Ada tiga hal mutlak yang mesti dipegang oleh seorang ukmin dalam segala kondisinya:

  1. perintah yang harus dilaksanakannya;
  2. larangan yang harus dijauhinya; dan
  3. takdir yang harus diterimanya (dengan segala keridhaan).

 

Ketiga hal ini merupakan hal-hal minimal di mana tidak satu pun di antaranya boleh lepas dari diri seorang mukmin. Seyogianya, ia melekatkannya pada hatinya, membincangkannya dengan nafsu dirinya, dan menggerakkan seluruh anggota tubuhnya dalam rangka mewujudkannya.

 

SYEKH-SYEKH Semoga Allah meridhai dan meridhakannya “Ikutilah (sunnah) dan jangan membuat-buat bid’ah! Patuhlah dan jangan melanggar! Bertauhidlah dan jangan menyekutukan! Sucikanlah al-Haqq (baca: Allah) dan jangan tuding keburukan kepada-Nya! Mintalah selalu pada-Nya dan jangan pernah kau rasa jemu! Tunggu dan berharaplah, jangan kau ragu dan meragukan (belai kasih-Nya)! Bersabarlah selalu dan jangan gusar! Tegarlah dan jangan lari! Bersaudaralah dan jangan bermusuhan! Bersatulah (bahumembahu) dalam laku ketaatan dan jangan bercerai-berai! Saling mencintailah dan jangan saling benci! Sucikanlah diri dari keburukan, jangan kau kotori dan nodai diri dengannya!

 

Percantiklah diri dengan ketaatan kepada Tuhanmu dan jangan pernah kau menjauh dari pintu-pintu Maula Junjunganmu! Jangan kau berpaling dari sambutan-Nya. Jangan kau tundatunda taubat. Dan, jangan pernah bosan untuk memohon maaf dan ampunan pada Penciptamu, siang dan malam.

 

“Semoga Dia menganugerahkan belai kasih dan kebahagiaan, menjauhkanmu dari api neraka dan memasukkanmu ke dalam surga, menyibukkanmu dengan kenikmatan dan kesenangan bersama perawan-perawan dan perjaka di surga (Darussalam), mengekalkanmu di dalamnya untuk selamanya, menaikkanmu di atas kendaraan kuda-kuda putih, menghiburmu dengan bidadari dan bidadara, juga segala macam aroma kebaikan, melodi hambahamba sahaya wanita, beserta segala karunia-karunia, kemudian mengangkat derajatmu bersama para nabi, kaum shiddiqin, para pahlawan syahid, dan kaum shalih di surga orang-orang yang mulia (‘lliyyin).”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya “Jika seorang hamba ditimpa cobaan, pertama tama cobalah ia atasi sendiri dengan usaha diri. Jika masih belum lepas, cobalah ia cari pertolongan kepada makhluk sesamanya, seperti para raja (penguasa), pejabat, bangsawan, hartawan, atau dokter ahli dalam bidang perih luka dan sakit. Jika belum sembuh juga, barulah coba ia kembali kepada Tuhannya ‘Azza wa Jalla dengan doa dan simpuh kerendahan hati (tangis). Selama ia masih bisa menemukan solusi pada dirinya sendiri, maka jangan lari pada sesamanya. Dan, selama ia temukan solusi pertolongan pada makhluk sesamanya, tidak perlu ia rujuk pada Sang Khaliq Penciptanya ‘Azza wa Jalla. Baru ketika tak ia temukan lagi solusi pertolongan pada makhluk, maka lemparkan diri bersimpuh di hadapan-Nya sambil terusmenerus memohon, bersimpuh, berdoa, menangis, dan memelas dengan harap-harap cemas, takut bercampur harap kepada-Nya. Sang Pencipta Azza wa Jalla akan membiarkan ia letih dalam berdoa dan tidak akan mengabulkannya sampai ia memutuskan kaitan diri dengan sarana-sarana (duniawi). Ketika itulah takdir berjalan di dalam dirinya dan tindakan (Allah) pun berlaku pada dirinya. Si hamba pun lebur binasa dari segala sarana dan gerak, tinggallah ketika itu ruhnya semata.

 

“Jika sudah demikian halnya, tak ia lihat lagi apa-apa selain sebagai manifestasi tindakan al-Haqq ‘Azza wa Jalla. Praktis, jadilah ia orang yang penuh keyakinan dan manunggal. Ia yakin bahwa sejatinya tidak ada pelaku (yang bertindak dan bergerak) kecuali hanya Allah “Azza wa Jalla. Tidak ada penggerak dan pendiam kecuali hanya Allah. Juga tidak ada kebaikan dan keburukan, manfaat dan mudharat, keterbukaan dan ketertutupan, kehidupan dan kematian, kehormatan dan kenistaan, kekayaan dan kemiskinan kecuali telah diatur oleh tangan kuasa Allah Azza wa Jalla. .

 

“Jadilah ia ketika itu di hadapan kuasa takdir ibarat bayi di tangan perawat, mayat di tangan pemandinya, bola di lengkung tongkat penunggang kuda; membolak-balik, berubah, berganti, dan menjadi; tanpa daya penggerak di dalam dirinya maupun selainnya. Ia hilang dari dirinya dan melebur dalam tindakan Junjungannya. Tak ia lihat apa-apa lagi selain Sang Maula dan tindakan-Nya, juga tak mendengar dan berpikir tentang selainNya.

 

“Jika melihat, maka karena perbuatan-Nyalah ia melihat. Jika ia mendengar dan mengetahui, maka karena kalamNyalah ia mendengar dan dengan ilmu-Nyalah ia mengetahui. Dengan nikmat-Nya ia terkaruniai dan dengan kedekatan-Nya ia terbahagiakan. Melalui kedekatan dengan-Nya ia berhias dan mulia. Hanya dengan janji-Nya ia lega dan senang. Hanya denganNya ia bisa merasakan ketenangan. Dengan firman-Nya ia merasa intim, dan dengan selain-Nya ia merasa muak dan mangkir. Dengan berdzikir menyebut-Nya ia mencari perlindungan dan bersimpuh mendekat. Hanya dengan-Nya ia percaya diri. KepadaNya ia serahkan diri. Dengan cahaya makrifat-Nya ia peroleh petunjuk dan berbaju. Tentang keanehan-keanehan ilmu-Nya ia menelaah, dan tentang rahasia-rahasia qudrat-Nya ia mengawasi.

 

“Dari-Nya ‘Azza wa Jalla ia mendengar dan tersadar. Kemudian, pada semua itu ia memuji dan memuja, sekaligus bersyukur dan berdoa.”

 

SYEKH— semoga Allah meridhai dan meridhakannya berujar, “Jika kau mati dari makhluk ciptaan, maka diucapkanlah padamu, ‘Semoga Allah mengasihimu dan mematikanmu dari hawa kesenanganmu. Lalu, jika kau mati dari hawa kesenanganmu, maka akan diucapkanlah kepadamu, ‘Semoga Allah mengasihimu dan mematikanmu dari kehendak dan cita pengharapanmu. Lantas, jika kau mati dari kehendak diri, maka akan diucapkan kepadamu, ‘Semoga Allah mengasihimu dan menghidupkanmu (kembali).’ Pada tataran inilah, kau akan hidup dalam kehidupan yang tak mengenal kematian lagi, juga dianugerahi kenikmatan yang tiada menyesakkan penderitaan lagi di belakangnya, dianugerahi kekayaan yang tiada menyisakan kefakiran setelahnya, dianugerahi pemberian yang tidak mengenal penolakan lagi setelahnya, dianugerahi keleluasaan istirahat yang tiada menyisakan beban berat lagi di belakangnya, dilimpahi ilmu yang tidak.mengenal kejahilan setelahnya, dianugerahi ketenteraman yang tidak mengenal ketakutan lagi setelahnya. Kau akan senantiasa gembira tanpa sengsara, mulia tanpa terhina, terdekatkan tanpa terjauhkan, terangkat derajat tanpa terhinakan, terhormati tanpa lecehan penghinaan, tersucikan tanpa kotoran. Terwujudlah segala cita pengharapan di dalam dirimu. Ujaran-ujaranmu dipercaya dan dibenarkan. Lalu, jadilah kau orang terkenal yang nyaris tak terlihat, orang terhormat yang tak tertandingi, orang istimewa yang tak tersertai, orang satu-satunya yang tak terduai, satu untuk satu, ganjil untuk ganjil, gaib untuk gaib, rahasia untuk rahasia.

 

“Jika sudah demikian hal dirimu, maka kau akan menjadi pewaris para rasul, nabi, dan kaum shiddiq. Olehmu kewalian ditutup menjadi penutup para wali). Kepadamu berkerumunlah para wali abdal. Lantaran dirimu segala kesulitan tersingkap, mendung-mendung menyiram (hujan), tanaman-tanaman tumbuh bersemi, segala petaka dan ujian terangkat (hilang) dari diri kaum khass dan awam, penguasa dan rakyat, pemimpin dan umat, serta seluruh makhluk melata.

 

“Kau menjadi pembangkit pusat energi (syuhnah) bagi bangsa dan para hamba. Orang-orang bergegas-gegas mendatangimu, membawa bingkisan dan hadiah, mengabdi kepadamu atas izin Sang Pencipta segala sesuatu (baca: Allah) dalam segala kondisi. Mulut-mulut mereka menyemai puji dan sanjungan padamu di segala tempat. Tiada dua orang mukmin yang berselisih tentang dirimu, wahai penghuni terbaik belantara, pemukiman, dan padang sahara.

 

“Itulah anugerah Allah yang hanya dianugerahkan-Nya pada orang yang Dia kehendaki. Dan, Allah-lah Pemilik segala anugerah dan pemberian.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya-berujar, “Bila kau lihat dunia berada di tangan para pemilik dan budak-budaknya, dengan segala hiasan, kebatilan, dan perdayanya yang menipu, juga jebakan dan racun-racunnya yang mematikan, disertai lembut sentuhan di penampilan luarnya, namun sangat membahayakan di dalamnya, dengan kelincahan gerak pembinasaan dan kecepatan tindakan mematikannya atas setiap orang yang menyentuh dan keblinger olehnya, yang lalai akan keganasan tipu dayanya dan membatalkan ikrarnya, maka berlakulah seperti orang yang melihat seseorang yang sedang berak di dalam WC, mengeluarkan tahi dan menyeruakkan bau tak sedap, sehingga kau pun akan langsung menutup mata dan hidungmu.

 

“Demikian pulalah kau seharusnya bersikap terhadap dunia. Jika kau melihatnya, pejamkan matamu dari indah perhiasannya dan tutup hidungmu dari wangi syahwat kesenangan dan kelezatannya, agar kau selamat darinya dan dari segala petakanya. Bagian keduniaanmu akan datang sendiri padamu sambil kau merasa gembira.

 

“Allah telah berfirman kepada Nabi pilihan-Nya—semoga Allah menganugerahinya kesejahteraan bersama keluarga dan sahabatnya, juga keselamatan, ‘Dan, janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia, untuk Kami uji mereka dengannya, dan karunia Tuhanmu lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Thaahaa [20]: 131).

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya-berujar, “Leburkanlah dirimu dari manusia dengan hukum Allah, juga dari hawa kesenanganmu dengan perintah-Nya, dan dari kehendak dirimu dengan tindakan Allah. Ketika itulah, kau memenuhi syarat untuk menjadi wadah ilmu Allah Ta‘ala. “Tanda kebinasaan dirimu dari manusia adalah keterputusan jalinan dan pergaulanmu dengan mereka, juga bolak-balikmu pada mereka, dan ketiadaan ambisi untuk ikut memiliki apa yang mereka miliki (di tangan mereka). “Tanda lenyapnya diri dari diri dan hawa kesenangan adalah meninggalkan laku peraupan dunia (takassub) dan ketergantungan pada sarana sarana dalam meraih manfaat dan menolak kemudharatan. Kau tak bergerak lagi di dalam dirimu dengan dirimu, juga bersandar pada dirimu demi dirimu, tak membela diri dan memenangkan nafsu diri. Akan tetapi, pasrahkan semua itu kepada Zat yang mengurusinya pertama dan terakhir, juga yang menjadi wakil pengurusmu saat kau masih menjadi janin di dalam rahim dan saat menjadi bayi kecil yang menyusu di atas ayunan.

 

“Adapun tanda kebinasaan kehendakmu dengan tindakan Allah ‘Azza wa Jalla adalah kau tak lagi menginginkan satu keinginan apa pun meski memiliki kehendak. Kau juga tak lagi memiliki tujuan pasti (ghard), dan tak terpaku pula pada kebutuhan dan cita keinginan. Sebab, saat bersama kehendak Allah kau tidak akan menginginkan apa-apa selain kehendakNya, akan tetapi tindakan Allah-lah yang mengalir di dalam dirimu. Jadilah kau kehendak dan tindakan Allah, dengan kepasifan anggota tubuh, ketenangan hati, kelegaan dada, keberserian wajah, kebinaran aura batin, dan tak membutuhkan lagi segala sesuatu dan merasa cukup dengan Sang Penciptanya saja. Tangan Kekuasaan senantiasa menggerakkanmu, lidah Keabadian selalu menyeru namamu, Tuhan Semesta alam mengajarimu, membusanaimu dengan nur dan pengagunganNya, menempatkanmu bersama para pendahulu pemilik ilmu pertama.

 

“Dalam kondisi demikian kau selamanya terpecah-belah, hingga tak bercokol di dalam dirimu segala syahwat kesenangan dan kehendak. Kau menjadi laksana sebuah bejana yang hancur lebur, yang menampung cairan atau larutan lagi. Maka, jauhlah dirimu dari segala akhlak kemanusiawian. Batinmu tidak akan tenang menerima selain kehendak Allah. Pada maqam inilah, kau akan diberi kuasa penciptaan (takwin) dan kekuatan adikodrati. Hal ini tampak seolah-olah darimu, dari lahiriah akal dan hukum, padahal sebenarnya dalam kacamata ilmu ia adalah tindakan dan kehendak Allah.

 

“Jika sudah demikian keadaanmu, maka kau pun masuk diakui sebagai golongan orang-orang yang tertundukkan hatinya, kalangan yang mampu menundukkan kehendakkehendak kemanusiawian mereka, juga yang telah dilenyapkan dari diri mereka syahwat-syahwat kesenangan alamiah dan (sebagai gantinya) menguatlah di dalam diri mereka kehendak ketuhanan (iradah rabbaniyyah) dan syahwat-syahwat tambahan (idlafiyyah) yang disinyalir oleh Nabi Saw. dalam sabda, “Tiga hal yang dicintakan kepadaku dari dunia; perempuan, wewangian, dan dijadikannya penyejuk mataku dalam shalat.”? Ketiga hal ini ditambahkan pada beliau setelah beliau keluar darinya dan lenyap darinya demi mewujudkan apa yang telah kami isyaratkan di muka. .

 

“Allah berfirman, ‘Aku bersama orang-orang yang berkepingkeping hatinya demi Aku,’

 

“Allah Ta‘ala tidak akan bersama dirimu sampai kedirianmu sirna bersama hasrat dan keinginanmu. Jika telah sirna dan tidak ada apa-apa lagi di dalam dirimu, dan lagi kau tidak merasa aman dengan apa pun selain-Nya, maka Dia menghidupkanmu kembali hanya untuk-Nya. Dia ciptakan kehendak di dalam dirimu, lalu kau pun berkehendak dengan kehendak tersebut. Bila di dalam dirimu masih juga terdapat kehendak baru sekecil apa pun, maka Allah meremukkanmu lagi, hingga kau berpatah-hati. Lalu, Dia Azza wa Jalla akan menciptakan kehendak baru lagi di dalam dirimu, untuk kemudian melenyapkannya lagi jika masih ada sisa kehendak lagi di dalam dirimu. Dan, begitu seterusnya hingga ajal menjemput dan mempertemukanmu dengan-Nya.

 

“Inilah makna firman Allah, ‘Aku bersama orang-orang yang berkeping-keping hatinya demi Aku.

 

“Adapun arti pernyataan ‘saat keberadaanmu di dalamnya’ adalah kekukuhan dan ketenanganmu di dalamnya. Allah berfirman dalam sebuah hadits Qudsi yang disampaikan oleh Nabi Saw, ‘Hamba-Ku yang beriman senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku, dengan mengerjakan shalat-shalat sunnah yang diutamakan, sehingga Aku mencintainya. Dan, apabila Aku telah mencintainya, maka Aku akan menjadi telinganya untuk ia mendengar, menjadi matanya untuk ia melihat, menjadi tangannya untuk ia mengepal pukul, menjadi kakinya untuk ia berjalan’ Dalam susunan lain dituturkan, ‘Dengan-Ku ia mendengar, dengan-Ku ia melihat, dengan-Ku ia mengepal pukul, dan denganKu ia berpikir.’

 

“Demikianlah keadaan fana’, yaitu engkau melebur binasa dari kedirianmu. Jika kau telah benar-benar lebur-binasa dari kedirianmu dan dari makhluk, di mana makhluk hanyalah kebaikan dan keburukan, begitu juga dirimu adalah kebaikan dan keburukan, maka engkau tidak akan lagi mengharap kebaikan mereka serta menakuti keburukan mercka. Tinggallah hanya Allah Azza wa Jalla sendiri scbagaimana Dia kesendirianNya sebelum menciptakanmu. Dan, mengingat di dalam takdir Allah terkandung kebaikan dan keburukan, maka Dia pun menyelamatkanmu dari kejahatan makhluk-Nya dan menenggelamkanmu ke dalam samudra kebaikan-Nya; sehingga kau pun menjadi wadah seluruh kebaikan, sumber segala rahmat, kebahagiaan, kenikmatan, kecerahan, cahaya, terang-benderang, keamanan, dan kedamaian.

 

“Fana’ (keleburbinasaan) adalah harapan, angan cita, target akhir, batasan, dan jalur yang berakhir pada lajur para wali. Ia adalah sikap istiqamah yang dituntut oleh para wali dan abdal terdahulu agar senantiasa lebur-binasa dari segala kehendak diri mereka, untuk kemudian digantikan dengan kehendak al-Haqq Azza wa Jalla. Lalu, mereka pun hanya berkehendak dengan kehendak al-Haqq selamanya hingga ajal menjemput. Karena inilah mereka disebut kaum abdal.

 

“Bagi pribadi-pribadi mulia ini, menggabungkan kehendak pribadi dengan kehendak Allah sudah merupakan sebuah dosa, meski hal itu dilakukan dalam kondisi lupa dan alpa, serta terdesak dan kaget sekalipun. Jika dalam kondisi demikian, Allah Ta‘ala pun segera menyadarkan mereka dengan kasih sayangNya, hingga tersadar dan ingat, lalu mereka pun berpaling dari hal itu dan memohon ampun pada Tuhan mereka “Azza wa Jalla. Bagaimanapun, tidak ada yang ma’shum dari kehendak kecuali para malaikat. Para malaikat senantiasa suci dalam kehendak, para nabi senantiasa suci dari hawa kesenangan, sedangkan para makhluk selain mereka dari kalangan bangsa jin dan manusia tidak ma’shum dari keduanya. Dalam hal ini, para wali hanya dilindungi dari hawa kesenangan, para abdal dilindungi dari kehendak, namun mereka tidak ma’shum dari keduanya. Artinya, bisa-bisa saja mereka dalam beberapa kondisi tercebur pada keduanya, namun Allah secepat-kilat akan menyadarkan mereka dengan rahmat-Nya.

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya-berujar “Keluarlah dari nafsu dirimu dan jauhilah ia. Lepaskan segala kepemilikanmu dan serahkan semua pada Allah. Jadilah gerbang di pintu hatimu. Patuhilah perintahperintah-Nya dalam memasukkan-orang-orang yang memang diperintahkan-Nya untuk diizinkan masuk. Dan, patuhi juga larangan-Nya dalam mengusir orang yang diperintahkan-Nya untuk kau usir (jauh dari pintu hatimu).

 

‘Jangan masukkan hawa kesenangan ke dalam hatimu setelah ia terusir darinya. Pengusiran hawa kesenangan dari hati adalah dengan menentangnya dan menolak mengikutinya dalam segala kondisi. Adapun memasukkannya ke dalam hati adalah dengan menuruti kehendaknya dan menyetujuinya.

 

“Janganlah kau berkehendak selain dengan kehendak Allah Azza wa Jalla. Kehendak yang kau angankan selain itu adalah rimba ketololan yang akan mengantarkan kecelakaan dan kebinasaanmu, juga kejatuhanmu di mata-Nya Azza wa Jalla dan keterhijabanmu dari-Nya.

 

“Karena itu, jagalah selalu perintah-Nya dan jauhilah larangan-Nya. Pasrahkan selalu dirimu kepada-Nya dalam segala ketentuan yang telah ditetapkan-Nya. Jangan sekutukan Dia dengan sesuatu pun dari makhluk-Nya. Kehendakmu, hawa kesenangan, dan syahwatmu adalah makhluk-Nya, karena itu jangan sekali-kali kau berkehendak diri, juga berhasrat kesenangan, dan bersyahwat tinggi agar tidak menjadi orang musyrik. Allah berfirman, ‘Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya.’ (QS. al-Kahfi [18]: 110).

 

“Syirik tidak hanya terbatas pada penyembahan berhala semata, akan tetapi termasuk laku kesyirikan adalah menurutkan hawa nafsumu, memilih sesuatu selain-Nya berupa dunia seisinya bersamaan dengan pilihan pada Allah, juga akhirat seisinya, dan segala sesuatu selain-Nya. Jika kau terhanyut bermasyuk diri dengan sesuatu selain-Nya, maka berarti kau telah menyekutukan-Nya. Oleh sebab itu, waspadalah dan jangan terlena, takutlah selalu dan jangan merasa diri aman, telitilah selalu dan jangan lalai, niscaya kau akan merasa tenang.

 

“Jangan mengklaim hal atau maqam, dan jangan biarkan sesuatu dari hal tersebut terjadi. Jika kau dianugerahi atau didudukkan dalam suatu maqam, atau diperlihatkan sebuah rahasia, jangan beritahukan sedilkit pun pada siapa pun. Sebab, Allah ‘Azza wa Jalla setiap hari berada dalam satu kondisi (sya’n) berubah dan berganti. Penyampaian hal] itu juga akan menghalangi hubungan diri dengan hati, sehingga Dia pun akan segera menghapus lagi apa yang telah diberitahukan-Nya padamu dan mengubahmu dari apa yang kau khayalkan akan terus-menerus dan kekal selamanya dalam dirimu, sehingga kau pun akan malu pada orang yang kau beritahukan. Simpanlah pengetahuan ini dalam lubuk hatimu, dan jangan beritahukan pada orang lain. Jika memang maqam atau hal tersebut kekal dan menetap terusmenerus (di dalam dirimu), maka itu adalah anugerah yang harus kau syukuri. Mohonlah taufig pertolongan pada Allah agar kau senantiasa bisa bersyukur dan semakin bersyukur. Jika beda kondisinya Gmagam atau hal yang diberikan-Nya tidak kekal dan terus-menerus), maka ia adalah tambahan pengetahuan, makrifat, nur, kesadaran, dan pengajaran (tadib). Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa padanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?’ (QS. al-Bagarah [2]: 106).

 

“Jangan kau pandang lemah takdir Allah, juga jangan kau tuduh Dia macam-macam dalam hal pengurusan dan pengaturan-Nya. Jangan pula kau ragukan janji (dan ancaman)-Nya. Teladanilah dalam hal ini Rasulullah Saw.

 

“Memang ada penghapusan beberapa ayat dan surat yang sudah telanjur diberlakukan dalam aktivitas keseharian, dibacakan dalam mimbar-mimbar, dan termaktub di dalam mushaf-mushaf dan lembaran. Ayat-ayat dan surat tersebut dihapus dan diganti dengan ketetapan lain. Dan, Rasulullah Saw. pun dalam hal ini berpindah pada selainnya (hukum baru). Kasus nasakh ini hanya terjadi pada teks hukum dan syara’. Adapun dari sisi ilmu dan hal antara Rasulullah dan Allah Ta‘ala, Rasul Saw. bersabda, ‘Hal itu dikayakan atas hatiku. Aku beristighfar memohon ampun pada Allah 70 kali dalam setiap hari. Riwayat lain menyebutkan, ‘100 kali.

 

“Rasulullah Saw. selalu berpindah dari satu kondisi ke kondisi lain, dan berganti dengan yang lain dalam menapaki tangga-tangga kedekatan dan menjejaki medan-medan kegaiban. Berubah-ubah pula di hadapannya khulu’ dan cahayacahaya. (Kekurangan) kondisi pertama terpampang jelas setelah disusul kedahagaan dan kekurangan. Dan, dari sinilah timbul kekurangan dalam pemeliharaan batasan-batasan dalam perspektif kerendahan hati Nabi Saw. Sehingga, beliau pun langsung mengucapkan istighfar Allah. Sebab, itu adalah hal terbaik seorang hamba serta yang paling pantas (dilakukannya) dalam segala kondisi.

 

“Istighfar mengandung pengakuan dosa dan kekurangan. Dan, keduanya adalah sifat seorang hamba dan segala kondisinya.

 

Keduanya merupakan warisan bapak manusia, Adam As. pada Nabi Saw. tatkala kesucian hal-nya dikotori oleh gelap kealpaan akan ikrar dan sumpah, juga akan kehendak kekekalan di surga dan persandingan dengan Sang Kekasih Yang Maha Pemurah lagi Maha Penganugerah, serta akan masuknya para malaikat padanya (Adam) dengan hormat dan salam. Sejakitu, diri Adam menemukan kehendaknya telah berbaur dengan kehendak al-Haqq ‘Azza wa Jalla, sehingga kehendak itu pun pecah berkeping-keping. Status (kesucian)-nya pun lenyap, juga wewenang kewaliannya. Posisinya pun diturunkan, cahaya-cahayanya digelapkan, dan kesuciannya terkotori. Akan tetapi, Adam langsung ditegur dan. diingatkan kembali akan kesucian Sang Maha Pengasih, lalu diajari cara pengakuan dosa dan lupa. Allah mendiktekan padanya pengakuan akan kekurangan diri, sehingga keduanya berkata, ‘Wahai Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tak mengampuni kami dan merahmati kami, niscaya kami akan termasuk orang-orang yang merugi.’ (QS. al-A’raaf [7]: 23).

 

“Selanjutnya, turunlah kepadanya cahaya-cahaya petunjuk, ilmu-ilmu taubat dan pengetahuannya, juga kemaslahatan yang terpendam di dalamnya yang sebelumnya masih belum ada. Lalu, digantikanlah hal tersebut dengan yang lain. Datanglah juga padanya kewalian terbesar dan penempatan di dunia, kemudian di akhirat. Dunia pun menjadi tempat tinggal baginya dan keluarganya (setelah sebelumnya ia tinggal di surga), dan akhirat bagi mereka adalah tempat kembali dan kekekalan.

 

“Allah berfirman, ‘Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa padanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.’ (QS. al-Bagarah [2]: 106).

 

“Teladanilah Nabi Muhammad Saw, kekasih dan pilihan Allah, dan nenek moyangnya, Adam, pilihan Allah dan anggota kekasih dalam mengakui kesalahan dan beristighfar dalam segala kondisi, juga kerendahan dan kefakiran di dalamnya. Semoga Allah menganugerahkan shalawat kesejahteraan dan salam kedamaian pada Muhammad dan keluarganya, juga para sahabatnya.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya-berujar, “Bila kau sudah berada dalam hal tertentu, jangan macam-macam memilih yang lain, baik yang lebih tinggi maupun yang lebih rendah. Jika kau tengah berada di depan pintu gerbang istana raja, maka jangan pilih masuk kecuali jika kau dimasukkan dengan paksaan (keharusan), bukan atas pilihanmu sendiri (bebas). Yang saya maksud paksaan ini adalah perintah tegas dan berulang-ulang. “Karena itu, jangan berpuas hati dengan sekadar izin masuk, sebab hal itu bisa saja merupakan jebakan dan tipuan dari sang raja. Akan tetapi, bersabarlah hingga kau dipaksa masuk, lalu kau pun masuk karena murni paksaan dan tindakan dari raja. Di sini, raja tidak akan menghukummu atas tindakannya. Hukuman atasmu hanya akan dijatuhkan jika kau bernafsu dan rakus ingin masuk, juga kurang bersabar dan kurang ajar, serta tidak mengindahkan keridhaan akan kedudukan.

 

“Selanjutnya, jika kau telah diizinkan masuk, maka tundukkan kepala dan pandanganmu, juga bersikap sopan dan menjaga betul apa yang diperintahkan kepadamu berupa pekerjaan dan layanan, tanpa mengharapkan kenaikan kedudukan ke jenjang tertinggi. Allah berfirman kepada Rasul pilihan-Nya, ‘Dan, janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami coba mereka dengannya. Dan, karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal. (QS. Thaahaa [20]: 131).

 

“Ini adalah bentuk ta’dib (pengajaran etika) Allah pada Nabi pilihan-Nya dalam memelihara hal dan ridha menerima segala pemberian. Allah berfirman, ‘Dan, karunia Tuhan kamu itu lebih baik dan lebih kekal? (QS. Thaahaa [20]: 131). Artinya, apa yang telah Aku berikan kepadamu, berupa kebajikan dan kenabian, juga ilmu, qana‘ah dan kesabaran, wewenang agama, dan kemampuan menggelutinya, lebih baik daripada apa yang Aku berikan kepada selainmu.

 

“Jadi, kebaikan adalah pilihan untuk memelihara hal (status diri), ridha menerimanya, dan tidak berpaling pada selainnya. Sebab, suatu kebaikan bisa jadi termasuk bagianmu atau kemungkinan juga milik orang selainmu, atau bukan bagian siapasiapa, bahkan Allah malah menciptakan petaka di dalamnya.

 

Jika memang sesuatu telah ditentukan-Nya sebagai bagianmu, tentu ia akan sampai ke tanganmu, suka atau tidak suka. Jadi, tidak scyogianya kau menunjukkan sikap lancang dan rakus dalam upaya untuk mencapainya, sebab hal itu malah kurang terpuji dalam parameter ilmu dan akal. Lalu, jika memang hal itu ditakdirkan-Nya sebagai bagian orang lain, jangan payahkan dirimu untuk meraih sesuatu yang tidak akan pernah bisa kau raih dan tidak akan pula sampai ke tanganmu selamanya. Dan, jika memang sesuatu itu bukan bagian siapa-siapa, bahkan malah merupakan fitnah adanya, mana mungkin seorang yang berakal mau merelakan diri dan menganggap baik ambisi untuk meraih suatu fitnah yang akan merusak dirinya? Jadi, jelas bahwa seluruh kebaikan dan keselamatan terletak pada pemeliharaan hal yang ada.

 

“Jika kau diberi kehormatan untuk naik ke atas kamar, kemudian ke loteng, maka bersikaplah sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas; menjaga diri, menunduk, dan bersikap santun, bahkan harus bersikap dua kali lipat dari itu, sebab kau kini lebih dekat kepada sang raja, dan lebih dekat kepada mara bahaya. Jangan berangan-angan untuk pindah dari sana, ke tempat yang lebih tinggi atau yang lebih rendah, juga yang lebih permanen atau tetap, juga perubahan martabat yang kini kau miliki. Jangan ada kehendak pribadi sedikit pun di sini, sebab hal itu merupakan bentuk kufur nikmat atas hal yang telah dianugerahkan, dan kekufuran lebih lanjut menjadikan pelakunya terhina, baik di dunia maupun di akhirat.

 

“Oleh karena itu, senantiasalah berlaku sebagaimana yang telah kami sebutkan, sampai kau dikukuhkan untuk naik ke jenjang yang meniscayakan maqam (kedudukan) bagi dirimu yang permanen dan takkan tergoyahkan. Ketahuilah ketika itu, bahwa ini adalah anugerah dengan segala tanda dan gejala yang terlihat, yang harus senantiasa kau pegang teguh dan jangan sekali-kali kau lenyapkan. Ahwal adalah wewenang kepemilikan pada wali, sedang maqamat adalah wewenang kepemilikan para abdal.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya- berujar, “Pada para wali dan abdal dianugerahi singkapan (pengetahuan) tentang tindakan-tindakan Allah ‘Azza wa Jalla yang tak terjangkau nalar manusia dan di luar kebiasaan. Tindakan Allah tersebut dapat digolongkan menjadi dua kategori; Jalal (keagungan), dan Jamal (keindahan). Jalal (keagungan) dan kebesaran melahirkan khauf (ketakutan) yang menggelisahkan dan wajl (kengerian) yang menggundahkan, juga kekalahan (ghalabah) besar pada hati yang menampakkan gejala-gejalanya pada fisik (anggota badan) sebagai sebuah riwayat dari Nabi Muhammad Saw., (bahwasanya pernah) terdengar dari dada beliau sebuah gemuruh bak air mendidih di dalam ketel sewaktu shalat’ lantaran saking takutnya beliau akan apa yang beliau lihat dari keagungan Allah ‘Azza wa Jalla dan singkapan kebesaranNya. Riwayat senada juga konon terjadi pada Nabi Ibrahim Khalil ar-Rahman As. dan Amirul-Mukminin Umar Ra.

 

“Adapun penyaksian Keindahan adalah penampakan tajalli pada hati dengan (refleksi) cahaya-cahaya, keceriaan, kelembutan, ujaran yang merdu, ucapan penuh kasih sayang, bisyarah (kabar – gembira) akan kelimpahan anugerah dan ketinggian kedudukan, | dan kedekatan dengan-Nya ‘Azza wa Jalla, sehingga Dia pun kemudian menguasakan segala urusan mereka pada-Nya. Dengan demikian, kering sudah pena (takdir) dari bagian-bagian peruntukan mereka dalam pra-azali sebagai manifestasi karunia dan kasih sayang dari-Nya, juga sebagai bentuk pengukuhan-Nya atas mereka di dunia ini sampai datangnya ajal sebagai batas waktu yang telah ditakdirkan.

 

“Hal ini (dilakukan-Nya) agar mereka tidak berlebih-lebihan dalam mencinta lantaran kerinduan mereka yang memuncak pada Allah ‘Azza wa Jalla—sehingga kepedihan mereka akan meledak dan matilah mereka atau tak mampu lagi menjalankan penghambaan sampai muncul keyakinan kuat pada mereka, — yaitu kematian. Dia sengaja melakukan hal ini pada mereka sebagai perwujudan kelembutan, kasih sayang, dan kecintaanNya pada mereka, juga demi mendidik dan melatih hati mereka. Sesungguhnya, Dia Maha Bijaksana, Maha Mengetahui, Maha Lembut dengan mereka, lagi Maha Kasih dan Maha Sayang.

 

“Dalam kerangka inilah, Nabi Muhammad Saw. diriwayatkan pernah berkata kepada Bilal Sang Muadzin, ‘Legakanlah kami, hai Bilal, dengannya,’ Artinya, dengan iqamah, agar kami masuk shalat demi menyaksikan Keindahan yang kami sebutkan. Dan, dalam kerangka ini pula, Nabi Saw. bersabda, ‘Dan, dijadikannya penyejuk mataku dalam shalat.”’

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya-berujar “Sesungguhnya tiada sesuatu kecuali hanya Allah, sedangkan nafsu dirimu dan kamu adalah mukhathab (objek penerima). Nafsu adalah pembangkang Allah dan musuhNya. Segala sesuatu adalah bawahan yang tunduk kepada Allah, begitu pula nafsu secara penciptaan dan kepemilikan hakiki. Nafsu memiliki (sifat) suka mengklaim, berharap muluk-muluk, mengandung berahi dan kenikmatan menurutinya.

 

“Jika kau mengikuti al-Haqq ‘Azza wa Jalla untuk melawan nafsu dan memusuhinya, maka kau berada di pihak Allah dan menjadi musuh nafsu sebagaimana firman Allah kepada Nabi Daud As., “‘Wahai Daud, penghambaan adalah kau sepenuhnya di pihak-Ku dan menjadi musuh atas nafsu dirimu sendiri. Saat itulah, baru terwujud kesetiaanmu kepada Allah dan penghambaanmu kepada-Nya, lalu akan didatangkanlah kepadamu segala bagian dengan penuh aroma kelezatan dan engkau merasa terhormat dan termuliakan. Segala sesuatu akan melayanimu, juga menghormati dan menjunjungmu, sebab mereka semua adalah bawahan yang tunduk pada Tuhannya Azza wa Jalla, senantiasa mengikuti-Nya, karena memang Dia adalah Pencipta dan Pengada mereka (dari ketiadaan), sementara mereka menyatakan penghambaan penuh pada-Nya.

 

“Allah berfirman, ‘Dan, tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya, Dia Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. (QS. al-Israa’ [17]: 44). Artinya, mereka berdzikir dan menyembah-Nya. Firman-Nya lagi, *…Lalu, Dia berkata kepadanya (langit) dan kepada bumi, ‘Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.’ Keduanya menjawab, ‘Kami datang dengan suka hati. (QS. Fushshilat [41]: 11).

 

“Kunci ibadah, apa pun bentuknya, dengan demikian terletak dalam sikap penentangan dirimu atas nafsumu. Allah berfirman, ‘Dan, janganlah engkau turuti hawa nafsumu, karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah’ (QS. Shaad [38]: 26). Dia juga berfirman pada Nabi Daud, ‘Tinggalkanlah hawa nafsumu, sesungguhnya tak ada perusuh yang menentang-Ku di seluruh kerajaan-Ku kecuali hawa (nafsu).

 

“Ada pula sebuah hikayat terkenal tentang Abu Yazid alBistami Ra. Konon, saat bermimpi melihat Rabb al-‘Tzzah (Allah), ia bertanya kepada-Nya, ‘Bagaimana jalan menuju-Mu, wahai Bara Khudaya?’ Dia menjawab, ‘Tinggalkan nafsu dirimu dan kemarilah!’ Abu Yazid pun lantas bertutur, ‘Serta merta aku keluar dari nafsu diriku laksana seekor ular keluar (melongsong) dari kulit badannya.”

 

“Jadi, jelas sudah bahwa kebajikan terletak dalam sikap memusuhi nafsu diri secara umum dalam segala kondisi. Ketika kau berada dalam kondisi takwa, maka lawanlah nafsumu dengan keluar dari hal-hal yang haram dan syubhat atas makhluk (baca: manusia), juga kemurahan-kemurahan atas mereka, kepasrahan diri dan keyakinan pada mereka, ketakutan dan mengharap sesuatu pada mereka, serta ketamakan untuk memiliki rongsokan-rongsokan dunia yang mereka miliki. Kau pun tidak lagi mengharap pemberian mereka lagi atas dasar hadiah, zakat, shadaqah, kafarat, atau pembayaran denda nadzar. Putuskanlah angan pikirmu dari mereka dalam segala aspek dan perantara (asbab), bahkan ketika kau memiliki pewaris yang kaya raya, maka jangan sekali-kali kau harapkan kematiannya agar bisa mewarisi kekayaannya.

