Segala puji bagai Allah yang menguasai keagungan kerajaan Nya: memanunggali keelokan keluasan kekuasaan Nya: menguasai dengan keluhuran keesaan-Nya, dan menyucikan dengan ketinggian fungsi sebagai pusat penghambaan. Dia Agung dalam Dzat-Nya. Keagungan-Nya mengecilkan segala bentuk keserupaan dan penyerupaan. Suci Yang Maha Suci bagi Dzat dalam segala sifat-Nya dari segala bentuk penggambaran.

 

Bagi-Nya beberapa sifat khusus dengan Al-Haqq-Nya. Semua ayat berbicara bahwa Dia benar-benar tidak serupa dengan makhluk-Nya. Mahasuci dari segala kesucian. Tidak ada batas yang membatasi-Nya, tidak ada lintasan yang mampu menjangkau-Nya, tak ada hitungan yang mampu menghitung-Nya, meski sekedar mengkhayalkan pembilangan-Nya, tak ada ujung yang mampu memagari-Nya, tak ada satu pun yang menolong-Nya. Dia tidak beranak dan tak akan ada anak yang menolong-Nya: tak ada bilangan yang mampu menghimpun-Nya: tak ada tempat yang memaksa-Nya berdiam, tak ada zaman yang mampu menjumpai-Nya, tak ada pemahaman yang mampu mengira-ngirakan-Nya, dan tak ada dugaan yang mampu menggambarkan-Nya.

 

Dia Tinggi Yang Maha tinggi, Luhur Yang Maha Luhur dari ucapan “bagaimana Dia?” atau “di mana Dia?”. Tidak ada upaya, jerih payah, dan kreasi-kreasi yang mampu menggambari-Nya, atau menolak dengan perbuatan-Nya atau kekurangan dan aib. Karena, tak ada sesuatu yang menyerupai-Nya. Dia Maha Mendengar dan Melihat. Kehidupan apa pun tidak ada yang mengalahkan-Nya. Dia Dzat Yang Maha Tahu dan Kuasa.

 

Saya panjatkan segala puji untuk-Nya atas apa yang diatur dan dibuat-Nya, saya aturkan sembah syukur pula kepada-Nya atas apa yang dihimpun, digenggam, dan ditolak-Nya, saya juga berserah diri ke hadirat-Nya, puas, dan rida dengan apa yang diberi dan dicegah-Nya.

 

Saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, Dzat Yang Maha Esa dan tak ada sekutu bagi-Nya, suatu kesaksian orang yang yakin dengan keesaan-Nya dan orang yang minta perlindungan dengan kebagusan perlindungan-Nya. Dan, saya bersaksi bahwa Muhammad hamba-Nya yang terpilih, terpercaya yang terkasih, dan seorang Rasulullah yang diutus untuk semua makhluk. Semoga Allah selalu melimpahkan rahmat dan salam kepada beliau, keluarga, dan para sahabatnya.

 

Al-Faqir ilallah (Abdul Karim bin Hawazin Al-Qusyairi menyebut dirinya al-faqir sebagai sikap pengakuan atas segala kekurangannya) menulis kitab ini dipersembahkan untuk kaum sufi di berbagai negara Islam, pada tahun 437 H. (bertepatan dengan tahun 1045 M.).

 

Kaum Sufi

 

Allah benar-benar telah menjadikan kaum iru sebagai kelompok para waliyullah terpilih: mengutamakan mereka atas semua hamba-Nya setelah para rasul dan nabi-Nya. Semoga Allah memberi shalawat dan salam pada mereka, menjadikan hati mereka tambang berbagai rahasia-Nya, dan mengkhususkan mereka lebih dari umat-Nya yang lain dengan pantulan cahaya-Nya. Mereka bagai hujan bayi makhluk-Nya yang selalu berputar dan berkeliling bersama Al Haqq dengan kehakikatan-Nya di tengah keumuman tingkah laku manusia. Allah menjernihkan mereka dari segala kotoran sifat manusia, melembutkan hati dan rohani mereka pada pencapaian tempat-tempat musyahadat (persaksian rohani pada kebesaran dan rahasia kegaiban Allah) dengan penampakan Al-Haqq dani segala hakikat keesaan-Nya, menempatkan mereka untuk tetap tegak dengan sikap penyembahan dan mempersaksikan pada mereka saluran-saluran hukum ketuhanan. Karena itu, mereka mampu menunaikan segala bentuk kewajiban yang dibebankan. pada mereka, mampu menghakikati segala yang dianugerahkan-Nya berupa perubahan-perubahan dari berbagai putaran hidup, kemudian kembali pada Allah dengan kebenaran iftiqar (butuh dan menggantung pada kehadiran peran serta Allah) dan hati yang remuk redam karena Allah. Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Luhur dan Tinggi, bebas berbuat apa yang dikehendaki-Nya, bebas memilih siapa saja yang dikehendaki-Nya: tidak ada yang memberi ketentuan hukum kepada-Nya: tidak ada kebenaran bagi makhluk yang mengharuskan pada Allah, sebab pahala-Nya adalah awal keutamaan dan siksaan-Nya adalah hukum keadilan-Nya: perintah-Nya adalah ketentuan yang mutlak dari Allah. Pergumulan Spiritual

 

Ketahuilah, sesungguhnya ahli hakikat sebagian besar telah punah, tidak ada yang tersisa di masa kita dari kelompok ini kecuali hanya bekas-bekasnya.

 

Sungguh, kelemahan telah terjadi di kelompok ini, bahkan mereka terkikis dari peran kehidupan. Para guru sufi yang memberikan petunjuk kebenaran telah lewat. Sedikit sekali para pemuda yang mengikuti jejak dan perilaku kehidupan mereka. Sehingga, sifat wira’i menjadi tergeser dari nilai kehidupan: kesederhanaan menjadi tergulung: sifat tamak menjadi lebih dominan dan kuat, hati terjauh dari rasa hormat pada syariat, dan sedikit yang bisa dihitung dari mereka yang benar-benar menaruh perhatian pada agama, dan akhirnya banyak manusia yang menyepelekan batas ketentuan hukum antara yang haram dan halal.

 

Sebagaimana sikap mereka yang meremehkan pelaksanaan ibadah, maka terhadap kewajiban puasa dan salat pun mereka berbuat sama. Manusia ini membiarkan langkah-langkahnya menjelajahi lapangan yang menyebabkan dirinya lupa menekuni kecondongan yang mengikuti hawa nafsu, sedikit menaruh perhatian pada pemberian yang belum jelas status hukumnya, dan mencari perlindungan dan legitimasi dukungan rakyat, wanita, dan pemegang kekuasaan.

 

Kemudian, kelompok sufi tidak rela dengan transaksi saling memberi yang bersumber dari kebusukan sikap, sehingga mereka menunjukkan ketinggian nilai hakikat dan perilaku batin. Mereka mengaku telah terbebas dari belenggu perbudakan (nafsu: membuktikan pencapaian hakikat wishal (ketersambungan rohani suci salik dengan Rohani Maha Suci). Kaum sufi ini berdiri tegak di atas garis hakikat, hukum-hukum Tuhan mengalir damai di denyut kehidupan mereka: dan tidak ada bagi Allah terhadap mereka tentang sesuatu yang membuat mereka mengutamakan lalu memilih-Nya. Sesungguhnya mereka ini seandainya telah tersingkap rahasia-rahasia keesaan-Nya, tentu semua yang bersifat universal dari keseluruhan alam bagi wujud kehendak keesaan-Nya akan terenggut di genggaman mereka, hukum-hukum kemanusiaan akan tergeser dari mereka, dan mereka akan tetap dengan cahaya perlindungan-Nya setelah peleburan sifat kemanusiaan. Maka, Tuhan yang berbicara tentang mereka ketika mereka bicara dan menggantikan mereka ketika mereka bertindak atau ditindaki. Tuhan telah menyatu dalam gerak tangan, kaki, lidah, dan otak kehidupan mereka.

 

Motivasi Penulisan

 

Ketika cobaan hidup yang berat memanjang dalam kehidupan kami, kemudian diiringi cobaan-cobaan lain yang menjadi kisah tersendiri, maka kami merasa tertuntut untuk memaparkan makna tujuan kehidupan kepada lidah yang ingkar dan dengki terhadap aliran thariqah. Kebencian yang didasarkan perasaan iri menyebabkan mereka menyebut para pengikut thariqah dengan sebutan yang jelek dan menimpakan berbagai cacat dan aib sejarah pada kuduk ahli thariqah. Ujian yang berat ini terus menghajar kelompok-kelompok penghuni biara sufistik, bahkan mereka semakin menjadi-jadi.

 

Dan, ketika berpikir bahwa kelemahan telah pupus, maka saya berharap semoga Allah melimpahi peringatan yang lembut kepada kelompok penentang sunnah dan pelaku pelecehan nilai-nilai etika thariqah.

 

Ketika waktu menolak kecuali hanya bermuatan tuntutan kesulitan dan kebanyakan para penghuni biara (kaum sufi) di zaman Ia hidup dalam teror dan intimidasi secara terus-menerus, maka saya bersimpati dan mengasihi hati mereka yang luka dengan membangunkan sebuah kaidah, tuntunan, dan petunjuk-petunjuk cara bermunajat, yang semua itu didasarkan atas nilai-nilai keislaman zaman sahabat dan para tabi’in (yang bersumber pada Al-Quran dan Rasulillah saw). Karena itu, kehadiran Risalah ini sengaja saya persembahkan kepada kalian, wahai hamba-hamba yang dimuliakan Allah. Didalamnya juga disebutkan beberapa otobiografi para guru thariqah (kaum sufi) menyangkut perilaku, akhlak, sikap, kebiasaan, dan akidah mereka, juga beberapa penemuan kerohanian yang mereka dapatkan dan cara-cara penapakan pencapaian tingkat kewalian dari awal hingga batas akhir. Semua itu saya lakukan dengan tujuan supaya para pengikut thariqah (pendaki rohani) menjadi kuat. Dari kalian saya memiliki bukti dengan pembetulan, penularan pengaduan batin hamba yang dicinta Allah adalah kesenangan yang saya miliki. Hanya dari Allah Dzat Yang Maha Mulia segala kemuliaan dan ganjaran berasal. Kepada-Nya saya minta pertolongan tentang apa yang saya tuturkan dan apa yang saya minta untuk dicukupi. Saya juga minta perlindungan untuk dipelihara dari kesalahan, memohon ampun dan kesertaan-Nya dalam segala yang saya mohon. Dia dengan segala keutamaan adalah patut dan terhadap apa yang dikehendaki-Nya berkuasa.

 

438 H./1046 M. Abul Qasim Abdul Karim bin Hawazin Al-Qusyairi

 

 

 

Ketahuilah, wahai hamba-hamba yang dikasihi Allah, sesungguhnya para guru kaum sufi telah membangun kaidah-kaidah ajaran sufi yang didasarkan atas prinsip ketauhidan yang benar. Mereka menjaganya dari bid’ah, mendekatkannya dengan sesuatu yang mereka dapatkan dari para salaf (satu istilah pengelompokan umat secara periodik yang merujuk pada golongan terdahulu, yaitu generasi para tabi’in yang mengikuti jejak para pendahulunya) dan ahli sunnah (Rasulullah Saw. dan para sahabat). Ajarannya tidak didapati unsur-unsur penyerupaan pada Al-Haqq (panteisme) dan peniadaan (ateisme). Mereka mendefinisikan segala sesuatu dengan penyandaran kepemilikan tunggal kepada Haqqul-Qadam (alam yang baru adalah kepunyaan Dzat Yang Terdahulu), menyatakan sesuatu yang ada dengan sifat ketiadaan (ada yang bersifat nisbi).

 

Oleh karena itu, seorang guru sufi terbesar, Imam Al-Junaid, semoga Allah selalu merahmatinya, berkata, “Tauhid adalah pengesaan pada Yang Lama dan yang baru.” Beberapa ketentuan dasar hukum tentang akidah oleh sejumlah pembesar kaum sufi telah digariskan berdasarkan dalil-dalil yang jelas dan kesaksian-kesaksian yang tampak.

 

Dalam hal ini Imam Ahmad bin Muhammad Al-Jariri, semoga Allah merahmatinya, berkata, “Barangsiapa (yang keagamaannya) belum berdiri di atas (prinsip) ilmu tauhid dengan satu kesaksian dari berbagai kesaksian (pembuktian keesaan Tuhan yang didasarkan pada keyakinan dan sikap yang nyata setelah memasuki alam logika yang benar), maka tapak-tapak kaki penipu pasti akan menggelincirkannya ke lembah nafsu kerusakan.” Artinya, barangsiapa yang berlindung pada prinsip taklid (pengekoran pada suatu pendapat tanpa didasari pengertian dasar dan tujuannya) dan tidak berpikir tentang dalil-dalil tauhid, maka dia akan jatuh dari jalan yang dapat menyelamatkannya, yaitu sunnah Nabi, dan tertawan di lembah kerusakan. Sedangkan bagi orang yang mau merenungkan beberapa kalimat dan ucapan para guru sufi lalu menelitinya dengan seksama, merenungkannya dengan sungguh-sungguh, maka pada beberapa pendapat, kesepakatan, dan perbedaan diantara mereka akan dijumpai sesuatu yang akan memperkuat perenungannya, dengan satu kesimpulan bahwa suatu kaum tidak dapat melalaikan hakikat kebenaran (dalam proses pencarian hakikat) dari tujuan akhir dan tidak dapat mi’raj (rohaninya) ke langit dalam pencariannya dengan berpijak pada kelalaian.

 

Ma’rifatullah

 

Abu Bakar Asy-Syibli pernah berkata demikian, “Allah Dzat Yang Esa diketahui keesaan-Nya sebelum ada batasan dan huruf. Maha Suci Allah yang tidak ada batasan bagi Dzat-Nya dan tidak ada huruf bagi kalam-Nya.”

 

Berkaitan dengan ini, Imam Ruwaim bin Ahmad pernah ditanya tentang permulaan kewajiban yang diwajibkan Allah pada hamba-Nya yang oleh beliau dijawab, “Ma’rifat.”

 

Hal itu didasarkan pada firman Allah:

 

“Tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah(Ku). (QS. Adz-Dzariyat: 56)

 

Oleh Ibnu Abbas “illaa liya’buduun” (kecuali untuk menyembah-Ku) diartikan “INlaa Liya’rifuun “ (kecuali untuk berma’rifat yaitu mengetahui, sadar, dan yakin akan keberadaan Allah).

 

Imam Al-Junaid berkata, “Sesungguhnya awal yang dibu-. tuhkan oleh seorang hamba dari sesuatu yang bersifat hikmah adalah mengetahui Sang Pencipta atas keterciptaan dirinya, kebaruan diri tentang bagaimana kebaruannya sifat keperbedaan Sang Pencipta dari sifat makhluk, sifat keperbedaan “Dzat Yang Lama” dari “yang baru” (alam): menurut pada ajakan-Nya, dan mengetahui keharusan diri untuk bertaat kepada-Nya. Sesungguhnya orang yang belum mengetahui Dzat Sang Penguasa alam, maka ia tidak akan mengetahui keberadaan kerajaan alam tentang status kepemilikannya untuk siapa.”

 

Menurut Abu Thayib Al-Maraghi, setiap unsur dalam diri seorang hamba memiliki fungsi yang berbeda-beda berkaitan dengan kema’rifatannya kepada Allah. Akal, menurutnya, memiliki fungsi pembuktian dalil secara logika, hikmah memberi isyarat, dan ma’rifat memberi kesaksian secara utuh. Akal menunjukan, hikmah mengisyaratkan, dan ma’rifat mempersaksikan. Karena itu, kejernihan ibadah tidak akan diperoleh kecuali dengan kejernihan tauhid. Kata Imam Al-Junaid, tauhid berarti pengesaan Dzat Yang Esa dengan hakikat dan kesempurnaan keesaan-Nya. Sesungguhnya Dia Dzat Yang Esa yang tidak beranak dan tidak diperanakkan. Pengesaan-Nya juga dengan peniadaan terhadap sesuatu yang berlawanan, kesamaan, dan keserupaan. Esa tanpa penyerupaan, pembagaimanaan, penggambaran, pengasosiaan, dan penyimbolan. Tak satupun di semesta alam ini yang menyamai-Nya. Dia adalah Dzat Yang Maha Mendengar dan Melihat.

 

Pendapat itu tak beda jauh dengan hasil renungan Abu Bakar Az-Zahir Ubadi. Menurutnya, ma’rifat adalah nama, artinya adalah keberadaan pengagungan dalam hati yang mencegahnya dari sikap ateis dan kufur (ketiadaan pengakuan pada Tuhan dan keberadaan pengakuan yang disertai penyerupaan).

 

Sifat-sifat Allah

 

“Tauhid adalah pengetahuan Anda bahwa bagi Dzat Allah tidak ada keserupaan dan tidak ada peniadaan bagi sifat-sifatNya,” kata Abu Hasan Al-Busyanji.

 

Sementara Husin bin Manshur mendefinisikannya dengan rumusan berbeda, meski nuansa artinya sama. Menurutnya sifat “Lama” adalah bagi-Nya. Karena itu, sesuatu yang dengan jasad penampakannya dapat menjadi, maka penampakan untuk menjadi adalah keharusan, sesuatu yang dengan berbagai perangkat keterkumpulannya dapat menjadi, maka perangkat yang memperkuat keberadaannya untuk menjadi adalah keharusan, yaitu suatu keharusan menjadi atau mengada yang sifatnya untuk mempertahankan keberadaannya, sesuatu yang waktu merajutnya, maka pemisahaan waktu adalah lawannya: sesuatu yang tegaknya berkaitan dengan lainnya, maka perekatan di situ menjadi keniscayaan, dan sesuatu yang khayalan mampu menerkamnya, maka penggambaran harus lebih mengunggulinya. Barangsiapa mencari dan memberi perlindungan di mana tempatNya berada, maka Tuhan tidak berlindung di tempat atas, tidak di bawah, tidak menerima pembatas, tidak didesak dengan keterhimpitan selain-Nya di sisi-Nya, tidak dijangkau oleh yang belakang, tidak dipagari oleh yang depan, tidak dimunculkan oleh yang sebelum-Nya, tidak dikumpulkan oleh yang terkumpul, tidak diadakan oleh yang ada, tidak ditiadakan oleh yang tidak ada. Sifat-nya tidak bersifat (bergambar), perbuatan-Nya tidak bersebab, keberadaan-Nya tidak berbatas, segala-Nya terbebas dari tingkah laku makhluk. Kemaha penciptaan-Nya tidak ada pasangan-Nya, perbuatan-Nya tidak ada alasan. KeterdahuluanNya jelas dan kebaruan makhluk juga jelas.

 

Jika kamu mengatakan, “waktu telah berlalu”, maka keberadaan-Nya sungguh melampaui waktu yang berlalu, jika kamu mengatakan, “Huwa” – kata ganti tunggal untuk Allah yang berarti Dia”, maka huruf “Ha’” dan” Wawu” itu sendiri adalah makhluk: dan jika kamu bertanya, “Di mana?”, maka keberadaan-Nya telah mendahului tempat.

 

Huruf-huruf adalah ayat-ayat-Nya (tanda-tanda-Nya): keberadaan-Nya adalah ketetapan-Nya, ma’rifat-Nya adalah pengesaan terhadap-Nya, pengesaan-Nya adalah membedakan-Nya dari makhluk-Nya. Apa yang tergambar dalam khayalan adalah berbeda dengan keberadaan-Nya. Bagaimana sesuatu yang dariNya bertempat adalah permulaan sesuatu itu, atau kembali kepada-Nya apa yang telah disusun-Nya. Persangkaan-persangkaan tidak mampu menerima Tuhan. Kedekatan-Nya adalah karamahNya dan keterjauhan-Nya adalah penghinaan-Nya. KetinggianNya tanpa naik: kedatangan-Nya tanpa berpindah. Dia adalah Dzat Yang Pertama, Terakhir, Tampak, Tersembunyi, Dekat, Jauh, dan tidak ada sesuatu yang menyamai-Nya. Dia Maha Mendengar dan Melihat.

 

Yusuf bin Husin bercerita, “Ada seorang laki-laki berdiri di hadapan Dzun Nun Al-Mishr lalu bertanya, Beritahukan padaku tentang makna tauhid?’ Lalu oleh beliau dijawab, ‘Hendaknya engkau mengetahui bahwa kekuasaan Allah dalam segala hal tanpa kerja sama, penciptaan-Nya tanpa sebab atau alasan, penyebab keterciptaan sesuatu itu sendiri juga ciptaan-Nya. Karena itu, tidak ada sebab yang melatarbelakangi penciptaanNya. Tak ada yang di langit dan di bumi menjadi tinggi dan rendah sebagai bentuk pengaturan alam yang diatur selain Allah. Apa yang terlukis di khayalan manusia adalah berbeda dengan keberadaan Allah.“

 

Bagi Imam Al-Junaid, tauhid berarti pengetahuan dan penga. kuan bahwa Allah adalah Dzat Yang Tunggal dalam keabadian dan keterdahuluan-Nya: tak ada pihak kedua yang menyertaiNya. Apapun yang bergerak di alam tidak bekerja dengan sendirinya.

 

Iman

 

Iman menurut Abu Abdullah bin Khafif adalah pembenaran hati terhadap sesuatu yang telah dijelaskan oleh Al-Haqq tentang masalah-masalah gaib.

 

Dalam hal ini Imam Abu Abbas As Sayyari berkata bahwa pemberian Allah ada dua: karamah (kemuliaan) dan istidraj (pengluluan, Jawa). Apa yang tetap dan ditetapkan Al-Haqq kepada kamu adalah karamah, dan apa yang lenyap darimu adalah istidraj. Karena itu, katakan, “Saya adalah orang mukmin insya Allah.”

 

Sahal bin Abdullah At-Tustari memandang bahwa orang mukmin dalam memandang Allah dengan penglihatan tanpa pagar dan pangetahuan yang tak berakhir. “Hati adalah sejumlah kesaksian Al-Haqq,” kata Abu Husin An-Nuri, “dan kami belum pernah melihat hati yang lebih.rindu kepada Al-Haqq melebihi hati Muhammad Saw. Karena itu, Allah memuliakannya dengan mi’raj yang bergerak dengan sangat cepat. Kehadiran dalam mi’rajnya untuk memandang Dzat dan kesempurnaan-Nya.”

 

Abu Utsman Al-Maghribi pernah menuturkan pengalaman Spiritualnya. “Suatu saat,” tutur-Nya, “saya pernah mempercayai keberadaan sesuatu di sisi yang baru. Ketika saya tiba di Bagdad, kepercayaan itu hilang dari hati saya, lalu saya menulis surat kepada teman-teman saya di Mekkah dan mengatakan, Sesungguhnya sekarang saya menjadi seorang muslim yang baru. Pada kali kesempatan lain, dia pernah ditanya oleh seseorang tentang penciptaan, lalu menjawab, “…perubahan-perubahan (evolusi) dan bayangan-bayangan terdapat hukum Tuhan yang berlaku kepada mereka.”

 

Al-Wasithi pernah berkata, “Ketika sejumlah ruh dan jasad berdiri berjajar di sisi Allah, keduanya nampak tidak dengan zatnya. Demikian pula halnya dengan getaran-getaran hati dan gerakan-gerakan organ tubuh yang berdiri dengan Allah tampa keberadaan zatnya, karena gerakan dan getaran hati merupakan perpanjangan bagian dari jasad dan ruh.”

 

Rezeki

 

Sesungguhnya rezeki yang diterima setiap hamba adalah makhluk Allah. Segala sesuatu di alam ini, baik yang bersifat fisik atau non fisik, memiliki jasad atau tidak adalah ciptaan Alah. Tidak ada pencipta selain-Nya.

 

“Yang Dicari” (Allah) akan sampai Kepada-Nya, maka pelakunya itu adalah orang yang payah, dan jika pencarian untuk sampai kepada-Nya itu tanpa upaya yang keras, maka pelakunya adalah orang yang dianugerahi.” Al-Maqamat (sesuatu yang dicari), menurut Al-Wasithi, terbagi dalam beberapa bagian dan . sifat-sifat atau tempelan-tempelan yang diganjarkan. Maka, bagaimana perolehannya tergantung dengan gerakan-gerakan dan upaya-upaya yang panjang dan sungguh-sungguh.

 

Kufur

 

Seorang ulama besar, Al-Wasithi suatu saat ditanya tentang arti kufur pada Allah. Ia menjawab bahwa kufur dan iman, dunia dan akhirat adalah dari, menuju, dengan, dan bagi Allah. Dari Allah segala permulaan dan susunan, kepada-Nya tempat kembali dan berakhir, bersama-Nya sesuatu yang tetap dan lenyap, dan bagi-Nya semua kerajaan dan ciptaan.

 

Menurut Al-Junaid, ada seorang ulama ditanya tentang tauhid dia menjawab, “keyakinan”. Penanya itu minta kejelasan lagi lalu dijawab oleh beliau. “Yakni. ma’rifatmu (pengetahuamu) bahwa semua gerak dan diamnya makhluk merupakan Perbuatan Allah semata. tak ada yang menandingi-Nya. Karena itu, jika kamu berbuat demikian, berarti kamu benar-benar telah meng-Esakan-Nya.”

 

Pernah seseorang datang dan meminta Dzun Nun Al-Mishri, seorang ulama sufi Mesir untuk mendoakanya, “Doakanlah aku,” katanya. Kemudian dijawab, “Jika engkau telah memperkuat ilmu gaib (pengetahuan tentang masalah gaib, seperti Tuhan, sifat-sifat-Nya, akhirat, dan lain-lain) dengan kebenaran tauhid, maka doa pasti terkabulkan. Jika tidak, maka doa tidak akan menyelamatkan orang yang tenggelam.”

 

Menurut Abu Husin An-Nuri, tauhid adalah setiap lintasan batin yang menunjuk pada Allah tanpa disertai lintasan-lintasan penyerupaan. Abu Ali Ar-Rudzabari ketika ditanya tentang tauhid menjawab demikian, “Tauhid adalah ketetapan hati secara kontinu dan stabil akan keesaan-Nya dengan penetapan pemisahan pengingkaran Tuhan (ateisme) dan penyerupaan (penyekutuan Tuhan). Tauhid mengkristal dalam satu kalimat, yaitu setiap apa yang bisa digambarkan khayal dan akal adalah bukan Tuhan Allah. Allah Maha Suci dari semua itu.

 

“tak ada keserupaan sedikit pur bagi-Nya. Dia Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy-Syuura: 11)

 

Abul Qasim An-Nashr Abadzi berkata, “Sorga itu tetap dengan penetapan-Nya, penyebutan-Nya bagimu, rahmat, dan kecintaan-Nya untukmu adalah tetap juga dengan penetapan-Nya. Keduanya ada antara ketetapan dan penetapan-Nya, dan penetapan yang ditetapkan-Nya.”

 

Ahlul Haq (kaum hakikat) mengatakan, “Sesungguhnya sifat-sifat Dzat Yang Qadim (Maha Dahulu) adalah tetap dengan ketetapan-Nya, berbeda dengan yang dikatakan oleh para penentang Al-Haqq”

 

An-Nashr Abadzi berkata, “Engkau terombang-ambing antara sifat-sifat perbuatan dan sifat-sifat Dzat. Keduanya adalah sifat Allah yang mempertegas kehakikatan-Nya. Jika kelinglunganmu karena kecintaanmu pada Allah berada di maqam (tingkat posisi kema’rifatan) perpisahan, maka kedekatanmu terjadi dengan sifat-sifat perbuatan-Nya: dan jika pencapaianmu sampai di maqam jam’i (terkumpul atau penyatuan hamba dengan Allah), maka kedekatanmu terjadi dengan sifat-sifat Dzat-Nya.”

 

Abu Ishaq Al-Asfarayaini, seorang guru spiritual bergelar imam, menuturkan kisah perjalanan spiritualnya, “Ketika tiba dari Bagdad, aku mengajar di mesjid Naisabur tentang masalah ruh. Aku jelaskan bahwa ruh adalah makhluk. Saat itu Abul Qasim An-Nashr Abadzi yang sedang duduk berjauhan dari majelis kami memperhatikan kalimat-kalimatku dan meliwatinya beberapa hari hingga batas waktu tertentu yang membuatnya tak kuasa untuk tidak mengatakan perubahan jiwanya kepada Muhammad Al-Farra’. Saya bersaksi, akunya, bahwa saya telah menjadi seorang muslim yang baru melalui tangan laki-laki itu,’ lanjutnya sambil menunjuk ke arahku.”

 

“Kabarkan padaku tentang Allah,” tanya seseorang kepada Yahya bin Mu’adz.

“Dia Tuhan Yang Esa.”

“Bagaimana Dia?”

“Dia Raja Yang Berkuasa.”

“Di mana Dia?”

“Di tempat pengintaian.”

 

Penanya itu tidak puas dengan jawaban Ibnu Mu’adz. “Aku tidak bertanya kepadamu tentang itu,” katanya kemudian.“ Apa ada selain itu.”

 

Ibnu Syahin pernah bertanya kepada Imam Al-Junaid tentang makna ma’a (bersama), lalu oleh beliau dijawab, “Ma’a mempunyai dua arti. Bersama para Nabi, ma’a berarti pertolongan dan perlindungan, berdasar firman Allah Swt.:

 

“Sesungguhnya aku bersama kamu berdua. Aku mendengar dan melihat.” (QS. Thaha: 46).

 

Kedua, ma’a (bersama) umum adalah ma’a yang berarti ilmu pengetahuan Allah dan peliputan, dengan dasar firman-Nya:

 

“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah keempatnya.” (QS. Al-Mujadalah: 7).

 

Kemudian Ibnu Syahin berkata, “Orang seperti Anda patut menjadi petunjuk bagi umat menuju Allah.”

 

‘Arasy

 

Dzun Nun Al-Mishri pernah ditanya seseorang tentang ayat yang berbunyi:

 

“Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas arasy.” (QS. Thaha: 5).

 

Lalu dijawab, “Dzat-Nya tetap, tempat-Nya tidak ada, sebab Dia ada dengan Dzat-Nya, sedang segala sesuatu ada dengan hukum-Nya menurut kehendak-Nya.”

 

Sedangkan menurut Asy-Syibli firman itu bermakna: Ar-Rahman bersifat kesenantiasaan (tidak bergeser), Al-Arasy .(singgasana-Nya) bersifat baru, dan Arasy pada Ar-Rahman bersemayam. Adapun Ja’far bin Nashr mengartikannya bahwa ilmu-Nya menyeluruh dengan segala sesuatu. Karena itu, tak ada sesuatu yang lebih dekat kepada-Nya dari sesuatu yang lain.

 

Ja’far Ash-Shadiq berkata, “Barangsiapa yang meyakini bahwa Allah dalam, dari, dan di atas sesuatu, maka dia telah berbuat syirik. Karena, jika Dia berada dalam sesuatu, niscaya Dia terkurung, jika dari sesuatu, maka Dia baru (tercipta), dan jika di atas sesuatu, berarti Dia terpikul.”

 

Kemudian dia melanjutkan dengan mengomentari ayat: “Kemudian dia mendekat lalu bertambah dekat lagi.” (An-Najm: 8).

 

Menurutnya, orang yang menduga bahwa dirinya telah dekat (pada Allah) pada hakikatnya dia menciptakan jarak. Sesungguhnya kesaling dekatan seorang hamba dengan Allah ada. lah ketika kedekatan dari-Nya setelah kejauhan dari macam-macam pengetahuan, karena tak ada yang dekat dan jauh.

 

“Hakikat kedekatan,” kata Al-Kharraz, “adalah hilangnya rasa pada sesuatu dari hati berganti ketundukan nurani kepada Allah.”

 

Suatu saat Ibrahim Al-Khawwash melihat sesuatu yang aneh. “Saat aku berhenti di hadapan seorang laki-laki yang barusan dibanting setan,” kisahnya, “aku bermaksud mengadzaninya melalui telinganya. Tiba-tiba setan menegurku dari rongga badannya, “Tinggalkan dia! Aku akan membunuhnya karena ucapannya yang mengatakan bahwa Alquran adalah makhluk.”

 

Menurut Ibnu Atha’ bahwa Allah ketika menciptakan huruf, baginya diciptakan pula rahasia, dan ketika Adam a.s. telah tercipta, Allah menebarkan rahasianya ke dalam dirinya dan tidak kepada satu malaikat pun. Lalu huruf-huruf itu berjalan di lidah ‘ Adam a.s. dengan hukum pembiasaan dan undang-undang bahasa, lalu oleh Allah dilengkapinya dengan bentuk.

 

Bagi Ibnu Atha’ huruf adalah makhluk. Karena itu, Sahal bin Abdullah berpendapat bahwa huruf-huruf merupakan lidah perbuatan, bukan lidah zat, karena huruf itu sendiri berbuat yang diperbuat (aktif dalam kepasifan, tidak bergerak dengan sendirinya).

 

Tawakal kaitannya dengan tauhid menurut Imam Al-Junaid ketika menjawab beberapa pertanyaan penduduk Syam adalah perbuatan hati. “Tawakal adalah perbuatan hati, sedangkan tauhid ucapan hati,” begitu katanya.

 

Husin bin Manshur berkata, “Barangsiapa mengetahui hakikat tauhid, pasti akan gugur darinya pertanyaan mengapa dan bagaimana.” :

 

Al-Wasithi berkata, “Allah tidak menciptakan sesuatu yang lebih mulia dari ruh.”

 

Dzat Yang Al-Haqq

 

Beberapa guru spiritual thariqah (guru sufi yang mengamalkan salah satu aliran fhariyah) ini berbicara tentang hakikat tauhid. Tauhid itu berkisar pada pengesaan Allah dan sifat-sifatNya. “Sesungguhnya Allah, Dzat Yang Maha Suci adalah ada (dengan sendirinya), kata mereka, “Terdahulu, Satu, Bijak, Kuasa, Maha Tahu, Maha Pemaksa, Pengasih, Penguasa Kehendak, Mendengar, Maha Luhur, Maha Tinggi, Maha Bicara, Maha Melihat, Maha Pembesar, Maha Pemberi ketentuan, Maha Hidup, Esa, Tetap, dan tempat bergantung.”

 

Allah, Dzat Yang Maha Mengetahui dengan pengetahuanNya sendiri, Kuasa dengan kekuasaan-Nya, berkehendak dengan kehendak-Nya, mendengar dengan pendengaran-Nya, melihat dengan penglihatan-Nya, berbicara dengan pembicaraan-Nya, hidup dengan kehidupan-Nya, dan tetap dengan ketetapan-Nya.

 

Dia memiliki dua tangan sebagai sifat-Nya yang dengan keduanya menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Maha Suci Tuhan Allah atas pengkhususan-pengkhususan. Bagi-Nya wajah yang amat indah.

 

“Sifat-sifat Dzat-Nya khusus dengan Dzat-Nya, tidak bisa dikatakan dia (perempuan) adalah dia (laki-laki), tidak juga Dia yang berubah-ubah, bahkan dia (Hiya) itu sendiri adalah sifat-Nya yang azali (terdahulu). Sifat-sifat-Nya kokoh dan panjang.

 

Dia sesungguhnya Esa dalam Dzat-Nya, tidak juga Dia menyerupai makhluk-Nya. Dia tidak berjasad, beraga, berjiwa, tak ada sifat-sifat yang lembut, tak tergambarkan dalam khayal, tidak terukur dalam yang masuk akal, tidak berarah dan bertempat, tidak ada waktu dan zaman yang menjalankannya, dan tidak boleh dalam pensifatan-Nya mengurangi dan menambah.

 

Tidak ada bentuk dan ukuran yang mencirikan-Nya, tidak ada akhir dan batas yang memutuskan-Nya, tak ada kejadian yang menindih-Nya, tidak ada motivator yang membawa-Nya pada perbuatan, tak ada warna dan keberadaan yang boleh mewarnai-Nya, dan tak ada perpanjangan dan bantuan yang menolong-Nya.

 

Sesuatu yang telah ditentukan tidak bisa keluar dari ketentuan-Nya, yang tercipta tidak bisa terlepas dari hukum-Nya, bagaimana dan apa yang dibuat oleh-Nya tidak tercela. Allah juga tidak boleh dikatakan “di mana dan bagaimana Dia”.

 

Keberadaan-Nya tidak dimulai, tidak juga bisa ditanyakan kapan keberadaan-Nya. Sifat kekal-Nya tidak berakhir. Karena itu, Dia dikatakan sebagai Dzat yang menyempurnakan ajal dan zaman, dan tidak boleh dikatakan mengapa Dia berbuat dan apa yang diperbuat, karena semua perbuatan-Nya tidak mempunyai sebab atau alasan.

 

Tuhan, keberadaan-Nya tidak boleh dipertanyakan tentang apa-Nya, karena bagi-Nya tidak berjenis sehingga membutuhkan simbol-simbol dan ciri-ciri pembeda yang menandai bentuk-Nya. Dia dilihat tidak dari sisi berhadapan yang berlawanan, melihat lain-Nya tidak dari persamaan-Nya, dan Dia menciptakan tidak dari hasil persenggamaan, kerjasama dan latihan.

 

Bagi-Nya nama-nama yang baik dan sifat-sifat yang luhur. Dia berbuat apa yang dikehendaki dan menundukkan hambaNya pada hikmah-Nya. Tidak berjalan dalam kekuasaan-Nya kecuali apa yang dikehendaki-Nya dan tidak akan terjadi dalam kerajaan-Nya melainkan telah didahului oleh suatu ketentuan.

 

Dia Tuhan Pencita rezeki hamba-hamba-Nya, yang baik maupun yang buruk, direproduksi-Nya pula apa yang ada di dalam, baik yang kasat maupun yang tak kasat mata, berujud atau hanya berupa bayang-bayang, para rasul diutus-Nya kepada seluruh umat tanpa Dia harus terikat dengan kewajiban, diharuskannya manusia menyembah melalui lidah para nabi, semoga Allah melimpahkan rahmat dan salam-Nya, dengan sesuatu yang tak ada bagi siapa saja yang mampu mengecam maupun menentangNya (berpaling): diperkuat-Nya Nabi kita Muhammad Saw. dengan beberapa mukjizat yang tampak dan ayat-ayat yang indah, dengan sesuatu yang menyingkirkan uzur, mempertegas keyakinan dan mengidentifikasikan kemungkaran. Allah juga menjaga kecemerlangan Islam setelah kewafatan Nabi-Nya yang mulia dengan para khalifah yang diberi petunjuk: kemudian memelihara yang Haq dan menolongnya dengan memberi penjelasan berupa argumen-argumen agama melalui lidah para wali-Nya, menjaga umat yang bersih dari masyarakat yang sesat, memotong materi (ajaran) yang salah dengan dalil yang mantap, dan memenuhi apa yang telah dijanjikan-Nya berupa kemenangan agama dengan firman-Nya berupa kemenangan agama:

 

“Agar Dia memenangkannya di atas segala agama meskipun orang-orang musyrik benci.” (Ash-Shaff: 9)

 

 

 

Sesungguhnya tiap kelompok ulama memiliki beberapa istilah yang dipakai secara khusus. Pemakaian itu memiliki ciri tersendiri dan terpisah dari lainnya. Mereka menciptakannya melalui kesepakatan pendefinisian yang mufakat untuk tujuan-tujuan mereka sendiri, seperti pendekatan pemahaman pada sasaran dialog atau mendudukkan makna suatu istilah di atas garis yang sepadan.

 

Istilah-istilah yang mereka pakai berkaitan dengan permasalahan mereka, ditujukan untuk menyingkap arti suatu masalah bagi kepentingan diri mereka, dan menutup para penentang ajaran mereka, sehingga makna istilah yang terpakai secara khusus itu menjadi tertutup bagi pihak-pihak lain dan sumber kecemburuan penyingkapan rahasia bagi kelompok-kelompok lainnya. Hal itu dikarenakan tak ada hakikat yang terkumpul satu macam beban hukum atau terperoleh dengan hanya dengan satu langkah perjuangan, justru makna itu telah disediakan Allah dalam hati suatu kaum dan menjernihkan hakikat beberapa rahasianya.

 

Kami disini ingin menjelaskan makna istilah-istilah itu untuk mempermudah pemahaman bagi orang yang menekuni dan mendalami arti kehidupan orang yang berlaku batin (riyadhah) di dunia thariqah dan tasawuf.

 

1. WAKTU

 

Hakikat waktu menurut ahli hakikat adalah kejadian atau peristiwa yang akan terjadi. Kejadiannya selalu digantungkan pada yang sedang terjadi. Peristiwa yang sedang terjadi merupakan waktu (sambungan) bagi peristiwa yang akan terjadi. Jika Anda mengatakan, “Penggalan pertama suatu bulan akan mendatangimu”, maka kedatangan itu merupakan sesuatu yang akan datang, sedangkan penggalan pertama suatu bulan adalah kejadian yang pasti sedang terjadi (selalu terjadi). Jadi, penggalan pertama suatu bulan adalah waktu yang akan terjadi.

 

Saya (Asy-Syaikh) pernah mendengar Abu Ali Ad-Daqaq (gurunya), semoga Allah merahmatinya, berkata, “Waktu adalah apa yang engkau sedang di dalamnya.” Berarti, jika Anda di dunia, maka dunia itu waktumu. Jika Anda di ujung akhir waktu, maka disitu pula lah waktumu. Anda bergembira, maka gembira itu sendiri waktumu. Anda bersedih, maka kesedihan itu waktumu. Maksud dari ini semua adalah waktu merupakan sesuatu yang mengalahkan dan menguasai manusia.

 

Kebanyakan orang mengartikan waktu dengan sesuatu yang berada di putaran zaman. Suatu kaum pernah berkata, “Waktu adalah sesuatu di antara dua zaman.” Yakni, masa lalu dan yang akan datang (mengapit waktu sekarang).

 

“Seorang sufi adalah anak zaman,” kata segolongan ulama sufi. Maksudnya, dia adalah orang yang sibuk dengan sesuatu yang diutamakan saat bekerja: menekuni sesuatu yang menjadi tuntutan-tuntutan hidupnya di saat sedang melaksanakannya. Dikatakan pula, “Kesibukan dengan hilangnya waktu lampau menyia-nyiakan waktu kedua.”

 

Kaum sufi mengartikan, waktu sebagai sesuatu yang mempertemukan mereka secara kebetulan (tanpa rancangan) dari rantai zaman (durasi waktu yang dikendalikan Al-Haqq), tanpa mereka bebas memilihnya untuk diri mereka. “Seseorang dengan hukum waktu,” kata kaum sufi. Artinya, dia pasrah pada sesuatu gaib yang tampak tanpa punya kemampuan memilihnya. Dia dalam sesuatu yang bagi Allah tidak memiliki masalah, atau ketentuan dengan kebenaran syar’i. Kalau begitu, penyia-nyiaan sesuatu yang engkau telah diperintahkannya, pemindahan sesuatu yang di dalamnya sudah ada ketentuan, dan meninggalkan perhatian pada sesuatu yang terjadi dari dirinya karena pengurangan adalah bentuk sikap keluar dari agama.

 

Waktu ibarat pedang. Sebagaimana pedang yang mampu memenggal, maka begitu pula dengan waktu. Dengan “keberlaluan”, waktu adalah kepastian dan dengan “sedang” atau “yang akan datang” waktu mengalahkan.

 

Mata pedang itu amat lembut dan tajam. Keberadaannya memiliki fungsi ganda. Jika seseorang memperlakukannya secara lembut, ia akan selamat, dan jika sebaliknya, ia akan tercerabut dari akarnya. Demikian pula dengan waktu. Bagi seseorang yang patuh pada hukum waktu, ia akan selamat, dan bagi yang menentangnya, maka waktu akan berbalik menjadi bumerang dan melemparkan pemiliknya.

 

Barangsiapa yang bekerja sama dengan waktu, maka waktu akan menjadi miliknya, dan jika ia menghabiskannya, maka waktu akan memurkainya.

 

Saya (Asy-Syaikh) pernah mendengar Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Waktu adalah sesuatu yang membekukan dan dapat menggunduli mu, tapi tidak membantahmu.” Artinya, seandainya waktu menghapus dan melenyapkanmu, maka seketika itu pula kamu pasti telanjang dan sirna. Namun, waktu tidak berbuat demikian. Ia hanya mengambil sebagian usiamu, tidak menghapus keseluruhan hidupmu.

 

setiap hari yang lewat

mengambil bagianku

mewariskan hati yang lelah

dan duka kemudian berlalu

sebagaimana penduduk neraka Jika-telah matang kulitnya

maka akan dikembalikan seperti semula agar mereka merasakan pedihnya siksa

tidaklah orang mati beristirahat

dengan kematiannya, tetapi kematian itu

hanyalah sebuah kematian kehidupari

Sementara untuk hidup selamanya

 

Orang yang berakal adalah manusia yang mampu mempergunakan waktunya secara bijak. Jika waktunya cerah dan menegakkan, maka dia akan menegakkannya dengan syariat, dan jika waktunya terhapus, maka yang mengalahkannya adalah hukum hukum hakikat (suatu ungkapan yang mengartikan bahwa seseorang yang tenggelam dan hanyut dari kesadaran dirinya dan orang lain, maka dia disibukkan hanya dengan Al-Haqq dan terlepas dari makhluk).

 

2. AL-MAQAM

 

Al-Maqam (untuk selanjutnya menggunakan kata “maqam” dengan membuang kata “Al”) adalah sebuah istilah dunia sufistik yang menunjukkan arti tentang suatu nilai etika yang akan diperjuangkan dan diwujudkan oleh seorang salik (seorang hamba perambah kebenaran spiritual dalam praktek ibadah) dengan melalui beberapa tingkatan mujahadah secara gradual, dari suatu tingkatan laku batin menuju pencapaian tingkatan maqam berikutnya dengan sebentuk amalan (mujahadah) tertentu, sebuah pencapaian kesejatian hidup dengan pencarian yang tak kenal lelah, beratnya syarat, dan beban kewajiban yang harus dipenuhi. Ketika itu, seseorang yang sedang menduduki atau memperjuangkan untuk menduduki sebuah maqam (proses pencarian) harus menegakkan nilai-nilai yang terkandung dalam maqam yang sedang dikuasainya. Karena itu, dia akan selalu sibuk dengan berbagai riyadhah.

 

Seseorang tidak akan mencapai suatu maqam dari maqam sebelumnya selama dia belum memenuhi ketentuan-ketentuan, hukum-hukum, dan syarat-syarat maqam yang hendak dilangkahinya atau yang sedang ditingkatkannya. Orang yang belum mampu bersikap qana’ah (maqam qana’ah, yaitu kondisi batin yang puas atas pemberian Allah, meski amat kecil), sikap pasrahnya (tawakal atau maqam tawakal), tidak sah, orang yang belum mampu berpasrah diri pada Tuhan, penyerahan totalitas dirinya (kemuslimannya) tidak sah: orang yang belum tobat, penyesalannya tidak sah, dan orang yang belum wira’i (sikap hati-hati dalam penerapan hukum), ke-zuhud-annya tidak sah. Berarti, agam zuhud, umpamanya, tidak mungkin tercapai sebelum pelakunya itu sudah mewujudkan sikap wira’i (maqam wira’i).

 

Maqam, arti yang dimaksud adalah penegakan atau aktualisasi suatu nilai moral, sebagaimana al-madkhal (tempat masuk), penunjukan artinya memusat pada makna proses pemasukan, dan al-makhraj (tempat keluar) mengacu pada arti proses pengeluaran. Karena itu, keberadaan agam seseorang tidak dianggap sah kecuali dengan penyaksian kehadiran Allah secara khusus dalam nilai agama yang diaktualkannya, mengingat sahnya suatu bangunan perintah Tuhan hanya berdiri di atas dasar yang sah pula.

 

Saya pernah mendengar Asy-Syaikh Abu Ali Ad-Daqaq, semoga Allah merahmatinya, berkata, “Ketika Al-Wasithi memasuki Kota Naisabur, dia bertanya pada para pengikut Abu Utsman, Apa yang diperintahkan guru kalian?”

 

“Beliau memerintahkan kami supaya berpegang teguh pada sikap taat dan selalu memandangnya kurang (meski sudah bersikap taat secara optimal).

 

“Sebenarnya guru kalian hanya memerintahkan ajaran Majusi, sanggah Al-Wasithi, Mengapa dia tidak memerintahkan kalian peniadaan diri pada pengakuan aktualisasi ketaatan (al-ghibah) dengan memandangnya sebagai pertumbuhan yang wajar dan tempat proses aliran ketaatan yang ternisbatkan hanya pada Allah.”

 

Sesungguhnya maksud Al-Wasithi berbicara demikian adalah untuk menjaga mereka dari sikap heran pada dirinya sendiri (karena sudah merasa menjalankan nilai-nilai ketaatan, yaitu ujub dalam ibadah), supaya tidak tenggelam dalam perasaan selalu kurang atau membiarkan gangguan kelembutan etika ibadah tetap berjalan. Itu adalah peniadaan diri dengan pengadaan Diri Allah dalam segala aktivitas.

 

3. AL-HAL

 

Al-Hal atau Hal (keadaan) menurut kaum sufi adalah makna, nilai atau rasa yang hadir dalam hati secara otomatis, tanpa unsur kesengajaan, upaya, latihan, dan pemaksaan, seperti rasa gembira, sedih, lapang, sempit, rindu, gelisah, takut, gemetar, dan lain-lainnya. Keadaan-keadaan tersebut merupakan pemberian, sedangkan maqam adalah hasil usaha. Hal (keadaan) datang dari Yang Ada dengan sendirinya, sementara maqam terjadi karena pencurahan perjuangan yang terus-menerus, pemilik maqam memungkinkan menduduki maqamnya secara konstan, sementara pemilik hal sering mengalami naik-turun (berubah-ubah) keadaan hatinya.

 

Salah seorang guru sufi berkata, “Hal ibarat kilat, jika hal itu tetap, maka dia menjadi suara hati.”

 

Para guru sufi menyatakan bahwa hal, sebagaimana namanya, menunjukkan arti tentang sesuatu (rasa, nilai, getaran) yang menguasai hati kemudian hilang.

 

seandainya hal tidak menguasai hati maka dia tidak dinamakan hal setiap yang bersifat keadaan (hal) maka dia pasti hilang (bergeser) lihatlah bayang-bayang ketika sesuatu berhenti dia selalu menjadikannya berkurang ketika sesuatu itu memanjang

 

Sementara kaum lain memberi isyarat tentang ketetapan dan kestabilan hal. Mereka mengatakan, “Sesungguhnya hal ketika tidak bersifat tetap dan berturut-turut, maka dia disebut kilasan cahaya. Pemiliknya tidak sampai pada hal. Ketika sifat itu menjadi kesenantiasaan, maka dia dinamakan hal.”

 

Sedangkan Abu Utsman Al-Hiri berpendapat bahwa apa yang didirikan Allah kepadaku dalam suatu hal, lalu aku tidak menyukainya, maka itu menunjukkan adanya kesenantiasaan rida, sementara rida termasuk jumlah hal.

 

Dalam hal ini perlu dikatakan adalah seseorang yang apabila menunjukkan adanya ketetapan hal, maka benar apa yang dikatakannya, maknanya (kandungan hal) menjadi minumannya sehingga dia terdidik dalam makna tersebut. Namun, bagi pemiliknya, hal itu justru merupakan cobaan yang tidak konstan, di mana pelampauannya itu akan menjadikan hal sebagai minumannya (tidak lagi bersifat cobaan, tapi pakaian atau sifat). Jika beberapa hal tersebut masih tetap merupakan cobaan, maka pemilik hal akan terus mendaki ke tingkat beberapa hal lain yang lebih halus, sehingga dia akan selalu dalam proses pendakian.

 

4. AL-QABDHU DAN AL-BASTHU

 

Dua istilah tersebut merupakan dua keadaan (hal) setelah seorang hamba terjauhkan (telah melampaui dalam pendakiannya) dari dua keadaan (hal) yang lain, yaitu khauf (rasa takut) dan raja’ (harapan). Al-qabdhu (tercekam yang melebihi ketakutan seorang hamba membuat dirinya seolah-olah “tergenggam” dalam bayangan kebesaran dan ancaman Allah) bagi seorang yang telah mencapai derajat ma’rifat (al-‘arif), kedudukannya sama dengan al-khauf bagi seorang musta’nif (pemula, yaitu istilah bagi seorang hamba yang baru menjalani laku batin atau memasuki dunia sufi atau thariqah). Begitu juga dengan al-basthu bagi al-‘arif kedudukannya sederajat dengan ar-raja’ bagi al-musta’ nif.

 

Adapun perbedaan antara al-qabdhu dan al-basthu dengan al-khauf dan ar-raja’ terletak pada tingkat kualitas dan kuantitas pendakian seorang hamba dalam pencapaian derajat ma’rifatullah. Al-khauf merupakan sesuatu yang hanya terjadi di masa yang akan datang. Mungkin ketakutannya (al-khauf) itu berupa kekhawatiran akan kehilangan sesuatu yang dicintainya atau kehadiran sesuatu yang ditakutinya. Demikian pula dengan ar-raja’, kejadiannya berupa keinginan (cita-cita) akan terwujudnya sesuatu yang dicintainya (diharapkannya) atau mewaspadai (dengan harapan) hilangnya sesuatu yang dibenci dan keterpeliharaan al-musta’ nif dari yang dibencinya.

 

Sedangkan al-qabdhu merupakan makna atau nilai spiritual yang terjadi pada saat kejadiannya (bukan masa yang akan datang dan lampau, tapi sekarang, yaitu saat sesuatu itu terjadi) itu berlangsung. Hal itu juga berlaku pada al-basthu. Orang yang mengalami al-khauf dan ar-raja’, hatinya akan selalu bergantung dalam dua keadaan pada sesuatu yang akan terjadi atau yang dimaksudkannya. Sedangkan orang yang mengalami al-qabdhu dan al-basthu, waktunya diambil dengan kehadiran al-warid (yaitu, sesuatu yang datang atau kehadiran suasana batin yang mendominasi jiwa seseorang, seperti rasa al-qabdhu dan al-basthu itu sendiri). Dalam proses berikutnya, sifat-sifat orang yang mengalami al-qabdhu dan al-basthu berbeda-beda menurut perbedaannya dalam al-hal. Barangsiapa yang kehadiran al-warid, maka dia diwajibkan menjadi genggaman, namun masih tetap terbenam pada sesuatu yang lain, karena dia belum memenuhinya: sementara orang yang terkondisikan dalam genggaman (tercekam dalam ketakutan yang sangat karena Allah), maka dia tidak terbenam (terpengaruh) pada selain yang “hadir” (al-warid) dalam hatinya, karena keseluruhan dirinya sudah terambil (terkuasai) dengan kehadiran yang “hadir” (berupa rasa ketakutan atau al-qabdhu yang menguasai jiwa seseorang secara total membuatnya tak terpengaruh dengan ketakutan bentuk lain selain Allah, sehingga dirinya sepenuhnya terkuasai oleh sifat “Qabidh “-Nya, yaitu Sang Penggenggam).

 

Demikian pula dengan hamba yang terlapangkan (al-mabsuth). Dalam kondisi demikian, kelapangan atau kegembiraan yang memperluas atau melapangkan kemakhlukannya tidak membuatnya merasa jijik pada sesuatu (di matanya segalanya terasa lapang dan menyenangkan). Hamba yang mabsuth tidak akan terpengaruh oleh sesuatu yang berkaitan dengan hal (keadaan yang mengkondisikan suasana batinnya).

 

Saya pernah mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq, semoga Allah merahmatinya, berkata, “Sejumlah orang pernah mengunjungi Ali Abu Bakar Al-Qahthi, seorang ulama sufi yang zahid. Dia mempunyai seorang putra laki-laki yang mengambil sesuatu yang biasa diambil anak-anak (berupa sesuatu yang jelek tapi halal). Anak ini sedang berada di pintu masuk. Ketika dia tenggelam dalam permainan bersama kawan-kawannya, pengunjung tersebut terenyuh dan prihatin melihat keadaan Al-Qahthi, lalu bergumam, ‘Miskin …. Guru ini benar-benar miskin. Bagaimana dia sampai tega menguji anaknya dengan sesuatu yang jelek (menyakitkan dan berat).’ Begitu masuk di kediaman Al-Qahthi, pengunjung itu tidak menemukan satupun alat penghibur (sarana dan fasilitas hidup) di dalamnya, sehingga membuatnya tambah heran dan berkata, Sungguh aku menjadikan diriku sebagai tebusan bagi orang (Al-Qahthi) yang gunung pun tidak akan mampu mempengaruhi. Kemudian Al-Qahthi menjawab, ‘Sesungguhnya kami dalam kehanyutan beribadah telah dibebaskan dari belenggu (ketergantungan hati) sesuatu.“

 

Di antara unsur-unsur terdekat yang mengharuskan kehadiran suasana al-gabdhru adalah kehadiran al-warid (mungkin berupa kesadaran emosi keagamaan atau suasana batin yang menyiratkan kesan makna khauf, segan, dan tercekam terhadap Allah) pada hati seorang hamba yang memunculkan isyarat kecaman (teguran dan kritikan terhadap diri sendiri dalam rangka penyempurnaan kehidupan keagamaannya) atau lambang (isyarat perbaikan moral) kritikan diri yang melangkah pada perbaikan diri hamba, sehingga dalam hati tidak terjadi lagi keharusan alqabdhu (mengalami peningkatan maqam setelah al-qabdhu).

 

Kadang-kadang beberapa al-warid yang mengharuskan kehadiran isyarat (makna atau dorongan) pendekatan diri pada Allah, atau kelembutan (kepekaan) rasa dan kelapangan dapat memunculkan terjadinya al-basthu (kelapangan) dalam hati. Karena itu, dalam rantai kesatuan rasa, kehadiran al-qabdhu bagi setiap hamba terjadi menurut sifat al-basthunya, begitu juga dengan al-basthu, kehadirannya tergantung al-qabdhu.

 

Terkadang pula al-qabdhu yang terbentuk berdasarkan suatu sebab, oleh pemiliknya (salik yang mengalaminya) tidak diketahui apa bentuk sebab dan yang mewajibkannya (kehadiran al-qabdhu). Maka, bagi salik yang mengalami semacam ini seharusnya bersikap pasrah pada keadaan (membiarkan rasa al-qabdhu mengkondisikan hatinya) hingga waktu berlalu. Karena jika dia memaksa untuk menghilangkannya atau melompati waktu (berpindah pada maqam berikutnya, sementara agam yang sedang terjadi belum terkuasainya) sebelum kehancuran al-qabdhu dengan penentuan alternatif yang dikehendakinya sendiri, maka rasa al-qabdhu semakin bertambah. Bahkan, sikap pemaksaan semacam ini termasuk etika sufi yang buruk. Sebaliknya, jika dia pasrah pada hukum waktu, maka secara pelan dan pasti al-qabdhu itu akan hilang karena Allah telah berjanji dalam firmanNya:

 

“Dan, Allah Dzat Yang Menggenggam (Al-Qabidh), dan Yang Melapangkan (Al-Basith). Hanya kepada-Nya kalian akan dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)

 

Maqam al-basthu seringkali datang secara tiba-tiba dan spontan. Dia datang dan menubruk salik secara tak terduga sehingga tidak diketahui apa sebabnya. Dia bergerak, menguasai, dan memberi inspirasi salik yang didatanginya. Karena itu, bagi salih yang mengalami semacam ini sebaiknya diam dan menjaga serta meniti-niti perilaku batinnya (juga zhahirnya). Pada saat demikian, dia mengalami goncangan batin dan kekhawatiran yang sangat’ besar. Karena itu, ajaran sufi mengajarkannya supaya hati-hati dan waspada pada tipu daya (hati atau rasa) yang halus dan samar, sebagaimana yang pernah dikatakan oleh segolongan kaum sufi, “Telah dibukakan padaku pintu al-qabdhu, lalu aku tergelincir pada kekeliruan sehingga menutupi maqamku. Karena itu, diamlah di maqam al-bisath dan waspadailah kegembiraan yang meluap (tak terkontrol).”

 

Ahli hakikat mengkategorikan dua keadaan, al-qabdhu dan al-basthu sebagai bentuk gangguan (proses penyucian diri yang mesti dilalui) yang dimohonkan kepada Allah supaya dilindungi dari bahaya keduanya. Karena, keduanya bersandar pada apa yang di atasnya (proses kelanjutannya) berupa leburnya diri salik dan masuk dalam alam hakikat yang penuh krisis dan bahaya (tipu daya hati yang amat lembut).

 

Imam Al-Junaid berkata, “Al-Khauf yang hadir dari Allah menggenggamku dalam ketercekaman dan ar-raja’ dari-Nya melapangkanku (khauf menjadikan al-qabdhu dan raja’ membentuk al-basthu). Sedangkan hakikat mengumpulkan aku (penyatuan diri), dan Al-Haqq memisahkanku (basthu) dengan raja’ (berharap karena-Nya), maka Dia menolakku (melemparkanku) kepadaku. Jika Dia mengumpulkanku dengan hakikat, maka Dia menghadirkanku (menghadiriku). Dan jika Dia memisahkanku dengan Al-Haqq (kebenaran Tuhan adalah Tuhan sendiri), maka Dia mempersaksikanku pada selainku sehingga menutupiku. Dia adalah Allah Dzat Yang Maha Luhur, Tuhan dalam segala hal yang menjadi Penggerakku tanpa memegangiku, juga mampu berbuat kasar kepadaku tanpa berjinak-jinak. Saya dengan kehadiranku merupakan selezat-lezatnya makanan akan keberadaanku. Maka, kelenyapanku dariku akan menjadikan kenikmatanku dan kesirnaanku menjadikan kelegaanku.

 

5. AL-HAIBAH DAN AL-ANASU

 

Posisi kedua maqam ini berada di atas derajat (maqam) alqabdhu dan al-basthu: sementara al-qabdhu berada di atas al-khauf dan al-basthu di atas tingkatan ar-raja’. Al-haibah lebih tinggi daripada al-qabdhu. Al-anasu lebih sempurna daripada al-basthu.

 

Hakikat haibah adalah kesirnaan, dan setiap salik yang mengalami haibah (haib) pasti sirna (gaib). Orang-orang yang mengalami haibah, ke-haibah-annya berbeda-beda menurut perbedaan mereka dalam ke-gaib-annya.

 

Hakikat al-anasu adalah muncul, bangun, sadar bersama AI-Haqq. Setiap salik yang mengalami kesadaran (al-anasu) akan bersinar dan bangkit, seperti bunga yang sedang mekar, kemudian mereka berbeda-beda (tingkatan kesadarannya) menurut perbedaan mereka dalam “minuman” (serapan kerohanian). Oleh karena itu, tidaklah heran bila kaum sufi mengatakan bahwa paling rendahnya tingkat kedudukan al-anasu apabila yang mengalaminya dilemparkan ke api neraka (apalagi api dunia), kemesraannya (al-anasu) bersama Allah tidak akan terkeruhkan (terpengaruh) oleh panasnya api itu.

 

Imam Al-Junaid berkata, “Saya pernah mendengar As-Sirri berkata, ‘Seorang salik akan sampai ke batas al-anasu (ditandai dengan) jika wajahnya dihantam sebilah pedang, maka dia tidak akan merasakan apa-apa. Di dalam hatiku ada sesuatu sehingga tampak bagiku bahwa semua perkara harus seperti demikian (yaitu, sekiranya rasa dan kesadaran menunjukkan bahwa kesempurnaan ketenggelaman diri, bersama Allah, akan menghilangkan semua rasa yang berkaitan dengan nafsu).

 

Ahmad bin Muqati Al-Aki mengatakan, “Saya pernah mengunjungi Asy-Syibli. Ketika itu, beliau sedang mengelupasi rambutnya dari arah alis dengan penjapit logam yang kasar dan tumpul, lalu saya Katakan kepada beliau, “Wahai Tuan, memang Anda sendiri yang melakukan ini, tetapi rasa pedihnya memantul kepadaku. Kemudian Asy-Syibli menjawab, “Celakalah kau! Hakikat yang tampak (entitas kepedihan semu) padaku tidak saya rasakan, dan hakikatku yang zhahir itu seperti ini (pengelupasan rambut): sedangkan saya masuk dan tenggelam dalam kepedihan di hatiku, sehingga saya hanya merasakan kepedihan batin (pedih karena cinta, rindu, dan takut pada Allah) yang membuat kepedihan zhahir tertutup dariku, maka saya tidak menemukan kepedihan. Kepedihan tidak tertutup dariku dan aku tidak mempunyai kemampuan untuk merasakannya.

 

Al-haibah dan al-anasu mempunyai keadaan. Jika keduanya tampak (muncul), maka ahli hakikat mengkategorikannya sebagai kekurangan karena adanya perubahan pada diri salik. Sementara ahli tamkin (golongan yang telah mencapai kestabilan rohani, tidak terpengaruh oleh berbagai rasa, seperti rasa haibah dan anasu), posisinya lebih tinggi di atas ahlu taghayyur (golongan yang hatinya belum stabil dan masih terpengaruh oleh kemunculan berbagai rasa, seperti khauf, haibah, anasu, dan lain-lain). Mereka, “ahlu tamkin” keberadaannya menjadi sirna di mata keberadaan yang ada (sirna di mata ahli zhahir), maka baginya tidak ada haibah, tidak pula anasu. Mereka tidak memiliki kesadaran dan rasa. Sebuah hikayat terkenal dari Abu-Said Al-Kharraz menuturkan, “Ketika saya di tengah gurun sahara yang sepi, saya mendendangkan tembang kerinduan:

 

saya datang, tapi tidak tahu

di padang mana saya berada (bingung)

selain apa yang dikatakan manusia

tentang (diri) dan jenis saya saya datang ke negeri jin dan manusia tapi tidak saya jumpai seorang jiwa pun yang mampu mendatangi jiwa saya

 

Kemudian saya (Abu Said Al-Kharraz) mendengar suara (tanpa wujud) yang membisiki telinga batin saya dengan mengatakan:

 

wahai orang yang melihat sebab-sebab yang lebih tinggi keberadaannya bergembira di padang sesat yang dekat dan di (alain) manusia

seandainya kamu hakikatnya masuk ahli “wujud”, niscaya kamu pasti lenyap dari alam semesta,

 

arasy (singgasana gaib), dani kursi

kamu tanpa hal bersama Allah

pasti jumeneng (stabil) sehingga kamu

terpelihara dari kenang-kenangan

yang dimiliki bangsa jin dan manusia.

 

6. AT-TAWAJUD, AL-WIJDU, DAN AL-WUJUD

 

Tawajud adalah panggilan rasa cinta yang diperoleh melalui cara ikhtiyar (usaha). Orang yang memilikinya atau mengalami tawajud tidak mendapatkan wijdu (rasa cinta yang sesungguhnya) karena jika dia mendapatkan wijdu, berarti dia adalah seorang al-wajid atau pecinta (pecinta Allah sejati).

 

Bab tafa’ul (bentukan kata yang dianalogikan pada kata tafa’ul) dalam tata bahasa Arab kebanyakan menunjukkan arti penampak-nampakan suatu sifat. Padahal sifat yang ditampak-tampakkan bukan sifatnya yang sesungguhnya, sebagaimana yang digambarkan dalam syair ini:

 

Jika saya menutup kelopak mata saya.

tidaklah saya berarti menyempitkan

lebarnya pandangan mata saya

kemudian saya memecahkan sebelah mata saya yang

sebenarnya tidak picak

 

Sekelompok orang (sebagian kaum sufi) mengatakan, “Iawajud bukanlah orang yang memasrahkan nilai ke-tawajud-annya (kepura-puraan cintanya) yang memang mengandung unsur pemaksaan (dibuat-buat) dan jauh dari kenyataan.”

 

Sekelompok sufi yang lain mengatakan, “Sesungguhnya tawajud adalah pemasrahan (rasa cinta) untuk orang-orang polos yang memang butuh dan menunggu-nunggu kehadiran arti cinta (nunggu kehadiran cinta juga termasuk ikhtiyar dan ikhtiyar masuk kategori pemaksaan).”

 

Abu Muhammad Al-Jariri, semoga Allah merahmatinya, menuturkan hikayatnya yang terkenal:

 

“Ketika saya (datang untuk) bersama (dalam majelis) Imam Al-Junaid yang di sebelahnya Ibnu Masruq (sudah lebih dulu) menemaninya, tiba-tiba Ibnu Masruq dan lainnya berdiri menyambut (karena kehadiran sesuatu), sementara Imam Al-Junaid diam dalam posisi semula. Saya heran lalu bertanya, ‘Wahai Tuanku, tidakkah Tuan punya sesuatu yang bisa dipakai untuk mendengar?” Imam Junaid menjawab (dengan menyitir sebuah petikan ayat): Dan kamu melihat gunung-gunung yang kamu kira (diam) membeku (tidak bergerak), padahal dia bergerak (seperti) gerakan awan.” (QS. An-Naml: 88). Kemudian dia melanjutkan, ‘Dan engkau, wahai Abu Muhammad, tidakkah kamu (juga) punya sesuatu yang bisa dipakai untuk mendengar?’ Saya pun menjawab, ‘Wahai Tuanku, jika saya hadir di suatu tempat yang di dalamnya ada (sesuatu) yang bisa didengar juga terdapat orang-orang yang merasa nikmat dengan ketidaktahuan dirinya (tidak tahu malu, yaitu orang-orang yang mencari perhatian), maka saya mencegah wijdu (rasa cinta) saya untuk tidak menguasai saya. Jika saya sendirian (kosong), maka saya mengirimkan wijdu saya sehingga saya menjadi fawajud (orang yang pura-pura punya rasa cinta). Pada kesempatan tersebut, saya mengucapkan istilah tawajud, dan Al-Junaid diam tidak mengingkarinya (berarti, dia membenarkan secara diam).”

 

Saya pernah dengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq, semoga Allah merahmatinya, berkata, “Ketika manusia menggembala (memelihara) dalam kondisi kependengarannnya, lalu merawat anugerah-anugerah-(Nya), maka Allah pasti (ganti) memeliharanya pada waktu bersamaan karena keberkatan perawatannya.”

