Segala puji hanya milik Allah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar, untuk dimenangkan atas semua agama, lalu menjadikan beliau sebagai saksi, pemberi kabar gembira dan peringatan, penyeru kepada Allah dengan izin-Nya. Beliau adalah pelita dan penerang, teladan yang baik bagi mereka yang mengharapkan Allah dan hari kemudian serta mengingat Allah sebanyak-banyaknya. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada beliau, kerabat dan para sahabat serta siapa pun yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari pembalasan, wa ba’d:
Kepuasan dan kegembiraan menyelimuti hati tatkala Rabithah Al-Alam Al-Islami mengumumkan kompetisi ilmiah internasional untuk mempersembahkan penelitian terbaik dengan tema Sirah Nabawiyah beribu-ribu kesejahteraan, keselamatan, dan penghormatan semoga tercurahkan kepada beliau—setelah diselenggarakannya Muktamar Sirah Nabawiyah di Pakistan pada bulan Rabi’ul Awwal 1396 H. Hal ini tentu saja menggugah semangat para penulis sekaligus menjadi konsentrasi pikir mereka.
Saya melihat kegiatan ini bernilai tinggi, yang mungkin sulit saya gambarkan secara pasti. Jika kita memperhatikan Sirah Nabawiyah dan keteladanan beliau, maka akan kita dapatkan bahwa sirah beliau merupakan satu-satunya sumber yang memancarkan kehidupan dunia Islam dan kebahagiaan masyarakat manusia.
Menjadi kegembiraan dan keberuntungan bagi saya bisa ikut andil dalam lomba ini. Meski apalah artinya diri saya, sehingga berani melontarkan seberkas sinar terhadap kehidupan pemimpin Orang-orang terdahulu dan kemudian, Rasulullah. Saya hanyalah seorang manusia yang melihat dirinya merasa sangat bahagia dan beruntung, karena bisa mengambil dari sinar beliau, agar tidak senantiasa terbelenggu kegelapan, agar tetap bisa hidup dan mati sebagai bagian dari umat beliau, lalu Allah berkenan mengampuni dosa-dosanya dengan syafaat beliau.
Prinsip penulisan buku ini—selain aturan yang telah ditetapkan oleh Rabithah—bahwa saya memutuskan untuk menulis penelitian yang sedang-sedang saja, tidak terlalu panjang dan bertele-tele—yang akhirnya hanya memancing kebosanan—namun juga tidak terlalu pendek hingga terkesan tidak logis. Tetapi, saya melihat adanya perbedaan yang cukup signifikan dalam berbagai referensi dalam menuturkan berbagai peristiwa yang sepertinya sulit untuk disatukan dan disamakan. Untuk itu, saya berupaya mendalami manakah yang lebih kuat riwayatnya, lalu mengambil yang lebih kuat setelah melakukan penelitian yang mendalam dan memverifikasinya. Hanya saja, saya tidak terlalu banyak menyertakan dalil-dalil karena hal itu memakan banyak tempat.
Terkait diterima atau tidaknya suatu riwayat, saya mengambilnya dari para imam yang terpercaya dan saya percaya kepada keputusan mereka dalam persoalan sahih, hasan, maupun dha’if. Sebab, saya sendiri tidak punya waktu yang cukup untuk mendalami persoalan ini.
Di beberapa tempat, saya menyertakan dalil-dalil yang diperlukan dan membahas manakah yang lebih kuat. Hal ini saya cantumkan ketika saya merasa bahwa di bagian tersebut bisa jadi pembaca buku ini akan menemukan sesuatu yang berbeda, atau ketika saya merasa bahwa sepertinya bagian itu berbeda dengan apa yang telah disepakati oleh umat Islam sejak dahulu hingga sekarang. Semoga Allah mengaruniakan taufik kepada saya.
Ya Allah, tetapkanlah kebaikan bagi hamba di dunia dan di akhirat. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun, Maha Pengasih, dan Engkaulah
Pemilik Arsy yang agung.
24/7/1396 H_ bertepatan 23/7/1976 M
Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri
Nama lengkap beliau adalah Shafiyyurrahman bin Abdullah bin Muhammad Akbar bin Muhammad Ali bin Abdul Mu’min bin Fagirullah Al-Mubarakfuri Al-A’zhami. Lahir pada 6 Januari 1943 di Mubarakpur, India. Keluarga beliau dinasabkan kepada kaum Anshar, sebagaimana banyak keluarga lain di India dinasabkan kepada mereka. Bahkan, secara spesifik sebagai keturunan sahabat Abu Ayyub Al-Anshari.
Pada masa awal pertumbuhan, beliau banyak mempelajari Al-Qur’an, kemudian masuk ke Madrasah Darut Ta’lim di Mubarakpur (1948). Beliau belajar di sana selama 6 tahun hingga lulus level Ibtidaiyah. Kemudian melanjutkan studi di Madrasah Ihya’ul ‘Ulum di Mubarakpur pada Januari 1954. Di sana selama 5 tahun beliau fokus mempelajari bahasa Arab, kaidah-kaidahnya, serta ilmu-ilmu syar’i seperti Tafsir, Hadits, Fikih, Usul Fikih, dll. Akhirnya beliau berhasil lulus pada Januari 1961 dengan predikat mumtaz (cumlaude). Bahkan, sebelum itu beliau sudah berhasil meraih ijazah bergelar Maulawi pada Februari 1959. Juga, titel Alim dari Hai’ah Al-Ikhtibarat li Al‘Ulum Asy-Syarqiyyah di Allahabad, India pada Februari 1960.
Selepas menyelesaikan pendidikan formal, beliau banyak menghabiskan waktu untuk mengajar, berkhotbah, dan menyampaikan kajian umum serta berdakwah di daerah Allahabad. Beliau pun diundang untuk mengajar di Madrasah Faidh ‘Amm selama 2 tahun. Sempat pula mengajar setahun di Universitas Ar-Rasyad di A’zhamkadah. Kemudian diundang ke Madrasah Darul Hadits di Mu’afi pada Februari 1966 dan mengajar di sana selam 3 tahun. Beliau dipercaya sebagai Pembantu Ketua Bagian Pengajaran dan Urusan Internal. Kemudian beliau mendapatkan amanat sebagai Wakil Ketua Umum yang bertanggung jawab terhadap urusan internal maupun eksternal lembaga sekaligus sebagai supervisor staf pengajar di Jami’ Saiwani selama 4 tahun akademik.
Setelah kembali ke Tanah Air pada akhir 1972, beliau mengajar di Madrasah Darut Ta’lim, dan menjabat sebagai Direktur Pengajaran selama 2 tahun akademik. Atas permintaan rektor Universias Salafiyah, Benares, beliau pindah mengajar di sana pada 1974. Selanjutnya lebih banyak melaksanakan amanat di bidang kegiatan belajar-mengajar dan dakwah di sana selama sekitar 10 tahun ke depannya. Beliau pun menjadi Pemimpin Redaksi majalah bulanan Muhaddits yang terbit di India dalam bahasa Urdu. Di sela-sela kesibukan tersebut, beliau sempat meraih gelar formal dengan titel Fadhilah di bidang Sastra Arab pada 1976.
Pada tahun yang sama Rabithah Al-Alam Al-Islami di Mekkah menyelenggarakan kompetisi ilmiah tentang sirah nabawiyah, yaitu pada Konferensi Islam Internasional I tentang Sirah Nabawiyah yang diselenggarakan di Pakistan. Pada momen itulah Syaikh menulis kitab ArRahig Al-Makhtum dan berhasil meraih juara I. Kemudian melanjutkan safari ilmiah ke Universitas Islam Madinah untuk melanjutkan proyek riset ilmiah di Pusat Pelayanan Sunnah dan Sirah Nabawiyah pada 1409 H dan bekerjaedi sana hingga akhir Sya’ban 1418 H. Setelah itu beliau bekerja di Maktabah Darussalam di Riyadh sebagai pengarah di bagian Riset dan Tahqiq Ilmiah hingga beliau wafat. Beliau meninggal ketika shalat Jumat pada 10 Dzulqa’dah 1427 H/1 Desember 2006 M di tempat kelahiran beliau, Mubarakpur, India.
Syaikh memiliki sejumlah karya di bidang tafsir, hadits, mushthalah, sirah nabawiyah, dakwah. Jumlahnya sekitar 30 judul dalam dua bahasa, Arab dan Urdu. Di antaranya yang terpenting:
Ar-Rahiq Al-Makhtum (telah diterjemahkan setidaknya ke dalam 15 bahasa yang berbeda), Raudhatul Anwari fi Siratin Nabiyyil Mukhtar (versi ringkas tentang sirah nabawiyah), Minnatul Mun’im: Syarh Sahih Muslim, Ithaful Kiram: Syarh Bulugh Al-Maram, Bahjatun Nazhari fi MushthalahiAhlil Atsar, Ibrazul Haqqi wash Shawwab fi Mas alatis Sufuri wal Hijab, Al-Ahzab As-Siyasiyyah fi Al-Islam, Tathwirusy Syu’ubi wad Diyanati fil Hind, Al-Firgah An-Najiyyah: Khasha’ishuha wa Mizatuha, Al-Bisyarat bi Muhammad fi Kutub Al-Hind wa Al-Budziyyin, dan AlMishbah Al-Munir: Tahdzib Tafsir Ibn Katsir.
Sirah Nabawiyah pada hakikatnya merupakan ungkapan tentang risalah yang dibawa oleh Rasulullah kepada masyarakat manusia.
Dengan risalah itu, beliau mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya, dari penyembahan terhadap hamba kepada penyembahan terhadap Allah, sehingga, garis sejarah berganti dan kehidupan manusia di dunia ini berubah. Gambaran yang menakjubkan ini tidak mungkin bisa dihadirkan kecuali setelah membandingkan kondisi yang ada sebelum risalah ini dan apa yang terjadi setelah ia datang.
Berangkat dari persoalan tersebut, sebelumnya kami akan mengemukakan uraian ringkas tentang bangsa Arab dan peradabannya sebelum Islam. Di samping itu, kami juga akan menguraikan sedikit tentang beberapa kondisi menjelang pengutusan Muhammad .
Letak Geografis Jazirah Arab
Menurut bahasa, kata Arab berarti padang pasir; tanah gundul dan gersang yang tiada air dan tanamannya. Sebutan dengan istilah ini sudah diberikan sejak dahulu kepada Jazirah Arab, sebagaimana sebutan yang diberikan kepada suatu kaum yang disesuaikan dengan daerah tertentu, lalu mereka menjadikannya sebagai tempat tinggal.
Secara geografis, Jazirah Arab dibatasi oleh Laut Merah dan Gurun Sinai di sebelah barat, Teluk Arab dan sebagian besar negeri Irak Selatan di sebelah timur, Laut Arab yang bersambung dengan Samudera Hindia di sebelah selatan, dan negeri Syam dan sebagian kecil dari negara Irak di sebelah utara. Meskipun ada kemungkinan sedikit perbedaan dalam penentuan batasan ini. Luasnya membentang antara 1 x 1,3 juta mil persegi.
Jazirah Arab memiliki peranan yang sangat besar karena kondisi alam dan letak geografisnya. Sedangkan dilihat dari kondisi internalnya, Jazirah Arab hanya dikelilingi gurun dan pasir di segala sudutnya. Karena kondisi seperti inilah yang membuat Jazirah Arab seperti benteng pertahanan yang kukuh, yang tidak memperkenankan bangsa asing untuk menjajah, mencaplok, dan menguasai bangsa Arab. Oleh karena itu, kita bisa melihat penduduk Jazirah Arab yang hidup merdeka dan bebas dalam segala urusan sejak zaman dahulu. Padahal, pada waktu itu mereka hidup bertetangga dengan dua imperium besar saat itu (Romawi dan Persia), yang serangannya tak mungkin bisa dihadang andaikan tidak ada benteng pertahanan yang kukuh seperti itu.
Hubungannya dengan dunia luar, Jazirah Arab terletak di benua yang sudah dikenal sejak dahulu kala, yang mempertautkan daratan dan lautan. Sebelah barat laut merupakan pintu masuk ke Benua Afrika, sebelah timur laut merupakan kunci untuk masuk ke Benua Eropa dan sebelah timur merupakan pintu masuk bagi bangsa-bangsa non-Arab, Timur Tengah dan Timur Dekat, terus membentang ke India dan Cina.
Setiap benua mempertemukan lautnya dengan Jazirah Arab dan setiap kapal laut yang berlayar pasti akan bersandar di pinggiran wilayahnya. Karena letak geografisnya seperti itu pula, sebelah utara dan selatan Jazirah Arab menjadi tempat berlabuh berbagai bangsa untuk saling tukar-menukar perniagaan, peradaban, agama, dan seni.
Bangsa Arab
Merujuk kepada silsilah keturunan dan asal-usulnya, para sejarawan membagi bangsa Arab menjadi tiga bagian, yaitu:
- Arab Ba’idah, yaitu kaum-kaum Arab terdahulu yang sejarahnya tidak bisa dilacak secara rinci dan komplit, seperti Ad, Tsamud, Thasm, Judais, Imlaq, Umain, Jurhum, Hadhur, Wabar, Abil, Jasim, Hadramaut dan lain-lainnya.
- Arab Aribah, yaitu bangsa Arab yang berasal dari keturunan Yasyjub bin Ya’rub bin Qahthan. Sukubangsa Arab ini dikenal dengan sebutan Arab Qahthaniyah.
- Arab Musta’ribah, yaitu kaum-kaum Arab yang berasal dari keturunan Ismail, yang disebut juga Arab Adnaniyah.
Arab Aribah adalah bangsa Qahthan. Tempat asal-usulnya adalah negeri Yaman, lalu berkembang menjadi beberapa kabilah dan suku. Yang terkenal adalah dua kabilah, yaitu:
- Kabilah Himyar, yang terdiri dari beberapa suku terkenal, yaitu Zaid Al-Jumhur, Qudha’ah, dan Sakasik.
- Kahlan, yang terdiri dari beberapa suku terkenal, yaitu Hamadan, Anmar, Thayyi’, Madzhaj, Kindah, Lakham, Judzam, Azad, Aus, Khazraj, dan anak keturunan Jafnah, Raja Syam.
Suku-suku Kahlan banyak yang hijrah meninggalkan Yaman, lalu menyebar ke berbagai penjuru Jazirah Arab menjelang terjadinya banjir besar saat mereka mengalami kegagalan dalam perdagangan. Hal ini sebagai akibat dari tekanan bangsa Romawi dan tindakan mereka menguasai jalur perdagangan Jaut dan setelah mereka menghancurkan -jalur darat serta berhasil menguasai Mesir dan Syam.
Tidak aneh bila itu terjadi sebagai akibat dari persaingan antara suku-suku Kahlan dan suku-suku Himyar, yang berakhir dengan keluarnya suku-suku Himyar dan ditandai dengan menetapnya suku Himyar.
Suku-Suku Kahlan yang berhijrah dapat dibagi menjadi empat golongan:
- Azad
Perpindahan mereka dipimpin oleh pemuka dan pemimpin mereka, Imran bin Amru Muzaiqiya.’ Mereka berpindah-pindah di negeri Yaman dan mengirim para pemandu; lalu berjalan ke arah utara dan timur. Dan inilah rincian akhir tempat-tempat yang pernah mereka tinggali setelah perjalanan mereka tersebut : Tsa’labah bin Amru pindah dari Azad menuju Hijaz, lalu menetap di antara Tsa’labiyah dan Dzi Qar. Setelah anaknya besar dan kuat, dia pindah ke Madinah dan menetap di sana. Di antara keturunan Tsa’labah ini adalah Aus dan Khazraj, yaitu dua orang anak dari Haritsah bin Tsa’labah.
Di antara keturunan mereka yang bernama Haritsah bin Amr (atau yang dikenal dengan Khuza’ah) dan anak keturunannya berpindah ke Hijaz, hingga mereka singgah di Murr Azh-Zhahran, yang selanjutnya membuka Tanah Suci dan mendiami Mekkah serta mengusir penduduk aslinya, Al-Jarahimah. Sedangkan Imran bin Amr singgah di Oman lalu bertempat tinggal di sana bersama anak-anak keturunannya, yang disebut Azd Oman, sedangkan kabilah-kabilah Nashr bin Al-Azd menetap di Tihamah, yang disebut Azd Syanuah. Jafnah bin Amr pergi ke Syam dan menetap di sana bersama anak keturunannya. Dia dijuluki Bapak Para Raja Al-Ghassasinah, yang dinisbatkan kepada mata air di Hijaz, yang dikenal dengan nama Ghassan, yang telah mereka singgahi sebelum akhirnya pindah ke Syam.
- Lakhm dan Judzam
Mereka pindah ke timur dan utara. Tokoh di kalangan mereka adalah Nashr bin Rabi’ah, pemimpin raja-raja Al-Mundzir di Hirah.
Bani Tha’i Setelah Azad berpindah, mereka berpindah ke arah utara hingga singgah di antara dua gunung, Aja’ dan Salma. Mereka menetap di sana, hingga mereka dikenal dengan sebutan Al-Jabalani (dua gunung) di Gunung Thayyi’.
- Kindah
Mereka singgah di Bahrain, lalu terpaksa meninggalkannya dan singgah di Hadramaut. Namun, nasib mereka tidak jauh berbeda saat berada di Bahrain, hingga mereka pindah lagi ke Najd. Di sana mereka mendirikan pemerintahan yang besar dan kuat. Tetapi, secepat itu pula mereka punah dan tak meninggalkan jejak. Di sana masih ada satu kabilah dari Himyar yang diperselisihkan asal keturunannya, yaitu Qudha’ah. Mereka hijrah meninggalkan Yaman dan menetap di pinggiran Irak.!
Adapun Arab Musta’ribah—moyang mereka yang tertua adalah Ibrahim —yang berasal dari negeri Irak, dari sebuah daerah yang disebut Ar. Kota ini berada di pinggir barat Sungai Eufrat, berdekatan dengan Kufah. Cukup banyak penelusuran dan penelitian yang luas mengenai negeri ini, selain tentang keluarga Ibrahim, kondisi keagamaan dan sosial di negeri tersebut.?
Kita tahu bahwa Ibrahim hijrah dari Irak ke Haran atau Harran, termasuk pula ke Palestina. Ia lalu menjadikan negeri itu sebagai basis dakwahnya. Ia banyak menyusuri negeri ini dan negeri lainnya. Di salah satu perjalanan tersebut, Ibrahim bertemu dengan Firaun. Istri Ibrahim, Sarah, turut menemaninya. Sarah merupakan wanita yang tercantik. Maka, Firaun itu hendak memasang siasat buruk terhadap istri beliau. Namun, Sarah berdoa kepada Allah, sehingga Dia membalikkan jerat yang dipasang raksasa itu ke lehernya sendiri. Akhirnya, raja yang zalim itu tahu bahwa Sarah merupakan wanita saleh yang memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah. Karena itu, ia menghadiahkan putrinya’‘, Hajar menjadi pembantu Sarah, sebagai pengakuan atas keutamaan Sarah atau karena ia takut terhadap siksa Allah. Akhirnya Sarah menikahkan Hajar dengan Ibrahim.
Ibrahim kembali ke Palestina dan kemudian Allah menganugerahkan Ismail dari Hajar. Hal ini membuat Sarah terbakar api cemburu. Dia memaksa Ibrahim agar menjauhkan Hajar dan putranya yang masih kecil, Ismail. Maka Ibrahim membawa keduanya ke Hijaz dan menempatkan mereka berdua di suatu lembah yang tidak ditumbuhi tanaman, di Baitul Haram, yang saat itu hanya berupa gundukan-gundukan tanah. Rasa gundah mulai menggelayuti pikiran Ibrahim. Beliau menoleh ke kiri dan kanan, lalu meletakkan putranya di dalam tenda, di dekat Zamzam. Saat itu di Mekkah belum ada seorang manusia pun dan tidak ada mata air. Beliau meletakkan kantong berisi kurma dan geriba berisi air di dekat Hajar dan Ismail. Setelah itu beliau kembali lagi ke Palestina. Beberapa hari setelah itu, bekal dan air sudah habis. Sementara tidak ada mata air yang mengalir. Tiba-tiba mata air Zamzam memancar berkat karunia Allah, sehingga bisa menjadi sumber penghidupan bagi mereka berdua, yang tak pernah habis hingga sekarang. Kisah mengenai hal ini sudah banyak diketahui secara lengkapnya.
Suatu kabilah dari Yaman (Jurhum Kedua) datang ke sana. Dan atas izin bunda Ismail, mereka menetap di Mekkah. Ada yang mengatakan, mereka sudah berada di sana sebelum itu, menetap di lembah-lembah di pinggir kota Mekkah. Namun, riwayat Al-Bukhari menegaskan bahwa mereka singgah di Mekkah setelah kedatangan Ismail dan ibunya, sebelum Ismail remaja. Mereka sudah biasa melewati jalur Mekkah sebelum itu.’
Dari waktu ke waktu Ibrahim datang ke Mekkah untuk menjenguk keluarganya. Tidak diketahui secara pasti berapa kali kunjungan yang dilakukannya. Hanya saja menurut beberapa referensi sejarah yang dapat dipercaya, kunjungan itu dilakukan sebanyak empat kali.
Pertama, Allah telah menyebutkan di dalam Al-Qur’an bahwa Ibrahim bermimpi bahwa beliau menyembelih anaknya, Ismail. Maka ia pun bangkit untuk melaksanakan perintah dalam mimpi itu.
Tatkala keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya), lalu Kami panggillah dia, “Hai Ibrahim. Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu.” Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada Orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. (Ash-Shaffat: 103-107)
Di dalam Kitab Kejadian disebutkan bahwa umur Ismail 13 tahun lebih tua daripada Ishaq. Dari rentetan kisah ini menunjukkan bahwa peristiwa itu terjadi sebelum Ishaq lahir. Sebab, kabar gembira tentang kelahiran Ishaq disampaikan setelah terjadinya kisah ini. Setidak-tidaknya kisah ini menunjukkan suatu kisah perjalanan Ibrahim, sebelum Ismail menginjak remaja. Adapun tiga perjalanan lainnya telah diriwayatkan Al-Bukhari secara panjang lebar dari Ibnu Abbas secara marfu’, yang intinya adalah:
Kedua, bahwa sebelum remaja, Ismail belajar bahasa Arab dari kabilah Jurhum. Karena merasa tertarik kepadanya, maka mereka menikahkannya dengan salah seorang putri keturunan mereka. Saat itu ibu Ismail sudah meninggal dunia. Suatu saat Ibrahim hendak menjenguk keluarga yang ditinggalkannya. Maka beliau datang setelah pernikahan itu. Tatkala tiba di rumah Ismail, beliau tidak mendapati Ismail. Maka beliau bertanya kepada istrinya, bagaimana keadaan mereka berdua. Istri Ismail mengeluhkan kehidupan mereka yang melarat. Maka Ibrahim pun titip pesan, agar istrinya menyampaikan kepada Ismail untuk mengubah palang pintu rumahnya. Setelah diberitahu, Ismail mengerti maksud pesan ayahnya. Maka Ismail menceraikan istrinya dan menikah
lagi dengan wanita lain, yaitu putri Mudhadh bin Amru, pemimpin dan pemuka kabilah Jurhum.
Ketiga, setelah perkawinan Ismail yang kedua ini, Ibrahim datang lagi, namun tidak bisa bertemu dengan Ismail. Beliau bertanya kepada istri Ismail tentang keadaan mereka berdua. Jawaban istri Ismail adalah pujian kepada Allah. Lalu Ibrahim kembali lagi ke Palestina setelah titip pesan lewat istri Ismail, agar Ismail memperkukuh palang pintu rumahnya.
Keempat, pada kedatangan berikutnya, Ibrahim bisa bertemu dengan Ismail, yang saat itu Ismail sedang meraut anak panahnya di bawah sebuah pohon di dekat Zamzam. Tatkala melihat kehadiran ayahnya, Ismail berbuat sebagaimana layaknya seorang anak yang lama tidak bersua bapaknya, dan Ibrahim juga berbuat layaknya seorang bapak yang lama tidak bersua anaknya. Pertemuan ini terjadi setelah sekian lama. Sebagai seorang ayah yang penuh rasa kasih sayang dan lemah lembut, sulit rasanya beliau bisa menahan kesabaran untuk bersua anaknya. Begitu pula dengan Ismail, sebagai anak yang berbakti dan saleh. Dengan adanya perjumpaan ini mereka berdua sepakat untuk membangun Kabah, meninggikan sendi-sendinya, dan Ibrahim memperkenankan manusia untuk berhaji sebagaimana yang diperintahkan Allah kepada beliau.
Dari perkawinannya dengan anak perempuan dari Mudhadh, Ismail dikaruniai anak oleh Allah sebanyak dua belas, semuanya laki-laki,’ yaitu: Nabat atau Nabayuth, Qaidar, Adba’il, Mibsyam, Misyma’, Duma, Misya, Hadad, Taima’, Yathur, Nafis, dan Qaiduman. Dari mereka inilah kemudian berkembang menjadi dua belas kabilah, yang semuanya menetap di Mekkah untuk sekian lama. Mata pencaharian utama mereka adalah berdagang dari negeri Yaman hingga ke negeri Syam dan Mesir. Selanjutnya kabilah-kabilah ini menyebar di berbagai penjuru jazirah, bahkan keluar jazirah. Seiring dengan perjalanan waktu, keadaan mereka tidak lagi terdeteksi, kecuali anak keturunan Nabat dan Qaidar.
Peradaban anak keturunan Nabat bersinar di Hijaz Utara. Mereka mampu mendirikan pemerintahan yang kuat yang berpusat di Petra, sebuah kota kuno yang terkenal di selatan Yordania. Kekuasaan Nabat ini telah mencapai wilayah-wilayah terdekat dan tidak seorang pun berani memusuhi mereka hingga datang pasukan Romawi yang menghabisi mereka.
Setelah melakukan penyelidikan dan penelitian yang akurat, As-Sayyid Sulaiman An-Nadawi menegaskan bahwa raja-raja keturunan Ghassan, termasuk Aus dan Khazraj, bukan berasal dari keturunan Qahthan, tetapi dari keturunan Nabat, anak Ismail dan keturunan mereka di negeri tersebut.
Sementara itu, anak keturunan Qidarbin Ismail tetap tinggal di Mekkah dan membina keluarga di sana hingga mendapatkan keturunan, Adnan dan anaknya, Ma’ad. Dari dialah keturunan Arab Adnaniyah masih bisa dipertahankan keberadaannya. Adnan adalah kakek ke-22 dalam silsilah keturunan Nabi. Disebutkan bahwa jika beliau menyebutkan nasabnya dan sampai kepada Adnan, maka beliau berhenti dan bersabda, “Para ahli silsilah nasab banyak yang berdusta.” Beliau tidak melanjutkannya.”
Sekelompok ulama membolehkan penyebutan nasab dari Adnan ke atas, dengan berlandaskan kepada hadits yang mengisyaratkan hal itu. Namun, mereka berbeda pendapat mengenai rincian nasab dengan perbedaan yang tidak mungkin untuk dikompromikan. Adapun peneliti senior Allamah Al-Qadhi Muhammad Sulaiman Al-Manshurfuri menguatkan pendapat Ibnu Saad—sebagaimana yang disebutkan pula oleh Ath-Thabari, Al-Mas’udi, dan selain mereka di sejumlah tempat bahwa antara Adnan sampai Ibrahim ada empat puluh keturunan. Ini menurut penelitian yang cukup mendalam.”
Keturunan Ma’ad dari anaknya Nizar telah berpencar ke mana-mana. Menurut salah satu pendapat, Nizar adalah satu-satunya anak Ma’ad. Sementara itu, Nizar sendiri mempunyai empat anak, yang kemudian berkembang menjadi empat kabilah yang besar, yaitu: Iyad, Anmar, Rabi’ah dan Mudhar. Dua kabilah terakhir inilah yang paling banyak marga dan sukunya. Dari Rabi’ah ada Asad bin Rabi’ah, Anzah, Abdul Qais, dua anak Wa’il, Bakar dan Taghlib, Hanifah dan lain-lainnya.
Kabilah Mudhar berkembang menjadi dua suku yang besar, yaitu Qais Ailan bin Mudhar dan marga-marga Ilyas bin Mudhar. Dari Qais Ailan lahirlah Bani Sulaim, Bani Hawazin, Bani Ghathafan. Dari Ghathafan lahir Abs, Dzibyan, Asyja’ dan Ghany bin A’shar. Dari Ilyas bin Mudhar ada Tamim bin Murrah, Hudzail bin Mudrikah, Bani Asad bin Khuzaimah dan marga-marga Kinanah bin Khuzaimah. Dari Kinanah lahirlah Quraisy, yaitu anak keturunan Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah.
Quraisy terbagi menjadi beberapa kabilah, yang terkenal adalah Jumuh, Sahm, Adi, Makhzum, Taim, Zuhrah dan suku-suku Qushay bin Kilab, yaitu: Abdud-Dar bin Qushay, Asad bin Abdul ‘Uzza bin Qushay, dan Abdu Manaf bin Qushay.
Abdu Manaf mempunyai empat anak: Abdu Syams, Naufal, AlMutholib dan Hasyim. Hasyim adalah keluarga yang dipilih Allah bagi Muhammad bin Abdullah bin Abdul Mutholib bin Hasyim.
Rasulullah pernah bersabda:
“Sesungguhnya Allah telah memilih Ismail dari anak Ibrahim, memilih Kinanah dari anak Ismail, memilih Quraisy dari Bani Kinanah, memilih Bani Hasyim dari Quraisy dan memilihku dari Bani Hasyim.”
Diriwayatkan dari Al-Abbas bin Abdul Mutholib bahwa ia berkata, “Rasulullah bersabda:
Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk, lalu menjadikan diriku sebagai sebaik-baik golongan mereka dan sebaik-baik dua golongan, kemudian memilih beberapa kabilah, lalu menjadikan diriku sebagai sebaik-baik kabilah, kemudian memilih beberapa keluarga lalu menjadikanku dari sebaik-baik keluarga mereka, maka aku adalah sebaik-baik diri dan sebaik-baik keluarga di antara mereka.”.
Setelah anak-anak Adnan menjadi banyak, mereka berpencar di berbagai tempat di penjuru Jazirah Arab, masing-masing mencari tempat yang strategis dan daerah yang subur. Abdul Qais dan anak-anak Bakar bin Wa’il serta anak-anak Tamim pindah ke Bahrain dan menetap di sana. Sedangkan Bani Hanifah bin Sha’b bin Ali bin Bakar pindah ke Yamamah dan menetap di Hijr, ibukota Yamamah. Semua keluarga Bakar bin Wa’il menetap di berbagai penjuru Yamamah. membentang hingga ke Bahrain. Taghlib menetap di jazirah Eufrat dan sebagian anak keturunannya bergabung dengan Bakar. Bani Tamim menetap di Bashrah. Bani Sulaim menetap di dekat Madinah, dari lembah-lembah di pinggiran Madinah hingga ke Khaibar di bagian timur Madinah dan penghujung Hurrah. Tsaqif menetap di Tha’if. Hawazin di timur Mekkah, di pinggiran Authas, antara Mekkah dan Bashrah. Bani Asad menetap di timur Taima’ dan barat Kufah. Di antara mereka dan Taima’ ada perkampungan Bukhtur dari Thaiyyi.’ Jarak dari tempat mereka ke Kufah bisa ditempuh selama perjalanan lima hari. Dzibyan menetap di dekat Taima’ hingga ke Hawazin. Di Tihamah ada beberapa suku Kinanah, sedangkan di Mekkah ada suku-suku Quraisy. Mereka berpencar-pencar dan tidak ada sesuatu yang bisa menyatukan mereka, hingga muncul Qushay bin Kilab. Dialah yang telah menyatukan mereka dan membentuk satu sama lain yang bisa mengangkat kedudukan mereka.’
Ketika kita hendak membicarakan kondisi Arab sebelum Islam, kita harus membuat miniatur sejarah pemerintahan, kepemimpinan, agama dan kepercayaan di kalangan bangsa Arab. Tujuannya agar kita lebih mudah memahami kondisi yang terjadi saat kemunculan Islam.
Para penguasa Jazirah Arab pada saat terbitnya matahari Islam bisa dibagi menjadi dua bagian:
- Para raja yang mempunyai mahkota, tetapi pada hakikatnya mereka tidak bisa merdeka dan berdiri sendiri.
- Para pemimpin dan pemuka kabilah atau suku, yang memiliki kekuasaan dan hak-hak istimewa seperti kekuasaan para raja. Kebanyakan di antara mereka benar-benar memiliki kebebasan tersendiri. Bahkan, kemungkinan sebagian di antara mereka mempunyai subordinasi layaknya seorang raja yang dinobatkan.
Raja-raja yang dinobatkan adalah raja-raja Yaman, Ghassan dan Hirah. Adapun penguasa-penguasa lain di Jazirah Arab tidak memiliki mahkota.
Peta Persebaran Kabilah-Kabilah Bangsa Arab di Jazirah Arab
Raja-Raja di Yaman
Bangsa tertua yang dikenal di Yaman dari kalangan Arab Aribah adalah kaum Saba.’ Mereka bisa diketahui melalui penemuan fosil Aur, yang hidup dua puluh lima abad Sebelum Masehi (SM). Puncak peradaban dan pengaruh kekuasaan mereka dimulai pada sebelas tahun SM. Perkembangan mereka bisa dibagi menurut tahapan-tahapan berikut:
- Abad-abad sebelum tahun 650 SM. Raja-raja mereka pada waktu itu diberi gelar “Makrib Saba’.” Ibukota mereka di Sharawah. Puing-puing peninggalan mereka dapat ditemui dengan menempuh perjalanan sehari ke arah barat dari negeri Ma’rib, yang dikenal dengan istilah Kharibah.
Pada zaman mereka mulai diadakan pembangunan bendungan, yang dikenal dengan nama Bendungan Ma’rib. Bendungan ini sangat terkenal dalam sejarah Yaman. Ada yang mengatakan, wilayah kekuasaan kaum Saba’ meliputi daerah-daerah jajahan di negeri Arab dan di luar Arab.
- Sejak tahun 650 SM sampai tahun 110 SM. Pada masa-masa ini mereka menanggalkan gelar “Makrib”, dan hanya dikenal dengan raja-raja Saba.’ Mereka menjadikan Ma’rib sebagai ibukota, sebagai pengganti Sharawah. Puing-puing kota ini dapat ditemui sejauh 60 mil dari Sana’a ke arah timur
- Sejak tahun 115 SM sampai tahun 300 M. Pada masa-masa ini kabilah Himyar dapat mengalahkan Kerajaan Saba’ dan menjadikan Raidan sebagai ibukotanya, sebagai ganti dari Ma’rib. Kemudian Raidan diganti dengan nama Zhaffar. Puing-puing peninggalannya dapat ditemukan di sebuah bukit yang di sekitarnya dikelilingi pagar di dekat Yarim. Pada masa itu mereka mulai jatuh dan runtuh. Perdagangan mereka bangkrut, sebagai akibat dari perluasan kekuasaan kabilah Nabat ke utara Hijaz. Ini merupakan penyebab pertama kehancuran mereka. Kedua, karena bangsa Romawi menguasai jalur perdagangan dari laut, setelah mereka dapat menguasai Mesir, Suriah dan bagian utara Hijaz. Ketiga, adanya persaingan di antara kabilah-kabilah yang ada di sana. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan keluarga Qahthan berpisah-pisah dan mereka termotivasi untuk berpindah ke negeri Syasa’ah.
- Sejak tahun 300 M sampai masuknya Islam ke Yaman. Pada masa-masa ini kekacauan, keributan, revolusi, dan peperangan antarsuku sering terjadi di antara mereka, yang justru membuat mereka menjadi mangsa bagi pihak luar, hingga kemerdekaan mereka pun terenggut. Pada masa itu bangsa Romawi masuk ke Aden. Atas bantuan bangsa Romawi ini pula Orang-orang Habasyah dapat merebut Yaman pada awal tahun 340 M, yang sedang disibukkan oleh persaingan antara kabilah Hamdan dan Himyar. Penjajahan mereka berlangsung hingga tahun 378 M. Selanjutnya Yaman bisa mendapatkan kemerdekaannya lagi. Tetapi, kemudian bendungan Ma’rib jebol, sehingga menimbulkan banjir besar seperti yang disebutkan di dalam Al-Qur’an dengan istilah Sailul Aram pada tahun 450 atau 451 M. Setelah itu disusul satu kejadian besar yang mengakibatkan runtuhnya peradaban mereka dan mereka pun terpecah belah.
Pada tahun 523 M, Dzu Nuwas, seorang Yahudi, memimpin pasukannya menyerang Orang-orang Kristen (pengikut ajaran Nabi Isa—edt) dari penduduk Najran, dan berusaha memaksa mereka meninggalkan agamanya. Karena mereka menolak, maka Dzu Nuwas membuat parit-parit besar yang di dalamnya dinyalakan api, lalu mereka dilemparkan ke dalam api hidup-hidup, sebagaimana yang diisyaratkan Al-Qur’an pada firman-Nya dalam surat Al-Buruj:
Binasa dan terlaknatlah Orang-orang yang membuat parit. (al-Buruj: 4)
Kejadian ini menimbulkan api dendam di hati Orang-orang Kristen dan mendorong mereka untuk memperluas daerah kekuasaan dan penaklukan di bawah pimpinan Kaisar Romawi untuk menguasai negeri Arab. Mereka memobilisasi Orang-orang Habasyah dan menyiapkan armada lautnya. Sebanyak 70.000 pasukan dari penduduk Habasyah diterjunkan dan mampu menguasai Yaman untuk kali kedua. Serbuan ini dipimpin oleh Aryath pada tahun 525 M. Aryath menjadi penguasa negeri jajahannya dengan mandat Raja Habasyah hingga akhirnya dibunuh oleh Abrahah, anak buahnya sendiri. Abrahah menggantikan kedudukan Aryath di Yaman setelah meminta restu rajanya di Habasyah. Abrahah inilah yang mengerahkan pasukannya untuk menghancurkan Kabah, yang dikenal dengan Pasukan Gajah.
Setelah “Peristiwa Gajah” penduduk Yaman meminta bantuan kepada Orang-orang Persia. Mereka pun bersekutu. melawan Orang-orang Habasyah hingga akhirnya mampu mengusirnya dari Yaman dan mendapatkan kemerdekaannya pada tahun 575 M, di bawah kepemimpinan Ma’di Ya’rib bin Saif Dzi Yazin Al-Himyari. Kemudian mereka menobatkannya menjadi raja. Ma’di Ya’rib masih mempertahankan sebagian penduduk Habasyah sebagai pengawal yang selalu menyertai aktivitasnya, meskipun akhirnya justru menjadi bumerang baginya. Suatu hari mereka membunuhnya. Dengan kematiannya, pupuslah sudah Dinasti Dzi Yazin.
Setelah itu Kisra mengangkat penguasa dari bangsa Persia di Sana’a dan menjadikan Yaman sebagai salah satu wilayah kekuasaan Persia. Beberapa pemimpin dari bangsa Persia silih berganti menguasai Yaman dan era kepemimpinan mereka yang terakhir di Yaman adalah Badzan, yang kemudian memeluk Islam pada tahun 638 M. Dengan keislamannya ini berakhir pula kekuasaan bangsa Persia atas negeri Yaman.?
Raja-raja di Hirah Bangsa Persia bisa menguasai Irak dan wilayah-wilayah di sekitarnya setelah Cyrus Yang Agung (557-529 SM) dapat mempersatukan bangsanya. Tidak ada seorang pun yang berani menyerangnya hingga muncul Alexander dari Makedonia pada tahun 326 SM. Ia mampu mengalahkan Darius I, raja mereka, dan menghancurkan persatuan mereka. Akibatnya, negeri mereka terpecah-pecah dan dipimpin oleh raja-raja yang dikenal dengan raja-raja Thawa’if. Mereka berkuasa di wilayah masing-masing secara terpisah hingga tahun 230 SM. Pada era kekuasaan raja-raja Thawa’if ini, Orang-orang Qahthan berpindah dan menguasai daerah subur di lrak. Mereka selanjutnya bergabung dengan keturunan Adnan yang juga berhijrah dan bersama-sama menguasai sebagian dari wilayah Eufrat.
Kekuatan bangsa Persia kembali bangkit pada era Ardasyir, pendiri pemerintahan Sasaniyah sejak tahun 226 M. Dia berhasil mempersatukan bangsa Persia dan menguasai Orang-orang Arab yang menetap di daerah-daerah pinggiran kekuasaannya. Hal ini mendorong Orang-orang Qudha’ah untuk berpindah ke Syam. Sementara itu, penduduk Hirah dan Anbar tunduk kepada Ardasyir.
Pada masa Ardasyir tersebut, Judzaimah Al-Wadhdhah menguasai Hirah, sebagian penduduk Irak, dan daerah kekuasaan Rabi’ah dan Mudhar. Ardasyir merasa mustahil dapat menguasai bangsa Arab secara langsung dan mencegah mereka untuk tidak menyerang kekuasaannya kecuali dengan cara menjadikan salah seorang dari mereka (bangsa Arab) yang memiliki kefanatikan dan loyalitas terhadapnya dalam membelanya sebagai kaki tangannya. Di samping itu, dia juga sewaktu-waktu bisa meminta bantuan mereka untuk mengalahkan raja-raja Romawi yang amat dia takuti. Dengan demikian dia dapat menandingi tentara bentukan yang terdiri dari bangsa Arab juga, seperti apa yang dibentuk oleh raja-raja Romawi, sehingga berbenturanlah antara bangsa Arab Syam dan Irak. Dia juga masih mempersiapkan satu batalion dari pasukan Persia untuk disuplai dalam menghadapi para penguasa Arab pedalaman yang membangkang terhadap kekuasaannya. Judzaimah meninggal dunia pada tahun 268 M.
Setelah kematian Judzaimah, Hirah dikuasai oleh Amru bin Adi bin NashrAl-Lakhmi. la merupakan raja pertama dari Dinasti Lakhmisekaligus raja pertama yang mengambil Hirah sebagai tempat tinggalnya. Peristiwa ini terjadi pada masa Kisra Sabur bin Ardasyir. Sepeninggal Amru bin Adi, beberapa raja dari kalangan Lakhmi tetap berkuasa setelah di Hirah hingga Persia dikuasai oleh Qubadz bin Fairuz. Pada masa kekuasaannya muncullah seorang tokoh bernama Mazdak. Ia mengampanyekan gaya hidup permisivisme. Banyak rakyatnya yang meniru gaya hidup ini, begitu pula Qubadz dari Persi. Qubadz mengirim utusan kepada raja Hirah, yaitu Al-Mundzir bin Ma’us Sama’, mengajaknya untuk memilih jalan hidup ini dan menjadikannya sebagai agama. Namun, Al-Mundzir menolak ajakan itu mentah-mentah dan arogan. Karena itu, ia pun dicopot dari jabatannya. Sebagai pengganti Al-Mundzir, dia mengangkat Al-Harits bin Amru bin Hijr Al-Kindi, setelah Al-Harits memenuhi ajakan Qubadz untuk menerapkan gaya hidup Mazdakisme.
Pengganti Qubadz adalah Kisra Anu Syirwan, yang sangat benci gaya hidup ini. Dia membunuh Mazdak dan entah berapa banyak para pengikutnya. Dia mengangkat kembali Al-Mundzir sebagai penguasa di Hirah. Sebenarnya, Al-Harits bin Amru memintanya, tetapi dia justru dibuang ke Daru Kalb dan tetap di sana hingga meninggal.
Kekuasaan Anu Syirwan terus berlanjut sepeninggal Al-Mundzir bin Ma’us Sama’, hingga naiknya An-Nu’man bin Al-Mundzir. Dialah orang yang memancing kemarahan Kisra, yang bermula dari adanya suatu fitnah hasil rekayasa Zaid bin Adi Al-Ibadi. Kisra akhirnya mengirim utusan kepada An-Nu’man untuk memburunya, maka secara sembunyi-sembunyi, An-Nu’man menemui Hani’ bin Mas’ud, pemimpin suku Ali Syaiban dan menitipkan keluarga dan harta bendanya.
Setelah itu, dia menghadap Kisra yang langsung menjebloskannya ke dalam penjara hingga meninggal dunia. Sebagai penggantinya, Kisra mengangkat Ilyas bin Qabishah Ath-Tha’i dan memerintahkannya untuk mengirimkan utusan kepada Hani’ bin Mas’ud agar dia memintanya untuk menyerahkan titipan yang ada padanya. Namun, Hani’ menolaknya dengan penuh keberanian bahkan dia memaklumatkan perang melawan raja.
Tak berapa lama tibalah para komandan batalion berikut prajuritnya yang diutus oleh Kisra dalam rombongan yang membawa lyas tersebut, sehingga kemudian terjadilah antara kedua pasukan itu, suatu pertempuran yang amat dahsyat di dekat tempat yang bernama Dzu Qar dan pertempuran tersebut akhirnya dimenangkan oleh Bani Syaiban, yang masih satu suku dengan Iani’. Hal ini bagi Persia merupakan kekalahan yang sangat memalukan. Kemenangan ini merupakan yang pertama kalinya bagi bangsa Arab terhadap kekuatan asing.? Ada yang mengatakan bahwa hal itu terjadi tak berapa lama menjelang kelahiran Nabi sebab beliau lahir delapan bulan setelah berkuasanya Iyas bin Qabishah atas Hirah.
Sepeninggal Iyas, Kisra mengangkat seorang penguasa di Hirah dari bangsa Persia yang bernama Azazbah yang memerintah selama 17 tahun (614-631 M). Pada tahun 632 M, tampuk kekuasaan di sana kembali dipegang oleh keluarga Lakhm. Di antaranya adalah Al-Mundzir bin An-Nu’man yang dijuluki dengan “Al-Ma’rur.” Umur kekuasaannya tidak lebih dari 8 bulan, sebab kemudian berhasil dikuasai oleh pasukan Muslimin di bawah komando Khalid bin Al-Walid.‘
Raja-Raja di Syam
Pada masa Arab banyak diwarnai perpindahan berbagai kabilah, maka suku-suku Qudha’ah juga ikut berpindah ke berbagai daerah di pinggiran Syam dan mereka menetap di sana. Mereka adalah Bani Sulaih bin Halwan. Di antara mereka adalah Bani Dhaj’am bin Sulaih yang dikenal dengan sebutan Dhaja’amah. Mereka dimanfaatkan bangsa Romawi sebagai tameng untuk menghadapi gangguan Orang-orang Arab dan sekaligus sebagai benteng pertahanan untuk menghadang bangsa Persia. Karenanya, bangsa Romawi mengangkat seorang raja dari suku ini dan kepemimpinannya berlangsung hingga beberapa tahun. Raja mereka yang terkenal adalah Ziyad bin Habulah. Kekuasaan mereka bertahan sejak awal abad kedua Masehi hingga akhir abad tersebut. Kekuasaan mereka berakhir setelah kedatangan suku Ghassan yang dapat mengalahkan Dhaja’amah. Bangsa Romawi mengangkat mereka sebagai raja bagi semua bangsa Arab di Syam. Ibukotanya adalah Daumatul Jandal. Suku Ghassan terus berkuasa sebagai kaki tangan kaisar Romawi, hingga meletus Perang Yarmuk pada tahun 13 H. Raja mereka yang terakhir, Jabalah bin AlAiham, memeluk agama Islam pada masa Amirul Mukminin Umar bin Al-Khattab ag.
Kekuasaan di Hijaz
Ismail berkuasa di Mekkah dan mengurus Kabah selama hidupnya. Beliau meninggal pada usia 137 tahun.’ Selanjutnya, dua putranya menggantikan kedudukannya secara berurutan, yaitu Nabat dan Qaidar. Ada yang berpendapat sebaliknya, yakni Qaidar lebih dahulu. Setelah itu Mudhadh bin Amru Al-Jurhumi. Dengan demikian kepemimpinan Mekkah beralih ke tangan Orang-orang Jurhum dan terus berada di tangan mereka. Anak-anak Ismail merupakan titik pusat kemuliaan, sebab ayahnya yang telah membangun Kabah, namun mereka tidak mempunyai kewenangan memerintah sama sekali.
Seiring dengan perjalanan waktu, kedudukan anak cucu Ismail terus mengalami kemerosotan, hingga keberadaan Jurhum bertambah lemah dengan kemunculan Nebukadnezar. Bintang Bani Adnan dalam bidang politik mulai redup di langit Mekkah sejak masa itu. Buktinya, saat Nebukadnezar berperang melawan bangsa Arab di Dzatu Irq, komandan pasukan bangsa Arab dalam peperangan itu bukan berasal dari Bani Jurhum.?
Bani Adnan berpencar ke Yaman pada saat Perang Nebukadnezar II (587 SM), lalu pergi bersama Ma’ad ke Syam. Setelah tekanan Nebukadnezar mulai mengendur, Ma’ad kembali ke Mekkah. Namun, dia tidak mendapatkan seorang pun dari Bani Jurhum kecuali Jursyum bin Jalhamah. Lalu dia menikahi anak putrinya, Mu’anah, dan melahirkan seorang anak yang dinamai Nazar.”
Keadaan Bani Jurhum di Mekkah mulai memburuk dan keadaan mereka semakin sulit. Sering kali mereka berbuat semena-mena terhadap para utusan yang datang ke sana dan menghalalkan harta di Kabah.” Hal ini membuat murka Orang-orang dari Bani Adnan. Tatkala Bani Khuza’ah tiba di Marru Zhahran dan bertemu dengan beberapa orang dari Bani Adnan yang merupakan keturunan Jurhum, mereka pun memanfaatkan kesempatan itu. Atas bantuan suku-suku Adnan yang lain, mereka menyerang Jurhum hingga dapat diusir dari Mekkah. Dengan demikian, Bani Khuza’ah berkuasa di sana pada pertengahan abad kedua Masehi.
Tatkala Bani Jurhum berkuasa, mereka menggali sumur Zamzam untuk mencari tempatnya secara persis, lalu mengubur berbagai macam benda di sana. Ibnu Ishaq berkata, “Amru bin Al-Harits bin Mudhadh AlJurhumi” keluar sambil membawa tabir Kabah dan Hajar Aswad, lalu menguburkannya di sumur Zamzam. Setelah itu, dia bersama Orang-orang Jurhum berpindah ke Yaman. Tentu saja mereka sangat sedih karena harus meninggalkan kekuasaan mereka di Mekkah. Tentang hal ini, Amru berkata di dalam syairnya:”
Seolah tiada teman bagi si pemalas saat ke Shafa
Tiada pula orang yang diajak mengobrol di Mekkah
Kitalah penduduknya dan senantiasa berada di sana
Menyertai taburan debu dan malam-malam yang berubah Zaman Ismail diperkirakan berlangsung pada dua puluh abad sebelum Masehi. Sedangkan keberadaan Jurhum di Mekkah diperkirakan sekitar 21 abad. Mereka berkuasa selama 20 abad. Khuza’ah menangani urusan kota Mekkah bersama Bani Bakar. Namun, kabilah-kabilah
Mudhar juga mempunyai tiga bidang penanganan, yaitu:
- Menjaga keamanan manusia dari Arafah hingga Muzdalifah, dan memberi izin kepada mereka saat meninggalkan Mina, yang boleh dilakukan setelah Bani Ghauts bin Murrah dari suku Ilyas bin Mudhar, yang disebut Shaufah. Artinya, siapa pun tidak boleh melempar jumrah sebelum salah seorang dari Shaufah yang melakukannya. Bila semua orang telah selesai melempar jumrah dan hendak meninggalkan Mina, Orang-orang Shaufah berada di antara dua sisi Aqabah dan tidak ada seorang pun yang boleh melewati sebelum mereka melewatinya. Setelah Orang-orang Shaufah musnah, tradisi ini dilanjutkan oleh Bani Saad bin Zaid dari Tamim.
- Melakukan ifadhah (bertolak) dari Juma’, pada pagi hari Nahr (hari penyembelihan hewan qurban) menuju Mina; urusan ini diserahkan kepada Bani ‘Udwan.
- Menangguhkan bulan-bulan haram, yang menjadi wewenang Bani Tamim bin Adi dari Bani Kinanah.
Kekuasaan Khuza’ah di Mekkah berlangsung selama tiga ratus tahun. Pada masa kekuasaan mereka, Orang-orang Bani Adnan berpencar di Najd, di pinggiran negeri Irak dan Bahrain. Sementara itu di pinggiran Mekkah ada suku-suku dari Quraisy, yaitu Hulul dan Hurum serta suku-suku lain dari Bani Kinanah. Bani Kinanah sendiri tidak memiliki wewenang sedikit pun untuk menangani Mekkah dan Baitul Haram, hingga muncul Qushay bin Kilab.
Tentang Qushay ini dikisahkan bahwa bapaknya meninggal dunia saat dia masih kecil dalam asuhan ibunya. Lalu ibunya kawin lagi dengan seorang laki-laki dari Bani Udzrah, yaitu Rabi’ah bin Haram, yang kemudian membawanya ke perbatasan Syam. Setelah Qushay menginjak remaja, dia kembali ke Mekkah, yang saat itu jabatan gubernur Mekkah dipegang oleh Hulail bin Hubsyah dari Bani Khuza’ah. Qushay melamar putri Hulail, yang bernama Hubba, dan ternyata lamaran itu disambut baik olehnya. Dia pun dinikahkan dengan putri Hulail.
Setelah Hulail meninggal dunia, terjadi peperangan antara Khuza’ah dan Quraisy, yang akhirnya mengantarkan Qushay menjadi pemimpin Mekkah dan menangani urusan Baitul Haram. Ada tiga riwayat yang menjelaskan sebab meletusnya peperangan, yaitu:
- Setelah Qushay mempunyai banyak anak dan hartanya melimpah, bersamaan dengan itu Hulail pun meninggal dunia, maka dia merasa bahwa dirinya lebih berhak berkuasa di Mekkah dan menangani urusan Kabah daripada Bani Khuza’ah dan Bani Bakar. Sementara itu Quraisy adalah pelopor anak keturunan Ismail. Maka dia melobi beberapa pemuka Quraisy dan Bani Kinanah agar mengusir Orang-orang dari Bani Khuza’ah dan Bani Bakar dari Mekkah. Usul ini disambut baik dan mereka pun melakukannya.
- Menurut pengakuan Bani Khuza’ah, Hulail telah berwasiat kepada Qushay agar menangani urusan Kabah dan Mekkah.
- Hulail telah menunjuk putrinya Hubba sebagai orang yang berwenang atas penanganan Kabah. Lalu Abu Ghibsyan AlKhuza’i tampil sebagai orang yang mewakili Hubba. Maka dia pun menjaga Kabah. Setelah Hulail meninggal dunia, Qushay memberikan kewenangan mengurusi dan menjaga Kabah dari Abu Ghibsyan, yang ia tukar dengan satu geriba arak. Tentu saja Orang-orang dari Bani Khuza’ah tidak menerima jual beli itu. Mereka berusaha menghalangi Qushay agar tidak bisa tampil sebagai pengawas Kabah. Qushay mengumpulkan beberapa pemuka Quraisy dan Bani Kinanah untuk mengusir Bani Khuza’ah dari Mekkah, dan ternyata mereka menyambut ajakan Qushay tersebut.”
Bagaimana pun, setelah Hulail meninggal dunia dan Shufah berbuat sesuka hatinya sendiri, Qushay tampil bersama Orang-orang Quraisy dan Kinanah. Bani Khuza’ah dan Bakar siap menghadang di hadapan Qushay. Namun, Qushay lebih dahulu bertindak. Dia menghimpun pasukan untuk memerangi mereka. Kedua belah pihak saling bertemu dan meletus peperangan yang dahsyat di antara mereka. Banyak yang menjadi korban dari tiap-tiap pihak. Kemudian mereka sepakat untuk membuat perjanjian damai. Mereka mengangkat Ya’mar bin Auf dari Bani Bakar sebagai hakim untuk urusan perdamaian ini. Maka dia menetapkan bahwa Qushay lebih layak menangani urusan Kabah dan berkuasa di Mekkah daripada Bani Khuza’ah. Setiap darah yang tertumpah dari pihaknya, merupakan kesalahan Qushay sendiri dan harus menjadi tanggung jawabnya. Sementara setiap nyawa yang melayang dari Khuza’ah dan Bakar harus mendapat tebusan. Dengan keputusan ini, Qushay berhak menjadi pemimpin di Mekkah dan menangani urusan Kabah. Ya’mar pada saat itu dijuluki Asy-Syadzakh.
Qushay berkuasa di Mekkah dan menangani urusan Kabah pada pertengahan abad kelima Masehi, tepatnya pada tahun 440 M.
Dengan kekuasaan yang berada di tangan Qushay ini, Quraisy memiliki kepemimpinan yang utuh dan sebagai pelaksana kekuasaan di Mekkah. Selain itu ia juga menjadi pemimpin agama di Baitul Haram, yang menjadi tujuan kedatangan semua bangsa Arab dari segala penjuru.
Di antara kebijakan yang diambil oleh Qushay, ia mengumpulkan kaumnya untuk membangun rumah-rumah di Mekkah dan membuat batas-batas menjadi empat bagian di antara kaumnya. Setiap kaum dari Quraisy harus menempati posisi yang telah ditetapkan bagi masing-masing. Dia menetapkan tempat bagi Nas’ah, keturunan Shafwan, Adwan, dan Murrah bin Auf. Dia melihat hal ini sebagai keputusan agama yang tidak bisa diubah lagi.
Di antara peninggalan Qushay, ia membangun Darun Nadwah di sebelah utara Masjid atau Kabah. Pintunya langsung berhubungan dengan masjid. Darun Nadwah adalah tempat pertemuan Orang-orang Quraisy untuk membicarakan masalah-masalah penting. Bangunan ini memiliki kelebihan tersendiri bagi Quraisy, karena tempat itu bisa mempersatukan Orang-orang Quraisy dan sebagai tempat untuk memecahkan berbagai masalah dengan cara yang baik.
Qushay mempunyai beberapa wewenang dalam kekuasaan, yaitu:
- Sebagai pemimpin di Darun Nadwah. Di tempat itu para pemimpin Quraisy mengadakan musyawarah’ untuk memecahkan masalah-masalah penting yang mereka hadapi. Selain itu, tempat tersebut berfungsi untuk menikahkan anakanak putri mereka.
- Pemegang panji perang. Tak seorang pun berhak memegang panji perang kecuali dia.
- Hijabah atau wewenang menjaga pintu Kabah. Tak seorang pun boleh membuka pintu Kabah kecuali dia. Dengan demikian, dia berhak mengawasi dan menjaganya.
- Memberi minum Orang-orang yang menunaikan haji. Dia bertanggung jawab mengisi tempat-tempat air bagi Orang-orang yang menunaikan haji, dan ditambah dengan sedikit kurma atau anggur kering. Semua orang yang datang ke Mekkah bisa minum sepuas-puasnya.
- Jamuan bagi Orang-orang yang menunaikan haji. Maksudnya, dia menyediakan jamuan yang disajikan bagi Orang-orang yang menunaikan haji lewat undangan. Untuk itu Qushay meminta pajak kepada Orang-orang Quraisy pada musim haji, yang harus diserahkan kepada Qushay. Dengan pajak yang terkumpul itu dia bisa membuat makanan untuk disajikan kepada mereka, terutama Orang-orang yang tidak banyak hartanya dan tidak mempunyai bekal yang memadai.
Semua itu menjadi wewenang Qushay. Sebenarnya Abdu Manaf (anaknya yang kedua) lebih terpandang dan dihormati hidupnya, berbeda dengan kakaknya Abdud Dar yang kurang disukai. Maka Qushay pernah berkata kepadanya, “Aku akan mempertemukan dirimu dengan semua kaum jika mereka menganggapmu lebih terhormat.” Namun, akhirnya Qushay menyerahkan kekuasaan kepada Abdud Dar demi kemaslahatan Quraisy. Dia berikan kewenangan untuk mengurus Darun Nadwah, hijabah, panji perang, penyediaan air dan makanan. Qushay tidak menentang dan menyanggah apa pun yang dilakukan anaknya Abdud Dar. Kewenangan yang berlaku semasa hidup Qushay dan sepeninggalnya dianggap layaknya agama yang harus diikuti.
Setelah Qushay meninggal dunia, kewenangan ini terus dijalankan anak-anaknya dan tidak ada perselisihan di antara mereka. Tetapi, setelah Abdu Manaf meninggal dunia, kerabatnya dari keturunan pamannya mulai mengusik jabatan-jabatan itu. Karena masalah itu pula Quraisy terbagi menjadi dua kelompok, dan hampir saja mereka saling berperang. Tapi mereka segera berdamai dan sepakat untuk membagi jabatan-jabatan tersebut. Akhirnya ditetapkan, kewenangan mengurus air minum dan makanan diserahkan kepada keturunan Abdu Manaf, sedangkan urusan Darun Nadwah, panji perang dan hijabah diserahkan kepada keturunan Abdud Dar. Keturunan Abdu Manaf sepakat untuk membuat undian, siapakah yang berhak mendapatkan jabatan tersebut dan akhirnya undian itu jatuh kepada Hasyim bin Abdu Manaf. Dialah yang berwenang menangani penyediaan air minum dan makanan sepanjang hidupnya. Setelah Hasyim meninggal dunia, jabatan tersebut digantikan oleh saudaranya, Al-Mutholib bin Abdu Manaf. Setelah itu dilanjutkan Abdul Mutholib bin Hasyim bin Abdu Manaf, kakek Rasulullah. Kemudian dilanjutkan anak-anaknya hingga masa Islam dan kewenangan ini ada di tangan Al-Abbas bin Abdul Mutholib.
Selain itu Quraisy masih mempunyai beberapa jabatan lain, yang dibagi di antara mereka. Dengan demikian, mereka telah membentuk satu. pemerintahan kecil, atau lebih tepatnya pemerintahan kecil yang demokratis. Ada pembatasan masa jabatan dan bentuk-bentuk pemerintahan yang mirip dengan sistem pemerintahan pada zaman sekarang, yang dikenal dengan istilah parlemen dan majelis parlemen. Berikut ini jabatan-jabatan yang dimaksud:
- Al-Isar, yaitu penanganan tempat api pada berhala untuk pemberian sumpah. Jabatan ini berada di tangan Bani Jumah.
- Tahjirul Anwal, yaitu penanganan korban dan nazar yang dipersembahkan kepada berhala. Jabatan ini juga menangani penyelesaian permusuhan dan persekutuan. Bani Sahm memegang jabatan ini.
- Permusyawaratan, dijabat oleh Bani Asad.
- Al-Asynaq, yaitu pengaturan tebusan dan denda. Jabatan ini dijalankan oleh Bani Taim.
- Hukuman atau pembawa panji kaum. Jabatan ini diberikan kepada Bani Umayyah.
- Al-Qubah, yaitu penanganan militer dan pasukan kuda. Urusan ini ditangani oleh Bani Makhzum.
- As-Sifarah (kedutaan). Jabatan ini dipegang oleh Bani Adi.
Kekuasaan di Seluruh Penjuru Arab
Sebelumnya, kami telah menyebutkan kepindahan kabilah-kabilah Qahthan dan Adnan dan bahwa negeri Arab terpecah-pecah. Kabilah-kabilah yang berdekatan dengan Hirah mengikuti raja di Hirah, dan yang berdekatan dengan Syam akan mengikuti raja Ghassan. Hanya saja subordinasi ini hanya sekedar nama, tidak dalam praktiknya. Karena faktanya daerah-daerah di Jazirah Arab mempunyai kebebasan secara mutlak.
Pada hakikatnya kabilah-kabilah ini mempunyai pemuka-pemuka yang memimpin kabilahnya masing-masing. Kabilah adalah sebuah pemerintahan kecil yang asas eksistensi politiknya adalah kesamaan fanatisme, adanya manfaat imbal balik untuk menjaga daerah dan menghadang musuh dari luar.
Kedudukan pemimpin kabilah di tengah kaumnya tak ubahnya kedudukan seorang raja. Anggota kabilah mengikuti apa pun pendapat pemimpinnya dalam persoalan damai maupun perang, tidak ada yang tercecer dari penanganannya, seperti apa pun keadaannya. Dia mempunyai kewenangan hukum dan otoritas pendapat, layaknya seorang pemimpin diktator yang perkasa. Adakalanya, bila seorang pemimpin murka, sekian ribu mata pedang akan ikut berbicara, tanpa perlu bertanya apa yang membuat pemimpin kabilah itu murka.
Peta Geopolitik Jazirah Arab Sebelum Islam
Hanya saja persaingan untuk mendapatkan kursi pemimpin di antara keturunan paman, sering membuat mereka bersikap manis di mata orang banyak, seperti bermurah hati, menjamu tamu, menjaga kehormatan, lemah lembut, memperlihatkan keberanian, membela diri dari serangan orang lain, hingga tidak jarang mereka mencari-cari orang yang siap memberikan sanjungan dan pujian tatkala berada di hadapan orang banyak. Apalagi para penyair yang pada masa itu memang menjadi penyambung lidah setiap kabilah, hingga kedudukan para penyair sama dengan kedudukan Orang-orang yang sedang bersaing mencari simpati.
Pemimpin kabilah mempunyai hak-hak istimewa. Dia mendapatkan seperempat bagian dari harta rampasan perang, harta rampasan yang diambil untuk dirinya sendiri sebelum ada pembagian, jarahan di tengah perjalanan sebelum tiba di kancah peperangan, dan kelebihan pembagian harta rampasan yang memang tidak bisa dibagi di antara para pasukan perang, seperti unta dan kuda.
Kondisi Politik
Kami telah menjelaskan tentang para penguasa di Arab. Sekarang, kami akan menjelaskan secara ringkas tentang kondisi politik di kalangan mereka. Kondisi politik di tiga wilayah di sekitar Jazirah Arab merupakan politik yang lemah dan menurun, tidak ada lebihnya. Manusia bisa dibedakan antara tuan dan budak, pemimpin dan rakyat. Para tuan, terutama tuan yang terhormat, berhak atas semua harta rampasan dan kekayaan, sedangkan bawahan mereka dikenai segala macam upeti. Dengan istilah lain yang lebih jelas, rakyat bisa diumpamakan ladang yang harus mendatangkan hasil lalu diserahkan kepada pemerintah. Selanjutnya, para pemimpin menggunakan kekayaan itu untuk foya-foya dan mengumbar syahwat.
Sedangkan rakyat dengan kebutaannya semakin terpuruk dan mendapatkan kezaliman dari segala sisi. Mereka hanya bisa merintih dan mengeluh. Tidak berhenti sampai di sini saja, bahkan mereka masih harus menahan rasa lapar, ditekan dan mendapat berbagai macam penyiksaan dengan sikap diam, tanpa mengadakan perlawanan sedikit pun.
Kekuasaan yang berlaku saat itu adalah sistem diktator. Banyak hak yang hilang dan terabaikan. Sementara itu, kabilah-kabilah yang berdekatan dengan wilayah-wilayah ini tak pernah merasa tenteram, karena mereka juga menjadi mangsa nafsu dan berbagai kepentingan. Karena itu, mereka kadang kala harus masuk wilayah Irak dan Syam. Kabilah-kabilah di Jazirah Arab tidak pernah rukun. Mereka lebih sering diwarnai permusuhan antar kabilah, perselisihan rasial dan agama, sehingga salah seorang pemikir mereka berkata dalam syairnya.
Aku hanyalah sesuatu yang dicari jika ketemu ketemulah ia dan jika tidak ketemu tidak ketemulah ia
Mereka tidak mempunyai seorang raja yang memberikan kemerdekaan, atau sandaran yang bisa dijadikan tempat kembali dan bisa diandalkan saat menghadapi kesulitan dan krisis. Adapun kekuasaan di Hijaz di mata bangsa Arab memiliki kehormatan tersendiri. Mereka melihat kekuasaan di Hijaz sebagai pusat kekuasaan agama. Sebenarnya, kekuasaan itu merupakan campuran antara unsur keduniaan, pemerintahan dan agama, yang berlaku di kalangan bangsa, dengan istilah kepemimpinan agama. Mereka berkuasa di Tanah Suci dengan sifat sebagai kekuasaan yang mengurus para peziarah Kabah dan pelaksana syariat Nabi Ibrahim. Mereka mempunyai aturan tentang masa jabatan dan bentuk-bentuk pemerintahan yang menyerupai sistem parlemen pada zaman sekarang, seperti yang sudah kita singgung sebelumnya. Sayangnya, kekuasaan ini sangat lemah dan tidak mampu mengemban beban, sebagaimana yang terjadi saat peperangan melawan Orang-orang Habasyah.[]
Mayoritas bangsa Arab mengikuti dakwah Ismail, yaitu beliau menyeru kepada agama bapaknya, Ibrahim . Inti ajarannya menyembah kepada Allah, mengesakan-Nya dan memeluk agama-Nya. Waktu bergulir sekian lama, hingga banyak di antara mereka yang melalaikan ajaran yang pernah disampaikan kepada mereka. Meskipun demikian, masih ada sisa-sisa tauhid dan beberapa syiar dari agama Ibrahim, hingga muncul Amru bin Luhay, pemimpin Bani Khuza’ah. Dia tumbuh sebagai orang yang dikenal suka berbuat kebajikan, mengeluarkan sedekah dan peka terhadap urusan-urusan agama, sehingga semua orang mencintainya dan hampir-hampir menganggapnya sebagai salah seorang ulama besar dan wali yang disegani.
Suatu saat dia mengadakan perjalanan ke Syam. Di sana dia melihat penduduk Syam yang menyembah berhala dan menganggap hal itu sebagai sesuatu yang baik serta benar. Sebab, menurutnya Syam adalah tempat para rasul dan Kitab. Karena itulah, dia pulang sambil membawa berhala Hubal dan meletakkannya di dalam Kabah. Setelah itu dia mengajak penduduk Mekkah untuk membuat kesyirikan terhadap Allah. Orang-orang Hijaz pada akhirnya banyak yang mengikuti penduduk Mekkah, karena mereka dianggap sebagai pengawas Kabah dan penduduk Tanah Suci.’
Peta Sebagian Berhala yang Disembah Bangsa Arab pada Masa Jahiliyah
Berhala mereka yang tertua adalah Manat, yang ditempatkan di Musyallal di tepi Laut Merah di dekat Qudaid. Kemudian mereka membuat Lata di Tha’if dan Uzza di Wadi Nakhlah. Inilah tiga berhala yang paling besar. Setelah itu kemusyrikan semakin merebak dan berhala-berhala yang lebih kecil bertebaran di setiap tempat di Hijaz. Dikisahkan bahwa Amru bin Luhay mempunyai pembantu dari jenis jin. Jin ini memberitahukan kepadanya bahwa berhala-berhala kaum Nuh (Wad, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr) terpendam di Jeddah. Maka dia datang ke sana dan mengangkatnya, lalu membawanya ke Tihamah. Setelah tiba musim haji, dia menyerahkan berhala-berhala itu kepada berbagai kabilah.
Akhirnya berhala-berhala itu kembali ke tempat asalnya masing-masing. Dengan demikian, di setiap kabilah dan di setiap rumah hampir bisa dipastikan ada berhalanya. Selain itu, mereka memenuhi Al-Masjid Al-Haram dengan berbagai macam berhala dan patung. Ketika Rasulullah menaklukkan Mekkah, di sekitar Kabah terdapat 360 berhala. Rasulullah menghancurkan berhala-berhala itu hingga runtuh semua. Selanjutnya beliau memerintahkan agar berhala-berhala tersebut dikeluarkan dari masjid dan dibakar.
Begitulah kisah kemusyrikan dan penyembahan terhadap berhala yang menjadi fenomena terbesar dari agama Orang-orang Jahiliyah, yang menganggap dirinya berada pada agama Ibrahim. Mereka juga mempunyai beberapa tradisi dan upacara penyembahan berhala, yang mayoritas diciptakan oleh Amru bin Luhay. Orang-orang mengira apa yang diciptakan Amru itu merupakan sesuatu yang baru dan baik, serta tidak mengubah agama Ibrahim. Di antara upacara penyembahan berhala yang mereka lakukan adalah:
- Mereka mengelilingi berhala dan mendatanginya sambil berkomat-kamit di hadapannya. Mereka meminta pertolongan kepadanya tatkala menghadapi kesulitan, berdoa untuk memenuhi kebutuhan, dengan penuh keyakinan bahwa berhala-berhala itu bisa memberikan syafaat di sisi Allah dan mewujudkan apa yang mereka kehendaki.
- Mereka menunaikan haji dan tawaf di sekeliling berhala, merunduk dan sujud di hadapannya.
- Mereka mengadakan penyembahan dengan menyajikan berbagai macam korban, menyembelih hewan piaraan dan hewan korban demi berhala dan menyebut namanya. Dua jenis penyembelihan ini telah disebutkan Allah di dalam firman-Nya:
Dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. (Al Maidah: 3)
Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. (Al-An’am : 121).
- Bentuk peribadatan yang lain, mereka mengkhususkan sebagian dari makanan dan minuman yang mereka pilih untuk disajikan kepada berhala, dan juga mengkhususkan bagian tertentu dari hasil panen dan binatang piaraan mereka. Ada juga Orang-orang tertentu yang mengkhususkan sebagian lain bagi Allah. Yang pasti, mereka mempunyai banyak sebab untuk memberikan sesaji kepada berhala yang tidak akan sampai kepada Allah. Apa yang mereka sajikan kepada Allah hanya sampai kepada berhala-berhala mereka. Allah berfirman:
Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka: “Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami”. Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu. (Al-An’am: 136).
- Di antara jenis peribadatan yang mereka lakukan ialah dengan bernazar menyajikan sebagian hasil tanaman dan ternak untuk berhala-berhala itu. Allah berfirman:
Dan mereka mengatakan: “Inilah hewan ternak dan tanaman yang dilarang; tidak boleh memakannya, kecuali orang yang Kami kehendaki”, menurut anggapan mereka, dan ada binatang ternak yang diharamkan menungganginya dan ada binatang ternak yang mereka tidak menyebut nama Allah waktu menyembelihnya, semata-mata membuat-buat kedustaan terhadap Allah. Kelak Allah akan membalas mereka terhadap apa yang selalu mereka ada-adakan. (Al-An’am: 138).
- Beberapa jenis unta yang dijuluki Bahirah, Sa’ibah, Washilah, dan Hami juga diperlakukan sedemikian rupa. Ibnu Ishaq mengisahkan, “Bahirah ialah anak Sa’ibah, unta betina yang telah beranak sepuluh, yang semuanya betina dan sama sekali tidak mempunyai anak jantan. Unta ini tidak boleh ditunggangi, tidak boleh diambil bulunya, dan susunya tidak boleh diminum kecuali oleh tamu. Jika kemudian melahirkan lagi anak betina, maka telinganya harus dibelah. Setelah itu ia harus dilepaskan secara bebas bersama induknya, dan harus mendapat perlakuan seperti induknya. Washilah adalah domba betina yang selalu melahirkan anak kembar betina selama lima kali secara berturut-turut, tidak diselingi kelahiran anak jantan sama sekali. Domba ini dijadikan sebagai perantara untuk peribadatan. Oleh karena itu mereka berkata, “Aku mendekatkan diri dengan domba ini.” Tetapi, bila setelah itu unta tersebut melahirkan anak jantan dan tidak ada yang mati, maka domba ini boleh disembelih dan dagingnya dimakan. Hami adalah unta jantan yang sudah membuntingi sepuluh betina yang melahirkan sepuluh anak betina secara berturut-turut tanpa ada jantannya. Unta seperti ini tidak boleh ditunggangi, tidak boleh diambil bulunya, harus dibiarkan lepas, dan tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan apa pun, Untuk itu Allah menurunkan ayat:
Allah sekali-kali tidak pernah mensyariatkan adanya bahirah, saibah, washilah, dan ham, akan tetapi Orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti, (Al-Ma’idah: 103).
Allah juga menurunkan ayat:
Dan mereka mengatakan: “Apa yang ada dalam perut binatang ternak ini adalah khusus untuk pria kami dan diharamkan atas wanita kami,” dan jika yang dalam perut itu dilahirkan mati, maka pria dan wanita sama-sama boleh memakannya. (Al-An’am: 139).
Namun, ada yang menafsirkan binatang ternak tersebut berbeda dengan yang telah disebutkan tadi.
Sa’id bin Al-Musayyab telah menegaskan bahwa binatang-binatang ternak dipersembahkan untuk berhala-berhala mereka. Di dalam Ash-Sahih disebutkan secara marfu’ bahwa Amru bin Luhay adalah orang pertama yang mempersembahkan unta untuk berhala.
Bangsa Arab berbuat seperti itu terhadap berhala-berhalanya, dengan disertai keyakinan bahwa hal itu bisa mendekatkan mereka kepada Allah dan menghubungkan mereka kepada-Nya serta memberikan manfaat di sisi-Nya, sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Qur’an:
“Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (Az-Zumar: 3).
Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudaratan kepada mereka dan tidak (pula)
kemanfaatan, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada Kami di sisi Allah.” (Yunus: 18).
Orang-orang Arab juga mengundi nasib dengan menggunakan anak panah yang tidak ada bulunya. Anak panah yang digunakan untuk mengundi nasib tersebut diberi tiga tanda: anak panah pertama diberi tanda “Ya”, dan anak panah kedua diberi tanda “Tidak”, dan anak panah ketiga tidak diberi tanda apa-apa. Mereka mengundi nasib untuk memastikan pelaksanaan suatu keinginan atau rencana, seperti bepergian atau lain-lainnya dengan menggunakan anak panah itu. Jika yang keluar panah bertanda “Ya”, mereka melaksanakannya, dan jika yang keluar panah bertanda “Tidak”, mereka menangguhkannya hingga tahun depan dan berbuat hal serupa sekali lagi. Bila yang keluar anak panah yang tidak diberi tanda, mereka mengulanginya lagi.
Selain tiga anak panah bertanda seperti itu, ada jenis lain lagi yang diberi tanda air dan tebusan. Ada juga anak panah bertanda “Dari golongan kalian” atau “Bukan dari golongan kalian” atau “Anak angkat.” Jika mereka memerkarakan nasab seseorang, mereka membawa orang itu ke hadapan Hubal, sambil membawa seratus hewan korban dan diserahkan kepada pengundi anak panah. Jika yang keluar tanda “Dari golongan kalian”, maka orang tersebut merupakan golongan mereka, dan jika yang keluar tanda “Bukan dari golongan kalian”, maka orang tersebut hanya sebagai rekan persekutuan, dan jika yang keluar tanda “Anak angkat”, maka orang tersebut tak ubahnya anak angkat, bukan termasuk dari golongan mereka dan juga tidak bisa didudukkan sebagai rekan persekutuan.’
Perjudian dan undian tidak berbeda jauh dengan hal tersebut. Mereka membagi daging korban yang telah disembelih berdasarkan undian itu.
Mereka juga percaya kepada perkataan peramal, orang pintar dan ahli nujum. Peramal adalah orang yang mengabarkan sesuatu yang bakal terjadi di kemudian hari. la mengaku bisa mengetahui rahasia gaib pada masa mendatang. Di antara peramal ini ada yang mengaku memiliki pengikut dari golongan jin yang memberinya suatu pengabaran. Di antara mereka mengaku bisa mengetahui hal-hal gaib lewat suatu pemahaman yang dimilikinya. Di antara mereka mengaku bisa mengetahui berbagai masalah lewat isyarat atau sebab yang memberinya petunjuk, dari perkataan, perbuatan atau keadaan orang yang bertanya kepadanya. Orang semacam ini disebut paranormal atau orang pintar. Ada pula yang mengaku bisa mengetahui orang yang kecurian dan tempat di mana dia kecurian serta orang tersesat dan lain-lain.
Selain peramal, ada ahli nujum. Yaitu orang yang memperhatikan keadaan bintang dan planet, lalu dia menghitung perjalanan dan waktu peredarannya, agar dengan begitu dia bisa mengetahui berbagai keadaan di dunia dan peristiwa-peristiwa yang bakal terjadi pada masa mendatang. Pembenaran terhadap pengabaran ahli nujum pada hakikatnya merupakan keyakinan terhadap bintang-bintang. Sedangkan keyakinan mereka terhadap bintang-bintang merupakan keyakinan terhadap hujan. Maka mereka berkata, “Hujan yang turun kepada kami berdasarkan bintang ini dan itu.”
Di kalangan mereka juga ada tradisi thiyarah, yakni pesimis terhadap sesuatu. Pada mulanya mereka mendatangkan seekor burung atau biri-biri, lalu melepasnya. Jika burung atau biri-biri itu pergi ke arah kanan, mereka jadi bepergian ke tempat yang hendak dituju dan hal itu dianggap sebagai pertanda baik. Jika burung atau biri-biri tersebut berjalan ke kiri, mereka mengurungkan niatnya untuk bepergian dan menganggapnya sebagai tanda kesialan. Mereka juga meramal di tengah perjalanan bila bertemu burung atau hewan tertentu.
Tidak berbeda jauh dengan hal tersebut adalah kebiasaan mereka menggantungkan ruas tulang kelinci. Mereka juga meramal kesialan dengan sebagian hari, bulan, hewan atau wanita. Mereka percaya bahwa bila ada orang mati terbunuh, jiwanya tidak tenteram bila dendamnya tidak dibalaskan. Ruhnya bisa menjadi burung hantu yang beterbangan di padang pasir seraya berkata, “Berilah aku minum, berilah aku minum!” Jika dendamnya sudah dibalaskan, maka ruhnya menjadi tenteram.
Sekalipun masyarakat Arab sangat bodoh seperti itu, sisa-sisa agama Ibrahim tetap ada di kalangan mereka dan mereka sama sekali tidak meninggalkannya. Seperti pengagungan terhadap Kabah, tawaf, haji, umrah, wukuf di Arafah dan Muzdalifah. Meskipun ada hal-hal baru dalam pelaksanaannya.
Di antara Orang-orang Quraisy, tetap ada yang mengatakan, “Kami adalah anak keturunan Ibrahim dan penduduk Tanah Suci, penguasa Kabah dan penghuni Mekkah. Tidak ada seorang pun dari bangsa Arab yang mempunyai hak dan kedudukan seperti kami. Maka tidak layak bagi kami keluar dari Tanah Suci ini ke tempat lain.” Karena itu, mereka tidak melaksanakan wukuf di Arafah dan tidak ifadhah dari sana, tetapi ifadhah dari Muzdalifah. Tentang hal ini Allah menurunkan ayat:
Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya Orang-orang banyak (Arafah) (Al-Baqarah: 199).
Hal-hal baru lainnya, mereka berkata, “Tidak selayaknya bagi Orang-orang Quraisy untuk memberi makan keju dan meminta minyak samin ketika mereka sedang ihram. Mereka tidak boleh masuk Baitul Haram dengan mengenakan kain wol dan tidak boleh berteduh jika ingin berteduh kecuali di rumah-rumah pemimpin selama mereka sedang ihram. Mereka juga berkata, “Penduduk di luar Tanah Suci tidak boleh memakan makanan yang mereka bawa dari luar Tanah Suci ke Tanah Suci bila kedatangan mereka untuk haji atau umrah.”
Mereka juga menyuruh penduduk di luar Tanah Suci untuk tetap mengenakan ciri pakaiannya sebagai penduduk bukan Tanah Suci pada awal kedatangan mereka untuk melakukan tawaf awal. Jika tidak memiliki ciri pakaiannya sebagai penduduk luar Tanah Suci, mereka harus tawaf dalam keadaan telanjang. Ini berlaku untuk kaum laki-laki, sedangkan untuk wanita harus melepaskan semua pakaiannya, kecuali baju rumahnya yang longgar. Saat itu mereka berkata:
Hari ini tampak sebagian atau semuanya Apa yang tiada tampak tiada diperkenankannya.
Lalu Allah menurunkan ayat mengenai hal ini:
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid. (Al-A’raf: 31).
Pakaian yang dikenakan penduduk luar Tanah Suci harus dibuang setelah melakukan tawaf awal, dan tak seorang pun boleh mengambilnya lagi, begitu pula orang yang bersangkutan.
Hal baru lainnya, mereka tidak memasuki rumah dari pintunya selama dalam keadaan ihram. Mereka membuat lubang di bagian belakang rumah, dan dari lobang itulah mereka keluar masuk rumahnya. Mereka menganggap hal itu sebagai perbuatan yang baik. Namun, Al-Qur’an melarangnya (Al-Baqarah: 189).
Semua ritual keagamaan tersebut adalah kesyirikan dan penyembahan terhadap berhala; keyakinan terhadap khayalan dan khurafat. Begitulah agama mayoritas bangsa Arab. Sebelum itu sudah ada agama Yahudi, Nasrani, Majusi, dan Shabi’ah yang masuk ke dalam masyarakat Arab.
Orang-orang Yahudi mempunyai dua latar belakang, sehingga mereka berada di Jazirah Arab, yang setidak-tidaknya digambarkan dalam dua hal berikut ini:
- Kepindahan mereka pada masa penaklukan bangsa Babilon dan Asyur di Palestina, yang mengakibatkan tekanan terhadap Orang-orang Yahudi, penghancuran negeri mereka dan pemusnahan mereka di tangan Nebukadnezar pada tahun 587 SM. Di antara mereka banyak yang ditawan dan dibawa ke Babilonia. Sebagian di antara mereka juga ada yang meninggalkan Palestina dan pindah ke Hijaz. Mereka menempati Hijaz bagian utara.”
- Dimulai dari pencaplokan bangsa Romawi terhadap Palestina pada tahun 70 M, yang disertai dengan tekanan terhadap Orang-orang Yahudi dan penghancuran haikal-haikal (kuil-kuil) mereka, sehingga kabilah-kabilah mereka berpindah ke Hijaz, lalu menetap di Yatsrib, Khaibar dan Taima’.’ Di sana mereka mendirikan perkampungan Yahudi dan benteng pertahanan. Maka agama Yahudi menyebar di sebagian masyarakat Arab melalui para imigran Yahudi tersebut. Mereka selanjutnya memiliki beberapa peran yang bisa dicatat dari beberapa peristiwa yang bersifat politis, sebelum munculnya Islam. Saat Islam datang, kabilah kabilah Yahudi yang terkenal adalah Yahudi Khaibar, Bani Nadhir, Bani Quraizhah dan Bani Qainuqa.’ As-Samhudi menyebutkan di dalam Wafa’ul Wafa hal. 116 bahwa jumlah kabilah Yahudi saat itu lebih dari dua puluh.
Agama Yahudi masuk ke Yaman karena dibawa oleh penjual jerami yang bernama As’ad Abu Karb. Awal mulanya dia pergi untuk berperang ke Yatsrib dan memeluk agama Yahudi di sana. Sepulangnya dari Yatsrib ke Yaman dia membawa dua pemuka Yahudi dari Bani Quraizhah, sehingga agama Yahudi menyebar di sana. Setelah As’ad meninggal dunia dan digantikan anaknya, Yusuf Dzu Nuwas, dia memerangi Orang-orang Kristen dari penduduk Najran dan memaksa mereka untuk masuk agama Yahudi. Karena mereka menolaknya, maka dia menggali parit dan membakar mereka di dalam parit itu. Tak seorang pun yang tersisa, laki-laki maupun wanita, tua maupun muda. Ada yang mengisahkan bahwa korban yang dibunuhnya mencapai 20-40 ribu. Peristiwa ini terjadi pada bulan Oktober 523 M. Al-Qur’an telah memuat sebagian kisah ini di dalam surat Al-Buruj.
Sementara itu, agama Nasrani masuk ke Jazirah Arab melalui pendudukan Orang-orang Habasyah dan Romawi. Pendudukan Orang-orang Habasyah yang pertama kali di Yaman pada tahun 340 M dan terus berlanjut hingga tahun 378 M.!? Pada masa itu misionaris Nasrani menyelusup ke berbagai tempat di Yaman. Tidak lama kemudian, ada seseorang yang zuhud, yang doanya senantiasa dikabulkan dan memiliki karamah, datang ke Najran. Dia mengajak penduduk Najran untuk memeluk agama Nasrani. Mereka melihat garis-garis kejujuran dirinya dan kebenaran agamanya. Oleh karena itu, mereka memenuhi ajakannya untuk memeluk agama tersebut.
Setelah Orang-orang Habasyah menduduki Yaman untuk mengembalikan kondisi karena tindakan Dzu Nuwas dan Abrahah memegang kekuasaan di sana, maka agama Nasrani berkembang pesat dan sangat maju. Karena semangatnya dalam menyebarkan agama ini, Abrahah membangun sebuah gereja di Yaman, yang dinamakan Kabah Yaman. Dia menginginkan agar semua bangsa Arab “berhaji” ke gereja ini dan hendak menghancurkan Baitullah di Mekkah. Namun, Allah membinasakannya.
bangsa Arab yang memeluk agama Nasrani adalah dari suku-suku Ghassan, kabilah-kabilah Taghlib, Thayyi’, dan yang berdekatan dengan Orang-orang Romawi. Bahkan sebagian raja Hirah juga memeluk agama Nasrani.
Adapun agama Majusi, lebih banyak berkembang di kalangan bangsa Arab yang berdekatan dengan Orang-orang Persia. Agama ini juga pernah berkembang di kalangan Orang-orang Arab Irak, Bahrain, dan wilayah-wilayah di pesisir teluk Arab. Ada pula penduduk Yaman yang memeluk agama Majusi ketika bangsa Arab menduduki Yaman.
Sementara itu, agama Shabi’ah menurut beberapa kisah dan catatan berkembang di Irak dan lainnya, yang dianggap sebagai agama kaum Ibrahim Kaldean. Banyak penduduk Syam dan Yaman pada masa dahulu yang memeluk agama ini. Setelah kedatangan beberapa agama baru, seperti agama Yahudi dan Nasrani, agama Shabi’ah mulai kehilangan eksistensinya dan surut. Namun, sisa-sisa menganutnya tetap ada dan bercampur dengan penganut agama Majusi, atau yang berdampingan dengan mereka di pemukiman masyarakat Arab di Irak dan di pinggiran Teluk Arab.
Kondisi Kehidupan Agama
Seperti itulah agama-agama yang ada pada saat kedatangan Islam. Namun, agama-agama itu sudah banyak disusupi penyimpangan dan hal-hal yang merusak. Orang-orang musyrik yang mengaku berada pada agama Ibrahim, keadaannya sangat jauh dari perintah dan larangan syariat Ibrahim. Mereka mengabaikan tuntunan-tuntunan tentang akhlak yang mulia. Kedurhakaan mereka tak terhitung banyaknya, dan seiring dengan perjalanan waktu, mereka berubah menjadi penyembah berhala (paganis), dengan tradisi dan kebiasaan yang menggambarkan berbagai macam khurafat dalam kehidupan agama, kemudian mengimbas ke kehidupan sosial dan politik.
Adapun Orang-orang Yahudi telah menjelma sebagai Orang-orang yang angkuh dan sombong. Pemimpin-pemimpin mereka menjadi persembahan selain Allah. Para pemimpin itulah yang memutuskan hukum di antara manusia dan mengorek-orek kesalahan mereka, bahkan Kondisi Kehidupan Agama
Seperti itulah agama-agama yang ada pada saat kedatangan Islam. Namun, agama-agama itu sudah banyak disusupi penyimpangan dan hal-hal yang merusak. Orang-orang musyrik yang mengaku berada pada agama Ibrahim, keadaannya sangat jauh dari perintah dan larangan syariat Ibrahim. Mereka mengabaikan tuntunan-tuntunan tentang akhlak yang mulia. Kedurhakaan mereka tak terhitung banyaknya, dan seiring dengan perjalanan waktu, mereka berubah menjadi penyembah berhala (paganis), dengan tradisi dan kebiasaan yang menggambarkan berbagai macam khurafat dalam kehidupan agama, kemudian mengimbas ke kehidupan sosial dan politik.
Adapun Orang-orang Yahudi telah menjelma sebagai Orang-orang yang angkuh dan sombong. Pemimpin-pemimpin mereka menjadi persembahan selain Allah. Para pemimpin itulah yang memutuskan hukum di antara manusia dan mengorek-orek kesalahan mereka, bahkan sampai kepada urusan yang masih terbetik di dalam hati dan belum diucapkan lisan. Ambisi mereka hanya satu; mendapatkan kekayaan dan kedudukan, sekalipun berakibat musnahnya agama dan menyebabkan kekufuran serta pengabaian terhadap ajaran-ajaran yang telah ditetapkan Allah dan yang dianjurkan bagi semua orang untuk menyucikannya.
Agama Nasrani sendiri berubah menjadi agama paganisme yang sulit dipahami dan menimbulkan pencampuradukan antara Allah dan manusia. Kalau pun ada bangsa Arab yang memeluk agama ini, tidak ada pengaruh yang berarti, karena ajaran-ajarannya jauh dari model kehidupan yang mereka jalani, dan yang tidak mungkin mereka tinggalkan.
Semua agama bangsa Arab pada waktu itu, keadaan para pemeluknya, sama dengan keadaan Orang-orang musyrik. Hati, kepercayaan, tradisi, dan kebiasaan mereka hampir serupa.[]
Setelah pada bagian yang lalu membahas kondisi politik dan agama di Jazirah Arab, kita masih menyisakan pembahasan tentang kondisi sosial, politik, dan moral. Berikut ulasan singkatnya:
Kondisi Sosial
Terdapat beragam klasifikasi dalam tatanan masyarakat Arab, di mana antara satu dengan yang lainnya, kondisinya berbeda-beda. Hubungan seorang laki-laki dengan keluarganya di lapisan kaum bangsawan mendapatkan kedudukan yang amat terpandang dan tinggi, kemerdekaan berkehendak dan pendapat yang mesti didengar mendapatkan porsi terbesar. Hubungan ini selalu dihormati dan dijaga sekalipun dengan pedang yang terhunus dan darah yang tertumpah.
Jika seorang laki-laki yang ingin dipuji karena kemurahan hati dan keberaniannya di mata orang Arab, hendaklah waktunya yang banyak hanya dipergunakan untuk berbicara dengan wanita. Jika seorang wanita menghendaki, dia dapat mengumpulkan suku-suku untuk kepentingan perdamaian, namun juga dapat menyulut api peperangan di antara mereka. Meskipun demikian, tak dapat disangkal lagi bahwa seorang laki-laki adalah kepala keluarga dan yang menentukan sikap di dalamnya. Hubungan antara laki-laki dan wanita yang berlangsung melalui akad nikah dan diawasi oleh para walinya (wanita). Seorang wanita tidak memiliki hak untuk menggurui mereka. Sementara kondisi kaum bangsawan demikian, kondisi yang dialami oleh lapisan masyarakat lainnya amat berbeda. Terdapat beragam gaya hidup yang bercampur baur antara kaum laki-laki dan wanita. Kami hanya bisa mengatakan bahwa semuanya adalah berupa pelacuran, gila-gilaan, pertumpahan darah, dan perbuatan keji.
Imam Al-Bukhari dan lainnya meriwayatkan dari Aisyah az bahwa pernikahan pada masa Jahiliyah terdiri dari empat macam:
Pertama, Pernikahan seperti pernikahan orang sekarang; yaitu seorang laki-laki mendatangi laki-laki yang lain dan melamar wanita yang di bawah perwaliannya atau anak perempuannya, kemudian dia menentukan maharnya dan menikahkannya.
Kedua, seorang laki-laki berkata kepada istrinya ketika ia sudah suci dari haidnya, “Pergilah kepada si fulan dan bersenggamalah dengannya”, kemudian setelah itu, istrinya ini ia tinggalkan dan tidak ia sentuh selamanya hingga tampak tanda kehamilannya dari laki-laki tersebut. Dan bila tampak tanda kehamilannya, bila si suaminya masih berselera kepadanya, maka dia akan menggaulinya. Hal tersebut dilakukan hanyalah lantaran ingin mendapatkan anak yang pintar. Pernikahan semacam ini dinamakan dengan nikah istibdha.’
Ketiga, sekelompok orang dalam jumlah yang kurang dari sepuluh berkumpul, kemudian mendatangi seorang wanita dan masing-masing menggaulinya. Jika wanita ini hamil dan melahirkan, kemudian setelah berlalu beberapa malam dari melahirkan, dia mengutus kepada mereka (sekelompok orang tadi), maka ketika itu tak seorang pun dari mereka yang dapat mengelak hingga semuanya berkumpul kembali dengannya, lalu si wanita ini berkata kepada mereka, “Kalian telah mengetahui apa yang telah kalian lakukan dan aku sekarang telah melahirkan, dan dia ini adalah anakmu, wahai si fulan!” Dia menyebutkan nama laki-laki yang dia senangi dari mereka, maka anaknya dinasabkan kepadanya.
Keempat, banyak laki-laki mendatangi seorang wanita sedangkan si wanita ini tidak menolak sedikit pun siapa pun yang mendatanginya. Mereka ini adalah para pelacur. Di pintu-pintu rumah mereka ditancapkan bendera yang menjadi simbol mereka dan siapa pun yang menghendaki mereka maka dia bisa masuk. Jika dia hamil dan melahirkan, laki-laki yang pernah mendatanginya tersebut berkumpul lalu mengundang ahli pelacak (Al-Qafah) kemudian si ahli ini menentukan nasab si anak tersebut kepada siapa yang mereka cocokkan ada kemiripannya dengan si anak lantas dipanggillah si anak tersebut sebagai anaknya. Dalam hal ini, si laki-laki yang ditunjuk ini tidak boleh menyangkal.
Ketika Allah mengutus Nabi Muhammad, beliau menghapus semua bentuk pernikahan kaum Jahiliyah tersebut dan menggantikan dengan pernikahan cara Islam yang berlaku saat ini.
Dalam tradisi mereka, antara laki-laki dan wanita harus selalu berkumpul bersama dan diadakan di bawah kilauan ketajaman mata pedang dan hulu-hulu tombak. Pemenang dalam perang antarsuku berhak menyandera wanita-wanita suku yang kalah dan menghalalkannya. Anak-anak yang ibunya mendapatkan perlakuan semacam ini akan mendapatkan kehinaan semasa hidupnya.
Kaum Jahiliyah terkenal dengan kehidupan dengan banyak istri (poligini) tanpa batasan tertentu. Mereka mengawini dua bersaudara, mereka juga mengawini istri bapak-bapak mereka bila telah ditalak atau karena ditinggal mati oleh bapak mereka (dan hal ini diharamkan pada masa Islam) (An-Nisa’: 22-23). Hak menalak ada pada kaum laki-laki dan tidak ada batasan tertentu (tetap boleh rujuk meski istri telah ditalak lebih dari tiga kali).?
Perbuatan zina merata pada setiap lapisan masyarakat. Tidak dapat kita mengkhususkan hal itu kepada satu lapisan tanpa menyentuh lapisan yang lainnya. Ada sekelompok laki-laki dan wanita yang terkecuali dari hal tersebut. Mereka adalah Orang-orang yang memiliki jiwa besar dan menolak terjerumus dalam lumpur kehinaan. Wanita-wanita merdeka kondisinya lebih bagus dari kondisi para budak wanita. Kondisi mereka (budak wanita) sangat parah.
Mayoritas kaum Jahiliyah sepertinya tidak merasakan terjerumus dalam perbuatan keji semacam itu menjadi suatu aib bagi mereka.
Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Amru bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya, dia berkata: Seorang laki-laki berdiri sembari berkata: wahai Rasulullah! Sesungguhnya si fulan adalah anakku dari hasil perzinaanku dengan seorang budak wanita pada masa Jahiliyah. Rasulullah kemudian bersabda:
“Tidak ada dakwaan dalam Islam (yang berkaitan dengan masa Jahiliyah). Urusan yang terkait dengan masa Jahiliyah telah lenyap. Seorang anak adalah dari hasil ranjang (dinasabkan kepada orang yang menidurinya), sedangkan kehinaan adalah hanya bagi wanita pezina.”
Tentang hal ini ada kisah yang amat terkenal yang terjadi antara Saad bin Abu Waqqash dan Abdu bin Zam’ah dalam mempersoalkan nasab anak dari budak wanita Zam’ah, yaitu ‘Abdur Rahman bin Zam’ah.
Adapun hubungan antara seorang bapak dan anak-anaknya, amat berbeda-beda; di antara mereka ada yang menguraikan rangkaian bait:
Sungguh kehadiran anak-anak di tengah kami Merupakan jantung-jantung kami yang berjalan di atas bumi
Di antara mereka, ada yang mengubur hidup-hidup anak-anak wanita mereka karena takut malu dan enggan menafkahinya. Anak laki-laki dibunuh lantaran takut menjadi fakir dan melarat. (Lihat: Al-An’am: 151, An-Nahl: 58-59, Al-Isra’: 31, dan At-Takwir: 8).
Namun, kita tidak bisa menganggap bahwa apa yang termaktub dalam ayat-ayat di atas telah mencerminkan moral yang berlaku umum di masyarakat. Di sisi lain, mereka justru sangat mengharapkan anak laki-laki untuk dapat membentengi diri mereka dari serangan musuh.
Adapun pergaulan antara seorang laki-laki dengan saudaranya, anak-anak paman dan kerabatnya sangat kental dan kuat. Mereka hidup dan mati demi fanatisme kesukuan. Semangat untuk bersatu begitu membudaya antar sesama suku yang menambah rasa fanatisme tersebut. Bahkan prinsip yang dipakai dalam sistem sosial adalah fanatisme rasial dan hubungan talirahim. Mereka hidup di bawah semboyan yang bertutur, “Tolonglah saudaramu baik dia berbuat zalim ataupun dizalimi.”
Mereka menerapkan semboyan ini sebagaimana adanya, tidak seperti arti yang telah diralat oleh Islam yaitu menolong orang yang berbuat zalim maksudnya mencegahnya melakukan perbuatan itu. Meskipun begitu, perseteruan dan persaingan dalam memperebutkan martabat dan kepemimpinan sering kali mengakibatkan terjadinya perang antarsuku yang masih memiliki hubungan sebapak. Kita dapat melihat fenomena tersebut pada apa yang terjadi antara suku Aus dan Khazraj, ‘Abs, dan Dzibyan, Bakar dan Taghlib, dan lain-lain.
Di sisi lain, hubungan yang terjadi antara suku yang berbeda-beda benar-benar berantakan. Kekuatan yang ada mereka gunakan untuk berjibaku dalam peperangan. Hanya saja, adakalanya rasa sungkan serta rasa takut mereka terhadap sebagian tradisi dan kebiasaan bersama yang sudah ada dan berlaku antara ajaran agama dan khurafat sedikit mengurangi deras dan kerasnya genderang perseteruan tersebut. Dan dalam kondisi tertentu, loyalitas, persekutuan dan subordinasi yang terjalin menyebabkan antar suku yang berbeda berangkul dan bersatu. Dan satu-satunya yang merupakan rahmat dan penolong bagi mereka adalah adanya bulan-bulan yang diharamkan berperang, sehingga mereka dapat menghirup kehidupan dan mencari rezeki guna kebutuhan sehari-hari.
Ringkasannya, kondisi sosial yang berlaku di masyarakat Jahiliyah benar-benar rapuh dan dalam kebutaan. Kebodohan mencapai puncaknya dan khurafat merajalela di mana-mana. Orang-orang hidup layaknya binatang ternak. Wanita diperjualbelikan bahkan kadang-kadang diperlakukan bak benda mati. Hubungan antar umat sangat lemah, sementara setiap ada pemerintahan maka ujung-ujungnya hanyalah untuk mengisi gudang kekayaan mereka yang diambil dari rakyat atau menggiring mereka untuk berperang melawan musuh-musuh yang mengancam kekuasaan mereka.
Kondisi Ekonomi
Kondisi sosial di atas berimbas kepada kondisi ekonomi. Hal ini diperjelas dengan melihat cara dan gaya hidup bangsa Arab. Berniaga merupakan sarana terbesar mereka dalam menggapai kebutuhan hidup, namun begitu, roda perniagaan tidak akan stabil kecuali bila keamanan dan perdamaian membarenginya. Tetapi, kedua situasi tersebut lenyap dari Jazirah Arab kecuali pada bulan-bulan haram saja. Dalam bulan-bulan inilah pasar-pasar Arab terkenal seperti Ukazh, Dzul Majaz, Majinnah, dan lainnya beroperasi.
Dalam kegiatan industri mereka termasuk bangsa yang amat jauh jangkauannya dari hal itu. Sebagian besar hasil perindustrian yang ada di kalangan bangsa Arab hanyalah berupa tenunan, samak kulit binatang dan lainnya. Kegiatan ini ada pada masyarakat Yaman, Hirah, dan pinggiran kota Syam. Benar, di kawasan domestik Jazirah ada sedikit industri bercocok tanam, membajak sawah, dan beternak kambing, sapi serta unta. Kaum wanita rata-rata menekuni seni memintal. Namun, barang-barang tersebut sewaktu-waktu dapat menjadi sasaran peperangan. Kemiskinan, kelaparan, serta kehidupan papa menyelimuti masyarakat.
Kondisi Moral
Kita tidak dapat memungkiri bahwa masyarakat Jahiliyah identik dengan kehidupan nista, pelacuran, dan hal-hal lain yang tidak dapat diterima oleh akal sehat dan ditolak oleh perasaan. Namun, mereka juga mempunyai akhlak mulia dan terpuji yang amat menawan siapa saja dan membuatnya terkesima dan takjub. Di antara akhlak tersebut adalah:
Kemurahan hati
Mereka berlomba-lomba dalam sifat ini dan membangga-banggakannya. Setengah dari bait-bait syair mereka penuh dengan ungkapan tentang sifat ini antara pujian kepada diri sendiri dan kepada orang lain yang memiliki sifat yang sama. Seseorang terkadang kedatangan tamu di musim dingin yang membeku, kelaparan yang menggelayut serta dalam kondisi tidak memiliki harta apa-apa selain unta betina yang merupakan satu-satunya sumber hidupnya dan keluarganya, tetapi getaran kemurahan hati yang menggema di dada membuat mereka tidak ragu-ragu untuk mempersembahkan suguhan istimewa buat tamunya, lantas disembelihlah unta satu-satunya tersebut. Di antara pengaruh sifat murah hati tersebut; mereka sampai-sampai rela menanggung denda yang berlipat dan beban-beban berat demi upaya mencegah pertumpahan darah dan lenyapnya jiwa. Mereka berbangga dengan hal itu dan memuji-muji diri di hadapan para tokoh dan pemuka.
Pengaruh lain dari sifat tersebut, mereka memuji-muji diri karena minum khamar. Hal ini sebenarnya bukanlah lantaran bangga dengan esensi minum-minum itu, tetapi lantaran hal itu merupakan sarana menuju tertanamnya sifat murah hati tersebut, dan juga sarana yang memudahkan tumbuhnya jiwa yang boros. Dan lantaran itu pula, mereka menamakan pohon anggur dengan Al-Karam, sedangkan arak yang terbuat dari anggur itu mereka namakan Bintul Karam. Jika Anda membuka kembali buku-buku yang mengoleksi syair-syair Jahiliyah, Anda akan menemukan satu bab yang bertema : Al-Madih wa Al-Fakhr (puji-pujian dan kebanggaan diri). Dalam hal ini Antarah bin Syaddad Al Absi mengurai bait-bait syairnya dalam Mu’allaqah-nya:
Sungguh, aku telah menenggak arak di tempat mulia sesudah wanita-wanita penghibur ditelantarkan dengan cangkir dari kaca kuning di atas nampan nan terangkai bunga dalam genggaman tangan dingin Saat aku menenggak, sungguh, aku habiskan seluruh hartaku
Namun, kehormatanku masih sadarkan kala aku tersadarkan, tak’kan lengah menyongsong panggilan sebagaimana hal itu melekat pada sifat dan tabiatku.
Pengaruh lainnya dari sifat Al-Karam adalah mereka menyibukkan diri dalam bermain judi. Mereka menganggap hal itu sebagai sarana menuju sifat tersebut karena dari keuntungan yang diraih dalam berjudi tersebut, mereka persembahkan buat memberi makan fakir miskin. Atau, bisa juga diambil dari sisa keuntungan yang diraih masing-masing pemenang.
Oleh karena itu, Anda lihat Al-Qur’an tidak mengingkari manfaat khamar dan judi itu, akan tetapi menyatakan, “Dan dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.” (Al-Baqarah: 219).
Menepati Janji
Janji dalam tradisi mereka adalah laksana agama yang harus dipegang teguh meskipun untuk mendapatkannya mereka menganggap enteng membunuh anak-anak mereka dan menghancurkan tempat tinggal mereka sendiri. Untuk mengetahui hal itu, cukup dengan membaca kisah Hani’ bin Mas’ud Asy-Syaibani, As-Samu’al bin Adiya dan Hajib bin Zurarah At-Tamimi.
Kebanggan pada diri sendiri dan sifat pantang menerima pelecehan dan kezaliman
Implikasi dari sifat ini, tumbuhnya pada diri mereka keberanian yang amat berlebihan, cemburu buta dan cepatnya emosi meluap. Mereka adalah Orang-orang yang tidak akan pernah mau mendengar ucapan yang mereka cium berbau penghinaan dan pelecehan. Dan apabila hal itu sampai terjadi, mereka tak segan-segan menghunus pedang dan mengacungkan tombak, dan mengobarkan peperangan yang panjang. Mereka juga tidak peduli bila nyawa mereka menjadi taruhannya demi mempertahankan sifat tersebut.
Tekad yang tak pernah pudar
Bila mereka sudah bertekad untuk melakukan sesuatu yang mereka anggap suatu kemuliaan dan kebanggaan maka tak ada satu pun yang dapat menyurutkan tekad mereka tersebut, bahkan mereka akan nekat menerjang bahaya demi hal itu.
Lemah lembut, tenang, dan waspada
Mereka menyanjung sifat-sifat semacam ini. Hanya saja keberadaannya seakan terhalangi oleh amat berlebihannya sifat pemberani dan ketegasan mereka dalam mengambil sikap untuk berperang.
Gaya hidup lugu dan polos ala Badui
Mereka belum terkontaminasi oleh kotoran peradaban dan tipu dayanya Implikasi dari gaya hidup semacam ini, timbulnya sifat jujur, amanah, serta anti menipu dan mengibul.
Kita melihat bahwa tertanamnya akhlak yang amat berharga ini, di samping letak geografis Jazirah Arab di mata dunia adalah sebagai sebab utama terpilihnya mereka untuk mengemban risalah yang bersifat umum dan memimpin umat manusia dan masyarakat dunia. Sebab, akhlak ini meskipun sebagiannya dapat membawa kepada kejahatan dan menimbulkan peristiwa yang tragis, namun sebenarnya ia adalah akhlak yang amat berharga, dan akan menciptakan keuntungan bagi umat manusia secara umum setelah adanya sedikit koreksi dan perbaikan atasnya. Hal inilah yang dilakukan oleh Islam ketika datang.
Tampaknya, akhlak yang paling berharga dan amat bermanfaat menurut mereka setelah sifat menepati janji adalah sifat kebanggaan pada diri dan tekad pantang surut. Hal demikian, karena tidak mungkin dapat mengikis kejahatan dan kerusakan yang ada serta menciptakan sistem yang penuh dengan keadilan dan kebaikan kecuali dengan kekuatan yang memiliki daya gempur dan tekad yang membaja.
Selain sifat-sifat tersebut, mereka juga memiliki sifat-sifat mulia lainnya, namun bukanlah maksud kami menghadirkannya di sini dan melacaknya secara tuntas.[]
NASAB DAN KELUARGA NABI
Nasab Nabi Ada tiga bagian tentang nasab Nabi, yaitu:
- Bagian yang disepakati kebenarannya oleh para pakar sirah dan nasab, yaitu sampai Adnan.
- Bagian yang mereka perselisihkan, yaitu antara nasab yang tidak diketahui secara pasti dan nasab yang harus dibicarakan, tepatnya Adnan ke atas hingga Ibrahim.
- Bagian yang sama sekali tidak kita ragukan bahwa di dalamnya ada hal-hal yang tidak benar, yaitu Ibrahim ke atas hingga Adam.
Di bagian sebelumnya, kami sudah membahas sedikit tentang masalah ini. Inilah rincian dari tiga bagian tersebut.
Bagian pertama: Muhammad, bin Abdullah bin Abdul Mutholib (yang namanya Syaibah), bin Hasyim (yang namanya Amru), bin Abdu Manaf (yang namanya Al-Mughirah), bin Qushay (yang namanya Zaid), bin Kilab, bin Murrah, bin Ka’ab, bin Lu’ay, bin Ghalib, bin Fihr (yang berjuluk Quraisy dan menjadi cikal bakal nama kabilah), bin Malik, bin An-Nadhr (yang namanya Qais), bin Kinanah, bin Khuzaimah, bin Mudrikah (yang namanya Amir), bin Ilyas, bin Mudhar, bin Nizar, bin Ma’ad, bin Adnan.’
Bagian kedua: Adnan dan seterusnya, yaitu bin Ud, bin Hamaisa’, bin Salaman, bin Aush, bin Bauz, bin Qimwal, bin Ubay, bin Awwam, bin Nasyid, bin Haza, bin Baldas, bin Yadlaf, bin Thabikh, bin Jahim, bin Nahisy, bin Makhy, bin Aidh, bin Abqar, bin Ubaid, bin Ad-Da’a, bin Hamdan, bin Sinbar, bin Yatsriby, bin Yaluan, bin Yalhan, bin Ar’awy, bin Aidh, bin Daisyan, bin Aishar, bin Afnad, bin Aiham, bin Mugshir, bin Nahits, bin Zarih, bin Sumay, bin Muzay, bin Iwadhah, bin Aram, bin Qaidar, bin Ismail, bin Ibrahim.?
Bagian ketiga: Ibrahim dan seterusnya, yaitu bin Tarih (yang namanya Azar), bin Nahur, bin Sarw’ atau Sarugh, bin Ra’u, bin Falakh, bin Aibar, bin Syalakh, bin Arfakhsyad, bin Sam, bin Nuh, bin Lamk, bin Matausyalakh, bin Akhnukh atau Idris, bin Yard, bin Mahla’il, bin Qainan, bin Yanisya, bin Syaits, bin Adam
Keluarga Nabi Keluarga Nabi dikenal dengan sebutan keluarga Hasyimiyah. Nama ini dinisbahkan kepada kakeknya, Hasyim bin Abdu Manaf. Oleh karena itu, ada baiknya jika menyebutkan sekilas tentang keadaan Hasyim dan keturunan sesudahnya.
- Hasyim
Seperti telah kami sebutkan sebelumnya, Hasyim adalah orang yang memegang urusan air minum dan makanan Bani Abdu Manaf. Hasyim sendiri adalah orang yang kaya raya dan terhormat. Dialah orang yang pertama kali memberikan remukan roti bercampur kuah kepada Orang-orang yang menunaikan ibadah haji di Mekkah. Dia juga orang yang pertama kali membuka jalur perjalanan dagang dua kali dalam satu tahun bagi Orang-orang Quraisy, yaitu sekali pada musim dingin dan sekali pada musim kemarau.
Di antara momen kehidupannya, dia pernah pergi ke Syam untuk berdagang. Setiba di Madinah, dia menikah dengan Salma binti Amru dari Bani Adi bin An-Najar dan menetap di sana bersama istrinya. Lalu dia melanjutkan perjalanannya ke Syam, sementara istrinya tetap bersama keluarganya, yang saat itu sedang mengandung anaknya, yaitu Abdul Mutholib. Namun, Hasyim meninggal dunia setelah menginjakkan kaki di Palestina. Kemudian Salma binti Amru melahirkan Abdul Mutholib pada tahun 497 M dengan nama Syaibah, karena ada rambut putih (uban) di kepalanya.
Hasyim mempunyai empat putra, yaitu Asad, Abu Shaifi, Nadhlah, dan Abdul Mutholib. Juga mempunyai lima putri, yaitu Asy-Syifa’, Khalidah, Dha’ifah, Ruqayyah, dan Jannah.
- Abdul Mutholib
Sebagaimana yang telah kita singgung pada bagian terdahulu bahwa penanganan air minum dan makanan sepeninggal Hasyim ada di tangan saudaranya, yaitu Al-Mutholib bin Abdu Manaf, seorang laki-laki yang terpandang, dipatuhi dan dihormati di tengah kaumnya, yang dijuluki Orang-orang Quraisy dengan sebutan Al-Fayyadh (Sang Dermawan), karena memang dia adalah seorang yang dermawan.
Tatkala Al-Mutholib mendengar bahwa Syaibah (Abdul Mutholib) sudah tumbuh menjadi seorang pemuda, maka dia mencarinya. Setelah keduanya saling berhadapan, kedua mata Al-Mutholib meneteskan air mata haru, lalu dia pun memeluknya dan dia bermaksud membawanya. Namun, Abdul Mutholib menolak ajakan itu, kecuali jika ibunya mengizinkannya. Kemudian Al-Mutholib memohon kepada ibu Abdul Mutholib, tetapi permohonannya itu juga ditolak. Al-Mutholib berkata, “Sesungguhnya dia akan pergi ke tengah kerajaan bapaknya dan Tanah Suci Allah Ta’ala.”
Akhirnya ibunya mengizinkan. Abdul Mutholib pun dibawa ke Mekkah dengan dibonceng di atas untanya. Sesampai di Mekkah, Orang-orang berkata, “Inilah dia Abdul Mutholib.”
Al-Mutholib berkata, “Celakalah kalian. Dia adalah anak saudaraku, Hasyim.”
Abdul Mutholib menetap di rumah Al-Mutholib hingga menjadi besar. Kemudian Al-Mutholib meninggal dunia di Yaman maka Abdul Mutholib menggantikan kedudukannya. Dia hidup di tengah kaumnya dan memimpin mereka seperti yang dilakukan oleh bapak-bapaknya terdahulu. Dia mendapatkan kehormatan yang tinggi dan dicintai di tengah kaumnya, yang tidak pernah didapatkan oleh bapak-bapaknya.
Namun, Naufal-adik bapak Abdul Mutholib atau pamannya sendiri-merebut sebagian wilayah kekuasaannya, yang membuat Abdul Mutholib marah, sehingga dia meminta dukungan kepada beberapa pimpinan Quraisy untuk menghadapi pamannya. Namun, mereka berkata, “Kami tidak ingin mencampuri urusan antara dirimu dengan pamanmu.” Maka dia menulis surat yang ditujukan kepada paman-paman dari pihak ibunya, yaitu Bani An-Najar yang berisikan beberapa bait syair yang intinya meminta pertolongan kepada mereka. Salah seorang pamannya, yaitu Abu Saad bin Adi membawa delapan puluh pasukan berkuda, lalu singgah di pinggiran Mekkah. Kemudian Abdul
Mutholib menemui pamannya di sana dan berkata, “Mari singgah ke rumahku, wahai pamanku.”
Pamannya berkata, “Tidak, demi Allah, kecuali setelah aku bertemu Naufal.” Lalu Abu Saad mencari Naufal yang saat itu sedang duduk di Hijir bersama beberapa pemuka Quraisy. Abu Saad langsung menghunus pedang dan berkata, “Demi Tuhannya Kabah, jika engkau tidak mengembalikan wilayah kekuasaan anak saudariku, maka aku akan menebaskan pedang ini ke batang lehermu.”
Naufal berkata, “Aku sudah mengembalikannya.” Pengembalian ini dipersaksikan oleh para pemuka Quraisy, baru setelah itu Abu Saad bin Adi mau singgah ke rumah Abdul Mutholib dan menetap di sana selama tiga hari. Setelah itu dia melaksanakan umrah lalu pulang ke Madinah.
Melihat perkembangan ini, maka Naufal mengadakan perjanjian persahabatan dengan Bani Abdu Syams bin Abdu Manaf untuk menghadapi Bani Hasyim. Bani Khuza’ah yang melihat dukungan Bani An-Najar terhadap Abdul Mutholib berkata, “Kami juga melahirkannya sebagaimana kalian melahirkannya. Oleh karena itu, kami juga lebih berhak mendukungnya.”
Hal di atas bisa dimaklumi, karena ibu Abdu Manaf berasal dari keturunan mereka, sehingga mereka memasuki Darun Nadwah dan mengikat perjanjian persahabatan dengan Bani Hasyim untuk menghadapi Bani Abdu Syams yang sudah bersekutu dengan Naufal.
Perjanjian persahabatan inilah yang kemudian menjadi sebab penaklukan Mekkah.
Di antara peristiwa penting yang terjadi di Baitul Haram semasa Abdul Mutholib adalah penggalian sumur Zamzam dan peristiwa Pasukan Gajah.’
- Abdullah
Abdullah adalah bapak Nabi Muhammad. Ibunya adalah Fathimah binti Amr bin A’idz bin Imran bin Makhzum bin Yaqzhah bin Murrah. Abdullah adalah anak Abdul Mutholib yang paling bagus dan paling dicintainya. Abdullah inilah yang mendapat undian untuk disembelih dan dikorbankan sesuai dengan nazar Abdul Mutholib.
Ringkasnya, setelah anak-anaknya sudah berjumlah sepuluh orang dan tahu bahwa dia tidak lagi mempunyai anak, maka dia memberitahukan nazar yang pernah diucapkannya ketika menangani sumur Zamzam kepada anak-anaknya. Ternyata mereka semua patuh. Kemudian dia menulis nama-nama mereka di anak panah untuk diundi, lalu diserahkan kepada patung Hubal. Setelah anak-anak panah itu dikocok, maka keluarlah nama Abdullah Kemudian Abdul Mutholib menuntun Abdullah sambil membawa parang berjalan menuju Kabah untuk menyembelih anaknya itu. Namun, Orang-orang Quraisy mencegahnya, terutama paman pamannya dari pihak ibu dari Bani Makhzum dan saudaranya Abu Thalib.
Abdul Mutholib yang kebingungan dan berkata, “Kalau begitu apa yang harus kulakukan sehubungan dengan nazarku ini?”
Mereka mengusulkan untuk menemui seorang dukun, maka dia pun menemui dukun perempuan itu. Sesampai di tempat dukun itu, dia diperintahkan untuk mengundi Abdullah dengan sepuluh ekor unta, Jika yang keluar nama Abdullah, maka dia harus menambahi lagi dengan sepuluh ekor unta, hingga Tuhan ridha. Jika yang keluar adalah nama unta, maka unta-unta itulah yang disembelih.
Kemudian dia keluar dari tempat dukun perempuan itu dan mengundi antara nama Abdullah dan sepuluh ekor unta. Ternyata yang keluar adalah nama Abdullah. Maka dia menambahi lagi dengan sepuluh unta. Setiap kali diadakan undian berikutnya, maka yang keluar adalah nama Abdullah, hingga jumlahnya mencapai seratus ekor unta, baru yang keluar adalah nama unta. Daging-daging unta tersebut dibiarkan begitu saja, tidak boleh dijamah oleh manusia maupun binatang.
Tebusan pembunuhan memang berlaku di kalangan Quraisy dan bangsa Arab adalah sepuluh ekor unta. Namun, setelah kejadian ini, juamlahnya berubah menjadi seratus ekor unta, yang juga diakui Islam. Diriwayatkan dari Nabi, bahwa beliau bersabda, “Aku adalah anak dua orang yang disembelih.” Maksudnya adalah Ismail dan Abdullah.
Kemudian, Abdul Mutholib menikahkan anaknya, yaitu Abdullah dengan Aminah binti Wahb bin Abdu Manaf bin Zuhrah bin Kilab, yang saat itu Aminah dianggap sebagai wanita yang paling terpandang di kalangan Quraisy dari segi keturunan maupun kedudukannya, karena bapaknya adalah pemuka Bani Zuhrah. Abdullah hidup bersamanya di Mekkah. Namun, tidak lama kemudian, Abdul Mutholib mengutusnya pergi ke Madinah untuk mengurus kurma. Ternyata Allah menakdirkan dia meninggal di Madinah dan dikuburkan di Darun Nabighah Al-Ja’di pada umur 25 tahun.
Menurut pendapat mayoritas pakar sejarah bahwa meninggal dunia sebelum Rasulullah dilahirkan. Tetapi, ada yang berpendapat bahwa Abdullah meninggal dunia dua bulan setela Rasulullah lahir.
Warisan yang ditinggalkan oleh Abdullah adalah berupa lima ekor unta, sekumpulan domba, dan pembantu wanita Habsy, yang namanya adalah Barakah, dan berjuluk Ummu Aiman. Dialah wanita pengasuh Rasulullah
Hari Kelahiran
Rasulullah dilahirkan di tengah keluarga Bani Hasyim di Mekkah pada Senin pagi, 9 Rabi’ul Awwal, permulaan tahun dari Peristiwa Gajah, dan empat puluh tahun setelah kekuasaan Kisra Anusyirwan, atau bertepatan dengan tanggal 20 atau 22 April tahun 571 M, berdasarkan penelitian ulama besar Muhammad Sulaiman Al-Manshurfuri dan peneliti astronomi Mahmud Basya.!
Ibnu Saad meriwayatkan bahwa ibunda Rasulullah berkata, “Setelah bayiku keluar, aku melihat ada cahaya yang keluar dari kemaluanku, menyinari istana-istana di Syam.” Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Al-Irbadh bin Sariyah, yang isinya mirip dengan riwayat tersebut.?
Diriwayatkan juga bahwa ada beberapa bukti pendukung kerasulan, bertepatan dengan saat kelahiran beliau, yaitu runtuhnya empat belas balkon istana Kisra, padamnya api yang biasa disembah Orang-orang Majusi, serta runtuhnya beberapa gereja di sekitar Buhairah setelah gereja-gereja itu ambles ke tanah. Peristiwa-peristiwa tersebut diriwayatkan oleh Al-Baihaqi,? namun Muhammad Al-Ghazali tidak mengakuinya.‘
Peta Invasi Pasukan Gajah
Setelah Aminah melahirkan, dia mengirim utusan ke tempat kakeknya, Abdul Mutholib, untuk menyampaikan kabar gembira tentang kelahiran cucunya. Abdul Mutholib pun datang dengan perasaan suka cita, lalu membawa beliau ke dalam Kabah, seraya berdoa kepada Allah dan bersyukur kepada-Nya. Dia memilih nama Muhammad nama ini belum dikenal di bangsa Arab bagi beliau. Beliau dikhitan pada hari ketujuh, seperti yang biasa dilakukan Orang-orang Arab.
Peta Kediaman Bani Saad
Wanita yang pertama kali menyusui beliau setelah ibundanya adalah Tsuwaibah dia adalah seorang hamba sahaya Abu Lahab yang kebetulan sedang menyusui anaknya yang bernama Masruh. Sebelumnya, wanita ini juga menyusui Hamzah bin Abdul Mutholib. Setelah itu dia menyusui Abu Salamah bin Abdul Asad Al-Makhzumi.’
Di Tengah Bani Saad bin Bakar
Tradisi yang berjalan di kalangan Bangsa Arab yang relatif sudah maju, di mana mereka mencari wanita-wanita yang bisa menyusui anak-anaknya. Tujuannya adalah menjauhkan anak-anak mereka dari penyakit yang biasa menjalar di daerah yang sudah maju, agar tubuh bayi menjadi kuat, otot-ototnya kekar dan agar keluarga yang menyusui bisa melatih bahasa Arab. Maka Abdul Mutholib mencari para wanita yang bisa menyusui beliau. Dia meminta kepada seorang wanita dari Bani Saad bin Bakar agar menyusui beliau, Halimah binti Abu Dzu’aib, dengan di dampingi suaminya, Al-Harits bin Abdul Uzza yang berjulukan Abu Kabsyah dari kabilah yang sama.
Saudara-saudara satu susuan Rasulullah adalah, Abdullah bin Al-Harits, Unaisah binti Al-Harits, Hadzafah atau Jadzafah binti AlHarita (yaitu Asy-Syaima’ yang merupakan julukan yang umumnya dipakai untuk namanya). Selain menyusui Rasulullah, Halimah juga menyusui Abu Sufyan Al-Harits bin Abdul Mutholib, anak paman atau keponakan Rasulullah
Paman beliau, yaitu Hamzah bin Abdul Mutholib juga disusui di Bani Saad bin Bakar. Suatu hari ibu susuan Rasulullah juga pernah menyusui Hamzah bin Abdul Mutholib selagi beliau masih dalam susuannya. Dengan demikian, Hamzah bin Abdul Mutholib adalah saudara susuan Rasulullah dari dua pihak, yaitu dari Tsuwaibah dan dari Halimah As-Sa’diyah.
Halimah As-Sa’diyah bisa merasakan berkah yang dibawa oleh Rasulullah, sehingga bisa mengundang decak kekaguman. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Ishaq yang mengisahkan bahwa Halimah As-Sa’diyah pernah keluar dari negerinya bersama suami dan anak yang disusuinya, serta bersama beberapa wanita dari Bani Saad bin Bakar. Tujuan mereka adalah mencari anak yang bisa disusui.
Dia berkata, “Itu terjadi pada masa paceklik, tidak banyak kekayaan yang tersisa. Aku pergi sambil naik keledai betina berwarna putih milik kami dan seekor unta yang sudah tua dan tidak bisa diambil air susunya lagi walau setetes pun. Sepanjang malam kami tidak pernah tidur, karena harus meninabobokan bayi kami yang terus menerus menangis karena kelaparan. Air susuku juga tidak bisa diharapkan, sekalipun kami tetap masih mengharapkan adanya uluran tangan dan jalan keluar. Aku pun pergi sambil menunggang keledai betina milik kami dan hampir tidak pernah turun dari punggungnya, sehingga keledai itu pun semakin lemah kondisinya.
Akhirnya kami sekelompok tiba di Mekkah dan kami langsung mencari bayi yang bisa kami susui. Setiap wanita dari rombongan kami yang ditawari Rasulullah pasti menolaknya, setelah tahu bahwa beliau adalah anak yatim. Tidak mengherankan, karena kami memang mengharapkan imbalan yang cukup memadai dari bapak bayi yang hendak kami susui. Kami semua berkata, ‘Dia adalah anak yatim.’ Tidak ada pilihan bagi ibu dan kakek beliau, karena kami tidak menyukai keadaan seperti itu. Setiap wanita dari rombongan kami sudah mendapatkan bayi yang disusuinya, kecuali aku sendiri. Tatkala kami sudah siap-siap untuk kembali, aku berkata kepada suamiku, ‘Demi Allah, aku tidak ingin kembali bersama wanita teman-temanku tanpa membawa seorang bayi yang kususui. Demi Allah, aku benar-benar akan mendatangi anak yatim itu dan membawanya.’ Suaminya menjawab, ‘Jangan lakukan itu.’ Aku pun berkata, ‘Mudah-mudahan Allah memberkahi kita dengan mengambil anak itu.’
Halimah melanjutkan kisahnya, “Aku pun pergi menemui bayi itu (Rasulullah) dan aku siap membawanya. Tatkala menggendongnya seakan-akan aku tidak merasa repot karena mendapat beban yang lain.
Aku segera kembali menghampiri hewan tungganganku, dan tatkala puting susuku aku sodorkan kepadanya, bayi itu bisa menyedot air susu sesukanya dan meminumnya hingga kenyang. Anak kandungku sendiri juga bisa menyedot air susu sepuasnya hingga kenyang, setelah itu keduanya tertidur pulas. Padahal, sebelum itu kami tidak pernah tidur sedikit pun karena mengurus bayi kami. Kemudian suamiku menghampiri untanya yang sudah tua, ternyata air susunya menjadi penuh, maka kami memerahnya. Suamiku bisa minum air susu unta kami, begitu pula aku, hingga kami benar-benar kenyang. Malam itu adalah malam yang terasa paling indah bagi kami.”
Esok harinya suamiku berkata kepadaku, “Demi Allah, tahukah engkau wahai Halimah, engkau telah mengambil satu jiwa yang penuh berkah.” Halimah As-Sa’diyah pun berkata, “Demi Allah, aku pun berharap yang demikian itu.”
Halimah As-Sa’diyah melanjutkan penuturannya, “Kemudian kami pun siap-siap pergi dan aku menunggang keledaiku. Semua bawaan kami juga kunaikkan bersamaku di atas punggungnya. Demi Allah, setelah kami menempuh perjalanan cukup jauh, tentulah keledai-keledai mereka tidak akan mampu membawa beban seperti yang aku bebankan di atas punggung keledaiku., sehingga rekan-rekanku berkata kepadaku, ‘Wahai putri Abu Dzu’aib, celaka engkau! Tunggulah kami! Bukankah ini adalah keledaimu yang pernah engkau bawa bersama kita dulu?’ Halimah AsSa’diyah berkata, “Demi Allah, begitulah. Ini adalah keledaiku dulu.” Mereka berkata, “Demi Allah, keledaimu itu kini bertambah perkasa.”
Kami pun tiba di tempat tinggal kami di daerah Bani Saad bin Bakar. Aku tidak pernah melihat sepetak tanah pun milik kami yang lebih subur saat itu. Domba-domba kami datang menyongsong kedatangan kami dalam keadaan kenyang dan air susunya juga berisi penuh, sehingga kami bisa memerahnya dan meminumnya. Sementara setiap orang yang memerah air susu hewannya sama sekali tidak mengeluarkan air susu walau setetes pun dan kelenjar susunya juga kempes, sehingga mereka berkata garang kepada para penggembalanya, “Celakalah kalian! Lepaskanlah hewan gembalaannya kalian seperti yang dilakukan oleh gembala putri Abu Dzu’aib.” Namun, domba-domba mereka pulang ke rumah tetap dalam keadaan lapar dan tidak ada setetes pun mengeluarkan air susu. Sementara domba-dombaku pulang dalam keadaan kenyang dan kelenjar susunya berisi penuh. Kami senantiasa mendapatkan tambahan berkah dan kebaikan dari Allah selama dua tahun menyusui anak susuan kami. Lalu kami menyapihnya. Dia tumbuh dengan baik, tidak seperti bayi-bayi yang lain. Bahkan sebelum usia dua tahun pun dia sudah tumbuh pesat.
Kemudian kami membawanya kepada ibunya, meskipun kami masih berharap agar anak itu tetap berada di tengah-tengah kami, karena kami bisa merasakan berkahnya. Maka kami menyampaikan niat ini kepada ibunya. Aku berkata kepadanya, “Andaikan saja engkau sudi membiarkan anakmu ini tetap bersama kami hingga menjadi besar, karena aku khawatir dia terserang penyakit yang biasa menjalar di Mekkah.” Kami terus-menerus merayu ibunya agar dia berkenan mengembalikan anak itu tinggal bersama kami.
Begitulah Rasulullah tinggal di tengah-tengah Bani Saad bin Bakar, hingga tatkala beliau berumur empat atau lima tahun!’! terjadi peristiwa pembelahan dada beliau.
Imam Muslim meriwayatkan dari Anas bahwa Rasulullah didatangi Malaikat Jibril, yang saat itu beliau sedang bermain-main dengan beberapa anak kecil lainnya. Malaikat Jibril memegang beliau dan menelentangkannya, lalu membelah dada dan mengeluarkan hati beliau dan mengeluarkan segumpal darah dari dada beliau, seraya berkata, “Ini adalah bagian setan yang ada pada dirimu.” Lalu Malaikat Jibril mencucinya di sebuah baskom dari emas dengan menggunakan air Zamzam, kemudian menata dan memasukkannya ke tempatnya semula. Anak-anak kecil lainnya berlarian mencari ibu susunya dan berkata, “Muhammad telah dibunuh!” Mereka pun datang menghampiri beliau yang wajahnya semakin berseri.!”
