Kitab Riyadhul Badiah Dan Terjemah [PDF]

segala puji bagi Allah tuhan seluruh alam, shalawat dan salam semoga untuk junjungan kita Muhammad, junjungan para utusan, beserta seluruh keluarganya dan sahabatnya dan yang mengikuti mereka dalam hal Kebagusan sampai hari kiamat

 

setelah itu ini adalah ringkasan tentang pokok-pokok agama dan beberapa cabang-cabangnya menurut mazhab imam Syafi’i RA. dan aku beri nama riyadul badiah tentang pokok-pokok agama dan sebagaian cabang Syariah.

 

ketahuilah bahwa wajib bagi setiap orang mukallaf walaupun hamba untuk mengetahui rukun rukun Islam dan iman. rukun-rukun Islam itu 5, bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa dan haji Baitul haram jika kamu mampu jalannya.

 

rukun iman itu ada enam: kamu beriman kepada Allah, malaikat nya, kitab-kitabnya, utusannya, hari akhir dan kepada kepastian baik-buruknya.

 

dan ia wajib juga mengetahui aqidah-aqidah iman, yaitu sifat-sifat yang wajib bagi Allah dan yang mustahil bagiNya, dan yang boleh dalam hak Allah, dan sifat-sifat yang wajib bagi utusan dan mustahil bagi mereka dan yang Jaiz dalam hak mereka.

 

wajib bagi Allah: ada, dahulu, kekal, bedanya Allah pada semua makhlukNya, berdiri Allah dengan dirinya sendiri, maksudnya Allah tidak butuh pada dzat yang dibuat berdiri dan tidak ada yang menciptakannya, tetapi Allah yang menciptakan segala sesuatu.

 

wajib bagi Allah tunggal, maksudnya Allah tiada yang duanya, dalam dzatnya dan sifat-sifatnya dan tidak perbuatannya.

 

ini adalah enam sifat, yang pertama dinamakan sifat nafsiyah yaitu sifat wujud, lima setelahnya dinamakan sifat salbiyah.

 

wajib bagi Allah juga tujuh sifat yang dinamakan sifat ma’ani, yaitu sifat mampu, menghendaki, mengetahui segala yang dapat diketahui, hidup, mendengar, melihat, berbicara tanpa huruf dan suara dan lainnya yang terdapat di ucapan makhluk.

 

dan mustahil bagi Allah tiada, baru, sirna dan kesamaan Allah dengan makhlukNya, butuh Allah pada yang mewujudkan, dan Allah tidak tunggal dzat atau sifat-sifatnya atau perbuatannya.

 

mustahil bagi Allah lemah, wujudnya sesuatu di alam tanpa kehendaknya, butuh akan sesuatu, mati, tuli, buta, bisu atau terdapat huruf atau suara di kalamnya yang kodim.

 

dan boleh dalam hak Allah melakukan segala sesuatu yang mungkin dan meninggalkannya.

 

dan wajib bagi Allah ta’ala secara global setiap kesempurnaan yang sesuai dengan dzatnya yang luhur. dan mustahil bagi Allah seluruh kekurangan.

 

dalil terhadap semua itu adalah wujudnya alam ini dengan bentuk yang indah

 

dan wajib bagi utusan jujur dalam setiap apa yang mereka kabarkan, walaupun saat tertawa. amanah. cerdas. dan menyampaikan sesuatu yang mereka diperintahkan untuk menyampaikannya kepada makhluk.

 

dan muhal bagi mereka berdusta, khianat, bodoh, dan menyimpan sesuatu yang mereka diperintahkan untuk menyampaikannya.

 

dan boleh dalam hak mereka sifat-sifat manusia yang yang tidak mengurangi derajat mereka yang luhur, seperti: makan, minum, sakit dan nikah yang halal.

 

dan mengumpulkan makna sifat-sifat ini semua ucapan tiada Tuhan selain Allah, Muhammad utusan Allah.

 

dan wajib bagi seorang mukallaf beritikad bahwa malaikat termasuk hamba-hamba Allah yang dimuliakan, dan mereka terhindar dari seluruh maksiat disucikan dari sifat-sifat manusia, dan tidak mengetahui hitungan mereka kecuali Allah. di antara malaikat adalah Jibril, Mikail, isrofil dan izroil. mereka berempat adalah para pemimpin. Mereka adalah yang paling mulia. dan di antara malaikat adalah para pembawa Ary, sekarang sekarang ada empat, dan di hari kiamat ditambah empat, dan diantara malaikat adalah mungkar dan nakir Ridwan penjaga surga Malik penjaga neraka.

 

seseorang harus beritikad bahwa makhluk yang paling mulia adalah nabi kita Muhammad, lalu para rosul, lalu para nabi, lalu para malaikat, lalu sahabat.

 

dan seorang harus beritikad bahwa semua makhluk akan mati ketika habisnya umur mereka, dan yang mengambil nyawa mereka adalah malaikat maut yaitu izroil, dan mereka akan ditanya setelah dikubur dalam kuburan kecuali beberapa kelompok yang khusus, dan mereka akan dibangunkan saat hari kiamat dan di hisab di mauqif atas amal-amal mereka, kecuali orang yang masuk surga tanpa hisab, dan amal-amal mereka di timbang di timbangan, dan mereka semua melewati jembatan, dan orang-orang mukmin minum dari telaga nabi Muhammad dan memperoleh syafaat beliau di hari kiamat, dan syafaat beliau yang paling besar adalah syafaat udzma saat faslul qodlo

 

dan harus bertekad bahwa nabi kita adalah orang Arab orang Quraisy yaitu Muhammad ibn Abdillah ibn Abdul Muthalib ibn Hasyim ibn abdi Manaf ibn qushay ibn kilab ibn murrah ibn khuzaimah ibn mudrikah ibn Alya’s ibn mudhar ibn Nizar ibn maaf Adnan.

 

dan ibu beliau adalah Aminah binti Wahab ibn abdi Manaf ibn zuhrah ibn kilab.

 

dan beliau itu putih yang tercampur dengan merah, dan beliau adalah penutup para nabi dan para rasul, dan beliau dilahirkan di Makkah dan diutus di situ, dan hijrah ke Madinah Al Munawaroh setelah isra, dan wafat di situ, dan di makamkan di situ di rumah Aisyah radhiyallahu anha, dan syariat beliau menghapus seluruh syariat yang terdahulu, dan tetap sampai hari kiamat.

 

dan wajib bagi seorang mukallaf untuk mengetahui syariat agama atau cabang-cabang agama, yang terpenting adalah bersuci, salat, zakat, puasa dan haji.

 

dan kami minta pertolongan dari allah untuk menyebutkan yang terpenting, dan keberkahan. maka kami mengucapkan

Termasuk thaharah adalah mandi wanita gila dan wanita kafir dzimi agar halal bagi suami yang muslim.

Tidak sah wudlu, mandi dan menghilangkan najis, kecuali dengan air yang suci mensucikan, termasuk wudlu yang diperbaharui, basuhan sunat seperti basuhan kedua dan ketiga dan mandi wanita istihadhah. Air suci mensucikan adalah air yang mutlak menurut ahli bahasa Arab dan ahli syariat yang pandai mengenai air. Termasuk air mutlak adalah air yang menetes dari air mutlak yang dididihkan, air yang berubah karena benda yang tidak bermasalah, air yang dikumpulkan dari embun, air yang mencair dari es dan garam air dengan syarat tidak tibuat dari air musta’ mal. Jika dibuat dari air musta’ mal, maka sama dengan asalnya. Air mutlak yang sah untuk thaharah adalah air yang tidak kemasukan najis cair atau najis padat, tidak kemasukan benda suci yang bisa mencair dan tidak musta’mal sedikit.

Air mutlak hanya ada dua:

Pertama, air yang turun dari langit, seperti air hujan, air salju, embun dan hujan es.

Kedua, air yang keluar dari bumi, seperti air asin, air tawar, air sumur dan air mata air, seperti mata air yang muncul dari tanah atau gunung. Demikian juga air yang keluar dari jari-jari Nabi saw.

Apabila air kejatuhan benda suci yang mencair seperti madu atau terpisah dari air misalnya za’faran dan garam gunung apabila tidak berada di tempatnya atau kejatuhan benda yang sifatnya seperti sifat air dan berubah air dengan sangat sehingga berubah namanya, maka suci namun tidak mensucikan hadas maupun najis, meskipun sangat banyak, misalnya seribu geriba. Air musta’mal juga suci tapi tidak mensucikan dengan dua syarat:

  1. Air musta’mal kurang dari dua kulah. Jika lebih dari dua kulah maka suci mensucikan.
  2. Air musta’mal tidak berubah karena najis. Jika berubah kareng najis, maka air musta’mal menjadi najis. Air musta’mal boleh diminum namun makruh, sebagaimana dijelaskan Abdullah An Nabrawi,

Air musta’mal adalah air yang digunakan untuk menghilan hadas atau najis. Air yang digunakan untuk thaharah sunat tidak dianggap musta’mal, meskipun dinadzari. Jika seseorang mang Jum’at yang dinadzari misalnya, maka dia boleh wudlu dengan ag yang digunakan mandi dan shalat Jum’at sah. Kesimpulannya 2x yang digunakan untuk thaharah fardlu adalah musta’ mal, sedangkan air yang digunakan untuk thaharah sunat tidak musta’mal. Air yang digunakan untuk menghilangkan najis pasti musta’mal, baik menghilangkan najis itu fardlu atau sunat, misalnya menghilangkan najis ma’fu.

Ketahuilah, bahwa selama air berada di anggota badan orang yang hadas, tidak dianggap musta’mal. Jika anggota badan lebih dari satu, misalnya seseorang mengambil air dengan dua telapak tangannya setelah membasuh wajah dengan tujuan menghilangkan hadas dua telapak tangan, maka hadas kedua telapak tangan hilang dan air yang pada keduanya musta’mal, sehingga tidak bisa digunakan untuk membasuh sisa tangan.

Apabila air yang suci mensucikan kejatuhan najis yang tidak ma’fu dan salah satu tiga sifat air berubah, yakni rasanya atau warnanya atau baunya meskipun berubahny sedikit, maka air itu najis, meskipun sebanyak lautan. Jika air itu tidak berubah karena najis, maka tidak najis karena hadits riwayat Abu Dzarr ra:

 

 

“Apabila air mencapai dua kulah, maka sesungguhnya air itu tidak najis.”

Namun jika air yang kejatuhan najis itu tidak ada dua kulah dengan yakin, maka air itu najis, meskipun mengalir. Apabila air dibimbangkan apakah ada dua kulah atau tidak, maka tidak najis, meskipun sebelumnya sedikit dengan yakin. Banyak ulama madzhab Syafi’i mendukung pendapat Imam Malik, bahwa air tidak najis secara mutlak, kecuali karena berubah. Pendapat ini memberikan keringanan. Benda cair menjadi najis secara mutlak, sebab benda cair itu lemah dan tidak mudah menjaganya.

Apabila perubahan air banyak yang berubah karena najis hilang sendiri atau karena air yang ditambahkan padanya meskipun air ini najis atau karena hujan atau air banjir, maka kembali mensucikan karena penyebab najis hilang. Demikian juga jika perubahan itu hilang karena air yang diambil darinya dan sisanya ada du akulah. Lain halnya apabila hilangnya perubahan itu karena minyak misik atau tanah.

Dua kulah adalah air pada bidang segi empat yang panjang lebar dan dalamnya sehasta seperempat dengan hasta normal. Jika menggunakan timbangan, maka air dua kulah adalah lima ratus ritl Bagdad. Ulama memperkirakan lima ratus ritl Bagdad adalah lima geriba Hijaz. Jika menggunakan geriba Mesir, maka tiga geriba tambah sedikit.

Jika mentega misalnya atau air yang sedikit kejatuhan najis yang tidak terlihat mata normal, mislanya setetes kencing dan najis yang menempel pada kaki lalat atau kejatuhan bangkai hewan yang tidak mempunyai darah mengalir jika anggota badannya disobek saat hidupnya, misalnya kalajengking dan cecak, sedangkan najis itu tidak merubah air, maka air tidak najis. Jika bangkai itu mati di dalam air dan merubahnya karena bangkai banyak, maka air najis. Bagian dari bangkai sama hukumnya dengan bangkai. Jika kulit kutu jatuh ke dalam benda cair dan disengaja, maka air najis. Jika tidak disengaja, maka air tidak najis.

  1. Bejana yang halal dan yang haram

Boleh menggunakan bejana yang suci dari jenis apapun, baik untuk thaharah maupun lainnya, meskipun mahal harganya, misalnya bejana dari tembaga, besi, timah, kayu, tembikar, kulit meskipun belum disamak, kecuali kulit manusia yang tidak kafir harbi dan murtad. Demikian juga bejana dari batu akik, marjan, yakut dan zamrud. Namun makruh menggunakan bejana yang mahal harganya seperti bejana yang terbuat dari minyak wangi yang mahal harganya seperti misik dan anbar. Lain halnya bejana yang najis, misalnya bejana terbuat dari kulit bangkai yang belum disamak, maka haran menggunakannya, kecuali pada air yang banyak.

Haram menggunakan bejana dari emas dan perak, baik bagi lelaki maupun lainnya, meskipun anak kecil, selain darurat, baik untuk makan atau lainnya, meskipun penggunaannya tidak lazim, misalnya dibalik. Wali anak kecil wanita haram membiarkannya menggunakan bejana emas perak, baik sebagian maupun keseluruhan. Haram meskipun bagi wanita tempat celak, jarum, cukil gigi, tempat cukak, kaca cermin, cendok, sisir dan tempat dupa yang semuanya terbuat dari emas atau perak. Namun diperbolehkan menggunakan bejana dari emas atau perak jika tidak ada lainnya. Haram juga memburuhkan orang untuk membuatnya dan haram menerima ongkosnya.

Sunat menutup bejana meskipun dengan kayu, baik berisi air atau tidak, baik malam maupun siang hari, sebab hadits riwayat Bukhari Muslim dari Jabir ra:

 

“Tutuplah bejana dan talilah geriba”

Dalam riwayat lain:

 

“Tutuplah bejana-bejanamu dan sebutlah nama Allah.”

Para imam berkata: “Faedah hal tersebut ada tiga. Pertama, Nabi bersabda:

 

“Sesungguhnya setan tidak bertempat pada geriba dan tidak membuka bejana.”

Kedua, hadits riwayat Muslim, bahwa Nabi bersabda:

           

“Sesungguhnya dalam setahun ada malam di mana petaka turun yang tidak melewati bejana yang tidak ada tutupnya atau geriba yang tidak bertali, kecuali sebagiannya turun padanya.”

Ketiga, menjaga bejana dari najis dan sejenisnya.” Sebagian ulama melakukan sunah tersebut, kemudian pagi harinya seekor ular melingkar pada kayu dan tidak masuk ke dalam bejana. Saat meletakkan kayu, harus mengucapkan: “Dengan nama Allah, ini adalah tutup-Mu.” Juga sunat menali geriba, memadamkan api saat akan tidur, menutup pintu saat maghrib dan mengumpulkan anak-anak. Demikian disebutkan dalam Umdah Ar Rabih dan Hadiyah An Nashih.

Lelaki yang mukallaf dan waria haram pada saat ikhtiar untuk menggunakan bejana yang disepuh dengan emas atau perak jika sepuhannya banyak. Ciri banyaknya sepuhan adalah ada sesuatu yang menetes jika benda yang disepuh dipanggang dengan api. Dalam hukum ini, tidak ada perbedaan antara bejana dan lainnya, misalnya pakaian. Juga haram menggunakan pakaian yang disulam seluruh atau sebagiannya dengan emas atau perak jika sulamannya banyak. Wanita secara ijmak boleh menggunakan benda-benda tersebut. Demikian juga anak kecil dan orang gila menurut pendapat yang kuat. Jika anak kecil dan orang gila memakainya pada hari raya, maka ulama sepakat diperbolehkan.

  1. Bagian hewan yang mati

Seluruh hewan najis karena mati, kecuali manusia, belalang, ikan dan hewan yang halal dimakan serta disembelih dengan cara syar’i Bagian yang lepas dari hewan yang hidup hukumnya sama dengan bangkai hewan itu. Karena itu, ari-ari anak hukumnya suci, lain halnya ari-ari kuda misalnya. Kecuali bulu dan sayap hewan yang halal dimakan jika dicabut saat hidupnya, maka hukumnya suci. Jika dari hewan yang halal dimakan ada bagian yang terpisah dan ada bulunya, maka bulu dan bagian tersebut najis. Telur hewan yang tidak halal dimakan, boleh dimakan jika tidak membahayakan.

Kulit bangkai atau kulit hewan hidup yang najis karena mati, yaitu kulitnya dikelupas dalam keadaan hidup, menjadi suci karena disamak luar dan dalam. Menyamak harus menggunakan benda yang pahit meskipun najis mughalazhah. Tidak boleh menyamak dengan garam. Tidak diharuskan menggunakan air pada saat menyamak, namun benda yang digunakan menyamak harus disertai air atau benda cair agar benda yang digunakan menyamak ada pengaruhnya. Bulu bangkai tidak bisa disamak, namun bulu bangkai yang sedikit ma’ fu.

Haram memakan kulit yang disamak, meskipun berasal dari hewan yang halal dimakan, seperti haramnya menyembelih hewan yang tidak halal dimakan untuk diambil kulitnya dan dagingnya digunakan berburu.

Kecuali kulit hewan yang najis mughalazhah, yaitu anjing, babi hutan dan hewan yang lahir dari keduanya, misalnya anjing jantan menjantani babi hutan betina atau dari salah satunya, seperti anjing jantan menjantani kambing. Setelah kulit hewan disamak dan belum dibasuh setelah itu, maka menjadi mutanajis dan najisnya mutawasithah. Maka harus dibasuh dengan air yang suci mensucikan. Apabila terkena najis mughalazhah, maka harus dibasuh tujuh kali dan dicampur dengan tanah, meskipun sudah dibasuh tujuh kali dan dicampur tanah sebelum disamak. Tidak boleh menggunakan kulit itu jika basah dan tidak boleh dibawa saat shalat, kecuali setelah dibasuh, namun boleh dijual sebelum dibasuh. Tidak halal memakan kulit yang disamak, baik kulit hewan yang halal dimakan atau tidak halal dimakan. Adapun kulit hewan yang disembelih, boleh dimakan setelah disamak jika tidak membahayakan.

Hal-hal yang membatalkan wudlu hanya empat saja:

Pertama, keluarnya sesuatu dari kemaluan depan maupun kemaluan belakang, meskipun kedua kemaluan lebih dari satu dan meskipun yang keluar itu benda cair yang dilihat seseorang pada dirinya dan tidak mungkin berasal dari luar. Jika dia bimbang apakah ada sesuatu yang keluar darinya atau tidak, maka wudlunya tidak batal. Dia sah jika berwudlu dengan tujuan hati-hati. Kecuali sperma sendiri yang keluar pertama kali, maka tidak membatalkan wudhu, misalnya orang tidur mimpi basah dalam keadaan duduk, sebab mimpi basah mewajibkan mandi yang lebih besar daripada wudlu. Haid membatalkan wudlu, padahal mewajibkan mandi, sebab tidak ada faedahnya jika wudlunya tidak batal. Jika dari seseorang keluar sperma orang lain atau sperma dirinya sendiri setelah dimasukkan, maka wudlunya batal.

Kedua, hilangnya kesadaran karena gila atau mabuk atau menelan obat, meskipun tidak berdosa. Atau sakit atau tidur dengan yakin, kecuali tidur orang yang menetapkan pantatnya dan antara pantat dengan tempat duduknya tidak ada tenggang, meskipun bersandar pada sesuatu yang seandainya sesuatu tidak ada, dia jatuh. Maka wudlunya tidak batal karena tidak mungkin ada sesuatu keluar dari duburnya. Tidak ada pemandangan terhadap kemungkinan keluarnya angin dar! kemaluan depan, sebab hal ini langka. Tidur tidak menetapkan panta! adalah membatalkan wudlu, meskipun yakin tidak ada sesuatu yang keluar. Seandainya duburnya dicor dengan timah dan dia tidur, maka wudlunya tetap batal, sebab yang membatalkan adalah tidurnya. Orang yang pingsan, orang yang terkejut dan orang yang disantet wudlunya batal karena kesadaran mereka hilang.

Ketiga, persentuhan lelaki dan wanita lain tanpa penghalang antara kulit keduanya, meskipun keduanya sudah tua renta atau kemaluan yang lelaki dipotong atau salah satunya anak kecil yang sudah menarik lawan jenis atau mayat atau jin meskipun wujudnya bukan wujud manusia jika jelas perlainan jenis kelamin. Meskipun persentuhan terjadi dengan dipaksa, tetap membatalkan wudlu. Wudlu masing-masing dari kedua belah pihak sama-sama batal. Jika bimbang apakah yang disentuh itu lelaki atau wanita, maka tidak membatalkan wudlu. Rambut, gigi dan kuku tidak membatalkan jika bersentuhan. Bagian dari badan yang sudah lepas juga tidak membatalkan, sebab tidak disebut lelaki maupun wanita.

Keempat, menyentuh kemaluan depan manusia atau jin atau bundaran duburnya dengan bagian dalam telapak tangan tanpa penghalang, baik alat kelamin itu milik sendiri atau milik orang, meskipun anak kecil atau mayat. Bagian dalam telapak tangan adalah sesuatu yang tertutup saat salah satu dari telapak tangan diletakkan pada yang lain dengan sedikit ditekan. Ini berlaku untuk selain dua jempol. Bagian dalam jempol adalah sesuatu yang tidak tampak saat meletakkan bagian dalam salah satu jempol ke bagian dalam jempol yang lain, sehingga ujung salah satunya ada di dekat pangkal yang lain dengan sedikit ditekan. Bulu yang banyak pada bagian dalam telapak tangan tidak dianggap penghalang. Meskipun kemaluan depan terpisah, namun masih disebut kemaluan, maka tetap membatalkan. Jika ditumbuk dan tidak disebut kemaluan lagi, maka tidak membatalkan. Menyentuh tersebut tetap membatalkan Jika dilakukan karena lupa atau dipaksa. Karena itu, jika seseorang meletakkan penisnya di telapak tangan orang lain, maka wudlu orang tersebut batal. Yang batal karena hal ini adalah wudlu orang yang menyentuh saja dan wudlu orang yang disentuh tidak batal, kecuali jika terjadi antara lelaki dan wanita lain. Jika demikian, maka wudlu keduanya menjadi batal. Termasuk kemaluan depan atau kulup (bagian yang dipotong dari anak lelaki yang disunat) dan klitoris. Jika keduanya dipotong, maka tidak membatalkan.

Tiga hal haram karena hadas kecil.

Pertama, shalat, baik fardlu maupun sunat. Demikian juga khutbah Jum’at, sujud tilawah dan sujud syukur. Shalat tanpa wudly termasuk dosa besar. Jika seseorang menghalalkannya, maka dia kafir

Kedua, thawaf, baik thawaf fardlu, thawaf wajib maupun thawat sunat. Thawaf tanpa wudlu dosa besar.

Ketiga, menyentuh mushaf, baik dengan anggota badan yang diwudlui maupun lainnya, meskipun orang yang menyentuh tidak mendapatkan air dan debu tayamum atau dia menyentuh dari balik penghalang, misalnya baju tipis yang tidak menghalangi tangan sampai ke mushaf. Dasarnya sabda Nabi saw.:

 

“Jangan menyentuh al-Qur’an ‘an, kecuali orang yang suci.”

Jika seseorang meletakkan tangannya, lalu sebagian mengenai mushaf dan sebagian mengenai lainnya, maka haram mutlak, baik yang dimaksudkan adalah mushaf atau tidak, sebagaimana ditegaskan Guru kami, Ahmad An Nahrawi. Kertas mushaf, kantongnya dan kotaknya selama mushaf ada di dalamnya, juga haram disentuh jika kantong dan kotak itu disediakan untuk mushaf saja. Boleh membalik kertas mushaf dengan kayu atau sejenisnya, sebab tidak dikategorikan membawa, kecuali jika kertas terlepas dan dibawa pada kayu, maka haram. Membawa lebih haram daripada menyentuh, namun boleh membawa mushaf bersama benda-benda lain, kecuali jika yang dimaksudkan hanya mushaf saja. Demikian juga haram jika yang dimaksud adalah keduanya menurut Ibnu Hajar. Jika yang dimaksud adalah benda lain saja atau tidak menyengaja apa-apa, maka tidak haram. Boleh menggendong orang yang membawa mushaf.

Boleh namun makruh membawa tafsir apabila lebih banyak daripada Al-qur’an dengan pasti, baik warna huruf Al-qur’an lain dengan tafsir atau sama. Lain halnya jika huruf al-Qur’an lebih banyak atau sama dengan huruf tafsir atau dibimbangkan, maka haram membawa tafsir. Jika seseorang meletakkan tangannya di atas Al-qur’an dan tafsir, maka sama dengan perincian tersebut. Yang diperhitungkan adalah tempat di mana dia meletakkan tangan, bukan tafsirnya. Yang diperhitungkan dari Al-qur’an adalah tulisan Utsmani dan tulisan tafsir, bukan jumlah kalimat. Haram menelan sesuat yang ditulisi Al-qur’an dan boleh memakannya, sebab bentuk Al-qur’an sirna setelah dikunyah.

Anak kecil yang sudah tamyiz dan hadas meskipun hadas besar tak dilarang membawa mushaf dan menyentuhnya dengan tujuan belajar dan hal-hal yang terkait, misalnya membawa mushaf kepada guru, sebab berat jika anak tersebut diperintah selalu suci.

Cebok harus dilakukan karena hal yang keluar dari kemaluan depan atau belakang jika benda itu najis dan menodai tempat keluarnya. Cebok harus dilakukan jika seseorang hendak shalat atau ibadah sejenis atau takut berlumuran najis atau waktu shalat sudah sempit. Lain halnya jika yang keluar benda suci, seperti sperma, namun sunat cebok demi menghormati pendapat ulama yang mengatakan bahwa sperma najis. Jika benda yang keluar kering, maka tidak wajib cebok, bahkan makruh cebok karena kentut. Namun cebok karena kentut sunat jika tempat keluarnya basah dan sunat cebok karena keluarnya tahi kering dan ulat demi mengormati pendapat ulama yang mewajibkannya, sebagaimana ditegaskan Ibnu Hajar dalam Fathul Jawad.

Cebok harus menggunakan air yang mutlak. Seseorang harus cebok dengan sejumlah air yang menurutnya air itu telah menghilangkan najis. Tanda hilangnya najis adalah kasarnya tempat najis. Jika telah demikian, maka tidak diperintahkan membau tangan Jika tangan dibau dan masih ada bau benda yang keluar, maka berarti najis masih ada. Ini berlaku untuk bau yang sulit dihilangkan.

Seseorang boleh bercebok dengan beberapa batu saja, meskipun tanpa alasan dan dia berada di tepi lautan, sebab Nabi bercebok dengan batu. Menggunakan air saja lebih daripada menggunakan batu saja, sebab air menghilangkan zatnya najis dan bekasnya, lain halnya batu, Jika yang dibasuh adalah dua kemaluan depan milik waria, maka harus menggunakan air. Demikian juga lubang yang menganga, kencing anak kecil yang belum disunat jika kencing itu sampai ke kulup dan kencing janda atau gadis perawan jika kencingnya sampai ke tempat masuknya penis dengan yakin.

Yang terbaik adalah menggunakan air dan batu daripada batu saja, baik untuk kencing maupun tinja menurut pendapat yang sahih. Jika menggunakan air dan batu, maka harus mendahulukan batu agar tidak menyentuh najis, sebab zat najis hilang karena batu. Itulah sebabnya, sunat tetap diperoleh, meskipun menggunakan batu yang najis jika tempat najis bersih dan batu kurang dari tiga jika tempat najis bersih. Dalil hal tersebut adalah hadits bahwa firman Allah turun memuji penduduk Quba’:

 

“Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (QS. At Taubah: 108)

 

Nabi saw menemui mereka, lalu duduk di sisi mereka, kemudian bersabda:

 

“Hai kelompok Anshar, sesungguhnya Allah memuji kalian. Lalu apa yang kalian lakukan saat wudlu dan berak?”

Mereka menjawab: “Kami cebok dengan batu, kemudian meneruskannya dengan air.” Nabi lalu membaca ayat tersebut.

Tempat najis harus disucikan dari zatnya najis dan bekasnya jika cebok menggunakan air. Sebaiknya orang yang cebok sedikit mengejan (ngeden Jawa) agar tidak ada sisa kotoran di sela-sela pantat. Apabila dia bercebok dengan batu, maka dimaafkan bekas najis sedikit yang hanya bisa disucikan dengan air atau tembikar kecil. Apabila cebok hanya menggunakan batu, maka harus tiga kali usapan yang merata pada seluruh tempat najis. Hal ini wajib menurut pendapat yang kuat. Boleh hanya menggunakan satu batu yang memiliki tiga sudut.

Meskipun tempat najis sudah suci dengan usapan kurang dari tiga, tetap harus tiga usapan. Dasarnya hadits Muslim, bahwa Salman ra berkata: “Rasulullah saw melarang kami untuk bercebok dengan kurang dari tiga batu.” Jika tiga usapan belum mensucikannya, maka harus ditambah sampai suci, sampai tidak ada bekas najis yang hanya bisa dihilangkan oleh air atau tembikar kecil. Tidak diharuskan menghilangkan bekas tersebut dengan tembikar kecil dan sunat melihat batu yang digunakan untuk cebok sebelum dibuang agar tahu, apakah batu itu bersih atau belum.

Jika tempat najis suci dengan ganjil, maka tak usah ditambahi usapan. Jika tempat najis suci dengan genap, maka sebaiknya ditambah satu kali usapan. Misalnya bersihnya tempat najis dengan usapan keempat, maka ditambah satu usapan, sebab Nabi saw bersabda:

 

 

“Barangsiapa bercebok, hendaknya mengganjilkan. Barangsiapa berbuat hal ini, maka dia sungguh berbuat baik. Barangsiapa tidak, maka tidak apa-apa.”

Benda yang sifatnya seperti batu bisa digunakan untuk bercebok yaitu benda padat yang suci, kasar dan menyirnakan zatnya najis misalnya kain dan kulit yang disamak, kecuali bagian dari masjid baik masih menempel maupun sudah terpisah. Lain halnya benda padat yang najis, seperti tahi hewan yang kering, benda padat yang mutanajis (terkena najis) dan bambu yang halus. Ketiga benda ini tidak bisa digunakan untuk cebok jika hanya menggunakan ketiganya saja,

Syarat cebok dengan batu adalah sebagai berikut:

  • Benda najis yang keluar belum kering. Jika najis yang keluar telah kering, maka harus menggunakan air.
  • Benda itu tak berpindah dari tempat keluarnya. Jika sudah berpindah, maka harus menggunakan air, meskipun tidak melewati pantat dan ujung penis. Jika seseorang berdiri dan kedua pantatnya merapat serta najisnya berpidnah tempat, maka harus menggunakan air.
  • Kencing tak melewati ujung penis, yaitu bagian di atas bagian yang dipotong ketika khitan.
  • Berak tak melewati bagian dari pantat yang merapat jika seseorang berdiri.
  • Bagi wanita, kencing tak sampai ke organ intimnya.
  • Berak tidak terpotong-potong.
  • Tidak ada najis lain atau benda suci yang basah selain keringat.