 

Sedangkan urjdu (rasa cinta) adalah apa yang menubruk hatimu dan datang kepadamu (kedatangan rasa.cinta ke dalam hati) dengan tanpa unsur sengaja dan pemaksaan (dibuat-buat). Oleh karena itu, para guru sufi mengatakan, ” Wijdu adalah tubrukan (hantaman atau sentuhan rasa yang datang dari luar). Wijdu-wijdu ini merupakan buah dari wirid-wirid (amalan bacaan ayat tertentu atau zikir). Setiap orang yang tugas-tugasnya (jumlah pengamalan wirid) bertambah, maka akan bertambah (pula) kelembutan-kelembutannya (rahasia-rahasia wirid) yang diperolehnya dari Allah.”

 

Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq, semoga Allah merahmatinya, berkata, “Kehadiran waridat (sesuatu yang datang berupa rasa atau prestasi batin dan warid adalah bentuk mufradnya) berkaitan dengan wirid-wirid (yang diamalkan). Barangsiapa secara zhahir tidak punya (tidak melakukan) wirid, maka secara batin tidak ada warid yang datang. Setiap wijdu dari pemiliknya yang memiliki sesuatu bukanlah wijdu. Sebagaimana seorang salik yang membebani dirinya dengan berbagai amalan zhahir (bacaan wirid) yang nantinya akan memperoleh manisnya taat. Maka dari itu, apa-apa yang membuat seorang salik turun (untuk memposisikan batinnya) dari hukum-hukum batin menjadikan dia harus mendapatkan sejumlah wijdu. Dengan demikian, rasa manis adalah buah dari amalan-amalan wirid, sedangkan wijdu merupakan hasil dari posisi (batin) yang diraihnya.”

 

Adapun wujud keberadaannya setelah kenaikan wijdu. Tidak ada wujud Al-Haqq kecuali setelah padamnya sifat kemanusiaan, karena tidak ada sifat kemanusiaan yang tetap (eksis atau muncul) ketika kekuasaan yang sesungguhnya (sultan Al-Haqq) muncul. Inilah arti ucapan Abu Husin AnNuri: “Saya semenjak dua puluh tahun antara wijdu dan fagdu (sirna). Artinya, jika saya mendapati Tuhanku, maka saya tidak mendapati hatiku (sirna atau faqdu). Jika saya mendapati hatiku (eksistensi diri dalam batin), maka saya tidak mendapati Tuhanku.” Pengertian ini paralel dengan pendapat Imam Al-Junaid: “Ilmu tauhid berbeda-beda menurut keberadaan wujud (seseorang). Wujud-nya (juga) berbeda-beda menurut ilmunya.”

 

Seorang penyair sufi mengatakan:

 

wujud-ku (mengada ketika)

saya melenyapkan Wujud

dengan sesuatu yang tampak padaku berupa persaksian-persaksian

 

Berarti, tawajud adalah permulaan, wujud adalah pungkasan, dan wijdu merupakan penengah antara permulaan dan pungkasan.

 

Saya pernah dengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan, “Tawajud mengharuskan salik sadar penuh (paham hukumhukum Tuhan). Wijdu mengharuskannya tenggelam, dan wujud mengharuskannya binasa (kehancuran unsur-unsur kemanusiaannya). Hal ini seperti orang yang menyaksikan lautan, kemudian mengendarai laut, dan akhirnya tenggelam dalam lautan. Urutan-urutannya adalah ketertujuan (pelurusan arah tujuan), kemudian kedatangan, kemudian kesaksian, kemudian ke-wujudan, dan akhirnya kesirnaan. Dengan standar kepenguasaan wujud, kesirnaan akan berhasil.”

 

Salik yang mengalami wujud mempunyai dua keadaan: shahwun (sadar) dan mahwun (sirna, tak sadar). Kondisi shahwun-nya (kesadarannya) merupakan ketetapannya bersama Al-Haqq. Kondisi mahwun-nya (tak sadar) merupakan kesirnaannya bersama Al-Haqq. Dua keadaan ini berlawanan dan datang secara silih berganti. Jika maqam shahwun-nya mendominasi dirinya, maka bersama Al-Haqq dia sampai dan dengan-Nya pula dia bicara. Rasulullah Saw. pernah bersabda ketika mengabarkan tentang Al-Haqq: “Maka denganku Dia mendengar dan denganku (pula) Dia melihat.”

 

Manshur bin Abdullah menuturkan pengalamannya, “Seorang lelaki datang berdiri di majelis Asy-Syibli, lalu bertanya, “Apakah tampak tanda-tanda kesehatan wijdu pada pemiliknya (wajid)?’ Kemudian dijawab, ‘Benar. Cahaya itu bersinar, menyertai pencaran rindu, lalu tanda-tandanya menerangi ujud fisiknya.”

 

Kenyataan ini seperti yang digambarkan Ibnu Al-Mu’taz dalam syairnya:

 

gelas dihujani air

dari guci-gucinya lalu

tumbuh mutiara

di bumi berupa emas

kaum bertasbih saat

melihat keajaiban

cahaya dari air dalam

cahaya dari anggur

arak salafah warisan

suku ‘Ad dari Kota Irmis

merupakan harta simpanan

Kisra dari ayah ke ayahnya

 

Dilaporkan pada Abu Bakar Ad-Daqqi: “Sesungguhnya Jahmu Ad-Daqqi memegang sebuah pohon dengan tangannya ketika dalam keadaan mendengar yang meluap (mengalami maqam mahwun), sehingga pohon tercabut sampai ke akarnya. Kemudian keduanya bertemu. Ketika itu Abu Bakar Ad-Daqqi matanya buta. Sementara Jahmu Ad-Daqqi berdiri sambil berputar-putar dalam kemarahannya. Lalu Abu Bakar Ad-Daqqi berkata, Jika dia mendekatiku, kalian perlihatkan dia padaku. Padahal Abu Bakar Ad-Daqqi dalam keadaan lemah. Jahmu pun lantas berjalan mendekati Abu Bakar. “Ini dia, teriak orang-orang saat jarak Jahmu sudah dekat. Maka, Abu Bakar Ad-Daqqi memegang betis Jahimu, lalu ditancapkannya ke tanah sehingga dia tidak mungkin bergerak lagi. Wahai Tuan Guru, rintih Jahmu, ‘tobat … tobat … saya tobat.” Dan Abu Bakar membiarkannya.”

 

Ustaz Asy-Syaikh Abu Ali Ad-Daqaq mengomentari keja. dian ini: “Luapan kemarahan Jahmu bersama Al-Haqq. Kemam. puan Abu Bakar Ad-Daqqi mencegah kemarahan Jahmu juga bersama Al-Haqq. Akan tetapi, ketika Jahmu sadar bahwa maqam Ad-Daqqi berada di atas maqamnya, dia kembali sadar dan pasrah.”

 

Seperti demikianlah keadaan orang yang tidak satu pun hal yang mendurhakainya bersama Al-Haqq. Seseorang yang mengalami mahwun, dia (merasa) tidak punya ilmu, tidak berakal, tidak paham, dan tidak berasa.

 

Istri Abu Abdullah At-Taraghindi mengisahkan bencana kelaparan yang terjadi di musim paceklik, “Ketika musibah kelaparan menimpa, banyak manusia yang mati kelaparan. Kemudian Abu Abdullah, suaminya, pulang ke rumah, dan di sudut kamar dia melihat dua timbangan gandum. Dia terkejut dan merasa bersalah, bagaimana mungkin gandum bisa ada di rumahnya. Orang-orang mati kelaparan, sementara di rumahku masih tersisa sedikit gandum,’ tangisnya. Hal itu membuat pikirannya kusut. Jiwanya tergoncang. Kesadarannya terbelah. Dia merasa berdosa yang seoiah-olah tak terampuni lagi. Keadaan Itu membuatnya tidak sadarkan diri kecuali ketika waktu salat fardu tiba. Selesai menjalankan salat, dia kembali tidak sadar (maqam mahwun), dan keadaan ini terus berlangsung hingga maut menjemputnya.”

 

Ini adalah hikayat yang menunjukkan keberadaan seorang laki-laki yang tetap menjaga hukum-hukum syar’i meski hukumhukum hakikat sedang menguasai dirinya. Dan, ini merupakan salah satu sifat ahli hakikat. Kemudian sebab kesirnaan dirinya dari kemampuan membelah kesadarannya untuk membantu saudara-saudaranya (umat Islam) yang kelaparan, sehingga membuatnya tak sadar, merupakan bentuk tingkat magarn hakikat yang tinggi.

 

7. ALJAM’U DAN AL-FARQU

 

Dua astilah ini berlaku di kalangan ahli sufi”. Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq pernah mengatakan, Al-farqu dihubungkan pada Anda, sedangkan al-jam’u merupakan sesuatu yang dicabut dari Anda.” Artinya, pelaksanaan ibadah yang keberadaannya merupakan hasil upaya salik dan apa-apa yang hanya patut dengan tingkahpolah (keadaan) kemanusiaan dinamakan farqu. Sedangkan halhal berupa penampakan makna, penguluran kelembutan, dan penuangan kebagusan yang hanya bisa dihubungkan dengan Al-Haqq adalah jam’u. Barangsiapa dirinya dijadikan saksi oleh Al-Haqq untuk mempersaksikan semua perilakunya dengan ketaatan dan penentangan pada yang tidak benar, maka dia adalah seorang salik yang disifati farqu. Dan barangsiapa yang dijadikan saksi oleh Al-Haqq untuk menguasai dirinya berupa penampakan perilaku-perilaku ketuhanan Dzat Yang Mahasuci, maka dia adalah seorang salik yang diberi kesaksian jam’u. Dengan demikian, penetapan kemakhlukan melalui pintu farqu, dan penetapan ke-hakikat-an (ketuhanan Dzat Al-Haqq) melalui sifat jam’u.

 

Seorang salik harus pernah mengalami jam’u dan farqu. Seseorang yang tidak pernah mengalami argu, ibadahnya tidak bernilai. Seseorang yang tidak pernah mengalami jam’u, dia tidak mungkin mencapai magarn ma’ri at. Firman Allah yang berbunyi iyyaaka na’budu (QS. Al-Fatihah: 4) merupakan isyarat akan adanya farqu. Sedangkan iyyaaka nasta’iin (QS. Al-Fatihah: 5) merupakan gambaran keberadaan jam’u.

 

Jika salik berdialog dengan Tuhannya melalui bisikan lidahnya dengan meletakkan dirinya dalam posisi sebagai pengadu, pendoa, pemuji, pengucap syukur, atau pemunajat, maka hakikatnya dia dalam posisi argu. Jika dia memperdengarkan dengan kekuatan rahasianya pada sesuatu yang dimunajatkan kepada Maulanya (maksudnya Allah Zat Yang mengatur dirinya), dan memperdengarkan dengan telinga batinnya pada sesuatu yang didialogkan tentang apa-apa yang dimunajatkan, diserukan, atau yang dipahami kedalaman maknanya, atau isyarat-isyarat hatinya dan kesaksian-kesaksian ruhnya, maka dia dalam posisi jam’u.

 

Saya pernah dengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq, semoga Allah merahmatinya, berkata, “Seorang penyanyi sedang mendendangkan gubahan lagu-lagunya di hadapan Ustaz Abu Sahal Ash-Sha’luki. Salah satu gubahannya berbunyi: “Saya menjadikan (ja’altu) kesucian pandanganku kepadamu”. Padahal ketika itu Abul Qasim An-Nashr Abadzi sedang di situ. Maka Abu Sahal menimpalinya, Ja’alta (engkau jadikan), dengan di-fathah huruf ta’-nya. Sementara An-Nashri Abadzi mengomentari, Bal ja altu (bahkan aku jadikan), dengan di-dhammah huruf ta’-nya.”

 

Artinya, seseorang yang mengatakan ja’altu (aku jadikan) dengan di-dhamah ta’-nya, hakikatnya mengabarkan tentang keadaan dirinya. Seakan-akan dia mengatakan “inilah” (saya). Jika mengatakan ja’alta (Engkau menjadikan) dengan di-fathah ta’-nya, seakan-akan dia membebaskan dirinya dari keberadaan “terbebani” (upaya). Bahkan, dia mengatakan pada Maulariya (Allah), “Engkaulah Dzat Yang Mengkhususkanku dengan ini, bukan saya (sendiri yang) dengan (berbagai upaya) membebaniku.” Yang pertama berada diatas kegelisahan tuntutan (beban kewajiban). Yang kedua berada dengan sifat “kebebasan” (kosong atau ketiadaan dirinya) dari kekuatan dan pengakuan akan pemilikan keutamaan dan anugerah. Perbedaan dua posisi ini juga bisa dilihat dalam dua pernyataan doa salik. Yang pertama berdoa “dengan kesungguhanku saya berdoa kepada-Mu” (dia dalam maqam farqu). Yang kedua berdoa “dengan keutamaan dan kelembutan-Mu saya mempersaksikan (diriku) pada-Mu” (dia dalam maqam jamu).

 

Adapun jam’ul jam’i posisinya berada di atas semua ini. Dalam posisi demikian manusia juga berbeda-beda tergantung pada perbedaan keadaan dan derajat mereka. Barangsiapa menetapkan (mengakui keberadaan) dirinya, berarti dia menetapkan (keberadaan) kemakhlukannya (farqu). Jika semua kesaksiannya didudukkan bersama Al-Haqq, maka dia di alam jam’u. Akan tetapi, jika dirinya disambar dari kesaksian kemakhlukannya, kemudian didamaikan dan diambil segenap rasa yang menyangkut keseluruhan kemakhlukannya yang tampak, lalu dikuasakan padanya dari wewenang hakikat (Al-Haqq), maka demikian itu dinamakan jar’ul jan’i.

 

Farqu adalah kesaksian untuk Allah yang berubah-ubah. Jam’u merupakan kesaksian bersama Allah. Sedangkan jam’ul jan’i merupakan kehancuran diri (yang berkaitan) dengan keseluruhan alam dan kelenyapan rasa (yang berkaitan) dengan sesuatu selain Allah ketika nilai hakikat mengalahkan dirinya. Keadaan yang sangat mulia ini (jam’ul jam’i) oleh kaum sufi dinamakan farqu kedua. Maqam ini mengembalikan salik pada keadaan shahurun (sadar) ketika waktu-waktu penunaian kewajiban hadir. Kesadarannya bersamaan kehadiran waktu dimaksudkan untuk memberlakukan baginya pelaksanaan beberapa kewajiban tepat pada saat waktunya tiba. Dengan demikian, salik kembali kepada, untuk, dan dengan Allah, tidak untuk dan dengan hamba. Sehingga, dia memungkinkan untuk mempelajari (meniti-niti) dirinya dalam lingkup gerakan Al-Haqq. Dia menyaksikan tempat penampakan Dzat dan Ujud-Nya dengan gudrat-Nya serta tempat aliran perbuatan-perbuatan dan beberapa keadaan-Nya pada dirinya dengan ilmu dan kehendak-Nya.

 

Sebagian kaum sufi menjadikan jam’u dan farqu sebagai isyarat (istilah) yang menunjukkan keberadaan peran pengubahan AI-Haqq pada keseluruhan tingkah laku makhluk. Semua makhluk dari sisi pertumbuhan zat dan arus perjalanan sifat-sifatnya berada dalam genggaman peran pembolak-balikan dan pengubahan Al-Haqq. Dari situ Al-Haqq membeda-bedakan (memisah-misahkan atau menjadikan beberapa farqu) mereka dalam beberapa macam. Sebagian dibahagiakan, sebagian lagi dijauhkan dan disengsarakan. Sebagian diberi petunjuk, sebagian lagi disesatkan dan dibutakan. Sebagian diberi tabir penutup, sebagian lagi ditarik dan disingkapkan tabir pemisahnya. Sebagian dibelas-kasihi dengan ketersambungan dirinya dengan-Nya, sebagian lagi dibiarkan putus asa dan jauh dari rahmat-Nya. Sebagian dimuliakan dengan taufiq-Nya, sebagian lagi dicabut hingga ke akarnya ketika tercampakkan dari proses pendakian hakikat. Sebagian disadarkan (shahwun), sebagian lagi dihapus kesadarannya (mahwun). Sebagian diakrabkan, sebagian lagi disirnakan. Sebagian didekatkan dan dihadirkan kemudian diberi minum lalu mabuk, dan sebagian lagi disengsarakan, diakhirkan kemudian dijauhkan dan dipisahkan. Macam-macam perilaku. Nya tidak bisa dibatasi. Tidak ada penjelasan dan penyebutan yang mampu memerinci-Nya.

 

Imam Al-Junaid, semoga Allah merahmatinya, menggubah serangkaian syair tentang arti jam’u dan farqu.

 

saya nyatakan Kamu dalam kerahasiaanku lalu lidahku bermunajat kepada-Mu maka kami menyatu (jam’u) untuk sejumlah makna Dan berpisah (farqu) untuk sejumlah rnakna jika pengagungan melenyapkan-Mu dari lirikan mata-mataku maka sungguh wijdu menjadikan-Mu isian yang mendekatkariku (pada-Mu)

 

8. FANA’ DAN BAQA’

 

Istilah fana’ oleh kaum sufi dipakai untuk menunjukkan keguguran sifat-sifat tercela, sedangkan baqa’ untuk menandakan ketampakan sifat-sifat terpuji. Jika pada diri salik tidak ditemukan dari salah satu kelompok sifat ini, maka pasti ditemukan sifat-sifat lain. Barangsiapa kosong (fana’) dari sifat-sifat tercela, maka sifat-sifat terpuji mengada. Barangsiapa dirinya dikalahkan oleh sifat-sifat tercela, maka sifat-sifat terpuji tertutupinya.

 

Ketahuilah, apa yang menjadi sifat seorang salik pasti mengandung tiga hal, yaitu af’al, akhlak, dan ahwal. Af’al (perbuatan-perbuatan salik) adalah tingkah laku manusia yang diperagakan dengan kemampuan ikhtiarnya. Akhlak merupakan perangainya. Akan tetapi, keberadaannya selalu berubah seiring dengan tingkat penanganannya (pengendalian menuju arah perbaikan) yang berlangsung mengikuti perjalanan pembiasaan. Sedangkan ahwal merupakan awal langkah keberadaan kondisi salik. Ahwal mengembalikan posisi salik pada tahapan awal. Kejernihannya terjadi setelah kebersihan af’al (pertumbuhan dan perbaikannya).

 

Dengan demikian, keberadaan ahwal seperti akhlak. Karena, jika salik turun ke gelanggang kehidupan untuk memerangi akhlaknya dengan hatinya, lalu meniadakan (mem-fana’-kan) sifat-sifat jeleknya dengan kesungguhan jihadnya (semangat riyadhah), maka Allah menganugerahinya dengan perbaikan akhlak (maqam baqa’)? Demikian juga jika salik menekuni penyucian af al-nya dengan (pemanfaatan) curahan (rahmat) yang diperluaskan untuknya, maka Allah pasti akan menganugerahinya pembersihan ahwal-nya, bahkan menyempurnakannya.

 

Barangsiapa meninggalkan af’al (tingkah laku) tercela dengan lidah syariatnya, maka dia fana’ (kosong, sirna, tiada atau gugur) dari syahwatnya. Barangsiapa fana’ dari syahwatnya, maka dengan niat dan ikhlasnya diamenjadi baqa’ (tetap, muncul, mengada atau eksis) dalam ibadahnya. Barangsiapa zuhud dalam dunianya dengan hatinya, maka dia fana’ dari kesenangannya. Jika fana’ dari kesenangan dunia, maka dia baqa’ dengan kebenaran tobatnya. Barangsiapa terobati akhlaknya sehingga hatinya fana’ dari sifat hasud, dendam, bakhil, rakus, marah, sombong, dan sifat-sifat lain yang merupakan jenis kebodohan nafsu, maka dia fana’ dari akhlak tercela. Jika fana’ dari ketercelaan akhlak, maka dia baqa’ dengan fatwa dan kebenaran. Barangsiapa telah mampu menyaksikan gerak aliran kekuasaan-(Nya) dalam manifestasi pemberlakuan hukum-hukum (ketuhanan), maka dia dikatakan sebagai orang yang fana’ dari perhitungan dua kejadian (awal kejadian dan proses penggantian atau pengulangan) yang berlaku pada semua makhluk. Barangsiapa fana’ dari bayangan pengaruh-pengaruh sesuatu yang berubah-ubah, maka dia baqa’ dengan sifat-sifat Al-Haqq. Barangsiapa dikuasai oleh kekuasaan hakikat (penampakan Al-Haqq) sehingga tidak bisa menyaksikan hal-hal yang berubah-ubah, baik berupa zat, bekas-bekas, tapak. tapak, catatan-catatan, maupun reruntuhannya, maka dia fana dari makhluk dan baqa’ dengan Al-Haqq.

 

Fana’-nya salik dari af’al yang tercela dan ahwal yang rendah, dan dengan ke-fana’-an (ketiadaan) af’al dan ke-fana’-an dirinya dari dirinya dan keseluruhan makhluk dengan ditandai ketiadaan rasa pada dirinya sendiri dan sesuatu yang di luar (makhluk), maka dia menjadi fana’ dari af’al, akhlak, dan ahwal. Jika salik benar-benar fana’ dari ketiga-tiganya, maka tidak boleh ada sesuatu dari ketiga fana’ tersebut muncul (mengada).

 

Jika dikatakan seseorang fana’ dari dirinya dan keseluruhan makhluk, maka sebenarnya dirinya masih ada dan keseluruhan makhluk juga masih ada. Akan tetapi, orang yang mengalami demikian sudah tidak lagi memiliki pengetahuan, rasa, dan kabar yang berkaitan dengan dirinya dan semua makhluk. Hakikat dirinya masih ada, keberadaan keseluruhan makhluk pun masih ada, namun dia sudah lupa terhadap dirinya dan mereka. Dia tidak mampu merasakan keberadaan dirinya dan semua makhluk. Hal itu disebabkan kesempurnaan (klimak) kesibukannya dengan sesuatu (Dzat) yang lebih tinggi dari itu semua.

 

Barangkali kamu pernah menyaksikan bagaimana gambaran seorang pria yang masuk ke ruangan seorang penguasa atau raja yang bengis (atau yang sangat berwibawa). Tentu dia akan kebingungan dan kehilangan nalar. Dia tidak sadar terhadap keberadaan dirinya dan orang-orang di majelis raja. Bagaimana bentuk ruangan yang yang dimasukinya, apa isinya, dan bagaimana rupa dirinya, dia tidak tahu dan tidak mungkin mengabarkan perihalnya.

 

Dalam Al-Quran, gambaran semacam ini pernah diperlihatkan Allah dalam kisah Nabi Yusuf a.s.

 

“Maka, ketika wanita-wanita itu melihatnya (Nabi Yusuf a.s.), mereka mengucapkan takbir (takjub) dan (lalu) memotong tangari mereka (sendiri). (QS. Yusuf: 31)

 

Wanita-wanita bangsawan Mesir ini ketika melihat ketampanan wajah Yusuf a.s. saat melintas di depan mereka, mereka terkejut, malu, segan, kagum, dan amat kesengsem, sehingga tidak terasa pisau yang dipegangnya memotong tangan mereka sendiri. Mereka adalah selemah-lemahnya manusia.

 

“Dan, mereka mengatakan, ‘Mahasempurna Allah, tidaklah ini manusia melainkan malaikat yang mulia.” (QS. Yusuf: 31)

 

Ini merupakan gambaran makhluk yang lupa terhadap keberadaan (kondisi) dirinya ketika bertemu makhluk yang lain. Maka, bagaimana menurutmu jika seseorang tersingkap (mukasyafah) dari tabir yang menutupi Al-Haqq. Jika makhluk saja bisa lupa akan keberadaan rasa terhadap dirinya dan sesama makhluknya, maka apa tidak akan lebih menakjubkan (lupa, tak sadar, dan lalai) jika yang ditemuinya adalah Al-Haqq.

 

Barangsiapa fana’ dari kebodohannya, maka dia baqa’ dengan ilmunya. Barangsiapa fana’ dari syahwatnya, maka dia baqa’ dengan tobatnya. Barangsiapa fana’ dari kesenangan dunia, maka dia baqa’ dengan zuhudnya. Barangsiapa fana’ dari angan-angannya, maka dia baqa’ dengan kehendaknya, dan demikian seterusnya dalam keseluruhan proses penyempurnaan akhlak. Jika salik fana’ dari sifat-sifatnya yang tersebut di atas, maka dia naik dari ke-fana’-annya yang fana’ dari fana’-nya. Salik yang mengalami fana’ semacam ini sadar akan keana’-annya dan melihat proses ke-fana’-annya. Hal ini seperti yang tergambar dalam syair di bawah ini:

 

suatu kaum tersesat di

tanah lengang yang sunyi

kaum yang lain tersesat

di medan (gemuruh) cinta

maka mereka fana’ kemudian

fana’ kemudian fana’ (lagi)

dan baqa’ dengan baqa’ dari

(karena) dekatnya dengan Tuhan

 

Yang pertama fana’ dari dirinya lalu muncul sifat-sifatnya, dan ke-baga -an sifat-sifatnya mengada dengan sifat-sifat Al-Haqq, kemudian mengalami fana’ lagi dari sifat-sifat Al-Haqq, lalu muncul kesaksiannya bersama penampakan Al-Haqq, kemudian timbul fana’ berikutnya dari kesaksian ke-fana’-annya bersama kehancuran dirinya dalam wujud Al-Haqq.

 

9. GHAIBAH DAN HADHUR

 

Ghaibah adalah ketiadaan (kekosongan) hati dari ilmu yang berlaku bagi ahwal (kondisi atau pola perilaku) makhluk karena (terhalang oleh) kesibukan rasa dengan “sesuatu yang datang” (warid, kehadiran rasa alam spiritual) kepadanya. Kemudian, keberadaan rasa terhadap diri dan lainnya menjadi ghaibah (gaib atau hilang) sebab kehadiran warid itu yang berujud dalam bentuk kesadaran akan ingatan pahala dan siksa.

 

Diriwayatkan bahwa ketika Rabi’ bin Khaitsam berkunjung ke rumah Ibnu Mas’ud r.a. dan lewat di depan kedai seorang pandai besi, dia melihat sepotong besi yang dibakar di tungku ubupan besi dalam keadaan merah membara. Tiba-tiba matanya tidak kuat memandang lalu pingsan seketika. Setelah siuman, Rabi ditanya, lalu menjawab, “Saya ingat keadaan penduduk neraka (yang sedang dibakar) di neraka.”

 

Sebuah kejadian yang sangat aneh pernah menimpa Ali bin Husin. Rumah yang ditempatinya terbakar saat dia menjalankan salat, dan dia tidak bergeming sedikit pun dari sujudnya ketika api mulai menjalar ke tempatnya salat dan kemudian memusnahkan rumahnya. Para tetangganya heran, lalu menanyakan keadaannya. “Api yang amat besar sangat menggelisahkanku daripada api ini,” jawabnya.

 

Terkadang kondisi ghaibah disebabkan oleh ketersingkapan sesuatu dalam dirinya dengan Al-Haqq, kemudian keberadaannya berbeda menurut perbedaan ahwual-nya.

 

Keadaan (hal) yang mengawali Abu Hafsh An-Naisaburi saat meninggalkan pekerjaannya di kedai pandai besinya dimulai dari peristiwa pembacaan ayat suci Al-Quran yang dia dengar dari seorang gari’. Bacaan itu mempengaruhi hatinya sehingga membuatnya lupa tentang “rasa” saat suatu warid datang menguasai jiwanya. Kemudian tangannya dimasukkan ke dalam api dan mengeluarkan potongan besi panas yang sedang membara tanpa merasakan panas sedikit pun. Seorang muridnya melihatnya dengan heran lalu berteriak, “Wahai Guru, ada apa ini?” Abu Hafsh sendiri heran, lalu melihat apa yang terjadi. Semenjak itu, dia bangun dan meninggalkan pekerjaannya sebagai pandai besi.

 

Saya pernah mendengar Abu Nasher, seorang muazin Naisabur yang sangat saleh, menuturkan pengalaman spiritualnya, “Saya pernah baca Al-Quran di majelis Abu Ali Ad-Daqaq ketika beliau di Naisabur. Beliau banyak mengupas masalah haji sampai fatwanya sangat mempengaruhi hati saya. Pada tahun itu juga saya berangkat ke Mekkah untuk melaksanakan haji dan meninggalkan pekerjaan dan semua aktivitas keduniaan. Ustadz Abu Ali sendiri, semoga Allah merahmatinya, juga berangkat menunaikan haji pada tahun itu pula. Ketika beliau masih tinggal di Naisabur, sayalah yang melayani keperluan beliau juga membacakan Al-Quran di majelisnya. Suatu hari saya melihat beliau di padang sahara sedang bersuci dan lupa (meninggalkan) sebuah tempayan yang tadi di bawanya. Lalu saya ambil dan mengantarkannya ke binatang tunggangannya dan meletakkan di sisinya. “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan atas apa yang kamu bawakan ini,” sambutnya sederhana. Kemudian beliau memandang saya cukup lama, seakan-akan belum pernah melihat saya sama sekali. “Saya baru melihatmu, siapakah Anda?”

 

“Subhanallah! Permohonan bantuan memang hanya pada Allah. Saya telah lama melayani Tuan. Saya keluar dan meninggalkan rumah dan harta bendaku gara-gara Tuan. Padang sahara yang sangat luas kemudian memutusku, dan sekarang Tuan mengatakan, saya baru melihatmu …!”

 

Adapun hadhur adalah keberadaan “hadir” bersama Al Haqq karena jika seseorang mengalami ghaibah (gaib) dari keberadaan semua makhluk, maka dia “hadir” (hadhur) bersama Al-Haqq. Artinya, keberadaannya seakan-akan “hadir” dikarenakan dominasi ingatan Al-Haqq (zikir) pada hatinya. Dia hadir dengan hatinya di hadapan Tuhannya. Dengan demikian, ke-ghaibah-annya dari keberadaan makhluk menjadikannya hadhur (hadir) bersama Al-Haqq. Jika semua yang ada ini pada sirna, maka keber. adaan hadhur mengada menurut tingkat ghaibah-nya. Jika dikata. kan “fulan hadir,” artinya dia hadir dengan hatinya ke haribaan Tuhannya dan lupa pada selain-Nya, kemudian dalam ke-hadhur-annya segalanya menjadi tersingkap menurut derajatnya dengan curahan sejumlah makna (pengertian, kesadaran, dan kerahasiaan ketuhanan) yang dikhususkan Allah untuknya.

 

Terkadang dikatakan (bahwa keberadaan hadhur) dikarenakan kembalinya salik pada rasanya dengan ahwal jiwanya, dan ahwal kemakhlukan yang kembali (kepada Tuhannya) dari alam ghaibah-nya. Yang pertama hadhur dengan Al-Haqq, dan yang kedua hadhur dengan makhluk. Ahwal manusia dalam maqam ghaibah berbeda-beda. Sebagian mengalaminya tidak terlalu lama, sebagian lagi dalam masa yang abadi (sampai mati).

 

Dikisahkan bahwa Dzum Nun Al-Mishri, seorang guru sufi besar, pernah mengutus seseorang dari pengikutnya datang ke rumah Abu Yazid Al-Busthami untuk mempelajari sifat-sifatnya. Setibanya di Kota Bustham, utusan ini bertanya pada seseorang tentang rumah Abu Yazid, kemudian pergi menuju tempat yang ditunjuk dan bertamu ke rumahnya. Di sana terjadi dialog teologis yang sangat menawan.

 

“Apa yang kamu kehendaki?” tanya Abu Yazid.

 

“Tuan Abu Yazid.”

 

“Siapakah Abu Yazid? Di mana Abu Yazid? Saya sendiri dalam pencarian Abu Yazid?”

 

Utusan ini keluar seraya berteriak, “Dia gila!” Kemudian dia kembali ke rumah gurunya, DzunNun,dan melaporkan semua yang disaksikan. Tiba-tiba DzunNun menangis, “Saudaraku, Abu Yazid telah pergi bersama orang-orang yang pergi menuju Allah.”

 

10. SHAHWU DAN SUKRU

 

Shahwu (sadar dan kemabukan) adalah kembalinya salik pada rasa setelah mengalami ghaibah. Sedangkan sukru (mabuk cinta karena Allah) adalah proses ghaibah dengan kehadiran warid yang kuat. Artinya, Sukru merupakan bentuk lain ghaibah yang lebih kuat. Salik yang mengalami sukru terkadang dimuaikan (dipudarkan, diterangkan, dan dilapangkan) jika sukru-nya belum penuh. Dalam keadaan demikian, terkadang kekhawatiran terhadap hal-hal menjadi gugur (lepas) dari hatinya.

 

Demikian itu menunjukkan bahwa salik masih dalam maqam mutasakir (pura-pura mabuk atau seolah-olah mabuk) karena warid yang datang belum sepenuhnya (dominasi rasa yang menyebabkan mabuk). Keberadaan rasanya masih tenggelam dalam kemabukan untuk rasanya. Terkadang juga sukru-nya sangat kuat hingga menambah tingkat ghaibah-nya. Terkadang pula salik yang mengalami sukru tingkat ghaibah-nya jauh lebih kuat daripada penapak maqam gharbah sendiri jika memang tingkat sukru-nya sangat kuat. Terkadang juga penapak ghaibah tingkat ghaibah-nya lebih sempurna daripada penapak sukru jika yang terakhir ini masih dalam takaran mutasakir, pura-pura mabuk atau belum mabuk yang sesungguhnya.

 

Kehadiran ghaibah terkadang dikarenakan sesuatu yang mengalahkan dan mendominasi hati. Sesuatu ini mungkin berupa paksaan rasa senang dan takut atau permasalahan (bukan masalah duniawi) yang membuatnya takut dan harap. Sukru tidak mungkin terjadi kecuali terhadap salik yang telah mengalami wijdu (lihat pasal wijdu). Jika diri salik telah disingkap dengan sifat keindahan (Al-Haqq dalam penampakan sifat Yang Mahaindah), maka dia akan mengalami sukru, ruhnya bingung (karena susah pada murka Allah dan gembira pada rahmat-Nya) dan hatinya menjadi linglung.” Tentang sukru yang tumbuh dari ketersingkapan keindahan Al-Haqq, para penyair sufi meng, takan:

 

Kesadaranimu (shal’wu) dari (sebab)

lafal-Ku adalah sampai semuanya

kemabukanmu (sukru) dari (sebab) lirikan-Ku

adalah membolehkan untukmu semua minuman

kaum mabuk di sekeliling gelas

sedang mabukku dari (sebab) Al-Mudir

saya punya dua kermabukan

sementara peminum hanya satu

sesuatu yang dikhususkan padaku

di antara mereka adalah kesendirianku

 

Ketahuilah, sesungguhnya keberadaan shahwu tergantung pada sukru. Barangsiapa sukru-nya dengan Al-Haqq, maka shahwu. nya juga bersama Al-Haqq. Barangsiapa sukru-nya dicampur dengan nasib baik, maka shahwu-nya pasti dikawani dengan nasib baik pula. Barangsiapa dalam hal-nya keberadaan hakikatnya benar-benar esensi, maka dalam sukru-nya pasti terpelihara. Sukru dan shahwu keduanya menunjukkan ujung perpisahan (lihat maqam farqu). Jika keberadaannya muncul dari kekuasaan hakikat (dominasi Al-Haqq), maka pasti diketahui bahwa sifat salik adalah hancur, celaka, sedih, dan dipaksa. Dalam pengertian ini, para penyair sufi mengatakan:

 

Jika pagi telah terbit

dengan bintang yang segar maka akan sama di dalamnya antara mabuk dan sadar

 

Allah berfirman:

 

“Ketika Tuhannya menampak pada gunung, gunung menjadi pecah dan Musa jatuh pingsan tersungkur.” (Al-A’raf: 143)

 

Ini menunjukkan ketundukan risalah Musa a.s. sehingga membuatnya jatuh pingsan dalam posisi tersungkur. Kerasnya gunung dan kekokohan struktur fisiknya menjadi hancur berkeping-keping dan rata dengan tanah ketika Tuhan menampakkan diri-Nya.

 

Salik dalam keadaan sukru-nya mampu menyaksikan hal (keadaan mabuk) dan dalam keadaan shahwu-nya dapat menyaksikan ilmu, kecuali jika keadaan sukru-nya terpelihara, tidak dengan paksaan, dan dalam hal-nya shahwu-nya juga terpelihara dengan pengontrolan perilakunya. Shahwu dan sukru keberadaannya setelah kemunculan rasa dan minum.

 

11. DZAUQ DAN SYARAB

 

Di antara kumpulan istilah tasawuf yang berlaku di kalangan kaum sufi adalah dzauq (rasa) dan syarab (minum). Istilah ini mereka gunakan untuk mengungkapkan buah tajalli (penampakan sifat-sifat dan nama-nama Tuhan) dan nilai-nilai kasyaf (ketersingkapan tabir misteri ke-Mahamutlak-an Tuhan) serta kehadiran kejutan-kejutan yang muncul spontan. Dalam proses penapakan pencarian hakikat dari aspek ini, tahapan pertama adalah dzauq, kemudian syarab, dan akhirnya irtiwa’ (minum sepuas-puasnya).

 

Kejernihan perilaku salik mengharuskan pelakunya memperoleh dzauq (merasakan kelezatan) makna-makna. Ketepatan pemenuhan atas mnanazilat (maqam, pos-pos spiritual atau tahapantahapan pencapaian makna spiritual, seperti ketepatan pememuhan pencapaan maqam dzauq) mengharuskan pelakunya memperoleh syarab, dan keberlangsungan yang terus-menerus dalam meminum kandungan makna spiritual (syarab yang sambungmenyambung) memastikan pelakunya memperoleh irtiwa’.

 

Salik yang mengalami dzauq adalah “pemabuk” yang purapura. Salik yang mengalami syarab adalah “pemabuk” yang sesungguhnya. Dan, salik yang mencapai irtiwa’ hakikatnya orang yang “sadar”. Barangsiapa kuat cintanya (pada Allah), maka syarab-nya akan berlangsung secara terus-menerus. Jika sifat ini yang dimotori kekuatan cinta yang bekerja secara aktif, maka syarab (minuman cinta) tidak akan membuatnya mabuk. Salik yang telah mencapai tingkatan ini, akan selalu dalam kondisj sadar (tidak mabuk) bersama AI Haqq dan fana’ (lenyap atau tidak terpengaruh sama sekali) dari semua yang bersifat eksis, status atau nasib keduniaan. Dia tidak akan terpengaruh oleh apa yang datang kepadanya dan tidak berubah dari sesuatu yang dia ber, sama-Nya. Barangsiapa sirri-nya (sesuatu yang bersifat rahasia) jemih, maka syarab tidak akan mengeruhkan dirinya. Barangsiapa syarab telah dijadikan makanannya, maka dia tidak akan mampu bertahan kecuali dengannya dan tidak bisa stabil (sadar atau tidak mabuk) dengan tanpa kehadirannya (syarab). Mereka bersyair:

 

Arak adalah minuman kami

jika kami belum merasakannya

kami tidak mungkin bisa hidup

Saya heran terhadap orang yang

mengatakan aku ingat Tuhanku

mengapa saya lupa lalu

saya mengingatkannya

tentang apa yang saya lupakan

saya minum cinta

segelas demi segelas

minuman tidak juga habis

dan saya belum juga merasa puas

 

Yahya bin Mu’adz pernah menulis sepucuk surat kepada Abu Yazid Al-Busthami. Isi suratnya sebagai berikut:

 

“Ya, di sinilah! Dari minum segelas cinta, sesudahnya tidak akan merasa haus lagi.”

 

Kemudian Abu Yazid membalasnya:

 

“Dari sinilah, saya heran atas kelemahan keadaanmu, orang yang meminum lautan (cinta) alam. Dia selalu membuka mulutnya lebarlebar meminta tambah minuman.”

 

Ketauhilah, sesungguhnya gelas-gelas (minuman atau syarab yang menjadikan) keterdekatan tampak dari yang gaib, dan tidak akan berputar kecuali di atas rahasia-rahasia gigitan, dan ruh dari kelembutan sesuatu terbebaskan.

 

12.MAHWU DAN ITSBAT

 

Mahwu adalah keterangkatan (tercabut) sifat-sifat yang telah menjadi kebiasaan. Sedangkan itsbat merupakaan penegakan hukum-hukum ibadah. Barangsiapa meniadakan dari ahwal sifat-sifat yang tercela, kemudian diganti dengan sifat-sifat dan ahwal yang terpuji, maka dia mengalami maqam mahwu sekaligus itsbat.

 

Saya pernah mendengar Abu Ali Ad-Daqaq, semoga Allah selalu merahmatinya, menceritakan tentang sekelompok guru yang bertanya pada seorang sufi, “Apa yang kamu maksud mahwu dan itsbat?” Laki-laki sufi itu diam, kemudian menjawab, “Engkau mengetahui bahwa waktu mengalami mahwu dan itsbat, maka sungguh terlantar dan sia-sialah seseorang yang tidak mempunyai (tidak mengalami) mahwu dan itsbat.”

 

Mahwu dibagi menjadi mahwu zillah (lenyap), mahwu ghaflah (lupa), dan mahwu ‘illah (sebab). Yang pertama merupakan kelenyapan dari sesuatu yang bersifat zhahir. Yang kedua merupakan kelupaan dari yang bersifat batin. Dan yang ketiga keterhapusan pangkal atau sebab dari segala yang bersifat sirri (rahasia). Di dalam mahwu zillah terdapat penetapan perilaku. Di dalam mahwu ghaflah terdapat penetapan manazilat (kedudukan atau pos-pos pencapaian spiritual). Dan di dalam mahwu “Illah terdapat penetapan keberlangsungan. Mahwu dan ifsbat keberadaan keduanya harus disertai syarat ibadah. Hakikat keduanya bersumber dari gudrat. Artinya, mahwu adalah apa yang ditutup dan ditiadakan Al-Haqq, sedangkan ifsbat adalah apa yang ditampakkan dan diperlihatkan Al-Haqq. Mahwu dan itsbat keduanya memusat pada kehendak Allah.

 

Allah Swt. berfirman:

 

“Allah menghapus (mahwu) apa Yang dikehendaki dan menetapkan (itsbat apa yang dikehendaki).” (QS. Ar-Ra d: 39)

 

Artinya, menurut suatu pendapat, Allah menghapus (berbuat mahwu) ingatan (zikir) pada selaian Allah dari hati orang-orang ma’rifat, dan menetapkan (berbuat itsbat) ingatan pada Allah di lidah para murid. Mahwu Al-agg hanya milik Dzat Yang Satu dan penetapan-Nya (ifsbat) terjadi pada sesuatu yang patut dengan keadaannya.

 

Barangsiapa dihapuskan oleh Al-Haqq dari kesaksian, kesaksian, maka Al-Haqq pasti menetapkannya dengan kekuatan hakikat-Nya (perwujudan Al-Haqq). Barangsiapa dihapuskan oleh Al-Haqq dari penetapan (itsbat)Nya, maka Al-Haqq pasti mengembalikannya pada kesaksian-kesaksian yang berubah dan menetapkannya di lembah-lembah keterpisahan (farqu).

 

Seorang pria bertanya pada Asy-Syibli, semoga Allah merahmatinya, “Mengapa saya melihatmu gelisah? Bukankah Dia bersamamu dan kamu bersama-Nya?”

 

“Seandainya saya bersama-Nya,” jawab Asy-Syibli, “tentu keberadaan saya adalah saya. Akan tetapi, saya lenyap dalam sesuatu yang sesungguhnya adalah Dia. Seorang yang ahli hakikat pasti berada di atas mahwu karena mahwu masih merunggalkan bekas, sementara ahli hakikat tidak. Tujuan cita-cita (pencapaian maqam spiritual) kaum adalah keterhapusan mereka oleh Al-Haqq dari kesaksian-kesaksian mereka, kemudian (Dia) tidak mengembalikan mereka (sifat-sifat kemanusiaan) kepada mereka setelah keterhapusan mereka dari mereka (sifat-sifat yang tidak terpuji).”

 

13. SITRU DAN TAJALLI

 

Orang awam dalam ketertutupan sitru (tutup) dan orang khusus dalam keabadian tajalli (tampak). Dalam hadis dijelaskan bahwa Allah jika menampakkan diri-Nya (sifat-sifat dan namanama-Nya) pada sesuatu, maka sesuatu itu pasti tunduk kepadaNya.

 

Pemilik sitru (salik yang berada di ragam sitru) berada dengan sifat kesaksiannya, dan pemilik tajalli selamanya berada dengan sifat ketundukannya.

 

Sitru bagi hamba yang awam adalah siksaan dan rahmat bagi hamba yang khusus (seorang sufi yang telah mencapai tingkatan khusus), karena seandainya Dia tidak menutupi mereka (orang-orang khusus) atas apa-apa yang dengannya mereka menjadi tersingkap, maka mereka pasti musnah ketika berada di kekuasaan Al-Haqq. Akan tetapi, Dia menampakkan (tajalli) pada mereka sebagaimana menutup (sitru) mereka (sehingga mereka tidak musnah).

 

Manshur Al-Maghribi menceritakan tentang seorang fakir yang mendatangi (untuk mencari pertolongan) seorang Arab yang hidup (berkecukupan), lalu seorang pemuda menolongnya. Ketika pemuda ini sedang melayani si Fakir, tiba-tiba dia pingsan (sitru). Si Fakir heran, kemudian bertanya (pada orang-orang di sekitarnya) tentang keadaannya, lalu oleh mereka dijawab, “Pemuda itu mempunyai saudara sepupu Wanita yang telah lama dirindukannya. Suatu saat saudaranya itu lewat dan masuk kemahnya (perkemahan wanita). Namun, sebelum masuk ke perkemahan, puncung pakaiannya tersingkap diterbangkan angin dan pemuda itu melihatnya sehingga membuatnya pingsan seketika.”

 

Beberapa hari kemudian si Fakir mendatangi pintu perkemahan si gadis dan berkata kepadanya dari arah luar, “Seorang pemuda aneh mempunyai kehormatan dan hak pada diri kalian (si anak gadis dan keluarganya). Sekarang saya datang kepadamu meminta belas kasihan untuknya tentang keinginan pemuda aneh itu. Bersimpatilah kepadanya yang dia telah lama sangat mencintaimu.”

 

“Subhaanallah, engkau seorang pria yang berhati bersih, sementara dia seorang pemuda yang tidak mampu menyaksikan ketersingkapan puncung pakaianku, maka bagaimana dia mampu menggauliku?” jawab si gadis.

 

Kehidupan orang-orang yang awam berada dalam keadaan tajalli dan kesengsaraan mereka dalam keadaan sitru. Adapun orang-orang yang khusus berada di antara kehilangan akal dan hidup karena mereka menjadi linglung ketika Tuhan ber-tajalli dan dikembalikan pada nasib kehidupannya ketika Tuhan menutupi (sitru) mereka.

 

Dikatakan bahwa ketika Al-Haqq berfirman pada Musa a.s., “dan apa itu yang berada di tanganmu, hai Musa.” (Thaha: 17) tak lain bertujuan untuk menutupi Musa dengan sebagian sesuatu yang dapat menyebabkannya tertutup dengan sebagian sesuatu yang dapat membuatnya tersingkap secara tiba-tiba saat mendengarkan-Nya.

 

Minta ampun hakikatnya mencari penutup (sitru) dan ampunan adalah tutupnya. Seakan-akan seseorang yang mohon ampun mengabarkan bahwa dirinya mencari penutup hatinya ketika terkaman Al-Haqq (ketersingkapan hakikat) membersit di hatinya. Dengan demikian, tidak ada ketetapan bagi makhluk saat bersama keterwujudan Al-Haqq.Dalam suatu hadis dijelaskan:

 

“Seandainya tersingkap wajah Nya, niscaya keagungan kesucian wajah-Nya? membakar semua yang diketahui penglihatan.”

 

14. MUHADHARAH, MUKASYAFAH, DAN MUSYAHADAH

 

Muhadharah adalah kehadiran hati, kemudian setelah itu terjadi mukasyafah, yaitu kehadiran hati yang disertai kejelasan (ketersingkapan), kemudian timbul musyahadah, yaitu kehadiran

 

Al-Haqq (dalam hati) tanpa bingung dan linglung. Jika “langit sirri” (rahasia ketuhanan) bersih dari “mendung sitru”, maka “matahari kesaksian” terbit dari bintang kemuliaan.

 

Hakikat musyahadah seperti yang dikatakan Imam Al-Junaid, semoga Allah merahmatinya, “ Wujud Al-Haqq bersama kelenyapanmu. Salik yang mengalami muhadharah terikat dengan ayatayat-Nya. Salik yang mencapai mukasyafah dilapangkan dengan sifat-sifat-Nya. Dan salik yang memiliki musyahadah ditemukan dengan Dzat-Nya. Salik yang muhadharah akalnya menunjukkannya. Salik yang mukasyafah ilmunya mendekatkannya. Dan salik yang musyahadah ma’rifatnya menghapusnya.”

 

Tidaklah bertambah penjelasan mengenai hakikat musyahadah kecuali diperkuat dengan apa yang diutarakan ‘Amru bin Utsman Al-Maki, semoga Allah merahmatinya. Inti ucapan yang disampaikannya adalah menerangkan bahwa hakikat musyahadah adalah cahaya-cahaya tajalli yang datang susul-menyusul pada hati salik tanpa disusupi sitru dan keterputusan, sebagaimana susul-menyusulnya kedatangan kilat. Malam yang gelap gulita dengan disertai kilat yang datang susul-menyusul dan sambungmenyambung dapat menjadikannya terang seperti dalam siang. Demikian juga hati jika senantiasa diterangi dengan keabadian tajalli, maka kenikmatan “anugerah siang” (kiasan tentang kontinuitas anugerah keilahian dan ketersingkapan ketuhanan dengan pemanjangan waktu siang hingga menjangkau malam hari) akan selalu mengada, sehingga malam tidak lagi ada. Mereka bersyair:

 

malaiku dengan wajah-Mu

terbit bersinar cahaya

kegelapannya pada manusia

berjalan di waktu malam

manusia dalam kepekatan malam yang gelap gulita sedang kami dalam cahaya siang yang terang benderang

 

An-Nuri berkata, “Tidak sah musyahadah salik selama dia dalam keadaan hidup. Jika waktu pagi terbit, lampu tidak dibutuhkan lagi.”

 

Segolongan ulama sufi membayangkan bahwa musyahadah menunjukkan keberadaan ujung tafrigah (perpisahan, lihat pasal farqu) karena bab mufa’alah (timbangan kata) dalam bahasa Arab hanya terjadi dalam penerapan di antara dua makna. Ini jelas menunjukkan khayalan pelakunya karena di dalam penampakan Al-Hagg adalah kehancuran makhluk. Dalam syair dikatakan:

 

ketika menjadi terang pagi hari

cahayanya memancar dengan

sinar-sinar yang berasal dari

pantulan sinar-sinar bintang

meminumkan pada mereka segelas demi segelas saat cobaan membakar sehingga membuatnya terbang

secepat orang yang pergi menghilang

 

Gelas apapun akan mencabut mereka dari akarnya dan membuat mereka fana’ (hancur). Gelas menyambar mereka dan tidak membiarkan mereka tetap dalam keberadaan. Padahal tidak ada gelas yang menetapkan dan memercikkan mereka. Gelas yang mencabut mereka secara keseluruhan dan tidak sedikit pun tulang-belulang manusia yang masih membekas dan ada adalah seperti yang dikatakan sufi: “Mereka berjalan di malam hari tidak tetap, tidak membekas dan tidak meninggalkan jejak.”

 

15. LAWAIH, THAWALI’, DAN LAWAMI’

 

Tuan guru Abu Ali Ad-Daqaq, semoga Allah merahmatinya, berkata, “Istilah-istilah ini saling berdekatan makna dan hampir tidak ada perbedaan besar di antaranya. Dia merupakan bagian dari sifat-sifat salik pemula yang sedang menapaki jalan sufi dengan hatinya menuju ketinggian rohani. Setelah itu mereka memperoleh cahaya matahari ma’rifat dan Al-Hagg menganugerahi hati mereka rezeki dalam setiap saat. Sebagaimana firman Allah Swt.:

 

“Dan bagi mereka rezeki dalam waktu pagi dan sore.” (QS. Maryam: 62)

 

Ketika langit hati gelap ditutupi dengan mendung keberuntungan, timbullah di dalamnya laumih (kilatan) cahaya kasyaf (ketersingkapan hati) dan lawarni’ (kemilau) kedekatan memantulkan cahaya gemerlapan. Salik pada saat mengalami sitru (ketertutupan), tiba-tiba mereka menjadi dekat dengan kedatangan lawaih yang spontan. Posisinya seperti yang digambarkan dalam syair ini:

 

wahai kilat yang memantulkan

kemilauan cahaya dari arah sayap-sayap

langit mana saja yang bersinar terang

 

Dengan demikian, proses pertama adalah lawaih (kilatan sinar), kemudian lawami’ (kemilauan cahaya), dan akhirnya timbul thawali’ (terbitnya cahaya matahari). Lawaih bagaikan kilat yang tampak hingga hilang menutup, sebagaimana ungkapan seorang penyair:

 

kami berpisah setahun

maka ketika kami bertemu

pengucapan salamnya kepadaku

adalah ucapan selamat tinggal

 

Wahai orang yang berkunjung

dan sebenarnya tidak berkunjung .

seakan-akan dia mengambil api

lalu berjalan di depan pintu rumah

dengan cepat-cepat, padahal tidaklah

berbahaya kalau dia masuk ke dalam rumah

 

Lawami’ lebih jelas daripada lawaih. Hilangnya tidak cepat dan kemunculannya berlangsung sekitar dua atau tiga waktu (ukuran waktu di sini relatif, entah dalam satuan jam, hari, bulan, atau tahun). Akan tetapi, keberadaannya seperti yang dikatakan para penyair:

 

tidak sampai mata meneteskan air wajahnya

kecuali di dalam kerongkongannya dengan penjaga

sebelum puasnya mendekat

 

Ketika terjadi lawami’, kamu akan terputus darimu dan kamu terkumpulkan dengannya. Akan tetapi, cahaya siangnya tidak berjalan hingga sekelompok pasukan malam menyerangnya. Salik yang mengalami demikian berada di antara ruh dan ratapan kare. na posisinya di antara kasyaf (tersingkap) dan sitru (tertutup)

 

Dalam syair dikatakan:

 

malam menyelimuti kami dengan kelebihan dinginnya sedang subuh menyelimuti kami dengan selimut yang hilang

 

Thawali’ waktunya lebih lama lagi. Lebih kuat kekuasaannya, lebih lama tinggalnya, lebih cepat daya penghilangan kegelapan malam, dan lebih mampu peniadaan kebingungan kegelapan malam. Akan tetapi, keberadaannya diposisikan dalam pembenaman kekhawatiran, tidak dengan ketinggian puncak, juga tidak dengan keabadian kediaman. Waktu-waktu kejadiannya berlangsung cepat dan saling berdekatan dalam putaran kepindahannya. Keadaan terbenamnya pengakhirannya juga sangat panjang.

 

Inilah makna-makna lawaih, lawami’, dan thawali’. Keberadaannya dalam permasalahan yang berbeda-beda. Diantaranya, jika lewat, tidak meninggalkan jejak, seperti bintang timur ketika lenyap seakan-akan malam selamanya mengada. Ada kalanya meninggalkan jejak, maka ketika “stempel“-nya (berupa bencana) hilang, rasa sakitnya membekas, dan jika cahaya-cahayanya terbenam, bekas-bekasnya masih membekas. Karena itu, kepemilikannya (penguasaannya) setelah diamnya dominasi-dominasi batin (mov-mov atau kekuatan-kekuatan ruh yang menguasai batin), lalu hidup dalam cahaya berkahnya, kemudian menuju pemunculan cahaya kedua yang waktunya diharapkan atas penantian pengembaliannya dan hidup dengan sesuatu yang ditemukan ketika adanya.

 

16. BAWADIH DAN HUJUM

 

Bawadih adalah sesuatu yang secara tiba-tiba mendatangi hatimu dari alam gaib melalui jalan rasa yang amat menegangkan.

 

Ada kalanya berupa dorongan rasa senang atau sedih. Sedangkan hujum adalah sesuatu yang mendatangi hatimu dengan kekuatan waktu melalui jalan yang tidak dibuat-buat dari dirimu.

 

Macam-macamnya berbeda-beda menurut kuat lemahnya warid (rasa yang datang atau pengaruh rasa dalam hati). Di antara mereka ada yang bawadih-nya berubah-ubah dan begitu juga hujum-nya. Ada pula yang berada di atas sesuatu yang amat mengejutkan yang sifatnya spontan dan kuat. Mereka adalah tuan-tuan penghulu kaum. Sebagaimana dikatakan dalam syair:

 

janganlah engkau memberi petunjuk pengganti zaman kepada mereka

(sebab) mereka memiliki kendali atas setiap ucapan yang agung

 

17.TALWIN DAN TAMKIN

 

Talwin adalah sifat pemilik ahwal (salik yang masih terpengaruh dengan keadan, pengaruh-pengaruh batin atau kondisikondisi yang menguasai jiwanya). Sedangkan tamkin adalah sifat orang-orang ahli hakikat. Selama salik masih berada dijalan (tangga-tangga penapakan menuju ketinggian rohani), dia adalah pemilik talwin karena keberadaannya masih dalam proses penapakan dari satu hal (bentuk tunggal dari kata ahwal yang arti bahasanya adalah keadaan) ke hal yang lain, berpindah dari satu sifat ke sifat yang lain, dan keluar dari satu lingkaran “terminal” ke lingkaran “terminal” yang lain hingga menuju tempat kediaman musim semi. Jika sampai, maka salik telah mencapai maqam tamkin.

 

Mereka bersyair:

 

selamanya saya tinggal dalam cinta kasih-Mu dalam keadaan akal bingung tanpa bisa tinggal

 

Salik yang mengalami talurin selamanya dalam penambahan. Salik yang mengalami tamkin telah sampai (di pusat terminal rohani) kemudian bersambung. Ianda tandanya bahwa salik telah bersambung adalah dia dengan keseluruhan dari keseluruhannya menjadi batal.

 

Sebagian guru sufi mengatakan, “Perjalanan salik berhenti sehingga pada penguasaan nafsunya. Jika telah mampu men eng. keram nafsunya, maka dia telah sampai.“

 

Al Ustaz (maksudnya Abu Ali Ad-Daqaq) berkata, “Yang dimaksud dengan famkin adalah pengakhiran dan pembelakangan hukum-hukum kemanusiaan dan penguasaan penguasa hakikat. Jika keadaan ini selamanya menjadi milik salik, berarti dia telah mencapai maqam tamkin.”

 

Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Musa a.s. adalah Nabi pemilik talwin, lalu kembali dari penyimakan kalam (saat diajak dialog dengan Allah) dan butuh penutup wajah ketika keadaan ini mempengaruhinya. Nabi Muhammad Saw. adalah pemilik tamkir. Beliau kembali sebagaimana perginya karena apa-apa yang disaksikannya di malam itu (peristiwa-peristiwa luar biasa di malam isra’ dan mi’raj) tidak berpengaruh baginya. Bukti lain dari bab ini adalah kisah Nabi Yusuf a.s. Ketika para waruita bangsawan Mesir melihat Yusuf a.s., mereka memotong jari-jari tangan mereka, yaitu pada saat sesuatu yang amat mengejutkan datang kepada mereka berupa kenyataan bentuk Yusuf a.s. yang sangat menawan. Dan yang paling terpengaruh dengan daya pesona ini adalah permaisuri raja. Keterpengaruhannya itu tidak berubah (tidak hilang) dari hatinya karena dia adalah waruta yang mengalami tamkin dalam peristiwa Yusuf a.s.“

 

Al-Ustaz berkata, “Sesungguhnya perubahan sebab sesuatu yang mendatangi salik terjadi karena salah satu dari dua hal: ada kalanya karena kuatnya warid atau lemahnya salik. Sedangkan kediaman (kestabilan atau tarnkin atau konstanitas batin) juga terjadi karena salah satu dari dua hal: mungkin karena kuatnya salik atau lemahnya warid yang mendatanginya.”

 

Saya pernah mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan, “Dasar-dasar kaum dalam kebolehan (menempati) keberadaan keabadian tamkirn keluar di atas dua visi. Salah satunya merupakan sesuatu yang tidak ada jalan menuju ke sana, sebagaimana yang tergambar dalam sabda Rasulullah Saw.:

 

“Seandainya kalian tetap berada di atas sesuatu yang kalian di atasnya terletak di sisiku, tentu para malaikat berjabat tangan denganmu.”

 

Dan ini disebabkan Nabi Saw. pernah mengatakan demikian:

 

“Saya punya waktu yang tidak akan menggerakkanku di dalamnya selain Tuhanku.”

 

Hadis ini mengabarkan tentang keberadaan waktu khusus.

 

Kemudian Al-Ustaz melanjutkan, “Sedangkan visi kedua menunjukkan sahnya keabadian atau keajekan ahwal karena (keberadaan) ahli hakikat (yang mampu) naik (bebas) dari (kenyataan) sifat keterpengaruhan (dirinya) oleh cobaan-cobaan. Orang yang datang dalam hadis yang dikatakan ‘niscaya para malaikat akan menjabat (tangan)mu’ bukanlah perkara mustahil. (Bahkan), sentuhan jabat tangan malaikat ini juga terjadi pada salik pemula sebagaimana sabda Rasulullah:

 

“Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap-sayapnya pada pencari ilmu sebagai bentuk (ungkapan) rida terhadap apa yang dia perbuat”

 

Apa yang dikatakan beliau “saya punya waktu” tidak lain merupakan ucapan yang ditujukan pada kadar (keterbatasan) pemahaman pendengar. Dalam semua ahwal Rasul, keberadaannya selalu berdiri tegak dengan hakikat. Yang paling utama dikatakan demikian: Bahwa salik selama masih dalam proses penapakan, dia adalah pemilik talwin yang (menjadikan dirinya) sah dalam (perolehan) tambah kurangnya sifat dalam ahwalnya. Jika telah sampai pada AlHaqq dengan membelakangi hukum-hukum kemanusiaan (bersifat kemakhlukan, bukan ketuhanan), maka Al-Haqq pasti mendudukkannya (meletakkan pada maqam tamkin) dengan tidak mengembalikannya pada penyakit-penyakit nafsu (tidak terasa sakit dengan ketiadaan ketundukan diri pada permintaan nafsu). Dalam posisi demikian, dia adalah pemilik tamkin (salik yang jiwanya sudah stabil bersama Allah) menurut kadar keadaan dan haknya. Kemudian apa yang dihadiahkan Al-Haqq dalam keseluruhan jiwa, maka tidak ada batas bagi perkara yang telah ditentukan. Dia selalu dalam tambahan yang menjadikannya berubah-ubah, bahkan berwarna-warna. Dalam keaslian keadaannya sebenarnya dia adalah tamkin. Dia selamanya menjadi tamkin dalam keadaan yang semakin lebih tinggi daripada keadaan sebelumnya. Kemudian naik lagi hingga mencapai puncak di atas semua puncak. Dalam kondisi demikian bagi ketentuan Al-Haqq tidak ada garis finis.

 

Adapun orang yang tercabut dari kesaksian yang keseluruhan rasanya ikut terambil secara penuh, maka bagi sifat kemanusiaan tidak ada tempat pembatas. Jika batal keseluruhan diri, jiwa, dan rasanya serta ketentuan-ketentuan Tuhan yang telah ditetapkan, kemudian kegaiban (keadaan kosong, gaib atau ketiadaan diri dalam arti kemakhlukan) ini berlangsung dalam kurun waktu yang tidak terbatas, maka dia menjadi hilang atau hapus. Kondisi demikian menjadikan dirinya tidak punya tamkin, ftalwin, maqam, dan hal. Jika sifat ini selamanya integral dengan dirinya, maka tidak ada bimbingan (proses penyadaran) dan pembebanan hukum (sebagai pelaku hukum). Demikian itu merupakan aktivitas aktif dalam persangkaan buruk makhluk yang hakikatnya adalah peran otoritas aktivitas aktif Al-Haqq.

 

Allah Swt. berfirman:

 

“Dan engkau menyangka mereka berjaga, padahal mereka tidur, dan kami membolak-balik mereka ke samping kanan dan ke samping kiri.” (QS. Al-Kahfi: 18)

 

18. AL-QARBU DAN AL-BU’DU

 

Awal tingkatan dalam al-qarbu (kedekatan) adalah kedekatan dari sikap taat dan menetapi semua waktu yang diisi dengan ibadah-ibadah wajib. Adapun al-bu’du (jauh) adalah kekotoran diri sebab penentangan dan menyimpang dari ketaatan. Tingkatan pertama al-bu’du adalah jauh dari taufik, kemudian jauh dari hakikat, bahkan jauh dari taufik hakikatnya adalah jauh dari hakikat (kebenaran yang maha benar). Rasulullah Saw. bersabda tentang Al-Haqq:

 

“Tidaklah mendekat kepada-Ku orang-orang yang berusaha mendekat hanya dengan sebatas pelaksanaan apa-apa yang Saya wajibkan. (Namun), hamba selalu mendekat kepada-Ku dengan amalan-amalan sunat hingga mencintai-Ku dan Saya mencintai. nya. Jika Saya mencintainya, maka Saya baginya adalah pende. ngaran dan penglihatan. Dengan Saya dia melihat dan dengan Saya dia mendengar.”

 

Dekatnya salik pertama kali dengan keimanan dan pembenarannya, kemudian dengan kebagusan dan hakikatnya (kesejatian kebenaran). Kedekatan Al-Haqq terhadap apa yang dikhususkan-Nya sekarang (di dunia) merupakan kebajikan, sedangkan apa yang dimuliakan-Nya di akhirat (sebagai kedekatan) merupakan kesaksian dan ketampakan. Di antara hal-hal tersebut keberadaannya hadir dengan wajah luthfi (kelembutan Tuhan) dan anugerah.

 

Kedekatan seorang hamba dengan Al-Haqq tidak akan terjadi kecuali dengan kejauhannya dari makhluk, dan ini merupakan sifat-sifat hati, bukan hukum-hukum (yang berlaku bagi) fenomena kehidupan dan alam.

 

Kedekatan Al-Haqq dengan ilmu dan kemampuan adalah umum bagi manusia yang berkemampuan, dengan kelembutan (dalam hal ilmu dan rasa) dan pertolongan adalah khusus bagi orang mukmin, kemudian dengan kekhususan kelembutan yang sangat lembut (juga dalam hal ilmu dan rasa) adalah khusus bagi wali Allah. Hal ini tergambar dalam beberapa firman-Nya berikut ini:

 

“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat leher.” (QS. Quf: 16)

 

“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada nereka.” (QS. Al-Wagi’ ah: 85)

 

“Dan Dia bersamamu di mana pun kamu berada.” (QS. Al-Hadid: 4)

 

“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang melainkan Dialah yang keempatnya.” (QS. Al-Mujadalah: 7).

 

Barangsiapa benar-benar dekat dengan Al-Haqq, maka dia didekatkan-Nya dalam keabadian muraqabahnya (kesadaran diri akan kehadiran Tuhan dalam peran aktivitas pengawasan, pendeteksian, pengendalian, dan pemberian hidayah) di hadapan-Nya karena Dia terhadapnya adalah Peneliti ketakwaan, kemudian menginjak sebagai Peneliti pemeliharan dan pemenuhan, dan akhirnya sebagai Peneliti rasa malu. Kaum sufi melantunkan syair:

 

seolah-olah Sang Peneliti

menggembalakan getaran hatiku

(saat) yang lain menjaga pandangan dan lidahku tidak lintasan pandangan yang jauh di kedua mataku yang dapat menjelekkar-Mu

selain Engkau mengatakan sungguh telah memandang-Ku tidak ada kemilauan kata yang keluar dari mulutku tanpa-Mu selain Engkau mengatakan sungguh telah (mendengar dengan) pendengaran-Ku tidak ada getaran yang bergetar di hati (dalam) kejauhan-Mu melairkan naik dengan pertolongan-Ku kawan-kawan karib benar-benar membosankan ucapan mereka saya menahan pandangan dan lidahku dari mereka tidaklah zuhud menjauhkan dari mereka hanya saja (karena) perjumpaanku dengan-Mu dalam kesaksianku di semua tempat

 

Dalam suatu kisah diceritakan bahwa seorang guru sufi mengistimewakan salah seorang muridnya karena suatu hal. Dia memiliki suatu kelebihan yang tidak dimiliki teman-teman lainnya. Kelebihan ini bermula dari keberhasilannya memahami perintah gurunya. Suatu ketika guru sufi ini memberi seekor burung kepada setiap muridnya sambil berpesan, “Sembelihlah burung ini di tempat yang sekiranya tidak dilihat oleh siapapun.” Kemudian masing-masing murid pergi mencari tempat yang sekiranya sepi dan menyembelih burung yang dipegangnya. Namun, seorang di antara mereka datang menghadap gurunya dengan membawa burung yang masih belum disembelih. Gurunya pun lantas bertanya mengapa tidak disembelih, lalu olehnya dijawab.

 

“Guru memerintahkan saya untuk menyembelihnya di tempat yang sekiranya tidak diketahui oleh siapapun, dan ternyata tidak sebuah tempat pun kecuali Al-Haqq selalu melihatnya.”

 

“Karena inilah saya memerintahkan kalian, jelas sang guru. “Kalian masih dikalahkan oleh kejadian-kejadian atau bisikanbisikan yarig bersifat kemakhlukan (indrawi), sedangkan pemuda ini tidak lupa terhadap kesenantiasaan kehadiran Al-Haqq, dan penglihatan kedekatan adalah hijab dari kedekatan.”

