengakhiri peperangan, karena beliau bersama seribu empat ratus sahabatnya, sedangkan kaum musyrik berjumlah sekitar empat ribu orang. Dalam kondisi darurat, boleh jadi dilakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukan dalam keadaan biasa. Maka ketika kebutuhan darurat itu telah hilang, beliau melarangnya.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ إِنَّهُ قَدْ كَانَ مُبَاحًا فِي صَدْرِ الْإِسْلَامِ أَنْ تُقَرَّ الْمُسْلِمَةُ عَلَى نِكَاحِ كَافِرٍ وَلِذَلِكَ أَقَرَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ابْنَتَهُ زَيْنَبَ عَلَى نِكَاحِ أَبِي الْعَاصِ بْنِ الرَّبِيعِ وَكَانَ عَلَى كُفْرِهِ إِلَى أَنِ انْتَزَعَهَا مِنْهُ حَتَّى أَسْلَمَ ثُمَّ رَدَّهَا عَلَيْهِ فَلِذَلِكَ شَرَطَ رَدَّ مَنْ أَسْلَمَ مِنْ نِسَائِهِمْ عَلَيْهِمْ ثُمَّ حَرَّمَ اللَّهُ تَعَالَى ذَلِكَ وَنَسَخَهُ فَامْتَنَعَ مِنْهُ وَأَبْطَلَ شَرْطَهُ فِيهِ

Adapun alasan yang ketiga adalah bahwa pada masa awal Islam, dibolehkan seorang perempuan Muslim tetap berada dalam pernikahan dengan seorang kafir. Karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membiarkan putrinya, Zainab, tetap dalam pernikahan dengan Abu Al-‘Ash bin Ar-Rabi‘, padahal ia masih dalam keadaan kafir, hingga akhirnya beliau memisahkan Zainab darinya sampai Abu Al-‘Ash masuk Islam, kemudian beliau mengembalikan Zainab kepadanya. Oleh karena itu, disyaratkan untuk mengembalikan perempuan-perempuan mereka yang masuk Islam kepada suami-suami mereka. Namun kemudian Allah Ta‘ala mengharamkan dan menghapus hukum tersebut, sehingga perbuatan itu menjadi terlarang dan syarat pengembaliannya pun dibatalkan.

فَإِنْ قِيلَ فَمَذْهَبُكُمْ أنه لا يجوز أن ننسخ السُّنَّةَ إِلَّا السُّنَّةُ وَالْقُرْآنَ إِلَّا الْقُرْآنُ فَكَيْفَ نَسَخَ السُّنَّةَ هَا هُنَا بِالْقُرْآنِ

Jika dikatakan, “Menurut mazhab kalian, tidak boleh menasakh sunnah kecuali dengan sunnah, dan Al-Qur’an kecuali dengan Al-Qur’an. Lalu bagaimana sunnah di sini dinasakh oleh Al-Qur’an?”

قِيلَ أَمَّا نَسْخُ الْقُرْآنِ بِالسُّنَّةِ فَلَا يَخْتَلِفُ مَذْهَبُنَا أَنَّهُ لَا يَجُوزُ وَأَمَّا نَسْخُ السُّنَّةِ بِالْقُرْآنِ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ عَلَى وَجْهَيْنِ

Dikatakan: Adapun nasakh Al-Qur’an dengan sunnah, maka mazhab kami tidak berbeda pendapat bahwa hal itu tidak diperbolehkan. Sedangkan nasakh sunnah dengan Al-Qur’an, para ulama kami berbeda pendapat dalam hal ini menjadi dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ مَذْهَبُ ابْنِ سُرَيْجٍ أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ تُنْسَخَ السُّنَّةُ بِالْقُرْآنِ فَعَلَى هَذَا سَقَطَ السُّؤَالُ

Salah satunya, yaitu pendapat Ibn Surayj, bahwa boleh saja sunnah dinasakh oleh Al-Qur’an. Dengan demikian, pertanyaan tersebut gugur.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ الظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ أَصْحَابِهِ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ نَسْخُ السُّنَّةِ بِالْقُرْآنِ كَمَا لَا يَجُوزُ نَسْخُ الْقُرْآنِ بِالسُّنَّةِ فَعَلَى هَذَا عَنْ هَذَا النَّسْخِ جَوَابَانِ

Pendapat kedua, yang merupakan pendapat yang tampak dari mazhab Syafi‘i dan merupakan pendapat mayoritas para pengikutnya, adalah bahwa tidak boleh menasakh (menghapus hukum) sunnah dengan Al-Qur’an, sebagaimana tidak boleh menasakh Al-Qur’an dengan sunnah. Maka, berdasarkan pendapat ini, terhadap nasakh tersebut terdapat dua jawaban.

أَحَدُهُمَا إِنَّهُ قَدْ كَانَ مُسْتَبَاحًا بِعُمُومِ مَا نَزَلَ مِنَ الْقُرْآنِ فِي إِبَاحَةِ النِّكَاحِ ثُمَّ نَسَخَ ذَلِكَ بِتَخْصِيصِ الْعُمُومِ فَكَانَ نَسْخُ الْقُرْآنِ بِقُرْآنٍ

Salah satunya adalah bahwa hal itu dahulu pernah dibolehkan berdasarkan keumuman ayat-ayat Al-Qur’an yang menegaskan kebolehan nikah, kemudian hukum tersebut di-nasakh dengan pengkhususan keumuman itu, sehingga terjadilah nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an.

وَالْجَوَابُ الثَّانِي إِنَّهُ قَدْ كَانَ مُسْتَبَاحًا بِالسُّنَّةِ ثُمَّ نَسَخَتْهُ السُّنَّةُ بِمَا رُوِيَ مِنْ إِبْطَالِ الشَّرْطِ فِي هُدْنَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ

Jawaban kedua adalah bahwa hal itu dahulu pernah dibolehkan oleh sunnah, kemudian sunnah pula yang telah menghapusnya, berdasarkan riwayat tentang pembatalan syarat dalam perjanjian damai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

فَصْلٌ

Fasal

فَأَمَّا حُكْمُ الشَّرْطِ فِي هُدْنَةِ مَنْ بَعْدَهُ مِنْ أَئِمَّةِ الْأَعْصَارِ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُهَادَنُوا عَلَى رَدِّ مَنْ أَسْلَمَ مِنْ نِسَائِهِمْ بِحَالٍ وَلَئِنْ فَعَلَ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ الِاخْتِلَافِ فِي هُدْنَتِهِ فَقَدْ كَانَ قَبْلَ اسْتِقْرَارِ الشَّرْطِ فِي حَظْرِ الرد وقد استقر منه ما لا جوز خِلَافُهُ

Adapun hukum syarat dalam perjanjian damai bagi para imam pada masa setelahnya, maka tidak boleh bagi mereka mengadakan perjanjian damai dengan syarat mengembalikan perempuan-perempuan dari kalangan mereka yang telah masuk Islam dalam keadaan apa pun. Dan sekalipun Rasulullah saw. pernah melakukan hal tersebut—sebagaimana telah kami sebutkan adanya perbedaan pendapat dalam perjanjian damai beliau—maka itu terjadi sebelum ketetapan syarat larangan pengembalian, dan kini telah tetap hukum yang tidak boleh diselisihi.

فَأَمَّا اشْتِرَاطُ رَدِّ مَنْ أَسْلَمَ مِنَ الرِّجَالِ فَمُعْتَبَرٌ بِأَحْوَالِهِمْ عِنْدَ قَوْمِهِمْ وَفِي عَشَائِرِهِمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ فَإِنْ كَانُوا مُسْتَذَلِّينَ فِيهِمْ لَيْسَ لَهُمْ عَشِيرَةٌ تَكُفُّ الْأَذَى عَنْهُمْ وَطَلَبُوهُمْ لِيُعَذِّبُوهُمْ وَيَفْتِنُوهُمْ عَنْ دِينِهِمْ كَمَا كَانَتْ قُرَيْشٌ تُعَذِّبُ بِلَالًا وَعَمَّارًا وَغَيْرَهُمَا مِنَ الْمُسْتَضْعَفِينَ بِمَكَّةَ لَمْ يَجُزْ رَدُّهُمْ عَلَيْهِمْ وَكَانَ الشَّرْطُ فِي رَدِّهِمْ بَاطِلًا كَمَا بَطَلَ فِي رَدِّ النِّسَاءِ حَقْنًا لِدِمَائِهِمْ وَكَفًّا عَنْ تَعْذِيبِهِمْ وَاسْتِذْلَالِهِمْ فَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ مِنَ الْمُسْلِمِ مَالَهُ وَدَمَهُ وَأَنْ لَا يَظُنَّ بِهِ إِلَّا خَيْرًا ” وَلِأَنَّهُ لَمَّا وَجَبَ عَلَى الْإِمَامِ فَكُّ الْأَسِيرِ الْمُسْلِمِ وَجَبَ أَنْ لَا يَكُونَ عَوْنًا عَلَى أَسْرِ مُسْلِمٍ

Adapun persyaratan untuk mengembalikan laki-laki yang masuk Islam, maka hal itu dipertimbangkan berdasarkan keadaan mereka di tengah kaumnya dan di lingkungan kabilah mereka apabila mereka kembali kepada mereka. Jika mereka adalah orang-orang yang lemah di antara kaumnya, tidak memiliki kabilah yang dapat melindungi mereka dari gangguan, dan mereka dicari untuk disiksa serta dipalingkan dari agama mereka—sebagaimana Quraisy dahulu menyiksa Bilal, Ammar, dan selain keduanya dari kalangan orang-orang yang lemah di Makkah—maka tidak boleh mengembalikan mereka kepada kaumnya, dan syarat pengembalian mereka menjadi batal, sebagaimana batal pula syarat pengembalian perempuan, demi menjaga darah mereka, mencegah penyiksaan dan penghinaan terhadap mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan harta, darah, dan agar tidak berprasangka buruk terhadap seorang Muslim kecuali dengan prasangka baik.” Karena ketika wajib bagi imam untuk membebaskan tawanan Muslim, maka wajib pula untuk tidak menjadi penolong dalam penawanan seorang Muslim.

فَأَمَّا مَنْ كَانَ فِي عِزٍّ مِنْ قَوْمِهِ وَمَنَعَةٍ مِنْ عَشِيرَتِهِ قَدْ أَمِنَ أَنْ يُفْتَنَ عَنْ دِينِهِ أَوْ يَسْتَذِلَّهُ مُسْتَطِيلٌ عَلَيْهِ جَازَ رَدُّهُ عَلَيْهِ وَصَحَّتِ الْهُدْنَةُ بِاشْتِرَاطِ رَدِّهِ

Adapun seseorang yang memiliki kedudukan mulia di tengah kaumnya dan perlindungan dari keluarganya, serta merasa aman dari fitnah terhadap agamanya atau dari direndahkan oleh orang yang berkuasa atasnya, maka boleh baginya untuk menolak (permintaan) tersebut, dan perjanjian gencatan senjata pun sah dengan syarat penolakan itu.

قَدْ رَدَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي هُدْنَةِ الْحُدَيْبِيَةِ أَبَا جَنْدَلِ بْنَ سُهَيْلِ بْنِ عَمْرٍو عَلَى أَبِيهِ وَرَدَّ عَيَّاشَ بْنَ أَبِي رَبِيعَةَ عَلَى أَهْلِهِ وَرَدَّ أَبَا بَصِيرٍ عَلَى أَبِيهِ وَلِأَنَّهُمْ كَانُوا ذَوِي عَشِيرَةٍ وَطَلَبَهُمْ أَهْلُوهُمْ إِشْفَاقًا عَلَيْهِمْ وَفَادَى الْعَقِيلِيَّ بَعْدَ إِسْلَامِهِ بِرَجُلَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ كَانَا أَسِيرَيْنِ فِي قَوْمِهِ لِقُوَّةِ عَشِيرَتِهِ فِيهِمْ

Rasulullah ﷺ dalam perjanjian Hudaibiyah telah mengembalikan Abu Jandal bin Suhail bin Amr kepada ayahnya, mengembalikan ‘Ayyasy bin Abi Rabi‘ah kepada keluarganya, dan mengembalikan Abu Bashir kepada ayahnya, karena mereka memiliki kabilah (keluarga besar) dan keluarga mereka meminta mereka kembali karena rasa kasih sayang kepada mereka. Rasulullah juga menebus al-‘Aqili setelah ia masuk Islam dengan menukar dua orang Muslim yang menjadi tawanan di kaumnya, karena kuatnya kabilahnya di tengah mereka.

وَقَدْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَرَادَ مُرَاسَلَةَ قُرَيْشٍ بِالْحُدَيْبِيَةِ فَعَرَضَ عَلَى أَبِي بَكْرٍ أَنْ يَتَوَجَّهَ إِلَيْهِمْ فَقَالَ إِنِّي قَلِيلُ الْعَشِيرَةِ بِمَكَّةَ وَلَا آمَنُهُمْ عَلَى نَفْسِي فَعَرَضَ على عمر فقال مثل ذلك فَقَالَ لِعُثْمَانَ ” أَنْتَ كَثِيرُ الْعَشِيرَةِ بِمَكَّةَ ” فَوَجَّهَهُ إليهم فلما توجه فلقوه الإكرام وَقَالُوا لَهُ طُفْ بِالْبَيْتِ وَتَحَلَّلْ مِنْ إِحْرَامِكَ فَقَالَ لَا أَطُوفُ بِالْبَيْتِ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مَحْصُورٌ عَنِ الطَّوَافِ فَانْقَلَبُوا عَلَيْهِ حَتَّى بَلَّغَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أنه قتل فَبَايَعَ أَصْحَابَهُ مِنْ أَجْلِهِ بَيْعَةَ الرِّضْوَانِ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَدَلَّ هَذَا عَلَى الْفَرْقِ بَيْنَ ذِي الْعَشِيرَةِ الْمَانِعَةِ وَبَيْنَ غَيْرِهِ فِي الرَّدِّ

Rasulullah ﷺ pernah bermaksud mengirim utusan kepada Quraisy di Hudaibiyah. Beliau menawarkan kepada Abu Bakar untuk pergi menemui mereka, namun Abu Bakar berkata, “Aku memiliki sedikit kerabat di Mekah dan aku tidak merasa aman terhadap diriku di sana.” Lalu beliau menawarkan kepada Umar, dan Umar pun berkata seperti itu. Kemudian beliau berkata kepada Utsman, “Engkau memiliki banyak kerabat di Mekah,” maka beliau mengutusnya kepada mereka. Ketika Utsman berangkat, mereka menyambutnya dengan penghormatan dan berkata kepadanya, “Tawaflah di Ka’bah dan lepaskan ihram-mu.” Namun Utsman berkata, “Aku tidak akan tawaf di Ka’bah sementara Rasulullah ﷺ terhalang dari tawaf.” Lalu mereka menahan Utsman hingga tersiar kabar kepada Rasulullah ﷺ bahwa Utsman telah dibunuh. Maka para sahabat pun membaiat Rasulullah ﷺ demi Utsman dengan Bai‘at Ridwan di bawah pohon. Peristiwa ini menunjukkan adanya perbedaan antara orang yang memiliki kerabat yang melindungi dan yang tidak memilikinya dalam hal pengiriman utusan.

وَمِثْلُهُ مَا قُلْنَاهُ فِي وُجُوبِ الْهِجْرَةِ عَلَى مَنْ أَسْلَمَ فِي دَارِ الْحَرْبِ إِنْ كَانَ مُمْتَنِعًا بِعَشِيرَتِهِ إِذَا أَظْهَرَ إِسْلَامَهُ لَمْ تَجِبْ عَلَيْهِ الْهِجْرَةُ وَإِنْ كَانَ مُسْتَضْعَفًا وَجَبَتْ عَلَيْهِ الْهِجْرَةُ فَصَارَ الرَّدُّ مَقْصُورًا عَلَى طَائِفَةٍ وَاحِدَةٍ وَهِيَ الممتنعة بيوتها لقوتها والمنع الرَّدِّ مُشْتَمِلًا عَلَى طَائِفَتَيْنِ

Demikian pula dengan apa yang telah kami katakan tentang kewajiban hijrah bagi orang yang masuk Islam di negeri perang: jika ia memiliki perlindungan dari kabilahnya sehingga ia dapat menampakkan keislamannya, maka hijrah tidak wajib atasnya. Namun jika ia lemah dan tidak memiliki perlindungan, maka hijrah wajib atasnya. Dengan demikian, pengecualian hanya berlaku bagi satu golongan saja, yaitu mereka yang rumahnya kuat dan mampu melindungi diri, sedangkan larangan mencakup dua golongan.

أَحَدُهُمَا جَمِيعُ النِّسَاءِ مِنَ الْمُمْتَنِعَاتِ وَالْمُسْتَضْعَفَاتِ

Salah satunya adalah seluruh perempuan dari kalangan yang terlarang dan yang lemah.

وَالثَّانِي الْمُسْتَضْعَفُونَ مِنَ الرِّجَالِ وَكَذَلِكَ الصِّبْيَانُ إِذَا وَصَفُوا الْإِسْلَامَ عِنْدَ الْمُرَاهَقَةِ مَمْنُوعُونَ مِنَ الرَّدِّ وَإِنْ كَانُوا مُمْتَنِعِينَ لِأَنَّهُمْ قَدْ يُفْتَنُونَ عَنْ دِينِهِمْ نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فَجَعَلَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ هَذَا دَلِيلًا عَلَى صِحَّةِ إِسْلَامِهِ قَبْلَ بُلُوغِهِ وَذَهَبَ جَمِيعُ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ وَهُوَ ظَاهِرُ مَذْهَبِهِ وَمَنْصُوصِهِ فِي سَائِرِ كُتُبِهِ أَنَّ إِسْلَامَهُ لَا يَصِحُّ قَبْلَ بُلُوغِهِ وَإِنَّمَا مَنَعَ مِنْ رَدِّهِ اسْتِظْهَارًا لِدِينِهِ حَتَّى يَتَحَقَّقَ مَا هُوَ عَلَيْهِ بَعْدَ بُلُوغِهِ

Yang kedua adalah orang-orang yang lemah dari kalangan laki-laki, demikian pula anak-anak kecil, jika mereka telah menggambarkan Islam ketika mendekati usia baligh, maka mereka dilarang untuk dikembalikan (kepada kekafiran), meskipun mereka mampu menolak, karena mereka bisa saja tergoda dari agamanya. Hal ini dinyatakan oleh asy-Syafi‘i. Maka Abu ‘Ali bin Abi Hurairah menjadikan hal ini sebagai dalil atas sahnya keislaman anak sebelum baligh. Namun seluruh sahabat asy-Syafi‘i berpendapat, dan ini adalah pendapat yang jelas dalam mazhabnya dan yang dinyatakan dalam seluruh kitabnya, bahwa keislamannya tidak sah sebelum baligh. Larangan untuk mengembalikannya hanyalah sebagai bentuk perlindungan terhadap agamanya, hingga jelas apa yang ia pilih setelah baligh.

فَإِنْ وَصَفَ الْإِسْلَامَ رُدَّ إِنْ كَانَ مُمْتَنِعًا وَلَمْ يُرَدَّ إِنْ كَانَ مُسْتَضْعَفًا وَإِنْ وَصَفَ الْكُفْرَ حُمِلَ عَلَى هُدْنَةِ قَوْمِهِ

Jika ia menyebutkan status Islam, maka jika ia termasuk yang menolak (untuk kembali), statusnya dikembalikan (sebagai tawanan), namun jika ia termasuk yang lemah (tidak mampu menolak), maka tidak dikembalikan. Dan jika ia menyebutkan status kekafiran, maka diperlakukan sesuai dengan perjanjian damai yang berlaku pada kaumnya.

فَلَوْ شَرَطَ فِي الْهُدْنَةِ رَدَّ مَنْ أَسْلَمَ مُطْلَقًا مِنْ غَيْرِ تَفْصِيلٍ بَطَلَتْ لِأَنَّ إِطْلَاقَهُ يَقْتَضِي عُمُومَ الرَّدِّ مِمَّنْ يَجُوزُ أَنْ يُرَدَّ وَمِمَّنْ لا يجز أَنْ يُخَصَّ عُمُومُهُ بِالْعُرْفِ فِيمَنْ يَجُوزُ رَدُّهُ

Maka jika dalam perjanjian gencatan senjata disyaratkan pengembalian siapa saja yang masuk Islam secara mutlak tanpa perincian, maka perjanjian itu batal, karena keumuman syarat tersebut mengharuskan pengembalian secara umum, baik terhadap orang yang boleh dikembalikan maupun yang tidak boleh. Keumuman tersebut tidak dapat dikhususkan dengan kebiasaan hanya kepada orang yang boleh dikembalikan.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَا التَّفْصِيلُ فَالْكَلَامُ فِيهِ يَشْتَمِلُ عَلَى فَصْلَيْنِ

Setelah penjelasan rinci ini ditetapkan, pembahasan mengenai hal ini mencakup dua bagian.

أَحَدُهُمَا فِي النِّسَاءِ

Salah satunya berkaitan dengan perempuan.

وَالثَّانِي فِي الرِّجَالِ

Dan yang kedua berkaitan dengan laki-laki.

فَأَمَّا الْفَصْلُ الْأَوَّلُ فِي النِّسَاءِ فَلَيْسَ لَهُنَّ إِلَّا حَالٌ وَاحِدَةٌ فِي الْمَنْعِ مِنْ رَدِّهِنَّ فَإِذَا مَنَعَ الْإِمَامُ مِنْهُ نُظِرَ فِي الطَّالِبِ لَهُنَّ

Adapun bagian pertama tentang perempuan, maka mereka hanya memiliki satu keadaan saja dalam hal larangan untuk mengembalikan mereka. Jika imam melarangnya, maka dilihat keadaan orang yang memintanya untuk mereka.

فَإِنْ كَانَ غَيْرَ زَوْجٍ مِنِ ابْنٍ أَوْ أَخٍ أَوْ عَمٍّ فَلَا شَيْءَ لَهُ إِذَا امْتَنَعَ لِأَنَّهُ لَا يَمْلِكُ عَنْ بُضْعِهَا بَدَلًا

Jika yang menolak itu bukan suami, melainkan anak, saudara, atau paman, maka ia tidak mendapatkan apa-apa, karena ia tidak memiliki hak atas kemaluan perempuan itu sebagai ganti.

وَإِنْ كَانَ الطَّالِبُ لَهَا زَوْجَهَا قِيلَ لَهُ إِنْ أَسْلَمْتَ فِي عِدَّتِهَا كُنْتَ عَلَى نِكَاحِكَ لَهَا وَإِنْ لَمْ تُسْلِمْ مُنِعْتَ مِنْهَا وَنُظِرَ فِي مَهْرِهَا فَإِنْ لَمْ يَدْفَعْهُ إِلَيْهَا لَمْ يَرْجِعْ به وإن دفعه إليها فعنى رُجُوعِهِ بِهِ قَوْلَانِ بِنَاءً عَلَى الِاخْتِلَافِ الْمُتَقَدِّمِ فِي امْتِنَاعِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مِنْ رَدِّهِنَّ هَلْ كَانَ لِنَسْخٍ بَعْدَ الْإِبَاحَةِ أَوْ كَانَ مَعَ تَقَدُّمِ الْحَظْرِ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَوْجَبَ رَدَّ الْمَهْرِ فِي عَقْدِ هُدْنَتِهِ فَكَانَ مُسْتَحِقًّا فِي مَنْعِهِ وَإِنْ لَمْ يَدْفَعْهُ لم يطالب فَإِنْ قِيلَ إِنَّهُ اشْتَرَطَ رَدَّهُنَّ مَعَ إِبَاحَتِهِ ثُمَّ نَسَخَهُ اللَّهُ تَعَالَى بَعْدَ هُدْنَتِهِ فَلَا مَهْرَ لِزَوْجِ الْمُسْلِمَةِ مِنْ بَعْدِهِ لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ اشْتِرَاطُ رَدِّهَا عَلَيْهِ لِمَا اسْتَقَرَّ مِنْ تَحْرِيمِهِ

Jika yang meminta perempuan itu adalah suaminya, dikatakan kepadanya: “Jika engkau masuk Islam dalam masa iddahnya, maka engkau tetap dalam status pernikahanmu dengannya. Namun jika engkau tidak masuk Islam, maka engkau terhalang darinya, dan akan ditinjau mengenai maharnya. Jika ia belum membayarkan mahar itu kepadanya, maka ia tidak dapat mengambilnya kembali. Namun jika ia telah membayarkannya, maka mengenai kemungkinan ia mengambil kembali mahar itu terdapat dua pendapat, berdasarkan perbedaan pendapat sebelumnya tentang penolakan Rasulullah ﷺ untuk mengembalikan para istri: apakah itu karena adanya nasakh (penghapusan hukum) setelah sebelumnya dibolehkan, ataukah karena memang sejak awal sudah ada larangan, sebab Allah Ta‘ala telah mewajibkan pengembalian mahar dalam perjanjian damai, sehingga menjadi hak untuk menahannya. Jika ia belum membayarkannya, maka ia tidak dituntut untuk membayarnya. Jika dikatakan bahwa syarat pengembalian para istri itu disertai dengan kebolehan, lalu Allah Ta‘ala menghapusnya setelah perjanjian damai, maka tidak ada mahar bagi suami perempuan muslimah setelah itu, karena tidak boleh mensyaratkan pengembaliannya kepadanya setelah ketetapan keharamannya.

وَإِنْ قِيلَ إِنَّ حَظْرَهُ كَانَ مُتَقَدِّمًا وَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لَمْ يَشْتَرِطْ رَدَّهُنَّ أَوْ شَرَطَهُ سَهْوًا أَوْ مُضْطَرًّا وَجَبَ لِزَوْجِ الْمُسْلِمَةِ فِي هُدْنَةِ الْإِمَامِ بَعْدَهُ الرُّجُوعُ بِمَهْرِهَا لِأَنَّ رَدَّهُنَّ فِي الْحَالَيْنِ مَحْظُورٌ وَالشَّرْطَ فِيهِمَا مَمْنُوعٌ فَصَارَ الْقَوْلَانِ فِي رَدِّ الْمَهْرِ مَبْنِيَّيْنِ عَلَى هَذَيْنِ

Dan jika dikatakan bahwa pelarangannya telah lebih dahulu, dan bahwa Rasulullah ﷺ tidak mensyaratkan pengembalian mereka atau mensyaratkannya karena lupa atau terpaksa, maka wajib bagi suami wanita muslimah dalam masa gencatan senjata imam setelahnya untuk mengambil kembali maharnya, karena pengembalian mereka dalam kedua keadaan tersebut terlarang dan persyaratan dalam keduanya tidak diperbolehkan. Maka dua pendapat mengenai pengembalian mahar dibangun di atas dua hal ini.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ الْأَصَحُّ وَاخْتَارَهُ الْمُزَنِيُّ وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَمَالِكٌ لَا مَهْرَ لَهُ وَوَجْهُهُ شَيْئَانِ

Salah satu pendapat, yang merupakan pendapat yang lebih sahih dan dipilih oleh al-Muzani, serta dipegang oleh Abu Hanifah dan Malik, adalah bahwa tidak ada mahar baginya, dan alasan pendapat ini ada dua.

أَحَدُهُمَا إِنَّهُ لَمَّا لَمْ يَرْجِعْ بِهِ غَيْرُ زَوْجِهَا أهلها لَمْ يَرْجِعْ بِهِ زَوْجُهَا كَالنَّفَقَةِ وَالْكِسْوَةِ

Salah satunya adalah bahwa ketika tidak ada selain suaminya atau keluarganya yang mengembalikannya, maka suaminya pun tidak mengembalikannya, seperti nafkah dan pakaian.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَمَّا لَمْ تَرْجِعْ زَوْجَةُ مَنْ أَسْلَمَ بِمَا اسْتَحَقَّتْهُ مِنَ الْمَهْرِ وَجَبَ أَنْ لَا

Adapun alasan kedua, ketika istri dari orang yang masuk Islam tidak kembali dengan mahar yang telah menjadi haknya, maka wajib untuk tidak…

يرجع زوج من أسلمت بما دفعه المهر لتكافؤهما فِي النِّكَاحِ

Suami dari wanita yang masuk Islam berhak mengambil kembali mahar yang telah ia berikan karena keduanya setara dalam pernikahan.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي وَبِهِ قَالَ عَطَاءٌ لَهُ الرُّجُوعُ بِالْمَهْرِ لِأَمْرَيْنِ

Pendapat kedua, yang dipegang oleh ‘Aṭā’, adalah bahwa ia berhak mengambil kembali mahar karena dua alasan.

أَحَدُهُمَا عُمُومُ قَوْله تَعَالَى وَآتُوهُمْ مَا أَنْفَقُوا فَاقْتَضَى أَنْ يَسْتَوِيَ فِيهِ حُكْمُ الْجَمِيعِ

Salah satunya adalah keumuman firman Allah Ta‘ala: “Dan berikanlah kepada mereka apa yang telah mereka nafkahkan,” sehingga hal ini menuntut agar hukum semua pihak menjadi sama di dalamnya.

وَالثَّانِي إِنَّ عَقْدَ الْهُدْنَةِ قَدْ أَوْجَبَ الْأَمَانَ عَلَى الْأَمْوَالِ وَيَضَعُ الزَّوْجَةَ فِي حُكْمِ الْمَالِ لِصِحَّةِ الْمُعَاوَضَةِ عَلَيْهِ نِكَاحًا وَخُلْعًا فَاقْتَضَى أَنْ يَجِبَ فِي الْمَنْعِ مِنْهُ الرُّجُوعُ بِبَدَلِهِ وَهُوَ الْمَهْرُ وَعَلَى هَذَا الْقَوْلِ يَكُونُ التَّفْرِيعُ فَيَكُونُ اسْتِحْقَاقُ مَهْرِهَا مُعْتَبَرًا بِتِسْعَةِ شُرُوطٍ

Kedua, sesungguhnya akad gencatan senjata telah mewajibkan adanya jaminan keamanan atas harta, dan menempatkan istri dalam hukum yang sama dengan harta karena sahnya pertukaran atasnya, baik melalui pernikahan maupun khulu‘. Maka hal ini menuntut bahwa dalam hal pencegahan darinya, wajib untuk mengembalikan penggantinya, yaitu mahar. Berdasarkan pendapat ini, maka cabang-cabang hukum dibangun di atasnya, sehingga hak istri atas maharnya dianggap sah dengan sembilan syarat.

أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ الطَّالِبُ لَهَا زَوْجُهَا فَإِنْ طَلَبَهَا غَيْرُهُ مِنْ أَهْلِهَا لَمْ يَسْتَحِقَّ مَهْرُهَا لِأَنَّهُ لَا يَمْلِكُ مَنَافِعَ بُضْعِهَا فإن ادعى زوجتها فَصَدَّقَتْهُ قُبِلَ قَوْلُهَا وَإِنْ أَنْكَرَتْهُ لَمْ تُقْبَلْ دَعْوَاهُ إِلَّا بِشَاهِدَيْنِ مِنْ عُدُولِ الْمُسْلِمِينَ يَشْهَدَانِ بِنِكَاحِهِ وَلَا يُقْبَلُ مِنْهُ شَاهِدٌ وَامْرَأَتَانِ وَلَا شَاهِدٌ وَيَمِينٌ لِأَنَّهَا بَيِّنَةٌ عَلَى عَقْدِ نِكَاحٍ

Salah satunya adalah bahwa yang meminta mahar itu adalah suaminya; maka jika yang memintanya adalah selain suaminya dari keluarganya, ia tidak berhak atas maharnya karena ia tidak memiliki hak atas manfaat kemaluannya. Jika seseorang mengaku sebagai suaminya lalu wanita itu membenarkannya, maka perkataannya diterima. Namun jika wanita itu mengingkarinya, maka pengakuannya tidak diterima kecuali dengan dua orang saksi laki-laki Muslim yang adil yang bersaksi atas akad nikahnya. Tidak diterima darinya satu saksi laki-laki dan dua perempuan, atau satu saksi dan sumpah, karena hal ini merupakan bukti atas akad nikah.

وَالشَّرْطُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ قَدْ سَاقَ إِلَيْهَا مَهْرَهَا فَإِنْ لَمْ يَسُقْهُ لَمْ يَسْتَحِقُّهُ وَقَوْلُهَا فِي قَبْضِهِ مَقْبُولٌ فَإِنْ أَنْكَرَتْهُ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهَا يَمِينٌ لِأَنَّ رَدَّهُ مُسْتَحَقٌّ عَلَى غَيْرِهَا وَطُولِبَ الزَّوْجُ بِالْبَيِّنَةِ وَيُقْبَلُ مِنْهُ شَاهِدٌ وَامْرَأَتَانِ وَشَاهِدٌ وَيَمِينٌ لِأَنَّهَا بَيِّنَةٌ عَلَى مَالٍ فَإِنْ كَانَ مَا دَفَعَهُ مِنَ الْمَهْرِ حَرَامًا كَالْخَمْرِ وَالْخِنْزِيرِ لَمْ يَسْتَحِقَّ الرُّجُوعَ بِمَهْرِهَا لِأَنَّهُ دَفَعَ مَا لَا يَسْتَحِقُّ فِيهِ مِثْلٌ وَلَا قِيمَةٌ

Syarat kedua adalah bahwa suami telah menyerahkan mahar kepada istri. Jika ia belum menyerahkannya, maka ia tidak berhak mendapatkannya. Pernyataan istri mengenai telah menerima mahar diterima. Jika ia mengingkarinya, ia tidak wajib bersumpah, karena pengembalian mahar adalah kewajiban pihak lain. Suami diminta untuk menghadirkan bukti, dan diterima darinya satu orang saksi laki-laki dan dua orang perempuan, atau satu saksi laki-laki dan sumpah, karena itu adalah bukti dalam perkara harta. Jika mahar yang diberikan berupa sesuatu yang haram seperti khamar (minuman keras) atau babi, maka suami tidak berhak meminta kembali maharnya, karena ia telah memberikan sesuatu yang tidak memiliki padanan dan tidak memiliki nilai.

وَالشَّرْطُ الثَّالِثُ أَنْ تَكُونَ قَدْ هَاجَرَتْ بِإِسْلَامِهَا إِلَى بَلَدِ الْإِمَامِ أَوْ مَنْ يَنُوبُ عَنْهُ وَفِي هَذَا النَّائِبِ عَنْهُ وَجْهَانِ

Syarat ketiga adalah bahwa ia telah berhijrah dengan keislamannya ke negeri imam atau orang yang mewakilinya, dan mengenai orang yang mewakilinya ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا هُوَ النَّائِبُ عَنْهُ فِي عَقْدِ الْهُدْنَةِ لِمُبَاشَرَتِهِ لَهَا

Salah satunya adalah wakilnya dalam akad gencatan senjata karena ia yang secara langsung melakukannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي النَّائِبُ عَنْهُ فِي بَيْتِ الْمَالِ لِأَنَّ الْمَهْرَ يُسْتَحَقُّ فِيهِ فَإِنْ هَاجَرَتْ إِلَى غَيْرِ بَلَدِهِ لَمْ يُسْتَحَقَّ مَهْرُهَا لِعَدَمِ مَنْ يَنْفُذُ تَصَرُّفُهُ فِي بَيْتِ الْمَالِ

Adapun pendapat kedua, yaitu wakil darinya di Baitul Mal, karena mahar menjadi hak di dalamnya. Maka jika perempuan itu hijrah ke selain negerinya, mahar tersebut tidak menjadi haknya karena tidak ada orang yang sah tindakannya di Baitul Mal.

وَالشَّرْطُ الرَّابِعُ أَنْ يَسْتَقِرَّ إِسْلَامُهَا بِالْبُلُوغِ وَالْعَقْلِ فَإِنْ كَانَتْ صَغِيرَةً أَوْ مَجْنُونَةً وُقِفَ أَمْرُهَا على البلوغ والإقامة وَمُنِعَ مِنْهَا لِئَلَّا تُفْتَنَ عَنْ دِينِهَا إِذَا بَلَغَتْ أَوْ أَفَاقَتْ فَإِنْ صَبَرَ الزَّوْجُ مُنْتَظِرًا يُمْنَعُ مِنَ الْمَهْرِ فَإِنْ بَلَغَتِ الصَّغِيرَةُ وَأَفَاقَتْ عَلَى الْإِسْلَامِ دُفِعَ إِلَيْهَا مَهْرُهَا وَإِنْ وَصَفَتِ الْكُفْرَ لَمْ يُدْفَعْ إِلَيْهَا مَهْرُهَا وَيُمَكَّنْ مِنْهَا

Syarat keempat adalah Islamnya seorang perempuan harus tetap setelah ia baligh dan berakal. Jika ia masih kecil atau gila, maka statusnya ditangguhkan sampai ia baligh dan sadar, dan ia dicegah (dari suaminya) agar tidak tergoda keluar dari agamanya ketika ia telah baligh atau sembuh. Jika suami bersabar menunggu, maka ia tidak berhak atas mahar. Jika anak kecil itu telah baligh dan tetap dalam Islam, maka maharnya diberikan kepadanya. Namun jika ia memilih kekufuran, maka maharnya tidak diberikan kepadanya dan suami tidak boleh berhubungan dengannya.

وَإِنِ امْتَنَعَ مِنَ الصَّبْرِ وَالِانْتِظَارِ وَقَالَ إِمَّا التَّمْكِينُ مِنْهَا أَوْ دَفْعُ مَهْرِهَا فَفِيهِ وَجْهَانِ

Jika ia menolak untuk bersabar dan menunggu, lalu berkata, “Antara membiarkan aku menemuinya atau membayar maharnya,” maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يُجْبَرُ عَلَى الصَّبْرِ انْتِظَارًا لَهَا وَلَا يُمَكَّنُ مِنْهَا لِجَوَازِ إِسْلَامِهَا وَلَا يُدْفَعُ إِلَيْهِ مَهْرُهَا لِجَوَازِ كُفْرِهَا

Salah satunya dipaksa untuk bersabar menunggu dirinya, dan tidak diperbolehkan untuk menikahinya karena ada kemungkinan ia masuk Islam, serta maharnya tidak diberikan kepadanya karena ada kemungkinan ia tetap dalam kekafiran.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي يُدْفَعُ إِلَيْهِ مَهْرُهَا لِأَنَّهُ مُسْتَحِقٌّ لَا يُعَجَّلُ لَهُ أَيْسَرُهُمَا وَرُوعِيَ حَالُهَا إِذَا بَلَغَتْ فَإِنْ أَقَامَتْ عَلَى الْإِسْلَامِ اسْتَقَرَّ مِلْكُهُ عَلَى الْمَهْرِ وَمَنَعَهُ مِنْهَا وَإِنْ وَصَفَتِ الْكُفْرَ اسْتَرْجَعَ مِنْهُ مَهْرَهَا وَمُكِّنَ مِنْهَا

Pendapat kedua, maharnya diserahkan kepadanya karena ia berhak menerimanya, namun tidak disegerakan pembayaran yang paling ringan di antara keduanya, dan memperhatikan keadaannya ketika ia telah baligh. Jika ia tetap dalam Islam, maka kepemilikannya atas mahar menjadi tetap dan ia dicegah darinya. Namun jika ia memilih kekufuran, maka maharnya diambil kembali darinya dan ia diserahkan kepadanya.

فَأَمَّا الْمَجْنُونَةُ فَإِنْ كَانَتْ قَدْ وَصَفَتِ الْإِسْلَامَ قَبْلَ جُنُونِهَا دُفِعَ إِلَيْهِ مَهْرُهَا وَإِنْ وَصَفَتْهُ فِي جُنُونِهَا كَانَتْ كَالصَّغِيرَةِ فِي انْتِظَارِ إقامتها

Adapun wanita yang gila, jika ia telah mengucapkan syahadat Islam sebelum gilanya, maka maharnya diserahkan kepadanya. Namun jika ia mengucapkannya saat dalam keadaan gila, maka ia diperlakukan seperti anak kecil, yaitu menunggu sampai ia mampu melakukannya.

وَالشَّرْطُ الْخَامِسُ أَنْ تَكُونَ بَاقِيَةَ الْحَيَاةِ لَمْ تَمُتْ لِيَصِيرَ الزَّوْجُ مَمْنُوعًا مِنْهَا فَإِنْ مَاتَتْ نُظِرَ فِي مَوْتِهَا فَإِنْ كَانَ بَعْدَ طَلَبِ الزَّوْجِ لَهَا اسْتَحَقَّ مَهْرَهَا لِأَنَّهُ قَدِ اسْتَوْجَبَهُ بِالطَّلَبِ فَلَمْ يَسْقُطْ بِالْمَوْتِ وَإِنْ مَاتَتْ قَبْلَ طَلَبِهِ فَلَا مَهْرَ لَهُ لِأَنَّهُ لَمْ يَتَقَدَّمْ مَنْعٌ يَسْتَحِقُّ بِهِ الْمَهْرَ وَكَذَلِكَ لَوْ مَاتَ الزَّوْجُ دُونَهَا وَكَانَ قَبْلَ طَلَبِهِ فَلَا مَهْرَ لِوَارِثِهِ وَإِنْ مَاتَ بَعْدَ طَلَبِهِ اسْتَحَقَّ وَارِثُهُ الْمَهْرَ لِوُجُوبِهِ بِالْمَنْعِ قَبْلَ الْمَوْتِ

Syarat kelima adalah bahwa istri masih hidup, belum meninggal, sehingga suami tetap terhalang darinya. Jika istri meninggal dunia, maka dilihat waktu kematiannya. Jika kematiannya terjadi setelah suami mengajukan permintaan kepadanya, maka suami berhak atas maharnya, karena ia telah berhak mendapatkannya dengan permintaan tersebut, sehingga tidak gugur karena kematian. Namun jika istri meninggal sebelum suami mengajukan permintaan, maka tidak ada mahar baginya, karena sebelumnya belum ada pencegahan yang menyebabkan ia berhak atas mahar. Demikian pula jika suami meninggal sebelum istri dan sebelum ia mengajukan permintaan, maka ahli warisnya tidak berhak atas mahar. Tetapi jika suami meninggal setelah mengajukan permintaan, maka ahli warisnya berhak atas mahar, karena kewajiban itu telah ditetapkan dengan adanya pencegahan sebelum kematian.