Jika seseorang sampai di pintu toilet, hendaknya mengucapkan:

 

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari benda najis yang buruk, busuk dan membusukkan, setan yang dilaknat.”

Lalu dia masuk toilet dengan kaki kiri dulu dan saat keluar, hendaknya mendahulukan kaki kanan sambil mengucapkan:

 

“Segala puji bagi Allah yang menyirnakan dariku apa yang menggangguku dan menahan padaku apa yang berguna bagiku.”

Fardlu yang harus dilakukan ketika wudlu ada enam bagi orang normal maupun yang tidak normal. Empat dengan nash Al-Qur’an, satu dengan hadits yaitu niat dan satu dengan Al-Qur’an hadits, yaitu tertib.

Pertama, niat, sebab Nabi saw bersabda:

           

“Amal-amal itu hanya dengan niat-niat.”

Yakni sahnya amal perbuatan hanyalah dengan niat. Niat harus disertakan dengan bagian yang pertama kali dibasuh dari wajah, di antaranya bagian yang harus dibasuh dari jenggot misalnya. Niat wudlu adalah niat menghilangkan hadas atau niat fardlu wudlu meskipun pelaku wudlu masih anak-anak, sebab wudlu diharuskan untuk shalat, meskipun yang shalat anak kecil. Atau niat wudlu saja. Dalam wudlu niat wudlu saja sudah cukup, sedangkan dalam mandi tidak sah niat mandi saja, sebab wudlu hanya ibadah, lain halnya dengan mandi. Atau niat sejenisnya, misalnya berniat agar boleh memegang mushaf, boleh thawaf dan boleh shalat, meskipun waktu shalat belum masuk.

Kedua, membasuh seluruh bagian luar wajah. Panjangnya adalah mulai tempat tumbuh rambut kepala sampai bawah dagu, sedangkan lebarnya adalah mulai satu cuping telinga sampai cuping yang lain. Tidak wajib membasuh cuping telinga, kecuali bagian yang harus dibasuh untuk menyempurnakan basuhan wajah. Membasuh mengecualikan mengusap tanpa mengalirnya air, maka tidak sah. Lain halnya memasukkan wajah ke dalam air, hal ini disebut membasuh.

Wajib membasuh rambut yang tumbuh di wajah, baik tebal maupun tipis, baik bagian luar maupun dalamnya, kecuali jenggot yang tebal milik lelaki, maka cukup membasuh bagian luarnya saja. Kesimpulannya seluruh rambut wajah harus dibasuh bagian luar dan bagian dalamnya, baik milik lelaki maupun selain lelaki, baik tebal maupun tipis, kecuali tiga hal:

  1. Bagian dalam rambut yang tebal dan keluar dari batas wajah, baik milik lelaki maupun lainnya. Yang dimaksudkan bagian dalam adalah jenggot yang di dekat dada.
  2. dan 3. Adalah bagian dalam jenggot dan cambang lelaki. Adapun bagian luarnya harus dibasuh.

Sunat menyela-nyelai bagian dalam jenggot yang tebal milik lelaki dengan cara memasukkan telapak tangan kanan yang sudah dibasahi dengan air ke dalam jenggot dari bawah. Air tersebut harus air baru, bukan air untuk wajah. Adapun menyela-nyelai jenggot wanita dan waria yang tebal dan tidak keluar dari batas wajah adalah wajib. Demikian juga cambang kedua orang tersebut.

Wajib juga membasuh daging hidup yang tumbuh di wajah, meskipun keluar dari batas wajah dan sangat panjang.

Ketiga, membasuh dua tangan beserta dua siku, termasuk telapak tangan dan hasta. Wajib membasuh rambut yang tumbuh pada kedua tangan, baik bagian luar maupun bagian dalamnya, meskipun banyak dan panjang sampai keluar dari batas tangan. Wajib juga membasuh daging hidup pada keduanya, meskipun panjang, yakni keluar dari batas fardlu. Demikian juga jari-jari tambahan meskipun tidak sejajar, kuku walaupun panjang, lubang yang tidak tertutup dan tempat duri yang tidak masuk ke dalam. Jika demikian, maka duri harus dicabut sebab tidak sah membasuh tangan jika duri itu masih ada. Kotoran yang ada di bawah kuku tidak dimaafkan.

Keempat, mengusap bagian dari kulit kepala, meskipun jika dipanjangkan keluar dari batas kepala, seperti daging hidup yang tumbuh, Atau bagian dari rambut yang tumbuh pada kepala, meskipun ujung satu rambut Dengan syarat yang diusap bukan rambut panjang yang keluar dari batas kepala. Jika rambut keluar dari batas kepala, maka tidak sah diusap.

Kelima, membasuh dua kaki disertai dua mata kaki dari tiap kaki bulu dua kaki dan daging hidupnya, sebagaimana bulu dua tangan. Jika tidak ada mata kaki, maka tempatnya harus dibasuh. Jika mata kaki ada di tempat yang tidak lazim, misalnya mata kaki menempel pada lutut, maka mata kaki harus dibasuh. Hal ini juga berlaku untuk siku dan ujung penis. Namun sekelompok ulama mutakhir mengatakan, bahwa yang dibasuh adalah tempat mata kaki. Wajib menggerakkan cincin yang sempit, sebab cincin yang sempit menghalangi masuknya air, Jika berwudlu, Nabi saw menggerakkan cincin. Demikian juga wajib menggerakkan anting-anting di telinga, sebab tempatnya sempit. Yang penting adalah kira-kira air sampai ke lobangnya dan tidak ada paksaan untuk memasukkan kayu ke lobang tersebut. Wajib menyela-nyelai jari tangan kaki jika air tak sampai ke jari-jari itu, kecuali dengan diselaselai. Haram membelah jari-jari yang mendaging, sebab merupakan penyiksaan tanpa terpaksa,

Keenam, mengurutkan keempat anggota badan tersebut. Yakni mendahulukan wajah atas tangan, mendahulukan tangan atas wajah, mendahulukan wajah atas kaki. Tertib ini tetap wajib sebagaimana fardlu dan syarat lainnya, meskipun lupa atau dipaksa. Jika seseorang bimbang mengenai pensucian sebagian anggota badan sebelum selesai wudlu, maka dia harus mensucikannya dan anggota badan setelahnya. Jika bimbang itu setelah wudlu selesai, maka tidak bermalasah. Ketahuilah, bahwa tidak wajib yakin bahwa air sudah merata pada anggota badan, namun cukup hanya kira-kira.

Dalam wudlu, disyaratkan tidak adanya penghalang antara air dengan anggota badan yang disucikan. Karena itu, diharuskan menghilangkan kotoran yang menghalangi sampainya air ke anggota badan, misalnya lilin dan kotoran mata dari luar. Lain halnya jika kotoran itu dari keringat kecuali jika menghilangkan kotoran sangat memberatkan, yaitu kotoran itu menjadi bagian dari badan dan tidak bisa dipisahkan. Ucapan Al Qaffal bahwa bertumpuk-tumpuknya kotoran kuku tidak menghalangi sahnya wudlu, maksudnya adalah kotoran yang sudah menjadi bagian badan. Demikian disebutkan dalam Kasyf Al Muruth.

Demikian juga kotoran yang ada di bawah kuku, sebagaimana dikatakan Asy Syihab Ar Ramli mengutip dari Ar Raudhah: “Kotoran yang terkumpul di bawah kuku dan menghalangi sampainya air, menyebabkan wudlu tidak sah menurut pendapat yang kuat. Jika kaki seseorang terbelah, lalu dia meletakkan lilin atau inai di sela-sela belahan itu, maka inai dan lilin itu harus dihilangkan. Jika warna inai masih ada, tidak apa-apa. Jika pada anggota badan ada minyak cair dan air mengalir di atasnya serta tidak tetap, maka wudlu tetap sah menurut pendapat yang kuat.”

Membasuh disyaratkan air mengalir pada anggota badan yang dibasuh. Karena itu, tidak sah mengusap anggota badan yang dibasuh, sebab mengusap bukan membasuh. Hal ini jika pembasuhan tidak dilakukan di dalam air. Juga disyaratkan air merata pada anggota badan. Karena itu, jika seseorang hidungnya atau bibirnya dipotong, maka dia harus membasuh sesuatu yang tampak pada potongan, baik dalam wudlu maupun mandi menurut pendapat yang kuat. Jika seseorang diciptakan dengan dua wajah, maka dia harus membasuh keduanya dan membasuh apa yang ada pada keduanya.

Jika ada bagian yang belum dibasuh dari anggota badan, meskipun lupa, maka tak sah wudlunya, kecuali jika bagian itu dibasuh dan anggota badan setelah harus diulangi.

Sunat wudlu banyak sekali, di antaranya sebagai berikut:

  • Menghadap kiblat saat wudlu, sebab doa lebih diharapkan terkabul, pada wudlu.
  • Membaca basmalah disertakan dengan awal wudlu. Basmalah dibaca pada saat pertama membasuh dua telapak tangan disertai niat dalam hati. Dengan demikian, dia memperoleh pahala dar sunat yang dilakukan sebelum membasuh muka. Setelah membaca basmalah, ucapkan niat, lalu meneruskan pembasuhan dua telapak tangan. Sebelum basmalah, sunat ta’awwudz (meminta perlindungan) dan sunat hamdalah setelah basmalah. Ucapkan:

 

 

“Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk. Dengar nama Allah Yang Maha Pengasih serta Maha Penyayang. Segala puji atas Islam dan nikmat-Nya. Segala puji bagi Allah yang menjadikar air suci mensucikan dan Islam sebagai cahaya. Aku berlindung kepada-Mu dari godaan-godaan setan dan aku berlindung kepada Mu Tuhanku dari kehadiran mereka padaku.”

  • Membasuh dua telapak tangan secara bersamaan sampai pergelangan, meskipun tidak bangun dari tidur dan tidak ingin memasukkan keduanya ke dalam bejana. Agar mendapat sunat, harus membasuhnya sebanyak tiga kali. Jika bimbang tentang sucinya, maka makruh memasukkannya ke dalam air sedikit sebelum membasuhnya tiga kali. Jika yakin najisnya, maka haram memasukkannya, kecuali dalam air banyak yang tidak disediakan untuk minum.
  • Berkumur, lalu menghisap air ke hidung. Yang paling sempurna dalam berkumur adalah memutar air ke di dalam mulut, lalu membuangnya. Paling sempurna dalam menghisap air ke hidung adalah menarik air dengan nafas, lalu membuangnya. Bagi orang yang tidak puasa, disunatkan melakukan keduanya dengan sungguh-sungguh, sedangkan bagi orang puasa makruh jika sungguh-sungguh, meskipun puasa sunat karena membahayakan batalnya puasa. Haram bersungguh-sungguh jika puasanya fardlu jika mengira bahwa ada air yang terlanjur masuk ke rongganya, sebab Nabi saw bersabda:

 

            “Bersungguh-sungguhlah dalam berkumur dan menghisap air, kecuali jika kamu puasa.”

Yang terbaik adalah mengumpulkan keduanya dengan tiga cebok air yang masing-masing untuk berkumur dan menghisap air.

  • Mengusap seluruh kepala. Apabila di kepala seseorang ada surban misalnya dan dia tidak ingin melepasnya, dia boleh mengusapnya, meskipun saat meletakkannya dia tidak dalam keadaan suci. Namun dengan beberapa syarat, yaitu:
  1. Tidak diharamkan memakainya. Yang haram adalah orang yang sedang ihram tanpa alasan.
  2. Pada surban tidak ada najis yang ma’fu, misalnya darah nyamuk.
  3. Tangan tidak diangkat setelah mengusap bagian dari kepala.
  • Mengusap kedua telinga secara bersamaan luar maupun dalam dengan air yang baru. Hal yang paling jelas adalah meratai luar dalam telinga merupakan syarat sempurnanya sunat, bukan pokok sunat. Jika yang diusap hanya sebagian telinga saja, maka tetap mendapat sunat, sebagaimana dikutip Ahmad Al Maihi dari Asy Syarqawi.
  • Mendahulukan tangan kaki kanan atas yang kiri. Sebaliknya makruh dan demikian juga membasuh keduanya secara bersamaan, kecuali jika disunatkan menyertakan. Misalnya mensucikan dua telapak tangan, pipi dan telinga.
  • Mensucikan tiap anggota badan tiga kali berturut-turut. Demikian juga menggosok, menyela-nyelai dan zikir, seperti basmalah dan zikir setelah wudlu. Kadang mengulangi tiga kali haram, misalnya saat waktu sempit. Terkadang tidak mengulangi tiga kali disunatkan, misalnya takut ketinggalan jama’ah satu-satunya.
  • Berturut-turut antara anggota badan dalam mensucikan, misalnya membasuh anggota badan sebelum keringnya anggota badan sebelumnya saat cuaca normal. Jika mengulangi basuhan, maka yang dipandang adalah basuhan terakhir. Kadang berturut-turut wajib hukumnya, misalnya sempitnya waktu.

Adapun siwakan, bukanlah sunat khusus bagi wudlu, namun siwakan sunat dilakukan dalam keadaan bagaimanapun, baik seseorang suci, hadas, junub, haid, puasa atau tidak puasa. Dan sunat pada tiap waktu, baik malam maupun siang, baik pagi maupun sore. Kecuali bagi orang puasa. Bagi orang yang puasa dan orang yang diharuskan menahan diri karena lupa niat, maka makruh bersiwak setelah matahari tergelincir sampai matahari terbenam, meskipur terbenamnya kira-kira, seperti pada hari-hari Dajal.

Siwakan sangat disunatkan pada:

  • Saat akan berwudlu. Waktunya yang paling baik adalah sebelum berkumur dan setelah membasuh dua telapak tangan. Jika dilakukan sebelumnya, maka juga memperoleh sunat, namun harus berniat sendiri, misalnya niat bersiwak sebagai sunat wudlu.
  • Saat mulut bau meskipun tidak punya gigi atau gigi berwarna kuning.
  • Bangun dari tidur, baik malam maupun siang hari, meskipun tidak merubah bau mulut, misalnya tidurnya hanya sebentar.
  • Hendak shalat, meskipun salam dari tiap dua raka’at dan pemisahnya hanya sebentar dan mulut tidak berbau.
  • Hendak membaca Al-Qur’an dan ilmu agama, khususnya ilmu hadits.

Sunat siwakan bisa diperoleh dengan segala benda suci yang kasar dan menghilangkan warna kuning pada gigi, kecuali jari yang masih menempel, meskipun dengan kain. Yang paling baik adalah bersiwak dengan kayu arak yang kering dan dibasahi dengan air. Setelah siwakan, hendaknya berdoa:

 

 

“Ya Allah, harumkanlah bau mulutku, sinarilah hatiku, Sucikanlah anggota-anggota badanku, bersihkanlah dosa-dosaku dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam hamba-hambaMu yang saleh. Berilah aku surga-Mu wahai Tuhan semesta alam.”

Orang yang hidup tak wajib mandi, kecuali karena beberapa hal berikut:

  1. Junub dan hal ini terjadi pada kaum lelaki dan kaum wanita.
  2. Melahirkan meskipun tak disertai dengan cairan yakni anak yang lahir kering, menggugurkan segumpal darah atau segumpal daging, Ada tiga hukum yang berhubungan dengan segumpal darah, yaitu wajib mandi, wanita yang berpuasa menjadi batal puasanya dan darah yang keluar setelahnya disebut nifas. Sedangkan segumpal daging di samping ketiga hukum tersebut, ada hukum yang berhubungan, yaitu iddah selesai karenanya, istibra” selesai dan hamba sahaya wanita disebut umul walad.
  3. Berhentinya haid atau berhentinya nifas, ditambah keinginan untuk shalat. Dengan demikian, yang mewajibkan mandi tersusun dari beberapa hal, yaitu keluarnya seluruh anak, keinginan agar bisa disenggama suami dan berhentinya darah.

Junub terjadi adakalanya karena masuknya ujung zakar meskipun besar ke dalam kemaluan, baik depan maupun belakang, meskipun milik binatang dan tak keluar sperma. Seseorang tidak dianggap junub jika memasukkan sebagian ujung zakar, namun dia disunatkan mandi menurut sebagian pendapat. Atau karena masuknya kira-kira ujungnya zakar jika tidak punya. Jika seseorang memiliki ujung zakar dan dipotong, maka sisa zakat dianggap ujung zakar. Jika dia tidak punya zakar sejak lahir, maka diperkirakan dengan orang yang sama dengannya dalam hal tingginya badan misalnya. Jika yang disenggama mayat, maka yang menyenggama tetap wajib mandi, namun pemandian mayat tidak diulangi. Meskipun pelaku senggama lupa atau dipaksa atau zakar dibalut dengan kain tebal, bahkan berada di dalam bambu, tetap menjadi junub.

Apabila seorang lelaki masuk ke dalam kemaluan wanita dan lelaki itu memasukkan zakartnya dahulu, kemudian badannya yang lain, maka keduanya wajib mandi. Jika lelaki itu memasukkan selain zakarnya lebih dulu, maka lelaki tersebut tak wajib mandi, sebab masuknya zakar mengikuti kepala, kaki atau tangan.

Junub adakalanya terjadi dengan keluarnya sperma, meskipun tidak karena dimasukkan ke dalam kemaluan, misalnya saat tidur. Yang dimaksudkan adalah sperma keluar dari batang zakar atau turun ke tempat cebok bagi wanita bukan gadis atau melewati selaput keperawanan bagi gadis. Meskipun berupa darah karena banyaknya senggama atau sejenisnya, tetap disebut sperma jika memiliki satu dari tiga ciri khususnya, yaitu keluarnya sedikit-sedikit, kenikmatan yang dahsyat saat keluarnya dan kendornya zakar setelahnya, atau baunya sepertinya bau adonan roti atau manggar kurma. Keluar sperma terjadi pada lelaki dan wanita dan biasanya sperma wanita adalah kuning dan encer.

Fardlu mandi ada dua, baik mandi fardlu maupun mandi sunat, sebab mandi sunat fardlunya seperti mandi wajib:

Pertama, niat yang disertakan dengan bagian yang pertama kali dibasuh dari badan. Anggota badan yang dibasuh setelah niat adalah sah basuhannya, meskipun bagian bawah, sebab tidak ada wajib tertib dalam mandi. Sunat mendahulukan niat bersamaan dengan sunat yang didahulukan sebelum mandi, mislanya siwakan agar sunat tersebut ada pahalanya. Karena itu, yang terbaik adalah berkata: “Saya berniat Sunat mandi” saat melakukan sunat mandi, baru niat mandi.

Niat mandi adalah niat menghilangkan hadas. Jika berniat menghilangkan hadas yang ada, maka sah. Jika berniat menghilangkan hadas kecil dengan sengaja, maka tak sah. Namun jika orang yang mandi berniat menghilangkan hadas kecil karena mengira bahwa niat itu sudah cukup, maka hadas anggota badan yang diwudlui hilan kecuali kepala. Atau berniat fardlu mandi atau berniat melakuka mandi atau berniat fardlu mandi atau berniat mandi untuk shalat Nia sejenis. Misalnya berniat mandi agar sah melakukan sesuatu yan membutuhkan mandi, seperti membaca Al-Qur’an. Lain halnya bernia, agar boleh lewat masjid.

Kedua, meratakan air pada bagian luar badan, bagian luar rambu, dan bagian dalamnya sekali. Termasuk yang harus dikenai air adalah kuku dan benda di bawahnya, bagian yang tampak dan yang terbelah dari lubang telinga, bagian dalam kulit anak yang belum khitan, bagian dari hidung yang dipotong dan lipatan pada badan. Demikian juga jenggot tebal selain rambut yang tumbuh pada mata dan hidung meskipun panjang. Wajib mengurai rambut yang dikepang jika air tidak bisa sampai pada bagian dalamnya, kecuali dengan diurai. Lain halnya jika rambut itu terkepang dengan sendirinya. Jika seseorang mencabut satu rambut yang belum dia basuh, maka harus membasuh tempatnya. Seluruh badan harus terkena air, sebab seluruh badan bersifat junub, di samping tak berat melakukannya karena mandi jarang terjadi.

Orang yang mandi harus mengejan, sehingga bundaran duburnya terbuka dan dia bisa membasuhnya serta mengeluarkan apa yang ada di duburnya. Wanita yang mandi harus membasuh sesuatu yang tampak dari kemaluannya saat dia jongkok untuk berak, meskipun dia gadis, sebab semua hal tersebut termasuk bagian luar badan. Lain halnya bagian dalam mulut, maka tidak wajib dibasuh.

Apabila keduanya tak dibasuh saat mandi, meskipun karena lupa, maka mandinya tak sah, sebab seluruh badan harus dikenai air. Yang terbaik adalah membasuh kedua benda tersebut sebelum badan yang lain dengan niat khusus selain niat mandi umum. Caranya adalah dengan berkata: “Saya berniat menghilangkan hadas besar dari tempat istinja’ (cebok) secara khusus,” lalu mengucapkan niat lain untuk badan yang lain, misalnya berkata: “Saya berniat mandi untuk menghilangkan junub karena Allah.”

Sunat mandi, baik mandi fardlu maupun mandi sunat banyak sekali, di antaranya sebagai berikut:

  • Wudlu sempurna sebelum mandi. Ini lebih baik. Jika seseorang wudlu, lalu hadas sebelum mandi, maka tetap memperoleh sunat meski tak mengulangi wudlu. Jika junub tidak disertai hadas kecil, misalnya mimpi basah saat duduk, maka wudlu diniati sunat mandi, misalnya berkata: “Saya niat wudlu yang disunatkan karena mandi.” Jika junub disertai hadas kecil, maka wudlu diniati menghilangkan hadas kecil.
  • Menggosok anggota badan, sebab sebagian ulama mewajibkannya, di samping lebih membersihkan badan.
  • Memulai dengan kanan dari badan dalam menuangkan air. Pertama bagian depan, lalu bagian belakang setelah menuangkan air tiga kali ke kepala.
  • Membasuh seluruh badan sebanyak tiga kali, misalnya membasuh kepala sekaligus dan menggosoknya tiga kali, lalu membasuh lambung depan dan menggosoknya, lalu lambung belakang, lalu lambung kiri depan, lalu lambung kiri belakang. Ulangi tiga kali.
  • Menghadap kiblat saat mandi jika auratnya tertutup. Jika tak tertutup, maka jangan menghadap kiblat.

Karena hadas besar atau junub, haram hal-hal berikut:

  • Membaca Al-Qur’an dengan empat syarat, yaitu yang dibaca adalah Al-Qur’an, bermaksud membaca Al-Qur’an, membaca Al-Qur’an Itu sunat dan terdengar diri sendiri. Tidak haram jika yang dibaca adalah ayat Al-Qur’an yang dinasakh bacaannya dan kitab suci lainnya. Atau membaca Al-Qur’an dengan niat zikir saja atau memutlakkan. Atau membaca Al Fatihah bagi orang yang tidak memperoleh air dan debu. Atau membaca Al-Qur’an di dalam hati.
  • Berdiam diri atau mondar-mandir di dalam masjid bagi muslim yang sudah baligh dalam waktu minimal tumakninah. Yang dimaksudkan masjid adalah buminya atau temboknya atau udaranya.
  • Hal-hal yang haram karena hadas kecil, yaitu tiga hal terdahulu.

Secara mutlak, tayamum merupakan keringanan, baik karena tidak adanya air atau karena hal-hal yang lain. Tayamum hanya bagi kita umat Muhammad, sedangkan umat sebelum kita, jika mereka bepergian, mereka tidak shalat dalam perjalanan dan menggadla shalat jika mereka kembali. Jika mereka tidak memperoleh air, mereka tidak melakukan shalat, sampai memperoleh air dan menggadla dan mereka tidak melakukan shalat dengan tayamum. Demikian dikutip dari catatan Al Aththar.

Tak sah tayamum dengan apapun yang ada di muka bumi ini, selain tanah yang murni dan mensucikan serta ada debunya yang menempel di wajah dan tangan. Imam Malik memperbolehkan tayamum dengan segala sesuatu yang ada di tanah, misalnya pohon dan padi dan Imam Abu Hanifah juga memperbolehkannya. Muhammad murid Abu Hanifah dan Imam Ahmad memperbolehkan tayamum dengan segala sesuatu yang termasuk jenis tanah. Murid Abu Hanifah yang lain, yaitu Abu Yusuf, memperbolehkan tayamum dengan sesuatu yang tak ada debunya, misalnya batu yang keras.

Syarat-syarat Tayamum Syarat tayamum ada dua:

Pertama, memindahkan debu meskipun dari udara. Jika debu dihambur-hamburkan oleh angin pada wajah seseorang dan kedua tangannya, lalu dia membolak-balikkan debu itu disertai niat, maka tak sah tayamumnya. Yang dimaksudkan memindahkan adalah sengaja memindahkan debu. Ini bukan niat tayamum dan niat tayamum tidak mencukupi syarat ini.

Kedua, dilakukan setelah masuknya waktu ibadah yang menjadi tujuan tayamum disertai keyakinan masuknya waktu tersebut Mengambil debu juga harus dilakukan setelah masuknya waktu. Waktu shalat janazah adalah sempurnanya pemandian yang wajib atau tayamum mayit. Waktu shalat yang qadla adalah ingat shalat tersebut, waktu shalat sunat rawatib adalah waktu shalat fardlunya, waktu shalat gerhana adalah gerhana sebagian matahari rembulan, waktu istisga’ adalah berkumpulnya sebagian besar orang yang akan melakukannya jika ingin dilakukan jama’ah dan waktu shalat sunat mutlak adalah waktu manapun, kecuali waktu makruh.

Penyebab Tayamum

Penyebab tayamum ada tiga:

Pertama, tidak ada air. Termasuk hal ini adalah ada air di dekat seseorang, namun dia takut kepada musuh atau hewan buas jika menuju air. Atau dia mengkhawatir harta yang dibawanya atau khawatir harta yang ditinggal di penginapan digasab atau dicuri. Yang dimaksud dekat adalah air berada pada batas meminta tolong, yaitu jarak paling jauh yang bisa ditempuh oleh anak panah atau air ada pada jarak tersebut ditambah kira-kira 48 menit.

Kedua, khawatir bahaya jika menggunakan air, baik karena sakit atau sejenisnya. Misalnya jika wudlu nyawa melayang atau anggota badan rusak atau manfaat anggota badan sirna atau khawatir bertambah menderita atau khawatir sembuh semakin lama atau khawatir timbulnya cacat yang jelas pada anggota badan. Contoh sejenis sakit adalah khawatir tertinggal rombongan atau khawatir tercebur ke laut jika mengambil air.

Ketiga, membutuhkan air untuk diminum manusia atau makhluk bernyawa yang terhormat, baik sekarang atau nanti. Jika demikian, maka diperbolehkan menimbun air, bahkan harus menimbunnya dan haram wudlu dengan air demi melindungi nyawa atau anggota badan dari kebinasaan. Jika yang membutuhkan air pada masa nanti adalah teman rombongan, maka tak boleh tayamum dan harus wudlu. Jika di antara rombongan ada orang yang kehausan, maka harus memberikan air secara cuma-cuma dan haram menggunakannya untuk wudlu.

Fardlu Tayamum

Fardlu tayamum ada empat:

Pertama, niat yang disertakan dengan memindahkan debu dan bagian dari wajah yang pertama kali diusap. Menurut pendapat yang kuat, tidak mengapa jika niat hilang antara keduanya. Apabila orang yang tayamum hadas di antara keduanya, maka niat tidak sah, kecuasi jika dia berniat sebelum debu menyentuh wajah. Dia tidak perlu memindahkan debu lagi.

Orang yang tayamum harus berniat menginginkan sahnya shalat fardlu misalnya, sebab sebelum tayamum dia dilarang melakukan shalat. Tidak sah berniat menghilangkan hadas, sebab tayamum tidak menghilangkan hadas. Tidak sah pula berniat fardlu tayamum, sebab tayamum merupakan thaharah darurat yang tidak layak untuk dijadikan tujuan. Namun ulama madzhab Hanafi berpendapat, sah berniat tayamum fardlu.

Kedua, membasuh muka baik panjang maupun lebarnya, sampai bagian depan hidung dan dua bibir serta bagian dari jenggot yang terurai. Tidak diharuskan yakin bahwa debu sampai ke seluruh anggota badan yang diusap, namun cukup perkiraan saja. Tidak wajib juga membuat debu sampai ke tempat tumbuh rambut, meskipun rambutnya tipis, sebab hal itu sulit. Bahkan hal tersebut juga tidak disunatkatkan.

Ketiga, mengusap kedua tangan disertai dua siku. Debu wajib sampai ke benda yang ada di bawah kuku dan harus dihilangkan benda di bawah kuku yang menghalangi sampainya debu. Perbedaan antara kuku dan rambut adalah kuku ada diperintah untuk dihilangkan, Sementara rambut tidak.

Tidak sah memukul debu sekali untuk wajah dan dua tangan, meskipun secara teori bisa satu pukulan untuk keduanya. Masing. masing dari keduanya harus dengan satu pukulan sendiri. Yang dimaksudkan dengan pukulan adalah pemindahan debu.

Keempat, urut antara kedua pukulan, yakni mendahulukan mengusap wajah atas mengusap tangan, meskipun tayamumnya untuk hadas besar. Urut tidak diwajibkan dalam mandi, sebab dalam mandi seluruh badan disamakan dengan satu anggota badan.

Hal-hal Yang Membatalkan Tayamum

Yang membatalkan tayamum ada tiga:

  1. Hal-hal yang membatalkan wudlu.
  2. Murtad, meskipun hanya bentuknya, misalnya murtad yang dilakuan oleh anak-anak, baik murtad terjadi setelah tayamum atau di tengah tayamum. Wudlu dan mandi orang normal tidak batal karena murtad, namun jika murtad terjadi di tengah mandi wudlu, maka diperlukan niat untuk hal seterusnya.
  3. Hilangnya alasan sebelum melakukan shalat yang menjadi tujuan tayamum. Misalnya orang yang tayamum tahu adanya air yang mensucikan sebelum mengucapkan ra’ dari kata Akbar, meskipun waktu shalat sempit untuk melakukan wudlu. Hal tersebut membatalkan tayamum apabila tidak besertaan dengan hausnya hewan yang terhormat misalnya. Contoh lain adalah melihat ats setelah sempurnanya takbiratul ihram di tampat di mana biasanya ada air. Maka shalat batal dan tidak usah diteruskan, sebab tidak ada faedahnya karena harus diulangi. Jika orang yang tayamum hanya memungkinkan adanya air pada saat shalat atau dia mendapatkan air pada saat shalat atau dia mendapatkan air pada saat shalat d tempat di mana air jarang ada, maka shalat tidak batal.