 

Barangsiapa sadar dengan penuh kesadaran (kesaksian yang nyata atau syuhud) akan keberadaan dirinya yang (merasa) memiliki mahal (tempat atau masa yang menunjukkan keadaan) dan jiwa, maka dia hakikatnya tertipu dengannya. Karena itu, para ahli sufi mengatakan, “Allah melepaskanmu dari kedekatanNya.“ Artinya, dari (perasaan) kesaksianmu (syuhud) akan kehadiran-Nya karena kedekatan-Nya. Sesungguhnya rasa cinta kasih yang sungguh-sungguh dengan kedekatan-Nya merupakan bagian dari ketinggian kemuliaan dengan-Nya karena Al-Haqq hakikat-Nya di belakang semua yang bersifat cinta kasih yang sejati, dan maqam-maqam hakikat mengharuskan kemunculan rasa bingung dan dan sirna. Mereka bersyair:

 

cobaari yang menimpaku dalam diri-Mu sesungguhnya aku tidaklah mempedulikan cobaanku dekatmu seperti jauhmu maka kapan waktu mendatangiku

 

Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq, semoga Allah merahmatinya, mengatakan dalam syairnya:

 

cinta kasihmu adalah kepergian cintamu adalah kebencian yang sangat dekatmu adalah jauh damaimu adalah perang

 

Suatu ketika Abu Husin An-Nuri melihat sekelompok teman-teman Abu Hamzah. Kemudian dia mengatakan kepada seorang dari mereka, “Anda adalah salah seorang teman-teman Abu Hamzah yang telah menunjukkan (kalian) akan al-qarbu (kedekatan). Jika bertemu dengannya, sampaikan pesan saya sesungguhnya Abu Husin An-Nuri telah mengirim salam kepadamu. Dia juga berpesan kepadamu bahwa dekatnya dekat dalam suatu hal yang kami di dalamnya adalah jauhnya jauh. Adapun kedekatan dengan Dzat, maka sesungguhnya Allah Dzat Yang Maharaja dan Al-Haqq adalah Mahaluhur dari itu semua. Sesungguhnya Dia Mahasuci dari batasan-batasan, wilayah-wilayah (yakni maqam-maqam ), garis finis, dan ukuran. Tidaklah makhluk bersambung dengan-Nya, juga tidak ada kejadian yang telah lewat dapat terlepas dari-Nya. Tempat (bukan tempat dalam arti fisik yang berdimensi) tinggi-Nya yang agung adalah Mahaagung dari penerimaan kesambungan dan keterpisahan. Kedekatan Dia dalam sifat-Nya adalah muhal adalah kesaling-kedekatan dengan Dzat-Nya. Kedekatan Dia adalah wajib dalam sifat-Nya adalah kedekatan dengan ilmu dan penglihatan. Kedekatan Dia adalah boleh (sifat wenang Tuhan) dalam sifat Nya adalah kedekatan keutamaan dan kelembutan yang dikhususkan kepada hamba, hamba Nya yang dikehendaki Nya.”

 

19. SYARI AT DAN HAKIKAT

 

Syari’at adalah perintah yang harus ditetapi dalam ibadah, dan hakikat adalah kesaksian akan kehadiran peran serta ketu. hanan dalam setiap sisi kehidupan.!’ Setiap syari’at yang kehadirannya tidak diikat dengan hakikat tidak dapat diterima, dan setiap hakikat yang perwujudannya tidak dilandasi syariat tidak akan berhasil.

 

Syari’at datang dengan beban hukum dari Sang Maha pencipta, sedangkan hakikat bersumber dari dominasi kreativitas Al-Haqq. Syari’at merupakan penyembahan makhluk pada Khalig (Sang Mahapencipta), sedangkan hakikat adalah kesaksian makhluk akan kehadiran-Nya. Syari’at adalah penegakan apa yang diperintahkan-Nya, sedangkan hakikat adalah kesaksian terhadap sesuatu yang telah ditentukan dan ditakdirkan-Nya serta yang disembunyikan dan yang ditampakkan.

 

Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan,

 

“Hanya kepada-Mu kami menyembah.” (QS. Al-Fatihah: 4) merupakan manifestasi syari’at. Sedangkan

 

“Hanya kepada-Mu kami memohon.” (QS. Al-Fatihah: 5) adalah jelmaan pengakuan (atau penetapan) hakikat.”

 

Ketahuilah, bahwasannya syari’at adalah hakikat dari sisi mana kewajiban diperintahkan, dan hakikat sebenarnya juga syari’at dari sisi mana kewajiban diperintahkan bagi ahli ma rifat.”

 

20.NAFAS

 

Nafas adalah kelapangan hati sebab (kehadiran) kelembutan (hal-hal) gaib. Pemilik nafas lebih lembut dan jernih daripada pemilik ahwal. Seakan-akan pemilik (atau orang yang mengalami) waktu adalah seorang pemula, pemilik nafas adalah pengakhir, sedangkan yang di antara keduanya adalah pemilik ahwal. Berarti, ahwal adalah penengah, nafas adalah akhir pendakian, dan waktu adalah milik pemilik hati. Ahwal milik pemilik ruh dan nafas milik ahli rahasia.

 

Para sufi mengatakan, “Paling utamanya ibadah adalah hitungan nafas (tarikan nafas) bersama Allah.”

 

Mereka juga mengatakan, “Allah menciptakan hati dan menjadikannya sebagai tambang ma’rifat, menciptakan rahasia-rahasia di baliknya: dan menjadikannya sebagai tempat keadaan bagi ketauhidan. Setiap nafas yang terjadi dari ketiadaan petunjuk ma’rifat dan isyarat tauhid di atas hamparan bahaya, maka pemiliknya adalah mayit dan dimintai pertanggungjawaban.

 

Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq, semoga Allah merahmatinya, mengatakan, “Seorang ma’rifat nafasnya tidak tunduk kepadanya karena tidak ada kelapangan yang mengalir bersamanya. Seorang pecinta (Allah) harus mempunyai nafas (nafasnya tunduk). Jika tidak demikian, maha pasti dia musnah.”

 

21. AL-KHAWATIR

 

Al-khawatir (bisikan) adalah informasi atau inspirasi yan mendatangi hati sanubari. Terkadang kedatangannya melalui malaikat, setan, bisikan-bisikan nafsu atau langsung dari Allah,

 

Jika dari malaikat, maka dinamakan ilham: jika dari nafsu, maka dinamakan angan-angan atau kecemasan, jika dari setan, maka dinamakan was-was, danjika dari Allah, maka dina. makan inspirasi yang paling benar (Haq atau hakikat).

 

Semua bisikan tersebut melalui formula kalam. Jika seum. pama bisikan itu datang dari malaikat, maka pasti diketahui bahwa kebenarannya sesuai dengan ilmu. Karena itu, para sufi mengatakan, “Setiap bisikan (inspirasi) yang zhahirnya tidak menyaksikan (membuktikan kebenarannya), maka hakikatnya batal. Jika kehadirannya dari setan, kebanyakan mengajak pada kemaksiatan. Jika datang dari nafsu, kebanyakan mengajak pada bujukan hawa nafsu atau rasa takabur.”

 

Para guru sufi sepakat mengatakan bahwa seseorang yang makanannya dari barang haram, dia tidak bisa membedakan antara ilham dan was-was.

 

Saya pernah dengar Tuan Guru Abu Ali Ad-Daqaq menasihatkan, “Seseorang yang makanannya diketahui (haram), dia tidak bisa membedakan antara ilham dan was-was. Jika seseorang angan-angan nafsunya reda dengan kebenaran mujahadah (memeranginya), maka penjelasan hati akan bicara dengan hukum pengekangan (hawa nafsu).”

 

Para guru sufi juga menyimpulkan bahwa nafsu tidak bisa membenarkan dan hati tidak bisa berbohong. Seandainya nafsu berjuang sungguh-sungguh untuk membisiki ruhmu, pasti dia tidak akan bisa.

 

Imam Al-Junaid membedakan antara bisikan nafsu dan bisikan setan. Bisikan nafsu jika menuntutmu dengan suatu tuntutan, maka kamu binasa. Dia selalu mengulang-ulang bisikannya secara terus-menerus sampai bertemu kehendaknya dan berhasil tujuannya. Ya Allah, tidak ada cara untuk mengatasi kecuali terusmenerus bermujahadah dengan baik. Adapun setan, ketika mengajakmu pada tindak kejahatan, lalu kamu menentangnya dengan cara meninggalkan bisikannya, maka dia akan membisikimu dengan bisikan (kejahatan) lain. Karena, bagi setan semua perlawanan adalah sama. Dia sepanjang hidupnya hanya ingin menjadi penyeru kejelekan. Tidak sedikit pun ada niatan untuk memperingan godaan, siapa pun orang yang digoda. Dikatakan bahwa bisikan dari malaikat terkadang pemiliknya merealisasikan (tentunya juga menyepakati kebenarannya), terkadang pula menentangnya. Jika bisikan dari Allah, maka pasti tidak ada penentangan dari hamba.

 

Para guru sufi membahas bisikan yang kedua dengan mempertanyakan, “Jika bisikan dari Al-Haqq, apakah keberadaannya lebih kuat daripada yang pertama?”

 

“Bisikan yang pertama lebih kuat,” jawab Al-Junaid, “karena jika tetap, pemiliknya pasti kembali pada perenungan, dan ini jelas membutuhkan syarat ilmu. Maka dari itu, meninggalkan yang pertama akan memperlemah yang kedua.”

 

Akan tetapi, Ibnu Atha’ mengatakan, “Yang kedua lebih kuat karena kekuatannya bertambah dengan yang pertama.”

 

Oleh Abu Abdullah bin Khafif, dua pendapat ini ditengahi. “Keduanya sama,” katanya, “karena sama-sama datang dari AlHaqq. Tidak ada keistimewaan bagi yang satu atas yang lainnya. Yang pertama tidak akan menetap dalam keberadaan kehadiran yang kedua karena bekas-bekas atau pengaruh-pengaruh tidak diperbolehkan dalam al-baqa’ (tetap atau stabil).”

 

22. ILMUL YAQIN, “AINUL YAQIN DAN HAQQUL YAQIN

 

Ini adalah istilah tentang ilmu-ilmu yang amat jelas.”

 

Yaqin (tulisan Indonesianya yakin) adalah suatu pengetahuan yang pemiliknya tidak akan dimasuki keraguan secara mutlak.

 

Keyakinan tidak akan diucapkan dalam penggambaran sifat Al. Haqq karena ketiadaan taufik. Ilmul yaqin adalah yaqin, demikian juga dengan ‘amul yaqin dan Haqqul yaqin.

 

Ilmul yaqin dalam pengertian istilah mereka adalah sesuatu yang adanya disertai dengan syarat bukti (argumen atau dalil) ‘Ainu yaqin adalah sesuatu yang adanya dengan hukum bayan (penjelasan). Haqqul yaqin adalah sesuatu yang adanya dengan sifat terang.

 

Ilmul yaqin untuk pemilik akal, ‘ainul yaqin untuk pemilik ilmu, dan Haqqul yaqin untuk pemilik ma’rifat.

 

23. WARID

 

Warid adalah sesuatu yang datang pada hati berupa bisikanbisikan yang terpuji. Kehadirannya bukan karena disengaja. Demikian juga dengan sesuatu yang kedatangannya tidak berupa bisikan, dikatakan pula warid.

 

Kehadirannya bisa jadi dari Al-Haqq, juga bisa dari ilmu. Warid pengertiannya lebih umum daripada khawatir (bisikan) karena khawatir hanya khusus dalam bentuk informasi, pesanpesan, bisikan, inspirasi atau apa yang terkandung dalam suatu makna. Sementara warid bisa berupa (kehadiran) kesenangan, kesedihan, ketakutan, kecemasan (qabdhu), kelapangan (basthu), dan berbagai rasa yang terkandung dalam suatu makna.

 

24. ASY-SYAHID

 

Istilah sangat populer di kalangan kaum sufi dan banyak digunakan, seperti dalam ucapan: Fulan menyaksikan (seorang syahid yang telah mengalami dan membuktikan suatu kebenaran) ilmu, Fulan yang lain menyaksikan wijdu, dan Fulan satunya lagi menyaksikan al-hal.

 

Mereka memakai Jafal ini untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang, maka dia adalah seorang syahid (penyaksi). Jika yang menguasainya berupa kesaksian ilmu, maka dia adalah seorang syahid ilmu. Jika yang menguasainya berupa kesaksian wijdu, berarti dia adalah seorang syahid wijdu.

 

Makna syahid adalah al-hadhir, sesuatu yang datang. Setiap apa yang mendatangi hatimu adalah syahid atau yang menyaksikan atau kesaksianmu.

 

Asy-Syibli pernah ditanya tentang musyahadah, lalu dijawab, “Dari mana kesaksian (musyahadah) Al-Haqq kepunyaan kami? Padahal Al-Haqq bagi kami adalah syahid (penyaksi).” Dia menunjukkan kepenguasaan hati dengan kesaksian Al-Haqq dan keberadaan zikir pada Al-Haqq yang mendominasi hati. Barangsiapa terlibat ingatan bersama makhluk yang hatinya ikut tergantung kepadanya, maka dia dikatakan sebagai orang yang menyaksikannya (syahid makhluk). Artinya, hatinya selalu hadir karena sesungguhnya mahabbah (cinta kasih) mengharuskan dorongan untuk selalu ingat pada yang dicintai, sehingga ingatannya pada yang dicintai menguasai hatinya. Sebagian ahli sufi sangat teliti dalam menemukan pecahan kata ini (asal-usul kata asy-syahid).

 

Dinamakan syahid karena diambil dari kata asy-syahadah. Seakan-akan jika syahid melihat seseorang dengan sifat keindahannya, lalu jika sifat kemanusiaannya jatuh darinya dan tidak disibukkan oleh penyaksian orang tersebut pada waktu itu serta tidak terpengaruh oleh persahabatan di dalam penyaksiaannya, maka dia disebut syahid (penyaksi) bagi orang tersebut atas dasar ke-fana’-an dirinya. Dan, barangsiapa yang terpengaruh oleh hal tersebut di dalam penyaksiannya, maka dia dinamakan syahid atas orang itu di dalam ke-baqa’-an (ketetapan atau hal yang ada) dirinya dan ketegakan hukum-hukum kemanusiaan dirinya. Hal ini ada keterkaitannya dengan sabda Rasulullah Saw.

 

“Aku melihat Tuhanku di malam mi’raj dalam sebagus-bagusNya rupa. Yakni, paling bagus-Nya rupa yang saya lihat pada malam itu. Tidak disibukkan kepadaku dari melihat-Nya Dzat Yang Maha Luhur. Bahkan, saya melihat Sang Perupa dalam rupa dan Sang Aktif dalam aktivitas.”

 

Hadis ini riwayat Ath-Thabrani dari “Ubaidillah bin Abi Rafi’ dari ayahnya dan dari Ibnu ‘Abbas r.a., juga dari Ummu Thufail dan dari Mu’adz bin ‘Afra’. Hadis tersebut dalam Kanz Al-Ummal juz I, halaman 228, nomor 1151-1152-1153-1154). Adapun maksud hadis ini adalah penglihatan (dengan) ilmu, bukan penglihatan mata.

 

25. NAFSU

 

Nafsu arti bahasanya adalah ada. Nafsu sesuatu berarti adanya. Menurut kaum sufi, kata ini dipakai bukan untuk dimaksudkan untuk menunjukkan sesuatu yang ada, juga tidak gumpalan tema. Mereka memakainya untuk menunjukkan suatu penyakit dari sifat-sifat hamba atau akhlak-akhlak dan perbuatan-perbuatannya yang tercela. Kemudian dijelaskan bahwa penyakit-penyakit dari sifat-sifat hamba terbagi menjadi dua macam. Pertama sebagai hasil dari perbuatan, seperti kemaksiatan dan penentangan. Kedua, akhlak buruk yang memang bersumber dari nafsunya yang tercela. Jika salik berusaha mengobati dan menghilangkannya, dia dapat melakukannya dengan mujahadah (berjuang) secara terus-menerus, yaitu memerangi kecenderungan nafsu pada setiap kelezatan dan lari dari setiap yang dibenci.

 

Bagian pertama merupakan sesuatu yang dilarang, yaitu larangan yang bersifat pengharaman. Sedangkan bagian kedua merupakan akhlak jelek dan kotor. Ini adalah batasan secara global. Rinciannya seperti yang tampak dalam contoh-contoh akhlak tercela berikut ini, yaitu seperti sombong, marah, dendam, hasud, akhlak yang jelek, sedikit bertanggung jawab, dan sebagainya.

 

Nafsu yang paling buruk adalah yang mengkhayalkan bahwa sesuatu yang buruk adalah baik, atau menganggapnya wajar dan patut mendapatkan tempat. Oleh karena itu, tingkat kebusukan nafsu semacam ini dihitung sebagai syirik yang samar. Pengobatan yang terbaik untuk penyakit ini adalah memandulkan nafsu dan menghancurkannya. Teknik penghancurannya yang paling sempurna dengan pembiasaan lapar, haus, sedikit tidur, dan berbagai jenis amalan yang berat, keras, dan mengandung kekuatan yang mampu melumpuhkan nafsu.

 

Nafsu sifatnya lembut dan sangat halus. Letaknya dalam satu sisi hati sebagai barang titipan, yaitu pada bidang yang memang khusus untuk akhlak-akhlak berpenyakit. Demikian juga ruh yang lembut, letaknya dalam sisi hati (yang lain) yang memang merupakan tempat akhlak terpuji. Dalam bentuknya yang umum, terkadang sebagian menundukkan sebagian yang lain. Akan tetapi, semuanya tetap dalam satu tempat, yaitu satu manusia. Ruh dan nafsu yang merupakan jasad-jasad lembut dalam bentuknya seperti malaikat dan setan dari sisi sifat kelembutannya.

 

Seperti halnya mata sebagai tempat penglihatan, telinga tempat pendengaran, hidung tempat penciuman, dan mulut tempat merasakan yang kesemuanya merupakan satu kesatuan sistem sebagai formula lengkap keberadaan manusia, maka demikian juga keberadaan sifat-sifat terpuji yang terletak pada hati dan ruh, dan sifat tercela yang terletak dalam nafsu. Nafsu adalah bagian dari keseluruhan sistem kemanusiaan, hati juga bagian dari sistem ini, maka hukum dan namanya juga kembali pada mekanisme kesatuan sistem ini.

 

26. RUH

 

Ahli hakikat dari kalangan ahli sunnah tentang makna ruh berselisih pendapat. Sebagian mereka mengatakan bahwa ruh adalah kehidupan. Sebagian lagi menyebutnya sebagai entitas. entitas yang dititipkan dalam wadah-wadah khusus, bersifat lembut, dan dialiri oleh Allah dengan gerak kehidupan, sehingga badan manusia menjadi hidup selama ruh itu masih menetap di dalamnya.

 

Manusia hidup dengan kehidupan, namun ruh dititipkan dalam hati. Terkadang dia naik ketika manusia tidur dan meninggalkan badan kemudian kembali.

 

Manusia adalah gabungan ruh danjasad. Allah telah menundukkan sebagian atas sebagian yang lain dalam kesatuan sistem gabungan ini. Keterkumpulan milik jumlah (sistem). Pahala dan siksa juga milik jumlah atau jumlah itu sendiri. Sedangkan ruh adalah makhluk. Seseorang yang mengatakan bahwa ruh adalah jasad adalah salah. Hadis-hadis tidak menunjukkan demikian, tetapi menyebutnya sebagai entitas-entitas yang lembut.

 

27.SIRRI

 

Sirri atau rahasia juga merupakan barang lembut yang dititipkan dalam hati manusia sebagaimana ruh. Dasar-dasarnya merupakan tempat musyahadah, sebagaimana ruh yang merupakan tempat mahabbah dan hati tempat ma’rifat.

 

“Sirri adalah raja pengawas,” kata para sufi, “sedangkan sirrinya sirri atau rahasianya rahasia adalah sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh selain Al-Haqq.” Sirri lebih lembut daripada ruh dan ruh lebih mulia daripada hati.

 

Kaum sufi mengatakan, “Sirri terbebas dari belenggu perubahan, jejak-jejak, dan bekas-bekas (puing-puing penapakan batin).”

 

Kata ini diucapkan untuk sesuatu yang terpelihara dan tertutup antara hamba dan Al-Haqq dalam ahwal. Mereka mengatakan, “Inti kemerdekaan adalah diterima-Nya rahasia atau sirri.”

 

 

1. TOBAT

Allah Swt. berfirman:

 

“Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An-Nur: 31)

 

Sahabat Anas bin Malik r.a.’ berkata, “Saya pernah dengar Rasulullah Saw. bersabda:

 

“Seorang yang tobat dari dosa seperti orang yang tidak punya dosa, dan jika Allah mencintai seorang hamba, pasti dosa tidak akan membahayakannya.”

 

Kemudian beliau membaca ayat:

 

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang tobat dan mencintai orang-orang yang suci.” (QS. Al-Baqarah: 222)

 

Tiba-tiba seorang sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apa tanda tobat?” Oleh beliau dijawab, “Menyesal.”

 

Anas bin Malik juga pernah mengabarkan pada kami bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

 

“Tidak ada sesuatu yang lebih dicintai Allah melebihi seorang pemuda yang tobat.”

 

Tobat adalah awal tempat pendakian orang-orang yang mendaki dan magarn pertama bagi sufi pemula. Hakikat tobat menurut arti bahasa adalah “kembali”. Kata taba berarti kembali, maka tobat maknanya juga kembali. Artinya, kembali dari sesuatu yang dicela dalam syariat menuju sesuatu yang dipuji dalam syariat. Dalam suatu kesempatan Nabi Saw. menjelaskan:

 

“Penyesalan adalah tobat.” Orang-orang yang berpegang teguh pada prinsip-prinsip ahli sunnah mengatakan, “Agar tobat diterima diharuskan memenuhi tiga syarat utama, yaitu menyesali atas pelanggaran-pelanggaran yang pernah diperbuatnya, meninggalkan jalan licin (kesesatan) pada saat melakukan tobat, dan berketetapan hati untuk tidak mengulangi pelanggaran-pelanggaran serupa.”

 

“Hadis yang menyebutkan penyesalan adalah tobat,” kata para sufi, “merupakan konsep globalnya, sebagaimana sabda beliau tentang haji bahwa:

 

haji adalah Arafah.

 

Artinya, hadis yang terakhir ini menunjukkan bahwa sebagian besar rukun-rukun haji terdapat pada wuquf di Arafah, karena dia merupakan rukun yang paling tampak. Begitu juga dengan dalil penyesalan adalah tobat menunjukkan bahwa sebagian besar rukun tobat adalah penyesalan. Bahkan, seorang ahli hakikat berpendapat bahwa penyesalan sudah cukup mewujudkan tobat karena penyesalan akan diikuti dua rukun tobat lainnya. Seseorang mustahil menjadi penyesal yang sungguh-sungguh selama masih menetapi dosa atau berbuat dosa yang sejenisnya. Karena itu, penyesalan merupakan syarat utama untuk tobat. Ini adalah makna tobat secara definitif.

 

Adapun penjelasan lebih lanjut sebagai pendalaman makna dapat dilihat pada ulasan berikut ini. Tobat memiliki sebab sebagai latar belakang masalah, tata tertib, dan pembagian. Proses pertama yang mengawali tobat adalah keterjagaan hati dari keterlelapan lupa dan kemampuan salik melihat sesuatu pada dirinya yang hakikatnya merupakan bagian dari keadaannya yang buruk, Proses awal yang mengantarkan pada tahapan ini tidak lepas dari peran taufik. Dengan taufik Allah, salik mampu mendengarkan suara hati nuraninya tentang larangan-larangan Al-Haqq yang dilanggarnya. Hal ini sesuai benar dengan apa yang pernah dipesankan Allah dalam hadis Rasulullah Saw.:

 

“Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Jika kondisinya baik, maka baiklah seluruh jasad. Jika rusak, maka rusaklah seluruh badan. Ingatlah, dia adalah hati.”

 

Jika dengan hatinya seseorang berpikir tentang keburukan perilakunya dan melihat kenyataan-kenyataan negatif di dalamnya, maka dalam sanubarinya timbul kehendak untuk tobat, tekad melepaskan diri dari semua perilaku buruk, dan Al-Haqq menyongsongnya dengan siraman cahaya keteguhan, tarikan dalam rengkuhan pengembalian, dan penyiapan sebab-sebab yang mengantarkannya pada realisasi tobat. Dalam realisasi ini, langkah pertama adalah hyrah atau meninggalkan kawan-kawan yang buruk. Karena kalau tidak, mereka akan membawanya pada penolakan tujuan tobat serta mengacaukan konsentrasi dan tekadnya. Upaya demikian iru tidak akan sempurna kecuali menetapi secara terus-menerus musyahadah (kesaksian dan pengakuan atas dosa-dosanya) yang membuat kecintaannya untuk bertobat selalu bertambah dan motivasi-motivasinya mampu mendesak untuk lebih menyempurnakan tekad tobatnya dalam bentuk penguatan rasa takut dan harap.

 

Ketika hal ini terjadi, keruwetan-keruwetan keburukan perilaku yang telah menggumpal di dinding-dinding sanubarinya mulai mencair dan memuai, sikapnya secara tegas menunjukkan pengambilan jarak dari larangan-larangan agama, dan kecenderungan mengikuti hawa nafsu dengan keras dikekangnya. Akhirnya, semua jalan yang mengantarkannya pada kesesatan ditinggalkan, tekad untuk tidak kembali pada dosa-dosa serupa di masa yang akan datang lebih diteguhkan, kemudian waktu pun berjalan mengikuti dorongan perwujudan tujuan tobat. Sesungguhnya realisasi tobat yang sesuai dengan tekadnya adalah penetapan diri pada jalan yang tepat, dan jika upaya tobat sekali dua kali mengalami kemunduran, maka hal seperti ini pun jumlahnya banyak. Karena itu,tidak perlu berputus asa, dan justru peningkatan kualitas tobat harus diperkuat.

 

“Sesungguhnya setiap ajal punya ketetapan.” (QS. Ar-Ra’ d: 38)

 

Abu Sulaiman Ad-Darani mengisahkan pengalaman spiritualnya, “Saya berkali-kali datang ke majelis Qashi (seorang ulama sufi). Pada kali pertama, nasihat-nasihatnya membekas di hati saya. Namun, ketika saya beranjak pulang, tidak satu pun nasihatnya yang masih membekas. Esoknya saya datang lagi dan mendengarkan ceramah-ceramahnya. Saya cukup terpengaruh dengan wejangannya hingga sampai bertahan di tengah perjalanan pulang. Setelah itu hilang. Pada kali yang ketiga, fatwanya sangat berpengaruh dan mampu menawan hati saya hingga saya sampai di rumah. Sesampainya di rumah, saya langsung menghancurkan alat-alat yang menyebabkan penyimpangan-penyimpangan perilaku, kemudian saya bersiteguh menetapi jalan lurus. Kisah ini akhirnya saya utarakan pada Yahya bin Mu’adz dan olehnya dikatakan, “Seekor burung kecil telah menangkap segerombolan burung karaki (bangau). Beliau memaksudkan burung kecil pada Qashi dan burung karaki pada Abu Sulaiman Ad-Darani. Dalam tema yang hampu serupa, Abu Hafsh Al-Hadad juga menceritakan, “Suatu kali saya berhasil meninggalkan perbuatan demikian, lalu mengulangnya lagi, kemudian kembali meninggalkannya lagi, dan setelah itu saya tidak mengulangnya lagi.”

 

Diceritakan bahwa Abu Amr bin Najid dalam permulaan laku sufinya diawali dari kehadirannya di majelis Abu Utsman. Nasihat-nasihat yang diterimanya sangat membekas di hatinya sehingga dia tobat. Akan tetapi, sebelumnya dia pernah mendapatkan cobaan penyakit demam. Penyakit ini sempat membuatnya menderita sehingga dia lari dari majelis Abu Utsman. Setiap kali melihatnya, dia segera menyingkir dan memperlambat. kehadirannya di majelis. Suatu hari Abu Utsman bermaksud menyambut kedatangannya, namun Abu Amr berusaha menghindar dan melewati jalan lain yang tidak biasa dilalui orang. Abu Utsman rupanya tahu, kemudian dia mengikutinya dari belakang hingga bertemu.

 

“Wahai Anakku,” katanya, “kamu tidak dapat mengawani orang yang mencintaimu kecuali terpelihara. Sesungguhnya yang bisa memberimu manfaat dalam keadaan demukian hanyalah Abu Utsman.”

 

Kemudian Abu Amr bin Najid bertobat dan kembali pada kehendaknya semula serta berjalan di dalamnya.

 

Saya pernah mendengar Tuan Guru Abu Ali Ad-Daqaq, semoga Allah merahmatinya, bercerita, “Seorang murid bertobat, kemudian dia menderita sakit demam. Suatu waktu dia mencoba berpikir untuk berhenti. Jika tetap bertobat, maka apa hikmahnya? Begitu pikirnya. Tiba-tiba sebuah suara gaib menasihatinya, Hai Fulan, jika kamu taat kepadaku, maka aku pasti menghargaimu. Kemudian kamu meninggalkanku yang membuatku tidak mengurusimu, dan jika kamu kembali lagi kepadaku, pasti aku menerimamu lagi. Lalu pemuda itu kembali pada kehendaknya semula (tobat) dengan mantap dan berhasil melaluinya dengan baik.”

 

Jika salik meninggalkan segala kemaksiatan, gumpalan-gumpalan nafsu yang membuatnya terdorong untuk selalu bermaksiat dilepas dari hatinya: dan kemudian hatinya berketetapan untuk tidak kembali pada kemaksiatan-kemaksiatan sejenisnya, maka penyesalan yang sesungguhnya mulai menjernihkan hatinya. Dia menjadi manusia yang selalu menyesali atas apa yang pernah diperbuatnya. Sepak terjangnya, perilakunya, dan keadaan-keadaan dirinya mencer minkan rasa sesal, galau dan sedih. Maka dengan demikian, dia benar-benar telah menjalani tobat yang sempurna. Mujahadahnya benar. Kesungguhannya untuk menjadi orang baik benar-benar bisa dipercaya. Jika sudah mencapai tingkat demikian, maka sikap pergaulannya dengan manusia akan digantikannya dengan sikap uzlah. Dia akan menjadi orang yang senang menyendiri, menjauhi pergaulan yang tidak membawa kebaikan, memisahkan diri dari pergaulan-pergaulan bersama orang-orang yang berperilaku buruk. Waktu siang dan malamnya dipakai untuk bersedih, meratapi kesalahankesalahannya, dan menjadikan hatinya untuk sungguh-sungguh bertobat kepada Allah. Air mata penyesalannya akan terus mengalir menggenangi, dan membasuh luka hatinya, menghapus jejak-jejak dosa yang ditinggalkannya, dan mengobati jiwa dukanya.

 

Hal ini diketahui dengan kekusutan hatinya dengan ditandai kelemahan fisiknya. Mukanya sayu. Tubuhnya lemah tanpa gairah. Keadaannya sangat kurus. Seleranya atas kenikmatan dunia menurun. Hatinya tidak tertarik terhadap apapun selain pada Allah. Dan, itu terus berlangsung menyelimuti hatinya sampai mendapatkan keridaan Allah dan orang-orang yang dimusuhinya. Dia akan memasrahkan dirinya pada orang yang pernah dianiayanya untuk memperoleh ampunannya. Dia tidak akan keluar dari tekadnya sebelum benar-benar mendapatkan maafnya. Sesungguhnya tobat yang berkaitan dengan pelanggaran dosa atas hak manusia mengharuskan salik untuk meminta keridaan orang yang pernah dianiayanya sebelum meminta keridaan Allah. Jika tangannya mampu mengembalikan hak-haknya, maka salik wajib mengembalikannya, atau meminta kemurahan hatinya supaya menghalalkan dan membebaskan dirinya dari tuntutan kewajiban bayar tagihan hak. Jika keduaduanya tidak dapat diperoleh, maka hatinya harus tetap berkeyakinan, bersikukuh, dan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk keluar dari belenggu tuntutan tagihan hak-hak orang yang pernah dianiayanya, dengan disertai harapan dan penghadiran diri untuk kembali pada Allah dengan curahan doa yang sungguh-sungguh untuk dirinya dan orang-orang yang pernah dianiayanya.

 

Saya pernah mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Tobat ada tiga bagian: pertama tobat (kembali), kedua inabah (berulang-ulang kembali), dan ketiga aubah (pulang). Tobat bersifat permulaan Aubah adalah akhir perjalanan. Dan inabah adalah tengah-tengahnya.”

 

Setiap orang yang tobat karena takut siksaan, maka dia adalah pelaku tobat. Orang tobat karena mengharapkan pahala ada. lah pelaku tobat yang mencapai tingkatan inabah. Sedangkan Orang tobat yang termotivasi oleh sikap hati-hati dan ketelitian hatinya, bukan karena mengharapkan pahala atau takut pada siksaan Allah, maka dia adalah pemilik aubah.

 

Dikatakan pula bahwa tobat adalah sifat orang-orang mukmin. Allah berfirman:

 

“Dan tobatlah kalian semua kepada Allah, hai orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nur: 31)

 

Sedangkan inabah merupakan sifat para wali Allah atau orang-orang yang dekat dengan Allah, sebagaimana yang difirmankan-Nya:

 

(Yaitu) orang-orang yang takut kepada Tuhan Yang Mahapemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang tobat.” (QS. Qaf: 33)

 

Dan adapun aubah adalah sifat para nabi dan rasul.

 

“Dialah (Nabi Ayyub a.s.) sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya).” (QS. Shad: 44)

 

Saya pernah mendengar Imam Al-Junaid mengatakan, “Tobat ada tiga makna: pertama penyesalan, kedua tekad meninggalkan (tidak kembali) apa yang dilarang Allah, dan ketiga berusaha memenuhi hak-hak orang yang pernah dianiyanya.”

 

Sahal bin Abdullah mengatakan, “Tobat adalah meninggalkan penundaan (tidak menunda-nunda tobat).”

 

Imam Al-Junaid pernah ditanya tentang tobat, lalu dijawab, “Hendaknya kamu melupakan dosamu.“

 

Oleh Abu Nashr As-Siraj, dua statemen di atas dikomentari. Menurutnya bahwa Sahal dengan statemennya menunjukkan beberapa keadaan orang-orang yang hendak bertobat yang sesekali terhaiangi proses tobatnya. Sedangkan Al-Junaid memaksudkan pada tobat orang-orang yang sungguh-sungguh, yaitu ahli hakikat. Mereka ini ketika bertobat tidak lagi mengingat dosadosanya karena kehadiran keagungan Allah dan keberlangsungan zikirnya pada-Nya senantiasa mendominasi hatinya.

 

Dzun Nun Al-Mishrn pernah ditanya tentang tobat, lalu dijawab, “Tobat orang awam disebabkan oleh dosa, sedangkan tobat orang yang khusus dikarenakan lupa.” Ucapan ini dipertegas lagi oleh An-Nuri, “Tobat adalah proses pelaksanaan tobat dari segala sesuatu selain Allah.“

 

Abdullah At-Tamimi mengatakan, “Ada hal yang membedakan antara orang yang tobat dari keteledoran, bertobat dari kelupaan, dan bertobat dari memandang kebaikan yang diperbuatnya.”

 

“Tobat nasuha,” kata Al-Wasithi, “tidak akan meninggalkan bekas kemaksiatan pada pemiliknya, baik yang bersifat samar maupun jelas.”

 

“Tuhanku,” kata Yahya bin Mu’adz, “saya tidak mengatakan bahwa saya tobat. Tidak juga mengulang sesuatu yang saya ketahui dari akhlakku dan tidak menyimpan upaya meninggalkan dosa terhadap sesuatu yang saya ketahui dari kelemahanku.” Sedangkan permohonan ampun tanpa melepaskan dosa, menurut Dzun Nun adalah tobatnya para pendusta.

 

Al-Busyanji pernah ditanya tentang tobat, lalu dijawab, “Jika kamu mengingat dosa, kemudian tidak merasakan manisnya ketika mengingatnya, maka demikian itu adalah tobat.”

 

Kemudian ini lebih diperjelas lagi oleh Dzun Nun Al-Mishri, “Hakikat tobat menjadikan kamu keluasan bumi ini terasa sempit, sehingga tidak ada tempat menetap bagimu. Kemudian jiwamu terasa sempit. Hal ini sebagaimana yang dikabarkan

 

Allah dalam kitab-Nya yang mulia:

 

“… hingga apabila burni telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit (terasa) oleh mereka. Mereka telah mengetahui tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya

 

Allah-lah Yang Mahapenerima tobat lagi Mahapenyayang.” (QS. At-Taubah: 118)

 

Ibnu Atha’ mengatakan, “Tobat ada dua: tobat inabah dan tobat istijabah. Tobat inabah adalah sikap tobat seorang hamba yang takut siksaan-Nya. Sedangkan tobat istijabah merupakan bentuk tobat seorang hamba yang malu terhadap kemuliaanNya.”

 

“Kenapa seseorang yang menjalankan tobat membenci dunia?” tanya seorang murid pada Abu Hafsh.

 

“Karena dunia merupakan tempat berlangsungnya operasi perbuatan dosa.”

 

“Bukankah dunia merupakan tempat yang dimuliakan Allah yang di dalamnya tobat bisa dilakukan?” seorang penanya lain menyela.

 

“Kenyataan dosa di atasnya adalah sesuatu yang pasti, sementara penerimaan tobat di dalamnya masih bersifat mungkin,” tegas Hafsh.

 

Karena itu, tidak semua tobat memiliki tingkat yang sama. Masing-masing punya kualitas dan derajat sendiri-sendiri. Tobat orang awam dengan tobat orang khusus berbeda, dan tobat orang awam dengan tobat orang pendusta juga tidak sama. Tentang masalah yang terakhir ini, sekelompok ulama sufi pernah menjelaskan bahwa tobat para pendusta hanya terjadi di permukaan mulutnya saja. Artinya, mereka melakukan tobat hanya sebatas mengucapkan istighfar, yaitu permohonan ampun pada Allah.

 

“Tidak ada sesuatu pun yang bisa dimiliki seorang hamba dalam tobatnya,” jelas Abu Hafsh pada seorang penanya, “karena tobat hanya untuk-Nya, bukan dari-Nya.”

 

Allah pernah mewahyukan pada Nabi Adam a.s. tentang tobat. “Hai Adam,” kata Allah, “engkau telah mewariskan anak keturunanmu kepayahan dan cobaan, sedangkan Saya mewariskan mereka tobat. Barangsiapa di antara mereka yang berdoa kepada-Ku, pasti Saya menyambutnya sebagaimana menyambutMu. Hai Adam, Saya mengumpulkan orang-orang yang tobat dari kubur mereka dalam keadaan gembira dan tertawa kepadaKu. Doa mereka terkabulkan.”

 

Pernah seorang laki-laki datang ke rumah Rabi’ah “Adawiyah. Dia mengadukan perbuatan-perbuatan buruknya, “Sesungguhnya saya banyak berbuat dosa dan maksiat. Kalau saya tobat, apakah Allah akan menerima saya?”

 

“Tidak! Bahkan, seandainya Dia menerimamu, pasti saya bertobat.”

 

Ketahuilah sesungguhnya Allah berfirman:

 

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang tobat dan mencintai (juga) orarg-orang yang suci.” (QS. Al-Baqarah: 222)

 

Barangsiapa mendekati tempat yang menggelincirkan, maka itu jelas kesalahannya sendiri. Jika tobat, maka diterimanya masih meragukan. Apalagi jika syarat dan haknya merupakan hak bagi kecintaan Al Haqq. Seseorang yang melakukan maksiat sehingga di dalam sifat-sifatnya ditemukan tanda-tanda kecintaannya kepada Allah semakin menjauh, maka dia wajib tobat dan harus terus-menerus menghancurkan kemaksiatan dengan disertai istighfar dan pembebasan diri dari dosa. “Sesungguhnya ketakutan itu mengingatkan pada kematian,” kata ahli sufi. Karena itu, benar sekali jika Allah berfirman demikian:

 

“Katakan, jika kalian cinta kepada Allah, maka ikutilah saya (Nabi,, niscaya Allah mencintai kalian.” (QS. Ali Imran: 31)

 

Di antara proses ritual perjalanan tobat Nabi Saw. adalah mengkontinukan istighfar. Rasulullah Saw. bersabda:

 

“Sesungguhnya Dia menutupi hatiku, maka saya memohon anpun kepada Allah sehari tujuh puluh kali.”

 

Yahya bin Mu’adz mengatakan, “Tergelincir satu kali setelah tobat lebih buruk daripada istighfar tujuh puluh kali sebelumnya.”

 

Menurut keterangan Abu Utsman yang pernah saya dengar tentang firman Allah:

 

“Sesungguhnya kepada Kamilah kembali mereka.” (QS. Al-Ghasyiah: 25)

 

Ayat ini menunjukkan arti “pengembalian mereka”, meski mereka telah berkali-kali berkeliling dalam penentangan.

 

Saya juga pernah dengar Abu Amr Al-Anmathi bercerita, “Seorang menteri yang bernama Ali bin Isa sedang menunggang kuda kebesarannya dalam arak-arakan yang sangat megah. Pawai ini sempat membuat masyarakat terkagum-kagum. Mereka bertanya-tanya siapakah gerangan itu? Tiba-tiba seorang wanita yang kebetulan sedang berdiri di pinggir jalanan pawai nyeletuk, ‘Sampai kapan kalian mengatakan dengan bertanya-tanya siapakah dia siapakah dia? Dia adalah hamba yang terjatuh dari pandangan Allah dan Allah mengujinya dengan sesuatu yang kalian saksikan itu’ Rupanya Ali bin Isa mendengar sindiran itu. Dia langsung kembali pulang, kemudian mengundurkan diri dari jabatan menteri dan pergi ke Mekkah untuk tinggal di sana.”

 

2. MUJAHADAH

 

Allah berfirman:

 

“Dan orang yang berjuang di (jalan) Kami, Kami pasti menunjukkan mereka pada jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar bersama orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ankabut: 69)

 

Dari Abu Sa’id Al-Khudri diceritakan bahwa dia berkata, “Rasulullah Saw. pernah ditanya tentang seutama-utama jihad. Kemudian dijawab:

 

“Kalimat adil yang disampaikan pada penguasa yang diktator.”

 

Tidak terasa kedua bola mata Abu Sa’id mengalirkan air mata.

 

Saya pernah mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan, “Barangsiapa menghiasi zhahirnya dengan mujahadah, maka Allah memperbaiki sisi batinnya dengan musyahadah (penyaksian). Ketahuilah bahwa seseorang yang dalam awal perjalanan hidupnya tidak pernah mengalami mujahadah, maka dia tidak akan mendapatkan “lilin” yang dapat menerangi jalannya.”

 

Abu Utsman Al-Maghribi mengatakan, “Barangsiapa mengira bahwa sesuatu hanya dapat dibukakan atau disingkapkan untuknya hanya dari jalan ini atau hanya dengan keteguhan menjalani mujahadah, maka dia adalah orang yang salah.”

 

Saya pernah mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq, semoga Allah merahmatinya, mengatakan, “Barangsiapa dalam permulaannya tidak pernah berdiri, maka pada akhirnya dia tidak akan duduk.” Beliau juga pernah mengatakan bahwa gerak membawa barokah atau gerak adalah barokah itu sendiri. Gerak zhahir, menurut beliau, mengharuskan timbulnya barokah rahasia.

 

“Wahai para pemuda,” pesan As-Sirri, “bersungguh-sungguhlah kalian sebelum sampai pada batas akhir kemampuan yang membuat kalian lemah dan kurang sebagaimana kelemahan dan kekurangan (fisik) kalian.” Ketika itu para pemuda tidak mampu mengawani As-Sirri dalam menjalankan ibadah.

 

Menurut Hasan Al-Qazzaz yang keterangannya sempat saya hdengar bahwa perkara ini (mujahadah) dibangun di atas tiga hal: hendaknya tidak makan kecuali benar-benar butuh (lapar), tidak akan tidur kecuali sangat ngantuk, dan tidak bicara kecuali sungguh-sungguh terdesak (mengharuskan).”

 

Saya pernah mendengar Ibrahim bin Adham mengatakan, “Seseorang tidak akan mendapatkan derajat orang-orang yang salih hingga mampu mengatasi enam rintangan. Pertama, menutup pintu nikmat dan membuka pintu kesulitan. Kedua, menutup pintu kemuliaan dan membuka pintu kehinaan. Ketiga, menutup pintu istirahat dan membuka pintu perjuangan (kesungguhan). Keempat, menutup pintu tidur dan membuka pintu keterjagaan. Kelima, menutup pintu kaya dan membuka pintu kefakiran. Keenam, menutup pintu angan-angan dan membuka pintu persiapan kematian.”

 

“Barangsiapa yang nafsunya memuliakan dirinya,” kata Abu Amr bin Najid, “maka agama dan reputasinya akan menghinakannya.”

 

Saya juga pernah mendengar Abu Ali Ar-Rudzabari mengatakan, “Jika seorang sufi setelah lima hari berkata, ‘Saya lapar,” maka giringlah dia ke pasar dan suruh bekerja. Ketahuilah bahwa dasar dan tiang mujahadah adalah menyapih nafsu dari kebiasaankebiasaannya dan membawanya pada penentangan hawa nafsu dalam semua waktu.”

 

Nafsu mempunyai dua sifat yang mampu mencegah kebenaran. Pertama, ketekunannya mengikuti syahwat dan kedua mencegah ketaatan. Jika nafsu ketika mengendarai keinginannya (hawa nafsu) lari tidak terkendalikan, maka dia wajib dikekang dengan kekang takwa. Jika berhenti dengan menetapi perintahperintah agama, maka dia wajib digiring pada penentangan hawa nafsu (hawa adalah kecondongan, keinginan, dorongan atau arah perilaku nafsu). Ketika dalam kondisi marah dia berontak, maka wajib diteliti, dikendalikan, dan diarahkan pada keadaannya yang tenang. Tidak ada posisi yang akibatnya lebih bagus daripada kemarahan yang kekuasaannya dipecahkan dengan akhlak yan baik dan apinya dipadamkan dengan kelembutan perilaku. Jika nafsu menganggap halal “minuman ketololan” sehingga mem, buat segala sesuatu baginya menjadi: sempit kecuali dengan penampak-nampakan perangai baik dan lebih mempercantiknya ketika seseorang melihat atau menelitinya (riya, pen.), maka demikian itu harus dipecahkan dan dilepas dengan siksaan kehi, naan. Prakteknya dengan cara mengingatkan kerendahan derajat nafsu, kehinaan aslinya, dan kekotoran perbuatannya. Mujahadah (kesungguhan dalam perjuangan) orang awam terdapat pada pe. menuhan perbuatan (wajib). Sasaran (mujahadah) orang khusus menuju pada pembersihan ahwal (keadaan, lihat pasal hal). Karena itu, menahan penderitaan lapar dan keterjagaan adalah mudah dan ringan. Sedangkan mengobati akhlak dan menjauhkannya dari kebusukannya adalah pekerjaan yang sangat sulit.

 

Di antara penutup-penutup (rahasia) penyakit nafsu adalah kecondongannya pada kemampuan merasakan marusnya pujian, Seseorang jika menghirup seteguk pujian, dia akan “memikul” penduduk langit dan bumi pada bulu matanya. Adapun tandatandanya, jika dia terputus dari minuman tersebut (tidak mendapatkan pujian, pen.), maka keadaannya akan kembali pada kemalasan dan kelemahan (tidak aktif lagi berbuat baik karena tidak dipuji).

 

Sebuah cerita yang diriwayatkan dari Abu Muhammad Al-Murta’isy menuturkan, “Saya pernah haji dengan bekal apa adanya. Bagi saya semuanya masih tampak dicampuri dengan keberuntungan. Suatu hari ibu meminta saya minum seteguk air yang membuat nafsu saya merasa keberatan. Saya tahu, ketika itu ketaatan nafsu saya pada ritual haji adalah karena kebahagian dan percampuran nafsuku dengan keberuntungan (kekhusyukan haji yang masih dipengaruhi keasyikan bercengkerama dengan nafsu sehingga sikap ibadah zhahir ini menghalangi ibadah zhahir yang lain, yaitu memenuhi permintaan ibu). Seandainya nafsu saya lenyap, tentu tidak akan memberatkannya untuk melaksanakan kewajiban syarak (memberi minum ibu).”

 

Seorang wanita tua ditanya tentang keadaannya, lalu dijawab, “Saya ketika masih muda menemukan pada diriku (baca nafsu) keaktivan dan giat yang sekarang ini tidak saya temukan lagi. Ketika usia sudah beruban, demikian itu hilang dariku.”

 

Saya pernah mendengar Dzun Nun Al-Mishri mengatakan, “Allah tidak akan memuliakan seorang hamba dengan kemuliaan yang lebih mulia selain menunjukkan padanya kehinaan nafsunya, dan tidak akan menghinakan hamba-Nya dengan kehinaan yang lebih hina selain menutupi kehinaan nafsunya dari pandangannya.”

 

Ibrahim Al-Khawwash, sebagaimana yang dituturkannya, tidak pernah takut pada sesuatu selain sikap yang menuruti hawa nafsu. Akan tetapi, Muhammad bin Fudhail mengatakan bahwa kesenangan atau kesenggangan merupakan pembebasan dari syahwat dan kesenangan nafsu.

 

Saya pernah mendengar Abu Ali Ar-Rudzabari mengatakan bahwa penyakit hati menyusup ke dalam akhlak melalui tiga jalan, yaitu penyakit watak, kebiasaan yang ditetapi terus-menerus, dan kerusakan pergaulan. Saya kemudian bertanya, “Apa itu penyakit watak?”

 

“Memakan barang haram,” jawabnya.

 

“Sedangkan pembiasaan kebiasaan?”

 

“Memandang dan merasakan nikmat dengan barang haram dan rasari-rasan.”

 

“Dan yang ketiga tentang kerusakan pergaulan?”

 

“Yaitu, ketika syahwat dalam nafsu bangkit, maka nafsu pasti mengikutinya.”

 

Saya juga pernah mendengar An-Nashr Abadzi mengatakan, “Penjaramu adalah nafsumu. Jika berhasil keluar darinya, kamu pasti akan tinggal di tempat yang enak dan kekal.” An-Nashr juga mengatakan bahwa dia pernah mendengar Muhammad AlFara’ menuturkan fatwa yang didengarnya dari Abu Husin AlWarag. Fatwa itu mengatakan, “Penyebab hukum-hukum kami dalam permulaan perkara kami di mesjid Abu Utsman Al-Hiri adalah pengutamaan terhadap sesuatu yang membukakan kami, dan kami tidak bermalam pada sesuatu yang diketahui. Barangsiapa menerima kami dengan kebencian, kami.tidak akan membalasnya dengan (keburukan pula yang) membuat diri kami tersiksa, bahkan kami akan meminta maaf kepadanya dan merendahkan diri di hadapannya. Jika terjadi penghinaan seseorang terhadap hati kami, kami akan berdiri dengan memberi pelayanan dan berbuat sebaik mungkin kepadanya sampai hal itu hilang.”

 

“Nafsu semuanya adalah gelap,” kata Abu Ja’far, “dan lampunya adalah rahasianya. Cahaya lampu nafsu adalah taufik. Barangsiapa dalam rahasianya tidak dikawani taufik dari Tuhannya, maka dia dalam kegelapan di segala sisinya.” Kemudian kami menafsiri statemen tersebut. Makna “lampunya” adalah rahasianya mengacu pada rahasia hamba antara dirinya dan Allah. Rahasia itu merupakan tempat keikhlasan hamba. Dengan keikhlasan(manifestasi rahasiah) hamba akan mengetahui bahwa semua kejadian terjadi sebab (dengan) Allah, bukan sebab dirinya atau dari dirinya. Hal itu dimaksudkan agar hamba terbebas dari daya dan kekuatannya dalam pelanggengan waktuwaktunya. Kemudian dia menjaga dirinya dari keburukan nafsunya dengan taufik Allah. Seseorang yang tidak mendapatkan taufik, maka ilmunya tidak bermanfaat pada diri dan dengan Tuhannya. Karena itu, para guru sufi menasihatkan bahwa seseorang yang tidak mempunyai rahasia, maka dia terusmenerus dalam nafsu.

 

Abu Utsman mengatakan, “Seseorang tidak akan tahu aib dirinya selama dia menganggap baik pada dirinya. Dan seseorang yang melihat aib dirinya, dia pasti dalam kebingungan di semua keberadaannya.” Bahkan, Abu Hafsh lebih menegaskan, “Tidak ada kerusakan yang lebih cepat melebihi kerusakan orang yang tidak tahu aib dirinya, padahal maksiat adalah kurir kekufuran.”

 

“Saya tidak pernah menganggap baik pada amalan ibadah saya,” kata Abu Sulaiman, “saya cukup dengan berbuat saja.”

 

As-Sirri berpesan, “Takutlah kalian pada para tetangga yang kaya, para gari’ panggungan, dan para ulama pejabat.”

 

Dzun.Nun Al-Mishri berfatwa, “Kerusakan masuk pada makhluk melalui enam perkara. Pertama, lemahnya niat untuk berbuat amal akhirat. Kedua, badan yang dijadikan jaminan untuk nafsunya. Ketiga, angan-angan yang panjang yang menguasai dirinya, padahal ajal sangat dekat. Keempat, lebih mengutamakan keridaan makhluk daripada keridaan Allah. Kelima, mengikuti kemauan hawa nafsu dan meninggalkan sunnah Nabinya dengan diletakkan di belakang punggungnya. Keenam, menjadikan ketergelinciran lidah sebagai argumen membela dirinya dan pada sisi lain mengubur sebagian besar perilakunya.”

 

3. KHALWAH DAN ‘UZLAH

 

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

 

“Sebaik-baik kehidupan manusia adalah orang yang mampu memegang kerasnya (kendali) kuda di jalan Allah. Jika mendengar hal yang mengejutkan dan menakutkan, ia tetap di atas punggung kuda dengan pilihan mati atau terbunuh, atau orang yang mendapatkan harta rampasan perang yang bertempat tinggal di atas gunung atau di dasar jurang yang senantiasa mengerjakan salat, memberi zakat, dan beribadah kepada Tuhan sampai kernatian menjemputnya, yang tidak dimiliki oleh orang lain kecuali tetap dalam kebaikan.” (HR. Muslim dan Ibnu Majah)

 

Khalwah merupakan sifat ahli sufi. Sedangkan ‘uzlah merupakan bagian dari tanda bahwa seseorang bersambung dengan Allah Swt. Seharusnya bagi murid (orang yang hendak menuju Allah Swt.) pemula agar ‘uzlah (mengasingkan diri) dari bentukbentuk eksistensial kemudian di akhir perjalanannya melakukan khalwah (menyepi) sehingga sikap lemah lembut dapat tercapai. Hakikat khalwah adalah pemutusan hubungan dengan makhluk menuju penyambungan hubungan dengan Al-Haqq. Halitu dikarenakan khalwah merupakan perjalanan rohani dari nafsu menuju hati, dari hati menuju ruh, dari ruh menuju alam rahasia, dan dari alam rahasia menuju Dzat Mahapemberi segala.

 

Hakikat seorang hamba yang melaksanakan ‘uzlah (mengasingkan diri) hendaknya diniatkan karena Allah dengan maksud menjaga keselamatan orang laim dari niat buruknya kepadanya. Dan jangan bermaksud menjaga keselamatan dirinya sendiri dari niat buruk orang lain. Karena pernyataan pertama merupakan kesimpulan dari sikap rendah diri. Sedangkan pernyataan kedua merupakan penonjolan sikap istimewa dari diri sendiri. Orang yang rendah diri adalah orang yang tawaduk. Sedangkan orang yang memandang dirinya istimewa adalah orang yang sombong.

 

Sebagian para pendeta meriwayatkan, ketika dia ditanya, “Apakah engkau pendeta?” Dan dia menjawab, “Tidak, saya hanya sebagai penjaga anjing. Jiwaku menyerupai anjing yang dapat melukai orang lain. Karena itu, saya harus keluar dari mereka supaya mereka selamat.”

 

Suatu saat, ada seorang laki-laki bertemu dengan orang tua yang saleh yang sedang mengumpulkan pakaiannya. Lelaki itu bertanya, “Kenapa kau kumpulkan pakaianmu, apakah pakaianku ini najis?” Orang tua saleh itu menjawab, “Pakaianku ini yang najis dan kukumpulkan agar tidak menajiskan pakaianmu”.

 

Sebagian dari tata cara ‘uzlah adalah untuk memperoleh ilmu-ilmu yang dibenarkan oleh akidah tauhid agar dia tidak diganggu oleh setan. Selain itu untuk memperoleh ilmu-ilmu syariat atas dasar kewajiban sehingga bentuk perintahnya menjadi pondasi yang kuat dan akurat. ‘Uzlah secara esensial menghindarkan dari perilaku tercela. Sedangkan urgensinya dapat direalisasikan untuk menggantikan berbagai sifat (tercela diganti sifat yang baik), bukan untuk menjauhkan diri dari tanah air. Dalam konteks seperti ini dapat diajukan pertanyaan, “Siapakah orang yang ma rifatitu?” Jawabnya, “Orang yang selalu ada tetapijauh, yakni dia selalu bersama dengan orang lain, tetapi hatinya jauh dari mereka.”

 

Saya telah mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq berkata,

 

“Berpakaianlah sebagaimana orang berpakaian, makanlah sebagaimana orang makan, dan menyendirilah dengan bersembunyi.” Saya juga pernah mendengar ia mengatakan, “Suatu hari seseorang datang kepadaku dan bertanya, Saya datang kepadamu dari jarak perjalanan yang sangatjauh?” Lalu aku menjawab cerita ini bukan dengan artijarak perjalanan yang terputus dan perjalan’ an yang melelahkan. Renggangkan jiwamu dengan satu langkah, maka tujuanmu akan tercapai.”

 

Diriwayatkan dari Abu Yazid. Ia berkata, “Saya pernah bermimpi bertemu Tuhan, kemudian saya bertanya, bagaimana caranya agar saya bisa bertemu dengan-Nya?” Dan Dia menjawab, “Pisahkan jiwamu dan bersegeralah datang.”

 

Saya telah mendengar Abu Utsman Al-Maghribi mengatakan, “Barangsiapa memilih meninggalkan masyarakat, selayaknya dia meninggalkan semua ingatan kecuali ingat kepada Tuhan, meninggalkan semua keinginan kecuali mencari rida Tuhan, dan meninggalkan semua tuntutan hawa nafsu. Jika tidak demikian, maka apa yang dikerjakan menimbulkan fitnah cobaan.” Menurut satu pendapat, khalwah adalah perbuatan yang paling dicintai untuk mendorong rasa rindu.

 

Saya telah mendengar Muhammad bin Hamid berkata, “Seorang laki-laki bertamu kepada Abu Bakar Al-Waraq. Ketika akan pulang, dia meminta kepada Muhammad agar memberi wasiat kepada dirinya.” Abu Bakar Al-Warag menjawab, “Engkau telah mendapatkan kebaikan di dunia dan akhirat karena engkau selalu menyendiri dan meninggalkan pergaulan masyarakat. Kejelekan dan keduanya terletak pada pencampuradukan dan pembauran.”

 

Abu Muhammad Al-Jariri ditanya tentang ‘uzlah. Dia menjawab, ‘Uzlah adalah masuk ke tempat yang sempit, menjaga rahasia agar tidak terjadi gesek-menggesek dan meninggalkan keinginan hawa nafsu sehingga hatimu terkait dengan kebenaran.” Ada yang berpendapat, bagian dari urgensi ‘uzlah adalah menghasilkan kemuliaan.

 

Menurut Sahal, khalwah tidak dapat dibenarkan kecuali dengan meninggalkan barang yang haram dan meninggalkan barang yang halal juga tidak dibenarkan kecuali dengan melaksanakan hak Allah Swt. Dzun Nun Al-Mishri berkata, “Saya tidak pernah melihat sesuatu yang dapat menimbulkan sikap ikhlas kecuali kekasihmu itu adalah khalwah, makananmu adalah lapar, dan pembicaraanmu adalah lapar. Apabila engkau meninggal dunia, engkau selalu bersambung dengan Allah Swt.” Dzun Nun Al-Mashri juga pernah berkata, “Orang tidak akan terhalang dari makhluk karena berkhalwah sebagaimana orang yang tidak akan terhalang dari mereka karena mendekatkan diri kepada Allah Swt.“

 

Menurut Junaid, susahnya ‘uzlah lebih mudah daripada siklus kehidupan bermasyarakat. Menurut Makhul Al-Syami, jika hidup bermasyarakat memperoleh kebaikan, ‘uzlah pun juga memberikan keselamatan. Sedangkan menurut Yahya bin Mu’adz, menggabungkan keduanya merupakan cara yang terbaik bagi orang yang mencari kebenaran.

 

Saya pernah mendengar Syaikh Abu Ali berkata dengan mengutip ungkapan Imam Syibli, “Manusia akan bangkrut dan bangkrut. Seseorang bertanya kepadanya. Apa tanda-tanda orang yang bangkrut wahai Abu Bakar? Dia menjawab, “Tanda orang yang bangkrut adalah orang yang menyakiti orang lain.

 

Yahya bin Abu Katsir berpendapat, “Barangsiapa yang bergaul dengan orang lain, maka dia akan didekati. Barangsiapa yang mendekati orang lain, maka dia akan dilihat.“ Sa’id bin Harb telah berkata, “Saya pernah mengunjungi Malik bin Mas’ud di Kufah. Dia menyendiri di rumahnya. Setelah itu kutanyakan sesuatu kepadanya, ‘Apakah engkau tidak kesepian menyendiri di tempat ini?’ Dia menjawab, ‘Saya tidak pernah melihat seseorang merasa kesepian jika dia bersama Allah Swt.’

 

Saya mendengar Junaid berkata, “Barangsiapa yang hendak menyerahkan agamanya dan menentramkan tubuh dan hatinya, hendaknya dia menjauhkan diri dari orang lain. Masa sekarang adalah masa kesepian. Oleh karena itu, orang yang mempunyai akal sehat, tentu akan menyendiri.” Junaid telah mendengar Abu Bakar Ar-Razi berkata, “Abu Ya’qub As-Susi mengatakan bahwa seseorang tidak akan mampu menyendiri kecuali hanya orang-orang yang kuat. Oleh karena itu, orang seperti kita bermasyarakat tentu lebih baik dan lebih bermanfaat.” Abul Abbas Ad-Damaghani berkata, “Imam Syibli berwasiat kepadaku, ‘Menyendirilah, hapuslah namamu, dan menghadaplah ke dinding sampai engkau mati.”

 

Suatu saat ada seorang laki-laki datang kepada Syu’aib bin Harb seraya bertanya, “Apa yang menyebabkan engkau datang kepadaku?” Dia menjawab, “Agar saya dapat selalu bersamamu.” Kemudian Syu’aib berkata, “Wahai saudaraku, ibadah tidak akan bermanfaat jika terbaur dengan syirik. Barangsiapa yang tidak mencintai Allah Swt., maka dia tidak akan menjumpai sesuatu yang dicintai.”

 

Sebagian ulama telah ditanya, “Apa yang membuatmu heran di waktu beribadah?” Dia menjawab, “Keindahan yang dapat mendorong persahabatan. Oleh karena itu, aku selalu takut menyerahkan diriku kepada Allah Swt. akan menjadi rusak.” Ulama yang lain juga pernah ditanya, “Apakah di sana terdapat orang yang mencintaimu?” Dia menjawab, “Ya, dia selalu merentangkan kekuasaannya di dalam kitabnya dan meletakkannya di atas batu.” Dalam konteks seperti ini, ulama dapat merumuskannya dengan syair:

 

kitab-kitabmu ada di sekelilingku oleh karena itu jangan kau pisahkan dari tempat tidurku di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan orang yang saya sendiri adalah yang menyembunyikannya Seorang laki-laki telah bertanya kepada Dzun Nun Al-Mishri “Kapan saya diperkenankan untuk ‘uzlah?” Dia menjawab, “Jika engkau telah mampu mengasingkan dirimu sendiri.”

 

Ibnu Mubarak telah ditanya, “Apa obat hati?” Dia menjawab, “Meminimalkan pergaulan dengan masyarakat.” Menurut satu pendapat, jika Allah hendak memindahkan seorang hamba dari kemaksiatan yang hina menuju kemuliaan perilaku taat, Allah Swt. pasti mencintai dia dengan menyendiri, mencukupi dia de. ngan cara menerima, dan memperlihatkan dia segala cacat yang tertanam di dalam jiwa (diri)-nya. Apabila hal tersebut telah diberikan kepada orang itu, kebaikan di dunia dan akhirat pasti akan diberikan kepadanya.

 

4. TAKWA

 

Allah Swt. berfirman:

 

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu sekalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13)

 

Telah diceritakan oleh Abu Sa’id Al-Khudri. Dia berkata, “Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Saw. seraya meminta nasehat, ‘Wahai Nabi Allah, wasiatilah diriku. Beliau menjawab:

 

“Wajib atasmu bertakwa kepada Allah Swt. karena takwa merupakan kumpulan segala kebajikan, wajib atasmu tetap berjuang karena berjuang adalah ibadah orang Islam, dan wajib atasmu tetap. ingat kepada Allah Swt. karena mengingat Dia merupakan cahaya bagimu.”

 

Saya telah mendengar seseorang bertanya kepada Rasulullah Saw., “Wahai Nabi Allah, siapakah keluarga Muhammad?” Beliau mejawab, “Orang yang bertakwa kepada Allah Swt. Takwa merupakan kumpulan perbuatan baik, sedang esensinya selalu taat kepada Allah Swt. agar terhindar dari siksaan-Nya.” Ada satu ungkapan, Fulan bertakwa dengan perisainya. Oleh karena itu, pondasi takwa harus menghindarkan diri dari perbuatan syirik, perbuatan maksiat dan tercela. Selain itu juga menghindarkan diri dari perbuatan syubhat, perbuatan yang tidak berfaedah.

 

Saya telah mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Setiap klasifikasi pembagian terdapat satu bab dalam pembahasan takwa. Untuk menafsirkan firman Allah Swt.:

 

“Bertakwalah kepada Allah Swt. dengan takwa yang sebenarnya.” (QS. Ali Imran: 102)

 

Hal itu supaya ditaati bukan untuk dungkari, supaya diingat tidak untuk dilupakan, dan supaya disyukuri tidak untuk dikafiri.”

 

Sahal bin Abdullah berpendapat, tak seorang pun yang dapat menolong kecuali Allah, tak ada argumentasi yang benar kecuali Rasulullah, tak satu pun dari modal persiapan kecuali takwa, dan tak satu pun dari amal kebaikan kecuali sabar.”

 

Menurut Al-Kattani, dunia diciptakan agar manusia menerima cobaan dan akhirat diciptakan agar manusia bertakwa. Al-Jariri berkata, “Barangsiapa yang memberikan keputusan (antara manusia dan Allah Swt.) tanpa dasar takwa dan pendekatan diri kepada Allah, maka dia tidak akan sampai kepada-Nya.”

 

Menurut Nashr Abadzi, yang dimaksud dengan takwa ada. lah seorang hamba yang tidak takut kepada apapun kecuali hanya kepada Allah Swt., Sahal berkata, “Barangsiapa yang menginginkan agar takwanya benar, maka dia harus meninggalkan semua perbuatan dosa.” Nashr Abadzi berkata, “Barangsiapa yang selalu bertakwa, maka dia merasa keberatan meninggalkan dunia seba. gaimana firman Allah Swt.:

 

“Desa akhirat lebih baik bagi orang-orang bertakwa, apakah kamu sekalian tidak berpikir.” (QS. Al-An am: 32)

 

Sebagian Ulama berkata, “Barangsiapa yang mampu merealisasikan takwa, maka Allah akan memudahkan hatinya untuk berpaling dari kemewahan durua.” Menurut Abu Bakar Muhammad Ar-Rudzabari, yang dimaksud takwa adalah meninggalkan sesuatu yang dapat menjauhkan diri dari Allah Swt. Sedangkan menurut Dzun Nun Al-Mishri, yang dimaksud orang takwa adalah orang yang tidak mengotori jiwa lahir dengan hal-hal yang bertentangan dan tidak mengoton jiwa batin dengan interaksi sosial. Dalam kondisi demikian, orang itu akan mengadakan kontak dengan Allah dan dapat berkomunikasi. Ibnu Atha’ berkata, “Takwa terbagi menjadi dua, yakni takwa lahir dan takwa batin. Takwa lahir adalah menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang, sedangkan takwa batin adalah niat dan ikhlas.” Oleh karena itu, Dzun Nun Al-Mishri juga mengungkapkan dalam bentuk syair:

 

tak ada kehidupan yang sejati kecuali dengan kekuatan hati mereka yang selalu merindukan takwa dan menyukai zikir ketenangan telah merasuk ke dalam jiwa yakan dan baik sebagaimana bayi yang masih menetek telah merasuk ke dalam pangkuan

 

Menurut satu pendapat, seorang laki-laki yang bertakwa dapat dijadikan standar apabila memenuhi tiga hal. Pertama, tawakal yang baik dalam hal yang tidak mungkin diperoleh. Kedua, rida yang baik dalam hal yang telah diperoleh. Ketiga, sabar yang baik dalam hal yang telah lewat. Sedangkan menurut Thalq bin Habib, yang dimaksud takwa adalah perilaku taat kepada Allah Swt. di atas cahaya-Nya.

 

Diriwayatkan dari Hafsh. Ia berkata, “Takwa harus ditanamkan pada perbuatan yang halal murni, bukan pada yang lain.” Abul Husain Al-Zunjani berkata, “Barangsiapa yang mempunyai modal takwa, maka berbagai ungkapan sifat jelek akan tertolak.”