 

“Bersungguh-sungguhlah keluar dari lingkaran makhluk. Anggaplah mereka bak pintu gerbang yang membuka dan menutup, atau seperti pohon yang kadang-kadang berbuah dan kadang-kadang mandul yang tergantung pada tindakan Sang Penggerak dan pengurusan Sang Pengurus, yaitu Allah. Jika sudah demikian hal dirimu, maka kau telah menjadi Pengesa Tuhan ‘Azza wa Jalla.

 

“Namun di sini, jangan kau lupakan upaya untuk membebaskan diri dari paham fatalisme (Jabariyah)’. Yakinilah bahwa segala perbuatan tidak akan terjadi tanpa (campur tangan) Allah Taala agar kau tidak terjebak menyembah mereka dan melupakan Allah. Jangan sampai kau katakan bahwa tindakan manusia lepas dari aksi Allah, niscaya kau kafir dan menjadi seorang penganut Qadariyah. Akan tetapi, katakan bahwa segala perbuatan itu adalah milik Allah dari segi penciptaan (li Allah khalqan) dan milik hamba dari segi upaya untuk berusaha (li al-‘ibad kasban) sebagaimana tutur atsar! dalam mendudukkan posisi balasan dalam pahala dan siksa.

 

“Laksanakan perintah-perintah Allah yang berkenaan dengan mereka (manusia), dan lepaskanlah bagianmu dari mereka dengan perintah-Nya pula asal jangan melampaui batas. Hukum Allah telah tegak berdiri untuk menghukumi kamu dan mereka, maka jangan kau anggap dirimu sebagai hakim.

 

“Keberadaanmu di tengah-tengah mereka adalah takdir. Dan, takdir merupakan ‘kegelapan’. Karena itu, masukilah ‘kegelapan’ ini dengan lampu penerang (misbah), yaitu hakam; kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya. Jangan sekali-kali kau langgar keduanya. Jika terbetik suatu gagasan atau muncul keinginan dalam pikiranmu, maka kemukakan hal itu terlebih dahulu pada (timbangan) kitab dan sunnah. Jika kau dapati pengharaman pada keduanya terhadap pikiran atau keinginan tersebut, seperti keinginan untuk berzina, berbuat riba, atau bergaul dengan golongan orang fasik (durjana), dan maksiat-maksiat lain, maka buang segera hal itu dari pikiranmu, jangan malah kau terima, apalagi kau laksanakan. Pastikanlah bahwa pikiran tersebut berasal dari setan yang terkutuk.

 

“Dan, jika kau dapati penghalalan di dalam kitab dan sunnah atas ilham tersebut seperti hasrat-hasrat yang diperbolehkan berupa nafsu makan, minum, berpakaian, nikah, maka jauhkanlah pikiran tersebut dari dalam dirimu dan jangan sekali-kali kau terima begitu saja. Ketahuilah bahwa hal itu merupakan ilham nafsu dan syahwat kesenangannya. Dan, kamu diperintahkan untuk menentang dan memusuhi nafsu.

 

“Lalu, jika tak kau dapati pengharaman atau penghalalan hal tersebut di dalam kitab dan sunnah, akan tetapi keinginan tersebut berupa sesuatu yang tidak kau pikirkan, seperti keinginan ‘datanglah ke tempat ini’, atau ‘jumpailah si Polan’, namun kau di dalam hal ini tidak membutuhkannya, juga tidak ada kemaslahatan di dalamnya bagimu karena kau sudah merasa cukup dengan anugerah kenikmatan yang telah dilimpahkan oleh Allah Azza wa Jalla kepadamu berupa ilmu pengetahuan, maka ambil sikap tidak memilih dan jangan terburu melakukannya. Katakan pada dirimu sendiri, “Benarkah ini ilham dari Allah dan mesti aku laksanakan?’ Amati sisi kebaikan hal tersebut hingga ilham tersebut datang berulang-ulang dan memerintahkan untuk berlaku cepat, atau muncul pertanda pada orang yang mengetahui Allah Azza wa Jalla yang bisa dinalar oleh penalar dari kalangan para wali, juga oleh para pendukung dari kalangan para abdal. Di sini, kau tidak boleh terburu-buru bertindak melaksanakan karena kau tidak mengetahui akhir atau akibatnya, juga kandungan fitnah, kebinasaan, makar, dan ujian dari Allah Azza wa Jalla yang sengaja dipasang-Nya di dalamnya. Karena itu, bersabarlah sampai Allah ‘Azza wa Jalla sendirilah yang berbuat di dalam dirimu.

 

“Bila tindakan itu berdasarkan kehendak-Nya, dan kau terbawa melakukannya, lalu jika kau diadang fitnah, maka kau akan terpelihara darinya (fitnah tersebut), sebab Allah tidak akan menghukummu atas tindakan yang dikehendaki-Nya sendiri, namun Dia hanya akan menghukummu atas keterlibatanmu di dalam sesuatu.

 

“Jika kau berada dalam status hakikat, yaitu status kewalian, maka lawanlah nafsumu dan ikutlah perintah secara umum. Pelaksanaan perintah itu bisa dilakukan dengan dua pola:

 

“Pertama, ambil bagian duniawimu sebatas qut (kebutuhan untuk menyambung hidup) yang sudah merupakan hak nafsu, lalu tinggalkan bagian yang lain dan laksanakan kewajiban. Sibukkan diri dengan meninggalkan dosa, baik yang tampak maupun yang samar.

 

“Kedua, terkait dengan perintah tersembunyi (amr batin), yaitu perintah al-Haqq ‘Azza wa Jalla yang bukan berwujud perintah (atas sesuatu yang wajib) dan larangan (atas sesuatu yang haram). Akan tetapi, perintah ini terbentuk dalam hal mubah yang tidak memiliki ketentuan hukum dalam syariah, dengan kata lain ia tidak termasuk ‘larangan’, juga ‘perintah’ wajib, melainkan diserahkan pada hamba untuk bertindak di dalamnya atas kehendaknya sendiri. Hal ini disebut mubah.

 

“Dalam menyikapi hal demikian, seorang hamba tidak boleh terburu-buru melakukan sesuatu terhadapnya, melainkan harus menunggu perintah. Baru jika sudah diperintahkan, ia boleh melaksanakannya. Sehingga, seluruh gerak dan diamnya pun disebabkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla.

 

“Jika memang ada ketentuan hukumnya dalam syariah, maka ia harus memegang syariah. Dan, jika tetap tidak ada ketentuannya dalam syariah, maka boleh bertindak atas dasar perintah-perintah tersembunyi. Jika sudah demikian halnya, maka ia pun menjadi kalangan ahli hakikat. Lalu, jika tetap tidak ada perintah batin di dalamnya juga, maka itu hanyalah tindakan berstatus penyerahan diri (taslim). .

 

“Bila kau telah sampai pada halah kebenaran al-Haqq ‘Azza wa Jaila, yaitu kondisi pelenyapan (mahw) atau peleburan (fana’, yang merupakan kondisi para abdal dan orang-orang yang patah hati demi al-Haqq ‘Azza wa Jalla, juga orang-orang manunggal dan ahli makrifat, para pemilik ilmu dan akal, para tuan penggerak pengawas dan pelindung umat, para khalifah Sang Maha Pengasih; khalil-khalil, orang-orang kepercayaan-Nya, dan para kekasih-Nya (‘alaihimussalam).

 

“Dan, pelaksanaan perintah ini adalah dengan melawan nafsumu sendiri. Jangan sekali-kali kau bergantung pada daya dan upaya (kekuatan). Jangan sampai kau menyimpan kehendak dan ambisi untuk melakukan sesuatu sama sekali, baik untuk tujuan duniawi maupun ukhrawi, sehingga kau pun menjadi hamba Allah Yang Maha Memiliki (abdul Malik), bukan hamba kepemilikan (abdul Mulk), hamba perintah, bukan budak hawa (nafsu). Berlakulah seperti bayi di tangan juru rawat, mayit di tangan pemandinya, atau pasien di tangan dokter perawatnya, dalam hal-hal selain perintah dan larangan.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya-berujar, “Apabila timbul di dalam benakmu keinginan untuk kawin, padahal kau dalam kondisi miskin papa dan tidak mampu memenuhi biayanya, maka bersabarlah sembari menunggu jalan keluar dari al-Bari (baca: Allah) ‘Azza wa Jalla, baik berupa pelenyapan dan penghilangan hasrat tersebut dari dalam dirimu dengan kekuasaan-Nya sebagaimana saat Dia melontarkan dan menciptakan hasrat tersebut di dalam dirimu, sehingga hal itu pun akan membantu dan melindungimu dari tanggungan beban biaya; maupun berupa penghantaran keinginan tersebut padamu sebagai bentuk anugerah indah yang terbebas dari segala beban di dunia dan efek samping di akhirat.

 

“Allah pun akan menjulukimu sebagai hamba pensyukur (syakir), karena kesabaran dan keridhaanmu atas ketentuan bagian-Nya. Lagi, Dia juga akan menambahimu kesucian dan kekuatan. Jika memang itu sudah menjadi bagianmu, maka Dia sendiri yang akan mengantarkannya kepadamu dengan tanpa beban, sehingga kesabaran pun di sini berubah menjadi kesyukuran, sebab Dia telah menjanjikan tambahan anugerah bagi orang-orang yang bersyukur. Dia berfirman, ‘Sesungguhnya, jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu. (QS. Ibrahim [14]: 7).

 

“Dan, jika memang hal itu belum bagianmu, maka Dia akan mencabutnya kembali dari hatimu, suka atau tidak suka.

 

“Senantiasalah bersabar dan menentang hawa nafsumu. Pegang teguhlah perintah-perintah-Nya dan ridhalah menerima Qadha-Nya. Haraplah dengan semua itu karunia dan anugerah pemberian. Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman, ‘Hanya orangorang yang bersabarlah yang akan menerima ganjaran mereka tanpa batas.” (QS. az-Zumar [39]: 10).

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya-berujar, “Jika Allah ‘Azza wa Jalla melimpahimu kekayaan, dan kekayaan itu kemudian menyibukkan dirimu dari berbuat ketaatan kepada-Nya, maka Dia memisahkanmu darinya, baik di dunia maupun kelak di akhirat. Bahkan, bisa jadi Dia akan mencabut kembali karunia-Nya darimu, menelantarkanmu, dan menjadikanmu melarat sebagai bentuk hukuman atas kesibukanmu dengan nikmat hingga melupakan Sang Pemberi nikmat.

 

“Namun, jika kau sibukkan diri dengan berbuat ketaatan kepada-Nya sembari berpaling dari kekayaan, maka Dia akan menjadikan kekayaan tersebut sebagai anugerah bagimu dan tidak akan berkurang sebiji pun. Harta kekayaan akan menjadi pelayanmu, sementara kau berkhidmat menjadi pelayan Sang Maula (baca: Allah), sehingga kau pun hidup di dunia dalam belaian kasih sayang, dan hidup di akhirat dalam belai kehormatan dan kemuliaan di surga bersama para shiddiq, para syahid, dan kaum shalih.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya-berujar, “Jangan kau pilih (berikhtiar sendiri) meraup segala kenikmatan, ataupun menangkis kesialan bencana. Jika memang bagianmu, nikmat akan datang sendiri kepadamu, meski kau memustahilkan atau membencinya. Dan, bencana jika memang sudah menjadi bagianmu tetap akan menimpamu juga, baik kau membenci dan berusaha menolaknya dengan bermacam doa ataupun bersabar dan mengerahkan kemampuan diri menggapai ridha sang al-Maula (baca: Allah).

 

“Akan tetapi, serahkan semua pada Allah. Biarkanlah Dia bertindak apa pun atas dirimu. Jika memang berupa kenikmatan, maka syukurilah. Dan, jika berbentuk bencana, maka sibukkanlah diri dengan penyabaran diri atau bersabar, atau coba terima saja dengan segala keridhaan atau menikmatinya. Bersikaplah ada dan tiada di dalamnya sebesar kemampuan hal yang telah diberikan-Nya kepadamu, sehingga kau pun akan bergerak di dalamnya dan berjalan menyusuri stasiun-stasiun menuju alMaula (baca: Allah), yang sudah diperintahkan untuk kau taati dan kau setiai, meski harus menempuh padang sahara dan rimba belantara menuju maqamat untuk bisa sampai pada ar-Rafigq alA‘la (baca: Allah).

 

“Dalam kondisi demikian, kau pun akan ditempatkan-Nya di maqam yang telah dicapai dan dilalui oleh kaum shiddiq, para syahid dan kaum shalih, yaitu kedekatan dengan Sang al-‘Aliy al-A‘la (baca: Allah) agar kau bisa melihat maqam orang-orang yang telah mendahuluimu menghadap dan mendekat pada Sang Maharaja (al-Malik), serta mendapatkan segala kenyamanan,. kesenangan, keamanan, kehormatan, dan segala bentuk kenikmatan di sisi-Nya.

 

“Biarkanlah bencana menyambangimu dan kosongkanlah , jalannya. Jangan kau rintangi perjalanannya dengan doa. Jangan merasa gundah atas kedatangan dan penghampirannya. Toh apinya tak lebih mengerikan daripada kobaran api neraka dan jilatannya. Telah diriwayatkan sebuah kabar dari manusia terbaik, dan orang terbaik yang beranjangkan bumi dan berselimutkan langit, Muhammad Saw., ‘Sungguh, api neraka akan berseru kepada orang mukmin, ‘Hai orang mukmin, cepatlah berlalu karena cahayamu memadamkan bara apiku,’ Bukanlah cahaya seorang mukmin yang mampu memadamkan bara api neraka itu, melainkan cahaya yang menyertainya di dunia ini yang membedakannya di antara orang yang patuh dan durhaka? Karena itu, biarkanlah cahaya ini yang memadamkan kobaran bencana, dan biarkanlah dingin kesabaran dan kepatuhanmu kepada Allah yang memadamkan panas sesuatu yang menimpa dan mendekatimu.

 

“Bencana yang menimpamu tidak untuk membinasakanmu, akan tetapi untuk mengujimu, membuktikan keshahihan imanmu, menguatkan pilar-pilar keyakinanmu, dan secara rahasia memberikan kabar gembira akan kebanggaan Maula Junjunganmu atas dirimu. Allah berfirman, ‘Dan, sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kalian agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antaramu; dan agar Kami nyatakan hal ihwal kalian.’ (QS. Muhammad [47]: 31).

 

“Jika memang kau telah kokoh bersama Tuhanmu ‘dengan keimananmu, lalu kau setujui tindakan-Nya dengan keyakinanmu—dan semua ini ‘berkat taufiq pertolongan, anugerah, dan kemurahan-Nya—maka jadilah kau ketika itu sebagai orang yang sabar, akur, lagi pasrah diri. Jangan sampai terjadi dalam dirimu, juga oleh selainmu suatu tindakan (haditsah) yang keluar dari perintah dan larangan. Jika perintahNya datang, maka ikutilah (dengan saksama) dan segeralah melaksanakannya, juga terapkan dan teguhkan. Bertindaklah dan jangan hanya diam. Jangan bersikap pasif di hadapan takdir dan tindakan (Allah), akan tetapi curahkanlah seluruh upaya dan kemampuanmu untuk melaksanakan perintah tersebut.

 

“Jika kau tidak mampu melaksanakannya, segeralah kau bersimpuh dan memohon perlindungan pada Sang Maula Junjunganmu ‘Azza wa Jalla. Tujulah Dia, lalu bersimpuh dan mohonlah maaf kepada-Nya. Teliti sebab-sebab ketidakmampuanmu melaksanakan perintah-Nya, juga keterhalanganmu untuk berkemuliaan dengan menaati-Nya. Mungkin saja hal itu dikarenakan rasa putus asamu dalam berdoa dan kekurangsantunanmu dalam menaati-Nya, kekasaran dan kebertumpuan dirimu hanya pada daya dan kekuatanmu sendiri, keujubanmu atas ilmu yang kau miliki, juga penyekutuanNya dengan dirimu dan makhluk-Nya. Sehingga, Dia pun memalangi pintu-Nya, memakzulkanmu dari ketaatan dan khidmat pelayanan-Nya, memutus aliran taufiq-Nya padamu, memalingkan wajah-Nya yang mulia darimu, murka dan marah besar padamu, serta menyibukkanmu dengan menimpakan bala, dunia, hawa nafsu, kehendak, dan ambisi keinginan.

 

“Tak tahukah kau bahwa hal inilah yang membuatmu lupa akan Tuhanmu serta menjatuhkanmu dari pandangan Zat yang telah menciptakan dan mengasuhmu, lalu mengaruniaimu segala anugerah, dan mencintaimu.

 

“Awas! Jangan sampai kau berpaling dari Maula Junjunganmu karena selain-Nya. Segala sesuatu selain Maula Junjunganmu adalah selain-Nya, maka jangan utamakan sesuatu selain Allah di atas Dia, sebab Dia menciptakanmu semata-mata untuk (beribadah kepada)-Nya. Janganlah zhalimi dirimu dengan bersibuk dengan selain-Nya hingga melupakan perintah-Nya, niscaya Dia akan memasukkanmu ke dalam api neraka-Nya yang bahan bakarnya terdiri dari manusia dan bebatuan, lalu kau pun pasti akan menyesal, namun sesalmu kala itu sudah tidak berguna lagi. Kau pasti juga akan memohon maaf, namun permohonan maafmu sudah tidak diterima lagi ketika itu. Kau (menangis) minta pertolongan, namun takkan ada pertolongan lagi di sana. Kau minta keletihan, namun tak diletihkan. Juga kau minta dikembalikan ke dunia lagi untuk menebus kesalahan dan berbuat keshalihan, namun kau tak akan dikembalikan.

 

“Kasihani dan sayangilah dirimu. Gunakanlah segala sarana dan prasarana yang telah diberikan-Nya kepadamu untuk menaati Maula Junjunganmu, berupa akal, iman, makrifat, dan ilmu sebagai penerangan di tengah gulita takdir-takdir. Pegang teguhlah perintah dan larangan Allah, dan berjalanlah dengan keduanya di jalan Tuhanmu. Serahkan segala sesuatu selain keduanya (perintah dan larangan) pada Zat yang telah menciptakan dan mengadakanmu (dari ketiadaan). Jangan sekali-kali kau ingkari (kufuri) Zat yang telah menciptakanmu dari debu dan mengasuhmu, lalu dari setetes mani dijadikan-Nya kau seorang manusia sempurna. Janganlah menghendaki yang bukan perintah-Nya, dan jangan benci selain larangan-Nya.

 

“Puaslah dengan kehendak ini di dunia dan akhirat. Dan, bencilah sesuatu yang membenci kehendak ini di dalam keduanya (dunia dan akhirat), sebab segala keinginan ikut dengan kehendak ini, begitu juga segala kebencian mengikuti hal yang dibenci oleh kehendak ini.

 

‘Jika kau bersama perintah-Nya, maka semesta pun berada dalam perintahmu. Dan, jika kau membenci larangan-Nya, maka larilah segala hal yang tidak diinginkan dari dirimu di mana pun kau berada dan mecnempat.

 

“Allah berfirman dalam hadits Qudsi, ‘Wahai anak turun Adam, Akulah Allah, tak ada ilah (sesembahan) selain Aku. Aku hanya cukup mengatakan pada sesuatu Jadilah!’, maka ia pun akan mewujud jadi. Taatilah Aku, niscaya akan Kujadikan kau mampu mengucapkan pada sesuatu ‘jadilah!’, lalu ia pun jadi seketika.’ Firman-Nya lagi, ‘Hai dunia, barang siapa berkhidmat melayaniKu, maka layanilah ia. Dan, barang siapa berkhidmat melayanimu, maka letihkanlah ia.” Dengan perkataan lain, ‘Layanilah orang yang melayani-Ku dan perbudaklah orang yang melayanimu.

 

“Jika datang larangan-Nya, maka berlakulah kau seperti orang yang lunglai sendi-sendi tulangnya, lemah fisiknya, remuk hatinya, terbelenggu lengannya, hendak mati rasa badannya, lenyap hawa nafsunya, dan kehilangan rusum (sifatsifat kemanusiaan). Juga laksana peninggalan yang terlupakan, pelataran yang gelap dan tak terurus, gedung yang nyaris roboh, rumah yang kosong tanpa penghuni, singgasana yang roboh, tanpa rasa dan tanpa jejak. Berlakulah pula seolah-olah pendengaranmu bak orang yang tuli bawaan, penglihatanmu laksana orang yang sedang terkena radang mata atau yang buta sejak lahir, seakan-akan kedua bibirmu bak penuh bengkak nan luka, seakan-akan lidahmu bisu dan kasar, seakan-akan gigimu bernanah penuh nyeri dan tanggal, seakan-akan kedua tanganmu lumpuh dan tak kuasa memegang sesuatu pun, seakan-akan kakimu gemetar dan penuh luka, seakan-akan kemaluanmu lumpuh total, seakan-akan perutmu kekenyangan dan tak mampu menampung makanan lagi, seakan-akan akalmu gila dan tak waras, dan seakan-akan tubuhmu mayat yang tengah dipikul menuju kubur.

 

“(Dengan kata lain,) bersegeralah mendengar dan bergerak dalam menyikapi perintah, janganlah malas-malasan dan tanpa bergairah dalam menghadapi larangan, dan berlakulah seperti orang yang di ambang kematian, kerentaan, dan kebinasaan saat menghadapi takdir.

 

“Teguklah minuman ini, berobatlah dengan ramuan ini, bersantaplah dengan menu makanan ini, niscaya atas izin Allah Ta‘ala kau akan sembuh dan terbebas dari segala penyakit dosa dan virus hawa keinginan. Insya Allah.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya- berujar Wahai budak nafsu dan hawa, jangan mendakukan status (halah) kaum (sufi). Kau adalah budak nafsu, sementara mereka adalah hamba al-Maula (baca: Allah). Dambaanmu melulu dunia, sementara dambaan mereka adalah setelah dunia (akhirat). Kau hanya melulu melihat dunia, sementara mereka memandang Tuhan bumi dan langit. Keintimanmu hanya dengan makhluk (baca: manusia), sementara mereka intim dengan al-Hagq ‘Azza wa Jalla Sang Pencipta. Hatimu hanya terpaut dengan orang yang di bumi, sementara hati mereka terpaut pada Tuhan Arsy. Kau diburu oleh orang yang kau lihat, sementara mereka tak melihat segala yang kau lihat, melainkan hanya melihat Sanp Pencipta scgala hal yang terlihat Coleh mata-mata ini).

 

“Kaum sufi berbahagia meraih keselamatan, sementara kau tetap masih tertawan oleh hasrat duniawi dan segala nafsu. Mereka telah lebur binasa dari makhluk, hawa, keinginan, dan angan, hingga mampu mencapai Sang Maharaja Tertinggi (alMalik al-A‘la), lalu Dia menempatkan mereka di puncak tujuan mereka dari ketaatan, pujian, dan sanjungan. Semua itu adalah anugerah Allah yang hanya diberikan-Nya pada orang yang dikehendaki-Nya. Mereka pun melekati hal itu dan senantiasa mendapat taufiq pertolongan dari-Nya, juga mendapat kemudahan-kemudahan yang tanpa beban kesulitan.

 

“Jadilah kepatuhan sebagai nyawa dan makanan utama mereka. Dan, jadilah dunia ketika itu bagi mereka sebuah kenikmatan dan kenyamanan, seolah-olah ia bagi mereka adalah Jannah al-Ma’wa (surga). Mereka tidak melihat-segala sesuatu sampai mereka melihat tindakan Allah di belakangnya yang telah menciptakan dan mengadakan (dari ketiadaan). Demi mereka bumi dan langit tetap stabil dan kokoh, serta menjadi tempat bagi yang mati dan yang hidup. Maharaja mereka (baca: Allah) telah menjadikan mereka sebagai pasak bumi yang kukuh. Mereka bagai gunung-gunung yang berdiri kokoh.

 

“Karena itu, menyingkirlah dari jalan mereka. Jangan ikut berdesak dengan orang-orang yang tidak terbelenggu oleh orang tua dan anak-anak dalam mencapai tujuannya. Mereka adalah orang-orang terbaik yang pernah diciptakan oleh Tuhanku, juga yang tersebar dan tertanam di muka bumi. Semoga salam kedamaian senantiasa terlimpah atas mereka, juga kehormatan dan berkah-Nya sepanjang usia langit dan bumi.”

 

WYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya- berujar, “Aku pernah melihat seolah-olah tengah berada di suatu tempat yang mirip masjid. Di dalamnya orang-orang saling menyendiri dan memisah. Aku pun berkata (dalam hati) pada diriku, ‘Andai si Polan mau mendidik dan membimbing orang-orang ini.’ Andaianku sembari menunjuk salah seorang shalih. Orang-orang pun lantas berkumpul mengelilingiku. Salah seorang dari mereka bertanya, ‘Mengapa Anda tidak bicara?’ Aku jawab, Jika kalian berkenan, aku akan bicara.’ “Selanjutnya kukatakan pada mereka, Jika memang kalian mengasingkan diri dari khalayak manusia menuju al-Haqq ‘Azza wa Jalla maka jangan sekali-kali kalian meminta sesuatu pun pada manusia dengan lidah kalian. Jika kalian bisa meninggalkan hal itu, maka jangan mengemis pada mereka dengan hati kalian. Sebab, meminta dengan hati sama saja meminta dengan lidah.’

 

“Ketahuilah,’ lanjutku, ‘Sesungguhnya Allah setiap hari berada dalam kuasa mengubah dan mengganti, meninggikan dan merendahkan. Ada kalangan yang Dia naikkan derajat mereka ke puncak tertinggi (‘Illiyyin), dan ada pula kalangan yang Dia campakkan di kerak terendah dasar terbawah (asfalas safilin).

 

“Ketakutan orang-orang yang Dia angkat ke puncak tertinggi adalah jika mereka dicampakkan-Nya ke kerak terendah dasar terbawah, sementara harapan mereka adalah semoga Dia mengukuhkan dan memelihara mereka di atas ketinggian posisi yang mereka nikmati .

 

“Adapun ketakutan yang dicampakkan-Nya ke kerak terendah dasar terbawah adalah jika Dia menetapkan mereka selamanya dalam keterpurukan yang mereka alami, sedangkan harapan mereka adalah semoga Dia mengangkat mereka ke puncak derajat tertinggi 

 

“Setelah itu, tiba-tiba aku terbangun.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya- berujar, “Sesungguhnya, yang menghalangimu dari raih karunia dan raup nikmat-Nya adalah ketergantunganmu kepada manusia, sarana-sarana duniawi, keterampilan diri, dan kerja mencari nafkah (iktisab).

 

“Makhluk (baca: manusia) adalah hijab penghalangmu dari makan ala sunnah Rasul, yaitu bekerja (kash). Selama kau masih berdiri di hadapan manusia sembari mengharapkan kemurahan dan pemberian mereka, bahkan mengemis dan meminta-minta pada mereka, bolak-balik menyambangi rumah-rumah mereka, maka kau telah menyckutukan Allah ‘Azza wa Jalla dengan makhluk-Nya, sehingga Dia pun menghukummu dengan keterhalangan untuk makan ala sunnah, yaitu bekerja mengais rezeki dari kehalalan dunia.

 

“Kemudian, jika kau bertaubat dari keberdirianmu bersama makhluk (baca: manusia), juga kesyirikanmu menyekutukan Tuhanmu ‘Azza wa Jalla dengan mereka, lalu kau kembali bekerja, dan makan dengan hasil pekerjaan, namun kau lantas menyandarkan diri pada hasil kerja dan merasa tenang dengannya sembari melupakan karunia Tuhan ‘Azza wa Jalla, maka kau telah musyrik juga, malah lebih berbahaya dari yang pertama, karena kemusyrikan semacam ini halus (tak terduga).’ Allah pun akan menghukummu dan menghalangimu dari peroleh karunia-Nya dan kenikmatan-Nya.

 

“Jika kau bertaubat dari semua itu, lalu kau lenyapkan pula kesyirikan sebagai mediasi (al-wast), kau campakkan semua ketergantungan pada mata pencarian dan kemampuan diri, dan kau pandang Allah ‘Azza wa Jalla sebagai Sang Pemberi rezeki, juga Penyebab, Pemudah, dan Penguat pencarian nafkah, serta Pemberi taufiq pertolongan untuk melakukan semua kebajikan, sehingga (terbentuk dalam pola pikirmu) bahwa rezeki berada sepenuhnya di tangan kuasa-Nya. Terkadang, Dia mengantarkannya kepadamu lewat makhluk dengan cara meminta-minta pada mereka dalam kondisi diuji, riyadhah, atau saat meminta pada-Nya. Terkadang juga lewat kerja, dan terkadang lagi rezeki tersebut muncul dengan sendirinya tanpa perantara atau sarana (sabah). Lantas, setclah semua itu kau kembali pada-Nya dan melemparkan dirimu ke hadapanNya, maka Dia akan mengangkat hijab penghalang antara dirimu dan anugerah kemuliaan-Nya. Dia memberimu makan dan rezeki dengan anugerah karunia-Nya saat kau membutuhkan, menyesuaikan kadar keadaanmu, sebagaimana tindakan seorang dokter penyayang yang lembut dan cinta pada pasiennya, sebagai bentuk perlindungan-Nya atasmu dan penyucian dirimu dari kecenderungan pada selain-Nya, dan meridhakanmu dengan karunia-Nya.

 

“Dengan demikian, terputus sudah dari hatimu segala keinginan, hasrat, kelezatan, tuntutan, dan kesukaan. Tidak ada lagi yang tertinggal di dalam hatimu selain hanya iradat kehendak-Nya. Jika memang Dia menghendaki bagianmu yang mau tidak mau harus kau ambil dan bukan rezeki makhluk Allah selainmu datang kepadamu, maka Dia akan menciptakan keinginan (syahwat) di dalam hatimu untuk meraih bagianmu dan menyerahkannya kepadamu saat membutuhkan, kemudian Dia akan memberimu taufiq pertolongan untuk mampu mensyukurinya, juga mengenalkanmu bahwa bagian tersebut berasal dari-Nya, dan Dia adalah Zat yang menyodorkannya padamu dan memberimu rezeki.

 

“Jika sudah demikian halnya, maka kau akan mensyukurinya, juga tahu dan tersadar. Lantas, Dia akan semakin meneguhkanmu dalam usaha keluar dari lingkaran makhluk dan menjauhi manusia, serta mengosongkan hatimu dari segala selain Dia.

 

“Kemudian, jika ilmu dan keyakinanmu sudah kuat, hatimu sudah tercerahkan, hatimu sudah bersinar, lalu bekalmu sudah berupa kedekatan dengan Maula Junjunganmu, kedudukan di samping-Nya, amanah di sisi-Nya, dan kemampuan menjaga rahasia, maka kau akan tahu kapan bagianmu mendatangimu sebelum masanya sebagai bentuk karamah tersendiri bagimu, penghormatan atas kehormatanmu, juga karunia, anugerah, dan hidayah dari-Nya.

 

“Allah telah berfirman, ‘Dan, Kami jadikan ia (kitab) itu petunjuk bagi Bani Israil. Dan, Kami jadikan di antara mereka itu, pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami, ketika mereka sabar, dan meyakini ayat-ayat Kami. (QS. as-Sajdah [32]: 23-24). Firman-Nya lagi, ‘Dan, orang-orang yang berjihad demi Kami, sungguh akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. (QS. al-‘Ankabuut [29]: 69). Dan, firman-Nya lain, ‘…Dan, bertakwalah kepada Allah….’ (QS. al-Baqarah [2]: 282).

 

“Selanjutnya, Dia akan memberikan kuasa takwin (pembentukan) kepadamu, sehingga kau pun bisa membentuk sesuatu dengan izin-Nya yang jelas dan tidak menyimpan keraguan sedikit pun, juga dengan tanda-tanda terang bagaikan matahari di siang bolong, dengan ujaran merdu yang lebih merdu daripada hal-hal merdu lain, dengan ilham yang benar-benar tanpa kekaburan dan tersucikan dari pikiran-pikiran hawa nafsu dan godaan setan yang terkutuk.

 

“Allah berfirman dalam sebagian hadits Qudsi, ‘Wahai anak turun Adam, Akulah Allah yang tiada ilah selain Aku. Aku titahkan pada sesuatu Jadilah’, maka ia pun akan menjadi. Taatilah Aku, niscaya akan Kujadikan kau mampu berucap pada sesuatu ‘jadilah’, maka ia pun akan jadi.’

 

“Dan, terbukti Dia telah melakukan hal itu terhadap para nabi, wali, dan orang-orang khusus (khawwash) di antara anak turun Adam—semoga keselamatan terlimpah pada mereka.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya- berujar, ‘“Jika kau telah sampai pada Allah Ta‘ala, maka kau akan didekatkan kepada-Nya dengan pendekatan dan taufiq-Nya.

 

“Sampai pada Allah ‘Azza wa Jalla berarti kau keluar dari lingkaran makhluk, hawa kecenderungan, keinginan diri, dan angan, lalu berdiri tegar bersama tindakan dan kehendak-Nya tanpa membuat gerakan apa pun di dalam dirimu juga di dalam makhluk-Nya dengan (keinginan) dirimu sendiri, melainkan dengan hukum, perintah, dan tindakan Allah. Ini adalah keadaan fana yang disepadankan dengan ketersampaian (wushul).

 

“Ketersampaian dengan Allah tentu tidak sama dengan ketersampaian dengan ciptaan Nya yang masih berada dalam batas hukum-hukum akal. ‘Tak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.’ (QS. asy-Syuura [42]: 11). Maha Suci Allah dari keserupaan dengan makhluk-makhluk-Nya, kemiripan dengan ciptaanciptaan-Nya.

 

“Ketersampaian dengan-Nya lazim dikenal di kalangan ahlul wushul (orang-orang yang telah mengalami ketersampaian) dengan ciri khas masing-masing yang diberikan oleh Allah dan tidak sama antara satu sama lain. Al-Haqq “Azza wa Jalla memiliki rahasia tersendiri dengan setiap rasul, nabi, dan wali yang tidak diketahui oleh seorang pun selain Allah sendiri dan orang tersebut, sampai-sampai ada seorang murid yang memiliki rahasia yang tidak diketahui oleh syekhnya, dan sebaliknya sang syekh pun memiliki rahasia tersendiri dengan Allah yang tidak diketahui oleh si murid, kendati laku si murid sudah mendekati ambang pintu hal sang syekh.

 

“Ketika seorang murid telah mencapai keadaan (spiritual) sang syekh, maka ia akan disendirikan dan dipisahkan dari syekhnya. Lalu, Allah sendirilah yang kemudian mengasuh dan menyapihnya dari segenap makhluk-Nya. Dalam hal ini, syekh seperti seorang inang pengasuh yang berhenti menyusui sang bayi setelah dua tahun, juga dari menyusui makhluk setelah lenyapnya hawa kecenderungan dan keinginan diri. Sang syekh hanya diperlukan selama si murid masih memiliki hawa dan keinginan yang harus dihancurkan. Dan, setelah keduanya musnah, maka sang syekh pun tidak dibutuhkan lagi, sebab si murid sudah tidak memiliki kotoran dan kekurangan.

 

“Jadi, jika kau telah sampai pada Allah sebagaimana yang kami jelaskan di atas, maka berlindunglah senantiasa dari segala selain-Nya. Jangan kau lihat wujud apa pun pada selainNya, dalam hal mudharat dan manfaat, memberi dan menolak, takut dan harap, akan tetapi Dia sendirilah ahli takwa dan ahli maghfirah.

 

“Pandanglah selalu tindakan-Nya sembari menunggu perintah-Nya, menyibukkan diri dengan laku ketaatan-Nya, membedakan diri dari seluruh makhluk-Nya di dunia dan akhirat.

 

“Jangan pautkan hatimu pada sesuatu pun dari ciptaan-Nya. Anggaplah semua ciptaan bagai orang yang ditahan oleh raja sebuah kerajaan besar, lalu sang raja merantai leher dan kedua lengannya, menyalibkannya pada sebatang pohon pinus yang berada di tebing sungai berarus deras, bergelombang, dan amat dalam. Sementara itu, sang raja duduk di atas singgasana yang tinggi dan lapang, bersenjatakan beragam lembing, tombak, panah, dan beragam senjata yang tak terhitung lagi jumlahnya. Lalu, mulailah sang raja membidikkan salah satu senjatanya ke arah si tawanan yang terbelenggu tersebut.

 

“Coba, apakah mungkin orang yang melihat pemandangan itu memalingkan penglihatannya dari sang raja, juga sama sekali tidak takut dan mengharap kepada raja itu, lantas malah melihat si tawanan dan takut serta berharap padanya?! Tidakkah tindakan tersebut dalam pandangan akal sehat disebut tindakan gila yang tak berakal dan berindra, serta binatang dan bukan manusia?

 

“Marilah kita berlindung kepada Allah dari kebutaan setelah memiliki penglihatan, dari keterpisahan setelah ketersampaian, dari keterasingan setelah mencapai kedekatan dan keakraban, dari ketersesatan sesudah memperoleh petunjuk, dan dari kekufuran sesudah beriman.

 

“Dunia ini seperti sungai besar berarus deras yang kami sebutkan di atas. Setiap hari airnya bertambah. Dan, ia adalah (perumpamaan) syahwat menggebu manusia dan segala kesenangan mereka di dunia. Sedangkan anak panah dan pelbagai senjata bidik, melambangkan ujian hidup manusia yang dijalankan oleh takdir. Dan, pada galibnya, manusia di dunia tertimpa bala cobaan, kekurangan, penderitaan, dan ujian. Bahkan, semua karunia dan nikmat yang diterimanya selalu saja disusupi beragam petaka jika manusia mau merenung beriktibar.

 

“Oleh karena itu, seorang yang berakal tidak akan bisa hidup dan merasakan kenyamanan kecuali hanya di akhirat kelak jika memang ia benar-benar yakin, sebab hal itu hanya diperuntukkan bagi orang mukmin. Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Tak ada kehidupan selain kehidupan di akhirat.

 

“Sabdanya lagi, “Tidak ada kenyamanan bagi orang mukmin tanpa pertemuan dengan Tuhannya. Sabdanya lebih lanjut, “Dunia ini adalah penjara bagi seorang mukmin dan surga bagi seorang kafir.. Beliau juga bersabda, ‘Orang yang bertakwa terkekang.’

 

“Melihat hadits dan kabar ini, bagaimana seseorang bisa mengaku nyaman hidup di dunia?

 

“Sesungguhnya, kenyamanan hakiki terletak pada kesendirian (inqitha‘) menuju Allah, keridhaan menerima apa saja dari-Nya, dan penyerahan diri sepenuhnya di hadapan-Nya. Dengan begitu, seorang hamba telah berada di luar dunia. Dan, ketika itulah, petunjuk menjadi kasih, sayang, kelembutan, ketulusan, dan karunia kemuliaan.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya- berujar “(WASIAT) Janganlah kau mengeluh tentang sesuatu bencana yang menimpamu kepada siapa pun, baik kepada kawan maupun lawan. Jangan pula menyalahkan Tuhanmu atas semua takdir-Nya, dan atas ujian yang ditimpakan-Nya untukmu. Beritakanlah semua kebaikan yang dilimpahkan-Nya atasmu. Beritakanlah semua kebaikan yang dilimpahkan-Nya kepadamu, dan segala puji syukur atas semua itu. Kedustaanmu menyatakan puji syukurmu atas sesuatu rahmat yang sesungguhnya belum datang kepadamu, lebih baik ketimbang cerita-ceritamu perihal kepedihan hidup. Adakah ciptaan yang sunyi dari rahmat-Nya?