 

Satu tayamum tidak bisa digunakan untuk melakukan dua shala’ ardlu ain dan hanya untuk satu shalat fardlu ain saja dan shalat sunat yang waktunya sudah masuk sebelum tayamum. Namun jika shalat kedua adalah shalat muadah (shalat yang diulangi) dengan shalat asal, maka boleh satu tayamum saja, scbab muadah menjadi shalat sunat, meskipun niatnya fardlu. Tayamum untuk shalat muadah tetap dengan niat menginginkan sahnya shalat fardlu. Demikian juga Jika berniat menginginkan sahnya shalat saja, maka tidak sah shalat muadah dengan tayamum tersebut. Shalat zuhur dengan shalat Jum’at sama dengan shalat muadah, yakni dapat dikerjakan dengan satu tayamum.

Dalam hal tayamum, shalat ada tiga tingkatan: fardlu shalat dan thawaf, fardlu selain keduanya dan sunat keduanya. Jika seseorang tayamum dan berniat shalat fardlu ain, maka tayamumnya bisa dia gunakan untuk mengerjakan shalat fardlu ain, shalat sunat, fardlu kifayah, menyentuh mushaf, sujud syukur dan sujud tilawah. Namun tayamumnya tidak bisa digunakan untuk mengerjakan khutbah, sebab khutbah sama dengan fardlu ain. Jika dia hanya berniat shalat saja atau berniat shalat sunat, maka dia boleh mengerjakan selain shalat fardlu ain. Jika dia berniat selain shalat fardlu dan shalat sunat, misalnya berniat menyentuh mushaf, maka dia boleh mengerjakan selain shalat fardlu dan shalat sunat, misalnya sujud tilawah, sujud syukur, berdiam di dalam masjid dan membaca Al-Qur’an.

Orang yang tayamum harus mengulangi shalatnya apabila dia tayamum karena cuaca dingin sebab jarangnya tidak mendapatkan air yang dipanaskan dengan api atau tayamum di tempat di mana biasanya ada air. Yakni di tempat itu biasanya ada air pada hari tersebut dalam setahun, meskipun tidak ada air di hari yang lain. yang diperhitungkan adalah tempat shalat, bukan tempat tayamum.

Yang dimaksudkan najis adalah zatnya najis, yaitu benda menjijikkan yang menghalangi sahnya shalat apabila tidak ada keringanan. Sedangkan yang dimaksudkan menghilangkan najis adalah menghilangkan status yang disifatkan pada sesuatu yang bertemu dengan benda tersebut dalam keadaan basah.

Seluruh hewan hukumnya suci pada saat hidupnya, kecuali anjing meskipun untuk berburu, babi hutan karena ada perintah membunuhnya meski tidak membahayakan dan hewan yang lahir dari keduanya atau dari salah satunya ke bawah. Hewan yang dibesarkan dengan susu hewan yang lahir dari salah satu dari keduanya atau dari susu kambing yang dihamili anjing tidak najis. Demikian juga ulat bangkai anjing dan babi, sebab ulat itu timbul dari busuk keduanya, bukan dari bangkai keduanya.

Seluruh bangkai hukumnya najis, meskipun tidak mengalir darahnya, kecuali manusia, ikan dan belalang. Bangkai adalah hewan yang hidupnya hilang bukan karena penyembelihan syar’i, misalnya hewan yang tidak halal disembelih atau hewan yang halal disembelih namun kurang syaratnya. Ikan adalah hewan laut yang tidak bisa hidup di darat, meskipun bentuknya anjing. Bangkai belalang dan ikan adalah suci. Nabi saw bersabda:

 

 

“Mukmin tidak najis, baik hidup maupun mati.”

Kata “mukmin” dalam hadis hanyalah memandang kebanyakan saja. Nabi juga bersabda:

 

 

“Belalang adalah pasukan Allah paling banyak. Aku tidak memakannya dan tidak mengharamkannya.”

Semua benda yang keluar dari dua kemaluan hukumnya najis, misalnya madzi dan wadi, meskipun berasal dari burung, ikan dan belalang, kecuali sperma dari manusia atau hewan yang tidak suci, angin dan kerikil yang tidak terjadi dari kencing. Demikian juga ulat dan biji yang jika ditanam tumbuh. Telur hewan yang tidak halal dimakan dagingnya adalah suci secara mutlak dan halal dimakan selama tidak diketahui berbahaya. Telur bangkai yang sudah mengeras adalah suci dan najis jika belum mengeras, sedangkan telur yang diambil dari hewan yang hidup dan hewan yang disembelih adalah suci, meskipun belum mengeras dan berubah menjadi darah selama belum busuk.

Najis ada tiga macam, yaitu mukhaffafah, mutawasithah dan mughalazhah.

Mukhaffafah adalah kencing anak lelaki yang belum mencapai usia dua tahun dan belum memakan pokok selain air susu ibu. Dua tahun ini berpedoman tahun Hijriyah dan tidak boleh kurang sama sekali. Tempat yang terkena kencing tersebut menjadi suci hanya dengan diperciki air sekali saja dengan syarat air itu merata meskipun tidak mengalir dan zatnya kencing hilang sebelum air dipercikkan sebagaimana najis lainnya. Juga disyaratkan kencing itu diperas atau kering, sehingga tidak tersisa basah yang bisa lepas. Lain halnya dengan basah yang tidak bisa lepas. Jika anak kecil lelaki sudah makan selain air susu ibu sebagai makanan pokok, misalnya mentega atau usianya telah mencapai dua tahun, maka kencingnya harus dibasuh. Kencing anak tersebut masih tetap mukhaffafah jika dia menelan sesuatu yang diletakkan di langit-langit mulutnya atau untuk mengobati perutnya. Air susu manusia dan makhluk lainnya tidak ada bedanya meskipun najis.

Mughalazhah adalah najis anjing, babi hutan dan hewan yang lahir dari keduanya atau dari salah satunya dengan hewan yang suci, meskipun berakal dan bisa bicara, kecuali jika berupa manusia dan lahir dari pasangan manusia dan hewan yang najis mughalazhah. Maka dihukumi suci dalam hal ibadah dan dihukumi najis dalam pernikahan

Tempat yang terkena najis mughalazhah tidak suci, kecuali setelah dicuci tujuh kali yang salah satunya dicampur dengan deby yang mensucikan, baik ada najis lain atau tidak, meskipun tanah lia yang basah dan baik yang dicampuri adalah basuhan awal atau basuhan akhir atau lainnya. Yang wajib adalah debu yang mengeruhkan air dan dengan perantara debu itu, air bisa mengena pada seluruh bagian benda yang terkena najis mughalazhah, baik dicampurkan sebelum diletakkan pada tempat yang terkena najis atau setelahnya.

Tujuh kali basuhan tersebut belumlah cukup, kecuali jika zatnya najis mughalazhah hilang dengan basuhan pertama. Jika hilangnya zat najis mughalazhah bukan karena basuhan pertama, maka seluruh basuhan terdahulu dihitung satu basuhan dan setelah itu harus dilengkapi menjadi tujuh basuhan, meskipun basuhan terdahulu banyak sekali. Jika sifat najis mughalazhah tidak hilang, kecuali dengan enam basuhan, maka dihitung enam basuhan dan hanya perlu menambah satu kali.

Mutawasithah adalah najis selain najis-najis tersebut di atas. Tempat yang terkena najis ini menjadi suci dengan mengalirnys air sekali padanya apabila tidak ada bendanya, tidak ada warnanya, baik putih maupun lainnya maupun baunya, seperti setetes kencing yang telah kering. Ini disebut najis hukmiyah. Jika ada salah satu dari ketiganya, maka najis tidak suci kecuali jika sudah hilang sifatnya dan ini disebut najis ainiyah. Apabila masih tersisa rasa najis, maka bermasalah, kecuali jika tidak bisa hilang, yakni cara menghilangkannya hanya dengan memotong. Demikian juga apabila masih ada bau dan warna najis, sebab menunjukkan masih adanya zatnya najis. Lain halnya jika yang masih ada hanya salah satunya Jika warna najis atau baunya saja yang sulit dihilangkan, maka ma’fu. Yang dimaksudkan sulit adalah tidak hilang setelah digaruk tiga kali. Jika najis sulit hilang, maka tidak ada kewajiban untuk menggunakan sabun, kecuali jika masih ada rasanya najis saja atau bau dan warnanya sekaligus. Apabila mensucikan najis tergantung pada sabun atau benda lainnya, seperti kayu usnan, maka harus digunakan.

Di antara najis, ada najis yang ma’fu (dimaafkan). Termasuk najis ma fu adalah sebagai berikut:

  1. Najis yang tidak terlihat oleh mata normal secara mutlak, meskipun dari hewan yang najis mughalazhah dan bercampur dengan benda lain. Jika najis dapat terlihat oleh mata normal, maka adakalanya dari diri sendiri dan dari orang lain.
  2. Yang ma’fu dari orang lain adalah darah dan nanah sedikit dengan syarat bukan berasal dari anjing dan babi hutan. Darah dan nanah dari orang lain ma’fu dengan empat syarat: sedikit menurut urfi (adat), tidak berdosa jika berlumuran, tidak berasal dari najis mughalazhah dan tidak bercampur dengan benda lain. Kesengajaan dalam bekam tidak masalah, sebab hal itu dilakukan karena ada perlu.
  3. Yang ma’fu dari diri sendiri adalah darah dan nanah banyak dan keluar keluar bukan karena perbuatannya.

Kesimpulannya, najis seperti darah dan sejenisnya, jika berasal dari diri sendiri dan sedikit menurut urfi, maka ma’ fu dengan syarat tidak bercampur dengan benda lain, Jika banyak menurut urfi, maka ma fu dengan empat syarat: tidak disengaja, tidak bercampur dengan benda lain, tidak melewati tempatnya dan tidak berpindah dari tempat keluarnya.

Benda suci yang kering tidak menjadi najis jika tertimpa najis yang kering. Jika najis kering itu jatuh ke tanah, maka najis itu cukup dibuang. Lain halnya najis yang basah, maka wajib dibuang dari tanah dan wajib menuangkan air yang merata pada najis tersebut.

Tidak ada benda yang najis zatnya bisa menjadi suci, kecuaji kulit bangkai apabila disamak (dihilangkan kotorannya) meskipun karena kulit itu jatuh pada benda untuk menyamak dan arak bila berubah sendiri menjadi cukak. Arak adalah segala benda cair yang memabukkan, baik dari anggur, kurma atau biji-bijian, meskipun arak itu tidak terhormat (diperas dengan tujuan menjadi arak). Yang dimaksudkan berubah sendiri adalah tanpa dicampuri benda lain. Tidak apa-apa jika arak itu mendidih dan tidak apa-apa memindahkan arak dari teduh ke panas atau sebaliknya dengan syarat tidak terjadi turun naik. Jika terjadi turun atau naik, maka wadah arak yang ada di atas arak menjadi najis, lalu akhirnya seluruh arak menjadi najis setelah berubah menjadi cukak. Apabila ada benda dimasukkan ke dalam arak atau jatuh sendiri sebelum berubah menjadi cukak meskipun benda itu suci dan tidak berpengaruh dalam berubah menjadi cukak serta masih berada di dalannya sampai berubah menjadi cukak atau diambil dan masih sisanya atau benda itu najis meskipun diambil seketika, maka arak tidak menjadi suci.

Tidak apa-apa jika ada air yang menyertai anggur, sebab hal Itu merupakan keharusan. Boleh menyimpan arak yang terhormat, yaitu arak yang diperas bukan agar menjadi arak atau diperas oleb orang kafir. Arak yang tidak terhormat harus dituangkan seketika dan wadahnya suci karena dibasuh, meskipun arak telah meresap padanya dan wadah itu boleh digunakan.

 

Termasuk yang mensucikan adalah darah hewan yang halal dagingnya atau darah manusia berubah menjadi air susu atau sperma, darah kijang betina menjadi minyak misik dan air sedikit berubab mensucikan karena banyak.

Ada minuman memabukkan yang dibuat dari air susu dan rasanya asam. Memabukkannya sesuai dengan kadar keasamannya. Jelas benda tersebut najis dan tepat dengan devinisi arak.

Haid adalah darah yang keluar dari rahim paling dalam wanita yang ada di dalam kemaluan wanita yang telah mencapai usia sembilan tahun Hijrah meskipun hamil dalam keadaan sehat tanpa sebab bersalin. Nifas adalah darah yang keluar dari wanita setelah sempurna melahirkan dan sebelum lewatnya masa minimal suci. Jika wanita yang melahirkan tidak melihat darah, kecuali setelah lewat lima belas hari sejak berhasil, maka dia tidak nifas sama sekali. Jika dia melihat darah sebelum lima belas hari setelah bersalin, maka permulaan nifas adalah melihat darah. Waktu tidak keluar darah bukan nifas, namun termasuk dalam hitungan enam puluh hari, sehingga harus menggadla shalatnya, namun suaminya boleh mencumbunya.

Lazimnya masa kehamilan yang sempurna adalah sembilan bulan dihitung dari kemungkinan senggama. Lazimnya masa pembentukan Janin adalah empat bulan. Jadi sperma dalam perut selama empat puluh hari masih cair dan tersebar dalam badan wanita. Empat puluh hari kemudian sperma berubah menjadi darah kental, empat puluh hari kemudian berubah menjadi sepotong daging. Pada masa ini, Allah menggambar janin dan memberinya mulut, telinga, mata, usus, tangan dan kaki. Namun ada juga yang digambar pada empat puluh hari kedua. Setelah itu, Allah mengutus malaikat untuk meniupkan nyawa agar janin hidup dan bisa bergerak. Nyawa masuk pada badan lewat ubun-ubun, yaitu bagian tengah dan atas kepala, sebagaimana keluarnya nanti juga dari ubun-ubun. Ketika nyawa masuk pada janin, Allah menjadikan haid sebagai susu dan setiap pagi sore seorang malaikat datang memberinya minum susu tersebut. Demikian disebutkan dalam Lubab Ath Thalibin oleh As Suhaimi.

Minimal usia wanita haid adalah kira-kira sembilan tahun Qamariyah atau Hijriyah, yaitu 354 11/30 hari. Jika wanita melihat darah pada usia sembilan tahun kurang dari lima belas hari ke bawah maka darah itu haid. Waktu haid minimal adalah sehari semalam yakni dua puluh empat jam terus menerus,. Waktu haid maksima adalah lima belas hari lima belas malam, meskipun darahnya tidak terus menerus, misalnya dalam sehari darah keluar selama satu jam dan jumlah seluruh darah ada sehari semalam. Maka darah itu haig sebab sudah mencapai minimal haid. Lazimnya haid adalah enam atau tujuh hari serta malamnya.

Jika adat seorang wanita tidak sama dengan di atas, yakni darahnya kurang dari minimal haid atau lebih dari maksimal haid, maka darah itu tidak diperhitungkan. Darahnya disebut darah penyakit atau darah istihadhah dan dia harus tetap menjalankan ibadah.

Minimal darah nifas adalah setetes, yaitu waktu untuk lirikan mata. Lazimnya adalah empat puluh hari dan maksimalnya adalah enam puluh hari. Hal tersebut berdasarkan penelitian Imam Syafi’i. Jika melebihi enam puluh hari, maka disebut darah penyakit, sebagaimana dalam haid. Darah penyakit atau istihadhah adalah hadas yang terus menerus, sehingga tidak menghalangi sahnya shalat, puasa dan bolehnya senggama, meskipun darah mengalir.

Hal-hal berikut haram karena haid dan nifas:

  • Persentuhan kulit antara pusar dan lutut tanpa penghalang. Sentuhan kulit tanpa senggama hukumnya dosa kecil dan jika senggama hukumnya dosa besar, meskipun disertai kondom da! darah sudah berhenti. Orang yang menghalalkan senggama pads saat darah masih keluar, menjadi kafir.
  • Lewat di masjid apabila kuatir mengotorinya. Yang dimaksudkan adalah masuk dari satu pintu keluar dari pintu lain. Lain halnya Jika masjid hanya mempunyai satu pintu, maka haram masuk Mengotori masjid adalah menajisinya dengan darah, meskipun hanya kemungkinan demi menjaga kesucian masjid. Jika wanita tidak khawatir mengotori masjid, maka makruh lewat masjid.
  • Puasa, baik fardlu maupun sunat dan puasanya tidak sah dengan jjmak ulama.
  • Hal-hal yang diharamkan karena junub sebagaimana telah disebutkan, yaitu lima hal.

Wanita yang haid dan wanita yang nifas berkewajiban untuk mengqadla puasa yang tidak dilakukan saat haid nifas, namun shalat tidak wajib diqadla, sebab shalat itu banyak, sehingga berat jika diqadla, lain halnya puasa. Menurut pendapat yang kuat, puasa dan shalat tidak wajib sama sekali atas keduanya.

 

 

 

 

Shalat lebih utama daripada lainnya. Karena itu, fardlu shalat adalah fardlu paling utama dan sunatnya adalah sunat paling utama, Shalat ibadah badan paling utama, lalu puasa, lalu haji, lalu zakat. Itu jika waktu yang dicurahkan untuk ibadah sama, sebab tidak mungkin puasa sehari mengalahkan beratnya ibadah haji dan dua raka’ at shalat mengalahkan puasa sehari.

Allah mengharuskan umat Muhammad ini untuk melakukan shalat lima waktu dalam sehari semalam, yaitu zuhur, asar, maghrib, isya” dan subuh. Shalat lima waktu hanya terkumpul untuk Nabi Muhammad saw. Subuh adalah shalat Adam dengan ijmak ulama. Zuhur adalah shalat Dawud, pendapat lain shalat Ibrahim. Asar adalah shalat Sulaiman, pendapat lain shalat Yunus, pendapat lain shalat Uzair. Maghrib adalah shalat Isa, pendapat lain shalat Dawud, pendapat lain shalat Ya’kub. Isya” adalah shalat Musa, pendapat lain shalat Yunus. Pendapat lain, Isya” hanya dimiliki oleh Nabi Muhammad saja dan inilah pendapat yang kuat, sebagaimana dikatakan Al Madabighi.

Shalat lima waktu hanya wajib atas muslim yang baligh, berakal normal dan suci dari haid dan nifas setelah masuk waktunya. Kita tak berkewajiban menuntut orang kafir dzimi untuk melakukan shalat, namun dia disiksa di akhirat karena dia bisa melakukannya dengan masuk Islam dulu. Wanita yang murtad tidak harus menggadla shalat pada masa haid dan nifas. Bahkan dia haram menggadlanya menurut pendapat Al Baidhawi, Ibnu Shalaf dan An Nawawi dan makruh menurut pendapat sekelompok ulama salaf dan tidak sah.

Masing-masing shalat memiliki waktu yang terbatas menurut syariat. Jika keluar dari waktunya, shalat disebut qadla.

Waktu zuhur adalah sejak tergelincirnya matahari dari tengah langit menurut pandangan mata kita, bukan pada hakekatnya, sampai bayangan benda melebihi benda itu sendiri ditambah bayangan istiwa’. Tergelincirnya matahari dapat diketahui dengan adanya bayangan benda melebihi bayangan istiwa’ jika ada. Jika tidak ada bayangan istiwa’, maka adanya bayangan benda menjadi tanda tergelincirnya matahari. Batas akhir zuhur tersebut sesuai dengan pendapat Abu Yusuf dan Muhammad, dua murid Abu Hanifah dan batas tersebut dipilih oleh Ath Thuhawi.

Waktu asar adalah sejak bayangan benda melebihi benda itu sampai matahari terbenam keseluruhan ditambah bayangan istiwa’ jika ada. (Istiwa” adalah posisi matahari di tengah langit). Dasarnya sabda Nabi saw:

 

“Barangsiapa mendapat satu raka’at dari asar sebelum matahari terbenam, maka dia sungguh mendapatkan asar.”

Hasan bin Ziyadah berkata: “Jika matahari sudah menguning, maka waktu asar habis.” Namun yang dimaksudkan Hasan adalah waktu ikhtiyar atau waktu pilihan.

Waktu maghrib adalah sejak sempurnanya tenggelam matahari sampai mega merah tenggelam, sebab Nabi saw bersabda:

 

“Waktu maghrib adalah selama mega belum tenggelam.”

Waktu isya’ adalah sejak tenggelam mega merah sampai terbitnya permulaan fajar shadiq. Sebaiknya shalat isya’ diakhirkan sampai tenggelamnya mega kuning dan mega merah, sebab sebagian ulama mewajibkannya. Jika mega di suatu daerah tidak tenggelam, maka penduduknya tenggelamnya mega di daerah terdekat.

Waktu subuh adalah sejak terbitnya permulaan fajar shadig Sampai terbitnya permulaan matahari. Fajar shadig adalah putihnya cahaya matahari ketika mendekati ufuk timur. Fajar shadiq menyebar cahayanya menjulang ke atas langit. Habisnya subuh cukup dengan munculnya sebagian matahari, sebagaimana masuknya cukup dengan terbitnya sebagian fajar.

Orang kafir yang masuk Islam tidak ada kewajiban mengqadla shalat untuk menarik orang kafir masuk Islam. Bahkan orang kafir haram menggadlanya menurut pendapat yang kuat, kecuali orang murtad. Orang murtad berkewajiban menggadla shalat yang tidak dilakukannya selama dia murtad, termasuk saat dia gila atau pingsan atau mabuk meskipun mabuknya bukan disengaja. Orang gila dan orang pingsan serta orang mabuk tidak wajib mengkodo shalat setelah sadar diri, kecuali jika mereka sengaja. Jika mereka tidak sengaja, maka sunat gadla. Anak kecil tidak wajib mengkodo shalat jika baligh, baik lelaki maupun lainnya. Disunatkan menggadla shalat yang tidak dilakukan pada masa tamyiz.

Para ayah dan ibu berkewajiban menyuruh anak mereka disertai ancaman untuk shalat saat berusia tujuh tahun, baik fardlu maupun sunat, baik dalam waktunya maupun qadla. Yang dimaksudkan adalah sudah tamyiz. Ada anak yang tamyiz pada usia empat tahun, lima tahun, kadang ada yang sepuluh tahun. Kewajiban tersebut sifatnya fardlu kifayah. Ayah dan ibu berkewajiban memukul anak mereka jika tidak shalat saat berusia sepuluh tahun meskipun belum genap setelah mereka diperintah. Pendapat yang kuat adalah orang tua boleh memukul anak meskipun berkali-kali kalau perlu, namun dengan syarat tidak menyakiti.

Yang terbaik adalah segera melakukan shalat pada awal waktunya sebab Nabi saw ditanya: “Apa perbuatan yang paling baik?” Beliau menjawab:

 

“Shalat pada awal waktunya.”

Wajibnya shalat dimulai sejak masuknya waktunya dan sampai waktu yang cukup untuk melakukannya. Boleh mengakhirkan shalat dartawal Waktu meskipun tanpa alasan, dengan syarat azam khusus (bertekad untuk melakukannya scbelum waktunya habis) menurut pendapat yang kuat. Jika waktu shalat masuk, maka seseorang berkewajiban satu dari dua hal: melakukannya atau azam khusus. Jika tidak, maka dia berdosa. Jika dia telah azam khusus, namun dia mati sebelum melakukannya, padahal waktu masih luas, maka dia tidak durhaka

Dalam hal azam khusus, ibadah selain shalat yang waktunya panjang sama dengan shalat, seperti haji. Jika seseorang menunda haji padahal dia mampu, lalu dia mati, maka dia mati durhaka, sebab waktu haji adalah seumur hidup dan dia telah mengeluarkan haji dari hidup.

Seseorang pada permulaan akil balighnya berkewajiban untuk bertekad secara umum melakukan seluruh kewajiban dan menjauhi seluruh haram. Jika tidak, maka berdosa, namun bisa dibenahi sebagaimana yang dilakukan banyak orang.

Barangsiapa ingkar wajibnya salah shalat dari lima waktu, maka dia kafir dan murtad, baik dia tidak melakukannya atau melakukannya tanpa keyakinan wajibnya, sebab dia mengingkari sesuatu dari Islam yang diketahui seluruh lapisan masyarakat. Dia diperintah bertaubat seketika. Jika dia bertaubat dengan kembali Islam, maka dia dibebaskan dan dia dihukum mati karena kafir jika tidak kembali Islam. Dia tidak boleh dishalati karena menyalati orang kafir hukumnya haram dan tidak boleh dikubur di kuburan kaum muslimin karena dia bukan muslim lagi. Dia juga tidak boleh dikubur di kuburan orang musyrik sebab dia pernah Islam. Dia tidak wajib dimandikan maupun dikafani Karena dia dibunuh sebagai kafir.

Jika seseorang tidak shalat karena tidak tahu bahwa shalat wajih Iisalnya dia baru saja masuk Islam atau baligh dalam keadaan Bila lalu waras, maka dia tidak murtad. Jika setelah itu dia terus menerix tidak shalat, maka dia murtad, sebagaimana disebutkan dalam Ar Nihayah syarah Al Ghayah.

Apabila seseorang tidak mengingkari wajibnya shalat setelah dia tahu dan dia tidak shalat karena malas serta dia mengakhirkannya darj waktunya tanpa alasan, maka dia mukmin fasik. Sunat menyuruh dia bertaubat seketika. Namun dia dihukum pancung meskipun hanya satu shalat yang tidak dia lakukan dengan beberapa syarat yang disebutkan dalam kitab-kitab besar:

  • Yang menuntutnya untuk shalat adalah pemerintah atau wakilnya saat waktu shalat sempit.
  • Pemerintah mengancamnya dengan hukuman mati jika dia mengeluarkan shalat dari waktunya.

Jika dia mengakhirkan shalat sampai waktunya habis, maka dia berhak dihukum mati.

Kewajiban shalat tidak akan gugur dari siapapun, meskipun penyakitnya berat dan dia menjalankan shalat dalam hati, kecuali Jika akal sehatnya sirna tanpa sengaja. Tiga Imam Mujtahid berkata: “Kefardluan shalat tidak gugur dari mukallaf selama dia masih berakal, sebab dia disebut mukallaf karena akalnya.” Imam Abu Hanifah berkata: “Jika seseorang melihat kematian dan tidak mampu berisyarat dengan kepalanya, maka dia tidak lagi berkewajiban shalat.” Pendapat inilah yang diamalkan oleh kaum muslimin, baik dulu maupun sekarang. Tidak seorangpun dari ulama salaf maupun khalaf menyuruh seorang yang sekarat untuk shalat.

Siapapun tidak mempunyai alasan untuk mengakhirkan shalat dari waktunya ketika tidak bepergian, meskipun kesibukannya banyak, kecuali jika dia lupa selain karena bermain. Jika dia lupa karena bermain, maka bukan alasan baginya. Atau dia tidur sebelum waktunya dan dia tidak bangun, kecuali setelah waktunya habis atau dia tidur setelah masuknya waktu shalat dan dia yakin bangun sebelum waktu habis. Maka dia dianggap beralasan.

Apabila ada shalat qadla bagi seseorang tanpa alasan, maka dia harus segera mengqadlanya dan dia tidak boleh menggunakan waktu selain untuk mengqadlanya, seperti shalat sunat, kecuali darurat, misalnya menunaikan shalat fardlu, bekerja mencari nafkah wajib dan tidur. Apabila shalat itu gadla dengan alasan, maka tidak harus segera mengqadlanya, namun yang terbaik adalah segera menggadilanya agar segera bebas dari tanggung jawab.

Syarat sahnya shalat ada empat:

Pertama, thaharah. Yakni suci dari dua hadas dan najis yang tidak ma’fu pada badan, pakaian dan tempat. Jika seseorang lupa thaharah dan shalat, maka dia diberi pahala atas maksudnya, bukan atas perbuatannya. Termasuk yang wajib suci adalah bagian dalam hidung, mulut dan mata. Jika dia memakan sesuatu yang najis dan belum membasuh mulutnya, lalu dia shalat, maka shalatnya tidak sah. Termasuk pakaian adalah benda yang dibawa orang yang shalat meskipun tidak ikut bergerak karena gerakannya. Jika kotoran burung banyak di tempat shalat, maka ma’fu pada sajadah dan tanah, meskipun bukan masjid dengan tiga syarat:

  1. Tidak sengaja berjalan di atasnya.
  2. Kedua belah pihak tidak ada yang basah. Namun jika tidak ada jalan lain, maka ma’
  3. Berat jika menjauhinya, meskipun najis tidak merata.

Kedua, menutupi aurat dari arah atas dan dari seluruh penjuru bagi yang mampu, meskipun shalat dilakukan di dalam gelap dan sendirian. Jika aurat terlihat oleh orang yang shalat sendiri atau orang lain saat dia ruku” atau sujud dari kerah baju atau lengan, maka shalat batal, meskipun tidak terlihat secara nyata kecuali dari bawah. Jika dia shalat di atas dan auratnya terlihat dari bawah, maka tidak masalah. Hal ini berlaku bagi lelaki dan wanita. Tutup aurat harus menghalangi tahu warna kulit bagi teman bicara yang matanya normal. Jika kulit terlihat karena sinar matahari atau api, maka tidak masalah.

 

Aurat lelaki dan sahaya wanita dalam shalat, bagi pandangan muhrim dan bagi sesama lelaki bagi lelaki adalah anggota badan di antara lutut dan pusar, namun keduanya wajib menutupi pusar dan lutut, meskipun keduanya tidak termasuk aurat. Aurat wanita merdeka dalam shalat adalah seluruh badannya, kecuali wajah dan dua telapak tangan. Termasuk auratnya adalah bagian dalam telapak kaki. Maka dia harus menutupinya, meskipun dengan tanah pada saat berdiri. Namun pada saat sujud, wanita harus hati-hati dan jangan sampai bagian telapak kakinya kelihatan, sebab membatalkan. Wajah dan telapak tangan bukan aurat sebab perlu ditampakkan.

Apabila seseorang tidak mampu menutup aurat ketika shalat karena tidak menjumpai penutup aurat atau dipenjara di tempat yang najis dan dia hanya mempunyai satu pakaian yang tidak cukup untuk menutup aurat dan tempat, maka dia boleh shalat telanjang dan harus ruku’ sujud dengan sempurna serta tidak wajib mengulangi shalat jika mendapatkan penutup aurat. Namun dia harus shalat pada saat waktu shalat sempit atau biasanya dia tidak mampu mendapatkan penutup aurat yang memadai.

Ketiga, masuknya waktu untuk shalat yang dibatasi waktu, baik tahu sendiri atau diberitahu orang yang terprcaya atau lewat kompas bagi yang bisa, meskipun hanya perkiraan, misalnya shalat lima waktu dan shalat sunat rawatib (qabliyah ba’diyah). Masuknya waktu rawatib qabliyah besertaan dengan masuknya shalat fardlu dan masuknya waktu rawatib ba’diyah adalah dengan melakukan shalat fardlu. Syarat ba’diyah adalah yakin sahnya shalat fardlu. Habisnya waktu kedua rawatib adalah habisnya waktu shalat fardlu meskipun fardlu belum dilakukan. Dan terjadinya sebab secara yakin untuk shalat yang dibatasi sebab, misalnya shalat gerhana

Tidak sah melakukan shalat yang dibatasi waktu kecuali setelah waktunya tiba dan tidak sah melakukan shalat yang bersebab kecuali Jika terjadi sebabnya secara meyakinan.