Kembali ke Pangkuan Ibunda Tercinta
Dengan adanya peristiwa pembelahan dada itu, maka Halimah AsSa’diyah merasa khawatir terhadap keselamatan beliau, sehingga dia mengembalikan beliau kepada ibunya. Kemudian beliau hidup bersama ibunda tercinta hingga berumur enam tahun.
Beberapa waktu kemudian Aminah binti Wahb merasa perlu mengenang suaminya yang telah meninggal dunia dengan cara mengunjungi kuburannya di Yatsrib Madinah. Maka dia pergi dari Mekkah menempuh perjalanan sejauh 500 km, bersama putranya yang yatim, yaitu Rasulullah, disertai pembantu wanitanya, yaitu Ummu Aiman. Setelah menetap selama satu bulan di Madinah, maka Aminah binti Wahb dan rombongannya siap-siap untuk kembali ke Mekkah. Dalam perjalanan pulang itu dia jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia di Abwa’, yang terletak di antara Mekkah dan Madinah.”
Dalam Asuhan Kakeknya yang Penuh Kasih Sayang
Abdul Mutholib membawa Rasulullah kembali ke Mekkah. Perasaan kasih sayang di dalam hatinya terhadap cucunya yang kini yatim piatu semakin kuat, karena cucunya harus menghadapi cobaan baru di atas luka yang lama. Hatinya bergetar oleh perasaan kasih sayang yang tidak pernah dirasakannya sekali pun terhadap anak-anaknya sendiri. Dia tidak ingin cucunya hidup sebatang kara. Bahkan, dia lebih mengutamakan cucunya dari pada anak-anaknya.
Ibnu Hisyam menceritakan, “Ada sebuah dipan yang diletakkan di dekat Kabah untuk Abdul Mutholib. Sedangkan kerabat-kerabatnya biasa duduk di sekeliling dipan itu hingga Abdul Mutholib ke luar ke sana, dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang berani duduk di dipan itu sebagai penghormatan terhadap dirinya.
Suatu hari—saat Rasulullah telah menjadi anak kecil yang montok beliau duduk di atas dipan itu, maka paman-paman beliau langsung memegang dan menahan agar tidak duduk di atas dipan itu. Tatkala Abdul Mutholib melihat kejadian ini, dia berkata, ‘Biarkan anakku ini. Demi Allah, sesungguhnya dia akan memiliki kedudukan yang agung.’ Kemudian Abdul Mutholib duduk bersama beliau di atas dipannya sambil mengelus punggung beliau dan senantiasa merasa gembira terhadap apa pun yang beliau lakukan.”
Pada usia 8 tahun lebih 2 bulan 10 hari dari umur Rasulullah , kakeknya meninggal dunia di Mekkah. Sebelum meninggal, Abdul Mutholib sudah berpesan menitipkan pengasuhan sang cucu kepada pamannya, Abu Thalib, saudara kandung bapak beliau.
Dalam Asuhan Pamannya yang Penyayang
Abu Thalib menjalankan kewajiban yang diembankan kepadanya untuk mengasuh keponakannya dengan penuh tanggung jawab seperti halnya dia mengasuh anak-anaknya sendiri. Dia bahkan mendahulukan kepentingannya di atas kepentingan mereka. Selain itu, ia mengistimewakannya dengan penghargaan yang begitu berlebihan. Perlakuan tersebut terus berlanjut hingga beliau berusia di atas empat puluh tahun. Paman beliau masih tetap memuliakan, memberikan pengamanan terhadapnya, menjalin persahabatan ataupun mengobar permusuhan dalam rangka membelanya. Pembahasan tentang hal ini akan kami uraikan di bagian tersendiri.
Meminta Hujan dengan Wajah Beliau
Ibnu Asakir meriwayatkan dari Julhumah bin Arfathah, yang berkata, “Tatkala aku tiba di Mekkah, Orang-orang sedang dilanda musim paceklik. Orang-orang Quraisy berkata, ‘Wahai Abu Thalib, lembah sedang kekeringan dan kemiskinan melanda. Marilah kita berdoa meminta hujan.’ Maka Abu Thalib keluar bersama anak kecil, yang seolah-olah wajahnya adalah matahari yang membawa awan yang sedang berjalan pelan-pelan. Di sekitar Abu Thalib juga ada beberapa anak kecil lainnya. Dia memegang anak kecil itu dan menempelkan punggungnya ke dinding Kabah. Jari-jemarinya memegangi anak itu. Langit yang tadinya bersih, tiba-tiba saja mendung datang dari segala penjuru, lalu menurunkan hujan yang sangat deras, hingga lembah-lembah terairi dan ladang-ladang menjadi subur. Abu Thalib mengisyaratkan hal ini dalam syair yang dibacakannya,
“Putih berseri meminta hujan dengan wajahnya Penolong anak yatim dan pelindung wanita janda.”
Bersama Sang Rahib, Buhaira
Ketika usia Rasulullah mencapai dua belas tahun—ada yang berpendapat lebih dari 2 bulan 10 hari?’—Abu Thalib mengajak beliau pergi berdagang dengan tujuan Syam, hingga tiba di Bushra, yaitu suatu daerah yang sudah termasuk Syam yang merupakan ibukota Hauran, yang juga merupakan ibukotanya Orang-orang Arab, walaupun di bawah kekuasaan Bangsa Romawi. Di negeri ini ada seorang rahib yang dikenal dengan sebutan Bahira. Nama aslinya adalah Jurjis. Tatkala rombongan singgah di daerah ini, maka sang rahib menghampiri mereka dan mempersilakan mereka mampir ke tempat tinggalnya sebagai tamu kehormatan. Padahal, sebelumnya rahib tersebut tidak pernah keluar, namun begitu dia bisa mengetahui Rasulullah dari sifat-sifat beliau.
Sambil memegang tangan beliau, sang rahib berkata, “Orang ini adalah pemimpin semesta alam. Anak ini akan diutus Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam.”
Abu Thalib bertanya, “Dari mana engkau tahu hal itu?”
Rahib Bahira menjawab, “Sebenarnya sejak kalian tiba di Aqabah, tidak ada bebatuan dan pepohonan pun melainkan mereka tunduk bersujud. Mereka tidak sujud melainkan kepada seorang nabi. Aku bisa mengetahuinya dari cincin kenabian yang berada di bagian bawah tulang rawan bahunya yang menyerupai buah apel. Kami juga mendapati tanda itu di dalam Kitab kami.”
Kemudian sang rahib meminta agar Abu Thalib kembali lagi bersama beliau tanpa melanjutkan perjalanan ke Syam, karena dia takut gangguan Orang-orang Yahudi. Maka Abu Thalib mengirim beliau bersama beberapa pemuda agar kembali lagi ke Mekkah.”
Perang Fijar/Fujjar
Pada usia 15 tahun, meletus Perang Fijar antara pihak Quraisy bersama Kinanah, berhadapan dengan pihak Qais Ailan. Komandan pasukan Quraisy bersama Kinanah dipegang oleh Harb bin Umayyah, karena pertimbangan usia dan kedudukannya yang terpandang. Pada mulanya pihak Qais Ailan yang mendapat kemenangan. Namun, kemudian beralih ke pihak Quraisy bersama Kinanah.
Dinamakan Perang Fijar, karena terjadi pelanggaran terhadap kesucian Tanah Haram dan bulan-bulan suci. Rasulullah ikut bergabung dalam peperangan ini dengan cara mengumpulkan anak panah bagi paman-paman beliau untuk dilemparkan kembali ke pihak musuh.
Hilful Fudhul
Peperangan tersebut berdampak pada terjadinya suatu perjanjian yang disebut dengan Hilful Fudhul pada bulan Dzulqa’dah, yang merupakan bulan haram. Hampir seluruh kabilah Quraisy berkumpul dan menghadirinya. Mereka terdiri dari Bani Hasyim, Bani Al-Mutholib, Asad bin Abdul Uzza, Zahrah bin Kilab, dan Taim bin Murrah. Mereka berkumpul di kediaman Abdullah bin Jud’an At-Taimi karena faktor usia dan kedudukannya. Isi dari perjanjian tersebut adalah, mereka bersepakat dan berjanji untuk tidak membiarkan ada orang yang dizalimi di Mekkah, baik dia penduduk asli maupun pendatang, dan bila hal itu terjadi mereka akan bergerak menolongnya hingga dia meraih haknya kembali. Rasulullah menghadiri perjanjian tersebut.
Setelah beliau dimuliakan oleh Allah dengan risalah, beliau berkomentar, “Aku telah menghadiri suatu perjanjian di kediaman Abdullah bin Jud’an yang lebih aku sukai ketimbang aku memiliki unta merah (harta yang paling termahal dan menjadi kebanggaan bangsa Arab). Andai pada masa Islam aku diundang untuk menghadirinya, niscaya aku akan memenuhinya.”
Semangat perjanjian ini bertentangan dengan fanatisme jahiliyah yang digembar-gemborkan ketika itu. Di antara hal yang disebutkan sebagai sebab terjadinya perjanjian tersebut adalah ada seorang dari Zabid datang ke Mekkah membawa barang dagangannya, kemudian barang tersebut dibeli oleh Al-Ash bin Wail As-Sahmi. Akan tetapi, dia tidak memperlakukannya sesuai dengan haknya. Orang tersebut meminta bantuan kepada sekutu-sekutu Al-Ash namun mereka mengacuhkannya. Akhirnya, dia menaiki Gunung Abu Qubais dan menyenandungkan syair-syair yang berisi kezaliman yang tengah dialaminya dengan suara yang keras. Rupanya, Az-Zubair bin Abdul Mutholib mendengar hal itu dan bergerak menujunya lalu bertanya-tanya, “Mengapa orang ini diacuhkan?” Tak berapa lama kemudian berkumpullah kabilah-kabilah yang telah menyetujui perjanjian Hilful Fudhul tersebut, lantas mereka mendatangi Al-Ash bin Wail dan mendesaknya agar mengembalikan hak orang tersebut, mereka berhasil setelah membuat suatu perjanjian.”
Menggembalakan Kambing
Pada awal masa remaja, Rasulullah tidak mempunyai pekerjaan tetap. Hanya saja beberapa riwayat menyebutkan bahwa beliau biasa menggembala kambing di kalangan Bani Saad bin Bakar?’ dan di Mekkah dengan imbalan uang beberapa dinar.”
Ketika berusia dua puluh lima tahun, beliau pergi berdagang ke negeri Syam dengan modal yang diperoleh dari Khadijah ag. Ibnu Ishaq berkata, “Khadijah binti Khuwailid adalah salah seorang wanita pedagang yang memiliki banyak harta dan bernasab baik. Dia menyewa banyak kaum lelaki untuk memperdagangkan hartanya dengan sistem bagi hasil. Kabilah Quraisy dikenal sebagai pedagang handal. Maka tatkala sampai ke telinganya tentang kejujuran bicara, amanah, dan akhlak Rasulullah yang mulia, dia mengutus seseorang untuk menemuinya dan menawarkannya untuk memperdagangkan harta miliknya ke negeri Syam. Dia menyerahkan kepada beliau barang dagangan yang istimewa, yang tidak pernah dipercayakannya kepada pedagang-pedagang yang lainnya.
Beliau juga didampingi oleh seorang pembantunya bernama Maisarah. Beliau menerima tawaran tersebut dan berangkat dengan barang-barang dagangannya bersama pembantunya tersebut hingga sampai ke Syam.
Menikah dengan Khadijah
Ketika beliau pulang ke Mekkah dan Khadijah melihat betapa amanahnya beliau terhadap harta yang diserahkan kepadanya begitu juga dengan keberkahan dari hasil perdagangan yang belum pernah didapatinya sebelum itu, ditambah lagi informasi dari Maisarah, pembantunya, tentang budi pekerti beliau, kejeniusan, kejujuran dan keamanahannya; maka dia seakan menemukan apa yang dicarinya selama ini (calon suami), padahal banyak kaum laki-laki bangsawan dan pemuka yang sangat berkeinginan untuk menikahinya, namun semuanya dia tolak.
Akhirnya dia menceritakan keinginan hatinya kepada teman wanitanya, Nafisah binti Munayyah yang kemudian bergegas menemui beliau dan meminta kesediaan beliau untuk menikahi Khadijah. Beliau pun menyetujuinya dan menceritakan hal tersebut kepada paman-paman ya. Kemudian mereka mendatangi paman Khadijah untuk melamar keponakannya. Maka pernikahan pun berlangsung setelah itu dan akad tersebut dihadiri oleh Bani Hasyim dan para pemimpin Mudhar.
Hal ini terjadi dua bulan sepulang beliau dari Syam. Maskawin beliau adalah 20 ekor unta muda. Usia Khadijah binti Khuwalid sendiri adalah empat puluh tahun, yang pada masa itu dia merupakan wanita yang paling terpandang, cantik, pandai, dan kaya. Dia adalah wanita pertama yang dinikahi Rasulullah. Beliau tidak pernah menikahi wanita lain hingga Khadijah binti Khuwalid meninggal dunia.
Putra-putri beliau—selain Ibrahim yang dilahirkan Mariyah Al Qibthiyyah—dilahirkan dari Khadijah binti Khuwalid. Mereka adalah AlQasim—yang dengan nama ini beliau dijuluki Abul Qasim, Abdullah Yang dijuluki Ath-Thayyib dan Ath-Thahir, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kaltsum, dan Fathimah. Semua putra beliau meninggal dunia selagi kecil. Sedangkan putri-putri beliau semuanya hidup pada masa Islam. Mereka semua menganutnya dan juga ikut berhijrah, namun semuanya meninggal dunia semasa beliau masih hidup, kecuali Fathimah yang meninggal enam bulan setelah beliau wafat.”
Renovasi Kabah dan Penyelesaian pertikaian
pada usia 35 tahun, Orang-orang Quraisy sepakat untuk merenovasi Kabah, karena Kabah itu berupa susunan batu-batu, lebih tinggi dari badan manusia, tepatnya sembilan hasta yang dibangun sejak masa Ismail, tanpa ada atapnya, sehingga banyak pencuri yang sering mengambil barang-barang berharga yang tersimpan di dalamnya.
Lima tahun sebelum kenabian, kota Mekkah dilanda banjir besar hingga meluap ke Baitul Haram, sehingga sewaktu-waktu bisa membuat Kabah menjadi runtuh. Kondisi seperti itu membuat bangunan Kabah semakin rapuh dan dinding-dindingnya pun sudah pecah-pecah. Sementara itu, Orang-orang Quraisy dihinggapi rasa bimbang antara merenovasi dan membiarkannya apa adanya. Namun, akhirnya mereka sepakat untuk hanya memasukkan bahan-bahan bangunan yang baik-baik. Mereka tidak menerima dana dari penghasilan para pelacur, jual beli dengan sistem riba, dan perampasan terhadap harta orang lain. Meski sudah demikian, mereka tetap merasa takut untuk merobohkannya. Akhirnya Al-Walid bin Mughirah Al-Makhzumi mengawali perobohan bangunan Kabah, lalu diikuti oleh semua orang, setelah tahu tidak ada sesuatu pun yang menimpa Al-Walid. Mereka terus bekerja merobohkan setiap bangunan Kabah, hingga sampai rukun Ibrahim. Setelah itu mereka siap membangunnya kembali.
Mereka membagi sudut-sudut Kabah dan mengkhususkan setiap kabilah dengan bagiannya sendiri-sendiri. Setiap kabilah mengumpulkan batu-batu yang baik dan mulai membangun. Yang bertugas menangani urusan pembangunan Kabah ini adalah seorang arsitek berkebangsaan Romawi yang bernama Baqum – nama aslinya adalah Pachomius.
Tatkala pembangunan sudah sampai di bagian Hajar Aswad, mereka saling berselisih tentang siapa yang berhak mendapat kehormatan meletakkan Hajar Aswad itu di tempatnya semula. Perselisihan ini terus berlanjut selama 4 atau 5 hari, tanpa ada keputusan. Bahkan, perselisihan itu semakin meruncing dan hampir saja menjurus kepada pertumpahan darah di Tanah Suci.
Akhirnya, Abu Umayyah bin Al-Mughirah Al-Makhzumi tampil dan menawarkan jalan keluar dari perselisihan di antara mereka, dengan menyerahkan urusan ini kepada siapa pun yang pertama kali masuk lewat pintu masjid. Mereka menerima cara ini. Allah menghendaki orang yang berhak tersebut adalah Rasulullah. Tatkala mengetahui hal ini, mereka berbisik-bisik, “Inilah Al-Amin. Kami rela kepadanya. Inilah dia Muhammad.”
Setelah mereka semua berkumpul di sekitar beliau dan mengabarkan apa yang harus beliau lakukan, maka beliau meminta sehelai selendang, lalu beliau meletakkan Hajar Aswad tepat di tengah-tengah selendang, lalu meminta pemuka-pemuka kabilah yang saling berselisih untuk memegang ujung-ujung selendang, lalu memerintahkan mereka secara bersama-sama mengangkatnya. Setelah mendekati tempatnya, beliau mengambil Hajar Aswad dan meletakkannya di tempat semula. Ini merupakan cara pemecahan yang sangat jitu dan memuaskan hati semua orang.
Orang-orang Quraisy kehabisan dana dari penghasilan yang baik. Maka mereka menyisakan di bagian utara, kira-kira 6 hasta, yang kemudian di sebut Al-Hijr atau Al-Hathim. Mereka membuat pintunya lebih tinggi dari permukaan tanah agar tidak bisa dimasuki kecuali oleh Orang-orang yang sangat menginginkannya. Setelah bangunan Kabah mencapai ketinggian 15 hasta, mereka memasang atap yang disangga dengan enam tiang.
Setelah selesai, Kabah itu berbentuk segi empat yang ketinggiannya kira-kira mencapai 15 meter, panjang sisinya di tempat Hajar Aswad dan sebaliknya adalah 10 X 10 meter. Hajar Aswad itu sendiri diletakan dengan ketinggian 1,5 meter dari permukaan pelataran untuk tawaf. Sisi yang ada pintunya dan sebaliknya setinggi 12 meter. Adapun pintunya setinggi 2 meter dari permukaan tanah. Di sekeliling luar Kabah ada pagar dari bagian bawah ruas-ruas bangunan, di bagian tengahnya dengan ketinggian 0,25 meter dan lebarnya kira-kira 0,33 meter. Pagar ini dinamakan Asy-Syadzarawan. Namun, kemudian Orang-orang Quraisy meninggalkannya.
Biografi Beliau Secara Global Sebelum Kenabian
Nabi telah menghimpun sekian banyak kelebihan dari berbagai lapisan manusia selama pertumbuhan beliau. Beliau menjadi seorang sosok yang unggul dalam pemikiran yang jitu, pandangan yang lurus, mendapat sanjungan karena kecerdikan, kelurusan pemikiran, pencarian sarana dan tujuan. Beliau lebih suka berdiam berlama-lama untuk mengamati, memusatkan pikiran dan menggali kebenaran. Dengan akalnya beliau mengamati keadaan negerinya. Dengan fitrahnya yang suci beliau mengamati lembaran-lembaran kehidupan, keadaan manusia dari berbagai golongan.
Beliau merasa risih terhadap khurafat dan menghindarinya. Beliau berhubungan dengan manusia, dengan mempertimbangkan keadaan dirinya dan keadaan mereka. Selagi mendapatkan yang baik, maka beliau bersekutu di dalamnya. Jika tidak, maka beliau lebih suka dengan kesendiriannya. Beliau tidak minum khamar, tidak mau makan daging hewan yang disembelih untuk dipersembahkan kepada berhala, tidak mau menghadiri upacara atau pertemuan untuk menyembah patung. Bahkan sejak kecil beliau senantiasa menghindari jenis penyembahan yang batil ini, sehingga tidak ada sesuatu yang lebih beliau benci selain penyembahan kepada patung-patung ini, dan hampir-hampir beliau tidak sanggup menahan kesabaran tatkala mendengar sumpah yang disampaikan kepada Lata dan Uzza.
Ibnu Katsir meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah bersabda, “Tidak pernah terlintas dalam benakku suatu keinginanku untuk mengikuti kebiasaan yang dilakukan oleh Orang-orang Jahiliyah kecuali hanya dua kali. Namun, kemudian Allah Ta’ala menjadi penghalang antara diriku dengan keinginan itu. Setelah itu aku tidak lagi berkeinginan sedikit pun hingga Allah Ta’ala memuliakan aku dengan risalah-Nya. Suatu malam aku pernah berkata kepada seorang pemuda yang sedang menggembala kambing bersamaku di suatu bukit di Mekkah, ‘Awasilah kambing-kambing gembalaanku, karena aku hendak masuk Mekkah dan hendak mengobrol di sana seperti yang dilakukan para pemuda yang lain.’
Rekanku itu berkata, ‘Aku akan melaksanakannya.’ Maka aku beranjak pergi. Di samping rumah pertama yang kulewati di Mekkah, aku mendengar suara tabuhan rebana. Aku bertanya, “Ada apa ini?’ Orang-orang menjawab, “Pesta pernikahan Fulan dan Fulanah.”
Aku ikut duduk-duduk di sana dan mendengarkan. Namun, Allah Ta’ala menutup telingaku dan aku langsung tertidur, hingga aku terbangun karena sengatan matahari besok harinya. Aku kembali menemui rekanku dan dia langsung menanyakan keadaanku. Maka aku mengabarkan apa yang terjadi. Pada malam lainnya aku berkata seperti itu pula dan berbuat hal yang sama. Namun, lagi-lagi aku mengalami kejadian yang sama seperti malam sebelumnya. Maka setelah itu aku tidak lagi ingin berbuat hal yang buruk.
Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, yang berkata, “Tatkala Kabah sedang direnovasi, Rasulullah ikut bergabung bersama Abbas mengambil batu. Abbas berkata kepada beliau, ‘Angkatlah jubahmu hingga ke atas lutut agar engkau tidak terluka oleh patu.’ Namun, karena itu beliau justru terjerembap ke tanah. Maka beliau menghujamkan pandangan ke langit, kemudian bersabda, ‘Ini gara-gara jubahku, ini gara-gara jubahku.’ Lalu beliau mengikatkan jubahnya. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau setelah itu tidak pernah terlihat beliau menampakkan auratnya.”?’
Rasulullah juga menonjol di tengah kaumnya karena perkataan yang lemah lembut, akhlaknya yang utama, sifat-sifatnya yang mulia. Beliau adalah orang yang paling utama kepribadiannya di tengah kaumnya, paling bagus akhlaknya, paling terhormat dalam pergaulannya dengan para tetangga, paling lemah lembut, paling jujur perkataannya, paling terjaga jiwanya, paling terpuji kebaikannya, paling baik amalnya, paling banyak memenuhi janji, paling bisa dipercaya, hingga mereka menjulukinya Al-Amin, karena beliau menghimpun semua keadaan yang baik dan sifat-sifat yang diridhai orang lain.
Keadaan beliau juga digambarkan Ummul Mukminin, yaitu Khadijah binti Khuwalid , ‘Beliau membawa bebannya sendiri, memberi orang miskin, menjamu tamu, dan menolong siapa pun yang hendak menegakkan kebenaran. []
FASE MEKKAH
Di Gua Hira’
Ketika usia Rasulullah telah mendekati 40 tahun, beliau lebih senang mengasingkan diri. Itu beliau lakukan setelah melalui perenungan yang lama dan telah terjadi jurang pemisah antara pemikiran beliau dan kaumnya. Dengan membawa roti dari gandum dan air, beliau pergi ke Gua Hira’ di Jabal Nur, yang jaraknya kira-kira 2 mil dari kota Mekkah, suatu gua yang tidak terlalu besar, yang panjangnya 4 hasta, lebarnya 1,75 hasta dengan ukuran zira’ al-Hadid (hasta ukuran besi).
Keluarga beliau kadang-kadang menyertai ke sana. Selama bulan Ramadhan beliau berada di gua ini, dan tidak lupa memberikan makanan kepada setiap orang miskin yang juga datang ke sana. Beliau menghabiskan waktunya untuk beribadah, memikirkan keagungan alam di sekitarnya dan kekuatan tidak terhingga di balik alam. Beliau tidak pernah merasa puas melihat keyakinan umatnya yang penuh dengan kemusyrikan dan segala persepsi mereka yang tidak pernah lepas dari takhayul. Sementara itu, di hadapan beliau juga tidak ada jalan yang jelas dan mempunyai batasan-batasan tertentu, yang bisa menghantarkan kepada keridhaan dan kepuasan hati beliau.!
Pilihan beliau untuk mengasingkan diri ini termasuk satu sisi dari ketentuan Allah Ta’ala atas diri beliau, sebagai langkah persiapan untuk menerima urusan besar yang sedang ditunggunya. Ruh manusia mana pun yang realitas kehidupannya akan disusupi suatu pengaruh dan di bawa ke arah lain, maka ruh itu harus dibuat kosong dan mengasingkan diri untuk beberapa saat, dipisahkan dari berbagai kesibukan duniawi dan gejolak kehidupan serta kebisingan manusia yang membuatnya sibuk pada urusan kehidupan.
Begitulah Allah mengatur dan mempersiapkan kehidupan Rasulullah, untuk mengemban amanat yang besar, mengubah wajah dunia dan meluruskan garis sejarah. Allah telah mengatur pengasingan ini selama 3 tahun bagi Rasulullah sebelum membebaninya dengan risalah. Beliau pergi untuk mengasing diri ini selama jangka waktu sebulan, dengan disertai ruh yang suci sambil mengamati kegaiban yang tersembunyi di balik alam nyata, hingga tiba saatnya untuk berhubungan dengan kegaiban itu tatkala Allah telah mengizinkannya.
Jibril Turun Membawa Wahyu
Tatkala usia beliau genap empat puluh tahun—yang merupakan awal usia kematangan, dan ada riwayat yang menyatakan bahwa pada usia inilah para Rasul diutus—tanda-tanda kenabian sudah tampak dan mengemuka. Di antaranya, adanya sebuah batu di Mekkah yang mengucapkan salam kepada beliau, terjadinya ru’ya shadiqah (mimpi yang benar) yang datang berupa fajar Subuh yang menyingsing. Hal ini berlangsung hingga enam bulan—masa kenabian berlangsung selama 23 tahun—dan ru’ya shadiqah ini merupakan bagian dari empat puluh enam tanda kenabian. Ketika memasuki tahun ketiga dari pengasingan dirinya di Gua Hira’, tepatnya di bulan Ramadhan, Allah menghendaki rahmat-Nya dilimpahkan kepada penduduk bumi dengan memberikan kemuliaan kepada beliau, berupa pengangkatan sebagai Nabi dan menurunkan Jibril kepadanya dengan membawa beberapa ayat Al-Qur’an.
Setelah melalui pengamatan dan perenungan terhadap beberapa bukti-bukti dan tanda-tanda akurat, kami dapat menentukan persisnya pengangkatan tersebut, yaitu hari Senin, tanggal 21 malam bulan Ramadhan dan bertepatan dengan tanggal 10 Agustus tahun 610 M.
Tepatnya usia beliau saat itu 40 tahun 6 bulan 12 hari menurut penanggalan qamariyah dan sekitar 39 tahun 3 bulan 20 hari; ini menurut penanggalan syamsiyah.
Mari kita dengar sendiri Aisyah menuturkan kisahnya kepada kita mengenai peristiwa yang merupakan permulaan kenabian tersebut dan yang mulai membuka tabir-tabir gelapnya kekufuran dan kesesatan, sehingga dapat mengubah alur kehidupan dan meluruskan garis sejarah. Aisyah berkata, “Wahyu yang mula pertama dialami oleh Rasulullah adalah berupa ru’ya shalihah (mimpi yang benar) dalam tidur dan mimpi itu hanya berbentuk fajar Subuh yang menyingsing, kemudian beliau lebih menyenangi penyendirian dan melakukannya di Gua Hira’; beribadah di dalamnya beberapa malam sebelum dia kembali ke rumah keluarganya.
Dalam melakukan itu, beliau mengambil bekal kemudian kembali ke Khadijah mengambil perbekalan yang sama hingga datang kebenaran kepadanya; yaitu saat beliau berada di gua Hira’ tersebut, seorang malaikat datang menghampiri sembari berkata, ‘Bacalah!’ Aku (Rasulullah) menjawab, ‘Aku tidak bisa membaca!’ Beliau menuturkan, ‘Kemudian dia memegang dan merengkuhku hingga aku kehabisan bertenaga, lalu setelah itu melepaskanku sembari berkata, ‘Bacalah!’ Aku tetap menjawab, ‘Aku tidak bisa membaca!’
Dia memegangku dan merangkulku hingga aku merasa sesak. Kemudian melepaskanku, seraya berkata lagi, ‘Bacalah!’ Aku menjawab, ‘Aku tidak bisa membaca.’
Dia memegangiku dan merangkulku hingga ketiga kalinya hingga aku merasa sesak, kemudian melepaskanku, lalu berkata:
Bacalah dengan (menyebut) nama tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan tuhanmu Yang Paling Pemurah. (Al-‘Alaq: 1-3).
Rasulullah pulang dengan merekam bacaan tersebut dalam kondisi hati yang bergetar, dan menemui Khadijah binti Khuwailid sembari berucap, “Selimutilah aku, selimutilah aku!” maka beliau diselimuti hingga badan beliau tidak lagi menggigil layaknya terkena demam.
“Apa yang terjadi padaku?” beliau berkata kepada Khadijah. Beliau memberitahukan apa yang baru saja terjadi. Beliau bersabda, “Aku khawatir terhadap keadaan diriku sendiri.”
Khadijah berkata, “Tidak Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selamanya, karena engkau suka menyambung tali persaudaraan, membantu meringankan beban orang lain, memberi makan orang yang miskin, menjamu tamu, dan menolong orang yang menegakkan kebenaran.”
Selanjutnya Khadijah binti Khuwailid membawa beliau pergi menemui Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdul Uzza, anak paman Khadijah. Waraqah adalah seorang Nasrani semasa Jahiliyah. Dia menulis buku dalam bahasa Ibrani dan juga menulis Injil dalam bahasa Ibrani seperti yang dikehendaki Allah. Dia sudah tua dan buta.
Khadijah binti Khuwailid berkata kepada Waraqah, ”Wahai putra pamanku, dengarkanlah kisah dari anak saudaramu (Rasulullah).”
Waraqah berkata kepada beliau, “Apa yang pernah engkau lihat, wahai putri saudaraku?” Rasulullah mengabarkan apa saja yang pernah dilihatnya.
Akhirnya Waraqah berkata, “Ini adalah Namus yang diturunkan Allah kepada Musa. Andaikan saja aku masih muda pada masa itu. Andaikan saja aku masih hidup tatkala kaummu mengusirmu.”
Beliau bertanya. “Benarkah mereka akan mengusirku?”
“Benar. Tidak seorang pun yang membawa seperti yang engkau bawa melainkan akan dimusuhi. Andaikan aku masih hidup pada masamu nanti, tentu aku akan membantumu dengan sungguh-sungguh.” Waraqah pun meninggal dunia pada saat-saat turun wahyu.’
Ath-Thabari dan Ibnu Hisyam meriwayatkan, yang intinya menjelaskan bahwa beliau pergi meninggalkan Gua Hira’ setelah mendapat wahyu, lalu menemui istri beliau dan pulang ke Mekkah. Adapun riwayat Ath-Thabrani menyebutkan secara sekilas sebab keluarnya beliau dari Gua Hira.’ Inilah riwayatnya:
Rasulullah bersabda, “Tidak ada makhluk Allah yang paling kubenci selain dari penyair atau orang yang tidak waras. Aku tidak kuat untuk memandang keduanya.“ Beliau juga bersabda, “Yang paling ingin aku jauhi adalah penyair atau orang yang tidak waras. Sebab, Orang-orang Quraisy senantiasa berbicara tentang diriku dengan syair itu. Rasanya ingin aku mendaki gunung yang tinggi, lalu menerjunkan diri dari sana agar aku mati saja, sehingga aku bisa istirahat dengan tenang.”
Beliau bersabda lagi, “Aku pun pergi dan hendak melakukan hal itu. Namun, ditengah gunung, tiba-tiba aku mendengar suara yang datangnya dari langit, berkata, “Wahai Muhammad, engkau adalah Rasul Allah, dan aku Jibril.”
Aku mendongakkan kepala ke arah langit, yang ternyata di sana ada Jibril dalam rupa seorang laki-laki dengan wajah yang berseri, kedua telapak kakinya menginjak ufuk langit, seraya berkata, “Wahai Muhammad, engkau adalah Rasul Allah dan aku Jibril.”
Aku berdiam diri sambil memandangnya, bingung apa yang hendak aku kerjakan, tidak berani melangkah maju atau mundur. Aku memalingkan wajah dari arah yang ditempati Jibril di ufuk langit. Tetapi, setiap kali aku memandang arah langit yang lain, di sana tetap ada Jibril yang kulihat. Aku tetap diam, tidak selangkah kaki pun maju ke depan atau surut ke belakang, hingga akhirnya Khadijah binti Khuwailid mengirim beberapa orang untuk mencariku. Bahkan, mereka sampai ke Mekkah dan kembali lagi menemui Khadijah tanpa hasil, padahal aku tetap berdiri seperti semula di tempatku berdiri. Kemudian Jibril pergi dariku dan aku pun pulang kembali menemui keluargaku.
Sesampainya di rumah aku langsung duduk di atas paha Khadijah sambil bersandar kepadanya. Khadijah berkata, “Wahai Abul Qasim, ke mana saja engkau tadi? Demi Allah, aku telah mengirim beberapa orang untuk mencarimu hingga mereka sampai di Mekkah, namun kembali lagi tanpa hasil.” Kemudian aku memberitahukan apa yang telah aku lihat. Dia berkata, “Bergembiralah, Wahai anak pamanku, dan teguhkanlah hatimu. Demi diri Khadijah yang ada di Tangan-Nya, aku benar-benar sangat berharap engkau menjadi Nabi umat ini.”
Setelah itu Khadijah beranjak pergi untuk menemui Waraqah dan mengabarkan kepadanya. Waraqah berkata, “Mahasuci, Mahasuci. Demi diri Waraqah yang ada di Tangan-Nya, Namus Yang Besar, yang pernah datang kepada Musa, kini telah datang kepadanya. Dia adalah benar-benar nabi umat ini. Katakanlah kepadanya agar dia berteguh hati.”
Khadijah pulang lalu mengabarkan apa yang dikatakan Waraqah kepadanya. Tatkala Rasulullah meninggalkan istrinya dan pergi ke Mekkah, beliau bertemu Waraqah. Setelah mendengar penuturan Langsung dari beliau, Waraqah berkata, “Demi diriku yang ada di Tangan-Nya, engkau adalah benar-benar nabi umat ini. Namus yang besar telah datang kepadamu, seperti yang pernah datang kepada Musa.”
Wahyu Terputus
Mengenai hal ini, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Saad dari Ibnu Abbas yang intinya menyatakan bahwa masa terputusnya wahyu berlangsung selama beberapa hari.” Pendapat inilah yang lebih kuat bahkan setelah melalui penelitian dari segala aspeknya secara terfokus harus menjadi acuan. Adapun riwayat yang berkembang bahwa hal itu berlangsung selama 3 tahun atau 2,5 tahun tidaklah sahih sama sekali, namun di sini bukan pada tempatnya untuk membantah hal itu secara detail.
Pada masa-masa terputusnya wahyu itu, Rasulullah hanya diam dalam keadaan termenung sedih. Kegelisahan melingkupi diri beliau. Dalam kitab At-Ta’bir, Imam Al-Bukhari meriwayatkan naskah sebagai berikut:
“Menurut berita yang sampai kepada kami, wahyu berhenti turun hingga membuat Nabi sedih” dan berkali-kali berlari ke gunung dan ingin menjatuhkan diri dari jurang, namun setiap beliau mencapai puncak gunung untuk mencampakkan dirinya, malaikat Jibril menampakkan wujudnya sembari berkata, “Wahai Muhammad, sesungguhnya engkau benar-benar utusan Allah!’ Motivasi ini dapat menenangkan dan memantapkan kembali jiwa beliau. Lalu pulanglah beliau ke rumah, namun ketika wahyu tidak kunjung turun, beliau pun mengulangi tindakan sebagaimana sebelumnya; dan ketika dia mencapai puncak gunung, malaikat Jibril menampakkan wujudnya dan berkata kepadanya seperti sebelumnya.”
Jibril Turun Membawa Wahyu untuk Kedua Kalinya
Ibnu Hajar menuturkan, “Selama wahyu terputus untuk beberapa hari lamanya, beliau ingin ketakutan dan kedukaannya segera sirna dan kembali seperti sebelumnya. Tatkala bayang-bayang kebingungan mulai surut, dan beliau kembali menunggu-nunggu turunnya wahyu, Allah memuliakan beliau dengan wahyu untuk kedua kalinya”
Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah a bahwa dia pernah mendengar Rasulullah menuturkan masa turunnya wahyu. Beliau bersabda, “Tatkala aku sedang berjalan, tiba-tiba aku mendengar sebuah suara yang berasal dari langit. Aku mendongakkan pandangan ke arah langit. Ternyata di sana ada malaikat yang mendatangiku di gua Hira’, sedang duduk di sebuah kursi, menggantung di antara langit dan bumi. Aku mendekatinya hingga tiba-tiba aku terjerembap ke atas tanah.
Kemudian aku menemui keluargaku dan kukatakan, ‘Selimutilah aku, selimutilah aku!’” Lalu Allah Ta’ala menurunkan surat Al-Muddatsir ayat 1-5. Setelah turunnya ayat di atas, maka wahyu datang secara berturut-turut.
Sedikit Penjelasan tentang Pembagian-pembagian Wahyu
Sebelum kita mulai membahas kehidupan beliau pada masa kerasulan dan kenabian, maka ada baiknya jika kita mengetahui terlebih dahulu pembagian-pembagian wahyu, yang merupakan sumber risalah dan batasan-batasan dakwah. Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah berkata bahwa tahapan wahyu adalah sebagai berikut:
- Mimpi yang hakiki. Ini merupakan permulaan wahyu yang turun kepada Nabi .
- Sesuatu yang dibisikkan ke dalam hati beliau, tanpa dilihatnya.
Ini seperti yang disabdakan oleh Nabi: “Ruhul Qudus menghembuskan ke dalam hatiku bahwa setiap jiwa tidak akan mati sebelum disempurnakan rezekinya. Karena itu, bertakwalah kepada Allah, baguskanlah dalam meminta, dan janganlah kalian menganggap lamban datangnya rezeki, sehingga kalian mencarinya dengan cara mendurhakai Allah, Karena apa yang ada di sisi Allah Ta’ala tidak akan bisa diperoleh kecuali dengan menaati-Nya.”
- Malaikat muncul di hadapan Nabi dalam rupa seorang laki-laki, lalu berbicara dengan beliau hingga beliau bisa menangkap secara langsung apa yang dibicarakannya. Dalam tingkatan ini kadang-kadang para sahabat juga bisa melihatnya.
4, Wahyu itu datang menyerupai bunyi lonceng. Ini merupakan wahyu yang paling berat dan malaikat tidak terlihat oleh pandangan Nabi, hingga dahi beliau berkerut mengeluarkan keringat sekali pun pada waktu yang sangat dingin, dan hingga hewan tunggangan beliau menderum ke tanah jika beliau sedang menaikinya. Wahyu ini sekali pernah datang tatkala paha beliau berada di atas Zaid bin Tsabit, sehingga Zaid merasa keberatan dan hampir saja dia tidak kuat menyangganya.
- Rasulullah bisa melihat malaikat dalam rupa aslinya, lalu menyampaikan wahyu seperti yang dikehendaki Allah Ta’ala kepada beliau. Yang demikian pernah beliau alami dua kali, sebagaimana yang disebutkan Allah Ta’ala dalam surat An-Najm (ayat 13-14, dan surat At-Takwir ayat 22-23).
- Wahyu yang disampaikan Allah Ta’ala kepada beliau, yaitu di atas lapisan-lapisan langit pada malam Mi’’raj, berisi kewajiban shalat dan lain-lainnya.
- Allah Ta’ala berfirman secara langsung dengan Rasulullah tanpa menggunakan perantara, sebagaimana Allah berfirman dengan Musa bin Imran. Wahyu semacam ini secara pasti berlaku bagi Musa berdasarkan nash Al-Qur’an dan menurut penuturan beliau dalam hadits tentang Isra.’
Sebagian pakar sejarah menambahi dengan tingkatan wahyu yang kedelapan, yaitu Allah Ta’ala berfirman secara langsung di hadapan beliau tanpa ada tabir. Ini termasuk masalah yang diperselisihkan di antara ulama salaf dan khalaf.
Begitulah uraian singkatan tentang tahapan-tahapan wahyu, dari yang pertama hingga kedelapan. Namun, yang pasti tingkatan terakhir ini merupakan pendapat yang tidak kuat.
Nabi mendapat berbagai macam perintah dalam firman Allah:
“Hai orang yang berselimut, bangunlah lalu berilah peringatan, dan agungkanlah Tuhanmu, dan bersihkanlah pakaianmu, dan tinggalkanlah perbuatan dosa, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak, dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.” (Al-Muddatstsir: 1-7).
Pada hakikatnya ini mempunyai tujuan yang jauh, berpengaruh kuat,
dan nyata,! yang dapat dirinci sebagai berikut:
- Tujuan pemberian peringatan, agar siapa pun yang menyalahi keridhaan Allah di dunia ini diberi peringatan tentang akibatnya yang pedih di kemudian hari, dan yang pasti akan mendatangkan kegelisahan dan ketakutan di dalam hatinya.
- Tujuan mengagungkan Tuhan, agar siapa pun yang menyombongkan diri di dunia tidak dibiarkan begitu saja melainkan kekuatannya akan dipunahkan dan keadaannya dibalik total, sehingga tidak ada kebesaran yang menyisa di dunia selain kebesaran Allah.
- Tujuan membersihkan pakaian dan meninggalkan perbuatan dosa, agar kebersihan lahir dan batin benar-benar tercapai, begitu pula dalam membersihkan jiwa dari segala noda dan kotoran bisa mencapai titik kesempurnaan, agar jiwa manusia berada di bawah lindungan rahmat Allah, penjagaan, pemeliharaan, hidayah dan cahaya-Nya, sehingga dia menjadi sosok paling ideal di tengah masyarakat manusia. mengundang pesona semua hati dan decak kekaguman.
- Tujuan larangan mengharap yang lebih banyak dari apa yang diberikan agar seseorang tidak menganggap perbuatan dan usahanya sesuatu yang besar lagi hebat, agar dia senantiasa berbuat dan berbuat lebih banyak berusaha dan berkorban, lalu melupakannya. Bahkan dengan perasaannya di hadapan Allah, dia tidak merasa telah berbuat dan berkorban.
- Dalam ayat yang terakhir terdapat isyarat tentang gangguan. Siksaan, ejekan dan olok-olok yang bakal dilancarkan Orang-orang yang menentang, dan bahkan mereka akan berusaha membunuh beliau dan membunuh para sahabat serta menekan setiap orang yang beriman di sekitar beliau. Allah memerintahkan agar beliau bersabar dalam menghadapi semua itu, dengan modal kekuatan dan ketabahan hati, bukan dengan tujuan untuk kepentingan pribadi, tapi karena keridhaan Allah semata.
Allahu Akbar! Alangkah sederhananya perintah-perintah ini jika dilihat secara sepintas lalu. Alangkah lembut sentuhannya. Tetapi, betapa besar dan berat pengamalannya, alangkah besar pengaruh guncangannya terhadap seisi alam dan membiarkan sebagian berbenturan dengan sebagian yang lain. Ayat-ayat ini sendiri mengandung materi-materi dakwah dan tablig. Pemberian peringatan itu sendiri biasanya mengundang berbagai reaksi yang kurang menyenangkan bagi pelakunya. Apalagi semua orang sudah tahu bahwa dunia ini tidak mau tahu apa yang dilakukan manusia dan tidak akan memberi balasan macam apa pun terhadap apa pun yang mereka kerjakan.
Pemberian peringatan menuntut kedatangan suatu hari di luar hari-hari di dunia, yang pada saat itu akan ada pembalasan. Hari itu adalah hari kiamat atau hari pembalasan. Hal ini mengharuskan adanya suatu kehidupan lain yang berbeda dengan kehidupan yang dijalani manusia di dunia.
Semua ayat ini menuntut tauhid yang jelas dari manusia, penyerahan urusan kepada Allah, meninggalkan kesenangan diri sendiri dan keridhaan manusia, untuk dipasrahkan kepada keridhaan Allah.
Jadi hal-hal yang terangkum di sini meliputi: a. Tauhid.
- Iman kepada Hari Akhirat.
- Membersihkan jiwa, dengan cara menjauhi kemungkaran dan kekejian, yang kadang-kadang mengakibatkan munculnya hal-hal yang kurang menyenangkan, mencari keutamaan, kesempurnaan dan perbuatan-perbuatan yang baik.
- Menyerahkan semua urusan kepada Allah.
- Semua itu dilakukan setelah beriman kepada risalah Muhammad, bernaung di bawah kepemimpinan dan bimbingan beliau yang lurus.
Selain itu, permulaan ayat-ayat ini mengandung seruan yang tinggi, sebagai perintah yang ditujukan kepada Nabi, agar beliau bangun dari tidur dan melepas selimut, siap untuk berjihad dan berjuang.
“Hai orang yang berselimut, bangunlah lalu berilah peringatan.”
Seolah-olah dikatakan kepada beliau, “Sesungguhnya orang yang hidup untuk dirinya bisa hidup tenang dan santai. Namun, engkau yang memikul beban besar ini, mengapa tidur-tiduran saja? Mengapa engkau santai-santai saja? Mengapa engkau masih telentang di atas tempat tidur yang nyaman dan tenang-tenang saja?!
Bangunlah untuk menghadapi urusan besar yang sudah menantimu. Beban berat sudah menunggu di hadapanmu. Bangunlah untuk berjihad dan berjuang. Bangunlah, karena waktu tidur dan istirahat sudah habis. Sejak hari ini engkau harus siap untuk lebih banyak berjaga pada malam hari dan perjuangan yang berat lagi panjang. Bangunlah dan bersiaplah untuk semua itu.”
Sungguh, ini merupakan perkataan yang serius dan menakutkan, yang membuat beliau melompat dari tempat tidurnya yang nyaman di rumah yang penuh kedamaian, siap terjun ke kancah, di antara arus dan gelombang, antara yang keras dan yang menarik menurut perasaan manusia, terjun ke kancah kehidupan.
Rasulullah pun bangkit, dan setelah itu selama 25 tahun beliau tidak pernah istirahat dan diam, tidak hidup untuk diri sendiri dan keluarga beliau. Beliau bangkit dan senantiasa bangkit untuk berdakwah kepada Allah, memanggul beban yang berat di atas pundaknya, tidak mengeluh dalam melaksanakan beban amanat yang besar di muka bumi ini, memikul beban kehidupan semua manusia, beban akidah, perjuangan dan jihad di berbagai medan. Beliau pernah hidup di medan peperangan secara terus-menerus dan berkepanjangan selama 20 tahun. Urusan demi urusan tidak pernah lekang selama itu, sejak beliau mendengar seruan yang agung dan mendapat beban kewajiban. Semoga Allah memberikan balasan kebaikan kepada beliau dan kepada siapa pun.?
Pada lembaran-lembaran berikut ini akan kami sajikan gambaran sederhana dari jihad yang beliau laksanakan selama sekian lama dan penuh rintangan.[]
Kita bisa membagi masa dakwah Rasulullah menjadi dua periode, yang masing-masing memiliki keistimewaan tersendiri, yaitu:
1, Periode Mekkah, berjalan kira-kira selama tiga belas tahun.
- Periode Madinah, berjalan selama sepuluh tahun penuh.
Setiap periode memiliki tahapan-tahapan tersendiri, dengan keistimewaannya masing-masing, yang satu berbeda dengan yang lain. Hal ini tampak jelas setelah meneliti berbagai unsur yang menyertai dakwah itu selama dua periode secara mendetail.
Periode Mekkah dapat dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu:
- Tahapan dakwah secara sembunyi-sembunyi, yang berjalan selama tiga tahun.
- Tahapan dakwah secara terang-terangan di tengah penduduk Mekkah, yang dimulai sejak tahun keempat kenabian hingga akhir tahun kesepuluh.
- Tahapan dakwah di luar Mekkah dan penyebarannya, yang dimulai dari tahun kesepuluh kenabian hingga hijrah ke Madinah.
Sedangkan periode Madinah akan dirinci pada tempatnya di bagian selanjutnya.
Tiga Tahun Dakwah secara Sembunyi-sembunyi
Seperti yang sudah diketahui bahwa Mekkah merupakan pusat agama bagi bangsa Arab. Di sana ada peribadatan terhadap Kabah dan penyembahan terhadap berhala dan patung-patung yang disucikan seluruh bangsa Arab. Cita-cita untuk memperbaiki keadaan mereka tentu bertambah sulit dan berat jika orang yang hendak mengadakan perbaikan jauh dari lingkungan mereka. Hal ini membutuhkan tekad membaja yang tidak bisa diguncang musibah dan kesulitan. Dalam menghadapi kondisi seperti ini, tindakan yang paling bijaksana adalah memulai dakwah dengan sembunyi-sembunyi, agar penduduk Mekkah tidak kaget karena tiba-tiba menghadapi sesuatu yang menggusarkan mereka.
Generasi Pertama
Sudah merupakan sesuatu yang lumrah bila yang pertama-tama dilakukan oleh Rasulullah adalah menawarkan Islam kepada Orang-orang yang dekat hubungannya dengan beliau, baik itu anggota keluarga maupun sahabat-sahabat karib beliau. Beliau menyeru mereka kepada Islam, juga menyeru siapa pun yang dirasa memiliki kebaikan, yang sudah beliau kenal secara baik dan mereka pun mengenal beliau secara baik, yaitu mereka yang memang diketahui mencintai kebaikan dan kebenaran, dan mereka mengenal kejujuran dan kelurusan beliau. Mereka yang diseru ini langsung memenuhi seman beliau, karena mereka sama sekali tidak menyangsikan keagungan diri beliau dan kejujuran pengabaran yang beliau sampaikan, Dalam sejarah Islam, mereka dikenal dengan sebutan As-Sabiqun Al-Awwalun (yang terdahulu dan yang pertama-tama masuk Islam). Mereka adalah:
- Istri beliau, Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid.
- Pembantu beliau, Zaid bin Haritsah bin Syurahbil Al-Kalbi,’?
- Anak paman beliau, Ali bin Abu Thalib, yang saat itu Ali masih anak-anak dan hidup dalam asuhan beliau dan sahabat karib beliau.
- Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Mereka ini masuk Islam pada hari pertama dimulainya dakwah.? Abu Bakar sangat bersemangat dalam berdakwah kepada Islam. Dia adalah seorang laki-laki yang lemah lembut, pengasih dan ramah, memiliki akhlak yang mulia dan terkenal. Kaumnya suka mendatangi Abu Bakar dan menyenanginya, karena dia dikenal sebagai orang yang memiliki pengetahuan dan sukses dalam berdagang serta baik pergaulannya dengan orang lain. Maka dia menyeru Orang-orang dari kaumnya yang biasa duduk-duduk bersamanya dan yang dapat dipercayainya. Berkat seruannya, ada beberapa orang yang masuk Islam, yaitu:
- Utsman bin Affan Al-Umawi.
- Az-Zubair bin Al-Awwam Al-Asadi.
- Abdurrahman bin Auf.
- Saad bin Abu Waqqash Az-Zuhriyah.
- Thalhah bin Ubaidullah At-Taimi.
Mereka ini adalah Orang-orang yang lebih dahulu masuk Islam, generasi pertama dan cahaya Islam.
Sejumlah orang lain yang juga lebih dahulu masuk Islam adalah:
- Bilal bin Tuhanah Al-Habsyi.
2, Kemudian disusul “kepercayaan umat ini”, Abu Ubaidah Amir bin Al-Jarrah dari Bani Al-Harits bin Fihr.
- Abu Salamah bin Abdul Asad.
- Al-Arqam bin Abil-Arqam Al-Makhzumi.
- Utsman bin Mazh’un dan kedua saudaranya, Qudamah dan Abdullah.
- Ubaidah bin Al-Harits bin Al-Mutholib bin Abdu Manaf.
- Sa’id bin Zaid Al-Adawi dan istrinya Fathimah binti Al-Khattab Al-Adawiyyah, saudari Umar bin Al-Khattab.
- Khabbab bin Al-Aratt.
- Abdullah bin Mas’ud Al-Hudzali; dan masih banyak lagi.
Mereka ini juga disebut As-Sabiqun Al-Awwalun, yang semuanya berasal dari kabilah Quraisy. Ibnu Hisyam menghitung jumlah mereka lebih dari empat puluh orang. Namun, siapa saja nama selain yang disebutkan di atas perlu diteliti lagi. Ibnu Ishaq berkata, “Setelah itu banyak orang yang masuk Islam, baik laki-laki maupun wanita, sehingga nama Islam menyebar di seluruh Mekkah dan banyak yang membicarakannya.
Mereka masuk Islam secara sembunyi-sembunyi. Rasulullah menemui mereka dan mengajarkan agama secara kucing-kucingan. Sebab, dakwah saat itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan secara perorangan. Wahyu diturunkan sedikit demi sedikit lalu berhenti setelah turunnya awal surat Al-Muddatstsir. Ayat-ayat dan potongan surat yang turun saat itu berupa ayat-ayat pendek, dengan penggalan kata yang indah dan sentuhan lembut, sesuai dengan iklim yang juga lembut pada saat itu, berisi sanjungan menyucikan jiwa dan celaan mengotorinya dengan keduniaan, berisi ciri-ciri surga dan neraka. Keduanya seolah-olah tampak di depan mata, membawa Orang-orang Mukmin ke dunia lain tidak seperti dunia yang ada pada saat itu.
Shalat
Di antara wahyu yang pertama-tama turun adalah perintah shalat. Muaqatil bin Sulaiman berkata, “Allah mewajibkan shalat dua rakaat pada pagi hari dan dua rakaat pada petang hari pada masa awal Islam, yang didasarkan pada firman Allah:
“Dan, bertasbihlah seraya memuji Tuhanmu pada waktu pagi dan petang.” (Al-Mu’min: 55).
Ibnu Hajar menuturkan, sebelum Isra’ Nabi sudah pernah shalat, demikian juga para sahabat. Namun, terdapat perbedaan pendapat, apakah ada shalat yang diwajibkan sebelum ada kewajiban shalat lima waktu ataukah tidak. Ada yang berpendapat, yang diwajibkan pada masa itu adalah shalat sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya matahari.
Al-Harits bin Usamah meriwayatkan dari jalan Ibnu Luhai’ah secara maushul (bersambung) dari Zaid bin Haritsah, bahwa pada awal-awal turunnya, Jibril mendatangi Rasulullah dan mengajarkan wudhu kepada beliau. Seusai wudhu’, beliau mengambil seciduk air lalu memercikkan ke kemaluan. Ibnu Majah juga meriwayatkan hal ini dengan makna yang serupa. Hal yang sama juga diriwayatkan dari Al-Barra’ bin Azib dan Ibnu Abbas di dalam hadits Ibnu Abbas, dan hal itu termasuk kewajiban yang pertama diturunkan.
Ibnu Hisyam menyebutkan, bahwa jika tiba waktu shalat, Nabi dan para sahabat pergi ke tempat yang terpencil lalu secara sembunyi-sembunyi mengerjakan shalat, agar tidak dilihat kaumnya. Suatu kali Abu Thalib melihat Nabi mengerjakan shalat bersama Ali. Maka Abu Thalib menanyakan shalat itu. Setelah mendapat penjelasan yang cukup memuaskan, Abu Thalib menyuruh beliau dan Ali agar menguatkan hati.
Orang-orang Quraisy Mendengar Kabar secara Global
Setelah melihat beberapa kejadian di sana-sini, ternyata dakwah Islam sudah didengar Orang-orang Quraisy pada tahapan ini, sekalipun dakwah itu masih dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan perorangan. Namun, mereka tidak ambil peduli. Muhammad Al-Ghazali menuturkan, kabar tentang dakwah Islam ini sudah mulai menyebar di kalangan Orang-orang Quraisy, namun mereka tidak ambil peduli. Sebab, mereka mengira bahwa Muhammad hanya salah seorang di antara mereka yang peduli terhadap urusan agama. yang suka berbicara tentang masalah ketuhanan dan hak-haknya. Seperti yang biasa dilakukan Umayyah bin Ash-Shallat, Qus bin Sa’idah, Amr bin Nufail dan Orang-orang yang lain. Tetapi, lama-kelamaan ada pula perasaan khawatir yang mulai menghantui mereka karena pengaruh tindakan beliau. Oleh karena itu mereka mulai menaruh perhatian terhadap dakwah beliau.”
Selama tiga tahun dakwah masih dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan perorangan. Selama jangka waktu ini telah terbentuk sekelompok Orang-orang Mukmin yang senantiasa menguatkan hubungan persaudaraan dan saling bahu membahu. Penyampaian dakwah terus dilakukan, hingga turun wahyu yang mengharuskan Rasulullah menampakkan dakwah kepada kaumnya, menjelaskan kebatilan mereka, dan menyerang berhala-berhala persembahan mereka. []
Perintah Pertama untuk menampakkan Dakwah Sehubungan dengan hal ini, ayat pertama yang turun adalah firman-Nya:
“Dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat.” (Asy-Syu’ara’: 214).
Terdapat jalur cerita sebelumnya yang menyinggung kisah Musa dari permulaan kenabiannya hingga hijrahnya bersama Bani Israil, lolosnya mereka dari kejaran Firaun dan kaumnya serta tenggelamnya Firaun bersama kaumnya. Kisah ini mengandung beberapa tahapan yang dilalui oleh Musa dalam dakwahnya terhadap Firaun dan kaumnya agar menyembah Allah.
Rincian ini seolah-olah dipaparkan seiring dengan perintah kepada Rasulullah agar berdakwah kepada Allah secara terang-terangan, sehingga di hadapan beliau dan para sahabatnya terdapat contoh dan gambaran yang akan dialami oleh mereka nantinya, yaitu pendustaan dan penindasan ketika mereka melakukan dakwah tersebut secara terang-terangan. Demikian pula, agar mereka mawas diri dalam melakukan hal itu dan berdasarkan ilmu sejak awal memulai dakwah mereka tersebut.
Di samping itu, surat tersebut juga berbicara mengenai nasib yang akan dialami oleh pendusta-pendusta para Rasul, di antaranya sebagaimana yang dialami oleh kaum Nabi Nuh kaum ‘Ad dan Tsamud, kaum Nabi Ibrahim, kaum Nabi Luth serta Ashhabul Aikah (selain yang berkaitan dengan tentang Firaun dan kaumnya). Hal itu. semua dimaksudkan agar mereka yang melakukan pendustaan mengetahui bahwa mereka akan mengalami nasib yang sama seperti nasib kaum-kaum tersebut dan mendapatkan pembalasan dari Allah bila melakukan hal yang sama. Demikian pula, agar kaum Mukminin tahu bahwa kesudahan yang baik dari itu semua akan berpihak kepada mereka bukan kepada para pendusta tersebut.
Berdakwah di Kalangan Kaum Kerabat
Setelah menerima perintah dalam ayat tersebut, Rasulullah mengundang keluarga terdekatnya, Bani Hasyim. Mereka datang memenuhi undangan itu disertai oleh beberapa orang dari Bani Al-Mutholib bin Abdu Manaf. Mereka semua berjumlah sekitar 45 orang laki-laki. Namun, tatkala Rasulullah ingin berbicara, tiba-tiba Abu Lahab memotongnya sembari berkata, “Mereka itu (yang hadir) adalah paman-pamanmu, anak-anak mereka; bicaralah dan tinggalkanlah masa kekanak-kanakan! Ketahuilah bahwa kaummu tidak memiliki cukup kekuatan untuk melawan seluruh bangsa Arab. Akulah orang yang berhak membimbingmu. Cukuplah bagimu suku-suku dari pihak ayahmu. Bagi mereka, jika engkau ngotot melakukan sebagaimana yang engkau lakukan sekarang, adalah lebih mudah daripada bila seluruh suku Quraisy bersama-sama bangsa Arab bergerak memusuhimu. Aku tidak pernah melihat seseorang yang datang kepada suku-suku dari pihak bapaknya dengan membawa suatu yang lebih jelek dari apa yang telah engkau bawa ini.” Rasulullah hanya diam dan tidak berbicara pada majelis itu.
Kemudian beliau mengundang mereka lagi, dan berbicara, “Alhamdulillah, aku memuji-Nya, meminta pertolongan, beriman serta bertawakal kepada-Nya. Aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya.” Selanjutnya beliau berkata, “Sesungguhnya seorang pemimpin tidak mungkin membohongi keluarganya sendiri. Demi Allah yang tiada ilah yang berhak disembah selain, Nya! Sesungguhnya aku adalah utusan Allah yang datang kepada kalian secara khusus, dan kepada manusia secara umum. Demi Allah, sungguh kalian akan mati sebagaimana kalian tidur dan kalian akan dibangkitkan sebagaimana kalian bangun dari tidur. Sungguh kalian akan dihisab (diminta pertanggungjawabannya) terhadap apa yang kalian lakukan. Sesungguhnya yang ada hanya surga yang abadi atau neraka yang abadi.” Kemudian Abu Thalib berkomentar, “Alangkah senangnya kami membantumu, menerima nasihatmu, dan sangat membenarkan kata-katamu. Mereka, yang merupakan suku-suku dari pihak bapakmu telah berkumpul. Sesungguhnya aku hanyalah salah seorang dari mereka namun aku adalah orang yang paling cepat menanggapi apa yang engkau inginkan. Teruskan apa yang telah diperintahkan kepadamu. Demi Allah, aku tetap akan melindungi dan membelamu, tetapi diriku tidak memiliki cukup keberanian untuk berpisah dengan agama Abdul Mutholib.”
Saat itu juga, Abu Lahab berkata, “Demi Allah, ini benar-benar merupakan aib besar. Ayo cegahlah dia sebelum dia berhasil menyeret orang lain!” Abu Thalib menjawab, “Demi Allah, sungguh selama kita masih hidup, kita akan membelanya.”
Di atas Bukit Shafa
Setelah yakin tugasnya menyampaikan wahyu Tuhannya telah mendapatkan perlindungan dari pamannya, Abu Thalib, beliau suatu hari berdiri tegak di atas bukit Shafa sembari berteriak, “Wahai shabiah! (panggilan untuk Orang-orang agar berkumpul di waktu pagi).” Lalu berkumpullah suku-suku Quraisy. Kemudian beliau mengajak mereka kepada tauhid, beriman kepada risalah yang dibawanya dan hari akhir. Imam Al-Bukhari telah meriwayatkan satu sisi dari kisah ini, yaitu hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, yang berkata, “Tatkala turun ayat, ‘Dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat.’ (AsySyu’ara’: 214),
Nabi naik ke atas bukit Shafa lalu memanggil-manggil,
‘Wahai Bani Fihr! Wahai Bani Adil’ Seruan ini ditujukan kepada suku-suku Quraisy. Kemudian tak berapa lama, mereka pun berkumpul. Karena pentingnya panggilan itu, seseorang yang tidak bisa keluar memenuhinya, mengirimkan utusan untuk melihat apa gerangan yang terjadi. Maka, tak terkecuali Abu Lahab dan kaum Quraisy pun berkumpul juga. Kemudian beliau berbicara, ‘Bagaimana menurut pendapat kalian bila aku beri tahukan kepada kalian bahwa ada sekelompok pasukan kuda di lembah sana yang ingin menyerang kalian? Apakah kalian akan mempercayaiku?’ Mereka menjawab, ‘Ya, kami tidak pernah tahu dari dirimu selain kejujuran.’ Beliau berkata, ‘Sesungguhnya aku adalah sebagai pemberi peringatan kepada kalian terhadap azab yang amat pedih.’ Abu Lahab menanggapi, ‘Celakalah engkau sepanjang hari ini! Apakah hanya untuk ini engkau mengumpulkan kami?’ Maka ketika itu turunlah ayat, “Binasalah kedua tangan Abu Lahab….” (Al-Lahab: 1).
Imam Muslim meriwayatkan satu sisi yang lain dari kisah tersebut, yaitu riwayat dari Abu Hurairah a, yang berkata, “Tatkala ayat ini turun: ‘Dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat’ (Asy-Syu’ara’: 214),
Rasulullah mendakwahi mereka baik dalam skala umum ataupun khusus. Beliau berkata, ‘Wahai Orang-orang Quraisy, selamatkanlah diri kalian dari api neraka. Wahai Bani Ka’ab, selamatkanlah diri kalian dari api neraka. Wahai Fathimah binti Muhammad, selamatkanlah dirimu dari api neraka. Demi Allah, sesungguhnya aku tidak memiliki sesuatu pun (untuk menyelamatkan kalian) dari siksa Allah sedikit pun. Hanya saja kalian adalah kerabatku, maka aku akan menyambung tali kerabat tersebut.”
Teriakan yang keras ini merupakan puncak penyampaian dakwah. Rasulullah telah menjelaskan kepada Orang-orang yang memiliki hubungan terdekat dengannya bahwa membenarkan risalah yang dibawanya tersebut merupakan bentuk dari efektivitas hubungan antara dirinya dan mereka. Demikian pula, bahwa fanatisme kekerabatan yang dibudayakan oleh Orang-orang Arab akan meleleh di bawah kekuatan peringatan yang datang dari Allah tersebut.
Menyampaikan Kebenaran secara Terang-terangan dan Reaksi Orang-orang Musyrik Seruan beliau terus bergema di seluruh wilayah Mekkah, hingga kemudian turun ayat:
“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari Orang-orang yang musyrik.” (Al-Hijr: 94).
Maka Rasulullah langsung bangkit menyerang berbagai khurafat dan kebohongan syirik, menyebutkan kedudukan berhala dan hakikatnya yang sama sekali tidak memiliki nilai. Ketidakberdayaan berhala-berhala itu beliau gambarkan dengan beberapa perumpamaan, disertai penjelasan-penjelasan bahwa siapa yang menyembah berhala dan menjadikannya sebagai wasilah antara dirinya dan Allah berada dalam kesesatan yang nyata.
Mekkah memerah oleh api kemarahan, bergolak dengan keanehan dan pengingkaran, tatkala mereka mendengar suara yang memperlihatkan kesesatan Orang-orang musyrik dan para penyembah berhala. Suara itu bagaikan petir yang membelah awan, berkilau, menggelegar dan mengguncang atmosfer udara yang tadinya tenang. Orang-orang Quraisy bangkit untuk menghadang revolusi yang datang secara tak terduga ini, dan yang dikhawatirkan akan merusak tradisi warisan mereka.
Mereka bangkit karena menyadari bahwa makna iman yang beliau serukan adalah penafian terhadap ketuhanan selain Allah, bahwa makna iman kepada risalah dan hari akhirat adalah ketundukan dan kepasrahan secara total, sehingga mereka tidak lagi mempunyai pilihan terhadap diri dan harta mereka, terlebih lagi terhadap orang lain. Implikasinya, iman itu akan melenyapkan kepemimpinan dan keunggulan mereka di atas semua bangsa Arab, yang sebelum itu juga menggunakan label agama. Mereka harus menerapkan ridha sesuai dengan keridhaan Allah dan Rasul-Nya, harus menghentikan berbagai bentuk kezaliman yang sebelum itu biasa mereka lakukan untuk melindas rakyat awam, selain berbagai macam keburukan yang selalu mereka lakukan pagi maupun sore.
Mereka menangkap makna seperti itu, karena jiwa mereka tidak bisa menerima kedudukan rendah, yang tidak mencerminkan kehormatan dan kebaikan. “Bahkan manusia itu hendak berbuat maksiat terus-menerus.” (Al-Qiyamah: 5).
Mereka menyadari semua itu. Tetapi, apa yang bisa mereka perbuat menghadapi orang yang jujur dan dapat dipercaya ini; menghadapi gambaran tertinggi dari nilai kemanusiaan dan akhlak yang mulia? Sepanjang sejarah nenek moyang dan perjalanan berbagai kaum, mereka tidak pernah mengetahui bandingan yang seperti itu. Apa yang hendak mereka lakukan? Mereka benar-benar bingung dan memang layak untuk bingung.
Setelah menguras pikiran, tidak ada jalan lain bagi mereka kecuali mendatangi paman beliau, Abu Thalib. Mereka meminta kepadanya agar menghentikan segala hal yang dilakukan anak saudaranya. Untuk menguatkan permintaan ini, mereka menggunakan selubung nenek moyang dan hakikat, dengan berkata, “Adanya ajakan untuk meninggalkan persembahan mereka dan pernyataan bahwa persembahan itu tidak bisa memberi manfaat dan tidak mampu berbuat apa-apa, merupakan cemoohan yang telak dan penghinaan yang sangat keras, sekaligus merupakan pembodohan dan penyesatan terhadap nenek moyang mereka, yang sejak dahulu mereka sudah berada pada agama ini.” Mereka merasa mendapatkan jalan ini. Oleh karena itu mereka langsung melaksanakannya.
Quraisy Mengirim Utusan kepada Abu Thalib
Ibnu Ishaq menuturkan, beberapa pemuka Quraisy pergi ke tempat Abu Thalib, lalu berkata, “Wahai Abu Thalib, sesungguhnya anak saudaramu telah mencaci maki persembahan kami, mencela agama kami, membodohkan harapan-harapan kami dan menyesatkan nenek moyang kami. Cegahlah dia agar tidak mengganggu kami, atau biarkanlah kami yang menanganinya sendiri. Engkau juga menentangnya seperti kami, sehingga kita bisa mencegahnya.” Dengan perkataan yang halus dan lembut, Abu Thalib menolak permintaan mereka. Mereka pun pulang dengan tangan hampa, sehingga Rasulullah bisa melanjutkan dakwah, menampakkan agama Allah dan menyertu kepadanya.
Kesepakatan Bersama untuk Melarang Orang-orang yang Menunaikan Haji dari Mendengarkan Dakwah
Saat Orang-orang Quraisy resah oleh dakwah Rasulullah tersebut, kegelisahan lain kini menghampiri mereka. Ini karena dakwah secara terang-terangan yang dilakukan oleh beliau tidak lama lagi akan menjumpai musim haji. Mereka menyadari bahwa berbagai utusan dari seluruh Jazirah Arab akan mendatangi mereka. Oleh karena itu, mereka berpendapat untuk mengeluarkan satu pernyataan resmi yang disampaikan kepada bangsa Arab tentang status Muhammad, agar dakwah beliau tidak meninggalkan pengaruh di dalam hati mereka, Akhirnya, mereka berkumpul di tempat Al-Walid bin Al-Mughirah untuk membahas persoalan tersebut.
Al-Walid berkata, “Ambil satu kesimpulan tentang persoalan ini dan jangan sampai kalian saling berbeda pendapat, sehingga sebagian di antara kalian mendustakan sebagian yang lain, sebagian menyanggah sebagian yang lain.” “Bagaimana pendapatmu sendiri?” tanya mereka.
“Sampaikanlah dulu pendapat kalian, biar aku mendengarnya.”
“Kita katakan saja bahwa dia adalah seorang dukun.”
“Tidak demi Allah, dia bukanlah seorang dukun, “ jawab Al-Walid.
“Toh kita pernah melihat para dukun. Dia sama sekali tidak menggunakan sajak dan mantra seperti dukun,” tambahnya.
“Kita katakan saja, dia orang gila,” kata mereka.
“Dia bukan orang sinting. Kita sudah mengetahui bagaimana Orang-orang gila itu. Dia tidak menangis tersedu-sedu, tidak bertindak tanpa kontrol dan tidak berbisik-bisik layaknya orang gila.”
“Kita katakan saja, dia seorang penyair,” kata mereka.
kemudian kecelakaanlah bagimu dan kecelakaanlah bagimu.” (Al
Qiyamah: 31-35).??
Abu Jahal selalu menghalangi Rasulullah sejak pertama kali dia melihat beliau shalat di Masjidil Haram. Suatu saat, dia melihat beliau sedang shalat di Maqam Ibrahim. Dia berkata, “Wahai Muhammad, bukankah aku sudah melarangmu melakukan hal itu?” Beliau mengancam Abu Jahal, memberikan peringatan, dan menghardiknya. Maka Abu Jahal berkata, “Wahai Muhammad, dengan apa engkau mengancamku? Demi Allah, aku lebih banyak memiliki golongan di tempat ini.” Lalu Allah menurunkan ayat, “Maka biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya).” (Al-‘Alaq: 17).
Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Nabi memegang kerah baju Abu Jahal dan mengguncang-guncangnya, seraya membacakan ayat, “Kemudian kecelakaanlah bagimu dan kecelakaanlah bagimu.” Musuh Allah itu berkata, “Apakah engkau mengancamku, wahai Muhammad? Demi Allah, engkau tidak akan sanggup berbuat sesuatu, termasuk Tuhanmu. Akulah orang paling mulia yang berjalan di antara dua bukit.”
Setelah mendapat ancaman itu ketololan dan keberingasan Abu Jabal sama sekali tidak reda, bahkan semakin menjadi-jadi. Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, yang berkata, “Abu Jahal bertanya, ‘Apakah Muhammad berani menutup mukanya di depan kalian?’ Salah seorang menjawab, ‘Benar.’ “Demi Lata dan Uzza, andai kata aku melihatnya, tentu kuinjak tengkuknya dan kulumuri mukanya dengan debu,” kata Abu Jahal. Lalu dia menemui Rasulullah yang sedang shalat. Dia sudah bermaksud akan menginjak tengkuk beliau. Namun, tatkala tiba-tiba beberapa orang muncul, dia justru mundur ke belakang beberapa langkah dan meremas-remas tangannya. Orang-orang bertanya keheranan, “Ada apa dengan dirimu, wahai Abul Hakam?” Ia menjawab, “Antara dia dan diriku seperti ada parit dari api dan mereka itu merupakan sayapnya.” Rasulullah bersabda, “Andai kata dia mendekatiku, tentu para malaikat akan menyambarnya sepotong demi sepotong.”
kemudian dia berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan diri, lalu dia berkata, ‘(Al-Qur’an) ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari (dari Orang-orang dahulu), ini tidak lain hanyalah perkataan manusia’.” (Al-Muddatstsir: 18-25).
Setelah semua orang yang hadir dalam pertemuan menyepakati ketetapan itu, mereka memutuskan untuk melaksanakannya. Untuk itu mereka duduk di pinggir-pinggir jalan yang dilalui manusia tatkala datang, sehingga tak seorang pun yang lewat melainkan mendapat peringatan tentang diri Muhammad dan mereka juga menyebutkan keadaannya.
Yang memelopori pelaksanaan ini adalah Abu Lahab.
Ketika musim haji benar-benar sudah tiba, Rasulullah mendatangi manusia, di tempat tinggal mereka, di pasar Ukazh, Majannah, dan Dzil-Majaz, menyeru mereka kepada Allah. Sementara itu, Abu Lahab menguntit di belakang beliau, sambil berkata, “Janganlah kalian mematuhinya karena dia orang yang keluar dari agama dan seorang pendusta. Akibatnya, pada musim itu Orang-orang Arab pulang ke tempat masing-masing dengan membawa urusan Rasulullah. Nama beliau tersebar di seluruh penjuru Arab.
Beberapa Cara untuk Menghadang Dakwah
Tatkala Orang-orang Quraisy tahu bahwa Muhammad sama sekali tidak menghentikan dakwahnya, mereka memeras pikirannya sekali lagi.
Untuk itu mereka memilih beberapa cara untuk memupus dakwahnya ini, yang bisa disimpulkan dalam beberapa hal berikut ini:
- Ejekan, penghinaan, olok-olok dan penertawaan. Hal ini mereka maksudkan untuk melecehkan Orang-orang Muslim dan menggembosi kekuatan mental mereka. Untuk itu mereka melemparkan berbagai tuduhan yang mengada-ada dan ejekan sesukanya terhadap Nabi. Mereka menyebut beliau sebagai orang yang gila. Firman Allah:
“Mereka berkata, ‘Wahai Orang yang diturunkan Al-Qur’an kepadanya, sesungguhnya kamu benar-benar orang yang gila’.” (Al-Hijr: 6).
Mereka menyebut beliau sebagai tukang sihir dan pendusta. Firman Allah:
“Dan mereka heran karena kedatangan seorang pemberi peringatan dari kalangan mereka, dan Orang-orang kafir berkata, ‘Ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta’.” (Shad: 4).
Mereka menjelek-jelekkan dan menghadapi beliau dengan pandangan penuh amarah serta perasaan yang meluap-luap penuh emosi. Firman Allah: “Dan sesungguhnya Orang-orang kafir itu. benar-benar hampir menggelincirkan kamu dengan pandangan mereka, tatkala mereka mendengar Al-Qur’an dan mereka berkata, ‘Sesungguhnya ia (Muhammad) benar-benar orang gila’.” (Al-Qalam: 51).
Jika ada sahabat-sahabat Rasulullah yang duduk di sekitar beliau, mereka mengolok-olok dan berkata, “Inilah rekan-rekannya,” sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam firman-Nya:
“Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah oleh Allah kepada mereka?” (Al-An’am: 53). Padahal, Allah berfirman:
“Bukankah Allah lebih mengetahui tentang Orang-orang yang bersyukur (kepada-Nya).” (Al-An’ am: 53).
Keadaan mereka seperti yang difirmankan Allah kepada kita: “Sesungguhnya Orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang menertawakan Orang-orang yang beriman. Dan apabila Orang-orang yang beriman berlalu di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya. Dan apabila Orang-orang yang berdosa itu kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira. Dan apabila mereka melihat (Orang-orang yang beriman), mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya mereka itu benar-benar Orang-orang yang sesat’, padahal Orang-orang yang berdosa itu tidak diutus sebagai penjaga bagi (Orang-orang yang beriman).” (Al-Muthaffifin: 29-33).
- Menjelek-jelekkan ajaran beliau, menghembuskan keraguan, menyebarkan anggapan-anggapan yang menyangsikan ajaran-ajaran beliau dan diri beliau. Mereka tiada henti melakukannya dan tidak memberi kesempatan kepada manusia untuk menelaah dakwah beliau. Mereka berkata tentang Al-Qur’an:
“Dongengan-dongengan Orang-orang dahulu, dimintakan supaya dituliskan, maka dibacakanlah dongengan itu kepadanya setiap pagi dan petang.” (Al-Furqan: 5).
Mereka juga berkata: “Al-Qur’an ini tidak lain hanyalah kebohongan yang diada-adakan oleh Muhammad, dan dia dibantu oleh kaum yang lain.” (al-Furqan: 4).
Mereka berkata tentang diri Rasulullah: “Mengapa Rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar?” (Al-Furqan: 7).
Di dalam Al-Qur’an terdapat banyak contoh penentangan mereka terhadap beliau.
- Menandingi Al-Qur’an dengan dongeng Orang-orang dahulu dan menyibukkan manusia dengan dongeng-dongeng itu, agar mereka meninggalkan Al-Qur’an. Mereka menyebutkan bahwa suatu kali An-Nadhr bin Al-Harits berkata kepada Orang-orang Quraisy, “Wahai semua orang Quraisy, demi Allah, telah datang satu urusan yang kalian belum juga bisa mencari alasan untuk menghadapinya. Muhammad ketika menjadi seorang pemuda belia di tengah kalian, merupakan pemuda yang paling kalian ridhai. Paling jujur perkataannya dan paling besar amanatnya. Ketika kalian melihatnya telah dewasa dan datang kepada kalian dengan apa yang dibawanya, kalian mengatakan, ia seorang penyihir. Tidak, demi Allah. Ia bukan penyihir. Kita telah mengetahui sihir beserta hembusan dan buhul-buhulnya. Kalian mengatakan, ia seorang dukun. Tidak, demi Allah. ia bukanlah seorang dukun. Kita telah melihat perdukunan, mempermalukan mereka, dan mendengar keberanian mereka. Kalian mengatakan ia seorang penyair. Tidak, demi Allah. Ia bukanlah penyair. Kita tahu syair dan jenis-jenisnya. Kalian mengatakan ia orang gila. Tidak demi Allah. Ia bukan orang gila. Kita telah mengetahui orang gila. Dia tidak menangis tersedu-sedu,tidak berbisik-bisik, dan tidak bertindak tanpa kontrol. Wahai seluruh orang Quraisy, perhatikanlah urusan kalian karena demi Allah, kalian sedang menghadapi urusan yang besar.
An-Nadhr kemudian pergi ke Hirah. Di sana ia mempelajari kisah-kisah raja Persia, perkataan Rustum, dan Asfandiyar. Jika Rasulullah, mengadakan suatu pertemuan guna mengingatkan Orang-orang kepada Allah dan menyampaikan peringatan dari siksa-Nya, AnNadhr mengikuti dari belakang lalu berkata, “Demi Allah, penuturan Muhammad tidak sebagus yang kututurkan.” Ia lalu menuturkan kisah raja-raja Persia, Rustum, dan Asfandiyar. Ia berkata, “Dengan modal apa penuturan Muhammad bisa lebih baik daripada kata-kataku?”
Riwayat Ibnu Abbas a menyebutkan bahwa An-Nadhr membeli beberapa penyanyi perempuan dari kalangan budak. Setiap ada orang yang tidak mau mendengarkan kata-kata Muhammad ia menghadiahkan penyanyi itu kepadanya, yang siap melayani, menyiapkan makan, minum, dan menyanyi untuknya. Tujuannya agar ia tidak tertarik kepada Islam. Tentang hal ini, Allah menurunkan ayat:
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan.” (Luqman: 6).!!
- Menyodorkan beberapa bentuk penawaran, sehingga dengan penawaran itu mereka berusaha untuk mempertemukan Islam dan Jahiliyah sebagai jalan tengah. Orang-orang musyrik siap meninggalkan sebagian dari apa yang ada pada diri mereka dan begitu pula Nabi. Allah berfirman:
“Maka mereka ingin menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu).” (Al-Qalam: 9).
Ada riwayat Ibnu Jarir dan Ath-Thabrani yang menyebutkan bahwa Orang-orang musyrik menawarkan kepada Rasulullah, agar beliau menyembah persembahan mereka selama setahun, dan mereka menyembah Tuhan beliau selama setahun kemudian. Riwayat lain menurut Abd bin Humaid menyebutkan bahwa mereka berkata, “Andaikan engkau mau menerima persembahan kami, kami pun mau menyembah persembahanmu.”
Ibnu Ishaq meriwayatkan dengan sanadnya, “Saat Rasulullah sedang tawaf di Kabah, beliau berpapasan dengan Al-Aswad bin Al Mutholib bin Asad bin Abdul Uzza dan Al-Walid bin Al-Mughirah bin Khalaf dan Al-Ash bin Wa’il As-Sahmi. Mereka ini adalah para tetua kaumnya. Mereka berkata, “Wahai Muhammad, ke sinilah! Kami mau menyembah apa yang engkau sembah, dan engkau juga harus menyembah apa yang kami sembah, sehingga kita bisa saling bersekutu dalam masalah ini. Jika apa yang engkau sembah ternyata lebih baik dari apa yang kami sembah, maka kami akan melepas apa yang seharusnya menjadi bagian kami, dan jika apa yang kami sembah ternyata lebih baik dari apa yang engkau sembah, maka engkau harus melepas keyakinanmu. Lalu Allah menurunkan surat Al-Kafirun: 1-5.”
Allah telah menetapkan penawaran mereka yang menggelikan itu dengan rincian yang pasti seperti ini. Boleh jadi ada perbedaan riwayat mengenai masalah ini. Karena memang mereka menyodorkan penawaran tidak hanya sekali saja.
Sementara Ibnu Jarir dan yang lainnya meriwayatkan bahwa Orang-orang Quraisy berkata kepada Rasulullah, “Sembahlah Tuhan kami setahun, kami pun akan menyembah Tuhanmu setahun,” maka Allah menurunkan ayat: Katakanlah, “Maka apakah kamu menyuruh aku menyembah selain Allah, hai Orang-orang yang tidak berpengetahuan?” (Az-Zumar: 64)
Berbagai Macam Tekanan
Orang-orang musyrik menerapkan cara-cara yang disebutkan di atas sedikit demi sedikit, untuk menghentikan dakwah setelah disebarkan secara terang-terangan sejak permulaan tahun keempat kenabian, Mereka bertahan dengan cara-cara tersebut selama beberapa bulan setelah itu. Tidak berani beralih ke cara penekanan dan penyiksaan, Namun, tatkala mereka tahu bahwa cara ini sama sekali tidak efektif dalam menghentikan, dakwah Islam, maka mereka berkumpul lagi, dan bahkan membentuk sebuah panitia khusus yang beranggotakan 25 orang yang terdiri dari para pemuka Quraisy, dipimpin Abu Lahab, paman Rasulullah . Setelah bermusyawarah dan beradu argumentasi, panitia membuat keputusan bulat untuk menghadapi Rasulullah dan para sahabat-sahabat beliau. Mereka tidak akan mengendurkan usaha dalam memerangi Islam, mengganggu beliau menyiksa Orang-orang yang masuk Islam, menghadang mereka dengan berbagai siasat dan cara.”
Mereka mengambil keputusan ini dan berantusias melaksanakannya Tidak terlalu sulit untuk menghadapi Orang-orang Muslim yang lemah. Tetapi, dalam menghadapi Rasulullah Beliau adalah orang yang cerdik, pemberani, tegar dan memiliki kepribadian yang kuat. Jiwa musuh pun bisa tunduk di hadapan beliau, terlebih lagi rekan-rekan beliau. Siapa pun yang berhadapan dengan beliau pasti akan memuliakan dan hormat. Tidak ada seorang pun yang berani mengejek dan mengolok-olok beliau kecuali orang yang hina dan bodoh. Terlebih lagi beliau mendapat perlindungan Abu Thalib. Sementara Abu Thalib adalah orang yang sangat diperhitungkan di Mekkah. Dilihat dari keturunannya dia adalah orang yang terhormat, dan di tengah manusia pun dia juga terhormat.
Tak seorang pun berani melanggar perlindungan yang diberikannya. Keadaan seperti ini benar-benar menggelisahkan hati Orang-orang Quraisy, membuat mereka sekali tidak bisa duduk dengan tenang. Mereka menahan kegeraman sekian lama dalam menghadapi dakwah, yang bisa memusnahkan kepemimpinan mereka dalam agama dan keduniaan. Karena itulah, mereka mulai melancarkan serangan terhadap Nabi, yang dikomandani Abu Lahab. Sikap Abu Lahab ini sudah ditunjukkan terhadap beliau sejak hari pertama, sebelum Orang-orang Quraisy yang lain bertindak.
Di bagian terdahulu kami sudah menyinggung tentang sikap Abu Lahab terhadap Nabi di pertemuan Bani Hasyim dan apa yang dilakukannya di bukit Shafa. Di dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa tatkala di bukit Shafa itu, dia memungut sebuah batu dan melemparkannya kepada beliau.
Sebelum itu Abu Lahab sudah menikahkan kedua anaknya, Utbah dan Utaibah dengan kedua putri beliau, Ruqayyah dan Ummu Kultsum. Tepatnya sebelum beliau diutus sebagai rasul. Tetapi, setelah itu dia menyuruh kedua anaknya untuk menceraikan istrinya masing-masing, dengan disertai ancaman yang keras. Tidak ada pilihan lain bagi keduanya kecuali menceraikan istrinya.
Setelah Abdullah, putra Rasulullah yang kedua meninggal dunia, Abu Lahab merasa senang sekali, Seketika itu dia menemui rekan rekannya dan mengatakan kepada mereka bahwa Muhammad sudah terputus dari rahmat Allah.
Sebagaimana yang sudah disampaikan terdahulu, bahwa Abu Lahab menguntit di belakang Rasulullah pada musim haji untuk mendustakan beliau. Thariq bin Abdullah Al-Muharibi meriwayatkan bahwa tidak hanya pendustaan saja yang dilakukan Abu Lahab, tetapj dia melempari beliau dengan batu, hingga sempat membuat kedua tumit beliau berdarah.
Istri Abu Lahab, Ummu Jamil binti Harb bin Umayyah, saudari Abu Sufyan, tidak kalah sengitnya dalam memerangi beliau daripada suaminya, Dia pernah memasang duri di jalan yang dilalui Nabi dan di depan pintu beliau pada suatu malam. Dia adalah wanita yang suka berkuasa, panjang lidah, banyak bualan dan tipu muslihatnya, suka mengobarkan api fitnah dan menyalakan bara peperangan untuk melawan Nabi. Oleh karena itu, Al-Qur’an menyifatinya sebagai pembawa kayu bakar. Tatkala dia mendengar adanya ayat-ayat Al-Qur’an yang turun tentang dirinya dan suaminya, dia langsung mencari Rasulullah, yang saat itu beliau sedang duduk di Masjid di dekat Kabah bersama Abu Bakar Ash-Shiddiq. Dia membawa segenggam batu. Saat dia sudah berada di atas kepala keduanya, Allah menutupi pandangannya dari Rasulullah, sehingga tidak bisa melihat kecuali Abu Bakar saja. Maka dia bertanya, “Wahai Abu Bakar, mana temanmu? Kudengar dia menyindirku. Demi Allah, andai kata aku melihatnya, tentu aku tumpukkan batu ini ke mulutnya. Demi Allah, aku adalah seorang penyair wanita.” Kemudian dia berkata melantunkan syair:
Kami mengelak sekalipun dia mencaci
Terhadap urusannya kami tiada sudi terhadap agamanya kami membenci.
Setelah itu istri Abu Lahab membalikkan badan dan pulang. Abu Bakar bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau melihatnya dan dia melihat engkau?” Beliau menjawab, “Dia tidak melihatku, karena Allah telah menutupi pandangannya, sehingga tidak bisa memandangku.”’ Abu Bakar Al-Bazzar meriwayatkan kisah ini, yang di dalamnya disebutkan bahwa ketika istri Abu Lahab berdiri di atas kepala Abu Bakar, dia berkata, “Wahai Abu Bakar, temanmu menyindirku.” “Tidak, demi penguasa bangunan (Kabah) ini. Abu Bakar membantah, “Beliau tidak berkata dengan syair dan tidak pula berucap dengannya.”
“Dasar engkau orang yang suka membenarkan,” kata istri Abu Lahab.
Abu Lahab melakukan semua itu, padahal dia adalah paman Nabi dan tetangga beliau. Bahkan rumahnya berdempetan dengan rumah beliau. Begitu pula yang dilakukan tetangga-tetangga beliau yang lain, yang selalu mengganggu selagi beliau sedang berada di rumah. Menurut Ibnu Ishaq, Orang-orang yang biasa menyakiti Rasulullah selama di dalam rumah adalah Abu Lahab. Al-Hakam bin Abul Ash bin Umayyah, Uqbah bin Abu Mu’ith, Adi bin Hamra’ Ats-Tsaqafi, Ibnul Ashda’ Al Hudzali. Semuanya merupakan tetangga beliau. Tak seorang pun di antara mereka yang masuk Islam selain Al-Hakam bin Abul Ash.”
Di antara mereka ada yang melemparkan isi perut seekor domba selagi beliau sedang shalat. Di antara mereka ada pula yang meletakkannya di dalam periuk beliau, sehingga beliau perlu memasang bebatuan untuk memberi tanda pembatas agar tidak mereka langgar selagi sedang shalat. Jika beliau dilempari kotoran-kotoran itu, beliau keluar rumah sambil memegangi sepotong dahan, lalu beliau berdiri di ambang pintu sambil membersihkannya, seraya bersabda, “Wahai Bani Abdu Manaf, tetangga macam apakah ini?” Kemudian beliau membuang kotoran-kotoran itu ke jalan.
Uqbah bin Abu Mu’ith lebih tega dari itu. semua. Al-Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud bahwa suatu kali Nabi shalat di dekat Kabah, sedangkan Abu Jahal dan rekan-rekannya sedang duduk-duduk. Sebagian di antara mereka ada yang berkata kepada sebagian yang lain, “Siapakah di antara kalian yang berani mengambil kotoran unta yang disembelih di bani fulan, dan meletakkannya di punggung Muhammad saat sedang shalat?” Maka manusia yang paling celaka, Uqbah bin Abi Mu’ith, melaksanakannya. Dia menunggu dan memandang. Tatkala beliau sedang sujud kepada Allah, maka dia meletakkan kotoran itu di antara pundak beliau. Aku hanya bisa mengawasi dan tidak mampu berbuat apa-apa. Andaikan saja aku bisa mencegahnya.
Mereka tertawa terbahak-bahak, sehingga badan mereka terguncang, guncang mengenai teman di sampingnya. Saat itu Rasulullah yang sedang sujud, tetap dalam keadaan sujud dan tidak mengangkat kepala, hingga Fathimah datang menghampiri beliau, lalu membuang kotoran itu dari punggung beliau. Setelah itu beliau mengangkat kepala. Usai shalat, beliau bersabda, “Ya Allah, hukumlah Orang-orang Quraisy ini!” Beliau mengucapkannya tiga kali, sehingga membuat hati mereka tersentak, karena beliau mendoakan kecelakaan bagi mereka.
Abdullah bin Mas’ud a melanjutkan, “Mereka tahu bahwa doa dj tempat beliau itu pasti mustajab. Kemudian beliau menyebut nama-nama mereka, “Ya Allah, hukumlah Abu Jahal, hukumlah Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, Al-Walid bin Utbah, Umayyah bin Khalaf, Uqbah bin Abu Mu’ith. Demi yang diriku ada di Tangan-Nya, aku telah melihat sendiri Orang-orang yang disebutkan Rasulullah ini menjadi korban di dalam sumur saat Perang Badar.”
Setiap kali Umayyah bin Khalaf melihat Rasulullah, dia mengumpat dan mencela beliau. Tentang dirinya, turun surat Al-Humazah. Menurut Ibnu Hisyam, humazah artinya orang yang mencela orang lain secara blak-blakan, dengan memelototkan mata dan mencemooh. Sedangkan lumazah artinya mencela orang lain secara sembunyi-sembunyi atau mengganggunya.
Saudara Umayyah bin Khalaf, Ubay bin Khalaf, tak jauh berbeda dengan Uqbah bin Abu Mu’ith. Suatu kali Uqbah mengintip di dekat Nabi dan mendengarkan bacaan Al-Qur’an dari beliau. Tatkala tindakannya ini didengar dan diketahui Ubay, maka Ubay langsung menyindir dan mengejeknya, lalu dia meminta agar Uqbah meludahi wajah beliau. Ternyata Uqbah benar-benar melakukan anjuran itu. Ubay bin Khalaf sendiri meremukkan tulang hingga hancur, lalu menaburkannya menurut arah angin yang berhembus ke arah Rasulullah.”
Al-Akhnas bin Syariq Ats-Tsaqafi termasuk orang yang menyakiti Rasulullah. Al-Quran memberinya sembilan sifat yang menunjukkan keadaan dirinya, yaitu dalam firman Allah:
“Dan, janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian kemari menghamburkan fitnah, yang banyak menghalangi perbuatan baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa, yang kaku kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya.” (Al-Qalam: 10-13).
Adakalanya Abu Jahal mendekati Nabi untuk mendengarkan bacaan Al-Qur’an, kemudian beranjak pergi. Namun, tiada juga dia beriman dan tunduk, tidak mau mengambil pelajaran dan tidak takut. Dia mengganggu beliau dengan kata-kata, menghalangi orang dari jalan Allah, kemudian beranjak pergi sambil menyombongkan tindakannya sendiri dan bangga karena telah berbuat jahat. la seolah-olah telah berbuat sesuatu yang layak untuk diingat. Ayat pun turun tentang dirinya:
“Dan ia tidak mau membenarkan (Rasul dan Al-Qur’an) dan tidak mau mengerjakan shalat, tetapi ia mendustakan (Rasul) dan berpaling (dari kebenaran), kemudian ia pergi kepada ahlinya dengan berlagak (sombong) Kecelakaanlah bagimu dan kecelakaanlah bagimu, kemudian kecelakaanlah bagimu dan kecelakaanlah bagimu.” (Al-Qiyamah: 31-35).
Abu Jahal selalu menghalangi Rasulullah sejak pertama kali dia melihat beliau shalat di Masjidil Haram. Suatu saat, dia melihat beliau sedang shalat di Maqam Ibrahim. Dia berkata, “Wahai Muhammad, bukankah aku sudah melarangmu melakukan hal itu?” Beliau mengancam Abu Jahal, memberikan peringatan, dan menghardiknya. Maka Abu Jahal berkata, “Wahai Muhammad, dengan apa engkau mengancamku? Demi Allah, aku lebih banyak memiliki golongan di tempat ini.” Lalu Allah menurunkan ayat, “Maka biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya).” (Al-‘Alaq: 17).
Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Nabi, memegang kerah baju Abu Jahal dan mengguncang-guncangnya, seraya membacakan ayat, “Kemudian kecelakaanlah bagimu dan kecelakaanlah bagimu.” Musuh Allah itu berkata, “Apakah engkau mengancamku, wahai Muhammad? Demi Allah, engkau tidak akan sanggup berbuat sesuatu, termasuk Tuhanmu. Akulah orang paling mulia yang berjalan di antara dua bukit.”2
Setelah mendapat ancaman itu ketololan dan keberingasan Abu Jabal sama sekali tidak reda, bahkan semakin menjadi-jadi. Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah a, yang berkata, “Abu Jahal bertanya, ‘Apakah Muhammad berani menutup mukanya di depan kalian?’ Salah seorang menjawab, ‘Benar.’ “Demi Lata dan Uzza, andai kata aku melihatnya, tentu kuinjak tengkuknya dan kulumuri mukanya dengan debu,” kata Abu Jahal. Lalu dia menemui Rasulullah yang sedang shalat. Dia sudah bermaksud akan menginjak tengkuk beliau. Namun, tatkala tiba-tiba beberapa orang muncul, dia justru mundur ke belakang beberapa langkah dan meremas-remas tangannya. Orang-orang bertanya keheranan, “Ada apa dengan dirimu, wahai Abul Hakam?” Ia menjawab, “Antara dia dan diriku seperti ada parit dari api dan mereka itu merupakan sayapnya.” Rasulullah bersabda, “Andai kata dia mendekatiku, tentu para malaikat akan menyambarnya sepotong demi sepotong.”
Gangguan dan siksaan-siksaan seperti ini tidak begitu berarti bagi diri Rasulullah 2s, karena beliau memiliki kepribadian yang tidak ada duanya, berwibawa dan dihormati setiap orang umum maupun khusus. Selain itu, beliau masih mendapat perlindungan dari Abu Thalib, orang yang paling disegani dan dihormati di Mekkah. Hal ini berbeda dengan yang dirasakan oleh Orang-orang Muslim, terutama lagi mereka yang lemah. Semua itu terasa Sangat berat dan pahit. Pada saat yang sama setiap kabilah pasti menyiksa siapa pun yang condong kepada Islam dengan berbagai macam siksaan. Adapun Orang-orang yang tidak memiliki kabilah, maka mereka diserahkan kepada para pemuka kaum, untuk mendapatkan berbagai macam tekanan, yang bila diceritakan secara mendetail tentu akan memiriskan hati.
Setiap kali Abu Jahal mendengar seseorang masuk Islam, dia memperingatkan, menakut-nakuti, menjanjikannya sejumlah uang dan kedudukan jika orang tersebut dari kalangan orang yang terpandang. Adapun terhadap orang yang masuk Islam dari kalangan orang awam dan lemah, dia akan melancarkan pukulan dan siksaan.
Utsman bin Affan pernah diselubungi tikar dari daun kurma oleh pamannya, lalu diasapi dari bawahnya. Tatkala ibu Mush’ab bin Umair tahu anaknya masuk Islam, dia tidak diberi makan dan diusir dari rumah. Padahal, dia biasa hidup enak, sehingga kulitnya mengelupas seperti ular yang berganti kulit.
Bilal, yang saat itu menjadi budak Umayyah bin Khalaf, pernah dikalungi tali di lehernya, lalu dia diserahkan kepada anak-anak kecil lalu mereka mengaraknya di pegunungan di Mekkah. Lehernya menampakkan luka bekas jeratan tali itu, karena Umayyah mengikatkan tali itu kencang-kencang, dan masih ditambahi lagi dengan pukulan tongkat. Setelah itu dia disuruh duduk di bawah terik matahari dan dibiarkan kelaparan. Penyiksaan paling keras yang dialaminya, suatu hari dia dibawa keluar selagi matahari tepat di tengah ufuk, lalu dia ditelentangkan di atas padang pasir Mekkah. Umayyah meminta sebuah batu yang besar lalu meletakkannya di atas dada Bilal, seraya berkata, “Tidak, demi Allah, kamu tetap seperti ini hingga kamu mati atau mengingkari Muhammad serta menyembah Lata dan Uzza.” Bilal hanya mampu berucap, “Ahad, Ahad … “
Suatu hari Abu Bakar lewat saat Orang-orang Quraisy berbuat seperti itu terhadap Bilal. Lalu Abu Bakar membeli Bilal dengan seorang pemuda berkulit hitam. Ada yang berpendapat, Abu Bakar membelinya dengan tujuh ugiyah atau lima keping perak, lalu memerdekakannya.
Ammar bin Yasir a, budak Bani Makhzum, masuk Islam bersama ibu dan bapaknya. Orang-orang musyrik yang dipimpin Abu Jahal menyeret mereka ke tengah padang pasir yang panas membara, lalu menyiksa mereka. Nabi lewat selagi mereka disiksa. Beliau bersabda, “Sabarlah wahai keluarga Yasir, sesungguhnya tempat yang sudah dijanjikan bagi kalian adalah surga.” Yasir meninggal dunia dalam penyiksaan itu, dan ibu Ammar, Sumayyah ditikam Abu Jahal dengan menggunakan tombak, hingga meninggal dunia. Dialah wanita pertama yang mati syahid dalam Islam. Ammar yang masih hidup harus menghadapi penyiksaan yang lebih menyakitkan lagi. Sebuah batu yang panas diletakkan di dadanya dan sebagian tubuhnya yang lain dibenamkan di dalam pasir yang panas membara. Mereka berkata, “Kami tidak akan membiarkanmu kecuali jika engkau mau mencaci Muhammad, atau engkau mau mengatakan hal-hal yang baik tentang Lata dan Uzza.” Dengan terpaksa Ammar memenuhi permintaan mereka itu hingga dia dilepaskan. Setelah itu dia menemui Nabi sambil menangis dan meminta ampun. Lalu turun ayat tentang dirinya:
“Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa).” (An-Nahl: 106).
Abu Fakihah, yang nama aslinya Aflah, budak Bani Abdud Dar, diikat kakinya dengan ikatan yang kencang, lalu dia diseret di atas tanah.™
Khabbab bin Al-Aratt, budak milik Ummu Ammar binti Siba’ Al-Khuza’iyah, juga mendapat berbagai macam penyiksaan. Mereka menjambak rambutnya lalu menariknya kuat-kuat. Mereka juga membelitkan tali di lehernya lalu menelentangkannya ke tanah hingga beberapa kali di atas pasir yang menyengat, kemudian mereka meletakkan sebuah batu di atas tubuhnya, hingga dia tidak mampu berdiri lagi.
Zinnirah, Nahdiyah dan kedua putrinya, serta Ummu Ubais, yang semuanya hamba sahaya, juga masuk Islam. Lalu Orang-orang musyrik menimpakan berbagai macam siksaan seperti yang dialami Orang-orang yang lemah lainnya. Seorang budak wanita milik Bani Mu’ammal, salah satu suku di Bani Adi, juga mendapatkan siksaan yang keras. Umar bin Al-Khattab yang saat itu masih musyrik, memukulinya berkali-kali. Jika budak wanita itu badannya sempoyongan, maka Umar berkata, “Aku belum akan meninggalkanmu kecuali jika kamu sudah sempoyongan.”
Abu Bakar membeli semua budak yang masuk Islam itu dan memerdekakan mereka, sebagaimana dia telah memerdekakan Bilal dan Amir bin Fuhairah.”
Orang-orang musyrik biasa mengikat sebagian sahabat di tempat menggembala unta dan sapi, lalu melemparkannya di atas padang pasir yang panas menyengat. Sebagian lain ada yang dikenakan pakaian besi, lalu menelentangkannya di atas pasir yang panas.
Daftar Orang-orang yang disiksa karena Allah masih banyak dan panjang serta mengerikan. Siapa pun yang diketahui masuk Islam, pasti akan mendapat penyiksaan.
Darul Arqam Langkah bijaksana yang diambil Rasulullah dalam menghadapi berbagai tekanan itu, beliau melarang Orang-orang Muslim menampakkan keislamannya, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Beliau tidak menemui mereka kecuali dengan cara sembunyi-sembunyi. Sebab, jika sampai diketahui beliau bertemu mereka, tentu Orang-orang musyrik berusaha menghalangi usaha beliau untuk menyucikan jiwa orang. orang Muslim dan mengajarkan Al-Kitab. Bahkan tidak menutup satu kemungkinan yang menjurus kepada bentrokan fisik antara kedua belah pihak. Hal ini benar-benar terjadi, tepatnya pada tahun keempat dari kenabian. Saat itu para sahabat beliau sedang berkumpul di tengah perkampungan dan mendirikan shalat. Sekalipun mereka melakukannya secara sembunyi-sembunyi, toh masih diketahui sekelompok orang. orang kafir Quraisy. Orang-orang kafir itu mencaci maki dan menyerang mereka, hingga Saad bin Abu Waqqash bisa menikam salah seorang kafir hingga darahnya tertumpah. Inilah korban pertama yang terjadi dalam Islam.
Logikanya, bila bentrokan fisik ini terjadi berulang-ulang dan berlarut-larut, tentu bisa menghancurkan Orang-orang Muslim sendiri. Maka langkah yang paling bijaksana ialah dengan menyembunyikan keislaman mereka. Maka begitulah, para sahabat secara keseluruhan menyembunyikan keislaman, ibadah, dakwah dan pertemuannya. Tetapi, Rasulullah tetap menampakkan dakwah dan ibadah di tengah Orang-orang musyrik, dan sama sekali tidak mengurangi aktivitas tersebut. Sekalipun begitu, Orang-orang Muslim tetap mengadakan pertemuan secara sembunyi-sembunyi, demi kemaslahatan diri mereka dan kepentingan Islam. Tempat tinggal Al-Arqam bin Abul-Arqam Al-Makhzumi yang berada di atas bukit Shafa dan terpencil dari pengintaian mata-mata Quraisy, menjadi markas dakwah beliau, dan sekaligus menjadi tempat pertemuan Orang-orang Muslim sejak tahun kelima dari kenabian.”
Hijrah ke Habasyah yang Pertama
berbagai tekanan yang dilancarkan Orang-orang Quraisy dimulai pada pertengahan atau akhir tahun keempat dari kenabian, terutama diarahkan kepada Orang-orang yang lemah. Hari demi hari dan bulan demi bulan tekanan mereka semakin keras hingga pertengahan tahun kelima. Mekkah terasa sempit bagi Orang-orang Muslim yang lemah itu. Mereka mulai berpikir untuk mencari jalan keluar dari siksaan yang pedih ini. Dalam kondisi yang sempit dan terjepit ini, surat Al-Kahf turun, sebagai sanggahan terhadap berbagai pertanyaan yang disampaikan Orang-orang musyrik kepada Nabi. Surat ini meliputi tiga kisah, di samping di dalamnya terkandung isyarat dari Allah terhadap hamba-hamba-Nya yang beriman. Kisah pertama, tentang Ashhabul Kahfi yang diberi petunjuk untuk hijrah dari pusat kekufuran dan permusuhan, karena dikhawatirkan mendatangkan cobaan terhadap agama, dengan memasrahkan diri kepada Allah. Firman-Nya:
“Dan apabila kalian meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung di dalam gua itu, niscaya Tuhan kalian akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepada kalian dan menyediakan sesuatu yang berguna bagi kalian dalam urusan kalian.” (Al-Kahf: 16).
Kisah kedua, tentang Khidhr dan Musa. Kisah ini memberikan suatu pengertian bahwa berbagai hal tidak selamanya bisa berjalan dan berhasil dengan bergantung kepada apa yang dilihat oleh kasat mata saja, tetapi permasalahannya bisa berbalik total tidak seperti yang tampak. Di sini terdapat isyarat yang lembut bahwa usaha memerangi Orang-orang Muslim bisa membalikkan kenyataan secara total, dan Orang-orang musyrik yang berbuat semena-mena terhadap Orang-orang Muslim yang lemah itu bisa dibalik keadaannya.
Kisah ketiga, tentang Dzul Qarnain, yang memberikan suatu pengertian bahwa bumi ini adalah milik Allah, yang diwariskan oleh-Nya kepada siapa pun yang dikehendaki dari hamba-hamba-Nya.
Keberuntungan hanya diperoleh di jalan iman, bukan di jalan kekufuran. Dari waktu ke waktu Allah akan senantiasa menurunkan orang yang siap membela dan menyelamatkan Orang-orang yang lemah, seperti Ya’juj dan Ma’juj pada zaman itu. Dan bahwa yang layak mewarisi bumi ini adalah hamba-hamba Allah yang saleh.
Kemudian surat Az-Zumar turun yang mengisyaratkan hijrah dan menyatakan bahwa bumi Allah ini tidaklah sempit. Dalam hal ini Allah berfirman:
“Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya Orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Az-Zumar: 10).
Rasulullah mengetahui bahwa Ashhamah An-Najasyi, raja yang berkuasa di Habasyah adalah seorang raja yang adil, tidak akan ada seorang pun yang teraniaya di sisinya. Maka beliau memerintahkan agar beberapa orang Muslim hijrah ke Habasyah, melarikan diri dari cobaan untuk menyelamatkan agamanya.
Pada bulan Rajab tahun kelima dari kenabian, sejumlah sahabat hijrah yang pertama kali ke Habasyah, terdiri dari dua belas orang laki-laki dan empat orang wanita, yang dipimpin Utsman bin Affan. Dalam rombongan ini ikut pula Sayyidah Ruqayyah, putri Rasulullah. Beliau bersabda tentang keduanya, “Mereka berdua adalah penduduk Baitul Haram pertama yang hijrah di jalan Allah setelah Ibrahim dan Luth.”
Dengan berjalan mengendap-endap di tengah malam, mereka pergi menuju pinggir pantai, agar tidak diketahui Orang-orang Quraisy. Secara kebetulan saat mereka tiba di pelabuhan Syaibah, ada dua kapal datang yang bertolak menuju Habasyah. Setelah Orang-orang Quraisy mengetahui kepergian Orang-orang Muslim ini, mereka segera mengejar. Tapi tatkala mereka tiba di pinggir pantai, Orang-orang Muslim sudah bertolak dengan selamat. Orang-orang Muslim hidup di sana dan mendapat perlakuan yang baik.
Pada bulan Ramadhan di tahun yang sama, Nabi keluar ke Masjidil Haram, yang saat itu para pemuka dan pembesar Quraisy sedang berkumpul di sana. Beliau berdiri di hadapan mereka, lalu seketika itu membacakan surat An-Najm. Orang-orang kafir itu tidak pernah mendengarkan Kalam Allah yang seperti itu sebelumnya. Sebab, redaksi mereka panjang-panjang seperti biasanya, memaksa sebagian di antara mereka untuk menjelaskan kepada sebagian yang lain, sebagaimana yang dijelaskan Allah:
“Dan Orang-orang yang kafir berkata, Janganlah kalian mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al-Qur’an ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kalian dapat mengalahkan’.” (Fushshilat: 26).
Namun, ketika dilantunkan bacaan surat ini, gendang telinga mereka diketuk kalam ilahi yang indah menawan, yang keindahannya sulit dilukiskan dengan suatu gambaran. Mereka diam terpesona, menyimak isinya dan semua orang khidmat mendengarnya, sehingga tidak ada pikiran lain yang melintas di dalam benak mereka. Tatkala beliau membacakan penutup surat ini, hati mereka serasa terbang. Akhirnya beliau membaca ayat yang terakhir: “Maka bersujudlah kepada Allah dan sembahlah (Dia).” (An-Najm 62).
Mereka pun sujud. Tak seorang pun mampu menguasai diri, dan mereka semua merunduk dalam keadaan sujud. Sebenarnya, sinar-sinar kebenaran telah merasuk ke dalam jiwa Orang-orang yang sombong dan selalu mengolok-olok itu. Mereka tidak mampu menahan diri untuk sujud.“
Mereka menyesali perbuatan mereka sendiri sebelumnya karena merasakan keagungan Kalam Allah yang benar-benar telah menguasai kendali mereka. Saat itu mereka telah melakukan apa yang sebelumnya hendak mereka punahkan dan lenyapkan. Setelah itu mereka yang sujud itu mendapat cercaan dan makian dari segala arah, yaitu yang dilontarkan Orang-orang musyrik yang tidak ikut sujud. Pada saat itulah mereka mendustakan Rasulullah dan mengada-adakan perkataan untuk memojokkan beliau, bahwa beliau menyebutkan nama-nama berhala mereka dengan ungkapan berisi sanjungan, bahwa beliau berkata tentang berhala-berhala itu, “Itulah Gharaniq yang luhur, yang syafaatnya benar-benar diharapkan.” Mereka membuat kedustaan yang nyata ini, sebagai alasan untuk menutup-nutupi sujud mereka bersama Nabi. Tindakan seperti ini tidak terlalu mengherankan, sebab mereka sudah biasa membuat kedustaan dan mengarang-ngarang cerita bohong.
Cerita tentang Gharaniq dan sujudnya Orang-orang musyrik inj didengar para Muhajirin di Habasyah, tetapi dengan versi yang berbeda, jauh dengan gambaran yang hakiki. Cerita yang sampai kepada mereka, bahwa Orang-orang Quraisy sudah masuk Islam. Oleh karena itu, mereka pulang ke Mekkah pada bulan Syawal pada tahun yang sama. Hampir mendekati Mekkah sebelum tengah hari, mereka pun tahu kejadian yang sebenarnya. Sebagian dari mereka kembali lagi ke Habasyah, sedangkan mereka yang hendak pulang ke Mekkah, masuk ke sana dengan cara sembunyi-sembunyi, atau dengan cara meminta perlindungan kepada salah seorang Quraisy. Setelah itu siksaan dan penindasan yang ditimpakan Orang-orang Quraisy terhadap mereka dan Orang-orang Muslim semakin menjadi-jadi, terutama melalui suku masing-masing.
Nabi tidak melihat cara lain kecuali memerintahkan mereka hijrah untuk kedua kalinya ke Habasyah. Hijrah kali ini lebih sulit daripada hijrah yang pertama. Sebab, Orang-orang Quraisy semakin meningkatkan kewaspadaan dan menetapkan untuk menggagalkan usaha Orang-orang Muslim untuk hijrah. Namun, Allah melapangkan jalan bagi mereka untuk pergi ke Habasyah, sebelum Orang-orang Quraisy mengetahuinya, Kali ini yang hijrah berjumlah 83 orang laki-laki—bila Ammar termasuk di dalamnya sebab ada keraguan apakah ia ikut atau tidak dan delapan belas atau sembilan belas wanita. Allamah Muhammad Sulaiman Al. Manshurfuri menetapkan yang pertama (18 wanita).
Tipu Muslihat Quraisy dalam Menghadapi Orang-orang Muslim yang Hijrah ke Habasyah
Orang-orang musyrik sangat meradang jika Orang-orang Muhajirin memperoleh tempat yang aman bagi diri dan agama mereka. Untuk itu mereka memilih dua orang yang cukup terpandang dan cerdik, yaitu Amr bin Al-Ash dan Abdullah bin Abu Rabi’ah, sebelum keduanya masuk Islam. Mereka mengirim dua orang ini sambil membawa berbagai macam hadiah untuk dipersembahkan kepada Raja Najasyi dan para uskup di sana. Terlebih dahulu keduanya menemui para uskup sambil menyerahkan berbagai macam hadiah. Keduanya mengajukan beberapa alasan agar mereka berkenan mengusir Orang-orang Muslim dari sana.
Setelah para uskup menyatakan kesediaan untuk mempengaruhi Raja Najasyi, barulah keduanya menemui Raja Najasyi. Sambil menyerahkan berbagai macam hadiah, mereka berdua berkata, “Wahai Tuan Raja, sesungguhnya ada beberapa orang bodoh yang telah menyusup ke negeri Juan. Mereka ini telah memecah belah agama kaumnya, juga tidak mau masuk ke dalam agama Tuan. Mereka datang sambil membawa agama baru yang mereka ciptakan sendiri. Kami tidak mengetahuinya secara persis, begitu pula Tuan. Kami diutus para pembesar kaum mereka, dari bapak-bapak, paman, dan keluarga mereka untuk menemui Tuan, agar Juan berkenan mengembalikan Orang-orang ini kepada mereka. Sebab, mereka itu lebih berhak terhadap Orang-orang tersebut dan lebih tahu apa yang telah mendorong Orang-orang tersebut mencela dan mencaci maki mereka.”
“Benar apa yang dikatakan mereka berdua, wahai Baginda Raja. Serahkanlah mereka itu. kepada mereka berdua, agar keduanya mengembalikan mereka ke kaum dan negerinya,” kata para uskup. Namun, Raja Najasyi merasa perlu untuk meneliti secara detail masalah ini dan mendengarkan dari masing-masing pihak. Maka Raja Najasyi mengirim utusan untuk menemui Orang-orang Muslim dan mendatangkan mereka ke hadapannya.
Setelah para Muhajirin yang dari penampilannya saja sudah menampakkan kejujuran itu menghadap maka Najasyi berkata, “Macam apakah agama kalian, yang karena agama itu kalian memecah belah kaum kalian, dan kalian juga tidak mau masuk agama kami serta tidak satu pun dari agama-agama ini?”
Jakfar bin Abu Thalib yang menjadi juru bicara Orang-orang Muslim menjawab, “Wahai Tuan Raja, dulu kami adalah memeluk agama jahiliyah. Kami menyembah berhala-berhala, memakan bangkai, berbuat mesum. Memutuskan tali persaudaraan, menyakiti tetangga, dan yang kuat di antara kita memakan yang lemah. Begitulah gambaran kami dahulu, hingga Allah mengutus seorang rasul dari kalangan kami sendiri, yang kami ketahui nasab, kejujuran, amanah, dan kesucian dirinya.
Beliau. menyeru kami kepada Allah untuk mengesakan dan menyembah-Nya serta meninggalkan penyembahan kami dan bapak. bapak kami terhadap batu dan patung. Beliau juga memerintahkan kami untuk berkata jujur, melaksanakan amanat, menjalin hubungan kekerabatan, berbuat baik kepada tetangga, menghormati hal-hal yang disucikan dan darah. Beliau melarang kami berbuat mesum, berkata palsu, mengambil harta anak yatim dan menuduh wanita-wanita yang suci.
Beliau memerintahkan kami untuk menyembah Allah semata, tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya, memerintahkan kami mengerjakan shalat, mengeluarkan zakat dan berpuasa (dia menyebutkan ajaran-ajaran Islam yang lain). Lalu kami membenarkan, beriman dan mengikuti beliau atas apa pun dari agama Allah. Lalu kami menyembah Allah semata, tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya, kami mengharamkan apa pun yang diharamkan atas kami, menghalalkan apa pun yang dihalalkan bagi kami.
Kemudian kaum kami memusuhi kami, menyiksa kami dan menimbulkan cobaan terhadap agama kami, dengan tujuan untuk mengembalikan kami kepada penyembahan terhadap patung, tanpa diperbolehkan menyembah Allah, agar kami menghalalkan berbagai macam keburukan seperti dahulu. Setelah mereka menekan, berbuat semena-mena, ‘mempersempit gerak kami dan menghalangi diri kami dari agama kami, maka kami pun pergi ke negeri Tuan dan memilih Tuan daripada orang lain. Kami gembira mendapat perlindungan Tuan dan kami tetap berharap agar kami tidak dizalimi di sisi Anda, wahai Tuan Raja!”
“Apakah engkau bisa membacakan sedikit ajaran dari Allah yang dibawanya (Rasulullah)?” tanya Najasyi. “Ya,” jawab Jakfar. “Kalau begitu bacakanlah kepadaku!”
Lalu Jakfar membacakan dengan cara menghafal, awal surat Maryam. Demi Allah, Najasyi menangis hingga membasahi jenggotnya, begitu pula para uskupnya hingga jenggot mereka basah oleh air mata, tatkala mendengar apa yang dibacakan kepada mereka. Kemudian Najasyi berkata, “Sesungguhnya ini dan yang dibawa Isa benar-benar keluar dari satu cahaya yang sama (sama-sama dari Allah). Pergilah kalian berdua; Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan mereka kepada kalian berdua dan sama sekali tidak.” Maka keduanya beranjak pergi dari hadapan Najasyi.
Amr bin Al-Ash berkata kepada Abdullah bin Rabi’ah, “Demi Allah, besok aku benar-benar akan mendatangi mereka dengan sesuatu seperti yang bisa memusnahkan tanaman mereka.” Abdullah menjawab, “Jangan kau lakukan itu, karena mereka masih mempunyai kerabat sekalipun mereka telah menentang kita.” Tetapi, Amr bin Al-Ash tetap bersikukuh dengan kemauannya. Besoknya Amr bin Al-Ash berkata kepada Raja Najasyi dan berkata “Wahai Tuan Raja, sesungguhnya mereka menyampaikan perkataan yang tidak bisa dianggap enteng tentang Isa bin Maryam.”
Raja Najasyi mengirim utusan untuk menanyakan kepada Orang-orang Muslim pendapat mereka tentang Isa. Tentu saja mereka menjadi risau dan kaget. Tetapi, mereka semua telah sepakat untuk berkata apa adanya, apa pun yang akan terjadi. Setelah mereka menghadap Raja Najasyi dan Najasyi bertanya tentang hal itu kepada mereka, Jakfar menjawab, “Kami katakan seperti yang dibawa Nabi kami, bahwa Isa adalah hamba Allah, Rasul-Nya, Roh-Nya dan Kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam, sang perawan suci.”
Najasyi memungut potongan dahan dari tanah, kemudian berkata,
“Demi Allah, Isa bin Maryam tak berbeda jauh dengan apa yang engkau katakan, seperti potongan dahan ini. “ Karena mendengar para uskup Najasyi mendengus, maka Najasyi berkata lagi, “Demi Allah, sekalipun kalian mendengus.” Kemudian Najasyi berkata kepada Orang-orang Muslim, “Pergilah kalian aman di negeriku. Siapa yang mencaci kalian adalah orang yang tidak waras. Sekalipun aku mempunyai gunung emas, aku tidak suka jika menyakiti salah seorang di antara kalian.”
Lalu Najasyi berkata kepada para pengawalnya, “Kembalikan hadiah yang dibawa dua orang utusan itu. Aku tidak membutuhkan hadiah. hadiah itu. Demi Allah, Dia tidak meminta uang sogokan dariku tatkala Dia mengembalikan kerajaan ini kepadaku, sehingga aku perlu mengambil uang sogok setelah mendapatkan kekuasaan itu. Orang-orang tidak perlu patuh karena aku. Jadi, mengapa aku pun harus patuh kepada mereka karenanya?!”
Ummu Salamah yang meriwayatkan peristiwa ini, berkata, “Lalu keduanya beranjak dari hadapan Najasyi dengan muka masam karena apa yang dibawanya tertolak. Kami pun menetap di sana dalam suasana yang menyenangkan, berdampingan dengan tetangga yang menyenangkan pula.”
Kisah tersebut berdasarkan riwayat Ibnu Ishaq. Riwayat lain menyebutkan bahwa Amr bin Al-Ash diutus kepada Najasyi setelah Perang Badr. Namun, sebagian yang lain telah sepakat bahwa pengiriman utusan itu dua kali dan materi dialog antara Najasyi dan Jakfar pada pengiriman utusan yang kedua juga sama dengan apa yang disebutkan Ibnu Ishaq itu. Begitulah kurang lebihnya.
Siasat Orang-orang musyrik gagal total. Mereka sadar bahwa mereka tidak bisa melampiaskan dendam kecuali di daerah kekuasaannya sendiri. Dari sini muncul satu pemikiran yang sangat mengerikan. Menurut mereka. Satu-satunya cara untuk memuluskan siasat ini ialah dengan menghentikan dakwah Rasulullah secara mutlak. Jika tidak bisa, maka beliau harus dibunuh. Tetapi, bagaimana caranya bila Abu Thalib tetap melindungi beliau dan Orang-orang Muslim? Maka mereka perlu menghadapi Abu Thalib terlebih dahulu.
Quraisy Mengancam Abu Thalib
Para pembesar Quraisy mendatangi Abu Thalib dan mereka berkata kepadanya, “Wahai Abu Thalib, engkau adalah orang yang paling tua, terhormat dan berkedudukan di tengah kami. Kami sudah pernah memintamu untuk menghentikan anak saudaramu, namun engkau tidak melakukannya. Demi Allah, kami sudah tidak sabar lagi menghadapi masalah ini. Siapa yang mengumpat bapak-bapak kami, membodohkan harapan-harapan kami dan mencela persembahan kami, hentikanlah dia atau kami menganggapmu berada di pihaknya, hingga salah satu dari kedua belah pihak di antara kita binasa. Ancaman ini cukup menggentarkan Abu Thalib. Maka dia mengirim urusan untuk menemui Rasulullah yang berkata kepada beliau, “Wahai anak saudaraku, sesungguhnya kaummu telah mendatangiku, lalu mereka berkata begini dan begitu kepadaku. Maka hentikanlah demi diriku dan dirimu sendiri. Janganlah engkau membebaniku sesuatu di luar kesanggupanku.” Rasulullah mengira pamannya akan menelantarkannya dan sudah tidak mau lagi mendukungnya. Maka beliau bersabda, “Wahai pamanku, demi Allah, andaikan mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, agar aku meninggalkan agama ini, hingga Allah memenangkannya atau aku ikut binasa karenanya, maka aku tidak akan meninggalkannya.”
Mendengar itu mata Abu Thalib mengucurkan air mata lalu bangkit. Tatkala beliau hendak beranjak, Abu Thalib memanggil beliau, lalu berkata, “Pergilah wahai anak saudaraku dan katakanlah apa pun yang engkau sukai. Demi Allah, aku tidak akan pernah menyerahkan dirimu kepada siapa pun.” Dia melantunkan syair:
Demi Allah, mereka semua tidak akan bisa menjamah hingga aku terbujur kaku di dalam tanah tampakkanlah urusanmu dan jangan kurangi pilihlah yang engkau suka dan senangi.
Quraisy Kembali Mendatangi Abu Thalib
Tatkala Quraisy melihat Rasulullah tetap menjalankan aktivitas dakwahnya dan mereka tahu bahwa Abu Thalib tidak mau menelantarkan beliau, dan dia juga sudah menyatakan kesanggupannya untuk berpisah dengan mereka dan bahkan memusuhi mereka. Maka mereka mendatangi Abu Thalib lagi, sambil membawa Ammarah bin Al-Walid bin Al-Mughirah. Mereka mulai bernegosiasi, “Wahai Abu Thalib, ini adalah pemuda Quraisy yang paling bagus dan tampan. Ambillah dia dan apa yang ada pada dirinya menjadi milikmu. Ambillah dia sebagai anakmu dan dia menjadi milikmu. Lalu serahkan anak saudaramu kepada kami, yang telah menentang agamamu dan agama bapak-bapakmu, memecah belah persatuan kaummu serta membodoh-bodohkan harapan-harapan mereka, agar kami bisa membunuhnya. Penukaran ini sudah impas, satu orang dengan satu orang.” Abu Thalib menanggapi, “Demi Allah, apa yang kalian tawarkan kepadaku ini benar-benar sangat menjijikkan. Apakah wajar bila kalian menyerahkan anak kalian kepadaku untuk kuberi makan demi kepentingan kalian, lalu kuberikan anakku untuk kalian bunuh? Demi Allah, ini sama sekali tidak akan kulakukan.”
Al-Muth’im bin Adi bin Naufal bin Abdu Manaf berkata, “Demi Allah, wahai Abu Thalib. Kaummu sudah berbuat adil kepadamu dan berusaha membebaskanmu dari sesuatu yang sebenarnya tidak engkau sukai, Menurut pengamatanku, engkau tidak ingin membunuh siapa pun di antara mereka.” Abu Thalib berkata, “Demi Allah, kalian tidak berbuat adil kepadaku. Rupanya engkau telah bersekongkol untuk melecehkan aku dan mempengaruhi mereka untuk memusuhiku. Berbuatlah Semaumu!”
Beberapa referensi sejarah tidak menyebutkan saat dia kedatangan Orang-orang Quraisy ini. Tetapi, dengan membandingkannya dengan bukti-bukti kejadian yang lain, hal itu terjadi pada pertengahan tahun keenam dari kenabian, sebab hanya sedikit riwayat yang mengungkap peristiwa ini. ide Para Thaghut untuk Membunuh Nabi Setelah Orang-orang Quraisy mengalami kegagalan dalam dua kali kedatangan mereka untuk mempengaruhi Abu Thalib, maka mereka kembali bersikap keras dan bengis, bahkan jauh lebih keras dari sebelumnya. Pada hari-hari itu, tiba-tiba muncul ide di pentolan-pentolan thaghut mereka untuk membunuh Nabi dengan cara santet.
Namun, kebengisan dan munculnya ide semacam itu justru semakin mengukuhkan posisi Islam, dengan masuknya dua pahlawan Mekkah, yaitu Hamzah bin Abdul Mutholib dan Umar bin Al-Khattab. Di antara bentuk kebengisan itu, suatu hari Utbah bin Abu Lahab menemui Rasulullah, seraya berkata, “Aku mengingkari ayat, ‘Demi bintang ketika terbenam’, dan ‘Yang mendekat lalu bertambah dekat lagi (Jibril)’.” Kemudian dia mulai mengganggu beliau, merobek baju beliau dan meludah ke muka beliau. Untungnya ludah itu tidak mengenai sasaran. Saat itu beliau berdoa, “Ya Allah, buatlah dia dilahap seekor anjing dari ciptaan-Mu.”
Doa beliau benar-benar dikabulkan. Suatu kali Utbah pergi ke Syam bersama rombongan Quraisy. Suatu malam, mereka sedang singgah di suatu tempat di Syam, tepatnya di Az-Zarqa’, tiba-tiba ada seekor singa yang mengelilingi mereka. Saat itulah Utbah berkata, “Sungguh celaka saudaraku. Demi Allah, singa itu tentu akan mencaplokku seperti doa yang dibaca Muhammad atas diriku. Singa itu akan membunuhku saat dia (Nabi) ada di Mekkah dan aku ada di Syam.” Singa itu menyibak kerumunan orang lalu menerkam kepala Utbah hingga tewas.
Ada pula riwayat yang menyebutkan bahwa Utbah bin Abi Mu’ith pernah menginjak pundak beliau yang mulia tatkala beliau sedang sujud, hingga hampir saja kedua biji mata beliau keluar. Di antara bukti bahwa para thaghut Quraisy bermaksud hendak menghabisi Nabi , adalah riwayat Ibnu Ishaq dalam hadits yang panjang. Di dalamnya disebutkan bahwa Abu Jahal berkata, “Wahai semua orang Quraisy, sesungguhnya Muhammad tetap enggan, dan kalian melihatnya mencela agama kita, mencaci maki bapak-bapak kita, membodoh-bodohkan harapan-harapan kita dan mencela persembahan kita. Aku bersumpah kepada Allah, aku benar-benar akan menungguinya sambil membawa batu yang mampu kubawa, dan tatkala dia sujud dalam shalatnya aku akan menumpukkan batu itu ke kepalanya. Pada saat itu telantarkanlah aku atau belalah aku. Setelah itu Bani Abdu Manaf bisa berbuat apa yang terbaik menurut mereka.” Mereka menjawab, “Demi Allah, kami sama sekali tidak akan menyerahkan dirimu kepada siapa pun. Maka lakukanlah apa kehendakmu!”
Esok paginya Abu Jahal mengambil batu seperti yang dia katakan, kemudian duduk menunggui Rasulullah. Orang-orang menunggu apa yang bakal dilakukan Abu Jahal. Tatkala beliau sedang sujud, Abu Jahal mengambil batu lalu mendekati beliau. Tatkala jaraknya sudah dekat, tiba-tiba dia mundur dengan muka pucat dan gemetar, kedua tangannya tidak mampu menyangga batu yang dibawanya, sehingga dia melepaskan batu itu.
Orang-orang Quraisy mendekati Abu Jahal dan bertanya, “Apa yang terjadi wahai Abul Hakam?” Ia menjawab, “Aku menghampirinya seperti yang kukatakan semalam kepada kalian. Ketika aku sudah dekat dengannya, tiba-tiba ada seekor unta yang menghalangi diriku dan dirinya. Tidak demi Allah, aku tidak melihat unta itu seperti lazimnya, tinggi maupun pendeknya, tidak pula taringnya sekalipun itu unta pejantan. Unta itu mendekatiku dan hendak mencaplokku. “
Ibnu Ishaq menuturkan, diceritakan kepadaku bahwa Rasulullah bersabda, “Itulah Jibril. Andai kata dia mendekat lagi, tentu Jibril akan membinasakannya. Karena perbuatan Abu Jahal terhadap Rasulullah itulah yang mendorong Hamzah masuk Islam setelah itu. Masalah ini akan disampaikan di bagian mendatang. Meski demikian, ide untuk membunuh Rasulullah tetap belum hilang dari hati para thaghut Quraisy. Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash, dia berkata, “Aku mendatangi mereka yang sedang berkumpul di Hijir. Mereka membicarakan Rasulullah , lalu berkata, “Kami tidak pernah bersabar seperti kesabaran kami menghadapi urusan Orang ini. Kami benar-benar telah bersabar menghadapinya karena suatu urusan yang besar.”
Ketika mereka dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba beliau muncul dan berjalan hingga tiba di dekat Hajar Aswad dan mengusapnya. Kemudian beliau melewati mereka dalam keadaan tawaf mengelilingi Kabah. Mereka memberondong beliau dengan kata-kata penghinaan. Aku bisa melihat yang demikian itu di wajah beliau. Tatkala lewat untuk kali kedua, mereka melakukan hal yang sama lagi. Aku bisa mengetahui yang demikian itu di wajah beliau. Kemudian tatkala beliau lewat untuk kali ketiga, mereka melakukan hal yang sama lagi. Saat itu beliau berdiri kemudian bersabda, “Adakah kalian mendengar wahai semua orang Quraisy? Demi yang diriku ada di Tangan-Nya, aku telah datang kepada kalian sambil membawa sembelihan.” Kata-kata beliau ini terus mengiang-ngiang qj telinga mereka. Hingga masing-masing di antara mereka merasa di atas kepalanya ada burung yang akan menyambar. Di antara mereka bahkan ada yang berusaha menghibur diri dari rasa takutnya dengan cara yang dianggap paling baik.’ Lalu berkata, “Pergilah wahai Abu Al-Qasim. Demi Allah, engkau bukanlah orang yang asing.”
Esok harinya, mereka berkumpul lagi. Saat beliau muncul, mereka pun berembuk. Akhirnya secara serentak mereka mengepung beliau. Kulihat salah seorang di antara mereka memegang jubah beliau. Abu Bakar berdiri di samping beliau, sambil menangis dia berkata, ‘Apakah kalian tega membunuh seseorang yang berkata, ‘Tuhanku adalah Allah” Kemudian mereka beranjak pergi meninggalkan beliau. Ibnu Arm berkata, “Itulah kondisi paling keras yang dilakukan Quraisy, yang pernah kulihat.”
