Segala puji bagi Allah swt. yang tak terbatasi kehendak-Nya, tak terbantahkan keagungan-Nya, dan tak tertandingi kekuasaan-Nya sehingga tidak ada yang bisa menghalangi-Nya untuk berbuat apa saja.

 

Segala puji milik Allah yang menciptakan segala sesuatu yang belum pernah ada. Dia Maha awal, bahkan sebelum dimulainya waktu dan Maha akhir sampai tak tergapai oleh masa. Dengan kehendak-Nya, Dia memiliki kehendak mutlak atas segala sesuatu karena pengetahuan-Nya mendahului semuanya dan hikmah segalanya ada dalam rahasia kegaiban-Nya.

 

Allah swt. telah berfirman,

 

“Sesungguhnya ketetapan-Nya, jika Dia menghendaki sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya, ‘Jadilah!’ Maka, jadilah (sesuatu) itu.” (QS. Yasin [36]: 82)

 

Allah menciptakan segala sesuatu dengan proses dan kejadian yang detail serta hikmah yang sempurna. Semua itu Dia ciptakan dengan kaidah terperinci yang telah ditetapkan lewat aturan-Nya. Dia jalankan sesuai pengetahuan-Nya dan Dia pertahankan dengan kekuasaan-Nya agar tetap sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya walaupun zaman dan masa silih berganti, Hal ini dilakukan supaya hal yang gaib dan nyata muncul sesuai waktu yang telah Dia tentukan dan makhluk akan musnah sebab waktunya telah purna.

 

Mahasuci Dzat yang telah memastikan,

 

“Maka, Mahasuci (Allah) yang di tanganNya kekuasaan atas segala sesuatu dan kepada-Nya kamu dikembalikan.” (QS. Yasin [36]: 83)

 

Segala puji bagi Allah swt., pemilik sanjungan yang tinggi dan asma yang suci. Dialah Dzat yang lebih berhak menerima semua itu dari pada makhluk ciptaan-Nya, termasuk hak memiliki sifat kebesaran, keagungan dan kemuliaan.

 

Mahasuci Allah swt. dari semua imajinasi akal makhluk-Nya yang terbatas dan dari segala dugaan mereka yang masih terhijab akan makrifat kepadaNya. Dialah yang akan memberi petunjuk kepada manusia tentang siapa diri-Nya sehingga mereka mau mengesakannya. Dialah yang akan memberi peringatan kepada mereka untuk mau mengenal-Nya supaya bisa mengetahui-Nya dengan melihat kekuasaan-Nya, bisa menunggalkan-Nya dalam segala urusan sampai bisa mengakui bahwa hanya Dia Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Dia.

 

Allah swt. berfirman,

 

“Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan langit, bumi, dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa dan Kami tidak merasa letih sedikit pun.” (QS. Qaf [50]: 37)

 

“Katakanlah, ‘Pantaskah kamu mengingkari Tuhan yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan pula sekutu-sekutu bagi-Nya? Itulah Tuhan semesta alam.’ Dia ciptakan pada (bumi) itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya, lalu Dia memberkahi dan menentukan makanan-makanan (bagi penghuni)-nya dalam empat masa yang cukup untuk (kebutuhan) mereka yang memerlukannya. Dia kemudian menuju ke langit dan (langit) itu masih berupa asap. Dia berfirman kepadanya dan kepada bumi, ‘Tunduklah kepada-Ku dengan patuh atau terpaksa.’ Keduanya menjawab, ‘Kami tunduk dengan patuh.’ Lalu, Dia menjadikan-Nya tujuh langit dalam dua masa dan pada setiap langit Dia mewahyukan urusan masing-masing. Kemudian langit yang paling dekat (dengan bumi), Kami hiasi dengan bintang-bintang sebagai penjagaan (dari setan). Demikianlah ketetapan (Allah) Yang Maha perkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS. Fushshilat [41]: 9-12)

 

Allah swt. juga berfirman,

 

“Dialah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa serta (sebelum itu) Arasy-Nya di atas air. (Penciptaan itu

 

dilakukan) untuk mengujimu, siapakah

 

di antara kalian yang lebih baik amalnya.

 

Sungguh, jika engkau (Nabi Muhammad) berkata, ‘Sesungguhnya kau akan dibangkitkan setelah mati,’ niscaya orang-orang kafir akan berkata, ‘Ini (al-Quran) tidak lain kecuali sihir yang nyata.’” (QS. Hud [11]: 7)

 

Allah swt. menjelaskan awal penciptaan langit dan bumi, beserta makhluk di dalamnya yang memesona, memiliki struktur kerangka yang menakjubkan, dapat berbicara dengan bahasa yang berbeda, dan memiliki warna kulit yang hampir mirip serta bentuk rupa yang beragam. Semua yang Dia ciptakan berbeda-beda, ada yang besar dan ada yang kecil, ada yang diciptakan dalam jumlah yang banyak dan ada yang dalam jumlah sedikit.

 

Misalnya langit, sebuah makhluk yang terbentang luas, sangat tinggi, berlapis-lapis dan terhampar di angkasa tanpa ada tiang penyangga sepanjang mata melihat dan sejauh pemahaman manusia. Kemudian para malaikat, para penghuni langit yang tak akan bosan menunaikan semua tugas yang dimandatkan. Mereka ada yang senantiasa bertasbih menyucikan Tuhan, bertahlil mengagungkan Tuhan, bersujud, dan rukuk sesuai dengan jenis ibadah dan pengabdian yang ditugaskan kepada mereka.

 

Begitu juga bumi yang diciptakan-Nya beserta segenap makhluk yang berada di dalamnya. Ada binatang yang buas dan jinak, ada manusia, gunung-gunung yang menjulang tinggi, lautan yang begitu dalam, daratan yang sangat luas, burung-burung, dan ruang udara tempat mereka bebas mengepakkan sayap.

 

Masing-masing dari mereka bercakap-cakap dengan bahasa yang hanya dipahami oleh mereka sendiri sehingga yang lain tidak mungkin mengerti. Masing-masing mereka berjalan di atas takdir yang telah digariskan, hidup dengan rezeki yang telah ditentukan, mendapatkan makanan yang telah adil dibagikan, dan mengantongi ajal yang telah ditetapkan.

 

Semuanya dalam pengetahuan Allah swt. sehingga tidak ada satu pun yang luput dari penghitungan-Nya. Tidak ada takdir yang datang terlambat dan makhluk yang tidak mendapatkan rezekinya.

 

Allah swt. mengingatkan kita untuk merenungkan keajaiban ciptaan-Nya. Dia berfirman,

 

“Apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala apa yang Allah ciptakan dan kemungkinan telah makin dekatnya waktu (kebinasaan) mereka? Lalu, berita mana lagi setelah ini yang akan’ mereka percayai?” (QS. al-A’raf [7]: 185)

 

Pada ayat yang lain, Allah swt. berfirman,

 

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 190)

 

Indah sekali petunjuk yang diberikan Allah swt. kepada manusia agar mereka mau merenungkan tanda-tanda kebesaran-Nya dan keindahan ciptaan-Nya. Bila mereka mau dan sudah melakukan semua itu, niscaya jalan untuk mencapai makrifat kepada-Nya akan terbentang di hadapan mereka.

 

Mereka akan menyadari bahwa Dialah Sang Maha Pencipta dan Maha Pemberi rezeki, tidak ada Tuhan selain Dia, dan Dialah Sang Maha Esa, semua hal selain Dia adalah makhluk ciptaan-Nya. Seluruh makhluk tanpa terkecuali harus menuhankan dan menghambakan diri kepada-Nya. Mereka tidak akan kuasa memberikan manfaat atau kerugian untuk diri mereka sendiri dan tidak akan mampu mengendalikan kematian, kehidupan, apalagi kebangkitan setelah kematian.

 

Selanjutnya, Allah swt. mengajak kita untuk merenungkan hakikat diri kita masing-masing. Dia berfirman,

 

“Hendaklah manusia memperhatikan dari apa dia diciptakan. Dia diciptakan dari air (mani) yang memancar, yang keluar dari antara tulang sulbi (punggung) dan tulang dada. Sesungguhnya Dia (Allah) benar-benar kuasa untuk mengembalikannya (hidup setelah mati).” (QS. at-Thariq [86]: 5-8)

 

“(Dia juga) yang memperindah segala sesuatu yang Dia ciptakan dan memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian, Dia menjadikan keturunannya dari sari pati air yang hina (air mani). Kemudian, Dia menyempurnakannya dan meniupkan roh (ciptaan)-Nya ke dalam (tubuh)-nya. Dia menjadikan pendengaran, penglihatan, dan hati nurani untukmu. Sedikit sekali kamu bersyukur.” (QS. as-Sajdah [32]: 7-9)

 

“Wahai manusia, jika kamu meragukan (hari) kebangkitan, sesungguhnya Kami telah menciptakan (orang tua) kamu (Nabi Adam) dari tanah, kemudian (kamu sebagai keturunannya Kami ciptakan) dari setetes mani, lalu segumpal darah, lalu segumpal daging, baik kejadiannya sempurna maupun tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepadamu (tanda kekuasaan Kami dalam penciptaan). Kami tetapkan dalam rahim apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan. Kemudian, Kami mengeluarkanmu sebagai bayi, lalu (Kami memeliharamu) hingga kamu mencapai usia dewasa. Di antara kamu ada yang dimatikan dan (ada pula) yang dikembalikan ke umur yang sangat tua.” (QS. al-Hajj [22]: 5)

 

Allah swt. menjelaskan awal mula penciptaan manusia dengan keterangan yang jelas dan gamblang supaya mereka mengetahui bagaimana mereka diciptakan. Dia juga menjelaskan bagaimana bentuk dan rupa mereka supaya mengakui bahwa pada hakikatnya diri mereka lemah tak berdaya sehingga mereka mau meninggalkan-Nya dalam segala urusan. Demikian itu agar kesadaran manusia mengenali diri mereka sendiri dapat mengantarkan mereka untuk mengenali Tuhan yang menciptakan mereka.

 

Mula-mula, Allah swt. menciptakan manusia dari tanah, dan dari saripati air mani, makhluk yang lemah, kecil, dan hina dalam penglihatan-Nya.

 

Lalu Allah swt. mengubah hal hina itu menjadi segumpal darah, selain menjijikkan bila dilihat, orang pun enggan menyentuhnya.

 

Dari segumpal darah tersebut, Dia mengubahnya menjadi segumpal daging yang sangat berbeda dari bentuk awal penciptaannya, lalu dengan kuasa dan hukum-Nya, segumpal daging itu berubah menjadi tulang yang terlapisi daging.

 

Selanjutnya, Allah swt. memberikannya rupa yang terindah, menciptakan pendengaran dan penglihatan untuknya, serta menjadikan segala apa yang Dia ciptakan di tubuhnya saling berkaitan dan terhubung sehingga tetesan air hina itu berubah menjadi makhluk yang memiliki lisan, bibir, serta sepasang tangan dan kaki.

 

Setelah itu Allah swt. meniupkan sebagian ruh-Nya ke dalam tubuh makhluk itu, dan menjadikan rahim seorang ibu sebagai tempat tinggalnya, rahim yang sangat gelap, tersembunyi dalam rongga perut dan dilindungi oleh lapisan dinding perut. Allah sengaja menjadikan semua proses ini tidak bisa dilihat oleh mata agar para makhluk tidak dapat mendeskripsikan proses tersebut.

 

Di dalam tempat yang gelap inilah Allah tetapkan rezekinya, dan dalam tempat yang tersembunyi inilah Allah memberikannya makan.

 

Dia melindungi janin tersebut dari segala gangguan dan kelainan, serta menghilangkan hal-hal yang tidak diinginkan. Allah melakukan segala sesuatu yang tidak mampu dilakukan oleh orang tua janin sebagai bukti bahwa pengetahuan dan keputusan qadim-Nya sudah berlaku pada janin semenjak dalam rahim.

 

‘Amal perbuatan, ajal dan jatah rezeki janin pada saat itu akan ditetapkan dan digariskan, lalu kemudian Allah swt. memindahkannya dari rahim ibunya ke alam dunia yang fana.

 

Mahasuci Dzat yang pengetahuan-Nya telah mendahului’ atas apa yang akan dilakukan manusia di dunia dan nasib akhir yang bakal didapatkan di akhirat. Mahasuci Dzat Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kerajaan-Nya, tidak ada yang menyamai keagungan-Nya dan tidak ada yang kuasa menolak perintah-Nya. Dia Maha Esa dan hanya Dia yang memutuskan segala urusan.

 

Dialah Dzat yang Maha tinggi sanjung pujian-Nya, Maha Memiliki lagi Maha Mengawasi, Maha Mengetahui lagi Maha Berkuasa. Dengan karunia-Nya Dia menuntun manusia untuk mengenal diri-Nya, dengan kemurahan-Nya mengajak mereka untuk menyembah-Nya, dan dengan belas kasih-Nya memberi mereka peringatan atas siksa azab-Nya. Dia Maha kaya sehingga tidak butuh ibadah dan ketaatan makhluk semesta alam. Dengan rahmat dan anugerah-Nya Dia mengasihi serta menyeru manusia untuk beribadah kepada-Nya agar Dia memberi pahala atas ibadah mereka. Lalu dengan kemurahan-Nya, dia mengizinkan mereka menghuni surga-Nya.

 

Mahasuci Allah swt. beserta segala puji bagi-Nya. Sungguh, Allah swt. mengetahui bahwa makhluk-Nya mendapatkan pemahaman dari apa yang mereka lihat di langit dan bumi, dari deskripsi yang bisa diungkapkan oleh lisan mereka, dan dari pemahaman yang bisa dimengerti oleh pengetahuan mereka.

 

Andai Allah memberikan sebuah anugerah kepada salah satu hamba-Nya, lalu pemberian ini disamakan kepada hamba-Nya yang lain sehingga anugerah itu berlipat ganda sebanyak jumlah mereka, kemudian anugerah tersebut dibagi rata kepada mereka semua dan dikekalkan untuk selama-lamanya, setelah itu, mereka diminta untuk menyelesaikan apa yang wajib mereka lakukan menyangkut hak-hak Allah, niscaya mereka tidak akan mampu melakukannya. Mereka pasti akan kembali kepada Allah sembari mengakui kehinaan mereka dan bersaksi atas kelemahan diri mereka.

 

Mahasuci Allah dari kepemilikan atas sifat-sifat yang bisa dideskripsikan oleh pikiran dan pengetahuan manusia. Lantas bagaimana dengan sifat-sifat-Nya yang luput dari jangkauan pengetahuan makhluk-Nya?! Sungguh Dialah Allah yang Mahasuci.

 

Keagungan Allah menjangkau seluruh makhluk. Mereka bisa memahami kemuliaan-Nya tergantung pada tingkat kekuatan intelektual, spiritual dan fisik yang ada pada diri mereka.

 

Seandainya Allah swt. menyingkap sebagian dari apa yang Dia sembunyikan, niscaya bumi akan terbelah, langit bakal terkoyak, dan seluruh makhluk-Nya rusak binasa. Mahasuci Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengawasi, yang mengasihi makhluk ciptaan-Nya dengan menyembunyikan hukum-Nya dan menyayangi mereka dengan merahasiakan takdir-Nya supaya hukum-Nya terlaksana, kehendak-Nya tertunaikan, dan pengetahuan-Nya yang bersifat qadim berlaku atas mereka semua.

 

Sebagian aturan Allah Sang Maha Bijaksana adalah tubuh manusia harus diberi asupan nutrisi dan hanya dapat bertahan hidup dengan makanan, ajal dan jatah rezeki telah ditetapkan, serta kematian telah dijadikan penutup kehidupan mereka di dunia.

 

Allah swt. berfirman,

 

“Kamilah yang menentukan penghidupan mereka dalam kehidupan dunia dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat.” (QS. az-Zukhruf [43]: 32)

 

“Allahlah yang menciptakanmu, kemudian menganugerahkanmu rezeki, kemudian mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali).” (QS. ar-Rum [30]: 40)

 

“Tidak satu pun hewan yang bergerak di atas bumi melainkan dijamin rezekinya oleh Allah. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauhul Mahfuzh).” (QS. Had [11]: 6)

 

“Betapa banyak hewan bergerak yang tidak dapat mengusahakan rezekinya sendiri. Hanya Allah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu.” (QS. al‘Ankabut [29]: 60)

 

“Di langit terdapat pula (hujan yang menjadi sebab) rezekimu dan apa yang dijanjikan kepadamu. Maka, demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya (apa yang dijanjikan kepadamu itu) pasti akan nyata seperti (halnya) kamu berucap.” (QS. adz-Dzariyat [51]: 22-23)

 

Allah swt. membagi rezeki di antara manusia dan meletakkannya di banyak tempat sesuai catatan Lauhul Mahfuzh. Kemudian Dia memerintahkan mereka agar bertawakal kepada-Nya.

 

Usai memberitahu bahwa rezeki tiap makhluk telah dijamin dan mereka semua memiliki bagiannya masing-masing, Allah berfirman,

 

“Hanya kepada Allah hendaknya orang-orang mukmin itu bertawakal.” (QS. al-Ma‘idah [5]: 11)

 

“Hanya kepada Allah orang-orang yang bertawakal seharusnya berserah diri.” (QS. Ibrahim [14]: 12)

 

Allah swt. memerintahkan manusia bersikap tawakal agar mereka tidak melalaikan ibadah karena sibuk dengan kebutuhan-kebutuhan duniawi. Dia telah menjamin akan mencukupi kebutuhan mereka. Sebab itu, Dia menetapkan argumentasi serta mewajibkan beberapa hukum dan ibadah atas mereka. Dia menjelaskan berbagai aspek dalam ibadah seperti jumlah, waktu dan hukumnya, mulai dari shalat, puasa, zakat, haji hingga jihad. Dia juga menerangkan batasan hal-hal yang Dia halalkan dan haramkan.

 

Allah swt. mewajibkan semua itu dan menerangkannya dalam al-Quran dan—lebih banyak lagi—dalam sunah Rasulullah saw.