Seorang ulama ditanya mengenai seorang lelaki yang hidup selama dua puluh tahun di suatu tempat. Selama itu, fajar tampak Olehnya, lalu dia shalat subuh, namun kemudian ternyata perkiraannya itu salah. Apa yang harus dilakukannya? Ulama tersebut menjawab, bahwa orang tersebut hanya berkewajiban shalat subuh sekali, sebah shalat tiap hari menjadi gadla shalat hari sebelumnya. Itu jika dia shalat dengan dasar perkiraan masuknya waktu shalat dengan ijtihad, Jika tidak, maka shalatnya tidak sah, meskipun sebenarnya waktunya telah masuk.

Keempat, menghadap zatnya Ka’bah dengan dada saat berdiri dan duduk dan dengan mayoritas badan pada saat ruku’ sujud. Hajar Aswad tidak termasuk Ka’bah. Menghadap Ka’bah tersebut harus yakin jika dekat, baik dengan melihat atau menyentuh Ka’bah dan dengan perkiraan jika jauh, yakni orang yang ada penghalang antara dia dengan Ka’bah. Tidak sah jika hanya menghadap ke arah (barat bagi kita) menurut pendapat sahih, namun di antara ulama ada yang berpendapat, bahwa sah menghadap ke arah barat, meskipun tidak menghadap zat Ka’bah, seperti madzhab Malik. Demikian dikatakan Ahmad Al Maihi.

Kecuali dalam shalat sunat di perjalanan yang mubah meskipun makruh menuju tujuan khusus. Dalam shalat sunat ini tidak disyaratkan menghadap Ka’bah, meskipun yang dilakukan adalah shalat sunat Id dan gerhana menuju arah tujuan, baik naik kendaraan atau berjalan kaki. Pelaku shalat tersebut tidak boleh beralih, kecuali ke arah kiblat meskipun di belakang punggungnya, sebab kiblat adalah arah asal. Orang yang berjalan harus menghadap kiblat pada saat takbiratul ihram, ruku’, sujud dan duduk antara dua sujud. Sedangkan pada saat berdiri, i’tidal, tasyahud dan salam dia boleh berjalan dan tidak menghadap kiblat.

Demikian juga shalat khauf karena musuh kafir campur bau! dengan kita di medan perang. Shalat yang disamakan dengan shalat khauf juga tidak disyaratkan menghadap kiblat, baik fardlu maupun sunat yang dikhawatirkan habis waktunya.

Rukun shalat adalah sesuatu yang sahnya shalat tergantung padanya dan merupakan bagian dari shalat.

Rukun shalat ada tiga belas jika thumakninah yang jumlahnya ada empat dianggap pengikut rukun, bukan rukun tersendiri.

Pertama, niat yang disertakan dengan bagian dari takbiratul ihram. Jika shalat yang dikerjakan fardlu, maka harus ada tiga hal: tujuan melakukannya, menentukan shalatnya yaitu zuhur atau asar atau qashar dan niat kefardluan. Jika yang dikerjakan sunat, maka harus ada dua hal, yaitu tujuan melakukannya dan menentukan shalatnya. Jika yang dikerjakan shalat sunat mutlak, maka hanya harus satu hal, yaitu tujuan untuk melakukannya. Tiga Imam Mujtahid berpendapat, bahwa niat sudah cukup jika diucapkan tepat sebelum takbiratul ihram.

Kedua, berdiri dalam shalat fardlu bagi yang mampu, meski fardlu kifayah atau shalat anak-anak. Jika seseorang tidak mampu berdiri, maka harus shalat duduk bagaimanapun gayanya. Jika dia tidak mampu duduk, maka harus shalat berbaring pada pinggang kanan. Wajahnya sunat menghadap kiblat dan badannya bagian depan wajib menghadap kiblat, seperti wajibnya menghadap kiblat pada waktu dia berdiri dan duduk jika dia bisa menghadap kiblat dengan badan bagian depan. Jika tidak bisa, maka cukup dengan wajah saja, seperti disebutkan dalam At Tuhfah. Sunat berbaring pada pinggang kanan seperti orang mati di liang lahat dan makruh berbaring pada pinggang kiri apabila tidak beralasan, yakni bisa berbaring dengan pinggang kanan.

 

Jika dia tidak mampu berbaring meskipun menurut dia sendiri, maka harus shalat terlentang dan kepalanya harus ditinggikan dengan benda supaya bisa menghadap kiblat dengan wajah, misalnya bantal diletakkan di bawah kepalanya. Yang terbaik adalah dua lekukan kakinya menghadap kiblat seperti orang sekarat, Yang penting adalah wajah menghadap kiblat dan tidak wajib menghadap kiblat dengan selain wajah. Namun jika tidak bisa menghadap kiblat dengan wajah, maka harus menghadap kiblat dengan sebagian badan, Dia juga harus duduk untuk ruku’ dan sujud apabila mampu, Apabily masih tidak mampu ruku’ sujud dengan duduk, maka harus isyarat ruku’ sujud dengan kepala dengan cara mendekatkan kening ke tanah semampunya. Sujud harus lebih rendah daripada ruku’, yakni menambah isyarat untuk ruku’.

Apabila tidak mampu isyarat dengan kepala, maka harus isyarat dengan kelopak mata. Namun di sini tidak wajib isyarat sujud lebih rendah daripada isyarat ruku’, sebab tidak ada perbedaan dalam isyarat dengan mata.

Apabila tidak mampu, maka harus menjalankan rukun shalat dalam hati, yaitu dengan membayangkan dirinya berdiri, membaca Al Fatihah dan ruku’, sebab hal tersebut mudah. Dia tidak wajib mengulangi shalatnya setelah itu. Madzhab Abu Hanifah dan Malik adalah jika sescorang tidak mampu berisyarat dengan kepala, maka shalat gugur darinya. Imam Malik berkata: “Orang tersebut tidak wajib mengulangi shalatnya.” Namun menurut Abu Hanifah, orang itu harus menggadia shalat tadi jika ada lima waktu atau kurang. Jika lebih dari lima waktu, maka tidak wajib qadla.

Pahala sama sekali tidak berkurang dalam seluruh shalat tersebut sebab berhalangan.

 

Orang yang mampu berdiri diperbolehkan shalat sunat dengan duduk dan berbaring, baik sunat rawatib atau lainnya. Duduknya bebas, namun yang terbaik adalah iftirasy dan yang terbaik dari berbaring adalah berbaring pada pinggang kanan. Tidak boleh shalat denga! terlentang, sebab tidak diriwayatkan, meskipun menyempurnaka ruju’ sujud. Orang yang shalat berbaring harus duduk untuk ruku’ dan sujud dengan sempurna.

Namun pahala orang duduk setengah pahala orang berdiri dan pahala orang berbaring setengah dari orang duduk. Ini berlaku untuk orang yang mampu dan bagi selain Nabi Muhammad saw.

Ketiga, takbiratul ihram. Takbir ini harus menggunakan kata (.        ) dan tidak boleh menggunakan kata lain bagi yang mampu. Yang tidak mampu mengucapkan (       ) dengan bahasa Arab, boleh menggunakan bahasa non Arab, namun tidak boleh beralih ke zikir yang lain. Dia harus mempelajari (       ) meskipun dengan merantau. Orang yang tidak mengucapkan (   ) dengan bahasa Arab dan belum mungkin belajar seketika, harus menerjemahkan kata tersebut dengan bahasa apapun, meskipun bukan bahasanya. Yang terbaik adalah menerjemahkannya dengan bahasa Persia sebab lebih mudah, sebagaimana ditegaskan Guru kami, Yusuf As Sanbalawini. Namun Guru kami Ahmad An Nahrawi menegaskan, bahwa yang terbaik adalah dengan bahasa Suryani, sebab mayoritas kitab Samawi menggunakan bahasa Suryani.

Sunat membaca doa iftitah setelah takbir ini, misalnya ucapan:

           

 “Maha Suci Engkau ya Allah dan dengan memiji-Mu. Berkah hama-Mu, tinggi keagungan-Mu dan tak ada tuhan selain Engkau.”

 

Lalu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk, misalnya mengucapkan:

 

“Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk.”

Keempat, membaca Al Fatihah termasuk basmalah yang jumlah ayatnya ada tujuh dalam tiap berdiri raka’at atau penggantinya, di antaranya berdiri kedua pada shalat gerhana. Rukun ini bagi orang yang shalat munfarid (shalat sendirian) dan lainnya, baik dalam shalat jahr (shalat yang Fatihahnya keras) maupun shalat sirr (shalat yang Fatihahnya pelan). Membaca Fatihah bisa dilakukan dengan hafalan atau dibimbing atau melihat tulisan.

Makmum masbuk Fatihahnya ditanggung oleh imam apabila imam layak menanggungnya, yaitu imam tidak hadas, tidak umi, tidak berada dalam raka’at tambahan dan tidak berada dalam ruku’ kedua dari shalat gerhana. Masbuk adalah makmum yang tidak mendapat waktu yang cukup untuk membaca Fatihah bersama imam menurut orang yang bacaannya normal, bukan menurut bacaannya sendiri menurut pendapat yang kuat.

Imam Abu Hanifah, para muridnya, Imam Malik dan Imam Ahmad sepakat, bahwa shalat makmum sah meskipun tidak membaca apa-apa, sebab Nabi saw bersabda:

 

“Kamu dicukupi oleh bacaan imam, baik dia membaca keras maupun pelan.”

Fatihah harus urut sesuai dengan urutannya yang dikenal dar berturut-turut, yaitu setiap kata ditemukan dengan kata lain tanpa dipisah, kecuali untuk nafas dan istirahat. Jika dipisah untuk bernafas atau karena istirahat, maka tidak mengapa, meskipun lama. Jika bacaan Fatihah dipisah oleh zikir lain yang tidak berhubungan dengan shalat, misalnya orang bersin membaca hamdalah, maka berturut-turutnya batal dan bacaan harus diulangi. Namun jika hal itu terjadi karena lupa, maka tidak apa-apa dan boleh meneruskan bacaan Fatihah.

Setiap huruf harus dibaca dengan tajwid (baik) dan lengkap tasydidnya yang berjumlah empat belas. Jika seseorang salah dalam membacanya dengan kesalahan yang merubah makna, misalnya kata (.  ) dibaca (.   ) dan dia bisa belajar, maka shalatnya batal. Apabila kesalahan itu tidak merubah makna, misalnya (.   ) dibaca (.    ), maka sah shalatnya namun haram jika sengaja.

Apabila seseorang tidak bisa membaca Fatihah, maka sebagai gantinya dia harus membaca tujuh ayat dari Al-Qur’an, meskipun terpisah, baik dari satu surat atau dari beberapa surat, meskipun tidak menunjukkan arti yang rapi. Apabila tidak mampu, maka dia harus membaca tujuh macam zikir, misalnya tasbih dan tahlil sebagaimana dikatakan Al Baghawi. Namun Imam Haramain tidak sependapat dan berkata: “Tidak harus tujuh macam zikir.” Pengganti Fatihah, baik ayat Al-Qur’an maupun zikir, hurufnya tidak boleh kurang dari huruf Fatihah, termasuk idghamnya.

Apabila tidak mampu, maka dia harus berdiri diam selama waktu untuk membaca Fatihah menurut huruf yang diucapkan bagi bacaan yang sedang. Dia tidak boleh menerjemah Fatihah dengan bahasa selain Arab, sebab terjemah menghilangkan kemukjizatan Al-qur’an.

Sunat membaca surat dari Al-qur’an setelah Fatihah minimal tiga ayat seperti surat Al Kautsar atau kurang dari satu ayat dengan Syarat bermakna pada shalat yang jumlah raka’atnya dua, seperti Jum’at dan subuh dan pada dua raka’at pertama dari shalat yang Jumlah raka’atnya tiga seperti maghrib atau empat seperti isya’. Dua Surat yang dibaca disunatkan sesuai urutan mushaf. Jika pada rakaat pertama yang dibaca surat An Nas, maka pada raka’at kadua yang dibaca permulaan surat Al Baqarah. Jika makmum masbuq tertinggal dua raka’at, maka pada dua raka’at terakhir dia sunat membaca surat, Sedang pada shalat maghrib, dia sunat mengulangi surat tersebut dua kali, sebab pada dua raka’at pertama dia tidak membaca surat.

Kelima, ruku’ disertai thumakninah, sehingga anggota-anggota badan diam sebelum mengangkat kepala dari ruku’ untuk I’tidal, Kewajiban ruku’ bagi orang berdiri adalah membungkuk setelah Fatihah, sehingga dua telapak tangan sampai pada dua lutut apabila pelaku shalat sedang tangan dan lututnya. Sunat dalam ruku meratakan antara punggung dan leher sehingga bagaikan satu papan, menegakkan kedua betis, memegang dua lutut dengan tangan dan merenggangkan jari-jari tangan ke arah kiblat. Yang dimaksudkan adalah tidak menyerongkan jari-jari ke arah kanan atau kiri.

Minimal ruku’ bagi orang duduk adalah keningnya sejajar dengan depan lututnya, sedangkan ruku’ maksimal baginya adalah kening sejajar dengan tempat sujud.

Saat ruku’ sunat mengucapkan:

           

“Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung.”

Minimal sempurna adalah tiga kali. Jika lebih dari tiga kali, maka lebih baik, kecuali jika menjadi imam, makruh lebih dari tiga kali, kecuali jika para makmum setuju.

Keenam, i’tidal disertai thumakminah sehingga anggota-anggota badan diam sebelum turun untuk sujud. Ibnu Mugri berpendapat, bahwa i’tidal dalam shalat sunat bukan rukun. Berdiri antara ruku’ dan sujud bukan fardlu menurut Abu Hanifah dan Muhammad muridnya. Abu Yusuf berkata: “Berdiri tersebut adalah fardlu dan shalat tidak sah jika tidak dilakukan.”

Kewajiban i’tidal adalah kembali setelah ruku’ kepada keadaan sebelumnya, yaitu berdiri atau duduk. Jika seseorang ruku’, dari berdiri, lalu dia jatuh dari ruku’nya sebelum thumakninah, maka dia harus kembali ruku’ disertai thumakninah, lalu i’tidal. Jika dia jatub dari ruku’ setelah thumakninah, maka dia harus bangkit i’tidal, lalu sujud.

Saat bangun dari ruku’ sunat mengucapkan:

 

“Semoga Allah mendengar orang yang memuji-Nya.”

Yakni semoga Allah menerima pujian orang tersebut. Setelah i’tidal tegak, sunat mengucapkan:

 

“Tuhan kami, bagi-Mu segala puji dengan puji yang besar, banyak, suci, diberkahi, memenuhi langit, memenuhi bumi dan memenuhi sesuatu selain keduanya.”

Imam sunat mengeraskan bacaan (.    ) dan memelankan bacaan (.       ). Sedangkan munfarid dan makum, membaca keduanya dengan pelan.

Sunat juga membaca doa qunut pada i’tidal rakaat terakhir dari subuh setiap hari meskipun gadla setelah mengucapkan zikir pada i’tidal di atas. Demikian juga shalat witir setengah bulan kedua Ramadhan, yakni pada i’tidal witir akhir pada bulan tersebut. Qunut dapat dilakukan dengan membaca ucapan yang mengandung doa dan memuji Allah, misalnya:

 

“Ya Allah, ampunilah aku wahai pemberi ampun.”

Adapun doa qunut yang masyhur yaitu:

 

“Ya Allah, tunjukkanlah aku beserta orang yang Engkau beri petunjuk. Sembuhkanlah aku beserta orang yang Engkau sembuhkan. Kasihilah aku beserta orang yang Engkau kasihi. Berkahilah aku pada apa yang Engkau berikan. Jauhkanlah aku dari keburukan sesuatu yang Engkau putuskan. Sesungguhnya Engkau memutuskan dan tidak diputuskan. Sesungguhnya tidak hina orang yang Engkau kasihi dan tidak mulia orang yang Engkau musuhi. Maha Suci Engkau Tuhan kami dan Maha Tinggi. Maka bagi-Mu segala puji atas apa yang Engkau putuskan dan Engkau beri petunjuk. Aku memohon ampun pada-Mu ya Allah dan bertaubat kepada-Mu. Bershalawatlah ya Allah kepada junjungan kami Muhammad Nabi yang umi yang dengannya Engkau menyelamatkan dari neraka dan dengannya Engkau memberi petunjuk dari kesesatan. Dan kepada keluarga junjungan kami Muhammad dan sahabatnya dan berikan keselamatan. Tuhanku, ampunilah dan rahmatilah dan Engkau Pemberi rahmat terbaik.”

Ketujuh, sujud dua kali pada tiap raka’at disertai thumakninah, yaitu anggota-anggota badan tenang sebelum kepala diangkat dari sujud. Hanya sujud yang diulangi untuk membuat setan geram, sebab setan diperintah untuk bersujud kepada Adam, namun dia menolak. Di samping itu, sujud menunjukkan tawadhu” yang sempurna, yaitu kening diletakkan pada tempat berpijak telapak kaki dengan harapan doa diterima oleh Allah.

Anggota badan sujud ada tujuh:

Pertama, kening dan harus terbuka. Cukup sebagian dari kening saja, meskipun sedikit sekali, meski makruh. Orang yang shalat boleh sujud di atas sapu tangan di tangannya, meskipun diikatkan menurut pendapat Al Hifni.

Kedua dan ketiga, dua lutut.

Keempat dan kelima, bagian dari bagian dalam kedua tangan. Yang diperhitungkan adalah bagian dalam telapak tangan, yaitu yang membatalkan wudlu jika digunakan untuk menyentuh, baik jani maupun telapak tangan.

Keenam dan ketujuh, bagian dalam dari ujung dua telapak kaki, meskipun dari satu jari saja.

Ketujuh, anggota badan tersebut harus diletakkan secara bersamaan di atas tempat shalat.

Dalam sujud juga disyaratkan badan bagian bawah yaitu pantat dan Sekitarnya diangkat di atas badan bagian atas, yaitu kepala, pundak dan telapak tangan. Kepala harus ditekan, sampai berat kepala terasa, Yakni seandainya dia sujud di atas kapas, maka kapas itu membekas oleh tekanan kepala.

Sujud terbaik adalah mengucapkan takbir untuk turun tanpa mengangkat tangan. Takbir dimulai saat turun dan diakhiri saat akhir turun. Dua lutut diletakkan renggang kira-kira sejengkal, lalu dua telapak tangan dalam keadaan terbuka sejajar dengan dua pundak, sementara jari-jarinya direnggangkan dan menghadap kiblat, Kemudian letakkan kening dan hidung secara bersamaan. Dua telapak kaki direnggangkan kira-kira sejengkal dalam keadaan terbuka jika tidak perlu menutupnya karena dingin cuaca. Menutup telapak kaki dan telapak tangan tidak makruh.

Saat sujud sunat mengucapkan:

 

“Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi dan dengan memijiNya.”

Minimal sempurna adalah tiga kali. Jika lebih dari tiga, maka lebih baik. Sunat menambahi zikir tersebut dengan zikir:

 

“Maha Suci, Maha Suci, Tuhan para malaikat dan Jibril.”

Khusus munfarid, dianjurkan untuk menambahkan zikir:

 

“Diriku sujud kepada Tuhan yang menciptakannya, mbentuknya, membelah telinganya dan membelah matanya. Maha Suci Allah, Pencipta terbaik.”

Zikir ini diriwayatkan dari Ali dan disunatkan menurut ulama madzhab Syafi’i. Sedangkan menurut ulama madzhab Hanafi, zikir ini khusus untuk shalat tahajud.

Sunat juga memperbanyak doa saat sujud, sebab Muslim neriwayatkan sabda Nabi saw:

 

“Paling dekatnya hamba kepada Tuhannya adalah saat dia sujud. Maka perbanyaklah doa.”

Kedelapan, duduk di antara dua sujud disertai thumakminah, yakni bangun dan turunnya terpisah. Ibnu Mugri berpendapat, bahwa dalam shalat sunat duduk antara dua sujud bukan rukun. Diriwayatkan bahwa Abu Hanifah berkata: “Jika lebih dekat ke duduk, maka sah. Jika lebih dekat ke tanah, maka duduk tidak sah.”

Pada duduk ini, sunat mengucapkan:

 

“Tuhanku, ampunilah aku, rahmatilah aku, angkatlah aku, tamballah aku, berilah aku rezeki, tunjukkanlah aku, sehatkanlah aku dan maafkanlah aku. Tuhanku, berilah aku hati yang takwa, suci, bebas dari syirik, tidak kafir dan tidak celaka.”

Doa ini tidak khusus bagi munfarid.

Kesembilan, duduk terakhir di mana biasanya salam dilakukan. Duduk ini disebut duduk akhir, sebab biasanya memang ada duduk awalnya. Hanya shalat subuh yang tidak ada duduk awalnya. Duduk ini termasuk rukun, sebab merupakan tempat bagi zikir yang wajib, seperti berdiri bagi membaca Fatihah.

Kesepuluh, membaca tasyahud pada duduk tersebut. Tasyahud paling sempurna adalah tasyahud Ibnu Abbas ra yang dipilih oleh Imam Syafi’i, yaitu sebagai berikut:

 

“Penghormatan yang berkah dan shalat yang suci adalah milik Allah. Salam, rahmat Allah dan berkah Allah untukmu wahai Nabi. Salam untuk kami dan hamba-hamba Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.”

Kesebelas, adalah shalawat kepada Nabi Muhammad saw pada duduk tersebut setelah membaca tasyahud. Minimal shalawat adalah:

 

“Ya Allah, bershalawatlah kepada Nabi Muhammad.”

Tidak sah membaca shalawat sebelum tasyahud. Sedangkan shalawat yang sempurna disebutkan dalam kitab-kitab besar, yaitu:

           

“Ya Allah, bershalawatlah kepada Nabi Muhammad, hamba-Mu dan nabi-Mu yang umi dan kepada keluarga Muhammad istri-istrinya dan anak cucunya, sebagaimana Engkau bershalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Berkahilah Muhammad, keluarga Muhammad, istri-istrinya dan anak cucunya, sebagaimana Engkau memberkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim pada semesta alam. Sesungguhnya Engkau Maha Terjadi dan Maha Agung.”

Kedua belas, salam pertama. Yang wajib dalam salam adalah

 

“Salam untuk kalian.”

 

Boleh juga dibalik (.       ), namun makruh. Dalam salam disunatkan

  1. Menambahkan kata (. ): Lengkapnya adalah:     Tidak sunat menambahkan kata (.    ), meskipun diriwayatkan dari banyak jalur.
  2. Mengucapkan salam pertama ke kanan dan salah kedua ke kiri. Jika dibalik, maka makruh.
  3. Setiap salam menoleh ke arah masing-masing. Yakni pada salam pertama menoleh sampai kelihatan pipi kanan dari belakang dan pada salam kedua pipi kiri kelihatan dari kiri. Kedua salam dimulai dengan menghadap kiblat dan diakhiri bersamaan dengan purnanya menoleh, sebagaimana dikatakan Al Mahalli.

Ketiga belas, mengurutkan rukun shalat sebagaimana disebutkan. Di antaranya niat disertakan dengan takbiratul ihram dan keduanya beserta Fatihah dilakukan dalam berdiri. Tasyahud akhir dan shalawat Nabi serta salam pertama dilakukan pada saat duduk. Urut dimaksudkan pada selain rukun-rukun tersebut.

Shalat sunat tidak terhitung jumlahnya, namun ada empat kelompok:

  • Shalat sunat yang dibatasi waktu.
  • Shalat sunat yang sebabnya dahulu.
  • Shalat sunat yang sebabnya nanti.
  • Shalat sunat mutlak, yaitu shalat sunat yang tak dibatasi waktu dan tidak bersebab.

Shalat sunat yang dibatasi waktu ada dua macam:

 

  • Shalat sunat yang disunatkan jama’ah, misalnya shalat id, shalat tarawih dan witir di bulan Ramadhan.
  • Shalat yang tidak disunatkan jama’ah, misalnya witir di luar Ramadhan dan shalat sunat rawatib.

Shalat sunat rawatib (qabliyah dan ba’diyah) ada dua puluh dua raka’at dan sepuluh raka’at di antaranya muakkad (sangat dianjurkan), yaitu:

  • Dua raka’at sebelum subuh. Pada shalat ini dianjurkan membaca surat Alam Nasyrah atau Qul Ya pada raka’at pertama, sedangkan pada raka’at kedua Al Fil atau Al Ikhlas.
  • Dua raka’at sebelum zuhur.
  • Dua raka’at sesudah zuhur.
  • Dua raka’at setelah maghrib.
  • Dua raka’at setelah isya’.

Shalat-shalat tersebut disebut muakkad, sebab Nabi saw selalu melakukannya.

Dua belas raka’at tidak muakkad, yaitu:

  • Dua raka’at sebelum zuhur.
  • Dua raka’at setelah zuhur sebagai tambahan atas yang muakkad. Dasarnya sabda Nabi saw:

                                   

“Barangsiapa selalu melakukan empat raka’at sebelum zuhur dan empat raka’at sesudahnya, maka Allah mengharamkannya atas neraka. ”

Shalat Jum’at sama dengan zuhur, sehingga qabliyah dan ba’diyahnya empat raka’at.

  • Empat raka’at sebelum asar. Dasarnya hadits:

 

 

“Semoga Allah merahmati orang yang shalat empat raka’at sebelum asar.”

Maka sebaiknya empat raka’at ini dilakukan dengan harapan dalam doa Nabi saw.

  • Dua raka’at sebelum maghrib.
  • Dua raka’at sebelum isya’.

Shalat witir adalah shalat sunat yang mandiri dan bukan termasuk watib. Shalat witir lebih utama daripada seluruh shalat rawatib. minimalnya satu raka’at dan tidak makruh jika selalu satu raka’at, hanya khilaful aula. Maksimalnya sebelas raka’at, sehingga tidak boleh lebih dari itu. Minimal sempurna adalah tiga raka’at. Waktu witir adalah setelah melakukan shalat isya’ dan tidak sah sebelum melakukan shalat isya’. Sunat menjadikan witir sebagai shalat terakhir di malam hari. Waktunya memanjang sampai terbitnya fajar shadiq. Jika dilakukan di luar waktunya tanpa alasan, maka makruh dan jika tidak dilakukan sama sekali, maka lebih makruh.

Peringkat shalat sunat adalah sebagai berikut:

  1. Idul Adha.
  2. Idul Fitri
  3. Gerhana matahari.
  4. Gerhana rembulan.
  5. Istisqa’.
  6.  
  7. Qabliyah subuh.
  8. Rawatib lainnya.
  9.  
  10.  
  11. Shalat sunat yang berhubungan dengan perbuatan, seperti shalat thawaf, shalat ihram dan tahiyat masjid.
  12. Shalat sunat wudlu.
  13. Sunat zawal, sunat awwabin.
  14. Shalat sunat mutlak, misalnya tahajud.

Termasuk shalat sunat yang tidak dianjurkan jama’ah adalah sebagai berikut:

  1. Shalat isyraq. Dua raka’at setelah matahari bersinar dan tinggi.
  2. Shalat dhuha. Minimal dua raka’at, yang terbaik delapan raka’at dan maksimal delapan raka’at. Waktunya mulai matahari naik sampai tergelincir.
  3. Shalat awwabin. Waktunya setelah melakukan shalat maghrib sampai masuknya isya”. Jika shalat isya’ dilakukan jama’ taqdim, maka awwabin dilakukan setelah melakukan isya”. Minimal dua raka’at dan maksimal dua puluh raka’at.

Shalat sunat yang sebabnya dahulu ada dua macam:

  1. Yang dianjurkan jama’ah. Di antaranya shalat gerhana dan shalat istisqa’.
  2. Yang tidak dianjurkan jama’ah. Di antaranya:
  3. Tahiyat masjid.
  4. Shalat sunat wudlu. Dilakukan setelah wudlu dan belum lama berselang.
  5. Shalat thawaf. Dilakukan setelah thawaf.
  6. Shalat kembali dari bepergian. Dua raka’at dan dilakukan di masjid sebelum masuk rumah. Jika dilakukan setelah masuk rumah, tidak masalah.
  7. Shalat sunat adzan. Dua raka’at dengan niat sunat adzan.
  8. Shalat sunat zifaf (malam pertama). Dilakukan oleh suami dan istri setelah bersatu dan bclum senggama. Niatnya sunat zifaf
  9. Shalat hajat. Dua raka’at dengan niat keinginan terkabul.

Shalat sunat yang sebabnya belakangan tidak dianjurkan jama’ah, Di antaranya:

  1. Shalat taubat. Dua raka’at sebelum bertaubat dan niatnya sunat taubat. Namun juga boleh dilakukan setelah taubat.
  2. Shalat istikharah. Dilakukan untuk setiap hal yang mubah.
  3. Shalat ihram. Dilakukan sebelum ihram.
  4. Dua raka’at saat keluar dari rumah untuk bepergian. Niatnya sunat safar.
  5. Dua raka’at sebelum akad nikah.
  6. Dua raka’at malam Jum’at setelah maghrib untuk memudahkan mati dan porahara setelahnya.
  7. Dua raka’at setelah maghrib untuk menjaga iman.

Shalat sunat mutlak di antaranya adalah:

  1. Shalat malam. Shalat ini bisa diperoleh dengan shalat apapun, meskipun shalat sunat isya” atau witir atau fardlu qadla atau nadzar.
  2. Shalat tasbih. Empat raka’at dan caranya seperti shalat lainnya. Cuma sebelum ruku’ sebaiknya mengucapkan 15 kali:

 

“Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah, tiada tuhan selain Allah, Allah Maha Besar, tiada daya maupun upaya kecuali denga” Allah Yang Maha Tinggi dan Agung.”

Pada saat ruku’ 10 kali, i’tidal 10 kali, sujud pertama 10 kali, duduk antara dua sujud 10 kali, sujud kedua 10 kali, duduk istirahat 10 kali dan setelah tasyahud 10 kali. Jumlah pada tiap raka’at adalah 75 tasbih. Sebelum tasbih tersebut, bacalah zikir yang sudah maklum.

Sunat yang diperintahkan di dalam shalat ada dua macam, yaitu ab’adh dan haiat. Ab’adh ada dua puluh sunat secara rinci, yaitu:

  1. Termasuk sunat ab’adh adalah berdiri untuk qunut dan shalawat salam kepada Nabi dan keluarganya serta sahabatnya dalam qunut. Witir dilakukan pada i’tidal raka’at kedua subuh dan 1’tidal witir separo kedua Ramadhan. Qunut adalah zikir yang terdiri dari doa dan sanjungan, meskipun berupa ayat dari Allah. Jika tidak mengandung kedua unsur tersebut, tidak disebut qunut.
  2. Tasyahud pertama pada shalat fardlu. Termasuk sunat ab’adh adalah shalawat kepada Nabi dan duduk membaca shalawat. Tasyahud pertama adalah kalimat yang wajib dalam tasyahud akhir, yaitu:

 

“Penghormatan adalah milik Allah. Salam, rahmat Allah dan berkah Allah untukmu wahai nabi. Salam untuk kami dan hambahamba Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Ya Allah, bershalawatlah kepada Muhammad.”