 

Al-Wasithi mengatakan, “Yang dimaksud takwa adalah orang yang selalu memelihara ketakwaannya. Orang yang takwa dapat diumpamakan seperti Ibnu Sirin. Ketika dia membeli empat puluh (timbangan kilogram) minyak samin, seorang pemuda mengeluarkan tikus dari timbangan tersebut. Ibnu Sirin bertanya, “Dari timbangan mana kau keluarkan tikus itu?’ pemuda menjawab, ‘Saya tidak tahu. Setelah itu, Ibnu Sirin menuangkan semua minya’!. tersebut di atas tanah.” Dalam cerita yang lain disebutkan bahwa Abu Yazid pernah membeli minyak parfum di Kota Hamdzan’” dan mendapatkan kelebihan. Ketika dia pulang ke Kota Bustham, dia melihat dua semut di dalam parfum tersebut. Setelah itu, dia kembali ke Hamdzan dan meletakkan dua semut itu di tempat penjual.

 

Diceritakan bahwa Abu Hanifah tidak pernah duduk di bawah bayangan pohon orang yang mempunyai hutang kepadanya, berdasarkan hadits Nabi Muhammad Saw.:

 

“Tiap-tiap utang yang mendapatkan keuntungan adalah riba.”

 

Diceritakan Abu Yazid telah mencuci pakaiannya di tanah lapang. Dia bersama temannya seraya berkata kepada Abu Yazid, “Pakaian ini kita jemur di atas dinding pohon anggur.” Abu Yazid menjawab, “Jangan kau meletakkan pasak di atas dinding orang lain.” Temannya bertanya, “Apakah harus kita jemur di atas pohon?” Dia menjawab, “Tidak, karena rumput itu adalah makanan binatang, maka kita tidak boleh menutupnya.” Setelah itu Abu Yazid menghadapkan punggungnya ke matahari, sedangkan pakaiannya yang sebelah kanan sudah kering, maka dia membaliknya sehingga pakaian yang sebelah kiri juga kering.

 

Menurut keterangan yang lain, suatu hari Abu Yazid memasuki perkampungan. Tongkatnya dia tancapkan di atas tanah. Tongkat itu kemudian jatuh dan menyentuh tongkat orang tua yang ditancapkan di sampingnya. Setelah itu tongkat tersebut dimiringkan oleh orang tua dan diambilnya. Dalam perjalanan Abu Yazid mampir di rumah orang tua tersebut dan minta maaf. Orang tua tersebut lantas menjawab, “Yang menyebabkan tongkatmu itu miring karena saya lengah dalam menancapkan tongkatku sehingga tongkatku menjadi terdorong.”

 

Suatu hari ‘Atabah melihat seorang pemuda di suatu tempat pada musim panas yang penuh dengan peluh. Ketika ditanya ‘Atabah, dia menjawab, “Di tempat itu saya pernah mengerjakan maksiat.” Selanjutnya pemuda itu ditanya tentang keadaannya. Dia menjawab, “Dari dinding ini saya pernah mengambil sedikit tanah liat yang dipergunakan oleh temanku dan saya belum meminta maaf kepada pemiliknya.”

 

Ibrahim bin Adham meriwayatkan, “Suatu malam saya tidur di bawah batu besar di Baitul Maqdis.” Di pertengahan malam, dua malaikat turun. Yang satunya bertanya kepada yang lain, “Siapa orang ini? Malaikat yang lain menjawab, ‘Dia adalah Ibrahim bin Adham.’ Malaikat yang satunya berkata, “Orang itu termasuk orang-orang yang direndahkan derajatnya oleh Allah Swt.’ Malaikat yang lain bertanya, ‘Mengapa demikian?’ Malaikat yang satunya menjawab, ‘Orang itu telah membeli kurma. Ketika kurma tukang sayur terjatuh dan masuk ke dalam kurma orang itu, dia masih belum mengembalikan kepada pemiliknya. Suatu hari saya kemudian kembali ke Basrah.” Di sana saya membeli kurma pada orang laki-laki tersebut kemudian saya jatuhkan satu kurmanya yang saya beli ke dalam kurmanya. Setelah itu saya pulang ke Baitul Maqdis dan tinggal di bawah batu besar itu. Ketika tengah malam, tiba-tiba saya berdampingan dengan dua malaikat yang turun dari langit. Yang satunya bertanya kepada yang lain, “Siapa orang ini? Yang lain menjawab, ‘Orang itu adalah Ibrahim bin Adham. Kemudian malaikat yang satunya berkata, ‘Kedudukan orang itu telah dikembalikan dan derajatnya ditinggikan.”

 

Menurut satu pendapat, takwa dapat dibagi dalam berbagai bentuk. Pertama, takwa orang awam karena menghindarkan diri dari syirik. Kedua, takwa orang yang istimewa karena menghindarkan diri dari perilaku maksiat. Ketiga, takwa para wali karena menghindarkan diri dari perbuatan jelek. Keempat, takwa para Nabi karena menghubungkan diri dengan berbagai aktivitas yang di dalamnya terkandung takwa.

 

Dari Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib r.a. dituturkan bahwa dia berkata, “Sebaik-baik orang di dunia ini adalah orang yang dermawan dan sebaik-baik orang di akhirat nanti adalah orang yang bertakwa.”

 

Diceritakan oleh Abu Umamah Al-Bahili dari Nabi Muhammad Saw. Beliau bersabda:

 

“Barangsiapa yang melihat orang perempuan cantik kemudian dia menutup mata pada awal pandangan, maka Allah Swt. akan memberikan pahala ibadah kepadanya sehingga hatinya menjadi tenang.”

 

Suatu hari Imam Al-Junaid duduk bersama Ruwaim, Hariri, . dan Ibnu Atha’. Dia mengatakan, “Kebahagiaan (keselamatan) tidak akan diketemukan kecuali hanya dengan kembali berlin. dung kepada Allah Swt.” Allah Swt. berfirman:

 

“(Begitu juga Allah menerima tobat) tiga orang yang tinggal (tidak pergi berperang) sehingga ketika bumi yang luas telah sempit dan diri mereka juga telah sempit.” (QS. At-Taubah: 118)

 

Menurut Ruwaim, tidak ada kebahagiaan (keselamatan) kecuali hanya dengan takwa yang benar. Allah Swt. berfirman:

 

“Allah akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dengan kebahagiaan mereka, mereka tidak tertimpa kejelekan, dan mereka juga tidak susah (berduka cita).” (QS. Az-Zumar: 61)

 

Menurut Jariri, tidak ada kebahagiaan (keselamatan) kecuali hanya dengan memelihara pemenuhan janji. Allah Swt. berfirman:

 

“Orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian.” (QS. Ar-Ra’ du: 20)

 

Sedangkan menurut Atha’ tidak ada kebahagiaan (keselamatan) kecuali hanya dengan merealisasikan sifat malu. Allah Swt. berfirman:

 

“Tidakkah dia mengetahui bahwa Allah sesungguhnya melihat (segala perbuatannya).” (QS. Al-Alaq: 14)

 

“Sesungguhnya orang-orang yang telah memperoleh kebaikan dari Kami, mereka akan terhindar dari api neraka.” (QS. Al-Anbiya: 101)

 

Menurut satu pendapat, tidak ada kebahagiaan (keselamatan) kecuali hanya dengan sikap memilih yang baik. Allah Swt. berfirman:

 

“Kami telah memilih dan menjauhkan mereka pada jalan yang lurus.” (QS. Al-An’am: 87)

 

5. WARA’

 

Abu Dzar Al-Ghiffari berkata, “Bersabda Rasulullah Saw, bersabda:

 

“Sebagian dari kesempurnaan Islam seseorang, adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berarti.

 

Al-Ustaz Al-Imam r.a. berkata, “Yang dimaksud wara’ adalah meninggalkan hal-hal yang syubhat.” Menurut komentar Ibrahim bin Adham, yang dimaksud wara’ adalah meninggalkan hal-hal yang syubhat dan yang tidak pasti (tidak dikehendaki), yakni meninggalkan hal-hal yang tidak berfaedah.

 

Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. berkata, “Kita telah meninggalkan tujuh puluh? persoalan yang berkaitan dengan hal yang halal karena takut terkait dengan persoalan yang haram.” Nabi Muhammad Saw. pernah menasihati Abu Hurairah r.a.:

 

“Jadilah orang yang wara’, engkau akan menjadi orang yang paling beribadah di antara manusia”

 

Saya telah mendengar As-Sariy berkata, “Ada empat ahli wara’ di masa mereka, yaitu Hudzaifah Al-Mar’asyi, Yusuf bin Asbath, Ibrahim bin Adham, dan Sulaiman Al-Khawwash. Mereka mempunyai pandangan yang sama tentang wara’. Ketika mereka mendapatkan berbagai persoalan yang sulit, mereka mampu meminimalkan.” Saya pernah mendengar Syibli berkata, “ Wara’ merupakan upaya untuk menghindarkan diri dari berbagai hal yang tidak berkaitan dengan Allah Swt.”

 

Diceritakan oleh Ishaq bin Khalaf. Dia mengatakan, “ Wara’ dalam ilmu logika lebih hebat daripada emas dan perak, sedangkan zuhud dalam ilmu kepemimpinan lebih hebat daripada keduanya. Oleh karena itu, engkau dapat mengalahkan keduanya dalam mencari kepemimpinan.”

 

Menurut Abu Sulaiman Ad-Darani, wara’ merupakan permulaan dari zuhud, sedangkan qana’ah merupakan akhir dari keridaan. Sedangkan menurut Abu Utsman, pahala wara’ adalah takut terhadap hisab. Menurut Yahya bin Mu’adz, wara’ akan terhenti di atas ilmu tanpa ada perubahan.

 

Diriwayatkan bahwa pada suatu hari Abdullah bin Marwan mengalami kebangkrutan. Dia berada di dalam sumur yang sangat kotor. Setelah itu dia menyewanya sehingga dia dapat keluar. Abdullah bin Marwan ditanya tentang hal itu. Dia menjawab, “Di atas sumur itu terdapat nama Allah Swt.”

 

Saya mendengar Yahya bin Mu’adz berkata, “Wara’ terbagi menjadi dua. Pertama, wara’ lahir, yakni semua gerak aktivitas yang hanya tertuju kepada Allah Swt. Kedua, wara’ batin, yakni hati yang tidak dimasuki sesuatu kecuali hanya mengingat Allah Swt.”

 

Yahya bin Mu’adz berkata, “Barangsiapa yang belum menikmati lezatnya wara’, maka dia belum pernah menikmati pemberian Allah Swt.” Ada satu ungkapan, barangsiapa yang pandangan keagamaannya baik dan bagus, maka derajatnya akan ditinggikan oleh Allah Swt. di hari kiamat. Yunus bin ‘Ubaid berpendapat, yang dimaksud wara’ adalah menghindarkan diri dari segala bentuk syubhat dan memelihara diri dari segala bentuk arah pandangan. Sufyan Ast-Tsauri berkata, “Saya tidak pernah melihat sesuatu yang lebih mudah daripada wara’, kecuali meninggalkan hal yang keruh di dalam diri.” Ma’ruf Al-Karakhi juga berkomentar, “Jagalah mulutmu dari pujian, sebagaimana kau menjaga mulutmu dari perilaku tercela.” Bisyr bin Harits berkata, “Perbuatan yang paling utama ada tiga. Pertama, dermawan dalam keadaan tidak mempunyai sesuatu kecuali hanya sedikit. Kedua, wara’ dalam keadaan khalwah. Ketiga, berkata benar di hadapan orang yang takut kepada Allah Swt. dan mengharap kerelaannya.”

 

Dalam satu cerita, saudara perempuan Bisyr Al-Mafi datang kepada Ahmad bin Hanbal seraya bertanya, “Suatu saat kami menarik tempat kami yang tinggi dan datar, kemudian ada cahaya obor yang mengikuti kami dan cahaya itu jatuh di hadapan kami, apakah diperbolehkan bagi kami menarik cahaya obor itu?”

 

“Siapa engkau?” Ahmad balik bertanya.

 

“Saudara perempuan Bisyr Al-Mafi.”

 

Setelah itu Ahmad bin Hanbal menangis dan berkata, “Barangsiapa yang memberikan perlindungan (penginapan) di waktu malam, maka dia adalah orang yang wara’. Oleh karenanya, sinar obor itu jangan kau tarik.”

 

Al Al-Aththar menceritakan, “Suatu hari saya melewati sebagian jalan Kota Basrah. Tiba-tiba di sana ada beberapa orang tua yang sedang duduk dan beberapa anak yang sedang bermain. Saya bertanya, ‘ Apakah kamu sekalian tidak malu terhadap beberapa orang tua itu?’ Salah seorang dari mereka menjawab, Beberapa orang tua itu tidak mempunyai sifat wara’. Setelah itu, saya menceritakan kepada mereka (orang tua) tentang kehebatan mereka (anak-anak).” :

 

Ada satu ungkapan, Malik bin Dinar bertempat tinggal di Basiah selama empat puluh tahun. Dia tidak pernah makan kurma, baik yang kering maupun yang basah sampai dia wafat. Ketika musim panen telah selesai, dia berkata, “Wahai penduduk Basiah, inilah perutku yang belum pernah merasakan kekurangan dan kelebihan.”

 

Ibrahim bin Adham pernah ditanya, “Apakah engkau tidak minum air zam-zam?” Dia menjawab, “Seandainya ada timba pasti saya minum.” Harits Al-Muhasibi pernah mengulurkan tangannya untuk mengambil makanan syubhat, tiba-tiba ujung jarinya berkeringat sehingga dia tahu bahwa makanan tersebut tidak halal. Diceritakan bahwa Bisyr Al-Mafi pernah diundang dalam suatu acara. Makanan telah diletakkan di hadapannya. Ketika dia mengulurkan tangannya, ternyata tangan tersebut tidak mengulur. Sampai dia kerjakan tiga kali. Peristiwa itu diketahui oleh seorang laki-laki. “Sesungguhnya tangan Bisyr Al-Mafi tidak dapat diulurkan pada makanan yang syubhat. Oleh karenanya, pengundang tersebut tidak layak mengundang syekh ini,” kata laki-laki itu.

 

Sahal bin Abdullah pernah ditanya tentang hal yang murni dan halal. Dia menjawab, “Barang yang dipergunakan bukan untuk bermaksiat kepada Allah Swt.” Dia juga menegaskan, “Yang dimaksud hal yang murni halal adalah barang yang dipergunakan bukan untuk melupakan Allah Swt.“

 

Hasan Al-Bashri mengunjungi Kota Mekkah. Dia melihat salah seorang dari putera Ali bin Abi Thalib menyandarkan punggungnya ke Ka’bah sambil menganjurkan kebaikan kepada orang banyak. Hasan Al-Bashri berhenti seraya bertanya, “Kebesaran agama itu apa?”

 

“Wara'”

 

“Penyakit agama itu apa?”

 

“Tamak.”

 

Hasan Al-Bashri kagum kepadanya sampai dia berkata, “Berat timbangan satu biji wara’ yang murni lebih baik daripada timbangan seribu puasa dan salat.”

 

Abu Hurairah r.a. berkata, “Orang-orang yang selalu beribadah kepada Allah Swt. akan dikumpulkan dengan orang-orang yang wara” dan zuhud besok di hari kiamat.” Sahal bin At. dullah berkata, “Orang yang tidak pernah bergaul dengan orang yang wara’ diibaratkan orang yang makan kepala gajah, tetapi dia tidak pernah kenyang.”

 

Dalam satu cerita, Umar bin Abdul Aziz menerima minyak misik dari rampasan harta perang, sementara dia sedang memegang racun yang terkandung di dalamnya. Setelah mengamat: sejenak, lidahnya berujar, “Dari minyak misik ini bau harumnya dapat diambil manfaat, tetapi saya tidak menyukai bau harumnya itu kecuali terhadap orang Islam.”

 

Abu Utsman Al-Mariri pernah ditanya tentang wara’. Dia bercerita, “Abu Shahih Hamdun, seorang tukang penatu, berada di samping temannya yang dalam keadaan sekarat dan akhirnya dia meninggal dunia. Setelah itu, Abu Shahih meniup (memati, kan) api lampu dan ditanya tentang permasalahannya. Dia men. jawab, ‘Sampai sekarang minyak yang dipergunakan untuk menyalakan lampu masih tetap ada dan mulai sekarang minyak itu adalah milik ahli waris. Oleh karena itu, carilah minyak yang lain.”

 

Seseorang berkata dengan suara halus sambil menangis, “Saya telah berbuat dosa selama empat puluh tahun. Suatu hari saudaraku berkunjung kepadaku. Setelah itu, saya membeli ikan panggang untuknya. Ketika dia selesai makan, saya mengambilkan sedikit tanah liat dari dinding tetangga sehingga dia dapat mencuci tangannya, namun sampai saat ini saya belum minta maaf kepadanya.”

 

Seseorang laki-laki pernah menulis di atas papan di rumah sewaan. Dia hendak menghapuskan tulisan itu dengan debu dinding rumah. Di dalam hatinya terlintas bahwa rumah itu adalah rumah sewaan yang sebelumnya tidak pernah terlintas (terbayangkan) untuk hal ini, sehingga pada akhirnya tulisan itu dihapusnya. Setelah itu, dia mendengar suara hati, “Orang yang menganggap remeh (rendah) terhadap apa yang menimpanya, sehingga dia menghapus tulisan itu, dia akan dihisab lama oleh Allah Swt. di hari kiamat.”

 

Ahmad bin Hanbal menggadaikan bejana (terbuat dari tembaga) kepada penjual sayur di Mekkah. Ketika hendak menebusnya, penjual sayur itu mengeluarkan dua bejana seraya berkata, “Salah satunya dapat kau ambil.”

 

“Saya merasa sulit untuk memilih bejanaku. Bejana dan dirham itu adalah milikmu,” kata Imam Ahmad.

 

“Ini adalah bejanamu. Saya ingin memberikan imbalan (upah) kepadamu.”

 

“Saya tidak mau mengambilnya,” jawabnya seraya pergi meninggalkan bejana itu di sampingnya karena takut dosa.

 

Diriwayatkan bahwa Ibnu Mubarak meletakkan (meninggalkan) hewan tunggangannya yang harganya mahal dan mengerjakan salat duhur. Hewan tunggangan itu hinggap (berkeliaran) di daerah pertanian kerajaan. Setelah itu, dia meninggalkan hewan tunggangannya dan dibiarkan begitu saja. Ada yang berpendapat, Ibnu Mubarak pulang dari Marwa? menuju Syam untuk mengembalikan pena yang dipinjam, tetapi dia tidak mengembalikan kepada pemiliknya.

 

Nakha’i pernah menyewa hewan tunggangan kemudian cambuknya terjatuh dari pegangan tangan. Setelah itu dia turun untuk mengambil cambuk itu. Seseorang berkata kepadanya, “Seandainya hewan tunggangan itu kembali ke tempat terjatuhnya cambuk, pasti akan saya ambil.” Nakha’i secara diplomatis berkata, “Hewan tunggangan yang saya sewa itu memang kuperlakukan seperti ini bukan seperti itu.”

 

Abu Bakar Ad-Daqaq berkata, “Saya telah mengunjungi daerah padang pasir Bani Israil selama lima belas hari. Ketika melewati satu jalan, saya dihadang oleh tentara untuk diberi air minum sehingga hatiku menjadi kuat kembali selama tiga puluh tahun.” Dalam cerita lain, Rabi’ah Adawiyah menjahit pakaiannya yang telah robek di bawah pantulan sinar lampu milik raja. Hatinya sesaat terperangkap (terpendam) sehingga teringat sesuatu. Secara refleks dia merobek bajunya sehingga dia mampu menemukan jati dirinya.

 

Sufyan Ast-Isauri pernah bermimpi terbang bersama malaikat di surga. Dia ditanya oleh Malaikat itu, “Dengan apa kamu memperoleh ini?”

 

“Dengan sifat wara’,” jawabnya.

 

Hasan bin Abi Sinan berhenti di depan teman-temannya seraya bertanya, “Apa yang paling hebat menurut kamu sekalian?”

 

“Wara”

 

“Tidak satu pun yang lebih ringan daripada wara’.“

 

“Bagaimana mungkin?” Mereka malah balik bertanya.

 

“Saya belum pernah minum air sungai kamu sekalian dengan puas selama empat puluh tahun.”

 

Hasan bin Abi Sinan memang belum pernah tidur telentang, belum pernah makan samin, dan belum pernah minum air dingin, Suatu saat, dia bermimpi meninggal dunia. Dalam kondisi demi. kian, dia ditanya oleh seseorang, “Apa yang telah Allah berikan kepadamu?” Dia menjawab, “Kebaikan. Hanya saja saya terhalang masuk surga karena sebatang jarum yang pernah saya pin. jam, tetapi belum saya kembalikan.”

 

Abdul Wahid bin Zaid mempunyai seorang pelayan yang melayani selama dua tahun dan mengabdi (beribadah) selama empat puluh tahun. Pada awalnya dia diperintah mengabdi sebagai tukang takar. Ketika dia meninggal dunia, Adul Wahid bermimpi bertemu dengannya.

 

“Apa yang telah Allah berikan kepadamu?” tanya Abdul Wahid.

 

“Kebaikan, hanya saja saya terhalang masuk surga dan saya telah dikeluarkan dari perangkap empat puluh karung debu.”

 

Nabi Isa a.s. pernah melewati kuburan. Salah seorang dari orang yang telah meninggal memanggilnya. Setelah itu Allah menghidupkan orang itu. Nabi Isa a.s. bertanya, “Siapa engkau?”

 

“Saya adalah tukang pikul kayu yang selalu memberikan kemudahan untuk kepentingan orang lain. Suatu hari saya memindahkan kayu milik orang dan yang rusak saya pecahkan. Setelah saya meninggal dunia, saya dituntut untuk mengembalikan,” kata si mayat dengan nada sedih.

 

Abu Sa’id Al-Kharnaz membahas tentang wara’. Suatu saat dia bertemu dengan Abbas Al-Muhtadi dan bertanya, “Apakah engkau tidak merasa malu duduk di bawah atap Abu Dawanig, minum dari kolam anggur, dan berdagang dengan uang palsu. Sedangkan engkau membahas tentang wara’ .”

 

6. ZUHUD

 

Nabi Muhammad Saw. bersabda:

 

“Jika di antara kamu sekalian melihat orang laki-laki yang selalu zuhud dan berbicara benar, maka dekatilah dia. Sesungguhnya dia adalah orang yang mengajarkan kebijaksanaan.”

 

Seorang maha guru berkata, “Ulama berbeda pendapat tentang zuhud.” Di antara mereka ada yang berpendapat, yang dimaksud zuhud adalah meninggalkan (hal, perbuatan, barang) yang haram karena yang halal diperbolehkan oleh Allah Swt. Apabila Allah Swt. memberikan sebuah kenikmatann kepada seorang hamba lantas dia bersyukur kepada-Nya, maka Allah Swt. akan membalasnya dengan setimpal.

 

Di antara mereka juga ada yang berpendapat, meninggalkan hal yang haram adalah wajib dan hal yang halal adalah keutamaan. Orang yang meminimalkan harta dan selalu beribadah disebut orang yang sabar terhadap dirinya sendiri, rela terhadap apa yang telah ditetapkan Allah Swt., menerima apa yang telah diberikan Allah Swt., dan lapang dada terhadap apa yang telah ditentukan Allah Swt.” Allah Swt. memberikan gambaran tentang zuhud kepada manusia dengan firmannya:

 

“Katakan Muhammad, kesenangan dunia adalah sebentar dan akhirat lebih baik bagi orang yang bertakwa.” (QS. An-Nisa’: 77)

 

Selain itu terdapat beberapa ayat lain yang mencela kehidupan duria dan menganjurkan hidup zuhud.

 

Sebagian yang lain berpendapat, apabila seseorang menafkahkan hartanya, selalu sabar, dan meninggalkan apa yang dilarang oleh syarak, alangkah lebih sempurnanya jika dia zuhud terhadap hal yang halal.

 

Menurut ulama yang lain, selayaknya bagi seorang hamba jangan memilih meninggalkan hal yang halal karena terpaksa, jangan memilih mencari hal yang tidak ada faedahnya dari sesuatu yang tidak dibutuhkan, dan hendaklah memelihara pembagian rezeki yang telah ada. Apabila Allah Swt. memberikan rezeki berupa harta yang halal, maka hendaklah bersyukur. Apabila Allah Swt. memberikan rezeki yang hanya sekadar cukup, maka hendaknya jangan memaksa diri mencari harta yang tidak berfaedah. Oleh karena itu, sabar lebih baik bagi orang yang fakir, sedangkankan syukur lebih relevan (cocok, sesuai) bagi orang yang mempunyai harta yang halal.

 

Menurut Sufyan Ats-Isauri, yang dimaksud zuhud adalah memperkecil cita-cita, bukan memakan sesuatu yang keras dan bukan pula memakai pakaian mantel yang kusut. Menurut As Sirri, Allah Swt. menghilangkan kenikmatan dunia, melarangnya, dan mengeluarkannya dari para kekasihnya. Allah Swt. tidak rela jika mereka menikmati dunia.

 

Menurut komentar lain, kata-kata zuhud dikutip dari firman Allah Swt. yang berbunyi:

 

“(Kami jelaskan yang dernikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu .” (QS. Al-Hadid: 23).

 

Orang yang zuhud tidak akan bangga dengan kenikmatan dunia dan tidak akan mengeluh karena kehilangan dunia. Sedangkan menurut pendapat Abu Utsman, yang dimaksud zuhud adalah meninggalkan kenikmatan dunia dan tidak mempedulikan orang yang dapat menikmatinya.

 

Saya mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan, “Zuhud merupakan sikap anti kemewahan dunia, tidak berkeinginan membangun pondok (ribath) dan mesjid.” Menurut Yahya bin Mu’adz, zuhud membawa implikasi mendermakan harta benda, sedangkan cinta membawa implikasi mendermakan diri sendiri. Menurut Ibnu Jalla’, yang dimaksud zuhud adalah memandang kehidupan dunia hanya sekadar pergeseran bentuk yang tidak mempunyai arti dalam pandangan. Oleh karenanya, ia akan mudah sirna. Ibnu Khafif berpendapat, tanda-tanda zuhud adalah merasa senang meninggalkan harta benda, sedangkan yang dimaksud zuhud adalah hati merasa terhibur meninggalkan berbagai bentuk kehidupan dan menghindarkan diri dari harta benda. Sedangkan menurut pendapat yang lain, yang dimaksud zuhud adalah jiwa merasa tenang meninggalkan kehidupan dunia tanpa keterpaksaan.

 

Saya mendengar Nashr Abadzi berkata, “Yang dimaksud orang zuhud adalah orang yang terisolir dalam kehidupan dunia. Sedangkan yang dimaksud orang ma’rifat adalah orang yang terisolir dalam kehidupan akhirat.” Menurut satu pendapat, barangsiapa yang zuhudnya benar, maka dia akan menjadi orang yang rendah hati di dunia ini. Oleh karena itu, dapat dikatakan, seandainya songkok yang jatuh dari langit, maka ia tidak akan jatuh kecuali di atas kepala orang yang menginginkannya. Menurut Junaid, yang dimaksud zuhud adalah hati yang terhindar dari hal-hal yang negatif.

 

Ulama salaf berbeda pendapat tentang arti zuhud. Menurut Sufyan Ats-Tsauri, Ahmad bin Hanbal, Isa bin Yunus, dan ulama yang lain, arti zuhud ialah memperkecil cita-cita. Dalam pengertian ini terkandung beberapa indikasi zuhud, beberapa sebab yang muncul, dan beberapa arti yang telah ditetapkan. Menurut Abdullah bin Mubarak, arti zuhud ialah percaya kepada Allah Swt. disertai sikap cinta terhadap kefakiran. Syaqiq Al-Balkhi dan Yusuf bin Asbath sependapat dengan pandangan tersebut yang juga mengandung beberapa indikasi zuhud. Oleh karena itu, seorang hamba tidak akan mampu mengerjakan zuhud, kecuali ia percaya kepada Allah Swt.

 

Menurut Abdul Wahid bin Zaid, arti zuhud ialah meninggalkan dinar dan dirham. Sedangkan menurut Abu Sulaiman Ad-Darani, arti zuhud ialah meninggalkan berbagai aktivitas yang mengakibatkan jauh dari Allah Swt.

 

Saya telah mendengar Junaid ditanya oleh Ruwaim tentang zuhud. Dia menjawab, “Memperkecil kehidupan dunia dan menghilangkan berbagai pengaruh yang ada di dalam hati.” Menurut As-Sariy, kehidupan yang zuhud tidak akan menjadi baik jika yang bersangkutan masih menyibukkan diri. Demikian juga orang yang ma’rifat. Junaid juga pernah ditanya tentang zuhud. Dia menjawab, “Melepaskan tangan dari harta benda dan melepaskan hati dari kesenangan hawanafsu.” Syibli pernah ditanya tentang zuhud. Dia merjawab, “Meringgalkan segala bentuk kehidupan duria untuk beribadah kepada Allah Swt.”

 

Menurut Yahya bin Mu’adz, orang tidak akan sampai pada hakikat zuhud kecuali dengan tiga hal. Pertama, perbuatan tanpa ketergantungan (pamrih). Kedua, ucapan tanpa keinginan hawa nafsu. Ketiga, kemuliaan tanpa kekuasaan. Menurut Abu Hafsh, zuhud tidak akan terealisir kecuali dalam hal yang halal. Demikian juga hal yang halal tidak akan terealisir kecuali dengan zuhud.

 

Abu Utsman berpendapat, Allah Swt. akan memberikan sesuatu kepada orang zuhud melebihi apa yang dikehendaki, memberikan kepada orang yang cinta Allah Swt. selain apa yang dia kehendaki, dan memberikan kepada orang yang konsisten beribadah sesuai dengan apa yang dia kehendaki.

 

Menurut Yahya bin Mu’adz, orang yang zuhud akan membuat cuka dan biji sawi sebagai obat, sedangkan orang yang ma rifat akan membuat minyak misik dan anbar sebagai parfum. Sedangkan menurut Hasan Al-Bashri, arti zuhud ialah benci terhadap orang yang menyukai harta kekayaan dan apa-apa yang dimiliki.

 

Sebagian ulama telah ditanya, “Apakah zuhud itu?”

 

“Meninggalkan segala sesuatu yang dimiliki orang lain.”

 

Seorang laki-laki pernah bertanya ‘kepada Dzun Nun AlMishri, “Kapan saya harus zuhud?”

 

“Ketika engkau sudah mampu mengasingkan dirimu.”

 

Muhammad bin Fadhl berkata, “Mengutamakan zuhud ketika dalam keadaan kaya (serba cukup) dan mengutamakan fitnahcobaan ketika dalam keadaan fakir (sangat butuh).”

 

Allah Swt. berfirman:

 

“Mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, meskipun mereka sangat butuh (apa yang mereka berikan)” (QS. Al-Hasyr: 9)

 

Al-Kattani pernah berkata, “Berbagai persoalan yang tidak pernah diperselisihkan oleh ulama Kufah, Madinah, Irak, dan Syam adalah zuhud, kemurahan jiwa (hati), dan memberikan nasihat kepada orang lain, yakni tidak seorang pun dari ulama yang berpendapat bahwa berbagai persoalan tersebut merupakan perilaku yang tidak terpuji.”

 

Yahya bin Mu adz telah ditanya oleh seseorang, “Kapan saya dapat memasuki tertpat pesanggrahan tawakal, memakai selendang zuhud dan duduk bersama orang-orang yang zuhud?” Dia menjawab, “ Apabila engkau telah mampu melatih jiwamu secara samar-samar dalam batas-batas yang seandainya Allah Swt. tidak memberikan rezeki kepadamu selama tiga hari, jiwamu tidak akan menjadi lemah. Apabila engkau tidak sampai pada kedu. dukan ini, maka dudukmu di permadani orang-orang yang zu. hud adalah sia-sia, sehingga engkau mengalami (mendapatkan) kecacatan.”

 

Bisyr Al-Mafi berpendapat, zuhud ibarat benda milik yang tidak memperoleh tempat kecuali di hati yang suci (bersih). Mu. hammad bin Asy’ats Al-Bikindi berkata, “Barangsiapa yang membahas tentang zuhud dan memberikan peringatan, tetapi dia mencintai harta mereka, maka cintanya terhadap akhirat akan dihilangkan oleh Allah Swt. dari hatinya.”

 

Menurut suatu pendapat, apabila seorang hamba Allah Swt. meninggalkan kehidupan dunia, maka Allah Swt. mengutus malaikat agar dia diberi hikmah di dalam hatinya. Sebagian ulama pernah ditanya, “Untuk apa zuhud?” Dia menjawab, “Untuk kepentingan diriku.”

 

Menurut Ahmad bin Hanbal, zuhud terbagi menjadi tiga. Pertama, meninggalkan hal yang haram. Ini zuhud orang yang awam. Kedua, meninggalkan hal yang halal. Ini zuhud orang yang istimewa. Ketiga, meninggalkan segala hal yang menyibukkan sehingga jauh dari Allah Swt. Ini zuhud orang yang ma’rifat.

 

Saya telah mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Sebagian ulama pernah ditanya, kenapa engkau zuhud?” Dia menjawab, “Karena apabila saya meninggalkan hal-hal yang banyak, maka kecintaanku terhadap hal-hal yang sedikit akan menjadi hilang (jauh).” Yahya bin Mu’adz berkata, “Dunia bagaikan pengantin perempuan. Barangsiapa yang menginginkannya, bersikaplah lemah lembut terhadap tukang sisir rambutnya. Orang yang zuhud akan menghitamkan muka pengantin, mencukur rambutnya, dan membakar pakaiannya. Sedangkan orang yang ma ‘rifat akan selalu sibuk mengingat Allah Swt. tanpa menoleh kepadanya.”

 

Saya telah mendengar As-Sariy berkata, “Saya telah membiasakan diri terhadap hal-hal yang berkaitan dengan zuhud. Segala sesuatu yang kuinginkan telah kuperoleh kecuali meninggalkan orang banyak. Oleh karena itu, saya belum sampai dan belum memperolehnya.”

 

Menurut satu pendapat, orang-orang yang zuhud tidak akan keluar kecuali pada dirinya sendiri, karena mereka tidak menginginkan kenikmatan yang fara’ (lenyap, tidak abadi, yaitu dunia), tetapi menginginkan kenikmatan yang abadi (akhirat). Menurut Nashr Abadzi, yang dimaksud zuhud adalah mempertahankan darah orang-orang yang zuhud dan menumpahkan darah orang-orang yang ma ‘rifat.

 

Sedangkan menurut Hatim Al-Asham, yang dimaksud orang yang hendak zuhud adalah orang yang mampu menyerbu (menyerang) hawa nafsunya sebelum kecerdikan (akal pikiran)nya timbul.

 

Saya telah mendengar Fudhail bin Iyadh berkata, “Allah Swt. menjadikan segala kejelekan di dalam satu rumah dan menjadikan cinta terhadap kehidupan dunia sebagai kuncinya. Allah Swt. menjadikan segala kebaikan di dalam satu rumah dan merjadikan zuhud sebagai kuncinya.”

 

7. DIAM

 

Dari Abu Hurairah r.a. diceritakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

 

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah Swt. dan hari akhir, hendaklah jangan menyakiti tetangga. Barangsiapa yang beriman kepada Allah Swt. dan hari akhir, hendaklah memuliakan tamu. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata dengan baik atau diam.”

 

Uqbah bin Amir menceritakan, “Saya bertanya kepada Rasulullah Saw., “Apakah keselamatan itu?’ Beliau menjawab:

 

“Jagalah mulutmu, perluaslah rumahmu untukmu, dan menangislah atas dosa-dosamu.”

 

Diam adalah pondasi keselamatan dan merupakan sikap penyesalan terhadap berbagai celaan. Oleh karena itu, kewajiban . diam ditetapkan oleh syarak, perintah, dan larangan. Sedangkan diam pada saat-saat tertentu adalah sifat para pemimpin, sebagaimana ungkapan bahwa bicara pada tempatnya termasuk perilaku yang baik.

 

Saya telah mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Barangsiapa yang mendiamkan kebenaran, maka dia ibarat setan yang bisu.” Sikap diam sambil memperhatikan merupakan bagian dari perilaku orang-orang yang baik. Allah Swt. berfirman:

 

“Jika Al-Quran dibaca, hendaklah didengarkan dan diperhatikan agar kamu sekalian mendapatkan rahmat.” (QS. Al-A’raf: 204)

 

Allah Swt. dalam ayat yang lain berfirman yang mengabarkan kepada jin atas kehadiran Rasulullah Saw.:

 

“Tatkala mereka hadir, mereka berkata kepada sesamanya, diamlah (perhatikanlah).” (QS. Al-Ahqaf: 29) .

 

Dalam ayat yang lain, Allah Swt. juga berfirman:

 

“Sunyi senyaplah segala suara karena (takut) kepada Yang Maha Pengasih, sehingga tiada engkau dengar kecuali suara halus (bunyi telapak kaki)” (QS. Thaha: 108)

 

Menyimpan mulut di depan orang yang diam merupakan sikap yang baik untuk menghindari kebohongan, umpatan, dan kekejaman raja. Dalam pengertian ini, seorang penyair menggambarkan:

 

saya berpikir apa yang saya ucapkan jika kita telah berpisah saya tetapkan ungkapan sanggahan dengan sungguh-sungguh Saya melupakan jika kita bertemu dan saya akan berkata ketika mengadakan diplomasi

 

Dalam syair yang lain juga diungkapkan:

 

bagimu hendaknya menahan ucapan sehingga ketika engkau mampu menguatkan orang yang bertemu dengarimu maka engkau dapat melupakannya

 

Demikian juga dalam syair yang lain:

 

saya telah mendengar ungkapan yang dapat menghiasi pemuda diam lebih baik bagi orang yang memperhatikan menyinpan ucapan membawa implikasi kematian dianggap melaksanakan cinta kasih Jika bersikap diam

 

Diam terbagi menjadi dua, yaitu diam secara lahir dan diam secara batin. Orang yang tawakal, hatinya akan selalu diam (tenang) dengan meninggalkan berbagai tuntutan ekonomi. Sedang orang yang ma’rifat hatinya akan selalu diam (tenang) dengan mempertemukan ketetapan hukum melalui sikap yang baik. Oleh karena itu, perbuatan yang baik adalah hal yang dapat dipercaya, sedangkan ketetapan yang baik adalah hal yang dapat diterima.

 

Terkadang yang menyebabkan diam adalah heran. Apabila pengetahuan tentang sifat yang mengejutkan telah muncul, maka ungkapan yang mengandung pelajaran akan menjadi tumpul, tidak ada keterangan dan pemikiran. Oleh karena itu, tempat-tempat pertemuan akan menjadi sirna, tidak ada ilmu dan perasaan. Allah Swt. berfirman:

 

“(Ingatlah) hari di waktu Allah mengumpulkan para rasul, lalu Allah bertanya (kepada mereka), “Apa jawaban kaummu terhadap (seruan)mu?’ Para rasul menjawab, “Tidak ada pengetahuan (bagi) kami (tentang itu) .” (QS. Al-Maidah: 109)

 

Jika mereka mengetahui apa yang terkandung di dalam pembicaraan merupakan hal-hal yang negatif dan merupakan bagian dari hawa nafsu, memperlihatkan sifat-sifat terpuji, suka membedakan berbagai kesulitan dengan sikap yang baik, dan mengetahui berbagai hal negatif yang lainnya, maka mereka mempunyai sifat yang sama dengan orang-orang yang terlatih. Sifat ini merupakan bagian dari kekuatan pondasi mereka untuk menghindarkan diri dan menyantuni orang lain.

 

Dalam suatu cerita, Dawud Ath-Thai ketika hendak memasuki rumahnya, dia berbalik (bermaksud) menghadiri tempat pengajian yang disampaikan oleh Abu Hanifah karena dia seorang muridnya. Dia duduk bersama teman-temannya dan tidak membicarakan satu masalah pun. Ketika dirinya telah kuat dan mampu melaksanakan perilaku tersebut selama satu tahun, dia lebih senang duduk di rumahnya dan mengutamakan ‘uzlah.

 

Saya mendengar Bisyr bin Harits mengatakan, “Jika bicaramu membuatmu kagum maka diamlah. Jika diammu membuatmu kagum, maka berbicaralah.” Menurut Sahal bin Abdullah, tidak dibenarkan bagi seseorang diam sehingga dia berkhalwat dan tidak dibenarkan bagi seseorang bertobat sehingga dia diam. Abu Bakar Al-Farisi berkata, “Barangsiapa yang tidak membiasakan diri diam, maka segala urusannya akan sia-sia meskipun dia adalah orang yang diam.” Diam tidak hanya terbatas pada mulut, tetapi juga pada hati dan seluruh anggota tubuh. Sebagian ulama berkata, “Barangsiapa yang tidak mampu menahan diam, maka bicaranya akan sia-sia.”

 

Saya telah mendengar Mimsyad Ad-Dinawari berkata, “Ahli hikmah akan mewariskan ilmu hikmahnya dengan diam dan akal pikiran.” Abu Bakar Al-Farisi pemah ditanya tentang diamnya hati. Dia menjawab, “Meninggalkan kesibukan masa yang telah lampau dan masa yang akan datang.” Menurutnya, jika seseorang yang pembicaraannya ditentukan dan dia harus berbicara, maka hendaknya dia membatasi diam.

 

Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal. Dia berkata, “Berbicaralah dengan orang lain seminimal mungkin dan berbicaralah dengan Tuhanmu semaksimal mungkin, agar hatimu dapat melihat Tuhan.”

 

Dzun Nun pernah ditanya oleh seseorang, “Siapa orang yang paling mampu menjaga dini?”

 

“Orang yang betul-betul menjaga mulutnya,” jawabnya.

 

Menurut Ali bin Bakkar, Allah Swt. menjadikan segala sesuatu dua pintu dan menjadikan mulut empat pintu. Dua bibir mempunyai dua daun pintu dan beberapa gigi juga mempunyai dua daun pintu. Menurut satu riwayat, Abu Bakar Ash-Shiddig r.a. meletakkan batu kecil di dalam mulutnya agar bicaranya dapat diminimalkan. Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa Abu Hamzah Al-Baghdadi adalah orang yang bicaranya baik. Suatu saat Hatif berkata kepadanya, “Engkau telah berbicara dengan ‘ baik, tetapi diam tentu akan lebih baik.” Setelah kejadian itu, dia tidak pernah berbicara sampai dia meninggal dunia.

 

Imam Syibli apabila menyampaikan materi kajiannya, tak seorang pun yang hadir akan bertanya. Dia berkata dengan mengutip firman Allah Swt.:

 

“Perkataan (janji) Allah kepada mereka telah tiba, karena mereka aniaya. Sedangkan mereka tidak dapat bercakap-cakap.” (QS. An-Naml: 85)

 

Diam terkadang juga terjadi bagi orang yang berbicara karena di antara kaum ada orang yang lebih baik bicaranya,

 

Saya telah mendengar Ibnu Sammak berkata, “Antara Syah Al-Karmani dan Yahya bin Mu’adz terdapat ikatan persahabatan. Syah tidak pernah menghadiri suatu pengajian. Suatu saat ketika Syah ditanya tentang itu, Syah menjawab, ‘Yang benar seperti ini” Mereka selalu mendekati Syah, hingga suatu saat dia menghadiri pengajian dan duduk di sebelah pinggir (tepi) yang tidak diketahui oleh Yahya bin Mu’adz. Ketika Yahya hendak berbicara (menyampaikan materi pengajian), dia diam sejenak. Setelah itu Yahya bertanya, ‘Siapa di antara kamu sekalian yang bicaranya lebih baik dan lebih menggetarkan daripada diriku?’ Syah menjawab, Saya tegaskan kepada kamu sekalian, yang benar adalah ketidakhadiranku di tempat pengajian ini.”

 

Diam kadang-kadang terjadi bagi orang yang sedang berpidato karena terkandung satu pengertian bagi orang-orang yang hadir, yakni orang yang tidak suka mendengarkannya. Oleh karena itu, Allah Swt. akan melindungi materi pidatonya sehingga memberikan gairah dan kesenangan bagi orang yang tidak menyukai.

 

Saya telah mendengar Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Suatu saat saya tidak bisa menghadiri pengajian di Murwa karena ada halangan. Untuk pulang ke Naisabur saya merasa berat karena sudah menempuh separuh perjalanan. Ketika tidur, saya bermimpi bertemu dengan seseorang. Dia berkata kepadaku, “Jangan bersikeras keluar dari kota ini karena sekelompok jin sangat ingin mendengarkan pidatomu dan mereka telah hadir di tempat pengajianmu. Oleh karenanya, alangkah baiknya jika engkau menyampaikan materi pengajian.

 

Sebagian ahli hikmah telah berkata, “Manusia diciptakan oleh Allah Swt. mempunyai satu mulut, dua mata, dan dua telinga agar dia dapat mendengar dan melihat kebanyakan dari apa yang dia katakan.”

 

Ibrahim bin Adham pernah diundang. Ketika dia sedang duduk, orang-orang yang hadir mengumpat. Dia berkata dengan bahasa ironi, “Di samping kita terdapat orang yang makan daging sesudah makan roti. Sedangkan kamu sekalian memulai dengan makan daging.” Dia mengutip firman Allah Swt.:

 

“Apakah di antara kamu sekalian suka rmernakan daging saudaramu yang sudah mati? Maka tentu akan benci memakannya.” (QS. Al-Hujurat: 12)

 

Menurut sebagian ahli hikmah, diam adalah mulut orang yang bijaksana. Menurut sebagian yang lain, belajar diam sama halnya dengan belajar bicara. Belajar bicara akan memberikan petunjuk dan belajar (untuk dapat) diam akan menjaganya. Menurut satu pendapat, keselamatan mulut adalah diam. Sebagian yang lain juga berpendapat, perumpamaan mulut bagaikan hewan buas. Apabila tidak diikat, ia akan menganiaya.

 

Abu Hafsh pernah ditanya, “Bagi seorang wali keadaan apa yang lebih utama?” Dia menjawab, “Seandainya orang yang berbicara mengetahui risiko pembicaraan, dia pasti akan diam dan seandainya dia mengetahui resiko diam, dia pasti terus-menerus akan memohon kepada Allah Swt. agar dipanjangkan umurnya seperti Nabi Nuh a.s. sehingga dia dapat berkata, “Agar dia mendapatkan petunjuk menuju kebaikan.“

 

Menurut satu pendapat, puasa orang awam dengan mulut, puasa orang yang ma’rifat dengan hati, dan puasa orang yang cinta (kepada Allah Swt.) dengan ketinggian rahasia akal pikiran.

 

Sebagian ulama berkata, “Saya mengekang mulutku selama tiga puluh tahun sehingga tak pernah mendengar sesuatu kecuali yang keluar dari hatiku. Setelah itu, saya mengekang hatiku selama tiga puluh tahun sehingga tak pernah mendengar sesuatu kecuali yang keluar dari mulutku.” Menurut ungkapan sebagian ulama yang lain, seandainya mulutmu tidak bisa berbicara, engkau tak akan lepas dari ucapan hati. Seandainya engkau menjadi orang yang buruk, engkau tak akan lepas dari ucapan diri sendiri. Dan seandainya engkau berusaha secara optimal, jiwa (ruh)mu tak akan berbicara denganmu, karena ia akan menyimpan rahasia yang tersembunyi.

 

Menurut satu pendapat, orang yang bodoh adalah kunci kematian. Menurut yang lain, orang yang cinta kepada Allah Swt. jika tidak berbicara, dia akan hancur. Sedangkan orang yang ma’rifat jika tidak berbicara, dia akan kuat. Fudhail bin ‘Iyadl berkata, “Barangsiapa yang bicaranya lebih banyak daripada perbuatannya, maka inti bicaranya adalah sedikit kecuali ucapan yang dibutuhkan.”

 

8. TAKUT

 

Allah Swt. berfirman:

 

“Mereka berdoa kepada Tuhan karena takut dan loba.” (QS. As-Sajdah: 16)

 

Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

 

“Tidak akan masuk neraka orang yang menangis karena takut kepada Allah Swt. sebelum ada air susu yang masuk pada teteknya dan tidak akan berkumpul debu-debu dalam perang membela agama Allah Swt. serta asap api neraka jahanan di tempat sampah seorang hamba.”?

 

Anas berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

 

“Seandainya engkau mengetahui apa yang saya ketahui, pasti engkau akan tertawa sedikit dan menangis banyak.“

 

Menurut pendapatku takut mempunyai arti yang berhubungan dengan masa yang akan datang, karena orang akan takut menghalalkan hal yang makruh dan meninggalkan hal yang sunat. Hal ini tidak begitu penting kecuali jika membawa dampak positif di masa yang akan datang. Jika pada saat sekarang hal itu muncul, maka pengertian takut tidak terkait. Sedangkan pengertian takut kepada Allah Swt. ialah takut kepada siksaan-Nya, baik di dunia maupun di akhirat. Allah Swt. mewajibkan kepada hamba-hamba-Nya agar takut kepada-Nya, sebagaimana firmanNya:

 

“Takutlah kepada-Ku jika engkau orang yang beriman.” (QS. Ali Imran:1175)

 

Allah Swt. juga berfirman:

 

“Hanya kepada-Ku, hendaknya engkau takut.” (QS. An-Nahl: 51)

 

Di samping itu, Allah Swt. memuji orang-orang mukmin karena ketakutannya sebagaimana firman-Nya:

 

“Mereka itu (malaikat) takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka.” (QS. An-Nahl: 50)

 

Saya telah mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Takut mempunyai beberapa tingkatan, yaitu khauf, khasyyah, dan haibah.”

 

Khauf merupakan bagian dari syarat-syarat iman dan hukum-hukumnya sebagaimana firman Allah Swt.:

 

“Takutlah kepada-Ku, jika engkau orang beriman” (QS. Ali Imran:175)

 

Khasyyah merupakan bagian dari syarat-syarat ilmu sebagaimana firman Allah Swt.:

 

“Hanya yang takut kepada Allah adalah para ulama di antara hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Fathir: 28)

 

Sedangkan hibah merupakan bagian dari syarat-syarat ma’rifat sebagaimana firman Allah Swt.:

 

“Allah Swt. memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya.” (QS. Ali Imran: 30)

 

Saya mendengar Abu Hafsh berkata, “Takut adalah cambuk Allah Swt. yang dipergunakan untuk meluruskan orang-orang yang lari dari pintu-Nya.”

 

Abdul Qasim Al-Hakim berpendapat, khauf mempunyai dua bentuk, yaitu rahbah dan khasyyah. Yang dimaksud orang yang rahbah adalah orang yang berlindung kepada Allah Swt. Ada yang berpendapat, kata ‘rahiba’ dan ‘haraba’ boleh diungkapkan karena keduanya mempunyai arti satu seperti kata ‘jadzuba’ dan ‘jaladza’. Sebagai contoh, apabila dia lari, maka dia dapat ditarik dalam pengertian hawa nafsunya seperti para pendeta yang mengikuti hawa nafsunya. Oleh karena itu, apabila mereka ditarik oleh kendali ilmu dan mereka melaksanakan (menggerakkan) kebenaran syariat, maka pengertian tersebut disebut khasyyah.

 

Saya telah mendengar Abu Hafsh berkata, “Takut ibarat lampu hati yang dapat menunjukkan kebaikan dan keburukan.” Saya juga telah mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Yang dimaksud takut adalah keadaan diri yang tidak menginginkan sebuah harapan dan keterlambatan.” Demikian juga saya pernah mendengar Abu Umar Ad-Dimasyqi berkata, “Yang dimaksud orang yang takut adalah orang yang lebih takut kepada dirinya sendiri daripada takut kepada setan.”

 

Menurut Ibnu Al-Jalla’, yang dimaksud orang yang takut adalah orang yang aman dari berbagai hal yang menakutkan. Menurut satu pendapat, yang dimaksud orang yang takut adalah bukan orang yang menangis dan mengusap kedua matanya, tetapi yang meninggalkan sesuatu karena takut disiksa. Ibnu Iyadh telah ditanya oleh seseorang, “Mengapa saya tidak pernah melihat orang yang takut kepada Allah swt?“ Dia menjawab, “Jika engkau takut kepada Allah Swt., maka engkau akan melihat orang yang takut kepada-Nya, karena tidak ada orang yang dapat melihat orang yang takut kepada Allah Swt., kecuali orang yang takut kepada-Nya. Sama halnya perempuan yang kehilangan anaknya akan melihat perempuan yang juga kehilangan anaknya.”

 

Yahya bin Mu’adz berpendapat, keturunan Adam yang misKin seandainya takut kepada api neraka sebagaimana dia takut kepada kefakiran, maka dia akan masuk surga. Menurut Syah Al-Karmani, indikasi orang yang takut kepada Allah Swt. adalah orang yang selalu susah. Sedangkan menurut Abdul Qasim AiHakim, orang yang takut kepada sesuatu, maka dia akan lari darinya, sedang orang yang takut kepada Allah Swt. maka dia akan lari kepada-Nya.

 

Dzun Nun telah ditanya, “Kapan bagi seorang hamba menemukan jalan takut kepada Allah swt?” Dia menjawab, “Apabila dia menempatkan dirinya pada posisi sakit, maka dia akan menjauhkan diri dari segala hal karena sakitnya takut bertambah.” Menurut Mu’adz bin Jabal, hati dan ketampanan wajah orang mukmin tidak akan tentram dan tenang sebelum dia mampu meninggalkan titian neraka jahannam di belakangnya. Sedangkan menurut Bisyr Al-Hafi, takut kepada Allah Swt. bagaikan harta milik yang tidak mempunyai tempat kecuali di hati orang yang bertakwa.

 

Abu Utsman Al-Hariri mengatakan, “Cacatnya orang yang takut terletak karena ketakutannya.” Al-Wasithi juga mengatakan, “Takut merupakan penghalang antara Allah Swt. dan hamba-Nya.” Perkataan ini mengandung kemusykilan, artinya orang yang takut kepada Allah Swt. akan mengetahui waktu yang kedua. Bentuk-bentuk waktu tidak akan diketahui untuk masa yang akan datang. Oleh karena itu, kebaikan orang-orang yang baik merupakan keburukan bagi orang-orang yang dekat kepada Allah Swt.

 

Saya telah mendengar Ahmad Ats-Tsauri mengatakan, “Yang dimaksud orang yang takut adalah orang yang lari dari Tuhan menuju Tuhan. Sebagian ulama berpendapat bahwa indikasi takut adalah bingung dengan cara yang samar.” Junaid pernah ditanya tentang takut, lalu ia menjawab, “Jatuhnya siksaan melalui saluran nafas.”

 

Saya telah mendengar Abu Sulaiman Ad-Darani menyatakan, “Takut tidak akan mampu menceraikan hati kecuali keruntuhan.” Saya juga telah mendengar Abu Utsman berkata bahwa kebenaran takut adalah meninggalkan perbuatan dosa, baik lahir maupun batin.

 

Menurut Dzun Nun Al-Mishri, manusia akan tetap di tengah jalan selagi dia takut. Apabila dia tidak takut kepada Allah Swt., maka dia akan sesat. Sedangkan menurut Hakim Al-Asham, tiap sesuatu mempunyai hiasan. Hiasan ibadah adalah takut, sedang indikasi takut adalah memperkecil keinginan.

 

Suatu saat, seorang laki-laki bertanya kepada Bisyr Al-Hafi, “Saya pernah memperlihatkan takut mati?” Dan Bisyr Al-Hafi menjawab, “Datang kepada Allah Swt. sangat penting.”

 

Saya telah mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan, “Saya pernah mendatangi Imam Abu Bakar bin Fauruk. Ketika saya melihatnya, kedua matanya bercucuran air mata. Kukatakan kepadanya bahwa Allah akan menyelamatkan dan menyembuhkanmu. Ia menjawab, ‘Engkau tak akan pernah melihatku takut mati, tetapi saya takut di balik mati itu.”

 

Diriwayatkan dari Aisyah r.a. yang mengatakan, “Pernah kutanyakan kepada Rasulullah Saw. tentang ayat yang berbunyi:

 

“Orang-orang yang memberikan sesuatu yang telah diberikan, sedangkan hati mereka takut karena mereka akan kembali kepada Tuhannya.” (QS. Al-Mukminun: 60)

 

Apakah mereka (orang-orang yang dimaksud dalam ayat di atas) itu adalah orang-orang yang minum khamar dan orang-orang yang mencuri? Beliau menjawab, “Tidak, tetapi mereka adalah orang-orang yang berpuasa, salat, dan bersedekah. Mereka takut amalnya tidak diterima oleh Allah Swt.” Hal ini yang dimaksud ayat yang berbunyi:

 

Mereka adalah orang yang berlomba-lomba dalam kebaikan dan mereka termasuk orang yang menang.” (QS. Al-Mukminun: 61)”

 

Menurut Abdullah bin Mubarak, takut tidak akan bangkit sehingga ia tertanam di dalam hati dengan konsistensi pendekatan, baik secara samar maupun terang-terangan. Sedangkan menurut Ibrahim bin Syaiban, apabila takut sudah tertanam di dalam hati, maka segala keinginan hawa nafsu dan cinta dunia akan terbakar dan tertolak. Menurut satu pendapat, takut merupakan kekuatan ilmu sesuai dengan perjalanan hukum. Sedangkan pendapat lain mengatakan, takut merupakan gerak hati karena keagungan Tuhan.”

 

Abu Sulaiman Ad-Darani berkata, “Hati jangan sampai terkalahkan kecuali dengan takut. Apabila harapan dapat mengalahkan hati, maka ia akan rusak.” Selanjutnya ia berkata, “Apabila sikap takut telah ditanamkan, maka (derajat) mereka akan terangkat, dan apabila sikap takut disia-siakan, maka (derajat) mereka akan jatuh.” Al-Wasithi mengatakan bahwa takut dan harapan adalah dua pengikat diri (jiwa) sehingga tidak terjebak dalam kebodohan. Ia juga mengatakan bahwa apabila kebenaran telah tertanam di dalam hati, maka sikap berharap dan takut tidak akan muncul kembali. Sedangkan menurut Ustaz Syaikh (maksudnya Abu Ali Ad-Daqaq), hal itu nampak terjadi kemusykilan. Apabila dimensi kebenaran telah berpengaruh, maka ia akan memperoleh ketinggian rahasia hati. Kebahagiaan tidak akan diperoleh hanya dengan mengingat dua peristiwa. Sikap takut dan harapan merupakan bagian dari ilmu pengetahuan yang berpengaruh melalui hukum kemanusiaan.

 

Husain bin Manshur mengatakan bahwa barangsiapa yang takut dan berharap kepada selain Allah Swt., maka segala pintu akan ditutup. Allah Swt. menguasai dan memberikan rintangan dengan tujuh puluh penghalang, minimal ia bersikap skeptis. Hal yang menyebabkan takut adalah karena mereka berpikir tentang siksaan Allah Swt. dan keadaan dirinya khawatir berubah. Allah Swt. berfirman:

 

“Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka pikirkan.” (QS. Az-Zumar: 47)

 

Allah juga berfirman:

 

“Katakanlah, maukah Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang perbuatannya merugi, yaitu orang-orang yang perbuatannya telah sesat di dunia dan mereka menduga bahwa mereka mengerjakan perbuatan dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Kahfi: 103-104)

 

Banyak sekali orang yang diberikan kenikmatan, keadaannya menjadi berbalik dan perbuatanjahatnya menjadi ketetapan. Oleh karena itu, sikap senang hati dan takut perlu ditanamkan.

 

Saya telah mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq memberikan : gambaran dengan gubahan syair:

 

engkau telah berprasangka baik terhadap hari-hari jika keadaannya membaik dan engkau tidak takut terhadap apa yang telah ditakdirkan waktu-waktu malam telah menyelamatkanmu tetapi engkau menipunya dan ketika keheningan malam tiba kekeruhan mulai terjadi

 

Saya mendengar Manshur bin Khalf Al-Maghribi berkata, “Dua orang laki-laki saling berteman dalam satu kajian tentang masalah iradah dalam jangka waktu yang relatif pendek (dua tahun). Salah satu di antara mereka pergi dan meninggalkan temannya. Setelah itu kabarnya tak pernah terdengar. Suatu saat teman yang lain bertempur di medan perang dan membunuh tentara Rum (Romawi/ Roma). Ketika seorang laki-laki keluar dengan kepala tertutup dan senjata di tangan menuntut agar semua keluar ke medan perang, maka keluar salah seorang dari para pahlawan sehingga dia terbunuh, kemudian yang ketiga keluar juga terbunuh. Dalam kondisi seperti itu, seorang sufi keluar dan agak berjauhan. Orang Rum (Romawi/ Roma) itu memandang wajahnya dan ternyata orang yang dipandang adalah temannya di waktu belajar tentang masalah iradah dan ibadah selama dua tahun. Orang sufi itu bertanya, “Apakah engkau sering membaca Al-Quran?’ Tentara Romawi itu menjawab, “Saya tidak ingat satu huruf pun dari Al-Quran.’ Orang sufi berkata, “Hal itu jangan kau kerjakan dan kembalilah.’ Tentara Romawi menjawab, “Hal itu tidak pernah saya kerjakan. Sekarang saya mempunyai kedudukan dan kekayaan. Oleh karena itu, hendaklah engkau pergi. Jika tidak, engkau akan saya bunuh seperti mereka.’ Orang sufi berkata, “Ketahuilah, engkau telah membunuh tiga orang Islam. Engkau tidak akan menjadi hina karena pulang. Oleh karena itu, pulanglah engkau dan saya akan menangguhkan.’ Orang laki-laki itu lantas kembali pulang diikuti oleh orang sufi tersebut. Dalam kondisi demikian, orang sufi tersebut dapat menikam dan membunuhnya. Setelah pertempuran, orang sufi tersebut terbunuh di hadapan orang-orang Nasrani.”

 

Menurut satu pendapat, apabila terdapat sesuatu yang nampak di hadapan Iblis, maka Malaikat Jibril dan Mikail akan menangis dalam jangka waktu yang relatif lebih lama. Allah Swt. menegur mereka, “Mengapa kalian berdua menangis?” Mereka menjawab, “Ya Tuhan, kami tidak mampu menjaga tipu dayaMu.” Allah Swt. memberikan perintah, “Jadilah kalian seperti ini, jangan kalian berusaha menjaga (mengamankan) tipu dayaKu.”

 

Diriwayatkan dari Sariy As-Saqthi yang berkata, “Suatu saat saya pasti melihat hidungku yang berada di dalam mulutku. Saya takut hidungku akan menjadi hitam ketika saya melihat siksaan.” Abu Hafsh berkata, “Selama empat puluh tahun saya berkeyakinan, Allah Swt. akan melihatku dengan penuh kebencian, sedangkan perbuatanku akan menunjukkan hal itu.”

 

Hatim Al-Asham berkata, “Janganlah bersifat sombong karena memperoleh tempat yang baik. Tidak ada tempat yang lebih baik melebihi surga. Oleh karena itu, wajar bagi Nabi Adam a.s. berjumpa dengan sesuatu yang pernah dia jumpai. Jangan sombong karena banyaknya ibadah, sebab iblis setelah lama beribadah ternyata menjumpai sesuatu yang pernah ia jumpai. Jangan sombong karena banyaknya ilmu, sebab Bal’am yang selalu mengagungkan nama Allah Yang Agung ternyata dia mati kafir. Jangan sombong karena mampu melihat orang-orang yang baik, sebab tak seorang pun yang lebih hebat daripada Nabi Muhammad Saw. Beliau tidak pernah mengambil keuntungan jika berjumpa dengan sanak famili musuh-musuhnya.”

 

Suatu hari Ibnu Mubarak berjumpa dengan teman-temannya. la berkata, “Di tengah malam saya memberanikan diri menghadap Allah Swt. dengan memohon agar dimasukkan ke dalam surga.” Ada pendapat yang mengatakan, Nabi Isaa.s. keluar bersama seorang Bani Israil yang saleh. Dalam perjalanan, mereka diikuti oleh seseorang yang selalu berbuat dosa dan terkenal fasik. Dia duduk bersandar dalam posisi yang berjauhan dari mereka dengan berdoa kepada Allah Swt., Ya Allah, ampunilah saya.” Bersamaan itu, laki-laki saleh tersebut juga berdoa, ‘ Ya Allah, besok di hari kiamat jangan Kau kumpulkan saya dengan orang yang maksiat itu.’ Setelah itu, Allah Swt. memberikan wahyu kepada Nabi Isa a.s.: Saya telah mendengar doa keduanya. Doa orang yang saleh saya tolak dan doa orang yang selalu berbuat maksiat (dosa) akan saya ampuni.”

 

Dzun Nun Al-Mishri berkata, “Telah kutanyakan kepada Ulaim, Kenapa engkau disebut orang gila? Dia menjawab, ‘ Apabila saya dipenjara begitu lama, maka saya menjadi gila karena takut berpisah.” Dalam konteks pengertian ini, ahli syair berkata:

 

seandainya di hadapanku ada batu besar pasti akan saya buka namun bagaimana mungkin orang lain akan mampu membawa (memikul) tanah liat

 

Sebagian ulama berkata, “Saya tidak pernah melihat seorang laki-laki yang sangat mengharapkan umat dan takut terhadap dirinya sendiri kecuali Ibnu Sirin.” Menurut satu ungkapan, Sufyan Ats-Isauri dalam keadaan sakit menyindir dokter yang sedang memeriksanya dengan ucapan, “Inilah seorang laki-laki yang tidak takut terhadap penyakit limpa hatinya.” Dokter itu mendekat dan meraba lehernya seraya berkata, “Saya tidak tahu bahwa diri Abu Hanifah sama dengan diri Abu Sufyan AtsIsauri.”

 

Imam Syibli pernah ditanya, “Kenapa matahari menjadi kuning ketika terbenam?“

 

“Karena ia meninggalkan tempatnya yang sempurna, sehingga ia menjadi kuning karena takut pada tempatnya. Demikian juga orang mukmin, apabila akan meninggalkan dunia, warnanya menjadi kuning karena takut pada tempatnya. Oleh karena itu, apabila matahari akan terbit, ia akan terbit dengan terang dan bersinar. Demikian juga orang mukmin, apabila dibangkitkan dari kubur, ia akan bangkit dengan wajah yang bersinar,” jawabnya.

 

Diriwayatkan dari Ahmad bin Hanbal. Ia berkata, “Saya memohon kepada Tuhan agar dibukakan pintu dengan sikap takut sehingga ia dapat terbuka. Demikian juga saya takut pada kekuatan akal ku. Oleh karena itu, saya juga memohon, ya Tuhan, berilah saya kemampuan berdasarkan apa yang telah saya kuasai sehingga diriku menjadi tenang.”

 

9. RAJA

 

Allah Swt. berfirman:

 

“Barangsiapa berharap bertemu dengan Allah, sesungguhnya janji Allah pasti datang.” (QS. Al-Ankabut: 5)

 

Al-‘Alla’ bin Zaid bercerita, “Saya bertamu ke rumah Malik bin Dinar dan melihat Syahr bin Hausyab berada di sampingnya. Ketika keluar, saya mengatakan kepada Syahr, ‘Mudah-mudahan Allah Swt. memberi rahmat kepadamu. Bekalilah diriku, maka Allah Swt. akan membekali dirimu.’ Ia menjawab, Ya, Bibiku Ummu Darda’ pernah menceritakan kepadaku suatu hadis dari Abu Darda’ yang diperolehnya dari Nabi Muhammad Saw. Hadis itu menceritakan bahwa beliau memperoleh pengajaran dari Jibril a.s. yang mengatakan:

 

“Tuhan kamu sekalian berfirman: Wahai hamba-Ku, jika engkau beribadah kepada-Ku, berharaplah bertemu dengan-Ku dan tidak menyekutukan sedikit pun pada-Ku, maka Aku akan mengampuni segala dosamu, sekalipun kamu datang dengan membawa kesalahan dan dosa sebesar bumi, Aku akan mengampunimu, dan tidak mempedulikan (berapa banyak dosa yang telah kamu lakukan).”

 

Anas bin Malik mengatakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda, Allah Swt. berfirman:

 

“Wahai malaikat, keluarkanlah dari api neraka orang yang dalam hatinya beriman meskipun seberat biji kurma.’ Allah Swt. juga berfirman, ‘Keluarkanlah dari api neraka orang yang dalam hatinya beriman meskipun seberat biji gandum. Setelah itu Allah Swt. menegaskan, ‘Demi kemulian dan keagungan-Ku, orang yang beriman kepada-Ku meskipun satu detik di waktu malam atau siang tidakakan Aku jadikan seperti orang yang tidak beriman.”

 

Raja’ (harapan, berharap) adalah ketergantungan hati pada sesuatu yang dicintai yang akan terjadi di masa yang akan datang. Sebagaimana khauf (rasa takut) yang berhubungan dengan sesuatu yang akan terjadi di masa yang akan datang, maka demikian juga raja’ (harapan) akan membawa implikasi terhadap hal yang dicita-citakan di masa yang akan datang. Dengan raja’, maka hati akan menjadi hidup dan merdeka.

 

Perbedaan antara raja’ dan tamanni (berangan-angan pada sesuatu yang mustahil) terletak pada nilai dan dampaknya. Tamanni dapat mengakibatkan (menyebabkan) orang menjadi malas dan tidak mau berjerih payah dan sungguh-sungguh. Sedangkan raja’ adalah kebalikan dari tamanni. Raja’ merupakan perbuatan terpuji, sedangkan famanni adalah perbuatan tercela.

 

Menurut Syah Al-Kirmani, tanda raja’ adalah kebaikan taat. Menurut Abdullah bin Khubig, raja’ mempunyai tiga bentuk. Pertama, orang yang mengerjakan pekerjaan baik dan berharap dapat diterima. Kedua, orang yang mengerjakan pekerjaan jahat lantas dia bertobat dan mengharapkan ampunan. Ketiga, orang yang berdusta dan tidak mengulangi pekerjaan dosa, lalu mengharap ampunan. Barangsiapa yang mengetahui dirinya berbuat jahat, selayaknya dia bersikap.khauf daripada bersikap raja’.

 

Menurut satu pendapat, raja’ merupakan sikap percaya terhadap kedermawanan Allah Swt. Menurut yang lain, raja’ adalah melihat Tuhan dengan pandangan yang baik. Ada yang berpendapat raja’ adalah dekatnya hati terhadap kelemah-lembutan Tuhan. Menurut yang lain, raja’ adalah senangnya hati terhadap tempat kembali yang baik (akhirat). Sedangkan pendapat lain, raja’ adalah memandang keleluasaan rahmat Tuhan.

