Al-Ibanah An Usul al-Diyanah al-Imam al-Ashari

MUKADIMAH PENULIS

 

DENGAN menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

 

Segala puji bagi Allah yang Maha Esa, yang Maha Perkasa lagi Mahamulia, Maha Sendiri dengan keesaanNya, Mahatinggi dengan kemuliaan-Nya, yang tidak akan terjangkau oleh sifat-sifat hamba. Tidak memiliki penentang serta tidak pula memiliki tandingan.

 

Dialah yang Maha Memulai dan Dia pula yang Maha Mengembalikan, Maha Berbuat atas segala apa pun yang Dia kehendaki. Mahasuci dari memiliki pasangan dan anak. Mahakudus dari keserupaan dengan berbagai jenis makhluk dan segala bentuk nista. Tidak tergambarkan dan tidak terbatas.

 

Dia selalu tetap, sebagaimana sifat-Nya sebagai Maha Pertama lagi Mahakuasa, dan Dia senantiasa Maha Mengetahui lagi Maha Mengabarkan. Ilmu-Nya mengetahui segala sesuatu. Sebagaimana kehendak-Nya juga berlaku pada segala sesuatu. Tidak ada satu pun perkara tersembunyi yang luput dari-Nya. Meskipun waktu berubah, tidak akan bisa mengubah Dzat-Nya.

 

Dia tidak pernah mengalami keletihan dalam menciptakan sesuatu apa pun dari semua makhluk ciptaanNya. Sebagaimana Dia juga tidak pernah merasa lelah dan payah. Dia menciptakan segala sesuatu dengan kuasa-Nya dan Dia pula yang mengatur segala sesuatu dengan kehendak-Nya.

 

Dia menaklukkan segala sesuatu dengan kekuasaanNya, sebagaimana Dia juga menundukkan segala sesuatu dengan keperkasaan-Nya, sehingga orang-orang sombong menjadi hina dengan keagungan-Nya, sedangkan orang-orang yang mengagungkan-Nya tunduk pada keperkasaan rububiyah-Nya.

 

Orang-orang yang ragu tanpa kedalaman pengetahuan tentang-Nya akan terputus dari-Nya, semua hamba tunduk kepada-Nya. Sementara sifat malakut-Nya membuat orang cerdas berpikir. Dengan kalimat-Nya, tujuh langit menjadi tegak, bumi menjadi kokoh sebagai tempat tinggal, lalu gunung-gunung akan menetap, angin yang mengawinkan tumbuh-tumbuhan akan berembus, dan awan bergerak di langit.

 

Dengan batas-batas kalimat-Nya itu pula semua Jautan menjadi lestari. Dialah Tuhan yang Maha Menundukkan, semua orang yang merasa perkasa tunduk kepada-Nya, dan semua orang yang merasa tinggi tunduk pada-Nya, bahkan segenap alam semesta takluk kepada-Nya, baik secara suka rela maupun terpaksa.

 

Kami memuji Allah seperti Dia memuji diri-Nya sendiri, karena memang Allah pemilik segala pujian itu. Kami memuji Allah sebagaimana para pemuji senantiasa memberikan pujian kepada-Nya. Kami memohon pertolongan kepada Allah, sebuah pertolongan yang diberikan kepada orang yang memasrahkan segala pertolongan hanya dari-Nya. Kami pun memohon ampunan kepada Allah, seperti orang yang sedang mengakui dosa dan kesalahannya.

 

Kami bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya, sebagai ikrar atas sifat wahdaniyah-Nya, serta sebagai keikhlasan pada rububiyah-Nya, dan bahwa Dia adalah Maha Mengetahui segala yang terpendam di dalam hati kecil, yang tergulung di dalam rahasia. Maha Mengetahui segala yang disembunyikan oleh nafsu, segala yang tertutupi oleh lautan, terkubur di dalam segala lubang, dan yang dikandung oleh rahim.

 

Kalimat Allah itu tidak bertambah, segala sesuaty ada ukurannya. Tidak ada satu kalimat pun yang tertutup dari-Nva, tidak ada satu tujuan pun yang gaib dari-Nya, tidak ada satu daun pun yang jatuh kecuali Dia pastj mengetahuinya. Tidak ada satu butir biji pun di tengah kegelapan bumi, atau sesuatu yang basah, atau sesuatu yang kering kecuali semua itu ada di dalam Kitab Yang Nyata (kitab mubin).

 

Allah mengetahui segala yang dikerjakan oleh makhluk dan semua makhluk itu akan kembali kepada-Nya karena Dia tempat kembalinya segala sesuatu. Kami senantiasa memohon petunjuk kepada Allah agar mendapatkan hidayah, juga memohon taufik kepada-Nya agar terjauh dari segala godaan berupa keinginan dan kebutuhan.

 

Kami bersaksi bahwa Muhammad saw. adalah hamba sekaligus Rasul-Nya, sebagai Nabi dan kepercayaan-Nya di muka bumi, juga sebagai manusia yang disucikan olehNya. Dia mengutus Muhammad dengan seberkas cahaya yang cemerlang, pelita yang terang, pedoman yang jelas, bukti kebenaran yang gamblang, serta membekalinya dengan segala keajaiban berupa mukjizat.

 

Lalu Muhammad menyampaikan risalah kenabiannya kepada seluruh makhluk hidup, memberi nasihat kepada segenap manusia, mengajak berjihad di jalan Allah, lalu memberi nasihat kepada segenap manusia di penjuru dunia. Nabi Muhammad menuntaskan dakwah kepada manusia yang berwatak keras, demi menyampaikan perintah Allah, hingga segenap manusia tunduk kepada yang Mahabenar. Begitu seterusnya hingga ajal menjemput sang Nabi saw.

 

Dalam menjalankan perintah Allah tersebut, Nabi Muhammad tidak pernah menunda-nunda ataupun mengurangi. Semoga shalawat dari Allah senantiasa mengalir kepada beliau, panglima umat manusia yang membimbing manusia sampai kepada petunjuk Allah berupa hidayah, yang menghilangkan kesesatan dan kebutaan mereka. Semoga shalawat dan doa senantiasa tercurahkan kepada keluarga Nabi Muhammad yang baik, juga kepada para sahabat beliau, dan kepada ummahatul mu’minim, istri-istri Nabi yang suci.

 

Melalui Nabi Muhammad saw., Allah mengenalkan kita syariat dan hukum-hukum, segala yang halal dan yang haram. Melalui beliau pula, Allah swt. menjelaskan kepada kita syariat Islam. Dengan itu, terbukalah segala kegelapan sehingga semuanya menjadi terang-benderang.

 

Nabi Muhammad saw. datang ke muka bumi dengan kitab yang mulia, yaitu al-Quran yang terbebas dari kesalahan, dari awal hingga akhir ayatnya. Diturunkan dari Yang Mahabijaksana lagi Maha Terpuji, yaitu Allah swt. Di dalamnya terkandung semua ilmu dari orang terdahulu dan yang akan datang. Dengan Kitab itu beliau menyempurnakan segala kewajiban dalam agama ini. Itulah jalan Allah yang lurus dan tali Allah yang kuat. Siapa yang berpegang kepadanya pasti akan selamat dan siapa yang berselisih dengannya pasti akan sesat lalu terperosok ke dalam kebodohan.

 

Di dalam Kitab-Nya, Allah memerintahkan kita untuk berpegang kepada sunah Rasul, Allah berfirman,

 

“Apa yang diberikan Rasul kepada kalian, maka terimalah ia. Dan apa yang dilarangnya bagi kalian maka tinggalkanlah.” (QS. al-Hasyr [59]: 7)

 

Allah berfirman,

 

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. an-Nur [24]: 63)

 

Allah swt. berfirman,

 

“Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri),” (QS. An-Nisa’ [4]: 83)

 

Allah swt. berfirman,

 

“Tentang sesuatu apa pun kalian berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah.” (QS. Asy-Syura’ [42]: 10)

 

Allah berfirman,

 

“Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunah).” (QS. An-Nisa’ [4]: 59)

 

Maksud dari ayat ini adalah jika kalian berselisih, kembalilah kepada al-Quran dan sunah Nabi atau hadis Nabi.

 

Allah juga berfirman,

 

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya),” (QS. an-Najm [53]: 3-4)

 

Allah berfirman,

 

“Katakanlah, ‘Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku’.” (QS. Yunus [10]: 15)

 

Allah berfirman,

 

“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan RasulNya agar Rasul mengadili di antara mereka ialah ucapan, ‘Kami mendengar dan kami patuh’.” (QS. an-Nur [24]: 51)

 

Jadi, Allah telah memerintahkan mereka agar mendengarkan sabda Rasulullah saw. serta mematuhi perintahnya sekaligus tidak menentang perintah-perintahnya. Hal itu selaras dengan perintah Allah swt. dalam al-Quran yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya).” (QS. an-Nisa [4]: 4)

 

Allah juga telah memerintahkan mereka untuk mematuhi Rasulullah sebagaimana Dia telah memerintahkan mereka agar mematuhi-Nya. Allah juga menyeru mereka agar berpegang kepada sunah Nabi Muhammad saw., sebagaimana Dia memerintahkan mereka melaksanakan apa yang ada dalam al-Quran.

 

Namun sangat disayangkan, orang-orang yang telah dikendalikan oleh keburukan serta dirasuki setan mencampakkan sunah-sunah Rasulullah saw. dengan membelakanginya. Mereka lebih cenderung mengikuti ajaran-ajaran para pendahulu, melakukan taklid buta pada ajaran itu, bahkan mereka memeluk agama para pendahulu yang mereka yakini kebenarannya.

 

Mereka menolak dan membatalkan sunah-sunah Rasulullah saw., lalu mereka mengingkari dan membangkang terhadap sunah Rasulullah dengan cara berdusta atas nama Allah swt. Hal itu digambarkan dalam ayat yang berbunyi, “Sesungguhnya mereka telah sesat dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.” (QS. al-An’am [6]: 140)

 

Saya berpesan kepada kalian wahai hamba-hamba Allah, hendaklah kalian bertakwa kepada Allah, dan saya memperingatkan kalian akan bahaya dunia karena dunia ini manis dan hijau schingga ia dapat menipy serta memperdaya para penghuninya.

 

Allah berfirman,

 

“Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia adalah sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang di terbangkan oleh angin. Dan adalah Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. al-Kahfi [18]: 45)

 

Siapa yang berada dalam kebimbangan, dia akan mendapatkan pelajaran setelah dunia ini berakhir. Siapa saja yang memberi kesenangan secara batin kepada dunia, dunia akan menimpakan petaka kepadanya secara lahir. Semua yang ada di dalamnya adalah tipuan dan fana. Sesungguhnya semua yang ada di atasnya pasti musnah sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah dalam al-Quran, “Semua yang ada di atasnya (bumi) itu akan binasa.” (QS. ar-Rahm§n [55]: 26)

 

Oleh karena itu, wahai saudara-saudara yang dirahmati Allah, ketahuilah bahwa ada sebuah kehidupan yang langgeng, kekal, dan abadi selamanya. Sementara dunia ini akan musnah dan binasa. Yang tersisa hanya amal perbuatan yang akan menempel pada leher manusia. Artinya, amal perbuatan manusia itu akan sepenuhnya menjadi tanggungjawab mereka sendiri. Ketahuilah, sesungguhnya kalian akan mati dan setelah kematian itu kalian akan kembali kepada Tuhan kalian

 

Allah berfirman,

 

“Supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (surga).” (QS. an-Najm [53]: 31)

 

Oleh karena itu, wahai saudara-saudara seiman, jadilah orang yang senantiasa beramal dengan selalu taat kepada Allah swt, serta menjauhi segala larangan-Nya.

 

Kami menyatakan bahwa al-Ibanah ditulis di masa-masa awal setelah Imam Asy‘ari meninggalkan aliran Mu’tazilah (lebih dulu daripada al-Luma’) karena kitab ini memuat beberapa pendapat Imam Asy’ari yang dibangun di atas dasar-dasar yang baru dianutnya (Ahlusunnah wal Jama‘ah).

 

  1. FAUQIAH HUSAEIN MAHMUD

 

PROLOG

 

PENDAPAT ALIRAN SESAT DAN AHLI BID’AH

 

BANYAK dari kalangan Mu’tazilah dan Qadariyah yang menyimpang dari kebenaran. Mereka terseret hawa nafsu untuk bertaklid kepada para pemimpin dan pendahulu mereka. Mereka menafsirkan (takwil) al-Quran berdasarkan pendapat semata dengan penafsiran yang tidak Allah ajarkan. Cara penafsiran (takwil) mereka tidak mempunyai dasar hukum yang jelas dalam al-Quran ataupun sunah.

 

Cara mereka menafsirkan tersebut tidak berdasar pada hadis Nabi Muhammad saw., tidak pula berdasar pada pendapat ulama terdahulu. Mereka menentang pandangan para sahabat yang jelas bersumber dari Nabi Muhammad saw., perihal melihat Allah (di akhirat) dengan mata kepala. Padahal riwayat mengenai itu sangat banyak jumlahnya dengan berbagai jalur periwayatan mutawatir.

 

Selain itu, aliran ini juga mengingkari konsep syafaat dari Rasulullah saw. bagi para pelaku dosa. Mereka menolak semua sumber yang membenarkan adanya syafaat dari para ulama terdahulu. Mereka juga mengingkari keberadaan siksa kubur, begitu pula mereka mengingkari bahwa orang-orang kafir kelak akan mendapatkan siksa di dalam kubur mereka. Padahal, para sahabat dan tabi’in telah bersepakat terhadap kebenaran adanya siksa kubur.

 

Mereka berpendapat bahwa al-Quran adalah makhluk. Pernyataan itu serupa dengan pernyataan orang-orang musyrik yang berpendapat bahwa al-Quran adalah perkataan manusia. Seperti halnya yang tertuang dalam al-Quran,

 

“Ini tidak lain hanyalah perkataan manusia.” (QS. al-Muddatstsir [74]: 25)

 

Mereka berpendapat bahwa isi al-Quran itu seperti ucapan manusia biasa, bukan perkataan Tuhan.

 

Mengenai perbuatan buruk yang dilakukan oleh manusia, mereka berpendapat bahwa keburukan merupakan hal yang diciptakan sendiri oleh manusia. Pernyataan itu sama dengan apa yang dikatakan oleh penganut Majusi, bahwa ada dua pencipta: satu menciptakan kebaikan dan satu lagi menciptakan keburukan.

 

Kalangan Qadariyah berpendapat bahwa Allah menciptakan kebaikan, sedangkan setan menciptakan keburukan. Mereka juga berpendapat bahwa Allah menghendaki hal-hal yang ternyata tidak terjadi dan ada hal-hal terjadi yang tidak dikehendaki Allah. Padahal pendapat seperti itu bertentangan dengan apa yang telah menjadi ijmak kaum muslimin, bahwa segala sesuatu yang Allah kehendaki pasti terjadi dan segala yang tidak Allah kehendaki tidak mungkin dapat terwujud.

 

Mereka menolak firman Allah berikut ini,

 

“Kalian tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila Allah menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS al-Insan [76]: 30)

 

Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa kita tidak akan bisa menghendaki apa pun, kecuali jika Allah lebih dulu menghendaki apa yang kita kehendaki.

 

Ayat lain yang mendasari pernyataan bahwa Allah yang mengendalikan keinginan kita, tertuang dalam surat al-Baqarah,

 

“Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berbincang (langsung dengannya) dan sebagiannya Allah meninggikan beberapa derajat. Kami berikan kepada Isa putera Maryam beberapa mukjizat serta Kami perkuat dia dengan Ruhul Qudus. Kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan, tapi mereka berselisih. Maka ada di antara mereka yang beriman dan ada (pula) di antara mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi, Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (QS. al-Baqarah [2]: 253]

 

Dalam surat as-Sajdah Allah menyebutkan,

 

“Jikalau Kami menghendaki, niscaya akan Kami berikan petunjuk kepada tiap-tiap jiwa, tapi telah tetaplah perkataan-Ku, ‘Sesungguhnya Aku akan penuhi neraka jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama.’” (QS. as-Sajdah [32]: 13)

 

Serta firman-Nya dalam surat al-Burdj,

 

“Maha Berbuat apa pun yang Dia kehendaki.” (QS. al-Burdj [85]: 16)

 

Selain itu, Allah juga telah menjelaskan bahwa Diri-Nya lah yang mengendalikan Nabi Syu’aib untuk kembali pada-Nya,

 

“Sungguh kami mengada-adakan kebohongan yang benar terhadap Allah, jika kami kembali kepada agamamu, sesudah Allah melepaskan kami dari padanya. Tidaklah patut kami kembali kepadanya, kecuali jika Allah, Tuhan kami menghendaki(nya). Pengetahuan Tuhan kami meliputi segala sesuatu. Kepada Allah sajalah kami bertawakkal. Ya Tuhan kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil) dan Engkaulah Pemberi keputusan terbaik.” (QS. al-A’raf [7]: 89)

 

Dari rangkaian ayat di atas, wajar kiranya jika Rasullah saw. menyebut mereka sebagai Majusi-nya umat Islam. Sebab mereka beragama Islam, tapi keyakinannya seperti orang Majusi. Selain itu, mereka juga selalu berpendapat seperti pendapatnya orang-orang Majusi.

 

Mereka berpendapat bahwa kebaikan dan keburukan memiliki dua pencipta yang berbeda, sama seperti yang diyakini oleh kaum Majusi. Mereka juga berpendapat bahwa ada berbagai keburukan yang terjadi tanpa kehendak Allah, persis seperti yang dinyatakan oleh kaum Majusi.

 

Mereka juga berpendapat bahwa mereka mampu melakukan keburukan dan kebaikan untuk diri mereka sendiri tanpa dikaitkan dengan kuasa Allah swt.

 

Pernyataan sekaligus bentuk penolakan terhadap firman Allah kepada Nabi Muhammad saw. pada surat al-A’raf berikut ini,

 

“Katakanlah, ‘Aku tidak kuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudaratan kecuali yang dikehendaki Allah. Sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (QS. al-A’raf [7]: 188)

 

Pernyataan tersebut jelas merupakan bentuk penentangan terhadap al-Quran dan ijmak umat Islam. Mereka berpendapat bahwa mereka sendirilah yang berkuasa atas amal perbuatan mereka, bukan ketentuan Allah. Mereka menetapkan bahwa diri mereka tidak memerlukan Allah.

 

Mereka menganggap diri mereka sendiri sebagai pemilik kuasa, sedangkan mereka tidak menganggap Allah sebagai yang Mahakuasa. Hal ini sama dengan orang-orang Majusi yang meyakini bahwa setan memiliki kuasa untuk melakukan keburukan, sedangkan Allah tidak berkuasa atas keburukan yang dilakukan oleh setan.

 

Memang benar-benar nyata bahwa aliran Qadariyah adalah Majusinya umat Islam. Mereka beragama dengan keyakinan seperti keyakinannya kaum Majusi. Mereka berpegang pada pendapat-pendapat kaum Majusi serta cenderung kepada kesesatan. Mereka telah membuat umat manusia putus asa dari rahmat Allah swt. serta pupus harapan terhadap kasih sayang-Nya.

 

Mereka menetapkan bahwa semua pelaku maksiat itu pasti akan dimasukkan ke dalam neraka dan mereka akan kekal selama-lamanya di sana. Kesimpulan itu tentu saja bertentangan dengan firman Allah,

 

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Siapa saja yang mempersekutukan Allah, sungguh ia telah berbuat dosa yang besar (QS. an-Nisa’ [4]: 48)

 

Mereka berpendapat bahwa siapa pun yang Masuk ke dalam neraka tidak akan pernah dapat keluar kembali Keyakinan ini menyelisihi sebuah hadis dari Rasulullah yang menyatakan bahwa,

 

“Sesungguhnya Allah mengeluarkan suatu kaum dari neraka setelah mereka dibakar di sana sampai menjadi arang.”

 

Aliran ini juga menolak bahwa Allah mempunyai wajah, padahal Allah sendiri telah menyatakan dalam surat ar-Rahman,

 

“Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS. ar-Rahman [55]: 27)

 

Mereka juga mengingkari bahwa Allah mempunyai dua tangan, padahal Allah telah berfirman dalam surat Shad,

 

“Allah berfirman, ‘Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada (makhluk) yang telah Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang Uebih) tinggi?” (QS. Shad [35]: 75)

 

Mereka juga menolak bahwa Allah mempunyai mata, padahal Allah sendiri telah berfirman dalam surat al-Qamar,

 

“Yang berlayar dengan pemeliharaan (penglihatan) Kami sebagai belasan bagi orang-orang yang diingkari (Nuh).” (QS. al-Qamar [54]: 14)

 

Juga seperti yang disebutkan dalam surat Thaha,

 

“Letakkanlah ia (Musa) di dalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke sungai (Nil), pasti sungai itu membawanya ke tepi supaya diambil oleh (Fir’aun) musuh-Ku dan musuhnya. Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku; Dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku (‘aini).” (QS. Thaha [20]: 39)

 

Mereka mengingkari bahwa Allah mempunyai ilmu, padahal Allah telah berfirman dalam surat an-Nisa,

 

“(Mereka tidak mau mengakui yang diturunkan kepadamu itu), tetapi Allah mengakui al-Quran yang diturunkan-Nya kepadamu. Allah menurunkannya dengan ilmu-Nya; dan malaikat-malaikat pun menjadi saksi (pula). Cukuplah Allah yang mengakuinya.” (QS. an-Nisa [4]: 166)

 

Mereka juga menolak bahwa Allah memiliki kekuatan, padahal Allah telah berfirman dalam surat adz-Dzariyat,

 

“Sesungguhnya Allah Maha Pemberi rezeki, Yang mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (QS. adz-Dzariyat [51]: 58)

 

Mereka menafikan hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. berikut ini,

 

“Sesungguhnya Allah azza wa jalla turun setiap malam ke langit dunia.”

 

Mereka juga menolak banyak hadis lain yang diriwayatkan oleh para perawi tepercaya (tsigah) dari Rasulullah saw. .

 

Keyakinan seperti di atas juga dimiliki oleh Semua kelompok ahli bid’ah dari aliran lainnya, sepertj Jahmiyah, Murji’ah, Haruriyah, dan aliran Sesat Jain yang banyak melakukan bid’ah serta menyimpang dari Kitab Allah, sunah, dan ajaran yang dipegang teguh oleh Rasulullah, para sahabat, serta telah menjadi ijmak seluruh umat Islam. Sebagaimana hal itu juga dilakukan oleh golongan Mu’tazilah dan Qadariyah. Kami akan memaparkan semuanya bab demi bab, sedikit demi sedikit, insyaallah. Hanya dengan-Nya segala pertolongan dan dukungan saya dapatkan, sebagaimana juga hanya dari-Nya segala taufik dan bimbingan saya peroleh.

 

PENDAPAT ALIRAN YANG BENAR DAN AHLI SUNAH

 

JIKA ada seseorang yang mengatakan, “Kalian mengingkari pendapat Mu’tazilah, Qadariyah, Jahmiyah, Haruriyah, Rafidhah, dan Murjiah. Maka jelaskan pada kami pendapat dan ajaran agama yang kalian yakini kebenarannya itu!”

 

Katakan padanya: Pendapat yang kami yakini berasal dari al-Quran dan hadis, begitu pula keyakinan agama yang kami yakini, juga berasal dari sumber yang sama. Selain kedua sumber tersebut, kami juga meyakini apa yang diriwayatkan oleh para sahabat, tabi’in, dan para imam ahli hadis. Semua itulah yang kami pegang teguh. Kami juga meyakini apa yang dinyatakan oleh Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal semoga Allah menyinari wajahnya, mengangkat derajatnya serta melimpahkan pahala kepadanya.

 

Kami sependapat dengan Ahmad bin Hanbal, dan kami akan berselisih pendapat kepada siapa pun yang berselisih dengannya karena dia merupakan imam yang utama dan pemimpin yang sempurna. Darinya, Allah menjelaskan kebenaran, menghilangkan kesesatan serta dialah orang bisa menjelaskan manhaj yang kami yakini kebenarannya ini. Dialah imam yang menumpas segala praktik bid’ah yang diciptakan oleh para pembuat bid’ah, serta membasmi kesesatan yang diciptakan oleh orang-orang sesat, serta menghapuskan keraguan yang diciptakan oleh orang-orang yang ragu. Kami berdoa semoga Allah swt. melimpahkan rahmat kepadanya, semoga beliau selalu diagungkan dan dibanggakan, begitu juga kepada para imam-imam kaum muslim yang lainnya.

 

Secara ringkas, kami akan mengemukakan apa yang kami yakini, bahwa kami beriman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab-Nya, para rasul dan risalah yang mereka sampaikan dari Allah, serta hadis-hadis yang diriwayatkan oleh orang-orang yang terpercaya dari Rasulullah, tidak ada sedikit pun dari semua itu yang kami tolak. Kami juga mengakui bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha Esa, tiada Tuhan selain Dia, yang Mahatunggal, Tempat Bergantung, Dzat yang tidak berpasangan dan tidak pula beranak.

 

Kami juga mengakui bahwa Muhammad adalah hamba sekaligus Rasul-Nya yang diutus untuk membawa petunjuk dan agama yang benar. Surga itu benar adanya (haq) demikian juga neraka, sebagaimana disebutkan dalam al-Quran,

 

“Sesungguhnya hari kiamat itu pastilah datang, tak ada keraguan padanya; dan Allah membangkitkan semua orang di dalam kubur.” (QS. al-Hajj [22]: 7)

 

Kami juga meyakini bahwa Allah istiwa’ di atas Arasy sesuai dengan apa yang Dia katakan atau dengan makna yang Dia maksud. Istiwa’ yang suci dari persentuhan, konstan, pengambilan tempat, memasukinya, dan berpindah. Allah tidak dipikul oleh Arasy dan malaikat yang memikulnya, bahkan malaikat dan Arasy dipikul dan dijaga oleh kelembutan kuasa-Nya dan mereka dikuasi oleh kekuasaan-Nya.

 

Allah di atas Arasy, bahkan di atas segala sesuatu sampai di dasar bumi. Ketinggian-Nya tidak menambah dekat ke Arasy dan langit. Justru, derajat Allah Mahatinggi daripada Arasy, sebagaimana Allah Mahatinggi dari bumi. Meskipun demikian, Allah Mahadekat dengan segala yang maujud. Allah lebih dekat kepada hamba-Nya daripada urat nadi. Allah Maha Menyakiskan segala sesuatu.

 

Kami mengakui bahwa Allah memiliki wajah bi la kaif. sebagaimana Allah berfirman,

 

“Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS. ar-Rahman [55]: 27)

 

Kami meyakini bahwa Allah swt. memiliki dua tangan tanpa harus mempertanyakan gambaran tanganNya (bi la kaif) seperti apa, sebagaimana yang tertuang dalam ayat berikut,

 

“Allah berfirman, ‘Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?’” (QS. Shad [38]: 75)

 

Juga dalam surat al-Maidah ayat 64,

 

“Orang-orang Yahudi berkata, “Tangan Allah terbelenggu”, sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka. Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki. Dan al-Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sungguh-sungguh akan menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan di antara mereka. Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari kiamat. Setiap mereka menyalakan api peperangan Allah memadamkannya dan mereka berbuat kerusakan dimuka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan.” (QS. al-Maidah [5]: 64)

 

Kami meyakini bahwa Allah memiliki mata, tanpa harus mempertanyakan bagaimana bentuknya (bi la kaif), berdasarkan firman Allah,

 

“yang berlayar dengan pemeliharaan (pengawasan) Kami sebagai balasan bagi orang yang telah diingkari (kaumnya).” (QS. al-Qamar [54]: 14)

 

Kami juga mengakui bahwa siapa saja yang menganggap nama-nama Allah (asma Allah) merujuk pada selain-Nya, adalah sebuah bentuk kesesatan. Seperti yang tertera dalam al-Quran,

 

“(Mereka tidak mau mengakui yang diturunkan kepadamu itu), tetapi Allah mengakui al-Quran yang diturunkan-Nya kepadamu. Allah menurunkannya dengan ilmu-Nya, dan malaikat-malaikat pun menjadi saksi (pula). Cukuplah Allah yang mengakuinya. ” (QS. an-Nisa’ [4]: 166)

 

Dalam surat Fathir,

 

“Dan Allah menciptakan kamu dari tanah kemudian dari air mani, kemudian Dia menjadikan kamu berpasangan (laki-laki dan perempuan). Dan tidak ada seorang perempuan pun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya. Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu bagi Allah adalah mudah.” (QS. Fathir [35]: 11)

 

Allah mempunyai sifat melihat dan mendengar. Kami tidak menafikan sifat tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Mu’tazilah, Jahmiyah, dan Khawarij.

 

Kami juga meyakini bahwa Allah mempunyai kekuatan sebagaimana yang Allah firmankan,

 

“Adapun kaum ‘Ad maka mereka menyombongkan diri di muka bumi tanpa alasan yang benar dan berkata, ‘Siapakah yang lebih besar kekuatannya dari kami?’ Dan apakah mereka itu tidak memperhatikan bahwa Allah Yang menciptakan mereka adalah lebih besar kekuatan-Nya daripada mereka? Dan adalah mereka mengingkari tanda-tanda (kekuatan) Kami.” (QS. Fushshilat [41]: 15)

 

Kami berpendapat bahwa al-Quran bukanlah makhluk, karena Allah menciptakan segala sesuatu dimulai dengan kata “kun! (jadilah!)”, hal itu telah disampaikan dalam al-Quran. Allah swt. berfirman,

 

“Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya, ‘kun! (jadilah!)’, maka jadilah ia.” (QS. an-Nahl [16]: 40)

 

Kebaikan atau keburukan yang ada di dunia terjadi atas kehendak Allah. Seseorang tidak akan dapat melakukan apa pun sebelum Allah melakukannya, setiap orang pasti membutuhkan Allah dan kita tidak mungkin dapat keluar dari pengetahuan-Nya. Tidak ada Pencipta, kecuali Allah.

 

Segala amal para hamba adalah ciptaan Allah swt. yang telah ditakdirkan (maqddarah), sebagaimana yang Allah firmankan,

 

“Dia (Allah) menciptakan kalian dan apa yang kalian perbuat.” (QS. Ash-Shaffat [37]: 96)

 

Para hamba tidak memiliki kuasa untuk menciptakan sesuatu apa pun, alih-alih mereka yang diciptakan, sebagaimana Allah berfirman dalam surat Fathir, “Adakah pencipta selain Allah,” (QS. Fathir [35]: 3) dan dalam surat an-Nahl, ‘“Berhala-berhala itu tidak dapat membuat sesuatu apa pun, sedang berhala-berhala itu (sendiri) dibuat.” (QS. an-Nahl [16]: 20) Pada ayat sebelumnya Allah juga berfirman, “Maka apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan (apa-apa)?” (QS. an-Nahl [16] 17) Sementara dalam surat ath-Thur Allah juga berfirman, “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun atau. kah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?” (QS. ath-Thur [52]: 35) Selain ayat-ayat ini, Allah juga banyak berfirman dalam al-Quran yang memperkuat pendapat tersebut.

 

Allah memberi taufik kepada orang-orang mukmin untuk menaati-Nya, Dia bersikap lembut terhadap mereka, Dia melihat mereka, memperbaiki keadaan mereka, dan memberi mereka petunjuk. Sebagaimana Dia juga menyesatkan orang-orang kafir, tidak memberi mereka petunjuk, tidak bersikap lembut terhadap mereka dengan menganugerahkan keimanan, sebagaimana yang disangka oleh orang-orang sesat dan melampaui batas.

 

Kalau saja Allah menyayangi dan memperbaiki keadaan mereka, tentulah mereka menjadi orang-orang yang shalih. Seandainya Dia memberi petunjuk kepada mereka, tentulah mereka menjadi orang-orang yang mendapat hidayah. Allah swt. berfirman,

 

“Siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, dialah yang mendapat petunjuk; dan siapa yang disesatkan Allah, merekalah orang-orang yang merugi.” (QS. al-A’raf [7]: 178)

 

Allah mampu mengubah orang-orang kafir menjadi orang-orang yang shalih dan bersikap lembut terhadap mereka sehingga mereka menjadi orang-orang yang beriman. Akan tetapi, Allah menghendaki mereka menjadi orang-orang kafir sebagaimana yang Dia tahu. Allah menghinakan mereka serta mengunci hati mereka.

 

Sesungguhnya kebaikan dan keburukan merupakan ketentuan Allah serta ketetapan-Nya. Kami beriman kepada qadha dan qadar Allah yang baik ataupun yang buruk, yang manis ataupun pahit. Segala sesuatu yang ditetapkan untuk tidak menimpa kami pasti tidak akan mengenai kami. Segala sesuatu yang ditetapkan untuk menimpa kami pasti tidak akan meleset dari kami.

 

Para hamba tidak memiliki kuasa atas diri mereka sendiri, baik untuk menimpakan suatu keburukan maupun untuk memberi suatu manfaat, kecuali hanya apa yang telah dikehendaki dan diperbolehkan oleh Allah. Sebagaimana firman Allah swt.,

 

“Katakanlah (Muhammad), ‘Aku tidak kuasa mendatangkan manfaat ataupun menolak mudarat bagi diriku, kecuali apa yang dikehendaki Allah.’” (QS. al-A’raf [7]: 188)

 

Kami hanya dapat mengembalikan segala persoalan kami kepada-Nya, serta menetapkan bahwa setiap saat kami membutuhkan Allah swt.

 

Kami menyatakan bahwa al-Quran adalah firman Allah (kalamullah) yang bukan makhluk ciptaan Allah, Siapa saja yang mengatakan bahwa al-Quran adalah makhluk berarti dia telah kafir.

 

Kami meyakini bahwa Allah akan dapat dilihat dij akhirat dengan penglihatan mata kepala (abshar) seperti terlihatnya bulan pada malam purnama. Allah dapat dilihat oleh orang-orang mukmin, sebagaimana yang dinyatakan dalam berbagai riwayat dari Rasulullah, Orang-orang kafir akan terhalang dari kesempatan melihat Allah ketika orang-orang mukmin melihat-Nya di surga, sebagaimana firman Allah,

 

“Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka.” (QS. al-Muthaffifin [83]: 15)

 

Nabi Musa as. memohon kepada Allah agar dapat melihat-Nya di dunia, tapi ketika Allah bertajalli kepada gunung, gunung tersebut hancur. Dengan demikian, Nabi Musa as. pun menyadari bahwa dia tidak akan mampu melihat Allah di dunia.

 

Kami tidak akan mengafirkan seorang pun dari kalangan Ahlul Qiblah (kaum muslimin) karena suatu dosa yang dia lakukan, seperti zina, mencuri, dan minum khamar. Sementara orang-orang Khawarij menganggap mereka (para pelaku dosa) kafir.

 

Siapa yang melakukan salah satu di antara dosa-dosa besar seperti zina, mencuri, dan sebagainya, dengan keyakinan bahwa perbuatan tersebut halal dan tidak meyakini keharamannya, orang tersebut tergolong kafir.

 

Makna Islam lebih luas dari pada iman, tidaklah setiap Islam adalah iman. Allah membolak-balikkan hati, dan hati manusia berada di antara dua jari dari jemari Allah. Allah meletakkan lapis-lapis langit di atas satu jari dan lapis-lapis bumi di atas satu jari yang lain, sebagaimana yang dinyatakan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. tanpa penjelasan bagaimana hal itu terjadi (min ghairi takyif).

 

Kami tidak menetapkan seorang pun dari kalangan ahli tauhid (kaum muslimin) dan orang-orang yang berpegang pada keimanan, bahwa dia masuk surga atau masuk neraka, kecuali mereka yang dijamin oleh Rasulullah masuk surga. Kami mengharap agar orang-orang yang berdosa dimasukkan ke dalam surga dan kami takut mereka mendapat siksa dalam neraka. Semoga Allah menyalamatkan kita dari siksa nereka melalui syafaat nabi Muhammad saw.

 

Allah mengeluarkan suatu kaum dari neraka dengan syafaat Muhammad Rasulullah setelah mereka hangus terbakar. Hal ini merupakan bentuk pembenaran terhadap hadis-hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah.

 

Mengimani akan adanya siksa kubur, telaga nabi (haudh), timbangan amal (mizan), titian (shirath), dan kebangkitan setelah kematian adalah benar adanya, Allah Azza wa Jalla akan menempatkan para hamba dj suatu tempat lalu Dia akan menghisab amal perbuatan mereka. Iman adalah perkataan dan perbuatan, iman dapat bertambah dan berkurang.

 

Kami menerima semua riwayat sahih yang menyatakan tentang hal itu yang bersumber dari Rasulullah, semuanya diriwayatkan oleh orang-orang terpercaya (tsiqah), oleh seorang perawi adil dari seorang perawi adil yang lain (‘adlun ‘an ‘adlin), sampai riwayat itu bermuara pada Rasulullah saw.

 

Mencintai para ulama terdahulu yang telah Allah pilih untuk bisa dekat dengan Nabi-Nya saw. Kami memuji mereka sebagaimana pujian yang telah Allah berikan kepada mereka serta kami jadikan mereka semua sebagai panutan kami.

 

Kami menyatakan bahwa imam yang paling utama setelah Rasulullah adalah Abu Bakar ash-Shiddiq ra., melalui dirinya Allah memuliakan agama ini dan mengunggulkannya atas orang-orang murtad. Kaum muslimin mengajukannya sebagai khalifah sebagaimana Rasulullah mengajukannya sebagai imam shalat. Mereka menyebut Abu Bakar sebagai khalifah Rasulullah saw. Kemudian Umar bin Khaththab ra., Utsman bin Affan ra.—orang-orang yang membunuh Utsman telah berbuat zalim dan sewenang-wenang—dan terakhir Ali bin Abi Thalib ra. Mereka semua adalah para pemimpin setelah Rasulullah saw. dan kepemimpinan mereka mereka adalah Khilafah Nubuwwah (pengganti Nabi saw.).

 

Kami bersaksi atas masuk surganya sepuluh orang yang Rasulullah telah jamin. Kami loyal pada semua sahabat Rasulullah dan kami tidak mengomentari perselisihan yang terjadi di antara mereka. Kami meyakini imam yang empat (al-Khulafa ar-Rdsyidiin) adalah para Khalifah yang lurus, mendapat petunjuk, dan orang-orang istimewa. Keutamaan mereka tidak dapat ditandingi oleh selain mereka.

 

Kami memercayai semua riwayat sahih yang dinyatakan tsabit (kuat) oleh para perawi tentang turunnya Allah ke langit dunia lalu berfirman, “Apakah ada yang memohon, apakah ada yang meminta ampunan?” Kami juga percaya pada semua riwayat yang dinukil para perawi dan mereka nyatakan tsabit, termasuk riwayat yang menyelisihi apa yang dinyatakan oleh orang-orang yang menyimpang dan sesat. Mengenai hal-hal yang kami perselisihkan, kami mengembalikannya kepada al-Quran, sunah Nabi saw., ijmak kaum muslimin, dan perkara yang dihukumi sama (qiyas).

 

Tidak membuat bid’ah dalam agama Allah karena Allah tidak mengizinkan untuk melakukannya. Kami tidak berkata tentang Allah dengan sesuatu yang tidak kami ketahui. Kami menyatakan bahwa Allah akan datang pada hari kiamat seperti firman Allah dalam surat al-Fajr, “Datanglah Tuhanmu, sedang pada saat itu malaikat berbaris-baris.” (QS. al-Fajr [89]: 22)

 

Allah berada dekat dengan hamba-Nya, dengan kedekatan yang Allah sendiri kehendaki, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya, “Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaf [50]: 16) Juga dalam surat an-Najm, “Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi. Jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi).” (QS. an-Najm [53]: 16)

 

Kami melaksanakan shalat Jumat, shalat Hari Raya, dan segenap shalat lainnya secara berjamaah dengan bermakmum kepada imam yang ada (baik yang berperangai mulia maupun yang durjana). Sebagaimana yang telah diriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra. bahwa dia pernah melaksanakan shalat dengan bermakmum di belakang Abu Muhammad al-Hajjaj.

 

Kami meyakini bahwa mengusap sepasang setiwel (khuf) adalah sunah Rasulullah, baik saat di rumah maupun saat dalam perjalanan. Kami tak sependapat dengan pernyataan orang-orang yang mengingkari hal tersebut.

 

Doa harus dipanjatkan untuk para pemimpin kaum muslimin agar mereka mendapatkan kebaikan dan keteguhan dalam kepemimpinan mereka. Kami pun memandang sesat orang yang membelot dari mereka (para pemimpin), sekalipun mereka menunjukkan sikap yang tidak istiqamah.

 

Kami meyakini untuk tidak membelot terhadap para pemimpin dengan pedang, sebagaimana kami juga tidak akan melakukan peperangan di tengah gelombang fitnah. Kami pun membenarkan kemunculan Daijjal, sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. Kami berlindung kepada Allah dari fitnah Daijal.

 

Kami mengimani adanya siksa kubur, malaikat Munkar dan Nakir serta pertanyaan yang mereka ajukan kepada orang-orang yang telah dimakamkan di liang kubur mereka masing-masing. Kami memercayai hadis Isra’ Mi’raj dan kami juga membenarkan bahwa setiap mimpi dalam tidur memiliki tafsir.

 

Kami membolehkan sedekah atas nama orang-orang muslim yang sudah meninggal dunia dan mendoakan mereka. Kami juga mengimani bahwa Allah memberikan manfaat kepada orang-orang muslim yang sudah meninggal itu dengan wasilah sedekah dan doa (dari yang masih hidup). Tukang-tukang sihir dan ilmu sihir itu memang benar-benar ada di dunia ini. Kami meyakini untuk melaksanakan shalat (jenazah) terhadap siapa pun yang meninggal dunia dari kalangan Ahlul Qiblah (kaum muslimin yang berperangai baik atau yang buruk) dan menetapkan adanya hukum waris di antara mereka,

 

Surga dan neraka kami yakini keduanya sebagaj ciptaan Allah. Setiap orang yang mati atau terbunuh, sesungguhnya ia mati atau terbunuh karena memang ajalnya sudah tiba. Semua rezeki berasal dari Allah yang dianugerahkan kepada hamba-hamba-Nya, baik yang halal maupun yang haram.