Sunat haiat banyak sekali, di antaranya:

  1. Tasbih ruku’, tasbih sujud dan zikir-zikir rukun lainnya, sepert memuji Allah pada saat i’tidal, doa saat duduk antara dua sujud, doa setelah tasyahud dan shalawat Ibrahimiyah. Setelah tasyahud, Ibnu Mas’ud ra berdoa beberapa kalimat, di antaranya:

 

“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu seluruh kebaikan, apa yang telah aku tahu darinya dan apa yang belum aku tahu. Dan aku berlindung kepada-Mu dari seluruh keburukan, apa yang telah aku tahu darinya dan apa yang aku belum tahu.”

 

Barangsiapa selalu tidak membaca tasbih ruku’ dan sujud, maka kesaksiannya ditolak. Madzhab Imam Ahmad adalah orang yang sengaja tidak membacanya, batal shalatnya. Jika lupa, maka bisa diganti dengan sujud sahwi.

  1. Takbir intiqal (takbir karena berpindah ke rukun lain). Takbir ini dibaca pada tiap turun dan bangun, kecuali bangun dari ruku’ Kalau bangun dari ruku’, zikirnya adalah (. ) ). Sejarah zikir ini adalah Abu Bakar ra tidak pernah ketinggalan shalat berjama’ah dengan Nabi saw. Pada suatu hari, Abu Bakar mengira dia telah ketinggalan shalat asar. Dia bersedih dan bergegas-gegas berjalan. Saat tiba di masjid, ternyata Nabi saw masih ruku’, sehingga Abu Bakar berkata: “Alhamdu lillah” dan takbiratul ihram. Maka Jibril turun saat Nabi ruku’, lalu berkata:

 

“Muhammad, (.      ) -semoga Allah mendengar orang yang memuji-Nya-.” Maka Nabi mengucapkannya saat bangun dari ruku’ dan sejak saat itu, zikir tersebut menjadi sunah berkah Abu Bakar ra. Sebelumnya Nabi saw mengucapkan takbir ketika bangun dari ruku’.

  1. Doa iftitah. Yakni doa untuk memulai shalat. Misalnya:

 

“Ya Allah, jauhkanlah antara aku dengan kesalahan-kesalahanku, seperti Engkau menjauhkan antara timur dan barat.”

Doa Iftitah habis waktunya jika melakukan hal setelahnya, baik sengaja atau lupa.

  1. Memohon perlindungan kepada Allah sebelum Fatihah atau gantinya, meskipun zikir yang murni. Sunat ini juga habis waktunya Jika melakukan hal setelahnya.
  2. Mengucapkan Amin setelah membaca Fatihah atau gantinya apabila mengandung doa.
  3. Membaca surat setelah mengucapkan Amin, baik shalat jahriyah maupun sirriyah bagi imam dan munfarid serta makmum yang tidak mendengar bacaan imam. Kecuali raka’at ketiga maghrib dan raka’at ketiga keempat shalat yang raka’atnya empat.
  4. Mengeraskan dan memelankan bacaan pada tempatnya. Sunat mengeraskan bacaan bagi selain makmum pada shalat subuh, Jum’at, id, gerhana rembulan, istisqa’ meskipun di siang hari, dua raka’at pertama maghrib dan isya”, witir Ramadhan meski Sendirian tanpa tarawih dan shalat thawaf malam hari. Wanita mengeraskan suaranya, namun di bawah suara lelaki. Dengan syarat ia tidak berada di hadapan kaum lelaki. Demikian juga waria Yang dimaksudkan keras adalah orang di sebelah anda mendengar, sedangkan yang dimaksud pelan adalah hanya anda dengar sendiri.

Jika seseorang tidak melakukan sebagian sunat ab’adh, misalnya satu lafal, baik sengaja atau lupa, maka dia disunatkan sujud sahwi Demikian juga jika dia bimbang, apakah ada bagian dari gunut yang tidak dia baca atau tidak. Maka tetap sunat sujud sahwi. Dia tidak boleh kembali ke sunat jika telah melakukan fardlu.

Jika dia tidak melakukan sunat haiat, maka tidak boleh sujud sahwi, meskipun sengaja. Jika dia sujud sahwi dengan sengaja karena tidak melakukan sunat haiat, maka batal shalatnya, kecuali jika belum tahu.

Apabila seseorang bimbang mengenai jumlah raka’at yang telah dia lakukan, misalnya telah tiga atau empat raka’at atau mengenai rukun shalat, maka dia harus meneruskan hal yang diyakininya dan melakukan apa yang dia bimbangkan. Yang diyakini adalah bilangan yang paling sedikit, yaitu tiga dalam contoh di atas dan harus menambah satu raka’at. Dia tidak boleh mengandalkan perkiraannya maupun ucapan orang lain selama orang lain tidak mencapai bilangan mutawatir, yaitu beberapa orang yang kira-kira tidak mungkin bohong. Minimal lebih dari empat orang, meskipun mereka kafir atau fasik atau anak-anak. Contoh bimbang adalah seseorang bimbang saat sujud, apakah saat i’tidal dia thumakninah atau tidak. Maka dia harus segera kembali i’tidal. Jika dia diam sebentar untuk mengingat-ingat, maka batal shalatnya jika dia imam atau munfarid. Jika dia makmum dan tidak berniat mufaragah (keluar dari jama’ah), maka dia harus mengikuti jama’ah dan dia menambah setelah imam salam.

Di samping hal di atas, dia sunat melakukan sujud sahwi, meskipun kebimbangannya sirna sebelum dia salam. Jika saa’ tasyahud dia ingat, bahwa dia belum melakukan rukun selain niat, takbiratul ihram dan satu sujud dari raka’at terakhir, maka dia harusmenambah satu raka’at setelah imam salam, namun tidak usah sujud sahwi.

Sujud sahwi tidak boleh melebihi dua sujud, meskipun lupanya lebih dari satu. Antara dua sujud sahwi harus dipisah dengan duduk, seperti sujud shalat. Tempatnya adalah sebelum salam dan tasyahud yang ditutup dengan shalawat Nabi saw serta zikir setelahnya. Jika sujud sahwi dilakukan sebelum itu, maka shalatnya batal.

Bimbang setelah selesainya shalat mengenai jumlah raka’ at atau rukun shalat adalah tidak apa-apa, kecuali jika yang dibimbangkan adalah niat. Kesimpulannya, jika seseorang setelah salam langsung bimbang mengenai fardlu selain niat dan takbiratul ihram, maka tidak ada pengaruhnya. Jika yang dia bimbangkan adalah niat atau takbiratul ihram, maka dia harus shalat lagi, selama dia tidak ingat sudah melakukannya, meskipun lama. Jika kebimbangan tersebut terjadi di dalam dalam shalat, lalu dia ingat telah melakukannya dalam waktu kurang dari thumakninah, maka tidak masalah. Jika tidak demikian, maka bermasalah.

Menurut pendapat yang kuat, bimbang mengenai syarat shalat setelah salam, tidak berpengaruh. Jika seseorang bimbang setelah salam, apakah dia sudah wudlu atau belum, maka tidak apa-apa, meskipun sebelum shalat dia yakin dirinya hadas. Namun dia tidak boleh shalat lagi selama masih bimbang.

 

Baik shalat fardlu, shalat sunat, shalat jenazah, sujud syukur maupun sujud tilawah.

Hal-hal yang membatalkan shalat banyak sekali dan di antaranya adalah:

  1. Sengaja bicara meskipun sedikit yaitu dua huruf atau satu huruf. Yang membatalkan adalah ucapan makhluk, baik dengan bahasa Arab maupun lainnya, meskipun tidak ada artinya. Jika lupa dan sedikit, maka tidak membatalkan. Orang yang lupa bahwa dia sedang shalat dan ucapannya sedikit atau dia belum tahu bahwa ucapan membatalkan shalat jika dia dimaafkan, shalatnya tidak batal. Misalnya dia baru saja masuk Islam, meskipun hidup di lingkungan muslimin atau dia hidup di hutan yang jauh di mana tidak ada orang yang tahu bahwa shalat batal karena ucapan. Jika ucapan orang tersebut banyak menurut urfi (kebiasaannya), maka mambatalkan. Sedikit maksudnya enam kata atau kurang, sebagaimana kisah Dzul Yadain ra, yaitu Nabi saw shalat zuhur atau asar bersama para sahabat, lalu beliau salam pada raka’at kedua, kemudian beliau menuju sebuah kayu di masjid dan bersandar seperti sedang marah. Maka Dzul Yadain berkata: “Apakah shalat diqashar atau engkau lupa, ya Rasulullah?” Nabi menjawab: “Aku tidak lupa dan shalat tidak diqashar.” Yakni menurut keyakinan dan perkiraanku.” Dzul Yadain berkata: “Salah satunya terjadi.” Nabi bertanya kepada para sahabatnya, termasuk Abu Bakar dan Umar: “Apakah benar apa yang dikatakan Dzul Yadain?” Keduanya menjawab: “Ya.” Maka Nabi shalat dua raka’at lagi, lalu sujud dua kali dan salam.” Yang diucapkan Dzul Yadain adalah enam kata menurut urfi (kebiasaannya).

 

Jika seseorang dipaksa mengucapkan dua kata dalam shalat, maka batal shalatnya, sebab hal tersebut jarang terjadi. Jika dia mengucapkan ayat Al-Qur’an atau zikir dengan maksud berbicara kepada orang lain, maka dirinci. Jika dia bermaksud zikir atau membaca ayat Al-Qur’an dan tidak berbicara kepada orang itu, maka tidak batal shalatnya. Jika dia bermaksud berbicara kepada orang itu atau tidak bermaksud apa-apa, maka batal shalatnya. Misalnya ada tamu, anda mengucapkan:

 

“Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera.” (QS. Al Hijr: 46)

Atau anda melarang seseorang dengan berkata:

 

“Yusuf, berpalinglah dari ini.” (QS. Yusuf : 29)

  1. Perbuatan banyak yang tidak termasuk perbuatan shalat, meskipun lupa, kecuali pada shalat khauf, shalat sunat di perjalanan dan diancam hewan seperti ular. Misalnya tiga langkah kaki. Tiga langkah kaki adalah perbuatan banyak jika berturut-turut, meskipun jaraknya hanya selangkah kaki. Contoh lain adalah menggerakkan tiga anggota badan, misalnya dua tangan dan kepala sendiri-sendiri. Perbuatan yang sedikit tidak membatalkan shalat, sebab Nabi saw menggendong Umamah binti Zainab saat beliau berdiri dan meletakannya saat sujud. Dan beliau melepaskan dua sandal dan memerintahkan membunuh ular serta kalajengking.
  2. Hadas besar atau kecil, baik sengaja atau lupa sebelum mengucapkan mim dari ( ) dari salam pertama. Jika hadas terjadi pada orang Shalat atau dia dipaksa untuk hadas, maka shalatnya batal, sebab thaharahnya batal dengan ijmak.
  3. Najis yang tidak ma’ fu, baik kering atau basah pada badan, pakaian dan dia tahu namun tidak menghilangkannya seketika. Jika dia tidak tahu najis, kecuali setelah selesai shalat, maka dia harus mengulangi shalat. Namun jika dia mati sebelum tahu, maka yang diharapkan dari Allah adalah tidak menghukumnya di akhirat.
  4. Salam dengan sengaja pada sclain tempatnya. Jika seseorang salam karcna lupa, maka tidak batal shalatnya dan dia meneruskan shalatnya.
  5. Niat keluar dari shalat scbelum waktunya. Waktunya bersamaan dengan salam.
  6. Melakukan suatu rukun fi’li shalat (rukun shalat yang merupakan perbuatan) di selain tempatnya dengan sengaja. Misalnya sujud sebelum i’tidal atau i’tidal sebelum ruku’ sempurna. Jika seseorang mendahulukan rukun gauli (rukun shalat yang merupakan ucapan) dengan sengaja, misalnya mengulangi Fatihah atau membaca shalawat Nabi sebelum tasyahud, shalatnya tidak batal, namun dia harus mengulanginya. Jika lupa, maka tidak apa-apa, misalnya ingat pada akhir shalat, bahwa dia belum melakukan satu sujud dari raka’at terakhir. Maka dia harus melakukan sujud itu dan mengulangi tasyahud. Jika sujud yang belum dilakukan dari raka’at lain, maka dia harus melakukan satu raka’at lengkap. Demikian juga apabila dia bimbang, apakah sujud yang belum dilakukan itu dari raka’at terakhir atau raka’at lain.
  7. Murtad, semoga Allah melindungi, meskipun hanya bentuknya, misalnya murtad yang dilakukan anak-anak. Murtad menyebabkan shalat batal seketika jika terjadi di dalamnya. Lain halnya jika terjadi setelah shalat selesai.
  8. Sebagian aurat kelihatan bagi orang yang mampu menutupinya. Misalnya angin menerbangkan penutup aurat dan dia tidak menutupnya seketika. Lain halnya jika dia segera menutupnya, maka shalatnya tidak batal. Jika aurat dibuka oleh orang lain atau hewan misalnya kera, maka membatalkan, meskipun langsung ditutup. Jika aurat dibuka karena lupa, lalu ditutup langsung, maka tidak membatalkan. Jika tidak, maka batal.
  9. Merubah niat tanpa alasan, misalnya niat shalat fardlu dialihkan menjadi shalat sunat atau fardlu yang lain. Maka shalatnya seketika batal dan shalat kedua tidak jadi. Lain halnya jika beralasan, misalnya mengira waktu shalat sudah masuk, lalu takbiratul ihram, padahal sebelumnya belum masuk, maka shalat tersebut berubah menjadi shalat sunat. Jika seseorang shalat fardlu sendirian, lalu dia melihat beberapa orang jama’ah shalat tersebut, maka dia sunat merubah shalatnya menjadi sunat mutlak dan salam dua raka’at atau satu raka’at jika waktu masih banyak. Jika sudah sempit, maka haram merubahnya.
  10. Sengaja beralih dari kiblat dengan dada tanpa alasan meskipun dipaksa, kecuali dalam shalat khauf dan shalat sunat di perjalanan. Termasuk yang beralasan adalah orang sakit yang tidak mendapatkan orang yang menghadapkannya ke kiblat. Maka dia shalat sesuai keadaannya dan dia harus mengulangi shalatnya. Jika seseorang shalat, lalu orang lain memaksanya untuk berganti arah dan dia kembali ke arah kiblat dengan segera, maka batal Shalatnya, sebab jarang terjadi. Jika dia lupa bahwa dia sedang Shalat, lalu dia beralih dari kiblat dan kembali ke arah kiblat seketika, maka tidak batal.

 

 

 

 

Ibnu Duraid berkata: “Orang yang pertama kali melakukan shalat jama’ah adalah Rasulullah saw saat keluar dari gua pada shalat subuh, Scbelum itu, kaum muslimin shalat sendiri-sendiri.” Jama’ah hanya dimiliki oleh umat Muhammad saja, seperti halnya shalat Jum’at, id, gerhana dan istisqa’. Makna jama’ah adalah ikatan shalat makmum dengan shalat imam. Minimal jama’ah selain shalat Jum’at adalah makmum dan imam. Jama’ah lebih utama daripada sendirian dengan terpaut dua puluh tujuh derajat.

Shalat jama’ah pada shalat fardlu selain shalat Jum’at adalah fardlu kifayah bagi para lelaki yang merdeka, tidak bepergian dan tidak telanjang. Fardlu ini sudah gugur jika dilakukan oleh sekelompok orang dari penduduk daerah jika mereka lelaki, baligh, merdeka dan syair Islam tampak. Tidak gugur jika yang melakukannya bukan penduduk daerah setempat, kaum wanita, anak-anak dan budah.

Shalat jama’ah harus dilakukan di tempat yang tampak oleh banyak orang dan tidak ada orang yang malu untuk memasukinya. Untuk desa kecil, jama’ah cukup dilakukan di satu tempat yang menampakkan syiar Islam. Untuk desa besar dan daerah yang lebih besar, jama’ah harus dilakukan di beberapa tempat yang menampakkan syiar Islam. Jika dilakukan di satu tempat saja, maka fardlu kifayah belum gugur.

Sunat yang sempurna bagi selain wanita, waria dan pemuda yang tampan adalah shalat di masjid. Sedangkan ketiga orang tersebut, yang terbaik bagi mereka adalah shalat di rumah. Jika seorang lelaki jama”ah di rumahnya bersama anggota keluarganya, tetap memperoleh fadlilah jama’ah.

Syarat jama’ah ada sembilan:

Pertama, makmum harus berniat menjadi makmum atau berniat jama’ah. Jika makmum tidak berniat demikian atau bimbang dan dia mengikuti imam dalam perbuatan atau salam setelah menanti lama, maka shalatnya batal, sebab dia menggantungkan shalatnya dengan shalat orang lain tanpa ikatan.

Kedua, makmum tahu perbuatan imam, baik dengan melihat langsung perubahan imam atau dengan melihat sebagian shaf atau mendengar suara imam atau suara bilal yang terpercaya atau penghubung. Penghubung adalah orang yang berdiri di depan pintu agar dia melihat imam atau sebagian makmum. Penghubung menjadi imam bagi orang yang shalat di belakangnya.

Ketiga, makmum mengikuti perbuatan imam. Syarat ini menunjukkan bahwa shalat imam dan makmum harus serasi dalam perbuatan lahir. Karena itu, tidak sah orang shalat fardlu makmum kepada orang shalat gerhana jenazah atau shalat gerhana dengan dua ruku’. Syarat ini juga menunjukkan, bahwa makmum harus mengikuti imam dalam sunat yang tampak buruk jika dia tidak mengikuti imam. Dalam sujud tilawah, makmum mengikuti imam, baik dalam melakukan maupun tidak melakukannya. Dalam tasyahud awal, makmum harus mengikuti imam jika imam tidak melakukannya. Dalam hal qunut, makmum mengikuti imam jika imam melakukannya. Syarat ini juga menunjukkan, bahwa takbiratul ihram makum harus belakangan setelah imam dengan pasti. Jika makmum menyertai imam dalam satu huruf dari huruf takbiratul ihram, maka shalatnya tidak jadi.

Keempat, makmum berkumpul bersama imam di satu tempat. Yakni jarak antara keduanya dan antara tiap dua shaf tidak lebih dari 300 hasta dengan hasta orang (sekitar 180 meter). Tidak apa-apa Jika lebih tiga hasta atau kurang. Syarat ini berlaku bagi imam yang Shalat di atas dan makmum di bawah atau sebaliknya. Jika imam dan makmum ada di dua bangunan atau dalam satu bangunan, maka ada syarat tambahan, yaitu tidak ada penghalang antara keduanya yang menghalangi makmum sampai pada imam. Apabila keduanya berada dalam masjid, disyaratkan makmum tahu perubahan imam, meskipun jarak antara keduanya lebih dari tiga ratus hasta asalkan makmum bisa sampai pada imam meskipun dengan membelakangi kiblat.

Kelima, makmum tidak mendahului imam pada tempat, baik makmum mundur dari imam atau sejajar dengan imam. Jika makmum lebih depan dari imam di tengah shalat, maka shalat makmum batal, Jika hal itu terjadi pada takbiratul ihram, maka shalat makmum tidak jadi sama sekali, kecuali pada shalat khauf, tidak mengapa lebih maju dari imam karena terpaksa.

Keenam, makmum tidak mendahului imam dalam dua rukun fi’li dan tidak tertinggal dari imam dalam dua rukun fi’li bila tanpa alasan. Misalnya imam turun sujud, sementara makmum berdiri. Lain halnya jika makmum mendahului imam dengan dua perbuatan karena lupa atau belum tahu, maka tidak batal shalatnya. Jika makmum ingat atau menjadi tahu, maka dia harus kembali menyesuaikan diri dengan imam. Jika tidak, shalatnya batal. Mendahului imam dengan dua rukun yang tidak fi’il, tidak membatalkan shalat. Misalnya bacaan Fatihah dan ruku’ atau tasyahud dan shalawat Nabi,.

Ketujuh, imam tidak lebih rendah daripada makmum. Tidak sah lelaki makmum kepada wanita atau waria dan tidak sah waria makmum kepada wanita atau waria. Wanita boleh makmum kepada wanita atau kepada waria, seperti wanita sah makmum kepada lelaki. Dengan demikian, wanita hanya sah mengimami sesama wanita.

Kedelapan, imam berhak menjadi imam. Tidak sah orang kafir dan anak yang belum tamyiz menjadi imam shalat. Jika seseorang shalat, kemudian ternyata imamnya kafir meskipun menyembunyikan kekafirannya atau imamnya gila, maka harus mengulangi shalat jika setelah selesai shalat. Jika hal itu jelas di tengah shalat, maka mengulangi shalat dari awal.

Kesembilan, imam tidak umi jika makmum bacaannya baik, baik imam bisa belajar atau tidak, baik makmum tahu atau tidak. Umi adalah orang yang tidak mampu mengeluarkan huruf dari makhrajnya atau tidak mampu mengucapkan satu tasydid dari Fatihah. Orang yang mengganti satu huruf dari Fatihah dengan huruf lain tidak menjadi imam, kecuali bagi makmum yang sama dengannya dalam tidak mampu mengucapkan huruf tadi. Menurut pendapat qadim, makmum yang baik bacaannya sah bermakmum kepada imam yang umi dalam shalat sirriyyah, sebab menurut pendapat qadim imam menanggung bacaan makmum. Yang paling berhak menjadi imam shalat adalah orang yang mengetahui tentang hukum shalat dan jama’ah, sebab yang paling dibutuhkan dalam shalat adalah ilmu fikih. Jika sama, maka yang paling berhak adalah yang paling benar bacaannya. Jika sama, maka yang paling zuhud, lalu yang paling wirai, lalu yang paling bersih pakaiannya, lalu yang paling bersih wajahnya, lalu yang paling bersih profesinya, lalu yang paling indah suaranya, lalu yang paling tampan wajahnya, lalu yang paling cantik istrinya, lalu yang putih pakaiannya.

Boleh mengqashar (meringkas empat menjadi dua raka’at) shalat rubaiyah (jumlah raka’atnya empat) bagi orang yang bepergian jauh yakni dua marhalah (minimal 85 km) dengan syarat sebagai berikut:

  1. Perginya bukan maksiat, baik pergi wajib, sunat, mubah atau makruh, seperti orang yang bepergian sendirian, terutama di malam hari.
  2. Dia menuju tempat tertentu sejak mulai perjalanan, meskipun hanya arah. Karena itu, orang yang pergi mencari budak yang minggat tidak boleh qashar selama tujuannya tidak jelas. Rombongan yang tidak tahu bahwa perjalanan pemimpin ada dua marhalah, mereka tidak boleh qashar. Jika mereka tahu, mereka boleh qashar sejak memulai perjalanan.
  3. Musafir berniat qashar pada saat takbiratul ihram. Misalnya berniat shalat zuhur dua raka’at atau shalat safar. Jika dia berniat menyempurnakan shalat atau tidak berniat apa-apa, maka tidak boleh qashar.
  4. Tidak makmum kepada orang yang menyempurnakan shalatnya pada sebagian dari shalat, meskipun dia mengira orang itu musafir, meskipun makmumnya hanya sebentar dan belum duduk.
  5. Perjalanan belum selesai sebelum shalat selesai. Selesainya perjalanan adalah karena salah satu dari hal-hal berikut:
  • Sampai ke permulaan perjalanan, yaitu tempat tinggal, meskipun tidak mukim dan tidak memasukinya.
  • Sampai pada tempat lain yang menjadi permulaan perjalanan, yaitu tempat di mana dia berniat mukim empat hari penuh. Yakni empat hari ditambah hari sampai dan hari pulang.
  • Mukim di suatu tempat selama empat hari penuh, meskipun tempat itu tidak layak dijadikan tempat mukim. Dengan catatan dia tidak memiliki kepentingan yang setiap saat tercapai. Jika memiliki kepentingan tersebut dan dia tidak berniat mukim, maka dia boleh qashar selama delapan belas hari. Termasuk kepentingan tersebut adalah menanti angin bagi penumpang perahu.
  • Berniat kembali ke tempat tinggal tanpa ada perlu. Setelah niat ini, bepergiannya dianggap baru. Jika ada dua marhalah boleh qashar dan jika tidak, tidak boleh. Jika berniat kembali ke selain tempat tinggal karena ada perlu, maka perjalanan belum dianggap selesai, sehingga masih boleh qashar. Ragu-ragu untuk kembali sama dengan niat untuk kembali.

Orang yang memenuhi syarat untuk qashar, boleh menjama’ shalatnya, baik jama’ taqdim maupun jama’ ta’khir. Shalat yang boleh dijama’ adalah zuhur dengan asar dan maghrib dengan isya”. Jama’ taqdim adalah melakukan dua shalat di waktu shalat pertama dan jama’ ta’khir adalah melakukan dua shalat di waktu shalat kedua.

Syarat jama’ taqdim ada lima:

Pertama, berniat jama’ pada shalat pertama, meskipun saat salam. Lain dengan qashar, di mana jika orang lupa niat qashar pada takbiratul ihram, dia harus shalat empat raka’at. Yang paling utama adalah berniat jama’ pada takbiratul ihram, sebab sebagian ulama mewajibkannya.

Kedua, tertib, yaitu mendahulukan shalat dan maghrib dan mengakhirkan asar dan isya’. Jika dibalik, maka yang sah adalah zuhur dan maghrib dan shalat pertama tidak sah jika tahu dan sengaja. Jika tidak, maka sah sebagai shalat sunat jika tidak mempunyai qadla shalat yang sama. Jika punya, maka sah menjadi qadla. Shalat kedua boleh diulangi setelah shalat pertama jika berniat jama’ taqdim.

Ketiga, shalat yang pertama sah dengan meyakinkan atay perkiraan. Tidak sah jama’ jika pertama adalah shalat Jum’at yang masih dibimbangkan kcabsahannya. Demikian juga orang yang harus mengulangi shalatnya, misalnya orang yang tayamum karena cuaca dingin atau karena tidak ada air atau tayamum di tempat di mana biasanya ada air.

Keempat, berturut-turut, yaitu antara shalat pertama dan shalat kedua tidak dipisah dengan waktu yang cukup untuk melakukan shalat dua raka’at sesingkat-singkatnya, meskipun beralasan.

Kelima, masih berstatus musafir sampai takbiratul ihram shalat kedua, meskipun berniat mukim di tengah shalat kedua. Jika musafir berniat mukim sebelum takbiratul ihram shalat kedua, maka dia tidak boleh menjama’ dan shalat kedua harus dilakukan pada waktunya. Tidak diharuskan berstatus musafir pada takbir shalat pertama. Jika seseorang takbiratul ihram di daerahnya, lalu dia bepergian pada tengah shalat tersebut, maka dia boleh menjama’ shalat.

Syarat-syarat tersebut tidak disyaratkan untuk jama’ ta’khir, kecuali syarat kelima, namun keempat syarat tersebut sunat pada jama’ ta’khir. Di samping syarat tersebut, jama’ ta’khir ada dua syarat:

Pertama, berniat jama’ ta’khir sebelum waktu shalat pertama habis, yaitu zuhur dan maghrib. Jika melakukan jama’ ta’khir tanpa berniat, maka berdosa dan shalat pertama qadla. Jika dari waktu shalat pertama, yang tersisa tidak cukup untuk melakukannya, maka berdosa dan shalat pertama qadla.

Kedua, tetap berstatus musafir sampai melakukan shalat kedus secara keseluruhan. Jika musafir berniat mukim di tengah shalat kedua, maka shalat pertama qadla.

Shalat Jum’at merupakan shalat yang paling utama, Shalat Jum’at bukan shalat zuhur yang diqashar, sebab tidak bisa diganti zuhur, Di samping itu, Umar ra berkata: “Shalat Jum’at itu shalat sempurna, bukan qashar menurut sabda Nabi kalian.”

Shalat Jum’at sama dengan shalat lainnya dalam hal syarat dan rukun, hanya saja shalat Jum’at tidak, selain bagi penduduk daerah yang tinggal di bangunan dan ada empat puluh orang, meskipun dengan pelepah kurma atau bambu. Penduduk kemah tidak berkewajiban shalat Jum’at, namun jika kemah mereka berada di sela-sela bangunan dan mereka mukim, mereka harus shalat Jum’at. Jumlah empat puluh merupakan jumlah yang sempurna. Karena itu, para nabi diutus pada usia empat puluh.

Sahih, bahwa shalat Jum’at yang pertama kali yang dilakukan adalah di Madinah dan pengikutnya empat puluh orang lelaki yang merdeka, baligh, normal akalnya, tinggal di Madinah, tidak sakit dan tidak memiliki uzur shalat Jum’at. Yang dimaksud tinggal di Madinah adalah mereka tidak beralih dari kota itu, baik musim kemarau maupun penghujan, kecuali ada perlu. Termasuk uzur Jum’at adalah mempersiapkan jenazah, sakit diare yang tidak henti-henti sehingga khawatir menodai masjid dan dipenjara tanpa salah. Jika di penjara ada empat puluh orang, maka mereka berkewajiban shalat Jum’at di penjara menurut Ar Ramli. Orang yang sakit dan mampu, sunat melakukan shalat Jum’at. Jika orang sakit melakukan shalat zuhur, lalu dia menghadiri shalat Jum’at, maka dia dihitung dari jumlah empat puluh dan shalat Jum’at baginya menjadi sunat mutlak menurut sebagian ulama. Pendapat lain sebaliknya, yaitu zuhur menjadi sunat mutlak dan Jum’at menjadi fardlu.

Budak, anak-anak dan kaum wanita boleh melakukan shalat bahkan wanita yang tua renta yang tidak bersolek sunat shalat Jum’at Tuan atau majikan sunat mengijinkan sahayanya untuk shalat Jum’at. Orang tua berkewajiban menyuruh anak lelaki untuk shalat Jum’at, seperti kewajiban lainnya.

Shalat Jum’at juga wajib atas orang yang mukim (tinggal sementara) di daerah tadi, meskipun mereka bukan penduduk asli jika mukimnya menghilangkan status musafir. Yakni orang tersebut berniat mukim selama empat hari penuh. Demikian juga shalat Jum’at wajib atas orang yang mukim di dekat tempat shalat Jum’at apabila dia mendengar adzan yang dikumandangkan orang yang suaranya keras di tempat tinggi dari tempat yang paling dekat ke tempat shalat Jum ‘at, meskipun tidak jelas kalimat-kalimat adzan.