Dalam riwayat Al-Bukhari dari Urwah bin Az-Zubair, dia berkata, “Aku berkata kepada Ibnu Arm bin Al-Ash, ‘Sampaikanlah kepadaku keadaan paling keras yang dilakukan Quraisy terhadap Nabi.” Dia menjawab, “Tatkala Nabi shalat di dalam Kabah, tiba-tiba muncul Uqbah bin Abu Mu’ith, lalu dia melilitkan pakaiannya di leher beliau, lalu menjerat beliau dengan tarikan yang keras. Lalu Abu Bakar tiba dan langsung mencengkeram pundaknya serta menyingkirkannya dari sisi beliau, seraya berkata, “Apakah kalian tega membunuh seorang yang mengatakan, ‘Tuhanku adalah Allah?’”
Dalam hadits riwayat dari Asma’, Ash-Shuraikh mendatangi Abu Bakar dan berkata, “Temuilah sahabatmu.” Maka ia pergi meninggalkan kami. Rasulullah telah empat kali mendapatkan ancaman. Ia keluar dan berkata, “Apakah kalian tega membunuh seorang yang mengatakan, ‘Tuhanku adalah Allah?” Maka mereka mengurungkan niatnya dan berbalik ke Abu Bakar. Setelah itu, Abu Bakar kembali ke tempat kami dan tidak ada jalinan rambutnya menyentuh sesuatu pun kecuali kembali bersama kami.”
Masuk Islamnya Hamzah bin Abdul Mutholib
Di tengah suhu yang diliputi awan kezaliman dan penindasan, tiba-tiba muncul seberkas cahaya yang menyinari jalan, yaitu masuk Islamnya Hamzah bin Abdul Mutholib. Dia masuk Islam pada penghujung tahun ke-6 dari kenabian, lebih tepatnya pada bulan Dzulhijjah.
Mengenai sebab keislamannya adalah bahwa suatu hari, Abu Jahal melewati Rasulullah di bukit Shafa, lalu dia menyakiti dan menganiaya beliau. Rasulullah diam saja, tidak berbicara sedikit pun kepadanya. Kemudian dia memukuli tubuh beliau dengan batu di bagian kepala, sehingga memar dan darah mengalir. Selepas itu, dia pulang menuju tempat pertemuan kaum Quraisy di sisi Kabah dan berbincang dengan mereka. Kala itu, budak wanita Abdullah bin Jud’an berada di kediamannya di atas bukit Shafa dan menyaksikan pemandangan yang belum lama terjadi. Kebetulan, Hamzah datang dari berburu dengan menenteng busur panah. Maka dia langsung memberitahukan kepadanya tentang perlakuan Abu Jahal tersebut.
Menyikapi hal itu, sebagai seorang pemuda yang gagah lagi punya harga diri yang tinggi di kalangan suku Quraisy, Hamzah marah berat dan langsung bergegas pergi dan tidak peduli dengan orang yang menegurnya. Dia berkonsentrasi mempersiapkan segalanya bila berjumpa dengan Abu Jahal dan akan memberikan pelajaran yang paling pahit kepadanya. Maka, ketika dia masuk Masjidil Haram, dia langsung tegak persis di arah kepala Abu Jahal sembari berkata, “Hai si hina dina! Engkau berani mencaci maki keponakanku padahal aku sudah memeluk agamanya?” Kemudian dia memukulinya dengan gagang busur panah dan membuatnya terluka dan babak belur. Melihat hal itu, sebagian Orang-orang dari Bani Makhzum yakni, dari suku Abu Jahal—terpancing emosinya, demikian pula dengan Orang-orang dari Bani Hasyim, dari suku Hamzah. Abu Jahal melerai dan berkata, “Biarkan Abu Imarah (julukan Hamzah)! Sebab, aku memang telah mencaci maki keponakannya dengan cacian yang amat jelek.”
Keislaman Hamzah pada mulanya adalah sebagai pelampiasan rasa percaya diri seseorang yang tidak sudi dihina oleh tuannya, namun kemudian Allah melapangkan dadanya. Dia kemudian menjadi Orang yang berpegang teguh dengan ‘tali yang kukuh’ (Islam) dan menjadi kebanggaan kaum Muslimin.
Masuk Islamnya Umar bin Al-Khattab
Di tengah suhu yang sama pula, seberkas cahaya yang lebih benderang dari yang pertama kembali menyinari jalan. Itulah, keislaman Umar bin Al-Khattab. Dia masuk Islam pada bulan Dzulhijjah, tahun ke-6 dari kenabian, yaitu tiga hari setelah keislaman Hamzah, Nabi memang telah berdoa untuk keislamannya sebagaimana hadits yang dikeluarkan oleh At-Tirmidzi (dan dia mensahihkannya) dari Ibnu Umar dan hadits yang dikeluarkan oleh Ath-Thabrani dari Ibnu Mas’ud dan Anas bahwasanya Nabi bersabda, “Ya Allah, kukuhkanlah Islam ini dengan salah seorang dari dua orang yang paling Engkau cintai, Umar bin Al-Khattab atau Abu Jahal bin Hisyam.” Ternyata, yang paling dicintai oleh Allah adalah Umar. Setelah meneliti secara cermat seluruh periwayatan yang mengisahkan keislamannya, tampak bahwa campaknya Islam ke dalam hatinya berlangsung secara perlahan. Akan tetapi, sebelum kita membicarakan ringkasannya, perlu kami singgung terlebih dahulu karakter dan watak dari kepribadiannya.
Beliau dikenal sebagai seorang yang temperamental dan memiliki harga diri yang tinggi. Sangat banyak kaum Muslimin merasakan beragam penganiayaan yang dilakukannya terhadap mereka. Sebenarnya, secara jahiliyah apa yang menghinggapi perasaannya sangat kontras; antara keharusan menghormati tatanan adat yang telah dibuat oleh nenek moyangnya, kekaguman terhadap mental baja kaum Muslimin dalam menghadapi berbagai cobaan demi menjaga akidah mereka serta timbulnya berbagai keraguan dalam dirinya sementara sebagai seorang cendekiawan dia beranggapan bahwa apa yang diseru oleh Islam bisa saja lebih agung dan suci dari selainnya; oleh karena itu begitu memberontak langsung saja dia berteriak lantang. Demikian yang dikemukakan Muhammad Al-Ghazaii.
Ringkasan kisah keislaman Umar setelah dilakukan penyatuan riwayat, bermula dari tindakannya pada suatu malam bermalam di luar rumahnya, lalu dia pergi menuju Masjidil Haram dan masuk ke dalam tirai Kabah. Saat itu Nabi tengah berdiri melakukan shalat dan membaca surat Al-Haqqah. Pemandangan itu dimanfaatkan oleh Umar untuk mendengarkannya dengan khusyuk, sehingga membuatnya terkesan dengan susunannya.
Dia berkata, “Aku berkata pada diriku, ‘Demi Allah, ini (benar) adalah (ucapan) tukang syair sebagaimana yang dikatakan oleh Orang-orang Quraisy!’ Kemudian beliau membaca:
“Sesungguhnya Al-Quran itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia, dan Al-Qur’an itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kalian beriman kepadanya.” (Al-Haqqah: 4-41).
Lantas aku berkata pada diriku, “Ini adalah (ucapan) tukang tenung.” Lalu beliau meneruskan bacaan beliau:
“Dan bukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kalian mengambil pelajaran darinya. la adalah wahyu yang diturunkan dar; Tuhan semesta alam,” (Al-Haqqah: 42-43) hingga akhir surat tersebut, Maka, ketika itulah Islam memasuki relung hatiku’.”
Inilah awal benih-benih Islam merasuk ke dalam relung hati Umar bin Al-Khattab. Tetapi, kulit luar sentimen Jahiliyah dan fanatisme terhadap tradisi serta kebanggaan akan agama nenek moyang justru mengalahkan inti hakikat yang dibisikkan oleh hatinya. Akhirnya, dia tetap giat dalam upayanya melawan Islam, tanpa menghiraukan perasaan yang bersemayam di balik kulit luar tersebut.
Di antara bukti nyata kekerasan wataknya dan rasa permusuhan yang sudah di luar batas terhadap Rasulullah adalah saat suatu hari dia keluar sambil menghunus pedang hendak membunuh beliau. Ketika itu, dia bertemu dengan Nu’aim bin Abdullah An-Nahham Al-Adawi.” (dalam riwayat yang lain disebutkan, “Seseorang dari suku Bani Zahrah” atau “Seseorang dari suku Bani Makhzum.””), Orang tersebut berkata, “Hendak ke mana engkau, wahai Umar?”
Dia menjawab, “Aku ingin membunuh Muhammad.”
Orang tersebut berkata lagi, “Kalan Muhammad engkau bunuh, bagaimana engkau akan merasa aman dari kejaran Bani Hasyim dan Bani Zahrah?”
Umar menjawab, “Menurutku, sekarang ini engkau sudah menjadi penganut ash-Shabiah (sebutan mereka terhadap agama baru, Islam) dan keluar dari agamamu”
Orang itu berkata kepadanya, “Maukah aku tunjukkan kepadamu yang lebih mengagetkanmu lagi, wahai Umar? Sesungguhnya saudara (perempuan) dan iparmu juga telah menjadi penganut Ash-Shabiah dan meninggalkan agama mereka berdua yang sekarang ini!”
Mendengar hal itu, Umar dengan segera berangkat mencari keduanya dan saat dia sampai di tengah-tengah mereka, di sana dia menjumpai Khabbab bin Al-Aratt yang membawa shahifah (lembaran Al-Qur’an) bertuliskan, “Thaha” dan membacakannya untuk keduanya, sebab dia secara rutin mendatangi keduanya dan membacakan Al-Qur’an terhadap keduanya. Tatkala Khabbab mendengar gerak-gerik Umar, dia menyelinap ke bagian belakang rumah sedangkan saudara perempuan Umar menutupi shahifah tersebut. Ketika mendekati rumah, Umar telah mendengar bacaan Khabbab terhadap mereka berdua, karenanya saat dia masuk langsung bertanya, “Apa gerangan suara bisik-bisik yang aku dengar dari kalian?”
Keduanya menjawab, “Tidak, hanya sekedar perbincangan Di antara kami.”
Dia berkata lagi, “Tampaknya, kalian berdua sudah menjadi penganut ash-Shabiah(sebutan mereka terhadap agama baru, Islam).”
Iparnya berkata, “Wahai Umar! Bagaimana pendapatmu jika kebenaran itu berada pada selain agamamu?”
Mendengar itu, Umar langsung melompat ke arah iparnya tersebut lalu menginjak-injakinya dengan keras. Lantas saudara perempuannya datang dan mengangkat suaminya menjauh darinya namun dia justru ditampar oleh Umar, sehingga darah mengalir dari wajahnya—dalam riwayat Ibnu Ishaq disebutkan bahwa dia memukulnya, sehingga memar terluka -Saudaranya berkata dalam keadaan marah, “Wahai Umar! Jika kebenaran ada pada selain agamamu, maka bersaksilah bahwa tiada Tuhan (Yang berhak disembah) selain Allah dan bersaksilah bahwa Muhammad adalah Rasulullah.”
Ketika Umar merasa putus asa dan menyaksikan kondisi saudaranya yang berdarah, dia menyesal dan merasa malu, lalu berkata, “Berikan kitab yang ada di tangan kalian ini kepadaku dan bacakan untukku!”
Saudaranya itu berkata, “Sesungguhnya engkau itu najis, dan tidak ada yang boleh menyentuhnya melainkan Orang-orang yang suci; oleh karena itu, berdiri dan mandilah!” Kemudian dia berdiri dan mandi, lalu mengambil kitab tersebut dan membaca:
Dengan nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dia berseloroh, “Sungguh nama-nama yang baik dan suci.” Kemudian dia melanjutkan dan membaca:
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Ilah (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (Thaha: 14).
Dia berseloroh lagi, “Alangkah indah dan mulianya kalam ini! Kalau begitu, tolong bawa aku ke hadapan Muhammad!”
Saat Khabbab mendengar ucapan Umar, dia segera keluar dari persembunyiannya sembari berkata, “Wahai Umar, bergembiralah karena sesungguhnya aku berharap engkaulah yang dimaksud dalam doa Rasulullah pada malam Kamis: “Ya Allah, kukuhkanlah Islam ini dengan salah seorang dari dua orang yang paling Engkau cintai, Umar bin Al-Khattab atau Abu Jahal bin Hisyam.” Sementara Rasulullah (saat ini) ada di rumah yang terletak di kaki bukit Shafa.
Umar mengambil pedangnya sembari menghunusnya, lalu berangkat hingga tiba di rumah tempat beliau berada tersebut. Dia mengetuk pintu, lalu seorang penjaga pintu mengintip dari celah-celah pintu tersebut dan melihatnya menghunus pedang. Penjaga tersebut kemudian melaporkan hal itu kepada Rasulullah. Para sahabat yang berjaga bersiaga penuh mengantisipasinya.
Gelagat mereka tersebut mengundang tanda tanya Hamzah, “Ada apa gerangan dengan kalian?”
Mereka menjawab, “Umar!”
Dia berkata, “Wahai Umar, bukakan pintu untuknya! Jika dia datang dengan niat baik, kita akan membantunya. Namun, jika dia datang dengan niat jahat, kita akan membunuhnya dengan pedangnya sendiri.”
Saat itu, Rasulullah masih di dalam rumah dan diberitahu tentang Umar, maka beliau pun keluar menyongsongnya dan menjumpainya di bilik. Beliau memegang baju dan gagang pedangnya, lalu menariknya dengan keras, seraya bersabda, “Tidakkah engkau akan berhenti dari tindakanmu, wahai Umar hingga Allah menghinakanmu dan menimpakan bencana sebagaimana yang terjadi terhadap Al-Walid bin Al-Mughirah? Ya Allah! Inilah Umar bin Al-Khattab! Ya Allah, kukuhkanlah Islam dengan Umar bin Al-Khattab!” Umar berkata, “Aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah selain Allah dan engkau adalah Rasulullah.” Dan dia pun masuk Islam yang disambut dengan pekikan takbir oleh penghuni rumah, sehingga terdengar oleh orang yang berada di dalam Masjid.
Umar a merupakan sosok yang memiliki rasa harga diri yang tinggi dan keinginan yang tidak boleh dihalang-halangi; oleh karena itulah, keislamannya menimbulkan guncangan luar biasa di kalangan kaum Musyrikin dan membuat mereka semakin terhina dan patah arang sementara bagi kaum Muslimin, hal itu menambah wibawa, kemuliaan, dan kegembiraan.
Ibnu Ishaq meriwayatkan dengan sanadnya dari Umar, dia berkata, “Tatkala aku sudah masuk Islam, aku mengingat-ingat, siapa penduduk Mekkah yang paling keras terhadap Nabi. Aku berkata, ‘ pasti Abu Jahal orangnya.” Lalu aku datangi dia dan aku ketuk pintu rumahnya. Dia pun keluar menyambutku sembari berkata, “Selamat datang! Ada apa denganmu?”
“Aku datang untuk memberitahumu bahwa aku telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, Muhammad, serta membenarkan apa yang telah dibawanya.” Lalu dia menggebrak pintu di hadapan wajahku sembari berkata, “Mudah-mudahan Allah menjelekkanmu dan apa yang engkau bawa.”
Dalam versi Ibnul Jauzi disebutkan bahwa Umar berkata, “Dulu, jika seseorang masuk Islam maka Orang-orang menggelayutinya lantas memukulinya dan dia juga memukuli mereka. Namun, ketika aku telah masuk Islam aku mendatangi pamanku, Al-Ash bin Hasyim, dan memberitahukan kepadanya hal itu, dia malah masuk rumah. Lalu aku pergi ke salah seorang pembesar Quraisy—sepertinya Abu Jahal—dan memberitahukan kepadanya tentang keislamanku, tetapi dia juga malah masuk rumah.”
Ibnu Hisyam juga menyebutkan—demikian pula Ibnul Jauzi secara ringkas—bahwa ketika Umar masuk Islam dia mendatangi Jamil bin Ma’mar Al-Jumahi—yang merupakan penyambung lidah Quraisy yang paling getol—dan memberitahukan kepadanya tentang keislamannya, orang ini langsung berteriak dengan sekeras-kerasnya bahwa Ibnu Al. Khattab telah menjadi penganut Shabiah (sebutan mereka terhadap agama baru, Islam). Umar pun menimpali di belakangnya, “Dia bohong, akan tetapi aku telah masuk Islam.”
Mereka pun menyergapnya, sehingga akhirnya terjadilah pertarungan antara Umar seorang diri melawan mereka. Pertarungan itu baru selesai saat matahari sudah berada tepat di atas kepala mereka, tetapi Umar sudah tampak kepayahan. Dia hanya bisa duduk sementara mereka berdiri dekat kepalanya. Dia berkata kepada mereka, “Lakukanlah apa yang kalian suka. Sungguh, aku bersumpah atas nama Allah, bahwa andai kami berjumlah tiga ratus orang, niscaya telah kami biarkan mereka untuk kalian atau kalian biarkan mereka untuk kami.”
Setelah kejadian itu, kaum Musyrikin berangkat dalam jumlah besar menuju rumahnya dengan tujuan akan membunuhnya. Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Umar, dia berkata, “Saat Umar berada di rumahnya dalam kondisi cemas, datanglah Al-Ash bin Wail As-Sahmi, Abu Amru, sembari membawa mantel dan baju yang dilipat dan terbuat dari sutera. Dia berasal dari suku Bani Sahm yang merupakan sekutu kami di masa Jahiliyah.
Umar berkata kepadanya, “Ada apa denganmu?”
“Kaummu mengaku akan membunuhku bila aku masuk Islam”, katanya.
Umar—setelah mengatakan bahwa ia aman—berkata, “Kalau begitu tidak akan ada yang bisa melakukan hal itu terhadapmu.”
Al-Ash kemudian keluar dan mendapatkan banyak orang yang sudah memadati lembah tersebut, lantas dia berkata kepada mereka, “Hendak ke mana kalian?”
Mereka menjawab, “Menemui si Ibnu Al-Khattab yang sudah menjadi penganut Shabiah (sebutan mereka terhadap Islam) ini!”
Dia menjawab, “Kalian tidak akan bisa melakukan hal itu terhadapnya.” Orang-orang itu pun pergi secara bergerilya.’ Dalam riwayat Ibnu Ishaq disebutkan, “Demi Allah! Seolah-olah mereka itu bagaikan pakaian yang tersingkap.”
Demikianlah dampak keislamannya terhadap kaum Musyrikin, sedangkan terhadap kaum Muslimin adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Mujahid dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata, “Aku bertanya kepada Umar, ‘Mengapa kamu dijuluki Al-Faruq?’
Dia berkata, ‘Hamzah masuk Islam tiga hari lebih dahulu dariku -selanjutnya dia menceritakan kisah keislamannya, dan di akhirnya dia berkata lalu aku berkata (saat aku sudah masuk Islam), “Wahai Rasulullah, bukankah kita berada di atas kebenaran; mati ataupun hidup?”
Beliau menjawab, “Tentu saja! Demi Yang jiwaku berada di Tangan-Nya, sesungguhnya kalian berada di atas kebenaran; mati ataupun hidup.”
Lalu aku berkata, “Lantas untuk apa sembunyi-sembunyi? Demi Yang telah mengutusmu dengan kebenaran, sungguh kita harus keluar.” Lalu beliau membagi kami dalam dua barisan; salah satunya dipimpin oleh Hamzah dan yang lainnya, dipimpin olehku. Debu dan pasir tersebut yang ditinggalkannya ibarat ceceran gandum yang dihaluskan. Akhirnya kami memasuki Masjidil Haram. Kemudian aku menoleh ke arah Quraisy dan Hamzah; mereka tampak diliputi oleh kesedihan yang tidak pernah mereka rasakan seperti itu sebelumnya. Sejak saat itulah, Rasulullah menamaiku “Al-Faruq.”
Ibnu Mas’ud sering berkata, “Sebelumnya kami tak berani melakukan shalat di sisi Kabah hingga Umar masuk Islam.”
Dari Shuhaib bin Sinan Ar-Rumi, dia berkata, “Ketika Umar masuk Islam, barulah Islam menampakkan diri dan dakwah kepadanya dilakukan secara terang-terangan. Kami juga berani duduk-duduk secara melingkar di sekitar Baitullah, melakukan tawaf, mengimbangi perlakuan orang yang kasar kepada kami serta membalas sebagian yang diperbuatnya.”
Dari Abdullah bin Mas’ud, dia berkata, “Kami senantiasa merasakan izzah sejak Umar masuk Islam.” Utusan Quraisy Terpana oleh Al-Qur’an di Hadapan Rasulullah Setelah dua orang pahlawan yang agung, Hamzah bin Abdul Mutholib dan Umar bin Al-Khattab masuk Islam, awan kelabu mulai menyelimuti kaum Musyrikin dan barulah tersadar dari mabuk mereka yang selama ini digunakan untuk menyiksa kaum Muslimin. Kali ini, mereka berupaya mencari jalan lain, yaitu mengajukan negosiasi di mana mereka akan memenuhi semua tuntutan yang diinginkan oleh beliau asalkan mau menghentikan dakwahnya. Mereka yang perlu dikasihani itu, tidak mengetahui bahwa setiap apa saja yang dapat disinari oleh matahari tidak memiliki nilai sama sekali walau sebesar nyamuk sekalipun dibandingkan dakwah yang beliau emban. Akhirnya, mereka mengalami kegagalan lagi.
Ibnu Ishaq berkata, “Yazid bin Ziyad berkata kepadaku, dari Muhammad bin Ka’ab Al-Qurazhi, dia berkata, “Suatu hari Utbah bin Rabi’ah yang merupakan seorang kepala suku berbicara di perkumpulan Quraisy saat Rasulullah duduk-duduk seorang diri di masjid, ‘Wahai kaum Quraisy, Bagaimana pendapat kalian bila aku menyongsong Muhammad dan berbicara dengannya lalu menawarkan kepadanya beberapa hal yang aku berharap semoga saja sebagiannya dia terima lalu setelah itu kita berikan kepadanya apa yang dia mau, sehingga dia tidak lagi mengganggu kita?
Hal itu dikatakannya ketika Hamzah masuk Islam dan melihat bahwa para sahabat Rasulullah semakin hari semakin banyak dan bertambah, lalu mereka berkata kepadanya:
“Tentu saja bagus, wahai Abu Al-Walid! Pergilah menyongsongnya dan berbicaralah dengannya!” Utbah segera menyongsong beliau dan duduk di sampingnya seraya berkata:
“Wahai anak saudaraku, sesungguhnya engkau telah datang kepada Orang-orang dengan hal yang amat besar, sehingga membuat mereka bercerai-berai, angan-angan mereka engkau kerdilkan, tuhan-tuhan serta agama mereka engkau cela dan nenek-nenek moyang mereka engkau kafirkan. Dengarlah! Aku ingin menawarkan beberapa hal kepadamu, bagaimana pendapatmu tentangnya? Semoga saja sebagiannya dapat engkau terima.”
Rasulullah menjawab, “Wahai Abu Al-Walid, katakanlah, aku akan mendengarkannya!”
“Wahai anak saudaraku, jika apa yang engkau bawa itu semata hanya menginginkan harta, kami akan mengumpulkan harta-harta kami untukmu, sehingga engkau menjadi orang yang paling banyak hartanya Di antara kami; jika apa yang engkau bawa itu semata hanya menginginkan kedudukan, maka kami akan mengangkatmu menjadi Tuan kami hingga kami tidak akan melakukan sesuatu pun sebelum engkau perintahkan; jika apa yang engkau bawa itu semata hanya menginginkan kerajaan, maka kami akan mengangkatmu menjadi raja; dan jika apa yang datang kepadamu adalah jin yang engkau lihat dan tidak dapat engkau mengusirnya dari dirimu, kami akan memanggilkan tabib untukmu serta akan kami infakkan harta kami demi kesembuhanmu, sebab orang terkadang terkena oleh jin, sehingga perlu diobati” katanya ~-atau sebagaimana yang dia katakan—-hingga akhirnya Utbah selesai dan Rasulullah mendengarkannya.
Lalu beliau berkata, “Wahai Utbah, sudah selesaikah engkau?”
Dia menjawab, “Ya.”
Beliau berkata, “ Nah, sekarang dengarkanlah dariku!”
Dia menjawab, “Ya, akan aku dengar.”
Beliau membacakan firman-Nya:
Ha Mim. Diturunkan dari Tuhan yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, Yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui, Yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling, tidak mau mendengarkan. Mereka berkata: “Hati Kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru Kami kepadanya” (Fushshilat: 1-5)
Kemudian Rasulullah melanjutkan bacaannya. Tatkala Utbah mendengarnya, dia malah diam serta khusyuk mendengarkan sambil bertumpu di atas kedua tangannya yang diletakkan di belakang punggungnya hingga beliau selesai dan ketika melewati ayat sajadah, beliau bersujud. Setelah itu, beliau bersabda, “Wahai Abu Al-Walid, engkau telah mendengarkan apa yang telah engkau dengar tadi. Sekarang terserah padamu.”
Utbah bangkit dan menemui para. sahabatnya. Melihat kedatangannya, sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain:
“Kami bersumpah atas nama Allah! Sungguh, Abu Al-Walid telah datang kepada kalian dengan raut muka yang berbeda dengan sewaktu dia pergi tadi.”
Dia pun datang dan duduk bersama mereka. Mereka berkata kepadanya, “Apa yang engkau bawa wahai Abu Al-Walid?”
“Yang aku bawa, bahwa aku telah mendengar suatu perkataan yang, demi Allah, belum pernah sama sekali aku dengar semisalnya. Demi Allah! ia bukanlah syair, bukan sihir dan bukan pula tenung! wahai kaum Quraisy! Patuhilah aku, serahkan urusan itu kepadaku serta biarkanlah orang ini melakukan apa yang dia lakukan. Menjauhlah dari urusannya! demi Allah! sungguh ucapannya yang telah aku dengar itu akan menjadi berita besar; jika Orang-orang Arab dapat mengalahkannya maka kalian telah terlebih dahulu membereskannya tanpa campur tangan orang lain; dan jika dia mengalahkan mereka maka kerajaannya adalah kerajaan kalian juga, keagungannya adalah keagungan kalian juga; maka dengan begitu kalian akan menjadi orang yang paling bahagia.”
Mereka berkata, “Demi Allah, dia telah menyihirmu dengan lisannya, wahai Abu Al-Walid.”
“Inilah pendapatku terhadapnya, terserah apa yang ingin kalian Lakukan,” jawabnya.
Dalam riwayat lain Utbah menyimak sampai mendatangi Rasul hingga firman-Nya:
Jika mereka berpaling maka katakanlah, “Aku telah memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum Ad dan Tsamud.” (Fushshilat: 13)
Ia berdiri gemetaran lalu meletakkan tangannya di mulut Rasulullah dan berkata, “Semoga Allah memberimu kebaikan dan kasih sayang!” Hal itu ia lakukan karena takut bila peringatan itu benar-benar terjadi padanya. Ia bangkit dan kembali ke kaumnya lalu mengatakan seperti yang ia katakan.”
Abu Thalib Mengumpulkan Bani Hasyim dan Bani Abdul Mutholib
Situasi dan kondisi yang ada telah banyak berubah. Tetapi, Abu Thalib tetap saja dibayangi oleh kekhawatiran terhadap gangguan Orang-orang musyrik terhadap keponakannya. Dia kembali teringat beberapa peristiwa yang sudah terjadi. Orang-orang musyrik pernah mengancamnya agar dia menghentikan ulah keponakannya, dan berupaya menukarnya dengan Ammarah bin Al-Walid untuk dibunuh. Abu Jahal pernah mendatangi keponakannya itu sambil membawa batu yang akan dilemparkan kepadanya. Uqbah bin Abu Mu’it pernah menjerat leher keponakannya dengan pakaian, agar bisa membunuhnya, dan masih banyak ancaman lain. Abu Thalib mengingat-ingat kembali semua peristiwa itu. Dia bisa mencium bau busuk yang menyengat dari Orang-orang Quraisy dan merasa yakin bahwa Orang-orang musyrik itu hendak merusak perlindungannya terhadap Nabi dan ingin membunuhnya. Hamzah, Umar atau siapa pun pasti tidak akan sanggup menghadapi makar mereka,
Abu Thalib merasa yakin bahwa mereka telah sepakat untuk membunuh Rasulullah secara terang-terangan. Kesepakatan mereka itu sebenarnya telah diisyaratkan di dalam firman Allah:
“Bahkan mereka telah menetapkan satu tipu daya (jahat), Maka Sesungguhnya Kami menetapkan pula.” (Az-Zukhruf: 79)
Lantas apakah yang akan dilakukan Abu Thalib?
Dia berdiri di tengah-tengah anggota keluarganya, Bani Hasyim, Bani Abdul Mutholib, dan Bani Abdu Manaf, meminta kesediaan mereka untuk melindungi keponakannya. Ternyata mereka menyanggupinya, baik yang kafir maupun yang muslim, sebagai langkah untuk menjaga kekerabatan. Orang yang tidak bergabung dalam kesediaan tersebut adalah saudaranya, Abu Lahab. Dia memisahkan diri dari mereka dan bergabung bersama Orang-orang Quraisy lainnya.[]
Selama empat pekan yang artinya dalam waktu yang relatif singkat, ada empat kejadian besar di mata Orang-orang Quraisy: Hamzah masuk Islam, kemudian Umar menyusulnya, Muhammad menolak tawaran mereka, dan kesepakatan bersama yang dijalin oleh Bani Hasyim, baik yang kafir maupun yang muslim untuk melindungi beliau. Karena itu, Orang-orang musyrik merasa gelisah dan mereka memang pantas begitu. Mereka sadar bahwa bila darah Muhammad mengalir karena ulah mereka, Mekkah pasti akan banjir darah manusia atau bahkan bisa membinasakan mereka semua. Kesadaran ini membawa mereka beralih ke bentuk kezaliman lain yang bukan pembunuhan. Akan tetapi, apa yang mereka lakukan terhadap beliau selanjutnya lebih kejam daripada sebelumnya.
Piagam Kezaliman dan Kesewenang-wenangan
Orang-orang musyrik berkumpul di kediaman Bani Kinanah yang terletak di lembah Al-Mahshib dan bersumpah untuk tidak menikahi Bani Hasyim dan Bani Mutholib, tidak berjual beli dengan mereka, tidak berkumpul, berbaur, memasuki rumah ataupun berbicara dengan mereka sebelum mereka menyerahkan Rasulullah untuk dibunuh. Mereka menulis kesepakatan tersebut di atas sebuah shahifah (lembaran) yang berisi perjanjian dan sumpah: Bahwa mereka selamanya tidak akan menerima perdamaian dari Bani Hasyim dan tidak akan berbelas kasihan terhadap mereka kecuali bila mereka menyerahkan beliau untuk dibunuh.
Ibnul Qayyim berkata, “Ada yang mengatakan bahwa pernyataan itu ditulis oleh Manshur bin ‘Ikrimah bin Amir bin Hasyim. Ada lagi yang mengatakan bahwa pernyataan itu ditulis oleh Nadhr bin Al-Harits. Yang benar, bahwa yang menulisnya adalah Baghidh bin Amir bin Hasyim. Rasulullah mendoakan keburukan atasnya dan dia pun mengalami kelumpuhan di tangannya sebagaimana doa beliau:
Perjanjian itu pun dilaksanakan dan digantungkan di dinding Kabah, Semua kalangan dari Bani Hasyim dan Bani Mutholib, baik yang masih kafir maupun yang sudah beriman —selain Abu Lahab—masuk dalam pemboikotan itu. Mereka diembargo di perkampungan Abu Thalib pada malam bulan Muharram tahun ketujuh dari kenabian.
Tiga Tahun di Perkampungan Abu Thalib
Pemboikotan semakin diperketat. Semua pasokan air dan cadangan tidak boleh masuk ke tempat mereka. Kaum musyrikin tidak membiarkan makanan apa pun yang masuk atau yang dijual ke Mekkah kecuali mereka segera memborongnya. Tindakan ini membuat kondisi Bani Hasyim dan Bani Mutholib semakin kepayahan dan memprihatinkan, sehingga mereka terpaksa memakan dedaunan dan kulit binatang. Selain itu, jeritan kaum wanita dan tangis bayi-bayi yang mengerang kelaparan pun terdengar di balik kediaman tersebut.
Tidak ada yang sampai ke tangan mereka kecuali secara sembunyi-sembunyi, dan mereka pun tidak keluar rumah untuk membeli keperluan sehari-hari kecuali pada bulan-bulan haram saja. Mereka membelinya dari rombongan yang datang dari luar Mekkah, akan tetapi penduduk Mekkah menaikkan harga barang-barang kepada mereka beberapa kali lipat agar mereka tidak mampu membelinya.
Hakim bin Hizam pernah membawa gandum untuk diberikan kepada bibinya, Khadijah, namun suatu ketika dia dihadang oleh Abu Jahal dan diinterogasi olehnya guna mencegah upayanya. Untung saja, ada Abu Al-Bukhturi yang menengahi dan membiarkannya lolos membawa gandum tersebut kepada bibinya.
Di lain pihak, Abu Thalib merasa khawatir atas keselamatan Rasulullah. Untuk itu, dia biasanya memerintahkan beliau untuk berbaring di tempat tidurnya bila Orang-orang beranjak ke tempat tidur mereka. Hal ini agar memudahkannya untuk mengetahui siapa yang hendak membunuh beliau. Dan ketika Orang-orang sudah benar-benar tidur, dia memerintahkan salah satu dari putra-putra, saudara-saudara atau keponakan-keponakannya untuk tidur di tempat tidur Rasulullah, sementara beliau diperintahkan untuk tidur di tempat tidur mereka.
Namun, Rasulullah dan kaum Muslimin tetap keluar pada musim haji guna menjumpai Orang-orang dan mengajak mereka kepada Islam sebagaimana yang telah kami singgung dalam pembahasan lalu tentang perlakuan Abu Lahab terhadap mereka.
Pembatalan terhadap Lembar Perjanjian
Pemboikotan tersebut berlangsung selama dua atau tiga tahun penuh. Pada bulan Muharram tahun kesepuluh dari kenabian? terjadi pembatalan terhadap shahifah dan perobekan perjanjian tersebut. Hal ini dilakukan karena tidak semua kaum Quraisy menyetujui perjanjian tersebut, di antara mereka ada yang pro dan ada yang kontra, maka pihak yang kontra ini akhirnya berusaha untuk membatalkan lembar perjanjian tersebut.
Di antara tokoh yang melakukan itu adalah Hisyam bin Amru dari suku Bani Amir bin Lu’ay. Dia bisa berhubungan secara diam-diam pada malam hari dengan Bani Hasyim dan menyuplai bahan makanan. Tokoh ini pergi menghadap Zuhair bin Abi Umayyah Al-Makhzumi (ibunya bernama Atikah binti Abdul Mutholib), dia berkata kepadanya, “Wahai Zuhair! Apakah engkau tega dapat menikmati makan dan minum sementara saudara-saudara dari pihak ibumu kondisi mereka seperti yang engkau ketahui saat ini?”
“Celakalah engkau! Apa yang dapat aku perbuat bila hanya seorang diri? Sungguh, demi Allah! andai kata aku punya teman satu orang saja, aku robek lembar perjanjian tersebut,” jawabnya
“Engkau sudah mendapatkan orang itu!”
“Siapa dia?”
“Aku.”
“Kalau begitu, carikan bagi kita orang ketiga.”
Lalu Hisyam pergi menuju kediaman Al-Muth’im bin Adi. Dia menyinggung tali kekerabatan yang terjadi antara Bani Hasyim dan Banj Mutholib, dua orang putra Abdu Manaf dan mencela persetujuannya atas tindakan zalim kaum Quraisy. Al-Muth’im berkata, “Celakalah engkau! Apa yang bisa aku lakukan padahal aku hanya seorang diri?” Dia berkata, “Engkau sudah mendapatkan teman.”
Dia bertanya, “Siapa dia?” “Aku,” jawabnya. “Kalau begitu, carikan bagi kita orang ketiga,” pintanya lagi. “Sudah aku dapatkan orangnya,” jawabnya. “Siapa dia?” tanyanya. “Zuhair bin Abi Umayyah,” jawabnya “Kalau begitu, carikan bagi kita orang keempat,” pintanya lagi… Lalu dia pergi lagi menuju kediaman Abu Al-Bukhturi bin Hisyam dan mengatakan kepadanya persis seperti apa yang telah dikatakannya kepada Al-Muth’im. Dia bertanya kepada Hisyam, “Apakah ada orang yang membantu kita dalam hal ini?” “Ya,” jawabnya
“Siapa dia?” tanyanya
“Zuhair bin Abi Umayyah, Al-Muth’im bin Adi. Aku juga akan bersamamu.” Jawabnya.
“Kalau begitu, carikan lagi bagi kita orang kelima,” pintanya. Kemudian dia pergi lagi menuju kediaman Zam’ah bin Al-Aswad bin Muththatid Bin Asad. Dia berbincang dengannya lalu menyinggung tentang kekerabatan yang ada di antara mereka dan hak-hak mereka. Zam’ah bertanya kepadanya, “Apakah ada orang yang ikut serta dalam urusan yang engkau ajak diriku ini?”
“Ya,” jawabnya.
Kemudian dia menyebutkan nama-nama orang yang ikut serta tersebut. Akhirnya mereka berkumpul di pintu Hujun dan berjanji akan melakukan pembatalan lembar perjanjian. Zuhair berkata, “Akulah yang akan memulai dan orang pertama yang akan berbicara.”
Ketika paginya, mereka pergi ke tempat perkumpulan. Zuhair datang dengan mengenakan pakaian kebesaran Jalu mengelilingi Kabah tujuh kali kemudian menghadap ke khalayak seraya berkata, “Wahai penduduk Mekkah! Apakah kita tega bisa menikmati makanan dan memakai pakaian sementara Bani Hasyim binasa; tidak ada yang sudi menjual kepada mereka dan tidak ada yang membeli dari mereka? Demi Allah! aku tidak akan duduk hingga shahifah yang telah memutuskan rahim dan zalim ini dirobek!”
Abu Jahal yang berada di pojok masjid menyahut, “Demi Allah! engkau telah berbohong! Jangan lakukan itu!” Lalu Zam’ah bin Al-Aswad memotongnya, “Demi Allah, justru engkaulah yang paling pembohong! Kami tidak pernah rela menulisnya ketika ditulis waktu itu.”
Setelah itu, Abu Al-Bukhturi menimpali, “Benar apa yang dikatakan Zam’ah ini, kami tidak pernah rela terhadap apa yang telah ditulis dan tidak pernah menyetujuinya.” Berikutnya, giliran Al-Muth’im yang menambahkan, “Mereka berdua ini memang benar dan sungguh orang yang mengatakan selain itulah yang berbohong. Kami berlepas diri kepada Allah dari shahifah tersebut dan apa yang ditulis di dalamnya.”
Hal ini juga diikuti oleh Hisyam bin Amru yang menimpali seperti itu pula. Abu Jahal kemudian berkata dengan kesal, “Urusan ini telah diputuskan di tempat selain ini pada malam dimusyawarahkannya saat itu!”
Saat itu Abu Thalib tengah duduk di sudut Al-Masjid Al-Haram. Dia datang atas pemberitahuan keponakannya, Rasulullah yang telah diberitahu oleh Allah tentang shahifah tersebut bahwa Dia Ta’ala telah mengirim rayap-rayap untuk memakan semua tulisan yang berisi pemutusan rahim dan kezaliman tersebut kecuali tulisan yang ada nama Allah Ta’ala di dalamnya. Abu Thalib datang kepada kaum Quraisy dan memberitahukan kepada mereka tentang apa yang telah diberitahukan oleh keponakannya kepadanya. Dia menyatakan, “Ini untuk membuktikan apakah dia berbohong, sehingga kami akan membiarkan kalian untuk menyelesaikan urusan dengannya, demikian pula sebaliknya, jika dia benar maka kalian harus membatalkan pemutusan rahim dan kezaliman terhadap kami.”
Mereka berkata kepadanya, “Kalau begitu, engkau telah berlaku adil.” Setelah terjadi pembicaraan panjang antara mereka dan Abu Jahal, berdirilah Al-Muth’im menuju shahifah untuk merobeknya, Ternyata dia menemukan rayap-rayap telah memakannya kecuali tulisan “Bismikallahumma” (dengan nama-Mu, ya Allah) dan tulisan yang ada nama Allah di dalamnya rayap-rayap tersebut tidak memakannya,
Lalu dia membatalkan shahifah tersebut, sehingga Rasulullah bersama Orang-orang yang ada di kediaman Abu Thalib dapat menghirup udara bebas kembali. Sungguh, Orang-orang musyrik telah melihat tanda yang agung sebagai bagian dari tanda-tanda kenabian beliau, akan tetapi mereka tetaplah sebagai yang difirmankan oleh Allah, “Dan jika mereka (Orang-orang musyrikin) melihat sesuatu tanda (mukjizat), mereka berpaling dan berkata, ‘(Ini adalah) sihir yang terus menerus’.” (Al-Qamar: 2). Mereka telah berpaling dari tanda ini dan kekufuran mereka semakin menjadi-jadi.’
Delegasi Terakhir Quraisy Berkunjung Abu Thalib
Rasulullah keluar dari tempat pemboikotan dan melakukan aktivitasnya seperti biasa, sementara kaum Quraisy masih tetap melakukan intimidasi terhadap kaum Muslimin dan menghadang jalan Allah meskipun sudah tidak lagi melakukan pemboikotan.
Di sisi yang lain, Abu Thalib masih tetap melindungi keponakannya, akan tetapi usianya sudah melebihi 80 tahun. Berbagai penderitaan dan peristiwa yang begitu besar dan silih berganti sejak beberapa tahun, khususnya pada saat terjadinya pengepungan dan pemboikotan terhadap kediamannya, telah membuat persendiannya lemah dan tulang rusuknya pun patah. Beberapa bulan setelah keluar dari pemboikotan itu, Abu Thalib dirundung sakit yang agak payah dan kondisi ini membuat Orang-orang musyrik cemas seandainya nama besar mereka cacat di mata bangsa Arab andai mereka hanya datang saat kematiannya karena tidak menyukai keponakannya. Untuk itulah mereka sekali lagi mengadakan perundingan dengan Nabi di sisi Abu Thalib dan berani memberikan sebagian dari hal yang sebelumnya tidak sudi mereka berikan. Mereka melakukan kunjungan kepada Abu Thalib, yang merupakan terakhir kalinya.
Menurut Ibnu Ishaq dan sejarawan lainnya, “Ketika Abu Thalib sakit parah dan hal itu sampai kepada kaum Quraisy, sebagian mereka berkata kepada sebagian lain, ‘Sesungguhnya Hamzah dan Umar telah masuk Islam sedangkan tentang Muhammad ini telah tersiar di kalangan seluruh kabilah Arab. Oleh karena itu, lebih baik kalian pergi menjenguk Abu Thalib agar dia mencegah keponakannya dan menitipkan pemberian kita kepadanya. Demi Allah! Kita tidak akan merasa aman bila kelak dia mengalahkan kita.”
Dalam lafal riwayat yang lain disebutkan bahwa kaum Quraisy berkata, “Sesungguhnya kita khawatir bila orang tua ini (Abu Thalib) meninggal nantinya, lalu ada sesuatu yang diserahkannya kepada Muhammad, sehingga lantaran hal itu, bangsa Arab mencerca kita dengan mengatakan: Mereka telah menelantarkannya, tetapi ketika pamannya meninggal mereka memperebutkannya.”
Mereka, yang terdiri dari para pemuka kaumnya, akhirnya menemui Abu Thalib dan berbicara dengannya. Di antara tokoh kaum musyrik tersebut adalah, Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, Abu Jahal bin Hisyam, Umayyah bin Khalaf, dan Abu Sufyan bin Harb. Pertemuan ini dilakukan di hadapan para tokoh selain mereka yang berjumlah sekitar 25 orang. Mereka berkata:
“Wahai Abu Thalib; seperti yang telah engkau ketahui, engkau adalah bagian dari kami dan engkau tentu tahu mengapa kami datang kepadamu saat ini. Kami cemas terhadap keadaan dirimu. Engkau juga sudah tahu apa yang terjadi antara kami dan keponakanmu. Untuk itu, desaklah dia agar mau menerima sesuatu dari kami dan kami juga akan menerima sesuatu darinya. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi saling mencampur urusan masing-masing; dia tidak mencampuri urusan kami, demikian juga dengan kami. Desaklah dia agar membiarkan kami menjalankan agama kami seperti halnya kami juga akan membiarkannya menjalankan agamanya.”
Abu Thalib mengirimkan utusan untuk meminta beliau datang. Beliau pun datang, lalu pamannya berkata, “Wahai keponakanku! Mereka itu adalah pemuka-pemuka kaummu. Mereka berkumpul karenamu untuk memberimu sesuatu dan mengambil sesuatu pula darimu.”
Kemudian Abu Thalib memberitahukan kepadanya apa yang telah diucapkan dan disodorkan oleh mereka kepadanya, yakni bahwa masing-masing pihak tidak boleh saling mencampuri urusan.
Rasulullah berkata kepada mereka, “Bagaimana pendapat kalian bila aku katakan kepada kalian satu kalimat yang bila kalian ucapkan niscaya kalian akan dapat menguasai bangsa Arab dan Orang-orang asing akan tunduk kepada kalian?”
Dalam lafal riwayat yang lain disebutkan bahwa beliau berbicara kepada Abu Thalib, “Aku menginginkan mereka untuk mengucapkan satu kalimat yang dapat membuat bangsa Arab tunduk dan Orang-orang asing akan mempersembahkan upeti kepada mereka.”
Dalam lafal riwayat yang lainnya lagi disebutkan bahwa beliau berkata, “Wahai pamanku, mengapa tidak engkau ajak saja mereka kepada hal yang lebih baik buat mereka?”
Dia bertanya, “Mengajak kepada apa?”
Beliau bersabda, “Ajak mereka agar mengucapkan satu kalimat yang dapat membuat bangsa Arab tunduk kepada dan Orang-orang asing pun takluk.”
Adapun dalam lafal yang diriwayatkan Ibnu Ishaq disebutkan, “Satu kalimat saja yang kalian berikan niscaya kalian akan bisa menguasai bangsa Arab dan Orang-orang asing akan tunduk kepada kalian.”
Tatkala beliau mengucapkan kalimat tersebut, mereka berdiri tertegun, linglung dan tidak tahu bagaimana dapat menolak satu kalimat yang penuh manfaat sampai sedemikian ini? Kemudian Abu jahal menanggapi, “Apa itu? Bila kamu sebutkan, sungguh aku akan memberikanmu sepuluh kali lipatnya.” Beliau berkata, “Ucapkanlah, ‘La ilaha illallah’ dan kalian tinggalkan persembahan selain Dia.”
Mendengar kalimat tersebut, mereka kebingungan lantas berseru, “wahai Muhammad, apakah kamu ingin menjadikan tuhan-tuhan yang banyak menjadi satu saja? Agamamu itu benar-benar aneh.”
Kemudian, mereka saling berargumen, “Demi Allah, sesungguhnya orang ini tidak memberikan apa yang kalian inginkan. Pergilah dan teruslah dalam agama nenek moyang kalian hingga Allah memutuskan antara kalian dan dirinya.” Setelah itu, mereka pun bubar.
Allah Ta’ala menurunkan ayat berkenaan dengan itu, yaitu firman-Nya: Shad, demi Al-Qur’an yang mempunyai keagungan. Sebenarnya Orang-orang kafir itu (berada) dalam kesombongan dan permusuhan yang sengit. Betapa banyaknya umat sebelum mereka yang telah kami binasakan, kalau mereka meminta tolong padahal (waktu itu) bukanlah saat untuk lari melepaskan diri. Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (rasul) dari kalangan mereka; dan Orang-orang kafir berkata , “Ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta.” Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Esa. Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan. Dan pergilah pemimpin-pemimpin mereka (seraya berkata), “Pergilah kamu dan tetaplah (menyembah) ilah-ilahmu, sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang dikehendaki. Kami tidak pernah mendengar hal ini dalam agama yang terakhir; ini (mengesakan Allah), tidak lain hanyalah(dusta) yang diada-adakan. (Shad: 1-7)[]
Abu Thalib Wafat Sakit yang dialami oleh Abu Thalib semakin payah, maka tak lama dari itu dia menemui ajalnya, yaitu pada bulan Rajab! tahun 10 dari kenabian, setelah enam bulan keluar dari pemboikotan.? Ada riwayat yang menyebutkan bahwa dia wafat pada bulan Ramadhan, tiga hari sebelum Khadijah ag, wafat.
Dalam Ash-Sahih disebutkan dari Sa’id bin Al-Musayyib bahwa ketika Abu Thalib dalam keadaan sekarat, Nabi mengunjunginya sementara di sisinya sudah ada Abu Jahal. Beliau bertutur kepadanya, “Wahai pamanku! Katakanlah: La Ilaha illallah, kalimat ini akan aku jadikan hujjah untukmu di sisi Allah.”
Namun, Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah memotong, “Wahai Abu Thalib! Sudah bencikah engkau terhadap agama Abdul Mutholib? Keduanya terus mendesaknya demikian, hingga kalimat terakhir yang diucapkannya kepada mereka adalah “Aku masih tetap dalam agama Abdul Mutholib.” Nabi berkata, “Aku akan memintakan ampunan untukmu selama aku tidak dilarang melakukannya.” Tetapi, kemudian turunlah ayat:
Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan Orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi Orang-orang musyrik, walaupun Orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (Nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya Orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam. (At-Taubah: 113)
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi (Al-Qashash: 56)
Tidak perlu dijelaskan lagi bagaimana pengorbanan dan perlindungan yang diberikan oleh Abu Thalib. Dia adalah benteng, tempat berlindungnya dakwah Islamiyah dari serangan para pembesar Quraisy. Namun sayang, dia tetap memilih agama nenek moyangnya, sehingga sama sekali tidak membawanya meraih kemenangan.
Dalam Ash-Sahih dari Al-Abbas bin Abdul Mutholib, dia berkata kepada Nabi, “Apakah engkau tidak memedulikan pamanmu lagi, padahal dialah yang melindungimu dan berkorban untukmu?” Beliau bersabda, “Dia berada di neraka yang paling ringan. Andai kata bukan karena aku, niscaya dia sudah berada di neraka yang paling bawah.”
Abi Sa’id Al-Khudri juga meriwayatkan bahwa dia mendengar Nabi bersabda, “Semoga saja syafaatku bermanfaat baginya pada hari kiamat, lalu dia di tempatkan di neraka paling ringan yang (ketinggiannya) mencapai dua mata kaki.”
Khadijah Berpulang ke rahmatullah
Setelah dua bulan atau tiga bulan dari wafatnya Abu Thalib, Ummul Mukminin Khadijah Al-Kubra, pun wafat. Tepatnya, pada bulan Ramadhan tahun 10 H dari kenabian dalam usia 65 tahun, sedangkan Rasulullah ketika itu berusia 50 tahun.
Sosok Khadijah merupakan nikmat Allah yang paling agung bagi Rasulullah. Selama seperempat abad hidup bersamanya, dia senantiasa menghibur saat beliau. cemas, memberikan dorongan di saat-saat Paling kritis, menyokong penyampaian risalahnya, ikut serta bersama beliau dalam rintangan yang menghadang jihad, dan selalu membela beliau, baik dengan jiwa maupun hartanya. Untuk mengenang itu, Rasulullah bertutur,; “Dia telah beriman kepadaku saat manusia tidak ada yang beriman, dia membenarkanku saat manusia mendustakan, dia mengeluarkan hartanya untukku, saat manusia tidak mau memberikannya, Allah mengaruniaiku anak darinya, sementara tidak dikaruniakan kepadaku dari selainnya,”
Di dalam Ash-Sahih dari Abu Hurairah, dia berkata, “Jibril: mendatangi Rasulullah sembari berkata, ‘Wahai Rasulullah! inilah Khadijah. Dia telah datang dengan membawa lauk-pauk, makanan atau minuman. Bila dia nanti mendatangimu, sampaikan salam Tuhannya kepadanya dan kabarkanlah tentang rumah untuknya di surga yang terbuat dari permata bambu yang tidak ada kebisingan dan keletihan di dalamnya.”’
Kesedihan Datang Silih Berganti
Dua peristiwa sedih tersebut berlangsung dalam waktu yang relatif berdekatan, sehingga perasaan sedih dan pilu menyayat-nyayat hati Rasulullah. Kemudian, cobaan demi cobaan terus datang secara beruntun pula dari kaumnya. Sepeninggal Abu Thalib, tampaknya mereka semakin berani terhadap beliau, mereka dengan terang-terangan menyiksa dan menyakiti beliau. Lengkap sudah, kesedihan yang dialaminya hingga membuat beliau hampir putus asa untuk mendakwahi mereka. Karenanya, beliau pergi menuju kota Thaif dengan harapan penduduknya mau menerima dakwah beliau, melindungi dan menolong beliau melawan perlakuan kaumnya, namun beliau sama sekali tidak melihat ada seorang pun yang mau melindungi dan menolong. Bahkan sebaliknya, mereka menyiksa dan memperlakukannya dengan yang lebih sadis dari apa yang dilakukan oleh kaumnya sendiri.
Siksaan yang begitu keras tidak saja dialami Nabi, tetapi para sahabatnya ikut mendapatkannya. Hal ini membuat teman akrab beliau, Abu Bakar Ash-Shiddiq berhijrah dari Mekkah. Ketika dia sudah mencapai suatu tempat yang bernama Barkul Ghimad dengan tujuan utama ke arah Habasyah, Ibnu Daghinah mengajaknya pulang dan memberinya suaka.
Ibnu Ishaq berkata, “Ketika Abu Thalib wafat, kaum Quraisy menyiksa Rasulullah dengan siksaan yang semasa hidupnya tidak berani mereka lakukan. Lebih dari itu, salah seorang begundal Quraisy menghalangi jalan beliau, lalu menaburi debu ke arah kepala beliau. Tatkala beliau masuk rumah dalam kondisi demikian, salah seorang anak perempuan beliau Menyongsongnya dan membersihkan debu tersebut sembari menangis. Beliau berkata kepadanya, “Jangan menangis, duhai anakku! Sesungguhnya Allah yang akan menolong ayahandamu.” Ibnu Ishaq melanjutkan, “Jika mengingat hal itu, beliau selalu berkata, ‘Tidak pernah aku mendapatkan suatu perlakuan yang tidak aku sukai dari Quraisy hingga Abu Thalib wafat’.”
Karena beruntunnya kesedihan demi kesedihan pada tahun ini maka tahun ini disebut ‘Amul Huzn (Tahun Kesedihan), sehingga sebutan ini lebih dikenal di dalam buku-buku sejarah.
Menikah dengan Saudah
Rasulullah menikah dengan Saudah binti Zam’ah pada bulan Syawal tahun 10 kenabian. Saudah termasuk wanita yang masuk Islam lebih dahulu, ikut serta dalam hijrah yang kedua ke Habasyah. Suami sebelumnya bernama As-Sakran bin Amru yang juga masuk Islam dan berhijrah bersamanya serta wafat di negeri Habasyah. Ada riwayat yang menyebutkan dia wafat sepulangnya ke Mekkah.
Ketika dia sudah melewati masa iddah, Rasulullah melamar dan menikahinya. Dia adalah wanita pertama yang dinikahi oleh beliau sepeninggal Khadijah, lalu setelah beberapa tahun berselang dia menghadiahkan hari gilirannya kepada Aisyah.
Orang yang berhati lembut pasti tertegun dan para cendekiawan akan saling bertanya, “Apa sebenarnya sebab-sebab yang telah membawa kaum Muslimin mencapai puncak dan batas tak tertandingi dalam ketegarannya?” Bagaimana mungkin mereka bisa bersabar menghadapi penindasan demi penindasan yang membuat bulu roma merinding dan hati gemetar begitu mendengarnya?”
Melihat fenomena yang mengguncangkan jiwa ini, kami menganggap perlu menyinggung sebagian dari sebab-sebab tersebut secara ringkas:
- Keimanan kepada Allah
Sebab paling utama adalah keimanan kepada Allah semata dan mengetahui-Nya dengan sebenar-benarnya pengetahuan. Keimanan yang kuat bila telah menyelinap ke sanubari tak ubahnya seperti gunung dan tidak akan goyang. Orang yang memiliki keimanan dan keyakinan seperti ini akan memandang kesulitan duniawi sebesar, sebanyak dan serumit apa pun seperti lumut-lumut yang diapungkan oleh air bah lantas menghancurkan bendungan kuat dan benteng perkasa. Orang yang kondisinya seperti ini, tidak memedulikan rintangan apa pun karena telah mengenyam manisnya iman, segarnya ketaatan serta cerianya keyakinan. Allah berfirman:
“Adapun buih itu akan hilang sebagian sesuatu yang tak ada harganya Adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi.” (Ar-Ra’d: 17)
Dari sebab utama ini, kemudian berkembang dan beralih kepada sebab-sebab lain yang semuanya tidak lain menguatkan ketegaran dan kesabaran tersebut seperti yang akan disebutkan selanjutnya.
- Kepemimpinan yang digandrungi oleh setiap hati
Sosok Rasulullah adalah sosok seorang pemimpin umat Islam tertinggi. Tidak saja bagi Umat Islam tetapi bagi seluruh manusia, Beliau memiliki postur badan yang ideal, jiwa yang sempurna, akhlak luhur, sifat-sifat yang terhormat dan ciri fisik yang agung. Hal ini dapat menyebabkan hati tertawan dan membuat jiwa rela berjuang untuknya sampai tetas darah terakhir. Kesempurnaan yang dianugerahkan kepada beliau tersebut tidak pernah dianugerahkan kepada siapa pun. Beliau menempati posisi puncak dalam derajat sosial, keluhuran budi, kebaikan dan keutamaan.
Demikian pula dari sisi kesucian diri, amanah, kejujuran dan semua jalan kebaikan tidak ada yang menandinginya. Jangankan oleh para pencinta dan sahabat karib beliau, musuh-musuhnya pun tidak meragukan lagi hal itu. Ungkapan yang pernah terlontarkan dari mulut beliau pastilah membuat mereka langsung meyakini kejujurannya dan kebenarannya.
Suatu ketika, tiga orang tokoh Quraisy berkumpul. Masing-masing dari mereka ternyata telah mendengarkan Al-Qur’an secara sembunyi-sembunyi tanpa diketahui oleh dua temannya yang lain, namun kemudian rahasia itu tersingkap. Salah seorang dari mereka bertanya kepada Abu Jahal, yang merupakan salah seorang dari ketiga orang tersebut:
“Bagaimana pendapatmu mengenai apa yang engkau dengar dari Muhammad tersebut?”
“Apa yang telah aku dengar? Memang kami telah berselisih dengan Bani Abdu Manaf dalam persoalan derajat sosial; ketika mereka makan, kami pun makan; mereka menanggung sesuatu, kami pun ikut menanggungnya; mereka memberi, kami pun memberi hingga akhirnya kami sejajar di atas tunggangan yang sama. Kami ibarat dua kuda perang yang sedang bertaruh. Lalu tiba-tiba mereka berkata, ‘Kami memiliki nabi yang membawa wahyu dari langit!’ Kapan kami mengetahui hal ini? Demi Allah! kami tidak akan beriman sama sekali kepadanya dan tidak akan membenarkannya.”!
Abu Jahal pernah berkata, “Wahai Muhammad, sesungguhnya kami tidak pernah mendustakanmu akan tetapi kami mendustakan apa yang engkau bawa.” Lalu turunlah ayat:
“Sebenarnya mereka bukan mendustakanmu, tetapi Orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah.” (Al-An’am: 33)
Suatu ketika kaum kafir mempermainkan beliau dengan saling mengerling di antara mereka. Mereka melakukan itu hingga tiga kali. Pada ketiga kali, beliau menjawab, “Wahai kaum Quraisy, sungguh aku datang membawakan sembelihan untuk kalian.” Ucapan beliau ini berhasil mengalihkan konsentrasi mereka. Bahkan orang yang paling kasar di antara mereka, memberikan ucapan selamat kepada beliau dengan sebaik-baik ucapan yang pernah beliau dapatkan.
Ketika mereka melemparkan kotoran unta ke arah kepala beliau saat sedang sujud, beliau mendoakan kebinasaan atas mereka. Tawa yang tadinya menyeringai di bibir mereka berubah menjadi kegundahan dan kecemasan karena mereka yakin akan binasa.
Beliau mendoakan kebinasaan atas Utbah bin Abu Lahab. Orang ini masih yakin akan terjadinya apa yang didoakan oleh beliau terhadapnya. Maka, ketika dia melihat sekelompok singa, serta-merta dia bergumam, “Demi Allah, dia (Muhammad) telah membunuhku, padahal dia berada di Mekkah.” Ubay bin Khalaf pernah mengancam akan membunuh beliau, namun beliau menantangnya, “Akulah yang akan membunuhmu, insya Allah.” Maka, pada Perang Uhud, tatkala beliau berhasil mencederai Ubay di bagian lehernya, yakni goresan yang tidak terlalu melebar, Ubay berkomentar, “Sesungguhnya apa yang diucapkannya di Mekkah di hadapanku dulu, “Akulah yang akan membunuhmu?” telah terjadi. Demi Allah, andai dia meludah saja ke arahku niscaya, itu akan dapat membunuhku.”* Pembahasan tentang ini akan disajikan pada bahasan mendatang.
Saat berada di Mekkah Saad bin Muadz pernah berkata kepada Umayyah bin Khalaf, “Sungguh, aku telah mendengar Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya mereka—kaum Muslimin—telah memerangimu’.” Mendengar ini, dia tampak sangat takut dan berjanji untuk tidak akan keluar dari Mekkah.
Ketika dipaksa oleh Abu Jahal untuk berperang di Badar, dia membeli keledai yang paling bagus di Mekkah untuk digunakannya bila suatu ketika dapat kabur. Saat itu, istrinya berkata kepadanya, “Wahai Abu Shafwan, apakah engkau lupa apa yang dikatakan saudaramu dari Yatsrib tersebut?” Dia menjawab, “Demi Allah! bukan demikian, tetapi aku tidak akan mau berhadapan langsung dengan mereka, kecuali bila jaraknya memang sudah dekat.”
Demikianlah kondisi musuh-musuh Rasulullah. Adapun kondisi para sahabat dan rekan rekan beliau lain lagi; kedudukan beliau di sisi mereka ibarat ruh dan jiwa. Semua urusan beliau menempati hati dan mata mereka. Cinta yang tulus terhadap diri beliau mengalir terhadap beliau bak aliran air ke dataran rendah. Keterpikatan hati mereka terhadap beliau laksana tarikan magnet terhadap besi.
Oleh karena itu, sebagai implikasi dari rasa cinta dan siap mati ini membuat mereka tidak gentar bila leher harus terpenggal, kuku terkupas atau ditusuk oleh duri.
Suatu hari ketika di Mekkah, Abu Bakar bin Abi Quhafah pernah diinjak dan dipukul dengan keras. Di tengah kondisi seperti itu, Utbah bin Rabi’ah mendekatinya sembari memukulinya lagi dengan kedua terompahnya yang tebal dan menayangkannya ke arah wajahnya. Tidak cukup di situ, dia kemudian melompat di atas badannya dan jatuh tepat di atas perut Abu Bakar hingga wajahnya bonyok, tidak bisa diketahui lagi mana letak hidung dari wajahnya.
Setelah itu, dia diangkut dengan menggunakan bajunya oleh suku Bani Tamim kemudian dicampakkan ke rumahnya. Mereka sama sekali tidak menyangsikan bahwa dia pasti sudah tidak bernyawa. Saat hari beranjak sore, dia tersadar dan berbicara, “Apa yang terjadi terhadap diri Rasulullah?” Mereka mencibirnya dengan lisan mereka dan mengumpatinya, lalu berdiri dan berkata kepada ibunya, Ummul Khair, “Terserah, apa yang akan engkau lakukan; memberinya makan atau minum.”
Ketika sang ibu hanya tinggal berdua saja dengan anaknya, dia membujuknya agar mau makan atau minum. Tetapi, justru sang anak malah berkata, “Apa yang terjadi terhadap diri Rasulullah?”
Ibunya menjawab, “Demi Allah! aku tidak tahu sama sekali tentang sahabatmu itu.”
Dia berkata, “Kalau begitu, pergilah menjumpai Ummu Jamil binti Al-Khattab lalu tanyakanlah kepadanya.”
Sang ibu pergi keluar hingga sampai ke rumah Ummu Jamil, lantas berkata, “Sesungguhnya Abu Bakar bertanya kepadamu tentang Muhammad bin Abdullah.”
Dia menjawab, “Aku tidak kenal siapa Abu Bakar dan juga Muhammad bin Abdullah. Jika engkau ingin aku menyertaimu menemui anakmu, akan aku lakukan.”
Dia menjawab, “Ya.”
Akhirnya keduanya berlalu hingga akhirnya mendapati Abu Bakar dalam keadaan terkapar tak berdaya. Ummu Jamil mendekatinya seraya berteriak mengumumkan kepada orang banyak, “Demi Allah! sesungguhnya kaum yang melakukan tindakan ini terhadapmu adalah orang yang fasik dan kafir. Sungguh, aku berharap semoga Allah membalaskan untukmu terhadap mereka.”
Abu Bakar malah berkata lagi, “Apa yang terjadi terhadap diri Rasulullah?” Ummu Jamil berkata, “Ini ibumu ikut mendengarkan.”
“Tidak usah khawatir terhadapnya.”
“Beliau dalam kondisi sehat dan bugar.”
“Di mana beliau sekarang?”
“Ada di Dar Ibnu Al-Arqam.”
Abu Bakar berkata, “Aku bersumpah kepada Allah untuk tidak mencicipi makanan dan meminum minuman hingga aku mendatangi Rasulullah.” Keduanya mengulur-ulur waktu sejenak, hingga bila kondisi Abu Bakar sudah tenang dan Orang-orang mulai sepi, keduanya berangkat keluar membawanya dengan dipapah. Lalu keduanya mempertemukan dirinya dengan Rasulullah.”
Bentuk kecintaan yang demikian langka serta pengorbanan hidup seperti ini akan kami bahas pada beberapa bagian dari buku ini, terutama yang terjadi pada waktu Perang Uhud dan yang terjadi terhadap Khubaib dan semisalnya.
- Rasa tanggung jawab
Para sahabat menyadari secara penuh akan besarnya tanggung jawab yang dipikulkan ke pundak manusia. Tanggung jawab ini tidak dapat dielakkan dan diselewengkan bagaimanapun kondisinya sebab keteledoran dan lari dari rasa tanggung jawab ini memiliki implikasi yang sangat besar dan berbahaya daripada penindasan yang dirasakan oleh mereka. Kerugian yang diderita oleh umat manusia secara keseluruhan bila lari darinya, tidak dapat diukur dengan kesulitankesulitan yang mereka hadapi akibat dari beban yang ditanggung tersebut.
- Iman kepada Akhirat
Ini merupakan salah satu faktor yang menguatkan tumbuhnya rasa tanggung jawab tersebut. Mereka memiliki keyakinan yang kuat bahwa mereka akan dibangkitkan kelak menghadap Tuhan semesta alam, amal mereka diperhitungkan dengan sedetil-detilnya; besar dan kecilnya. Jadi, hanya ada dua pilihan; ke surga yang penuh dengan kesenangan atau ke neraka Jahim yang penuh dengan azab yang abadi.
Mereka menjalani kehidupan mereka antara rasa takut dan pengharapan; mengharapkan rahmat Tuhan mereka dan takut akan siksa-Nya.
Mereka adalah sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala:
“Dan Orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan (sedekah), dengan hati yang penuh rasa takut (karena mereka tahu) bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan-nya.” (Al-Mu’minun: 60)
Mereka mengetahui bahwa dunia dengan kesengsaraan dan kesenangan yang ada di dalamnya tidak akan bisa menyamai sepasang sayap nyamuk bila dibandingkan dengan kehidupan di Akhirat.
Pengetahuan mereka yang kuat tentang hal inilah yang meringankan mereka di dalam menghadapi kepayahan, kesulitan dan kepahitan yang ada di dunia, sehingga mereka tidak menyibukkan diri untuk mengoleksinya sebanyak mungkin bahkan terbetik di hati mereka pun tidak,
- Al Qur’an
Pada rentang waktu yang amat kritis dan sulit ini, turunlah surat-surat dan ayat-ayat Allah guna memberikan hujjah dan bukti atas kebenaran risalah Islam dan prinsip-prinsipnya di mana dakwah berada pada porosnya. Al-Qur’an tampil dengan gaya bahasa yang valid dan indah, mengarahkan kaum Muslimin kepada fondasi-fondasi yang kelak atas qadar Allah terbentuk komunitas manusia yang paling agung dan memesona di muka bumi ini, yaitu masyarakat Islam.
Surat-surat dan ayat-ayat tersebut juga amat membangkitkan sensitivitas dan ego kaum Muslimin untuk bersabar dan pantang menyerah, menguraikan sikap tersebut dengan bahasa permisalan dan menjelaskan kepada mereka apa hikmah di balik itu. Allah berfirman:
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji Orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui Orang-orang yang benar dan sesungguhnya, Dia mengetahui Orang-orang yang dusta. (Al-‘Ankabut: 29: 2-3)
Ayat-ayat tersebut juga mementahkan argumentasi-argumentasi kaum Kafir dan para pembangkang dengan bantahan yang membuat mereka mati kutu, sehingga tidak memiliki strategi lain untuk mengelak. Ayat-ayat tersebut sekali waktu juga memperingatkan mereka akan akibat yang fatal dari pembangkangan dan kesesatan dengan pemaparan yang jelas dan transparan, merujuk kepada hari-hari Allah (saat Dia menimpakan siksaan, kepada suatu kaum) dan peristiwa historis yang menunjukkan adanya sunnatullah terhadap para wali dan musuh-Nya. sekali waktu pula, menyapa mereka secara ramah, memfungsikan gaya bahasa dengan pertanyaan, petunjuk dan pengarahan, sehingga dengan itu mereka mau berpaling dari kesesatan nyata yang tengah mereka lakukan.
Al-Qur’an juga membimbing kaum Muslimin menuju alam lain, memperlihatkan mereka hal yang membuat hati mereka bergetar; pemandangan alam semesta, keindahan rububiyah, kesempurnaan uluhiyah, jejak-jejak rahmat dan kasih sayang serta keridhaan-Nya. Di balik ayat-ayat tersebut terdapat pesan-pesan untuk kaum Muslimin. Di sana, Tuhan memberitakan kabar gembira buat mereka berupa rahmat dan keridlaan-Nya serta surga yang telah disiapkan buat mereka, di dalamnya mereka mendapatkan kenikmatan abadi.
Ayat-ayat tersebut juga memberikan gambaran kepada mereka tentang bagaimana musuh-musuh mereka; kaum kafir dan para Thaghut yang zalim dihukumi dan diinterogasi lalu wajah mereka dijerembabkan ke api neraka, sehingga mereka merasakan betapa pedihnya neraka Saqar.
- Berita-berita Gembira tentang Kemenangan
Meskipun kaum Muslimin mengetahui akan berita-berita gembira ini, namun mereka juga mengetahui sejak pertama kali mengalami perlakukan kasar dan penindasan —bahkan sebelum itu bahwa masuk Islam bukan berarti tersingkirnya semua musibah dan kematian tersebut tetapi sejak awal lahirnya, dakwah Islamiyah bertujuan untuk mengakhiri dunia Jahiliyyah dan sistemnya yang zalim.
Mereka juga mengetahui bahwa buah dari hal itu di dunia ini adalah terbentangnya kekuasaan di atas muka bumi dan penguasaan terhadap kondisi politis di seluruh alam yang dapat menggiring umat manusia dan komunitas manusia secara keseluruhan ke dalam keridhaan Allah dan mengeluarkan mereka dari penyembahan terhadap hamba kepada penyembahan terhadap Allah semata. Sesekali Al-Qur’an turun dengan berita-berita gembira ini secara lantang dan terkadang berupa kinayah (sindiran). Maka, di dalam rentang waktu yang amat kritis seperti ini di mana bumi dirasakan sempit oleh kaum Muslimin, mencekik mereka bahkan seakan ingin mengakhiri kehidupan mereka; turunlah ayat-ayat tersebut sebagaimana yang dulu terjadi Di antara para Nabi dan kaum mereka berupa pendustaan dan pengingkaran.
Ayat-ayat tersebut berisi hal yang menyinggung kondisi-kondisi yang persis sama dengan kondisi-kondisi kaum Muslimin di Mekkah dan orang, orang kafir di sana. Ayat-ayat tersebut kemudian menyinggung peralihan kondisi berupa kebinasaan kaum kafir dan Orang-orang yang zalim dan kesuksesan hamba-hamba Allah di dalam mewarisi kekuasaan di muka bumi dan seluruh negeri. Di dalam kisah-kisah ini terdapat isyarat yang jelas akan kegagalan penduduk Mekkah nantinya dan kesuksesan kaum Muslimin dan dakwah Islamiyah yang mereka bawa.
Di dalam tenggang waktu tersebut turunlah beberapa ayat yang secara terang-terangan memberitakan kabar gembira, berupa kemenangan kaum Mukminin, sebagaimana di dalam beberapa firman-Nya berikut:
Firman-Nya, “Dan sesungguhnya telah tetap janji Kamit kepada hamba-hamba Kami yang menjadi rasul, (yaitu) sesungguhnya mereka itulah yang pasti mendapat pertolongan. Dan sesungguhnya tentara Kami itulah yang pasti menang. Maka berpalinglah kamu (Muhammad) dari mereka sampai suatu ketika. Dan lihatlah mereka, maka kelak mereka akan melihat (azab itu). Maka apakah mereka meminta supaya siksa Kami disegerakan. Maka apabila siksaan itu turun di halaman mereka, maka amat buruklah pagi hari yang dialami oleh Orang-orang yang diperingatkan itu.” (Ash-Shaffat: 171-177)
Firman-Nya, “Golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang.” (Al-Qamar: 45)
Firman-Nya, “Suatu tentara yang besar yang berada di sana dari golongan-golongan yang berserikat, pasti akan dikalahkan.” (Shad: 11)
Firman-Nya yang turun terhadap Orang-orang yang berhijrah ke Habasyah, “Dan Orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka adi dunia. Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui.? (An-Nahl: 41)
Firman-Nya tatkala mereka bertanya kepada beliau tentang kisah Nabi Yusuf: , “Sesungguhnya ada beberapa tanda-tanda kekuasaan Allah pada (kisah) Yusuf dan saudara-saudaranya bagi Orang-orang yang bertanya.” (Yusuf: 7), yakni penduduk Mekkah yang bertanya tersebut akan mengalami kegagalan sebagaimana yang pernah dialami oleh saudara-saudara Yusuf dan mereka akan menyerah sebagaimana mereka menyerah.
Firman-Nya tatkala mengingatkan para rasul, “Orang-orang kafir berkata kepada rasul-rasul mereka, ‘Kami sungguh-sungguh akan mengusir kamu dari negeri kami atau kamu kembali kepada agama kami.’ Maka Tuhan mewahyukan kepada mereka, ‘Kami pasti akan membinasakan Orang-orang yang zalim itu. Dan Kami pasti akan menempatkan kamu di negeri-negeri itu sesudah mereka. Yang demikian itu (adalah untuk) Orang-orang yang takut (akan menghadap) ke hadirat-Ku dan yang takut kepada ancaman-Ku.” (Ibrahim: 14)
Ketika perang berkecamuk antara bangsa Persia dan Romawi, kaum Kafir lebih senang bila bangsa Persia yang menang karena mereka memiliki kesamaan sifat, yaitu perbuatan syirik, sedangkan kaum Muslimin lebih cenderung bila kemenangan berada di pihak bangsa Romawi karena memiliki kesamaan sifat, yaitu beriman kepada Allah, para Rasul, wahyu, kitab-kitab, dan hari Akhir.
Kemenangan memang berada di pihak bangsa Persia, lalu Allah menurunkan ayat yang memberitakan kabar gembira bahwa bangsa Romawi akan mengalami kemenangan dalam beberapa tahun kemudian. Tidak sebatas itu, disebutkan pula kabar gembira lain secara terang-terangan, yaitu Allah akan menolong kaum Mukminin, sebagaimana di dalam firman-Nya: “Dan pada hari itu, kaum Mukminin bergembira dengan pertolongan Allah.” (Ar-Rum: 4-5)
Rasulullah sendiri sering menyampaikan kabar gembira seperti ini di sela waktu-waktu tertentu, saat datang musim haji dan berada di tengah Orang-orang di pasar Ukazh, Majinnah, dan Dzul Al-Majaz untuk menyampaikan risalah dakwah, beliau tidak hanya memberitakan kabar gembira tentang surga saja, tetapi secara lantang berkata kepada mereka, “Wahai manusia, ucapkanlah ‘La Ilaha illallah’, niscaya kalian akan beruntung, menguasai bangsa Arab, dan menundukkan Orang-orang asing. Jika kalian mati maka kalian akan menjadi raja di surga.”
Kami telah memaparkan sebelumnya jawaban Nabi kepada Utbah bin Rabi’ah berupa keinginannya untuk menegosiasi beliau dengan gemerlap duniawi, serta apa yang dipahami dan diharapkan olehnya terkait dengan kemenangan yang akan dicapai oleh Rasulullah Demikian pula, tentang jawaban Nabi terhadap delegasi terakhir yang mendatangi Abu Thalib.
Ketika itu beliau secara terus terang meminta kepada mereka satu rangkaian kata saja yang apabila mereka memberikannya, maka semua bangsa Arab akan tunduk kepada mereka dan mereka dapat menguasai Orang-orang asing.
Khabbab bin Al-Aratt berkata, “Aku mendatangi Nabi saat beliau tidur dengan berbaring di atas burdahnya dan berteduh di bawah naungan Kabah. Kami juga saat itu telah mengalami penyiksaan berat dari kaum musyrik. Lantas aku berkata, ‘Mengapa engkau tidak berdoa kepada Allah!’ Mendengar ucapan ini, beliau langsung duduk sedangkan raut wajahnya tampak memerah sembari berkata, ‘Sungguh, Orang-orang sebelum kalian pernah disayat dengan sayatan besi panas yang menusuk daging hingga mengenai tulang belulang dan urat. Akan tetapi hal itu semua tidak membuat mereka bergeming sedikit pun dari din mereka. Sungguh, Allah akan menyempurnakan urusan agama ini hingga seorang pejalan kaki berjalan dari Shan’a ke Hadramaut tidak ada yang ditakutkannya selain Allah Ta’ala. Periwayat hadits menambahkan penjelasan, “Dan tidak juga dia mengkhawatirkan kambingnya diterkam serigala. Dan dalam riwayat yang lain disebutkan tambahan, “Namun, kalian terburu-buru.”
Kabar-kabar gembira tersebut tidak ditutup-tutupi dan terselubung, akan tetapi dipublikasikan secara terbuka dan diketahui baik oleh Orang-orang kafir maupun kaum Muslimin. Indikasinya, Al-Aswad bin Mutholib dan rekan-rekan mengobrolnya saling mengedip-ngedipkan mata di antara sesama mereka bila melihat para sahabat Nabi melintasi mereka, sembari berkata, “Raja-raja bumi yang akan mewarisi kekaisaran Persia dan kekaisaran Romawi sudah datang kepada kalian.” Kemudian mereka bersiul-siul dan bertepuk tangan.!!
Dengan adanya kabar-kabar gembira tentang masa depan yang akan cemerlang di dunia diselai oleh pengharapan yang tulus dan sungguh-sungguh akan kemenangan menggapai surga sebagai hasil akhirnya kelak, para sahabat memandang bahwa penindasan yang beraneka ragam dan silih berganti dari semua lini tersebut serta musibah-musibah yang mengepung mereka dari segala penjuru hanyalah sebagai ‘gumpalan awan musim panas yang dalam sekejap akan sirna.’
Demikianlah, Rasulullah senantiasa menyuguhkan santapan rohani kepada mereka dengan rangsangan keimanan; menyucikan jiwa mereka dengan mengajarkan Al-Hikmah (hadits) dan Al-Qur’an; mendidik mereka dengan pendidikan yang detail dan mendalam; mendorong jiwa mereka agar menduduki keluhuran ruh, kemurnian hati, kebersihan budi pekerti, bebas dari pengaruh materialistik, pembendungan terhadap hawa nafsu serta kembali kepada Tuhan bumi dan langit; mengasah bara di hat mereka; mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju nur; mengajak mereka bersabar terhadap semua gangguan, memiliki sifat pemaaf serta menundukkan jiwa.
Dengan gemblengan semacam itu, mereka menjadi bertambah kukuh di dalam agama, menjauhkan diri dari hawa nafsu, siap mengorbankan jiwa di jalan yang diridhai oleh-Nya, merindukan surga, berkemauan kuat untuk menuntut ilmu dan memahami agama, mengintrospeksi jiwa dan menundukkan sentimen-sentimen yang tumbuh, mengalahkan perasaan-perasaan dan gejolak-gejolak jiwa serta selalu mengikat diri dengan kesabaran, kedamaian dan ketenangan.
Rasulullah di Kota Thaif
Pada bulan Syawal tahun 10 dari kenabian, atau tepatnya pada penghujung bulan Mei atau Juni 619 M, Rasulullah keluar menuju Thaif yang letaknya sekitar 60 mil dari kota Mekkah. Beliau pergi ke sana dengan berjalan kaki, didampingi Zaid bin Haritsah, yang saat itu masih menjadi budak. Setiap melewati perkampungan sebuah kabilah, beliau mengajak mereka kepada Islam, namun tidak ada seorang pun yang menyambut ajakan beliau.
Tatkala tiba di Thaif, beliau mendekati tiga orang bersaudara yang merupakan para pemuka kabilah Tsaqif. Mereka adalah Abd Yalail, Mas’ud dan Habib. Ayah mereka bernama ‘Amru bin Umair Ats-Tsaqafi. Beliau duduk-duduk bersama mereka sembari mengajak mereka kepada Allah dan membela Islam.
Salah seorang dari mereka berkata, “Jika Allah benar-benar mengutusmu, itu berarti Dia telah merobek-robek kiswah Kabah.” Orang kedua berkata, “Apakah Allah tidak menemukan orang lain selain dirimu?” Orang terakhir berkata, “Demi Allah, aku sekali-kali tidak akan mau berbicara denganmu! Jika memang engkau seorang rasul tentu engkau adalah bahaya besar bila aku menjawab pertanyaanmu dan jika engkau seorang pendusta terhadap Allah, maka tidak patut pula aku berbicara denganmu.” Lalu beliau berkata kepada mereka, “Bila memang itu yang menjadi keputusan kalian, rahasiakanlah tentang diriku.”
Rasulullah tinggal di tengah penduduk Thaif selama sepuluh hari. Dan selama masa itu, dia tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bertemu dan berbicara dengan para pemuka mereka. Namun, jawaban mereka hanyalah, “Keluarlah dari negeri kami.” Mereka membiarkan beliau menjadi bulan-bulanan Orang-orang bodoh di kalangan mereka. Ketika beliau hendak meninggalkan negeri tersebut, Orang-orang bodoh itu beserta budak-budak mereka mencaci maki dan meneriaki beliau, hingga membuat banyak orang berkumpul. Mereka menghadang beliau dengan membuat dua barisan lalu melempari beliau dengan batu dan ucapan-ucapan tak senonoh serta mengarahkannya ke urat di atas tumit beliau, sehingga kedua sandal beliau bersimbah darah.
Zaid bin Haritsah yang bersama beliau, menjadikan dirinya sebagai perisai untuk membentengi diri beliau. Tindakan ini mengakibatkan kepalanya mengalami luka-luka, sedangkan Orang-orang tersebut terus melakukan itu hingga memaksanya berlindung ke tembok milik Utbah dan Syaibah, dua orang putra Rabi’ah yang terletak 3 mil dari kota Thaif. Ketika sudah berlindung di sana, mereka pun meninggalkan Rasulullah.
Beliau menghampiri sebuah pohon anggur lalu duduk-duduk dan berteduh di bawah naungannya menghadap ke tembok. Setelah duduk dan merasa tenang kembali, beliau berdoa dengan sebuah doa yang amat masyhur. Doa yang menunjukkan betapa hati beliau dipenuhi rasa duka sekaligus sedih terhadap sikap keras yang dialaminya serta menyayangkan tidak adanya seorang pun yang beriman.
Beliau mengadu, “Ya Allah, hanya kepada-Mu aku mengadu kelemahan diriku, sedikitnya upayaku serta hinanya diriku di hadapan manusia. Wahai Dzat Yang Paling Pengasih di antara para pengasih! Engkau adalah Tuhan Orang-orang yang lemah, Engkaulah Tuhanku, kepada siapa lagi Engkau menyerahkan diriku? Apakah kepada orang yang jauh tetapi bermuka masam terhadapku? Atau kepada musuh yang telah menguasai urusanku? Jika Engkau tidak murka kepadaku, maka aku tidak ambil peduli.
Akan tetapi, ampunan yang Engkau anugerahkan adalah lebih luas bagiku. Aku berlindung dengan perantaraan cahaya wajah-Mu yang menyinari segenap kegelapan dan yang karenanya urusan dunia dan akhirat menjadi baik agar Engkau tidak turunkan murka-Mu kepadaku atau kebencian-Mu melanda diriku. Engkaulah yang berhak menegurku hingga Engkau menjadi ridha. Tidak ada daya serta kemampuan melainkan karena perkenan-Mu.”
Kedua putra Rabi’ah yang menyaksikan hal itu menjadi tergerak hatinya, sehingga mereka memanggil Addas, seorang hamba yang beragama Nasrani dan mengabdi kepada mereka, dan berkata kepadanya, “Ambillah setangkai anggur ini dan bawakan untuk orang tersebut.” Tatkala dia menaruhnya di antara kedua tangan Rasulullah, beliau mengulurkan tangannya untuk menerimanya sembari membaca, “Bismillah” lalu memakannya.
Addas berkata, “Sesungguhnya ucapan ini tidak biasa diucapkan oleh penduduk negeri ini. Lantas Rasulullah bertanya kepadanya, “Kamu berasal dari negeri mana? Dan apa agamamu?” Dia menjawab, “aku seorang Nasrani dari penduduk Ninawi (Nineveh).” Rasulullah berkata lagi, “Dari negeri seorang saleh bernama Yunus bin Matta?” Orang tersebut berkata, “Apa yang kamu ketahui tentang Yunus bin Matta?” Beliau menjawab, “Dia adalah saudaraku, seorang yang dulunya adalah nabi, demikian pula dengan diriku.” Addas langsung merengkuh kepala Rasulullah, kedua tangan dan kedua kakinya lalu diciuminya. Sementara itu, salah seorang dari dua putra Rabi’ah berkata kepada yang lain, “Budakmu itu telah dibuatnya menentangmu.”
Tatkala Addas datang, keduanya berkata kepadanya, “Celakalah dirimu! Apa yang terjadi dengan dirimu ini?”
“Wahai Tuanku, tidak ada sesuatu pun di muka bumi ini yang lebih baik dari orang ini! Dia telah memberitahukan kepadaku suatu hal yang hanya diketahui oleh seorang Nabi,” jawabnya. “Celakalah dirimu, wahai ‘Addas! Jangan biarkan dia memalingkanmu dari agamamu sebab agamamu lebih baik daripada agamanya,” kata mereka berdua.
Setelah keluar dari tembok tersebut, Rasulullah pulang menuju Mekkah dengan perasaan getir dan sedih serta hati yang hancur lebur. Tatkala sampai di suatu tempat yang bernama Qarn Al-Manazil, Allah mengutus Jibril kepadanya bersama malaikat penjaga gunung yang menunggu perintahnya untuk meratakan Al-Akhasyabain (dua gunung di Mekkah, yaitu gunung Qubais dan yang di seberangnya, Qu’aiqa’an) terhadap penduduk Mekkah.”
Imam Al-Bukhari meriwayatkan rincian kisah ini dengan sanadnya dari Urwah bin Az-Zubair bahwasanya Aisyah w bercerita kepadanya bahwa dia pernah berkata kepada Nabi az, “Apakah engkau menghadapi suatu hari yang lebih berat daripada Perang Uhud?” Beliau bersabda, “Aku pernah mendapatkan perlakuan kasar dari kaummu, tetapi perlakuan mereka yang paling berat adalah pada waktu di Aqabah ketika aku menawarkan diriku kepada Ibnu Abdu Yalail bin Abdu Kallal tetapi dia tidak menanggapi keinginanku, sehingga aku beranjak dari sisinya dalam kondisi bermuram duka karena sedih. Ketika itu, aku belum tersadarkan kecuali sudah di dekat Qarn Ats-Tsa’alib (sekarang disebut Qarn Al. Manazil). Waktu aku mengangkat kepalaku, tiba-tiba datang segumpal awan menaungiku, lalu aku melihat ke arahnya dan ternyata di sana ada Jibril yang memanggilku. Dia berkata, “Sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaummu kepadamu dan reaksi mereka terhadapmu. Allah telah mengutus kepadamu malaikat penjaga gunung untuk engkau perintahkan kepadanya sesuai keinginanmu terhadap mereka.”
Malaikat penjaga gunung tersebut memanggilku sembari memberi salam kepadaku, kemudian berkata, “Wahai Muhammad! Hal itu terserah padamu; jika engkau menginginkan aku meratakan mereka dengan Al-Akhasyabain, maka akan aku lakukan.” Nabi menjawab, “Bahkan aku berharap kelak Allah memunculkan dari tulang rusuk mereka Orang-orang yang menyembah Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun.”
Melalui jawaban yang diberikan oleh Rasulullah ini tampaklah sosok unik yang tiada duanya dari kepribadian dan akhlak beliau yang demikian agung yang sulit dicari bandingannya.
Rasulullah tersadar dan hatinya merasa tenteram berkat pertolongan gaib yang diberikan oleh Allah kepadanya dari atas tujuh langit. Kemudian beliau meneruskan perjalanan hingga sampai ke lembah Nakhlah dan berdiam di sana selama beberapa hari. Di lembah Nakhlah tersebut terdapat dua tempat yang cocok untuk didiami, yaitu As-Sail Al-Kabir dan Az-Zimah, sebab di sana terdapat sumber air dan subur. Namun, kami belum menemukan sumber yang berhasil memastikan di mana tepatnya letak tempat yang pernah didiami oleh Rasulullah tersebut.
Selama beliau berada di sana, Allah mengutus kepada beliau sekelompok jin yang kisahnya diabadikan di dalam Al-Qur’an pada dua tempat, yaitu di dalam surat Al-Ahqaf (ayat 29-31):
Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan sekelompok jin kepadamu yang mendengarkan Al Qur’an, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan(nya) lalu mereka berkata: “Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)”. Ketika pembacaan telah selesai, mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan. Mereka berkata: “Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan Kitab (Al Qur’an) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan Kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kalian dan melepaskan kalian dari azab yang pedih.” Juga, di dalam surat Al-Jinn (ayat 1-2):
Katakanlah (hai Muhammad): “Telah diwahyukan kepadamu bahwasanya: telah mendengarkan sekumpulan jin (akan Al Qur’an), lalu mereka berkata: Sesungguhnya Kami telah mendengarkan Al Qur’an yang menakjubkan, (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu Kami beriman kepadanya. dan Kami sekali-kali tidak akan menyekutukan seorang pun dengan Tuhan Kami, hingga ayat ke-15.
Dari alur cerita di dalam ayat-ayat tersebut, demikian pula dari riwayat-riwayat yang menafsirkan kejadian itu, dapat disimpulkan bahwa Nabi tidak mengetahui kehadiran sekelompok jin tersebut saat mereka hadir dan mendengarkan. Beliau hanya mengetahuinya ketika Allah memberitahukannya dengan perantaraan ayat-ayat tersebut. Kehadiran bangsa jin ini adalah untuk yang pertama kalinya namun berdasarkan alur cerita ayat-ayat tersebut juga diketahui bahwa setelah itu mereka sering kali datang.
Kejadian ini merupakan kemenangan lainnya yang dianugerahkan oleh Allah dari simpanan gaibnya yang tersembunyi, yaitu tentara-tentaranya yang hanya Dia saja yang mengetahuinya.
Di samping itu, ayat-ayat yang turun terkait dengan kejadian tersebut di dalamnya terdapat berita-berita gembira tentang kemenangan dakwah Nabi dan tidak akan ada suatu kekuatan pun di muka bumi ini yang mampu menghalanginya. Allah berfirman:
“Dan orang yang tidak menerima (seruan) orang yang menyeru kepada Allah maka dia tidak akan melepaskan diri dari azab Allah di muka
bumi dan tidak ada baginya pelindung selain Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (Al-Ahqaf: 32)
“Dan sesungguhnya kami mengetahui, bahwa kami sekali-kali tidak akan dapat melepaskan diri (dari kekuasaan) Allah di muka bumi dan sekali-kali tidak (pula) dapat melepaskan diri (dari)Nya dengan berlari.” (Al-Jinn: 12)
Berkat adanya kemenangan dan kabar-kabar gembira tersebut, gumpalan awan kegetiran, kesedihan dan keputusasaan yang semula mengungkung beliau sejak keluar dari Thaif karena diusir dan ditolak menjadi sirna sudah, sehingga beliau membulatkan tekad untuk kembali ke Mekkah guna memulai langkah baru di dalam menawarkan Islam dan menyampaikan risalah Allah yang abadi dengan semangat baru dan penuh vitalitas. Ketika itu, Zaid bin Haritsah berkata kepada beliau, “Bagaimana mungkin engkau menemui mereka kembali, sedangkan mereka telah mengusirmu?” Beliau menjawab, “Wahai Zaid, sesungguhnya Allah akan menjadikan apa yang engkau lihat sebagai kemudahan dan jalan keluar.
Sesungguhnya Allah akan menolong din-Nya dan akan memenangkan nabi-Nya.
Rasulullah meneruskan perjalanannya menuju Mekkah hingga ketika sudah mendekat, beliau tinggal di Hira’ sembari mengutus seseorang dari suku Khuza’ah agar mendatangi Al-Akhnas bin Syuraiq guna meminta suakanya. Lalu dia (Al-Akhnas) berkata, “Aku ini adalah sekutumu, maka seorang sekutu tidak memberikan suaka.”
Kemudian beliau mengutus utusannya tersebut kepada Suhail bin ‘Amru, lalu dia berkata, “Sesungguhnya Bani Amir tidak memberikan suaka kepada Bani Ka’ab.”
Lalu beliau mengutus utusannya tersebut kepada Al-Muth’im bin Adi, maka berkatalah ia, “Ya.” Kemudian dia mengenakan senjata dan mengajak anak-anak dan kaumnya seraya berkata, “Pakailah senjata dan jadilah kalian fondasi Baitullah, karena sesungguhnya aku telah memberikan suaka kepada Muhammad.” Dia kemudian mengutus seseorang menemui Rasulullah agar dipersilakan menemui dirinya, Lalu Rasulullah pun masuk menemuinya bersama Zaid bin Haritsah hingga sampai ke Masjidil Haram. Di sana, Al-Muth’im bin Adi sedang berada di atas tunggangannya sembari berseru, “Wahai kaum Quraisy, sesungguhnya aku telah memberikan suaka kepada Muhammad, maka janganlah ada seorang di antara kalian yang mengejeknya.”
Rasulullah dibimbing hingga sampai ke Rukun Yamani (salah satu pojok Kabah) lalu beliau menyentuhnya. Selanjutnya beliau melakukan tawaf, shalat dua rakaat kemudian pulang ke rumahnya, sementara Al-Muth’im bin Adi dan anak-anaknya masih siap siaga dengan senjata hingga beliau benar-benar memasuki rumahnya.
Ada riwayat yang menyebutkan bahwa Abu Jahal ketika itu menanyai Al-Muth’im, “Benarkah engkau sebagai seorang pemberi suaka atau pengikut (alias sudah masuk Islam)?”
Dia menjawab, “Benar, tetapi aku hanya seorang pemberi suaka.”
Lalu Abu Jahal berkata kepadanya, “Kalau begitu, kami telah memberikan suaka kepada orang yang telah engkau berikan suaka tersebut.”
Rasulullah tidak pernah lupa kebaikan yang dibuat oleh Al-Muth’im terhadap dirinya tersebut, maka beliau pernah berkata saat di tengah tawanan Perang Badar, “Andai kata Al-Muth’im masih hidup kemudian dia berbicara kepadaku guna menebus mereka, niscaya akan aku serahkan urusannya kepadanya.”
Pada bulan Dzulqadah tahun 10 dari kenabian bertepatan dengan p akhir bulan Juni atau awal bulan Juli 619 M, Rasulullah kembali ke Mekkah untuk mulai menawarkan Islam kepada kabilah-kabilah dan perseorangan. Semakin dekat datangnya musim haji, maka Orang-orang yang datang ke Mekkah semakin banyak, baik dengan berjalan kaki maupun mengendarai unta yang kurus! dari seluruh penjuru yang jauh guna melaksanakan ibadah haji dan menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka serta menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan. Rasulullah menggunakan kesempatan baik ini dengan mendatangi kabilah demi kabilah dan menawarkan Islam kepada mereka serta mengajak mereka masuk ke dalamnya sebagaimana yang pernah beliau lakukan sejak tahun keempat dari kenabian. Pada tahun kesepuluh ini beliau mulai meminta kepada mereka agar menampung, menolong serta melindunginya hingga beliau dapat menyampaikan wahyu Allah.
Kabilah-Kabilah yang Ditawari Islam
Az-Zuhri berkata, “Di antara nama-nama kabilah yang disebutkan kepada kami, yang didatangi oleh Rasulullah dan diajak serta ditawarkan oleh beliau adalah Bani Amir bin Sha’sha’ah, Muharib bin Khasfah, Fazarah, Ghassan, Murrah, Hanifah, Sulaim, Abs, Bani Nashr, Bani Al-Buka’, Kindah, Kalb, Al-Harits bin Ka’ab, ‘Adzrah dan Hadlarimah. Namun, tidak seorang pun dari mereka yang menyambut seruan beliau.
Penawaran Islam kepada kabilah-kabilah yang disebutkan oleh Az. Zuhri tersebut tidak dilakukan dalam tahun atau musim yang sama akan tetapi itu terjadi antara tahun keempat dari kenabian hingga akhir musim sebelum peristiwa hijrah. Kapan persisnya penawaran Islam kepada setiap kabilah adalah hal tidak memungkinkan. Akan tetapi, ada beberapa kabilah yang oleh Al-Manshurfuri dipastikan mereka ditawari Islam pada tahun 10 dari kenabian.
Ibnu Ishaq menyebutkan metode penawaran dan sikap mereka terhadapnya, dan berikut ini adalah ringkasannya:
- Bani Kalb Nabi datang sendiri ke perkampungan mereka, yang juga disebut Bani Abdullah. Beliau menyeru mereka kepada Allah dan menawarkan langsung kepada mereka. Beliau bersabda kepada mereka, “Wahai Bani Abdullah! Sesungguhnya Allah telah membaguskan nama bapak kalian.” Namun, mereka tetap menolak apa yang ditawarkan itu.
- Bani Hanifah Beliau. mendatangi mereka di rumah-rumah mereka dan mendakwahi mereka kepada Allah. Beliau sendiri yang menawarkan kepada mereka namun tak seorang pun dari kalangan bangsa Arab yang penolakannya lebih buruk daripada penolakan mereka.
- Bani Amir bin Sha’sha’ah Beliau mendatangi mereka dan mendakwahi mereka kepada Allah. Beliau sendiri juga yang datang menawarkan. Buhairah bin Firas, salah seorang pemuka mereka berkata, “Demi Allah, andaikan aku dapat menculik pemuda ini dari tangan orang Quraisy, tentu Orang-orang Arab akan melahapnya.” Kemudian dia melanjutkan, “Apa pendapatmu jika kami berbaiat kepadamu untuk mendukung agamamu, kemudian Allah memenangkan dirimu dalam menghadapi Orang-orang yang menentangmu, apakah kami mempunyai kedudukan sepeninggalmu?”
Beliau menjawab, “Kedudukan itu terserah kepada Allah, Dia menempatkannya sesuai kehendak-Nya.”
Buhairah berkata, “Apakah kami harus menyerahkan batang leher kami kepada Orang-orang Arab sepeninggalmu? Kalau pun Allah memenangkanmu, pasti kedudukan itu juga akan jatuh kepada selain kami. Jadi kami tidak membutuhkan agamamu.” Maka, mereka pun enggan menerima ajakan beliau.
Tatkala Bani Amir pulang, mereka bercerita kepada seorang yang sudah tua dari kabilah mereka yang tidak dapat berangkat ke Mekkah karena usianya yang sudah lanjut. Mereka memberitahukan kepadanya, “Ada seorang pemuda Quraisy dari Bani Abdul Mutholib menemui kami yang mengaku nabi. Dia mengajak kami agar sudi melindunginya, bersama-sama dengannya dan pergi ke negeri kami bersamanya.”
Orang tua itu menggayutkan kedua tangannya di atas kepala sembari berkata, “Wahai Bani Amir, adakah sesuatu milik Bani Amir yang tertinggal? Adakah seseorang yang mencari barangnya yang hilang? Demi diri fulan yang ada di Tangan-Nya, itu hanya diucapkan oleh keturunan Ismail. Itu adalah suatu kebenaran. Manakah pendapat yang dahulu pernah kalian kemukakan?”
Orang-orang yang Beriman selain Penduduk Mekkah
Selain menawarkan Islam kepada berbagai kabilah dan utusan, Rasulullah menawarkannya kepada perorangan secara langsung. Di antara mereka ada yang menolaknya secara baik-baik dan ada pula beberapa orang yang beriman tak lama kemudian setelah musim haji. Di antara mereka adalah:
- Suwaid bin Shamit
Dia adalah seorang penyair yang cerdas, salah seorang penduduk Yatsrib. Dia dijuluki Al-Kamil (orang yang sempurna) oleh kaumnya, Julukan ini diberikan karena faktor warna kulitnya, syairnya, kehormatan dan nasabnya. Dia datang ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji atau umrah. Lalu Rasulullah, mengajaknya masuk Islam. Dia berkata, “Sepertinya apa yang ada padamu sama dengan apa yang ada padaku.” Lalu Rasulullah berkata kepadanya, “Apa yang ada padamu?” Dia menjawab, “Hikmah Luqman.” Beliau berkata lagi, “Bacakan kepadaku!” Dia pun membacakannya, maka Rasulullah pun berkata, “Sesungguhnya ucapan ini indah, tetapi apa yang aku bawa lebih indah lagi daripada ini; ialah Qur’an yang diturunkan oleh Allah kepadaku. Ia adalah petunjuk dan cahaya.”
Kemudian beliau membacakan ayat-ayat Al-Qur’an kepadanya dan mengajaknya untuk memeluk Islam. Dia menerimanya dan masuk Islam. Dia berkomentar, “Sesungguhnya ini memang benar lebih indah.” Setelah tidak berapa lama tinggal di Madinah, dia terbunuh pada perang yang terjadi antara suku Aus dan Khazraj sebelum Perang Bu’ats. Dia masuk Islam pada permulaan tahun 11 dari kenabian.
- Ilyas bin Muadz
Dia seorang pemuda belia dari penduduk Yatsrib, yang datang ke Mekkah bersama rombongan utusan dari Aus, dengan tujuan mencari sekutu dari Quraisy bagi kaumnya untuk menghadapi Khazraj. Hal ini terjadi sebelum meletus perang Bu’ats pada permulaan tahun kesebelas hijrah dari kenabian. Sebab, bara permusuhan dan perselisihan antara kedua kabilah ini sewaktu-waktu dapat meledak, padahal jumlah penduduk Aus lebih sedikit daripada Khazraj. Tatkala mengetahui kedatangan mereka, beliau datang menghampiri dan menawarkan Islam. Beliau berkata kepada mereka, “Apakah kalian mau memiliki sesuatu yang lebih baik bagi kalian daripada yang kalian bawa ke sini?” Mereka menjawab, “Ya, apa itu?” Beliau bersabda, “Aku adalah Rasulullah, Dia mengutusku kepada para hamba-Nya, mengajak mereka untuk beribadah kepada Allah dan tidak berbuat syirik terhadap-Nya dengan sesuatu pun, dan diturunkan kepadaku Al-Qur’an.” Kemudian beliau menyebutkan kepada mereka tentang Islam dan membacakan Al-Qur’an.
Salah seorang di antara mereka, yaitu Iyas bin Muadz berkata, “Wahai kaumku! Demi Allah, ini memang lebih baik dari apa yang kalian bawa.” Lalu Abu Al-Haysar, Anas bin Rafi’ -salah seorang yang ikut dalam utusan tersebut mengambil segumpal tanah Al-Bathha’ (sebuah tempat di Mekkah) dan melemparkannya ke arah wajah Iyas sembari berkata, “Menjauhlah dari kami, sungguh kami datang bukan untuk tujuan ini.” Iyas terdiam, sedangkan Rasulullah berdiri. Mereka pun pulang ke Madinah dan tidak sukses mengadakan persekutuan dengan kaum Quraisy.
Setelah mereka tiba di Yatsrib, tak berapa lama Iyas meninggal dunia. Selama ini dia senantiasa bertahlil, bertakbir, bertahmid, dan bertasbih hingga meninggal dunia. Mereka tidak meragukan bahwa dia telah masuk Islam.
- Abu Dzar Al-Ghifari
Dia termasuk penduduk pinggiran Yatsrib. Tatkala kabar tentang diutusnya Nabi telah menyebar di Yatsrib yang dibawa oleh Suwaid bin Shamit dan Iyas bin Muadz, kabar ini pun akhirnya juga sampai ke telinga Abu Dzar. Dari sinilah sebab keislamannya.
Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang berkata, “Abu Dzar berkata, ‘Aku seorang laki-laki dari suku Ghifar. Berita tentang adanya seorang yang muncul di Mekkah mengaku sebagai Nabi telah sampai kepada kami. Lalu aku berkata kepada saudaraku, ‘Berangkatlah menemui orang itu dan berbicaralah dengannya, lalu ceritakan kepadaku tentang beritanya.’
Dia pun berangkat lalu bertemu dengan beliau kemudian pulang kembali. Lantas aku bertanya kepadanya, ‘Apa berita yang engkau bawa?’ Dia berkata, ‘Demi Allah! Sungguh aku telah melihat orang yang mengajak kepada kebaikan dan melarang kejahatan.’ Aku bertanya lagi kepadanya, ‘Berita yang engkau bawa belum memuaskanku.’ Aku pun mengambil tas dan tongkat kemudian berangkat ke Mekkah tapi aku seolah-olah tidak mau tahu urusannya dan tidak suka bertanya tentang dirinya. Aku sedang minum air zamzam dan berada di Masjid Al-Haram, tiba-tiba Ali melewatiku sembari menegur, ‘Sepertinya Anda orang asing?’ Aku menjawab, ‘Ya, Benar.’
Dia kemudian pulang ke rumahnya sementara aku ikut bersamanya tetapi dia tidak bertanya sepatah kata pun kepadaku selama dalam perjalanan. Aku juga tidak bertanya kepadanya dan tidak pula memberitahukannya. Pada pagi esok harinya, aku datang ke Masjid Al-Haram untuk bertanya kepadanya tentang beliau, Tidak seorang pun yang memberitahukan kepadaku tentang dirinya. Lalu Ali kembali melewatiku sembari bertanya, ‘Apakah Anda masih belum tahu di mana rumahnya?’ Aku menjawab, ‘Belum.’ Dia berkata, ‘Berangkatlah bersamaku!’ Dia berkata kepadaku, ‘Apa urusanmu? Apa maksud kedatanganmu di negeri ini?” Aku memberitahukannya, ‘Jika engkau mau merahasiakannya maka aku akan jelaskan.’ Dia berkata, ‘Aku setuju.’ Lalu aku bercerita, ‘Telah sampai berita kepada kami bahwa ada seorang laki-laki yang muncul di sini mengaku sebagai Nabi Allah, lalu aku utus seseorang untuk berbicara dengannya, dia pun pulang tetapi informasinya tidak memuaskanku karenanya sekarang aku ingin menemuinya langsung.’
Ali berkata kepadanya, ‘ Engkau memang sudah mendapat petunjuk. Wajahku ini menghadap ke arahnya, masuklah sebagaimana aku masuk karena bila aku melihat seseorang yang aku khawatirkan akan mencelakaimu, aku akan minggir ke tembok seolah-olah tengah memperbaiki sandalku, sedangkan kamu teruslah berjalan. Ali pergi dan aku ikut bersamanya hingga dia memasuki rumah. Aku masuk bersamanya menghadap Nabi. Lalu aku berkata kepada beliau, ‘Jelaskan kepadaku tentang Islam!’ Beliau menjelaskannya. Lalu aku seketika itu masuk Islam. Beliau berkata kepadaku, ‘Wahai Abu Dzar, rahasiakanlah urusan ini dan kembalilah ke negerimu! Bila engkau telah mendengar kemenangan kami, maka datanglah kembali.’ Maka, aku berkata, ‘Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan kebenaran! Sungguh aku akan secara lantang mengatakannya di hadapan mereka.’ Aku kemudian pergi ke masjid Al-Haram sementara kaum Quraisy ada di sana. Aku berkata kepada mereka, ‘Wahai kaum Quraisy, aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hamba dan Rasul-Nya.’
Mereka berkata, ‘Cegah penganut shabiah (sebutan mereka terhadap agama baru, Islam) ini!’ Mereka pun mencegahnya. Aku dipukul hingga hampir mati lalu ada Al-Abbas mendapatiku dan melindungiku. Mereka mendatanginya tetapi dia berkata kepada mereka, ‘Celakalah kalian! Apakah kalian akan membunuh seorang pemuda dari suku Ghifar, padahal jalur perdagangan dan lintasan kalian melewati perkampungan mereka? Mereka akhirnya melepaskanku. Esoknya, aku pun kembali mengulangi apa yang aku ucapkan kemarinnya, mereka pun melakukan hal yang sama. Lalu Al-Abbas kembali mendapatiku dan melindungiku dan mengatakan kepada mereka apa yang dikatakannya kemarinnya.”
- Thufail bin Amru Ad-Dausi
Ia adalah seorang lelaki mulia, penyair handal, dan ketua kabilah Daus, kabilahnya memiliki pemerintahan atau semi pemerintahan di beberapa bagian di Yaman. Ia masuk ke Mekkah tahun kesebelas dari kenabian. Sebelum tiba di Mekkah, ia sudah disambut oleh kerabatnya di Mekkah. Mereka rela mengeluarkan banyak biaya untuk penyambutan tersebut agar meriah. Mereka berkata kepada Tufail, “Wahai Tufail, kini engkau telah pun berada di bumi kami. Kami hendak memperingatkan kepadamu mengenai seorang lelaki, yang telah tampil ke depan dan menimbulkan permasalahan yang berat di kalangan kami. Ia telah memecah belah persatuan di antara kami, memorak-porandakan penghidupan kami. Ucapannya seperti hembusan sihir yang menceraikan di antara bapak dan anak lelakinya, antara seseorang dan kawannya, di antara suami dan istri. Kami khawatir bila nanti terjadi kepadamu seperti apa yang terjadi pada kami. Untuk itu, janganlah berbicara dengannya.”
Thufail menuturkan, “Demi Allah, mereka terus mengacaukan pemikiranku dengan ucapan-ucapan seperti itu hingga akhirnya aku memutuskan untuk tidak mendengar apa pun kata mereka. Bahkan dalam perjalanan ke masjid, aku menyumbat telingaku dengan kapas. Saat aku sampai di masjid, aku melihat Muhammad sedang shalat di sisi Kabah. Aku pun berdiri di dekatnya. Allah menghendaki agar aku mendengar sebagian ucapannya. Dan aku mendengar kata-kata yang baik. Aku berkata dalam hatiku sendiri, “Demi ibuku yang melahirkan diriku, demi Allah, aku ini penyair handal. Aku bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Apa yang menghalangiku untuk mendengar ucapan lelaki ini? Bila kata-katanya memang baik, aku bisa menerimanya. Namun, bila buruk, aku bisa meninggalkannya begitu saja.
Aku diam saja dan ketika beliau beranjak pulang, aku mengikutinya. Ketika beliau masuk rumah, aku juga ikut masuk. Dan aku menceritakan kepadanya tentang kedatanganku, bagaimana Orang-orang menakut-nakutiku, aku menyumbat telingaku dengan kapas, dan mendengarkan sebagian ucapan beliau. Aku lalu berkata kepada beliau, “Jelaskanlah agamamu kepadaku.”
Beliau pun menjelaskan Islam dan membacakan Al-Qur’an di depanku. Demi Allah, sesungguhnya aku tidak pernah mendengar kata-kata yang lebih bagus daripada kata-katanya dan tidak pernah kutemukan agama yang lebih adil daripada itu. Seketika itu pula aku memeluk Islam dengan mengucap dua kalimat syahadat dengan sebenarnya. Aku berkata kepada beliau, ‘Aku ini orang yang dipatuhi di kalangan kaumku. Hari ini aku akan pulang menemui mereka dan menyeru mereka kepada Islam. Karena itu, wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar mengaruniakan sebuah bukti sebagai penguat. Maka Rasulullah pun berdoa untukku.
Maka Allah mengaruniakan bukti kepadanya. Ketika ia hampir tiba di kaumnya, wajahnya mengeluarkan cahaya yang memancar. Namun, ia berkata, “Ya Allah, janganlah engkau jadikan cahaya ini di wajahku karena aku khawatir bila mereka akan berkata, ‘Ini adalah dagelan.’ Akhirnya cahaya itu pindah ke cemetinya. la mengajak bapak dan istrinya agar masuk Islam dan mereka berdua menerimanya. Kaumnya tidak mau masuk Islam begitu saja, tetapi ia tetap telaten mengajak mereka. Pada akhirnya, ia ikut berhijrah bersama tujuh puluh atau delapan puluh keluarga dari kaumnya setelah Perang Khandaq. Kemudian ia mendapatkan cobaan yang baik demi Islam, gugur sebagai orang yang syahid di Perang Yamamah.”
- Dhimad Al-Azdi
Ia berasal dari Qabilah Azd Syanu’ah dari Yaman. Ia biasa memberikan pengobatan dengan menghembuskan angin. Ia tiba di Mekkah dan mendengar Orang-orang berkata, “Muhammad adalah orang gila.” Ia berkata di dalam hati, “Aku akan menemui orang itu. Siapa tahu Allah menyembuhkannya dengan pengobatanku.” Saat bertemu dengan beliau, ia berkata, “Wahai Muhammad, aku bisa mengobatimu dengan hembusan angin. Apakah engkau bersedia?”
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya, segala puji hanya bagi Allah. Kita memuji dan memohon pertolongan kepada-Nya. Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah, tidak ada seorang pun yang akan menyesatkannya dan barang siapa yang disesatkan oleh-Nya, tidak akan ada seorang pun yang memberikan petunjuk kepadanya. Aku bersaksi, tiada ilah yang berhak disembah selain Allah semata-mata, tidak ada sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. la berkata, “Ulangilah kata-katamu tadi.” Maka beliau mengulanginya hingga tiga kali. Dhimad berkata, “Aku pernah mendengar ucapan tukang tenung, tukang sihir dan para penyair, Namun, aku belum pernah mendengar seperti kata-katamu itu. Padahal, kami telah menguasai kosa kata sedalam lautan. Berikanlah tanganmu dan biarkanlah aku berbaiat atas nama Islam. Akhirnya Dhimad berbaiat menyatakan keislamannya.“
Enam Jiwa Suci dari Bumi Yatsrib
Pada musim haji tahun 11 dari kenabian, bertepatan dengan Juli 620 M, dakwah Islam mendapatkan benih-benih yang baik dan tumbuh menjadi pohon yang rindang. Di bawah lindungannya, Orang-orang muslim bisa melepaskan diri dari lembaran-lembaran kezaliman dan ketidakadilan yang telah berlangsung beberapa tahun.
Sebuah langkah bijaksana dilakukan oleh Rasulullah dalam menghadapi tindakan penduduk Mekkah yang selalu mendustakan dan menghalang-halangi orang untuk mengikuti jalan Allah. Beliau menemui beberapa kabilah pada malam hari, sehingga tidak seorang pun dari Musyrikin penduduk Mekkah yang menghalanginya.
Suatu malam, beliau keluar ditemani Abu Bakar dan Ali. Beliau melewati perkampungan Dzuhl dan Syaiban bin Tsa’labah. Beliau menyampaikan Islam kepada mereka. Abu Bakar dan seorang dari kabilah Dzuh mengadakan perdebatan yang seru. Adapun Bani Syaiban, mereka memberikan jawaban yang tegas, tetapi masih menunda untuk menerima Islam.
Rasulullah selanjutnya melewati Aqabah di Mina. Di sana beliau mendengar beberapa orang yang sedang bercakap-cakap.’” Beliau mendekat dan ternyata mereka adalah enam orang pemuda Yatsrib yang semuanya berasal dari Khazraj. Mereka adalah:
- As’ad bin Zurarah – Bani Najar
- Auf bin Al-Harits bin Rifa’ah bin Afra’ – Bani Najar
- Rafi bin Malik bin Al-Ajlan – Bani Zuraiq
- Quthbah bin Amir bin Hadidah – Bani Salamah
- Aqabah bin Amir bin Nabi – Bani Hiram bin Ka’ab
- Jabir bin Abdillah bin Riab – Bani Ubaid bin Ghanam.
Mereka pernah mendengar dari sekutu-sekutu mereka dari kalangan Yahudi Madinah, bahwa ada seorang nabi di antara para nabi yang diutus pada masa ini. Ia akan muncul dan mereka akan mengikutinya. Dengan demikian, mereka bisa memerangi Khazraj dengan peperangan sedahsyat yang menghancurkan kaum Ad dan Iram.
Setelah bertatap muka, beliau bertanya kepada mereka, “Siapakah kalian ini?” Mereka menjawab, “Kami dari Khazraj.”
“Sekutu Orang-orang Yahudi?” tanya beliau lagi.
“Benar.”
“Maukah kalian duduk-duduk agar aku bisa bercakap-cakap dengan kalian?”
“Baiklah.”
Mereka pun duduk dan beliau menjelaskan hakikat Islam dan dakwahnya. Beliau mengajak mereka kepada Allah dan membacakan Al Qur’an. Mereka saling berkata, “Demi Allah, kalian tahu sendiri bahwa ia benar-benar nabi seperti yang diceritakan oleh Orang-orang Yahudi. Janganlah mereka mendahului kalian. Segeralah memenuhi seruannya dan masuklah Islam.”
Mereka merupakan pemuda-pemuda Yatsrib yang cerdas. Di Yatsrib, setiap saat peperangan antar suku siap meluluhlantakkan dan bara api saat itu pun masih menyala. Mereka berharap dakwah beliau ini bisa menjadi sebab pereda peperangan di sana. Mereka berkata, “Kami tidak akan membiarkan kaum kami dan kaum lainnya terus bermusuhan dan berbuat jahat. Semoga Allah menyatukan mereka denganmu. Kami akan menawarkan agama yang telah kami anut ini. Bila Allah menyatukan mereka, tidak ada orang yang lebih mulia selain dirimu.”
Mereka pun kembali ke Madinah membawa risalah Islam dan menyebarkannya di sana. Tidak ada satu rumah pun kecuali telah menyebut nama Rasulullah.
Pada Syawal tahun 11 dari kenabian ini pula Rasulullah menikah dengan Aisyah , yang saat itu berusia 7 tahun. Beliau berkumpul dengannya di Madinah pada Syawal 1 H ketika Aisyah berusia 9 tahun.
Ketika Nabi masih berada di tengah periode dakwah yang akan menerobos jalan antara pencapaian kesuksesan dan penindasan sementara secercah harapan mulai tampak dari kejauhan, maka terjadilah peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini. Mengenai kapan waktu terjadinya, terdapat perbedaan pendapat , di antaranya:
- Peristiwa Isra’ terjadi pada tahun ketika Allah memuliakan NabiNya dengan kenabian. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ath Thabari.
- Peristiwa ini terjadi lima tahun setelah diutusnya beliau menjadi Nabi. Pendapat ini dikuatkan oleh An-Nawawi dan Al-Qurthubi.
- Peristiwa ini terjadi pada malam 27 Rajab tahun 10 dari kenabian. Pendapat ini dipilih oleh Allamah Al-Manshurfuri.
- Peristiwa ini terjadi 16 bulan sebelum hijrah, tepatnya pada bulan Ramadhan tahun 12 dari kenabian.
- Peristiwa ini terjadi 1 tahun 2 bulan sebelum hijrah, tepatnya pada bulan Muharram tahun 13 dari kenabian.
- Peristiwa ini terjadi 1 tahun sebelum hijrah, tepatnya pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 13 dari kenabian.
Indikasi dari tiga pendapat pertama adalah bahwa Khadijah wafat pada bulan Ramadhan tahun 10 dari kenabian. Beliau ini wafat sebelum datangnya wahyu yang mewajibkan shalat lima waktu, sementara tidak ada perselisihan pendapat di kalangan para ulama bahwa shalat lima waktu diwajibkan pada malam Isra’.!
Sedangkan mengenai tiga pendapat terakhir lainnya, saya belum menemukan pendapat yang dapat menguatkan salah satu darinya selain topik bahasan di dalam surat Al-Isra’ yang menunjukkan bahwa peristiwa ini terjadi pada masa-masa akhir.
Para ulama hadits meriwayatkan rincian dari peristiwa ini, dan kami akan memaparkannya secara ringkas:
Ibnul Qayyim berkata, ‘Menurut Riwayat yang sahih bahwa Rasulullah diisra’kan dengan jasadnya dari Al-Masjid Al-Haram menuju Baitul Maqdis dengan mengendarai Al-Buraq, ditemani oleh Jibril.
Lalu beliau singgah di sana serta menjadi imam shalat bagi para nabi, lalu menambat Al-Buraq pada pintu masjid. Kemudian pada malam itu, beliau dinaikkan dari Baitul Maqdis menuju langit dunia. Jibril meminta agar pintu langit dibukakan untuk beliau lalu terbukalah pintunya. Di sana, beliau melihat Adam, bapak manusia. Beliau memberi salam kepadanya lantas dia menyambutnya dan membalas salam tersebut serta mengakui kenabian beliau. Allah juga menampakkan kepada beliau ruh-ruh para syuhada dari sebelah kanannya dan ruh-ruh Orang-orang yang sengsara dari sebelah kirinya.
Kemudian beliau dinaikkan lagi ke langit kedua. Jibril meminta agar dibukakan pintunya untuk beliau. Di sana beliau melihat Nabi Yahya bin Zakaria dan Isa bin Maryam, lalu menjumpai keduanya dan memberi salam. Keduanya menjawab salam tersebut dan menyambut beliau serta mengakui kenabian beliau.
Kemudian dinaikkan lagi ke langit ketiga. Di sana beliau melihat nabi Yusuf lalu memberi salam kepadanya. Dia membalasnya dan menyambut beliau serta mengakui kenabian beliau.
Kemudian dinaikkan lagi ke langit keempat. Di sana beliau melihat Nabi Idris lalu memberi salam kepadanya. Dia menyambut beliau dan mengakui kenabian beliau.
Kemudian beliau dinaikkan lagi ke langit kelima. Di sana beliau melihat Nabi Harun bin Imran lalu memberi salam kepadanya. Dia menyambut beliau dan mengakui kenabian beliau.
Kemudian beliau dinaikkan lagi ke langit keenam. Di sana beliau bertemu dengan Nabi Musa bin Imran lalu memberi salam kepadanya. Dia menyambut beliau dan mengakui kenabian beliau.
Tatkala beliau hendak berlalu, Nabi Musa menangis. Ketika ditanyakan kepadanya, ‘Apa yang membuatmu menangis?’ Dia menjawab, ‘Aku menangis karena rupanya ada seorang yang diutus setelahku tetapi umatnya yang masuk surga lebih banyak dari umatku.’
Kemudian beliau dinaikkan lagi ke langit ketujuh. Di sana beliau bertemu dengan Nabi Ibrahim: lalu beliau memberi salam kepadanya. Dia menyambut beliau dan mengakui kenabian beliau.
Kemudian beliau naik ke Sidratul Muntaha, lalu dibawa naik ke Al Bait Al-Ma’mur.
Kemudian beliau dinaikkan lagi menuju Allah Yang Maha Perkasa. Beliau mendekat kepada-Nya hingga jaraknya tinggal sepanjang dua ujung busur atau lebih dekat lagi. Dia mewahyukan kepada hamba-Nya ini dengan wahyu, mewajibkan kepadanya lima puluh waktu shalat. Beliau lalu kembali hingga melewati Nabi Musa.
Dia lalu bertanya kepada beliau, ‘Apa yang diperintahkan kepadamu?’ Beliau menjawab, ‘Lima puluh waktu shalat.’ Dia berkata, ‘Umatmu pasti tidak sanggup melakukan itu, kembalilah ke Tuhanmu dan mintalah keringanan untuk umatmu!’
Beliau menoleh ke arah Jibril seakan ingin memintakan pendapatnya dalam masalah itu. Dia mengisyaratkan persetujuannya jika beliau memang menginginkan hal itu.
Lalu Jibril membawa beliau naik lagi hingga membawanya ke hadapan Allah, sedangkan Dia berada di tempatnya. Ini adalah redaksi milik Al-Bukhari pada sebagian jalur periwayatannya. Lalu Allah meringankannya menjadi sepuluh waktu shalat. Kemudian beliau turun hingga kembali melewati Nabi Musa lagi lantas memberitahukan tentang tersebut kepadanya. Dia berkata kepada beliau, ‘Kembalilah lagi kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan!’ Beliau masih ragu-ragu antara mengikuti saran Musa dan meminta keringanan kepada Allah ‘Azza Wa Jalla hingga akhirnya Dia menurunkannya menjadi lima waktu shalat. Musa kemudian memerintahkan beliau agar kembali kepada Tuhan dan memintakan keringanan lagi.
Lalu beliau menjawab, ‘Aku malu kepada Tuhanku. Aku rela dengan hal ini dan berserah diri.’ Setelah beliau menjauh, datanglah suara memanggil, ‘Engkau telah menyetujui fardlu-Ku dan Aku telah memberikan keringanan untuk para hamba-Ku’.”?
Kemudian Ibnul Qayyim menyinggung perbedaan persepsi seputar ru’yah (melihat) beliau terhadap Tuhan-nya Tabaraka wa Ta’ala. Dia juga menyebutkan ucapan Ibnu Taimiyyah mengenai hal ini, yang inti darj pendapat-pendapat yang disebutkan olehnya menyatakan bahwa melihat dengan mata telanjang sama sekali tidak valid. Pendapat semacam ini tidak pernah diucapkan oleh seorang sahabat pun. Sedangkan nukilan yang berasal dari Ibnu Abbas tentang ru’yah beliau secara mutlak dan ru’yah beliau dengan hati, pendapat pertama ini tidak menafikan pendapat kedua.
Ibnul Qayyim kemudian mengomentari, “Sedangkan firman-Nya Ta’ala di dalam surat An-Najm (artinya), “Kemudian dia mendekat lalu bertambah mendekat lagi.” Ungkapan ‘mendekat’ di sini bukan yang dimaksud di dalam kisah Isra’. Ungkapan ‘mendekat’ yang terdapat di dalam surat An-Najm tersebut adalah ‘mendekat dan bertambah mendekat-nya Jibril sebagaimana yang dikatakan oleh Aisyah dan Ibnu Mas’ud. Arah pembicaraan di dalam ayat tersebut pun mendukungnya.
Adapun ‘mendekat dan bertambah mendekat’ yang ada pada cerita Isra’ adalah jelas sekali menyatakan ‘mendekat dan bertambah mendekatnya Tuhan Tabaraka wa Ta’ala. Di dalam surat An-Najm tidak menyinggung tentang hal itu bahkan di sana terdapat penegasan bahwa beliau melihat Jibril dalam rupa aslinya yang lain di Sidratul Muntaha. Ini adalah Jibril yang dilihat oleh Muhammad sebanyak dua kali dalam rupa aslinya; Pertama di bumi dan kedua di Sidratul Muntaha. Wallahu a’lam
Di dalam sebagian riwayat disebutkan bahwa kejadian pembelahan dada beliau terjadi juga kali ini. Dalam perjalanan ini, Nabi melihat dan mengalami kejadian yang bervariasi :
- Beliau ditawari susu dan khamar, lalu memilih susu. Kemudian dikatakan kepada beliau, ‘Engkau telah diberi petunjuk sesuai fitrah.’ Dalam lafal yang lain, ‘Engkau telah mengenai fitrah, sedangkan andai kata engkau mengambil khamar, tentu umatmu akan sesat.’
- Beliau melihat empat sungai di surga; dua sungai tampak dan dua lagi tersembunyi. Dua sungai yang tampak ini adalah sungai Nil dan Eufrat, yakni unsur keduanya. Adapun yang tidak tampak adalah dua sungai di surga. Barangkali makna melihat sungai Nil dan Eufrat tersebut adalah sebagai isyarat atas eksistensi Islam pada kedua wilayah di mana kedua sungai tersebut berada. Wallahu a’lam.
- Beliau melihat Malaikat Malik, penjaga neraka yang tidak pernah tertawa, di wajahnya tidak terpancar kegembiraan dan keceriaan.
- Beliau juga melihat surga dan neraka.
- Beliau melihat para pemakan harta-harta anak yatim secara zalim. Mereka memiliki bibir seperti bibir unta, mulut-mulut mereka dilempari dengan sepotong api dari neraka seperti batu sebesar genggaman tangan, lalu keluar dari dubur-dubur mereka.
- Beliau melihat para pemakan riba yang memiliki perut-perut yang buncit. Karena kondisi ini, mereka tidak mampu untuk beranjak dari tempat mereka. Mereka dilintasi oleh keluarga pengikut Firaun saat akan disodorkan ke neraka lalu mereka diinjak-injak.
- Beliau melihat para penzina, di antara tangan-tangan mereka terdapat daging yang gemuk dan segar dan di sampingnya terdapat daging yang bernanah dan membusuk. Mereka memakan yang bernanah dan membusuk tersebut dan membiarkan yang gemuk dan segar.
- Beliau melihat wanita-wanita yang suka membawa masuk para lelaki asing. Beliau melihat mereka sedang bergelantungan pada payudara-payudara mereka.
- Beliau melihat rombongan dari penduduk Mekkah sepulangnya dan ketika pergi. Beliau telah menunjukkan kepada mereka tentang unta yang melarikan diri dan meminum air milik mereka. Air minum ini ada di dalam wadah yang tertutup saat mereka tertidur, lantas si unta tersebut meninggalkan wadah tersebut dalam posisi tertutup. Hal itu telah menjadi petunjuk akan kebenaran pengakuan beliau pada pagi hari dari malam Isra’.
Ibnul Qayyim berkata, “Tatkala pagi datang, Rasulullah sudah berada di tengah kaumnya, beliau memberitahukan kepada mereka tentang ayat-ayat Allah yang Agung yang telah diperlihatkan kepadanya. Hal ini membuat pendustaan, penyiksaan dan kesadisan mereka terhadap beliau semakin menjadi. Mereka memintanya agar menyebutkan kriteria Baitul Maqdis kepada mereka, lalu Allah menampakkannya kepada beliau, sehingga seakan melihatnya dengan mata telanjang. Beliau mulai menceritakan kepada mereka tentang tanda-tanda kebesaran-Nya. Mereka tidak mampu menyanggahnya dengan sesuatu pun.
Kemudian beliau. memberitahukan kepada mereka tentang rombongan ketika beliau masih dalam perjalanan pergi dan sekembali darinya. Beliau juga memberitahukan kepada mereka tentang waktu kedatangan rombongan tersebut. Bahkan, beliau memberitahukan kepada mereka tentang rombongan sebelumnya yang mendahului rombongan tersebut. Memang demikianlah realitasnya, seperti yang beliau ucapkan. Sayangnya, mereka malah bertambah menghindar. Demikianlah tipikal Orang-orang zalim yang hanya menginginkan kekufuran.
Ada yang berpendapat bahwa Abu Bakar dijuluki sebagai Ash-Shiddiq (Orang yang Benar) karena dia membenarkan peristiwa Isra’-dan Mi’raj ketika Orang-orang mendustakannya.
Banyak ayat-ayat yang ringkas tetapi padat menjelaskan alasan terjadinya perjalanan seperti ini, yaitu:
Agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami. (Al-Isra’: 1)
Ini merupakan sunnatullah terhadap para Nabi-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk Orang-orang yang yakin. (Al-An’am: 75)
Dia berfirman kepada Musa:
Untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang sangat besar. (Thaha: 23).
Allah telah menjelaskan maksud iradah-Nya dalam ayat ini pada firman-Nya sebelumnya (agar Ibrahim itu termasuk Orang-orang yang yakin). Ketika pengetahuan yang didapat oleh para Nabi bersandarkan kepada penglihatan terhadap tanda-tanda kebesaran-Nya -sebagaimana makna dari ayat-ayat di atas- maka mereka menjadi semakin bertambah yakin; keyakinan yang tak dapat diukur besarnya. Sebagaimana di dalam pepatah, “Mendengar suatu berita tidak sama dengan melihat secara langsung.” Hal ini, membuat mereka sanggup menanggung risiko apa pun di jalan Allah; sesuatu yang tidak pernah sanggup dilakukan oleh Orang-orang selain mereka dan menjadikan semua kekuatan duniawi bagi mereka ibarat sebelah sayap nyamuk. Mereka tidak memedulikan derita dan cobaan yang silih berganti menimpa.
Berbagai hikmah dan rahasia yang tersembunyi di balik perjalanan tersebut selayaknya dibahas di dalam buku-buku tentang rahasia-rahasia syariat. Namun, di sini ada beberapa hakikat ringan yang terpancar dari sumber-sumber rihlah yang diberkahi ini dan mengalir deras menuju taman-taman bunga Sirah Nabawiyah. Karenanya, saya memandang perlunya mencatat sebagian darinya secara ringkas.
Dalam surat Al-Isra’ pembaca dapat mengetahui bahwa Allah mengisahkan tentang Isra’ hanya dalam satu ayat saja, kemudian mulai menyebutkan kebobrokan-kebobrokan Orang-orang Yahudi dan kejahatan-kejahatan yang mereka lakukan. Setelah itu, Allah mengingatkan mereka bahwa Al-Qur’an adalah memberikan petunjuk kepada jalan yang lebih lurus.
Mungkin sepintas, pembaca mengira bahwa antara dua ayat pertama tersebut tidak ada kolerasinya, padahal hakikatnya bukan demikian. Sesungguhnya, dengan gaya bahasa seperti ini, Allah Ta’ala ingin mengisyaratkan bahwa Isra’ hanya terjadi ke Baitul Maqdis karena Orang-orang Yahudi akan dicopot dari jabatan sebagai pemimpin umat manusia akibat banyaknya kejahatan yang mereka lakukan, sehingga tidak ada kesempatan lagi bagi mereka untuk menduduki jabatan tersebut selanjutnya. Artinya, Allah Ta’ala akan mengalihkan jabatan ini secara praktis kepada Rasulullah, sehingga pada diri beliau terkoleksi dua pusat dakwah Ibrahimiyah sekaligus.