 

Seorang hamba harus bertawakal dengan cara mempercayai dan membenarkan bahwa Allah swt. telah membagi rezeki, mencukupi kebutuhan, membukakan jalan untuk mencarinya, dan menakdirkan makanan yang telah dijatah untuknya pada waktu yang telah ditentukan.

 

Kita harus meyakini hal ini tanpa ragu, keyakinan yang menghapuskan kebimbangan, sampai menjadikan hati teguh bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Menciptakan lagi Maha Pemberi rezeki, Maha Menghidupkan lagi Maha Mematikan, Maha Melimpahkan rezeki lagi Maha Menahan rezeki dari hamba-Nya, dan hanya Dia yang berhak memutuskan segala urusan.

 

Apabila pengetahuan hakiki ini telah bersemayam dalam hati dan mengencangkan fondasi keimanan kita, lisan akan mengakui dan mengamini Tuhannya serta selalu mengingat konsep ketuhanan yang telah ia ketahui. Inilah yang disebut tawakal.

 

Namun, apabila hati justru enggan meyakini sifat-sifat di atas dan lisan pun menolak berikrar, bahkan sampai meragukannya, sifat terpuji yang telah dimilikinya akan berganti dengan sifat tercela. Sebab sifat terpuji adalah hasil dari hati yang berikrar dan meyakini dengan teguh tanpa ada keraguan sedikit pun.

 

Pada hakikatnya, hati selalu berikrar dan memiliki keyakinan yang teguh, namun jika muncul sedikit saja keraguan, hati akan berubah dan melakukan hal-hal sebaliknya, seperti mendustakan apa yang semestinya dibenarkan, meragukan apa yang seharusnya diimani, dan menyangkal apa yang selazimnya diyakini.

 

Apabila sifat-sifat tersebut terbesit di dalam hati meski selintas, hati akan terlepas dari sifatnya yang terpuji dan terjerembap dalam sifat yang tercela, lalu tidak lagi mengimani dan bertawakal kepada Allah swt.

 

Alhasil, hati kehilangan dua hal, iman dan tawakal kepada Allah swt.

 

Umumnya, saat memikirkan tawakal dan akan melakukannya, hati manusia masih dikejar oleh hawa nafsu, gusar bila keinginan tak terpenuhi, bimbang bila tertimpa musibah, menyombongkan usaha yang dilakukannya, bahagia saat hartanya melimpah, lupa diri saat hidupnya penuh kemewahan, dan sedih bila kehilangan sesuatu tapi gembira bila mendapatkannya.

 

Sifat-sifat tercela ini bisa berjalan bersamaan dengan keyakinan hati atas ketentuan Tuhannya. Buktinya, ketika mereka berzikir dan berdoa kepada Allah untuk dilimpahkan rezeki, mereka secara sadar mengakui dalam hati dan lisan bahwa mereka tidak bisa mencapai apa yang mereka cari melalui rencana mereka sendiri.

 

Mereka membenarkan bahwa apa yang mereka lakukan tak memberikan sedikit pun manfaat bagi dirinya, atau menuntun mereka semakin dekat dengan apa yang mereka cari. Akan tetapi, aktivitas mereka ini hanyalah sebatas naluri alamiah fisik mereka.

 

Allah swt. telah melukiskan seluruh hal di atas dalam firman-Nya,

 

“Dijadikan indah bagi manusia kecintaan pada aneka kesenangan yang berupa perempuan, anak-anak, harta benda yang bertimbun tak terhingga berupa emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 14)

 

Allah swt. juga berfirman,

 

Bagaimana Seharusnya Kita Bertawakal kepada Allah swt.

 

“Sekali-kali tidak! Bahkan, kamu mencintai kehidupan dunia, dan mengabaikan (kehidupan) akhirat.” (QS. al-Qiyamah [75]: 20-21)

 

Kemudian Allah swt. juga berfirman,

 

“Manusia itu (sifatnya) tergesa-gesa.” (QS. al-Isra’ [17]: 11)

 

Watak-watak manusia yang telah Allah tetapkan dalam firman-Nya pasti ada dalam diri manusia. Namun pada umumnya, orang-orang yang mengimani takdir Allah mempunyai sifat tawakal kepada Allah, meskipun mereka masih memiliki watak asli manusia.

 

Bukti bahwa mereka mengimani dan bertawakal kepada Allah swt.—seperti yang telah aku jelaskan—adalah karena keyakinan mereka terhadap firman Allah swt.,

 

“Di langit terdapat pula (hujan yang menjadi sebab) rezekimu dan apa yang dijanjikan kepadamu. Maka, demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya (apa yang dijanjikan kepadamu itu) pasti akan nyata seperti (halnya) kamu berucap.” (QS. adz-Dzuriyat [51]: 22-23)

 

Allah swt. bersumpah atas diri-Nya sendiri bahwa Dia telah membagi rezeki untuk makhluk dan menjamin kecukupan untuk mereka. Oleh karena itu, wajib bagi manusia untuk membenarkan apa yang telah Dia firmankan apalagi Dia telah bersumpah.

 

Siapa yang membenarkan semua itu, dia adalah mukmin yang bertawakal dengan sebenar-benarnya. Namun, siapa yang mendustakan atau meragukannya, dia telah kufur dan menentang apa yang telah Allah swt. firmankan dalam Kitab-Nya.

 

Walaupun tabiat asli manusia itu masih tetap ada, seperti suka kekayaan yang melimpah, terburu-buru, dan selalu mencari cara untuk memperoleh harta, Allah swt. masih tetap memberikan predikat tawakal kepada mereka. Dengan syarat, iman atas takdir dan jaminan Allah masih bersemayam dalam hati mereka, meskipun watak alamiah mereka masih tetap ada. Pasalnya, watak dan tabiat asli manusia tidak akan memalingkan mereka dari membenarkan (tashdig) yang telah Allah wajibkan.

 

Hal ini karena Allah swt. tidak mewajibkan kita untuk meninggalkan dan menghapus watak alamiah kita. Dia hanya menuntut kita untuk melaksanakan ketaatan dan melakukan sesuatu yang Dia perbolehkan.

 

Tatkala mereka berhasil melaksanakan ketaatan dan semua aktivitasnya sesuai dengan ketentuan Allah swt, watak dan tabiat alamiah tidak akan membahayakan keimanan mereka. Akan tetapi, jika mereka menuruti tabiat sampai melampaui batasan-batasan Allah seperti mencari rezeki dengan jalan yang dilarang, mereka bermaksiat kepada-Nya sehingga sifat terpuji yang dimilikinya akan hilang sebab mereka meluluhkan keimanan atas takdir-Nya.

 

Namun, saat keimanan kepada takdir Allah swt. telah bersemayam dalam hati dan dibenarkan Oleh lisan mereka, kualitas tawakal mereka bisa menurun dan menjadi tak sempurna setiap kali mereka melampaui batasan-batasan-Nya. Hal ini terjadi karena Allah swt. memperbolehkan manusia untuk mencari nafkah, tapi tidak sampai memerintahkan agar menghilangkan watak yang sudah tercetak di dalam diri mereka.

 

Bukti dianjurkan mencari nafkah adalah firman Allah swt.,

 

“Wahai manusia, makanlah sebagian (makanan) di bumi yang halal lagi baik.” (QS. al-Baqarah [2]: 168)

 

Allah swt. juga berfirman,

 

“Orang-orang yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan jual beli dari mengingat Allah.” (QS. an-Nur [24]: 37)

 

Jadi, Allah swt. mengizinkan kita untuk mencari rezeki selama tidak menerjang batas-batas larangan-Nya.

 

Senada dengan firman Allah swt. di atas, Rasulullah saw. bersabda,

 

“Sebaik-baiknya rezeki yang dimakan oleh seorang mukmin adalah yang berasal dari jerih payahnya sendiri.” (HR. Bukhari & Muslim)

 

Hadis ini adalah bukti bahwa Allah mengizinkan manusia untuk mencari rezeki. Orang yang bekerja tidak dianggap melalaikan kewajiban untuk bertawakal kepada Allah sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Quran, sunah nabi, dan kisah hidup para sahabat ra.

 

Sekelompok orang mengklaim, “Tawakal hanya akan tertanam dalam diri seseorang saat dia tidak ikhtiar mencari rezeki dan tidak bergabung dengan hiruk pikuk manusia dalam mencari nafkah. Mereka menolak bahwa ada izin dari alQuran dan hadis untuk mencari nafkah.”

 

Pada hakikatnya, mereka berkata seperti itu karena tidak memahami betul hadis yang telah aku riwayatkan dari Ismail bin Ibrahim, Rasulullah bersabda,

 

“Sebaik-baik rezeki yang dimakan seseorang adalah dari hasil usahanya sendiri.” (HR. Ibnu Majah)

 

Ini adalah hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh para ulama dan ahli hadis. Aku tidak pernah mengetahui mereka berselisih tentang kesahihan hadis ini.

 

Rasulullah saw. pernah bersabda,

 

“Tidaklah Allah swt. mengutus seorang nabi kecuali dia pernah menggembala kambing.”

 

Lalu sahabat bertanya, “Termasuk engkau, wahai Rasulullah?”

 

Beliau menjawab,

 

“Benar, aku pernah menggembala kambing milik penduduk Makkah dengan upah beberapa qirath.” (HR. Bukhari & Muslim)

 

Di masa remajanya, Rasulullah saw. pernah pergi ke Syam untuk berdagang.

 

Sementara Nabi Musa a.s. menggembalakan kambing, sebagaimana firman Allah swt.,

 

“Apa yang ada di tangan kananmu itu, wahai Musa? (Musa) berkata, ‘Ia adalah tongkatku. Aku (dapat) bersandar padanya, merontokkan (daun-daun) dengannya untuk (makanan) kambingku, dan memiliki keperluan lain padanya.’” (QS. Thaha [20]: 17-18)

 

Nabi Syu’aib as. juga bekerja, sebagaimana perkataan beliau yang tertulis dalam firman-Nya,

 

“Dia (ayah kedua perempuan itu) berkata, ‘Sesungguhnya aku bermaksud menikahkanmu dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini dengan ketentuan bahwa engkau bekerja padaku selama delapan tahun. Jika engkau menyempurnakannya sepuluh tahun, itu. adalah (suatu kebaikan) darimu. Aku tidak bermaksud memberatkanmu. Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.” (QS. al-Qashash [28]: 27)

 

Nabi Daud a.s. pun bekerja sebagai pandai besi, “Kami telah melunakkan besi untuknya. Buatlah baju-baju besi besar dan ukurlah anyamannya serta kerjakanlah amal saleh. Sesungguhnya Aku Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Saba’ [34]: 10-11)

 

Bekerja dan mencari nafkah ternyata ditemukan dalam kisah-kisah para nabi dan mereka adalah insan pilihan yang terbaik dari seluruh ciptaan-Nya.

 

Sebenarnya, mengambil pelajaran dari cara Nabi Muhammad saw. serta para sahabatnya mencari rezeki sudah dirasa cukup.

 

Pekerjaan yang tercela adalah pekerjaan yang melanggar perintah Allah dan melampaui batasan-batasan-Nya, baik posisinya sebagai karyawan yang bekerja ataupun pemilik usaha yang memberi pekerjaan kepada orang lain.

 

Ketika Allah swt. mewajibkan manusia untuk bertawakal dan memerintahkannya untuk mencari rezeki, kemudian mereka cenderung terbawa oleh hawa nafsu, Allah pun menetapkan bagi mereka batasan-batasan dalam mencari rezeki dan memerintahkan kewajiban-kewajiban yang telah Dia tetapkan dalam al-Quran serta dijelaskan melalui hadis nabi.

 

Allah swt. berfirman,

 

“Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa.” (QS. al-Baqarah [2]: 188)

 

Allah swt. juga berfirman,

 

“Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu. Janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu infakkan, padahal kamu tidak mau mengambilnya, kecuali dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya. Ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. al-Baqarah [2]: 267)

 

Rasulullah saw. bersabda,

 

“Allah swt. mengharamkan darah kalian, harta kalian dan kehormatan kalian.” (HR. Bukhari & Muslim)

 

Melalui al-Quran, sunah, serta ijma’ para ulama, Allah telah menjelaskan bahwa manusia harus bekerja sesuai dengan perintah Allah. Jika tidak, sudah ada (argumentasi) hujah yang tegas menyatakan kekeliruan mereka.

 

Siapa yang mencari rezeki dengan tata Cara yang benar, seperti tidak melanggar batas-batas syariat, menerapkan prinsip wara’ dalam berbisnis, berkarya, dan dalam segala hal yang berkaitan dengan pekerjaan, dia telah taat kepada Allah dan menjadi orang yang terpuji.

 

Sebaliknya, siapa yang menyimpang dari kebenaran dan tidak jujur dalam mencari rezeki, dia telah menjadi orang yang tercela. Kadar ketawakalannya berkurang dan dianggap belum menunaikan kewajiban untuk bertawakal. Tidaklah pantas dia menyandang predikat yang patut disematkan kepada orang yang menjunjung tinggi kebenaran.

 

Kesimpulannya, pekerjaan tercela adalah pekerjaan yang melampaui batas dan menyelisihi apa yang diperintahkan Allah, seperti perintah untuk jujur, mengakui kesalahan, mencela dirinya sendiri setelah menyadari bahwa tindakannya adalah maksiat terhadap Tuhannya, dan yakin akan ketentuan-Nya. Inilah ciri-ciri pekerjaan yang tercela.

 

Perlu diingat, di bab awal telah dijelaskan bahwa keyakinan hati akan ketentuan-Nya dan ikrarnya lisan atas hal itu pasti akan hilang pada diri seorang hamba ketika mulai muncul keraguan dalam hatinya.

 

Sementara pekerjaan yang terpuji adalah pekerjaan yang sesuai dengan perintah Allah swt., dan menahan diri dari melanggar batasan syariat sehingga pekerjaan ini membuatnya menjadi seorang yang wara’, sangat berhati-hati, dan bertakwa. Ketika dia menjalani pekerjaannya sekaligus dengan syarat-syarat ini, itulah pekerjaan terpuji yang diperbolehkan oleh Allah swt.

 

Pekerjaan yang paling mulia adalah pekerjaan para sahabat, tabi’in, dan orang-orang mukmin pilihan di setiap masa. Mereka adalah sosok-sosok yang menonjol di antara umat Islam pada umumnya dalam hal tawakal dan kondisi spiritual lainnya. Kemuliaan mereka atas orang-orang lain telah dipastikan dan kedudukan mereka di sisi Allah sangat tinggi. Merekalah gambaran orang-orang yang memiliki hakikat tawakal yang sempurna, sebuah anugerah yang dimiliki oleh para nabi, orang-orang jujur dan orang-orang yang terpilih.

 

Selain memiliki tawakal yang sempurna tadi, orang-orang pilihan itu juga melampaui umat Islam pada umumnya sebab amalan yang mereka lakukan melebihi yang lain. Mereka tak lupa untuk selalu menyucikan hati, berzikir, mendekatkan diri kepada Allah swt. lewat ibadah-ibadah sunah, bersusah payah untuk menasihati diri mereka sendiri dan bersungguh-sungguh dalam mencari kedudukan mulia di sisi Allah.

 

Akhlak-akhlak mulia ini mencegah mereka untuk melakukan hal yang bahkan hukumnya mubah. Mereka tidak melakukan hal mubah itu karena akan mengurangi porsi zikir mereka, karena watak mereka selalu mendahulukan ibadah yang bisa mendekatkan kepada-Nya—sebab mereka tahu bahwa ketaatan kepada-Nya memiliki keutamaan yang besar—dan karena tabiat mereka selalu meninggalkan hawa nafsu dan menjaga jarak dari kemewahan duniawi.

 

Oleh karena itu, mereka enggan menuruti tabiat nafsunya, tak menggubris godaan yang mengalihkan mereka dari-Nya, dan mengabaikan segala hal yang melalaikan. Mereka memilih untuk fokus menambah amalan dan mendekatkan diri kepada Allah swt.

 

Ketaatan membuat hasil dari segala yang mereka kerjakan terasa cukup dan menuntun mereka kepada kebenaran dalam mencari rezeki, sehingga mereka tak mau mengganti apa yang mereka miliki dengan apa pun.

 

Mereka mendapatkan anugerah dari Allah swt. berupa taufik, jaminan ketercukupan, dan kasih sayang yang tidak pernah terputus. Dengan demikian, mereka selalu dalam kondisi spiritual seperti itu, amalan mereka terhindar dari unsur riya, dan keberhasilan mereka tidak tercampur oleh hawa nafsu, niat sombong terhadap musuh, atau harapan semu dalam diri mereka.

 

Pemahaman mereka tentang dzat Allah swt. telah memadamkan hawa nafsu dalam diri mereka, membuat mereka mampu mengalahkan musuh, dan memperkuat tekad dalam segala urusan mereka. Taufiq Allah swt. selalu tercurahkan kepada mereka, kasih sayang-Nya membelai mereka sepanjang waktu, dan hidayah-Nya menuntun arah langkah mereka.

 

Demikianlah kualitas spiritual mereka. Posisi mereka yang tinggi sesuai dengan kapasitas individu mereka dan sejauh mana pengetahuan mereka tentang Allah bisa mengarahkan untuk bekerja sambil menyibukkan diri dalam mengerjakan amal tanpa henti demi menjaga kondisi spiritual mereka.

 

Dalam diri mereka, aktivitas-aktivitas seperti inilah yang mendominasi dari pada aktivitas-aktivitas lainnya. Hati mereka dipenuhi oleh kecintaan untuk patuh dan berusaha menuju Allah swt. sehingga mereka bersungguh-sungguh memilih pekerjaan yang dapat mengantarkan mereka kepada Allah tanpa memperhitungkan apa dan seberapa banyak yang akan mereka dapatkan.

 

Dengan kualitas ruhani seperti itu, mereka tidak akan mau menyia-nyiakan waktu, tidak asyik mengejar melebihi apa yang cukup menurut mereka, dan tidak tertarik menumpuk harta, sesuatu yang paling disukai manusia pada umumnya.