 

Kami juga meyakini setan selalu mengganggu manusia, mengembuskan keraguan, serta ia dapat merasuki manusia. Keyakinan ini menyelisihi pendapat kelompok Mu’tazilah dan Jahmiyah. Sebagaimana Allah berfirman,

 

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (QS. al-Baqarah [2]: 275)

 

Juga seperti firman Allah dalam surat an-Nas,

 

“Dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari jin dan manusia.” (QS. an-Nas [114]: 4-6)

 

Di antara orang-orang yang shalih ada yang Allah beri keistimewaan dengan berbagai bentuk tanda-tanda kebesaran-Nya yang Dia munculkan pada mereka (karamah).

 

Kami berpendapat bahwa anak-anak orang-orang musyrik di akhirat akan Allah uji dengan api, Allah berfirman kepada mereka, “Masuklah kalian ke dalamnya!”, sebagaimana hal itu dinyatakan dalam sebuah riwayat. Kami meyakini bahwa Allah mengetahui apa yang dilakukan oleh hamba-hamba-Nya, akan menjadj apa mereka nanti, dan (Allah mengetahui) semua yang telah terjadi, semua yang sedang terjadi, serta semua yang tidak terjadi, tentang bagaimana seandainya itu terjadi, dan seperti apa kejadiannya. .

 

Kami juga taat kepada para pemimpin dan memberikan nasihat kepada sesama kaum muslimin. Kami memisahkan diri (mufdraqah) dari setiap orang yang mengajak pada bid’ah serta menjauhi para pengikut hawa nafsu. Kami akan sampaikan argumentasi seputar apa yang telah kami sebutkan tadi dan apa yang belum kami sebutkan, bab demi bab dan sedikit demi sedikit, insyaallah.

 

BAB I MELIHAT ALLAH DI AKHIRAT DENGAN MATA KEPALA

 

ALLAH swt. berfirman,

 

“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri (nadhirah).” (QS. al-Qiyamah [75]: 22).

 

Kata “nadhirah  dalam ayat ini berarti “berseri-seri” atau “terang benderang.”

 

“Kepada Tuhannyalah mereka melihat (nazhirah).” (QS. al-Qiyamah [75]: 23).

 

Sementara itu arti kata “nazhirah” adalah “melihat”.

 

Makna kata “nazhara ” atau “melihat” tidak lepas dari beberapa tafsir berikut ini:

 

  1. “Merenung” atau “i’tibér” untuk mengambil pelajaran”, sebagaimana yang dinyatakan dalam firman Allah, “Maka apakah mereka tidak memperhatikan (yanzhurun) unta bagaimana ia diciptakan.” (QS. al-Ghasyiyah [88]: 17)

 

  1. “Menunggu” atau “intizhaar’, sebagaimana yang dinyatakan dalam firman Allah, “Mereka tidak menunggu (mad yanzhurtina) melainkan satu teriakan saja yang akan membinasakan mereka ketika mereka sedang bertengkar.” (QS. Yasin [36]: 49)

 

  1. “Merahmati dan mengasihani” atau “ta’aththuf’, sebagaimana yang dinyatakan dalam firman Allah, “Dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan Dia tidak akan merahmati mereka (la yanzhuru ilaihim) pada hari kiamat.” (QS. Ali Imran [3]: 77)

 

  1. “Penglihatan dengan mata” atau “nazhr ru‘yah’’.

 

Tentu saja, tidak mungkin yang Allah maksud dengan kata “nazhar’” pada ayat itu adalah “tafakkur” atau “mengambil pelajaran’’, karena akhirat bukanlah tempat bagi manusia untuk berpikir. Sebagaimana tidak mungkin pula yang Allah maksud dengan kata “nazhar’ pada ayat itu adalah “menunggu (intizhar)’’, karena kata “nazhar’’ jika disebutkan bersama kata “wajah (wajh)’’, maknanya adalah melihat dengan dua mata kepala.

 

Jika orang Arab ingin menyebutkan “melihat dengan hati (nazhr qalb)’’, mereka juga biasa mengatakan, “Lihatlah dengan hatimu (unzhur bi-qalbik)’’. Kata “lihatlah (unzhur)” dalam kalimat ini artinya bukan melihat menggunakan kedua mata kepala (tapi dengan hati).

 

Itulah sebabnya, jika kata “nazhr” disebutkan bersama kata “wajh’’, tidak mungkin yang dimaksud adalah yang dilakukan dengan hati. Dan lagi, kata “nazhr’’ yang berarti “menunggu (intizhdr)” tidak mungkin terjadi di surga. Karena perbuatan menunggu diiringi dengan kesulitan, padahal semua penghuni surga itu akan men. dapatkan nikmat yang belum pernah dilihat oleh mata dan belum pernah didengar oleh telinga. Yaitu berupa kehidupan yang sejahtera dan abadi.

 

Sebab itu, tidak layak bagi para penghuni surga untuk menunggu Karena setiap kali terbersit sesuatu di dalam hati mereka, seketika itu akan terwujud secara spontan. Selain itu, tidak mungkin Allah menghendaki kata “nazhar’’ dalam ayat ini dalam pengertian “merahmati (ta’aththuf)”, karena makhluk tidak mungkin merahmati Pencipta mereka.

 

Walhasil, ketiga pengertian tersebut di atas terbukti tidak dapat diterapkan untuk memaknai kata “nazhar’” dalam ayat itu, maka pengertian yang benar dari kata “nazhar’’ di sini adalah pengertian yang keempat, yaitu sesuai dengan firman Allah dalam al-Quran,

 

“Kepada Tuhannyalah mereka melihat (nazhirah).” (QS. al-Qiyamah [75]: 23).

 

Kesimpulan ini mematahkan pendapat kaum Mu’tazilah yang mengatakan bahwa maksud kata “nazhr” pada firman Allah di atas itu adalah “menunggu (intizhar)’’. Selain itu, kata “nazhr” yang berarti “menunggu”, tidak boleh bersanding dengan kata “ke (ila)”, karena menurut orang Arab, tidak boleh menggunakan kata “nazhr” yang berarti “menunggu” diiringi dengan kata “ila”.

 

Tidakkah Anda melihat bahwa ketika Allah berfirman dalam surat Yasin,

 

“Mereka tidak menunggu (yanzhurina) melainkan satu teriakan saja yang akan membinasakan mereka ketika mereka sedang bertengkar (tentang urusan dunia).” (QS. Yasin [36]: 49)

 

Allah swt. sama sekali tidak menggunakan “ke (ila)”, karena kata “nazhar” di ayat ini artinya adalah “menunggu (intizhdr)”.

 

Allah swt. berfirman tentang Balqis,

 

“Dan sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah, dan (aku akan) menunggu (ndzhirah) apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu.” (QS. an-Naml [27]: 35)

 

Umru’ul Qais berkata dalam sebuah syair gubahannya,

 

Jika kalian berdua sungguh bersedia menungguku sesaat Pasti berguna bagiku bersama Ummi Jundab

 

Ketika dia menginginkan kata “nazhar” yang bermakna “menunggu”, dia tidak mengiringinya dengan kata “ila”. Oleh karena itu, ketika Allah berfirman, “Kepada Tuhannyalah mereka melihat (nazhirah).” (QS. al-Qiyamah [75]: 23) Kita pun tahu bahwa yang Allah maksud bukanlah kata “nazhar” yang bermakna “menunggu”, melainkan yang Allah maksud dari kata itu adalah penglihatan mata (nazhr ru’yah).

 

Dan ketika Allah menyambungkan kata “nazhar” dengan “wajah”, kita tahu bahwa yang dimaksud adaJah penglihatan dengan kedua mata yang kepala. Hal ini serupa dengan firman-Nya dalam surat al-Baqarah, “Sungguh Kami (sering) melihat wajahmu (Muhammad) menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai.” (QS. Al-Baqarah [2]: 144)

 

Dalam ayat tersebut Allah menyebut kata “wajah”. Maksudnya adalah Nabi Muhammad saw. mengarahkan pandangan kedua mata beliau ke arah langit, menunggu turunnya malaikat untuk mengalihkan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah.

 

Jika ada yang bertanya mengenai ayat 23 dari surat al-Qiyamah di atas dan berkata, “Mengapa kalian tidak menyatakan maksud dari ayat tersebut adalah melihat pahala Tuhannya?”

 

Jawaban atas pertanyaan itu adalah bahwa pahala dari Allah bukanlah Allah swt. itu sendiri. Padahal Allah menyatakan dengan jelas (dalam ayat ini), “Kepada Tuhannyalah mereka melihat (nazhirah).” Allah sama sekali tidak menyatakan, “Mereka melihat kepada yang selain-Nya.”’ Sementara itu, pemaknaan al-Quran adalah sesuai dengan pengertian eksplisitnya. Kita tidak boleh mengalihkan makna dari pengertian eksplisitnya, kecuali dengan adanya dalil. Jika dalil untuk melakukan itu tidak ada, ayat al-Quran yang bersangkutan tetap harus dimaknai sebagaimana makna eksplisitnya.

 

Tidakkah Anda melihat ketika Allah memerintah, kan, “Shalatlah kalian untukku dan sembahlah Aku!” maka tidak boleh ada yang mengatakan bahwa Allah bermaksud lain dengan kata-kata-Nya itu, sehingga kalimat tersebut dialihkan dari pengertian lahiriah. nya. Demikian juga ketika Allah berfirman, “Kepada Tuhannyalah mereka melihat (nazhirah),” maka kita tidak boleh mengalihkan pengertian ayat al-Quran tersebut dari makna eksplisitnya tanpa dalil.

 

Hendaknya dikatakan pada kaum Mu’tazilah, jika mereka meyakini bahwa firman Allah, “Kepada Tuhannyalah mereka melihat (ndzhirah),” maksudnya adalah melihat kepada sesuatu yang selain Allah, tentunya boleh juga bagi orang selain mereka untuk menyatakan bahwa firman Allah swt., “Dia tidak terlihat oleh mata,” maksudnya adalah bahwa Allah tidak terlihat oleh sesuatu selain mata, karena Allah tidak memaksudkan ayat itu untuk menyatakan bahwa penglihatan tidak mampu menjangkau-Nya? Tentu saja hal seperti ini adalah sesuatu yang tidak dapat mereka bedakan.

 

DALIL LAIN: PERNYATAAN NABI MUSA AS.

 

Di antara dalil lain yang menunjukkan bahwa Allah swt. dapat dilihat dengan penglihatan mata adalah pernyataan Nabi Musa as. berikut,

 

“Ya Rabbku nampakkanlah diri-Mu kepadaku agar aku dapat melihatmu.” (QS. al-A’raf [7]: 143)

 

Allah swt. telah memberkati Nabi Musa as. dengan jubah kebesaran para Nabi sekaligus menyandang predikat maksum sama seperti para Rasul yang lain. Sekiranya wajar bagi Nabi Musa as. berdoa kepada Allah untuk meminta sesuatu yang mustahil, yaitu melihat Allah dengan mata kepalanya (di dunia). Dari situ dapat disimpulkan bahwa melihat Allah itu memungkinkan (jaiz).

 

Jika memang Allah tidak dapat dilihat dengan mata kepala seperti keyakinan kaum Mu’tazilah itu, maka artinya Nabi Musa as. tidak mengetahui hal itu. Lalu dapat kita simpulkan bahwa kaum Mu’tazilah lebih tahu dari pada Nabi Musa as. Hal ini tentu tidak mungkin terjadi, karena tidak mungkin kaum Mu’tazilah lebih tahu tentang Allah swt. dari pada Nabi Musa as. Tentu saja hal seperti itu tidak akan pernah diklaim oleh muslim mana pun juga.

 

Apabila ada seseorang bertanya, “Bukankah kalian mengetahui hukum Allah tentang zhihar’ sekarang, Sementara Rasulullah saw. belum mengetahui hal itu sebelum ayat tentang zhihar diturunkan?”

 

Kami menjawab, “Benar Rasulullah saw. belum mengetahui hal itu sebelum Allah menetapkan hukum zhihar kepada hamba-hamba-Nya. Ketika Allah mene. tapkan hukum tersebut bagi mereka, Allah pun memberi tahu Nabi terlebih dulu sebelum mereka. Barulah setelah itu sang Nabi yang menyampaikan hukum tersebut kepada umat manusia. Jadi tidak pernah ada waktu ditetapkannya suatu hukum bagi beliau, ternyata beliau

 

belum mengetahui hukum tersebut. Sementara kaum Mu’tazilah meyakini bahwa Nabi Musa as. sudah pasti mengetahui tentang melihat Allah tetapi itu mustahil baginya.

 

Bagaimana mungkin seorang Nabi tidak mengetahui sesuatu hukum ketika hukum itu berlaku, dan baru mengetahuinya sebagaimana mereka (kaum Mu’tazilah) mengetahuinya sekarang. Maka dari itu, hal ini menunjukkan kebodohan mereka; apa yang mereka ketahui itu mengandung penjelasan bahwa mereka lebih tahu daripada Nabi Musa as. Tentu saja kesimpulan seperti itu sudah melenceng dari agama kaum muslimin.”

 

DALIL LAIN: FIRMAN ALLAH KEPADA NABI MUSA AS.

 

Dalil lain yang membuktikan bahwa Allah mungkin terlihat dengan penglihatan mata kepala adalah firman Allah kepada Nabi Musa as.,

 

“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa, “Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau”. Tuhan berfirman, “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata, “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman.” (QS. al-A’raf [7]: 143)

 

Ketika Allah swt. Mahakuasa untuk menjadikan gunung tersebut tetap kokoh, maka berarti Allah juga berkuasa untuk memerintahkan sesuatu yang apabila gunung itu melakukan perintah tersebut, berarti Nabi Musa as. akan mampu melihat-Nya.

 

Hal itu menjadi dalil yang menunjukkan bahwa Allah swt. Mahakuasa untuk menjadikan hamba-hambaNya mampu melihat diri-Nya, dan itu juga menjadi dalil yang menunjukkan bahwa Allah memang boleh atau memungkinkan untuk dilihat.

 

Jika seseorang bertanya, “Mengapa kalian tidak mengatakan bahwa makna firman-Nya dalam surat al-A’raf ayat 143 di atas adalah ketidakmungkinan bagi Allah untuk dilihat?”

 

Jawabannya: Apabila Allah bermaksud ingin menyatakan bahwa yang dimaksud ayat tersebut adalah ketidakmungkinan bagi-Nya untuk dilihat, pastilah Dia akan menyebutkan firman-Nya itu dengan sesuatu yang mustahil terjadi, bukan dengan sesuatu yang mungkin terjadi. Ketika Allah menyebutkan kemungkinan-Nya untuk dilihat dengan gunung yang tetap kokoh di tempatnya, sementara itu adalah sesuatu yang berada dalam kuasa Allah, maka hal itu menunjukkan bahwa Allah memungkinkan untuk dilihat. Tidakkah Anda melihat bahwa ketika Khansa’ ingin menyatakan ketidakmungkinan dilakukannya perdamaian dengan kaum yang memerangi saudaranya, ternyata dia menyebutkan pernyataannya itu dengan suatu hal yang mustahil. Dia menyatakan dalam syairnya,

 

Aku takkan berdamai dengan kaum yang memerangiku Hingga aspal yang hitam pekat berubah menjadi putih

 

Allah swt. mengajak orang-orang Arab berbicara dengan bahasa mereka. Itulah sebabnya firman Allah dapat mereka pahami dan dapat diterima oleh akal. Karenanya, ketika Allah menghubungkan kata “melihat” dengan sesuatu hal yang mungkin terjadi dan bisa dilakukan, kita pun dapat mengetahui bahwa melihat Allah dengan mata kepala bukanlah sesuatu hal yang mustahil.

 

DALIL LAIN: KESEMPATAN MELIHAT ALLAH DI SURGA

 

Allah swt. berfirman,

 

“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya.” (QS.

Yunus [10]: 26)

 

Para ahli tafsir menyatakan bahwa yang dimaksud “tambahan” dalam surat Ydunus ayat 26 di atas adalah kesempatan melihat Allah. Karena Allah memang tidak memberi para penghuni surga nikmat yang lebih besar daripada kesempatan melihat (nazhar) dan menatapNya (ru‘yah).

 

Allah swt. juga berfirman, “Dan pada sisi Kami adalah tambahannya.” (QS. Qaf [50]: 5) Ada yang menyatakan bahwa yang dimaksud “tambahannya” dalam ayat itu adalah kesempatan melihat Allah. Dalam ayat Jain Allah swt. berfirman, “Salam penghormatan kepada mereka (orang-orang mukmin itu) pada hari mereka menemui-Nya ialah, “Salam”, dan Dia menyediakan pahala yang mulia bagi mereka.” (QS. al-Ahzab [33]: 44) Apabila di dalam ayat ini dinyatakan bahwa orang-orang “menemui-Nya”, tentulah mereka juga melihat-Nya.

 

Dalam surat al-Muthaffifin Allah swt. berfirman, “ Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka (orang-orang kafir) pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Rabb mereka.” (QS. al-Muthaffifin [83]: 15) Allah menghijab atau menghalangi mereka untuk melihat-Nya tetapi Dia tidak menghijab orang-orang mukmin.

 

KUMPULAN PERTANYAAN DAN JAWABAN

 

“Apakah Allah tidak terlihat oleh mata?

 

Apabila seseorang bertanya, “Apakah arti dari firman Allah, ‘Dia tidak terlihat oleh mata (abshar),’ (QS. alAn’am [6]: 103)?”

 

Jawabannya: Ayat tersebut mengandung kemungkinan arti bahwa penglihatan mata (abshar) tidak dapat menjangkau Allah di dunia tetapi dapat menjangkau-Nya di akhirat. Karena melihat Allah merupakan kenikmatan yang paling utama, sementara kenikmatan yang paling utama itu pasti akan ada di tempat terbaik di antara dua tempat yang ada.

 

Kemungkinan makna lain dari ayat tersebut adalah bahwa Allah tidak dapat dijangkau oleh penglihatan orang-orang kafir yang mendustakannya. Kesimpulan itu diambil karena semua ayat-ayat yang ada dalam al-Quran selalu selaras, saling membenarkan satu sama lain. Jadi, ketika Allah menyatakan, “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri (nadhirah). Kepada Tuhannyalah mereka melihat (nazhirah),” (QS. al. Qiyamah [75]: 22-23) lalu Allah juga menyatakan dalam ayat lain, “Dia tidak terlihat oleh mata (abshar).” (QS. al-An’4m [6]: 103) Dari situ kita tahu bahwa yang Allah maksud adalah penglihatan orang-orang kafir yang tidak dapat menjangkau-Nya.

 

Keinginan Bani Israil Melihat Allah

 

Apabila seseorang bertanya, “Allah telah menganggap permintaan orang-orang Yahudi untuk melihatnya sebagai sebuah kesalahan besar, seperti yang Allah nyatakan dalam firman-Nya berikut ini,

 

‘Ahli Kitab meminta kepadamu agar kamu menurunkan kepada mereka sebuah Kitab dari langit. Maka sesungguhnya mereka telah meminta kepada Nabi Musa as. yang lebih besar dari itu. Mereka berkata, ‘Perlihatkanlah Allah kepada kami dengan nyata’.’ (QS. an-Nisa [3]: 153)”

 

Kami membantahnya: Bani Israil pernah meminta untuk dapat melihat Allah sebagai bentuk pengingkaran terhadap kenabian Nabi Musa as. dan juga keinginan mereka untuk beriman kepadanya sampai mereka melihat Allah secara nyata, karena mereka telah mengatakan, “Kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang.” (QS. al-Baqarah [2]: 55)

 

Jadi saat mereka meminta Nabi Musa as. agar mereka dapat melihat Allah karena masih enggan untuk beriman hingga Allah menampakkan diri-Nya, Allah menganggap permintaan tersebut sebagai sebuah kesalahan yang sangat besar. Tentu tanpa menafikan kemungkinan bahwa melihat Allah sebagai sesuatu yang mustahil.

 

Hal ini sama seperti ketika Allah menganggap permintaan kaum Ahlul Kitab yang meminta diturunkan sebuah kitab dari langit sebagai sebuah kesalahan yang sangat besar, walaupun hal seperti ini sama sekali bukanlah sesuatu yang mustahil. Hal ini semata-mata karena mereka menolak beriman kepada Nabi Muhammad saw. hingga ada sebuah kitab suci yang diturunkan dari langit secara langsung.

 

DALIL LAIN: HADIS NABI TENTANG MELIHAT ALLAH

 

Dalil lain yang menunjukkan bahwa Allah dapat dilihat dengan penglihatan mata adalah sebuah hadis yang dj. riwayatkan oleh banyak perawi dengan beberapa jaluy periwayatan yang berbeda-beda dari Rasulullah saw.,

 

“Kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan di malam purnama dan kalian tidak mendapatkan bahaya ketika melihat-Nya.”

 

Apabila kata “melihat (ru’yah)” disampaikan secara mutlak dan dimisalkan dengan penglihatan nyata, pengertian dari kata itu tidak lain adalah penglihatan mata kepala. Sementara itu, mengenai kata “melihat (ru‘yah)” itu sendiri telah diriwayatkan dalam beberapa hadis dari Rasulullah melalui beberapa jalur yang berbeda. Jumlah perawi hadis ini lebih banyak daripada jumlah perawi hadis tentang hukum rajam, lebih banyak daripada jumlah perawi hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda,

 

“Sesungguhnya Allah telah memberikan setiap orang haknya masing-masing, maka tidak ada wasiat untuk ahli waris.”

 

Juga lebih banyak daripada jumlah perawi hadis tentang hukum mengusap setiwel, dan lebih banyak daripada jumlah perawi hadis Rasulullah saw.,

 

“Seorang wanita tidak boleh dinikahi bersama (dimadu) dengan bibinya dari pihak ibu dan bibinya dari pihak ayah.”

 

Jika rajam dan beberapa perkara lain yang telah kami sebutkan tadi dinyatakan sebagai sunah oleh kaum Mu’tazilah, maka perkara melihat Allah seharusnya lebih utama untuk diyakini sebagai sunah karena banyaknya perawi yang meriwayatkan hadis tersebut, sebagaimana juga hadis-hadis tersebut telah diriwayatkan oleh generasi khalaf dari generasi salaf.

 

Adapun hadis Rasulullah, “Sesungguhnya aku me. lihat-Nya,” tidak dapat dipakai sebagai hujah. Karena ucapan di atas muncul ketika seseorang bertanya kepada Rasulullah tentang melihat Allah di dunia. Orang itu bertanya, “Apakah engkau melihat Tuhanmu?” Rasulullah saw. menjawab, “Aku melihat cahaya ketika aku melihat-Nya.” Sebab di dunia ini, bahkan mata manusia tidak mampu melihat berbagai jenis cahaya yang berstatus sebagai makhluk (seperti matahari). Karena apabila seseorang mengarahkan pandangannya ke arah matahari dalam waktu lama, pastilah penglihatannya akan terganggu, sebab cahaya matahari akan menyilaukan matanya.

 

Jadi, bahkan jika di dunia Allah telah menetapkan bahwa mata manusia tidak mampu menatap matahari (secara langsung), jauh lebih layak jika mata manusia itu tidak mampu melihat Allah di dunia. Terkecuali jika Allah (menghendakinya dengan) memperkuat penglihatan mata orang tersebut.

 

Masalah melihat Allah di dunia adalah sebuah perkara yang diperselisihkan oleh para ulama. Namun, banyak para sahabat Rasulullah yang meriwayatkan bahwa Allah akan dapat dilihat dengan mata kepala di akhirat kelak. Sebaliknya, tidak pernah ada riwayat dari satupun di antara mereka yang menyebutkan bahwa Allah tidak dapat dilihat dengan mata di akhirat sana. Para sahabat telah meriwayatkan dan berpendapat bahwa di akhirat Allah dapat dilihat dengan mata, meskipun mereka berbeda pendapat tentang perkara melihat Allah di dunia. Perkara melihat Allah di akhirat sudah menjadi kesepakatan atau ijmak meskipun hal seperti itu di dunia masih diperselisihkan.

 

Sebenarnya yang menjadi tujuan kami adalah menetapkan atau memastikan kesempatan melihat Allah di akhirat yang hal seperti ini tidak dimiliki oleh kaum Mu’tazilah, karena mereka mengingkari bahwa Allah adalah cahaya secara hakiki, yang ketika mereka berhujah dengan suatu Khabar (dalil) yang mereka tinggalkan, mereka selewengkan, dan akhirnya juga menjadi hujah terhadap mereka sendiri.

 

DALIL LAIN: SESUATU YANG BERWUJUD DAPAT DILIHAT

 

Dalil lain yang membuktikan bahwa Allah dapat dilihat menggunakan mata (di akhirat) adalah bahwa tidak mungkin ada sesuatu yang maujud, kecuali sesuatu yang maujud itu mungkin dapat diperlihatkan oleh Allah kepada kita. Karena yang tidak mungkin dapat dilihat sama sekali adalah sesuatu yang tidak ada (ma’dam). Jadi ketika Allah diyakini maujud secara pasti, berarti tidaklah mustahil Dia memperlihatkan diri-Nya sendiri kepada kita.

 

Dan lagi, sebenarnya maksud orang yang menafikan bahwa Allah dapat dilihat dengan mata adalah untuk menyatakan bahwa Allah memiliki kekurangan (ta’thil) sebagai bentuk pernyataan secara terang-terangan yang menunjukkan takwil yang mereka lakukan adalah tin, dakan ta’thil (pernyataan bahwa Allah cacat) dan sebuah keingkaran. Sungguh Mahaluhur Allah atas yang demikian itu.

 

DALIL LAIN: ALLAH DAPAT MELIHAT DIRINYA SENDIRI

 

Dalil lain yang menunjukkan bahwa Allah dapat dilihat dengan mata di akhirat adalah bahwa Allah Maha Melihat segala sesuatu. Jika Allah melihat segala sesuatu, maka tidak mungkin Dia dapat melihat segala sesuatu sementara Dia tidak dapat melihat Diri-Nya sendiri. Dan jika Dia dapat melihat Diri-Nya sendiri, maka tidaklah mustahil jika Dia memperlihatkan Diri-Nya kepada kita. Hal ini sama seperti siapa pun yang tidak mengetahui dirinya pasti dia juga tidak mengetahui sesuatu apa pun juga. Jadi ketika Allah mengetahui tentang segala sesuatu, berarti Dia juga pasti mengetahui tentang Diri-Nya. Itulah sebabnya siapa pun yang tidak dapat melihat dirinya, pasti tidak akan dapat melihat segala sesuatu; sehingga ketika Allah dapat melihat segala sesuatu, Dia pasti dapat melihat Diri-Nya sendiri. Apabila Dia dapat melihat Diri-Nya sendiri, mungkin bagi-Nya untuk memperlihatkan Diri-Nya kepada kita. Sebagaimana halnya ketika Dia mengetahui tentang Diri-Nya, maka adalah boleh atau mungkin bagi-Nya untuk memberi tahu kita tentang Diri-Nya itu.

 

Allah berfirman,

 

“Sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat,” (QS. Thaha [20]: 46)

 

Dengan ayat tersebut Allah memberitahu kita bahwa Dia mendengar ucapan mereka berdua (Nabi Musa as. dan Nabi Harun as.), sehingga siapa pun yang meyakini bahwa Allah tidak mungkin dapat dilihat menggunakan mata, berarti dia juga harus meyakini bahwa Allah juga tidak mungkin menjadi Dzat yang dapat melihat, mengetahui, dan berkuasa, karena Dzat yang mengetahui, berkuasa, dan melihat tentu memungkinkan untuk dilihat.

 

Apabila seseorang menyatakan bahwa sabda Rasulullah, “Kalian akan melihat Rabb kalian,” maksudnya adalah kalian akan mengetahui Tuhan kalian secara terpaksa, katakan pada orang itu bahwa Rasulullah menyampaikan sabda tersebut kepada para sahabat beliau sebagai bentuk kabar gembira untuk para sahabat. Kala itu beliau bertanya kepada para sahabat, “Bagaimana apabila kalian melihat Allah?”’

 

Tentu saja tidaklah mungkin beliau menyampaikan suatu kabar gembira kepada para sahabat berupa sesuatu yang orang-orang kafir ikut merasakan sesuatu itu bersama mereka. Dan lagi, Rasulullah saw. menyatakan, “Kalian melihat Rabb kalian’, bukan dengan maksud satu bentuk penglihatan tanpa bentuk penglihatan yang lain. Alih-alih, yang beliau maksud adalah semua jenis penglihatan secara umum, baik penglihatan mata mau, pun penglihatan hati.

 

DALIL LAIN: DI ANTARA NIKMAT SURGA ADALAH MELIHAT ALLAH

 

Segenap kaum muslimin sudah bersepakat bahwa surga berisi kehidupan yang sejahtera, bergelimang nikmat nan kekal yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah terbersit di dalam hati manusia mana pun juga. Sementara segala kenikmatan surga itu tidak ada yang lebih afdal dibandingkan kenikmatan melihat Allah dengan mata. Sebagian besar orang beribadah kepada Allah disebabkan karena ingin melihat wajah Allah. Semoga Allah melimpahkan kita nikmat melihat-Nya melalui anugerah-Nya.

 

Jika selain melihat Allah tidak ada kenikmatan apa pun lagi yang lebih afdal daripada melihat Rasulullah saw., sementara melihat nabi itu sendiri adalah kenikmatan surga yang paling afdal, maka berarti kesempatan melihat Allah itu lebih afdal daripada melihat Rasulullah saw. Jika keadaannya seperti itu, berarti Allah tidak akan mengharamkan para nabi dan rasul, para malaikat muqarrabin (yang didekatkan pada-Nya), serta semua kaum mukmin dan orang-orang shiddiq untuk melihat Wajah-Nya.

 

Kesimpulan itu muncul karena penglihatan tidak akan mempengaruhi objek yang dilihat, karena penglihatan pihak yang melihat dapat dilakukan. Jika hal ini memang seperti ini, sementara penglihatan yang tidak berpengaruh terhadap sesuatu yang dilihat, berarti tindakan melihat Allah tidak serta-merta merupakan bentuk tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk) dan tidak pula merupakan pemutarbalikan hakikat, karena Allah swt. memang tidak memustahilkan Diri-Nya untuk dapat dilihat oleh hamba-hamba-Nya yang mukmin di semua surga ciptaan-Nya.

 

TENTANG RU’YAH (MELIHAT ALLAH)

 

Penganut Mu’tazilah bersepakat bahwa Allah tidak dapat dilihat menggunakan mata kepala. Landasan dalil yang digunakan oleh mereka adalah ayat berikut, “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu.” (QS. al-An’am [6]: 103)

 

Mereka menyatakan bahwa ketika Allah menyambungkan firman-Nya, ‘‘Dia dapat melihat segala penglihatan itu,” dengan firman-Nya, “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata,” sementara firman-Nya, “Dia dapat melihat segala penglihatan itu,” bersifat umum menunjukkan bahwa melihat Allah itu tidak mungkin dapat dilakukan oleh penglihatan di dunia dan akhirat, sementara Dia dapat melihat segala penglihatan di dunia dan akhirat, “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata,” dapat menjadi dalil yang menunjukkan bahwa Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata baik dj dunia maupun di akhirat, dan itu terkandung di dalam pengertian umum dari firman-Nya, “Dia dapat melihat segala penglihatan itu,” karena salah satu dari dua ka. limat itu disambungkan dengan yang satu lagi.

 

Katakan pada mereka (kaum Mu’ tazilah) bahwa kalay memang demikian, ketika kedua pernyataan itu bersifat umum dan pengertiannya satu, sementara penglihatan itu sendiri ada dua macam, yaitu penglihatan menggunakan mata dan penglihatan menggunakan hati, karena Allah swt. menyatakan,

 

“Karena sesungguhnya bukanlah mata itu (abshar) yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (QS. al-Hajj [22]: 46)

 

Sebagaimana Dia juga berfirman,

 

“Yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar (al-aidi) dan pandangan yang dalam (abshar).” (QS. Shad [38]: 45)

 

Yang Allah maksud dengan kata abshar dalam kedua ayat tersebut adalah penglihatan hati (abshar al-Qulub), dan itulah yang dimaksudkan baik oleh orang-orang mukmin maupun oleh orang-orang kafir.

 

Sementara itu ketika kalangan ahli bahasa berkata, “Fulan bashirun bi shina’atih” (si Fulan menguasai jlmu pembuatan benda itu), maka yang mereka maksud adalah “penglihatan ilmu”, sebagaimana halnya mereka lazim berkata, “qad abshartuhu biqalbi” (saya sudah melihatnya menggunakan hati saya) seperti ketika mereka berkata, “gad abshartuhu bi’aini” (saya sudah melihatnya menggunakan mata saya).

 

Jadi, ketika kata bashar mencakup penglihatan mata kepala dan penglihatan mata hati, sementara ternyata mereka (kaum Mu’tazilah) memaksa kita untuk menyatakan bahwa firman-Nya, “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata,” memiliki arti umum seperti firmanNya, “Dia dapat melihat segala penglihatan itu,” karena kalimat yang satu disambungkan dengan kalimat yang lain, berarti dengan hujah itu mereka harus menyatakan bahwa Allah tidak dapat dilihat menggunakan mata kepala dan juga tidak dapat dilihat menggunakan mata hati, karena firman-Nya, “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata,” memiliki arti umum seperti firmanNya, “Dia dapat melihat segala penglihatan itu.”

 

Apabila menurut mereka pengertian ayat-ayat tersebut bukan seperti itu, berarti firman-Nya yang berbunyi, “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata,” memiliki arti yang lebih khusus daripada firman-Nya yang berbunyi, “Dia dapat melihat segala penglihatan itu,” sehingga dengan demikian maka menjadi gugurlah hujah mereka.

 

Setelah itu, katakan pada mereka bahwa jika mereka mengatakan bahwa apabila firman Allah yang berbunyi, “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata,” memiliki arti khusus pada satu waktu tertentu tanpa waktu yang lain, maka berarti firman-Nya yang berbunyi, “Dia

 

dapat melihat segala penglihatan itu,” juga memiliki arti khusus pada waktu tertentu tanpa waktu yang lain.

 

Selain itu, firman Allah, ” Tak ada sesuatu pun yang sama dengan-Nya dan Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat,” (QS. asy-Syara [42]: 11) juga firman-Nya, “Dia tidak mengantuk dan juga tidak tidur,” (QS. al-Baqarah [2]: 255) dan firman-Nya, “Sesungguhnya Allah tidak menzalimi manusia sedikit pun,” (QS. Yunus [10]: 44) hanya berlaku pada waktu-waktu tertentu.

 

Jadi, jika mereka menyatakan bahwa firman-Nya, “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata,” memiliki arti khusus, hujah seperti itu akan kembali kepada (maksudnya, mematahkan) pendapat kalian sendiri; sehingga harus juga dikatakan kepada mereka bahwa apabila firman-Nya, “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata,” memiliki arti khusus, tetapi kekhususan seperti itu tidak berlaku pada ayat-ayat tersebut.

 

Maka mengapa mereka mengingkari pernyataan yang menyatakan bahwa firman-Nya, “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata,” maksudnya adalah di dunia dan akhirat. Sebagaimana firman-Nya, “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata,” dimaksudkan pada jenis penglihatan tertentu tanpa jenis penglihatan yang lain, sementara pengkhususan itu tidak diwajibkan terhadap ayat-ayat tersebut, dan mereka telah membantah pendapat kami menggunakan ayat-ayat itu.

 

Apabila kemudian mereka menyatakan bahwa firman-Nya, “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata,” mengharuskan pengertian yang menyatakan bahwa Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata di dunia dan akhirat, tetapi hal itu tidak menafikan kita untuk dapat melihat-Nya menggunakan hati kita,. Sehingga kita dapat melihat-Nya dengan hati tanpa kita menjangkau-Nya dengan hati kita. Katakan pada mereka (kaum Mu’tazilah), Apakah perbedaan antara mereka dengan orang yang menyatakan bahwa penglihatan hati dan penglihatan mata (abshar) adalah menjangkau dan meliputi-Nya (idrakuh wa ihathatuh)?”

 

Apabila pengetahuan hati tentang Allah dan penglihatan hati terhadap Allah dengan melihat-Nya tidak disebut sebagai meliputi dan menjangkau-Nya, lantas mengapa mereka mengingkari penglihatan mata dengan penglihatannya terhadap Allah bukan merupakan tindakan meliputi dan menjangkau-Nya.

 

JAWABAN ATAS PERNYATAAN MU’TAZILAH

 

Katakan pada penganut Mu’tazilah, apabila firman Allah, “Dia tidak dapat dijangkau oleh penglihatan mata,” memiliki arti umum seperti firman-Nya, “Dia dapat melihat segala penglihatan itu.” Karena salah satu pernyataan itu bersambung dengan pernyataan yang satu lagi; bukankah penglihatan dan pandangan mata tidak harus dengan mencapai-Nya, menyentuh, merasa, dan juga tidak pula dengan cara apa pun juga?

 

Jika mereka mengiyakan, katakan pada mereka untuk memberitahu kami tentang firman Allah, “Dia dapat melihat segala penglihatan itu,” apakah itu menunjukkan bahwa Allah menjangkau segala penglihatan itu dengan menyentuh dan merasakan dengan cara memegangnya.

 

Jika mereka menjawab tidak, katakan pada mereka bahwa pernyataan mereka menjadi gugur, karena “Dia dapat melihat segala penglihatan itu,” memiliki arti umum seperti firman-Nya, “Dia tidak dapat dijangkau oleh penglihatan mata.”

 

Apabila seseorang di antara mereka menyatakan bahwa pada hakikatnya yang dimaksud dari kata bashar adalah penglihatan dengan mata kepala bukan penglihatan dengan hati; katakan padanya, “Mengapa Anda berpendapat seperti itu, padahal kalangan ahli bahasa menamakan penglihatan hati itu dengan kata bashar, sebagaimana mereka juga menamakan penglihatan mata dengan kata bashar?

 

Jika Anda boleh mengatakan seperti yang Anda nyatakan itu (bahwa pada hakikatnya kata bashGr berarti penglihatan mata), berarti boleh bagi orang lain untuk meyakini bahwa pada hakikatnya arti kata bashdr adalah penglihatan hati dan bukan penglihatan mata. Jika hal ini tidak boleh, berarti harus dinyatakan bahwa kata bashar mencakup pengertian penglihatan mata dan penglihatan hati.

 

JAWABAN MENGENAI AYAT PENGLIHATAN

 

Katakan pada mereka, “Coba kalian jelaskan kepada kami makna dari firman Allah, ‘Dia dapat melihat segala penglihatan itu’.”’

 

Jika kemudian mereka menjawab dengan menyatakan bahwa makna firman-Nya, “Dia dapat melihat segala penglihatan itu,” adalah Dia mengetahui segala penglihatan, katakan pada mereka bahwa apabila salah satu di antara kedua kalimat dalam ayat itu disambungkan dengan firman-Nya, “Dia dapat melihat segala penglihatan itu,” artinya adalah Dia mengetahui segala penglihatan itu; maka berarti menjadi harus pada firman-Nya, “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata,” untuk diartikan bahwa Dia tidak dapat diketahui oleh penglihatan, dan itu menjadi bentuk penafian terhadap pengetahuan alih-alih sebagai penafian terhadap penglihatan mata.

 

Jika mereka menyatakan bahwa makna dari firmanNya, “Dia dapat melihat segala penglihatan itu,” adalah bahwa Dia memang melihat dan bukan berarti “Dia mengetahui”, katakan pada mereka apakah penglihatan yang dilakukan menggunakan mata memungkinkan untuk melihat?

 

Jika mereka mengiyakan, maka berarti mereka telah membatalkan pernyataan mereka bahwa mereka tidak menyatakan bahwa bashar kecuali hanya dari jenis yang melihat pada saat sekarang. Apabila Allah dapat melihat segala sesuatu yang bukan termasuk jenis yang dapat dilihat, yaitu penglihatan pada mata, lantas mengapa tidak boleh bagi Allah untuk melihat Diri-Nya sendiri walaupun Dia tidak termasuk jenis yang dapat dilihat? Mengapa pula tidak boleh bagi-Nya untuk memperlihatkan Diri-Nya kepada kita, walaupun Dia tidak termasuk jenis dzat yang dapat dilihat?

 

Lalu hendaklah dikatakan pula kepada mereka untuk menjelaskan kepada kami, apabila kami melihat sesuatu lalu kami melihat sesuatu itu, atau sebenarnya ia dilihat tanpa sarana penglihatan.

 

Jika mereka menyatakan bahwa mustahil penglihatan yang ada pada mata untuk dilihat, katakan pada mereka bahwa ayat tersebut menafikan Allah dapat dilihat menggunakan penglihatan, tetapi ia tidak menafikan Dia dapat dilihat oleh orang-orang yang dapat melihat. Sesungguhnya Allah menyatakan bahwa Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan, dan itu tidak menjadi dalil yang menunjukkan bahwa orang-orang yang dapat melihat tidak dapat melihat-Nya, berdasarkan pengertian eksplisit ayat tersebut.