Memang sudah saatnya terjadi peralihan kepemimpinan spiritual dari satu umat ke umat yang lain, dari umat yang sejarahnya dipenuhi oleh kecurangan, pengkhianatan, dosa, dan permusuhan kepada umat yang berlimpah dengan kebajikan dan kebaikan-kebaikan, di mana Rasul mereka masih menerima wahyu Al-Qur’an yang memberikan petunjuk kepada jalan yang lebih lurus.
Namun, timbul pertanyaan, bagaimana bisa terjadi peralihan kepemimpinan ini, sementara Rasulullah masih berkeliling di sekitar pegunungan Mekkah karena diusir oleh sekelompok umat manusia? Pertanyaan ini dengan sendirinya akan menyingkap tirai hakikat lainnya, yaitu rotasi dakwah Islamiyah ini hampir mencapai titik klimaks dan akhir untuk memulai rotasi baru yang jalannya amat berbeda dengan kondisi pertama. Oleh karena itu, kita melihat sebagian ayat-ayat tersebut mencakup tentang peringatan nyata dan ancaman serius terhadap kaum Musyrikin dalam firman-Nya:
Dan, jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada Orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah), tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. Dan, berapa banyaknya kaum sesudah Nuh telah Kami binasakan. Dan, cukuplah Tuhanmu Maha Mengetahui lagi Maha Melihat dosa hamba-hamba-Nya. (Al-Isra’: 16-17).
Di samping ayat-ayat seperti ini, ada lagi ayat-ayat lain yang menjelaskan kepada kaum Muslimin tentang fondasi-fondasi peradaban, poin-poin, serta prinsip-prinsipnya, di mana kemudian terbangun suatu tatanan yang islami. Seakan-akan mereka telah turun ke bumi untuk mengendalikan urusan-urusan mereka dari berbagai aspeknya, lalu membentuk suatu unit yang mapan yang menjadi denyut nadi bagi kehidupan masyarakat. Hal ini mengisyaratkan bahwa Rasulullah akan mendapatkan tempat suaka yang aman, di mana di situlah semua urusannya akan eksis dan menjadi sentral bagi penyebaran dakwahnya ke seluruh penjuru dunia.
Inilah salah satu dari sekian banyak rahasia rihlah (perjalanan) yang penuh berkah ini, yang sedikit bersinggungan dengan kupasan kami di sini. Inilah yang membuat kami menyinggungnya. Lantaran adanya hikmah seperti ini dan semisalnya, kami berpendapat bahwa momen Isra’ hanya terjadi dalam salah satu dari dua alternatif saja; menjelang Baiat Aqabah yang pertama atau di antara dua Baiat Aqabah tersebut. Wallahu a’lam.
Pada pembahasan-pembahasan sebelumnya, kami pernah Preven tentang 6 orang dari Yatsrib yang telah masuk Islam pada musim haji tahun 11 H dari kenabian dan berjanji kepada Rasulullah untuk menyampaikan risalah beliau kepada kaum mereka.
Dari hasil itu, ternyata pada musim haji berikutnya, yakni tahun 12 H dari kenabian, bertepatan dengan Juli 621 M, datanglah 12 orang laki-laki, di antaranya 5 orang dari 6 orang yang dulu pernah menghubungi beliau pada musim lalu. Sementara seorang lagi yang tidak hadir kali ini adalah Jabir bin Abdullah bin Ri’ab. Adapun tujuh orang baru lainnya adalah:
- Muadz bin Al-Harits bin Afra’ dari Bani Najar (suku Khazraj)
- Dzakwan bin Abdul Qais dari Bani Zuraiq (suku Khazraj)
- Ubadah bin Ash-Shamit dari Bani Ghanam (suku Khazraj)
- Yazid bin Tsa’labah, sekutu Bani Ghanam (suku Khazraj)
- Al-Abbas bin Ubadah bin Nadhlah dari suku Bani Salim (suku Khazraj)
- Abu Al-Haitsam bin Ali Taihan dari suku Bani Abdul Asyhal (suku Aus)
- Uwaim bin Sa’idah dari Bani Amr bin Auf (suku Aus)
Dengan demikian, dua orang terakhir berasal dari suku Aus, sedangkan sisanya berasal dari suku Khazraj. Mereka ini bertemu dengan Rasulullah di sisi bukit Aqabah di Mina. Mereka pun membaiat beliau seperti baiat yang pernah dilakukan oleh kaum wanita kepada beliau ketika penaklukan kota Mekkah (Fathu Mekkah).
Al-Bukhari meriwayatkan dari Ubadah bin Ash-Shamit bahwasanya Rasulullah bersabda, “Kemarilah dan berbaiat kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kalian, tidak berbuat dusta yang kalian ada-adakan antara tangan dan kaki kalian dan tidak berbuat maksiat terhadapku dalam hal yang makruf.
Siapa saja di antara kamu yang menepati, maka Allah-lah yang akan mengganjar pahalanya; dan siapa saja yang mengenai sesuatu dari hal itu lalu diberi sanksi karenanya di dunia, maka itu adalah penebus dosa baginya; siapa saja yang mengenai sesuatu dari itu lalu Allah tutup aibnya, maka urusannya tergantung kepada Allah; jika Dia menghendaki, Dia mengazabnya dan jika Dia menghendaki, Dia akan memaafkannya.”
Ubadah berkata, “Lalu aku membaiat beliau atas hal itu.” Dalam naskah yang lain disebutkan, “Lalu kami membaiat beliau atas hal itu.”
Duta Islam Pertama di Madinah
Setelah baiat tersebut rampung dan musim haji pun berlalu, Nabi ingin mengutus salah seorang dari para pembaiat tersebut sebagai duta pertama di Madinah guna mengajarkan syariat Islam kepada kaum Muslimin di sana, memberikan pemahaman tentang Din Islam, serta bergerak menyebarkan Islam di kalangan mereka yang masih dalam kesyirikan.
Untuk pengutusan ini, beliau memilih seorang pemuda Islam yang merupakan As-Sabiqun Al-Awwalun (Orang-orang yang pertama-tama masuk Islam), yaitu Mush’ab bin Umair Al-Abdari.
Kesuksesan yang Mengesankan
Mush’ab singgah terlebih dahulu di kediaman As’ad bin Zurarah, lalu keduanya menyebarkan Islam. kepada para penduduk Yatsrib dengan sungguh-sungguh dan penuh vitalitas. Mush’ab ini dikenal sebagai Muqri (orang yang ahli mengaji dan bacaannya merdu).
Salah satu cerita kesuksesan yang amat menawan dari dirinya adalah ketika pada suatu hari As’ad bin Zurarah mengajaknya ikut serta pergi ke kediaman Bani Abdul Asyhal dan rumah Bani Zhafar. Keduanya lantas memasuki salah satu pagar milik Bani Zhafar dan duduk-duduk di atas sebuah sumur yang disebut Maraq. Ketika dalam kondisi demikian, perkerumunlah ke tempat mereka berdua beberapa orang dari kaum Muslimin.
Saat itu Saad bin Muadz dan Usaid bin Hudhair—keduanya adalah pemimpin kaum mereka dari Bani Abdul Asyhal—masih dalam kesyirikan. Tatkala keduanya mendengar tentang kaum Muslimin tersebut, berkatalah Saad kepada Usaid, “Pergilah menuju kedua orang yang sudah datang untuk membodohi kaum lemah di kalangan kita, lalu berilah keduanya pelajaran, serta laranglah mereka datang ke kompleks kita ini. Sesungguhnya, As’ad bin Zurarah tersebut adalah putra bibiku. Andai kata bukan karena ikatan itu, niscaya cukuplah aku yang membereskannya.”
Lalu Usaid mengambil tombaknya dan menuju ke arah kedua orang pendatang tersebut. Ketika As’ad melihatnya, dia berkata kepada Mush’ab, “Ini adalah pemimpin kaumnya, dia telah datang kepadamu. Karena itu, tunjukkanlah kebenaran dari Allah kepadanya.”
Mush’ab berkata, “Bila dia mau duduk, aku pasti berbicara kepadanya.”
Usaid datang lalu berdiri di hadapan keduanya sembari mengumpat dan berkata, “Apa yang kalian berdua bawa kepada kami? Kalian mau membodohi Orang-orang lemah di kalangan kami? Menjauhlah dari kami, jika kalian berdua masih sayang nyawa kalian!”
Mush’ab menjawab, “Sudikah kiranya Anda duduk dulu lalu mendengar; jika Anda berkenan, silakan Anda terima; jika Anda tidak berkenan, tahanlah apa yang Anda tidak sukai itu dari diri anda.”
Dia membalas, “Baiklah, aku setuju.” Lalu dia membenahitombaknya dan duduk.
Kemudian Mush’ab berbicara kepadanya tentang Islam dan membacakan ayat-ayat Al-Qur’an.
Dia lalu berkomentar, “Demi Allah! Kami sudah mengenal Islam dari wajahnya sebelum dia berbicara; kecerahannya dan gema takbirnya.”
Kemudian dia meneruskan, “Alangkah indah dan cantiknya ini? Lalu, apa yang kalian perbuat bila kalian mau masuk ke dalam agama ini?”
Keduanya berkata, “Anda mandi, membersihkan pakaian, kemudian bersyahadat dengan syahadat yang benar, kemudian mengerjakan shalat dua rakaat.”
Dia lalu berdiri, mandi, membersihkan pakaiannya, bersyahadat, dan mengerjakan shalat dua rakaat, kemudian berkata, “Sesungguhnya, aku ini berada di bawah misi seorang laki-laki yang bila dia mengikuti kalian berdua, tidak ada seorang pun dari kaumnya yang berani membelot darinya. Aku akan membimbingnya (Saad bin Muadz) kepada kalian berdua sekarang.”
Kemudian dia berlalu dan membawa tombaknya menuju Saad yang berada di tengah kaumnya dan sedang duduk-duduk di klub mereka. Saad berkata, “Aku bersumpah, demi Allah! Sungguh, dia telah datang
dengan penampilan yang jauh berbeda dari sebelum berpaling dari kalian tadi.”
Tatkala Usaid berdiri di tengah klub tersebut, Saad berkata kepadanya, “Apa gerangan yang telah kau lakukan?” Dia menjawab, “Aku telah berbicara kepada kedua orang tadi, demi Allah! Aku melihat tidak ada apa-apa dengan keduanya. Aku telah melarang keduanya, bahkan keduanya berkata, ‘Kami akan melakukan apa yang engkau inginkan.’ Aku juga sudah menceritakan bahwa Bani Haritsah telah keluar untuk membunuhnya (As’ad bin Zurarah), karena membuatmu malu. Hal ini tidak mereka lakukan karena mengetahui bahwa dia adalah anak bibimu.”
Saad berdiri dengan penuh emosi atas apa yang barusan diceritakan kepadanya. Dia lalu mengambil tombaknya dan keluar untuk menyongsong keduanya (Mush’ab dan As’ad). Maka, tatkala dia melihat keduanya dalam kondisi yang tenang-tenang saja, pahamlah dia bahwa Usaid hanya bermaksud agar dirinya mendengarkan sesuatu dari keduanya. Dia berdiri di hadapan keduanya sembari mengumpat dan berkata kepada As’ad bin Zurarah, “Demi Allah, wahai Abu Umamah! Andai kata tidak ada dinding kekerabatan antara engkau dan aku, tentu engkau tidak menginginkan hal ini dariku; engkau akan menyelimuti kami dengan sesuatu yang kami tidak sukai di kompleks kami ini?”
As’ad pun sebelumnya telah berkata kepada Mush’ab, “Demi Allah, telah datang kepadamu ini seorang pemimpin kaumnya; jika dia mengikutimu, maka tidak akan ada seorang pun yang ketinggalan untuk mengikutimu dari mereka.”
Lalu Mush’ab berkata kepada Saad bin Muadz, “Sudikah kiranya Anda duduk dulu dan mendengarkan? Jika Anda berkenan, Anda boleh terima dan jika Anda tidak berkenan, kami akan menjauhkan darimu apa yang Anda tidak sukai itu.”
Dia berkata, “Ya, aku setuju.” Lalu dia membenahi tombaknya dan duduk.
Mush’ab mulai memaparkan kepadanya tentang Islam dan membacakan ayat Al-Qur’an. Dia berkomentar, “Demi Allah, kami sudah mengenal Islam di wajahnya sebelum berbicara; dalam kecerahannya dan gema takbirnya.”
Kemudian dia bertanya, “Apa yang kalian lakukan bila kalian masuk Islam?”
Keduanya menjawab, “Anda mandi, membersihkan pakaian, kemudian bersyahadat dengan syahadatul haqq , kemudian mengerjakan shalat dua rakaat.”
Kemudian dia melakukan hal itu. Setelah itu, dia meraih tombaknya lalu beranjak menuju klub kaumnya. Tatkala mereka melihatnya, berkatalah mereka, “Kami bersumpah atas nama Allah, sungguh dia telah pulang dengan penampilan yang berbeda dengan ketika saat pergi tadi.”
Ketika dia sudah berdiri di hadapan mereka, dia berkata, “Wahai Bani Abdul Asyhal! Bagaimana pendapat kalian terhadap diriku?”
Mereka menjawab, “Pemimpin kami, orang yang paling utama pendapatnya bagi kami, dan orang yang paling mulia keturunannya.”
Dia berkata lagi, “Sesungguhnya ucapan kaum laki-laki dan kaum wanita di kalangan kalian saat ini haram bagiku hingga kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Akhirnya tidak ada seorang laki maupun wanita dari mereka kecuali sudah menjadi Muslim dan Muslimah, kecuali satu orang yang bernama Al-Ashram. Dia terlambat masuk Islam hingga hari Uhud. Dia masuk Islam ketika itu, ikut berperang, dan terbunuh padahal dia belum sampai sujud satu kali pun kepada Allah Ta’ala. Nabi mengomentarinya, “Dia telah melakukan sedikit, tetapi diberi pahala banyak.”
Mush’ab masih menginap di rumah As’ad bin Zurarah guna mengajak manusia ke jalan Allah, hingga hasilnya, setiap rumah dari rumah. rumah Orang-orang Anshar di dalamnya sudah ada laki-laki dan wanita yang masuk Islam. Dalam hal ini, yang dikecualikan hanya rumah Bani Umayyah bin Zaid, Khathmah, dan Wail, di mana ada seorang penyair mereka yang bernama Qais bin Al-Aslat yang menghalang-halangi keislaman mereka, dan dia amat ditaati. Barulah pada Perang Khandaq tahun 5 H mereka masuk Islam.
Sebelum memasuki musim haji kedua, yakni tahun ke-13 dari kenabian, Mush’ab bin Umair kembali ke Mekkah dengan membawa sekian laporan kesuksesan kepada Rasulullah. Dia menceritakan kepada beliau tentang kabilah-kabilah di Yatsrib, bawaan-bawaan alami yang baik, dan tersimpannya sumber kekuatan dan mental baja padanya.
Pada musim haji tahun 13 dari kenabian, yang bertepatan dengan Juni 622 M, hampir tujuh puluh orang muslim Madinah datang ke Mekkah untuk menunaikan manasik haji. Mereka datang bersama rombongan jamaah haji dari kaum mereka yang masih musyrik. Mereka yang telah memeluk Islam itu saling bertanya saat mereka masih berada di Yatsrib atau saat dalam perjalanan, “Sampai kapan kita akan membiarkan Rasulullah berkeliling, diusir di lereng-lereng bukit, dan diancam?”
Tatkala tiba di Mekkah, terjadilah hubungan secara sembunyi-sembunyi antara mereka dan Rasulullah yang menghasilkan kesepakatan di antara kedua belah pihak untuk berkumpul di lembah yang terletak di samping Aqabah, pada pertengahan hari-hari Tasyriq, saat melempar Jamrah Ula setelah dari Mina. Pertemuan ini terlaksana melalui proses yang sangat rahasia dalam kegelapan malam.
Kita serahkan kepada salah seorang pemimpin kaum Anshar untuk menceritakan sendiri secara spesifik pertemuan historis tersebut, yang telah mengubah peredaran hari-hari perseteruan antara paganisme dan Islam. Dialah Ka’ab bin Malik Al-Anshari:
“Kami berangkat untuk melaksanakan manasik haji dan sebelumnya telah berjanji untuk bertemu dengan Rasulullah di Aqabah pada pertengahan hari-hari Tasyriq. Kami dijanjikan pada malam harinya, sementara bersama kami hadir Abdullah bin Amr bin Haram, salah seorang pemimpin dan orang terpandang di kalangan kami. Kami mengajaknya bersama kami. Dalam hal ini, kami merahasiakan urusan ini kepada kaum Musyrikin dari kaum kami yang ikut rombongan juga. Kemudian kami berbicara kepadanya dan menyampaikan, ‘Wahai Abu Jabir, engkau ini adalah seorang pemimpin kami dan orang terpandang di antara kami. Kami tidak suka kondisimu saat ini akan menjadikan kamu sebagai kayu bakar api neraka kelak.’ Kemudian kami mengajaknya kepada Islam dan memberitahukannya tentang janji kami bertemu dengan Rasulullah di Aqabah. Kemudian dia masuk Islam dan menghadiri Baiat Aqabah bersama kami, dan dia termasuk pemimpinnya.”
Ka’ab melanjutkan, “Lalu kami tidur pada malam itu bersama kaum kami di kendaraan hingga ketika sudah mencapai sepertiga malam, kami keluar menuju tempat perjanjian dengan Rasulullah, dengan menyusup dan sembunyi-sembunyi. Akhirnya kami berkumpul di lembah dekat Aqabah. Jumlah kami 73 orang laki-laki dan 2 orang perempuan, yaitu Nusaibah binti Ka’ab (Ummu ‘Umarah) dari Bani Mazin bin An-Najar dan Asma’ binti Amr (Ummu Mani’) dari Bani Salamah.
Kami berkumpul di lembah itu sembari menunggu kedatangan Rasulullah. Beliau pun datang bersama pamannya Al-Abbas bin Abdul Mutholib yang ketika itu masih memeluk agama kaumnya namun ingin menghadiri urusan yang tengah diikuti oleh keponakannya. Dia memberikan dukungannya dan dia pulalah orang pertama yang berbicara.”!
Permulaan Pembicaraan dan Penegasan Al-Abbas tentang Konsekuensi Perjanjian
Setelah majelis dipersiapkan, pembicaraan pun dimulai guna mengesahkan perjanjian persekutuan agama dan militer. Yang berbicara pertama kali adalah Al-Abbas bin Abdul Mutholib, paman Rasulullah. Dia berbicara untuk menjelaskan kepada mereka secara gamblang tentang konsekuensi serius yang akan mereka pikul akibat diadakannya persekutuan tersebut. Dia berkata:
“Wahai kaum Khazraj Muhammad berasal dari kami sebagaimana yang kalian ketahui. Kaum kami yang satu pandangan dengan kami telah melarangnya. Padahal, dia dibanggakan oleh kaumnya dan dilindungi di negerinya.
Tetapi, dia justru hanya berpihak kepada kalian dan menjumpai kalian. Jika kalian melihat bahwa kalian dapat memenuhi apa yang kalian ajak kepadanya dan dapat melindunginya dari orang yang menentangnya, maka itu adalah hak kalian, termasuk risiko yang harus ditanggung. Dan jika kalian melihat bahwa kalian justru akan menyerahkan dirinya dan menghinakannya setelah dia keluar menyongsong kalian, maka dari sekarang tinggalkanlah dia karena sesungguhnya dia masih dibanggakan dan diberi perlindungan oleh kaum dan negerinya.”
Ka’ab berkata, “Lalu kami berkata kepadanya, ‘Kami telah mendengar apa yang telah engkau sampaikan. Karena itu, berbicaralah wahai Rasulullah! Ambillah untuk dirimu dan Tuhanmu apa yang engkau sukai.”
Jawaban ini menunjukkan sikap mereka (kaum Anshar) yang telah memiliki tekad bulat, keberanian, iman, dan keikhlasan di dalam mengemban tanggung jawab yang besar ini, sekaligus dampak-dampaknya yang serius. Setelah itu Rasulullah memberikan penjelasannya, kemudian terjadi pembaiatan
Poin-Poin Baiat
Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Jabir secara rinci. Jabir berkata, “Kami berkata kepada Rasulullah, ‘Wahai Rasulullah! Untuk hal apa kami membaiatmu?” Beliau bersabda:
- Untuk mendengarkan dan taat (loyal) di dalam kondisi semangat maupun malas.
- Untuk berinfak di dalam masa sulit dan mudah.
- Untuk berbuat amar makruf dan nahi munkar.
- Untuk tegar di jalan Allah, kalian tidak peduli dengan celaan si pencela selama dilakukan di jalan Allah.
- Untuk menolongku ketika aku datang kepada kalian, kalian melindungiku dari hal yang biasa kalian lakukan untuk melindungi diri kalian sendiri, istri-istri dan anak-anak kalian. Jika hal ini kalian lakukan, maka bagi kalian adalah surga.
Di dalam riwayat Ka’ab yang diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq, hanya poin terakhir di atas saja yang ada. Ka’ab berkata, ‘Lalu Rasulullah berbicara seraya membacakan ayat Al-Qur’an, berdoa kepada Allah dan memberikan sugesti mereka untuk masuk Islam, kemudian bersabda, ‘Aku membaiat kalian untuk melindungiku dari hal yang biasa kalian lakukan untuk melindungi istri-istri dan anak-anak kalian.’ Lalu Al-Bara’ bin Ma’rur memegangi tangan beliau sembari berkata, ‘Ya, Demi Dzat Yang telah mengutusmu dengan kebenaran sebagai Nabi, sungguh kami akan melindungimu dari hal yang biasa kami lakukan untuk melindungi jiwa dan istri-istri kami. Baiatlah kami, wahai Rasulullah. Kami adalah Orang-orang yang mahir dalam berperang dan mengepung musuh. Kami mewarisinya sejak dahulu.”
Abul Haitsam bin At-Taihan menyela perkataan Al-Barra’ yang masih berbicara kepada Rasulullah, dan berkata, “Wahai Rasulullah, Sesungguhnya terdapat jalinan persahabatan antara kami dan Orang-orang Yahudi dan kami akan memutusnya. Apakah bila kami lakukan hal itu, lantas Allah memenangkanmu, engkau akan kembali lagi ke kaummu dan membiarkan kami?’
Ka’ab berkata, “Lantas Rasulullah pun tersenyum kemudian bersabda, ‘Bahkan, darah kalian adalah darahku, kehancuran kalian adalah kehancuranku juga. Aku adalah bagian dari kalian dan kalian adalah bagian dariku. Aku akan memerangi orang yang kalian perangi dan mengadakan perdamaian dengan orang yang kalian adakan perdamaian dengannya’.”
Penegasan Kembali Konsekuensi dari Baiat
Setelah pembahasan tentang syarat-syarat baiat selesai dan mereka bersepakat untuk segera melaksanakannya, bangkitlah dua orang laki-laki dari angkatan pertama yang masuk Islam pada dua musim lalu, yaitu tahun 11 dan 12 dari kenabian. Salah seorang berdiri, lalu dilanjutkan oleh seorang lagi untuk mempertegas kepada para hadirin akan dampak serius yang harus diambil, sehingga mereka tidak hanya sekedar membaiat kecuali setelah benar-benar mengetahui secara jelas tentangnya. Demikian pula, keduanya ingin mengetahui seberapa jauh persiapan para hadirin untuk berkorban dan mendapatkan kepastian akan hal itu.
Ibnu Ishaq berkata, “Tatkala mereka berkumpul untuk berbaiat, Al-Abbas bin Ubadah bin Nadhlah berkata, ‘Apakah kalian mengetahui untuk apa kalian berbaiat kepada orang ini (Nabi)?” Mereka menjawab, ‘Ya.’ Dia berkata lagi, ‘Sesungguhnya kalian akan membaiatnya untuk memerangi Orang-orang berkulit merah dan hitam. Jika kalian nantinya melihat bahwa bila harta kalian musnah karena tertimpa musibah dan para pemuka kalian dibunuh akan menyerahkannya, demi Allah, bila kalian lakukan itu, mulai dari sekarang akan menjadi kehinaan bagi kalian di dunia dan akhirat. Dan jika kalian nantinya melihat akan mampu menepati janji apa yang kalian ajak dia kepadanya sekali pun harta musnah dan para pemuka kalian terbunuh, maka ambillah dia. Sebab, demi Allah, hal itu adalah baik buat kalian di dunia dan akhirat.’
Mereka berkata, ‘Kalau begitu, kami akan mengambilnya sekalipun harta kami ditimpa musibah dan para pemuka kami terbunuh karenanya. Wahai Rasulullah! Apa imbalannya terhadap hal itu bilamana kami dapat menepatinya?’ Beliau menjawab, ‘Surga.’ Lalu mereka berkata, ‘Bentangkan tanganmu!’ Kemudian beliau membentangkan tangannya lantas mereka pun membaiatnya.” Dalam riwayat Jabir, dia berkata, “Maka kami berdiri untuk membaiatnya. Lalu As’ad bin Zurarah, yang merupakan orang paling muda dari tujuh puluh peserta tersebut, memegang tangan beliau. Namun, Al-Abbas malah berkata, ‘Sebentar, wahai penduduk Yatsrib! Sesungguhnya kita tidak akan sepenuh hati mendukungnya kecuali kita mengetahui betul bahwa dia adalah Rasulullah. Sesungguhnya, membawanya keluar saat ini berarti memisahkan diri dari Orang-orang Arab secara keseluruhan, membunuh Orang-orang pilihan kalian dan pedang siap menebas kalian. Karenanya, kalian akan bersabar atas hal itu lalu mengambilnya dan kalian mendapatkan pahala dari Allah. Atau kalian mengkhawatirkan diri kalian celaka lalu kalian biarkan saja dia dan hal itu adalah alasan paling logis di sisi Allah.‘
Pelaksanaan Baiat
Setelah penetapan poin-poin baiat dan mendapatkan kepastian, maka dimulailah suksesi Baiat dengan cara saling bersalam-salaman. Setelah mengisahkan ucapan As’ad bin Zurarah tersebut, Jabir berkata, “Lalu mereka berkata, ‘Wahai As’ad! Bentangkan tanganmu kepada kami. Demi Allah, kami tidak akan meninggalkan baiat ini dan tidak akan membatalkannya.” Ketika itu As’ad menyadari betapa besarnya kesiapan Orang-orang Anshar tersebut untuk berkorban di jalan ini dan dia pun dapat memastikan hal itu sebagai seorang da’i besar bersama Mush’ab bin Umair dan orang yang lebih dahulu mengukuhkan baiat ini.
Ibnu Ishaq berkata, “Bani An-Najar mengklaim bahwa Abu Umamah, As’ad bin Zurarah adalah orang pertama kali membentangkan tangan baiat ke atas tangan Nabi.”
Setelah itu, dimulailah baiat umum. Dalam hal ini, Jabir berkata, “Lalu kami mendatangi orang per-orang dan beliau mengambil baiat kami untuk memberikan surga bagi kami dengan hal itu.”
Sedangkan baiat yang dilakukan oleh dua orang wanita yang menyaksikan kejadian itu adalah dengan ucapan saja, sebab Rasulullah tidak pernah menyalami wanita asing sama sekali.’
Dua Belas Orang sebagai Wakil Kaum
Setelah proses baiat selesai, Rasulullah meminta agar dipilih dua belas orang kepala kaum untuk menjadi pemimpin bagi kaum mereka, mengemban tanggung jawab terhadap mereka di dalam melaksanakan poin-poin baiat tersebut. Beliau berkata kepada mereka, “Pilihlah dua belas orang pemimpin di kalangan kalian untuk menjadi penanggung jawab terhadap apa yang terjadi dengan kaum kalian.”
Seketika itu juga pemilihan mereka dilaksanakan dan mereka yang terdiri sembilan orang dari kalangan suku Khazraj dan tiga orang dari kalangan suku Aus. Nama-nama mereka adalah sebagai berikut:
Para Pemimpin Terpilih Suku Khazraj:
- As’ad bin Zurarah bin ‘Ads
- Saad bin Ar-Rabi’ bin Amr
- Abdullah bin Rawahah bin Tsa’labah
- Rafi’ bin Malik bin Al-Ajlan
- Al-Bara’ bin Ma’rur bin Shakhr
- Abdullah bin Amr bin Haram
7, Ubadah bin Ash-Shamit bin Qais
- Saad bin Ubadah bin Dulaim
- Al-Mundzir bin Amr bin Khunais
Para Pemimpin Terpilih Suku Aus:
- Usaid bin Hudhair bin Sammak
- Saad bin Khaitsamah bin Al-Harits
- Rifa’ah bin Abdul Mundzir bin Zubair
Setelah pemilihan para pemimpin terpilih tersebut selesai, Nabi mengambil perjanjian lain terhadap mereka ini sebagai para pemimpin pilihan yang diserahi tanggung jawab.
Beliau bersabda kepada mereka, “Kalian bertanggung jawab terhadap kaum kalian sebagaimana yang pertanggungjawaban kaum Hawariyin terhadap Isa bin Maryam. Sedangkan aku adalah penanggung jawab bagi kaumku (yakni kaum Muslimin).” Mereka berkata, “Ya.”
Setan Membocorkan Pelaksanaan Perjanjian
Setelah perjanjian selesai dan para peserta hampir saja membubarkan diri, salah satu setan mengetahui pelaksanaan baiat tersebut. Namun, karena ia baru mengetahui pada detik-detik akhir suksesi dan tidak mungkin menyampaikan kepada para pemimpin Quraisy mengenai berita rahasia ini, sehingga mereka dapat menyerang secara mendadak Orang-orang yang berkumpul di lembah itu, setan tersebut berdiri di puncak bukit sembari berteriak dengan suara yang tidak pernah sekencang itu terdengar:
“Wahai para penghuni rumah, apakah kalian ingin mengetahui Muhammad dan para penganut Shabi‘ah (sebutan mereka terhadap Islam) yang bersamanya? Sungguh, mereka telah berkumpul untuk memerangi kalian.”
Lalu Rasulullah bersabda, “Inilah Azibbul Aqabah (nama setan dan berbentuk ular). Demi Allah, aku akan berkonsentrasi untuk menghadapimu wahai musuh Allah!” Kemudian beliau menyuruh mereka untuk berpencar dan kembali ke barak masing-masing.
Persiapan Kaum Anshar untuk Menggempur Kaum Quraisy
Ketika mendengar suara setan tersebut, Al-Abbas bin Ubadah bin Nadhlah berkata, “Demi Dzat Yang mengutusmu dengan kebenaran, jika engkau menghendaki, maka kami besok akan membuat tunduk penduduk Mina dengan pedang-pedang kami ini.” Lantas Rasulullah bersabda, “Kita belum diperintahkan demikian, akan tetapi kembalilah kalian ke barak masing-masing.” Lantas mereka pun kembali dan tidur hingga pagi hari.”
Kaum Quraisy Mengajukan Protes kepada Para Pemimpin Yatsrib
Ketika berita tersebut telah sampai ke telinga kaum Quraisy, terjadilah kegemparan di tengah mereka yang menimbulkan ketidakstabilan dan kesedihan karena mereka sebenarnya sangat mengetahui persis apa akibat yang akan ditimbulkan oleh baiat seperti itu dan akibatnya langsung terhadap diri dan harta mereka. Saat pagi menjelang, berangkatlah rombongan besar yang terdiri dari para pemimpin Mekkah dan para penjahat kelas kakapnya menuju perkemahan penduduk Yatsrib guna mengajukan protes keras atas pelaksanaan perjanjian ini.
Mereka berkata, “Wahai Orang-orang Khazraj! Sesungguhnya telah sampai berita ke telinga kami bahwa kalian telah mendatangi teman kami ini untuk kalian bawa keluar dari belakang kami dan membaiatnya dalam upaya menyerang kami. Sungguh demi Allah, tidak ada satu perkampungan pun dari perkampungan yang dihuni bangsa Arab yang lebih kami benci bila terjadi perang antara kami dan mereka selain pada kalian.”
Orang-orang yang belum masuk Islam dari suku Khazraj yang memang tidak tahu tentang baiat tersebut karena dilakukan dengan sangat rahasia dan di bawah kegelapan malam. Mereka ini langsung bangkit dan bersumpah atas nama Allah, “Tidak terjadi hal seperti itu dan kami tidak mengetahuinya.” Akhirnya mereka menghadap Abdullah bin Ubay bin Salul yang langsung mengatakan, “Ini berita batil, bukan seperti ini kejadiannya dan kaumku tidak akan ada yang berani lancang terhadapku seperti ini. Andai kata aku berada di Yatsrib, niscaya kaumku tersebut tidak berani berbuat seperti itu terhadapku hingga menunggu perintahku dulu.”
Sementara itu, kaum Muslimin di kalangan mereka, satu sama lain saling melirik, kemudian membungkam diri, tidak seorang pun dari mereka yang berbicara, menyanggah ataupun membenarkan. Pada pemuka Quraisy lebih cenderung membenarkan kaum Musyrikin, lalu pulang dengan tangan hampa.
Kepastian Berita Bagi Quraisy dan Upaya Mengusir Para Peserta Baiat
Para pemimpin Mekkah akhirnya pulang dalam kondisi kurang yakin terhadap kebohongan berita tersebut. Karena itu, mereka masih melacak terus informasi tentangnya dan mengkajinya secara seksama hingga akhirnya mereka yakin bahwa sebenarnya berita itu benar adanya dan pembaiatan benar-benar telah terjadi. Berita tersebut diketahui setelah para jamaah haji pulang ke negeri mereka masing-masing. Para pasukan berkuda kaum Quraisy bergegas menguber Orang-orang Yatsrib. Namun, semua ini ibarat nasi telah jadi bubur. Hanya saja rupanya mereka sempat memergoki Saad bin Ubadah dan Al-Mundzir bin Amr, lalu langsung mengusir mereka. Terhadap Al-Mundzir, mereka tidak dapat berbuat banyak sedangkan terhadap Saad, mereka menangkapnya, kedua tangannya diikat ke lehernya dengan tali kendaraannya. Mereka memukul, menyeret dan menjambak rambutnya hingga memasuki kota Mekkah.
Tak berapa lama, Al-Muth’im bin Adi dan Al-Harits bin Harb bin Umayyah datang membebaskannya dari tangan mereka. Hal ini dapat terjadi, karena Saad pernah memberikan perlindungan kepada kafilah kedua orang tersebut untuk lewat di Madinah. Ketika mereka kehilangan jejak Saad, kaum Anshar melakukan musyawarah untuk kembali mengambilnya, namun tiba-tiba dia sudah muncul di hadapan mereka, sehingga semua bisa meneruskan perjalanan hingga sampai ke Madinah.”
Itulah Baiat Aqabah yang lebih dikenal dengan Baiat Aqabah Kubra yang berlangsung dalam suasana yang diliputi rasa cinta, loyalitas, solidaritas terhadap sesama kaum Mukminin yang terpencar-pencar, saling percaya, keberanian dan kepahlawanan di dalam menempuh jalan ini. Seorang Mukmin dari kalangan penduduk Yatsrib tentu amat empati terhadap saudaranya yang tertindas di Mekkah, loyal terhadapnya, murka terhadap orang yang menzaliminya serta bergemuruh di seluruh persendian tubuhnya perasaan kasih terhadap saudaranya ini yang dicintainya dari kejauhan karena Dzat Allah.
Curahan-curahan hati dan perasaan-perasaan seperti ini bukan muncul akibat adanya hubungan ras yang hanya numpang lewat dan sewaktu-waktu bisa saja redup, tetapi ia bersumber dari keimanan kepada Allah, Rasul, dan Kitab-Nya. Keimanan yang tidak akan luntur di hadapan kekuatan-kekuatan zalim dan musuh mana pun. Keimanan yang bila semilirnya telah berhembus, maka ia akan membawa sesuatu yang menakjubkan bagi akidah dan praktiknya. Dengan keimanan seperti ini kaum Muslimin mampu menorehkan berbagai pekerjaan di atas lembaran-lembaran masa, meninggalkan bekas padanya, tiada padanannya di masa lampau dan kontemporer, serta tidak akan ada pula pada masa yang akan datang.[]
Setelah Baiat Aqabah kedua dan Islam telah pula sukses membangun sebuah tanah air di tengah-tengah padang sahara yang masih diselimuti oleh gelombang kekufuran dan kebodohan, dan ini merupakan upaya paling sukses yang dialami Islam sejak permulaan dakwah, Rasulullah akhirnya mengizinkan kaum Muslimin untuk melakukan hijrah ke negeri tersebut.
Hijrah tidak saja berarti mengabaikan kepentingan, mengorbankan harta dan menyelamatkan jiwanya saja, dengan semboyan bahwa dirinya telah dihalalkan dan haknya terampas. Sebab, seorang yang berhijrah bisa jadi binasa di awal perjalanan atau di akhirnya. Demikian juga, ia akan berjalan menuju masa depan yang masih tak menentu, dia tidak tahu ketidakstabilan dan kesedihan apa yang nantinya menjadi dampak darinya.
Kaum Muslimin mulai berhijrah, sementara mereka telah mengetahui semua risiko itu. Di lain pihak, kaum Musyrikin berupaya menghalang-halangi keberangkatan mereka sebab sudah merasakan apa implikasinya kelak. Berikut ini beberapa gambaran hijrah mereka:
- Orang pertama yang berhijrah adalah Abu Salamah. Beliau berhijrah setahun sebelum terjadinya Baiat Aqabah Kubra berdasarkan pendapat Ibnu Ishaq. Istri dan putranya ikut serta bersamanya. Ketika dia sudah sepakat untuk berangkat, para iparnya berkata, “Kami tidak mengkhawatirkan jiwamu, tetapi apa pendapatmu mengenai wanita kami ini (maksudnya Ummu Salamah)? Apa jaminannya, jika kami biarkan dia berjalan ke negeri tersebut bersamamu?” Akhirnya mereka merebut istrinya tersebut dari tangannya.
Hal ini membuat marah keluarga besar Abu Salamah atas perlakuan terhadap salah seorang anggota keluarga mereka. Mereka lalu berkata, “Kami tidak akan membiarkan putra kami (maksudnya anak mereka berdua, Salamah) pergi bersama (ibu)nya yang telah kalian rebut dari tangan sahabat kami.” Mereka pun akhirnya saling memperebutkan putra dari kedua suami istri tersebut hingga akhirnya keluarga istri melepaskannya dan pihak keluarga Abu Salamah membawanya pergi.
Abu Salamah berangkat sendirian menuju Madinah sedangkan Ummu Salamah, setiap pagi pergi ke sebuah tempat bernama Al Abthah dan menangis di sana hingga sore hari. Hal ini dilakukannya setelah kepergian sang suami dan terampasnya sang anak dari tangannya. Tidak terasa setahun pun berlalu dari kejadian itu. Salah seorang kerabat dekat Ummu Salamah tidak tega melihat kondisinya, lalu berkata kepada sanak keluarganya yang lain, “Mengapa kalian tidak membebaskan saja wanita yang sengsara ini? Kalian telah memisahkan dirinya dengan suami dan putranya!!”
Mereka akhirnya berkata kepadanya, “Temuilah suamimu jika kamu mau!” Lalu dia meminta agar putranya dikembalikan kepadanya. Akhirnya Ummu Salamah berangkat menuju Madinah, sebuah perjalanan sejauh 500 km. Tidak ada seorang pun yang menyertainya, hingga sampailah dia ke Tan’im. Di sini, dia ditemui oleh Utsman bin Thalhah bin Abu Thalhah. Setelah mengetahui kondisinya, dia mengantarnya hingga sampai ke Madinah. Tatkala Utsman sudah dapat melihat Quba’, dia berkata, “Di perkampungan inilah suamimu itu. Masuklah, semoga Allah memberkatimu.” Kemudian Utsman berbalik untuk kembali menuju Mekkah.!
- Shuhaib bin Sinan Ar-Rumi berhijrah setelah Rasulullah. Ketika hendak berhijrah, kaum Kafir berkata kepadanya, “Saat kamu datang kemari dahulu, kondisimu miskin dan hina, lalu hartamu menjadi banyak ketika sudah berada di negeri kami dan sekarang kamu telah mencapai kekayaan seperti kondisimu saat ini. Apakah setelah itu semua, kemudian kamu hendak kabur begitu saja membawa harta dan jiwamu? Demi Allah, hal itu tidak boleh terjadi!”
Dia berkata kepada mereka, “Bagaimana pendapat kalian jika aku serahkan semua hartaku kepada kalian tetapi kalian harus biarkan aku pergi?”
Mereka menjawab, “Baiklah.”
Dia berkata lagi, “Sesungguhnya aku telah menyerahkan hartaku ini kepada kalian.”
Hal tersebut sampai ke telinga Rasulullah sembari bersabda, “Mudah-mudahan Shuhaib mendapatkan keberuntungan, mudah-mudahan Shuhaib mendapatkan keberuntungan.”?
- Umar bin Al-Khattab, Ayyasy bin Abu Rabi’ah, dan Hisyam bin Al-Ash bin Wa‘il berjanji untuk bertemu di suatu tempat pada pagi hari, untuk berhijrah ke Madinah. Lalu bertemulah Umar dan Ayyasy terlebih dahulu, namun Hisyam tertahan, sehingga tidak dapat bertemu dengan keduanya.
Tatkala keduanya sampai di Madinah dan singgah di Quba’, Abu Jahal dan saudaranya Al-Harits menjumpai ‘Ayyasy datang, ketiganya bersaudara seibu. Keduanya berkata kepadanya, “Sesungguhnya ibumu telah bernazar tidak akan menyisir rambut, dan tidak akan berteduh bila tersengat matahari hingga dia melihatmu.” Hal ini membuat hati Ayyasy menjadi iba terhadap ibunya.
Kemudian Umar berkata kepadanya, “Wahai Ayyasy! Demi Allah, sesungguhnya kaummu tidak ingin darimu selain untuk menguji agamamu, sehingga kamu terfitnah, berhati-hatilah karenanya! Demi Allah, andai kata ada seekor kutu yang menggigiti ubun kepala ibumu, pasti dia akan menyisirnya dan andai kata panas demikian menyengat di Mekkah, pastilah dia akan berteduh!” Namun, ‘Ayyasy ngotot untuk keluar bersama kedua saudaranya tersebut, sehingga sumpah ibunya tidak jadi dilangsungkan.
Umar berkata kepadanya, “Bila memang kamu sudah bertekad demikian, maka ambillah untaku ini sebab ia unta yang cerdas dan mudah ditundukkan. Tetaplah di atas punggungnya, jika ada sesuatu yang mencurigakan dari mereka, maka selamatkan dirimu bersamanya.”
Lalu dia keluar bersama kedua saudaranya dengan menunggangi unta tersebut hingga ketika sampai di sebagian perjalanan, Abu Jahal berkata kepadanya, “Wahai anak saudaraku! Demi Allah, untaku ini sudah membandel, sudikah kamu membiarkan aku duduk di atas untamu itu, di belakangmu?” Dia menjawab, “Tentu saja!” Dia lalu mengekang untanya sembari turun agar bisa bergeser.
Keduanya melakukan hal yang sama. Namun, tatkala mereka sudah sama-sama menapaki jalan, tiba-tiba mereka berdua melompat ke arahnya lalu mengikatnya. Kemudian mereka berdua membawanya serta ke Mekkah pada siang hari dalam kondisi terikat. Keduanya berteriak, “Wahai penduduk Mekkah! Beginilah yang harus kalian lakukan terhadap Orang-orang bodoh di kalangan kalian seperti yang kami lakukan terhadap orang bodoh di kalangan kami ini.”
Demikianlah tiga contoh perlakuan kaum Musyrikin terhadap orang yang ingin berhijrah, begitu mereka mengetahuinya, akan tetapi sekalipun demikian, manusia tetap secara berbondong-bondong berangkat, sebagian mengikuti sebagian yang lain. Setelah Baiat Aqabah berlalu dua bulan lebih beberapa hari, tidak ada lagi seorang Muslim selain Rasulullah, Abu Bakar, dan Ali yang tersisa di sana. Kedua orang sahabat ini ikut serta tinggal karena perintah dari beliau. Demikian juga masih tinggal orang yang ditahan oleh kaum musyrik secara paksa. Rasulullah sendiri telah mempersiapkan segala sesuatunya menunggu kapan diperintahkan keluar, demikian juga Abu Bakar melakukan hal yang sama.‘
Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Aisyah w yang berkata, “Rasulullah berkata kepada kaum Muslimin, ‘Sesungguhnya aku telah diperlihatkan negeri hijrah kalian, sebuah tempat yang ditumbuhi pepohonan kurma, terletak antara dua kawasan yang diselimuti bebatuan hitam.” Akhirnya, berhijrahlah sahabat yang mampu melakukannya menuju Madinah. Sedangkan kaum Muslimin yang masih berada di Habasyah, mayoritas segera berhijrah lagi menuju Madinah.
Abu Bakar juga sudah berkemas-kemas untuk berangkat menuju Madinah, lalu Rasulullah berkata kepadanya, ‘Jangan terburu-buru dulu, sesungguhnya aku berharap segera diizinkan.’ Abu Bakar balik bertanya kepada beliau, ‘Sungguh, apakah Anda mengharapkan hal itu?’ Beliau menjawab, ‘Ya.’ Akhirnya Abu Bakar menahan dirinya demi tetap bersama Rasulullah guna menemaninya dan memberi makan kedua unta mereka dengan dedaunan yang jatuh. Kondisi tersebut berlangsung selama empat bulan.”
Sidang di Parlemen Quraisy “Darun Nadwah”
Ketika Orang-orang musyrik melihat para sahabat Rasulullah telah berkemas-kemas untuk berhijrah dengan membawa dan menggiring keturunan dan anak-anak serta harta mereka menuju perlindungan kaum Aus dan Khazraj, terjadilah kegemparan di kalangan mereka yang menimbulkan kekhawatiran dan kegelisahan. Perasaan cemas yang selama ini belum pernah mereka alami, kini menghantui mereka.
Bahaya nyata dan serius yang akan mengancam sendi-sendi pangan dan ekonomi mereka telah menampakkan wujudnya di hadapan mereka. Mereka mengetahui persis sosok Muhammad yang memiliki pengaruh yang begitu besar sekaligus gaya kepemimpinan dan pengarahan yang sempurna. Demikian pula dengan tekad bulat, keistiqamahan, serta pengorbanan diri di jalan Allah yang dimiliki oleh para sahabatnya. Belum lagi kekuatan dan ketangguhan yang dikenal dari suku Aus dan Khazraj dan para cendekiawan kedua suku yang memiliki naluri perdamaian dan kesalehan serta mampu mengajak untuk membuang rasa dendam di antara kedua belah pihak setelah selama bertahun-tahun Lamanya mereka menelan pahitnya perang saudara.
Kaum Musyrikin juga mengetahui letak strategis kota Madinah untuk Jalu lintas jalur perdagangan yang melewati pinggir pantai Laut Merah dari arah Yaman hingga menuju kawasan Syam. Penduduk Mekkah sejak dari dulu melakukan transaksi dagang sebesar seperempat juta dinar emas per-tahunnya ke kawasan Syam. Jumlah ini di luar hasil bumi yang dimiliki oleh daerah Thaif dan daerah lainnya. Sebagai dimaklumi, bahwa perdagangan hanya berjalan bilamana stabilitas keamanan di jalur perdagangan tersebut terjamin. Tidak asing lagi tentunya bila dakwah Islamiyah sudah berpusat di Yatsrib, maka hal ini akan sangat membahayakan sekali bagi kaum Quraisy, apalagi bila penduduknya berseteru dengan mereka.
Kaum Musyrikin telah merasakan betapa seriusnya bahaya yang akan mengancam kelangsungan sendi kekuasaan mereka. Karenanya, mereka membahas sarana yang paling manjur guna menghadang bahaya tersebut. Bahaya yang sumber utamanya tidak lain adalah pemangku panji Islam, Muhammad.
Pada hari Kamis, tanggal 26 Shafar tahun 14 kenabian, yang bertepatan dengan September 622 M—yakni setelah lebih kurang dua bulan setengah dari berlangsungnya Baiat Kubra—parlemen Mekkah (Darun Nadwah) mengadakan pertemuan yang paling kritis dalam sejarahnya, tepatnya pada permulaan siang. Pertemuan ini dihadiri oleh semua perwakilan kabilah-kabilah Quraisy guna mempelajari langkah pasti yang dapat menjamin keberhasilan secara cepat di dalam menghabisi pemangku panji dakwah Islam tersebut dan memutus aliran cahayanya, sehingga eksistensinya berakhir untuk selama-lamanya.
Di antara wajah-wajah terpandang yang mewakili kabilah-kabilah Quraisy yang hadir dalam pertemuan yang amat kritis itu adalah:
- Abu Jahal bin Hisyam, mewakili kabilah Bani Makhzum.
- Jubair bin Muth’im, Thu’aimah bin Adi, Al-Harits bin Ami; (ketiganya mewakili Bani Naufal bin Abdu Manaf)
- Syaibah bin Rabi’ah, Utbah bin Rabi’ah, Abu Sufyan bin Harb (ketiganya mewakili Bani Abdu Syams bin Abdu Manaf)
- An-Nadhr bin Al-Harits, mewakili Bani Abdud Dar
- Abul Bukhturi bin Hisyam, Zam’ah bin Al-Aswad, Hakim bin Hizam, ketiganya mewakili Bani Asad bin Abdul Uzza)
- Nabih bin Al-Hajjaj, dan Munabbih bin Al-Hajjaj (keduanya mewakili Bani Sahm)
- Umayyah bin Khalaf, mewakili Bani Jumah
Tatkala mereka telah berdatangan menuju Darun Nadwah sesuai janji yang telah ditentukan, datanglah Iblis menghadang mereka dalam rupa seorang tua yang berwibawa dan mengenakan pakaian yang tebal. Dia berdiri di depan pintu. Para hadirin menegurnya, “Siapa gerakan bapak tua?”
Dia menjawab, “Orang tua, penduduk Najd yang telah mendengar tentang tujuan kalian bertemu ini. Dia datang bersama kalian untuk mendengar apa yang akan kalian katakan, barangkali saja pendapat dan nasihatnya berguna bagi kalian.” Mereka berkata, “Baiklah, silakan masuk!” Lalu dia masuk bersama mereka.
Dialog di Parlemen dan Keputusan Keji untuk Membunuh Nabi
Setelah pertemuan dilangsungkan, maka mulailah diajukan beberapa usulan dan solusi. Terjadilah perdebatan yang alot.
Abul Aswad berkata, “Kita usir dia dari tengah-tengah kita dan membuangnya dari negeri ini. Kita tidak perlu peduli, ke mana dia pergi dan apa yang kiranya terjadi terhadap dirinya. Dengan demikian, kita telah memperbaiki urusan kita dan mengembalikannya seperti kondisi semula.”
Si orang tua dari Najd menimpali, “Demi Allah, tidak demikian. Ini bukanlah pendapat yang tepat. Bukankah kalian sudah mengetahui betapa indah cara bicaranya, manisnya ucapannya dan betapa kemampuannya menguasai hati manusia terhadap ajaran yang dibawanya? Demi Allah, andai kata kalian lakukan seperti yang diusulkan tadi, niscaya kalian tidak akan dapat menjamin bila dia singgah di suatu perkampungan Arab, lantas membawa mereka untuk menyerang kalian—setelah mereka tunduk terhadapnya—hingga dia mampu menginjak-injak kalian melalui mereka di negeri kalian ini, kemudian memperlakukan kalian sesuka hatinya. Karenanya, rancanglah pendapat selain ini.”
Lalu Abu Al-Bukhturi berkata, “Kurung dia di dalam kerangkeng besi, kunci pintunya lalu kalian tunggu apa yang akan dialaminya sebagaimana para penyair sebelumnya seperti Zuhair, An-Nabighah dan Orang-orang dulu selain mereka mati dengan cara ini, sehingga dia juga bisa merasakan apa yang pernah dirasakan oleh mereka itu.”
Si orang tua dari Najd mengomentari, “Demi Allah, tidak juga demikian. Ini bukanlah pendapat yang bagus. Demi Allah, andai kata kalian kurung dia sebagaimana yang kalian katakan, niscaya masalahnya akan mampu keluar dari balik jeruji yang kalian kunci ini berpindah kepada para sahabatnya. Sungguh, mereka pasti akan menyerang kalian, lantas merampasnya dari tangan kalian kemudian datang secara beramai-ramai kepada kalian hingga mengalahkan kalian dan rencana kalian. Karena itu, ini bukanlah pendapat yang tepat, coba pikirkan yang lainnya.”
Setelah parlemen menolak kedua pendapat tersebut, lalu diajukanlah usulan keji yang kemudian disepakati oleh semua anggota. Usulan ini dilontarkan oleh penjahat kelas kakap Mekkah, Abu Jahal bin Hisyam. Dia berkata, “Demi Allah, aku memiliki pendapat yang aku kira belum terpikirkan oleh kalian.”
Mereka bertanya-tanya kepadanya, “Apa gerangan pendapatmu itu, wahai Abul Hakam!”
“Aku berpendapat bahwa kita harus memilih seorang pemuda yang gagah dan bernasab baik sebagai wakil tiap-tiap kabilah. Kemudian kita berikan kepada tiap-tiap wakil itu pedang terhunus. Mereka selanjutnya, akan membunuhnya secara bersama-sama dengan satu tikaman masing-masing. Dengan begitu, kita bisa terbebas dari ancamannya. Sebab, bila mereka melakukan hal itu, berarti darahnya telah ditumpahkan oleh semua kabilah, sehingga Bani Abdu Manaf tidak akan mampu memerangi semua kabilah. Hasilnya, mereka terpaksa harus menerima dengan lapang dada dan kita pun merasa puas karenanya.”
Si orang tua dari Najd tersebut menimpali lagi, “Pendapat yang tepat adalah pendapat orang ini (maksudnya, Abu Jahal). Inilah pendapat yang saya kira tidak ada lagi yang lebih tepat daripadanya.”
Akhirnya parlemen Mekkah pun menyetujui usulan yang keji ini dan tiap-tiap perwakilan kembali ke rumah masing-masing sembari bertekad bulat untuk melaksanakan keputusan tersebut secepatnya.[]
Ketika keputusan keji untuk membunuh Nabi telah diambil, malaikat Jibril turun membawa wahyu Tuhannya, yang isinya memberitahukan kepada beliau tentang persekongkolan kaum Quraisy tersebut dan izin Allah kepada beliau untuk hijrah dari Mekkah. Jibril telah menentukan waktu hijrah tersebut dengan mengatakan, “Malam ini, engkau jangan berbaring di tempat tidur yang biasanya.”
Nabi pergi ke kediaman Abu Bakar di tengah terik matahari untuk bersama-sama menyepakati tahapan hijrah. Aisyah berkata, “Ketika kami sedang duduk-duduk di kediaman Abu Bakar pada siang hari yang panas, tiba-tiba ada seseorang berkata kepada Abu Bakar, “Ini Rasulullah datang dengan menutup wajah pada waktu yang tidak biasa beliau mendatangi kita.”
Abu Bakar berkata, “Ayah dan ibuku sebagai tebusan untuknya. Demi Allah, beliau tidak datang pada waktu-waktu seperti ini kecuali karena ada perintah (Allah).”
Aisyah melanjutkan, “Lalu Rasulullah datang dan meminta izin masuk, lantas diizinkan dan beliau pun masuk. Kemudian Nabi berkata kepada Abu Bakar, “Keluarkan Orang-orang yang ada di sisimu!”
Abu Bakar menjawab, “Mereka hanyalah keluargamu, wahai Rasulullah!” Beliau berkata lagi, “Sesungguhnya telah diizinkan kepadaku untuk keluar (berhijrah).” Abu Bakar berkata, “Engkau ingin ditemani, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ya.”
Setelah disepakati rencana hijrah tersebut, Rasulullah pulang ke rumah beliau, menunggu datangnya malam.
Pengepungan Rumah Rasulullah
Para penjahat kelas kakap Quraisy, menggunakan waktu siang mereka untuk mempersiapkan diri guna melaksanakan rencana yang telah digariskan berdasarkan kesepakatan Parlemen Mekkah “Darun Nadwah” pada pagi harinya. Untuk eksekusi tersebut, dipilihlah sebelas orang pemuka mereka, yaitu:
- Abu Jahal bin Hisyam
- Al-Hakam bin Abul Ash
- Uqbah bin Abul Ash
- An-Nadhr bin Al-Harits
- Umayyah bin Khalaf
- Zam’ah bin Al-Aswad
7 Thu’aimah bin Adi
- Abu Lahab
- Ubay bin Khalaf
- Nabih bin Al-Hajjaj
- Munabbih bin Al-Hajjaj
Ibnu Ishaq berkata, “Ketika malam telah gelap, mereka berkumpul di depan pintu rumah Rasulullah dan mengintai kapan beliau bangun, sehingga dapat menyergapnya.”?
Kebiasaan yang selalu Rasulullah lakukan adalah tidur pada awal malam dan keluar menuju Masjid Haram setelah pertengahan atau dua pertiganya untuk shalat di sana.
Orang-orang Quraisy benar-benar yakin bahwa persekongkolan keji kali ini akan membuahkan hasil. Hal ini membuat Abu Jahal berdiri tegak dengan penuh keangkuhan dan kesombongan. Dia berkata kepada para rekannya yang ikut mengepung rumah Nabi dengan nada mengejek dan merendahkan, “Sesungguhnya Muhammad mengklaim bahwa jika kalian mengikuti ajarannya, niscaya kalian akan dapat menjadi raja diraja bangsa Arab dan non-Arab. Kemudian kelak kalian akan dibangkitkan setelah mati, lalu dijadikan bagi kalian surga-surga seperti suasana surgawi di lembah-lembah Yordania. Jika kalian tidak mau melakukannya, dia akan menyembelih kalian, kemudian kalian dibangkitkan setelah mati, lalu dijadikan bagi kalian api yang membakar.”
Waktu suksesi persekongkolan tersebut adalah setelah pertengahan malam saat beliau biasa keluar dari rumah. Mereka melewati malam tersebut dengan berjaga-jaga sembari menunggu tengah malam tepat. Namun, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, di Tangan-Nya urusan langit dan bumi, Dia melakukan apa yang dikehendaki-Nya, Dialah Yang Maha Melindungi dan tidak ada yang dapat melindungi selain-Nya. Dia telah menetapkan janji yang telah difirmankan-Nya kepada Rasulullah setelah itu:
Dan (ingatlah), ketika Orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu, dan Allah Sebaik-baik pembalas tipu daya. (Al-Anfal: 30)
Rasulullah Meninggalkan Rumahnya
Sekalipun persiapan yang dilakukan oleh kaum Quraisy untuk melaksanakan rencana keji tersebut sedemikian ekstra, namun mereka tetap mengalami kegagalan yang memalukan. Pada malam itu, Rasulullah berkata kepada Ali bin Abu Thalib, “Tidurlah di tempat tidurku, berselimutlah dengan burdah hijau yang berasal dari Hadramaut, milikku ini. Gunakanlah untuk tidurmu, sebab tidak akan ada sesuatu pun yang engkau benci dari mereka yang mampu menjangkaumu.” Bila akan tidur, biasanya Rasulullah selalu memakai burdah nya tersebut.
Sementara Rasulullah telah berhasil keluar dan menembus barisan, barisan mereka. Beliau memungut setumpuk tanah dari Al-Bathha’, lalu menaburkannya ke arah kepala mereka. Ketika itu, Allah telah mencabut pandangan mereka dari melihat beliau, sehingga tidak dapat melihat beliau. Sedangkan beliau membaca firman-Nya:
“Dan Kami adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding (pula), dan Kami tutup (mata) mereka, sehingga mereka tidak dapat melihat.” (Yasin: 9)
Tidak ada seorang pun yang tersisa. Semuanya beliau taburi tanah di atas kepalanya. Kemudian beliau berjalan menuju kediaman Abu Bakar, dan selanjutnya keduanya keluar melalui pintu kecil (celah kecil di bagian belakang) rumah Abu Bakar pada malam hari hingga tembus ke Gua Tsur yang menuju ke arah ke Yaman.
Orang-orang Quraisy yang mengepung rumah beliau tetap menunggu hingga waktu yang tepat dan menjelang tiba waktu tersebut, tanda-tanda kesia-siaan dan kegagalan sudah tampak bagi mereka. Seorang laki-laki yang tidak ikut serta dalam pengepungan tersebut datang dan melihat mereka sedang berada di pintu rumah beliau. Ia kemudian menanyai mereka, “Apa gerangan yang kalian tunggu?” Mereka menjawab, “Muhammad.”
Dia berkata, “Sungguh, telah sia-sia dan merugilah kalian. Demi Allah, dia telah melewati kalian dan menaburkan tanah ke atas kepala-kepala kalian, lalu pergi sesuai keinginannya.”
Mereka berkata, “Demi Allah, kami tidak melihatnya!” Mereka bangkit sampil mengusap tanah yang menempel di kepala mereka.
Untuk meyakinkan, mereka mengintip dari arah pintu dan melihat Ali, yang mereka sangka Muhammad. Lalu berkata, “Demi Allah, sesungguhnya ini adalah Muhammad yang sedang tidur dan masih memakai burdahnya.”
Mereka pun masih tetap menunggu hingga pagi menjelang. Ali bangun dari tempat tidur. Melihat hal ini, mereka menjadi linglung lalu menanyainya perihal Rasulullah. Dia menjawab, “Aku tidak mengetahui tentangnya.”’
Perjalanan dari Rumah Menuju Gua
Rasulullah meninggalkan rumah beliau pada malam tanggal 27 Shafar tahun 14 kenabian, bertepatan dengan tanggal 12 atau 13 September 622 M. Setelah itu, beliau menuju kediaman sahabat setianya, Abu Bakar, sedangkan kaum Muslimin mendoakan keamanan untuk perjalanan dan hartanya. Kemudian kedua-duanya meninggalkan rumah Abu Bakar tersebut dengan melewati pintu belakang lantas bersama-sama keluar dari Mekkah secepatnya sebelum fajar terbit.
Nabi telah mengetahui bahwa Orang-orang Quraisy akan berupaya keras untuk mencarinya dan jalan yang pertama kali akan disisir oleh mereka adalah jalan utama kota Madinah yang menuju ke arah utara. Oleh karena itu, beliau memilih jalan yang berlawanan arah sama sekali, yaitu jalan yang terletak di selatan Mekkah, yang menuju ke arah Yaman. Beliau menempuh jalan ini sepanjang 5 mil, hingga akhirnya sampai ke sebuah bukit yang dikenal dengan bukit Tsur. Ia adalah bukit yang tinggi, jalannya terjal, sulit didaki dan banyak bebatuan. Kondisi ini membuat kaki Rasulullah lecet.
Ada riwayat yang menyebutkan, bahkan ketika berjalan di jalur tersebut, beliau bertumpu pada ujung-ujung kaki agar jejak perjalanannya tidak tampak, karenanya kedua kaki beliau jadi lecet. Apa pun kondisinya, beliau kemudian harus diemban oleh Abu Bakar ketika mencapai bukit. Abu Bakar mulai memeganginya dengan kencang hingga akhirnya sampai ke sebuah gua di puncak bukit yang di kemudian hari dikenal oleh sejarah dengan nama Gua Tsur.
Saat Berdua di Dalam Gua
Ketika telah tiba di gua, Abu Bakar berkata, “Demi Allah, jangan engkau masuk dulu sebelum aku masuk. Jika ada sesuatu di dalamnya, biarlah aku yang mengalaminya saja. Dia masuk lalu menyapunya. Dia menemukan di sampingnya ada beberapa lubang, lantas menyobek kainnya dan menyumbatnya. Kemudian keduanya tinggal dua lagi, lantas menutupnya dengan kedua kakinya. Beliau kemudian berkata kepada Rasulullah “Masuklah.”
Rasulullah pun masuk dan merebahkan kepalanya di pangkuannya lalu tertidur, sementara kaki Abu Bakar disengat binatang berbisa dari lubang yang ditutupinya. Namun, dia tidak bergerak sedikit pun karena khawatir membangunkan Rasulullah. Kondisi ini membuat air matanya menetes hingga membasahi wajah Rasulullah. Beliau berkata kepadanya, “Ada apa denganmu, wahai Abu Bakar?” “Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu, wahai Rasulullah! Aku telah disengat,” jawabnya. Lantas Rasulullah meludah kecil ke bekas sengatan tersebut, sehingga apa yang dirasakannya hilang sama sekali.’?!!
Keduanya tinggal di dalam gua tersebut selama tiga malam; dari malam Jumat, Sabtu, hingga malam Ahad. Sementara pada malam-malam itu, Abdullah, putra Abu Bakar mendampingi mereka berdua. Aisyah bertutur, “Dia seorang anak yang sudah menginjak usia balig, cerdas dan cepat paham. Dia berjalan pada penghujung malam mengunjungi keduanya, sehingga dia seakan-akan sama-sama bermalam dengan Orang-orang Quraisy. Semua perintah yang disiasati oleh keduanya terhadapnya dapat dicernanya dengan baik. Dia membawa berita tentang hal itu kepada keduanya ketika sudah bercampur gelap. Amir bin Fuhairah, bekas budak Abu Bakar, menggembalakan kambing perah untuk Rasulullah dan Abu Bakar, dan mengistirahatkannya untuk sesaat di malam hari, sehingga keduanya dapat bermalam sembari meminum dari perahan susu kambing tersebut, kemudian Amir bin Fuhairah memanggil keduanya pada akhir malam. Dia melakukan hal itu selama tiga malam tersebut.’
Setelah Abdullah bin Abu Bakar pulang ke Mekkah, Amir bin Fuhairah menggiring kambingnya untuk mengikuti jejaknya guna menghapusnya.
Sementara kaum Quraisy semakin menjadi-jadi kegilaannya manakala mengetahui secara pasti pada pagi harinya lolosnya Rasulullah dari eksekusi persekongkolan yang mereka lakukan. Tindakan pertama yang mereka lakukan adalah memukuli Ali, menyeretnya ke Kabah, dan mengurungnya untuk sesaat sebagai upaya mendapatkan informasj tentang keduanya.”
Manakala tindakan mereka terhadap Ali tidak membuahkan hasil, mereka mendatangi rumah Abu Bakar lalu mengetuk pintunya. Ketika itu, Asma binti Abu Bakar keluar menemui mereka, lantas mereka berkata kepadanya, “Mana ayahmu?”
“Demi Allah, aku tidak tahu ke mana ayahku,” jawabnya.
Abu Jahal mengangkat tangannya—dia ini dikenal orang yang berperangai jorok dan tak senonoh—lantas menampar pipi Asma’ dengan sebuah tamparan yang menyebabkan anting-antingnya jatuh.
Di dalam sidang istimewanya Orang-orang Quraisy memutuskan untuk menggunakan semua sarana untuk menangkap kedua orang tersebut. Mereka menjadikan semua jalur menuju Mekkah dari semua penjuru di bawah pengawasan yang sangat ketat dan bersenjata. Selain itu, mereka juga memutuskan untuk memberikan hadiah besar senilai 100 ekor unta sebagai harga mati untuk masing-masing keduanya bagi siapa saja yang dapat membawa keduanya ke hadapan Orang-orang Quraisy, apa pun kondisinya; dalam keadaan hidup ataupun mati.!”
Ketika itulah para pasukan berkuda, pejalan kaki dan pelacak jejak sama-sama berupaya keras untuk melakukan pencarian dan menyebar sampai ke lereng-lereng perbukitan, lembah, dataran rendah dan tinggi namun hal itu tidak membuahkan hasil dan manfaat.
Para pelacak tersebut telah sampai pula ke mulut gua, akan tetapi Allah Maha Menguasai urusan-Nya.
Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Anas dari Abu Bakar, dia berkata, “Aku berada di sisi Nabi di gua, lalu aku mengangkat kepalaku. Ternyata, di situ ada kaki-kaki mereka. Lantas aku berkata, ‘Wahai Rasulullah! Andai kata sebagian mereka menoleh ke bawah pasti dia dapat melihat kita.’ Beliau berkata, ‘Diamlah, wahai Abu Bakar! Kita berdua tapi Yang ketiganya adalah Allah.” Di dalam lafal riwayat yang lain, ‘Apa pendapatmu, bila ada dua orang sedangkan Yang ketiganya adalah Allah?’
Kejadian tersebut merupakan mukjizat yang dianugerahkan oleh Allah kepada nabi-Nya dalam rangka memuliakannya padahal para pelacak tersebut hanya beberapa langkah lagi mencapai diri beliau.
Perjalanan Menuju Madinah
Ketika semangat untuk mencari sudah mulai mengendur, aktivitas patroli pemeriksaan sudah dihentikan, serta gejolak emosi kaum Quraisy sudah mulai reda setelah secara terus-menerus dan serius pelacakan dilakukan selama tiga hari tanpa membuahkan hasil, Rasulullah dan sahabat setianya itu pun keluar menuju Madinah.
Sebelumnya, mereka berdua telah menyewa Abdullah bin Uraigith Al-Laitsi, yang merupakan penunjuk jalan yang berpengalaman di dalam menelusuri jalan. Dia ketika itu masih menganut agama kaum Kafir Quraisy, namun keduanya menaruh kepercayaan kepadanya dan menyerahkan kedua unta mereka kepadanya. Setelah itu mereka berdua membuat perjanjian dengannya untuk bertemu di gua Tsur setelah tiga malam dengan membawa kedua unta tersebut.
Ketika malam Senin, awal Rabi’ul Awwal 1 H atau bertepatan dengan 16 September 622 M, Abdullah bin Uraiqith menemui keduanya dengan membawa kedua unta itu. Ketika itu, Abu Bakar berkata kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, gunakanlah salah satu dari dua untaku ini.” Dia menyerahkan kepada beliau yang terbaik dari keduanya. Lalu Rasulullah berkata kepadanya, “Aku harus membelinya.”
Asma binti Abu Bakar mendatangi keduanya dengan membawa bekal makanan namun lupa mengikatnya dengan tali. Ketika keduanya sudah berangkat, dia pergi untuk mengikat bekal makanan tersebut namun ternyata tidak memakai tali, lalu dia menyobek ikat pinggangnya menjadi dua bagian, satu bagian dia ikatkan ke bekal makanan tersebut dan yang satu lagi untuk dipakainya. Ketika itulah dia kemudian dijuluki Dzatun Nithaqain (pemilik dua ikat pinggang).
Kemudian Rasulullah dan Abu Bakar berangkat. Amir bin Fuhairah juga ikut dalam perjalanan ini. Mereka semua dibimbing oleh Abdullah bin Uraiqith dengan menempuh jalur pesisir pantai.
Ketika telah keluar dari gua, jalur pertama yang ambil untuk membimbing mereka adalah arah selatan menuju Yaman, kemudian ke arah Barat menuju pesisir. Lalu setelah tembus ke jalan yang tidak pernah dijejaki orang, dia menuju arah utara, dekat pinggir pantai Laut Merah. Jalur ini sangat jarang ditempuh orang.
Ibnu Ishaq menyebutkan lokasi-lokasi yang pernah dilalui oleh Rasulullah di jalur tersebut. Dia berkata, “Ketika penunjuk jalan membimbing keduanya keluar, dia membawa mereka berdua menelusuri jalur dataran rendah kota Mekkah, kemudian menempuh kawasan pesisir hingga Menjumpai jalan tembus arah bawah dari Asfan. Kemudian mereka bergerak lagi menuju jalan bawah Amaj. Setelah itu dia meminta izin kepada keduanya untuk melintas hingga akhirnya menjumpai jalan tembus setelah melintasi Qudaid, kemudian membawa keduanya melintasi dari tempatnya tersebut.
Mereka lalu menelusuri jalan di wilayah Al-Kharar, Tsaniyyatul Murrah, Laqfa, dan kemudian melewati Mudlijah Laqaf, kemudian membawa keduanya memasuki Mudlijah Mujaj, kemudian menelusuri Marjah Muhaj, kemudian memasuki ke pedalaman Marjah Dzil Ghudlwain, kemudian memasuki Dzu Kasyr, kemudian membawa keduanya menuju Al-Jadajid, lalu Al-Ajrad, kemudian menelusuri Dzu Salam yang merupakan pedalaman musuh suku Mudlijah Ta’han, kemudian menuju Al-Ababid, kemudian melewati Al-Fajah, kemudian menuruni Al-Araj, kemudian menelusuri Tsaniyyatul Air, posisi kanan Rukubah, hingga akhirnya menuruni pedalaman Ri‘m, dan akhirnya bersama keduanya tiba di Quba.
Berikut kami paparkan sebagian peristiwa yang terjadi dalam perjalanan tersebut:
- Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Bakar Ash-Shiddiq a, dia berkata, “Kami telah melakukan perjalanan sepanjang malam dan dari keesokan harinya hingga hari mencapai suhu udara yang amat terik, jalanan lengang dan tidak satu pun pelalu lalang. Lalu aku mengangkat sebuah batu besar yang berukuran panjang dan dapat dinaungi, sehingga tidak tersengat oleh terik matahari, lalu kami singgah untuk berteduh di sana. Aku meratakan tempat dengan tanganku sendiri untuk Nabi, sehingga beliau dapat tidur.
Kemudian aku bentangkan hamparan yang terbuat dari bulu binatang, sembari berkata, ‘Tidurlah, wahai Rasulullah! Aku akan mengontrol kondisi di sekelilingmu’ Lantas beliau tertidur dan aku mengontrol kondisi di sekelilingnya, tiba-tiba aku melihat seorang penggembala sedang menggiring kambingnya menuju batu besar tersebut juga, dia ingin melakukan seperti yang kami lakukan.
Aku pun bertanya kepadanya, “Kamu menggembalakan kambing untuk siapa, wahai anakku.”
Dia menjawab, “Seorang dari penduduk Madinah.” (Dalam versi lain, “dari penduduk Mekkah.”)
Aku bertanya, “Apakah kambing yang kamu gembalakan ada air susunya?”
Dia menjawab, “Ya.”
“Apakah dapat diperah?” tanyaku
Dia menjawab, “Ya.”
Lalu dia mengambil seekor kambing.
Aku berkata, “Perahlah susunya hingga tidak bersisa dan hindari dari tanah, bulu dan debu halus di matanya.”
Lalu dia memerah semua air susu yang terkumpul pada setiap persendiannya. Saya memiliki wadah kecil berisi air dan membawanya kepada Nabi untuk beliau minum dan berwudhu darinya. Aku mendatanginya namun mendapatkannya masih tertidur, sehingga aku tidak ingin membangunkannya, lalu setelah beliau terjaga barulah aku memberikannya. Aku menuangkan air ke susu, sehingga bagian bawahnya menjadi dingin. Lalu aku berkata, “Minumlah, wahai Rasulullah!”
Dia pun meminumnya hingga aku puas, kemudian beliau berkata, “Bukankah sudah waktunya berangkat?”
Aku menjawab, “Benar.” Dia (Abu Bakar) berkata, “Lalu kami berangkat.”?!
- Di antara kebiasaan yang dilakukan oleh Abu Bakar adalah selalu membonceng Nabi. Hal ini, karena Abu Bakar adalah orang yang lebih tua dan dikenal, sedangkan Nabi masih muda dan belum dikenal. Seorang laki-laki berkata kepada Abu Bakar, “Siapa laki-laki yang bersamamu ini?” Dia menjawab, “Orang ini penunjuk jalan bagiku.” Maksud Abu Bakar, “Menunjukkan jalan kebaikan.” Namun, orang tersebut mengira hanya sekedar pemandu jalan yang ditempuh.”
- Rasulullah dan Abu Bakar diincar oleh Suraqah bin Malik. Suraqah mengisahkan, “Ketika aku sedang duduk-duduk di majelis kaumku, Bani Mudlij, datanglah seorang laki-laki dari mereka hingga berdiri di hadapan kami yang masih duduk-duduk sembari berkata, ‘Wahai Suraqah! Barusan aku telah melihat para musuh di pesisir. Aku kira mereka itu Muhammad dan para sahabatnya. Lalu tahulah aku bahwa memang mereka orangnya. Lantas aku berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya yang kamu lihat bukan mereka, tetapi kamu melihat si fulan dan si fulan yang berangkat di depan mata kita. Kemudian aku berdiam di majelis sesaat, lalu berdiri dan masuk lagi. Lantas aku menyuruh budak wanitaku agar mengeluarkan kudaku yang berada di belakang bukit, lalu dia menahannya untukku.
Aku mengambil tombakku lantas keluar melalui bagian belakang rumah. Aku membuat garis di tanah dengan kepala tombakku, dan menurunkan bagian atasnya hingga aku menghampiri kudaku lantas menunggangnya. Aku mengendalikannya agar membawaku lebih dekat hingga aku mendekat dari mereka, namun kudaku terjungkal, sehingga aku terjatuh darinya, lalu aku berdiri sembari tanganku memegangi busur panah lalu mengeluarkan anak-anak panah lantas mengundinya, apakah aku harus mencelakai mereka atau tidak.
Namun, undian yang keluar justru yang tidak aku sukai, lantas aku menunggangi kudaku lagi dan tidak memedulikan undian yang keluar tadi, kudaku membawaku mendekat hingga ketika aku mendengar bacaan Rasulullah sementara beliau dalam kondisi tidak menoleh, hanya Abu Bakar yang lebih banyak menoleh, terperosoklah kedua kaki kudaku ke dalam perut bumi hingga sebatas lutut yang membuatku terjatuh lagi darinya, kemudian aku menderanya, lalu ia bangkit lagi namun kedua lengannya itu hampir tidak dapat dikeluarkan.
Ketika ia sudah berdiri tegak, tiba-tiba bekas kedua lengannya, tadi menimbulkan debu yang mengepul di langit seperti asap, lantas, aku mengundi dengan anak panah lagi, namun sekali lagi yang keluar adalah yang justru aku benci, lantas aku berteriak memanggil mereka bahwa mereka aman. Mereka pun menghentikan langkah, lalu aku menunggangi kudaku hingga menemui mereka. Ketika aku bertemu dan mengingat apa yang aku alami baru saja saat tertahan dari menjamah mereka, terbesit di dalam diriku bahwa apa yang dibawa Rasulullah ini akan mendapatkan kemenangan.
Lalu aku berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya kaummu telah menjadikan tebusan terhadap dirimu.’ Aku juga memberitahukan mereka perihal apa yang akan diinginkan Orang-orang terhadap mereka. Lantas aku menawarkan mereka perbekalan dan barang, namun beliau tidak melakukan tawaran terhadapku dan tidak menanyaiku kecuali hanya berkata, ‘Ringankan harganya dari kami.’ Lalu aku memintanya agar menuliskan rekomendasi perlindungan untukku, maka beliau memerintahkan Amir bin Fuhairah untuk menuliskannya, lalu dia menulisnya untukku pada secarik kulit. Kemudian Rasulullah pun pergi berlalu.”
Dalam riwayat yang lain dari Abu Bakar, dia berkata, “Kami berangkat sementara Orang-orang Quraisy menguber kami namun tidak seorang pun yang berhasil menemui kami selain Suraqah bin Malik bin Ju’syum yang menunggangi kudanya. Lalu aku berkata, ‘Pelacakan ini telah mencapai kita, wahai Rasulullah!’ Lantas beliau bersabda, Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.’ (At-Taubah 40).
Suraqah kemudian pulang dan mendapatkan Orang-orang masih mengadakan pencarian. Lalu dia berujar, “Aku sudah mendapatkan berita pasti tentangnya untuk kalian, sehingga sudah cukuplah bagi kalian hingga di sini.” Dalam hal ini, di pangkal hari dia sebelumnya sebagai orang yang gigih menguber keduanya, namun di penghujungnya justru menjadi pelindung bagi keduanya.
- Dalam perjalanannya tersebut, beliau melewati kemah Ummu Ma’bad Al-Khuza’iyyah. Dia seorang wanita yang cerdas dan pekerja ulet, sudah terbiasa hidup di halaman kemahnya, kemudian memberi makan dan minum pelalu lalang di sana. Lantas mereka berdua bertanya kepadanya apakah dia memiliki sesuatu?
Dia menjawab, “Demi Allah, andai kata kami memiliki sesuatu niscaya kami tidak akan kikir menjamu kalian apalagi orang yang menginginkannya adalah seorang asing.” Ketika itu merupakan tahun paceklik.
Rasulullah memandang ke arah seekor domba yang ada di samping kemah, sembari bertanya, “Bagaimana kondisi domba ini, wahai Ummu Ma’bad?”
Dia menjawab, “Ia adalah domba yang tak mampu lagi mencari makan.” Beliau bertanya, “Apakah ia masih memiliki air susu?”
Dia menjawab, “Bahkan kondisinya lebih parah lagi.” Beliau berkata, “Apakah kamu mengizinkanku untuk memerah susunya?”
“Ya, wahai Rasulullah. Bila engkau melihat ia memang memiliki air susu, maka perahlah.”
Lalu. Rasulullah memerah putingnya dengan tangannya, membaca Bismillah dan berdoa. Maka mengembanglah putingnya dan mengalirlah air susunya dengan banyak. Lalu beliau mengambil bejana milik Ummu Ma’bad yang biasa disuguhkan kepada rombongan pejalan. Beliau memerahkan ke dalamnya hingga domba itu mengembik kencang, lalu beliau memberinya minum dan minumlah ia hingga kenyang, kemudian beliau memberi minum para sahabatnya hingga mereka pun kenyang, kemudian barulah beliau minum. Setelah itu, beliau memerahnya lagi hingga bejana itu pun penuh, kemudian dia menyisakannya untuk Ummu Ma’bad dan mereka berangkat.
Tak berapa lama datanglah suaminya, Abu Ma’bad, menggiring kambing-kambing yang kurus lagi kerempeng. Ketika melihat ada air susu, dia terkejut sembari bertanya, “Dari mana engkau dapatkan ini? Padahal, yang menginginkannya itu adalah orang asing dan di rumah tidak ada susu?”
Sang istri menjawab, “Demi Allah, tidak demikian. Hanya saja barusan seorang laki-laki yang diberkahi melewati perkemahan kita, Di antara ucapannya begini dan begini, kondisinya begini dan begini.”
Suaminya berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku berpendapat dia adalah orang yang dicari-cari oleh Orang-orang Quraisy. Tolong kamu sebutkan ciri-cirinya kepadaku, wahai Ummu Ma’bad!”
Lalu dia menyebutkan ciri-cirinya yang memiliki sifat yang menawan hati, ucapan yang mempesona seakan orang yang mendengarnya melihatnya langsung di hadapannya. Dalam hal ini, kami akan memaparkan penjelasan mengenai ciri-ciri fisik beliau pada halaman-halaman terakhir buku ini.
Lalu Abu Ma’bad berkata, “Demi Allah, inilah orang yang urusannya disebut-sebut oleh Orang-orang Quraisy. Aku ingin sekali menemaninya dan berniat akan melakukan hal itu bila ada kesempatan. Lalu mereka mendengar suara melengking di Mekkah sementara mereka tidak dapat melihat siapa yang mengucapkannya:
Semoga Allah, Tuhan Arsy membalasnya sebaik-baik balasan.
Dua sejawat telah singgah di kemah Ummu Ma’bad
Keduanya mampir membawa dan berangkat dengan kebajikan.
Sungguh beruntunglah orang yang menjadi pendamping Muhammad.
Wahai orang yang jauh, tidaklah Allah palingkan dari kalian
Perilaku baik dan kehormatan diri yang tiada tertandingi
Untuk menghinakan Bani Ka’ab menggantikan para pemudi mereka.
Posisinya mendapat perhatian oleh kaum Mukminin.
Tanyakan wanita kalian perihal domba dan bejananya.
Sungguh jika kalian tanyakan domba, maka ia akan bersaksi.
Asma’ berkata, “Kami tidak mengetahui ke mana Rasulullah pergi ketika laki-laki dari bangsa jin menyongsong dari arah bawah Mekkah, lalu melantunkan untaian bait-bait ini, sementara Orang-orang mengikutinya dan mendengarnya namun tidak dapat melihatnya hingga kemudian dia muncul dari arah atasnya.”
Dia melanjutkan, “Ketika kami mendengar ucapannya, tahulah kami ke mana Rasulullah pergi, yaitu ke arah Madinah.”
- Di dalam perjalanan, Nabi bertemu dengan Buraidah AlHashib Al-Aslami yang membawa serta bersamanya 80 keluarga. Dia menyatakan keislamannya bersama mereka. Rasulullah melakukan shalat Isya, lalu mereka bermakmum dengan beliau.
Buraidah tinggal di negeri kaumnya hingga seusai Perang Uhud, barulah mendatangi Rasulullah.
Dari Abdullah bin Buraidah, bahwasanya Nabi selalu optimis dan tidak pernah memiliki kepercayaan “thiyarah” (percaya kepada pertanda baik atau buruk berdasarkan arah terbang burung). Buraidah berangkat bersama 70 orang penunggang kuda dari sukunya, Bani Sahm. Lalu dia menemui Nabi, lantas beliau bertanya kepadanya, “Dari siapa kamu?” Dia menjawab, “Aslam.” Lalu beliau berkata kepada Abu Bakar, “Kita telah selamat.”
Kemudian beliau berkata lagi, “Dari Bani apa?” Dia menjawab, “Bani Sahm.” Beliau berkata, “Kalau begitu, telah keluarlah Sahm-mu (bagian dari perolehan ghanimah Uhud).”
- Rasulullah melewati Abu Aus Tamim bin Hajar (dalam versi riwayat yang lain, Abu Tamim Aus bin Hajar) di suatu tempat bernama Qahdawat yang terletak antara Juhfah dan Harsyi di Araj. Beliau telah membuat jalan unta menjadi lamban karena bersama-sama Abu Bakar menunggangi satu unta saja. Lalu Aus membawanya ke unta jantan miliknya dan mengirim seorang budaknya bersama mereka berdua. Budak ini bernama Mas’ud. Dia berkata kepada budaknya ini, “Telusurilah jalan bersama keduanya karena kamu banyak mengetahui seluk-beluk jalan dan jangan berpisah dengan mereka.” Lalu dia menelusuri jalan bersama mereka berdua hingga membawa keduanya memasuki Madinah.
Kemudian Rasulullah mengembalikan Mas’ud kepada tuannya dan menyuruhnya agar meminta Aus menghiasi untanya di bagian leher dengan tali kuda, yaitu dua lingkaran, lalu beliau memanjangkan antara keduanya, maka jadilah ia sebagai ciri khas mereka. Ketika kaum Musyrikin datang saat Perang Uhud, Aus mengirim budaknya, Mas’ud bin Hunaidah dari arah Araj dengan berjalan kaki untuk memberitahukan perihal Orang-orang Quraisy tersebut kepada Rasulullah. Hal ini disebutkan oleh Ibnu Makula dari Ath-Thabari, Mas’ud ini sudah masuk Islam setelah kedatangan Rasulullah di Madinah dan tinggal di Araj.
- Di dalam perjalanan juga, tepatnya di sebuah pedalaman Rim, Rasulullah berjumpa dengan Az-Zubair yang ikut dalam rombongan kaum Muslimin. Mereka ini adalah para pedagang yang ingin berangkat menuju kawasan Syam. Lalu Az-Zubair mengenakan untuk Rasulullah dan Abu Bakar pakaian yang putih.
Singgah di Quba’
Pada hari senin, 8 Rabi’ul Awwal tahun 14 dari kenabian, yaitu tahun pertama dari hijrah, yang bertepatan dengan 23 September 622 M, Rasulullah singgah di Quba’.
Urwah bin Az-Zubair berkata, “Kaum Muslimin di Madinah mengetahui keluarnya Rasulullah dari Mekkah. Setiap pagi, mereka pergi ke Al-Harrah (tapal perbatasan) menunggu kedatangan beliau hingga mereka terpaksa harus pulang karena teriknya matahari. Suatu hari mereka juga terpaksa pulang setelah lama menunggu kedatangan beliau. Ketika mereka sudah beranjak ke rumah masing-masing, seorang laki-laki Yahudi mengintip dari salah satu tembok rumah mereka untuk mengetahui urusan yang ditunggu-tunggu tersebut, lalu dia melihat Rasulullah dan para sahabatnya yang dalam kondisi cerah seakan fatamorgana perjalanan telah hilang, maka orang Yahudi ini tidak dapat menahan untuk berteriak sekencang-kencangnya, “Wahai kaum Arab! Ini apa yang kamu tunggu sudah datang.” Kaum Muslimin sertamerta bangkit membawa senjata. Mereka menemui Rasulullah di tapal perbatasan itu.
Ibnul Qayyim berkata, “Dan terdengarlah suara campur aduk dan pekik takbir di perkampungan Bani Amr bin Auf. Kaum Muslimin memekikkan takbir sebagai ungkapan kegembiraan atas kedatangan beliau dan keluar menyongsong beliau. Mereka menyambut dengan salam kenabian, mengerumuni beliau sembari berkeliling di seputarnya sementara ketenangan telah menyelimuti diri beliau dan wahyu pun turun. Allah berfirman:
Maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan Orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula. (At-Tahrim: 4)
Urwah bin Az-Zubair berkata, “Mereka menemui Rasulullah, lantas beliau bersama mereka berjalan berbarengan ke arah kanan hingga singgah di perkampungan Bani Amr bin Auf. Hal ini terjadi pada hari Senin, bulan Rabi’ul Awwal. Abu Bakar berdiri menyongsong Orang-orang sementara Rasulullah duduk dan diam. Maka Orang-orang yang datang dari kalangan Anshar dan belum pernah melihat Rasulullah mengucapkan salam mendatangi Abu Bakar (yang mereka kira Rasulullah), hingga kemudian sinar matahari mengenai Rasulullah. Karenanya, Abu Bakar langsung menghadap beliau dan menaungi beliau dengan pakaiannya. Maka ketika itu, tahulah Orang-orang siapa Rasulullah.”
Semua penduduk Madinah berangkat untuk menyambut. Ketika itu memang betul-betul hari yang dipersaksikan. Momen yang tidak pernah disaksikan oleh Madinah sepertinya sepanjang sejarahnya. Orang-orang Yahudi telah melihat kebenaran berita gembira yang diinformasikan oleh Habaqugq, Nabi mereka, yang menyebutkan, “Sesungguhnya Allah datang dari At-Timan dan Al-Qaddus datang dari bukit Faran.”
Di Quba’ Rasulullah singgah di kediaman Kultsum bin Al-Hadm, Dalam versi riwayat yang lain tertulis ‘Saad bin Khaitsamah namun riwayat pertama lebih valid. Sementara Ali bin Abu Thalib tinggal di Mekkah selama tiga kali, sehingga dia bisa menggantikan Nabi dalam menunaikan titipan-titipan Orang-orang yang diamanahkan kepada beliau. Kemudian barulah dia berhijrah dengan berjalan kaki hingga akhirnya berjumpa dengan keduanya di Quba’ dan singgah juga dj kediaman Kultsum bin Al-Hadm.
Rasulullah tinggal di Quba’ selama empat hari; Senin, Selasa, Rabu dan Kamis.?’ Selama itu, beliau mendirikan Masjid Quba’ dan shalat di dalamnya. Inilah masjid pertama yang didirikan atas fondasi takwa setelah kenabian. Maka begitu masuk hari kelima, yakni Hari Jumat, beliau berangkat lagi atas perintah Allah bersama Abu Bakar yang memboncengnya. Beliau juga mengutus orang untuk menemui Bani AnNajar—para paman beliau dari pihak ibundanya. Mereka datang dengan menghunus pedang. Beliau berjalan menuju Madinah namun ketika di perkampungan Bani Salim bin Auf, waktu Jumat sudah masuk, lalu beliau melakukan shalat Jumat bersama mereka di Masjid yang berada di perut lembah itu. Mereka semua berjumlah seratus orang laki-laki.
Memasuki Kota Madinah
Seusai shalat Jumat, Nabi, memasuki kota Madinah. Dan dari sejak hari itu, kota Yatsrib dinamakan dengan Madinatur Rasul (kota Rasulullah) yang kemudian diungkapkan dengan Madinah supaya lebih ringkas. Hari itu adalah hari bersejarah yang amat agung. Rumah-rumah dan lorong-lorong ketika itu bergemuruh pekikan tahmid (pujian) dan taqdis (penyucian). Wanita-wanita Anshar menyanyikan bait-bait berikut sebagai ekspresi kegembiraan dan keriangan:
Bulan Purnama telah menyinari kita dari Tsaniyyatul Wada
Kita wajib bersyukur
Selama ada yang berdoa kepada Allah
Wahai orang yang diutus kepada kami
Engkau telah membawa perkara yang ditaati.
Sekalipun Orang-orang Anshar bukan Orang-orang yang banyak harta, masing-masing individu bercita-cita rumahnya disinggahi oleh Rasulullah. Saat melewati satu persatu rumah Orang-orang Anshar, mereka mengambil tali unta beliau, begitu juga perbekalan, perlengkapan, senjata dan tameng. Setiap mereka lakukan demikian, beliau selalu berkata kepada mereka, “Biarkan ia lewat karena ia telah diperintahkan.”
Unta ini masih saja berjalan bersama Rasulullah yang menungganginya hingga mencapai lokasi Masjid Nabawi sekarang ini, lalu ia duduk sementara beliau belum turun darinya hingga ia bangkit lagi dan berjalan sedikit lagi, kemudian ia menoleh lantas kembali lagi dan duduk di posisi semula. Barulah beliau turun darinya. Itu adalah kediaman Bani An-Najar, para paman beliau dari pihak ibundanya. Hal tersebut merupakan taufik Allah kepada mereka. Sesungguhnya beliau sangat ingin singgah di rumah para pamannya tersebut agar dapat memuliakan mereka dengan hal itu. Orang-orang menawari Rasulullah agar singgah di kediaman mereka. Lalu Abu Ayyub Al-Anshari bergegas mengambil sarung pelana milik beliau dan membawanya masuk ke rumahnya. Maka, Rasulullah berkata, “Seseorang akan ikut bersama sarung pelananya.” Lantas datanglah As’ad bin Zurarah sembari mengambil kendali untanya yang kebetulan berada di sisinya.”
Dan dalam riwayat Anas pada Sahih Al-Bukhari disebutkan, “Nabi Allah berkata, ‘Mana rumah keluarga kami yang lebih dekat?’ Maka berkatalah Abu Ayyub, ‘Aku wahai Rasulullah! Ini rumahku dan ini pintunya.’ Kemudian dia pergi, lalu disiapkanlah untuk kami tempat tidur siang. Beliau berkata, ‘Bangunlah kalian berdua atas berkah Allah.’
Setelah beberapa hari, istri beliau, Saudah dan kedua putri beliau, Fathimah dan Ummu Kultsum tiba di Madinah bersama Usamah bin Zaid dan Ummu Ayman. Selain mereka Abdullah bin Abu Bakar beserta keluarga besar Abu Bakar, di antaranya Aisyah juga berangkat bersama dan tiba di Madinah. Sementara itu, Zainab masih tinggal bersama Abul Ash, suaminya. Dia tidak dapat berangkat hingga usai Perang Badar, barulah dapat melakukannya.
Aisyah menuturkan, “Ketika Rasulullah tiba di Madinah, Abu Bakar dan Bilal diserang sakit, lalu aku mengunjungi keduanya sembari berkata, ‘Wahai ayahanda! Bagaimana keadaanmu? Wahai Bilal! Bagaimana keadaanmu?’ Bila diserang demam, Abu Bakar selalu bersenandung:
Setiap pagi orang selalu berada di sisi keluarganya Namun, kematian lebih dekat daripada tali sandalnya
Sementara bila demam sudah hilang dari Bilal, dia mengencangkan suaranya sembari melantunkan syair:
Semoga saja aku menghabiskan suatu malam
Di suatu lembah dan di sekelilingku Idzkhir dan orang mulia
Semoga saja suatu hari aku membawa air dari Majinnah
Semoga saja tanda dan bayangan tampak bagiku.
Aisyah berkata, “Lalu aku mendatangi Rasulullah dan mengabarkan keadaan tersebut. Beliau bersabda, ‘Ya Allah, anugerahilah kecintaan terhadap Madinah kepada kami sebagaimana kecintaan kami kepada Mekkah bahkan lebih dari itu lagi. Jadikanlah ia tempat yang sehat, berkahilah sha’ dan mudd (timbangan) penduduknya serta pindahkanlah penyakit demam yang ada di dalamnya ke Juhfah.”
Hingga di sini, berakhirlah satu bagian dari kehidupan Rasulullah dan merupakan akhir separuh Dakwah Islam, yaitu fase Mekkah.[]
FASE MADINAH
Periode Madinah dapat dibagi menjadi tiga tahapan masa, yaitu:
- Tahapan peletakan dasar-dasar masyarakat Islam serta konsolidasi dakwah Islamiyah. Tahapan ini banyak diwarnai guncangan dan cobaan. Banyak sekali rintangan yang muncul baik dari dalam ataupun luar, di mana kaum Musyrikin tetap ingin membumi hanguskan akar dakwah Islamiyah di Madinah. Tahap ini berakhir sampai dikukuhkannya Perjanjian Hudaibiyah pada Dzulqa’dah 6 H.
- Tahapan perdamaian dengan musuh terbesar, yaitu orang Kafir Quraisy di Mekkah. Pada tahap ini, juga ditempuh jalan untuk menyebarkan dakwah Islamiyah kepada para raja agar masuk Islam. Tahap ini berakhir dengan sampai terjadinya Fathu Mekkah pada Ramadhan 8 H.
- Tahapan ketika manusia masuk Islam secara berbondong-bondong. Tahap ini terus berlangsung sampai tiba waktu wafatnya Rasulullah pada Rabi’ul Awwal 11 H.
Makna hijrah bukan sekedar upaya melepaskan diri dari cobaan cemoohan semata, tetapi juga dimaksudkan sebagai batu loncatan untuk mendirikan sebuah masyarakat baru di negeri yang aman. Karena itu, setiap Muslim yang mampu wajib ikut andil dalam usaha mendirikan negara baru ini, harus mengerahkan segala kemampuannya untuk menjaga dan menegakkannya. Tidak dapat disangsikan bahwa Rasulullah adalah pemimpin, komandan dan pemberi petunjuk dalam menegakkan masyarakat ini. Semua krisis dikembalikan kepada beliau tanpa ada yang menentangnya. Manusia yang beliau hadapi di Madinah bisa dibagi menjadi tiga kelompok. Keadaan yang satu berbeda jauh dengan yang lain, dan beliau juga harus menghadapi berbagai problem yang berbeda ketika menghadapi masing-masing kelompok. Tiga kelompok ini adalah:
- Sahabat-sahabat yang suci, mulia, dan baik
- Orang-orang musyrik yang sama sekali tidak mau beriman kepada beliau. yang berasal dari berbagai kabilah di Madinah
- Orang-orang Yahudi.
- Kelompok Pertama:
Berbagai masalah yang dihadapi Nabi bersama para sahabat dengan kondisi kehidupan di Madinah, berbeda dengan kondisi mereka di Mekkah. Sekalipun mereka diikat dengan satu kalimat dan menuju satu tujuan yang telah disepakati, hanya saja mereka berpencar-pencar di berbagai keluarga, ditekan, dilecehkan dan diusir. Mereka tidak memiliki kekuasaan macam apa pun. Kekuasaan ada di tangan musuh mereka. Kaum Muslimin tidak mampu mendirikan satu masyarakat Islam yang baru, dengan bahan baku yang sebenarnya sangat dibutuhkan masyarakat manusia macam apa pun di dunia ini. Karena itu, kita melihat beberapa surat Makkiyah hanya berkisar pada masalah dasar-dasar Islam, syariat-syariat yang pengamalannya bisa dilaksanakan secara individual, anjuran kepada kebajikan-kebaikan, akhlak yang mulia, menjauhi keburukan dan kehinaan.
Sementara itu, saat di Madinah, kekuasaan mutlak berada di tangan mereka sejak hari pertama, dan tak seorang pun yang berkuasa atas mereka. Maka sudah saatnya bagi mereka untuk menghadapi berbagai masalah peradaban dan kemajuan, penghidupan dan ekonomi, politik dan pemerintahan, perdamaian dan perang, pemilahan antara yang halal dan haram, ibadah dan akhlak, serta berbagai masalah kehidupan yang lain. Sudah tiba saatnya bagi mereka untuk membentuk masyarakat Islam yang baru, masyarakat islami, yang berbeda dengan masyarakat jahiliyah di sepanjang periode sejarah; yang berbeda dengan masyarakat mana pun di dunia ini dan menjadi teladan bagi dakwah Islam dengan berbagai bentuk rintangan, siksaan, dan tantangan yang dihadapi kaum Muslimin selama sepuluh tahun.
Tidak dapat diragukan, pembentukan suatu masyarakat yang ideal seperti ini tidak mungkin dilakukan hanya dalam jangka waktu satu hari, satu bulan atau satu tahun saja, tetapi membutuhkan waktu yang relatif lama, agar ketetapan-ketetapan syariat, hukum, pengetahuan, pendidikan, dan pelaksanaannya bisa menjadi sempurna dengan melalui beberapa tahapan secara berjenjang. Allah sudah cukup dengan ketetapan syariat-Nya. Sedangkan Rasulullah siap melaksanakannya, memberi petunjuk, dan mengajari Orang-orang Muslim.
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah (As-Sunnah) (Al-Jumu’ah: 2)
Para sahabat menerima beliau dengan sepenuh hati untuk melaksanakan hukum-hukumnya dengan senang hati.
dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah itman mereka (karenanya) (Al-Anfal: 2)
Rincian tentang masalah tersebut kurang tepat bila kami bahas secara panjang lebar di dalam buku ini. Kami batasi sekedar kebutuhan saja.
Itulah masalah paling besar yang harus dihadapi Rasulullah dalam kaitannya dengan Orang-orang Muslim. Dalam lingkup yang lebih luas, inilah yang dimaksud dakwah Islam dan risalah Muhammad. Tetapi, permasalahannya tidak terbatas sampai di situ saja. Masih banyak masalah lain yang perlu dituntaskan dengan cepat.
Kaum Muslimin meliputi dua kelompok: Satu kelompok hidup di tempat tinggalnya; di rumah dan dengan harta bendanya. Tidak banyak yang mereka butuhkan selain itu, kecuali jaminan keamanan. Mereka adalah Orang-orang Anshar. Sebenarnya di antara mereka ada permusuhan sejak dahulu, tepatnya antara Aus dan Khazraj.
Kini di samping mereka ada kelompok lain, yaitu Orang-orang Muhajirin yang keadaannya berbeda dengan Anshar. Mereka mencari selamat dengan pergi ke Madinah, tanpa ada tempat untuk berteduh, tidak ada lapangan kerja untuk penghidupannya, tidak memiliki harta untuk mempertahankan hidupnya, sementara jumlah mereka juga tidak sedikit. Bahkan, hari demi hari jumlah mereka semakin bertambah. Karena, hijrah telah disyariatkan bagi siapa pun yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Sebagaimana yang diketahui, Madinah bukan termasuk daerah yang memiliki kekayaan yang melimpah, maka tidak jarang jika kondisi ekonominya amat labil. Sementara pada saat itu seluruh kekuatan yang memusuhi Islam memboikot hubungan ekonomi, sehingga pemasukan dari luar semakin menipis.
- Kelompok Kedua:
Mereka adalah Orang-orang musyrik yang menetap di beberapa kabilah di Madinah. Mereka tidak mampu berkuasa atas Orang-orang Muslim. Di antara mereka ada pula yang dirasuki keraguan untuk meninggalkan agama nenek moyangnya. Namun, mereka tidak pernah berpikir untuk memusuhi Islam dan pemeluknya. Tak seberapa lama kemudian mereka pun masuk Islam dan melepaskan agamanya sebelumnya.
Sebenarnya, di antara mereka ada yang menyimpan dendam kesumat terhadap Rasulullah dan kaum Muslimin. Namun, mereka tidak berani menyatakannya. Bahkan, mereka terpaksa menampakkan kecintaan dan kesukaan karena beberapa pertimbangan.
Tokoh kelompok ini adalah Abdullah bin Ubay. Sebelum itu, tepatnya seusai Perang Bu’ats, sebenarnya Aus dan Khazraj sudah sepakat untuk mengangkat dirinya sebagai pemimpin. Padahal, sebelumnya mereka tidak pernah berpikir untuk mengangkat seseorang sebagai pemimpin. Bahkan, untuk maksud ini mereka sudah merancang mahkota untuk disematkan di kepalanya sebagai wujud pengangkatan dirinya sebagai raja dan pemimpin bagi Aus dan Khazraj. Tetapi, sebelum dia sempat menjadi raja bagi seluruh penduduk Madinah, tiba-tiba impian itu kandas oleh kedatangan Rasulullah dan kaumnya sendiri berpaling darinya; berpindah ke Rasulullah. Karena itu, dia melihat Rasulullah sebagai orang yang telah merampas kerajaan yang sudah tampak di depan mata.
Tidak heran jika kemudian dia menyimpan kebencian terhadap beliau. Karena, dia melihat beberapa pertimbangan yang tidak mendukungnya untuk bergabung dengan beliau, apalagi beliau tidak memberi kesempatan kepada seseorang untuk mengeruk kepentingan dunia. Dia pun hanya bisa menyimpan kekufuran di dalam batinnya. Karena itulah, setiap ada kesempatan untuk melancarkan tipu daya terhadap Rasulullah dan kaum Muslimin, ia tidak pernah menyia-siakannya. Sementara itu, rekan-rekannya yang dulu mengharapkan kedudukan tertentu dalam kerajaannya juga ikut mendukung rencana-rencananya. Maka kaum Muslimin yang lemah pikirannya dia pergunakan sebagai alat untuk memuluskan segala rencananya.
- Kelompok Ketiga:
Mereka adalah Orang-orang Yahudi. Saat mereka mendapat tekanan dari bangsa Asy’ur dan Romawi, mereka berpihak kepada Orang-orang Hijaz, walaupun sebenarnya mereka adalah Orang-orang Ibrani. Namun, setelah bergabung dengan Orang-orang Hijaz, mereka hidup ala Arab, berbahasa Arab, dan mengenakan pakaian Arab pada umumnya, sehingga nama kabilah dan nama-nama mereka juga menggunakan nama Arab,
Mereka juga menikah dengan Orang-orang Arab.
Meski demikian, mereka tetap menjaga fanatisme ras mereka sebagai Orang-orang Yahudi dan tidak menyatu dengan bangsa Arab secara total, Bahkan, mereka masih membanggakan diri sebagai bangsa Yahudi dan melecehkan bangsa Arab dengan menyebut mereka sebagai Orang-orang ummiyyin, alias Orang-orang yang jalang, buas, buta huruf, hina, dan terbelakang. Dalam pandangan mereka, harta bangsa Arab boleh mereka ambil sesuka hati. Hal ini digambarkan oleh Allah dalam firman-Nya:
Di antara Ahli Kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu, kecuali jika kamu selalu menagihnya. Yang demikian itu lantaran mereka mengatakan: “Tidak ada dosa bagi Kami terhadap Orang-orang ummi. Mereka berkata dusta terhadap Allah, padahal, mereka mengetahui. (Ali ‘Imran: 75)
Mereka tidak terlalu berhasrat untuk menyebarluaskan agamanya, karena materi agama mereka tidak lebih dari ramalan nasib, sihir, mantra, hembusan pada buhul, dan semisalnya. Karena itu, mereka membual sebagai Orang-orang yang memiliki ilmu, keutamaan, kelebihan, dan kepeloporan dalam kehidupan spiritual. Mereka pintar mencari berbagai sumber penghidupan dan mata pencaharian. Perputaran bisnis biji-bijian, kurma, khamar, dan kain ada di tangan mereka. Mereka mengimpor kain, biji-bijian, khamar, serta mengekspor kurma. Selain itu, banyak pekerjaan lain yang mereka tekuni.
Mereka mengambil keuntungan sekian kali lipat dari Orang-orang Arab secara keseluruhan dan juga menerapkan riba. Mereka biasa memberi pinjaman uang kepada para pemimpin dan pemuka Arab, agar para pemimpin itu memberikan pujian kepada mereka lewat syair-syair, hingga mereka menjadi tersohor di masyarakat karena mengucurkan dana banyak. Setelah itu mereka mengambil tanah dan kebun para pemimpin itu sebagai jaminan, dan beberapa tahun kemudian tanah-tanah itu menjadi milik mereka jika utang tidak terlunasi.
Mereka juga dikenal sebagai Orang-orang yang suka menyebarkan isu dan kerusakan, angkuh, bersekongkol, memicu peperangan dan permusuhan di antara berbagai kabilah yang berdekatan dengan mereka, mengadu domba di antara mereka dengan cara-cara yang licik dan terselubung, tanpa disadari sedikit pun oleh kabilah-kabilah itu, sehingga kabilah yang satu dengan yang lain terus-menerus dilanda peperangan. Jika bara peperangan itu mulai padam, mereka meniup-niupnya lagi, lalu menonton peperangan yang berkecamuk di antara sesama bangsa Arab sambil duduk dengan tenang.
Karena Orang-orang Yahudi itu menerapkan bunga yang tinggi atas pinjaman yang diberikan, maka Orang-orang Arab tidak sanggup lagi melanjutkan peperangan karena kesulitan dana. Dengan cara ini Orang-orang Yahudi bisa meraup dua keuntungan sekaligus; dapat menjaga eksistensi mereka, menerapkan pasar riba untuk mengambil keuntungan berlipat-lipat, sehingga mereka bisa menumpuk kekayaan yang melimpah.
Di Madinah mereka mempunyai tiga kabilah yang terkenal, yaitu:
- Bani Qainuqa’. Dulunya mereka adalah sekutu Khazraj dan perkampungan mereka berada di dalam Madinah.
- Bani Nadhir.
- Bani Quraizhah. Dahulu mereka merupakan sekutu Aus bersama dengan Bani Nadhir, yang menetap di pinggiran Madinah.
Tiga kabilah inilah yang membangkitkan peperangan antara Aus dan Khazraj sejak dahulu. Mereka juga mempunyai andil dalam Perang Bu’ats, karena masing-masing berkomplot dengan sekutunya. Rasulullah tidak bisa berharap banyak dari Orang-orang Yahudi ini. Karena mereka memandang Islam dengan mata kebencian dan kedengkian. Pasalnya, beliau tidak berasal dari ras mereka, sehingga gejolak fanatisme ras yang telah menguasai hati mereka menjadi terang.
Di sisi lain, dakwah Islam senantiasa mampu menyatukan hat manusia, memadamkan api kebencian dan permusuhan, Mengajak kepada menetapi janji dan memegang amanat dalam keadaan bagaimana pun, membatasi pada makan yang halal dan pencarian harta yang baik. Artinya, semua kabilah Arab di Yatsrib bersatu karena Islam, Bila demikian kondisinya, cakar Yahudi tentu akan tumpul dan aktivitas bisnis mereka pasti akan mengalami kegagalan. Mereka tidak bisa lagi mengeruk pemasukan dari pasar riba yang selama itu menjadi sumber kekayaan mereka. Bahkan boleh jadi kabilah-kabilah Arab itu akan bangkit, lalu memperhitungkan harta riba yang pernah diambil Yahudi, dan menuntut kembali tanah yang pernah lepas ke tangan bangsa keturunan kera tersebut.
Orang-orang Yahudi sudah memprediksi segala kemungkinan tersebut sejak melihat bahwa dakwah Islam hendak memusatkan kegiatannya di Yatsrib. Karena itu, mereka memendam permusuhan yang menggelegak terhadap Islam dan Rasulullah, sejak beliau masuk Yatsrib, sekalipun mereka tidak berani menampakkannya, kecuali setelah sekian lama.
Hal ini bisa diketahui secara jelas seperti yang diriwayatkan Ibnu Ishaq dari Ummul Mukminin, Shafiyyah. Ibnu Ishaq menuturkan, “Aku meriwayatkan dari Shafiyyah binti Huyai bin Akhthab, dia berkata, ‘Aku adalah anak yang paling disayangi oleh ayah dan pamanku, Abu Yasir. Setiap aku bertemu, mereka berdua pasti menggendongku dan melepaskan anak lain yang sedang digendongnya. Ketika Rasulullah tiba di Madinah dan singgah di Quba’ di Bani Amr bin Auf, maka ayahku, Huyai bin Akhthab dan pamanku Abu Yasir bin Akhthab pergi ke sana pada malam hari. Keduanya tidak kembali kecuali setelah matahari terbenam pada keesokan harinya.
Mereka berdua terlihat malas, loyo, tak bersemangat dan jalannya pelan-pelan. Aku segera menghampiri mereka berdua seperti biasanya, namun demi Allah, tak seorang pun di antara mereka berdua yang mau menoleh ke arahku. Mereka terlihat murung.
Kudengar pamanku bertanya kepada ayahku, “Apakah benar dia orangnya?”
Ayahku menjawab, “Demi Allah, memang dia.”
“Apakah engkau yakin?”
“Ya.”
“Apa yang engkau pikirkan tentang dirinya?”
“Demi Allah, aku akan memusuhinya sepanjang hidupku.” jawab ayahku.!?
Kisah ini juga dikuatkan oleh riwayat Al-Bukhari tentang keislaman Abdullah bin Salam a. Ia sebelumnya merupakan ulama Yahudi yang tersohor. Ketika mendengar kedatangan Rasulullah di Madinah, dia cepat-cepat menemui beliau dan mengajukan beberapa pertanyaan yang tidak bisa dipahami kecuali oleh seorang nabi. Maka ketika mendengar jawaban-jawaban yang disampaikan beliau, seketika itu pula dia masuk Islam. Ia kemudian berkata, “Sesungguhnya Orang-orang Yahudi adalah Orang-orang yang suka mendustakan. Jika mereka tahu aku sudah masuk Islam sebelum engkau bertanya kepada mereka, tentu jawaban mereka pasti berbeda dengan apa yang mereka dapatkan ketika mereka masih berada di hadapanmu.”
Maka Rasulullah mengirim utusan hingga akhirnya beberapa orang Yahudi datang kepada beliau. Sementara itu, Abdullah bin Salam bersembunyi di dalam rumah.
Beliau bertanya, “Bagaimana kedudukan Abdullah bin Salam di tengah kalian?”
Mereka menjawab, “Dia adalah orang yang paling banyak ilmunya di antara kami dan anak dari orang yang paling banyak ilmunya di antara kami. Dia adalah orang yang paling baik di antara kami dan anak dari orang yang paling baik di antara kami.”
Dalam redaksi lain disebutkan, “Dia adalah pemimpin kami dan anak dari pemimpin kami.”
Dalam redaksi lainnya lagi disebutkan, “Dia adalah orang yang paling baik di antara kami dan anak dari orang yang paling baik di antara kami, orang yang paling mulia di antara kami dan anak dari orang yang paling mulia di antara kami.”
Rasulullah bertanya kepada mereka, “Apa pendapat kalian jika dia masuk Islam?”
“Itu tidak mungkin terjadi,” jawab mereka dua atau tiga kali.
Lalu Abdullah bin Salam menampakkan diri sambil berkata, “Aku bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah. Sesungguhnya dia datang dengan kebenaran.”
“Engkau dusta,” kata mereka.
Itulah pelajaran dan pengalaman pertama yang diterima oleh Rasulullah dalam menghadapi Orang-orang Yahudi pada hari pertama beliau memasuki Madinah. Semua itu merupakan gambaran kondisi di dalam Madinah, sedangkan dari luar, maka kekuatan terbesar yang memusuhi Islam adalah dari pihak Quraisy. Kaum Muslimin sudah memiliki pengalaman selama sepuluh tahun, ketika mereka berada di bawah kekuasaan Quraisy. Segala bentuk tekanan, penyiksaan, intimidasi, pemboikotan, kesewenang-wenangan, dan penindasan sudah pernah mereka lakukan terhadap kaum Muslimin.
Kemudian ketika kaum Muslimin hijrah ke Madinah, mereka merampas tanah, rumah, dan harta benda Orang-orang yang berhijrah tersebut. Mereka juga memisahkan seseorang dengan istri dan keluarganya. Bahkan, tidak jarang keluarganya disiksa. Tidak berhenti sampai di sini saja. Mereka juga bersekongkol untuk membunuh Rasulullah serta memupus dakwah beliau. Namun, usaha mereka untuk melaksanakan persekongkolan tersebut gagal total.
Ketika kaum Muslimin benar-benar sudah bisa menyelamatkan diri dan pindah ke daerah yang jauhnya lima ratus kilometer dari Mekkah, Orang-orang Quraisy menggunakan sarana politik untuk mencapai keinginannya. Ini karena mereka terpandang dalam urusan keduniaan dan kepemimpinan. Mereka menetap di Tanah Suci dan berdampingan dengan Baitullah dan sekaligus sebagai pengelolanya. Mereka membujuk Orang-orang musyrik di seluruh Jazirah Arab agar mau memusuhi penduduk Madinah, sehingga Madinah merupakan wilayah yang terkucil dan tidak mendapatkan masukan dari luar. Sementara pada saat yang sama jumlah Orang-orang yang datang ke sana semakin bertambah.
Suasana perang sudah membayang di depan mata dan hampir bisa dipastikan akan meletus antara para penduduk Mekkah yang sewenang-wenang dan kaum Muslimin di negerinya yang baru. Adalah sebuah kebodohan bila kaum Muslimin (yang dizalimi) justru harus dibebani dengan permusuhan seperti itu.
Sudah selayaknya kaum Muslimin mengambil kembali harta Orang-orang musyrik yang sewenang-wenang itu, karena dahulu mereka telah merampas harta kaum Muslimin. Sudah sepantasnya kaum Muslimin menguasai Orang-orang musyrik itu, karena dahulu mereka telah menguasai kaum Muslimin. Seharusnya Orang-orang musyrik yang sewenang-wenang itu mendapatkan balasan yang setimpal. Dengan cara ini mereka tidak lagi mempunyai kesempatan untuk menindas kaum Muslimin.
Inilah beberapa masalah yang dihadapi Rasulullah ketika tiba di Madinah, dengan kapasitas beliau sebagai rasul, pengajar, pembimbing dan komandan pasukan. Rasulullah telah melaksanakan tugas risalah dan kepemimpinan di Madinah, berbuat lemah lembut dan penuh kasih sayang, atau sebaliknya tegas dan keras terhadap pihak-pihak yang memang harus mendapat perlakuan seperti ini. Namun, tidak dapat diragukan, kelembutan sikap beliau jauh lebih dominan daripada kekerasan, sehingga hanya dalam jangka waktu beberapa tahun saja, banyak orang yang masuk Islam. Pembaca akan mendapatkan penjelasan mengenai masalah ini dalam uraian selanjutnya.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Rasulullah singgah di Bani An-Najar pada Jumat, 12 Rabi’ul Awwal 1 H, bertepatan dengan 27 September 622 M. Ketika unta yang beliau tunggangi berhenti dan menderum di pekarangan di depan rumah Abu Ayyub, beliau bersabda, “Di sinilah tempat tinggal, insyaallah.,” maka beliau menetap di rumahnya.
Membangun Masjid Nabawi
Langkah pertama yang dilakukan Rasulullah adalah membangun masjid. Tepat di tempat menderumnya unta itulah, beliau memerintahkan untuk membangun masjid. Karena itu, beliau membeli tanah tersebut dari dua anak yatim yang menjadi pemiliknya. Beliau terjun langsung dalam pembangunan masjid itu, memindahkan bata dan bebatuan, seraya bersabda, “Ya Allah, tidak ada kehidupan yang lebih baik kecuali kehidupan akhirat. Maka ampunilah Orang-orang Anshar dan Muhajirin.”
Beliau juga bersabda, “Para pekerja ini bukanlah para pekerja Khaibar. Ini adalah pemilik yang paling baik dan paling suci,” Sabda beliau ini semakin memompa semangat para sahabat dalam bekerja, hingga salah seorang di antara mereka berkata, “Jika kita duduk saja sedangkan Rasulullah bekerja, itu adalah tindakan orang yang tersesat. Sementara di tempat tersebut ada kuburan Orang-orang musyrik, puing-puing reruntuhan bangunan, pohon kurma, dan sebuah pohon yang lain.
Rasulullah pun memerintahkan agar kuburan-kuburan itu dibongkar, puing-puing bangunan diratakan, dan pepohonan ditebang.
Beliau juga menetapkan arah kiblat masjid yang saat dibangun masih menghadap ke arah Baitul Maqdis. Dua pinggiran pintu masjid terbuat dahulu dari batu, dindingnya dari batu bata yang disusun dengan lumpur tanah, atapnya dari daun kurma, tiangnya dari batang pohon. Lantainya dibuat menghampar dari pasir dan kerikil-kerikil kecil, dan pintunya ada tiga.
Panjang bangunannya ke arah kiblat hingga ke ujungnya adalah seratus hasta dan lebarnya hampir sama. Fondasinya kurang lebih tiga hasta. Beliau juga membangun beberapa rumah di sisi masjid. Dinding rumah tersebut dari susunan batu dan bata, atapnya dari daun kurma yang disangga beberapa batang pohon. Itulah bilik-bilik untuk istri-istri beliau. Setelah semuanya selesai, beliau pindah dari rumah Abu Ayyub ke rumah tersebut.!
Masjid bukan hanya berfungsi sebagai tempat melaksanakan shalat semata, melainkan juga merupakan tempat pendidikan bagi kaum Muslimin untuk menerima pengajaran Islam dan bimbingan-bimbingannya. Masjid tersebut juga berfungsi sebagai balai pertemuan dan tempat untuk mempersatukan berbagai unsur kabilah dan sisa-sisa pengaruh perselisihan pada masa Jahiliyah. Selain itu juga sebagai tempat untuk mengatur segala urusan dan sekaligus sebagai gedung parlemen untuk bermusyawarah dan menjalankan roda pemerintahan.
Di samping semua itu, masjid tersebut juga berfungsi sebagai tempat tinggal Orang-orang Muhajirin yang miskin, yang datang ke Madinah tanpa memiliki harta, tidak mempunyai kerabat dan masih bujangan atau belum berkeluarga.
Pada masa-masa awal hijrah itu juga disyariatkan adzan, sebuah seruan yang menggema di angkasa, lima kali setiap harinya. Suaranya memenuhi seluruh pelosok. Kisah mimpi Abdullah bin Zaid bin Abdu Tuhanih tentang adzan ini sudah cukup terkenal, sebagaimana yang diriwayatkan At-Tirmidzi, Abu Dawud, Ahmad, dan Ibnu Khuzaimah.?
Mempersaudarakan Kaum Muslimin
Selain membangun masjid sebagai tempat untuk mempersatukan manusia, Rasulullah juga mengambil tindakan yang sangat monumental dalam sejarah, yaitu mempersaudarakan antara Orang. orang Muhajirin dan Anshar. Ibnul Qayyim mengatakan, “Kemudian Rasulullah mempersaudarakan antara Orang-orang Muhajirin dan Anshar di rumah Anas bin Malik. Mereka yang dipersaudarakan ada sembilan puluh orang, separuh dari Muhajirin dan separuhnya lagi dari Anshar. Beliau mempersaudarakan mereka agar tolong-menolong, saling mewarisi harta jika ada yang meninggal dunia di samping kerabatnya. Ketetapan saling mewarisi ini berlaku hingga Perang Badar. Hak saling mewarisi ini dihapus hukumnya ketika Allah menurunkan ayat:
Dan Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat). (Al-Anfal: 75).
Namun, ikatan persaudaraan masih tetap berlaku.
Dikatakan pula bahwa Muhajirin dipersaudarakan untuk kedua kalinya dengan sesama mereka, namun yang pasti adalah persaudaraan yang pertama, meskipun Muhajirin memiliki ikatan yang lebih dominan dari sisi persaudaraan karena Islam, kesamaan negeri, kekerabatan, dan nasab, jika dibandingkan ikatan persaudaraan dengan Anshar yang memiliki banyak perbedaan latar belakang.?
Makna persaudaraan ini—sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad Al-Ghazali—bertujuan agar fanatisme jahiliyah menjadi Ienyap dan tidak ada yang dibela selain Islam. Di samping itu, agar perbedaan keturunan, ras dan daerah tidak mendominasi dan seseorang tidak merasa lebih unggul atau lebih rendah kecuali karena ketakwaannya.
Rasulullah menjadikan persaudaraan ini sebagai ikatan yang benar-benar harus dilaksanakan, bukan sekedar isapan jempol dan omong kosong belaka. Persaudaraan tersebut harus diwujudkan dalam tindakan nyata yang mempertautkan darah dan harta, bukan sekedar ucapan salam di bibir lalu setelah itu hilang tanpa kesan sama sekali. Dan tujuan tersebut terealisasi dengan baik. Dorongan perasaan untuk mendahulukan kepentingan yang lain, saling mengasihi, dan memberikan pertolongan benar-benar bersenyawa dalam persaudaraan ini, mewarnai masyarakat yang baru dibangun dengan beberapa gambaran yang mengundang decak kagum.‘
Al-Bukhari meriwayatkan bahwa ketika Orang-orang Muhajirin tiba di Madinah, Rasulullah mempersaudarakan Abdurrahman bin Auf dengan Saad bin Ar-Rabi’. Saad berkata kepada Abdurrahman, “Sesungguhnya aku adalah orang yang paling banyak hartanya di kalangan Anshar. Ambillah separuh hartaku itu. Aku juga mempunyai dua istri. Maka lihatlah mana yang engkau pilih, agar aku bisa menceraikannya. Jika masa iddahnya sudah habis, nikahilah dia!”
Abdurrahman berkata, “Semoga Allah memberkahi bagimu dalam keluarga dan hartamu. Lebih baik tunjukkan saja mana pasar kalian.” Maka Orang-orang menunjukkan pasar Bani Qainuqa’. Tak seberapa lama kemudian dia sudah mendapatkan sejumlah samin dan keju. Jika pagi hari dia sudah pergi untuk berdagang.
Suatu hari, dia datang dan di bajunya terlihat ada warna kuning bekas minyak wangi (wanita).
“Bagaimana keadaanmu?” tanya Rasulullah.
“Saya sudah menikah,” jawabnya.
“Berapa banyak mas kawin yang engkau serahkan kepada istrimu?” tanya Rasulullah.
Dia menjawab, “Beberapa keping emas.”
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata, “Orang-orang Anshar berkata kepada Nabi, “Bagilah kebun kurma milik kami untuk diberikan kepada saudara-saudara kami.”
“Kami mendengar dan kami taat,” kata mereka.
“Tidak perlu,” jawab beliau, “Cukuplah kalian memberikan bahan makanan pokok saja dan kami bisa bergabung dengan kalian dalam memanen buahnya.” Ini menunjukkan betapa besar kemurahan hati kaum Anshar terhadap saudara-saudara mereka dari Muhajirin. Mereka rela berkorban, lebih mementingkan kepentingan saudaranya dari kaum Anshar, kecuali sekedar makanan yang bisa menegakkan tulang punggung mereka.
Pertautan persaudaraan ini benar-benar merupakan tindakan yang sangat tepat dan bijaksana, karena bisa memecahkan banyak problem yang sedang dihadapi kaum Muslimin seperti yang sudah kami singgung sebelumnya.
Butir-butir Perjanjian Islam
Dengan mempersaudarakan antar sesama orang beriman tersebut, Rasulullah telah mengikat suatu perjanjian yang sanggup menyingkirkan belenggu jahiliyah dan fanatisme kesukuan, tanpa menyisakan kesempatan bagi tradisi-tradisi jahiliyah untuk berperan. Inilah isi perjanjian tersebut:
“Ini adalah perjanjian dari Nabi yang berlaku di antara Orang-orang Mukmin dan Muslim dari Quraisy dan Yatsrib serta siapa pun yang mengikuti mereka, yang menyusul kelak dan yang berjihad bersama mereka:
- Mereka adalah umat yang satu di luar golongan yang lain.
- Kaum Muhajirin dari Quraisy dengan adat kebiasaan yang berlaku di antara mereka harus saling bekerja sama dalam menerima atau membayar suatu tebusan. Sesama orang Mukmin harus menebus orang yang ditawan dengan cara yang makruf dan adil. Setiap kabilah dari Anshar dengan adat kebiasaan yang berlaku di kalangan mereka harus menebus tawanan mereka sendiri, dan setiap golongan di antara Orang-orang Mukmin harus menebus tawanan dengan cara yang makruf dan adil.
- Orang-orang Mukmin tidak boleh meninggalkan seseorang yang menanggung beban hidup di antara sesama mereka dan memberinya dengan cara yang makruf dalam membayar tebusan atau membebaskan tawanan.
- Orang-orang Mukmin yang bertakwa harus melawan orang yang berbuat zalim, berbuat jahat dan kerusakan di antara mereka sendiri.
- Secara bersama-sama mereka harus melawan orang yang seperti itu, sekalipun dia anak seseorang di antara mereka sendiri.
- Seorang Mukmin tidak boleh membunuh orang Mukmin lainnya karena membela seorang kafir.
- Seorang Mukmin tidak boleh membantu orang kafir dengan mengabaikan orang Mukmin lainnya.
- Jaminan Allah adalah satu. Orang yang paling lemah di antara mereka pun berhak mendapat perlindungan.
- Jika ada Orang-orang Yahudi yang mengikuti kita, maka mereka berhak mendapat pertolongan dan persamaan hak, tidak boleh dizalimi dan ditelantarkan.
- Perdamaian yang dikukuhkan Orang-orang Mukmin harus satu. Seorang Mukmin tidak boleh mengadakan perdamaian sendiri dengan selain Mukmin dalam suatu peperangan di jalan Allah. Mereka harus sama dan adil.
- Sebagian orang Mukmin harus menampung orang Mukmin lainnya, sehingga darah mereka terlindungi di jalan Allah.
- Orang musyrik tidak boleh melindungi harta atau orang Quraisy dan tidak boleh merintangi orang Mukmin.
- Siapa pun yang membunuh orang Mukmin yang tidak bersalah, maka dia harus mendapat hukuman yang setimpal, kecuali jika wali orang yang terbunuh merelakannya.
- Semua orang Mukmin harus bangkit untuk membela dan tidak boleh diam saja.
- Orang Mukmin tidak boleh membantu dan menampung orang yang jahat. Siapa yang melakukannya, maka dia berhak mendapat laknat Allah dan kemurkaan-Nya pada hari kiamat dan tidak ada tebusan yang bisa diterima.
- Perkara apa pun yang kalian perselisihkan harus dikembalikan kepada Allah dan Muhammad
Pengaruh Spiritual dalam Masyarakat
Dengan hikmah dan kecerdasan Rasulullah tersebut, maka beliau telah berhasil memancangkan sendi masyarakat yang baru. Fenomena ini mampu memberikan pengaruh spiritual yang sangat besar, yang bisa dirasakan setiap anggota masyarakat, karena mereka menjadi pendamping Rasulullah.
Sementara itu, beliau sendiri yang mengajari, mendidik, membimbing, menyucikan jiwa manusia, menuntun mereka kepada akhlak yang baik, menanamkan adab kasih sayang, persaudaraan, kemuliaan, ibadah, dan ketaatan.
Ada seseorang yang bertanya kepada beliau, “Bagaimanakah Islam yang paling baik itu?” Beliau menjawab, “Hendaklah engkau memberi makan, mengucapkan salam kepada siapa pun yang engkau kenal maupun yang tidak engkau kenal.”’
Abdullah bin Salam berkata, “Ketika tiba di Madinah, aku mendatangi beliau. Ketika kulihat secara jelas wajah beliau, maka aku bisa melihat bahwa wajah itu bukanlah wajah pendusta. Yang pertama kali kudengar saat itu adalah sabda beliau:
“Wahai manusia, sebarkanlah salam, berikanlah makanan, sambunglah tali persaudaraan, shalatlah pada malam hari ketika semua orang sedang tidur, niscaya kalian akan masuk surga dengan damai.”
Beliau juga memberikan pengarahan lain dengan bersabda: “Tidak masuk surga orang yang tetangganya tidak aman dari gangguannya.” (HR Muslim)
“Muslim itu ialah orang yang kaum Muslimin lainnya selamat dari gangguan lidah dan tangannya.” (HR Al-Bukhari)
“Tidak sempurna keimanan salah seorang di antara kalian sebelum dia mencintai saudaranya seperti apa yang dia cintai bagi dirinya sendiri.” (HR Al-Bukhari)
“Orang-orang Mukmin itu bagaikan satu tubuh. Jika matanya sakit, seluruh tubuhnya pun ikut merasa sakit. Bila kepalanya sakit, seluruh tubuhnya ikut merasa sakit.” (HR Muslim)
“Orang beriman itu antara satu dan lainnya bagaikan satu bangunan, yang saling menguatkan.” (Muttafaqun ‘alaihi)
‘Janganlah kalian saling membenci, janganlah saling mendengki, janganlah saling bermusuhan, dan jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara, dan seorang Muslim tidak diperbolehkan mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari.” (HR Al-Bukhari)
“Orang Muslim itu adalah saudara bagi Muslim lainnya, tidak menzalimi dan tidak menelantarkannya. Barang siapa berada dalam kebutuhan saudaranya maka Allah berada dalam kebutuhannya. Barang siapa menyingkirkan darinya satu kesusahan maka Allah akan menyingkirkan darinya satu kesusahan dari berbagai macam kesusahan hari akhirat. Barang siapa menutupi aib orang Muslim maka Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat.” (Muttafaqun ‘alaih)
“Kasihanilah siapa yang ada muka bumi, niscaya yang ada di langit akan mengasihimu.” (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
“Orang beriman itu bukanlah orang yang kenyang perutnya, sedangkan tetangganya kelaparan di sampingnya.” (HR Al-Baihaqi)
“Mencaci orang Mukmin itu adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekafiran.” (HR Al-Bukhari)
“Menyingkirkan gangguan dari jalan itu sedekah, dan hal ini dianggap sebagai salah satu dari cabang-cabang iman.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Beliau juga menganjurkan agar mereka menyedekahkan hartanya dan menyebutkan keutamaan-keutamaannya. Beliau bersabda: “Sedekah itu menghapus kesalahan-kesalahan layaknya air yang memadamkan api.” (HR Ahmad, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
“Siapa pun orang Muslim yang memberikan pakaian kepada orang Muslim lainnya yang telanjang, Allah akan mengenakan pakaian dari pelepah surga kepadanya, dan siapa pun orang Muslim memberi makan orang Muslim lainnya yang lapar, Allah memberinya makan dari buah-buah surga, dan siapa pun orang Muslim yang memberi minum orang Muslim lainnya yang haus, Allah akan memberinya minum dari minuman yang harum dan tertutup.” (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
‘Jagalah dirimu dari api neraka sekalipun dengan memberikan separuh kurma. Jika engkau tidak mendapatkannya, cukup dengan kata-kata yang baik.” (HR Al-Bukhari)
Di samping itu, Rasulullah juga menganjurkan agar mereka menahan diri dari meminta-minta. Beliau juga menyebutkan keutamaan sabar dan qanaah. Beliau mengilustrasikan kebiasaan meminta-minta itu seperti kutu, lalat, atau nyamuk yang menempel di wajah orang yang meminta tersebut.’ Jadi, jangan pernah meminta-minta, kecuali jika dalam keadaan terpaksa.
Selain itu, Rasulullah menyampaikan keutamaan dan pahala berbagai macam ibadah di sisi Allah, mengaitkan mereka dengan wahyu yang turun dari langit dengan suatu ikatan yang kuat, lalu beliau membacakan wahyu tersebut kepada mereka agar mereka merasa terlibat langsung dengan dakwah dan risalah. Dengan demikian, mereka semakin antusias untuk memahami dan mencermatinya.