وَالشَّرْطُ السَّادِسُ أَنْ تَكُونَ بَاقِيَةً فِي عِدَّتِهَا فَإِنْ طَلَبَهَا بَعْدَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ فَلَا مَنْزِلَةَ لِوُقُوعِ الْفِرْقَةِ بِانْقِضَائِهَا إِلَّا أَنْ يَطْلُبَهَا فِي الْعِدَّةِ وَلَا يَسْقُطُ الْمَهْرُ بِتَأْخِيرِهِ إِلَى انْقِضَائِهَا كَمَا لَا يَسْقُطُ بِالْمَوْتِ

Syarat keenam adalah wanita tersebut masih berada dalam masa ‘iddahnya. Jika ia diminta setelah masa ‘iddah berakhir, maka tidak ada kedudukan bagi terjadinya perpisahan karena telah berakhirnya masa ‘iddah, kecuali jika ia diminta dalam masa ‘iddah. Mahar tidak gugur karena permintaan itu ditunda sampai berakhirnya masa ‘iddah, sebagaimana mahar juga tidak gugur karena kematian.

وَالشَّرْطُ السَّابِعُ أَنْ تَكُونَ مُقِيمَةً عَلَى إِسْلَامِهَا فَإِنِ ارْتَدَّتْ عَنْهُ مُنِعَ مِنْهَا وَفِي اسْتِحْقَاقِهِ لِمَهْرِهَا لِهَذَا الْمَنْعِ وَجْهَانِ

Syarat ketujuh adalah bahwa perempuan tersebut tetap berpegang pada keislamannya. Jika ia murtad darinya, maka suaminya dilarang berhubungan dengannya. Terkait hak suami atas mahar karena larangan ini, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يَسْتَحِقُّهُ لِمَنْعِهِ مِنْهَا بِحُرْمَةِ الْإِسْلَامِ كَالْمُسْلِمَةِ

Salah satunya berhak mendapatkannya karena ia terhalang darinya oleh kehormatan Islam, seperti perempuan Muslimah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا تَسْتَحِقُّهُ لِأَنَّهُ مَنْعٌ لِإِقَامَةِ الْحَدِّ وَلَيْسَ يُمْنَعُ لِثُبُوتِ الْإِسْلَامِ وَالْأَوَّلُ أَصَحُّ لِأَنَّ فَرْجَ الْمَرْأَةِ الْمُرْتَدَّةِ مَحْظُورٌ عَلَى الْكَافِرِ كَالْمُسْلِمَةِ

Pendapat kedua tidak berhak (dijadikan pegangan) karena itu merupakan pencegahan terhadap pelaksanaan hudud, dan pelaksanaan hudud tidak dicegah hanya karena terbuktinya keislaman. Pendapat pertama lebih kuat, karena kemaluan perempuan murtad tetap terlarang bagi orang kafir sebagaimana halnya perempuan muslimah.

وَالشَّرْطُ الثَّامِنُ أَنْ يَكُونَ الزَّوْجُ مُقِيمًا عَلَى كُفْرِهِ لِيَكُونَ عَلَى الْمَنْعِ مِنْهَا فَإِنْ أَسْلَمَ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ

Syarat kedelapan adalah suami tetap berada dalam kekufurannya agar larangan itu tetap berlaku atasnya. Jika ia masuk Islam, maka ada dua keadaan.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ إِسْلَامُهُ قَبْلَ انْقِضَاءِ عِدَّتِهَا فَيَكُونَانِ عَلَى النِّكَاحِ وَلَا مَهْرَ لَهُ لِتَمْكِينِهِ مِنْهَا فَلَوْ كَانَ قَدْ أَخَذَ الْمَهْرَ قَبْلَ إِسْلَامِهِ اسْتَرْجَعَ مِنْهُ لِئَلَّا يَكُونَ مَالِكًا لِبُضْعِهَا بِغَيْرِ مَهْرٍ

Salah satu di antaranya adalah jika suaminya masuk Islam sebelum masa iddah istrinya berakhir, maka keduanya tetap berada dalam ikatan nikah dan tidak ada mahar baginya karena ia telah memberikan kesempatan kepada suaminya untuk berhubungan dengannya. Jika suami telah mengambil mahar sebelum ia masuk Islam, maka mahar itu diambil kembali darinya agar ia tidak memiliki hak atas istrinya tanpa mahar.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ إِسْلَامُهُ بَعْدَ انْقِضَاءِ عِدَّتِهَا فَقَدْ بَطَلَ النِّكَاحُ بِانْقِضَائِهَا ثُمَّ يُنْظَرُ فِي الْمَهْرِ فَإِنْ كَانَ قَدْ أُخِذَ بِالطَّلَبِ قَبْلَ الْإِسْلَامِ لَمْ يُسْتَرْجَعْ مِنْهُ وَصَارَ بِالْقَبْضِ مُسْتَهْلَكًا فِي الشِّرْكِ وَإِنْ لَمْ يَأْخُذِ الْمَهْرَ قَبْلَ إِسْلَامِهِ نُظِرَ

Jenis yang kedua adalah apabila suaminya masuk Islam setelah masa iddah istrinya selesai, maka pernikahan telah batal dengan berakhirnya masa iddah tersebut. Kemudian dilihat mengenai mahar: jika mahar itu telah diambil atas permintaan sebelum masuk Islam, maka tidak diambil kembali darinya dan dengan penerimaan tersebut mahar telah habis dalam keadaan syirik. Namun jika mahar belum diambil sebelum suaminya masuk Islam, maka hal itu perlu diteliti lebih lanjut.

فَإِنْ لَمْ يَكُنْ قَدْ طَلَبَهَا حَتَّى أَسْلَمَ فَلَا مَهْرَ لَهُ لِأَنَّهُ غَيْرُ مَمْنُوعٍ أَنْ يَسْتَأْنِفَ نِكَاحَهَا وَإِنْ قَدَّمَ الطَّلَبَ وَلَمْ يَأْخُذْ مِنْهَا حَتَّى أَسْلَمَ فَفِي اسْتِحْقَاقِهِ لِمَهْرِهَا وَجْهَانِ

Jika ia belum menuntutnya hingga ia masuk Islam, maka ia tidak berhak atas mahar karena tidak ada halangan baginya untuk memulai akad nikah yang baru. Namun, jika ia telah mengajukan tuntutan sebelumnya tetapi belum mengambilnya hingga ia masuk Islam, maka dalam hal berhak atau tidaknya ia atas mahar tersebut terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يَسْتَحِقُّهُ لِوُجُوبِهِ بِالطَّلَبِ

Salah satunya berhak didapatkan karena kewajibannya berdasarkan permintaan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا يَسْتَحِقُّهُ لِأَنَّهُ مُمَكَّنٌ مِنْ نِكَاحِهَا إِنْ أَحَبَّ

Pendapat kedua, ia tidak berhak mendapatkannya karena ia masih memungkinkan untuk menikahinya jika ia menghendaki.

وَالشَّرْطُ التَّاسِعُ أَنْ يَكُونَ الزَّوْجُ مُقِيمًا عَلَى نِكَاحِهَا فَإِنْ طَلَّقَهَا فَضَرْبَانِ

Syarat kesembilan adalah suami masih tetap dalam pernikahannya dengan istri tersebut. Jika suami menceraikannya, maka ada dua keadaan.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ طَلَاقُهُ بِعَدَمِ الْمُطَالَبَةِ لَهَا فَلَهُ الْمَهْرُ لِأَنَّهُ قَدِ اسْتَحَقَّهُ بِالْمَنْعِ وَلَا يَسْقُطُ بِالطَّلَاقِ كَمَا لَا يَسْقُطُ بِالْمَوْتِ

Salah satunya adalah jika talak terjadi tanpa adanya tuntutan dari pihak istri, maka suami berhak atas mahar karena ia telah berhak mendapatkannya dengan adanya penolakan, dan mahar itu tidak gugur karena talak sebagaimana tidak gugur pula karena kematian.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ طَلَاقُهُ قَبْلَ الْمُطَالَبَةِ بِهَا فَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ

Jenis kedua adalah apabila talak dijatuhkan sebelum adanya tuntutan darinya, maka hal ini terbagi menjadi dua jenis.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ بَائِنًا بِثَلَاثٍ أَوْ خُلْعٍ فلا مهرله لِأَنَّهُ رَاضٍ بِتَرْكِهَا

Salah satunya adalah talak bain tiga kali atau khulu‘, maka tidak ada mahar baginya karena ia rela melepaskannya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ طَلَاقُهُ رَجْعِيًّا فَهُوَ مَوْقُوفٌ عَلَى رَجْعَتِهِ فَإِنْ لَمْ يُرَاجِعْ فَلَا مَهْرَ لَهُ لِتَرْكِهَا عَنْ رِضًى وَإِنْ رَاجَعَهَا فَلَهُ الْمَهْرُ لِارْتِفَاعِ الطَّلَاقِ بِالرَّجْعَةِ فَصَارَ بَاقِيًا عَلَى التَّمَسُّكِ بِهَا فَإِذَا اسْتَقَرَّ مَهْرُهَا بِاسْتِكْمَالِ هَذِهِ الشُّرُوطِ التِّسْعَةِ وَكَانَتِ الْمُطَالَبَةُ بِزَوْجَةٍ أَوْ زَوْجَتَيْنِ أَوْ ثَلَاثٍ أَوْ أَرْبَعٍ حُكِمَ لَهُ بِمُهُورِهِنَّ كُلِّهِنَّ وَلَوْ طَالَبَ بِعَشْرِ زَوْجَاتٍ أَسْلَمْنَ عَنْهُ وَقَدْ نَكَحَهُنَّ فِي الشِّرْكِ قِيلَ لَهُ اخْتَرْ مِنْ جُمْلَتِهِنَّ أَرْبَعًا وَلَكَ مُهُورُهُنَّ وَلَا مَهْرَ لَكَ فِيمَا عَدَاهُنَّ لِاسْتِقْرَارِ الشَّرْعِ عَلَى تَحْرِيمِ مَنْ زَادَ عَلَى الْأَرْبَعِ وَإِذَا كَانَ الْمَهْرُ مُسْتَحَقًّا فَقَدْ قَالَ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ الْمُسْتَحَقُّ فِيهِ هُوَ الْقَدْرُ الَّذِي دَفَعَهُ مِنْ قَلِيلٍ وَكَثِيرٍ دُونَ مَهْرِ الْمِثْلِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَآتُوهُمْ مَا أَنْفَقُوا وَالَّذِي عِنْدِي أَنَّهُ يَسْتَحِقُّ أَقَلَّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ مَهْرِ مِثْلِهَا أَوْ مَا دُفِعَ فَإِنْ كَانَ أَقَلُّهَا مَهْرَ مِثْلِهَا رَجَعَ بِهِ وَلَمْ يَرْجِعْ بِمَا غَرِمَهُ مِنَ الزِّيَادَةِ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ بَدَلُ الْبُضْعِ الْفَائِتِ عَلَيْهِ وَإِنْ كَانَ أَقَلُّهَا مَا غَرِمَهُ رَجَعَ بِهِ وَلَمْ يَرْجِعْ بِالزِّيَادَةِ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ لَمْ يَغْرَمْهَا وَسَوَاءٌ فِي اسْتِحْقَاقِهِ الْمَهْرَ بَيْنَ أَنْ يَشْتَرِطَ رَدَّهُنَّ فِي عَقْدِ الْهُدْنَةِ أَوْ لَا يَشْتَرِطَ إِلَّا أَنَّ الْهُدْنَةَ تَبْطُلُ بِاشْتِرَاطِ رَدِّهِنَّ وَلَا تبطل إن لم يتشرط

Jenis yang kedua adalah apabila talaknya bersifat raj‘i, maka hal itu bergantung pada rujuknya. Jika ia tidak merujuk, maka tidak ada mahar baginya karena ia meninggalkannya dengan kerelaan. Namun jika ia merujuknya, maka ia berhak atas mahar karena talak tersebut batal dengan adanya rujuk, sehingga ia tetap berpegang pada istrinya. Apabila mahar itu telah tetap dengan terpenuhinya sembilan syarat tersebut, dan tuntutan itu berkaitan dengan satu, dua, tiga, atau empat istri, maka diputuskan bahwa ia berhak atas mahar seluruh istri tersebut. Namun jika ia menuntut mahar dari sepuluh istri yang telah masuk Islam karena dirinya dan telah dinikahinya pada masa jahiliyah, maka dikatakan kepadanya: “Pilihlah empat dari mereka, dan engkau berhak atas mahar mereka, sedangkan untuk sisanya engkau tidak berhak atas mahar, karena syariat telah menetapkan larangan menikahi lebih dari empat istri.” Apabila mahar itu menjadi haknya, Abu Hamid al-Isfara’ini berkata: “Yang menjadi haknya adalah sejumlah yang telah ia berikan, baik sedikit maupun banyak, bukan mahar mitsil, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: ‘Berikanlah kepada mereka apa yang telah kalian nafkahkan.’ Menurut pendapatku, ia berhak atas yang paling sedikit dari dua hal: mahar mitsil atau yang telah diberikan. Jika yang paling sedikit adalah mahar mitsil, maka ia mengambilnya dan tidak mengambil kelebihan yang telah ia keluarkan, karena itu adalah pengganti dari hubungan yang telah hilang darinya. Jika yang paling sedikit adalah apa yang telah ia keluarkan, maka ia mengambilnya dan tidak mengambil kelebihannya, karena ia tidak menanggungnya. Sama saja dalam hal berhaknya atas mahar, baik ia mensyaratkan pengembalian istri-istri itu dalam akad hudnah atau tidak mensyaratkannya, kecuali bahwa hudnah menjadi batal jika disyaratkan pengembalian mereka, dan tidak batal jika tidak disyaratkan.

فَصْلٌ

Bab

وَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّانِي فِي الرِّجَالِ فَضَرْبَانِ

Adapun bagian kedua tentang laki-laki, maka terbagi menjadi dua golongan.

أَحَدُهُمَا فِي اسْتِحْقَاقِ رَدِّ الْأَقْوِيَاءِ فَصِفَةُ الرَّدِّ أَنْ يَكُونَ إِذْنًا مِنْهُ بِالْعَوْدِ وَتَمْكِينًا لَهُمْ مِنَ الرَّدِّ وَلَا يَتَوَلَّاهُ الْإِمَامُ جَبْرًا إِنْ تَمَانَعَ الْمَرْدُودُ وَكَذَلِكَ أَذِنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لِأَبِي جَنْدَلٍ وَأَبِي بَصِيرٍ فِي الْعَوْدِ فَإِنْ أَقَامَ الْمَطْلُوبَ عَلَى تَمَانُعِهِ مِنَ الْعَوْدِ قِيلَ لِلطَّالِبِ أَنْتَ مُمَكَّنٌ مِنِ اسْتِرْجَاعِهِ فَإِذَا قَدَرْتَ عَلَيْهِ لَمْ تُمْنَعْ مِنْهُ وَإِنْ عَجَزْتَ عَنْهُ لَمْ تُعَنْ عَلَيْهِ وَرُوعِيَ حُكْمُ الْوَقْتِ فِيمَا يَقْتَضِيهِ حَالُ الْمَطْلُوبِ فَإِنْ ظَهَرَتِ الْمَصْلَحَةُ فِي حَثِّهِ عَلَى الْعَوْدِ لِتَأَلُّفِ قَوْمِهِ أَشَارَ بِهِ الْإِمَامُ عَلَيْهِ بَعْدَ وَعْدِهِ بِنَصْرِ اللَّهِ وَجَزِيلِ ثَوَابِهِ لِيَزْدَادَ ثَبَاتًا عَلَى دِينِهِ وَقُوَّةً فِي اسْتِنْصَارِهِ وَإِنْ ظَهَرَتِ الْمَصْلَحَةُ فِي تَثْبِيطِهِ عَنِ الْعَوْدِ أَشَارَ بِهِ سِرًّا وَأَمْسَكَ عَنْ خِطَابِهِ جَهْرًا فَإِنْ ظَهَرَ مِنَ الطَّالِبِ عُنْفٌ بِالْمَطْلُوبِ واعده الإمام فإن كان لفرط إسفاق تَرَكَهُ وَإِنْ كَانَ لِشِدَّةِ مَنْعِهِ فَإِنْ كَانَ مَعَ الْمَطْلُوبِ مَالٌ أَخَذَهُ مِنَ الطَّالِبِ الَّذِي نَظَرَ فِيهِ

Salah satu di antaranya berkaitan dengan hak untuk mengembalikan orang-orang yang kuat; sifat pengembalian itu adalah berupa izin darinya untuk kembali dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk kembali, dan tidak boleh imam memaksakan pengembalian itu jika pihak yang dikembalikan menolak. Demikian pula, Rasulullah ﷺ memberikan izin kepada Abu Jandal dan Abu Bashir untuk kembali. Jika orang yang diminta tetap bersikeras menolak untuk kembali, maka kepada pihak yang meminta dikatakan, “Engkau diberi kesempatan untuk mengambilnya kembali. Jika engkau mampu melakukannya, maka engkau tidak dilarang darinya, dan jika engkau tidak mampu, maka engkau tidak dibantu untuk itu.” Hukum waktu juga diperhatikan sesuai dengan keadaan orang yang diminta. Jika tampak kemaslahatan dalam mendorongnya untuk kembali demi menarik hati kaumnya, maka imam memberi isyarat kepadanya setelah menjanjikan pertolongan Allah dan pahala yang besar, agar ia semakin teguh dalam agamanya dan semakin kuat dalam meminta pertolongan. Jika tampak kemaslahatan dalam melemahkan keinginannya untuk kembali, maka imam memberi isyarat secara diam-diam dan menahan diri dari berbicara terang-terangan kepadanya. Jika dari pihak yang meminta tampak kekerasan terhadap orang yang diminta, maka imam memperingatkannya; jika itu karena terlalu berlebihan, maka imam membiarkannya, dan jika karena kerasnya penolakan dari pihak yang diminta, maka jika orang yang diminta memiliki harta, imam mengambilnya dari pihak yang meminta yang telah memperhatikannya.

فَإِنْ كَانَ أَخَذَهُ قَبْلَ الْهُدْنَةِ كَانَ الْمَطْلُوبُ أَحَقَّ بِهِ وَإِنْ أَخَذَهُ بَعْدَ الْهُدْنَةِ كَانَ الطَّلَبُ أَحَقَّ بِهِ لِأَنَّ أَمْوَالَهُ قَبْلَ الْهُدْنَةِ مُبَاحَةٌ وَبَعْدَهَا مَحْظُورَةٌ فَأَمَّا إِنْ كَانَ الْمَطْلُوبُ مِنَّا مُقِيمًا عَلَى شِرْكِهِ بَعْدُ لَمْ يُسْلِمْ مُكِّنَ طَالِبُهُ مِنْهُ سَوَاءٌ كَانَ قَوِيًّا أَوْ ضَعِيفًا رَجُلًا كَانَ أَوِ امْرَأَةً خِيفَ عَلَيْهِمْ مِنْهُمْ أَوْ لَمْ يُخَفْ لِأَنَّ الْهُدْنَةَ قَدْ أَوْجَبَتْ أَمَانَهُ مِنَّا وَلَمْ تُوجِبْ أَنْ نُؤَمِّنَهُ مِنْهُمْ وَاسْتَحَقَّ بِمُطْلَقِ الْهُدْنَةِ تَمْكِينَهُمْ مِنْهُمْ وَلَمْ يَسْتَحِقَّ بِهَا أَنْ نَقُومَ بِرَدِّهِ عَلَيْهِمْ إِلَّا أَنْ يَشْتَرِطُوا ذَلِكَ عَلَيْنَا فَيَلْزَمُنَا بِالشَّرْطِ أَنْ نَرُدَّهُ بِخِلَافِ الْمُسْلِمِ الَّذِي لَا يَجُوزُ أَنْ يُرَدَّ وَلَا يَلْزَمُنَا أَنْ نُعَاوِضَهُمْ عَنْهُ

Jika ia mengambilnya sebelum adanya hudnah, maka pihak yang menuntut lebih berhak atasnya. Namun jika ia mengambilnya setelah adanya hudnah, maka pihak yang dicari lebih berhak atasnya, karena harta bendanya sebelum hudnah adalah mubah (boleh diambil), sedangkan setelahnya menjadi terlarang. Adapun jika pihak yang dicari dari pihak kita masih tetap dalam kemusyrikannya dan belum masuk Islam, maka pihak yang menuntutnya boleh mengambilnya, baik ia kuat maupun lemah, laki-laki ataupun perempuan, baik dikhawatirkan terhadap mereka atau tidak, karena hudnah telah menyebabkan adanya jaminan keamanan dari pihak kita, namun tidak mewajibkan kita untuk menjaminnya dari pihak mereka. Dengan adanya hudnah secara mutlak, mereka berhak untuk mengambilnya dari pihak mereka, namun tidak berhak atas kita untuk mengembalikannya kepada mereka kecuali jika mereka mensyaratkan hal itu kepada kita, maka kita wajib mengembalikannya karena syarat tersebut. Berbeda dengan seorang muslim yang tidak boleh dikembalikan dan kita tidak wajib memberikan ganti rugi kepada mereka atas hal itu.

فَإِنْ شَرَطَهَا فِي عَقْدِ الْهُدْنَةِ أَنْ نُعَاوِضَهُمْ عَمَّنْ لَحِقَ بِنَا مِنْ كُفَّارِهِمْ كَانَ الشَّرْطُ بَاطِلًا لِأَنَّهُ لَا يَمْلِكُ أَنْ يَبْذُلَ أَمْوَالَ الْمُسْلِمِينَ عَنِ الْمُشْرِكِينَ لِلْمُشْرِكِينَ

Jika dalam akad gencatan senjata disyaratkan bahwa kita harus memberikan kompensasi kepada mereka atas orang-orang kafir mereka yang bergabung dengan kita, maka syarat tersebut batal, karena tidak dibenarkan memberikan harta kaum muslimin kepada kaum musyrik untuk kepentingan kaum musyrik.

فَصْلٌ

Bagian

وَأَمَّا الضرب الثاني والضعفاء فَلَا يَلْزَمُ الْإِمَامَ مُعَاوَضَةُ الطَّالِبِ فِي دَفْعِهِ عَنِ الْمَطْلُوبِ بِخِلَافِ النِّسَاءِ فِي حُقُوقِ الْأَزْوَاجِ لِأَنَّ رَقَبَةَ الْحُرِّ لَيْسَتْ بِمَالٍ يَصِحُّ فِيهِ الْمُعَاوَضَةُ بِخِلَافِ بُضْعِ الْحُرَّةِ فَإِنْ كَانَ الْمَطْلُوبُ عَبْدًا غَلَبَ عَلَى سَيِّدِهِ وَهَاجَرَ مُسْلِمًا فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ

Adapun jenis kedua, yaitu orang-orang lemah, maka imam tidak wajib memberikan kompensasi kepada pihak yang menuntut dalam mencegahnya dari orang yang dicari, berbeda halnya dengan perempuan dalam hak-hak suami, karena tubuh orang merdeka bukanlah harta yang sah untuk dijadikan kompensasi, berbeda dengan kemaluan perempuan merdeka. Jika yang dicari adalah seorang budak yang berhasil mengalahkan tuannya dan hijrah sebagai seorang Muslim, maka hal ini terbagi menjadi dua jenis.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَغْلِبَ عَلَى نَفْسِهِ قَبْلَ إِسْلَامِهِ فَيَعْتِقَ بِهِجْرَتِهِ بَعْدَ إِسْلَامِهِ سَوَاءٌ فَعَلَ ذَلِكَ قَبْلَ الْهُدْنَةِ أَوْ بَعْدَهَا لِأَنَّ الْهُدْنَةَ تُوجِبُ أَمَانَهُمْ مِنَّا وَلَا تُوجِبُ أَمَانَ بَعْضِهِمْ مِنْ بَعْضٍ

Salah satunya adalah seseorang menguasai dirinya sendiri sebelum masuk Islam, lalu ia dimerdekakan karena hijrahnya setelah masuk Islam, baik ia melakukan itu sebelum perjanjian damai maupun sesudahnya, karena perjanjian damai memberikan jaminan keamanan mereka dari kita, namun tidak memberikan jaminan keamanan sebagian mereka dari sebagian yang lain.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَغْلِبَ عَلَى نَفْسِهِ بَعْدَ إِسْلَامِهِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ

Jenis kedua adalah seseorang yang setelah masuk Islam, hawa nafsunya masih menguasai dirinya; maka ini terbagi menjadi dua macam.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَفْعَلَ ذَلِكَ قَبْلَ الْهُدْنَةِ فَيْعَتِقَ بِهِجْرَتِهِ مُسْلِمًا لِأَنَّهُ غَلَبَ عَلَى نَفْسِهِ فِي حَالِ الْإِبَاحَةِ

Salah satunya adalah jika ia melakukan hal itu sebelum adanya gencatan senjata, maka ia menjadi merdeka dengan hijrahnya sebagai seorang Muslim, karena ia telah menguasai dirinya sendiri dalam keadaan yang masih diperbolehkan.

فَإِذَا أُعْتِقَ فِي هَذِهِ الْحَالِ فَهَلْ يَلْزَمُ الْإِمَامَ غُرْمُ قِيمَتِهِ لِسَيِّدِهِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ كَالزَّوْجَةِ

Maka jika ia dimerdekakan dalam keadaan seperti ini, apakah imam wajib membayar ganti rugi senilai budak tersebut kepada tuannya atau tidak? Ada dua pendapat dalam hal ini, seperti halnya pada kasus istri.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَفْعَلَ ذَلِكَ بَعْدَ الْهُدْنَةِ فَلَا يُعْتَقُ لِحَظْرِهِ أَمْوَالَهُمْ بَعْدَهَا فَلَمْ يَمْلِكْهَا مُسْلِمٌ بِالْغَلَبَةِ وَيَكُونُ عَلَى رِقِّهِ لِسَيِّدِهِ وَيُمْنَعُ مِنْ دَفْعِهِ إِلَيْهِ اسْتِيفَاءَ رِقِّهِ عَلَيْهِ لِئَلَّا يُسْتَذَلَّ بِالِاسْتِرْقَاقِ وَيُقَالُ لِسَيِّدِهِ إِنْ أَعْتَقْتَهُ كَانَ لَكَ وَلَاؤُهُ وَلَا قِيمَةَ لَكَ عَنْهُ بَعْدَ عِتْقِهِ وَإِنِ امْتَنَعْتَ مِنْ عِتْقِهِ لَمْ يُعْتَقْ عَلَيْكَ جَبْرًا لِمَا أَوْجَبَتْهُ الْهُدْنَةُ مِنْ حِفْظِ مَالِكَ وَكَانَ الْإِمَامُ فِيهِ مُجْتَهِدًا فِي خِيَارَيْنِ إِمَّا أَنْ يَبِيعَهُ عَلَى مُسْلِمٍ أَوْ يَدْفَعَ قِيمَتَهُ مِنْ بَيْتِ الْمَالِ وَيَعْتِقَهُ عَنْ كَافَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَلَهُمْ وَلَاؤُهُ

Jenis yang kedua adalah jika hal itu dilakukan setelah adanya gencatan senjata, maka ia tidak dimerdekakan karena harta mereka terlarang setelah gencatan tersebut, sehingga tidak ada seorang Muslim pun yang memilikinya dengan cara penguasaan. Ia tetap dalam status budak milik tuannya, dan tidak boleh diserahkan kepadanya untuk memenuhi hak perbudakan atasnya agar tidak direndahkan dengan perbudakan. Kepada tuannya dikatakan: “Jika engkau memerdekakannya, maka engkau berhak atas wala’-nya, dan tidak ada nilai (harga) bagimu atasnya setelah ia dimerdekakan. Jika engkau menolak untuk memerdekakannya, maka ia tidak akan dimerdekakan secara paksa atasmu, karena gencatan senjata mewajibkan perlindungan terhadap hartamu.” Dalam hal ini, imam berijtihad dengan dua pilihan: boleh menjualnya kepada seorang Muslim, atau membayarkan nilainya dari Baitul Mal dan memerdekakannya atas nama seluruh kaum Muslimin, dan mereka berhak atas wala’-nya.

فَلَوْ كَانَ الْمَطْلُوبُ أَمَةً ذَاتَ زَوْجٍ غَلَبَتْ عَلَى نَفْسِهَا وَهَاجَرَتْ مُسْلِمَةً فَحَضَرَ سَيِّدُهَا وَزَوْجُهَا فِي طَلَبِهَا كَانَ حُكْمُهَا مَعَ السَّيِّدِ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنْ حكم العبد في العتق والرد وعزم الْقِيمَةِ عَلَى التَّقْسِيمِ الْمُقَدَّمِ

Maka jika yang dicari adalah seorang budak perempuan yang telah bersuami, lalu ia menguasai dirinya sendiri dan hijrah sebagai seorang Muslimah, kemudian datang tuannya dan suaminya untuk menuntutnya, maka hukumnya bersama tuannya adalah seperti yang telah kami sebutkan mengenai hukum budak laki-laki dalam hal pembebasan, pengembalian, dan penetapan nilai (al-qīmah) menurut pembagian yang telah dijelaskan sebelumnya.

وَأَمَّا حُكْمُهَا مَعَ الزَّوْجِ فَلَا يَخْلُو أَنْ يَكُونَ حُرًّا أَوْ عَبْدًا فَإِنْ كَانَ حُرًّا كَانَ فِي اسْتِحْقَاقِهِ لِمَهْرِهَا مِنْ بَيْتِ الْمَالِ قَوْلَانِ كَالْحُرَّةِ وَلَا يَكُونُ غُرْمُ قِيمَتِهَا لَوْ أَخَذَهَا السَّيِّدُ مَانِعًا مِنْ غُرْمِ مَهْرِهَا لِلزَّوْجِ وَإِنْ كَانَ الزَّوْجُ عَبْدًا فَفِي اسْتِحْقَاقِ الْمَهْرِ قَوْلَانِ أَيْضًا لَكِنَّهُ مِلْكٌ لِسَيِّدِهِ دُونَهُ فَلَا يُسَلَّمُ إِذَا اسْتَحَقَّ إِلَّا بِاجْتِمَاعِ الزَّوْجِ مَعَ سَيِّدِهِ لِأَنَّ مِلْكَ البضع للعبد وملك المهر لسيد فَإِنْ تَفَرَّدَ أَحَدُهُمَا بِطَلَبِهِ مُنِعَ وَإِنِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ دُفِعَ بِاجْتِمَاعِهِمَا إِلَى السَّيِّدِ دُونَ الْعَبْدِ كَمَا لَوْ مَلَكَ الْعَبْدُ بِالطَّلَاقِ قَبْلَ الدُّخُولِ نِصْفَ الصَّدَاقِ كَانَ مِلْكًا لِلسَّيِّدِ وَلَمْ يَنْفَرْدِ بِقَبْضِهِ إِلَّا بِاجْتِمَاعٍ مَعَ عَبْدِهِ وَلَوْ كَانَتِ الْمَطْلُوبَةُ أُمَّ وَلَدٍ فَجَاءَ سَيِّدُهُمَا فِي طَلَبِهَا كَانَتْ فِي الْعِتْقِ وَاسْتِحْقَاقِ الْقِيمَةِ كَالْأَمَةِ وَلَوْ كَانَتْ مُكَاتَبَةً فَإِنْ حُكِمَ بِعِتْقِهَا عَلَى مَا قسمناه في الأمة بطلب كتابتها وفي استحقاقه في لِقِيمَتِهَا قَوْلَانِ

Adapun hukumnya terkait dengan suami, maka tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah suaminya seorang merdeka atau budak. Jika suaminya seorang merdeka, maka dalam hal berhaknya ia atas mahar istrinya dari baitul mal terdapat dua pendapat, sebagaimana halnya perempuan merdeka. Dan kewajiban membayar nilai dirinya jika diambil oleh tuannya tidak menjadi penghalang bagi kewajiban membayar mahar kepada suami. Jika suaminya seorang budak, maka dalam hal berhaknya atas mahar juga terdapat dua pendapat, namun mahar itu menjadi milik tuannya, bukan milik budak itu sendiri, sehingga mahar tidak diserahkan kecuali jika suami dan tuannya hadir bersama, karena kepemilikan hubungan suami istri ada pada budak, sedangkan kepemilikan mahar ada pada tuannya. Jika salah satu dari keduanya meminta secara sendiri-sendiri, maka permintaannya ditolak, dan jika keduanya meminta bersama-sama, maka mahar itu diserahkan kepada tuannya saja, bukan kepada budak, sebagaimana jika budak memiliki setengah mahar karena talak sebelum terjadi hubungan suami istri, maka itu menjadi milik tuannya dan tidak boleh diterima kecuali bersama dengan budaknya. Jika perempuan yang diminta itu adalah umm walad, lalu tuan keduanya datang untuk menuntutnya, maka dalam hal kemerdekaan dan hak atas nilai dirinya, hukumnya seperti budak perempuan. Jika perempuan itu seorang mukatabah, maka jika diputuskan kemerdekaannya sebagaimana yang telah kami jelaskan pada budak perempuan karena permintaan mukatabah, maka dalam hal hak atas nilai dirinya juga terdapat dua pendapat.

وَإِنْ لَمْ يُحْكَمْ بِعِتْقِهَا كَانَتْ عَلَى كِتَابَتِهَا وَلَمْ تُبَعْ عَلَيْهِ وَإِنْ أَدَّتْ مَالَ كِتَابَتِهَا عَتَقَتْ بِالْكِتَابَةِ وَكَانَ لَهُ وَلَاؤُهَا وَسَوَاءٌ كَانَ مَا أَدَّتْهُ مِنَ الْكِتَابَةِ أَقَلَّ مِنْ قِيمَتِهَا أَوْ أَكْثَرَ وَإِنْ عَجَزَتْ وَرَقَّتْ حُسِبَ مِنْ قِيمَتِهَا بِمَا أَخَذَهُ مِنْ مَالِ كِتَابَتِهَا بَعْدَ إِسْلَامِهَا وَلَمْ يُحْتَسَبْ عَلَيْهِ مَأْخَذُهُ منها قبل الإسلام فإن بلغ قدر والقيمة فَقَدِ اسْتَوْفَى حَقَّهُ وَعَتَقَتْ وَكَانَ وَلَاؤُهَا لِلْمُسْلِمِينَ وَهَلْ يُرَدُّ عَلَيْهَا مِنْ بَيْتِ الْمَالِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ

Jika belum diputuskan kemerdekaannya, maka ia tetap berada dalam status kitabah-nya dan tidak boleh dijual atasnya. Jika ia telah membayar uang kitabah-nya, maka ia merdeka karena kitabah dan hak wala’-nya menjadi milik tuannya. Sama saja apakah jumlah yang dibayarkan dari kitabah itu lebih sedikit atau lebih banyak dari nilainya. Jika ia tidak mampu membayar dan kembali menjadi budak, maka dari nilainya dihitung apa yang telah diambil tuannya dari uang kitabahnya setelah ia masuk Islam, dan tidak dihitung apa yang diambil tuannya sebelum ia masuk Islam. Jika jumlah yang diambil itu telah mencapai nilai dirinya, maka tuannya telah menerima haknya dan ia pun merdeka, serta hak wala’-nya menjadi milik kaum Muslimin. Apakah ia berhak menerima pengembalian dari Baitul Mal atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا لَا يُرَدُّ إِذَا قِيلَ إِنَّ سَيِّدَ الْأَمَةِ لَا يَسْتَحِقُّهُ

Salah satunya tidak dapat ditolak jika dikatakan bahwa tuan dari seorang budak perempuan tidak berhak atasnya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي يُرَدُّ إِذَا قِيلَ إِنَّ سَيِّدَ الْأَمَةِ يَسْتَحِقُّهُ فَإِنْ كَانَ مَا أَدَّتْهُ أَكْثَرَ مِنَ الْقِيمَةِ لَمْ يَسْتَرْجِعْ فَاضِلَ الْقِيمَةِ مِنْ سَيِّدَهَا وَإِنْ كَانَ مَا أَدَّتْهُ أَقَلَّ مِنْ قِيمَتِهَا اسْتَحَقَّ سَيِّدُهَا تَمَامَ قِيمَتِهَا قَوْلًا وَاحِدًا لِأَنَّهُ عِتْقٌ بَعْدَ ثُبُوتِ الرَّدِّ وَكَانَ ذَلِكَ مِنْ بَيْتِ الْمَالِ

Pendapat kedua ditolak jika dikatakan bahwa tuan dari budak perempuan berhak atas hal itu. Jika apa yang telah dibayarkan oleh budak perempuan itu lebih besar dari nilainya, maka kelebihan nilai tersebut tidak dikembalikan dari tuannya. Namun jika apa yang telah dibayarkan lebih sedikit dari nilainya, maka tuannya berhak atas pelunasan penuh nilainya, menurut satu pendapat, karena ini adalah pembebasan (’itq) setelah adanya penetapan pengembalian, dan hal itu diambil dari baitul mal.

فَصْلٌ

Fasal

فَأَمَّا مَنِ ارْتَدَّ بَعْدَ الْهُدْنَةِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَلَحِقَ بِهِمْ لَمْ يَخْلُ حَالُ الْإِمَامِ فِي عقد هدنته من ثلاثة أقسام

Adapun siapa saja dari kaum Muslimin yang murtad setelah perjanjian gencatan senjata dan bergabung dengan mereka, maka keadaan imam dalam mengadakan perjanjian gencatan senjatanya tidak lepas dari tiga keadaan.

أحدهما أَنْ يَكُونَ قَدِ اشْتَرَطَ فِيهَا رَدَّ مَنِ ارْتَدَّ إِلَيْهِمْ لِيُؤْخَذُوا بِرَدِّهِ وَتَسْلِيمِهِ سَوَاءٌ كَانَ الْمُرْتَدُّ رَجُلًا أَوِ امْرَأَةً فَإِنِ امْتَنَعُوا مِنْ رَدِّهِ كَانَ نَقْضًا لِهُدْنَتِهِمْ

Pertama, apabila dalam perjanjian tersebut disyaratkan pengembalian orang yang murtad kepada mereka agar mereka dapat mengambil dan menyerahkannya, baik orang yang murtad itu laki-laki maupun perempuan, maka jika mereka menolak untuk mengembalikannya, hal itu dianggap sebagai pembatalan perjanjian damai mereka.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَشْتَرِطَ فِيهِ أَنْ لَا يَرُدُّوا مَنِ ارْتَدَّ إِلَيْهِمْ مِنَ الْمُسِلْمِينَ فَقَدْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ شَرَطَ ذَلِكَ لِقُرَيْشٍ فِي هُدْنَةِ الْحُدَيْبِيَةِ

Bagian kedua adalah apabila disyaratkan di dalamnya agar mereka tidak mengembalikan orang-orang Muslim yang murtad dan kembali kepada mereka; sungguh Rasulullah saw. telah mensyaratkan hal itu kepada Quraisy dalam perjanjian Hudaibiyah.

فَأَمَّا الْآنَ فَفِي جَوَازِ اشْتِرَاطِهِ الْهُدْنَةَ قَوْلَانِ

Adapun sekarang, dalam hal kebolehan mensyaratkan gencatan senjata terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يجوز الِاقْتِدَاءُ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي هُدْنَةِ الْحُدْيَبِيَةِ وَلِأَنَّ الرِّدَّةَ قَدْ أَبَاحَتْ دِمَاءَهُمْ فَسَقَطَ عَنَّا حِفْظُهُمْ

Salah satu pendapat menyatakan bahwa boleh mengikuti Rasulullah ﷺ dalam perjanjian damai Hudaibiyah, dan karena riddah telah membolehkan darah mereka, maka kewajiban menjaga mereka gugur dari kita.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي إِنَّهُ شَرْطٌ بَاطِلٌ لِأَنَّ هُدْنَةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي الْحُدَيْبِيَةِ لَمَّا بَطَلَتْ فِي رَدِّ مَنْ أَسْلَمَ بَطَلَتْ فِي تَرْكِ مَنِ ارْتَدَّ لِأَنَّ أَحْكَامَ الْإِسْلَامِ عَلَيْهَا جَارِيَةٌ

Pendapat kedua menyatakan bahwa syarat tersebut adalah syarat yang batil, karena perjanjian damai Rasulullah ﷺ di Hudaibiyah, ketika batal dalam hal mengembalikan orang yang masuk Islam, maka batal pula dalam hal membiarkan orang yang murtad, sebab hukum-hukum Islam tetap berlaku atasnya.