 

“Allah Swt. berfirman, ‘Dan, jika kamu hitung nikmat-nikmat Allah, karnu takkan sanggup menghitungnya’’ (QS. Ibrahim [14]: 34).

 

“Betapa banyak nikmat yang telah kau terima, tetapi tak kau sadari?!

 

“Jangan merasa tenang dengan seorang makhluk pun, juga jangan cari keintiman dengannya. Jangan ceritakan hal ihwalmu kepada siapa pun. Akan tetapi, keintimanmu hanya dengan al-Haqq Azza wa Jalla, ketenanganmu harus dengan-Nya, dan keluhanmu haruslah akan-Nya dan pada-Nya. Jangan kau lihat orang lain.

 

“Sesungguhnya, tidak ada seorang pun yang bisa memberi manfaat dan mudharat, raup perolehan dan penolakan, pemuliaan dan penistaan, pengangkatan dan perendahan, pemiskinan dan pengayaan, penggerakan dan pendiaman. Semua adalah ciptaan Allah Azza wa Jalla dan berada di tangan kuasa-Nya. Hanya dengan perintah dan izin-Nya segala sesuatu bergerak dan semua pun mengalir hingga batas waktu yang telah ditentukan-Nya. Segala sesuatu telah ditentukan-Nya, tidak ada yang bisa mengajukan apa yang diakhirkan-Nya, atau mengakhirkan apa yang telah diajukan-Nya.

 

“Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Jika Allah menimpakan suatu kernudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan, jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba Nya dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’ (QS. Yunus [10]: 107).

 

‘Jika kau mengeluh terhadap-Nya, padahal kau menikmati rahmat-Nya, malah menuntut yang lebih banyak lagi dan menutup mata atas segala kenikmatan dan kenyamanan yang kau miliki dan nikmati, maka Allah murka kepadamu, mencabut kembali nikmat-Nya darimu, mewujudkan segala keluhanmu, melipatgandakan kesusahanmu, memperhebat hukuman, kemurkaan dan kebencian-Nya kepadamu, dan menjatuhkanmu dari pandangan-Nya.

 

“Oleh karena itu, jauhilah mengeluh meski tubuhmu dipotong-potong dan dagingmu disayat-sayat dengan silet.

 

“Jangan, jangan, dan sekali lagi jangan! Allah, Allah, sekali lagi Allah! Selamatkanlah dirimu! Selamat! Selamat! Awas! Awas! Sesungguhnya, sebagian besar musibah yang menimpa anak Adam dikarenakan oleh keluhan-keluhan mereka terhadap-Nya.

 

“Bagaimana kau mengeluhkan dan menyalahkan-Nya, padahal Dia adalah Pengasuh yang paling pengasih dan Penentu yang paling baik? Juga Maha Kasih lagi Maha Memberitahu, Maha Penyayang lagi Maha Pengasih, lemah-lembut terhadap hamba-hamba-Nya dan tidak pernah menzhalimi hamba-Nya. Dia seperti dokter yang penyabar, pengasih, penyayang, ramah, yang juga dekat dengan pasien. Bagaimana seorang ayah yang penyayang atau ibu yang pengasih dan penyayang mau dituding macam-macam?!

 

“Nabi Muhammad Saw. bersabda, ‘Allah lebth penyayang terhadap hamba-hamba-Nya kettmbang seorang itu terhadap anaknya

 

“Wahai orang yang dirundung kemalangan, perbaikilah sopan santunmu jika memang kamu tidak mampu bersabar, niscaya bala-bala cobaan akan berubah menjadi anugerahanugerah. Kemudian, bersabarlah jika kamu tidak kuat menerima dan menyetujui tindakan-Nya. Lantas, ridha dan terimalah jika kau mampu melakukannya. Selanjutnya, leburlah dalam fana’ jika kau hilang.

 

“Wahai orang yang malang, di manakah kamu? Di mana kau berada? Tidakkah kau dengar firman Allah, ‘Diwajibkan atas kamu berperang, sesungguhnya berperang itu sesuatu yang karnu benci. Bisa jadi kamu membenci sesuatu padahalia baik bagimu, dan mungkin kamu menyukai sesuatu padahal ia buruk bagimu. Dan, Allah Maha Mengetahui, sedangkan kamu tak mengetahui.’ (QS. al-Baqgarah [2]: 216).

 

“Pengetahuan ihwal hakikat segala sesuatu tercabut dari hatimu dan tertutup dari penglihatanmu. Oleh karena itu, jangan bersikap kurang ajar, baik kau suka hal itu atau membencinya. Akan tetapi, ikutilah segala ketentuan syariat dalam segala keadaan jika kau berada dalam maqam takwa yang merupakan pijakan pertama. Dan, ikutilah perintah jika kau berada dalam magam kewalian yang merupakan pijakan kedua. Ridhalah menerima tindakan Allah dan setujuilah. Lalu, leburlah Gika kau berada) dalam maqam badaliyah, ghawsiyah, dan shiddiqiyah, yang merupakan puncak pijakan.

 

“Menyingkirlah dari jalan-jalan takdir dan kosongkanlah jalannya. Tolak nafsu dan hawa kecenderunganmu. Dan, tahanlah lidahmu dari segala keluh kesah.

 

“Jika sudah kau lakukan hal itu, maka jika memang baik, niscaya al-Maula Subhanahu akan menambahkan karunia kehidupan yang nyaman, bahagia, dan nikmat. Jika memang buruk, maka niscaya Allah akan memeliharamu dalam ketaatanNya, melenyapkan segala cela dari dirimu, meniadakanmu di dalam-Nya hingga kau melewati masa-masa sulitmu saat waktunya berakhir, sebagaimana hilangnya malam bergantikan siang, dan lenyapnya dingin musim dingin bergantikan panas musim panas. Itulah contoh model bagimu, karena itu renungilah!

 

“Jika masih ada dosa, noda, dan kotoran beragam maksiat dan kesalahan dalam diri, maka ia tak layak duduk bersama Sang Maha Mulia ‘Azza wa Jalla sebelum ia bersih dari noda, dosa, dan kesalahan. Tak seorang pun dapat mencium ambang pintu-Nya kecuali ia suci dari segala pengakuan palsu, sebagaimana tak layak bersama duduk di majelis seorang raja kecuali orang-orang yang bersih dari segala kotoran najis dan bau busuk.

 

“Bala cobaan adalah sarana pembersihan dan penyucian. Nabi Muhammad Saw. bersabda, ‘Demam sehari dapat menebus dosa sepanjang tahun.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya- berujar, “Jika kau seorang yang lemah iman dan keyakinan, lalu kau mengucapkan sebuah janji, maka tepatilah janjimu dan jangan ingkar agar imanmu tidak lenyap dan keyakinanmu tidak hilang.

 

“Jika memang hal itu sudah menguat dan mantap di dalam hatimu, dan kau menjadi penerima firman Allah ‘Azza wa Jalla, ‘Sesungguhnya, kamu pada hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi tepercaya di sisi Kami. (QS. Yusuf [12]: 54), lalu seruan ini berulang-ulang datang kepadamu dari hal ke hal, maka kau termasuk orang orang yang khusus (khawwash), bahkan termasuk petinggi orang-orang khusus (khashsh alkhawwash). Tidak ada lagi keinginan atau tuntutan di dalam dirimu, juga amal yang kau merasa ujub karenanya, kedekatan yang kau riyai, posisi yang kau kibarkan, lalu himmah citamu pun melambung. Jadilah kau laksana bejana tertutup yang tidak bisa dimasuki cairan. Tidak ada lagi keinginan di dalam dirimu, juga makhluk, ataupun angan cita akan sesuatu, baik berupa keduniaan maupun keakhiratan. Kau telah disucikan dari segala selain Allah Ta‘ala. Kau berikan seluruh ridhamu kepada-Nya, dan kau pun dijanjikan keridhaan-Nya terhadapmu. Kau diberikan kelezatan dan kenikmatan merasakan tindakan-tindakan Allah Azza wa Jalla secara keseluruhan.

 

“Maka, ketika itulah dijanjikan kepadamu sebuah janjji. Jika kau merasa lega dengan (janji) itu, dan kau temukan di sana sebentuk keinginan dan dorongan yang memindahkanmu dari janji tersebut ke janji yang lebih tinggi, lalu kau digerakkan ke tempat yang lebih mulia daripadanya, kemudian kau mendapat ganti yang lebih meruah daripada yang pertama, lantas disingkapkan-Nya di hadapanmu pintu-pintu makrifat dan pengetahuan, diperlihatkan-Nya juga misteri segala sesuatu, hakikat hikmah, maslahat-maslahat yang terpendam dalam proses peralihan dari yang pertama menuju yang selanjutnya.

 

“Bahkan, akan ditambahkan pula ketika itu maqam (kedudukan)-mu dalam menjaga hal, amanahmu dalam menjaga rahasia, juga kecerahan dada, kebersinaran hati, kefasihan lidah, hikmah yang penuh retorika dalam menyampaikan cinta padamu. Kau pun dijadikan sebagai kekasih seluruh ciptaan, baik manusia maupun jin, serta makhluk-makhluk lainnya di dunia dan di akhirat. Jadilah kau kekasih al-Haqq ‘Azza wa Jalla, dan makhluk mengikuti al-Haqq ‘Azza wa Jalla. Cinta mereka berada di dalam cinta-Nya, dan kebencian mereka berada di dalam kebencian-Nya.

 

“Begitulah jika kau capai maqam yang tidak menyisakan keinginan apa pun di dalamnya sama sekali. Kau diberi keinginan pada sesuatu, lalu jika keinginan tersebut telah terwujud, maka dihilangkanlah sesuatu tersebut, dan kau pun dipalingkan daripadanya. Apa yang tak diberikan-Nya kepadamu di dunia ini akan dilimpahkan-Nya kepadamu di akhirat kelak yang menambah kedekatan dan keintimanmu dengan al-‘Aliyy al-A‘la (baca: Allah), serta menyejukkan matamu di surga Firdaus tertinggi dan Jannah al-Ma’wa.

 

“Jika kau tidak menuntut hal itu, atau mengangankan dan mengharapkannya selama kau di dunia yang merupakan rumah kebinasaan, beban kewajiban, dan keletihan ini, akan tetapi harapanmu hanyalah meraih wajah Zat yang telah menciptakan, mewujudkan, menahan, dan melimpahkan segala sesuatu, yang telah membentangkan bumi dan menegakkan langit, sebab itulah harapan, tuntutan, dan keinginan (paling sempurna), maka bisa saja, kau diberi ganti akan hal itu dengan sesuatu yang lebih rendah daripada hal itu atau yang sejajarnya di dunia setelah keberkeping-kepingan hatimu, juga karena kesabaranmu akan tuntutan tersebut, dan wujud pengganti di akhirat sebagaimana yang kami sebutkan di atas.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya- berujar menjelaskan sabda Nabi Muhammad Saw., “Tinggalkan hal yang masih meragukan bagimu pada hal yang tidak meragukan bagimu.”

 

“Tinggalkan apa yang masih meragukan jika berkumpul dengan apa yang tidak meragukan. Ambil ‘azimah (hukum asli sebelum mendapat keringanan [rukhsah]) yang tidak disusupi keraguan dan kebimbangan, dan tepiskan yang meragukan.

 

“Adapun jika ada hal meragukan yang tidak menggambarkan penggoresan hati sebagaimana yang diisyaratkan dalam sebuah sabda Nabi, ‘Dosa adalah hal hal yang mengacaukan hati,” tanpa disertai hal pasti (yang tidak meragukan), maka ambillah sikap tidak memilih dan tunggulah kejelasan masalahnya. Jika memang kau diperintahkan untuk mengurusnya, maka lakukan, dan jika dicegah, maka hentikan. Anggaplah hal itu bagimu seperti sesuatu yang tidak pernah ada dan terjadi, lalu kembalilah ke pintu Allah, dan mintalah kejelasan dari Tuhanmu Yang Maha Pemberi.

 

“Jika kau tidak mampu bersabar, atau untuk meridhai dan bulat menerima, atau sedang melebur (fana’) di dalamnya, maka ingatlah bahwa Dia tidak butuh diingat, namun Dia juga tidak akan pernah lalai terhadapmu maupun selainmu. Dia saja masih tetap memberi makan orang-orang kafir, munafik, dan mereka yang mangkir dari-Nya, lalu bagaimana Dia akan melupakanmu, hai mukmin yang pengesa dan menerima laku ketaatan terhadapNya, juga yang menjalankan perintah-Nya siang dan malam?!

 

“Ada pandangan lain mengenai makna sabda Nabi Muhammad Saw., “Tinggalkan hal yang masih meragukan bagimu menuju hal yang tidak meragukan bagimu, yaitu, ‘Tepiskan apa yang ada di tangan manusia dan jangan mengambisikannya. Jangan kau pautkan hatimu padanya dan jangan pula kau mengharap manusia atau menakutinya, akan tetapi ambil saja sebagian karunia Allah ‘Azza wa Jalla yang tidak perlu diragukan lagi keabsahan dan kesuciannya.

 

“Tahbiskan untuk dirimu hanya satu penanggung jawab tempat kau meminta, satu pemberi, satu tempat yang kau harapi dan kau takuti, serta satu yang kau tambati anganmu, yaitu Tuhanmu Azza wa Jalla yang memegang kepala para raja dalam kuasa tangan-Nya serta yang memegang hati seluruh manusia yang merupakan panglima jasad dalam kuasa tanganNya, juga yang memiliki harta kekayaan seluruh makhluk, baik rakyat jelata maupun bangsawan penguasa. Gerakan tangan mereka saat memberimu tergantung pada izin Allah, perintah, dan penggerakan-Nya, begitu juga penolakan mereka untuk memberimu.’

 

“Allah berfirman, ‘Dan, mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.’ (QS. an-Nisaa’ [4]: 32). Firman-Nya lagi, ‘Sesungguhnya, yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rezeki kepadamu; maka mintahlah rezeki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepadaNya kamu akan dikembalikan,”’ (QS. al-‘Ankabuut [29]: 17). Firman lain, ‘Dan, apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka Gawablah) bahwasanya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku.’ (QS. al-Baqarah [2]: 186). Firman senada, ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu.’ (QS. al-Mu’min [40]: 60). Firman lain lagi, ‘Sesungguhnya, Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh’ (QS. al-Dzaariyaat [51]: 58). Dan, firman senada lainnya, ‘Sesungguhnya, Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa perhitungan.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 37).

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya- berujar, “Aku bermimpi melihat iblis yang terkutuk. Kala itu aku bersama serombongan besar orang, maka aku pun ingin sekali membunuhnya. Tiba-tiba ia berkata kepadaku, “‘Mengapa kamu hendak membunuhku? Memangnya apa dosaku? Jika memang takdir telah menggariskan keburukan, maka aku tidak akan kuasa mengubah dan memindahnya menjadi kebaikan. Pun jika takdir menentukan kebaikan, maka aku tidak akan kuasa mengubahnya menjadi keburukan. Lalu apa dayaku?’ “Rupa iblis itu persis seorang kasim. Tutur katanya lembut. Wajahnya kerucut. Dagunya berjenggot lebat. Raut mukanya hina. Dan, buruk fisik.

 

“Kemudian, ia tersenyum di depanku dengan senyum malu dan gentar.

 

“Peristiwa ini terjadi pada 12 Dzulhijjah 516 H, malam Ahad.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya-berujar, “Allah senantiasa menguji seorang hamba yang beriman menurut kadar keimanannya. Barang siapa imannya kuat, besar, dan bertambah, maka cobaannya pun akan besar.

 

“Cobaan seorang rasul lebih besar daripada cobaan seorang nabi, karena iman rasul lebih tinggi daripada iman nabi. Cobaan nabi lebih besar daripada cobaan seorang badal. Cobaan seorang badal lebih besar daripada cobaan seorang wali. Masing-masing diuji menurut kadar iman dan keyakinannya.

 

“Mengenai masalah ini Nabi Muhammad Saw. bersabda, ‘Sesungguhnya kami, para nabi, adalah orang yang paling banyak diuji, kemudian para teladan, selanjutnya para teladan.’” Allah terus-menerus menguji para tokoh terkemuka ini agar mereka senantiasa berada dalam hadirat-Nya, juga tidak lengah sedikit pun dari kesadaran akan-Nya, sebab Dia mencintai mereka. Mereka adalah orang-orang yang penuh cinta (ahl al-mahabbah) yang mencintai al-Haqq ‘Azza wa Jalla dan seorang pencinta tidak akan pernah ingin memilih apa pun di atas pilihan kekasih yang dicintanya.

 

“Cobaan, dengan demikian, adalah pemetik hati mereka dan belenggu nafsu mereka, yang mencegah mereka dari kecenderungan terhadap hal-hal yang bukan tujuan mereka, juga dari kebersimpuhan dan perlindungan pada selain Pencipta mereka. Jika bala cobaan tersebut abadi di dalam diri mereka, maka akan melelehkan hawa nafsu mereka, hancur leburlah nafsu mereka, dan terbedakanlah kebenaran dari kebatilan. Larilah pula segala syahwat dan keinginan, juga kecenderungan pada kelezatan dan kenyamanan, dunia maupun akhirat, menuju tambatan diri. Ia pun menjadi tenang akan janji al-Haqq ‘Azza wa Jalla, ridha menerima keputusan qadha-Nya, qana’ah menerima anugerah pemberian-Nya, sabar menghadapi cobaan-Nya, aman dari kejahatan makhluk-Nya. Kemudian, ia menuju tambatan kalbu, sehingga kuatlah paku hati. Kewalian pun mengemuka di atas anggota fisiknya.

 

“Cobaan memperkuat hati dan keyakinan, mewujudkan iman dan kesabaran, dan melemahkan hawa nafsu. Sebab, manakala perih penderitaan menghampiri hati dan menemukan dalam diri seorang mukmin kesabaran, keridhaan, kepasrahan akan tindakan Tuhan Azza wa Jalla, maka Tuhan ‘Azza wa Jalla pun ridha dengannya dan berterima kasih padanya, lalu turunlah kepadanya pertolongan, karunia, dan kekuatan. Allah Swt. berfirman, ‘Sungguh jika kau bersyukur niscaya akan Kutambahkan nikmat-Ku.’ (Q.S. Ibrahim [14]: 7).

 

“Ketika nafsu bergerak mencari syahwat-syahwat kesenangannya, juga lezat kelezatannya dari hati, lalu hati mengabulkan permintaannya, dan hal itu bukanlah atas perintah dan izin dari Allah, bahkan hal itu pun menyebabkan kelalaian akan al-Haqq Ta‘ala, juga kesyirikan dan maksiat, maka Allah menimpakan kepadanya segala bentuk kenistaan dan cobaan, penindasan makhluk, kelaparan, dan segala penyakit. Hati dan jiwa pun mendapatkan imbalan masing-masing.

 

“Namun, jika hati tak memedulikan permintaan tersebut sebelum Allah mengizinkannya melalui ilham dalam statusnya sebagai seorang wali, atau wahyu lugas dalam statusnya sebagai seorang rasul dan nabi, lalu ia pun melakukan hal tersebut atas dasar pemberian dan pencegahan, maka Allah pun menganugerahi mereka dengan hati kasih sayang dan barakah, kesehatan dan ridha, cahaya dan pengetahuan, kedekatan dan kekayaan, keselamatan dari malapetaka dan kemenangan atas musuh.

 

“Camkan hal itu dan jagalah! Waspadailah benar-benar bala cobaan karena ketergesa-gesaan menuruti hawa nafsu, akan tetapi berhenti dan tunggulah izin Allah, niscaya kau akan selamat di dunia dan akhirat. Insya Allah.

 

“Selamatkanlah dirimu dari cobaan dengan penuh kewaspadaan, dengan tak segera menimpali panggilan jiwa dan keinginannya. Tetapi, tunggulah dengan sabar izin dari Allah agar kau senantiasa selamat di dunia ini dan di akhirat.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya-berujar, “Terimalah kerendahan dan lekatilah dengan sungguh-sungguh hingga habis ketentuan-Nya, maka kau akan diangkat ke derajat yang lebih tinggi dan lebih berharga. Kau akan ditempatkan di dalamnya, dan terjaga dari kekerasan duniawi ini, akhirat, kekejian, dan kesesatan. Kemudian, kau akan dibawa kepada Zat yang mengenakkan matamu.

 

“Ketahuilah bahwa bagianmu takkan lepas darimu dengan pengupayaanmu terhadapnya, sedangkan yang bukan bagianmu takkan kau raih walau kau berupaya keras. Maka dari itu, bersabarlah dan ridhalah dengan keadaanmu. Jangan mengambil atau memberikan sesuatu pun sebelum diperintahkan. Jangan bergerak atau diam semaumu, sebab jika kau berlaku begini, kau akan diuji dengan keadaan yang lebih buruk daripada keadaanmu. Sebab, dengan kekeliruan seperti itu kau berarti berbuat aniaya terhadap diri sendiri dan Allah mengetahui yang berbuat aniaya.

 

“Allah berfirman, ‘Dan, demikianlah Kami jadikan sebagian orang yang zhalim sebagai teman bagi sebagian yang lain disebabkan oleh yang mereka upayakan.’ (QS. al-An‘aam [6]: 129). Sebab, kau berada di rumah Raja, yang perintah-Nya berdaulat, yang Maha Kuat, yang tentara-Nya amat besar, yang kehendak-Nya berdaulat, yang aturan-Nya sempurna, yang kerajaan-Nya abadi, yang kedaulatan-Nya menyeluruh, yang pengetahuan-Nya tinggi, yang kebijakan-Nya dalam, yang Maha Adil, yang dari-Nya tak zarah pun tersembunyi baik di bumi maupun di langit, dan tak kezhaliman para zhalim pun tersembunyi dari-Nya.

 

“Allah berfirman, ‘“Sesungguhnya, mempersekutukan (Allah) benar-benar kezhaliman yang besar.’ (QS. Luqman [31]: 13). Firman-Nya lagi, ‘Sesungguhnya, Allah takkan mengampuni siapa pun yang menyekutukan-Nya, dan Dia akan mengampuni selain itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. (QS. al-An‘aam [6]: 48).

 

“Berupayalah sekuat daya untuk senantiasa tak menyekutukan Allah. Jangan mendekati dosa ini dan jauhilah ia dalam segala gerak dan diammu siang dan malam, baik sendirian maupun bersama. Waspadalah terhadap segsla bentuk dosa dalam anggota tubuhmu dan dalam hatimu. Hindarilah dosa yang tampak ataupun tersembunyi. Jangan menjauh dari Allah, sebab Dia akan menjangkaumu. Jangan bersitegang dengan Nya atas takdir-Nya, sebab Dia akan melumatkanmu, jangan salahkan aturan-Nya, agar kau tak dihinakan-Nya; jangan melupakan-Nya agar kau tak dilupakan-Nya dan tak mengalami kesulitan; jangan mereka-reka di dalam rumah-Nya agar kau tak dibinasakanNya; jangan memperkatakan tentang agama-Nya dengan hawa nafsu agar kau tak binasa, agar hatimu tak gelap, agar iman dan pengetahuanmu tak tercabut darimu, agar kau tak dikuasai oleh kekejianmu, hewanimu, hawa nafsumu, keluargamu, tetanggamu, sahabatmu, ciptaan termasuk kalajengking, ular serta jin rumahmu dan makhluk-makhluk melata lainnya, sehingga dengan demikian hidupmu di dunia ini akan gelap dan kau akan disiksa di akhirat terus-menerus.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya-berujar, “Jauhilah sekuat daya ketidakpatuhan kepada Allah, Yang Maha Mulia lagi Maha Agung. Bertumpulah kepada pintu-Nya dengan sungguh-sungguh. Berupayalah sekuat daya mematuhi-Nya dengan taubat dan doa, dengan menunjukkan kebutuhanmu atas kepatuhan dan kerendahhatian, dengan khusyuk dan menunduk, dengan tak memandang orang atau mengikuti nafsu hewani, atau mengupayakan balasan duniawi atau ukhrawi, tak mengharapkan maqam yang lebih tinggi.

 

“Camkanlah bahwa kau adalah hamba Nya, dan bahwa sang hamba serta segala miliknya adalah milik tuannya, sehingga ia tak dapat mengakui apa pun terhadapnya.

 

“Berperilaku baiklah dan jangan salahkan Tuhanmu. Segala sesuatu ditentukan oleh-Nya. Segala yang Dia majukan, tak satu pun dapat memundurkannya. Segala yang dimundurkan-Nya, tak satu pun dapat memajukannya.

 

“Apa yang Allah tentukan bagimu akan kau peroleh tepat pada waktunya, entah kau suka atau tak suka. Maka dari itu, janganlah serakah terhadap yang menjadi milikmu dan jangan cemas akannya. Janganlah merasa menyesal atas apa yang dimaksudkan bagi selainmu.

 

“Apa yang tidak di sisimu, kemungkinan adalah milikmu, atau milik orang lain. Jika ia milikmu, ia akan datang kepadamu dan kau akan dibawa kepadanya sehingga pertemuan antara kau dan ia terjadi segera. Sedangkan yang bukan milikmu, maka kau akan dijauhkan darinya dan ia pun akan menjauh darimu, sehingga kau dan ia takkan bertemu.

 

“Allah berfirman, ‘Dan, janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka sebagai bunga kehidupan duniawi ini, agar Kami coba mereka dengannya. Dan, karunia Tuhanmu lebih baik dan lebih kekal. (QS. Thaahaa [20]: 131).

 

“Allah telah melarangmu memerhatikan yang bukan hakmu. Dia telah memperingatkanmu bahwa yang selain ini adalah cobaan, yang dengannya Dia menguji mereka dan bahwa keridhaanmu dengan bagianmu lebih baik bagimu, lebih suci dan lebih disukai; maka jadikanlah ini sebagai jalanmu, yang melaluinya kau akan memperoleh segala kebaikan, rahmat, kegembiraan, dan keindahan. Allah berfirman, ‘Tiada jiwa pun yang tahu apa yang disembunyikan bagi mereka, yaitu yang akan mengenakkan mata, sebagai balasan atas apa yang telah mereka perbuat.’ (QS. as-Sajdah [32]: 17).

 

“Tiada kebajikan selain kelima jalan pengabdian di atas, penghindaran dari segala dosa, dan tiada lebih besar, lebih mulia, dan lebih disukai oleh Allah selain yang kami sebutkan kepadamu. Semoga Allah mengaruniaimu dan kami kemampuan untuk melakukan yang disukai-Nya.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya- berujar ‘Jangan berkata, wahai orang yang malang! Yang darinya dunia dan orang-orangnya telah memalingkan muka mereka, yang hina, yang lapar dan yang dahaga, yang telanjang, yang hatinya terpanggang, yang merambah ke setiap sudut dunia, di setiap masjid dan tempat-tempat sunyi, yang terjauhkan dari setiap pintu, yang terhancurkan, yang jemu dan yang kecewa dengan segala keinginan dan kerinduan hati—jangan berkata bahwa Allah telah membuatmu miskin, menjauhkan dunia darimu, telah menjatuhkanmu, telah menjadi musuhmu, telah membuatmu kacau, tak mengukuhkan jiwamu, telah menghinakanmu, dan tak mencukupimu di dunia ini, telah mengelapimu, tak memuliakan namamu di tengah-tengah manusia, sedangkan kepada selainmu Dia anugerahkan banyak rahmat-Nya siang dan malam, memuliakan mereka atasmu dan keluargamu, padahal kamu sama-sama muslim dan mukmin dan nenek moyangmu sama-sama Hawa dan Adam, sang manusia terbaik.

 

“Ya, Allah telah memperlakukanmu begini, sebab fitrahmu suci dan kesejukan kasih sayang Allah terus-menerus melimpahimu dalam bentuk kesabaran, kepasrahikhlasan, dan pengetahuan. Dan, cahaya iman serta tauhid menimpamu. Maka pohon imanmu, akarnya, dan benihnya menjadi kuat, penuh dedaunan, buah, cabang dan rantingnya merambah ke manamana sehingga menimbulkan keteduhan. Setiap hari kian besar sehingga tak perlu lagi pertumbuhannya dibantu.

 

“Beginilah Allah memperlakukan sendiri segala keadaanmu. Dia menganugerahimu tempat tinggal nan abadi di akhirat dan sekaligus menjadikanmu pemiliknya dan akan menganugerahkan kepadamu karunia-karunia yang tiada mata pernah melihat, tiada telinga pernah mendengar, dan tiada hati manusia pernah merasakan.

 

“Allah berfirman, ‘Tiada jiwa pun yang tahu apa yang disembunyikan bagi mereka, yaitu yang akan mengenakkan mata, sebagai balasan atas apa yang telah mereka perbuat. (QS. as-Sajdah [32]: 17). Yaitu, balasan atas kepatuhan dan kepasrahan mereka kepada Allah dalam segala hal.

 

“Mengenai orang lain yang Allah telah anugerahkan hal duniawi, menjadikannya sebagai pemiliknya, merahmatinya, dan melimpahkan karunia-Nya, Dia melakukan yang demikian ini lantaran keimanan orang ini bagai padang tandus, yang di dalamnya tak memungkinkan air, pohon, tetumbuhan, dan bebuahan mewujud.

 

“Maka, Dia tebarkan di dalamnya rabuk dan segala yang serupa itu, yang menumbuhkan tetumbuhan dan pepohonan, dan inilah dunia dan segala isinya, untuk menjaga segala yang telah ditumbuhkan-Nya di dalamnya, yang berupa pohon iman dan tanaman amal. Andai kata hal-hal ini pupus darinya, maka tanah, tetumbuhan, dan pepohonan akan menjadi kering, buahnya luruh dan keseluruhan pedusunan akan menjadi sunyi, dan Yang Maha Kuasa lagi Maha Agung menghendakinya dihuni dan ceria.

 

“Maka, pohon iman seorang yang kaya lemah akarnya dan hampa yang akan mengisi pohon imanmu. Wahai sufi, sesungguhnya kekuatan lainnya dan kesinambungan kemaujudannya tergantung pada dunia dan aneka nikmatnya yang kau lihat pada pemiliknya, dan tiada padanya yang lebih disukai selain yang telah kulukiskan bagimu.

 

“Semoga Allah menganugerahi kita daya untuk menggapai yang dicintai-Nya. Jadi, kekuatan dan kesinambungan karunia duniawi yang kau dapati padanya—andai kata semua ini tercerabut darinya, sedangkan pohonnya lemah, sehingga pohon itu akan menjadi kering dan si orang kaya ini akan menjadi kafir, munafik, dan murtad, jika Allah mengirimkan bagi orang kaya ini tentara kesabaran, keteguhan, pengetahuan, dan aneka ketercerahan ruhani yang memperkokoh imannya, maka ia takkan merasa kehilangan dengan lenyapnya kekayaan dan karunia.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya-berujar “Tabir penutup dirimu takkan tersibak selama kau belum lepas dari ciptaan dan tak memalingkan hatimu darinya dalam segala keadaan hidup, selama hawa nafsumu belum pupus, begitu pula maksud dan kerinduanmu, selama kau belum lepas dari kemaujudan dunia ini dan akhirat, dan yang maujud dalam dirimu hanyalah kehendak Tuhanmu, dan kau terisi dengan nur Tuhanmu, dan tiada tempat di dalam hatimu kecuali bagi Tuhanmu, sehingga kau menjadi penjaga ‘pintu kalbumu, dan kau dikaruniai pedang tauhid, keagungan, dan kekuatan. Maka, segala yang kau lihat, yang mendekati pintu kalbumu dari benakmu, akan kau pisahkan kepalanya dari bahunya, sehingga tiada tersisa bagi dirimu, dambaanmu, dan kerinduanmu akan dunia ini dan akhirat sesuatu yang berkepala, dan tiada dunia yang diperhatikan, tiada pendapat yang diikuti, kecuali kepatuhan kepada Allah dan penerimaan penuh ikhlas akan takdir-Nya, bukannya peluruh penuh dalam takdir dan karunia-Nya.

 

“Dengan demikian, kau menjadi hamba Allah, bukan hamba manusia atau pendapat. Bila hal ini mengekal dalam hidupmu, tirai-tirai hormat-diri akan menyelimuti kalbumu, parit-parit keluhuran dan daya keagungan akan mengitarinya, dan hatimu akan dijaga oleh tentara kebenaran, tauhid, dan pengawalpengawal kebenaran akan ditempatkan di dekatnya, sehingga orang tak dapat mendekatinya melalui kekejian, dambaandambaan hampa, kepalsuan-kepalsuan yang timbul dalam benak-benak manusia, dan melalui kesesatan yang tumbuh dari keinginan-keinginan.

 

“Jika ditakdirkan bahwa orang akan datang kepadamu terus-menerus dan mereka tak mengetahui kemuliaanmu, maka mereka mendapatkan cahaya yang menyilaukan, tanda-tanda yang jelas, kebijakan yang dalam, dan melihat keajaiban-keajaiban yang terang dan kejadian-kejadian sebagai sosok kehidupanmu, sehingga meningkatkan upaya mereka untuk mendekat kepada Allah, untuk patuh kepada-Nya, dan untuk mengabdi kepada Tuhan mereka. Meski semua ini terjadi, kau akan aman dari semua itu, dari kecenderungan jiwa manusiawimu kepada keinginan, dari puji-diri, kesombongan orang-orang yang datang kepadamu, dan perhatian mereka kepadamu.

 

“Juga, seandainya kau akan beristri cantik, bertanggung jawab atas dirinya dan atas perilakunya, maka kau akan aman dari keburukannya, akan diselamatkan dari tuntutan memikul bebannya, dan ia, bagimu, akan menjadi karunia Allah, terahmati dan berlaku baik, bersih dari ketaktulusan, kekejian, dan pengkhianatan. Maka, ia akan melepaskanmu dari beban perilakunya dan akan menjauhkan darimu segala kesulitan karenanya.

 

“Seandainya ia melahirkan anak, maka ia akan menjadi anak yang shalih dan suci, yang akan menyenangkan pandanganmu. Allah berfirman, ‘Dan, Kami jadikan istrinya patut baginya.’ CQS. al-Anbiyaa’ [21]: 90). Firman-Nya lagi, ‘Ya Tuhan kami! Karuniakanlah pada istri-istri kami dan keturunan kami kesenangan mataku dan jadikanlah kami imam bagi mereka yang mencegah dari keburukan.’ (QS. al-Furgqaan [25]: 74). Firman-Nya juga, ‘Dan, jadikanlah ia, ya Tuhanku, orang yang Kau ridhai.’ (QS. Maryam [19]: 6).

 

“Maka, doa-doa ini akan mewujud dan diterima, tak soal kau menyampaikan doa-doa ini kepada Allah, sebab doa-doa itu dimaksudkan bagi mereka yang layak berbuat begini, yang termatangkan dalam keadaan ini, dan yang kepada mereka dilimpahkan nikmat dan kedekatan Allah.

 

“Begitu pula andai kata sesuatu dari dunia ini mendatangimu, ia takkan merugikanmu. Maka, yang datang kepadamu merupakan bagianmu dari-Nya, yang tersucikan, demi kamu, oleh tindakan Allah, kehendak-Nya, dan dengan perintah-Nya ia mencapaimu. Ia akan mencapaimu dan kau akan terpahalai, asalkan kau memperolehnya dalam kepatuhan kepada-Nya; persis sebagaimana akan dipahalainya kamu karena menunaikan shalat dan puasa. Dan, kau akan diperintahkan, tentang yang bukan hakmu, untuk memberikannya kepada para sahabat, tetangga, dan peminta-minta yang layak memperoleh uang zakat sesuai dengan kebutuhan. Maka, urusan-urusan akan diberikan kepadamu, sehingga kau tak mampu membedakan antara yang layak dan yang tak layak, dan antara kabar burung dengan pengalaman sejati. Maka, urusanmu akan menjadi putih bersih, yang tiada kegelapan dan keraguan.

 

“Maka dari itu, bersabarlah, senantiasa bertakwalah, perhatikanlah masa kini, tenanglah, tenanglah! Waspadalah! Selamatkanlah dirimu! Selamatkanlah dirimu! Segeralah! Segeralah! Takwalah kepada Allah! Takwalah kepada Allah! Tundukkanlah pandanganmu! Tundukkanlah pandanganmu! Palingkanlah matamu! Palingkanlah matamu! Berlaku baiklah! Hingga datang takdir dan kau dibawa ke depan.

 

“Maka, akan lenyap darimu segala yang memberatkanmu, kemudian kau dimasukkan ke dalam samudra nikmat, kelembutan dan kasih sayang, dan dibusanai dengan busana nur dan rahasia-rahasia Ilahiah. Lalu, kau didekatkan, diajak bicara, diberi karunia, dilepaskan dari kebutuhan, dikukuhkan, dimuliakan dan dilimpahi kata-kata, ‘Sesungguhnya, kamu hari ini pada sisi Kami adalah orang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya.’

 

“Lalu, tebaklah keadaan Yusuf dan para shiddiq ketika disapa dengan kata kata ini dari lidah Raja Mesir, Raja dari Fir’aun. Jelaslah, itulah lidah Raja yang menyatakannya, yang adalah Allah, yang berbicara melalui lidah pengetahuan. Kepada Yusuf dianugerahkan kerajaan bendawi, yaitu kerajaan Mesir, juga kerajaan jiwa, yaitu kerajaan pengetahuan, ruhani, nalar, kedekatan dengan-Nya, dan kedudukan tinggi di hadapan-Nya. Allah berfirman, “Dan, demikianlah Kami anugerahkan kepada Yusuf kekuasaan atas negeri (ia berkuasa penuh) ke mana pun ia suka,’ (QS. Yusuf [12]: 56).

 

“Negeri di sini ialah Mesir. Mengenai kerajaan ruhani, Allah berfirman, ‘Demikianlah, agar Kami palingkan darinya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya, ia termasuk hamba-hamba pilihan kami, (QS. Yusuf [12]: 24).

 

“Mengenai kerajaan pengetahuan, Allah berfirman, ‘Yang demikian ini adalah sebagian dari yang diajarkan kepadaku oleh Tuhanku. Sesungguhnya, aku telah meninggalkan agama orang-orang yang tak beriman kepada Allah’ (QS. Yusuf [12]: 37).

 

“Bila kau disapa, wahai orang shalih, berarti kau dianugerahi banyak pengetahuan nan agung, kekuatan, kebaikan, kewalian biasa, dan perintah yang memengaruhi ruhani dan yang bukan ruhani, dan teranugerahi daya cipta, dengan izin Allah, segala yang di dunia ini, meski akhirat belum tiba.