 

Kendati demikian dalam hal ini, Allah swt. tetap melimpahkan urusan pekerjaan kepada mereka dan mendorong mereka agar menunaikannya. Seperti sabda Rasulullah saw.,

 

“Cukuplah seseorang dikatakan buruk ketika dia mengabaikan orang-orang yang harus dia nafkahi.” (HR. Muslim & Ahmad)

 

“Setiap individu dari kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari & Muslim)

 

Setiap individu adalah penanggung jawab atau pengelola atas apa yang diamanatkan kepadanya. Dia bertanggung jawab atas urusannya dalam masalah agama dan duniawi serta orang-orang yang Allah swt. wajibkan untuk diberi nafkah dan dirawat, seperti ayah, ibu, istri dan anak-anak, dan orang-orang yang disepakati ulama bahwa merawat mereka adalah kewajiban, dan mengabaikan mereka adalah dosa selama mereka dalam kondisi membutuhkan.

 

Oleh karena itu, dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda,

 

“Cukuplah seseorang dikatakan buruk ketika dia mengabaikan orang-orang yang harus dia nafkahi.” (HR. Muslim & Ahmad)

 

Hadis ini bukan lantas diartikan bahwa seorang individu tidak wajib menafkahi mereka dan urusan menafkahi mereka hanya bersifat opsional yang bebas dia lakukan atau tinggalkan. Hal itu karena arti keburukan dalam hadis adalah hukuman yang akan terjadi dan siksaan yang akan turun, sementara Allah swt. tidak akan menjatuhkan hukuman sebab hamba-Nya meninggalkan sesuatu yang tidak wajib, melainkan Dia hanya memberitahu kita bahwa ancaman dan azab-Nya akan menimpa orang-orang yang berdosa dan melanggar perintah-Nya.

 

Para sahabat dan orang-orang shalih mencari rezeki hanya demi mematuhi perintah Allah, dan taat kepada-Nya. Kerja mereka sama sekali berbeda dengan orang-orang yang ingin menumpuk kekayaan karena benak para sahabat selalu asyik untuk menyibukkan diri dalam hal-hal yang lebih penting dan lebih disukai jiwa mereka.

 

Oleh karena itu, saat bekerja telah Allah wajibkan, mereka berusaha keras mengamalkannya sambil menjaga hati mereka untuk selalu mengingat-Nya dan tentram kepada-Nya dengan cara senantiasa berzikir, sadar dengan posisi sebagai seorang hamba, dan meyakini Allah telah menjamin rezeki mereka.

 

Hati mereka berhasil melepaskan diri dari tabiat-tabiat manusiawi, terputus dari jeratan keraguan, terbebas dari belenggu sebab-akibat, dan merdeka dari perkara duniawi. Kapan pun itu, hati mereka selalu memasrahkan seluruh urusan kepada Allah, Dzat yang mengatur apa yang mereka usahakan dan mengetahui apa yang tersembunyi di dalam lubuk hati mereka.

 

Semangat mereka untuk selalu terhubung dengan Allah swt. saat bekerja tak pernah padam. Mereka juga tidak sampai teledor dalam mengerjakan kewajiban, sejauh kecerdasan mereka dapat memahami dan mengetahui apa yang diperintahkan kepada mereka.

 

Usaha dalam mencari nafkah yang mereka lakukan ini adalah cara terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan perbuatan paling istimewa sesuai dengan kemampuannya.

 

Bagi mereka, keseriusan dalam berusaha mencari nafkah lebih mereka sukai daripada hal-hal yang lain karena mata mereka sudah melihat dengan jelas keutamaan mematuhi dan melaksanakan apa yang Allah serukan dan perintahkan.

 

Inilah cara bekerja para sahabat dan orang-orang shalih, sama sekali tidak merusak zikir yang mereka pelihara, tidak mengurangi kedekatan hati dan tingginya tingkat spiritual mereka, pun tidak menodai kedudukan-kedudukan mereka di sisiNya. Inilah gambaran bagaimana orang-orang yang benar-benar beriman dan para waliyullah mencari nafkah.

 

Seperti inilah tindakan yang Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar al-Faruq, Utsman Dzun Nurain,’? dan mayoritas sahabat Nabi lakukan saat menemani dan membantu Nabi.

 

Mereka adalah pelita dan lentera bumi, keindahan dan kemegahan dunia. Berkat kebajikan dan ketaatannya, mereka berhasil mengungguli orang-orang pilihan dari umat-umat terdahulu. Merekalah sosok-sosok pengganti para nabi, imam penegak kebenaran, alim ulama, ahli hikmah, pemimpin orang bertakwa, dan orang-orang yang paling tabah dalam menjalankan kewajiban syariat agama.

 

Keutamaan mereka telah dijelaskan oleh Allah swt. melalui lisan Nabi-Nya saw.

 

“Nabi Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengannya bersikap keras terhadap orang-orang kafir (yang bersikap memusuhi), tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud (bercahaya).” (QS. al-Fath [48]: 29)

 

Allah swt. berfirman,

 

“Wahai orang-orang yang beriman siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin dan bersikap tegas terhadap orang-orang kafir.” (QS. al-Ma‘idah [5]: 54)

 

Allah swt. juga berfirman,

 

“Wahai Nabi (Muhammad), cukuplah Allah (menjadi pelindung) bagi engkau dan bagi orang-orang mukmin yang mengikutimu.” (QS. al-Anfal [8]: 64)

 

Allah swt. pun berfirman,

 

“Sungguh, Allah benar-benar telah meridai orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu (Nabi Muhammad) di bawah sebuah pohon.” (QS. al-Fath [48]: 18)

 

Allah swt. menyanjung para sahabat Rasul di beberapa ayat dalam al-Quran. Mereka adalah sebaik-baik penghuni bumi sesudah para nabi. Apa yang mereka lakukan merupakan amal paling baik. Kedudukan yang mereka tempati paling tinggi dan luhur.

 

Itulah mengapa, Rasulullah saw. bersabda,

 

“Seandainya salah seorang dari kalian berinfak emas sebesar gunung Uhud niscaya belum setara dengan satu mud dari infak sahabatku atau bahkan setengahnya.” (HR. Bukhari & Muslim)

 

“Sebaik-baik umatku adalah yang pertama (generasi sahabat).” (HR. at-Tirmidzi)

 

“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian orang-orang yang datang setelah mereka, kemudian generasi selanjutnya.” (HR. Bukhari & Muslim)

 

“Sungguh, Allah swt. memilih sahabat-sahabatku dari seluruh umat manusia.”

 

“Sebaik-baik manusia adalah generasi yang hidup saat aku diutus di tengah-tengah mereka.” (HR. Muslim & Ahmad)

 

Masih banyak lagi hadis mengenai keutamaan para sahabat.

 

Aku akan terlebih dahulu menjelaskan Abu Bakar ash-Shiddiq ra. Dialah orang yang memberi kepercayaannya kepada Rasulullah saw. ketika beliau didustakan, memberikan harta kekayaannya ketika beliau diboikot. Dialah teman pelipur lara di gua ketika beliau disakiti, teman duduknya di dalam bilik teduh pada peristiwa Badar ketika beliau diserang. Dialah Abu Bakar, orang pertama yang mengikuti dan membenarkan Rasulullah saw.

 

Sekian banyak perbuatan sahabat Abu Bakar r.a. diceritakan langsung oleh Nabi Muhammad saw. Dia adalah orang yang disepakati umat Islam sebagai orang yang paling mulia setelah Nabi saw.

 

Para sahabat setuju untuk menjadikannya khalifah setelah Rasul wafat karena mereka melihat Nabi menyuruhnya maju menjadi imam dalam shalat dan urusan agama lainnya.

 

Pemerintahan Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. berpedoman pada cara yang diterapkan oleh Rasulullah saw. Dia menempuh metode yang dijalankan oleh beliau dan melaksanakan perintah Allah layaknya para nabi.

 

Selaku Khalifah pertama, beliau berhasil menyatukan barisan umat Islam usai terpecah belah, memperkokoh Islam tepat saat agama ini melemah, dan melindungi kehormatan Islam ketika dinodai.

 

Teman hijrah Rasulullah ini berhasil menambal celah agama Islam—usai sebagian murtad dan sebagian lain enggan membayar zakat—dengan kebenaran. Alhasil, Islam utuh kembali usai terbelah, menguat setelah melemah, dan harmonis kembali sesudah berantakan.

 

Umat Islam sepakat bahwa perbuatan Abu Bakar ra. adalah benar dan seluruh keputusannya sudah adil. Tidak ada keraguan bahwa dia adalah manusia paling gigih memegang ajaran agama Islam dan paling getol menegakkan panji-panji agama setelah Nabi Muhammad saw.

 

Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. tidak pernah keluar dari jalan yang lurus dan selalu berorientasi pada tujuan yang jelas sampai dia wafat dalam keadaan terpuji.

 

Salah satu kebijakan Abu Bakar dalam masa pemerintahannya yang diikuti oleh seluruh umat Islam adalah menganjurkan umat Islam untuk bekerja dan mencari nafkah, sebab bekerja untuk kebutuhan keluarga adalah perbuatan yang paling utama, paling merekatkan kekerabatan, dan ketaatan paling tinggi. Dia tetap pergi ke pasar untuk mencari nafkah dalam rangka memenuhi kebutuhan keluarganya.

 

Saat para sahabat menemuinya di pasar, mereka menegurnya, “Wahai Khalifah Rasulullah, kembalilah ke urusan kaum muslimin!”

 

“Aku tidak ingin menanggung dosa atas kelalaianku terhadap keluargaku (bila sampai tidak aku nafkahi). Berikan aku gaji yang layak!” Jawab Abu Bakar dengan tegas.

 

Lawan bicara Abu Bakar saat itu adalah Umar bin al-Khaththab dan Ali bin Abi Thalib r.a., lalu keduanya menentukan gaji yang layak bagi Abu Bakar sehingga dia bisa fokus mengatur urusan umat Islam saat kewajiban menafkahi keluarga sudah terpenuhi.

 

Umar bin Khatthab sama seperti Abu Bakar dalam urusan amal kebajikan, keteguhan Islam, dan pembelaannya untuk agama Islam. Umar mengambil tunjangan khalifah untuk diri dan keluarganya.

 

Diriwayatkan, dia pernah berkata, “Tahukah kalian aku gunakan untuk apa uang ini? Dua pakaian, satu untuk musim dingin dan satu untuk musim panas,’? hewan tunggangan yang kunaiki untuk berangkat haji, dan kebutuhan pokok yang normal bagi satu orang Quraisy, tidak terlalu murah atau pun terlalu mewah.”

 

Kemudian dia merasa kasihan kepada umat Islam dan berkata, “Demi Allah, aku tidak tahu apakah ini halal bagiku atau tidak.”

 

Usman bin Affan juga memiliki pemahaman akan kewajiban menafkahi keluarga layaknya mereka berdua. Dia adalah sosok yang mulia setelah Abu Bakar dan Umar, bertanggung jawab melaksanakan tugas kekhalifahan dan disepakati kaum muslimin menyangkut keadilannya.

 

Demikian pula pemahaman Ali bin Abi Thalib r.a. Dialah orang yang mulia, paham agama, cerdas dan sabar setelah tiga khalifah di atas. Menantu Rasulullah ini bekerja sebagai pembawa air untuk penduduk Madinah dengan upah buah kurma. Dia memiliki dua ekor unta untuk mengangkut idkhir (rumput padang pasir, bentuknya seperti daun pandan). Dengan modal dari pekerjaannya ini, dia menikahi Fathimah putri Rasulullah saw.

 

Saat Nabi Muhammad saw. mempersaudarakan Qais bin ar-Rabi’ dengan Abdurrahman bin Auf, Qais berkata kepada Abdurrahman, “Ini setengah hartaku, sekarang milikmu. Aku mempunyai dua istri dan akan kuceraikan satu untukmu.” Harta Qais sudah tersedia dan banyak didambakan oleh orang-orang.

 

Namun, Abdurrahman bin Auf malah menolaknya dan berkata, “Aku tidak butuh semua itu. Tunjukkan saja kepadaku di mana pasar!”

 

Dia kemudian pergi ke pasar untuk mencari nafkah dan kembali setelah mendapatkan sejumlah minyak samin dan keju. Dia memilih bekerja karena tahu akan keutamaan dalam mencari nafkah dan mendapatkan laba.

 

Nabi Muhammad saw. bersabda mengenai hal ini,

 

“Sebaik-baik rezeki yang dimakan seseorang adalah hasil jerih payahnya sendiri.” (HR. Ahmad & Ibnu Majah)

 

Abdurrahman bin Auf tetap memilih untuk bekerja ketimbang menerima harta yang merupakan harta milik salah seorang sahabat Rasulullah saw., sejumlah harta yang tidak ada kecurigaan mengenai asal-usulnya, tidak diragukan lagi keberkahannya, dan ditawarkan kepadanya tanpa diminta atau karena mengharapkannya.

 

Demikianlah argumenku mengenai hukum bekerja yang diambil dari al-Quran, hadis dan perilaku para sahabat Rasulullah saw.

 

Para tabi’in yang hidup setelah mereka, sosok yang wajib kita ikuti dan ambil petunjuk dari mereka juga memiliki pemahaman mengenai bekerja layaknya para sahabat. Allah memerintahkan kita agar menaati dan meniru mereka dengan firman-Nya,

 

“Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.” (QS. an-Nisa’ [4]: 59)

 

Ulil amri adalah para sahabat Nabi Muhammad saw. dan orang-orang yang datang setelah mereka termasuk ulama yang shalih. Berita serta argumen mengenai pernyataan ini banyak sekali.

 

Insya Allah, apa yang telah aku sampaikan dan sebutkan dalam bab ini sudah cukup. Aku memohon kepada Allah swt. sebaik-baik taufik dalam mencapai kebenaran.

 

Sebagian kelompok ulama tidak mau mencari rezeki dengan alasannya masing-masing. Saya akan menyebutkan beberapa.

 

Di antara mereka adalah Syaqiq dan para pengikutnya. Syaqiq pernah mengatakan, “Bekerja adalah perbuatan maksiat.”

 

Menurutnya, Allah swt. telah menjamin dan mencukupi rezeki setiap makhluk sehingga bekerja atau berusaha meraih rezeki menyiratkan keraguan terhadap janji dan jaminan-Nya. Sangat jelas bahwa pemahaman Syaqiq telah menyalahi alQuran, sunah, dan apa yang telah dilakukan para sahabat terkemuka dan generasi tabi’in.

 

Mereka yang berpangku tangan dan tidak mau mencari nafkah itu, pada akhirnya justru tidak dapat menunaikan kewajiban harta (seperti zakat). Mereka akan terlilit berbagai macam tuntutan dan kebutuhan, tapi sayangnya mereka tetap asyik menganggur, dan malah mencela orang-orang yang sedang berjuang mencari nafkah. Mereka bahkan menganggap keengganan untuk bekerja adalah sebuah kemuliaan yang setara dengan para pekerja dalam sudut pandang ulama yang menganjurkan bekerja.

 

Berhubung mereka enggan bekerja, mereka justru. menyambung hidup dari pemberian orang-orang yang melakukan pekerjaan syubhat (diragukan halal-haramnya) dan bahkan dari orang-orang yang pekerjaannya jelas-jelas tercampur halal-haramnya. Mereka sampai beranggapan, menerima pemberian dari orang-orang seperti itu justru lebih mulia ketimbang mencari nafkah sampai kelelahan.

 

Bukankah yang mereka lakukan hanyalah lepas tangan dari kewajiban mencari nafkah dan hanya bersandar pada jerih payah serta hasil kerja orang lain? Mereka keliru besar dalam menerapkan ajaran agama.

 

Ada banyak argumen yang bisa menjatuhkan pendapat Syaqiq dan para pengikutnya, mulai dari al-Quran, sunah Rasulullah, sunah para nabi sebelum beliau, dan sikap para sahabat.

 

Argumen dari al-Quran seperti firman Allah swt.,

 

“Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik.” (QS. al-Bagarah [2]: 267)

 

Allah swt. juga berfirman,

 

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan cara yang batil (tidak benar), kecuali berupa perniagaan atas dasar suka sama suka di antara kamu.” (QS. an-Nisa’ [4]: 29)

 

Allah swt. kemudian memuji atas kegigihan mereka yang bisa mengingat Allah sambil menjalankan perniagaan,

 

“Orang-orang yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan jual beli dari mengingat Allah.” (QS. an-Nur [24]: 37)

 

Namun, Allah swt. memerintahkan mereka agar meninggalkan jual beli dan segala macam transaksi di waktu tertentu, seperti pada hari Jum‘at,

 

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila (seruan) untuk melaksanakan salat pada hari Jumat telah dikumandangkan, segeralah mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. al-Jumu’ah [62]: 9)

 

Allah swt. juga memerintahkan mereka untuk mencatat dalam urusan perniagaan dan bisnis,

 

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya.” (QS. al-Baqarah [2]: 282)

 

Argumen dari sunah Rasulullah saw. seperti hadis berikut,

 

“Sebaik-baik rezeki yang dimakan seseorang adalah hasil usahanya sendiri.” (HR. Ahmad & Ibnu Majah)

 

Aku telah menyebutkan sikap yang diambil oleh tokoh-tokoh sahabat dalam masalah ini.”

 

Jadi, ada banyak ayat dalam al-Quran dan riwayat dari Rasulullah saw. yang sifatnya mutawatir terkait hal ini. Walaupun keterangan yang disebutkan di atas hanya sedikit, tapi sudah tampak jelas kekeliruan klaim mereka untuk tidak mau bekerja dan tinggal berpangku tangan.

 

Argumen dari klaim Syaqiq dan pengikutnya bahwa dianjurkan berpangku tangan dan cukup menyambung hidup lewat jerih payah orang lain dengan syarat mereka mengambilnya dari orang-orang kaya yang mendapatkan harta sesuai dengan hukum yang ditetapkan al-Quran dan sejalan dengan sunah Nabi sudah jelas gugur. Singkatnya, wajib bagi mereka untuk mencari rezeki sebagaimana orang kaya tersebut mencarinya.