وَالصَّحِيحُ عِنْدِي مِنْ إِطْلَاقِ هَذَيْنِ الْقَوْلَيْنِ إِنَّهَا تَبْطُلُ فِي تَرْكِ مَنِ ارْتَدَّ مِنَ النِّسَاءِ وَلَا تَبْطُلُ فِي تَرْكِ مَنِ ارْتَدَّ مِنَ الرِّجَالِ كَمَا بَطَلَتْ فِي رَدِّ مَنْ أَسْلَمَ مِنَ النِّسَاءِ وَلَمْ تَبْطُلْ فِي رَدِّ مَنْ أَسْلَمَ مِنَ الرِّجَالِ لِأَنَّ النِّسَاءَ ذَوَاتِ فُرُوجٍ يَحْرُمُ عَلَى الْكَافِرِ مِنَ الْمُرْتَدَّةِ مِثْلُ مَا يَحْرُمُ عَلَيْهِ مِنَ الْمُسْلِمَةِ وَلَعَلَّ اخْتِلَافَ الْقَوْلَيْنِ مَحْمُولٌ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنَ الْفَرْقِ بَيْنَ الْفَرِيقَيْنِ

Pendapat yang benar menurut saya dari dua pendapat yang ada adalah bahwa akadnya batal jika ditinggalkan oleh perempuan yang murtad, dan tidak batal jika ditinggalkan oleh laki-laki yang murtad, sebagaimana batalnya akad pada kasus perempuan yang masuk Islam dan tidak batal pada laki-laki yang masuk Islam. Sebab, perempuan adalah pemilik kemaluan yang diharamkan bagi orang kafir dari kalangan perempuan murtad, sebagaimana diharamkan atasnya dari kalangan perempuan muslimah. Barangkali perbedaan dua pendapat itu didasarkan pada apa yang telah kami sebutkan tentang perbedaan antara kedua kelompok tersebut.

فَإِنْ قُلْنَا بِوُجُوبِ الرَّدِّ كَانَ عَلَيْهِمْ لِتَمْكِينٍ مِنْهُمْ وَأَنْ لَا يَذُبُّوا عَنْهُمْ وَلَمْ يَكُنْ عَلَيْهِمْ تَسْلِيمُهُمْ لِأَنَّهُمْ مَا الْتَزَمُوهُ فَإِنْ ذَبُّوا عَنْهُمْ وَلَمْ يُمَكَّنُوا مِنْهُمْ انْتَقَضَ عَهْدُهُمْ

Jika kita berpendapat bahwa pengembalian itu wajib, maka kewajiban tersebut ada pada mereka, agar memungkinkan untuk mengambilnya dari mereka dan agar mereka tidak membela diri dari pengambilan itu. Namun, mereka tidak wajib menyerahkannya, karena mereka tidak berkomitmen untuk itu. Jika mereka membela diri dan tidak memungkinkan untuk mengambilnya dari mereka, maka perjanjian mereka menjadi batal.

وَإِنْ قُلْنَا إِنَّ الرَّدَّ لَا يَجِبُ عَلَيْهِمْ جَازَ لَهُمْ أَنْ يَذُبُّوا عَنْهُمْ وَلَا يُمَكَّنُوا مِنْهُمْ وَكَانُوا فِيهِ عَلَى عَهْدِهِمْ

Dan jika kita mengatakan bahwa membalas (serangan) tidak wajib atas mereka, maka mereka boleh membela diri dari serangan itu dan tidak boleh dibiarkan musuh menguasai mereka, serta mereka tetap berada dalam perjanjian mereka.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ عَهْدُ الْهُدْنَةِ مُطْلَقًا لَمْ يُشْتَرَطْ فِيهِ رَدُّ مَنِ ارتد إليهم ولإقراره مَعَهُمْ فَإِطْلَاقُهُ يُوجِبُ رَدَّ مَنِ ارْتَدَّ مِنَّا وَلَا يُوجِبُ رَدَّ مَنْ أَسْلَمَ مِنْهُمْ لِأَنَّ إِطْلَاقَهُ مُوجِبٌ لِإِمْضَاءِ حُكْمِ الْإِسْلَامِ فِيهِ لِأَنَّ حُكْمَهُ أَعْلَى فَكَانَ الْعَقْدُ عَلَيْهِ بِمَعْنًى فَيَلْزَمُهُمُ التَّمَكُّنُ مِنْهُمْ وَلَا يَلْزَمُهُمْ تَسْلِيمُهُمْ فَإِنْ ذَبُّوا عَنْهُمْ وَلَمْ يُمَكَّنُوا انْتَقَضَ عَهْدُهُمْ فَصَارَتْ أَحْكَامُ الْمُرْتَدِّ إِلَيْهِمْ مِنْ هَذِهِ الْأَقْسَامِ ثَلَاثَةً تَنْقَسِمُ عَلَى أَحْكَامٍ ثَلَاثَةٍ

Bagian ketiga adalah apabila perjanjian gencatan senjata dilakukan secara mutlak tanpa disyaratkan pengembalian orang yang murtad kepada mereka dan tanpa penetapan bersama mereka, maka kemutlakan perjanjian itu mewajibkan pengembalian orang yang murtad dari pihak kita, dan tidak mewajibkan pengembalian orang yang masuk Islam dari pihak mereka. Sebab, kemutlakan perjanjian itu mengharuskan diberlakukannya hukum Islam atasnya, karena hukum Islam lebih tinggi, sehingga akad tersebut berlaku atasnya. Maka, mereka wajib membiarkan (orang yang masuk Islam) bersama kita dan tidak wajib menyerahkan mereka (kepada pihak sebelumnya). Jika mereka melindungi orang tersebut dan tidak membiarkannya, maka perjanjian mereka batal. Dengan demikian, hukum-hukum tentang orang murtad kepada mereka dari tiga bagian ini terbagi menjadi tiga hukum.

أَحَدُهَا إِنَّهُ يَجِبُ عَلَيْهِمْ تَسْلِيمُ الْمُرْتَدِّينَ

Salah satunya adalah bahwa mereka wajib menyerahkan para murtad.

وَالثَّانِي إِنَّهُ يَجِبُ عَلَيْهِمُ التَّمْكِينُ مِنَ الْمُرْتَدِّينَ وَلَا يَجِبُ عَلَيْهِمْ تَسْلِيمُهُمْ

Yang kedua, sesungguhnya mereka wajib memberikan kesempatan kepada para murtad, namun mereka tidak wajib menyerahkan mereka.

وَالثَّالِثُ لَا يَجِبُ عَلَيْهِمْ تَسْلِيمُهُمْ وَلَا التَّمْكِينُ مِنْهُمْ فَإِنْ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِمْ تَسْلِيمُهُمْ وَلَا التَّمْكِينُ مِنْهُمْ وَجَبَ عَلَيْهِمْ أَنْ يَغْرَمُوا مُهُورَ مَنِ ارْتَدَّ مِنْ نِسَائِنَا وَقِيمَةَ مَنِ ارْتَدَّ مِنْ عَبِيدِنَا وَإِمَائِنَا وَلَمْ يَجِبْ عَلَيْهِمْ عَمَّنِ ارْتَدَّ مِنَ الرِّجَالِ الْأَحْرَارِ غُرْمٌ كَمَا لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِمْ عَمَّنْ أَسْلَمَ مِنْ أَحْرَارِهِمْ غُرْمٌ لِأَنَّ رَقَبَةَ الْحُرِّ لَا تُضْمَنُ بِغَيْرِ جِنَايَةٍ فَلَوْ عَادَ الْمُرْتَدُّونَ إِلَيْنَا لَمْ نَرُدَّ عَلَى أَهْلِ الذِّمَّةِ مَا أَخَذْنَاهُ مِنْ مُهُورِ النِّسَاءِ وَرَدَدْنَا مَا أَخَذْنَاهُ مِنْ قِيمَةِ الْعَبِيدِ لِأَنَّهُمْ قَدْ صَارُوا لَهُمْ بِدَفْعِ القيمة ملكا فلم يصر لنسائهم لدفع الْمُهُورِ أَزْوَاجًا

Ketiga, mereka (ahludz-dzimmah) tidak wajib menyerahkan (orang yang murtad) kepada kita dan tidak wajib memudahkan penyerahan mereka. Jika mereka tidak wajib menyerahkan dan tidak wajib memudahkan penyerahan, maka wajib bagi mereka untuk membayar mahar perempuan dari kalangan kita yang murtad, dan membayar nilai budak laki-laki dan perempuan dari kalangan kita yang murtad. Namun, mereka tidak wajib membayar ganti rugi atas laki-laki merdeka dari kalangan kita yang murtad, sebagaimana mereka juga tidak wajib membayar ganti rugi atas orang merdeka dari kalangan mereka yang masuk Islam, karena jiwa orang merdeka tidak dapat dijamin kecuali karena tindak pidana. Jika orang-orang yang murtad itu kembali kepada kita, maka kita tidak mengembalikan kepada ahludz-dzimmah apa yang telah kita ambil dari mahar perempuan, dan kita mengembalikan apa yang telah kita ambil dari nilai budak, karena budak-budak itu telah menjadi milik mereka dengan pembayaran nilai, sedangkan perempuan-perempuan itu tidak menjadi istri mereka hanya dengan pembayaran mahar.

وَإِنْ وَجَبَ عَلَيْهِمُ التَّمْكِينُ مِنْهُمْ وَلَمْ يَجِبْ عَلَيْهِمْ تَسْلِيمُهُمْ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِمْ غُرْمُ مَهْرٍ وَلَا قِيمَةُ مَمْلُوكٍ لِأَنَّنَا إِنْ وَصَلْنَا إِلَيْهِمْ بِالتَّمْكِينِ فَقَدْ وَصَلْنَا إِلَى حَقِّنَا وَإِنْ لَمْ نَصِلْ إِلَيْهِمْ مَعَ التَّمْكِينِ فَلِعَجْزِنَا

Jika yang wajib atas mereka hanyalah memberikan kesempatan (untuk mengambil) dari mereka dan tidak wajib menyerahkan secara langsung, maka mereka tidak wajib membayar ganti rugi mahar maupun nilai budak. Karena jika kita telah sampai kepada mereka dengan adanya kesempatan tersebut, berarti kita telah sampai pada hak kita. Namun jika kita tidak sampai kepada mereka meskipun sudah diberi kesempatan, maka itu karena ketidakmampuan kita.

وَإِنْ وَجَبَ عَلَيْهِمْ تَسْلِيمُهُمْ أُخِذُوا بِهِ جَبْرًا إِذَا كَانَ تَسْلِيمُهُمْ مُمْكِنًا وَلَا غُرْمَ إِذَا سَلَّمُوهُمْ فَإِنْ فَاتَ تَسْلِيمُهُمْ بِالْمَوْتِ أُغْرِمُوا مُهُورَ النِّسَاءِ وَقِيمَةَ الْعَبِيدِ وَالْإِمَاءِ وَإِنْ تَعَذَّرَ تَسْلِيمُهُمْ بِالْهَرَبِ فَإِنْ كَانَ قَبْلَ الْقُدْرَةِ عَلَى رَدِّهِمْ لَمْ يَغْرَمُوا مَهْرًا وَلَا قِيمَةً وَإِنْ كَانَ بَعْدَ الْقُدْرَةِ عَلَى رَدِّهِمْ غَرِمُوا مُهُورَ النِّسَاءِ وَقِيَمَ الْعَبِيدِ وَالْإِمَاءِ

Jika mereka wajib menyerahkan orang-orang tersebut, maka mereka diambil secara paksa jika penyerahan mereka memungkinkan, dan tidak ada ganti rugi jika mereka telah menyerahkannya. Namun, jika penyerahan mereka terlewatkan karena kematian, maka mereka wajib mengganti mahar para wanita dan nilai para budak laki-laki dan perempuan. Jika penyerahan mereka terhalang karena melarikan diri, maka jika itu terjadi sebelum mereka mampu mengembalikannya, mereka tidak wajib mengganti mahar maupun nilai. Namun jika itu terjadi setelah mereka mampu mengembalikannya, maka mereka wajib mengganti mahar para wanita dan nilai para budak laki-laki dan perempuan.

فَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَا وَوَجَبَ لنا عليهم مهور من ارتد من نساءنا وَقِيَمُ مَنِ ارْتَدَّ مِنْ عَبِيدِنَا وَإِمَائِنَا وَوَجَبَ لَهُمْ عَلَيْنَا مُهُورُ مَنْ أَسْلَمَ مِنْ نِسَائِهِمْ وَقِيَمُ مَنْ أَسْلَمَ مِنْ عَبِيدِهِمْ وَإِمَائِهِمْ جَعَلْنَاهُ قِصَاصًا قَوْلًا وَاحِدًا لِمَا فِي الْقَبْضِ وَالتَّسْلِيمِ مِنَ الْخَطَرِ الشَّاقِّ فَإِنِ اسْتَوَيَا فِي الْقَدْرِ بَرِئَتْ مِنْهُ الذِّمَّتَانِ وَإِنْ فَضَلَ لَنَا رَجَعَتْ بِالْفَضْلِ عَلَيْهِمْ وَإِنْ فَضَلَ لَهُمْ دَفَعْنَا الْفَضْلَ إِلَيْهِمْ وَدَفَعَ الْإِمَامُ مَا قَاصَصَهُمْ بِهِ مِنْ بَيْتِ الْمَالِ إِلَى مُسْتَحِقِّيهِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَكَتَبَ إِلَيْهِمْ أَنْ يَدْفَعُوا مَا قُصِّصُوا بِهِ إِلَى مُسْتَحِقِّهِ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Jika hal ini telah ditetapkan, dan menjadi kewajiban bagi mereka kepada kita untuk membayar mahar perempuan kita yang murtad, serta nilai budak laki-laki dan perempuan kita yang murtad, dan menjadi kewajiban bagi kita kepada mereka untuk membayar mahar perempuan mereka yang masuk Islam, serta nilai budak laki-laki dan perempuan mereka yang masuk Islam, maka semuanya dijadikan sebagai qishāsh secara mutlak, karena dalam penyerahan dan penerimaan terdapat risiko yang berat. Jika jumlahnya seimbang, maka kedua tanggungan itu saling gugur. Jika kelebihan ada pada pihak kita, maka kita menuntut kelebihan itu dari mereka. Jika kelebihan ada pada pihak mereka, maka kita membayarkan kelebihan itu kepada mereka. Imam membayarkan apa yang telah dikompensasikan dari Baitul Māl kepada yang berhak dari kaum Muslimin, dan menulis surat kepada mereka agar membayarkan apa yang telah dikompensasikan kepada yang berhak dari kaum musyrik. Dan Allah Maha Mengetahui.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قَالَ الشافعي رحمه الله تعالى ” وَلَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يَعْقِدَ هَذَا الْعَقْدَ إِلَّا الْخَلِيفَةُ أَوْ رَجُلٌ بِأَمْرِهِ لِأَنَّهُ يَلِي الْأَمْوَالَ كُلَّهَا “

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Tidak boleh seorang pun mengadakan akad ini kecuali khalifah atau seseorang yang mendapat perintah darinya, karena dialah yang mengurus seluruh harta.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كَمَا قَالَ لَا يَصِحُّ أَنْ يَتَوَلَّى عَقْدَ الْهُدْنَةِ الْعَامَّةِ إِلَّا مَنْ إِلَيْهِ النَّظَرُ فِي الْأُمُورِ الْعَامَّةِ وَهُوَ الْخَلِيفَةُ أَوْ مَنِ اسْتَنَابَهُ بِهِ فِيهَا الْخَلِيفَةُ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عَاهَدَ بَنِي قُرَيْظَةَ وَبَنِي النَّضِيرِ بِنَفْسِهِ وَهَادَنَ قُرَيْشًا عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ بِنَفْسِهِ وَلِأَنَّ الْخَلِيفَةَ لِإِشْرَافِهِ على جميع الأمور أعرف بمصالحها من أشذاذ النَّاسِ وَلِأَنَّ أَمْرَهُ بِالْوِلَايَةِ أَنْفَذُ وَهُوَ عَلَى التَّدْبِيرِ وَالْحِرَاسَةِ أَقْدَرُ

Al-Mawardi berkata, “Sebagaimana telah disebutkan, tidak sah seseorang mengadakan perjanjian gencatan senjata umum kecuali orang yang memiliki wewenang dalam urusan-urusan umum, yaitu khalifah atau orang yang ditunjuk oleh khalifah untuk itu. Hal ini karena Rasulullah ﷺ sendiri yang mengadakan perjanjian dengan Bani Quraizhah dan Bani Nadhir, dan beliau sendiri yang berdamai dengan Quraisy pada tahun Hudaibiyah. Selain itu, khalifah, karena pengawasannya terhadap seluruh urusan, lebih mengetahui kemaslahatannya dibandingkan orang-orang biasa. Perintahnya dalam urusan kekuasaan lebih efektif, dan ia lebih mampu dalam pengelolaan serta penjagaan.”

فَإِنِ اسْتَنَابَ فِيهَا مَنْ أَمَرَهُ بِعَقْدِهَا صَحَّ لِأَنَّهَا صَدَرَتْ عَنْ رَأْيِهِ فَلَمْ يَلْزَمْهُ أَنْ يُبَاشِرَهَا بِنَفْسِهِ لِأَنَّهُ عَامُّ النَّظَرِ فَلَمْ يَفْرُغْ لِمُبَاشَرَةِ كُلِّ عَمَلٍ فَإِنِ اسْتَنَابَ فِيهَا مَنْ فوض عَقْدَهَا إِلَى رَأْيِهِ جَازَ إِذَا كَانَ مِنْ أَهْلِ الِاجْتِهَادِ وَالرَّأْيِ وَكَانَ عَقْدُهَا فِي هَذَا منسوبا إلى المستناب المباشر وفي قَبْلَهُ مَنْسُوبًا إِلَى الْمُسْتَنِيبِ الْآمِرِ وَهُمَا فِي اللُّزُومِ عَلَى سَوَاءٍ

Jika seseorang mewakilkan urusan tersebut kepada orang yang ia perintahkan untuk melakukannya, maka hal itu sah karena urusan tersebut dilakukan berdasarkan pendapatnya, sehingga tidak wajib baginya untuk melakukannya sendiri, sebab ia memiliki tanggung jawab pengawasan umum sehingga tidak sempat untuk menangani setiap pekerjaan secara langsung. Jika ia mewakilkan urusan tersebut kepada orang yang pelaksanaannya diserahkan pada pendapat orang itu, maka hal itu boleh jika orang tersebut termasuk ahli ijtihad dan memiliki kemampuan berpendapat. Dalam hal ini, pelaksanaan akad tersebut dinisbatkan kepada wakil yang melaksanakannya secara langsung, sedangkan sebelumnya dinisbatkan kepada orang yang mewakilkan dan memerintahkannya. Keduanya dalam hal kewajiban adalah sama.

وَأَمَّا وُلَاةُ الثُّغُورِ فَإِنْ كَانَ تَقْلِيدُهُمْ تَضَمَّنَ الْجِهَادَ وَحْدَهُ لَمْ يَكُنْ لِوَاحِدٍ مِنْهُمْ أَنْ يَعْقِدَ الْهُدْنَةَ إِلَّا قَدْرَ فَتْرَةِ الِاسْتِرَاحَةِ وَهِيَ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ سَنَةً لِأَنَّ عَلَيْهِ أَنْ يُجَاهِدَ فِي كُلِّ سَنَةٍ وَفِيمَا بَيْنَ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَسَنَةٍ قَوْلَانِ لِأَنَّهُ قَعَدَ فِي هَذِهِ الْمُدَّةِ عَنِ الْجِهَادِ مِنْ غَيْرِ هُدْنَةٍ جَازَ فَكَانَ مَعَ الْهُدْنَةِ أَوْلَى بِالْجَوَازِ

Adapun para penguasa perbatasan, jika penunjukan mereka hanya mencakup urusan jihad saja, maka tidak boleh bagi salah seorang dari mereka mengadakan perjanjian gencatan senjata kecuali sebatas masa istirahat, yaitu empat bulan. Tidak boleh lebih dari itu hingga satu tahun, karena ia wajib berjihad setiap tahun. Adapun mengenai masa antara empat bulan dan satu tahun, terdapat dua pendapat, karena jika ia duduk tidak berjihad dalam rentang waktu tersebut tanpa adanya perjanjian gencatan senjata diperbolehkan, maka dengan adanya perjanjian gencatan senjata tentu lebih utama untuk diperbolehkan.

وَإِنْ تَضَمَّنَ تَقْلِيدَ وَالِي الثُّغُورِ أَنَّهُ يَعْمَلُ بِرَأْيِهِ فِي الْجِهَادِ وَالْمُوَادَعَةِ جَازَ أَنْ يَعْقِدَ الْهُدْنَةَ عِنْدَ الْحَاجَةِ إِلَيْهَا لِدُخُولِهَا فِي وِلَايَتِهِ وَالْأَوْلَى أَنْ يَسْتَأْذِنَ فِيهَا الْخَلِيفَةَ فَإِنْ لَمْ يَسْتَأْذِنْهُ انْعَقَدَتْ

Jika pelimpahan wewenang kepada wali perbatasan mencakup bahwa ia boleh bertindak menurut pendapatnya dalam urusan jihad dan perjanjian damai, maka boleh baginya mengadakan gencatan senjata ketika ada kebutuhan terhadapnya, karena hal itu termasuk dalam wilayah kekuasaannya. Namun yang lebih utama adalah ia meminta izin terlebih dahulu kepada khalifah. Jika ia tidak meminta izin, maka perjanjian itu tetap sah.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قال الشافعي رحمه الله تعالى ” وَعَلَى مَنْ بَعْدَهُ مِنَ الْخُلَفَاءِ إِنْفَاذُهُ “

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Dan wajib bagi para khalifah setelahnya untuk melaksanakannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا اجْتَهَدَ الْإِمَامُ فِي الْهُدْنَةِ حَتَّى عَقَدَهَا ثُمَّ مَاتَ أَوْ خُلِعَ لَزِمَ مَنْ بَعْدَهُ مِنَ الْأَئِمَّةِ إِمْضَاؤُهَا إِلَى انْقِضَاءِ مُدَّتِهَا وَلَمْ يَكُنْ لَهُ فَسْخُهَا وَإِنِ اسْتَغْنَى الْمُسْلِمُونَ عَنْهَا لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى فَأَتِمُّوا إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ إِلَى مُدَّتِهِمْ وَلِمَا رُوِيَ أَنَّ نَصَارَى نَجْرَانَ أَتَوْا عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ فِي وِلَايَتِهِ وَقَالُوا لَهُ إِنَّ الْكِتَابَ بِيَدِكَ وَإِنَّ الشَّفَاعَةَ إِلَيْكَ وَإِنَّ عُمَرَ أَجْلَانَا مِنْ أَرْضِنَا فَرُدَّنَا إِلَيْهَا فَقَالَ إِنَّ عُمَرَ كَانَ رَشِيدَ الْأَمْرِ وَإِنِّي لَا أُغَيِّرُ أَمْرًا فَعَلَهُ وَلِأَنَّ مَا نَفَذَ بِالِاجْتِهَادِ وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُفْسَخَ بِالِاجْتِهَادِ كَالْأَحْكَامِ فَإِنْ كَانَ عَقْدُ الْهُدْنَةِ فَاسِدًا فَإِنْ كَانَ فَسَادُهَا مِنْ طَرِيقِ الِاجْتِهَادِ لَمْ تُفْسَخْ لِنُفُوذِ الْحُكْمِ بِإِمْضَائِهَا وَإِنْ كَانَ فَسَادُهَا مِنْ نَصٍّ أَوْ إِجْمَاعٍ فُسِخَتْ

Al-Mawardi berkata, “Ini benar apabila imam telah berijtihad dalam menetapkan perjanjian gencatan senjata hingga ia mengadakannya, kemudian ia wafat atau diberhentikan, maka para imam sesudahnya wajib melanjutkan perjanjian itu sampai masa berlakunya habis, dan mereka tidak berhak membatalkannya, meskipun kaum Muslimin sudah tidak membutuhkannya lagi, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: ‘Maka penuhilah janji mereka sampai batas waktunya,’ dan juga berdasarkan riwayat bahwa kaum Nasrani Najran datang kepada Ali bin Abi Thalib ‘alaihis salam pada masa pemerintahannya dan berkata kepadanya, ‘Surat perjanjian ada di tanganmu, syafaat pun kepadamu, dan Umar telah mengusir kami dari tanah kami, maka kembalikanlah kami ke sana.’ Ali berkata, ‘Umar adalah orang yang bijaksana dalam urusan, dan aku tidak akan mengubah keputusan yang telah ia buat.’ Karena apa yang telah diputuskan melalui ijtihad tidak boleh dibatalkan dengan ijtihad lain, seperti halnya hukum-hukum. Jika akad gencatan senjata itu batal, maka jika kebatalannya berdasarkan ijtihad, perjanjian itu tidak dibatalkan karena keputusan untuk melanjutkannya telah berlaku. Namun, jika kebatalannya berdasarkan nash atau ijmā‘, maka perjanjian itu dibatalkan.”

وَلَمْ يَجُزِ الْإِقْدَامُ عَلَى حَرْبِهِمْ إِلَّا بَعْدَ إِعْلَامِهِمْ بِفَسَادِ الْهُدْنَةِ وَقَدْ تَظَاهَرَ يَهُودُ خَيْبَرَ بِكِتَابٍ نَسَبُوهُ إِلَى عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَنَّهُ كَتَبَهُ لَهُمْ فِي وَضْعِ الْجِزْيَةِ عَنْهُمْ وَلَمْ يَنْقُلْهُ أَحَدٌ مِنَ الرُّوَاةِ عَنْهُ فَلَمْ يَجُزْ قَبُولُ قَوْلِهِمْ فِيهِ وَلَوْ كَانَ صَحِيحًا لَجَازَ أَنْ يَكُونَ لِسَبَبٍ اقْتَضَاهُ الْوَقْتُ ثُمَّ سَقَطَ لِأَنَّهُ لَا يَسْتَجِيزُ أَنْ يُعَامِلَهُمْ بِمَا يَعْدِلُ فِيهِ عَنْ كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى وَقَوْلِهُ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ ^ وَلِذَلِكَ لَمْ يَعْمَلْ عَلَيْهِ الْفُقَهَاءُ وَأَوْجَبُوهَا عَلَيْهِمْ كَغَيْرِهِمْ مِنَ الْيَهُودِ

Tidak diperbolehkan memulai peperangan terhadap mereka kecuali setelah memberitahukan kepada mereka tentang batalnya perjanjian damai. Pernah terjadi bahwa orang-orang Yahudi Khaibar membuat-buat sebuah surat yang mereka nisbatkan kepada Ali ‘alaihis salam, bahwa beliau menulis surat tersebut untuk mereka terkait penghapusan jizyah atas mereka. Namun, tidak ada satu pun perawi yang meriwayatkan hal itu dari beliau, sehingga tidak boleh menerima klaim mereka tersebut. Andaikata pun benar, bisa jadi itu karena suatu sebab yang menuntutnya pada waktu itu, lalu kemudian hukum itu gugur, karena beliau tidak mungkin memperlakukan mereka dengan sesuatu yang menyelisihi Kitab Allah Ta‘ala dan firman-Nya: “hingga mereka membayar jizyah dengan tangan mereka dalam keadaan tunduk.” Oleh karena itu, para fuqaha tidak mengamalkan hal tersebut dan tetap mewajibkan jizyah atas mereka sebagaimana atas orang Yahudi lainnya.

وَتَفَرَّدَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ بِإِسْقَاطِهَا عَنْهُمْ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عاملهم على نَخِيلِ خَيْبَرَ حِينَ فَتَحَهَا وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ الْمُعَامَلَةَ لَا تَقْتَضِي سُقُوطَ الْجِزْيَةِ

Abu Ali bin Abi Hurairah secara khusus berpendapat bahwa jizyah gugur dari mereka, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bermuamalah dengan mereka atas pohon-pohon kurma Khaibar ketika beliau menaklukkannya. Namun, pendapat ini keliru, karena muamalah tidak mengharuskan gugurnya jizyah.

وَيَنْبَغِي لِلْإِمَامِ إِذَا هَادَنَ قَوْمًا أَنْ يَكْتُبَ عَقْدَ الْهُدْنَةِ فِي كِتَابٍ يَشْهَدُ فِيهِ الْمُسْلِمُونَ لِيَشْمَلَ بِهِ الْأَئِمَّةَ بَعْدَهُ وَيَجُوزُ أَنْ يَقُولَ فِيهِ لَكُمْ ذِمَّةُ اللَّهِ وَذِمَّةُ رَسُولِهِ وَذِمَّتِي وَكَذَا فِي الْأَمَانِ لَكُمْ أَمَانُ اللَّهِ وَأَمَانُ رَسُولِهِ وَأَمَانِي وَحَرَّمَ بَعْضُ الْفُقَهَاءِ ذَلِكَ وَكَرِهَهُ آخَرُونَ لِأَنَّهُ رُبَّمَا خُفِرَتِ الذِّمَّةُ فَأَفْضَى ذَلِكَ إِلَى أَنْ تُخْفَرَ ذِمَّةُ اللَّهِ وَذِمَّةُ رَسُولِهِ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ مَعْنَاهُ أَنَّ لَكُمْ مَا أَوْجَبَهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ مِنَ الْوَفَاءِ بِالذِّمَّةِ وَالْأَمَانِ فَلَمْ يَنْسُبْ إِلَيْهِمَا مَا تُخْفَرُ بِهِ ذِمَّتُهُمَا

Seyogianya bagi imam, apabila mengadakan perjanjian damai dengan suatu kaum, untuk menuliskan akad perjanjian damai tersebut dalam sebuah dokumen yang disaksikan oleh kaum Muslimin, agar perjanjian itu mencakup para imam setelahnya. Boleh juga dalam perjanjian itu ia mengatakan, “Kalian mendapat perlindungan Allah, perlindungan Rasul-Nya, dan perlindunganku,” demikian pula dalam pemberian jaminan keamanan: “Kalian mendapat jaminan keamanan dari Allah, jaminan keamanan dari Rasul-Nya, dan jaminan keamananku.” Sebagian fuqaha’ mengharamkan hal itu dan sebagian lainnya memakruhkannya, karena mungkin saja perlindungan itu dilanggar sehingga berakibat pada pelanggaran perlindungan Allah dan Rasul-Nya. Namun, ini adalah kekeliruan, karena maksud dari ucapan tersebut adalah bahwa kalian memperoleh apa yang telah diwajibkan Allah dan Rasul-Nya berupa pemenuhan perlindungan dan jaminan keamanan, sehingga tidak dinisbatkan kepada Allah dan Rasul-Nya sesuatu yang menyebabkan perlindungan mereka dilanggar.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قَالَ الشافعي رحمه الله تعالى ” وَلَا بَأْسَ أَنْ يُصَالِحَهُمْ عَلَى خَرْجٍ عَلَى أَرَاضِيهِمْ يَكُونُ فِي أَمْوَالِهِمْ مَضْمُونًا كَالْجِزْيَةِ “

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Tidak mengapa melakukan perdamaian dengan mereka atas kewajiban membayar pajak atas tanah-tanah mereka yang menjadi tanggungan dalam harta mereka seperti jizyah.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَصُورَتُهَا أَنْ يُصَالِحَ الْإِمَامُ أَهْلَ بَلَدٍ مِنْ دَارِ الْحَرْبِ عَلَى خَرَاجٍ يَضَعُهُ عَلَى أَرْضِهِمْ يَسْتَوْفِيهِ كُلَّ سَنَةٍ مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ

Al-Mawardi berkata: Bentuknya adalah apabila imam melakukan perjanjian damai dengan penduduk suatu negeri dari wilayah dar al-harb atas kewajiban membayar kharaj yang dibebankan kepada tanah mereka, yang dipungut setiap tahun dari harta mereka, maka hal ini terbagi menjadi dua macam.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَنْعَقِدَ الصُّلْحُ عَلَى أَنْ تَكُونَ أَرْضُهُمْ لِلْمُسْلِمِينَ فَقَدْ صَارَتْ بِهَذَا الصُّلْحِ مِنْ دَارِ الْإِسْلَامِ وَصَارُوا بِإِقْرَارِهِمْ فِيهَا أَهْلَ ذِمَّةٍ لَا يُقَرُّونَ إِلَا بِجِزْيَةٍ وَلَا يُجْزِئُ الْخَرَاجُ الْمَأْخُوذُ مِنْ أَرْضِهِمْ عَنْ جِزْيَةِ رؤوسهم لِأَنَّهُ أُجْرَةٌ حَتَّى يَجْمَعَ عَلَيْهِمْ بَيْنَ خَرَاجِ الْأَرْضِ وَجِزْيَةِ الرُّؤُوسِ فَإِنْ أَسْلَمُوا سَقَطَتْ عَنْهُمْ جِزْيَةُ رُؤُوسِهِمْ وَلَمْ يَسْقُطْ عَنْهُمْ خَرَاجُ أَرْضِهِمْ

Salah satu bentuknya adalah akad shulh (perdamaian) dilakukan dengan ketentuan bahwa tanah mereka menjadi milik kaum Muslimin. Dengan adanya shulh ini, tanah tersebut menjadi bagian dari Dar al-Islam, dan mereka, dengan tetap tinggal di sana, menjadi ahl dzimmah yang tidak dapat dibiarkan kecuali dengan membayar jizyah. Kharaj yang diambil dari tanah mereka tidak dapat menggantikan jizyah atas kepala mereka, karena kharaj adalah sewa, sehingga mereka wajib membayar keduanya, yaitu kharaj tanah dan jizyah kepala. Jika mereka masuk Islam, maka jizyah kepala gugur dari mereka, namun kharaj atas tanah mereka tidak gugur.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَنْعَقِدَ الصُّلْحُ عَلَى أَنْ تَكُونَ الْأَرْضُ بَاقِيَةً عَلَى أَمْلَاكِهِمْ وَالْخَرَاجُ الْمَضْرُوبُ عَلَيْهَا مَأْخُوذًا مِنْهُمْ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ

Jenis kedua adalah apabila akad shulh dilakukan dengan ketentuan bahwa tanah tetap menjadi milik mereka dan kharaj yang telah ditetapkan atasnya diambil dari mereka; maka hal ini terbagi menjadi dua jenis.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَنْعَقِدَ الشَّرْطُ عَلَى أَمَانِهِمْ مِنَّا وَلَا يَنْعَقِدَ عَلَى ذَبِّنَا عَنْهُمْ فَتَكُونُ أَرْضُهُمْ مَعَ هذا الشرط من جملة دار الحرب ويكونوا فيها أهل عهد ولا يكونوا أهل ذمة ولا تؤخذ منهم جزية رؤوسهم لِأَنَّهُمْ مُقِيمُونَ فِي دَارِ الْحَرْبِ لَا فِي دَارِ الْإِسْلَامِ فَيْقَتْصِرُ عَلَى أَخْذِ الْخَرَاجِ مِنْهُمْ قَلَّ أَوْ كَثُرَ وَيَكُونُ الْخَرَاجُ كَالصُّلْحِ يَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ الْجِزْيَةِ وَلَيْسَ بِجِزْيَةٍ

Salah satunya adalah bahwa syarat itu diadakan atas jaminan keamanan mereka dari kita, namun tidak diadakan atas kewajiban kita melindungi mereka. Maka, tanah mereka dengan syarat ini tetap termasuk bagian dari Dār al-ḥarb, dan mereka di sana menjadi ahl al-‘ahd, bukan ahl al-dzimmah, serta tidak diambil jizyah kepala dari mereka karena mereka tinggal di Dār al-ḥarb, bukan di Dār al-Islām. Maka, cukup diambil kharāj dari mereka, sedikit atau banyak, dan kharāj itu seperti ṣulḥ yang berlaku atasnya hukum jizyah, namun ia bukan jizyah.

فَإِنْ أَسْلَمُوا أَسْقَطَ الْخَرَاجَ عَنْهُمْ وَصَارَتْ أَرْضُهُمْ أَرْضَ عُشْرٍ

Jika mereka masuk Islam, maka kewajiban membayar kharāj gugur dari mereka dan tanah mereka menjadi tanah ‘usyur.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا يَسْقُطُ عَنْهُمْ خَرَاجُ الْأَرْضِ بِإِسْلَامِهِمْ لِأَنَّهَا قَدْ صَارَتْ بِالصُّلْحِ أَرْضَ خَرَاجٍ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَنْتَقِلَ إِلَى الْعُشْرِ لِنُفُوذِ الْحُكْمِ بِهِ وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ لِأَنَّ مَا اسْتُحِقَّ بِالْكُفْرِ سَقَطَ بِالْإِسْلَامِ كَالْجِزْيَةِ

Abu Hanifah berpendapat bahwa kewajiban membayar kharaj atas tanah tidak gugur dari mereka karena masuk Islam, karena tanah tersebut telah menjadi tanah kharaj melalui perdamaian, sehingga tidak boleh dialihkan menjadi tanah ‘usyur karena hukum telah berlaku atasnya. Namun, pendapat ini tidak benar, karena apa yang diwajibkan karena kekufuran gugur dengan masuk Islam, seperti jizyah.

وَاحْتِجَاجُهُ بِنُفُوذِ الْحُكْمِ فَنُفُوذُهُ مَقْصُورٌ عَلَى مُدَّةِ الْكُفْرِ

Dan dalilnya dengan berlakunya hukum, maka keberlakuannya itu terbatas hanya selama masa kekufuran.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَنْعَقِدَ الشَّرْطُ عَلَى أَمَانِهِمْ مِنَّا وَذَبِّنَا عَنْهُمْ فَقَدْ صَارَتْ أرضهم بهذا الشرط دار الْإِسْلَامِ وَصَارُوا فِيهَا أَهْلَ ذِمَّةٍ لَا يُقَرُّونَ إِلَّا بِجِزْيَةٍ وَيَكُونُ خَرَاجُ أَرْضِهِمْ مَعَ بَقَائِهَا على ملكهم جزية عن رؤوسهم فَلَا يَلْزَمُ أَنْ يُجْمَعَ عَلَيْهِمْ بَيْنَ خَرَاجِ الأرض وجزية الرؤوس

Jenis yang kedua adalah apabila syarat itu diadakan atas jaminan keamanan mereka dari kita dan perlindungan kita terhadap mereka, maka dengan syarat ini negeri mereka menjadi Dar al-Islam dan mereka di dalamnya menjadi ahl dzimmah, yang tidak diakui kecuali dengan membayar jizyah, dan kharaj atas tanah mereka, selama tetap menjadi milik mereka, menjadi jizyah atas kepala mereka. Maka tidak wajib untuk menggabungkan atas mereka antara kharaj tanah dan jizyah kepala.

وقال ابو حنيفة لا تسقط جزية رؤوسهم بِخَرَاجِ الْأَرْضِ وَأَجْمَعُ عَلَيْهِمْ بَيْنَ الْجِزْيَةِ وَالْخَرَاجِ لِأَنَّ خَرَاجَ الْأَرْضِ عِوَضٌ عَنْ إِقْرَارِهَا عَلَيْهِمْ وَالْجِزْيَةَ عَنْ حِرَاسَةِ نُفُوسِهِمْ فَلَمْ يَسْقُطْ أَحَدُهُمَا بِالْآخَرِ وَهَذَا فَاسِدٌ لِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يُقِرَّهُمْ بِالْجِزْيَةِ دُونَ الْخَرَاجِ وَيَكُونُ ذَلِكَ عِوَضًا عَنْهُمَا جَازَ أَنْ يُقِرَّهُمْ بِالْخَرَاجِ دُونَ الْجِزْيَةِ فَيَكُونُ ذَلِكَ عِوَضًا عَنْهَا لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا يَنُوبُ عَنْهُمَا

Abu Hanifah berkata, “Jizyah atas kepala mereka tidak gugur dengan adanya kharaj atas tanah, dan aku mengumpulkan atas mereka antara jizyah dan kharaj, karena kharaj atas tanah adalah sebagai imbalan atas pengakuan kepemilikan tanah mereka, sedangkan jizyah adalah sebagai imbalan atas perlindungan jiwa mereka. Maka, salah satu dari keduanya tidak menggugurkan yang lain.” Namun, pendapat ini tidak tepat, karena ketika boleh menetapkan jizyah atas mereka tanpa kharaj dan itu menjadi pengganti keduanya, maka boleh juga menetapkan kharaj atas mereka tanpa jizyah dan itu menjadi pengganti jizyah, karena masing-masing dari keduanya dapat mewakili yang lain.

فَصْلٌ

Bagian

فَإِذَا تَقَرَّرَ الِاقْتِصَارُ عَلَى خَرَاجِ الْأَرْضِ كَانَتْ صِحَّتُهُ مُعْتَبَرَةً بِشَرْطَيْنِ

Maka apabila telah diputuskan untuk membatasi pada kharāj tanah, keabsahannya bergantung pada dua syarat.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ خَرَاجُ كُلِّ رَجُلٍ مِنْهُمْ لَا يَنْقُصُ عَنْ جِزْيَتِهِ فَإِنْ نَقَصَ عَنْهَا أُخِذَ بِتَمَامِهَا

Salah satunya adalah bahwa kharaj setiap orang dari mereka tidak boleh kurang dari jumlah jizyahnya; jika kurang dari itu, maka diambil hingga mencapai jumlah penuhnya.

وَالثَّانِي أَنَّ مَنْ لَا أَرْضَ لَهُ مِنْهُمْ لَا يُقَرُّ مَعَهُمْ إِلَّا بِجِزْيَةِ رَأْسِهِ وَيُؤْخَذُ هَذَا الْخَرَاجُ مِنْ أَرْضِهِمْ زُرِعَتْ أَوْ لَمْ تُزْرَعْ لِأَنَّهَا جِزْيَةٌ

Yang kedua, bahwa siapa pun di antara mereka yang tidak memiliki tanah, tidak akan dibiarkan tinggal bersama mereka kecuali dengan membayar jizyah atas dirinya, dan kharaj ini diambil dari tanah mereka, baik ditanami maupun tidak, karena itu adalah jizyah.