 

“Di akhirat kau akan berada di tempat damai dan di surga yang tinggi, memandang wajah sang Maula Yang Mulia dengan penuh tambahan dan anugerah. Inilah cita dan angan yang tiada ujung dan puncaknya.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya-berujar, “Anggaplah kebaikan dan keburukan sebagai dua buah dari dua cabang sebuah pohon. Cabang yang satu menghasilkan buah yang manis, sedangkan cabang yang satunya lagi buah yang pahit.

 

“Tinggalkanlah kota-kota, negeri-negeri yang menghasilkan buah-buah pohon ini dan penduduknya. Dekatilah pohon itu sendiri dan jagalah. Ketahuilah kedua cabang ini, kedua buahnya, sekelilingnya.

 

“Senantiasalah berada di dekat cabang yang menghasilkan buah yang manis; maka ia akan menjadi makananmu, sumber dayamu, dan waspadalah agar kau tak mendekati cabang yang lain, makan buahnya, dan akhirnya rasa pahitnya membinasakanmu. Jika kau senantiasa berlaku begini, kau akan selamat dari segala kesulitan, sebab kesulitan diakibatkan oleh buah pahit ini. Bila kau jatuh dari pohon ini, berkelana di pelbagai negeri, dan buah-buah ini dihadapkan kepadamu, lalu dibaurkan sedemikian rupa, sehingga tak jelas antara yang manis dan yang pahit, dan kau mulai memakannya, bila tanganmu mengambil buah yang pahit, sehingga lidahmu merasakan pahitnya, kemudian tenggorokanmu, otakmu, lubang hidungmu, sampai anggota tubuhmu, maka kau terbinasakan. Pembuanganmu akan sisanya dari mulutmu dan pencucianmu akan akibatnya tak dapat menghapus yang telah tertebar di sekujur tubuhmu, dan sia-sia.

 

“Tetapi, jika kau makan buah yang manis dan rasa manisnya menebar ke seluruh anggota tubuhmu, maka kau beruntung dan bahagia, meski hal ini tak mencukupimu. Tentu, bila kau makan buah yang lain, kau takkan tahu bahwa buah yang ini pahit. Maka, kau akan mengalami yang telah disebutkan bagimu. Maka, tak baik menjauh dari pohon itu dan tak tahu buahnya. Keselamatan terletak pada kedekatan dengannya.

 

“Kebaikan dan keburukan berasal dari Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Agung. ‘Allah telah menciptakanmu dan yang kau lakukan’ (QS. ash-Shaaffaat [37]: 96). Nabi Saw. bersabda, ‘Allah telah menciptakan penyembelih dan binatang yang disembelih.’

 

“Segala tindakan hamba Allah adalah ciptaan-Nya, begitu pula buah upayanya. Allah Yang Maha Kuasa lagi Maha Agung berfirman, ‘Masuklah ke dalam surga disebabkan yang telah kau lakukan.’ (QS. an-Nahl [16]: 32).

 

“Maha Agung Dia, betapa pemurah dan penyayang Dia! Dia berfirman bahwa masuknya mereka ke dalam surga disebabkan oleh amal-amal mereka, sedangkan kemaujudan amal-amal mereka adalah berkat pertolongan dan kasih sayang-Nya. Nabi Saw. bersabda, ‘Tiada seorang pun yang masuk ke dalam surga lantaran amal-amalnya sendiri.’ Beliau ditanya, “Termasuk Anda, Ya Rasulullah?’ beliau menjawab, ‘Ya, termasuk saya, kecuali jika Allah mengasihiku dengan rahmat-Nya dan meletakkan tanganNya di atas kepala-Nya.’ (Diriwayatkan oleh Aisyah Ra.)??

 

“Jika kau mematuhi perintah-perintah-Nya dan menghindari larangan-Nya, maka Dia akan melindungimu dari keburukanNya, menambah kebaikan-Nya bagimu, dan akan melindungimu dari segala keburukan, dari sudut pandang agama maupun dunia.

 

“Mengenai keduniawian, Allah berfirman, ‘Demikianlah agar Kami palingkan darinya kemungkaran dan kekejian; sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba pilihan Kami. (QS. Yusuf [12]: 24).

 

“Lalu mengenai agama, Dia berfirman, ‘Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur lagi beriman.’ (QS. an-Nisaa’ [4]: 147).

 

“Adakah bencana yang akan menimpa orang yang beriman lagi bersyukur? Sebab, ia lebih dekat pada keselamatan daripada bencana, sebab ia berada dalam kelimpahan, lantaran kebersyukurannya. Allah berfirman, ‘Jika kamu bersyukur, tentu akan Kami lipatgandakan (nikmat-nikmat Kami) bagimu.’ (QS. Ibrahim [14]: 7).

 

‘Jika keimananmu memadamkan api neraka, api siksaan bagi setiap pendosa di akhirat, bagaimana mungkin ia tidak mampu memadamkan api bencana di kehidupan dunia ini?

 

“Tentu, kecuali hamba tersebut merupakan orang-orang yang jadzdzab dan terpilih untuk kewalian, pilihan, dan saringan, maka tentu saja ia meniscayakan bala untuk memadamkan kekejian hawa nafsu, dari kebertumpuan pada kehendak jasmani, dari kecintaan kepada orang, dan dari hidup bersama mereka. Maka ia diuji, hingga segala kelemahan ini lenyap darinya, dan hatinya tersucikan oleh ketiadaan semuanya itu, sehingga yang tertinggal di hati hanyalah keesaan Tuhan dan pengetahuan tentang kebenaran, dan menjadilah ia tempat curahan rahasia kegaiban, pengetahuan, dan nur kedekatan. Sebab, ia adalah sebuah rumah yang tiada ruang bagi selainnya. Allah berfirman, ‘Allah tak menciptakan bagi manusia dua hati.’ (QS. al-Ahzab [33]: 5). Firman-Nya lagi, ‘Sesungguhnya para raja, bila mereka memasuki sebuah kota, menghancurleburkannya, dan menghinakan penduduknya.’ (QS. an-Naml [27]: 34). °

 

“Lalu, mereka menghasilkan kemuliaan dari kebaikan mereka.

 

“Kedaulatan atas hati berada di awal kekejian hawa nafsu. Anggota tubuh selalu digerakkan oleh perintah mereka demi pelbagai dosa dan kesia-siaan. Kedaulatan ini kini pupus, anggota tubuh merdeka, rumah raja dan pelatarannya, yaitu dada, menjadi bersih.

 

“Kini hati telah bersih, telah dihuni oleh tauhid, dan pelataran telah menjadi arena kecerahan dari kegaiban. Semua ini adalah akibat dari musibah, cobaan, dan buahnya. Nabi Saw. bersabda, ‘Kami, para nabi, adalah yang paling banyak diuji di antara manusia, sedangkan yang lain sesuai dengan kedudukannya.’

 

“Sabdanya lagi, ‘Aku lebih tahu tentang Allah daripada kamu dan lebih takwa kepada-Nya daripada kamu.’

 

“Siapa pun yang dekat dengan raja harus semakin berhatihati, sebab ia berada di hadapan Sang Raja Yang Maha Melihat lagi Maha Mengetahui akan gerak-geriknya.

 

“Jika kau berkata bahwa seluruh makhluk yang terlihat oleh Allah adalah seperti satu orang, sehingga tiada yang tersembunyi dari-Nya, maka apa yang baik atau pernyataan apa ini?

 

“(Kutegaskan) meski dikatakan kepadamu, bahwa bila

 

kedudukan seseorang tinggi dan mulia bahaya juga semakin besar, sebab perlu baginya bersyukur atas karunia-Nya bagimu. Sehingga, sedikit pun menyimpang dari pengabdian kepada-Nya akan merusak kebersyukurannya dan kepatuhannya kepadaNya. Allah berfirman, ‘Hai istri-istri nabi, barang siapa di antaramu berbuat keji yang nyata, niscaya akan dilipatgandakan siksaan kepadanya. (QS. al-Ahzab [33]: 30).

 

“Allah berfirman demikian tentang istri-istri ini, karena telah disempurnakan-Nya nikmat-Nya atas mereka dengan menghubungkan mereka kepada nabi. Bagaimanakah kiranya kedudukan orang yang dekat kepada-Nya? Allah adalah Maha Tinggi atas ciptaan-Nya. Tiada yang menyerupai-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya-berujar, “Engkau menginginkan agar kebahagiaan dan kedamaian terlimpahkan kepadamu, padahal kau masih berupaya membinasakan nafsu hewanimu, harapan akan balasan di dunia ini dan di akhirat, dan hal ini masih bersemayam dalam dirimu?

 

“Wahai yang terburu-buru! Berhenti dan berjalanlah perlahan-lahan. Wahai yang berharap! Pintu tertutup selama keadaan ini masih berlangsung. Sesungguhnya, beberapa sisa dari hal-hal ini masih ada padamu, dan beberapa butir kecilnya masih bersemayam dalam dirimu. Itulah kontrak kebebasan seorang hamba sahaya; selagi masih ada secuil pun padanya, kau tertutup darinya.

 

“Selama kau masih mengisap biji kurma dari dunia ini, dari hawa nafsu, maksud dan kerinduanmu, dari memerhatikan sesuatu dari dunia ini, dari mengupayakan sesuatu pun darinya, atau mencintai sesuatu keuntungan duniawi atau akhiratselama hal-hal ini masih bersemayam dalam dirimu, kau masih berada di pintu peluruhan diri.

 

“Tenanglah sampai peluruhan dirimu sempurna, lalu kau dikeluarkan dari tempat peleburan dan kau terbusanai, terhiasi, dan menjadi harum, lalu kau dibawa kepada Raja nan agung dan berkata, ‘Sesungguhnya kamu pada sisi Kami menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya.’ Maka, kau dianugerahi limpahan nikmat, dibelai dengan rahmat-Nya, diberi minuman, didekatkan, dan diberi pengetahuan tentang yang rahasia. Kemudian, kau terbebaskan dari kebutuhan, karena yang diberikan kepadamu berasal dari hal-hal ini dan terbebaskan dari kebutuhan segala sesuatu. Tidakkah kau lihat kepingan emas yang beraneka ragam yang beredar pagi dan petang, di tangan para penjual obat, tukang jagal, penjual makanan, penyamak, tukang minyak, pembersih dan lain-lain, baik yang bagus, rendah ataupun yang kotor?

 

“Kemudian, kepingan-kepingan ini dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam tempat peleburan logam; lalu kepingankepingan ini meleleh dalam kobaran api, dikeluarkan darinya, ditempa dan dijadikan hiasan-hiasan, diperhalus, diperintah, dan kemudian ditempatkan di tempat-tempat terbaik, rumah-rumah, di balik kunci, dalam kotak-kotak, tempat-tempat gelap, atau dijadikan hiasan sebuah jembatan, dan kadang-kadang jembatan seorang raja besar. Dengan demikian, kepingan-kepingan emas itu berlalu dari tangan para penyamak ke hadapan para raja dan istana setelah dilebur dan ditempa.

 

“Dengan begini, duhai yang beriman, jika kau senantiasa bersabar dengan karunia-Nya, dan berpasrah terhadap takdirNya, maka kau akan didekatkan kepada Tuhanmu di dunia ini, dikaruniai pengetahuan tentang-Nya dan segala pengetahuan serta rahasia, dan akan dikaruniai tempat damai di akhirat bersama dengan para nabi, shiddiq, syahid, dan shalih dalam kedekatan Allah, dalam rumah-Nya, dan dekat dengan-Nya, sembari mereguk kasih sayang-Nya.

 

“Maka dari itu, bersabarlah, jangan terburu-buru, ridhalah senantiasa dengan takdir-Nya, dan jangan mengeluh terhadapNya. Jika kau lakukan yang demikian, maka kau akan merasakan kesejukan ampunan-Nya, lezatnya pengetahuan tentang-Nya, kelembutan dan karunia-Nya.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya- berujar menjelaskan sabda Nabi Saw., “Kemiskinan mendekatkan kepada kekafiran.”

 

“Hamba yang beriman kepada Allah dan memasrahkan segala urusannya kepada-Nya, diberi kemudahan oleh Allah dan keyakinan teguh bahwa apa pun yang akan datang kepadanya akan sampai kepadanya, dan apa pun yang tak mencapainya takkan datang kepadanya. Ia juga mengimani firman Allah, ‘Barang siapa patuh kepada Allah, Dia berikan baginya jalan keluar dan rezeki yang tak disangka-sangkanya, dan barang siapa bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.’ (QS. ath-Thalaaq [65]: 2-3).

 

“Ia berkata demikian dan mengimani kala ia dalam kemudahan dan kesenangan; lalu Allah mengujinya dengan musibah dan kemiskinan; maka ia berdoa dengan penuh kerendahdirian; tetapi Dia tak mengabulkannya. Maka, sabda Nabi Saw., ‘Kemiskinan mendekatkan kepada kekafiran,’ berlaku.

 

“Maka, Allah bermurah kepadanya. Dia sirnakan darinya segala yang merundungnya, terus memberinya kesenangan, kelimpahruahan, dan daya untuk bersyukur serta memuji Allah, hingga ia menghadap-Nya.

 

“Bila Allah ingin mengujinya, Dia kekalkan musibah-Nya padanya dan memutuskan darinya pertolongan iman. Maka, ia menunjukkan kekafiran dengan menyalahkan dan menuduh Allah, dan dengan meragukan janji-Nya. Sehingga, ia mati dalam keadaan tak beriman kepada Allah, mengingkari ayat-ayat-Nya, dan merasa marah kepada Tuhannya. Mengenai orang semacam ini, Nabi Muhammad Saw. bersabda, ‘Sesungguhnya, orang yang paling sengsara pada Hari Kebangkitan ialah orang yang telah diberi kemiskinan oleh Allah di kehidupan ini, dan disiksa di akhirat. Kami berlindung kepada Allah dari hal semacam itu:’*°

 

“Kemiskinan yang diperbincangkan ini ialah kemiskinan yang membuat manusia lupa kepada Allah, dan karena inilah, ia berlindung kepada-Nya.

 

“Orang yang hendak dipilih oleh Allah, yang telah dijadikan pilihan-Nya dan pengganti para nabi-Nya, dan yang telah dijadikan pilihan-Nya dan pengganti para nabi-Nya, dan yang telah dijadikan sebagai penghulu para wali-Nya, manusia agung dan berilmu, perantara dan pembimbing ke arah Tuhan—kepada orang ini, Dia anugerahkan limpahan kesabaran, kepatuhan, dan keterleburan dalam kehendak-Nya. Kemudian, Dia karuniakan kepadanya limpahan rahmat-Nya sepanjang siang dan malam, sendiri atau bersama, kadang-kadang tampak, kadang-kadang tak tampak; dan pelbagai kelembutan menyertai ini semua, hingga akhir hayatnya.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya- “Betapa sering kau berkata, apa yang mesti (kulakukan, apa yang mesti kugunakan (untuk mencapai tujuanku)?

 

“Tetaplah di tempatmu. Jangan melampaui batasmu, sampai jalan keluar dikaruniakan bagimu dari-Nya yang telah memerintahkanmu untuk tinggal di tempatmu. Allah berfirman, ‘Wahai orang-orang beriman, bersabarlah, senantiasa berteguhlah, dan jagalah kewajibanmu terhadap Allah. (QS. Ali Imran [3]: 199).

 

“Dia telah memerintahkanmu untuk bersabar, wahai orangorang beriman, untuk berlomba-lomba dalam kesabaran, untuk berteguh, untuk senantiasa ingat dan untuk menjadikan hal ini sebagai kewajiban. Dia kemudian memperingatkanmu terhadap ketaksabaran dan berujar, Jagalah senantiasa kewajibanmu terhadap Allah,’ artinya jangan tinggalkan kesabaran, sebab kebaikan dan keselamatan terletak pada kesabaran. Nabi Suci Saw. juga bersabda, ‘Kesabaran bagi keimanan ibarat kepala bagi tubuh.””

 

“Bagi segala sesuatu ada balasannya sesuai dengan kadarnya, tetapi balasan bagi kesabaran tak terhingga sebagaimana firman Allah, ‘Sesungguhnya, kesabaran akan diberi pahala yang tak terhingga.’ (QS. az-Zumar [39]: 10).

 

“Jika kau jaga kewajibanmu terhadap-Nya dengan sabar, dan memerhatikan batas-batas yang telah ditentukan oleh-Nya, maka Dia akan membalasmu sebagaimana yang dijanjikan-Nya kepadamu dalam kitab-Nya, ‘…Barang siapa bertakwa kepada Allah, maka Dia akan membuatkan baginya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tak diduganya….’ (QS. ath-Thalaaq [65]: 2-3).

 

“Bersabarlah dengan mereka yang beriman kepada Allah, hingga jalan keluar terbentang bagimu, sebab Allah telah menjanjikanmu kecukupan dalam firman-firman-Nya, ‘Barang siapa bertawakkal kepada Allah, maka Dia mencukupi (keperluan)nya.’ (QS. ath-Thalaagq [65]: 3).

 

Bersabarlah selalu dan berimanlah kepada Allah bersama mereka yang berbuat kebajikan terhadap orang lain, sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu balasan untuk ini, sebab ‘…Sesungguhnya, Allah menyukai orangorang yang berbuat baik.’ (QS. al-Maa’idah [5]: 13).

 

“Kesabaran adalah sumber segala kebajikan dan keselamatan di dunia ini dan di akhirat, dan melaluinya para mukmin mencapai kepasrahikhlasan terhadap kehendak Allah, dan kemudian melebur dalam tindakan-tindakan Allah, yang adalah keadaan para badal atau gaib. “Maka, jangan sampai gagal meraih keadaan seperti ini, agar kau tak hina di dunia ini dan di akhirat, dan supaya kekayaan keduanya ini tak berlalu darimu.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya- berujar, ‘Jika kau dapati hatimu membenci atau mencintai seseorang, telaahlah perilakunya dengan kitabullah dan sunnah Nabi. Kalau perilakunya dibenci oleh kedua pewenang ini, berbahagialah dengan jalan ridha terhadap Allah dan NabiNya. Jika perilakunya sesuai dengan keduanya, sedangkan kau memusuhinya, maka ketahuilah bahwa kau adalah pengikut hawa nafsumu. Kau membencinya lantaran kebencianmu kepadanya dan menentang Allah, Yang Maha Kuasa lagi Maha Agung, menentang Nabi-Nya, dan menentang kedua pewenang ini. Maka, berpalinglah kepada Allah, bertaubat dan mohonlah kepadanya kecintaan kepada orang itu dan para pilihan Allah, para wali-Nya dan para shalih, bersesuaianlah dengan Allah dalam mencintainya.

 

“Berlaku serupalah terhadap yang kau cintai. Yaitu, menelaah perilakunya dengan cahaya Kitabullah dan sunnah Nabi. Jika ia ternyata disenangi oleh kedua pewenang ini, maka cintailah ia. Tetapi, jika perilakunya tak disenangi oleh keduanya, maka bencilah ia, agar kau tak mencintai dan membencinya karena hawa nafsumu. Allah berfirman, ‘Dan, jangan mengikuti hawa nafsumu, karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. Shaad [38]: 26).

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya-berujar, “Ada empat jenis manusia. Yang pertama tak berlidah dan tak berhati. Mereka adalah manusia biasa, bodoh, dan hina. Mereka tak pernah ingat kepada Allah. Tiada kebaikan dalam diri mereka. Mereka bagai sekam tak berbobot jika Allah tak mengasihi mereka, membimbing hati mereka kepada keimanan pada-Nya Sendiri.

 

“Waspadalah, jangan menjadi seperti mereka. Inilah manusia-manusia sengsara dan dimurkai oleh Allah. Mereka adalah penghuni-penghuni neraka. Kita berlindung kepada Allah dari mereka.

 

“Hiasilah dirimu dengan makrifat. Jadilah guru kebenaran, pembimbing ke jalan agama, pemimpinnya dan penyerunya.

 

Ingat, bahwa kau mesti mendatangi mereka, mengajak mereka untuk taat kepada Allah, dan memperingatkan mereka akan dosa terhadap Allah Swt. Maka, kau akan menjadi pejuang di jalan Allah dan akan dipahalai, sebagaimana para nabi dan utusan Allah. Nabi Suci Saw. berkata kepada Ali Ra., Jika Allah membimbing seseorang melalui pembimbingmu atasnya, adalah lebih baik bagimu daripada tempat matahari terbit.’*

 

“Manusia yang kedua berlidah tetapi tak berhati. Mereka berbicara bijak, tetapi tak berbuat bijak. Mereka menyeru orang kepada Allah Swt, tetapi mereka sendiri menjauh dari-Nya. Mereka jijik terhadap noda orang lain, tetapi mereka sendiri tenggelam dalam lautan noda. Mereka menunjukkan kepada orang lain akan keshalihan mereka, tetapi mereka sendiri justru berbuat dosa besar terhadap Allah Swt. Bila sendirian, mereka bagai serigala berbusana.

 

“Jenis manusia inilah yang diperingatkan oleh Nabi Muhammad Saw. dalam sabdanya, ‘Hal yang semestinya paling ditakuti olehku dan pengikut-pengikutku adalah orang berilmu yang jahat. Dalam hadits lain disebutkan, ‘Hal paling menakutkan yang aku takutkan pada umatku adalah ulama sw’.’ Na’udzubillah min dzalik!!

 

“Karena itu, menjauhlah selalu dari orang seperti itu, agar kau tak terseret oleh manis lidahnya, yang kemudian api dosanya akan membakarmu, dan kebusukan ruhani serta hatinya akan membinasakanmu.

 

“Manusia ketiga berhati namun tak berlidah. Mereka adalah mukmin yang Allah telah memberinya satir dari makhluk-Nya, menganugerahinya pengetahuan tentang noda-noda dirinya sendiri, mencerahkan hatinya dan membuatnya sadar akan mudharatnya berbaur dengan manusia, akan kekejian berbicara dan yang telah yakin bahwa keselamatan ada dalam ke-diaman serta keberadaan dalam sebuah sudut, sebagaimana sabda Nabi Saw., ‘Barang siapa senantiasa diam, maka ia memperoleh keselamatan.’ Atau, ujaran sebuah hikmah, ‘Sesungguhnya, pengabdian kepada Allah terdiri atas sepuluh bagian, yang sembilan bagian ialah sikap diam.’

 

“Orang ini adalah wali Allah dalam hal rahasia-Nya, terlindungi, memiliki keselamatan dan banyak pengetahuan, terahmati dan segala yang baik ada padanya. Nah, ingatlah, bahwa kau mesti senantiasa bersama dengan orang semacam ini, layanilah ia, cintailah ia dengan memenuhi kebutuhan yang dirasakannya, dan berilah ia hal-hal yang akan menyenangkannya. Bila kau melakukan yang demikian ini, maka Allah akan mencintaimu, memilihmu, dan memasukkanmu ke dalam kelompok sahabat dan hamba shalih-Nya disertai rahmat-Nya.

 

“Yang keempat ialah manusia yang berlidah dan berhati. Mereka adalah seseorang yang diundang ke dunia gaib, yang dibusanai kemuliaan sebagaimana sinyalir sebuah hadits, ‘Barang siapa mengetahui dan bertindak berdasarkan pengetahuannya dan memberikannya kepada orang lain, maka ia diundang ke dunia gaib dan menjadi mulia.’

 

“Ini adalah orang alim yang memiliki pengetahuan tentang Allah dan tanda-Nya. Hatinya menjadi penyimpan pengetahuan yang langka tentang-Nya, dan Dia menganugerahkan kepadanya rahasia-rahasia yang disembunyikan-Nya dari yang lain. Dia memilihnya, mendekatkannya kepada-Nya sendiri, membimbingnya, memperluas hatinya agar bisa menerima rahasia-rahasia dan pengetahuan-pengetahuan ini, dan menjadikannya seorang pekerja di jalan-Nya, penyeru hambahamba-Nya kepada jalan kebajikan, pengingat akan siksaan perbuatan-perbuatan keji, dan hujjatullah di tengah-tengah mereka, pemandu dan yang terbimbing, perantara, dan yang perantaraannya diterima, seorang shiddiq dan saksi kebenaran, ( wakil para nabi dan utusan Allah, yang bagi mereka limpahan rahmat Allah.

 

“Maka, orang ini menjadi puncak umat manusia. Tiada maqam diatas ini, kecuali maqam para nabi. Adalah kewajibanmu untuk berhati-hati, agar kau tak memusuhi orang semacam itu, tak menjauhinya dan tak melecehkan ucapan-ucapannya. Sesungguhnya, keselamatan terletak pada ucapan dan kebersamaan dengan orang itu. Sedangkan kebinasaan dan kesesatan terletak pada selainnya; kecuali orang yang dikaruniai oleh Allah daya dan pertolongan yang membawa kepada kebenaran dan kasih sayang.

 

“Demikianlah paparanku tentang empat klasifikasi manusia. Maka, perhatikanlah dirimu sendiri jika kau punya jiwa yang terus-mata. Selamatkanlah dirimu dengan sinarnya, jika kau ingin sekali menyelamatkan dan mencintainya. Semoga Allah membimbing kita kepada yang dicintai-Nya di dunia ini dan di akhirat!”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya- berujar, “Betapa aneh jika kau marah kepada Tuhanmu, menyalahkan-Nya dan menganggap-Nya Yang Maha Kuasa lagi Maha Agung, tak adil, menahan rezeki, tak menjauhkan dari musibah!!

 

“Tidakkah kau tahu bahwa setiap kejadian ada waktunya, dan setiap musibah ada akhirnya? Keduanya tak bisa dimajukan atau diundurkan.

 

“Masa-masa musibah tak berubah, sehingga datang kebahagiaan. Masa-masa kesulitan tak berlalu, sehingga datang kemudahan.

 

“Berlaku sopanlah, diamlah senantiasa, bersabar, berpasrah dan ridhalah kepada Tuhanmu. Bertaubatlah kepada Allah. Di hadapan Allah tiada tempat untuk menuntut atau membalas dendam seseorang tanpa dosa dorongan nafsu, sebagaimana yang terjadi dalam hubungan antarhamba-Nya.

 

“Dia, Yang Maha Kuasa lagi Maha Agung, sepenuhnya Esa dengan azaliyah-Nya. Dia menciptakan hal-hal dan menciptakan manfaat dan mudharat. Maka, Dia mengetahui awal, akhir, dan akibat mereka. Dia, Yang Maha Kuasa lagi Maha Agung, bijak dalam bertindak dan tiada ketakselarasan dalam tindakan-Nya. Dia tak melakukan sesuatu pun tanpa arti dan main-main. Adalah tak layak menisbahkan kecacatan atau kesalahan kepada tindakan-Nya.

 

“Tunggulah jalan keluar (farj) jika kau merasakan pudarnya kepatuhanmu terhadap-Nya, hingga tibalah takdir-Nya, sebagaimana datangnya musim panas setelah berlalunya musim dingin, dan sebagaimana datangnya siang setelah berlalunya malam.

 

“Nah, jika kau memohon tibanya cahaya siang selama kian memekatnya malam, maka permohonanmu sia-sia; tetapi kepekatan malam kian memuncak hingga mendekati fajar, siang datang dengan kecerahannya, entah kau kehendaki atau tidak. Jika kau kehendaki kembalinya malam pada saat itu, maka doamu takkan dikabulkan. Sebab, kau telah meminta sesuatu yang tak layak. Kau akan dibiarkan meratap, lunglai, jemu, dan enggan. Tinggalkanlah semua ini, senantiasa beriman dan patuhlah kepada Tuhanmu dan bersabarlah. Maka, segala milikmu takkan lari darimu, dan segala yang bukan milikmu takkan kau peroleh.

 

“Demi diriku, mohonlah pertolongan kepada Allah dengan doa dan kebersimpuhan sebagai bentuk ibadah dan ketaatan, serta pelaksanaan perintah-Nya dalam firman, ‘Mohonlah kepadaKu, maka akan Kuterima permohonanmu.’ (QS. al-Mu’min [40]: 60), dan firman, ‘Mintalah kepada Allah karunia-karunia-Nya. (QS. an-Nisaa’ [4]: 32).

 

“Mohonlah kepada-Nya, niscaya Dia akan menerima permohonanmu pada saatnya, bila dikehendaki-Nya, dan bila hal itu bermanfaat bagimu dalam kehidupan duniawimu dan akhirat, atau lagi hal itu sesuai dengan keputusan-Nya dan keberakhiran ajalnya.

 

“Jangan salahkan Dia bila menangguhkan penerimaan doamu dan jangan pernah jemu untuk berdoa. Sebab, sesungguhnya jika kau tak memperoleh, kau juga tak rugi. Jika Dia tak segera menerima doamu di kehidupan duniawi ini, maka Dia akan menyisihkan bagimu pahala di kehidupan kelak. Nabi Saw. bersabda, ‘Pada Hari Kebangkitan hamba-hamba Allah akan

 

mendapati dalam kitab amalannya amal-amal yang tak dikenalinya. Lalu, kepadanya dikatakan bahwa itu adalah balasan dari doa-doanya di kehidupan duniawinya yang tak dikabulkan di sana.’*

 

“Sikap minimal yang harus kau ambil, kau harus tetap mengingat Tuhanmu dan mengesakan-Nya, dengan hanya meminta kepada-Nya saja dan tidak memohon pada selain-Nya, juga tidak menurunkan hajat kepada selain-Nya. Kau harus berada dalam kedua hal ini (mengingat dan mengesakan Allah) sepanjang waktu, siang maupun malam, sehat atau sakit, suka atau duka. Atau, tahan saja doamu sembari ridha dan pasrah menerima kehendak-Nya, seperti jasad mati di hadapan orang yang memandikannya, atau seperti bayi di tangan perawat, atau seperti bola polo di depan pemain polo, yang menggulirkannya dengan tongkat polonya. Dan, takdir pun membolak-balik dirimu sekehendak-Nya.

 

“Jika hal itu (ketentuan takdir) berbentuk rahmat, maka kau harus bersyukur dan memuji, niscaya Allah akan memberi sebagaimana firman-Nya, ‘Sesungguhnya, jika kau bersyukur, tentu akan Kuberikan kepadamu lebih banyak lagi. (QS. Ibrahim [14]: 7). Dan, jika hal itu adalah musibah, maka kesabaran dan kepatuhan meluncur darimu dengan pertolongan kekuatan yang dianugerahkan oleh-Nya, keteguhan hati, pertolongan rahmat dan kasih sayang dari-Nya, sebagaimana firman-Nya, ‘Sesungguhnya, Allah bersama orang yang sabar. (QS. al-Baqarah [2]: 153). Bagaimana Allah tidak akan bersama orang-orang yang sabar dan memenangkan mereka sementara mereka telah unggul di atas nafsu, hawa, setan mereka dengan senjata kesabaran mereka sebagaimana firman Allah, ‘Jika kau menolong Allah, maka Dia akan menolongmu dan meneguhkan pijakanmu.’ (QS. Muhammad [47]: 7).

 

“Bila kau telah membantu (jalan) Allah, dengan menentang hawa nafsumu, tak menyalahkan-Nya, menghindari ketaksenangan dirimu terhadap kehendak-Nya, menjadi musuh diri demi Allah, siap menyerangnya dengan pedang bila ia bergerak dengan kekafiran dan kesyirikannya, menebas kepalanya dengan kesabaran dan keselarasanmu dengan Tuhanmu, dengan keridhaan terhadap kehendak dan janji-Nya—jika kau berlaku demikian, maka Allah akan menjadi penolongmu.

 

“Mengenai rahmat dan kasih sayang, Dia berfirman, ‘Berilah kabar baik kepada orang-orang yang sabar, mereka, yang bila ditimpa musibah, berkata, ‘Sesungguhnya, kami adalah milik Allah dan kepada-Nya kami kembali. Mereka adalah yang dikaruniai rahmat dan kasih sayang Tuhan mereka, dan mereka adalah pengikutpengikut jalan kebenaran.’ (QS. al-Baqarah [2]: 156-157).

 

“Sikap lain, kau harus memohon kepada Allah dengan kerendahdirian, dengan mengagungkan-Nya, dan patuh kepada perintah-perintah-Nya. Ya, berdoalah kepada Allah, hal itu adalah layak, sebab Dia sendirilah yang memerintahkanmu untuk memohon kepada-Nya, berpaling kepada-Nya, telah membuat hal itu sebagai sarana kesenanganmu, semacam utusan darimu kepada-Nya, sarana penghubung dengan-Nya, dan sarana pendekatan kepada-Nya, asalkan, tentu saja, kau tak menyalahkan-Nya, marah kepada-Nya, karena ditangguhkan-Nya penerimaan doamu.

 

“Perhatikanlah perbedaan antara dua keadaan ini. Jangan berada di luar keduanya, sebab tidak boleh keadaan selain keduanya.

 

“Berhati-hatilah agar kau tak berbuat aniaya, yang melanggar batas. Sehingga, Dia akan membinasakanmu dan Dia takkan memerhatikanmu, sebagaimana dibinasakan-Nya orang-orang yang telah berlalu di dunia ini, dengan menambah bencanabencana-Nya, di akhirat, dengan siksa yang amat pedih. “Maha Suci Allah Yang Maha Agung! Wahai yang tahu keadaanku! Kepada-Mu-lah aku pasrahkan diri.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya- “Berpantang dari segala yang haram adalah wajib bagimu, kalau tidak, maka tali kehancuran akan menjeratmu. Kau takkan lepas darinya selamanya kecuali dengan kasih sayang-Nya. Nabi Saw. diriwayatkan bersabda, ‘Sesungguhnya, pemilik agama adalah seorang yang wira’i, sedangkan kebinasaannya adalah kerakusan. Barang siapa berpanas-panas di sekitar panas, maka ia dikhawatirkan terjatuh di dalamnya sebagaimana gembala di dekat ladang, sehingga ia dikhawatirkan akan menjulurkan mulutnya pada tanaman ladang, hingga ladang tersebut nyaris tidak aman darinya.”

 

“Umar bin Khathab Ra. juga pernah berkata, ‘Kami biasa berpantang dari sembilan dari sepuluh hal yang halal karena khawatir kalau-kalau kami jatuh ke dalam hal-hal yang haram.’ Hal senada dituturkan juga oleh Abu Bakar Ra., ‘Kami biasa menghindari tujuh puluh pintu dari hal-hal yang halal, karena kami khawatir akan keterlibatan dalam dosa.’

 

“Pribadi-pribadi ini berlaku demikian hanya untuk menjauh dari segala yang haram. Mereka bertindak berdasarkan sabda Nabi Muhammad Saw., ‘Ingatlah! Sesungguhnya, setiap raja memiliki tanah larangan, dan tanah larangan Allah adalah hal-hal yang diharamkan-Nya. Barang siapa berada di sekitar sesuatu yang dilarang, dikhawatirkan akan terjatuh di dalamnya.’*’

 

“Barang siapa memasuki benteng raja, melewati gerbang pertama, kedua dan ketiga, hingga sampai di singgasana, maka ia lebih baik ketimbang orang yang berada di pintu pertama. Maka, bila pintu ketiga tertutup baginya, hal itu takkan merugikannya, sebab ia tetap berada di balik dua pintu istana, dan ia memiliki milikan raja, dan tentaranya dekat dengannya. Tetapi, bagi orang yang berada di pintu pertama, jika pintu ini tertutup baginya, maka ia tetap sendirian di padang terbuka, bisa-bisa ia diterkam serigala dan musuh, bisa-bisa ia binasa.

 

“Begitu pula, orang yang menunaikan perintah-perintah Allah akan dijauhkan darinya pertolongan daya dan keleluasaan, dan ia akan terbebas dari kedua hal ini. Dan, ia tetap berada di dalam hukum. Bila kematian merenggutnya, maka ia berada dalam kepatuhan dan pengabdian. Dan, amal bajiknya akan menjadi saksi baginya.

 

“Orang yang diberi kemudahan, sedangkan ia tak menunaikan kewajiban-kewajibannya, jika kemudahan itu dicabut darinya dan ia terputus dari pertolongan-Nya, maka hawa nafsu akan menguasainya, dan ia akan tenggelam dalam hal-hal yang haram, keluar dari hukum, bersama dengan para setan, yang adalah musuh-musuh Allah, dan akan menyimpang dari jalan kebenaran. Maka, jika kematian merenggutnya, sedangkan ia belum bertaubat, maka ia akan binasa, jika Allah tak mengasihinya.

 

“Jadi, bahaya terletak pada keterlengahan, sedangkan keselamatan terletak pada pemenuhan kewajiban.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya- “Jadikanlah kehidupan setelah matimu sebagai modal dan kehidupan duniawimu sebagai keberuntungan. Jika masih ada waktu lebih, habiskanlah demi kehidupan duniawimu, yakni dengan mencari nafkah. Jangan kau buat kehidupan duniawimu sebagai modalmu, dan kehidupan setelah matimu sebagai keuntunganmu, dan sisa waktumu kau habiskan untuk memperoleh kehidupan setelah mati dan memenuhi kewajiban shalat lima waktu. Kau diperintahkan untuk mengendalikan kedirianmu, agar ia mematuhi Tuhannya. Tetapi kau bertindak tak layak terhadapnya, dengan menuruti dorongan-dorongannya dan kau serahkan kendali kepadanya, kau ikuti keinginan keinginan rendahnya, kau bersekutu dengan iblis dan nafsunya, sehingga kau tak memiliki yang terbaik dari kehidupan ini dan kelak, sehingga kau masuki Hari Pengadilan sebagai orang paling miskin kebajikan, dan tak memperoleh, dengan mengikutinya, sebagian besar bagianmu dalam kehidupan duniawi ini. Tetapi, jika kau melalui jalur akhirat dengannya, dan menggunakannya sebagai modalmu, maka kau akan memperoleh kehidupan duniawi dan ukhrawi. Sedangkan bagian duniawimu akan kau terima dengan segala kenikmatannya, dan kau akan terhormat. Nabi Saw. bersabda, ‘Sesungguhnya, Allah menyelamatkan di dunia ini demi akhirat, sedangkan keselamatan di akhirat tak dimaksudkan demi kehidupan duniawi ini.”

 

“Bagaimana hal itu tidak berlaku demikian. Niat untuk akhirat adalah kepatuhan kepada Allah. Sebab, niat merupakan ruh pengabdian dan kemaujudannya.

 

“Bila kau mematuhi Allah ‘Azza wa Jalla dengan berpantang di dunia ini, dan dengan mengupayakan tempat di akhirat, maka kau menjadi pilihan Allah Ta‘ala (khawwash Allah), dan kehidupan akhirat akan kau peroleh, yaitu surga dan kedekatan dengan-Nya. Maka, dunia akan mengabdi kepadamu, dan bagianmu darinya akan sepenuhnya kau peroleh, sebab segala sesuatu patuh kepada Penciptanya, yaitu Tuhannya. Bila kau diliputi kehidupan duniawi dan berpaling dari akhirat, maka Allah akan murka kepadamu; kau akan kehilangan akhirat, dunia takkan patuh kepadamu, dan akan menghalangi datangnya bagianmu, karena murka Allah kepadamu, sebab ia adalah milik Nya. Nabi Saw. bersabda, ‘Dunia dan akhirat itu ibarat dua istri; jika kau menyenangkan yang satu, maka yang lain akan marah kepadamu.’