 

BAB Il AL-QURAN BUKAN MAKHLUK

 

JIKA seseorang bertanya tentang dalil yang menunjukkan bahwa al-Quran bukan makhluk, sampaikan padanya firman Allah swt. berikut ini, ‘

 

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan perintah-Nya.” (QS. Rum [30]: 25)

 

Dalam ayat tersebut, yang dimaksud dengan “perintah-Nya” adalah firman Allah swt. Ketika Allah memerintahkan langit dan bumi untuk berdiri, keduanya pun tegak berdiri dan tidak goyah. Semua ini terjadi karena perintah-Nya. Allah berfirman,

 

“Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah, Rabb semesta alam.” (QS. al-A’raf [7]: 54)

 

Semua yang Allah ciptakan adalah makhluk-Nya. Karena suatu kata jika bermakna umum, makna hakikatnya bersifat umum. Tidak boleh mengalihkan hakikat maknanya (menjadi khusus) tanpa hujah atau bukti. Ketika Allah menyatakan, “Ingatlah, menciptakan hanyalah hak Allah,” pernyataan ini berlaku pada semua ciptaan. Sebagaimana ketika Allah menyebut “al-amr” atau “perintah”, Allah menyebut bahwa “perintah-Nya” adalah bukan ciptaan, dan itu menjadi dalil yang menunjukkan pada apa yang telah kami jelaskan sebelumnya, bahwa perintah Allah bukan makhluk.

 

Jika seseorang menyatakan bahwa bukankah Allah telah menyatakan, “Siapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril, dan Mikail,” dalam surat al-Baqarah ayat 98?

 

Jawabannya: Kami menetapkan kekhususan (suatu ayat) al-Quran dengan ijmak dan dalil. Sebab itu, ketika Allah menyebutkan Dzat-Nya serta para malaikat-Nya dan Allah tidak menyebutkan Jibril dan Mikail dalam golongan para malaikat, padahal keduanya termasuk malaikat, lalu menyebutkan keduanya setelah itu, seakan-akan Allah berfirman, “Para malaikat kecuali Jibril dan Mikail.”

 

Ketika Allah berfirman, “Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah,” tanpa mengkhususkan pernyataan-Nya tersebut pada ciptaan tertentu, hal itu menjadi dalil yang menunjukkan bahwa firmanNya berlaku pada semua ciptaan. Kemudian setelah Allah menyebut semua makhluk-Nya, Dia menyebutkan “al-amr (perintah)”, yang menjelaskan bahwa “perintah” bukan termasuk makhluk. Pernyataan seperti itu melahirkan kesimpulan bahwa firman Allah bukan makhluk ciptaan. Perintah Allah swt. merupakan kalam-Nya, dan kalam Allah bukanlah makhluk.

 

DALIL LAIN: PENJELASAN MAKNA “KUN”

 

Dalil dari al-Quran yang menunjukkan bahwa firman Allah itu bukan makhluk adalah firman Allah berikut,

 

“Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya, ‘kun (jadilah)’, maka jadilah ia.” (QS. an-Nahl [16]: 40)

 

Apabila al-Quran adalah makhluk, tentu akan dikatakan padanya “kun fa yakén” lalu al-Quran itu tercipta. Ketika Allah menyatakan kata “kun”, perkataan itu memiliki dua kemungkinan makna berikut ini:

 

  1. Perintah yang dianggap sebagai firman Allah bukan makhluk.

 

  1. Jika tiap ucapan tercipta dengan satu ucapan sebelumnya, hal ini akan berulang tanpa ada ujungnya (tasalsul). Tentu saja hal demikian adalah mustahil.

 

Jika hal tersebut mustahil maka dapat dipastikan bahwa Allah memiliki firman yang bukan makhluk.

 

Jika ada seseorang yang menyangkal makna firman Allah dalam surat an-Nahl ayat 40 di atas, “Kami hanya mengatakan kepadanya, ‘kun (jadilah)’, maka jadilah ia,” adalah bahwa Allah menjadikan sesuatu, lalu sesuatu itu pun tercipta.

 

Jawabannya: Makna tekstualnya (secara eksplisit) Allah berfirman kepada sesuatu tersebut. Namun, tidak mungkin firman Allah terhadap segala sesuatu “jadilah” dinyatakan sebagai “sesuatu” itu sendiri, karena jika dinyatakan seperti itu, berarti segala sesuatu adalah firman Allah. Siapa pun yang menyatakan seperti itu, sesungguhnya dia telah membuat sebuah kebohongan sangat besar, karena dia harus menyatakan bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta seperti manusia, kuda, keledai, dan sebagainya, semuanya adalah firman Allah.

 

Ketika hal seperti itu dinyatakan mustahil, benar bahwa firman Allah “jadilah” terhadap segala sesuatu bukanlah “sesuatu” itu sendiri. Apabila firman Allah itu bukan merupakan ciptaan, tidaklah mungkin firman Allah itu dinyatakan sebagai makhluk.

 

Selain itu, siapa pun yang menyatakan bahwa firman Allah adalah makhluk, berarti dia harus menyatakan bahwa Allah bukan Dzat yang Maha Berbicara dan bukan pula Maha Berucap. Tentu saja pendapat seperti keliru, sebagaimana keyakinan yang menyatakan bahwa ‘ilmullah (ilmu Allah) adalah makhluk, karena itu berarti bahwa Allah tidak Maha Mengetahui.

 

Ketika Allah Maha Mengetahui, berarti Dia tidak boleh memiliki sifat tidak mengetahui. Sebagaimana halnya Dia juga mustahil memiliki sifat tidak berbicara, sebab sifat tersebut tidak mungkin menyertai sifat Maha Berbicara, dan sifat diam merupakan sebuah cacat.

 

Sebagaimana halnya sifat tidak mengetahui yang tidak mungkin disertai dengan sifat Maha Mengetahui, juga sifat bodoh atau ragu yang merupakan sebuah Cacat. Allah tidak mungkin memiliki sifat tidak mengetahui, sebagaimana Dia juga mustahil memiliki sifat tidak berbicara, baik berupa diam atau cacat lainnya. Itulah sebabnya wajib bagi Allah untuk selalu bersifat Maha Berbicara sebagaimana juga wajib bagi-Nya untuk senantiasa Maha Mengetahui.

 

DALIL LAIN: ALLAH MAHA BERBICARA

 

Allah berfirman,

 

 “Katakanlah, ‘Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Rabbku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Rabbku’.” (QS. al-Kahfi [18]: 109)

 

Maksudnya adalah seandainya lautan dijadikan tinta untuk menulis kalimat-kalimat Allah, niscaya lautan itu akan habis dan semua pena akan hancur, sebelum semua kalimat Ilahi itu habis. Sebagaimana tidak mungkin habis pula pengetahuan Allah. Karena siapa pun yang kata-katanya dapat habis, berarti dia memiliki cacat dan bisa diam.

 

Ketika hal seperti itu tidak mungkin terjadi pada Tuhan kita Allah Azza wa Jalla, berarti benar bahwa Dia senantiasa bersifat Maha Berbicara (mutakallim). Karena kalau Allah tidak memiliki sifat Maha Berbicara, berarti Dia harus diam dan memiliki cacat, Mahasuci Allah dari perkataan kaum Jahmiyah.

 

PASAL: BANTAHAN TERHADAP ALIRAN JAHMIY’AH

 

Kalangan Jahmiyah memiliki keyakinan yang sama seperti keyakinan kaum Nasrani. Sebab kalangan Nasrani meyakini bahwa kalam Allah dikandung oleh perut Maryam. Bahkan kaum Jahmiyah menambahkan lagi keyakinan Nasrani tersebut dengan menyatakan bahwa firman Allah adalah makhluk yang menitis pada pohon, sehingga pohon memiliki kandungan kalam Allah.

 

Karena itu menurut mereka, pohon dapat berbicara disebabkan adanya kalam Allah tersebut. Mereka juga menyatakan bahwa sebatang pohon berkata kepada Nabi Musa as., “Wahai Nabi Musa as. sesungguhnya aku ini adalah Allah. Tidak ada Tuhan selain aku, maka sembahlah aku.”

 

Apabila kalam Allah adalah makhluk yang bera.da dalam pohon, berarti ada makhluk yang mengaku (sebagai Tuhan), “Wahai Nabi Musa as. sesungguhnya aku ini adalah Allah. Tidak ada ilah selain aku, maka sembahlah aku.” Padahal Allah berfirman,

 

“Akan tetapi, telah tetaplah perkataan (ketetapan) dari-Ku, sesungguhnya akan Aku penuhi neraka Jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama.” (QS. as-Sajdah [32]: 13)

 

Firman atau kalam Allah berasal dari-Nya, sehingga tidak mungkin firman yang berasal dari-Nya merupakan makhluk yang diciptakan di dalam pohon yang juga merupakan ciptaan. Sebagaimana tidak mungkin pula ilmu pengetahuan Allah yang berasal dari-Nya merupakan makhluk yang diciptakan pada makhluk lainnya. Mahasuci Allah dari hal-hal demikian.

 

Sebagaimana tidak mungkin Allah menciptakan kehendak-Nya pada sebagian makhluk, juga tidak mungkin Dia menciptakan firman-Nya pada sebagian makhluk yang lain. Apabila kehendak Allah diciptakan pada sebagian makhluk, berarti makhluk tersebut itulah yang menjadi Dzat Yang Menghendaki (murid) semua itu. Padahal tentu saja, hal seperti itu mustahil adanya.

 

Mustahil juga bagi Allah untuk menciptakan firmanNya pada makhluk. Karena hal seperti itu meniscayakan bahwa makhluk itulah yang maha berbicara baginya, padahal mustahil kalam Allah adalah ucapan makhluk.

 

DALIL LAIN: AL-QURAN BUKAN UCAPAN MANUSIA

 

Di antara bukti yang membatalkan pernyataan kaum Jahmiyah adalah apa yang telah Allah firmankan tentang ucapan orang-orang musyrik dalam al-Quran, “Ini tidak lain hanyalah perkataan manusia.” (QS. al-Muddatsir [74]: 25)

 

Siapa meyakini bahwa al-Quran adalah makhluk, berarti dia telah menyatakan bahwa al-Quran adalah ucapan manusia. Padahal keyakinan orang-orang musyrik seperti itulah yang Allah bantah.

 

Selain itu, jika Allah bukan Dzat yang Maha Berbicara (mutakallim) hingga Dia menciptakan segenap makhluk ciptaan, lalu setelah itu barulah Dia berbicara, hal itu berarti bahwa makhluk tersebut menjadi ada bukan dari perintah-Nya dan bukan dari firman-Nya. Karena Allah tidak mengatakan “jadilah” kepada segenap makhluk tersebut. Hal ini jelas merupakan penolakan terhadap al-Quran dan keluar dari keyakinan yang dipegang oleh jumhur kaum muslimin.

 

Ketahuilah—semoga Allah memberimu rahmat— bahwa pernyataan kelompok Jahmiyah tentang kalam Allah adalah makhluk, mengharuskan mereka menyatakan bahwa Allah senantiasa seperti berhala yang tidak dapat berbicara dan tidak dapat berkata, jika Allah diyakini tidak memiliki sifat Maha Berbicara. Hal ini karena Allah mengabarkan tentang kisah Ibrahim as, yang ditanya oleh kaumnya,

 

“Mereka bertanya, ‘Apakah kamu yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, wahai Ibrahim?’ Ibrahim menjawab, ‘Sebenarnya patung yang besar itu yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, apabila mereka dapat berbicara’.” (QS. al-Anbiya’ [21]: 62-63)

 

Dalam peristiwa itu Ibrahim as. mendebat mereka dengan menyatakan bahwa jika berhala-berhala tersebut tidak dapat berbicara dan tidak dapat berkata apa-apa, berarti mereka tidak layak dijadikan Tuhan. Karena Tuhan mustahil tidak mampu berbicara dan tidak mampu berkata.

 

Jika berhala-berhala tersebut mungkin Allah hidupkan dan Dia beri kemampuan berbicara, tetap saja mereka bukan Tuhan. Tentu saja kemampuan bicara ini pantas disandang oleh Dzat yang lebih berhak dikatakan sebagai Tuhan. Mahaluhur Allah atas apa yang mereka katakan. Apabila Allah yang berhak dikatakan sebagai Tuhan, tidak mungkin mempunyai sifat rendah berupa kebisuan yang dipunyai oleh para berhala. Sebab itu wajib hukumnya Allah memiliki sifat kalam.

 

Allah berfirman dalam al-Quran dalam bentuk pertanyaan, “Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini?” (QS. al-Mu’min [40]: 16) Dalam sebuah riwayat dinyatakan bahwa ketika Allah bertanya seperti ini, tidak ada yang menjawab pertanyaan itu sama sekali. Kemudian Allah pun menjawab sendiri pertanyaan itu, “Kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan.” (QS. al-Mu’min [40]: 16).

 

Apabila Allah berbicara pada saat segala sesuatu hancur, tidak ada manusia, malaikat, makhluk hidup, jin, pepohonan, dan tanah, berarti benar bahwa firman Allah tidak tergolong makhluk. Sebab firman itu tetap ada ketika semua makhluk telah tiada.

 

Allah telah berfirman,

 

“Dan Allah telah berbicara kepada Nabi Musa as. dengan langsung (takliman).” (QS. an-Nisa’ [4]: 164)

 

Berbicara (taklim) artinya “mengucapkan kata-kata” atau “musyafahah bil-kalam”. Tidak mungkin ucapan pembicara menyatu dengan ucapan selainnya, dan mustahil ucapan pembicara diciptakan pada sesuatu yang selain dia. Sebagaimana halnya tidak mungkin seseorang dikatakan alim, tapi ilmunya berada pada orang lain.

 

Allah berfirman,

 

“Katakanlah, ‘Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Ilah yang bergantung kepada-Nya segala urusan. Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada satupun yang setara dengan Dia’.” (QS. al-lkhlash [112]: 1-4)

 

Jadi bagaimana mungkin al-Quran itu makhluk sementara nama-nama Allah ada dalam al-Quran?! Apabila al-Quran itu makhluk, berarti nama-nama Allah juga makhluk. Apabila nama-nama Allah itu makhluk, berarti Keesaan-Nya juga makhluk. Sebagaimana pula halnya dengan sifat Maha Mengetahui, Mahakuasa. Mahaluhur Allah atas apa yang mereka katakan.

 

Allah berfirman, “Mahaagung nama Tuhanmu.” (QS. ar-Rahman [55]: 78). Tentu saja makhluk tidak dapat disebut “Mahaagung”, dan hal tersebut membuktikan bahwa nama-nama Allah bukan makhluk. Allah juga berfirman, “Dan tetap kekal Wajah Rabb-mu.” (QS. ar-Rahman [55]: 28). Seperti halnya Wajah Tuhan kita tidak boleh dinyatakan sebagai makhluk, demikian juga dengan nama-nama-Nya.

 

Allah berfirman,

 

“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang

 

menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ali Imran [3]: 18)

 

Allah swt. benar-benar bersaksi. Dapat dipastikan bahwa ketika Allah bersaksi, Dia mendengar kesaksian tersebut dari Diri-Nya sendiri. Karena apabila yang mendengar kesaksian itu adalah makhluk, berarti itu bukan kesaksian bagi Allah. Jika kesaksian tersebut Allah ucapkan, tentu tidak akan terlepas dari dua hal: Sebelum adanya semua makhluk atau sesudah adanya semua makhluk.

 

Apabila kesaksian seperti itu ada sebelum adanya makhluk, berarti sebelum itu tidak ada kesaksian bahwa Allah swt. itu Tuhan. Itu mustahil terjadi. Hal ini melahirkan kesimpulan bahwa tidak ada kesaksian terhadap keesaan Allah (tauhid) sebelum makhluk diciptakan. Apabila kesaksian akan keesaan Allah sebelum adanya makhluk itu mustahil, berarti penetapan tauhid, keberadaan Allah, dan juga keesaannya sebelum adanya makhluk itu juga mustahil. Karena segala sesuatu yang mustahil untuk diberi kesaksian adalah sebuah kemustahilan.

 

DALIL LAIN: TENTANG NAMA-NAMA ALLAH DALAM AL-QURAN

 

Bukti lain yang menunjukkan kebatilan pernyataan kaum Jahmiyah sekaligus membenarkan bahwa al-Quran adalah firman Allah yang bukan makhluk adalah keberadaan nama-nama Allah di dalam al-Quran. Allah berfirman,

 

“Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Paling Tinggi, yang menciptakan dan menyempurnakan (ciptaan-Nya).” (QS. al-A’la [87]: 1-2)

 

Tentu saja tidaklah mungkin “nama Allah yang paling tinggi, yang menciptakan dan menyempurnakan”’ itu dikatakan makhluk, sebagaimana tidak patut pula “kebesaran Tuhan kami” dikatakan sebagai makhluk. Allah berfirman, “Dan bahwasanya Mahaluhur kebesaran Tuhan kami.” (QS. al-Jinn [72]: 3)

 

Sebagaimana tidak patut pula keagungan Allah dinyatakan sebagai makhluk. Demikian juga tidak boleh firman-Nya dinyatakan sebagai makhluk.

 

Allah berfirman,

 

“Dan tidak ada bagi seorang manusia bahwa Allah berbincang dengannya kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki.” (QS. Asy-Syu’ara’ [42]: 51)

 

Apabila firman Allah diciptakan pada sebuah makhluk, syarat-syarat yang disebutkan di dalam ayat tersebut menjadi tidak ada gunanya. Sebab firman tersebut sudah dapat didengar oleh semua makhluk dan bisa mereka temukan pada makhluk Jain. Hal ini sebagaimana yang diyakini oleh kaum Jahmiyah.

 

Tentu saja keyakinan seperti ini menjatuhkan mar. tabat para nabi shalawatullah ‘alaihim ajma’in, sebagaimana halnya apabila kaum Jahmiyah itu meyakini bahwa firman Allah kepada Nabi Musa as. Dia ciptakan pada pohon. Itu berarti bahwa siapa pun yang mendengar firman Allah melalui perantaraan malaikat atau yang didengar seorang Nabi dari hadirat Allah, lebih tinggi martabatnya dibandingkan Nabi Musa as. Karena mereka mendengarnya dari seorang nabi sementara Nabi Musa as. mendengarnya dari sebatang pohon.

 

Dalam pengertian ini pula kaum Jahmiyah meyakini bahwa orang-orang Yahudi yang mendengar firman Allah dari seorang nabi lebih tinggi martabatnya daripada Nabi Musa as. bin Imran ra. karena orang-orang Yahudi mendengar firman Allah dari salah seorang Nabi Allah sedangkan Nabi Musa as. mendengar firman Allah yang diciptakan pada sebatang pohon.

 

Apabila memang firman Allah itu diciptakan pada sebatang pohon, berarti Allah tidak berbicara kepada Nabi Musa as. dari balik hijab. Karena siapa pun yang mendatangi pohon tersebut, baik dari kalangan jin maupun manusia, mereka semua dapat mendengar firman Allah dari tempat tersebut. Itu berarti bahwa Nabi Musa as. dan yang lainnya memiliki cara yang sama (untuk mendengar firman-Nya), yang mana Allah tidak berbicara padanya dari balik hijab.

 

Jika mereka meyakini arti dari Allah berbicara kepada Nabi Musa as. adalah dengan cara Dia menciptakan suatu firman yang Dia ciptakan pada sebatang pohon, berarti kalian juga menganggap bahwa Allah telah menciptakan sebuah firman pada sepotong daging paha. Karena daging paha itu berkata kepada Rasulullah saw., “Janganlah engkau memakanku karena aku beracun.”

 

Hal itu juga mengharuskan Kalian menyatakan bahwa bagi kaum Jahmiyah, kata-kata yang didengar oleh Rasulullah saw. merupakan firman Allah swt. Apabila dinyatakan mustahil Allah berbicara dengan kata-kata yang merupakan makhluk seperti itu, mengapa mereka mengingkari bahwa mustahil bagi Allah untuk menciptakan firman-Nya pada sebatang pohon. Karena kata-kata makhluk bukan merupakan firman Allah. Apabila kalian meyakini bahwa yang dimaksud kalam Allah adalah menciptakan firman tersebut, kalian harus menyatakan bahwa Allah Maha Berbicara dengan firman yang Dia ciptakan pada daging paha tersebut.

 

Apabila mereka menjawab pertanyaan tentang masalah ini, katakan kepada mereka bahwa Allah—menurut pendapat mereka—adalah pihak yang berkata, “Janganlah engkau memakanku, karena aku beracun!”’.

 

Mahaluhur Allah atas pertanyaan serta kedustaan mereka itu. Apabila mereka menyatakan Allah tidak mungkin menciptakan firman-Nya pada sepotong daging, katakan pada mereka bahwa itulah sebabnya tidak mungkin pula firman Allah diciptakan pada sebatang pohon.

 

Kemudian kaum Jahmiyah bertanya tentang seekor serigala yang Allah jadikan dapat berbicara dan mengabarkan tentang kenabian Rasulullah saw. Katakanlah kepada mereka bahwa apabila Allah berbicara dengan kata-kata yang Dia ciptakan pada yang makhluk-Nya, lantas mengapa mereka mengingkari bahwa ucapan yang keluar dari serigala adalah kalam Allah?

 

Mukjizat ini menunjukkan ucapan tersebut adalah firman Allah. Sehingga mengharuskan mereka (kaum Jahmiyah) untuk menyatakan bahwa serigala tidak mengatakan apa pun, sebab itu adalah kalam-Nya. Karena ucapan yang muncul dari seekor serigala adalah sebuah mukjizat, sebagaimana ucapan yang muncul dari sebatang pohon.

 

Apabila seekor serigala berbicara tentang hal tersebut dan jika kalam diciptakan pada sebatang pohon, mengapa kalian mengingkari bahwa sebatang pohon mengatakan kata-kata yang telah diciptakan padanya, ‘‘Wahai Musa sesungguhnya Aku adalah Allah’’. Mahaluhur Allah dari pernyataan mereka itu.

 

Kemudian katakan kepada mereka bahwa apabila menurut pendapat mereka firman Allah diciptakan pada makhluk-Nya, apakah mereka meyakini bahwa setiap ucapan yang kalian dengar itu diciptakan pada suatu makhluk, dan itu semua adalah firman Allah Azza wa Jalla?

 

Apabila mereka menjawab, “Sebatang pohon tidak dapat berbicara, karena yang dapat berbicara hanyalah segala yang hidup.” Katakan pada mereka bahwa demikian juga tidak mungkin ucapan diciptakan pada pohon tersebut, karena ucapan hanya diciptakan pada sesuatu yang hidup. Apabila ucapan mungkin diciptakan pada suatu benda mati, mengapa mustahil bagi benda mati tersebut untuk dapat berbicara?

 

Katakan pada mereka: Mengapa kalian tidak mengatakan bahwa ucapan tidak dapat dikatakan oleh benda mati, padahal Allah berfirman tentang langit dan bumi, “Keduanya menjawab, ‘Kami datang dengan suka hati’.” (Fushshilat [41]: 11)

 

Kemudian katakan juga pada mereka bahwa bukankah Allah telah berfirman kepada Iblis dalam al-Quran, “Sesungguhnya laknat-Ku tetap atasmu sampai Hari Pembalasan”? (QS. Shad [38]: 78). Tentu mereka akan menyepakatinya. Jika demikian, katakan pula pada mereka: Apabila firman Allah adalah makhluk dan semua makhluk bersifat fana, berarti mereka harus menyatakan bahwa ketika Allah memusnahkan semua makhluk, laknat Allah terhadap Iblis juga akan berakhir, sehingga Iblis tidak lagi menjadi makhluk terkutuk.

 

Tentu saja pendapat seperti ini telah menyalahi ajaran agama Islam dan sekaligus menolak firman Allah, “Sesungguhnya laknat-Ku tetap atasmu sampai Hari Pembalasan.” (QS. Shad [38]: 78).

 

Jadi, laknat tersebut tetap ditimpakan terhadap Iblis hingga hari kiamat yang merupakan hari pembalasan segala amal. Allah swt. telah berfirman dalam al-Quran bahwa Dia adalah, ‘Penguasa Hari Pembalasan.” (QS, al-Fatihah [1]: 4) Maksudnya adalah hari pembalasan bagi segala amal perbuatan. Setelah itu, Iblis kekal abadij berada di dalam neraka.

 

Adapun laknat atau kutukan adalah firman Allah, seperti firman-Nya kepada Iblis, “Atas-Mu laknat-Ku!”, Sebuah keharusan bagi firman Allah untuk tidak bersifat fana. Sebagaimana harus pula dinyatakan bahwa firman Allah bukanlah makhluk, karena semua makhluk memiliki kemungkinan untuk tidak ada (mumkin al-wujad). Sehingga sifat seperti itu tidak mungkin ada pada firman Allah. (Kesimpulannya adalah) firman Allah bukan makhluk.

 

BANTAHAN TERHADAP KAUM JAHMIY’AH: RIDHA DAN MURKA ALLAH BUKAN MAKHLUK

 

Katakan pada mereka: Apabila murka Allah bukan termasuk makhluk, seperti juga ridha dan marah-Nya, lantas mengapa kalian (kaum Jahmiyah) tidak mengatakan bahwa firman Allah swt. bukan makhluk?

 

Siapa yang meyakini bahwa murka Allah adalah makhluk, dia juga harus menyatakan bahwa murka Allah dan marah-Nya terhadap orang-orang kafir bersifat fana. Sebagaimana halnya ridha Allah terhadap para malaikat dan para nabi yang juga fana. Sehingga suatu saat nanti, Dia tidak lagi ridha terhadap para wali-Nya dan murka terhadap musuh-musuh-Nya. Tentu saja pernyataan seperti ini sudah melenceng dari Islam.

 

Katakan pada mereka agar mereka menerangkan tentang firman Allah swt.,

 

“Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya, ‘kun (jadilah)’, maka jadilah ia.” (QS. an-Nahl [16]: 40)

 

Apakah mereka meyakini bahwa ucapan Allah swt. “kun (jadilah)” terhadap sesuatu itu merupakan makhluk sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah? Apabila mereka menjawab tidak, katakan pada mereka: Mengapa kalian mengingkari firman Allah yang berupa al-Quran bukan makhluk? Sedangkan kalian meyakini ucapan “kun” bukan makhluk.

 

Jika mereka menyatakan firman Allah swt. “kun” terhadap sesuatu adalah makhluk, katakan kepada mereka: Jika kalian menyatakan bahwa kata tersebut adalah makhluk, sementara Allah swt. telah berfirman,

 

“Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya, ‘kun (jadilah),’ maka jadilah ia.” (QS. an-Nahl [16]: 40)

 

Berarti mereka harus menyatakan bahwa firman Allah “kun” terhadap sesuatu, sebelumnya sudah dikatakan kepadanya perkataan “kun” juga. Dalam keadaan seperti itu, setidaknya ada dua kemungkinan: Perkataan Allah “kun” terhadap sesuatu selain Dia bukan makhluk, atau setiap perkataan harus didahului perkataan sebelumnya, dan terus seperti itu tanpa ada ujungnya (tasalsul). Tentu saja hal seperti itu mustahil.

 

Katakan pada mereka bahwa kalam Allah itu bukan makhluk. Katakan juga pada mereka: Mengapa mereka mengingkari adanya kehendak Allah swt. atas keimanan itu bukan makhluk? Katakan pula pada mereka tentang apakah kendala kalian jika menyatakan bahwa firman Allah “kun” pada sesuatu bukanlah makhluk?

 

Apabila mereka menjawab bahwa sebuah ucapan tidak dikatakan kepada kata. Jadi, katakan pada mereka: Al-Quran bukan makhluk karena ia adalah firman Allah, dan Allah swt. tidak mungkin mengatakan “kun” kepada perkataan-Nya sendiri.

 

BANTAHAN TERHADAP KAUM JAHMIYAH: FIRMAN ALLAH BUKAN SOSOK

 

Tanyakan pada kaum Jahmiyah, bukankah Allah swt. selalu mengetahui wali-wali dan musuh-musuhNya? Mereka pasti setuju. Lalu katakan pada mereka: Apakah mereka menyatakan bahwa Allah swt. selalu menginginkan adanya pemisah antara para wali dan musuh-musuh-Nya?

 

Apabila mereka menjawab, “Ya,” tanyakan lagi kepada mereka: Jika kehendak Allah swt. senantiasa ada dan bukan makhluk, lantas mengapa kalian tidak mengatakan bahwa firman Allah swt. bukan makhluk?

 

Apabila mereka menjawab bahwa mereka tidak menyatakan Allah swt. selalu menghendaki pemisahan antara para wali-Nya dan musuh-Nya, berarti mereka telah meyakini bahwa Allah swt. tidak ingin memisahkan keduanya dan mereka telah menisbatkan sebuah cela kepada Allah swt. Mahaluhur Allah swt. atas apa yang dinyatakan oleh kaum Qadariyah.

 

Katakan pada mereka bahwa setiap sesuatu yang berstatus sebagai makhluk selalu mempunyai organ tubuh, memiliki sosok, atau memiliki sifat tertentu. Oleh karena itu, tidak mungkin firman Allah swt. berupa sosok, karena semua yang berbentuk sosok tertentu dapat melakukan kegiatan, seperti makan, minum, dan menikah, yang semuanya itu tidak mungkin terjadi pada firman Allah swt.

 

Firman Allah swt. tidak mungkin berupa sosok atau sifat tertentu yang berstatus makhluk, sebab semua itu tidak kekal. Jika dianggap sebagai makhluk), berarti firman Allah swt. fana dan akan mati. Siapa pun yang menetapkan bahwa firman Allah swt. adalah makhluk berarti ia harus mengatakan bahwa firman Allah swt, bisa mati, padahal hal itu mustahil terjadi. Demikian juga firman Allah swt. tidak mungkin diciptakan pada sesosok makhluk tertentu.

 

Apabila ia berstatus sebagai makhluk pada suatu sosok tertentu seperti ucapan manusia, maka tidak dapat dipisahkan antara firman Allah swt. dan ucapan makhluk tersebut, jika keduanya sama-sama dianggap makhluk yang diciptakan pada satu sosok tertentu. Hal yang sama mustahilnya dengan ilmu Allah yang diciptakan pada diri makhluk.

 

Katakan pada mereka: Apabila firman Allah swt. itu makhluk, pasti akan berupa benda atau sifat dari suatu benda tertentu. Apabila ia berupa benda, berarti ia mungkin memiliki sifat berbicara. Sementara Allah swt. tentu Mahakuasa untuk menjadikannya berbicara. Berkenaan dengan ini, keharusan bagi mereka untuk menyatakan bahwa Allah swt. Mahakuasa untuk mengubah al-Quran menjadi seorang manusia, jin, atau sesosok setan. Mahaluhur Allah swt. yang menjadikan firmanNya seperti ini.

 

Apabila firman Allah swt. berupa sifat suatu benda seperti sifat-sifat lain pada umumnya, berarti Allah swt. Mahakuasa untuk menjadikannya sebagai benda (jism).

 

Sehingga menjadi keharusan bagi kaum Jahmiyah untuk menyatakan bahwa Allah swt. boleh menjadikan al-Quran sebagai benda yang memiliki bentuk, dapat makan dan minum, serta mengubahnya menjadi sesosok manusia lalu mematikannya. Tentunya hal ini tidak mungkin terjadi pada firman Allah. Mahaluhur Allah atas segala hal yang sedemikian rupa.

 

Jadi bagaimana mungkin al-Quran itu makhluk sementara nama-nama Allah ada dalam al-Quran?! Apabila al-Quran itu makhluk, berarti nama-nama Allah juga makhluk. Apabila nama-nama Allah itu makhluk, berarti Keesaan-Nya juga makhluk.

 

~ IMAM ASY’ARI

 

BAB III RIWAYAT ULAMA TERDAHULU TENTANG AL-QURAN

 

ABU Bakar berkata, “Aku dan Abbas bin Abdul Azhim al-Anbari mendatangi Abu Abdullah, Abbas bin Abdu] Azhim lalu bertanya kepada Abu Abdullah Ahmad bin Hanbal, dia berkata kepadanya, ‘Ada suatu kaum dj sini yang telah membuat bid’ah dengan menyatakan bahwa al-Quran adalah makhluk dan juga tidak disebut bukan makhluk (di antara keduanya).’ Beliau menjawab, ‘Mereka itu lebih berbahaya bagi umat daripada kaum Jahmiyah. Celakalah kalian! Jika kalian tidak mengatakan bahwa al-Quran bukan makhluk, katakanlah bahwa ia makhluk.’”

 

Abu Abdullah berkata, “Mereka adalah kaum yang buruk.” Abbas berkata, “Bagaimana pendapatmu wahai Abu Abdullah?” Dia menjawab, “Apa yang aku yakini dan aku jadikan pendapat tanpa ada keraguan di daJamnya adalah bahwa al-Quran itu bukan makhluk.” Kemudian dia berkata, “Mahasuci Allah, siapakah yang meragukan hal ini?” Abu Abdullah lalu berbicara dan menanggapi keraguan pada masalah tersebut sebagai kesalahan besar. Beliau lalu berkata, “Mahasuci Allah, apakah dalam masalah ini ada keraguan? Allah swt. telah berfirman,

 

‘Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas Arasy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masingmasing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.’ (QS. al-A’raf [7]: 54)

 

Allah swt. juga telah berfirman,

 

‘Yang Maha Pemurah, Yang telah mengajarkan al-Quran. Dia menciptakan manusia.’ (QS. arRahman [55]: 1-3)

 

Jadi Allah swt. telah membedakan antara manysia dan al-Quran. Allah berfirman, ‘Dia mengajarkan’ (‘allama), dan ‘Dia menciptakan (khalaqa)’. Allah swt. mengulangi kalimat itu dengan menyatakan ‘Dia mengajarkan’ (‘allama) dan ‘Dia menciptakan (khalaqa)’, yang maksudnya adalah Allah membedakan antara keduanya (antara al-Quran dan manusia).”

 

Abu Abdullah berkata, “Al-Quran berasal dari ilmu Allah. Tidakkah engkau melihat bahwa Allah berfirman, ‘Dia mengajarkan al-Quran,’ sementara di dalam alQuran terdapat nama-nama Allah Azza wa Jalla, apakah yang mereka katakan? Bukankah mereka katakan bahwa nama-nama Allah swt. bukan makhluk? Allah swt. senantiasa Mahakuasa, Maha Mengetahui, Mahaperkasa, Mahabijaksana, Maha Mendengar, dan Maha Melihat.

 

Kita tidak pernah meragukan bahwa nama-nama Allah swt. itu bukan makhluk. Kita juga tidak pernah meragukan bahwa ilmu Allah swt. bukan makhluk, sementara al-Quran bagian dari ilmu Allah swt. dan di dalamnya terdapat nama-nama Allah, sehingga kita tidak meragukan bahwa al-Quran bukan makhluk. Al-Quran adalah firman Allah swt. dan Allah swt. senantiasa berbicara padanya.”

 

Abu Abdullah melanjutkan, “Kekafiran seperti apa yang lebih kafir daripada pernyataan bahwa al-Quran adalah makhluk? Kekafiran seperti apakah yang lebih buruk daripada ini? Apabila mereka meyakini bahwa al-Quran adalah makhluk, berarti mereka juga meyakini bahwa nama-nama Allah swt. itu juga makhluk, dan bahwa ilmu Allah swt. juga makhluk. Akan tetapi, orang banyak menganggap remeh masalah ini lalu mereka mengatakan bahwa al-Quran adalah makhluk.

 

Mereka menganggap enteng dan menyangka bahwa ini adalah perkara yang ringan tanpa mereka tahu bahwa perkara ini mengandung kekufuran. Aku melarang semua orang mengucapkan perkataan seperti ini. Mereka bertanya tentang masalah ini, tetapi aku tidak suka membicarakan persoalan ini, sampai kudengar mereka menganggap aku tidak memiliki pendapat apa-apa (tawaqquf).”

 

Abu Bakar bertanya, “Apakah telah tergolong kafir orang yang menyatakan bahwa al-Quran adalah makhluk dan dia tidak menyatakan bahwa nama-nama Allah swt. adalah makhluk sebagaimana juga ilmu Allah?”

 

Abu Abdullah menjawab, “Begitu menurut pendapat kami. Kami tidak perlu meragukan bahwa al-Quran yang ada pada kami ini di dalamnya terdapat nama-nama Allah, dan itu adalah bagian dari ilmu Allah. Sehingga siapa pun yang menyatakan kepada kami bahwa alQuran adalah makhluk, maka orang itu menurut kami telah kafir.”

 

Abu Bakar berkata, “Aku pun beberapa kali mengulangi pertanyaan itu kepadanya, sampai akhirnya Abbas yang mendengar semua itu berkata kepadaku, ‘Mahasuci Allah, tidakkah itu sudah cukup bagimu?’” Abu Abdullah menjawab, “Ya.”

 

Husein bin Abdul Awwal berkata, “Aku mendengar Waki’ berkata, “Siapa yang mengatakan bahwa al-Quran adalah makhluk, dia telah murtad dan harus diminta untuk bertobat. Apabila bertobat dia diampuni, tetapi jika tidak, dia harus dihukum mati.”

 

Muhammad bin Shabbah al-Bazzar berkata, “Ali bin Husein bin Syu’ban berkata, “Aku mendengar Ibnu Mubarak berkata, “Kami sanggup menceritakan perkataan orang Yahudi dan Nasrani, tetapi kami tidak sanggup menyampaikan pernyataan kaum Jahmiyah.”

 

Muhammad bin ash-Shabbah al-Bazzar berkata, “Kami khawatir menjadi kafir, sedangkan kami tidak menyadarinya.” Harun bin Ishaq al-Hamdani menyebutkan dari Abi Nu’aim, dari Sulaiman bin Isa al-Qari, dari Sufyan ats-Tsauri ra., dia berkata, “Hammad bin Abi Sulaiman telah berkata kepadaku, “Sampaikan kepada Abu Hanifah yang telah mencapai kemusyrikan, bahwa aku harus melepaskan diri darinya.” Sulaiman bin Isa al-Qari berkata, “Kemudian Sufyan ats-Tsauri berkata, ‘Karena dia (Abu Hanifah) pernah mengatakan bahwa al-Quran adalah makhluk.’”

 

Padahal Imam Abu Hanifah pasti terhindar dari perkataan ini, bahkan ini adalah perkataan dusta dan bohong karena Abu Hanifah adalah salah satu Ahli Sunah paling utama.

 

Sufyan lalu menyatakan, “Aku mendengar Umar bin Hammad bin Abu Hanifah berkata, ‘Ayahku mengabariku bahwa dia pernah menyatakan sebuah pernyataan yang oleh Ibnu Laila diminta untuk bertobat karenanya, yaitu pernyataan bahwa al-Quran adalah makhluk. Dia pun bertobat dari pernyataan itu lalu dia berkeliling menyampaikan itu kepada banyak orang. Aku bertanya kepadanya, ‘Bagaimana mungkin engkau menjadi seperti ini?’ Dia menjawab, ‘Demi Allah swt. aku khawatir mereka datang kepadaku maka aku pun berpura-pura mengakuinya.’”

 

Harun bin Ishaq menuturkan, “Aku mendengar Isma’il bin Abu al-Hakam menyebutkan dari Umar bin Ubaid ath-Thanafisi bahwa Hammad yaitu Ibnu Abu Sulaiman, diutus untuk menemui Abu Hanifah, lalu dia berkata, ‘Aku berlepas diri dari apa yang engkau katakan, kecuali jika engkau bertobat.’ Pada saat itu Ibnu Abi ‘Uqbah ada bersama Abu Hanifah. Dia berkata, ‘Aku mendengar tetanggamu bahwa Abu Hanifah telah mengajaknya bertobat dari ucapannya setalah dia diminta bertobat dari ucapannya.’” Jelas ini adalah kebohongan terhadap Abu Hanifah.

 

Telah disebutkan dari Abu Yusuf, dia berkata, “Aku berdiskusi dengan Abu Hanifah selama dua bulan hingga akhirnya dia mencabut pendapatnya bahwa al-Quran itu makhluk.”

 

Sulaiman bin Harb berkata, “Al-Quran bukan makhluk. Aku mengambil pendapat ini dari al-Quran, Allah swt. berfirman, ‘Allah tidak akan berbicara dan melihat mereka.’ (QS. Ali-Imran [3]: 77) Pembicaraan dan penglihatan Allah swt. itu sama dalam hal bukan makhluk.”

 

Husein bin Abdul Awwal berkata, “Muhammad bin Hasan bin Abu Yazid al-Hamdani menuturkan kepada kami, dari Amr bin Qais al-Malai, dari Athiyah, dari Abu Sa’id al-Khudri, dia berkata bahwa Rasulullah bersabda, “Keutamaan firman Allah swt. atas semua ucapan yang lain adalah seperti keutamaan Allah atas seluruh makhluk-Nya.”

 

Ini menetapkan bahwa al-Quran adalah firman Allah, dan semua yang merupakan firman Allah swt. bukanlah makhluk Allah. Allah swt. telah menjelaskan bahwa alQuran adalah firman-Nya, “Hingga ia mendengar firman Allah.” (QS. at-Taubah [9]: 6) Dalil lain yang menunjukkan hal itu juga banyak terdapat pada beberapa tempat di dalam al-Quran.

 

Allah swt. juga mengabarkan bahwa Dia berbicara kepada Nabi Musa as. secara langsung. Waki’ meriwayatkan dari A’masy, dari Khaitsamah, dari Adi bin Abu Hatim, Rasulullah saw. bersabda,

 

“Tidak ada seorangpun di antara kalian yang Allah swt. akan berbicara kepadanya tanpa ada penerjemah di antara keduanya.”

 

Hadis ini menjelaskan bahwa Allah Maha Berbicara dan bahwa Dia mempunyai riwayat, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Affan, dia berkata, “Telah berkata kepada kami Hammad bin Salamah, dari Asy’ats al-Hurani, dari Syahr bin Hausyab, dia berkata, ‘Keutamaan firman Allah swt. atas semua kata-kata yang lain adalah seperti keutamaan Allah swt. atas seluruh makhluk-Nya.’”