Syarat sah shalat Jum’at ada empat:

Pertama, shalat Jum’at didahului oleh dua khutbah. Syarat khutbah ada delapan:

  1. Rukun khutbah menggunakan bahasa Arab. Jika bisa mempelajari bahasa Arab, maka penduduk setempat fardlu kifayah mempelajarinya. Jika tidak bisa, maka salah satu harus khutbah dengan bahasa setempat.
  2. Berdiri pada dua khutbah bagi yang mampu.
  3. Khathib duduk di antara dua khutbah dengan thumakninah.
  4. Khutbah dilaksanakan dalam waktu shalat zuhur.
  5. Berturut-turut antara dua khutbah, antara rukun khutbah dan antara khutbah dengan shalat Jum’at.
  6. Suci dari hadas dan najis yang tidak ma’ fu.
  7. Menutupi aurat.
  8. Memperdengarkan rukun khutbah kepada empat puluh orang yang mengesahkan shalat Jum’at, sebab tujuan khutbah adalah membersi nasehat empat puluh orang tersebut.

Kedua, shalat Jum’at dilakukan jama’ah oleh empat puluh orang yang masing-masing shalatnya sah, meski hanya pada raka’at pertama. Jama’ah harus dilakukan oleh empat puluh orang pada raka’at pertama, namun disyaratkan keempat puluh orang itu utuh sampai mereka salam. Jika salah seorang dari mereka hadas sebelum salam, maka shalat Jum’at batal total.

Jika shalat imam batal, maka dia boleh istikhlaf (menunjuk pengganti). Apabila hal itu terjadi dalam shalat Jum’at pada raka’at pertama dan tidak ada makmum yang maju, maka imam harus istikhlaf agar shalat Jum’at sah. Jika hal itu terjadi pada raka’at kedua, maka imam sunat istikhlaf agar shalat Jum’at jama’ah sampai dua raka’at. Istikhlaf pada Jum’at adakalanya terjadi di tengah khutbah atau antara khutbah dan shalat atau terjadi di dalam shalat. Jika istikhlaf terjadi dalam khutbah, maka penggantinya harus mendengar rukun khutbah yang sudah dibaca. Jika istikhlaf terjadi antara khutbah dan shalat, maka penggantinya harus mendengar seluruh rukun khutbah. Jika istikhlaf terjadi di dalam shalat, maka ada tiga kemungkinan:

  1. Istikhlaf terjadi saat pengganti belum makmum dengan imam. Maka hal ini tidak sah.
  2. Pengganti ikut jama’ah dengan imam pada berdiri raka’ at pertama atau ruku’nya. Maka istikhlaf sah dan shalat Jum’at sah. Jika mam menyuruh salah satu makmum untuk maju menjadi penggantinya, maka jelas, Jika tidak, maka para makmum harus menyuruh seseorang maju dan orang itu harus mau.

Ketiga, pengganti ikut jama’ah Jum’at setelah ruku’ raka’at pertama. Menurut Ibnu Hajar, makmum tersebut tidak boleh menjadi pengganti imam. Namun jika dia menjadi pengganti, Jum’at orang-orang sah, sementara Jum’at dirinya tidak sah.

Istikhlaf di luar shalat Jum’at ada dua macam:

Pertama, pengganti tidak ikut jama’ah sebelum imam hadas, Maka dia sah menjadi pengganti asal urutan shalatnya sama dengan imam,

Kedua, pengganti ikut jama’ah dengan imam sebelum imama hadas. Maka dia bolch menjadi pengganti imam, sebab dia harus mengikuti shalat imam.

Niat jama’ah bebarengan dengan takbiratul ihram adalah wajib dalam shalat Jum’at, termasuk bagi imam, sebab jama’ah merupakan syarat sahnya. Shalat mu’adah dan shalat jama’ karena hujan juga harus niat jama’ah. Namun jika imam tidak termasuk orang yang berkewajiban shalat Jum’at dan dia di luar empat puluh orang yang mengesahkan Jum’at, misalnya budak dan dia berniat selain Jum’at, seperti zuhur, maka dia tidak harus niat jama’ah, hanya sunat. Setiap orang yang tidak berkewajiban shalat Jum’at, seperti anak-anak, dia cukup shalat Jum’at dan tidak perlu shalat zuhur. Orang yang berkewajiban shalat Jum’at, meskipun tidak bisa mengesahkan Jum’at, dia tidak boleh shalat zuhur sebelum imam salam.

Ketiga, shalat Jum’at berikut dua khutbah dilakukan dalam waktu zuhur. Shalat Jum’at tidak boleh dilakukan jika bimbang apakah masih waktu zuhur atau sudah habis. Jika waktu zuhur habis, sedangkan mereka masih melakukan shalat Jum’at, maka mereka harus menyempurnakannya sebagai shalat zuhur, namun tidak diperlukan mengganti niat. Jika makmum masbuk berdiri untuk menyempurnakan, lalu waktu zuhur habis, maka dia harus shalat zuhur.

Keempat, shalat Jum’at hanya satu di wilayah itu, meskipun besar, kecuali ada alasan, yaitu tempat shalat Jum’at tidak muat, meskipun bukan masjid. Yang diperhitungkan adalah orang yang biasanya menghadiri shalat Jum’at, sebagaimana dikutip dari At Tuhfah, An Nihayah dan Al Mughni. Ibnu Qasim berpendapat, bahwa yang diperhitungkan adalah orang yang hadir pada shalat Jum’at . Jika mereka kesulitan berkumpul karena banyak atau karena jaraknya jauh, maka shalat Jum’at lebih dari satu sesuai kondisi. Sikap terbaik bagi orang yang shalat Jum’at di daerah di mana shalat Jum’at lebih dari satu adalah mengulangi shalatnya, sebab ada ulama yang melarang Jum’at lebih dari satu, meskipun perlu.

Sunat melakukan hal-hal berikut:

  1. Jika orang yang akan menghadiri shalat Jum’at tidak khawatir batal puasanya, dia sunat mandi sebelum matahari tergelincir, meskipun dia tidak berkewajiban Jum’at. Bahkan meskipun dia haram menghadiri shalat Jum’at, seperti istri tanpa restu suaminya. Tidak sunat mengqadla mandi ini jika sudah terlambat.
  2. Bersih-bersih. Yakni lelaki yang tidak ihram dan yang tidak hendak berkurban pada sepuluh hari Dzulhijjah mencukur bulu kapoknya, mencabut bulu ketiaknya, bersiwak, menghilangkan bau tak sedap, mencukur kumis, memotong kuku tangan dan kaki. Sunat hal tersebut dilakukan pada hari Kamis atau subuh hari Jum’at. Sebaiknya kuku segera dibasuh setelah dipotong. Jika tidak, dikhawaurkan menimbulkan belang. Orang yang sudah wudlu dan memotong kukunya, sunat mengulangi wudlunya, sebab sebagian ulama mewajibkannya. Rambut kepala tidak sunat dicukur, kecuali karena haji umrah, anak yang dilahirkan, orang kafir yang masuk Islam dan orang yang terganggu oleh rambutnya. Selain itu mencukur rambut hanya mubah.
  3. Memakai parfum bagi lelaki yang tidak ihram dan tidak puasa.
  4. Memakai pakaian serba putih. Yakni seluruh pakaian yang dipakai putih, terutama pakaian paling atas. Ini berlaku pada selain hari lumpur, yaitu hari di mana dikhawatirkan pakaian putih kotor dan selain hari raya. Untuk hari raya, lebih baik memakai pakaian yang lebih malah, meskipun tidak putih.
  5. Membaca surat Al Kahfi pada siang dan malam Jum’at. Sunat membacanya pada permulaan siang dan permulaan malam agar segera melakukan kebaikan. Siang Jum’at lebih utama. Juga sunat membaca surat Ali Imran, Hud dan Ad Dukhan.
  6. Banyak membaca shalawat kepada Nabi Muhammad saw. Minimalnya tiga ratus kali, seperti halnya minimalnya membaca Al Kahfi adalah tiga kali.
  7. Banyak berdoa, bersedekah dan melakukan kebaikan pada siang dan malam Jum’at.

Masing-masing dari ketiga shalat di atas sunat muakkad bagi tiap orang, baik bepergian maupun tidak, baik lelaki maupun lainnya, baik jama’ah maupun munfarid. Shalat id fardlu ain menurut Imam Abu Hanifah dan fardlu kifayah menurut Imam Ahmad. Pada madzhab Syafi’i juga ada pendapat fardlu kifayah karena memandang, bahwa shalat id termasuk syiar Islam. Jika penduduk suatu daerah sepakat tidak melakukannya, mereka diserang menurut pendapat ini. Juga ada pendapat demikian mengenai shalat gerhana.

Yang terbaik bagi kaum wanita yang bergaya adalah melakukan ketiga shalat tersebut di dalam rumah sendirian dan yang terbaik bagi kaum lelaki adalah melakukan ketiganya di masjid. Ada pendapat, bahwa lebih baik melakukan ketiganya di tanah lapang, sebab lebih leluasa bagi pengendara dan lainnya. Itu jika masjid cukup untuk kaum muslimin. Jika tidak cukup, maka lebih baik di tanah lapang untuk shalat istisqa”. Makruh shalat id di masjid jika sempit karena desakan mengganggu dan makruh shalat istisqa’ di tanah lapang jika hujan atau salju turun. Sunat melakukan shalat gerhana di masjid, meskipun sempit, sebab keluar ke tanah lapang menyebabkan terlambat. Kaum wanita yang tidak bergaya sunat melakukan shalat gerhana di masjid jami” bersama imam.

  1. Shalat id

Shalat id dilakukan dua raka’at dengan niat idul fitri atau idul adha. Minimal shalat id adalah seperti shalat qabliyah zuhur, sedangkan maksimalnya adalah takbir tujuh kali pada raka’at pertama sebelum setelah membaca doa iftitah dan sebelum membaca a’udzu serta baslamah, Tujuh kali takbir adalah selain takbiratul ihram dan lakbir ruku’. Pada setiap takbir sunat mengangkat tangan, seperti takbiratul ihram. Dan takbir lima kali pada raka’at kedua selain takbiratul ihram dan ruku’. Masing-masing dua takbir sunat dipisah dengan zikir, misalnya:

 

“Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah, tiada tuhan selain Allah, Allah Maha Besar.”

Jika bimbang mengenai jumlah takbir, gunakanlah yang paling sedikit. Takbir ini termasuk sunat haiat, sehingga tidak sunat sujud sahwi jika tidak dilakukan, baik salah satu atau keseluruhan, baik sengaja atau lupa.

Dalam niat shalat id, harus ditentukan, apakah idul fitri atau idul adha, sebab shalat ini termasuk shalat sunat yang dibatasi dengan waktu. Tidak sah niat shalat id saja, meskipun Izzuddin bin Abdus Salam berpendapat, bahwa sah berniat shalat id untuk tujuan kifarat. Pada raka’ at pertama, setelah membaca Fatihah, sunat membaca surat Qaf dan pada raka’at kedua sunat membaca surat Al Qamar. Atau membaca surat Al A’la pada raka’at pertama dan surat Al Ghasyiyah pada raka’at kedua.

Setelah shalat id yang dilakukan dengan jama’ah, disunatkan khutbah dua kali, meskipun jama’ ahnya hanya dua orang. Rukun dan sunat khutbah tersebut sama dengan khutbah Jum’at, namun syaratnya tidak sama, seperti syarat berdiri, menutup aurat, thaharah dan duduk di antara dua khutbah. Sunat duduk tepat sebelum dua khutbah untuk beristirahat. Untuk menghasilkan sunat dan sahnya khutbah, khathib harus memperdengarkan khutbahnya dan ada orang yang mendengar khutbah, meskipun hanya seorang. Khutbah harus menggunakan bahasa Arab dan khathib lelaki, meskipun jama’ahnya wanita.

Pada permulaan khutbah pertama, hendaknya khathib membaca takbir sebanyak sembilan kali secara berturut-turut dan masing-masing takbir diucapkan dengan satu nafas. Pada permulaan khutbah kedua, khathib hendaknya takbir sebanyak tujuh kali berturut-turut dan masing-masing takbir diucapkan dengan satu nafas.

Setiap orang disunatkan bertakbir dalam hari raya Idul Fitri sejak terbitnya matahari pada akhir Ramadhan. Dasarnya adalah ayat:

 

“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah.” (QS. Al Baqarah: 185)

Hendaklah kalian mengagungkan Allah saat bilangan itu lengkap. Idul Adha dikiaskan dengan Idul Fitri dan tiap lelaki sunat bertakbir pada sejak tenggelamnya matahari malam Idul Adha dengan suara keras di jalan, di pasar dan di rumah serta masjid, baik berjalan maupun berkendara, baik duduk maupun berdiri atau berbaring. Bahkan sunat takbir dalam keadaan bagaimanapun, kecuali buang air.

Sunat takbir dua hari raya terus berlaku sampai imam memulai shalat id. Ini bagi orang yang shalat menjadi makmum. Bagi orang yang shalat sendirian, akhir perintah takbir adalah takbiratul ihram dirinya sendiri. Bagi orang yang tidak shalat id sama sekali, akhir perintah takbir adalah matahari tergelincir. Ini disebut takbir mutlak dan takbir mursal, sebab tidak terbatas oleh shalat maupun lainnya.

Pada idul adha, sunat takbir setelah shalat fardlu, shalat sunat, shalat jenazah dan shalat yang dinazari. Tidak sunat setelah sujud syukur dan sukur tilawah. Permulaan takbir tersebut adalah sejak shalat subuh hari Arafah meskipun tidak melakukan, sampai matahari terbenam pada hari tasyrik terakhir menurut pendapat Ar Ramli. Sedangkan menurut pendapat Ibnu Hajar, permulaannya adalah setelah melakukan shalat subuh hari Arafah dan akhirnya adalah melakukan shalat asar pada hari tasyrik terakhir. Hal tersebut berlaku bagi selain orang yang melakukan ibadah haji. Orang yang melakukan ibadah haji Sunat membaca takbir pada hari raya idul adha jika mereka tahalul dari ihram menurut pendapat Ar Ramli. Takbir orang haji berakhir pada tenggelamnya matahari hari tasyrik terakhir menurut pendapat Ar Rasyidi. Sedangkan menurut Ibnu Hajar, orang haji sunat takbir sejak zuhur hari raya idul adha sampai subuh hari tasyrik terakhir, baik dia berada di Mina atau tidak. Takbir ini disebut takbir muqayyad.

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa takbir mursal ada pada hari raya idul fitri dan idul adha dan bahwa takbir mugayyad hanya ada pada idul adha. Dan bahwa tidak ada takbir setelah shalat idul fitri, sebab tidak ada takbir mugayyad. Mursal idul fitri lebih utama daripada mursal idul adha dan mugayyad idul adha lebih utama daripada kedua mursal. Setelah takbir, sunat membaca shalawat Nabi, misalnya:

 

“Ya Allah, bershalawatlah kepada junjungan kami Muhammad, kepada keluarga Muhammad, kepada sahabat junjungan kami Muhammad, kepada istri-istri junjungan kami Muhammad, kepada anak cucu junjungan kami Muhammad dan bersalamlah dengan banyak.”

  1. Shalat gerhana

Shalat gerhana boleh dilakukan dengan tiga cara:

Pertama, cara minimal, yaitu melakukan dua raka’at seperti shalat sunat zuhur dengan niat shalat gerhana matahari atau rembulan. Jika demikian, seseorang tidak boleh melakukannya dengan cara yang lebih utama, seperti jika dia berniat shalat gerhana paling sempuma, dia tidak melakukannya dengan cara minimal. Jika berniat mutlak, maka boleh memilih satu dari tiga cara menurut Ar Ramli dan harus melakukan cara minimal menurut Ibnu Hajar.

Kedua, cara pertengahan, yaitu dua raka’at dan tiap raka’at terdapat dua berdiri dan dua ruku’. Setelah membaca doa iftitah dan a’udzu, membaca Fatihah, lalu ruku’, lalu i’tidal dan membaca Fatihah kedua, lalu ruku’ kedua, lalu i’tidal kedua, lalu sujud dua kali. Pada seluruh perbuatan tersebut, hendaknya thumakninah tanpa lama. Pada tiap i’tidal, hendaknya mengucapkan:

 

“Mudah-mudahan Allah menerima pujian orang yang memijiNya.”

Kemudian membaca:

 

“Ya Tuhan kami, bagi-Mu segala puji sepenuh langit dan sepenuh bumi dan sepenuh barang apa yang Engkau kehendaki sesudah itu.”

Hal di atas adalah satu raka’at dan raka’at kedua juga sama Caranya.

Ketiga, cara paling sempurna, yaitu dalam tiap raka’at ada dua berdiri dua ruku’. Pada berdiri pertama, setelah Fatihah membaca Surat Al Baqarah atau ayat Al-Qur’an sebanyak itu. Pada berdiri kedua, membaca surat Ali Imran atau ayat Al-Qur’an sebanyak itu, Pada berdiri ketiga, membaca surat An Nisa’ atau atau ayat Al-Qur’an Sebanyak itu. Pada berdiri keempat, membaca surat Al Maidah atau ayat Al-Qur’an sebanyak itu. Pada kedua ruku’ pertama, membaca tasbih kira-kira seratus ayat dari Al Baqarah. Pada ruku’ kedua, membaca tasbih kira-kira delapan puluh ayat dari Al Baqarah. Pada ruku’ ketiga, membaca tasbih kira-kira enam puluh ayat dari Al Bagarah. Pada ruku’ keempat, membaca tasbih kira-kira lima puluh ayat dari Al Bagarah. Sujud tetap dua kali, namun dilamakan menurut pendapat yang kuat, sebagaimana ruku’. I’tidal kedua dan duduk antara dua sujud, jangan dilamakan.

Ulama ijmak, bahwa setelah shalat gerhana sunat dua khutbah, meskipun gerhana telah purna, seperti khutbah shalat id. Sebagian ulama berkata: “Dalam khutbah gerhana, khutbah membaca istighfar pada permulaan khutbah pertama sembilan kali dan pada permulaan khutbah kedua tujuh kali.” Sebab istighfar sangat sesuai dengan keadaan, sebab gerhana termasuk peringatan Allah kepada para hamba. Pada kedua khutbah, khathib mendorong kaum muslimin untuk melakukan kebaikan, yaitu taubat, sedekah dan memerdekakan budak dan memperingatkan mereka agar tidak lupa dan bergelimang dalam terpedaya. Hendaknya khathib mengingatkan mereka mengenai kejadian yang aktual.

  1. Shalat istisqa’

Shalat istisqa’ dilakukan pada saat membutuhkan air dari Allah karena mata air kering atau air sedikit atau air menjadi asin. Termasuk penyebab shalat ini adalah sekelompok muslimin membutuhkan air. Maka muslimin lain juga sunat istisqa’ demi mereka dan meminta tambahan anugrah untuk mereka.

Apabila sekelompok muslimin ingin melakukan istisqa’, maka pemerintah atau wakilnya sunat membawa mereka keluar ke tanah lapang sebagaimana dilakukan oleh Nabi saw. Sebelum mereka keluar, pemerintah atau wakilnya sunat menyuruh mereka untuk memerintahkan beberapa hal kepada mereka:

  1. Bertaubat dari seluruh dosa.
  2. Segera berdamai dengan musuh
  3. Segera berpuasa tiga hari berturut-turut sebelum keluar. Berarti total puasa empat hari.

Mereka keluar ke tanah lapang dalam keadaan puasa, sebab orang puasa tidak ditolak doanya. Ada tujuh orang yang tidak ditolak doanya, yaitu orang teraniaya, orang tua, orang puasa, orang sakit, doa untuk saudara tanpa tahu, doa nabi untuk umatnya dan orang haji.

Setelah tiba di tanah lapang, pemerintah menjadi imam shalat. Cara shalat istisqa’ sama dengan cara shalat id, yaitu takbir setelah iftitah dan a’udzu sebanyak tujuh akli pada raka’at pertama dan lima kali pada raka’at kedua. Hendaknya tangan diangkat pada tiap takbir. Shalat istisqa: termasuk shalat jahriyah (bacaannya sunat keras) dan penyebabnya adalah membutuhkan air.

Niatnya adalah sunat shalat istisqa’ dan pada raka’at pertama setelah Fatihah sunat membaca surat Qaf dan pada raka’at kedua membaca surat Al Qamar. Boleh lebih dari dua raka’at jika diniati menurut Ibnu Hajar. Shalat istisgqa’ berbeda dengan shalat id dalam hal raka’at dan dalam hal istisqa” tidak tertentu waktunya, boleh dilakukan pada siang maupun malam hari, meskipun waktu makruh shalat, sebab istisqa” termasuk shalat bersebab. Namun yang terbaik istisqa” dilakukan pada pada waktunya shalat id. Perbedaan lainnya adalah sebelum istisqa’ ada puasa.

Setelah shalat istisqa’, disunatkan khutbah dua kali seperti khutbah id, namun khutbah istisqa’ boleh hanya satu dan boleh sebelum shalat. Yang terbaik adalah khutbah setelah shalat, sebab hal ini yang paling banyak dilakukan oleh Nabi saw. Namun dalam khutbah istisqa”, khathib mengganti takbir dengan istighfar pada permulaannya. Khathib hendaknya mengucapkan:

 

“Aku memohon ampun kepada Allah yang tiada tuhan selain Dia, Maha Hidup dan Berdiri sendiri dan aku bertaubat kepada-Nya.”

Pendapat lain, khathib mengucapkan takbir sebagaimana dalam khutbah id. Khathib hendaknya memperbanyak istighfar tersebut pada tengah kedua khutbah dan memperbanyak membaca ayat:

 

“Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12)

Dan memperbanyak shalawat Nabi saw.

Khathib hendaknya menghadap kiblat saat berdoa di tengah khutbah kedua setelah sepertiga khutbah lewat sampai doa selesai dan merubah letak surbannya. Yakni menjadikan kanan surban menjadi kiri dan membaliknya, yaitu menjadi sebelah atas surban menjadi bagian bawah. Ini berlaku untuk surban segi empat. Jika surbannya berbentuk lingkaran atau segi tiga atau surbannya sangat panjang, maka cukup merubah satu sisi ke sisi yang lain. Para hadirin juga dianjurkan berbuat demikian saat mereka duduk, namun kaum wanita dan waria tidak dianjurkan. Hikmah dari perubahan letak surban atau harapan berubahnya keadaan dari kesulitan menjadi kemudahan. Surban itu hendaknya dibiarkan pada posisi demikian, sampai pakaian dilepasksan.

Khathib hendaknya berdoa kepada Allah dalam kedua khutbah, baik dengan keras maupun pelan. Yang paling utama adalah berdoa dengan doa Rasulullah saw, misalnya doa kesusahan, yaitu:

 

“Tiada tuhan selain Allah Yang Maha Agung dan Penyantun. Tiada tuhan selain Allah Tuhan Arasy yang agung. Tiada tuhan selain Allah Tuhan langit tujuh, Tuhan bumi dan Tuhan Arasy yang mulia.”

Hendaknya doa ini diulang-ulang. Doa Nabi lainnya adalah:

 

“Wahai Maha Hidup, wahai Maha Berdiri sendiri, aku meminta tolong kepada rahmat-Mu.”

Khathib hendaknya memperbanyak doa:

 

“Ya Allah Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan jagalah kami dari siksa neraka.”

Para hadirin hendaknya mengamini doa khathib jika khathib berdoa dengan suara keras dan mereka hendaknya berdoa sendiri jika khathib berdoa dengan suara pelan. Saat berdoa untuk menolak bala, hendaknya punggung tangan diarahkan ke langit.

Setelah selesai berdoa, khathib hendaknya menghadap ke arah hadirin dan mendorong mereka untuk taat kepada Allah. Khathib hendaknya membaca shalawat dan salam kepada Nabi saw dan menutup khutbah dengan ucapan:

 

“Aku memohon ampunan kepada Allah untukku dan untuk kalian.”

Masing-masing orang hendaknya meminta syafa’at dengan amal salehnya dan menjadikan orang saleh sebagai tawasul, khususnya para habaib, cucu Nabi saw.

Setiap orang sunat mandi karena shalat id, meskipun dia tidak ingin hadir, baik dia merdeka atau budak, baik dia baligh atau anakanak, kecuali pada hari itu berhias disunatkan bagi tiap orang dan mandi termasuk berhias. Waktu mandi ini masuk pada tengah malam dan habis waktunya pada saat tenggelamnya matahari. Demikian juga sunat mandi karena gerhana matahari dan rembulan dan karena istisqa’. Waktu mandi gerhana masuk pada permulaan gerhana dan habis waktunya saat matahari rembulan kembali seperti sedia kala. Waktu mandi istisqa” masuk dengan keinginan untuk shalat bagi yang shalat sendirian. Bagi orang yang ingin shalat istisqa” jama’ah, waktu mandinya masuk pada saat dia ingin berkumpul dengan orang-orang untuk shalat dan waktunya habis dengan selesainya shalat. Sunat mandi pada banjir setelah shalat istisqa’. Yang terbaik adalah mandi dan wudlu, lalu mandi saja, lalu wudlu saja.

 

 

Kurban adalah hewan ternak yang disembelih untuk beribadah kepada Allah sejak hari raya sampai akhir hari Tasyrik. Akikah adalah hewan ternak yang disembelih untuk anak yang lahir saat rambutnya dicukur.

Berkurban hukumnya sunat muakad kifayah jika anggota keluarga banyak. Jika salah satu dari mereka berkurban, maka perintah telah gugur dari yang lain, namun yang tidak berbuat maka tidak memperoleh pahala. Kurban sunat dilakukan di manapun, di kota, di desa, di hutan dan di perjalanan. Haji dan lainnya sunat melakukan kurban, namun perintah kurban sangat kuat bagi jama’ah haji di Mina.

Kurban tidak wajib, kecuali karena dinazari, misalnya berkata: “Saya bernazar untuk mengurbankan hewan ini.” Atau berkata: “Jika saya memiliki kambing, saya mengurbankannya.” Waktu kurban tiba saat terbitnya matahari pada hari raya idul adha dan sudah lewat waktu untuk shalat id serta dua khutbah. Waktunya berakhir pada terbenamnya matahari pada akhir hari Tasyrik. Jika seseorang menyembelih kurban sebelum masuk waktunya, maka tidak menjadi kurban. Demikian juga orang yang menyembelih kurban setelah habis waktunya, kecuali orang yang bernazar kurban khusus, lalu dia menentukan hewannya dan waktu penyembelihan kurban habis. Maka dia harus menyembelihnya, meskipun waktunya habis dan statusnya gadia. Haram mengakhirkan penyembelihan kurban yang wajib dari waktu tersebut jika tanpa alasan.

Tidak sah berkurban, kecuali dengan hewan ternak, yaitu unta, sapi (termasuk kerbau) dan kambing. Tidak sah berkurban dengan selain keempat hewan tersebut, kecuali dengan hewan yang terlahir dari dua ternak, misalnya kambing dengan sapi. Hewan ini hanya cukup untuk kurban satu orang, meskipun bentuknya sapi.

Kurban terbaik untuk seorang adalah unta, lalu sapi, lalu kambing. Tujuh ekor kambing lebih baik daripada seckor unta dan seekor sapi, sebab daging kambing lebih enak, di samping banyak darah yang dialirkan. Kambing domba lebih baik daripada kambing Jawa, sebab lebih banyak dagingnya. Sendirian berkurban kambing lebih baik daripada bersekutu dalam unta atau sapi. Sapi dan unta bisa untuk kurban tujuh orang dan kambing hanya cukup untuk seorang. Namun jika seseorang menyembelih kambing atas nama dirinya dan keluarganya atau orang lain, maka sah kurbannya.

Sah berkurban dengan ternak jantan maupun betina, kecuali betina yang hamil, sebagaimana dikatakan mayoritas ulama. Namun Ibnu Rif ah berbeda pendapat dan mengatakan, bahwa ternak yang hamil sah untuk kurban. Al Hishni berkata dalam Kifayah Al Akhyar: “Sebaiknya masalah ternak hamil dirinci. Jika gemuk, maka sah untuk kurban. Jika kurus, maka tidak sah.” Hewan yang akan hampir melahirkan sama dengan hewan yang hamil.

Hewan ternak jantan lebih baik untuk kurban, sebab dagingnya lebih enak, sebagaimana dikatakan Ar Rafi’i. Namun jika sering menjantani, maka ternak betina yang belum melahirkan lebih baik.

Unta yang sah untuk kurban adalah yang berumur lima tahun dan memasuki tahun keenam. Namun jika seseorang berkata: “Saya jadikan anak unta sapihan ini sebagai kurban”, maka harus disembelih seketika, sebagaimana dikatakan Muhammad bin Al Mishri dalam Syarah Al Ghayah. Sapi yang sah untuk kurban adalah yang telah berumur dua tahun tepat dan memasuki tahun ketiga. Kambing domba yang sah untuk kurban adalah yang berumur setahun atau gigi-gigi depannya atau satu giginya telah rontok dengan syarat rontok itu setelah enam bulan, Termak berikut tidak sah dijadikan kurban:

Pertama, ternak yang berpenyakit gatal, meskipun sedikit menurut pendapat kuat yang dikatakan Imam Syafi’i, sebab penyakit ini merusak daging. Imam Haramain, Al Ghazali dan Ar Rafi’i berpendapat, bahwa ternak gatal sah dijadikan kurban, kecuali jika gatalnya banyak.

Kedua, ternak yang kurus, sehingga dagingnya tidak menarik bagi orang yang berduit.

Ketiga, ternak yang pincang. Namun jika pincangnya sedikit, sehingga tidak sampai tertinggal dari hewan lain, maka tidak apa-apa.

Keempat, ternak yang buta satu matanya.

Kelima, ternak yang berpenyakit jelas, sehingga menyebabkan kurus dan rusak dagingnya. Ada pendapat, bahwa penyakit sama tidak masalah, namun ada pendapat sebaliknya, bahwa penyakit secara mutlak tidak mengesahkan kurban.

Keenam, hewan yang sebagian juznya terpisah dan juz itu bisa dimakan, misalnya telinga, ekor, pantat. Kecuali hewan yang dikebiri, sebab pengebirian justru membuat daging enak dan banyak, sebagaimana disebutkan dalam Syarah Al Ghayah.

Sah berkurban dengan ternak yang sejak lahir tidak punya ekor atau ambing atau pantat. Sah berkurban dengan ternak yang telinganya kecil, ternak yang kedua tanduknya pecah mulai pangkalnya, ternak yang salah satu tanduknya pecah, ternak yang sejak lahir tidak punya tanduk dan ternak yang sebagian tanduknya hilang. Ulama berbeda pendapat mengenai ternak yang tidak punya gigi sama sekali. Ada yang mengesahkannya dan ada yang tidak mengesahkannya dan ini didukung oleh An Nawawi. Sebagian ulama merinci masalah ini: jika disebabkan penyakit dan daging berkurang, tidak sah untuk kurban dan jika tidak sah untuk kurban. Al Baghawi berkata: “Ini lebih baik.” Demikian dalam Kifayah Al Akhyar.

Haram memakan hewan kurban yang wajib, baik nazar mujazah atau nazar mutlak dan harus menyedekahkannya secara keseluruhan, termasuk kulitnya dan tanduknya, Orang yang berkurban tidak boleh memakan apapun darinnya sama sekali dan demikian juga orang yang wajib dia nafkahi, Jika dia memakan sebagian, muka harug menggantinya. Yang diganti adalah harga sesuatu yang diu makan menurut pendapat yang rajih yang ditegaskan Imam Syafi’i.