Begitulah cara beliau mengangkat kekuatan spiritual dan semangat mereka. Beliau membekali mereka dengan nilai-nilai yang tinggi, sehingga mereka tampil sebagai sosok yang ideal dan sempurna setelah para nabi.
Abdullah bin Mas’ud a berkata, “Barang siapa ingin mengikuti sunnah, maka hendaklah dia mengikuti Orang-orang yang telah meninggal dunia. Sebab, orang yang masih hidup tidak aman dari fitnah. Orang-orang yang telah meninggal itu adalah para sahabat Muhammad. Mereka adalah umat ini yang paling utama, hatinya paling berbakti, ilmunya paling mendalam, bebannya paling sedikit, yang dipilih Allah sebagai pendamping Nabi-Nya dan untuk menegakkan agamanya. Kenalilah keutamaan mereka, ikutilah jejak mereka, pegangilah akhlak dan kehidupan mereka menurut kesanggupan kalian. Sesungguhnya mereka berada pada petunjuk yang lurus.”!!
Rasulullah sendiri memiliki semua sifat utama secara lahir dan batin. Kesempurnaan, keutamaan, akhlak mulia dan perbuatan-perbuatan yang bagus ada pada diri beliau, sehingga semua orang tertarik kepada beliau. Setiap kalimat yang beliau ucapkan, pasti diikuti para sahabat. Setiap kali ada bimbingan atau pengarahan yang beliau sampaikan, maka mereka akan berebut melaksanakannya. Dengan cara ini Nabi mampu membangun sebuah masyarakat yang baru di Madinah. Masyarakat yang mulia lagi mengagumkan yang dikenal sejarah. Beliau juga mampu mencari cara pemecahan dari berbagai persoalan yang muncul di tengah masyarakat tersebut, yang bisa dinikmati manusia, setelah mereka keletihan dalam kungkungan kegelapan. Dengan gambaran spiritual yang mengagumkan seperti ini, segala aspek kehidupan sosial bisa menjadi sempurna, siap menghadapi segala arus zaman sepanjang sejarah.
Setelah Nabi hijrah ke Madinah dan berhasil memancangkan sendi-sendi masyarakat Islam yang baru, dengan menciptakan kesatuan akidah, politik dan sistem kehidupan di antara kaum Muslimin, beliau merasa perlu mengatur hubungan dengan selain golongan Muslim: Perhatian beliau saat itu terpusat untuk menciptakan keamanan, kebahagiaan dan kebaikan bagi semua manusia, mengatur kehidupan di daerah itu dalam satu kesepakatan. Untuk itu, beliau menerapkan undang-undang yang luwes dan penuh tenggang rasa, yang tidak pernah terbayangkan dalam kehidupan dunia yang selalu dibayangi fanatisme.
Tetangga yang paling dekat dengan kaum Muslimin di Madinah adalah Orang-orang Yahudi. Sekalipun memendam kebencian dan permusuhan terhadap kaum Muslimin, namun mereka tidak berani menampakkannya. Beliau menawarkan perjanjian kepada mereka, yang intinya memberikan kebebasan menjalankan agama dan menjalankan roda perekonomian, serta tidak boleh saling menyerang dan memusuhi. Perjanjian ini sendiri dikukuhkan setelah pengukuhan perjanjian di kalangan kaum Muslimin. Inilah butir-butir perjanjian tersebut:
- Orang-orang Yahudi Bani Auf adalah satu umat dengan Orang-orang Mukmin. Bagi Orang-orang Yahudi agama mereka dan bagi kaum Muslimin agama mereka, termasuk pengikut-pengikut mereka dan diri mereka sendiri. Hal ini juga berlaku bagi Orang-orang Yahudi selain Bani Auf.
- Orang-orang Yahudi berkewajiban menanggung nafkah mereka sendiri, begitu pula kaum Muslimin.
- Semua pihak harus saling membantu dalam menghadapi musuh yang hendak membatalkan piagam perjanjian ini.
- Mereka harus saling nasihat-menasihati, berbuat baik, dan tidak boleh berbuat jahat.
- Siapa pun tidak boleh berbuat jahat terhadap orang yang sudah terikat dengan perjanjian ini.
- Wajib membantu orang yang dizalimi.
- Orang-orang Yahudi harus sepakat dengan Orang-orang Mukmin ketika mereka (kaum Muslimin) terjun dalam kancah peperangan.
- Yatsrib adalah kota yang dianggap suci oleh setiap orang yang menyetujui perjanjian ini.
- Jika terjadi sesuatu ataupun perselisihan di antara Orang-orang yang mengakui perjanjian ini, yang dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan, maka penyelesaiannya dikembalikan kepada Allah dan Muhammad.
- Orang-orang Quraisy tidak boleh mendapat perlindungan dan tidak boleh ditolong.
- Mereka harus saling tolong-menolong dalam menghadapi orang yang hendak menyerang Yatsrib.
- Perjanjian ini tidak boleh dilanggar, kecuali memang dia orang yang zalim atau jahat.!?
Dengan disahkan perjanjian ini, maka Madinah dan sekitarnya tak ubahnya sebuah negara yang makmur, ibukotanya Madinah dan presidennya—jika boleh disebut begitu—adalah Rasulullah. Pelaksana pemerintahan dan penguasa mayoritas adalah kaum Muslimin., sehingga dengan begitu Madinah benar-benar menjadi ibukota bagi Islam. Untuk melebarkan wilayah yang aman dan damai, Rasulullah sudah siap-siap melibatkan kabilah-kabilah lain di kemudian hari dalam perjanjian ini, sebagaimana yang akan kami kupas di bagian mendatang.[]
Bujukan Quraisy untuk Memerangi Kaum Muslimin dan Kontak dengan Abdullah bin Ubay Pada bagian sebelumnya kami telah membahas tekanan dan penyiksaan yang dilancarkan oleh Orang-orang kafir Mekkah terhadap kaum Muslimin ketika mereka berhijrah, yang sebenarnya sangat potensial untuk memancing pecahnya peperangan. Hanya saja saat itu kaum Muslimin belum memungkinkan untuk menghadapi mereka.
Orang-orang Quraisy semakin bertambah marah ketika kaum Muslimin pergi dan akhirnya mendapatkan tempat yang aman di Madinah. Karena itu, mereka menulis surat yang ditujukan kepada Abdullah bin Ubay bin Salul, yang saat itu masih merupakan orang musyrik dan hampir diangkat sebagai pemimpin Anshar dan raja di Madinah, andaikan saja Rasulullah dan kaum Muslimin tidak hijrah ke sana. Orang-orang Quraisy Mekkah menulis surat kepada Abdullah bin Ubay, yang isinya:
“Sesungguhnya kalian telah menampung orang di antara kami. Demi Allah, kami benar-benar akan memeranginya atau kalian mengusirnya, atau biarlah kami mendatangi tempat kalian dengan mengerahkan semua orang kami, hingga kami menghabisi kalian dan menawan wanita-wanita kalian.”
Dengan datangnya surat ini Abdullah bin Ubay sudah terpengaruh untuk menuruti perintah rekan-rekannya dari musyrikin Mekkah. Apalagi dia sangat mendendam terhadap Rasulullah yang menurutnya telah merampas kerajaannya.
Abdurrahman bin Ka’ab menuturkan, “Ketika surat itu sudah dibaca Abdullah bin Ubay beserta rekan-rekannya dari kalangan penyembah berhala, mereka berkumpul untuk memerangi Rasulullah. Tetapi, beliau mendengar masalah itu, lalu pergi menemuinya, seraya bersabda, ‘Rupanya Quraisy telah mengancam kalian. Sesungguhnya mereka ingin memperdayai kalian, yang lebih besar daripada tipu daya yang hendak kalian timpakan kepada diri kalian sendiri. Kalian sendirilah yang menghendaki untuk membunuh anak-anak dan saudara-saudara kalian.’ Setelah mendengarnya, mereka pun bubar.”!
Abdullah bin Ubay bin Salul mengurungkan niat untuk melakukan serangan pada saat itu karena dia melihat nyali rekan-rekannya yang masih ciut. Tetapi, bagaimana pun dia tetap melakukan kontak dengan pihak Quraisy. Hampir setiap ada kesempatan, dia memanfaatkannya untuk memicu gejolak antara kaum Muslimin dan musyrikin. Untuk keperluan ini dia juga merangkul Orang-orang Yahudi. Namun, dengan bijaksana Nabi selalu mampu memadamkan gejolak itu dari waktu ke waktu.
Menyuarakan Tekad untuk Melakukan Perlawanan dari Al-Masjid Al-Haram
Setelah itu Saad bin Muadz pergi ke Mekkah untuk melakukan umrah. Di Mekkah dia menetap di rumah Umayyah bin Khalaf. Dia berkata kepada Umayyah, “Berilah aku waktu sebentar, siapa tahu aku bisa melakukan tawaf di Kabah.” Mendekati siang hari bersama Umayyah dia pergi ke Kabah.
Abu Jahal yang berpapasan dengan keduanya, bertanya, “Wahai Abu Shafwan, siapakah orang yang bersamamu ini?”
Umayyah menjawab, “Dia adalah Saad.”
Abu Jahal berkata kepada Saad, “Bukankah engkau bisa tawaf di Mekkah dengan aman, namun kalian justru melindungi Orang-orang yang keluar dari agamanya. Bahkan, kalian bertekad hendak membantu dan menolong mereka. Demi Allah, seandainya engkau tidak bersama Abu Shafwan, tentu engkau tidak akan bisa kembali kepada keluargamu dalam keadaan selamat.”
Dengan suara yang nyaring Saad menanggapi, “Demi Allah, jika engkau menghalangiku saat ini, pasti aku akan menghalangimu dengan cara yang lebih keras lagi dalam perjalananmu melewati penduduk Madinah.”?
Quraisy Mengancam Kaum Muhajirin
Selanjutnya Orang-orang Quraisy mengirim utusan kepada kaum Muslimin untuk menyampaikan pesan, “Janganlah kalian bangga terlebih dahulu karena kalian bisa meninggalkan kami pergi ke Yatsrib. Kami akan mendatangi kalian, lalu merenggut dan membenamkan tanaman kalian di halaman rumah kalian.”‘
Ini bukan sekedar ancaman di mulut semata. Rasulullah merasa yakin dan sudah mendapatkan data tentang tipu daya Quraisy dan ambisi mereka untuk melancarkan serangan. Hal ini telah menyebabkan mata beliau sulit terpejam dan membuat para sahabat selalu berjaga-jaga.
Muslim telah meriwayatkan di dalam Sahih-nya, dari Aisyah, yang berkata, “Pada malam pertama kedatangan Rasulullah di Madinah, beliau tidak bisa tidur. Beliau bersabda, ‘Seandainya malam ini ada seseorang yang saleh dari sahabatku yang mau menjagaku.’ Saat itu pula ada terdengar suara gemerencing senjata.
Beliau bertanya, “Siapa itu?”
“Saad bin Abu Waqqash.”
“Apa yang mendorongmu datang ke sini?”
“Aku merasa khawatir terhadap keamanan Rasulullah. Aku datang dengan maksud untuk menjaga beliau.”
Beliau langsung mendoakannya, setelah itu beliau bisa tidur.
Penjagaan terhadap diri Rasulullah ini tidak dilakukan hanya semalam dua malam saja, tetapi dilakukan secara terus-menerus. Aisyah berkata, “Suatu malam, ketika Rasulullah sedang dijaga, sebuah ayat turun:
Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. (Al-Ma’idah: 67)
Beliau pun melongokkan kepala dari lubang jendela lalu bersabda, “Wahai semua orang, beranjaklah dari tempatku ini, karena Allah ‘Azza wa Jalla telah menjagaku.”
Bahaya tidak hanya mengancam diri Rasulullah semata, tetapi juga kaum Muslimin secara keseluruhan. Ubay bin Ka’ab meriwayatkan bahwa dia berkata, “Ketika Rasulullah dan para sahabatnya tiba di Madinah, lalu dilindungi kaum Anshar, seluruh bangsa Arab sepakat untuk melontarkan satu anak panah kepada mereka. Setiap pagi dan sore, mereka selalu siap dengan senjatanya.”
Izin untuk Berperang
Dalam kondisi yang rawan karena adanya ancaman terhadap eksistensi kaum Muslimin di Madinah, terutama yang bersumber dari pihak Quraisy yang tak pernah berhenti memperdayai dan mengganggu mereka, Allah menurunkan ayat yang mengizinkan kaum Muslimin untuk berperang, yang berarti tidak bersifat wajib.
Telah diizinkan (berperang) bagi Orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar. benar Mahakuasa menolong mereka itu. (Al-Hajj: 39)
Ayat ini diturunkan di antara beberapa ayat yang memberi petunjuk kepada mereka, bahwa izin berperang tersebut hanya dimaksudkan untuk mengenyahkan kebatilan dan menegakkan syiar-syiar Allah:
“(Yaitu) Orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar.” (Al-Hajj: 41)
Yang benar dan yang tidak perlu diragukan bahwa izin ini turun di Madinah setelah hijrah, bukan di Mekkah sebelum hijrah. Tetapi, memang kita tidak bisa menentukan secara pasti waktu turunnya.
Izin untuk berperang ini sudah turun. Namun, ada baiknya jika sikap yang diambil kaum Muslimin dalam menghadapi kondisi yang dipicu oleh kaum Quraisy dan kekuatannya ini, ialah dengan cara menunjukkan kekuasaan terhadap jalur perdagangan Quraisy yang mengambil rute dari Mekkah ke Syam. Untuk menunjukkan kekuasaan ini, Rasulullah telah memilih dua langkah:
- Mengadakan perjanjian kerja sama atau tidak saling menyerang, dengan beberapa kabilah yang berdekatan dengan jalur perdagangan ini, atau menjadi penghalang antara jalur itu dan Madinah.
Di bagian sebelumnya kami sudah menjelaskan perjanjian beliau dengan pihak Yahudi, termasuk perjanjian kerja sama atau tidak saling menyerang dengan Juhainah, sebelum beliau mengambil sikap untuk mengerahkan kekuatan militer. Tempat tinggal kaum Juhainah ini berjarak 3 marhalah dari Madinah.
- Mengirim beberapa kelompok utusan secara terus-menerus dan bergiliran ke jalur perdagangan tersebut.
Satuan-satuan Pasukan Sebelum Perang Badar Untuk mengimplementasikan dua langkah tersebut, kaum Muslimin memulai dengan kegiatan militer, langsung setelah turun izin untuk berperang. Mereka memulai kegiatan militer dengan mengirimkan mata-mata. Sasaran dari kegiatan mata-mata ini ialah untuk mengenal lebih lanjut tentang jalan-jalan yang ada di sekitar Madinah, begitu pula jalur ke Mekkah, mengadakan perjanjian dengan kabilah-kabilah yang berdekatan dengan jalur itu, memperlihatkan kepada Orang-orang musyrik Yatsrib, Yahudi dan suku-suku Badui di sekitarnya bahwa kaum Muslimin adalah Orang-orang yang kuat; bahwa mereka bisa melepaskan diri dari kelemahan pada masa-masa sebelumnya serta memperingatkan pihak Quraisy, sebagai akibat dari kebrutalan mereka.
Dengan begitu mereka tidak lagi berbuat semena-mena, yang selama itu masih terus membayangi pikiran kaum Muslimin. Harapannya, cara itu pihak Quraisy merasa khawatir terhadap keamanan jalur perdagangan mereka, lalu mendorong mereka untuk mengadakan perdamaian, membatalkan niat untuk menyerbu kaum Muslimin, tidak menghalangi manusia untuk mengikuti jalan Allah, tidak lagi menyiksa Mukminin yang lemah di Mekkah, sehingga kaum Muslimin bebas menyampaikan risalah Allah di seluruh Jazirah Arab.
Berikut ini gambaran singkat tentang beberapa satuan pasukan kaum Muslimin:
- Satuan pasukan ke Siful Bahr pada tanggal 1 Ramadhan 1 H/623 M. Untuk memimpin satuan pasukan ini, Rasulullah menunjuk Hamzah bin Abdul Mutholib, bersama 30 orang Muhajirin. Sasarannya adalah menghadang kafilah dagang Quraisy yang kembali dari Syam. Kafilah tersebut terdiri dari 300 orang, termasuk Abu Jahal bin Hisyam. Mereka tiba di Siful Bahr di bilangan Al-Ish. Sebenarnya mereka sudah saling berhadap-hadapan dan siap untuk berperang. Namun, muncul Majdi bin Amr Al-Juhani yang menjadi sekutu kedua belah pihak. Dia melerai kedua belah pihak, sehingga mereka urung berperang. Bendera dalam satuan pasukan Hamzah adalah bendera pertama yang diserahkan Rasulullah. Warnanya putih dan pembawanya adalah Martsad Kannaz bin Hishn Al-Ghanwi.
- Satuan pasukan ke Rabigh. Pada 1 Syawal 1 H, Rasulullah mengirim Ubaidah bin Al-Harits bin Abdul Mutholib bersama 60 Muhajirin, hingga berpapasan dengan Abu Sufyan yang membawa 200 orang di lembah Rabigh. Sebenarnya kedua belah pihak sudah saling melepaskan anak panah, namun tidak sampai meletus peperangan. Dalam pengiriman satuan pasukan kali ini ada dua pasukan Quraisy yang bergabung ke barisan kaum Muslimin, yaitu Al-Miqdad bin Amr Al-Bahrani dan Utbah bin Ghazwan Al-Mazini. Keduanya pun masuk Islam. Dia pergi bersama Orang-orang kafir sekadar sebagai jalan agar dia bisa bergabung dengan kaum Muslimin. Bendera Ubaidah juga berwarna putih, pembawanya adalah Misthah bin Utsatsah bin Al Mutholib bin Abdu Manaf.
- Satuan pasukan ke Al-Kharrar (dekat Juhfah). Pada Dzulqa’dah 1 H yang bertepatan dengan Mei 623 M, Rasulullah mengutus Saad bin Abu Waqqash bersama 20 orang untuk menghadang kafilah dagang Quraisy. Beliau berpesan kepada Saad agar tidak sampai berjalan melewati Al-Kharrar. Mereka pun pergi dengan berjalan kaki. Jika siang hari mereka bersembunyi dan perjalanan dilakukan malam hari, hingga mereka tiba di Al-Kharrar pada hari kelima, pagi hari. Namun, kafilah dagang sudah melewati Al-Kharrar sehari sebelumnya. Bendera Saad juga berwarna putih dan pembawanya adalah Al-Miqdad bin Amr.
- Perang Abwa’ atau Waddan. Pada Shafar 2 H yang bertepatan dengan Agustus 623 M, Rasulullah pergi sendiri memimpin pasukan, setelah mengangkat Saad bin Ubadah sebagai wakil beliau di Madinah. Beliau keluar bersama 70 orang yang hanya terdiri dari kaum muhajirin saja.
Tujuannya adalah menghadang kafilah dagang Quraisy. Beliau pergi hingga tiba di Waddan. Namun, tidak terjadi apa-apa.
Dalam kesempatan itu beliau. mengadakan perjanjian persahabatan dengan Amr bin Makhsyi, pemimpin Bani Dhamrah. Inilah isi perjanjian itu: “Ini adalah perjanjian dari Muhammad, utusan Allah, dengan Bani Dhamrah. Sesungguhnya harta dan diri mereka dijamin keamanannya, dan mereka berhak mendapatkan pertolongan jika ada yang menyerang mereka, kecuali jika mereka memerangi agama Allah. Jika Nabi mengajak mereka agar memberi pertolongan, maka mereka harus memenuhinya.”
Ini merupakan peperangan pertama yang dilakukan Rasulullah. Kepergiannya untuk tujuan perang tersebut selama lima belas hari. Bendera perang berwarna putih, dan pembawanya adalah Hamzah bin Abdul Mutholib.
- Perang Buwath. Pada Rabi’ul Awwal 2 H yang bertepatan dengan September 623 M, Rasulullah pergi bersama 200 sahabat untuk menghadang kafilah dagang Quraisy yang dipimpin oleh Umayyah bin Khalaf beserta 100 orang Quraisy. Mereka membawa 2500 unta yang membawa barang dagangan. Beliau tiba di Buwath dari arah Radhwa. Namun, kali ini tidak terjadi apa-apa.
Beliau mengangkat Saad bin Muadz sebagai wakil di Madinah. Sementara itu, bendera perang berwarna putih, dan pembawanya adalah Saad bin Abu Waqqash.
- Perang Safwan. Pada Rabi’ul Awwal 2 H yang bertepatan dengan September 623 M, Kurs bin Jabir Al-Fihri bersama beberapa orang musyrik menyerbu kandang hewan gembalaan di Madinah dan berhasil merampok domba-dombanya. Maka Rasulullah bersama 70 sahabat hendak mengejar dan mengusirnya. Akhirnya beliau tiba di sebuah lembah yang disebut Safwan, dari arah Badar. Tetapi, beliau tidak berhasil memergoki Kurs dan rekan-rekannya. Maka beliau kembali lagi tanpa ada peperangan. Perang ini bisa disebut Perang Badar Ula (pertama). Dalam perang ini beliau mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai wakil beliau di Madinah. Bendera perang berwarna putih dan pembawanya adalah Ali bin Abu Thalib.
- Perang Dzul Usyairah. Pada Jumadil Ula dan Jumadil Akhirah 2 H, bertepatan dengan bulan November dan Desember 623 M, Rasulullah keluar memimpin 150 atau 200 Muhajirin untuk menghadang kafilah dagang Quraisy yang hendak pergi ke Syam. Kabar yang sampai kepada beliau, kafilah itu membawa harta Orang-orang Quraisy. Namun, ketika tiba di Dzul Usyairah (dekat Yanbu’), rombongan Quraisy sudah melewati tempat itu beberapa hari sebelumnya. Kafilah inilah yang kemudian dicari-cari oleh beliau sekembalinya dari Syam, yang kemudian menjadi penyebab meletusnya Perang Badar Kubra.
Kepergian beliau ini dilakukan pada akhir Jumadil Ula dan kembali pada awal Jumadil Akhirah, menurut riwayat Ibnu Ishaq. Boleh jadi inilah yang menjadi sebab terjadinya perbedaan pendapat di kalangan pakar sejarah tentang penerapan bulan terjadinya peperangan ini.
Dalam kesempatan ini beliau mengikat perjanjian damai dengan Bani Mudlij dan sekutu mereka dari Bani Dhamrah.
Beliau mengangkat Abu Salamah Al-Makhzumi sebagai wakil beliau di Madinah. Bendera perang berwarna putih, dan pembawanya adalah Hanuah bin Abdul Mutholib.
- Pengiriman satuan pasukan ke Nakhlah. Pada Rajab 2 H bertepatan dengan Januari 624 M, Rasulullah mengirim Abdullah bin Jahsy Al Asadi ke Nakhlah bersama 12 Muhajirin. Setiap dua orang menaiki seekor unta. Dalam kesempatan ini Rasulullah menulis surat yang tertutup dan melarang Abdullah bin Jahsy membuka dan membacanya, kecuali setelah perjalanan dua hari. Maka Abdullah berangkat dan setelah dua hari perjalanan, dia membuka surat itu dan membacanya. Ternyata bunyi surat itu adalah: “Jika engkau sudah membaca surat ini, maka pergilah menuju Nakhlah, di antara Mekkah dan Tha’if. Selidiki rombongan dagang Quraisy lalu sampaikan kabar tentang mereka kepada kami.”
Abdullah bin Jahsy berkata, “Aku mendengar dan aku pun taat.” Lalu dia memberitahukan isi surat beliau itu kepada rekan-rekannya. Dia tidak memaksa mereka untuk ikut. Dia berkata, “Siapa yang menginginkan mati syahid karena mengemban misi ini, maka hendaklah dia bangkit, dan siapa yang takut mati, maka hendaklah dia pulang. Aku tetap akan berangkat ke sana.” Maka mereka pun berangkat. Hanya saja di tengah perjalanan unta yang dinaiki Saad bin Abu Waqqash dan Utbah bin Ghazwan lepas, sehingga keduanya tidak bisa bergabung karena harus mencari unta tersebut.
Abdullah bin Jahsy terus berjalan hingga tiba di Nakhlah. Di sana dia memergoki rombongan dagang Quraisy yang membawa kismis, kulit dan berbagai macam barang dagangan. Dalam rombongan itu terdapat Amr bin Al-Hadhrami, Utsman dan Naufal (dua anak Abdullah bin Al-Mughirah), dan Al-Hakam bin Kisan, budak Bani Al-Mughirah. Kaum Muslimin bermusyawarah, apa sikap yang harus diambil untuk menghadapi rombongan dagang Quraisy itu. Mereka berkata, “Kita saat ini berada pada hari terakhir dari bulan Rajab, yaitu Bulan Haram. Jika kita memerangi mereka, berarti kita telah melanggar Bulan Haram. Jika kita biarkan mereka, malam ini pula mereka sudah masuk Tanah Suci.” Akhirnya mereka menarik kesimpulan secara bulat untuk menghadapi rombongan Quraisy itu, hingga salah seorang di antara Orang-orang Quraisy itu, yaitu Amr bin Al-Hadhrami terkena hujaman anak panah dan tewas. Utsman dan Al-Hakam ditawan, sedangkan Naufal bisa melepaskan diri. Seluruh barang dan dua orang tawanan dibawa ke Madinah. Mereka juga menyisihkan seperlima bagian dari harta rampasan, dan ini merupakan yang pertama kali terjadi dalam Islam, korban yang terbunuh juga merupakan korban yang pertama dalam Islam, dan dua tawanan ini merupakan tawanan yang pertama dalam Islam.
Namun, Rasulullah tidak sependapat dengan apa yang mereka lakukan. Beliau bersabda, “Aku tidak memerintahkan kalian untuk berperang pada Bulan Haram.” Beliau tidak mau menerima barang dagangan dan dua tawanan itu.
Dengan kejadian ini Orang-orang musyrik merasa mendapat angin untuk menuduh kaum Muslimin sebagai Orang-orang yang menghalalkan apa yang diharamkan Allah, sehingga muncul komentar yang simpang siur. Kemudian turun ayat yang menuntaskan komentar yang simpang siur tersebut, yang isinya bahwa Orang-orang musyrik jauh lebih besar dosanya daripada apa yang dilakukan Orang-orang Muslim.
Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah, “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Al-Masjid Al-Haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (Al-Baqarah: 217).
Wahyu ini menegaskan bahwa desas-desus yang disebarluaskan oleh Orang-orang musyrik untuk memancing kesangsian terhadap sepak terjang para pejuang Muslim tidak ada artinya apa-apa. Sebab, segala kesucian dan kehormatan telah dilanggar Orang-orang musyrik untuk memerangi Islam dan menekan para pemeluknya. Bukankah sebelum itu Orang-orang muslim menetap di Tanah Suci, namun harta mereka dirampas dan nabi mereka hendak dibunuh? Lalu apa salahnya jika secara tiba-tiba kesucian itu dikembalikan seperti sedia kala? Tidak sangsi lagi bahwa desas-desus yang sengaja disebarkan Orang-orang musyrik itu timbul dari niat jahat mereka.
Setelah itu Rasulullah melepaskan dua tawanan itu dan membayarkan tebusan dari korban yang terbunuh kepada keluarganya.”
Itulah satuan-satuan pasukan yang dikirim maupun yang dipimpin langsung oleh Rasulullah sebelum Perang Badar. Dalam satu peperangan pun tidak terjadi perampasan harta dan juga tidak ada korban jiwa, kecuali dalam suatu insiden yang dilakukan Orang-orang musyrik, di bawah pimpinan Kurz bin Jabir Al-Fihr. Peristiwa ini sebenarnya bermula dari ulah Orang-orang musyrik sendiri.
Setelah adanya insiden antara rombongan dagang Quraisy dengan pasukan kaum Muslimin yang dipimpin oleh Abdullah bin Jahsy ini, Orang-orang musyrik Quraisy mulai dirasuki perasaan takut. Di hadapan mereka terpampang bahaya yang nyata. Apa yang pernah mereka takutkan, kini benar-benar menjadi kenyataan. Mereka menyadari bahwa penduduk Madinah senantiasa mengintai dan mengawasi setiap kegiatan dagang mereka, dan kaum Muslimin bisa bergerak sejauh 300 mil, menyerang, menawan Orang-orang mereka, merampas harta mereka, lalu kembali lagi ke Madinah dalam keadaan selamat.
Orang-orang musyrik sadar bahwa jalur perdagangan mereka ke Syam menghadapi ancaman yang besar dan berkelanjutan. Tetapi, jika mereka mengendurkan tekanan dan mengambil jalan damai seperti yang dilakukan Juhainah dan Bani Dhamrah, justru hal ini akan semakin membakar kedengkian dan kebencian mereka. Akhirnya, para pembesar mereka bertekad bulat untuk mewujudkan ancaman yang pernah disampaikan sebelumnya, yaitu menghabisi kaum Muslimin di tempat tinggal mereka. Tekad inilah yang kemudian membawa mereka ke Badar.
Sementara itu, setelah insiden satuan pasukan Abdullah bin Jahsy, Allah telah mewajibkan perang terhadap kaum Muslimin, tepatnya pada Sya’ban 2 H. Ada beberapa ayat yang turun berkaitan dengan masalah ini:
Dan perangilah di jalan Allah Orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai Orang-orang yang melampaui batas.
Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekkah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Al-Masjid Al-Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikian balasan bagi Orang-orang kafir.
Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap Orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah: 190-193)
Setelah itu, Allah masih menurunkan beberapa ayat lain yang mengajarkan cara-cara berperang kepada mereka, perintah untuk berperang, dan penjelasan tentang hukum-hukumnya:
Apabila kamu bertemu dengan Orang-orang kafir (di medan perang)
Maka pancunglah batang leher mereka, sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir. Demikianlah apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka, tetapi Allah hendak menguji sebagian kamu dengan sebagian yang lain. Dan Orang-orang yang terbunuh di jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka.
Allah akan memberi pimpinan kepada mereka dan memperbaiki keadaan mereka, Dan memasukkan mereka ke dalam surga yang telah diperkenankan-Nya kepada mereka. Hai Orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. (Muhammad: 4-7)
Kemudian Allah mencela Orang-orang yang tidak punya nyali, gemetar, dan menggigil ketakutan ketika mendengar perintah untuk berperang:
Maka apabila diturunkan suatu surat yang jelas maksudnya dan disebutkan di dalamnya (perintah) perang, kamu lihat Orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya memandang kepadamu seperti pandangan orang yang pingsan karena takut mati, (Muhammad: 20).
Keharusan berperang dan perintah untuk terjun dalam kancah perang serta perintah untuk mengadakan persiapan dalam menghadapinya sejalan dengan tuntutan keadaan. Andai kata seorang komandan pasukan melihat kondisi kritis, tentu dia akan memerintahkan pasukannya agar bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi. Lalu bagaimana dengan Tuhan yang mengetahui segala sesuatu? Kondisi saat itu benar-benar membutuhkan perjuangan untuk memisahkan secara total antara yang benar dan batil.
Insiden yang dipicu satuan pasukan Abdullah bin Jahsy merupakan pukulan telak terhadap kehormatan dan dominasi Orang-orang musyrik. Insiden itu membuat mereka terluka, lalu membiarkan mereka bagai berada di atas bara api.
Beberapa ayat yang memerintahkan perang, berarti menunjukkan dekatnya saat pertempuran yang pasti akan memakan korban, dan akhirnya kemenangan akan berpihak kepada kaum Muslimin. Simaklah bagaimana Allah memerintahkan kaum Muslimin agar mengusir Orang-orang kafir, sebagaimana yang dulu pernah mereka lakukan, bagaimana Allah mengajarkan hukum-hukum dalam memperlakukan para tawanan setelah mendapatkan kemenangan dan agar mereka tidak berbuat berlebih-lebihan hingga perang usai. Ini semua menunjukkan bahwa akhirnya kemenangan akan jatuh di tangan kaum Muslimin. Tetapi, semua itu dibiarkan dalam keadaan tersamar, agar setiap orang mawas diri di jalan Allah.
Masih pada bulan yang sama, yaitu pada bulan Sya’ban 2 H/Februari 624 M, Allah memerintahkan untuk mengalihkan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Al-Masjid Al-Haram. Di antara hikmah yang terkandung dalam pengalihan arah kiblat ini adalah untuk menyingkap kebimbangan Orang-orang yang hatinya lemah; kaum munafik dan Yahudi yang sudah bergabung ke dalam barisan kaum Muslimin, sehingga mereka kembali kepada bentuk aslinya dan barisan kaum Muslimin bersih dari pengkhianatan.
Pengalihan arah kiblat tersebut juga mengandung isyarat yang lembut tentang babak baru, yang bisa terwujud jika kaum Muslimin dapat menguasai kiblat tersebut. Sebab, bukankah sangat aneh jika kiblat mereka masih berada di dalam genggaman musuh? Berarti kiblat ini harus berada di tangan mereka. Setelah ada perintah dan isyarat ini, semangat kaum Muslimin semakin berkobar, begitu pula tekad mereka untuk terjun di jalan Allah dan kancah perang menghadapi musuh.
Latar Belakang Peperangan
Seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya, bahwa kafilah dagang Quraisy bisa lepas dari hadangan Nabi dalam perjalanannya dari Mekkah ke Syam. Ketika mendekati saat kepulangan mereka dari Syam ke Mekkah, beliau mengutus Thalhah bin Ubaidullah dan Sa’id bin Zaid agar pergi ke utara untuk tugas penyelidikan. Keduanya tiba di Al-Haura’ dan berada di sana untuk beberapa lama. Ketika kafilah dagang Quraisy yang dipimpin Abu Sufyan sudah lewat, keduanya cepat-cepat kembali ke Madinah dan menyampaikan kabar ini kepada Rasulullah.
Kafilah dagang itu sendiri membawa harta kekayaan penduduk Mekkah, yang jumlahnya sangat melimpah, yaitu sebanyak 1000 unta yang membawa harta benda milik mereka. Nilainya tidak kurang dari 5000 dinar emas. Sementara yang mengawalnya tidak lebih dari 40 orang.
Ini merupakan kesempatan emas bagi pasukan Madinah untuk melancarkan pukulan telak terhadap Orang-orang musyrik, pukulan dalam bidang politik, ekonomi dan militer, jika mereka sampai kehilangan kekayaan yang tiada terkira banyaknya ini. Karena itu, Rasulullah mengumumkan kepada kaum Muslimin, “Ini adalah kafilah dagang Quraisy yang membawa harta benda mereka. Hadanglah kafilah itu, semoga Allah memberikan barang rampasan itu kepada kalian.”
Beliau tidak menekankan kepada seorang pun di antara mereka untuk bergabung, tetapi beliau menyerahkan masalah ini kepada kerelaan mereka. Sebab, kali ini tidak akan terjadi pertempuran yang dahsyat dengan pasukan Quraisy, dan memang pertempuran itu baru terjadi saat di Badar. Karena itulah, banyak sahabat yang memilih tetap di Madinah. Sebab, ketetapan kali ini tak berbeda dengan ketetapan beliau dalam mengirimkan satuan-satuan pasukan sebelumnya. Karena itu, mereka pun tidak mengingkari keputusan beliau untuk tidak ikut dalam penghadangan ini.
Kekuatan Pasukan Islam dan Pembagian Komando
Rasulullah mengadakan persiapan untuk keluar bersama 313 atau hingga 317 orang, yang terdiri dari 82 hingga 86 dari Muhajirin, 61 dari Aus, dan 170 dari Khazraj. Mereka tidak mengadakan pertemuan khusus dan tidak membawa perlengkapan yang banyak. Kudanya pun hanya dua ekor; seekor milik Az-Zubair bin Al-Awwam dan seekor lagi milik AlMiqdad bin Al-Aswad Al-Kindi. Untanya ada 70 ekor. Satu ekor dinaiki dua atau tiga orang. Rasulullah naik seekor unta bersama Ali bin Abu Thalib dan Martsad bin Abu Martsad Al-Ghanawi.
Rasulullah mengangkat Ibnu Ummi Makhtum menjadi wakil beliau di Madinah. Namun, setibanya di Ar-Rauha’, beliau menyuruh Abu Lubabah bin Abdul Mundzir agar kembali ke Madinah dan menggantikan posisi Ibnu Ummi Makhtum sebagai wakil beliau.
Bendera komando tertinggi yang berwarna putih diserahkan kepada Mush’ab bin Umair Al-Qurasyi Al-Abdari. Pasukan kaum Muslimin dibagi menjadi dua batalion:
1, Batalion Muhajirin. Benderanya diserahkan kepada Ali bin Abu Thalib.
- Batalion Anshar. Benderanya diserahkan kepada Saad bin Muadz.
Komando sayap kanan diserahkan kepada Az-Zubair bin Al-Awwam, dan sayap kiri diserahkan kepada Al-Miqdad bin Amr, karena hanya mereka berdualah yang naik kuda dalam pasukan itu. Sementara itu, pertahanan garis belakang diserahkan kepada Qais bin Sha’sha’ah. Komando tertinggi berada di tangan Rasulullah.
Pasukan Islam Bergerak ke Badar
Tanpa berpikir panjang, Rasulullah berangkat dari jantung Madinah bersama pasukan dan berjalan melewati jalur utama yang mengarah ke Mekkah hingga tiba di sumur Ar-Rauha’. Ketika meninggalkan tempat ini, tidak mengambil jalan ke arah kiri yang menuju Mekkah, tetapi justru mengambil jalan ke arah kanan menuju Badar, melewati Rahaqan dan tiba Ash-Shafra’. Dari sana beliau mengirim Basbas bin Amr dan Adi bin Abu Az-Za’ba’ Al-Juhani agar pergi ke Badar guna mencari berita tentang kafilah dagang Quraisy.
Peringatan di Mekkah
Abu Sufyan yang bertanggung jawab penuh terhadap keselamatan kafilah dagang Quraisy bertindak sangat hati-hati dan waspada. Dia tahu bahwa jalur ke Mekkah penuh dengan risiko. Karena itu, dia mencari-cari informasi dan bertanya kepada siapa saja di tengah perjalanan. Akhirnya, ia pun mendapatkan kabar yang meyakinkan bahwa Muhammad telah pergi bersama sahabat-sahabatnya untuk menghadang kafilah. Karena itulah, Abu Sufyan menyewa Dhamdham bin Amr AI-Ghifari agar pergi ke Mekkah dan memberi tahu Orang-orang Quraisy sekaligus mengirim bantuan untuk menyelamatkan kafilah dagang mereka dan menghadapi Muhammad beserta rekan-rekannya.
Dhamdham mengadakan perjalanan cepat hingga selamat sampai di Mekkah. Dengan baju yang terkoyak-koyak dan bekalnya yang acak-acakan, dia berdiri di atas punggung untanya yang hidungnya sudah tampak buruk. Di tengah lembah, ia pun berteriak, “Wahai Orang-orang Quraisy, selamatkan kafilah…! Harta benda kalian yang dibawa Abu Sufyan telah dihadang Muhammad beserta rekan-rekannya. Menurutku kalian harus menyusulnya. Tolonglah. Tolonglah…!”
Penduduk Mekkah Bersiap untuk Perang
Seketika itu juga, semua orang bersiap-siap. Mereka berkata, “Apakah Muhammad dan rekan-rekannya mengira bahwa dia bisa menjadi seperti kafilah Ibnul Hadhrami? Sama sekali tidak. Demi Allah, mereka pasti akan mendapatkan kenyataan yang berbeda.”
Orang-orang Quraisy hanya memiliki dua pilihan; berangkat sendiri ataukah mewakilkan kepada seseorang. Semua penduduk Mekkah hendak bergabung. Tak seorang pun pembesar mereka yang tertinggal kecuali Abu Lahab. Dia mewakilkannya kepada seseorang yang masih berhutang kepadanya. Bahkan beberapa kabilah Arab di sekitar mereka juga ikut bergabung. Semua perkampungan Quraisy ikut andil kecuali Bani Adi. Tak seorang pun di antara mereka yang ikut keluar.
Kekuatan Pasukan Mekkah
Kekuatan mereka berjumlah 1300 orang pada awal keberangkatannya. Mereka didukung oleh seratus kuda, enam ratus baju besi, dan unta yang cukup banyak jumlahnya namun tidak diketahui secara pasti berapa jumlahnya. Komando tertinggi dipegang Abu Jahal bin Hisyam. Ada sembilan pemuka Quraisy yang bertanggung jawab terhadap makanan yang dibutuhkan seluruh anggota pasukan. Sehari mereka menyembelih sembilan ekor unta, dan adakalanya sepuluh ekor.
Persoalan Kabilah Bani Bakar
Setelah semua orang Quraisy sepakat untuk berangkat, di antara mereka ada yang mengingatkan permusuhan mereka dengan Bani Bakar. Mereka khawatir Bani Bakar akan memukul mereka dari belakang, sehingga mereka bisa terjepit di antara dua kobaran api. Mereka benar-benar bimbang. Namun, kemudian muncul seorang Iblis yang menampakkan diri dalam wujud Suraqah bin Malik bin Ju’tsum Al-Mudliji, pemimpin Bani Kinanah. Ia berkata kepada mereka, “Akulah yang akan menjamin bagi kalian bila Bani Kinanah memukul kalian dari belakang, yang dapat merugikan kalian.”
Kemudian Allah mencela Orang-orang yang tidak punya nyali, gemetar, dan menggigil ketakutan ketika mendengar perintah untuk berperang:
Maka apabila diturunkan suatu surat yang jelas maksudnya dan disebutkan di dalamnya (perintah) perang, kamu lihat Orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya memandang kepadamu seperti pandangan orang yang pingsan karena takut mati, (Muhammad: 20).
Keharusan berperang dan perintah untuk terjun dalam kancah perang serta perintah untuk mengadakan persiapan dalam menghadapinya sejalan dengan tuntutan keadaan. Andai kata seorang komandan pasukan melihat kondisi kritis, tentu dia akan memerintahkan pasukannya agar bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi. Lalu bagaimana dengan Tuhan yang mengetahui segala sesuatu? Kondisi saat itu benar-benar membutuhkan perjuangan untuk memisahkan secara total antara yang benar dan batil.
Insiden yang dipicu satuan pasukan Abdullah bin Jahsy merupakan pukulan telak terhadap kehormatan dan dominasi Orang-orang musyrik.
Insiden itu membuat mereka terluka, lalu membiarkan mereka bagai berada di atas bara api.
Beberapa ayat yang memerintahkan perang, berarti menunjukkan dekatnya saat pertempuran yang pasti akan memakan korban, dan akhirnya kemenangan akan berpihak kepada kaum Muslimin. Simaklah bagaimana Allah memerintahkan kaum Muslimin agar mengusir Orang-orang kafir, sebagaimana yang dulu pernah mereka lakukan, bagaimana Allah mengajarkan hukum-hukum dalam memperlakukan para tawanan setelah mendapatkan kemenangan dan agar mereka tidak berbuat berlebih-lebihan hingga perang usai. Ini semua menunjukkan bahwa akhirnya kemenangan akan jatuh di tangan kaum Muslimin. Tetapi, semua itu dibiarkan dalam keadaan tersamar, agar setiap orang mawas diri di jalan Allah.
Masih pada bulan yang sama, yaitu pada bulan Sya’ban 2 H/Februari 624 M, Allah memerintahkan untuk mengalihkan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Al-Masjid Al-Haram. Di antara hikmah yang terkandung ke barat ke arah pesisir pantai, tidak jadi mengambil jalan utama yang melewati Badar, tepatnya ke arah kiri. Dengan cara itu, kafilah Abu Sufyan bisa selamat dari hadangan pasukan Madinah, lalu mengirim surat ke pasukan Mekkah yang sudah tiba di Al-Juhfah.
Kebimbangan Pasukan Mekkah
Setelah menerima surat Abu Sufyan, terbersit keinginan pasukan Mekkah untuk kembali. Tetapi, dengan sikap yang angkuh dan sombong Abu Jahal berkata, “Demi Allah, kita tidak akan kembali kecuali setelah tiba di Badar. Kita akan berada di sana selama tiga hari sambil menyembelih hewan, pesta makan, menenggak arak dan para biduan menyanyi untuk kita, agar semua bangsa Arab mendengar apa yang sedang kita lakukan dan bagaimana perjalanan serta kekuatan kita, sehingga mereka senantiasa gentar menghadapi kita.”
Sebenarnya Al-Akhnas bin Syariq sudah menyarankan Abu Jahal agar kembali saja. Namun, banyak di antara mereka yang juga tidak mau mendengarkan saran Al-Akhnas ini. Maka dia pun kembali bersama Bani Zuhrah, sehingga tak seorang pun dari Bani Zuhrah yang ikut dalam peperangan. Jumlah mereka adalah 300 orang. Selanjutnya Bani Zuhrah sangat kagum terhadap ketajaman pikiran Al-Akhnas ini, sehingga dia semakin disegani dan ditaati.
Bani Hasyim juga ingin kembali. Namun, Abu Jahal memaksa mereka, seraya berkata, “Janganlah gara-gara peperangan ini membuat kita terpecah hingga kita pulang nanti.” Maka pasukan Mekkah dengan kekuatan 1000 orang melanjutkan perjalanan menuju Badar. Mereka terus berjalan hingga mendekati Badar dan bersembunyi di balik bukit pasir, di pinggiran Wadi Badar.
Posisi Pasukan Islam yang Kurang Strategis
Mata-mata pasukan Madinah menyampaikan berita tentang lolosnya kafilah dagang Abu Sufyan kepada Rasulullah yang saat itu masih dalam perjalanan melewati Wadi Dzafiran. Sementara itu, tidak ada kesempatan bagi beliau dan para sahabat untuk menghindari peperangan. Jadi mau tidak mau harus terus maju ke depan dengan mengobarkan semangat, keberanian dan heroisme. Sebab, jika pasukan Mekkah dibiarkan bercokol di sekitar daerah itu, sama saja dengan memberi angin kepada mereka untuk memantapkan posisi militernya, dan melebarkan pengaruh politiknya. Di sisi lain hal itu bisa melemahkan persatuan kaum Muslimin dan menimbulkan perasaan takut di hati mereka. Bahkan, bisa jadi gerakan Islam setelah itu hanya sebatas gerakan jasad tanpa ruh, lalu Siapa pun yang memendam kedengkian dan kebencian terhadap Islam bisa melancarkan serangan setiap saat ke Madinah.
Apakah setelah itu ada seseorang yang bisa memberi jaminan kepada kaum Muslimin untuk menghadang pasukan Mekkah agar tidak meneruskan perjalanannya menuju Madinah, sehingga kalau pun meletus peperangan, maka peperangan itu terjadi di luar Madinah dan tidak di pelataran mereka? Sama sekali tidak ada. Sementara itu, andai kata pasukan Madinah kalah, pengaruhnya akan lebih buruk bagi pamor kaum Muslimin.
Majelis Permusyawaratan
Melihat perkembangan yang cukup rawan dan tidak terduga sebelumnya ini, Rasulullah menyelenggarakan majelis tinggi permusyawaratan militer. Dalam majelis ini beliau mengisyaratkan posisi mereka yang harus dipertaruhkan secara mati-matian dan membuka kesempatan kepada setiap anggota pasukan dan para komandannya untuk mengemukakan pendapat. Pada saat itu ada sebagian di antara mereka yang nyalinya menjadi ciut dan takut terjun dalam pertempuran. Mereka inilah yang diisyaratkan Allah dalam firman-Nya:
Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dan rumahmu dengan kebenaran, padahal, sesungguhnya sebagian dari Orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya. Mereka membantahmu tentang kebenaran sesudah nyata (bahwa mereka pasti menang), seolah-olah mereka dihalau kepada kematian, sedang mereka melihat (sebab-sebab kematian itu). (Al-Anfal: 5-6).
Para komandan pasukan, seperti Abu Bakar dan Umar bin Al Khattab, sama sekali tidak kendor dan lebih baik maju terus. Kemudian Al-Miqdad bin Amr berdiri seraya berkata, “Wahai Rasulullah, majulah terus seperti yang diperlihatkan Allah kepada Anda. Kami akan bersama Anda. Demi Allah, kami tidak akan berkata kepada Anda sebagaimana Bani Israel yang berkata kepada Musa, ‘Pergilah engkau sendiri bersama Tuhanmu lalu berperanglah kalian berdua. Sesungguhnya kami ingin duduk menanti di sini saja.’ Tetapi, ‘Pergilah engkau bersama Tuhanmu lalu berperanglah kalian berdua, dan sesungguhnya kami akan berperang bersama kalian berdua. Demi yang mengutusmu dengan kebenaran, andai kata Anda pergi membawa kami ke dasar sumur yang gelap, maka kami pun siap bertempur bersama Anda hingga Anda bisa mencapai tempat itu.”
“Bagus,” sabda Rasulullah sembari mendoakan kebaikan bagi Al Miqdad.
Itulah pendapat yang disampaikan tiga komandan pasukan dari Muhajirin. Padahal, jumlah mereka lebih sedikit. Rasulullah juga ingin mendengar pendapat para komandan Anshar. Sebab, jumlah mereka adalah mayoritas dalam pasukan. Dengan demikian, beban peperangan tentu lebih banyak membebani pundak mereka. Selain itu bahwa Baiat Agabah dahulu tidak mengharuskan mereka ikut dalam peperangan di luar perkampungan mereka. Setelah mendengar pendapat tiga komandan Muhajirin itu, beliau bersabda kepada mereka, “Berilah aku masukan, wahai semua orang” Di dalam hati, beliau mengarahkan sabdanya ini kepada Anshar.
Maksud hati beliau ini dapat ditangkap komandan Anshar dan sekaligus pembawa benderanya, yaitu Saad bin Muadz. Dia pun berkata, “Demi Allah, sepertinya yang engkau maksudkan adalah kami, wahai Rasulullah.”
“Begitulah, “ jawab beliau.
Saad berkata, “Kami sudah beriman kepada Anda. Kami sudah membenarkan Anda. Kami sudah bersaksi bahwa apa yang Anda bawa adalah kebenaran. Kami sudah memberikan sumpah dan janji kami untuk patuh dan taat. Maka majulah terus, wahai Rasulullah, seperti yang Anda kehendaki. Demi Yang mengutus engkau dengan kebenaran, andai kata Anda bersama kami terhalang lautan lalu Anda terjun ke dalam lautan itu, kami pun akan terjun bersamamu. Tak seorang pun di antara kami yang akan mundur. Kami suka jika besok Anda berhadapan dengan musuh bersama kami. Sesungguhnya kami dikenal Orang-orang yang sabar dalam peperangan dan teguh dalam pertempuran. Semoga Allah memperlihatkan kepada Anda tentang diri kami, apa yang engkau senangi. Maka majulah bersama kami dengan barakah Allah.”
Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Saad bin Muadz berkata kepada Rasulullah, “Mungkin saja Anda khawatir Orang-orang Anshar hanya berpegang kepada hak mereka untuk tidak menolong Anda kecuali di tengah perkampungan mereka. Sesungguhnya aku berbicara dan memberi jawaban atas nama Orang-orang Anshar. Majulah seperti yang Anda kehendaki, sambunglah tali siapa pun yang Anda kehendaki, putuslah tali siapa pun yang Anda kehendaki. Ambillah dari harta kami menurut kehendak Anda, berikanlah kepada kami menurut kehendak Anda. Apa pun yang Anda ambil dari kami itu lebih kami sukai daripada apa yang Anda tinggalkan bagi kami. Apa pun yang Anda perintahkan, maka urusan kami hanyalah mengikuti perintah Anda. Demi Allah, jika Anda maju hingga mencapai dasar sumur yang gelap, tentu kami akan maju bersamamu. Demi Allah, jika engkau terhalang lautan bersama kami, lalu Anda terjun ke lautan itu, tentu kami juga akan terjun bersama Anda.”
Rasulullah, merasa gembira dengan apa yang dikatakan Saad dan semangatnya yang membara. Maka beliau bersabda, “Majulah kalian dan terimalah kabar gembira, karena Allah telah menjanjikan salah satu dari dua pihak kepadaku. Demi Allah, saat ini aku seolah-olah bisa melihat tempat kematian mereka.”
Pasukan Islam Melanjutkan Perjalanan
Setelah itu Rasulullah meninggalkan Dzafiran untuk melanjutkan perjalanan. Beliau melewati jalan bukit yang disebut Al-Ashafir, kemudian cepat-cepat menuju suatu tempat yang disebut Ad-Dabbah dan meninggalkan Al-Hannan di sebelah kanannya, yaitu sebuah bukit pasir yang menyerupai gunung yang kukuh, kemudian tiba di dekat Badar.
Rasulullah Melakukan Kegiatan Mata-mata
Rasulullah bertindak sendiri dalam kegiatan mata-mata dengan ditemani oleh sahabat karib beliau di dalam gua, Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ketika beliau sedang berputar-putar di sekitar pasukan Mekkah, tiba-tiba beliau berpapasan dengan seorang Arab yang sudah tua. Beliau bertanya kepadanya tentang pasukan Quraisy dan Muhammad. Beliau harus menanyakan kedua pasukan untuk penyamaran.
“Aku tidak akan memberitahukan kepada kalian sebelum kalian memberitahukan kepadaku, dari mana asal kalian berdua,” kata orang tua itu.
“Beritahukan kepada kami, nanti akan kami beritahukan kepadamu dari mana asal kami,” sabda beliau.
“Benarkah demikian?” tanya orang tua itu.
“Benar,” jawab beliau.
“Menurut informasi yang kudengar, Muhammad dan rekan-rekannya berangkat pada hari ini dan ini. Jika informasi itu benar, berarti pada hari ini dia sudah tiba di tempat ini (tepat di tempat pemberhentian pasukan
Madinah). Menurut informasi yang kudengar, Quraisy berangkat pada hari ini dan ini. Jika informasi ini benar, berarti mereka sudah tiba di tempat ini (tepat di tempat pemberhentian pasukan Mekkah).” Setelah itu dia bertanya, “Sekarang, dari manakah asal kalian berdua?” Beliau menjawab, “Kami berasal dari Ma’ (air).”
Setelah itu beliau beranjak pergi, meninggalkan orang tua itu bergumam sendirian, “Dari Ma’ yang mana? Ataukah dari Ma’ul ‘Irak?”
Memperoleh Data Akurat tentang Pasukan Mekkah
Pada sore harinya beliau mengirim beberapa mata-mata lagi, untuk mencari data tentang musuh. Tugas ini diserahkan kepada tiga orang komandan Muhajirin, yaitu Ali bin Abu Thalib, Az-Zubair bin Al-Awwam, dan Saad bin Abu Waqqash, dengan beberapa orang lagi. Mereka pergi ke mata air Badar, dan di sana mereka bertemu dengan dua pesuruh yang tugasnya mengambil air untuk kebutuhan pasukan Mekkah. Mereka langsung menangkap dua pesuruh itu dan membawanya ke hadapan Rasulullah. Karena beliau masih shalat, maka mereka mengorek keterangan dari keduanya. Mereka berdua menjawab, “Kami adalah para pesuruh Quraisy. Mereka memerintahkan agar kami mengambil air untuk kebutuhan mereka.” Namun, mereka tidak puas dengan jawaban itu. Mereka ingin agar keduanya mengaku sebagai pesuruh Abu Sufyan. Bagaimana pun juga mereka masih menyisakan harapan untuk dapat menguasai kafilah dagang yang dipimpin Abu Sufyan. Karenanya, mereka memukuli kedua orang itu hingga kesakitan. Karena mendapat pukulan yang bertubi-tubi, mereka berdua menjawab, “Kami memang pesuruh Abu Sufyan.” Mereka menghentikan pukulan dengan jawaban itu.
Setelah selesai shalat, Rasulullah bersabda kepada mereka sebagai teguran, “Jika mereka berdua berkata jujur kepada kalian, kalian justru memukuli mereka. Namun, jika mereka berdusta kepada kalian, kalian malah membiarkan mereka. Demi Allah, mereka berdua berkata jujur.
Mereka adalah pesuruh Quraisy.” Kemudian beliau bersabda kepada keduanya, “Kabarkanlah kepadaku tentang posisi pasukan Quraisy!”
“Mereka berada di balik bukit pasir yang bisa engkau lihat jika memandang ke arah Al-Udwatul Qushwa, “ jawab mereka berdua.
“Berapa jumlah mereka?” tanya beliau.
“Banyak sekali.”
“Berapa tepatnya?”
“Kami tidak tahu persis.”
“Berapa ekor binatang yang mereka sembelih setiap harinya,” tanya beliau.
“Sehari sembilan ekor dan besoknya lagi sepuluh ekor,” jawab mereka berdua. “Berarti jumlah mereka antara sembilan ratus hingga seribu orang,” sabda beliau.
Kemudian beliau bertanya lagi, “Siapa saja pemuka Quraisy yang bergabung di tengah mereka?”
“Utbah dan Syaibah, kedua anak Rabi’ah, Abul Bakhtari bin Hisyam, Hakim bin Hizam, Naufal bin Khuwailid, Al-Harits bin Amir, Thu’aimah bin Adi, An-Nadhr bin Al-Harits, Zam’ah bin Al-Aswad, Abu Jahal bin Hisyam, Umayyah bin Khalaf….” dan beberapa orang lagi yang mereka sebutkan.
Setelah itu Rasulullah menghadap ke arah semua orang seraya bersabda, “Wahai semua orang, inilah Mekkah yang telah mengantarkan jantung hatinya kepada kalian.”!
Hujan Turun
Pada malam itu, Allah menurunkan hujan yang deras, sehingga Orang-orang musyrik basah kuyup dan menghambat langkah mereka untuk maju. Tetapi, bagi kaum Muslimin, hujan itu seakan memoleskan kebersihan mereka dan mengenyahkan daki-daki setan dari diri mereka. Tanah menjadi kesat, pasir menjadi kempal, pijakan kaki pun menjadi mantap. Tempat mereka menjadi rata dan hati mereka semakin menyatu.
Pasukan Islam Lebih Dahulu Menempati Posisi yang Lebih Strategis
Rasulullah memimpin pasukannya ke mata air Badar agar bisa mendahului pasukan Orang-orang Quraisy. Dengan demikian, mereka bisa menghalangi Orang-orang Quraisy untuk menguasai mata air itu. Pada petang hari mereka sudah tiba di dekat mata air Badar. Di sinilah Al-Hubab bin Al-Mundzir tampil layaknya seorang penasihat militer, seraya bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat engkau tentang keputusan berhenti di tempat ini? Apakah ini tempat berhenti yang diturunkan Allah kepadamu? Jika begitu keadaannya. tidak ada pilihan bagi kami untuk maju atau mundur dari tempat ini. Atau, apakah ini sekedar pendapat, siasat dan taktik perang?”
Beliau menjawab, “Ini adalah pendapatku, siasat dan taktik perang.”
Dia berkata, “Wahai Rasulullah, menurutku tidak tepat jika kita berhenti di sini. Pindahkanlah Orang-orang ke tempat yang lebih dekat lagi dengan mata air daripada mereka (Orang-orang musyrik Mekkah). Kita berhenti di tempat itu dan kita timbun kolam-kolam di belakang mereka, lalu kita buat kolam yang kita isi air hingga penuh. Setelah kita berperang menghadapi mereka. Kita bisa minum dan mereka tidak bisa.”
Beliau bersabda, “Engkau telah menyampaikan pendapat yang brilian.”?
Rasulullah pun memindahkan pasukannya, sehingga jarak mereka dengan mata air lebih dekat daripada pihak musuh. Pasukan kaum Muslimin berada di tempat itu selama separuh malam, lalu mereka membuat sebuah kolam air dan menimbun kolam-kolam yang lain. Posisi Komandan Perang Ketika kaum Muslimin sudah berhenti di tempat yang dimaksudkan, dekat dengan mata air, Saad bin Muadz mengusulkan kepada Rasulullah bagaimana jika kaum Muslimin membuat tempat khusus bagi beliau untuk memberikan komando, sekaligus sebagai antisipasi adanya serangan yang mendadak serta kemungkinan jika mereka terdesak dan sebelum memastikan kemenangan.
Dia berkata, “Wahai Nabi Allah, bagaimana jika kami membuat sebuah tenda bagi Anda dan kami siapkan kendaraan di sisi Anda, kemudian biarlah kami yang menghadapi musuh? Jika Allah memberikan kemenangan kepada kita atas musuh, memang inilah yang kami sukai. Namun, jika hasilnya lain, Anda bisa langsung duduk di atas kendaraan, lalu bisa menyusul Orang-orang di belakang kami. Di sana masih ada beberapa orang yang tidak ikut bergabung dengan kami. Wahai Nabi Allah, mereka jauh lebih mencintai Anda daripada cinta kami kepada Anda. Jika mereka menganggap bahwa Anda harus menghadapi perang, tentu mereka tidak akan mangkir dari sisi Anda. Allah pasti akan membela Anda bersama mereka, memberikan nasihat kepada Anda, dan berjihad bersama Anda.”
Maka Rasulullah memohon dan mendoakan kebaikan bagi Saad. Kemudian kaum Muslimin membuat sebuah tenda di tempat yang tinggi, tepatnya di sebelah timur laut dari medan perang. Ada beberapa pemuda Anshar yang telah ditunjuk menyertai Saad bin Muadz, yang berjaga-jaga di sekitar Rasulullah.
Menyiagakan Pasukan dan Memanfaatkan Malam untuk Berdoa
Kemudian Rasulullah menyiagakan pasukan.’ Beliau berkeliling di arena yang akan dijadikan ajang pertempuran. Beliau menunjukkan jarinya ke suatu tempat sambil bersabda, “Ini tempat kematiannya Fulan esok hari insya Allah, dan ini tempat kematiannya Fulan insya Allah.”
Pada malam itu beliau lebih banyak mendirikan shalat di dekat pangkal pohon yang tumbuh di sana. Kaum Muslimin tidur dengan hembusan napas yang tenang seakan menyinari angkasa. Hati mereka ditaburi keyakinan. Mereka cukup istirahat pada malam itu, dengan harapan esok paginya dapat melihat kabar gembira dari Allah.
(Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman dari-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan setan dan untuk menguatkan hatimu dan memperteguh dengannya telapak kaki(mu). (Al-Anfal: 11)
Malam itu adalah malam Jumat, 17 Ramadhan 2 H, sedangkan keberangkatan beliau pada tanggal 8 atau 12 pada bulan yang sama.
Pasukan Mekkah Mulai Memasuki Arena Pertempuran dan Perpecahan di Kalangan Mereka
Malam itu pasukan Quraisy menghabiskan waktunya di Al-Udwatul Qushwa. Pada pagi harinya mereka turun dari atas bukit pasir dengan seluruh satuan-satuannya hingga tiba di lembah Badar. Tiba-tiba, beberapa orang dari pasukan Quraisy muncul di hadapan Rasulullah. Beliau bersabda, “Biarkan saja mereka.”
Setiap orang di antara mereka yang hendak mengambil air minum dari mata air pasti terbunuh, kecuali Hakim bin Hizam. Dia tidak dibunuh dan setelah itu dia masuk Islam. Setiap kali berjuang di sisi beliau, dia pun berkata, “Tidak, Demi yang telah menyelamatkan aku pada Perang Badar.” Setelah pasukan Quraisy agak tenang, mereka mengutus Umair bin Wahb Al-Jumahi untuk menyelidiki dan menaksir seberapa besar kekuatan pasukan Madinah. Maka Umair berputar-putar di sekitar pasukan kaum Muslimin dengan menaiki kudanya, kemudian kembali menemui rekan-rekannya dan berkata, “Tiga ratus orang, kurang atau lebih sedikit. Tapi tunggu dulu, biar kuselidiki lagi bila kemungkinan mereka mempunyai pasukan cadangan atau pasukan pendukung di belakangnya.”
Ia kemudian memacu kudanya hingga cukup jauh, dan setelah tak ada sesuatu pun yang dilihatnya, dia segera kembali lagi menemui pasukan Quraisy dan berkata kepada mereka, “Aku tidak melihat apa pun. Tapi, wahai Orang-orang Quraisy, aku melihat seolah ada bencana besar yang membawa kematian. Unta-unta Yatsrib membawa kematian yang mengerikan. Mereka adalah Orang-orang yang tidak mempunyai tameng dan benteng kecuali pedang-pedang mereka. Demi Allah, aku melihat tidak akan ada seorang pun di antara mereka yang akan terbunuh sebelum membunuh salah seorang di antara kalian. Jika jumlah mereka sama dengan jumlah kalian, tidak ada artinya hidup setelah itu. Karena itu, pikirkanlah hal ini!”
Pada saat itu ada pula aksi penentangan terhadap Abu Jahal yang ngotot untuk berperang. Aksi penentangan ini mengajak pasukan untuk kembali ke Mekkah tanpa harus bertempur dengan musuh. Maka Hakim bin Hizam kembali bersama beberapa orang. Ia lalu menemui Utbah bin Rabi’ah dan berkata, “Wahai Abul Walid, engkau adalah pemuka Quraisy, pemimpinnya dan orang yang ditaati. Mengapa engkau tidak ingin dikenang baik sepanjang masa?”
“Apa itu, wahai Hakim?” tanya Utbah.
“Pulanglah dengan Orang-orangmu dan bawalah urusan sekutumu Amr bin Al-Hadhrami.” Amr adalah orang yang terbunuh saat dipanah satuan perang kaum Muslimin di Nakhlah.
Utbah berkata, “Aku pasti akan melakukannya dan engkaulah penjaminku atas tindakan ini. Memang dia adalah sekutuku. Maka akulah yang akan menangani masalah tebusannya dan harta yang seharusnya miliknya.”
Kemudian Utbah berkata kepada Hakim bin Hizam, “Kalau begitu temuilah Ibnu Al-Handhaliyah—maksudnya Abu Jahal, dan Al-Handhaliyah adalah nama ibunya. Aku yakin semua orang setuju dengan ini, kecuali dia saja.”
Kemudian, Utbah bin Rabi’ah berdiri di hadapan mereka dan berkata, “Wahai Orang-orang Quraisy, demi Allah, sungguh kalian tidak akan sanggup berbuat apa-apa bila kalian bertemu dengan Muhammad dan rekan-rekannya. Demi Allah, kalau kalian bisa mengalahkannya, tetap saja seseorang di antara kalian akan memandang wajah seseorang yang membuatnya benci ketika melihatnya, karena anak pamannya atau seseorang di antara kerabatnya ikut menjadi korban. Pulanglah dan biarkanlah urusan Muhammad dengan Orang-orang Arab. Jika mereka dapat mengalahkannya, maka itulah yang memang kalian kehendaki, Namun, bila itu tidak terjadi, berarti ia akan menundukkan kalian dan kalian tidak mendapatkan apa yang kalian inginkan.”
Hakim bin Hizam menemui Abu Jahal yang sedang mempersiapkan baju besinya, seraya berkata, “Wahai Abul Hakam, sesungguhnya Utbah mengutusku untuk berkata begini dan begini.”
Abu Jahal menjawab, “Demi Allah, paru-paru Utbah telah menggembung (kiasan untuk orang yang pengecut) ketika melihat Muhammad dan rekan-rekannya. Demi Allah, kita tidak akan kembali sebelum Allah memutuskan perkara antara kita dan Muhammad. Biarkan saja Utbah dan perkataannya. Ia begitu karena sudah melihat bahwa Muhammad adalah pemakan hewan yang sudah dipotong dan di tengah mereka ada anaknya, sehingga dia menakut-nakuti kalian untuk berhadapan dengannya.” Yang dimaksudkan dengan anaknya adalah Hudzaifah bin Utbah yang sudah sejak lama masuk Islam dan juga ikut hijrah.
Ketika Utbah mendengar ucapan Abu Jahal, “Demi Allah, paru-paru Utbah telah menggembung (kiasan untuk orang yang pengecut)”, dia berkata, “Lihat saja nanti, siapa yang lebih pengecut; dia atau aku!”
Karena merasa khawatir aksi penentangan ini semakin kuat dan untuk menghentikan perdebatan tersebut, Abu Jahal segera memanggil Amir bin Al-Hadhrami, saudara Amr bin Al-Hadhrami yang menjadi korban di Nakhlah, seraya berkata kepadanya, “Ini sekutumu ingin mengajak Orang-orang untuk pulang. Padahal, engkau tahu sendiri siapa orang yang hendak engkau tuntut balas. Maka bangkitlah dan carilah orang yang hendak engkau balas dan yang membunuh saudaramu.”
Amir pun bangkit sambil menampakkan pantatnya dan berteriak, “Benar-benar menyedihkan, perang sudah berkobar dan Orang-orang sudah tidak sabar lagi. Mereka sudah berkumpul untuk menuntut balas. Namun, mereka telah dirusak oleh pendapat Utbah.” Ternyata sikap gegabah telah mengalahkan sikap bijaksana, sehingga penentangan yang disampaikan Hakim itu tidak banyak berarti.
Dua Pasukan Saling Mengintai
Setelah dua pasukan saling mengintai, Rasulullah bersabda, “Ya Allah, Orang-orang Quraisy datang dengan kecongkakan dan kesombongannya. Mereka memusuhi-Mu dan mendustakan Rasul-Mu. Ya Allah, aku mengharapkan pertolongan-Mu seperti yang telah Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, binasakanlah mereka pagi ini.” Itulah doa Rasulullah, dan sebelumnya Utbah bin Rabi’ah telah bermimpi melihat di kelompok kaum Muslimin terdapat unta merah. Bila di salah satu kelompok ada kebaikan, itu bagi kelompok yang ada unta merah. Bila mereka menaatinya, mereka pasti mendapatkan petunjuk.
Rasulullah meluruskan barisan kaum Muslimin dan ketika itu terjadilah sebuah momen yang mengagumkan. Rasulullah membawa tombak untuk meluruskan barisan dan saat itu Sawad bin Ghaziyah menonjol dari barisannya. Maka beliau memukulnya dengan anak panah agar meluruskan barisan, sambil bersabda, “Luruskan barisanmu, wahai Sawad!” Sawad menjawab, “Wahai Rasulullah, engkau telah membuatku sakit. Karena itu, berilah kesempatan kepadaku untuk membalasnya.” Maka beliau menyingkap baju di bagian perutnya seraya bersabda, “Kalau begitu, balaslah!” Sawad pun langsung memeluk perut beliau.
“Apa yang mendorongmu melakukan ini, wahai Sawad?” tanya beliau keheranan. Sawad menjawab, “Wahai Rasulullah, telah datang kesempatan seperti yang engkau lihat saat ini. Sejak lama aku ingin agar kulitku dapat bersentuhan dengan kulitmu pada saat-saat terakhir aku hidup bersama engkau.” Lalu beliau mendoakan kebaikan baginya.
Seusai meluruskan dan menata barisan, beliau mengeluarkan perintah agar pasukan tidak memulai pertempuran sebelum mendapat perintah yang terakhir dari beliau. Beliau juga menyampaikan beberapa petunjuk khusus tentang peperangan, dengan bersabda, “Jika kalian merasa jumlah musuh terlalu banyak, lepaskanlah anak panah kepada mereka. Dahuluilah mereka dalam melepaskan anak panah.‘ Kalian tak perlu buru-buru menghunus pedang kecuali setelah mereka dekat dengan kalian.”
Setelah itu, beliau kembali lagi ke tenda bersama Abu Bakar. Sementara Saad bin Muadz bertanggung jawab memimpin satuan pasukan yang bertugas melindungi beliau.
Di pihak kaum Musyrikin, pada hari itu Abu Jahal juga meminta keputusan dan memohon kemenangan kepada Allah dan berkata, “Ya Allah, apakah kami harus memutuskan tali kekerabatan dan menanggung akibat yang belum kami ketahui secara pasti? Maka hancurkanlah dia pada pagi ini. Ya Allah, siapakah yang lebih Engkau cintai dan lebih Engkau ridhai di sisi-Mu, maka berilah ia kemenangan pada hari ini.” Tentang perkataan Abu Jahal ini, Allah berfirman:
‘Jika kalian (Orang-orang musyrik) mencari keputusan, maka telah datang keputusan kepada kalian; dan jika kalian berhenti, itulah yang lebih baik bagi kalian; dan jika kalian kembali, niscaya Kami kembali (pula); dan angkatan perang kalian sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kalian sesuatu bahaya meski sebanyak apa pun dan sesungguhnya Allah beserta Orang-orang yang beriman.” (Al-Anfal: 19)
Bara Peperangan Mulai Menyala
Orang yang pertama kali menyulut api peperangan adalah Al-Aswad bin Abdul Asad Al-Makhzumi, seorang laki-laki yang perangainya kasar dan buruk akhlaknya. Dia keluar dari barisan pasukan Quraisy seraya berkata, “Aku bersumpah kepada Allah, aku benar-benar akan mengambil air minum dari kolam kalian, atau aku akan menghancurkannya, atau lebih baik aku mati karenanya.”
Kedatangannya langsung disambut Hamzah bin Abdul Mutholib. Setelah saling berhadapan, Hamzah langsung menyabetnya dengan pedang, sehingga kakinya putus di bagian betis dan darahnya memuncrat mengenai rekan-rekannya. Setelah itu Al-Aswad merangkak ke kolam hingga tercebur di dalamnya. Tetapi, secepat kilat Hamzah menyabetnya sekali lagi ketika dia berada di dalam kolam.
Duel Satu Lawan Satu
Itulah korban pertama yang kemudian menyulut api peperangan. Setelah itu muncul tiga penunggang kuda Quraisy yang handal. Mereka berasal dari satu keluarga, yaitu Utbah bin Rabi’ah, Sya’ibah bin Rabi’ah, dan AlWalid bin Utbah. Ketika mereka benar-benar sudah keluar dari barisan, mereka meminta untuk adu tanding. Muncullah tiga pemuda Anshar, yaitu Auf bin Al-Harits, Mu’awwidz bin Al-Harits—ibu keduanya adalah Afra’—dan Abdullah bin Rawahah.
“Siapa kalian ini?” tanya tiga orang musyrik tersebut.
“Kami Orang-orang dari Anshar, “ jawab salah seorang dari tiga orang Anshar tersebut.
“Kami menginginkan Orang-orang yang sepadan dan terpandang. Kami tidak membutuhkan kalian. Kami hanya menginginkan kerabat paman kami.”
Salah seorang di antara Orang-orang musyrik itu berteriak dengan suara lantang, “Wahai Muhammad, keluarkan Orang-orang terpandang yang berasal dari kaum kami.”
Rasulullah bersabda, “Bangkitlah, wahai Ubaidah bin Al-Harits, Hamzah, dan Ali.”
Ketika tiga orang Muslim ini berdiri dan menghampiri tiga orang musyrik itu, mereka bertanya, “Siapa kalian ini?” Setelah pertanyaan ini dijawab, mereka pun berkata, “Kalian sepadan dan terpandang.”
Ubaidah yang paling tua di antara mereka, berhadapan dengan Utbah bin Rabi’ah, Hamzah berhadapan dengan Syaibah bin Rabi’ah, dan Ali berhadapan dengan Al-Walid.’
Hamzah dan Ali tidak terlalu kesulitan melibas lawan tandingnya. Lain halnya dengan Ubaidah dan lawan tandingnya. Masing-masing saling melancarkan serangan hingga dua kali, dan masing-masing saling melukai lawannya. Kemudian Hamzah dan Ali menghampiri Utbah lalu membunuhnya.
Setelah itu mereka berdua memapah tubuh Ubaidah yang sudah lemah, karena kakinya tertebas hingga putus. Dia sama sekali tidak mengeluh hingga meninggal dunia di Ash-Shafra’, empat atau lima hari setelah Perang Badar, di tengah perjalanan pulang ke Madinah.
Pada saat itu Ali bersumpah kepada Allah, hingga karenanya turun ayat tentang kiprahnya:
Inilah dua golongan (golongan mukmin dan golongan kafir) yang bertengkar, mereka saling bertengkar mengenai Tuhan mereka. (Al Hajj: 19)
Perang Kolosal Dimulai
Kesudahan adu tanding ini merupakan awal yang buruk bagi Orang-orang musyrik, karena mereka kehilangan tiga orang penunggang kuda yang diandalkan sekaligus komandan pasukan hanya dalam sekali gebrakan saja. Kemarahan mereka menggelegak, lalu mereka menyerang pasukan kaum Muslimin secara serentak dan membabi buta.
Di pihak kaum Muslimin, setelah memohon kemenangan dan pertolongan kepada Allah, serta memurnikan niat dan tunduk kepada-Nya, mereka menghadang serangan Orang-orang musyrik yang dilancarkan secara bergelombang dan terus-menerus. Mereka tetap berdiri di tempat semula dengan sikap defensif. Namun, cara ini cukup ampuh untuk menjatuhkan korban di kalangan Orang-orang musyrik. Tak henti-hentinya mereka berseru: Ahad…Ahad….”
Rasulullah Memohon kepada Allah’
Sejak Rasulullah kembali ke tenda setelah meluruskan dan menata barisan pasukan kaum Muslimin, beliau tak henti-hentinya memohon kemenangan kepada Allah seperti yang telah dijanjikan-Nya. Beliau bermunajat, “Ya Allah, penuhilah bagiku apa yang Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, sesungguhnya aku mengingatkan-Mu akan sumpah dan janji-Mu.”
Ketika pertempuran semakin berkobar dan akhirnya mencapai puncaknya, beliau bersabda lagi, “Ya Allah, jika pasukan ini hancur pada hari ini, Engkau tidak akan disembah lagi, ya Allah, kecuali jika memang Engkau menghendaki untuk tidak disembah untuk selamanya setelah hari ini.”
Begitu mendalam doa yang beliau sampaikan kepada Allah hingga tanpa disadari mantel beliau jatuh dari pundak. Abu Bakar memungutnya lalu mengembalikan ke pundak beliau, seraya berkata, “Sudah cukup, wahai Rasulullah, untuk terus-menerus memohon kepada Tuhanmu.”
Allah mewahyukan kepada para malaikat. Dalam hal ini, Allah berfirman:
Sesungguhnya aku bersama kalian, maka teguhkan (pendirian) Orang-orang yang telah beriman. Kelak akan aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati Orang-orang kafir. (Al-Anfal: 12)
Kemudian Allah mewahyukan kepada Rasulullah
Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kalian dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut. (Al-Anfal: 9)
Artinya, para malaikat itu datang secara bergelombang, sebagian datang lalu disusul sebagian yang lain, tidak datang serentak dalam satu waktu.
Para Malaikat Telah Turun
Tiba-tiba Rasulullah diserang kantuk hanya dalam sekejap saja. Kemudian beliau mendongakkan kepala seraya bersabda, “Bergembiralah wahai Abu Bakar. Jibril telah datang di atas gulungan-gulungan debu.”
Dalam riwayat Muhammad bin Ishaq disebutkan, Rasulullah bersabda, “Bergembiralah, wahai Abu Bakar. Telah datang pertolongan Allah kepadamu. Jibril telah datang sambil memegang tali kekang kuda yang ditungganginya di atas gulungan-gulungan debu.”
Kemudian Rasulullah keluar dari pintu tenda, melompat dari sang
dengan mengenakan baju besi, seraya mengucapkan: “Golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang.” (Al-Qamar: 45)
Setelah itu, Rasulullah memungut segenggam pasir lalu mendekat ke arah pasukan Quraisy, sembari bersabda, “Wajah-wajah yang buruk.” Kemudian beliau menaburkan pasir tersebut ke wajah-wajah mereka, sehingga tak seorang pun orang musyrik melainkan matanya atau tengkuknya atau mulutnya pasti terkena pasir itu. Tentang hal ini Allah menurunkan ayat:
“Dan bukan kamu yang melempar tatkala kamu melempar. Tetapi, Allah yang melempar.” (Al-Anfal: 17)
Serangan Balik
Pada saat itu beliau mengeluarkan perintah pamungkas kepada pasukan kaum Muslimin agar mengadakan serangan balik, seraya bersabda, “Kukuhkanlah.”
Lalu beliau mengobarkan semangat mereka untuk terus berperang, dengan bersabda, “Demi diri Muhammad yang ada di Tangan-Nya, tiada seseorang pun pada hari ini yang berperang melawan mereka dengan penuh kesabaran, mengharap keridhaan Allah, dan maju terus pantang mundur, melainkan Allah akan memasukkannya ke dalam surga.”
Beliau membangkitkan mereka lagi, “Bangkitlah menuju ke surga, yang luasnya seluas langit dan bumi.”
Saat itu juga, Al-Umair bin Al-Hammam berkata, “Hebat…hebat…!”
Apa yang mendorongmu mengucapkan ‘hebat…hebat!’?” tanya beliau. “Tidak ada apa-apa, demi Allah, wahai Rasulullah. Ini hanya sekedar harapan agar aku termasuk penghuninya.”
Beliau bersabda, “Sungguh engkau memang termasuk penghuninya.”
Dia mengeluarkan beberapa buah kurma dari tempatnya lalu memakan sebagian. Namun, dia segera melemparkannya sambil berkata, “Jika aku masih hidup dan memakan kurmaku ini, maka ini adalah kehidupan yang terlalu lama.” Kemudian dia menyerbu musuh hingga terbunuh.
Pada saat itu Auf bin Al-Harits juga bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apa yang membuat Tuhan tersenyum kepada hamba-Nya?”
Beliau menjawab, “Bila ia menjulurkan tangannya ke tengah musuh tanpa mengenakan baju besi.”
Seketika itu juga Auf melepaskan baju besi yang dikenakan dan melemparkannya begitu saja. Kemudian dia memungut pedang dan menyerang musuh hingga gugur di medan laga.
Kemudian beliau mengeluarkan perintah agar mengadakan serangan balik. Sebab, serangan musuh tidak lagi gencar dan semangat mereka sudah mengendur. Langkah yang bijak ini ternyata sangat ampuh untuk mengukuhkan posisi pasukan kaum Muslimin.
Setelah mendapat perintah untuk menyerang, mereka melancarkan serangan secara serentak dan gencar. Mereka mencerai beraikan barisan musuh hingga jatuh korban bergelimpangan di pihak Quraisy. Semangat mereka semakin berkobar setelah melihat Rasulullah terjun ke medan laga sambil mengenakan baju besi dan berteriak dengan suara lantang membacakan ayat:
“Golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang.”
Kaum Muslimin bertempur hebat dengan bantuan para malaikat. Disebutkan dalam riwayat Ibnu Saad, dari Ikrimah, bahwa ia berkata, “Pada saat itu ada kepala orang musyrik yang terkulai, tanpa diketahui siapa yang telah membabatnya. Ada pula tangan yang putus, tanpa diketahui siapa yang menyabetnya.”
Ibnu Abbas berkata, “Ketika seseorang dari pasukan kaum Muslimin berusaha keras menghabisi salah seorang di antara pasukan musuh di hadapannya, tiba-tiba dia mendengar suara lecutan cambuk di atasnya dan suara sosok penunggang kuda yang berkata, ‘Majulah terus, wahai Haizum (nama kuda Jibril)!” Tiba-tiba, orang Muslim itu menyaksikan orang musyrik di hadapannya sudah jatuh terkapar.” Seorang Anshar yang melihat kejadian ini menuturkannya kepada Rasulullah. Maka beliau bersabda, “Engkau benar. Itulah pertolongan dari langit yang ketiga.”
Abu Dawud Al-Mazini berkata, “Ketika aku mengejar salah seorang musyrikin untuk menebasnya, tiba-tiba kepalanya sudah tertebas sebelum pedangku menyentuhnya. Aku sadar bahwa rupanya dia telah dibunuh seseorang selain diriku.”
Seorang Anshar lainnya datang membawa Al-Abbas bin Abdul Mutholib sebagai tawanan. Al-Abbas berkata, “Demi Allah, bukan orang ini yang tadi menawanku. Tadi aku ditawan seorang laki-laki botak dan wajahnya sangat tampan menunggang seekor kuda yang gagah. Aku tidak pernah melihatnya ada di tengah-tengah mereka.” Orang Anshar itu menyahut, “Akulah yang telah menawannya, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda; “Diamlah, karena Aliah telah membantumu dengan malaikat yang mulia.”
Iblis Ikut Lari dari Medan Laga
Setelah melihat apa yang dialami Orang-orang musyrik ketika berhadapan dengan pasukan kaum Muslimin yang dibantu oleh para malaikat, Iblis yang menyerupai Suraqah bin Malik bin Ju’syum—yang sejak semula memang menyertai pasukan Quraisy—segera beranjak untuk melarikan diri dari kancah peperangan.
Al-Harits bin Hisyam yang melihat gelagatnya yang mencurigakan itu segera menahannya. Tentu saja dia mengira Iblis itu benar-benar Suraqah. “Mau ke mana kamu Suraqah?” tanya Al-Harits. “Bukankah engkau pernah berkata bahwa engkau akan menjadi pendukung kami dan tidak akan meninggalkan kami?” Namun, Iblis tersebut memukul dada Al-Harits hingga membuatnya terjengkang ke belakang. Kemudian ia menjawab, “Aku mampu melihat apa yang tidak kalian lihat. Sesungguhnya aku takut kepada Allah. Siksaan Allah itu benar-benar sangat pedih.” Setelah itu dia melarikan diri dan menceburkan diri ke laut.”
Kekalahan Telak
Tanda-tanda kegagalan dan kebimbangan mulai menyelimuti barisan Orang-orang musyrik. Banyak korban berjatuhan karena serangan Orang-orang muslim yang gencar. Pertempuran hampir mendekati masa akhir. Tidak sedikit orang musyrik yang melarikan diri dan mundur dari arena peperangan. Hal ini semakin memudahkan pasukan kaum Muslimin untuk menawan dan menghabisi lawan. Dengan demikian, lengkap sudah kekalahan kaum musyrik.
Kengototan Abu Jahal
Ketika Abu Jahal melihat tanda-tanda kebimbangan mulai menghantui pasukannya, ia pun berupaya tegar dan menggugah semangat mereka. Dengan sisa-sisa kecongkakan dan keangkuhannya dia berteriak, “Janganlah sekali-kali sikap Suraqah yang pengecut di hadapan kalian membuat kalian menjadi kalah. Karena sebenarnya dia terikat perjanjian dengan Muhammad. Janganlah sekali-kali terbunuhnya Utbah, Syaibah, dan Al-Walid membuat kalian takut. Mereka sudah mati mendahului kita. Demi Lata dan Uzza, kita tidak akan kembali sebelum dapat membelenggu mereka. Jangan sampai aku menyaksikan salah seorang di antara kalian hanya membunuh satu orang di antara mereka, tetapi babatlah mereka sekaligus, hingga kita puas mengetahui kelakuan buruk yang telah mereka lakukan.”
Tetapi, belum seberapa lama ucapannya yang menunjukkan kecongkakan ini selesai dia ucapkan, barisannya sudah dibuat kocar-kacir karena serangan gencar pasukan kaum Muslimin. Di sekitarnya memang masih tersisa beberapa orang musyrik yang terus menyabetkan pedang dan menghujamkan tombak. Tetapi, semua itu tidak banyak berarti menghadapi gempuran kaum Muslimin.
Pada saat itulah sosok Abu Jahal sudah tampak jelas di hadapan kaum Muslimin. Dia berputar-putar menaiki kudanya, seakan-akan kematian sudah menunggunya dan siap menyedot darahnya lewat tangan dua pemuda Anshar.
Kematian Abu Jahal
Abdurrahman bin Auf menuturkan, “Ketika aku sedang berada di tengah barisan pada Perang Badar, aku menengok ke arah kiri dan kanan. Aku melihat dua pemuda yang masih belia. Aku tidak berani menjamin keselamatan keduanya saat itu.
Salah seorang di antara mereka bertanya dan berbisik-bisik kepadaku, “Wahai paman, tunjukkan kepadaku orang yang namanya Abu Jahal!” “Wahai keponakanku, apa yang hendak engkau lakukan terhadap dirinya?” tanyaku.
“Kudengar dia suka mencaci maki Rasulullah,” jawabnya. Lalu dia berkata lagi, “Demi Dzat yang diriku berada di Tangan-Nya, jika aku sudah melihatnya, tak kubiarkan dia lolos dari penglihatanku hingga terlihat siapakah di antara kami yang lebih dahulu mati.”
Aku tertegun mendengar perkataannya. Pemuda yang satunya lagi mengerling kepadaku dan bertanya seperti itu pula kepadaku. Aku menajamkan pandangan mencari-cari Abu Jahal yang sedang berputar-putar di tengah manusia. Setelah terlihat, aku berkata kepada mereka berdua. “Apakah kalian tidak melihat? Itulah sasaran yang engkau tanyakan itu.”
Dua pemuda itu pun langsung menyerbu Abu Jahal secara serentak dengan pedangnya hingga dapat membunuhnya. Kemudian keduanya menemui Rasulullah dan beliau bertanya, “Siapakah di antara kalian berdua yang telah berhasil membunuhnya?”
Masing-masing menjawab, “Saya yang telah membunuhnya.” “Apakah kalian sudah mengusap pedang kalian?” tanya beliau.
“Belum,” jawab keduanya.
Beliau memandang pedang milik mereka berdua, lalu bersabda, “Kalian berdua telah membunuhnya.”
Rasulullah menyerahkan harta rampasan miliknya secara khusus kepada Muadz bin Amr Al-Jamuh. Dua pemuda ini adalah Muadz bin Amr Al-Jamuh dan Mu’awwidz bin Afra’.”
Ibnu Ishaq menuturkan, “Muadz bin Amr bin Al-Jamuh berkata, ‘Aku mencari informasi dari Orang-orang. Sementara saat itu Abu Jahal berada di dekat pohon yang rimbun, berbaur dengan Orang-orang musyrik yang membawa tombak dan pedang yang memang bergerombol di sekitarnya untuk melindunginya. Orang-orang berkata, ‘Abul Hakam (Abu Jahal) tidak akan bisa lolos.’
Ketika kudengar tentang dirinya, aku mempersiapkan diri lalu mendekati dirinya. Saat jarak sudah memungkinkan, aku segera menyerangnya dan dapat menyabetnya hingga kakinya putus pada bagian betis. Namun, kemudian anaknya Ikrimah menyerangku dan mengenai pundakku, hingga tanganku putus dan bergelantungan, karena kulitnya masih belum putus. Pertempuran yang terus berkecamuk membuatku tersingkir dari kancah pertempuran. Setelah berhasil membunuh sekian banyak musuh pada hari ini, akhirnya aku agak mundur ke belakang.
Karena rasa sakit yang amat sangat, tanganku yang tertebas aku putus dan aku buang.!
Saat itulah Mu’awwidz bin Afra’ mendekati Abu Jahal dan menyabetnya hingga tersungkur dan membiarkannya dalam keadaan sekarat. Setelah itu Mu’awwidz terus bertempur hingga terbunuh. Ketika pertempuran sudah berhenti, Rasulullah bertanya, ‘Siapa yang tahu, apa yang terjadi dengan Abu Jahal?’ Orang-orang pun berpencar untuk mencarinya.
Abdullah bin Mas’ud mendapatinya dengan napas tinggal satu-satu, Abdullah bin Mas’ud menginjakkan kakinya di leher Abu Jahal, memegang jenggotnya untuk mendongakkan kepalanya.
‘Apakah Allah sudah menghinakanmu, wahai musuh Allah?’ tanya Abdullah bin Mas’ud.
‘Dengan apa Dia menghinakan diriku?’ Abu Jahal balik bertanya.
Lalu dia bertanya lagi, ‘Apakah aku menjadi hina karena menjadi orang yang telah kalian bunuh? Atau orang yang kalian bunuh itu justru lebih terhormat? Andaikan saja bukan seorang pembajak tanah yang telah membunuhku.’
Lalu dia bertanya, ‘Beritahukan kepadaku, siapakah yang berhasil menguasai daerah ini?’
Abdullah bin Mas’ud menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya.’
Abu Jahal berkata kepada Abdullah bin Mas’ud yang masih menginjakkan kakinya di lehernya, ‘Aku sudah naik tangga’ yang sulit, wahai penggembala kambing.’ Selama di Mekkah dulu, Abdullah bin Mas’ud memang seorang penggembala kambing.
Setelah dialog ini, Abdullah bin Mas’ud menarik kepala Abu Jahal dan membawanya ke hadapan Rasulullah dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, inilah kepala musuh Allah, Abu Jahal.’
‘Demi Allah yang tiada Ilah yang berhak disembah selain Dia. Benarkah?’ Beliau mengucapkannya tiga kali, lalu bersabda lagi, “Allahu akbar. Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi janji-Nya, menolong hamba-Nya, mengalahkan pasukan musuh-Nya.”
Lalu beliau bersabda lagi, “Kemarilah dan perlihatkanlah kepadaku!”
Kemudian kami pun mendekati dan memperlihatkannya kepada beliau, maka beliau pun bersabda, “Inilah Firaun umat ini.”
Pesona-Pesona Keimanan dalam Peperangan Ini
Kami telah memaparkan dua contoh yang mengagumkan dari Umar bin Al-Hammam dan Auf bin Al-Harits, kedua-duanya anak Afra’. Dalam peperangan ini banyak gambaran memesona yang menampakkan kekuatan iman dan kekukuhan pijakan. Sebab, dalam peperangan ini banyak bapak yang harus berhadapan dengan anaknya sendiri, saudara harus berhadapan dengan saudaranya. Namun, motivasi masing-masing berbeda dan kedua belah pihak dipisahkan dengan pedang, yang satu harus menundukkan yang lain dan kemarahan pun menjadi lebur.
Berikut ini beberapa gambaran iman kaum Muslimin yang mengundang decak kagum:
- Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi bersabda kepada para sahabat, “Sesungguhnya aku tahu ada beberapa orang dari Bani Hasyim dan lain-lainnya yang diajak pergi dengan paksa. Mereka tidak merasa perlu memerangi kita. Barang siapa bertemu dengan seseorang dari Bani Hasyim, janganlah membunuhnya. Barang siapa bertemu Abul Bakhtari bin Hisyam, janganlah membunuhnya. Barang siapa bertemu Al-Abbas bin Abdul Mutholib, janganlah membunuhnya. Sesungguhnya dia diajak pergi dengan paksa.”
Abu Hudzaifah bin Utbah berkata “Apakah kami boleh membunuh bapak, anak, saudara, dan kerabat kami, lalu membiarkan Al-Abbas? Demi Allah, andai kata aku bertemu dengannya, aku pasti membabatnya dengan pedang.”
Rasulullah, yang mendengar perkataan Abu Hudzaifah tersebut, bertanya kepada Umar bin Al-Khattab, “Wahai Abu Hafsh, apakah pantas bila paman Rasulullah dibabat dengan pedang?”
Umar menjawab, “Wahai Rasulullah, biarkanlah aku membabat lehernya dengan pedang. Demi Allah, dia telah berbuat kemunafikan.”
Abu Hudzaifah menuturkan, “Aku merasa tidak aman karena kata-kata yang pernah aku ucapkan tersebut. Aku selalu dihantui perasaan takut, kecuali bila aku bisa menebusnya dengan gugur syahid. Akhirnya Abu Hudzaifah benar-benar gugur syahid pada Perang Yamamah.”
- Rasulullah melarang membunuh Abul Bakhtari karena dahulu ia adalah orang yang paling sering melindungi beliau selama berada di Mekkah. Dia juga tidak pernah mengganggu beliau atau menampakkan sesuatu yang membuat beliau tidak senang. Selain itu dia termasuk orang yang berinisiatif menggugurkan piagam pemboikotan terhadap Bani Hasyim dan Bani Abdul Mutholib. Namun, Abul Bakhthari tetap terbunuh. Ini terjadi karena Al-Mujadzdzar bin Ziyad Al-Balwi bertemu dengannya yang sedang bersama rekannya di tengah pertempuran. Mereka berdua sama-sama berperang. Al-Mujadzdzar berkata kepadanya, “Wahai Abul Bakhtari, Rasulullah telah melarang kami membunuhmu.”
Ia menjawab, “Bagaimana dengan temanku?”
Al-Mujadzdzar berkata, “Tidak, demi Allah. Kami tidak akan membiarkan temanmu hidup.”
Abul Bakhtari berkata, “Demi Allah, kalau begitu aku akan mati bersama dengannya.”
Mereka kemudian menyerang, sehingga dengan terpaksa Al Mujadzdzar membunuh Abul Bakhtari.
- Abdurrahman bin Auf dan Umayyah bin Khalaf merupakan teman karib semasa jahiliyah di Mekkah. Saat Perang Badar berkecamuk, ia melewati Umayyah bin Khalaf yang sedang berpegangan tangan dengan anaknya, Ali bin Umayyah. Saat itu Abdurrahman membawa beberapa baju besi dari hasil rampasan.
Ketika melihat dirinya Umayyah bertanya, “Apakah engkau ada perlu denganku? Aku lebih baik daripada baju-baju besi yang engkau bawa itu. Aku tidak akan pernah mengalami kejadian seperti hari ini. Apakah kalian membutuhkan susu?”
Artinya, Umayyah akan memberikan tebusan beberapa unta yang banyak menghasilkan air susu jika dia nanti tertawan. Abdurrahman membuang baju-baju besi yang dibawanya, lalu menuntun Umayyah dan anaknya berjalan. Inilah penuturannya:
Ketika aku sedang berjalan sambil memegang tangan mereka berdua di kanan kiriku, Umayyah bin Khalaf bertanya kepadaku, “Siapakah seseorang di antara kalian yang mengenakan tanda pengenal di dadanya berupa sehelai bulu burung unta?”
“Dia adalah Hamzah bin Abdul Mutholib, “ jawabku.
“Dialah orang yang paling banyak menimpakan bencana di pasukan kami,” kata Umayyah.
Demi Allah, selagi aku berjalan memegang tangan mereka berdua, tiba-tiba Bilal melihat Umayyah, yang waktu di Mekkah dulu dialah yang telah menyiksanya.
Bilal berkata, “Dedengkot kekufuran adalah Umayyah bin Khalaf. Aku tidak selamat jika dia masih selamat.”
“Wahai Bilal, dia adalah tawananku,” kataku.
“Aku tidak selamat jika dia masih selamat,” katanya sekali lagi.
“Apakah engkau mendengarku, wahai putra orang yang berkulit hitam?” tanyaku.
Namun, dia tetap berkata seperti tadi. Setelah itu dia berteriak dengan suara nyaring, “Wahai para penolong Allah, dedengkot kekufuran adalah Umayyah bin Khalaf. Aku tidak selamat jika dia masih selamat.”
Lalu mereka mengepung kami bertiga, sehingga membuat kami seperti berada di tempat pemotongan ikan. Aku berusaha melindungi Umayyah. Namun, ada seseorang menghunus pedangnya lalu menyabetkannya tepat mengenai anak Umayyah. Umayyah berteriak keras dan tidak pernah kudengar dia berteriak sekeras itu.
“Carilah selamat sebisamu karena tidak ada lagi keselamatan di situ. Demi Allah, aku sudah tidak membutuhkanmu sedikit pun,” kataku.
Lalu mereka menyabetkan pedang kepada mereka berdua hingga tidak berkutik lagi. “Semoga Allah merahmati Bilal. Baju-baju besiku sudah hilang dan hatiku menjadi galau gara-gara tawananku,” kataku.
Di dalam Zadul Ma’ad disebutkan bahwa Abdurrahman bin Auf berkata kepada Umayyah, “Telentangkan badanmu!” Umayyah pun menelentangkan badannya, lalu Abdurrahman menelentangkan badan di atas badan Umayyah. Namun, mereka tetap menusuk-nusukkan pedang ke badan Umayyah yang ditindih Abdurrahman.
Akibatnya, sebagian tusukan pedang mereka mengenai badan Abdurrahman bin Auf.’
Dalam peperangan itu Umar bin Al-Khattab membunuh pamannya sendiri, Al-Ash bin Hisyam bin Al-Mughirah.
Saat peperangan itu Abu Bakar Ash-Shiddiq memanggil anaknya yang bergabung dengan pasukan kaum musyrikin. Ia berkata kepadanya, “Di manakah hartaku, wahai anak kecil yang buruk?” Abdurrahman menjawab, “Yang ada saat ini adalah senjata dan kuda serta pedang tajam yang siap membabat orang tua yang sudah renta.”
- Ketika banyak pasukan musuh yang menyerah dan kemudian ditawan, sementara saat itu Rasulullah berada di tenda bersama Saad bin Muadz yang berdiri di pintu tenda itu untuk menjaga beliau sambil menghunus pedangnya, maka beliau melihat ada benci di wajah Saad atas apa yang dilakukan Orang-orang.
Beliau bersabda kepadanya, “Demi Allah, sepertinya engkau tidak suka melihat apa yang dilakukan Orang-orang itu, wahai Saad.” “Demi Allah, begitulah, wahai Rasulullah. Ini adalah peristiwa pertama yang ditimpakan Allah terhadap Orang-orang musyrik. Bagaimanapun membunuh Orang-orang musyrik itu lebih kusenangi daripada membiarkan mereka tetap hidup.”
- Pada perang ini pedang Ukasyah bin Mihshan Al-Asadi patah. Karena itu, dia menemui Rasulullah, lalu beliau memberinya sepotong kayu dari akar pohon, seraya bersabda, “Bertempurlah dengan ini, wahai Ukasyah!” Setelah itu dia mengambilnya dari tangan beliau dan mengayunkannya, potongan akar itu berubah menjadi sebatang pedang yang panjang, putih mengkilat dan amat tajam. Dia pun bertempur dengan menggunakan pedang itu hingga Allah memberikan kemenangan kepada kaum Muslimin. Pedang itu dinamakan Al-‘Aun. Pedang tersebut selalu menyertai Ukasyah dalam berbagai peperangan bersama beliau, hingga ia terbunuh dalam Perang Riddah, dan saat itu pun pedang tersebut masih tetap bersamanya.”!”
- Setelah peperangan usai, Mush’ab bin Umair Al-Abdari melewati saudaranya Abu Aziz bin Umair yang sebelah tangannya sedang diikat seorang Anshar sebagai tawanan. Dalam peperangan itu Abu Aziz bergabung bersama pasukan musyrikin. Mush’ab berkata kepada orang Anshar yang menawannya, “Ikat kedua tanganmu sebagai ganti dirinya. Sesungguhnya ibunya adalah orang yang kaya raya. Siapa tahu dia akan menebusnya dan tebusannya menjadi milikmu.” “Seperti itukah engkau memperlakukan aku?” tanya Abu Aziz. “Dia juga saudaraku selain dirimu,” jawab Mush’ab.”
- Nabi memerintahkan agar bangkai Orang-orang Musyrik dimasukkan ke dalam sumur kering. Ketika mayat Utbah bin Rabi’ah diangkat dan dimasukkan ke dalam sumur, Rasulullah memandangi wajah anak Utbah yang Muslim, Abu Hudzaifah, yang tampak sedih, seraya bertanya, “Wahai Abu Hudzaifah, adakah sesuatu yang mengganggu perasaanmu karena keadaan ayahmu ini?”
Dia menjawab, “Tidak, demi Allah, wahai Rasulullah. Aku tidak lagi ragu tentang diri ayahku dan kematiannya. Tetapi, bagaimanapun aku masih mengakui ketajaman pikiran, kelembutan, dan keutamaannya. Sebenarnya aku berharap dia mendapat petunjuk untuk masuk Islam. Setelah aku melihat apa yang menimpanya dan ingat bagaimana dia mati dalam kekafiran, padahal sebelumnya aku sudah menaruh harapan terhadap dirinya, maka aku menjadi sedih karenanya.” Kemudian Rasulullah mendoakan kebaikan bagi Abu Hudzaifah.’
Korban di Kedua Belah Pihak
Peperangan sudah usai dengan kekalahan telak di pihak kaum musyrikin dan kemenangan yang nyata di pihak kaum Muslimin. Tercatat empat belas orang dari pasukan Muslim gugur syahid dalam peperangan ini; enam dari Muhajirin dan delapan dari Anshar. Sedangkan Orang-orang musyrik mengalami kerugian yang sangat banyak. Korban di antara mereka ada 70 orang dan 70 orang pula yang tertawan; kebanyakan justru terdiri dari para pemuka dan pemimpin mereka.
Setelah peperangan berakhir, Rasulullah berkeliling hingga akhirnya berdiri di dekat korban dari Orang-orang musyrik dan bersabda, “Keluarga yang paling buruk terhadap nabi kalian adalah diri kalian, Kalian mendustakan aku ketika Orang-orang membenarkan aku. Kalian menelantarkan aku ketika Orang-orang menolongku. Kalian mengusirku ketika Orang-orang melindungiku.” Lalu beliau memerintahkan agar tubuh mereka dimasukkan ke dalam sumur.”
Diriwayatkan dari Abu Thalhah, bahwa Nabi memerintahkan untuk mengumpulkan 24 pemuka Quraisy yang terbunuh, lalu mereka dilemparkan ke dalam sebuah sumur yang kotor dan berbau. Biasanya, bila suatu kaum mendapatkan kemenangan, mereka tidak akan pulang ke rumah selama tiga malam. Pada hari ketiga dari Perang Badar, beliau meminta hewan kendaraannya dan mengikatnya. Kemudian beliau berjalan yang diikuti para sahabat, hingga beliau berdiri di bibir sumur.
Beliau menyebutkan nama Orang-orang musyrik yang jasadnya dilemparkan ke dalam sumur itu, termasuk nama bapak-bapak mereka, “Wahai Fulan bin Fulan, wahai Fulan bin Fulan, apakah kalian merasa gembira bila seandainya kalian menaati Allah dan Rasul-Nya? Sesungguhnya kami telah mendapatkan apa yang dijanjikan Tuhan kami kepada kami adalah benar. Lalu apakah kalian mendapatkan apa yang dijanjikan Tuhan kalian terhadap kalian juga benar?”
Umar bertanya, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau berbicara kepada jasad-jasad yang tidak bernyawa lagi?”
Beliau menjawab, “Demi yang diri Muhammad ada di Tangan-Nya, kalian tidak lebih bisa mendengar daripada mereka tentang apa yang kukatakan.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Kalian tidak lebih bisa mendengar daripada diriku. Hanya saja mereka tidak bisa menjawab.”?!
Mekkah Menerima Kabar Kekalahan
Orang-orang musyrik yang berhasil melarikan diri dari medan Perang Badar berpencar-pencar tak beraturan. Mereka lari terbirit-birit menuju ke berbagai lembah dan perkampungan, setelah itu menuju ke Mekkah dengan kepala tertunduk lesu. Karena perasaan malu, mereka tidak tahu bagaimana cara untuk masuk ke Mekkah.
Ibnu Ishaq menuturkan, bahwa orang yang pertama kali menyampaikan kabar di Mekkah tentang kekalahan Quraisy adalah Al Haisuman bin Abdullah Al-Khuza’i. Orang-orang yang berada di Mekkah bertanya kepadanya, “Apa yang terjadi di sana?” Dia menjawab, “Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, Abul Hakam bin Hisyam, serta Umayyah bin Khalaf mati terbunuh. Dia masih menyebutkan beberapa nama pemimpin yang lain.
Ketika dia menyebutkan nama-nama pemuka Quraisy itu, Shafwan bin Umayyah yang hanya duduk di rumahnya berkata, “Demi Allah, itu tidak mungkin terjadi, bertanyalah kepadaku tentang dirinya!” “Lalu apa yang telah dilakukan oleh Shafwan bin Umayyah?” tanya mereka. Al-Haisuman menjawab, “Dia hanya duduk di rumahnya. Demi Allah, kulihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana ayah dan saudaranya terbunuh.
Abu Rafi’, pembantu Rasulullah berkata, “Dahulu aku adalah budak Al-Abbas. Saat itu Islam telah dianut oleh beberapa anggota keluarga. Al Abbas masuk Islam, termasuk Ummu Fadhi dan aku. Namun, Al-Abbas menyembunyikan keislamannya. Saat Perang Badar Abu Lahab tidak ikut serta. Ketika sudah ada kabar tentang kekalahan pasukan Quraisy, Allah membuatnya rendah dan hina, sedangkan kami merasa kuat dan perkasa.
Aku adalah orang lemah yang bertugas membuat anak panah. Aku merautnya sambil duduk di batu pembatas sumur Zamzam. Demi Allah, ketika aku sedang duduk sambil meraut anak panahku dan di sisiku ada Ummu Fadhl yang juga sedang duduk-duduk, saat itu kami sangat gembira mendengar kabar itu. Tiba-tiba Abu Lahab berjalan dengan menyeret kedua kakinya yang tak berdaya, hingga akhirnya dia duduk di pinggir batu pembatas Zamzam. Punggungnya menyandar ke punggungku.
Orang-orang berkata, “Ini dia Abu Sufyan bin Al-Harits bin Abdul Mutholib sudah datang.” Abu Lahab berkata, “Mari ke sini. Demi Allah, kabar apa yang engkau bawa?” Kemudian Abu Sufyan duduk di sampingnya, sedangkan Orang-orang berdiri di hadapannya. “Wahai keponakanku, kabarkan kepadaku bagaimana urusan Orang-orang?” tanya Abu Lahab.
Abu Sufyan menjawab, “Ketika kami berhadapan dengan sekelompok orang, justru kami menyerahkan pundak-pundak kami kepada mereka. Mereka menyerang dan menawan kami sekehendak hatinya. Demi Allah, meski demikian aku tidak mencela siapa pun. Kami harus berhadapan dengan Orang-orang yang berpakaian putih sambil menunggang kuda yang perkasa, berseliweran di antara langit dan bumi. Demi Allah, kudakuda itu tidak meninggalkan jejak sedikit pun dan tidak menginjak apa pun.”
Lalu aku (Abu Rafi’) mengangkat batu pembatas Zamzam, serambi berkata, “Demi Allah, itu adalah para malaikat.” Abu Lahab mengangkat tangannya tinggi-tinggi lalu memukulkannya ke mukaku dengan keras. Aku hendak melawannya, namun dia membanting tubuhku ke tanah, kemudian menindihku sambil melancarkan pukulan bertubi-tubi. Padahal, aku adalah orang yang lemah. Ummul Fadhl bangkit memungut tiang pembatas Zamzam, lalu memukulkannya sekeras-kerasnya ke kepala Abu Lahab hingga menimbulkan luka yang menganga. Ummu Fadhl berkata, “Engkau berani menyiksa orang ini selagi tuannya tidak ada.” Setelah itu Abu Lahab beranjak pergi sambil menundukkan muka.
Demi Allah, Abu Lahab hanya mampu bertahan hidup tujuh hari setelah itu. Itu pun Allah menimpakan luka bernanah di sekujur tubuhnya, Padahal, bangsa Arab sangat jijik terhadap penyakit ini. Sanak keluarganya tidak mau mengurusnya, dan setelah meninggal pun jasadnya ditelantarkan hingga tiga hari. Mereka tidak berani mendekatinya dan tidak berusaha untuk menguburnya. Namun, karena mereka takut akan dicemooh sebagai akibat dari tindakan ini, mereka pun membuatkan sebuah lubang di dekatnya, lalu mendorong tubuhnya masuk ke dalam lubang itu. Setelah itu mereka menimbun lubang kuburan tersebut dengan cara melemparkan batu dari kejauhan.
Begitulah penduduk Mekkah menerima kabar kekalahan telak di medan Perang Badar. Tentu saja hal ini menimbulkan pengaruh yang buruk. Bahkan mereka melarang meratapi Orang-orang yang mati terbunuh, agar mereka tidak semakin terpuruk karena dilecehkan oleh kaum Muslimin.
Dalam Perang Badar ini Al-Aswad bin Al-Mutholib kehilangan tiga anaknya. Karena buta, dia lebih suka menangisi nasib yang menimpa mereka. Suatu malam dia mendengar suara ratap tangis. Dia mengutus pembantunya dengan berkata, “Lihatlah, apakah ratapan dan tangisan memang diperbolehkan? Apakah Orang-orang Quraisy juga menangis meratapi para korban yang mati? Karena aku pun ingin meratapi Abu Hakimah (anaknya), karena kelopak mataku sudah hampir terbakar.” Setelah menyelidiki, pembantunya kembali lagi dan berkata, “Yang menangis itu adalah seorang wanita yang meratapi untanya yang lepas.” Al-Aswad hampir tak mampu menguasai dirinya. Lalu dia melantunkan sebuah syair yang sendu.
Mengapa wanita itu menangis hanya karena kehilangan unta
Dan tidak bisa tidur nyenyak karenanya
Engkau jangan menangisi Bakar, tetapi tangisilah Badar.
Karena nenek moyang menjadi berkurang
Tangisilah badar, tokoh-tokoh Bani Hushaish
Bila engkau harus menangis, tangisilah Aqil Tangisilah Harits, singa dari para singa
Tangisilah mereka dan jangan sebut mereka semua Abu Hakimah tidak mempunyai tandingan
Ketahuilah bahwa setelah mereka, ada Orang-orang yang berkuasa
Bila tidak ada Perang Badar, mereka tidak akan berkuasa.
Madinah Menerima Kabar Kemenangan
Setelah kemenangan yang nyata berada di tangan kaum Muslimin, Rasulullah mengirim dua orang untuk menyampaikan kabar gembira ke penduduk Madinah, agar mereka ikut menikmati kegembiraan. Dua utusan ini adalah Abdullah bin Rawahah, yang bertugas menyampaikan kabar gembira ke penduduk di dataran tinggi, dan Zaid bin Haritsah yang bertugas menyampaikan kabar gembira ke penduduk di dataran rendah.
Sementara itu, Orang-orang Yahudi dan kaum munafik sudah menyebarkan isu di kalangan penduduk Madinah tentang terbunuhnya Nabi. Saat seorang munafik melihat Zaid bin Haritsah yang datang sambil menunggang unta Rasulullah yang bernama Al-Qashwa’, maka dia berteriak, “Muhammad telah terbunuh. Itu adalah untanya yang sudah kita kenal, dan Zaid yang tergagap tidak bisa berkata apa-apa karena kalah.”
Setelah dua utusan ini benar-benar sudah tiba, kaum Muslimin mengelilingi mereka dan mendengarkan dengan seksama kabar yang mereka bawa, sehingga mereka yakin benar tentang kemenangan pasukan muslim. Kegembiraan langsung merebak ke mana-mana dan Madinah bergetar karena suara takbir dan tahlil. Para pemuka kaum Muslimin yang berada di Madinah segera pergi ke jalan yang mengarah ke Badar, bersiap-siap menyambut kedatangan Rasulullah atas kemenangan ini.
Usamah bin Zaid berkata, “Kami menerima kabar itu saat kami sedang meratakan tanah di rumah Ruqayyah binti Rasulullah yang menjadi istri Utsman bin Affan. Karena beliau telah menyerahkan kepadaku perlindungan terhadap keamanan dirinya.”
Pasukan Nabi Bergerak Menuju Madinah
Setelah perang berakhir, Rasulullah masih berada di Badar selama tiga hari. Sebelum meninggalkan kancah peperangan, terjadi silang pendapat di antara anggota pasukan tentang pembagian harta rampasan. Ketika silang pendapat ini semakin meruncing, beliau memerintahkan agar semua harta rampasan di tangan mereka diserahkan. Mereka pun menurutinya, lalu turun wahyu yang memecahkan masalah ini.
Ubadah bin Ash-Shamit berkata, “Kami pergi bersama Nabi dalam Perang Badar. Dua pasukan saling berhadapan dan Allah mengalahkan pasukan musuh. Sekelompok pasukan kaum Muslimin yang mengejar musuh, mengusir, dan membunuh. Ada sebagian yang menguasai harta rampasan yang telah dikumpulkannya. Ada pula sebagian lain yang menjaga Rasulullah dan tidak berhadapan langsung dengan musuh. Pada malam harinya, ketika sebagian sudah berkumpul dengan sebagian yang lain, mereka yang berhasil mengumpulkan harta rampasan berkata, ‘Kamilah yang telah mengumpulkannya dan siapa pun tidak boleh mengusiknya.’ Sementara mereka yang bertugas mengejar musuh menyahut, ‘Kalian tidak lebih berhak daripada kami. Kamilah yang sebenarnya telah mengumpulkan harta rampasan itu dan mengalahkan musuh.’ Mereka yang bertugas menjaga beliau berkata, ‘Kami khawatir musuh akan menyerang beliau, sehingga sejak awal kami melindungi beliau.’ Berkaitan dengan hal ini Allah menurunkan ayat:
Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah: “Harta rampasan perang kepunyaan Allah dan Rasul, karena itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu; dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah Orang-orang yang beriman.” (Al-Anfal: 1)
Maka Rasulullah pun membaginya di antara pasukan Muslimin.
Setelah tiga hari berada di Badar, pasukan Rasulullah bergerak ke Madinah sambil membawa tawanan dan harta rampasan yang diperoleh dari Orang-orang musyrik. Penanganannya diserahkan kepada Abdullah bin Ka’ab. Setelah melewati jalan Ash-Shatia’, beliau menghentikan pasukan dan membagi harta rampasan di sana secara merata di antara kaum Muslimin, setelah mengambil seperlimanya. Ketika mereka tiba di Ash-Shafra’, An-Nadhr bin Al-Harits diperintahkan untuk dibunuh, karena dia adalah pembawa bendera pasukan musyrikin dan dia termasuk pemuka Quraisy yang sangat jahat, paling banyak memperdayai Islam dan menyiksa Rasulullah. Akhirnya dia dipenggal oleh Ali bin Abu Thalib.
Setibanya di Irquzh Zhabyah, beliau juga memerintahkan untuk membunuh Uqbah bin Abu Mu’ith. Di bagian terdahulu kami sudah menguraikan ulahnya menyiksa Rasulullah. Dialah yang melemparkan isi perut binatang yang sudah disembelih ke kepala beliau saat sedang shalat. Dia pula yang menjerat leher beliau dengan mantelnya. Saat dia hampir dibunuh, Abu Bakar menahannya. Ketika beliau tetap memerintahkan untuk membunuhnya, Uqbah bertanya, “Bagaimana dengan anak-anakku, wahai Muhammad?” Beliau menjawab, “Masuk neraka.” Lalu dia dibunuh oleh Ashim bin Tsabit Al-Anshari. Namun, pendapat lain mengatakan, yang membunuhnya adalah Ali bin Abu Thalib.
Menurut pertimbangan perang, dua orang ini memang sangat layak dibunuh. Mereka berdua bukan sekedar tawanan biasa, tetapi sudah bisa disebut penjahat perang menurut istilah zaman sekarang.
Utusan Para Penyambut
Setibanya di Ar-Rauha’, pasukan kaum Muslimin bertemu dengan Orang-orang yang keluar dari Madinah untuk menyambut kedatangan mereka dan mengucapkan selamat atas kemenangan yang diraih. Saat itu Salamah bin Salamah bertanya kepada Orang-orang yang datang untuk menyambut tersebut, “Apa yang mendorong kalian untuk menyambut kedatangan kami? Demi Allah, jika sudah saling bertemu, maka badan kita sudah lemah dengan kepala gundul layaknya orang yang sudah tua renta.” Rasulullah tersenyum mendengarnya, lalu bersabda, “Wahai keponakanku, mereka itu adalah Orang-orang penting.”
Usaid bin Hudhair yang berada dalam rombongan para penyambut berkata, “Wahai Rasulullah, segala puji bagi Allah yang telah memenangkan engkau dan membuat engkau senang. Demi Allah, wahai Rasulullah. Aku tidak menyangka engkau akan berhadapan dengan musuh. Kukira mereka hanya kafilah dagang. Inilah yang membuatku tidak ikut bergabung ke Badar. Andai kata aku tahu mereka adalah pasukan musuh, tentu aku tak mau ketinggalan untuk ikut bergabung.” “Engkau benar,” jawab Rasulullah .
Kemudian beliau dan pasukan kaum Muslimin memasuki Madinah sebagai pihak yang membawa kemenangan, sehingga menanamkan rasa gentar setiap musuh yang ada di Madinah dan sekitarnya. Karenanya tidak sedikit penduduk Madinah yang masuk Islam setelah itu. Ini pula yang mendorong Abdullah bin Ubay dan rekan-rekannya untuk masuk Islam, sekalipun hanya di luar saja.
Sehari setelah tiba di Madinah, para tawanan diteliti lalu dibagikan kepada para sahabat. Beliau menasihati agar mereka memperlakukan para tawanan itu dengan baik. Para sahabat biasa memakan kurma, sedangkan untuk tawanan itu disuguhi roti. Begitulah mereka mengamalkan nasihat Rasulullah.
Masalah Tawanan
Setiba di Madinah, Rasulullah meminta pendapat kepada para sahabat tentang masalah tawanan. Abu Bakar berkata, “Wahai Rasulullah, mereka itu masih keluarga paman, kerabat, atau teman sendiri. Menurut pendapatku, sebaiknya engkau meminta tebusan dari mereka, agar tebusan yang kita ambil dari mereka ini dapat mengukuhkan kedudukan kita dalam menghadapi Orang-orang kafir, dan siapa tahu Allah memberikan petunjuk kepada mereka, sehingga mereka menjadi pendukung bagi kita.”
“Lalu bagaimana pendapatmu, wahai putra Al-Khattab?” tanya Rasulullah.” Umar menjawab, “Demi Allah, aku tidak sependapat dengan Abu Bakar. Menurutku, serahkan Fulan (kerabatnya) kepadaku, biar aku penggal lehernya. Serahkan Uqail bin Abu Thalib kepada Ali bin Abu Thalib biar dia memenggal lehernya. Serahkan Fulan kepada Hamzah (saudaranya), biar dia memenggal lehernya, agar musuh-musuh Allah mengetahui bahwa di dalam hati kita tidak ada rasa kasihan terhadap Orang-orang musyrik, pemuka, pemimpin, dan para dedengkot mereka.” Rasulullah lebih condong kepada pendapat Abu Bakar dan kurang sependapat dengan Umar. Beliau lebih cenderung untuk meminta tebusan dari mereka.
Hasilnya, inilah penuturan Umar bin Al-Khattab pada keesokan harinya, “Aku menemui Rasulullah yang bersama Abu Bakar. Keduanya menangis. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku apa yang membuat engkau dan sahabatmu ini menangis. Jika aku perlu menangis, aku pun akan menangis. Jika aku tidak perlu menangis, aku pun tetap akan menangis karena engkau berdua menangis.’ Beliau menjawab, ‘Aku menangis karena permintaan yang disampaikan rekan-rekanmu kepadaku, agar meminta tebusan dari mereka, padahal dahulu siksaan yang mereka tawarkan kepadaku dulu lebih dekat dari pohon ini.’ Yang beliau maksudkan adalah sebatang pohon di dekat beliau.
Allah menurunkan ayat:
Tidak patut bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi, sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu), dan Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana. Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil. (Al-Anfal: 67-68)
Ketetapan terdahulu yang dimaksudkan Allah dalam ayat tersebut adalah firmannya dalam ayat lain:
“Setelah itu kalian boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan” (Muhammad: 4)
Ayat ini mengandung izin untuk mengambil tebusan dari para tawanan, Karena itulah, mereka tidak disiksa atau dibunuh. Namun, surat Al-Anfal yang isinya teguran tersebut turun karena mereka menawan Orang-orang kafir dan tidak membunuhnya, padahal kedudukan kaum Muslimin di muka bumi ini belum kukuh. Kemudian mereka justru menerima tebusan dari para penjahat yang sejatinya bukan sekedar tawanan perang, tetapi para penjahat perang. Biasanya para penjahat perang itu menurut undang. undang perang modern diadili dan pada umumnya hukumannya adalah hukuman mati atau dijebloskan ke dalam penjara sampai mati. Namun, Rasulullah justru mengambil pendapat Abu Bakar, dengan mengambil tebusan dari para tawanan. Karena itu, ayat teguran ini turun.
Adapun nilai tebusannya ada yang 4.000 dirham, 3.000 dirham, dan 1.000 dirham. Siapa yang tidak sanggup menebus maka dia bisa mengajari sepuluh anak-anak Madinah sebagai ganti dari tebusannya. Jika anak-anak itu sudah mahir, tebusannya dianggap lunas. Bahkan, Rasulullah bermurah hati kepada sebagian tawanan. Beliau membebaskannya tanpa tebusan sama sekali, seperti Al-Mutholib bin Hanthab, Shaifi bin Abu Rifa’ah, dan Abu Azzah Al-Jumahi, yang akhirnya dibunuh selama menjadi tawanan di Perang Uhud, seperti yang akan dijelaskan selanjutnya.
Beliau juga membebaskan menantunya Abul Ash, tetapi dengan syarat dia harus melepaskan Zainab, putri beliau yang menjadi istrinya. Sementara Zainab sendiri sudah mengirim utusan untuk menebus suaminya. Tebusannya berupa sebuah kalung yang dulu pernah dipakai Khadijah. Ketika Rasulullah melihat kalung itu, hati beliau menjadi amat trenyuh. Lalu beliau meminta kepada para sahabat untuk membebaskan Abul Ash, dan mereka pun melaksanakannya. Namun, tetap dengan syarat di atas. Akhirnya dia melepaskan Zainab, yang kemudian hijrah ke Madinah.
Untuk menyusul Zainab, beliau mengutus Zaid bin Haritsah dan seseorang dari Anshar. Beliau bersabda kepada keduanya, “Tunggulah di perkampungan Ya’juj hingga Zainab lewat di sana, dan setelah itu temanilah dia!” Mereka berdua pergi untuk menyusul Zainab hingga dapat membawanya ke Madinah. Kisah hijrahnya ini amat panjang dan juga memilukan.
Di antara tawanan itu ada pula Suhail bin Amr, seorang orator yang ulung. Umar berkata, “Wahai Rasulullah, cabutlah dua gigi seri Suhail bin Amr, agar lidahnya terjulur saat berbicara dan tidak bisa lancar berpidato di mana pun dia berada untuk memusuhimu.” Namun, beliau menolak permintaan Umar ini, sebagai langkah untuk menjaga pamor beliau dan celaan Allah pada hari kiamat.
Saat itu Saad bin An-Nu’man pergi ke Mekkah untuk umrah. Tetapi, di sana dia ditawan Abu Sufyan. Anak Abu Sufyan sendiri yang bernama Amr menjadi tawanan dalam Perang Badar. Kaum Muslimin membebaskan Amr, lalu Abu Sufyan juga melepaskan Saad.
Al-Qur’an Berbicara tentang Masalah Perang
Surat Al-Anfal turun mengupas seputar topik peperangan ini. Surat Al Anfal merupakan penjelasan dari Allah tentang peperangan Badar, yang berbeda jauh dengan penjelasan-penjelasan lain yang membicarakan masalah raja dan pemimpin setelah kemenangan.
- Pertama-tama Allah hendak mengalihkan pandangan kaum Muslimin ke akhlak mereka yang dirasa kurang baik atau berlebih-lebihan pada masa lampau, agar mereka berusaha menyempurnakannya dan menyucikan diri.
- Kemenangan ini menjadi nyata karena dukungan dan pertolongan gaib dari Allah bagi kaum Muslimin. Allah perlu menyebutkan hal ini agar mereka tidak terkecoh oleh kehebatan dan keberanian diri sendiri, sehingga jiwa mereka tidak tenggelam dalam kesombongan, tetapi mereka justru tawakal kepada Allah, taat kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya.
- Kemudian Allah menjelaskan tujuan yang mulia dari peperangan yang menegangkan dan banyak memakan korban ini, menunjukkan beberapa sifat dan akhlak kepada mereka, yang harus diperhatikan saat perang dan saat mendapat kemenangan.
- Kemudian Allah berfirman kepada Orang-orang musyrik, munafik, Yahudi dan para tawanan perang, menyampaikan peringatan yang nyata dan menjelaskan kepada mereka agar menerima kebenaran.
- Setelah itu, Allah berfirman kepada kaum Muslimin tentang masalah harta rampasan dan meletakkan dasar-dasar masalah ini.
- Kemudian Allah menjelaskan dan menetapkan aturan-aturan saat perang dan damai, karena dakwah Islam saat itu sudah memasuki tahapan ini, agar perang yang dilakukan kaum Muslimin berbeda dengan perang yang dilakukan oleh Orang-orang jahiliyah. Mereka unggul karena akhlak dan nilai-nilai yang luhur serta menegaskan kepada dunia bahwa Islam bukan sekedar teori yang mentah, tetapi Islam membekali para pemeluknya secara praktis, berlandaskan kepada dasar-dasar dan prinsip yang diserunya.
- Kemudian Allah menetapkan beberapa butir undang-undang Daulah Islam, dengan membuat perbedaan antara kaum Muslimin yang menetap di wilayah Islam dan mereka yang menetap di luar wilayah Islam. Pada tahun 2 H turun kewajiban puasa Ramadhan, membayar zakat fitrah dan penjelasan tentang batasan-batasan zakat yang lain. Kewajiban membayar zakat fitrah, dan zakat-zakat lainnya dimaksudkan untuk meringankan beban hidup yang dijalani Orang-orang Muhajirin dan Anshar yang miskin, yang tidak mempunyai bakat berbisnis.
Ada momen yang paling mengesankan dengan perayaan Idul Fitri pertama yang dijalani kaum Muslimin dalam hidup mereka pada Syawal 2 H, setelah mereka memperoleh kemenangan yang gemilang di Perang Badar. Betapa mengesankan hari raya yang penuh kebahagiaan ini, setelah Allah menyematkan mahkota kemenangan dan keperkasaan kepada mereka. Betapa mengagumkan shalat Idul Fitri yang mereka tunaikan pada saat itu, setelah mereka keluar dari rumah dengan menyerukan suara takbir, tahmid, dan tauhid. Hati mereka dipenuhi kecintaan kepada Allah, sambil tetap mengharapkan rahmat dan keridhaan-Nya, setelah Dia memuliakan mereka dengan nikmat dan menguatkan mereka dengan pertolongan-Nya. Kemudian Allah mengingatkan mereka tentang semua ini dengan berfirman:
Dan ingatlah (wahai para muhajirin) ketika kamu masih berjumlah sedikit, lagi tertindas di muka bumi (Mekkah), kamu takut Orang-orang (Mekkah) akan menculik kamu, maka Allah memberi kamu tempat menetap (Madinah) dan dijadikan-Nya kamu kuat dengan pertolongan-Nya dan diberi-Nya kamu rezeki dari yang baik-baik agar kamu bersyukur. (Al-Anfal: 26) []
Perang Badar merupakan bentrokan bersenjata yang pertama kali antara kaum Muslimin dan kaum musyrikin. Ini merupakan peperangan yang sangat menentukan, dengan kemenangan mutlak di pihak kaum Muslimin, yang bisa disaksikan seluruh bangsa Arab. Sementara itu, pihak Orang-orang musyrik yang diunggulkan dalam peperangan ini justru harus menelan pil pahit dan kerugian yang besar. Ada pihak lain yang melihat kemenangan dan keperkasaan kaum Muslimin dalam peperangan ini sebagai ancaman yang sangat serius bagi posisi agama dan ekonomi. Mereka adalah Orang-orang Yahudi. Setelah kaum Muslimin memperoleh kemenangan dalam Perang Badar, dua golongan ini merasa terbakar karena kebencian dan kedengkian terhadap kaum Muslimin. Dalam hal ini, Allah berfirman:
Sesungguhnya kamu dapati Orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap Orang-orang yang beriman ialah Orang-orang Yahudi dan Orang-orang musyrik. (Al-Maidah: 82)
Ada beberapa orang di Madinah yang berteman karib dengan dua golongan ini yang masuk Islam, karena mereka merasa tidak mendapatkan tempat yang aman lagi. Mereka adalah Abdullah bin Ubay dan rekan-rekannya. Golongan yang ketiga ini tidak kalah bencinya terhadap kaum Muslimin daripada dua golongan yang pertama.
Ada lagi golongan keempat, yaitu Orang-orang Badui yang tersebar di sekitar Madinah. Mereka tidak terlalu pusing dengan persoalan iman dan kufur. Tetapi, mereka adalah Orang-orang yang suka merampas dan merampok. Mereka juga merasa khawatir melihat kemenangan kaum Muslimin ini. Mereka tentu saja merasa khawatir bila di Madinah berdiri sebuah daulah yang kuat, sehingga bisa menjadi penghalang bagi kegiatan mereka. Karena itu, mereka tidak suka terhadap kaum Muslimin dan berdiri sebagai musuh.
Itulah gambaran bahaya yang membayangi kaum Muslimin dari segala penjuru. Meski demikian, golongan-golongan ini mempunyai sikap sendiri-sendiri dalam menghadapi kaum Muslimin. Masing-masing memilih cara sendiri-sendiri yang menurut mereka efektif untuk menggapai tujuan.
Ketika beberapa kekuatan di sekitar Madinah baru menampakkan tanda-tanda perlawanan terhadap Islam dengan cara memata-matai, hal ini berbeda dengan sekelompok Orang-orang Yahudi. Mereka justru telah berani mengumumkan perang dan memperlihatkan kedengkian serta kebenciannya. Sementara itu, kekuatan di Mekkah sudah mengisyaratkan ancaman dan mengumumkan untuk melakukan serangan balasan besar-besaran. Untuk itu, mereka mengirim utusan untuk mendatangi kaum Muslimin, menyampaikan hasrat mereka, dengan menyatakannya dalam sebuah syair:
Kelak kan datang hari yang indah dan mengesankan
Setelah itu telingaku selalu mendengar ratap tangisan.
Inilah langkah awal yang menuntun mereka ke peperangan yang dahsyat tak jauh dari Madinah, yang dikenal dalam sejarah sebagai Perang Uhud. Perang ini kemudian menimbulkan pengaruh kurang menyedapkan bagi ketenaran dan kehebatan kaum Muslimin.
Perang Bani Sulaim di Al-Kudr
Informasi yang pertama kali masuk kepada Rasulullah setelah Perang Badar adalah bahwa Bani Sulaim yang termasuk kabilah Ghathafan menghimpun kekuatannya untuk menyerang Madinah. Dengan mengerahkan 200 orang yang menunggang unta, Nabi mendatangi mereka lalu menetap di dekat perkampungan Bani Sulaim yang bernama Al-Kudr.’ Melihat kedatangan beliau, mereka pun lari tunggang langgang meninggalkan 500 unta, yang kemudian dikuasai pasukan Muslim.
Kemudian beliau membaginya setelah mengambil seperlimanya, sehingga setiap orang mendapat bagian dua ekor unta. Mereka juga menawan seorang pemuda yang bernama Yassar. Namun, kemudian dia dibebaskan.
Setelah menetap di sana selama tiga hari, Nabi kembali lagi ke Madinah. Peperangan ini terjadi pada bulan Syawal 2 H, selang tujuh hari sepulang dari Badar. Beliau mengangkat Siba’ bin Arfazhah sebagai wakil beliau di Madinah. Namun, menurut pendapat lain, wakil beliau adalah Ibnu Ummi Maktum.
Salah satu akibat kekalahan yang diderita Orang-orang musyrik dalam Perang Badar, mereka semakin dibakar kebencian terhadap Nabi dan menjadikan Mekkah mendidih ketel. Tidak heran jika kemudian para pemukanya bersekongkol untuk menghabisi orang yang menjadi sumber mala petaka, perpecahan, kehancuran dan kehinaan mereka, yaitu Nabi.
Tidak seberapa lama sesudah Perang Badar, Umair bin Wahb Al Jumahi duduk-duduk di Hijr bersama Shafwan bin Umayyah. Umair adalah salah seorang setan Quraisy yang dulu sering menyiksa Nabi dan para sahabat ketika masih di Mekkah. Anaknya, Wahb bin Umair menjadi tawanan Perang Badar. Saat duduk itulah Umair menyebut Orang-orang yang menjadi korban di Perang Badar dan mereka yang dimasukkan ke dalam sumur.