 

Ya’la bin Minhal as-Sa’di meriwayatkan, “Ishaq bin Sulaiman ar-Razi berkata, dia berkata, “Jarrah bin Dhahaak al-Kindi berkata, dari Alqamah bin Murtsid, dari Abu Abdurrahman as-Sulami, dari Utsman bin Affan ra., dia berkata bahwa Rasulullah bersabda, “ Yang paling afdal di antara kalian adalah orang-orang yang mempelajari al-Quran dan mengajarkannya.”

 

Nabi Muhammad saw. bersabda, “Keutamaan firman Allah atas semua kata-kata yang lain adalah seperti keutamaan Allah atas seluruh makhluk-Nya.” Itu terjadi karena al-Quran berasal dari-Nya. Sanid bin Dawud menyatakan bahwa Abu Sufyan berkata, dari Ma’mar, dari Qatadah tentang firman Allah,

 

“Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) setelah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah.” (QS. Luqmén [31]: 27)

 

Harun bin Ma’ruf berkata, “Jarir dari Manshur berkata, dari Hilal bin Yasaf, dari Farwah bin Naufal, dia berkata, “Dulu aku adalah tetangga Khabbab bin al-Arat, dia berkata kepadaku, “Hai Fulan, dekatkanlah diri kepada Allah swt. sekuat kemampuanmu, dan tidak ada cara mendekatkan diri kepada Allah swt. yang lebih Dia sukai daripada dengan firman-Nya.”

 

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang firman Allah, “Al-Quran dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan (di dalamnya).” (QS. az-Zumar [39]: 28) Beliau menyatakan, “Bukan makhluk.”

 

Laits bin Yahya berkata, “Ibrahim bin Asy’ats menuturkan kepadaku, dia berkata, ‘Aku mendengar Muammal bin Isma’il, dari ats-Tsaury, dia berkata, ‘Siapa yang meyakini bahwa al-Quran adalah makhluk, maka dia telah kafir.’”

 

Dalam sebuah riwayat sahih dari Ja’far bin Muhammad dikatakan bahwa al-Quran bukan Khalik (pencipta) dan juga bukan makhluk (yang diciptakan). Pernyataan itu telah diriwayatkan dari pamannya yang bernama Zaid bin Ali dan dari kakeknya yang bernama Ali bin Husein, “Al-Quran bukan makhluk, dan siapa saja yang menyatakan bahwa al-Quran adalah makhluk, dia telah kafir.” Hal ini juga dinyatakan oleh para ulama, penutur atsar, dan para perawi hadis yang tidak terhitung jumlah mereka.

 

Di antara mereka adalah al-Hammadan, ats-Tsaury, Abdul ‘Aziz bin Abu Salamah, Malik bin Anas, Imam Syafi’i dan para pengikutnya, Abu Hanifah, Ahmad bin Hambal, Malik, Laits bin Sa’d, Sufyan bin Uyainah, Hisyam, Isa bin Yunus, Hafsh bin Ghiyats, Sa’d bin Amir, Abdurrahman bin Mahdi, Abu Bakar bin lyasy, Waki’, Abu Ashim an-Nubail, Ya’la bin Ubaid, Muhammad bin Yusuf, Bisyr bin Mufadhdhal, Abdullah bin Dawud, Salam bin Abu Muthi’, Ibnu Mubarak, Ali bin ‘Ashim, Ahmad bin Yunus, Abu Nu’aim, Qubaishah bin Uqbah, Sulaiman bin Dawud, Abu Ubaid bin Qasim bin Salam, Yazid bin Harun, dan lain-lain.

 

Jika kami lanjutkan penyebutan nama-nama para ulama yang menyatakan hal itu, tentulah pembahasan ini akan menjadi sangat panjang dengan menyebutkan mereka semua. Jadi tampaknya apa yang telah kami sebutkan ini sudah cukup. Alhamdulillahi rabbil ‘alamin.

 

Kami telah membuktikan kebenaran pernyataan kami bahwa al-Quran bukan makhluk dengan dalil yang berasal dari al-Quran berikut bukti kebenaran yang terkandung di dalamnya serta penjelasan yang gamblang. Selain itu, kami juga tidak pernah menemukan seorang pun dari kalangan para perawi atsar dan hadis, serta para ulama yang tepercaya, yang berkata bahwa al-Quran adalah makhluk.

 

Sesungguhnya orang-orang yang menyatakan bahwa al-Quran merupakan makhluk adalah orang-orang bodoh yang paling dungu di antara semua orang dungu, pernyataan mereka sama sekali tidak berdasar. Adapun hujah-hujah (argumentasi) yang telah kita sebutkan mengenai masalah ini telah banyak membantah pernyataan mereka serta menolak kebatilan yang mereka buat. Segala puji bagi Allah swt. atas kuatnya kebenaran dengan banyaknya puji-pujian.

 

BAB IV TIDAK BERPENDAPAT BAHWA ALQURAN MAKHLUK ATAU BUKAN (TAWAQQUF)

 

KATAKANLAH pada orang-orang yang tidak berpendapat bahwa al-Quran makhluk atau bukan (tawaqquf), “Mengapa kalian meyakini dan menyatakan seperti itu?”

 

Apabila mereka menjawab, “Kami menyatakan seperti itu karena Allah swt. tidak mengatakan dalam Kitab-Nya bahwa al-Quran adalah makhluk atau bukan, sebagaimana Rasulullah juga tidak bersabda demikian, serta tidak juga ada ijmak atas hal itu oleh kaum muslimin. Oleh karena itulah kami tidak berkomentar (tawaquf) dengan tidak menyatakan bahwa al-Quran adalah makhluk dan kami juga tidak menyatakan bahwa al-Quran bukan makhluk.”

 

Katakan pada mereka, “Apakah di dalam Kitab-Nya Allah swt. menyatakan kepada kalian agar kalian tidak mengomentari masalah ini, atau agar kalian tidak menyatakan bahwa al-Quran adalah bukan makhluk. Ataukah Rasulullah pernah bersabda kepada kalian agar kalian tidak perlu mengomentari hal ini atau untuk menyatakan bahwa al-Quran bukan makhluk. Ataukah ada ijmak umat Islam yang menyatakan bahwa harus dilakukan tawaqquf terhadap pernyataan bahwa al-Quran bukan makhluk?”

 

Jika mereka sepakat, berarti pendapat mereka telah terpatahkan. Jika mereka tidak sepakat, katakan pada mereka, “Janganlah kalian tawaqquf dengan dalil yang kalian jadikan alasan untuk bersikap demikian.”

 

Setelah itu, katakan pada mereka, “Mengapa kalian mengabaikan kenyataan bahwa di dalam al-Quran terdapat dalil-dalil yang menunjukkan bahwa al-Quran itu bukan makhluk?”

 

Apabila mereka menjawab, “Kami tidak menemukannya dalam al-Quran.” Katakan pada mereka, “Lantas mengapa jika kalian tidak menemukan dalil-dalil itu di dalam al-Quran, kalian menganggap bahwa dalil-dalil itu tidak ada di dalamnya?”

 

Setelah itu, kami akan memberitahu mereka dalil-dalil itu serta membacakan kepada mereka ayat-ayat alQuran yang kami gunakan sebagai hujah di dalam kitab kami ini, lalu kami tunjukkan bukti bahwa al-Quran bukan makhluk.

 

Di antara dalil itu adalah firman Allah,

 

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas Arasy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. al-A’raf [7]: 54)

 

Allah swt. juga berfirman,

 

“Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya, ‘kun (jadilah)’, maka jadilah ia.” (QS. an-Nahl [16]: 40)

 

Juga terdapat dalam surat al-Kahfi,

 

“Katakanlah, ‘Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Rabbku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Rabbku’.” (QS. al-Kahfi [18]: 109)

 

Katakan kepada mereka: Jika demikian halnya, kalian juga harus bersikap tawaqquf dalam setiap ikhtilaf yang terjadi di antara manusia dan kalian tidak dapat mengedepankan pendapat apa pun dalam semua itu. Jika kalian bisa memilih berbagai takwil yang dilakukan oleh (para ulama) umat Islam karena ada dalil yang menunjukkan kesahihannya, lantas mengapa kalian tidak menyatakan bahwa al-Quran itu bukan makhluk dengan dalil-dalil yang telah kami sebutkan tadi?”

 

TANYA-JAWAB SEPUTAR AL-QURAN

 

Tentang Keberadaan Al-Quran di Lauhul Mahfuzh Apabila seseorang bertanya, “Jelaskanlah pada kami apakah kalian menyatakan bahwa firman Allah swt. itu ada di Lauhul Mahfuzh?”

 

Katakan padanya: Iya, demikian pendapat kami. Karena Allah swt. berfirman,

 

“Bahkan itu ialah al-Quran yang mulia, yang tersimpan dalam Lauhul MahfuzZh.” (QS. al-Burj [85]: 21-22)

 

Jadi, al-Quran memang berada di Lauhul Mahfuzh sebagaimana ia juga berada di dada (hati) orang-orang yang diberi ilmu. Allah swt. juga berfirman,

 

“Sebenarnya, al-Quran itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu.” (QS. al-Ankabat [29]: 49)

 

Selain itu, al-Quran juga dirapalkan dengan lisan, sebagaimana yang dinyatakan dalam firman Allah,

 

“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) al-Quran.” (QS. al-Qiyamah [75]: 16)

 

Sesungguhnya al-Quran itu tertulis di dalam mushaf, dihafal di dalam dada orang-orang, dilafalkan dengan lisan mereka, dan ia benar-benar didengarkan oleh mereka. Hal itu telah dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya,

 

“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Hal itu karena mereka kaum yang tidak mengetahui.” (QS. at-Taubah [9]: 6)

 

Mengenai Pelafalan Al-Quran

 

Apabila seseorang bertanya, “Jelaskanlah pada kami tentang melafalkan al-Quran (al-lafzhu bi-I-qur’an)?!” Katakan padanya: Al-Quran itu dapat dibaca (yuqra’) dan dapat lantunkan (yutla) dengan baik, sehingga tidak boleh mengatakan bahwa al-Quran itu dilafalkan (yulfazhu) karena tidak boleh mengatakan demikian. Alasannya, dalam bahasa Arab jika menyatakan “Jafazhtu bi-l-luqmah min fami” artinya “aku membuang suapan itu dari mulutku”. Oleh karena itu, firman Allah swt. tidak boleh dikatakan “dilafalkan dengannya” atau “yulfazhu bihi”. Akan tetapi, yang boleh dikatakan adalah “dibaca (yuqra’)”, “ditulis (yuktab)”, dan “dihafal (yuhfazh)”.

 

Ada suatu kaum yang menyatakan, “Lafazhna bil. quran (Kami melafalkan dengan al-Quran)”, dengan maksud untuk menetapkan bahwa al-Quran adalah makhluk, serta untuk mempertegas keyakinan mereka bahwa al-Quran adalah makhluk, sehingga mereka menyembunyikan kekufuran di hadapan orang-orang yang tidak memahami maksud yang sebenarnya.

 

Sementara itu, ketika kami mengetahui maksud mereka dengan kata-kata itu, kami pun mengingkari ucapan mereka. Karena memang tidak boleh untuk mengatakan bahwa ada bagian tertentu dalam al-Quran yang merupakan makhluk, sebab al-Quran secara keseluruhan memang bukan makhluk.

 

Mengenai Kata “Dzikr”

 

Apabila seseorang berkata, “Bukankah Allah swt. telah berfirman,

 

‘Tidak datang kepada mereka suatu ayat al-Quran pun (dzikr) yang baru (diturunkan) dari Rabb mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main.’ (QS. al-Anbiya’ [21]: 2)?”

 

Jawabannya: Kata “dzikr” yang dimaksud oleh Allah swt. dalam ayat tersebut bukanlah al-Quran, tetapi ucapan dan nasihat Rasulullah. Allah swt. berfirman,

 

 “Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. adz-Dzariyat [51]: 55)

 

Allah swt. juga berfirman,

 

“Sesungguhnya Allah telah menurunkan peringatan kepadamu. (Dan mengutus) seorang Rasul yang membacakan kepadamu ayat-ayat Allah yang menerangkan (bermacam-macam hukum)” (QS. ath-Thalaq [65]: 10-11)

 

Dalam ayat ini Allah swt. menyebut “Rasulullah” dengan kata “dzikr”’, karena Rasulullah adalah sosok yang berbicara.

 

Demikian juga Allah swt. telah berfirman,

 

“Tidak datang kepada mereka suatu ayat al-Quran pun yang baru (diturunkan) dari Rabb mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main,” (QS. al-Anbiya’ [21]: 2)

 

Dalam ayat itu, Allah swt. mengabarkan kepada kita bahwa tidak datang kepada mereka “zikir” yang diucapkan, melainkan mereka mendengarnya sambil bermain-main. Allah swt. tidak menyatakan “Tidak datang kepada mereka dzikir kecuali muhdats (makhluk)’. Apabila Allah swt. tidak menyebutkan hal ini, berarti dalam kalimat itu tidak ada yang menunjukkan pengertian bahwa al-Quran adalah makhluk (muhdats).

 

Apabila seseorang berkata, “Tidak datang kepada mereka seorang lelaki dari Bani Tamim yang mengajak mereka kepada kebenaran melainkan mereka berpaling.” Maka pernyataan itu tidak berarti bahwa tidak ada seorang pun yang mendatangi mereka kecuali dia berasal dari Bani Tamim. Demikian juga permasalahan yang mereka tanyakan kepada kami.

 

Al-Quran Berbahasa Arab

 

Apabila mereka bertanya kepada kami mengenai firman Allah dalam surat az-Zumar ayat 28, “Al-Quran yang berbahasa Arab,” katakan pada mereka bahwa Allah swt. yang telah menurunkannya dan ia bukan makhluk.

 

Apabila mereka bertanya, “Allah menyatakan demikian, ‘Kami furunkan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat,’ (QS. al-Hadid [57]: 25) sementara besi adalah makhluk.” Katakan pada mereka bahwa besi adalah benda mati, dan itu tidak serta-merta mengharuskan bahwa al-Quran yang diturunkan itu juga adalah benda mati, sebagaimana tidak harus pula apabila al-Quran itu “diturunkan”, maka ia harus berstatus makhluk, walaupun besi itu adalah makhluk.

 

Katakan pada mereka: Allah swt. telah memerintahkan kita untuk berlindung dengan al-Quran yang bukan makhluk. Allah swt. memerintahkan kita untuk berlindung dengan kalimat Allah swt. yang sempurna. Kita tidak diperintahkan untuk berlindung pada makhluk tertentu di antara semua makhluk yang ada. Sementara kita diperintahkan untuk berlindung dengan firman Allah. Hal itu menunjukkan kepastian bahwa al-Quran adalah firman Allah, bukan makhluk.

 

BAB V ISTIWA’ DI ATAS ARASY

 

APABILA seseorang berkata, “Bagaimana pendapat kalian tentang istiwa’ Allah swt. di atas Arasy?”

 

Jawabannya: Kami menyatakan bahwa Allah swt. memang istiwa’ di atas Arasy dengan istiwa’ yang sesuai dengan maksud-Nya tanpa ada kelanjutan dalam mengambil tempat. Sebagaimana yang difirmankan dalam al-Quran,

 

“(Yaitu) Yang Maha Pemurah, yang beristiwa’ di atas Arasy.” (QS. Thaha [20]: 5)

 

Allah swt. juga berfirman, “Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik.” (QS. Fathir [35]: 10) Dalam surat lain, “Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya.” (QS. an-Nisa* [4]: 158) Disebutkan juga dalam surat as-Sajdah, “Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya.” (QS. as-Sajdah [32]: 5)

 

Allah swt. juga berfirman tentang ucapan Fir’aun,

 

“Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhannya Nabi Musa as. dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta.” (QS. al-Mu ‘min [4]: 36-37)

 

Ayat tersebut diturunkan lantaran Fir’aun telah mendustakan Nabi Musa as. yang menyatakan bahwa Allah swt. berada di atas langit. Allah swt. berfirman,

 

“Apakah kalian merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia menjungkir balikkan bumi bersama kalian, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?” (QS. al-Mulk [67]: 16)

 

Arasy berada di atas lapisan-lapisan langit. Ketika Arasy dinyatakan berada di atas langit, Allah pun berfirman, “Apakah kalian merasa aman terhadap Allah yang ada di langit.” Sebab Allah istiwa’ di atas Arasy-Nya yang berada di atas langit. Sementara semua yang berada dj atas, itulah yang disebut langit. Dengan demikian, Arasy berada di bagian tertinggi dari lapisan-lapisan langit.

 

Bukan berarti jika Allah berfirman “Apakah kalian merasa aman terhadap Allah yang ada di langit,” itu berarti bahwa Dia berada di semua langit, tapi yang dimaksud adalah berada di atas Arasy yang lebih tinggi daripada lapisan-lapisan langit.

 

Tidakkah Anda melihat ketika Allah swt. menyebutkan berlapis-lapis langit kemudian Allah berfirman, “Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya dan menjadikan matahari sebagai pelita.” (QS. Nuh [71]: 16) Dalam ayat ini dapat diketahui bahwa Allah swt. sama sekali tidak menyatakan bahwa bulan memenuhi seluruh petala langit dan tidak pula ingin menyatakan bahwa bulan berada di seluruh lapisan langit.

 

Kita melihat umat Islam mengangkat tangan mereka ke arah langit ketika mereka berdoa karena Allah swt. memang istiwa’ di atas Arasy-Nya yang berada di atas lapisan-lapisan langit. Kalaulah bukan karena Allah istiwa di atas Arasy, tentulah mereka tidak akan mengangkat tangan ke arah Arasy sebagaimana mereka tidak akan merendahkan tangan mereka ke tanah ketika berdoa.

 

ARTI KATA “ISTIWA’

 

Beberapa orang dari kelompok Mu’tazilah, Jahmiyah, dan Haruriyah berkata bahwa pengertian dari firman Allah swt. di atas, “Yang Maha Pemurah, yang beristiwa di atas Arasy,” (QS. Thaha [20]: 15) adalah bahwa Dia menguasai, memiliki, dan menundukkan Arasy, karena Allah swt. berada di semua tempat. Mereka mengingkari bahwa Allah swt. istiwa’ di atas Arasy, sebagaimana yang dikatakan oleh kalangan Ahlul Haq. Mereka mengalihkan pengertian dari istiwa’ menjadi berkuasa.

 

Kalau memang kenyataannya adalah seperti yang mereka nyatakan, berarti tidak ada perbedaan antara Arasy dan bumi karena Allah Mahakuasa atas bumi, segala rerumputan, serta berkuasa atas segala sesuatu yang ada di alam semesta. Apabila Allah istiwa’ di atas Arasy dengan pengertian bahwa dia menguasainya, sedangkan Dia menguasai segala sesuatu, berarti Dia istiwa’ di atas Arasy, bumi, langit, rerumputan, dan semua benda karena Dia Mahakuasa atas segala sesuatu dan menguasai segala yang ada.

 

Dengan demikian, apabila Allah Maha Menguasai segala sesuatu, sedangkan seorang muslim mana pun dilarang untuk menyatakan bahwa Allah swt. istiwa’ di atas rerumputan dan pada segala sesuatu yang ada di dunia. Dengan demikian, tidak boleh pengertian istiwa’ Allah swt. di atas Arasy dimaknai sebagai “menguasai” yang artinya berlaku umum pada segala sesuatu. Alih-alih, pengertian istiwa’ Allah swt. itu harus berlaku khusus pada Arasy dan bukan pada segala sesuatu.

 

Akan tetapi, kaum Mu’tazilah, Haruriyah, dan Jahmiyah meyakini bahwa Allah swt. berada di semua tempat sehingga itu mengharuskan mereka untuk me, nyatakan bahwa Allah swt. ada pula di dalam perut Maryam, di rerumputan, dan pada segala sesuatu yang ada di dunia. Tentu saja keyakinan seperti itu telah menyimpang dari (ajaran) agama ini. Mahaluhur Allah swt. dari semua pernyataan mereka.

 

Katakan pada mereka bahwa apabila Allah swt. tidak istiwa’ di atas Arasy dengan pengertian khusus “hanya istiwa’ di atas Arasy” tanpa tempat atau benda apa pun yang selain Arasy. Sebagaimana yang dinyatakan oleh para ulama, para perawi hadis dan atsar, bahwa Allah swt. berada di semua tempat. Sehingga Allah juga berada di bawah bumi dan langit membentang di atasnya.

 

Apabila Allah berada di bawah bumi, berarti bumi berada di atas-Nya, lalu langit berada di atas bumi. Dengan demikian kalian harus menyatakan bahwa Allah swt. berada di bawah, sedangkan berbagai benda berada di atas-Nya. Akan tetapi, Dia juga berada di atas segala yang tinggi, sedangkan segala sesuatu berada di bawahNya. Hal itu menunjukkan bahwa Allah swt. berada di bawah sesuatu yang Dia berada di atasnya dan Dia juga berada di atas sesuatu yang Dia berada di bawahnya. Tentu saja keadaan seperti itu mustahil karena saling bertentangan. Mahaluhur Allah swt. dari segala kebohongan mereka.

 

DALIL PENGUAT ALLAH SWT. ISTIWA DI ARASY

 

Allah swt. Tidak Bersemayam di Atas Benda Lain Dalil lain yang menegaskan bahwa Allah swt. hanya Istiwa’ di atas Arasy dan tidak istiwa’ di atas benda-benda yang lainnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh para perawi dari Rasulullah saw.

 

Affan meriwayatkan dari Hammad bin Salamah, dia berkata, “Amr bin Dinar menuturkan kepada kami, dari Nafi’ bin Jubair, dari ayahnya bahwa Nabi saw. bersabda, “Setiap malam Allah swt. turun ke langit dunia lalu bertanya, ‘Adakah orang yang memohon sehingga Aku beri permohonannya? Adakah orang yang meminta ampun sehingga Aku ampuni dosanya?’ Demikianlah seterusnya hingga terbit fajar.”’

 

Abdullah bin Bakar berkata, “Hisyam bin Abu Abdullah menuturkan kepada kami, dari Yahya bin Abu Katsir, dari Abu Ja’far bahwa dia mendengar Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah bersabda, “Ketika tersisa sepertiga malam, Allah Tabaraka Wa Ta’ala turun lalu bertanya, ‘Siapakah yang sedang berdoa kepada-Ku, niscaya akan Aku penuhi permohonannya? Siapakah yang meminta disingkirkan kesusahannya, niscaya Aku akan menyingkirkan kesusahan itu darinya? Siapakah yang meminta rezeki kepada-Ku, niscaya Aku akan beri rezeki padanya? Demikian seterusnya sampai terbit fajar.’”

 

Abdullah bin Bakar as-Sahmi juga berkata bahwa Hisyam bin Abu Abdullah menuturkan kepada kami, dari Yahya bin Abu Katsir, dari Hilal bin Abu Maimunah, dia berkata bahwa Atha bin Yasar menuturkan kepada kami bahwa Rifa’ah al-Juhani berkata, ‘‘Suatu ketika kami melakukan perjalanan bersama Rasulullah, sampaj ketika kami tiba di daerah Kadid (Qadid), beliau memujj Allah swt. kemudian bersabda, ‘Apabila telah berlalu sepertiga—atau dua pertiga malam—Allah swt. turun ke langit, lalu bertanya, ‘Siapakah yang berdoa kepada-ku, niscaya Aku akan kabulkan baginya? Siapakah yang meminta ampun kepada-Ku, niscaya Aku akan ampuni dosanya? Siapakah yang meminta kepada-Ku, niscaya Aku akan beri dia?’ Demikian seterusnya hingga terbit fajar.” Maksud dari “turun” dalam hadis di atas adalah turun yang sesuai dengan Dzat-Nya tanpa gerakan dan perpindahan. Allah Mahatinggi dari hal seperti itu dengan ketinggian yang besar-besarnya.

 

Allah Maha Esa istiwa’ di Arasy Allah swt. berfirman,

 

“Mereka takut kepada Rabb mereka yang berkuasa atas mereka (min fauqihim).” (QS. an-Nahl [16]: 50)

 

Allah swt. juga berfirman,

 

“Malaikat-malaikat dan Roh (Malaikat Jibril) naik menghadap kepada-Nya.” (QS. al-Ma’arij [70]: 4)

 

Allah swt. juga berfirman,

 

“Kemudian Dia beristiwa ke langit ketika langit itu masih berupa asap.” (QS. Fushshilat [41]: 11)

 

Allah swt. juga berfirman,

 

“Kemudian Dia beristiwa di atas Arasy, (Dialah) Yang Maha Pemurah, maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih mengetahui (Muhammad) tentang Dia.” (QS. al-Furqan [25): 59)

 

Allah swt. juga berfirman,

 

“Kemudian Dia bersemayam di atas Arasy. Tidak ada bagi kalian selain daripada-Nya seorang penolong pun dan tidak (pula) seorang pemberi syafaat.” (QS. as-Sajdah [32]: 4)

 

Semua ayat tersebut menjadi dalil yang menunjukkan bahwa Allah swt. berada di langit dan istiwa’ di atas Arasy-Nya. Semua orang sepakat (ijmak) bahwa “langit”, bukanlah “bumi”. Hal itu menunjukkan bahwa Allah Mahasendiri dengan keesaan-Nya istiwa’ di atas Arasy. Istiwa’ yang suci dari pengisian tempat dan penyatuan.

 

Allah swt. berfirman,

 

“Dan datanglah Tuhanmu, sedang malaikat berbaris-baris.” (QS. al-Fajr [89]: 22)

 

Allah swt. juga berfirman,

 

“Tiada yang mereka nanti-nantikan (pada hari kiamat) melainkan datangnya Allah dalam naungan awan.” (QS. al-Baqarah [2]: 210)

 

Allah swt. juga berfirman,

 

“Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat Jagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Maka apakah kalian (musyrikin Makkah) hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya? Sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain,” (QS. an-Najm [53]: 8-13)

 

Penjelasan dari Allah swt. dalam surat an-Najm tersebut berlanjut hingga ayat ke-18, Allah berfirman,

 

“Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tandatanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.” . (QS an-Najm [53]: 18)

 

Allah swt. juga berfirman kepada Isa bin Maryam as. dalam al-Quran, “Sesungguhnya Aku akan mewa, fatkanmu dan mengangkat kamu kepada-Ku.” (QS. Ali Imran [3]: 55) Allah swt. juga berfirman dalam surat lain, “Mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa. Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya.” (QS. an-Nisa’ [4]: 157-158)

 

Umat Islam telah berijmak bahwa Allah swt. mengangkat Isa as. ke langit. Ketika segenap kaum muslimin mengharapkan pertolongan kepada Allah swt. atas suatu musibah yang menimpa mereka, mereka semua juga berkata, “Ya Rabb al-‘arsy!” atau “Wahai Tuhan pemilik Arasy!” Sebagaimana halnya sumpah mereka, “Tidak, demi Dzat yang terhijab oleh tujuh lapis langit!”

 

Allah swt. Bersabda melalui Wahyu Allah swt. berfirman,

 

“Dan tidak patut bagi seorang manusia bahwa Allah akan berbincang dengannya, kecuali melalui perantara wahyu di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat), lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki.” (QS. asy-Syara [42]: 51)

 

Ayat ini berlaku khusus bagi manusia, tidak bagi makhluk apa pun selain mereka. Jika ayat tersebut berlaku umum untuk semua makhluk, baik dari manusia maupun bukan maka untuk menjauhkannya dari ketidakjelasan (syubhat) dan keraguan pada orang yang mendengar ayat ini, semestinya Allah swt. berfirman dengan kalimat yang berbunyi, “Dan tidak layak bagi siapa pun Allah berbincang dengannya kecuali dengan perantara wahyu, di belakang tabir, atau dengan mengutus seorang utusan.”

 

Sehingga hilanglah keraguan dan kebingungan bagi para pendengar, daripada jika ayat ini berbunyi, “Dan tidak ada bagi salah satu jenis dari berbagai jenis bahwa Allah berbincang dengannya kecuali dengan perantara wahyu, di belakang tabir, atau dengan mengutus seorang utusan.”

 

Allah mengesampingkan jenis-jenis yang tidak dikandung oleh ayat dalam mengumpulkan semua jenis yang tidak termasuk dapat keumuman ayat tersebut. Jadi hal itu menunjukkan bahwa ayat yang telah kita sebutkan tadi berlaku khusus untuk manusia dan tidak berlaku untuk selainnya.

 

Allah swt. Tidak Berada dalam Makhluk-Nya

 

Allah swt. berfirman,

 

“Kemudian mereka (hamba-hamba Allah) dikembalikan kepada Allah, Penguasa mereka yang sebenarnya.” (QS. al-An’am [6]: 62)

 

Allah swt. juga berfirman,

 

“Seandainya kamu melihat mereka dihadapkan kepada Tuhan mereka,” (QS al-An’am [6]: 30)

 

Allah swt. juga berfirman,

 

“Jika sekiranya kamu melihat mereka ketika orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya, (mereka berkata), ‘Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), kami akan mengerjakan ama! shalih, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang yakin.’” (QS. as-Sajdah [32]: 12)

 

Allah swt. juga berfirman,

 

“Mereka akan dibawa ke hadapan Tuhanmu dengan berbaris.” (QS. al-Kahfi [18]: 48)

 

Ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah swt. tidak berada dalam makhluk-Nya. Begitu juga bahwa makhluk Allah tidak berada di dalam-Nya. Allah istiwa di atas Arasy-Nya, tanpa bertanya-tanya bagaimana gambarannya dan cara menetapnya (bi Ia kaifin wa istiqrarin). Allah Mahaluhur atas apa yang dikatakan orang-orang zalim dan ingkar dengan ketinggian yang sebesar-besarnya.

 

Mereka tidak menetapkan terhadap-Nya sifat yang hakiki sehingga mereka tidak mewajibkan bagi orang-orang yang menyebut Allah dengan keesaan-Nya karena semua perkataan mereka adalah takwil menuju penafian sifat Allah (ta’thil) dan semua sifat yang mereka tetapkan menunjukkan penafian itu. :

 

Apakah dengan semua itu mereka ingin menyucikan (tanzih) Allah swt. serta (menafikan penyerupaan Allah dengan makhluk). Kita semua berlindung kepada Allah swt. dari tindakan penyucian yang ternyata mengandung penafian dan penolakan sifat Allah.

 

Allah swt. Tidak Dapat Dilihat

 

Allah swt. berfirman,

 

“Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya, seperti sebuah lubang yang tidak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam tabung kaca (dan) tabung kaca itu bagaikan bintang yang berkilauan, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah memberi petunjuk kepada cahaya-Nya bagi orang yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. an-Niir [24]: 35)

 

Dalam ayat tersebut, Allah swt. menamakan Diri-Nya dengan kata “ndr” yang berarti “cahaya”. Sementara itu, menurut pengertian yang dipahami oleh umat Islam, pengertian cahaya tidak mungkin lepas dari satu di antara dua makna, yaitu cahaya yang mendengar dan cahaya yang melihat.

 

Siapa yang meyakini bahwa Allah swt. mendengar, tapi tidak dapat melihat, berarti dia telah melakukan kesalahan dengan menafikan bahwa Tuhannya dapat melihat, sekaligus dia juga telah mengingkari firman dan sabda Nabi Muhammad.

 

Para ulama telah meriwayatkan dari Abdullah bin Abbas bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Pikirkanlah segala ciptaan Allah dan janganlah kalian memikirkan tentang-Nya. Sesungguhnya di antara kursi-Nya menuju langit terdapat jarak seribu tahun dan Allah berada di atasnya.”

 

Kisah Budak Perempuan Bersama Nabi Muhammad saw.

 

Para ulama telah meriwayatkan dari Nabi bahwa beliau saw. bersabda, “Sesungguhnya kaki seorang hamba tidak akan beranjak dari hadapan Allah sampai dia ditanya mengenai amalnya.”

 

Para ulama juga telah meriwayatkan bahwa suatu ketika seorang laki-laki mendatangi Nabi saw. dengan membawa seorang budak perempuan berkulit hitam. Lelaki itu lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku ingin memerdekakannya sebagai kafarat, apakah aku boleh memerdekakannya?” Rasulullah bertanya kepada budak perempuan itu, “Di manakah Allah?” Budak perempuan itu menjawab, “Di langit.”

 

Rasulullah bertanya lagi, “Siapakah aku?” Budak perempuan itu menjawab, “Engkau adalah Rasulullah.” Nabi lalu bersabda kepada lelaki itu, “Merdekakanlah dia, karena dia adalah perempuan beriman.” Ini menunjukkan bahwa Allah swt. berada di atas Arasy-Nya di ketinggian langit. Meskipun begitu, ketinggian-Nya tidak menambah dekat ke Arasy.

 

BAB VI WAJAH, DUA MATA, PENGLIHATAN, DAN DUA TANGAN

 

ALLAH swt. berfirman,

 

“Dan jangan (pula) engkau sembah tuhan yang lain selain Allah. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain-Nya. Segala sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Segala keputusan menjadi wewenang-Nya dan hanya kepada-Nya kamu dikembalikan.” (QS. al-Qashash [28]: 88)

 

Allah swt. juga berfirman,

 

“Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS. ar-Rahman [55]: 27)

 

Melalui ayat-ayat ini Allah swt. mengabarkan bahwa Dia Mempunyai “wajah” yang tidak akan fana dan tidak akan mengalami kemusnahan.

 

Allah swt. berfirman,

 

“Yang berlayar dengan pemeliharaan Kami (bia’yunina).” (QS. al-Qamar [54]: 14)

 

Allah swt. juga berfirman,

 

“Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan (bi-a’yunina) dan petunjuk wahyu Kami.” (QS. Had [11]: 37)

 

Dalam ayat-ayat ini Allah swt. mengabarkan bahwa Dia mempunyai wajah dan mata yang tidak boleh dipertanyakan bagaimana bentuk dan batasannya (bi la kaif wa bi la had).

 

Allah swt. berfirman,

 

“Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, maka sesungguhnya kamu berada dalam Penglihatan Kami (a’yunina),” (QS. athThar [52]: 48)

 

Allah swt. juga berfirman,

 

“Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku.” (QS. Thaha [20]: 39)

 

Allah swt. juga berfirman,

“Dan sesungguhnya Allah Maha Melihat lagi Maha Mendengar.” (QS. an-Nisa [4]: 134)

 

Allah swt. juga telah berfirman kepada Nabi Musa as. dan Harun as.

 

“Sesungguhnya Aku bersama kamu berdua, Aku mendengar dan melihat.” (QS. Thaha [20]: 46)

 

Dalam ayat itu Allah swt. mengabarkan pendengaran dan penglihatan yang Dia miliki. Kaum Jahmiyah menafikan bahwa Allah swt. memiliki wajah sebagaimana yang Allah firmankan. Mereka juga menyangkal bahwa Allah swt. memiliki pendengaran, penglihatan, dan mata.

 

Mereka justru memiliki pendapat yang sama dengan pendapat kaum Nasrani karena orang-orang Nasrani tidak meyakini bahwa Allah swt. adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat kecuali hanya dengan pengertian bahwa Dia mengetahui. Seperti itulah pendapat orang-orang Mu’tazilah. Mereka menyatakan bahwa Allah swt. mengetahui, tapi mereka tidak menyatakan bahwa Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat selain dari makna mengetahui itu. Seperti ini pula pernyataan orang-orang Nasrani.

 

Kaum Jahmiyah menyatakan bahwa Allah swt. tidak memiliki ilmu, tidak memiliki kekuasaan, tidak memiliki pendengaran, dan tidak memiliki penglihatan. Tujuan orang-orang Jahmiyah itu sebenarnya adalah perusakan terhadap tauhid dan pendustaan terhadap nama-nama Allah, sehingga mereka menggunakan suatu lafal yang tidak sesuai dengan makna yang sebenarnya. Kalaulah bukan karena mereka takut ancaman hukuman mati, pasti mereka akan secara terang-terangan menyatakan bahwa Allah swt. tidak Maha Mendengar, tidak Maha Melihat, dan tidak Maha Mengetahui. Namun, ketakutan mereka terhadap hukuman mati telah menghalangi mereka untuk menampilkan kezindiqan mereka.

 

Salah seorang syekh dari kalangan Jahmiyah ada yang menyatakan bahwa ilmu Allah adalah Allah itu sendiri dan Allah adalah ilmu. Dia menafikan ilmu dengan kata-kata tidak jelas yang membuat seakan-akan dia menetapkannya, sampai-sampai keyakinannya itu membuatnya berdoa dengan ucapan, “Wahai ilmu, am. punilah aku.” Menurutnya, ilmu Allah itu adalah Allah itu sendiri dan menurut analogi yang dilakukannya, Allah adalah ilmu dan kekuasaan. Mahaluhur Allah atas prasangka seperti itu.

 

Hanya kepada Allah swt. kita memohon petunjuk dan hanya kepada-Nya kita memohon kecukupan. Tidak ada daya dan kekuatan, melainkan dari Allah dan Dialah Dzat yang dimintai pertolongan.

 

Jika ada yang bertanya, “Apakah kalian menyatakan bahwa Allah memiliki wajah?”

 

Jawabannya: Kami menyatakan seperti itu dengan menyelisihi apa yang dinyatakan oleh para pembuat bid’ah. Hal itu telah ditunjukkan oleh firman Allah swt,

 

“Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS. ar-Rahman [55]: 27)

 

APAKAH ALLAH SWT. MEMPUNYAI DUA TANGAN?

 

Apabila mereka bertanya kepada kami, “Apakah kalian menyatakan bahwa Allah swt. mempunyai dua tangan?” Jawaban atas pertanyaan itu adalah bahwa kami memang menyatakan seperti itu, sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh firman Allah,

 

“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad), sesungguhnya mereka hanya berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka maka siapa yang melanggar janji, sesungguhnya dia melanggar atas (janji) sendiri, dan siapa menepati janjinya kepada Allah maka Dia akan memberinya pahala yang besar.” (QS. al-Fath [48]: 10)

 

Allah swt juga berfirman,

 

“Wahai iblis, apakah yang menghalangimu sujud kepada makhluk yang telah Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku.” (QS Shad [38]: 75)

 

Selain itu, Rasulullah saw. bersabda,

 

“Sesungguhnya Allah swt. mengusap punggung Adam dengan tangan-Nya, lalu mengeluarkan dari punggung tersebut anak-cucunya.” Ketetapan tangan dalam hadis di atas, tanpa pertanyaan bagaimana gambarannya (bi la kaif).

 

Allah swt. juga berfirman,

 

“Kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku.” (QS Shad [38]: 75)

 

Disebutkan pula dalam sebuah hadis ma’tsur dari Nabi saw. bahwa Allah swt. menciptakan nabi Adam as., dan surga ‘Adn dengan tangan-Nya. Begitu juga menulis Taurat dan menanam pohon Thuba juga dengan tanganNya. Maksudnya dengan tangan kekuasaan-Nya.

 

Allah swt. berfirman,

 

“Orang-orang Yahudi berkata, ‘Tangan Allah terbelenggu’, sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan oleh apa yang telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki. Dan al-Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sungguh-sungguh akan menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan di antara mereka. Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari kiamat. Setiap mereka menyalakan api peperangan, lalu Allah memadamkannya dan mereka berbuat kerusakan di muka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan.” (QS. al-Ma‘idah [5]: 64)

 

Dalam sebuah riwayat dari Nabi Muhammad saw. dinyatakan bahwa beliau bersabda,

 

“Kedua tangan-Nya adalah tangan kanan.”

 

Allah swt. juga berfirman, “Niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya.” (QS. al-Haqqah [69]: 45)

 

Baik menurut Bahasa Arab maupun adat istiadat berbahasa bangsa Arab tidak diperbolehkan mengatakan “‘amiltu kadza bi yadi (saya melakukan ini dengan tangan saya)”, dan mengartikan “tangan” sebagai nikmat. Maka tidak mungkin “tangan” dalam firman Allah swt. tersebut berarti nikmat. Hal serupa berlaku pada kalimat “Li ‘alaihi yad (tangan saya ada di atasnya)” dengan pengertian “saya memiliki nikmat atasnya.”

 

Tidak mungkin untuk mengaitkan antara kata “yad (tangan)” dengan “nikmat”, kecuali hanya dari sisi bahasa. Orang tidak boleh menafsirkan al-Quran hanya dari sisi bahasa saja karena akan mengalami kekeliruan. Seorang penafsir juga harus merujuk pada kesepakatan para ulama.

 

Ulama tidak pernah bersepakat terhadap maksud “yad” berarti “nikmat”. Di dalam bahasa Arab tidak boleh ada orang yang menyatakan “yadi (tangan saya)” dengan pengertian “nikmat saya”. Jika orang tersebut mencari alasan lain, tidak mungkin akan dapat menemukan jawabannya.

 

Arti Kata “Bi yadi”

 

Katakan pada para pembuat bid’ah, “Mengapa kalian meyakini bahwa firman Allah ‘bi yadi (dengan tanganKu)’ artinya adalah ‘nikmat-Ku’. Apakah kalian meyakini hal itu sebagai ijmak ataukah hanya dari segi bahasa?”

 

Mereka pasti tidak akan menemukan dalil di dalam ijmak dan bahasa. Apabila mereka menjawab, “Kami menyatakan itu berdasarkan qiyas.” Tanyakanlah pada mereka, di dalam qiyas yang manakah mereka menemukan keterangan bahwa firman Allah ‘biyadi (dengan tangan-Ku)’ tidak memiliki arti selain ‘nikmat-Ku’?