 

“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, ‘Sesungguhnya, sebagian darimu menyukai kehidupan duniawi ini, dan sebagiannya lagi mencintai akhirat.’ (QS. al-Baqarah [2]: 151). Artinya, semua kita ini adalah anak-anak dunia dan anak-anak akhirat.

 

“Perhatikan dirimu! Anak siapakah kau? Pada kubu mana kau ingin masuk selagi kau di dunia?

 

“Pada Hari Kiamat, manusia juga terbagi menjadi dua golongan. Golongan penghuni surga dan golongan penghuni neraka, sebagaimana firman Allah, ‘Segolongan masuk surga dan segolongan masuk neraka.’ (QS. asy-Syuura [42]: 7). Golongan (surga) berada di tempatnya sepanjang Hari Perhitungan yang satu harinya sama dengan lima belas ribu tahun. Dan, ada golongan lain yang berada di meja makan yang di atasnya makanan, bebuahan, dan madu yang lebih putih, yang sangat lezat, daripada es, sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits, ‘Pada Hari Kiamat kalian berada di bawah payung ‘Arsy akan melihat tempat mereka di surga, sembari duduk menghadap meja-meja makan yang di atasnya tersaji makanan-makanan lezat, juga buah-buahan, dan madu yang lebih putih daripada salju, sembari memandang tempat-tempat mereka di surga hingga ketika Allah selesai meminta pertanggungjawaban manusia, dan mereka akan memasuki surga. Mereka menuju ke rumah mereka sebagaimana salah seorang menuju rumahnya.

 

“Mereka meraih hal ini karena telah mencampakkan dunia dan berupaya mencapai akhirat dan Tuhannya. Sedangkan mereka yang tenggelam dalam pelbagai kesulitan dan kehinaan disebabkan tenggelamnya mereka dalam hal-hal duniawi, dan pengabaian mereka akan akhirat, Hari Pengadilan dan yang akan terjadi pada mereka kelak sebagaimana disebutkan dalam Kitabullah dan sunnah Nabi.

 

“Perhatikan dirimu dengan pandangan penuh kasih sayang, pilihkanlah baginya yang lebih baik di antara kedua kelompok ini dan jauhkanlah ia dari kekejian, pembangkangan, dan jin. Jadikanlah Kitabullah dan sunnah Nabi-Nya sebagai pembimbingmu, renungkanlah dua pewenang ini, berlakulah dengan keduanya, dan jangan terkecoh oleh perkataan kosong dan berlebihan.

 

“Allah berfirman, ‘Segala yang dibawa oleh nabi kepadamu, terimalah, dan segala yang dilarangnya, jauhilah dan bertakwalah kepada Allah, (QS. al-Fath [48]: 7). Artinya, bertakwalah pada Allah dan jangan memungkiri-Nya, dengan meninggalkan amalan yang didatangkan-Nya dan malah membuat-buat amalan dan ibadah untuk dirimu sendiri, sebagaimana firman Allah tentang kaum yang tersesat di jalan-Nya, ‘…Dan, mereka mengada-adakan ruhbaniyah (kepaderian,—peny.), padahal Kami tak mewajibkannya kepada mereka.’ (QS. al-Hadiid [57]: 27).

 

“Selanjutnya, Allah ‘Azza wa Jalla telah menyucikan NabiNya Saw., dan membersihkannya dari segala kebatilan dan kebohongan. Dia berfirman, ‘Dan, tiadalah yang diucapkannya itu menurut hawa nafsunya, dan ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan.’ (QS. an-Najm [53]: 3-4). Artinya, segala sesuatu yang ia sampaikan kepadamu berasal dari-Ku, bukan dari kediriannya, maka ikutilah.

 

“Kemudian, Dia berfirman, ‘Jika kau mencintai Allah ikutilah aku, maka Allah akan mencintaimu.’ (QS. Ali ‘Imran [3]: 30). Jelaslah, bahwa jalur cinta ialah mengikuti kata dan perilaku Nabi secara menyeluruh. Nabi Saw. bersabda, “Berupaya adalah sunnahku dan tawakkal adalah keadaanku.™

 

“Maka beradalah kau di antara upaya dan keadaannya. Jika imanmu lemah, kau mesti berupaya, dan jika imanmu teguh, kau mesti meniru halah Nabi, yaitu tawakkal. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, ‘Dan, hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.’ (QS. al-Maa’idah [5}: 23). Firman senada, “Dan, barang siapa bertawakkal kepada Allah niscaya Dia akan mencukupkan (keperluan)-nya. (QS. at-Thalaaq [65]: 3). Firman lain, ‘Sesungguhnya, Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.’ (QS. Ali ‘Imran [3]: 159).

 

“Nah, Dia memerintahkanmu untuk senantiasa bertawakkal dan memperingatkanmu akannya sebagaimana perintah Nabi Saw.

 

“Karena itu, ikutilah perintah-perintah Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya dalam segala laku perbuatan kamu, jika tidak, maka amalanmu akan dikembalikan lagi kepadamu (baca: ditolak). Nabi Saw. bersabda, ‘Barang siapa berbuat sesuatu yang tak kami perintahkan, maka perbuatannya itu tertolak.’

 

“Hal ini meliputi kehidupan, kata, dan perilaku. Hanya Nabilah yang dapat kita ikuti, dan hanya berdasarkan al-Qur’an-lah kita berbuat. Maka, jangan menyimpang dari keduanya ini, agar kau tak binasa, dan agar hawa nafsu serta setan tak menyesatkanmu. Allah Ta‘ala berfirman, ‘Jangan ikuti hawa nafsu, karena ia akan memalingkanmu dari jalan Allah. (QS. Shaad [38]: 26).

 

“Keselamatan terletak pada Kitab Allah dan sunnah Nabi. Sedangkan kebinasaan terletak di luar keduanya, dan dengan pertolongan keduanya ini, hamba Allah mencapai status wali, badal dan gaws.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya- berujar, “Wahai orang-orang beriman, kenapa kau iri terhadap tetanggamu yang hidup senang, yang memperoleh rahmat-rahmat dari Tuhannya?

 

“Tidakkah kau tahu bahwa yang demikian ini melemahkan imanmu, mencampakkanmu di hadapan Tuhanmu, dan membuatmu dibenci oleh-Nya?

 

“Tidakkah kau dengar sabda Nabi bahwa Allah berfirman, ‘Kedengkian adalah musuh rahmat-Ku’?® Tidakkah kau dengar juga sabda Nabi, ‘Sesungguhnya, keirihatian melahap habis kebajikan sebagaimana api melahap habis kayu bakar.”“

 

“Lantas, kenapa kau iri terhadapnya, duhai orang yang malang? Baginyakah atau bagimu?

 

“Nah, jika kau iri terhadapnya, lantaran karunia Allah baginya, maka berarti kau tak ridha dengan firman-Nya, ‘Kami karuniakan di antara mereka rezeki di kehidupan duniawi ini.’ (QS. az-Zukhruf [43]: 32). Berarti kau benar-benar zhalim terhadap orang ini, yang menikmati karunia Tuhannya, yang khusus Dia karuniakan kepadanya, yang telah dijadikan-Nya sebagai bagiannya dan yang tidak diberikan-Nya sedikit pun dari bagian itu kepada orang lain. Nah, siapakah yang lebih zhalim, serakah, dan bodoh selainmu?

 

“Jika kau hasud terhadapnya lantaran bagianmu, maka kau berarti telah bertindak sangat bodoh, sebab bagianmu tidak akan diberikan pada orang lain, juga tidak akan berpindah dari tanganmu ke tangan orang lain. Allah bebas dari kecacatan seperti itu. Dia berfirman, ‘Keputusan di sisi-Ku tidak dapat diubah dan Aku sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba-Ku.’ (QS. Qaaf [50]: 29).

 

“Sesungguhnya Allah takkan mencabut darimu segala yang telah ditentukan-Nya bagimu dan takkan memberikannya kepada selainmu. Ini adalah bentuk kebodohanmu sendiri dan kezhalimanmu pada saudaramu.

 

“Lebih lanjut, keirianmu pada tanah yang menyimpan aneka harta kekayaan, seperti emas, perak, dan batu-batu mulia, yang dikumpulkan oleh raja-raja terdahulu, seperti ‘Ad, Tsamud, para raja serta kaisar Persia dan Romawi—lebih baik daripada keirianmu terhadap tetanggamu, mukmin atau sedurjana apa pun ia, toh di rumahnya tidak ada seperjuta bagian yang dimiliki mereka.

 

“Keirianmu pada tetanggamu malah seperti seorang yang melihat seorang raja yang memiliki kekuasaan, tentara, kehormatan, dan kerajaan, yang menguasai negeri-negeri, memungut pajak, memeras mereka demi keuntungan pribadi, dan menikmati aneka kesenangan, tetapi tak iri terhadap raja ini, sedang terhadap seekor anjing buas yang tunduk kepada salah seekor anjing raja itu, yang bersamanya siang dan malam, dan diberi sisasisa makanan dari dapur kerajaan, dan hidup dengannya; orang ini mulai iri terhadap anjing ini, memusuhinya, menghendaki kematiannya, dan ingin menggantikan kedudukannya sepeninggalnya, tanpa merasa enggan terhadap dunia, atau membangun sikap sabar dan ridha dengan nasibnya. Adakah manusia, di sepanjang masa, yang lebih bodoh daripada orang ini?

 

“Selanjutnya, jika kau tahu hai orang yang malang! Apa yang mesti dihadapi oleh tetanggamu kelak pada Hari Kebangkitan, jika ia tak mematuhi Allah, padahal ia menikmati karuniakarunia-Nya dan tak memanfaatkan karunia-karunia itu untuk mengabdi kepada-Nya?

 

“Tidakkah kau dengar cerita dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Nabi Saw., berbunyi, ‘Sesungguhnya, akan ada kelompok-kelompok orang yang menghendaki, pada Hari Kebangkitan, agar daging mereka dipisahkan dari tubuh mereka dengan gunting, karena mereka melihat pahala bagi penderitapenderita kesulitan.”*

 

“Pada Hari Kiamat kelak, tetanggamu akan menginginkan kedudukanmu di dunia ini, karena pertanggungjawabannya, kesulitan-kesulitannya, keberdiriannya selama lima puluh ribu tahun di terik matahari masa itu, atas kenikmatan hidup duniawi yang telah direguknya.

 

“Sedangkan kau akan selamat dari hal ini di bawah naungan Arsy Allah, sembari makan, minum, bersenang-senang karena kesabaranmu dalam menghadapi nasibmu dan keselarasanmu dengan perintah Tuhanmu. Semoga Allah menjadikanmu orang yang sabar dalam menghadapi musibah, bersyukur atas rahmatNya dan memasrahkan segala urusannya kepada Tuhan bumi dan langit.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya-berujar, “Barang siapa memperlakukan Allah dengan penuh keikhlasan dan ketulusan (nashahah), berarti ia mencampakkan segala selain-Nya pagi dan sore. “Wahai manusia, jangan mengaku apa yang tidak kau miliki. Esakanlah Allah dan jangan sekutukan Dia dengan sesuatu pun. Demi Allah, sesungguhnya panah takdir-Nya hanya melecetkanmu saja dan tak sampai mematikanmu. Dan, siapa pun yang memfanakan diri demi Allah, maka ia akan memperoleh ganti dari-Nya.’*

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya-berujar, “Melakukan sesuatu karena nafsu, bukan karena perintah Allah, adalah penyimpangan dan kedurhakaan. Melakukan sesuatu dengan tanpa hawa kecenderungan adalah keselarasan dan persetujuan. Sedangkan membengkalaikannya berarti riya’ dan kemunafikan.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya-berujar, ‘Jangan berambisi masuk ke golongan orang-orang ruhaniyin sampai kau pantas menjadi musuh kedirianmu, dan benar-benar terlepas dari semua organ tubuhmu, dan terlepas dari semua hubungan dengan kemaujudanmu, dengan gerak-gerikmu dan kediamanmu, dengan pendengaranmu dan penglihatanmu, dengan pembicaraan dan dengan diammu, dengan upaya, tindakan dan pemikiranmu, dan dengan segala yang berasal darimu, sebelum kemaujudan ruhanimu mewujud dalam dirimu. Dan, semua itu akan kau dapat setelah kemaujudan ruhani bersemayam di dalam dirimu, sebab, ini menjadi tabir antara kau dan Tuhan. Bila kau menjadi seorang yang suci jiwanya, bersahaja, rahasia dari segala rahasia dan yang gaib dari segala yang gaib, maka kau benar-benar berbeda dengan segala yang rahasia, dan mengakui segala sesuatu sebagai musuh, penghalang dan kegelapan, sebagaimana [brahim As. berkata, ‘Sesungguhnya, mereka semua adalah musuh-musuhku, kecuali Tuhan semesta alam,’ (QS. asy-Syu’araa’ [26]: 77). la berkata begini terhadap berhala-berhala.

 

“Jadikanlah segala kemaujudan dan bagian-bagian dirimu sebagai berhala, begitu pula ciptaan-ciptaan lainnya. Jangan patuhi mereka dan jangan ikuti mereka. Maka kau akan dikaruniai hikmah, makrifat, daya cipta, dan keajaiban, seperti yang dimiliki para beriman di surga.

 

“Keberadaanmu dalam kondisi begini ibarat terbangkitkan dari kematian di akhirat. Menjadilah kau perwujudan kuasa Allah; kau mendengar melalui-Nya, melihat melalui-Nya, berbicara melalui-Nya, diam melalui-Nya, senang dan damai melalui-Nya. Dengan demikian, kau akan tuli terhadap segala sesuatu selain-Nya; sehingga kau tak mendapati kemaujudan selain-Nya, sehingga kau mengetahui hukum dan selaras dengan kewajiban dan larangan. Maka, bila suatu kekeliruan ada padamu, ketahuilah bahwa kau sedang diuji, digoda, dan dipermainkan oleh setan-setan.

 

“Rujuklah hukum Allah dan pegang teguhlah ia, dan jagalah dirimu agar senantiasa bersih dari keinginan-keinginan rendah, sebab segala yang tak dikukuhkan oleh hukum adalah kekafiran.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya-berujar, “Akan kami paparkan padamu sebuah permisalan tentang kekayaan, sebagai berikut:

 

“Tidakkah kau lihat seorang raja yang menjadikan seorang rakyat jelata sebagai gubernur kota tertentu, memberinya busana kehormatan, bendera, panji-panji dan tentara sebagai bukti atas masa, sampai ia merasa senang dengan kedudukan tersebut dan meyakini kekekalan dan kelanggengan kedudukannya. Ia merasa bangga dengan jabatan tersebut dan lupa akan keadaannya sebelumnya. Ia terseret oleh kebanggaan, kesombongan, dan kesia-siaan. Maka, datanglah perintah pemecatan dari raja. Dan, sang raja meminta penjelasan atas kejahatan-kejahatan yang telah dilakukannya dan pelanggarannya atas perintah dan larangannya. Lalu, sang raja memenjarakannya di dalam sebuah penjara yang sempit dan gelap serta memperlama pemenjaraannya, dan orang itu terus menderita, terhinakan dan sengsara, akibat ketakaburan dan kesia-siaannya, dirinya hancur, api kehendaknya padam, dan semua ini terjadi di depan mata sang raja dan diketahuinya. Setelah itu ia menjadi iba terhadap orang itu, dan memerintahkan agar ia dibebaskan dari penjara, disertai kelembutan terhadapnya, dianugerahkan kembali busana kehormatan, dan dijadikannya kembali ia sebagai gubernur. Ia menganugerahkan semua ini kepada orang itu sebagai karunia cuma-cuma. Kemudian ia menjadi teguh, bersih, berkecukupan, dan terahmati.

 

“Begitulah keadaan seorang mukmin yang didekatkan dan dipilih-Nya. Dia bukakan di hadapan mata hatinya pintu-pintu kasih sayang, kemurahan, dan pahala. Maka, ia melihat dengan hatinya yang mata tak pernah melihat, yang telinga tak pernah mendengar, yang hati manusia tak tahu akan hal-hal gaib dari kerajaan lelangit dan bumi, akan kedekatan dengan-Nya, akan kata manis, jaryi menyenangkan, limpahan kasih sayang, akan diterimanya doa dan kebajikan, dan akan dipenuhinya janji serta kata-kata bijak bagi hatinya, yang menyatakan sendiri melalui lidahnya, dan dengan semua ini Dia sempurnakan bagi orang ini karunia-karunia-Nya pada tubuhnya, yang berupa makanan, minuman, busana, istri yang halal, hal-hal lain yang halal dan pemerhati terhadap hukum dan tindak pengabdian. Lalu, Allah memelihara keadaan ini bagi hamba beriman-Nya yang didekatkan kepada-Nya sampai sang hamba beriman-Nya yang didekatkan kepada-Nya sampai merasa aman di dalamnya, terkecoh olehnya dan percaya bahwa hal itu kekal. Maka, Allah membukakan baginya pintu-pintu musibah, aneka kesulitan hidup, kepemilikan, istri, anak, dan mencabut darinya segala karunia yang telah dilimpahkan-Nya kepadanya sebelum ini, sehingga ia terkulai, hancur, dan terputus dari masyarakatnya.

 

“Ketika melihat keadaan-keadaan lahiriahnya, ia melihat keburukan-keburukannya. Dan, ketika melihat hati dan jiwanya, ia melihat hal-hal yang menyedihkannya. Jika ia memohon kepada Allah untuk menjauhkan kesulitannya, maka permohonannya itu tak diterima. Jika ia memohon janji baik, ia tak segera mendapatkannya. Jika ia berjanji, ia tak tahu tentang pemenuhannya. Bila ia bermimpi, ia tak bisa menafsirkannya dan tak tahu tentang kebenarannya. Bila ia bermaksud kembali kepada manusia, ia tak mendapatkan sarana untuk itu. Bila ada sesuatu pilihan baginya dan ia bertindak berdasarkan pilihan itu, maka ia segera tersiksa, tangan-tangan orang memegang tubuhnya, dan lidah-lidah mereka menyerang kehormatannya.

 

“Bila ia hendak melepaskan dirinya dari keadaan ini, dan kembali kepada keadaan sebelumnya, ia gagal. Bila ia memohon agar dikaruniai pengabdian, ketercerahan dan kebahagiaan di tengah-tengah musibah yang dialaminya, permohonannya itu pun tak diterima.

 

“Ketika itulah dirinya mulai meleleh, keinginannya mulai sirna, maksud-maksud serta kerinduan-kerinduannya mulai pupus, dan kemaujudan segala sesuatu menjadi tiada. Keadaannya ini diperpanjang dan kian hebat, hingga sang hamba berlalu dari sifat-sifat manusia. Tinggallah ia sebagai ruh. la mendengar panggilan jiwa kepadanya, ‘Hantamkanlah kakimu, inilah air yang sejuk untuk mandi dan minum,” sebagaimana ucapan serupa yang ditujukan pada Ayyub As. Lalu, Allah pun mengalirkan samudra kasih sayang dan kelembutan-Nya ke dalam hatinya, menggelorakannya dengan kebahagiaan, aroma harum pengetahuan tentang hakikat dan ketinggian pengetahuan-Nya, membukakan baginya pintu-pintu nikmat dalam segala keadaan hidup, membuat para raja mengabdi kepadanya, menyempurnakan baginya nikmat-nikmat-Nya lahiriah dan ruhaniah, menyempurnakan lahiriahnya melalui makhluk dan rahmat-rahmat lain-Nya, menyempurnakan ruhaninya dengan kelembutan dan karunia-Nya, dan membuat keadaan ini berkesinambungan baginya, hingga ia menghadapNya. Kemudian, Dia memasukkannya ke dalam tempat yang mata tak pernah melihat, yang telinga tak pernah mendengar, dan yang tak pernah tersirat dalam hati manusia, sebagaimana firman-Nya, ‘Tiada jiwa yang tahu yang disembunyikan bagi mereka, yang akan mengenakkan mata mereka sebagai balasan bagi apa yang telah mereka perbuat.” (QS. as-Sajdah [32]: 17).

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya-berujar, “Nafsu diri manusia memiliki dua kondisi yang tak meniga; kondisi sehat dan kondisi cobaan.

 

“Dalam kondisi cobaan, nafsu cenderung memunculkan kecemasan, keluhan, ketaksenangan, mengomel, penyalahan terhadap perilaku buruk, dosa karena menyekutukan Sang Pencipta dengan makhluk dan sarana-sarana duniawi, dan akhirnya kekafiran.

 

“Jika sedang sehat bugar, maka kondisinya semakin buruk lagi. Ia menjadi korban kerakusan dan penurutan syahwat dan kesenangan. Bila nafsu diperturutkan, ia pun menginginkan yang lainnya dan meremehkan karunia yang dimilikinya; maka ia tak menghargai karunia-karunia ini dan meminta karunia yang lebih baik lagi, sehingga hal ini menempatkannya dalam rangkaian kesulitan yang tak berakhir di dunia ini atau di akhirat, sebagaimana dikatakan, ‘Sesungguhnya, siksaan paling pedih yaitu bagi sikap rakus terhadap sesuatu yang bukan bagiannya.’

 

“Maka, bila ia dirundung kesulitan, yang dikehendaki hanyalah sirnanya kesulitan itu. la menjadi lupa akan segala karunia, dan tidak menghendaki sesuatu pun dari hal ini. Bila ia dikaruniai kebahagiaan hidup, maka ia kembali menjadi sombong, rakus, membangkang terhadap Tuhannya dan tenggelam dalam dosa. Ia pun lupa akan kesengsaraannya ini dan bencana, yang korbannya adalah ia.

 

“Maka, segeralah ia menjadi lebih buruk daripada kala ia diharu-biru aneka musibah dan kesulitan sebagai hukuman atas dosa-dosanya, agar ia terjauhkan dari hal-hal ini dan menahannya dari perbuatan dosa di kemudian hari, setelah kemudahan dan kesenangan tak mengubahnya, tetapi keselamatannya terletak dalam musibah dan kesulitan.

 

“Andai ia berlaku baik, setelah bencana berlalu darinya, teguh dalam kepatuhan, bersyukur dan menerima nasibnya dengan senang hati, maka hal itu lebih baik baginya di dunia ini dan di akhirat. Maka, hidupmu akan kian bahagia.

 

“Nah, barang siapa menginginkan keselamatan hidup di ‘dunia ini dan di akhirat, maka ia harus senantiasa bersabar, pasrah, menghindar dari mengeluh kepada orang, dan memperoleh kebutuhannya dari Tuhannya, Yang Maha Kuasa lagi Maha Agung, dan membuatnya sebagai kewajiban untuk mematuhi-Nya, harus menantikan kemudahan dan sepenuhnya mengabdi kepada Nya, Yang Maha Kuasa lagi Maha Agung. Ia, betapa pun, lebih baik ketimbang seluruh makhluk-Nya.

 

“Maka pencabutan oleh-Nya menjadi karunia, penghukumanNya menjadi rahmat, musibah dari-Nya menjadi obat, janji-Nya terpenuhi. Kemurahan-Nya merupakan kenyataan yang ada. Kata-Nya merupakan suatu kebajikan. Tentu, firman-Nya, di kala Dia menghendaki sesuatu, hanyalah ucapan terhadapnya Jadilah!’, maka jadilah ia.

 

“Seluruh tindakan-Nya adalah kebaikan, kebijakan, dan kemaslahatan, hanya saja Dia menyembunyikan pengetahuan tentang ketepatan-Nya dari hamba-hamba-Nya, padahal Dia sendiri begini. Maka, lebih baik dan layak bagi para hamba untuk pasrah dan mengabdi kepada-Nya, yaitu dengan menunaikan perintah-perintah-Nya, menghindari larangan-laranganNya, menerima ketentuan-Nya dan mencampakkan belaian makhluk—sebab hal ini merupakan sumber segala ketentuan, menguatnya mereka dan dasar mereka; dan berdiamlah atas sebab dan masa (kejadian-kejadian), dan jangan menyalahkan gerak dan diam-Nya.

 

“Pernyataan ini berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah Ibnu Abbas, tuturnya, ‘Ketika aku berada di belakang Rasulullah Saw, beliau berkata kepadaku, ‘Anakku, jagalah kewajiban-kewajiban terhadap Allah, maka Allah akan menjagamu; jagalah kewajiban-kewajiban terhadap Allah, maka kau akan mendapati-Nya di depanmu. Jika kau membutuhkan pertolongan, mintalah kepada-Nya. Pena menjadi kering setelah menuliskan segala yang akan terjadi. Dan, jika hambahamba Allah berupaya keras memberimu sesuatu yang tak Allah tentukan bagimu, maka mereka takkan mampu melakukannya. Jika hamba-hamba Allah berupaya keras merugikanmu, padahal Allah tak menghendakinya, maka mereka takkan berhasil. Dan, jika kau bisa bertindak berdasarkan perintah-perintah Allah dengan sepenuh iman, lakukanlah. Tetapi, jika kau tak mampu melakukan yang demikian, maka, tentu, lebih baik bersabar atas apa yang tak kau sukai, sembari mengingat bahwa di dalamnya banyak kebaikan. Ketahuilah, bahwa pertolongan Allah datang melalui kesabaran dan keridhaan, dan dalam kesulitan itu ada kemudahan,’

 

“Seyogianya setiap mukmin menjadikan hadits ini sebagai cermin bagi hatinya, sebagai busana lahiriah dan ruhaniah, sebagai slogan, dan hendaklah pula menjalankannya dalam segala gerak dan diamnya, agar selamat di dunia ini dan di akhirat, dan semoga mendapatkan kemuliaan darinya, dengan kasih sayang Allah ‘Azza wa Jalla.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya-berujar, “Barang siapa meminta sesuatu dari manusia, berarti ia tak tahu akan Allah, lemah iman, lemah pengetahuan tentang hakikat, dan tak sabar. Dan, barang siapa tak meminta, berarti ia amat tahu akan Allah ‘Azza wa Jalla, kuat imannya, kian bertambah pengetahuan tentang-Nya dan ketakwaan kepada-Nya.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya-berujar, “Tidak diterimanya doa orang ‘arif setiap kali ia meminta pada Allah ‘Azza wa Jalla dan menepati segala janji adalah agar ia tak hancur karena terlalu berharap. Sebab, setiap hal atau maqam ruhani mempunyai ketakutan dan harap. Keduanya bak dua sayap burung yang belum bisa sebuah keimanan dikatakan sempurna kecuali memenuhi dua hal ini. Begitu juga hal dan maqam, hanya saja ketakutan masing-masing hal dan harapannya menyesuaikan kondisi masing-masing.

 

“Orang ‘arif adalah orang yang mendekatkan diri dan didekatkan pada Allah (muqarrab). Dalam kemampuan hal dan maqamnya, ia sudah tidak menghendaki apa-apa lagi selain Allah. Maka, permohonan (sang pengabdi) agar doanya diterima dan janji kepadanya dipenuhi, bertentangan dengan hal dirinya.

 

“Ada dua alasan dalam hal ini. Pertama agar ia tidak dikuasai harapan dan kebesaran akan rencana (makar) Allah ‘Azza wa Jalla, lalu ia lalai melaksanakannya, sehingga ia pun binasa.

 

“Kedua, hal itu sama dengan menyekutukan-Nya dengan sesuatu. Sebab, tak satu pun di dunia ini sepenuhnya bebas dari dosa, kecuali para nabi.

 

“Karena inilah, Dia tak selalu mengabulkan doanya dan tak memenuhi janji kepada sang pengabdi, agar ia tak meminta sesuatu pun atas dorongan hawa nafsunya tanpa mematuhi perintah-perintah-Nya, yang di dalamnya terletak kemungkinan kesyirikan, dan dalam setiap keadaan, langkah dan maqam sang salik banyak kemungkinan berbuat kesyirikan.

 

“Dan, jika doanya selaras dengan perintah, maka hal itu mendekatkan manusia kepada Allah, semisal shalat, puasa, kewajiban-kewajiban lainnya, sunnah serta kewajiban tambahan, sebab dalam hal-hal ini ada kepatuhan pada perintah-perintah.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya-berujar, “Ketahuilah, manusia terkategorikan menjadi dua. Pertama, manusia yang dikaruniai kebaikan-kebaikan duniawi, dan kedua manusia yang diuji dengan ketentuan-Nya. “Manusia yang mendapatkan kebaikan duniawi, tak bebas dari noda dosa dan kegelapan dalam menikmati yang mereka dapatkan itu. Manusia semacam itu bermewah-mewah dengan karunia duniawi ini. Bila ketentuan Allah datang, yang menggelapi sekitarnya melalui aneka musibah yang berupa penyakit, penderitaan, kesulitan hidup, ia pun hidup sengsara, dan tampak seolah-olah ia tak pernah menikmati sesuatu pun.

 

Ia lupa akan kesenangan dan kelezatannya. Dan, jika pencerahan menimpanya, maka seolah-olah ia tak pernah mengalami musibah. Sedangkan jika ia mengalami musibah, maka seolaholah tiada kebahagiaan. Semua ini disebabkan oleh pengabdian terhadap Tuhannya.

 

‘Jikalau ia tahu bahwa Tuhannya sepenuhnya bebas bertindak sekehendak-Nya, mengubah, memaniskan, memahitkan, memuliakan, menghinakan, menghidupkan, mematikan, memajukan, dan memundurkan, niscaya ia tidak akan pernah merasa bahagia di tengah-tengah kebahagiaan duniawi. Ia juga tidak akan keblinger dengannya, serta tidak berputus asa dari jalan keluar pada saat menghadapi cobaan.

 

“Dan, karena kebodohannya juga akan dunia, ia pun tenang menerimanya, bahkan mencari kebeningan yang tak terkotori noda apa-apa di dalamnya. Ia lupa bahwa dunia tempat ujian, kepahitan, kejahilan, kepedihan, dan kegelapan. Dan, ia lupa pula bahwa asal mula dunia adalah cobaan yang berakhir dengan kenikmatan. Ia seperti pohon gaharu, yang rasa pertamanya pahit, sedangkan rasa akhirnya manis seperti madu, dan tiada seorang pun dapat merasakan manisnya, sebelum ia merasakan pahitnya. Tak seorang pun dapat mengecap madunya, sebelum ia tabah atas kepahitannya.

 

“Barang siapa tabah atas cobaan-cobaan duniawi, maka ia berhak mengecap rahmat-Nya. Upah diberikan setelah seorang pekerja berkeringat, tubuh dan jiwanya letih. Maka, bila orang telah mereguk semua kepahitan ini, maka datang kepadanya makanan dan minuman lezat, busana yang bagus dan kesenangan meski sedikit.

 

“Jadi, dunia adalah sesuatu yang bagian pertamanya ialah kepahitan, bagai pucuk madu di sebuah bejana yang berbaur dengan kepahitan, sehingga si pemakan tak mungkin mencapai dasar bejana, dan yang dimakannya hanyalah madu murninya sampai ia mengecap pucuknya.

 

“Jika seorang hamba berupaya keras menunaikan perintah Allah ‘Azza wa Jalla, menjauh dari larangan-Nya, dan pasrah kepada-Nya, maka bila ia telah mereguk kepahitannya, menahan bebannya, berupaya melawan kehendaknya sendiri dan mencampakkan maksud-maksud pribadinya, Allah pun bakal mengaruniainya, sebagai hasil dari ini, kehidupan yang baik, kesenangan, kasih sayang dan kemuliaan. Dia mengurusnya sedemikian rupa dan menyuapinya persis seperti seorang bayi yang disuapi, yang tak berdaya, yang tak berupaya keras di dunia ini dan di akhirat, yang juga seperti pemakan pucuk pahit madu yang mengecap dengan lahapnya bagian bawah isi bejana.

 

‘ “Seyogianya seorang hamba yang telah dikaruniai oleh Allah, untuk tidak merasa aman dari cobaan-Nya, juga tidak merasa yakin akan kekekalannya, agar ia tidak lalai mensyukurinya. Nabi Saw. bersabda, ‘Kenikmatan adalah sesuatu yang ganas; maka jinakkanlah ia dengan kebersyukuran.

 

“Mensyukuri rahmat berarti mengakui Sang Pemberinya, Yang Maha Pemurah, yaitu Allah, senantiasa mengingatnya, tak mengklaim atas-Nya, tak mengabaikan perintah-Nya, dan diiringi dengan penunaian kewajiban terhadap-Nya, yakni mengeluarkan zakat, membersihkan diri, bersedekah, berkorban sebagai nadzar, meringankan beban penderitaan kaum lemah dan membantu mereka yang membutuhkan, yang mengalami kesulitan dan yang keadaannya berubah dari baik menjadi buruk, yaitu, yang masa-masa bahagia dan harapannya telah berubah menjadi kedukaan. Bersyukurnya anggota tubuh atas rahmat berupa digunakannya anggota tubuh itu untuk menunaikan perintah-perintah Allah dan mencegah diri dari hal-hal yang haram, dari kekejian dan dosa.

 

“Inilah cara melestarikan rahmat, mengairi tanamannya, dan memacu tubuhnya dedahanan dan dedaunannya; mempercantik buahnya, memaniskan rasanya, memudahkan penelanannya, mengenakkan pemetikannya dan membuat rahmatnya mewujud di seluruh anggota tubuh lewat pelbagai tindak kepatuhan kepada-Nya, seperti lebih mendekatkan diri kepada-Nya dan senantiasa mengingat-Nya, yang kemudian memasukkan sang hamba, di akhirat, ke dalam kasih sayang-Nya, Yang Maha Kuasa lagi Maha Agung, dan menganugerahinya kehidupan abadi di taman-taman surga bersama dengan para nabi suci, shiddiq, syahid, dan shalih—inilah suatu kebersamaan yang indah.

 

“Namun, jika tak berlaku begini, mencintai keindahan lahiriah kehidupan semacam itu, asyik menikmatinya dan puas dengan gemerlapnya fatamorgananya, yang kesemuanya bagai hembusan sepoi angin dingin di pagi musim panas, dan bagai lembutnya kulit naga dan kalajengking; dan menjadi lupa akan bisa mautnya dan tipuannya—kesemuanya ini akan menghancurkannya—orang seperti itu mesti diberi kabar-kabar gembira tentang penolakan, kehancuran yang segera, kehinaan di dunia ini dan siksaan kelak dalam api neraka nan abadi.

 

“Cobaan atas manusia kadang-kadang berupa hukuman atas pelanggaran terhadap hukum dan atas dosa yang telah diperbuatnya. Kadang-kadang berupa pembersihan noda, dan kadang-kadang berupa pemuliaan maqam ruhani manusia, yang baginya rahmat Tuhan semesta terkaruniakan sebelumnya, yang melewatkannya dari bencana dengan kelembutan, sebab cobaan semacam itu tak dimaksudkan untuk menghancurkan dan mencampakkannya ke dasar neraka, tetapi, dengan begini, Allah mengujinya untuk dipilih dan mewujudkan darinya hakikat iman, menyucikannya dari kesyirikan, kebanggaan diri, kemunafikan, dan membuat karunia cuma-cuma, sebagai pahala baginya, dari pelbagai pengetahuan, rahasia, dan nur. Jika seseorang bersih ruhani dan jasmaninya, lalu hatinya juga menjadi tersucikan, berarti Dia telah memilihnya di dunia ini dan di akhirat—di dunia melalui hatinya, sedangkan di akhirat melalui jasadnya. Nabi Saw. bersabda, ‘Kaum fuqara adalah teman duduk Sang Maha Pengasih pada Hari Kiamat.’

 

“Maka, segala bencana menjadi pencuci noda kesyirikan dan pemutus hubungan dengan manusia, sarana duniawi dan dambaan-dambaan, dan menjadi pelebur kesombongan, ketamakan dan harapan akan imbalan surga atas penunaian perintah-perintah.

 

“Tanda cobaan yang berupa hukuman adalah kekurangsabaran atas cobaan-cobaan ini, dengan mengaduh dan mengeluh kepada orang.

 

“Sementara cobaan yang berupa pencucian dan penyirnaan kelemahan ditandai dengan adanya kesabaran, ketidakmengeluhan kepada sahabat dan tetangga, penunaian perintah-perintah, ketakengganan, dan kepatuhan.

 

“Sedangkan cobaan yang berupa pemuliaan maqam ditandai dengan adanya keridhaan, kedamaian dengan kehendak Allah, Tuhan bumi dan lelangit, dan penafian diri sepenuhnya dalam cobaan ini, hingga saat berlalunya.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya-berujar menjelaskan sabda Nabi Saw., “Allah berfirman, ‘Barang siapa disibukkan dengan dzikir mengingat-Ku hingga lupa meminta kepada-Ku, maka akan Kuberikan kepadanya yang lebih baik daripada yang Kuberikan kepada mereka yang meminta.”

 

“Hal ini mengingat ketika Allah menghendaki seorang mukmin bagi maksud-maksud-Nya sendiri, maka Dia melakukannya melalui aneka keadaan ruhani, dan mengujinya dengan aneka upaya dan musibah. Lalu, Dia membuatnya sedih setelah senang, dan membuatnya hampir minta kepada orang, sedangkan tiada jalan terbuka baginya; lalu menyelamatkannya dari meminta dan membuatnya hampir meminjam kepada orang.

 

“Dia menyelamatkannya dari meminjam, dan membuatnya bekerja mencari nafkah dan memudahkan rezeki baginya. Maka, hiduplah ia dengan perolehannya, dan hal ini selaras dengan sunnah Nabi. Tetapi, kemudian, Dia membuatnya sulit mendapatkan rezeki dan memerintahkannya, lewat ilham, untuk meminta kepada manusia. Inilah sebuah perintah tersembunyi yang hanya diketahui oleh orang yang bersangkutan. Dan, Dia membuat permintaan ini sebagai pengabdiannya dan berdosa melecehkannya, sehingga keangkuhannya pupus, kediriannya hancur, dan inilah pembinaan ruhani. Permintaannya karena dipaksa oleh Allah, bukan karena kesyirikan. Lalu, Dia menyelamatkannya dari keadaan begini, dan memerintahkannya untuk meminjam kepada orang, dengan perintah yang kuat yang tak mungkin lagi dielakkan, sebagaimana halnya dengan keadaan meminta.

 

“Kemudian, Dia mengubahnya dari keadaan ini, menjauhkannya dari orang dan hanya bertumpu pada permintaannya kepadaNya. Maka, ia meminta kepada Allah segala yang dibutuhkannya. Dia memberinya, dan tak memberinya jika ia tak memintanya. Lantas, Dia mengubahnya dari meminta lewat lidah menjadi meminta lewat hati. Maka, ia meminta kepadanya segala yang dibutuhkannya, sehingga bila ia memintanya dengan lidah, Dia tak memberinya, atau bila ia meminta kepada orang, mereka juga tak memberinya.