Shafwan berkata menghibur, “Demi Allah, pasti akan datang kehidupan yang baik setelah kematian mereka.” Umair berkata, “Demi Allah, engkau benar. Demi Allah, kalau bukan karena aku masih memiliki utang yang harus kulunasi, dan kalau tidak karena keluarga yang kutakutkan akan musnah setelah kematianku, niscaya saat ini pun aku akan menunggang unta, lalu menemui Muhammad dan membunuhnya. Apalagi sebelum ini sudah ada ganjalan terhadap mereka, karena anakku menjadi tawanan di tangan mereka.”
Shafwan mengobarkan semangat Umair dengan berkata, “Aku akan menanggung utang-utangmu. Aku akan melunasinya, dan keluargamu adalah keluargaku juga. Aku akan menjaga selama mereka masih hidup. Aku sama sekali tidak keberatan melindungi mereka.” Umair berkata, “Kalau begitu rahasiakan kesepakatan kita ini.” Shafwan menjawab, “Aku akan melakukannya.”
Umair meminta pedangnya lalu mengasahnya hingga tajam dan mengkilap. Kemudian dia berangkat hingga tiba di Madinah. Umar bin Al-Khattab yang waktu itu sedang membicarakan kemuliaan yang dikaruniakan Allah di Perang Badar bersama beberapa orang Muslim melihat kehadirannya di ambang pintu masjid sambil menderumkan untanya. Umar berkata, “Anjing musuh Allah ini adalah Umair, yang datang hanya dengan niat jahat.”
Umar segera menemui Nabi dan mengabarkan kepada beliau, “Wahai Nabi Allah, itu ada musuh Allah, Umair. Ia datang sambil menyandang pedangnya.”
“Suruh dia masuk ke sini,” sabda beliau.
Umar berkata kepada beberapa orang Anshar, “Masuklah ke rumah Rasulullah, duduklah di dekat beliau dan waspadailah orang yang buruk itu bisa jadi dia menyerang beliau, karena beliau tidak aman dari gangguannya.”
Ketika Umair sudah masuk dan beliau melihat kehadirannya, Umar memegang tali pedang Umair di lehernya. Beliau bersabda, “Biarkan saja dia wahai Umar!”
Umair mendekat ke arah beliau dan berkata, “Selamat untuk kalian pada pagi ini!”
Nabi bersabda, “Allah telah memuliakan kami dengan ucapan selamat yang lebih baik daripada ucapan selamatmu itu, wahai Umair, yaitu ucapan selamat para penghuni surga.” Lalu beliau bertanya, “Apa maksud kedatanganmu, wahai Umair?”
Umair menjawab, “Aku datang untuk urusan tawanan di tangan kalian. Berbuat baiklah terhadap dirinya!”
“Lalu untuk apa pedang di lehermu itu?” tanya beliau.
Ia berkata, “Semoga Allah memburukkan pedang-pedang yang ada, Apakah pedang-pedang itu masih berguna bagi kami?”
“Jujurlah kepadaku! Apa maksud kedatanganmu?” tanya Rasulullah.
“Aku datang hanya untuk itu,” jawab Umair.
Beliau bersabda, “Bukankah engkau pernah duduk-duduk bersama Shafwan bin Umayyah di Hijr, lalu kalian berdua menyebut-nyebut orang. orang Quraisy yang dimasukkan ke dalam sumur, kemudian engkau berkata, ‘Kalau tidak karena aku masih ada utang yang harus kulunasi dan kalau tidak karena keluarga yang kutakutkan akan musnah setelah kematianku, niscaya saat ini pun aku akan menunggang unta, akan kutemui Muhammad dan kubunuh dia?’ Bukankah Shafwan hendak menanggung utang-utangmu dan keluargamu agar engkau mau membunuhku? Demi Allah, mustahil engkau akan bisa melaksanakannya.”
Umair pun berkata, “Aku bersaksi bahwa memang engkau adalah Rasul Allah. Wahai Rasulullah, dulu kami selalu mendustakan kabar dari langit dan wahyu yang turun kepadamu yang engkau sampaikan kepada kami. Padahal, yang tahu masalah ini hanya aku dan Shafwan. Demi Allah, kini aku benar-benar tahu bahwa apa yang datang kepadamu adalah dari Allah. Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan diriku kepada Islam dan menuntun diriku ke jalan ini.”
Setelah itu Umair mengucapkan syahadat dengan sebenarnya. Beliau bersabda, “Ajarkanlah masalah agama kepada saudara kalian ini Bacakanlah Al-Qur’an dan bebaskan anaknya!”
Sementara itu, Shafwan yang berada di Mekkah berkata kepada Orang-orang di sana, “Bergembiralah kalian jika nanti mendengar suatu peristiwa yang bisa membuat kalian melupakan peristiwa Badar.” Dia pun terus bertanya-tanya kepada setiap orang yang datang dari bepergian, hingga akhirnya ada seseorang yang mengabarkan tentang keislaman Umair. Maka Shafwan bersumpah untuk tidak berbicara sama sekali dengan Umair dan tidak mau memberinya bantuan apa pun.
Selanjutnya Umair kembali lagi ke Mekkah, menetap di sana untuk beberapa lama. Ila mengajak Orang-orang agar masuk Islam, sehingga tidak sedikit di antara mereka yang masuk Islam dengan dakwahnya.
Di bagian sebelumnya, kami sudah menyebutkan butir-butir perjanjian yang telah disepakati Rasulullah dan Orang-orang Yahudi.Tentu saja beliau benar-benar melaksanakan isiperjanjian ini dan tak ada satu huruf pun dari teks perjanjian itu yang dilanggar kaum Muslimin. Tetapi, Orang-orang Yahudi yang telah melumuri lembaran sejarah mereka dengan pengkhianatan dan pelanggaran janji, ternyata tidak menyimpang jauh dari tabiat mereka yang lama. Mereka lebih suka memilih jalan tipu daya, persekongkolan, menimbulkan keresahan dan keguncangan di barisan kaum Muslimin. Inilah beberapa gambaran yang mereka lakukan.
Beberapa Gambaran Kelicikan Orang-orang Yahudi
Ibnu Ishaq menuturkan, “Syas bin Qais adalah seorang tokoh Yahudi yang sudah tua renta dan sekaligus menjadi pemimpin kekufuran. Dia sangat membenci dan mendengki kaum Muslimin. Suatu kali dia melewati beberapa orang sahabat dari Aus dan Khazraj yang sedang berkumpul dan berbincang-bincang dalam suatu majelis. Dia meradang karena melihat kerukunan, persatuan, dan keakraban di antara sesama mereka karena Islam. Padahal, semasa Jahiliyah Aus dan Khazraj selalu bermusuhan.
Dia bergumam sendiri, “Ada beberapa orang dari Bani Qailah yang ikut berkumpul di tempat ini. Tidak, demi Allah, kami tidak boleh membiarkan mereka bersatu.”
Kemudian dia berkata kepada seorang pemuda Yahudi yang disuruhnya, “Hampirilah Orang-orang itu dan duduklah bersama mereka. Kemudian ungkit kembali Perang Bu’ats yang pernah mereka alami. Lantunkan juga syair-syair yang pernah mereka ucapkan secara berbalas balasan
pada saat itu.”
Pemuda itu menuruti saja apa yang diperintahkan Syas. Akibatnya, mereka saling berdebat dan saling membanggakan diri, hingga ada dua orang yang melompat bangkit dan adu mulut dengan sengit. Salah seorang di antara keduanya berkata kepada yang lain, “Jika kalian menghendaki, saat ini juga kami akan menghidupkan kembali akar peperangan di antara kita.” Kedua belah pihak, Aus dan Khazraj, ikut terpancing. Lalu masing-masing mengambil senjatanya, dan hampir saja terjadi adu fisik.
Rasulullah yang mendengar kejadian ini segera beranjak pergi beserta beberapa sahabat dari Muhajirin dan menemui mereka. Beliau bersabda, “Wahai kaum Muslimin, Allah, Allah…. Mengapa masih ada seruan-seruan Jahiliyah, padahal aku ada di tengah-tengah kalian, setelah Allah menunjuki kalian untuk memeluk Islam, memuliakan kalian, memutuskan urusan jahiliyah dari kalian, menyelamatkan kalian dari kekufuran dan menyatukan hati kalian dengan Islam?”
Mereka pun sadar bahwa kejadian ini merupakan bisikan setan dan tipu daya musuh mereka. Akhirnya mereka menangis. Orang-orang Aus berpelukan dengan Orang-orang Khazraj, lalu mereka beranjak meninggalkan tempat itu beserta Rasulullah. Mereka semakin taat dan patuh kepada beliau, karena Allah telah memadamkan tipu daya musuh Allah, Syas bin Qais.!
Ini merupakan sebuah gambaran dari upaya Orang-orang Yahudi untuk membangkitkan keresahan dan keguncangan di kalangan kaum Muslimin. Mereka ingin memasang rintangan di hadapan dakwah Islam. Mereka memiliki banyak cara untuk memuluskan rencana semacam ini; menyebarkan isu-isu dusta, dan menyatakan iman pada pagi hari dan kufur pada sore harinya, dengan tujuan menanamkan benih keraguan di dalam hati Orang-orang yang lemah imannya. Mereka juga mempersulit penghidupan Orang-orang Mukmin yang mempunyai hubungan materi dengan mereka. Jika ada orang Mukmin berhutang kepada mereka, mereka menagihnya siang dan malam. Jika mereka mempunyai tanggungan terhadap orang Mukmin, mereka memanipulasi sebagian tanggungan itu dengan cara yang batil atau bahkan tidak mau membayar sama sekali. Dalam hal ini, mereka berkata, “Kami akan membayar utang kami selama kalian masih berada pada agama bapakbapak kalian. Tetapi, setelah kalian keluar dari agama mereka, kami tidak ada lagi kewajiban untuk melunasinya.”
Mereka berbuat seperti itu sebelum meletus Perang Badar, sekalipun sudah dikukuhkan perjanjian dengan Rasulullah. Beliau dan para sahabat selalu bersabar menghadapi semua itu, karena mereka mempunyai komitmen untuk menjaga keamanan dan perdamaian di wilayah Madinah.
Bani Qainuqa’ Melanggar Perjanjian
Setelah Orang-orang Yahudi mengetahui bahwa Allah menganugerahkan mengulurkan pertolongan kepada Orang-orang beriman di medan Perang Badar, persatuannya semakin mantap dan disegani oleh siapa pun. Kebencian mereka pun semakin menjadi-jadi, mereka semakin berani memperlihatkan permusuhan dan berniat melanggar perjanjian yang sudah disepakati.
Tokoh dan pemimpin mereka yang paling menonjol serta paling jahat adalah Ka’ab bin Al-Asyraf. Dari tiga golongan mereka, golongan yang paling jahat adalah Yahudi Bani Qainuqa’. Mereka menetap di dalam Madinah, sebagai perajin perhiasan, pandai besi, pembuat berbagai perkakas dan bejana. Karena pekerjaan tersebut, mereka memiliki banyak tenaga yang ahli dalam bidang pembuatan peralatan perang. Selain itu, mereka juga mempunyai 700 prajurit perang. Karena merasa paling pemberani di antara Orang-orang Yahudi, mereka menjadi pelopor pertama yang melanggar perjanjian dari kalangan Yahudi.
Setelah Allah memberikan kemenangan kepada kaum Muslimin di Badar, justru kelaliman Yahudi Bani Qainuqa’ semakin menjadi-jadi. Mereka semakin berani dan lancang, mengolok-olok, mengejek, dan mengganggu kaum Muslimin yang datang ke pasar mereka. Bahkan, mereka juga mengganggu wanita-wanita Muslimah. Karena tindakan dan kesewenang-wenangan mereka ini, maka Rasulullah mengumpulkan mereka, memberi nasihat, dan mengajak mereka kepada petunjuk, memperingatkan agar mereka tidak mencari permusuhan dan tidak berbuat semau sendiri. Namun peringatan dan nasihat ini dianggap angin lalu.
Abu Dawud dan lain-lainnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia berkata, “Setelah Rasulullah memperoleh kemenangan atas Quraisy pada Perang Badar dan kembali ke Madinah, beliau mengumpulkan mereka di pasar Bani Qainuqa’. Beliau bersabda, ‘Wahai semua Orang-orang Yahudi, masuklah Islam sebelum kalian mengalami seperti yang dialami Quraisy.’
Mereka menjawab, “Wahai Muhammad, janganlah engkau terpedaya oleh dirimu sendiri hanya karena engkau telah berhasil membunuh beberapa orang Quraisy. Mereka adalah Orang-orang bodoh yang tidak tahu cara berperang. Andaikan saja engkau berperang dengan kami, engkau akan tahu bahwa kamilah orangnya. Engkau belum pernah bertemu dengan Orang-orang seperti kami,”
Berkenaan dengan kesombongan Yahudi ini, Allah menurunkan ayat:
Katakanlah kepada Orang-orang yang kafir: “Kamu pasti akan dikalahkan (di dunia ini) dan akan digiring ke dalam neraka Jahannam. dan Itulah tempat yang seburuk-buruknya.”
Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur). Sekelompok berperang di jalan Allah dan (sekelompok) yang lain kafir yang dengan mata kepala melihat (seakan-akan) Orang-orang Muslimin dua kali jumlah mereka. Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi Orang-orang yang mempunyai mata hati.” (Ali ‘Imran: 12-13).
Jawaban Bani Qainuqa’ ini sudah jelas menggambarkan keinginan mereka untuk berperang. Namun, Rasulullah mampu menahan kemarahan dan kaum Muslimin pun bisa bersabar. Mereka menunggu apa yang bakal terjadi pada hari-hari berikutnya. Orang-orang Yahudi Bani Qainuqa’ semakin bertambah lancang dan berani. Mereka mulai membuat keresahan di Madinah. Mereka sengaja mempersempit penghidupan penduduk Madinah dan menutup pintu-pintunya.
Ibnu Hisyam meriwayatkan dari Abu Aun, bahwa ada seorang wanita Arab yang datang ke pasar Bani Qainuqa’ dengan mengenakan jilbabnya. Dia duduk di dekat seorang pengrajin perhiasan. Tiba-tiba beberapa orang di antara mereka hendak menyingkap kerudung yang menutupi wajahnya. Diam-diam tanpa diketahui wanita Muslimah itu, pengrajin perhiasan tersebut mengikat ujung bajunya, sehingga ketika bangkit, auratnya tersingkap. Mereka pun tertawa dibuatnya. Wanita muslimah itu spontan berteriak. Seorang laki-laki Muslim yang berada di dekatnya melompat ke pengrajin perhiasan dan membunuhnya. Orang-orang Yahudi pun membalas dengan mengikat laki-laki Muslim tersebut lalu membunuhnya. Hal ini membuat keluarga laki-laki Muslim tersebut berteriak meminta tolong kepada kaum Muslimin atas tindakan Orang-orang Yahudi tersebut, sehingga terjadilah tindak kekerasan antara mereka dan Bani Qainuqa’.
Bani Qainuqa’ Menyerah Setelah Dikepung
Kejadian tersebut membuat kesabaran Rasulullah habis. Setelah mengangkat Abu Lubabah bin Abdul Mundzir sebagai wakil di Madinah dan bendera diserahkan kepada Hamzah bin Abdul Mutholib, beliau mengerahkan tentara Allah menuju ke Bani Qainuqa’. Karena Orang-orang Yahudi Bani Qainuqa’ bertahan di benteng mereka, beliau mengepung mereka secara ketat.
Saat itu hari Sabtu pada pertengahan Syawal 2 H. Pengepungan terus berlangsung selama 15 hari atau sampai muncul hilal bulan Dzulqa’dah (sekitar 28 hari). Allah memasukkan rasa takut ke dalam hati Orang-orang Yahudi itu. Begitulah jika Allah hendak menghinakan suatu kaum, yang diawali dengan memasukkan perasaan takut ke dalam hati mereka.
Akhirnya mereka menyerah kepada keputusan Rasulullah untuk berbuat apa pun terhadap diri, harta, para wanita, dan keluarga mereka. Beliau memerintahkan untuk membunuh semua kaum laki-laki dan pasukan kaum Muslimin siap melaksanakannya.
Tiba-tiba Abdullah bin Ubay bin Salul bangkit memerankan sifat kemunafikannya. Dia mendesak agar beliau memaafkan Orang-orang Yahudi tersebut dengan mengatakan, “Wahai Muhammad, berbuat baiklah kepada teman-temanku (Sebelumnya, Bani Qainuqa’ merupakan sekutu Khazraj).”
Rasulullah tidak menggubris ucapan Abdullah bin Ubay, sehingga ja pun mengulangi permohonannya. Beliau akhirnya menolaknya, tetapi Abdullah bin Ubay justru memasukkan tangannya ke saku besi beliau. Maka beliau bersabda kepadanya, “Lepaskan!” Beliau marah kepadanya hingga wajah beliau terlihat merah. Beliau bersabda lagi, “Celaka kamu, lepaskan!”
Tetapi, tokoh munafik ini tetap mendesak beliau sambil berkata, “Tidak demi Allah. Aku tidak akan melepaskanmu hingga engkau mau berbuat baik kepada teman-temanku. Mereka pernah menghalangiku untuk berperang melawan berbagai kaum dengan mengerahkan 400 orang tanpa mengenakan baju besi dan 300 orang yang mengenakan baju besi. Apakah justru engkau akan membantai mereka hanya dalam sesaat? Demi Allah, aku khawatir akan timbul bencana di kemudian hari.”
Akhirnya, Rasulullah mau memperhatikan apa yang dikatakan oleh orang munafik—yang memperlihatkan keislaman hanya sejak sebulan sebelumnya itu. Karena desakannya itu, beliau mau bermurah hati kepada mereka. Beliau memerintahkan agar Orang-orang Yahudi Bani Qainuqa’ pergi sejauh-jauhnya dan tidak boleh lagi hidup bertetangga. Akhirnya, mereka pergi ke perbatasan Syam. Tidak berapa lama mereka berada di sana, kebanyakan dari mereka mati.
Sementara itu, Rasulullah menahan harta benda mereka. Beliau mengambil tiga keping uang, dua baju besi, tiga pedang dan tombak, serta seperlima harta rampasan. Orang yang bertanggung jawab mengumpulkan semua harta rampasan perang ini adalah Muhammad bin Maslamah.’
Perang Sawiq
Shafwan bin Umayyah menjalin persekongkolan dengan Orang-orang Yahudi dan munafik. Abu Sufyan berpikir untuk melakukan suatu tindakan yang cukup berisiko, untuk menjaga kedudukan kaumnya dan menunjukkan kekuatan yang mereka miliki. Dia sendiri sudah bersumpah untuk tidak membasahi rambutnya dengan air sekalipun junub, hingga dia dapat menyerang Muhammad. Untuk itulah, ia bersama 200 orang pergi untuk melaksanakan sumpahnya itu, hingga dia tiba di suatu jalan terusan di sebuah gunung yang bernama Naib. Jaraknya dari Madinah kira-kira 12 mil. Namun, ia tidak berani masuk ke Madinah secara terang-terangan.
Layaknya seorang perampok, dia mengendap-endap masuk Madinah pada malam hari yang gelap dan mendatangi rumah Huyai bin Akhthab. Dia meminta izin untuk masuk rumah, namun Huyai menolaknya karena dia takut. Maka ia beranjak pergi dan mendatangi rumah Sallam bin Misykam, pemimpin Yahudi Bani Nadhir sekaligus orang yang menguasai seluruh kekayaan Bani Nadhir. Abu Sufyan meminta izin untuk masuk rumah, dan dia pun diizinkan. Namun, Abu Sufyan meminta agar kedatangannya ini dirahasiakan dari siapa pun.
Setelah dijamu dan disuguhi arak, pada akhir malam Abu Sufyan keluar rumah dan kembali lagi menemui rekan-rekannya. Dia mengutus beberapa orang pilihan di antara tentaranya agar pergi ke arah Madinah dan berhenti di Al-Uraidh. Di sana mereka membabati pohon dan membakar pagar-pagar kebun kurma. Mereka mendapatkan seorang Anshar dan rekannya di kebun itu, lalu mereka membunuh keduanya. Setelah itu mereka semua kembali lagi ke Mekkah.
Rasulullah, yang mendengar kabar pembunuhan tersebut segera mengejar Abu Sufyan dan rekan-rekannya. Namun, mereka mempercepat perjalanannya dengan meninggalkan tepung makanan yang mereka bawa sebagai bekal dan bahan-bahan makanan lainnya agar tidak terlalu memberati, sehingga tidak terkejar lagi. Beliau mengejar mereka sampai di Qarqaratul Kudr. Setelah itu, beliau kembali lagi ke Madinah.
Sementara itu, kaum Muslimin yang bergabung dengan beliau membawa sawiq (tepung gandum) yang ditinggalkan oleh Abu Sufyan dan pasukannya, sehingga peperangan ini disebut dengan Perang Sawiq. Perang ini terjadi pada bulan Dzulhijjah, dua bulan setelah Perang Badar. Urusan di Madinah beliau wakilkan kepada Lubabah bin Abdul Mundzir.
Perang Dzu Amr
Ini merupakan pasukan paling besar yang dipimpin oleh Rasulullah sebelum Perang Uhud. Peristiwa ini terjadi pada bulan Muharram 3 H.
Penyebabnya adalah mata-mata Madinah menyampaikan kabar kepada beliau bahwa sebagian besar Bani Tsa’labah dan Muharib berkumpul untuk menyerbu daerah-daerah di sekitar Madinah. Maka beliau segera mempersiapkan kaum Muslimin dan pergi bersama empat ratus lima puluh prajurit. Sebagian berjalan kaki dan sebagian lain naik hewan tunggangan. Sementara itu, Madinah diserahkan kepada Utsman bin Affan.
Ditengah perjalanan kaum Muslimin menangkap Jabbar, yang berasal dari Bani Tsa’labah. Dia dibawa ke hadapan beliau dan didakwahi agar masuk Islam. Dia pun berkenan masuk Islam dan disuruh mendampingi Bilal, sebagai penunjuk jalan bagi pasukan kaum Muslimin menuju daerah musuh.
Saat mendengar kedatangan pasukan kaum Muslimin, musuh berpencar ke puncak gunung. Nabi sendiri beserta pasukannya tiba di tempat berkumpulnya musuh sebelum melarikan diri, yaitu di sebuah mata air yang disebut Dzi Amar. Beliau menetap di sana sebulan penuh pada bulan Shafar 3 H, atau sekitar itu. Tujuannya agar bangsa Arab mengetahui kekuatan pasukan kaum Muslimin dan timbul rasa takut dan segan di hati mereka. Setelah itu beliau kembali lagi ke Madinah.
Ka’ab bin Al-Asyraf Tewas Ka’ab bin Al-Asyraf termasuk tokoh Yahudi yang sangat memendam perasaan dendam terhadap Islam dan kaum Muslimin. Secara terang-terangan dia memprovokasi orang untuk memerangi dan membunuh Rasulullah.
Dia berasal dari kabilah Thayyi’, dari Bani Nabhan. Ibunya berasal dari Bani Nadhir. Dia dikenal sebagai orang yang kaya raya dan suka berbuat baik kepada Orang-orang Arab. Selain itu ia dikenal sebagai salah seorang penyair dari kalangan Yahudi. Bentengnya berada di sebelah tenggara Madinah, tepatnya di bagian belakang dari perkampungan Bani Nadhir. Saat pertama kali mendengar kabar tentang kemenangan pasukan kaum Muslimin dan terbunuhnya beberapa pemuka Quraisy, dia selalu bertanya-tanya seolah-olah tidak percaya, “Benarkah ini? Padahal, mereka adalah para bangsawan Arab dan raja-raja manusia. Demi Allah, jika memang Muhammad dapat mengalahkan Orang-orang itu, tentunya perut bumi lebih baik daripada permukaannya (maksudnya lebih baik mati).”
Setelah dia yakin benar dengan kabar itu, musuh Allah ini pun bangkit mengolok-olok Rasulullah dan kaum Muslimin. Sebaliknya, ia menyanjung-nyanjung Quraisy dan membangkitkan semangat untuk menghadapi kaum Muslimin. Tidak berhenti sampai di sini saja, setelah itu dia pergi mendatangi Orang-orang Quraisy di Mekkah dan menetap di rumah Al-Mutholib bin Abu Wada’ah As-Sahmi. Di sana Dia Melantunkan syair-syair sambil menangis mengumbar air mata, menyebut Orang-orang yang menjadi korban dan dimasukkan ke dalam sumur Badar. Dia berharap dengan tindakannya ini dapat membangkitkan kembali kecemburuan mereka dan membakar kedengkian terhadap Nabi, yang pada akhirnya dia mengajak mereka untuk menyerang kaum Muslimin.
“Manakah yang lebih engkau sukai, agama kami ataukah agama Muhammad dan rekan-rekannya? Manakah dua golongan ini yang lebih lurus jalannya?” tanya Abu Sufyan dan Orang-orang musyrik kepada Ka’ab, selagi dia masih berada di Mekkah.
“Jalan kalianlah yang lebih lurus dan lebih utama,” jawab Ka’ab bin Al-Asyraf. Maka, Allah menurunkan ayat tentang kejadian ini:
Apakah kamu tidak memperhatikan Orang-orang yang diberi bagian dari Al-Kitab? Mereka percaya kepada jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada Orang-orang kafir (musyrik Mekkah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari Orang-orang yang beriman. (AnNisa’: 51).
Kemudian Ka’ab kembali lagi ke Madinah, sambil melantunkan syair baru yang menjelek-jelekkan istri-istri sahabat dengan ketajaman lidahnya.
Pada saat itu Rasulullah mengajukan pertanyaan kepada kaum Muslimin, “Siapakah yang berani menghadapi Ka’ab bin Al-Asyraf? Dia benar-benar telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya.” Maka ada beberapa sahabat yang maju ke depan, yaitu Muhammad bin Maslamah, Ubbad bin Bisyr, Abu Na’ilah atau Sulkan bin Salamah, saudara sesusuan Ka’ab, Al-Harits bin Aus, dan Abu Abbas bin Jabr. Kelompok ini dipimpin oleh Muhammad bin Maslamah.
Dalam beberapa riwayat tentang terbunuhnya Ka’ab bin Al-Asyraf ini disebutkan bahwa ketika Rasulullah bersabda, “Siapakah yang berani menghadapi Ka’ab bin Al-Asy’raf? Dia benar-benar telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya”, Muhammad bin Maslamah bangkit sembari berkata, “Saya, wahai Rasulullah. Apakah Anda suka jika saya membunuhnya?” “Benar.” jawab beliau. “Perkenankan saya untuk menyampaikan siasat,” pinta Muhammad bin Maslamah. Beliau bersabda, “Katakanlah.”
Inilah skenario Muhammad bin Maslamah untuk menjebak Ka’ab. Ia mendatangi Ka’ab bin Al-Asyraf sambil berkata, “Muhammad telah meminta sedekah kepada kami, namun dia juga telah banyak menolong kami,” katanya seolah-olah dia tidak suka terhadap Rasulullah.
Ka’ab berkata, “Kamu pasti akan merasa bosan menghadapinya.”
Muhammad bin Maslamah berkata, “Sesungguhnya kami telah mengikutinya. Kami tidak akan meninggalkannya sebelum tahu ke mana dia akan membawa urusannya. Untuk itu beri kami pinjaman beberapa gantang.”
“Kalau begitu serahkan jaminannya,” kata Ka’ab. “Apa yang engkau inginkan?” tanya Muhammad bin Maslamah.
“Wanita-wanita kalian,” jawab Ka’ab.
“Bagaimana mungkin kami menjaminkan wanita-wanita kami, sementara engkau adalah penduduk Arab yang paling tampan? “
“Kalau begitu anak-anak kalian,” kata Ka’ab.
“Bagaimana mungkin kami menjaminkan anak-anak kami? Bisa-bisa kami akan dicemooh.”
Maka dikatakan kepada Ka’ab, “Memang harus ada jaminan untuk pinjaman beberapa gantang. Ini merupakan aib bagi kami, tetapi kami akan menjaminkan senjata kami.”
Muhammad bin Maslamah berjanji akan mendatanginya lagi.
Abu Na’ilah juga berbuat yang sama dengan Muhammad bin Maslamah. la menemui Ka’ab sambil melantunkan syair-syairnya. Kemudian dia berkata, “Celaka wahai lbnul Asyraf. Sesungguhnya aku datang untuk suatu keperluan.”
Lalu dia menyebutkan keperluannya dan meminta agar pertemuannya itu dirahasiakan. “Aku akan menepatinya,” jawab Ka’ab bin Al-Asyraf.
Abu Na’ilah berkata, “Kedatangan orang ini (Rasulullah) akan menjadi bencana bagi kami karena bangsa Arab akan menyerang kami, melemparkan anak panah dari satu busur, memutus jalan kehidupan kami hingga keluarga pun terlantar, semua orang menjadi susah, serta kami dan keluarga kami menjadi sengsara.”
Setelah itu terjadilah dialog antara Abu Na‘ilah dan Ka’ab bin Al-Asyraf seperti yang dilakukan oleh Muhammad bin Maslamah. Abu Na’ilah mengatakan, “Aku juga mempunyai beberapa rekan lain yang sependapat denganku. Aku akan datang bersama mereka untuk menemuimu. Maka engkau harus bersikap baik kepada mereka.”
Sampai di sini Muhammad bin Maslamah dan Abu Na’ilah bisa berperan sesuai dengan skenario yang telah dirancang. Ka’ab tidak menolak keduanya membawa senjata dan rekan-rekan yang lain dalam pertemuan berikutnya.
Pada suatu malam yang terang oleh cahaya bulan, tepatnya pada 14 Rabi’ul Awwal 3 H, beberapa orang Muslim yang telah bersatu dalam kelompok tadi berkumpul di hadapan Rasulullah. Beliau mengantar mereka hingga di Baqi’ Al-Gharqad, lalu memberi arahan kepada mereka.
“Pergilah atas nama Allah. Ya Allah, tolonglah mereka!” Setelah itu, beliau kembali lagi ke rumah untuk shalat dan berdoa kepada Allah.
Rombongan kaum Muslimin itu berhenti di dekat benteng Ka’ab bin Al-Asyraf. Abu Na’ilah berbisik-bisik memanggil nama Ka’ab.
Ka’ab bangkit untuk turun dari benteng. Istrinya bertanya, “Ke manakah engkau akan pergi malam-malam begini? Aku mendengar suara seolah-olah meneteskan darah.” ‘Ka’ab menjawab, “Dia hanyalah saudaraku, Muhammad bin Maslamah dan saudara sesusuanku, Abu Na’ilah. Orang yang terhormat itu bila dipanggil untuk urusan bunuh-membunuh, pasti memenuhinya.”
Kemudian dia keluar dari benteng, menyebarkan aroma yang harum dan rambutnya disisir rapi. Sementara itu, Abu Na’ilah berkata kepada rekan-rekannya, “Apabila dia sudah tiba, aku akan memeluk kepalanya dan menciumnya. Jika kalian melihatku sudah bisa memegang kepalanya, maka tikamlah dia dari belakang.
Setelah Ka’ab bin Al-Asyraf tiba, mereka mengobrol sejenak. Abu Na’ilah berkata, “Wahai Ibnul Asyraf, maukah engkau jalan-jalan bersama kami ke celah bukit, lalu kita bisa mengobrol di sana menghabiskan sisa malam ini?”
“Baiklah bila itu yang kalian kehendaki,” jawab Ka’ab bin Al-Asyraf tanpa curiga.
Mereka pun pergi berjalan-jalan. “Aku tidak pernah merasakan yang lebih bagus dan harum daripada malam ini,” kata Abu Na’ilah sambil jalan-jalan.
Ka’ab terpedaya dengan apa yang didengarnya. Dia berkata, “Aku juga mempunyai seorang wanita Arab yang paling harum baunya.”
“Kalau begitu bolehkah aku mencium aroma rambutmu?” tanya Abu Na’ilah. “Boleh saja,” jawab Ka’ab.
Abu Na’ilah mencium rambut Ka’ab, lalu memberi isyarat kepada rekan-rekannya. Setelah mereka berjalan beberapa saat, Abu Na’ilah bertanya lagi, “Bolehkah aku mencium rambutmu lagi?”
“Boleh,” jawab Ka’ab.
Suasana yang akrab ini rupanya telah membuat Ka’ab merasa senang hati.
Setelah berjalan beberapa saat, Abu Na’ilah meminta izin untuk mencium rambutnya lagi. Maka untuk ketiga kalinya dia menyusupkan tangannya ke rambut Ka’ab. Saat pegangannya sudah kuat, dia pun berteriak, “Diamlah, wahai musuh Allah.”
Pedang rekan-rekan Abu Na’ilah berseliweran ke arah tubuh Ka’ab, namun tak ada yang mengena. Maka Muhammad bin Maslamah segera memungut belatinya dan menusukkan ke punggung Ka’ab hingga tembus ke perut bagian bawah, lalu Ka’ab meninggal setelah berteriak dengan Suara yang sangat keras hingga membuat Orang-orang yang berada di dalam benteng terbangun. Bahkan, karena teriakannya yang keras itu, mereka menyalakan pelita.
Sekelompok kaum Muslimin yang telah berhasil membunuh Ka’ab ini pun pulang. Namun, Al-Harits bin Aus terluka di kepala atau kakinya karena terkena sabetan sebagian pedang rekan-rekannya dan banyak mengeluarkan darah. Mereka terus berjalan hingga tiba di Harrarul Uraidh. Karena kondisi Al-Harits semakin melemah akibat banyaknya darah yang keluar dari lukanya, dan jalannya yang selalu tertinggal dari rekan-rekannya, maka mereka membopongnya. Setiba di Baqi’ al-Gharqad, mereka bertakbir dengan suara yang keras, hingga didengar Rasulullah. Suara takbir itu membuat beliau tahu bahwa mereka telah berhasil melaksanakan tugas. Lalu beliau ikut mengucapkan takbir.
Setelah mereka tiba di hadapan beliau, beliau bersabda, “Wajah-wajah yang beruntung.”
“Begitu pula wajah engkau wahai Rasulullah,” kata mereka sambil melemparkan kepala Ka’ab di hadapan beliau. Maka beliau memuji Allah atas terbunuhnya Ka’ab. Setelah itu beliau meludahi luka Al-Harits dan seketika itu pula luka tersebut sembuh, hingga tidak ada luka yang tersiksa.!°
Setelah Orang-orang Yahudi mengetahui bahwa pemimpin mereka, Ka’ab bin Al-Asyraf terbunuh, mereka dicekam perasaan takut. Kini mereka tahu bahwa Rasulullah 4 tidak sungkan-sungkan menggunakan kekuatan terhadap Orang-orang yang tidak memedulikan nasihatnya, ingin mengganggu stabilitas keamanan, menimbulkan keresahan, dan tidak menghormati perjanjian. Mereka tidak berani bertindak apa-apa atas kematian pemimpinnya. Mereka hanya diam dan menampakkan keinginan untuk memenuhi isi perjanjian. Ular-ular pun masuk ke dalam lubangnya dan bersembunyi di sana.
Begitulah tindakan Rasulullah dalam meredam bahaya yang akan mengancam di luar Madinah. Dengan demikian, kaum Muslimin juga bisa sedikit bernapas lega karena surutnya gangguan dari internal Madinah yang selama itu selalu menghantui mereka.
Perang Buhran
Ini adalah mobilisasi pasukan yang besar. Jumlahnya mencapai tiga ratus prajurit. yang dipimpin langsung oleh Rasulullah pada bulan Rabi’ul Akhir 3 H. Mereka berjalan ke suatu daerah yang disebut Buhran di Hijaz. Beliau menerap di sana hingga akhir bulan Rabi’ul Akhir dan awal Jumadil Ula. Namun, tidak terjadi apa-apa, lalu beliau pun kembali ke Madinah.”
Satuan Perang Zaid bin Haritsah
Ini merupakan ekspedisi terakhir sekaligus yang berperan paling sukses dalam peperangan yang dilakukan oleh kaum Muslimin sebelum Perang Uhud. Perang ini terjadi pada bulan Jumadil Akhir 3 H. Rinciannya bahwa Orang-orang Quraisy senantiasa dibayangi keresahan dan kegalauan pasca Perang Badar. Musim panas pun tiba yang berarti bahwa musim pemberangkatan kafilah dagang ke Syam pun semakin dekat. Hal ini semakin menambah kegelisahan kaum musyrikin Mekkah.
Shafwan bin Umayyah—yang ditunjuk sebagai pemimpin kafilah dagang Quraisy ke Syam—berkata kepada Orang-orang Quraisy, “Muhammad dan rekan-rekannya pasti akan menghadang kafilah dagang kita. Kita juga tidak tahu apa yang bisa kita lakukan untuk menghadapi rekan-rekannya yang tidak akan membiarkan jalur pantai. Sementara penduduk pantai secara keseluruhan sudah terikat perjanjian dengan Muhammad. Kita tidak tahu jalur mana lagi yang bisa lewati. Bila kita hanya diam saja di sini, itu berarti modal perniagaan akan kita gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Semua harta kekayaan kita akan ludes dan tamatlah riwayat kita. Kehidupan kita di Mekkah ini bergantung kepada perniagaan ke Syam pada musim panas dan ke Habasyah pada musim dingin.”
Kaum Quraisy saling tukar pendapat tentang masalah tersebut. Maka Al-Aswad bin Abdul Mutholib berkata kepada Shafwan, “Tinggalkan jalur pantai dan ambillah jalur Irak.”
Jalur Irak merupakan jalur yang sangat panjang dan jarang dilewati untuk menuju ke Syam, dengan melewati bagian timur Madinah. AlAswad menyarankan agar Shafwan mengangkat Furat bin Hayyan dari Bani Bakar bin Wa’il sebagai penunjuk jalan bagi kafilah tersebut.
Akhirnya, dengan mengambil jalur inilah kafilah dagang Quraisy berangkat menuju Syam. Ternyata kabar tentang keberangkatan kafilah dagang Quraisy tersebut terdengar sampai ke Madinah. Ceritanya bermula dari Sulaith bin An-Nu’man yang telah masuk Islam dan masih berada di Mekkah. Dia ikut-ikutan minum khamar bersama Nu’aim bin Mas’ud Al-Asyja’i yang belum masuk Islam, dan saat itu khamar memang belum diharamkan. Karena pengaruh khamar, Nu’aim menceritakan secara rinci tentang kafilah dagang Quraisy yang mengambil jalur baru. Sulaith yang mendengarnya segera pergi menemui Nabi dan menceritakannya.
Seketika itu juga, beliau mempersiapkan pasukan yang terdiri dari 100 prajurit berkendara, yang dipimpin Zaid bin Haritsah. Zaid mempercepat perjalanan agar dapat menghadang kafilah secara tiba-tiba. Zaid bersama satuan pasukannya menetap di Qardah dan dapat menguasai kafilah dagang Quraisy. Shafwan sama sekali tidak mampu mempertahankan kafilah dagangnya. Tidak ada pilihan lain baginya beserta rombongannya, kecuali melarikan diri tanpa mampu melakukan perlawanan apa pun. Bahkan, pemandunya—Furat bin Hayyan—tertawan dalam kejadian ini. Ada yang berpendapat bahwa masih ada dua orang yang ikut tertawan bersamanya.
Kaum Muslimin berhasil membawa harta rampasan yang jumlahnya sangat banyak, terdiri dari pundi-pundi emas dan perak, yang nilainya mencapai seratus ribu. Rasulullah membagi harta rampasan itu kepada setiap orang dari satuan perang, setelah mengambil seperlimanya. Kemudian Furat bin Hayyan masuk Islam di hadapan beliau.
Tentu saja kejadian ini merupakan bencana besar yang menimpa Quraisy setelah Perang Badar. Mereka semakin resah, galau, dan sedih. Hanya ada dua pilihan bagi mereka: membuang jauh-jauh keangkuhan dan kesombongan mereka, lalu berdamai dengan kaum Muslimin; atau berperang habis-habisan untuk mengembalikan kejayaan mereka pada masa lalu dan melibas kekuatan kaum Muslimin, agar mereka tidak memiliki kekuasaan lagi. Akhirnya Quraisy mengambil pilihan kedua dan bertekad untuk menuntut balas. Untuk melaksanakan pilihan ini, mereka melakukan persiapan pertempuran menghadapi kaum Muslimin. Inilah yang mengawali peperangan Uhud.
Persiapan Quraisy untuk Perang Pembalasan
Mekkah terbakar oleh api kemarahan terhadap Orang-orang Muslim atas kekalahan mereka di Perang Badar dan terbunuhnya sekian banyak pemimpin dan bangsawan mereka saat itu. Hati mereka membara dibakar keinginan untuk menuntut balas. Bahkan, karenanya Quraisy melarang semua penduduk Mekkah meratapi para korban di Badar dan tidak perlu terburu-buru menebus para tawanan. Hal ini bertujuan agar Orang-orang Muslim tidak merasa di atas angin karena mengetahui kegundahan dan kesedihan hati mereka.
Setelah Perang Badar, semua orang Quraisy sepakat untuk melancarkan serangan habis-habisan terhadap kaum Muslimin agar kemarahan mereka bisa terobati dan dendam kesumat mereka bisa terbalaskan. Mereka menggelar persiapan untuk terjun ke kancah peperangan serupa.
Di antara pemimpin Quraisy yang paling antusias mengadakan persiapan perang adalah Ikrimah bin Abu Jahal, Shafwan bin Umayyah, Abu Sufyan bin Harb, dan Abdullah bin Abu Rabi’ah. Tindakan pertama yang mereka lakukan dalam kesempatan ini ialah mengumpulkan kembali barang dagangan yang telah diselamatkan oleh Abu Sufyan dan yang menjadi sebab pecahnya Perang Badar. Mereka juga menghimbau kepada Orang-orang yang banyak hartanya, “Wahai Orang-orang Quraisy, Muhammad telah membuat kalian ketakutan dan membunuh Orang-orang yang terbaik di antara kalian. Karena itu, tolonglah kami dengan harta kalian untuk memeranginya. Siapa tahu kita bisa menuntut balas.”
Mereka memenuhi himbauan ini, hingga terkumpul 1.000 unta dan 1.500 dinar. Berkaitan dengan hal ini, Allah menurunkan ayat:
Sesungguhnya Orang-orang kafir menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. (Al-Anfal: 36)
Mereka membuka pintu dukungan bagi siapa saja yang hendak berperang dalam memerangi kaum Muslimin, baik yang berasal dari keturunan Habasyah, Kinanah, maupun Tihamah. Mereka menggunakan segala cara untuk membangkitkan semangat Orang-orang. Bahkan, Shafwan bin Umayyah membujuk Abu Azzah, seorang penyair yang tertawan pada waktu Perang Badar, namun kemudian dibebaskan
Rasulullah tanpa tebusan apa pun, dengan syarat dia tidak boleh memerangi beliau lagi dalam bentuk apa pun.
Shafwan membujuknya agar menggugah semangat berbagai kabilah untuk memerangi kaum Muslimin. Dia berjanji, jika Abu Azzah kembali dari perang dalam keadaan selamat, dia akan memberinya harta yang melimpah. Jika tidak, anak-anaknya akan mendapat perlindungan. Maka Abu Azzah bangkit membakar semangat berbagai kabilah dengan syair-syairnya.
Mereka juga menggunakan penyair lain untuk tugas ini, yaitu Musafi’ bin Abdu Manaf Al-Jumahi. Abu Sufyan adalah orang yang paling bersemangat melakukan persiapan menghadapi kaum Muslimin, setelah dia kembali dari Perang Sawiq dengan tangan hampa, dan bahkan dia kehilangan harta yang cukup banyak saat itu. Api dendam semakin membara setelah yang terakhir kali Orang-orang Quraisy kehilangan barang dagangannya di tangan satuan pasukan kaum Muslimin yang dipimpin oleh Zaid bin Haritsah, bahkan mengancam ekonomi mereka. Kesedihan dan kegalauan yang bertumpuk-tumpuk ini semakin mendorong mereka untuk cepat-cepat mengadakan persiapan perang melawan kaum Muslimin.
Kekuatan Pasukan Quraisy
Setelah genap setahun, persiapan mereka benar-benar sudah matang. Tidak kurang dari tiga ribu prajurit Quraisy bersatu dengan sekutu-sekutu mereka dan kabilah-kabilah kecil. Para pemimpin Quraisy berpikir untuk membawa serta para wanita. Karena hal ini dianggap bisa memompa semangat mereka. Adapun jumlah wanita yang diikutsertakan ada lima belas orang.
Hewan pengangkut dalam pasukan Mekkah ini sejumlah tiga ribu unta. Penunggang kudanya sebanyak dua ratus, yang disebar di sepanjang jalan yang dilaluinya. Pasukan yang dilengkapi dengan baju besi adalah tujuh ratus orang. Komando tertinggi dipegang oleh Abu Sufyan bin Harits, komandan pasukan penunggang kuda dipimpin oleh Khalid bin Al-Walid, dengan Ikrimah bin Abu Jahal sebagai asistennya. Bendera perang sendiri diserahkan kepada Bani Abdud Dar.
Pasukan Mekkah Mulai Bergerak
Setelah persiapan dirasa cukup, pasukan Mekkah bergerak menuju Madinah Hati mereka bergolak karena dendam kesumat dan kebencian yang ditahan sekian lama, siap diledakkan.
Mata-mata Nabi Mengintai Gerak-Gerik Musuh
Al-Abbas bin Abdul Mutholib yang masih menetap di Mekkah terus memata-matai setiap gerak-gerik orang Quraisy dan persiapan militer mereka. Setelah pasukan berangkat, Al-Abbas mengirim surat kilat kepada Nabi yang berisi kabar secara rinci tentang pasukan Quraisy.
Utusan Al-Abbas segera pergi untuk menyampaikan surat tersebut dan mampu menempuh perjalanan Mekkah dan Madinah hanya dalam waktu tiga hari. Dia menyerahkan surat itu ketika Rasulullah, saat beliau sedang berada di Masjid Quba’. Beliau menyuruh Ubay bin Ka’ab untuk membacakan surat itu dan memerintahkan agar dirahasiakan. Sejurus kemudian, beliau kembali ke Madinah, lalu memusyawarahkan permasalahannya dengan para pemuka Muhajirin dan Anshar.
Persiapan Kaum Muslimin Menghadapi Kondisi Darurat
Madinah dalam keadaan siaga satu. Tak seorang pun lepas dari senjatanya. Sekalipun sedang shalat, mereka tetap dalam keadaan siaga untuk menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi. Sejumlah orang Anshar, seperti Saad bin Muadz, Usaid bin Hudhair, dan Saad bin Ubadah senantiasa menjaga Rasulullah . Mereka selalu berada di dekat pintu rumah beliau.
Setiap pintu gerbang Madinah pasti dijaga oleh sejumlah orang karena dikhawatirkan musuh akan menyerang secara mendadak. Sejumlah orang muslim lainnya bertugas memata-matai setiap gerakan musuh. Mereka berkeliling di setiap jalur yang bisa dilalui Orang-orang musyrik untuk menyerang kaum Muslimin.
Pasukan Mekkah Tiba di Sekitar Madinah
Pasukan Mekkah meneruskan perjalanan dengan mengambil jalur utama ke arah barat menuju Madinah. Ketika mereka tiba di Abwa’, Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan mengusulkan untuk menggali kuburan bagi Rasulullah. Namun, para komandan pasukan Quraisy menolak usulan tersebut. Kali ini, mereka sangat hati-hati terhadap akibat yang harus dihadapi bila mereka berbuat seperti itu.
Pasukan melanjutkan perjalanan hingga mendekati Madinah. Mereka melewati Wadi Al-Aqiq, lalu membelok ke arah kanan hingga tiba di dekat bukit Uhud, tepatnya di lokasi yang disebut Ainain, di sebelah utara Madinah. Pasukan Quraisy mengambil tempat di sana pada Jumat, 6 Syawal 3 H. ‘
Majelis Permusyawaratan untuk Menetapkan Strategi Defensif
Kabar tentang pasukan Mekkah terus-menerus disampaikan oleh mata-mata, termasuk kabar terakhir tentang tempat yang diambil pasukan Mekkah. Saat itu Rasulullah sedang menggelar Majelis Permusyawaratan Militer, untuk menampung berbagai pendapat dan menetapkan sikap. Dalam kesempatan itu beliau juga menceritakan mimpi yang dialaminya. Beliau bersabda, “Demi Allah, aku telah bermimpi yang bagus. Dalam mimpi itu kulihat beberapa ekor lembu yang disembelih. Aku melihat di mata pedangku ada yang rompal dan aku memasukkan tanganku ke dalam baju besi yang kukuh.”
Beberapa ekor sapi itu ditafsirkan dengan beberapa orang sahabat yang gugur syahid, mata pedang beliau yang rompal ditafsirkan dengan anggota keluarga beliau yang tertimpa musibah, dan baju besi ditafsirkan dengan Madinah. Dengan mimpinya itu beliau mengusulkan kepada para sahabat agar tidak perlu keluar dari Madinah, tetapi cukup bertahan di Madinah saja. Jika Orang-orang musyrik ingin tetap bertahan di luar Madinah tanpa mau melakukan serangan, biarlah mereka berbuat begitu dan keadaan ini dibiarkan menggantung tanpa kejelasan. Jika mereka masuk ke Madinah, maka kaum Muslimin akan menyerbu mereka di mulut-mulut gang dan para wanita melancarkan serangan dari atap-atap rumah. Inilah pendapat yang disampaikan.
Abdullah bin Ubay—yang saat itu dia juga ikut hadir dalam Majelis Permusyawaratan sebagai wakil dari para pemuka Khazraj—sangat menyetujui pendapat ini. Dia menyetujui pendapat ini bukan karena faktor strategi perang, tetapi agar memungkinkan baginya untuk menjauhi peperangan tanpa mencolok pandangan orang dan dia bisa menyelinap tanpa diketahui seorang pun. Namun, Allah berkeinginan melecehkan dirinya dan rekan-rekannya di hadapan kaum Muslimin untuk pertama kalinya, dan menyingkap kekafiran dan kemunafikan yang tersembunyi di balik tabir. Dengan demikian, dalam kondisi yang sangat rawan itu kaum Muslimin bisa mengetahui ular-ular berbisa yang menyelinap di balik pakaian dan kerah baju mereka.
Namun, sejumlah sahabat yang tidak ikut serta dalam Perang Badar sebelumnya mengusulkan kepada Nabi agar keluar dari Madinah. Bahkan, mereka bersikukuh dengan usulan ini. Salah seorang di antara mereka berkata, “Wahai Rasulullah, sejak dahulu kami sudah mengharapkan kedatangan hari seperti ini dan kami selalu berdoa kepada Allah. Dia sudah menuntun kami dan tempat yang dituju sudah dekat. Keluarlah untuk menghadapi musuh-musuh kita, agar mereka tidak menganggap kita takut kepada mereka.”
Salah satu tokoh terdepan di antara Orang-orang yang sangat antusias untuk keluar tersebut adalah Hamzah bin Abdul Mutholib, paman Rasulullah, yang pada Perang Badar hanya menggantungkan pedangnya. Ia berkata kepada beliau, “Demi yang menurunkan AI-Kitab kepadamu. Aku tidak akan memakan makanan apa pun sebelum membabat mereka dengan pedangku ini di luar Madinah.”!
Akhirnya, Rasulullah mengabaikan pendapat beliau sendiri karena mengikuti pendapat mayoritas. Beliau pun memutuskan untuk keluar dari Madinah dan bertempur di medan terbuka.
Pembagian Pasukan dan Keberangkatan ke Medan Perang Nabi mendirikan shalat Jumat bersama kaum Muslimin. Beliau menyampaikan nasihat dan perintah kepada mereka dengan penuh semangat, mengabarkan bahwa kemenangan pasti di tangan mereka, sabar, serta memerintahkan untuk bersiap-siap menghadapi musuh. Apa yang disampaikan beliau ini disambut gembira oleh semua orang.
Orang-orang menunggu-nunggu Nabi yang belum keluar dari dalam rumah. Saad bin Muadz dan Usaid bin Hudhair berkata kepada mereka, “Kalian telah memaksa Rasulullah untuk keluar.” Karena itu, mereka ingin mengembalikan urusan tersebut kepada keputusan beliau. Mereka semua menyesal karena telah memaksa Nabi. Setelah beliau keluar rumah, mereka berkata, “Wahai Rasulullah, kami tidak bermaksud menentang Anda. Berbuatlah menurut kehendak Anda. Bila Anda lebih suka untuk menetap di Madinah, lakukanlah itu.” Beliau menjawab, “Tidak pantas bagi seorang nabi apabila sudah mengenakan baju besinya untuk meletakkannya kembali, hingga Allah membuat keputusan antara dirinya dan musuhnya.”?
Beliau membagi pasukannya menjadi tiga kelompok:
- Kelompok Muhajirin, benderanya diserahkan kepada Mush’ab bin Umair Al-Abdari.
- Kelompok Aus, benderanya diserahkan kepada Usaid bin Hudhair.
- Kelompok Khazraj, benderanya diserahkan kepada Al-Hubab bin Al-Mundzir Al-Jamuh.?
Pasukan ini terdiri dari seribu prajurit; seratus prajurit di antara mereka mengenakan baju besi dan lima puluh orang mengendarai kuda. Ada yang berpendapat, kali ini tak seorang pun yang menunggang kuda.
Madinah diserahkan kepada Ibnu Ummi Makhtum, terutama untuk mengimami shalat bersama Orang-orang yang masih berada di Madinah. Namun, kemudian dia juga diperbolehkan untuk ikut serta. Pasukan bergerak ke arah utara. Saad bin Muadz dan Saad bin Ubadah berjalan di hadapan Rasulullah sambil mengenakan baju besi.‘
Setelah melewati Tsaniyyatul Wada’, di kejauhan terlihat ada satu satuan pasukan lengkap dengan persenjataannya. Ketika ditanyakan dari kelompok manakah mereka itu? Dikabarkan bahwa mereka adalah Orang-orang Yahudi yang menjadi sekutu Khazraj. Mereka ingin ikut serta dalam peperangan melawan Orang-orang musyrik. Beliau bertanya, “Apakah mereka sudah masuk Islam?” Setelah diketahui ternyata mereka belum masuk Islam, beliau menolak untuk meminta bantuan kepada Orang-orang kafir untuk memerangi Orang-orang musyrik.
Inspeksi Pasukan
Ketika Rasulullah sampai di suatu tempat yang disebut Asy-Syaikhani, beliau menginspeksi pasukan dan menolak keikutsertaan prajurit yang usianya terlalu muda dan dianggap belum mampu terjun ke medan perang. Anak-anak yang ditolak ini adalah Abdullah bin Umar bin Al Khattab, Usamah bin Zaid, Usaid bin Hudhair, Zaid bin Tsabit, Zaid bin Arqam, Amr bin Hazm, Abu Sa’id Al-Khudri, dan Saad bin Habbah.
Ada yang menyebutkan bahwa Al-Barra’ bin Azib juga masuk dalam barisan nama tersebut. Tetapi, Al-Bukhari menyebutkan bahwa dia mati syahid dalam Perang Uhud ini, sedangkan Rafi’ bin Khudaij dan Samurah bin Jundab diperbolehkan bergabung sekalipun usia mereka masih terlalu muda. Rafi’ bin Khudaij diperbolehkan karena dia diketahui jago memanah.
Setelah tahu Rafi’ diperbolehkan, Samurah protes dengan berkata, “Aku lebih kuat daripada Rafi’, karena aku pernah mengalahkannya.” Ketika hal ini disampaikan kepada Rasulullah, beliau memerintahkan agar keduanya bergelut di hadapan beliau, dan ternyata Samurah dapat mengalahkan Rafi’. Maka dia pun diperbolehkan untuk bergabung. Bermalam di Tempat antara Uhud dan Madinah Pasukan sampai di tempat ini pada petang, maka beliau shalat Magrib kemudian shalat Isya’. Beliau bermalam di tempat ini. Beliau memilih lima puluh orang untuk berjaga dan berkeliling di sekitar pasukan. Beliau juga menunjuk Dzakran bin Abdu Qais sebagai penjaga beliau secara khusus.
Abdullah bin Ubay dan Komplotannya Membelot
Sesaat sebelum fajar menyingsing, tepatnya ketika shalat Subuh hampir dilaksanakan, sementara musuh sudah dapat dilihat dan musuh pun dapat melihat mereka, tiba-tiba Abdullah bin Ubay membelot. Tidak kurang dari sepertiga anggota pasukan yang menarik diri. Mereka berkata, “Kita tidak tahu atas dasar apa kita memerangi diri kita sendiri.” Abdullah bin Ubay membelot dengan alasan bahwa Nabi mengabaikan pendapatnya dan lebih suka mendengarkan pendapat orang lain.
Tidak diragukan bahwa penyebab pembelotan ini bukan seperti yang diungkapkan oleh tokoh Orang-orang munafik ini, yakni karena beliau mengabaikan pendapatnya. Kalau memang demikian, untuk apa dia ikut pergi bersama pasukan Nabi hingga ke tempat itu? Kalau pun itu sebabnya, dia pasti menolak sejak akan berangkat.
Sebenarnya, tujuan utamanya adalah ingin menimbulkan keguncangan dan keresahan di tengah pasukan kaum Muslimin, setelah mendengar dan melihat pasukan musuh. Dengan demikian, banyak orang yang mundur dari pasukan Nabi dan sisanya yang masih bergabung bersama beliau mengalami penurunan mentalnya. Di sisi lain keberanian musuh bisa semakin meningkat dan semangatnya semakin membara karena melihat kenyataan ini. Cara ini bisa mempercepat kehancuran Nabi dan para sahabat. Setelah itu kejayaan dan kepemimpinan di Madinah bisa berada di tangan orang munafik ini.
Abdullah bin Ubay hampir saja berhasil mewujudkan rencananya. Dua golongan yang bergabung dalam pasukan kaum Muslimin, Bani Haritsah dari Aus dan Bani Salimah dari Khazraj hampir saja kehilangan semangat. Tetapi, Allah cepat menguasai dua golongan ini, sehingga mereka menjadi tegar kembali. Padahal, sebelum itu dua golongan ini sudah hilang semangatnya dan hampir saja mengundurkan diri. Allah berfirman tentang dua golongan ini:
Ketika dua golongan dari padamu ingin (mundur) karena takut, padahal Allah adalah penolong bagi kedua golongan itu. Karena itu, hendaklah kepada Allah saja Orang-orang mukmin bertawakal. (Ali ‘Imran: 122)
Saat itu Abdullah bin Haram, ayah Jabir bin Abdullah, berupaya mengingatkan Orang-orang munafik tersebut tentang apa yang seharusnya mereka kerjakan dalam situasi kritis seperti ini. Dia mengejar mereka (yang telah bertolak menuju Madinah). Ia menunjukkan tindakan mereka yang buruk dan meminta agar mereka kembali bergabung dengan pasukan kaum Muslimin.
Dia berkata, “Marilah berperang di jalan Allah, atau tak ada salahnya bila kalian bertahan saja.”
Mereka menjawab, “Andai saja sebelumnya kami mengetahui bahwa kalian hendak berperang, (tentu kami tidak berangkat sejak awal). Kami tidak akan bergabung!”
Akhirnya Abdullah bin Haram kembali ke pasukan kaum Muslimin sambil berkata, “Semoga Allah menjauhkan kalian, wahai musuh-musuh Allah, sehingga Allah membuat Nabi-Nya tidak membutuhkan kehadiran diri kalian.”
Sehubungan dengan sikap Orang-orang munafik ini, Allah berfirman:
Dan untuk menguji Orang-orang yang munafik, kepada mereka dikatakan, “Marilah berperang di jalan Allah atau pertahankanlah (dirimu).” Mereka berkata, “Sekiranya kami mengetahui (bagaimana cara) berperang, tentulah kami mengikuti kamu”, Pada hari itu mereka lebih dekat kepada kekafiran daripada keimanan. Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak sesuai dengan isi hatinya. Dan Allah lebih mengetahui dalam hatinya. Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan. (Ali ‘Imran: 167)
Sisa Pasukan Islam Pergi ke Uhud
Setelah terjadi pengunduran diri dari kelompok Abdullah bin Ubay, Nabi bersama sisa pasukan yang terdiri dari 700 prajurit melanjutkan perjalanan hingga mendekati musuh. Pasukan musyrikin mengambil tempat yang menghalangi pasukan kaum Muslimin dengan bukit Uhud. Beliau bertanya, “Siapakah yang bisa menunjukkan jalan yang lebih dekat tanpa harus melewati musuh?” Abu Khaitsamah menjawab, “Saya, wahai Rasulullah.” Lalu dia menunjukkan jalan yang lebih dekat ke Uhud, melewati tanah dan perkebunan milik Bani Haritsah.
Pasukan berjalan ke arah barat meninggalkan pasukan kaum musyrikin. Mereka berjalan melalui jalur ini dengan melewati kebun milik Mirba’ bin Qaizi, seorang munafik yang buta. Ketika dia merasa bahwa pasukan kaum Muslimin sedang lewat, dia menaburkan debu ke wajah kaum Muslimin sembari berkata, “Aku tidak memperkenankan kamu masuk ke dalam kebunku, jika memang engkau benar-benar Rasul Allah.” Kaum Muslimin langsung mengerubunginya, dengan maksud unruk membunuhnya. Namun, beliau bersabda, “Kalian jangan membunuhnya, Ini adalah orang yang buta hatinya, buta pula matanya.”
Rasulullah meneruskan perjalanan hingga tiba di kaki bukit Uhud, Pasukan kaum Muslimin mengambil tempat dengan posisi menghadap ke arah Madinah dan membelakangi Uhud. Dengan posisi ini, pasukan musuh berada di tengah antara mereka dan Madinah.
Strategi Perang Defensif
Di tempat tersebut, Rasulullah membagi tugas pasukan dan membariskan mereka sebagai persiapan untuk menghadapi pertempuran. Beliau menunjuk satu detasemen yang terdiri dan para pemanah ulung, Komandan detasemen ini diserahkan kepada Abdullah bin Jubair bin An-Nu’man Al-Anshari Al-Ausi. Beliau memerintahkan agar mereka menempati posisi di atas bukit, sebelah selatan Wadi Qanat. Tempat ini kemudian dikenal dengan nama Jabal Rumat. Posisi tepatnya kira-kira 150 meter dari posisi pasukan kaum Muslimin.
Tujuan penempatan detasemen ini tercermin dari penjelasan yang disampaikan oleh Rasulullah kepada para pemanah. Beliau bersabda kepada pemimpin mereka, “Lindungilah kami dengan anak panah, agar musuh tidak menyerang kami dari arah belakang. Tetaplah di tempatmu, baik kita menang maupun terdesak, agar kita tidak diserang dari arahmu.”
Beliau juga bersabda kepada para pemanah itu, “Lindungilah punggung kami. Jika kalian melihat kami sedang bertempur, kalian tidak perlu membantu kami. Jika kalian melihat kami telah mengumpulkan harta rampasan, janganlah kalian turun bergabung bersama kami.”
Dalam riwayat Al-Bukhari disebutkan bahwa beliau bersabda, “Jika kalian melihat kami disambar burung sekalipun, janganlah kalian meninggalkan tempatmu, kecuali bila ada utusan yang datang kepada kalian. Jika kalian melihat kami dapat mengalahkan mereka, janganlah kalian meninggalkan tempat, hingga ada utusan yang datang kepada kalian.”’
Dengan ditempatkannya detasemen di atas bukit dengan disertai perintah-perintah militer yang keras ini, beliau sudah bisa menyumbat satu celah yang memungkinkan bagi kavaleri Quraisy untuk menyusup ke barisan kaum Muslimin dari arah belakang dan mengacaukannya.
Pasukan kaum Muslimin di sayap kanan dikomandani oleh Al-Mundzir bin Amr, di sayap kiri dikomandani oleh Az-Zubair bin Al-Awwam, dan masih didukung oleh satuan pasukan yang dikomandani oleh Al-Miqdad bin Al-Aswad. Az-Zubair bertugas menghadang laju pasukan penunggang kuda Quraisy yang dipimpin Khalid bin Al-Walid.
Di barisan terdepan ada sejumlah orang yang pemberani, tokoh-tokoh yang dikenal gagah perkasa dan hebat sepak terjangnya. Kemampuan mereka bisa disamakan dengan beribu-ribu orang. Pengaturan tersebut merupakan strategi yang sangat bijaksana dan sekaligus amat detail, yang menggambarkan kecerdikan Rasulullah sebagai seorang komandan perang. Tidak ada seorang komandan perang pun yang memiliki kecerdikan dalam menetapkan strategi yang sangat jitu itu, seperti apa pun kehebatannya.
Beliau memilih tempat yang sangat strategis, padahal kedatangan beliau di sana didahului pasukan musuh. Punggung dan sayap kanan pasukan terlindung oleh ketinggian bukit, sedangkan sayap kiri pasukan terlindungi oleh satu-satunya tebing yang ada di lokasi tersebut. Beliau memilihkan tempat yang relatif lebih tinggi bagi pasukannya. Jika terdesak, anggota pasukannya tidak mudah menyerah lalu melarikan diri, yang justru membuka peluang bagi musuh untuk menghabisi dan menawan mereka.
Jika mereka terus bertahan, musuh justru bisa mengalami kerugian yang besar, apalagi jika musuh berusaha untuk terus mendesak maju. Kemudian, musuh tidak mempunyai pilihan lain untuk menyerang mereka dari sisi lain. Sebaliknya, jika kemenangan berpihak kepada pasukan Muslim, musuh tidak dapat menghindar dari kejaran mereka. Di samping itu, beliau telah menunjuk beberapa orang di barisan terdepan, yang terdiri dari Orang-orang yang gagah perkasa dan pemberani. Begitulah Nabi mengatur pasukannya pada hari Sabtu pagi 7 Syawal 3 H.
Rasulullah Meniupkan Semangat Patriotisme kepada Prajurit
Rasulullah melarang semua pasukan untuk melancarkan serangan, kecuali atas perintah beliau. Dalam peperangan ini beliau mengenakan dua lapis baju besi. Beliau menganjurkan untuk berperang, meningkatkan kesabaran dan ketegaran selama peperangan, membangkitkan keberanian dan patriotisme di tengah-tengah sahabat.
Sambil menghunus pedang yang tajam, beliau bersabda, “Siapakah yang ingin mengambil pedang ini beserta haknya?”
Secara serentak, beberapa orang maju ke hadapan beliau dan siap mengambil pedang itu. Di antaranya adalah Ali bin Abu Thalib, Az-Zubair bin Al-Awwam, dan Umar bin Al-Khattab. Namun, beliau tidak kunjung menyerahkan pedang tersebut ke siapa pun.
Akhirnya, Abu Dujanah, Simak bin Kharasyah maju ke depan sambil bertanya, “Apakah haknya, wahai Rasulullah?”
“Hendaknya engkau membabatkan pedang ini ke wajah-wajah musuh hingga bengkok!” jawab beliau.
“Aku akan mengambilnya sesuai haknya, wahai Rasulullah,” jawab Abu Dujanah.
Akhirnya, beliau menyerahkan pedang tersebut kepadanya.
Abu Dujanah adalah seorang pemberani dan suka berlagak di kancah peperangan, sehingga terkesan sombong. Dia mempunyai sorban berwarna merah. Jika sorban itu sudah dikenakannya, semua orang pun tahu bahwa ia akan berperang hingga mati. Setelah mengambil pedang dari beliau, dia mengikatkan sorban merahnya di kepala, lalu berjalan sambil berlagak ke tengah-tengah pasukan. Saat itu Rasulullah bersabda, “Sungguh, itu adalah cara berjalan yang dibenci Allah, kecuali seperti di tempat ini.”
Pengaturan Pasukan Mekkah
Orang-orang musyrik mengatur pasukannya hanya berdasarkan aturan barisan perang. Komandan pasukan tertinggi dipegang oleh Abu Sufyan bin Harb yang mengambil posisi di tengah-tengah pasukan. Pasukan kavaleri di sayap lain dipimpin Ikrimah bin Abu Jahal. Adapun pasukan infanteri dipimpin Shafwan bin Umayyah. Pasukan pemanah dipimpin oleh Abdullah bin Abu Rabi’ah.
Bendera perang diserahkan kepada beberapa orang dari Bani Abdud Dar. Pemegang bendera ini memang merupakan kedudukan mereka sejak Bani Abdu Manaf membagi-bagi beberapa kedudukan di Mekkah, yang diwarisi dari Qushay bin Kilab, seperti yang sudah kita bahas di bagian awal buku ini. Jadi, tak seorang pun boleh menentangnya, karena terikat oleh tradisi yang sudah berlaku. Hanya saja, komandan pasukan tertinggi Abu Sufyan banyak bercerita kepada mereka tentang apa yang menimpa pasukan Quraisy pada Perang Badar, yaitu saat pembawa bendera mereka, An-Nadhr bin Al-Harits, tertawan.
Abu Sufyan berkata kepada mereka untuk membangkitkan kemarahan dan menggugah kecemburuan atas harga diri mereka, “Wahai Bani Abdud Dar, kalian telah dipercaya membawa bendera kami saat Perang Badar, dan akhirnya kita mengalami sial seperti yang sudah kalian ketahui. Barometer pasukan itu dilihat dari benderanya. Bila benderanya tumbang, tumbang pula mereka. Jadi, alangkah baiknya bila kalian melindungi bendera kita. Atau bila tidak, lepaskan urusan kita dengan Muhammad. Cukuplah kami sebagai wakil kalian.”
Pancingan Abu Sufyan ini pun berhasil. Mereka sangat marah mendengar ucapan Abu Sufyan tersebut. Mereka meradang di hadapannya sembari berkata, “Apakah kami akan menyerahkan bendera ini kepadamu? Besok engkau akan tahu apa yang akan kami perbuat saat pertempuran.” Mereka pun langsung melompat ke medang perang ketika pertempuran sudah dimulai.
Trik Pasukan Quraisy Memperdayai Kaum Muslimin
Sebelum pertempuran meletus, pihak Quraisy berupaya menciptakan perpecahan di dalam barisan kaum Muslimin. Abu Sufyan mengirim surat yang ditujukan kepada Orang-orang Anshar, yang isinya, “Biarkanlah urusan kami dengan anak paman kami. Setelah itu kami akan pulang tanpa mengusik kalian, karena tidak ada gunanya kami memerangi kalian.” Tetapi, apalah artinya usaha ini di hadapan iman yang tidak akan goyah layaknya gunung. Orang-orang Anshar membalas surat Abu Sufyan itu dengan balasan yang pedas dan membuat merah telinganya saat mendengarnya.
Detik-detik pertempuran semakin dekat. Dua belah pihak sudah saling merangsek. Orang-orang Quraisy berusaha lagi untuk tujuan yang sama. Ada seorang pesuruh pengkhianat yang biasa dipanggil Abu Amir, seorang laki-laki fasik, nama aslinya adalah Abd Amr bin Shaifi. Dia juga biasa disebut Si Rahib. Namun, Rasulullah menyebutnya Si Fasik. Dahulu dia termasuk pemuka Aus semasa jahiliyah. Ketika Islam muncul di Madinah, dia terang-terangan memusuhi beliau. Dia pindah dari Madinah dan bergabung dengan pihak Quraisy, serta membujuk dan menganjurkan agar mereka memerangi beliau.
Dia menyatakan kepada mereka bahwa jika kaumnya melihat kehadirannya, tentu mereka akan patuh dan berpihak kepadanya, Dialah yang pertama kali muncul di hadapan kaum Muslimin bersama beberapa orang dan dua hamba sahaya milik penduduk Mekkah. Dia berseru memperkenalkan dirinya, “Wahai Orang-orang Aus, aku adalah Abu Amir.” Orang-orang Aus menjawab, “Allah tidak akan memberikan kesenangan kepadamu, wahai Si Fasik.” Ia menjawab, “Rupanya ada yang tidak beres dengan kaumku sepeninggalku.” Setelah peperangan meletus, dia memerangi mereka dengan ganas dan melontarkan bebatuan.
Begitulah trik Orang-orang Quraisy yang gagal total untuk memecah belah barisan kaum Muslimin. Sebenarnya tindakan mereka itu justru menunjukkan ketakutan dan kegamangan yang menguasai hati mereka dalam menghadapi kaum Muslimin, meskipun jumlah mereka lebih banyak dan memiliki perlengkapan yang lebih memadai.
Wanita-wanita Quraisy Bangkit Membakar Semangat
Seperti telah disebutkan di bagian sebelumnya, beberapa wanita Quraisy ikut bergabung dalam pasukan Quraisy kali ini. Mereka diketuai oleh Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan. Mereka tak henti-hentinya berkeliling di antara barisan sambil menabuh rebana, membangkitkan semangat, mengobarkan tekad berperang, dan menggerakkan emosi mereka untuk berperang dan maju ke depan.
Mereka sesekali melantunkan syair untuk Orang-orang yang membawa bendera:
Wahai Bani Abdud Dar Wahai Pelindung dari belakang! Tebaskansegala senjata yang tajam.
Dalam kesempatan lain, mereka juga memompa semangat kaumnya agar terus berperang dengan mengatakan:
Jika kalian maju kan kami peluk
kami hamparkan kasur yang empuk
Namun, bila kalian mundur kami kan berpisah
perpisahan tanpa cinta kasih.
Awal Meletusnya Peperangan
Dua pihak saling mendekat dan merangkak ke depan. Tahapan-tahapan perang sudah dimulai dan yang pertama kali menyulut bara peperangan adalah pembawa bendera dari kalangan musyrikin, yaitu Thalhah bin Abu Thalhah Al-Abdari. Dia adalah penunggang kuda Quraisy yang paling pemberani. Orang-orang Muslim menyebutnya Kabsyul Katibah. Dia keluar sambil menunggang unta dan menantang duel. Tak seorang pun yang segera menyambut tantangannya untuk duel karena keberaniannya.
Akhirnya Az-Zubair maju menghampirinya. Dia maju bukan dengan berjalan pelan-pelan, melainkan langsung melompat layaknya seekor singa, sehingga belum sempat Thalhah turun dari untanya, Az-Zubair telah menusukkan pedangnya hingga menyebabkan Thalhah terjerembap ke tanah dan tewas.
Nabi menyaksikan duel yang mencengangkan tersebut. Maka seketika itu juga beliau bertakbir yang kemudian diikuti oleh semua orang Muslim. Beliau memuji Az-Zubair dan bersabda sesuai dengan kapasitas dirinya, “Sesungguhnya setiap nabi mempunyai pengikut setia. Adapun pengikut setiaku adalah Az-Zubair.”
Dahsyatnya Pertempuran di Sekitar Bendera
Setelah itu, pertempuran pun meletus dan semakin mengganas di antara kedua belah pihak. Semua sudut menjadi kancah pertempuran yang hebat. Pertempuran yang paling berat terjadi di sekitar bendera Orang-orang musyrik. Secara bergantian Orang-orang dari Bani Abdud Dar bertugas membawa bendera perang setelah pemimpin mereka, Thalhah bin Abu Thalhah terbunuh di tangan Az-Zubair. Bendera itu kini dibawa saudaranya, Abu Syaibah Utsman bin Abu Thalhah. Dia maju untuk berperang sambil melantunkan syair:
Ada kewajiban di tangan pembawa bendera
untuk menjadikan pohon menjulang ke atas ataukah tumbang di atas tanah.
Setelah maju ke depan dia langsung disongsong oleh Hamzah bin Abdul Mutholib yang menyabetnya dengan sekali tebasan di bagian pundak hingga tangannya putus. Bahkan, sabetan pedang Hamzah itu melesat ke bawah, hingga ke pusar dan mengeluarkan jantungnya.
Setelah itu bendera pasukan Quraisy diambil alih oleh Abu Saad bin Abu Thalhah. Namun, Saad bin Abu Waqqash memanah Abu Saad tepat mengenai tenggorokannya hingga membuat lidahnya terjulur keluar dan tidak lama kemudian dia tersungkur ke tanah menjadi bangkai.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa dia dibunuh oleh Ali bin Abu Thalib. Pada saat itu Abu Saad keluar dari kancah peperangan untuk buang air besar. Ali bin Abu Thalib memergokinya dan menyabetkan pedang ke arahnya. Dua kali sabetan pedangnya luput, lalu disusul dengan sabetan yang ketiga hingga dapat membunuhnya.
Kemudian bendera diambil alih oleh Musafi’ bin Thalhah bin Abu Thalhah. Namun, dia dapat dipanah oleh Ashim bin Tsabit bin Abu Al Aqlah hingga mati. Kemudian bendera beralih ke tangan saudaranya, Al Julas bin Thalhah bin Abu Thalhah, namun dia dapat dibunuh Ali bin Abu Thalib. Ada pendapat yang mengatakan bahwa dia dibunuh Hamzah bin Abdul Mutholib.
Kemudian bendera beralih ke tangan Syuraih bin Qarizh, dan akhirnya dia dapat dibunuh Quzman, seorang munafik yang ikut bergabung dalam pasukan kaum Muslimin; bukan karena hendak membela Islam, tetapi karena sifat kejantanannya. Kemudian bendera beralih ke tangan Abu Zaid Amr bin Abdu Manaf Al-Abdari, yang akhirnya dia dapat dibunuh Quzman pula. Kemudian bendera beralih ke tangan seorang anak Syurahbil bin Hasyim Al-Abdari, yang akhirnya dia juga dibunuh oleh Quzman.
Jadi, sudah ada sepuluh orang dari Bani Abdu Dar yang bergantian membawa bendera dan semuanya mati terbunuh. Setelah itu tak ada lagi yang mau membawa bendera. Tiba-tiba muncul seorang budak milik mereka yang berasal dari Habasyah maju untuk membawa bendera, namanya Shu’ab. Dia maju untuk membawa bendera sambil menunjukkan keberanian dan kehebatannya, lebih hebat dari sekedar gambaran seorang budak, dan bahkan lebih hebat dari para pembawa bendera sebelumnya.
Dia terus berperang hingga tangannya tertebas dan putus. Maka ia menjepit bendera perang itu dengan dada dan lehernya agar tidak terjatuh hingga akhirnya pun tewas. Sebelum tewas ia mengatakan, “Ya Allah, apakah aku telah memiliki alasan?” Dengan terbunuhnya Shu’ab ini, bendera pasukan Quraisy jatuh ke tanah dan tak seorang pun yang mau mengambilnya, sehingga bendera itu dibiarkan berserak di tanah. Pertempuran di Beberapa Titik Lain Pertempuran semakin lama semakin panas dan yang paling berat berkisar di sekitar bendera Orang-orang musyrik. Pertempuran berkecamuk di setiap kancah peperangan. Keimanan telah menguasai barisan kaum Muslimin. Mereka menyerbu ke tengah pasukan musyrikin layaknya air bah yang menjebol tembok bendungan, sambil berkata, “Matilah, matilah!” Beginilah seruan mereka pada waktu Perang Uhud.
Abu Dujanah datang menyeruak sambil mengikatkan sorban berwarna merah di kepalanya, membawa pedang Rasulullah, dengan satu tekad untuk memenuhi hak pedang itu. Dia pun bertempur sambil menyusup ke sana kemari di tengah manusia. Siapa pun orang musyrik yang berpapasan dengannya pasti dibabatnya hingga tewas. Dia benar-benar telah mengacak-acak barisan Orang-orang musyrik.
Az-Zubair bin Al-Awwam berkata, “Ada yang terasa mengganjal di dalam sanubari ketika aku meminta pedang kepada Rasulullah, namun beliau menolak permintaanku dan memberikannya kepada Abu Dujanah. Aku bertanya-tanya kepada diri sendiri, ‘Aku adalah anak Shafiyah, bibi beliau, juga berasal dari Quraisy. Aku sudah berusaha menemui beliau dan meminta pedang itu sebelum Abu Dujanah. Namun, beliau justru memberikannya kepada Abu Dujanah dan meninggalkan aku. Demi Allah aku benar-benar ingin melihat apa yang bisa dilakukan oleh Abu Dujanah. Maka aku menguntitnya.
Dia mengeluarkan sorban merahnya lalu mengikatkannya di kepala. Orang-orang Anshar berkata, ‘Abu Dujanah telah mengeluarkan sorban kematian.’ Maka dia pun beranjak sambil melantunkan syair:
Akulah yang berjanji kepada kekasih tercinta di bawah kaki bukit, dekat pohon kurma aku tidak boleh berdiri di barisan belakang memukul dengan pedang Allah dan Rasul-Nya.
Setiap berpapasan dengan siapa saja dari kalangan musuh, ia pasti membunuhnya. Sementara di antara Orang-orang musyrik ada seseorang yang tidak membiarkan orang kami yang terluka melainkan dia pasti membunuhnya. Jarak Abu Dujanah dengan orang musyrik itu semakin dekat. Aku berdoa kepada Allah agar mereka dipertemukan. Benar saja, dua kali sabetan tidak mengena. Pada sabetan berikutnya orang musyrik itu bisa menyabet Abu Dujanah, yang ditangkis dengan perisai dari kulit. Setelah itu, Abu Dujanah ganti menyabetkan pedangnya hingga dapat membunuhnya. Abu Dujanah terus menyusup ke tengah barisan, sehingga dia dapat lolos ke titik yang ditempati oleh komandan para wanita Quraisy. Abu Dujanah sendiri tidak tahu bahwa yang dihadapinya adalah seorang wanita. Abu Dujanah menuturkan, ‘Kulihat seseorang yang sedang mencakar-cakar sedemikian rupa. Maka aku menghampiri orang itu. Ketika pedangku siap kutebaskan kepadanya, orang itu pun berteriak keras. Ternyata dia adalah seorang wanita. Aku menganggap pedang Rasulullah terlalu mulia untuk membunuh seorang wanita.’ Ternyata wanita itu adalah Hindun binti Utbah.”
Az-Zubair bin Al-Awwam melanjutkan, “Kulihat Abu Dujanah telah mengayunkan pedang persis di bagian tengah kepala Hindun binti Utbah. Namun, kemudian dia membelokkan arah sabetan pedangnya.
Aku bergumam, ‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui’.
Sementara itu, Hamzah bin Abdul Mutholib bertempur bagaikan singa yang sedang mengamuk. Dia menyusup ke tengah barisan pasukan musyrikin tanpa mengenal rasa takut dan tidak ada tandingannya.
Orang-orang yang gagah berani dari pihak musuh pun dibuatnya seperti daun-daun kering yang beterbangan dihembus angin, lebih khusus lagi andilnya yang nyata dalam menghabisi para pembawa bendera musuh. Dia terus menerjang dan mengejar tokoh-tokoh musuh, hingga akhirnya dia terbunuh di barisan paling depan, bukan terbunuh seperti dalam adu tanding semata, tetapi dia terbunuh layaknya orang baik-baik yang terbunuh di tengah kegelapan malam.
Terbunuhnya Singa Allah Hamzah bin Abdul Mutholib
Inilah penuturan yang disampaikan sendiri oleh pembunuh Hamzah, Wahsyi bin Harb:
“Waktu itu aku adalah budak Jubair bin Muth’im. Paman Jubair, Thu’aimah bin Adi terbunuh pada Perang Badar. Pada saat Quraisy pergi ke Uhud, Jubair berkata kepadaku, ‘Jika kamu dapat membunuh Hamzah, paman Muhammad, sebagai pembalasan atas terbunuhnya pamanku, engkau merdeka.’ Maka aku pun ikut bergabung bersama pasukan.
Aku adalah seorang penduduk Habasyah. Seperti lazimnya Orang-orang Habasyah, aku juga mahir dalam melemparkan tombak kecil. Jarang sekali aku meleset dari sasaran. Saat mereka bertempur, aku segera beranjak mencari-cari Hamzah. Akhirnya aku dapat melihat kelebatnya di tengah manusia layaknya unta abu-abu yang lincah. Tak seorang pun mampu menghadapi terjangannya. Demi Allah, aku pun bersiap-siap menjadikannya seperti yang kuinginkan. Maka aku pun berlindung di balik pohon atau batu untuk mendekatinya.
Tiba-tiba Siba’ bin Abdul Uzza muncul dan mendahuluiku ke arah Hamzah. Ketika Hamzah melihatnya, ia berkata kepadanya, “Kemarilah, wahai anak pemotong kelentit.” Ibunya memang seorang tukang khitan wanita. Sejurus kemudian, Hamzah menyabetkan pedangnya tepat mengenai kepalanya hingga bersimbah darah.”
Wahsyi melanjutkan, “Aku mengayun-ayunkan tombakku. Saat aku merasa sudah yakin, tombak kulemparkan tepat mengenai perutnya bagian bawah hingga tembus ke selangkangannya. Ia berjalan ke arahku dengan badan limbung lalu jatuh ke tanah. Aku menunggunya beberapa saat hingga akhirnya ia pun meninggal. Setelah itu, aku menghampiri jasadnya dan kucabut tombakku. Kemudian aku kembali ke tenda dan duduk di sana. Aku tidak mempunyai kepentingan yang lain. Aku membunuh Hamzah agar aku bisa merdeka. Setelah tiba di Mekkah aku pun dimerdekakan.”!
Menguasai Keadaan
Meskipun pasukan kaum Muslimin mengalami kerugian besar dengan terbunuhnya Singa Allah dan Singa Rasul-Nya, Hamzah bin Abdul Mutholib, mereka tetap mampu menguasai seluruh keadaan. Tokoh yang berperang pada waktu itu adalah Abu Bakar, Umar bin Al-Khattab, Ali bin Abu Thalib, Az-Zubair bin Al-Awwam, Mush’ab bin Umair, Thalhah bin Ubaidullah, Abdullah bin Jahsy, Saad bin Muadz, Saad bin Ubadah, Saad bin Ar-Rabi’, Anas bin An-Nadhr dan masih banyak lagi orang seperti mereka yang merontokkan ambisi kaum musyrikin.
Dari Pelukan Istri Langsung Mengambil Pedang dan Perisai
Di antara pahlawan perang yang bertempur tanpa mengenal rasa takut adalah Hanzhalah bin Abu Amir. Ayahnya adalah seorang tabib yang disebut Si Fasik, seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya.
Hanzhalah bin Abu Amir baru saja melangsungkan pernikahannya. Saat mendengar gemuruh peperangan, dan saat itu ia sedang berada di pelukan istrinya, ia pun segera melepas pelukan istrinya dan bangkit untuk berjihad. Saat ia telah terjun ke medan perang dan berhadapan dengan kaum musyrikin, ia menerobos ke barisan musuh hingga dapat berhadapan langsung dengan komandan pasukan Quraisy, Abu Sufyan bin Harb. Saat itu dia nyaris dapat membunuh Abu Sufyan kalau saja Allah tidak menganugerahkan kesyahidan kepadanya. Ia menyerang Abu Sufyan dan ketika telah berhasil membekuk tubuhnya dan bersiap membunuhnya, Syaddad bin Al-Aswad melihat kejadian itu lalu ia pun menikamnya hingga gugur syahid.
Peranan Para Pemanah dalam Pertempuran
Detasemen pemanah yang diangkat Rasulullah dan ditempatkan di atas bukit mempunyai peranan yang sangat besar dalam membalik genderang perang untuk kepentingan pasukan kaum Muslimin. Kavaleri Quraisy yang dipimpin Khalid bin Al-Walid dan ditopang oleh Abu Amir Si Fasik melancarkan serangan tiga gelombang untuk menghancurkan sayap kiri pasukan kaum Muslimin. Sebab, jika sayap ini bisa digempur, inti pasukan kaum Muslimin dapat dimasuki. Dengan demikian, barisan mereka bisa dibuat kocar-kacir dan bisa dipastikan mereka akan kalah telak. Namun, setiap kali ada gelombang serangan, para pemanah yang berada di atas bukit menghujani musuh dengan anak panah, hingga dapat menggagalkan tiga kali serangan musuh tersebut.
Kekalahan Pasukan Musyrikin
Roda pertempuran terus berputar dan pasukan kaum Muslimin yang kecil justru dapat menguasai seluruh keadaan, sehingga sempat menyurutkan ambisi para dedengkot kaum musyrikin, dan membuat barisan mereka berlari menghindar ke kanan, ke kiri, ke depan, dan belakang. Tiga ribu prajurit musyrikin seolah-olah harus berhadapan dengan tiga puluh ribu prajurit Muslim. Keberanian dan keyakinan pasukan kaum Muslimin terlihat jelas.
Setelah Quraisy menguras tenaganya habis-habisan untuk menghadang serbuan pasukan kaum Muslimin, semangat mereka pun turun drastis. Bahkan, tak seorang pun di antara mereka yang berani mendekati bendera, setelah terbunuhnya pembawa bendera mereka yang terakhir, yaitu Shu’ab. Tak seorang pun berani mengambil bendera itu agar pertempuran berlangsung seru di sekitarnya. Mereka sudah ancang-ancang untuk mundur dan melarikan diri, seakan mereka lupa apa yang pernah bergejolak di dalam hati mereka sebelum itu, yaitu dendam kesumat dan keinginan untuk mengembalikan kejayaan, kehormatan dan wibawa.
Ibnu Ishaq berkata, “Kemudian Allah menurunkan pertolonganNya kepada kaum Muslimin dan memenuhi janji-Nya, sehingga mereka bisa mencerai beraikan musuh. Hampir pasti kemenangan ada di tangan mereka.”
Abdullah bin Az-Zubair meriwayatkan dariayahnya yang menuturkan, “Demi Allah, aku bahkan bisa melihat betis Hindun binti Utbah yang tersingkap karena harus melarikan diri bersama rekan-rekannya.”
Dalam hadits Al-Barra’ bin Azib di dalam Ash-sahih disebutkan, “Saat kami menyerang, mereka melarikan diri, hingga dapat kulihat bagaimana para wanita Quraisy berjalan terseok-seok di bukit sambil menyingsingkan pakaian, hingga betis dan gelang kaki mereka terlihat.”
Kaum Muslimin mengejar Orang-orang musyrik agar mereka meletakkan senjata dan dapat merampas harta.
Kesalahan Fatal Para Pemanah
Pada saat pasukan Islam yang tidak seberapa jumlahnya tersebut hampir meraih puncak kemenangan atas pasukan Quraisy, yang nilai kemenangannya tidak kalah sedikit dari kemenangan yang diraih di Perang Badar, terjadilah kesalahan fatal yang dilakukan para pemanah, sehingga bisa membalik keadaan secara total dan akhirnya menimbulkan kerugian yang amat banyak bagi pasukan kaum Muslimin. Bahkan hampir saja menyebabkan gugurnya Nabi. Kejadian ini membiaskan pengaruh yang kurang menguntungkan bagi ketenaran dan kehebatan mereka setelah meraih kemenangan di Badar.
Sebelumnya, kami telah menyebutkan redaksi instruksi Nabi yang sangat keras terhadap para pemanah itu, agar mereka tetap berada di atas bukit, dalam keadaan kalah maupun menang. Sekalipun sudah ada perintah yang sangat tegas ini, ketika pasukan pemanah melihat kaum Muslimin sudah mengumpulkan harta rampasan dari pihak musuh, mereka pun dikuasai egoisme kecintaan terhadap duniawi. Mereka saling berkata, “Harta rampasan, harta rampasan…! Rekan-rekan kalian sudah menang. Apa lagi yang kalian tunggu?”
Komandan mereka, Abdullah bin Jubair, mengingatkan perintah Rasulullah kepada mereka dengan berkata, “Apakah kalian sudah lupa apa yang dikatakan Rasulullah kepada kalian?”
Namun sayang, mayoritas pasukan pemanah tersebut tidak memedulikan peringatan ini. Mereka berkata, “Demi Allah, kami benar-benar akan bergabung dengan mereka agar kita mendapatkan bagian dari harta rampasan itu.”
Kemudian ada empat puluh orang yang meninggalkan pos di atas bukit, lalu mereka bergabung dengan pasukan inti untuk mengumpulkan harta rampasan. Dengan begitu punggung pasukan kaum Muslimin menjadi kosong, tinggal Ibnu Jubair dan sembilan rekannya. Sepuluh orang ini tetap berada di tempat semula hingga ada perintah bagi mereka.
Khalid bin Al-Walid Mengambil Jalan Memutar
Kesempatan emas ini tidak disia-siakan oleh Khalid bin Al-Walid. Dengan cepat dia mengambil jalan memutar, hingga tiba di belakang pasukan kaum Muslimin. Tentu saja Abdullah bin Jubair dan sembilan rekannya tak mampu menghadapi pasukan berkuda yang dikomandani oleh Khalid bin Al-Walid. Setelah mengalahkan Abdullah bin Jubair dan rekan-rekannya, Khalid bin Al-Walid menyerang pasukan kaum Muslimin dari arah belakang dan anggotanya berteriak dengan suara yang nyaring, hingga Orang-orang musyrik yang sudah hampir kalah bisa melihat babak baru dalam peperangan ini.
Keadaan berbalik. Kini mereka bisa menguasai keadaan. Salah seorang wanita di antara mereka, Amrah binti Alqamah Al-Haritsiyah, segera memungut bendera yang sebelumnya tergeletak lalu mengibar-ngibarkan nya. Orang-orang musyrik menoleh ke arahnya lalu berkumpul di sekitarnya. Mereka saling memanggil hingga cukup banyak yang berkumpul di sana. Kemudian mereka merangsek ke pasukan kaum Muslimin dan mengepung dari arah depan dan belakang hingga terjepit.
Sikap Rasulullah yang Patriotik
Saat itu Rasulullah hanya bersama sekelompok kecil dari sahabat. Jumlah mereka hanya sembilan orang. Posisinya berada di belakang kaum Muslimin. Beliau melihat perjuangan mereka dalam menghalau Orang-orang musyrik, karena pasukan Khalid telah memorak-porandakan mereka. Kini di hadapan beliau hanya ada dua jalan—segera lari menyelamatkan diri bersama para sahabat beliau yang hanya sembilan orang itu ke suatu tempat yang lebih aman, lalu membiarkan pasukannya yang lain terkepung entah bagaimana jadinya nanti; atau mengumpulkan kembali semua anggota pasukan yang tercerai berai agar kembali ke tempat beliau, lalu menggunakan mereka sebagai tameng untuk menyibak pasukan musuh hingga mencapai puncak Uhud.
Di sini tampak kecerdikan Rasulullah dan keberanian beliau dalam membaca keadaan. Dengan suara lantang, beliau berteriak, “Wahai hamba-hamba Allah!” Beliau sadar sepenuhnya bahwa Orang-orang musyrik pasti mendengar ucapan beliau ini sebelum kaum Muslimin yang tercerai berai di tempat lain bisa mendengarnya, sehingga mereka bisa mengetahui posisi beliau. Beliau berteriak seperti itu kepada mereka dengan mempertaruhkan diri dalam kondisi yang sangat kritis.
Memang benar, Orang-orang musyrik mengetahui posisi beliau, sehingga mereka semua mengalihkan serangan ke arah beliau, sebelum kaum Muslimin sampai ke posisi beliau.
Pasukan Kaum Muslimin Kocar-kacir
Saat pasukan kaum Muslimin terjepit, banyak di antara mereka yang hilang kendalinya. Tidak ada yang dipikirkan kecuali keselamatan diri sendiri. Mereka lari dan meninggalkan kancah pertempuran. Mereka tidak tahu apa yang terjadi di belakang mereka setelah itu. Bahkan, di antara mereka ada yang kembali ke Madinah. Sebagian yang lain melarikan diri ke atas gunung dan sebagian lagi berbaur dengan Orang-orang musyrik. Dua pasukan saling bercampur baur dan sulit dibeda-bedakan, sehingga tak jarang orang Muslim yang menyerang sesama Muslim lainnya.
Al-Bukhari meriwayatkan dari Aisyah yang menuturkan, “Pada saat Perang Uhud, Orang-orang musyrik mengalami kekalahan yang nyata. Kemudian, ada Iblis yang berteriak, ‘Wahai hamba-hamba Allah, waspadailah Orang-orang di belakang kalian!’ Keadaan menjadi berbalik dan mereka bercampur baur. Hudzaifah segera menyadari hal ini. Dia yang waktu itu bersama ayahnya, Al-Yaman, berteriak-teriak, ‘Wahai hamba-hamba Allah, dia adalah ayahku!’ Dia khawatir ayahnya menjadi korban salah sasaran. Namun, tak ada orang yang menghalangi mereka, ketika mereka membunuh ayahnya. Akhirnya Hudzaifah hanya bisa berkata, ‘Semoga Allah mengampuni kalian.’ Urwah mengatakan, “Demi Allah, Hudzaifah setelah itu selalu mendapatkan kebaikan hingga ia dipanggil oleh Allah’.”
Peristiwa tersebut terjadi saat barisan menjadi kacau balau dan keadaan sudah tidak terkendali lagi. Mereka tidak tahu harus menghadap ke mana. Saat keadaan seperti itu, tiba-tiba ada seseorang yang berteriak, “Muhammad telah terbunuh.” Mental kaum Muslimin seketika itu menjadi anjlok dan semangat mereka menjadi hilang, atau tepatnya semangat itu hampir tak ada yang tersisa di dalam hati kebanyakan orang Muslim.
Pertempuran terhenti dan banyak di antara mereka yang meletakkan senjata. Sebagian lain ada yang berpikir untuk berhubungan dengan Abdullah bin Ubay, pemimpin Orang-orang munafik, dengan tujuan mencari perlindungan dirinya dari serangan Abu Sufyan.
Anas bin An-Nadhr melewati kaum Muslimin yang telah meletakkan tangannya seraya bertanya, “Apa yang kalian tunggu?” Mereka menjawab, “Rasulullah telah terbunuh.”
“Apa yang kalian perbuat dengan kehidupan ini sepeninggalnya? Bangkitlah dan matilah seperti matinya Rasulullah,” kata Anas. Dia berkata lagi, “Ya Allah, sesungguhnya aku meminta ampunan kepadaMu dari apa yang mereka (kaum Muslimin) lakukan. Dan aku berlindung kepada-Mu dari apa yang mereka (Orang-orang musyrik) lakukan.”
Kemudian dia berpapasan dengan Saad bin Muadz, yang bertanya kepadanya, “Mau ke mana wahai Abu Umar?’ Anas menjawab, “Ada aroma surga di sana wahai Saad. Aku bisa mencium baunya dari balik Uhud.” Setelah itu dia bangkit dan menyerbu pasukan musuh hingga gugur.
Setelah peperangan berakhir, tak seorang pun mendapatkan jasadnya, kecuali saudarinya yang bisa mengenalinya pada ujung jarinya. Ternyata, tubuhnya terdapat lebih dari delapan puluh luka, oleh sabetan pedang, hujaman anak panah, dan tusukan tombak.
Tsabit bin Ad-Dahdah berseru kepada kaumnya, “Wahai semua orang Anshar, bila Muhammad benar-benar terbunuh, Allah hidup dan tidak mati. Berperanglah atas nama agama kalian, karena Allah akan memenangkan dan menolong kalian.” Maka beberapa orang Anshar bangkit bersamanya untuk menghadapi pasukan Khalid bin Al-Walid. Mereka terus berperang hingga Tsabit bin Ad-Dahdah dibunuh oleh Khalid dengan tombak. Akhirnya semua rekannya juga gugur.
Seorang dari kalangan Muhajirin melewati salah seorang Anshar yang sedang berlumuran darah. Dia bertanya, “Wahai Fulan, apakah engkau merasa bahwa Muhammad benar-benar telah terbunuh?” Orang Anshar itu menjawab, “Jika Muhammad telah terbunuh, berarti dia telah sampai ke surga. Maka berperanglah kalian atas nama agama kalian.”
Dengan keberanian, semangat dan sifat kesatria semacam ini, maka mental kaum Muslimin kembali bangkit. Mereka segera membuang jauh-jauh pikiran untuk menyerah atau berhubungan dengan Abdullah bin Ubay. Mereka memungut senjatanya kembali dan menghadang gelombang serangan pasukan Quraisy.
Mereka yang tadinya bercerai berai itu berusaha menyibak jalan agar bisa sampai ke pusat komando. Bahkan, mereka sudah mendengar bahwa kabar tentang terbunuhnya Muhammad adalah bohong semata.
Hal ini semakin menambah kekuatan, sehingga mereka bisa memutar jalan dan bersatu kembali dengan pusat komando, setelah berperang habis-habisan.
Ada kelompok ketiga yang pikiran mereka hanya tertuju kepada keselamatan diri Rasulullah. Mereka mundur dari barisan terdepan untuk melindungi beliau. Mereka ini dipimpin Abu Bakar Ash-Shiddigq, Umar bin Alj-Khattab, Ali bin Abu Thalib dan lain-lain yang tadinya berada di barisan paling depan. Mereka mundur karena merasa ada bahaya yang mengancam keselamatan diri beliau yang mulia.
Pertempuran Berkobar di Sekitar Rasulullah
Setelah kaum Muslimin memutar untuk bergabung dengan Rasulullah melalui samping kiri dan kanan pasukan Quraisy, maka peperangan lebih banyak berkobar di sekitar beliau. Seperti yang kami jelaskan sebelumnya, ketika Orang-orang musyrik mengambil jalan memutar, beliau hanya bersama sembilan orang Muslim. Ketika itu, beliau berseru, “Kemarilah! Aku adalah Rasul Allah.” Maka Orang-orang musyrik mendengarnya dan mengetahui keberadaan beliau.
Seketika itu juga, mereka memusatkan serangan ke arah beliau secara gencar sebelum pasukan Islam yang lain bisa mencapai tempat beliau. Maka terjadilah pertempuran sengit antara Orang-orang musyrik dan sembilan orang Muslim itu. Di situlah tampak kecintaan, kesetiaan, patriotisme, dan keberanian para sahabat.
Muslim meriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah terpisah bersama tujuh orang Anshar dan dua orang dari kalangan Muhajirin. Saat Orang-orang Quraisy melancarkan serangan secara gencar, beliau bersabda, “Siapa pun yang melindungi kami, dia masuk surga atau ia akan menjadi pendampingku di surga.”
Salah seorang dari Anshar maju dan bertempur melawan sekian banyak orang musyrik hingga terbunuh. Lalu orang Anshar lainnya menyusul dan akhirnya tujuh orang Anshar tersebut gugur syahid. Setelah itu beliau bersabda kepada dua sahabat dari Muhajirin, “Mereka tidak adil terhadap kita.”
Orang terakhir dari tujuh kaum Anshar yang gugur adalah Umarah bin Yazid bin As-Sakan. Dia terus bertempur meskipun tubuhnya banyak yang terluka, hingga akhirnya tergeletak tak berdaya.”
Saat Paling Kritis dalam Kehidupan Rasulullah
Setelah Umarah bin As-Sakan gugur, beliau tinggal bersama dua orang dari kalangan Muhajirin. Di dalam kitab Ash-Sahihain disebutkan sebuah riwayat dari Abu Utsman yang menuturkan, “Tidak ada yang bersama Rasulullah pada sebagian waktu dari peperangan tersebut selain Thalhah bin Ubaidullah dan Saad bin Abu Waqqash. Itu merupakan saat yang paling kritis dalam kehidupan Rasulullah. Sebaliknya merupakan kesempatan emas bagi Orang-orang musyrik. Namun, ternyata kesempatan ini tidak bisa mereka pergunakan dengan baik. Padahal, sejak lama mereka selalu menjadikan beliau sebagai sasaran dan mereka sangat berambisi untuk membunuh beliau.
Dalam kondisi yang sangat kritis itu, Utbah bin Abu Waqqash melempar beliau dengan batu hingga mengenai lambung beliau dan gigi seri yang berdekatan dengan gigi taring bagian kanan bawah serta melukai wajah beliau. Abdullah bin Syihab Az-Zuhri mendekati beliau dan melayangkan pukulannya hingga melukai kening beliau.
Setelah itu, giliran seorang penunggang yang beringas, yaitu Abdullah bin Qami’ah. Dia memukulkan pedang ke bahu beliau dengan pukulan keras, yang menyebabkan beliau masih merasa kesakitan hingga lebih dari sebulan. Untunglah, pukulan tersebut tidak sampai menembus dan merusak baju besi yang beliau kenakan.
Setelah itu, ia memukul beliau pada bagian tulang pipi sekeras pukulan yang pertama. Pukulan ini menyebabkan dua mata rantai pengikat topi besi beliau terlepas dan menancap di kening beliau. Abdullah bin Qami’ah mengatakan, “Ambillah barang itu untukmu. Aku adalah Ibnu Qami’ah.”
Sambil mengusap darah di kening, beliau bersabda, “Aqma’akallah (semoga Allah menghinakan dirimu).”
Di dalam Ash-Sahih disebutkan bahwa gigi seri yang dekat dengan gigi taring beliau pecah dan kepala beliau terluka. Sambil mengusap darah yang mengalir dari lukanya, beliau bersabda, “Bagaimana mungkin suatu kaum mendapat keberuntungan jika mereka melukai wajah Rasul-Nya dan memecahkan gigi serinya, padahal dia mendoakan mereka kepada Allah?” Berkaitan dengan sabda beliau ini Allah menurunkan teguran:
Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu, apakah Allah menerima tobat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu Orang-orang yang zalim. (Ali ‘Imran: 128)
Dalam riwayat Ath-Thabrani disebutkan beliau bersabda saat itu, “Amat besar kemarahan Allah terhadap suatu kaum yang membuat wajah Rasul-Nya berdarah.” Setelah diam sejenak beliau bersabda lagi, “Ya Allah, ampunilah kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui.”
Hal yang sama juga disebutkan dalam Sahih Muslim. Beliau bersabda, “Ya Tuhani, ampunilah kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui.”
Di dalam kitab Asy-Syifa karya Al-Qadhi Iyadh disebutkan bahwa beliau berdoa, “Ya Allah, berikanlah petunjuk kepada kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui.”
Tidak dapat diragukan bahwa Orang-orang musyrik bermaksud membunuh Rasulullah.. Hanya saja, dua sahabat yang menyertai beliau, Saad bin Abu Waqqash dan Thalhah bin Ubaidullah berjuang dengan segenap keberanian dan patriotisme yang jarang ditemui. Meski hanya berdua saja, Saad bin Abu Waqqash dan Thalhah bin Ubaidullah tidak memberikan kesempatan kepada Orang-orang musyrik untuk mewujudkan maksudnya. Mereka berdua memang dikenal sebagai pemanah yang ulung di Jazirah Arab.
Mereka berdua senantiasa melepaskan anak panah, sehingga bisa menghalau Orang-orang musyrik agar menjauh dari Rasulullah. Beliau membantu mengeluarkan anak panah dari tabungnya lalu diserahkan kepada Saad bin Abu Waqqash, seraya bersabda, “Panahlah terus, ayah dan ibuku sebagai tebusanmu.” Hal ini menunjukkan seberapa jauh sepak terjang Saad, sehingga beliau tidak pernah menyebutkan ayah dan ibu beliau sebagai tebusan selain kepada Saad.
Tentang Thalhah bin Ubaidullah, An-Nasa’i telah meriwayatkan dari Jabir tentang kisah Orang-orang musyrik yang mengepung Rasulullah yang hanya disertai beberapa orang Anshar. Jabir menuturkan, “Orang-orang musyrik mengetahui posisi Rasulullah. Karena itu, beliau bersabda, “Bagian siapakah Orang-orang itu?” Thalhah menjawab, “Bagian saya.”
Kemudian Jabir menuturkan sepak terjang Orang-orang Anshar dan bagaimana mereka gugur satu demi satu seperti yang diriwayatkan oleh Muslim di atas.
Setelah semua kaum Anshar yang melindungi Rasulullah terbunuh, Thalhah maju dan bertempur menghadapi sebelas orang hingga jari-jari tangannya putus. Dia berkata, “Rasakan kamu!” Rasulullah menyahut, “Andai kata engkau mengucapkan ‘Bismillah’, tentu para malaikat akan mengangkat dirimu dan Orang-orang bisa melihatmu.” Kemudian Allah membuat Orang-orang musyrik itu mundur.
Disebutkan di dalam riwayat Al-Hakim bahwa Thalhah menderita 39 atau 35 luka pada Perang Uhud dan jari-jari tangannya putus. Al-Bukhari meriwayatkan dari Qais bin Abu Hazim, yang berkata, “Aku melihat jarijari tangan Thalhah terpotong karena melindungi Nabi pada Perang Uhud.” At-Tirmidzi meriwayatkan bahwa saat itu Nabi bersabda tentang diri Thalhah, “Barang siapa ingin melihat orang mati syahid yang berjalan di muka bumi, hendaklah dia melihat Thalhah bin Ubaidullah.”
Abu Dawud Ath-Thayalisi meriwayatkan dari Aisyah, bahwa dia berkata, “Jika Abu Bakar mengingat Perang Uhud, dia berkata, ‘Hari itu semuanya milik Thalhah’.” Dia juga berkata, “ Wahai Thalhah bin Ubaidullah, sudah selayaknya bila engkau mendapat surga dan duduk di atas kristal-kristal mutiara yang indah.”
Pada saat yang sangat kritis itu, Allah menurunkan pertolongan secara gaib. Di dalam Ash-Sahihain disebutkan riwayat dari Saad yang menuturkan, “Aku melihat Rasulullah pada Perang Uhud bersama dua orang yang bertempur dengan gigih dan mengenakan pakaian berwarna putih. Dua orang itu tidak pernah kulihat sebelum maupun sesudah itu.” Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa dua orang itu adalah malaikat Jibril dan Mikail.
Para Sahabat Berkumpul di Sekitar Rasulullah
Semua peristiwa besar ini berjalan dengan cepat. Jika tidak, kaum Muslimin pilihan yang bertempur dibarisan terdepan saat berlangsungnya pertempuran hampir tidak mengetahui perkembangan situasi. Saat mendengar suara Rasulullah, mereka segera menghampiri beliau agar tidak ada sesuatu yang tidak diinginkan menimpa beliau. Namun, saat mereka tiba, beliau sudah mendapatkan luka-luka tersebut, enam orang Anshar sudah terbunuh, orang yang ketujuh sudah tak mampu berbuat apa-apa karena banyaknya luka dan Saad serta Thalhah bertempur mati-matian.
Setelah sampai di tempat Rasulullah, mereka berdiri di sekitar beliau lalu menjadikan badan dan senjata mereka sebagai pagar. Dengan demikian, mereka bisa melindungi beliau dari serbuan musuh dan bahkan bisa membalas serangan mereka. Orang yang pertama kali tiba di dekat beliau adalah rekan beliau di gua, Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Ibnu Hibban meriwayatkan di dalam Sahihnya, dari Aisyah bahwa ia berkata, “Abu Bakar Ash-Shiddiq berkata, ‘Pada waktu Perang Uhud semua orang hendak menghampiri Rasulullah. Aku adalah orang yang pertama kali menghampiri beliau. Kulihat di hadapan beliau ada seseorang yang bertempur menjaga dan melindungi beliau. Aku berkata, ‘Panahlah terus, wahai Thalhah, ayah dan ibuku sebagai tebusanmu! Panahlah terus, wahai Thalhah, ayah dan ibuku sebagai tebusanmu!’
Aku tidak bisa melihat sosok Abu Ubaidah dengan jelas, karena dia bertempur seperti seekor burung, hingga akhirnya aku bisa mendekatinya. Lalu kami bersama-sama mendekati Nabi. Ternyata, saat itu Thalhah sudah tersungkur di tanah di hadapan beliau. Beliau bersabda. “Biarkan saja saudaramu. Dia sudah berada di surga.’
Saat itu beliau terkena lemparan anak panah pada bagian tulang pipi hingga menyebabkan dua mata rantai pengikat topi besi beliau yang ada di bagian itu putus. Aku mendekati beliau untuk mencopot dua mata rantai topi besi di kepala beliau. Abu Ubaidah berkata, “Demi Allah, aku memohon kepadamu, wahai Abu Bakar, biarkanlah aku yang menanganinya.”
Abu Bakar melanjutkan kisahnya, “Abu Ubaidah menggigit kepingan mata rantai topi besi tersebut dengan giginya karena khawatir akan menyakiti Rasulullah. Ia akhirnya berhasil melepaskannya. Gigi seri Abu Ubadah menjadi goyah karena kerasnya upaya pencabutan tersebut. Karena itu, aku hendak menggantikannya mencopot potongan mata rantai yang tersisa satu lagi. Namun, Abu Ubaidah berkata, “Demi Allah, aku mohon kepadamu, wahai Abu Bakar, biarlah kutangani sendiri!”
Abu Ubaidah berbuat seperti yang pertama hingga dapat melepaskan potongan yang kedua. Akibatnya gigi serinya yang lain ikut goyah. Lalu kami menghampiri Thalhah untuk mengurusinya. Ternyata tubuhnya mengalami lebih dari sepuluh luka.
Tidak lama setelah melewati saat-saat yang sangat kritis ini, beberapa sahabat yang sudah berkumpul di sekitar beliau, seperti Abu Dujanah, Mush’ab bin Umair, Ali bin Abu Thalib. Sahl bin Hunaif, Malik bin Sinan, ayah Abu Sa’id Al-Khudri, Ummu Ammarah Nusaibah binti Ka’ab Al-Maziniyah, Qatadah bin An-Nu’man, Umar bin Al-Khattab, Hathib bin Abu Balta’ah, dan Abu Thalhah.
Orang-orang Musyrik Semakin Meningkatkan Serangan
Karena jumlah pasukan Quraisy selalu lebih banyak daripada jumlah kaum Muslimin dalam setiap peperangan, maka wajar bila serangan-serangan mereka semakin keras dan tekanan mereka terhadap kaum Muslimin semakin bertambah. Pada saat Rasulullah berjalan, beliau terperosok ke dalam lubang jebakan yang sengaja dibuat oleh Abu Amir Si Fasik. Ali segera meraih tangan beliau dan Thalhah bin Ubaidullah merangkulnya hingga beliau bisa berdiri lagi.
Nafi’ bin Jubair berkata, “Aku mendengar seseorang dari kalangan Muhajirin berkata, ‘Aku ikut dalam Perang Uhud. Aku melihat bagaimana anak panah melesat dari segala arah tertuju kepada Rasulullah. Namun, semua anak panah itu tidak bisa mengenai beliau sama sekali. Aku melihat Abdullah bin Syihab Az-Zuhri berkata saat itu: Tunjukkanlah kepadaku di mana Muhammad. Aku tidak akan selamat jika ia masih selamat. Padahal, saat itu beliau ada di dekatnya dan tidak ada seorang pun yang mendampingi beliau. Bahkan, kemudian dia melewati beliau. Setelah itu Shafwan melecehkannya, maka ia pun menjawab: Demi Allah, aku tidak bisa melihatnya. Aku berani sumpah, demi Allah, pasti ada yang menghalangi penglihatan kami.
Patriotisme Tiada Tanding
Kaum Muslimin bangkit dengan patriotisme dan pengorbanan yang jarang terjadi, bahkan tidak pernah ada tandingannya sepanjang sejarah. Abu Thalhah menjadikan dirinya sebagai pagar di hadapan Rasulullah. Dia memasang dadanya untuk menghadang hujan anak panah yang dilemparkan oleh musuh demi melindungi Rasulullah.
Anas mengisahkan, “Pada saat Perang Uhud musuh memusatkan serangan terhadap Rasulullah, sedangkan Abu Thalhah berada di hadapan beliau melindungi diri dengan tamengnya. Dia adalah seorang pemanah ulung yang jarang meleset bidikannya. Saat itu dia sampai mematahkan dua atau tiga busur. Ada satu orang lagi yang bersamanya sambil memegangi kantong anak panah. Dia berkata, ‘Sediakan anak panah yang banyak bagi Abu Thalhah’
Sementara itu, Nabi terus mengawasi dengan seksama dan melihat ke arah musuh. Abu Thalhah berkata, ‘Demi ayah dan ibuku, Anda tidak perlu mengawasi seperti itu karena itu bisa membuat Anda terkena anak panah mereka. Leher saya akan melindungi leher Anda’.
Dalam riwayat lain, Anas berkata, “Abu Thalhah menggunakan satu tameng bersama Nabi. Abu Thalhah adalah seorang pemanah yang ulung. Jika dia melepaskan anak panah, beliau terus mengawasi anak panah itu hingga mengenai sasarannya.”
Abu Dujanah berdiri di hadapan Rasulullah sambil menyandarkan punggungnya sebagai tameng untuk melindungi beliau. Sekalipun beberapa anak panah mengenai punggungnya, dia sama sekali tidak bergeming.
Hathib bin Abu Balta’ah mengejar Utbah bin Abu Waqqash yang telah memecahkan gigi seri beliau yang mulia. Setelah dekat dia menyabetkan pedangnya ke leher Utbah hingga putus. Kemudian dia mengambil kuda dan pedangnya. Sebenarnya, Saad bin Abu Waqqash sangat berambisi untuk membunuh Utbah bin Abu Waqqash yang merupakan saudara kandungnya sendiri. Namun, dia belum beruntung karena yang bisa membunuhnya adalah Hathib.
Di tempat lain, Sahl bin Hunaif, salah seorang pemanah ulung, berjanji kepada Rasulullah, bahwa ia siap untuk mati. Maka dia bangkit menerjang barisan Orang-orang musyrik.
Rasulullah juga ikut andil melepaskan anak panah sendiri. Qatadah bin An-Nu’man menuturkan bahwa Rasulullah melepaskan anak panah dari busurnya hingga dua ujungnya patah. Lalu Qatadah bin An Nu’man mengambil dan menyimpannya.
Ketika itu, mata Qatadah terkena anak panah hingga ke tulang pipinya. Lalu beliau menyembuhkannya hingga kembali seperti semula, bahkan lebih baik dari matanya yang sebelah.”
Abdurrahman bin Auf bertempur dengan hebat hingga gigi serinya pecah dan mendapat dua puluh luka atau lebih di sekujur tubuhnya. Sebagian ada yang mengenai kakinya hingga jalannya menjadi pincang.
Malik bin Sinan, ayah Abu Sa’id Al-Khudri, menghisap darah yang mengucur dari gigi seri Rasulullah hingga bersih. Beliau bersabda, “Muntahkanlah!” Malik menjawab, “Demi Allah, sekali-kali aku tidak akan memuntahkannya.” Kemudian dia bangkit dan bertempur. Kemudian Rasulullah bersabda, “Barang siapa ingin melihat salah seorang penghuni surga, hendaknya ia melihat orang ini.” Dia terus bertempur hingga gugur syahid.
Ummu Umarah juga ikut andil dalam pertempuran tersebut. Meski seorang wanita, ia mampu menghadang Ibnu Qami’ah di tengah kerumunan manusia, lalu memukulnya tepat mengenai bahunya dan menimbulkan luka yang menganga lebar. Dia menambah serangannya dengan beberapa sabetan pedang lagi. Namun, karena Ibnu Qami’ah mengenakan baju besi, akhirnya dia bisa menyelamatkan diri. Ummu Umarah terus bertempur hingga dia mendapat dua belas luka.’
Mush’ab bin Umair bertempur dengan gencar, melindungi Nabi dari serbuan Ibnu Qami’ah dan rekan-rekannya. Ia bertempur sambil memegang bendera perang dengan tangan kanannya. Mereka dapat menyabetkan pedang ke tangannya hingga putus. Lalu dia membawa bendera itu di tangan kirinya. Dia terus bertahan menghadapi serangan Orang-orang kafir hingga mereka dapat menyabet tangan kirinya hingga putus. Lalu bendera itu dijepitnya dengan dada dan lehernya hingga dia terbunuh. Musuh yang membunuhnya adalah Ibnu Qami’ah karena dia mengira Mush’ab adalah Rasulullah. Karena itu, setelah dapat membunuhnya dia langsung berbalik ke arah Orang-orang musyrik, lalu berteriak, “Muhammad telah terbunuh.”
Isu Kematian Rasulullah dan Pengaruhnya terhadap Peperangan
Tak lama setelah ada teriakan Ibnu Qami’ah tersebut, seketika itu juga tersiarlah kabar kematian Nabi di kalangan kaum Muslimin dan Orang-orang musyrik. Ini merupakan faktor yang mampu meluruhkan semangat para sahabat yang bertempur di lokasi jauh dari tempat beliau. Mental mereka langsung anjlok dan barisan mereka menjadi kocar-kacir.
Di sisi lain teriakan itu juga menurunkan kuantitas serangan Orang-orang musyrik, karena dengan begitu mereka mengira telah bisa mewujudkan tujuan yang paling pokok. Kebanyakan mereka sibuk dengan pikiran masing-masing; membayangkan sekian banyak kaum Muslimin yang menjadi korban.
Rasulullah Melanjutkan Pertempuran dan Menguasai Keadaan
Setelah Mush’ab bin Umair gugur. Rasulullah menyerahkan bendera kepada Ali bin Abu Thalib. Ali bertempur dengan hebat. Dengan heroisme dan semangat membara yang tak ada tandingannya. Para sahabat yang masih ada di sana bertempur dan juga bertahan. Pada saat itu Rasulullah bisa menyibak jalan dan bergabung dengan pasukan beliau yang sebelumnya telah mengambil jalan memutar. Beliau menghampiri mereka. Orang yang pertama kali melihat kehadiran beliau adalah Ka’ab bin Malik. Setelah melihat kehadiran beliau, dia berteriak, “Bergembiralah, wahai kaum Muslimin, inilah Rasulullah”
Beliau segera memberi isyarat kepada Ka’ab agar diam, dengan tujuan agar Orang-orang musyrik tidak mengetahui posisi beliau. Teriakan Ka’ab tadi bisa didengar kaum Muslimin. Mereka yang berjumlah sekitar tiga puluh orang berkerumun di sekitar beliau. Setelah berkumpul, Rasulullah mengambil strategi mundur sedikit demi sedikit ke arah jalan di bukit bersama mereka dengan membuka jalan di antara Orang-orang musyrik yang sedang melancarkan serangan. Bahkan, serangan mereka semakin ditingkatkan untuk menghalangi pengunduran tersebut. Namun, mereka gagal menghalanginya karena harus berhadapan dengan kehebatan para singa Islam.
Utsman bin Abdullah bin Al-Mughirah, salah seorang penunggang kuda dari pasukan musyrikin, merangkak ke hadapan Nabi sambil berkata, “Aku tidak selamat selagi dia masih selamat.” Beliau pun bangkit untuk menghadapinya. Tetapi, kuda Utsman bin Abdullah terperosok ke sebuah lubang.
Al-Harits bin Ash-Shimmah menghampiri Utsman dan membabat kakinya hingga terduduk. Kemudian dia meringkus dan melucuti senjatanya. Ia hendak membawanya ke hadapan Rasulullah, namun Abdullah bin Jabir mengejar Al-Harits dan menyabetkan pedang ke pundak Al-Harits hingga terluka. Abu Dujanah, seorang prajurit yang heroik dengan sorban merah yang dia ikatkan di kepala menyerang Abdullah bin Jabir dan menyabetkan pedang ke arahnya hingga kepalanya putus terpenggal.
Pada saat peperangan yang pahit itu, kaum Muslimin justru dikuasai rasa kantuk sebagai suatu penenteraman hati yang datangnya dari Allah, seperti yang disebutkan di dalam Al-Qur’an. Abu Thalhah berkata, “Aku termasuk orang yang tak mampu membendung rasa kantuk saat Perang Uhud hingga pedangku jatuh dari tangan beberapa kali. Pedang itu jatuh lalu kuambil, jatuh lagi lalu kuambil lagi.”
Dengan sambaran keberanian seperti itu, beliau dan para sahabat yang bersamanya dapat mencapai jalan bukit dan memberi jalan bagi sisa-sisa pasukan lain untuk melewatinya hingga mencapai tempat yang aman. Dengan demikian, mereka bisa bersatu di bukit. Bagaimanapun kecerdikan Khalid bin Al-Walid ternyata masih kalah dengan kecerdikan Rasulullah.
Tewasnya Ubay bin Khalaf
Ibnu Ishaq mengisahkan, “Setelah Rasulullah bisa berlindung di jalan bukit tersebut, Ubay bin Khalaf memergoki beliau seraya berkata, ‘Di mana Muhammad? Aku tidak akan selamat bila ia masih selamat.’ Orang-orang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah perlu salah seseorang di antara kami yang membuntuti di belakangnya?’ Beliau menjawab, ‘Biarkan saja.’
Setelah Ubay mendekat, beliau mengambil tombak pendek dari Al-Harits bin Ash-Shimmah. Setelah tombak berada di tangan, beliau mengibas-ngibaskannya, sehingga lalat-lalat yang hinggap di punggung unta pun beterbangan. Kemudian beliau menghampiri Ubay dan melihat tulang selangkanya di balik celah antara baju besi dan testisnya. Beliau memukulkan tombak ke tulang selangka Ubay hingga beberapa kali.
Saat Ubay kembali ke Mekkah, luka di tulang selangkanya menjadi bengkak padahal sebenarnya luka itu hanya luka kecil. Melihat luka yang semakin membengkak itu, dia berkata, ‘Demi Allah, Muhammad telah membunuhku.’ Orang-orang berkata kepadanya, ‘Demi Allah, rupanya jantungmu sudah copot. Demi Allah, engkau sudah tidak mempunyai kekuatan lagi.’ Ubay berkata, ‘Saat masih di Mekkah dulu dia pernah berkata kepadaku: Aku akan membunuhmu. Demi Allah, andaikan dia meludahku saja, maka ludahnya itu sudah bisa membunuhku’.”?! Akhirnya musuh Allah ini mati di Sarif, saat Orang-orang Quraisy pulang bersamanya ke Mekkah. Dalam riwayat Abul Aswad dari Urwah disebutkan bahwa Ubay melenguh seperti lenguhan sapi, seraya berkata, “Demi yang jiwaku ada di Tangan-Nya, andai kata yang terjadi pada diriku ini menimpa penduduk Dzul Majaz, pasti mereka akan mati semua.”
Thalhah Membantu Nabi Naik ke Gundukan Pasir
Pada saat mundur ke jalan bukit itu mereka harus melewati gundukan pasir yang cukup tinggi. Rasulullah berupaya mendaki gundukan itu, namun tidak bisa, sebab beliau mengenakan dua lapis baju besi, di samping luka yang cukup mengganggu gerakan beliau. Akhirnya Thalhah bin Ubaidullah jongkok di bawah, lalu beliau berdiri di atas Thalhah hingga dapat mendaki gundukan itu. Saat itu pula, beliau bersabda, “Wajib bagi Thalhah masuk surga.”
Serangan Terakhir Kaum Musyrikin
Setelah Rasulullah mendapatkan tempat sebagai pusat komando dijalan bukit, Orang-orang musyrik melancarkan serangan terakhir sebagai upaya menghabisi kaum Muslimin. Ibnu Ishaq menuturkan, “Selama Rasulullah berada di atas bukit, beberapa orang Quraisy berupaya mendaki bukit tersebut. Mereka dipimpin oleh Abu Sufyan dan Khalid bin Al-Walid. Beliau bersabda, ‘Ya Allah, tidak selayaknya mereka mengungguli kami.’ Kemudian Umar bin Al-Khattab bersama beberapa orang Muhajirin menyerang mereka, hingga mereka turun dari atas bukit.
Pada saat peperangan Orang-orang musyrik juga naik ke atas bukit.
Lalu Rasulullah bersabda kepada Saad, ‘Buatlah mereka ketakutan.’ Saad bertanya, ‘Bagaimana hanya dengan sendirian aku bisa membuat mereka ketakutan?’ Namun, beliau tetap bersabda seperti itu hingga tiga kali. Akhirnya Saad mengambil sebatang anak panah dari tabungnya, lalu membidikkannya ke tubuh salah seorang musyrik hingga dapat membunuhnya.
Saad menuturkan, ‘Kemudian anak panah itu kuambil lagi dan kubidikkan kepada seseorang yang lain hingga dapat membunuhnya. Kemudian anak panah itu kuambil lagi dan kubidikkan kepada seseorang yang lain lagi hingga dapat membunuhnya. Akhirnya mereka semua turun dari atas bukit. Kukatakan: Ini adalah anak panah yang penuh berkah. Lalu aku memasukkannya ke dalam tabungnya.’ Anak panah itu tetap disimpan Saad hingga saat dia meninggal dunia, dan setelah itu disimpan anak keturunannya.”
Itulah serangan terakhir yang dilancarkan Orang-orang Quraisy terhadap Nabi.
Para Syuhada Dicincang
Setelah mereka tidak tahu sama sekali ke mana beliau pergi dan setengah yakin telah dapat membunuh beliau, maka mereka kembali lagi ke markas pasukan, kemudian bersiap-siap untuk kembali ke Mekkah. Dj antara mereka ada yang masih berkutat dengan kesibukannya, seperti yang dilakukan para wanita Quraisy yang terus mencari-cari kaum Muslimin yang terbunuh. Mereka ada yang memotong telinga, hidung, dan kemaluannya, serta mencabik cabik perutnya.
Sementara itu, Hindun binti Utbah mengambil jantung Hamzah lalu mengunyah-ngunyahnya. Karena dia tidak bisa menelannya, kunyahannya dimuntahkan lagi. Dia juga memotong telinga dan hidung Hamzah lalu menjadikannya sebagai gelang kaki dan kalung.
Kualitas Kesiapan Para Pahlawan Muslimin untuk Berperang hingga Titik Penghabisan
Pada detik-detik terakhir ini ada dua peristiwa yang menunjukkan seberapa jauh kesiapan para pahlawan Muslim untuk terus berperang dan seberapa jauh keteguhan hati mereka di jalan Allah. Inilah dua peristiwa tersebut:
- Ka’ab bin Malik menuturkan, “Aku termasuk Orang-orang yang bergabung dalam peperangan. Setelah kulihat tindakan Orang-orang musyrik terhadap tubuh kaum Muslimin yang terbunuh, aku pun mendekat ke sana untuk mengintip. Kulihat ada seorang musyrik yang mengumpulkan baju-baju besi yang di dalamnya masih ada jasad kaum Muslimin seraya berkata, ‘Kumpulkanlah sebagaimana kalian mengumpulkan kambing-kambing yang sudah disembelih.’
Ternyata ada seorang Muslim yang sudah menunggu kedatangannya sejak tadi sambil mengenakan baju besinya. Aku berjalan mendekat di belakangnya dan telah kuperkirakan jarak antara diriku dan orang Muslim serta orang musyrik itu hingga semuanya dapat kulihat dengan jelas. Ternyata orang musyrik lebih lengkap dan lebih baik keadaannya. Aku terus mengawasi keduanya hingga mereka saling berhadapan. Orang Muslim memukul orang musyrik hingga terputus menjadi dua bagian. Orang Muslim itu menampakkan wajahnya dan bertanya kepadaku, ‘Bagaimana menurut pendapatmu, wahai Ka’ab? Aku adalah Abu Dujanah’.”
- Ada beberapa wanita Mukminah yang datang ke medan peperangan setelah pertempuran usai.
Anas mengisahkan, “Aku melihat Aisyah binti Abu Bakar dan Ummu Sulaim menyingsingkan gaunnya hingga terlihat gelang kakinya, sambil menggendong geriba tempat air di punggung. Mereka berdua memberi minum kepada Orang-orang lalu kembali mundur ke belakang untuk memenuhi geribanya, lalu maju lagi untuk memberj minum.
Umar berkata, “Ummu Salith memberikan geriba kepada kami pada waktu Perang Uhud.”
Di antara para wanita itu juga ada Ummu Aiman. Saat dia melihat kaum Muslimin lari kocar-kacir dan bahkan sebagian di antara mereka ada yang hendak kembali ke Madinah. Seketika itu, dia menaburkan debu ke wajah mereka dan berkata, “Jalankan saja alat penggiling dan berikanlah kepadaku pedangmu.” Setelah itu dia segera pergi ke kancah peperangan, memberi minum kepada Orang-orang yang terluka.
Dia juga sempat membidikkan anak panah mengenai Hibban bin Al-Ariqah. Anak panah itu. sebenarnya mengenai sasaran, tetapi mental karena mengenai baju besi. Musuh Allah itu tertawa terbahak-bahak karenanya. Hal ini membuat Rasulullah tidak senang. Beliau menyerahkan sebuah anak panah tanpa ada matanya kepada Saad bin Abu Waqqash, lalu Saad membidikkannya ke arah Hibban dan tepat mengenai sasaran pada tengkuknya, hingga membuatnya terjengkang ke tanah. Beliau tersenyum hingga terlihat gigi gerahamnya. Saat itu beliau bersabda, “Saad telah melecehkan Hibban untuk Ummu Aiman. Allah telah memenuhi doanya.”
Setelah Rasulullah tiba di Jalan Bukit
Setelah Rasulullah berada di jalan bukit, Ali bin Abu Thalib pergi. Tak seberapa lama kemudian dia kembali lagi sambil membawa perisai dari kulit yang sudah dipenuhi air yang di ambil dari mata air Al-Mihras. Dia menghampiri beliau dan meminta agar meminumnya. Namun, beliau mencium bau yang tidak sedap, sehingga tidak jadi meminumnya. Air itu beliau pergunakan untuk membasuh darah di muka beliau dan mengguyurkannya ke kepala, sambil bersabda, ‘Allah sangat murka terhadap orang yang membuat wajah Nabi-Nya berdarah’.”
Sahl berkata, “Demi Allah, aku benar-benar tahu siapa yang membasuh luka Rasulullah, siapa yang menuangkan air dan dengan apa mengobati. Fathimah, putri beliau yang membasuh dan Ali bin Abu Thalib yang menuangkan air. Ketika Fathimah melihat bahwa basuhan air itu justru membuat darah beliau semakin mengalir banyak, maka dia menyobek sepotong tikar lalu membakarnya dan menempelkannya di luka beliau, hingga darahnya berhenti.”
Muhammad bin Maslamah datang sambil membawa air yang segar. Maka Nabi meminumnya dan mendoakan kebaikan baginya.
Beliau shalat Zuhur di tempat itu sambil duduk karena lukanya, sedangkan kaum Muslimin bermakmum di belakang beliau juga sambil duduk.
Kegembiraan Abu Sufyan Pascaperang dan Dialognya dengan Umar
Setelah persiapan Orang-orang musyrik untuk pulang ke Mekkah telah beres, Abu Sufyan naik ke atas bukit lalu berteriak, “Apakah di antara kalian ada Muhammad?” Tak seorang pun yang menjawab. Lalu dia berseru lagi, “Apakah di antara kalian ada Ibnu Abi Quhafah?” Maksudnya adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Tak seorang pun yang menjawab. Lalu dia berseru lagi, “Apakah di tengah kalian ada Umar bin Al-Khattab?” Tak seorang pun yang menjawab, karena memang Nabi melarangnya.
Abu Sufyan hanya menanyakan tiga orang saja karena dia dan kaumnya menganggap mereka inilah yang menjadi sendi tegaknya Islam. Abu Sufyan berkata lagi, “Cukuplah bagi kalian Orang-orang itu.”
Umar yang mendengar ucapan Abu Sufyan ini tidak mampu menahan diri. Dia pun berteriak, “Wahai musuh Allah, Orang-orang yang engkau sebutkan itu masih segar bugar, dan justru Allah mengekalkan apa yang membuatmu sial.”
Abu Sufyan menimpali, “Faktanya di antara kalian banyak yang mati dan aku tidak peduli itu. Engkau sendiri tidak bisa mencelakakan aku.” Kemudian dia berkata lagi, “Agungkanlah Hubal.”?’