 

Bagaimana mungkin dapat diketahui menggunakan akal bahwa penafsiran terhadap ayat adalah seperti ini dan itu. Sementara kita telah mengetahui bahwa Allah swt. telah menyatakan di dalam Kitab-Nya yang berbicara melalui lisan nabi-Nya yang Shiddiq. Allah swt. berfirman,

 

“Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dialah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ibrahim [14]: 4)

 

Allah swt. juga telah berfirman,

 

“Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa ‘ajam (non-Arab), sedang al-Quran adalah dalam bahasa Arab yang terang.” (QS. an-Nahl [16]: 103)

 

Allah swt. juga telah berfirman,

 

“Sesungguhnya Kami menjadikan al-Quran dalam bahasa Arab.” (QS.Az-Zukhruf [43]: 3)

 

Allah swt. juga telah berfirman,

 

“Apakah mereka tidak memperhatikan al-Quran ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad [47]: 24)

 

Jika al-Quran menggunakan bahasa selain Arab, tentu saja kita tidak akan dapat merenunginya (tadabur). Sebagaimana kita juga tidak akan dapat mengetahui maknanya ketika kita mendengarnya. Ketika seseorang yang tidak memahami bahasa Arab dengan baik, pasti tidak akan mampu memahami al-Quran dengan baik. Sementara orang-orang Arab akan dapat memahami maknanya ketika mereka mendengarnya. Dari situ dapat diketahui bahwa mereka mengetahui isi al-Quran karena ia diturunkan menggunakan bahasa mereka. Sementara di dalam Bahasa Arab itu tidak seperti apa yang disangka oleh kaum Jahmiyah.

 

“Tangan” Tidak Berarti Kekuatan, Terkadang ada orang yang berdalih dengan firman Allah, 

 

“Langit itu Kami bangun dengan “aid” dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa.” (QS. adz-DzariyAat [51]: 47)

 

Mereka menyatakan bahwa “aid” atau “tangan-tangan” yang disebutkan dalam ayat di atas berarti “kekuatan’’. Oleh karena itu, firman-Nya yang berbunyi “bi yadi (dengan tangan-Ku)” diartikan menjadi “bi qudrati (dengan kekuasaan-Ku).”

 

Katakan pada mereka bahwa penafsiran seperti itu adalah takwil yang batil jika ditinjau dari beberapa segi. Salah satunya adalah bahwa kata “aid” bukanlah bentuk jamak dari kata “yad” karena bentuk jamak dari kata yad yang berarti “tangan” adalah “ayadi.” Sementara bentuk jamak dari yad yang berarti “nikmat” adalah “ayadi”. Allah swt. berfirman, “Kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku,” (QS. Shad [38]: 75) Dengan demikian, makna “bi-yadi (dengan nikmat)” sebagai pengertian dari firman-Nya, “Langit itu Kami bangun dengan tangan-tangan,”’ menjadi batal.

 

Selain itu, apabila memang Allah swt. memaksudkan kata tersebut bermakna “kekuatan’’, arti kata itu menjadi “dengan kekuasaan-Ku’’. Padahal pemaknaan seperti itu bertentangan dengan pernyataan orang yang menyelisihi pendapat kami dan sekaligus menghancurkan aliran mereka, karena mereka tidak pernah mau menetapkan adanya satu kuasa bagi Allah, apalagi mau menetapkan dua kuasa. Lagi pula, apabila Allah swt. memaksudkan firman-Nya “Kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku,” adalah untuk memiliki pengertian “kuasa (qudrah)’”, berarti tidak ada keistimewaan yang dimiliki Adam as. yang membuatnya lebih unggul dibanding Iblis.

 

Padahal Allah swt. menghendaki untuk menunjukkan keutamaan Adam as. yang Dia ciptakan dengan kedua tangan-Nya, dan Iblis tidak seperti itu. Kalaulah Allah swt. menciptakan Iblis dengan kedua tangan-Nya seperti Dia menciptakan Adam as. dengan kedua tanganNya, pengistimewaan Adam as. atas Iblis as. menjadi tidak ada artinya. Karena Iblis akan berargumen terhadap Allah swt. dengan berkata, “Engkau telah menciptakan aku dengan kedua tangan-Mu, sebagaimana Engkau menciptakan Adam juga dengan keduanya.”

 

Ketika Allah swt. ingin mengunggulkan Adam as. atas Iblis dengan hal itu (penciptaan Adam as. dengan tangan-Nya), Dia pun berkata kepada Iblis untuk mengecam kesombongan Iblis terhadap Adam as. sehingga dia menolak bersujud kepada Adam as. Allah swt. berfirman,

 

“Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?” (QS. Shad [38]: 75)

 

Jadi, penjelasan ini membuktikan bahwa makna ayat tersebut bukan “kuasa (qudrah)” sebab Allah swt. menciptakan segala sesuatu dengan kuasa-Nya. Sebenarnya yang Allah swt. inginkan adalah menetapkan keberadaan kedua tangan-Nya yang Iblis tidak mengalami apa yang dialami Adam as. yang Allah swt. telah menciptakannya dengan kedua tangan-Nya itu.

 

Firman Allah swt. di atas yang berbunyi, “Kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku,” tidak mungkin lepas dari kemungkinan pengertian bahwa maksudnya adalah penetapan “dua tangan (yadain)” sebagai “dua nikmat (ni’matain)”. Atau maksudnya adalah penetapan “dua tangan (yadain)” sebagai dua anggota tubuh. Atau maksudnya adalah penetapan “dua tangan (yadain)” dalam pengertian “dua kuasa (qudratain)”. Atau maksudnya adalah penetapan “dua tangan (yadain)” bukan dalam pengertian sebagai “dua nikmat”, bukan pula “dua anggota tubuh”, dan bukan pula “dua kuasa”, tapi kata “dua tangan” (yadain) itu tidak boleh dijelaskan artinya, kecuali sebagaimana yang telah Allah swt. jelaskan.

 

Kata tersebut tidak boleh diartikan sebagai “dua nikmat” karena menurut para ahli bahasa adalah tidak boleh seseorang untuk mengatakan “‘amiltu bi-yadi”, yang berarti “saya bekerja dengan tangan saya”, tetapi yang dimaksud adalah “saya bekerja dengan nikmat saya”. Kita semua bersepakat untuk mengartikan kata “dua tangan (yadain)” menjadi “dua anggota tubuh”, sebagaimana tidak boleh pula menurut mereka yang berlawanan pendapat dengan kami untuk mengartikan kata “dua tangan (yadain)” menjadi “dua kuasa”.

 

Jadi, apabila ketiga arti tersebut diketahui salah, berarti hanya satu arti yang benar. Yaitu bahwa firman Allah swt. yang menyatakan “dengan kedua tangan-Ku” artinya adalah penetapan keberadaan dua buah tangan yang keduanya bukan dua anggota tubuh, bukan dua ku. asa, dan bukan dua nikmat. Keduanya juga hanya boleh dikatakan “dua tangan” yang tidak seperti tangan dan tidak termasuk dalam tiga pengertian tersebut di atas.

 

Penjelasan Tentang “Dua Nikmat” .

 

Selain apa yang telah disebutkan tadi, apabila makna dari firman Allah swt. “tangan-Ku” adalah “nikmatKu”, berarti tidak ada keutamaan yang dimiliki Adam as. melebihi Iblis sebagaimana keyakinan para lawan debat kami, karena—menurut pendapat mereka—Allah swt. telah menciptakan Iblis sebagaimana Dia juga menciptakan Adam as.

 

Berkenaan dengan “dua nikmat” itu, tidak mungkin pengertian yang dimaksud dari keduanya adalah tubuh Adam as. atau dua aksiden (‘aradh) yang diciptakan pada satu tubuh Adam. Apabila yang dimaksud adalah tubuh Adam, semua tubuh menurut mereka (kalangan Mu’tazilah), pada hakikatnya adalah satu tubuh. Apabila semua tubuh adalah satu tubuh, menurut keyakinan mereka, berarti menurut mazhab mereka, di dalam jasad Iblis terdapat nikmat yang sama dengan yang ada pada jasad Adam as.

 

Demikian pula halnya apabila yang dimaksud adalah dua aksiden, berarti tidak ada satu pun aksiden yang Allah swt. buat di dalam tubuh Adam seperti warna, kehidupan, kekuatan, atau aksiden lain, kecuali semua aksiden seperti itu juga Allah swt. buat ada di dalam tubuh Iblis. Tentu saja keadaan seperti ini berkonsekuensi pada kesimpulan bahwa tidak ada keunggulan Adam as. atas Iblis dalam hal itu. Padahal Allah swt. yang Mahaperkasa itu telah berargumen terhadap Iblis dengan keunggulan Adam as. tersebut untuk menunjukkan kepada Iblis bahwa Adam as. memiliki keunggulan dalam hal-hal tersebut.

 

Dari penjelasan yang kami sampaikan itu dapat diketahui adanya bukti yang menunjukkan bahwa ketika Allah swt. berfirman, “‘Kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku,” Dia sama sekali tidak memaksudkan kata “tangan-Ku” dalam ayat itu sebagai “nikmat-Ku”.

 

Tanyakan pada mereka mengapa mereka mengingkari maksud firman Allah, “Kedua tangan-Ku” adalah “dua tangan” dan bukan “dua nikmat”?

 

Apabila mereka menjawab, “Karena jika kata tersebut tidak diartikan dengan nikmat maka artinya adalah anggota badan.” Kami menyangkal, “Mengapa mereka menetapkannya, yaitu apabila arti kata itu bukan ‘nikmat’, maka artinya harus ‘anggota badan’?” Mereka mengacu pada apa yang bisa kita lihat dan apa yang selalu kita temukan pada semua makhluk di sekitar kita. Lalu mereka menyatakan, “Apabila pengertian dari kata ‘tangan’ bukan ‘nikmat’ berdasarkan pada apa yang kita lihat, tidak ada arti lain, kecuali ‘anggota badan’.”

 

Kami jawab, “Jika kalian menetapkan pengertian berdasarkan apa yang terlihat, lalu kalian menetapkannya terhadap Allah dan di sisi lain kita tidak pernah menemukan satu pun makhluk yang bisa hidup tanpa berupa jasad dengan daging dan darah. Oleh karena itu, tetapkanlah hal itu juga terhadap Allah. Jika kalian tidak menetapkannya terhadap Allah, berarti pendapat yang kalian buat dengan takwil itu bertentangan dengan argumentasi kalian. Apabila kalian nyatakan itu sebagai sesuatu yang hidup tidak seperti makhluk hidup dij antara kita, mengapa kalian mengingkari bahwa kedua tangan yang Allah swt. kabarkan itu adalah memang ‘dua buah tangan’ dan bukan ‘dua nikmat’, bukan ‘dua anggota badan’, dan juga tidak sama dengan tangantangan pada umumnya?”

 

Katakan juga pada mereka, “Kalian tidak menemukan satu pengatur yang bijak, kecuali berupa sosok manusia, lalu kalian tetapkan bahwa dunia memiliki Pengatur Bijak yang tidak sama dengan manusia. Dengan demikian, kalian telah bertentangan dengan apa yang terlihat dan sekaligus kalian batalkan argumentasi kalian sendiri. Oleh karena itu, janganlah kalian enggan menetapkan “dua tangan” yang bukan “dua nikmat” dan bukan pula “dua anggota badan” hanya karena hal itu menyelisihi apa yang dapat dilihat.”

 

PENJELASAN MENGENAI ALLAH SWT. MEMPUNYAI “BEBERAPA TANGAN”

 

Apabila mereka bertanya, “Jika kalian menetapkan bahwa Allah swt. memiliki dua tangan berdasarkan firman-Nya, ‘Kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku,’ (QS. Shad [38]: 75) lantas mengapa kalian tidak tetapkan juga pada-Nya bahwa Allah swt. mempunyai beberapa tangan berdasarkan firman-Nya dalam surat lain, ‘Apa-apa yang Kami ciptakan dengan tangan-tangan Kami’ (QS. Yasin [36]: 71)?”

 

Jawabannya: Umat Islam sudah berijmak atas kebatilan pernyataan orang yang menetapkan Allah swt. mempunyai beberapa tangan. Ketika mereka sudah berijmak atas kebatilan pernyataan orang yang menyatakan pendapat seperti itu, menjadi wajib ketika Allah swt. menyebut kata “aidi (beberapa tangan)” untuk dirujuk kepada penetapan bahwa Dia memiliki “dua tangan”. Sebab dalilnya telah menunjukkan kebenaran ijmak.

 

Apabila sebuah ijmak dinyatakan sahih, firman-Nya yang berbunyi “aidi (beberapa tangan)” harus dirujuk kepada makna “dua tangan”. Sebab al-Quran sesuai dengan pengertian eksplisitnya dan kita tidak boleh beralih dari pengertian eksplisitnya, kecuali dengan adanya argumentasi. Ternyata dalam hal ini, kita menemukan argumentasi yang mengalihkan kita dari pernyataan bahwa Allah swt. memiliki beberapa tangan berdasarkan satu pengertian eksplisit untuk kemudian beralih kepada satu pengertian eksplisit sehingga pengertian eksplisit yang lain itulah yang wajib ditetapkan sebagai kebenaran hakiki yang tidak boleh kita beralih darinya kecuali dengan adanya argumentasi.

 

Arti Kata “Aidi”

 

Jika ada yang bertanya, “Apabila Allah swt. telah menyebutkan kata “aidi (beberapa tangan)”’ dan ternyata yang dimaksud adalah “yadain (dua tangan)’’, lantas mengapa kalian mengingkari ketika kata “aid?” diartikan sebagai “yaad wahidah (satu tangan)’?”

 

Jawabannya: Ketika Allah swt. menyebutkan kata ‘‘aidi (beberapa tangan)’’, lalu dinyatakan bahwa maksudnya adalah “yadain (dua tangan)’’, itu terjadi karena umat Islam telah berijmak bahwa pendapat yang menyatakan Allah swt. mempunyai banyak tangan atau hanya satu tangan adalah pendapat yang batil. Kami menyatakan bahwa maksud firman itu adalah “dua tangan’”’, karena al-Quran selalu mengikuti pernyataan eksplisit lahiriahnya, kecuali apabila ada argumentasi yang bertentangan dengan pengertian eksplisit tersebut.

 

Apabila seseorang bertanya, “Mengapa kalian mengingkari bahwa firman Allah, ‘Apa-apa yang Kami ciptakan dengan tangan-tangan Kami.’ (QS. Yasin [36]: 71) dan firman-Nya, ‘Kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku.’ (QS. Shad [38]: 75)’ sebenarnya memiliki arti majas (kiasan)?”’

 

Jawabannya: Telah ditetapkan bahwa firman Allah swt. harus diartikan berdasarkan pernyataan eksplisitnya dan sesuai hakikatnya. Tidak boleh ada sedikit pun darinya yang dialihkan dari pengertian eksplisitnya ke pengertian majasi, kecuali hanya dengan adanya argumentasi. Tidakkah kalian melihat ketika pengertian eksplisit sebuah kalimat yang bermakna umum sehingga ketika apa yang disampaikan itu menggunakan lafal umum, sedangkan yang dimaksud adalah khusus, berarti makna lafal tersebut tidak dapat dinyatakan mengikuti hakikat lahiriahnya, sebagaimana tidak boleh pula pengertiannya untuk dialihkan dengan pengertian eksplisitnya yang umum itu dari keumumannya tanpa adanya argumentasi.

 

Demikian pula dengan firman Allah, “Kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku,” (QS. Shad [38]: 75) harus diartikan berdasarkan pengertian eksplisit dan pengertian hakikinya, yaitu bahwa ia menetapkan dua tangan bagi Allah. Pengertian eksplisit “dua tangan” itu tidak boleh dialihkan kepada apa yang diklaim oleh para lawan debat kami, kecuali hanya dengan adanya argumentasi karena kalau tindakan seperti itu (mengalihkan pengertian eksplisit ke pengertian lain tanpa hujah) boleh, berarti boleh hukumnya bagi siapa pun untuk mengklaim bahwa sesuatu yang secara eksplisit bermakna umum sebenarnya bermakna khusus, atau sesuatu yang secara eksplisit bermakna khusus sebenarnya bermakna umum, dan itu dilakukan tanpa argumentasi sama sekali.

 

Apabila hal seperti itu tidak boleh dilakukan oleh seseorang tanpa adanya bukti yang jelas, tidak boleh juga bagi mereka (para pena’wil yang batil) untuk mengklaim bahwa ayat itu bermakna majas tanpa menggunakan argumentasi. Alih-alih firman Allah, “Kepada vang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku,” (QS. Shad [38]; 75) harus dimaknai dengan “dua tangan” bagi Allah swt. secara hakiki, bukan diartikan sebagai “dua nikmat”.

 

Apabila keduanya itu adalah “dua nikmat”, menurut para ahli bahasa, tidak boleh seseorang mengatakan “fa’altu biyadayya (saya kerjakan dengan dua tangan saya)”, sedangkan sebenarnya yang dia maksud dengan kata “yadayya (dua tangan saya)” di situ adalah “dua nikmat”.

 

BAB VII BANTAHAN TERHADAP ALIRAN JAHMIYAH YANG MENAFIKAN ILMU, KUASA, DAN SIFAT-SIFAT ALLAH SWT. LAINNYA 

 

ALLAH swt. berfirman,

 

“Tetapi Allah mengakui al-Quran yang diturunkan-Nya kepadamu. Allah turunkan dengan ilmu-Nya.” (QS. An-Nisa’ [4]: 166)

 

Allah swt. juga berfirman,

 

“Dan tidak ada seorang perempuan pun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan pengetahuan-Nya.” (QS. Fathir [35]: 11)

 

Allah menyebutkan “ilmu (‘ilm)” di lima tempat dalam al-Quran. Allah swt. berfirman,

 

“Jika mereka yang kamu seru itu tidak menerima seruanmu (ajakanmu) itu maka (katakanlah olehmu), ‘Ketahuilah, sesungguhnya al-Quran itu diturunkan dengan ilmu Allah’.” (QS. Had [11]: 14)

 

Allah swt. juga berfirman, .

 

“Mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya.” (QS. al-Baqarah [2]: 255)

 

Allah swt. menyebutkan “kekuatan (quwwah)” dalam firman-Nya,

 

“Apakah mereka itu tidak memperhatikan bahwa Allah yang menciptakan mereka adalah lebih besar kekuatan-Nya dari mereka.” (QS. Fushshilat [41]: 15)

 

Allah swt. juga berfirman,

 

“Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan Lagi Sangat Kokoh.” (QS. adz-Dzariyat [51]: 58)

 

Allah swt. juga berfirman,

 

“Dan langit itu Kami bangun dengan tangan kami.” (QS. adz-Dzariyat [51]: 47)

 

Kaum Jahmiyah menyatakan bahwa Allah swt. tidak memiliki ilmu, kuasa (qudrah), kehidupan (hayah), pendengaran (sam’), dan juga tidak memiliki penglihatan (bashr). Mereka ingin menafikan bahwa Allah swt. mengetahui (‘alim), berkuasa (qadir), hidup (hayy), mendengar (sami’), dan melihat (bashir).

 

Akan tetapi, mereka dihalangi oleh ketakutan terhadap hukuman mati untuk menampakkan penyangkalan mereka itu secara terang-terangan sehingga mereka pun menyatakan hal-hal yang pengertiannya seperti itu. Apabila mereka menyatakan bahwa Allah swt. tidak mempunyai ilmu dan tidak memiliki kekuasaan, berarti mereka telah menyatakan bahwa Allah bukan Dzat yang Berilmu dan bukan Dzat yang Berkuasa. Pengertian seperti itu tidak dapat dihindarkan dari mereka.

 

Sebenarnya, mereka mengambil pendapat itu dari kaum zindiq pelaku ta’thil (orang-orang yang menafikan nama dan sifat Allah). Hal ini disebabkan oleh sebagian besar dari kaum zindiq menyatakan bahwa Allah bukanlah Dzat yang Maha Mengetahui, bukan Dzat yang Mahakuasa, bukan Dzat yang Mahahidup, bukan Dzat yang Maha Mendengar, dan bukan Dzat yang Maha Melihat.

 

Akan tetapi, kaum Mu’tazilah tidak cukup mampu untuk mengatakan semua itu sehingga akhirnya mereka menyatakan sesuatu yang sebenarnya memiliki arti seperti itu. Mereka pun menyatakan bahwa Allah swt. berpengetahuan, hidup, mendengar, dan melihat, tetapi sebatas nama, tanpa menetapkannya secara hakiki bahwa Allah swt. memiliki ilmu, kuasa, pendengaran, dan penglihatan.

 

APAKAH ILMU ALLAH SWT. ADALAH ALLAH ITU SENDIRI?

 

Salah seorang dedengkot dari sekte Mu’tazilah yang bernama Abu Hudzail Allaf berkata, “Sesungguhnya ilmu Allah adalah Allah itu sendiri.” Jadi, dia menetapkan bahwa Allah itu adalah ilmu. Oleh karena itu, harus dikatakan kepadanya, “Kalau Anda mengatakan bahwa ilmu Allah itu adalah Allah itu sendiri, ucapkanlah doa, ‘Wahai ilmu Allah, ampunilah dosaku dan kasihilah aku.’” Ternyata dia menolak berdoa seperti itu karena memang keyakinannya itu berkonsekuensi pada munculnya dua hal yang saling bertentangan.

 

Perlu diketahui, siapa pun yang menyatakan bahwa Allah swt. Mengetahui tetapi Dia tidak mempunyai ilmu pengetahuan, berarti dia telah mengumpulkan dua hal yang saling bertentangan, sebagaimana orang yang menyatakan bahwa Allah berilmu tetapi Dia bukan yang berilmu, kedua hal itu saling bertentangan. Demikian pula halnya dengan pernyataan bahwa Allah mempunyai kekuasaan (qudrah) tetapi Dia tidak berkuasa, Allah memiliki hidup tetapi Dia tidak hidup, Allah swt. memiliki pendengaran dan penglihatan tetapi Dia tidak mendengar dan tidak melihat.

 

Tanyakan pada mereka, “Jelaskanlah kepada kami perihal orang yang menyatakan bahwa Allah Maha Berbicara lagi Maha Berfirman, senantiasa memberi perintah dan melarang, tetapi Dia dinyatakan tidak berfirman, tidak bicara, tidak memberi perintah dan tidak melarang. Bukankah pernyataan seperti itu adalah perkataan yang kontradiktif dan sudah melenceng dari keyakinan segenap kaum muslimin?” Pasti mereka akan sepakat.

 

Setelah itu, katakan pada mereka, “Demikian juga dengan ucapan yang menyatakan bahwa Allah mengetahui tetapi Dia tidak memiliki pengetahuan, itu juga sebuah pernyataan yang kontradiktif yang berada dan sudah keluar dari keyakinan kaum muslimin.”

 

Sebelum munculnya aliran Jahmiyah, Mu’tazilah, dan Haruriyah, kaum muslimin telah berijmak bahwa Allah memiliki ilmu yang terus menerus dan tetap (lam vazal). Mereka menyatakan bahwa ilmu Allah bersifat tetap ada. Keberadaan ilmu Allah itu mendahului segala sesuatu. Mereka juga tidak pernah menolak untuk menyatakan pada setiap kejadian dan musibah yang terjadi, bahwa semua itu sudah lebih dulu ada dalam ilmu Allah. Siapa yang mengingkari bahwa Allah memiliki ilmu, dia telah bertentangan dengan kaum muslimin dan telah keluar dari kesepakatan mereka.

 

Tanyakan pada mereka (kaum Jahmiyah, Mu’tazilah, dan Haruriyah), “Apabila Allah Maha Berkehendak (murid), apakah Dia memiliki kehendak (iradah)?”

 

Apabila mereka menjawab tidak, katakan pada mereka, “Kalau begitu, jika kalian menetapkan bahwa Allah Maha Berkehendak tetapi Dia tidak memiliki kehendak, berarti kalian menetapkan bahwa Allah Maha Berbicara tetapi Dia tidak memiliki ucapan apa pun.”

 

Apabila mereka menetapkan bahwa Allah memiliki kehendak, katakan pada mereka, “Apabila Allah Maha Berkehendak, sedangkan tidak ada yang berkehendak kecuali dengan memiliki kehendak, lantas mengapa kalian mengingkari bahwa Allah yang Maha Mengetahui tidak mungkin Maha Mengetahui, kecuali jika Dia memiliki pengetahuan, sebagaimana kalian juga mengingkari bahwa Allah memiliki pengetahuan, sebagaimana yang telah kalian tetapkan pada-Nya menyangkut kehendak?”

 

APAKAH ALLAH SWT BERBICARA KEPADA NABI MUSA AS DAN FIR’AUN?

 

Mereka (kaum Jahmiyah, Mu’tazilah, dan Haruriyah) membedakan antara ilmu (pengetahuan) dan kalam (firman) dengan menyatakan bahwa Allah swt. mengajari Nabi Musa as. dan Fir’aun, tapi Allah swt. hanya berbicara dengan Nabi Musa as. tidak dengan Fir’aun. Juga dikatakan bahwa Allah swt. mengajarkan hikmah kepada Nabi Musa as., ucapan yang fasih, dan menjadikannya sebagai nabi. Semua itu tidak diajarkan kepada Fir’aun. Jadi apabila Allah swt. memiliki kalam, itu karena Dia berbicara hanya kepada Nabi Musa as. dan tidak berbicara dengan Fir’aun, sebagaimana halnya Allah swt. memiliki ilmu, itu karena Dia mengajari Nabi Musa as. dan tidak mengajari Fir’aun.

 

Kemudian katakan pada mereka, “Apabila Allah wajib memiliki sifat kalam (bicara) dan Dia telah berbicara dengan Nabi Musa as., tetapi tidak berbicara dengan Fir’aun, lantas mengapa kalian mengingkari jika Allah swt. mengajari mereka berdua, bahwa Dia memiliki ilmu yang diajarkan kepada mereka berdua? Allah juga berbicara dengan segala sesuatu ketika Dia berkata, ‘Jadilah! Itu berarti kalian telah menetapkan bagi Allah swt. suatu ucapan, sebagaimana juga bahwa Dia mengajari segala sesuatu sehingga itu berarti Dia memiliki ilmu.”

 

Katakan juga pada mereka (kaum Jahmiyah, Mu’tazilah, dan Haruriyah), “Apabila kalian wajib menyatakan bahwa Allah memiliki sifat kalam, tetapi Dia dinyatakan tidak memiliki ilmu dengan dalih bahwa sifat kalam lebih khusus daripada sifat ilmu dan sifat ilmu lebih umum daripada sifat kalam, kalian harus mengatakan bahwa Allah memiliki sifat qudrah (kuasa), karena menurut kalian sifat ilmu (‘ilm) lebih umum daripada sifat kuasa (qudrah). Sementara itu, ada di antara berbagai aliran Qadariyah yang menyatakan bahwa Allah tidak berkuasa menciptakan kekafiran. Ini berarti mereka telah menetapkan sifat kuasa lebih khusus daripada sifat ilmu. Dengan begitu, seharusnya mereka menyatakan—dengan dalih yang mereka gunakan itu bahwa Allah memiliki sifat qudrah.”

 

Katakan juga kepada mereka, “Bukankah Allah Maha Mengetahui, dan sifatnya Maha Mengetahui itu lebih umum daripada sifat baginya Maha Berbicara? Kemudian tidaklah harus bahwa sifat kalam lebih khusus daripada Allah yang bersifat Maha Berbicara, tapi tidak mengetahui. Jadi mengapa kalian tidak menyatakan bahwa sifat kalam walaupun ia lebih khusus daripada sifat ilmu, bahwa itu tidak menafikan bahwa Allah memiliki sifat ilmu, sebagaimana kekhususan sifat kalam itu juga tidak menafikan bahwa Allah adalah Maha Mengetahui?”

 

Tanyakan pada mereka, “Dari mana kalian tahu bahwa Allah Maha Mengetahui?” Apabila mereka menjawab, dengan firman Allah, ‘Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui atas segala sesuatu,’ (QS. Asy-Syu’ara’ [42]: 12) katakan pada mereka, “Berarti kalian juga harus menyatakan bahwa Allah swt. memiliki ilmu berdasarkan firman Allah, ‘Dia turunkan dengan ilmu-Nya,’ (QS. an-Nisa’ {4]: 166) dan berdasarkan firman-Nya dalam surat lain, ‘Dan tidak ada seorang perempuan pun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan pengetahuan-Nya.’ (QS. Fathir [35]: 11) Demikian juga kalian harus menyatakan bahwa Allah swt. memiliki kekuatan berdasarkan firman Allah berikut, ‘Apakah mereka itu tidak memperhatikan bahwa Allah yang menciptakan mereka adalah lebih besar kekuatan-Nya dari mereka.’ (QS. Fushshilat [41]: 15)”

 

Apabila mereka menjawab, “Kami menyatakan bahwa Allah Maha Mengetahui karena Dia yang telah menciptakan alam semesta beserta segala isinya ini dengan hikmah (kebijaksanaan) serta pengaturan yang sempurna.” Katakan pada mereka, “Jika demikian, lantas mengapa kalian tidak menyatakan bahwa Allah memiliki ilmu berdasar segala hikmah serta jejak pengaturan-Nya yang tampak jelas di alam semesta ini? Karena semua ciptaan yang mengandung hikmah tidak boleh muncul, kecuali dari Dzat yang memiliki ilmu, sebagaimana semua itu juga tidak akan muncul, kecuali dari Dzat yang Maha Mengetahui. Semua itu juga tidak akan muncul, kecuali dari Dzat yang memiliki kekuatan. Sebagaimana semua itu juga tidak akan muncul, kecuali dari Dzat yang Mahakuasa.”’

 

Katakan juga pada mereka, “Jika kalian menafikan ilmu Allah, mengapa kalian tidak menafikan juga nama-nama-Nya?” Apabila mereka menjawab, ‘“Bagaimana mungkin kami menafikan nama-nama Allah swt., sedangkan Dia telah menyebutkan nama-nama itu di dalam al-Quran?” Jawablah, “Kalau begitu, janganlah kalian menafikan ilmu dan kekuatan (sebagai sifat Allah), karena Allah Tabaraka wa Ta’ala juga telah menyebutkan semua itu di dalam al-Quran.”’

 

Katakan pada mereka, “Allah telah mengajarkan kepada Nabi-Nya swt. berbagai syariat, hukum-hukum, halal, dan haram. Tentu saja tidak mungkin Dia mengajari beliau saw. sesuatu yang tidak Dia ketahui, sebagaimana tidak mungkin pula Allah swt. mengajarkan kepada Nabi-Nya sesuatu yang Dia tidak menguasai ilmu tentang sesuatu tersebut.’” Mahaluhur Allah atas apa yang dinyatakan kaum Jahmiyah. Katakan pada mereka, ““Bukankah apabila Allah swt. telah melaknat orang-orang kafir maka laknat Allah terhadap mereka itu memiliki makna bagi mereka, sebagaimana halnya laknat Nabi kepada mereka?”’

 

Apabila mereka menjawab, “Ya,” katakan pada mereka, “Lantas mengapa kalian mengingkari apabila Allah swt. mengajarkan sesuatu kepada Nabi-Nya, itu berarti Nabi telah memiliki ilmu (tentang sesuatu itu) dan berarti Allah juga memiliki ilmu. Ketika kita meyakini bahwa Allah murka terhadap orang-orang kafir, maka harus kita yakini pula bahwa Dia memiliki sifat murka (ghadhab).

 

Demikian juga, jika kita meyakini bahwa Allah ridha terhadap orang-orang mukmin, berarti kita harus meyakini bahwa Dia memiliki sifat ridha. Seperti itu pula ketika kita meyakini bahwa Allah Mahahidup, Maha Mendengar, dan Maha Melihat, berarti kita juga harus menyatakan bahwa Allah memiliki sifat hidup, memiliki pendengaran, dan memiliki penglihatan.”

 

Katakan lagi pada mereka, “Kita dapati bahwa nama Allah ‘Alim (Maha Mengetahui) berasal dari kata ‘ilm (ilmu), nama Allah Qadir (Maha Menguasai) berasal dari kata qudrah (kuasa). Demikian juga nama Allah hayy (Mahahidup) berasal dari kata hayah (hidup), nama Allah Sami’ (Maha Mendengar) berasal dari kata sam’ (pendengaran), nama Allah Bashir (Maha Melihat) berasal dari kata bashar (penglihatan).”’

 

Demikianlah ternyata semua nama Allah selalu berasal dari sebuah kata yang menunjukkan makna atau sebagai penyebutan julukan tertentu sehingga tidak mungkin Allah disebutkan dengan nama tertentu sebagai julukan-Nya yang nama itu tidak mengandung pengertiannya atau tidak diambil dari sifat tertentu.

 

Apabila kita menyatakan bahwa nama Allah Maha Mengetahui dan Mahakuasa, itu bukan sekedar julukan bagi-Nya seperti ketika kita menyebut nama Zaid atau Amr. Hal ini sudah menjadi ijmak kaum muslimin.

 

Apabila penamaan itu bukan hanya julukan, sedangkan ia berasal dari kata “’ilm”, berarti wajib bagi. kita untuk menetapkan sifat ilmu pada Allah. Apabila nama tersebut menunjukkan pengertiannya, maka ia tidak berbeda dengan nama yang menunjukkan pengertiannya. Dengan demikian, ketika pengertian dari “‘alim (berpengetahuan)” yang ditujukan pada seorang di antara kita, orang itu memiliki ilmu, maka setiap yang disebut “‘alim” (berpengetahuan) pasti memiliki “‘ilm (pengetahuan)”. Hal ini sama seperti ucapan “saya ada” yang berarti bahwa kita menetapkan keberadaannya. Allah yang Maha Menciptakan wajib ditetapkan keberadaan-Nya, sebab Allah itu ada.

 

Katakan pada kaum Mu’tazilah, Jahmiyah, dan Haruriyah, “Apakah kalian menyatakan bahwa Allah swt. memiliki ilmu segala sesuatu yang mendahului segalanya termasuk tentang apa yang dilahirkan oleh setiap wanita yang melahirkan, segala apa yang sedang dikandung oleh setiap wanita yang sedang hamil, dan segala apa yang terjadi?”

 

Apabila mereka mengiyakan, berarti mereka telah menetapkan sifat “ilmu (‘ilm)” pada Allah dan bersepaham dengan kami. Namun, apabila mereka menjawab tidak, katakan pada mereka, “Berarti kalian mengingkari firman Allah, ‘Dia turunkan dengan ilmu-Nya,’ (QS. An-Nisa’ [4] 166) dan firman-Nya yang lain, ‘Dan tidak ada seorang perempuan pun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan pengetahuan-Nya,’ (QS. Fathir [35]: 11) dan juga firman Allah berikut, ‘Apabila mereka yang kamu seru itu tidak menerima seruanmu (ajakanmu) itu maka (katakanlah olehmu), ‘Ketahuilah, sesungguhnya al-Quran itu diturunkan dengan ilmu Allah.’ (QS. Had [11]: 14)”

 

Apabila firman Allah, “Sesungguhnya Dia atas tiap-tiap sesuatu Maha Mengetahui,” (QS. asy-Syira [26]: 12) dan firman Allah, “Tidak ada daun yang terjatuh kecuali telah diketahui-Nya,” (QS. al-An’am [6]: 59) berkonsekuensi pada pernyataan bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, lantas mengapa kalian mengingkari ayat yang meniscayakan bahwa Allah swt. memiliki ilmu segala sesuatu?!” Mahasuci Allah dengan segala puji bagi-Nya.

 

Katakan pada mereka, “Allah memiliki ilmu untuk membedakan antara para wali dan musuh-Nya, apakah Dia menghendaki hal itu? Apakah Dia juga menghendaki keimanan seseorang ketika orang tersebut menghendakinya?”

 

Apabila mereka sepakat, berarti mereka telah sepaham dengan pendapat kami. Namun, apabila mereka menjawab, “Jika Dia menghendaki keimanan, dia (orang itu) pasti akan memiliki kehendak itu.” Katakan kembali kepada mereka, “Seperti itu pula ketika Allah swt. membedakan antara para wali dan musuh-musuh-Nya, berarti Dia harus memiliki ilmu tentang itu. Bagaimana mungkin seorang makhluk memiliki ilmu tentang itu, sementara Sang Pencipta tidak mengetahuinya. Karena apabila hal seperti itu terjadi, berarti makhluk memiliki ilmu yang lebih banyak dan lebih unggul daripada Sang Pencipta. Mahaluhur Allah atas hal-hal seperti ini.”

 

Katakan juga pada mereka, “Apabila makhluk yang memiliki ilmu lebih utama kedudukannya daripada makhluk yang tidak memiliki ilmu dan kalian mengira bahwa Allah swt. tidak memiliki ilmu, berarti kalian menyatakan bahwa makhluk lebih tinggi kedudukannya daripada Sang Pencipta. Mahaluhur Allah atas hal seperti itu.”

 

Lalu katakan pada mereka, “Jika seorang makhluk yang tidak memiliki ilmu disebut bodoh dan berkekurangan, lantas apakah yang membuat kalian mengingkari wajibnya menetapkan sifat ilmu bagi Allah? Karena kalau tidak, maka berarti kalian telah melekatkan sifat kurang pada Allah. Mahaluhur Allah atas apa yang kalian katakan itu! Tidakkah kalian melihat bahwa makhluk yang tidak memiliki ilmu akan disebut sebagai orang bodoh dan berkekurangan.

 

Siapa pun yang menyatakan hal seperti itu terhadap Allah, berarti dia telah menyifati Allah dengan sifat yang tidak pantas ditujukan pada-Nya. Juga apabila makhluk yang tidak memiliki ilmu maka ia akan disebut sebagai orang bodoh dan berkekurangan. Hal seperti itu wajib dinafikan dari sifat Allah karena Allah swt. tidak mungkin memiliki sifat bodoh dan kurang.”

 

Tanyakan pada mereka, “Apakah mungkin berbagai ciptaan yang penuh hikmah dibuat oleh dzat yang tidak berilmu?”

 

Apabila mereka menjawab, “Tentu saja hal itu mustahil, karena tidak mungkin adanya berbagai ciptaan yang bergerak dengan tertib dan teratur, kecuali ciptaan Dzat yang Maha Mengetahui, Mahakuasa, dan Mahahidup.” Sampaikan pada mereka, “Demikian juga halnya tidak mungkin keberadaan segala ciptaan penuh hikmah yang bergerak dengan tertib teratur, kecuali semua itu berasal dari Dzat yang memiliki sifat ilmu, kekuasaan, dan kehidupan. Apabila semua itu dapat muncul bukan dari Dzat yang memiliki ilmu, lantas mengapa kalian mengingkari kemungkinan munculnya semua itu bukan dari Dzat yang tidak memiliki ilmu, tidak memiliki kekuasaan, dan tidak hidup?!”

 

Semua masalah yang kami tanyakan kepada mereka sebenarnya merupakan bantahan kepada mereka dalam perkara sifat hidup, mendengar, dan melihat Allah swt.

 

ARTI SIFAT ALLAH MAHA MENDENGAR DAN MAHA MENGETAHUI

 

Orang-orang Mu’tazilah meyakini bahwa firman Allah, “Maha Mendengar lagi Maha Melihat,” (QS. asy-Syura [42]: 12), maknanya adalah “Maha Mengetahui”. Sampaikan pada mereka, “Apabila demikian, berarti firman Allah, ‘Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku bersama kamu berdua, Aku mendengar dan melihat,’ (QS. Thaha [20]: 46) dan firman Allah, ‘Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya,’ (QS. al-Mujadilah [58]: 1), menurut kalian juga bermakna bahwa Dia Maha Mengetahui?”

 

Apabila mereka mengiyakan, sampaikan pada mereka, “Kalau demikian, sebuah keharusan bagi kalian untuk menyatakan bahwa firman Allah tersebut di atas, ‘Aku mendengar dan Aku melihat,’ maknanya adalah, ‘Aku mengetahui dan Aku mengetahui,’ kalau memang arti kedua kata itu adalah mengetahui.”

 

ARTI SIFAT ALLAH MAHA MELIHAT DAN MAHA MENGETAHUI

 

Orang-orang Mu’tazilah menafikan sifat-sifat Allah Rabbul Alamin, dan mereka meyakini bahwa makna Sami’ (Maha Mendengar) dan Bashir (Maha Melihat) adalah ‘Alim (Maha Mengetahui), sebagaimana yang diyakini oleh kaum Nasrani; yaitu bahwa pendengaran Allah, penglihatan Allah, kalam Allah, ilmu Allah, dan anak Allah adalah Allah itu sendiri. Mahaluhur Allah atas yang demikian itu.

 

Lalu katakan kepada mereka, “Apabila kalian menyatakan bahwa makna Sami’ (Maha Mendengar) dan Bashir (Maha Melihat) adalah ‘Alim (Maha Mengetahui), lantas mengapa kalian tidak meyakini bahwa makna dari Qadir (Mahakuasa) adalah ‘Alim (Maha Mengetahui)?

 

Apabila kalian meyakini bahwa makna Sami’ (Maha Mendengar) dan Bashir (Maha Melihat) adalah Qadir (Mahakuasa), mengapa kKalian tidak meyakini bahwa makna Qadir (Mahakuasa) adalah ‘Alim (Maha Mengetahui). Apabila kalian meyakini bahwa makna Hayy (Mahahidup) adalah Qodir (Mahakuasa), lantas mengapa kalian tidak meyakini bahwa makna Qadir (Mahakuasa) adalah ‘Alim (Maha Mengetahui)?!”

 

Apabila mereka menjawab, “Karena semua itu berkonsekuensi pada segala sesuatu yang menjadi objek pengetahuan (ma’lam) pasti juga objek kuasa (maqdar).” Katakan pada mereka, “Jika makna Sami’ (Maha Mendengar) dan Bashir (Maha Melihat) adalah ‘Alim (Maha Mengetahui), berarti semua objek Pengetahuan (ma’lum) pasti juga merupakan objek pendengaran (masmu’), sebab apabila tidak boleh seperti itu, pernyataan kalian menjadi batal.”

 

BAB VIII KEHENDAK (IRADAH)

 

TANYAKAN pada kaum Mu’tazilah, “Bukankah kalian menyatakan bahwa Allah senantiasa ‘Alim (Maha Mengetahui)?”