 

Jika alasan tidak bekerja itu karena mereka tidak mampu bekerja sebaik orang lain, berarti mereka menyambung hidup dengan hasil dari tangan orang-orang yang kemungkinan melanggar aturan agama dan melampaui batas dalam bekerja.

 

Semua argumen milik Syaqiq salah. Wallahu a’lam.

 

Sementara itu, beberapa orang tidak bekerja karena meyakini bahwa duduk manis berpangku tangan lebih baik daripada bekerja.

 

Untuk menguatkan pendapat mereka, mereka sampai berargumen bahwa Allah swt. sudah menjamin rezeki setiap manusia, mencukupi mereka dan memastikan rezeki akan sampai kepada mereka sesuai waktunya, otomatis menunggu waktunya dan tak bekerja adalah yang terbaik. Bagi mereka, bekerja adalah dispensasi bagi manusia yang berjiwa lemah (karena hatinya tidak cukup bertawakal).

 

Sanggahan untuk argumen ini adalah perilaku Rasulullah saw. dan para sahabatnya yang telah dijelaskan di bab awal. Allah swt. menempatkan Rasulullah saw. di derajat tertinggi, menganugerahinya pengetahuan paling sempurna, dan mengistimewakannya dengan kekhususan dan karunia yang berlimpah. Semua itu menjadi cara Allah swt. menerangkan keutamaan beliau di antara para kekasih-Nya yang agung. Kendati demikian, aktivitas dan seluruh perbuatan beliau menyesuaikan maqamnya (Rasulullah tetap bekerja dan melakukan hal lain demi menjemput rezekinya).

 

Begitu juga dengan para sahabat Nabi. Setinggi apa pun derajat dan keutamaan mereka, aktivitas dan perbuatan mereka selaras dengan tempat mereka berada.

 

Dari keterangan yang telah dipaparkan dan argumen yang sudah diungkapkan, tampak jelas kesalahan argumen mereka.

 

Argumen kelompok yang mengklaim bahwa tidak bekerja itu lebih baik dan bekerja mencari penghidupan hanyalah dispensasi yang diperuntukkan bagi insan-insan yang beriman lemah adalah bukti keteledoran mereka. Mereka ceroboh dalam menafsirkan dan mengedepankan opini pribadi sampai-sampai berani menilai Rasulullah saw. dan para sahabat.

 

Dengan klaim seperti itu, mereka sama saja menempatkan para sahabat terkemuka seperti Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali di posisi lemah dan tidak berdaya. Sebaliknya, mereka meletakkan diri mereka lebih utama ketimbang para sahabat berdasarkan asumsi pikiran mereka sendiri, tanpa berlandaskan sama sekali kepada ayat al-Quran dan hadis.

 

Statemen mereka jelas keliru jika ditinjau dari pelbagai aspek:

 

Pertama, dalam kitab-Nya, Allah malah memerintahkan agar makanan umat Islam berasal dari hasil pekerjaan yang baik.

 

Kedua, Rasulullah saw. justru bersabda,

 

“Sebaik-baik rezeki yang dimakan seseorang adalah hasil jerih payahnya sendiri.” (HR. Ahmad & Ibnu Majah)

 

Ketiga, apa yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. dan para sahabat terkemuka bukanlah berpangku tangan.

 

Keempat, apa yang ditunjukkan dan ditegaskan Oleh “ilmu” tidaklah demikian. Sebab, ketika Allah swt. menyeru agar percaya dan bertawakal kepada-Nya, saat itu juga ilmu menjelaskan maksud yang dikehendaki Allah di balik perintah tersebut. Ilmu menerangkan bahwa percaya adalah kondisi hati yang senantiasa membenarkan perintah Allah, meyakini kebenaran janji-Nya, merasa tenteram kepada-Nya bagaimana pun keadaannya, dan tak pernah tergiur akan sesuatu yang lain karena merasa cukup atas jaminan Allah.”

 

Ketika hati sudah sedemikian percaya kepada Allah, lisan berikrar mengucapkannya, dan pemahaman miliknya telah mewanti-wanti agar jangan beralih kepada selain-Nya, hatinya telah selamat dan mencapai hakikat tawakal yang sempurna.

 

Jika sudah diketahui bahwa Allah swt. telah memastikan keutamaan bagi seseorang yang bekerja, dan Rasul-Nya telah memberi tuntunan bahwa bekerja bisa mendekatkan hati kepada Allah dan dapat menambah nilai ibadah, hati yang berserah diri kepada-Nya pasti mendorongnya untuk bekerja sebagai bentuk kepatuhan kepada-Nya.

 

Pekerjaan bagi pemilik hati seperti itu akan selalu berangkat dari mantapnya keinginan untuk menjalankan ketaatan tanpa sekalipun dibuntuti rasa bosan dan jemu, sebab apa yang dia butuhkan telah tercakup dalam jaminan Allah. Artinya, apa yang diupayakannya itu bertolak dari hati yang sudah tenteram sedamai-damainya dan sepenuhnya percaya kepada Allah.

 

Hati yang seperti itu juga akan memotivasi tubuh agar giat bekerja dan memantapkan derajat maqamnya. Sebab seharusnya, bekerja tidak melemahkan frekuensi hati untuk mendekatkan diri dengan Allah dan tidak pula menuntunnya pada hal-hal yang tidak elok disebutkan.

 

Bekerja yang memiliki keutamaan berdasarkan apa yang sudah aku terangkan melalui al-Quran dan hadis—bahwa bekerja adalah hal yang diwajibkan kepada manusia—mengandung sejumlah pengertian berikut:

 

Pertama, jika bekerja dapat mengotori hati yang sudah yakin dan tenteram sepenuhnya kepada Allah sehingga menyebabkan derajatnya turun, itulah waktu yang tepat untuk meninggalkan pekerjaan karena justru membuat hati berlubang.

 

Inilah kondisi bagi mereka yang masih belum mencapai derajat orang-orang kuat (iman) yang justru dengan bekerja, mereka mengalami peningkatan spiritual dan menemukan tangga untuk naik ke tingkat yang lebih tinggi. Kondisi pertama ini betul-betul lemah dan rentan.

 

Kedua, jika kondisi hati yang aku gambarkan di atas sudah bersemayam pada diri mereka kemudian bekerja menambah kesibukan dalam pikiran, lebih baik baginya untuk meninggalkan pekerjaan karena kesibukan itu tidak selamanya ada dalam diri mereka dan mereka belum mencapai derajat qurbah (dekat dengan Allah). Ini bentuk kegagalan dalam memahami.

 

Ketiga, hatinya sudah mendapatkan kemantapan dan ketenangan akan jaminan Allah, mereka juga telah memahami dengan sempurna keutamaan bekerja, tapi mereka tetap memilih tidak bekerja.

 

Kondisi ketiga ini merupakan bentuk memaksakan diri dan menyelisihi keutamaan bekerja yang diterangkan Allah dalam al-Quran dan hadis, pun menyelisihi apa yang dilakukan para sahabat.

 

Begitu nyata keutamaan bekerja seperti yang telah aku jelaskan. Menurutku, bekerja menempati derajat paling tinggi dalam semua keadaan. Wallahu a’lam.

 

Jika engkau hendak berangkat ke tokomu, kantormu, atau pabrikmu, atau hendak menjadi agen dan lain sebagainya dengan niat mencari rezeki yang halal, mengikuti sunah Rasulullah, mencukupi kebutuhan dirimu dan keluargamu supaya tidak meminta pada orang lain, dapat menyantuni kerabat serta tetangga, dan agar dapat menunaikan kewajiban zakat maka di tengah-tengah usaha dan kerjamu itu, tetap dambakan untuk bertemu Allah dengan wajah bercahaya bak bulan purnama.

 

Sebagaimana sabda Rasulullah saw.,

 

“Siapa yang mencari kehidupan dunia dengan cara yang halal dengan niat untuk menjaga kehormatannya dari meminta-minta, menafkahi keluarganya, dan menyantuni tetangganya yang kekurangan, kelak di hari kiamat, wajahnya bagaikan bulan purnama. Sebaliknya, siapa yang mencari dunia dengan jalan halal, namun karena niat mengumpulkan kekayaan, kelak ia akan bertemu dengan Allah dengan kondisi dibenci oleh-Nya.” (HR. an-Nasa’i & Abu Daud)

 

Berniatlah wara’ ketika sedang berniaga, tinggalkan segala keuntungan, laba atau bonus yang ditawarkan kepadamu meskipun nilainya sebanyak isi dunia jikalau penawaran itu adalah hal-hal yang dibenci oleh Allah swt.

 

Selain itu, pastikan engkau juga wara’ pada penjual lain dan orang-orang yang berurusan dengan bisnismu.

 

Dalam bisnis niagamu, bantulah sesama ketika dia hendak ditipu atau dia mau meminta pertolonganmu.

 

Jangan lupa untuk selalu mengingat Allah sembari mengharap ridha-Nya saat engkau sedang bekerja, sebagaimana hadis berikut ini,

 

“Sungguh, Allah swt. kagum dengan orang yang tetap mengingat-Nya saat berada di dalam pasar.” (HR. Ahmad)

 

“Apa itu wara’?” tanyaku.

 

Guruku menjawab, “Menjauhi setiap hal yang dibenci dan melaksanakan apa yang diperintahkan Allah swt. mulai dari perkataan sampai perbuatan, baik yang dilakukan oleh hati atau anggota badan.”

 

Aku pun lanjut bertanya, “Apakah ada syarat untuk mencapainya?”

 

“Muhasabah,” jawabnya. “Apa itu?” Tanyaku lagi.

 

“Berpikir sebelum bertindak, baik saat hendak melakukan maupun meninggalkan sampai tampak jelas apa yang mesti ditinggalkan dan yang harus dikerjakan. Jika hal itu dibenci oleh Allah, hatinya dengan mantap akan menyuruh tubuh untuk menjauhi dan meninggalkannya, serta tidak membiarkan tubuh untuk meninggalkan perintah Allah, tapi malah menyuruhnya bergegas untuk mengerjakannya.” Pungkas guruku.

 

“Menjauhi? Apa yang harus dijauhi?” Kejarku.

 

“Empat hal,” beliau kemudian menjelaskan dengan panjang lebar.

 

Dua di antara empat hal tersebut wajib ditinggalkan, yang ketiga ditinggalkan karena takut bila itu termasuk perkara yang dibenci Allah, dan yang terakhir ditinggalkan karena berhati-hati dan wawas diri.

 

Pertama, seluruh larangan Allah swt. yang berkaitan dengan akidah, seperti kesesatan, bid’ah, berlebihan dalam mendeskripsikan-Nya secara tidak benar, dan hanya meyakini yang benar-benar saja.

 

Kedua, seluruh larangan Allah swt. yang berkaitan dengan melaksanakan dan meninggalkannya seperti hal-hal yang diharamkan untuk anggota tubuh ataupun hati.

 

Ketiga, perkara syubhat (tidak jelas halal haramnya), dia meninggalkannya karena takut terjerumus pada perkara haram agar wara’ yang dilakukannya sempurna. Rasulullah saw. bersabda,

 

“Siapa yang meninggalkan syubhat, dia telah menyelamatkan diri, agama dan kehormatannya. Namun, siapa yang melakukannya, seolah-olah dia telah melakukan perkara yang haram.” (HR. Bukhari & Muslim)

 

Melalui riwayat an-Nu’man, Imam Zakaria menambahkan matan hadisnya,

 

“Dia telah melakukan perkara haram, seperti penggembala di sekitar daerah terlarang, dikhawatirkan dia akan melewati batas.” (HR. Bukhari & Muslim)

 

Keempat, beberapa perkara halal yang ditakutkan akan menjadi jalan menuju keharaman, Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw.,

 

“Tidaklah seorang hamba termasuk golongan orang-orang bertakwa sampai dia meninggalkan hal-hal yang tidak berdosa demi menghindari dosa.” (HR. Ibnu Majah & at-Tirmidzi)

 

Contohnya sangat banyak. Misalnya, tidak banyak bicara agar tidak keceplosan berkata dusta, menggunjing orang, dan ucapan yang diharamkan lainnya. Contoh lainnya adalah meninggalkan sebagian jenis pekerjaan yang berpotensi dosa bagi pekerjanya, atau tidak menumpuk harta (karena takut tidak mampu menunaikan hak Allah) saat pekerjaan halal sulit dicari dan sedikit orang yang menjalankan wara’ dan ketakwaan. Misal lainnya, sifat tidak mendekati orang yang bisa kita pastikan, kita akan melakukan dosa ketika bersamanya, atau menghindari syubhat karena takut terjerumus dalam dosa. Contoh yang lain adalah berusaha tidak peduli terhadap urusan orang lain karena takut berbuat dosa, atau tidak memakan di sebuah restoran jika dirasa dirinya akan sombong ketika makan di tempat itu.

 

Perilaku-perilaku seperti ini membantu seseorang untuk bersikap wara’, meski bila ditinggalkan dia tidak lantas terjerembab dalam hal syubhat.

 

‘Aun bin Abdullah mengutip perkataan salah seorang bijak bestari, “Tinggalkan kebiasaan mengucap sumpah saat engkau berkata jujur meskipun itu halal dilakukan, sebab lisanmu akan terbiasa bersumpah sehingga takutnya engkau bersumpah pada hal dusta. Lalu, jangan mudah membalas orang yang telah menganiayamu, sebab engkau akan gampang membuat alasan.”

 

Allah swt. berfirman,

 

“Tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan) dengan perilaku yang lebih baik.” (Fushshilat [41]: 34)

 

Memaafkan disebut dengan kebaikan sementara membalas kejahatan disebut dengan keburukan. Seseorang selalu bertakwa karena sanggup meninggalkan banyak perkara halal semata-mata karena takut terjerumus dalam keharaman.

 

Ibnu Umar pernah diberi hadiah pakaian mewah oleh seseorang. Namun, dia justru mengembalikannya. “Satu-satunya alasanku mengembalikan pakaian itu kepadamu adalah karena takut muncul kesombongan dalam diriku,” katanya memberi alasan.

 

Ibnu Umar ra. adalah orang yang suka mempercepat jalannya. “Cara berjalan seperti ini menjauhkanku dari keangkuhan,” ujarnya.

 

Umar bin Khattab ra. sampai menceraikan istri yang paling dicintainya ketika ditunjuk menjadi khalifah karena khawatir dirinya akan mengikuti kemauan istrinya secara tidak adil. Setelah Allah swt. menguatkan mentalnya, Umar mengirim utusan untuk melamarnya lagi. Namun, ketika utusan itu datang, mantan istrinya ternyata sudah lama meninggal dunia.

 

Masih banyak lagi contoh yang tidak perlu aku sebutkan di sini.

 

Ada dua prinsip yang bisa menyempurnakan perbuatanmu dan meningkatkan nilai amal ibadahmu:

 

Pertama, lapang dada ketika berhadapan dengan manusia lain.

 

Kedua, memperbaiki apa yang salah dan mengetahui dari mana asal makanan kita.

 

Atsar?? yang bisa dijadikan landasan dua prinsip di atas sangatlah banyak. Namun, aku ingin mempersingkat pembahasan.

 

Sekarang, para saudagar dan pebisnis sudah seperti tidak beriman kepada hari perhitungan (yaumul hisab). Mereka berani memasuki ranah-ranah yang dilarang. Ringan sekali tubuh mereka berbuat dosa sampai berani melakukan pekerjaan yang terlarang, dan meninggalkan kewajiban. Mereka tidak lagi mengedepan wara’ dan tetap menikmati penghasilan yang berasal dari harta orang-orang zalim. Mereka sudah tidak menjauhi orang-orang yang gemar riya, bahkan para perampok dan tukang begal mereka jadikan teman.

 

Seandainya mereka ditanya, “Apakah kalian biasa saja melakukan perbuatan haram di dunia, padahal kalian disiksa di akhirat karenanya? Apakah kalian mau kekayaan kalian di dunia ini akan diganti dengan kesedihan dan penderitaan di akhirat kelak?”, niscaya mereka akan menerima begitu saja lantaran telah menikmati kenikmatan dunia. Hanya tersisa sebagian kecil dari mereka yang masih takut akan kenyataan ini. Sungguh malang sekali kebanyakan dari mereka. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.

 

Ketika mereka melihat seseorang mengabaikan pelbagai macam pekerjaan yang disodorkan kepadanya, sebagian kecil tersebut akan menghargai dan memuliakannya. Demikianlah sikap orang-orang cerdas. Namun, orang-orang dungu justru akan mencibir dan melecehkannya.

 

Namun, saat orang-orang cerdas tadi memuji dan meninggikan derajatnya dan dia terjerumus dalam sanjungan itu, dia akan binasa perlahan-lahan tanpa dia sadari.

 

Maka engkau harus selalu waspada dan berhati-hati dalam segala urusanmu. Mintalah pertolongan kepada Allah dalam mencari keselamatan. Memohonlah kepada-Nya agar engkau diselamatkan dari fitnah dan petaka.

 

Engkau harus memastikan hatimu memiliki tiga hal ini:

 

Pertama, apa yang ditakdirkan untukmu pasti datang kepadamu dan jika memang tidak ditakdirkan, niscaya mustahil sampai kepadamu. Siapa yang sudah meyakini hal ini, Allah swt. akan mewariskan dua perangai dalam hatinya:

 

  1. Hatinya akan tenang seandainya kehilangan apa yang telah ditakdirkan baginya.

 

  1. Hatinya tidak akan berharap mendapatkan apa yang memang tidak ditakdirkan untuknya.

 

Jika hatinya sudah bisa bersikap tenang bilamana kehilangan apa yang ditakdirkan untuknya dan sudah tidak mudah berharap memperoleh apa yang tidak ditakdirkan, rasa sedih dan gelisah dalam hatinya akan berkurang dan ketundukan serta ketergantungannya pada manusia semakin kecil. Dia juga tidak sering mengetuk pintu rumah orang lain demi mendapatkan keuntungan dari mereka. Orang yang hatinya sudah dipenuhi dua perangai ini sudah merasa cukup dengan Allah.

 

Kedua, ingat bahwa Allah swt. senantiasa mengawasi hati dan anggota tubuhnya mengamati lahir dan batinnya. Hal ini akan melahirkan rasa malu dalam dirinya.