 

“Selanjutnya, Dia menafikannya dari dirinya dan dari meminta baik secara terbuka maupun tersembunyi. Maka, Dia mengaruniainya segala yang membuat orang menjadi baik, segala yang dimakan, diminum, dipakai, dan keperluan hidup tanpa upaya atau tanpa diduganya. Maka, menjadilah Dia walinya, dan ini sesuai dengan ayat, ‘Sesungguhnya, pelindungku adalah Allah yang telah menurunkan al-Kitab (al-Qur‘an) dan Dia melindungi orang-orang yang shalih.’ (QS. al-A’raaf [7]: 196).

 

“Maka, firman Allah yang diterima oleh Nabi Saw. menjadi kenyataan, yaitu sabda, ‘Barang siapa tak sempat meminta sesuatu dari-Ku, maka Aku akan memberinya lebih dari yang Kuberikan kepada mereka yang meminta.’

 

“Inilah keadaan fana dalam Tuhan, suatu keadaan yang dimiliki oleh para wali dan badal. Pada peringkat ini, ia dikaruniai daya cipta, dan segala yang dibutuhkannya mewujud atas izin Allah, sebagaimana firman-Nya di dalam hadits Qudsi, ‘Wahai anak turun Adam! Aku adalah Tuhan, tiada ilah selain-Ku; bila Kukatakan kepada sesuatu ‘jadilah’, maka jadilah ia. (Karena itu) patuhilah Aku, sehingga bila kau berkata kepada sesuatu ‘jadilah’, maka juga, jadilah sesuatu itu.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya-berujar, “Seorang tua bertanya kepadaku dalam mimpiku, ‘Apa yang bisa mendekatkan seorang hamba kepada Allah?’ “Aku jawab, ‘Hal itu memiliki permulaan dan akhiran. Awalannya adalah wira’i, dan puncaknya adalah keridhaan, kepasrahan, dan tawakkal.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya-berujar, “Seyogianya seorang mukmin, pertama-tama, harus menunaikan yang wajib terlebih dahulu. Baru selepas itu, kerjakan yang sunnah, lantas yang nafilah, kemudian yang berkategori fadha’il (keutamaan amal).

 

“Menyibukkan diri dengan yang sunnah (sebelum sesuatu yang wajib) adalah sebuah kebodohan dan kekonyolan. Pun bila ia menunaikan yang sunnah dan yang nafilah sebelum mengerjakan yang wajib, maka tetap saja ia tidak diterima dan dinistakan. Ia seperti orang yang diminta untuk mengabdi kepada raja, namun ia tak mengabdi kepadanya, tetapi ia mengabdi kepada hamba sang raja yang berada di bawah kekuasaannya.

 

“Diriwayatkan oleh Ali Ibnu Abu Thalib Ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda, ‘Sesungguhnya, orang yang shalat sunnah, sementara ia masith memiliki tanggungan shalat fardhu permisalannya seperti seorang perempuan hamil yang keguguran di kala kelahirannya sudah semakin dekat. Dengan demikian, ia tak hamil lagi dan tak jadi beroleh anak. Begitu juga orang yang shalat, Allah tidak akan menerima yang sunnah sebelum ia menunaikan yang wajib (terlebih dahulu).’>

 

“Orang yang menunaikan shalat sunnah sebelum shalat fardhu ini seperti usahawan yang takkan mendapatkan keuntungan apa pun sebelum ia mengelola modalnya. Begitu pula dengan orang yang menunaikan yang sunnah, yang takkan diterima jerih payahnya itu, sebelum ia menunaikan yang wajib. Begitu pula dengan orang yang mengabaikan yang sunnah, dan menunaikan hal-hal yang tak ditentukan oleh aturan apa pun, juga tidak jelas perintahnya.

 

“Termasuk hal-hal yang fardhu adalah menjauhi hal-hal: yang haram dan syirik pada Allah Azza wa Jalla, menentang ketentuan qadha dan qadar-Nya, latah terhadap manusia dan mengikuti kehendak mereka, dari berpaling dari perintah Allah, dan dari ketakpatuhan kepada-Nya. Nabi Saw. bersabda, ‘Tiada kepatuhan pada makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Pencipta.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya-berujar, “Barang siapa lebih memilih tidur daripada shalat

 

malam, yang membawa ke arah ketakwaan, berarti ia memilih sesuatu yang buruk, sesuatu yang mematikannya dan membuatnya acuh tak acuh terhadap segala keadaan, sebab tidur adalah saudara kematian. Karenanya, Allah tak tidur, sebab Dia bersih dari segala kecacatan. Begitu pula dengan para malaikat, sebab mereka senantiasa amat dekat dengan Allah ‘Azza wa Jalla. Begitu pula dengan penghuni langit, sebab mereka sangat mulia dan suci, sehingga tidur akan menghancurkan keadaan hidup mereka.

 

“Jadi, kebaikan terletak pada keberjagaan, sedangkan keburukan terletak pada tidur dan ketakacuhan terhadap upaya yang sungguh-sungguh.

 

“Barang siapa makan dengan dorongan hawa nafsunya, maka ia akan makan banyak, minum banyak, dan tidur banyak, lalu ia pun akan menyesal dengan penyesalan panjang karena telah kehilangan banyak kebaikan.

 

“Dan, barang siapa makan barang haram sedikit saja, maka ia serupa dengan orang yang makan barang halal kebanyakan. Sebab, barang yang haram menggelapi iman. Bila iman tergelapi, maka doa, ibadah, dan jihad pun tidak akan terwujud.

 

“Sedangkan, barang siapa makan banyak dari yang halal berdasarkan perintah Allah, maka ia menjadi seperti orang yang makan sedikit dengan penuh pengabdian. :

 

“Jadi, sesuatu yang halal adalah cahaya yang ditambahkan pada cahaya, sedangkan sesuatu yang haram ialah kegelapan yang ditambahkan pada kegelapan, yang di dalamnya tiada tersimpan kebaikan sama sekali.

 

“Namun, makan sesuatu yang halal dengan berlebihan tanpa merujuk pada perintah sebagaimana makan sesuatu yang haram sama-sama menyebabkan tidur, sehingga tidak ada sisi kebaikan sedikit pun di dalamnya.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya-berujar, “Status diri tidak lepas dari dua kemungkinan; jauh dari kedekatan dengan Allah ‘Azza wa Jalla, atau dekat dan berkomunikasi langsung dengan-Nya.

 

“Jika kau jauh dari-Nya, mengapa kau masih duduk-duduk berpangku tangan menanti bagian meruah, kenikmatan dan kehormatan yang abadi, keserbakecukupan, keselamatan, kekayaan, dan perantara di dunia dan akhirat. Segeralah terbang kepada-Nya dengan dua sayap. Sayap pertama adalah sikap menolak terhadap kesenangan, keinginan-keinginan tak halal, dan sayap kedua adalah sikap menanggung kepedihan, hal-hal tak menyenangkan dan menjauh dari keinginan duniawi dan ukhrawi, agar bisa menyatu dengan-Nya dan dekat kepada-Nya.

 

Niscaya akan kau peroleh segala yang kau idamkan dan akan kau raih pula kemuliaan besar dan kehormatan yang agung.

 

“Selanjutnya, jika kau termasuk orang-orang yang dekat dan telah bersambung dengan Allah ‘Azza wa Jalla; yang dianugerahi perhatian-Nya, dilingkupi pemeliharaan-Nya, ditarik cinta-Nya, dikaruniai rahmat dan kasih-Nya, maka tunjukkanlah perilaku terbaik dan jangan berbangga diri dengan semua itu, agar kau tak lalai dalam mengabdi, tidak bersikap kurang ajar dalam melayani, dan tidak terjebak lagi dalam pangkal ketololan berupa kebodohan dan kezhaliman yang diisyaratkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam firman-Nya, ‘Sesungguhnya, manusia itu amat zhalim dan bodoh.’ (QS. al-Ahzab [33]: 72), juga firman-Nya, ‘Dan, manusia itu bersifat tergesa-gesa.’ (Q.S. al-Israa’ [17]: 11).

 

“Jagalah hatimu dari kecondongan kepada orang dan keinginan-keinginan yang telah kau campakkan, dari ketaksabaran, dari ketidakselarasan, dan dari ketidakridhaan kepada Allah di kala ditimpa musibah. Campakkanlah dirimu ke hadapan-Nya dengan sikap seperti bola di kaki pemain polo yang menggulirkannya dengan tongkatnya, bagai jasad mati di hadapan orang yang memandikannya, dan bagai bayi di pangkuan ibu.

 

“Membutalah terhadap segala selain-Nya, agar tak kau lihat sesuatu pun selain-Nya—tiada kemaujudan, kemudharatan, manfaat, karunia, dan penahan karunia. Anggaplah orang dan sarana duniawi di kala menderita dan ditimpa musibah sebagai cambuk-cambuk yang Dia gunakan untuk menderamu. Dan, anggaplah keduanya di kala suka sebagai tangan-Nya yang menyuapimu.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya-berujar, “Orang yang zuhud menerima pahala dua kali. Pertama, karena penolakannya akan dunia, sehingga ia tak terpesona olehnya dan mengikuti nafsunya, akan tetapi ia hanya mengikuti perintah. Bila ia telah benar-benar mewujud menjadi musuh yang menentang nafsu dan melawan hawa kecenderungan naturalnya, maka ia termasuk kalangan pewujud kebenaran dan empu kewalian, serta dimasukkan pula ke dalam barisan kaum abdal dan kaum ‘arif bi Allah. Jika sudah demikian halnya, barulah ia diperintahkan untuk berhubungan dan berkecimpung dengan dunia, sebab dunia adalah bagiannya yang harus diambil, dan tidak diciptakan untuk selainnya, toh pena telah kering menulisnya dan ilmu telah secara mutlak menentukannya.

 

“Jika memang perintah telah dipenuhinya, maka ia bisa mengambil bagian duniawinya atau, dengan menerima makrifat, ia berhubungan dengan dunia dengan berlaku sebagai wahana takdir dan tindakan-Nya, tanpa keterlibatannya, tanpa keinginannya dan tanpa upayanya. Karena hal itulah ia menerima pahala untuk kedua kalinya, sebab ia melakukan semua ini demi mematuhi perintah Allah.

 

-“Bila dikatakan, ‘Bagaimana mungkin kau menyatakan tentang pahala orang yang telah berada pada maqam ruhani yang sangat tinggi dan yang, menurutmu, telah menjadi badal dan ‘arif bi Allah, yang telah lepas dari nafsu, hawa kecenderungan, kesenangan, kehendak dan harapan akan pahala atas kebajikannya, orang yang hanya melihat di dalam semua kepatuhan dan penyembahannya kehendak Allah, kasih-Nya, rahmat-Nya, pemudahan-Nya dan pertolongan-Nya, dan orang yang percaya bahwa ia hanyalah hamba hina Allah, tak berhak menentang-Nya, dan melihat bahwa dirinya, gerak-geriknya, dan upaya-upayanya sebagai milik-Nya. Bisakah dikatakan, tentang orang semacam itu bahwa ia dipahalai, mengingat ia tak meminta upah atau sesuatu yang lain sebagai balasan bagi tindakannya, dan tidak melihat sesuatu tindakan sebagai berasal darinya, tetapi memandang dirinya sebagai orang yang hina dan miskin akan kebajikan?

 

“Jika dikatakan demikian, maka jawabannya adalah, ‘Kamu memang benar, tetapi Allah menganugerahkan rahmat-Nya padanya, membelainya dengan rahmat-Nya dan membesarkannya dengan kasih, kelembutan, dan karunia-Nya; bila ia telah menahan tangannya dari segala hal, dari hawa kecenderungannya, dari meminta kenikmatan-kenikmatan yang disisihkan bagi kehidupan dan dari menepis kemudharatan yang timbul darinya, maka ia menjadi seperti bayi yang tak berdaya dalam hal-hal dirinya, yang diasuh dengan kelembutan rahmatNya dan rezeki dari-Nya lewat tangan kedua orang tuanya, yang menjadi pembimbing dan penjaminnya. “Jika memang telah Dia jauhkan darinya segala ketertarikan dalam hal-halnya, maka Dia membuat hati orang condong kepadanya dan melimpahkan kasih dan sayang-Nya di hati orang, sehingga mereka lembut terhadapnya, condong kepadanya, dan memperlakukannya dengan baik. Dengan begini, segala selain Allah menjadi tak berdaya kecuali dengan kehendak-Nya dan, menimpali rahmat-Nya, menghamba kepada-Nya di dunia ini dan di akhirat untuk menjaganya dari segala musibah. Allah berfirman, ‘Sesungguhnya, pelindungku adalah Allah yang telah menurunkan al-Kitab (al-Qur’‘an) dan Dia melindungi orang-orang yang shalih.” (QS. al-A’raaf [7]: 196).

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya-berujar, “Sesungguhnya, Allah menguji sekelompok kaum mukmin terkasih dari kalangan empu pemilik kewalian dan makrifat demi mengembalikan mereka dengan bala pada laku memohon, lalu Dia pun mengabulkan doa-doa mereka.

 

“Bila mereka berdoa, Dia senang mengabulkan doa mereka, sehingga Dia bisa memenuhi hak kemurahan dan kebaikan yang senantiasa memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla agar mengabulkan doa seorang mukmin yang sedang berdoa.

 

Pengabulan doa kadang-kadang diperoleh dan terkadang tidak. Bukan karena ditolak, melainkan lebih hanya untuk menguji.

 

“Karena itu, seorang hamba mesti menunjukkan sikap baik di kala ditimpa musibah, dan menelaah apakah ia telah mengabaikan perintah atau melanggar hal-hal terlarang, secara nyata atau tersembunyi, atau menyalahkan ketentuan-Nya, karena lebih sering ia diuji sebagai hukuman atas dosa-dosa semacam itu. Bila musibah berlalu, ia mesti selalu berdoa, berendah diri, meminta maaf, dan memohon kepada Allah, karena mungkin ujian itu dimaksudkan untuk membuatnya terus berdoa dan memohon; dan ia tak boleh menyalahkan Allah karena penundaan pengabulan doanya sebagaimana telah kami bicarakan.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya-berujar, “Mintalah kepada Allah keridhaan akan ketentuanNya, atau kemampuan meluruh dalam tindakan-Nya. Sebab, di dalam hal ini terletak kesenangan dan keunikan besar di dunia ini, dan juga gerbang besar Allah dan sarana untuk dicintaiNya. Barang siapa dicintai-Nya, maka Dia tak menyiksanya di dunia ini dan di akhirat. Dalam dua kebajikan ini terletak hubungan dengan Allah, kebersatuan dengan-Nya, dan keintiman dengan-Nya.

 

“Jangan kau sibukkan diri untuk meraih bagian-bagian peruntukan, baik yang ditentukan bagimu maupun tidak. Jika memang bukan bagianmu, maka mencari-carinya merupakan tindakan bodoh, tolol, dan sia-sia, bahkan termasuk siksaan yang paling berat, sebagaimana bunyi sebuah ujaran, ‘Di antara siksa yang paling berat adalah berupaya meraih yang tak ditentukan bagi dirinya.’

 

“Pun jika memang hal itu sudah ditentukan sebagai bagiannya, maka bersibuk mengurusinya adalah kerakusan, ambisi, dan syirik dalam pengabdian, cinta, dan kebenaran, sebab berambisi meraih sesuatu selain Allah Azza wa Jalla merupakan tindakan syirik. Orang yang berupaya mendapatkan kenikmatan duniawi, tak tulus dalam cinta dan persahabatannya dengan Allah. Siapa pun yang menyekutukan-Nya, maka ia pendusta.

 

“Begitu pula, orang yang mengharapkan balasan bagi tindakannya adalah tak ikhlas. Keikhlasan ialah mengabdi kepada Allah hanya untuk memberi rububiyah, yaitu sifat Allah yang mengatur alam semesta, pembuluhnya. Orang seperti itu mengabdi kepada-Nya karena Dia adalah Tuhannya dan patut diabdi, dan wajib baginya berbuat kebajikan dan patuh kepada-Nya, mengingat bahwa ia sepenuhnya milik-Nya, begitu pula gerak-geriknya, dan upayanya. Hamba dan segala yang dimilikinya adalah milik Maula Junjungannya.

 

“Telah kami jelaskan beberapa kali bahwa seluruh ibadah adalah nikmat dan karunia dari Allah atas hamba-Nya, karena Dialah yang memberinya daya bertindak dan kekuatan untuk melakukannya.

 

“Karena itu, kesibukan seorang hamba untuk bersyukur kepada-Nya lebih baik daripada meminta balasan dari-Nya atas kebajikannya.

 

“Bagaimana seseorang malah bersibuk keras meraih kenikmatan duniawi jika ia telah melihat banyak orang, yang jika mendapat kenikmatan duniawi yang berlimpah, mereka malah kian sedih, cemas, dan haus akan hal-hal yang tak dimaksudkan bagi mereka? Bagian duniawi mereka tampak timpang, kecil dan menjijikkan, dan bagian duniawi yang lain tampak indah dan agung bagi hati dan mata mereka, dan mulailah mereka berupaya meraihnya meski hal itu bukan hak mereka. Dengan begini, kehidupan mereka berlalu dan daya mereka menjadi sirna, dan mereka menjadi tua, kekayaan mereka menjadi habis, tubuh mereka menjadi renta, kening mereka berkeringat, dan catatan kehidupan mereka menjadi gelap oleh dosa-dosa mereka, upaya keras mereka dalam meraih hak orang lain, dan oleh pengabaian mereka terhadap perintah-Nya.

 

“Mereka tidak akan mendapatkannya, dan akan keluar dari dunia dalam keadaan pailit, tanpa memiliki apa-apa, baik di dunia maupun di akhirat. Mereka sama sekali tidak mau bersyukur pada Tuhan mereka atas apa yang telah Dia karuniakan. Mereka berupaya mendapatkan pertolongan-Nya untuk mengabdi kepada-Nya. Mereka tak mendapatkan yang mereka upayakan, tetapi hanya memubazirkan kehidupan duniawi dan akhirat mereka; merekalah seburuk-buruk orang, sebodoh-bodoh orang, sekeji-keji orang secara nalar dan batin.

 

“Jikalau mereka mau ridha menerima takdir-Nya, puas dengan karunia-Nya, dan patuh kepada-Nya, niscaya bagian duniawi mereka akan datang kepada mereka tanpa diambisikan dan dicemaskan. Mereka akan menjadi dekat dengan Allah Ta‘ala, dan akan menerima segala yang mereka dambakan dari-Nya. –

 

“Semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang ridha dengan ketentuan-Nya, yang meluruh dalam kehendak-Nya dan yang mendapatkan kesehatan dan kekuatan ruhani untuk melakukan yang dikehendaki-Nya.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya-berujar, “Barang siapa menghendaki kehidupan akhirat, maka wajib baginya mengabaikan dunia. Barang siapa menghendaki Allah, maka wajib baginya mengabaikan kehidupan akhirat. Ia harus mencampakkan kehidupan duniawinya demi Tuhannya. Selama keinginan, kesenangan, dan upaya duniawi dan di dalam hatinya seperti makan, minum, berbusana, menikah, tempat tinggal, kendaraan, jabatan, ketinggian dalam pengetahuan tentang lima pilar ibadah dan hadits dan penghafalan al-Qur’an dengan segala bacaan, bahasa, dan retorikanya, begitu pula keinginan akan lenyapnya kemiskinan, maujudnya kekayaan, berlalunya musibah, datangnya kesenangan, hilangnya kesulitan, dan datangnya kemudahanjika keinginan semacam itu masih bersemayam di dalam benak orang, maka itu tentu bukan seorang shalih, karena dalam segala hal ini ada kenikmatan bagi diri manusia dan keselarasan dengan kehendak jasmani, kesenangan jiwa dan kecintaannya. Hal-hal ini merupakan kehidupan duniawi, yang di dalamnya orang senang kebaikan, dan dengannya orang coba mendapatkan kepuasan dan ketenteraman jiwa. .

 

“Orang harus berupaya meniadakan hal-hal ini dari hatinya, dan mempersiapkan diri untuk meniadakan semua ini dan menyirnakannya dari jiwa, dan berupaya bersenang dalam peluruhan dan kemiskinan, sehingga tiada lagi di dalam hatinya kesenangan mengisap biji kurma, sehingga pematangannya dari kehidupan duniawi menjadi suci.

 

“Jika memang telah sempurna, maka segala duka cita hatinya dan kecemasan benaknya akan sirna, dan datanglah kepadanya kesenangan, kehidupan yang baik, dan keintiman dengan Allah, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Saw., ‘Mengabaikan dunia memberikan kenyamanan pada hati dan tubuh.’**

 

“Tetapi, selama masih ada di dalam hatinya kesenangan kepada dunia ini, maka dukacita dan ketakutan tetap bersemayam di dalam hatinya, dan kehinaan mengiringnya, begitu pula keterhijaban dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Agung, oleh tabir tebal yang berlipat-lipat. Semua ini tak beranjak, kecuali melalui kecintaan akan dunia ini dan pemutusan darinya.

 

“Kemudian, ia harus berzuhud mengabaikan kehidupan akhirat juga agar ia tidak terjebak menghendaki kedudukan dan derajat tinggi, pembantu-pembantu cantik, rumah-rumah, kendaraan, busana, hiasan, makanan, minuman, dan hal-hal lain sejenisnya, yang disediakan oleh Allah Ta‘ala bagi hamba-hamba beriman-Nya. Maka, janganlah coba mendapatkan balasan, atas sesuatu tindakan, dari Allah ‘Azza wa Jalla di dunia ini atau di akhirat.

 

“Jika sudah demikian halnya, maka Allah akan memberi balasan sebagai rahmat dan kemurahan-Nya. Maka, Dia akan mendekatkan kepada-Nya dan melimpahkan kelembutan-Nya, dan Dia memperkenalkan diri-Nya dengan pelbagai karunia dan kebajikan, sebagaimana Dia berlaku terhadap para nabi dan utusan-Nya, terhadap kekasih-kekasih-Nya. Maka setiap hari, dalam hidupnya, urusannya kian sempurna, dan dibawalah ia ke akhirat untuk mengecap yang tak terlihat oleh mata, yang tak terdengar oleh telinga, dan yang tak terpikirkan oleh manusia, yang sungguh tak dapat dipahami dan tak terungkapkan oleh bahasa.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya- berujar, “Kesenangan hidup dicampakkan tiga kali, dimulai saat sang hamba Allah berada dalam kegelapan, kejahilan dan kekacauan, bertindak berdasarkan dorongan-dorongan alaminya dalam segala keadaan, tanpa sikap pengabdian terhadap Tuhannya dan tanpa memerhatikan hukum agama. Dalam keadaan begini, Allah memandangnya penuh belas kasih, lalu Dia utus padanya seorang pemberi petuah dari kalangan makhlukNya yang termasuk hamba-hamba-Nya yang shalih, sekaligus menempatkan pengingat juga di dalam dirinya. Kedua pengingat ini pun mampu mengatasi nafsu diri dan tabiatnya, dan tuturan tersebut menimbulkan pengaruh pada jiwanya. Maka, noda yang ada padanya, seperti memperturutkan kehendak dirinya dan penentangannya terhadap kebenaran, sirna. Maka, condonglah ia pada hukum Allah dalam segala gerak geriknya. Jadilah sang hamba Allah tersebut seorang muslim di hadapan hukum-Nya, lepas dari alamnya, membuang hal-hal haram duniawi, begitu pula hal-hal yang meragukan dan pertolongan orang. Maka, ia melakukan hal-hal yang halal dalam makan, minum, berpakaian, menikah, bertempat tinggal dan hal-hal lain yang memang sudah menjadi bagiannya agar bangunan fisiknya terjaga dan lebih lanjut ia kuat menjalankan laku ketaatan kepada-Nya serta demi menunaikan bagiannya yang sudah ditentukan secara azali baginya.

 

“Tidak ada jalan untuk keluar dari kehidupan duniawi ini sebelum meraih dan menyempurnakannya. Maka, ia pun harus berjalan di atas jalur kebenaran dalam keadaan hidupnya, sehingga hal ini membawanya ke maqam tertinggi wilayah dan menjadikannya pembukti kebenaran dan orang pilihan, yang memiliki pernyataan yang kokoh, yang haus akan hakikat, yaitu Allah. Maka, ia makan dengan perintahNya, dan (sang salik) mendengar suara Allah di dalam dirinya berkata, ‘Campakkanlah dirimu dan kemarilah! Campakkanlah kesenangan dan makhluk (manusia), jika kau menghendaki Sang Pencipta! Lepaskanlah sepatu dunia dan akhiratmu. Lepaskan dirimu dari segala hal bendawi, serta segala hal yang mewujud menjadi dambaan. Lepaslah dari segala sesuatu. Berbahagialah dengan Allah. Campakkanlah kesyirikan dan ikhlaslah dalam berkehendak. Mendekatlah kepada-Nya dengan hormat, dan jangan memandang kehidupan akhirat, kehidupan duniawi, orang-orang, dan kesenangan!!’

 

“‘Jika ia telah menempati maqam ini, maka ia menerima busana kemuliaan dan aneka karunia. Dikatakan kepadanya, busanailah dirimu dengan rahmat dan karunia, jangan berburuklaku menilai dan menampik keinginan-keinginan, karena penolakan terhadap karunia raja sama dengan menekannya dan meremehkan kekuasaannya. Maka, ia terselimuti karunia dan anugerah-Nya tanpa berupaya setelah sebelumnya ia terkuasai oleh keinginan-keinginan dan nafsu dirinya.

 

“Setiap kali ia menempati satu posisi, maka apa yang menjadi makanannya (Juqmah) pun ikut berubah. Ia memiliki empat status dalam meraih bagian-bagian dan peruntukan; Pertama dengan (dorongan) tabiat alamiah, dan ini jelas haram. Kedua dengan syariah, dan ini jelas mubah dan halal. Ketiga dengan perintah batin, dan ini adalah keadaan para wali dan pencampakan keinginan. Dan, keempat dengan karunia Allah, dan ini adalah keadaan lenyapnya tujuan dan tercapainya badaliyah dan keadaan menjadi objek-Nya, yang berdiri di atas ketentuan-Nya; ini adalah keadaan tahu dan keadaan memiliki keshalihan.

 

“Seseorang tidak bisa disebut sebagai shalih jika ia belum mencapai maqam ini. Hal ini sesuai dengan firman Allah, ‘Sesungguhnya, pelindungku adalah Allah yang telah menurunkan alKitab (al-Quran) dan Dia melindungi orang-orang yang shalih: (QS. al-A’raaf [7]: 196). Orang shalih adalah hamba yang tertahan dari menggunakan sesuatu, memanfaatkan diri, dan dari menolak sesuatu yang mudharat baginya. Ia menjadi seperti bayi di tangan perawat dan seperti jasad mati yang sedang dimandikan orang. Maka, Allah membesarkannya tanpa kehendaknya dan tanpa upayanya, ia lepas dari segala hal ini, tak berkeadaan atau bermagam, tak berkehendak melainkan berada di atas ketentuan-Nya, yang kadang-kadang menahan, kadang-kadang memudahkannya, kadang-kadang membuatnya kaya dan kadang-kadang membuatnya miskin. Ia tak punya pilihan, dan tak menghendaki berlalunya keadaan dan perubahannya. Sebaliknya, ia menunjukkan keridhaan abadi. Dan, inilah puncak tertinggi derajat ruhani (ahwal) yang digapai oleh para badal dan wali.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya-berujar, “Ketika seorang hamba telah lebur binasa dari makhluk ciptaan, hawa nafsu, kehendak akan dunia dan akhirat; ia tidak berkehendak kecuali menuruti kehendak Allah ‘Azza wa Jalla, dan segala sesuatu pun telah sirna dari dalam hatinya, maka ia telah sampai pada al-Haqq ‘Azza wa Jalla dipilih dan ditunjuk-Nya, dicintai-Nya sekaligus dicintakan pada makhluk ciptaan-Nya. Akan Dia jadikan ia najiy-Nya (orang yang diselamatkan), di bawah kedekatan-Nya, menerima karuniaNya dan bergelimang dengan kenikmatan-Nya, dibukakan pula baginya pintu-pintu kasih-Nya sekaligus Dia janjikan padanya untuk tidak pernah akan menutupnya lagi.

 

“Dalam keadaan demikian, sang hamba pun atas pilihan alHaqq ‘Azza wa Jalla, berkehendak di dalam Kehendak-Nya, ridha dengan keridhaan-Nya, melaksanakan perintah-Nya dan tak memandang keberadaan dan tindakan apa pun pada selain-Nya.

 

“Jika sudah demikian halnya, maka Allah menjanjikan kepadanya sebuah janji yang kelihatannya belum Dia tampakkan pemenuhannya di hadapan sang hamba dan belum dicapainya pula, sebab ghayriyah akan lenyap dengan lenyapnya hawa keinginan dan kehendak, serta ambisi meraih bagian-bagian peruntukan. Mewujudlah di dalam dirinya tindakan al-Haqq ‘Azza wa Jalla dan kehendak-Nya tanpa ada sisipan janji dan ikrar, sebab keduanya adalah sifat orang yang masih memiliki hawa keinginan dan kehendak.

 

“Jadilah janji ketika itu sebagai haknya bersama Allah sebagaimana seorang laki-laki yang berhasrat melakukan sesuatu di dalam dirinya dan meniatkannya, namun kemudian ia malah cenderung pada selainnya, seperti nasikh dan mansukh dalam wahyu-wahyu Allah pada Nabi-Nya, Muhammad Saw., ‘Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan, atau Kami jadikan (manusia)

 

lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kau tahu bahwa Allah kuasa atas segalanya?’ (QS. al-Baqarah [2]: 106).

 

“Tatkala Nabi Muhammad Saw. lepas dari keinginan dan kehendak, kecuali pada saat-saat tertentu, sebagaimana disebutkan oleh Allah di dalam al-Qur’an, sehubungan dengan tawanan Perang Badar, sebagai berikut, ‘Kamu menginginkan barang-barang lemah dunia int, sedangkan Allah menghendaki bagimu akhirat; dan Dia Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. Andaikan bukan karena hukum Allah yang telah berlaku, sesungguhnya akan menimpamu siksaan yang besar sebagai balasan atas perbuatan yang kau lakukan, (QS. al-Anfaal [8]: 67-68).

 

“Nabi Saw. adalah kekasih Allah, yang senantiasa Dia tempatkan pada ketentuan-Nya, juga Dia beri kendali-Nya; lalu Dia pun menggerakkannya di tengah-tengah ketentuan-Nya dan senantiasa memperingatkannya dengan firman-firman-Nya, ‘Tidakkah kau tahu bahwa Allah Maha Kuasa atas segalanya?’ (QS. al-Baqarah [2]: 106). Dengan kata lain, kamu berada di samudra ketentuan-Nya, yang gelombangnya mengombang-ambingkan kamu, kadang-kadang ke sini, kadang-kadang ke sana.

 

“Dengan demikian, akhir amr seorang wali adalah awal amr seorang nabi. Tiada maqam setelah kewalian dan kebadalan selain maqam nabi.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannyaberujar, “Segala pengalaman spiritual merupakan pengekangan, sebab sang wali diperintahkan untuk menjaga hal-hal itu. Segala yang diperintahkan untuk dijaga menimbulkan pengekangan. Berada dalam ketentuan Allah merupakan kemudahan, sebab yang diperintahkan hanyalah memberadakan diri ke dalam ketentuan-Nya. Sang wali tak boleh bersitegang dalam masalah ketentuan-Nya. Ia harus selaras dan tak boleh bertentangan dengan segala yang terjadi pada dirinya, entah manis atau pahit. Pengalaman itu terbatas, maka dari itu diperintahkan untuk menjaga pengalaman itu. Di lain pihak, kehendak Allah, yang merupakan ketentuan, tak terbatas.

 

“Tanda bahwa hamba Allah telah mencapai kehendak-Nya dan kemudahan adalah ketika seseorang diperintahkan-Nya untuk meminta kenikmatan-kenikmatan setelah diperintahkan untuk mencampakkannya dan menjauh darinya, sebab bila ruhaninya hampa akan kenikmatan, dan yang tinggal dalam dirinya hanyalah Tuhan, maka ia dimudahkan dan diperintahkan untuk meminta, mendambakan dan menginginkan hal-hal yang menjadi haknya dan yang bisa ia peroleh melalui permintaannya akan hal-hal itu, sehingga harga dirinya di mata Allah, kedudukannya dan karunia Allah ‘Azza wa Jalla, dengan diterimaNya doanya, menjadi kenyataan.

 

“Pembebasan meminta anugerah pemberian termasuk gejala terkuat yang menunjukkan kelapangan setelah pengekangan, keluar dari segala ahwal dan magamat, serta memikul tugas memelihara batas.

 

“Jika ada yang mengatakan, ‘Ini menunjukkan lenyapnya kewajiban, ucapan ateistik (zindiq), keluar dari Islam, dan penolakan atas firman-Nya, ‘Dan, sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal). (QS. al-Hijr [15]: 99).

 

‘Jawabnya, ‘Hal ini tak berarti begitu dan takkan begitu, tetapi bahwa Allah amat pemurah dan wali-Nya amat dicintai-Nya, sehingga Dia tak dapat mengizinkannya untuk menduduki suatu kedudukan hina di mata hukum dan agamaNya. Sebaliknya, Dia menyelamatkannya dari semua itu, menjauhkannya dari semua itu, melindunginya dan menjaganya di dalam batas-batas hukum. Maka, ia terlindung dari dosa dan senantiasa berada di dalam batas-batas hukum tanpa upaya dan perjuangan dari dirinya, sedangkan ia tak sadar akan keadaan ini dikarenakan oleh kedekatannya kepada Tuhannya. Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Demikianlah, agar Kami palingkan darinya kemungkaran dan kekejian; sesungguhnya ia adalah salah satu dari hamba-hamba terpilih Kami. (QS. Yusuf [12]: 24). Firman-Nya lagi, ‘Sesungguhnya, terhadap hamba-hamba-Ku kau tak berkuasa’ (QS. al-Hijr [15]: 42). Firman lain, ‘Kecuali hamba-hamba Allah yang dibersihkan.’ (QS. ash-Shaaffaat [37]: 40).

 

“Duhai orang yang malang! Sang wali berada dalam tanggungan dan kehendak Tuhan ‘Azza wa Jalla, dan Dia mendidiknya di pangkuan kedekatan dan kelembutan-Nya. Bagaimana bisa si iblis mendekatinya? Bagaimana mungkin setan akan mampu mengusiknya dan memasukkan kejelekan-kejelekan dan hal-hal makruh di dalam syariat padanya?

 

“Dosa dan kekejian telah dijauhkan darinya, lalu bagaimana kau bisa mengatakan hal keji seperti itu? Abaikan saja pikiran-pikiran kotor yang hina dan akal-akal yang kurang, serta pendapat-pendapat bobrok!

 

“Semoga Dia melindungi kita dengan perlindungan dan kasih sayang sempurna sehingga kita senantiasa mampu menjauhkan diri dari dosa-dosa. Semoga Dia memelihara kita dengan rahmat-rahmat dan karunia-karunia sempurna-Nya melalui tindak kasih sayang-Nya!”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya- “Butalah terhadap segala hal. Tutuplah matamu terhadap sesuatu pun dari hal-hal itu. Bila kau lihat sesuatu pun dari hal-hal itu, maka karunia dan kedekatan Allah ‘Azza wa Jalla akan tertutup bagimu. Oleh karena itu, tutuplah segala hal dengan kesadaranmu akan keesaan Allah dan dengan peniadaan diri. Maka, akan tampak oleh mata hatimu hal Allah ‘Azza wa Jalla, dan kau akan melihatnya dengan kedua mata hatimu ketika hal itu tersinari oleh nur hatimu, nur imanmu, dan nur keyakinan teguhmu. Pada saat itu, cahaya ruhanimu akan mewujud pada lahiriahmu bak cahaya sebuah lampu di malam pekat yang mencuat melalui lubang-lubangnya sehingga sisi luar rumah menjadi tercerahkan oleh cahaya dari dalam. Maka, diri dan anggota tubuh akan merasa ridha dengan janji Allah dan karunia-Nya.

 

“Kasihanilah diri kita. Jangan berbuat aniaya terhadapnya. Jangan campakkan ia ke dalam gelap ketakacuhan dan kebodohanmu, agar ia tak melihat ciptaan, daya, perolehan, sarana, dan tak bertumpu pada hal-hal itu. Sebab, jika kau lakukan hal itu, maka segala hal akan tertutup bagimu dan karunia Allah akan tertutup pula bagimu lantaran kesyirikanmu. Nah, bila telah kau sadari keesaan-Nya, telah kau lihat karunia-Nya, kau hanya berharap kepada-Nya dan telah kau butakan dirimu terhadap segalanya selain-Nya, maka Dia akan membuatmu dekat dengan Diri-Nya, akan mengasihimu, akan menjagamu, akan memberimu makanan, minuman dan perawatan, akan membuatmu bahagia, akan menganugerahimu karunia-karunia, akan menolongmu, akan menjadikan kau penguasa, akan menafikanmu dari ciptaan serta dari dirimu sendiri, dan akan membuatmu tiada, sehingga kau takkan melihat baik kemiskinanmu maupun kekayaanmu.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya-berujar, “Kondisi dirimu tidak akan pernah sepi dari dua kemungkinan; bencana atau nikmat. Jika berupa musibah, maka kau dituntun untuk tashabbur (menyabarkan diri)—ini merupakan hal yang rendah—dan bersabar (shabr), ini merupakan hal yang lebih tinggi, lalu menyetujui dan ridha menerima takdir-Nya, dan terakhir luruh (fana’) di dalam kehendak-Nya—dan ini adalah hal para abdal dan kaum ‘arif, serta para empu kaweruh tentang Allah ‘Azza wa Jalla.

 

“Bila berupa rahmat, maka kau dituntut untuk mensyukurinya, baik melalui lidah, hati, maupun anggota tubuh.

 

“Bersyukurlah dengan lisan diaktualisasikan dalam pengakuan diri bahwa rahmat yang ada berasal dari Allah ‘Azza wa Jalla dan penghindaran dari menisbatkannya kepada orang lain, yang melalui tangan-tangan mereka rahmat sampai. Sebab, kau sendiri dan mereka hanyalah sarana-sarana sampainya rahmat. Pemberi dan pencipta sejati rahmat yaitu Allah Azza wa Jalla. Maka, Dia lebih patut disyukuri daripada yang lain.

 

“Jangan kau pandang ghulam pembawa hadiah sebagai pengirim hadiah, tetapi pandanglah ia sebagai pelaksana dan sarana pemberi nikmat. Allah menyindir orang yang tidak memiliki pandangan tersebut dalam firman, ‘Mereka mengetahui lahiriah kehidupan duniawi, sedangkan mengenai akhirat, mereka sungguh lalai.’ (QS. ar-Ruum [30]: 7).

 

“Barang siapa memandang lahiriah dan penyebab, sedangkan pengetahuannya tak melebihi ini, adalah jahil dan rusak pikiran. Istilah ‘pikiran’ digunakan untuk orang yang memahami akhir sesuatu.