 

Apabila mereka membenarkan. Katakan pada mereka, “Kalau begitu, mengapa kalian tidak menyatakan bahwa Dzat yang Mahatahu atas terjadinya segala sesuatu di suatu waktu, berarti dia juga Maha Menghendaki terjadinya sesuatu tersebut di waktu itu. Sebagaimana juga Dia senantiasa ‘alim (Maha Mengetahui) bahwa jika sesuatu itu tidak ada, pasti Dia berkehendak (murid) akan ketiadaannya. Apakah Dia juga senantiasa berkehendak (murid) pada sesuatu apa pun yang Dia ketahui sebagaimana yang Dia ketahui?”

 

Jika mereka menjawab, “Kami tidak menyatakan bahwa Allah swt. senantiasa berkehendak, karena Allah berkehendak dengan kehendak yang diciptakan (makhlaqah).” Katakan pada mereka, “Mengapa kalian menyatakan bahwa Allah berkehendak dengan kehendak yang diciptakan? Apakah pemisah antara kalian dan kaum Jahmiyah pada perbuatan mereka yang menyatakan bahwa Allah swt. mengetahui dengan ilmu yang diciptakan (makhluq). Apabila dinyatakan tidak mungkin ilmu Allah swt. itu diciptakan, lantas mengapa kalian mengingkari bahwa kehendak-Nya bukanlah kehendak yang diciptakan?”

 

Apabila mereka menjawab, “ilmu Allah tidak mungkin bersifat baru, karena hal itu berkonsekuensi pada kebaruan Allah swt. dengan adanya ilmu yang lain dan seperti itu seterusnya tanpa ada ujungnya (tasalsul). Apa yang membuat kalian mengingkari bahwa kehendak Allah swt. tidak mungkin bersifat baru dan diciptakan, karena hal itu berkonsekuensi pada adanya kehendak lain yang baru, dan terus seperti itu tanpa ada ujungnya?”

 

Namun, jika mereka menjawab, “Ilmu Allah tidak mungkin bersifat baru, karena hal ini berkonsekuensi pada bahwa Allah berkehendak dengan kehendak yang baru dicetuskan oleh sesuatu yang selain Dia pada DiriNya. Padahal tentu saja hal seperti itu tidak boleh terjadi.” Atau dengan jawaban, “Ilmu Allah tidak mungkin bersifat baru, karena Dzat yang sebelumnya tidak tahu Jalu menjadi tahu pasti terpapar oleh sifat kurang.”

 

Jawablah, “Demikian juga kehendak Allah tidak mungkin bersifat baru dan diciptakan (makhluq) karena siapa pun yang sebelumnya tidak memiliki kehendak, tapi kemudian berkehendak, berarti dia memiliki kekurangan. Kehendak Allah pun tidak mungkin bersifat baru dan diciptakan, sebagaimana halnya kalam Allah juga demikian.”

 

Katakan pada mereka (kaum Mu’tazilah), “Apabila kalian menyatakan bahwa kekufuran dan kemaksiatan berada dalam kekuasaan Allah tetapi Dia tidak menghendaki hal itu, karena Dia menginginkan agar semua makhluk beriman, dan ternyata tidak semua mereka beriman, berarti konsekuensi dari pernyataan kalian itu adalah bahwa sebagian besar dari apa yang Allah kehendaki ternyata tidak terjadi dan sebagian besar dari apa yang tidak Allah kehendaki ternyata justru terjadi.

 

Karena semua kekufuran yang terjadi sebenarnya menurut pendapat kalian—bukan atas kehendak Allah, sementara keimanan yang terjadi merupakan sesuatu yang Allah kehendaki, sehingga dengan demikian maka sebagian besar dari apa yang Allah kehendaki ternyata tidak terjadi. Tentu saja pernyataan seperti itu merupakan pengingkaran terhadap apa yang telah menjadi ijmak seluruh kaum muslimin yang meyakini bahwa segala yang Allah kehendaki pasti terjadi dan semua yang tidak Allah kehendaki pasti tidak akan terjadi.”

 

Katakan juga pada mereka, “Dari pendapat kalian dapat disimpulkan bahwa banyak di antara hal-hal yang Iblis kehendaki untuk terjadi ternyata benar-benar terjadi, sebab kekufuran lebih banyak dari keimanan, sedangkan kebanyakan yang terjadi adalah apa yang dia kehendaki. Dengan demikian, berarti kalian telah menjadikan keinginan Iblis lebih banyak terwujud daripada keinginan Allah Rabbul Alamin yang Maha Luhur Pujian-Nya lagi Mahasuci nama-nama-Nya, karena kebanyakan dari apa yang dikehendaki Iblis itulah yang terjadi, dan kebanyakan dari apa yang terjadi, adalah kehendaknya. Keyakinan kalian itu berkonsekuensi bahwa kalian telah menjadikan Iblis memiliki kedudukan dalam hal kehendak, yang lebih tinggi daripada Allah swt. Maha Luhur Allah dari perkataan orang-orang yang zalim.”

 

Katakan pada mereka, ‘“Manakah yang lebih pantas untuk memiliki sifat berkuasa: Apakah sosok yang apabila dia menghendaki sesuatu untuk terjadi maka sesuatu itu benar-benar pasti terjadi dan apabila dia tidak menginginkan sesuatu, maka sesuatu itu tidak mungkin dapat terjadi, ataukah sosok yang ketika dia menghendaki sesuatu ternyata sesuatu itu tidak terjadi, sedangkan yang dia tidak kehendaki justru terjadi?”

 

Apabila mereka menjawab, “Yang lebih pantas untuk disebut berkuasa adalah sosok yang kebanyakan dari apa yang dikehendakinya ternyata tidak terjadi.” Ini jelas bentuk jawaban yang keterlaluan. Kemudian Katakan pada mereka, “Apabila memang boleh bagi kalian untuk menyatakan seperti itu, berarti boleh pula bagi seseorang untuk menyatakan bahwa orang yang tidak mengetahui segala yang ada adalah lebih utama daripada orang yang mengetahui segala yang ada.”

 

Apabila kemudian mereka mencabut jawaban mereka yang keterlaluan itu, lalu mereka menyatakan bahwa sosok yang menghendaki sesuatu untuk terjadi kemudian ternyata sesuatu itu benar-benar terjadi, dan ketika dia tidak menghendaki sesuatu untuk terjadi kemudian ternyata sesuatu itu benar-benar tidak terjadi, adalah lebih utama untuk disebut memiliki sifat berkuasa. Berarti hal itu mengharuskan mereka—dengan keyakinan mereka untuk menyatakan bahwa Iblis La’natullah ‘Alaih lebih berhak disebut berkuasa daripada Allah swt. Sebagian besar dari apa yang dikehendakinya ternyata benar-benar terjadi dan sebagian besar dari apa yang terjadi adalah sesuai kehendaknya.

 

Katakan kepada mereka, “Apabila sosok yang menginginkan sesuatu ternyata sesuatu itu benar-benar terjadi dan apabila dia tidak menginginkan sesuatu terjadi ternyata sesuatu itu memang tidak terjadi, adalah lebih layak untuk disebut memiliki sifat berkuasa. Seharusnya kalian menyatakan bahwa apabila Allah menghendaki sesuatu, sesuatu itu pasti terjadi, dan apabila Dia tidak menghendaki sesuatu, sesuatu itu tidak mungkin terjadi. Karena dialah yang paling layak untuk memiliki sifat berkuasa.”

 

Tanyakan juga kepada mereka, “Manakah yang lebih pantas disebut sebagai Tuhan dan penguasa antara sosok yang tidak ada sesuatu pun yang ada kecuali apa yang diketahuinya dan tidak ada sesuatu apa pun yang luput dari pengetahuannya karena hal seperti itu tidak mungkin terjadi padanya, ataukah sosok yang ada sesuatu yang ada yang tidak dia ketahui dan luput darinya sebagian besar dari segala sesuatu?”

 

Apabila mereka menjawab, “Yang lebih pantas disebut Tuhan adalah sosok mengetahui segala sesuatu dan tidak ada sesuatu apa pun yang luput dari pengetahuannya.” Katakan lagi pada mereka, “Demikian juga sosok yang tidak menghendaki adanya sesuatu kecuali sesuatu yang ada dan tidak ada sesuatu apa pun yang ada kecuali hanya yang dikehendakinya, dan dia yang tidak ada sesuatu apa pun yang luput dari kehendaknya, itulah yang paling layak disebut Tuhan sebagaimana yang kalian nyatakan seperti itu berkenaan dengan ilmu.”

 

Apabila mereka bersedia menyatakan itu, mereka akan meninggalkan serta mencabut pendapat mereka kemudian mereka akan menetapkan bahwa Allah Maha Menghendaki segala sesuatu yang ada serta memastikan bahwa segala yang tidak Dia kehendaki pasti tidak akan terjadi.

 

Selanjutnya tanyakan pada mereka, “Apabila kalian menyatakan bahwa dalam kekuasaan Allah ada hal-hal yang tidak Dia kehendaki, berarti Dia mengizinkan hal-hal yang Dia tidak sukai untuk ada di dalam kekuasaanNya. Benarkah seperti itu?”

 

Mereka pasti akan membenarkan. Jika demikian, katakan pada mereka, “Kalau memang di dalam kekuasaanNya ada hal-hal yang tidak Dia sukai, lantas mengapa kalian mengingkari bahwa dia dalam kekuasaan-Nya ada sesuatu yang tidak Dia inginkan keberadaannya?”’

 

Apabila mereka membenarkan, katakan pada mereka, “Apakah berbagai kemaksiatan adalah sesuatu yang Allah inginkan ataukah tidak? Tentu saja ini menunjukkan sifat lemah dan kurang.” Mahaluhur Allah atas hal seperti itu.

 

Tanyakan pada mereka, “‘Bukankah di antara perbuatan hamba ada yang membuat Allah murka dan marah kepada mereka. Jika mereka melakukan perbuatan buruk itu, itu sama saja mereka membuat Allah marah dan murka?”

 

Mereka pasti setuju. Katakan kepada mereka, “Apabila hamba melakukan perbuatan yang tidak Allah inginkan dan justru Dia benci, berarti para hamba itu telah berhasil memaksa Allah.” Ini merupakan sifat pemaksa. Mahaluhur Allah atas hal seperti itu.”

 

Lalu tanyakan kepada mereka, “Bukankah Allah telah berfirman dalam surat al-Buruj, ‘Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya’ (QS. al-Buruj [85]: 16)?”

 

Mereka pasti akan membenarkan. Dengan demikian, katakan pada mereka, “Siapa pun yang meyakini bahwa Allah melakukan sesuatu yang tidak Dia kehendaki dan Dia menghendaki terjadinya suatu perbuatan yang ternyata tidak terjadi, maka dia harus menyatakan bahwa hal seperti itu terjadi ketika Allah alpa atau lalai, atau disebabkan karena Allah lemah dan tidak sanggup untuk mencegah sesuatu yang terjadi pada-Nya padahal Dia tidak menghendaki sesuatu itu.”

 

Mereka pasti akan membenarkan. Maka katakan pada mereka, “Demikian juga halnya bagi sesiapa yang meyakini bahwa di dalam kekuasaan Allah ada sesuatu yang tidak Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya, dan itu berarti dia harus terkena satu di antara dua hal: (1) Dia meyakini bahwa hal itu dapat terjadi disebabkan kealpaan atau kelalaian Allah, atau (2) Dia meyakini bahwa Allah lemah atau tidak sanggup untuk melaksanakan apa yang Dia kehendaki.

 

Tanyakan satu hal pada mereka, “Bukankah siapa saja yang meyakini bahwa Allah swt. melakukan sesuatu yang tidak Dia ketahui, berarti orang itu telah menisbatkan kepada Allah sifat bodoh yang tidak pantas untuk-Nya?”

 

Mereka pasti akan membenarkan. Maka katakan pada mereka, “Demikian juga halnya bagi siapa saja yang meyakini bahwa ada hamba Allah yang dapat melakukan sesuatu yang tidak Allah kehendaki, berarti dia telah menisbatkan kepada Allah sifat cela dan tidak mampu untuk melaksanakan apa yang Dia kehendaki.”

 

Apabila mereka membenarkan, katakanlah kepada mereka, “Demikian juga halnya orang yang meyakini bahwa para hamba dapat melakukan perbuatan yang tidak diketahui oleh Allah, berarti dia telah menisbatkan kepada Allah sifat bodoh. Benarkah seperti itu?”

 

Mereka pasti akan mengiyakan kembali. Sebab itu, sampaikan pada mereka, “Seperti itulah pula apabila ada suatu perbuatan yang dilakukan oleh Allah yang ternyata Dia tidak menghendaki perbuatan itu, sangkaan seperti itu sama dengan menisbatkan kealpaan, kelemahan, dan ketidakmampuan Allah untuk melakukan apa yang Dia kehendaki.

 

Demikian pula ketika ada suatu perbuatan seperti itu dari pihak selain Dia yang sebenarnya perbuatan itu tidak Dia kehendaki, siapa pun yang meyakini adanya hal seperti itu sebenarnya dia meyakini bahwa Allah memiliki sifat alpa, lalai, lemah, dan tidak mampu melakukan apa yang Dia kehendaki. Tidak ada perbedaan dalam hal itu antara sesuatu yang muncul dari Allah ataupun sesuatu yang muncul dari yang selain Dia.”

 

Katakan pula pada mereka, “Apabila dalam kekuasaan-Nya ada sesuatu yang tidak Dia kehendaki yang sebenarnya Dia mengetahui sesuatu itu, dan Dia tidak boleh dinyatakan lemah atau tidak mampu melakukan apa yang Dia kehendaki, lantas mengapa kalian mengingkari bahwa di dalam kekuasaan-Nya adalah sesuatu yang tidak Dia ketahui dan tidak dinisbatkan kepadaNya sifat kurang? Kalau hal seperti ini tidak boleh, maka berarti semua yang kalian nyatakan itu juga tidak boleh.”

 

ALLAH SWT. TIDAK MENCIPTAKAN APA YANG TIDAK DIA KEHENDAKI

 

Apabila seseorang bertanya, “Mengapa kalian menyatakan bahwa Allah menghendaki segala yang ada untuk terwujud, dan yang segala yang tidak ada untuk tidak terwujud?”

 

Jawabannya: Dalil yang menunjukkan pendapat kami itu adalah sebuah hujah yang sudah sangat jelas. Yaitu bahwa Allah menciptakan kekufuran dan kemaksiatan yang semua itu akan kami jelaskan pada bagian selanjutnya. Apabila sudah pasti bahwa Allah yang telah menciptakan semua itu, berarti sudah pasti pula bahwa Dialah yang menghendaki semua itu, karena tidak mungkin Allah menciptakan sesuatu yang tidak Dia kehendaki.

 

Tidak mungkin dalam kekuasaan Allah ada perbuatan para hamba yang tidak Allah kehendaki, sebagaimana juga adalah tidak mungkin Allah melakukan perbuatan yang tidak dikehendaki-Nya. Karena apabila ada perbuatan yang tidak Dia ketahui, berarti dalam sangkaan seperti itu ada penetapan bahwa Allah memiliki kekurangan. Demikian juga halnya dengan pernyataan bahwa apabila terjadi pada hamba-hamba-Nya sesuatu yang tidak Dia ketahui.

 

Demikian pula tidak mungkin dapat terjadi pada hamba-hamba-Nya sesuatu yang tidak Dia kehendaki. Karena pernyataan akan terjadinya hal seperti itu sama dengan keyakinan bahwa hal tersebut terjadi disebabkan kealpaan, kelalaian, atau kelemahan serta ketidakmampuan Allah untuk melakukan apa yang Dia kehendaki, sebagaimana halnya ketika Allah dinyatakan telah melakukan perbuatan yang tidak Dia kehendaki.

 

Dan lagi, apabila semua maksiat terjadi sementara Allah tidak menghendaki berbagai kemaksiatan itu terjadi, maka berarti Dia membenci sesuatu itu untuk terjadi dan tidak enggan sesuatu itu terjadi. Pernyataan seperti itu berkonsekuensi pada sangkaan bahwa berbagai kemaksiatan dapat terjadi baik Allah menghendakinya maupun tidak menghendakinya. Tentu saja ini adalah sifat kelemahan, dan Maha Tinggi Allah dari hal seperti ini.

 

Kami sudah menjelaskan bahwa Allah senantiasa berkehendak secara hakiki yang kehendak tersebut sudah Dia ketahui, jadi apabila kekufuran adalah sesuatu yang ada, dan Dia pasti mengetahuinya. Berarti Dia pasti menghendaki kekufuran itu untuk ada.

 

Katakan kepada mereka, “Apabila Allah telah mengetahui bahwa kekufuran itu ada, sementara Dia menghendaki kekufuran itu untuk tidak ada, berarti Dia tidak mengetahui sesuatu yang menyelisihi dari apa yang Dia ketahui. Apabila hal seperti itu tidak mungkin terjadi, maka berarti Allah memang menghendaki terwujudnya sesuatu yang Dia ketahui sebagaimana yang telah Dia ketahui.”

 

Katakan kepada mereka, “Mengapa kalian menyangkal bahwa Allah menghendaki kekufuran yang telah Dia ketahui itu akan terjadi dan Dia mengetahui bahwa kekufuran itu buruk, rusak, kontradiktif, dan menyimpang dari keimanan?”

 

Apabila mereka menjawab, “Karena yang menginginkan kebodohan hanyalah orang bodoh” Kembali katakan kepada mereka, “Mengapa kalian berkata seperti itu?! Bukankah Allah telah mengabarkan tentang anak Adam as. (Habil) bahwa dia berkata kepada saudaranya (Qabil) dalam firman Allah swt.,

 

‘Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan sekalian alam. Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri, maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian itu adalah pembalasan bagi orang-orang yang zalim.’ (QS. al-Ma idah [5]: 28-29)

 

Habil tidak ingin membunuh saudaranya (Qabil) agar dia tidak mengalami azab, tapi ia ingin agar saudaranya membunuh agar menanggung dosa sehingga dia menjadi penghuni neraka. Keinginan Habil agar saudaranya melakukan pembunuhan, tidak serta merta membuat Habil dapat disebut sebagai orang bodoh. Jadi mengapa kalian menyatakan bahwa apabila Allah menghendaki terjadinya perbuatan bodoh pada hamba-hamba-Nya maka apakah sifat bodoh itu wajib ditautkan kepada-Nya?”

 

Sampaikan pada mereka perkataan Nabi Yusuf as. dalam al-Quran berikut, “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku.” (QS. Yusuf [12] 33) Perbuatan mereka yang memenjarakan Yusuf as. merupakan sebuah perbuatan maksiat. Ternyata Yusuf as. lebih menghendaki mereka melakukan kemaksiatan dengan memenjarakan dirinya daripada dia memenuhi ajakan mereka.

 

Tentu saja dengan apa yang dilakukannya itu, Yusuf as. tidak dapat dikatakan sebagai orang bodoh. Jadi mengapa kalian mengingkari orang yang menyatakan bahwa apabila Allah menghendaki hamba-hamba-Nya melakukan perbuatan bodoh yang merupakan keburukan dari diri mereka sendiri dan merupakan pelanggaran terhadap ketaatan, maka itu tidak begitu saja dapat membuat Allah dituduh sebagai Dzat yang bodoh.

 

Katakan pada mereka, “Bukankah jika ada di antara kita yang melihat kesalahan kaum muslimin berarti dia adalah orang bodoh? Sementara Allah melihat kesalahan mereka dan Dia tidak disebut bodoh.”’

 

Mereka pasti mengiyakan pertanyaan tersebut. Timpali mereka, “Lantas mengapa kalian mengingkari bahwa siapa saja di antara kita yang menghendaki perbuatan bodoh berarti dia adalah orang bodoh, sedangkan Allah ingin menambah kebodohan orang-orang yang bodoh tanpa boleh dinisbatkan kepada-Nya bahwa dia adalah bodoh. Mahaluhur Allah dari hal seperti itu.”

 

Sampaikan pada mereka, “Sebenarnya orang yang bodoh di antara kita disebut bodoh ketika dia ingin melakukan perbuatan bodoh. Karena dia sebenarnya dilarang melakukan perbuatan itu, dan juga karena dia berada di bawah aturan syariat yang ditetapkan oleh Dzat yang ada di atasnya serta menetapkan berbagai batasan hukum serta membuat aturan baginya. Ketika dia melakukan apa yang terlarang untuk melakukannya itu, dia pun dinyatakan sebagai orang bodoh.

 

Sementara itu, Allah yang merupakan Tuhan semesta alam, yang mulia pujian-Nya, dan yang suci nama-namaNya. Dia sama sekali tidak berada di bawah aturan syariat apa pun dan tidak di atas-Nya juga. Tidak ada siapa pun yang menetapkan berbagai batasan serta membuat berbagai aturan bagi-Nya. Sebagaimana di atas-Nya juga tidak ada siapa pun yang menetapkan kemubahan, keharaman, perintah, ataupun larangan. Dengan demikian, Allah swt. sama sekali tidak dapat disebut bodoh.

 

Dikatakan kepada mereka, “Bukankah apabila ada seseorang di antara kita yang membiarkan budak miliknya yang lelaki dan wanita berduaan lalu berzina, padahal dia mampu untuk memisahkan mereka, apakah dia layak disebut sebagai orang bodoh? Allah Tuhan semesta alam telah membiarkan hamba-hamba-Nya yang lelaki dan wanita berduaan lalu berzina, sementara Allah mampu untuk memisahkan mereka, tetapi Allah tidak dikatakan bodoh. Demikianlah halnya ketika ada di antara kita seseorang yang ingin melakukan perbuatan bodoh maka ia disebut orang bodoh, sedangkan ketika Allah menghendaki terjadinya perbuatan bodoh, Dia tidak boleh dikatakan bodoh.”

 

Katakan pula pada mereka, “Siapa di antara kita yang ingin melakukan ketaatan kepada Allah, dia adalah orang yang taat, sebagaimana siapa saja yang ingin melakukan kebodohan maka dia adalah orang bodoh. Sementara Allah, Tuhan semesta alam ketika Dia menghendaki ketaatan, Dia tidak dapat disebut sebagai Dzat yang taat, Sebagaimana halnya apabila Dia menghendaki terjadinya kebodohan maka Dia tidak dapat dikatakan bodoh.”

 

Allah berfirman, “Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan.” (QS. al-Baqarah [2]: 253). Dalam ayat tersebut Allah mengabarkan bahwa kalau saja Dia tidak menghendaki mereka saling membunuh maka mereka pasti tidak akan saling berbunuh-bunuhan. Akan tetapi, Allah berfirman, “Akan tetapi, Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (QS. al-Baqarah [2]: 253), yang Dia menghendaki terjadinya peperangan itu. Dengan demikian, ketika peperangan terjadi, Dia memang menghendaki hal itu sebagaimana yang dalam firman-Nya, “Jika mereka dikembalikan ke dunia niscaya mereka akan kembali melakukan kemaksiatan.” (QS. al-An’am [6]: 28)

 

Dalam ayat itu Allah memastikan bahwa apabila mereka dikembalikan ke dunia, pasti mereka akan kembali melakukan kekufuran dan apabila mereka tidak dikembalikan ke dunia, mereka tidak akan mengulangi perbuatan kufur itu lagi. Demikian juga, apabila Allah menghendaki mereka untuk tidak saling membunuh, mereka tidak mungkin akan saling berbunuh-bunuhan. Apabila mereka ternyata saling membunuh, berarti Allah menghendaki mereka untuk saling membunuh.

 

Katakan pada mereka bahwa Allah berfirman,

 

“Jika Kami menghendaki, niscaya Kami akan berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuk (bagi) nya, tapi telah tetaplah perkataan (ketetapan) daripada-Ku, ‘Sesungguhnya akan Aku penuhi neraka Jahanam itu dengan jin dan manusia bersama-sama.’” (QS. as-Sajdah [32]: 13)

 

Jadi, ketika ketetapan Allah telah ditetapkan, dan Dia tidak berkehendak untuk memberikan hidayah kepada setiap manusia, sebab jika Dia memberikan hidayah kepada seluruh manusia berarti tidak ada lagi ketetapan untuk mengazab orang-orang kafir sehingga ketika hal itu tidak Dia kehendaki, berarti Dia menghendaki ada jiwa-jiwa yang sesat.

 

Apabila kemudian mereka menyatakan bahwa pengertian ayat tersebut adalah, “Kalau memang Kami berkehendak, Kami akan paksa mereka untuk menerima hidayah.” Katakan pada mereka bahwa apabila Allah memaksa mereka untuk menerima hidayah dengan memaksa mereka kepada hidayah itu, apakah orang-orang itu dapat disebut sebagai orang-orang yang mendapatkan hidayah?”

 

Apabila mereka mengiyakan pertanyaan tersebut, katakan pada mereka, “Apabila Allah menetapkan mereka menerima hidayah, lalu mereka disebut sebagai orang-orang yang mendapat hidayah, lantas mengapa kalian mengingkari apabila Allah menetapkan mereka kufur, maka mereka pun menjadi orang-orang kafir?”

 

Tentu saja hal ini mematahkan pernyataan mereka, karena mereka meyakini bahwa tidak ada yang melaksanakan kekufuran kecuali hanya orang kafir. Kemudian hendaklah dikatakan juga kepada mereka, “‘Dari sisi manakah mereka akan berketetapan dalam hidayah, apabila Allah memberi mereka hidayah dan Dia menghendaki hal itu bagi mereka?”

 

Apabila mereka menjawab pertanyaan itu dengan terpaksa, katakan pada mereka, “Apabila Allah memang memaksa mereka ke arah itu, apakah ada manfaatnya bagi mereka apa yang mereka lakukan secara terpaksa itu?”

 

Apabila mereka mengiyakan, katakan pada mereka, “Ketika Allah mengabarkan bahwa kalau Dia menghendaki maka Dia pasti akan mendatangkan hidayah kepada mereka, kalau bukan karena telah adanya ketetapan berupa firman bahwa Dia membuat penuh neraka Jahanam.

 

Apabila Allah memaksa mereka, maka apa yang mereka lakukan tidak ada manfaatnya bagi mereka serta tidak akan dapat menghilangkan azab dari mereka, sebagaimana tidak bermanfaatnya perkataan Fir’aun yang dia lontarkan menjelang tubuhnya tenggelam. Jadi ketika terjadi secara terpaksa, tidak ada artinya ucapan kalian, sebab kalau bukan karena telah adanya ketetapan Allah (untuk membuat penuh neraka Jahannam), tentulah Allah akan memberikan hidayah kepada semua manusia. Adapun didapatkannya hidayah dengan cara yang kalian katakan tadi (secara terpaksa), tidak akan dapat menghilangkan azab.”

 

Allah swt. telah berfirman,

 

“Jikalau Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya, tentulah mereka akan melampaui batas dimuka bumi,” (QS. asy-Syara [42]: 27)

 

Allah swt. juga berfirman,

 

“Sekiranya bukan karena hendak menghindari manusia menjadi umat yang satu (dalam kekufuran), tentulah Kami buatkan bagi orang-orang yang kafir kepada (Tuhan) Yang Maha Pemurah loteng-loteng perak bagi rumah mereka dan (juga) tangga-tangga (perak) yang mereka menaikinya.” (QS. az-Zukhrif [43]: 33)

 

Melalui ayat-ayat tersebut Allah swt. mengabarkan bahwa kalaulah bukan karena semua manusia dapat secara bersama-sama menjadi kafir, niscaya Allah akan melapangkan rezeki orang-orang kafir. Namun, ternyata Allah tidak menjadikan atap rumah mereka dari perak. Oleh karena itu, apa yang mereka ingkari bahwa apabila Allah tidak menginginkan kekufurannya orang-orang kafir, tentunya Dia tidak akan menciptakan mereka, padahal Dia tahu jika Dia menciptakan mereka, mereka akan menjadi orang-orang kafir.

 

Sebagaimana halnya apabila Allah ingin menjadikan semua manusia berada dalam kekufuran secara bersama-sama, niscaya Dia akan menjadikan atap rumah orang-orang kafir terbuat dari perak dan juga tangga-tangga yang mereka naiki. Akan tetapi, ternyata Dia tidak menjadikan atap dan tangga-tangga milik orang-orang kafir terbuat dari perak, agar semua orang tidak menjadi kafir. Karena sudah ada di dalam ilmu Allah bahwa seandainya Dia tidak melakukan hal itu, niscaya mereka semua akan sepakat berada dalam kekufuran.

 

BAB IX TAKDIR AMAL PARA HAMBA, KESANGGUPAN, KEADILAN, DAN . KEJAHATAN

 

KATAKAN pada orang-orang Qadariyah, “Mungkinkah Allah mengajari hamba-hamba-Nya sesuatu yang tidak Dia ketahui?” :

 

Apabila mereka menjawab, “Allah tidak mungkin mengajarkan kepada hamba-Nya apa pun juga, kecuali apa-apa yang Dia ketahui”, katakan pada mereka, “Demikian juga Allah tidak akan menentukan takdir untuk mereka kecuali bahwa Dia berkuasa atas itu.”

 

Tentu mereka akan mengiyakan pernyataan itu. Oleh karena itu, katakan pada mereka, “Apabila Allah menakdirkan mereka berada dalam kekufuran, berarti Allah Mahakuasa menciptakan kekufuran untuk mereka. Apabila Allah Mahakuasa menciptakan kekufuran untuk mereka, lantas mengapa kalian menyatakan bahwa pencitraan kekufuran mereka itu sebagai sesuatu yang salah, kontradiktif, dan batil. Padahal Allah telah berfirman, “Mahakuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (QS. al-Buruj [85]: 16) Jika kekufuran termasuk apa yang Allah kehendaki, Dialah yang sudah melakukan kehendak-Nya itu dan menakdirkannya. Allah dapat menghalau kekufuran itu dari mereka dengan kelembutan-Nya (Juthf). Tanyakan pada mereka, “Bukankah Allah Mahakuasa untuk melapangkan rezeki hamba-Nya, yang jika Dia melakukan hal itu, semua hamba-Nya akan melampaui batas? Apabila hal ini Dia lakukan terhadap orang-orang kafir maka mereka akan melakukan kekufuran? Sebagaimana dinyatakan dalam al-Quran, “Dan jikalau Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hambaNya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi.” (QS. asy-Syara [42]: 27)

 

Juga firman Allah swt, “Sekiranya bukan karena hendak menghindari manusia menjadi umat yang satu (dalam kekufuran), tentulah Kami buatkan bagi orang-orang yang kafir kepada (Tuhan) Yang Maha Pemurah loteng-loteng perak bagi rumah mereka dan (juga) tangga-tangga (perak) yang mereka menaikinya.” (QS. az-Zukhruf [43]: 33)

 

Mereka pasti setuju. Katakan pada mereka, “Lantas mengapa kalian mengingkari bahwa Allah mampu memperlakukan mereka dengan lembut (Juthf), yang kalau saja Dia lakukan itu, niscaya semua manusia akan beriman, sebagaimana Dia Mahakuasa untuk melakukan sesuatu hal terhadap mereka yang apabila Dia melakukan sesuatu itu, mereka semua akan menjadi kafir.”

 

Tanyakan pada mereka, “Bukankah Allah telah berfirman, ‘Kalau tidak karena karunia dan rahmat Allah kepada kalian, tentulah kalian mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kalian).’ (QS. an-Nisa [4]: 83) Allah juga telah berfirman pada ayat yang lain, “Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmatNya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kalian bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya.” (QS. an-Nur [24]: 21)

 

Allah juga telah berfirman, “Maka ia meninjaunya, lalu dia melihat temannya itu di tengah-tengah neraka menyala-nyala. Demi Allah, sesungguhnya kamu benar-benar hampir mencelakakanku, jikalau tidak karena nikmat Tuhanku pastilah aku termasuk orang-orang yang diseret (ke neraka).” (QS. ash-Shaffat [37]: 55-57)

 

Keutamaan apakah yang telah Allah lakukan terhadap orang-orang mukmin, yang jika Dia tidak berikan niscaya mereka akan mengikuti setan dan tidak ada seorang pun dari mereka bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya? Nikmat apakah yang kalau saja tidak Dia berikan, niscaya mereka termasuk orang-orang yang akan diseret ke dalam neraka? Apakah sesuatu itu juga diberikan kepada orang-orang kafir ataukah ia hanya dikhususkan bagi orang-orang mukmin?”

 

Apabila mereka mengiyakan, berarti mereka telah meninggalkan pendapat mereka yang lama dan mereka meyakini bahwa Allah memiliki nikmat dan karunia yang Dia berikan kepada orang-orang mukmin secara keseluruhan. Allah tidak memberikan nikmat seperti itu kepada orang-orang kafir, sehingga mereka ikut menyatakan kebenaran.

 

Apabila mereka menyatakan, “Allah telah menganugerahkan itu semua kepada orang-orang kafir sebagaimana yang Dia lakukan kepada orang-orang mukmin.” Katakan pada mereka, “Apabila Allah menganugerahkan hal itu juga kepada orang-orang kafir, berarti mereka tidak akan bersih dari kekejian, senantiasa mengikuti setan, dan mereka akan diseret ke dalam neraka. Lantas apakah mungkin Allah akan berkata kepada orang-orang mukmin, ‘Jika Aku tidak menciptakan tangan dan kaki untuk kalian, niscaya kalian akan mengikuti setan’? Sementara Dia telah menciptakan tangan dan kaki untuk orang-orang kafir dan ternyata mereka senantiasa mengikuti setan?”

 

Apabila mereka menjawab, “Hal seperti itu tidak mungkin terjadi.” Katakan pada mereka, “Kalau begitu, apa yang kalian nyatakan itu juga tidak mungkin terjadi.” Hal ini menjelaskan bahwa Allah memang mengkhususkan orang-orang mukmin untuk menerima nikmat, taufik, dan bimbingan yang semua itu tidak diberikan kepada orang-orang kafir, karena Dia mengunggulkan orang-orang mukmin di atas orang-orang kafir tersebut.”

 

KESANGGUPAN (ISTITHA’AH)

 

Tanyakan pada mereka, “Bukankah kesanggupan untuk beriman merupakan nikmat, keutamaan, dan kebaikan dari Allah?” Apabila mereka mengiyakan. Katakan pada mereka, “Lantas mengapa kalian mengingkari bahwa semua itu juga merupakan taufik dan bimbingan dari Allah?”

 

Mereka pasti akan mengiyakannya. Lalu katakan pada mereka, “Jika orang-orang kafir memiliki kuasa untuk beriman, lantas mengapa kalian mengingkari bahwa mereka juga mungkin mendapatkan taufik untuk beriman? Apabila mereka mendapat taufik dan bimbingan, tentulah mereka akan termasuk orang-orang yang terpuji.

 

Namun, apabila hal ini tidak mungkin terjadi, berarti tidak mungkin pula mereka menjadi orang-orang yang beriman dengan kesanggupan mereka. Dengan demikian, Allah memang mengkhususkan kesanggupan untuk beriman hanya bagi orang-orang mukmin.”

 

Katakan pada mereka, “Jika kesanggupan untuk kufur setara dengan kesanggupan untuk beriman, berarti dia memohon kepada-Nya dalam kesanggupan untuk kufur, sehingga ketika kita melihat orang-orang mukmin memohon kepada Allah dalam kesanggupan untuk beriman sekaligus mereka menjauhi kesanggupan untuk kufur, kita pun mengetahui bahwa apa yang mereka sukai berbeda dengan apa yang mereka jauhi.

 

Tanyakan pada mereka, “Jelaskanlah kepada kami tentang kekuatan iman, bukankah itu merupakan sebuah anugerah dari Allah?”

 

Mereka pasti setuju. Katakan pada mereka, “Berkenaan dengan sebuah anugerah keutamaan. Bukankah pemilik anugerah keutamaan itu boleh jadi dia tidak menjadi utama dengan anugerah itu, dan boleh jadi juga dia menjadi utama dengan anugerah itu?” Mereka pasti akan mengiyakannya. Oleh karena itu, perbedaan antara anugerah keutamaan dengan hak kepemilikan.

 

Lalu katakan pada mereka, “Pemilik anugerah keutamaan itu memiliki hak apabila dia memerintahkan untuk beriman, untuk menghilangkan anugerah keutamaan itu sehingga penerimanya tidak menjadi utama dengan anugerah itu, lalu Dia memerintahkan mereka untuk beriman, meskipun Dia tidak memberikan kesanggupan untuk beriman karena Dia memang hendak menghinakan mereka. Demikianlah pendapat dan mazhab kami.

 

Katakan pada mereka, “Apakah Allah sanggup memberikan taufik kepada orang-orang kafir sehingga mereka berubah menjadi orang-orang mukmin?” Apabila mereka menjawab tidak, berarti mereka menyatakan bahwa Allah memiliki sifat lemah. Mahaluhur Allah atas hal seperti itu.

 

Apabila mereka menjawab, “Iya, Allah sanggup melakukannya. Apabila Allah memberi taufik, mereka pun beriman”, berarti mereka telah meninggalkan pendapat perkataan mereka dan memilih untuk menyatakan kebenaran.

 

Apabila mereka bertanya tentang firman Allah, | “Allah tidak menghendaki berbuat kezaliman terhadap hamba-hamba-Nya,” (QS. al-Mu’min [40]: 31) dan tentang firman-Nya, “Dan tiadalah Allah berkehendak untuk menganiaya hamba-hamba-Nya,” (QS. Ali Imran [3]: 108) katakan pada mereka bahwa pengertian ayat itu adalah bahwa Dia tidak ingin menzalimi mereka karena Allah telah berfirman, “Tidaklah Allah berkehendak untuk menganiaya mereka.” Dia tidak menyatakan bahwa Dia tidak menghendaki sebagian manusia menzalimi sebagian lainnya. Allah tidak berkehendak menzalimi mereka, walaupun Allah menghendaki mereka saling menzalimi.

 

Apabila mereka bertanya tentang firman Allah, “Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang.” (QS. al-Mulk [67]: 3) Mereka juga mengatakan bahwa kekufuran bertingkat-tingkat. jadi bagaimana mungkin kekufuran disebut termasuk ciptaan Allah?

 

Jawaban atas pertanyaan itu adalah bahwa Allah telah berfirman.

 

“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka Lihatlah berulang-ulang, apakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itu pun dalam keadaan payah.” (QS. al-Mulk [67] : 3-4)

 

Sesungguhnya yang Allah maksud pada ayat itu adalah kalian tidak akan melihat sesuatu yang tidak seimbang pada langit. Karena di dalam ayat tersebut Allah sedang membicarakan tentang penciptaan langit dan tidak sedang membicarakan tentang penciptaan kekufuran. Apabila hal ini adalah seperti yang kami katakan, batallah semua yang mereka katakan. Walhamdulillahi rabbill ‘alamin.

 

Tanyakan pada mereka, “Apakah kalian tahu bahwa Allah memberikan nikmat-Nya secara khusus kepada Abu Bakar ash-Shiddiq ra. yang tidak Dia berikan kepada Abu Jahal?”

 

Apabila mereka menjawab tidak, hal itu menunjukkan bahwa perkataan mereka sangat keji. Apabila mereka mengiyakan, berarti mereka telah meninggalkan berbagai pendapat mereka, karena mereka tidak menyatakan bahwa Allah telah mengkhususkan orang-orang mukmin dengan sesuatu yang tidak dikhususkan bagi orang-orang kafir.”

 

Apabila mereka bertanya tentang firman Allah, “Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya batil (tanpa hikmah).” (QS. Shad [38] 27) Mereka menyatakan bahwa ayat ini menunjukkan bahwa Allah tidak menciptakan kebatilan.

 

Jawaban atas pertanyaan itu adalah bahwa yang dimaksud Allah dalam ayat tersebut adalah orang-orang musyrik yang menyatakan bahwa tidak ada penghimpunan, tidak ada kebangkitan, dan tidak ada manusia yang dihidupkan kembali pada saat kiamat. Seolah-olah menurut mereka Allah berkata, “Aku tidak menciptakan yang demikian. Aku tidak memberi pahala kepada orang yang menaati-Ku dan tidak mengazab orang yang bermaksiat pada-Ku.”

 

Pendapat ini seperti yang dikatakan oleh orang-orang musyrik bahwa tidak ada hari penghimpunan, tidak ada kebangkitan dari kubur, tidak ada pahala, dan tidak ada hukuman. Tidakkah kalian melihat Allah swt. berfirman, “Demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka.” (QS. Shad [38]: 27)

 

Kemudian Allah menjelaskan hal itu dalam firmanNya, “Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi. Patutkah (pula) Kami menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat.” (QS. Shad [38]: 28) Maksudnya adalah, “Kami tidak akan menyamakan mereka dengan mematikan mereka semua lalu Kami tidak menghidupkan mereka kembali sehingga perjalanan mereka semua sama.”

 

Apabila mereka bertanya tentang firman Allah berikut, “Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. an-Nisa’ [4]: 79)

 

Jawaban atas pertanyaan itu adalah bahwa Allah swt. berfirman, ‘“Apabila mereka memperoleh kebaikan,” maksudnya adalah berupa lahan kesuburan dan kebaikan. Pada saat itu, mereka mengatakan bahwa semua itu berasal dari Allah. Apabila mereka tertimpa keburukan, yaitu berupa kekeringan, kelaparan, dan berbagai macam musibah, mereka menyatakan bahwa semua itu datang dari Rasulullah Muhammad saw. disebabkan kesialannya.