 

Ketika dihadapkan dengan hal-hal yang dibenci Allah swt., dia akan langsung ingat sedang diawasi Allah dan takut terkena murka-Nya ketika melakukannya.

 

Ketika ditawarkan sesuatu yang dapat menurunkan derajatnya, meskipun sejatinya tidak haram, dia akan merasa malu karena Allah melihatnya tengah alpa dan lalai dari apa yang dicintai oleh-Nya padahal dia tahu akan hal itu dan sadar akan keagungan dan kekuasaan-Nya.

 

Kesimpulannya, silahkan engkau berjualan di pasar atau bekerja, tapi dalam setiap keadaanmu dan di mana pun kau berada, pastikan hatimu selalu dalam keyakinan dan kesadaran bahwa segala gerak-gerik lahir dan batinmu selalu diawasi oleh Allah swt.

 

Dengan keyakinan, engkau akan tenang, dengan kewaspadaan, engkau akan wawas diri, dan dengan mengingat-Nya, engkau akan malu pada Dzat yang Maha Melihat lagi Mahatinggi.

 

Abu Ja’far menjabarkan tiga pendapat ulama tentang wara :

 

Pertama, meninggalkan sesuatu yang mengganjal dalam hati.

 

Kedua, meninggalkan perkara syubhat selama belum jelas status halal dan haramnya.

 

Ketiga, wara’ adalah seperti apa yang diriwayatkan oleh Athiyah as-Sa’di dari Nabi Muhammad saw. berikut ini,

 

“Engkau benar-benar bertakwa sampai bisa meninggalkan hal-hal yang tidak berdosa demi menghindari dosa.”

 

Inilah tiga pendapat para ulama, ahli hadis, pakar qira’at dan kaum sufi tentang wara’.

 

Pendapat yang pertama disepakati oleh Abu Abdullah Sufyan bin Said min Masruq bin Mundzir ats-Tsauri,“ Ibrahim bin Adham, Wuhaib bin al-Ward,” Muhammad bin Yusuf al-Ashbahani, Yusuf bin Asbath,Abdullah bin Walid al-Madani, Syuaib bin Harb.

 

Pendapat kedua diikuti oleh sekelompok ulama ahli hadis dan orang-orang shalih yang hidup di kawasan perbatasan dekat Basrah, seperti Makhlad bin al-Husain dan Ali bin Bikar. Keduanya meriwayatkan pengertian wara’ ini dari Imam al-Auza’i. Ada yang menyebut bahwa ini adalah fatwa Abdullah bin al-Mubarak saat berada di Mopsuestia, Turki. Pendapat ini juga dianut oleh beberapa kalangan penduduk Basrah dan bersumber dari Abdullah bin Daud. Ini pula yang dianut oleh Muhammad bin Muqatil di Abadan (Iran) dan banyak ulama fikih di banyak kota-kota Islam lainnya.

 

Pendapat ketiga bersumber dari Thawus bin Kaisan al-Yamani, Muhammad bin Sirin, Ayyub as-Sakhtiyani, Abdullah bin Aun, Yunus bin Ubaid, dan Washil bekas budak Abu Uyainah. Ini juga pandangan Amr bin Murrah dan dianut oleh masyarakat yang hidup di kawasan perbatasan. Orang-orang yang tinggal di sana tidak mengambil sesuatu, baik yang halal, haram ataupun syubhat kecuali hanya selembar kain untuk menutupi aurat dan sepotong makanan untuk mengganjal lapar.

 

Dari pemahaman wara’ inilah, jalan mereka menuju akhirat dalam urusan memilih sandang pangan berbeda-beda.

 

Satu kelompok menganut prinsip dispensasi (rukhsah) dan memilih jalan hidup fakir, hanya mengambil sedikit dari apa yang telah Allah halalkan. Mereka melandaskan argumentasi pada nash al-Quran, sunah Rasulullah, dan ijma’ ulama.

 

Ada sebagian kalangan pakar qiraat dan para sufi memilih tidak sampai banting tulang mengucurkan keringat hanya untuk sekadar mendapatkan sesuap makanan. Mereka bersungguh-sungguh dalam menjalankan prinsip ini bersama masyarakat yang tinggal di perbatasan karena takut menjadi bagian kelompok yang membantu orang-orang zalim.

 

Mereka berhujah dengan sejumlah ayat dalam al-Quran. Di antaranya adalah firman Allah swt

 

“Jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (QS. al-Ma’idah [5]: 2)

 

Mereka juga mengambil landasan dari sejumlah hadis Rasulullah saw. Di antaranya,

 

“Siapa yang membantu mereka (penguasa-penguasa zalim) dan membenarkan tindakan mereka, aku lepas tangan darinya dan dia tidak akan bisa mendatangi telagaku.” (HR. Ahmad)

 

Sementara ulama fikih berpandangan bahwa tidak ada dosa dan masalah dengan membantu penguasa-penguasa zalim selama tidak menyangkut kezaliman itu sendiri. Mereka menafsirkan hadis di atas dengan pengertian “Siapa yang membantu penguasa-penguasa zalim dalam tindakan zalim mereka.” Jadi, siapa saja yang membantu mereka dalam urusan selain kezaliman, itu halal secara mutlak.

 

Sebaliknya, ada pula kelompok yang bersikap untuk sama sekali tidak membantu dan menolong mereka. Tindakan ini dilandaskan pada banyak hadis Nabi. Di antaranya adalah sabda Rasulullah saw.

 

“Terlaknatlah khamr beserta penjual dan pembelinya, orang yang mengirim dan orang yang menerimanya, orang yang memeras dan orang yang mengambil hasil perasannya, serta orang yang menikmati hasil penjualannya.” (HR. Ahmad & at-Tirmidzi)

 

Mereka juga berpijak pada perkataan Sa’ad usai membakar tanaman anggurnya, “Akulah orang tua terburuk jika sampai menjual khamr.”

 

Rasulullah saw. juga pernah melarang berinteraksi dan berbicara dengan tiga orang yang tidak ikut perang, serta tidak mengakui baiat mereka. Nabi juga memerintahkan ketiganya agar menjauh dari istri-istri mereka. Pasalnya, kealpaan mereka dalam perang bukan dianggap kemunafikan melainkan sebuah dosa. Hal ini berlanjut sampai Allah swt. menurunkan ayat yang berisi penerimaan tobat mereka.

 

Sekelompok ulama menyatakan bahwa haram membantu para penguasa zalim dan menerima imbalan dari mereka. Pandangan ini dianut oleh sekelompok sufi. Alasannya karena para penguasa seperti itu pasti sesat dan dungu.

 

Kelompok yang lain menyatakan, membeli senjata dan baju besi dari mereka adalah tindakan maksiat. Di luar urusan itu, akan lebih baik bila tidak menolong dan mengikuti mereka. Pemilik pandangan ini adalah para ahli ibadah dan pakar qira’at yang berafiliasi pada mazhab Abu Abdullah Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri, al-Fudhail bin Iyadh, al-Muafi bin Imran, Waki’ bin al-Jarrah, Abu Ishaq al-Fazari, Isa bin Yusuf, Yusuf bin Asbath, Ibnu al-Mubarak, Ibrahim bin Adham, Ibad bin Utbah al-Khawwash, Makhlad bin al-Husain, Ali bin Bikar, Sulaiman al-Khawwash, Qasim bin Yazid al-Jarmi, Zaid bin Abu az-Zarqa’, Ibnu Abi Dzi’b, Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Bisyr bin al-Harits al-Hafi, dan Abdul Wahab alWarraq, serta golongan ahli hadis yang mengikuti jejak mereka.

 

Pandangan mereka ini ternyata didukung oleh banyak kalangan ahli tasawuf di Makkah, Yaman, wilayah pesisir Syam, dan Abadan (Iran). Mereka mengatakan bahwa di wilayah kaum muslimin harus ada yang namanya pemerintah entah itu baik atau buruk. Sebab, negara akan menjadi baik jika ada imam yang diikuti oleh makmum di belakangnya, menjadi rujukan dalam pengambilan hukum, perbaikan jalan, pembangunan jembatan, pemakmuran masjid, dan pendirian menara penjaga di perbatasan.

 

Seorang imam yang bertanggung jawab untuk menunjuk pemegang panji bendera dalam pertempuran, mengurus penyelenggaraan haji, mendistribusikan harta fai, membagi-bagikan harta ghanimah, memungut pajak, menetapkan gaji bagi tentara, membentuk departemen pemerintah, menanggung fakir miskin dan menyantuni orang-orang yang terlilit hutang.

 

Apabila pemimpin berperilaku baik dan bertakwa, kehadirannya menjadi kemaslahatan bagi rakyat luas. Namun, jika dia berperilaku jahat dan menyimpang, tindakan destruktifnya menjadi bencana bagi rakyatnya. Saat negara dipegang oleh pemimpin yang zalim, dianjurkan untuk bersabar, bukan malah membelot, lalu keluar dan memberontak.

 

Menjalankan perniagaan dan kerja produksi di negara seperti itu diperbolehkan, namun engkau harus tetap jaga jarak dengan pemimpin yang zalim tadi, sehingga ketika engkau melihat perlakuan jahatnya pada seseorang, engkau dapat langsung menghindarinya.

 

Umar bin al-Khaththab pernah mengatakan, “Apabila engkau dipukul atau dianiaya, hendaklah bersabar!” Sedangkan Hudzaifah berkata, “Bukan termasuk ajaran sunah bila engkau mengacungkan senjata ke muka penguasa.”

 

Nabi Muhammad saw. bersabda,

 

“Kalian akan melihat banyak fitnah dan pemimpin-pemimpin yang egois.” Lalu para sahabat bertanya kepada beliau, “Apa yang harus kami lakukan, wahai Rasulullah?” Nabi Muhammad saw. menjawab, “Tunaikanlah hak yang menjadi kewajiban kalian dan mintalah kepada Allah hak yang menjadi milik kalian.” (HR. Thabrani)

 

Dari sabda Rasulullah saw. inilah, salah satu prinsip fundamental dalam Islam didirikan.

 

Para ulama memiliki pandangan yang bermacam-macam dalam menjauhi para pemimpin dan penguasa, tapi mereka bersepakat mengenai makanan yang halal.

 

Sebagian dari mereka mengambil sikap uzlah (menjauh dan menghindar) dari para pemimpin dan penguasa beserta para pembantu dan pegawainya.

 

Bahkan ada kelompok ulama yang menjaga jarak dari siapa pun yang mempunyai keterkaitan dengan penguasa. Kelompok ini dianggap ekstrem dan berlebihan dalam beragama.

 

Ada pula sekelompok ulama yang justru berlepas dari pendapat kelompok-kelompok ini.

 

Mereka berdalil dengan riwayat dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda,

 

“Kebinasaan umatku ada di tangan beberapa anak muda dari kabilah Quraisy.” Lalu salah seorang sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada kami seandainya kami menemui mereka?” Nabi menjawab,

 

“Seandainya orang-orang bisa menjauh dari mereka (tentu itu’ sangat lebih baik).” (HR. Bukhari)

 

Hudzaifah pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, seandainya aku berjumpa dengan beberapa kawan yang tidak mempunyai pemimpin dan sekelompok orang (tidak bersatu dengan kaum muslimin lainnya), apa yang mesti aku lakukan?” Nabi menjawab,

 

‘Jauhilah kelompok-kelompok itu hingga kamu mati dalam keadaan demikian (teguh akan pendirianmu).” (HR. Bukhari & Muslim)

 

Rasulullah saw. pernah berpesan kepada para sahabat Anshar,

 

“Sepeninggalku, kalian akan melihat . berbagai macam fitnah dan pemimpin-pemimpin yang egois. Bersabarlah hingga kalian ‘berjumpa denganku di haudh (telaga di surga).” (HR. Bukhari & Muslim)

 

Sahabat Abu Dzar juga pernah bertanya, “Apa yang akan engkau lakukan jika melihat batu berminyak yang tenggelam dalam darah?” Rasulullah saw. menjawab,

 

“Bersabarlah sampai engkau menyusul (dan bertemu) dengan orang-orang yang bersamamu (sejalan dan sependapat denganmu).” (HR. Ibnu Majah)

 

Khabar dan atsar yang berkaitan dengan topik ini banyak sekali. Orang-orang cerdas mengonsumsi makanan secukupnya dan menolak bila sudah melebihi yang mereka butuhkan.

 

Imam al-Auza’i berkata, “Banyak hal (makanan) telah menjadi syubhat. Aku hanya mengambil makanan pokok saja.” Abu Wail dan Masruq menyatakan, “Orang-orang Kufah akan menyediakan untuk tamu mereka roti halal di meja makan mereka.”

 

Dalam sebuah riwayat disebutkan, Allah swt. tidak akan mengabulkan doa sebab makanan atau bahkan sepotong roti yang didapatkan dengan cara yang haram.

 

Ijma’ ulama menetapkan bahwa siapa yang menyantap makanan yang baik, akan terpuji laku perbuatannya dan diterima panjatan doanya.

 

Para pakar gira’at, sufi, dan ahli ibadah mempunyai berbagai cara dalam mendapatkan makanan yang halal.

 

Satu kelompok mendapatkan makanan mubah dari gunung, lembah dan daerah berpasir seperti daun tamariska, biji-bijian, dan beberapa jenis tumbuhan yang dapat bernilai uang ketika disimpan dalam waktu tertentu. Mereka biasa menyimpannya pada musim dingin untuk kebutuhan musim panas.

 

Ada yang mengumpulkan makanan dari apa yang ditiupkan oleh angin dan apa saja yang tumbuh di atas tanah. Bahkan mereka akan mengambil rerumputan jika mereka sudah sangat lapar.

 

Ada juga yang memungut sisa-sisa makanan yang sudah dibuang. Mereka berdalil dengan riwayat Qatadah yang menyatakan bahwa Rasulullah saw. hampir memungut sebutir kurma yang tergeletak di jalan. Seandainya beliau tidak khawatir itu adalah kurma sedekah, niscaya Nabi akan mengambilnya. Kemudian Abu Umamah juga pernah memungut potongan roti dari masjid di kota Homs lalu memakannya. Bahkan Uwais al-Qarni pernah memungut makanan dari tempat sampah.

 

Ada lagi kelompok yang memilih meminta-minta untuk sekadar mendapatkan makanan yang dibutuhkan. Sebagaimana Nabi Khidir as. pernah meminta makanan kepada Nabi Musa as. ketika sedang membutuhkan. Mereka juga berdalil dengan sabda Rasulullah saw.,

 

“Berapa banyak orang yang berbaju kusut dan rambut berdebu, hanya mempunyai dua potong kain usang, mengetuk pintu-pintu rumah orang. Seandainya dia bersumpah atas nama Allah, niscaya Allah swt. akan mengabulkan sumpahnya.” (HR. Muslim)

 

Hal ini bisa mereka lakukan karena konsep hidup halal sudah mendarah daging dalam diri mereka serta mereka takut mengonsumsi sesuatu yang haram.

 

Mereka yang tinggal di kawasan perbatasan dan pinggiran Syam memilih untuk memunguti gandum-gandum yang tercecer di ladang usai dipanen oleh para buruh. Mereka menyambung hidup hanya dengan itu. Para ulama yang yakin akan kehalalan gandum-gandum tadi, tidak seharusnya berkomentar terhadap apa yang sedang terjadi di zaman kita hidup sekarang.

 

Namun, sebagian dari mereka ada yang tidak mau memunguti gandum-gandum itu jika ladangnya dibeli dengan harta orang-orang zalim, atau dari ladang yang dibagikan penguasa kepada orang-orang terdekatnya, atau ladang yang pemiliknya diusir paksa karena tidak membayar pajak.

 

Ada juga kelompok yang berpegang teguh pada konsep wara’, lalu memilih bekerja keras banting tulang atau ikut berperang di jalan Allah ketimbang memungut temuan dan mengambil sisa panen.

 

Mereka berpendapat, memungut sisa makanan tidak dilakukan pada masa imam-imam terdahulu. Mereka percaya bahwa mengangkat pedang di bawah panji bendera seorang pemimpin—entah baik atau jahat—berlaku pada setiap masa dan zaman. Hanya orang bodoh yang enggan mengikuti perang.

 

Kelompok yang lain memilih ribath, kecuali jika ada kebutuhan mendesak bagi umat Islam dan mengharuskan untuk menunjukkan kekuatan kepada musuh dan menjadikan mereka sebagai negara Islam. Dalam keadaan demikian, mereka mewajibkan mengangkat pedang, sampai ketika kaum muslimin sudah merasa tidak perlu mengangkat senjata, barulah boleh kembali kepada konsep ribath yang mereka yakini.

 

Mereka berargumen bahwa di akhir zaman, pilihan ini lebih baik dan lebih utama. Mereka meriwayatkan banyak hadis dan menciptakan analogi-analogi dari sana. Kelompok ini benar-benar telah melenceng jauh dari kebenaran.

 

Mayoritas ulama meyakini bahwa perang, haji, jual beli, bertransaksi, dan berwirausaha sudah berlaku sejak awal Islam sampai dengan akhir generasi manusia yang kelak memerangi Dajjal. Seseorang yang bertakwa dan memegang agamanya tidak akan terganggu oleh kejahatan orang zalim dan kekejian orang zalim. Jika dia fakih (ahli fikih) dalam menjalankan perniagaan dan profesinya, tentu akan menahan diri dari makanan syubhat.

 

Penghasilan tidak akan ternodai oleh kezaliman penguasa, tapi akan rusak ketika ilmu dan fikih tidak dijadikan kompas pedoman dalam mendapatkannya.

 

Pada masa-masa awal, generasi umat Islam telah dicoba dengan fitnah, perselisihan dan perpecahan. Namun, dalam keadaan seperti itu, orang-orang tetap berniaga dan berdagang. Khalifah Utsman bin Affan ra. dibunuh secara zalim dan batil, tapi orang-orang masih saja melakukan perniagaan di Madinah dan kota-kota lainnya. Saat meletus perang Jamal dan perang Shiffin di Basrah, Kufah, dan di seluruh wilayah Irak serta daerah-daerah sekitarnya, orang-orang tetap berjualan dan berdagang.