 

Abu Ali Al-Rudzabari menganalogkan khauf dan raja’ bagaikan dua sayap burung. Apabila dua sayap itu sama (seimbang), maka burung itu akan seimbang dan terbang dengan sempurna (baik). Apabila salah satu sayapnya ada yang kurang, maka ia tidak akan seimbang. Apabila burung itu terbang, maka ia akan mati.

 

Ahmad bin ‘Ashim Al-Anthaki pernah ditanya, “Apa tanda raja’ bagi seorang hamba?” ia menjawab, “Apabila mendapatkan kebaikan, maka ia akan bersyukur dengan mengharapkan kernikmatan yang sempurna dari Allah Swt. di dunia dan pengampunan yang sempurna di akhirat.”

 

Menurut Abu Abdullah bin Khafif, yang dimaksud raja’ adalah merasa baHagia karena mendapatkan keutamaan dari Allah Swt. dan leganya hati karena dapat melihat keagungan Dzat yang diharapkan dan dicintai.

 

Saya mendengar Abu Utsman Al-Maghribi mengatakan, “Barangsiapa yang mementingkan diri sendiri dengan mengesampingkan raja’, maka dia akan rusak. Barangsiapa yang mementingkan diri sendiri dengan mengesampingkan khauf, maka dia akan terputus. Di antara keduanya terkadang yang pertama terjadi dan terkadang pula yang kedua.”

 

Bakar bin Sulaim Ash-Shawwaf bertamu kepada Malik bin Anas di waktu sore hari ketika akan meninggal dunia. Bakar bertanya kepadanya, “Wahai Abu Abdullah, bagaimana engkau menemukan dirimu?” Malik menjawab, “Saya tidak tahu apa yang harus kjkatakan, hanya saja engkau harus memohon pengampunan kepada Allah Swt. sebelum dihisab.” Setelah itu, Bakar senantiasa memohon sehingga dapat memejamkan kedua matanya.

 

Yahya bin Mu’adz mengatakan, “Saya hampir mengharapkan dosa kepada-Mu yan», dapat mengalahkan harapanku terhadap perbuatan baik. Dalam mengerjakan yang baik saya selalu ikhlas. Bagaimana saya dapat memeliharanya sedangkan saya dalam keadaan bahaya. Dalam mengerjakan dosa, saya selalu mengharapkan pengampunan-Mu. Bagaimana Engkau tidak mengampuniku, sedangkan Engkau mempunyai sifat dermawan.”

 

Orang-orang membicarakan Dzun Nun Al-Mishri ketika ia menderita sakit yang mengantarkan pada kematian. Dzun Nun mengatakan, “Jangan menyibukkan diri untuk diriku karena aku sudah memperoleh karurya Allah Swt. yang selalu bersamaku.”

 

Yahya bin Mu’adz mengatakan, “Ya Tuhan, beberapa pemberian akan kuhiaskan di dalam hatiku untuk mengharapkan-Mu. Beberapa ucapan akan kutanamkan di dalam mulutku untuk memuji-Mu, dan suatu saat (detik, menit, jam) akan kucintakan di dalam diriku agar bisa berjumpa dengan-Mu.“ Sebagian kitab tafsir menjelaskan bahwa Rasulullah Saw. berkumpul-kumpul dengan para sahabat di depan pintu Syaibah seraya beliau bersabda:

 

“Kenapa kalian tertawa, seandainya kalian tahu apa yang kuketahui pasti kalian akan tertawa sedikit dan menangis banyak.” (HR. Bukhari dan Turmudzi)

 

Setelah itu, Qahqari (salah seorang sahabat yang berkumpul) pulang dan bertemu dengan Rasulullah Saw. Beliau bersabda:

 

“Malaikat Jibril datang kepadaku dan menyampaikan firman Allah swt, ‘Peringatilah hamba-harnba-Ku! Sesungguhnya Aku adalah Yang Maha Pengasih dan Maha Pengampun.’” (QS. Al-Hijr: 49)

 

Aisyah r.a. mengatakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “ Allah Swt. menertawakan hamba yang berputus asa karena rahmatNya selalu dekat dengannya.”

 

“Demi ayah dan ibu, apa betul Allah Swt. tertawa, ya Rasulullah?” tanya Aisyah r.a.

 

“Demi Dzat yang diriku ada dalam kekuasaan-Nya, sesungguhnya Allah Swt. tertawa.”

 

Aisyah kemudian mengatakan bahwa seseorang tidak dianggap orang baik apabila dia tertawa.” Tertawa merupakan sifat-sifat pekerjaan, yakni dengan menampakkan keutamaan sebagaimana ungkapan: “Bumi tertawa karena adanya tumbuh-tumbuhan.” Allah menertawakan hamba-hamba-Nya yang berputus asa karena menampakkan keutamaan-Nya yang mereka tidak mampu melihatnya.

 

Ada satu cerita, orang Majusi bertamu dan minta jamuan kepada Nabi Ibrahim a.s.

 

“Ya, asalkan engkau masuk Islam, maka engkau akan kujamu,” tawar Nabiyullah.

 

“Jika saya masuk Islam? Maka mana kedermawananmu yang bisa engkau berikan kepadaku?” kata si Majusi. Setelah itu dia pergi. Allah Swt. menurunkan wahyu teguran kepada Nabi Ibrahim a.s., “Wahai Ibrahim, mengapa engkau tidak memberikan makanan kecuali dengan menuntut kepindahan agamanya? Aku Allah selama tujuh puluh tahun telah memberikannya makanan meski dia kafir. Engkau semalam pun tidak bisa menjamunya, maka di mana konsistensimu (sebagai nabi)?”

 

Nabi Ibrahim a.s. menyesal. Dia kemudian segera menyusul orang Majusi dan memberinya jamuan. Orang Majusi itu bertanya, “Apa yang menyebabkanmu berbuat seperti ini?” Nabi Ibrahim menjelaskan peristiwa tersebut. Orang Majusi itu lantas bertanya, “Apakah karena itu engkau berbuat seperti ini?“

 

Nabi Ibrahim menjawab, “Tunjukkanlah Islammu.” Setelah itu, orang Majusi itu masuk Islam.

 

Saya telah mendengar Abu Bakar bin Asykib mengatakan, “Saya bermimpi bertemu Abu Sahal Ash-Shu’luki dalam keadaan sangat baik. Saya bertanya, Wahai Ustaz, dengan cara apa engkau memperoleh ini? Dia menjawab, Dengan cara baik sangka kepada Tuhan. Malik bin Dinar pernah bermimpi, ia ditanya, “Apa yang telah Allah berikan kepadamu?” la menjawab, “Saya menghadap Tuhan dengan membawa dosa yang banyak, tetapi Allah Swt. memberikan pengampunan karena saya selalu baik sangka kepada Allah Swt.“

 

Diriwayatkan dari Nabi Muhammad Saw. Beliau bersabda:

 

“Allah Swt. berfirman dalarn hadis Judsi: Aku akan berada di samping persangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Jika dia ingat kepada-Ku dalam dirinya, maka Aku ingat kepadanya dalam diri-Ku. Jika dia ingat kepada-Ku dalam kerurnunan yang ramai, maka aku ingat kepadanya di dalam kerumunan yang lebih baik daripada mereka. Jika dia mendekat kepada-Ku satu jengkal, maka Aku mendekat kepadanya satu lengan. Jika dia mendekat kepada-Ku satu lengan, maka Aku mendekat kepadanya satu depa. Jika dia mendekat kepada-Ku dengan berjalan, maka Aku mendekat kepadanya dengan berlari.”

 

Alkisah, Ibnu Mubarak ingin membunuh seorang kafir ajam (Majusi non-Arab). Ketika waktu salat tiba, dia tidak mempedulikan hingga waktu pun ganti tidak mempedulikannya. Sewaktu orang kafir itu menyembah matahari, Ibnu Mubarak hendak memenggal lehernya dengan pedangnya. Tiba-tiba Ibnu Mubarak mendengar suara dari atas awan yang menegurnya:

 

“Hendaklah engkau memenuhi janji karena janji akan dimintai pertanggung jawaban.” (QS. Al-Isra’: 34)

 

Seketika itu dia menahan tangannya. Setelah orang Majusi (kafir) selesai mengerjakan ibadahnya, dia mengucap salam dan mengatakan kepada Ibnu Mubarak, “Kenapa tidak kau lanjutkan apa yang kau inginkan?” Ibnu Mubarak menjelaskan apa yang telah dia dengar. Orang Majusi itu menimpalinya, “Ya, Tuhan benar. Tuhan mencela kekasih-Nya yang terlibat dalam permusuhan.” Sesudah kejadian itu orang Majusi itu masuk Islam.

 

Menurut satu pendapat, Allah Swt. akan menjatuhkan orang-orang dalam lumpur dosa sehingga Dzat Allah Swt. disebut sebagai Dzat Yang Maha Pengampun. Menurut pendapat yang lain, seandainya Allah Swt. berfirman: Aku tidak akan mengampuni dosa-dosa, maka orang Islam tentu tidak akan pernah mengerjakan dosa. Dan seandainya Allah Swt. berfirman: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni orang yang menyekutukan-Ku, maka tentu seorang muslim tidak akan pernah menyekutukan-Nya. Akan tetapi, karena Allah Swt. berfirman:

 

“Allah akan mengampuni dosa-dosa selain syirik (menyekutukan) kepada orang yang dikehendaki.” (QS. An-Nisa’: 48) :

 

Untuk itu, maka mereka tentu akan mengharapkan ampunan-Nya.

 

Diriwayatkan dari Ibrahim bin Adham yang menceritakan, “Saya pernah menunggu sesuatu dalam satu tenggang waktu yang tidak ada angin topan. Namun, ketika malam menjadi sangat gelap, hujan turun dengan lebatnya. Setelah angin topan itu reda, saya memasuki tempat yang dikelilingi orang banyak dan saya berdoa, ‘Ya Allah lindungilah diriku.’ Tiba-tiba saya mendengar suara gaib yang menegurku, ‘Wahai Abu Adham, engkau memohon perlindungan kepada-Ku, demikian juga setiap orang mohon perlindungan kepada-Ku. Jika Aku memberikan perlindungan kepada semuanya, maka terhadap siapa Aku memberikan rahmat.”

 

Dalam satu ungkapan diceritakan bahwa Abul Abas bin Suraij pernah bermimpi. Dalam mimpi itu dia akan meninggal dunia, sementara kiamat seakan-akan telah tiba. Kemudian Allah Swt. bertanya, “Di mana ulama?”

 

Ketika para ulama ini telah menghadap, Allah Swt. bertanya, “Apa yang telah kalian kerjakan?”

 

“Ya Tuhan, kami telah lengah dan telah berbuat kejahatan.”

 

Allah Swt. lantas mengembalikan pertanyaan itu kepada mereka, seakan-akan Dia tidak rela dan menghendaki jawaban yang lain. Setelah itu saya memberanikan diri menjawab, “Di dalam buku catatan amalku saya tidak menemukan dosa syirik, padahal Engkau telah berjanji akan mengampuni dosa-dosa selain syirik.”

 

Allah Swt. berfirman, “Pergilah, Aku telah mengampuni dosa-dosamu.”

 

Tiga hari setelah kejadian itu, Abul Abas meninggal dunia.

 

Seorang laki-laki peminum khamar mengumpulkan para peminum. Dia memberikan empat dirham kepada hamba sahayanya agar membeli buah-buahan untuk jamuan (di tempat pertemuan). Hamba itu melewati depan pintu rumah Manshur bin Ammar yang sedang mengemis untuk kepentingan orang fakir. Manshur mengatakan, “Barang siapa memberikan empat dirham, maka akan saya doakan empat kali.“ Hamba itu memberikan empat dirham yang sedang dia pegang.

 

“Apa yang engkau inginkan agar saya dapat mendoakanmu?” tanya Manshur.

 

“Saya ingin merdeka.” .

 

“Apa lagi?”

 

“Agar Allah Swt. menggantikan beberapa dirhamku.”

 

“Ada yang lain?”

 

“Agar Allah Swt. menerima tobat tuanku.” .

 

“Kemudian?”

 

“Agar Allah Swt. mengampuniku, tuanku, dirimu, dan orang banyak.”

 

Manshur kemudian mendoakan segala permintaan hamba itu. Setelah hamba itu kembali kepada tuannya, tuan dari hamba itu bertanya, “Kenapa engkau terlambat?”

 

Hamba itu menceritakan peristiwa yang dialaminya.

 

“Apa saja yang didoakan olehnya?” tanya Tuannya.

 

“Pertama, saya minta agar diriku ini merdeka.” :

 

“Pergilah, sekarang engkau telah merdeka.”

 

“Kedua, agar Allah Swt. menggantikan dirham yang sedang saya pegang.”

 

“Engkau mendapat empat ribu dirham.“

 

“Ketiga, agar Allah Swt. menerima tobatmu.”

 

“Saya telah bertobat kepada Allah Swt.”

 

“Keempat, agar Allah Swt. mengampunimu, diriku, orang banyak, dan orang yang memberikan peringatan.”

 

Si Tuan lantas mengatakan, “Ini yang tidak saya miliki.”

 

Ketika si tuan ini tidur di waktu malam, dia bermimpi seakan-akan ada yang mengatakan, “Engkau telah mengerjakan sesuatu yang engkau pinjamkan untuk kepentinganmu yang Aku tidak mengerjakan sesuatu untuk kepentingan-Ku. Aku telah mengampunimu, hambamu, Manshur bin Ammar, dan orang-orang yang hadir.”

 

Dalam cerita yang lain, Ribah Al-Oaisi telah melaksanakan haji berkali-kali. Suatu hari dia berhenti di bawah mizab seraya memohon, “Wahai Tuhanku, beberapa haji yang telah kulaksanakan kuberikan kepada Rasulullah Saw., sepuluh untuk sepuluh sahabat, dua untuk kedua orang tuaku, dan sisanya untuk orang-orang Islam.” Dia tidak menyisakan untuk dirinya sendiri sehingga dia mendengar perkataan suara gaib, “Dia adalah orang yang dermawan. Oleh karena itu, Aku akan mengampunimu, kedua orang tuamu, dan orang-orang yang mengetahui kebenaran.”

 

Diriwayatkan dari Muhammad bin Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi yang mengatakan, “Saya pernah melihat jenazah yang dipanggul oleh tiga orang laki-laki dan satu orang perempuan. Saya mengambil alih tempat orang perempuan itu. Setelah itu kami berlima berjalan bersama-sama menuju tempat kuburan, mengerjakan salat jenazah, dan menguburkannya. Saya bertanya kepada perempuan itu, Siapa jenazah ini?”

 

“Dia adalah puteraku.’

 

“Apakah engkau tidak mempunyai tetangga?’

 

‘Punya, tetapi mereka menganggapnya rendah. ‘Apa sebenarnya yang terjadi? ‘Dia adalah waria.

 

Saya merasa kasihan kepadanya. Suatu saat, perempuan itu datang ke rumahku dan kuberikan dirham, buah labu, dan pakaian. Di malam harinya ketika tidur, saya bermimpi melihat waria itu, seakan-akan dia datang kepadaku seperti bulan di malam purnama. Dia berpakaian serba putih dan berterima kasih kepadaku. Saya bertanya, ‘Siapa engkau? Dia menjawab, ‘Saya adalah waria yang telah kau kubur di waktu siang itu. Allah Swt. telah memberikan rahmat kepadaku karena banyak orang yang merendahkanku.”

 

Saya telah mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan, “Suatu hari Abu Amr Al-Baikindi melewati jalan yang datar.

 

Dia melihat kaum yang hendak mengusir seorang pemuda dari tempatnya karena membuat kerusakan. Ibunya menangis sehingga Abu Amr merasa kasihan dan memberikan pertolongan. Abu Amr mengatakan, ‘Serahkanlah persoalan ini kepadaku. Jika dia membuat kerusakan lagi, maka kuserahkan kepadamu.’ Mereka menyerahkan pemuda itu kepada Abu Amr. Selang beberapa hari, Abu Amr melewati tanah datar tersebut dan mendengar isak tangis dari perempuan (ibu pemuda) itu di balik pintu. Abu Amr bergumam dalam hatinya, Barangkali pemuda itu membuat kerusakan lagi sehingga diasingkan dari tempat ini. Abu Amr mengetuk pintu dan menanyakan tentang pemuda itu. Perempuan tua itu keluar dan berkata, ‘Dia telah meninggal. Abu Amr menanyakan peristiwanya. Perempuan itu menjawab, “Ketika akan meninggal dia mengatakan kepadaku: Wahai Ibu, jangan kau kabarkan kepada tetangga tentang kematianku. Saya telah menyakiti mereka. Oleh karena itu, mereka akan menyia-nyiakan diriku dan tidak akan menghadiri jenazahku. Apabila engkau sudah menguburku, ini adalah cinan yang bertulis Dengan menyebut nama Allah hendaklah kau pendam bersamaku. Jika telah selesai, memohonlah pertolongan kepada Tuhanku.’ Perempuan itu melanjutkan ceritanya, “Saya telah melaksanakan wasiatnya.’ Ketika Abu Amr hendak pulang, dari tempat kuburan itu, Abu Amr mendengar suara memanggil, ‘Wahai Ibu, pulanglah, saya telah menghadap Tuhan.”

 

Menurut satu pendapat, Allah Swt. telah menurunkan wahyu kepada Nabi Daud a.s.: Katakan kepada mereka, sesungguhnya Aku, Allah, menciptakan mereka bukan untuk mendapatkan keuntungan, tetapi Allah menciptakan mereka agar mereka dapat mengambil keuntungan dari-Ku.

 

Saya telah mendengar Ibrahim Al-Athrusi mengatakan, “Di Bagdad saya duduk bersama Ma’ruf Al-Kharaki di tepi sungai Tiqris. Di depanku para pemuda berlayar menggunakan sampan kecil. Mereka berlabuh menuju tepi sungai sambil minum, makan, dan bercanda. Saya bertanya kepada Ma’ruf, ‘Apakah engkau tidak melihat bagaimana mereka bermaksiat kepada Allah Swt. dengan cara membuka saluran air? Berdoalah kepada Allah Swt. untuk mereka.’ Ma’ruf lantas mengangkat kedua tangannya seraya berdoa, ‘Ya Tuhan, Engkau telah membaHagiakan mereka di dunia, maka baHagiakanlah mereka di akhirat.’ Saya menegurnya, ‘Saya meminta kepadamu agar mendoakan mereka.’ Ma’ruf balik mengatakan, ‘Jika Allah membaHagiakan mereka di akhirat, berarti Allah Swt. menerima tobatnya.’” Diceritakan oleh Abu Abdullah Husain bin Sa’id yang mengatakan, “Yahya bin Aktsam Al-Qadhi adalah orang yang setia kawan. Dia mencintaiku begitupun saya mencintainya. Saya ingin bermimpi bertemu dengannya dan ingin kutanyakan sesuatu, ‘Apa yang telah Allah Swt. berikan kepadamu?’ Suatu malam saya betul-betul bermimpi bertemu dengannya, kemudian saya bertanya, ‘Apa yang telah Allah Swt. berikan kepadamu?” Yahya menjawab, “Allah Swt. telah mengampuniku, hanya saja Allah mencelaku. Kemudian dikatakan-Nya kepadaku: Wahai Yahya, engkau hanyalah teman-Ku di dunia. Kemudian saya menjelaskan satu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

 

“Engkau telah berkata bahwa Engkau akan menyiksa orang tua dengan api.”

 

Setelah itu, aku mendapatkan jawaban yakni: Allah Swt. telah memaafkanmu, wahai Yahya dan apa yang disabdakan oleh Nabi adalah benar, hanya saja engkau hanyalah seorang teman di dunia.

 

10. DUKA CITA

 

Allah berfirman:

 

“Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan duka cita dari kami.” (QS. Fathir: 34)

 

Abu Said Al-Khudri berkata, “Saya telah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:

 

“Tidak sedikit pun yang akan menimpa seorang hamba yang beriman, baik berupa sakit, lelah, duka cita, atau pun penyakit yang menyusahkan, kecuali Allah akan mengampuni dosa-dosanya.”

 

Yang dimaksud dengan duka cita atau khuznu adalah suatu keadaan yang menyusahkan hati karena terhindar dari keterjerumusan diri dalam jurang kelalaian. Duka cita juga merupakan bagian dari sifat-sifat orang yang menempuh kehidupan untuk Allah Swt.

 

Saya telah mendengar Guru Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan, “Orang yang berduka cita akan memutuskan jalan Allah dalam jangka waktu satu bulan terhadap apa-apa yang diputuskan oleh Allah karena tidak mendapatkan kesusahan selama dua tahun.” Dalam hadis disebutkan, “Allah Swt. akan mencintai hati yang berduka cita.” Di dalam Kitab Taurat juga disebutkan: “Jika Allah mencintai seorang hamba, maka hatinya dijadikan meratap. Jika Allah membencinya, maka hatinya dijadikan keras.” Telah diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. selalu berduka cita apabila dalam keadaan berpikir.

 

Menurut Bisyr bin Harits, duka cita diibaratkan raja, yakni apabila dia menempati suatu tempat, maka dia tidak akan rela tempat itu ditempati orang lain. Menurut pendapat lain, apabila di dalam hati tidak terdapat duka cita, maka ia akan runtuh dan roboh. Ibarat rumah apabila tidak ada penghuninya, maka ia akan runtuh dan roboh. Menurut Abu Sa’id Al- Quraisy, menangis karena duka cita mengakibatkan buta dan menangis karena rindu, pandangan mata akan terhalang, tetapi tidak buta. Allah Swt. berfirman:

 

“Kedua matanya menjadi putih karena duka cita, tetapi dia tidak mampu menahan amarah.” (QS. Yusuf: 84)

 

Sedangkan menurut Ibnu Khafif, duka cita dapat memperkecil keinginan hawa nafsu dari bergejolaknya suka cita.

 

Rabi’ah Al-Adawiyah pernah mendengar seorang laki-laki mengeluh, “Alangkah dukanya diri ini.” Rabi’ah menegurnya, “Berkatalah, alangkah sedikitnya duka ini. Apabila engkau mendapatkan duka cita, maka engkau tidak akan mengeluh.” Menurut Sufyan bin Uyainah, apabila orang yang berduka cita karena menangis untuk kepentingan umat, maka Allah akan memberikan rahmat kepada mereka.

 

Dawud Ath-Thai adalah orang yang sangat berduka cita. Di tengah malam dia mengeluh, “Wahai Tuhan, telah Kau timpakan kepadaku berbagai duka cita sehingga saya tidak dapat tidur.” Dia bertanya kepada dirinya, “Bagaimana mungkin orang yang selalu mendapatkan berbagai cobaan setiap waktu hatinya akan terhibur dan terlepas dari duka cita?”

 

Menurut satu pendapat, duka cita dapat mencegah makanan, sedangkan takut dapat mencegah dosa. Sebagian ulama pernah ditanya, “Apa indikasi orang yang berduka cita?”

 

“Banyak mengeluh,” jawabnya.

 

Sariy As-Saqthi berkata, “Saya sangat menginginkan duka cita yang telah dialami oleh kebanyakan orang.” Ketika mereka (ulama) ditanya tentang duka cita, mereka akan menjawab, “Berduka cita karena akhirat adalah terpuji, sedang berduka cita karena dunia adalah tercela.” Menurut Abu Ustman, segala bentuk duka cita adalah keistimewaan dan keutaman bagi orang mukmin selagi bukan untuk kemaksiatan. Apabila ia tidak memberikan keistimewaan, maka ia pasti memberikan kebersihan. Sebagian para guru sufi apabila hendak bepergian akan berkata, “Apabila saya melihat orang yang berduka cita, maka saya mengucapkan salam.“

 

Saya telah mendengar Tuan Guru Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Sebagian guru sufi bertanya kepada matahari ketika terbenam, Apakah hari ini engkau terbit dalam keadaan duka?’“ Dalam satu cerita, Hasan Al-Bashri tidak pernah dilihat oleh seseorang. Dia menduga bahwa Hasan tertimpa musibah.

 

Waki’ berkata, “Ketika Fudhail bim Iyadl meninggal dunia, pada hari ini duka cita telah lenyap dari bumi.“ Menurut sebagian ulama salaf, kebanyakan sesuatu yang dijumpai oleh orang mukmin dalam catatan buku amalnya adalah susah dan duka. Menurut Fudlail bin “Iyadl, ulama salaf selalu berkata, “Segala sesuatu adalah zakat, sedangkan zakat adalah duka citanya akal.“

 

Suatu saat Abu Ustman Al-Hiri ditanya tentang duka cita. Dia menjawab, “Orang yang selalu berduka cita tidak akan lepas dari permohonan orang yang berduka cita. Bersungguh-sungguhlah mencari duka cita, setelah itu memohonlah.”

 

11. LAPAR DAN MENINGGALKAN SYAHWAT

 

Allah berfirman:

 

“Sesungguhnya Kami akan mengujimu dengan suatu cobaan, yaitu ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buahbuahan. Berilah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah:155)

 

Artinya, berilah mereka kabar gembira dengan perolehan pahala yang baik karena mereka mampu bersabar menghadapi sakitnya lapar. Allah berfirman:

 

“Mereka mengutamakan orang lain daripada dirinya sendiri, meskipun mereka sangat butuh.” (QS. Al-Hasyr: 9)

 

Dari Anas bin Malik diceritakan bahwa Fatimah” pernah memberikan pecahan roti kepada Rasulullah Saw. Beliau bertanya, “Pecahan apa ini, wahai Fatimah?”

 

“Pecahan roti.”

 

Fatimah diam sebelum melanjutkan jawabannya, “Saya tidak akan merasa tenang sebelum dapat memberikan pecahan roti ini kepada Ayah.”

 

“Pecahan roti ini adalah makanan pertama yang masuk ke dalam mulut ayahmu selama tiga hari.”

 

Dengan demikian, lapar merupakan bagian dari sifat-sifat ulama dan salah satu sendi perjuangan. Orang-orang yang menempuh jalan menuju Allah berangsur-angsur dapat mengembalikan lapar pada posisinya di dalam diri mereka sehingga mereka mampu menghindari makanan. Oleh karena itu, mereka telah menemukan sumber kebijaksanaan dengan cara melaparkan diri.

 

Menurut Ibnu Salim, tata cara lapar adalah seseorang tidak diperkenankan mengurangi kebiasaan lapar kecuali dia seperti telinga kucing. Menurut satu cerita, Sahal bin Abdullah tidak pernah makan kecuali setelah lima belas hari. Jika bulan puasa tiba, dia tidak mau makan sebelum dia melihat hilal (bulan). Setiap malam dia berbuka dengan air putih. ,

 

Yahya bin Mu’adz berkata, “Seandainya lapar dapat dijual di pasar, maka tidak pantas bagi orang-orang yang mencari kenikmatan akhirat apabila masuk ke pasar membeli yang lainnya.” Sahal bin Abdullah berkata, “Ketika Allah menciptakan dunia, Dia menjadikan kenyang untuk kemaksiatan dan kebodohan, dan menjadikan lapar untuk ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan. Oleh karena itu, Yahya bin Mu’adz berpendapat, lapar bagi orang yang hendak menuju Allah adalah latihan, bagi orang yang tobat adalah ujian, bagi orang yang zuhud adalah pengaturan, dan bagi orang yang ma rifat adalah kemuliaan.”

 

Saya mendengar Tuan Guru Abu Ali Ad-Daqaq bercerita tentang seorang murid yang bertamu kepada gurunya. Murid : itu melihat gurunya dalam keadaan menangis.

 

“Apa yang menyebabkan Tuan menangis?”

 

“Saya lapar.”

 

“Apakah tangisan Tuan karena lapar?”

 

“Diamlah, apakah engkau tidak tahu bahwa yang dimaksud lapar adalah tangisku.”

 

Diceritakan oleh Dawud bin Mu’adz, “Saya telah mendengar Mukhallid berkata, ‘Hajjaj bin Farafishah bersama kami di Syam. Di sana dia tinggal selama lima puluh hari. Dia tidak pernah minum air dan tidak pernah pula makan sampai kenyang.”

 

Dalam satu cerita, Abu Turab An-Nakhsyabi mengunjungi Kota Mekkah melalui daerah padang pasir Basrah. Kami bertanya tentang makannya. Dia menjawab, “Saya keluar dari Basrah dan makan di Nibaj” kemudian di Dzat Irag. Dari sana saya menuju kalian. Oleh karena itu, saya meninggalkan padang pasir Basrah hanya dua kali makan.” Dalam satu ungkapan juga diceritakan bahwa Sahal bin Abdullah apabila lapar, dia akan menjadi kuat dan apabila makan, dia malah menjadi lemah.

 

Abu Utsman Al-Maghribi berkata, “Rabbani tidak makan selama empat puluh hari, sedangkan Shamdani tidak makan selama delapan puluh hari.” Abu Sulaiman Ad-Darani berpendapat, kunci dunia adalah kenyang” sedang kunci akhirat adalah lapar.

 

Ditanyakan pada Sahal bin Abdullah bahwa ada seorang laki-laki hanya makan satu kali. Dia menjawab, “Itu makannya orang-orang yang baik.”

 

“Bagaimana jika makan dua kali?”

 

“Itu makannya orang-orang mukmin.”

 

“Bagaimana jika makan tiga kali?”

 

“Itu seperti orang yang mendirikan tempat makanan untuk binatang.“

 

Menurut Yahya bin Mu’adz, lapar diibaratkan cahaya,” kenyang diibaratkan api, dan syahwat diibaratkan kayu yang dapat dibakar yang apinya tidak akan mati sebelum membakar pemiliknya.

 

“Abu Nashr As-Siraj Ath-Thusi bercerita bahwa di suatu hari seorang sufi bertamu kepada gurunya. Gurunya memberikan jamuan seraya bertanya, “Berapa hari engkau tidak makan?”

 

“Lima hari.”

 

“Laparmu adalah laparnya orang kikir. Oleh karena itu, engkau wajib memberikan pakaianmu. Engkau harus lapar sebab laparmu ini bukan laparnya orang fakir.”

 

Abu Sulaiman Ad-Darani berkata, “Meninggalkan satu suapan makan lebih dicintai Allah daripada salat sepanjang malam.”

 

Abul Qasim Ja’far bin Ahmad Ar-Razi menuturkan sebuah cerita tentang kawannya yang bernama Abul Khair Al-Asqalani. Kawannya ini selama dua tahun sangat menginginkan ikan. Tidak lama kemudian dia memperolehnya yang diambil dari tempat yang halal. Ketika hendak mengulurkan tangannya untuk makan, jarijarinya tertancap duri sampai melukai tulang ujung jarinya. Dia terkejut. “Ya Tuhan, ini adalah hukuman bagi orang yang mengulurkan tangannya karena sangat menginginkan makanan yang jelas halal. Lantas bagaimana jadinya jika makanan yang hendak diambilnya adalah makanan yang haram?” gumamnya.

 

Saya telah mendengar Rustam Asy-Syairazi Ash-Shufi berkata, “Abu Abdillah bin Khafif pernah diundang dalam suatu jamuan. Salah seorang yang hadir dari murid-muridnya mengulurkan tangan untuk mendapatkan makanan. Sebagian muridmurid lain yang melihatnya tidak suka kepadanya karena budi pekertinya yang buruk. Dia bertindak lancang dengan mengulurkan tangannya lebih dulu sebelum gurunya mengambil. Setelah itu temannya yang lain meletakkan makanan di hadapan temannya yang fakir ini. Rupanya murid yang menjadi pusat perhatian kawan-kawannya ini menyadari. Dia paham bahwa dirinya tidak disukai. Kemudian dia bertekad untuk tidak makan selama sepuluh hari sebagai hukuman bagi dirinya sendiri. Dia menghajar dirinya dengan tidak memberinya makan selama sepuluh hari supaya selalu sadar. Dengan demikian, dia akan memperoleh pelajaran etika, di samping perubahan sikap setelah pembuktian tobat atas budi pekertinya yang buruk. Dia mengerjakan hal tersebut di tengah dia sangat membutuhkan makanan.”

 

Menurut Malik bin Dinar, orang yang mampu mengalahkan keinginan dunia, maka setan akan lari dari bayangannya. Abu Al Ar-Rudzabari berkata, “Apabila setelah lima hari seorang sufi berkata, Saya adalah orang yang lapar, maka bawalah dia ke pasar dan berilah dia pekerjaan.”

 

Saya pernah mendengar Tuan Guru Abu Ali Ad-Daqaq bercerita tentang sebagian gurunya. Dia berkata, “Orang-orang yang dimasukkan ke neraka adalah orang-orang yang dikalahkan oleh syahwat (keinginan)-nya sehingga dia terjerumus ke dalam hal, hal yang dilarang. Oleh karena itu, mereka menjadi cacat.” Saya juga telah mendengar dia berkata tentang sebagian gurunya yang pernah ditanya, “Apakah engkau tidak ingin (tidak bernafsu)?”

 

“Saya sebenarnya bernafsu, tetapi saya melarangnya.”

 

Sebagian sufi yang lain juga pernah ditanya hal yang hampir sama. “Apakah engkau tidak ingin?” Begitu tanyanya. Kemudian dijawab, “Saya ingin untuk tidak ingin.”

 

Abu Nashr At-Tammar berkata, “Di waktu malam ada seseorang yang datang kepadaku. Saya menyambutnya dengan mengatakan, ‘Segala puji bagi Allah yang telah mendatangkanmu. Suatu hari kami kedatangan kapas dari Khurasan”. Setelah itu seorang anak perempuan menarik dan menjualnya. Dia membelikannya daging untuk kami dan berbuka di samping kamu. Orang yang datang pertama berkata, Seandainya saya mau makan di samping orang lain, pasti saya makan di samping kalan. Saya sebenarnya sangat menginginkan terong selama dua tahun, tetapi saya tidak pernah memakannya. Saya memberitahukan, “Di tempat itu terdapat terong yang halal.’ Dia menjawab, “Selagi saya menginginkan buah terong, saya tidak akan memakannya. ”

 

Saya telah mendengar Abu Ahmad Ash-SHagir berkata, “Saya diperintah oleh Abdullah bin Khafif agar menghidangkan sepuluh biji buah anggur untuk bukanya setiap malam. Di malam itu saya merasa khawatir. Karena itu, saya tambahkan untuknya lima biji, tetapi dia keburu melihat saya. Dia menegur, ‘Siapa yang memerintahkanmu berbuat seperti ini? Semenjak itu, dia hanya makan sepuluh bjji dan meninggalkan sisanya.”

 

Abu Turab An-Nakhsyabi berkata, “Diriku tidak pernah menginginkan sesuatu kecuali satu kali, yaitu menginginkan roti dan telur. Di tengah perjalanan pulang ke suatu desa, tiba-tiba ada seseorang berdiri dan menghadangku. Dia berteriak, “Orang ini bersama pencuri.” Maka, orang-orang yang kebetulan di situ memukulku dengan cambuk. Selang beberapa waktu di antara mereka ada yang mengenaliku. Dia terkejut sebelum akhirnya berkata, ‘Orang laki-laki ini adalah Abu Turab An-Nakhsyabi.’ Mereka lantas meminta maaf kepadaku. Setelah itu di antara mereka ada yang mengajakku mampir ke rumahnya dan memberikan hidangan roti dan telur. Saya bergumam pada dini sendiri, ‘Makanlah, setelah engkau mendapatkan tujuh puluh cambukan.”

 

12. KHUSYUK DAN TAWADUK

 

Allah berfirman:

 

“Orang-orang yang beriman telah mendapatkan kemenangan, yaitu mereka yang khusyuk dalam salatnya.” (QS. Al-Mukminun: 1-2 )

 

Dikutip dari Abdullah bin Mas ud. Dia dari Nabi Muhammad Saw. bahwa beliau bersabda:

 

“Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebiji berat timbangan kesombongan dan tidak akan masuk neraka orang yang dalam hatinya terdapat satu biji berat timbangan keimanan.” Seorang laki-laki mengatakan, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ada orang yang menginginkan pahalanya itu baik.” Rasulullah Saw. menjawab, “Sesungguhnya Allah adalah baik dan mencintai sesuatu yang baik. Sedangkan sombong adalah menolak yang benar dan merendahkan orang lain.”

 

Diceritakan oleh Anas bin Malik. Dia mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah menjenguk orang sakit, mengantarkan jenazah, menunggangi keledai, dan memenuhi undangan seorang budak. Dalam satu cerita, suatu hari orang Bani Quraizhah dan Nadhir menunggangi keledai yang diikat dengan tali serabut dan di atasnya terdapat pelana.

 

Yang dimaksud khusyuk adalah mencari keselamatan diri untuk kebenaran (Allah), sedang yang dimaksud tawaduk (rendah diri) adalah menyerahkan diri (tunduk) untuk kebenaran dan meninggalkan hal-hal yang bertentangan dengan hukum.

 

Hudzaifah mengatakan, “Permulaan sesuatu yang akan hilang dari agama adalah khusyuk.” Seorang ulama pernah ditanya tentang khusyuk. Dia menjawab, “Yang dimaksud khusyuk adalah hati yang tenang di hadapan Allah.” Sahal mengatakan, “Barangsiapa yang hatinya khusyuk, maka setan tidak akan mendekatinya.” Menurut satu pendapat, sebagian dari indikasi khusyuk bagi seorang hamba adalah apabila dia dibenci, disakiti, atau diusir, dia menerima dengan lapang dada. Sebagian yang lain berpendapat, yang dimaksud orang yang khusyuk adalah orang yang mampu memadamkan gejolak syahwat, mampu menetralisir asap jantung (dada), dan mampu memberikan penerangan hati agar gejolak syahwatnya menjadi padam dan hatinya menjadi hidup, sehingga saluran anggota tubuh menjadi khusyuk. Sedangkan menurut Hasan Al-Basri, yang dimaksud khusyuk adalah takut secara konsisten untuk kepentingan hati.

 

Junaid pernah ditanya tentang khusyuk. Dia menjawab, “Rendah hati karena Allah.” Allah berfirman:

 

“Hamba-hamba Allah Yang Maha Pengasih adalah orang-orang yang berjalari di muka bumi dengan tenang (tidak sombong).” (QS. Al-Furqan: 63)

 

Saya pernah mendengar Tuan Guru Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan, “Yang dimaksud ayat tersebut adalah orang-orang yang tawaduk dan orang-orang yang khusyuk.” Saya juga pernah mendengar dia mengatakan, “Mereka itu adalah orang-orang yang tidak menganggap baik terhadap jauhnya perjalanan ketika mereka bepergian.”

 

Para ulama sepakat bahwa khusyuk terletak di hati. Dalam satu cerita, seorang ulama melihat seorang laki-laki yang berduka cita dan penglihatannya pecah. Seorang ulama itu pernah mendekati kedua pundaknya seraya mengatakan, “Wahai Fulan, khusyuk itu terletak di hati bukan terletak di kedua pundak.”

 

Diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. melihat seorang laki-laki yang mempermainkan janggutnya ketika salat. Beliau bersabda:

 

“Seandainya hati orang ini khusyuk, niscaya akan khusuk pula anggota tubuhnya.”

 

Menurut satu pendapat, syarat khusyuk dalam salat adalah tidak mengetahui orang lain yang berada di sebelah kanan dan kirinya. Menurut Tuan Guru, yang dimaksud khusyuk adalah tunduknya hati dengan berperilaku yang baik. Yang lain berpendapat, yang dimaksud khusyuk adalah leganya hati ketika berada di hadapan Tuhan. Ada yang berpendapat, yang dimaksud khusyuk adalah keringnya hati dan perasaan rendah ketika berada di hadapan Allah. Sebagian yang lain berpendapat, yang dimaksud khusyuk adalah awal kemenangan dari sebuah kekuatan (kehebatan).

 

Abu Sulaiman Ad-Darani mengatakan, “Seandainya orang-orang berkumpul untuk meletakkan diriku seperti kehinaanku ini, tentu mereka tidak akan mampu.” Sebagian ulama mengatakan, “Barangsiapa yang tidak merasa rendah di hadapan dirinya sendiri, maka derajatnya tidak akan terangkat di hadapan orang lain.” Menurut satu ungkapan, Umar bin Abdul Aziz tidak pernah bersujud kecuali di atas tanah. Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

 

“Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat kesombongan meski hanya seberat sebiji sawa.”

 

Mujahid mengatakan bahwa ketika Allah Swt. menenggelamkan kaum Nabi Nuh a.s., gunung-gunung menjadi tinggi sedangkan Gunung Judi menjadi rendah. Setelah itu Allah menjadikan perahu untuk Nabi Nuh a.s. sebagai tempat berteduh dan ketenangan.

 

Dalam cerita yang lain, Umar bin Khathab r.a. berjalan dengan cepat. Menurut sebagian ulama, Umar r.a. mempercepat jalannnya karena dia mempunyai kepentingan dan untuk menghindari sikap sombong.

 

Satu malam Umar bin Abdul Aziz menulis surat yang di sampingnya ada seorang tamu, sementara lampu hampir mati. Tamu itu bertanya, “Apakah di sini tidak ada orang yang memperbaiki lampu?”

 

“Tidak, sebagian dari kemuliaan tidak untuk menjadikan tamu sebagai pelayan.”

 

“Apakah tidak ada budak?”

 

“Tidak ada. Sekarang dia sedang tidur.”

 

Setelah itu Umar mengambil wadah minyak dan menuangkan ke dalam lampu. Tamu itu hanya bisa melihatnya dengan heran. Bagaimana mungkin seorang raja melakukan perbuatan yang sepatutnya dilakukan oleh seorang pelayan.

 

“Mengapa hal itu kau kerjakan sendiri, wahai Amirul Mukminin?” tanyannya. “Jika saya pergi, saya adalah Umar dan jika saya kembali, saya juga adalah Umar.” Diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah Saw. pernah memberikan makanan kepada unta, menyapu rumah, menjahit sandal, menambal pakaian, menggembala kambing, makan bersama pelayan, dan menggoreng ikan. Rasulullah Saw. tidak merasa malu membawa barang belanjaannya dari pasar menuju ke tempat keluarganya. Beliau juga pernah bersalaman dengan orang kaya dan orang fakir, mengawali salam, tidak meremehkan pemberian (hadiah) apabila beliau diundang, meskipun hanya beberapa potong roti. Beliau suka memberi makanan, berbudi pekerti baik, berkarakter baik, pandai bergaul, muka berseri-seri, tersenyum tanpa tertawa, berduka cita tanpa masam, rendah diri tanpa merasa hina, dermawan tanpa berlebihlebihan, lemah lembut dan kasihan terhadap orang Islam, tidak pernah merasakan kenyang, dan tidak pernah mengulurkan tangan terhadap makanan meskipun sangat ingin.

 

Fudhail bin Iyadh mengatakan, “Orang yang selalu mengadu kepada Allah adalah orang yang khusyuk dan tawaduk, sedangkan orang yang selalu mengadu kepada hakim (pemerintah) adalah orang yang tinggi hati dan sombong.” Dia juga mengatakan, “Barangsiapa yang melihat dirinya sendiri berharga, maka dia tidak akan mendapatkan bagian tawaduk.” Fudhail pernah ditanya tentang tawaduk. Dia menjawab, “Rendah diri untuk kebenaran, menyelamatkan diri untuk kebenaran, dan menerima kebenaran dari orang lain.” Dia juga pernah mengatakan, “Allah menurunkan wahyu kepada gunung: Aku Allah berfirman kepada seorang nabi di antara kamu sekalian. Gunung-gunung menjadi panjang (tinggi) dan gunung Thur Sina? menjadi rendah (pendek). Setelah itu Allah berfirman kepada Nabi Musa a.s. karena dia rendah diri.”

 

Junaid pernah ditanya tentang tawaduk. Dia menjawab, “Merendahkan lambung kepada orang lain dan lemah lembut kepada mereka.” Wahab mengatakan, “Sebagian ayat yang diturunkan Allah di dalam berbagai kitab antara lain: Sesungguhnya Allah telah mengeluarkan keturunan Adam dari tulang rusuknya, tetapi Aku belum pernah menjumpai hati yang lebih hebat tawaduknya daripada hati Musa. Oleh karena itu, Aku telah memilihnya dan berfirman kepadanya.”

 

Menurut Ibnu Mubarak, sombong terhadap orang kaya dan rendah diri terhadap orang fakir sebagian dari tawaduk. Abu Yazid pernah ditanya, “Kapan orang itu harus tawaduk?” Dia menjawab, “Orang yang tidak memandang dirinya sendiri mempunyai kedudukan dan bukan sebagai realitas keadaan serta tidak memandang orang lain buruk.” Ada orang yang berpendapat, tawaduk adalah kenikmatan yang tidak dapat diagitasikan atau dipopulerkan, sombong adalah cobaan yang tidak dapat dikasihani, dan kemuliaan terletak pada tawaduk. Ibrahim bin Syaiban mengatakan, “Keagungan terletak pada tawaduk, kemuliaan terletak pada takwa, dan kemerdekaan terletak pada qana’ah.”

 

Saya telah mendengar Abu Sa’id Al-A’rabi mengatakan, “Sufyan Ats-Tsauri telah mengajariku. Dia mengatakan bahwa orang yang paling mulia dibagi menjadi lima, yaitu ilmuwan yang zuhud, ahli fikih yang sufi, orang kaya yang tawaduk, orang fakir yang bersyukur, dan orang berpangkat yang mukanya berseriseri.” :

 

Menurut Yahya bin Mu’adz, tawaduk adalah suatu kebaikan yang dapat dikerjakan oleh setiap orang, tetapi apabila dikerjakan oleh orang yang kaya tentu akan lebih baik. Sombong adalah keburukan yang dapat dikerjakan oleh setiap orang, tetapi apabila dikerjakan oleh orang fakir tentu akan lebih buruk. Menurut Ibnu Atha’, tawaduk adalah orang yang menerima kebenaran dari orang lain.

 

Dalam satu cerita, Zaid bin Tsabit mengendarai hewan tunggangan. Tiba-tiba Ibnu Abbas datang mendekatinya untuk memperoleh pengajaran seraya memegang kendali hewan tunggangannya dengan sikap menunduk. Zaid merasa tidak enak kemudian melarangnya, “Lepaskan, wahai Putera paman Rasulullah.” Namun, Ibnu Abbas tidak mau mempedulikannya. Dia tetap memegangnya seraya mengatakan, “Seperti inilah kami diperintah untuk berbuat baik (sopan atau tawaduk) kepada ulama kami.” Rupanya Zaid cukup cerdik. Dia segera merebut tangan Ibnu Abbas, menarik kemudian menciumnya sambil mengatakan, “Seperti inilah Kami diperintah untuk berbuat baik kepada keluarga Rasulullah Saw.”

 

Urwah bin Zubair mengatakan, “Saya pernah melihat Khalifah Umar bim Khathab r.a. sedang memanggul air. Di atas pundaknya terdapat sebuah girbah (tempat air dari kulit). Saya mengatakan, Wahai Amirul Mukminin, tidak seharusnya Tuan berbuat seperti ini.’ Dia menjawab, Ketika para utusan (delegasi) datang kepadaku, mereka mendengarkan dan tunduk kepadaku, sehingga kesombongan terkadang muncul dalam diriku. Oleh karena itu, saya harus menghilangkannya. Kemudian dia melanjutkan pekerjaannya dan membawa girbah (tempat air) itu ke ruang dapur seorang wanita dari golongan Anshar dan menuangkannya ke dalam wadahnya sampai penuh.”

 

Dalam riwayat yang lain diceritakan bahwa Abu Hurairah r.a., seorang Gubernur Madinah, pernah terlihat di atas pundaknya terdapat muatan ikatan kayu. Dia mengatakan, “Berilahjalan yang luas untuk seorang pemimpin.”

 

Menurut Abdullah Ar-Razi, yang dimaksud tawaduk adalah meninggalkan anak yang telah mencapai umur tamyiz (pintar) dalam pelayanan. Abu Sulaiman Ad-Darani mengatakan, “Barangsiapa yang melihat (memandang) diri sendiri berharga, maka dia tidak akan mencicipi lezat (manis)nya pelayanan.” Yahya bin Mu’adz mengatakan, “Sombong kepada orang yang sombong adalah tawaduk.”

 

Seorang laki-laki datang kepada Syibli. Dia ditanya oleh Syibli, “Siapa engkau?”

 

“Wahai Tuan, saya adalah titik yang terletak di bawah huruf ba’ “

 

“Engkau adalah penyaksiku selagi engkau belum memberikan (menjadikan) tempat (kedudukan) untuk dirimu sendiri.”

 

Menurut Ibnu Abbas, sebagian dari tawaduk adalah orang yang meminum air sisa saudaranya. Bisyr mengatakan, “Sampaikanlah salam kepada putera-puteri (anak-anak) yang ada di dunia ini karena banyak orang yang tidak memberikan salam kepada mereka.” Syu’ aib bin Harb mengatakan, “Suatu hari saya mengerjakan tawaf, tiba-tiba seseorang memukulku dengan sikutnya. Saya menoleh, ternyata orang itu adalah Fudhail bin Iyadh. Dia mengatakan, ‘Wahai Abu Shalih, jika engkau menduga bahwa musim ini adalah buruk, maka dugaanmu adalah buruk.“

 

Seorang uiama mengatakan, “Ketika tawaf saya melihat seseorang. Di hadapannya terdapat beberapa pelayan yang menghalangi orang lain dari tempat tawaf. Selang beberapa waktu, saya melihat orang itu berada di atas jembatan Bagdad. Orang-orang meminta sesuatu kepadanya dan saya merasa kagum kepadanya. Setelah itu dia mengatakan kepadaku, Saya adalah orang yang sombong di suatu tempat yang orang lain dalam keadaan rendah. Oleh karena itu, Allah mengujiku dengan kerendahan (kehinaan) di suatu tempat yang orang lain dalam keadaan terangkat derajatnya.

 

Umar bin Abdul Aziz telah menerima informasi bahwa puteranya membeli permata cincin dengan harga seribu dirham. Ayahnya menulis surat kepada puteranya, “Telah sampai kepadaku informasi bahwa engkau telah membeli permata cincin dengan harga seribu dirham. Apabila surat ini sudah sampai kepadamu, maka juallah cincin itu, kenyangkanlah seribu perut, ambillah cincin itu dari dua dirham, gantilah permata cincin itu dengan besi buatan cina, dan tulislah cincin ini dengan kata-kata, “Mudah-mudahan Allah memberikan rahmat kepada seseorang yang mengetahui kemampuan dirinya sendiri.”

 

Dalam satu cerita, di hadapan sebagian para raja seorang budak ditawarkan dengan harga seribu dirham. Ketika uang harga itu disodorkan, dia menganggap harganya terlalu tinggi (mahal). Uang harga itu ditarik kembali dan dimasukkan ke dalam lemari. Seorang budak tersebut mengatakan, “Wahai Tuan, belilah diri saya. Sesungguhnya diri saya pada setiap satu dirham dari beberapa dirham tersebut terdapat perangai baik yang nilainya lebih baik daripada seribu dirham.”

 

“Apa itu?”

 

“Lebih sedikit dan lebih dekat. Seandainya engkau membeli diriku dan mendatangkanku di hadapan semua budakmu, diriku tidak keberatan dan saya tahu bahwa diriku adalah budakmu.” Setelah itu dia membelinya.

 

Diriwayatkan dari Jabir bin Haiwah. Dia mengatakan, “Beberapa pakaian Umar bin Abdul Aziz telah dipersiapkan. Dia hendak melamar seorang perempuan dengan dua belas dirham. Pakaian-pakaian tersebut hanya terdiri dari mantel, celana, selendang, dua kaos kaki, dan kopyah.”

 

Sebuah cerita menuturkan bahwa Abdullah bin Muhammad bin Wasi berjalan dengan sikap yang tidak terpuji. Ayahnya menasihatinya, “Ibumu telah mengetahui bahwa engkau membeli sesuatu dengan harga tiga belas dirham. Padahal Allah belum pernah memberikan harta yang banyak kepada orang-orang Islam yang sama dengan apa yang dimiliki ayahmu, sedangkan engkau berjalan dengan sikap seperti ini.”

 

Menurut Hamdun Al-Qashshar, yang dimaksud tawaduk adalah jangan menganggap orang lain itu butuh kepada dirimu, baik urusan dunia maupun urusan akhirat. Dalam satu ungkapan dijelaskan, Abu Dzar Al-Ghifari dan Bilal Al-Habsyi pernah saling berbantah-bantahan. Abu Dzar mencela Bilal dengan kata-kata “hitam”. Bilal mengadu kepada Nabi Muhammad Saw. Kemudian beliau memanggil Abu Dzar dan menegurnya, “Wahai Abu Dzar, di dalarn hatimu masih terdapat sifat sombong seperti kesombongan orang-orang jahiliyah.“ Setelah itu Abu Dzar menimpakan beban pada dirinya sendiri. Dia bersumpah untuk tidak mengangkat kepalanya sebelum pipinya diinjak oleh Bilal dengan telapak kakinya. Abu Dzar tidak mau mengangkat kepalanya sehingga Bilal melaksanakan apa yang diinginkan.

 

Hasan bin Ali r.a. bertemu anak-anak kecil di perjalanan. Di samping mereka terdapat pecahan roti yang mereka suguhkan. Hasan lantas turun dari tunggangannya dan makan bersama mereka. Setelah itu dia membawa mereka mampir ke rumahnya. Dia memberikan makanan dan pakaian. Dia mengatakan, “ Keutamaan ini adalah milik mereka. Mereka belum pernah mendapatkan makanan selain apa yang telah mereka suguhkan kepadaku, sedangkan kita mendapatkan makanan Iebih banyak dari ini.”

 

Menurut satu pendapat, Umar bin Khathab r.a. membagibagikan beberapa pakaian baru dari harta ghanimah (rampasan perang) kepada para sahabat. Umar mengirimkan sebuah yang kuat kepada Mu’adz bin Jabal. Namun, dia menjual pakaian pemberian itu dan dipakai untuk membeli enam budak kemudian dimerdekakan. Peristiwa tersebut sampai terdengar Umar r.a. Selesai melanjutkan pembagiannya, Umar mengirimkan lagi satu pakaian baru kepada Mu’adz. Mu’adz mencela apa yang dikerjakan Umar r.a.

 

“Celaan itu tidak ada artinya bagiku karena engkau telah menjual pemberian pertama.”

 

“Hal itu adalah kewajibanmu. Berikanlah bagianku! Saya bersumpah, kepalamu betul-betul akan saya pukul.”

 

“Ini kepalaku sudah ada di hadapanmu. Orang tua akan berteman dengan orang tua.”

 

13. MENENTANG NAFSU

 

Allah berfirman:

 

“Adapun orang-orang yang takut terhadap kebesaran Tuhannya dan menahan dirinya dari hawa nafsu, maka sesungguhnya surga tempat diamnya.” (QS. An-Nazi’at: 40-41)

 

Diceritakan dari Jabir bin Abdullah bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda:

 

“Saya peringatkan umatku terhadap sesuatu yang saya takuti, yaitu mengikuti hawa nafsu dan terlalu berangan-angan. Mengikuti hawa nafsu akan menjauhkan diri dari kebenaran, sedang terlalu berangan-angan akan melupakan akhirat. Kemudian katakanlah, sesungguhnya mencegah hawa nafsu adalah fondasi ibadah.”

 

Salah seorang dari para guru sufi pernah ditanya tentang Islam. Dia menjawab, “Menyembelih nafsu dengan pedang yang mampu mencegahnya.” Oleh karena itu, katakanlah, orang yang memperlihatkan bekas (pengaruh) nafsunya, maka cahaya kelembutan akan sirna dari hatinya.”

 

Menurut Dzun Nun Al-Mishri, kunci ibadah adalah berpikir, tanda-tanda cobaan (ujian) adalah mencegah nafsu dan hawa (keinginan atau dorongan nafsu), sedang mencegah keduanya harus meninggalkan keinginan keduanya. Menurut Ibnu Atha’, nafsu akan didaki di atas buruknya budi pekerti dan seorang hamba diperintah agar terus-menerus berbudi pekerti yang baik. Oleh karena itu, nafsu akan berjalan di medan penentangan kebaikan karena kelobaannya dan seorang hamba akan berusaha menolak keburukan tuntutannya dengan sungguh-sungguh. Barangsiapa melepas tali kekangnya, maka dia sebagai temannya dalam (membuat) kerusakan. Sedangkan menurut Junaid, nafsu amarah (selalu memerintah) perbuatan jahat, mendorong pada perbuatan merusak yang dipancing oleh musuh-musuh, mengikuti keinginan nafsu, dan penghiasan diri dengan sifat-sifat buruk.

 

Abu Hafsh mengatakan, “Barangsiapa yang tidak mempedulikan nafsunya sepanjang masa, tidak mencegahnya dalam segala hal, dan tidak menariknya dari segala hal yang dibenci, maka dia adalah orang yang tertipu. Barangsiapa yang menganggap baik, maka dia akan dirusak. Bagaimana mungkin orang yang mempunyai akal sehat rela terhadap nafsunya.” Karim bin Karim bin Karim bin Karim Yusuf bin Ya’qub bin Ibrahim Al-Khalil mengomentarinya dengan mengutip firman Allah:

 

Aku tiada melepaskan hawa nafsunya, karena nafsu itu menyuruh berbuat jahat (buruk)“ (QS. Yusuf: 53)

 

Junaid menceritakan bahwa di suatu malam dia sedang piket (jaga) dan mengambil bunga warna merah. Dia belum pernah mendapatkan kenikmatan yang sekarang sedang diperolehnya. Dia ingin tidur tapi tidak bisa, ingin duduk tapi juga tidak bisa. Kemudian dia membuka pintu dan keluar. Tiba-tiba ada seorang laki-laki yang terbungkus dalam selimut yang terbuang di tengah jalan. Ketika mengetahuinya, laki-laki itu mengangkat kepalanya, kemudian berteriak memanggil, “Wahai Abu Qasim, datanglah kepada saya sejenak.” :

 

“Wahai Tuan, tanpa ada perjanjian.”

 

“Tentu, saya bertanya tentang penggerak hati yang hatimu bergerak (ingin) datang kepadaku.”

 

“Itu telah terjadi, lantas apa kepentinganmu?”

 

“Kapan penyakit nafsu menjadi obat?“

 

“Apabila engkau mampu mencegah keinginan nafsu, maka penyakitnya menjadi obat.”

 

Setelah itu dia menghadapkan dirinya pada nafsunya. Dia mencoba berkonsentrasi sebelum kemudian mengatakan, “Wahai nafsu, dengarkanlah! Saya telah menjawabmu dengan jawaban ini sebanyak tujuh kali, kemudian saya menolakmu kecuali engkau mau mendengarkan jawaban dari Junaid. Saya telah mendengarnya.. Untuk itu, pergilah dariku. Saya tidak mau tahu dan tidak mau memberimu posisi.“

 

Menurut Abu Bakar Ath-Thamatsani, kenikmatan yang ter-besar adalah kemampuan diri untuk menghindar dari keinginan nafsu. Ia akan menjadi penghalang yang paling kuat antara diri hamba dan Allah. Menurut Sahal bin Abdullah, orang yang tidak bisa beribadah pada Tuhan seperti orang yang tidak mampu mencegah nafsu dan dorongannya. Ibnu Atha’ pernah ditanya tentang sesuatu yang paling mendekati kemarahan Allah. Dia menjawab, “Memperhatikan nafsu dan hal ihwalnya. Lebih hebat dari itu mengetahui tujuan aktivitasnya (nafsu).”

 

Ibrahim Al-Khawwash mengatakan, “Saya berada di Gunung Lukam.“ Ketika itu saya melihat buah delima. Saya sangat menginginkannya. Saya mendekat dan mengambilnya sebuah. Saya belah dan saya rasakan, tetapi rasanya masam. Kemudian saya berlalu dan meninggalkan delima itu. Setelah itu Saya melihat seorang laki-laki terlempar dengan membawa rebana. Saya mengucapkan salam kepadanya, kemudian dia menjawab, ‘Wa’alaikunussalam ya Ibrahim.

 

“Bagaimana engkau mengetahui namaku?’

 

‘Orang yang oleh Allah telah diberikan pengetahuan ma’rifat, maka tidak ada yang samar sedikit pun baginya.’

 

‘Saya melihat keadaanmu selalu bersama Allah. Bagaimana seandainya saya menanyakan penyakit yang melarang dan menjagamu agar terhindar dari beberapa tuduhan.’

 

“Saya melihat keadaanmu selalu bersama Allah. Bagaimana seandainya saya menanyakan penyakit yang menjagamu agar terhindar dari keinginan terhadap buah delima. Sesungguhnya sakit sengatan delima akan diketemukan oleh orang di akhirat. Sedangkan sakit sengatan beberapa tahunan akan diketemukan oleh orang di dunia.’ Setelah itu saya berlalu dan meninggalkannya.”

 

Diriwayatkan dari Ibrahim bin Syaiban. Dia mengatakan, “Saya tidak pernah tidur di bawah atap dan tidak pula di suatu tempat yang terkunci selama empat puluh tahun. Beberapa waktu yang lalu perutku terasa kenyang dengan memakan kacang ‘adas. Setelah itu saya tidak pernah memakannya. Selang beberapa waktu saya tinggal di Syam. Wadah yang berisi kacang ‘adas berada di hadapanku dan saya ambil lantas saya makan. Setelah itu saya keluar. Saya melihat lampu-lampu bergantungan. Di dalamnya menyerupai bentuk model. Saya menduga, hal itu adalah cuka. Seseorang bertanya kepadaku, ‘Apa yang kamu lihat di dalam bentuk model khamar ini? Saya menjawab, Ini adalah bagian dari kewajibanku’ Lantas saya masuk ke kedai keledai. Saya menginginkan barang antik itu. Dia menduga bahwa keinginanku karena ada perintah dari raja. Ketika tahu, dia membawaku ke hadapan Ibnu Thulun. Dia (Ibnu Thulun) memberikan . perintah agar memukulku dengan dua ratus kayu dan menjebloskan diriku ke dalam penjara. Saya tinggal di penjara selama satu masa (tahun, bulan, hari). Suatu saat Abu Abdillah Al-Maghribi, guruku berkunjung ke kota itu dan menolongku. Ketika dia memandangku, dia bertanya, ‘Apa yang engkau peroleh? Saya jawab, “Kenyang memakan kacang ‘adas dan dua ratus kayu.’ Dia mengatakan kepadaku, Engkau masih beruntung tidak mendapatkan siksaan di akhirat.’”

 

Sariy mengatakan, “Selama tiga puluh atau empat puluh tahun nafsuku menuntut agar memakan manisan pohon anggur, tetapi saya tidak memakannya.” Saya telah mendengar Abul Abbas Al-Baghdadi mengatakan, “Saya telah mendengar kakekku mengatakan, Penyakit seorang hamba adalah rela terhadap nafsu dan yang terkandung di dalamnya.

 

Isham bin Yusuf Al-Balkhi memberikan sesuatu kepada Hatim Al-Asham. Dia lantas menciumnya.

 

“Mengapa barang itu kau cium?”

 

“Jika saya mengambilnya, saya adalah hina dan ia adalah mulia. Apabila saya tolak, saya adalah mulia dan ia adalah hina. Oleh karena itu, kemuliaannya akan sirna di atas kemuliaanku dan kehinaannya akan sirna di atas kehinaanku.”

 

Sebagian ulama pernah ditanya, “Saya hendak melaksanakan ibadah haji sendirian.” Dia menjawab, “Pertama kali hatimu harus kau sendirikan dari kelupaan, dirimu dari permainan, mulutmu dari kesia-siaan, kemudian tempuhlah apa yang engkau kehendaki.” Abu Sulaiman Abdurrahman Ad-Darani mengatakan, “Barangsiapa yang berbuat baik di waktu malam, maka dia akan dicukupi di waktu siang. Barangsiapa yang berbuat baik di waktu siang, maka dia akan dicukupi di waktu malam. Barangsiapa meninggalkan syahwat, maka dia akan dicukupi biaya hidupnya. Allah akan memuliakan orang yang menyiksa hatinya dengan meninggalkan syahwat karena mengharapkan pahala.”

 

Allah Swt. menurunkan wahyu kepada Nabi Dawud a.s., “Wahai Dawud, peringatilah teman-temanmu agar menghindarkan diri dari syahwat. Hati yang selalu berhubungan dengan syahwat (keInginan) memperoleh kesenangan dunia, sedang akal pikirannya akan terhalang.”

 

Seorang laki-laki duduk di atas udara seraya ditanya, “Dengan apa engkau memperoleh ini?“

 

“Saya telah meninggalkan keinginan dunia. Oleh karena itu udara itu tunduk kepadaku.”

 

Dalam satu riwayat diceritakan, seandainya ditampakkan kepada orang mukmin seribu syahwat (keinginan), maka dia pasti mengeluarkannya dengan rasa khauf (takut) atau seandainya ditampakkan kepada orang jahat satu syahwat, maka dia pasti mengeluarkannya dari khauf. Ada yang mengatakan, “Jika pemimpin kau dudukkan dalam kekuasaan hawa nafsu, maka dia akan membawamu pada kelaliman.” Yusuf bin Asbath mengatakan, “Tidak ada yang mampu menghilangkan syahwat dari hati, kecuali takut yang dibingungkan dan rindu yang digoncangkan.”

 

Ibrahim Al-Khawwash mengatakan, “Barangsiapa yang meninggalkan syahwat, tetapi dia tidak menemukan pengganti di dalam hatinya, maka dia adalah bohong.“ Ja far bin Nashr mengatakan, “Junaid pernah memberikan satu dirham kepadaku dan dia mengatakan, ‘Belikanlah buah tin waziri untukku.’ Saya lantas membelikannya. Ketika dia berbuka, diahanya mengambil : satu seraya meletakkannya ke dalam mulutnya, kemudian dia muntahkan lantas menangis. Bawalah buah tin ini! katanya. Apa yang dia perintahkan, saya laksanakan. Pada waktu dia mengatakan, “Hatif memanggilku dan mengatakan: Apakah engkau tidak malu terhadap syahwat yang telah kau tinggalkan, lantas kau kembali kepadanya.“

 

nun-nya lafal “hawan” telah tercuri

dari lafal “hawa”

terkaparnya tiap-tiap lafal “hawa”

juga terkaparnya lafal “hawan”

 

14. DENGKI ATAU HASUD

 

Allah Swt. berfirman:

 

“Katakanlah wahai Muhammad, saya berlindung kepada Tuhan yang mengatur makhluk dari kejahatan makhluk-Nya. Dari kejahatan orang yang dengki (iri hati atau hasud) ketika dia melahirkan dengkinya.” (QS. Al-Falaq: 1-5)

 

Dalam surat ini dijadikan oleh Allah Swt. agar manusia berlindung kepada-Nya dengan mengingat dengki.“ Abdullah bin Mas’ud mengatakan bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda:

 

“Ada tiga hal yang menjadi pondasi setiap kesalahan, maka jagalah dan hindarilah. Pertama, hindarilah olehmu kesombongan, karena kebersombong ini telah membawa iblis tidak mau bersujud kepada Nabi Adam a.s. Kedua, hindarilah olehmu akan tamak, karena tamak ini telah menjadikan Adam a.s. memakan pohon (khuldi). Ketiga, takut kamu pada dengki (iri hati) karena kedua anak Adam a.s. salah satunya telah membunuh yang lain yang disebabkan oleh dengki.”

 

Menurut sebagian ulama bahwa orang yang dengki adalah orang yang selalu ingkar karena tidak rela kepada orang lain yang mendapatkan kenikmatan. Menurut yang lain bahwa orang yang dengki tidak dapat dihitamkan (dihilangkan). Menurut sebagian ulama, kata dengki dikutip dari firman Allah Swt.:

 

“Katakanlah, sesungguhnya yang diharamkan oleh Tuhanmu hanya segala yang keji, baik yang lahir maupun yang batin.” (QS. Al-A’raf: 33)

 

Menurut pendapat yang lain bahwa yang dimaksud “yang batin” di dalam ayat itu adalah dengki. Di dalam sebagian kitab dijelaskan, orang yang dengki adalah orang yang membenci kenikmatan. Menurut satu pendapat, bekas (pengaruh) dengki akan nampak sebelum nampaknya permusuhan.

 

Al-Ashmu’i mengatakan, “Saya melihat orang Arab yang mencapai umur seratus dua puluh tahun. Saya bertanya, ‘Alangkah panjangnya umurmu?’ Dia menjawab, Saya tidak pernah dengki sampai saya diberikan umur sekian.” Ibnu Mubarak pernah mengatakan, “Segala puji bagi Allah Swt. Yang tidak menjadikan hati seorang pemimpin seperti hati orang yang dengki.”

 

Di dalam sebagian hadis dijelaskan, di langit yang kelima terdapat malaikat. Perbuatan setiap orang akan melewatinya. Malaikat itu bersinar seperti sinar matahari. Dia mengatakan, “Berhentilah, saya adalah malaikat yang menjaga perbuatan dengki. Oleh karena itu, pukulkanlah kepada pemiliknya karena dia adalah orang yang dengki.” Mu’awiyah bin Abu Sufyan mengatakan, “Saya akan merelakan setiap orang kecuali orang yang dengki. Dia tidak akan rela sebelum kenikmatan orang lain hilang.” Menurut satu pendapat, orang yang dengki adalah orang yang lalim dan perampas. Dia tidak akan tinggal diam dan tidak akan membiarkan. Umar bin Abdul Aziz mengatakan, “Saya tidak pernah melihat orang yang lalim lebih menyerupai orang yang dilalimi daripada orang yang dengki karena dia tertimpa kesusahan yang mendalam dan kehilangan jati dirinya secara berturut-turut.”