 

Pada saat itulah Allah berfirman, “Ya Muhammad katakanlah, ‘Semua (datang) dari Allah maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun?’ Yaitu dalam ucapan mereka, ‘Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. an-Nisa’ [4] 78)

 

Jadi rupanya mereka (kaum Jahmiyah, Mu’tazilah, dan Haruriyah) menghilangkan sebagian isi ayat karena ternyata kalimat yang disebutkan sebelumnya menunjukkan hal itu. Sebab tidak ada ayat mana pun di dalam al-Quran yang saling bertentangan. Tidak mungkin Allah menyatakan dalam satu ayat bahwa segalanya berasal dari sisi Allah, tetapi kemudian pada ayat lain yang berikutnya Dia menyatakan bahwa tidak semuanya berasal dari Allah, yaitu apa yang menimpa manusia bukan yang ditimpakan oleh Allah. Penjelasan ini telah menunjukkan batilnya penggunaan ayat ini oleh mereka yang ternyata justru membantah argumentasi mereka.

 

Apabila mereka bertanya tentang firman Allah, “Tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat [51]: 56)

 

Jawaban atas pertanyaan itu adalah bahwa yang Allah maksud dalam ayat tersebut adalah orang-orang mukmin dan bukan orang-orang kafir. Karena Dia telah mengabarkan kepada kita bahwa banyak makhluk-Nya yang Dia masukkan ke dalam Jahanam. Orang-orang yang telah Allah ciptakan untuk dimasukkan ke dalam Neraka Jahanam yang telah Dia hitung jumlah mereka, telah Dia tulis nama-nama mereka lengkap dengan nama ayah dan ibu mereka, mereka semua itu bukanlah orang-orang yang diciptakan untuk beribadah kepada-Nya.

 

MASALAH TAKLIF

 

Tanyakan pada mereka, “Bukankah Allah telah memerintahkan orang-orang kafir untuk mendengarkan kebenaran untuk kemudian menerimanya serta beriman kepada-Nya?”

 

Mereka pasti akan membenarkan. Setelah itu, sampaikan pada mereka, “Allah berfirman, ‘Mereka selalu tidak dapat mendengar (kebenaran).’ (QS. Had [11]: 20) Di ayat lain, ‘Dan mereka selalu tidak dapat mendengar (kebenaran).’ (QS. al-Kahfi [38]: 101) Allah swt. telah memerintahkan mereka untuk mendengarkan kebenaran.”

 

Setelah itu, tanyakan kepada mereka, “Bukankah Allah telah berfirman? ‘Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud maka mereka tidak kuasa.’ (QS. al-Qalam [68]: 42) Bukankah Allah telah memerintahkan kepada mereka untuk bersujud di akhirat kelak? Dalam sebuah hadis telah dinyatakan bahwa kelak tulang punggung orang-orang munafik akan dijadikan kaku seperti lempengan sehingga mereka tidak mampu bersujud.”

 

Apabila mereka menjawab, “Dia membiarkan mereka tenggelam dalam kekufuran,” katakanlah pada mereka, “Bukankah di antara pendapat kalian adalah bahwa /Allah membiarkan orang-orang mukmin dan kekufuran?”’

 

Jika mereka membenarkan, katakanlah pada mereka, “Jika kehinaan itu berupa membiarkan mereka dengan kekufuran, berarti kalian juga harus menyatakan bahwa Allah telah menghinakan orang-orang mukmin, sebab Dia membiarkan mereka dengan kekufuran. Tentu saja ini pernyataan yang keluar dari ajaran agama. Dengan demikian, mereka harus menetapkan adanya kehinaan pada kekufuran yang telah diciptakan Allah pada mereka (orang-orang kafir), sehingga mereka harus meninggalkan pendapat mereka tentang takdir.

 

Apabila seseorang dan kalangan Qadariyah bertanya, “Apakah seorang hamba dapat terlepas dengan nikmat yang dia wajib bersyukur kepada Allah karena nikmat itu, atau musibah yang dia harus bersabar menghadapinya?”

 

Kami jawab, “Seorang hamba tidak dapat terlepas dari nikmat dan bencana. Berkenaan dengan nikmat, seorang hamba wajib untuk bersyukur kepada Allah, sementara berkenaan dengan musibah, ada dua macam: (1) musibah yang wajib disikapi dengan sabar, seperti penyakit dan yang sejenisnya, dan (2) musibah yang wajib ditinggalkan, seperti kekufuran dan kemaksiatan.”

 

Apabila mereka bertanya, “Manakah yang lebih baik, kebaikan ataukah sosok yang menjadi sumber kebaikan itu?” Kami menjawab, “Siapa pun yang mendatangkan membuat marah orang tua mereka? Apakah hal itu juga dinyatakan sebagai keadilan dari-Nya?”

 

Telah dinyatakan dalam sebuah hadis bahwa pada hari kiamat nanti, anak-anak kaum musyrik akan diuji menggunakan api, kemudian dikatakan kepada mereka, “Masuklah kalian ke dalamnya!” Siapa dari mereka yang masuk ke dalam api itu, dia akan dimasukkan ke dalam surga, dan siapa yang enggan memasuki api itu, dia akan dimasukkan ke dalam neraka.

 

Berkenaan dengan anak-anak, telah dinyatakan dalam sebuah riwayat dari Rasulullah yang berkata, “Sesungguhnya kalau aku mau, aku dapat memperdengarkan kepadamu jeritan mereka di dalam neraka.”

 

Katakan pada mereka, “Bukankah Allah telah berfirman,

 

“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak.” (QS. al-Lahab [111]: 1-3)

 

Ternyata, dengan segala yang Dia sebutkan itu, Allah telah memerintahkan Abu Lahab untuk beriman, sedangkan Dia menetapkan bahwa Abu Lahab harus mengetahui bahwa dia tidak akan beriman, dan bahwa Allah Mahabenar dengan semua berita yang Dia sampaikan tentang Abu Lahab. Meskipun Allah telah memerintahkan Abu Lahab untuk beriman, dia tidak akan beriman sama sekali.

 

Tidak akan berhimpun antara keimanan dan ilmu Allah yang mengetahui bahwa keimanan itu tidak akan terjadi, sebagaimana yang Maha Menetapkan takdir tidak menakdirkannya untuk beriman, dan Abu Lahab harus tahu bahwa dirinya tidak akan beriman. Jika demikian halnya, Allah telah memerintahkan Abu Lahab untuk melakukan sesuatu yang tidak ditakdirkan untuknya. Sebab Allah telah memerintahkannya agar beriman, sedangkan Allah telah mengetahui bahwa dia tidak akan beriman.

 

Tanyakan pada mereka, “Bukankah Allah telah memerintahkan agar beriman, walaupun Dia mengetahui bahwa dia tidak akan beriman?” Apabila mereka mengiyakan, katakan pada mereka, “Jadi kalian mampu untuk beriman, dan ternyata hal itu benar-benar terjadi pada diri kalian. Benarkah seperti itu?” Namun, apabila mereka menjawab tidak, berarti mereka telah sepemahaman dengan kami. Namun, apabila mereka mengiyakan, berarti mereka telah meyakini bahwa para hamba sanggup beriman sebelum keimanan itu ada di dalam ilmu Allah. Mahaluhur Allah atas hal seperti itu.

 

BANTAHAN TERHADAP MU’TAZILAH

 

Tanyakan pada mereka, “Bukankah orang-orang Majusi meyakini bahwa setan mampu membuat keburukan yang tidak ditakdirkan Allah dan perkataan itulah yang menyebabkan mereka kafir?”

 

Mereka pasti akan membenarkan. Katakan pada mereka, “Apabila kalian menganggap bahwa orang-orang kafir sanggup melakukan kekufuran ketika Allah tidak menakdirkan itu, berarti pernyataan kalian lebih buruk daripada keyakinan orang Majusi pada pernyataan mereka, karena kalian sebagaimana mereka sama-sama menyatakan bahwa setan mampu melakukan kekufuran, sedangkan Allah tidak mampu melakukannya.

 

Hal ini telah dijelaskan oleh sebuah hadis dari Rasulullah yang bersabda bahwa kalangan Qadariyah adalah Majusi-nya umat Islam. Mereka menjadi Majusinya umat ini karena mereka memiliki keyakinan seperti keyakinan orang-orang Majusi.

 

Orang-orang Qadariyah meyakini bahwa kitalah yang seharusnya disebut “qadari”, karena kita menyatakan bahwa Allah telah menakdirkan keburukan dan kekufuran. Siapa yang menyatakan kepastian takdir maka dialah yang disebut “qadari”, bukan orang-orang yang tidak menyatakan kepastian takdir.

 

Katakan pada mereka bahwa yang disebut “qadari” adalah orang yang menyatakan kepastian takdir pada dirinya sendiri, bukan apa yang ditakdirkan oleh Tuhannya, dan menyatakan bahwa dia berkuasa atas semua perbuatannya sendiri, bukan Pencipta dirinya. Seperti itu pula pengertian istilah ini dari segi bahasa. Karena kata “sha’igh (pandai emas)” adalah orang yang meyakini bahwa dia yang mencetak emas, bukan orang yang minta dicetakkan emas untuknya. Sebagaimana kata “najjar (tukang kayu)” adalah orang yang bekerja sebagai tukang kayu, bukan orang yang dibuatkan untuknya benda-benda yang terbuat dari kayu.

 

Ketika kalian (orang-orang Qadariyah) meyakini bahwa kalian yang menetapkan takdir perbuatan kalian, bukan Tuhan kalian. Dengan demikian, kalianlah yang disebut Qadariyah. Kami tidak disebut Qadariyah karena kami tidak menisbatkan penetapan perbuatan kami kepada diri kami sendiri, tetapi kami nisbatkan kepada Tuhan. Kami tidak menyatakan bahwa kami menakdirkan semua itu sendiri, bukan Allah. Kami mengatakan bahwa semua takdir itu sudah ditetapkan terhadap kami.

 

Katakan pada mereka, “Jika orang yang menyatakan bahwa takdir hanyalah milik Allah disebut ‘qadari’, seharusnya jika kalian meyakini bahwa Allah telah menetapkan takdir langit dan bumi serta menetapkan takdir ketaatan, untuk disebut sebagai Qadariyah.” Jika hal ini tidak diberlakukan, berarti pernyataan kalian menjadi batal dan gugur.

 

MASALAH TERKUNCINYA HATI (KHATM)

 

Tanyakan pada mereka, “Bukankah Allah berfirman,

 

“Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” (QS. al-Baqarah [2]: 7) Allah juga telah berfirman,

 

“Siapa yang Allah kehendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit.” (QS. al-An’am [6]: 125)

 

Jelaskanlah kepada kami perihal orang-orang yang telah dikunci-mati hati dan pendengaran mereka. Apakah kalian menyatakan bahwa Allah memberi mereka hidayah serta melapangkan dada mereka untuk menganut Islam, sedangkan Dia juga menyesatkan mereka?

 

Apabila mereka mengiyakan, berarti pernyataan mereka saling bertentangan. Tanyakanlah kepada mereka,

 

Bagaimana mungkin dada yang sesak dan sempit serta telah terkunci-mati, dapat dilapangkan untuk beriman? Bagaimana memadukan perbuatan Allah swt., sesuai firman, “Atau apakah hati mereka sudah terkunci?” (QS. Muhammad [47]: 24) dengan hati yang lapang, bagaimana mungkin kesempitan dapat berpadu dengan kelapangan, dan bagaimana mungkin petunjuk hidayah dapat berpadu dengan kesesatan?

 

Jika hal seperti itu mungkin terjadi, berarti mungkin terjadi perpaduan antara tauhid dengan syirik yang merupakan lawan dari tauhid, dan kekufuran dapat berpadu dengan keimanan dalam satu hati. Jika hal seperti itu tidak mungkin terjadi, apa yang kalian (kaum Qadariyah) katakan juga tidak mungkin.”

 

Apabila mereka berkata, “Hati yang terkunci, kesempitan dan kesesatan tidak mungkin berpadu dengan hati yang dilapangkan Allah,” katakan pada mereka, “Demikian juga hidayah tidak akan mungkin berpadu dengan kesesatan. Jika demikian halnya maka Allah tidak akan memberikan kelapangan hati orang-orang kafir untuk beriman. Alih-alih Dia justru mengunci mati hati mereka serta menutupnya dari kebenaran. Sebagaimana doa yang diucapkan Nabi Musa as. terhadap kaumnya dalam al-Quran,

 

“Ya Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih.” (QS. Yanus [10]: 88) Allah juga berfirman,

 

“Allah berfirman, ‘Sesungguhnya telah diperkenankan permohonan kamu berdua, sebab itu tetaplah kamu berdua pada jalan yang lurus dan janganlah sekali-kali kamu mengikuti jalan orang-orang yang tidak mengetahui’.” (QS. Yunus [10]: 89)

 

Allah juga telah mengabarkan perihal orang-orang kafir yang berkata,

 

“Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru kami kepadanya dan di telinga kami ada sumbatan dan di antara kami dan kamu ada dinding.” (QS. Fushshilat [41]: 5)

 

Apabila Allah menciptakan penutup, kunci, dan kesesatan di dalam hati mereka. Hal itu karena Allah berfirman, “Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka.” (QS. ash-Shaff [61]: 5) Sebagaimana Dia mengunci hati dan menyempitkan dada. Kemudian Allah perintahkan mereka untuk beriman. Meski sebenarnya Dia telah mengetahui bahwa mereka tidak akan beriman.

 

Dengan demikian, Allah telah memerintahkan mereka pada sesuatu yang mereka tidak ditakdirkan padanya. Ketika Allah menciptakan dalam hati mereka semua yang sudah kami sebutkan tadi, yaitu berupa kesempitan untuk menerima iman, bukankah kesempitan untuk menerima iman itu adalah kekufuran yang bersarang dalam hati mereka? Semua penjelasan ini menunjukkan bahwa Allah menciptakan kekufuran dan kedurhakaan mereka.

 

Katakan pada mereka, “Allah berfirman kepada Nabi-Nya,

 

‘Kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka.’ (QS. al-Isra’ [17]: 74)

 

Allah juga telah menceritakan tentang Nabi Yusuf as. dalam al-Quran,

 

“Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andain dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya.” (QS. Yusuf [12]: 24)

 

Jelaskanlah kepada kami tentang penetapan hati dan mengenai tanda dari Allah yang disebutkan dalam ayat tersebut, apakah Allah memberikannya kepada orang-orang kafir dan mereka yang serupa dengan mereka?”

 

Apabila mereka menjawab tidak, berarti mereka telah meninggalkan pendapat mereka tentang takdir. Apabila mereka mengiyakan, katakan pada mereka, “Jika dia tidak condong kepada mereka karena dikukuhkan hatinya oleh Allah, maka berarti apabila Allah melakukan semua itu kepada orang-orang kafir agar mereka tetap dalam kekufuran.

 

Apabila mereka tidak meninggalkan kekufuran maka menjadi batallah apa yang Allah lakukan terhadap mereka seperti yang Dia lakukan terhadap Nabi saw., yaitu berupa penetapan hati yang ketika Dia melakukan itu kepada beliau saw., beliau pun tidak condong kepada orang-orang kafir.

 

MASALAH UCAPAN “INSYAALLAH” (ISTITSNA’)

 

Tanyakan pada mereka, “Jelaskanlah kepada kami tentang seseorang yang meminta haknya kepada seseorang, lalu orang itu berkata kepadanya, ‘Demi Allah, saya pasti akan berikan itu kepadamu insyaallah’, maka bukankah Allah dapat berkehendak untuk memberikan hak orang tersebut?”’

 

Apabila mereka mengiyakan, katakan pada mereka, “Bagaimana pendapat kalian jika ternyata pada keesokan harinya orang itu tidak memberikan hak temannya itu, bukankah orang tersebut telah melanggar sumpah?”

 

Mereka pasti akan mengiyakan lagi. Setelah itu, katakan pada mereka, “Kalau Allah berkehendak kepada dia untuk memberikan hak temannya itu, berarti orang tersebut telah melanggar sumpah apabila dia tidak memberikannya. Sebagaimana jika orang tersebut berkata, “Demi Allah, saya akan berikan hak Anda ketika fajar terbit besok.” Kemudian ternyata ketika fajar tiba, dia tidak memberikan hak temannya, berarti dia telah melanggar sumpahnya.

 

MASALAH AJAL

 

Tanyakan pada mereka, “Bukankah Allah telah berfirman,

 

‘Apabila telah datang waktunya mereka tidak . dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan . tidak dapat (pula) memajukannya.’ (QS. al-A’raf [7]: 34)

 

Allah juga telah berfirman,

 

‘Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya.’ (QS. al-Munafiqun [63]: 11)?”

 

Mereka pasti akan membenarkan. Katakan pada mereka, “Beri tahu kami tentang seseorang yang dibunuh secara zalim, apakah kalian menganggap bahwa dia terbunuh sesuai dengan ajalnya?”

 

Apabila mereka membenarkan, berarti mereka telah sependapat dengan kita dan telah berkata benar karena dengan jawaban itu mereka telah meninggalkan keyakinan kaum Qadariyah.

 

Akan tetapi, apabila mereka menjawab tidak, tanyakan pada mereka, “Kalau begitu, kapankah ajalnya orang yang terbunuh itu?”

 

Apabila mereka menjawab, “Pada waktu yang telah diketahui oleh Allah, bahwa jika dia tidak terbunuh, dia akan menikahi seorang wanita dan Allah mengetahui bahwa wanita itu adalah istrinya walaupun dia belum sempat menikahi wanita itu. Apabila Allah mengetahui bahwa apabila dia tidak dibunuh dan tetap hidup, pasti | dia akan menjadi kafir, lalu menjadi penghuni neraka.

 

Jadi, jika hal seperti itu tidak boleh terjadi, berarti tidak boleh pula adanya waktu yang belum sempat dia lalui disebut sebagai ajal baginya. Pernyataan ini tidak ada gunanya karena Allah telah berfirman,

 

“Apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (QS. al-A’raf [7]: 34)

 

Katakan pada mereka, “Jika menurut kalian si pembunuh memiliki kesanggupan untuk tidak membunuh orang yang terbunuh itu, sehingga orang itu tetap hidup, itu berarti si pembunuh memiliki kesanggupan untuk memutus ajal orang tersebut serta memajukannya sebelum ajalnya yang ditetapkan Allah tiba, sebagaimana dia juga sanggup mengakhiri ajalnya.

 

Alhasil, menurut pendapat kalian manusia memiliki kuasa untuk mempercepat ajal para hamba dan mengakhirkannya, sebagaimana manusia juga memiliki kuasa untuk membiarkan para hamba tetap hidup sampai waktu meninggalnya mereka. Tentu saja keyakinan seperti ini adalah bentuk pelanggaran terhadap agama.”

 

MASALAH REZEKI

 

Tanyakan pada mereka, “Jelaskanlah kepada kami tentang orang yang mencuri makanan, lalu dia memakan makanan itu sebagai barang haram. Apakah Allah memberinya rezeki berupa makanan haram itu?”

 

Jika mereka membenarkan, berarti mereka telah meninggalkan pendapat Qadariyah. Akan tetapi, apabila mereka menjawab tidak, kami mengatakan, “Lantas bagaimana dengan orang yang di sepanjang umurnya memakan makanan haram. Apakah itu berarti bahwa Allah tidak pernah memberinya rezeki untuk dia makan sebagai sumber gizi bagi tubuhnya?” Lalu katakan juga kepada mereka, “Apabila ada orang yang mencuri makan untuk seseorang, lalu dia memberi orang itu makanan curian tersebut hingga orang itu mati, menurut kalian rezekinya berasal dari orang tadi dan bukan dari Allah?”

 

Dalam pertanyaan seperti itu, terdapat pengakuan bahwa mereka (kaum Qadariyah) meyakini makhluk dapat memberi dua macam rezeki, yang satu halal dan yang lain haram. Apabila daging tubuh seseorang tumbuh dan tulangnya menguat, sedangkan Allah dinyatakan tidak memberinya rezeki apa yang dimakannya itu.

 

Apabila kalian menyatakan bahwa Allah tidak mungkin memberinya rezeki haram seperti itu, berarti kalian menyatakan bahwa Allah tidak memberinya makan dan Allah juga tidak membuat tubuhnya kuat, karena—menurut kalian—daging, tubuh, dan tulang orang itu menguat tanpa peran Allah, karena dia tidak mendapatkan rezeki dari Allah. Pertanyaan seperti ini adalah sebuah kekufuran yang besar!

 

Kami mengatakan, “Mengapa kalian mengingkari bahwa Allah memberi rezeki haram seperti itu?” Apabila mereka menjawab, “Sebab apabila Allah yang memberi rezeki haram tersebut, berarti Allah memiliki sesuatu yang haram.” Katakanlah pada mereka, “Jelaskanlah kepada kami perihal bayi yang makan dari air susu ibunya dan dari air susu binatang ternak yang memakan rumput. Siapakah yang memberinya rezeki?”

 

Apabila mereka menjawab, “Allah”, sampaikan pada mereka, “Apakah Allah memiliki keduanya? Apakah binatang tersebut memiliki kepemilikan?” Apabila mereka menjawab tidak, katakan pada mereka, “Lantas mengapa kalian meyakini bahwa apabila Allah memberi rezeki haram berarti Allah memiliki sesuatu yang haram. Allah menganugerahkan rezeki kepada sesuatu, tapi sesuatu itu bukan milik-Nya.”

 

Kemudian kami mengatakan pada mereka, “Apakah Allah memberikan kesanggupan kepada seorang hamba untuk mendapatkan sesuatu yang haram, tapi ia tidak menjadikannya sebagai pemilik sesuatu itu?”

 

Apabila mereka mengiyakan, katakan pada mereka, ‘“Lantas mengapa kalian mengingkari bahwa dia memberi rezeki haram tanpa menjadikannya sebagai pemilik sesuatu itu?”

 

Tanyakan pada mereka, “Apabila taufik kepada orang-orang mukmin diberikan oleh Allah, lantas mengapa kalian mengingkari bahwa kehinaan orang-orang kafir juga ditimpakan oleh Allah? Jika tidak seperti itu, kalian meyakini bahwa Allah memberi taufik kepada orang-orang kafir berupa keimanan. Katakanlah bahwa Allah telah menjaga mereka dari kekufuran. Tetapi bagaimana mungkin Allah menjaga mereka dari kekufuran, sedangkan mereka sendiri telah kufur?”

 

Apabila mereka meyakini bahwa Allah yang menghinakan mereka, katakan pada mereka, “Bukankah kehinaan dari Allah tersebut adalah kekufuran yang telah Allah ciptakan pada diri mereka?”

 

Apabila mereka mengiyakan, berarti mereka telah sepaham dengan kita. Akan tetapi, apabila mereka menjawab tidak, maka tanyakan pada mereka, “Kehinaan apa yang telah Allah ciptakan?”

 

Apabila mereka menjawab, “Dia membiarkan mereka tenggelam dalam kekufuran,” katakanlah pada mereka, “Bukankah di antara pendapat kalian adalah bahwa Allah membiarkan orang-orang mukmin dan kekufuran?”’

 

Jika mereka membenarkan, katakanlah pada mereka, ‘“Jika kehinaan itu berupa membiarkan mereka dengan kekufuran, berarti kalian juga harus menyatakan bahwa Allah telah menghinakan orang-orang mukmin, sebab Dia membiarkan mereka dengan kekufuran. Tentu saja ini pernyataan yang keluar dari ajaran agama. Dengan demikian, mereka harus menetapkan adanya kehinaan pada kekufuran yang telah diciptakan Allah pada mereka (orang-orang kafir), sehingga mereka harus meninggalkan pendapat mereka tentang takdir.

 

Apabila seseorang dari kalangan Qadariyah bertanya, “Apakah seorang, hamba dapat terlepas dengan nikmat yang dia wajib bersyukur kepada Allah karena nikmat itu, atau musibah yang dia harus bersabar menghadapinya?”

 

Kami jawab, “Seorang hamba tidak dapat terlepas dari nikmat dan bencana. Berkenaan dengan nikmat, seorang hamba wajib untuk bersyukur kepada Allah, sementara berkenaan dengan musibah, ada dua macam: (1) musibah yang wajib disikapi dengan sabar, seperti penyakit dan yang sejenisnya, dan (2) musibah yang wajib ditinggalkan, seperti kekufuran dan kemaksiatan.”

 

Apabila mereka bertanya, ‘“Manakah yang lebih baik, kebaikan ataukah sosok yang menjadi sumber kebaikan itu?” Kami menjawab, “Siapa pun yang mendatangkan kebaikan dan dia menjadi utama dengan itu maka dialah kebaikan yang lebih baik daripada kebaikan itu sendiri.”

 

Apabila mereka bertanya, “Mana yang lebih buruk, keburukan ataukah sosok yang menjadi sumber keburukan itu?” Kami menjawab, “Siapa pun yang menjadi sumber keburukan dan berbuat buruk, dia lebih buruk daripada keburukan itu sendiri. Allah menjadi asal keburukan hanya karena Allah menciptakannya, dan Dia adil terhadap keburukan itu. Itulah sebabnya apa yang kalian tanyakan itu tidak membatalkan landasan pendapat kami.

 

Karena jika sosok yang menjadi asal datangnya keburukan itu dinyatakan sebagai lebih buruk daripada keburukan itu sendiri, Allah telah menciptakan Iblis yang lebih buruk daripada segala keburukan yang muncul darinya. Dengan demikian, Dia telah menciptakan sosok yang lebih buruk daripada segala jenis keburukan. Tentu saja pendapat seperti ini telah membatalkan keyakinan kalian dan menunjukkan kerusakan mazhab kalian.”

 

MASALAH HIDAYAH

 

Katakan pada kalangan Mu’tazilah, “Bukankah Allah berfirman,

 

“Alif lam mim. Kitab (al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya., petunjuk bagi mereka yang bertakwa. ” (QS. al-Baqarah [2]: 1-2)

 

Melalui ayat ini, Allah memberitahukan bahwa al-Quran adalah petunjuk bagi orang-orang bertakwa. Benarkah seperti itu?” Mereka pasti akan membenarkannya. Lalu katakan pada mereka, “Bukankah Allah telah menyatakan di dalam al-Quran,

 

Jikalau Kami jadikan al-Quran itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah mereka mengatakan, ‘Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?’ Apakah (patut al-Quran) dalam bahasa asing sedang (rasul adalah orang) Arab? Katakanlah, ‘al-Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang al-Quran itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) yang dipanggil dari tempat yang jauh.” (QS. Fushshilat [41]: 44)

 

Apakah ayat itu mengabarkan bahwa al-Quran merupakan sebuah kegelapan bagi orang-orang kafir?” Mereka pasti akan membenarkan. Kemudian tanyakan pada mereka, “Apakah memungkinkan bagi orang yang Allah mengabarkan kepadanya bahwa al-Quran merupakan petunjuk baginya dan sekaligus sebuah kegelapan baginya?”

 

Mereka pasti akan menjawab tidak. Setelah itu, katakan pada mereka, “Sebagaimana al-Quran itu tidak mungkin menjadi kegelapan bagi orang yang telah Allah kabarkan bahwa al-Quran itu menjadi petunjuk hidayah baginya. Demikian juga tidak mungkin al-Quran itu menjadi petunjuk hidayah bagi orang yang Allah telah sampaikan bahwa al-Quran adalah kegelapan baginya.”’

 

Kemudian katakan pada mereka, “Jika ajakan Allah kepada keimanan memungkinkan menjadi petunjuk hidayah bagi orang yang menerima dan orang yang tidak menerima, lantas mengapa kalian mengingkari untuk menyatakan bahwa ajakan Iblis kepada kekufuran sebagai penyesatan bagi orang yang menerima dan orang yang tidak menerima?

 

Jika ajakan Iblis kepada kekufuran merupakan bentuk penyesatan bagi orang-orang kafir yang menerimanya, bukan orang-orang mukmin yang menolaknya, lantas mengapa kalian mengingkari bahwa ajakan Allah kepada keimanan merupakan petunjuk hidayah bagi orang-orang mukmin yang menerimanya, bukan bagi orang-orang kafir yang menolaknya. Karena jika tidak demikian, apakah perbedaan antara keduanya?”

 

Tanyakan pada mereka, “Bukankah Allah telah berfirman,

 

“Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan oleh Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberinya petunjuk.” (QS. al-Baqarah [2]: 26)

 

Lantas apakah firman-Nya di atas menunjukan bahwa Allah tidak menyesatkan semua manusia karena jika yang Allah maksud adalah menyesatkan semuanya, tentulah Allah akan berfirman, ‘Dengan perumpamaan itu semua orang disesatkan.’ Ketika ternyata Allah menyatakan ‘Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan’, kita ketahui bahwa Allah tidak menyesatkan semua manusia. Benarkah seperti itu?”

 

Mereka pasti akan membenarkan. Katakan pada mereka, “Kalau begitu, lantas mengapa kalian mengingkari bahwa firman-Nya di atas, ‘Dengan (perumpamaan) itu banyak orang yang diberinya petunjuk,’ adalah dalil yang menunjukkan bahwa Allah tidak memaksudkan firman-Nya itu untuk semua orang karena apabila Dia ingin memaksudkan semua orang, pasti Dia akan berfirman, ‘Dengan (perumpamaan) itu semua orang yang diberinya petunjuk.’

 

Ketika Allah justru menyatakan, ‘Dengan (perumpamaan) itu banyak orang yang diberinya petunjuk.’” Dari situ, kita tahu bahwa Allah memang tidak memberi petunjuk kepada semua manusia. Penjelasan ini telah membatalkan pendapat kalian bahwa Allah memberi hidayah kepada semua manusia.

 

Katakan pada mereka, “Apabila kalian nyatakan bahwa seruan Allah untuk beriman merupakan hidayah bagi orang-orang kafir yang enggan menerima perintah Allah, lantas mengapa kalian mengingkari bahwa seruan Allah untuk beriman adalah manfaat, perbaikan, dan bimbingan bagi orang-orang kafir yang menolak menerima perintah Allah.

 

Apakah pula yang membuat kalian mengingkari bahwa seruan itu menjadi perlindungan bagi mereka dari kekufuran walaupun ternyata mereka tidak terlindung dari kekufuran atau seruan ini menjadi taufik bagi mereka menuju keimanan walaupun ternyata mereka tidak mendapatkan karunia keimanan. Dalam semua hal tersebut terkandung bukti yang menunjukkan bahwa memberi bimbingan, memperbaiki, melindungi, dan memberi taufik keimanan kepada orang-orang kafir walaupun ternyata mereka tetap kafir.

 

Ini adalah sesuatu hal yang tidak mungkin karena orang-orang kafir adalah orang terhina. Jadi bagaimana mungkin mereka mendapat taufik keimanan padahal mereka adalah orang-orang yang terhina? Apabila boleh bagi seorang kafir untuk mendapat taufik keimanan, lantas mengapa kalian mengingkari bahwa keimanannya juga disebut taufik. Jika ini adalah suatu hal yang boleh, lantas mengapa kalian mengingkari kemustahilan semua yang kalian nyatakan itu?”

 

MASALAH KESESATAN

 

Katakan pada mereka, “Apakah Allah menyesatkan orang-orang kafir dari keimanan ataukah dari kekufuran?” Apabila mereka menjawab, “Dari kekufuran,” katakan pada mereka, “‘Bagaimana mungkin mereka menjadi orang-orang sesat yang meninggalkan kekufuran, sedangkan mereka sendiri adalah orang-orang kafir?”’

 

Apabila mereka menjawab, “Allah menyesatkan mereka dari keimanan,” berarti mereka telah membatalkan pendapat mereka. Apabila mereka menjawab, “Kami menyatakan bahwa Allah menyesatkan mereka, tapi Dia tidak menyesatkan mereka dari sesuatu apapun.” Katakan pada mereka, “Kalau demikian, apa perbedaan antara kalian dan orang yang menyatakan bahwa Allah memberi petunjuk kepada orang mukmin bukan kepada sesuatu apa pun? Apabila mustahil Allah memberi hidayah kepada orang mukmin bukan kepada keimanan, lantas mengapa kalian mengingkari bahwa mustahil bagi Allah untuk menyesatkan orang-orang kafir dari keimanan.”

 

Tanyakan pada mereka, “Apa makna firman Allah,

 

“Dan Allah menyesatkan orang-orang yang berbuat zalim.” (QS. Ibrahim [14]: 27)

 

Apabila mereka menjawab, “Maknanya adalah Allah menyebut mereka sebagai orang-orang sesat dan menetapkan kesesatan pada diri mereka”, katakan pada mereka, “Bukankah Allah berkata kepada orang Arab dengan bahasa mereka? Allah berfirman, ‘Dalam bahasa Arab yang terang.’ (QS. asy-Syu’ara [26]: 195) Dia juga berfirman, ‘Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya.’?” (QS. Ibrahim [14]: 4) Mereka pasti setuju.

 

Kami melanjutkan, “Apabila Allah menurunkan al-Quran dengan bahasa Arab, dari manakah kalian menemukan keterangan bahwa dalam bahasa Arab jika dikatakan, ‘Si A menyesatkan Si B,’ artinya menjadi, ‘Si A itu melabeli Si B sesat’?”

 

Apabila mereka menjawab, ‘Kami temukan penjelasannya dari perkataan seseorang yang melabeli orang lain sesat, ‘qad dhalaltuh (saya sudah menyesatkannya)’.” Kembali kami katakan, “Kami mendapati orang-orang Arab berkata, ‘Dhallala fulanun fulanan (Si A menyatakan Si B sesat)’, ketika si A itu melabeli Si B sesat. Tetapi kami tidak pernah mendapati orang-orang Arab berkata, ‘Adhalla fulanun fulanan (Si A menyesatkan Si B)’ dalam pengertian yang sama.

 

Ketika Allah swt. berfirman, ‘Allah menyesatkan orang-orang yang berbuat zalim,’ (QS. Ibrahim [14]: 27) tidak boleh kalimat itu dimaknai hanya sebatas pelabelan dan pernyataan sesat. Menurut bahasa Arab tidak boleh menggunakan kalimat “adhalla fulanun fuldnan’”, ketika Si A menyebut Si B sesat. Jika demikian berarti takwil kalian keliru karena menyelisihi Bahasa Arab.”

 

Katakan pada mereka, “Apabila kalian menyatakan bahwa Allah menyesatkan orang-orang kafir dalam arti melabeli mereka sebagai orang-orang sesat, sedangkan anggapan kalian tidak memiliki landasan secara bahasa. Berarti kalian juga menyatakan bahwa ketika Nabi saw. menyebut suatu kaum sebagai orang-orang sesat dan perusak, berarti menurut kalian Nabi saw. telah menyesatkan dan menganggap mereka sebagai perusak, hanya karena melabeli mereka sebagai orang-orang sesat dan para perusak. Apabila hal ini tidak memungkinkan, berarti tafsiran kalian terhadap makna firman Allah ‘yudhillullah azh-azhalimin (Allah menyesatkan orang-orang yang zhalim)’ juga keliru.

 

Katakan pada mereka, “Bukankah Allah telah berfirman,

 

“Siapa saja yang diberi petunjuk oleh Allah, dialah yang mendapat petunjuk dan siapa yang disesatkan-Nya, kamu tidak akan mendapat seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.” (QS. al-Kahfi [18]: 17)

 

Allah juga telah berfirman,

 

“Bagaimana Allah akan menunjuki suatu kaum yang kafir sesudah mereka beriman, serta mereka telah mengakui bahwa Rasul itu (Muhammad) benar-benar rasul, dan keterangan-keterangan pun telah datang kepada mereka? Allah tidak menunjuki orang-orang yang zalim,” (QS. Ali ‘Imran: 86)

 

Dalam ayat-ayat ini Allah menyebutkan bahwa Dia tidak akan memberi mereka hidayah. Allah juga telah berfirman, ‘Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan menunjuk orang yang dikehendaki-Nya pada jalan yang lurus (Islam).’ (QS. Yunus [10]: 25) Allah menyebut seruan (du’a’) secara umum dan menyebutkan hidayah secara khusus. Allah jug berfirman,

 

‘Allah tidak akan memberi hidayah orang-orang yang kafir.’ (QS. al-Baqarah [2] 264)

 

Apabila Allah mengabarkan bahwa Dia tidak akan memberikan petunjuk hidayah kepada orang-orang kafir, lantas bagaimana mungkin dapat dibolehkan bagi seseorang untuk menyatakan bahwa Allah memberi hidayah kepada orang-orang kafir dan itu diiringi dengan pemberitahuan dari-Nya bahwa Dia tidak memberi mereka hidayah. Yaitu ketika Allah berfirman, ‘Sesungguhnya engkau tidak dapat memberi hidayah kepada orang yang engkau kehendaki tetapi hanya Allah-lah yang memberi hidayah kepada siapa saja yang Dia kehendaki.’ (QS. al-Qashash [28]: 56)

 

Allah juga berfirman, ‘Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, tapi Allah yang memberi petunjuk (taufik) siapa yang dikehendaki-Nya.’ (QS. al-Baqarah [2]: 272) Allah juga berfirman dalam surat as-Sajdah, ‘Dan kalau Kami menghendaki niscaya Kami akan berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuk (bagi) nya,’ (QS. as-Sajdah [32]: 13)?

 

Jika hal seperti ini boleh, berarti boleh juga untuk menyatakan bahwa Allah telah menyesatkan orang-orang mukmin, seperti dalam firman Allah, ‘Siapa yang ditunjuki Allah, dialah yang mendapat petunjuk.’ (QS. al-lsra’ [17]: 97) Juga dalam surat al-Baqarah, ‘Petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.’ (QS al-Baqarah [2]: 2)

 

Apabila hal itu tidak mungkin terjadi, lantas mengapa kalian mengingkari bahwa Allah tidak mungkin memberi hidayah kepada orang-orang kafir. Padahal Allah telah berfirman, ‘Dan Allah tidak akan memberi hidayah orang-orang yang kafir,’ (QS. al-Baqarah [2]: 264) dan masih banyak lagi ayat-ayat lain yang kami minta untuk kalian jelaskan.”’

 

Katakan pada mereka, “Bukankah Allah telah berfirman, ‘Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya?” (QS. al-Jatsiah [45]: 23) Mereka pasti setuju.

 

Setelah itu, tanyakanlah pada mereka, “Ketika Allah menyesatkan mereka, apakah agar mereka tersesat ataukah agar mereka mendapat hidayah?” Apabila mereka menjawab, “Allah menyesatkan mereka agar mereka mendapat hidayah”, katakan pada mereka, “Apakah mungkin Allah menyesatkan mereka agar mendapat hidayah. Jika hal ini boleh, berarti boleh juga Allah memberi mereka hidayah supaya mereka tersesat. Apabila mustahil Allah memberi hidayah kepada orang mukmin supaya mereka sesat, lantas mengapa kalian mengingkari bahwa mustahil bagi Allah untuk menyesatkan orang-orang kafir supaya mereka mendapatkan hidayah?”’

 

Katakan pada mereka, ‘Apabila kalian meyakini bahwa Allah memberi hidayah kepada orang-orang kafir, lalu ternyata mereka tidak mengikuti hidayah itu, lantas mengapa kalian mengingkari bahwa Allah memberi mereka suatu manfaat tetapi mereka tidak memanfaatkannya, sebagaimana Allah juga memperbaiki mereka tetapi mereka tidak menjadi baik?

 

Apabila Allah boleh memberi manfaat kepada orang yang ternyata tidak memanfaatkannya, lantas mengapa kalian mengingkari bahwa Allah dapat menimpakan bahaya terhadap orang yang tidak tertimpa bahaya? Jika Allah hanya menimpakan bahaya kepada yang tertimpa bahaya, demikian juga Dia hanya memberi manfaat, bagi yang memanfaatkan manfaat itu.

 

Apabila Allah boleh memberi manfaat kepada orang yang ternyata tidak memanfaatkan manfaat tersebut, dan memberi petunjuk kepada yang tidak mengikuti petunjuk tersebut, berarti Allah juga boleh menetapkan kesang| gupan bagi orang yang ternyata tidak sanggup. Apabila hal seperti itu mustahil, mustahil pula bagi Allah untuk memberi manfaat kepada orang yang tidak memanfaatkan manfaat itu, atau memberi hidayah kepada orang yang tidak mengikuti hidayah itu.”

 

Mereka bertanya kepada kami tentang masalah ini. Mereka menyatakan bahwa Allah telah berfirman, “Bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan.” (QS. al-Baqarah ,,{2}: 185) Lantas mengapa kalian mengingkari bahwa al-Quran merupakan hidayah bagi orang-orang kafir dan juga orang-orang mukmin?”

 

Kami menjawab “Ayat tersebut berlaku khusus, karena Allah menjelaskan kepada kita bahwa hidayah hanya ditujukan kepada orang-orang yang bertakwa, sebagaimana halnya Dia juga telah mengabarkan kepada kita bahwa Dia tidak memberi hidayah kepada orang-orang kafir. Tidak ada kontradiksi di dalam al-Quran, sehingga dapat dipastikan bahwa maksud firman-Nya dalam surat al-Baqarah tadi adalah, “[…] sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan,” (QS. al-Baqarah [2] 185) hal ini ditujukan khusus untuk orang-orang mukmin saja, bukan orang-orang kafir.

 

Apabila seseorang bertanya, “Bukankah Allah berfirman, ‘Sesungguhnya kamu hanya memberi peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan.’ (QS. Yasin [36] 11) Allah juga berfirman, ‘Kamu hanya memberi peringatan bagi siapa yang takut kepadanya (hari kebangkitan).’ (QS. an-Nazi’at [79]: 45) Rasulullah saw. juga telah memberi peringatan terhadap siapapun yang mengikuti peringatan dan yang tidak mengikuti peringatan, siapa pun yang takut dan yang tidak takut. Benarkah seperti itu?” Kami sepakat.

 

Apabila mereka bertanya lagi, “Mengapa kalian mengingkari bahwa firman Allah, ‘Petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa,’ maksudnya adalah kepada orang yang bertakwa dan yang tidak bertakwa?” Jawaban atas pertanyaan ini adalah makna firman Allah dalam surat Yasin di atas, “Sesungguhnya kamu hanya memberi peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan,” (QS. Yasin [36] 11) adalah agar peringatanmu itu bermanfaat bagi orang-orang yang mau mengikuti peringatan tersebut. Dan maksud firman Allah dalam surat an-Nazi’at, “Kamu hanya memberi peringatan bagi siapa yang takut kepadanya (hari berbangkit),” (QS. an-Nazi’at [79]: 45) adalah bahwa peringatanmu itu bermanfaat bagi orang yang takut terhadap hari kiamat serta takut terhadap hukuman yang ada pada hari itu.