“Mengapa kalian tidak menjawabnya,” tanya Rasulullah. Mereka ganti bertanya kepada beliau, “Apa yang harus kami katakan?” Beliau menjawab, “Jawablah, ‘Allah lebih tinggi dan lebih agung’.”
Abu Sufyan berseru lagi, “Kami mempunyai Uzza dan kalian tidak memilikinya.”
“Mengapa kalian tidak menjawabnya?” tanya Rasulullah kepada para sahabat. Mereka ganti bertanya, “Apa yang harus kami katakan?” Beliau menjawab, “Jawablah, ‘Allah adalah penolong kami dan kalian tidak mempunyai seorang penolong pun’.”
Abu Sufyan berseru lagi, “Kalau berani naiklah engkau ke sini. Perang ini sudah bisa membalaskan Perang Badar. Peperangan sudah imbang.”
Umar menjawab, “Tidak sama, Orang-orang kami yang terbunuh berada di surga, sedangkan Orang-orang kalian yang terbunuh ada di neraka.”
Kemudian Abu Sufyan berkata, ‘“Wahai Umar, kemarilah!”
Rasulullah bersabda, “Temuilah dia, lihat apa maunya!” Maka Umar menghampiri Abu Sufyan.
Setelah mendekat, Abu Sufyan bertanya, “Demi Allah, aku memohon kepadamu, wahai Umar, apakah kami benar-benar telah membunuh Muhammad?”
Umar menjawab, “Demi Allah, sama sekali tidak. Beliau pun bisa mendengar perkataanmu saat ini,” tambahnya.
Abu Sufyan berkata, “Engkau bagiku lebih jujur dan lebih baik daripada Ibnu Qami’ah.” Ia mengatakan demikian karena Ibnu Qami’ah yang berteriak saat pertempuran sedang berkecamuk, bahwa dia telah membunuh Rasulullah.
Ibnu Ishaq menuturkan, setelah Abu Sufyan dan Orang-orang yang bersamanya berbalik untuk kembali ke Mekkah, dia berseru, “Tempat yang telah disepakati pada tahun depan adalah Badar.”
Rasulullah bersabda kepada salah seorang di antara sahabat, “Jawablah, ‘Ya. Di sanalah tempat yang telah disepakati antara kami dan dirimu’.
Kemudian Rasulullah # mengutus Ali bin Abu Thalib dan berpesan, “Pergilah dan buntutilah mereka. Lihatlah apa yang mereka lakukan dan apa yang mereka kehendaki. Jika mereka mengikat kuda dan menaiki untanya, berarti mereka pergi menuju Mekkah. Namun, jika mereka menaiki kuda dan mengikat untanya, berarti mereka hendak menuju Madinah. Demi yang diriku ada di Tangan-Nya, jika mereka menghendaki yang demikian itu, aku benar-benar akan menghadapi mereka di sana dan menggempur mereka.”
Ali menuturkan, “Lalu aku membuntuti mereka untuk melihat apa yang mereka kerjakan. Ternyata mereka mengikat kuda dan menaiki unta. Mereka pergi menuju Mekkah.”
Mencari Korban yang Terbunuh dan Terluka
Mereka memeriksa dan mencari Orang-orang yang terluka dan terbunuh setelah Orang-orang Quraisy pulang. Zaid bin Tsabit berkata, “Rasulullah mengutusku agar mencari Saad bin Ar-Rabi.’ Beliau bersabda, ‘Jika engkau sudah menemukannya, sampaikan salamku kepadanya. Katakan juga kepadanya, ‘Rasulullah #% bertanya kepadamu, ‘Apa yang engkau rasakan?’”’
Zaid bin Tsabit menuturkan, “Kemudian aku berputar-putar di antara Orang-orang yang terbunuh, hingga aku menemukannya dengan sebuah tombak terakhir yang mengenainya. Sementara di sekujur tubuhnya penuh puluhan luka, karena sabetan pedang, hujaman anak panah maupun tikaman tombak.”
Aku berkata kepadanya, “Wahai Saad, Rasulullah menyampaikan salam kepadamu dan bersabda kepadamu, ‘Sampaikanlah kepadaku bagaimana yang engkau rasakan.”
Saad bertanya, “Jadi Rasulullah menyampaikan salam kepadaku? Sampaikan kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, aku mencium bau surga. Katakan pula kepada kaumku Anshar, kalian tidak perlu lagi mencari alasan di sisi Allah jika memang Rasulullah. sudah selamat dan ada mata yang melihatnya’. Setelah itu dia langsung menghembuskan napasnya yang terakhir.
Di antara Orang-orang yang terluka itu, para sahabat menemukan Al-Ushairim dari Bani Abdul Asyhal Amr bin Tsabit. Di badannya masih terhunjam tombak kecil. Sebelumnya mereka menawarinya agar masuk Islam, namun Al-Ushairim menolaknya.
Mereka bertanya-tanya, “Bukankah ini Al-Ushairim? Apa yang telah dilakukannya? Saat kami meninggalkannya, dia masih menolak perintah kami.”
Kemudian mereka bertanya kepadanya, “Apa yang telah engkau lakukan? Apakah karena engkau merasa kasihan kepada kaummu ataukah karena kecintaan kepada Islam?”
Al-Ushairim menjawab, “Karena kecintaan kepada Islam. Aku telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Kemudian aku berperang bersama Rasulullah hingga aku mendapat musibah seperti yang kalian lihat saat ini.”
Setelah itu dia meninggal dunia. Mereka mengabarkan kejadian tersebut kepada Rasulullah. Maka beliau bersabda, “Dia termasuk penghuni surga.”
Abu Hurairah berkata, “Padahal, sekali pun Al-Ushairim belum pernah shalat kepada Allah.”
Mereka juga menemukan Quzman di tengah-tengah korban perang tersebut. la bertempur dengan hebat lazimnya seorang pahlawan perang. Dia sendiri mampu membunuh tujuh atau delapan orang musyrik. Mereka mendapatkannya menahan rasa sakit karena luka yang dideritanya. Lalu mereka membawanya ke perkampungan Bani Zhafr.
Kaum Muslimin menghiburnya dengan menyampaikan kabar gembira bagi mujahid di jalan Allah. Namun, dia menjawab, “Demi Allah, aku ikut berperang hanya karena kehormatan kaumku. Kalau tidak karena itu, aku tidak sudi berperang.” Karena merasa tidak tahan lagi dengan sakit yang dideritanya, dia pun bunuh diri. Setelah mendengar kabarnya, Rasulullah bersabda, “Jika dia berkata seperti itu, dia termasuk penghuni neraka.”
Begitulah akhir perjalanan Orang-orang yang berperang karena membela kesukuan atau karena niat lain selain untuk meninggikan kalimat Allah. Sekalipun berperang di bawah bendera Islam dan bergabung bersama pasukan Rasulullah dan para sahabat, itu tidak berarti apa-apa bila niatnya salah.
Berbeda dengan kisah tersebut, di antara korban juga ditemukan seorang Yahudi dari Bani Tsa’labah yang bernama Mukhairiq. Dia berkata kepada kaumnya, “Wahai Orang-orang Yahudi, demi Allah, kalian sudah tahu bahwa membantu Muhammad saat ini merupakan kewajiban bagi kalian.”
Mereka berkata, “Hari ini adalah hari Sabtu.” Hari Sabtu adalah hari besar dan suci bagi Orang-orang Yahudi. Pada hari ini mereka tidak diperkenankan berperang.
“Tidak ada hari Sabtu bagi kalian, “ jawabnya.
Dia lalu mengambil pedang dan segala perlengkapan sambil berkata,
“Bila aku nanti binasa, hartaku menjadi hak milik Muhammad. Dia berhak berbuat sesukanya dengan harta tersebut.” Kemudian dia pergi ke medan perang dan bertempur hingga terbunuh. Rasulullah bersabda tentang dirinya, “Mukhairiq adalah sebaik-baik orang Yahudi.”
Evakuasi dan Pemakaman Jasad Para Syuhada
Rasulullah menghampiri Orang-orang yang gugur syahid dan bersabda, “Aku menjadi saksi atas mereka, bahwa tidaklah seorang pun yang terluka karena Allah melainkan Allah akan membangkitkannya pada hari kiamat dalam kondisi lukanya berdarah, warnanya warna darah namun baunya adalah bau minyak kesturi.”
Sebagian sahabat ada yang sudah membawa para korban yang terbunuh ke Madinah. Lalu beliau memerintahkan agar mengembalikan para korban itu ke Uhud dan menguburkannya di tempat masing-masing menemui ajalnya. Beliau juga memerintahkan agar mereka tidak dimandikan dan dikuburkan beserta pakaian yang melekat di badan setelah melepas bahan-bahan pakaian dari besi dan kulit.
Satu lubang diisi dua atau tiga jasad, dan setiap dua orang dibungkus dengan satu lembar kain. Beliau bersabda, “Siapakah yang lebih banyak hafal Al-Qur’an?” Maka bila mereka menunjukkan siapa yang dimaksud, beliau mendahulukannya masuk ke liang lahad. Beliau bersabda, “Aku menjadi saksi atas mereka pada hari kiamat.” Jasad Abdullah bin Amr bin Haram dan Amr bin Al-Jamuh dimasukkan dalam satu liang, karena seperti diketahui keduanya saling mencintai.
Di tempat lain, para sahabat kehilangan usungan mayat Hanzhalah. Setelah mencari ke sana kemari, mereka mendapatkannya di sebuah gundukan tanah yang masih menyisakan guyuran air di sana. Rasulullah mengabarkan para sahabat bahwa malaikat sedang memandikan jasadnya. Lalu beliau bersabda, “Tanyakan kepada keluarganya, ada apa dengan dirinya?”
Lalu mereka bertanya kepada istrinya, dan dikabarkan tentang keadaannya yang sedang junub saat berangkat perang. Dari kejadian ini dia mendapat julukan Ghasilul Malaikah (Orang yang Dimandikan Malaikat).
Ketika Rasulullah melihat keadaan Hamzah, paman dan saudara sesusuan beliau, beliau sangat sedih. Ketika bibi beliau, Shafiyah hendak melihat jasad saudaranya, Hamzah, beliau memerintahkan anaknya, AzZubair, untuk mengalihkannya agar tidak melihat apa yang menimpa jasad Hamzah. Shafiyah bertanya, “Ada apa memangnya? Aku mendengar saudaraku itu banyak mendapat luka, dan itu terjadi karena Allah. Kami ridha sekalipun keadaan sedemikian rupa. Aku akan tabah dan sabar, insya Allah.” Lalu dia mendekati jasad Hamzah, memandanginya lalu mendoakan kebaikan untuknya. Setelah itu dia mundur dan memohon ampunan baginya. Rasulullah memerintahkan agar jasad Hamzah dikubur satu liang dengan jasad Abdullah bin Jahsy, keponakan dan saudaranya sesusuan.
Ibnu Mas’ud berkata, “Kami tidak pernah melihat Rasulullah dalam keadaan menangis lebih sesenggukan daripada tangisnya atas Hamzah bin Abdul Mutholib. Beliau memeluknya, kemudian berdiri di sampingnya. Beliau menangis lagi hingga terisak-isak.”
Pemandangan para syuhada benar-benar sangat mengenaskan dan membuat hati terasa teriris-iris. Knabbab berkata, “Tidak ada kafan bagi Hamzah selain selembar mantel yang berwarna putih bercampur hitam. Jika mantel itu ditarik ke bagian kepala, kakinya menyembul, dan jika ditarik ke bagian kaki, kepalanya yang menyembul. Akhirnya mantel itu ditarik menutupi kepala, sedangkan bagian kaki ditutupi dengan daun.”
Abdurrahman bin Auf berkata, “Mush’ab bin Umair terbunuh, padahal dia lebih baik daripada aku. Dia kafani dengan mantel. Jika bagian kepalanya yang ditutupi, kakinya tersingkap, namun bila kakinya yang ditutupi, bagian kepalanya tersingkap.” Hal yang sama juga terjadi pada Khabbab.
Dalam keadaan seperti itu, Rasulullah bersabda kepada kami, “Tutupkanlah mantel itu ke bagian kepalanya dan tutuplah bagian kakinya dengan dedaunan.”
Rasulullah Memanjatkan Pujian dan Doa kepada Allah
Imam Ahmad meriwayatkan, “Ketika Perang Uhud terjadi dan setelah Orang-orang musyrik kembali, Rasulullah bersabda, “Berbarislah yang lurus. Aku akan memuji Allah dan berdoa kepada-Nya.” Maka mereka berjajar dalam beberapa shaf di belakang beliau. Kemudian beliau membaca doa:
‘Ya Allah, segala puji bagi-Mu. Ya Allah, tidak ada yang bisa menahan apa yang Engkau lepaskan, tidak ada yang bisa melepaskan apa yang Engkau tahan. Tidak ada yang bisa memberi petunjuk kepada orang yang Engkau sesatkan dan tidak ada yang bisa menyesatkan orang yang Engkau beri petunjuk. Tidak ada yang bisa memberi apa yang Engkau tahan dan tidak ada yang bisa menahan apa yang Engkau berikan. Tidak ada yang bisa mendekatkan apa yang Engkau jauhkan dan tidak ada yang bisa menjauhkan apa yang Engkau dekatkan.
Ya Allah, karuniakanlah kepada kami sebagian dari berkah, rahmat, karunia, dan rezeki-Mu. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kenikmatan yang kekal kepada-Mu, yang tidak berubah dan habis.
Ya Allah, sesungguhnya aku memohon pertolongan kepada-Mu saat lemah dan keamanan pada saat ketakutan. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan yang Engkau berikan kepada kami dan kejahatan yang Engkau tahan dari kami.
Ya Allah, jadikanlah kami mencintai iman dan buatlah iman itu bagus di dalam hati kami. Jadikanlah kami membenci kekufuran, kefasikan dan kedurhakaan. Jadikanlah kami termasuk Orang-orang yang mengikuti jalan kebenaran. Ya Allah, matikanlah kami dalam keadaan berserah diri dan hidupkanlah kami dalam keadaan berserah diri. Himpunlah kami bersama Orang-orang shalih tanpa ada kehinaan dan bukan dalam keadaan mendapat cobaan. Ya Allah, musuhilah Orang-orang kafir yang mendustakan rasul-rasul-Mu dan menghalangi manusia dari jalan-Mu. Berikanlah siksaan dan azab-Mu terhadap mereka. Ya Allah, musuhilah Orang-orang kafir yang telah diberi Al-Kitab, wahai Ilah yang haq.
Kembali ke Madinah
Setelah proses penguburan para syuhada lalu berdoa kepada Allah dan pasrah kepada-Nya, Rasulullah kembali ke Madinah. Di sini terlihat butir-butir cinta dan kasih sayang dari para wanita Mukminah, seperti kecintaan yang ditampakkan Orang-orang Mukmin di medan peperangan.
Di tengah perjalanan beliau berpapasan dengan Hamnah binti Jahsy. Setelah kematian saudaranya dikabarkan kepadanya, dia mengucapkan kalimat istirja’ dan memohon ampunan baginya. Dia berbuat hal serupa ketika dikabarkan kematian pamannya, Hamzah bin Abdul Mutholib. Namun, ketika dikabarkan kematian suaminya, Mush’ab bin Umair, dia menjerit dengan suara yang keras. Saat itu beliau bersabda, “Suami itu mempunyai tempat tersendiri di hati istrinya.”
Di tengah perjalanan, beliau juga berpapasan dengan seorang wanita dari Bani Dinar. Suami saudara dan ayahnya terbunuh dalam Perang Uhud ini. Saat Orang-orang memberitahukan kematian mereka, wanita ini justru bertanya, “Lalu apa yang terjadi pada diri Rasulullah” Mereka menjawab, “Beliau baik-baik saja, wahai Ummu Fulan. Alhamdulillah, beliau seperti yang engkau inginkan.” Wanita tersebut berkata, “Tunjukkan kepadaku agar aku bisa melihat beliau.” Ketika wanita itu sudah melihat beliau, dia berkata, “Setiap musibah asal tidak menimpa engkau adalah kecil.”*
Kemudian Ummu Saad bin Muadz datang sambil berlari-lari. Melihat hal tersebut, Saad langsung memegang tali kekang kuda beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah, itu adalah ibuku.” Beliau bersabda, “Selamat atas kedatangannya.” Lalu beliau berdiri untuk menyongsongnya. Setelah dia dekat, Amr bin Muadz anaknya yang lain berusaha menghiburnya, Namun, Ummu Saad berkata kepada Rasulullah, “Selagi kulihat engkau selamat, musibah yang menimpa kuanggap ringan.”
Kemudian beliau berdoa untuk keluarga para korban Perang Uhud, lalu bersabda, “Wahai Ummu Saad, bergembiralah dan sampaikanlah kabar gembira kepada keluarga mereka, bahwa mereka yang terbunuh saling menyayangi di surga semuanya, dan mereka juga memintakan syafaat bagi keluarga mereka semua.”
Ummu Saad berkata, “Kami ridha wahai Rasulullah. Siapakah yang masih ingin menangis setelah ini?” Lalu dia berkata lagi, “Wahai Rasulullah, berdoalah bagi Orang-orang yang menggantikan keluarga mereka.”
Beliau bersabda, “Ya Allah, singkirkanlah duka hati mereka, gantilah
yang hilang dan baguskanlah Orang-orang yang menggantikan mereka.”*! Rasul 28 Tiba di Madinah Pada sore hari Sabtu 7 Syawal 3 H, Rasulullah tiba di Madinah. Setelah bertemu keluarga, beliau menyerahkan pedang kepada putrinya, Fathimah, seraya bersabda, “Bersihkanlah darah di pedang ini wahai putriku. Demi Allah, ia telah memperlihatkan kehebatannya pada perang kali ini.” Ali bin Abu Thalib juga menyerahkan pedangnya kepada Fathimah seraya berkata, “Bersihkan pula darah di pedang ini. Demi Allah, ia telah memperlihatkan kehebatannya kepadaku pada perang kali ini.”
Lalu Rasulullah #¢ bersabda, “Bila engkau telah memperlihatkan kehebatanmu dalam perang ini, Sahl bin Hunaif dan Abu Dujanah juga telah berbuat yang serupa denganmu.”
Korban yang Terbunuh di Kedua Belah Pihak
Beberapa riwayat telah sepakat menyebutkan bahwa korban yang meninggal di pihak kaum Muslimin ada 70 orang, yang kebanyakan berasal dari kalangan Anshar, tepatnya sebanyak 65 orang. Dengan rincian, 41 dari Khazraj dan 24 dari Aus. Korban dari kalangan Yahudi adalah 1 orang, sedangkan dari kalangan Muhajirin hanya 4 orang.
Di pihak musuh, korban yang terbunuh menurut Ibnu Ishaq ada 22 orang. Tetapi, setelah ada penelusuran yang lebih mendetail dengan mempertimbangkan kondisi peperangan saat itu, dan hal ini juga dikuatkan beberapa pakar sirah dan peperangan, ternyata korban di pihak mereka ada 37 orang, bukan 22 orang. Wallahu a’lam.
Siaga Satu di Madinah Pascaperang
Kaum Muslimin berada di Madinah pada malam Ahad, sepulang dari Perang Uhud. Mereka berada dalam keadaan darurat, di samping badan yang terasa letih dan payah. Kali ini mereka benar-benar mendapat ujian besar. Karena itu, mereka memberlakukan siaga satu dengan berjagajaga di dalam dan pinggiran Madinah, khususnya menjaga komandan tertinggi, Rasulullah, yang sewaktu-waktu bisa terancam bahaya.
Perang Hamra’ul Asad
Rasulullah melewati malam tersebut sambil memikirkan apa yang baru saja terjadi di Uhud. Beliau khawatir bila Orang-orang Quraisy berpikir bahwa mereka belum mendapatkan kemenangan yang mutlak dan mereka pun tidak mendapatkan keuntungan material yang berarti dj kancah peperangan. Dengan demikian, masih ada kemungkinan mereka akan kembali lagi ke Madinah untuk melakukan serangan baru. Karena itulah, beliau bertekad mengusir pasukan Quraisy.
Para pakar peperangan menyatakan bahwa Nabi berseru di hadapan Orang-orang dan menganjurkan agar mereka mengejar musuh, Ini terjadi pada keesokan hari setelah Perang Uhud, tepatnya hari Ahad 8 Syawal 3 H. Beliau bersabda, “Yang boleh bergabung bersama kamj hanyalah Orang-orang yang sebelumnya bergabung dalam Perang Uhud.”
“Bagaimana jika saya ikut bersama Anda?” tanya Abdullah bin Ubay, pemimpin Orang-orang munafik. “Tidak.” jawab beliau.
Banyak orang Muslim yang meminta izin kepada beliau, karena Orang-orang yang bergabung dalam Perang Uhud banyak yang terluka dan beliau mengizinkan mereka. Jabir bin Abdullah juga meminta izin seraya berkata, “Wahai Rasulullah, saya suka bila selalu menyertai setiap kali Anda terjun ke peperangan. Kemarin saya tidak bisa ikut serta karena harus mewakili ayah saya mengurus saudari-saudari saya. Maka kali ini izinkanlah saya untuk bergabung bersama Anda.” Akhirnya dia diizinkan.“
Rasulullah bersama kaum Muslimin keluar dari Madinah hingga tiba di Hamra’ul Asad, sejauh 8 mil dari Madinah. Mereka bermarkas di sana. Saat berada di sana, Ma’bad bin Abu Ma’bad Al-Khuza’i menghadap Rasulullah lalu masuk Islam. Tetapi, ada pendapat yang mengatakan bahwa dia masih dalam keadaan musyrik saat itu. Namun, ada riwayat yang menyatakan bahwa dia memberikan nasihat dan berpihak kepada beliau, apalagi ada perjanjian persahabatan antara Bani Khuza’ah dan Bani Hasyim. Dia berkata, “Wahai Muhammad, demi Allah, kami (Orang-orang Quraisy) merasa hebat karena bencana yang menimpa rekan-rekanmu. Namun, aku tetap berharap Allah masih memberi afiat kepadamu.” Lalu beliau menyuruh Ma’bad agar menyusul Abu Sufyan dan pasukannya serta melecehkannya.
Ternyata, apa yang dikhawatirkan oleh beliau tentang kemungkinan pasukan Quraisy untuk melakukan serangan kembali ke Madinah memang benar adanya. Saat singgah di Ar-Rauha’ yang jaraknya 36 mil dari Madinah, Orang-orang musyrik saling ejek. “Kalian belum berbuat apa-apa,” kata sebagian di antara mereka kepada sebagian yang lain. “Kalian sudah menguasai pemuka dan orang yang kuat di antara mereka, kemudian kalian meninggalkan mereka. Sementara, masih ada sekian banyak kepala yang bersatu lagi untuk menghadapi kalian. Kembalilah untuk mencabut hingga ke akar-akar mereka.”
Sebenarnya jalan pikiran ini hanya muncul dari pikiran yang dangkal, dari Orang-orang yang tidak bisa mengukur secara persis kekuatan di kedua belah pihak dan khususnya kekuatan spiritual mereka. Karena itu, pemimpin yang ikut bertanggung jawab terhadap pasukan Quraisy, yaitu Shafwan bin Umayyah, menolak jalan pikiran ini. Dia menanggapi, “Wahai kaumku, jangan lakukan itu! Karena aku khawatir semua orang yang kemarin tidak ikut keluar—dalam Perang Uhud—akan bergabung untuk menghadapi kalian. Pulanglah kalian dan biarkan kemenangan ini menjadi giliran kalian. Jika kalian kembali lagi, aku tidak berani menjamin kemenangan ini menjadi milik kalian lagi.”
Namun, pendapat mayoritas menolak pendapat Shafwan. Karenanya, Orang-orang Quraisy sepakat untuk kembali lagi ke Madinah. Tetapi, sebelum mereka beranjak dari tempat tersebut, Ma’bad bin Abu Ma’bad sudah tiba di hadapan mereka. Abu Sufyan sendiri tidak tahu bahwa Ma’bad sudah masuk Islam. Ia bertanya kepada Ma’bad, “Apa yang terjadi di belakangmu, wahai Ma’bad?”
Ma’bad menjawab, “Muhammad pergi bersama rekan-rekannya untuk mencari kalian dalam jumlah yang tidak pernah kulihat sebanyak itu. Mereka marah kepada kalian. Orang-orang yang belum bergabung untuk memerangi kalian kini bergabung bersamanya. Mereka menyesal karena tidak ikut dalam peperangan. Yang pasti, jumlah mereka sangat banyak.”
“Celaka engkau! Apa yang engkau katakan ini’?” tanya Abu Sufyan.
“Demi Allah, menurut pendapatku, lebih baik kalian segera pulang sebelum dia memergoki buntut pasukan ini.”
“Demi Allah, sebenarnya kami sudah sepakat untuk kembali lagi menyerang mereka, hingga kami dapat membinasakan mereka,” kata Abu Sufyan.
“Jangan lakukan itu. Inilah nasihatku,” kata Ma’bad.
Seketika itu juga, tekad pasukan Quraisy menjadi melempem. Mereka tidak lagi bersemangat dan bahkan timbul rasa takut. Karena itu, tidak ada pilihan lain selain segera kembali ke Mekkah. Ma’bad berharap dapat mengusir pasukan Quraisy, sekalipun Abu Sufyan sudah bertekad bulat untuk menghabisi pasukan Islam. Karena, dengan demikian dia bisa menggagalkan pecahnya pertempuran antara kedua belah pihak.
Dalam perjalanan pulang ke Mekkah, Abu Sufyan berpapasan dengan rombongan Abdul Qais yang hendak pergi ke Madinah. “Apakah kalian sudi menyampaikan suratku kepada Muhammad?” tanya Abu Sufyan. “Saat kalian ke Mekkah nanti, kami akan memberikan kismis di pasar Ukazh kepada rombongan kalian,” tambahnya. Mereka pun menjawab, “Bolehlah,” kata mereka. Abu Sufyan berkata, “Sampaikan juga kepada Muhammad bahwa aku telah menghimpun sekian banyak orang untuk menghabisinya dan menghabisi rekan-rekannya.”
Setelah bertemu dengan Rasulullah dan para sahabat yang masih berada di Hamra’ul Asad, rombongan Abdul Qais menyampaikan pesan Abu Sufyan kepada beliau. Mereka berkata, “Sesungguhnya mereka telah berhimpun untuk menghadapi kalian. Karena itu, waspadalah!”
Tetapi, pesan yang disampaikan itu justru semakin menambah kemantapan iman Orang-orang Muslim. Hal ini digambarkan dalam firman Allah berikut:
Mereka berkata, “Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Dia adalah sebaik-baik Pelindung.” Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. (Ali ‘Imran: 173-174)
Rasulullah berada di Hamra’ul Asad, setelah hari Ahad sebagai hari pertama, selama tiga hari sampai hari Rabu, 9 -11 Syawal 3 H, dan setelah itu kembali lagi ke Madinah.
Sebelum kembali ke Madinah, beliau dapat menangkap Abu Azzah AlJumahi, yang pada saat Perang Badar menjadi tawanan, lalu dibebaskan Rasulullah karena keadaannya yang miskin dan putrinya banyak. Namun, dengan syarat dia tidak boleh lagi membantu seorang pun untuk memerangi beliau. Sayangnya, Abu Azzah ingkar janji, karena dia membangkitkan semangat Orang-orang Quraisy dengan syair-syairnya untuk memerangi beliau dan kaum Muslimin, dan bahkan juga ikut bergabung bersama pasukan Quraisy dalam Perang Uhud.
Setelah tertangkap, dia berkata, “Wahai Muhammad, bebaskanlah dan kasihanilah aku. Lepaskanlah diriku, demi putri-putriku. Berilah aku satu perjanjian lagi agar aku tidak mengulang lagi perbuatan seperti ini.” Beliau bersabda, “Dua kali pembangkanganmu di Mekkah tidak akan terhapus, dan setelah itu engkau berkata, ‘Aku telah menipu Muhammad dua kali’. Orang Mukmin itu tidak akan terjerumus ke dalam satu lubang dua kali.” Kemudian beliau memerintahkan Az-Zubair atau Ashim bin Tsabit untuk membunuhnya.*
Beliau juga menjatuhkan hukuman yang sama kepada salah seorang mata-mata Quraisy, yaitu Muawiyah bin Al-Mughirah bin Abul Ash, kakek Abdul Malik bin Marwan dari keturunan ibunya. Hal ini bermula darj inisiatif Muawiyah untuk menemui keponakannya, Utsman bin Affan ags setelah Orang-orang Quraisy kembali dari Perang Uhud. Lalu Utsman meminta perlindungan keamanan baginya kepada Rasulullah.
Beliau mengabulkan permintaan Utsman selama tiga hari. Setelah itu tidak ada lagi perlindungan baginya bila dia tertangkap. Namun, ketika Madinah ditinggalkan pasukan, dia menetap di sana lebih tiga hari dan dia melakukan kegiatan mata-mata untuk kepentingan Quraisy. Setelah pasukan Islam kembali ke Madinah, dia cepat-cepat melarikan diri. Rasulullah memerintahkan Zaid bin Haritsah dan Ammar bin Yasir untuk mengejarnya. Keduanya dapat menyusul Muawiyah lalu membunuhnya.
Tidak disangsikan bahwa Perang Hamra’ul Asad ini bukan merupakan peperangan yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari Perang Uhud dan kelanjutannya.
Itulah Perang Uhud dengan seluruh tahapan dan rinciannya. Para peneliti telah mengadakan analisis yang panjang tentang kesimpulan akhir dari peperangan ini, apakah ini merupakan kekalahan atau bukan bagi kaum Muslimin. Yang tidak disangsikan lagi bahwa keunggulan militer di putaran kedua berada di tangan pasukan kaum musyrikin. Mereka bisa menguasai medan peperangan. Jumlah korban di pihak pasukan Islam juga lebih banyak serta lebih parah. Bahkan ada satu kelompok pasukan kaum Muslimin yang kalah total. Jalannya pertempuran pun menunjukkan keuntungan pasukan Mekkah. Namun, semua ini belum cukup bagi kita untuk beranggapan bahwa itu sudah mencerminkan kemenangan bagi pasukan Quraisy.
Tidak diragukan bahwa pasukan Mekkah tidak mampu menguasai pasukan kaum Muslimin. Sekalipun pasukan kaum Muslimin sempat kacau balau, sejumlah besar dari mereka tidak melarikan diri. Mereka terus bertempur dengan gagah berani hingga dapat bersatu kembali dengan komandan pasukan. Mereka sama sekali tidak jatuh ke tangan pasukan Quraisy dan tak seorang pun di antara mereka yang tertawan. Di samping itu, pasukan Quraisy tak mendapatkan barang rampasan walau sedikit pun.
Pada putaran ketiga pasukan Quraisy tidak melanjutkan pertempuran. Justru mereka lebih dahulu mengundurkan diri sebelum pasukan kaum Muslimin mengundurkan diri dari kancah peperangan. Mereka tidak berani masuk Madinah untuk menjarah tawanan dan barang, sekalipun jaraknya tidak seberapa jauh lagi dan di sana dalam keadaan kosong.
Semua itu menunjukkan kepada kita bahwa pasukan Quraisy belum berhasil menimpakan bencana dan kerugian yang besar kepada pasukan kaum Muslimin. Bahkan, bisa dikatakan, mereka gagal mewujudkan citacita untuk memusnahkan pasukan Muslimin, terutama setelah mereka bisa membalik keadaan saat pertempuran. Hal seperti ini bukan sesuatu yang aneh bagi para prajurit yang berjuang di medan perang.
Keputusan Abu Sufyan untuk buru-buru menarik diri dari kancah peperangan dan kembali ke Mekkah, mengesankan kepada kita bahwa sebenarnya dia telah dirasuki perasaan takut dan waswas bila pasukannya justru akan mengalami kekalahan telak pada putaran ketiga. Kesan ini semakin kuat setelah kita tahu keputusan yang diambil Abu Sufyan karena dia mengetahui bahwa Rasulullah dan pasukan kaum Muslimin menyusulnya hingga tiba di Hamra’ul Asad.
Dengan demikian, Perang Uhud ini merupakan peperangan yang tidak bisa diputuskan siapa yang kalah dan yang menang karena masing-masing pihak mendapat kemenangan dan kerugiannya sendiri-sendiri. Apalagi kedua belah pihak menahan diri untuk tidak saling menyerang.
Jadi inilah pengertian peperangan yang tidak bisa dipastikan siapa yang kalah dan yang menang. Hal ini telah diisyaratkan firman Allah:
Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya mereka pun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedangkan kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan. (An-Nisa’: 104)
Kedua belah pihak merasa mendapat keuntungan dan juga dapat menimpakan kerugian kepada pihak lain, sehingga kedudukannya menjadi imbang. Kemudian kedua belah pihak pulang dan masing-masing merasa menang.
Al-Qur’an Berbicara tentang Peperangan Ini
Al-Qur’an turun menyoroti setiap kejadian yang penting dalam peperangan ini, tahapan demi tahapan, ditambah dengan beberapa catatan yang menjelaskan sebab-sebab yang mengakibatkan kerugian yang besar tersebut. Al-Qur’an juga menampakkan beberapa sisi kelemahan yang ada di tengah pasukan Orang-orang Mukmin ini jika dikaitkan dengan kewajiban yang seharusnya mereka kerjakan pada saat-saat yang kritis, apalagi bila itu dikaitkan dengan tujuan yang hendak diraih umat ini, sebagai umat paling baik yang dikeluarkan bagi manusia.
Al-Qur’an juga membicarakan sikap Orang-orang munafik, melecehkan diri mereka dan menyingkap permusuhan terhadap Allah dan Rasul-Nya yang tersimpan di dalam hati mereka, sambil berusaha mengenyahkan keraguan dan kebimbangan yang bersemayam di dalam hati Orang-orang Mukmin yang lemah. Karena kelompok inilah yang menjadi sasaran Orang-orang munafik dan Yahudi. Al-Qur’an juga mengisyaratkan tujuan yang mulia dari peperangan ini.
Ada enam puluh ayat dari surat Ali Imran yang turun mengenai peperangan ini dan diawali dengan permulaan tahapan perang:
Dan (ingatlah), ketika kamu berangkat pada pagi hari dari (rumah) keluargamu akan menempatkan Orang-orang yang beriman pada beberapa tempat untuk berperang. (Ali ‘Imran: 121)
Kesudahan ayat-ayat ini merupakan catatan menyeluruh dari hasil peperangan dan hikmahnya. Allah berfirman:
Allah sekali-kali tidak akan membiarkan Orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang gaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya.
Karena itu, berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar. (Ali ‘Imran: 179)
Hikmah dan Tujuan Jangka Panjang dari Peperangan Ini
Ibnul Qayyim telah membahas hikmah dan sasaran lebih jauh dari peperangan ini. Ibnu Hajar menuturkan bahwa para ulama berkata, “Kisah mengenai Perang Uhud dan kesudahan yang menimpa kaum Muslimin mengandung berbagai faedah dan hikmah Tuhannya, di antaranya:
- Memperlihatkan kepada kaum Muslimin akibat yang sangat tidak menguntungkan dari kedurhakaan dan melanggar larangan. Tepatnya adalah tindakan para pemanah yang meninggalkan posnya di atas bukit, padahal Rasulullah memerintahkan agar mereka tidak meninggalkan tempat itu, bagaimana pun keadaan inti pasukan Muslim.
- Seperti yang biasa terjadi pada diri para rasul bahwa bila mereka mendapat cobaan tentu akan disusul dengan kesudahannya, Hikmah dari cobaan ini, jika para rasul terus-menerus mendapat kemenangan, Orang-orang yang sebenarnya tidak termasuk golongan mereka juga ikut bergabung, sehingga sulit dibedakan mana orang yang benar-benar beriman dan manakah orang yang hanya pura-pura beriman. Sebaliknya, jika mereka terus-menerus kalah, tujuan pengutusan mereka tidak tercapai.
Hikmahnya akan tampak jika sesekali menang dan sesekali kalah, agar orang yang membenarkan dapat dibedakan dari orang yang mendustakan. Sebab, kemunafikan Orang-orang munafik benar-benar tersamar di tengah Orang-orang Muslim. Saat kisah ini bergulir dan Orang-orang munafik menampakkan belangnya lewat perbuatan dan perkataan mereka, semuanya menjadi tampak jelas, sehingga kaum Muslimin mengetahui bahwa di tengah mereka ada musuh. Dengan begitu mereka menjadi lebih waspada.
- Kemenangan yang tertunda sering kali meremukkan jiwa dan meluluhkan kehebatan yang dirasakannya. Namun, Orang-orang Mukmin tetap sabar saat mendapat cobaan, sedangkan Orang-orang munafik menjadi risau.
- Allah telah menyediakan bagi hamba-hamba-Nya yang Mukmin kedudukan yang mulia di sisi-Nya, yang tidak bisa dicapai begitu saja. Sebaliknya, Allah perlu menguji dan mencoba mereka, sebagai jalan bagi mereka untuk mencapai kedudukan tersebut.
- Mati syahid merupakan kedudukan para penolong agama Allah yang paling tinggi. Inilah yang dikehendaki Allah bagi mereka.
- Allah ingin menghancurkan musuh-musuh-Nya, dengan menampakkan sebab-sebab yang memang menguatkan kekufuran mereka, karena mereka menyiksa para penolong-Nya. Dengan begitu dosa Orang-orang Mukmin terhapus dan dosa Orang-orang kafir menjadi menumpuk.[]
Bencana Perang Uhud membawa pengaruh yang kurang menguntungkan bagi pamor Orang-orang Mukmin. Keharuman mereka menjadi luntur dan wibawa mereka di hati manusia menjadi susut. Kondisi ini bertambah buruk dengan ada beberapa kendala internal dan eksternal. Banyak bahaya yang mengepung Madinah dari segala penjuru. Orang-orang Yahudi, munafik dan Badui memperlihatkan permusuhan secara terang-terangan. Tiap-tiap kelompok mengintai Orang-orang Mukmin dan bahkan bermaksud hendak menghancurkan dan mengenyahkan eksistensinya.
Belum genap dua bulan setelah Perang Uhud, Bani Asad sudah menggelar persiapan untuk menyerang Madinah. Kemudian kabilah-kabilah Adhal dan Qarah pada bulan Shafar 4 H melakukan konspirasi yang mengakibatkan kematian sepuluh sahabat. Pada bulan yang sama juga muncul konspirasi yang dilakukan Bani Amr, yang mengakibatkan kematian tujuh puluh sahabat. Kejadian ini dikenal dengan peristiwa Bi’r Ma’unah.
Selama masa itu Orang-orang Yahudi Bani Nadhir senantiasa memperlihatkan permusuhan, hingga pada bulan Rabi’ul Awwal 4 H, mereka melakukan konspirasi untuk membunuh Muhammad. Bani Ghathafan juga ikut-ikutan latah untuk menyerang Madinah pada bulan Jumadil Ula. Angin yang berhembus dari arah Orang-orang Mukmin seusai Perang Uhud menyebabkan mereka dikepung berbagai ancaman dari segala penjuru. Tetapi, semua itu justru merupakan hikmah tersendiri bagi Rasulullah #5 dalam mengalihkan berbagai gelombang serta mengembalikan pamor kaum Muslimin yang sempat surut.
Hasilnya, pamor dan kehebatan mereka bangkit kembali. Langkah pertama untuk mengembalikan pamor ini adalah gerakan pengusiran hingga sampai ke Hamra’ul Asad. Gerakan ini membawa angin segar untuk mengembalikan pamor pasukan kaum Muslimin. Gerakan ini sempat menggetarkan dan mengejutkan hati Orang-orang munafik dan Yahudi. Kemudian disusul dengan beberapa manuver militer yang semakin menambah prestise pasukan Muslimin. Berikut ini akan kamj uraian beberapa manuver militer dan gerakan pasukan Muslimin.
Ekspedisi Abu Salamah
Kelompok pertama kali melakukan perlawanan terhadap kaum Muslimin setelah tragedi Uhud adalah Bani Asad bin Khuzaimah. Mata-mata Madinah mencium berita bahwa Thalhah dan Salamah, anak Khuwailid sedang giat menggalang kekuatan bersama kaumnya dan mereka yang patuh kepada keduanya untuk menyerang Rasulullah. Karena itu, beliau mengirim satuan pasukan dengan kekuatan seratus lima puluh personil dari Muhajirin dan Anshar. Beliau menunjuk Abu Salamah sebagai komandan dan sekaligus pembawa benderanya.
Abu Salamah langsung menggulung Bani Asad di perkampungan mereka sebelum mereka bangkit melakukan serangan ke Madinah. Karena tak menyangka akan mendapat serangan yang mendadak seperti itu, akhirnya mereka pun kocar-kacir. Akhirnya, kaum Muslimin bisa mendapatkan harta rampasan yang banyak, berupa unta dan kambing milik Bani Asad.
Setelah itu, pasukan Muslimin kembali lagi ke Madinah dalam keadaan utuh dengan membawa harta rampasan tanpa harus berperang. Peristiwa ini terjadi tepat munculnya hilal bulan Muharam 4 H.
Namun, karena Abu Salamah mengalami infeksi pada luka yang didapatkannya sewaktu Perang Uhud, tak lama setelah itu ia pun meninggal dunia.
Ekspedisi Abdullah bin Unais
Pada 5 Muharam tahun yang sama, ada berita yang masuk ke Madinah bahwa Khalid bin Sufyan Al-Hudzali memobilisasi orang untuk menyerang kaum Muslimin. Karena itu, Rasulullah mengirim Abdullah bin Unaig untuk membinasakannya.
Sejak meninggalkan Madinah, Abdullah bin Unais tidak muncul selama delapan belas hari. Kemudian pada hari Sabtu, sepekan sebelum bulan Muharam berakhir, dia muncul sambil membawa kepala Khalid bin Sufyan dan memperlihatkannya kepada beliau. Maka beliau memberikan sebatang tongkat kepadanya seraya bersabda, “Ini merupakan tanda antara diriku dan engkau pada hari kiamat.” Dan pada saat Abdullah bin Unais menghadapi ajal, ia berwasiat agar tongkat itu juga disertakan dalam kain kafannya.
Utusan ke Ar-Raji’
Pada bulan Shafar pada tahun yang sama, ada beberapa orang dari Adhal dan Qarah yang datang kepada Rasulullah, mengabarkan bahwa di tengah kaumnya ada beberapa orang Muslim. Mereka meminta agar dikirim beberapa orang untuk mengajarkan Islam dan membacakan AlQur’an kepada mereka. Maka beliau mengutus enam orang. Namun, menurut pendapat Ibnu Ishaq dan dalam riwayat Al-Bukhari adalah sepuluh orang. Beliau menunjuk Martsad bin Abu Martsad Al-Ghanwi sebagai pemimpin rombongan. Menurut pendapat Ibnu Ishaq dan dalam riwayat Al-Bukhari, pemimpin rombongan adalah Ashim bin Tsabit.
Mereka berangkat bersama para utusan dari Adhal dan Qarah. Setibanya di Ar-Raji’, sebuah sumber air milik Bani Hudzail di daerah Hijaz, tepatnya antara Rabigh dan Jeddah, para utusan yang memang hendak memperdayai kaum Muslimin itu meminta bantuan kepada penduduk sebuah perkampungan Hudzail, yaitu Bani Lahyan. Ada seratus orang pemanah yang menyusul dan akhirnya dapat menghampiri rombongan ini dan mengepung mereka.
Sebenarnya kaum Muslimin dalam rombongan tersebut sudah berusaha menyelamatkan diri dengan cara mendaki tempat yang lebih tinggi. Orang-orang yang mengepung mereka berkata, “Kami berjanji dan bersumpah tidak akan membunuh seorang pun di antara kalian asal kalian mau turun.” Ashim dan beberapa rekannya menolak tawaran yang dianggapnya hanya suatu jebakan ini. Maka dia bertempur melawan para pengepungnya hingga meninggal bersama tujuh rekannya yang lain, Sementara itu, Khubaib bin Adi, Zaid bin Ad-Datsinnah dan seorang lagi yang masih hidup, ditawari perjanjian lagi. Mereka pun turun. Tetapi, mereka dikhianati dan kemudian hendak diikat dengan belenggu yang biasa digunakan untuk membelenggu para tawanan. Orang yang ketiga berkata, “Ini merupakan awal pengkhianatan.” Karena terus menolak, akhirnya orang itu dibunuh.
Mereka membawa Zaid dan Khubaib ke Mekkah dan menjualnya di sana. Pada waktu Perang Badar, Zaid dan Knubaib telah menghabisi sekian banyak bangsawan Quraisy. Khubaib ditahan di Mekkah dan dimasukkan ke dalam penjara setelah dibeli Hujair bin Abu Ihab AtTamimi, namun kemudian mereka sepakat untuk membunuhnya. Untuk eksekusi, mereka membawanya pergi dari Tanah Suci ke Tan’im. Saat mereka hendak menyalib badannya, Khubaib meminta kesempatan kepada mereka untuk mendirikan shalat dua rakaat saja. Permintaan ini mereka kabulkan. Setelah mengucapkan salam, dia berkata sendiri, “Demi Allah, kalau bukan karena mereka akan mengatakan bahwa aku sedang ketakutan, tentu aku ingin shalat lebih banyak lagi.”
Kemudian dia berkata dengan suara nyaring, “Ya Allah. hitunglah jumlah mereka, binasakanlah mereka semua dan janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara mereka tetap hidup.” Setelah itu dia melantunkan syair:
Berbagai kekuatan telah berkumpul di sekitarku
Dan memanggil kabilah-kabilah mereka
Mereka mengumpulkan anak-anak dan wanita mereka
Dan aku didekatkan ke tiang tinggi yang dijaga
Kepada Allah aku mengadukan keterasingan dan kesedihanku Serta kematianku yang diinginkan banyak orang
Wahai Dzat pemilik Arsy, sabarkanlah aku atas apa yang diinginkan dariku
Mereka memotong-motong badanku dan sudah tidak ada lagi keinginanku
Mereka menyuruhku memilih antara kekafiran atau kematian
Sungguh kedua mataku menangis tanpa air mata
Aku tidak peduli ketika aku dibunuh selama dalam keadaan muslim
Di belahan bumi mana pun aku mati aku di jalan Allah
Itu semua di jalan Allah, bila berkehendak,
Dia memberkahi tubuhku yang dipotong-potong
Abu Sufyan menanyainya, “Apakah engkau suka jika Muhammad ada di tengah kami lalu lehernya kami tebas, sementara engkau bebas hidup di tengah keluargamu?” Khubaib menjawab, “Tidak demi Allah, aku tidak suka berada di tengah keluargaku, sedangkan Muhammad di tempatnya terkena sebuah duri karena ulah kalian.” Kemudian mereka menyalib dan membunuhnya serta menunjuk beberapa orang untuk menjaga jasadnya. Kemudian muncul Amr bin Umayyah Adh-Dhamri dan pada malam harinya dia dapat mengakali para penjaga, lalu membawa jasadnya untuk dikuburkan. Yang menangani eksekusi terhadap Khubaib adalah Uqbah bin Al-Harits, yang pada waktu Perang Badar Khubaib telah membunuh ayahnya, Al-Harits.
Di dalam Ash-Sahih disebutkan bahwa Khubaib adalah orang pertama yang mentradisikan shalat dua rakaat jika ada orang Muslim yang hendak dieksekusi. Ketika masih ditawan dan dipenjara, dia terlihat sedang memakan setangkai buah anggur, padahal di Mekkah saat itu tidak ada buah anggur.
Adapun Zaid bin Ad-Datsinnah, ia dibeli Shafwan bin Umayyah, lalu dibunuhnya, karena Zaid telah membunuh ayahnya.
Orang-orang Quraisy mengirim utusan untuk mendatangi jasad Ashim dan memotong sebagian dari tubuhnya, agar mereka benar-benar dapat meyakini kematiannya, karena Ashim telah membunuh sekian banyak pemuka dan bangsawan Quraisy pada waktu Perang Badar. Namun, Allah mengutus sekumpulan lebah yang melindungi jasadnya dari sentuhan para utusan Orang-orang kafir itu, sehingga mereka sama sekali tidak bisa menjamahnya. Sebelum itu dia sudah bersumpah kepada Allah untuk tidak bersentuhan dengan orang musyrik dan tidak membiarkan dirinya disentuh orang musyrik. Ketika Umar bin Al-Khattab mendengar kejadian ini, dia berkata, “Allah menjaga hamba yang Mukmin setelah meninggal dunia, sebagaimana Dia menjaganya sewaktu masih hidup.”
Tragedi Bi’r Ma‘unah
Pada bulan yang sama setelah tragedi Ar-Raji’, terjadi tragedi lain yang lebih menyedihkan lagi, yang dikenal dengan tragedi Bi’r Ma’unah. Ringkasannya, Tragedi ini bermula dari kedatangan Abu Bara’ Amir bin Malik, yang dijuluki Si Jago Tombak, menemui Rasulullah. Beliau menyerunya agar masuk Islam, tetapi dia menolak. Namun, ia tidak menunjukkan permusuhan. Bahkan dia berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana bila engkau mengutus para sahabatmu ke penduduk Najd agar mendakwahi mereka kepada agamamu? Aku berharap mereka memenuhi seruanmu.” Beliau menjawab, “Aku khawatir penduduk Najd akan mencelakai mereka.” Abu Bara’ berkata, “Aku menjamin keamanan mereka.”
Akhirnya, beliau mengutus empat puluh orang. Ini menurut pendapat Ibnu Ishaq. Sedangkan dalam riwayat Ash-Sahih disebutkan tujuh puluh orang, dan inilah pendapat yang benar. Beliau menunjuk AlMundzir bin Amr dari Bani Sa’idah, yang berjuluk Al-Ma’niqu Liyamuta, sebagai pemimpin rombongan yang terdiri dari pada sahabat pilihan dan penghafal Al-Qur’an ini. Mereka bersama Abu Bara mengadakan perjalanan pada siang hari. Mereka juga membeli makanan untuk dibagi-bagikan kepada penduduk yang dilewati sambil membacakan Al-Qur’an kepada mereka. Pada malam harinya mereka shalat malam.
Akhirnya mereka tiba di Bi’r Ma’unah, daerah yang diapit Bani Amir dan Harrah Bani Sulaim. Setelah menetapkan untuk singgah di sana, Haram bin Milhan diutus untuk menyampaikan surat Rasulullah kepada musuh Allah, Amr bin Ath-Thufail. Setelah menerima surat itu, Amir sama sekali tidak mau membacanya dan dia memerintahkan seseorang untuk menikam Haram dengan tombak dari arah belakang. “Allahu akbar. Aku telah beruntung demi Dzat Yang Menjaga Ka’ bah,” kata Haram saat tubuhnya tertembus tombak dan dia melihat darah yang meleleh.
Seketika itu pula musuh Allah, Amir bin Ath-Thufail mengajak Bani Amir untuk menghabisi kaum Muslimin. Tetapi, mereka menolak ajakannya itu, karena mereka terikat perjanjian persahabatan dengan Abu Bara’ yang telah menjamin keselamatan rombongan kaum Muslimin.
Kemudian, Amir bin Ath-Thufail mendatangi beberapa kabilah dari Bani Sulaim. Ajakannya itu disambut oleh kabilah Ushayyah, Ri’l dan Dzakwan. Mereka pun datang dan mengepung para sahabat Rasulullah, lalu membunuh semuanya tanpa seorang pun tersisa, kecuali Ka’ab bin Zaid bin An-Najar. Dia pura-pura mati karena terkena tombak di tengah rekan-rekannya yang sudah mati, hingga dia bisa selamat dan tetap hidup sampai meletus Perang Khandaq.
Sementara itu, Amr bin Umayyah Adh-Dhamri dan Al-Mundzir bin Uqbah bin Amir yang sedang menggembalakan ternak kaum Muslimin, melihat sekumpulan burung yang berputar-putar tak jauh dari peristiwa pembantaian. Setelah Al-Mundzir tahu apa yang terjadi, dia menyerang Orang-orang yang membantai rekan-rekannya hingga terbunuh. Sedangkan Amr bin Umayyah Adh-Dhamri ditawan oleh mereka. Setelah diketahui berasal dari Bani Mudhar, Amir membebaskannya, di samping karena pembelaan seorang budak wanita yang mengaku dulunya milik ibunya.
Amr bin Umayyah pulang ke Madinah hendak menemui Rasulullah membawa kabar menyedihkan yang menimpa tujuh puluh orang Muslim pilihan. Korban yang menyedihkan ini sama dengan korban Perang Uhud.
Hanya saja dalam Perang Uhud, mereka gugur dalam peperangan yang jelas, sedangkan kali ini mereka gugur karena pengkhianatan yang keji.
Dalam perjalanan ke Madinah dan setibanya di sebuah jalan tembus di Qarqarah, Amr bin Umayyah istirahat di bawah sebuah pohon. Tak lama kemudian datang dua orang dari Bani Kilab dan ikut beristirahat di tempat itu. Setelah kedua orang tersebut tidur, Amr membunuh keduanya. Dia merasa puas dapat membalaskan rekan-rekannya yang telah terbunuh, karena dia mengira kedua orang itu termasuk para pengeroyok kaum Muslimin. Padahal, antara Nabi dan kabilah kedua orang itu ada perjanjian persahabatan, namun dia tidak mengetahuinya.
Setelah tiba di Madinah, dia langsung mengabarkan apa yang dia lakukan terhadap dua orang tersebut. Beliau bersabda, “Engkau telah membunuh dua orang, yang berarti aku harus membayar uang tebusan.” Kemudian beliau sibuk mengumpulkan uang tebusan dari kaum Muslimin dan sekutunya dari kalangan Orang-orang Yahudi. Inilah yang menjadi sebab pecahnya Perang Bani Nadhir, yang akan diuraikan setelah ini.
Nabi sangat sedih karena tragedi ini, di tambah dengan tragedi ArRaji’ yang hanya bertaut beberapa hari sebelumnya. Beliau amat sedih dan berduka. Bahkan beliau sempat berdoa untuk melancarkan balasan terhadap kabilah-kabilah yang berkhianat dan membantai para sahabat. Di dalam Ash-Sahih disebutkan dari Anas, bahwa dia berkata, “Nabi terus berdoa untuk kecelakaan Orang-orang yang telah membunuh para sahabat di Bi’r Ma’unah selama tiga puluh hari. Beliau berdoa pada shalat Subuh bagi kecelakaan kaum Ri’!, Dzakwan, Lahyan dan Ushayyah. Beliau bersabda, ‘Ushayyah telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya.’ Maka Allah menurunkan ayat Al-Qur’an kepada Nabi-Nya yang pernah kami baca hingga dihapus setelah itu, yaitu: ‘Sampaikanlah kepada kaum kami bahwa kami telah menjumpai Tuhan kami, maka Dia ridha kepada kami dan kami ridha (atas karunia)-Nya.’ Setelah itu, beliau meninggalkan qunut tersebut.”
Perang Bani Nadhir
Seperti yang sudah kami terangkan di bagian sebelumnya bahwa Orang-orang Yahudi sangat benci terhadap Islam dan kaum Muslimin. Hanya saja mereka bukan termasuk Orang-orang yang bisa berperang dan mengangkat senjata. Sebaliknya, mereka adalah Orang-orang suka berkhianat dan bersekongkol. Mereka menampakkan kedengkian dan permusuhan. Untuk itu mereka melakukan berbagai cara untuk mengganggu kaum Muslimin tanpa harus berperang dengan mereka. Meskipun sudah ada perjanjian di antara mereka dan kaum Muslimin, dan sebelumnya telah terjadi perang Bani Qainuga dan terbunuhnya Ka’ab bin Al-Asyraf, mereka selalu dicekam ketakutan dan lebih memilih diam.
Tetapi, setelah Perang Uhud mereka mulai lancang. Mereka kini berani menampakkan permusuhan dan pengkhianatan, aktif menjalin hubungan dengan Orang-orang munafik dan Orang-orang musyrik Mekkah secara diam-diam, serta berbuat apa pun yang diperkirakan menguntungkan mereka dalam melancarkan perlawanan terhadap kaum Muslimin. Nabi, masih bersabar menghadapi ulah mereka ini, yang justru semakin bertambah berani setelah tragedi Ar-Raji’ dan Bir Ma’unah. Bahkan mereka melakukan konspirasi yang tujuannya untuk membunuh beliau.
Konspirasi tersebut terjadi saat beliau pergi mendatangi mereka bersama beberapa sahabat, agar mereka mau membantu membayar tebusan bagi dua orang dari Bani Amir yang dibunuh Amr bin Umayyah Adh-Dhamri di tengah perjalanannya setelah tragedi Bi’r Ma’unah ke Madinah. Cara pembayaran tebusan ini sesuai dengan butir perjanjian yang sudah disepakati bersama. Orang-orang Yahudi Bani Nadir mengatakan, “Kami akan membantu, wahai Abul Qasim. Sekarang duduklah di situ, biar kami menyiapkan kebutuhanmu.”
Beliau duduk di pinggir tembok salah satu rumah milik mereka, menunggu janji yang hendak mereka penuhi. Di samping beliau ada Abu Bakar, Umar, Ali dan beberapa sahabat yang lain. Orang-orang Yahudi saling kasak-kusuk dan berunding. Setan membisikkan kemalangan yang telah ditetapkan bagi Orang-orang Yahudi tersebut. Mereka sepakat untuk membunuh Rasulullah di tempat itu. Mereka berkata, “Siapakah di antara kalian yang berani mengambil batu penggiling ini, lalu naik ke atas rumah dan menjatuhkannya ke kepala Muhammad hingga remuk?”
“Aku,” jawab Amr bin Jahsy, orang yang malang di antara mereka.
“Jangan lakukan itu!” kata Salam bin Misykan. “Demi Allah, Muhammad pasti akan diberitahu tentang apa yang hendak kalian lakukan, di samping hal ini merupakan pelanggaran perjanjian antara kita dan dia,” tambahnya. Tetapi, mereka tetap bersikukuh untuk melaksanakan rencana itu.
Jibril turun dari sisi Allah kepada Rasulullah memberitahukan rencana mereka. Seketika itu pula beliau bangkit dari duduknya dan pulang ke Madinah, tanpa memberitahukan para sahabat yang ikut bersama beliau. Setelah menunggu cukup lama, mereka menyusul pulang ke Madinah dan berkata kepada beliau, “Tiba-tiba saja engkau pergi dan kami tidak merasa ada sesuatu pada dirimu.” Lalu beliau memberitahukan rencana jahat Orang-orang Yahudi tersebut.
Rasulullah langsung mengutus Muhammad bin Maslamah untuk menemui Bani Nadhir dan mengatakan kepada mereka, “Tinggalkanlah Madinah dan jangan hidup bertetangga denganku. Kuberi tempo sepuluh hari. Siapa yang masih kutemui setelah itu, maka akan aku penggal lehernya.”
Tidak ada pilihan bagi Orang-orang Yahudi Bani Nadhir selain pergi meninggalkan Madinah. Mereka sudah menyiapkan segala-galanya untuk meninggalkan Madinah. Tapi pemimpin Orang-orang munafik, Abdullah bin Ubay bin Salul mengirim utusan untuk menemui mereka. Pesannya adalah: “Kuatkan hati kalian, bertahanlah dan jangan tinggalkan rumah kalian karena aku mempunyai dua ribu orang yang siap bergabung bersama kalian di benteng kalian. Mereka siap mati demi membela kalian (seperti disebutkan di dalam Al-Qur’an: Jika kalian diusir, kami juga akan pergi bersama kalian dan sekali-kali kami tidak akan patuh kepada seseorang untuk menyusahkan kalian, dan jika kalian diperangi pasti kami akan membantu kalian). Orang-orang Quraizhah dan sekutu kalian dari Ghathafan tentu juga akan mengulurkan bantuan kepada kalian.”
Kepercayaan diri Orang-orang Yahudi Bani Nadhir bangkit lagi karena janji dukungan tersebut. Mereka sepakat untuk melakukan perlawanan. Pemimpin mereka, Huyai bin Akhthab sangat bersemangat dalam menanggapi perkataan Abdullah bin Ubay itu. Dia mengirim utusan kepada Nabi untuk mengatakan, “Kami tidak akan keluar dari tempat tinggal kami. Berbuatlah menurut kehendakmu!”
Pernyataan sikap tersebut tentu saja menjadi pekerjaan baru bagi kaum Muslimin. Kenekatan Orang-orang Yahudi Bani Nadhir untuk melakukan perlawanan pada saat-saat yang sangat rawan dalam sejarah kaum Muslimin seperti ini, bisa membawa akibat yang kurang menguntungkan. Anda telah mengetahui bagaimana sikap bangsa Arab terhadap mereka. Di samping itu, Bani Nadhir juga mempunyai kekuatan yang bisa diandalkan dan tidak mudah bagi mereka untuk menyerah begitu saja. Dengan pertimbangan seperti ini, sangat riskan jika diharuskan berperang.
Hanya saja, situasi setelah dan sebelum tragedi Bi’r Ma’unah, mendorong kaum Muslimin untuk bersikap lebih waspada terhadap kejahatan pengkhianatan yang dilakukan individu atau golongan tertentu, namun, sekaligus menambah dendam mereka untuk melibas siapa pun yang melakukan pengkhianatan. Maka tidak heran jika kaum Muslimin sepakat untuk menyerang Bani Nadhir, setelah diketahui mereka hendak membunuh Nabi, sekalipun niat mereka itu gagal. Setelah Rasulullah mengetahui reaksi Huyai bin Akhthab, beliau bertakbir bersama para sahabat, lalu bangkit untuk menyerang Orang-orang Yahudi Bani Nadhir.
Setelah menunjuk Ibnu Ummi Makhtum sebagai wakil beliau di Madinah, beliau berangkat ke perkampungan Bani Nadhir. Yang membawa bendera adalah Ali bin Abu Thalib. Setelah tiba di sana, beliau mengambil keputusan untuk mengepung Bani Nadhir.
Semua penduduk Bani Nadhir masuk ke dalam benteng. Mereka berada di sana sambil melancarkan serangan dengan anak panah dan batu. Kebun kurma dan ladang-ladang mereka cukup membantu. Karena itu, beliau memerintahkan untuk menebang pohon-pohon tersebut dan membakarnya. Berkaitan dengan persoalan ini, Hassan melantunkan syair:
Bani Lu’ai benar-benar hina
Kebun kurma Bani Nadhir dibakar dan porak-poranda
Sehubungan dengan peristiwa pembakaran ini, Allah menurunkan ayat Al-Qur’an:
Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik Orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya, maka (semua itu) adalah dengan izin Allah (Al-Hasyr: 5)
Bani Quraizhah tidak jadi membantu mereka dan Abdullah bin Ubay bin Salul serta sekutunya dari Ghathafan juga berkhianat kepada mereka. Tidak ada seorang pun yang menyumbangkan kebaikan untuk mereka atau mencegah keburukan yang menimpa mereka. Karena itulah, Allah membuat percontohan tentang kisah di antara mereka dalam ayat-Nya:
(Bujukan Orang-orang munafik itu adalah) seperti (bujukan) setan ketika Dia berkata kepada manusia, “Kafirlah kamu”, maka tatkala manusia itu telah kafir, ia berkata, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu.” (Al-Hasyr: 16)
Pengepungan tidak berlangsung lama, hanya enam atau lima hari, menurut pendapat yang lain, hingga Allah menyusupkan ketakutan ke dalam hati mereka. Setelah itu mereka sudah siap-siap menyerah dan meletakkan senjata. Mereka mengirim utusan menemui Rasulullah, yang mengatakan, “Kami siap meninggalkan Madinah.”
Beliau memberi kesempatan kepada mereka untuk meninggalkan Madinah dengan seluruh keluarga, dan mereka juga boleh membawa harta benda sebanyak yang bisa dibawa seekor unta, sedangkan senjata tidak boleh dibawa. Mereka turun dari benteng lalu merobohkan rumah mereka untuk diambil pintu dan jendelanya. Bahkan di antara mereka ada yang membawa tiang dan penyangga atap rumah.
Mereka membawa serta anak-anak dan para wanita dengan enam ratus ekor unta. Kebanyakan di antara mereka, terutama para tokoh dan pemimpin Bani Nadhir seperti Huyai bin Akhthab dan Salam bin Al. Huqaiq pergi ke Khaibar. Sebagian yang lain pergi ke Syam. Hanya ada dua orang di antara mereka yang masuk Islam, yaitu Yamin bin Amr dan Abu Saad bin Wahb, sehingga mereka berdua tetap bisa memiliki harta bendanya.
Rasulullah merampas semua senjata milik Bani Nadhir, menguasai tanah, tempat tinggal, dan harta benda mereka yang tersisa. Dari senjata-senjata itu terkumpul 50 baju besi, 50 topi baja, dan 340 bilah pedang. Semua harta benda dan tempat tinggal Bani Nadhir menjadi milik Rasulullah, lalu beliau memberikannya kepada siapa pun yang dikehendaki, dan bukan hanya seperlimanya saja.
Sebab, Allah telah menetapkannya sebagai harta rampasan bagi beliau. Siapa pun tidak ada yang berani mengusiknya. Lalu beliau membaginya terutama kepada Orang-orang Muhajirin yang awal, dan juga memberikan sebagian di antaranya kepada Abu Dujanah dan Sahl bin Hunaif dari Anshar, karena keduanya sangat miskin. Beliau mengambil sebagian dari harta benda itu untuk nafkah keluarga beliau selama satu tahun. Sementara, senjata dan perangkat perang sebagai persediaan perang di jalan Allah.
Perang Bani Nadhir ini terjadi pada bulan Rabi’ul Awwal 4 H, bertepatan dengan bulan Agustus 625 M. Allah menurunkan surat Al-Hasyr secara keseluruhan tentang peperangan ini. Di dalamnya digambarkan pengusiran terhadap Orang-orang Yahudi, pelecehan sikap Orang-orang munafik, penjelasan hukum-hukum harta rampasan, pujian terhadap Muhajirin dan Anshar, penjelasan tentang diperbolehkannya menebang dan membakar pohon di wilayah musuh karena pertimbangan strategi perang, dan hal ini tidak dianggap sebagai perbuatan membuat kerusakan di muka bumi. Di dalamnya juga ada nasihat bagi Orang-orang Mukmin agar bertakwa dan mempersiapkan diri untuk menghadapi hari akhirat, lalu diakhiri dengan pujian terhadap Allah, penjelasan asma dan sifat-sifat-Nya. Ibnu Abbas pernah berkata tentang surat Al-Hasyr, “Ini adalah surat An-Nadhir.”
Perang Najd
Pengaruh kekuasaan kaum Muslimin di Madinah semakin kuat dengan kemenangan yang diperoleh dalam perang Bani Nadhir tanpa pengorbanan apa pun ini. Saat itu, Orang-orang munafik juga terlecehkan karena mereka menampakkan kelicikannya. Rasulullah semakin mempunyai kesempatan untuk mengatasi Orang-orang Arab Badui yang selalu mengganggu kaum Muslimin seusai Perang Uhud dan yang pernah berinisiatif untuk menyerang Madinah.
Sebelum Nabi memberi pelajaran terhadap Orang-orang yang melanggar perjanjian dan berkhianat, ada berita yang disampaikan mata-mata Madinah tentang mobilisasi Orang-orang Badui dan pedalaman dari Bani Muharib dan Tsa’labah dari Ghathafan untuk melakukan serangan. Karena itu, beliau segera pergi ke sana. Setelah melihat kedatangan beliau dan pasukan kaum Muslimin, ternyata Orang-orang Badui dan pedalaman yang keras kepala itu langsung ketakutan. Mereka yang biasanya suka merampas dan merampok itu lari kocar-kacir ke segala penjuru dan bersembunyi di puncak-puncak bukit. Dengan demikian, kaum Muslimin mampu menggetarkan hati Orang-orang Badui itu, kemudian mereka pulang ke Madinah.
Sehubungan dengan peristiwa tersebut, para pakar peperangan dan sirah menyebutkan adanya satu peperangan yang dilakukan kaum Muslimin di Najd pada Rabi’ul Awwal atau Jumadil Ula 4 H. Perang ini mereka namakan peperangan Dzatur Riga’. Tidak dipungkiri bahwa peperangan pada masa-masa itu memang terjadi. Tetapi, kondisi Madinah pada saat itu perlu pertimbangan yang lebih masak untuk berperang. Sebab, Perang Badar kedua seperti yang dijanjikan Abu Sufyan saat dia kembali dari Perang Uhud sudah semakin dekat. Mengosongkan Madinah untuk berperang di luar, dan membiarkan Orang-orang Badui serta Arab pedalaman tetap membangkang dan melakukan pemberontakan, tentu amat riskan bagi kepentingan politik dan strategi perang. Untuk itu kejahatan Orang-orang Badui tersebut harus diamputasi lebih dahulu sebelum kaum Muslimin terjun ke Perang Badar kedua.
Tidak benar bila Perang Dzatur Riqa’ yang dikomandani Rasulullah terjadi pada Rabi’ul Awwal atau Jumadil Ula itu. Sebab, Abu Hurairah dan Abu Musa Al-Asy’ari ikut bergabung dalam peperangan itu. Padahal, Abu Hurairah masuk Islam beberapa hari sebelum Perang Khaibar, dan Abu Musa Al-Asy’ari bergabung dengan Nabi di Khaibar. Jadi Perang Dzatur Riqa’ terjadi setelah Perang Khaibar. Bukti lain yang menguatkan bahwa perang ini terjadi setelah tahun 4 H adalah pada saat peperangan tersebut, Nabi mendirikan shalat khauf. Padahal, syariat shalat khauf yang pertama kali terjadi pada waktu Perang Asafan. Sementara itu, tidak ada perbedaan pendapat bahwa Perang Asafan terjadi setelah Perang Khandaq, yang terjadi pada akhir tahun 5 H.
Perang Badar Kedua
Setelah kaum Muslimin dapat menghentikan gangguan Orang-orang Arab Badui, mereka mulai bersiap-siap untuk menghadapi musuh terbesar. Setahun hampir berlalu dan saat yang dijanjikan untuk bertempur dengan Orang-orang Quraisy sewaktu Perang Uhud hampir tiba. Sudah seharusnya bagi Muhammad dan rekan-rekan beliau untuk keluar menghadapi Abu Suffan dan kaumnya. Mereka perlu memutar roda peperangan sekali lagi untuk menentukan mana pihak yang lebih layak hidup dan bertahan.
Pada Sya’ban 4 H yang bertepatan dengan Januari 626 M, Rasulullah pergi pada hari yang telah dijanjikan bersama seribu lima ratus prajurit. Pasukan ini diperkuat dengan sepuluh orang penunggang kuda. Bendera perang diberikan kepada Ali bin Abu Thalib. Madinah diwakilkan kepada Abdullah bin Rawahah. Mereka tiba di Badar dan menunggu Orang-orang musyrik.
Adapun di pihak musuh, Abu Sufyan pergi bersama dua ribu prajurit yang diperkuat dengan lima puluh penunggang kuda. Mereka tiba di Zhahran sejauh satu marhalah dari Mekkah dan bermalam di Majannah, pangkalan air di daerah itu. Sebenarnya Abu Sufyan hanya setengah hati untuk keluar dari Mekkah. Dia memikirkan akibat peperangan dengan kaum Muslimin. Ia selalu dibayangi oleh ketakutan. Ketika dia singgah di Zhahran, hatinya semakin bertambah ciut. Lalu dia mencari akal untuk kembali lagi ke Mekkah. Dia berkata kepada rekan-rekannya, Wahai Orang-orang Quraisy, tidak ada yang lebih menguntungkan kalian kecuali musim subur. Karena pada musim itu kalian bisa mengurusi tanaman dan bisa minum air susu. Namun, sekarang adalah musim paceklik. Aku lebih suka pulang. Karena itu, lebih baik kalian juga pulang.”
Ternyata ketakutan juga membayangi hati prajurit-prajuritnya, sehingga mereka kembali lagi ke Mekkah tanpa harus berperang dan tak ada satu pendapat pun yang menentang pendapatnya. Kaum Muslimin menunggu kedatangan pasukan Quraisy di Badar hingga delapan hari. Selama itu mereka menjual barang-barang dagangan dan mendapat laba yang memadai. Kemudian mereka kembali lagi ke Madinah dengan membawa nama yang harum dan keberadaan mereka disegani. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan Perang Badar yang dijanjikan, Perang Badar kedua, Perang Badar yang terakhir, atau Perang Badar Shughra.
Perang Daumatul Jandal
Setelah Rasulullah pulang dari Badar, keadaan di wilayah Madinah menjadi aman dan tenteram. Pemerintahan beliau dapat berjalan lancar. Setelah itu beliau mengarahkan pandangan ke daerah-daerah perbatasan dan pinggiran yang berbatasan dengan Syam agar keadaan benar-benar bisa dikendalikan dan Orang-orang yang sebelumnya suka mengadakan perlawanan mau mengakui wilayah Islam.
Enam bulan pasca Perang Badar Shughra, datang berita kepada Rasulullah bahwa beberapa kabilah di sekitar Daumatul Jandal, yang tidak jauh dari Syam, suka merampas dan merampok siapa pun yang lewat di daerah itu. Bahkan mereka sudah memobilisasi sekian banyak orang dan siap menyerang Madinah. Karena itu, beliau berniat memerangi mereka. Setelah mewakilkan Madinah kepada Siba’ bin Urfuthah AlGhifari, beliau berangkat bersama seribu prajurit pada akhir Rabi’ulAwwal 5 H. Beliau menunjuk seorang laki-laki dari Bani Udzrah sebagai penunjuk jalan, yang bernama Madzkur.
Beliau mengadakan perjalanan pada malam hari dan berhenti pada siang hari, hingga tiba di tempat musuh yang tidak menyadari kedatangan beliau bersama pasukan kaum Muslimin. Setelah mengetahuinya, mereka pun kocar-kacir dan melarikan diri ke segala penjuru. Ketika pasukan kaum Muslimin telah tiba di perkampungan Daumatul Jandal, mereka tidak menemukan seorang pun. Rasulullah menetap di sana beberapa hari, memecah pasukan menjadi beberapa kelompok dan melakukan pengejaran ke segala penjuru. Namun, mereka tidak bisa menemukan seorang pun. Kemudian beliau kembali lagi ke Madinah setelah menempatkan Uyainah bin Hishn di Dumah, suatu tempat di bagian timur Syam, berjarak lima mil dari Damaskus dan bisa ditempuh selama lima belas hari perjalanan kaki dari Madinah.
Dengan gerakan yang cepat dan tepat, serta rencana-rencana matang ini, Nabi mampu menciptakan keamanan, ketenteraman dan menguasai keadaan. Hari demi hari beliau mampu mengalihkan keadaan untuk kemaslahatan kaum Muslimin, meringankan beban internal dan eksternal, yang sebelumnya senantiasa menghantui mereka dari segala penjuru. Orang-orang munafik tidak berani lagi berbuat macam-macam dan hanya diam saja. Setelah salah satu kabilah Yahudi dapat diusir, yang lain menampakkan kesetiaan dan keinginan untuk memenuhi isi perjanjian. Orang-orang Arab Badui dan mereka yang hidup di pedalaman juga tenang. Kaum Quraisy juga menghentikan serangan terhadap kaum Muslimin. Dengan demikian, Orang-orang muslim bisa bernapas lega dan bebas menyebarkan Islam serta menyampaikan risalah Allah.
Keselamatan dan kedamaian kembali normal. Jazirah Arab kembali tenang setelah diramaikan oleh beberapa peperangan dan kegiatan militer selama lebih dari satu tahun. Hanya saja Orang-orang Yahudi—yang menelan beberapa kehinaan karena ulah mereka sendiri yang berkhianat, berkonspirasi dan melakukan makar—tidak bisa menerima keadaan yang harus mereka jalani akibat khianat mereka. Setelah lari ke Khaibar, mereka menunggu-nunggu apa yang bakal menimpa kaum Muslimin sebagai akibat dari bentrokan mereka dengan para kaum Quraisy.
Hari demi hari terus berlalu membawa keuntungan bagi kaum Muslimin, pamor dan kekuasaan mereka semakin mantap. Karena itu, Orang-orang Yahudi semakin dibakar amarah. Mereka kembali merancang konspirasi baru terhadap Orang-orang Muslim dengan menghimpun pasukan sebagai persiapan untuk menyerang agar tidak lagi memiliki sisa kehidupan setelah itu. Karena belum berani menyerang kaum Muslimin secara langsung, mereka merancang dan melaksanakan langkah ini secara sembunyi-sembunyi dan hati-hati.
Dua puluh pemuka Yahudi dari Bani Nadhir mendatangi Quraisy di Mekkah. Mereka mendorong Orang-orang Quraisy agar menyerang Rasulullah dan berjanji akan membantu serta mendukung rencana tersebut. Quraisy menyambutnya dengan senang hati, apalagi sebelumnya mereka tidak berani memenuhi janji berperang di Badar untuk kali kedua. Maka mereka melihat ini merupakan kesempatan yang baik untuk mengembalikan nama mereka.
Selanjutnya dua puluh orang pemuka Yahudi itu pergi ke Ghathafan dan mengajak mereka seperti ajakan yang diserukan kepada Orang-orang Quraisy. Ajakan ini mendapat sambutan yang baik. Kemudian para utusan Yahudi itu berkeliling ke berbagai kabilah Arab dengan ajakan yang sama, dan semuanya memberikan respons yang baik. Inilah langkah awal yang dirancang Orang-orang Yahudi dengan menghimpun Orang-orang kafir untuk menyerang Rasulullah #§ dan menghentikan dakwah Islam agar tidak berjalan mulus.
Benar ternyata, dari arah selatan pasukan yang terdiri dari Quraisy, Kinakah dan sekutu-sekutu mereka dari penduduk Tihamah, bergerak di bawah komando Abu Sufyan. Jumlah mereka adalah empat ribu prajurit. Bani Sulaim dari Marru Azh-Zhahran juga bergabung bersama mereka, sedangkan dari arah timur ada kabilah-kabilah Ghathafan, yang terdiri dari Bani Fazarah yang dipimpin oleh Uyainah bin Hishn, Bani Murrah yang dipimpin oleh Al-Harits bin Auf, Bani Asyja’ yang dipimpin Mis’ar bin Rukhailah, Bani Asad dan lain-lainnya.
Pasukan gabungan tersebut bergerak ke arah Madinah secara serentak seperti yang telah mereka sepakati bersama. Dalam beberapa hari saja di sekitar Madinah sudah berhimpun pasukan musuh yang besar, jumlahnya mencapai 10 ribu prajurit. Itulah pasukan yang jumlahnya lebih banyak daripada seluruh penduduk Madinah, termasuk anak-anak, wanita, dan Orang-orang tua.
Jika pasukan besar yang sedang berhimpun di sekitar Madinah tersebut melakukan serangan secara tiba-tiba dan serentak, sulit dibayangkan apa yang bakal terjadi dengan eksistensi kaum Muslimin. Bahkan kemungkinan mereka akan tercabut hingga ke akar-akarnya. Akan tetapi, kepemimpinan Madinah tak pernah terpejam sekejap pun. Segala faktor dipertimbangkan sedemikian rupa secara matang dan segala gerakan tak lepas dari pantauan. Sebelum pasukan musuh beranjak dari tempatnya, informasi tentang rencana mereka pun sudah tercium di Madinah.
Rasulullah segera menyelenggarakan majelis tinggi permusyawaratan, untuk menampung rencana pertahanan di Madinah. Setelah anggota majelis saling bertukar pendapat, mereka sepakat melaksanakan usulan yang disampaikan seorang sahabat yang cerdik, Salman Al-Farisi. Dalam hal ini Salman berkata, “Wahai Rasulullah, dulu jika kami, Orang-orang Persia, sedang dikepung musuh, kami membuat parit di sekitar kami.” Ini merupakan langkah yang sangat bijaksana, yang sebelumnya tidak pernah dikenal bangsa Arab.!
Rasulullah segera melaksanakan rencana itu. Setiap sepuluh orang laki-laki diberi tugas untuk menggali parit sepanjang empat puluh hasta. Dengan giat dan penuh semangat kaum Muslimin menggali parit yang panjang. Rasulullah terus-menerus membangkitkan semangat mereka dan juga terjun langsung di lapangan. Di dalam Sahih AlBukhari disebutkan dari Sahl bin Saad bahwa ia berkata, “Kami bersama Rasulullah di dalam parit. Orang-orang sedang giat menggalinya. Kami mengusung tanah di atas pundak kami.” Beliau bersabda, “Tidak ada kehidupan selain kehidupan akhirat. Ampunilah dosa Orang-orang muhayjirin dan Anshar.”
Anas meriwayatkan, “Rasulullah pergi ke parit pada pagi hari yang sangat dingin saat Orang-orang Muhajirin dan Anshar sedang menggali parit. Mereka tidak mempunyai seseorang yang bisa diupah untuk pekerjaan ini. Beliau tahu bahwa perut mereka kosong dan juga letih. Oleh karena itu, beliau bersabda:
Tidak ada kehidupan selain kehidupan akhirat.
Ampunilah Orang-orang Anshar dan Muhajirin
Mereka menjawab dengan bersyair:
Kamilah yang telah berbaiat kepada Muhammad
Untuk berjihad selama kami masih hidup.”
Al-Barra’ bin Azib berkata, “Aku melihat beliau mengangkuti tanah galian parit, hingga banyak debu yang menempel di kulit perut beliau yang banyak bulunya. Aku juga mendengar beliau melantunkan syair-syairnya Ibnu Rawahah. Sambil mengangkuti tanah itu beliau bersabda:
Ya Allah, andaikan bukan karena Engkau
Tentu kami tidak akan mendapat petunjuk
Tidak bersedekah dan tidak shalat
Turunkanlah ketenteraman kepada kami
Kukuhkanlah pendirian kami saat kami berperang.
Para kerabat telah berbuat aniaya terhadap kepada kami.
Di akhir kalimat, beliau mengeraskan suaranya:
Jika mereka hendak berbuat fitnah, kami tidak menginginkannya.
Kaum Muslimin bekerja dengan giat dan penuh semangat sekalipun mereka didera rasa lapar. Anas berkata, “Tiap-tiap orang yang sedang menggali parit diberi tepung gandum sebanyak satu genggam tangan, lalu dicampur dengan minyak sebagai adonan. Kerongkongan mereka jarang tersentuh makanan, sehingga dari mulut mereka keluar bau yang tidak sedap.”
Abu Thalhah berkata, “Kami mengadukan rasa lapar kepada Rasulullah #g. Lalu kami mengganjal perut kami dengan batu. Beliau juga mengganjal perut dengan dua buah batu.”
Selama penggalian parit ini terjadi beberapa tanda kenabian yang berkaitan dengan rasa lapar yang mendera mereka. Jabir bin Abdullah melihat beliau yang benar-benar tersiksa karena rasa lapar. Lalu dia menyembelih seekor hewan dan istrinya menanak 1 sha’ tepung gandum. Setelah masak, Jabir membisiki Rasulullah secara pelan-pelan agar datang ke rumahnya bersama beberapa sahabat saja. Namun, beliau justru berdiri di hadapan semua orang yang sedang menggali parit yang jumlahnya ada seribu orang, lalu mereka melahap makanan yang tak seberapa banyak itu hingga semua kenyang. Bahkan, masih ada sisa dagingnya, begitu pula adonan tepung untuk roti.
Saudari An-Nu’man bin Basyir datang ke tempat penggalian parit sambil membawa kurma segenggam tangan untuk diberikan kepada ayah dan pamannya. Ketika itu, Rasulullah lewat di dekatnya dan meminta kurma tersebut, lalu beliau meletakkannya di atas selembar kain. Setelah itu beliau memanggil semua orang dan mereka pun memakannya. Setelah semua orang yang menggali parit memakannya, ternyata kurma yang hanya segenggam itu masih tersisa dan bahkan jumlahnya lebih banyak, sehingga sebagian ada yang tercecer keluar dari hamparan kain.
Peristiwa yang lebih besar dari dua gambaran ini adalah yang diriwayatkan Al-Bukhari, dari Jabir yang berkata, “Saat kami menggali parit, ada bongkahan tanah yang sangat keras. Mereka mendatangi Nabi seraya berkata, “Ini ada tanah keras yang teronggok di tengah parit.” Beliau bersabda, “Kalau begitu aku akan turun ke bawah.”
Setelah turun beliau berdiri tegak dan terlihat perut beliau yang diganjal batu. Sebelumnya kami bertiga sudah mencoba untuk mengatasinya, namun tidak mampu. Lalu beliau mengambil sekop dan memukul onggokkan tanah yang keras itu hingga hancur berkeping-keping menjadi pasir.”
Al-Barra’ berkata, “Saat menggali parit, di beberapa tempat kami terhalang oleh tanah yang sangat keras dan tidak bisa digali dengan cangkul. Kami melaporkan hal ini kepada Rasulullah. Beliau datang, mengambil sekop dan bersabda, ‘Bismillah….’ Beliau langsung menghantam tanah yang keras itu dengan sekali hantaman.
Beliau bersabda lagi, ‘Allahu akbar. Aku diberi kunci-kunci Syam. Demi Allah, aku benar-benar bisa melihat istana-istananya yang berwarna merah saat ini.’ Lalu beliau menghantam untuk kedua kalinya bagian tanah yang lain. Beliau bersabda lagi, ‘Allahu akbar. Aku diberi tanah Persia. Demi Allah, saat ini pun aku bisa melihat istana Mada’in yang berwarna putih.’
Kemudian beliau menghantam untuk ketiga kalinya dan bersabda, ‘Bismillah….’ Maka hancurlah tanah atau batu yang masih menyisa. Kemudian beliau bersabda, ‘‘Allahu akbar. Aku diberi kunci-kunci Yaman. Demi Allah, dari tempatku ini aku bisa melihat pintu-pintu gerbang Sana’a.”? Ibnu Ishaq juga meriwayatkan yang serupa dengan ini dari Salman Al-Farisi.
Karena Madinah dikelilingi oleh gunung, tanah-tanah kasar yang berbatuan, dan kebun-kebun kurma di segala sudutnya—kecuali bagian utara—pasukan musuh sebanyak itu tentu akan menyerbu Madinah dari arah utara. Sebagai pemegang pucuk pimpinan militer beliau tahu betul hal ini. Untuk itu, parit digali di bagian ini. Kaum Muslimin terus-menerus menggali parit tanpa henti sepanjang siang, sedangkan pada sore harinya mereka pulang ke rumah menemui keluarga, hingga penggalian parit menjadi sempurna seperti rencana semula, sebelum pasukan paganis yang tak terkira banyaknya itu tiba di pinggiran Madinah.
Pasukan sekutu yang berkekuatan empat ribu personil tiga di Mujtamaul Asyal, di daerah Rumat, tepatnya antara Juruf dan Za’abah. Sementara itu, Kabilah Ghathafan dan penduduk Najd yang berkekuatan enam ribu personil tiba di Dzanab Naqami di dekat Uhud. Allah berfirman:
Dan tatkala Orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata, “Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita”, dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan. (Al-Ahzab: 22)
Tetapi, Orang-orang munafik dan Orang-orang yang berhati lemah langsung menggigil ketakutan ketika mereka melihat pasukan yang besar tersebut. Sehubungan dengan hal ini, Allah berfirman:
Dan (ingatlah) ketika Orang-orang munafik dan Orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata, “Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada Kami melainkan tipu daya.” (Al-Ahzab: 12)
Rasulullah berangkat dengan kekuatan tiga ribu personil. Di belakang punggung mereka ada gunung Sal’un yang dapat dijadikan sebagai pelindung, sedangkan parit membatasi posisi mereka dengan pasukan musuh. Madinah diwakilkan kepada Ibnu Ummi Makhtum. Para wanita dan anak-anak ditempatkan di rumah khusus sebagai perlindungan bagi mereka.
Ketika Orang-orang musyrik hendak melancarkan serbuan ke arah kaum Muslimin dan Madinah, ternyata mereka harus berhadapan dengan parit. Karena itu, mereka memutuskan untuk mengepung kaum Muslimin. Namun, mereka berangkat dari Mekkah bukan untuk pengepungan. Menurut mereka, penggalian parit tersebut merupakan siasat perang yang sama sekali belum dikenal di masyarakat Arab, Karena itu, mereka juga tidak pernah memperhitungkannya sama sekali, Orang-orang musyrik hanya bisa berputar-putar di dekat parit dengan kemarahan yang menggelegak. Mereka terus mencari-cari titik lemah yang bisa dimanfaatkan.
Orang-orang Muslim terus-menerus mengawasi gerakan musuh yang berputar-putar di seberang parit sambil melemparkan anak panah agar mereka tidak sampai mendekati parit bila mereka nekat akan menyeberang atau menimbunnya dengan tanah lalu menjadikannya sebagai jalur penyeberangan.
Para penunggang kuda dari pasukan Quraisy merasa jengkel karena hanya diam di sekitar parit tanpa ada kejelasan bagaimana kelanjutan dari pengepungan itu. Cara seperti ini sama sekali bukan kebiasaan mereka. Lalu muncul sekelompok orang di antara mereka, seperti Amir bin Abdi Wudd, Ikrimah bin Abu Jahal, Dhirar bin Al-Khattab, dan lain-lainnya yang mendapatkan lubang parit yang lebih sempit. Mereka terjun melewati bagian parit ini, lalu memutar kuda mereka ke bagian yang agak lembab, antara parit dan gunung Sal’un.
Ali bin Abu Thalib bersama beberapa orang Muslim langsung mengepung daerah yang dapat dilewati beberapa orang musyrik itu. Amr bin Abdi Wudd menantang untuk adu tanding, satu lawan satu. Tantangannya ini diladeni Ali bin Abu Thalib, dan Ali juga melontarkan ungkapan yang membuat Amr sangat marah. Amr yang termasuk salah seorang prajurit musyrikin yang pemberani dan pahlawan mereka, turun dari kuda sambil mengumpat kudanya sendiri dan menempeleng mukanya. Kemudian dia berhadapan dengan Ali. Keduanya berputar-putar lalu bertanding dengan seru, hingga Ali dapat membunuhnya. Sementara yang lain juga merasa terdesak lalu mereka terjun ke parit dan melarikan diri. Mereka benar-benar ketakutan, bahkan Ikrimah bin Abu Jahal meninggalkan tombaknya.
Beberapa hari sudah berlalu dan Orang-orang musyrik terus berusaha melewati parit atau membuat jalur penyeberangan. Tetapi, kaum Muslimin senantiasa melakukan perlawanan dan menyerang mereka dengan anak panah, sehingga mereka gagal melakukan usaha ini.
Karena terlalu sibuk menghalau Orang-orang musyrik yang berusaha menyeberang parit, beberapa shalat fardhu tidak sempat dikerjakan Rasulullah dan kaum Muslimin. Di dalam Ash-Sahihain disebutkan dari Jabir bahwa Umar bin Al-Khattab muncul pada waktu perang Khandaq, lalu dia terus-menerus mengolok-olok Orang-orang kafir Quraisy. Dia berkata, “Wahai Rasulullah, hampir saja aku lupa tidak mengerjakan shalat (Asar), padahal matahari hampir terbenam.” Beliau menjawab, “Aku pun belum mengerjakannya.”
Kemudian kami turun membawa alat pembuat tepung. Beliau wudhu dan begitu juga kami. Beliau shalat Asar setelah matahari terbenam. Setelah itu langsung disusul dengan shalat Magrib.
Nabi merasa menyesal karena tidak bisa menunaikan beberapa shalat. Bahkan, beliau mendoakan kebinasaan bagi Orang-orang musyrik. Karena gara-gara merekalah shalat beliau tidak sempat dilaksanakan. Di dalam riwayat Al-Bukhari dari Ali dari Nabi, beliau bersabda pada waktu Perang Khandaq, “Semoga Allah memenuhi rumah dan kuburan mereka dengan api, sebagaimana mereka telah membuat kita sibuk dan tidak sempat mendirikan shalat Asar hingga matahari terbenam.”
Di dalam Musnad Ahmad dan Asy-Syafi’i disebutkan bahwa Orang-orang musyrik itu membuat mereka sibuk hingga tak sempat mendirikan shalat Zuhur, Asar, Magrib dan Isya’. Lalu beliau mengerjakan semua shalat itu secara sekaligus.
An-Nawawi mengatakan, “Cara mengompromikan dua riwayat yang berbeda ini, bahwa perang Khandaq berjalan selama beberapa hari. Jamak yang pertama (Magrib dan Isya’) dilakukan pada satu kesempatan, sedangkan jamak yang kedua (Zuhur, Asar, Magrib dan Isya’) dilakukan pada kesempatan lain lagi.”
Dari sini dapat disimpulkan bahwa upaya yang dilakukan Orang-orang musyrik untuk menyeberangi parit dan upaya kaum Muslimin menahan mereka berjalan hingga beberapa hari. Karena ada parit yang menghalangi kedua pasukan, tidak sampai terjadi pertempuran dan adu senjata secara langsung. Peperangan terbatas hanya dengan melepaskan anak panah. Meski demikian, ada beberapa orang dari kedua belah pihak yang menjadi korban, yaitu enam orang dari kaum Muslimin dan sepuluh kaum musyrikin. Di samping itu ada satu atau dua orang yang terbunuh karena tebasan pedang.
Dalam usaha melakukan serangan dengan melepaskan anak panah tersebut, Saad bin Muadz juga terkena hujaman anak panah hingga memutuskan urat lengannya. Yang melepaskan anak panah hingga mengenainya adalah seorang laki-laki dari Quraisy yang bernama Habban bin Qais bin Al-Ariqah.
Saat itu pula Saad memanjatkan doa, “Ya Allah, Engkau tahu bahwa tak seorang pun yang lebih kucintai daripada berjihad karena-Mu, melawan Orang-orang yang mendustakan Rasul-Mu dan yang telah mengusirnya. Ya Allah, aku mengira Engkau telah menghentikan peperangan antara kami dan mereka. Jika memang Engkau masih menyisakan sedikit peperangan melawan Orang-orang Quraisy, berikanlah sisa kehidupan kepadaku untuk menghadapi mereka, agar aku bisa memerangi mereka karena-Mu. Jika memang Engkau sudah menghentikan peperangan, kobarkanlah lagi peperangan itu agar aku bisa mati dalam peperangan.” Pada akhir doanya dia berkata, “Janganlah Engkau mematikan aku hingga aku merasa senang setelah memerangi Bani Quraizhah.”
Pada saat Orang-orang Muslim menghadapi situasi perang yang amat keras ini, ular-ular berbisa yang biasa melakukan konspirasi dan berkhianat sedang menggeliat di dalam lubangnya, siap menyemburkan bisanya ke tubuh Orang-orang Muslim. Tokoh penjahat Bani Nadhir (Huyai bin Akhthab) datang ke perkampungan Bani Quraizhah. Dia menemui Ka’ab bin Asad Al-Qurazhi, pemimpin Bani Quraizhah, sekutu dan rekannya. Padahal, dia sudah membuat perjanjian dengan Rasulullah untuk tidak menolong siapa pun yang hendak memerangi beliau.
Huyai menggedor pintu benteng Ka’ab. Namun, Ka’ab tidak mau membukakan pintu. Setelah Huyai mendesak terus-menerus, pintu pun dibukakan. Huyai berkata, “Wahai Ka’ab, aku menemuimu dengan membawa kejayaan masa lalu dan lautan yang mempesona. Aku datang kepadamu bersama Quraisy, pemimpin dan pemuka mereka, hingga aku menyuruh mereka bermarkas di Majma’ul Asyal di daerah Rumat. Sementara itu, Ghathafan dengan semua pemimpinnya aku suruh bermarkas di Dzanab Naqami di dekat Uhud. Mereka semua sudah berjanji dan bersumpah kepadaku untuk tidak pulang sebelum dapat membinasakan Muhammad dan para pengikutnya.”
Ka’ab menjawab, “Demi Allah, engkau datang kepadaku sambil membawa kehinaan masa lalu dan awan yang kering. Awan itu mengeluarkan kilat dan suara petir, tapi kosong melompong. Celaka engkau wahai Huyai. Tinggalkan aku dan urusanku. Aku tidak melihat diri Muhammad melainkan sosok orang yang jujur dan menepati janji.”
Huyai terus-menerus membujuk dan merayu Ka’ab, hingga akhirnya Huyai bersumpah atas nama Allah dan berjanji, “Jika Orang-orang Quraisy dan Ghathafan mundur, mereka tidak jadi menyerang Muhammad, aku akan bergabung denganmu di dalam bentengmu dan aku siap menanggung akibatnya bersamamu.”
Akhirnya, Ka’ab bin Asad melanggar perjanjian yang telah disepakatinya. Dia sudah melepaskan ikatan dengan kaum Muslimin. Dia bergabung dengan Orang-orang musyrik untuk memerangi kaum Muslimin.
Saat itu juga, Orang-orang Yahudi bangkit untuk memerangi kaum Muslimin. Ibnu Ishaq mengisahkan: Shafiyah binti Abdul Mutholib berada di dalam satu bilik benteng yang dikhususkan bagi para wanita Muslimah dan anak-anak, yang dijaga Hassan bin Tsabit. Shafiyah menuturkan kejadian saat itu: Ada seorang laki-laki Yahudi melewati tempat kami, lalu mengelilingi benteng. Sementara semua Yahudi Bani Quraizhah maju untuk berperang dan melanggar perjanjian yang sudah disepakati dengan Rasulullah.
Tidak ada kaum Muslimin yang menjaga kami, karena beliau dan semua orang Muslim sedang berhadapan dengan musuh. Tidak mungkin mereka mundur ke tempat kami dan meninggalkan pos mereka jika ada orang yang menyerang kami. Kukatakan kepada Hassan, “Wahai Hassan, seperti yang engkau lihat, orang Yahudi itu mengitari benteng. Demi Allah, aku merasa tidak aman jika dia menunjukkan titik lemah kita dari arah belakang ini kepada Orang-orang Yahudi, sedangkan Rasulullah dan para sahabat tidak sempat lagi mengurusi kita. Dekatilah orang itu dan bunuhlah dia.”
Hassan menjawab, “Demi Allah, engkau tahu sendiri aku bukanlah orang yang mahir dalam masalah membunuh.” Shafiyah berkata, “Aku lalu mengingat pinggangku dan mengambil sepotong tiang penyangga, lalu turun dari benteng untuk menghampiri orang Yahudi itu. Potongan tiang itu kupukulkan ke tubuhnya hingga mati. Setelah itu aku kembali lagi ke benteng. Aku berkata kepada Hassan, “Wahai Hassan, turunlah dari benteng dan ikatlah dia. Kalau bukan karena dia seorang laki-laki, tentu sudah aku ikat sendiri.” Hassan bin Tsabit berkata, “Kurasa aku tak perlu lagi mengikatnya.”
Tindakan yang berani dari bibi Rasulullah ini mempunyai pengaruh yang sangat kuat untuk menjaga para wanita dan anak-anak kaum Muslimin. Setelah selama itu Orang-orang Yahudi menduga rumah penampungan dan benteng bagi para wanita dan anak-anak dijaga ketat pasukan kaum Muslimin. Padahal, sejatinya tidak terjaga sama sekali. Karena dugaan itu, mereka tidak berani melakukan serangan ke benteng tersebut. Mereka juga tidak berani terang-terangan melakukan serangan terhadap kaum Muslimin. Mereka hanya mengulurkan bantuan kepada pasukan Orang-orang kafir dengan memasok bahan makanan. Tetapi, pasokan itu juga bisa diambil Orang-orang Muslim sebanyak dua puluh unta.
Kabar tentang tindakan Orang-orang Yahudi ini didengar Rasulullah dan Orang-orang Muslim. Seketika itu pula beliau ingin mengecek kebenarannya. Untuk itu, beliau hendak meminta keterangan langsung dari Bani Quraizhah, agar segera dapat diambil tindakan secara militer. Beliau mengutus Saad bin Muadz, Saad bin Ubadah, Abdullah bin Rawahah dan Khawwat bin Jubair. Beliau bersabda kepada para utusan, “Pergilah ke sana dan cari tahu benarkah kabar yang kita dengar dari mereka ini atau kah tidak. Jika kabar itu benar, beritahukan hanya kepadaku melalui isyarat saja, agar tidak mematahkan semangat Orang-orang. Jika mereka masih menepati perjanjian, kalian boleh memberitahukannya kepada Orang-orang.”
Ketika telah sampai di tempat tujuan, para utusan mendapatkan keadaan yang jauh lebih jahat dari gambaran semula. Orang-orang Yahudi itu secara terang-terangan mencemooh dan memperlihatkan permusuhan, dan bahkan mereka juga mengejek Rasulullah. Mereka mengatakan, “Siapa itu Rasul Allah? Tidak ada perjanjian antara kami dan Muhammad dan juga tidak ada ikatan apa-apa.”
Para utusan itu pulang, lalu mengisyaratkan keadaan mereka kepada Rasulullah dengan berkata, “Adhal dan Qarah.” Artinya, Orang-orang Yahudi itu seperti Bani Adhal dan Qarah yang melanggar perjanjian. Sekalipun para utusan itu sudah berusaha menyembunyikan kenyataan yang terjadi, sebagian kaum Muslimin bisa mengetahuinya, sehingga mereka merasa bahwa keadaannya benar-benar amat gawat.
Ini merupakan situasi yang sangat rawan yang pernah dihadapi kaum Muslimin. Antara posisi mereka dan posisi Yahudi Bani Quraizhah tidak ada penghalang sedikit pun andaikan mereka memukul dari belakang. Sementara di hadapan mereka ada pasukan musuh yang tidak mungkin ditinggalkan. Di sisi lain, tempat penampungan para wanita dan anak-anak tidak jauh dari posisi Bani Quraizhah yang berkhianat. Apalagi tempat itu tidak dijaga oleh pasukan. Keadaan mereka telah digambarkan
Allah dalam firman-Nya:
Dan ketika tidak tetap lagi penglihatan(mu) dan hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka. Di situlah diuji Orang-orang mukmin dan diguncangkan (hatinya) dengan guncangan yang sangat. (Al-Ahzab: 10-11)
Sikap hipokrit Orang-orang munafik juga mulai muncul ke permukaan, Sebagian di antara mereka ada yang berkata, “Kemarin Muhammad berjanji kepada kami bahwa kami akan mengambil harta simpanan Kisra dan Qaishar. Namun, hari ini tak seorang pun di antara kami yang merasa aman terhadap dirinya sekalipun hanya untuk buang hajat.” Seorang yang lain lagi ada yang berkata kepada sekumpulan kaumnya, “Rumah kami akan menjadi sasaran musuh. Maka izinkan kami untuk pergi dari sinj dan pulang ke rumah kami. Karena rumah kami berada di luar Madinah.” Allah berfirman tentang mereka ini:
Dan (ingatlah) ketika Orang-orang munafik dan Orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata, “Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya.” Dan (ingatlah) ketika sekelompok di antara mereka berkata, “Hai penduduk Yatsrib (Madinah), tidak ada tempat bagimu, maka kembalilah kamu.” Dan sebagian dari mereka minta izin kepada Nabi (untuk kembali pulang) dengan berkata, “Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka (tidak ada penjaga).” Dan rumah-rumah itu sekali-kali tidak terbuka, mereka tidak lain hanya hendak lari. (Al-Ahzab: 12-13)
Setelah mendengar pengkhianatan Bani Quraizhah, Rasulullah menggelar kainnya lalu tidur telentang. Beliau diam sekian lama hingga kaum Muslimin mendapat ujian yang cukup berat. Namun, tak lama kemudian ada harapan. Beliau, bangkit sambil berseru, “Allahu Akbar. Bergembiralah wahai kaum Muslimin dengan kemenangan dan pertolongan dari Allah.”
Kemudian beliau merancang beberapa strategi untuk menghadapi situasi yang sangat rawan ini. Salah satu strategi yang beliau terapkan ialah dengan mengutus beberapa penjaga ke Madinah untuk mengamankan para wanita dan anak-anak. Tetapi, sebelumnya harus ada upaya untuk mengacaukan pasukan musuh. Untuk memuluskan rencana ini, beliau hendak membuat perjanjian dengan Uyainah bin Hishn dan Al-Harits bin Auf, dua pemimpin Ghathafan, bahwa beliau akan menyerahkan sepertiga hasil panen kurma di Madinah kepada mereka, dengan syarat mereka berdua mau mengundurkan diri dari medan perang bersama kaumnya, lalu membiarkan beliau menghantam Quraisy dan menghancurkan kekuatan mereka.
Terjadi tawar-menawar yang cukup alot. Lalu beliau meminta pendapat Saad bin Muadz dan Saad bin Ubadah tentang rencana ini. Keduanya berkata, “Wahai Rasulullah, jika Allah memerintahkan engkau untuk mengambil keputusan seperti ini, kami akan tunduk dan patuh. Namun, jika ini merupakan keputusan yang hendak engkau ambil bagi kami, kami tidak membutuhkannya.
Dulu kami dan mereka adalah Orang-orang yang sama-sama menyekutukan Allah dan menyembah berhala. Dulu mereka berhasrat memakan kurma dari Madinah dengan cara jual beli atau bila sedang dijamu. Setelah Allah memuliakan kami dengan Islam dan memberi petunjuk Islam serta menjadi jaya bersamamu, mengapa kami harus memberikan harta kami kepada mereka? Demi Allah, kami hanya akan memberikan kepada mereka pedang.” Beliau membenarkan pendapat mereka berdua dan bersabda, “Ini adalah pendapatku sendiri. Sebab, aku melihat semua orang Arab sedang menyerang kalian dari satu busur.”
Kemudian Allah membuat suatu keputusan dari sisi-Nya yang mampu menghinakan musuh, mengacaukan semua barisan mereka, serta mencerai-beraikan persatuan mereka. Di antara langkah permulaannya, seseorang dari Ghathafan yang bernama Nu’aim bin Mas’ud bin Amir AlAsyja’i menemui Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah masuk Islam. Sementara kaumku tidak mengetahui tentang keislamanku ini. Maka perintahkanlah kepadaku apa pun yang engkau kehendaki!” Beliau bersabda, “Engkau adalah orang satu-satunya. Bantulah kami menurut kesanggupanmu. Karena peperangan itu adalah tipu muslihat.”
Seketika itu pula Nu’aim pergi menemui Bani Quraizhah, yang menjadi teman karibnya semasa Jahiliyah. Dia menemui mereka dan berkata, “Kalian sudah tahu cintaku kepada kalian, khususnya antara diriku dan kalian.” Mereka menjawab, “Engkau benar.”
Nu’aim berkata, “Orang-orang Quraisy tidak bisa disamakan dengan kalian. Negeri ini adalah negeri milik kalian. Di sini ada harta benda, anak-anak dan istri-istri kalian. Kalian tidak akan sanggup meninggalkan negeri ini untuk pindah ke tempat lain. Berbeda dengan Quraisy dan Ghathafan, mereka datang ke sini untuk memerangi Muhammad dan rekan-rekannya, lalu kalian menampakkan dukungan terhadap mereka. Sementara itu, negeri, harta benda, dan wanita-wanita mereka berada di tempat lain. Jika mereka mendapatkan kesempatan, tentu kesempatan itu akan dipergunakan sebaik-baiknya. Namun, bila tidak, mereka akan kembali lagi ke negeri mereka dan meninggalkan kalian, dan Muhammad akan melampiaskan dendamnya terhadap kalian.”
Mereka bertanya, “Lalu bagaimana sebaiknya, wahai Nu’aim?” Ia menjawab, “Kalian tidak perlu berperang bersama mereka, kecuali bila mereka memberikan jaminan kepada kalian.” Mereka berkata, “Engkau telah memberikan pendapat yang sangat tepat!”
Setelah itu, Nu’aim menemui Orang-orang Quraisy dan berkata kepada mereka, “Kalian sudah tahu cintaku kepada kalian dan nasihat-nasihat yang pernah kusampaikan kepada kalian.” Mereka berkata, “Engkau benar.”
Dia berkata lagi, “Rupanya Orang-orang Yahudi merasa menyesal karena telah melanggar perjanjian mereka dengan Muhammad dan rekan-rekannya. Mereka diam-diam mengirim utusan untuk menemui Muhammad bahwa mereka hendak meminta jaminan kepada kalian, namun jaminan itu akan diserahkan kepada Muhammad. Tentu saja, mereka akan berpaling dari kalian. Bila mereka meminta jaminan kepada kalian, kalian tidak perlu memberikannya kepada mereka.”
Setelah itu, Nu’aim menemui Orang-orang Ghathafan dan mengatakan hal yang sama kepada mereka.’
Tepat pada malam Sabtu, bulan Syawal 5 H, Orang-orang Quraisy mengirim utusan untuk menemui Orang-orang Yahudi agar menyampaikan pesan: “Kami tidak mungkin berlama-lama di sini. Apabila kondisi unta dan kuda kami sudah banyak yang melemah, maka bangkitlah pada saat itu bersama kami untuk menghabisi Muhammad.”
Orang-orang Yahudi mengirim utusan kepada kaum Quraisy agar menyampaikan pesan: “Hari ini adalah hari Sabtu. Kalian sudah tahu akibat yang menimpa Orang-orang sebelum kami karena mereka berperang pada hari ini. Selain itu, kami hanya mau berperang bersama kalian setelah kalian memberikan jaminan kepada kami.”
Setelah Orang-orang Quraisy dan Ghathafan mengetahui apa yang dikatakan oleh utusan Yahudi tersebut, mereka berkata, “Demi Allah, ternyata benar apa yang dikatakan oleh Nu’aim kepada kalian.” Karena itu, mereka mengirim utusan kepada Orang-orang Yahudi dengan membawa pesan: “Demi Allah, kami tidak akan mengirim seorang pun kepada kalian, Bergabunglah bersama kami untuk membunuh Muhammad.”
Bani Quraizhah berkata, “Demi Allah, ternyata benar apa yang diucapkan oleh Nu’aim kepada kalian.” Dengan demikian, Nu’aim mampu memperdayai kedua belah pihak dan menciptakan perpecahan di barisan musuh, sehingga semangat mereka menjadi turun drastis.
Sementara itu, kaum Muslimin selalu berdoa kepada Allah, “Ya Allah, tutupilah kelemahan kami dan hilangkanlah kekhawatiran kami.” Rasulullah sendiri juga berdoa untuk kehancuran pasukan sekutu. Beliau bersabda, “Ya Allah yang menurunkan Al-Kitab dan yang cepat hisab-Nya, kalahkanlah pasukan musuh. Ya Allah, kalahkanlah dan guncangkanlah mereka.”
Allah mendengar doa Rasul-Nya dan kaum Muslimin. Setelah muncul perpecahan di barisan Orang-orang musyrik dan mereka bisa diperdayai, Allah mengirimkan angin taufan kepada mereka, sehingga kemah-kemah mereka porak-poranda. Tidak ada sesuatu yang tegak melainkan pasti ambruk, tidak ada yang menancap melainkan pasti tercabut dan tak ada sesuatu pun yang bisa berdiri tegar di tempatnya. Allah juga mengirim pasukan yang terdiri dari para malaikat yang membuat mereka menjadi gentar dan kocar-kacir. Allah menyusupkan ketakutan ke dalam hati mereka.
Pada malam yang dingin dan menusuk tulang itu, Rasulullah mengutus Hudzaifah bin Al-Yaman untuk menemui Orang-orang Quraisy dan kembali lagi membawa kabar tentang keadaan mereka yang seperti itu. Bahkan mereka sudah bersiap-siap untuk kembali ke Mekkah. Hudzaifah bin Al-Yaman menemui beliau dan mengabarkan niat mereka untuk kembali ke Mekkah. Keesokan harinya beliau mendapatkan musuh sudah diusir Allah dan hengkang dari tempatnya, tanpa membawa keuntungan apa-apa.
Cukuplah Allah yang memerangi mereka, memenuhi janji-Nya, memuliakan pasukan-Nya, menolong hamba-Nya, dan hanya menimpakan kekalahan kepada pasukan musuh. Setelah itu beliau kembali ke Madinah.
Perang Khandaq ini terjadi pada Syawal 5 H, menurut pendapat yang lebih kuat. Orang-orang musyrik mengepung Rasulullah dan menyerang kaum Muslimin selama sebulan penuh atau mendekati itu. Dengan mengompromikan beberapa buku rujukan, dapat diambil kesimpulan bahwa permulaan pengepungan pada Syawal dan berakhir pada Dzulqa’dah. Menurut riwayat Ibnu Saad, Rasulullah kembali pada hari Rabu, seminggu sebelum habisnya bulan Dzulqa’dah.
Perang Ahzab tidak mengakibatkan kerugian, tetapi merupakan perang urat syaraf. Tidak ada pertempuran yang menyakitkan dalam peristiwa ini. Tetapi, dalam catatan sejarah Islam, ini merupakan peperangan yang sangat menegangkan, yang berakhir dengan pelecehan di pihak pasukan musyrikin dan memberi kesan bahwa kekuatan sebesar apa pun yang ada di Arab tidak akan sanggup melumatkan kekuatan lebih kecil yang sedang mekar di Madinah.
Semua bangsa Arab tidak sanggup menghimpun kekuatan yang lebih besar daripada pasukan Ahzab ini. Oleh karena itu, Rasulullah bersabda, “Ketika Allah sudah mengalahkan pasukan musuh. Sekarang kitalah yang menyerang mereka, dan mereka tidak akan menyerang kita. Kitalah yang akan mendatangi mereka.” []
Pada hari ketika Rasulullah kembali ke Madinah, Jibril mendatangi beliau pada waktu Zuhur saat beliau sedang membersihkan badan di rumah Ummu Salamah. Jibril berkata, “Mengapa engkau telah meletakkan senjata? Padahal, para malaikat belum meletakkan senjatanya. Aku tidak kembali ke sini kecuali untuk mengejar musuh. Karena itu, bangkitlah dengan Orang-orang yang bersamamu ke Bani Quraizhah. Aku akan berangkat di depanmu. Aku akan mengguncangkan benteng-benteng mereka dan menyusupkan ketakutan ke dalam hati mereka.” Jibril pun pergi di dalam iring-iringan para malaikat.
Rasulullah memerintahkan seseorang agar memberikan pengumuman kepada Orang-orang, “Siapa yang tunduk dan patuh, janganlah sekali-kali mendirikan shalat Asar kecuali di Bani Quraizhah.”
Madinah diserahkan kepada Ibnu Ummi Maktum. Bendera diserahkan kepada Ali bin Abu Thalib dan menyuruhnya agar lebih dahulu berangkat ke Bani Quraizhah. Setiba di dekat benteng mereka, dia mendengar ejekan yang ditujukan kepada diri beliau.
Rasulullah pergi di tengah iring-iringan Orang-orang Muhajirin dan Anshar hingga tiba di salah satu mata air milik Bani Quraizhah, yang disebut Bi’r Anna. Kaum Muslimin melaksanakan apa yang diperintahkan Rasulullah. Secara berkelompok-kelompok mereka berangkat menuju Bani Quraizhah. Mereka masih di tengah perjalanan saat waktu shalat Asar tiba. Sebagian sahabat menunaikannya saat itu juga, namun sebagian orang berkata, “Kami tidak akan mendirikan shalat Asar sebelum tiba di Bani Quraizhah seperti yang diperintahkan kepada kita.”, sehingga, sebagian orang mendirikan shalat Asar setelah waktu Isya’ akhir. Dalam hal ini, mereka berkata, “Kami tidak saling mempermasalahkan hal ini. Karena yang dimaksudkan beliau adalah agar kami cepat-cepat berangkat. Sekalipun ada yang mendirikan shalat Asar di tengah perjalanan, tak seorang pun yang mempermasalahkannya.”
Secara berkelompok-kelompok pasukan kaum Muslimin bergerak ke arah Bani Quraizhah dan akhirnya mereka berkumpul dengan Nabi. Jumlah mereka tiga ribu orang. Penunggang kuda ada tiga puluh orang. Mereka mendekati benteng Bani Quraizhah dan diputuskan untuk mengepungnya. Setelah pengepungan dilakukan secara ketat, ada tiga hal yang ditawarkan pemimpin mereka, Ka’ab bin Asad, kepada kaumnya, yaitu Orang-orang Yahudi:
- Mereka masuk Islam dan masuk agama Muhammad. Dengan begitu mereka mendapat jaminan keamanan atas darah, harta, anak-anak dan wanita-wanita mereka. Dalam hal ini dia berkata kepada mereka, “Demi Allah, kalian sudah tahu sendiri bahwa memang dia adalah nabi yang diutus. Dia pula yang namanya kalian baca di dalam Kitab kalian.”
- Mereka membunuh anak-anak dan wanita-wanita mereka dengan tangan mereka sendiri, lalu mereka berperang melawan Muhammad dengan pedang terhunus hingga meraih kemenangan atau biar saja mereka terbunuh semua dan tak seorang pun yang tersisa.
- Langsung menyerang Rasulullah dan para sahabat dan melanggar larangan berperang pada hari Sabtu.
Namun, mereka menolak semua tawaran tersebut. Pada saat itu pemimpin mereka, Ka’ab bin Asad, berkata dengan nada tinggi karena marah, “Apa yang membuat salah seorang di antara kalian menjadi keras kepala setelah dilahirkan ibunya semalam suntuk?”
Tidak ada pilihan lain bagi Bani Quraizhah setelah menolak tiga usulan ini selain pasrah kepada keputusan Rasulullah. Meski demikian mereka masih berusaha menjalin kontak dengan rekan mereka yang sudah masuk Islam. Siapa tahu mereka mau menunjukkan jalan untuk mengambil keputusan yang terbaik. Maka mereka mengirim utusan kepada Rasulullah, dengan pesan, “Utuslah Abu Lubabah agar menemui kami. Kami akan meminta pendapatnya.”
Sebelum masuk Islam Abu Lubabah adalah sekutu mereka. Sementara harta dan anak-anak Abu Lubabah juga ada di wilayah Orang-orang Yahudi. Saat melihat kedatangan Abu Lubabah, semua orang Yahudi mengelu-elukannya. Yang laki-laki bangkit mengerumuninya dan para wanita serta anak-anak menangis di hadapannya. Abu Lubabah sangat iba melihat keadaan mereka. Mereka berkata, “Wahai Abu Lubabah, apakah kami harus tunduk kepada keputusan Muhammad?” “Begitulah,” jawabnya sambil memberi isyarat dengan tangannya yang diletakkan di leher, yang maksudnya mereka akan dijatuhi hukuman mati. Padahal, tidak selayaknya dia berbuat seperti itu di hadapan mereka.
Setelah itu Abu Lubabah sadar bahwa dia telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Seketika itu dia berbalik dan tidak menemui Rasulullah. Dia masuk Masjid Nabawi dan mengikat tubuhnya di tiang masjid. Dia bersumpah tidak akan melepaskan tali itu, kecuali beliau sendiri yang melepaskannya dan dia juga tidak akan memasuki wilayah Bani Quraizhah.
Setelah beliau mendengar apa yang diperbuat Abu Lubabah, yang sejak lama ditunggu-tunggu kedatangannya, beliau bersabda, “Andai kata dia menemuiku, tentu aku akan mengampuninya. Tetapi, bila dia memang berbuat seperti itu, aku tidak akan melepaskannya, kecuali jika dia bertobat kepada Allah.”
Sekalipun Abu Lubabah sudah mengisyaratkan seperti itu, mereka tetap mengambil keputusan untuk pasrah kepada keputusan Rasulullah, yang sebelumnya mereka sudah berusaha bertahan menghadapi pengepungan yang panjang. Apalagi bahan makanan, air, dan peralatan cukup menunjang untuk itu. Di samping itu, kaum Muslimin terus-menerus diserang hawa dingin dan rasa lapar, karena mereka berada di tempat yang terbuka, ditambah lagi kondisi badan mereka yang letih sehabis diperas menghadapi pasukan sekutu gabungan dari kaum Quraisy dan Ghathafan.
Perlu diingat, Perang Bani Quraizhah adalah peperangan urat syaraf. Allah menyusupkan ketakutan ke dalam hati Orang-orang Yahudi. Mental mereka langsung merosot. Keadaan ini mencapai puncaknya hingga muncul Ali bin Abu Thalib dan Az-Zubair bin Al-Awwam. Ali berteriak, “Wahai pasukan iman, demi Allah, aku siap merasakan seperti yang dirasakan Hamzah, atau lebih baik aku menjebol benteng mereka.”
Setelah itu Orang-orang Yahudi tunduk kepada keputusan Nabi. Beliau memerintahkan untuk menahan semua Yahudi yang laki-laki dan tangan mereka dibelenggu. Muhammad bin Salamah Al-Anshari diserahi tugas untuk mengawasi mereka. Para wanita dan anak-anak digiring ke tempat tertentu yang terpencil.
Orang-orang Aus mendatangi Rasulullah seraya berkata, “Wahai Rasulullah, engkau telah membuat keputusan terhadap Bani Qainugqa’ seperti yang engkau ketahui. Mereka adalah sekutu saudara kami dari Khazraj. Sementara Bani Quraizhah adalah rekan kami. Karena itu, berbuat baiklah kepada mereka.”
Beliau bertanya, “Apakah kalian ridha jika yang membuat keputusan adalah salah seorang di antara kalian?” Mereka menjawab, “Ya.” Beliau bersabda, “Serahkanlah kepada Saad bin Muadz.” Mereka menjawab, “Kami setuju.”
Saat itu Saad bin Muadz berada di Madinah dan tidak ikut pergi ke Bani Qainuqa’ karena mendapat luka di urat lengannya sewaktu Perang Bani Quraizhah. Ketika dipanggil ia pun datang dengan menunggang keledai. Saat dia hendak mendatangi Rasulullah, Orang-orang berkata di kanan kirinya, “Wahai Saad, berbuat baiklah kepada rekan-rekanmu karena Rasulullah telah memilihmu sebagai orang yang akan memutuskan perkara. Berbuat baiklah terhadap mereka.”
Saad bin Muadz hanya diam dan tidak menanggapi perkataan mereka. Tetapi, karena semakin banyak orang yang berkata seperti itu, ia pun berkata, “Kini sudah saatnya bagi Saad untuk tidak memedulikan celaan orang yang suka mencela, karena Allah.” Setelah mendengar jawaban Saad ini, di antara mereka ada yang kembali ke Madinah dan meratapi apa yang bakal menimpa mereka.
Setelah Saad berada di hadapan Nabi beliau bersabda kepada para sahabat, “Temuilah pemimpin kalian!” Setelah Saad diturunkan dari punggung Keledai, mereka berkata, “Wahai Saad, Orang-orang Yahudi itu sudah pasrah kepada keputusanmu.” Saat menjawab, “Apakah keputusanku berlaku bagi mereka?”
“Ya,” jawab para sahabat.
“Apakah juga berlaku bagi kaum Muslimin?”
“Ya,” jawab mereka.
“Bagi siapa pun yang ada di sini?” tanyanya sambil mengarahkan pandangan ke Rasulullah sebagai penghormatan bagi beliau.
“Ya, juga bagi diriku,” jawab beliau.
Akhirnya, Saad berkata, “Aku memutuskan bahwa Orang-orang Yahudi yang laki-laki harus dibunuh, sedangkan para wanita dijadikan tawanan dan harta benda dibagi rata.” Beliau bersabda, ‘“Engkau telah membuat keputusan berdasarkan keputusan Allah dari atas tujuh langit.”!
Keputusan Saad adalah keputusan yang tepat dan adil. Karena selain melakukan pengkhianatan yang keji, Bani Quraizhah sudah menyiapkan 1500 pedang, 2000 tombak, 300 baju besi, dan 500 perisai untuk menghancurkan kaum Muslimin. Semua ini baru diketahui setelah Orang-orang muslim dapat menaklukkan benteng dan perkampungan Yahudi Bani Quraizhah.
Rasulullah memerintahkan untuk menahan Orang-orang dari Bani Quraizhah di rumah binti Al-Harits, seorang wanita dari Bani AnNajar. Sebuah parit digali di dalam pasar Madinah. Sekelompok demi sekelompok digiring ke pinggir parit itu Jalu leher mereka dipenggal dan dimasukkan ke dalam parit tersebut.
Beberapa orang Yahudi yang berada di dekat pemimpin mereka, Ka’ab bin Asad, bertanya, “Apa yang akan dia perbuat terhadap kita menurut penglihatanmu?” Ka’ab menjawab, “Apakah di mana pun kalian memang tidak bisa berpikir? Apakah kalian tidak melihat orang yang banyak bicara tidak akan dilepaskan dan orang yang telah diusir di antara kalian tidak bisa kembali lagi? Demi Allah, itu adalah hukuman mati.”
Jumlah kaum laki-laki dari Yahudi Bani Quraizhah yang dihukum tersebut adalah enam ratus hingga tujuh ratus orang. Mereka semua dipenggal. Begitulah kesudahan ular-ular pengkhianat yang telah melanggar perjanjian yang pernah disepakati dan membantu pasukan musuh yang hendak membinasakan kaum Muslimin pada saat-saat yang sangat kritis. Dengan tindakan seperti itu mereka dianggap sebagai penjahat perang, sehingga layak mendapat hukuman mati.
Ada pula setan-setan Bani Nadhir yang ikut dibunuh bersama mereka, Salah seorang di antara para tokoh penjahat Perang Ahzab adalah Huyaij bin Akhthab, ayah Shafiyah Ummul Mukminin as. Dia bergabung dj benteng Bani Quraizhah saat Quraisy dan Ghathafan pulang karena harus memenuhi janjinya kepada Ka’ab bin Asad, yang sebelum itu dia terus-menerus membujuk dan mendorong Ka’ab untuk melanggar perjanjian.
Huyai telah merobek-robek pakaiannya yang bagus agar tidak dirampas saat digiring dengan tangan terbelenggu di belakang leher untuk menjalani eksekusi, dia berkata kepada Rasulullah, “Demi Allah, aku mencela diriku karena aku telah memusuhimu. Tetapi, siapa pun yang memang dikalahkan Allah, pastilah dia akan kalah.” Lalu dia berkata kepada Orang-orang di sekitarnya, “Wahai manusia, tidak apa-apa kalau memang telah menjadi keputusan Allah. Ketetapan, takdir, dan tempat pembantaian, semua telah diputuskan bagi Bani Israil.” Kemudian dia duduk dan lehernya dipenggal.
Semua wanita Bani Quraizhah tidak dibunuh, kecuali seorang saja. Itu dilakukan karena sebelumnya dia telah melemparkan batu penggiling kepada Khallad bin Suwaid hingga meninggal dunia. Maka dia dieksekusi mati karena perbuatannya itu.
Rasulullah memerintahkan untuk membunuh siapa pun yang sudah balig, sedangkan anak-anak yang dianggap belum balig dibiarkan hidup. Di antara anak yang dianggap belum balig adalah Athiyyah Al-Qurazhi, Dia dibiarkan hidup, lalu masuk Islam dan menjadi sahabat yang baik. Tsabit bin Qais meminta kepada Rasulullah agar Az-Zabir bin Batha beserta keluarga dan harta bendanya diserahkan kepadanya. Pada perang Bu’ats, Az-Zabir pernah berjasa menyelamatkan Tsabit bin Qais. Permintaannya itu dikabulkan.
Tsabit bin Qais berkata, “Rasulullah telah menyerahkan dirimu kepadaku, begitu pula keluarga dan hartamu.” Namun, setelah mengetahui bahwa semua rekan-rekannya Yahudi yang lain dibunuh, Az-Zabir berkata, “Atas jasaku kepadamu, wahai Tsabit, aku meminta pertemukanlah aku dengan Orang-orang yang kucintai.” Lalu Tsabit memenggal lehernya dan mempertemukannya dengan Orang-orang yang dicintainya. Tsabit meminta kepada beliau agar anak Az-Zabir, Abdurrahman bin Az-Zabir dibiarkan hidup. Kemudian dia masuk Islam dan menjadi sahabat yang baik.?
Sementara itu, Ummul Mundzir Salma binti Qais An-Najariyah meminta kepada beliau agar mengampuni Rifa’ah bin Samwal Al-Qurazhi. Pada akhirnya Rifa’ah masuk Islam dan menjadi sahabat yang baik.
Ada beberapa orang Bani Quraizhah yang masuk Islam sebelum mereka menyerah, sehingga darah harta dan keluarga mereka dilindungi. Pada malam itu pula muncul Amr, yang tidak ikut bergabung dengan Quraizhah untuk melanggar perjanjian. Muhammad bin Maslamah yang bertugas menjaga beliau melihat dirinya. Dia dibiarkan pergi dan tidak diketahui ke mana perginya.
Rasulullah membagi seluruh harta dari Bani Quraizhah setelah mengambil seperlimanya. Tiga bagian diserahkan kepada barisan penunggang kuda, sedangkan pasukan infanteri mendapatkan satu bagian. Para tawanan diserahkan kepada Saad bin Zaid Al-Anshari untuk dibawa ke Najd, lalu dijual di sana, untuk membeli kuda dan senjata.,
Rasulullah memilih untuk diri beliau salah seorang wanita mereka, yaitu Raihanah binti Amr bin Junafah. Menurut Ibnu Ishaq, wanita itu tetap berada di sisi beliau sampai beliau meninggal, yang saat itu ia berada di Mekkah.? Menurut Al-Kalbi beliau membebaskan Raihanah dan menikahinya pada tahun 6 H. Dia meninggal saat beliau pulang dari Hajj Wada, lalu dikuburkan di Baqi’.
Setelah urusan Bani Quraizhah beres, doa seorang hamba yang shalih, Saad bin Muadz dikabulkan, yang telah kami sebutkan sebelumnya di Perang Ahzab. Sebelumnya, Nabi membuatkan sebuah tenda di dekat masjid, agar lebih mudah bagi beliau untuk menjenguknya. Setelah urusan Bani Quraizhah selesai, lukanya semakin parah dan pecah. Dari bagian lukanya itu mengalir darah hingga ke kemah lain di sampingnya yang ditempati Bani Ghifar. Mereka berkata, “Wahai para penghuni kemah, apa yang mengalir ini?” Ternyata, darah itu berasal dari luka Saad bin Muadz, lalu dia meninggal dunia karenanya.
Di dalam Ash-Sahihain disebutkan dari Jabir, bahwa Rasulullah bersabda, “Arsy Allah Yang Maha Pemurah berguncang karena kematian Saad bin Muadz.” At-Tirmidzi telah menyatakan sahih sebuah hadits dari Anas bahwa dia berkata, “Saat jenazah Saad bin Muadz diangkat, Orang-orang munafik berkata, ‘Betapa ringan jenazahnya.’ Rasulullah bersabda, ‘Karena para malaikatlah yang mengangkat jenazahnya’.”
Pada saat pengepungan Bani Quraizhah ada seorang Muslim yang meninggal, yaitu Khallad bin Suwaid. la meninggal karena dihantam dengan batu alat penggiling oleh seorang wanita dari Bani Quraizhah. Selain itu ada lagi yang meninggal selama pengepungan tersebut, yaitu Abu Sinan bin Mihshan, saudara Ukasyah.
Sementara itu, Abu Lubabah tetap dalam keadaan terikat di masjid selama enam hari. Setiap tiba waktu shalat ada seorang wanita yang menghampirinya dan melepaskan talinya agar dia bisa shalat. Setelah itu, ia mengikat dirinya lagi. Pada dini hari sebelum waktu Subuh tiba, wanita tersebut memintakan ampunan bagi Abu Lubabanh. Saat itu beliau sedang berada di rumah Ummu Salamah. Ummu Salamah berdiri di ambang pintu lalu berkata, “Wahai Abu Lubabah, bergembiralah karena Allah telah mengampunimu.”
Seketika itu) Orang-orang mengerumuni Abu Lubabah untuk melepaskan talinya. Namun, Abu Lubabah menolak siapa pun yang hendak melepaskan tali yang mengikat tubuhnya, kecuali bila Rasulullah yang melakukannya. Saat melewatinya untuk mendirikan shalat Subuh, beliau melepaskan talinya.
Peperangan ini terjadi pada bulan Dzulqa’dah 5 H. Peperangan ini berlangsung selama 25 hari.
Allah menurunkan beberapa ayat tentang Perang Ahzab dan Bani Quraizhah dalam surat Al-Ahzab. Dalam surat ini Allah menyebutkan beberapa peristiwa terpenting tentang keadaan Orang-orang Mukmin dan munafik, kemudian tentang kehinaan yang diderita oleh pasukan musuh dan kesudahan pengkhianatan Ahli Kitab.
Terbunuhnya Sallam bin Abul Huqaiq
Sallam bin Abul Huqaiq yang juga biasa dipanggil Abu Rafi’ termasuk salah seorang Yahudi yang menggagas pembentukan pasukan sekutu untuk memerangi kaum Muslimin. Selain itu, ia juga mendukung mereka dengan bantuan harta yang banyak dan pasokan bahan makanan. Sebelum itu, ia sering mengganggu Rasulullah.
Setelah kaum Muslimin selesai menangani urusan Bani Quraizhah, Orang-orang Khazraj meminta kepada Rasulullah untuk membunuh Sallam bin Abul Huqaiq karena sebelumnya Orang-orang Aus yang mendapat giliran membunuh Ka’ab bin Al-Asyraf. Karena itulah, mereka ingin mendapatkan kehormatan seperti yang didapat oleh Orang-orang Aus, sehingga mereka segera meminta izin untuk melaksanakan rencana ini kepada beliau.
Rasulullah; mengizinkan permintaan mereka dan melarang membunuh wanita dan anak-anak. Maka ada lima orang di antara mereka yang semuanya berasal dari Bani Salamah di bawah pimpinan Abdullah bin Atik. Mereka berangkat menuju Khaibar karena di sanalah benteng Abu Rafi’ berada. Ketika mereka telah mendekati benteng, suasana sudah gelap dan semua manusia sudah berada di tempat tinggal mereka di dalam benteng tersebut. Abdullah bin Atik berkata kepada rombongannya, “Kalian duduk saja di sini. Aku akan pergi dan mengelabui penjaga pintu. Mudah-mudahan aku bisa memasuki benteng.”
Dia mendekati pintu benteng, lalu menyingsingkan pakaian layaknya orang yang hendak buang hajat. Saat itu semua orang sudah masuk ke dalam benteng. Penjaga pintu berbisik kepada Abdullah, “Wahai Abdullah, bila engkau hendak masuk, masuklah karena aku hendak menutup pintu ini.”
Abdullah bin Atik mengatakan, “Aku lalu masuk ke dalam benteng dan main kucing-kucingan. Setelah itu pintu benteng ditutup rapat dengan memasang palang. Kunci pintu itu kuambil dan kubawa pergi. Aku lalu membuka pintu tempat tinggal Abu Rafi’, yang rupanya dia masih mengobrol dengan teman-temannya. Aku menyembunyikan diri agar tidak terpergok olehnya.
Setelah teman-temannya pergi, aku naik ke tempatnya. Setiap pintu tempat tinggalnya dapat kubuka. Setelah itu pintu itu kututup lagi seperti sedia kala dari dalam. Aku berkata sendiri, “Rekan-rekannya sudah bernazar kepadaku bahwa aku tidak boleh keluar sebelum aku dapat membunuh Abu Rafi’.” Akhirnya aku dapat mendekati tempatnya yang agak memencil, yaitu di suatu ruangan yang gelap. Aku tidak tahu di mana posisinya secara tepat.
“Wahai Abu Rafi’?” aku bertanya memancing.