 

Menurut sebagian ulama, sebagian dari indikasi dengki adalah menipu apabila berada di hadapan orang lain, mengumpat apabila sudah pergi, dan mencaci maki apabila musibah tidak menimpanya. Menurut Mu’awiyah bin Abu Sufyan, menghindari dari dengki dan membunuh sebelum didengki bukan termasuk bagian dari sifat-sifat dengki. Menurut yang lain, Allah Swt. menurunkan wahyu kepada Nabi Sulaiman bin Dawud a.s., “Aku berwasiat kepadamu dengan tujuh hal. Di antaranya, jangan mengumpat hamba-hambaku yang saleh dan jangan mendengkinya.” Dia mengatakan, “Ya Tuhan, Engkaulah Dzat yang memberikan kecukupan kepadaku.”

 

Menurut satu ungkapan, Nabi Musa a.s. pernah melihat seorang laki-laki berada di singgasana kerajaan. Nabi Musa a.s. merasa senang dan bertanya kepada seseorang, “Apa yang dikerjakan orang itu?”

 

“Orang itu tidak pernah dengki kepada orang lain sehingga diberi keutamaan oleh Allah Swt.”

 

Menurut sebagian ulama, orang yang dengki adalah orang yang apabila melihat orang lain mendapatkan kenikmatan, dia merasa bingung. Apabila orang lain itu mendapatkan kesengsaraan, dia mencaci maki. Menurut satu pendapat, orang yang dengki adalah orang yang tidak senang kepada orang lain yang tidak berdosa dan kikir terhadap sesuatu yang tidak dimiliki. Oleh karena itu, terdapat ungkapan, jangan mengharapkan rasa cinta kasih dari orang yang mendengkimu. Dia tidak akan menerima uluran baikmu. Menurut sebagian ulama yang lain, apabila Allah Swt. hendak menguasakan kepada seorang hamba musuh yang tidak akan kasihan kepadanya, pasti Allah Swt. menguasakan kepadanya orang yang dengki, sebagaimana syair:

 

Engkau telah memberikan kecukupan kepada orang dari satu kejadian kecuali permusuhan orang yang dimusuhi orang yang dengki Setiap permusuhar diharapkan kematiannya kecuali permusuhan orang yang dimusuhi orang lain Apabila Allah hendak meluaskan keutamaari Dia pasti menyebarkannya yang mulut orang yang dengki telah memberikan ketentuan Ibnu Al-Mu’taz, seorang penyair sufi mengatakan: katakan kepada orang yang dengki jika engkau ingin menghilangkan celaan wahai orang yang menganiaya seakan-akan dia orang yang dianiaya

 

15. MENGUMPAT

 

Allah Swt. berfirman:

 

“Jangan sebagian di antara kamu sekalian mengumpat yang lain. Senangkah salah seorang di antara kamu sekalian memakan daging saudaranya yang telah rnati (bangkainya)? Maka tentu kamu sekalian benci memakannya.” (QS. Al-Hujurat: 12)

 

Dari Abu Hurairah r.a. diceritakan, “Seorang laki-laki berdiri bersama Rasulullah Saw. yang sebelumnya dia duduk. Sebagian kaum mengatakan, Alangkah lemahnya Fulan. Setelah itu Rasulullah Saw. bersabda, Engkau telah memakan saudaramu dan engkau telah mengumpatnya. Allah Swt. menurunkan wahyu kepada Nabi Musa a.s.,

 

“Barangsiapa meninggal dunia dan bertobat dari umpatan, maka dia adalah orang yang terakhir masuk surga. Barangsiapa meninggal dunia dan selalu mengumpat, maka dia adalah orang yang pertama masuk neraka.”

 

Auf mengatakan, “Saya bertamu kepada Ibnu Sirin lantas saya mengumpat Hajjaj. Seketika itu Ibnu Sirrim mengatakan, ‘Sesungguhnya Allah Swt. adalah Dzat Yang Maha Bijaksana dan Dzat Yang Maha Adil. Apabila engkau bertemu dengan Allah Swt. di hari kiamat, maka dosa yang paling kecil akan menjadi lebih besar daripada dosa yang paling besar yang engkau timpakan kepada Hajjaj.’”

 

Menurut satu cerita, Ibrahim bin Adham pernah diundang dan dia menghadirinya. Mereka yang hadir menyebut orang yang tidak hadir. Mereka mengatakan, “Orang yang tidak hadir itu adalah Tsugail.” Ibrahim mengatakan, “Irulah diriku yang telah membuatku demikian. Apabila saya menghadiri suatu tempat, orang-orang akan mengumpat.” Setelah itu dia keluar dan tidak mau makan selama tiga hari. Menurut satu pendapat, perumpamaan orang yang mengumpat bagaikan orang yang meluruskan senjata manjanik (alat pelempar yang diberi peluru panah api). Kebaikannya dia lempar ke timur dan ke barat. Dia mengumpat orang Khurasan, Hijaz, dan Turki. Kebaikannya dia pisah kemudian dia luruskan sehingga tidak ada sedikit pun ada di pangkuannya. Menurut yang lain, catatan buku perbuatan seorang hamba akan didatangkan di hari kiamat. Dia tidak melihat kebaikannya, seraya bertanya, “Di mana salatku, puasaku, dan taatku.” Dijawab, “Semua perbuatan baikmu telah hilang karena engkau mengumpat orang lain.” Sedang yang lain juga berpendapat, barangsiapa diumpat oleh orang lain, maka Allah Swt. akan mengampuni separuh dosa-dosanya.

 

Sufyan bin Husain duduk di hadapan Iyas bin Mu’awiyah lantas dia mengumpat seseorang.

 

“Apakah engkau berperang melawan orang-orang Turki dan Romawi?” tanya Iyas

 

“Tidak,” jawab Sufyan.

 

“Orang-orang Turki dan Romawi telah selamat darimu,” jawabnya kemudian.

 

Menurut satu pendapat, catatan buku perbuatan seseorang akan diberikan. Dia akan melihat kebaikan yang belum pernah dia kerjakan. Setelah itu dia diberi tahu, ini adalah perbuatan baikmu karena engkau telah diumpat oleh orang lain sedangkan engkau tidak merasa.

 

Sufyan Ats-Tsauri pernah ditanya tentang sabda Rasulullah Saw.:

 

Sesungguhnya Allah Swt. membenci ahli rumah yang suka makan daging

 

Dia menjawab, “Orang-orang yang mengumpat orang lain adalah orang-orang yang memakan daging mereka.”

 

Persoalan umpatan pernah diutarakan di hadapan Abdullah bin Mubarak. Dia mengatakan, “Seandainya saya disuruh mengumpat seseorang, maka pasti saya akan mengumpat kedua orang tuaku karena mereka lebih berhak terhadap kebaikanku.” Menurut Yahya bin Mu’adz, orang mukmin mempunyai bagian darimu dalam tiga hal. Pertama, jika engkau tidak memberikan pertolongan, maka jangan memberikan bahaya. Kedua, jika engkau tidak merahasiakan, maka jangan mengumpat. Ketiga, jika engkau tidak memuji, maka jangan mencela. Hasan Al-Bashri pernah diberi kabar bahwa Fulan telah mengumpatnya. Setelah itu Hasan mengirimkan kue yang tertutup kepadanya. Hasan mengatakan kepadanya, “Telah sampai kepadaku bahwa engkau menghadiahkan kebaikan kepadaku. Oleh karena itu, saya memberikan imbalan kepadamu.”

 

Dari Anas bin Malik diceritakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

 

“Saya (batu) menangis karena takut kepada Allah Swt.,” kata sang batu.

 

Nabi lalu mendoakan agar Allah Swt. menyelamatkan batu itu. Setelah itu Allah Swt. menurunkan wahyu kepada Nabi: Aku (Allah) telah menyelamatkan batu itu dari api neraka. Nabi lantas pergi. Ketika dia kembali, dia melihat air masih tetap memancar dari batu seperti semula dan dia merasa heran. Allah Swt. memberikan lagi kemampuan berbicara kepada batu itu. Nabi lantas bertanya, “Kenapa engkau menangis?”

 

“Allah Swt. telah mengampunimu,” jawab sang batu.

 

“Yang pertama, ia menangis karena berduka cita dan takut, sedang yang kedua, ia menangis karena bersyukur dan baHagia.” Nabi itu berkata seraya melangkah pergi.

 

Menurut satu pendapat, yang dimaksud orang yang mensyukuri kelebihan adalah orang yang mendapatkan kenikmatan. Allah Swt. berfirman:

 

“Jika kamu sekalian bersyukur, maka Aku Allah akan memberikan tambahan keriikrnatan kepada kamu sekalian.” (QS. Ibrahim: 7)

 

Sedang yang dimaksud orang yang bersabar adalah orang yang mendapatkan cobaan. Allah Swt. berfirman:

 

“Allah akan selalu bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anfal: 46)

 

Sekelompok utusan datang kepada Umar bin Abdul Aziz.

 

Di antara mereka terdapat seorang pemuda yang sedang berpidato. Umar mengatakan, “Hindarilah sombong.”

 

“Seandainya urusan ini dikaitkan dengan umur, maka tentu di antara orang-orang Islam terdapat orang yang lebih berhak memegang jabatan khafilah,” timpal sang pemuda.

 

“Bicaralah!”

 

“Kami bukan termasuk utusan raghbah (orang-orang yang mengatakan, ‘Saya pernah mendapatkan cobaan karena meremehkan waria. Oleh karena itu, saya melayani mereka. Sekarang semua peristiwa itu telah berlalu. Untuk itu berdoalah kepada Allah Swt. agar Dia memberikan rahmat kepadaku.'”

 

16. QANA’AH

 

Allah Swt. berfirman:

 

“Barangsiapa mengerjakan kebaikan, baik laki-laki maupun perempuan, sedangkan dia beriman, niscaya Kami hidupkan dia dengan kehidupan yang baik.” (QS. An-Nahl: 97)

 

Kebanyakan ahli tafsir mengatakan, “Kehidupan yang baik di dunia adalah qana’ah (menerima atau merasa puas).”

 

Dari Jabir bin Abdullah. Dia mengatakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

 

“Qana’ah ibaratkan harta simpanan yang tidak akan rusak.”

 

Abu Hurairah r.a. menyampaikan sabda Rasulullah Saw. yang menyatakan:

 

“Jadilah orang yang wara’, maka engkau akan menjadi orang yang paling ahli beribadah. Jadilah orang yang qana’ah, maka engkau akan menjadi orang yang paling ahli bersyukur. Cintailah orang lain sebagaimana engkau mencintai diri sendiri, maka engkau akan menjadi orang mukmin yang baik. Berbuatlah baik kepada tetanggamu, maka engkau akan menjadi orang Islam yang baik. Sedikitkanlah tertawa, karena banyak tertawa akan mematikan hati “

 

Menurut satu pendapat, orang-orang fakir diibaratkan orang-orang yang telah meninggal dunia, kecuali orang-orang yang telah dihidupkan oleh Allah Swt. dengan kemuliaan qana’ah.

 

Menurut Bisyr Al-Hafi, qana’ah ibarat raja yang tidak mau bertempat tinggal kecuali di hati orang mukmin. Menurut Abu Sulaiman Ad-Darani, qana’ah karena rela kedudukannya sama dengan wara’ karena zuhud. Qana’ah adalah permulaan rela, sedangkan wara’ adalah zuhud. Menurut pendapat yang lain, qana’ah adalah sikap tenang karena tidak ada sesuatu yang dibiasakan.

 

Abu Bakar Al-Maraghi mengatakan, “Orang yang berakal sehat adalah orang yang mengatur urusan dunia dengan sikap qana’ah dan memperlambat diri, mengatur urusan dunia dengan sikap loba dan mempercepat, mengatur urusan agama dengan ilmu dan ijtihad.” Menurut Abu Abdillah bin Khafif, qana’ah adalah meninggalkan angan-angan terhadap sesuatu yang tidak ada dan menganggap cukup dengan sesuatu yang ada.

 

Yang dimaksud firman Allah Swt. yang menyatakan bahwa “Dia akan memberikan rezeki kepada mereka derigari rezeki yang baik” (QS. Al-Hajj: 58) adalah qana’ah. Menurut Muhammad bin Ali At-Turmuzi, yang dimaksud qana’ah adalah jiwa yang rela terhadap pembagian rezeki yang telah ditentukan. Menurut satu pendapat, yang dimaksud qana’ah adalah menganggap cukup dengan sesuatu yang ada dan tidak berkeinginan terhadap sesuatu yang tidak ada hasilnya. Wahab mengatakan, “ Kemuliaan dan kekayaan akan berkeliling mencari teman. Apabila mereka telah menemukan qana’ah, maka mereka akan menetap.“ Menurut pendapat yang lain, barangsiapa yang qana’ahnya gemuk, maka dia akan mencari makanan yang ada lemaknya. Barangsiapa yang mengembalikan diri sendiri kepada Allah Swt. dalam segala hal, maka dia akan diberikan rezeki.

 

Dalam satu cerita djelaskan bahwa Abu Hazim berjalan bertamu di rumah gashshab (seorang penjagal) dengan membawa daging yang gemuk. Qashshah mengatakan, “Ambillah wahai Abu Hazim karena daging ini gemuk.”

 

“Saya tidak membawa uang.”

 

“Diriku lebih tahu daripada kamu.”

 

Sebagian ulama pernah ditanya, “Siapa orang yang paling qana’ah?” Kemudian dijawab, “Orang yang selalu memberikan pertolongan, meskipun kekayaannya sedikit.“ Di dalam kitab Zabur diungkapkan, orang yang qana’ah adalah orang kaya meskipun serba kelaparan. Menurut satu pendapat, Allah Swt. meletakkan lima hal ke dalam lima tempat. Pertama, kemuliaan dalam taat. Kedua, kehinaan dalam maksiat. Ketiga, kehebatan dalam melaksanakan salat malam. Keempat, kebijaksanaan dalam hati yang kosong. Kelima, kekayaan dalam qana’ah.

 

Ibrahim Al-Marastani mengatakan, “Balaslah lobamu dengan qana’ah sebagaimana engkau membalas musuhmu dengan gishash (hukum potong atau bunuh).” Dzun Nun Al-Mishri mengatakan, “Barangsiapa menerima ketenangan dari hasil pekerjaan, maka dia telah memberikan kenikmatan kepada semua orang.“ Muhammad Al-Kattani juga mengatakan, “Barangsiapa yang menjual loba dengan qana’ah, maka dia akan memperoleh kemuliaan dan. harga diri.“ Sebagian ulama mengatakan, “Barangsiapa yang kedua matanya memandang kekayaan orang lain, maka dia akan selalu berduka cita.” Oleh karena itu, para ulama berkata: sebaik-baiknya pernuda adalah orang yang tidak memperoleh apa-apa dari hari ke hari. Dia adalah orang yang kaya karena rmernperoleh kemuliaan dan kelaparan.”

 

Yang dimaksud firman Allah Swt.:

 

“Sesungguhnya orang-orang yang baik berada di surga Na’im.” (QS. Al-Infithar: 13)

 

Artinya adalah qana’ah di dunia. Sedangkan yang dimaksud firman Allah Swt.:

 

“Sesungguhnya orang-orang yang jahat berada di neraka Jahirn.” (QS. Al-Infithar: 14)

 

“Artinya adalah loba di dunia. Menurut satu pendapat, yang dimaksud firman Allah Swt.:

 

“Tahukah kamu, apakah kesulitan itu? Ialah memerdekakan budak.” (QS. Al-Balad: 12-13)

 

Artinya adalah memerdekakan budak dari rendahnya loba. Menurut sebagian yang lain, yang dimaksud firman Allah Swt.:

 

“Allah hanya mengehendaki agar menghilangkan kotoran (dosa) dari kamu sekalian wahai ahli rumah.” (QS. Al Ahzab: 33)

 

Artinya adalah kikir dan loba. Menurut pendapat yang lain, yang dimaksud firman Allah Swt.:

 

“Berilah. diriku ini kerajaan yang tidak pantas bagi orang setelahku.” (QS. Shad: 35)

 

Yaitu kedudukan qana’ah, sehingga saya tidak mendapatkan kesulitan dan selalu rela terhadap keputusan-Mu.

 

Sedangkan menurut sebagian ulama yang lain, yang dimaksud firman Allah Swt.:

 

“Saya (Sulaiman) pasti akan menyiksanya dengan siksaan yang pedih.” (QS. An-Naml: 21)

 

Maksudnya adalah saya pasti akan menghilangkan yana’ah darinya dan mengujinya dengan loba. Artinya, saya memohon kepada Allah Swt. agar mengabulkan permohonan saya itu.

 

Abu yazid Al-Busthami pernah ditanya, “Sebab apa engkau sampai terhadap hal yang telah engkau peroleh?”

 

“Saya mengumpulkan sebab-sebab kehidupan dunia, kemudian saya lepaskan (ikat) dengan tali qana’ah, saya letakkan ke dalam meriam kebenaran, dan saya lemparkan ke dalam sungai keputusasaan, sehingga saya menjadi tenang.”

 

Muhammad bin Farhan berada di Samura’. Dia mengatakan bahwa dia telah mendengar Khali Abdul Wahhab mengatakan, “Saya duduk di samping Junaid pada suatu musim. Di sekelilingnya terdapat rombongan orang ajam dan orang tua-tua. Di antara mereka ada seseorang membawa lima ratus dinar dan meletakkannya di hadapan Junaid.

 

‘Bagi-bagikanlah dinar itu kepada orang-orang yang fakir, kata pemilik uang dinar tersebut.

 

“Apakah engkau mempunyai yang lain? tanya Junaid. “Ya, saya masih mempunyai beberapa dinar.

 

“Apakah kamu hendak memiliki selain barang itu?’ ‘Ya.’ Kalau begitu Ambillah kembali dinar itu! Engkau tentu lebih butuh daripada kami.’ tetapi dia tidak mau menerimanya.”

 

17. TAWAKAL

 

Allah Swt. berfirman:

 

“Barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, maka Allah akan mencukupinya (memeliharanya).” (QS. Ath-Thalaq: 3)

 

Allah Swt. juga berfirman:

 

“Hanya kepada Allah hendaklah orang-orang yang beriman menyerahkan diri.” (QS. Ali Imran: 160)

 

Di dalam ayat yang lain Allah Swt. juga berfirman:

 

“Hanya kepada Allah hendaklah kamu sekalian menyerahkan diri jika kamu sekalian adalah orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Maidah: 23)

 

Dari Abdullah bin Mas’ud diceritakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

 

“Diperlihatkan kepada saya berbagai umat yang berkumpul. Kemudian saya melihat umatku memenuhi lembah dan gunung. Mereka jumlahnya banyak dan kehebatannya mengagumkan saya. Setelah itu saya ditanya, “Apakah engkau rela?’ Saya menjawab,

 

“Ya. Bersama mereka terdapat tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa dihisab. Mereka tidak menipu, mereka tidak menghambur-hamburkan harta, dan mereka tidak mencuri. Kepada Tuhannya mereka menyerahkan diri.”

 

‘Ukasyah bin Muhshin Al-Asadi kemudian berdiri seraya mengatakan, “Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah Swt. agar saya dijadikan di antara mereka.”

 

“Ya Allah, jadikanlah ‘Ukasyah termasuk di antara mereka,” doa Rasulullah. Yang lainnya juga berdiri seraya mengatakan, “Berdoalah kepada Allah Swt. agar saya (juga) dijadikan di antara mereka.”

 

“Ukasyah telah mendahului dirimu,” jawab beliau. Abu Ali Muhammad Al-Rudzabari mengatakan bahwa saya pernah meminta sesuatu kepada Umar bin Sinan.

 

“Berceritalah kepadaku tentang Sahal bin Abdullah,” pinta saya.

 

“Sahal telah mengatakan bahwasannya tanda orang yang bertawakal ada tiga, yaitu tidak meminta, tidak menolak, dan tidak memakan.”

 

Abu Musa Ad-Dubaili mengatakan tentang Abu Yazid Al-Busthami yang pernah dimintai keterangan mengenai tawakal.

 

“Apa tawakal itu?” katanya.

 

“Menurutmu sendiri apa?”

 

“Seandainya ada hewan yang galak dan ular berbisa berada di sebelah kanan dan kiri kakimu, engkau tidak akan berubah?!“

 

“Ya, jawabanmu mendekati benar, jelas Abu Yazid, “Hanya saja seandainya ahli surga diberikan kenikmatan di dalam surga dan ahli neraka disiksa di neraka lantas engkau membedakan antara keduanya, maka engkau tidak termasuk kelompok tawakal.”

 

Menurut Sahal bin Abdullah, permulaan tempat dalam penyerahan diri adalah seorang hamba harus berada di hadapan Allah Swt. seperti meninggal dunia yang berada di hadapan orang yang memandikan. Dia dapat membolak-balik sekehendak hatinya. Tidak ada gerakan dan tidak ada pengaturan. Menurut Hamdun Al-Qashshar, yang dimaksud tawakaladalah berpegang teguh kepada Allah Swt.

 

Seorang laki-laki telah bertanya kepada Hatim Al-Asham, “Dari mana engkau makan?“ Dia menjawab dengan mengutip firman Allah Swt .:

 

“Kepunyaan Allah perbendaharaan langit dan bumi, tetapi orang-orang munafik tidak mengerti.” (QS. Al-Munafiqun: 7)

 

Perlu diketahui bahwa tempat tawakal dalam hati. Gerakan yang dilakukan dengan anggota lahir tidak akan meniadakan tawakal yang dilakukan dengan anggota hati. Lebih-lebih seorang hamba yang menyatakan bahwa ketentuan hidup semata-mata dari Allah Swt, Apabila ada sesuatu yang sulit, maka itu karena ketentuan-Nya. Apabila sesuatu itu relevan, maka itu karena kemudahan-Nya.

 

Anas bin Malik mengatakan, “Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Saw. dengan membawa unta. Dia bertanya, Ya Rasulullah, apakah unta ini saya tinggalkan dan saya bertawakal?”

 

Beliau menjawab, ‘Ikatlah dan bertawakallah. “

 

Menurut Ibrahim Al-Khawwash, barangsiapa yang tawakalnya benar terhadap dirinya sendiri, maka tawakalnya juga benar terhadap orang lain. Bisyr Al-Hafi mengatakan, “Salah seorang dari ulama mengatakan, ‘Saya bertawakal kepada Allah Swt. sedang orang lain berbohong kepada-Nya. Seandainya dia bertawakal kepada Allah Swt., maka pasti dia rela terhadap apa yang dikerjakan (dikehendaki) oleh Allah Swt.”

 

Yahya bin Mu’adz pernah ditanya, “Kapan seorang laki-laki dianggap bertawakal?”

 

“Apabila dia rela kepada Allah Swt. sebagai penganti.”

 

Ibrahim Al-Khawwash mengatakan, “Suatu hari saya berjalan di daerah padang pasir. Tiba-tiba ada suara memanggilku. Saya menoleh ke belakang, ternyata ada orang Arab dusun sedang berjalan seraya mengatakan, “Ya Ibrahim, tawakal itu ada di hadapan kami. Oleh karena itu, tinggallah bersama kami sehingga tawakalmu menjadi benar. Apakah engkau tidak tahu bahwa engkau sangat berharap ingin memasuki kota yang terdapat berbagai makanan dan mengantarkanmu pada pemukiman. Potonglah harapan untuk tinggal di kota itu dan bertawakallah.”

 

Ibnu Atha’ pernah ditanya tentang hakikat tawakal. Dia menjawab, “Keragu-raguan tidak akan muncul dalam dirimu yang menyebabkan engkau sangat susah. Oleh karena itu, engkau selalu memperoleh hakikat ketenangan menuju pada kebenaran yang engkau tempuh.”

 

Menurut Abu Nashr As-Siraj Ath-Thusi bahwa syarat tawakal sebagaimana yang diungkapkan oleh Abu Turab An-Nakhsyabi adalah melepaskan anggota tubuh dalam penghambaan, menggantungkan hati dengan ketuhanan, dan bersikap merasa cukup. Apabila dia diberikan sesuatu, maka dia bersyukur. Apabila tidak, maka dia bersabar. Menurut Dzun Nun Al-Mishri, yang dimaksud tawakal adalah meninggalkan hal-hal yang diatur oleh nafsu dan melepaskan diri dari daya upaya dan kekuatan. Seorang hamba akan selalu memperkuat ketawakalannya apabila mengerti bahwa Allah Swt. selalu mengetahuinya dan melihat segala sesuatu.

 

Abu Ja’far bin Farj mengatakan, “Saya pernah melihat seorang laki-laki yang mengetahui unta Aisyah karena dia sangat cerdik. ia dipukul dengan cambuk. Saya bertanya kepadanya, ‘Dalam keadaan bagaimana sakitnya pukulan lebih mudah diketahui?’ Dia menjawab, “Apabila kita dipukul karena dia, maka tentu dia mengetahuinya.“

 

Husin bin Manshur pernah bertanya kepada Ibrahim AlKhawwash, “Apa yang telah engkau kerjakan dalam perjalanan dan meninggalkan padang pasir?”

 

“Saya bertawakal dengan memperbaiki diriku sendiri.”

 

Husin bin Manshur mengatakan, “Apakah engkau telah melenyapkan umurmu di dalam umur batinmu?”

 

Menurut Abu Nashr As-Siraj Ath-Thusi, yang dimaksud tawakal sebagaimana yang diungkapkan oleh Abu Bakar Ad-Daqaq adalah menolak kehidupan pada masa sekarang dan menghilangkan cita-cita pada masa yang akan datang. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Sahl bin Abdullah bahwa yang dimaksud tawakal adalah melepaskan segala apa yang dikehendaki dengan menyandarkan diri kepada Allah Swt. Menurut Abu Ya’qub Ishaq An-Nahr Jauzi, yang dimaksud tawakal adalah menyerahkan diri kepada Allah Swt. dengan sebenarnya sebagaimana yang terjadi pada Nabi Ibrahim di saat Allah Swt. berfirman kepada Malaikat Jibril a.s.: Ibrahim telah berpisah (bercerai) denganmu. Dirinya telah hilang bersama Allah Swt. Oleh karena itu, tidak ada yang mengetahui orang yang bersama Allah Swt. kecuali Allah Swt.

 

Dzun Nun Al-Mishri pernah ditanya oleh seseorang, “Apa yang dimaksud tawakal?”

 

“Melepaskan hal-hal yang bersifat dipertuan” dan meninggalkan berbagai sebab.”

 

“Berilah saya tambahan penjelasan.”

 

“Mempertemukan diri dengan hal-hal yang bersifat ibadah dan mengeluarkannya dari hal-hal yang bersifat rububiyah.”

 

Hamdun Al-Qashshar juga pernah ditanya tentang tawakal. Dia menjawab, “Apabila engkau mempunyai sepuluh ribu dirham, maka engkau berkewajiban menanggung hutang yang jika engkau meninggal dunia, engkau tidak akan aman dari hutang yang menjadi tanggunganmu. Apabila engkau mempunyai hutang sepuluh dirham dan masih belum membayar, maka engkau jangan berputus asa dan memohonlah kepada Allah Swt. agar segera terlunasi.” Begitu juga Abu Abdillah Al-Qurasyi pernah ditanya oleh seseorang tentang tawakal. Dia menjawab, “Selalu berhubungan dengan Allah Swt. dalam segala hal.” Orang itu mengatakan, “Berilah diriku tambahan penjelasan.” Dia : menjawab, “Meninggalkan segala sebab yang akan menimbulkan sebab yang lain, sehingga Dzat Yang Maha Pengatur dapat meluruskannnya.”

 

Menurut Ahmad bin Isa Al-Kharraz, yang dimaksud tawakal adalah gelisah tanpa tenang dan tenang tanpa gelisah. Menurut yang lain, yang dimaksud tawakal adalah keseimbangan, baik ketika mendapatkan rezeki yang banyak maupun sedikit. Menurut Ahmad bin Masrug, yang dimaksud tawakal adalah tunduk dalam melaksanakan keputusan dan hukum. Menurut Abu Utsman Sa’id Al-Hairi, yang dimaksud tawakal adalah merasa cukup terhadap apa yang diberikan Allah Swt. dengan berpegang teguh kepadanya. Sedangkan menurut Husin bin Manshur, yang dimaksud orang yang benar-benar tawakal adalah-orang yang tidak makan di suatu tempat yang sebenarnya dia lebih berhak.

 

Umar bin Sinan mengatakan, “Ibrahim Al-Khawwash ketika lewat bertemu kami, kami mengatakan, “Ceritakanlah kepada kami sesuatu yang mengagumkan sebagaimana yang kau lihat di dalam perjalananmu?” Dia mengatakan, “Saya bertemu Nabi Khidir a.s. Dia bertanya kepadaku tentang pergaulan dengan orang lain. Saya takut ketawakalanku akan menjadi rusak dengan ketenanganku. Oleh karena itu, saya berpisah dengannya.” Dalam cerita yang lain disebutkan, Sahl bin Abdullah pernah ditanya tentang tawakal. Dia menjawab, “Hati yang hidup dan selalu bersama Allah Swt. tanpa ketergantungan.”

 

Saya telah mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan, “Penyerahan diri kepada Allah Swt. mempunyai tiga tingkat, yaitu tawakal, taslim, dan tafwidh. Orang yang tawakal adalah orang yang merasa tenang dengan janji Allah Swt. Orang yang taslim adalah orang yang merasa cukup dengan ilmu-Nya. Sedang orang yang tafwidh adalah orang yang rela dengan hukum-Nya. Oleh karena itu, tawakal adalah permulaan, taslim adalah pertengahan, dan tafwidh adalah akhir.” Ustaz Abu Ali Ad-Daqaqjuga pernah ditanya tentang tawakal. Dia menjawab, “Makan tanpa loba.”

 

Yahya bin Mu’adz mengatakan, “Pakaian bulu domba ibarat kedai, pembicaraan tentang zuhud ibarat perusahaan (pekerjaan), kedatangan kafilah ibarat sesuatu yang nampak. Semua saling bergantungan.” Dalam satu cerita, seorang laki-laki datang kepada Syibli. Dia mengeluh karena terlalu banyak keluarga. Syibli mengatakan, “Pulanglah ke rumahmu. Barangsiapa yang rezekinya tidak diserahkan kepada Allah Swt., maka singkirkanlah dia darimu.” Sahl bin Abdullah mengatakan, “Barangsiapa mencela gerakan ibadah, maka dia mencela sunnah. Barangsiapa mencela tawakal, maka dia mencela iman.”

 

Ibrahim Al-Khawwash mengatakan, “Suatu hari saya berada di jalan Mekkah. Saya melihat orang yang kasar.

 

“Apakah engkau jin atau manusia?’ tanya saya.

 

‘Saya adalah jin.’

 

“Engkau hendak ke mana?

 

“Saya hendak ke Mekkah”

 

“Apakah engkau tidak membawa bekal?

 

“Ya. Saya bepergian bersama orang yang tawakal.”

 

“Apakah tawakal itu?’

 

“Berpegang teguh kepada Allah Swt.”

 

Ibrahim Al-Khawwash selalu mempertajam tawakalnya. Dia membawa jarum, benang, wadah air kecil, dan potongan kain. Dia ditanya, “Wahai Abu Ishaq (salah satu nama panggiiannya), kenapa engkau membawa ini, sedangkan engkau tidak membawa apa-apa?”

 

“Ini merupakan perumpamaan tawakal yang tidak akan rusak karena Allah Swt. memberikan bagian kepada kita. Orang fakir hanya membawa satu pakaian. Terkadang pakaian itu robek. Apabila dia tidak membawa jarum, dan benang, maka auratnya akan kelihatan dan salatnya akan batal. Apabila dia tidak membawa wadah air kecil, maka bersucinya akan batal. Apabila engkau melihat orang fakir tanpa membawa wadah air kecil, jarum, dan benang, maka perhatikanlah ketika dia salat.”

 

Saya telah mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan, “Tawukal sifat orang mukmin, taslim sifat para wali, dan tafwidh sifat orang yang bersatu dengan Allah Swt. Demikan juga tawakal sifat orang awam, taslim sifat orang yang khawwash (orang khusus), dan tafwidh sifat orang yang shawwashul khawwash (khususnya khusus).” Oleh karena itu dia mengatakan, “Tawakal sifat para nabi, taslimi sifat Nabi Ibrahim, dan tafwidh sifat Nabi Muhamad Saw.”

 

Abu Ja’far Al-Haddad mengatakan, “Saya pernah tinggal (hidup) kurang lebih sepuluh tahun. Saya selalu bertawakal. Bekerja di pasar setiap hari. Mengambil upah dan tidak pernah masuk WC. Selain itu saya selalu berkumpul dengan orang fakir di daerah Syuniziyah dan selalu memperhatikan keadaanku.”

 

Hassan bin Abu Sinan mengatakan, “Saya telah melaksanakan empat kali hati dengan jalan kaki dan selalu bertwakkal. Suatu saat kakiku tertusuk duri. Saya ingat bahwa diriku dimaksudkan untuk bertawakal. Duri itu lantas saya cabut dan saya masukkan ke dalam tanah kemudian saya berjalan seperti semula.” Abu Hamzah juga pernah mengatakan, “Saya merasa malu kepada Allah Swt. memasuki daerah padang pasir karena saya dalam keadaan kenyang. Saya mempercayakan diri bertawakal agar perjalananku tidak membawa bekal kenyang yang sedang saya persiapkan.”

 

Hamdun Al-Qashshar pernah ditanya tentang tawakal. Dia menjawab, “Tawakal mempunyai kedudukan (derajat) tinggi yang belum pernah saya capai. Bagaimana mungkin tawakal akan dibicarakan oleh orang yang keadaan imannya belum sempurna?” Menurut sebagian ulama, orang yang bertawakal ibarat anak kecil yang tidak mengerti apa-apa. Dia tinggal hanya berada di tetek (susu) ibunya. Demikian juga orang yang bertawakal. Dia tidak akan mendapatkan petunjuk kecuali hanya kembali kepada Allah Swt.

 

Sebagian ulama mengatakan, “Saya pernah berada di daerah padang pasir. Kafilah telah datang. Saya melihat seseorang di depanku. Saya dengan segera menuju orang itu. Tiba-tiba ada seorang perempuan membawa tongkat. Dia berjalan sangat memprihatinkan. Saya menduga dia adalah buta. Saya masukkan tanganku ke dalam saku dan saya mengeluarkan dua puluh dirham, seraya mengatakan, Ambillah dan tinggallah di sini sampai kafilah itu datang, kemudian sewalah kafilah itu. Nanti malam datanglah kepadaku agar saya dapat mengatur (menyelesaikan) urusanmu. Dia mengatakan dengan menggunakan isyarat tangannya, “Seperti ini keadaannya di udara.’ Ternyata di telapak tangannya terdapat beberapa dinar. Dia mengatakan lagi, “Engkau mengambil beberapa dirham dari saku, sedangkan saya mengambil beberapa dinar dari kesamaran (Allah swt).’”

 

Abu Sulaiman Ad-Darani pernah melihat seorang laki-laki di Mekkah. Dia tidak memperoleh apa-apa kecuali setengah air zamzam. Kemudian, hari telah berlalu. Suatu hari Abu Sulaiman bertanya kepadanya, “Apakah engkau tahu, bagaimana seandainya zamzam itu berubah, apa yang engkau minum?” Orang laki-laki itu berdiri dan menghadapkan kepalanya. Dia menjawab, “Mudah-mudahan Allah Swt. memberikan balasan kebaikan Kepadamu yang telah memberikan petunjuk kepadaku. Sesungguhnya saya adalah orang yang menyembah zamzam selama tiga hari dan itu telah berlalu.”

 

Ibrahim Al-Khawwash berkisah: Di pertengahan jalan Syam saya melihat seorang pemuda yang baik budi pekertinya. Dia bertanya kepada saya, “Apakah kamu mempunyai teman?”

 

“Saya sedang lapar,” jawab saya.

 

“Jika engkau lapar, saya juga lapar,” timpalnya.

 

Selama tiga hari kami bersama-sama. Setelah itu kami mendapatkan jalan keluar.

 

“Mari kita pergi,” ajak saya.

 

“Saya tidak ingin mengambil jalan tengah.”

 

“Wahai Pemuda, berhati-hatilah.”

 

“Wahai Ibrahim, janganlah sombong. Sesungguhnya Allah Swt. adalah Dzat Yang Maha Melihat. Apa hakmu dan di mana tawakalmu.” Kemudian dia melanjutkan, “Saya memperkecil tawakal untuk menghilangkan berbagai kesulitan yang menimpamu. Janganlah kau cela dirimu sendiri, kecuali kepada orang yang serba kecukupan.”

 

Menurut satu pendapat, yang dimaksud tawakal adalah menghilangkan keragu-raguan dan menyerahkan diri kepada Allah Swt. Dalam satu cerita disebutkan, sekelompok orang datang kepada Junaid. Mereka bertanya, “Di mana kami harus mencari rezeki?”

 

“Asalkan engkau tahu, di mana pun saja engkau boleh mencari rezeki.”

 

“Kami memohon kepada Allah Swt. tentang hal itu.”

 

“Jika kalian mengetahui bahwa Allah Swt. melupakanmu, maka ingatlah kepada-Nya.”

 

“Kami akan masuk ke rumah dan akan bertawakal.”

 

“Cobaan itu adalah kebimbangan.”

 

“Bagaimana dengan daya upaya?”

 

“Daya upaya harus ditinggalkan,” jawab Junaid.

 

Abu Sulaiman Ad-Darani mengatakan kepada Ahmad bin Abul Hawari, “Wahai Ahmad, jalan menuju akhirat adalah banyak. Gurumu adalah orang yang mengetahui beberapa jalan itu kecuali tawakal.

 

Oleh karena itu, saya tidak pernah mencium baunya.” Menurut satu pendapat, yang dimaksud tawakal adalah percaya terhadap apa-apa yang diatur oleh Allah Swt. dan menghindarkan diri dari apa-apa yang diatur oleh manusia. Menurut yang lain, yang dimaksud tawakal adalah hati yang sunyi dari pemikiran tentang hal-hal yang bertentangan dalam mencari rezeki.

 

Harits Al-Muhashibi pernah ditanya tentang tawakal, “Apakah tawakal itu akan diikuti oleh loba?” Dia menjawab, “Tawakal akan diikuti beberapa pikiran melalui jalan karakter, tidak dirusak oleh sesuatu, dan sangat kuat untuk tidak menggantungkan kepada orang lain.” :

 

Menurut satu cerita, dituturkan bahwa Ahmad An-Nuri dalam keadaan lapar di padang pasir. Dia dipanggil oleh suatu suara, “Mana yang paling engkau sukai antara sebab untuk cukup dan cukup itu sendiri?” Dia menjawab, “Cukup, tidak ada yang melebihi darinya.” Setelah itu dia tidak makan selama tujuh belas hari.” Abu Ali Ar-Rudzabari pernah mengatakan, “Apabila setelah lima hari tidak makan orang fakir mengatakan, ‘saya lapar, maka bawalah dia ke pasar, dan berilah pekerjaan dan usaha.’”

 

Menurut satu ungkapan, Abu Turab An-Nakhsyabi pernah melihat orang sufi yang mengulurkan tangannya pada buah semangka untuk dimakan setelah tiga hari tidak makan. Abu Turab mengatakan kepadanya, “Predikat tasawuf tidak layak kau sandang. Untuk itu, pergilah ke pasar.”

 

Abu Ya’qub Al-Aqtha’ Al-Bahsri bercerita: Saya pernah satu kali datang ke tanah Haram selama sepuluh hari. Saya dalam keadaan lemah, sedangkan nafsuku berbisik kepadaku. Setelah itu saya keluar ke padang pasir agar memperoleh sesuatu yang dapat menghilangkan kelemahanku. Di sana saya melihat buah saljanah yang terbuang, lantas saya ambil. Hatiku sangat berduka cita, seakan-akan ada orang yang mengatakan kepadaku, “Engkau datang selama sepuluh hari yang pada akhirnya hanya mendapatkan bagian buah saljanah itu.” Buah itu saya lemparkan dan saya masuk ke mesjid lantas saya duduk. Ternyata di mesjid, saya duduk berdampingan dengan orang laki-laki non Arab. Dia duduk di sampingku dan meletakkan laci.

 

“Ini untukmu,” katanya.

 

“Bagaimana engkau memberikan keistimewaan kepadaku?”

 

“Kami berada di tengah laut selama sepuluh hari. Saya berada di atas kapal yang hampir tenggelam. Setiap hari dari kelompok kami bernazar, apabila Allah Swt. menyelamatkan kami semua, maka kami akan memberikan sedekah. Sedangkan saya bernazar, apabila Allah Swt. menyelamatkan diriku, maka saya akan memberikan sedekah dengan benda ini kepada orang pertama yang saya jumpai dari orang-orang yang berdampingan dan engkau adalah orang pertama yang saya jumpai.”

 

“Bukalah,” pinta saya kepadanya. Dia lantas membukanya. Di dalamnya terdapat ka’ak yang terpupuk, buah badam yang terkupas, dan gula manis yang penuh. Setelah itu satu genggam saya pegang dengan tangan kanan dan satu genggam saya pegang dengan tangan kiri.

 

“Berikanlah sisa ini kepada putera-puteramu sebagai hadiah dariku untuk mereka, kataku kemudian.

 

Setelah itu saya bergumam pada diri sendiri, “Rezekimu datang dengan mudah kepadamu sejak sepuluh hari yang engkau sendiri mencari dari padang pasir.“

 

Abu Bakar Ar-Razi mengatakan bahwa dia berada di samping Mimsyad Ad-Dinawari. Setelah itu pembicaraan tentang hutang digulirkan oleh Mimsyad. Dia mengatakan, “Saya mempunyai hutang sehingga hatiku merasa tidak tenang. Suatu saat saya bermimpi, seakan-akan ada orang mengatakan, ‘Wahai orang yang kikir, engkau telah mengambil hak kami sejumlah ini. Engkau mengambil dan kami memberi. Engkau masih belum membayarnya, baik kepada penjual sayur, penjagal, maupun. kepada yang lain.“

 

Diriwayatkan dari Bannan Al-Hammal. Dia berkata: Saya berada di tengah jalan Mekkah. Saya datang dari Mesir dengan membawa bekal. Seorang perempuan datang kepadaku seraya mengatakan, “Wahai Bannan, engkau adalah tukang pikul yang sedang memikul bekal di atas punggungmu. Engkau menduga Allah Swt. tidak akan memberikan rezeki kepadamu.”

 

“Saya telah membuang bekalku dan saya tidak makan, meskipun saya memperoleh makanan sampai tiga kali.”

 

Setelah itu saya menemukan gelang kaki di tengah jalan. Saya bergumam pada diri sendiri, “Gelang ini akan saya bawa, sehingga pemiliknya datang kepadaku. Apabila dia memberikan hadiah kepadaku, akan saya tolak.” Tiba-tiba saya berjumpa dengan seorang perempuan itu lagi.

 

“Engkau adalah pedagang. Engkau telah mengatakan, “Sehingga pemiliknya datang.’ Untuk itu, barang ini akan saya ambil.“ Setelah berkata, dia melemparkan beberapa dirham seraya mengatakan, “Pergunakanlah, engkau dapat memanfaatkan dirham itu menuju ke tempat yang dekat dari Mekkah.“

 

Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa Bannan Al-Hammal membutuhkan seorang perempuan pelayan yang dapat melayaninya. Dia menyebarkan informasi kepada saudara-saudaranya. Mereka berkumpul dan sepakat menetapkan harga. Mereka mengatakan bahwa suatu saat sekelompok orang akan datang dan kami akan membelinya jika ada yang cocok. Ketika sekelompok orang itu datang, mereka sepakat untuk membeli satu pelayan perempuan.

 

“Perempuan ini cocok,” gumam mereka. “Berapa harga perempuan ini?” tanya mereka kemudian kepada pemiliknya.

 

“Perempuan pelayan ini tidak untuk dijual.”

 

Mereka akhirnya mendesak agar perempuan itu dijual.

 

“Perempuan pelayan ini untuk Bannan,” jawab seseorang yang membawa pelayan perempuan itu. “Pelayan ini adalah hadiah dari seorang perempuan Samargandi. Oleh karenanya, pelayan perempuan ini saya bawa untuk diberikan kepada orang yang dimaksud dan hal ini perlu saya ceritakan,” lanjutnya.

 

Hasan Al-Khayyath bercerita: Saya berada di samping Bisyr Al-Hafi. Suatu saat sekelompok orang datang kepadanya. Mereka memberikan salam kepadanya.

 

“Darimana kalian?” tanya Bisyr.

 

“Kami dari Syam. Kami datang ke sini untuk memberikan salam kepada Tuan kemudian melaksanakan ibadah haji.”

 

“Mudah-mudahan Allah Swt. mengampuni kalian.”

 

“Bisakah engkau keluar melaksanakanan ibadah haji bersama kami?” pinta mereka.

 

“Dengan tiga syarat, yaitu kita tidak boleh membawa sesuatu, kita tidak boleh meminta sesuatu kepada orang lain, dan apabila ada orang yang memberikan sesuatu kepada kita, kita tidak boleh menerimanya.”

 

“Apabila kita tidak membawa sesuatu, kita akan tetap baik. Apabila kita tidak meminta, kita pun akan tetap baik. Apabila kita tidak mau menerimajika diberi, tentu kita tidak akan mampu.”

 

“Kita harus bertawakal di atas bekal haji,” jawab Bisyr AlHafi. Kemudian dia menoleh pada Hasan Al-Khayyath seraya mengatakan, “Wahai Hasan, Orang-orang fakir terbagi menjadi tiga. Pertama, orang fakir yang tidak meminta. Apabila diberi, dia tidak akan menerimanya. Orang fakir ini termasuk dari para rohaniawan. Kedua, orang fakir yang tidak meminta. Apabila diberi, dia menerimanya. Orang fakir ini akan diberikan beberapa kenikmatan dan ketenangan di hadapan Tuhan. Ketiga, orang fakir yang meminta. Apabila diberi, dia akan menerimanya sekadar cukup. Orang fakir ini, tebusannya adalah sedekah.”

 

Hubaib Al-Ajami pernah ditanya, “Kenapa engkau meninggalkan dagangan?”

 

“Saya telah menemukan penjamin sebagai orang kepercayaan,” jawabnya. Menurut satu cerita, ada seorang laki-laki di perjalanan. Dia membawa roti. Dia mengatakan, “Jika saya makan, maka saya akan mati.” Setelah itu Allah Swt. menyerahkan urusan itu kepada Malaikat. Allah Swt. berfirman kepadanya: “Apabila orang itu makan, maka berilah dia rezeki. Apabila dia tidak makan, maka jangan kau berikan dia rezeki yang lain.” Makanan itu masih tetap utuh di samping orang tersebut sampai dia meninggal dunia.

 

Menurut satu pendapat, barangsiapa yang terlibat di medan tafwidh (penyerahan diri secara total, suatu sikap pasrah yang melebihi derajat tawakal), maka apa yang dimaksudkan akan tercapai sebagaimana pengantin perempuan yang dibawa kepada suaminya. Perbedaan antara tadhyi’ (membinasakan diri atau sikap pasrah yang dapat menyebabkan binasa) dan tafwidh (penyerahan diri atau sikap pasrah) terletak pada tingkat kualitas iman dan keyakinan dalam pemasrahan diri pada Allah. Tadhyi’ di hadapan Allah Swt. sangat tercela, sedanglan tafwidh di hadapan-Nya adalah terpuji. Menurut Abdullah bin Mubarak, barangsiapa yang mengambil uang haram, maka dia bukan orang yang tawakal.

 

Abu Sa’id Al-Kharraz mengatakan, “Saya pernah satu kali masuk daerah padang pasir tanpa membawa bekal. Di sana saya mendapatkan kesulitan. Setelah itu saya melihat marhalah (jarak perjalan) dari tempat yang jauh. Saya merasa baHagia karena sudah hampir sampai. Lantas saya berpikir bahwa diri ini menempati satu tempat yang membutuhkan orang lain. Saya tidak berani menempuh marhalah itu kecuali membawa bekal. Dalam keadaan seperti itu saya terpaksa menggali lobang di atas pasir. Di dalam lobang itu saya dapat melindungi tubuhku sampai pada dadaku. Di tengah malam penduduk mendengar suara yang sangat keras, “Wahai penduduk marhalah, sesungguhnya Allah Swt. adalah Dzat Yang Maha Penolong yang telah menahan dirinya di atas pasir ini. Oleh karenanya, temuilah dia.’ Setelah itu sekelompok orang datang kepadaku. Mereka mengeluarkan diriku dan membawaku ke sebuah desa.”

 

Abu Hamzah Al-Kharrasani mengatakan bahwa dalam satu tahun ia mengerjakan ibadah haji. Ketika sedang berjalan, tibatiba ia terjatuh ke dalam sumur. Dan ia tidak ingin minta tolong kepada orang lain. Ia bergumam pada diri sendiri, “Tidak, demi Allah! Saya tidak ingin minta tolong.”

 

Setelah itu ia tidak mampu mengkonsentrasikan pikirannya sehingga ada dua orang lewat di atas sumur. Salah satunya mengatakan kepada yang lain, “Ke sinilah, kita harus menutup sumur ini agar tidak ada orang yang terjatuh.”

 

Mereka lalu datang dengan membawa kayu dan tumpukan debu dan menutup atas (atap) sumur. Abu Hamzah Al-Kharrasani ingin memanggil, tetapi tidak jadi. Lantas ia mengatakan pada diri sendiri, “Saya hanya ingin memanggil (Dzat) Yang lebih dekat daripada kedua orang tersebut.”

 

Selang beberapa waktu, ada sesuatu yang datang dan membuka atas (atap) sumur serta mendekatkan kakinya, seakan-akan ia mengatakan dengan suara menggerutu, “Menggantunglah kepadaku.” Ia tahu bahwa suara itu keluar darinya. Setelah itu ia menggantung kepadanya sehingga ia dapat keluar. Ternyata sesuatu itu adalah hewan yang galak. Kemudian hewan itu pergi. Tiba-tiba ada suara mengatakan kepada Abu Hamzah Al-Kharrasani, “Ya Abu Hamzah, apakah seperti ini tidak lebih baik. Kami telah menyelamatkan dirimu dari kebinasaan dengan kebinasaan.” Setelah itu Abu Hamzah berjalan sambil mendendangkan sebuah syair:

 

kutampakkan kepada-Mu rasa takut yang telah kusembunyikan hatiku menampakkan sesuatu yang diucapkan oleh mataku rasa maluku telah melarangku dari-Mu untuk menyembunyikan keinginan dan Engkau memberikan pemahaman dengan terungkapnya sesuatu Engkau telah mempermudah urusanku lantas Engkau tumpahkan kedua orang yang menyaksikan kesamaranku oleh karena itu kelemah-lembutan akan diperoleh dengan kelemah-lembutan Engkau telah memperlihatkan diriku sesuatu yang samar seakan-akan Engkau memberikan kabar kepadaku dengan sesuatu yang samar bahwa Engkau berada dalam kebahagiaan saya dapat melihat-Mu dan diriku karena kehebatanku takut kepada-Mu Engkau menggembirakan diriku dengan lemah lembut dan cinta kasih Kau hidupkan orang yang cinta sedangkan Engkau mencintai kematian alangkah herannya eksistensi kehidupan yang terpaut dengan kematian

 

Hudzaifah Al-Mar’asyi pernah ditanya ketika sedang melayani dan berguru kepada Ibrahim bin Adham.

 

“Apa yang paling mengagumkan yang pernah engkau lihat?”

 

Dia menjawab bahwa beberapa hari yang lalu kami berada di jalan Mekkah dan kami tidak menemukan makanan. Kami memasuki Kufah dan tinggal di mesjid Khurab. Setelah itu Ibrahim bin Adham melihatku seraya mengatakan, “Ya Hudzaifah, saya melihatmu nampak lapar.”

 

“Itu hanya pandangan Guru.”

 

“Ambilkan pena dan kertas untukku.”

 

Hudzaifah pergi kemudian kembali seraya. menyerahkan pena dan kertas kepada Ibrahim yang langsung ditulisnya dengan kalimat: Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyanyang. Engkaulah Dzat yang dituju dalam segala hal dan Engkaulah Dzat yang dijadikan petunjuk dalam setiap arti. Kemudian tulisan disambung dengan beberapa syair:

 

saya adalah orang yang memuji saya adalah orang yang bersyukur saya adalah orang yang ingat saya adalah orang yang lapar saya adalah orang yang kehilangan saya adalah orang yang telanjang terhadap yang enam saya menjamin separuhnya jadilah (orang) yang menjamin separuhnya wahai Dzat Pencipta memuji kepada Selain-Mu adalah jilatan api neraka yang telah Kau panaskan selamatkanlah orang yang selalu menyembah-Mu dari masuk neraka neraka di sampingku seperti sebuah pertanyaan apakah Engkau tahu bahwa Engkau tidak memaksaku masuk neraka

 

Setelah itu Ibrahim memberikan rug ah (semacam bungkusan berisi uang logam atau papan tulis) kepada Hudzaifah. Dia mengatakan, “Keluarlah, hatimu jangan kau gantungkan kepada selain Allah Swt. dan berikanlah ini kepada orang pertama yang engkau jumpai.”

 

Hudzaifah merasa baHagia atas peristiwa tersebut. Orang pertama yang ia jumpai adalah orang yang berada di atas keledai. Ia berikan rug’ah itu kepadanya. Orang itu mengambilnya lantas dia menangis. Ia bertanya kepada Hudzaifah, “Apa yang sedang dikerjakan oleh pemilik rug’ah ini?”

 

“Dia berada di masjid Fulani.”

 

Orang itu memberikan kantong kepada Khudzaifah yang berisi enam ratus dinar. Setelah itu Khudzaifah berjumpa dengan orang laki-laki lain. 

 

“Siapa pemilik keledai ini?” tanya Hudzaifah.

 

“Orang Nasrani,” jawabnya.

 

Lantas Hudzaifah mendatangi Ibrahim bin Adham. Ia menceritakan kejadian itu. Ibrahim lalu berpesan, “Jangan kau sentuh keledai itu. Sebentar lagi orangnya akan datang.”

 

Selang beberapa waktu orang Nasrani itu datang sambil menundukkan kepalanya. Dia menghadap Ibrahim, lalu duduk bersimpuh di hadapannya dan. menyatakan keislamannya.

 

18. SYUKUR

 

Allah Swt. berfirman:

 

“Jika kamu sekalian bersyukur, maka Aku (Allah) akan memberikan tambahan nikmat kepada kamu sekalian.” (QS. Ibrahim: 7)

 

Dari Yahya bin Ya’la dari Abu Khubab dari Atha’ diceritakan bahwa ia bertamu kepada Aisyah r.a. bersama Ubaid bin Umair, lalu mengatakan, “Berilah kami kabar tentang sesuatu yang paling mengagumkan dari Rasulullah Saw. yang pernah engkau lihat?”

 

Aisyah menangis lantas berkata, “Keadaan Rasul yang mana yang tidak mengagumkan? Di waktu malam beliau datang kepadaku. Beliau masuk ke tempat tidur bersamaku sehingga kulitku bersentuhan dengan kulitnya. Beliau mengatakan, “Wahai Putri Abu Bakar, tinggalkanlah diriku. Saya sedang beribadah kepada Tuhanku.”

 

“Saya ingin lebih dekat denganmu,” pintaku. Wanita agung ini lantas minta izin untuk mengambil gerebah air. Ia berwudu dan menuangkan air begitu banyak. Setelah itu Rasulullah Saw. berdiri dan mengerjakan salat. Beliau menangis sehingga air matanya bercucuran sampai ke dadanya. Beliau rukuk, sujud, dan mengangkat kepala seraya masih menangis. Beliau selalu seperti itu sampai Bilal datang, kemudian menyerukan agar azan untuk salat. Aku bertanya kepada Rasulullah Saw.: “Ya Rasulullah Saw., apa yang membuatmu menangis, padahal Allah Swt. telah mengampuni segala dosamu, baik yang telah lalu maupun yang akan datang?” tanya Aisyah r.a.

 

Beliau menjawab: “Apakah saya tidak boleh menjadi hamba yang bersyukur. Kenapa saya tidak berbuat, sedangkan Allah Swt. menurunkan kepadaku ayat:

 

Sesungguhnya tentang kejadian langit dan bumi, perbedaan malam dan siang, kapal yang berlayar di lautan (membawa) barang-barang yang berfaedah bagi manusia, hujan yang diturunkan oleh Allah Swt. dari langit, lalu dihidupkan-Nya dengan air bumi yang telah mati, berkeliaran di atasnya tiap-tiap yang melata, angin yang bertiup dan awan yang terbentang antara langit dan bumi. Sesungguhnya semua itu merupakan ayat-ayat bagi kaum yang berpikir.” (QS. Al-Baqarah: 164).

 

Atas pandangan ini dapat ditarik pengertian bahwa Allah Swt. selalu bersyukur. Artinya, Allah Swt. akan membalas hambahamba-Nya yang bersyukur. Pembalasan itu dinamakan syukur sebagaimana firman Allah Swt.:

 

Pembalasan orang yang berbuat jahat adalah kejahatan yang setimpal.” (QS. Asy-Syura: 40)

 

Menurut satu pendapat, bersyukurnya Allah Swt. berarti memberikan pahala atas perbuatan pelakunya sebagaimana ungkapan bahwa hewan yang bersyukur adalah hewan yang gemuk karena selalu diberi makanan. Hal ini dapat dikatakan bahwasanya hakikat syukur adalah memuji (orang) yang memberikan kebaikan dengan mengingat kebaikannya. Syukurnya hamba kepada Allah Swt. adalah memuji kepada-Nya dengan mengingat kebaikan-Nya, sedangkan syukurnya Allah Swt. kepada hamba berarti Allah memuji kepadanya dengan mengingat kebaikannya. Perbuatan baik hamba adalah taat kepada Allah Swt., sedangkan perbuatan baik Allah adalah memberikan kenikmatan dengan memberikan pertolongan sebagai tanda syukur. Hakikat syukur bagi hamba salah ucapan lisan dan pengakuan hati terhadap kenikmatan yang telah diberikan oleh Tuhan.

 

Syukur terbagi menjadi tiga. Pertama, syukur dengan lisan, yakni mengakui kenikmatan yang telah diberikan oleh Allah Swt. dengan sikap merendahkan diri. Kedua, syukur dengan badan, yakni bersifat selalu sepakat dan melayani (mengabdi) kepada Allah Swt. Ketiga, syukur dengan hati, yakni mengasingkan diri di hadapan Allah Swt. dengan konsisten menjaga keagunganNya. Syukur dengan lisan adalah syukurnya orang yang berilmu. Ini dapat direalisasikan dengan bentuk ucapan. Syukur dengan badan adalah syukurnya orang yang beribadah. Ini dapat direalisasikan dengan bentuk perbuatan. Syukur dengan hati adalah syukurnya orang yang ahli ma’rifat. Ini dapat direalisasikan dengan semua hal ihwal secara konsisten.

 

Menurut Abu Bakar Al-Warraq, yang dimaksud mensyukuri nikmat adalah memperhatikan pemberian dan menjaga kehormatan. Menurut Hamdun Al-Qashshar, yang dimaksud mensyukuri nikmat adalah memperhatikan dirinya meskipun tidak diundang. Menurut Junaid, yang dimaksud syukur adalah sebab, karena dia mencari dirinya yang telah memperoleh kelebihan. Dia selalu menghadap Allah Swt. karena memperoleh bagian dirinya. Menurut Abu Utsman, yang dimaksud syukur adalah mengetahui kelemahan syukur itu sendiri.

 

Ada yang berpendapat, syukur di atas syukur lebih sempurna daripada syukur. Artinya kita harus memperhatikan syukur karena mendapat pertolongan Allah Swt. berupa kenikmatan. Kita bersyukur di atas syukur dan bersyukur di atas syukurnya syukur sampai pada sesuatu yang tidak ada puncaknya. Menurut pendapat yang lain, yang dimaksud syukur adalah menyandarkan berbagai kenikmatan kepada Allah Swt. dengan sikap rendah diri. Menurut Junaid, yang dimaksud syukur adalah tidak menganggap dirinya sendiri sebagai pemilik kenikmatan. Sedangkan ‘menurut Ruwaim, yang dimaksud syukur adalah melepaskan kemampuan.

 

Menurut satu pendapat, yang dimaksud syakir (orang yang bersyukur) adalah orang yang mensyukuri sesuatu yang ada.

 

Sedangkan yang dimaksud syakur (orang yang ahli bersyukur) adalah orang yang mensyukuri sesuatu yang tidak ada. Menurut yang lain, yang dimaksud syakir adalah orang yang mensyukuri pemberian, sedang yang dimaksud syakur adalah orang yang mensyukuri penolakan. Menurut sebagian ulama, yang dimaksud syakir adalah orang yang mensyukuri pencegahan. Menurut sebagian yang lain, yang dimaksud syakir adalah orang yang mensyukuri pemberian, sedang yang dimaksud syakur adalah orang yang mensyukuri cobaan. Menurut sebagian ulama yang Iain, yang dimaksud syakir adalah orang yang mensyukuri kemurahan, sedang yang dimaksud syakur adalah orang yang mensyukuri penangguhan.

 

Junaid mengatakan, “Saya bermain di depan Sariy ketika masih berumur tujuh tahun. Di hadapannya terdapat sekelompok orang yang sedang membicarakan syukur. Dia mengatakan kepadaku, ‘Wahai anak kecil, apa itu syukur?’ Saya menjawab, “Tidak bermaksiat kepada Allah Swt. apabila memperoleh kenikmatan.” Dia mengatakan, “Lisanmu hampir saja mendapatkan bagian dari Allah Swt.” Junaid kemudian mengatakan, “Saya selalu menangis apabila ingat kata-kata yang dilontarkan oleh Sariy.”

 

Menurut Syibli, yang dimaksud syukur adalah memperhatikan (Dzat) yang memberikan kenikmatan, bukan pada kenikmatan-Nya. Menurut satu pendapat, yang dimaksud syukur adalah mengatur sesuatu yang telah ada dan mencari sesuatu yang belum ada. Menurut Abu Utsman, yang dimaksud syukurnya orang awam adalah orang yang bersyukur kepada orang yang memberikan makanan dan pakaian. Sedangkan yang dimaksud syukurnya orang khaurwas (orang khusus atau hamba yang sangat saleh) adalah orang yang bersyukur kepada sesuatu yang mengandung arti di dalam hati.

 

Menurut satu ungkapan, Nabi Dawud a.s. pernah mengatakan, “Ya Tuhan, bagaimana saya bersyukur kepada-Mu, sedangkan syukurku kepada-Mu adalah (karena) kenikmatan dari-Mu?” Allah Swt. menurunkan wahyu kepadanya: Sekarang, engkau telah bersyukur kepada-Ku.

 

Demikian juga yang terjadi pada Nabi Musa a.s. ketika bermunajat kepada-Nya, “Ya Tuhan, Engkau telah menciptakan Nabi Adam dengan kekuasaan-Mu dan berbuat ini dan itu. Bagaimana tentang syukurku?” Allah Swt. berfirman: “Adam mengetahui hal-hal itu dari-Ku. Oleh karenanya, kema’rifatanya merupakan syukur kepada-Ku.“

 

Ada seorang laki-laki mempunyai teman yang ditahan oleh raja dan diserahkan kepada temannya. Temannya mengatakan, “Bersyukurlah kepada Allah swt?“ Orang laki-laki itu memukulnya lantas menulis surat kepadanya yang berisi, “Bersyukurlah kepada Allah swt?“ Si laki-laki digabungkan dengan orang Majusi yang sakit perut. Antara kakinya dan kaki orang Majusi dibuatkan jarak dalam bentuk lingkaran. Orang Majusi selalu berjaga setiap malam dan berdiri di atas kepalanya sampai tugasnya selesai. Setelah itu dia menulis surat kepada temannya yang berisi, “Bersyukurlah kepada Allah swt?“ Diajuga mengatakan, “Kapan engkau mengatakan kepadaku cobaan seperti apa yang akan menimpa diriku?” Dia menjawab, “Seandainya tali (ikat) diletakkan di tengah-tengah orang Majusi dan dirimu seperti jarak lingkaran di antara kakinya dan kakimu, apa yang harus kau kerjakan?“

 

Menurut satu cerita, seorang laki-laki memasuki rumah Sahal bim Abdullah. Dia mengadukan sesuatu kepadanya, “Sesungguhnya seorang pencuri telah memasuki rumahku dan mengambil barang daganganku.” Setelah itu pencuri mengatakan, “Bersyukurlah kepada Allah Swt. Seandainya ada pencuri yang memasuki hatimu, sedang dia adalah setan, kemudian dia merusak tauhidmu, apa yang harus kau kerjakan?“

 

Menurut satu pendapat, yang dimaksud syukurnya kedua mata adalah menutupi cacatnya teman yang pernah kita lihat, sedang yang dimaksud syukurnya kedua telinga adalah menutupi cacatnya teman yang pernah kita dengar. Menurut yang lain, yang dimaksud syukur adalah merasa senang dengan pemberian yang belum pernah didapatkan.

 

Junaid mengatakan bahwa Sariy apabila hendak menolongku, dia bertanya kepadaku. Suatu hari dia bertanya kepadaku, “Wahai Abul Qasim, apa syukur itu?”

 

“Jangan minta pertolongan agar mendapatkan kenikmatan dari Allah Swt.“

 

“Dari mana hal ini kau peroleh?”

 

“Dari tempat-tempat pengajianmu.”

 

Menurut satu pendapat, Hasan bin Ali pernah menetapkan syukur sebagai rukun. Dia juga pernah mengatakan, “Ya Tuhan, Engkau telah memberikan kenikmatan kepadaku, tapi Engkau tidak menemukan diriku orang yang bersyukur. Engkau telah memberikan cobaan kepadaku, tapi Engkau tidak menemukan diriku orang yang sabar. Engkau tidak pernah menghilangkan kenikmatan disebabkan tiadanya syukur dan Engkau tidak pernah menimpakan kesusahan disebabkan tiadanya sabar, Ya Tuhan, tiada Dzat Yang Maha Mulia kecuali Kemuliaan-Mu.”

 

Sebagian ulama mengatakan, “Apabila tanganmu kau perpendek untuk menghindari balasan, maka panjangkanlah lsanmu dengan bersyukur.”

 

Menurut satu pendapat, terdapat empat perbuatan yang tidak menghasilkan buah. Pertama, orang tuli yang berbicara. Kedua, orang yang meletakkan (memberikan) kenikmatan kepada orang yang tidak bersyukur. Ketiga, orang yang menanam biji-bijian di tanah yang keras. keempat, orang yang menyalakan lampu di tengah sinar matahari.

 

Ketika Nabi Idris a.s. diberi ampunan, dia bertanya tentang kehidupan. Dia balik ditanya oleh malaikat, “Untuk apa?”

 

“Untuk mensyukurinya, karena sebelumnya saya tidak pernah berbuat untuk mendapatkan ampunan.”

 

Setelah itu malaikat menurunkan sayapnya dan membawa Nabi Idris ke langit.

 

Dalam cerita yang lain dijelaskan, salah seorang dari para nabi menemukan batu kecil yang mengeluarkan air begitu banyak. Dia sangat mengaguminya. Allah Swt. memberikan kemampuan berbicara kepada batu itu.

 

“Saya pernah mendengar Allah Swt. berfirman:

 

“Takutlah kepada api neraka yang penyalanya manusia dan batubatuan.” (QS. Al-Baqarah: 24)

 

“Saya (batu) menangis karena takut kepada Allah Swt.,” kata sang batu.

 

Nabi lalu mendoakan agar Allah Swt. menyelamatkan batu itu. Setelah itu Allah Swt. menurunkan wahyu kepada Nabi: Aku (Allah) telah menyelamatkan batu itu dari api neraka. Nabi lantas pergi. Ketika dia kembali, dia melihat air masih tetap memancar dari batu seperti semula dan dia merasa heran. Allah Swt. memberikan lagi kemampuan berbicara kepada batu itu. Nabi lantas bertanya, “Kenapa engkau menangis?”

 

“Allah Swt. telah mengampunimu,” jawab sang batu.

 

“Yang pertama, ia menangis karena berduka cita dan takut, sedang yang kedua, ia menangis karena bersyukur dan baHagia.“ Nabi itu berkata seraya melangkah pergi.

 

Menurut satu pendapat, yang dimaksud orang yang mensyukuri kelebihan adalah orang yang mendapatkan kenikmatan. Allah Swt. berfirman:

 

“Jika karmu sekalian bersyukur, maka Aku Allah akan memberikan tambahan kenikmatan kepada kau sekalian.” (QS. Ibrahim: 7)

 

Sedang yang dimaksud orang yang bersabar adalah orang yang mendapatkan cobaan. Allah Swt. berfirman:

 

“Allah akari selalu bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anfal: 46)

 

Sekelompok utusan datang kepada Umar bin Abdul Aziz.

 

Di antara mereka terdapat seorang pemuda yang sedang berpidato. Umar mengatakan, “Hindarilah sombong.”

 

“Seandainya urusan ini dikaitkan dengan umur, maka tentu di antara orang-orang Islam terdapat orang yang lebih berhak memegang jabatan khafilah,” timpal sang pemuda.

 

“Bicaralah!”

 

“Kami bukan termasuk utusan raghbah (orang-orang yang cinta) dan bukan pula termasuk rahbah (orang-orang yang takut). Yang dimaksud raghbah adalah orang yang telah mendapatkan keutamaan, sedang yang dimaksud rahbah adalah orang yang mendapatkan keadilan.”

 

“Siapa kalian sebenarnya?” tanya Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

 

“Utusan syukur. Kami datang ke sini untuk bersyukur dan perpaling.”

 

Keadaan itu diberikan illustrasi oleh ulama dalam gubahan syairnya.

 

dari hal yang mencelakakan sesungguhnya syukurku adalah puasa dari apa yang telah saya kerjakan sesungguhnya kebaikanku adalah berbicara saya melihat kebaikan darimu lantas saya rahasiakan apakah saya seperti ini tentu kekuasaan Dzat Yang Mulia adalah (orang) yang mencuri

 

Menurut satu pendapat, Allah Swt. menurunkan wahyu kepada Nabi Musa a.s.: “Kasihanilah hamba-hamba-Ku yang mendapatkan cobaan dan keselamatan.”