فَإِنْ شَرَطَ أَخْذَ الْخَرَاجِ مِنْهَا إِذَا زُرِعَتْ وَإِسْقَاطَهُ إِذَا لَمْ تُزْرَعْ كَانَ الشَّرْطُ بَاطِلًا لِأَنَّهُمْ قَدْ يُعَطِّلُونَهَا فَتَسْقُطُ

Jika disyaratkan pengambilan kharaj dari tanah tersebut apabila ditanami, dan penghapusannya apabila tidak ditanami, maka syarat tersebut batal, karena mereka bisa saja sengaja tidak mengelolanya sehingga kharaj menjadi gugur.

وَقَالَ أَبُو عَلِيِّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ مَعَاشٌ غَيْرُ الزرع جاز لأنهم لا يعطونها إِلَّا مِنْ ضَرُورَةٍ وَإِنْ كَانَ لَهُمْ مَعَاشٌ غَيْرُهُ لَمْ يَجُزْ

Abu Ali bin Abi Hurairah berkata: Jika mereka tidak memiliki mata pencaharian selain bertani, maka itu diperbolehkan karena mereka tidak mengambilnya kecuali dalam keadaan darurat. Namun jika mereka memiliki mata pencaharian selain itu, maka tidak diperbolehkan.

وَيُؤْخَذُ هَذَا الْخَرَاجُ مِنْ كُلِّ مَالِكٍ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَإِنْ كَانَتْ جزية الرؤوس مَأْخُوذَةً مِنَ الرِّجَالِ دُونَ النِّسَاءِ لِأَنَّهَا فِي مُقَابَلَةِ مَنْفَعَةِ الْأَرْضِ الَّتِي يَشْتَرِكُ فِيهَا جَمِيعُهُمْ فَصَارَ الْخَرَاجُ أَعَمَّ نَفْعًا مِنَ الْجِزْيَةِ فَلِذَلِكَ صَارَ أَعَمَّ وُجُوبًا

Kharāj ini diambil dari setiap pemilik, baik laki-laki maupun perempuan, meskipun jizyah kepala hanya diambil dari laki-laki dan tidak dari perempuan, karena kharāj ini sebagai imbalan atas manfaat tanah yang dinikmati oleh semuanya. Maka, kharāj menjadi lebih luas manfaatnya dibandingkan jizyah, sehingga kewajibannya pun menjadi lebih umum.

فَإِنْ جَمَعَ الْإِمَامُ عَلَيْهِمْ في شرط بين خارج الأرض وجزية الرؤوس جَازَ وَصَارَ خَرَاجُ الْأَرْضِ زِيَادَةً عَلَى الْجِزْيَةِ فَيُؤْخَذُ قَلِيلًا كَانَ أَوْ كَثِيرًا مِنَ الرِّجَالِ والنساء وتؤخذ جزية الرؤوس مِنَ الرِّجَالِ دُونَ النِّسَاءِ فَإِنْ أَسْلَمُوا أَسْقَطَ عَنْهُمُ الْخَرَاجَ وَالْجِزْيَةَ وَأَسْقَطَ أَبُو حَنِيفَةَ الْجِزْيَةَ دون الخراج

Jika imam menggabungkan atas mereka dalam satu syarat antara kharaj tanah dan jizyah kepala, maka hal itu boleh, dan kharaj tanah menjadi tambahan atas jizyah. Maka diambil (kharaj) itu, baik sedikit maupun banyak, dari laki-laki dan perempuan, dan diambil jizyah kepala dari laki-laki saja, tidak dari perempuan. Jika mereka masuk Islam, maka gugurlah dari mereka kharaj dan jizyah. Abu Hanifah menggugurkan jizyah saja, tidak kharaj.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رحمه الله تعالى ” وَلَا يَجُوزُ عُشُورُ مَا زَرَعُوا لِأَنَّهُ مَجْهُولٌ “

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Tidak boleh mengambil sepersepuluh dari hasil tanaman mereka karena jumlahnya tidak diketahui.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ

Al-Mawardi berkata, “Dan hal ini terbagi menjadi tiga bagian.”

أَحَدُهَما أَنْ تَكُونَ الْأَرْضُ قَدْ صَارَتْ مِلْكًا لِلْمُسْلِمِينَ وَهِيَ دَارُ الْإِسْلَامِ وَهُمْ فِيهَا أَهْلُ ذِمَّةٍ يَلْزَمُهُمْ خَرَاجُ الْأَرْضِ وَجِزْيَةُ الرُّؤُوسِ فَلَا يَجُوزُ الِاقْتِصَارُ مِنْهُمْ عَلَى عُشُورِ مَا زَرَعُوا لِأَنَّ عَلَيْهِمْ حَقَّيْنِ الْخَرَاجَ وَالْجِزْيَةَ فَإِنْ جُعِلَ الْعُشْرُ خَرَاجًا بَقِيَتِ الْجِزْيَةُ وَكَانَ الْخَرَاجُ فَاسِدًا لِأَنَّهُ أُجْرَةٌ لَا تَصِحُّ إِلَّا مَعْلُومَةً وَهَذِهِ مَجْهُولَةٌ لِأَنَّهُمْ قَدْ يَزْرَعُونَ وَلَا يَزْرَعُونَ وَيَكُونُ زَرْعُهُمْ قَلِيلًا أَوْ كَثِيرًا

Salah satunya adalah ketika tanah tersebut telah menjadi milik kaum Muslimin dan merupakan wilayah Dar al-Islam, sementara mereka (non-Muslim) di dalamnya adalah ahl dzimmah yang wajib membayar kharaj atas tanah dan jizyah atas kepala mereka. Maka tidak boleh hanya mengambil dari mereka sepersepuluh hasil pertanian yang mereka tanam, karena atas mereka terdapat dua kewajiban: kharaj dan jizyah. Jika sepersepuluh itu dijadikan sebagai kharaj, maka jizyah tetap ada, dan kharaj menjadi tidak sah, karena kharaj adalah upah yang tidak sah kecuali jika diketahui (jumlahnya), sedangkan yang ini tidak diketahui, karena mereka bisa saja menanam atau tidak menanam, dan hasil tanaman mereka bisa sedikit atau banyak.

وَإِنْ جُعِلَ الْعُشْرُ جِزْيَةً بَقِيَ الْخَرَاجُ وَكَانَتِ الْجِزْيَةُ فَاسِدَةً لِمَا ذَكَرْنَا مِنَ الْجَهَالَةِ بِهَا وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ تَكُونَ الْأَرْضُ لَهُمْ وَهِيَ دَارُ حَرْبٍ وَهُمْ فِيهَا أَهْلُ عَهْدٍ فَيَجُوزُ أَنْ يُصَالَحُوا عَلَى عُشُورِ مَا زَرَعُوا لِأَنَّهُ لَا خَرَاجَ عَلَى أَرْضِهِمْ لِبَقَائِهَا عَلَى مِلْكِهِمْ وَلَا جِزْيَةَ عَلَى رُؤُوسِهِمْ لِمَقَامِهِمْ فِي دَارِ الْحَرْبِ فَيَصِيرُ عُشْرُ زَرْعِهِمْ مَالَ صُلْحٍ لَيْسَ بِخَرَاجٍ وَلَا جِزْيَةٍ فَجَازَ قَلِيلُهُ وَكَثِيرُهُ فِي الْعِلْمِ بِهِ وَالْجَهْلِ لِأَنَّهُ مَالُ تَطَوُّعٍ

Jika ‘usyur dijadikan sebagai jizyah, maka kharaj tetap ada dan jizyah menjadi tidak sah karena adanya ketidakjelasan sebagaimana telah kami sebutkan. Adapun bagian kedua adalah jika tanah itu milik mereka dan merupakan wilayah harb (wilayah perang), sementara mereka di dalamnya adalah ahl al-‘ahd (orang-orang yang memiliki perjanjian), maka boleh saja mereka berdamai atas pembayaran ‘usyur dari hasil pertanian mereka. Sebab, tidak ada kharaj atas tanah mereka karena tanah itu tetap menjadi milik mereka, dan tidak ada jizyah atas kepala mereka karena mereka masih berada di wilayah harb. Maka, ‘usyur dari hasil pertanian mereka menjadi harta sulh (perdamaian) yang bukan kharaj dan bukan pula jizyah, sehingga boleh sedikit maupun banyaknya, baik diketahui maupun tidak, karena itu adalah harta tathawwu‘ (sukarela).

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ تَكُونَ الْأَرْضُ بَاقِيَةً عَلَى مِلْكِهِمْ وَهِيَ دَارُ الْإِسْلَامِ لِأَنَّهُمْ فِيهَا أَهْلُ ذِمَّةٍ تَلْزَمُهُمْ جِزْيَةُ رُؤُوسِهِمْ وَلَا يَلْزَمُهُمْ خَرَاجُ أَرْضِهِمْ فَيَكُونُ صلحهم على عشور ما زرعوا الجزية عَنِ الرُّؤُوسِ فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ لَا يَجُوزُ لِأَنَّهُ مَجْهُولٌ

Bagian ketiga adalah ketika tanah tetap menjadi milik mereka dan merupakan wilayah Islam, karena mereka di sana adalah ahludz-dzimmah yang wajib membayar jizyah atas kepala mereka dan tidak wajib membayar kharaj atas tanah mereka. Maka perdamaian mereka adalah dengan membayar sepersepuluh dari hasil tanaman sebagai jizyah atas kepala mereka. Syafi‘i berkata: “Hal itu tidak boleh, karena tidak jelas (kadarnya).”

فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي وَجْهِ فَسَادِهِ على ثلاثة أوجه

Para ulama kami berbeda pendapat mengenai sebab batalnya (ibadah tersebut) menjadi tiga pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ أَنَّهُ لَمْ يَجُزْ لِأَنَّهُ لَمْ يَعْلَمْ هَلْ يَفِي أَقَلُّهُ بِقَدْرِ الْجِزْيَةِ أَوْ لَا يَفِي فَإِنْ عُلِمَ أَنَّهُ يَفِي بِقَدْرِ الْجِزْيَةِ جَازَ

Salah satu pendapat, yaitu pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, menyatakan bahwa hal itu tidak diperbolehkan karena tidak diketahui apakah jumlah terendahnya mencukupi kadar jizyah atau tidak. Jika diketahui bahwa jumlahnya mencukupi kadar jizyah, maka diperbolehkan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أبي هُرَيْرَةَ إِنَّهُ لَا يَجُوزُ إِذَا كَانَ لَهُمْ مَكْسَبٌ غَيْرُ الزَّرْعِ لِجَوَازِ أَنْ لَا يَزْرَعُوا فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ كَسْبٌ غَيْرُ الزَّرْعِ جَازَ لِأَنَّهُمْ لَا يَدَعُونَهُ إِلَّا مِنْ ضَرُورَةٍ

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, menyatakan bahwa hal itu tidak diperbolehkan jika mereka memiliki penghasilan selain dari pertanian, karena dimungkinkan mereka tidak bertani. Namun, jika mereka tidak memiliki penghasilan selain dari pertanian, maka diperbolehkan, karena mereka tidak akan meninggalkannya kecuali karena keadaan darurat.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ وَهُوَ الْأَصَحُّ إِنَّهُ لَا يَجُوزُ إِذَا لَمْ يَضْمَنُوا تَمَامَ الْجِزْيَةِ عِنْدَ قُصُورِهِ أَوْ فَوَاتِهِ

Pendapat ketiga, dan inilah yang paling sahih, adalah bahwa hal itu tidak diperbolehkan jika mereka tidak menjamin pelunasan jizyah secara penuh ketika terjadi kekurangan atau kehilangan.

وَيَجُوزُ إِنْ ضَمِنُوا تَمَامَ مَا قَصَّرَ أَوْ فَاتَ لِأَنَّ قَدَرَ الْجِزْيَةِ إِذَا تَحَقَّقَ حُصُولُهُ لَمْ تُؤَثِّرِ الْجَهَالَةُ فِيمَا عَدَاهُ مِنَ الطَّوْعِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Dan boleh jika mereka menjamin sepenuhnya apa yang kurang atau terlewat, karena besaran jizyah apabila telah dipastikan tercapai, maka ketidaktahuan terhadap hal selainnya yang bersifat sukarela tidak berpengaruh. Dan Allah lebih mengetahui.

باب تبديل أهل الذمة دينهم
Bab tentang perubahan agama oleh ahludz-dzimmah

مسألة

Masalah

قال الشافعي رحمه الله تعالى ” أَصْلُ مَا أَبْنِي عَلَيْهِ أَنَّ الْجِزْيَةَ لَا تُقْبَلُ مِنْ أَحَدٍ دَانَ دِينَ كِتَابِيٍّ إِلَّا أَنْ يَكُونَ آبَاؤُهُ دَانُوا بِهِ قَبْلَ نُزُولِ الْفُرْقَانِ “

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Prinsip yang aku pegang adalah bahwa jizyah tidak diterima dari siapa pun yang memeluk agama ahli kitab kecuali jika nenek moyangnya telah memeluk agama tersebut sebelum turunnya Al-Furqan (Al-Qur’an).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَدْ مَضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ فِي مَوَاضِعَ شَتَّى وَذَكَرْنَا أَنَّ مَنْ خَالَفَ دِينَ الْإِسْلَامِ مِنَ الْكُفَّارِ يَنْقَسِمُونَ ثَلَاثَةَ أَقْسَامٍ

Al-Mawardi berkata: Masalah ini telah dibahas di berbagai tempat, dan kami telah menyebutkan bahwa orang-orang kafir yang menentang agama Islam terbagi menjadi tiga golongan.

قِسْمٌ هُمْ أَهْلُ كِتَابٍ كَالْيَهُودِ وَالنَّصَارَى فَتُقْبَلُ جِزْيَتُهُمْ وَتَحِلُّ مُنَاكَحَتُهُمْ وَذَبَائِحُهُمْ

Sebagian dari mereka adalah Ahlul Kitab seperti Yahudi dan Nasrani, maka jizyah mereka diterima, pernikahan dengan mereka dibolehkan, dan sembelihan mereka halal.

وَقِسْمٌ لَا كِتَابَ لَهُمْ وَلَا شُبْهَةَ كِتَابٍ كَعَبَدَةِ الْأَوْثَانِ فَلَا تُقْبَلُ جِزْيَتُهُمْ وَلَا تَحِلُّ مُنَاكَحَتُهُمْ وَلَا تُؤْكَلُ ذَبَائِحُهُمْ

Dan golongan yang tidak memiliki kitab suci maupun syubhat kitab, seperti para penyembah berhala, maka jizyah mereka tidak diterima, tidak halal menikahi mereka, dan sembelihan mereka tidak boleh dimakan.

وَقِسْمٌ لَهُمْ شُبْهَةُ كِتَابٍ فَهَؤُلَاءِ تُقْبَلُ جِزْيَتُهُمْ وَلَا تَحِلُّ مُنَاكَحَتُهُمْ وَلَا تُؤْكَلُ ذَبَائِحُهُمْ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ التَّحْرِيمِ

Dan ada golongan yang memiliki syubhat kitab, maka dari mereka ini diterima jizyahnya, namun tidak halal menikahi perempuan mereka dan tidak boleh memakan sembelihan mereka, karena mengedepankan hukum keharaman.

وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ صَارَ كَمَالُ الْحُرْمَةِ فِيهِمْ لِأَهْلِ الْكِتَابِ مِنَ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى وَهَؤُلَاءِ ضَرْبَانِ

Jika demikian, maka kesempurnaan kehormatan itu berlaku pada mereka, yaitu Ahli Kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani, dan mereka ini terbagi menjadi dua golongan.

أَحَدُهُمَا بَنُو إِسْرَائِيلَ وَإِسْرَائِيلُ هُوَ يَعْقُوبُ بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ فَبَعَثَ اللَّهُ تَعَالَى نَبِيَّهُ مُوسَى فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ بِالتَّوْرَاةِ فَآمَنَ بِهِ جَمِيعُهُمْ وَدَعَا غَيْرَهُمْ فَآمَنَ بَعْضُهُمْ وَدَخَلَ بَعْدَهُ فِي دِينِهِ قَوْمٌ ثُمَّ بَدَّلُوا دِينَهُمْ حَتَّى عَدَلُوا عَنِ الْحَقِّ فِيهِ وَسُمِّيَ مَنْ دَخْلَ فِي دِينِهِ الْيَهُودَ فَبَعَثَ اللَّهُ تَعَالَى بَعْدَهُ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ بِالْإِنْجِيلِ إِلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ وَغَيْرِهِمْ فَآمَنَ بِهِ بَعْضُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنَ الْيَهُودِ وَآمَنَ بِهِ طَوَائِفُ مِنْ غَيْرِهِمْ ثُمَّ بَدَّلُوا دِينَهُمْ حَتَّى عَدَلُوا عن الحق فيه وسمي من دخل في دِينِهِ النَّصَارَى فَبَعَثَ اللَّهُ تَعَالَى بَعْدَهُ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِالْقُرْآنِ وَجَعَلَهُ خَاتَمَ الْأَنْبِيَاءِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وعلى جميع الأنبياء المرسلين فَدَعَا جَمِيعَ الْخَلْقِ بَعْدَ ابْتِدَائِهِ بِقُرَيْشٍ لِأَنَّهُمْ قَوْمُهُ ثُمَّ بِالْعَرَبِ ثُمَّ بِمَنْ عَدَاهُمْ فَآمَنَ بِهِ مَنْ هَدَاهُ اللَّهُ تَعَالَى مِنْ كَافَّةِ الْخَلْقِ فَصَارَتْ شَرِيعَةُ الْإِسْلَامِ نَاسِخَةً لِكُلِّ شَرِيعَةٍ تَقَدَّمَتْهَا فَلَمْ يَخْتَلِفْ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ بَعْدَ نَسْخِ جَمِيعِ الشَّرَائِعِ الْمُتَقَدِّمَةِ بِالْإِسْلَامِ أَنَّ النَّصْرَانِيَّةَ مَنْسُوخَةٌ بِشَرِيعَةِ الْإِسْلَامِ وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُهُ فِي الْيَهُودِيَّةِ بِمَاذَا نُسِخَتْ عَلَى وَجْهَيْنِ

Salah satu dari keduanya adalah Bani Israil, dan Israil adalah Ya‘qub bin Ishaq bin Ibrahim. Maka Allah Ta‘ala mengutus Nabi-Nya Musa kepada Bani Israil dengan membawa Taurat, lalu seluruh mereka beriman kepadanya, dan ia mengajak selain mereka, maka sebagian dari mereka beriman, dan setelahnya ada kaum yang masuk ke dalam agamanya. Kemudian mereka mengubah agama mereka hingga mereka menyimpang dari kebenaran di dalamnya, dan orang yang masuk ke dalam agamanya disebut Yahudi. Lalu Allah Ta‘ala mengutus setelahnya ‘Isa bin Maryam dengan membawa Injil kepada Bani Israil dan selain mereka, maka sebagian Bani Israil dari kalangan Yahudi beriman kepadanya, dan beberapa golongan dari selain mereka juga beriman kepadanya. Kemudian mereka mengubah agama mereka hingga mereka menyimpang dari kebenaran di dalamnya, dan orang yang masuk ke dalam agamanya disebut Nasrani. Lalu Allah Ta‘ala mengutus setelahnya Muhammad ﷺ dengan membawa Al-Qur’an dan menjadikannya sebagai penutup para nabi ﷺ dan atas seluruh nabi yang diutus. Maka beliau mengajak seluruh makhluk setelah memulai dengan Quraisy karena mereka adalah kaumnya, kemudian kepada bangsa Arab, lalu kepada selain mereka. Maka beriman kepadanya siapa saja yang diberi petunjuk oleh Allah Ta‘ala dari seluruh makhluk. Maka syariat Islam menjadi penghapus bagi seluruh syariat yang mendahuluinya. Maka tidak ada perbedaan pendapat dalam mazhab asy-Syafi‘i setelah dihapusnya seluruh syariat terdahulu dengan Islam bahwa agama Nasrani telah dihapus dengan syariat Islam, dan para pengikutnya berbeda pendapat tentang Yahudi, dengan apa agama itu dihapus, dalam dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ الْأَشْهَرُ نُسِخَتْ بِالنَّصْرَانِيَّةِ حَيْثُ بَعَثَ اللَّهُ عِيسَى بِالْإِنْجِيلِ

Salah satu pendapat, dan ini yang lebih masyhur, adalah bahwa hukum tersebut telah di-nasakh dengan datangnya agama Nasrani ketika Allah mengutus Isa dengan Injil.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أنَّهَا مَنْسُوخَةٌ بِالْإِسْلَامِ حَيْثُ بَعَثَ اللَّهُ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِالْقُرْآنِ

Pendapat kedua adalah bahwa hukum tersebut telah di-naskh oleh Islam ketika Allah mengutus Muhammad ﷺ dengan al-Qur’an.

فَإِذَا تَقَرَّرَتْ هَذِهِ الْجُمْلَةُ فَكُلُّ مَنْ كَانَ مِنَ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ فَهُمْ مُقَرُّونَ عَلَى دِينِهِمْ تُقْبَلُ جِزْيَتُهُمْ وَتَحِلُّ مُنَاكَحَتُهُمْ وَتُؤْكَلُ ذَبَائِحُهُمْ لِعِلْمِنَا بِدُخُولِهِمْ فِي هَذَيْنِ الدِّينَيْنِ قَبْلَ تَبْدِيلِهِمْ فَثَبَتَتْ لَهُمَا حُرْمَةُ الْحَقِّ فَلَمَّا خَرَجَ أَبْنَاؤُهُمْ عَنِ الْحَقِّ بِالتَّنْزِيلِ حَفِظَ اللَّهُ فِيهِمْ حُرْمَةَ إِسْلَامِهِمْ فَأَقَرَّهُمْ عَلَى دِينِهِمْ مَعَ تَبْدِيلِهِمْ كَمَا قَالَ تَعَالَى فِي قِصَّةِ الْجِدَارِ وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا الْآيَةَ فَحَفِظَ اللَّهُ تَعَالَى بَيْنَهُمَا صَلَاحَ أَبِيهِمَا وَقِيلَ إِنَّهُ كَانَ الْأَبَ السَّابِعَ حَتَّى أَوْصَلَهُمَا إِلَى كَنْزِهِمَا

Maka apabila ketentuan ini telah dipahami, setiap orang dari kalangan Yahudi dan Nasrani dari Bani Israil tetap diakui berada di atas agama mereka, jizyah mereka diterima, pernikahan dengan mereka dibolehkan, dan sembelihan mereka boleh dimakan, karena kita mengetahui bahwa mereka telah memeluk kedua agama ini sebelum terjadinya perubahan (ajaran). Maka tetaplah bagi mereka kehormatan kebenaran. Ketika anak-anak mereka keluar dari kebenaran melalui wahyu, Allah tetap menjaga pada mereka kehormatan keislaman nenek moyang mereka, sehingga Allah membiarkan mereka tetap di atas agama mereka meskipun telah terjadi perubahan, sebagaimana firman Allah Ta‘ala dalam kisah tentang dinding: “Dan ayah mereka adalah orang saleh” (ayat). Maka Allah Ta‘ala menjaga di antara mereka berdua (dua anak yatim) karena kesalehan ayah mereka. Ada yang mengatakan bahwa ayah yang dimaksud adalah ayah ketujuh mereka, hingga Allah menyampaikan mereka berdua kepada harta simpanan mereka.

وَأَمَّا غَيْرُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنَ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى فَيَنْقَسِمُونَ أَرْبَعَةَ أَقْسَامٍ

Adapun selain Bani Israil dari kalangan Yahudi dan Nasrani, mereka terbagi menjadi empat golongan.

أَحَدُهَا أَنْ يَكُونُوا قَدْ دَخَلُوا فِي الْيَهُودِيَّةِ وَالنَّصْرَانِيَّةِ قَبْلَ تَبْدِيلِهِمْ فَيَكُونُوا كَبَنِي إِسْرَائِيلَ فِي إِقْرَارِهِمْ بِالْجِزْيَةِ وَاسْتِبَاحَةِ مُنَاكَحَتِهِمْ وذبائحهم لدخول سلفهم في دين الحق

Salah satunya adalah bahwa mereka telah masuk ke dalam agama Yahudi dan Nasrani sebelum terjadi perubahan (pada agama tersebut), sehingga mereka seperti Bani Israil dalam hal diperbolehkannya menetapkan jizyah atas mereka, membolehkan menikahi perempuan mereka, dan memakan sembelihan mereka, karena para pendahulu mereka telah masuk ke dalam agama yang benar.

والقسم الثَّانِي أَنْ يَكُونُوا قَدْ دَخَلُوا فِيهَا بَعْدَ التَّبْدِيلِ مَعَ غَيْرِ الْمُبَدِّلِينَ فَهُمْ كَالدَّاخِلِ قَبْلَ التَّبْدِيلِ فِي قَبُولِ جِزْيَتِهِمْ وَإِبَاحَةِ مُنَاكَحَتِهِمْ وَذَبَائِحِهِمْ لِأَنَّهُمْ دَخَلُوا فِيهِ مَعَ أَهْلِ الْحَقِّ

Dan kelompok kedua adalah mereka yang masuk ke dalamnya setelah terjadi perubahan (ajaran), bersama selain para pelaku perubahan; maka hukum mereka sama seperti orang yang masuk sebelum terjadinya perubahan, dalam hal diterimanya jizyah mereka, dibolehkannya menikahi wanita mereka, dan sembelihan mereka, karena mereka masuk ke dalamnya bersama para pemeluk kebenaran.

وَالْقِسْمُ الثالث أن يكونا قَدْ دَخَلُوا فِيهِ بَعْدَ التَّبْدِيلِ مَعَ الْمُبَدِّلِينَ فَيَكُونُوا عَنْ حُكْمِ عَبَدَةِ الْأَوْثَانِ لِأَنَّهُمْ لَمْ يَدْخُلُوا فِي حَقٍّ لِأَنَّ التَّبْدِيلَ بَاطِلٌ فَلَا تُقْبَلُ جِزْيَتُهُمْ وَلَا تُسْتَبَاحُ مُنَاكَحَتُهُمْ وَلَا ذَبَائِحُهُمْ وَيُقَالُ لَهُمْ مَا يُقَالُ لِعَبَدَةِ الْأَوْثَانِ إِمَّا الْإِسْلَامُ أَوِ السَّيْفُ

Bagian ketiga adalah mereka yang masuk ke dalamnya setelah terjadi perubahan bersama para pelaku perubahan tersebut, maka mereka termasuk dalam hukum para penyembah berhala, karena mereka tidak masuk ke dalam kebenaran, sebab perubahan itu batil. Maka jizyah mereka tidak diterima, pernikahan dengan mereka tidak dihalalkan, sembelihan mereka juga tidak halal, dan kepada mereka diberlakukan seperti kepada para penyembah berhala: yaitu memilih antara masuk Islam atau menghadapi pedang.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ أَنْ يَقَعَ الشَّكُّ فِيهِمْ دَخَلُوا قَبْلَ التَّبْدِيلِ أَوْ بَعْدَهُ وَهَلْ دَخَلُوا مَعَ الْمُبَدَّلِينَ أَوْ مَعَ غَيْرِ الْمُبَدِّلِينَ فَهَؤُلَاءِ يَغْلِبُ مِنْهُمْ حُكْمُ التَّحْرِيمِ فِي الْأَحْكَامِ الثَّلَاثَةِ فَتُحْقَنُ دِمَاؤُهُمْ بِالْجِزْيَةِ تَغْلِيبًا لِتَحْرِيمِهَا ولا تستباح مناكحهم وَلَا ذَبَائِحُهُمْ تَغْلِيبًا لِتَحْرِيمِهَا كَمَا فَعَلَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي نَصَارَى الْعَرَبِ حِينَ أَشْكَلَ عَلَيْهِ أَمْرُهُمْ هَلْ دَخَلُوا فِي النَّصْرَانِيَّةِ قَبْلَ التَّبْدِيلِ أَوْ بَعْدَهُ فَأَمَرَهُمْ بِالْجِزْيَةِ حَقْنًا لِدِمَائِهِمْ وَحَرَّمَ نِكَاحَ نِسَائِهِمْ وَأَكْلَ ذَبَائِحِهِمْ وَجَعَلَهُمْ في ذلك كالمجوس

Bagian keempat adalah ketika muncul keraguan apakah mereka masuk (agama tersebut) sebelum perubahan atau sesudahnya, dan apakah mereka masuk bersama orang-orang yang telah mengubah (ajaran) atau bersama selain mereka yang tidak mengubah. Maka terhadap kelompok ini, hukum pengharaman lebih dominan dalam tiga perkara: darah mereka dilindungi dengan pembayaran jizyah sebagai bentuk kehati-hatian terhadap keharamannya, namun pernikahan dengan wanita mereka dan memakan sembelihan mereka tidak diperbolehkan, juga sebagai bentuk kehati-hatian terhadap keharamannya. Sebagaimana yang dilakukan oleh ‘Umar radhiyallahu ‘anhu terhadap kaum Nasrani Arab ketika beliau merasa ragu apakah mereka masuk agama Nasrani sebelum perubahan atau sesudahnya, maka beliau memerintahkan mereka membayar jizyah untuk melindungi darah mereka, dan mengharamkan menikahi wanita mereka serta memakan sembelihan mereka, dan beliau memperlakukan mereka dalam hal ini seperti kaum Majusi.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رحمه الله تعالى ” فَلَا تَقْبَلُ مِمَّنْ بَدَّلَ يَهُودِيَّةً بِنَصْرَانِيَّةٍ أَوْ نَصْرَانِيَّةً بِمَجُوسِيَّةٍ أَوْ مَجُوسِيَّةً بِنَصْرَانِيَّةٍ أَوْ بِغَيْرِ الإسلام وإنما أذن الله بأخذ الجزية منهم على ما دانوا به قيل محمد عليه الصلاة والسلام وذلك خلاف ما أحدثوا من الدين بعده فإن أقام على ما كان عليه ولإا نبذ إليه عهده وأخرج من بلاد الإسلام بماله وصار حربا ومن بدل دينه من كتابية لم يحل نكاحها قَالَ الْمُزَنِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ قَدْ قَالَ فِي كتاب النكاح وقال في كتاب الصيد والذبائح إذا بدلت بدين يحل نكاح أهله فهي حلال وهذا عندي أشبه وقال ابن عباس ” ومن يتولهم منكم فإنه منهم ” قال المزني فمن دان منهم دين أهل الكتاب قبل نزول الفرقان وبعده سواء عندي في القياس وبالله التوفيق “

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Maka tidak diterima dari siapa pun yang mengganti agama Yahudi dengan Nasrani, atau Nasrani dengan Majusi, atau Majusi dengan Nasrani, atau dengan selain Islam. Sesungguhnya Allah hanya mengizinkan pengambilan jizyah dari mereka atas agama yang mereka anut ketika Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, dan itu berbeda dengan apa yang mereka ada-adakan dari agama setelahnya. Jika ia tetap pada agamanya yang lama, maka perjanjiannya dibatalkan dan ia dikeluarkan dari negeri Islam beserta hartanya, lalu menjadi musuh. Barang siapa yang mengganti agamanya dari kalangan ahli kitab, maka tidak halal menikahinya.” Al-Muzani rahimahullah berkata, “Ia telah berkata demikian dalam Kitab Nikah, dan ia juga berkata dalam Kitab Berburu dan Sembelihan: Jika ia mengganti kepada agama yang halal menikahi penganutnya, maka ia halal (dinikahi), dan menurutku ini lebih mendekati.” Ibnu Abbas berkata, “Barang siapa di antara kalian yang loyal kepada mereka, maka ia termasuk golongan mereka.” Al-Muzani berkata, “Barang siapa di antara mereka yang menganut agama ahli kitab sebelum turunnya Al-Furqan maupun sesudahnya, menurutku sama saja dalam qiyās. Dan hanya kepada Allah-lah taufik.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَصُورَتُهَا أَنْ يَنْتَقِلَ أَهْلُ الذِّمَّةِ فِي الْإِسْلَامِ مِنْ دِينٍ إِلَى دِينٍ فَذَلِكَ ضَرْبَانِ

Al-Mawardi berkata, “Adapun bentuknya adalah bahwa ahludz-dzimmah berpindah dalam Islam dari satu agama ke agama lain, maka hal itu terbagi menjadi dua macam.”

أَحَدُهُمَا أَنْ يَنْتَقِلُوا إِلَى دِينٍ يُقَرُّ عَلَيْهِ أَهْلُهُ

Salah satunya adalah mereka berpindah kepada agama yang diakui bagi para penganutnya.

وَالثَّانِي إِلَى دِينٍ لَا يُقَرُّ عَلَيْهِ أَهْلُهُ

Dan yang kedua, kepada agama yang para pemeluknya tidak diakui keberadaannya.

فَأَمَّا الضَّرْبُ الْأَوَّلُ وَهُوَ أَنْ يَنْتَقِلُوا إِلَى دِينٍ يُقَرُّ عَلَيْهِ أَهْلُهُ كَمَنْ بَدَّلَ يَهُودِيَّةً بِنَصْرَانِيَّةٍ أَوْ بِمَجُوسِيَّةٍ أَوْ بَدَّلَ نَصْرَانِيَّةً بِيَهُودِيَّةٍ أَوْ مَجُوسِيَّةٍ أَوْ بَدَّلَ مَجُوسِيَّةً بِيَهُودِيَّةٍ أَوْ نَصْرَانِيَّةٍ فَفِي إِقْرَارِهِ عَلَى ذَلِكَ قَوْلَانِ

Adapun jenis pertama, yaitu mereka berpindah kepada agama yang diakui bagi penganutnya, seperti seseorang yang mengganti agama Yahudi dengan Nasrani atau Majusi, atau mengganti agama Nasrani dengan Yahudi atau Majusi, atau mengganti agama Majusi dengan Yahudi atau Nasrani, maka dalam hal membiarkan mereka tetap pada keadaan tersebut terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا إِنَّهُ يُقَرُّ عَلَيْهِ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ وَالْمُزَنِيِّ لِأَنَّ الْكُفْرَ كُلَّهُ مِلَّةٌ وَاحِدَةٌ يَتَوَارَثُونَ بِهَا مَعَ اخْتِلَافِ مُعْتَقَدِهِمْ فَصَارُوا فِي انْتِقَالِهِ فِيهِ مِنْ دِينٍ إِلَى دِينٍ كَانْتِقَالِ الْمُسْلِمِينَ مِنْ مَذْهَبٍ إِلَى مَذْهَبٍ

Salah satunya adalah bahwa hal itu tetap diakui atasnya, dan ini adalah pendapat Abu Hanifah dan al-Muzani, karena seluruh kekufuran adalah satu golongan yang sama, mereka saling mewarisi di dalamnya meskipun keyakinan mereka berbeda-beda. Maka perpindahan mereka di dalamnya dari satu agama ke agama lain adalah seperti perpindahan kaum Muslimin dari satu mazhab ke mazhab lain.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي وَهُوَ أَظْهَرُ أَنَّهُ لَا يُقَرُّ عَلَيْهِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ الْوَثَنِيُّ إِذَا انْتَقَلَ إِلَى نَصْرَانِيَّةٍ لَمْ يُقَرَّ وَالنَّصْرَانِيُّ إِذَا انْتَقَلَ إِلَى وَثَنِيَّةٍ لَمْ يُقَرَّ وَجَبَ إِذَا انْتَقَلَ النَّصْرَانِيُّ إِلَى يَهُودِيَّةٍ أَنْ لَا يُقَرَّ لِأَنَّ جَمِيعَهُمْ مُنْتَقِلٌ إِلَى دِينٍ لَيْسَ بِحَقٍّ

Pendapat kedua, yang lebih kuat, adalah bahwa ia tidak dibenarkan tetap dalam agama tersebut, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Barang siapa mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima darinya,” dan karena jika seorang penyembah berhala berpindah ke agama Nasrani, ia tidak dibenarkan, dan jika seorang Nasrani berpindah ke penyembahan berhala, ia pun tidak dibenarkan. Maka, wajib pula jika seorang Nasrani berpindah ke agama Yahudi, ia tidak dibenarkan, karena semuanya berpindah ke agama yang bukan kebenaran.

فَإِذَا تَقَرَّرَ الْقَوْلَانِ فَإِنْ قِيلَ بِالْأَوَّلِ إِنَّهُ مُقَرٌّ فِي انْتِقَالِهِ لَمْ يَخْلُ حَالُهُ فِيمَا انْتَقَلَ إِلَيْهِ مِنْ ثلاثة أقسام

Maka apabila kedua pendapat tersebut telah dijelaskan, jika dipilih pendapat pertama bahwa ia diakui dalam perpindahannya, maka keadaannya dalam hal yang ia pindah kepadanya tidak lepas dari tiga bagian.

أحدهما أَنْ يَكُونَ مُكَافِئًا لِدِينِهِ كَيَهُودِيٍّ تَنَصَّرَ أَوْ نَصَرَانِيٍّ تَهَوَّدَ فَأَصْلُ هَذَيْنِ الدِّينَيْنِ سَوَاءٌ فِي جَمِيعِ الْأَحْكَامِ وَلَا يَخْتَلِفُ حُكْمُهُمَا بِانْتِقَالِهِ مِنْ أَحَدِ الدِّينَيْنِ إِلَى الْآخَرِ إِلَّا فِي قَدْرِ الْجِزْيَةِ فَتَصِيرُ جِزْيَتُهُ جِزْيَةَ الدِّينِ الَّذِي انْتَقَلَ إليه دون جزية الدين الذين انْتَقَلَ عَنْهُ سَوَاءٌ كَانَتْ أَقَلَّ أَوْ أَكَثَرَ

Pertama, apabila ia setara dalam agamanya, seperti seorang Yahudi yang masuk Kristen atau seorang Nasrani yang masuk Yahudi, maka asal kedua agama ini sama dalam seluruh hukum, dan hukum keduanya tidak berbeda karena perpindahan dari salah satu agama ke agama yang lain, kecuali dalam hal besaran jizyah. Maka, jizyah yang dikenakan padanya menjadi jizyah agama yang ia pindah kepadanya, bukan jizyah agama yang ia tinggalkan, baik jumlahnya lebih sedikit maupun lebih banyak.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ الدِّينُ الَّذِي انْتَقَلَ إِلَيْهِ أَخَفَّ حُكْمًا مِنَ الدِّينِ الَّذِي كَانَ عَلَيْهِ كَنَصْرَانِيٍّ تَمَجَّسَ فَيَنْتَقِلُ عَنْ أَحْكَامِهِ فِي الْجِزْيَةِ وَالْمُنَاكَحَةِ وَالذَّبِيحَةِ وَالدِّيَةِ إِلَى أَحْكَامِ الدِّينِ الَّذِي انْتَقَلَ إِلَيْهِ فَتُقْبَلُ جِزْيَتُهُ وَلَا تَحِلُّ مُنَاكَحَتُهُ وَلَا تُؤْكَلُ ذَبِيحَتُهُ وَتَكُونُ دِيَتُهُ ثُلُثَيْ عُشْرِ دِيَةِ الْمُسْلِمِ بَعْدَ أَنْ كَانَتْ نِصْفَهَا كَالْمَجُوسِ فِي أَحْكَامِهِ كُلِّهَا فَيَصِيرُ بِذَلِكَ مُنْتَقِلًا مِنْ أَخَفِّ الْأَحْكَامِ إِلَى أَغْلَظِهَا

Bagian kedua adalah apabila agama yang ia pindah kepadanya memiliki hukum yang lebih ringan daripada agama yang sebelumnya ia anut, seperti seorang Nasrani yang masuk Majusi, maka ia berpindah dari hukum-hukum sebelumnya terkait jizyah, pernikahan, sembelihan, dan diyat kepada hukum-hukum agama yang ia pindah kepadanya. Maka jizyahnya diterima, namun tidak halal menikahinya, tidak boleh memakan sembelihannya, dan diyatnya menjadi sepertiga dari sepersepuluh diyat seorang Muslim, setelah sebelumnya setengahnya, seperti hukum-hukum Majusi dalam seluruh ketentuannya. Dengan demikian, ia berpindah dari hukum yang lebih ringan kepada hukum yang lebih berat.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ الدِّينُ الَّذِي انتقل إليه أغلى حُكْمًا مِنَ الدِّينِ الَّذِي كَانَ عَلَيْهِ كَمَجُوسِيٍّ تَنَصَّرَ فَفِيهِ وَجْهَانِ أَحَدُهُمَا إِنَّهُ يَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ الدِّينِ الَّذِي انْتَقَلَ إِلَيْهِ لِإِقْرَارِهِ عَلَيْهِ فِي إِبَاحَةِ الْمُنَاكَحَةِ وَالذَّبِيحَةِ وَقَدْرِ الدِّيَةِ فَيَصِيرُ مُنْتَقِلًا مِنْ أَغْلَظِ الْأَحْكَامِ إِلَى أَخَفِّهَا

Bagian ketiga adalah apabila agama yang berpindah kepadanya lebih ringan hukumnya daripada agama sebelumnya, seperti seorang Majusi yang masuk Nasrani. Dalam hal ini terdapat dua pendapat. Salah satunya adalah bahwa ia diberlakukan hukum agama yang ia pindah kepadanya, karena ia diakui dalam hal kebolehan menikah, sembelihan, dan kadar diyat, sehingga ia berpindah dari hukum yang lebih berat kepada hukum yang lebih ringan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي إِنَّهُ يَجْرِي عَلَيْهِ أَحْكَامُ الدِّينِ الَّذِي كَانَ عَلَيْهِ فِي تَحْرِيمِ مُنَاكَحَتِهِ وَذَبِيحَتِهِ وَقَدْرِ دِيَتِهِ تَغْلِيبًا لِأَحْكَامِ التَّغْلِيظِ لِمَا تَقَدَّمَ مِنْ حُرُمَاتِهَا عَلَيْهِ كَالْمَشْكُوكِ فِي دِينِهِ مِنْ نَصَارَى الْعَرَبِ

Adapun pendapat kedua, yaitu bahwa hukum-hukum agama yang dianutnya tetap berlaku atasnya, seperti larangan menikahinya, memakan sembelihannya, dan besaran diyatnya, dengan mengedepankan hukum-hukum yang bersifat pengetatan karena adanya larangan-larangan sebelumnya atas dirinya, sebagaimana orang yang diragukan agamanya dari kalangan Nasrani Arab.