“Siapa itu?” tanyanya. Aku menghampiri tempat asal suaranya dan kusabetkan pedang ke arah dirinya. Aku kaget sendiri, karena sabetanku tidak mengenai sasaran. Dia berteriak. Aku keluar dari ruangan itu, namun tidak jauh dari posisinya. Kemudian aku masuk lagi dan bertanya, “Ada apa engkau berteriak wahai Abu Rafi’?” Dia menjawab, ‘Celaka! Ada seseorang di dalam rumah ini yang baru saja hendak menebaskan pedang kepadaku.”
Selanjutnya, aku menyabetkan pedangku lagi ke arah dirinya dan tepat mengenai sasaran. Namun, aku yakin sabetanku itu belum mampu membunuhnya. Kuletakkan ujung pedang di perutnya, kutusukkan hingga tembus ke punggung. Kini aku yakin sudah dapat membunuhnya. Secara perlahan-lahan pintu tempat tinggalnya kubuka satu persatu dan berjalan mengendap-endap hingga aku dapat menginjak tanah. Di bawah terpaan sinar rembulan dapat kulihat betisku yang terkoyak. Aku membalutnya dengan kain penutup kepala, lalu duduk di dekat pintu benteng. Aku berkata kepada diri sendiri, ‘Aku tidak akan keluar dari benteng ini sebelum mengetahui apakah dia benar-benar sudah mati.”
Bersamaan dengan terdengarnya suara kokok ayam, seseorang yang bertugas menyampaikan kabar kematian berkata, ‘Aku hendak menyampaikan kabar kematian Abu Rafi’ kepada pedagang penduduk Hijaz.’ Setelah itu aku menghampiri teman-temanku dan berkata, ‘Selamat, Allah telah membunuh Abu Rafi’.”
Setelah bertemu Nabi, aku mengabarkan apa yang telah terjadi, Beliau bersabda, “Bentangkan kakiku!” Maka kubentangkan kakiku lalu beliau mengusapnya, hingga tidak lagi kurasakan rasa sakit sama sekali.”
Begitulah yang disebutkan dalam riwayat Al-Bukhari, sedangkan menurut riwayat Ibnu Ishaq disebutkan bahwa mereka berlima masuk ke tempat tinggal Abu Rafi’, dan secara bersama-sama membunuhnya. Adapun yang membunuh Abu Rafi’ adalah Abdullah bin Unais. Dalam riwayat ini disebutkan bahwa peristiwa ini terjadi pada malam hari dan gelap. Sementara saat itu betis Abdullah bin Atik terkoyak atau mengalami patah tulang. Karena itu, teman-temannya menggotong dan meletakkan di lubang air yang masuk ke dalam benteng.
Mereka juga bersembunyi di tempat itu beberapa saat. Karena itu, ketika Orang-orang Yahudi mencari-cari, mereka tidak bisa ditemukan. Karena putus asa, Orang-orang Yahudi itu kembali lagi menemui pemimpin mereka yang sudah mati. Kemudian mereka pulang dan menggotong Abdullah bin Atik hingga bertemu Rasulullah.
Peristiwa ini terjadi pada bulan Dzulqa’dah atau Dzulhijjah 5 H. Setelah Perang Ahzab dan Bani Quraizhah dan membungkam para penjahat perang, beliau mengerahkan satuan-satuan pasukan untuk memberi pelajaran kepada beberapa kabilah dan Arab Badui, yang selama ini selalu mengganggu keamanan. Untuk itu beliau perlu menghadapi mereka dengan kekuatan militer.
Ekspedisi Pasukan Muhammad bin Maslamah
Ini merupakan satuan pasukan yang dikirim pertama kali setelah Perang Ahzab dan Bani Quraizhah. Jumlah mereka adalah tiga puluh orang yang menunggang kendaraan.
Satuan perang ini bergerak ke arah Al-Quratha’ di wilayah Dhariyah di Najd. Jarak antara Dhariyah dan Madinah bisa ditempuh selama tujuh hari. Mereka pergi selama sepuluh hari dan tiba di perkampungan Bani Bakar bin Kilab. Saat satuan pasukan kaum Muslimin ini menyerbu tempat itu, mereka melarikan diri. Dengan demikian, kaum Muslimin mendapatkan rampasan berupa binatang ternak yang cukup banyak.
Mereka kembali ke Madinah, dengan menawan Tsumamah bin Utsal Al-Hanafi, pemimpin Bani Hanifah. Sebelum itu dia pernah menolak kerja sama dengan Musailamah Al-Kadzdzab untuk membunuh Nabi. Setiba di Madinah mereka mengikatnya di salah satu tiang masjid. Beliau menemuinya dan bertanya, “Bagaimana kabarmu, wahai Tsumamah?” “Aku baik-baik, wahai Muhammad,” jawabnya. Lalu dia berkata, “Jika engkau ingin membunuh, berarti engkau akan membunuh seseorang yang masih punya darah. Jika engkau mau memberi makan maka engkau memberi makan orang yang bersyukur. Jika engkau menghendaki harta benda, sebutkan saja, niscaya engkau akan mendapatkannya menurut keinginanmu. “ Namun, beliau membiarkannya.
Saat melewatinya untuk kali kedua, Tsumamah berkata seperti di atas, dan beliau juga berbuat serupa. Pada kali ketiga dan setelah berkata seperti itu pula, beliau bersabda, “Lepaskanlah Tsumamah!” Kaum Muslimin pun melepasnya. Kemudian Tsumamah pergi ke sebuah kebun kurma tak jauh dari masjid, lalu mandi dan kembali lagi untuk masuk Islam. Dia berkata, “Demi Allah, sebelum ini tidak ada wajah yang paling aku benci di muka bumi ini selain wajahmu. Kini wajah yang paling kucintai adalah wajahmu. Demi Allah, sebelum ini tidak ada agama yang paling aku benci di muka bumi ini selain agamamu. Kini agama yang paling kucintai adalah agamamu. Aku ingin naik kuda milikmu karena aku ingin melaksanakan umrah.”
Beliau memperkenankan dan menyuruhnya melaksanakan umrah. Setibanya di Mekkah, Orang-orang Quraisy bertanya, “Apakah engkau sudah keluar dari agamamu, wahai Tsumamah?” Tsumamah menjawab, “Tidak, demi Allah. Namun, aku telah memasrahkan diri bersama Muhammad. Demi Allah, meski sebiji gandum pun, kalian tidak boleh membawanya dari Yamamah kecuali atas perkenan Rasulullah.”
Yamamah adalah tanah yang subur dan merupakan pemasok bahan makanan bagi Mekkah. Setelah melaksanakan umrah, Tsumamah kembali lagi ke kampung halamannya. Biji-biji gandum dari Yamamah benar-benar tidak boleh dibawa ke Mekkah, sehingga Orang-orang Quraisy kekurangan bahan makanan dan kelaparan. Karenanya, mereka nekat menulis surat kepada Rasulullah, memohon kepada beliau atas nama para kerabat, agar beliau mengizinkan pengiriman bahan makanan dari Yamamah ke Mekkah. Beliau pun memperkenankannya.
Perang Bani Lahyan
Bani Lahyan adalah Orang-orang yang pernah mengkhianati sepuluh sahabat dan membunuh mereka di Ar-Raji’. Karena tempat mereka yang masuk wilayah Hijaz dan berbatasan dengan Mekkah, Nabi 2 tidak berniat untuk memasuki wilayah tersebut karena itu merupakan wilayah yang berdekatan dengan musuh terbesar. Ini terjadi sebelum meletus peperangan antara kaum Muslimin dan Quraisy serta beberapa kabilah Arab lainnya. Tetapi, setelah mental dan semangat pasukan musuh merosot serta membiarkan situasi berjalan serba mengambang tanpa ada ujungnya, sudah tiba saatnya bagi beliau untuk melakukan balasan terhadap Bani Lahyan atas kematian para sahabat beliau di Ar-Raji’.
Pada bulan Rabi’ul Awwal atau Jumadil Ula 6 H, beliau pergi bersama dua ratus sahabat. Madinah diserahkan kepada Ibnu Umar. Beliau membuat kamuflase, seolah-olah kepergian kali ini hendak menuju ke Syam, agar mereka lengah.
Perjalanan dipercepat hingga tiba di Ghuran, suatu lembah yang terletak antara Amaj dan Asfan. Di tempat inilah para sahabat dahulu dibunuh. Hati beliau sangat pilu atas nasib mereka, lalu beliau mendoakan kebaikan untuk mereka.
Bani Lahyan yang mendengar kedatangan beliau dan pasukan kaum Muslimin langsung melarikan diri ke puncak-puncak gunung. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang bisa tertangkap. Beliau menetap di perkampungan Bani Lahyan selama dua hari. Selama itu beliau mengutus beberapa orang untuk melakukan pengejaran, namun hasilnya nihil. Setelah itu beliau pergi ke Asfan dan mengutus sepuluh orang penunggang kuda untuk pergi Kura’ Al-Ghamim untuk mencari informasi tentang keadaan Orang-orang Quraisy. Setelah itu beliau kembali lagi ke Madinah. Kepergian beliau ini selama empat belas hari.
Ekspedisi Pasukan Berikutnya
Setelah beberapa aktivitas militer tersebut Rasulullah melanjutkan misi ini dengan pengiriman beberapa satuan pasukan, di antaranya:
Ekspedisi Ukasyah bin Mihshan ke Al-Ghamr pada Rabi’ul Awwal 6 H. Ukasyah pergi bersama empat puluh orang ke Al-Ghamr, sebuah pangkalan air milik Bani Asad. Melihat kedatangan pasukan kaum Muslimin ini, mereka melarikan diri, sehingga kaum Muslimin mendapatkan rampasan dua ratus ekor unta, lalu dibawa ke Madinah.
Ekspedisi Muhammad bin Maslamah ke Dzul Qashshah pada Rabi’ul Awwal atau Rabi’ul Akhir. Dia pergi bersama sepuluh orang. Dengan mengendap-endap mereka memasuki perkampungan Bani Sa’labah dan membunuh mereka yang jumlahnya seratus orang selagi sedang nyenyak tidur. Hanya saja sebagian rekan Muhammad bin Maslamah ada yang mendapat luka pada peristiwa ini.
Ekspedisi Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ke Dzul Qashshah pada Rabi’ul Akhir 6 H. Beliau mengirimnya untuk membalas kematian rekan-rekan Muhammad bin Maslamah. Dia pergi bersama empat puluh orang dengan berjalan kaki pada malam itu pula hingga mereka tiba di Bani Tsa’labah pada pagi harinya. Abu Ubaidah dan pasukannya menyerang Bani Tsa’labah, sehingga mereka melarikan diri ke puncak gunung. Mereka bisa menawan salah seorang di antara mereka, lalu orang tersebut masuk Islam. Cukup banyak harta rampasan berupa hewan ternak yang didapat.
Ekspedisi Zaid bin Haritsah ke Al-Jamum pada Rabi’ul Akhir 6 H. a}. Jamum adalah sumber air milik Bani Sulaim di daerah Marr Azh-Zhahran. Zaid dan pasukannya pergi ke sana dan bertemu dengan seorang wanita dari Muzainah, yang bernama Halimah menunjukkan di mana tempat Bani Sulaim. Atas petunjuk wanita itu, mereka bisa mendapatkan rampasan hewan dan para tawanan. Setelah mereka kembali ke Madinah, beliau memberikan hadiah kepada wanita itu dan juga mengawinkannya,
Ekspedisi Zaid bin Haritsah ke Al-Ish pada Jumadil Ula 6 H bersama 170 orang pengendara. Dalam peristiwa ini mereka bisa merampas kafilah dagang milik Quraisy yang dipimpin Abul Ash, orang yang dikhitan Rasulullah sekaligus menantu beliau. Abul Ash dapat melepaskan diri lalu mendatangi Zainab, istrinya yang merupakan putri beliau, dan meminta jaminan perlindungan kepadanya. Dia juga memohon agar Zainab memintakan seluruh harta kafilah dagang Quraisy yang dirampas. Zainab memenuhi permintaannya.
Rasulullah memberi isyarat kepada Orang-orang Muslim untuk mengembalikan harta rampasan itu. Mereka pun mengembalikan harta itu, tanpa ada sedikit pun yang diambil. Kemudian Abul Ash kembali lagi ke Mekkah dengan membawa pulang seluruh harta kaum Quraisy, lalu dia menyerahkan semua titipan kepada orang yang berhak menerimanya, kemudian masuk Islam dan hijrah ke Madinah.
Ketika tiba di Madinah, Rasulullah =menyerahkan Zainab kepada Abul Ash berdasarkan pernikahan mereka dahulu, setelah berpisah selama tiga tahun lebih seperti yang diriwayatkan dalam hadits sahih, beliau tidak menikahkan lagi mereka berdua, karena ayat yang mengharamkan pernikahan wanita muslimah dengan laki-laki kafir pada saat itu belum turun.
Hadits yang menyebutkan bahwa beliau menikahkan lagi mereka berdua setelah berpisah selama enam tahun, sanadnya tidak sahih dan maknanya pun tidak mengena. Yang aneh tentang Orang-orang yang berpegang kepada hadits dha’‘ifini, mereka menyatakan bahwa Abul Ash masuk Islam pada akhir tahun kedelapan, menjelang Fathu Mekkah. Lalu mereka membuat kontradiksi sendiri, bahwa Zainab meninggal dunia pada awal tahun kedelapan. Kami telah menyajikan beberapa dalil dalam Syarh Bulughul Maram, bahwa peristiwa ini terjadi pada tahun ketujuh. Ini menurut pendapat Abu Bashir dan rekan-rekannya, yang tidak sesuai dengan hadits sahih maupun dhaif.
Ekspedisi Zaid bin Haritsah ke daerah perbatasan pada bulan Jumadil Ula 6 H. Dia pergi bersama lima belas orang menuju Bani Tsa’labah. Melihat kedatangan pasukan kaum Muslimin, mereka melarikan diri karena takut yang datang itu adalah Nabi. Pasukan Zaid ini bisa mendapatkan rampasan dua puluh ekor unta dan kembali lagi ke Madinah setelah empat hari.
Ekspedisi Zaid bin Haritsah ke Wadil Qura pada Rajab 6 H. Dia pergi bersama dua belas orang menuju Wadil Qura untuk mencari informasi tentang kemungkinan gerakan musuh di sana. Penduduk Wadil Qura menyerang pasukan kaum Muslimin ini hingga mengakibatkan sembilan orang muslim yang terbunuh, dan tiga orang bisa melepaskan diri, termasuk Zaid bin Haritsah.!
Ekspedisi Al-Khabthu yang disebutkan bahwa pengiriman satuan pasukan ini pada Rajab 8 H. Namun, dapat dipahami dari kisah ini bahwa peristiwa tersebut terjadi sebelum Perjanjian Hudaibiyah.
Jabir menuturkan, “Rasulullah mengutus kami yang berjumlah tiga ratus pengendara di bawah pimpinan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah untuk mengintai kafilah dagang Quraisy. Karena kami kehabisan bekal dan kelaparan, kami memakan pasir. Karena itu, pasukan ini disebut dengan ekspedisi Al-Khabtku (pasir).
Kami kemudian menyembelih tiga ekor hewan tunggangan kami. Setelah habis kami menyembelih tiga ekor lagi dan begitu seterusnya hingga Abu Ubaidah menghentikannya. Di pinggir pantai kami mendapatkan ikan sejenis ikan paus, hingga kami dapat memakannya selama setengah bulan hingga kami kenyang dan kondisi fisik kami menjadi fit kembali.
Abu Ubaidah membawa tulang-tulang iga ikan itu dan menaikkannya di atas unta yang paling tinggi, dan menyuruh seseorang di antara kami yang paling tinggi perawakannya untuk berjalan di samping unta itu.
Dengan begitu kami menjadikan sisa-sisa dagingnya sebagai bekal perjalanan kami.
Setiba di Madinah kami menceritakan semua kejadian ini kepada Nabi. Lalu beliau bersabda, ‘Itu adalah rezeki yang diberikan Allah kepada kalian. Apakah masih ada sisa daging yang bisa kalian berikan kepada kami?’ Maka kami menyerahkannya kepada beliau.
Seperti yang kami katakan tadi bahwa ekspedisi ini terjadi sebelum Hudaibiyah. Sebab, kaum Muslimin tidak lagi mengintai kafilah dagang Quraisy setelah Perjanjian Hudaibiyah.[]
Sekalipun peperangan ini tidak berjalan lama dan tidak berlarut dilihat dari pertimbangan militer, di sini terjadi beberapa peristiwa yang mengguncangkan masyarakat Islam. Peristiwa ini telah menampakkan borok Orang-orang munafik dan turunnya beberapa syariat ta’zir (hukuman) justru membuahkan keteguhan, kemuliaan, dan kebersihan jiwa yang sangat berharga bagi kaum Muslimin.
Kita mulai peristiwa ini dengan uraian tentang peperangan, lalu disusul dengan beberapa peristiwa tersebut.
Peperangan ini terjadi pada Sya’ban 6 H, menurut pendapat yang lebih benar.’ Latar belakang peperangan ini, karena Nabi mendapat informasi bahwa pemimpin Bani Mushthaliq, Al-Harits bin Abu Dhirar menghimpun kaumnya dan Orang-orang yang berada dalam kekuasaannya untuk memerangi kaum Muslimin. Maka beliau mengutus Buraidah bin Al-Hushaib Al-Aslami untuk menyelidiki informasi tersebut. Buraidah pun mendatangi Bani Mushthaliq dan menemui Al-Harits bin Abu Dhirar untuk mengorek keterangan darinya. Setelah yakin dengan keterangannya, Buraidah kembali dan menghadap Rasulullah lalu menceritakan yang sebenarnya.
Setelah yakin dengan informasi tersebut, beliau menghimpun para sahabat dan cepat-cepat berangkat, tepatnya dua hari sebelum bulan Sya’ban berakhir. Sementara ada sekelompok Orang-orang munafik yang juga ikut bergabung bersama beliau. Mereka tidak pernah bergabung dalam peperangan sebelumnya. Urusan Madinah diserahkan kepada Zaid bin Haritsah. Namun, menurut pendapat lain adalah Abu Dzar. Ada pula yang berpendapat Numailah bin Abdullah Al-Laitsi. Al-Harits bin Abu Dhirar juga mengirim mata-mata untuk mendeteksi gerakan pasukan kaum Muslimin. Namun, mata-mata itu tertangkap oleh kaum Muslimin lalu dibunuh.
Saat Al-Harits bin Abu Dhirar dan kaumnya mendengar keberangkatan Rasulullah dan terbunuhnya mata-matanya, dia dicekam ketakutan yang mendalam. Beberapa kabilah Arab yang sebelumnya ikut bergabung bersama Al-Harits, akhirnya melepaskan diri. Rasulullah tiba di Muraisi’, sebuah mata air milik mereka di Qudaid. Kaum Muslimin bersiap-siap untuk berperang. Beliau membariskan mereka. Bendera Muhajirin diserahkan kepada Abu Bakar dan bendera Anshar diserahkan kepada Saad bin Ubadah.
Tidak lama kemudian mereka melepaskan anak panah. Kemudian Rasulullah memerintahkan untuk melancarkan serangan secara serentak. Ternyata cara ini sangat efektif, sehingga pasukan kaum Muslimin dapat menundukkan pasukan Orang-orang musyrik. Cukup banyak pasukan musuh yang terbunuh, para wanita dan anak-anak ditawan, binatang ternak dirampas. Sementara korban di pihak pasukan kaum Muslimin hanya satu orang saja. Korban ini dibunuh orang dari Anshar, karena dikiranya termasuk pasukan musyrikin. Begitulah yang dikatakan para penulis peperangan. Tetapi, menurut Ibnul Qayyim, ini adalah kekeliruan. Sebab, tidak ada pertempuran di antara mereka.
Rasulullah 4g hanya mengepung hingga mereka menyerah, lalu para wanita dan anak-anak ditawan, seperti yang disebutkan di dalam kitab Ash-Sahih, “Rasulullah mengepung hingga mereka menyerah.”?
Di antara tawanan itu ada Juwairiyah binti Al-Harits, wanita pemimpin mereka. Dalam pembagian harta rampasan dan tawanan, Juwairiyah menjadi bagian Tsabit bin Qais. Tsabit ingin melepasnya dengan uang tebusan. Maka Rasulullah yang menebusnya lalu menikahinya. Karena perkawinan ini, kaum Muslimin membebaskan seratus orang dari keluarga Bani Mushthaliq yang telah masuk Islam. Kaum Muslimin berkata, “Mereka adalah besan Rasulullah.”
Ada beberapa peristiwa lain yang terjadi dalam peperangan ini yang merupakan ulah pemimpin kaum munafik, Abdullah bin Ubay bin Salul dan rekan-rekannya. Ada baiknya jika kita paparkan perilaku mereka di tengah masyarakat Islam. Peran Orang-orang Munafik Sebelum Perang Bani Mushthaliq Kami telah menyebutkan berkali-kali bahwa Abdullah bin Ubay sangat dendam terhadap Islam dan kaum Muslimin, apalagi lagi terhadap Rasulullah. Sebab, Aus dan Khazraj telah sepakat untuk mengangkatnya sebagai pemimpin bagi mereka. Bahkan mereka sudah membuatkan mahkota bagi dirinya. Karena itulah, ia melihat beliau sebagai orang yang telah merampas kekuasaan yang sudah di tangan.
Dendam tersebut telah tampak dan membakar dirinya sejak permulaan hijrah, sebelum ia menampakkan keislaman atau setelah itu. Suatu saat, Rasulullah menunggang keledai untuk menjenguk Saad bin Ubadah. Beliau melewati kerumunan orang, di antaranya Abdullah bin Ubay. Maka Ja menutup hidungnya sambil berkata, “Janganlah kalian mengepul-ngepulkan debu yang mengenai kami.” Dia berkata seperti itu untuk menyindir beliau agar turun dari keledainya. Maka beliau turun dan ikut bergabung bersama mereka dan membacakan Al-Qur’an.
Namun, Abdullah bin Ubay berkata, “Duduk saja di rumahmu dan jangan mengganggu majelis kami.”
Ini terjadi sebelum dia pura-pura masuk Islam. Sekalipun sudah menyatakan masuk Islam setelah Perang Badar, dia tetap saja menjadi musuh Allah dan Rasul-Nya serta Orang-orang Mukmin. Dia tidak berpikir selain bagaimana caranya untuk memecah belah masyarakat Muslim dan menggerogoti kalimat Islam. Dia membantu musuh, ikut campur dalam urusan Bani Qainuqa’, berkhianat, memecah belah pasukan kaum Muslimin pada waktu Perang Uhud, menyusupkan keresahan dan keguncangan di barisan mereka, seperti yang sudah dipaparkan di bagian sebelumnya.
Di antara gambaran kelicikan, kejahatan, tipu daya dan makar yang dilakukan tokoh munafik ini terhadap Orang-orang Mukmin, setelah dia pura-pura masuk Islam, setiap Jumat dia berkata menjelang Rasulullah berkhotbah, “Inilah Rasulullah di tengah kalian, orang yang telah dimuliakan Allah dan diagungkan-Nya. Maka tolonglah, dukunglah, dengarkanlah, dan patuhilah dia.” Setelah dia duduk, Rasulullah berdiri dan berkhotbah.
Setelah Perang Uhud dan setelah dia berkhianat serta berbuat makar dalam peperangan itu, seperti biasanya dia bangkit dari duduknya dan mengulang lagi perkataannya sebelum Jumat. Kaum Muslimin di sekitarnya menarik-narik bajunya sambil berkata, “Duduklah wahai musuh Allah. Engkau tidak pantas berbuat seperti itu. Engkau selalu berbuat buruk.” Lalu dia keluar dengan melangkahi pundak Orang-orang sambil berkata, “Demi Allah, aku seolah-olah telah mengucapkan perkataan yang jahat, dan aku harus pergi karena telah mempersulit urusannya.”
Di ambang pintu dia dihadang seorang Anshar dan berkata, “Celaka kamu, kembalilah! Rasulullah akan memintakan ampunan bagi dosa-dosamu.” Abdullah bin Ubay berkata, “Demi Allah, tidak perlu dia memohonkan ampunan bagi dosa-dosaku.”
Dia juga menjalin hubungan dengan Orang-orang Yahudi Bani Nadhir, berkonspirasi dengan mereka untuk menyerang kaum Muslimin. Bahkan dia berani berkata kepada mereka, “Andaikan kalian keluar, kami pasti ikut keluar bersama kalian. Andaikan kalian diserang, kami pasti akan membantu kalian.” Begitu pula yang dia lakukan bersama komplotannya pada waktu Perang Ahzab, yaitu dengan menciptakan keresahan dan kericuhan; membangkitkan ketakutan dan kekhawatiran di hati orang. orang Mukmin, seperti yang dikisahkan Allah di dalam surat Al-Ahzab. 12-20.
Namun, akhirnya semua musuh Islam dari kalangan Yahudi, munafik dan musyrik menyadari sepenuhnya bahwa latar belakang kemenangan Islam bukan karena keunggulan materi, banyaknya perangkat perang dan senjata serta jumlah personil, tetapi nilai, akhlak, dan sifat utama yang dimiliki oleh masyarakat Islam dan setiap orang yang berjalan menuju sumber din ini. Mereka mengetahui bahwa sumber yang membuahkan gelombang besar ini adalah Rasulullah, sosok ideal yang sangat mengagumkan dari nilai-nilai ini.
Sejak genderang perang ditabuh selama lima tahun upaya menghalangi agama ini dan para pemeluknya tak mungkin bisa dilakukan dengan menggunakan kekuatan senjata. Karena itu, mereka memutuskan untuk membangkitkan peperangan secara terbuka terhadap agama ini melalui jalur akhlak dan tradisi kehidupan sehari-hari.
Sasaran pertama untuk memuluskan tujuan ini ialah menyerang pribadi Rasulullah. Sebab, Orang-orang munafik merupakan duri di barisan kaum Muslimin dan mereka juga termasuk penduduk Madinah. Karena itu, tidak sulit bagi mereka untuk menjalin hubungan dengan kaum Muslimin dan mengusik perasaan mereka kapan pun yang mereka kehendaki, di bawah pimpinan Abdullah bin Ubay. Rencana mereka yang jahat ini tampak jelas seusai Perang Ahzab, saat Rasulullah menikahi Zainab binti Jahsy, setelah dia diceraikan oleh Zaid bin Haritsah, anak angkat beliau.
Di antara tradisi yang berlaku di kalangan bangsa Arab, anak angkat itu sama kedudukannya dengan anak kandung. Mereka meyakini kehormatan istri anak angkat di mata bapak angkatnya. Ketika Nabi menikahi Zainab, Orang-orang munafik mendapatkan dua celah yang memungkinkan bagi mereka untuk melancarkan serangan terhadap beliau:
Zainab adalah istri beliau yang kelima, Padahal, Al Qur’an tidak mengizinkan laki laki menikahi lebih dari empat wanita. Lalu bagaimana mungkin perkawinan ini dianggap sah?
Zainab adalah mantan istri anak angkatnya. Maka tindakan beliau menikahi Zainab termasuk dosa besar menurut tradisi bangsa Arab.
Orang-orang munafik itu pun membesar-besarkan masalah ini dan mengarang-ngarang cerita. Mereka berkata, “Muhammad langsung jatuh cinta kepada Zainab pada pandangan pertama dan hatinya tertambat kepadanya. Isi hatinya ini dia sampaikan kepada Zaid, sehingga Zaid melepaskan Zainab agar bisa dikawini Muhammad.” Cerita-cerita yang mereka karang ini masih ada jejaknya; tertulis dalam beberapa buku tafsir dan hadits hingga saat ini.
Tentu saja bualan mereka ini mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap Orang-orang yang berhati lemah, sehingga turun ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan masalah ini secara jelas, sehingga bisa mengobati hati. Untuk memberitahukan bualan mereka ini, Allah memulai surat Al-Ahzab dengan firman-Nya:
Hai Nabi, bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu menuruti (keinginan) Orang-orang kafir dan Orang-orang munafik. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Al-Ahzab: 1)
Itulah gambaran sepintas tentang perilaku Orang-orang munafik sebelum perang Bani Mushthaliq. Rasulullah menghadapi semua itu dengan sabar dan lemah lembut. Padahal, kaum Muslimin secara umum sudah geregetan terhadap kejahatan Orang-orang munafik ini dan menahan-nahan kesabaran. Sebab, mereka sudah tahu persis kelicikan orang munafik itu dari waktu ke waktu, sebagaimana firman-Nya:
Dan tidaklah mereka (Orang-orang munafik) memperhatikan bahwa mereka diuji sekali atau dua kali setiap tahun, dan mereka tidak (juga) bertobat dan tidak (pula) mengambil pelajaran? (At-Taubah: 126)
Peran Orang-orang Munafik dalam Perang Bani Mushthaliq
Saat perang Bani Mushthaliq Orang-orang munafik juga ikut bergabung dalam pasukan kaum Muslimin. Mereka telah digambarkan dalam firman Allah:
Jika mereka berangkat bersama-sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas maju ke muka di celah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan di antara kamu; (At-Taubah: 47)
Mereka tampak bersaing, tetapi persaingan dalam kejahatan dengan menimbulkan keguncangan dan keresahan di barisan kaum Muslimin dan mengeluarkan bualan yang buruk tentang diri Nabi. Gambaran ulah mereka secara ringkas adalah:
Pertama, perkataan mereka, “Jika kita kembali ke Madinah, penduduknya yang mulia benar-benar akan mengusir penduduknya yang hina.” ’
Setelah perang berakhir Rasulullah masih menetap di Muraisi’, Banyak orang yang mengambil air dari mata air di tempat itu. Dalam peperangan itu Umar bin Al-Khattab membawa seorang upahan yang bernama Jahjah Al-Ghifari. Saat di mata air Jahjah bersenggolan dengan Sinan bin Wabar Al-Juhani, lalu keduanya saling adu mulut. Sinan berteriak, “Wahai Orang-orang Anshar!” Jahjah juga tidak mau kalah. Dia berteriak, “Wahai Orang-orang Muhajirin!”
Kejadian ini didengar Abdullah bin Ubay. Dia yang bersama beberapa orang dari kaumnya, termasuk Zaid bin Arqam yang saat itu masih kecil, merasa marah. Abdullah bin Ubay berkata, “Apakah mereka berani berbuat seperti itu? Mereka telah menyaingi dan mengalahkan kita, justru di negeri kita. Demi Allah, kita dan mereka tak ubahnya kata pepatah, ‘Gemukkan anjingmu, niscaya ia akan menggigitmu,’ Demi Allah, jika kita kembali ke Madinah maka penduduknya yang mulia benar-benar akan mengusir penduduknya yang hina.”
Kemudian dia berpaling ke komplotannya dan berkata. “Inilah yang telah kalian lakukan terhadap diri kalian sendiri. Kalian telah menghalalkan negeri kalian bagi mereka. Kalian telah membagi harta benda kalian dengan mereka. Demi Allah, andai kata kalian tidak memberikan harta kalian, mereka pasti pindah ke tempat lain.”
Zaid bin Arqam mengabarkan apa yang dikatakan Abdullah bin Ubay kepada pamannya, lalu pamannya mengabarkan kepada Nabi. Umar bin Al-Khattab yang ada di sisi beliau berkata, “Suruhlah Abbad bin Bisyr agar dia membunuhnya.”
Beliau. bertanya, “Apa jadinya, wahai Umar, jika manusia membicarakan bahwa Muhammad telah membunuh rekan-rekannya? Jangan lakukan itu. Suruhlah saja agar pasukan segera berangkat.”
Sekalipun saat itu bukan waktu yang tepat untuk memberangkatkan pasukan, mereka tetap berangkat. Usaid bin Hudhair menemui beliau dan mengucapkan salam, lalu berkata, “Tidak biasanya engkau berangkat pada saat seperti ini.” “Apakah engkau belum mendengar apa yang dikatakan rekanmu?” tanya beliau. Yang dimaksudkan adalah Abdullah bin Ubay.
“Apa yang dikatakannya?” Usaid ganti bertanya. Beliau menjawab, “Dia beranggapan bahwa jika dia kembali ke Madinah, penduduknya yang mulia benar-benar akan mengusir penduduknya yang hina.”
“Engkau, wahai Rasulullah, bisa mengusirnya menurut kehendakmu. Demi Allah, karena dialah orang yang hina itu, sedangkan engkau adalah orang yang mulia.” Kemudian dia berkata lagi, “Wahai Rasulullah, bersikaplah yang lemah lembut terhadap dirinya. Demi Allah, Allah telah mendatangi kita dengan keberadaanmu. Kaumnya telah membuat mahkota untuk disematkan di kepalanya. Karena itu, dia melihat engkau telah merampas kerajaannya.”
Kemudian beliau berangkat bersama pasukan pada saat itu juga selama seharian penuh, lalu diteruskan pada malam harinya hingga pagi hari. Selama seharian itu, mereka dipanggang terik matahari. Saat berhenti untuk singgah, mereka langsung tertidur pulas setelah badan menyentuh tanah. Beliau berbuat seperti itu dengan tujuan untuk mengalihkan mereka dari kejadian sebelumnya dan agar mereka tidak membicarakannya.’
Setelah mendengar bahwa Zaid bin Arqam menyampaikan apa yang dikatakannya kepada Rasulullah, Abdullah bin Ubay langsung menemui beliau dan bersumpah, “Demi Allah, aku tidak mengatakan seperti yang dikatakan Zaid.” Orang-orang Anshar yang ada di situ berkata, “Wahai Rasulullah, mungkin saja anak itu menduga-duga apa yang dikatakannya dan tidak hafal betul apa yang dikatakan oleh lelaki itu (Abdullah bin Ubay).”
Namun, beliau tetap percaya apa yang disampaikan oleh Zaid. Sementara itu Zaid bin Arqam bergumam sendiri, “Aku diliputi keresahan hati yang belum pernah kualami sebelumnya. Aku hanya bisa berdiam di dalam rumahku. Sehubungan dengan persoalan ini Allah menurunkan surat Al-Munafiqun: 1-8. Setelah itu) beliau mendatangiku dan membacakan ayat-ayat tersebut. Lalu bersabda, ‘Sesungguhnya Allah telah membenarkan dirimu’.”
Anak pemimpin munafik ini, yaitu Abdullah bin Abdullah bin Ubay, merupakan adalah seorang sahabat yang shalih dan pilihan. Dia ingin berlepas diri dari ayahnya. Untuk itu dia berdiri di pintu gerbang Madinah sambil menghunus pedangnya. Setelah ayahnya, Abdullah bin Ubay, muncul di dekatnya, dia berkata, “Demi Allah, engkau tidak boleh masuk sebelum Rasulullah mengizinkanmu, karena beliaulah orang yang mulia dan engkaulah orang yang hina.” Setelah Rasulullah tiba di pintu gerbang itu beliau mengizinkan dan memperbolehkannya. Sebelum itu Abdullah bin Abdullah bin Ubay berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, jika engkau ingin membunuhnya, perintahkanlah saya untuk melaksanakannya. Demi Allah, saya akan membawakan kepalanya ke hadapan Anda.”
Kedua, Berita Bohong (hadits ifki)
Dalam perang ini juga terjadi kisah kebohongan. Cerita ringkasnya, Aisyah juga ikut pergi bersama Rasulullah dalam peperangan itu, karena dialah yang memenangkan undian di antara istri-istri beliau untuk ikut. Pengundian seperti ini biasa beliau lakukan setiap hendak pergi berperang. Setelah pulang dari peperangan, mereka singgah di suatu tempat. Aisyah keluar dari rombongan untuk keperluannya.
Saat itu tanpa disadari kalung milik saudarinya yang dipinjamkan kepadanya jatuh. Maka dia kembali lagi ke tempat kalung itu jatuh. Beberapa orang yang mengangkat sekedup Aisyah mengira bahwa dia tetap berada di dalamnya. Sebenarnya mereka juga merasa bahwa sekedup itu terlalu ringan. Tetapi, Aisyah sendiri memang seorang ‘wanita yang masih muda dan tidak gemuk. Karena yang mengangkat sekedup itu orang banyak, tentu saja mereka merasa ringan. Andai kata yang mengangkatnya satu atau dua orang, tentu mereka akan merasakan beratnya. Setelah kalung yang dicari-carinya ketemu, Aisyah kembali lagi ke tempat persinggahan yang sudah tidak ada seorang pun di sana. Maka dia duduk saja di tempat itu.
Ia yakin bahwa mereka pasti akan mencarinya jika tidak mendapatkan dirinya di dalam sekedup. Allah Mahakuasa atas segala-galanya, mengatur urusan dari atas Arsy-Nya seperti yang dikehendaki-Nya. Karena rasa kantuk yang tak terbendung, Aisyah tertidur di tempat itu. Dia bary terbangun karena terusik suara Shafwan bin Al-Mu’aththal, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Bukankah ini istri Rasulullah?”
Shafwan tertinggal dari rombongan pasukan, karena dia banyak tidur. Dia bisa tahu bahwa dia itu Aisyah, karena memang dia pernah melihatnya sebelum turun ayat hijab. Setelah mengucapkan istirja’, dia mendekatkan untanya ke sisi Aisyah dan menderumkannya. Aisyah naik ke atas unta dan tidak berkata sepatah kata pun kepadanya, dan Aisyah juga tidak mendengar sepatah kata pun dari Shafwan kecuali kalimat istirja’‘nya. Kemudian dia menuntun unta itu hingga dapat menyusul rombongan pasukan yang saat itu sedang singgah di Nahruzh Zhahirah.
Saat melihat kedatangan Shafwan bersama Aisyah, Orang-orang berbicara kasak-kusuk dengan versi masing-masing. Musuh Allah yang paling jahat, Abdullah bin Ubay menghembuskan napas panjang, menyemburkan kemunafikan dan kedengkian yang mengeram di antara tulang-tulang rusuknya. Dia sudah mengarang-ngarang berita bohong dan siap menyebarkannya. Rekan-rekannya berkerumun di sekeliling Abdullah bin Ubay, mendengarkan dan menelan apa pun yang keluar dari mulutnya yang berbau busuk.
Setiba di Madinah Orang-orang yang aktif menyebarluaskan berita bohong semakin menjadi-jadi. Rasulullah hanya diam dan tidak menanggapinya. Karena cukup lama tidak ada wahyu yang turun, beliau meminta pendapat kepada para sahabat. Ali bin Abu Thalib mengisyaratkan agar beliau. menceraikan Aisyah dan mengambil wanita yang lain. Ali hanya sekedar memberi sinyal untuk itu dan tidak mengatakannya secara terus terang. Sementara Usamah dan lain. lainnya mengisyaratkan agar beliau tidak menceraikannya dan tidak perlu menanggapi perkataan musuh-musuh Islam. Beliau berdiri di atas mimbar dan berpidato, memohon perlindungan kepada Allah dari tindakan Abdullah bin Ubay. Usaid bin Hudhair, pemimpin Aus menyatakan kesediaannya untuk membunuh Abdullah bin Ubay.
Saad bin Ubadah, pemimpin Khazraj yang sedang dirasuki fanatisme kekabilahan membantah dan menolak keinginan Usaid bin Hudhair.
Keduanya terlibat dalam perdebatan yang sengit. Rasulullah melerai dan menenteramkan mereka, hingga mereka mau diam. Setelah itu beliau juga diam.
Aisyah sendiri yang dalam hal ini menjadi korban, setibanya di Madinah dia jatuh sakit selama satu bulan. Sedikit pun dia tidak tahu masalah berita bohong ini. Hanya saja dia tidak mendapat sikap lembut dari Rasulullah seperti yang biasa beliau lakukan saat dia sakit. Setelah keadaannya sudah membaik, malam-malam dia keluar ke jamban bersama Ummu Misthah, untuk buang hajat. Ummu Misthah terpeleset karena terserempet bajunya. Dia memanggil anak laki-lakinya, tetapi Aisyah menolaknya.
Ketika itulah Ummu Misthah menceritakan berita yang menyebar di Madinah tentang dirinya, Aisyah segera kembali ke rumah dan meminta izin kepada Rasulullah untuk pulang ke rumah orang tuanya dan mencari tahu tentang berita yang menyebar. Setelah beliau mengizinkan, Aisyah pulang ke rumah orang tuanya, sehingga dia bisa mendapatkan kejelasan tentang berita yang memojokkan dirinya. Setelah tahu, Aisyah menangis sejadi-jadinya dan tidak berhenti selama sehari dua malam. Selama itu pula kelopak matanya tidak terpejam sejenak pun dan air matanya terus mengalir, sehingga air matanya itu dikhawatirkan akan memecahkan hatinya.
Rasulullah datang, mengucapkan syahadatain, lalu bersabda, “Wahai Aisyah, aku telah mendengar berita begini dan begitu tentang dirimu. Jika memang engkau bebas dari tuduhan tersebut, tentu Allah akan membebaskanmu. Namun, bila engkau telah melakukan suatu dosa, mohonlah ampun dan bertobatlah kepada Allah. Karena jika seorang hamba itu mengakui dosanya, kemudian bertobat kepada Allah, tentu Allah akan mengampuninya.”
Saat itulah Aisyah menyeka air matanya, lalu bertanya ini dan itu kepada ayah dan ibunya mengenai berita yang menyangkut dirinya. Namun, keduanya tidak tahu apa yang harus dikatakan. Akhirnya Aisyah berkata, “Demi Allah, aku sudah tahu bahwa kalian juga mendengar berita ini. Hati kalian terusik dan mempercayainya. Jika kukatakan kepada kalian, “Sesungguhnya aku bebas dari tuduhan itu, dan Allah pun tahu bahwa aku memang bebas darinya, tentu kalian tidak akan percaya begitu saja kepadaku. Namun, jika aku mengakui tuduhan itu, padahal Allah tahu bahwa aku bebas darinya, tentunya kalian akan mempercayaiku. Demi Allah, aku tidak mendapatkan perumpamaan antara diriku dan diri kalian, kecuali seperti perkataan ayah Yusuf: ‘Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kalian ceritakan’.”
Kemudian Aisyah bangkit dan berbaring di tempat tidur. Saat itu pula turun wahyu. Hati Rasulullah berbunga-bunga dan menyunggingkan senyuman. Lalu beliau bersabda, “Wahai Aisyah, Allah telah membebaskanmu dari tuduhan.” Ibunya berkata, “Bangunlah dan dekati beliau!” Untuk menunjukkan kebebasan dirinya dari tuduhan yang keji itu dan tetap yakin terhadap cinta Rasulullah, dia berkata, “Demi Allah, aku tidak mau menghampiri beliau dan tidak memuji kecuali kepada Allah.” Adapun wahyu Allah yang menjelaskan masalah berita bohong ini adalah surat An-Nur: 11-20.
Orang-orang yang paling getol menyiarkan berita bohong ini pun dijatuhi hukuman cambuk sebanyak delapan puluh kali pukulan. Mereka adalah Misthah bin Utsatsah, Hassan bin Tsabit, dan Hamnah binti Jahsy. Sementara itu, tokoh berita bohong dan pelopor dalam penyebarannya, Abdullah bin Ubay, justru tidak dijatuhi hukuman apa pun. Boleh jadi hukuman itu memang ada keringanan untuk dirinya, tetapi Allah mengancamnya dengan azab yang pedih di akhirat, atau boleh jadi karena ada kemaslahatan tersendiri, sehingga Abdullah bin Ubay tetap dibiarkan hidup.
Jadi, selama sebulan atmosfer Madinah diliputi mendung keraguan, kebimbangan, kegundahan, dan kegelisahan. Sementara itu, nama pemimpin Orang-orang munafik tercemar dan terlecehkan, sehingga setelah kejadian itu dia sama sekali tidak berani mendongakkan kepala. Ibnu Ishaq meriwayatkan, “Setelah kejadian itu, setiap kali dia berbicara, kaumnya pasti mencela, mencaci, dan mencemoohnya.” Rasulullah bertanya kepada Umar, “Apa pendapatmu sekarang, wahai Umar? Demi Allah, andai saja engkau membunuhnya saat engkau meminta izin kepadaku untuk membunuhnya, pasti banyak orang yang simpati kepadanya. Tetapi, seandainya saat ini juga aku menyuruhmu untuk membunuhnya, engkau pun pasti akan membunuhnya” Umar menjawab, “Demi Allah, aku sudah tahu bahwa urusan Rasulullah lebih besar berkahnya daripada urusanku.”[]
Berikut ini beberapa satuan pasukan kaum Muslimin yang dikirim Rasulullah setelah perang Muraisi’:
- Satuan pasukan Abdurrahman bin Auf ke perkampungan Bani Karb di Daumatul Jandal pada Sya’ban 6 H. Beliau menyuruhnya duduk di hadapan beliau, lalu beliau memberinya wasiat beberapa perkara yang baik dalam peperangan. Sambil memegang kain kerudung kepala Abdurrahman, beliau bersabda, “Jika mereka tunduk kepadamu, nikahilah putri raja mereka.”
Abdurrahman menetap di sana selama tiga hari dan menyeru mereka kepada Islam. Mereka pun masuk Islam, lalu Abdurrahman menikahi Tumadhir binti Al-Ashba’, atau berjuluk Ummu Abi Salamah, putri pemimpin mereka.
- Satuan pasukan Ali bin Abu Thalib ke Bani Saad bin Bakar di Fadak pada Sya’ban 6 H. Kejadiannya bermula dari informasi yang sampai kepada Rasulullah bahwa penduduk di sana hendak menjalin kerja sama dengan Orang-orang Yahudi. Karena itu, beliau mengirim Ali bin Abu Thalib dengan kekuatan dua ratus prajurit. Ali mengadakan perjalanan pada malam hari dan bersembunyi pada siang harinya. Ali bisa menangkap mata-mata Bani Saad dan mengorek informasi darinya bahwa mereka mengirimnya ke Khaibar untuk menawarkan bantuan prajurit, dengan syarat kurma Khaibar dikirimkan kepada mereka. Mata-mata itu juga menunjukkan tempat berkumpulnya Bani Saad. Ali menyerang mereka, hingga bisa merampas 500 unta dan 2000 domba. Sementara Bani Saad melarikan diri. Pemimpin mereka adalah Wabar bin Alim.
- Satuan pasukan Abu Bakar Ash-Shiddiq atau Zaid bin Haritsah ke Wadil Qura pada Ramadhan 6 H. Sudah lama penduduk Fazarah hendak membunuh Nabi. Karena itu, beliau mengutus Abu Bakar Ash-Shiddiq ke sana. Salamah bin Al-Akwa’ menuturkan. “Aku bergabung bersamanya. Setelah shalat Subuh kami diperintahkan untuk melakukan serangan. Kami bisa merebut mata air. Abu Bakar bisa membunuh sekian banyak musuh. Aku melihat sekumpulan musuh bersama beberapa anak yang hendak melarikan diri ke gunung. Aku khawatir mereka lebih dahulu naik ke puncak gunung, sehingga aku tidak bisa menawan mereka. Untuk itu, aku melepaskan anak panah ke arah jalan yang akan mereka lalui. Setelah melihat ada anak panah, mereka menghentikan langkah. Di antara mereka itu terdapat Ummu Qirfah yang menggotong kantong dari kulit. Ternyata di dalamnya ada putrinya, yang termasuk wanita tercantik di Arab. Aku menggiring mereka ke hadapan Abu Bakar. Dia menyerahkan putri Ummu Qirfah kepadaku sebagai tawanan perang. Namun, Rasulullah menanyakan dirinya. Abu Bakar pun mengirim utusan untuk membawanya ke Mekkah dalam rangka menebus beberapa orang Muslim yang ditawan di sana.’
Adapun Ummu Qirfah adalah seorang wanita yang jahat. Dia berupaya membunuh Nabi. Untuk memuluskan niatnya, dia menghimpun tiga puluh orang penunggang kuda dari para kerabatnya. Akhirnya dia dijatuhi hukuman mati, termasuk tiga puluh orang kerabatnya.
- Satuan pasukan Kurz bin Jabir Al-Fihri ke penduduk Urainah pada Syawal 6 H. Ada beberapa orang dari UkI dan Urainah yang pura-pura masuk Islam. Mereka menetap di Madinah, namun tak seberapa lama di sana mereka jatuh sakit. Beliau mengutus mereka ke suatu tempat penggembalaan unta dan memerintahkan agar mereka meminum air susunya. Setelah sehat kembali, mereka justru membunuh penggembalanya, merampas semua unta itu, dan murtad dari Islam.
Beliau mengutus Kurz untuk mengejar dan mencari mereka bersama dua puluh sahabat. Dia berdoa untuk kemalangan Orang-orang dari penduduk Urainah yang telah murtad itu, “Ya Allah, buatlah mereka bingung tidak mengetahui jalan. Buatlah jalan ini lebih sempit darj pergelangan tangan.”
Allah mengabulkan doa beliau dengan membuat mereka tidak tahu jalan, sehingga bisa ditangkap. Sebagai hukuman qishash atas perbuatan mereka, kaki dan tangan mereka dipotong dan mata mereka dicongkel, lalu mereka dibiarkan begitu saja di padang pasir hingga mati. Hadits tentang mereka ada di dalam Ash-Sahih dari Anas.
Para sejarawan juga menulis pengiriman Amr bin Umayyah Adh-Dhamri bersama Salamah bin Abu Salamah pada Syawal 6 H. Mereka berdua pergi ke Mekkah untuk membunuh Abu Sufyan. Sebab, Abu Sufyan mengirim seorang Arab Badui dengan maksud untuk membunuh Nabi. Namun, mereka berdua tidak berhasil merealisasikan keinginan ini. Akan tetapi, para sejarawan menyebutkan bahwa Amr sempat membunuh tiga orang dalam perjalanannya. Mereka juga menyebutkan keberhasilan Amr mengambil jasad Khubaib dalam perjalanannya itu. Seperti yang diketahui, Khubaib mati syahid beberapa hari atau beberapa bulan setelah peristiwa Ar-Raji’. Padahal, peristiwa Ar-Raji’ terjadi pada Shafar 4 H. Kami tidak tahu, apakah ini merupakan kesalahan para penulis sejarah ataukah memang ada dua kejadian dalam sekali perjalanan pada tahun 4 H. Allamah Al-Manshurfuri tidak setuju apabila pengiriman mereka ini dianggap sebagai pengiriman satuan pasukan.
Itulah beberapa pengiriman pasukan setelah Perang Ahzab dan Bani Quraizhah. Dalam pengiriman Satuan-satuan pasukan ini tidak terjadi pertempuran yang sengit. Kalau pun terjadi pertempuran, hanya sekedar bentrokan yang biasa-biasa saja. Lebih tepat lagi jika pengiriman satuan-satuan pasukan ini hanya sekedar gerakan mata-mata atau aktivitas militer untuk memberi pelajaran kepada mereka yang layak diberi pelajaran dan menggentarkan musuh dan Orang-orang Arab yang mau bertindak macam-macam. Dengan mengamati segala kondisi pada saat ini, ada perkembangan yang menggembirakan pasca-Perang Ahzab. Sementara mental musuh-musuh Islam merosot tajam. Mereka tidak lagi mempunyai harapan yang menjanjikan untuk menghancurkan dakwah Islam dan memasang jerat. Tetapi, perkembangan ini baru tampak jelas dengan dikukuhkannya Perjanjian Hudaibiyah. Gencatan senjata yang ada justru merupakan pengakuan terhadap kekuatan Islam, yang mampu menguasai sekian banyak wilayah Jazirah Arab.
Penyebab Umrah Hudaibiyah
Perkembangan yang terjadi di Jazirah Arab semakin menguntungkan pihak kaum Muslimin. Sedikit demi sedikit sudah mulai terlihat sinyal-sinyal kemenangan yang besar dan keberhasilan dakwah Islam. Langkah permulaan sudah dirancang untuk mendapatkan pengakuan terhadap hak kaum Muslimin dalam melaksanakan ibadah di Masjidil Haram, yang sebelumnya dihalangi Orang-orang musyrik selama enam tahun. Ketika masih berada di Madmah, Rasulullah #; bermimpi bahwa beliau bersama para sahabat memasuki Masjidil Haram, mengambil kunci Kabah, melaksanakan tawaf dan umrah. Sebagian sahabat ada yang mencukur dan sebagian yang lain ada yang memendekkan rambutnya.
Beliau menyampaikan mimpinya ini kepada para sahabat dan mereka tampak senang. Menurut perkiraan mereka, pada tahun itu pula mereka bisa memasuki Mekkah. Tidak lama kemudian beliau mengumumkan hendak melakukan umrah. Untuk itu mereka melakukan persiapan untuk mengadakan perjalanan jauh.
Mobilisasi Kaum Muslimin
Orang-orang Arab Badui yang mendengar rencana beliau ini juga berdatangan untuk ikut bergabung. Beliau mencuci pakaian lalu menaiki unta beliau yang bernama Al-Qashwa. Madinah diserahkan kepada Ibnu Ummi Maktum atau Numailah Al-Laitsi. Keberangkatan beliau tepat pada Senin 1 Dzulqa’dah 6 H. Di antara istri beliau yang ikut adalah Ummu Salamah. Adapun jumlah para sahabat yang ikut ada seribu empat ratus orang, meski ada yang mengatakan seribu lima ratus orang. Mereka berangkat tanpa membawa senjata apa pun, kecuali senjata yang biasa dibawa para musafir, yaitu pedang yang dimasukkan ke dalam sarungnya. Orang-orang Muslim Bergerak ke Mekkah
Mereka mulai bergerak ke arah Mekkah. Ketika mereka telah tiba di Dzul Hulaifah, hewan korban dikalungi tali dan diberi tanda. Beliau juga mengenakan pakaian ihram, agar Orang-orang tidak menyerang. Seorang mata-mata dari Khuza’ah dikirim untuk mencari informasi tentang Quraisy, lalu secepatnya kembali menemui beliau lagi. Ketika mendekati Asfan, mata-mata ini sudah bisa menemui beliau dan menyampaikan informasi yang ia dapatkan. Mata-mata itu mengatakan, “Saat aku meninggalkan Ka’ab bin Lu’ai, Quraisy sedang menghimpun beberapa kabilah dan mengumpulkan sejumlah orang untuk memerangi dan menghalangimu agar tidak bisa memasuki Masjidil Haram.”
Rasulullah meminta pendapat para sahabat, seraya bersabda, “Apakah kalian setuju bila kita condong kepada kaum kerabat yang telah membantu mereka lalu kita membasmi mereka? Kalau pun mereka diam, sebenarnya diamnya itu karena takut dan tak berdaya. Kalau pun mereka bisa selamat, masih ada sekian banyak nyawa yang siap dicabut Allah. Atau, apakah kita harus memasuki Mekkah dan kita akan memeranginya siapa pun yang menghalangi?”
Abu Bakar berkata, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Kita datang hanya untuk melaksanakan umrah. Kita datang bukan untuk memerangi seseorang. Namun, siapa pun yang akan menghalangi kita untuk memasuki Masjidil Haram, kita akan memeranginya.”
“Kalau begitu lanjutkan perjalanan,” sabda beliau.
Mereka pun melanjutkan perjalanan.
Upaya Quraisy Menghalangi Kaum Muslimin Memasuki Masjidil Haram
Setelah mendengar keberangkatan Rasulullah, kaum Quraisy segera bermusyawarah. Mereka memutuskan untuk menghalangi kaum Muslimin memasuki Masjidil Haram dengan cara apa pun.
Setelah Rasulullah dapat menghindari beberapa kabilah, seseorang dari Bani Ka’ab memberikan informasi penting kepada beliau bahwa Orang-orang Quraisy memberangkatkan pasukan dan tiba di Dzi Thuwa. Disamping itu, ada dua ratus penunggang kuda di bawah komando Khalid bin Al-Walid yang mengambil posisi di Kura’ Al-Ghamim, di jalur utama menuju Mekkah. Pasukan Khalid bin Al-Walid ini berupaya menghalangi kaum Muslimin. Khalid menugaskan beberapa penunggang kuda untuk mengawasi kedua belah pihak.
Khalid bin Al-Walid melihat kaum Muslimin sedang mendirikan shalat Zuhur. Dia berkata, “Mereka pasti lengah. Andaikan kita menyerang mereka secara serentak, tentu kita bisa mengalahkan mereka.” Dia memutuskan untuk menyerang kaum Muslimin saat melaksanakan shalat Asar secara serentak. Tetapi, Allah menurunkan hukum shalat khauf, sehingga kesempatan itu pun hilang dari tangan Khalid dan pasukan Quraisy.
Mengalihkan Rute Perjalanan dan Menghindari Bentrokan Fisik
Rasulullah mengambil jalur yang sulit dan berat di antara celah-celah gunung bersama para sahabat ke arah kanan, melewati Al-Hamsi menuju Tsaniyyatul Murar sebelum turun ke Hudaibiyah. Beliau tidak melewati jalan utama menuju Mekkah yang melewati Tan’im, atau beliau tidak mengambil jalan ke arah kiri. Setelah Khalid bin Al-Walid dan pasukannya melihat kepulan debu yang ditinggalkan kaum Muslimin dan dia menyadari bahwa mereka telah lolos, secepatnya dia kembali ke Mekkah dan memperingatkan Quraisy.
Rasulullah meneruskan perjalanan. Setelah tiba di Tsaniyyatul Murar, unta beliau menderum. Orang-orang berkata, “Biarkan ia beristirahat sebentar, biarkan fa beristirahat sebentar!” Lalu unta beliau itu disuruh bangkit lagi. Mereka berkata, “Al Qashwa tetap menderum, Al-Qashwa tetap menderum.,”
Nabi bersabda, “Al Qashwa tidak menderum atas kehendaknya sendiri, tetapi dia ditahan (malaikat) yang dulu menahan pasukan gajah.” kemudian beliau bersabda lagi, “Demi Dzat yang diriku ada di Tangan-Nya, jika mereka meminta kepadaku suatu rencana untuk menghormati apa yang telah disucikan Allah, tentu aku akan memberikannya.”
Kemudian beliau membentak Al-Qashwa, sehingga bangkit, lalu berjalan lagi hingga memasuki ujung Hudaibiyah, di dekat suatu kolam yang di sana hanya terdapat sedikit air. Orang-orang mengambilnya sedikit-sedikit, namun tetap tidak mencukupi. Mereka mengadukan rasa haus kepada Rasulullah. Setelah itu beliau memungut anak panah dari tabungnya, lalu memerintahkan agar anak panah itu ditancapkan di kolam tersebut dan air pun memancarkan deras. Demi Allah, mereka terus-menerus mengambil air itu hingga puas.
Budail Menjadi Perantara antara Rasulullah dan Quraisy Setelah Rasulullah merasa tenang berada di tempat tersebut, tiba-tiba muncul Budail bin Warqa’ Al-Khuza’i bersama beberapa orang dari Bani Khuza’ah. Bani Khuza’ah sering memberi nasihat kepada beliau. Budail berkata, “Saat aku meninggalkan Ka’ab bin Lu’ai, mereka siap berangkat ke Hudaibiyah dengan membawa pasukan. Mereka hendak memerangi dan menghalangimu memasuki Masjidil Haram.”
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya kami datang bukan untuk memerangi siapa pun. Kami datang untuk melakukan umrah. Rupanya Orang-orang Quraisy sudah semakin surut dan menjadi buta karena peperangan. Jika mereka menghendaki, engkau bisa membujuk mereka dan membukakan jalan bagiku, dan jika mereka menghendaki untuk memasuki sesuatu yang biasa dimasuki manusia, mereka bisa melakukannya, yang berarti mereka masih memiliki nyali. Sungguh, perang telah menghabiskan perbekalan Orang-orang Quraisy dan membahayakan mereka. Jika mau, aku bisa menyuplai kebutuhan mereka asalkan membiarkan dan tidak menggangguku. Kalau mereka mau bergabung dengan manusia untuk masuk (Tanah Haram), silakan. Tetapi, kalau mereka menginginkan perang, demi Dzat yang diriku berada di Tangan-Nya, aku pasti akan melayani keinginan mereka hingga kemenangan yang lalu hanya menjadi milikku atau biarlah Allah menentukan keputusan-Nya.”
Budail berkata, “Aku akan menyampaikan apa yang engkau katakan ini kepada mereka.”
Budail segera pergi untuk menemui Quraisy. Ia berkata kepada mereka, “Aku datang kepada kalian setelah menemui Muhammad dan aku mendengar dia telah mengucapkan suatu perkataan. Jika kalian menghendaki, aku bisa memberitahukannya kepada kalian.” Orang-orang yang bodoh di antara mereka berkata, “Kami tidak membutuhkan engkau memberitahukan sesuatu pun dari dirinya kepada kami.” Namun, Orang-orang yang tajam pikirannya di antara mereka berkata, “Sampaikan apa yang engkau dengarkan darinya.” Budail berkata, “Aku mendengar dia berkata begini dan begitu.”
Akhirnya, Quraisy mengutus Mikraz bin Hafsh. Saat Rasulullah melihatnya dari kejauhan, beliau bersabda, “Dia adalah orang yang suka berkhianat.” Saat Mikraz tiba, beliau mengucapkan seperti yang beliau ucapkan kepada Budail dan rekan-rekannya. Setelah itu, Mikraz berbalik untuk menemui Orang-orang Quraisy dan menyampaikan pesan beliau. Beberapa Orang Utusan Quraisy Seseorang dari Kinanah yang bernama Al-Hulais bin Alqamah berkata kepada Quraisy, “Biarkan aku menemui Muhammad.” Mereka menjawab, “Silakan!”
Saat Rasulullah dan para sahabat melihat kedatangan Al-Hulais dari jauh, beliau bersabda, “Itu adalah Fulan. Ia berasal dari kaum yang sangat menghormati hewan korban. Lepaskan hewan-hewan korban itu agar mendekatinya.” Mereka pun melepaskan hewan-hewan qurban itu, dan menyambut kedatangan Al-Hulais dengan bertalbiyah.
Ketika Al-Hulais melihat pemandangan tersebut, dia berkata, “Mahasuci Allah, tidak selayaknya Orang-orang Quraisy menghalangi mereka untuk memasuki Masjidil Haram.”
Ia pun langsung membalikkan badan menemui rekan-rekannya darj Quraisy. “Aku melihat hewan-hewan korban yang telah diikat dan diberi tanda. Menurut pendapatku, tidak selayaknya mereka dihalang-halangi.” Setelah itu terjadilah perdebatan sengit antara dirinya dan Orang-orang Quraisy. Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi berkata, “Ini adalah tawaran yang bagus bagi kalian. Terimalah tawaran ini dan berikan kesempatan kepadaku untuk menemuinya.” Mereka pun berkata, “Kalau begitu temuilah dia!”
Urwah menemuiRasulullah, lalu beliau menyampaikan seperti yang beliau sampaikan kepada Budail. Urwah berkata, “Wahai Muhammad, bagaimana pendapatmu bila seluruh kaummu ini binasa. Apakah engkau melihat ada orang Arab sebelummu yang berhasil membinasakan keluarganya? Kalaulah bukan itu, demi Allah, sesungguhnya aku melihat wajah-wajah dan sekelompok manusia akan lari dan meninggalkanmu.” Abu Bakar berkata, “Hisaplah kemaluan Lata! Apakah menurutmu kami akan lari meninggalkannya?”
Urwah bertanya, “Siapa orang ini?”
Orang-orang menjawab, “Dialah Abu Bakar.”
Urwah berkata, “Demi yang diriku ada di Tangan-Nya, andai kata tidak karena tugas di pundakku saat ini, tentu aku akan memenuhi apa yang engkau inginkan.” Urwah kemudian berbincang-bincang dengan beliau. Setiap kali berkata ia memegang jenggot beliau.
Al-Mughirah bin Syu’bah berjaga-jaga di dekat kepala beliau sambil menghunus pedang. Ketika Urwah hendak memegang jenggot beliau, AlMughirah memukul tangan Urwah dengan punggung pedangnya, sambil berkata, “Jauhkan tanganmu dari jenggot Rasulullah.”
Urwah mendongakkan kepala, lalu bertanya, “Siapa orang ini?”
“Al-Mughirah bin Syu’bah,” jawab Orang-orang di sekitarnya.
Urwah berkata, “Hai anak nakal! Bukankah aku yang membereskan urusan karena kenakalanmu dulu?” Sebelum masuk Islam Al-Mughirah yang merupakan keponakan Urwah ini memang pernah membunuh beberapa orang dan merampas harta mereka. Karena ulahnya itu, Urwah harus mengeluarkan uang tebusan untuk diserahkan kepada keluarga para korban. Kemudian Al-Mughirah mendatangi Rasulullah dan masuk Islam. Beliau bersabda saat itu, “Aku bisa menerima keislamanmu. Tetapi, tentang harta benda yang engkau bawa, aku tidak mempunyai urusan dengannya.”
Kemudian Urwah menyibak kerumunan para sahabat dan kembali kepada rekan-rekannya dari Quraisy. Di sana dia berkata, “Wahai semua orang, demi Allah, aku pernah menjadi utusan untuk menemui para raja, Qaishar dan Kisra. Demi Allah, tidak pernah kulihat seorang raja yang diagung-agungkan rekan-rekannya seperti yang dilakukan rekan-rekan Muhammad terhadap dirinya. Demi Allah, setiap kali Muhammad mengeluarkan dahak, maka dahak itu pasti jatuh di telapak tangan salah seorang di antara mereka, lalu dia mengusap-usapkannya ke wajah atau kulit badannya. Jika dia memberikan suatu perintah, mereka segera melaksanakan perintahnya. Jika dia wudhu’, mereka seperti orang yang sedang bertengkar karena berebut sisa air wudhunya. Jika dia berbicara, mereka menghentikan pembicaraan di depannya. Mereka tidak pernah mendongakkan pandangan ke wajahnya karena penghormatan terhadap dirinya. Dia telah menyampaikan tawaran yang layak kepada kalian. Karena itu, terimalah tawaran tersebut.”
Allah Menahan Tangan Quraisy
Karena para pemuda Quraisy yang semangatnya masih membara menghendaki peperangan, mereka berpikir untuk mencari alternatif lain. Pasalnya para pemimpin mereka bermaksud mengadakan perundingan gencatan senjata. Untuk itu, mereka mengambil keputusan menyusup ke tengah barisan kaum Muslimin pada malam hari dan memancing bara peperangan. Mereka sudah siap-siap untuk melaksanakan rencana ini. Setidaknya, tujuh puluh atau delapan puluh orang di antara mereka yang turun dari gunung Tan’im dan hendak menyusup ke tengah barisan kaum Muslimin. Namun, Muhammad bin Maslamah yang bertugas sebagai komandan jaga dapat menangkap mereka semua. Karena sejak semula menginginkan suasana damai, maka Nabi memaafkan dan melepaskan mereka semua. Sehubungan dengan hal ini Allah menurunkan ayat:
Dan Dia-lah yang menahan tangan mereka dari (membinasakan) kamu dan (menahan) tangan kamu dari (membinasakan) mereka di tengah kota Mekkah sesudah Allah memenangkan kamu atas mereka, (Al-Fath: 24)
Utsman bin Affan sebagai Duta kepada Pihak Quraisy Pada saat itu, Rasulullah hendak mengutus seorang duta agar menegaskan kepada Quraisy tentang sikap dan tujuan beliau dari perjalanan kali ini. Untuk itu, beliau memanggil Umar bin Al-Khattab dan hendak menjadikannya sebagai duta. Namun, Umar merasa keberatan dengan mengatakan, “Wahai Rasulullah, tidak ada seorang pun sanak keluargaku dari Bani Ka’ab di Mekkah yang marah jika aku disiksa. Lebih baik utuslah Utsman bin Affan, karena sanak keluarganya ada di sana dan dia akan menyampaikan apa yang engkau kehendaki.”
Akhirnya beliau memanggil Utsman bin Affan dan mengangkatnya sebagai duta untuk menemui Quraisy. Beliau bersabda, “Sampaikan kepada mereka bahwa kita bukan ingin berperang, melainkan datang hendak melaksanakan umrah. Serulah mereka kepada Islam!” Beliau juga menyuruhnya untuk menemui beberapa laki-laki dan wanita Muslim di sana dan menyampaikan kabar gembira kepada mereka tentang datangnya kemenangan dan juga mengabarkan kepada mereka bahwa Allah pasti akan memenangkan agama-Nya di Mekkah, sehingga setiap orang di sana pasti akan beriman.
Utsman berangkat hingga dia melewati sekumpulan Orang-orang Quraisy di Baldah. Mereka bertanya, “Hendak ke mana engkau?”
“Rasulullah, mengutusku untuk ini dan itu,” jawab Utsman.
“Kami mendengar apa yang engkau katakan. Maka laksanakan apa keperluanmu!” kata mereka.
Aban bin Sa’id bin Al-Ash menyambut kedatangannya, menyiapkan kudanya, dan menyuruh Utsman naik ke atas punggung kudanya. Aban memberikan jaminan perlindungan kepada Utsman dan mengawalnya hingga tiba di Mekkah. Dia menyampaikan pengiriman duta ini kepada para pemimpin Quraisy. Sebenarnya mereka menawarkan kepada Utsman untuk melaksanakan tawaf di Kabah, tetapi Utsman menolak tawaran ini. Dia tidak akan tawaf sebelum Rasulullah tawaf.
Isu Terbunuhnya Utsman dan Baiat Ridwan
Orang-orang Quraisy cukup lama menahan Utsman bin Affan di Mekkah. Mereka mungkin saja hendak mengajaknya bermusyawarah, memecahkan masalah yang sangat rawan ini dan mereka merasa puas. Dan mestinya setelah itu mereka mengembalikan Utsman dengan jawaban yang mereka tulis dalam sebuah surat.
Karena Utsman cukup lama tertahan di pihak Quraisy, tersiarlah kabar angin di kalangan kaum Muslimin bahwa Utsman telah dibunuh. Saat kabar angin ini didengar Rasulullah, beliau bersabda, “Kita tidak akan beranjak sebelum membereskan urusan dengan mereka.” Setelah itu beliau memanggil para sahabat untuk melakukan baiat.! Maka mereka berkerumun di sekelilingnya dan mengucapkan baiat untuk tidak melarikan diri. Bahkan, di antara mereka ada yang mengucapkan baiat untuk bersedia mati. Orang pertama yang mengucapkan baiat adalah Abu Sinan Al-Asadi. Sementara itu, Salamah bin Al-Akwa’ mengucapkan baiat di hadapan beliau untuk bersedia mati hingga tiga kali; sekali dia ucapkan di depan kerumunan orang, sekali di tengah kerumunan orang, dan sekali di belakang kerumunan orang. Dalam baiat ini, beliau memegang tangannya sendiri lalu bersabda, “Ini (baiat) untuk Utsman.”
Hanya seorang saja yang tidak ikut dalam proses baiat ini. Dia dari golongan Orang-orang munafik, namanya Jadd bin Qais. Baiat ini dilaksanakan Rasulullah di bawah sebuah pohon. Umar memegang tangan beliau, sedangkan Ma’qal bin Yassar memegangi dahan pohon agar tidak mengenai beliau. Inilah baiat Ridwan, yang karenanya Allah menurunkan ayat:
Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap Orang-orang mukmin ketikg mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon. (Al-Fath: 18)
Pengukuhan Perjanjian dan Butir-butirnya
Quraisy menyadari posisinya yang cukup rawan. Karena itu, mereka segera mengutus Suhail bin Amr untuk mengadakan perundingan. Mereka menegaskan kepadanya agar di antara isi perjanjian itu menyebutkan bahwa Muhammad harus pulang ke Madinah pada tahun ini agar bangsa Arab tidak membicarakan Orang-orang Quraisy bahwa beliau berhasil masuk ke sana lewat jalan kekerasan. Suhail bin Amr menemui beliau. Saat melihat kehadirannya, beliau bersabda, “Dia telah memudahkan urusan kalian. Setiap kali Orang-orang Quraisy menghendaki perjanjian, mereka pasti mengutus orang ini.”
Sahl pun tiba lalu berunding panjang lebar. Akhirnya kedua belah pihak menyepakati beberapa butir perjanjian, yaitu:
- Rasulullah harus pulang pada tahun ini dan tidak boleh memasuki Mekkah kecuali tahun depan bersama kaum Muslimin. Mereka diberi jangka waktu selama tiga hari berada di Mekkah dan hanya boleh membawa senjata yang biasa dibawa musafir, yaitu pedang yang disarungkan. Sementara pihak Quraisy tidak boleh menghalangi dengan cara apa pun.
- Gencatan senjata di antara kedua belah pihak selama sepuluh tahun, sehingga semua orang merasa aman dan tiap-tiap pihak tidak boleh memerangi pihak lain.
- Barang siapa yang ingin bergabung dengan pihak Muhammad dan perjanjiannya, dia boleh melakukannya, dan siapa yang ingin bergabung dengan pihak Quraisy dan perjanjiannya, dia boleh melakukannya. Kabilah mana pun yang bergabung dengan salah satu pihak, maka kabilah itu menjadi bagian dari pihak tersebut.
Dengan demikian penyerangan yang ditujukan kepada kabilah tertentu dianggap sebagai penyerangan terhadap pihak yang bersangkutan dengannya.
4, Siapa pun orang Quraisy yang melarikan diri ke pihak Muhammad tanpa izin walinya, dia harus dikembalikan kepada pihak Quraisy. Dan siapa pun dari pihak Muhammad yang melarikan diri ke pihak Quraisy, dia tidak boleh dikembalikan kepada pihak Muhammad.
Kemudian beliau memanggil Ali bin Abu Thalib agar menulis isi perjanjian ini. Beliau mendiktekan kepada Ali, “Bismillahir rahmanir rahim.”
Suhail menyela, “Tentang Ar-Rahman, demi Allah, aku tidak tahu siapa dia. Karena itu, tulislah: “Bismika Alahumma.”
Nabi pun memerintahkan Ali bin Abu Thalib untuk menulis seperti itu. Kemudian beliau mendiktekan lagi, “Ini adalah perjanjian yang ditetapkan Muhammad, utusan Allah.”
Suhail menyela, “Kalau kami mengakui bahwa engkau adalah utusan Allah, tentunya kami tidak akan menghalangimu untuk memasuki Masjidil Haram, tidak pula memerangimu. Tetapi, tulislah: “Muhammad bin Abdullah.”
Beliau bersabda, “Bagaimana pun juga aku adalah utusan Allah sekalipun kalian mendustakanku.” Lalu beliau memerintahkan Ali bin Abu Thalib agar menulis seperti usulan Suhail dan menghapus kata utusan Allah yang terlanjur ditulis. Namun, Ali menolak untuk menghapusnya. Akhirnya beliau yang menghapus tulisan itu dengan tangan beliau sendiri.
Begitulah akhirnya butir-butir perjanjian itu selesai ditulis. Setelah perjanjian sudah dikukuhkan, Bani Khuza’ah bergabung ke pihak Rasulullah.
Sebelumnya, mereka adalah sekutu Bani Hasyim sejak zaman Abdul Mutholib seperti yang sudah kami uraikan di bagian sebelumnya. Bergabungnya mereka ke pihak beliau ini merupakan kelanjutan dari persekutuan yang telah lalu. Sementara Bani Bakar bergabung ke pihak Quraisy.
Kasus Abu Jandal
Pada saat penulisan isi perjanjian ini dan telah berlaku, tiba-tiba muncul Abu Jandal bin Suhail yang berjalan tertatih-tatih karena kedua kakinya terbelenggu. Dia meloloskan diri dari Mekkah hingga tiba di tempat kaum Muslimin. Suhail berkata, “Ini adalah orang pertama yang kutuntut agar engkau mengembalikannya.”
Beliau menjawab, “Kami tidak akan melanggar isi perjanjian ini sampai kapan pun.”
“Demi Allah, kalau begitu aku tidak akan menuntutmu karena sesuatu pun,” jawab Suhail puas.
“Kalau begitu berilah dia jaminan perlindungan karena aku,” pinta beliau.
“Aku tidak akan memberinya jaminan perlindungan karena dirimu.”
“Lakukanlah,” pinta beliau lagi.
“Aku tidak akan melakukannya,” jawab Suhail.
Suhail memukul Abu Jandal, anaknya sendiri yang telah masuk Islam, dan mencengkeram kerah bajunya lalu menyeretnya untuk dikembalikan kepada kaum Quraisy. Abu Jandal berteriak dengan suara keras, “Wahai semua orang Muslim, apakah aku akan dikembalikan kepada Orang-orang musyrik yang akan mengujiku karena agamaku ini?” Rasulullah bersabda, “Wahai Abu Jandal, bersabarlah dan tabahlah, karena Allah akan memberikan jalan keluar kepadamu dan Orang-orang lemah yang kini bersamamu. Kami sudah mengukuhkan perjanjian antara kami dan mereka. Kami telah membuat persetujuan dengan mereka atas demikian ini, dan mereka pun sudah memberikan sumpah atas nama Allah kepada kami, maka kami tidak akan melanggarnya.”
Tiba-tiba Umar bin Al-Khattab melompat ke samping Abu Jandal, seraya berkata, “Bersabarlah, wahai Abu Jandal. Mereka hanyalah Orang-orang musyrik. Darah mereka tak ubahnya darah anjing.” Kemudian dia menyodorkan gagang pedang kepada Abu Jandal, sambil berkomentar, “Aku berharap dia mengambil pedang itu dan membabatkannya ke tubuh ayahnya.” Umar terus mendorongnya untuk melawan ayahnya.
Menyembelih Hewan Korban dan Mencukur Rambut sebagai Tanda Umrah
Setelah Rasulullah menyelesaikan penulisan isi perjanjian, beliau bersabda, “Bangkitlah dan sembelihlah hewan korban!” Demi Allah, tak seorang pun di antara kaum Muslimin yang bangkit untuk melaksanakan perintah ini sekalipun beliau sudah mengatakan tiga kali. Karena tidak ada seorang sahabat pun yang bangkit, beliau menemui Ummu Salamah. Beliau mengadukan kepadanya apa yang dilakukan para sahabat. Ummu Salamah berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau ingin perintah itu dilaksanakan? Keluarlah dan engkau tak perlu mengucapkan sepatah kata pun kepada seseorang sebelum engkau menyembelih unta korban dan meminta seorang pencukur untuk mencukur rambutmu.”
Atas saran Ummu Salamah inilah beliau keluar lagi. Tanpa berbicara kepada seorang pun, beliau langsung melaksanakan saran tersebut. Beliau menyembelih hewan kurban dan memanggil tukang cukur agar mencukur rambut beliau. Saat para sahabat melihat apa yang dilakukan Rasulullah, mereka pun bangkit lalu menyembelih hewan korban dan sebagian mencukur rambut sebagian yang lain, sehingga hampir saja mereka saling bertengkar karena rambut. Satu ekor unta untuk tujuh orang, begitu pula sapi. Rasulullah, menyembelih unta yang dulunya milik Abu Jahal, yang di hidung unta itu ada cincin perak, dengan tujuan untuk memancing kejengkelan Orang-orang musyrik. Beliau memohonkan ampunan sebanyak tiga kali untuk para sahabat yang menggundul rambutnya, sedangkan untuk para sahabat yang hanya memendekkan rambutnya, beliau memohonkan ampunan satu kali saja bagi mereka.”
Rasulullah Menolak Mengembalikan Para Wanita Mukminah yang Hijrah
Saat itu beberapa wanita Mukminah datang menemui beliau. Para wali wanita-wanita tersebut meminta untuk mengembalikan mereka kepada Quraisy sesuai dengan isi perjanjian yang sudah dikukuhkan di Hudaibiyah. Namun, beliau menolak permintaan ini karena kalimat yang tertulis dalam perjanjian sama sekali tidak menunjukkan bahwa wanita juga termasuk dalam perjanjian itu. Berkaitan dengan persoalan ini, Allah menurunkan ayat-ayat-Nya:
Hai Orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) Orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi
Orang-orang kafir itu dan Orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; (Al-Mumtahanah: 10).
Nabi menguji para wanita itu berdasarkan perintah dari Allah:
Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Mumtahanah: 12).
Siapa yang menerima syarat-syarat ini, maka beliau bersabda kepadanya “Aku telah membaiatmu.” Setelah itu, beliau tidak mengembalikan mereka kepada pihak Quraisy. Dengan hukum dalam ayat-ayat dalam surat tersebut, Orang-orang Muslim menceraikan istri-istri mereka yang kafir. Saat itu juga Umar bin Al-Khattab menceraikan dua istrinya yang kafir. Selanjutnya salah seorang di antara keduanya diperistri oleh Muawiyah, sedangkan satunya lagi diperistri oleh Shafwan bin Umayyah.
Apa yang Bisa Dipetik dari Butir-butir Perjanjian Hudaibiyah?
Itulah gencatan senjata yang dikukuhkan di Hudaibiyah. Bila dicermati butir-butir yang tertuang dalam perjanjian tersebut, memang harus diakui ada sisi kelemahannya. Namun, tidak dapat diragukan bahwa langkah itu merupakan kemenangan yang amat besar bagi kaum Muslimin. Sebab, sudah sekian lama pihak Quraisy tidak mau mengakui sedikit pun keberadaan kaum Muslimin, dan bahkan mereka hendak memberantas hingga ke akar-akarnya. Mereka menunggu-nunggu babak akhir dari perjalanan kaum Muslimin. Dengan mengerahkan seluruh kekuatan, mereka mencoba memasang penghalang antara dakwah Islam dan manusia, sambil membual bahwa merekalah yang layak memegang kepemimpinan agama dan roda kehidupan di seluruh Jazirah Arab. Meskipun hanya pengukuhan perjanjian, ini sudah bisa dianggap sebagai pengakuan terhadap kekuatan kaum Muslimin, di samping Orang-orang Quraisy merasa tidak sanggup lagi menghadapi mereka.
Butir ketiga dari perjanjian tersebut menunjukkan bahwa pihak Quraisy lupa terhadap kedudukannya sebagai pemegang roda kehidupan dunia dan kepemimpinan agama. Mereka tidak lagi memedulikan hal ini. Yang mereka pikirkan kini adalah keselamatan diri mereka sendiri. Kalau pun semua manusia dan Orang-orang selain Arab mau masuk Islam, mereka tidak lagi memedulikannya dan tidak akan ikut campur dalam bentuk apa pun. Bukankah sebenarnya hal ini merupakan kegagalan yang telak bagi pihak Quraisy, dan sebaliknya merupakan kemenangan yang nyata bagi pihak kaum Muslimin? Peperangan secara terus-menerus yang melibatkan kaum Muslimin dan musuh-musuhnya, sama sekali tidak dimaksudkan kaum Muslimin untuk mendapatkan harta benda, merenggut nyawa, membinasakan manusia maupun memaksa manusia agar memeluk Islam. Satu-satunya tujuan yang hendak mereka gapai dari berbagai peperangan itu ialah ingin menciptakan kebebasan yang utuh bagi manusia dalam masalah akidah dan agama. Allah berfirman:
“Maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.” (Al-Kahf: 29).
Tidak ada satu kekuatan pun yang bisa menghalangi maksud mereka, Bagian-bagian dari tujuan ini atau sinyal-sinyalnya telah berada dj tangan. Tujuan ini mungkin saja tidak akan tercapai sekalipun dengan kemenangan yang besar dalam peperangan. Dengan adanya kebebasan ini, kaum Muslimin bisa menorehkan keberhasilan yang besar di bidang dakwah. Jumlah mereka yang tidak lebih dari tiga ribu orang sebelum gencatan senjata semakin bertambah banyak setelah adanya gencatan senjata ini. Selama dua tahun setelah itu, pasukan Islam telah bertambah menjadi sepuluh ribu prajurit, yaitu saat penaklukan Mekkah.
Butir kedua perjanjian itu juga merupakan kemenangan kedua yang besar bagi kaum Muslimin. Mereka bukan pihak yang mengawali peperangan, melainkan pihak Quraisy yang mengawalinya. Allah berfirman:
Dan merekalah yang pertama mulai memerangi kamu (At-Taubah: 13)
Semua aktivitas militer yang dilakukan kaum Muslimin dimaksudkan hanya untuk mengantisipasi arogansi Orang-orang Quraisy dan ulah mereka yang selalu menghalangi manusia dari jalan Allah atau membalas perlakuan buruk mereka. Tiap-tiap pihak mengambil tindakan dengan alasannya sendiri. Jadi, perjanjian gencatan senjata selama sepuluh tahun yang akan membatasi arogansi dan penolakan ini, merupakan bukti kegagalan, kelemahan, dan kehancuran kaum Quraisy sejak awal perang.
Butir pertama perjanjian itu merupakan batas akhir bagi Quraisy yang selalu menghalangi seseorang untuk memasuki Masjidil Haram. Ini juga merupakan kegagalan bagi Quraisy. Butir ini hanya akan memberikan kesempatan bagi Quraisy untuk menghalangi manusia yang akan memasuki Masjidil Haram selama satu tahun saja.
Pihak Quraisy memberikan tiga celah ini kepada kaum Muslimin. Mereka hanya memiliki satu celah saja, yaitu butir keempat. Tetapi, celah ini pun sebenarnya tak banyak artinya. Di sini tidak ada sesuatu yang membahayakan kaum Muslimin. Sebagaimana diketahui, selama seseorang disebut orang Muslim, dia tentu tidak akan lari dari Allah dan Rasul-Nya, tidak meninggalkan wilayah Islam, kecuali memang dia murtad secara lahir dan batin. Jika dia murtad, Islam dan kaum Muslimin sama sekali tidak membutuhkan dirinya. Bahkan tindakannya yang memisahkan diri dari masyarakat Islam jauh lebih baik daripada dia perada di tengah mereka. Ini yang diisyaratkan Rasulullah dalam sabda beliau, “Sesungguhnya siapa pun di antara kita yang pergi bergabung dengan mereka, dia akan dijauhi Allah.”
Adapun penduduk Mekkah yang masuk Islam, kalau pun dia tidak bisa datang ke Madinah, bumi Allah itu amat luas. Bukankah Habasyah terbuka lebar bagi kaum Muslimin pada saat penduduk Madinah belum mengenal Islam sedikit pun? Hal itu juga diisyaratkan Rasulullah dalam sabda beliau, “Barang siapa di antara mereka hendak mendatangi kita, Allah akan memberikan jalan keluar bagi dirinya.”
Kesepakatan yang diambil Rasulullah dalam perjanjian tersebut, sekalipun secara sepintas tampak merupakan keunggulan bagi Quraisy, sejatinya itu mencerminkan kegundahan, kegelisahan dan ketakutan mereka terhadap eksistensi paganisme. Mereka merasa seolah-olah eksistensi mereka berada di pinggir jurang yang terjal. Maka langkah inilah yang mereka ambil. Bila di antara kaum Muslimin ada yang lari ke pihak Quraisy, Nabi tidak akan memintanya agar dikembalikan. Ini merupakan bukti bahwa beliau benar-benar tegar dalam meneguhkan kekuatan dan sama sekali tidak risau dengan syarat yang tercantum dalam perjanjian tersebut.
Kekecewaan Kaum Muslimin dan Dialog Umar dengan Rasulullah
Itulah tadi hakikat yang terkandung dalam butir-butir kesepakatan gencatan senjata tersebut. Namun, ada dua alasan yang mengaburkan kecerdasan berpikir kaum Muslimin, sehingga karenanya mereka tampak kecewa dan sedih. Pertama, sebelumnya beliau sudah menyatakan untuk mendatangi Masjidil Haram dan tawaf di sana. Lalu mengapa beliau kembali lagi tanpa melakukan tawaf? Kedua, beliau adalah utusan Allah dan jelas berada di atas kebenaran. Allah telah menjanjikan kemenangan bagi agama-Nya. Tetapi, mengapa beliau secepat itu merendahkan diri menurut asumsi para sahabat dengan mengukuhkan perjanjian, tanpa melakukan tekanan terhadap Quraisy terlebih dahulu? Dua alasan inilah yang menimbulkan keresahan hati dan dugaan yang macam-macam dalam benak mereka.
Dua hal tersebut telah membuat perasaan kaum Muslimin terluka karena kegelisahan dan kepedihan lebih menguasai pikiran, dan mereka tidak memikirkan lebih jauh dampak dari isi perjanjian itu. Boleh jadi orang yang paling murung di antara mereka adalah Umar bin Al-Khattab. Dia menemui Nabi # dan bertanya, “Wahai Rasulullah, bukankah kita berada di atas kebenaran dan mereka di atas kebatilan?”
“Begitulah,” jawab beliau.
“Bukankah korban yang mati di antara kita berada di surga dan korban yang mati di antara mereka berada di neraka?” tanya Umar.
“Begitulah,” jawab beliau.
“Lalu mengapa kita merendahkan agama kita dan pulang, padahal Allah belum lagi membuat keputusan antara kita dan mereka?” tanya Umar.
Beliau menjawab, “Wahai Ibnul Khattab, aku adalah utusan Allah dan aku tidak akan mendurhakai-Nya. Dia adalah penolongku dan sekali-kali tidak akan menelantarkan diriku.”
“Bukankah engkau telah memberitahukan kepada kami bahwa kita akan mendatangi Kabah dan Tawaf di sana?”
“Begitulah. Tetapi, apakah aku menjanjikan bahwa kita untuk ke sana tahun ini?”
“Tidak,” jawab Umar.
“Kalau begitu engkau akan pergi ke Kabah dan tawaf di sana (tahun depan),” sabda beliau.
Umar belum puas dengan jawaban beliau. Ia kemudian menemui Abu Bakar dan bertanya seperti pertanyaan-pertanyaan yang dia ajukan kepada Rasulullah. Ternyata Abu Bakar juga memberikan jawaban yang sama persis dengan jawaban beliau. Lalu Abu Bakar menambahi, “Patuhlah kepada perintah dan larangan beliau sampai engkau meninggal dunia. Demi Allah, beliau berada di atas kebenaran.” Kemudian surat Al-Fath diturunkan. Rasulullah memanggil Umar, lalu beliau dan membacakan ayat-ayat tersebut kepadanya. Umar bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah itu benar-benar sebuah kemenangan?” Beliau menjawab, “Benar.” Setelah itu hati Umar pun tenang dan kembali.
Kemudian dia baru menyadari tindakannya itu, sehingga dia amat menyesal karenanya. Umar berkata, “Setelah itu aku terus-menerus melakukan berbagai amal, bersedekah, berpuasa, shalat dan berusaha membebaskan dari apa yang telah kulakukan saat itu. Aku selalu dibayangi oleh apa yang telah kulakukan saat itu. Aku selalu berharap, semoga semua itu merupakan kebaikan.”
Solusi atas Krisis Orang-orang Muslim yang Lemah
Setelah Rasulullah kembali ke Madinah dan hidup tenteram di sana, tiba-tiba muncul seseorang dari kaum Muslimin yang masih mendapat siksaan di Mekkah. Dia adalah Abu Bashir, seorang laki-laki dari Tsaqif, sekutu Quraisy. Orang-orang Quraisy mengutus dua orang untuk mencarinya di Madinah dan mengingatkan Nabi tentang isi perjanjian. Sesuai dengan perjanjian itu, beliau pun menyerahkan Abu Bashir kepada dua utusan tersebut. Akhirnya, Abu Bashir pergi menuju Mekkah bersama dua utusan itu.
Saat tiba di Dzul Hulaifah, mereka istirahat sambil makan buah kurma. Abu Bashir berkata, “Demi Allah, aku ingin sekali melihat pedangmu yang bagus itu wahai Fulan.” Setelah menghunus pedang yang dimaksudkan, utusan Quraisy itu menyerahkannya kepada Abu Bashir, sambil berkata, “Boleh. Demi Allah, memang ini adalah pedang yang bagus. Ia sudah cukup kenyang malang melintang bersamaku.” Abu Bashir berkata lagi, “Tolong perlihatkan kepadaku, aku ingin melihat dan memeriksanya.”
Setelah pedang berada di tangan Abu Bashir, dia menusukkannya ke utusan Quraisy itu hingga meninggal dunia. Seorang utusan lagi bisa melarikan diri hingga tiba di Madinah. Dengan berlari-lari dia memasuki masjid. Saat melihat kehadirannya, Nabi bersabda, “Sepertinya orang itu sedang ketakutan.” Setelah berhadapan langsung dengan beliau, utusan Quraisy itu berkata, “Temanku telah dibunuh, dan aku pun hampir dibunuhnya pula.” Tak lama kemudian Abu Bashir muncul dan berkata, “Wahai Nabi Allah, demi Allah, Allah telah memenuhi jaminanmu. Engkau telah mengembalikan diriku kepada mereka, kemudian Allah menyelamatkanku dari kejahatan mereka.”
Beliau bersabda, “Celaka, dia bisa menyalakan api peperangan bila memiliki teman satu saja.”
Mendengar sabda beliau ini, Abu Bashir sadar bahwa dia akan diserahkan lagi ke pihak Quraisy. Maka dia segera beranjak pergi hingga tiba di pinggir pantai. Apa yang dilakukan Abu Bashir ini terdengar hingga ke Mekkah dan di dengar pula Orang-orang Muslim di sana. Karena itu, Abu Jandal pun meloloskan diri dari Mekkah dan bergabung bersama Abu Bashir. Langkah Abu Jandal ini diikuti teman-temannya yang lain yang sudah masuk Islam dan selama ini menetap di Mekkah. Dengan demikian, cukup banyak orang yang bergabung dengan Abu Bashir.
Karena markas Abu Bashir dan teman-temannya itu merupakan jalur yang dilewati kafilah dagang Quraisy menuju ke Syam, maka setiap ada kafilah dagang Quraisy yang lewat tidak akan lepas dari hadangan mereka dan harta bendanya dirampas. Akhirnya, Quraisy mengirim utusan kepada Nabi untuk menyampaikan pesan bahwa siapa pun orang Muslim yang menemui beliau dianggap aman. Beliau mengirim balasan, dan setelah itu Abu Bashir dan kaum Muslimin yang bergabung bersamanya pergi ke Madinah.
Beberapa Tokoh Quraisy Masuk Islam
Pada awal tahun 7 H, tepatnya setelah dikukuhkan gencatan senjata, beberapa tokoh Quraisy masuk Islam. Di antaranya adalah Amru bin AlAsh, Khalid bin Al-Walid, dan Utsman bin Thalhah. Setelah mereka tiba di hadapan Nabi , beliau bersabda, “Mekkah telah menyerahkan jantung hatinya kepada kita.”[]
Gencatan senjata dan perjanjian Hudaibiyah merupakan awal babak baru dalam kehidupan Islam dan kaum Muslimin. Quraisy adalah kekuatan yang paling menonjol dan paling gencar memusuhi Islam. Dengan mundurnya Quraisy dari kancah peperangan dan lebih memilih jalan damai, ini berarti salah satu dari tiga sayap yang dimiliki pasukan musuh sudah patah dan terkoyak. Tiga kelompok musuh ini adalah Quraisy, Ghathafan, dan Yahudi. Karena Quraisy yang dianggap sebagai simbol paganisme dan pemimpinnya di seluruh Jazirah Arab sudah tidak lagi memedulikan kebanggaan paganismenya dan mereka sudah melepaskan permusuhannya terhadap Islam, kita tidak lagi melihat peran yang berarti bagi Ghathafan setelah adanya gencatan senjata itu.
Keterlibatan Ghathafan sebenarnya atas bujukan Orang-orang Yahudi. Sementara itu, Orang-orang Yahudi yang telah hengkang dari Madinah menjadikan Khaibar sebagai markas konspirasi dan penyusunan makar. Setan-setan mereka bertelur dan menetas di sana, mengipasi api fitnah dan membujuk Orang-orang Arab yang ada di sekitar Madinah, lalu berencana untuk membinasakan Nabi dan kaum Muslimin, atau setidak-tidaknya menimpakan kerugian kepada mereka. Karena itu, rencana pertama yang dirasa sangat perlu dan hendak dilakukan Nabi adalah memancing timbulnya peperangan dengan mereka.
Tetapi, pada tahapan ini, yang dimulai setelah dikukuhkannya gencatan senjata, adalah memberikan kesempatan yang amat luas bagi kaum Muslimin untuk menyebarluaskan dakwah Islam. Semangat mereka bertambah sekian kali lipat dalam medan dakwah ini, di samping semangat mereka dalam aktivitas militer. Karena itu, kami membagi tahapan ini menjadi dua bagian:
- Aktivitas dalam bidang dakwah atau korespondensi dengan beberapa raja dan penguasa.
- Aktivitas militer.
Sebelum kita menguraikan aktivitas militer dalam tahapan ini, ada baiknya kita menyajikan masalah korespondensi dengan beberapa raja dan amir. Sebab, sudah barang tentu yang diprioritaskan adalah dakwah Islam, bahkan ini merupakan tujuan sepak terjang kaum Muslimin, sampai-sampai mereka harus menghadapi musibah dan penderitaan, perang dan cobaan, kegundahan dan keguncangan.[]
Pada akhir tahun 6 H., setelah kembali dari Hudaibiyah, Rasulullah menulis surat yang ditujukan kepada beberapa raja yang berisi seruan agar mereka kepada Islam. Saat hendak menulis surat-surat yang ditujukan kepada beberapa raja, ada seseorang yang memberi tahu, “Sesungguhnya mereka tidak akan mau menerima kecuali jika surat itu disertai cap stempel.” Karena itu, beliau membuat stempel yang terbuat dari perak, dengan cetakan yang berbunyi, “Muhammad Rasul Allah”. Cetakan tulisan ini tersusun dalam tiga baris: “Muhammad” satu baris, “Rasul” satu baris dan “Allah” satu baris, dengan susunan yang dimulai dari bawah:
Beliau menunjuk beberapa orang sahabat sebagai kurir, yang cukup mempunyai pengetahuan dan pengalaman. Beliau mengutus para kurir ini untuk menemui beberapa raja. Allamah Al-Manshurfuri memastikan bahwa beliau mengutus para kurir ini pada awal Muharam 7 H, beberapa hari sebelum pergi ke Khaibar. Berikut ini uraian dan isi surat-surat tersebut:!
- Surat kepada Najasyi, Raja Habasyah
Raja Habasyah yang dikenal Najasyi ini nama aslinya adalah Ashhamah bin Al-Abjar. Beliau menulis surat ini dan dikirim melalui kurir Amr bin Umayyah Adh-Dhamri pada akhir tahun 6 H, atau pada Muharam 7 H. Ath-Thabari telah menyebutkan teks surat itu, tetapi perlu penelitian lebih lanjut. Sebab, ada kemungkinan itu bukan teks surat yang ditulis Nabi setelah perjanjian Hudaibiyah, melainkan surat yang dibawa Ja far ketika dia hijrah ke Habasyah bersama rekan-rekannya semasa periode Mekkah. Apalagi di akhir surat itu disebutkan Orang-orang yang hijrah, dengan redaksi: “Aku telah mengutus kepada kalian anak pamanku, Jafar, bersama beberapa orang Muslim. Jika dia telah datang, terimalah dia dan janganlah berbuat sewenang-wenang kepadanya.”
Al-Baihaqi meriwayatkan dari Ibnu Ishaq teks surat yang ditulis Nabi kepada Najasyi. sebagai berikut:
“Dari Muhammad seorang nabi kepada Najasyi, Al-Ashham, pemimpin Habasyah. Kesejahteraan bagi siapa pun yang mengikuti petunjuk, beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Aku bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah semata. Tiada sekutu bagi-Nya, yang tidak mempunyai pendamping dan anak, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Aku menyeru Tuan dengan seruan Islam, bahwa aku adalah Rasul-Nya. Maka masuklah Islam niscaya Tuan akan selamat. Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara Kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita menyekutukan Dia dengan apa pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah.” Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka, “Saksikanlah, bahwa Kami adalah Orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (Ali ‘Imran: 64).
Jika Tuan menolak, Tuan akan menanggung dosa Orang-orang Nasrani dari kaum Tuan.”
Seorang peneliti yang cukup terkenal, Dr. Humaidillah Baris menyebutkan teks surat kepada Najasyi ini, namun isinya jauh berbeda. Ibnul Qayyim juga menyebutkannya dengan sedikit perbedaan dalam susunan kalimat. Dalam penelitian ini, Dr. Humaidillah telah berusaha semaksimal mungkin untuk mengungkapkannya dengan berbagai sarana penelitian yang memungkinkan. Dia menyebutkan teks surat ini sebagai berikut:
“Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Dari Muhammad, Rasul Allah kepada Najasyi, pemimpin Habasyah. Kesejahteraan bagi siapa pun yang mengikuti petunjuk, amma ba‘d: Aku memuji bagi Tuan kepada Allah yang tiada lah yang berhak disembah selain-Nya. Dialah Penguasa Yang Mahasuci, Pemberi kesejahteraan, Pemberi perlindungan dan Yang Berkuasa. Aku bersaksi bahwalsa bin Maryam adalah Ruh Allah dan Kalimat-Nya, yang ditiupkan kepada Maryam yang perawan, baik dan menjaga kehormatan diri. Lalu dia mengandung Isa dari ruh dan tiupan-Nya, sebagaimana Dia menciptakan Adam dengan Tangan-Nya. Aku menyeru kepada Allah semata, yang tiada sekutu bagi-Nya dan senantiasa menaati-Nya, dan hendaklah Tuan mengikutiku, beriman kepada apa yang diberikan kepadaku. Sesungguhnya aku adalah Rasul Allah. Dan Aku menyeru Tuan dan pasukan Tuan kepada Allah Azza wa Jalla. Aku sudah mengajak dan memberi nasihat. Maka terimalah nasihatku. Kesejahteraan bagi siapa pun yang mengikuti petunjuk.”?
Dr. Al-Muhtaram menegaskan bahwa surat yang ditulis Nabi ini setelah perjanjian Hudaibiyah. Adapun tentang keabsahan teks surat tersebut memang perlu penelitian lebih lanjut, dengan melihat kepada beberapa dalil. Untuk mengatakan bahwa surat ini ditulis setelah Hudaibiyah pun, sebenarnya tidak ada dalil yang menguatkannya. Redaksi yang disebutkan Al-Baihaqi dari lbnu Ishaq mirip dengan surat yang ditulis Nabi kepada beberapa raja dan amir Nasrani setelah Hudaibiyah, yang di dalamnya ada ayat Al-Qur’an tersebut.
Kemiripan lainnya adalah dalam kandungannya. Di sini disebutkan nama Al-Ashhamah secara jelas, sedangkan surat yang disebutkan Dr. Humaidillah, menurut kami adalah surat yang ditulis beliau kepada pengganti Ashhamah setelah dia meninggal dunia. Ada kemungkinan, inilah sebabnya mengapa dalam surat ini tidak disebutkan nama secara jelas. Menurut pendapat kami, urutan-urutan ini sama sekali tidak dikuatkan dengan dalil yang pasti selain dari beberapa penguat internal yang bisa dipahami dari isi surat-surat tersebut.
Namun, Dr. Humaidillah berani memastikan bahwa teks surat yang disebutkan Al-Baihaqi dari Ilbnu Abbas adalah surat yang ditulis Nabi kepada pengganti Ashhamah setelah dia meninggal dunia. Padahal, nama Ashhamah disebutkan secara jelas. Wallahu a‘lam.?
Setelah Amr bin Umayyah Adh-Dhamri menyampaikan surat Nabi kepada Raja Najasyi, dia langsung memungut surat itu dan meletakkannya di depan matanya. Dia turun dari kasurnya ke atas lantai, lalu masuk Islam di hadapan Jakfar bin Abu Thalib. Najasyi menulis balasan kepada Nabi 2 saat itu juga. Inilah isi surat balasan tersebut:
“Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Kepada Muhammad Rasul Allah dari Najasyi Ashhamah. Kesejahteraan bagi engkau wahai Nabi Allah, dari Allah dan rahmat Allah serta berkah-Nya. Demi Allah yang tiada Ilah yang berhak disembah selain Dia, amma bad,
Telah kuterima surat Tuan, wahai Rasul Allah, yang di dalamnya Tuan menyebut masalah Isa. Demi Tuhan langit dan bumi. Sesungguhnya Isa memang tidak lebih dari apa yang Tuan sebutkan itu, dan dia memang seperti yang Tuan katakan, dan kami juga sudah tahu isi surat yang Tuan kirimkan kepada kami. Kami telah menampung anak pamanmu dan rekan-rekannya. Aku pun bersaksi bahwa Tuan adalah Rasul Allah bahwa Kami adalah Orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (Ali ‘Imran: 64).
Surat ini diantarkan oleh Hathib bin Abu Balta’ah.
Setelah menghadap Muqauqis, Hathib berkata kepadanya, “Sebelum Tuan ada seseorang yang mengaku bahwa dia adalah Tuhan yang paling tinggi. Lalu Allah menimpakan hukuman kepadanya di dunia dan di akhirat. Allah menyiksanya lalu menyiksanya lagi. Maka ambillah pelajaran darinya, dan jangan sampai ada orang lain yang mengambil pelajaran dari Tuan.”
Muqaugis berkata, “Kami mempunyai agama yang tidak akan kami tinggalkan kecuali jika ada agama lain yang lebih baik lagi.”
Hathib berkata, “Kami mengajakmu kepada Islam yang Allah telah mencukupkannya dari agama yang lain. Nabi ini menyeru semua manusia, yang paling ditekan Quraisy, yang paling dimusuhi Yahudi dan yang paling dekat dengan Orang-orang Nasrani. Demi Allah, kabar yang dibawa Musa tentang Isa sama dengan kabar yang dibawa Isa tentang Muhammad. Seruan kami di hadapan Tuan kepada Al-Qur’an sama dengan seruan Tuan yang memegang Taurat kepada Injil. Setiap nabi yang sudah mengenal suatu kaum maka kaum itu adalah umatnya. Intinya, mereka harus menaatinya. Tuan termasuk orang yang sudah mengenal nabi ini. Kami tidak melarang kalian dari agama Al-Masih, tetapi kami memerintahkan kalian untuk tetap berpegang kepadanya.”
Muqauqis berkata, “Memang aku telah memperhatikan agama nabi ini, dan tahu bahwa dia tidak memerintahkan untuk menghindari agama Al-Masih, tidak pula seperti tukang sihir yang sesat atau dukun yang suka berdusta. Aku melihat dia membawa tanda kenabian, dengan mengeluarkan yang tersembunyi dan mengabarkan rahasia. Aku akan mempertimbangkannya.”
Ia kemudian mengambil surat Nabi, memberinya stempel, lalu diserahkan kepada pembantunya. Kemudian dia memanggil seorang Sekretaris dan mendiktekan surat balasan untuk beliau, yang ditulis dalam bahasa Arab:
“Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Kepada Muhammad bin Abdullah, dari Muqauqis, pemimpin Qibthi. Kesejahteraan bagi Tuan, amma ba’d.
Saya telah membaca surat Tuan dan bisa memahami isinya serta apa yang Tuan serukan. Saya sudah tahu bahwa ada seorang nabi yang masih tersisa. Menurut perkiraan saya, dia akan muncul dari Syam. Saya hormati utusan Tuan, dan kini kukirimkan dua gadis yang mempunyai kedudukan terhormat di masyarakat Qibthi dan beberapa lembar kain. Saya hadiahkan pula seekor keledai agar dapat Tuan pergunakan sebagai tunggangan. Salam sejahtera bagi Tuan.”
Itulah isi surat tersebut dan dia tidak menyatakan masuk Islam. Dua gadis yang dimaksud adalah Mariyah dan Sirin. Adapun keledai yang bernama Duldul, ia tetap hidup hingga zaman Muawiyah.
Rasulullah mengambil Mariyah sebagai istri beliau dan dari rahimnya lahirlah Ibrahim, putra beliau. Sementara itu, Sirin diberikan kepada Hassan bin Tsabit Al-Anshari.
- Surat kepada Kisra, Raja Persia
Nabi menulis surat kepada Kisra, Raja Persia sebagai berikut:
“Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Dari Muhammad Rasul Allah kepada Kisra, pemimpin Persia. Kesejahteraan bagi siapa pun yang mengikuti petunjuk, beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah semata, yang tiada sekutu bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Aku menyeru Tuan dengan seruan Islam. Sesungguhnya aku adalah urusan Allah kepada seluruh manusia untuk memberi peringatan kepada orang yang hidup dan membenarkan perkataan atas Orang-orang kafir. Masuklah Islam, niscaya Tuan akan selamat. Namun, jika Tuan menolak, dosa Orang-orang Majusi ada di pundak Tuan.”
Kurir yang menyampaikan surat ini adalah Abdullah bin Hudzafah As-Sahmi. Lalu surat itu disampaikan kepada pemimpin Bahrain. Kita tidak tahu apakah pemimpin Bahrain itu mengutus anak buahnya untuk menyampaikan surat tersebut ataukah Abdullah sendiri yang menyampaikannya.
Siapa pun yang menyampaikan surat tersebut, yang pasti setelah membacanya, Kisra langsung mencabik-cabik surat itu. Dengan congkak dia berkata, “Seorang budak yang hina dari rakyatku pernah menulis namanya sebelum aku berkuasa.”
Setelah mendengar apa yang dilakukan Kisra, Nabi #¢ bersabda, “Allah akan mencabik-cabik kerajaannya.” Kisra benar-benar akan mengalami seperti apa yang disabdakan beliau ini. Setelah itu Kisra menulis surat kepada Badzan, gubernurnya di Yaman, yang isinya: “Utuslah dua orang yang gagah perkasa untuk menemui orang dari Hijaz ini. Setelah itu hendaklah keduanya membawanya untuk menemuiku.”
Maka Badzan menunjuk dua orang bawahannya sambil membawa surat yang disampaikan kepada Rasulullah, dan pulangnya disuruh langsung menemui Kisra.
Setelah dua utusan itu tiba di Madinah dan menghadap beliau, salah seorang di antara mereka berdua berkata, “Sesungguhnya Syahan Syah (Raja Diraja) Kisra telah mengirim surat kepada Raja Badzan, agar dia mengirim utusan untuk menemui Tuan, lalu membawa Tuan ke hadapannya.” Kata-katanya bernada ancaman. Nabi menyuruh agar keduanya menemui beliau lagi esok harinya.
Pada saat yang sama di Persia terjadi pemberontakan besar-besaran terhadap Kisra, yang justru berasal dari lingkup keluarganya sendiri. Padahal, sebelumnya mereka juga banyak mengalami kekalahan cukup telak dari pasukan Qaishar. Pemberontakan ini dimotori oleh putra Kisra sendiri, Syiruyah. Dia bangkit melawan ayahnya dan membunuhnya lalu merebut kerajaannya. Hal ini terjadi pada malam Selasa, 10 Jumadil Ula 7 H. Rasulullah mengetahuinya lewat pemberitaan wahyu.
Pada esok harinya beliau memberitahukan pemberontakan yang terjadi terhadap Kisra kepada dua utusan Badzan. Keduanya bertanya, “Apakah Tuan betul-betul yakin dengan apa yang Tuan katakan ini? Sebenarnya kami tidak seberapa membenci Tuan. Maka apakah kami harus mencatat apa yang Tuan katakan ini dan menyampaikannya kepada raja (Badzan)?”
Beliau bersabda, “Benar. Sampaikan hal ini kepadanya. Sampaikan pula pesanku kepadanya bahwa agama dan kekuasaanku akan merambah seperti yang dicapai Kisra, menguasai yang kaya maupun yang miskin. Sampaikan pula kepadanya, ‘Apabila Tuan mau masuk Islam, kuberikan apa yang menjadi milik Tuan dan mengangkat Tuan sebagai pemimpin bagi kaum Tuan’.”
Maka kedua utusan itu segera kembali dan menemui Badzan serta menyampaikan pesan beliau. Tak seberapa lama kemudian datang pula surat tentang terbunuhnya Kisra di tangan putranya sendiri, Syiruyah. Dalam surat itu Syiruyah menyebutkan: “Awasilah orang yang sudah dikirimi surat oleh ayahku itu dan janganlah engkau menyerangnya sebelum ada perintah dariku. “Inilah yang mendorong Badzan untuk masuk Islam beserta rakyatnya di Yaman.”
- Surat kepada Qaishar, Raja Romawi
Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits yang panjang, yang di dalamnya terdapat teks surat yang ditulis Nabi kepada Kaisar Romawi, Heraklius. Inilah surat tersebut:
“Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Dari Muhammad bin Abdullah, kepada Heraklius pemimpin Romawi. Kesejahteraan bagi siapa pun yang mengikuti petunjuk. Masuklah Islam, niscaya Tuan akan selamat. Masuklah Islam, niscaya Allah akan melimpahkan pahala kepada Tuan dua kali lipat. Namun, bila Tuan berpaling, maka Tuan akan menanggung dosa rakyat Arisiyin.
Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara Kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita menyekutukan Dia dengan apa pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah.” Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka, “Saksikanlah, bahwa Kami adalah Orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (Ali ‘Imran: 64).
Kurir yang menyampaikan surat ini adalah Dihyah bin Khalifah AlKalbi. Beliau memerintahkan agar surat tersebut disampaikan kepada pemimpin Bashrah terlebih dahulu, agar dia menyampaikannya kepada Qaishar.
Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Abu Sufyan bin Harb pernah memberitahunya tentang surat Heraklius yang dikirimkan kepadanya saat dia dan kafilah dagang Quraisy sedang berada di Syam. Abu Sufyan dan rombongannya mendatangi Heraklius yang saat itu berada di Baitul Maqdis. Heraklius mengundang Abu Sufyan untuk ikut ke pertemuannya yang juga dihadiri pada pembesar Romawi. Setelah Heraklius memanggil penerjemahnya, dia bertanya, “Siapakah di antara kalian yang ikatan darahnya paling dekat dengan orang yang mengaku sebagai nabi itu?”
“Akulah orang yang paling dekat hubungan darahnya dengan dia,” jawab Abu Sufyan.
“Mendekatlah kemari!” pinta Heraklius.
Rekan-rekannya menyuruh Abu Sufyan untuk maju. Maka dia pun maju dan berada di tempat paling depan. Kemudian Heraklius berkata kepada para penerjemahnya, “Aku akan bertanya tentang orang tersebut (Rasulullah) kepada orang ini. Jika dia berbohong, berarti dia juga berbohong.”
Abu Sufyan berkata sendiri, “Demi Allah, kalau bukan karena rasa malu jika mereka lebih banyak membohongiku, tentu aku akan berkata bohong kepadanya.” Kemudian dia menuturkan, “Pertanyaan pertama yang diajukan kepadaku adalah, ‘Bagaimana nasabnya di tengah kalian?’
“Dia orang yang terpandang di antara kami,” jawabku.
“Apakah pernah ada seseorang sebelumnya yang berkata seperti yang dia katakan?”
“Tidak ada.”
“Apakah di antara bapak-bapaknya ada yang menjadi raja?”
“Tidak ada.”
“Apakah yang mengikutinya dari kalangan Orang-orang yang terpandang ataukah Orang-orang lemah?”
“Orang-orang yang lemah di antara mereka.”
“Apakah jumlah mereka semakin hari semakin bertambah ataukah semakin berkurang?”
“Semakin bertambah.”
“Adakah di antara pengikutnya ada yang keluar dari agamanya karena benci kepada agama itu setelah dia memasukinya?”
“Tidak ada.”
“Apakah kalian menuduhnya pembohong sebelum dia mengatakan apa yang dikatakannya? “
“Tidak.”
“Apakah dia pernah berkhianat?”
“Tidak pernah. Selama kami bergaul dengannya, kami tidak pernah melihatnya melakukan hal itu.”
“Tidak ada lagi kata-kata lain yang memungkinkan bagiku untuk mengorek keterangan.”
Tetapi, kemudian Heraklius bertanya lagi,
“Apakah kalian memeranginya?”
“Ya,” jawabku.
“Bagaimana cara kalian memeranginya?”
“Peperangan antara kami dan dia silih berganti. Kadang kami menang dan kadang dia yang menang.”
“Apa yang dia perintahkan kepada kalian?”
“Dia berkata, ‘Sembahlah Allah semata, janganlah menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya, tinggalkan apa yang dikatakan bapak-bapak kalian. Dia juga menyuruh kami mendirikan shalat, bersedekah, menjaga kehormatan diri dan menjalin hubungan persaudaraan.”
Lalu Heraklius berkata kepada penerjemahnya, “Katakan kepadanya (Abu Sufyan), ‘Aku sudah menanyakan kepadamu tentang nasabnya, lalu engkau katakan bahwa dia adalah orang yang terpandang di antara kalian. Memang begitulah para rasul yang diutus di suatu nasab dari kaumnya.
Aku sudah menanyakan kepadamu, apakah pernah ada seseorang di antara kalian sebelumnya yang mengatakan seperti yang dikatakannya? lalu engkau mengatakan, tidak ada.”
Aku berkata sendiri, “Andaikan ada seseorang yang berkata seperti itu sebelumnya, tentu akan kukatakan bahwa memang ada seseorang yang mengikuti perkataan yang pernah disampaikan sebelumnya.” Heraklius berkata lagi, “Aku sudah menanyakan kepadamu, apakah di antara bapak-bapaknya ada yang menjadi raja? Engkau katakan, tidak ada.” Aku berkata sendiri, “Kalau pun di antara bapak-bapaknya ada yang menjadi raja, tentu akan kukatakan, ‘Memang di sana ada orang yang sebenarnya mencari-cari kerajaan bapaknya’.” Heraklius berkata lagi, “Aku sudah menanyakan kepadamu. Apakah kalian menuduhnya pembohong sebelum dia mengatakan apa yang dikatakannya? Engkau jawab, tidak. Memang aku tahu tidak mungkin dia berdusta terhadap manusia dan terhadap Allah. Aku sudah menanyakan kepadamu, apakah yang mengikutinya diri kalangan Orang-orang yang terpandang ataukah Orang-orang yang lemah? Engkau katakan, Orang-orang lemahlah yang mengikutinya. Memang begitulah pengikut para rasul. Aku sudah menanyakan kepadamu, adakah seseorang yang murtad dari agamanya karena benci terhadap agamanya itu setelah dia memasukinya? Engkau katakan, tidak ada. Memang begitulah jika iman sudah meresap ke dalam hati.
Aku sudah menanyakan kepadamu, apakah dia pernah berkhianat? Engkau katakan, tidak pernah. Memang begitulah para rasul yang tidak pernah berkhianat. Aku sudah menanyakan kepadamu, apa yang dia perintahkan? Engkau katakan, bahwa dia menyuruh kalian untuk menyembah Allah, tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya, melarang kalian menyembah berhala, menyuruh kalian mendirikan shalat, bersedekah, jujur dan menjaga kehormatan diri.
Jika yang engkau katakan ini benar, maka dia akan menguasai tempat kedua kakiku berpijak saat ini. Jauh-jauh sebelumnya aku sudah menyadari bahwa orang seperti dia akan muncul, dan aku tidak menduga bahwa dia berasal dari tengah kalian. Andaikan aku bisa bebas bertemu dengannya, aku lebih memilih bertemu dengannya. Andaikan aku berada di hadapannya, tentu akan kubasuh kedua telapak kakinya.”
Setelah itu Heraklius meminta surat Rasulullah dan membacanya. Setelah selesai terdengar suara gaduh dan riuh di sana-sini. Heraklius memerintahkan agar kami dibawa keluar dari tempat pertemuan itu. Aku berkata kepada para bawahannya yang membawa kami keluar, “Kekuasaannya saat ini tak beda jauh dengan kekuasaan Ibnu Abu Kabsyah, yang ketakutan terhadap kekuasaan Raja Bani Al-Ashfar.”
Sejak saat itu aku selalu merasa yakin akan kemenangan Nabi hingga akhirnya Allah menunjukiku untuk memeluk Islam.
Begitulah pengaruh surat beliau terhadap diri Qaishar yang bisa ditangkap Abu Sufyan. Karena pengaruh ini pula akhirnya Abu Sufyan memberikan sejumlah harta benda dan pakaian terhadap Dihyah bin Khalifah Al-Kalbi, pembawa surat beliau. Di tengah perjalanan dia berpapasan dengan sekelompok orang dari Judzam, yang kemudian merampoknya dan sama sekali tidak menyisakan harta yang dibawanya. Saat Rasulullah hendak masuk rumah, Dihyah tiba dan langsung mengabarkan kepada beliau apa yang menimpa dirinya. Beliau mengutus Zaid bin Haritsah bersama lima ratus orang untuk pergi menuju Judzam di belakang Wadil Qura. Zaid melancarkan serangan gencar ke Judzam dan bertempur hebat, hingga akhirnya dia memperoleh kemenangan.
Dia mendapatkan rampasan cukup banyak, berupa seribu ekor unta, lima ribu ekor domba, seratus tawanan wanita dan anak-anak. Sebelumnya sudah ada perjanjian antara Judzam dan Rasulullah. Karena itu, salah seorang pemimpin kabilah ini segera mendatangi beliau dan mengajukan beberapa alasan tentang peristiwa itu. Sebenarnya dia dan beberapa orang sudah berusaha untuk membantu Dihyah tatkala dirampok, karena memang sebelum itu mereka sudah masuk Islam. Beliau menerima alasan ini dan mengembalikan seluruh harta rampasan dan tawanan.
Mayoritas penulis kisah peperangan menyebutkan bahwa peristiwa ini terjadi sebelum perjanjian Hudaibiyah. Ini jelas salah. Sebab, pengiriman surat kepada Qaishar terjadi sesudah perjanjian Hudaibiyah. Ibnul Qayyim berkomentar, “Tidak diragukan bahwa peristiwa ini terjadi sesudah perjanjian Hudaibiyah.”
- Surat kepada Al-Mundzir bin Sawa
Nabi menulis surat kepada Al-Mundzir bin Sawa, penguasa Bahrain, yang berisi seruan agar dia masuk Islam. Beliau mengutus Al-Ala’ bin Al-Hadhrami untuk mengantarkannya. Setelah menerima dan membaca surat beliau, Al-Mundzir menulis balasannya sebagai berikut:
“Amma ba’d. Wahai Rasulullah, saya sudah membaca surat Tuan yang tertuju kepada rakyat Bahrain. Di antara mereka ada yang menyukai Islam dan kagum kepadanya lalu memeluknya, dan di antara mereka ada pula yang tidak menyukainya. Sementara di negeriku ada Orang-orang Majusi dan Yahudi. Maka tulislah lagi surat kepadaku yang bisa menjelaskan urusan Tuan.” Maka Rasulullah menulis surat lagi:
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Dari Muhammad Rasul Allah kepada Al-Mundzir bin Sawa. Kesejahteraan bagi dirimu. Aku memuji bagimu kepada Allah yang tiada Jlah yang berhak disembah selain-Nya. Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, amma ba’d.
Aku mengingatkanmu terhadap Allah Azza wa Jalla. Barang siapa yang memberi nasihat, sejatinya dia memberi nasihat kepada dirinya sendiri, dan siapa yang menaati utusan-utusanku dan mengikuti mereka, berarti dia telah menaatiku. Barang siapa memberi nasihat kepada mereka, berarti dia telah memberi nasihat karena aku. Sesungguhnya para utusanku telah menyampaikan pujian yang baik atas dirimu. Aku telah memberi syafaat kepadamu tentang kaummu. Biarkanlah kaum Muslimin karena mereka telah masuk Islam. Aku memaafkan Orang-orang yang berbuat dosa dan terimalah penyesalan mereka. Selama engkau tetap berbuat baik, kami tidak akan menurunkanmu dari kekuasaanmu. Siapa yang ingin melindungi orang Majusi atau Yahudi, dia harus membayar jizyah.”
- Surat kepada Haudzah bin Ali, Penguasa Yamamah
Nabi menulis surat kepada Haudzah bin Ali, penguasa Yamamah, sebagai berikut:
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Dari Muhammad Rasul Allah kepada Haudzah bin Ali. Kesejahteraan bagi siapa pun yang mengikuti petunjuk. Ketahuilah bahwa agamaku akan dipeluk orang yang kaya maupun yang miskin. Karena itu, masuklah Islam, niscaya Tuan akan selamat dan akan kuserahkan apa yang ada dj tangan Tuan saat ini.”
Kurir yang menyampaikan surat ini adalah Salith bin Al-Amiri. Saat Salith sudah tiba di hadapannya, Haudzah menyambut kedatangannya dengan ramah dan menyuruhnya masuk rumah. Kemudian Haudzah membaca surat beliau dan sesekali memberi komentar. Dia menulis balasan kepada Nabi sebagai berikut:
“Sungguh bagus dan baik apa yang Tuan serukan. Orang-orang Arab banyak yang takut terhadap kekuasaanku. Jika Tuan mau memberikan sebagian urusan kepadaku, tentu aku mau mengikuti Tuan.”
Haudzah memberikan hadiah yang melimpah dan memberinya kain-kain tenun yang bagus. Semua hadiah ini diserahkan kepada Nabi dan mengabarkan apa yang dialaminya. Beliau membaca surat balasan dari Haudzah, lalu bersabda, “Jika dia meminta sepetak tanah kepadaku, aku tidak akan memberinya. Cukup, cukup apa yang dimilikinya saat ini.”
Namun, setelah Rasulullah kembali dari penaklukan Mekkah, Jibril mengabarkan kepada beliau bahwa Haudzah sudah meninggal dunia. Untuk itu beliau bersabda, “Dari Yamamah ini akan muncul seorang pendusta yang membual sebagai nabi. Dia akan menjadi pembunuh sepeninggalku.” Ada seseorang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah yang dibunuhnya? “ Beliau menjawab, “Kamu dan rekan-rekanmu.” Dan memang begitulah yang terjadi.
- Surat kepada Al-Harits bin Abu Syamr Al-Ghassani, Penguasa Damaskus Inilah surat yang ditulis Nabi 4 kepada Al-Harits bin Abu Syamr: Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Dari Muhammad, Rasul Allah kepada Al-Harits bin Abu Syamr. Kesejahteraan bagi siapa pun yang mengikuti petunjuk, percaya dan membenarkannya. Aku menyeru Tuan agar beriman kepada Allah semata, yang tiada sekutu bagi-Nya, niscaya akan kekal kerajaan Tuan.”
Beliau menunjuk Syuja’ bin Wahb dari Bani Asad bin Khuzaimah untuk mengantarkan surat ini. Setelah membacanya, dia berkata, “Siapa yang mau merebut kerajaan ini dari tanganku, aku pasti akan menghadapinya.”
Namun, dia tidak mau masuk Islam.
- Surat kepada Raja Oman
Nabi menulis surat kepada Raja Oman Jaifar dan saudaranya, Abd. Mereka berdua adalah anak Al-Julunda. Inilah isi surat beliau:
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Dari Muhammad bin Abdullah, kepada Jaifar dan Abd bin Al-Julunda. Kesejahteraan bagi siapa pun yang mengikuti petunjuk, amma ba’d.
Sesungguhnya aku menyeru Tuan berdua dengan seruan Islam. Masuklah Islam, niscaya Tuan berdua akan selamat. Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada semua manusia, untuk memberi peringatan kepada orang yang hidup dan membenarkan perkataan terhadap Orang-orang kafir. Jika Tuan berdua berkenan mengikrarkan Islam, aku akan mengukuhkan kerajaan Tuan. Namun, jika Tuan enggan mengikrarkan Islam, kerajaan Tuan pasti akan berakhir dan kudaku pasti akan menginjakkan kaki di halaman Tuan dan kenabianku akan mengalahkan kerajaan Tuan.”
Beliau menunjuk Amr bin Al-Ash untuk menyampaikan surat ini. Amr menuturkan, “Aku pun berangkat hingga tiba di Oman. Aku ingin menemui Abd bin Al-Julunda terlebih dahulu karena dia lebih lemah lembut dan lebih lunak hatinya. Aku berkata di hadapannya, “Aku adalah utusan Rasulullah untuk menghadap Tuan dan saudara Tuan.”
Abd bin Al-Julunda menjawab, “Temuilah saudaraku terlebih dahulu, karena dia lebih tua dan lebih berkuasa daripada aku. Aku akan mencoba mengantarkanmu hingga dia bisa membaca suratmu.” Kemudian Abd mengajukan beberapa pertanyaan, “Apa yang hendak engkau serukan?” Aku menjawab, “Saya mengajak kepada Allah semata, yang tiada sekutu bagi-Nya, hendaklah Tuan melepaskan apa pun yang disembah selain-Nya, hendaklah Tuan bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.”
“Wahai Amr, engkau adalah putra pemimpin kaummu. Lalu apa saja yang diperbuat ayahmu? Padahal, kami sangat salut kepadanya.”
“Dia meninggal dalam keadaan tidak beriman kepada Muhammad. Padahal, saya ingin sekali dia masuk Islam dan membenarkannya. Dulu saya senantiasa sejalan dan sepikiran hingga Allah memberikan petunjuk kepada saya untuk masuk Islam.”
Abd bertanya, “Sejak kapan engkau mengikutinya?” “Belum lama,” jawabku.
“Di mana engkau masuk Islam?”
“Di hadapan Najasyi,” jawabku.
Lalu aku mengabarkan kepadanya bahwa Najasyi sudah masuk Islam. Abd kembali bertanya, “Lalu bagaimana reaksi kaumnya terhadap kerajaannya?”
“Mereka tetap mengakui dan mengikutinya,” jawabku.
“Bagaimana dengan para pendeta dan padri?” tanyanya. “Begitu pun mereka,” jawabku.
“Hati-hatilah dengan perkataanmu, wahai Amr. Sesungguhnya tak ada perangai seseorang yang lebih buruk daripada dusta.”
“Aku tidak berdusta, dan kami tidak menghalalkannya dalam agama kami,” jawabku.
“Menurutku Heraklius tidak tahu keislamannya saat itu.”
“Begitulah.”
“Dari mana engkau bisa mengetahuinya?”
“Dulu Najasyi selalu menyerahkan pajak kepada Heraklius. Setelah masuk Islam dan membenarkan Muhammad, maka dia berkata, ‘Tidak demi Allah, andaikan dia meminta satu dirham pun, aku tidak akan menyerahkannya kepadanya,” jawabku.
“Akhirnya Heraklius mendengar pula keislamannya.”
Lalu dia ditanya saudaranya, “Apakah engkau membiarkan rakyatmu menolak menyerahkan pajak kepadamu dan memeluk agama baru yang bukan agamamu?”
Heraklius menjawab, ‘Orang itu menyukai suatu agama lalu memilih untuk dipeluknya. Apa yang bisa kulakukan terhadap dirinya? Demi Allah, jika tidak karena beban kerajaanku ini, tentu aku akan melakukan seperti yang dilakukannya’.”
“Hati-hatilah dengan perkataanmu, wahai Amr,” kata Abd memperingatkan aku.
“Demi Allah, aku berkata jujur kepada Tuan,” jawabku.
“Tolong beritahukan kepadaku, apa yang diperintahkan Muhammad dan apa pula yang dilarangnya?”
“Beliau memerintahkan untuk taat kepada Allah dan melarang mendurhakai-Nya, memerintahkan kepada kebajikan dan menyambung tali persaudaraan, dan melarang kezaliman serta permusuhan. Beliau juga melarang zina, minum khamar, menyembah batu, patung, dan salib.”
“Alangkah bagusnya apa yang dia serukan ini. Andaikan saja saudaraku sependapat denganku tentang dirinya hingga kami beriman kepada Muhammad dan membenarkannya. Tetapi, bagi saudaraku lebih baik mempertahankan kerajaannya daripada meninggalkannya dan hal
ini menjadi beban dosa baginya.”
“Sesungguhnya apabila dia mau masuk Islam, Rasulullah tetap akan mengakui kekuasaannya terhadap kaumnya. Beliau akan mengambil sedekah dari penduduk yang kaya lalu memberikannya kepada mereka yang miskin,” kataku. “Itu suatu akhlak yang bagus. Tetapi, apa yang dimaksudkan sedekah itu?”
Lalu aku memberitahukan kepadanya tentang apa saja yang diperintahkan Rasulullah mengenai zakat mal, termasuk pula zakat untuk unta.
“Wahai Amr, apakah sedekah ini diambilkan dari hewan-hewan ternak kami yang digembalakan?” tanya Abd.
“Benar,” jawabku.
Abd berkata, “Demi Allah, sekalipun kaumku tetap berada di rumahnya dan sekalipun hewan ternaknya banyak, aku tidak melihat mereka mau menaatinya.”
Beberapa hari aku menunggu-nunggu di depan pintu rumah Abd, yang saat itu masih berusaha untuk menghubungi saudaranya dan mengabarkan apa yang kukatakan. Suatu saat Jaifar memanggilku. Saat aku menghadapnya, para pengawalnya memegang pangkal tanganku.
“Lepaskan dia!” katanya.
Aku pun dilepaskan. Aku bermaksud hendak duduk, tetapi para pengawal itu tidak membiarkan aku duduk. Aku memandangi Jaifar. Lalu dia berkata, “Katakan apa keperluanmu!” Aku menyerahkan surat Rasulullah yang masih terbungkus dengan cap stempelnya. Setelah menerima surat beliau, Jaifar merobek tutupnya dan membacanya hingga selesai, lalu menyerahkannya kepada saudaranya, Abd yang juga membacanya hingga selesai.
“Maukah engkau memberitahukan kepadaku apa yang dilakukan Quraisy?” tanya Jaifar kepadaku.
Aku menjawab, “Mereka sudah banyak yang mengikuti beliau, baik karena memang menyenangi agamanya maupun karena kalah dalam peperangan.”
“Siapa saja yang bersamanya (Rasulullah)?” tanya Jaifar.
“Sudah cukup banyak orang yang menyenangi Islam dan memeluknya. Berkat petunjuk Allah, kemudian dengan akalnya mereka sudah sadar bahwa sebelumnya mereka berada di dalam kesesatan. Dalam kepasrahan ini aku tidak melihat seorang pun yang masih tersisa selain diri Tuan. Jika saat itu Tuan tidak mau masuk Islam dan mengikuti beliau, sepasukan berkuda akan datang ke sini dan merebut harta benda Tuan. Karena itu, masuklah Islam, niscaya Tuan akan selamat dan beliau tetap akan mengangkat Tuan sebagai pemimpin kaum Tuan. Jangan sampai ada pasukan yang menyerang Tuan.”
Jaifar berkata, “Akan kupertimbangkan hari ini pula dan besok silakan datang lagi ke sini!”
Aku kembali menemui Abd. Dia berkata, “Wahai Amr, aku benar-benar berharap dia mau masuk Islam, asalkan dia tidak merasa sayang terhadap kerajaannya.”
Besoknya aku hendak menemui Jaifar. Namun, dia tidak mengizinkanku. Aku pun kembali menemui Abd dan kuberitahukan kepadanya bahwa aku belum berhasil bertemu saudaranya. Setelah aku bisa menghadap Jaifar berkat bantuan Abd, Jaifar berkata, “Aku sedang memikirkan apa yang engkau serukan kepadaku. Aku akan menjadi orang Arab yang paling lemah jika aku menyerahkan kerajaanku ini kepada seseorang, dengan begitu pasukan Muhammad tidak akan menyerang ke sini. Jika pasukannya menyerang ke sini, tentu akan terjadi peperangan yang dahsyat.”
Karena dia belum juga memberi keputusan, aku berkata, “Besok aku akan pulang.”
Setelah Jaifar merasa yakin bahwa besok aku akan pulang, dia berkata kepada saudaranya, “Tidak ada pilihan lain bagi kita kecuali harus menerima tawarannya. Sebab, siapa pun yang dikirimi surat oleh Muhammad tentu memenuhi seruannya. Kalau begitu besok suruh dia menghadap lagi ke sini.”
Akhirnya Jaifar dan Abd bin Al-Julunda masuk Islam dan beriman kepada Nabi. Bahkan keduanya siap menyerahkan sedekah dan kerajaan tetap berada di tangan mereka berdua. Mereka sangat membantuku dalam menghadapi Orang-orang yang hendak menentang.
Alur kisah ini menunjukkan bahwa pengirima