 

Pasca konflik al-Amin dan al-Makmun, putra Harun ar-Rasyid, yang berlangsung di Syam selama 18 tahun dan di Irak selama 4 tahun, para ulama fikih dan ahli hadis di setiap negeri tetap melakukan aktivitasnya dan orang-orang tetap berjualan seperti biasanya.

 

Aku hanya mengetahui dua orang yang mengingkarinya, yaitu dua orang sufi yang bernama Abdullah bin Yazid dan Ubdak. Mereka mengharamkan bekerja dalam kondisi konflik yang berkecamuk seperti kejadian di atas. Namun, para ulama menolak apa yang mereka katakan.

 

Para ulama juga berbeda-beda pendapat dalam menyikapi warisan seorang anak laki-laki yang ia dapat dari ayah yang zalim dan sangat zalim dalam pemerintahannya, atau dari ayah yang mencampur hartanya dengan harta haram.

 

Sebagian ulama fikih menyatakan bahwa warisannya berstatus halal dan dosa ditanggung orang yang memperoleh harta dengan cara tidak benar. Status harta ini halal dan baik bagi para ahli waris.

 

Kelompok ulama fikih yang lain menyatakan dia harus berhati-hati dalam harta ini. Jika dia mengetahui jumlah harta sebelum ayahnya campur dengan harta yang diperoleh secara zalim, dia harus mengeluarkan harta zalim itu terlebih dahulu.

 

Pakar qira‘at dan kaum sufi cenderung mengikuti pandangan Sufyan ats-Tsauri dan menjadikannya pegangan, yaitu meninggalkan harta warisan itu sebagai bentuk kehati-hatian menjaga agamanya. .

 

Tidak hanya satu orang telah menceritakan, ketika seseorang memiliki ayah yang zalim dan dia mengenali orang-orang yang pernah dizalimi ayahnya, dia dibantu ulama fikih untuk melunasi hak-hak mereka. Demikian yang dikatakan oleh Imam al-Auza’i dan Malik bin Anas. Inilah fatwa Abu Ishaq al-Fazari dan Abdullah bin Idris.

 

Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan syubhat.

 

Sebagian dari mereka berpendapat, hukum Islam hanya ada halal dan haram. Posisi yang ketiga hanyalah apa yang telah Rasulullah saw. peringatkan dalam sabda beliau,

 

“Janganlah mendekati atau menghampiri perkara haram.” (HR. ad-Daruquthni)

 

Inilah yang kemudian dinamakan syubhat. Analoginya seperti orang yang: menggembalakan binatang ternak di dekat pagarnya tanah orang lain, takutnya dia masuk ke dalamnya. Mereka menjelaskan, “Apa yang ada di luar pagar adalah halal, sedangkan yang di dalamnya adalah haram.”

 

Sebagian ulama yang lain berpendapat, syubhat itu sudah tidak berlaku karena sudah tidak ada kewajiban untuk mengetahuinya, sebab Rasulullah saw. bersabda,

 

“Banyak orang tidak mengetahui syubhat.” (HR. Bukhari & Muslim)

 

Para ulama yang mengikuti pendapat ini tetap menghindari syubhat karena khawatir mereka termasuk dari sedikit orang yang mengetahuinya.

 

Sementara ulama lain menyatakan, menjauhi syubhat adalah wajib agar keluarga, makanan, minuman, pakaian, dan pekerjaan seseorang menjadi baik. Menjauhi syubhat bernilai ibadah karena hanya mengonsumsi hal yang halal dan terus menjaganya. Para ulama ini menjelaskan, syubhat adalah sesuatu yang belum diketahui status halal-haramnya dan menjauhinya adalah wajib.

 

Ada kelompok ulama yang berpendapat, mengetahui syubhat bukan kewajiban dan boleh memakan hal syubhat. Sebab, di dalam syubhat masih terdapat unsur kehalalan sehingga masih dihalalkan memakannya.

 

Kelompok lain menyatakan, menjaga diri dan berhati-hati dari syubhat itu lebih utama. Apabila seseorang menemukan alternatif lain, dia tidak dihalalkan memakan hal syubhat karena dia mendapati makanan yang berstatus halal mutlak dan mubah.

 

Namun ada yang menyatakan, syubhat tidak berlaku dalam urusan harta karena harta hanya dihukumi halal atau haram saja. Ketika 1 dinar haram bercampur dengan 10 dinar halal, atau 100 dinar halal bercampur dalam 1000 dinar halal begitu juga dengan perak—maka yang harus dia lakukan hanyalah menyisihkan sejumlah dinar atau dirham yang haram karena tidak mungkin baginya memastikan mana dinar yang berstatus haram dan mana yang bukan. Dirham (haram) menggantikan dirham (halal) diperbolehkan menurut kesepakatan para ulama fikih. Begitu juga dengan dinar.

 

Ada pula yang berpendapat, jika seseorang mencampur dinar dari hasil ghasab atau zalim dengan dinar yang halal, lalu dia mengelolanya sehingga menuai keuntungan, dia berhak atas separuh hasil keuntungannya, sedangkan dinar hasil ghasab atau zalim beserta setengah keuntungannya yang lain harus dikembalikan kepada orang yang telah dia ghasab atau orang yang terzalimi.

 

Jika ada dinar bercampur dengan 100 dinar halal, pemiliknya harus menghitungnya kemudian menyerahkan selain 100 dinar tadi kepada orang yang dizaliminya atau ahli warisnya, atau menyedekahkan kepada orang-orang miskin jika tidak mendapati keduanya.

 

Namun dalam permasalahan keuntungan dari hal syubhat ini, mayoritas ulama fikih berfatwa bahwa dia hanya berkewajiban atas ganti rugi dan itu hanya sejumlah dinar yang ia ghasab atau ia ambil dengan cara menzalimi orang lain.

 

Kelompok ulama lain mendefinisikan syubhat dengan sesuatu yang sebagian besarnya halal lalu dimasuki sesuatu yang tampak jelas keharamannya. Para ulama ini memperbolehkan memakan hal yang syubhat dengan alasan kehalalan hal syubhat lebih dominan.

 

Sedangkan yang lain mengatakan, syubhat adalah apa yang diperintahkan Nabi Muhammad saw. kepada ‘Adi bin Hatim. Saat itu, ‘Adi melapor, “Aku melepas anjingku untuk berburu lalu aku mendapatinya sudah berkerumun dengan anjing-anjing liar.” Kemudian Nabi melarang Adi memakan hasil buruannya karena barang kali anjing liar yang membunuhnya. (HR. Ibnu Majah)

 

Kasusnya juga sama ketika seseorang memanah hewan buruan bersama orang lain dan tidak diketahui anak panah siapa yang berhasil mengenainya dan membunuhnya sesuai dengan cara penyembelihan yang sah. Hal yang sama juga berlaku ketika hewan buruannya (setelah dipanah) itu jatuh dari atas gunung atau jatuh ke dalam sumur dan dia tidak tahu anak panah siapa yang mengenainya.

 

Begitu pula ketika seseorang menceraikan salah satu dari dua istrinya lalu tidak mengetahui mana dari keduanya yang dia talak, atau ketika seseorang memerdekakan salah satu dari dua budaknya lalu tidak mengetahui mana dari keduanya yang dibebaskan. Dalam kasus seperti yang disebutkan ini, seseorang haram bersenggama dengan mereka dan harus bersikap wara’.

 

Pendapat yang terakhir mengatakan bahwa konsep syubhat dalam harta dan pernikahan bukanlah seperti itu karena Rasulullah saw. telah menjelaskan syubhat kepada para sahabat dan mereka semua berhasil memahaminya.

 

Hadis tentang syubhat ini diriwayatkan dari asy-Sya’bi, dari an-Nu’man bin Basyir. Para perawi seperti Zakariya bin Abu Zaidah, Ismail bin Abu Khalid, Mughirah, Abu as-Safar, Mujahid, Mutharrif dan yang lainnya meriwayatkan hadis ini dari asy-Sya’bi. Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar dan Jabir semakna dengan hadis riwayat Nu’man tersebut.

 

Saat masyarakat menanyakan syubhat kepada Abdullah bin Mas’ud, dia menjawab, “Halal sudah jelas, begitu pula haram. Nah, syubhat ada di antara keduanya.”

 

Ibnu Umar mengatakan, “Beralihlah dari apa yang hatimu ragukan pada apa yang hatimu yakini.” Sedangkan Ibnu Mas’ud berkata, “Dosa adalah apa saja yang mengganjal hatimu.”

 

Saat Rasulullah saw. melihat sebutir kurma yang terbuang, beliau bersabda,

 

“Seandainya aku tidak ragu kalau kurma itu adalah kurma sedekah, niscaya aku akan memakannya.” (HR. Bukhari & Muslim)

 

Rasulullah saw. juga melarang ‘Adi bin Hatim memakan hewan buruan jika anjing-anjing terlatihnya berkerumun dengan anjing-anjing liar.

 

Saat Utbah bin Abi Waqqash dan Abdullah bin Zam’ah berselisih atas seorang anak laki-laki, tepatnya saat Abdullah berkata, “Dia adalah saudaraku, karena lahir dari ranjang ayahku,” Nabi bersabda,

 

“Dia adalah saudaramu, wahai Abdullah. Anak adalah kepunyaan pemilik ranjang. Penzina wajib dirajam. Saat di depannya, berhijablah wahai Saudah.” (HR. Bukhari & Muslim)

 

Nabi berfatwa demikian karena beliau melihat kemiripan antara Abdullah dan anak laki-laki itu.

 

Rasulullah saw. melarang memakan hasil kerja budak wanita sampai diketahui pasti dari mana budak itu memperolehnya. (HR. Bukhari)

 

Ketika Mahishah menanyakan perihal penghasilan budak laki-lakinya yang berprofesi sebagai tukang bekam, Rasulullah memerintahkannya agar mengambil hasil itu untuk makan budak dan hewan ternaknya. (HR. Ahmad)

 

Ada beberapa pendapat mengenai status bekam. Pendapat pertama mengatakan penghasilan dari bekam adalah sesuatu yang buruk karena diriwayatkan dalam hadis bahwa bekam itu haram.” Nabi pun melarang Mahishah memakan uang penghasilan dari bekam.

 

Pendapat yang kedua menyatakan bahwa bekam itu halal. Mereka berpegang dengan hadis dari Ibnu Abbas dan Anas bin Malik bahwa Rasulullah saw. mau untuk dibekam. Seandainya bekam itu haram, niscaya beliau tidak bersedia. (AR. Bukhari & Muslim)

 

Yang terakhir malah menafsirkan hadis Mahishah ini dan menyimpulkan bahwa sebagian pekerjaan ada yang lebih mulia daripada sebagian yang lain.

 

Seorang yang minta bimbingan, tentu akan menerima nasihat dan arahan dari orang lain. Karena inilah, Nabi Muhammad saw. melarang Mahishah menggunakan hasil bekam tersebut, “Janganlah kamu memakannya, tapi berikan kepada budakmu.” Nabi tidak mungkin memperbolehkan memberi makan budak dengan penghasilan haram.

 

Banyak dari kalangan ulama bersilang pendapat dalam menafsirkan firman Allah,

“Jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan..” (al-Ma’idah [5]: 2)

 

Kelompok pertama menggambarkannya dengan memberi minum dan menunjukkan jalan kepada seorang pendosa. Sufyan ats-Tsauri pernah berkata, “Jika orang yang bermaksiat memintamu menunjukkan jalan menuju masjid, jangan engkau tunjukkan karena boleh jadi dia akan membunuh atau menzalimi seseorang di sana.”

 

Kelompok kedua mengartikannya dengan membantunya langsung dalam perbuatan haram.

 

Kelompok ketiga menggambarkannya seperti menjual pisau kepada penguasa, menjual kayu yang akan digunakan untuk menyalib orang muslim, menjual cambuk kepada algojo dan menjual salib kepada kaum Nasrani. Semua ini adalah haram.

 

Sedangkan yang terakhir berpandangan bahwa jual beli seperti itu masih berstatus halal. Dosanya hanya akan dipikul oleh pelaku yang benar-benar melakukannya. Namun, pendapat ini bertentangan dengan penafsiran al-Quran karena Rasulullah saw. melaknat sepuluh pihak dalam urusan khamr; orang yang memeras anggur, yang mengambil perasan itu, penjual, pembeli, pengangkut, penerima, peminum, penikmat hasil penjualan, bahkan orang yang ikut hadir dalam pesta khamr.

 

Sa’ad sampai membakar tanaman anggurnya lalu berkata, “Akulah orang tua terburuk jika sampai menjual khamr.”

 

Bahkan Ibrahim bin Adham sangat tidak suka membantu para wanita pemintal benang yang digunakan untuk menghitung tasbih. Hal itu karena larangan melihat wanita kecuali isyarat serak jari-jarinya saja.

 

Abu Qatadah tidak akan meminjamkan cambuk atau pecutnya kepada temannya yang berburu karena takut mereka akan berburu saat menjalankan ihram, padahal Allah swt. melarang pemburuan hewan saat ihram.

 

Atsar yang menjelaskan tentang memberikan bantuan dalam urusan berbuat dosa sangatlah banyak. Mereka yang enggan dan menolak adalah orang-orang yang mulia. Adh-Dhahak berkata, “Ciri-ciri orang yang mulia adalah selalu belajar terhadap satu sama lain mengenai wara’.”’

 

Al-Hasan pernah berkata, “Wara’ adalah sebaik-baik ibadah.” Dia juga berkata, “Hanya wara’ yang membuat seseorang beragama.”

 

Al-Hasan juga meriwayatkan sebuah hadis qudsi, Allah swt. berfirman,

 

“Aku malu menyiksa orang-orang wara’.” Tahapan awal dari wara’ adalah introspeksi yang selalu tertanam dalam hati, tidak pura-pura bodoh atas sebuah hukum, menghindari syubhat, menjaga ketakwaan, dan berhati-hati dalam memilih pendapat atas masalah yang masih diperselisihkan para ulama.

 

Sekelompok ulama keliru dalam menafsirkan pernyataan Abdullah bin Mas’ud ra. terkait memakan hasil transaksi pelaku riba. Ibnu Mas’ud berkata,

 

“Engkau berhak menyantap apa yang dihidangkan, sedangkan dosanya ditanggung oleh yang menghidangkan.”

 

Pernyataan ini diriwayatkan oleh asy-Syaibani dari at-Tamimi, dari al-Harits bin Suwaid dan sejumlah ulama hadis seperti Abdurrahman bin Mahdi—yang justru melemahkan riwayat ini—dan Ahmad bin Hanbal.

 

Sebagian ulama menafsirkan bahwa kesaksian penanya tidak diperlukan dalam permasalahan ini atau Ibnu Mas’ud sudah mengetahui maksud orang yang bertanya sehingga dia seakan mengatakan, “Makanlah yang halal saja!”

 

Dengan alasan, seandainya pelaku riba bertobat, dia akan menyimpan harta miliknya yang halal dan membuang harta ribanya. Allah swt. berfirman tentang riba,

 

“Jika kamu bertobat, kamu berhak atas pokok hartamu.” (QS. al-Baqarah [2]: 279)

 

Para ulama yang lain berpandangan apa pun yang tidak diharamkan al-Quran atau hadis maka halal dan diperbolehkan sampai ada ayat yang melarang, hadis sahih yang wajib diamalkan atau ijma’ ulama. Itulah alasan mengapa mereka cenderung memutlakkan firman Allah,

 

“Katakanlah! Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, darah yang mengalir atau daging babi karena semua ini termasuk hal yang kotor, atau hewan yang disembelih bukan atas nama Allah” (QS. al-An’am [6]: 145)

 

Akan tetapi, Ibnu Abbas dan ulama yang mengikuti pemikirannya cenderung memilih makna lahiriah dari ayat tersebut. Rasulullah bersabda,

 

“Halal adalah, apa saja yang diperbolehkan oleh Allah’ swt. sedangkan haram adalah apa saja yang dilarang oleh-Nya. Hal-hal yang Allah diamkan berarti dimaafkan (dimaklumi).” (HR. at-Tirmidzi)

 

Inilah pendapat yang diikuti Salman dan -al-Hasan. Salman al-Farisi pernah bertanya kepada Rasulullah saw. mengenai hukum keju dan minyak samin. Lalu Rasulullah saw. menjawab dengan hadis di atas.

 

Al-Barra’ bin Azib juga pernah bertanya kepada Rasulullah saw. tentang hukum hewan kurban. Lalu Nabi bersabda, “Aku tidak suka bila ada kekurangan (cacat) pada gigi atau tanduknya.” Kemudian beliau berpesan kepadanya,

 

“Apa yang kamu tidak sukai, tinggalkanlah. Namun, jangan kamu haramkan pada

orang lain.” (HR. Abu Daud & Ibnu Majah)

 

Rasulullah ingin al-Barra’ bersikap hati-hati dengan meninggalkan hal-hal yang masih diperselisihkan meskipun hal itu belum berstatus haram. Sebab, orang yang sampai berani mengatakan, “Ini halal dan itu haram,” tergolong orang yang bermaksiat jika perkataannya tidak didasarkan pada ayat al-Quran, hadis Rasulullah, ijma’ ulama atau dalil lainnya.

 

Memakan hal yang haram sudah jelas perbuatan maksiat. Sedangkan mempercayai pernyataan, “Ini halal dan itu haram,” tanpa ada dasar dalil nash atau ijma’ ulama adalah fitnah terhadap Allah dan pelecehan atas nama agama. Allah swt. mencela dan mengecam orang-orang yang berani seperti itu. Dia berfirman,

 

“Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan sebagiannya halal.’ Katakanlah, ‘Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) ataukah kamu mengada-ada atas nama Allah?’” (QS. Yunus [10]: 59)

 

Hati orang-orang yang beriman terhadap al Quran dan takut kepada Allah akan digerakkan untuk berani memutuskan halal-haram saat tahu landasan ilmu agama.