 

“Adapun bersyukurnya melalui hati, diwujudkan melalui keyakinan kokoh bahwa segala rahmat, kesenangan yang kau punya, berasal dari Allah ‘Azza wa Jalla, bukan dari selain-Nya. Juga bahwa ucapan kesyukuranmu lewat lisan merupakan ungkapan isi hatimu. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, ‘Dan, apa pun nikmat yang ada padamu, berasal dari Allah. (QS. an-Nahl [16]: 53). Firman-Nya lagi, ‘Dan, (Dia) telah menyempurnakan nikmatNya padamu lahir dan batin.’ (QS. Luqman [31]: 20). Firman lain,

 

‘Dan, jika kamu menghitung hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya.’ (QS. an Nahl [16]: 18).

 

“Dengan bukti semua pernyataan ini, maka tiada pemberi karunia bagi seorang mukmin selain Allah Azza wa Jalla.

 

“Sementara itu, bersyukur melalui anggota tubuh teraktualisasikan lewat penggunaan anggota tubuh untuk mematuhi perintah-perintah-Nya guna menjauh dari ciptaanNya. Maka, janganlah menimpali makhluk, sebab di situ terdapat penentangan terhadap Allah; ciptaan termasuk dirimu sendiri, keinginanmu, maksudmu, kehendakmu, dan segalanya. Patuhlah kepada Allah sepatuh-patuhnya. Jika kau bertindak lain, berarti kau menyimpang dari jalan lurus, menjadi aniaya, berperilaku tanpa perintah Allah yang diturunkan bagi hamba-hamba beriman-Nya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan para shalih. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, ‘Barang siapa tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. al-Maa’idah [5]: 44). Firman senada, “Barang siapa tak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim, (QS. alMaa’idah [5]: 45). Dan, firman lain yang senada, ‘Barang siapa tak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir’ (QS. al-Maa’idah [5]: 47).

 

“Kau akan berakhir di neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Jika kau tak tahan menahan demam untuk satu jam di dunia ini saja, lalu bagaimana kau akan bisa bertahan, untuk selamanya, berada di dalam neraka beserta penghunipenghuninya?

 

“Semoga kita selamat dan lolos dari api neraka, ya Allah! Allah!

 

“Camkanlah selalu kedua hal (bencana dan nikmat) di atas beserta syarat-syaratnya, sebab kau tak bisa lepas dari keduanya sepanjang hayat—baik keadaan ditimpa musibah maupun keadaan bahagia.

 

“Berilah masing-masing hak dan bagian keduanya dari kesabaran dan kesyukuran sesuai dengan yang telah saya terangkan di atas.

 

‘Jangan mengeluh pada makhluk sesamamu kala ditimpa musibah. Jangan tunjukkan kegundahanmu kepada siapa pun. Jangan salahkan Tuhanmu di dalam benakmu. Jangan pula kau ragukan kebijaksanaan dan pilihan-Nya akan yang terbaik bagimu di dalam kehidupanmu di dunia dan di akhirat. Dan, jangan lari kepada orang guna mendapatkan jalan keluar, sebab, dengan begitu, kau berarti menyekutukan-Nya. Tak satu pun berhak atas milikan-Nya, tak satu pun mampu memberikan mudharat, manfaat, atau menjauhkan kesulitan, menyebabkan sakit dan bencana, menyembuhkan dan memberi sesuatu kebaikan, kecuali Dia.

 

“Jangan sekali-kali kau sibukkan dirimu dengan makhluk ciptaan, baik secara lahiriah maupun batiniah, sebab mereka takkan menguntungkanmu. Bersabar dan ridhalah selalu kepada Allah, dan luruh fanalah ke dalam tindakan-Nya. Jika kau tidak diharamkan dari semua itu (baca: tidak menerimanya), maka minta tolonglah kepada-Nya, tunjukkan kerendahdirianmu, akui dosa-dosamu, kecam dirimu dan sucikan al-Haqq ‘Azza wa Jalla.

 

Akui keesaan dan nikmat-nikmat Nya, dan jauhkanlah diri dari kesyirikan. Mohonlah pertolongan untuk mampu menyelaraskan diri dengan kehendak-Nya, ridha menerima takdir Nya sampai habis masanya. Maka, akan hilanglah musibah dan berganti dengan karunia-Nya, kemudahan, dan kebahagiaan, sebagaimana yang terjadi pada diri Nabi Ayyub; bak berlalunya gelap malam dan datangnya kecerahan siang, dan berlalunya dingin musim dingin, diganti sepoi musim semi dengan aroma harumnya.

 

“Segala sesuatu memiliki kebalikan, target, tujuan, dan puncak. Dan, kesabaran adalah kunci, awal, puncak, dan keindahan, sebagaimana pernyataan dalam sebuah kabar, ‘Kesabaran bagi iman seperti kepala bagi tubuh,* atau dalam redaksi lain, ‘Kesabaran adalah keimanan secara keseluruhan.

 

“Bisa jadi, kesyukuran adalah keterlibatan dengan nikmatnikmat sebagai bagian peruntukanmu. Jika demikian halnya, maka perwujudan kesyukuranmu adalah dengan terlibat hubungannya dalam kondisi fana kebinasaan dan lenyapnya hawa nafsu, serta keterpeliharaan dan keterjagaan. Dan, ini merupakan hal kaum abdal, yang merupakan hal terpuncak.

 

“Ambillah pelajaran dari yang telah kusebutkan kepadamu, niscaya kau akan terbimbing, insya Allah.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya-berujar, “Permulaan kehidupan ruhani adalah keterlepasan dari al-ma’hud menuju yang disyariatkan (al-masyru), lantas menuju yang ditakdirkan (al-maqdur), untuk kemudian kembali pada al-ma‘hud dengan syarat penjagaan batas-batas. “Keluar dari al-ma’hud berarti melepaskan diri dari makanan, minuman, pakaian, pasangan nikah, dan segala yang menenteramkan hatinya atas dasar dorongan alamiah (tabiat) dan kebiasaan menuju perintah dan larangan syara’. Lalu, ikutilah Kitab Allah dan sunnah Nabi-Nya sebagaimana yang difirmankanNya, ‘Ambillah yang diperintahkan Nabi kepadamu, dan hindarilah yang dilarangnya,’ juga firman lain Nya, ‘Katakanlah, Jika kau mencintai Allah, ikutilah aku, maka Allah akan mencintaimu,’ (QS. Ali ‘Imran [3]: 31).

 

“Selanjutnya, kau harus luruh binasa dari hawa nafsu dan kesia-siaannya secara lahir dan batin, sampai yang ada pada batinmu hanyalah keesaan Allah, dan yang ada pada lahiriahmu hanyalah kepatuhan dan pengabdian pada apa yang diperintahkan dan dilarang-Nya. Jadikanlah hal itu sebagai kebiasaanmu, semboyan hidup dan busanamu dalam segala gerak dan diammu, di kala malam dan siangmu, dalam perjalanan dan di rumahmu, dalam kesulitan dan kemudahanmu, serta dalam segala keadaan.

 

“Lebih lanjut, kau akan dibawa ke lembah-Nya, dan dikendalikan oleh-Nya. Kau pun luruh binasa dari segala upaya, perjuangan dan dayamu. Lalu, dibawalah kepadamu bagianbagian yang telah ditorehkan oleh pena dan ditetapkan oleh ilmu (sebagai ketentuan azali), sehingga kau pun dibusanai dengan bagian-bagian tersebut, juga dianugerahi keterlindungan dan keselamatan di tengah-tengahnya. Terlindunglah kau dalam batas-batas-Nya dan kau peroleh pula taufig untuk menerima tindakan Allah di dalamnya. Kaidah syara’ pun tidak akan melenceng menuju kezindiqan dan penghalalan yang haram. Allah berfirman, ‘Sesungguhnya, telah Kami turunkan pengingat (alQur’an), dan sesungguhnya Kami yang menjaga.’ (QS. al-Hijr [15]: 90). Firman-Nya lagi, ‘Demikianlah, agar Kami palingkan darinya kemungkaran dan kekejian; sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba pilihan Kami.’ (QS. Yusuf [12]: 24).

 

“Maka, perlindungan Allah menyertaimu, hingga kau menghadap-Nya dengan kasih-Nya. Semua itu adalah bagian peruntukan yang telah dipersiapkan untukmu. Dia akan mencukupkanmu dalam tempuh perjalananmu di jalan tarekat dan suluk dari rimba-rimba tabiat dan riak-riak hawa kesenangan, sebab tabiat dan hawa nafsu adalah beban berat. Maka, hal itu pun dijauhkan dari dirimu agar tidak memberatkanmu, sehingga bisa melemahkan untuk meraih apa yang dicari sampai kau mencapai ambang fana, yang merupakan pintu ketersampaian pada kedekatan al-Haqq ‘Azza Wa Jalla, makrifat-Nya, penggapaian rahasia-rahasia dan ilmu-ilmu laduni, dan masuk ke dalam samudra cahaya, di mana gelap tabiat cahaya tidak lagi bisa menyakitimu.

 

“Tabiat akan tetap eksis sampai ruhmu berpisah dengan jasad demi memenuhi bagian. Jikalau tabiat lenyap dari diri anak Adam, niscaya ia akan menyusul para malaikat, sehingga aturan pun menjadi kacau dan hikmah pun menjadi batal pula. Jadi, tabiat akan tetap mewujud di dalam dirimu demi memenuhi bagianbagian dan peruntukannya. Dan, hal itu hanya akan menjadi fungsi kerja saja, bukan sesuatu yang pokok, sebagaimana sabda Nabi Saw., “‘Dicintakan kepadaku dari keduniaan kalian tiga hal; wewangian, perempuan, dan dijadikannya penyejuk mataku di dalam shalat.’

 

“Tatkala Nabi Muhammad Saw. lebur fana dari keduniaan beserta segala isinya, dikembalikanlah padanya bagian-bagiannya yang tertahan (tidak ia ambil) sewaktu beliau berjalan menuju Tuhannya Azza wa Jalla. Lalu, beliau pun mengambilnya sebagai bentuk pernyataan ridha (tanpa menolak dan penolakan) pada Tuhan-Nya dan keridhaan menerima tindakan-Nya, serta apresiasi menjalankan perintah-Nya, sehingga nama-nama-Nya pun menjadi suci dan rahmat-Nya juga menyebar. Anugerah karunia-Nya memeluk seluruh wali dan nabi-nabi-Nya.

 

“Demikianlah para wali di pintu ini. Bagian-bagian keduniaannya dikembalikan lagi padanya setelah ia lebur fana dengan tetap menjaga batasan-batasan. Dan, ini disebut kembali dari akhir ke permulaan.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya-berujar, “Setiap mukmin diwajibkan (mukalaf) untuk bersikap menunggu (tawaquf) dan menahan diri untuk tidak terburu-buru mengambil dan menikmati bagian-bagian duniawinya hingga ada hukum yang menyatakan kehalalannya, juga pengetahuan akan bagiannya. Nabi Saw. bersabda, ‘Seorang mukmin adalah orang yang suka menyelidik (fattasy). (Jika) orang munafik adalah orang yang asal sambar (laqqaf), maka seorang mukmin bersikap menunggu kepastian (waqaf).’ Nabi Saw. berpesan, ‘Tepiskan segala yang masith meragukan, dan ambillah segala yang tak menimbulkan keragu-raguan,’

 

“Seorang mukmin senantiasa bersikap menunggu di hadapan setiap bagian baik berupa makanan, minuman, busana, perkawinan maupun segala sesuatu yang dihidangkan kepadanya. Ia tidak boleh mengambilnya sampai ada ketentuan hukum yang menyatakan keabsahan dirinya untuk mengambil dan melakukannya. Sikap ini diambil jika memang ia masih dalam taraf bertakwa. Jika ia berada dalam taraf kewalian, maka ia tidak boleh mengambilnya sampai ada perintah yang memerintahkannya bertindak demikian. Lalu, jika ia berada dalam taraf badaliyah dan ghausiyah, maka ia tidak boleh mengambilnya sampai ada ilmu yang memaklumkannya untuk berbuat demikian. Lantas, jika ia berada dalam taraf fana, maka ia tidak boleh mengambilnya sampai ada ketentuan tindakan atau takdir yang mengendalikannya untuk berlaku demikian.

 

“Kemudian, datanglah taraf spiritualitas lain yang menyilakannya untuk mengambil apa saja yang dihidangkan dan disajikan padanya secara mutlak, selama tidak bertentangan dengan hukum, perintah, atau ilmu.

 

“Dan, terakhir muncul taraf spiritual ketiga, di mana ia boleh mengambil dan terlibat dalam segala kenikmatan tanpa interupsi salah satu dari ketiga hal di atas (hukum, perintah, ilmu). Inilah yang disebut taraf fana’. Dalam kondisi spiritual demikian, seorang mukmin sudah terjaga dari segala petaka, menerjang batas-batas syara’ dan terlindung pula dari segala keburukan, sebagaimana firman Allah Ta‘ala, ‘Demikianlah, agar Kami palingkan darinya kemungkaran dan kekejian; sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba pilihan Kami. (QS. Yusuf [12]: 24).

 

“Dengan segala jaminan keterlindungan dari pelanggaran batasan-batasan syara’‘ ini, si hamba menjadi seperti mandataris yang dipasrahi sebuah mandat (mufawwad ilaih), diizini (ma‘dzun lah), dibebaskan dalam segala kemubahan dan dimudahkan dalam segala laku kebajikan.

 

“Segala yang datang kepadanya telah terbersihkan dari segala petaka, kotoran, dan sampah-sampah dunia dan akhirat, juga cepat menggapai dengan kehendak al-Haqq ‘Azza wa Jalla, ridha dan tindakan-Nya. Tidak ada lagi taraf spiritual di atasnya. Ia adalah taraf puncak, yang diperuntukkan bagi para tokoh wali terkemuka yang benar-benar tulus dan pemilik segala rahasia, yang telah mencapai ambang status para nabi As.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya-berujar, “Betapa sering kau berkata, ‘Si Fulan dekat kepada kemuliaan, sedangkan aku dijauhkan?! Si Fulan kok dianugerahi, sedangkan aku tidak diberi sama sekali?! Si Fulan diberikan kekayaan, sedangkan saya dimiskinkan?! Si Fulan senantiasa sehat, si Fulan sakit, sedangkan saya disakitkan?! Si Fulan diagungkan, sedangkan saya dihinakan?! Si Fulan dipuji, sedangkan saya dicaci?! Si Fulan dibenarkan dan dibetulbetulkan, sedangkan saya selalu saja dipersalahkan?!’ “Tidakkah kau tahu bahwa Dia itu Maha Esa, dan Yang Maha Esa menyukai keesaan dalam bercinta, dan hanya mencintai satu dalam cinta-Nya?

 

“Jika Dia mendekatkanmu kepada-Nya dengan cara selain Diri-Nya, cintamu kepada-Nya pun lantas berkurang dan mencabang. Bahkan, di dalam batinmu terkadang muncul kecenderungan cinta pada orang yang menampilkan kenikmatan di hadapannya, sehingga praktis berkuranglah cinta Allah di dalam hatimu. Allah adalah pencemburu yang tidak suka pemaduan (baca: diduakan). Karena itu, tahanlah tangan orang lain dari meraihmu, juga lidah mereka dari sanjung memujimu, dan kaki mereka dari berjalan mengunjungimu, agar mereka tak memalingkanmu dari-Nya. Tidak pernahkah kau dengar sabda Nabi Saw? ‘Hati telah dibentuk secara alamiah untuk mencintai orang yang berbuat baik padanya, serta dibencikan (secara alamiah) pada orang yang berbuat buruk padanya.’*

 

“Allah Azza wa Jalla menahan makhluk (orang) untuk berbuat kebaikan kepadamu dari segala aspek dan sarana sampai kau esakan dan kau cintai Dia, lalu kau pun hanya menjadi milikNya dari segala aspek, lahir dan batinmu, gerak dan diammu, sehingga tak kau lihat kebaikan lagi kecuali hanya berasal dariNya, begitu juga tidak ada keburukan kecuali dari-Nya pula. Kau melebur fana dari makhluk, nafsu, hawa kecenderungan, kehendak, dan angan, serta dari segala selain al-Maula. Baru setelah itulah, tangan-tangan akan terulur memberi dan mengucurkan kebaikan kepadamu, lidah-lidah terulur memuji dan menyanjungmu, dan Dia akan senantiasa membimbingmu di dunia hingga akhirat kelak.

 

“Janganlah sekali-kali kau berlaku kurang ajar. Lihatlah Zat yang senantiasa melihatmu, perhatikan Zat yang senantiasa memerhatikanmu, cintailah Zat yang senantiasa mencintaimu, ulurkanlah tanganmu kepada Zat yang senantiasa menjagamu dari kejatuhan, yang mengeluarkanmu dari gelap kejahilanmu, yang menyelamatkanmu dari kehancuran, yang menyucikanmu dari noda dan kekejian, yang akan melepaskanmu dari kebusukan iri, dari hawa nafsu, dan teman-teman sesatmu, juga dari pengadang jalan menuju Allah, dan dari segala yang hina dan menggiurkan.

 

“Sampai kapan kau simpan kebiasaan? Sampai kapan kau simpan kemangkiran? Sampai kapan kau pelihara hawa nafsu? Sampai kapan kau berbuat bodoh dan sia-sia? Sampai kapan kau peluk dunia? Sampai kapan kau kejar akhirat? Sampai kapan kau akrabi selain al-Maula?

 

“Kenapa kau begitu jauh dari sang Pencipta segalanya, Pengada segala maujud, Maha Awal dan Maha Akhir, Maha Lahir dan Maha Batin, Patron dan Tempat kembali, yang memiliki hati dan ketenangan jiwa, yang memberi karunia tanpa batas?”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya-berujar, “Aku pernah bermimpi seolah-olah mengatakan, “‘Wahai yang menyekutukan Tuhan di dalam benak dengan diri sendiri, dalam sikap lahiriah dengan ciptaan-Nya, dan dalam tindakan dengan kedirian!’ Seorang laki-laki di sampingku pun bertanya, ‘Pernyataan apakah ini?’ Aku jawab, ‘Ini adalah bentuk makrifat!”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannyaberujar, “Suatu hari, aku dirundung gelisah. Jiwaku tertekan menanggung rasa tersebut dan terus mencari-cari kenyamanan, jalan keluar, dan hiburan.

 

“Seseorang menyapaku, ‘Memangnya, apa yang sedang kau inginkan?’ Aku menjawab, ‘Aku menginginkan kematian, yang tiada lagi kehidupan di dalamnya, serta kehidupan yang tidak ada kematian di dalamnya.’

 

“Memangnya kematian apa yang tidak mengandung kehidupan lagi di dalamnya? Dan kehidupan apa yang tidak ada kematian lagi di dalamnya, tanyanya lagi.

 

“Aku menjawab, ‘Kematian yang tiada kehidupan di dalamnya adalah kematianku dari sesamaku, di mana tidak aku lihat lagi manfaat dan mudharat pada mereka. Juga kematianku dari hawa nafsuku, dari keinginan, dari anganku di dunia dan akhirat. Aku tidak bisa hidup dalam semua itu, dan tidak bisa pula mewujud di dalamnya.

 

“Sementara kehidupan yang tiada lagi kematian di dalamnya adalah kehidupanku bersama tindakan Tuhanku Azza wa Jalla tanpa keberadaan wujudku di dalamnya. Kematian di dalamnya berarti kemaujudanku bersama-Nya. Dan, ini merupakan kehendak tertinggi yang aku inginkan sejak aku bisa berpikir.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya-berujar, “Mengapa harus kesal dan marah kepada Tuhanmu

 

‘Azza wa Jalla hanya karena doa-doamu belum dikabulkan? (Mengapa) kau menggerutu, ‘Dia telah mengharamkanku untuk meminta kepada makhluk dan mewajibkan sebagai gantinya untuk meminta hanya kepada-Nya. Tetapi, mengapa permohonanku kepada-Nya tak dikabulkan juga?’

 

“Saya ingin bertanya padamu, ‘Kamu ini orang merdeka atau budak?’ Jika Anda katakan bahwa diri kamu orang merdeka, maka kamu telah kafir.

 

“Dan, jika kau bilang dirimu adalah budak, maka saya ingin bertanya, ‘Apakah kau ini menuding Junjunganmu ‘Azza wa Jalla hanya karena Dia mengakhirkan pengabulan doamu, juga meragukan kebijaksanaan dan rahmat kasih-Nya kepadamu dan pada segenap makhluk-Nya, serta pengetahuan-Nya akan kondisi mereka, ataukah tidak?’

 

“Jika kau tak menyalahkan-Nya dan mengakui kebijaksanaan, kehendak, dan kemaslahatan-Nya dalam menangguhkan pengabulan doamu, maka kau patut bersyukur kepada-Nya, sebab Dia telah memilihkan yang terbaik bagimu.

 

“Jika kau salahkan Dia, maka kau sudah tak beriman lagi, sebab kau menisbatkan kepada-Nya sifat ketidakadilan yang mustahil bagi Diri-Nya. Ingat, Dia adalah Pemilikmu, Pemilik segalanya. Seorang pemilik berkuasa penuh atas apa yang dimilikinya. Karena itu, tudingan ‘ketidakadilan’ sungguh tak layak bagi-Nya. Sebab, ketidakadilan ialah keikutcampuran dalam milikan orang lain, tanpa seizin pemiliknya.

 

“Jadi, jangan kesal terhadap-Nya atas segala tindakan-Nya padamu hanya karena hal itu bertentangan dengan tabiat dan syahwat dirimu, meskipun dari luar ia terlihat merusak dirimu.

 

“Kau harus tetap bersyukur, bersabar, ridha kepada-Nya, dan mencampakkan kekesalan dan ketidakpatuhan benak dan kedirianmu—hal-hal yang akan menyesatkanmu dari jalan Allah.

 

“Teruslah berdoa, sopan, dan berbaik sangka terhadap-Nya, menanti saat-saat yang baik, yakin akan janji-Nya, menunjukkan sikap baik terhadap-Nya, selalu ridha dengan perintah-Nya, senantiasa mengesakan-Nya, segera melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauh dari melakukan hal-hal yang dilarangNya.

 

“Jika memang harus ada yang disalahkan dan dikecam, maka nafsu dirimu yang mendorong berbuat keburukan dan maksiat pada Tuhannya ‘Azza wa Jalla-lah yang lebih tepat untuk kau kecam dan persalahkan, dan menisbahkan ketidakadilan pada dirimu sendiri lebih layak daripada menisbahkannya pada Maula Junjunganmu.

 

“Jangan sekali-kali kau turuti dan setiai nafsu diri, juga ridha menerima tindakannya, serta kata-katanya dalam segala kondisi. Sebab, ia adalah musuh Allah Azza wa Jalla dan musuhmu, serta malah berkoalisi dengan musuh Allah dan musuhmu, yaitu setan yang terkutuk. Nafsu adalah khalifah, mata-mata, dan antekantek setan.

 

“Takutlah kepada Allah, takutlah kepada Allah. Waspadalah, waspadalah! Selamat! Selamat!

 

“Kutuklah dirimu sendiri! Alamatkan ketidakadilan kepadanya! Bacakanlah di hadapannya firman Allah, ‘Adakah Allah menyiksamu, jika kamu bersyukur lagi beriman?’ (QS. an-Nisaa’ [4]: 147), juga firman lain, ‘Ini dikarenakan perbuatan-perbuatanmu sebelumnya, sesungguhnya Allah adil terhadap hamba-hamba-Nya. (QS. Ali ‘Imran [3]: 181). Firman-Nya lagi, ‘Sesungguhnya, Allah

 

tak menzhalimi, tetapi merekalah yang menzhalimi diri mereka sendiri.’ (QS. Yunus [10]: 44), serta ayat-ayat dan hadits lainnya.

 

“Musuhilah dirimu demi Allah dan debatlah ia demi Allah. Jadilah pasukan pedang untuk Tuhanmu ‘Azza wa Jalla, juga panglima perang dan militer-Nya, sebab nafsu adalah musuh Allah yang paling dibenci.” Allah berfirman, ‘Hai Daud, musuhilah hawa kecenderunganmu, sesungguhnya tiada pesaing yang (coba) menyaingi-Ku dalam kerajaan-Ku selain hawa nafsu.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya-berujar, ‘Jangan katakan, ‘Aku tidak akan berdoa pada Allah ‘Azza wa Jalla. Toh jika memang apa yang aku minta sudah merupakan bagianku, maka ia sendiri yang akan mendatangiku, dan jika bukan bagianku tentu Dia tidak akan memberikannya padaku meski aku berdoa meminta.’

 

“Akan tetapi, mintalah kepada-Nya segala yang kau inginkan, asalkan yang kau minta itu tak terlarang dan tak merusak, sebab Allah telah memerintahkan kita untuk memohon kepada-Nya. Dia berfirman, “Mintalah kepada-Ku, niscaya akan Kukabulkan permintaanmu.’ (QS. al-Mu’min [40]: 60). Firman-Nya lagi, ‘Mintalah kepada-Nya karunia-Nya. (QS. an-Nisaa’ [4]: 32). Nabi Saw. juga bersabda, ‘Mintalah kepada Allah dengan penuh keyakinan bahwa doamu diterima.’” Sabdanya lagi, ‘Berdoalah kepada Allah dengan kedua tapak tanganmu,”’ Dan masih banyak lagi sabda Nabi yang menyatakan demikian.

 

“Jangan katakan, ‘Aku telah memohon kepada-Nya, tetapi Dia tidak pernah mengabulkannya. Karena itu, aku tidak akan lagi meminta pada-Nya,’ akan tetapi berdoalah selalu pada-Nya.

 

“Jika memang apa yang kau minta adalah bagian yang telah ditentukan bagimu, maka Dia akan menganugerahkannya kepadamu setelah kau minta, sehingga hal itu akan menambah keimananmu akan keesaan-Nya, juga akan menolongmu menjauh dari meminta kepada orang, kepada ciptaan, dan dari sikap berpaling kepada-Nya dalam segala kondisi, serta lebih lanjut menolongmu meyakini bahwa segala kebutuhanmu terpenuhi oleh-Nya.

 

“Jika sesuatu yang kau minta tersebut bukan bagian yang ditentukan bagimu, maka Dia akan mencukupimu dan membuatmu ridha kepada-Nya, meski kau miskin dan sakit. Dia akan membuatmu senang dengan kesulitan yang menimpamu itu. Bila berutang, Dia buat hati si pemberi utang tersebut lembut terhadapmu sampai kau lunasi utang itu. Bila permohonanmu tak dikabulkan di dunia ini, Dia akan memberimu di akhirat.

 

Dia takkan mengecewakan pendoa kepada Nya di dunia ini dan di akhirat.

 

“Pasti ada faedah dan kemaslahatan yang Dia simpan di balik semua itu, cepat atau lambat.

 

“Dalam sebuah hadits dinyatakan, ‘Seorang mukmin akan melihat dalam buku catatan amalnya pada Hari Pengadilan amal-amal yang tidak pernah dilakukannya, juga tidak ia ketahui. Maka akan dikatakan kepadanya, ‘Tahukah kamu amal-amal itu?’ Ia akan menjawab, ‘Saya tidak tahu dari mana amal-amal ini bisa ada pada saya.’ Lalu ia akan dijawab, ‘Sesungguhnya, amal-amal itu adalah ganti dari permohonanmu selama di dunia.’

 

“Hal itu dikarenakan dengan meminta dan berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, ia praktis mengingat-Nya dan mengesakan-Nya, menempatkan sesuatu pada tempatnya, berbuat kebajikan kepada sesamamu, tak menisbahkan daya kepada diri sendiri dan tak pongah. Semua ini menjadi amal-amal shalih yang berpahala di sisi Allah ‘Azza wa Jalla.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya- “Setiap kali kau lawan nafsu, dan kau kalahkan, lantas kau bunuh ia dengan pedang perlawanan, maka Allah akan menghidupkannya lagi. Ia pun akan menantangmu kembali dan menuntut pemuasan syahwat dan kelezatan lagi darimu, baik yang diharamkan maupun yang dihalalkan, hingga kau berupaya lagi berjuang (mujahadah) dan bergiat memupusnya hingga ditulislah pahala abadi bagimu. Inilah maksud dari sabda Nabi Saw., ‘Kita telah kembali dari jihad kecil dan menuju jihad akbar’

 

“Nabi Saw. menunjuk mujahadah melawan nafsu sebagai jihad akbar karena kesenantiasaan dan kontinuitasnya mengusung kelezatan serta kesukaannya dalam berbuat kemaksiatan. Hadits tersebut merupakan penjelasan firman Allah, ‘Mengabdilah kepada Tuhanmu, hingga kepastian (kematian) datang kepadamu.’ (QS. al-Hijr [15]: 99).

 

“Allah telah memerintahkan Nabi Muhammad untuk mengabdi kepada-Nya (Cibadah), yaitu melawan nafsu, sebab nafsu menolak segala bentuk peribadatan dan menginginkan yang sebaliknya sampai kematian datang menjemputnya.

 

“Jika ada yang mengatakan bagaimana nafsu Rasulullah Saw. bisa mengabaikan ibadah, sementara beliau tidak memiliki hawa kecenderungan sebagaimana penegasan Allah, ‘Ia tak berbicara dengan kehendaknya sendiri, tidak lain apa yang dikatakannya adalah wahyu.’ (QS. an-Najm [53]: 84).

 

“Maka kami katakan, ‘Sesungguhnya Allah sengaja mengalamatkan hal tersebut kepada Nabi-Nya sebagai pengukuhan syariah, sehingga ia berlaku umum bagi umatnya hingga Hari Kiamat. Selanjutnya, Dia menganugerahi Nabi-Nya daya kekuatan tersendiri untuk mengatasi hawa nafsu agar keduanya tidak menyulitkan dan memaksanya untuk terus berjuang dan melawan nafsu, berbeda dengan umatnya.’

 

“Jika seorang mukmin teguh dalam upaya spiritual, hingga datang kematian, dan menemui Tuhannya, dengan pedang terhunus berlumuran darah nafsu diri, maka Dia akan menganugerahinya surga yang dijaminkan-Nya untuknya dalam firman, ‘Bagi yang takwa kepada Tuhannya, dan mencegah diri dari hawa nafsunya, maka surgalah tempat tinggalnya.’ (QS. anNaazi’aat [79]: 41).

 

“Jika Dia telah memasukkannya ke dalam surga dan menjadikannya sebagai tempat tinggal dan keputusan akhirnya, lalu ia mendapat jaminan keamanan dari pemindahan ke tempat lain dan kembali ke dunia, maka Dia senantiasa melimpahkan kenikmatan kepadanya hari demi hari, dari jam demi jam, serta akan mengaruniainya segala macam busana dan hiasan yang abadi, sebagaimana Dia perbarui, di dalam dunia ini setiap hari setiap jam dan setiap detik, perjuangan melawan hawa nafsu diri.

 

“Sementara itu orang kafir, orang munafik, dan pendosa, bila mereka telah berhenti berjuang melawan hawa nafsu diri mereka di dunia ini, kemudian mengikuti, bersekutu dengan setan dan berbaur dengan aneka macam kekafiran, kemusyrikan dan halhal seperti itu sampai kematian datang kepada mereka, sebelum mereka menjalankan Islam dan berobat, maka Allah memasukkan mereka ke dalam neraka yang disediakan bagi orang-orang kafir, sebagaimana firman-Nya, ‘Peliharalah dirimu dari neraka, yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (QS. al-Baqarah [2]: 24).

 

“Setelah Dia memasukkan mereka ke dalamnya dan menjadikannya tempat kembali dan tempat berteduh mereka, maka neraka itu membakar kulit dan daging mereka, dan Dia mengganti kulit dan daging mereka dengan yang baru, sesuai dengan firman-Nya, ‘“Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain.’ (QS. an-Nisaa’ [4]: 56). Allah Azza wa Jalla melakukan hal itu pada mereka karena mereka menuruti hawa nafsu mereka selama di dunia dalam laku kemaksiatan pada-Nya.

 

“Allah sengaja mengganti kulit dan daging penghuni neraka agar mereka tersiksa dan kesakitan. Sedangkan pada penghuni surga, Dia limpahi mereka aneka rezeki agar mereka senantiasa bersyukur. Hal ini dikarenakan perjuangan mereka melawan nafsu diri mereka demi menuruti kehendak Allah selama kehidupan di dunia ini.

 

“Dan, pemandangan ini adalah perwujudan dari sabda Nabi Saw., ‘Dunia ini adalah ladang akhirat.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya-berujar, “Ketika Allah mengabulkan permintaan seorang hamba-Nya dan memberinya apa yang ia minta, maka hal itu tidak berarti bahwa kehendak-Nya telah berlalu, dan pena takdir dan ketentuan azali-Nya juga tidak kering lagi. Akan tetapi, doa itu sesuai dengan kehendak Allah dan terjadi pada saat yang telah ditentukan-Nya, sehingga diperolehlah pengabulan dan dipenuhilah kebutuhan pada waktu yang telah ditentukan-Nya dalam ketentuan azali karena memang ketentuan takdir tersebut telah mencapai batas waktunya.

 

“Proses ini persis sebagaimana yang diungkapkan oleh seorang alim ketika menafsiri firman Allah, ‘Setiap saat Dia dalam kesibukan,” (QS. ar Rahmaan [55]: 29), bahwa Dia membimbing takdir menuju pos-pos waktunya. Allah ‘Azza wa Jalla tidak akan memberi sesuatu pada seorang pun di dunia ini hanya karena doanya, juga tidak menepiskan keburukan darinya hanya karena semata doanya.

 

“Adapun sabda Nabi Saw. dalam sebuah hadits bahwa, ‘Qadha ketentuan tak bisa ditolak kecuali dengan doa, lebih dimaksudkan bahwa hanya doa yang ditentukan mampu menolak qadha ketentuan sajalah yang mampu menolak qadha ketentuan. Sama halnya, tidak ada seorang pun yang masuk surga di akhirat kelak karena amalannya, melainkan lebih karena kasih sayang Allah, hanya saja Allah memberikan kedudukan di surga sesuai dengan amal-amal mereka.

 

“Disebutkan dalam sebuah hadits riwayat Aisyah Ra. bahwasanya ia pernah bertanya kepada Nabi Saw., ‘Akankah seseorang masuk surga hanya karena amal-amalnya?’ Nabi menjawab, “Tidak, akan tetapi (ia masuk surga hanya dikarenakan) kasih sayang Allah.’ Aisyah pun bertanya lagi, “Termasuk Anda?’ Beliau menjawab, “Termasuk saya juga, kecuali jika Allah berkenan menghujaniku dengan rahmat-Nya, sembari meletakkan tangannya di kepalanya.

 

“Hal ini dikarenakan bahwa Allah tidak memiliki kewajiban memenuhi hak seseorang, juga tidak diharuskan untuk memenuhi janji. Akan tetapi, Dia berbuat apa saja sekehendak-Nya, menyiksa siapa saja yang dikehendaki-Nya, mengampuni siapa saja yang dikehendaki-Nya, mengasihi siapa saja yang dikehendaki-Nya dan mengaruniakan nikmat bagi siapa saja yang dikehendakiNya, dan Dia Maha Kuasa atas segalanya. Dia di luar hukum tanggung jawab dan tidak bisa ditanya tentang apa saja yang dilakukan-Nya, berbeda dengan hamba-hamba-Nya yang akan dimintai pertanggungjawaban atas segala amal lakunya. Dia memberikan rezeki kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya dengan segala kemuliaan karunia dan kasih-Nya, serta menahan karunia-karunia-Nya dari siapa saja yang dikehendaki-Nya.

 

“Bagaimana tidak berlaku demikian jika seluruh makhluk dari sisi Arsy-Nya hingga dasar bumi di lapisan ketujuh adalah kerajaan milik-Nya sekaligus ciptaan-Nya? Pencipta mereka adalah Allah, dan pemilik mereka adalah Allah. Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Adakah pencipta selain Allah?’ (QS. Faathir [35]: 3). Firman-Nya lagi, ‘Adakah Tuhan selain Allah?’ (QS. an-Naml [27]: 63). Firman lain, ‘Dan, tahukah kau, adakah yang menyamaiNya?’ (QS. Maryam [19]: 65). Firman-Nya juga, “Katakanlah, ‘Ya Allah! Pemilik kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan yang Engkau kehendaki. Di tanganMulah segala kebajikan. Sesungguhnya, Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang pada malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan, Engkau beri rezeki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas).” (QS. Ali ‘Imran [3]: 26-27).

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya-berujar, ‘Jangan meminta kepada Allah Swt. sesuatu pun selain ampunan bagi dosa-dosamu, perlindungan dari dosa-dosa kini dan kelak, taufiq pertolongan untuk menunaikan perintah-perintah, memantang segala yang haram, ridha menerima pahit ketentuan-Nya, bersabar dalam menghadapi pedihnya musibah, mensyukuri limpahan karunia dan, akhirnya, untuk mati dengan husnul khatimah bersama para nabi, kaum shiddiq, dan orang-orang shalih.

 

“Jangan pula memohon kepada-Nya agar Dia menyingkirkan kemiskinan dan musibah, serta menganugerahkan kemudahan padamu, akan tetapi mintalah kepada-Nya keridhaan dengan ketentuan dan karunia-Nya, perlindungan abadi-Nya bagi dirimu yang telah ditempatkan-Nya dari satu hal ke hal lain, sebab kau tak tahu letak kebaikan—di balik kesulitan atau kemudahan. Dia telah menyembunyikan pengetahuan tentang hal-hal darimu dan hanya Dia sendirilah Yang Maha Mengetahui yang baik dan yang buruk.

 

“Umar Ibnu al-Khathab diriwayatkan pernah menyatakan, ‘Hampir tak menjadi masalah bagiku, dalam keadaan apa aku di pagi hari—entah hal itu membawa kepadaku yang tak kusukai atau yang kusukai, sebab aku tak tahu letak kebaikan.’

 

“Ia berkata demikian lantaran kesempurnaan keridhaannya akan tindakan Allah. Allah berfirman, ‘Berperang diwajibkan atas kamu, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu.’ (QS. al-Baqarah [2]: 216). .

 

“Senantiasalah bersikap demikian sampai kehendakmu pupus dan nafsu dirimu hancur berkeping-keping, lalu takluk dan mau menurutimu. Kemudian, akan lenyaplah segala kehendakmu dan angan keinginanmu. Segala macam maujud pun akan melenyap dari dalam hatimu kecuali Allah. Selanjutnya, hatimu diisi dengan kecintaan kepada Allah dan keinginan untuk mencapai-Nya pun menjadi tulus. Setelah itu, hawa kehendakmu akan dikembalikan lagi kepadamu melalui perintah-Nya bersama dengan hawa kecenderunganmu untuk menikmati dunia dan akhirat. Lalu, kau akan meminta hal-hal ini kepada Allah dalam kepatuhan kepada-Nya dan keselarasan dengan-Nya.