وَإِنْ قِيلَ بِالْقَوْلِ الثَّانِي إِنَّهُ لَا يُقَرُّ عَلَى الدِّينِ الَّذِي انْتَقَلَ إِلَيْهِ وَجَبَ أَنْ يُؤْخَذَ جَبْرًا بِالِانْتِقَالِ عَنْهُ إِلَى دِينٍ يُؤْمَرُ بِهِ وَفِي الدِّينِ الَّذِي يُؤْمَرُ بِالِانْتِقَالِ إِلَيْهِ قَوْلَانِ

Dan jika dikatakan menurut pendapat kedua bahwa ia tidak dibiarkan tetap pada agama yang ia pindah kepadanya, maka wajib baginya dipaksa untuk berpindah darinya kepada agama yang diperintahkan, dan mengenai agama yang diperintahkan untuk berpindah kepadanya terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا دِينُ الْإِسْلَامِ أَوْ غَيْرُهُ لِأَنَّهُ انْتَقَلَ إِلَى دِينٍ قَدْ كَانَ مُقِرًّا بِبُطْلَانِهِ وَانْتَقَلَ عَنْ دِينٍ هُوَ الْآنَ مُقَرٌّ بِبُطْلَانِهِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُقَرَّ عَلَى وَاحِدٍ مِنَ الدِّينَيْنِ لِإِقْرَارِهِ بِبُطْلَانِهِمَا فَوَجَبَ أَنْ يُؤْخَذَ بِالرُّجُوعِ إِلَى دِينِ الْحَقِّ وَهُوَ الْإِسْلَامُ

Salah satunya adalah agama Islam atau selainnya, karena ia telah berpindah kepada agama yang sebelumnya ia akui kebatilannya, dan berpindah dari agama yang sekarang ia akui kebatilannya. Maka tidak boleh ia dibiarkan tetap pada salah satu dari kedua agama tersebut karena ia telah mengakui kebatilan keduanya. Oleh karena itu, wajib baginya untuk kembali kepada agama yang benar, yaitu Islam.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي إِنَّهُ إِنِ انْتَقَلَ إِلَى دِينِ الْإِسْلَامِ أَوْ إِلَى دِينِهِ الَّذِي كَانَ عَلَيْهِ أُقِرَّ عليه فنزل لأننا قد كُنَّا قَدْ صَالَحْنَاهُ عَلَى الْأَوَّلِ عَلَى دِينِهِ وَإِنْ كَانَ عِنْدَنَا بَاطِلًا فَجَازَ أَنْ يُعَادَ إِلَيْهِ وَإِنْ كَانَ عِنْدَهُ بَاطِلًا فَعَلَى هَذَا اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي صِفَةِ دُعَائِهِ إِلَى دِينِهِ الَّذِي كَانَ عَلَيْهِ عَلَى وَجْهَيْنِ

Pendapat kedua menyatakan bahwa jika ia berpindah kepada agama Islam atau kembali kepada agamanya yang dahulu, maka ia tetap diakui atasnya, karena kita sebelumnya telah berdamai dengannya atas dasar agama yang pertama, meskipun menurut kita agama itu batil, maka boleh baginya untuk kembali kepadanya, meskipun menurutnya itu batil. Dalam hal ini, para ulama kami berbeda pendapat mengenai tata cara mengajaknya kembali kepada agamanya yang dahulu, dengan dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَيُشْبِهُ أَنْ يَكُونَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ إِنَّنَا نَدْعُوهُ إِلَى الْعَوْدِ إِلَى الْإِسْلَامِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُدْعَى إِلَى الْعَوْدِ إِلَى الْكُفْرِ فَإِنْ عَادَ إِلَى دِينِهِ فِي الْكُفْرِ أُقِرَّ عَلَيْهِ لِأَنَّ الدُّعَاءَ إِلَى الْكُفْرِ مَعْصِيَةٌ وَيَجُوزُ إِذَا لَمْ يُعْلَمْ أَنَّهُ يُقَرُّ عَلَى دِينِهِ الَّذِي كَانَ عَلَيْهِ أَنْ يُقَالَ لَهُ نَحْنُ نَدْعُوكَ إِلَى الْإِسْلَامِ فَإِنْ عُدْتَ إِلَى دِينِكَ الَّذِي كُنْتَ عَلَيْهِ أَقْرَرْنَاكَ

Salah satunya, dan tampaknya merupakan pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, adalah bahwa kita mengajaknya kembali kepada Islam dan tidak boleh mengajaknya kembali kepada kekufuran. Jika ia kembali kepada agamanya dalam kekufuran, maka ia dibiarkan atasnya, karena mengajak kepada kekufuran adalah maksiat. Dan boleh, jika tidak diketahui bahwa ia akan dibiarkan atas agamanya yang dahulu, untuk dikatakan kepadanya: “Kami mengajakmu kepada Islam. Jika engkau kembali kepada agamamu yang dahulu, kami akan membiarkanmu.”

وَالْوَجْهُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ إِنَّنَا نَدْعُوهُ ابْتِدَاءً إِلَى الْإِسْلَامِ وَإِلَى دِينِهِ الَّذِي كَانَ عَلَيْهِ وَلَا يَكُونُ ذَلِكَ أَمْرًا بِالْعَوْدِ إِلَى الْكُفْرِ لِأَنَّهُ إِخْبَارٌ عَنْ حُكْمِ اللَّهِ تَعَالَى فَلَمْ يَكُنْ أَمْرًا بِالْكُفْرِ أَلَا تَرَى أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ دَعَاهُمْ إِلَى الشَّهَادَةِ أَوِ الْجِزْيَةِ فَلَمْ يَكُنْ ذَلِكَ مِنْهُ أَمْرًا بِالْمُقَامِ عَلَى الْكُفْرِ وَلَكِنَّهُ إِخْبَارٌ عَنْ حُكْمِ اللَّهِ فِيهِمْ فَإِذَا تَوَجَّهَ الْقَوْلَانِ فِيمَا يُؤْمَرُ بِالْعَوْدِ إِلَيْهِ فَإِنْ عَادَ إِلَى الدِّينِ الْمَأْمُورِ بِهِ أُقِرَّ عَلَيْهِ وَإِنْ لَمْ يَعُدْ إِلَيْهِ فَفِيمَا يَلْزَمُ مِنْ حُكْمِهِ قَوْلَانِ

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, adalah bahwa kita mengajaknya terlebih dahulu kepada Islam dan kepada agamanya yang dahulu ia anut, dan hal itu bukanlah perintah untuk kembali kepada kekufuran, karena itu hanyalah pemberitahuan tentang hukum Allah Ta‘ala, sehingga tidak dianggap sebagai perintah untuk kufur. Tidakkah engkau melihat bahwa Rasulullah ﷺ mengajak mereka kepada syahadat atau membayar jizyah, dan itu bukanlah perintah dari beliau untuk tetap berada dalam kekufuran, melainkan pemberitahuan tentang hukum Allah terhadap mereka. Maka jika dua pendapat ini diarahkan pada apa yang diperintahkan untuk kembali kepadanya, jika ia kembali kepada agama yang diperintahkan, maka ia dibiarkan tetap di atasnya, dan jika tidak kembali kepadanya, maka dalam hal yang menjadi konsekuensi hukumnya terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا وَهُوَ الَّذِي نَقَلَهُ الْمُزَنِيُّ هَاهُنَا إِنَّهُ يُنْبَذُ إِلَيْهِ عَهْدُهُ وَيُبَلَّغُ مَأْمَنَهُ ثُمَّ يَكُونُ حَرْبًا لِأَنَّ لَهُ أَمَانًا عَلَى الْكُفْرِ فَلَزِمَ الْوَفَاءُ بِهِ فَعَلَى هَذَا يَجُوزُ تَرْكُهُ ليقضي أَشْغَالَهُ وَنَقْلَ مَالِهِ وَلَا يُتَجَاوَزُ بِهِ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِذَا بَلَغَ أَدْنَى مَأْمَنِهِ بِذُرِّيَّتِهِ وَمَالِهِ صَارَ حَرْبًا

Salah satu pendapat, yaitu yang dinukil oleh al-Muzani di sini, adalah bahwa perjanjian (aman) diberikan kepadanya dan ia diantarkan sampai ke tempat amannya, kemudian setelah itu ia menjadi musuh (harbi), karena ia memiliki aman atas kekufuran, sehingga wajib menepatinya. Berdasarkan pendapat ini, diperbolehkan membiarkannya untuk menyelesaikan urusannya dan memindahkan hartanya, namun tidak boleh melebihi empat bulan. Jika ia telah sampai ke tempat amannya yang paling dekat bersama keluarganya dan hartanya, maka ia menjadi musuh (harbi).

وَالْقَوْلُ الثَّانِي إِنَّهُ يَصِيرُ فِي حُكْمِ الْمُرْتَدِّ لِأَنَّ ذِمَّتَهُ لَيْسَتْ بِأَوْكَدَ مِنْ ذِمَّةِ الْإِسْلَامِ فَعَلَى هَذَا يُسْتَتَابُ فإن تاب وإلا قتل صبرا بالصيف؟ وَفِي الِانْتِظَارِ بِقَتْلِهِ ثَلَاثًا قَوْلَانِ وَيَكُونُ أَمَانُ ذُرِّيَّتِهِ بَاقِيًا وَأَمَّا مَالُهُ فَيَكُونُ فَيْئًا لِبَيْتِ الْمَالِ وَلَا يُورَثُ عَنْهُ لِأَنَّ مَنْ قُتِلَ بِحُكْمِ الرِّدَّةِ لَمْ يُورَثْ

Pendapat kedua menyatakan bahwa ia berada dalam hukum murtad, karena jaminan perlindungannya tidak lebih kuat daripada jaminan perlindungan Islam. Maka, menurut pendapat ini, ia diminta untuk bertobat; jika ia bertobat maka diterima, jika tidak maka ia dibunuh secara sabar pada musim panas. Terkait penundaan pembunuhannya selama tiga hari, terdapat dua pendapat. Perlindungan bagi keturunannya tetap berlaku, sedangkan hartanya menjadi fai’ untuk Baitul Mal dan tidak diwariskan darinya, karena siapa pun yang dibunuh dengan hukum riddah tidak diwarisi hartanya.

فَصْلٌ

Fasal

وَأَمَّا الضَّرْبُ الثَّانِي فِي انْتِقَالِهِ إِلَى دِينٍ لَا يُقَرُّ عَلَيْهِ أَهْلُهُ كَانْتِقَالِهِ مِنْ يَهُودِيَّةٍ أَوْ نَصْرَانِيَّةٍ أَوْ مَجُوسِيَّةٍ إِلَى وَثَنِيَّةٍ أَوْ زَنْدَقَةٍ فَإِنَّهُ لَا يُقَرُّ عَلَيْهِ وَيُؤْخَذُ بِالِانْتِقَالِ عَنْهُ لِأَنَّهُ لَا حُرْمَةَ لِمَا انْتَقَلَ إِلَيْهِ وَلَا يَجُوزُ إِقْرَارُ أَهْلِهِ عَلَيْهِ فَكَانَ إِقْرَارُ غَيْرِ أَهْلِهِ أَوْلَى أَنْ لَا يَجُوزَ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَفِي الَّذِي يُؤْمَرُ بِالرُّجُوعِ إِلَيْهِ ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ

Adapun jenis kedua dalam perpindahan agama adalah berpindah kepada agama yang tidak diakui bagi pemeluknya, seperti berpindah dari Yahudi, Nasrani, atau Majusi kepada agama penyembah berhala atau zindiq, maka ia tidak diakui atas perpindahan tersebut dan wajib untuk meninggalkannya, karena tidak ada kehormatan bagi agama yang ia pindahi itu dan tidak boleh membiarkan pemeluknya tetap di atasnya. Maka, membiarkan orang lain selain pemeluk aslinya lebih utama untuk tidak dibolehkan. Jika demikian keadaannya, maka mengenai agama yang ia diperintahkan untuk kembali kepadanya terdapat tiga pendapat.

أَحَدُهَا الْإِسْلَامُ لَا غَيْرَ لِأَنَّهُ دِينُ الْحَقِّ فَكَانَ أَحَقَّ بِالْعَوْدِ إِلَيْهِ

Salah satunya adalah Islam saja, tidak yang lain, karena ia adalah agama yang benar, maka paling berhak untuk kembali kepadanya.

والْقَوْلُ الثَّانِي الْإِسْلَامُ أَوْ دِينُهُ الَّذِي كَانَ عَلَيْهِ لِمَا تَقَدَّمَ مِنْ صُلْحِهِ عَلَيْهِ

Pendapat kedua adalah Islam, atau agama yang dianutnya berdasarkan perjanjian damai yang telah disepakati sebelumnya.

وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ الْإِسْلَامُ أَوْ دِينُهُ الَّذِي كَانَ عَلَيْهِ أَوْ دِينٌ يُقَرُّ أَهْلُهُ عَلَيْهِ فَفِيمَا عَلَا كَالْيَهُودِيَّةِ وَالنَّصْرَانِيَّةِ أَوِ انْخَفَضَ كَالْمَجُوسِيَّةِ لِأَنَّ الْكُفْرَ كُلَّهُ مِلَّةٌ وَاحِدَةٌ وَفِي صِفَةِ دُعَائِهِ إِلَى ذَلِكَ مَا قَدَّمْنَاهُ الْوَجْهَيْنِ

Pendapat ketiga adalah Islam, atau agama yang dianutnya, atau agama yang para penganutnya diakui tetap memeluknya; maka dalam hal yang tinggi seperti Yahudi dan Nasrani, atau yang lebih rendah seperti Majusi, karena seluruh kekufuran itu adalah satu golongan, dan dalam sifat ajakannya kepada hal tersebut terdapat dua sisi yang telah kami sebutkan sebelumnya.

فَإِنْ عَادَ إِلَى الْمَأْمُورِ بِهِ مِنَ الدِّينِ أُقِرَّ عَلَيْهِ وَلَا جِزْيَةَ عَلَيْهِ فِيمَا بَيْنَ انْتِقَالِهِ وَعَوْدِهِ لِأَنَّهُ فِي حُكْمِ الْمُرْتَدَّةِ وَلَا جِزْيَةَ عَلَى مُرْتَدٍّ وَإِنِ امْتَنَعَ مِنَ الْعَوْدِ إِلَى الدِّينِ الْمَأْمُورِ بِهِ فَفِيمَا يَلْزَمُ مِنْ حُكْمِهِ قَوْلَانِ عَلَى مَا مَضَى

Jika ia kembali kepada agama yang diperintahkan untuk dianut, maka ia diterima atasnya dan tidak dikenakan jizyah atasnya selama masa perpindahan dan kembalinya, karena ia dalam hukum seperti murtad, dan tidak ada jizyah atas orang murtad. Namun jika ia menolak untuk kembali kepada agama yang diperintahkan, maka mengenai kewajiban hukumnya terdapat dua pendapat sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.

أَحَدُهُمَا يُنْبَذُ إِلَيْهِ عَهْدُهُ وَيُبَلَّغُ مَأْمَنَهُ بِمَالِهِ وَبِمَنْ أَطَاعَهُ مِنْ ذُرِّيَّتِهِ ثُمَّ يَكُونُ حَرْبًا

Salah satunya adalah orang yang dikembalikan perjanjiannya kepadanya, lalu ia diantarkan ke tempat amannya bersama hartanya dan siapa saja dari keturunannya yang menaatinya, kemudian setelah itu ia menjadi musuh (dalam peperangan).

فَأَمَّا مَنْ تَمَانَعَ عَلَيْهِ مِنِ ذُرِّيَّتِهِ فَمَنْ كَانَ مِنْهُمْ بَالِغًا مِنْ نِسَائِهِ وَبَنَاتِهِ كَانَ أَمَلَكَ بِنَفْسِهِ وَمَنْ كَانَ مِنْهُمْ صَغِيرًا رُوعِيَ مُسْتَحِقُّ حَضَانَتِهِ فَإِنْ كَانَ هُوَ الْمُسْتَحِقَّ لَهَا كَانَ لَهُ إِخْرَاجُهُمْ جَبْرًا وَعَاوَنَهُ الْإِمَامُ عَلَيْهِ وَإِنْ كَانَ الْمُقِيمُ أَحَقَّ بِحَضَانَتِهِ مُنِعَ مِنْهُمْ وَأُقِرَّ مَعَ الْمُقِيمِ

Adapun jika ada penolakan dari keturunan yang bersangkutan, maka siapa pun dari mereka yang sudah dewasa, baik istri maupun anak perempuannya, maka mereka lebih berhak atas diri mereka sendiri. Sedangkan siapa pun dari mereka yang masih kecil, maka yang diperhatikan adalah siapa yang berhak atas hadhanah-nya. Jika yang berhak atas hadhanah itu adalah dia (yang ingin membawa keluar), maka dia berhak mengeluarkan mereka secara paksa dan imam membantunya dalam hal itu. Namun jika yang tinggal bersama anak itu lebih berhak atas hadhanah-nya, maka dia (yang ingin membawa keluar) dicegah dari mereka dan anak itu tetap bersama orang yang tinggal bersamanya.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي إِنَّهُ يَصِيرُ فِي حُكْمِ الْمُرْتَدِّ يُسْتَتَابُ فَإِنْ تَابَ وَإِلَّا قُتِلَ وَيَكُونُ مَالُهُ فَيْئًا لِبَيْتِ الْمَالِ

Pendapat kedua menyatakan bahwa ia berada dalam hukum murtad, diminta untuk bertobat; jika ia bertobat maka diterima, jika tidak maka ia dibunuh dan hartanya menjadi fai’ bagi Baitul Mal.

فَأَمَّا ذُرِّيَّتُهُ فَمَنْ كَانَ مِنْهُمْ بَالِغًا فَلَهُ حُكْمُ مُعْتَقَدِهِ بِنَفْسِهِ فَإِنْ أَقَامَ عَلَى دِينِهِ أُقِرَّ عَلَيْهِ وَإِنِ انْتَقَلَ عَنْهُ مَعَ وَلِيِّهِ صَارَ عَلَى حكمه فَأَمَّا مِنْ كَانَ مِنْهُمْ صَغِيرًا فَهُوَ عَلَى دِينِهِ الْأَوَّلِ لَا يَزُولُ عَنْهُ حُكْمُهُ بِانْتِقَالِ أَبِيهِ كَمَا لَا يَصِيرُ وَلَدُ الْمُرْتَدِّ مُرْتَدًّا فَإِنْ كَانَ لِصِغَارِ أَوْلَادِهِ أُمٌّ وَعَصَبَةٌ كَانُوا فِي كَفَالَةِ أُمِّهِمْ وَفِي جِزْيَةِ عَصَبَتِهِمْ

Adapun keturunannya, maka siapa saja di antara mereka yang sudah baligh, berlaku baginya hukum keyakinannya sendiri; jika ia tetap pada agamanya, maka ia tetap diakui atasnya, dan jika ia berpindah dari agamanya bersama walinya, maka ia mengikuti hukumnya. Adapun siapa saja di antara mereka yang masih kecil, maka ia tetap pada agama asalnya dan hukumnya tidak berubah karena perpindahan ayahnya, sebagaimana anak dari murtad tidak menjadi murtad. Jika anak-anak kecil itu memiliki ibu dan keluarga laki-laki (‘ashabah), maka mereka berada dalam pemeliharaan ibu mereka dan dalam tanggungan jizyah keluarga laki-lakinya.

وَإِنْ كَانَ لَهُمْ أُمٌّ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ عَصَبَةٌ كَانُوا فِي كَفَالَةِ أُمِّهِمْ وَفِي جِزْيَةِ قَوْمِهَا وَإِنْ كَانَ لَهُمْ عَصَبَةٌ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ أُمٌّ كَانُوا فِي كَفَالَةِ عَصَبَتِهِمْ وَفِي جِزْيَتِهِمْ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ أُمٌّ وَلَا عَصَبَةٌ كَانُوا فِي كَفَالَةِ أَهْلِ دِينِهِمْ وَفِي جِزْيَتِهِمْ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَالَّذِينَ كَفَرُوا بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بعض فَكَانُوا أَلْحَقَ بِكَفَالَتِهِمْ مِنَ الْمُسْلِمِينَ فَإِنْ تَمَانَعُوا مِنْ كَفَالَتِهِمْ أَقْرَعَ بَيْنَهُمْ وَأُجْبِرَ عَلَيْهَا مَنْ قُرِعَ مِنْهُمْ

Jika mereka memiliki ibu dan tidak memiliki ‘ashabah, maka mereka berada dalam tanggungan ibu mereka dan dalam jizyah kaum ibu mereka. Jika mereka memiliki ‘ashabah dan tidak memiliki ibu, maka mereka berada dalam tanggungan ‘ashabah mereka dan dalam jizyah mereka. Jika mereka tidak memiliki ibu maupun ‘ashabah, maka mereka berada dalam tanggungan orang-orang seagama mereka dan dalam jizyah mereka, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Orang-orang kafir itu sebagian mereka adalah pelindung bagi sebagian yang lain.” Maka mereka lebih berhak berada dalam tanggungan orang-orang seagama mereka daripada kaum muslimin. Jika mereka saling menolak untuk menanggung, maka diundi di antara mereka dan siapa yang terpilih dalam undian tersebut wajib menanggungnya.

فَأَمَّا نَفَقَاتُهُمْ إِذَا لَمْ يَكُنْ لَهُمْ مَالٌ وَلَا ذُو قَرَابَةٍ يَلْتَزِمُهَا وَلَا وُجِدَ فِي قَوْمِهِمْ مُتَطَوِّعٌ بِهَا فَهِيَ مُسْتَحَقَّةٌ لمن تَرِكَةِ مَنْ مَاتَ مِنْهُمْ عَنْ غَيْرِ وَارِثٍ لِأَنَّهَا وَإِنْ كَانَتْ تَصِيرُ إِلَى بَيْتِ الْمَالِ فَبَعْدَ فَوَاضِلِ الْحُقُوقِ

Adapun nafkah mereka, jika mereka tidak memiliki harta dan tidak ada kerabat yang wajib menanggungnya, serta tidak ditemukan di kalangan kaumnya orang yang bersedia menanggung secara sukarela, maka nafkah itu menjadi hak atas harta peninggalan orang yang meninggal di antara mereka tanpa ahli waris. Sebab, meskipun harta tersebut nantinya akan masuk ke Baitul Māl, hal itu dilakukan setelah memenuhi hak-hak yang lebih utama.

وَلَوْ قِيلَ إِنَّهَا فِي سَهْمِ الْمَصَالِحِ مِنْ خُمُسِ الْخُمُسِ كَانَ مَذْهَبًا والله تعالى

Dan jika dikatakan bahwa itu termasuk dalam bagian kemaslahatan dari seperlima dari seperlima, maka itu adalah suatu pendapat, dan Allah Ta‘ala lebih mengetahui.

باب نقض العهد
Bab Pembatalan Perjanjian

مسألة

Masalah

قال الشافعي رحمه الله تعالى ” وَإِذَا نَقَضَ الَّذِينَ عَقَدُوا الصُلْحَ عَلَيْهِمْ أَوْ جَمَاعَةٌ مِنْهُمْ فَلَمْ يُخَالِفُوا النَّاقِضَ بِقَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ ظَاهِرٍ أَوِ اعْتِزَالِ بِلَادِهِمْ أَوْ يُرْسِلُونَ إِلَى الْإِمَامِ أَنَّهُمْ عَلَى صُلْحِهِمْ فَلِلْإِمَامِ غَزْوُهُمْ وقتل مقاتلتهم وسبي ذراريهم وغنيمة أموالهم وهكذا فعل النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ببني قريظة عقد عليهم صاحبهم فنقض ولم يفارقوه وليس كلهم أشرك في المعونة على النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وأصحابه ولكن كلهم لزم حصنه فلم يفارق الناقض إلا نفر منهم وأعان على خزاعة وهم في عقد النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ثلاثة أنفار من قريش فشهدوا قتالهم فغزا النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قريشا عام الفتح بغدر ثلاثة نفر منهم وتركهم معونة خزاعة وإيوائهم من قاتلها “

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Apabila orang-orang yang mengadakan perjanjian damai atas mereka atau sebagian kelompok dari mereka melanggar perjanjian tersebut, lalu mereka tidak menentang pelanggar itu dengan ucapan atau perbuatan yang nyata, atau tidak memisahkan diri dari negeri mereka, atau tidak mengirimkan utusan kepada imam bahwa mereka tetap berpegang pada perjanjian mereka, maka imam berhak memerangi mereka, membunuh para pejuang mereka, menawan anak-anak mereka, dan merampas harta mereka. Demikian pula yang dilakukan Nabi ﷺ terhadap Bani Quraizhah; pemimpin mereka telah mengadakan perjanjian atas nama mereka, lalu ia melanggarnya dan mereka tidak memisahkan diri darinya. Tidak semua dari mereka turut membantu dalam memerangi Nabi ﷺ dan para sahabatnya, namun mereka semua tetap berada di bentengnya dan tidak ada yang memisahkan diri dari pelanggar itu kecuali segelintir orang dari mereka. Mereka juga membantu Khuza‘ah, padahal dalam perjanjian Nabi ﷺ hanya ada tiga orang dari Quraisy yang menyaksikan peperangan mereka. Maka Nabi ﷺ memerangi Quraisy pada tahun penaklukan Mekah karena pengkhianatan tiga orang dari mereka dan karena mereka tidak membantu Khuza‘ah serta melindungi orang yang memeranginya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا عَقَدَ الْإِمَامُ الْهُدْنَةَ مَعَ أَهْلِ الْحَرْبِ كَانَ عَقْدُهَا مُوجِبًا لِأَمْرَيْنِ

Al-Mawardi berkata, “Dan ini benar, apabila imam mengadakan perjanjian damai dengan ahl al-harb, maka akad tersebut mewajibkan dua hal.”

أَحَدُهُمَا لِلْمُوَادَعَةِ وَهِيَ الْكَفُّ عَنِ الْمُحَارَبَةِ جَهْرًا وَعَنِ الْخِيَانَةِ سِرًّا قَالَ اللَّهِ تَعَالَى وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِنْ قَوْمٍ خِيَانَةً فَانْبِذْ إِلَيْهِمْ عَلَى سَوَاءٍ

Salah satunya adalah untuk melakukan muwāda‘ah, yaitu menahan diri dari peperangan secara terang-terangan dan dari pengkhianatan secara sembunyi-sembunyi. Allah Ta‘ala berfirman: “Dan jika engkau (wahai Muhammad) khawatir akan adanya pengkhianatan dari suatu kaum, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jelas.”

وَالثَّانِي أَنْ يَشْتَرِكَ فِيهَا الْفَرِيقَانِ فَيَلْتَزِمَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا حُكْمَهُمَا وَلَا يَخْتَصَّ بِأَحَدِهِمَا لِيَأْمَنَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا صَاحِبَهُ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى إِلا الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ فَمَا اسْتَقَامُوا لَكُمْ فَاسْتَقِيمُوا لَهُمْ

Kedua, bahwa kedua pihak terlibat dalam perjanjian tersebut, sehingga masing-masing dari mereka berkomitmen pada ketentuan-ketentuannya dan tidak dikhususkan untuk salah satu pihak saja, agar masing-masing dari mereka merasa aman terhadap pihak lainnya. Allah Ta‘ala berfirman: “Kecuali orang-orang yang kamu telah mengadakan perjanjian dengan mereka di dekat Masjidil Haram, maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus pula terhadap mereka.”

فَإِذَا ثَبَتَ بِهَذَيْنِ الشَّرْطَيْنِ وَجَبَ الْوَفَاءُ بِهَا وَلَمْ يَجُزْ نَقْضُهَا

Maka apabila telah terpenuhi dengan dua syarat ini, wajib menunaikannya dan tidak boleh membatalkannya.

قَالَ اللَّهُ تَعَالَى يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

Allah Ta‘ala berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.”

وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” أَنَا أَحَقُّ مَنْ وَفَّى بِذِمَّتِهِ ” فَإِنْ نَقَضَ الْمُشْرِكُونَ ارْتَفَعَ حُكْمُ الْعَقْدِ وَبَطَلَ أَمَانُهُمْ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَصَارُوا بِنَقْضِهِ حَرْبًا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى وَإِنْ نَكَثُوا أَيْمَانَهُمْ مِنْ بَعْدِ عَهْدِهِمْ

Nabi ﷺ bersabda, “Aku adalah orang yang paling berhak menunaikan janjinya.” Maka jika kaum musyrik melanggar perjanjian, hukum akad tersebut menjadi gugur dan jaminan keamanan mereka dari kaum Muslimin menjadi batal, sehingga dengan pelanggaran itu mereka menjadi musuh yang diperangi. Allah Ta’ala berfirman, “Dan jika mereka melanggar sumpah-sumpah mereka setelah perjanjian mereka…”

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا تَقَرَّرَتْ هَذِهِ الْجُمْلَةُ لَمْ يَخْلُ حَالُهُمْ فِي نَقْضِ الْعَهْدِ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ

Maka apabila ketentuan ini telah ditetapkan, keadaan mereka dalam membatalkan perjanjian tidak lepas dari salah satu dari dua hal.

إِمَّا أَنْ يَكُونَ مِنْ جَمِيعِهِمْ أَوْ مِنْ بَعْضِهِمْ

Bisa jadi berasal dari seluruh mereka atau dari sebagian mereka.

فَإِنْ كَانَ مِنْ جَمِيعِهِمْ صَارَ جَمِيعُهُمْ حَرْبًا وَلَيْسَ لِوَاحِدٍ مِنْهُمْ أَمَانٌ عَلَى نَفْسٍ وَلَا مَالٍ وَإِنْ نَقَضَهُ لَمْ يَخْلُ حَالُ النَّاقِضِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ

Jika perjanjian itu berasal dari seluruh mereka, maka seluruh mereka menjadi musuh, dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang memiliki perlindungan atas jiwa maupun harta. Jika salah satu dari mereka membatalkannya, maka keadaan orang yang membatalkan itu tidak lepas dari tiga keadaan.

أَحَدُهَا أَنْ يَظْهَرَ مِنْهُمُ الرِّضَا بِنَقْضِهِ فِي قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ فَيَنْتَقِضُ عَهْدُهُمْ بِالرِّضَا كَمَا انْتَقَضَ بِهِ عَهْدُ الْمُبَاشَرَةِ وَيَصِيرُ جَمِيعُهُمْ حَرْبًا

Salah satunya adalah apabila tampak dari mereka adanya kerelaan terhadap pelanggaran itu, baik melalui ucapan maupun perbuatan, maka perjanjian mereka batal karena kerelaan tersebut, sebagaimana perjanjian batal karena pelanggaran langsung, dan seluruh mereka menjadi musuh.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَظْهَرَ مِنْهُمُ الْكَرَاهَةُ لِنَقْضِهِ بِقَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ فَيَكُونُوا عَلَى عَهْدِهِمْ وَلَا يَنْتَقِضُ فِيهِمْ بِنَقْضِ غَيْرِهِمْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ أَنْجَيْنَا الَّذِينَ يَنْهَوْنَ عَنِ السُّوءِ

Bagian kedua adalah ketika mereka menampakkan ketidaksukaan terhadap pelanggaran itu, baik dengan ucapan maupun perbuatan, maka mereka tetap berada pada perjanjian mereka dan tidak batal bagi mereka karena pelanggaran orang lain. Allah Ta‘ala berfirman: “Maka ketika mereka melupakan apa yang telah diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan buruk.”

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يُمْسِكُوا عَنْهُ فَلَنْ يَظْهَرَ مِنْهُمْ رِضًا بِهِ وَلَا كَرَاهَةٌ لَهُ فِي قَوْلٍ وَلَا فِعْلٍ فَيَكُونُ إِمْسَاكُهُمْ نَقْضًا لِعَهْدِهِمْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى وَاتَّقُوا فِتْنَةً لا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَكَذَلِكَ كَانَتْ سُنَّةُ اللَّهِ تَعَالَى فِي عَاقِرِ نَاقَةِ صَالِحٍ بَاشَرَ عَقْرَهَا أُحَيْمِرٌ وَهُوَ الْقُدَارُ بْنُ سَالِفٍ وَأَمْسَكَ قَوْمُهُ عَنْهُ فَأَخَذَ اللَّهُ جَمِيعَهُمْ بِذَنْبِهِ فَقَالَ تَعَالَى فَدَمْدَمَ عَلَيْهِمْ رَبُّهُمْ بِذَنْبِهِمْ فسواها ولا يخاف عقباها وفي قوله فسواها ثلاثة تأويلاتل

Bagian ketiga adalah mereka yang bersikap diam terhadapnya, sehingga tidak tampak dari mereka kerelaan maupun kebencian terhadapnya, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Maka sikap diam mereka itu merupakan pelanggaran terhadap perjanjian mereka. Allah Ta‘ala berfirman: “Dan takutlah kalian terhadap fitnah yang tidak hanya menimpa orang-orang zalim di antara kalian secara khusus.” Demikian pula sunnah Allah Ta‘ala terhadap pelaku pembunuhan unta Nabi Shalih; yang secara langsung melakukannya adalah Uhymir, yaitu Qudar bin Salif, sementara kaumnya bersikap diam terhadapnya, maka Allah menimpakan azab kepada mereka semua karena dosanya. Allah Ta‘ala berfirman: “Maka Tuhan mereka membinasakan mereka karena dosa mereka, lalu meratakan (bumi) mereka, dan Dia tidak takut terhadap akibatnya.” Dalam firman-Nya “lalu meratakan (bumi) mereka” terdapat tiga penafsiran.

أَحَدُهَا فَسَوَّى بَيْنَهُمْ فِي الْهَلَاكِ

Salah satunya adalah menyamakan mereka dalam kebinasaan.

وَالثَّانِي فَسَوَّى بِهِمُ الْأَرْضَ

Dan yang kedua, maka Dia menjadikan bumi itu rata bagi mereka.

وَالثَّالِثُ فَسَوَّى بِهِمْ مَنْ بَعْدَهُمْ مِنَ الْأُمَمِ

Dan yang ketiga, dia menyamakan mereka dengan umat-umat setelah mereka.

وَفِي قَوْلِهِ وَلا يَخَافُ عُقْبَاهَا ثَلَاثَةُ تَأْوِيلَاتٍ

Dalam firman-Nya “dan Dia tidak takut akibatnya,” terdapat tiga penafsiran.

أَحَدُهَا وَلَا يَخَافُ اللَّهُ عُقْبَى مَا صَنَعَ بِهِمْ مِنَ الْهَلَاكِ

Salah satunya adalah bahwa Dia tidak takut terhadap akibat dari apa yang telah Dia lakukan kepada mereka berupa kebinasaan.

وَالثَّانِي وَلَا يَخَافُ الَّذِي عَقَرَهَا عُقْبَى مَا صَنَعَ مِنْ عَقْرِهَا

Dan yang kedua, orang yang menyembelih unta itu tidak takut terhadap akibat dari perbuatannya menyembelih unta tersebut.

وَالثَّالِثُ وَلَا يَخَافُ صَالِحٌ عُقْبَى عَقْرِهَا لِأَنَّهُ قَدْ أَنْذَرَهُمْ وَنَجَّاهُ اللَّهُ حِينَ أَهْلَكَهُمْ وَقَدْ وَادَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يَهُودَ بَنِي النَّضِيرِ وَهَمَّ بَعْضُهُمْ بِقَتْلِهِ فَجَعَلَهُ نَقْضًا مِنْهُمْ لِعَهْدِهِ فَغَزَاهُمْ وَأَجْلَاهُمْ

Ketiga, orang saleh tidak perlu takut terhadap akibat buruk dari tindakan mereka, karena ia telah memberikan peringatan kepada mereka dan Allah telah menyelamatkannya ketika Allah membinasakan mereka. Rasulullah ﷺ pernah mengadakan perjanjian dengan Yahudi Bani Nadhir, namun sebagian dari mereka berencana membunuh beliau, sehingga hal itu dianggap sebagai pelanggaran mereka terhadap perjanjian tersebut, lalu beliau memerangi dan mengusir mereka.

وَوَادَعَ يَهُودَ بَنِي قُرَيْظَةَ فَأَعَانَ بَعْضُهُمْ أَبَا سُفْيَانَ بْنَ حَرْبٍ عَلَى حَرْبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فِي الْخَنْدَقِ

Beliau mengadakan perjanjian damai dengan Yahudi Bani Quraizhah, namun sebagian dari mereka membantu Abu Sufyan bin Harb dalam memerangi Rasulullah ﷺ pada Perang Khandaq.

وَقِيلَ إِنَّ الَّذِي أَعَانَهُ مِنْهُمْ ثَلَاثَةٌ حُيَيُّ بْنُ أَخْطَبَ وَأَخُوهُ وَآخَرُ فَنَقَضَ بِهِ عَهْدَهُمْ وَغَزَاهُمْ حَتَّى قَتَلَ رُمَاتَهُمْ وَسَبَى ذَرَارِيَهُمْ

Dikatakan bahwa yang membantu mereka ada tiga orang: Huyay bin Akhtab, saudaranya, dan seorang lagi. Dengan bantuan mereka, mereka melanggar perjanjian mereka, lalu beliau (Nabi) memerangi mereka hingga membunuh para pemanah mereka dan menawan anak-anak mereka.

وَهَادَنَ قُرَيْشًا فِي الْحُدَيْبِيَةِ وَكَانَ بَنُو بَكْرٍ فِي حِلْفِ قُرَيْشٍ وَخُزَاعَةُ فِي حِلْفِ رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَحَارَبَ بَنُو بَكْرٍ خُزَاعَةَ وَأَعَانَ نَفَرٌ مِنْ قُرَيْشٍ بَنِي بَكْرٍ عَلَى خُزَاعَةَ وَأَمْسَكَ عَنْهُمْ سَائِرُ قُرَيْشٍ فَجَعَلَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ نقضا لعهد جميعهم فسار إليهم محاربا ووأخفى عَنْهُمْ أَثَرَهُ حَتَّى نَزَلَ بِهِمْ وَفَتَحَ مَكَّةَ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْمُمْسِكَ يَجْرِي عَلَيْهِ فِي نَقْضِ الْعَهْدِ حُكْمُ الْمُبَاشِرِ وَلِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ عقد بعضهم للهدنة موجب لِأَمَانِ جَمِيعِهِمْ وَإِنْ أَمْسَكُوا كَانَ نَقْضُ بَعْضِهِمْ مُوجِبًا لِحَرْبِ جَمِيعِهِمْ إِذَا أَمْسَكُوا

Rasulullah ﷺ mengadakan perjanjian damai dengan Quraisy di Hudaibiyah. Bani Bakr berada dalam persekutuan Quraisy, sedangkan Khuza‘ah berada dalam persekutuan Rasulullah ﷺ. Kemudian Bani Bakr memerangi Khuza‘ah, dan beberapa orang dari Quraisy membantu Bani Bakr melawan Khuza‘ah, sementara sisanya dari Quraisy tidak ikut campur. Rasulullah ﷺ menganggap hal itu sebagai pelanggaran perjanjian oleh seluruh mereka, lalu beliau berangkat memerangi mereka dan menyembunyikan pergerakannya hingga beliau tiba di hadapan mereka dan menaklukkan Makkah. Hal ini menunjukkan bahwa orang yang tidak ikut campur tetap terkena hukum pelanggaran perjanjian sebagaimana pelaku langsung. Karena ketika sebagian dari mereka mengadakan perjanjian gencatan senjata, itu berlaku sebagai jaminan keamanan bagi seluruh mereka, dan jika mereka diam saja, maka pelanggaran sebagian dari mereka menyebabkan terjadinya perang terhadap seluruh mereka jika mereka tidak bertindak.

فَصْلٌ

Fasal

فَإِذَا ثَبَتَ مَا وَصَفْنَا وَجَعَلْنَا ذَلِكَ نَقْضًا لِعَهْدِ جَمِيعِهِمْ جَازَ أَنْ يَبْدَأَ الْإِمَامُ بِقِتَالِهِمْ بِإِنْذَارٍ وَغَيْرِ إِنْذَارٍ كَمَا سَارَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إِلَى نَاقِضِ عَهْدِهِ فُجَاءَةً بِغَيْرِ إِنْذَارٍ وَجَازَ أَنْ يَهْجُمَ عَلَيْهِمْ غِرَّةً وَبَيَاتًا فَيَقْتُلَ رِجَالَهُمْ وَيَسْبِيَ ذَرَارِيَهُمْ وَيَغْنَمَ أَمْوَالَهُمْ كَمَا فَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ بِبَنِي قُرَيْظَةَ

Maka apabila telah tetap apa yang telah kami jelaskan dan kami anggap hal itu sebagai pembatalan perjanjian seluruh mereka, maka boleh bagi imam untuk memulai memerangi mereka dengan atau tanpa pemberitahuan, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendatangi orang yang membatalkan perjanjiannya secara tiba-tiba tanpa pemberitahuan. Dan boleh pula menyerang mereka secara tiba-tiba dan pada malam hari, lalu membunuh laki-laki mereka, menawan anak-anak mereka, dan merampas harta mereka, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Bani Quraizhah.