 

Utbah bin Farqad pernah ditanya tentang hukum sesuatu. Dia tidak berani sampai menjawab halal atau haram, melainkan hanya mengatakan,

 

“Hal itu disukai (dianjurkan) oleh para ulama, sedangkan hal ini tidak disukai oleh mereka,”

 

Ibrahim bin Adham pernah berkata, “Para ulama hanya berani membenci atau tidak menyukai beberapa hal. Mereka tidak berani sampai memutuskan keharamannya.”

 

Jabir bin Zaid”! pernah ditanya, “Apa pendapatmu tentang daging keledai ternak? Apakah Rasulullah saw. melarang memakannya?” Lalu dia menjawab, “Hakam bin Amr al-Ghifari pernah mengharamkannya saat bersama kita di Basrah, tapi sang lautan ilmu, Ibnu Abbas tidak membenarkan pernyataan itu dan mengutip ayat,

 

“Katakanlah, ‘Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali (daging) hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi karena ia najis, atau yang disembelih secara fasik, (yaitu) dengan menyebut (nama) selain Allah.’” (QS. al-An’am [6]: 145)

 

Asy-Sya’bi dan Mujahid mengikuti mazhab Ibnu Abbas.

 

Rasulullah pernah bertemu seseorang yang membawa keju buatan di Persia, lalu beliau bersabda,

 

“Potong dengan pisau, lalu sebutlah nama Allah (ucapkan basmalah) kemudian makanlah!” (HR. Thabrani)

 

Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Salman, al-Hasan dan Ibrahim menghalalkan keju. Mereka berkata, “Makanlah!” Al-Hasan sempat menambahkan, “Jangan ragu!”

 

Ada beberapa pendapat dalam menerima pemberian penguasa atau pemimpin.

 

Ada yang mengatakan makruh, mubah, halal, syubhat, dan bahkan ada yang sampai mengharamkannya. Akan tetapi, ulama-ulama yang berpendapat seperti ini menyelisihi sunah Nabi, bahkan mayoritas ulama menolak pendapat mereka dan menduga mereka belum memahami hukum mengenai hal ini.

 

Mereka menghukumi makruh pemberian dari pemimpin yang mencampur harta fai’ dan ghanimah,” memungut pajak secara sewenang-wenang, melanggar batas syariat, menerima suap, menyelewengkan kewenangan, dan mengambil serta membelanjakan harta negara secara tidak benar.

 

Mereka yang memutuskan mubah mena’wil perkataan Ali bin Abi Thalib bahwa mayoritas harta yang masuk dalam Baitul Mal adalah harta halal. Karena inilah, Ibnu Umar menerima pemberian dari al-Hajjaj, Abdul Malik bin Marwan, Salamah bin al-Akwa’, Anas bin Malik. Banyak juga dari kalangan tabi’in yang menerima hadiah dari penguasa, seperti al-Hasan, asy-Sya’bi, Ibrahim, Atha’ dan beberapa tabi’in sesudah mereka.

 

Mereka yang mengatakan syubhat beralasan bahwa status halal-haramnya harta penguasa masih diperselisihkan oleh para ulama. Sebab para penguasa—selain yang adil—telah mencampur harta mereka dengan kezaliman, penyelewengan dan pelanggaran, bahkan di masa kita sekarang ini. Mereka juga menumpahkan darah secara zalim serta menghalalkan fai’ dan ghanimah dengan sembarangan.

 

Di antara tokoh yang tidak mau menerima pemberian dari pemimpin seperti itu adalah Said bin al-Musayyab, Thawus, Muhammad bin Sirin, Ayyub, Ibnu ‘Aun dan Yunus bin Ubaid. Bahkan Masruq tidak mau menerima pemberian dari penguasa bagaimana pun sifatnya dan tidak meminta gaji atas fatwa yang ia keluarkan.

 

Sufyan ats-Tsauri dari pengikutnya tidak berpendapat demikian, Namun, banyak ulama yang tidak setuju dengan Sufyan ats-Tsauri.

 

Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat, orang yang diangkat menjadi pemimpin seyogianya memisah-misah harta kekayaannya sebagaimana yang telah dilakukan mayoritas pemimpin zaman dahulu.

 

Ibnu Umar menceritakan, Aisyah menerima 12 ribu dirham, tapi pakaiannya masih penuh tambalan dan uang sebanyak itu tak pernah sekali pun tersimpan di rumahnya. Aisyah bahkan memastikan bahwa harta itu halal dan baik, akan tetapi dia sengaja membagikannya karena wawas diri.

 

Sekelompok ulama seperti Hakim bin Hizam dan Abu Dzar bahkan tidak mau menerima pemberian dari pemimpin-pemimpin yang adil meski keadilan dan kebaikan hati mereka disepakati oleh seluruh umat, walaupun mereka memungut pajak sesuai dengan aturan yang adil. Sikap mereka ini dilandaskan pada sabda Rasulullah saw.,

 

“Sebuah kebaikan bagi kalian untuk tidak menerima sedikit pun pemberian orang lain.”

 

Jika terhadap pemimpin yang adil dan jujur mereka bersikap keras, apalagi terhadap pemimpin-pemimpin yang telah mencampur pungutan pajak dengan harta batil.

 

Siapa yang berjuang untuk menjaga jarak dari harta penguasa, baik berupa pemberian maupun hadiah, bahkan bertekad tidak meminta materi kepada mereka, sungguh dia telah mengantarkan dirinya kepada derajat yang mulia, derajat orang-orang paling istimewa di antara umat Islam. Dia menduduki tingkatan spiritual orang-orang pilihan.

 

Aku telah menjumpai banyak ulama seperti itu, mereka tidak memiliki keilmuan yang luas, wawasan keagamaan mereka belum mendalam, dan tidak pula meriwayatkan banyak hadis. Akan tetapi kegigihan mereka dalam menghindari hadiah dan pemberian para penguasa membuat mereka disanjung oleh umat, mulai dari orang awam hingga ulama sufi.

 

Kegigihan itu membuat mereka tegas pada diri mereka agar tidak jatuh dalam perkara syubhat.

 

Hati mereka bak kapal yang dinahkodai oleh ketakwaan kepada Allah dan ketakutan untuk meminta pada manusia lain sedang mereka sudah mengutarakan segala kebutuhannya kepada Allah.

 

Mereka selalu waspada akan kematian karena yang pertama kali dimakan oleh tanah usai membujur di liang kubur adalah daging. Mereka tidak ingin daging dalam jasad mereka berasal dari makanan yang haram dan menjijikkan, sebab Allah swt. hanya menerima hal yang baik-baik saja. Rasulullah saw. bersabda,

 

“Kamu melihat rambutnya kusut masai dan berdebu. Makanannya dari barang haram, begitu pula minuman dan pakaiannya. Lalu bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan?!” (HR. Muslim)

 

Rasulullah saw. juga pernah berpesan kepada Sa’ad,

 

“Pastikan apa yang kamu makan adalah yang baik, niscaya doamu akan dikabulkan.” (HR. Thabrani)

 

Sa’ad pernah ditanya, “Bagaimana bisa doamu dikabulkan?” “Aku hanya memasukkan makanan ke dalam perutku setelah aku pastikan halal dan baiknya.” jawabnya.

 

Ibnu Abbas ra. pernah berkata, “Seandainya seseorang shalat sementara dalam pakaiannya ada benang haram atau di kantongnya ada uang dirham haram, shalatnya tidak akan diterima.”

 

Ibnu Umar ra. juga sependapat dengan Ibnu Abbas. Dia berkata, “Siapa yang membeli pakaian seharga 10 dirham, tapi satu dirhamnya haram, shalatnya dengan pakaian itu tidak akan diterima.”

 

Hanya Allah swt. yang mengetahui apa yang dimaksudkan oleh Ibnu Umar dan Ibnu Abbas dari pernyataan di atas. Hanya saja riwayat Ibnu Umar terbilang lemah. Ada yang menafsirkan, “Selama unsur haram masih terkandung dalam pakaian itu, hendaklah pembeli tersebut merasa takut akan siksa-Nya sampai memastikan kehalalan pakaiannya.”

 

Akan tetapi ijma’ menolak konsep Ibnu Umar dan Ibnu Abbas. Seluruh ulama bersepakat bahwa shalat dalam kondisi seperti itu tidak perlu diulang.

 

Sebagian pakar qira’at dan ahli ibadah benar-benar keliru saat memfatwakan bahwa shalat tidak sah karena mengenakan pakaian yang di dalamnya ada barang haram. Pernyataan seperti ini diutarakan oleh banyak golongan Khawarij, bahkan menurut mereka, apabila mahar adalah barang haram, hukum pernikahan menjadi batal dan persetubuhan dihitung dosa.

 

Pendapat ini sudah keluar dari ijma’ para ulama. Siapa yang masih mengatakan demikian, dia berdosa karena pernikahan hanya akan terselenggara dengan adanya akad ijab qabul. Jika memang maharnya berasal dari barang haram, dosa hanya ditanggung oleh mempelai pria sementara persetubuhan dengan istrinya tergolong halal.

 

Rasulullah saw. telah bersabda,

 

“Kalian telah mempersunting mereka dengan amanat Allah dan telah meminta kehalalan atas farji mereka dengan kalimat Allah.” (HR. Muslim)

 

Kewajiban bagi mempelai pria selanjutnya adalah bertobat dan mengganti harta yang haram dengan harta halal, dirham dengan dirham dan dinar dengan dinar.

 

Jika budak perempuan dibeli dengan harta haram, harta curian misalnya, mayoritas ulama mengatakan bahwa haram menyetubuhinya karena kehalalan hanya muncul dengan kepemilikan, sedangkan kepemilikan tidak dapat diperoleh dengan cara haram. Jadi, bagaimana seseorang memilikinya padahal harta yang ia gunakan bukan miliknya?! Kasus ini panjang bila dijelaskan.

 

Para ulama yang mengharamkan menerima hadiah dan pemberian dari penguasa telah keliru memahami. Sebab, boleh jadi harta dari pemimpin itu tidak sepenuhnya haram. Bagaimana bisa berani memukul rata haram jika ternyata masih ada harta yang halal?! Analoginya seperti ini, seandainya pemimpin itu membeli pisau lalu digunakan untuk menyembelih, menurut ulama ini, sembelihan mereka tidak halal dengan alasan pisaunya haram, kecuali jika pisau tadi telah dihalalkan dengan menebus ganti rugi perbuatan haramnya.

 

Analogi yang lain seperti berikut: Seandainya pemimpin itu membeli al-Quran dari harta haram lalu dia hafalkan, dia harus melupakan hafalannya dan shalatnya tidak sah karena membaca hafalan dari al-Quran yang dibeli dengan uang haram. Adzan dan mengajari al-Quran dari al-Quran seperti ini juga tidak diterima.

 

Kelompok sufi ini tidak benar-benar memahami ilmu fikih dan hadis meskipun mereka memiliki keunggulan dalam aspek-aspek yang lain.

 

Orang yang paham betul-betul akan memperhitungkan makanannya, apakah telah bercampur dengan barang haram atau tidak. Dia takut perhitungan hisab di akhirat kelak akan menyulitkannya. Dia benar-benar menghindari makanan haram agar dapat mengetahui dan memahami ilmu dengan benar. Para ulama mengatakan, “Memeriksa makanan sebelum menyantapnya adalah prinsip yang tak bisa ditawar.” Mereka menganalogikan pada kambing sembelihan yang bercampur dengan bangkai kambing, sementara mereka tidak tahu pasti mana yang mati disembelih dan tidak. Dalam keadaan seperti ini, mereka tidak akan mau memakannya hingga jelas mana yang memang mati disembelih.

 

Sama pula seperti dua saudara perempuan sepersusuan, seandainya seorang suami menceraikan salah satu istrinya tapi dia tidak mengetahui pasti istri mana yang dia talak, orang yang betul-betul paham tidak akan menggauli keduanya. Beginilah sikap yang seharusnya kita lakukan dengan setiap barang yang tidak diketahui dengan pasti mana yang halal dan mana yang haram.

 

Rasulullah saw. pernah ditanya tentang hukum biawak lalu beliau menjawab,

 

“Aku tidak memakan biawak, tapi tidak mengharamkannya. (HR. an-Nasa‘i)

 

Di kesempatan lain Nabi bersabda,

 

“Sekelompok Bani Israil ada yang diubah menjadi hewan melata. Takutnya inilah mereka, jadi buanglah.” (HR. Ahmad)

 

Sufyan ats-Tsauri dan Ahmad bin Hanbal mengomentari terhadap ulama yang mengharamkan menerima pemberian penguasa dengan menggunakan hadis Abu Bakar. Mereka berdua berkata, “Mengamalkan hadis Abu Bakar adalah wajib, begitu pun menakwil percakapan antara Abu Bakar dan seorang pemuda.”

 

Kala itu, seorang pemuda bercerita kepada Abu Bakar, “Aku pernah melakukan ruqyah pada zaman jahiliyah lalu hari ini aku diberi upah oleh mereka.” “Ruqyah dan upahnya adalah batil,” sahut Abu Bakar.

 

Takwil dari kejadian ini adalah memakan penghasilan yang batil adalah haram, pasalnya ruqyah yang merupakan sumber penghasilan dia, hukumnya batil. Batil pula memakan barang yang telah diyakini keharamannya. Jadi, kita harus benar-benar mengupayakan agar jangan sampai ada sesuap barang haram masuk ke dalam tenggorokan kita.

 

Seluruh amal kebaikan seperti shalat, puasa, perang, haji dan ketaatan-ketaatan lainnya tidak dapat menambal kewajiban memastikan kehalalan makanan. Pasalnya, tulusnya sebuah amal ibadah tergantung pada makanan yang baik. Siapa yang menjaga baik-baik makanannya, niscaya amal perbuatannya dipenuhi dengan ketulusan.

 

Amal yang sedikit namun disertai dengan kegigihan menjaga kehalalan makanan jauh lebih baik daripada amal yang banyak tetapi makanan yang dikonsumsi bercampur dengan yang haram. Akhir yang baik hanyalah ketika selamat dari murka-Nya.

 

Ketika apa yang engkau makan pasti halal sehingga engkau selamat dari hukuman-Nya, engkau terbebas dari pertanggungjawaban kepada-Nya. Tidak ada seorang pun yang berhak menuntut dan menggugatmu. Sebab engkau bisa mendapatkan makanan itu setelah banting tulang dan teguh memegang prinsip agama.

 

Banyak tertulis dalam buku, “Siapa yang berperangai demikian dalam hidupnya, hidup dan matinya akan terpuji. Buah kebenaran hanya dituai jika hati sudah yakin. Dengan keyakinan, hati akan menepis bujukan untuk melonggarkan aturan agama.”

 

Semakin keras seseorang menempa dirinya di dunia, semakin bahagia dia di akhirat. Orang-orang seperti ini tidak mau menuruti hawa nafsu mereka, tidak mau bersenang-senang jika belum mendapatkan penghasilan yang layak, dan rela membiarkan perut mereka lapar sebelum mendapatkan makanan halal yang layak dikonsumsi.

 

Mereka ini, jika belum mendapatkan makanan halal atau keadaannya memang sedang sulit, terpaksa mengambil barang syubhat tapi hanya secukup kebutuhan mereka pada saat itu, bukan untuk makan seharian penuh. Bahkan mereka masih tidak mau mengonsumsi secuil roti dari barang syubhat jika masih kuat. Jika tidak, barulah mereka memakannya disertai rasa takut bila kelak di akhirat akan ditagih pertanggungjawabannya.

 

Mayoritas ulama lebih senang merasa lapar. Namun, jika memiliki makanan yang halal, mereka lebih memilih untuk menyantapnya. Jika mereka lapar, itulah yang benar-benar mereka rasakan, bukan hasil dari tidak mau makan untuk mendapatkan kemuliaan.

 

Ini adalah mazhab Sufyan ats-Tsauri, Ibrahim bin Adham, Syuaib bin Harb, al-Muafi bin Imran, Hudzaifah al-Mar’asyi dan Bisyr bin al-Harits alHafi. Tingkatan tasawuf ini telah diriwayatkan oleh para ulama yang tidak terhitung jumlahnya.

 

Para ahli ibadah memiliki anggapan tersendiri terhadap hakikat lapar:

 

Pertama, sebagai pendidik dan pelatih jiwa. Lapar bisa mengalihkan satu kondisi hati ke akan siksa-Nya sampai memastikan kehalalan pakaiannya.”

 

Akan tetapi ijma’ menolak konsep Ibnu Umar dan Ibnu Abbas. Seluruh ulama bersepakat bahwa shalat dalam kondisi seperti itu tidak perlu diulang.

 

Sebagian pakar qira’at dan ahli ibadah benar-benar keliru saat memfatwakan bahwa shalat tidak sah karena mengenakan pakaian yang di dalamnya ada barang haram. Pernyataan seperti ini diutarakan oleh banyak golongan Khawarij, bahkan menurut mereka, apabila mahar adalah barang haram, hukum pernikahan menjadi batal dan persetubuhan dihitung dosa.

 

Pendapat ini sudah keluar dari ijma’ para ulama. Siapa yang masih mengatakan demikian, dia berdosa karena pernikahan hanya akan terselenggara dengan adanya akad ijab qabul. Jika memang maharnya berasal dari barang haram, dosa hanya ditanggung oleh mempelai pria sementara persetubuhan dengan istrinya tergolong halal.

 

Rasulullah saw. telah bersabda,

 

mencungkilnya.” Ada lebih dari dua ahli ibadah Basrah yang berbuat demikian.

 

Jika syahwat masih melawan, hukuman akan terus dilanjutkan hingga hari berikutnya. Salah seorang ulama bijak berkata, “Jika nafsu mengajakmu melakukan perkara yang tidak halal, jangan engkau turuti apa yang semestinya ia dapatkan.”

 

Ketiga, lapar bisa menjadi teman setia yang bisa mengantarkan kepada Allah swt., baik saat sedang diberi nikmat maupun saat diuji. Jika dikaruniai nikmat, mengajak pemiliknya memuji Allah dan bersyukur. Jika diuji, mengajak pemiliknya untuk sabar dan ikhlas. Demikian mazhab sekelompok ahli ibadah.