 

Sesungguhnya Allah telah mengabarkan pada ayat lain di dalam al-Quran bahwa Dia memberi peringatan kepada orang-orang kafir. Dia berfirman,

 

“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.” (QS. al-Baqarah [2]: 6)

 

Ayat ini mengabarkan perihal orang-orang kafir. Allah juga berfirman, “Berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (QS. asy-Syu’ara’ [26]: 214) Dalam surat lain, “Aku telah memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum ‘Ad dan kaum Tsamud.” (QS. Fushshilat [41]: 13) Firman Allah ini ditujukan kepada orang-orang kafir.

 

Ketika Allah mengabarkan dalam ayat-ayat al-Quran bahwa Dia memberi peringatan kepada orang kafir, sebagaimana Dia juga mengabarkan di dalam ayat-ayat al-Quran bahwa Dia memberi peringatan kepada orang-orang yang takut pada hari kiamat, dan Dia juga memberi peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan. Semua itu memastikan bahwa Allah telah memberi peringatan dengan al-Quran, baik kepada orang-orang mukmin maupun kepada orang-orang kafir.

 

Ketika Allah mengabarkan kepada kita bahwa al-Quran adalah petunjuk hidayah bagi orang-orang bertakwa dan sekaligus menjadi kegelapan bagi orang-orang kafir, dan Dia juga mengabarkan bahwa Dia tidak akan memberi hidayah kepada orang-orang kafir, berarti semua itu memastikan bahwa al-Quran memang merupakan petunjuk hidayah hanya bagi orang-orang mukmin, bukan bagi orang-orang kafir.

 

Apabila seseorang bertanya tentang firman Allah, “Adapun kaum Tsamud maka mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) dari petunjuk itu,” (QS. Fushshilat [41]: 7) Kemudian orang itu berkata, “Bukankah kaum Tsamud adalah orang-orang kafir dan Allah mengabarkan bahwa Allah memberi mereka hidayah?”

 

Kami jawab, “Masalah ini tidak seperti yang kalian kira. Jawaban yang terdapat di dalam ayat ini ada dua sisi:

 

(1) Kaum Tsamud terdiri dari dua kelompok, yaitu orang-orang kafir dan orang-orang mukmin. Merekalah yang Allah kabarkan bahwa Dia menyelamatkan mereka bersama Nabi Shalih as. sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nva, ‘Kami selamatkan Shalih beserta orang-orang yang beriman bersama dia.’ (QS. Hud [11]: 66) Jadi sebenarnya yang Allah maksudkan dari kaum Tsamud yang mendapat hidayah adalah orang-orang mukmin dari kalangan mereka, bukan orang-orang Kafir karena Allah telah menjelaskan kepada kita dalam alQuran bahwa Dia tidak akan memberi hidayah kepada orang-orang kafir.

 

Tidak ada kontradiksi dalam al-Quran. Alih-alih,

 

justru sebagiannya membenarkan sebagian yang lain. Jadi apabila Allah mengabarkan kepada kita pada sebuah ayat bahwa Dia tidak memberi hidayah kepada orang-orang kafir, kemudian dalam ayat lain Dia memberitahu bahwa Dia memberi hidayah kepada kaum Tsamud. Kita pun dapat mengetahui bahwa yang Allah maksud adalah penduduk Tsamud yang mukmin, bukan yang kafir. (2) Sesungguhnya yang Allah maksud adalah satu kaum atau sekelompok orang dari Tsamud yang telah beriman kemudian murtad. Oleh karena itu, Allah mengabarkan kepada kita bahwa Dia telah memberi mereka hidayah, tapi setelah itu mereka lebih menyukai kekufuran daripada keimanan dan mereka dalam keadaan menerima hidayah merupakan orang-orang beriman.

 

Apabila seseorang bertanya untuk membantah jawaban yang pertama dengan berkata, “Bagaimana mungkin Allah berfirman (pada ayat di atas), ‘kami beri mereka hidayah’ lalu maksudnya hanya orang-orang mukmin dari kaum Tsamud saja, lalu Dia berfirman, ‘‘mereka lebih menyukai” yang maksudnya adalah hanya orang-orang kafir dan bukan orang-orang mukmin?” Jawaban atas bantahan itu adalah bahwa hal seperti itu dibolehkan di dalam bahasa yang disampaikan dalam al-Quran yaitu bahwa Allah berfirman, “Kami beri mereka hidayah” yang maksudnya adalah hanya orang-orang mukmin dari kalangan kaum Tsamud.

 

Allah berfirman, “Mereka lebih menyukai,” (QS. al-Anfal [8]: 33) yang maksudnya adalah hanya orang-orang kafir dari kalangan kaum Tsamud. Kalimat seperti ini tercantum dalam ayat yang sama, “Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka,” maksud ayat ini adalah orang-orang kafir. (QS. al-Anfal [8]: 33)

 

Dalam ayat yang sama juga Allah berfirman, “Tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun,” (QS. al-Anfal [8]: 33) maksud ayat ini adalah orang-orang mukmin. Kemudian Allah juga berfirman dalam surat ayat yang berbeda, “Kenapa Allah tidak mengazab mereka,” (QS. al-Anfal [8]: 84) maksudnya adalah orang-orang kafir.

 

Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ahli bahasa mengenai bolehnya berbicara dengan cara seperti ini. Yaitu ketika yang disampaikan secara eksplisit adalah satu jenis tertentu, sedangkan maksudnya adalah dua jenis. Dengan demikian, bantahan yang mereka sampaikan menjadi batal dan bantahan itu juga menunjukkan kebodohan mereka.

 

BAB X RIWAYAT TENTANG QADAR

 

DIRIWAYATKAN oleh Mu’awiyah bin Amr, Zaidah menuturkan kepada kami dari Sulaiman al-A’masy, dari Zaid bin Wahb, dari Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah saw. bersabda pada kami dan beliau adalah orang yang benar dan terpercaya,

 

“Sesungguhnya penciptaan salah seorang darimu dalam rahim ibunya selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi segumpal darah dalam waktu yang sama, kemudian berubah menjadi segumpal daging dalam waktu yang sama, kemudian Allah mengutus malaikat kepadanya dan dia diperintahkan dengan empat kalimat. Dikatakan kepadanya, ‘Tulislah ajalnya, rezekinya, amalnya, dan sengsarakah atau bahagiakah dia. Kemudian ditiupkan ruh padanya.’”

 

Rasulullah saw. juga bersabda,

 

“Sesungguhnya seorang dari kalian melakukan amalan penghuni surga hingga antara dia dan surga hanya tinggal sehasta, tapi dia didahului oleh ketetapan sehingga dia melakukan perbuatan penghuni neraka dan akhirnya dia pun masuk ke dalamnya (neraka). Sesungguhnya seorang dari kalian melakukan amalan penghuni neraka hingga antara dia dan neraka hanya tinggal sehasta, tapi dia didahului oleh ketetapan, sehingga dia melakukan perbuatan penghuni surga dan akhirnya dia pun masuk ke dalamnya (surga).”

 

Mu’awiyah bin Amr meriwayatkan dari Zaidah, dia menuturkan kepada kami dari al-A’masy, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah, bahwa Nabi saw. bersabda,

 

“Adam dan Nabi Musa as. berhujah. Nabi Musa as. berkata, ‘Wahai Adam! Engkau adalah orang yang telah Allah ciptakan dengan tangan-Nya dan Dia embuskan dari ruh-Nya kepadamu, tetapi engkau telah menghinakan umat manusia dan mengeluarkan mereka dari surga.’”

 

Rasulullah bersabda,

 

“Maka Adam pun berkata, ‘Engkau adalah Nabi Musa as. yang Allah telah memilihmu dengan kalimat-kalimat-Nya. Engkau mengecamku atas sebuah perbuatan yang telah Allah tetapkan sebelum Dia menciptakan langit.’ Seperti itulah Adam mengalahkan hujah Nabi Musa as.”

 

Telah diriwayatkan hadis mengenai argumentasi Adam as. terhadap Musa as. oleh Malik, dari Abu Zinad, dari al-A’raj, dari Abu Hurairah, dari Nabi saw. Ini menunjukkan kebatilan pernyataan kaum Qadariyah yang menyatakan bahwa Allah tidak mengetahui segala sesuatu hingga sesuatu itu benar-benar terjadi, karena jika Allah menulis sesuatu hal itu, lalu Dia memerintahkan agar hal itu dituliskan. Maka tidak mungkin yang ditulis itu adalah sesuatu yang tidak Dia ketahui.. Maha Luhur lagi Maha Suci Allah atas hal seperti itu.

 

Allah swt. berfirman,

 

“Tiada sehelai daun pun yang gugur, melainkan Dia mengetahuinya. Tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauhul Mahfuzh).” (QS. al-An’am [64]: 59)

 

Allah juga berfirman,

 

“Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauhul Mahfuzh).” (QS. Had [11]: 6)

 

Allah juga berfirman,

 

“Pada hari ketika mereka dibangkitkan Allah semuanya, lalu diberitakan-Nya kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Allah mengumpulkan (mencatat) amal perbuatan itu, padahal mereka telah melupakannya. Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.” (QS. al-Mujadalah [58]: 6)

 

Allah juga berfirman,

 

“Sesungguhnya Allah telah menentukan jumlah mereka dan menghitung mereka dengan hitungan yang teliti.” (QS. Maryam [19]: 94)

 

Allah juga telah berfirman, “Ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS. ath-Thalaq [65]: 12) Dalam ayat lain, “Dan Dia menghitung segala sesuatu satu-persatu.” (QS. al-Jin [72]: 28) Allah juga telah berfirman, “Dan Dia Maha Mengetahui atas segala sesuatu.” (QS. al-Baqarah [2]: 29)

 

Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu. Allah telah mengabarkan bahwa segenap makhluk akan dibangkitkan dan akan dikumpulkan, orang-orang kafir kekal di neraka, dan juga para nabi serta orang-orang beriman kekal di dalam surga. Dia juga mengabarkan bahwa Kiamat akan terjadi dan Kiamat itu belum pernah terjadi sebelumnya. Semua itu menunjukkan bahwa Allah swt. mengetahui segala sesuatu sebelum terjadi.

 

Allah swt. juga telah berfirman tentang penghuni neraka, “Sekiranya mereka dikembalikan ke dunia, tentulah mereka kembali kepada apa yang mereka telah dilarang mengerjakannya.” (QS. al-An’am [6]: 28) Dia juga mengabarkan sesuatu yang belum terjadi dan mengetahui bagaimana keadaannya jika hal itu benar-benar terjadi. Allah berfirman,

 

“Berkata Fir’aun, ‘Maka bagaimanakah keadaan umat-umat yang dahulu?’ Nabi Musa as. menjawab, ‘Pengetahuan tentang itu ada di sisi Tuhanku, di dalam sebuah kitab, Tuhan kami tidak akan salah dan tidak (pula) lupa.” (QS. Thaha; 4 [20]: 51-52)

 

Siapa pun yang tidak mengetahui sesuatu sebelum sesuatu itu terjadi, tentu dia juga tidak mengetahui setelah sesuatu itu terjadi. Maha Luhur Allah atas apa yang dikatakan oleh orang-orang zalim.

 

Mu’awiyah bin Amr meriwayatkan, dia berkata bahwa Zaidah menuturkan kepada kami dari Sulaiman al-A’masy, dari Anar bin Murrah, dari Abdurrahman bin Abu Laila, dari Abdullah bin Rabi’ah, dia berkata, “Suatu.ketika kami bersama Abdullah, lalu orang-orang menyebut (nama) seseorang dan mereka menggunjing perangai orang tersebut. Di antara mereka ada yang bertanya, ‘Apakah ada yang bisa mengubah (perangai) nya?’ Abdullah berkata, ‘Bagaimana pendapat kalian apabila kalian memenggal kepalanya, apakah kalian bisa menggantinya dengan kepala yang lain?’” Mereka menjawab tidak.

 

Abdullah berkata, “Sesungguhnya jika air mani jatuh ke (rahim) seorang wanita ia akan menetap disana selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi darah, kemudian membentuk menjadi segumpal darah dalam waktu yang sama, kemudian berubah menjadi segumpal daging pula dengan masa yang sama. Lalu Allah mengutus satu malaikat dan berkata, ‘Tulislah ajalnya, amalnya, rezekinya, jejaknya, perangainya, dan sengsara atau bahagianya. Sesungguhnya kalian tidak akan dapat mengubah perangai seseorang sampai kalian dapat mengubah bentuknya.’” Mu’awiyah bin Amr meriwayatkan, dia berkata bahwa Zaidah menuturkan kepada kami dari Manshur, dari Sa’ad bin Ubaidah, dari Abu Abdurrahman, dari Ali bin Abu Thalib ra., dia berkata, “Ketika kami mengantar jenazah di Baqi’ al-Gharqad, datanglah Rasulullah saw., lalu beliau duduk, sedangkan kami di sekeliling beliau. Beliau memegang sebatang kayu, lalu memukul-mukulkan ke tanah serta menengadahkan kepalanya. Beliau lalu bersabda, ‘Tak seorangpun di antara kalian sebagai jiwa yang diembuskan, kecuali telah ditetapkan tempatnya di neraka atau di surga, dan telah ditetapkan untuknya sengsara atau bahagia.’

 

Seseorang yang ada di situ bertanya, ‘Wahai Rasulullah, mengapa kita tidak pasrah saja dengan ketetapan itu dan meninggalkan amal perbuatan? Karena siapa pun di antara kami yang termasuk orang-orang bahagia, maka dia akan termasuk orang-orang bahagia, dan siapa yang termasuk orang-orang sengsara, maka dia akan termasuk orang-orang sengsara?’

 

Rasulullah pun bersabda, ‘Beramallah kalian, karena masing-masing orang dimudahkan. Adapun orang-orang sengsara mereka dimudahkan untuk melakukan amal orang-orang sengsara, sedangkan orang-orang bahagia akan dimudahkan untuk melakukan amal orang-orang bahagia.’

 

Kemudian beliau-membaca ayat,

 

‘Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.’ (QS. al-Lail [92]: 5-10)

 

Musa bin Isma’il meriwayatkan, dia berkata bahwa Hammad menuturkan kepada kami, lalu dia berkata bahwa Hisyam bin Urwah menuturkan kepada kami, dari Urwah, dari Aisyah, bahwa Rasulullah saw. bersabda, ‘Sesungguhnya seseorang melakukan amalan penghuni surga sementara dia telah ditetapkan di dalam Kitab sebagai penghuni neraka. Ketika tiba waktu sebelum dia meninggal, dia akan berubah sehingga dia melakukan amalan penghuni neraka hingga akhirnya dia mati lalu masuk ke dalam neraka. Sesungguhnya seseorang melakukan amalan penghuni neraka sementara dia telah ditetapkan dalam Kitab sebagai penghuni surga. Ketika tiba waktu sebelum dia meninggal, dia akan berubah sehingga dia melakukan amalan penghuni surga hingga akhirnya dia mati lalu masuk ke dalam surga.’”

 

Hadis-hadis tersebut menunjukkan bahwa Allah mengetahui segala yang akan terjadi pasti terjadi dan Dia telah menuliskannya, juga bahwa Allah telah menuliskan para calon penghuni surga dan para calon penghuni neraka. Dia telah menciptakan mereka dalam dua: kelompok, yang satu kelompok ditempatkan di dalam surga dan yang satu kelompok lagi dimasukkan ke dalam neraka.

 

Oleh karena itu, Allah berfirman, “Sebagian diberiNya petunjuk dan sebagian lagi telah pasti kesesatan bagi mereka.” (QS. al-A’raf [7]: 30) Allah juga berfirman dalam surat yang lain, “Segolongan masuk surga dan segolongan masuk neraka.” (QS. asy-Syara [42]: 7) Allah juga berfirman dalam surat Hid, “Maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia.” (QS. Huud [11]: 105)

 

Demikianlah kemudian Allah menciptakan orang-orang yang celaka agar mereka sengsara dan menciptakan orang-orang bahagia agar mereka bahagia. Allah swt, berfirman dalam al-Quran, “Sesungguhnya Kami jadikan untuk isi Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia,” (QS. al-A’raf [7]: 179) Rasulullah saw. juga telah bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi surga para penghuninya dan telah menetapkan bagi neraka para penghuninya.”

 

DALIL TENTANG QADAR

 

Di antara dalil yang menunjukkan kebatilan pernyataan aliran Qadariyah adalah firman Allah.

 

“(Ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).’” (QS. al-A’raf [7]: 172)

 

Dalam sebuah riwayat dari Rasulullah dinyatakan, “Sesungguhnya Allah mengusap punggung Adam. Lalu Dia mengeluarkan anak-cucunya dari punggungnya seperti semut kecil, kemudian Dia meminta pengakuan mereka atas ke-Maha Esaan-Nya lalu Dia tegakkan hujjah atas mereka.” Allah berfirman,

 

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).’” (QS. al-A’raf [7]: 172)

 

Demikianlah Allah meminta pengakuan mereka atas keesaan-Nya ketika Dia mengeluarkan mereka dari punggung Adam sebagai argumentasi atas mereka jika mereka ingkar di dunia atas apa yang telah mereka ketahui pada peristiwa pertama itu, yang kemudian setelah pengakuan itu ternyata mereka mengingkarinya.

 

Telah diriwayatkan dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah mengambil segenggam untuk penghuni surga dan segenggam lagi sebagai penghuni neraka, kemudian Dia pisahkan sebagian mereka dari sebagian yang lain. Kemudian kesengsaraan akan menguasai orang-orang yang sengsara dan kebahagiaan akan menguasai orang-orang yang bahagia.”

 

Allah berfirman mengabarkan perihal penghuni neraka bahwa mereka berkata, “Ya Tuhan kami, kami telah dikuasai oleh kejahatan kami, dan kami adalah orang-orang yang tersesat.” (QS. al-Mu’minun [23]: 106) Semua perkara tersebut telah ada dalam ilmu Allah dan di dalamnya telah berlaku segala kehendak dan keinginan-Nya.

 

Mu’awiyah bin Amr meriwayatkan dari Zaidah, dari Thalhah bin Yahya al-Qurasyi, dia berkata bahwa Aisyah binti Thalhah menuturkan dari Aisyah Ummul Mukminin, bahwa suatu ketika Nabi dipanggil untuk menyalatkan jenazah seorang anak kecil dari kalangan Anshar. Aisyah berkata, “Sungguh bahagia anak ini ya Rasulullah, dia adalah satu dari burung penghuni surga karena belum pernah melakukan kejahatan sedikit pun.”

 

Rasulullah saw. pun bersabda, “Tidak seperti itu wahai Aisyah. Sesungguhnya Allah telah menetapkan para penghuni surga ketika mereka masih berada di dalam tulang sulbi ayah mereka. Begitu pun bagi para penghuni neraka, sudah ditetapkan ketika mereka masih berada di tulang sulbi ayah mereka.”

 

Hadis ini menjelaskan bahwa kebahagiaan telah ditetapkan bagi para pemiliknya sebagaimana kesengsaraan juga telah ditetapkan bagi para pemiliknya. Rasulullah bersabda, “Beramallah kalian karena masing-masing dimudahkan untuk melakukan apa yang telah ditetapkan baginya.”

 

Allah swt. berfirman,

 

“Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu. Itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan siapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpinpun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.” (QS. al-Kahfi [18]: 17)

 

Allah juga telah berfirman.,

 

“Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan, ‘Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?’ Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik.” (QS. al-Baqarah [2]: 26)

 

Pada ayat ini, Allah mengabarkan bahwa Dia yang menyesatkan dan Dia pula yang memberi hidayah. Allah juga telah berfirman, “Dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ibrahim [14]: 27) Allah mengabarkan kepada kita bahwa Dia berfirman dalam surat al-Buruj, “Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (QS. al-Buruj [85]: ayat 16) Apabila Allah menghendaki kekufuran, Dia telah melakukan, menetapkan, menjadikan, memunculkan, dan menciptakannya. Hal ini dijelaskan dalam firman-Nya,

 

“Apakah kalian menyembah patung-patung yang kalian pahat itu padahal Allah-lah yang menciptakan kalian dan apa yang kalian perbuat itu.” (QS. Shaffat [37]: 95-96)

 

Walaupun penyembahan terhadap berhala yang mereka lakukan adalah perbuatan mereka, tapi yang demikian itu adalah ciptaan Allah. Allah juga berfirman, “Sebagai ganjaran atas apa-apa yang mereka kerjakan.” (QS. al-Ahqaf [46]: 14) Allah hendak memberi balasan atas perbuatan yang mereka lakukan. Demikian juga ketika Dia menyebutkan penyembahan mereka terhadap berhala dan kekufuran yang mereka lakukan terhadap

 

Allah. Jika itu semua merupakan ketetapan dan perbuatan mereka sendiri, berarti apa yang mereka lakukan dan tetapkan itu di luar dari takdir dan perbuatan Tuhan mereka. Bagaimana mungkin mereka dapat memiliki kuasa untuk menetapkan takdir, perbuatan, dan kekuasaan yang tidak dimiliki oleh Tuhan mereka? Siapa yang meyakini hal seperti itu, berarti mereka telah menyatakan bahwa Allah memiliki sifat lemah. Maha Luhur Allah atas hal seperti itu dengan ketinggian yang sebesar-besarnya.

 

Tidakkah kalian melihat bahwa siapa yang menyatakan bahwa hamba mengetahui hal-hal yang tidak diketahui oleh Allah, seakan-akan Dia telah memberi mereka ilmu yang tidak termasuk dalam ilmu Allah. Dengan begitu, sama saja dengan mereka membuat tandingan-tandingan bagi Allah.

 

Demikian juga siapa yang meyakini bahwa para hamba dapat berbuat dan sanggup melakukan hal-hal yang tidak sanggup Allah lakukan, atau mereka sanggup melakukan sesuatu yang Allah tidak sanggup melakukannya, maka orang itu telah menetapkan bagi para hamba itu kekuasaan, kesanggupan, dan ketetapan yang tidak ada pada Allah. Maha Luhur Allah atas pernyataan para pembohong, pendusta, pemfitnah, dan pembangkang.

 

Katakan pada mereka, “Apakah kekufuran yang dilakukan seorang kafir adalah perbuatan yang rusak, batil, dan kontradiktif?” Apabila mereka membenarkan, Katakan pada mereka, “Bagaimana mungkin dia melakukan kerusakan, kontradiksi, dan keburukan, sedangkan dia meyakini bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan baik, benar, dan ajaran agama yang paling utama?” Jika hal ini tidak mungkin karena secara hakiki, perbuatan tidak menjadi perbuatan kecuali jika dilakukan oleh orang yang mengetahui hakikat dari perbuatan yang dilakukannya. Sebagaimana tidak mungkin perbuatan menjadi perbuatan ketika dilakukan oleh orang yang tidak mengetahui hakikat perbuatan tersebut. Dengan demikian, dipastikan bahwa Allah-lah yang menakdirkan kekufuran, dan menciptakannya sebagai kekufuran, kerusakan, kebatilan, dan bertentangan dengan kebenaran dan keadilan.

 

BAB XI SYAFAAT NABI DAN KEMUNGKINAN KELUAR DARI NERAKA

 

KATAKAN pada mereka bahwa kaum muslimin telah bersepakat bahwa Rasulullah saw. memiliki hak untuk memberi syafaat kepada umat manusia. Lalu untuk siapakah gerangan syafaat tersebut? Apakah untuk pelaku dosa besar, ataukah untuk orang-orang mukmin yang ikhlas?”

 

Apabila mereka menjawab bahwa syafaat adalah untuk para pelaku dosa besar, itu berarti mereka sependapat dengan kami. Apabila mereka menjawab bahwa syafaat adalah untuk orang-orang mukmin yang telah menerima berita gembira akan dimasukkan ke dalam surga, maka katakan pada mereka, “Apabila mereka sudah dijanjikan mendapatkan berita gembira berupa kabar akan masuk ke dalam surga, Allah tidak pernah mengingkari janji-Nya. Lantas apakah arti syafaat bagi kalian yang berpendapat bahwa Allah tidak akan memasukkan mereka ke dalam surga-Nya?

 

Apakah pula makna pernyataan kalian bahwa mereka adalah orang-orang yang berhak masuk surga sehingga Allah wajib memasukkan mereka ke dalam surga? Apabila Allah tidak mungkin berbuat zalim walau sebesar biji sawi, sedangkan penundaan mereka masuk ke dalam surga merupakan kezaliman. Oleh Karena itu, para pemberi syafaat memberi syafaat agar Allah tidak berbuat zalim, menurut pendapat kalian. Maha Luhur Allah atas kebohongan kalian terhadap-Nya.

 

Apabila mereka menyatakan bahwa Nabi meminta syafaat dari Allah agar karunia yang diberi kepada mereka bertambah, bukan untuk memasukkan mereka ke dalam surga, maka katakan pada mereka, “Bukankah Allah telah menjanjikan mereka dalam firman-Nya, ‘Allah akan menyempurnakan pahala mereka dan menambah untuk mereka sebagian dari karunia-Nya.’ (QS. an-Nisa’ [4]: 173)”

 

Allah tidak mungkin mengingkari janji-Nya. Jadi, menurut kalian maksud syafaat yang diberikan Allah ialah agar Allah tidak menyalahi janji-Nya. Tentunya ini bentuk kebodohan dari pernyataan kalian. Sesungguhnya syafaat yang dipahami adalah syafaat yang diberikan kepada orang yang sebenarnya harus dijatuhi hukuman atau seseorang yang tidak memiliki keutamaan. Adapun apabila janji tersebut adalah berupa keutamaan yang sudah lebih dulu ditetapkan, itu tidak ada artinya.

 

Allah swt. berfirman, “Dan mereka tidak memberi syafaat melainkan kepada orang-orang yang diridhai Allah.” (QS. al-Anbiya [21]: 28)

 

Apabila mereka bertanya tentang firman Allah diatas, jawabannya jelas disebutkan pada kalimat “melainkan kepada orang-orang yang diridhai Allah,” yaitu orang-orang yang dapat memberi syafaat. Telah diriwayatkan bahwa syafaat Nabi saw. bagi para pelaku dosa besar, Nabi saw. juga menyatakan bahwa, “Para pelaku dosa besar akan dikeluarkan dari neraka.”

 

BAB XIl TELAGA NABI (HAUDH)

 

ORANG-ORANG Mu’tazilah mengingkari adanya telaga Nabi (Haudh). Padahal ada hadis Nabi yang menyebutkan telaga ini yang diriwayatkan melalui berbagai jalur periwayatan sanad oleh para sahabat tanpa ada perselisihan.

 

Diriwayatkan dari Affan, dia berkata, “Hammad bin Salamah menuturkan kepada kami, dari Ali bin Zaid, dari Hasan, dari Anas bin Malik, bahwa dia menuturkan mengenai telaga Haudh kepada Ubaidillah bin Ziyad, tetapi dia mengingkarinya. Kemudian berita itu sampai kepada Anas, dia berkata, ‘Demi Allah aku akan datangi dia!’ (Perawi) berkata, ‘Dia pun mendatanginya lalu berkata, ‘Mengapa engkau mengingkari keberadaan telaga Haudh?’

 

Ubaidillah berkata, ‘Apakah engkau pernah mendengar Nabi menyebutkannya?’ Anas menjawab, ‘Aku mendengar Rasulullah bersabda berkali-kali, ‘Jarak di antara kedua tepi telaga Haudh adalah seperti jarak antara kota Ailah dan Mekah atau jarak antara Shana’a dan Mekah. Bejana-bejananya lebih banyak dari jumlah bintang di langit.’”

 

Ya Allah, berikanlah kesempatan bagi kami meminum seteguk air telaga yang kami selamanya takkan mengalami haus setelah meminumnya.

 

Diriwayatkan oleh Ahmad bin Abdullah bin Yunus, dari Abu Zaidah menuturkan kepada kami, dari Abdul Malik bin Umair, dari Jundab bin Sufyan, dia mendengar Rasulullah bersabda, “Aku adalah orang yang mendahului kalian ke telaga.” Pernyataan ini tercantum di banyak hadis.

 

Siapa yang berada dalam kebimbangan, dia akan mendapatkan pelajaran setelah dunia ini berakhir. Siapa saja yang memberi kesenangan secara batin kepada dunia, dunia akan menimpakan petaka kepadanya secara lahir.

 

~ IMAM ASY’ARI

 

BAB XIIl TENTANG SIKSA KUBUR

 

KELOMPOK Mu’tazilah mengingkari adanya siksa kubur, Padahal telah diriwayatkan dari Nabi saw. melalui banyak jalur periwayatan, sebagian juga telah diriwayatkan dari para sahabat ra., dan tidak ada seorangpun dari sahabat yang mengingkari, menafikan, dan mendustakan adanya siksa kubur. Hal ini membuktikan bahwa para sahabat Nabi telah sepakat mengenai adanya siksa kubur.

 

Diriwayatkan oleh Abu Bakar bin Abu Syaibah dari Abu Mu’awiyah, dia menuturkan kepada kami dari A’masy, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah ra., dia berkata bahwa Rasulullah bersabda, “Berlindunglah kepada Allah dari siksa kubur.”

 

Diriwayatkan oleh Ahmad bin Ishaq al-Hadhrami dari Wuhaib, dia menuturkan kepada kami dari Musa bin Uqbah, dari Ummu Khalid binti Khalid bin Sa’id bin Ash, dia menuturkan kepadaku bahwa dia mendengar Rasulullah meminta perlindungan dari siksa kubur.

 

Anas bin Malik meriwayatkan dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda, “Kalaulah bukan karena dapat membuat kalian tidak mau menguburkan jenazah, niscaya aku akan meminta kepada Allah agar Dia memperdengarkan kepada kalian siksa kubur seperti yang telah Diperdengarkan kepadaku.”

 

Di antara dalil yang menjelaskan adanya siksa terhadap orang-orang kafir di dalam kubur adalah firman Allah,

 

“Kepada mereka ditampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya Kiamat (dikatakan kepada malaikat), ‘Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras.’” (QS. al-Mu’min [40]: 46)

 

Allah menjadikan azab terhadap mereka pada Hari Kiamat setelah sebelumnya di dunia ditampakkan api neraka kepada mereka pada setiap pagi dan petang. Allah berfirman, ‘“Nanti mereka akan kami siksa dua kali.” (QS. at-Taubah [9]: 101) Dua kali siksa yang dimaksud dalam ayat ini adalah sekali dilakukan dengan pedang (hukuman mati) dan sekali lagi berupa siksa di dalam kubur mereka. Kemudian di akhirat mereka akan ditimpa dengan azab yang sangat berat.

 

Allah telah mengabarkan perihal para syuhada (orang yang mati syahid) bahwa mereka akan mendapatkan rezeki di dunia dan kabar gembira atas anugerah Allah. Allah berfirman,

 

“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka. Mereka girang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka. Bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Ali Imran [3]: 169-170)

 

Semua yang disebutkan dalam ayat tersebut tidak mungkin terjadi kecuali di dunia, karena orang-orang yang belum menyusul mereka masih hidup belum meninggal dan tidak terbunuh.

 

BAB XIV KEKHALIFAHAN ABU BAKAR ASH SHIDDIQ RA.

 

ALLAH swt. berfirman, .

 

“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan mengubah (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahKu dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku.” (QS. an-Nur [24]: 55)

 

Allah juga berfirman, :

 

“(Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar.” (QS. al-Hajj [22]: 41)

 

Allah memuji kaum Muhajirin, Anshar, dan orang-orang yang paling dahulu masuk Islam serta orang-orang yang ikut dalam Bai’atur Ridhwan. Al-Quran telah menyampaikan begitu banyak pujian bagi kaum Muhajirin dan Anshar dalam ayat-ayatnya, sebagaimana ia juga memuji para sahabat yang ikut dalam Bai’atur Ridhwan. Allah swt. berfirman,

 

“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon.” (QS. al-Fath [48]: 18)

 

Ternyata, orang-orang yang mendapatkan pujian dari Allah swt. itu telah bersepakat untuk menunjuk Abu Bakar sebagai imam yang kemudian mereka menyebutnya sebagai Khalifah Rasulullah. Mereka membaiatnya serta tunduk kepadanya dan juga mengakui keutamaannya. Abu Bakar ra. memang manusia terbaik di antara umat Islam masa itu dari segala segi yang membuatnya layak menjadi imam mereka, baik keunggulan itu dari segi ilmu, kezuhudan, ketajaman pikiran, pengaturan umat, dan sebagainya.

 

Dalil lain dari al-Quran yang menunjukkan keimaman Abu Bakar adalah di mana Allah menunjukkan keimaman Abu Bakar dalam surat at-Taubah. Allah berfirman kepada orang-orang yang enggan untuk membantu Nabi, yaitu para pembelot yang menolak berperang bersama beliau,

 

“Maka Jika Allah mengembalikanmu kepada suatu golongan dari mereka, kemudian mereka minta izin kepadamu untuk keluar (pergi berperang), maka Katakanlah, ‘Kamu tidak boleh keluar bersamaku selama-lamanya dan tidak boleh memerangi musuh bersamaku. Sesungguhnya kamu telah rela tidak pergi berperang kali yang pertama. Karena itu duduklah bersama orang-orang yang tidak ikut berperang.’” (QS. at-Taubah [9]: 83)

 

Allah juga telah berfirman,

 

“Orang-orang Badui yang tertinggal itu akan berkata apabila kamu berangkat untuk mengambil barang rampasan, ‘Biarkanlah kami, niscaya kami mengikuti kamu,’ mereka hendak mengubah janji Allah. Katakanlah, ‘Kamu sekali-kali tidak (boleh) mengikuti kami, demikian Allah telah menetapkan sebelumnya,’ mereka akan mengatakan, ‘Sebenarnya kamu dengki kepada kami.’ Bahkan mereka tidak mengerti melainkan sedikit sekali.” (QS. al-Fath [48]: 15)

 

Mereka enggan keluar berperang bersama Nabi saw. dan menetapkan bahwa jika mereka keluar mereka akan mengubah firman Allah. Sehingga dengan demikian, orang yang mengajak mereka untuk berperang adalah orang yang sesudah Nabi saw. Ada yang menyatakan bahwa mereka adalah bangsa Persia dan ada yang berpendapat mereka adalah penduduk Yamamah. Apabila mereka itu adalah penduduk Yamamah, tokoh yang memerangi dan menyerukan penyerangan terhadap mereka adalah Abu Bakar ra. dan apabila mereka itu adalah bangsa Romawi, tokoh yang memerangi mereka juga adalah Abu Bakar ra. Apabila mereka itu adalah penduduk Persia, mereka diperangi pada masa pemerintahan Abu Bakar ra. kemudian dilanjutkan pada masa pemerintahan Umar ra. hingga mereka pun kalah.

 

Jika kepemimpinan Umar ra. dianggap sah, kepemimpinan Abu Bakar ra. juga sah sebagaimana sahnya kepemimpinan Umar ra., karena Umar ra. diangkat menjadi imam oleh Abu Bakar. Al-Quran telah menjadi dalil yang menunjukkan keimanan Abu Bakar ash-Shiddiq ra. dan Umar al-Faruq ra. Apabila kepemimpinan Abu Bakar ra. sepeninggal Rasulullah itu sah, berarti sah juga jika dikatakan bahwa Abu Bakar ra. adalah muslim paling utama pada saat itu.

 

Dalil lain yang menunjukkan keutamaan Abu Bakar ra. adalah adanya ijmak kaum muslimin atas kepemimpinan Abu Bakar ash-Shiddiq. Adapun dalil yang menunjukkan kepemimpinan Abu Bakar ra. adalah bahwa seluruh umat Islam membaiat dirinya serta tunduk kepada kepemimpinannya. Mereka berkata kepadanya, “Wahai Khalifah Rasulullah. Kami telah melihat Ali dan Abbas membaiatnya serta mengakui kepemimpinannya.” Ketika orang-orang Rafidhah menyatakan bahwa Ali telah ditetapkan oleh sejumlah dalil (nash) untuk menjadi imam, sedangkan orang-orang Rawandiyah” menyatakan bahwa Abbas lah yang ditetapkan oleh nash untuk menjadi imam, kaum muslimin memiliki tiga pendapat:

 

  1. Sebagian dari mereka menyatakan bahwa Nabi saw. telah menetapkan kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq, dan dialah yang menjadi imam setelah beliau.

 

  1. Mereka yang berpendapat bahwa Ali ra. telah ditetapkan sebagai imam.

 

  1. Mereka yang menyatakan bahwa Abbas adalah imam setelah Rasulullah.

 

Orang yang menyatakan bahwa Abu Bakar ashShiddiq ra. sebagai imam merupakan kesepakatan kaum muslimin dan persaksian mereka baginya. Kemudian kami melihat bahwa Ali ra. dan Abbas ra. telah membaiat Abu Bakar ra. dan menyetujui keimaman Abu Bakar, sehingga dengan demikian Abu Bakar ra. adalah imam yang sah sepeninggal Rasulullah berdasarkan ijmak kaum muslimin.

 

Tidak boleh ada seorang pun yang menyatakan bahwa sebenarnya batin Ali ra. dan Abbas ra. menyelisihi sikap lahiriah mereka. Apabila hal seperti itu boleh bagi orang yang mengklaim itu, berarti ijmak kaum muslimin tidak sah, sehingga boleh bagi seseorang untuk menyatakan hal seperti itu pada setiap ijmak yang dilakukan kaum muslimin.

 

Tentu saja hal seperti itu menggugurkan argumentasi ijmak karena Allah tidak pernah memerintahkan kita beribadah dengan dalil ijmak secara batin. Alih-alih, Dia hanya memerintahkan kita untuk beribadah berdasarkan ijmak secara lahir. Jika memang demikian halnya, berarti ijmak dan kesepakatan telah tercapai atas kepemimpinan Abu Bakar ra.

 

Apabila keimaman Abu Bakar ra. itu dinyatakan sah, berarti kekhalifahan Umar al-Faruq ra. juga sah, karena Abu Bakar ash-Shiddiq-lah yang menetapkan dan mengangkat Umar ra. sebagai imam. Dialah yang memilih Umar ra. untuk menjadi imam Umar ra. adalah manusia terbaik di antara kaum muslimin setelah Abu Bakar ra.

 

Kekhalifahan Utsman ra. setelah Umar ra. juga dinyatakan sah berdasarkan hasil keputusan Ashhab asySyura yang mereka semua dipilih oleh Umar ra. Mereka semua lalu memilihnya (Utsman ra.) serta ridha pada kepemimpinannya, sebagaimana mereka juga bersepakat atas keutamaan serta keadilannya.

 

Setelah itu, keimaman Ali ra. setelah Utsman ra. juga dinyatakan sah dari hasil kesepakatan para sahabat yang termasuk Ahlul Halli wal ‘Aqdi. Pada saat itu tidak satu pun di antara kalangan Ahlu Syura yang melihat ada orang selain Ali ra. yang telah disepakati keutamaan dan keadilannya.

 

Adapun mengenai keengganannya untuk mengklaim kekhalifahan untuk dirinya sendiri pada masa para khalifah sebelumnya, itu adalah sebuah kebenaran, berdasarkan ilmu yang dimilikinya bahwa itu memang bukan waktu yang tepat baginya.

 

Setelah itu, ketika kepemimpinan diserahkan kepadanya, Ali ra. pun menunjukkan serta mengumumkan hal itu tanpa dia mengabaikannya sehingga dia berhasil berada pada jalan yang lurus dan benar sebagaimana halnya para khalifah dan imam yang adil sebelum dirinya juga telah menempuh jalan yang lurus dan benar dengan mengikuti al-Quran dan sunah Nabi mereka. Keempat imam tersebut adalah orang-orang yang telah disepakati keadilan dan keutamaannya. Semoga Allah swt meridhai mereka.

Telah diriwayatkan oleh Syuraih bin Nu’man dari Hasyraj bin Nabatah, dia menuturkan kepada kami, dari Sa’id bin Jamhan, dia berkata bahwa Safinah menuturkan kepadaku, dia berkata bahwa Rasulullah bersabda, “Kekhalifahan pada umatku adalah selama tiga puluh tahun, kemudian para raja.” Safinah lalu berkata kepadaku (Sa’id), “Aku menghitung masa kekhalifahan Abu Bakar ra., kekhalifahan Umar ra., kekhalifahan Utsman, dan kekhalifahan Ali ra. Ternyata aku dapati seluruhnya memang selama tiga puluh tahun. Ini membuktikan akan keabsahan imam yang empat r.a.

Adapun berkenaan dengan konflik yang terjadi antara Ali ra., Zubair ra., dan ‘Aisyah ra., hal merupakan hasil takwil dan ijtihad mereka, sedangkan Ali ra. adalah seorang Imam. Mereka semua adalah ahli ijtihad dan Rasulullah telah memberikan persaksian bahwa mereka akan masuk surga. Hal ini menunjukkan bahwa mereka semua berada dalam kebenaran dengan ijtihad mereka masing-masing.

Demikian juga berkenaan dengan konflik yang terjadi antara Ali ra. dan Mu’awiyah ra., itu juga merupakan hasil takwil dan ijtihad. Seluruh sahabat adalah para imam yang terpercaya dan tidak diragukan keberagamaan mereka. Allah dan Rasul-Nya telah memuji mereka semua dan memerintahkan kita untuk menghormati, mentakzimi, dan mencintai mereka, serta sekaligus berlepas diri dari siapa pun yang mencela siapa pun di antara mereka. Semoga Allah memberikan keridhaan pada mereka. Demikian yang bisa kami sampaikan. Segala puji bagi Allah di awal dan di akhir.