وَإِنْ جَعَلْنَاهُ نَقْضًا لِعَهْدِ مَنْ بَاشَرَ وَلَمْ نَجْعَلْهُ نَقَضًا لِعَهْدِ مَنْ لَمْ يُبَاشِرْ لَمْ يَخْلُ حَالُهُمْ أَنْ يَكُونُوا مُتَمَيِّزِينَ عَنْهُمْ أَوْ مُخْتَلِطِينَ بِهِمْ فَإِنْ تَمَيَّزُوا عَنْهُمْ فِي مَوْضِعٍ انْحَازُوا عَنْهُ أَجْرَى عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْفَرِيقَيْنِ حُكْمَهُ فَقُوتِلَ النَّاقِضُونَ لِلْعَهْدِ وقتلوا وكف عن غير غَيْرِ النَّاقِضِينَ وَأُمِّنُوا وَإِنِ اخْتَلَطُوا بِهِمْ فِي مَوَاضِعِهِمْ غَيْرَ مُتَمَيِّزِينَ عَنْهُمْ لَمْ يُجُزْ أَنْ نُقَاتِلَهُمْ إِلَّا بَعْدَ إِنْذَارِهِمْ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَشُنَّ عَلَيْهِمُ الْغَارَةَ وَلَا يَهْجُمَ عَلَيْهِمْ غِرَّةً وَبَيَاتًا وَيَقُولَ لَهُمْ يَتَمَيَّزُ مِنْكُمْ نَاقِضُ الْعَهْدِ مِمَّنْ لَمْ يَنْقُضْهُ فَإِنْ تَمَيَّزُوا عَمِلَ بِمَا تَقَدَّمَ وَإِنْ لَمْ يَتَمَيَّزُوا نَظَرَ فَإِنْ كَانَ الْمُقِيمُونَ عَلَى الْعَهْدِ أَكْثَرَ أَوْ أَظْهَرَ لَمْ ينذروا بالقتال وقيل لهم ميزوا عنكم ناقضوا الْعَهْدِ مِنْكُمْ إِمَّا بِتَسْلِيمِهِمْ إِلَيْنَا وَإِمَّا بِإِبْعَادِهِمْ عَنْكُمْ

Jika kita menganggap hal itu sebagai pembatalan terhadap perjanjian bagi orang yang secara langsung melakukannya, dan tidak menganggapnya sebagai pembatalan bagi orang yang tidak melakukannya, maka keadaan mereka tidak lepas dari dua kemungkinan: mereka terpisah dari kelompok lain atau bercampur dengan mereka. Jika mereka terpisah di suatu tempat, maka masing-masing kelompok diberlakukan hukum yang sesuai; maka orang-orang yang membatalkan perjanjian diperangi dan dibunuh, sedangkan terhadap selain pembatal perjanjian dihentikan peperangan dan mereka diberi jaminan keamanan. Namun jika mereka bercampur di tempat mereka tanpa ada perbedaan yang jelas, maka tidak boleh memerangi mereka kecuali setelah memberi peringatan, dan tidak boleh melakukan serangan mendadak atau menyerang mereka secara tiba-tiba di malam hari. Hendaknya dikatakan kepada mereka: “Pisahkan antara pembatal perjanjian dari yang tidak membatalkannya.” Jika mereka memisahkan diri, maka dilakukan sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Jika mereka tidak memisahkan diri, maka dilihat lagi: jika orang-orang yang tetap memegang perjanjian lebih banyak atau lebih tampak, maka mereka tidak diperingatkan untuk berperang, dan dikatakan kepada mereka: “Pisahkan dari kalian orang-orang yang membatalkan perjanjian, baik dengan menyerahkan mereka kepada kami atau dengan menjauhkan mereka dari kalian.”

فَإِذَا فَعَلُوهُ فَقَدْ تَمَيَّزُوا بِهِ وَخَرَجُوا مِنْ نَقْضِ الْعَهْدِ وَإِنْ لَمْ يَفْعَلُوا وَاحِدًا مِنْهُمَا وَأَقَامُوا عَلَى اخْتِلَاطِهِمْ بِهِمْ بَعْدَ الْمُرَاسَلَةِ بِالتَّمَيُّزِ عَنْهُمْ صَارُوا مُمَاثِلِينَ لَهُمْ فَصَارَ ذَلِكَ حِينَئِذٍ نَقْضًا مِنْهُمْ لِلْعَهْدِ فَجَرَى عَلَى جَمِيعِهِمْ حُكْمُ النَّقْضِ لِأَنَّ مُوجِبَ الْعَهْدِ أَنْ لَا يُمَايِلُوا عَلَيْنَا عَدُوًّا لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى إِلا الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ ثُمَّ لَمْ يَنْقُصُوكُمْ شَيْئًا الْآيَةَ وَقَدْ ظَاهَرُوهُمْ بِالْمُمَايَلَةِ فَانْتَقَضَ عَهْدُهُمْ وَإِنْ كَانَ النَّاقِضُونَ لِلْعَهْدِ أَكْثَرَ وَأَظْهَرَ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَشُنَّ عَلَيْهِمُ الْغَارَةَ وَلَا يُقْتَلُوا فِي غِرَّةٍ وَبَيَاتٍ وَحُورِبُوا جَهْرًا وَلَمْ يَجِبِ الْكَفُّ عَنْ قِتَالِهِمْ لِأَجْلِ مَنْ بَيْنَهُمْ مِنْ أَهْلِ الْعَهْدِ لِأَنَّهُمْ كَالْأُسَرَاءِ فِيهِمْ فَإِنْ أُسِرُوا لَمْ يَجُزْ قَتْلُ الْأَسْرَى إِلَّا بَعْدَ الْكَشْفِ عَنْهُمْ هَلْ هُمْ مِمَّنْ نَقَضَ الْعَهْدَ أَوْ أَقَامَ عَلَيْهِ فَإِنْ لَمْ يُوصَلْ إِلَيْهِ إِلَّا مِنْهُمْ جَازَ أَنْ يُقْبَلَ قَوْلُهُمْ فِي أَنْفُسِهِمْ وَكَذَلِكَ فِي ذَرَارِيهِمْ إِنْ سُبُوا وَأَمْوَالِهِمْ إِنْ غُنِمَتْ وَلَا تُقْبَلُ شَهَادَةُ بَعْضِهِمْ لِبَعْضٍ فَإِنِ ادَّعَوْا مِنَ الذَّرَارِي وَالْأَمْوَالِ مَا أَنْكَرَهُ الْغَانِمُونَ نُظِرَ فَإِنْ كَانَ فِي أَيْدِيهِمْ فَالْقَوْلُ فِيهِ قَوْلُهُمْ مَعَ أَيْمَانِهِمْ وَإِنْ كَانَ فِي أَيْدِي الْغَانِمِينَ لَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهُمْ فِيهِ إِلَّا ببينة فشهد لَهُمْ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَلَا يَحْلِفُ الْغَانِمُونَ عَلَيْهِ لِأَنَّهُمْ لَا يَتَعَيَّنُونَ فِي اسْتِحْقَاقِهِ وَكَانَ مَغْنُومًا مع عدم البينة

Jika mereka telah melakukannya, maka mereka telah membedakan diri dengan itu dan keluar dari pelanggaran perjanjian. Namun jika mereka tidak melakukan salah satu dari keduanya dan tetap bercampur dengan mereka setelah adanya surat-menyurat untuk membedakan diri dari mereka, maka mereka menjadi serupa dengan mereka, sehingga hal itu menjadi pelanggaran perjanjian dari pihak mereka. Maka berlaku atas mereka semua hukum pelanggaran, karena konsekuensi dari perjanjian adalah tidak boleh memihak kepada musuh kita, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: “Kecuali orang-orang musyrik yang telah kalian buat perjanjian dengan mereka, kemudian mereka tidak mengurangi kalian sedikit pun…” (ayat). Mereka telah membantu musuh dengan memihak, sehingga perjanjian mereka pun batal. Namun jika yang melanggar perjanjian lebih banyak dan lebih nyata, tidak boleh melakukan serangan mendadak terhadap mereka, dan tidak boleh membunuh mereka secara tiba-tiba atau pada malam hari, melainkan diperangi secara terang-terangan. Tidak wajib menahan diri dari memerangi mereka karena di antara mereka ada orang-orang yang masih terikat perjanjian, karena mereka seperti tawanan di tengah-tengah mereka. Jika mereka tertawan, tidak boleh membunuh tawanan kecuali setelah diselidiki apakah mereka termasuk yang melanggar perjanjian atau masih memegangnya. Jika tidak dapat diketahui kecuali dari pengakuan mereka, maka boleh menerima pernyataan mereka tentang diri mereka sendiri, demikian pula tentang anak-anak mereka jika mereka tertawan, dan harta mereka jika dirampas. Tidak diterima kesaksian sebagian mereka untuk sebagian yang lain. Jika mereka mengklaim anak-anak atau harta yang dibantah oleh para perampas, maka dilihat: jika berada di tangan mereka, maka pernyataan mereka diterima dengan sumpah mereka; jika berada di tangan para perampas, maka pernyataan mereka tidak diterima kecuali dengan bukti, dan jika ada yang bersaksi dari kalangan Muslim untuk mereka. Para perampas tidak disumpah atasnya karena mereka tidak ditentukan dalam hak kepemilikan, dan harta itu dianggap rampasan jika tidak ada bukti.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رحمه الله تعالى ” مَتَى ظَهَرَ مِنْ مُهَادِنِينَ مَا يَدُلُّ عَلَى خِيَانَتِهِمْ نَبَذَ إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ وَأَبْلَغَهُمْ مَأْمَنَهُمْ ثُمَّ هُمْ حَرْبٌ قَالَ اللَّهِ تَعَالَى وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِنْ قَوْمٍ خِيَانَةً الْآيَةَ “

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Apabila tampak dari orang-orang yang mengadakan perjanjian damai tanda-tanda yang menunjukkan pengkhianatan mereka, maka perjanjian mereka dibatalkan dan mereka diberi jaminan keamanan hingga sampai ke tempat aman mereka, setelah itu mereka menjadi musuh. Allah Ta‘ala berfirman: ‘Dan jika engkau (Muhammad) khawatir akan adanya pengkhianatan dari suatu kaum…’ (ayat).”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ اعْلَمْ أَنَّ عَقْدَ الْهُدْنَةِ مُوجِبٌ لِثَلَاثَةِ أُمُورٍ

Al-Mawardi berkata, “Ketahuilah bahwa akad gencatan senjata mewajibkan tiga hal.”

أَحَدُهَا الْمُوَادَعَةُ فِي الظَّاهِرِ

Salah satunya adalah melakukan perjanjian damai secara lahiriah.

وَالثَّانِي تَرْكُ الْخِيَانَةِ فِي الْبَاطِنِ

Dan yang kedua adalah meninggalkan pengkhianatan dalam batin.

وَالثَّالِثُ الْمُجَامَلَةُ فِي الْأَقْوَالِ وَالْأَفْعَالِ

Ketiga adalah bersikap ramah dalam ucapan dan perbuatan.

فَأَمَّا الْأَوَّلُ وَهُوَ الْمُوَادَعَةُ فِي الظَّاهِرِ فَهِيَ الْكَفُّ عَنِ الْقِتَالِ وَتَرْكُ التَّعَرُّضِ لِلنُّفُوسِ وَالْأَمْوَالِ فَيَجِبُ عَلَيْهِمْ لِلْمُسْلِمِينَ مِثْلُ مَا يَجِبُ لَهُمْ عَلَى الْمُسْلِمِينَ فَيَسْتَوِيَانِ فِيهِ وَلَا يَتَفَاضَلَانِ وَيَجِبُ عَلَيْهِمْ أَنْ يَكُفُّوا عَنْ أَهْلِ ذِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَلَا يَجِبُ عَلَى الْمُسْلِمِينَ أَنْ يَكُفُّوا عَنْ أَهْلِ ذِمَّتِهِمْ إِلَّا أَنْ يُدْخِلُوهَا فِي عَقْدِ مُهَادَنَتِهِمْ فَيَخْتَلِفَانِ فِي الذِّمَّتَيْنِ وَإِنْ تَسَاوَيَا فِي الْمُوَادَعَتَيْنِ فَإِنْ عَدَلُوا عَنِ الْمُوَادَعَةِ إِلَى ضِدِّهَا فَقَاتَلُوا قَوْمًا مِنَ الْمُسْلِمِينَ أَوْ قَتَلُوا قَوْمًا مِنَ الْمُسْلِمِينَ أَوْ أَخَذُوا مَالَ قَوْمٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ انْتَقَضَتْ هُدْنَتُهُمْ بِفِعْلِهِمْ وَلَمْ يُفْتَقَرْ إِلَى حُكْمِ الْإِمَامِ لِنَقْضِهَا وَجَازَ أَنْ يُبْدَأَ بِقِتَالِهِمْ مِنْ غَيْرِ إِنْذَارٍ وَيُشَنَّ عَلَيْهِمُ الْغَارَةَ وَيُهْجَمَ عَلَيْهِمْ غِرَّةً وَبَيَاتًا وَجَرَى ذَلِكَ فِي نَقْضِ الْهُدْنَةِ مَجْرَى تَصْرِيحِهِمْ بِالْقَوْلِ أنهم قَدْ نَقَضُوا الْهُدْنَةَ

Adapun yang pertama, yaitu perjanjian damai secara lahiriah, maka maksudnya adalah menahan diri dari peperangan dan tidak melakukan penyerangan terhadap jiwa maupun harta. Maka, mereka wajib memberikan kepada kaum Muslimin apa yang wajib diberikan kaum Muslimin kepada mereka, sehingga keduanya setara dalam hal ini dan tidak ada keutamaan satu atas yang lain. Mereka juga wajib menahan diri dari mengganggu ahludz-dzimmah kaum Muslimin, dan kaum Muslimin tidak wajib menahan diri dari ahludz-dzimmah mereka kecuali jika mereka memasukkan ahludz-dzimmah itu ke dalam akad perjanjian damai mereka; maka dalam hal ini, keduanya berbeda dalam hal dzimmah, meskipun setara dalam perjanjian damai. Jika mereka beralih dari perjanjian damai kepada kebalikannya, lalu memerangi sekelompok kaum Muslimin, atau membunuh sekelompok kaum Muslimin, atau mengambil harta sekelompok kaum Muslimin, maka perjanjian damai mereka batal karena perbuatan mereka, dan tidak diperlukan keputusan imam untuk membatalkannya. Maka boleh memulai memerangi mereka tanpa peringatan, melakukan serangan mendadak, dan menyerang mereka secara tiba-tiba di malam hari. Hal ini dalam pembatalan perjanjian damai sama kedudukannya dengan pernyataan tegas dari mereka bahwa mereka telah membatalkan perjanjian damai.

وَأَمَّا الثَّانِي وَهُوَ تَرْكُ الْخِيَانَةِ فَهُوَ أَنْ لَا يَسْتَسِرُّوا بِفِعْلِ مَا يَنْقُضُ الْهُدْنَةَ لَوْ أَظْهَرُوهُ مِثْلَ أَنْ يُمَايِلُوا فِي السِّرِّ عَدُوًّا أَوْ يَقْتُلُوا فِي السِّرِّ مُسْلِمًا أَوْ يَأْخُذُوا لَهُ مَالًا أَوْ يَزْنُوا بِمُسْلِمَةٍ وَهَذَا مِمَّا يَسْتَوِي الْفَرِيقَانِ فِي الْتِزَامِهِ فَإِنْ خَانُوا بِذَلِكَ حُكْمَ الْإِمَامِ تَنْتَقِضْ هُدْنَتُهُمْ وَلَمْ تَنْتَقِضْ بِمُجَرَّدِ خِيَانَتِهِمْ وَيَكُونُوا عَلَى الْهُدْنَةِ مَا لَمْ يَحْكُمِ الْإِمَامُ بِنَقْضِهَا لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِنْ قَوْمٍ خِيَانَةً فَانْبِذْ إِلَيْهِمْ عَلَى سَوَاءٍ

Adapun yang kedua, yaitu meninggalkan pengkhianatan, maksudnya adalah mereka tidak diam-diam melakukan sesuatu yang membatalkan perjanjian damai jika hal itu diketahui, seperti diam-diam berpihak kepada musuh, membunuh seorang Muslim secara sembunyi-sembunyi, mengambil hartanya, atau berzina dengan seorang Muslimah. Dalam hal ini, kedua pihak sama-sama wajib mematuhinya. Jika mereka berkhianat dengan melakukan hal-hal tersebut, maka hukum imamlah yang membatalkan perjanjian damai mereka, dan perjanjian itu tidak batal hanya karena pengkhianatan mereka semata. Mereka tetap berada dalam perjanjian damai selama imam belum memutuskan pembatalannya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Jika engkau khawatir akan adanya pengkhianatan dari suatu kaum, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka secara terbuka.”

وَقَدْ نَقَضَ رَسُولُ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ هُدْنَةَ قُرَيْشٍ بِمَا أَسَرُّوهُ مِنْ مَعُونَةِ بَنِي بَكْرٍ عَلَى خُزَاعَةَ وَيَجُوزُ أَنْ يَبْدَأَ بِقِتَالِهِمْ مُجَاهَرَةً وَلَا يَشُنَّ عَلَيْهِمُ الْغَارَةَ وَالْبَيَاتَ فِي الِابْتِدَاءِ وَيَفْعَلُ ذَلِكَ فِي الِانْتِهَاءِ فَصَارَ هَذَا الْقِسْمُ مُخَالِفًا لِلْقِسْمِ الْأَوَّلِ مِنْ وَجْهَيْنِ

Rasulullah ﷺ telah membatalkan perjanjian damai dengan Quraisy karena apa yang mereka sembunyikan berupa bantuan kepada Bani Bakr dalam memerangi Khuza‘ah. Diperbolehkan untuk memulai memerangi mereka secara terang-terangan, namun tidak boleh melakukan serangan mendadak atau penyerangan malam pada permulaan, dan hal itu boleh dilakukan pada tahap akhir. Maka, bagian ini berbeda dengan bagian pertama dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا إِنَّ الْهُدْنَةَ تَنْتَقِضُ فِي الْقِسْمِ الْأَوَّلِ بِالْفِعْلِ وَتَنْتَقِضُ فِي هَذَا الْقِسْمِ بِالْحُكْمِ

Salah satunya adalah bahwa gencatan senjata batal pada bagian pertama dengan perbuatan, dan batal pada bagian ini dengan ketetapan hukum.

وَالثَّانِي إِنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يُبْتَدَأَ فِي الْأَوَّلِ بِشَنِّ الْبَيَاتِ وَالْغَارَةِ وَيَجِبُ أَنْ يَبْدَأَ فِي هَذَا بِقِتَالِ المجاهرة

Yang kedua, boleh memulai pada kasus pertama dengan serangan mendadak di malam hari dan penggerebekan, sedangkan pada kasus ini wajib memulai dengan pertempuran secara terang-terangan.

وَإِذَا خَافَ خِيَانَةَ أَهْلِ الْهُدْنَةِ جَازَ أَنْ يَنْقُضَ هُدْنَتَهُمْ وَلَوْ خَافَ خِيَانَةَ أَهْلِ الذِّمَّةِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَنْقُضَ بِهَا ذِمَّتَهُمْ

Jika ia khawatir akan adanya pengkhianatan dari pihak yang melakukan perjanjian damai, maka boleh baginya membatalkan perjanjian damai tersebut. Namun, jika ia khawatir akan adanya pengkhianatan dari ahludz-dzimmah, maka tidak boleh baginya membatalkan dzimmah mereka karena hal itu.

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ وَجْهَيْنِ

Perbedaan antara keduanya terdapat pada dua aspek.

أَحَدُهُمَا أَنَّ النَّظَرَ فِي عَقْدِ الْهُدْنَةِ لَنَا وَالنَّظَرَ فِي عَقْدِ الذِّمَّةِ لَهُمْ وَلِذَلِكَ وَجَبَ عَلَيْنَا إِجَابَةُ أَهْلِ الذِّمَّةِ إِذَا سَأَلُوهَا وَلَمْ يَجِبْ عَلَيْنَا إِجَابَةُ أَهْلِ الْهُدْنَةِ إِذَا سَأَلُوهَا

Salah satunya adalah bahwa pertimbangan dalam akad hudnah (gencatan senjata) berpihak kepada kita, sedangkan pertimbangan dalam akad dzimmah berpihak kepada mereka. Oleh karena itu, kita wajib memenuhi permintaan ahludz-dzimmah jika mereka memintanya, dan kita tidak wajib memenuhi permintaan ahlul-hudnah jika mereka memintanya.

وَالثَّانِي إِنَّ أَهْلَ الذِّمَّةِ تَحْتَ الْقُدْرَةِ يُمْكِنُ اسْتِدْرَاكُ خِيَانَتِهِمْ وَأَهْلَ الْهُدْنَةِ خَارِجُونَ عَنِ الْقُدْرَةِ لَا يُمْكِنُ اسْتِدْرَاكُ خِيَانَتِهِمْ

Yang kedua, sesungguhnya ahludz-dzimmah berada di bawah kekuasaan sehingga pengkhianatan mereka masih dapat dicegah, sedangkan ahlul-hudnah berada di luar kekuasaan sehingga pengkhianatan mereka tidak dapat dicegah.

وَالثَّالِثُ وَهُوَ الْمُجَامَلَةُ فِي الْأَقْوَالِ وَالْأَفْعَالِ فَهِيَ فِي حُقُوقِ الْمُسْلِمِينَ أَغْلَظُ مِنْهَا فِي حُقُوقِهِمْ فَيَلْزَمُهُمْ فِي حُقُوقِ الْمُسْلِمِينَ عَلَيْهِمْ أَنْ يَكُفُّوا عَنِ الْقَبِيحِ مِنَ الْقَوْلِ وَالْفِعْلِ وَيَبْذُلُوا لَهُمُ الْجَمِيلَ فِي الْقَوْلِ وَالْفِعْلِ وَلَهُمْ عَلَى الْمُسْلِمِينَ أَنْ يَكَفُّوا عَنِ الْقَبِيحِ فِي الْقَوْلِ وَالْفِعْلِ وَلَيْسَ عَلَيْهِمْ أَنْ يَبْذُلُوا لَهُمُ الْجَمِيلَ فِي الْقَوْلِ وَالْفِعْلِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ فَإِنْ عَدَلُوا عَنِ الْجَمِيلِ فِي الْقَوْلِ وَالْفِعْلِ فَكَانُوا يُكْرِمُونَ الْمُسْلَمِينَ فَصَارُوا يَسْتَهِينُونَ بِهِمْ وَكَانُوا يُضَيِّفُونَ الرُّسُلَ وَيَصِلُونَهُمْ فَصَارُوا يَقْطَعُونَهُمْ وَكَانُوا يُعَظِّمُونَ كِتَابَ الْإِمَامِ فَصَارُوا يَطْرَحُونَهُ وَكَانُوا يَزِيدُونَهُ فِي الْخِطَابِ فَصَارُوا يَنْقُصُونَهُ فَهَذِهِ ريبة لوقوفها بَيْنَ شَكَّيْنِ لِأَنَّهَا تَحْتَمِلُ أَنْ يُرِيدُوا بِهَا نَقْضَ الْهُدْنَةِ وَيُحْتَمَلُ أَنْ يُرِيدُوا بِهَا نَقْضَهَا فَيَسْأَلُهُمُ الْإِمَامُ عَنْهَا وَعَنِ السَّبَبِ فِيهَا فَإِنْ ذَكَرُوا عُذْرًا يَجُوزُ مِثْلُهُ قَبِلَهُ مِنْهُمْ وَكَانُوا عَلَى هُدْنَتِهِمْ وَإِنْ لَمْ يَذْكُرُوا عُذْرًا أَمَرَهُمْ بِالرُّجُوعِ إِلَى عَادَتِهِمْ مِنَ الْمُجَامَلَةِ فِي أَقْوَالِهِمْ وَأَفْعَالِهِمْ فَإِنْ عَادُوا أَقَامَ عَلَى هُدْنَتِهِمْ وَإِنْ لَمْ يَعُودُوا نَقَضَهَا بَعْدَ إِعْلَامِهِمْ بِنَقْضِهَا فَصَارَتْ مُخَالِفَةً لِلْقِسْمَيْنِ الْأَوَّلَيْنِ مِنْ وَجْهَيْنِ

Ketiga, yaitu bersikap ramah dalam ucapan dan perbuatan, maka dalam hal hak-hak kaum Muslimin, hal ini lebih ditekankan daripada dalam hak-hak mereka (non-Muslim). Maka, mereka (non-Muslim) wajib menahan diri dari ucapan dan perbuatan yang buruk terhadap kaum Muslimin, dan memberikan kebaikan dalam ucapan dan perbuatan kepada mereka. Adapun kaum Muslimin terhadap mereka, cukup menahan diri dari ucapan dan perbuatan yang buruk, dan tidak wajib memberikan kebaikan dalam ucapan dan perbuatan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Agar Dia menampakkannya atas seluruh agama.” Jika mereka berpaling dari kebaikan dalam ucapan dan perbuatan, misalnya dahulu mereka memuliakan kaum Muslimin lalu menjadi meremehkan mereka, dahulu mereka menjamu para utusan dan menyambung hubungan lalu menjadi memutusnya, dahulu mereka mengagungkan surat dari imam lalu menjadi membuangnya, dahulu mereka menambah kehormatan dalam surat-menyurat lalu menjadi menguranginya, maka ini menimbulkan keraguan karena berada di antara dua kemungkinan: bisa jadi mereka bermaksud membatalkan perjanjian damai, atau bisa jadi bermaksud membatalkan selainnya. Maka imam menanyakan kepada mereka tentang hal itu dan sebabnya. Jika mereka menyebutkan alasan yang dapat diterima, maka imam menerimanya dan mereka tetap dalam perjanjian damai. Jika mereka tidak menyebutkan alasan, imam memerintahkan mereka untuk kembali kepada kebiasaan mereka dalam bersikap ramah dalam ucapan dan perbuatan. Jika mereka kembali, maka tetaplah perjanjian damai mereka. Jika mereka tidak kembali, maka imam membatalkan perjanjian itu setelah memberitahukan kepada mereka tentang pembatalannya. Maka hal ini berbeda dengan dua bagian sebelumnya dalam dua sisi.

أَحَدُهُمَا إِنَّهُ لَا يَعْدِلُ عَنْ أَحْكَامِ الْهُدْنَةِ إِلَّا بَعْدَ مَسْأَلَتِهِمْ وَلَا يَحْكُمُ بِنَقْضِهَا إِلَّا بَعْدَ إِعْلَامِهِمْ

Salah satunya adalah bahwa tidak boleh beralih dari hukum-hukum hudnah kecuali setelah meminta pendapat mereka, dan tidak boleh memutuskan pembatalannya kecuali setelah memberitahukan kepada mereka.

فَأَمَّا سَبُّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَهُوَ مِمَّا يَنْتَقِضُ بِهِ عَقْدُ الْهُدْنَةِ وَعَقْدُ الذِّمَّةِ وَكَذَلِكَ سَبُّ الْقُرْآنِ فَإِنْ كَانَ جَهْرًا فَهُوَ مِنَ الْقِسْمِ الْأَوَّلِ وَإِنْ كَانَ سِرًّا فَهُوَ مِنَ الْقِسْمِ الثَّانِي

Adapun mencaci Rasulullah ﷺ, maka hal itu termasuk perkara yang membatalkan akad gencatan senjata dan akad dzimmah. Demikian pula mencaci Al-Qur’an. Jika dilakukan secara terang-terangan, maka termasuk dalam kategori pertama, dan jika dilakukan secara sembunyi-sembunyi, maka termasuk dalam kategori kedua.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا يَنْتَقِضُ بِهِمَا عَقْدُ الْهُدْنَةِ وَلَا عَقْدُ الذِّمَّةِ احْتِجَاجًا لِمَا رُوِيَ أَنَّ رَهْطًا مِنَ الْيَهُودِ دَخَلُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَقَالُوا ” السَّامُ عَلَيْكَ ” فَقَالَ ” وَعَلَيْكُمْ ” فَقَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ” يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَمْ تَسْمَعْ مَا قَالُوا؟ فَقَالَ قَدْ قُلْتُ وَعَلَيْكُمْ ثُمَّ قَالَ مَهْلًا يَا عَائِشَةُ فَإِنَّ اللَّهَ يجب الرِّفْقَ فِي الْأَمْرِ كُلِّهِ “

Abu Hanifah berpendapat bahwa akad gencatan senjata dan akad dzimmah tidak batal karenanya, dengan berdalil pada riwayat bahwa sekelompok orang Yahudi masuk menemui Rasulullah ﷺ lalu mereka berkata, “As-sāmu ‘alaika (kematian atasmu).” Maka beliau menjawab, “Wa ‘alaikum (dan atas kalian juga).” Lalu Aisyah ra. berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau mendengar apa yang mereka katakan?” Beliau bersabda, “Aku sudah menjawab, ‘Wa ‘alaikum.’” Kemudian beliau berkata, “Tenanglah, wahai Aisyah, sesungguhnya Allah mencintai kelembutan dalam segala urusan.”

فَلَمْ يَجْعَلْ ذَلِكَ نَقْضًا لِعَهْدِهِمْ وَإِنْ كَانَ سَبًّا وَلِأَنَّ قَوْلَهُمْ إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ أَعْظَمُ مِنْ شَتْمِهِمُ الرَّسُولَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ثُمَّ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ نَقْضًا لِعَهْدِهِمْ فَهُوَ أَوْلَى أَنْ لَا يَكُونَ نَقْضًا لِعَهْدِهِمْ

Maka hal itu tidak dianggap sebagai pembatalan perjanjian mereka, meskipun berupa penghinaan. Karena ucapan mereka bahwa Allah adalah salah satu dari tiga (trinitas) itu lebih besar daripada celaan mereka kepada Rasul ﷺ, namun hal itu pun tidak dianggap sebagai pembatalan perjanjian mereka. Maka lebih utama lagi jika hal tersebut tidak dianggap sebagai pembatalan perjanjian mereka.

وَدَلِيلُنَا مَا رُوِيَ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ سَمِعْتُ رَاهِبًا يَشْتُمُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ لَوْ سَمِعْتُهُ أَنَا لَقَتَلْتُهُ إِنَّا لَمْ نُعْطِهِ الْأَمَانَ عَلَى هَذَا ” وَلَيْسَ يعرف له من الصحابة يخالف فَكَانَ إِجْمَاعًا وَلِأَنَّ مَا كَانَ شَرْطًا فِي صِحَّةِ الْإِسْلَامِ كَانَ شَرْطًا فِي عَقْدِ الْأَمَانِ قِيَاسًا عَلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَلِأَنَّ مَا حُقِنَ بِهِ دَمُ الْكَافِرِ انْتَقَضَ بِشَتْمِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ كَالْإِيمَانِ

Dalil kami adalah apa yang diriwayatkan bahwa seorang laki-laki berkata kepada Abdullah bin Umar: “Aku mendengar seorang rahib mencaci Rasulullah ﷺ.” Maka Abdullah berkata: “Seandainya aku yang mendengarnya, pasti aku akan membunuhnya. Kita tidak memberinya perlindungan untuk hal seperti ini.” Dan tidak diketahui ada sahabat yang menyelisihinya, maka hal itu menjadi ijmā‘. Dan karena apa yang menjadi syarat sahnya Islam juga menjadi syarat dalam akad perlindungan (amān) berdasarkan qiyās terhadap dzikrullah. Dan karena sesuatu yang dengannya darah orang kafir dapat terjaga, maka hal itu batal dengan mencaci Rasulullah ﷺ, sebagaimana keimanan.

وَأَمَّا الْخَبَرُ فَعَنْهُ جَوَابَانِ

Adapun mengenai khabar, terdapat dua jawaban tentangnya.

أَحَدُهُمَا إِنَّهُمْ قَالُوهُ ذَمًّا وَلَمْ يَقُولُوهُ شَتْمًا

Salah satunya adalah bahwa mereka mengatakannya sebagai celaan, bukan sebagai penghinaan.

وَالثَّانِي إِنَّهُ كَانَ فِي ضَعْفِ الْإِسْلَامِ وَلَمْ يَكُنْ فِي قُوَّتِهِ

Yang kedua, hal itu terjadi pada masa lemahnya Islam dan bukan pada masa kejayaannya.

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِمْ إِنِ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ فَمِنْ وَجْهَيْنِ أَحَدُهُمَا إِنَّهُمْ قَالُوهُ اعْتِقَادًا لِلتَّعْظِيمِ وَهَذَا الشَّتْمُ اعْتِقَادًا لِلتَّحْقِيرِ

Adapun jawaban terhadap perkataan mereka “Sesungguhnya Allah adalah salah satu dari tiga,” maka ada dua sisi. Pertama, mereka mengatakannya dengan keyakinan untuk mengagungkan, sedangkan celaan ini diucapkan dengan keyakinan untuk merendahkan.

وَالثَّانِي إِنَّهُمْ يُقَرُّونَ عَلَى قَوْلِهِمْ إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ فَلَمْ يَنْتَقِضْ بِهِ عَهْدُهُمْ وَغَيْرُ مُقَرِّينَ عَلَى شَتْمِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَانْتَقَضَ بِهِ عَهْدُهُمْ

Yang kedua, mereka tetap diakui atas keyakinan mereka bahwa Allah adalah salah satu dari tiga (trinitas), sehingga perjanjian mereka tidak batal karenanya. Namun, mereka tidak diakui jika mencela Rasulullah ﷺ, sehingga perjanjian mereka batal karenanya.

بَابُ الْحُكْمِ فِي الْمُهَادَنِينَ وَالْمُعَاهَدِينَ وَمَا أُتْلِفَ مِنْ خَمْرِهِمْ وَخَنَازِيرِهِمْ وَمَا يَحِلُّ مِنْهُ وَمَا يرد

Bab tentang hukum bagi orang-orang yang melakukan perjanjian damai dan perjanjian perlindungan, serta tentang kerusakan yang terjadi pada khamar dan babi milik mereka, apa yang boleh diambil darinya dan apa yang harus dikembalikan.

قال الشافعي رحمه الله تعالى ” لَمْ أَعْلَمْ مُخَالِفًا مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ بِالسِّيَرِ أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ لَمَّا نَزَلَ الْمَدِينَةَ وَادَعَ يَهُودَ كَافَّةً عَلَى غير جزية وأن قول الله عز وجل فَإِنْ جَاءُوكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ إنما نزلت فيهم ولم يقروا أن يجري عليهم الحكم وقال بعضهم نزلت في اليهوديين اللذين زنيا وهذا أشبه بقول الله عز وجل وكيف يحكمونك وعندهم التوراة الآية قال وليس للإمام الخيار في أحد من المعاهدين الذين يجري عليهم الحكم إذا جاؤوه في حد لله تعالى وعليه أَنْ يُقِيمَهُ لِمَا وَصَفْتُ مِنْ قَوْلِ اللَّهِ تعالى وهم صاغرون قال المزني رحمه الله هذا أشبه من قوله في كتاب الحدود لا يحدون وأرفعهم إلى أهل دينهم “

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara para ahli ilmu tentang sirah bahwa Nabi ﷺ ketika tiba di Madinah telah mengadakan perjanjian dengan seluruh Yahudi tanpa memungut jizyah. Dan firman Allah ‘Azza wa Jalla: ‘Jika mereka datang kepadamu (untuk meminta keputusan), maka berilah keputusan di antara mereka atau berpalinglah dari mereka’ (QS. Al-Ma’idah: 42), ayat ini turun berkenaan dengan mereka, dan mereka tidak mengakui untuk diberlakukan hukum atas mereka. Sebagian ulama mengatakan ayat ini turun berkenaan dengan dua orang Yahudi yang berzina, dan ini lebih sesuai dengan firman Allah ‘Azza wa Jalla: ‘Bagaimana mereka (orang Yahudi) menjadikanmu sebagai hakim, padahal di sisi mereka ada Taurat…’ (QS. Al-Ma’idah: 43). Ia berkata, tidak ada pilihan bagi imam dalam hal siapa pun dari kalangan mu‘āhad yang berlaku atas mereka hukum (Islam), jika mereka datang kepadanya dalam perkara hudūd Allah Ta‘ala, maka wajib baginya menegakkannya, sebagaimana yang telah aku jelaskan dari firman Allah Ta‘ala, dan mereka dalam keadaan hina. Al-Muzani rahimahullah berkata, ‘Ini lebih mendekati daripada pendapat beliau dalam Kitab al-Hudūd bahwa mereka tidak ditegakkan hudūd atas mereka dan diserahkan kepada pemuka agama mereka.’”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَقَدْ مَضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ فِي مَوَاضِعَ شَتَّى

Al-Mawardi berkata, “Masalah ini telah dibahas pada berbagai tempat yang berbeda.”

وَجُمْلَتُهُ أَنَّ مَنْ خَالَفَ دِينَ الْإِسْلَامِ مِنْ أَهْلِ الْأَمَانِ صِنْفَانِ أَهْلُ ذِمَّةٍ وَأَهْلُ عَهْدٍ فَأَمَّا أَهْلُ الْعَهْدِ إِذَا تَحَاكَمُوا إِلَيْنَا فَحَاكِمُنَا بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يَحْكُمَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ أَنْ يَمْتَنِعَ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى فَإِنْ جَاءُوكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ فَلَمْ يَخْتَلِفْ أَهْلُ الْعِلْمِ أَنَّهَا نَزَلَتْ فِيمَنْ وَادْعَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مِنْ يَهُودِ الْمَدِينَةَ قَبْلَ فَرْضِ الْجِزْيَةِ فَكَانُوا أَهْلَ عَهْدٍ لَا ذِمَّةَ لَهُمْ وَاخْتُلِفَ فِيهَا هَلْ نَزَلَتْ عَامَّةً أَوْ عَلَى سَبَبٍ فَالَّذِي عَلَيْهِ قَوْلُ الْأَكْثَرِينَ أَنَّهَا نَزَلَتْ عَامَّةً لِغَيْرِ سَبَبٍ وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ نَزَلَتْ فِي الْيَهُودِيَّيْنِ اللَّذَيْنِ زَنَيَا فَكَانَ سَبَبُهَا خَاصًّا وَحُكْمُهَا عَامًّا فَإِنْ حَكَّمَا حَاكِمَنَا بَيْنَهُمْ كَانُوا مُخَيَّرِينَ بَيْنَ الْتِزَامِهِ وَبَيْنَ رَدِّهِ

Kesimpulannya adalah bahwa siapa saja dari kalangan ahl al-amān yang menyalahi agama Islam terbagi menjadi dua golongan: ahl zimmah dan ahl ‘ahd. Adapun ahl ‘ahd, jika mereka mengajukan perkara kepada kita, maka hakim kita memiliki pilihan antara memutuskan perkara di antara mereka atau menolak, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Jika mereka datang kepadamu (untuk meminta keputusan), maka putuskanlah perkara di antara mereka atau berpalinglah dari mereka.” Para ulama sepakat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang yang Rasulullah saw. mengadakan perjanjian dengan mereka dari kalangan Yahudi Madinah sebelum diwajibkannya jizyah, sehingga mereka adalah ahl ‘ahd dan bukan ahl zimmah. Namun, para ulama berbeda pendapat apakah ayat ini turun secara umum atau karena sebab tertentu. Pendapat mayoritas menyatakan bahwa ayat ini turun secara umum, tidak karena sebab tertentu. Sebagian lain mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan dua orang Yahudi yang berzina, sehingga sebab turunnya khusus, tetapi hukumnya bersifat umum. Jika mereka meminta hakim kita untuk memutuskan perkara di antara mereka, maka mereka diberi pilihan antara menerima keputusan itu atau menolaknya.

فَإِنْ قِيلَ فَقَدْ رَجَمَ الْيَهُودِيَّيْنِ الزَّانِيَيْنِ بِغَيْرِ اخْتِيَارِهِمَا لِأَنَّهُمَا أَنْكَرَا الرَّجْمَ

Jika dikatakan, “Bukankah Nabi telah merajam dua orang Yahudi pezina tanpa pilihan mereka, karena keduanya mengingkari hukuman rajam?”

قِيلَ لَهُمْ كَانَ الْإِنْكَارُ لِوُجُوبِ الرَّجْمِ فِي الشَّرْعِ وَلَمْ يَكُنْ ذَلِكَ امْتِنَاعًا مِنَ الْتِزَامِ حُكْمِهِ

Dikatakan kepada mereka: Penolakan itu adalah terhadap kewajiban rajam dalam syariat, dan hal itu bukanlah penolakan untuk berpegang pada hukumnya.