 

Inilah lapar yang diterapkan oleh Ahli Sufah. Apabila diberi makanan, mereka akan menyantapnya dan bersyukur. Jika tidak ada yang memberi, mereka tetap memuji Allah dan bersabar. Mereka tidak sekali pun menjadikan lapar sebagai amalan bertarekat dan tidak menganggap kenyang sebagai sesuatu yang istimewa. Menurut mereka, kenyang hanya akan memperberat tanggung jawab kelak, sedangkan lapar akan mempermudah dalam berbuat kebaikan.

 

Akan tetapi sebagian ulama mengklaim bahwa tidak ada derajat yang lebih agung daripada lapar karena lapar merupakan akar dari segala bentuk amal kebajikan dan kendali bagi seluruh gerak anggota tubuh. Oleh karena itu, mereka melarang berburu selama belum lapar. Demikian hakikat lapar menurut berbagai ahli ibadah di Basrah. Siapa yang menerapkan dan mendidik jiwanya dengan cara demikian, bisa dipastikan dia belajar dari mereka.

 

Aku sendiri tidak yakin jikalau lapar memiliki keutamaan yang lebih baik dari yang lain karena Rasulullah saw. sendiri bersabda,

 

“Kedudukan orang yang makan dengan rasa syukur setingkat dengan orang lapar yang bersabar. ”

 

Lapar memang melahirkan kekhusyukan, tapi kenyang akan mengenyahkannya. Lantas di mana kekhusyukan berada jika perut sudah kenyang? Suatu derajat atau maqam dianggap terpuji jika memiliki nilai lebih. Puasa akan menjadikan kita kenyang dan segar pada hari akhir ketika orang-orang sangat membutuhkan pertolongan Allah. Hal yang paling agung adalah merasa sangat butuh kepada Allah karena orang-orang yang butuh betul-betul meyakini bahwa Allah swt. mampu membakar baju mereka walaupun tanpa api.

 

Singkatnya, lapar yang paling baik adalah lapar karena diuji Allah karena mengada-adakan rasa lapar akan terbongkar ketika kenyang. Kendati di dalam puasa ada unsur lapar, namun makna filosofisnya adalah tunduk total kepada Allah dan pengembaraan spiritual. Allah swt. berfirman dalam hadis qudsi,

 

“Puasa hanya diperuntukkan kepadaKu. Aku sendiri yang akan membalasnya. Sebab, hamba-Ku rela meninggalkan makanan dan minumannya karena-Ku.” (HR. Bukhari & Muslim)

 

Hadis qudsi ini hanya melahirkan hukum targhib (anjuran). Jadi, siapa yang mengajak orang lain agar berlapar-lapar, sebetulnya dia telah bermaksiat kepada Allah padahal dia sendiri menyadari bahwa kelaparan bisa menyebabkan orang meninggal dunia. Betapa banyak orang kehilangan akal sehat hingga rela meninggalkan kewajiban agama karena lapar. Ada yang tak kuat menahan lapar kemudian mengambil pisau dan bunuh diri. Ada yang mentalnya terguncang lalu perangainya semakin buruk.

 

Wahab bin Munabbih pernah berkata, “Tatkala seorang hamba berpuasa, penglihatannya akan melemah. Ketika sudah berbuka, penglihatannya akan kembali.”

 

Siapa saja yang mengajak orang-orang agar selalu kenyang, juga telah bermaksiat kepada Allah karena kenyang itu membebani badan, mengeraskan hati, menumpulkan pemahaman dan melemahkan tubuh.

 

Kesimpulannya, lapar lebih utama bagi orang-orang yang berlindung kepada Allah, mengabdi kepada-Nya, dan memiliki pemahaman yang begitu dalam bahwa Allah swt. Maha Memberi sekaligus Maha Menarik rezeki. Hanya saja, mereka memilih lapar karena sifat wara’, khawatir, dan takut atas beratnya hisab kelak. Mereka sangat mempertimbangkan mengenai makanan yang sampai kepada mereka, apakah itu dari seorang mukmin yang tulus atau dari orang yang mengharapkan imbalan. Sebab mereka yang berharap imbalan jarang menyantap makanan halal.

 

Demikian penjelasanku menganai hakikat lapar. Bagaimanapun hakikat lapar, sikap wara’ tetap dibutuhkan agar kita bisa memastikan makanan dan minuman yang dikonsumsi halal menurut ijma’ ulama.

 

Meminta-Minta dan Menikmati Fasilitas Pemerintah

 

Sufyan ats-Tsauri berkata, “Apabila engkau melewati suatu daerah, janganlah meminta kepada penduduknya!” Sebagian ulama malah berkata, “Daganglah di sana!” Akan tetapi, Ibnu al-Mubarak dan Ibnu Idris berkata, “Jika engkau menginginkan kekuasaan, meminta-mintalah!”

 

Hal ini ditolak oleh berbagai kalangan ahli hadis dan fikih. Mereka mengatakan, “Memintalah di sebuah wilayah saat kamu yakin mana yang hartanya berupa ghasab dan tak berpemilik lagi. Jika tidak yakin, jangan pernah meminta di wilayah itu.” Abu Bakar ash-Shiddiq ra. pun ketika meminta budak, ia bertanya dulu Siapa  majikannya.

 

Rasulullah saw. pun melarang kita menggunakan penghasilan budak perempuan sampai diketahui dengan pasti dari mana dia mendapatkannya. Kewajiban ini berlaku bagi majikan budak perempuan saja, sebab budak laki-laki dapat diketahui dengan jelas kerjanya apa.

 

Sebagian ulama lain mengatakan, “Seorang hamba tidak harus meminta. Namun, jika dia meminta, itu lebih baik.” “Ini bukan zamannya untuk meminta-minta,” bantah al-Auza’i

 

Tidak hanya al-Auza’i, ulama lain pun mengatakan, “Kefakiran dan kemiskinan telah merajalela. Segala sesuatu nyaris tak bisa dibedakan lagi (halal haramnya). Maka, bagi orang yang memegang teguh agamanya, tidak memiliki tanggungan menafkahi keluarga, dan tidak memiliki orang yang membutuhkan penghasilannya, seyogianya fokus mendekatkan diri kepada Allah, lewat potongan-potongan makanan yang halal dan baik walaupun berat dan sangat sulit dicari. Sebab hal ini lebih memudahkan seorang hamba dalam menunaikan ketaatan.

 

Yunus bin Ubaid. Berkata, “Menurutku, orang yang paling mulia adalah orang yang membuat saudara seimannya merasa tenang berada di sampingnya dan memiliki harta dari penghasilan yang halal.”

 

Imam al-Auza’i pernah berkata, “Akan tiba suatu masa di mana uang 1 dirham yang diperoleh secara halal dan seorang teman yang setia menemani karena Allah sangatlah berharga.”

 

Ibrahim bin Adham hanya mau memanen dari lahan yang benar-benar jelas disewakan dan hanya memetik zaitun dari pohon yang sudah lama (tua). Dia tidak mau menerima anggur dari orang asing.

 

Wuhaib bin al-Ward pernah menolak makanan Mesir selama beberapa hari, sebab ada yang mengatakan makanan itu berasal dari lahan tanah yang telah ditinggal mati pemiliknya dan tidak ada pewarisnya. Saat memakannya, dia menyantapnya sambil berlinang air mata, lalu dia berkata, “Aku memakannya karena terpaksa.”

 

Yusuf bin Asbath pernah bercerita, “Aku pernah berada di kerumunan orang-orang yang dikebiri lalu kami semua membagi makan dengan porsi setengah perut saja.”

 

Pandangan ulama mengenai tanah fai’ dan hasil pajak disamakan dengan setiap harta yang ditaklukkan secara paksa, yaitu tidak dapat diperjualbelikan.

 

Umar bin Khathab pernah berseteru dengan Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf dan Bilal terkait lahan pertanian (di selatan Irak). Umar berkata, “Kalian seperti mereka yang disebutkan dalam surat al-Hasyar,

 

“Orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar) berdoa, ‘Ya Tuhan kami, ampunilah kami serta saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu daripada kami’” (QS. al-Hasyr [59]: 10)

 

Umar pernah membagi-bagikan tanah. Kemudian dia meminta kembali tanah yang sebelumnya dia berikan kepada bani Bajilah karena tanah tersebut masih milik orang lain, seperti kawasan Ayn at-Tamr, rawa-rawa Kisra dan tanah bani Shaluba.

 

Khalid bin al-Walid, Abu Ubaidah bin al-Jarah dan Yazid bin Abu Sufyan juga pernah membebaskan sebagian tanah Damaskus, Khats’am dan Fes kemudian memberikannya kepada pihak gereja dan mewajibkan setiap biara untuk menjamu masyarakat yang melintasi gereja mereka dalam tiga hari ke depan.

 

Fakta tak terbantahkan kalau Mesir ditaklukkan secara paksa. Di sana banyak sekali tanah tak berpemilik peninggalan Dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Banyak orang yang tak mau memanfaatkan harta yang ada di sana. Sedangkan Thaif, Rasulullah saw. sempat mengepungnya hingga berhasil dibebaskan.

 

Para ulama berbeda pendapat terkait Makkah. Imam asy-Syafi’i mengatakan bahwa Makkah ditaklukkan dengan damai. Namun, banyak ulama tidak setuju dan berpendapat sebaliknya.

 

Saat Rasulullah saw. memasuki kota Makkah, beliau ditanya, “Di mana engkau akan tinggal?”

 

Nabi menjawab, “Uqail tidak menyisihkan harta untukku.” Maksudnya, Uqail mewarisi seluruh harta Abu Thalib. Cerita ini memperkuat pendapat Imam asy-Syafi’i.

 

Mayoritas ulama telah menyimpulkan bahwa apa yang dibuat oleh pemerintah boleh digunakan, contohnya shalat di dalam masjid jami’ dan menggunakan fasilitasnya. Begitu juga dengan memanfaatkan sungai dan kolam yang pemerintah gali, pabrik dan tempat industri yang pemerintah bangun, tapi dengan syarat ini semua memang dibangun sebagai fasilitas publik. Boleh juga hukumnya berjalan di atas jembatan, melewati penyeberangan, pasar dan jalan-jalan yang diperbaiki oleh para pemimpin.

 

Aku tidak mendapati ada seorang ulama, ahli ibadah, atau sufi satu pun yang menentang penjelasan di atas, kecuali satu kelompok yang tersesat. Mereka mengatakan, “Jika seorang pemimpin itu tidak adil terhadap rakyat, walaupun dia membagi harta fai’ secara rata, memenuhi kebutuhan orang banyak, menebus tawanan, memerangi musuh dan menyelenggarakan haji untuk masyarakat dan tidak mengkhususkan harta fai’ untuk kalangan tertentu, dia dan siapa pun yang setuju dengannya berdosa.”

 

Kelompok ini adalah Khawarij, mereka telah menyimpang jauh dari agama Islam. Bahkan sosok yang dulunya mereka sanjung, Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan, “Harus ada yang namanya pemerintahan, baik pemegang pemerintahan adalah orang baik maupun orang jahat.”

 

Rasulullah saw. bersabda,

 

“Akan muncul pemimpin-pemimpin yang berbuat kebajikan tapi juga melakukan kemungkaran. Orang yang tidak mengingkari mereka akan terbebas (dari tanggung jawab) sedangkan yang menerima dan mengikuti mereka (tidak terbebaskan dari tanggung jawab).” (HR. Muslim)

 

Nabi Muhammad saw. juga bersabda,

 

“Akan ada pemimpin-pemimpin yang gemar mengakhirkan shalat. Maka shalatlah tepat waktu kemudian shalatlah bersama mereka sebagai ibadah sunah.” (HR. Muslim)

 

Rasulullah saw. suatu kali pernah ditanya terkait keberadaan pemimpin yang zalim dan sewenang-wenang, “Tidakkah kita harus memberontak kepada mereka?” Namun beliau menjawab, “Biarkan mereka selama masih mau shalat.”

 

Para ulama bersepakat untuk tidak memberontak terhadap siapa saja yang menjadi pemimpin kaum muslimin, wajib mendengar dan mematuhi mereka secara terpaksa atau sukarela, serta dilarang membantah dan menyelisihi perintahnya kecuali jika kebijakannya menyalahi aturan Allah dan Rasul-Nya. Jika kebijakan mereka menyalahi aturan, tidak ada kewajiban untuk mematuhi mereka.

 

Abu Bakar ra. pernah berkata, “Janganlah kalian mencela pemerintah.” Ibnu Umar juga mengatakan, “Kalau bukan karena kalian menahan diri untuk mencaci maki pemerintah, niscaya Allah swt. akan menurunkan api dari langit untuk mereka. Sebagai gantinya, berdoalah, ‘Ya Allah, siksalah mereka sebagaimana mereka menyiksa kami.’”

 

Imran bin Hushain pernah memastikan hadis. kepada Hakim bin Amr al-Ghifari, “Di sebuah kesempatan Rasulullah saw. pernah bersabda,

 

“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam urusan maksiat terhadap Sang Pencipta.” (HR. Ahmad & Thabrani)

 

Hakim menjawab, “Betul. Pegang teguh apa yang telah engkau hafal itu!” Hadis semacam itu juga diriwayatkan oleh Ibnu Umar.

 

Sudah menjadi ijma’ ulama bahwa tidak ad kewajiban menaati dan mematuhi siapa pun dalam urusan maksiat, seperti diperintah untuk melakukan perbuatan keji, meminum khamr, bersujud kepada berhala, dan membunuh manusia secara zalim (tanpa alasan yang dibenarkan agama).

 

Ulama juga bersepakat bahwa jika pemimpin kita adalah seorang muslim yang tidak melakukan bid’ah tercela dan masih mau shalat menghadap kiblat, kita boleh shalat berjamaah di belakangnya, walaupun dia orang fasik dan keji. Mencela dan mencaci makinya adalah haram.

 

Al-Fudhail bin Iyadh berkata, “Seandainya doaku mustajab, aku hanya menggunakannya untuk penguasa.”

 

Perkataan al-Fudhail di atas sangat tepat. “Kebaikan dan keshalihan seorang pemimpin menjadi nilai ibadah bagi rakyatnya dan menjadi akar dari kehalalan sandang pangan mereka. Keadilannya bagaikan samudera bagi rakyatnya dan benteng kokoh untuk melawan para pembelot. Lebih dari itu, keadilannya juga membuat agama terjaga dengan aman.”

 

Ibnu Abbas r.a. mengatakan, “Sebuah wilayah akan tampak indah jika pemimpinnya adil. Sebaliknya, wilayah itu terlihat kacau jika pemimpinnya zalim. Keelokan bumi akan terlihat jelas saat keadilan berkuasa dan musnah saat kezaliman merajalela.”

 

Sufyan ats-Tsauri berfatwa mengenai hukum mengerjakan shalat di tanah curian, “Apabila tanahnya sudah berbentuk masjid jami’, tidak masalah bila menunaikan shalat Jum’at. Sedangkan untuk shalat sunah, sebaiknya dilaksanakan di tempat lain.”

 

Imam al-Auza’i berkata, “Bila tanah curian itu sudah berbentuk toko, berjual-beli di luar tempat itu tidak masalah.” Akan tetapi Sufyan ats-Tsauri menilainya makruh.

 

Beberapa ulama mengatakan, “Jika tanahnya sudah berupa masjid yang terletak di pinggir jalan dan jalannya masih lapang, shalat di masjid itu tidak masalah. Namun, jika lahan itu berupa gereja, Sufyan ats-Tsauri menilai shalat yang dikerjakan di sana batal.”

 

Imam al-Auza’i mengatakan, “Jika dia shalat, tapi tidak mengetahui bahwa tanah itu curian, shalatnya tetap sah, tidak perlu diulang.”

 

Waki’ bin al-Jarrah berkata, “Dia wajib mengulang shalatnya selama masih berada di dalam waktunya. Namun, jika sudah keluar dari waktu shalat, shalatnya tidak perlu diulang.”

 

Sekelompok ulama termasuk Imam Syafi’i memakruhkan shalat yang dikerjakan di tanah curian. Akan tetapi mereka tidak mewajibkan mengulangi shalat. Mereka berlandaskan pada sabda Rasulullah saw.,

 

“Seluruh bumi adalah masjid (tempat shalat) dan suci, kecuali kamar mandi dan kuburan.” (HR. Bukhari & Muslim)

 

Rasulullah saw. juga bersabda,

 

“Janganlah shalat menghadap kubur.” (HR. Muslim)

 

Beberapa kalangan memakruhkan melintasi tanah shawafi, yaitu tanah-tanah yang pemiliknya meninggal dunia dan tak memiliki pewaris. Bahkan sebagian dari mereka sampai mengatakan, “Jika orang tua seseorang, baik salah satu maupun keduanya, menyuruhnya melakukan suatu urusan dan harus melewati jalan itu, dia tidak boleh menaatinya.”

 

Sebagian mereka mengatakan, “Jika sebelum dighasab tanah itu berupa jalan yang biasa ia lewati untuk pergi ke toko atau penginapan dan untuk berangkat kerja, atau berupa masjid yang biasa digunakan untuk shalat, tidak masalah bila berjalan melewati jalan itu atau mengerjakan shalat di masjid tersebut.

 

Apabila di tanah curian itu terdapat rumah yang atapnya menjulur ke jalan sehingga membuat area di bawahnya gelap, dan ada jalur lain selain lewat jalan itu, masih diperbolehkan mengambil jalan tersebut. Hal itu telah disampaikan oleh banyak ulama dan fukaha. Mereka juga berkata, “Tidak mengapa berjalan di bawah atap yang menjorok ke jalan dan sejenisnya.”

 

Muhammad bin Sirin berkata, “Jual beli kain tipis dalam gelap termasuk praktik curang.” Muhammad dan al-Hasan memakruhkan jual beli tali jaring pada zaman fitnah.

 

Saya telah menjelaskan prinsip hidup orang-orang yang menjadikan Allah satu-satunya tujuan mereka, mulai dari makanan, minuman dan pakaian mereka. Segala puji hanya milik Allah Tuhan seluruh alam. Semoga Allah swt. senantiasa melimpahkan rahmat dan salam kepada pungkasan para nabi, Muhammad saw. beserta seluruh keluarganya.