Orang yang berkurban sunat memakan sebagian kurban jika dia berkurban atas nama dirinya sendiri. Jika dia berkurban atas nama orang mati, maka tidak boleh memakannya sama sekali. Yang terbaik adalah memakan jantungnya, namun tidak lebih dari tiga suap, sebab Nabi berbuat demikian. Dia harus menyedekahkan sebagian dari kurban sunat dalam keadaan mentah dan segar, tidak sah jika sudah dimasak dan sudah didendeng. Tidak sah menjadikan daging sebagai makanan dan mengundang orang fakir ke rumah orang yang berkurban, Boleh memberikan kurban hanya kepada satu orang fukir asal muslim dan merdeka. Haram memakan scluruh hewan kurban dan haram menjual sebagiannya, termasuk kulitnya dan haram menjadikannya sebagai upah jagal, meski kurban sunat. Orang yang berkurban harus menyedekahkan kulitnya atau dibuat sandal atau timba atau lainnya. Tidak boleh menyewakan kulit kurban, sebab kurban adalah ibadah.

Yang terbaik adalah menyedekahkan seluruh kurban, sebab lebih jauh dari hawa nafsu, kecuali beberapa suap untuk tabaruk. Imam Haraiamn dan muridnya Al Ghazali berkata: “Bagaimanapun juga, yang terbaik adalah menyedekahkan seluruhnya.” Jika tidak menyedekahkan seluruhnya, maka makanlah setengah dan sedekahkan setengah, sebab Allah berfirman:

 

“Maka makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (QS. Al Hajj: 28)

Imam Syafi’i mencgaskan hal ini dalam pendapat qadim. Atau menyedekah sepertiga, menghadiahkan sepertiga dan memakan sepertiga, sebab Allah berfirman:

 

“Maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.” (QS. Al Hajj: 36)

Dalam ayat ini, Allah menjadikan kurban menjadi tiga bagian. Yang dimaksudkan adalah memakan sepertiga atau kurang, menyedekahkan lebih dari sepertiga dan selebihnya dihadiahkan. Inilah pendapat jadid yang kuat. Yang dimaksudkan menghadiahkan adalah memberikan sepertiga kurban kepada orang fakir yang tidak menampakkan melaratnya dan inilah yang diriwayatkan Abu Thayyib dari pendapat jadid. Pendapat lain, menghadiahkan adalah memberikannya kepada orang-orang kaya (mampu).

Saat menyembelih kurban sunat melakukan hal-hal berikut ini:

  1. Lelaki menyembelih hewan kurban sendiri dan orang yang tidak menyembelih sendiri menghadiri penyembelihan, baik lelaki maupun wanita.
  2. Membaca Basmalah.
  3. Bertakbir sebanyak tiga kali, baik sebelum maupun sesudah Basmalah.
  4. Membaca shalawat dan salam kepada Nabi saw. Tidak membaca Basmalah dan shalawat Nabi hukumnya makruh.

Saat menyembelih atau sebelumnya, harus berniat kurban. Penyembelihan dan niat kurban boleh diwakilkan kepada muslim yang sudah tamyiz.

Tempat penyembelihan adalah daerah orang yang berkurban, Jika dipindahkan dari daerah itu, maka ada dua pendapat sebagaimana memindahkan zakat. Namun yang benar dalam kurban adalah boleh memindahkannya dari daerah orang yang kurban. Demikian disebutkan dalam Kifayah Al Akhyar.

Yang terbaik adalah tidak menyebutnya akikah, namun menyebutnya dzabihah atau nasikah. Akikah menurut bahasa berarti rambut yang ada di kepala anak yang dilahirkan dan menurut istilah fikih, akikah adalah hewan yang disembelih saat rambut anak itu dipotong.

Menyembelih akikah sunat muakad dan dasarnya adalah sabda Nabi saw:

 

“Anak digadaikan dengan akikahnya. Akikah disembelih atas namanya pada hari ketujuhnya, kepalanya dicukur dan diberi nama.” (HR. Tirmidzi)

Makna hadis di atas sebagaimana dikatakan Imam Ahmad dan sekelompok ulama adalah jika anak tidak diakikahi, dia tidak bisa memberi syafa’at kepada para orang tuanya pada hari kiamat. Yakni dia tidak diperkenankan untuk memberikan syafa’at, meskipun bisa karena masih mati kecil atau mati besar dan saleh. Para orang tuanya yang dimaksudkan mencakup ayah, ibu, kakek dan nenek, baik dari arah ayah maupun ibu.

Waktu menyembelih akikah masuk dengan lahirnya anak. Jika disembelih sebelumnya, maka tidak menjadi akikah dan hanya makan besar. Akikah sunat untuk anak yang mati setelah ruh ditiupkan padanya. Yang terbaik adalah menyembelih akikah pada hari ketujuh dari kelahirannya, meskipun kepalanya tidak dicukur.

Hewan yang digunakan untuk akikah harus hewan yang bisa digunakan untuk berkurban. Hukum akikah dan kurban sama, namun berbeda dalam sedikit hal. Jika akikah nazar, maka menurut Az Zarkasyi harus disedekahkan seluruhnya dalam keadaan mentah. Jika akikah sunat, maka sunat dimasak manis dengan harapan si anak juga manis. Sunat memberikan kaki akikah kanan kepada dukun bayi.

Minimal akikah adalah seekor kambing untuk tiap anak. Jika anak banyak, maka akikah juga banyak. Seekor kambing atau sepertujuh unta atau sapi cukup untuk satu anak lelaki, sebab Nabi saw mengakikahi Hasan dan Husain masing-masing dengan seekor kambing. Yang paling utama adalah dua ekor kambing untuk anak lelaki dan seekor kambing untuk anak wanita, sebab Aisyah ra berkata: “Nabi saw memerintah kami untuk akikah dua kambing yang sepadan untuk anak lelaki dan akikah satu kambing untuk anak wanita.” (HR. Tirmidzi). Anak waria disamakan dengan anak lelaki, namun Al Asnawi berkata: “Waria disamakan dengan anak wanita.”

Akikah hendaknya dimasak dengan manis dengan manisnya akhlak anak dan makruh memasaknya dengan asin. Tulang akikah Jangan dipecah dan setiap tulang dipotong dari sendinya. Jika tulang dipecah, tidak makruh namun khilaful aula. Tak apa-apa memecah tulang akikah jika anak yang diakikahkan telah meninggal dunia. Mengirimkan akikah yang telah dimasak dikirimkan bersama kuahnya kepada fakir miskin lebih baik daripada mengundang mereka. Jika mereka diundang, tidak apa-apa.

Yang dibebani akikah adalah orang yang berkewajiban menafkahi anak jika dia mampu akikah sebelum lewat enam puluh hari sejak kelahiran. Perintah ini terus berlaku, sampai anak akil baligh. Namun Jika orang tersebut tidak mampu, kecuali setelah lewat enam puluh hari, maka dia tidak diperintah akikah lagi. Jika dia menyembelih akikah, maka tidak menjadi akikah. Akikah harus dibiayai oleh orang tersebut dan tidak boleh diambil dari yang anaknya, meskipun anaknya kaya.

Jika anak sudah baligh dan belum diakikahi, maka dia sunat akikah untuk dirinya sendiri. Ibu zina sunat akikah untuk anaknya, namun tidak perlu diperlihatkan. Anak yang berstatus budak tidak usah diakikahi menurut Ar Ramli, namun Ibnu Hajar berkata: “Anak budak diakikahi oleh orang tuanya yang merdeka.” Baik ayah maupun kakek.

Sunat mengumandangkan adzan di telinga anak kanan dan mengumandangkan komat pada telinganya yang kiri. Antara adzan dan komat hendaknya membaca surat Al Ikhlas. Jika yang melakukannya wanita, maka tetap sah, sebab tujuannya adalah zikir. Hendaknya orang saleh menggosokkan benda manis ke langit-langit anak, seperti kurma. Kurma basah lebih didahulukan daripada kurma kering. Caranya orang tersebut mengunyah kurma, lalu menggosokkannya ke langit-langit mulut anak, lalu sebagian dari kurma turun ke dalam perutnya.

Hendaknya rambut anak yang dilahirkan meski wanita dicukur dan orang tuanya bersedekah emas atau perak seberat rambutnya, sebab Nabi saw memerintah Fathimah:

 

“Timbanglah rambut Hasan dan Husain dan sedekahlah perak seberat rambut itu dan berikan dua kaki akikah kepada dukun bayi.” (HR. Hakim)

Hendaknya anak yang dilahirkan diberi nama yang bagus. Yang terbaik mencukur, sedekah dan memberi nama dilaksanakan pada hari ketujuh. Pemberian nama hendaknya sebelum menyembelih. Yang memberikan nama adalah yang berkuasa, yaitu bapak atau kakek. Jika yang memberi nama selain keduanya, maka tidak diterima. Jika anak mati atau keguguran dan sudah mencapai usia penjupan ruh, sedang jenis kelaminnya tidak diketahui, maka diberi nama yang bisa untuk lelaki wanita, misalnya Thalhah. Orang yang belum dicukur rambutnya dan belum diakikahi, sebaiknya dicukur rambutnya meski setelah dia baligh asal rambut kelahiran masih ada dan menyedekahkan emas seberat rambutnya pada hari ketujuh jika tahu. Jika tidak, maka menyedekahkan emas sebanyak-banyaknya, sebagaimana dikatakan Az Zarkasyi.

 

Nama

Nama terbaik adalah Muhammad dan Ahmad, lalu Abdullah, lalu Abdur Rahman, sebab Nabi saw bersabda:

 

“Nama terbaik adalah yang diawali dengan Abdullah atau Muhammad.”

Nama Malikul Muluk (Raja Diraja), Qadhil Qudhat (Hakimnya para hakim) dan Abdun Nabi (budak nabi) adalah haram. Az Ziyadi berkata: “Pendapat yang kuat adalah nama Malikul Muluk, Hakimul Hukkam dan Aqdhal Qudhat makruh.”

            Makruh memberi nama dengan nama-nama buruk, misalnya Syihab (obor), Murrah (pahit), Harb (perang), Himar (keledai) dan sejenisnya. Sangat makruh memberi nama dengan nama yang sebaliknya menjadikan ramalan buruk, seperti Nafi” (memberi manfaat), Barakah (berkah), Najih (sukses), Sitti Nisa’ (pemimpin kaum wanita), Sayyidun Nas (pemimpin umat manusia) dan Savyidul Ulama (pemimpin ulama), sebab maknanya sangat berdusta, sebagaimana dikatakan Az Ziyadi.

Tidak makruh memberi nama dengan nama malaikat dan nabi. Haram memberi julukan seseorang dengan julukan yang dia benci, meskipun ada pada dirinya, seperti Al A’masy (orang yang kabur penglihatannya). Sunat memberikan ucapan selamat atas lahirnya anak dengan mengucapkan: “Semoga Allah memberkahi anak yang diberikan padamu dan semoga dia menjadi anak yang berbakti.” Yang diberi ucapan selamat sunat membalas: “Semoga Allah meberkatimu” atau ucapan sejenis. Demikian disebutkan dalam Nihayah Al Amal.

Nazar menurut istilah adalah merealisasikan sesuatu yang belum pasti dengan nama khusus, sedangkan menurut syarat adalah menyanggupi ibadah yang tidak fardlu ain, meskipun fardlu kifayah seperti shalat jenazah.

Sumpah dan nazar tidak sah dilakukan, kecuali oleh orang yang baligh, berakal sehat dan berkehendak sendiri. Keduanya dianggap sah jika diucapkan dan didengar oleh diri sendiri.

Sumpah tidak sah, kecuali dengan kata Allah atau nama-nama Allah lainnya atau sifat. Misalnya ucapan: “Demi Allah” atau: “Demi Tuhan semesta alam” atau: “Demi Maha Hidup yang tak akan mati” atau: “Demi kuasa Allah.”

Bersumpah demi makhluk, seperti Nabi dan Ka’bah adalah haram dan orang yang bersumpah kafir jika bermaksud mengagungkan makhluk itu seperti mengagungkan Allah. Jika tidak bermaksud demikian, maka hanya makruh saja. Bersumpah demi makhluk tidak Jadi, sehingga tidak ada kifarat kalau dilanggar. Jika seseorang berkata: “Apabila aku berbuat anu, maka aku Yahudi atau Nasrani atau keluar dari Islam”, maka bukan sumpah, meskipun bermaksud sumpah dan dia tidak kafir jika bermaksud menjauhkan diri dari perbuatan tersebut, Namun dia sunat membaca syahadat dan meminta ampun kepada Allah. Dia harus bertaubat, sebab perbuatannya dosa.

Sebaiknya seseorang menjauhkan dirinya dari sumpah, meskipun dia benar, seperti kata Imam Syafi’i: “Aku tidak pernah bersumpah, baik jujur maupun dusta.” Jika dia bersumpah tidak melakukan fardlu, misalnya shalat lima waktu atau bersumpah melakukan haram, seperti memutuskan hubungan kekeluargaan, maka dia durhaka, dia harus melanggar sumpahnya dan harus membayar kifarat. Sebagaimana diriwayatkan bahwa scorang lelaki berkata kepada Umar: “Saya bernayar, jika saya berbicara dengan saudaraku, maka saya menempatkan hartaku di pintu Ka’bah.” Umar berkata: “Ka bah tidak membutuhkan hartamu. Bicaralah dengan sauadarmu dan bayarlah kifarat sumpahmu!”

Apabila seseorang bersumpah tidak melakukan sunat seperti membantu sesama muslim atau melakukan makruh, seperti menghisap rokok, maka dia sunat melanggar sumpahnya dan membayar kifarat. Jika dia bersumpah untuk tidak melakukan makruh atau melakukan sunat, maka dia makruh melanggar sumpahnya. Jika dia bersumpah tidak melakukan atau melakukan hal yang mubah, seperti memakan makanan, memakai pakaian dan masuk rumah, maka yang terbaik dia tidak melanggar sumpahnya. Hukum sumpah ini adalah makruh dan memang demikianlah hukum asal sumpah. Kadang sumpah hukumnya sunat dan kadang haram.

Kifarat sumpah adalah memerdekakan hamba sahaya yang mukmin dan bersih dari cacat yang mengganggu pekerjaan. Atau memberi makan sepuluh orang miskin, masing-masing orang miskin satu mud makanan pokok daerah setempat. Menurut Abu Hanifah, boleh memberikan makanan untuk sepuluh orang miskin kepada seorang miskin selama sepuluh hari. Atau memberi pakaian mereka. Orang yang membayar kifarat boleh memilih salah satu dari ketiga hal di atas, namun yang terbaik adalah memerdekakan budak, meskipun saat paceklik. Lain halnya menurut pendapat Ibnu Abdus Salam yang mengatakan, bahwa memberikan makanan pokok adalah yang paling utama.

Apabila pelanggar sumpah tidak mampu, maka dia harus berpuasa tiga hari. Jika dia kafir, maka tidak boleh berpuasa, sebab dia tidak berhak beribadah dan dia harus membayar kifarat dengan uang. Demikian disebutkan dalam Kifayah Al Akhyar.

 

Pembagian nazar

Rukun nazar ada tiga, yaitu ucapan, sesuatu yang dinazari dan orang yang nazar. Syarat orang yang nazar adalah Islam, berkehendak, bebas berbuat dan mungkin untuk menunaikan nazar. Nazar tabarur merupakan ibadah dan nazar lainnya hukumnya makruh. Tidak sahnya nazar kafir hanya untuk nazar tabarur.

 

Nazar ada dua macam.

Pertama, nazar tabarur. Nazar ini ada dua macam, yaitu munajjaz dan muallaq.

Munajjaz adalah seseorang menyanggupi ibadah tanpa menggantungkannya dengan sesuatu. Muallag adalah menggantung nazar pada sesuatu yang diinginkan. Munajjaz misalnya ucapan: “Saya bernazar shalat atau puasa atau memerdekakan budak karena Allah.” Dalam redaksi nazar harus ada kata Allah. Orang yang bernazar harus memenuhi nazarnya seketika, namun Tsa’lab berkata: “Nazar munajjaz tidak sah dan tidak ada tanggung jawab sama sekali baginya.”

Muallaq ada dua.

  1. Nazar yang digantungkan pada tercapainya nikmat atau terhalaunya musibah tanpa disertai marah. Misalnya ucapan: “Jika Allah menyembuhkan aku atau menyelamatkan aku dari anu, maka saya nazar sedekah.” Jika hal yang dikatakan terjadi, maka dia harus menunaikan nazarnya seketika.

Kedua, nazar lajaj. Nazar ini hanya satu macam, yaitu nazar yang digantungkan pada tercapainya nikmat atau terhalaunya nikmat disertai marah Misalnya ucapan: “Jika aku masuk rumah atau jika aku tidak berbicara dengan Zaid, maka saya nazar puasa sebulan” misalnya. Jika hal yang dikatakan terjadi, maka dia harus menunaikan nazarnya atau kifarat sumpah. Menurut pendapat Imam Nawawi, orang yang nazar boleh memilih satu dari keduanya dan menurut Imam Rafi’i orang itu harus membayar kifarat sumpah, sebagaimana dikatakan Ar Rasyidi. Jika yang dikatakan bukan ibadah, misalnya ucapan: “Jika aku berbicara dengan Zaid, maka saya tidak akan makan roti”, maka orang itu harus membayar kifarat sumpah dengan sepakat.

Tidak sah nazar haram, misalnya membunuh orang tanpa hak, misalnya berkata: “Saya nazar untuk membunuh Fulan.” Lain halnya jika dia berkata: “Apabila aku membunuh Fulan, maka saya nazar memerdekakan hamba sahaya”, sebab nazar ini lajaj, apalagi jika pembunuhan itu ibadah, yakni yang dibunuh kafir harbi. Maka dia harus memenuhi nazarnya. Termasuk nazar haram adalah nazar berpuasa dua hari raya, misalnya berkata: “Saya bernazar puasa hari raya idul fitri atau hari raya idul adha.”

Nazar hal yang makruh juga tidak sah, misalnya nazar shalat di kubur, shalat di kamar mandi dan nazar untuk salah satu orang atau atau salah satu anak. Nazar hal yang mubah, seperti makan dan memakai pakaian juga tidak sah, seperti ucapan: “Saya nazar untuk memakan daging atau memakai sandal atau tidur waktu gailulah.” Demikian juga nafi, misalnya ucapan: “Saya nazar untuk tidak minum air susu.” Baik tidur dengan maksud menguatkan ibadah dan menyemangatkan tahajud. Pahalanya ada pada niatnya, bukan pada perbuatannya. Jika dilanggar, nazar mubah tidak ada kifaratnya.

Apabila seseorang nazar melakukan ibadah kepada Allah yang tidak duanya di seluruh dunia, maka dia bisa memilih satu dari tiga hal: thawaf di Ka’bah sendirian, shalat di dalam Ka’bah sendirian dan menjadi presiden, sebab dengan menjadi kepala neraga dia sendirian mengurusi kemaslahatan umat manusia.

Ziarah Nabi Muhammad saw adalah sunat muakad bagi setiap orang, termasuk bagi kaum wanita dengan ijmak ulama. Allah berfirman:

 

“Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nisa”: 64)

Rasul memohonkan ampun tidak terputus oleh kematian beliau.

Ziarah sangat dianjurkan bagi jama’ah haji, sebab Nabi saw bersabda:

 

“Barangsiapa haji dan tidak ziarah aku, maka dia sungguh kasar kepadaku.”

Ziarah Nabi termasuk ibadah paling agung, sebab Nabi bersabda:

 

“Barangsiapa ziarah aku, maka pasti syafa ‘atku baginya.”

Hal itu berarti peziarah diberi syafa’at yang tidak diberikan kepada orang lain, baik berupa tambahnya nikmat atau ringannya prahara kiamat atau peziarah termasuk orang yang tidak dihisab atau hal lainnya. Syafa’at tersebut dinisbatkan kepada Nabi, berarti syafa’at Itu agung karena agungnya pemberi syafa’at. Hadis di atas merupakan berita gembira, bahwa peziarah Nabi mati mukmin dan muslim.

Karena itu, tidak ziarah kepada Nabi jika mampu adalah kerugian Yang besar dan pelakunya tidak memperoleh kebaikan yang banyak. Mengingkari ziarah kepada Nabi adalah kesesatan besar yang nyata. Yang terbaik bagi jama’ah haji adalah ziarah Nabi dahulu jika waktunya luas agar ziarah menjadi perantara hajinya mabrur. Mereka sunat menziarahi masjid-masjid Nabi yang ada di jalan mereka, seperti masjid Badar, masjid Khulaish di dekat Agabah dan masjid di Saraf yang di dekatnya ada kubur Umul Mukminin Maimunah. Juga sunat menziarahi para syahid Badar dan lainnya.

Orang yang menuju Madinah, khususnya yang ingin ziarah Nabi, di jalannya sunat untuk memperbanyak shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad saw. Jika melihat tanah suci Madinah, pepohonannya dan kebun-kebunya sunat menambah banyak shalawat salam, sebab besar pahalanya. Sunat mengeraskan shalawat salam dan menambah kerinduan kepada Nabi serta mengucapkan:

 

“Ya Allah, ini tanah suci Rasul-Mu, maka jadikanlah ia penjaga bagiku dari neraka, keamanan dari siksa dan dari buruknya hisab. Ya Allah, bukalah untukku pintu-pintu rahmat-Mu dan berilah aku dari ziarah Rasul-Mu apa yang Engkau berikan kepada para waliMu dan ahli taat-Mu. Ampunilah aku dan rahmatilah aku, wahai Harapan terbaik.”

Peziarah Nabi hendaknya bersesuci dan yang terbaik adalah mandi saat sampai Madinah sebelum masuk. Jika tidak bisa, maka setelah masuk Madinah sebelum masuk masjid Nabawi. Hendaknya memakai pakaian paling bersih dan memakai wewangian seperti akan Shalat Jum’at. Pakaian putih lebih utama daripada lainnya. Hendaknya memberikan sedekah meskipun sedikit kepada penduduk Madinah, lalu masuk Madinah sambil berkata:

 

“Dengan nama Allah. Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.”

Hendaknya berjalan ke Masjid Nabawi dengan tenang dan berwibawa sambil membayangkan, bahwa dia meletakkan telapak kaki di atas tempat telapak kaki Nabi Muhammad saw. Hendaknya masuk Masjid Nabawi lewat pintu Jibril as sambil berkata:

 

“Aku berlindung kepada Allah Yang Agung dan Zat-Nya yang mulia serta kekuasaan-Nya yang dulu dari setan yang terkutuk. Dengan nama Allah dan segala puji bagi Allah. Ya Allah, bershalawatlah kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad dan bersalamlah. Ya Allah, ampunilah bagiku dosa-dosaku dan bukalah untukku pintu-pintu rahmat-Mu.”

Saat keluar, ucapkan kalimat tersebut, hanya saja bagian akhir gantilah dengan:

 

“Dan bukalah pintu-pintu anugerah-Mu.”

Hal tersebut disunatkan pada tiap masjid, kaki kanan didahulukan saat masuk dan kaki kiri didahulukan saat keluar.

Setelah masuk Masjid Nabawi, hendaknya menuju Raudhah, yaitu antara kubur yang mulia dan mimbar dan hendaknya shalat tahiyat masjid di Raudhah, baik di tempat berdiri Rasulullah atau lainnya. Yang terbaik adalah shalat di tempat shalat Nabi saw. Jika tidak bisa, hendaknya di dekatnya arah mimbar. Setelah selesai shalat tahiyat masjid, hendaknya memuji Allah atas nikmat yang Allah berikan kepadanya dan meminta kepada-Nya agar ziarah ini diterima Allah. Berdoalah sesuai keinginan, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang terkasih, baik orang tua, guru, kerabat maupun sesama muslim.

Kemudian hendaknya berdiri di hadapan Nabi Muhammad saw dan membelakangi kiblat, menghadap wajah beliau, berdiri kira-kira tiga hasta dari tembok kubur beliau dengan khusyu’, merendahkan diri, sopan dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri seperti dalam shalat. Kosongkan hati dari hubungan duniawi sambil menghadirkan dalam hati, betapa agungnya Nabi Muhammad yang ada di hadapannya dan bahwa Nabi tahu dia, tahu kehadirannya dan berdirinya serta salamnya kepada beliau. Nabi mendengar salammu dan tahu berdirimu di hadapannya. Pandanglah tanah di bawahmu dengan memejamkan mata sambil mengagungkan dan memuliakan Nabi.

Ucapkan salam kepada makhluk terbaik itu dengan suara yang terdengar orang di sebelahmu, namun jangan sampai mengganggu. Pelankan suara dan tenangkan anggota badan serta hadirkan hati. Minimal salam kepada beliau adalah: “ Assalamu’alaikum, wahai Rasulullah saw.” Jika ingin panjang lebar, ucapkan: “Assalamu’alaikum, ya Rasulullah. Salam untukmu, ya Nabi Allah. Salam untukmu ya Kekasih Allah. Salam untukmu, wahai Pilihan Allah. Salam untukmu, wahai Junjungan para rasul yang suci dan bersih. Salam untukmu dan untuk istri-istrimu yang suci, ibu kaum muslimin. Salam untukmu dan untuk seluruh sahabatmu. Salam untukmu dan untuk para nabi dan rasul serta hamba-hamba Allah saleh lainnya. Salam untukmu, wahai Nabi Allah, rahmat dan berkah Allah. Semoga Allah membalasmu atas nama kami ya Rasulullah dengan balasan terbaik yang Dia berikan kepada nabi dan rasul atas nama umatnya.”

As Subki berkata: “Yang diriwayatkan dari ulama salaf mengenai salam kepada Nabi saw adalah sangat singkat. Imam Malik berkata saat salam: “Salam, rahmat dan berkah Allah untukmu, wahai Nabi.” Jika seseorang berpesan untuk salam kepada Nabi, ucapkan: “Salam untukmu ya Rasulullah dari Fulan bin Fulan” atau redaksi seperti ini.

Kemudian mundurlah ke arah kanan kira-kira sehasta untuk mengucapkan salam kepada Abu Bakar, sebab kepala Abu Bakar di dekat pundak Nabi saw. Ucapkan salam kepadanya dengan redaksi: “Salam untukmu, wahai Khalifah Rasulullah saw, orang pilihannya dan temannya di dalam Gua. Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan atas nama umat Muhammad.”

Kemudian mundurlah ke arah kanan kira-kira sehasta untuk mengucapkan salam kepada Umar bin Khathab Al Faruq, sebab kepala Umar di dekat pundak Abu Bakar. Ucapkan salam kepadanya dengan redaksi: “Assalamu’alaikum, wahai Amirul Mukminin Umar Faruq, Orang yang menjayakan Islam. Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan atas nama umat Muhammad.”

Kemudian kembalilah ke posisi semula di hadapan Nabi saw, tawassullah untuk diri sendiri dan mintalah syafa’at kepadanya. Kemudian pindahlah ke posisi kepala Nabi dan menghadap kiblat sambil berdiri di dekat tiang yang merupakan tanda posisi kepala beliau, sehingga anda berposisi di antara kubur dan tiang. Pujilah Allah dan agungkanlah Dia dan berdoalah hal yang anda inginkan untuk dirimu dan orang lain. Setelah itu, berjalanlah ke Raudhah dan di sana perbanyaklah zikir dan doa, khususnya shalawat dan salam kepada Nabi saw.

Sebaiknya selalu bersikap santun dan tata krama selama berada di Madinah dan melakukan i’tikaf di masjid Nabi saw setiap kali masuk. Lakukan shalat di masjid mulia itu dengan jama’ah dan hendaknya memperbanyak puasa, sedekah, membaca Al-Qur’an dan ibadah lainnya. Perhatikanlah hal tersebut, sebab mukim di Madinah termasuk kesempatan emas sepanjang masa. Hendaknya kesempatan itu anda gunakan sebaik-baiknya dan curahkan seluruh waktu untuk melakukan perbuatan penting dan jangan biarkan kesempatan itu sia-sia belaka.

Selama mukim di Madinah, hendaknya anda setiap hari berziarah ke kubur Baqi’ setelah mengucapkan salam kepada Nabi saw, khususnya hari Jum’at. Setelah tiba di kubur Baqi’, ucapkan: “Assalamu’alaikum wahai negeri orang-orang mukmin. Sungguh kami akan menyusul kalian. Ya Allah, ampuni orang-orang yang dikubur ini Bagi’ ini.” Sebaiknya anda menuju kubur-kubur terkenal dan yang terbaik anda pertama kali menuju kubur Utsman bin Affan, sebab dia orang paling mulia di Baqi’. Sebagian ulama berpendapat, pertama kali menziarahi kubur Ibrahim putra Nabi saw.

Masukilah kubur Utsman dan ucapkan salam: “Assalamu’alaikum, wahai Amirul Mukminin Utsman, wahai pengumpul Al-qur’an, wahai menantu Rasulullah dua kali, wahai orang yang membiayai pasukan perang Usrah, wahai orang yang membeli sumur Maudah dan mewakafkannya untuk kaum muslimin. Ya Allah, kami bersaksi bahwa dia khalifah kebenaran dan imam yang adil. Dia terbunuh sebagai syahid dan teraniaya di rumahnya. Maka tempatkanlah dia ya Allah pada tempat hamba-hamba yang berbakti dan bangkitkanlah kami pada kelompok Muhammad saw dan kelompok Utsman.” Setelah itu, berdoalah sesuai keinginan.

Kemudian masuklah ke kubur Abbas ra dan ucapkan: “Assalamu’alaikum wahai Abu Fadhl Abbas, Pakde Nabi saw, wahai orang yang menjadi tawasul penduduk Madinah untuk memperoleh air hujan.” Kemudian berdoalah sesuai keinginan. Di dalam kubah Abbas, terdapat kubur Fathimah binti Rasulullah, Hasan bin Ali, Ali Zainal Abidin bin Husain, putranya Muhammad AI Baqir dan putranya Ja’far Ash Shadiq. Konon kepala Husain dimakamkan di Ba1i” di dekat kubur Sang Ibu, Fathimah. Hendaknya ucapkanlah salam kepada mereka semuanya secara gelobal dan ucapkan: “Assalamu’alaikum, wahai Ahli Bait Nabi dan sumber risalah. Rahmat dan berkah semoga tercurah bagi kalian, wahai Ahli Bait. Sesungguhnya Allah Maha Terpuji dan Maha Agung. Allah hanya berkehendak menghilangkan kotoran dari kalian dan mensucikan kalian sesuci-sucinya .”

Ucapkan salam kepada masing-masing dari mereka dan ucapkan salam kepada Fathimah dengan ucapan: “Assalamu’alaikum wahai Ibunda Hasan Husain, wahai mutiara yang terjaga, wahai wanita bersinar yang rajin ibadah, wahai Putri Rasulullah saw.”