وَأَمَّا أَهْلُ الذِّمَّةِ فَفِي وُجُوبِ الْحُكْمِ إِذَا تَحَاكَمُوا إِلَيْنَا قَوْلَانِ

Adapun ahludz-dzimmah, maka dalam kewajiban menetapkan hukum ketika mereka mengadukan perkara kepada kita terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا إِنَّهُمْ كَأَهْلِ الْعَهْدِ يَكُونُ حَاكِمُنَا فِي الْحُكْمِ بَيْنَهُمْ مُخَيَّرًا وهم في الْتِزَامِهِ إِذَا حَكَمَ بَيْنَهُمْ مُخَيَّرِينَ لِعُمُومِ الْآيَةِ لِاشْتِرَاكِ الْفَرِيقَيْنِ فِي الْمُخَالَفَةِ وَالْقَوْلُ الثَّانِي وَهُوَ أَصَحُّ اخْتَارَهُ الْمُزَنِيُّ إِنَّهُ يَجِبُ عَلَى حَاكِمِنَا أَنْ يَحْكُمَ بَيْنَهُمْ وَيَجِبُ إِذَا حَكَمَ أَنْ يَلْتَزِمُوا حُكْمَهُ عَلَيْهِمْ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ وَالصَّغَارُ أَنْ يَجْرِيَ عَلَيْهِمْ أَحْكَامُ الْإِسْلَامِ وَلِأَنَّهُمْ قَدْ صَارُوا بِالذِّمَّةِ تَبَعًا لِلْمُسْلِمِينَ فَجَرَتْ عَلَيْهِمْ أَحْكَامُهُمْ فَإِنْ كَانَ التَّحَاكُمُ بَيْنَ مُسْلِمٍ وَمُعَاهَدٍ أَوْ بَيْنَ مُسْلِمٍ وَذِمِّيٍّ وَجَبَ الْحُكْمُ بَيْنَهُمَا سَوَاءٌ كَانَ الْمُسْلِمُ طَالِبًا أَوْ مَطْلُوبًا لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا يَدْعُو إِلَى دِينِهِ وَدِينُ الْإِسْلَامِ هُوَ الْحَقُّ الْمُطَاعُ

Salah satu pendapat menyatakan bahwa mereka seperti ahl al-‘ahd, sehingga hakim kita dalam memutuskan perkara di antara mereka diberi pilihan, dan mereka pun dalam menerima keputusan tersebut juga diberi pilihan, karena keumuman ayat dan karena kedua kelompok sama-sama berbeda keyakinan. Pendapat kedua, yang lebih kuat dan dipilih oleh al-Muzani, menyatakan bahwa wajib bagi hakim kita untuk memutuskan perkara di antara mereka, dan wajib bagi mereka untuk menerima keputusan tersebut atas mereka, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “hingga mereka membayar jizyah dengan tangan mereka dalam keadaan tunduk,” dan makna tunduk adalah bahwa hukum-hukum Islam berlaku atas mereka. Karena mereka telah menjadi bagian dari kaum Muslimin melalui perjanjian dzimmah, maka hukum-hukum Islam pun berlaku atas mereka. Jika terjadi perselisihan antara seorang Muslim dan seorang mu‘āhad, atau antara seorang Muslim dan seorang dzimmī, maka wajib diputuskan perkara di antara keduanya, baik Muslim itu sebagai penggugat maupun tergugat, karena masing-masing dari mereka mengajak kepada agamanya, dan agama Islam adalah kebenaran yang harus diikuti.

وَلَوْ كَانَ التَّحَاكُمُ بَيْنَ ذِمِّيٍّ وَمُعَاهَدٍ لَمْ يَجُزْ قَوْلًا وَاحِدًا تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الْإِسْقَاطِ وَلَوْ كَانَ بَيْنَ ذِمِّيَّيْنِ مِنْ دِينَيْنِ كَيَهُودِيٍّ وَنَصْرَانِيٍّ فَعَلَى وَجْهَيْنِ

Jika persengketaan hukum terjadi antara seorang dzimmi dan seorang mu‘āhad, maka tidak diperbolehkan menurut satu pendapat yang kuat, dengan mengedepankan hukum pembatalan. Dan jika terjadi antara dua orang dzimmi dari dua agama yang berbeda, seperti Yahudi dan Nasrani, maka terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا إِنَّهُمَا فِيهِ سَوَاءٌ لِأَنَّ جَمِيعَ الْكُفْرِ مِلَّةٌ وَاحِدَةٌ فَيَكُونُ عَلَى الْوَجْهَيْنِ

Salah satunya adalah bahwa keduanya sama dalam hal ini, karena seluruh kekufuran adalah satu kelompok, sehingga hukumnya berlaku pada kedua keadaan tersebut.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي وَهُوَ قول أبي هُرَيْرَةَ إِنَّهُ يَجِبُ الْحُكْمُ بَيْنَهُمَا قَوْلًا وَاحِدًا وَيَجِبُ عَلَيْهِمَا الْتِزَامُهُ لِأَنَّ اخْتِلَافَ مُعْتَقَدِهِمَا يُوجِبُ قَطْعَ التَّنَازُعِ بَيْنَهُمَا بِالْحَقِّ

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Hurairah, menyatakan bahwa wajib memutuskan hukum di antara keduanya dengan satu keputusan, dan wajib bagi keduanya untuk mematuhinya, karena perbedaan keyakinan mereka mengharuskan penyelesaian perselisihan di antara mereka dengan kebenaran.

فَأَمَّا إِنْ كَانَ الْمُتَحَاكِمَانِ مِنْ مِلَّةٍ وَاحِدَةٍ عَلَى مَذْهَبَيْنِ مُخْتَلِفَيْنِ أَحَدُهُمَا نَسْطُورِيٌّ وَالْآخَرُ يَعْقُوبِيٌّ فَالْمُعْتَبَرُ فِيهِ اجْتِمَاعُهُمَا عَلَى أَصْلِ الدِّينِ وَهُوَ وَاحِدٌ فَصَارَا فِيهِ كَالْمَذْهَبِ الْوَاحِدِ لِأَنَّ دِينَهُمَا وَاحِدٌ

Adapun jika kedua pihak yang bersengketa berasal dari satu agama namun mengikuti dua mazhab yang berbeda, salah satunya Nasthuri dan yang lainnya Ya‘qubi, maka yang menjadi pertimbangan adalah kesepakatan mereka pada pokok agama yang satu, sehingga keduanya dianggap seperti satu mazhab karena agama mereka sama.

فَلَوْ قَلَّدَ الْإِمَامُ عَلَى أَهْلِ الذِّمَّةِ حَاكِمًا مِنْهُمْ كَانَ حُكْمُهُ غَيْرَ لَازِمٍ لَهُمْ وَكَانَ فِيهِ كَالْمُتَوَسِّطِ بَيْنَهُمْ

Maka jika imam mengangkat seorang hakim dari kalangan mereka atas ahludz-dzimmah, maka putusannya tidaklah mengikat bagi mereka, dan ia dalam hal ini seperti perantara di antara mereka.

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ يَنْفُذُ حُكْمُهُ عَلَيْهِمْ لِأَنَّهُمْ يَلْتَزِمُونَ أَحْكَامَ شَرْعِهِمْ وَهَذَا فَاسِدٌ مِنْ وَجْهَيْنِ

Abu Hanifah berkata, “Hukumnya berlaku atas mereka karena mereka berpegang pada hukum syariat mereka.” Namun, pendapat ini rusak dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا إِنَّ صِحَّةَ الْمُعْتَقَدِ شَرْطٌ في نفوذ الحكم ومعتقده باطل

Salah satunya adalah bahwa kebenaran akidah merupakan syarat sahnya keputusan, dan orang yang meyakininya batil.

والثاني أنه صِحَّةَ الْحُكْمِ شَرْطٌ فِي نُفُوذِهِ وَحُكْمُهُمْ بَاطِلٌ

Yang kedua adalah bahwa sahnya suatu hukum merupakan syarat bagi keberlakuannya, dan hukum mereka batal.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رحمه الله تعالى ” وَمَا كَانُوا يَدِينُونَ بِهِ فَلَا يَجُوزُ حُكْمُنَا عَلَيْهِمْ بِإِبْطَالِهِ وَمَا أَحْدَثُوا مِمَّا لَيَسَ بِجَائِزٍ فِي دِينِهِمْ وَلَهُ حُكْمٌ عِنْدَنَا أُمْضِيَ عَلَيْهِمْ قَالَ وَلَا يَكْشِفُونَ عَنْ شَيْءٍ مِمَّا اسْتَحَلُّوهُ مِمَّا لَمْ يَكُنْ ضَرَرًا عَلَى مُسْلِمٍ أَوْ مُعَاهَدٍ أَوْ مُسْتَأَمَنٍ غَيْرِهِمْ “

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Apa yang mereka anut sebagai agama, maka tidak boleh bagi kita memutuskan hukum atas mereka dengan membatalkannya. Dan apa yang mereka ada-adakan yang tidak dibenarkan dalam agama mereka, namun memiliki ketetapan hukum menurut kami, maka itu diberlakukan atas mereka. Ia berkata, dan mereka tidak diharuskan mengungkapkan sesuatu dari apa yang mereka halalkan, selama itu tidak menimbulkan mudarat bagi seorang Muslim, atau seorang mu‘āhad, atau musta’man selain mereka.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَجُمْلَةُ مَا يَفْعَلُهُ أَهْلُ الذِّمَّةِ فِي بِلَادِنَا مِنْ عَقْدٍ وَأَحْكَامٍ يَنْقَسِمُ أَرْبَعَةَ أَقْسَامٍ

Al-Mawardi berkata, “Secara keseluruhan, apa yang dilakukan oleh ahludz-dzimmah di negeri kita, baik berupa akad maupun hukum-hukum, terbagi menjadi empat bagian.”

أَحَدُهَا مَا كَانَ جَائِزًا فِي شَرْعِهِمْ وَشَرْعِنَا فَهُمْ مُقَرُّونَ عَلَيْهِ فِي دِينِهِمْ إِذَا تَرَافَعُوا إِلَيْنَا فِيهِ

Salah satunya adalah perkara yang dibolehkan dalam syariat mereka dan syariat kita, maka mereka tetap diakui atasnya dalam agama mereka jika mereka mengadukannya kepada kita.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي مَا كَانَ بَاطِلًا فِي شَرْعِهِمْ وَشَرْعِنَا فَهُمْ مَمْنُوعُونَ مِنْهُ إِذَا ظَهَرَ لَنَا لِأَنَّهُمْ أُقِرُّوا فِي دَارِنَا عَلَى مُقْتَضَى شَرْعِهِمْ

Bagian kedua adalah sesuatu yang batil menurut syariat mereka dan syariat kita, maka mereka dilarang melakukannya jika hal itu tampak bagi kita, karena mereka diakui keberadaannya di negeri kita berdasarkan ketentuan syariat mereka.

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ مَا كَانَ جَائِزًا فِي شَرْعِنَا بَاطِلًا فِي شَرْعِهِمْ فَيُقَرُّونَ عَلَيْهِ لِأَنَّهُمْ فِيهِ عَلَى حَقٍّ وَفِيمَا عَدَاهُ بَاطِلٌ

Bagian ketiga adalah sesuatu yang dibolehkan dalam syariat kita namun batil dalam syariat mereka, maka mereka dibiarkan melakukannya karena dalam hal itu mereka berada di atas kebenaran, sedangkan dalam selainnya adalah batil.

وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ مَا كَانَ بَاطِلًا فِي شَرْعِنَا جَائِزًا فِي شَرْعِهِمْ فَإِنْ تَحَاكَمُوا فِيهِ إِلَيْنَا أَبْطَلْنَاهُ وَإِنْ لَمْ يَتَحَاكَمُوا فِيهِ إِلَيْنَا تَرَكْنَاهُ إِنْ أَخْفَوْهُ فَإِنْ أَظْهَرُوهُ لَنَا فَهُوَ ضَرْبَانِ

Bagian keempat adalah sesuatu yang batil menurut syariat kita namun boleh menurut syariat mereka. Jika mereka mengadukan perkara tersebut kepada kita, maka kita membatalkannya. Namun jika mereka tidak mengadukannya kepada kita, kita membiarkannya jika mereka menyembunyikannya. Tetapi jika mereka menampakkannya kepada kita, maka hal itu terbagi menjadi dua macam.

أَحَدُهُمَا أَنْ لَا يَتَعَلَّقَ بِالْمُنْكَرَاتِ الظَّاهِرَةِ كَالْمَنَاكِحِ الْفَاسِدَةِ وَالْبُيُوعِ الْبَاطِلَةِ فَيُقَرُّونَ عَلَيْهِمَا وَلَا يُمْنَعُونَ مِنْهَا

Salah satunya adalah tidak berkaitan dengan kemungkaran-kemungkaran yang tampak, seperti pernikahan yang rusak dan jual beli yang batil, sehingga mereka dibiarkan melakukannya dan tidak dicegah darinya.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ مِنَ الْمُنْكَرَاتِ الظَّاهِرَةِ كَالتَّظَاهُرِ بِنِكَاحِ ذَوَاتِ الْمَحَارِمِ وَالْمُجَاهَرَةِ بِابْتِيَاعِ الْخُمُورِ وَالْخَنَازِيرِ فَيُمْنَعُونَ وَيُعَزَّرُونَ عَلَيْهَا لِأَنَّ دَارَ الْإِسْلَامِ تَمْنَعُ مِنَ الْمُجَاهَرَةِ بِالْمُنْكَرَاتِ

Jenis kedua adalah kemungkaran-kemungkaran yang tampak jelas, seperti terang-terangan melakukan pernikahan dengan mahram dan secara terbuka membeli minuman keras serta babi. Maka mereka dicegah dan diberi ta‘zīr atas perbuatan itu, karena di wilayah Islam dilarang menampakkan kemungkaran secara terang-terangan.

وَفِي نَسْخِ عُقُودِهِمْ عَلَيْهِمْ وَإِنْ لَمْ يَتَحَاكَمُوا فِيهَا إِلَيْنَا وَجْهَانِ

Dalam pembatalan akad-akad mereka atas mereka, meskipun mereka tidak mengajukan perkara tersebut kepada kita, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا تُفْسَخُ عَلَيْهِمْ لِأَنَّ الْمُجَاهَرَةَ ظُهُورُ مُنْكَرٍ مِنْهُمْ

Salah satunya dibatalkan atas mereka karena terang-terangan menampakkan kemungkaran dari mereka.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي إِنَّهَا لَا تُفْسَخُ عَلَيْهِمْ وَيُتْرَكُونَ فِي عَقْدِهَا عَلَى مَا يَرَوْنَهُ فِي دِينِهِمْ لِأَنَّ تَجَاهُرَهُمْ بِالْكُفْرِ الَّذِي يُقَرُّونَ عَلَيْهِ أَعْظَمُ

Pendapat kedua menyatakan bahwa akad tersebut tidak dibatalkan atas mereka, dan mereka dibiarkan tetap dalam akad itu sesuai dengan yang mereka yakini dalam agama mereka, karena keterusterangan mereka dalam kekufuran yang tetap diakui atas mereka adalah perkara yang lebih besar.

فَأَمَّا مَا تَعَلَّقَ بِأَفْعَالِهِمْ مِنْ دُخُولِ ضَرَرٍ عَلَى مُسْلِمٍ أَوْ مُعَاهَدٍ مِنْ غَيْرِهِمْ فَيُمْنَعُونَ مِنْهُ وَإِنْ كَانُوا يَعْتَقِدُونَهُ دِينًا لِأَنَّهُمْ يَعْتَقِدُونَ إِبَاحَةَ دِمَاءِ مَنْ خَالَفَهُمْ وَأَمْوَالِهِمْ وَلَا يُقَرُّونَ عَلَى اسْتِبَاحَتِهَا فَكَذَا كُلُّ مَضَرَّةٍ

Adapun hal yang berkaitan dengan perbuatan mereka yang menimbulkan bahaya bagi seorang Muslim atau seorang mu‘āhad dari selain mereka, maka mereka dicegah darinya, meskipun mereka meyakininya sebagai bagian dari agama mereka. Sebab, mereka meyakini bolehnya menumpahkan darah dan mengambil harta orang yang berbeda dengan mereka, dan hal itu tidak dibenarkan untuk mereka lakukan. Demikian pula setiap bentuk bahaya lainnya.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رحمه الله تعالى ” وَإِنْ جَاءَتِ امْرَأَةُ رَجُلٍ مِنْهُمْ تَسْتَعِدِي بِأَنَّهُ طَلَّقَهَا أَوْ آلَى مِنْهَا حَكَمْتُ عَلَيْهِ حُكْمِي على المسلمين وأمرته في الظهار أن لا يقربها حتى يكفر رقبة مؤمنة كما يؤدي الواجب من حد وجرح وأرش وإن لم يكفر عنه وأنفذ عتقه ولا أفسخ نكاحه لأن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عفا عن عقد ما يجوز أن يستأنف ورد ما جاوز العدد إلا أن يتحاكموا وهي في عدة فنفسخه وهكذا كل ما قبض من ربى أو ثمن خمر أو خنزير ثم اسلما أو أحدهما عفي عنه “

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Jika istri seorang laki-laki dari mereka datang mengadu bahwa suaminya telah menceraikannya atau melakukan ila’ terhadapnya, maka aku memutuskan atasnya sebagaimana keputusanku terhadap kaum muslimin. Aku memerintahkannya dalam kasus zihar agar tidak mendekatinya sampai ia membebaskan seorang budak mukminah sebagai kafarat, sebagaimana ia menunaikan kewajiban dari hudud, luka, dan diyat. Jika ia tidak mampu membayar kafarat, maka aku tetap melaksanakan pembebasan budaknya dan tidak membatalkan pernikahannya, karena Nabi ﷺ memaafkan akad yang boleh dimulai kembali dan membatalkan yang melebihi jumlah (yang dibolehkan), kecuali jika mereka saling mengadukan perkara saat masih dalam masa iddah, maka aku membatalkannya. Demikian pula setiap harta yang diterima dari riba, harga khamar, atau babi, kemudian mereka masuk Islam atau salah satunya masuk Islam, maka dimaafkan.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَجُمْلَةُ ذَلِكَ إِنَّهُ لَا يَخْلُو حَالُ مَا اسْتَعْدَتْ فِيهِ عَلَى زَوْجِهَا مِنْ أَنْ يَكُونَ مِنْ مَحْظُورَاتِ دِينِهِمْ أَوْ مِنْ مباحاته فَإِنْ كَانَ مِنْ مَحْظُورَاتِ دِينِهِمِ الْمُنْكَرَةِ وَجَبَ عَلَى حَاكِمِنَا أَنْ يُعَدِّيَهَا عَلَيْهِ لِأَنَّ دَارَ الْإِسْلَامِ تَمْنَعُ مِنْ إِقْرَارِ مَا يُتَّفَقُ عَلَى إِنْكَارِهِ وَإِنْ كَانَ مِنْ مُبَاحَاتِ دِينِهِمْ فَفِي وُجُوبِ إِعْدَائِهَا عَلَيْهِ قَوْلَانِ

Al-Mawardi berkata: Secara ringkas, keadaan di mana seorang istri menuntut sesuatu terhadap suaminya tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa jadi hal itu termasuk perkara yang dilarang dalam agama mereka, atau termasuk perkara yang dibolehkan. Jika termasuk perkara yang dilarang dalam agama mereka yang diingkari, maka wajib bagi hakim kita untuk melarangnya, karena Dar al-Islam mencegah untuk membiarkan sesuatu yang telah disepakati keingkarannya. Namun jika termasuk perkara yang dibolehkan dalam agama mereka, maka dalam hal kewajiban melarangnya terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا إِنَّهُ يَجُوزُ وَلَا يَجِبُ

Salah satunya adalah bahwa hal itu boleh, tetapi tidak wajib.

وَالثَّانِي إِنَّهُ يَجِبُ وَهُوَ عَلَى اخْتِلَافِ الْقَوْلَيْنِ فِي جَرَيَانِ أَحْكَامِنَا عَلَيْهِمْ

Dan yang kedua, sesungguhnya hal itu wajib, dan hal ini bergantung pada perbedaan dua pendapat mengenai berlakunya hukum-hukum kita atas mereka.

فَإِنْ أَعْدَاهَا عَلَيْهِ وُجُوبًا أَوْ جَوَازًا لَمْ يَحْكُمْ بَيْنَهُمَا إِلَّا بِمَا يُوجِبُهُ دِينُ الْإِسْلَامِ وَلَا يَحْكُمُ بَيْنَهُمَا بِأَحْكَامِهِمْ فِي دِينِهِمْ لِقَوْلِ اللَّهِ تعالى و؟ أن احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ

Jika ia mengembalikan perkara tersebut kepada mereka, baik secara wajib maupun boleh, maka ia tidak boleh memutuskan perkara di antara mereka kecuali dengan hukum yang diwajibkan oleh agama Islam, dan tidak boleh memutuskan perkara di antara mereka dengan hukum-hukum dalam agama mereka, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Maka putuskanlah perkara di antara mereka dengan apa yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.”

فَإِنْ كَانَ الْحُكْمُ مِنْ طَلَاقٍ بَائِنٍ لَمْ تَجُزْ لَهُ الرَّجْعَةُ فِي الْعِدَّةِ إذا كان أقل من ثلاثة

Jika hukum yang berlaku adalah talak bain, maka suami tidak boleh rujuk selama masa iddah jika talaknya kurang dari tiga kali.

وحرمها عَلَيْهِ بَعْدَ الثَّلَاثِ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ وَإِنْ كَانَ فِي إِيلَاءٍ أَصِلُهُ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ ثُمَّ أُلْزِمُهُ الْفَيْءَ أَوِ الطَّلَاقَ

Dan ia menjadi haram baginya setelah tiga kali talak, hingga ia menikah dengan suami lain. Dan jika dalam kasus ila’, pokoknya adalah empat bulan, kemudian ia diwajibkan untuk kembali (rujuk) atau menceraikan.

وَإِنْ كَانَ في ظهار حرمها عَلَيْهِ بَعْدَ الْعَوْدِ حَتَّى يُكَفِّرَ بِعِتْقِ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَصُومَ فِيهَا حَتَّى يُسْلِمَ وَفِي جَوَازِ إِطْعَامِهِ فِيهَا وَجْهَانِ

Dan jika dalam kasus zhihar ia mengharamkan istrinya atas dirinya setelah kembali (rujuk), maka istrinya tetap haram baginya sampai ia membayar kafarat dengan membebaskan seorang budak mukmin. Tidak boleh baginya berpuasa sebagai kafarat sebelum ia masuk Islam. Adapun mengenai kebolehan memberi makan sebagai kafarat dalam keadaan tersebut, terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يَجُوزُ لِأَنَّهُ إِطْعَامٌ

Salah satunya diperbolehkan karena itu adalah memberi makan.

وَالثَّانِي لَا يَجُوزُ لِأَنَّهُ بَدَلٌ عَنِ الصِّيَامِ

Yang kedua tidak diperbolehkan karena ia merupakan pengganti dari puasa.

وَإِنْ كَانَ فِي عَقْدِ نِكَاحٍ رَاعَاهُ فَإِنْ كَانَتْ مِمَّنْ تَحْرُمُ عَلَيْهِ مِنْ ذَوَاتِ الْمَحَارِمِ أُبْطِلُ نِكَاحَهَا وَإِنْ كَانَتْ مِمَّنْ تَحِلُّ لَهُ لَمْ يَكْشِفْ عَنْهُ عَقْدُ النِّكَاحِ وَحُكِمَ بَيْنَهُمَا بِإِمْضَاءِ الزَّوْجِيَّةِ كَمَا يُقَرُّونَ عَلَيْهِ إِذَا أَسْلَمُوا

Dan jika hal itu terjadi dalam akad nikah, maka ia memperhatikannya. Jika perempuan tersebut termasuk yang haram dinikahi karena merupakan mahram, maka akad nikahnya dibatalkan. Namun jika perempuan tersebut termasuk yang halal dinikahi, maka akad nikahnya tidak dibatalkan, dan keduanya tetap diputuskan sebagai suami istri, sebagaimana mereka tetap dibiarkan dalam keadaan itu jika mereka masuk Islam.

وَإِنْ كَانَ فِي مَهْرٍ تَقَابَضَاهُ أَمْضَاهُ حَلَالًا كَانَ أَوْ حَرَامًا وَإِنْ لم يتقابضا لَمْ يُحْكَمْ بِقَبْضِهِ وَلَا بِقِيمَتِهِ وَحُكِمَ لَهَا بِمَهْرِ الْمِثْلِ وَكَذَلِكَ سَائِرُ الْأَحْكَامِ وَكَذَلِكَ فِي استعداء غير الزوجين

Jika mahar itu telah diserahterimakan oleh kedua belah pihak, maka transaksi tersebut tetap sah, baik mahar itu halal maupun haram. Namun, jika belum terjadi serah terima, maka tidak dapat diputuskan bahwa mahar itu telah diterima atau dinilai dengan nilainya, dan perempuan berhak mendapatkan mahar mitsil. Demikian pula berlaku pada seluruh hukum lainnya, dan juga dalam hal permohonan perlindungan selain antara suami istri.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رحمه الله تعالى ” وَمَنْ أَرَاقَ لَهُمْ خَمْرًا أَوْ قَتَلَ لَهُمْ خِنْزِيرًا لَمْ يَضْمَنْ لِأَنَّ ذَلِكَ حَرَامٌ وَلَا ثمن لمحرم فإن قيل فأنت تُقِرُّهُمْ عَلَى ذَلِكَ قِيلَ نَعَمْ وَعَلَى الشِّرْكِ بِاللَّهِ وَقَدْ أَخْبَرَ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّهُمْ لَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ فَهُوَ حَرَامٌ لَا ثَمَنَ لَهُ وَإِنِ اسْتَحَلُّوهُ “

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Barang siapa yang menumpahkan khamar milik mereka atau membunuh babi milik mereka, maka ia tidak wajib menggantinya, karena hal itu adalah haram dan tidak ada harga bagi sesuatu yang diharamkan. Jika ada yang bertanya, ‘Bukankah engkau membiarkan mereka melakukan hal itu?’ Maka dijawab, ‘Ya, juga membiarkan mereka melakukan syirik kepada Allah. Dan Allah Ta‘ala telah memberitakan bahwa mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka itu tetap haram dan tidak ada harganya, meskipun mereka menghalalkannya.’”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ قَدْ مَضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ فِي كِتَابِ ” الْغَصْبِ ” وَذَكَرْنَا أَنَّ مَنْ أَرَاقَ عَلَى ذِمِّيٍّ خَمْرًا أَوْ قَتَلَ لَهُ خِنْزِيرًا لَمْ يَضْمَنْ سَوَاءٌ كَانَ مُتْلِفُهُ ذِمِّيًّا أَوْ مُسْلِمًا

Al-Mawardi berkata: Masalah ini telah dibahas dalam Kitab “Al-Ghashb”, dan kami telah menyebutkan bahwa siapa pun yang menumpahkan khamar milik seorang dzimmi atau membunuh babi miliknya, maka ia tidak wajib mengganti, baik yang merusaknya itu seorang dzimmi maupun seorang Muslim.

وَأَوْجَبَ أَبُو حَنِيفَةَ ضَمَانَهُ عَلَى الْمُسْلِمِ وَالذِّمِّيِّ وَقَدْ مَضَى الْكَلَامُ مَعَهُ وَأَنَّ مَا لَمْ يَضْمَنْهُ فِي حَقِّ الْمُسْلِمِ لَمْ يُضْمَنْ فِي حَقِّ الْمُشْرِكِ كَالْمَيْتَةِ

Abu Hanifah mewajibkan tanggungan (ganti rugi) atas orang Muslim maupun dzimmi, dan telah dijelaskan sebelumnya bahwa apa yang tidak diwajibkan tanggungannya terhadap Muslim, maka tidak pula diwajibkan terhadap musyrik, seperti bangkai.

وَهَكَذَا لَوْ أَرَاقَ عَلَى مُسْلِمٍ أَوْ ذِمِّيٍّ نَبِيذًا لَمْ يَضْمَنْهُ عِنْدَنَا لِأَنَّهُ لَا قِيمَةَ لِلنَّبِيذِ وَإِنْ كَانَ مُخْتَلَفًا فِيهِ كَمَا لَمْ يَكُنْ لِلْخَمْرِ قِيمَةٌ وَإِنْ كَانَ مُتَّفَقًا عَلَيْهِ

Demikian pula, jika seseorang menuangkan nabidz kepada seorang Muslim atau dzimmi, maka ia tidak wajib menggantinya menurut kami, karena nabidz tidak memiliki nilai (harga), meskipun masih diperselisihkan hukumnya, sebagaimana khamr juga tidak memiliki nilai, meskipun hukumnya telah disepakati.

مَسْأَلَةٌ

Masalah

قَالَ الشافعي رحمه الله تعالى ” وَإِذَا كُسِرَ لَهُمْ صَلِيبٌ مِنْ ذَهَبٍ لَمْ يَكُنْ فِيهِ غُرْمٌ وَإِنْ كَانَ مِنْ عُودٍ وَكَانَ إِذَا فُرِّقَ صَلُحَ لِغَيْرِ الصَلِيبِ فَمَا نَقَصَ الْكَسْرُ الْعُودَ وَكَذَلِكَ الطُّنْبُورُ وَالْمِزْمَارُ “

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Jika salib mereka yang terbuat dari emas dihancurkan, maka tidak ada ganti rugi di dalamnya. Namun jika terbuat dari kayu, dan apabila dipisahkan bisa digunakan untuk selain salib, maka kerusakan akibat penghancuran itu tidak mengurangi nilai kayunya. Demikian pula halnya dengan alat musik tunbur dan mizmar.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كَمَا قَالَ لِأَنَّ شَكْلَ الصَّلِيبِ مَوْضُوعٌ عَلَى زُورٍ وَهُوَ أَنَّهُمْ جَعَلُوهُ شَبَهًا بِمَا ادَّعَوْهُ مَنْ صَلْبِ عِيسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ فَإِذَا كُسِرَ صَلِيبُهُمْ فَإِنْ كَانَ مَنْ ذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ أَوْ مَا لَا يُؤَثِّرُ كَسْرُهُ في قيمة جنسه لم يضمنه بالكسر لأنه تَأْثِيرُ الْكَسْرِ فِيهِ إِزَالَةُ الْمَطْلُوبِ مِنْهُ

Al-Mawardi berkata, “Hal ini sebagaimana yang telah dikatakan, karena bentuk salib itu dibuat berdasarkan kebohongan, yaitu mereka menjadikannya menyerupai apa yang mereka klaim sebagai penyaliban Isa ‘alaihissalam. Maka jika salib mereka dihancurkan, jika salib itu terbuat dari emas, perak, atau bahan lain yang tidak berkurang nilainya karena dihancurkan, maka tidak ada kewajiban menggantinya, karena dampak dari penghancuran itu hanyalah menghilangkan tujuan yang diinginkan dari benda tersebut.”

وَسَوَاءٌ كَانَ كَاسِرُهُ مُسْلِمًا أَوْ نَصْرَانِيًّا

Baik yang mematahkannya itu seorang Muslim maupun seorang Nasrani, hukumnya sama.

وَإِنْ كَانَ الصَّلِيبُ مِنْ عُودٍ أَوْ خَشَبٍ يُؤَثِّرُ كَسْرُهُ فِي قِيمَتِهِ فَإِنْ فَصَّلَهُ وَلَمْ يَتَعَدَّ تَفْصِيلَهُ إِلَى الْكَسْرِ فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ وَإِنْ تَعَدَّى تَفْصِيلَهُ إِلَى الْكَسْرِ نُظِرَ فِيهِ

Jika salib itu terbuat dari kayu atau bahan lain yang nilainya akan berkurang jika dipatahkan, maka jika seseorang hanya membelahnya dan pembelahan itu tidak sampai menyebabkan patah, maka ia tidak wajib menanggung ganti rugi. Namun jika pembelahan itu sampai menyebabkan patah, maka hal tersebut perlu diteliti lebih lanjut.

فَإِنْ كَانَ فِي شَبَهِهِ لَوْ فُصِّلَ لَمْ يَصْلُحْ لِغَيْرِ الصَّلِيبِ فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ وَإِنْ كَانَ يَصْلُحُ مُفَصَّلًا لِغَيْرِ الصَّلِيبِ ضَمِنَ مَا بَيْنَ قِيمَتِهِ مُفَصَّلًا وَمَكْسُورًا

Jika dalam bentuk serupanya, apabila dipisahkan tidak cocok untuk selain salib, maka tidak ada kewajiban ganti rugi atasnya. Namun jika dalam keadaan terpisah masih cocok untuk selain salib, maka ia wajib mengganti selisih antara nilainya dalam keadaan terpisah dan dalam keadaan rusak.

وَهَكَذَا الْقَوْلُ فِي الطَّنَابِيرِ وَالْمَزَامِيرِ إِذَا فُصِلَتْ وَلَمْ تُكْسَرْ فَلَا ضَمَانَ فِيهَا وَإِنْ كُسِرَتْ فَإِنْ كَانَ خَشَبُهَا لَا يَصْلُحُ بَعْدَ التَّفْصِيلِ لِغَيْرِهَا لَمْ يَضْمَنْ وَإِنْ كَانَ يَصْلُحُ لِغَيْرِهَا ضَمِنَ مَا بَيْنَ قِيمَتِهَا مُفَصَّلَةً وَمَكْسُورَةً

Demikian pula halnya dengan qanbar dan mizmar; jika dipisahkan tanpa merusaknya, maka tidak ada kewajiban ganti rugi atasnya. Namun jika sampai rusak, maka jika kayunya setelah dipisahkan tidak dapat digunakan untuk keperluan lain, maka tidak ada kewajiban ganti rugi. Tetapi jika kayunya masih dapat digunakan untuk keperluan lain, maka wajib mengganti selisih antara nilainya dalam keadaan terpisah dan dalam keadaan rusak.

فَأَمَّا أَوَانِي الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ إِذَا كَسَرَهَا عَلَيْهِمْ أَوْ عَلَى مُسْلِمٍ فَفِي غُرْمِ مَا نَقَصَ بِكَسْرِهَا مِنَ الْعَمَلِ وَجْهَانِ مِنِ اخْتِلَافِ قَوْلَيْهِ فِي إِبَاحَةِ اقْتِنَائِهَا مِنْ غَيْرِ اسْتِعْمَالٍ

Adapun wadah-wadah dari emas dan perak, jika seseorang memecahkannya atas milik mereka atau milik seorang Muslim, maka dalam hal mengganti kerugian atas kekurangan yang terjadi akibat pemecahan tersebut dari segi nilai kerajinan, terdapat dua pendapat yang berbeda, yang bersumber dari perbedaan dua pendapat Imam Syafi‘i mengenai kebolehan memiliki wadah tersebut tanpa menggunakannya.

فَإِنْ قِيلَ بِإِبَاحَتِهِ ضَمِنَ نَقْصَ الْعَمَلِ وَإِنْ قِيلَ بِحَظْرِهِ لَمْ يَضْمَنْهُ وَكَانَ أَبُو حَامِدٍ الْإِسْفَرَايِينِيُّ يُخْرِجُ كَسْرَ الصَّلِيبِ مِنَ الذَّهَبِ عَلَى هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ وَهُوَ خَطَأٌ لِأَنَّ ادِّخَارَ الصَّلِيبِ مَحْظُورٌ بِاتِّفَاقٍ وَادِّخَارَ الْأَوَانِي عَلَى اخْتِلَافٍ فَلَمْ يجز الجمع بينهما مع اختلاف حكمهما

Jika dikatakan bahwa membolehkannya (menyimpan) berarti menanggung kekurangan amal, dan jika dikatakan melarangnya maka tidak menanggungnya. Abu Hamid al-Isfara’ini mengqiyaskan pemecahan salib dari emas dengan dua pendapat ini, dan itu adalah kesalahan, karena menyimpan salib adalah sesuatu yang dilarang menurut ijmā‘, sedangkan menyimpan bejana masih diperselisihkan, maka tidak boleh menggabungkan keduanya padahal hukum keduanya berbeda.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رحمه الله تعالى ” وَيَجُوزُ لِلنَّصْرَانِيِّ أَنْ يُقَارِضَ الْمُسْلِمَ وَأَكْرَهُ لِلْمُسْلِمِ أَنْ يُقَارِضَ النَّصْرَانِيَّ أَوْ يُشَارِكَهُ “

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Boleh bagi seorang Nasrani untuk melakukan muqaradhah (kerja sama mudharabah) dengan seorang Muslim, namun aku tidak menyukai seorang Muslim melakukan muqaradhah atau bermitra dengan seorang Nasrani.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كَمَا قَالَ يَجُوزُ أَنْ يَأْخُذَ الْمُسْلِمُ مِنَ النَّصْرَانِيِّ مَالًا قِرَاضًا وَلَا يُكْرَهُ لَهُ لِأَنَّ عُقُودَ الْمُسْلِمِ تَتَوَجَّهُ إِلَى الْمُبَاحِ وَيُكْرَهُ لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَدْفَعَ إِلَى النَّصْرَانِيِّ مَالًا قِرَاضًا لِأَنَّهُ رُبَّمَا صَرَفَهُ فِي مَحْظُورَاتِ الْإِسْلَامِ مِنَ الزِّنَا وَأَثْمَانِ الْخُمُورِ وَالْخَنَازِيرِ وولا يَبْطُلُ الْقِرَاضُ تَغْلِيبًا لِحَمْلِهِ عَلَى الْمُبَاحِ فَإِنْ صَرَفَهُ النَّصْرَانِيُّ فِي مَحْظُورٍ مِنْ أَثْمَانِ خُمُورٍ وَخَنَازِيرَ فَإِنْ كَانَ الْمُسْلِمُ قَدْ صَرَّحَ لَهُ بِالنَّهْيِ عَنْهُ كَانَ النَّصْرَانِيُّ ضَامِنًا لِمَا صَرَفَهُ فِي ثَمَنِهِ لِحَظْرِهِ وَمُخَالَفَتِهِ وَإِنْ لَمْ يُصَرِّحْ لَهُ بِالنَّهْيِ عَنْهُ فَفِي ضَمَانِهِ لَهُ وَجْهَانِ

Al-Mawardi berkata, “Hal ini sebagaimana yang telah dikatakan, yaitu boleh bagi seorang Muslim mengambil harta dari seorang Nasrani dalam akad qiradh, dan hal itu tidak dimakruhkan baginya, karena akad-akad seorang Muslim diarahkan kepada hal yang mubah. Namun, dimakruhkan bagi seorang Muslim untuk memberikan harta kepada seorang Nasrani dalam akad qiradh, karena dikhawatirkan ia akan menggunakannya untuk hal-hal yang dilarang dalam Islam, seperti zina, harga khamar, dan babi. Akan tetapi, akad qiradh tersebut tidak batal, dengan pertimbangan mengarahkannya kepada hal yang mubah. Jika seorang Nasrani menggunakannya untuk hal yang dilarang, seperti harga khamar dan babi, maka jika Muslim tersebut telah secara tegas melarangnya, maka Nasrani itu wajib mengganti apa yang telah digunakannya untuk hal tersebut karena adanya larangan dan pelanggaran. Namun, jika Muslim tersebut tidak secara tegas melarangnya, maka dalam hal kewajiban ganti rugi terdapat dua pendapat.”

أَحَدُهُمَا يَضْمَنُهُ لِمَا أَوْجَبَهُ عَقْدُ الْمُسْلِمِ مِنْ حَمْلِهِ عَلَى مُقْتَضَى شَرْعِهِ

Salah satunya wajib menanggungnya karena apa yang diwajibkan oleh akad seorang Muslim, yaitu membawa kepada konsekuensi syariatnya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا يَضْمَنُهُ لِجَوَازِهِ فِي دِينِ عَاقِدِهِ فَإِنْ رَبِحَ فِي الْخُمُورِ وَالْخِنْزِيرِ حَرُمَ ذَبْحُهُ عَلَى الْمُسْلِمِ فَإِنْ لَمْ يَخْتَلِطْ بِأَصْلِ مَالِهِ حَلَّ لَهُ اسْتِرْجَاعُ مَالِهِ وَحَرُمَ عَلَيْهِ أَخْذُ رِبْحِهِ وَإِنِ اخْتَلَطَ رِبْحُهُ بِمَالِهِ حَرُمَ عَلَى الْمُسْلِمِ اسْتِرْجَاعُهُ وَفِي رُجُوعِهِ بِغُرْمِهِ عَلَى النَّصْرَانِيِّ وَجْهَانِ وَاخْتِلَافُ الْوَجْهَيْنِ فِي ضَمَانِهِ إِذَا صَرَفَهُ فِي ثَمَنِهِ وَهَكَذَا يُكْرَهُ لِلْمُسْلِمِ أَنْ يُشَارِكَ النَّصْرَانِيَّ فِي مَالٍ يَنْفَرِدُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالتَّصَرُّفِ فِي جميعه ولا يكره اشتراكهن فِي مَالٍ لَا يَتَصَرَّفُ أَحَدُهُمَا فِيهِ إِلَّا بِاجْتِمَاعِهِمَا لِأَنَّ النَّصْرَانِيَّ إِذَا تَفَرَّدَ بِالتَّصَرُّفِ فِيهِ صَرَفَهُ فِي أَثْمَانِ الْمَحْظُورَاتِ وَإِذَا اجْتَمَعَ مَعَ الْمُسْلِمِ فِيهِ صَارَ مَمْنُوعًا مِنْهُ فَإِنْ تَفَرَّدَ النَّصْرَانِيُّ بِالتَّصَرُّفِ وَظَهَرَ الرِّبْحُ فِي الْمَالِ فَأَرَادَ المسلم أن يقاسمه عليه لم يخلو مَالُهُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ

Pendapat kedua menyatakan bahwa ia tidak wajib menanggungnya karena hal itu dibolehkan dalam agama pihak yang mengadakan akad. Jika ia memperoleh keuntungan dari khamar dan babi, maka haram bagi Muslim untuk menyembelihnya. Jika keuntungan tersebut tidak bercampur dengan modal pokoknya, maka halal baginya untuk mengambil kembali modalnya, namun haram baginya mengambil keuntungannya. Jika keuntungannya telah bercampur dengan modal, maka haram bagi Muslim untuk mengambil kembali modalnya. Dalam hal menuntut ganti rugi dari Nasrani, terdapat dua pendapat. Perbedaan kedua pendapat ini berkaitan dengan kewajiban menanggung jika modal tersebut telah digunakan untuk membeli barang yang diharamkan. Demikian pula, makruh bagi Muslim untuk bermitra dengan Nasrani dalam harta yang masing-masing dari mereka bebas mengelola seluruhnya. Namun, tidak makruh jika mereka bermitra dalam harta yang tidak boleh dikelola oleh salah satu dari mereka kecuali dengan kesepakatan bersama, karena jika Nasrani mengelola sendiri, ia akan menggunakannya untuk membeli barang-barang yang diharamkan. Jika ia mengelolanya bersama Muslim, maka ia terhalang dari hal itu. Jika Nasrani mengelola sendiri dan keuntungan muncul dari harta tersebut, lalu Muslim ingin membaginya, maka harta itu tidak lepas dari tiga keadaan.