 

“Bagaimana halnya dengan orang-orang yang selamat?”

 

“Karena sedikitnya mereka bersyukur terhadap keselamatan yang telah Kuberikan,” jawab Allah.

 

Menurut pendapat yang lain, memuji ditujukan pada jiwa, sedang syukur ditujukan kepada kenikmatan panca indera. Menurut sebagian ulama, memuji adalah permulaan, sedang syukur adalah tebusan. Dalam hadis sahih disebutkan bahwasannya permulaan orang yang dipanggil ke surga adalah orang-orang yang memuji kepada Allah Swt. dalam segala hal. Menurut sebagian yang lain, memuji kepada Allah Swt. ditujukan pada sesuatu yang diberikan, sedang syukur ditujukan pada sesuatu yang dikerjakan.

 

19. YAKIN

 

Allah Swt. berfirman:

 

“Orang-orang yang beriman kepada (kitab) yang diturunkan kepada engkau (ya Muhammad) dan (kitab-kitab) yang diturunkan sebelum engkau, sedang mereka yakin akan adanya (hari) akhir.” (QS. Al-Baqarah: 4)

 

Dari Abdullah bin Mas’ud diceritakan bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda:

 

“Engkau tentu tidak akan rela kepada seseorang sebab kemurkaan Allah Swt. Engkau tentu tidak akan mencela kepada seseorang atas keutamaan Allah Swt. Dan engkau tentu tidak akan memuji kepada seseorang atas apa yang tidak diberikan Allah Swt. kepadarnu. Apabila Allah Swt. memberikan rezeki, kelobaan orang yang loba tak akan mampu menghalanginya dan kebencian orang yang benci tak akan mampu menolaknya. Sesungguhnya Allah Swt. dengan sifat adil dan qisth-Nya menjadikan kebahagiaan dan kesenangan dalam kerelaan dan keyakinan dan menjadikan kesusahan dan kedukacitaan dalam keraguan dan kemurkaan.”

 

Ahmad bin Ashim Al-Anthaki mengatakan, “Sesungguhnya paling sedikit yakin, apabila sudah sampai ke lubuk hati, maka hati akan penuh dengan cahaya, keragu-raguan akan hilang, hati akan penuh dengan syukur, dan takut kepada Allah Swt. akan bertambah.”

 

Diriwayatkan dari Abu Ja’far Al-Haddad yang mengatakan bahwa Abu Turab An-Nakhsyabi pernah melihatku ketika saya sedang duduk di padang pasir depan kolam ikan. Selama enam belas hari saya belum pernah makan dan minum.

 

“Apa posisimu?” tanya Abu Turab kepadaku.

 

“Saya berada di antara ilmu dan yakin. Saya menunggu sesuatu yang dapat mengalahkan sehingga saya dapat bersamanya, yakni apabila ilmu yang menang, maka saya akan minum. Apabila yakin yang menang, maka saya akan pergi.”

 

“Keadaanmu akan tetap seperti itu,” katanya.

 

Menurut Abu Utsman Al-Hiri, yang dimaksud yakin adalah sedikitnya cita-cita di masa yang akan datang. Menurut Sahal bin Abdullah, yakin merupakan tambahan iman dan realitas kebenaran. Dia juga berpendapat, yakin merupakan cabang dari iman, bukan pembenaran. Sedangkan menurut sebagian ulama, yakin adalah ilmu yang tersimpan di dalam hati. Ungkapan ini . memberikan petunjuk pada hal-hal yang tidak perlu diusahakan. Sahal bin Abdullah mengatakan bahwa permulaan yakin adalah terbukanya tabir rahasia. Oleh karena itu, sebagian ulama salaf mengatakan, “Apabila tabir penutup telah dibuka, maka keyakinan akan bertambah, pertolongan akan didapatkan, dan musyahadah dapat dioptimalkan.” Menurut Abu Abdillah bin Khafif, yang dimaksud yakin adalah nampaknya berbagai rahasia melalui penerapan hukum-hukum yang implisit. Menurut Abu Bakar bin Thahir, ilmu selalu bertentangan dengan keragu-raguan, sedang yakin tidak menimbulkan keragu-raguan. Dia memberikan sinyalemen tentang hal itu pada ilmu kasbi (usaha) dan halhal yang berlaku untuk sesuatu yang badihi (riil). Oleh karena itu, Ilmu-ilmu yang dimiliki orang dalam permulaan merupakan urusan kasbi (usaha), sedang dalam akhir merupakan urusan badihi (riil).

 

Saya pernah mendengar Muhammad bin Husin mengatakan, “Sebagian ulama menyebutkan permulaan tempat (kedudukan) adalah ma’rifat, kemudian yakin, pembenaran, ikhlas, persaksian, lantas taat.” Iman adalah nama yang mencakup keseluruhan. Ini dapat dijadikan indikasi bahwa permulaan wajib adalah ma’rifat kepada Allah Swt. Ma’rifat tidak akan terealisir kecuali mendahulukan syarat-syaratnya. Ini dapat disebut pandangan yang benar. Apabila argumentasi dapat teraplikasi dan keterangan dapat terealisir, maka pandangan yang benar akan menjadi optimal sejalan dengan aplikasi cahaya dan realisasi analisa seperti orang yang tidak membutuhkan analisa argumentasi. Ini yang disebut keadaan yakin. Membenarkan Allah Swt. terhadap apa-apa yang telah diinformasikan adalah mendengarkannya untuk memenuhi ajakan terhadap apa yang telah diinformasikan melalui perbuatan di masa yang akan datang, karena pembenaran akan terwujud dalam bentuk-bentuk yang bersifat informatif. Ikhlas terkait dengan hal-hal yang diikuti pelaksanaan perintah. Memenuhi ajakan dapat direalisasikan dengan persaksian yang baik. Pelaksanaan taat dapat dioptimalkan dengan tauhid (penyatuan) terhadap apa-apa yang diperintah dan menghindari apa-apa yang dilarang. Pengertian ini dijadikan indikasi oleh Imam Abu Bakar Furak sebagaimana ungkapannya, “Ingatan (penyebutan) lisan merupakan kelebihan (keutamaan) yang akan memenuhi hati.”

 

Menurut Sahal bin Abdullah, diharamkan bagi hati mencela semerbak baunya hati, karena ketenangan di dalam hati tidak akan tertuju kepada Allah Swt. Menurut Dzun Nun Al-Mishri, yakin akan mendorong pendeknya cita-cita, cita-cita yang pendek akan mendorong zuhud, zuhud akan memberikan hikmah, dan hikmah akan menimbulkan pandangan kritis yang membawa akibat baik. Dia juga berpendapat, terdapat tiga bentuk dari tanda-tanda yakin. Pertama, sedikit pergaulan dalam bermasyarakat. Kedua, meninggalkan pujian dalam pemberian. Ketiga, tidak mencela orang lain apabila mendapatkan rintangan. Juga terdapat tiga bentuk dari tanda-tanda yakinnya yakin. Pertama, memandang Allah Swt. dalam segala sesuatu. Kedua, kembali kepada Allah Swt. dalam segala urusan. Ketiga, minta pertolongan kepada Allah Swt. dalam segala hal.

 

Menurut Junaid, yang dimaksud yakin adalah ilmu yang stabil dan tidak berbolak-balik, tidak berpindah-pindah, dan tidak berubah-ubah di dalam hati. Sedangkan menurut Ibnu Atha’, atas kadar kedekatan mereka kepada takwa, maka mereka akan menemukan yakin sebagaimana yang telah mereka temukan. Pondasi takwa adalah meninggalkan larangan, sedang meninggalkan larangan berarti meninggalkan nafsu, maka mereka akan sampai pada yakin. Menurut sebagian ulama, yang dimaksud yakin adalah mukasyafah (terbukanya tabir rahasia). Mukasyafah terbagi menjadi tiga. Pertama, mukasyafah dengan hal-hal yang baik. Kedua, mukasyafah dengan menampakkan kemampuan. Ketiga, mukasyafah hati dengan esensi keimanan.

 

Perlu diketahui bahwa mukasyafah dalam pembahasan ulama merupakan pelajaran yang dapat merealisasikan sesuatu dalam hati dengan mengatur ingatan tanpa menimbulkan keraguraguan. terkadang mereka hendak bermukasyafah dengan hal-hal yang dekat yang dapat terlihat di antara bangun dan tidur. Akan tetapi, kebanyakan mereka meredaksionalkan hal itu dengan tidur.

 

Saya telah mendengar Imam Abu Bakar bin Furak mengatakan bahwa dia telah bertanya kepada Abu Utsman Al-Maghribi, “Apa yang ingin kau katakan?”

 

“Saya telah melihat pribadi orang-orang seperti ini dan itu,” jawab Abu Utsman.

 

“Apakah engkau melihat mereka dengan mu’ayanah (penglihatan mata) atau dengan mukasyafah (penglihatan mata hati)?”

 

“Dengan mukasyafah.”

 

Menurut Amir bin Qais, seandainya tertutupnya rahasia telah terbuka, maka keyakinan akan menjadi bertambah. Menurut satu pendapat, yang dimaksud yakin adalah melihat benda yang nyata dengan kekuatan aman. Sedangkan pendapat lain menyebutkan, yang dimaksud yakin adalah bulannya segala hal yang bertentangan. Menurut Junaid yang dimaksud yakin adalah hilangnya keragu-raguan di hadapan Allah Swt.

 

Saya telah mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq mengung kapan sabda Nabi Muhammad Saw, tentang Nabi Isa bin Mar Yam as Apabila Nabi Isa bertambah yakin, maka dia akan mampu berjalan di udara.” Beliau memberikan petunjuk tentang hal itu terhadap keadaan diri Nabi Muhammad Saw. sendiri yang telah mampu berjalan di malam mi’raj. Di dalam kitab “Lathifal Mi’raj” dijelaskan, “Saya melihat Buraq sedang menunggu lantas saya berangkat,”

 

Sariy pernah ditanya tentang yakin. Dia menjawab, “Yang dimaksud yakin adalah ketenangan dirimu ketika mengelilingi jalur-jalur yang ada di dadamu untuk meyakinkan bahwa gerakanmu di dalam dada tidak akan memberikan pertolongan dan tidak pula akan menolak apa yang telah ditetapkan.”

 

Menurut Ali bin Sahal, hadir di hadapan Allah Swt. lebih utama daripada yakin karena hadir ibarat tempat perlindungan, sedang yakin ibarat pemikiran, seakan-akan yakin dijadikan untuk memulai hadir, sedang hadir merupakan kontinuitas yang abadi. Demikian juga seakan-akan hasil dari yakin diperbolehkan lepas dari hadir dan dapat mentransfer kebolehan hadir tanpa yakin. Oleh karena itu, Nawawi mengatakan, “Yakin adalah musyahadah, yakni di dalam musyahadah terdapat yakin yang tidak menimbulkan keragu-raguan, karena ia akan disaksikan oleh orang yang tidak mempercayai tempat perlindungannya.” Sedangkan menurut Abu Bakar Al-Warraq, yakin diibaratkan raja dalam hati. Dengan yakin iman akan menjadi sempurna dan Allah Swt. akan diketahui, dan dengan akal Allah Swt. dapat dimengerti (dirasionalkan). Menurut Junaid, para pemimpin berjalan dengan yakin di atas air, sedang orang yang meninggal dunia karena kehausan lebih utama keyakinannya daripada mereka.

 

Ibrahim Al-Khawwash bercerita: Saya bertemu seorang pemuda di padang Tih seakan-akan dia kelihatan sepotong perak. :

 

“Engkau hendak kemana, wahai Pemuda?” tanya saya.

 

“Hendak ke Mekkah.”

 

“Apakah engkau berjalan tanpa membawa bekal, kendaraan, dan nafkah?”

 

“Wahai orang yang lemah keyakinan, Dzat yang mampu menjaga langit dan bumi, apakah Dia tidak akan mampu mengantarkan diriku ke Mekkah tanpa ketergantungan?”

 

Ketika saya memasuki Mekkah, tiba-tiba saya berada di tempat tawaf, dan pemuda itu bersyair:

 

wahai mataku yang terkelupas selamanya wahai jiwa kematianku yang berduka cita jangan kau mencintai seseorang kecuali Dzat Yang Agung dan Mulia Ketika dia melihat diriku, dia mengatakan kepadaku, “Apakah engkau selalu lemah keyakinan?”

 

Menurut Ishaq An-Nahr Jauri, apabila seorang hamba telah menyempurnakan hakikat yakin, maka cobaan akan menjadi kenikmatan dan kemudahan akan menjadi musibah. Menurut Abu Bakar Muhammad Al-Warraq, yakin terbagi menjadi tiga:

 

Pertama, yakin pada kabar (yaitu ilmu yang dihasilkan dari kabar para nabi tentang sesuatu yang gaib dari kesaksiannya berupa surga, neraka, dan berbagai keadaan di hari kiamat). Kedua, yakin pada petunjuk atau bukti (yaitu ilmu atau keyakinan yang dihasilkan dengan pemikiran yang berdasarkan dalil tentang kejadian alam, dan semuanya itu menunjukkan kebaruannya, kesempurnaan-Nya dan kesempurnaan sifat-Nya). Ketiga, yakin pada persaksian (ilmu).

 

Abu Turab Askar An-Nakhsyabi mengatakan, “Saya pernah melihat seorang pemuda di padang pasir yang berjalan tanpa bekal. Saya bergumam, apabila pemuda itu tidak mempunyai keyakinan, maka dia akan meninggal dunia. Lantas saya bertanya, Wahai Pemuda, apakah di dalam tempat seperti ini engkau tidak membawa bekal?’ Dia menjawab, ‘Wahai orang tua, angkatlah kepalamu, apakah engkau melihat selain Allah swt?’ Saya mengatakan, Sekarang, pergilah sekehendakmu.’” Abu Sa’id Ahmad Al-Kharraz mengatakan, “Yang dimaksud ilmu adalah sesuatu yang dapat memberikan pekerjaan kepadamu, sedang yang dimaksud yakin adalah sesuatu yang dapat mengantarkan dirimu.

 

Ibrahim Al-Khawwash mengatakan, “Saya mencari penghidupan untuk mendapatkan makanan yang halal. Lantas saya berburu ikan. Suatu hari saya terjatuh ke dalam jala yang di dalamnya terdapat ikan. Ikan itu saya keluarkan dan jalanya saya lemparkan ke dalam air. Setelah itu saya terjatuh lagi ke dalam jala yang di dalamnya terdapat ikan yang lain. Ikan itu lantas saya lemparkan. Kejadian itu berulang-ulang sehingga ada suara gaib mengatakan kepadaku, “Engkau tidak akan menemukan penghidupan kecuali engkau datang kepada orang yang ingat kepada kami lantas kau bunuh mereka.’ Setelah itu saya pecahkan kayu (untuk berburu) dan saya tinggalkan buruan.”

 

20. SABAR

 

Allah Swt. berfirman:

 

“Sabarlah engkau (ya Muhammad), tiada kesabaranmu itu kecuali dengan pertolongan Allah swt.” (QS. An-Nahl: 127)

 

Dari Aisyah r.a. diceritakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

 

“Sabar yang sempurna adalah pada pukulan (saat menghadapi cobaan) yang pertama.”

 

Dari Anas bin Malik dikatakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Sabar yang sempurna adalah pada pukulan (saat menghadapi cobaan) yang pertama.” Sabar terbagi menjadi dua, yaitu sabar yang berkaitan dengan usaha hamba dan sabar yang tidak berkaitan dengan usaha. Sabar yang berkaitan dengan usaha terbagi menjadi dua, yaitu sabar terhadap apa yang diperintah oleh Allah dan sabar terhadap apa yang dilarang-Nya. Sedang sabar yang tidak berkaitan dengan usaha adalah sabar terhadap penderitaan yang terkait dengan hukum karena mendapatkan kesulitan.

 

Junaid mengatakan, “Perjalanan dari dunia menuju akhirat adalah mudah dan menyenangkan bagi orang yang beriman: putusnya hubungan makhluk di sisi Allah Swt. adalah berat: perjalanan dari diri sendiri (jiwa) menuju Allah Swt. adalah sangat berat: dan sabar kepada Allah Swt. tentu akan lebih berat.” Dia ditanya tentang sabar, lalu dijawab, “Menelan kepahitan tanpa bermasam muka.”

 

Menurut Ali bin Abu Thalib, sabar merupakan bagian dari iman sebagaimana tempat kepala merupakan bagian dari tubuh. Menurut Abul Qasim, yang dimaksud firman Allah Swt. “sabarlah engkau (ya Muhammad)” adalah pondasi ibadah, sedang yang dimaksud firman Allah Swt. “tiada kesabaranmu kecuali dengan pertolongan Allah Swt” (QS. An-Nahl: 127) adalah ubudiyah (penghambaan, bersifat ibadah).

 

Barangsiapa yang naik dari satu derajat untuk-Mu menuju satu derajat yang lain karena pertolongan-Mu, maka dia pindah dari derajat kaidah menuju derajat ubudiyah. Rasulullah Saw. bersabda:

 

“Hanya dengan pertolongan-Mu saya dapat hidup dan mati.”

 

Abu Sulaiman pernah ditanya tentang sabar. Dia menjawab, “Demi Allah, kami tidak bersabar terhadap apa yang kami cintai, maka bagaimana kami bersabar terhadap apa yang kami benci?”

 

Menurut Dzun Nun Al-Mishri, yang dimaksud sabar adalah menjauhi hal-hal yang bertentangan, bersikap tenang ketika menelan pahitnya cobaan, dan menampakkan sikap kaya dengan menyembunyikan kefakiran di medan penghidupan. Menurut Ibnu Atha’, yang dimaksud sabar adalah tertimpa cobaan dengan tetap berperilaku yang baik. Menurut satu pendapat, yang dimaksud sabar adalah orang yang sangat sabar, yaitu orang yang mengembalikan pada dirinya sendiri terhadap sesuatu yang dibenci ketika menghadapi serangan. Menurut sebagian ulama, yang dimaksud sabar adalah tertimpa cobaan dengan tetap bersikap baik dalam pergaulan sebagaimana keadaan sehat (selamat). Dia juga berpendapat, sebaik-baik pembalasan akan melebihinya. Allah Swt. berfirman:

 

“Kami balas orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 96)

 

Menurut Amr bin Utsman, yang dimaksud sabar adalah tetap bersama Allah Swt. dan menerima cobaan-Nya dengan lapang dada dan senang hati. Menurut Ibrahim Al-Khawwash, yang dimaksud sabar adalah konsisten terhadap hukum-hukum AlQuran dan As-Sunnah. Menurut Yahya, kesabaran orang-orang yang cinta kepada Allah Swt. lebih kuat daripada kesabaran orang-orang yang zuhud. “Alangkah mengagumkan bagaimana mereka bersabar?” Hal ini diungkapkan oleh ulama dalam syair:

 

sabar akan menghiasi dengan keindahan di seluruh tanah air

sabar tidak akan menghiasi dengan keindahan kecuali hanya tertuju kepada-Mu

 

Menurut Ruwaim, yang dimaksud sabar adalah meninggal. kan keluhan. Menurut Dzun Nun Al-Mishri, yang dimaksud sabar adalah memohon pertolongan kepada Allah Swt.

 

Saya telah mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan, “Sabar seperti nama-Nya. Telah bersyair kepadaku Syaikh Abu Abdirahman, telah bersyair kepadaku Abu Bakar Ar-Razi, dan telah bersyair kepadaku Ibnu Atha’ pada dirinya sendiri:

 

saya akan sabar agar Engkau rela

saya lenyapkan rasa keluh kesah agar Engkaupun juga rela

Saya merasa cukup

apabila sabarku telah melenyapkan diriku

 

Menurut Abdullah bin Khafif, sabar terbagi menjadi tiga, yaitu orang yang menerima sabar, orang yang sabar, dan orang yang sangat sabar. Menurut Ali bin Abu Thalib, sabar ibarat binatang kendaraan yang tidak pernah jatuh tersungkur.

 

Ali bin Abdullah Al-Bashri mengatakan bahwa seorang laki-laki berhenti di depan Syibli seraya bertanya, “Sabar yang bagaimana yang lebih kuat (hebat) di atas orang-orang yang sabar?” :

 

“Sabar di dalam Allah Swt.” ?

 

“Bukan?!”

 

“Sabar untuk Allah.”

 

“Bukan?!”

 

“Sabar bersama Allah.”

 

“Bukan?!”

 

“Jadi sabar yang bagaimana?” Syibli balik bertanya.

 

“Sabar menghindarkan diri dari Allah Swt.” Setelah itu Syibli berteriak yang ruh (nafas)nya hampir saja lenyap.

 

Menurut Abu Muhammad Ahmad Al-Jariri, yang dimaksud sabar adalah tidak memisahkan antara kenikmatan dan ujian dengan pemikiran yang tenang, sedang yang dimaksud penerimaan sabar adalah tenang menghadapi cobaan dengan mendapatkan beratnya ujian. Sebagian ulama mengatakan:

 

saya bersabar tetapi saya belum mengetahui keinginan-Mu atas sabarku

saya sembunyikan dari-Mu apa-apa yang terkait denganku dari tempat sabar karena takut hati nuraniku mengeluh pada kerinduanku terhadap air mataku secara rahasia sehingga ia tetap mengalir dan saya pun tidak mengetahui

 

Saya telah mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq mengataan, “Orang-orang yang sabar telah beruntung disebabkan susahnya orang-orang yang tahu, karena mereka telah memperoleh perlindungan dari Allah Swt.”

 

Allah Swt. berfirman:

 

“Sesungguhnya Allah Swt. bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anfal: 46)

 

Yang dimaksud arti firman Allah Swt.:

 

“sabarlah, menyabarkan dirilah, dan berjagalah kamu sekalian.” (QS. Ali Imran: 200)

 

Maksudnya adalah sabar tanpa menyabarkan diri, dan menyabarkan diri tanpa menjaga diri.

 

Menurut satu pendapat, yang dimaksud ayat itu adalah sabarlah dengan diri kalian untuk taat kepada Allah Swt., sabarlah dengan hati kalian untuk menerima cobaan-Nya, dan sabarlah dengan tabir rahasia hati kalian untuk rindu kepada-Nya. Sedang menurut sebagian ulama yang lain, yang dimaksud ayat itu adalah sabarlah kalian karena Allah Swt., sabarlah kalian denganNya, dan sabarlah kalian bersama-Nya.

 

Menurut satu pendapat, Allah Swt. menurunkan wahyu kepada Nabi Dawud a.s. : “Berbudi pekertilah dengan budi pekertiKu. Sesungguhnya sebagian dari budi pekerti-Ku adalah sangat sabar.” Dalam ungkapan yang lain disebutkan, “Telanlah kesabaran. Apabila Allah Swt. mematikanmu, maka Dia akan mematikanmu dengan mati syahid. Apabila Allah Swt. menghidupkanmu, maka Dia akan menghidupkanmu dengan kemuliaan.”

 

Menurut sebagian ulama, sabar karena Allah adalah kelelahan, sabar dengan Allah adalah ketetapan, sabar di hadapan Allah adalah cobaan, sabar bersama Allah adalah pemenuhan, dan sabar menghindar dari Allah adalah kehanyutan. Ulama menggambarkan hal ini sebagai berikut:

 

sabar menghindarkan diri dari-Mu akibatnya tercela sedang sabar dalam segala hal akibatnya terpuji bagaimana sabar dari orang yang tinggal di sampingku dengan menempati kanan dari yang kiri apabila orang yang bersenda gurau dengan segala sesuatu maka saya telah melihat kecintaan yang bersenda gurau dengan orang lain

 

Menurut sebagian yang lain, sabar mencari adalah tanda keberhasilan, sedangkan sabar menerima ujian adalah tanda kebahagiaan. Menurut yang lain, yang dimaksud menyabarkan diri adalah sabar di atas sabar sehingga dapat mencakup sabar di dalam sabar dan melemahkan sabar dari sabar, sebagaimana diungkapkan dalam syair berikut ini:

 

orang yang sabarnya sabar akan dimintai pertolongan oleh orang yang sangat sabar sehingga orang yang cinta menyebutnya dengan sabarnya sabar

 

Menurut satu cerita, suatu saat perjalanan Syibli dicegat di tengah jalan Marastarii. Sekelompok orang datang kepadanya.

 

“Siapa kalian?” tanya Syibli.

 

“Para kekasihmu yang sedang berziarah kepadamu.”

 

Kemudian dia melemparkan batu kepada mereka sehingga mereka lari. Dia mengatakan kepada mereka, “Wahai orang-orang pembohong, jika kalian kekasihku, maka tentu engkau akan sabar menerima cobaanku.”

 

Di dalam sebagian hadis disebutkan, dengan penjagaan mata-Ku (Allah), orang-orang yang sabar sebenarnya tidak sabar untuk-Ku. Allah Swt. berfirman:

 

“Sabarlah engkau (ya Muhamuinad) (menerima) hukum Tuhanmu. Sesungguhnya engkau dalam penjagaan mata Kami.” (QS. Ath-Thur: 48)

 

Sebagian ulama mengatakan, “Saya berada di Mekkah. Saya melihat orang fakir mengelilingi Baitullah. Dia mengeluarkan rug ah (jimat atau Bungkusan yang bertulisan) dari sakunya. Dia melihat ruq’ah itu lantas pergi. Besok harinya dia mengerjakan sebagaimana kemarin. Beberapa hari saya niemperhatikannya.

 

Dia selalu mengerjakan hal itu setiap hari untuk kepentingan dirinya sendiri. Suatu hari dia berkeliling dan melihat rug’ahnya. Sedikit demi sedikit dia menjauh lantas terjatuh dan meninggal dunia. Rug’ah itu saya keluarkan dari sakunya. Ternyata di dalam rug’ah itu berisi tulisan firman Allah Swt.:

 

“Sabarlah engkau (ya Muhammad) (menerima) Tuhanmu. Sesungguhnya engkau dalam penjagaan mata Kami.” : (QS. Ath-Thur: 48)

 

Sebagian ulama yang lain mengatakan, “Saya memasuki Negara India. Saya melihat seorang laki-laki menggunakan satu mata. Orang-orang memberikan nama, ‘Fulan yang sangat sabar.” Saya bertanya kepada mereka tentang keadaannya. Lantas dijawab bahwa dia menginjak awal masa remaja ketika teman-temannya hendak bepergian dia keluar dari tempat tinggalnya. Salah satu dari kedua matanya melelehkan air mata, sedang mata yang lain tidak menangis. Dia mengatakan kepada matanya yang tidak melelehkan air mata, “Kenapa engkau tidak melelehkan air mata atas perpisahan temanku? Saya tentu akan mengharapkanmu untuk melihat dunia. Dia memejamkan matanya selama dua tahun tanpa pernah membukanya.”

 

Menurut satu pendapat, yang dimaksud firman Allah Swt. “Bersabarlah engkau (Ya Muhammad) dengan sabar yang baik.” (QS. Al-Ma’arij: 5) adalah sabar yang betul agar orang yang tertimpa musibah di tengah-tengah masyarakat tidak dapat diketahui. Umar bin Khaththab pernah mengatakan, “Seandainya sabar dan syukur diibaratkan dua unta, maka saya tidak akan peduli mana di antara keduanya yang harus saya tunggangi.”

 

Dalam satu ungkapan, Ibnu Syibrimah apabila mendapatkan cobaan, dia mengatakan, “Sekarang berawan, besok ia akan hilang.” Di dalam hadis disebutkan bahwa Nabi Muhammad Saw. pernah ditanya tentang iman. Beliau menjawab:

 

“Sabar dan toleransi.”

 

Sariy pernah ditanya tentang sabar. Ketika dia hendak menjawab, kakinya dirayap oleh kala yang menyengat berulangulang. Dia tetap diam tanpa bergerak. Dia ditanya, “Kenapa kala itu tidak kau jauhkan dari kakimu?” Dia menjawab, “Saya malu kepada Allah Swt. membicarakan sabar karena saya belum mampu bersabar.”

 

Dalam sebagian hadis disebutkan bahwa orang-orang fakir yang sangat sabar adalah tamu-tamu Allah Swt. di hari kiamat. Dalam satu cerita, Allah Swt. menurunkan wahyu kepada sebagian para nabi-Nya: “Cobaan-Ku telah Kuturunkan kepada hambaKu lantas dia berdoa kepada-Ku, tetapi Aku tidak mengabulkannya, kemudian dia mengeluh kepada-Ku. Aku berfirman kepadanya, “Wahai hamba-Ku, bagaimana Aku dapat mengasihanimu dengan memberikan sesuatu sehingga Aku dapat kasihan kepadamu.”

 

Arti firman Allah Swt.:

 

“Kami jadikan mereka imam (orang-orang yang diikuti) yang memberikan petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar.” (QS. Al-Anbiya’: 73)

 

Ayat itu, kata Ibnu Uyainah, adalah ketika mereka menjadikan pemimpin dalam satu urusan, maka Kami jadikan mereka sebagai pemimpin.

 

Saya telah mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan, “Yang dimaksud pembatasan sabar adalah tidak merintangi takdir. Apabila menampakkan cobaan tanpa cara mengeluh (mengadu), maka hal itu bukan berarti meniadakan sabar.” Allah Swt. berfirman tentang cerita Nabi Ayyub:

 

“Sungguh Kami mendapati Ayyub seorang yang sabar. Dia sebaik-baik hamba.” (QS. Shad: 44)

 

Ayat itu ditopang dengan firman-Nya yang lain seperti perkataan Nabi Ayyub:

 

“Kemelaratan telah menimpa diriku.” (QS. Al-Anbiya’: 83)

 

Saya juga telah mendengar dia mengatakan, “Dari ungkapan ini dapat ditafsirkan bahwa maksud firman Allah Swt. adalah: Kemelaratan telah menimpa diriku agar engkau (Ayyub) memberikan kesenangan kepada umat yang lemah.” Menurut sebagian ulama, ayat itu berbunyi: “Sungguh Kami mendapatkan Ayyub seorang yang sabar”, bukan kata-kata: “seorang yang sangat sabar”, karena semua kondisi Ayyub tidak dapat disamakan dengan sabar. Sebaliknya, sebagian kondisi Ayyub telah mendapatkan kenikmatan musibah. Dalam keadaan menerima kenikmatan, dia tidak diklasifikasikan seorang yang sabar. Oleh karena itu, Allah Swt. tidak berfirman, “Orang yang sangat sabar”.

 

Saya telah mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan, “Hakikat sabar adalah menghindarkan diri dari cobaan dan menerima apa-apa yang telah menimpanya seperti Nabi Ayyub a.s. Dia tetap mengatakan di akhir cobaannya, ‘Kemelaratan telah menimpa diriku. Sedang Engkau lebih pengasih dari segala yang pengasih (QS. Al-Anbiya’: 83).

 

Dia menjaga etika berbicara dengan mengatakan, ‘Sedang Engkau lebih Pengasih dari segala yang pengasih.’ Ia tidak mengatakan, ‘Kasihanilah diriku.”

 

Perlu diketahui bahwa sabar terbagi menjadi dua, yaitu kesabaran orang yang beribadah dan kesabaran orang yang cinta. . Sebaik-baik sabar orang yang beribadah adalah terjaga dan sebaikbaik sabar orang yang cinta adalah tertinggal. Dalam pengertian ini ulama mengatakan:

 

percekcokan di hari perceraian adalah keinginan sabar dari salah satu praduga-praduga bohong

 

Saya telah mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan, “Nabi Ya’qub a.s. telah mengoptimalkan perjanjian sabar dengan dirinya sendiri. Dia mengatakan, Sabar yang baik artinya saya telah mendapatkan sabar yang baik. Namun, ketika dia tidak mendapatkannya, dia balik mengatakan:

 

“ Aduh duka citaku mengenang Yusuf.” (QS. Yusuf: 84)

 

21. AL-MURAQABAH

 

Allah Swt. berfirman:

 

“Allah Maha Mengawasi tiap-tiap sesuatu.” (QS. Al-Ahzab: 52)

 

Malaikat Jibril a.s. datang kepada Nabi Muhammad Saw. dengan berbentuk seorang laki-laki.

 

“Ya Muhammad, apa itu iman?” tanyanya.

 

“Beriman kepada Allah Swt., para Malaikat-Nya, kitab-kitabNya, para utusan-Nya, dan takdir baik dan buruk serta manis dan pahit.”

 

“Engkau benar.”

 

Para sahabat yang menyaksikan adegan itu terheran-heran.

 

Bagaimana mungkin orang yang bertanya malah membenarkan jawaban yang ditanyakan. Bukankah dia datang untuk bertanya, tetapi mengapa justru terkesan menggurui Rasulullah Saw. Di tengah keheranan para sahabat yang belum terjawab, laki-laki asing itu kembali bertanya. .

 

“Berilah diriku keterangan, apa itu Islam?”

 

“Menegakkan salat, memberi zakat, puasa di bulan Ramadan, dan haji ke Baitullah.” :

 

“Engkau benar.”

 

“Berilah diriku penjelasan, apa itu Ihsan?”

 

“Beribadahlah kepada Allah Swt. seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak dapat melihat-Nya, maka Dia akan melihatmu.”

 

“Engkau benar,” jawab Malaikat Jibril a.s. kemudian berpamit pergi.

 

Ustaz Syaikh mengatakan bahwa ungkapan sabda Rasulullah Saw. “jika engkau tidak dapat melihat-Nya, maka Dia akan melihatmu” merupakan isyarat tentang muraqabah” (pengawasan).

 

Muraqabah adalah ilmu hamba untuk melihat Allah Swt. Sedangkan yang konsisten terhadap ilmu itu adalah yang mengawasi (menjaga atau merasa dirinya selalu diawasi sehingga membentuk sikap yang selalu awas pada hukum-hukum Allah) Allah Swt. Ini merupakan dasar tiap-tiap kebaikan. Orang tidak akan sampai pada tingkatan ini kecuali setelah menyelesaikan pengawasan (penjagaan). Apabila orang mengawasi dirinya sendiri terhadap apa-apa yang telah lampau, memperbaiki keadaannya di saat sekarang, maka selalu berada di jalan yang benar, mengadakan kontak baik dengan Allah Swt. sambil menjaga hati, memelihara nafas agar selalu berhubungan dengan-Nya, memelihara-Nya dalam segala hal, maka dia akan mengetahui bahwa Allah Swt. adalah Dzat Maha Pengawas dan Dzat Maha Dekat dengan hatinya. Allah Swt. mengetahui keadaannya, melihat perbuatannya, dan mendengar ucapannya. Barangsiapa yang melupakan semua itu, maka dia akan terlepas dari taraf permulaan hubungan (persinambungan) dengan-Nya. “Bagaimana tentang hakikat dekat? ‘

 

Ahmad Al-Jariri mengatakan, “Barangsiapa yang tidak memperkuat takwa dan pengawasan antara dirinya dan Allah Swt., maka dia tidak akan sampai pada mukasyafah (terbukanya tabir rahasia) dan musyahadah (persaksian dengan-Nya).

 

Saya telah mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan, “Seorang raja mempunyai menteri. Suatu hari dia berada di sampingnya. Raja menoleh kepada sebagian budak. Mereka berhenti untuk berdiri di depan raja tanpa keragu-raguan, akan tetapi gerakan dan suaranya lebih dimengerti daripada mereka. Setelah itu raja memandang menteri itu dalam keadaan seperti semula. Menteri itu takut karena mengira raja akan menduga dirinya memandang mereka dengan keragu-raguan. Dia lantas memandangnya sebagaimana yang dipandang raja. Besok harinya menteri itu datang kepada raja. Ternyata raja tetap memandang ke sebelah kanan sehinga raja menduga bahwa hal itu adalah ciptaannya.” Keadaan ini sebagai contoh pengawasan makhluk kepada makhluk yang lain. Bagaimana pengawasan (muraqabah) hamba terhadap Tuhannya?”

 

Saya telah mendengar Faqir mengatakan, “Seorang raja mempunyai budak yang sering mengahadap kepadanya daripada budak-budak lainnya. Kebanyakan mereka tidak semahal dan seistimewa dia. Mereka mengungkapkan hal itu kepada raja. Raja menjelaskan kepada mereka tentang keutamaan budak itu dalam pelayanan daripada yang lainnya. Suatu hari budak itu ada di atas kendaraan kuda bersama orang yang sangat disegani (raja). Mereka berdekatan dengan gunung yang penuh salju. Raja melihat salju itu lantas menundukkan kepalanya. Seketika budak itu menaiki kudanya dan menerobos salju itu. Orang-orang tidak mengerti mengapa dia pergi, tetapi diatidakmempedulikan. Dia terus berusaha mendaki gunung hingga ke puncak kemudian kembali menghadap raja dengan membawa salju. Raja mengatakan kepadanya, ‘Apa (siapa) yang membuatmu tahu bahwa saya menghendaki salju?’ Dia menjawab, “Karena Tuan melihat salju itu.’ Pandangan raja menerawang, kemudian mengatakan, ‘Dia kuberikan keistimewaan karena telah memuliakan diriku dan selalu hadir dalam diriku. Tiap-tiap orang mempunyai kesibukan sendiri-sendiri. Sedang kesibukan dia selalu menjaga pandangan (lirikan)ku dan keadaanku.’”

 

Sebagian ulama mengatakan, “Barangsiapa yang menjaga Allah Swt. di dalam hatinya, maka Allah Swt. akan menjaga seluruh anggota tubuhnya.” Abul Husain bin Hindun pemah ditanya, “Kapan penggembala dapat menghalau kambingnya dengan tongkat pemeliharaan agar terhindar dari perangkap kebinasaan?” Dia menjawab, “Jika dia mengerti bahwa di hadapannya terdapat Dzat Yang Maha Mengawasi.”

 

Menurut satu cerita, Ibnu Umar berada di perjalanan. Dia melihat budak sedang menggembala kambing.

 

“Bisakah engkau menjualnya seekor kepadaku?” tawar Ibnu Umar dengan maksud menguji.

 

“Kambing itu bukan milik saya.”

 

“Katakan saja kepada pemiliknya bahwa serigala telah memakannya!”

 

“Di mana Allah swt?”

 

Ibnu Umar diam untuk beberapa saat. Dia merenungkan kata-kata penggembala itu. Kemudian dia mendesah sambil mengatakan, “Budak itu mengatakan di mana Allah Swt.”

 

Junaid telah mengatakan bahwa barangsiapa yang dapat merealisasikan pengawasan (muraqabah), maka dia takut kehilangan bagian dari Tuhannya, bukan takut pada yang lain.”

 

Seorang guru sufi mempunyai seorang murid yang diistimewakan. Guru itu sering datang kepadanya daripada datang kepada murid-muridnya yang lain. Mereka bertanya kepada gurunya tentang hal itu. Guru menjawab, “Akan saya jelaskan persoalan ini kepada kalian.“ Selang beberapa waktu guru memanggil murid-muridnya. Masing-masing diberi seekor burung sambil berpesan, “Sembelilah burung ini di suatu tempat yang tidak diketahui oleh siapapun.” Mereka semuanya lantas pergi, dan sebentar kemudian kembali dengan membawa burung yang telah disembelih di tangan mereka masing-masing. Akan tetapi, salah seorang dari mereka datang dengan membawa burung yang masih hidup.

 

“Kenapa burung itu tidak kamu sembelih?”

 

“Guru memerintahkan saya agar menyembelih burung di tempat yang tidak diketahui oleh siapapun. Saya sudah berusaha mencari ke sana kemari, tetapi tidak menemukan satu tempat pun yang tidak terlihat kecuali dilihat oleh Allah.”

 

Guru itu tersenyum. Dengan nada yang datar, dia berkata, “Karena inilah, saya mengistimewakan dia dengan selalu datang kepadanya.“

 

Menurut Dzun Nun Al-Mishri, yang dimaksud hubungan pengawasan adalah mementingkan sesuatu yang telah dipentingkan oleh Allah Swt., mengagungkan sesuatu yang telah diagungkan oleh-Nya, dan mengecilkan sesuatu yang telah dikecilkan oleh-Nya. Menurut Ibrahim An-Nashr Abadzi, raja’ (pengharapan) akan menggerakkan pada ketaatan, khauf (takut) akan menjauhkan diri dari maksiat, dan miuragabah (pengawasan) akan mengantarkan pada jalan hakikat.

 

Ja’far bin Nashr pernah ditanya tentang pengawasan. Dia menjawab, “Menjaga hati untuk memandang Allah Swt. dalam setiap gerakan.” Ahmad Al-Jariri mengatakan, “Urusan kita terklasifikasi menjadi dua, yaitu konsistensi diri dalam pengawasan terhadap Alllah Swt. dan tertanamnya ilmu secara lahiriyah.” Menurut Abdullah Al-Murta’isy, yang dimaksud pengawasan adalah memelihara hati dengan memperhatikan Allah Swt. dalam setiap langkah dan perkataan.

 

Ibnu Atha’ pernah ditanya, “Apa yang paling utama dari taat?” Dia menjawab, “Mengawasi Allah Swt. sepanjang masa.” Ibrahim Al-Khawwash mengatakan, “Pemeliharaan akan menyebabkan pengawasan, sedang pengawasan akan menyebabkan kemurrian rahasia dan terang-terangan karena Allah Swt.“ Menurut Abu Utsman Al-Maghribi, konsistensi diri manusia yang paling utama adalah meneliti, mengawasi, dan mensiasati perbuatannya dengan ilmu.

 

Abu Utsman mengatakan, “Abu Hafsh mewasiatkan kepadaku, Apabila engkau duduk bersama orang lain, jadilah penasihat terhadap hatimu dan dirimu serta janganlah kamu sampai tertipu oleh perkumpulan mereka. Mereka mengawasi lahirmu, sedang Allah Swt. mengawasi batinmu.

 

Abu Sa’id Al-Kharraz mengatakan, “Salah seorang dari guruku telah mengatakan kepadaku, “Tetaplah memelihara dan mengawasi hatimu.” Dia mengatakan, “Suatu hari saya berjalan ke daerah padang pasir. Tiba-tiba di belakangku terdengar suara desingan. Suara itu sangat menakutkan. Saya hendak menoleh, tetapi saya tahan. Setelah itu saya melihat sesuatu menyentuh punggungku, lantas ia pergi. Sambil saya menjaga hati lantas saya menoleh. ternyata saya berhadapan dengan hewan yang sangat besar.”

 

Al-Wasithi berkata, “Seutama-utama taat adalah menjaga waktu-waktu. Dia tidak meruti-niti hamba di luar batasnya, tidak meniti-niti selain Tuhannya, dan tidak bersahabat selain dengan waktunya.”

 

22. RIDA

 

Allah Swt. berfirman:

 

“Allah rida kepada mereka dan mereka rida kepada-Nya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. Al-Maidah: 119)

 

Dari Jabir r.a. diceritakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda,

 

“Suatu hari ahli surga berada di suatu tempat. Tiba-tiba cahaya (kedudukan)? Menurut ulama Khurasan rida termasuk bagian dari tempat yaitu puncak tawakal. Artinya, rida dapat ditafsiri sebagai sesuatu yang dapat mengantarkan hamba karena usahanya. Sedangkan menurut ulama Irak, rida termasuk bagian dari sesuatu yang turun dan bertempat di hati sebagaimana keadaan yang lain. Mengompromikan dua pandangan itu sangat mungkin dan baik, yaitu permulaan rida dapat diusahakan oleh hamba. Ini merupakan bagian dari tempat, sedang (puncak) yang merupakan bagian dari keadaan. Ini tidak dapat diusahakan.

 

Rida menjadi pembahasan ulama. Di antara mereka ada yang meredaksionalkan dengan keadaan dan minuman. Dalam redaksi ini mereka berbeda pendapat, sebagaimana mereka berbeda pendapat dalam masalah minuman dan bagian. Oleh karena itu, syarat ilmu merupakan kepastian yang harus dipegang, sedang orang yang rida kepada Allah Swt. tidak diperkenankan menentang takdirnya.

 

Saya telah mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan, “Tidak dapat disebut rida jika seseorang belum pernah mendapatkan cobaan. Namun, dapat disebut rida jika dia tidak menentang hukum dan keputusan Allah Swt.“

 

Perlu diketahui bahwa kewajiban hamba adalah rida terhadap keputusan yang telah diperintahkan untuk rida kepadanya, karena segala sesuatu tanpa keputusan akan menjadi boleh atau kewajiban hamba adalah rida terhadapnya seperti rida terhadap kemaksiatan dan fitnah ujian orang-orang Islam.

 

Menurut para guru sufi, rida diibaratkan pintu Allah Swt. yang besar. Orang yang memuliakan rida, maka dia akan dipertemukan dengan kecintaan yang paling penuh (utama) dan dimuliakan dengan pendekatan yang paling tinggi. Menurut Abdul Wahid bm Zaid, rida diibaratkan pintu Allah Swt. yang besar dan surga dunia. Perlu diketahui bahwa hamba hampir tidak meridai Allah Swt. kecuali Dia meridakannya. Allah Swt. berfirman:

 

“Allah rida kepada mereka dan mereka rida kepada-Nya.” (QS. Al-Maidah: 119)

 

Saya telah mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq bercerita tentang seorang murid yang bertanya kepada gurunya, “Apakah seorang hamba mengetahui bahwa Allah Swt. rida kepadanya?”

 

“Tidak. Bagaimana dia akan mengetahui hal itu, padahal rida masalah gaib.”

 

“Dia mengetahui hal itu,” sanggah sang murid.

 

“Bagaimana mungkin?”

 

“Jika hatiku rida kepada Allah Swt., berarti saya tahu bahwa Dia rida kepadaku.”

 

“Engkau benar, wahai Anakku.”

 

Dalam satu cerita disebutkan, Nabi Musa a.s. pernah mengatakan, “Ya Tuhan, tunjukkanlah diriku pada perbuatan yang apabila saya kerjakan, Engkau rida kepadaku?” Allah Swt. berfirman: Engkau tidak akan mampu mengerjakan hal itu. Nabi Musa a.s. menjatuhkan diri bersujud dan berdoa. Setelah itu Allah Swt. menurunkan wahyu: Wahai Putera Imran, Aku akan rida apabila Engkau rida terhadap keputusan-Ku.

 

Menurut Abdurrahman Ad-Darani, apabila hamba meninggalkan syahwat, maka dia adalah orang yang rida. Menurut Ibrahim An-Nashr Abadzi, barangsiapa yang ingin sampai ke tempat rida, maka kerjakanlah apa-apa yang telah dijadikan Allah Swt. rida. Menurut Abdullah bin Khafif, rida terbagi menjadi dua, yaitu rida dengan-Nya dan rida kepada-Nya. Yang dimaksud rida dengan-Nya adalah memikirkan dan merenungkan-Nya, sedang yang dimaksud rida kepada-Nya adalah melaksanakan apa-apa yang diputuskan.

 

Saya telah mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan, “Jalan orang yang menempuh menuju Allah Swt. lebih panjang, yakni jalan latihan, sedang jalan orang yang waspada lebih dekat, tetapi lebih sulit, yakni mengerjakan dengan rida dan rida dengan keputusan.”

 

Menurut Ruwaim, yang dimaksud rida adalah seandainya Allah Swt. menjadikan neraka Jahannam di sebelah kanannya, dia (orang yang rida) tidak akan memohon agar neraka Jahannam itu dipindah ke sebelah kiri. Menurut Abu Bakar bin Thahir, yang dimaksud rida adalah menghilangkan kebencian di dalam hati, sehingga tak sedikit pun tertinggal di dalamnya kecuali kebahagiaan dan kesenangan. Menurut Muhammad Al-Wasithi rida harus dikerjakan berdasarkan kemampuan. Rida tidak dapat dipak. sakan untuk dikerjakan karena akan menjadi penghalang dengan tidak mendapatkan kenikmatan dan tidak dapat melihat hakikat sesuatu yang dipandang. Perlu diketahui bahwa ungkapan Al. Wasithi adalah urusan yang besar yang di dalamnya terkandung pernyataan untuk memutuskan orang-orang secara samar. Oleh karena itu, tenang menghadapi berbagai keadaan di hadapan mereka merupakan penghalang dari perubahan berbagai keadaan yang lain. Barangsiapa yang menikmati rida dan menemukan bau harumnya, maka dia akan terhalang dengan keadaannya sendiri yang mengakibatkan jauh dari Allah Swt. Al-Wasithi juga menegaskan, “Takutlah pada manisnya taat karena ia akan menjadi racun yang dapat membunuh.” Menurut Abu Abdullah bin Khafif, yang dimaksud rida adalah tenangnya hati menerima hukum-hukum Allah Swt. dan kesepakatannya terhadap sesuatu yang Allah Swt. rida serta memilihnya sebagai pegangan.

 

Rabi’ah AlAdawiyah pernah ditanya, “Kapan hamba disebut orang yang rida?” Dia menjawab, ” Apabila dia senang ketika mendapatkan musibah, sebagimana dia senang ketika mendapatkan kenikmatan.” Menurut satu cerita, Syibli pernah mengatakan di depan Junaid, “Tidak ada daya upaya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Swt. Yang Maha Tinggi dan Maha Agung.” Junaid mengatakan, “Ucapanmu itu adalah ucapan orang yang sempit hati. Orang yang sempit hatinya akan meninggalkan rida karena ada keputusan.” Setelah itu Syibli diam.

 

Abu Sulaiman berpendapat, yang dimaksud rida adalah jangan memohon kepada Allah Swt. untuk mendapatkan surga dan jangan pula mohon perlindungan kepada-Nya agar terhindar dari neraka. Menurut Dzun Nun, tanda-tanda rida ada tiga. Pertama, meninggalkan ikhtiyar (usaha, pilihan) sebelum keputusan. Kedua, menghilangkan kepahitan sebelum keputusan. Ketiga, cinta apabila mendapatkan cobaan.

 

Pernah dikatakan kepada Husain bin Ali bin Abu Thalib bahwa Abu Dzar mengatakan, “Fakir lebih dicintai bagi diriku daripada kaya dan sakit lebih dicintai bagi diriku daripada sehat.” Husain mengatakan, “Mudah-mudahan Allah Swt. memberikan rahmat kepada Abu Dzar. Adapun saya, maka saya tegaskan barangsiapa yang bersungguh-sungguh di atas kebaikan dengan memilih Allah Swt., maka dia tidak akan menerima sesuatu selain apa yang telah diputuskan-Nya.” Fudhail bin Iyadh pernah mengatakan kepada Bisyr Al-Hafi, “Rida lebih utama daripada zuhud di dunia karena orang yang rida tidak mengharapkan sesuatu atas kedudukannya.”

 

Abu Utsman pernah ditanya tentang sabda Nabi Muhammad Saw., “Saya memohon kepada-Mu, ya Allah keridaan setelah keputusan.” Dia menjawab, “Rida sebelum keputusan adalah rida yang sebenarnya.” Abu Sulaiman mengatakan, “Saya berharap mampu mengetahui ujung rida. Seandainya Allah Swt. memasukkan diriku ke neraka, maka saya akan tetap rida.”

 

Menurut Abu Umar Ad-Dimsyagi, yang dimaksud rida adalah menghjangkan (meninggalkan) keluh kesah di mana saja hukum berlaku. Menurut Junaid, yang dimaksud rida adalah menghilangkan ikhtiyar (usaha, pilihan). Menurut Ibnu Atha’, yang dimaksud rida adalah melihatnya hati terhadap lamanya pilihan Allah Swt. bagi hamba dengan meninggalkan kemarahan. Sedangkan menurut Ruwaim, yang dimaksud rida adalah menerima hukum dengan senang hati. Menurut Harits Al-Muhasibi, yang dimaksud rida adalah tenangnya hati di bawah tempattempat berlakunya hukum. Menurut An-Nuri, yang dimaksud rida adalah senangnya hati karena menerima pahitnya keputusan.

 

Al-Jauzi mengatakan, “Barangsiapa rida tanpa batas, Allah Swt. akan mengangkat derajatnya di luar batas.” Sedang Abu Turab An-Nakhsabi menjelaskan, “Siapa pun tidak akan pernah mendapatkan rida jika dalam hatinya ada seberat biji sawi dunia.”

 

Diriwayatkan dari Al-Abbas bin Abdul Muthalib, bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

 

“Orang yang rida Allah sebagai Tuhannya, akan merasakan nikmatnya iman.”

 

Diceritakan bahwa Umar bin Khaththab menulissuratkepada Abu Musa Al-Asy’ari, “…bahwa segala kebaikan terletak di dalam keridaan. Maka jika engkau mampu, jadilah orang yang rida: jika tidak mampu, jadilah orang yang sabar.”

 

Dalam sebuah cerita disebutkan bahwa Utbah Al-Ghulam biasa menghabiskan malam-malamnya hingga pagi dengan ber. ucap, “Jika Engkau menghukumku, aku akan mencintai-Mu, dan jika Engkau mengasihi aku, aku pun tetap mencintai-Mu.”

 

Saya telah mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan, “Manusia ibarat tembikar. Ia tidak mempunyai pikiran (perasaan) menentang hukum Allah Swt.” Saya juga telah mendengar dia mengatakan, “Seorang laki-laki marah kepada budaknya. Budak itu minta tolong kepada orang lain agar tuannya memberikan maaf. Budak itu menangis sampai penolong bertanya, Kenapa engkau menangis, padahal tuanmu telah memaafkanmu?’ Tuannya langsung menjawab, ‘Dia hanya memohon keridaanku, bukan yang lain. Adapun saya menangis karena dia.”

 

23. UBUDIYAH

 

Allah Swt. berfirman:

 

“Sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu keyakinan (mati).” (QS. Al-Hijr: 99)

 

Dari Abu Sa’id Al-Khudri dituturkan dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

 

“Tujuh orang yang akan diberikan naungan oleh Allah Swt. di suatu hari yang tidak ada naungan selain naungan-Nya. Pertama, imam yang adil. Kedua, pemuda yang hidup selalu beribadah kepada Allah Swt. Ketiga, orang laki-laki yang hatinya selalu bergantung (berhubungan) pada mesjid apabila keluar sampai dia kembali. Keempat, dua orang laki-laki yang saling mencitai karena Allah Swt., mereka berkumpul dan berpisah karena-Nya. Kelima, orang laki-laki yang selalu ingat Allah ketika sendirian sampai kedua matanya mencucurkan air mata. Keenam, orang laki-laki yang diajak (berbuat mesum) oleh orang perempuan yang sangat cantik, lalu dia mengatakan, “Saya takut kepada Allah Swt. Tuhan semesta alam.’ Ketujuh, orang laki-laki yang sedekah lalu menyembunyikannya sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan tangan kanannya.”

 

Saya telah mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan, ‘Ubudiyah lebih sempurna daripada ibadah. Tingkat dasarnya adalah ibadah, kemudian ‘ubudiyah, dan yang tertinggi adalah ‘ubudah. Ibadah dimiliki orang awam (orang umum). ‘Ubudiyah dimiliki orang khawwash (orang khusus). ‘Ubudah dimiliki oleh orang khawwashul khawash (orang khususnya khusus). Saya juga mendengar dia menyebutkan, ‘Ubadah dimiliki orang yang mempunyai ilmu yaqin, ‘ubudiyah dimiliki orang yang mempunyai ‘ainul yaqin, dan ‘ubudah dimiliki orang yang mempunyai Haqqul yaqin.” Dia juga mengatakan, “Ibadah dimiliki orang yang muja, hadah (bersungguh-sungguh menghadap Tuhan), ‘ubudiyah dimi, liki orang yang mukabadah (yang terbebani dengan cobaan yang berat), dan “ubudah dimiliki orang yang musyahadah (yang menyaksikan Tuhan).” Barangsiapa yang tidak merendahkan dirinya, maka dia adalah pemilik ibadah. Barangsiapa yang tidak kikir pada hatinya, maka’dia pemilik “ubudiyah. Barangsiapa yang tidak kikir pada ruhnya, maka dia pemilik ‘ubudah.

 

Menurut satu pendapat, yang dimaksud ‘ubudiyah ialah menegakkan ketaatan yang sungguh-sungguh dengan pengagungan, memandang apa-apa yang datang dari dirimu dengan pandangan merendahkan, dan menyaksikan sesuatu yang dihasilkan dari perjalanan hidupmu sebagai ketetapan. Menurut pendapat yang lain, yang dimaksud ‘ubudiyah adalah meninggalkan ikhtiar (usaha /pilihan) terhadap sesuatu yang riil sebagai suatu ketetapan. Sebagian ulama berpendapat, yang dimaksud ‘ubudiyah adalah menolak daya upaya dan kekuatan dan mengakui sesuatu yang telah diberikan dan diatur oleh Allah Swt. berupa umur panjang dan anugerah. Menurut sebagian yang lain, yang dimaksud ‘ubudiyah adalah melaksanakan apa-apa yang diperintah dan menjauhi apa-apa yang dilarang.

 

Abu Abdullah Muhammad bin Khafif pernah ditanya, “Kapan ‘ubudiyah dianggap sah?” Dia menjawab, “Apabila dia telah melimpahkan semua urusan kepada Tuhannya dan bersabar menerima cobaan.”

 

Menurut Sahal bin Abdullah, ibadah seseorang tidak diangap sah, sehingga dia tidak mengeluh dari ernpat hal: lapar, telanjang (kepapaan sandang), fakir, dan hina. Menurut satu pendapat, yang dimaksud ‘ubudiyah adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah Swt. dan menanggung semua urusannya. Menurut satu pendapat lagi, tanda-tanda ‘ubudiyah adalah menghindarkan pengaturan dan menyaksikan ketetapan.

 

Dzun Nun Al-Mishri mengatakan, “Yang dimaksud ‘ubudiyah adalah menjadi hamba yang selalu ada dalam segala hal sebagaimana Tuhan yang selalu ada dalam segala hal.” Ahmad AlJariri mengatakan, “Penghamba kenikmatan sangat banyak jumlahnya dan penghamba Dzat Pemberi kenikmatan sangat kuat eksistensinya.”

 

Saya telah mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan, “Engkau adalah budak yang engkau sendiri berada dalam perbudakannya dan tawanannya. Apabila engkau berada dalam tawanan dirimu, maka engkau adalah budak dirimu. Apabila engkau berada dalam tawanan duniamu, maka engkau adalah budak duniamu.” Rasulullah bersabda:

 

“Alangkah celakanya budak dirham, budak dinar, dan budak pakaian.”

 

Ismail bin Najid mengatakan, “Jangan mencintai seorang yang mengerjakan ‘ubudiyah, sehingga dia dapat menyaksikan perbuatannya memperoleh karunia dan keadaannya memperoleh tuntutan.” Abdullah bin Manazil mengatakan, “Hamba adalah seseorang yang tidak menuntut pelayanan untuk diriny: Apabila dia masih menuntut pelayanan bagi dirinya, maka dia telah menjatuhkan batasan “ubudiyah dan meninggalkan tatakrama.” Sahal bin Abdullah mengatakan, “Tidak layak bagi hamba beribadah sehingga dia tidak dapat melihat pengaruh kemiskinan dalam ketiadaan dan pengaruh kekayaan dalam keberadaan.” Menurut satu ungkapan, ‘ubudiyah adalah menyaksikan Tuhan. :

 

Saya telah mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan, “Saya telah mendengar Ibrahim An-Nashr Abadzi berkata, ‘Nilai orang yang menyembah tergantung dari yang disembah sebagaimana kemuliaan orang yang ma ‘rifat tergantung dari yang dima’rifati. ”

 

Menurut Abu Hafsh, ‘ubudiyah adalah hiasan hamba. Barang. siapa yang meninggalkannya, maka dia tidak akan mendapatkan hiasan. Menurut An-Nabaji, dasar ibadah memiliki tiga bentuk, Pertama, tidak menolak hukum-hukum Allah Swt. sedikit pun. Kedua, tidak merendahkan sesuatu. Ketiga, tidak meminta kepada orang lain karena kebutuhan. Menurut Ibnu Atha’, ‘ubudiyah mempunyai empat bentuk. Pertama, memenuhi janji. Kedua, menjaga batasan-batasan hukum. Ketiga, rida terhadap sesuatu yang ada. Keempat, sabar terhadap sesuatu yang tidak ada.

 

‘Amru bin Utsman Al-Makki menuturkan kisahnya, “Saya tidak pernah melihat seorang penyembah di kebanyakan tempat yang saya temui di tanah Mekkah Al-Mukarramah. Tidak juga seorang pun yang datang kepada kami pada musim-musim haji (atau pekan-pekan raya lain) yang sungguh-sungguh beribadah. Tidak pula dijumpai pelaku ibadah yang berketetapan dan terusmenerus menjalankan ibadah dengan keberanian menanggung yang sulit-sulit. Saya juga tidak melihat seorang pun pelaku ibadah yang benar-benar mengagungkan perintah-perintah Allah, tidak pula hamba yang berani mempersempit dirinya dan memperluas untuk orang lain.”

 

Guru saya Abu Ali Ad-Daqaq pernah mengatakan, “Tidak ada sesuatu yang lebih mulia daripada ‘ubudiyah dan tidak ada nama yang lebih sempurna bagi orang mukmin selain nama yang dikaitkan dengan fungsi ‘ubudiyah (penghambaan). Karena itu, Allah mensifati Nabi terkasihnya, Muhammad Saw. pada malam mi’raj dengan panggilan:

 

“Mahasuci Dzat Yang telah mengisra’kan hamba-Nya pada malam (mi’raj) dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha.” (QS. Al-Isra’: 1)

 

Dan firman-Nya yang lain:

 

“Maka diwahyukan kepada hamba-Nya apa-apa yang diwahyukan.” (QS. An-Najm: 10)

 

Sehingga seandainya ada gelar yang lebih agung daripada sifat kehambaan, tentualah Dia telah menggunakan-Nya untuk beliau. Dalam konteks inilah mereka bersyair:

 

Wahai Amru, membalaskan tumpahnya darahku demi Zahra’ ku

 

Penglihatan dan pendengaran tahu semua ini

 

Jangan panggil diriku kecuali dengan “wahai hamba Zahra”

 

Sungguh nama termulia panggilan itu bagiku

 

Sebagian ahli sufi mengatakan, “Hanya ada dua yang penting: senang dengan sesuatu yang lezat dan percaya pada kemampuan gerak. Jika dua perkara ini terlepas dari Anda, maka Anda benar-benar telah membuktikan fungsi ubudiyah (pengabdian).”

 

“Waspadalah kalian pada kelezatan pemberian. Sesungguhnya kelezatan ini menjadi tutup bagi orang-orang yang berhati jernih,” kata Muhammad Al-Wasithi.

 

Abu Ali Al-Jurjani mengatakan, “Rida adalah ‘ruang’ ‘ubudiyah, sabar pintunya, sedangkan sikap pasrah adalah ‘rumah’nya. Karena itu, suara (“ubudiyah) berada di pintu, kekosongan diri berada dalam ‘ruangan’, dan istirahat terletak dalam ‘rumah’.“

 

Saya mendengar Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan, “Sebagaimana rububiyah (sifat ketuhanan) yang merupakan sifat Al-Haqq yang.tidak pernah berubah, maka ‘ubudiyah sebagai sifat ‘abd (hamba) tidak boleh terpisah selamanya.”

 

Sebagian sufi bersyair:

 

jika kalian meminta kepada-Ku katakan inilah saya hamba-Nya sekalipun mereka yang meminta mengatakan inilah Engkau Tuhanku

 

Ibrahim An-Nashr Abadzi mengatakan, “Ibadah menuntut kelapangan, sedangkan kemaafan karena kekurangannya lebih mendekatkan pada permintaan ganti dan balasan. “Ubudiyah menggugurkan penglihatan hamba atas ketersingkapan intuisi pada yang disembah.”

 

Bagi Al-Junaid, ‘ubudiyah merupakan sikap yang mening. galkan kesibukan dan penyibukan dengan kesibukan yang hal itu merupakan pangkal kekosongan.

 

24. IRADAH

 

Allah Swt. berfirman: .

 

“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan petang hari, sedangkan mereka menghendaki keridaan-Nya.” (QS. Al-An’am: 52)

 

Dari Anas bin Malik diceritakan bahwa Nabi Saw. bersabda:

 

“Jika Allah menghendaki seorang hamba dengan kebaikan, maka dia diperkerjakan (dengan kebaikan itu)’ Seorang sahabat bertanya: ‘Bagaimana dia diperkerjakan-Nya, ya Rasulullah?” Nabi menjawab: ‘Diberi pemahaman (hukum) agar mampu melaksanakan (prinsip-prinsip agama) sebelum mati.” –

 

Iradah (kehendak) adalah awal jalan para salik yang sebenarnya merupakan nama bagi tahapan (maqam) pertama pendakian salik untuk menuju ke hadirat Allah. Sifat ini (tahapan pendakian, maqam, tempat penurunan, atau terminal rohani) dinamakan iradah, dikarenakan iradah merupakan awal segala urusan. Barangsiapa tidak punya kehendak terhadap sesuatu, maka dia tidak mungkin bisa melakukannya (memanifestasikan kehendak).

 

Segala persoalan yang menjadi langkah awal salik dalam meniti jalan menuju Allah dinamakan iradah. Kedudukannya sama halnya dengan mugaddimah dalam semua urusan yang berkaitan dengan tujuan. Murid (orang yang berkehendak) harus memiliki iradah sebagai belahan kesatuan langkah-langkahnya, sebagaimana seorang alim yang diharuskan memiliki ilmu sebagai belahan (indikasi yang menunjukkan) kealimannya. Kedua nama ini (murid dan alim) dalam ilmu gramatika bahasa Arab dinamakan kata jadian sebagai bentuk pecahan dari kata asalnya. Akan tetapi, murid dalam pengertian ahli sufi bukanlah sebuah perwujudan kehendak milik murid sendiri (orangnya). Karena, orang yang masih belum bisa memurnikan dirmya dari eksistensi kehendaknya (kehendak manusia yang sifatnya relatif atau pinjaman), maka dia tidak bisa dinamakan murid, sebagaimana seseorang yang tidak punya kehendak yang mengharuskan terjadi belahan yang tidak juga bisa dinamakan murid.

 

Banyak orang yang memberi arti iradah. Masing-masing mengungkapkannya sebatas apa yang tersirat dalam hatinya. Sementara para sufi kebanyakan mengatakan bahwa iradah adalah meninggalkan apa yang telah merjadi suatu kebiasaan. Kebiasaan manusia umumnya adalah terpaku pada hukum penapakan (proses aktualisasi diri) di tempat-tempat yang membuatnya lupa, percaya pada ajakan syahwat, dan cenderung mengikuti apa yang dibisikkan oleh harapan atau angan-angan. Sedangkan seorang murid harus terlepas dari identitas ini. Semuanya tidak boleh melekat pada dirinya. Kemampuan salik (yang bermurid) keluar dari kenyataan-kenyataan (semu) iradahnya, menjadi bukti atau tanda atas kebenaran iradah-Nya. Keadaan semacam inilah yang dinamakan iradah, yaitu keluarnya salik dari hukum kebiasaan (hukum alam, kemanusiaan, kebenaran semu atau kehendak yang bukan sesungguhnya). Dengan demikian, keberhasilan meninggalkan kebiasaan merupakan tanda-tanda iradah. Adapun hakikatnya adalah manifestasi kebangkitan hati dalam pencarian Al-Haqq. Karena itu, hal ini dikatakan, “Sesungguhnya iradah adalah kepedihan hati karena jeratan cinta pada Allah yang mampu menghinakan setiap keharuan.”

 

Diceritakan dari seorang guru sufi, “Suatu hari saya sendirian berada di sebuah pedusunan yang sunyi. Tiba-tiba dada saya terasa sempit sampai mendorong lidah saya mengucap, Wahai manusia, bicaralah pada saya. Wahai Jin, bicaralah pada saya.’ Tibatiba sebuah suara tanpa bentuk menyahuti saya, “Apa yang kamu kehendaki?’ Saya menjawab, “Allah Yang saya kehendaki. Dia kembali bertanya, “Kapan kamu menghendaki Allah?

 

Kisah ini mengandung pelajaran tentang makna iradah. Orang tersebut yang mengatakan “bicaralah kalian pada saya” menunjukkan sebagai orang yang berkehendak (murid) pada Allah. Orang yang berkehendak atau murid selalu tidak tenang dan lemas sepanjang malam dan siang. Dia dalam sikap zhahirnya dihiasi dengan berbagai mujahadahh (latihan atau perjuangan melawan hawa nafsu) dan dalam sikap batinnya disifati penahanan berbagai bentuk beban kesulitan. Dia senantiasa menjauhkan diri dari tempat tidur, selalu siaga, siap memikul kesulitan-kesulitan dan menunggang kepayahan, mengobati akhlak, membiasakan diri dengan hal-hal yang berat, merangkul objek-objek yang menakutkan, dan memisahkan diri dari berbagai bentuk eksistensi atau simbol-simbol keperanan. Sebagaimana tersebut dalam sebuah syair:

 

kemudian saya putus malam dalam kenikmatan-kenikmatannya tidak ada singa yang saya takuti Juga tidak serigala rinduku mengalahkan saya lalu saya melipat rahasia saya dan orang yang punya kerinduan memang selalu dikalahkan

 

Saya pernah mendengar Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan bahwa yang dimaksud iradah adalah pedihnya kerinduan dalam sanubari, sengatan yang menimpa hati, cinta yang bernyala-nyala dan membakar nurani, kecemasan yang menggedor dinding-dinding batin, api cahaya yang menyambar kubah hati. Saya juga pernah dengar beliau mengatakan, “Saya di dalam permulaan kerinduan saya dalam keadaan terbakar di tungku perapian iradah. Kemudian saya membisiki hati saya, “Duhai perasaan hati saya, betapa pedihnya! Apa arti iradah?”“

 

Yusuf bin Husin mengatakan, “Antara Abu Sulaiman AdDarani dan Ahmad bin Abi Al-Hiwari terikat tali perjanjian. Ahmad tidak bisa membantah setiap perintah yang diinstruksikan Abu Sulaiman. Suatu hari dia mendatangi Abu Sulaiman yang sedang memberi fatwa di majelisnya, kemudian melapor, “Sesungguhnya bunga api telah berpijar, menyala, dan membakar, maka apa yang engkau perintahkan?” Abu Sulaiman diam tidak menjawab. Ahmad mengulanginya dua kali hingga tiga kali dan akhirnya mengatakan, Abu Sulaiman pergi lalu duduk di dalamnya. Seakan-akan hatinya sempit dan Abu Sulaiman lupa tentang Ahmad, kemudian ingat dan mengatakan, Lihatlah Ahmad, sesungguhnya dia dalam jilatan cahaya. Dia mampu menguasai dirinya dengan tidak hendak menentang perintah saya.’ Kemudian mereka melihatnya, dan tiba-tiba Ahmad dalam pembakaran cahaya yang tidak selembar rambutnya pun yang terbakar.