 

“Jika Dia menganugerahimu suatu karunia, maka bersyukurlah. Dan, jika Dia tidak memberimu, maka kau tak boleh gundah karenanya, jiwamu tidak boleh berubah dan kau tidak boleh menyalahkan-Nya, sebab hal seperti itu hanyalah dorongan hawa nafsu dan kehendakmu saja. Hatimu bersih dari hal-hal ini dan kau tak menghendaki hal-hal ini melainkan hanya mengikuti perintah-Nya melalui permohonanmu kepada-Nya, dan kedamaian pun akan senantiasa teranugerahkan untukmu.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannyaberujar, “Bagaimana kau mau berbangga dan pamer akan kebajikanmu, serta menuntut balasan atasnya? Sedangkan semua kebaikan tersebut berasal dari kekuatan yang dianugerahkan oleh Allah kepadanya, melalui taufiq pertolongan, daya, kehendak, dan karunia-Nya. Begitu pula dengan penyingkiran maksiat terhadap-Nya. Semua laku ini hanya berkat perlindungan dan pertolongan-Nya atasmu.

 

“Mana bentuk kesyukuranmu atas hal tersebut, juga pengakuanmu atas segala nikmat yang telah dianugerahkan Nya kepadamu ini? Apa-apaan dengan segala kelancangan dan kebodohan ini?

 

“Bagaimana kau bisa berbangga diri dengan keberanian orang lain dan kemurahan serta curahan hartanya? Kamu tidak dapat membunuh musuhmu tanpa bantuan Sang Gagah Berani yang menyerang musuhmu dan menyempurnakan keterbunuhannya. Jikalau tanpa Dia, niscaya kaulah yang akan tewas menggantikannya.

 

“Kau pun juga tidak mencurahkan harta benda kecuali setelah ada jaminan dari Sang Jujur Yang Maha Mulia dan Tepercaya yang menjamin balasan ganti atas apa yang kau curahkan dan tinggalkan. Jikalau tidak ada firman-Nya yang menjamin kompensasi bagi dirimu dan keinginanmu akan janjiNya, kau tentu tidak akan pernah mencurahkan sebiji makanan pun. Lalu, bagaimana kau mau berbangga diri hanya dengan perbuatan tersebut?

 

“Perbaikilah lakumu. Syukur dan pujian hanya bagi yang menolong, juga kesenantiasaan pujian. Nisbahkanlah segala sesuatu pada-Nya dalam segala kondisi kecuali keburukan, maksiat, dan celaan. Semua itu harus kau nisbahkan pada dirimu sendiri. Dirimu lebih berhak untuk dialamati laku kezhaliman, kekurangajaran dan tuduhan, sebab ia adalah tempat keburukan dan ia memerintahkan segala keburukan dan kesia-siaan.

 

“Jika memang kau akui bahwa Allah “Azza wa Jalla adalah pencipta kebajikan dengan segala usahamu, maka kau hanyalah media yang berusaha sementara Dialah yang menciptakannya sebagaimana pernyataan salah seorang ulama, ‘Demi Allah ‘Azza wa Jalla, kau pasti dan mau tidak mau akan mendatanginya. Juga sabda Nabi Saw., ‘Berbuat bajiklah, mendekatlah, dan luruskanlah dirimu, sebab semua telah dimudahkan bagi sesuatu yang memang diciptakan untuknya.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya-berujar, “Kau tidak pernah lepas dari dua kemungkinan; menjadi murid (menginginkan) atau menjadi murad (diinginkan).

 

“Bila kau adalah seorang murid, maka kau terbebani dan menjadi penanggung beban yang harus memikul segala yang sulit dan berat, sebab kau adalah thalib (pencari), dan seorang yang mencari mesti bekerja keras dan berlelah ria hingga ia memperoleh apa yang dicarinya.

 

“Tidak patut bagimu mengelak dari kesulitan-kesulitan yang merundungmu sampai deritamu sirna. Selanjutnya kau akan diselamatkan dari segala macam suara, noda, kekejian, kehinaan, rasa sakit, derita, dan ketergantungan kepada orang. Maka, kau akan dimasukkan ke dalam kelompok orang-orang yang dicintai Allah.

 

“Dan, jika kau adalah seorang murad, maka jangan salahkan Allah jika Dia menimpakan musibah atasmu. Juga, jangan kau ragukan kedudukanmu di hadapan-Nya, sebab Dia telah mengujimu agar kau meraih kedudukan tinggi. Dia hendak menaikkan derajat kedudukanmu pada tingkat para wali dan abdal.

 

“Sukakah kau bila kedudukanmu berada di bawah kedudukan mereka, atau bila busana kemuliaan, nur, dan rahmatmu tak seperti busana kemuliaan, nur, dan rahmat mereka?

 

“Jika kau merasa puas dengan kedudukan rendahmu, maka Allah Swt-lah yang tidak menyukainya untukmu. Allah Ta‘ala berfirman, ‘Dan Allah mengetahui, sedangkan kamu tak mengetahui. (QS. al-Baqarah [2]: 232). Dia telah memilihkan untukmu sesuatu yang lebih tinggi, lebih cerah, lebih baik, dan lebih mulia, lalu kau mau’ menampiknya?!

 

“Jika kau berkata, ‘Bagaimana bisa seorang murad (yang diinginkan-Nya) mesti diuji setelah semua penjelasan dan kategori ini, padahal ujian hanya diperuntukkan bagi pencinta, sementara kasih adalah milik kekasih yang dicinta?’

 

“Jawabnya, ‘Kami sengaja menyebutkan yang umum dahulu, baru kemudian melangkah pada yang langka.’

 

“Tidak perlu diperselisihkan lagi, bahwasanya Nabi Muhammad Saw. adalah yang paling dicintai, namun beliau juga adalah orang yang paling banyak diuji. Nabi Muhammad Saw. bersabda, ‘Aku telah demikian takut karena Allah, tlada seorang pun yang terancam sepertiku dan aku telah demikian menderita karena Allah, tiada seorang pun yang menderita sepertiku. Telah datang padaku tiga puluh hari dan malam yang di dalamnya kami tak punya makanan sebanyak yang diapit di bawah ketiak Bilal.’

 

“Tegasnya lagi, ‘Sesungguhnya kami, para nabi, adalah yang paling banyak diuji; kemudian mereka yang kedudukannya lebih rendah dan seterusnya.’ Sabdanya lagi, ‘Aku adalah yang paling tahu tentang Allah dan yang paling takut kepada-Nya di antara kamu semua.’

 

“Lalu, bagaimana bisa sang tercinta diuji dan takut, padahal ia adalah orang pilihan dan pengabdi sempurna? Hal ini, sebagaimana yang telah kami kemukakan, lebih dikarenakan Dia hendak membuat mereka meraih kedudukan-kedudukan kehidupan surgawi yang tidak akan teraih kecuali dengan amal-amal shalih di kehidupan duniawi ini. Kehidupan duniawi merupakan ladang kehidupan ukhrawi, dan amal-amal shalih para nabi dan wali, setelah menunaikan perintah-perintah dan menghindari larangan-larangan, berada dalam kesabaran dan keridhaan di tengah-tengah cobaan. Kemudian, cobaan dijauhkan dari mereka dan mereka dianugerahi rahmat-rahmat Allah, karunia-Nya, dan kasih sayang-Nya sampai mereka menghadap Tuhan mereka di akhirat yang abadi.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya-berujar, “Kalangan ahli agama dan ibadah yang masuk pasar (sebagai simbol ingar-bingar dunia,—penj.) memiliki kategori macam-macam dalam hal khuruj mereka untuk menunaikan perintah-perintah Allah berupa shalat Jum’at dan jamaah, serta menunaikan kebutuhan mereka di dalamnya: “Ada yang jika masuk pasar, ia langsung terkesima dengan segala macam barang yang dilihatnya di sana. Hatinya terpaut dengannya, sehingga ia pun terfitnah. Dan, ini adalah sebab kebinasaannya, pengabaian agama dan ibadahnya, serta kembalinya pada sikap menurutkan tabiat dan mengikuti hawa nafsu, kecuali jika ANah berkenan menyadarkannya dengan rahmat kasih sayang-Nya, pemeliharaan, perlindungan, dan penyabaran-Nya untuk melawan godaan-godaan ini, sehingga ia pun bisa selamat.

 

“Ada juga yang ketika melihat hal-hal ini dan nyaris larut terbinasakan di dalamnya, mereka tersadar dan kembali pada nalar agama mereka, lalu mampu mengendalikan diri dengan sekuat daya dan menelan pahit mencampakkan hal-hal itu. Mereka ini seperti prajurit-prajurit gagah berani di jalan agama yang ditolong oleh Allah untuk mengendalikan diri. Allah menganugerahi mereka limpahan pahala dan kehidupan ukhrawi. Nabi Saw. bersabda, ‘Tujuh puluh tindak kebajikan dicatat untuk seorang mukmin yang mencampakkan dorong hawa nafsunya ketika ia dikuasai olehnya atau ia menguasainya.’®

 

“Ada lagi yang mengambil dan menggulatinya, serta meraihnya berkat nikmat Allah Azza wa Jalla yang seluas dunia dan harta kekayaan. Lalu, ia bersyukur pada Allah Azza wa Jalla atas hal tersebut.

 

“Ada hal lain lagi yang sudah tidak lagi memerhatikan kenikmatan-kenikmatan tersebut dan merasakannya. Ia buta terhadap segala sesuatu selain Allah Swt; maka mereka tak melihat sesuatu pun selain-Nya dan tuli terhadap sesuatu pun selain-Nya. Bila kau lihat orang-orang semacam ini memasuki pasar, mereka akan berkata, ‘Kami tak melihat sesuatu pun, “Memang benar bahwa ia melihat segala sesuatu, akan tetapi ia hanya sekadar melihatnya dengan mata kepalanya, bukan dengan mata hatinya. Ia melihat semua itu dengan pandangan spontan yang sekilas, dan bukan pandangan syahwat. Pandangan kemasan, bukan pandangan makna. Pandangan lahiriah, bukan pandangan batiniah. Dengan zhahirnya ia melihat semua yang ada di pasar, namun hatinya hanya melihat Tuhan—kadang-kadang pada keagungan-Nya dan kadang-kadang pada Kemurahan-Nya.

 

“Ada pula yang, ketika memasuki pasar, hatinya penuh dengan kasih sayang kepada orang di dalamnya karena Allah Swt. Rasa kasih sayang ini pun membuatnya bertafakkur dalam melihat hal-hal milik orang-orang ini dan yang di hadapan mereka. Orang semacam ini senantiasa, sejak masuk hingga keluar dari pasar, berdoa dan memohon perlindungan dari Allah serta menjadi perantara bagi orang-orang di pasar dengan sikap penuh kasih sayang. Hatinya terbakar untuk mereka dan atas mereka (menguntungkan mereka dan mencegah kerugian mereka). Lidahnya senantiasa memuji Allah atas semua yang telah dianugerahkan padanya dari rahmat dan karunia-Nya. Orang semacam ini disebut pengawal-pengawal kota dan abdiabdi Allah. Atau, katakanlah orang ‘arif, badal, orang ‘alim Ayn Watd yang dicinta, juga murad wakil Allah di muka bumi untuk mengurusi hamba-hamba-Nya, duta serta pelaksana kebajikanNya yang berpetunjuk dan menunjukkan, serta yang berhidayah dan membimbing. Semoga ridha dan rahmat Allah senantiasa terlimpah bagi mereka dan bagi setiap orang mukmin murid Allah Azza wa Jalla hingga puncak maqam.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya-berujar, “Terkadang Allah memperlihatkan pada wali-Nya cela-cela orang lain, kebohongannya dan kesyirikannya dalam berlaku, berbicara, niat, dan pikirannya. si waliyullah pun dibuat amat cemburu akan Tuhannya, nabi dan agama-Nya. Lalu, meledaklah kemarahan batinnya, diikuti dengan zhahirnya. Bagaimana orang tersebut menganggap dirinya suci dan selamat dengan segala cela dan kebobrokan lahir-batinnya? Bagaimana ia menyatakan ketauhidan dengan tetap menggenggam kesyirikan, sedangkan syirik adalah kekafiran yang menjauhkan dari kedekatan kepada al-Haqq ‘Azza wa Jalla, dan syirik termasuk sifat musuh dan setan yang terkutuk, serta orang orang munafik yang kelak dicampakkan ke dasar neraka terbawah dan tinggal selamanya di sana?

 

“Selanjutnya, mengalirlah dari mulut sang wali paparan cela-cela orang tersebut sekaligus tindakan-tindakan nista dan kejinya dengan segala pengakuannya sebagai seorang shiddiq, juga ambisinya menyamai orang-orang yang telah fana melebur dalam takdir Allah ‘Azza wa Jalla dan tindakan-Nya. Kadang-kadang dikarenakan kecemburuan akan keagungan Allah Azza wa Jalla. Kadang-kadang karena menolak orang palsu seperti itu, dan sebagai teguran baginya. Dan, terkadang karena kemahakuasaan kehendak dan kemurkaan-Nya terhadap pendusta.

 

“Dalam hal ini, sang wali Allah dipersilakan untuk mengumpatnya. Namun, ada pertanyaan, ‘Bolehkah para wali mengumpat seseorang? Bisakah mereka memerhatikan seseorang, tak hadir atau hadir, dan hal-hal yang asing bagi orang-orang yang berkedudukan?’

 

“Pengingkaran dan penolakan semacam ini lebih berhak dialamatkan pada mereka (para pengadu palsu kewalian), sebagaimana firman Allah, ‘Dosa keduanya lebih besar daripada manfaat keduanya.’ (QS. al-Baqarah [2]: 219).

 

“Secara zhahir, sang wali memang mengingkari, namun tidak secara batin, sebab pengingkaran di dalam batin sudah merupakan bentuk pemurkaan dan pembangkangan tersendiri terhadap Tuhan Azza wa Jalla.

 

“Oleh karena itu, mereka seharusnya berdiam diri dalam keadaan-keadaan semacam itu, tunduk dan berupaya mendapatkan keabsahan-Nya, tak berkeberatan terhadap kehendak-Nya dan wali-Nya yang mencerca pernyataanpernyataan si palsu. Jika ia bersikap demikian, maka ia mampu mencabut akar-akar kekejian dari dirinya dan dipandang sebagai kembalinya dari kejahilan dan kebiadabannya. Hal itu bagai serangan atas nama sang wali, dan juga menguntungkan si pongah yang berada di tepi jurang kehancuran, karena kepongahan dan ketakpatuhannya. ‘Dan, Allah menunjuki siapa yang dikehendakiNya ke arah jalan yang lurus.” (QS. an-Nuur [24]: 46).

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannyaberujar, “Hal pertama yang mesti diperhatikan oleh orang yang berakal adalah sifat diri dan bangunannya, baru kemudian seluruh makhluk dan ciptaan, demi mencapai pengetahuan tentang Penciptanya. Sebab, ciptaan menunjukkan Penciptanya, dan di dalam qudrat (kekuasaan) terkandung pula tanda yang menunjukkan Pelaku Yang Maha Bijaksana. Adanya makhluk menunjukkan adanya al-Khaliq, karena keberadaan semua makhluk itu lantaran ada yang menciptakannya.

 

“Inilah makna pernyataan yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas Ra. dalam ulasannya tentang firman Allah, ‘Dan, Dia jadikan untukmu segala yang di langit dan yang di bumi.’ (QS. alJaatsiyah [45]: 13), tuturnya, ‘Dalam setiap sesuatu itu tersirat satu sifat di antara sifat-sifat Allah dan dalam setiap nama itu tersirat satu tanda untuk salah satu di antara nama-nama-Nya.’”

 

“Dengan demikian, pasti kamu ada dalam salah satu di antara nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatan-Nya. BatinNya tampak melalui kuasa-Nya dan zhahir-Nya tampak melalui kebijaksanaan-Nya. Dia tampak di dalam sifat-sifat-Nya dan sifatsifat-Nya terpelihara di dalam perbuatan-perbuatan-Nya. Dia menampakkan ilmu-Nya melalui iradat-Nya dan Dia menyatakan iradat-Nya di dalam gerak-Nya. Dia menyembunyikan kemahiran dan kebijaksanaan-Nya, dan menyatakan kemahiran dan kebijaksanaan-Nya melalui iradat-Nya. Maka, Dia tersembunyi di dalam gaib-Nya dan tampak di dalam kebijaksanaan dan kekuasaan-Nya. Firman Allah, ‘Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat? (QS. asy-Syuura [42]: 11).

 

“Sesungguhnya, banyak rahasia-rahasia ilmu keruhanian di dalam kenyataan ini yang tidak diketahui oleh orang-orang yang tidak memiliki sinar keruhanian di dalam hatinya. Ibnu Abbas mendapatkan ilmu itu berkat doa Nabi Muhammad Saw., untuknya. Doa Nabi, ‘Ya Allah, berilah ia pengetahuan tentang agama dan ajarlah ia pengertian tentang al-Qur‘an.

 

“Semoga kita mendapatkan limpahan karunia-Nya dan dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang mendapatkan rahmat-Nya di Hari Kebangkitan kelak.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya-berujar, “Wasiat saya, ‘Bertakwalah kepada Allah, taatilah Dia, milikilah kesucian hati, kendali diri, kebiasaan memberikan hal-hal bermanfaat. Jauhkanlah penderitaan dan kemiskinan, jagalah kesucian ruhani, bergaullah dengan sesamamu, nasihatilah kaum muda dengan kebaikan, jauhilah permusuhan dengan sahabat, jauhilah pula mereka yang salik, dan bertolong-tolonganlah dalam hal-hal agamis dan duniawi.’

 

“Hakikat kefakiran adalah ketika kau tidak membutuhkan pada sesamamu. Hakikat kekayaan adalah ketakbutuhanmu akan ciptaan.

 

“Tasawuf tidak dipelajari dan diambil dengan desas-desus kata, melainkan dengan kelaparan dan pematangan diri dari halhal yang disukai dan dihalalkan. Kefakiran dimulai dengan ilmu, sementara tasawuf dengan kelembutan. Jika ilmu menganggap buas (kefakiran), maka kelembutan membuatnya sebagai teman yang jinak.

 

“Tasawuf dibangun di atas delapan laku:

 

  1. kemurahan Nabi Ibrahim As.;
  2. ridha Nabi Ishaq;
  3. kesabaran Nabi Ayyub;
  4. isyarat Nabi Zakariya;
  5. kesepian Nabi Yahya;
  6. busana bulu domba Nabi Musa;
  7. langlang buana Nabi Isa; dan
  8. kefakiran Nabi Muhammad Saw.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya-berkata, “Aku mewasiatimu agar engkau bergaul dengan orang kaya, dengan cara memuliakan mereka; dengan orang-orang fakir dengan cara berendah hati. Hendaklah kamu rendah hati dan ikhlas. Itu semua, menjadikan pandangan Allah terhadapmu abadi. Janganlah engkau mengaitkan dengan Allah dalam hal sebab-akibat. Bersikap menerimalah dalam setiap kondisi. Dan, janganlah engkau buang rasa cinta yang merupakan hak saudaramu sebagai andalan dalam hubunganmu dengan saudaramu.

 

“Hendaklah engkau bersahabat dengan orang-orang fakir melalui sikap tawadhu’, akhlak yang baik, serta dermawan. Matikan hawa nafsumu, sehingga ia hidup kembali. Makhluk yang paling dekat kepada Allah adalah ia yang paling luas akhlaknya. Sebaik-baik amal perbuatan adalah menjaga hati agar tidak berpaling kepada selain Allah.

 

“Hendaklah engkau saling menasihati dengan kebenaran dan kesabaran. Cukup bagimu melakukan dua hal saja di dunia ini; bersahabat dengan orang fakir dan melayani wali. Adapun orang fakir adalah ia yang tidak membutuhkan selain Allah Ta‘ala.

 

“Ketergantunganmu kepada orang yang di bawahmu adalah kelemahan, kepada orang yang di atasmu adalah kesombongan. Dan, kepada orang yang setara denganmu itu adalah akhlak yang buruk.

 

“Kefakiran dan tasawuf semuanya itu berat, maka janganlah engkau mencampurkan keduanya dengan kecerobohan meski sedikit. Semoga Allah memberi taufiq kepada kita dan kalian semua.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya-berujar, “Wahai sang wali! Senantiasalah berdzikir mengingat Allah, sebab dzikir membawa kebaikan. Juga berpegang teguhlah pada tali Allah, sebab hal itu menjauhkan segala kemudharatan. Dan, bersiap sedialah menghadapi segala ketentuan-Nya, sebab hal-hal itu mesti terjadi dan keridhaan menerimanya tentu bermanfaat. “Ketahuilah bahwa kau akan ditanya tentang gerak-gerikmu. Selamatkanlah anggota tubuhmu dari ketidakbergunaan. Wajiblah bagimu menaati Allah, Rasul-Nya, dan mereka yang mesti ditaati. Pikirkanlah kaum muslim, dan jangan berburuk niat kepada mereka, entah dalam hati, ucapan, atau tindakan.

 

“Doakanlah orang yang telah menzhalimimu, dan takwalah kepada Allah Yang Maha Kuasa lagi Maha Agung. Wajib bagimu makan segala yang dihalalkan, dan bertanyalah tentang yang tak kau ketahui, kepada orang yang memiliki makrifat. Berbaiklah senantiasa terhadap Allah Yang Maha Kuasa lagi Maha Agung. Bersamalah dengan-Nya. Bersamalah dengan selain-Nya, sepanjang dibutuhkan untuk bersama-Nya.

 

“Bersedekahlah di kala pagi. Berdoalah di malam hari bagi muslim yang meninggal. Ucapkanlah tujuh kali di pagi hari dan sore hari, ‘Allahumma ajirna min an-nar (Ya Allah! Lindungilah kami dari api neraka.)’ Juga berdoalah selalu, ‘A‘udzu bi Allah asSami‘ al-‘Alim min asy-syaitan ar-rajim (Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari Setan yang terkutuk).’

 

“Lalu, agungkanlah Dia dengan ayat-ayat terakhir surat alHasyr, ‘Dia-lah Allah Yang tiada ilah (yang berhak disembah) selain Dia, Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dia-lah Allah Yang tiada ilah (yang berhak disembah) selain Dia, Raja Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Nama-Nama Yang Paling baik. Bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan, Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana: (QS. al-Hasyr (59): 22-24). Dan, Allah Maha Pemberi Taufiq lagi Maha Penolong, Tidak ada daya upaya dan kekuatan selain lantaran Allah Yang Maha Luhur lagi Maha Agung.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannya- berujar, “Bersama-samalah dengan Allah seolah-olah tiada makhluk ciptaan lagi (di sekitarmu). Bersamalah dengan makhluk ciptaan tanpa (sertaan) nafsu diri. Jika kau bersama Allah ‘Azza wa Jalla tanpa ciptaan (baca: mengacuhkannya), maka kau telah mentauhidkan Allah dan lebur fana’ dari segalanya. Dan, jika kau bersama makhluk tanpa (sertaan) nafsu diri, maka kau telah berlaku adil dan selamat dari efek-efek samping (pergaulan). “Tinggalkanlah segala sesuatu di luar pintu khalwatmu dan masuklah pintu ‘uzlah sendiri, niscaya akan kau lihat teman (pendamping)-mu dalam khalwat dengan mata nurani, akan kau saksikan pula pemandangan yang tidak kasat mata, nafsu akan mencair lenyap berganti perintah Allah dan kedekatan-Nya.

 

Jadilah ketidaktahuanmu menjadi tahu, kejauhanmu menjadi dekat, kediamanmu menjadi dzikir, dan kebuasanmu menjadi jinak.

 

“Ingat! Tidak ada siapa-siapa lagi selain Sang Khaliq dan makhluk. Jika kau pilih Sang Khaliq, maka katakanlah pada makhluk, ‘Sesungguhnya, mereka adalah musuh-musuhku, kecuali Tuhan semesta alam.” (Q.S. asy-Syu‘araa’ (26): 77).

 

SELANJUTNYA, Syekh—semoga Allah meridhai dan meridhakannya—berujar, “Barang siapa telah merasakannya, maka ia tentu mengetahuinya. Ada seseorang yang bersikeras menyangkal, ‘Bagaimana seseorang yang telah dilanda kepahitan kuningnya bisa menemukan kelezatan rasa?”

 

Syekh menjawab, “Ia bekerja melenyapkan segenap syahwat kesenangan dari dalam hatinya.

 

“Camkan! Ketika seorang mukmin berbuat kebajikan, maka nafsunya akan berubah menjadi hati, lalu hati itu akan berubah menjadi nurani (sirr), selanjutnya nurani berubah menjadi fana’ (melebur), dan fana’ pun akhirnya berubah lagi menjadi sesuatu yang mewujud.”

 

KEMUDIAN, Syekh—semoga Allah meridhai dan meridhakannya—berujar, “Para kekasih Allah (al-ahbab, orang-orang shalih) senantiasa diidamkan oleh setiap pintu.

 

“Camkan! Fana’ (peleburan) diri adalah (proses) penafian seluruh makhluk dan pematangan tabiat (manusia) menjadi tabiat malaikat, kemudian luruh dari tabiat malaikat, hingga mencapai al-Minhaj al-Awwal (Hulu Awal = Hadirat Allah). Di sana Tuhan menyiramimu sesuka-Nya serta menanamimu sesuka-Nya.

 

“Jika kau menghendaki peringkat ini, maka Islam-lah, kemudian istislam (menyerahkan diri pada kehendak Allah), lalu ketahuilah Allah (‘ilm), lantas kenalilah (ma‘rifah), kemudian mewujudlah bersama-Nya. Ketika wujud kedirianmu sudah kau persembahkan untuk-Nya, maka praktis seluruh jati dirimu (kull menjadi milik-Nya. “Zuhud adalah amal sesaat, begitu juga wira’i (wara). Namun, makrifat adalah amal selamanya.”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannyaberujar, “Kalangan ahli mujahadah, muhasabah, dan kaum ulul ‘azmi (empu-empu pemilik ketabahan dan kesabaran tinggi) memiliki sepuluh perangai yang telah mereka terapkan pada diri mereka. Dan, ketika mereka telah melaksanakan dan menyempurnakannya, maka insya Allah mereka akan dibawa-Nya menuju tempat-tempat yang mulia. “Pertama, tidak bersumpah dengan-Nya, entah benar atau tidak, entah sengaja atau tidak. Sebab, bila hal ini termapankan, dan lidah terbiasa dengannya, maka hal ini membawanya pada suatu kedudukan, yang di dalamnya ia mampu menghentikan bersumpah dengan sengaja atau tidak.

 

“Jika ia membiasakan hal demikian, maka Allah membukakan baginya pintu nur-Nya. Hatinya tahu manfaat ini, kedudukannya termuliakan, langkah dan kesabarannya terkuatkan. Maka, dipujilah dan dimuliakanlah ia di tengah-tengah tetangga dan sahabatnya, sehingga yang tahu ia menghormatinya, dan yang melihatnya takut kepadanya.

 

“Kedua, menghindar dari berbicara tak benar, entah serius atau bercanda. Sebab, bila ia melakukan dan mengukuhkan hal ini pada dirinya sendiri, dan lidahnya terbiasa dengannya, maka Allah membuka dengannya hatinya, dan menjernihkan dengannya pengetahuannya, sehingga ia tampak tak tahu kepalsuan. Bilaia mendengarnya dari orang lain, ia memandangnya sebagai noda besar, dan termalukan olehnya. Bila ia memohon kepada Allah agar menjauhkannya, maka baginya pahala

 

“Ketiga, menjaga janji. Sungguh, hal ini demikian menguatkannya, sebab mengingkari janji termasuk kepalsuan. Maka, terbukalah baginya pintu kemurahan, dan baginya kemuliaan, dan dicintailah ia oleh para shiddiq dan mulialah ia di hadapan Allah.

 

“Keempat, tidak mengutuk sesuatu makhluk pun, tak merusak sesuatu pun, meski sekecil atom pun, dan bahkan yang lebih kecil darinya. Sebab, hal ini termasuk tuntutan kebenaran dan kebaikan. Berlaku berdasarkan prinsip ini, memperoleh husnul khatimah di bawah naungan-Nya, Dia meninggikan kedudukannya, Dia melindunginya dari kehancuran, dan mengaruniainya kasih sayang dan kedekatan dengan-Nya.

 

“Kelima, tidak mendoakan keburukan bagi seorang pun, meski ia telah dizhalimi. Lidah dan geraknya tak mendendam, tetapi bersabar demi Allah. Hal ini membawanya pada kedudukan mulia di dunia dan di akhirat. Ia menjadi dicintai dan disayangi oleh semua penerima kebenaran, baik dekat maupun jauh.

 

“Keenam, tidak berpihak kepada kemusyrikan, kekafiran, dan kemunafikan mereka yang sekiblat. Sifat ini menciptakan kesempurnaan dalam mengikuti sunnah, dan amat jauh dari mencampuri pengetahuan Allah dan juga dari penyiksaan-Nya, dan amat dekat dengan ridha dan kasih sayang-Nya. Inilah pintu kemuliaan dan keagungan dari Allah Yang Maha Mulia, yang menganugerahkannya kepada hamba beriman-Nya sebagai balasan atas kasih sayangnya terhadap semua orang.

 

“Ketujuh, tidak melihat sesuatu kedosaan, baik lahiriah maupun batiniah. Mencegah anggota tubuhnya darinya, sebab hal ini merupakan suatu tindakan tercepat dalam membawa balasan bagi hati dan anggota tubuh di dunia dan pahala di akhirat. Semoga Allah menganugerahi kita daya untuk berlaku begini, dan menjauhkan kedirian dari hati kita.

 

“Kedelapan, tidak membebani seorang pun, entah dengan beban ringan atau berat. Tetapi, melepaskan orang dari beban, entah diminta atau tidak. Hal ini menjadikan hamba-hamba Allah dan para shalih mulia, dan memacu orang untuk beramar makruf nahi munkar. Hal ini menciptakan kemuliaan penuh bagi hamba-hamba Allah dan para shalih, dan baginya segenap makhluk tampak sama. Maka, Allah membuat hatinya tak butuh, yakin dan bertumpu pada Allah. Allah tak meninggikan seorang pun, bila masih terikat kedirian. Bagi orang semacam ini, semua makhluk memiliki hak yang sama, dan mesti diyakini bahwa inilah pintu kemuliaan bagi para mukmin dan para shalih, dan pintu terdekat pada keikhlasan.

 

“Kesembilan, bersih dari segala harapan insan, dan tak merasa tergoda hatinya oleh milikan mereka. Sungguh, inilah kemuliaan besar, ketakbutuhan sejati, kerajaan besar, pujian agung, kepastian nan tegar kepasrahan sejati kepada-Nya. Inilah pintu segala pintu kepasrahan kepada-Nya, yang memampukan orang meraih ketakwaan kepada-Nya, dan pencipta ketertarikan sempurna dengan-Nya.

 

“Kesepuluh, rendah hati. Dengan ini, sang hamba termuliakan dan sempurna di hadapan Allah (Maha Agung Dia) dan insan. Inilah sifat penyempurna kepatuhan, dan dengannya sang hamba meraih kebajikan di kala suka dan duka, dan inilah keshalihan nan sempurna. Rendah hati membuat sang hamba merasa rendah daripada orang lain. Ia berkata, ‘Mungkin orang ini lebih baik dariku di hadapan Allah, dan lebih tinggi kedudukannya.’ Mengenai orang kecil, sang hamba berkata, ‘Orang ini tak menentang Allah, sedangkan aku menentangNya; sungguh ia lebih baik dariku.’ Mengenai orang tua, sang hamba berkata, ‘Orang ini telah mengabdi kepada-Nya sebelum aku.’ Mengenai orang alim, sang hamba berkata, ‘Orang ini telah dianugerahi yang tak ada padaku, ia telah memperoleh yang tak kuperoleh, ia mengetahui yang tak kuketahui, dan ia bertindak dengan pengetahuan.’ Mengenai orang bodoh, sang hamba berkata, ‘Orang ini tak mematuhi-Nya karena tak tahu, dan aku tak mematuhi-Nya meski aku tahu, dan aku tak tahu akhir hayatku dan akhir hayatnya.’ Mengenai orang kafir, sang hamba berkata, ‘Entahlah, mungkin ia akan menjadi seorang muslim, dan mungkin aku akan menjadi tak beriman.’

 

“Inilah pintu kasih sayang dan ketakutan. Bila hamba Allah telah menjadi begini, maka Allah menyelamatkannya dari segala bencana, menjadikannya pilihan-Nya, dan menjadilah ia musuh iblis, sang musuh Allah. Keadaan ini menciptakan pintu kasih. Dengan mencapainya, pintu kebanggaan tertutup dan tali kesombongan diri terputus, dan cita keunggulan diri, agamis, duniawi dan ruhani tercampakkan. Inilah hakikat pengabdian kepada-Nya; tiada lagi yang sebaik ini. Dengan meraih keadaan ini, lidah terhenti menyebut insan dunia dan yang sia-sia, dan karyanya tak sempurna tanpa hal ini; kebencian, kepongahan, dan keberlebihan terhapus dari hatinya pada segala keadaan, lidahnya sama; orang baginya sama. Ia tak menegur seseorang dengan keburukan, sebab hal ini membencanai hamba-hamba Allah dan pengabdi-pengabdi-Nya, dan menghancurkan kezuhudan.”

 

KETIKA sang Syekh—semoga Allah meridhai dan meridhakannya- menghadapi sakaratul maut, salah seorang putranya, Abdul Wahab berkata kepadanya, “Ayahanda, wasiatkanlah padaku, apa yang mesti aku lakukan sepeninggal ayah?” Syekh berwasiat, “Bertakwalah kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan jangan takut kepada siapa-siapa selain Allah, juga jangan mengharap pada selain-Nya. Pasrahkan segala kebutuhan hanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Jangan bersandar kecuali hanya kepada-Nya. Mintalah segala sesuatu hanya dari-Nya dan jangan percaya dengan siapa pun selain Allah. Tauhid pengesaan adalah ijma‘ al-kull (kesepakatan bersama).”

 

SYEKH—semoga Allah meridhai dan meridhakannyaberujar, “Ketika hati telah murni (shahih) bersama Allah Azza wa Jalla, maka ia tidak sepi dari sesuatu, dan tidak ada pula sesuatu yang keluar daripadanya.”

 

Syekh kembali berujar, “Aku adalah biji tak berkulit.”

 

Tiba-tiba Syekh berkata pada anak-anaknya, “Jauhkan orang-orang yang ada di sekelilingku. Sesungguhnya, aku hanya bersama kalian secara zhahir saja, namun secara batin aku bersama selain kalian.” Tambahnya, “Orang selain kalian telah datang kepadaku. Berilah mereka tempat dan hormatilah mereka. Inilah rahmat agung. Jangan sesaki tempat mereka.” Kemudian Syekh berucap, “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh (Semoga salam kedamaian terlimpah pada kalian beserta rahmat Allah dan barakah-Nya). Semoga Allah mengampuni aku dan kalian. Juga menaubatkan aku dan kalian. Dengan nama Allah yang tak terselamattinggalkan!” Syekh terus berucap demikian selama sehari dan semalam. Pada hari kematiannya, Syekh berucap, “Celakalah kalian, aku tidak peduli pada apa pun, mau Malaikat Malik ataupun Malaikat Maut. Jangan biarkan seseorang mengurusi kami selainMu, Ya Allah!” ujar sang Syekh sembari menjerit keras. Kedua putra Syekh, Abdur Razaq dan Musa bercerita kepadaku (penulis), “Syekh mengangkat dan merentangkan kedua tangannya sembari berucap, ‘Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh (Semoga salam kedamaian terlimpah pada kalian beserta rahmat Allah dan barakah-Nya). Bertaubatlah dan masuklah ke dalam barisan. Ini aku! Datang kepada kalian!’ “Syekh selanjutnya berkata, ‘Lembutlah!’ untuk kemudian datanglah kebenaran dan sekarat maut.”

 

Syekh—semoga Allah meridhai dan meredakannya berujar, “Jarak antara aku dan kalian serta dengan segenap makhluk adalah sejauh jarak langit dan bumi. Jangan padanpadankan aku dengan siapa pun, dan jangan padan-padankan siapa pun denganku.”

 

Ketika Abdul Aziz menanyakan perih derita dan kondisinya, Syekh—semoga Allah meridhai dan meridhakannya—malah berucap, “Jangan ada seorang pun yang bertanya tentang sesuatu kepadaku. Aku tengah terbolak-balik dalam ilmu Allah Azza wa Jalla.”

 

Juga ketika ia menanyakan tentang sakitnya, sang Syekh malah menjawab, “Sakitku tak diketahui oleh siapa pun, juga tak terpikir oleh siapa pun, baik manusia, jin, ataupun malaikat selama ilmu Allah tidak berkurang dengan hukum Allah. Hukum berubah-ubah, sementara ilmu tidak berubah. Hukum bisa terhapus, sementara ilmu tak terhapus (nasakh). ‘Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh), (QS. ar-Ra‘d [13]: 39). ‘Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai-’ (QS. alAnbiyaa’ [21]: 23). Berita-berita sifat berlalu begitu saja sebagai

 

mana saat ia datang.”

 

Abdul Jabbar, putra Syekh lainnya, menanyakan, “Apa gerangan yang menyakitkan badan Ayahanda?!” Syekh menjawab, “Seluruh anggota badanku menyakitkanku, kecuali hatiku.

 

Ia tidak membawa keperihan apa-apa padaku. Ia sehat bugar bersama Allah Azza wa Jalla.”

 

Kemudian tatkala didatangi kematian, Syekh berucap, “Ista‘antu bi laa ilaaha illallaah Subhanahu wa Ta‘ala. Al-Hayy alladzi la yahsyal faut. Subhana man ta‘azzaza bil qudrah wa qahharal ‘idbad bil mawt. La ilaaha illallaah Muhammadur Rasulullah. (Aku memohon pertolongan dengan tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Suci lagi Maha Luhur. Sang Maha Hidup yang tidak takut akan ketinggalan. Maha Suci Zat yang kokoh dengan qudrat dan memaksa para hamba dengan kematian. Tiada tuhan selain Allah Muhammad adalah utusan Allah).”

 

Putra yang lain lagi, Musa menuturkan padaku bahwa Syekh mengucapkan lafal “ta‘azzaza” dengan logat yang kurang sehat. Syekh terus-menerus mengulanginya sampai-sampai beliau melafalkan “ta‘azzaza” dengan logat panjang dan berat, hingga lisannya mampu berucap baik. Selanjutnya, Syekh berkata, “Allah! Allah!” untuk kemudian suaranya mengecil dan lidahnya mengait dengan langit-langit tenggorokannya. Lalu, keluarlah nyawa sang Syekh yang mulia—semoga keridhaan Allah senantiasa terlimpah padanya.

 

Semoga Allah mengembalikan kita dari barakah-barakah-Nya serta menutup hidup kita dan segenap kaum muslimin dengan akhir kehidupan yang baik, lalu menyusulkan kita dengan orangorang shalih yang tidak memiliki duka cita atau terfitnah. Segala puji bagi Allah Tuhan sekalian alam. Berkat pertolongan dan karunia Allah.