أَحَدُهَا أَنْ يَعْلَمَ حُصُولَهُ مِنْ حَلَالٍ فَيَحِلُّ لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَأْخُذَ حَقَّهُ مِنَ الْمَالِ وَرِبْحِهُ

Salah satunya adalah mengetahui bahwa harta tersebut diperoleh dari jalan yang halal, maka halal bagi seorang Muslim untuk mengambil haknya dari harta itu beserta keuntungannya.

وَالثَّانِي أَنْ يَعْلَمَ حُصُولَهُ مِنْ حَرَامٍ فَيَحْرُمُ عَلَيْهِ أَخَذُهُ فَأَمَّا الْمَالُ فَإِنْ لَمْ يَمْتَزِجْ رِبْحُهُ وَلَا عَادَ أَصْلُهُ مِنْ ثَمَنِهِ حَلَّ لَهُ أَخْذُ حَقِّهِ مِنْهُ وَإِنِ امْتَزَجَ بِرِبْحِهِ أَوْ عَادَ أَصْلُهُ مِنْ ثَمَنِهِ حَرُمَ عَلَيْهِ أَخْذُهُ وَفِي رُجُوعِهِ بِغُرْمِهِ عَلَى شَرِيكِهِ مَا قَدَّمْنَاهُ مِنَ الْوَجْهَيْنِ

Kedua, jika ia mengetahui bahwa harta itu berasal dari sesuatu yang haram, maka haram baginya untuk mengambilnya. Adapun harta, jika keuntungannya tidak bercampur dan pokok hartanya tidak kembali dari hasil penjualannya, maka halal baginya mengambil haknya dari harta tersebut. Namun, jika keuntungannya telah bercampur atau pokok hartanya kembali dari hasil penjualannya, maka haram baginya mengambilnya. Adapun mengenai pengembaliannya atas kerugian kepada rekannya, maka hukumnya sebagaimana yang telah kami sebutkan sebelumnya dari dua pendapat.

وَالثَّالِثُ أَنْ يَشُكَّ فِي حُصُولِهِ هَلْ هُوَ من مُبَاحٌ أَوْ مِنْ مَحْظُورٍ فَلَا يَحْرُمُ عَلَيْهِ بِالشَّكِّ حُكْمًا وَيُكْرَهُ لَهُ مَعَ الشَّكِّ وَرَعًا

Ketiga, apabila seseorang ragu tentang asal-usul sesuatu, apakah itu berasal dari yang mubah atau dari yang terlarang, maka tidak haram baginya secara hukum hanya karena keraguan tersebut, namun makruh baginya untuk melakukannya dalam keadaan ragu sebagai bentuk kehati-hatian (wara‘).

مسألة

Masalah

قال الشافعي رحمه الله تعالى ” وَأَكْرَهُ أَنْ يُكْرِيَ نَفْسَهُ مِنْ نَصْرَانِيٍّ وَلَا أَفْسَخُهُ “

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Aku tidak menyukai seseorang menyewakan dirinya kepada seorang Nasrani, namun aku tidak membatalkannya.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ إِذَا آجَرَ الْمُسْلِمُ نَفْسَهُ مِنْ نَصَرَانِيٍّ بِعَمَلٍ يَعْمَلُهُ لَهُ فَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ

Al-Mawardi berkata, “Apabila seorang Muslim menyewakan dirinya kepada seorang Nasrani untuk melakukan suatu pekerjaan yang dikerjakannya untuk orang tersebut, maka hal itu terbagi menjadi dua keadaan.”

أَحَدُهُمَا أَنْ تَكُونَ الْإِجَارَةُ مَعْقُودَةً فِي ذِمَّتِهِ عَلَى عَمَلٍ مَوْصُوفٍ فِيهَا فَالْإِجَارَةُ جَائِزَةٌ وَحُصُولُ الْعَمَلِ فِي ذِمَّتِهِ كَحُصُولِ الْأَثْمَانِ وَالْقُرُوضِ فِيهَا

Salah satunya adalah bahwa akad ijarah dilakukan dalam tanggungan seseorang atas suatu pekerjaan yang telah ditentukan sifatnya dalam akad tersebut, maka ijarah itu boleh, dan keberadaan pekerjaan dalam tanggungannya seperti halnya keberadaan harga-harga dan pinjaman dalam tanggungan.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ تَكُونَ الْإِجَارَةُ مَعْقُودَةً عَلَى عَيْنِهِ فَقَدْ خَرَّجَهُ أَصْحَابُنَا عَلَى قَوْلَيْنِ كَبَيْعِ الْعَبْدِ الْمُسْلِمِ عَلَى نَصْرَانِيٍّ

Jenis kedua adalah apabila akad ijarah dilakukan atas suatu objek tertentu, maka para ulama kami mengqiyaskan hal ini kepada dua pendapat, seperti halnya penjualan budak Muslim kepada seorang Nasrani.

أَحَدُهُمَا إِنَّ الْإِجَارَةَ بَاطِلَةٌ إِذَا قِيلَ إِنَّ الْبَيْعَ بَاطِلٌ

Salah satunya adalah bahwa akad ijarah batal jika dikatakan bahwa akad jual beli batal.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي إِنَّ الْإِجَارَةَ جَائِزَةٌ إِذَا قِيلَ إِنَّ الْبَيْعَ جَائِزٌ

Pendapat kedua menyatakan bahwa ijarah (sewa-menyewa) diperbolehkan jika dikatakan bahwa bai‘ (jual beli) juga diperbolehkan.

وَالصَّحِيحُ عِنْدِي أَنْ يعتبر حال الإجازة فَإِنْ كَانَتْ مَعْقُودَةً عَلَى عَمَلٍ يَعْمَلُهُ الْأَجِيرُ فِي يَدِ نَفْسِهِ لَا فِي يَدِ مُسْتَأْجِرِهِ وَيَتَصَرَّفُ فِيهِ عَلَى مُوجَبِ عَقْدِهِ لَا عَلَى رأي مستأجره كالخياطة والنساجة والصياغة صحت الإجازة وَإِنْ كَانَتْ مَعْقُودَةً عَلَى تَصَرُّفِ الْأَجِيرِ فِي يَدِ الْمُسْتَأْجِرِ عَنْ أَمْرِهِ كَالْخِدْمَةِ لَمْ يَجُزْ لِأَنَّهُ فِي هَذَا مُسْتَذَلٌّ وَفِي الْأَوَّلِ مُصَانٌ

Pendapat yang benar menurut saya adalah bahwa yang dijadikan pertimbangan adalah keadaan akad ijarah. Jika akad tersebut berkaitan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja (ajir) pada barang miliknya sendiri, bukan pada milik orang yang menyewanya (musta’jir), dan ia bertindak sesuai dengan ketentuan akadnya, bukan menurut kehendak musta’jir, seperti menjahit, menenun, atau membuat perhiasan, maka akad ijarah tersebut sah. Namun, jika akad tersebut berkaitan dengan tindakan pekerja pada barang milik musta’jir atas perintahnya, seperti pekerjaan pelayanan, maka tidak boleh, karena dalam hal ini pekerja berada dalam posisi yang direndahkan, sedangkan pada kasus pertama ia tetap terjaga kehormatannya.

فَإِنْ قِيلَ بِبُطْلَانِ الْإِجَارَةِ كَانَ لِلْأَجِيرِ أُجْرَةُ الْمِثْلِ فِيمَا عَمِلَ وَلَمْ يَلْزَمْهُ إِتْمَامُ مَا بقي

Jika dikatakan bahwa akad ijarah batal, maka pekerja berhak mendapatkan upah yang sepadan atas pekerjaan yang telah dilakukan, dan ia tidak wajib menyelesaikan sisa pekerjaan yang belum dikerjakan.

وإن قيل بصحة الإجازة فَإِنْ كَانَ مِمَّا يَعْمَلُهُ الْأَجِيرُ فِي يَدِ نَفْسِهِ أَخَذَ بِعَمَلِهِ وَإِنْ كَانَ يَعْمَلُهُ فِي يَدِ مُسْتَأْجِرِهِ وَبِأَمْرِهِ مُنِعَ مِنِ اسْتِذْلَالِهِ بِالْعَمَلِ وَأُوجِرَ الْأَجِيرُ عَلَى ذَلِكَ الْعَمَلِ وَدُفِعَتْ أُجْرَتُهُ إِلَى الْمُسْتَأْجِرِ لِيَسْتَأْجِرَ بِهَا إِنْ شَاءَ مَنْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ أَجِيرًا لَهُ كَمَا يُبَاعُ عَلَيْهِ الْعَبْدُ الْمُسْلِمُ إِذَا ابْتَاعَهُ إِذَا صَحَّ بيعه

Dan jika dikatakan bahwa ijāzah itu sah, maka jika pekerjaan itu dilakukan oleh pekerja (ajīr) dengan tangannya sendiri, maka ia berhak atas hasil kerjanya. Namun jika pekerjaan itu dilakukan di bawah kekuasaan penyewa (musta’jir) dan atas perintahnya, maka pekerja dilarang memanfaatkan hasil kerjanya, dan pekerja diberikan upah atas pekerjaan tersebut, lalu upahnya diserahkan kepada penyewa agar ia dapat mengupah, jika ia mau, orang yang boleh menjadi pekerjanya, sebagaimana seorang budak Muslim dijual kepadanya jika ia membelinya, apabila penjualannya sah.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رحمه الله تعالى ” وَإِذَا اشْتَرَى النَّصْرَانِيُّ مُصْحَفًا أَوْ دَفْتَرًا فِيهِ أَحَادِيثِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَسَخْتُهُ “

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Apabila seorang Nasrani membeli mushaf atau buku catatan yang di dalamnya terdapat hadis-hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka jual belinya batal.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أَمَّا الْمُصْحَفُ فَمَمْنُوعٌ مِنْ بَيْعِهِ عَلَى الْمُشْرِكِينَ لِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ” أَنَّهُ نَهَى أَنْ يُسَافَرَ بِالْمُصْحَفِ مَخَافَةَ أَنْ تَنَالَهُ أَيْدِيهِمْ ” فَإِذَا مُنِعُوا مِنْ مَسِّهِ تَعْظِيمًا لِحُرْمَتِهِ كَانَ مَنْعُهُمْ مِنْ تَمَلَّكِهِ وَاسْتِبْذَالِهِ أَوْلَى

Al-Mawardi berkata: Adapun mushaf, maka dilarang menjualnya kepada orang-orang musyrik karena diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melarang bepergian dengan membawa mushaf karena khawatir akan jatuh ke tangan mereka. Maka jika mereka saja dilarang menyentuhnya sebagai bentuk pengagungan terhadap kehormatannya, maka melarang mereka untuk memilikinya dan memperlakukannya secara sembarangan tentu lebih utama.

فَإِنْ بِيعَ عَلَى مُشْرِكٍ كَانَ الْبَيْعُ بَاطِلًا قَوْلًا وَاحِدًا وَإِنْ كَانَ بَيْعُ الْعَبْدِ الْمُسْلِمِ عَلَى قَوْلَيْنِ لِأَنَّ الْمُصْحَفَ لِتَحْرِيمِ مَسَّهِ أَغْلَظُ حرمة منه لعبد الَّذِي لَا يَحْرُمُ مَسُّهُ

Jika mushaf dijual kepada seorang musyrik, maka jual belinya batal menurut satu pendapat yang disepakati. Adapun jika mushaf dijual kepada seorang hamba Muslim, terdapat dua pendapat, karena mushaf dalam hal keharaman menyentuhnya lebih berat kehormatannya dibandingkan dengan hamba, yang tidak diharamkan untuk menyentuhnya.

فَأَمَّا أَحَادِيثِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فَقَدْ جَمَعَ الشَّافِعِيُّ بَيْنَهَا وَبَيْنَ الْمُصْحَفِ فِي الْمَنْعِ مِنَ الْبَيْعِ وَإِنَّمَا يَسْتَوِيَانِ فِي الْمَنْعِ وَيَفْتَرِقَانِ فِي الْبَيْعِ وَإِنَّمَا مُنِعُوا مِنِ ابْتِيَاعِ كُتِبِ أَحَادِيثِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ صِيَانَةً لَهَا مِنْ تَعَرُّضِهِمْ لِاسْتِبْذَالِهَا وَإِنْ جَازَ لَهُمْ مَسُّهَا فَإِنِ ابْتَاعُوهَا فَهِيَ ضَرْبَانِ

Adapun hadis-hadis Rasulullah saw., Imam Syafi‘i telah menggabungkan antara hadis-hadis tersebut dan mushaf dalam hal larangan jual beli, di mana keduanya sama dalam hal larangan, namun berbeda dalam hal jual beli. Larangan membeli kitab-kitab hadis Rasulullah saw. itu dimaksudkan sebagai bentuk penjagaan agar mereka tidak meremehkannya, meskipun mereka dibolehkan menyentuhnya. Jika mereka membelinya, maka kitab-kitab tersebut terbagi menjadi dua jenis.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ فِيهَا سِيرَتُهُ وَصِفَتُهُ فَابْتِيَاعُهُمْ لَهَا جَائِزٌ

Salah satunya adalah bahwa di dalamnya terdapat riwayat hidup dan sifat-sifatnya, maka membeli mereka untuknya diperbolehkan.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ فِيهَا كَلَامُهُ مِنْ أَوَامِرِهِ وَنَوَاهِيهِ وَأَحْكَامِهِ فَفِي الْبَيْعِ وَجْهَانِ

Pendapat kedua adalah bahwa di dalamnya terdapat perkataan Allah berupa perintah, larangan, dan hukum-hukum-Nya. Dalam masalah jual beli terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا بَاطِلٌ كَالْمُصْحَفِ لِأَنَّهُمَا شَرْعٌ مُصَانٌ

Salah satunya adalah batal seperti mushaf, karena keduanya merupakan syariat yang terjaga.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي جَائِزٌ لِقُصُورِهِ عَنْ حُرْمَةِ الْقُرْآنِ

Pendapat kedua dibolehkan karena tidak mencapai tingkat kehormatan Al-Qur’an.

فَأَمَّا تَفْسِيرُ الْقُرْآنِ فَهُمْ مَمْنُوعُونَ مِنِ ابْتِيَاعِهِ كَالْقُرْآنِ لِاسْتِبْدَاعِهِمْ فِيهِ وَأَنَّهُمْ رُبَّمَا جَعَلُوهُ طَرِيقًا إِلَى الْقَدْحِ فِيهِ فَإِنِ ابْتَاعُوهُ كَانَ الْبَيْعُ بَاطِلًا

Adapun tafsir Al-Qur’an, mereka (orang non-Muslim) dilarang membelinya sebagaimana Al-Qur’an, karena mereka dianggap tidak layak dalam hal ini dan dikhawatirkan mereka menjadikannya sebagai jalan untuk merendahkan Al-Qur’an. Maka jika mereka membelinya, jual belinya batal.

وَأَمَّا كُتُبُ الْفِقْهِ فَإِنْ صِينَتْ عَنْهُمْ كَانَ أَوْلَى وَإِنْ بِيعَتْ عَلَيْهِمْ كَانَ الْبَيْعُ جَائِزًا

Adapun kitab-kitab fiqh, maka jika dijaga agar tidak sampai kepada mereka, itu lebih utama. Namun jika dijual kepada mereka, maka penjualannya tetap sah.

وَأَمَّا كُتُبُ النَّحْوِ وَاللُّغَةِ وَأَشْعَارِ الْعَرَبِ فَلَا يُمْنَعُونَ مِنْهَا وَلَا تُصَانُ عَنْهُمْ لِأَنَّهُ كَلَامٌ لا يتميز بحرمة

Adapun kitab-kitab nahwu, bahasa, dan syair-syair Arab, maka mereka tidak dilarang darinya dan tidak dijauhkan darinya, karena itu hanyalah ucapan yang tidak memiliki kekhususan kehormatan.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رحمه الله تعالى ” وَلَوْ أَوْصَى بِبِنَاءِ كَنِيسَةٍ لِصَلَاةِ النَّصَارَى فَمَفْسُوخٌ وَلَوْ قَالَ يَنْزِلُهَا الْمَارَّةُ أَجَزْتُهُ وَلَيْسَ فِي بِنَائِهَا مَعْصِيَةٌ إِلَّا بَأَنْ تُبْنَى لِصَلَاةِ النَّصَارَى “

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Jika seseorang berwasiat untuk membangun gereja sebagai tempat shalat orang Nasrani, maka wasiat itu batal. Namun jika ia berkata agar gereja itu digunakan untuk tempat singgah orang yang lewat, aku membolehkannya. Tidak ada kemaksiatan dalam membangunnya kecuali jika dibangun untuk shalat orang Nasrani.”

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَهَذَا كَمَا قَالَ إِذَا أَوْصَى رَجُلٌ بِبِنَاءِ كَنِيسَةٍ لِصَلَاةِ النَّصَارَى أَوْ بَيْعَةٍ لِصَلَاةِ الْيَهُودِ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ لَمْ يَجُزْ وَكَانَتِ الْوَصِيَّةُ بِهِ بَاطِلَةً سَوَاءٌ كَانَ الْمُوصِي مُسْلِمًا أَوْ ذِمِّيًّا لِأَمْرَيْنِ

Al-Mawardi berkata, “Ini seperti ketika seseorang berwasiat untuk membangun gereja bagi tempat ibadah Nasrani atau sinagoga bagi tempat ibadah Yahudi di wilayah Darul Islam, maka hal itu tidak diperbolehkan dan wasiat tersebut batal, baik yang berwasiat itu seorang Muslim maupun dzimmi, karena dua alasan.”

أَحَدُهُمَا إِنَّهَا مَجْمَعٌ لِمَا أَبْطَلَهُ اللَّهُ تَعَالَى مِنْ صَلَاتِهِمْ وَإِظْهَارِ كُفْرِهِمْ

Salah satunya adalah bahwa tempat itu merupakan tempat berkumpulnya segala sesuatu yang telah dibatalkan oleh Allah Ta‘ala dari salat mereka dan tempat menampakkan kekufuran mereka.

وَالثَّانِي لِتَحْرِيمِ مَا يُسْتَأْنَفُ إِحْدَاثُهُ فِي بِلَادِ الْإِسْلَامِ مِنَ الْبِيَعِ وَالْكَنَائِسِ

Dan yang kedua adalah untuk mengharamkan pembangunan baru gereja dan rumah ibadah lainnya di negeri-negeri Islam.

فَإِنْ أَحَدٌ من أهل الذمة أوصى أَنْ تُبْنَى دَارُهُ بَيْعَةً أَوْ كَنِيسَةً لَمْ يَجُزْ وَسَوَاءٌ تَحَاكَمُوا إِلَيْنَا فِي الْوَصِيَّةِ أَوْ إِلَى حَاكِمِهِمْ إِلَّا أَنَّهُمْ إِنْ تَحَاكَمُوا إِلَيْنَا أَبْطَلْنَا الْوَصِيَّةَ وَمَنَعْنَا مِنَ الْبِنَاءِ وَإِنْ لَمْ يَتَحَاكَمُوا إِلَيْنَا مَنَعْنَا مِنَ الْبِنَاءِ وَلَمْ نَعْتَرِضْ لِلْوَصِيَّةِ

Jika ada seorang dari ahludz-dzimmah berwasiat agar rumahnya dibangun menjadi gereja atau kanisah, maka wasiat itu tidak boleh dilaksanakan, baik mereka mengajukan perkara wasiat itu kepada kita maupun kepada hakim mereka. Namun, jika mereka mengajukan perkara itu kepada kita, kita membatalkan wasiat tersebut dan melarang pembangunan (gereja atau kanisah) itu. Jika mereka tidak mengajukan perkara itu kepada kita, kita tetap melarang pembangunan tersebut, namun kita tidak mempersoalkan wasiatnya.

فَإِنْ كَانَتِ الْوَصِيَّةُ بِعِمَارَةِ بَيْعَةٍ قَدِ اسْتُهْدِمَتْ أَبْطَلْنَا الْوَصِيَّةَ إِنْ تَرَافَعُوا إِلَيْنَا وَمَنَعْنَا مِنَ الْبِنَاءِ لِبُطْلَانِ الْوَصِيَّةِ

Jika wasiat itu berupa pembangunan kembali sebuah gereja yang telah runtuh, maka kami membatalkan wasiat tersebut jika mereka mengadukan perkara itu kepada kami, dan kami melarang pembangunan kembali karena batalnya wasiat tersebut.

وَإِنْ لَمْ يَتَرَافَعُوا إِلَيْنَا لَمْ نَعْتَرِضْ لِلْوَصِيَّةِ فَإِنْ بَنَوْهَا لَمْ يُمْنَعُوا لِاسْتِحْقَاقِ إِقْرَارِهِمُ الَّذِي يُقَدَّمُ عَلَيْهَا

Dan jika mereka tidak mengadukan perkara itu kepada kami, kami tidak akan menentang wasiat tersebut. Maka jika mereka membangunnya, mereka tidak akan dicegah karena mereka berhak atas pengakuan mereka yang didahulukan atas wasiat itu.

وَلَوْ أَوْصَى بِبِنَاءِ كَنِيسَةٍ أَوْ بَيْعَةٍ فِي دَارِ الْحَرْبِ لَمْ يُعْتَرَضْ عَلَيْهِمْ فِي الْوَصِيَّةِ وَلَا فِي الْبِنَاءِ لِأَنَّ أَحْكَامَنَا لَا تَجْرِي عَلَى دَارِ الْحَرْبِ فَإِنْ تَرَافَعُوا فِي الْوَصِيَّةِ إِلَيْنَا حَكَمْنَا بِإِبْطَالِهَا وَلَمْ نَمْنَعْ مِنْ بِنَائِهَا

Dan jika seseorang berwasiat untuk membangun gereja atau sinagoga di wilayah dar al-harb, maka tidak ada keberatan terhadap mereka dalam wasiat tersebut maupun dalam pembangunannya, karena hukum-hukum kita tidak berlaku di wilayah dar al-harb. Namun, jika mereka membawa perkara wasiat itu kepada kita untuk diputuskan, maka kita memutuskan untuk membatalkannya, tetapi kita tidak melarang pembangunannya.

فَصْلٌ

Bagian

فَأَمَّا إِذَا أَوْصَى بِبِنَاءِ دَارٍ يَسْكُنُهَا الْمَارَّةُ مِنَ النَّصَارَى فَذَلِكَ ضَرْبَانِ

Adapun jika seseorang berwasiat untuk membangun sebuah rumah yang akan ditempati oleh orang-orang Nasrani yang lewat, maka hal itu terbagi menjadi dua macam.

أَحَدُهُمَا أَنْ يُجْعَلَ لِمَارَّةِ الْمُسْلِمِينَ بِسُكْنَاهَا مَعَهُمْ فَهَذِهِ وَصِيَّةٌ جَائِزَةٌ

Salah satunya adalah agar tempat tinggal itu dijadikan untuk para muslim yang lewat agar mereka dapat tinggal bersamanya; wasiat seperti ini diperbolehkan.

وَالضَّرْبُ الثَّانِي أَنْ يَجْعَلَهَا خَاصَّةً لِمَارَّةِ النَّصَارَى ففيها وجهان

Jenis yang kedua adalah menjadikannya khusus untuk orang-orang Nasrani yang lewat, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.

أَحَدُهُمَا يَجُوزُ لِأَنَّهَا لِلسُّكْنَى كَالْمَنَازِلِ

Salah satunya diperbolehkan karena ia digunakan untuk tempat tinggal seperti halnya rumah.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي لَا يَجُوزُ لِأَنَّ تَفَرُّدَهُمْ بِهَا يُفْضِي إِلَى اجْتِمَاعِهِمْ عَلَى كُفْرِهِمْ

Pendapat kedua tidak boleh, karena jika mereka melakukannya sendiri akan menyebabkan mereka sepakat dalam kekafiran mereka.

وَصَلَاتِهِمْ فِيهَا وَقَدْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى فَشَرِّدْ بِهِمْ مَنْ خَلْفَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ

Dan shalat mereka di dalamnya, padahal Allah Ta‘ala telah berfirman: “Maka cerai-beraikanlah dengan mereka orang-orang yang di belakang mereka agar mereka mengambil pelajaran.”

فَأَمَّا إِنْ أَوْصَى بِالصَّدَقَةِ عَلَى فُقَرَاءِ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى جَازَ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا وَسَوَاءٌ كَانَ هَذَا الْمُوصِي مُسْلِمًا أَوْ ذِمِّيًّا

Adapun jika seseorang berwasiat untuk bersedekah kepada fakir miskin dari kalangan Yahudi dan Nasrani, maka hal itu diperbolehkan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan tawanan,” dan hal ini berlaku baik pewasiatnya seorang Muslim maupun seorang dzimmi.

فَصْلٌ

Fasal

وَلَوْ أَوْصَى مُسْلِمٌ أَوْ مُشْرِكٌ بِعَبْدٍ مُسْلِمٍ لِمُشْرِكٍ فَفِي الْوَصِيَّةِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ

Jika seorang Muslim atau musyrik berwasiat memberikan seorang budak Muslim kepada seorang musyrik, maka dalam wasiat tersebut terdapat tiga pendapat.

أَحَدُهَا بَاطِلَةٌ لِأَنَّهُ غَيْرُ مُقَرٍّ عَلَيْهَا فَلَا يَمْلِكُ بِهَا وَإِنْ أَسْلَمَ قَبْلَ قَبُولِهَا

Salah satunya batal karena tidak diakui atasnya, sehingga tidak memiliki hak dengannya, meskipun ia masuk Islam sebelum penerimaannya.

وَالْوَجْهُ الثَّانِي إِنَّهَا صَحِيحَةٌ يَمْلِكُهُ بِهَا وَلَوْ كَانَ مُقِيمًا عَلَى شِرْكِهِ وَيُقَالُ لَهُ إِنْ أَسْلَمْت أُقِرَّ الْعَبْدُ عَلَى مِلْكِكَ وَإِنْ لَمْ تُسْلِمْ فَبِعْهُ أَوْ أَعْتِقْهُ وَإِلَّا بِيعَ عَلَيْكَ فَإِنْ كَاتَبَهُ أُقِرَّ عَلَى كِتَابَتِهِ حَتَّى يُؤَدِّيَ فَيَعْتِقَ أَوْ يَعْجِزَ فَيَرِقَّ وَيُبَاعَ عَلَيْهِ قَدْ بِيعَ سَلْمَانُ فِي رِقِّهِ فَاشْتَرَاهُ يَهُودِيٌّ ثُمَّ أَسْلَمَ فَكَاتَبَ الْيَهُودِيَّ عَلَى أَنْ يَغْرِسَ لَهُ وَادِيًا فَفَعَلَ وَعَتَقَ

Pendapat kedua adalah bahwa kepemilikan itu sah, ia tetap memilikinya meskipun masih menetap dalam kemusyrikannya. Kepadanya dikatakan: “Jika kamu masuk Islam, budak itu tetap menjadi milikmu; jika tidak, maka juallah atau merdekakanlah dia, jika tidak maka budak itu akan dijual darimu.” Jika ia melakukan mukatabah (perjanjian pembebasan budak dengan pembayaran bertahap), maka perjanjian itu tetap berlaku sampai ia melunasi pembayaran dan merdeka, atau jika ia tidak mampu maka ia kembali menjadi budak dan dijual darinya. Salman pernah dijual dalam keadaan sebagai budak, lalu dibeli oleh seorang Yahudi, kemudian ia masuk Islam dan melakukan mukatabah dengan orang Yahudi itu dengan syarat menanam pohon kurma di sebuah lembah untuknya, lalu ia melakukannya dan akhirnya merdeka.

وَالْوَجْهُ الثَّالِثُ إِنَّ الْوَصِيَّةَ مَوْقُوفَةٌ مُرَاعَاةً فَإِنْ أَسْلَمَ قَبْلَ قَبُولِهَا مَلَكَهَا وَإِنْ لَمْ يُسْلِمْ قَبْلَ الْقَبُولِ لَمْ يَمْلِكْهَا لِأَنَّ وَقَفَ الوصية جائز

Pendapat ketiga, sesungguhnya wasiat itu bersifat tergantung (belum tetap), sehingga jika ia masuk Islam sebelum menerima wasiat tersebut, maka ia berhak memilikinya. Namun, jika ia tidak masuk Islam sebelum penerimaan wasiat, maka ia tidak berhak memilikinya, karena penangguhan wasiat itu diperbolehkan.

مسألة

Masalah

قال الشافعي رحمه الله تعالى ” وَلَوْ قَالَ اكْتُبُوا بِثُلُثِي التَوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ فَسَخْتُهُ لِتَبْدِيلِهِمْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الكتاب بأيديهم الآية “

Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, “Jika seseorang berkata, ‘Tulislah dengan sepertiga Taurat dan Injil,’ maka aku menghapusnya karena telah terjadi perubahan pada keduanya. Allah Ta‘ala berfirman, ‘Maka celakalah orang-orang yang menulis kitab dengan tangan mereka sendiri…’ (ayat).”

قال المارودي وَهَذَا صَحِيحٌ الْوَصِيَّةُ بِكَتْبِ التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ بَاطِلَةٌ سَوَاءٌ كَانَ الْمُوصِي بِهَا مُسْلِمًا أَوْ ذِمِّيًّا وَتَصِحُّ عِنْدَ قَوْمٍ اسْتِدْلَالًا بِأَمْرَيْنِ

Al-Mawardi berkata, “Ini benar, wasiat dengan menulis Taurat dan Injil adalah batal, baik yang berwasiat itu seorang Muslim maupun dzimmi. Namun, menurut sebagian ulama, wasiat tersebut dianggap sah dengan berdalil pada dua hal.”

أَحَدُهُمَا إِنَّهَا مِنْ كُتُبِ اللَّهِ الْمَنْقُولَةِ بِالِاسْتِفَاضَةِ فَاسْتَحَالَ فِيهِ التَّبْدِيلُ كَالْقُرْآنِ

Salah satunya adalah bahwa ia termasuk kitab Allah yang diriwayatkan secara mutawatir, sehingga mustahil terjadi perubahan di dalamnya, seperti halnya Al-Qur’an.

وَالثَّانِي إِنَّ التَّبْدِيلَ وَإِنْ ظَهَرَ مِنْهُمْ فَقَدْ كَانَ فِي حُكْمِ التَّأْوِيلِ وَلَمْ يَكُنْ فِي لَفْظِ التَّنْزِيلِ وَاللَّهُ تَعَالَى قَدْ أَخْبَرَ عَنْهُمْ وَخَبَرُهُ أَصْدَقُ أَنَّهُمْ بَدَّلُوا كُتُبَهُمْ فَقَالَ تَعَالَى فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلا وَقَالَ تَعَالَى يُحَرِّفُونَ؟ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ فَأَخْبَرَ أَنَّهُمْ قَدْ نَسَبُوا إِلَيْهِ مَا لَيْسَ مِنْهُ وَحَرَّفُوا عَنْهُ مَا هُوَ مِنْهُ وَهَذَا صَرِيحٌ فِي تَبْدِيلِ المعنى واللفظ وإن كَانَ مُبَدَّلًا كَانَتْ تِلَاوَتُهُ مَعْصِيَةً لِتَبْدِيلِهِ لَا لِنَسْخِهِ فَإِنَّ فِي الْقُرْآنِ مَنْسُوخًا يُتْلَى كَتِلَاوَةِ النَّاسِخِ وَإِذَا كَانَتْ تِلَاوَتُهُ مَعْصِيَةً كَانَتِ الْوَصِيَّةُ بالمعصية باطلة فَأَمَّا قَوْلُهُمْ إِنَّهُ مُسْتَفِيضُ النَّقْلِ فَاسْتَحَالَ فِيهِ التَّبْدِيلُ فَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ الِاسْتِفَاضَةَ شَرْطَانِ

Kedua, meskipun perubahan (tahrīf) tampak dilakukan oleh mereka, hal itu terjadi dalam ranah penafsiran (ta’wīl) dan bukan pada lafaz wahyu (tanzīl). Allah Ta‘ala telah memberitakan tentang mereka, dan berita dari-Nya adalah yang paling benar, bahwa mereka telah mengubah kitab-kitab mereka. Allah Ta‘ala berfirman: “Maka celakalah bagi orang-orang yang menulis kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu mereka berkata: ‘Ini dari sisi Allah’, untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengannya.” Dan Allah Ta‘ala juga berfirman: “Mereka mengubah kalimat dari tempat-tempatnya.” Maka Allah memberitakan bahwa mereka telah menyandarkan kepada-Nya sesuatu yang bukan dari-Nya, dan mereka telah mengubah dari-Nya apa yang memang berasal dari-Nya. Ini adalah penjelasan yang gamblang tentang perubahan makna dan lafaz. Jika sesuatu telah diubah, maka membacanya adalah maksiat karena perubahan itu, bukan karena naskh. Sebab, dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang mansūkh namun tetap dibaca seperti bacaan ayat yang nāsikh. Jika membacanya adalah maksiat, maka wasiat untuk melakukan maksiat adalah batal. Adapun pernyataan mereka bahwa itu telah masyhur dalam riwayat sehingga mustahil terjadi perubahan, maka jawabannya adalah bahwa kemasyhuran (istifādhah) itu memiliki dua syarat.

أَحَدُهُمَا أَنْ يَنْقُلَهُ جَمٌّ غَفِيرٌ وَعَدَدٌ كَثِيرٌ يَنْتَفِي عَنْهُمُ التَّوَاطُؤُ وَالتَّسَاعُدُ عَلَى الْكَذِبِ وَالتَّغْيِيرِ

Salah satunya adalah bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh sejumlah besar orang dan jumlah yang banyak, sehingga mustahil mereka bersepakat dan saling membantu dalam kebohongan dan perubahan.

وَالثَّانِي إِنَّهُ يَسْتَوِي حُكْمُ طَرَفِي النَّقْلِ وَوَسَطِهِ

Yang kedua, bahwa hukum pada kedua ujung nash dan bagian tengahnya adalah sama.

وَهَذَا وَإِنْ وُجِدَ فِيهِ أَحَدُ الشَّرْطَيْنِ مِنْ كَثْرَةِ الْعَدَدِ فَإِنَّهُ لَمْ يُوجَدْ فِيهِ الشَّرْطُ الثَّانِي فِي اسْتِوَاءِ الطَّرَفَيْنِ وَالْوَسَطِ لِأَنَّ التَّوْرَاةَ حِينَ أَحْرَقَهَا بُخْتَنَصَّرُ اجْتَمَعَ عَلَيْهَا أَرْبَعَةٌ مِنَ الْيَهُودِ لَفَّقُوهَا مِنْ حِفْظِهِمْ ثُمَّ اسْتَفَاضَتْ عَنْهُمْ فَخَرَجَتْ عَنْ حُكْمِ الِاسْتِفَاضَةِ

Meskipun dalam hal ini terdapat salah satu dari dua syarat, yaitu banyaknya jumlah, namun syarat kedua, yaitu kesetaraan antara dua pihak dan pihak tengah, tidak terpenuhi. Sebab, ketika Taurat dibakar oleh Bukhtanashar, empat orang Yahudi berkumpul untuk menyusunnya kembali dari hafalan mereka, lalu tersebarlah dari mereka, sehingga tidak lagi memenuhi ketentuan istifādhah.

فَإِنْ قِيلَ فَهَذَا يَعُودُ عَلَى الْقُرْآنِ فِي اسْتِفَاضَةِ نَقْلِهِ لِأَنَّ الَّذِي حَفِظَهُ مِنَ الصَّحَابَةِ سِتَّةٌ فَلَمْ تُوجَدْ الِاسْتِفَاضَةُ فِي طَرَفَيْهِ وَوَسَطِهِ

Jika dikatakan, “Hal ini juga berlaku pada Al-Qur’an dalam hal penukilan yang tersebar luas, karena yang menghafalnya dari kalangan sahabat hanya enam orang, sehingga tidak terdapat penukilan yang tersebar luas baik di awal, di tengah, maupun di akhirnya.”

قِيلَ لَئِنْ كَانَ الَّذِي يَحْفَظُ جَمِيعَ الْقُرْآنِ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ سِتَّةً فَقَدْ كَانَ أَكْثَرُ الصَّحَابَةِ يَحْفَظُونَ مِنْهُ سُوَرًا أَجْمَعُوا عَلَيْهَا وَاتَّفَقُوا عَلَى صِحَّتِهَا فَوُجِدَتِ الِاسْتِفَاضَةُ فِيهِمْ بِانْضِمَامِهِمْ إِلَى السِّتَّةِ

Dikatakan: Jika memang yang menghafal seluruh Al-Qur’an pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ada enam orang, maka kebanyakan sahabat menghafal beberapa surah darinya yang telah mereka sepakati dan mereka setujui keshahihannya, sehingga tersebar luas di antara mereka dengan bergabungnya mereka kepada enam orang tersebut.

وَقَوْلُهُمْ إِنَّهُمْ غَيَّرُوا التَّأْوِيلَ دُونَ التَّنْزِيلِ لِأَنَّهُمْ قَدْ أَنْكَرُوا تَغْيِيرَ التَّأْوِيلِ كَمَا أَنْكَرُوا تَغْيِيرَ التَّنْزِيلِ وَلَمْ يَكُنْ إِنْكَارُهُمْ حُجَّةً فِي تَغْيِيرِ التَّأْوِيلِ وَكَذَلِكَ لَا يَكُونُ حُجَّةً فِي تَغْيِيرِ التَّنْزِيلِ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدْ أَخْبَرَ أَنَّهُمْ غَيَّرُوهُ فَاقْتَضَى حمله على عموم الأمرين غير تخصيص

Pernyataan mereka bahwa mereka hanya mengubah ta’wil dan bukan tanzil, padahal mereka telah mengingkari perubahan ta’wil sebagaimana mereka juga mengingkari perubahan tanzil, dan pengingkaran mereka itu tidak dapat dijadikan hujjah dalam perubahan ta’wil, demikian pula tidak dapat dijadikan hujjah dalam perubahan tanzil, karena Allah Ta‘ala telah memberitakan bahwa mereka telah mengubahnya, sehingga hal itu menuntut untuk memaknainya secara umum pada kedua perkara tersebut, bukan membatasinya pada salah satunya saja.

فصل

Bab

وإن أوصى أَنْ تُكْتَبَ شَرِيعَةُ مُوسَى وَعِيسَى نُظِرَ فَإِنْ أَرَادَ كَتْبَ شَرِيعَتِهِمْ وَأَخْبَارَ قِصَصِهِمُ الْمَوْثُوقِ بِصِحَّتِهَا جاز لأن الله تعالى قصها عليها فِي كِتَابِهِ الْعَزِيزِ وَإِنْ أَرَادَ الْكُتُبَ الْمَوْضُوعَةَ فِي فِقْهِ دِينِهِمْ لَمْ يَجُزْ كَالتَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ

Dan jika seseorang berwasiat agar dituliskan syariat Musa dan Isa, maka hal itu perlu diteliti. Jika yang dimaksud adalah penulisan syariat mereka dan kisah-kisah mereka yang dapat dipercaya kebenarannya, maka hal itu diperbolehkan karena Allah Ta‘ala telah menceritakannya dalam Kitab-Nya yang mulia. Namun jika yang dimaksud adalah kitab-kitab yang disusun dalam fiqh agama mereka, maka hal itu tidak diperbolehkan, seperti Taurat dan Injil.

وهكذا لو أوصى بِكُتُبِ النُّجُومِ كَانَتِ الْوَصِيَّةُ بِهَا وَصِيَّةً بَاطِلَةً لقول النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ

Demikian pula, jika seseorang berwasiat dengan kitab-kitab nujum (ilmu perbintangan), maka wasiat tersebut adalah wasiat yang batil, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

مَنْ صَدَّقَ كَاهِنًا أَوْ عَرَّافًا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ

Barang siapa mempercayai seorang kahin (dukun) atau ‘arraf (peramal), maka sungguh ia telah kafir terhadap apa yang telah diturunkan kepada Muhammad.

وَلَوْ وَصَّى بِكُتُبِ الطِّبِّ وَالْحِسَابِ جَازَ لِأَنَّ الشَّرْعَ لَا يَمْنَعُ مِنْهَا مَعَ ظُهُورِهِمَا فِي بِلَادِ الْإِسْلَامِ وَالِانْتِفَاعِ بها والله أعلم

Dan jika seseorang berwasiat dengan buku-buku tentang ilmu kedokteran dan matematika, maka itu diperbolehkan, karena syariat tidak melarangnya, apalagi kedua ilmu tersebut telah dikenal di negeri-negeri Islam dan memberikan manfaat. Allah Maha Mengetahui.