Ucapkan salam kepada Hasan dengan ucapan: “ Assalamu’alaikum wahai cucu Nabi Muhammad, wahai penyejuk pandangan Nabi pilihan, wahai Putra Pedang Allah yang terhnus, wahai cucu putra putri Rasulullah, wahai orang yang dengannya Allah mendamaikan kaum muslimin, wahai bapak para ulama.” Ucapkan salam ini kepada Husain.

Kemudian ucapkan salam kepada Zainal Abidin: “Assalamu’alaikum wahai imam ulama yang mengamalkan ilmunya, wahai keturunan kenabian, wahai orang yang mulia ayahnya.” Ucapkan salam kepada Muhammad Al Baqir: “Assalamu’alaikum wahai pemilik kemuliaan yang tinggi dan keagungan yang besar, wahai putra Zainal Abidin, wahai kebangaan ulama yang mengamalkan ilmunya. Assalamu’alaikum warahmatullahi wabaraktuh.”

Lalu ucapkan salam kepada Ja’ far Ash Shadiq: “Assalamu’alaikum wahai Ja far Ash Shadiq, wahai cahaya hidayah, wahai panutan dalam ilmu dan amal perbuatan, wahai cabang yang suci dan diri yang tinggi, Ya Allah, demi kemuliaan mereka pada-Mu, terimalah ziarah kami dan kasihanilah kehinaan kami.” Setelah itu, berdoalah sesuai keinginan.

Kemudian berjalanlah menuju kubur Ibrahim putri Nabi dan ucapkan: “Assalamu’alaikum wahai Tuanku Ibrahim, putra Rasulullah, wahai penyejuk mata Nabi, wahai manusia yang paling mulia ayahnya. Semoga Allah menggabungkan kami dengan kelompok Ayahmu dan kelompokmu.” Setelah itu, berdoalah sesuai keinginan. Pada kubah Ibrahim, terdapat kubur saudarinya Ruqayyah, kubur Utsman bin Madh’un dan kubur Fathimah binti Asad ibu Ali ra, kubur Abdur Rahman bin Auf, kubur Sa’d bin Abu Waggash, kubur Abdullah bin Mas’ud, kubur Hubaisy bin Hudzafah dan kubur Sa’d bin Zurarah. Demikian dikatakan Ibnu Hajar. Ucapkanlah salam kepada mereka dan berdoalah sesuai keinginan.

Setelah itu, berjalanlah menuju kubah Aqil bin Abdu Abdullah, di mana terdapat kubur Abdullah bin Ja’ far Ath Thayyar bin Abu Thalib. Berdirilah untuk keduanya dan ucapkan: “Assalamu’alaikum, wahai tuanku Agil bin Abu Thalib. Assalamu’alaikum wahai tuanku Abdullah bin Ja’far Ath Thayyar. Assalamu’alaikum wahai dua saudara sepupu Rasulullah. Ada riwayat, bahwa kubur Abdullah bin Ja’far termasuk tempat terkabulnya doa. Sebagian ulama menuturkan, bahwa Aqil bin Abu Thalib meninggal dunia di Syam dan kubur tersebut adalah kubur Abu Sufyan bin Harits, Pakde Nabi saw.

Pada kubah Aqil bin Abu Thalib terdapat kubur para istri Nabi. Berdirilah di dekat mereka dan ucapkan salam kepada mereka: “Assalamu’alaikum wahai para Ibu kaum muslimin, wahai wanitawanita mulia, wahai wanita-wanita yang memilih Allah dan Rasulullah atas harta benda yang hina.” Seluruh istri Nabi kuburnya di sana, kecuali Khadijah dan Maimunah. Khadijah kuburnya di Makah dan Maimunah kuburnya di Saraf.

Tutuplah ziarah anda dengan menzirahi kubur Shafiyyah binti Abdul Muthalib, saudara Hamzah dan Bude Nabi saw serta ibu Zubair bin Awwam ra. Berdirilah di dekatnya dan ucapkan: “Assalamu’alaikum wahai Shafiyyah binti Abdul Muthalib, wahai Bude Rasulullah, wahai saudara singa Allah Hamzah yang berperang melawan musuh di jalan Allah.

Setelah itu, hendaknya anda berziarah ke Uhud dan menziarai para syahid di sana. Yang terbaik adalah ziarah hari Kamis dan berangkat setelah subuh. Mulailah dengan pimpinan mereka, Hamzah Pakde Rasulullah. Ada pendapat, bahwa di kubur ini terdapat pula kubur keponakan Hamzah, Abdullah bin Jahsy. Di kubah ini hanya ada dua orang tersebut. Adapun kubur yang ada di dekat kepala Hamzah adalah kubur lelaki dari Turki yang mengurus kubah ini. Ketika berdiri di hadapan Hamzah, ucapkan: “Assalamu’alaikum wahai Pakde Rasulullah, wahai singa Allah dan singa Rasulullah, wahai orang yang berjuang demi Allah dengan sesungguhnya. Saya bersaksi bahwa engkau berjihad demi Allah sampai engkau gugur. Semoga Allah memberi balasan yang baik untukmu atas nama Islam dan muslimin.” Kemudian ucapkan: “Assalamu’alaikum tuanku Abdullah bin Jahsy, wahai orang yang gugur demi Islam dan muslimin. Semoga Allah mengangkat derajat kalian berdua di surga Iliyyin.” Kemudian berdoalah dengan wasilah keduanya sesuai keinginan.

Kemudian ziarahlah ke kubur para syahid perang Uhud dan jelas kubur mereka di dekat kubur Hamzah. Di arah barat kubur Hamzah ada beberapa kubur yang konon juga syahid perang Uhud, namun ada pendapat bahwa kubur-kubur itu kubur sebagian orang yang mati pada tahun Ramadah (tahun bencana) pada masa pemerintahan Umar. Hendaknya berhenti di dekat kubur-kubur itu dan ucapkan salam kepada mereka serta tawassullah dengan mereka agar keinginan tercapai. Setelah selesai, berkunjunglah ke gunung Uhud sebab tempat itu penuh berkah.

Hendaknya anda mendatangi masjid Kuba’ dan shalat di dalamnya dengan niat mendekatkan diri kepada Allah, sebab Nabi saw bersabda:

 

“Shalat di masjid Kuba’ seperti umrah.”

Yang terbaik ke masjid Kuba’ hari Sabtu. Datanglah juga ke sumur Aris yang pernah diludahi oleh Nabi saw dan berada di dekat masjid Kuba’. Minumlah airnya dan berwudlulah dengan air. Kunjungilah juga masjid-masjid di Madinah dan tempat-tempat bersejarah yang mashur lainnya.

Di antaranya tempat-tempat penting itu adalah kubur Fathimah binti Asad, Ibu Ali ra. Berdirilah di dekatnya dan ucapkan: “Assalamu’alaikum wahai Fathimah binti Asad, wahai pemilik lemuliaan yang tinggi, wahai Ibu Amirul Mukminin, wahai orang yang di dalam kuburnya Rasulullah berbaring, wahai wanita yang Rasulullah memakaikan baju kurungnya padanya setelah kematiannya. Semoga Allah mengangkat derajatmu dan memberi kami manfaat dari ziarah ini.” Namun Ibnu Hajar berkata: “Kubur yang masyhur sebagai kubur Fathimah binti Asad sebenarnya kubur Sa’d bin Mu’adz, pemimpin Anshar.

Termasuk tempat penting adalah kubur Imam Malik bin Anas, imam negeri hijrah. Kubur ini berada di Baqi’, berdirilah di dekatnya dan ucapkan: “Assalamu’alaikum wahgi Malik bin Anas, wahai imam negeri hijrah, wahai orang yang dijadikan hujah oleh Allah atas umat manusia, wahai pembawa bendera Islam, wahai penyebar sunah junjungan para rasul.” Di dekatnya ada kubur Guru Imam Malik, syaikh Nafi’ pada sebuah kubah kecil atau kubur Abu Syahmah bin Umar bin Khathab yang dihukum cambuk oleh Ayahnya sendiri, lalu sakit dan meninggal.

Dan kubur Ismail bin Ja’far Ash Shadiq. Berdirilah di dekatnya dan ucapkan: “Assalamu’alaikum wahai tuanku, Ismail bin Ja’far, wahai keturunan Nabi saw, wahai orang yang mulia ayahnya, wahai sumber ilmu dan agama, wahai cucu putri Nabi saw.” Dan kubur Muhammad bin Abdullah bin Hasan bin Ali bin Abu Thalib. Berdirilah di dekatnya dan ucapkan: “Assalamu’alaikum wahai Abu Abdullah, wahai putra cucu Rasulullah, wahai imam yang beruntung dan syahid.” Kemudian berdoalah sesuai keinginan.

Dan kubur Malik bin Sinan, Ayah Abu Said Al Khudri di sebelah barat Madinah. Dan kubur Ayah Nabi, sayid Abdullah. Dan kubur Ali Al Uraidhi bin Ja’far Ash Shadiq. Kuburnya besar di sebelah timur Madinah berjarak satu farsakh. Hendaknya anda menziarahinya dan yang terbaik hari Rabu. Ucapkan saat berada di kuburnya: “Assalamu’alaikum tuanku Ali Al Uraidhi bin Ja’far Shadig, wahai keturunan Nabi, wahai sumber ilmu dan agama, wahai cucu putri Rasulullah. Semoga kami memperoleh manfaat dari mencintaimu, menziarahimu dan dari nenek moyangnya yang suci.

Jika anda ingin bepergian dari Madinah, maka berpamitanlah dan lakukan sebagaimana yang anda lakukan pertama kali, yaitu shalat mutlak dua raka’at. Yang terbaik adalah melakukannya di mushalla Nabi saw dan hendaknya anda berdoa kepada Allah agar ini bukan kesempatan terakhir untuk ziarah Rasulullah. Misalnya doa: “Ya Allah, janganlah Engkau menjadikan ini kesempatan terakhir bagiku ke masjid Nabi saw dan tanah sucinya. Mudahkanlah aku untuk menziarahinya dan i’tikaf di dalamnya di hadapan beliau. Berikanlah ampunan dan keselamatan di dunia akhirat dan kembalikanlah kami ke keluarga kami dalam keadaan selamat dan beruntung.”

Setelah itu, pulanglah dan berjalanlah ke depan dan jangan mundur. Hendaknya anda keluar meninggalkan Madinah lewat jalan tumbuhan. Jika melihat daerah asal anda, ucapkan: “Ya Allah, sesungguhnya aku meminta-Mu kebaikan daerah ini, kebaikan penduduknya, kebaikan apa yang di dalamnya dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukannya, keburukan penduduknya dan keburukan apa yang ada di dalamnya. Ya Allah, berilah aku tempat tinggal di dalamnya dan rezeki yang baik. Ya Allah, jadikanlah aku dicintat penduduknya dan jadikanlah kami mencintai penduduknya yang saleh.”

Sebaiknya setiap orang ikhlas dalam seluruh amalnya, ba sedikit maupun banyak, baik ucapan maupun perbuatan. Jika tida khlas, maka anda termasuk orang riya yang dipermainkan oleh seta dan tidak mendapatkan pahala dari perbuatan anda pada hari kiamat kelak.

Ikhlas tertinggi adalah hanya bertujuan Allah semata dalam ibadah, yaitu melakukan ibadah hanya dengan maksud dekat kepada Allah, tidak yang lain, yaitu berbuat demi makhluk atau ingin pujian dari orang lain atau hal lainnya, misalnya ibadah bertujuan agar mendapat pahala di akhirat atau diberi kemuliaan Allah di dunia, namun seseorang tidak keluar dari ikhlas jika bertujuan pahala akhirat atau diberi kemuliaan di dunia serta diselamatkan dari marabahaya dunia. Ikhlas masing-masing orang sesuai dengan tingkatannya. Kalangan abrar (orang yang berbakti kepada Allah) ikhlasnya tertinggi adalah amal perbuatannya bersih dari riya yang jelas, riya yang samar dan menuruti keinginan nafsu demi meraih janji Allah kepada orangorang yang ikhlas yaitu pahala yang agung dan selamat dari ancaman Allah kepada orang-orang yang tidak ikhlas yaitu siksa yang pedih. Dia tidak lagi memandang makhluk dalam kebaktiannya dan dia tetap pada kedudukannya.

Sedangkan muqarrabin (orang-orang yang dekat dengan Allah), mereka sama sekali tidak melihat diri mereka dalam perbuatannya. Ikhlas mereka adalah menyaksikan keesaan Allah dalam membuat dia bergerak dan membuat dia tenang tanpa memandang diri mereka mempunyai daya maupun upaya. Ini adalah magam Shidiq yang menyempumakan ikhlas, Perbuatan abrar disebut amal lillah (perbuatan karena Allah) dan perbuatan shidig disebut amal billah (perbuatan dengan Allah).

Hendaknya dia berhubungan baik dengan sesama manusia dalam seluruh urusan dunia dan agama agar dia selamat saat bertemu dengan Allah dengan mati. Yaitu dengan cara mengasihi kaum muslimin dan bersikap santun kepada orang-orang zalim. Atau dengan memaafkan orang-orang bodoh dan berbuat baik kepada orang-orang yang berbuat baik. Atau dengan bersikap baik kepada hewan, sebagaimana dikatakan Fudhail: “Jika hamba berbuat baik dengan seluruh kebaikan, namun dia bersikap buruk kepada ayam yang dia miliki, dia belum termasuk orang yang berbuat baik”.

Hendaknya dia selalu wudlu, sebab dalam hadis Qudsi disebutkan:

 

“Hai Musa, jika kamu tertimpa musibah, sedangkan kamu tidak dalam keadaan wudlu, maka jangan sampai kami mengritik selain dirimu sendiri.”

Dan sabda Nabi:

 

“Hendaknya kamu selalu suci, maka rezeki dilapangkan padamu.”

Hendaknya dia selalu zikir Allah dan zikir merupakan tharigah yang paling manjur untuk meraih ridha Allah. Namun zikir tidak bisa mengusir setan, kecuali setelah hati suci. Diriwayatkan: “Barangsiapa mengucapkan:

 

“Tiada tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, Tuhan yang Esa, Menjadi tujuan, tidak beranak, tidak diperanakkan dan tiada yang setara dengan Dia.” sebanyak sebelas kali, maka Allah menulis untuknya dua ribu kebaikan. Barangsiapa menambah, maka Allah menambahnya.

Dan memperbanyak membaca Al-Qur’an dalam seluruh waktu, khususnya permulaan siang dan akhirnya serta permulaan malam dan akhirnya. Apalagi bulan Ramadhan. Abu Umamah Al Bahili ra berkata: “Aku mendengar Nabi saw bersabda:

 

“Bacalah Al-qur’an, karena sesungguhnya ia hadir pada hari kiamat memberi syafa ‘at kepada pembacanya.” (HR. Muslim)

Abu Said Al Khudri ra berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda:

 

“Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: “Barangsiapa disibukkan oleh Al-qur’an dari zikir Aku dan meminta-Ku, maka Aku beri dia yang terbaik dari apa yang Aku berikan kepada peminta.”

Ibnu Umar ra berkata: ” Rosulullah saw bersabda:

 

“Tiga orang tidak ditakutkan oleh terkejut besar dan tidak terkena hisab, berada di atas bukit pasir dari misik, sampai hisab para makhluk diselesaikan: lelaki yang membaca Al-Qur’an karena mencari ridha Allah dan dengannya dia mengimami kaum sedangkan mereka ridha, pemanggil yang memanggil untuk shalat karena mencari ridha Allah Azza wa Jalla dan hamba yang membaikkan antara dia dengan Tuhannya dan antara dia dengan hamba sahayanya.” (HR. Thabarani)

Hendaknya dia memperbanyak shalat sunat, khususnya ahli ibadah. Abu Hurairah meriwayatkan hadis Qudsi, bahwa Allah berfirman:

 

“Dan hamba-Ku selalu mendekatkan diri kepada-Ku dengan sunat-sunat sampai Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku menjadi telinga yang dengannya dia mendengar, matanya yang dengannya dia melihat, tangannya yang dengannya dia memukul dan kakinya yang dengannya dia berjalan. Maka dengan Aku dia mendengar, dengan-Ku dia memukul dan dengan-Ku dia berjalan. Sungguh jika meminta-Ku, Aku pasti memberinya dan sungguh jika berlindung pada-Ku pasti Aku melindunginya.”

Hadis tersebut artinya Allah menolongnya, seperti hamba menggunakan anggota-anggota badannya untuk mewujudkan keinginannya.

Hendaknya dia memperbanyak istighfar. Redaksi istighfar banyak sekali, di antaranya adalah:

 

“Aku meminta ampun kepada Allah Maha Agung yang tiada tuhan selain Dia, Maha Hidup, Berdiri sendiri dan aku bertaubat kepada-Nya.”

Redaksi yang lain diriwayatkan oleh Nasa’, bahwa Abu Hurairah ra berkata: “Aku tak pernah melihat orang yang lebih banyak mengucapkan istighfar di bawah daripada Nabi saw:

 

“Aku meminta ampun kepada Allah dan dan aku bertaubat kepada-Nya.”

Redaksi lainnya adalah sabda Nabi saw: “Kifarat masjid adalah:

 

“Aku meminta ampun kepada-Mu ya Allah dan dan aku bertaubat kepada-Mu.”

Redaksi yang lain adalah Sayid Istighfar:

 

“Ya Allah Engkau Tuhanku, tiada tuhan selain Engkau. Engkau ciptakan aku dan aku hamba-Mu dan aku di atas perjanjian-Mu dan Janji-Mu selama aku mampu. Aku berlindung pada-Mu dari keburukan apa yang aku perbuat. Aku kembali pada-Mu dengan nikmat-Mu padaku dan aku kembali dengan dosaku. Maka ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu dan rahmatilah aku. Sesungguhnya Engkau-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Apalagi pada akhir malam, sebab itu saat terkabulnya doa. Tidak mengapa jika anda mengucapkan munajat di bawah ini pada akhir malam:

 

“Tuhanku, sungguh telah dekat ajalku, sudah lemah kekuatanku dan aku datang pada-Mu dengan beberapa dosa yang tidak bisa dipikul oleh gunung-gunung serta tidak bisa dibasuh oleh lautanlautan. Aku memintaampunan pada-Mu, wahai Maha Pengampun.”

Hendaknya juga membaca shalawat. Shalawat termasuk ibadah paling agung dan hal yang paling penting bagi orang yang ingin dekat kepada Allah, sebab shalawat berarti tawasul dengan Nabi saw,

Dikisahkan bahwa seorang wanita menghadap Hasan Basri dan berkata: “Anak perempuanku meninggal dunia dan aku ingin melihatnya dalam mimpi.” Hasan berkata: “Shalatlah empat raka’at setelah isya’ dan bacalah surat At Takatsur sekali setelah Fatihah pada tiap raka’at, lalu berbaringlah dan bacalah shalawat Nabi sampai kamu tidur.” Wanita tersebut melakukannya, lalu dia melihat anaknya disiksa dengan belenggu dan rantai. Wanita itu mendatangi Hasan dan menceritakan hal tersebut, sehingga Hasan sedih dan berkata: “Sedekahlah untuk anakmu.” Wanita itu melakukannya, kemudian Hasan malam itu bermimpi seakan-akan berada dalam sebuah taman di antara taman surga. Di taman itu ada sebuah ranjang di mana terdapat seorang gadis jelita dan sebuah mahkota dari cahaya ada di kepalanya. Gadis itu berkata: “Apakah anda mengenalku?” Hasan menjawab: “Tidak.” Gadis itu berkata: “Aku putri wanita tersebut.” Hasan berkata: “Ibumu mengatakan kamu tidak seperti ini.” Gadis itu berkata: “Dulu aku memang tidak seperti ini.” Hasan berkata: “Dengan apa kamu mencapai keadaan ini?” Gadis itu menjawab: “Kami tuju puluh ribu orang disiksa, lalu seorang lelaki saleh melewati kubur kami dan dia membaca shalawat Nabi sekali serta menghadiahkan pahalanya kepada kami. Maka Allah memerdekakan kami dari siksa itu berkat dia dan aku mencapai kemuliaan seperti anda lihat.”

Dalam hadis disebutkan: “Barangsiapa mengucapkan:

 

“Ya Allah, bershalawatlah kepada Muhammad dengan shalawat yang menjadi ridha bagi-Mu dan memenuhi haknya”,

Sebanyak tiga puluh tiga kali, maka Allah membuka untuknya antara kuburnya dan kubur Nabi saw.”

Terutama pada malam dan siang Jum’at. Ada hadis marfu’ riwayat Ali dari Nabi saw: “Barangsiapa pada malam Jum’at mengucapkan meskipun sekali:

 

“Ya Allah, bershalawatlah kepada Muhammad Nabi yang ummi, kekasih yang tinggi pangkatnya dan agung derajatnya dan kepada keluarga serta sahabatnya,” maka aku memasukkannya ke liang lahat dengan tanganku.”

Hendaknya anda memperbanyak doa, khususnya pada saat bepergian. Abu Hurairah ra meriwayatkan, bahwa Nabi saw bersabda:

 

“Tiga doa dikabulkan tak ada bimbang padanya: doa orang yang teraniaya, doa musafir dan doa buruk orang tua atas anaknya.” (HR. Tirmidzi)

Yang dimaksudkan adalah doa orang teraniaya dengan hal yang dianiayakan kepadanya dan tidak boleh hal lainnya. Doa orang tua adalah doa orang tua dengan hak, misalnya anak durhaka melakukan hal menyakitkan yang tidak ringan.

Perbanyaklah doa pada saat sedih. Al Mustaghfiri meriwayatkan hadis marfu’: “Tidak ada doa yang lebih disukai Allah azza wa Jalla daripada ucapan hamba:

 

“Ya Allah, ampunilah umat Muhammad dengan rahmat yang merata.”

Sebaiknya anda berdoa dengan doa Ahmad bin Hanbal dari Sufyan Ats Tsauri, sebab Allah memujinya. Doa tersebut adalah:

 

“Wahai Tuhan segala sesuatu, dengan kuasa-Mu atas segala sesuatu, ampunilah segala sesuatu bagiku dan janganlah Engkau menanyaiku mengenai sesuatu.”

Termasuk doa yang dianjurkan adalah doa yang dikutip dari sebagian ulama “Siapa mengucapkannya tiga kali di antara sunat dan fardlu subuh, maka dia pasti mati iman.” Yaitu:

 

“Ya Allah, demi hak Hasan, saudaranya, Kakeknya, Ayahnya, Ibunya dan anak-anaknya, selamatkanlah aku dari susah yang ada padaku, wahai Maha Hidup, wahai Yang berdiri sendiri. Aku meminta kepada-Mu sinarilah hatiku dengan cahaya makrifat-Mu.”

Hendaknya anda memperbanyak puasa, khususnya pada hari-hari penting, seperti di bawah ini:

  • Asyhurul hurum yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharam dan Rajab.
  • Hari Asyura’.
  • Sembilan hari bulan Dzulhijah terutama hari Arafah bagi selain jama’ah haji.
  • Sepuluh hari dari bulan Muharam, Rajab dan Sya’ban.
  • Hari Senin.
  • Hari Kamis.
  • Hari Jum’at.

Sebaiknya manusia menjadikan takut kepada Allah selalu berada di depan matanya, sebab takut kepada Allah merupakan kunci seluruh kebaikan dan kunci untuk menjauhi segala keburukan. Takut kepada Allah adalah takut akan siksa-Nya. Allah mewajibkan hamba-hambaNya untuk takut kepada-Nya dengan ayat:

 

“Tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS. Ali Imran: 175)

Diriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda:

 

“Barangsiapa takut Allah, segala sesuatu takut kepadanya. arangsiapa tidak takut Allah, dia takut segala sesuatu.”

Abu Hafsh berkata: “Takut adalah lentera hati yang dengannya hari melihat kebaikan dan keburukan. Barangsiapa yakin bahwa tidak da yang memberi manfaat maupun mudharat sclain Allah, dia tidak akut selain Dia, baik binatang buas, api maupun lainnya.”

Janganlah putus asa dari rahmat Allah sebab termasuk dosa besar. putus asa adalah memustahilkan dia diberi rahmat Allah sama sekali, padahal masih Islam. Allah berfirman:

 

“Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (QS. Yusuf: 87)

Jika pemustahilan itu bertambah kuat, maka disebut Qunuth. Allah berfirman:

 

“Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali orang-orang yang sesat.” (QS. Al Hijr: 56)

Jika dia mengira bahwa Allah akan menyiksanya seperti siksa orang kafir, maka disebut buruk sangka kepada Allah. Nabi saw bersabda:

 

“Yang terbesar di antara dosa-dosa besar adalah buruk sangka kepada Allah Azza wa Jalla.”

Hendaknya manusia bertaubat dengan taubat yang sah setiap kali melakukan dosa, sebab Allah mencintai orang-orang yang banyak bertaubat dengan cara menghentikan dosa seketika, menyesali dosa di masa lalu dan bertekad tidak akan mengulangi di masa depan.

Hendaknya dia selalu bertakwa kepada Allah secara lahir batin, sebab Allah mencintai orang-orang yang bertakwa. Takwa adalah menjauhi melaksanakan petintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Yakni mensucikan batin dari najis-najis maknawi dan menghiasinya dengan akhlak yang terpuji.

Jangan sampai sescorang menyakiti orang lain, meskipun dengan menirukan ucapannya atau perbuatannya dengan tujuan menertawakan. Menyakiti orang muslim termasuk dosa besar, terutama tetangga. Hendaknya dia menunaikan kewajibannya kepada Allah sebelum meninggalkan dunia fana ini, seperti zakat dan kifarat dan kewajibannya kepada sesama hamba, misalnya mengembalikan gasaban dan titipan. Boleh melakukannya dengan memohon kerelaan orang yang bersangkutan. Jika dia tidak mampu membereskan urusan hak Adami sendiri semasa hidupnya, hendaknya menulis wasiat.

Hendaknya dia sangat ingin untuk menjauhi dosa, seperti dusta, kesaksian palsu, sumpah palsu, menggunjing orang lain dan mengadu domba.

 

Ketahuilah, bahwa menjaga hati dari godaan setan adalah fardlu ain bagi setiap mukallaf dan dia tidak mungkin bisa menjaga hati, kecuali dengan mengetahui jalan masuk setan ke hati. Jalan setan menuju hati adalah sifat-sifat yang tercela, misalnya syahwat dan marah. Apabila seseorang marah, maka setan mempermainkannya. Demikian juga jika dia syahwat. Termasuk sifat tercela adalah hasud, tamak atau loba, kenyang dengan makanan yang halal, menyukai hidup mewah, baik perabotan pakaian, rumah maupun kendaraan, mengharapkan uang orang lain, tergesa-gesa, bakhil, takut melarat, orang awam yang tidak ahli ilmu ikut berbicara mengenai Zat Allah dan sifat-Nya dan berburuk sangka kepada orang muslim.

Hendaknya orang muslim selalu taat kepada Tuhannya dan menghabiskan hidupnya untuk beribadah dengan harapan nyawanya dicabut, sedangkan dia dalam keadaan yang diridhai Allah, sehingga dia menghadap Allah dan Allah ridha kepadanya.

Ketahuilah, bahwa salik (orang yang menginginkan akhirat) ada enam macam, yaitu ahli ibadah, kiyai, santri, pekerja atau pejabat atau orang yang mengesakan Allah.

  1. Ahli ibadah adalah orang yang kesibukannya hanya ibadah dan jika dia tidak beribadah, dia merasa menganggur. Yang terbaik baginya adalah mencurahkan mayoritas waktunya untuk beribadah.
  2. Kiyai adalah orang yang mengajarkan ilmu kepada masyarakat. Jika dia bisa mencurahkan seluruh waktunya untuk hal tersebut, maka itulah yang terbaik baginya setelah menunaikan shalat fardlu dan shalat sunat rawatib. Ilmu yang dimaksudkan adalah ilmu yang membuat orang menyukai akhirat dan membenci dunia serta membantu orang untuk suluk (meniti jalan menuju akhirat).
  3. Santri adalah orang yang mengaji dengan tujuan ridha Allah. Sibuk mengaji baginya lebih utama daripada zikir dan ibadah sunat. Jika santri itu masih awam, lebih baik dia menghadiri majlis ilmu daripada sibuk zikir dan wirid.
  4. Pekerja yang butuh uang untuk menghidupi keluarganya tidak boleh menelantarkan keluarganya dan sibuk ibadah sunat. Wiridnya setiap saat adalah berada di pasar dan bekerja, namun sebaiknya dia tidak lupa zikir Allah saat bekerja. Hendaknya dia membaca tasbih, berzikir dan membaca Al-Qur’an, sebab hal tersebut bisa dilakukan sambil bekerja. Setelah memperoleh uang untuk menghidupi keluarganya, hendaknya dia kembali beribadah.
  5. Pejabat misalnya kepala daerah dan hakim, lebih baik dia melaksnakan tanggung jawabnya sesuai syariat daripada wirid. Pada siang hari, hendaknya dia mengurus kepentingan umat manusia dan hanya melakukan ibadah fardlu. Sedangkan untuk wirid, hendaknya dia lakukan pada malam hari.
  6. Orang yang mengesakan Allah adalah orang yang pada waktu bangun tidur keinginannya hanya Allah. Jika seseorang sudah mencapai tingkatan ini, maka dia tidak perlu membagi wirid. Setelah melaksanakan ibadah fardlu, dia hanya punya satu wirid, yaitu hadir bersama Allah setiap detik. Ini tingkatan tertinggi siddiqin.

Kita meminta kepada Allah dengan wasilah Nabi Muhammad saw agar Dia memperlakukan kita dengan ridha-Nya di dunia dan akhirat, khususnya saat nyawa kita dicabut, di dalam kubur dan pada saat terkejut besar, yaitu saat sangkakala ditiup dan Jahanam lepas dari tangan malaikat. Demikian juga orang-orang tua kita, anak cucu kita, sanak famili kita, guru-guru kita, kekasih kita dan seluruh muslimin, baik yang masih hidup maupun sudah meninggal dunia.

Maha Suci Engkau ya Allah dan dengan memuji-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Engkau, aku memohon ampunan dan bertaubat kepada-Mu. Segala puji bagi Allah, puji yang sesuai dengan nikmat-Nya dan sebanding dengan tambahan-Nya. Ya Tuhan kami, bagi segala puji, sebagaimana yang layak bagi keagungan-Mu.

Ya Allah, bershalawatlah dan bersalamlah kepada junjungan kami Muhammad, hamba-Mu, nabi-Mu dan rasul-Mu, nabi umi yang tidak bisa membaca maupun menulis. Dan kepada keluarga Junjungan kami Muhammad, para sahabatnya, para istrinya, para anak cucunya dan keluarganya, sebagaimana Engkau bershalawat dan bersalam kepada Ibrahim di antara semesta alam. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Agung.

            Semoga Allah bershalawat kepada junjungan kita Nabi Muhammad, keluarganya dan sahabatnya selama orang-orang yang ingat-mengingatnya dan orang-orang yang lupa melupakannya. Semoga Allah meridhai seluruh sahabat Rasulullah dan Orang-orang yang mengikuti mereka sampai hari pembalasan. Segala puji bagi Allah.