 

Dikatakan bahwa di antara sifat-sifat murid adalah cinta amalan-amalan sunah, ikhlas dalam memberikan nasihat, asih, sopan, dan senang dengan kesendirian, sabar memikul segala kekerasan hukum, mengutamakan perintah, malu terhadap suatu pandangan, pelimpahan tenaga dan anugerah pada apa yang diperjuangkannya dengan penuh kecintaan, menyongsong segala sebab yang bisa mengantarkannya kepada-Nya, puas terhadap segala bentuk kelemahan, dan ketiadaan pengakuan hati akan ketersampaian diri pada Tuhan.

 

Abu Bakar Muhammad Al-Warraq berkata, “Penyakit murid ada tiga perkara: kawin, catatan wicara, dan lembaranlembaran.”

 

“Bagaimana mungkin Tuan harus meninggalkan catatan wicara?” tanya seorang penanya.

 

“Sebab akan menjadi penghalangku dari perolehan iradah?”

 

Hatim Al-Asham mengatakan, “Jika saya melihat seorang murid yang menghendaki selain yang dikehendakinya, maka ketahuilah bahwa dia telah menampakkan kerendahan.”

 

“Di antara hukum murid (ketentuan yang menetapkan menjadi murid) ada tiga hal: tidurnya karena sangat ngantuk, makannya karena sangat butuh, dan ucapannya karena amat terpaksa,” nasihat Muhammad Al-Kattani.

 

“Jika Allah menghendaki murid dengan kebaikan, maka Dia memposisikannya dalam sikap sufi dan mencegahnya dari pergaulan para gari’ (ahli baca Al-Quran),” fatwa Al-Junaid.

 

Suatu hari Abu Ali Ad-Daqaq memberi wejangan pada para santrinya. Dia mengatakan, “Akhir iradah mengarahkan isyarat pada Allah sehingga menjumpai-Nya bersama isyarat.”

 

“Apa yang dimuat iradah?” tanya saya.

 

“Engkau menjumpai Allah dengan tanpa isyarat.”

 

Pada kesempatan lain, Guru menegaskan, “Seorang murid tidak akan menjadi murid hingga orang di sebelah kirinya tidak menulisnya selama 20 tahun.”

 

Karena itu, Abu Usman Al-Hiri menasihatkan bahwa jika seorang murid mendengar sesuatu dari ilmu-ilmu (pemahaman) suatu kelompok masyarakat, lalu mengamalkannya, maka demikian itu dalam hatinya menjadi suatu hikmah sampai akhir usianya, dan selama itu dia bisa mengambil manfaatnya. Seandainya dia berbicara dengan ilmu tersebut, maka orang yang mendengarkannya pasti (juga) memperoleh manfaat. Dan barangsiapa mendengar sesuatu dari ilmu mereka, lalu tidak mengamalkannya, maka hikayat yang diperoleh dan dijaganya akan masih tetap terjaga, tapi kemudian hilang terlupakan. Barangsiapa iradahnya tidak sehat dalam suatu putaran (putaran maqam), maka perjalanan hari tidak akan menambahnya selain kemunduran.

 

“Awal maqam murid adalah kemunculan iradah Al-Haqq dengan keguguran iradahnya sendiri,” kata Al-Wasithi.

 

“Hal yang paling memberatkan murid adalah mempergauli musuh dengan baik,” pesan Yahya bin Mu’adz.

 

“Jika saya melihat murid sibuk dengan hal-hal yang ringan, dispensasi, dan usaha (cari nafkah), maka tidak ada sesuatu yang mendatanginya,” kata Yusuf bin Husin.

 

Dalam suatu kesempatan, Imam Al-Junaid ditanya tentang masalah iradah dan murid. “Apa yang bisa dimiliki para murid dalam perjalanan hikayat?” tanya seorang santri.

 

“Hikayat adalah tentara-tentara Allah Yang dengannya memperkuat hati orang mukmin.”

 

“Apakah dalam hal ini Tuan punya saksi?”

 

“Ya. Yaitu firman Allah yang berbunyi:

 

‘Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, yaitu kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu’ (QS. Hud: 120).”

 

Lebih jauh Imam Al-Junaid menjelaskan, “Murid yang benar adalah seorang yang tidak butuh ilmu para ulama. Adapun perbedaan antara murid (orang yang berkehendak dalam arti sebagai subjek) dan murad (orang yang berkehendak dalam arti sebagai objek, yakni yang dikehendaki supaya berkehendak) adalah sebagai berikut. Seorang murid hakikatnya adalah seorang yang dikehendaki (murad) Allah karena jika tidak ada kehendak Allah yang dengannya dia bisa berkehendak, maka dia bukanlah seorang murid. Hal itu dikarena tidak ada sesuatu di alam raya ini selain apa yang dikehendaki Allah. Sedangkan murad adalah murid karena jika Al-Haqq menghendaki seseorang untuk menjadi murid dengan kekhususan (berupa suatu murad), maka Dia memberi pemahaman makna iradah. Akan tetapi, para ahli sufi membedakan antara murid dan murad. Murid bagi mereka adalah seorang pemula, sedang murad adalah pamungkas. Murid ditegakkan dengan mata kepayahan dan dilemparkan di kawah condrodimuko yang penuh kesulitan-kesulitan, sedangkan murad dicukupkan dengan perintah yang tidak memiliki kesulitan. Murid adalah orang yang aktif dan muncul (selaku subjek), sedangkan murad adalah orang yang diisi, diberi faedah, dan dengannya dia disenangkan. Sunnatullah bersama para perambah jalan menuju Allah memiliki bentuk yang berbeda-beda. Masing-masing memiliki tingkatan hukum yang tidak sama. Kebanyakan mereka diberi anugerah dengan disertai syarat mujahadah, kemudian mencapai maqam yang dekat dengan hadirat Allah setelah mengalami berbagai kesulitan dari tahun ke tahun dalam kurun waktu yang tidak pendek. Sebagian yang lain disingkap (penyingkapan instuisi) batinnya semenjak permulaan (usia) dengan keagungan maknaNya, kemudian mencapai maqam (kewalian) yang tidak bisa dicapai oleh kelompok ahli riyadhah atau mujahadah (kelompok laku batin atau orang-orang yang banyak melakukan praktek tirakat untuk melatih batin dalam penyesuaian irama kehidupan bersama Allah). Golongan ahli riyadhah, sebagaimana yang dijelaskan diatas, kebanyakan dalam pencapaian maqam kewalian dilemparkan Allah ke kawah condrodimuko mujahadah. Penggodokan ini terjadi setelah mereka memperoleh kesadaran instuisi (hakikat). Tujuannya supaya mereka memperoleh apa-apa yang terkandung dalam hukum riyadhah.

 

Saya juga pernah mendengar Tuan Guru Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan, “Murid adalah orang yang menanggung, sedang murad orang yang ditanggung.” Beliau juga pernah menjelaskan bahwa Musa a.s. adalah seorang nabi yang menduduki derajat murid. Karena itu, dalam doanya dia mengatakan:

 

“Tuhan, lapangkanlah dada saya.” (QS. Thaha: 25)

 

Sedangkan Nabi kita Muhammad Saw. adalah seorang inurad, sehingga firman yang diwahyukan Allah berbunyi demikian:

 

“Tidakkah telah Kami lapangkan dadamu, dan Kami hilangkan bebanmmu darimu yang (memang) memberatkan punggungmu. dan Kami tinggikan penyebutanmu.” (QS. Alam Nasyrah: 1-4)

 

Demikian pula ketika Musa a.s. mengatakan: .

 

“Tuhan, nampakkanlah (Diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu. Tuhan menjawab, ‘Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku.” (QS. Al-A’raf: 143)

 

Juga ketika Allah berfirman pada Muhammad Saw.:

 

“Apakah kamu tidak memperhatikan (penciptaan) Tuhanmu, bagaimana Dia memanjangkan (dan memendekkan) bayangbayang.” (Al-Furqan: 45)

 

Kedua kontek ayat di atas menunjukkan bahwa Musa a.s. berada di maqam murid, sedang Muhammad Saw. di inagamn murad. Menurut Abu Ali Ad-Daqaq, maksud ayat “apakah kamu tidak melihat Tuhanmu” dan potongan berikutnya “bagaimana Dia memanjangkan (dan memendekkan) bayang-bayang” merupakan penutupan kisah dan pembagus keadaan.

 

Imam Al-Junaid pernah ditanya tentang makna murid dan murad, lalu dijawab, “Murid adalah orang yang dikuasai oleh siasat ilmu, sedangkan murad adalah yang dikuasai oleh pemeliharaan Al-Haqq (secara langsung). Murid berjalan, sedangkan murad terbang. Maka, kapan seorang pejalan bisa menyusul orang yang terbang?”

 

Dikisahkan bahwa Dzun Nun pernah mengirim seorang utusan untuk menjumpai Abu Yazid Al-Busthami. Dia berpesan, “Katakan kepadanya, sampai kapan tidur dan istirahat, sementara kafilah sudah berlalu.” “Katakan kepada saudaraku, Dzun Nun,” kata Abu Yazid setelah utusan tersebut berhasil menjumpainya dan menyampaikan pesan gurunya kepadanya, “orang laki-laki adalah orang yang tidur sepanjang malamnya kemudian memasuki subuh di suatu tempat ‘penurunan’ sebelum kafilah.” “Betapa indahnya! Ini adalah ucapan yang keadaan kami belum bisa mencapainya,” sambut Dzun Nun.

 

25. ISTIQAMAH

 

Allah berfirman:

 

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami adalah Allah. Kemudian mereka meneguhkan (pendirian mereka), maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan), Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih, dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (QS. Fushshilat: 30)

 

Dari Isauban dari Nabi Saw. diceritakan bahwa beliau bersabda:

 

“Istiqamahlah kamu dan jangan sekali-kali menghitung-hitung (amal)mu. Ketahuilah bahwa sebaik-baik (amalan) agamamu adalah salat. Tidak ada yang mampu menjaga wudu selain orang mukmin.”

 

Guru kami berkata, “Istiqamah adalah suatu derajat yang dengannya kesempurnaan dan kelengkapan perkara kebagusan terwujud. Dengan istiqamah, berbagai kebaikan dan koordinasi sistematika kebaikan mengada. Orang yang tidak bisa menjalankan istiqamah dalam ibadahnya, maka usahanya menjadi sirna dan perjuangannya dihitung gagal.” Allah berfirman:

 

“Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benang-benangnya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi tercerai berai.” (QS. An-Nahl: 92)

 

Barangsiapa tidak istiqamah dalam menetapi sifat baiknya, maka dia tidak bisa memperbaiki dan meningkat dari satu maqam ke maqam berikutnya serta tidak bisa mempertegas perilakunya mengarah kepada kepastian kebaikan. Istiqamah merupakan syarat utama bagi pemula dalam menjalani perjalanan sufi. Statusnya masuk kalkulasi hukum-hukum dasar perjalanan awal sufi. Sebagaimana keharusan orang yang ma’rifatullah untuk tetap beristiqamah dalam pengetrapan berbagai etika pengarungan tahapan-tahapan akhir sufi, maka di antara tanda-tanda istiqamah bagi sufi pemula adalah ketiadaan perubahan pelaksanaan ibadahnya, meski hanya sekejap. Sedangkan tanda-tanda istiqamah bagi sufi yang berada di tengah-tengah perjalanan sufinya adalah keharusan dia untuk tidak menyelai tahapan-tahapan perjalanan sufinya dari satu maqam ke maqam berikutnya dengan pemberhentian atau istirahat. Adapun bagi sufi pamungkas, di antara tanda-tandanya adalah ketiadaan intervensi ketertutupan (hijab atau pemunculan tabir yang menghalangi kema’rifatannya pada Allah) dalam keberlangsungan ma’ rifatullah.

 

Guru kita Abu Ali Ad-Daqaq juga pernah mengatakan, “Istiqamah mempunyai tiga putaran tingkatan. Pertama adalah penegakan, kemudian berdiri, dan akhirnya istiqamah (kontinu). Taqwim (penegakan) merupakan proses latihan nafsu. Iqamah (berdiri) merupakan pendidikan hati. Dan istiqamah adalah pendekatan rahasia-rahasia.”

 

Dalam hal ini kaitannya dengan ayat “kemudian mereka beristiqamah”, Abu Bakar Ash-Shiddig mengartikan “mereka tidak syirik . Sementara Umar r.a. menafsiri sebagai orang yang pergi ke sana kemari seperti seekor serigala yang berjalan berputar-putar dalam keadaan miring. Pernyataan Abu Bakar r.a. mengandung makna kejelian dalam memperhatikan dasar-dasar tauhid, sedangkan penafsiran Umar r.a. menyiratkan makna pelepasan tuntutan penafsiran dan konsistensi dalam menetapi syarat perjanjian.

 

Ibnu Atha’ mengatakan, “Istiqamahlah kalian dalam penyatuan kesendirian hati dengan Allah.”

 

Abu Ali Al-Jauzajani berkata, “Jadilah pelaku istiqamah dan jangan menuntut karamah. Dirimu selalu bergerak dalam pencarian karamah, sedangkan Tuhanmu menuntutmu untuk tetap dalam istiqamah.”

 

“Suatu hari saya melihat Nabi Saw. dalam mimpi,” cerita Ali Asy-Syabawi, “lalu saya bertanya pada beliau, ‘Diceritakan dari Tuan bahwa Tuan pernah berkata: Surah Hud menjadikan rambutku beruban. Apanya yang membuat rambut Tuan beruban? Apakah kisah-kisah para nabi atau kerusakan umat?’ Kemudian beliau menjawab, ‘Bukan itu, akan tetapi firman-Nya yang berbunyi.

 

‘Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar sebagaimana diperintahkan kepadamu’ (QS. Hud: 112)”

 

Dikatakan bahwa tidak ada yang kuat menjalani istiqamah kecuali orang-orang yang berjiwa besar karena istiqamah menuntut pengeluaran diri dari apa-apa yang dijanjikan dan pemisahan dari legitimasi (pengakuan atau stempel) dan adat. Berdiri tegak di hadapan Allah memang harus didasarkan pada hakikat kebenaran. Karena itu, Nabi Saw. bersabda:

 

“Istiqamahlah kalian dan jangan sekali-kali menghitung-hitung (amal kebagusan)mu.”

 

“Istiqamah adalah sifat akhlak sempurna, tanpa istiqamah akhlak akan menjadi buruk,” kata Muhammad Al-Wasithi.

 

“Istiqamah adalah penyaksian Anda pada waktu bersamaan dengan pelaksanaannya,” nasihat Dalf Asy-Syibli.

 

Dikatakan bahwa istiqamah dalam kata-kata adalah dengan meninggalkan rasan-rasan (berbisik-bisik membicarakan kejelekan orang lain), dalam perbuatan dengan peniadaan bid’ah, dalam intensivikasi perilaku dengan peniadaan penangguhan, dan dalam ahwal dengan peniadaan hijab.

 

Saya pernah mendengar Guru Imam Abu Bakar Muhammad bin Husin bin Furak mengatakan, “Sin dalam istiqamah adalah sin penuntutan. Artinya, para pelaku sufi meminta pelurusan sikap pada Al-Haqq dengan didasarkan pada nilai-nilai tauhid, kemudian mereka menetapi janji-janjinya dan menjaga batasanbatasan hukumnya.”

 

Ketahuilah bahwa istiqamah mengharuskan keabadian karamah. Allah Swt. berfirman:

 

“Dan jika mereka tetap berjalan lurus (istiqamah) di atas jalan itu (agama Islam), tentu Kami akan benar-benar memberi minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak).” (QS. Al-Jin: 16)

 

Allah tidak mengatakan “saqainahum” yang bermakna Kami memberi minum mereka, tetapi mengatakan “asqainahum” yang bermakna Kami benar-benar memberi mereka minum. Arti ini mengandung pengertian keabadian.

 

Al-Junaid bercerita: Saya pernah bertemu seorang pemuda di bawah pohon raksasa di daerah pedalaman. Pemuda ini merupakan salah seorang murid sufi yang sedang menjalani laku batin. Dia sedang duduk di bawah suatu pohon besar.

 

“Apa yang membuatmu duduk di sini?” tanya saya.

 

“Mencari hal yang hilang.”

 

Saya pun berlalu dan meninggalkannya. Ketika pulang dari haji, saya mendapatkan pemuda tadi berpindah tempat di dekat pohon.

 

“Apa yang membuatmu (pindah dan) duduk di siri?”

 

“Saya menemukan apa yang saya cari ternyata ada di tempat ini. Karena itu, saya pindah dan menetapinya.”

 

Al-Junaid heran, kemudian bergumam, “Saya tidak tahu, mana yang lebih mulia. Apakah tetapnya (istiqamah) karena pencarian suatu hal yang hilang atau tetapnya pada suatu tempat yang di dalamnya diperoleh apa yang dikehendakinya.”

 

26. IKHLASH

 

Allah berfirman:

 

“Ingatlah, bagi Allah agama yang murni.” (QS. Az Zumar: 3)

 

Dari Anas bin Malik diceritakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

 

“Tiga perkara yang tidak bisa dikhianati hati seorang muslim, yaitu: keikhlasan amal karena Allah Swt ., saling menasihati dalam penguasaan masalah, dan tetapnya jamaah umat Islam.”

 

Ustaz Syaikh berkata, “Ikhlas adalah penunggalan Al-Haqq dalam mengarahkan semua orientasi ketaatan. Dia dengan ketaatannya dimaksudkan untuk mendekatkan diri pada Allah semata, tanpa yang lain, tanpa dibuat-buat, tanpa ditujukan untuk makhluk, tidak untuk mencari pujian manusia atau makna-makna lain . selain pendekatan diri pada Allah.” Bisa juga diartikan bahwa ikhlas merupakan penjernihan perbuatan dari campuran semua makhluk atau pemeliharaan sikap dari pengaruh-pengaruh pribadi.

 

Rasulullah Saw. pernah ditanya tentang makna ikhlas, lalu dijawab:

 

“Sayu bertanya Jibril a.s. tentang ikhlas, apa itu? Kemudian dia berkata, “Saya bertanya Tuhan tentang ikhlas, apa itu?” Dan, Tuhan pun menjawab: Yaitu, rahasia dari rahasia-Ku yang Aku titipkan pada hati orang yang Aku cintai di antara hamba-hambaKu.”

 

Saya dengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Ikhlas adalah keterpeliharaan diri dari keikutcampuran semua makhluk. Shidiq (kebenaran) adalah kebersihan diri dari penampak-nampakan diri. Orang yang ikhlas tidak memiliki riya dan orang yang Shidiq atau benar tidak akan kagum pada dirinya sendiri.”

 

Dzun Nun Al-Mishri berkata, “Ikhlas tidak akan sempurna kecuali dengan kebenaran dan sabar di dalam ikhlas. Shidiq tidak akan sempurna kecuali dengan ikhlas dan terus-menerus di dalam ikhlas.” Abu Ya’qub As-Susi berkata, “Kapan saja seseorang masih memandang ikhlas dalam keikhlasannya, maka keikhlasannya membutuhkan keikhlasan.”

 

Dzun Nun Al-Mishri berkata, “Ada tiga alamat yang menunjukkan keikhlasan seseorang, yaitu ketiadaan perbedaan antara pujian dan celaan, lupa memandang amal perbuatannya di dalam amal perbuatannya sendiri, dan lupa menuntut pahala atas amal perbuatannya di kampung akhirat.”

 

Abu Utsman Al-Maghribi mengatakan, “Ikhlas adalah ketiadaan bagian atas suatu hal bagi dirinya. Ini adalah ikhlas orang-orang kebanyakan. Adapun ikhlas orang-orang khusus adalah apa yang terjatuh atau terlimpah pada mereka, bukan yang bersama mereka. Karena itu, dari mereka muncul ketaatan dan mereka sendiri terpisah dari ketaatan itu sendiri. Mereka tidak memandang dan menghitung ketaatan yang terlimpahkan kepada diri mereka. Demikian ini merupakan ikhlas kelompok orang khusus.”

 

Abu Bakar Ad-Daqaq berkata, “Kekurangan setiap orang yang ikhlas dalam keikhlasannya adalah kebiasaan melihat keikhlasannya. Jika Allah menghendaki memurnikan keikhlasan seseorang, maka Dia menggugurkan penglihatan keikhlasannya pada keikhlasannya, sehingga dia menjadi orang yang diikhlaskan atau dimumikan, bukan orang yang ikhlas atau berusaha menyucikan diri (yang pertama berarti objek yang subjek dan yang kedua subjek yang objek, pen.)”

 

Sahal bin Abdullah berkata, “Tidak ada yang mengetahui riya selain orang yang ikhlas.” Abu Sa’id mengatakan, “Riya orang-orang yang ahli ma’rifat lebih utama daripada ikhlas para murid.” Dzun Nun Al-Mishri mengatakan, “Ikhlas adalah apa yang dipelihara dari permusuhan yang merusak.” Abu Utsman Al-Hiri mengatakan, “Ikhlas adalah pelupaan penglihatan makhluk dengan keabadian memandang Sang Maha Pencipta.” Khudzaifah Al-Mar’isi berkata, “Ikhlas adalah penyamaan perbuatanperbuatan hamba dalam aspek lahir dan batinnya.” Dikatakan juga bahwa ikhlas adalah apa yang dikehendaki Al-Haqq dan yang dimaksudkan tujuan shidiq (kebenaran).”

 

Terkadang juga ikhlas diartikan sebagai kepura-puraan tidak tahu dari penglihatan macam-macam amal perbuatan.

 

As-Siriy As-Saqthi mengatakan, “Barangsiapa menghiasi dirinya untuk manusia dengan sesuatu yang tidak ada pada manusia, maka dia gugur dari pandangan Allah.” Al-Fudhail bin Iyadh mengatakan, “Meninggalkan amal karena manusia adalah riya dan berbuat amal kebajikan karena manusia adalah syirik. Ikhlas adalah pembebasan Allah pada Anda dari keduanya.” Al-Junaid, mengatakan, “Ikhlas adalah rahasia antara Allah dan hamba-Nya. Tidak ada malaikat yang mengetahui dan mencatatnya. Tidak ada setan yang mengetahui dan merusaknya. Dan tidak ada hawa nafsu yang mengetahui lalu menyondongkannya.” Ruwaim mengatakan, “Keikhlasan suatu perbuatan adalah ketiadaan ke. hendak bagi pemiliknya untuk mendapatkan ganti (pahala) dari dua alam (dunia dan akhirat) dan ketiadaan permintaan bagian dari dua malaikat (penjaga neraka dan surga).”

 

Ditanyakan pada Sahal bin Abdullah, “Hal apa yang paling berat bagi manusia?”

 

“Ikhlas, karena di dalamnya tidak (ada tuntutan) bagian bagi pelakunya,” jawabnya. Sebagian ahli sufi juga ditanya tentang hal yang sama, lalu dijawab, “Hendaknya engkau tidak mempersaksikan amalmu pada selain Allah Swt.”

 

Seorang sufi bercerita: Saya pernah masuk ke rumah Sahal bin Abdullah pada hari Jumat sebelum salat dilaksanakan. Saya lihat di rumahnya ada seekor ular yang membuat saya mengedepankan seseorang dan mengakhirkan yang lain (orang ini berada di tengah-tengah). Tiba-tiba Sahal berkata, “Masuklah, seseorang tidak akan mencapai hakikat iman, sementara di permukaan bumi masih ada yang ditakutkan.”

 

“Apakah kamu hendak salat Jumat?” tanyanya kemudian.

 

Saya pun lantas berkata bahwa di antara kami dan mesjid terdapat jarak sejauh perjalanan kaki sehari semalam. Saya menempuh perjalanan itu dan tidak adajarak lagi selain tinggal sedikit, sehingga saya melihat mesjid, lalu saya masuk dan salat Jumat di dalamnya. Kemudian saya keluar. Pandangan saya tertuju pada kerumunan orang yang sedang keluar dari mesjid. Tibatiba saya mendengar Sahal berkata, “Orang-orang yang mengucapkan laa ilaaha illal-laah sangat banyak, tetapi yang ikhlas amat sedikit.”

 

Makhul berkata, “Tidaklah seorang hamba selama empat puluh hari mampu berbuat ikhlas kecuali sumber-sumber hikmah akan keluar dari hatinya melalui lidahnya.” Yusuf bin Husin berkata, “Paling mulianya sesuatu di dunia adalah ikhlas. Betapa beratnya saya berjuang menggugurkan riya dari hati saya, tetapi seakan-akan riya masih tumbuh dengan warna lain.” Sulaiman Ad-Darani berkata, “Jika seorang hamba ikhlas, maka rasa waswas dan riya akan terputus darinya.”

 

27. SHIDIQ

 

Allah berfirman:

 

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. At-Taubah: 119)

 

Rasulullah Saw. bersabda:

 

“Seorang hamba senantiasa berbuat benar dan selalu benar sehingga ditulis di sisi Allah sebagai orang yang benar: dan seseorang senantiasa berbuat bohong dan selalu berbohong sehingga ditulis di sisi Allah sebagai pembohong.”

 

Ustaz Asy-Syaikh berkata, “Shidiq (benar) adalah tiang semua . perkara. Dengannya perkara menjadi sempurna. Di dalamnya perkara menjadi tersusun rapi. Kebenaranlah yang mengiringi derajat kenabian. Allah berfirman:

 

“Mereka itu akan bersarna-sarna dergan orarg-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang yang saleh.“ (QS. An-Nisa’: 69)

 

Shadiq atau orang yang ahli kebenaran adalah suatu nama yang harus dikaitkan dengan kebenaran. Sedangkan shidiq untuk tingkatan yang lebih tinggi, yaitu bagi orang yang banyak atau sangat banyak kebenaran. Orang semacam ini kehidupannya banyak didominasi oleh nilai-nilai kebenaran. Hal itu seperti assakkir yaitu orang yang ahli mabuk (karena Tuhan) dan al-khamir, orang yang sangat kecanduan minuman khamer. Paling rendahnya tingkatan shidiq adalah kesamaan baginya antara yang rahasia dan yang tampak. Orang yang Shadiq (pelaku kebenaran) adalah orang yang benar dalam ucapannya, sementara as-shiddiqi adalah orang yang benar dalam segala ucapan, perbuatan, dan keadaannya.

 

Ahmad bin Khadrawih berkata, “Barangsiapa menginginkan Allah senantiasa bersamanya, maka tetaplah dalam kebenaran. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang benar.” AlJunaid mengatakan, “Orang yang benar dalam sehari akan mengalami pembolak-balikan empat puluh kali, sedangkan orang yang riya dalam empat puluh tahun tetap dalam satu keadaan.” Abu Sulaiman Ad-Darani berkata, “Kalau orang yang benar hendak mensifati apa yang di dalam hatinya, maka lidahnya tidak akan berkata.”

 

Dikatakan, kebenaran adalah ucapan yang benar di tempattempat yang rusak. Kebenaran adalah kesesuaian antara rahasia dan ucapan. An-Naggad mengatakan, kebenaran adalah pencegahan yang haram.

 

Abdul Wahid bin Zaid mengatakan, kebenaran adalah pemenuhan hak Allah dengan perbuatan. Sahal bin Abdullah mengatakan, hamba yang mencium bau dirinya (nafsunya) atau lainnya tidak akan mencium bau kebenaran. Abu Sa’id Al-Qurasyi mengatakan, “Orang yang benar adalah orang yang mempersiapkan kematiannya dan dia tidak akan malu jika rahasia pribadinya tersingkap.”

 

Allah berfirman:

 

“maka inginilah kematian jika memang kamu benar.” (QS. Al-Baqarah: 94)

 

Saya mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq bercerita bahwa Abu Ali Ats-Tsaqafi suatu hari pernah berkata yang kemudian ditimpali oleh Abdullah bin Manazil, “Hai Abu Ali, persiapkanlah kematianmu yang merupakan suatu kepastian.” Peringatan itu disambut Abu Ali dengan ucapan yang sama. “Dan engkau Abdullah, juga persiapkanlah kematianmu yang tidak bisa tidak.” Abdullah pun lantas menggelantungkan lengannya dan meletakkan kepalanya sedemikian rupa seraya berkata, “Saya pasti mati.” Maka, Abu Ali terpaku karena dia tidak mungkin menerimanya dengan apa yang dikerjakan Abdullah, juga karena Abu Ali mempunyai beberapa ketergantungan, sementara Abdullah murni tidak ada kesibukan sama sekali.

 

Ahmad bin Muhammad Ad-Dinawari suatu hari memberikan fatwa. Tidak lama kemudian seorang wanita yang sudah sangat tua berteriak di suatu majelis dengan teriakan yang nyaring. Abul Abbas yang melihatnya berkata pada wanita tua itu, “Kematian pasti datang. Dia sedang melangkah.” Wanita itu menoleh kepadanya lalu berkata, “Saya pasti mati.” Dan sedetik kemudian maut pun menjemputnya.

 

Muhammad Al-Wasithi berkata, “Kebenaran adalah kebenaran tauhid yang seiring dengan tujuan.” Diceritakan bahwa Abdul Wahid bin Zaid suatu hari memandang seorang bocah dari salah seorang anak temannya. Bocah itu badannya sangat kurus.

 

“Apakah engkau selalu berpuasa, wahai Anak?”

 

“Saya tidak selamanya berbuka,” jawab sang bocah. “Apakah kamu selalu salat malam?” “Saya tidak selamanya tidur.” “Apa yang membuat badanmu kurus?” “Keinginan yang selalu ada dan ketersimpanan yang selalu menetap dalam keinginan.” “Engkau diamlah, maka tidak ada yang mencelakakanmu.”

 

Anak itu berdiri kemudian melangkah dua tindak lalu bergumam, “Tuhan, jika Engkau benar, ambillah saya.” Seketika itu juga sang anak jatuh tersungkur dalam keadaan tidak bernyawa,

 

Abu Amr Az-Zujaji bercerita: Ibu saya telah meninggal. Saya mewarisi darinya sebuah rumah, lalu saya jual dengan harga 50 dinar, kemudian saya berangkat haji. Ketika saya sampai di Kota Babil?, seorang arsitek pengairan menemui saya dan bertanya, “Apa yang kaubawa?”

 

Sebelum menjawab, saya bergumam dalam hati, kebenaran adalah kebaikan, kemudian saya baru mengatakan dengan suara yang jelas, “Uang lima puluh dinar.”

 

“Serahkan kepadaku!”

 

Saya pun menyerahkan bungkusan uang itu. Dia menghitungnya dan memang ditemukan uang sejumlah yang saya sebutkan. Namun, dia mengembalikannya kepadaku seraya mengatakan, “Ambil bungkusan ini. Kebenaranmu (lebih tepatnya dengan istilah kejujuran, pen.) telah memberikan kepadaku.”

 

Dia lantas turun dari kudanya dan mengatakan, “Naikilah binatang ini!”

 

“Tidak, saya tidak menginginkan.”

 

“Harus!” katanya lebih tegas.

 

Laki-laki yang ahli pengairan itu terus mendesakku sampai saya menunggangi binatangnya. “Dan saya akan mengikuti jejakmu,” katanya kemudian.

 

Pada tahun berikutnya, dia menjumpaiku dan tetap bersikap seperti semula kepadaku hingga ia mati.

 

Ibrahim Al-Khawwash berkata, “Orang yang benar tidak bisa kamu lihat kecuali dalam kewajiban yang ditunaikannya atau keutamaan yang dikerjakan untuk Tuhannya.” Al-Junaid mengatakan, “Hakikat kebenaran adalah keberadaanmu yang berani membenarkan sesuatu di tempat-tempat yang tidak akan menyelamatkanmu kecuali kebohongan.“ Dikatakan bahwa ada tiga hal yang tidak bisa disalahkan, yaitu orang benar yang merasakan manisnya kehadiran Al-Haqq, rasa segan karena penghormatan pada Allah, dan cahaya taat yang membias pada wajah. Dikatakan pula bahwa Allah pernah mewahyukan pada Nabi Dawud a.s. “Hai Dawud,” firman-Nya. “Barangsiapa membenarkan-Ku dalam kerahasiaannya, maka Saya pasti membenarkannya di hadapan para makhluk di dalam suasana yang terang.”

 

Diceritakan, Ibrahim bin LDauhah bersama Ibrahim bin Satanabbah Al-Badiyah memasuki suatu ruangan. Tiba-tiba Ibnu Satanabbah mengatakan, “Lemparkan apa yang kamu bawa yang membuatmu ketergantungan!”

 

“Lalu saya membuang semua yang saya ingat selain dinar,” kata Ibnu Dauhah.

 

“Hai, Ibrahim, janganlah kamu menyibukkan yang tersembunyi. Buang apa yang bersamamu dari hal-hal yang membuatmu ketergantungan!”

 

“Saya pun lantas membuang dinar.”

 

“Hai, Ibrahim, buang apa yang bersamamu dari hal-hal yang membuatmu bergantung!”

 

“Saya berusaha mengingat-ingat apa yang saya bawa. Saya baru sadar bahwa saya membawa satu utas tali sandaljapit. Saya lalu membuangnya. Saya sudah tidak butuh lagi tali sandal di perjalanan kecuali yang saya dapatkannya di hadapan saya.“

 

Melihat itu, Ibrahim bin Satanabbah berkata, “Seperti demikianlah orang yang bekerja pada Allah dengan kebenaran.”

 

Dzun Nun Al-Mishri mengatakan, “Kebenaran adalah pedang Allah. Tidak ada suatu pun yang ditempatinya kecuali diputusnya.” Sahal bin Abdullah mengatakan, “Awal pengkhianatan orang-orang yang benar adalah ucapan mereka dengan diri mereka sendiri.“ Fatah Al-Muwashili pernah ditanya tentang kebenaran. Dia lantas memasukkan tangannya ke dalam tungku panas tempat pembakaran besi dan mengeluarkan besi panas dan diletakkan di telapak tangannya. Inilah kebenaran,” ujarnya. Yusuf bin Asbath mengatakan, “Karena di waktu malam saya bisa begadang dengan kebenaran bersama Allah, maka hal itu lebih saya cintai daripada saya memukulkan pedangku di jalan Allah.”

 

Saya mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan, “Kebenaran adalah keberadaanmu sebagaimana yang kamu lihat pada dirimu atau kamu melihat dirimu sebagaimana keberadaan. mu.” :

 

Al-Harits Al-Muhasibi pernah ditanya tentang tanda-tanda kebenaran, lalu dijawab, “Orang yang benar adalah orang yang tidak peduli seandainya segala hal yang berharga yang menjadi miliknya keluar dan masuk ke dalam hati para makhluk untuk perbaikan dirinya. Dia juga tidak senang menampakkan pada manusia kebaikan-kebaikan amalnya meski-hanya seberat biji-bijian, atau tidak membenci jika perbuatan buruknya terlihat atau ditampakkan pada manusia. Jika dia membencinya, berarti itu adalah bukti yang menunjukkan bahwa dia senang mendapatkan tambahan simpati di sisi manusia. Ini bukan termasuk akhlak orang-orang yang benar.”

 

Sebagian ahli sufi mengatakan, “Orang yang belum menunaikan kewajiban abadi, maka kewajiban yang insidentil tidak akan diterima.” Lalu ditanyakan, “Apa yang dimaksud kewajiban abadi?” Kemudian dijawab, “Kebenaran.”

 

Dikatakan, jika engkau mencari Allah dengan kebenaran, maka Allah pasti memberimu cermin yang kamu dapat melihat segala hal keajaiban duria dan akhirat di dalam cermin itu. Dikatakan pula, engkau wajib bersama kebenaran. Sekiranya kamu takut kebenaran akan membahayakanmu, sesungguhnya dia memanfaatkanmu. Tinggalkan kebohongan. Kalau sekiranya kamu melihatnya dapat memberimu manfaat, sesungguhnya dia membahayakanmu.

 

Dikabarkan, segala sesuatu adalah sesuatu, membenarkan kebohongan bukanlah sesuatu. Dikatakan, tanda orang yang bohong adalah kedermawanannya dengan sumpah meski dengan tanpa diminta bersumpah. Ibnu Sirin mengatakan, “Ucapan lebih luas daripada kebohongan orang yang cerdik.” Dikatakan bahwa yang melunakkan pedagang adalah kebenaran.

 

28. MALU

 

Allah berfirman:

 

“Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?” (Al-Alag: 14)

 

Rasulullah Saw. bersabda:

 

“Malu? termasuk sebagian dari iman.”

 

Suatu hari Rasulullah Saw. memberi wejangan para sahabatnya:

 

“Malulah kalian pada Allah dengan sebenar-benarnya rasa malu.” Jawab para sahabat: ‘Sesungguhnya kami telah merasa malu, wahai Nabi Allah. Kami bersyukur pada Allah (bisa berbuat demi. kian).’ Belaiau bersabda: ‘Bukan demikian! Akan tetapi, orang yang malu pada Allah dengan malu yang sebenarnya adalah orang yang menjaga kepalanya dan apa yang terekam di dalamnya: menjaga perut dan apa yang dihimpunnya, dan ingatlah kalian pada kematian dan bahaya. Barangsiapa menghendaki kampung akhirat, maka tinggalkanlah perhiasan dunia. Barangsiapa mampu mengerjakan demikian, maka sungguh dia telah malu kepada Allah dengan kebenaran rasa malu.

 

Sebagian orang bijak mengatakan, “Malulah kalian dengan rasa malu yang sesungguhnya di majelis orang-orang yang mempunyai rasa malu.” Ibnu Atha’ mengatakan, “Ilmu yang terbesar adalah rasa segan dan malu. Jika keseganan dan rasa malu hilang, maka tidak ada kebaikan yang tersisa di dalamnya.” Dzun Nun Al-Mishri mengatakan, “Rasa malu adalah keberadaan rasa segan di dalam hati bersamaan dengan keterlepasan segala sesuatu yang telah lewat dari dirimu menuju ke hadirat Tuhanmu.” Dikatakan pula, “Cinta adalah berbicara, rasa malu adalah diam membisu, dan rasa takut adalah menggelisahkan.”

 

Abu Usman mengatakan, “Orang yang berbicara dalam suasana hati yang diliputi rasa malu, tetapi apa yang dibicarakannya tidak dalam suasana rasa malu karena Allah, maka dia adalah orang yang menipu.”

 

Hasan Al-Haddad bertamu ke rumah Abdullah bin Manazl. “Dari mana kamu?” tanya tuan rumah.

 

“Dari majelis Abul Qasim Al-Mudzakkir.”

 

“Tentang apa yang dia bahas?”

 

“Tentang malu.”

 

“Sungguh mengherankan! Orang yang tidak punya rasa malu pada Allah, bagaimana dia bisa berbicara masalah malu?!”

 

As-Sirri As-Saqthi berkata, “Sesungguhnya rasa malu dan jinak memasuki hati. Jika di dalamnya keduanya menemukan zuhud dan wara’, maka keduanya akan turun. Jika tidak, maka keduanya akan pergi.”

 

Ahmad Al-Jariri mengatakan, “Sebagian manusia pada kurun pertama bekerja sama dengan agama dalam hal-hal di antara mereka hingga agama menjadi tipis. Kemudian pada kurun kedua bekerja sama dengan pemenuhan janji hingga pemenuhan itu sendiri hilang. Kemudian pada kurun ketiga bekerja sama dengan keprawiraan hingga keprawiraan itu sendiri hilang. Kemudian pada kurun keempat bekerja sama dengan rasa malu hingga rasa malu hilang. Dan akhirnya jadilah api yang bekerja sama dengan kesenangan dan ketakutan. Dikatakan dalam firman-Nya:

 

“Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya.” (QS. Yusuf: 24)

 

Sesungguhnya burhan atau tanda kebesaran Tuhan (bukti) melemparkan pakaian pada wajah berhala di sisi rumah. Yusuf a.s. bertanya, “Apa yang sedang kamu kerjakan?’ Burhan tadi menjawab, Saya malu pada Allah.’ Yusuf pun menimpalinya, “Saya lebih utama daripada kamu untuk malu pada Allah.”

 

Di dalam firman-Nya disebutkan:

 

“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan dengan kemalu-maluan.“ (QS. Al-Oashash: 25)

 

Ayat ini ditafsiri dengan mengaitikan, sesungguhnya wanita itu malu pada Musa a.s. karena berani meminta Musa a.s. untuk datang bertamu ke rumahnya. Dia malu pada kemungkinan tidak bersedianya Musa a.s. atas undangannya. Sifat pengundang yang malu ini merupakan cermin dari sifat malu yang mulia.

 

Abu Sulaiman Ad-Darani menuturkan bahwa Allah berfirman, “Hai hamba-Ku, sesungguhnya engkau tidak malu kepada-Ku, padahal Aku telah menjadikan manusia lupa pada cacatcacatmu, menjadikan bumi lupa pada dosa-dosamu, menghapus keteledoran-keteledoranmu dari kitab catatan induk, dan tidak akan mendebat hasil hitungan (catatan amalmu) pada hari kiamat.”

 

Diceritakan, seorang laki-laki salat di luar mesjid, lalu ditanyakan kepadanya, “Mengapa kamu tidak masuk ke dalam saja dan salat di dalamnya?” Dia menjawab, “Saya malu kepada Allah untuk masuk rumah-Nya, sementara saya sering bermaksiat kepada-Nya.” Dikatakan, di antara tanda-tanda orang yang punya rasa malu adalah tidak melihat “tempat” yang dipandang memalukan.

 

Sekelompok ulama sufi menuturkan suatu cerita: Kami di waktu malam pernah melakukan perjalanan jauh dan melewati beberapa tempat yang menjadi sarang macan. Tiba-tiba di tempat itu kami menemukan seorang laki-laki yang sedang tidur nyenyak, sementara kudanya dibiarkan merumput di samping kepalanya. Kami mencoba menggerakkan tubuhnya dan akhirnya dia bangun.

 

“Tidakkah kamu takut tidur di tempat yang amat menakutkan. Ini adalah tempat yang menjadi sarang binatang buas.” Kami mencoba mengingatkannya. Namun, laki-laki itu tidak menampakkan ketakutan sama sekali di wajahnya. Dia mengangkat kepalanya lalu mengatakan, “Saya malu pada Allah untuk takut pada selain-Nya.” Dia kembali meletakkan kepalanya dan tidur.

 

Allah mewahyukan kepada Nabi Isa as: “Nasihatilah dirimu. Jika telah menasihati dirimu, maka nasihatilah manusia. Jika tidak, maka malulah kamu kepada-Ku untuk memberi nasihat manusia.”

 

Dikatakan, malu memiliki beberapa bentuk. Malu karena suatu pelanggaran sebagaimana Adam a.s. ketika ditanyakan kepadanya, “Apakah kamu akan lari dari Kami?” Lalu dijawab, “Tidak, bahkan malu kepada-Mu.”

 

Malu karena kekurangan sebagaimana yang dikatakan para malaikat, “Mahasuci Engkau, tidaklah kami dapat menyembahMu sebenar-benar penyembahan.” Malu karena pengagungan sebagaimana Malaikat Israfil a.s. ketika mengenakan sayapnya karena malu pada Allah. Malu karena kemulian sebagaimana Nabi Saw. yang malu pada umatnya yang hendak meminta mereka keluar (dari acara undangan perjamuan), akan tetapi beliau malu mengatakan, maka Allah berfirman:

 

“…..dan janganlah kalian terlalu asyik memperpanjang percakapan.” (QS. Al-Ahzab: 53)

 

Malu karena hubungan kerabat sebagaimana Ali bin Abi Thalib r.a. ketika ditanya Migdad bin Aswad” tentang masalah madzi” sampai dia menanyakannya kepada Rasulullah Saw. Dia malu karena mengingat kedudukan Fatimah sebagai puteri Rasulullah Saw. yang menjadi isterinya. Malu karena perendahan sebagaimana Nabi Musa a.s. yang mengatakan, “Sesungguhnya saya butuh sedikit dunia yang membuat saya malu untuk meminta kepada-Mu, wahai Tuhan.” Allah pun menimpalinya, “Mintalah kepada-Ku hingga adonanmu tergarami dan kambingmu diberi makanan.” Malu karena penganugerahan. Malu semacam ini merupakan sifat malu milik Tuhan yang terjadi ketika Dia menyodorkan buku catatan amal kepada hamba setelah dia selesai melewati jalan titian neraka menuju surga. Tuhan memberikan buku catatan itu dalam keadaan tertutup rapat seraya mengatakan, “Engkau telah melakukan … engkau telah melakukan. Saya sungguh malu untuk menampakkan (hasil catatan itu) kepadamu. Pergi, dan Saya benar-benar telah mengampunimu.”

 

Saya mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan bah. wa Yahya bin Mu’adz mengatakan, “Mahasuci Dzat Yang hamba. Nya berbuat dosa, namun Dia malu kepadanya.” Fudhail bin Iyadh mengatakan, “Ada lima tanda kesengsaraan, yaitu: hati yang keras, mata yang beku, sedikit malu, cinta dunia, dan panjang angan-angan.” Dalam sebagian kitab disebutkan: Tidak ada seorang hamba pun yang mencapai separuh hak-Ku. Dia berdoa kepada-Ku dan Saya malu menolaknya. Dia bermaksiat kepada-Ku, tetapi tidak malu kepada-Ku.

 

Yahya bin Mu’adz mengatakan, “Barangsiapa malu kepada Allah dalam keadaan taat, maka Allah akan malu kepadanya ketika dia dalam keadaan berbuat dosa.” Ustaz Syaikh mengatakan, “Ketahuilah, sesungguhnya malu mengharuskan pencarian.” Dikatakan pula, malu adalah pengerutan hati untuk pengagungan pada Tuhan. Dikatakan, jika seseorang duduk untuk memberi peringatan pada manusia, maka dua malaikat memanggilnya seraya mengatakan, “Nasihatilah dirimu dengan apa-apa yang kamu nasihatkan kepada kawanmu. Jika tidak, maka malulah kepada Tyan (Tuhan)mu yang selalu melihatmu.”

 

Junaid ditanya tentang malu, lalu dijawab, “Memandang buruk dan kurang (perbuatan baikmu). Di antara dua perbuatan itu akan lahir suatu kondisi yang dinamakan malu.”

 

Muhammad Al-Wasithi berkata, “Tidak akan merasakan kelezatan malu seseorang yang merobek ketentuan hukum atau melanggar janji.” Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Malu adalah meninggalkan pengakuan di hadapan Allah.” Abu Bakar Al-Warraq mengatakan, “Terkadang saya salat dua rakaat karena Allah lalu berpaling dari keduanya. Kondisi saya dalam posisi sebagai orang yang berpaling dari pencurian semacam ini merupakan bentuk rasa malu.”

 

29. KEMERDEKAAN

 

Allah berfirman:

 

”… dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri . mereka sendiri sekalipun mereka dalam kesusahan.” (QS. Al-Hasyr: 9)

 

Artinya, orang-orang Anshar mengutamakan orang-orang Muhajirin atas diri mereka sendiri untuk memurnikan dari apa yang mereka keluarkan. Ibnu Abbas r.a. menuturkan sabda Rasulullah Saw. yang mengatakan:

 

“Sesungguhnya seseorang dari kalian mencukupkan dengan apa yang menjadi kepuasan nafsunya, sampai menjadi empat hasta dan satu jengkal serta segala perkara kembali pada pamungkasnya.”

 

Ustaz Asy-Syaikh mengatakan, “Sesungguhnya makna kemerdekaan/ kebebasan” dibatasi dalam ketiadaan seorang hamba di bawah pengaruh perbudakan makhluk: tidak dikendalikan penguasa yang mengatur alam (raja-raja atau presiden), dan tanda sahnya kemerdekaan dibuktikan dengan keguguran sifat yang membedakan dari hatinya di antara hal-hal (yang menjadi pilihan. nya). Baginya semua posisi yang menghadangnya adalah sama.”

 

Haritsah r.a. pernah mengatakan pada Rasulullah Saw., “Jiwaku zuhud dari dunia. Bagiku tidak ada bedanya antara batu dan emas.” Saya mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan, “Barangsiapa menghinakan dunia, maka dia bebas darinya, dan jika berpindah menuju kampung akhirat, maka diajuga bebas darinya.” Beliau juga mengatakan bahwa orang yang bebas dari dunia, maka di akhirat kelak juga bebas darinya.

 

Ustaz Asy-Syaikh mengatakan, “Ketahuilah, bahwa hakikat kemerdekaan terletak dalam kesempurnaan penghambaan. Jika penghambaannya benar untuk Allah, maka kemerdekaannya bersih dari perbudaan sesuatu yang berubah. Adapun orang yang berangan-angan bahwa dirinya dipasrahkan hanya kepada-Nya dengan melepaskan semua waktu untuk ibadah dan menyatukannya dengan lirikan-Nya dari batasan amar ma’ ruf nahi mungkar, maka dia adalah orang yang mengerti dalam membedakan bebanbeban hukum. Demikian itu menjadikannya terlepas dari dua dunia.”

 

Allah berfirman kepada Nabi-Nya Saw.:

 

“Dan sembahlah Tuhanmu hingga keyakinan mendatangimu.” (QS. Al-Hijr: 99)

 

Yakni, kematian. Penafsiran ini lebih disepakati para ahli tafsir.

 

Tanda kemerdekaan bagi seorang hamba di antaranya adalah ketiadaan hatinya di bawah penghambaan makhluk, kepentingan-kepentingan dunia, dan tujuan-tujuan akhirat. Dirinya adalah dirinya. Tidak satu pun keduniaan yang sifatnya sementara yang memperbudaknya, tidak juga keinginan, angan-angan, permintaan, tujuan, harapan, dan bagian atau keuntungan. Dirinya bebas dari semua itu. Dalf Asy-Syibli pernah ditanya, “Tidakkah engkau tahu bahwa Dia Dzat Yang Maha Pengasih?“ Lalu dijawab, “Benar, semenjak saya mengetahui sifat kasih sayangNya, saya tidak lagi meminta-Nya supaya mengasihi saya. Maqamn kemerdekaan adalah amat mulia.”

 

Abul Abbas As-Sayyari berkata, “Seandainya salat tanpa bacaan Al-Quran sah, maka sah juga gubahan syair ini:

 

saya mengangan-angankan suatu kondisi berada dalam suatu zaman yang engkau melihat dua biji mata saya adalah kemerdekaan yang terbit

 

Banyak pendapat para guru sufi tentang makna kemerdekaan. Di antaranya Husin bin Manshur yang mengatakan, “Barangsiapa menghendaki kemerdekaan, maka terus-meneruslah dalam penghambaan (pada Allah).“ Imam Al-Junaid ditanya tentang orang yang tidak terpengaruh oleh dunia kecuali seukuran isapan satu biji-bijian terkecil, lalu dijawab, “Seorang budak juga tidak terpengaruh oleh keberadaan dirham. Sesungguhnya kamu tidak akan sampai pada makna kemerdekaan, sementara hakikat penghambaan yang menjadi tanggunganmu masih tersisa (terpengaruh oleh kepentingan).”

 

Bisyr Al-Hafi berkata, “Barangsiapa ingin merasakan kelezatan makanan kebebasan dan terbebas dari perbudakan, maka sucikanlah rahasia yang berada di antara dirinya dan Allah.“ Husin Al-Manshur juga pernah mengatakan, “Jika seorang hamba mengambil hak beberapa rnagam penghambaan secara keseluruhan yang menjadikannya bebas dari kepayahan penghambaan, maka ukirlah (kerjakan) fungsi penghambaan dengan tanpa tekanan dan beban. Itu adalah magarn para nabi dan orang-orang yang ahli kebenaran (shiddiqin). Artinya, menjadi orang yang terbebani yang tidak merasa terbebani dan hatinya tidak diliputi rasa berat (karena penghambaan pada Allah), meski hukumhukum syarak pada kenyataannya membebaninya demikian.”

 

Manshur Al-Faqih membacakan syair kepada kami:

 

tidaklah tersisa pada diri manusia kebebasan dan tidak juga pada jin telah berlalu kebebasan dua golongan maka mereka menghiasi hidup dengan kepahitan

 

Ketahuilah, sesungguhnya sebagian besar kebebasan terdapat dalam pemberian pelayanan pada orang-orang fakir. Saya mendengar Syaikh Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan, “Allah mewahyukan Nabi Dawud a.s.: Jika kamu melihat-Ku dengan : pencarian, maka jadilah kamu pelayan-(Ku).” Rasulullah Saw. bersabda:

 

“Tuan suatu masyarakat adalah yang menjadi pelayan mereka.“

 

Yahya bin Mu’adz mengatakan, “Anak-anak dunia adalah orang-orang yang dilayani para budak dan pelayan. Anak-anak akhirat adalah orang-orang yang dilayani kelompok orang bebas dan baik.”

 

Ibrahim bin Adham mengatakan, “Sesungguhnya kebebasan yang mulia adalah yang keluar dari dunia sebelum keluar (mati) darinya.” Dia juga mengatakan, “Janganlah berkawan kecuali dengan orang bebas yang mulia. Mendengarlah dan jangan berbicara!”

 

30. ZIKIR

 

Allah berfirman:

 

“Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah dengan ingatan yang banyak.” (QS. Al-Ahzab: 41)

 

Rasulullah Saw. bersabda:

 

“Ingatlah, saya akan memberi tahu kalian tentang sebaik-baik amal kalian, paling sucinya amal kalian di sisi raja kalian, paling tingginya amal kalian dalam tingkatan beberapa derajat, dan paling baiknya pemberian daripada emas dan perak. Jika kalian bertemu musuh-musuh kalian, maka kalian memukul leher-leher mereka dan mereka (ganti) memukul leher-leher kalian.’ Para sahabat bertanya: “Apa itu, wahai Rasulullah?” Belia menjawab: “Zikrullah.

 

Rasulullah Saw. bersabda:

 

“Hari kiamat tidak akan datang kepada seseorang yang mengucap Allah, Allah”

 

Rasulullah Saw. juga pernah bersabda:

 

“Kiamat tidak akan terjadi sampai di bumi ini hingga tidak ada yang mengucapkan Allah, Allah.”

 

Ustaz Asy-Syaikh berkata, “Zikir adalah rukun yang sangat kuat dalam perjalanan menuju Al-Haqq, bahkan keberadaannya merupakan tiang. Tidak akan sampai seseorang menuju Allah kecuali dengan melanggengkan zikir.” Zikir ada dua macam, yaitu zikir lisan dan zikir hati.’ Zikir lisan bagi seorang hamba yang menggunakan tekniknya akan mengantarkannya pada kelanggengan zikir hati. Zikir lisan ini punya pengaruh pada zikir hati. Jika hamba berzikir dengan lidah dan hatinya secara sekaligus, maka dia adalah seorang ahli zikir yang sempurna dalam sifat dan keadaan laku spiritualnya.

 

Saya mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan, “Zikir menyebarkan kewalian. Barangsiapa menetapi zikir, maka dia dianugerahi penyebaran dan jika dia mencabut zikirnya, maka penyebaran kewalian dicabut darinya.”

 

Diceritakan bahwa Dalf Asy-Syibli dalam permulaan laku sufinya setiap hari menyerap (makna sufi) sedikit demi sedikit dan mengendalikan nafsunya dengan teguh supaya tidak terputus-putus dari kontinuitas zikir. Jika sifat lupa memasuki hatinya, maka dia memukul nafsunya sampai pecah. Terkadang keteguhan ini lenyap sebelum menyentuh. Terkadang juga dia memukul pembatas dengan dua tangan dan dua kakinya. Dikatakan, zikir pada Allah dengan hati adalah pedang para murid. Dengan pedang itu mereka berperang melawan musuhmusuh dan menghalau beberapa penyakit yang mencoba mengganggunya. Musibah ketika membayangi hamba dan sempat menggetarkan hatinya, maka dia membatasinya dari semua yang dibencinya pada saat itu juga.

 

Muhammad Al-Wasithi pernah ditanya tentang zikir, lalu dijawab, “Yaitu keluar dari medan kelupaan menuju kepastian musyahadah yang mampu mengalahkan tekanan ketakutan dan tarikan rasa cinta.” Dzun Nun Al-Mishri berkata, “Barangsiapa ingat Allah dengan ingatan yang hakiki, maka dia pasti lupa segala sesuatu di sisi ingatan-Nya (zikir pada Allah) dan Allah akan menjaganya dari segala sesuatu. Baginya punya pengganti dari segala hal. Abu Usman pernah ditanya demikian, “Kami zikir pada Allah, tapi tidak menemukan kemanisan di dalam hati kami.” Kemudian beliau menjawab, “Pujilah Allah agar menghiasi di antara luka-lukamu dengan ketaatan.” Dalam hadis yang masyhur, Rasulullah Saw. pernah bersabda:

 

“Jika kamu melihat surga, maka merumputlah di (kebun)nya.’ Ditanyakan kepada beliau: “Apa itu kebun surga?’ Jawab beliau: “Majelis zikir.”

 

Jabir bin Abdullah menceritakan kepada kami. Dia mengatakan: Suatu hari Rasulullah Saw. keluar menuju kami lalu bersabda:

 

“Hai manusia, merumputlah kalian di kebun surga. Kami bertanya: “Wahai Rasulullah, apa kebun surga itu?’ Beliau menjawab: “Majelis zikir. Kalian makan pagilah (dengan zikir), makan sore, dan berzikir. Barangsiapa cinta mengetahui kedudukannya disisi Allah, maka pandanglah bagaimana kedudukan Allah di sisinya (di hatinya). Sesungguhnya Allah turun pada hamba menurut turunnya hamba di sisi-Nya.

 

Daif Asy-Syibli mengatakan, “Tidakkah Allah telah mengatakan, ‘Saya duduk di sisi orang yang mengingat-Ku. Apa yang kalian peroleh, hai manusia, dari majelis Al-Haqq ini?’”

 

Asy-Syibli kemudian mendendangkan syair:

 

saya ingat pada-Mu tidak, saya lupa pada-Mu selintas apa yang lebih ringan dalam zikir selain zikir lidahku saya dengan tanpa cinta mati dari keinginan hati pergi tanpa arah menujuku berputar dari timur ke barat ketika cinta melihatku sesungguhnya Engkau hadir padaku saya menyaksikan-Mu Ada di segala tempat saya berdialog dengan yang diadakan dengan tanpa ucapan saya melirik yang diketahui dengan tanpa pandangan

 

Di antara keistimewaan zikir adalah tidak dibatasi waktu, bahkan tidak ada waktu kecuali seorang hamba diperintahkan berzikir, baik yang bersifat wajib atau sunat. Salat meski kedudukannya sebagai ibadah yang paling mulia, dalam waktu-waktu tertentu tidak boleh dilakukan. Sedangkan zikir dilakukan sepanjang waktu dalam berbagai keadaan. Allah berfirman:

 

“Orang-orang yang mengingat (zikir) Allah, baik dengan berdiri, duduk, dan (atau) berbaring.” (QS. Ali Imran: 191)

 

Saya pernah mendengar Abu Bakar bin Furak, semoga Allah merahmatinya, mengatakan, “Posisi berdiri dengan kebenaran zikir dan posisi duduk dari menahan diri dari sikap berpurapura (berzikir).”

 

Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq pernah ditanya, “Apakah zikir atau berpikir yang lebih mulia?” ..

 

“Apa yang terjadi pada Asy-Syaikh?”

 

“Bagi saya,” jawab Asy-Syaikh Abu Abdurrahman, “bahwa zikir lebih sempurna daripada berpikir, karena Allah Dzat AlHaqq disifati dengan zikir, tidak dengan berpikir. Sesuatu yang menjadi sifat asli Al-Haqq adalah lebih sempurna daripada sesuatu yang dikhususkan oleh makhluk sebagai sifat Al-Haqq.”

 

Ustaz Abu Ali tersenyum membenarkan jawaban AsySyaikh.

 

Muhammad Al-Kattani mengatakan, “Seandainya tidak ada ketentuan yang mengatakan bahwa zikir kepada-Nya adalah kewajiban terhadap saya, niscaya saya tidak mengingat-Nya sebagai pengagungan kepada-Nya. Sepertiku saya mengingat-Nya.” Lidahnya tidak bisa dicucikan dengan seribu tobat selain zikir.

 

Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq mendendangkan syair pada teman-teman sufinya:

 

tidaklah saya jika mengingat-Mu selain keinginan mengusirku hatiku, rahasiaku, dan ruhku ketika mengingat-Mu sehingga seakan-akan mata-mata dari-Mu membisiku untuk-Mu celakah zikir adalah untuk-Mu semata

 

Di antara keistimewaan-keistimewaan zikir adalah menjadikan diterima zikir yang lain. Firman Allah Swt.:

 

“Ingatlah Saya, maka Saya mengingatinu.” (QS. Al-Baqarah: 152)

 

Dalam suatu hadis disebutkan bahwa Jibril a.s. pernah berkata kepada Rasulullah Saw. bahwa Allah berfirman: “Saya memberi umatmu sesuatu yang belum pernah Saya berikan kepada umat lain.”

 

“Apa itu, wahai Jibril?”

 

“Yaitu firman-Nya yang menyatakan: (Karena itu), ingatlah kalian, maka Saya pasti mengingatmu (QS. Al-Baqarah: 152). Tidak seorang pun selain umat ini yang pernah mengucapkan(nya).”

 

Menurut suatu penafsiran, ayat tadi bermakna bahwa malaikat selalu berkonsultasi dengan orang yang berzikir ketika hendak mencabut nyawanya. Di dalam sebagian kitab-kitab agama, Musa a.s. pernah bertanya, “Wahai Tuhan, di mana Engkau berada?”

 

“Di hati hamba-Ku yang beriman.”

 

Artinya, aktifitas zikir yang menetap di dalam hati karena Allah Swt. bebas dari segala hal yang bersifat menetap, berubah atau pindah. Dia menetapkan zikir dan mewujudkannya dalam hati.

 

Sufyan Ast-Tsauri bertanya pada Dzun Nun Al-Mishri tentang zikir, lalu dijawab, “Zikir adalah kegaiban orang yang zikir dari zikir.” Kemudian beliau melantunkan sebuah syair:

 

tidak, karena saya melupakan-Mu lebih banyak daripada mengingat-Mu namun dengan itu lidahku mengalir

 

Sahal bin Abdullah berkata, “Tiada hari selain Dzat Yang Mahaagung memanggil-manggil, Wahai Hamba-Ku, kamu tidak pernah berlaku adil terhadap-Ku. Engkau memohon kepada-Ku, tetapi engkau pergi kepada selain-Ku. Saya menghilangkan musibah-musibah darimu, tetapi engkau memikul beban-beban kesalahan. Wahai Anak Adam, apa yang akan kamu katakan besok ketika datang kepada-Ku?

 

Abu Sulaiman Ad-Darani berkata, “Di surga terdapat lembah yang subur. Ketika orang yang berzikir melakukan zikir, para malaikat menanami pohon-pohon di lembah itu. Ketika sebagian malaikat berhenti, ditanyakan kepadanya, ‘ Mengapa kamu berhenti (menanam)?’ Lalu dijawab, Kawan saya (orang yang sedang berzikir) membuat badan saya lemah dan payah.”

 

Dikatakan bahwa mencari rasa manis yang hilang ada di dalam tiga hal, yaitu di dalam salat, zikir, dan baca AlQuran. Sesungguhnya kalian pasti menemukan di dalamnya. Jika tidak, maka ketahuilah bahwa pintu sedang ditutup.

 

Ahmad Al-Aswad bercerita, “Saya pernah bersama Ibrahim Al-Khawwash dalam satu perjalanan. Kami mendatangi suatu tempat yang di dalamnya banyak ularnya. Ketika tiba di pesisiran, Ibrahim merapatkan sampannya lalu duduk dan saya pun ikut duduk. Malam akhirnya tiba. Udaranya yang sangat dingin mendorong ular-ular itu keluar dari sarangnya. Binatang-binatang berbisa itu merayap ke sana kemari untuk mencari mangsa, dan terus berjalan hingga mendekati tempat kami. Ibrahim berbisik kepadaku, Berzikirlah pada Allah.’ Saya pun mengucapkan zikir, dan anehnya, binatang-binatang itu menjauh. Tidak berapa lama ular-ular itu kembali mendatangi kami, dan Ibrahim kembali mengingatkan kami seperti semula, dan saya menurutinya hingga pagi. Setelah matahari agak cerah, dia berdiri dan berjalan lalu saya ikut berdiri dan berjalan. Baru beberapa tindak kaki kami berjalan, tiba-tiba seekor ular besarjatuh di bekas tempat duduk Ibrahim dalam keadaan tidur melingkar. Sava pun spontan berbicara, “Alangkah pulas tidur ularitu!’! Lalu dijawab Ibrahim, “Tidak, semenjak beberapa masa yang silam, saya tidak pernah tidur malam lebih nyaman daripada pagi ini.

 

Dikatakan, barangsiapa yang tidak merasakan kerasnya lupa, maka dia tidak dapat merasakan manisnya zikir. Sariy As-Saqthi berkata, “Dalam sebagian kitab yang diberi inspirasi Allah disebutkan: Jika mengingat-Ku lebih menguasai hamba-Ku, berarti dia rindu kepada-Ku yang membuat Saya rindu kepadanya.” Sariy mengatakan, “Allah mewahyukan pada Dawud a.s., ‘Bersama-Ku bergembiralah dan dengan mengingat-Ku bersenang-senanglah.’” Ahmad An-Nuri mengatakan, “Segala sesuatu mempunyai siksaan, dan siksaan bagi orang yang ma’rifat adalah keterputusannya dari zikir.” Di dalam kitab Injil disebutkan: “Ingatlah Saya ketika kamu marah, maka Saya pasti mengingatmu ketika Saya marah. Ridalah dengan pertolongan-Ku karena pertolongan-Ku lebih baik daripada pertolonganmu pada dirimu sendiri.”

 

Seorang rahib atau pendeta Yahudi pernah ditanya, “Apakah Tuan puasa?”

 

“Saya puasa dengan mengingat-Nya. Jika saya mengingat selain-Nya, berarti saya telah berbuka.”

 

Seseorang yang mengabadikan hatinya dengan zikir, maka setan yang mendekatnya pasti terbanting, sebagaimana manusia yang mendekati setan tanpa zikir juga pasti terbanting. Para setan bingung menyaksikan hal ini. Mereka bermusyawarah. “Apa yang dimilikinya?” gumam mereka. Lalu dijelaskan, “Manusia telah menyentuhnya.”

 

Sahal bin Abdullah mengatakan, “Saya tidak tahu maksiat yang lebih buruk melebihi lupa kepada Tuhan.” Dinyatakan bahwa zikir khafi atau rahasia tidak bisa diangkat ke langit oleh malaikat karena tidak tampak baginya. Zikir semacam ini merupakan rahasia antara seorang hamba dan Allah. Salah seorang dari kelompok ulama sufi menuturkan pengalaman anehnya. Dia mengatakan, “Diceritakan kepada saya tentang seorang ahli zikir yang tinggal di sarang harimau. Saya pun mendatanginya. Di sana saya lihat dia sedang duduk berzikir. Tiba-tiba seekor harimau besar menerkam dan berusaha merobek-robek badannya. Dia pingsan dan saya pun pingsan. Ketika dia siuman dan saya sudah mampu berdiri, saya mendekat lalu bertanya, ‘Ada apa?’ Dia mengatakan bahwa Allah telah merobohkan harimau itu.” Abdullah Al-Jariri mengatakan, “Di antara sahabat-sahabat kami ada seorang pria yang banyak mengucapkan Allah, Allah, Allah. Ketika dia berjalan di sela-sela barisan pohon kurma, sebatang pohon tumbang dan menimpa kepala ahli zikir itu. Kepalanya pecah dan darah mengalir deras dari sekujur tubuhnya. Di tanah tertulis ribuan kata Allah, Allah, Allah dengan tinta darahnya.”

 

31. PRAWIRA

 

Allah berfirman:

 

“Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk.” (QS. Al-Kahfi: 13)

 

Rasulullah Saw. bersabda:

 

“Allah senantiasa hadir dalam kebutuhan hamba-Nya selama hamba itu dalam (pemenuhan) kebutuhan saudaranya yang muslim.”

 

Ustaz Asy-Syaikh berkata, “Asal sifat prawira atau pemuda yang satria adalah keberadaannya yang senantiasa dalam urusan saudaranya.” Saya mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan, “Kesempurnaan akhlak semacam ini tidak ada yang memilikinya selain Rasulullah Saw. Setiap orang pada hari kiamat akan mengatakan, Diriku … diriku. Sementara Nabi kita Muhammad Saw. mengatakan, ‘Umatku … umatku.’”

 

Imam Al-Junaid mengatakan, “Keprawiraan ada di Syam, kefasihan lidah ada di Irag, dan kebenaran ada di Khurasan.” AlFudhail mengatakan, “Sifat prawira atau satria adalah memaafkan kesalahan-kesalahan kawan-kawannya.” Dikatakan juga bahwa alfutwah atau sifat prawira adalah ketiadaan diri memandang lebih atas yang lainnya. Abu Bakar Al-Warraq mengatakan, “Seorang pemuda satria adalah yang tidak mempunyai musuh.” Muhammad bin Ali At-Turmudzi mengatakan, “Sifat prawira adalah menjadikan nafsumu sebagai musuh Tuhanmu.” Dikatakan, seorang pemuda satria adalah yang tidak mempunyai musuh dengan siapapun.

 

Saya mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan, “Saya mendengar Nashr Abadzi mengatakan bahwa para pemuda ashabul kahfi dinamakan pemuda satria adalah karena keimanan mereka pada Allah dengan tanpa perantara.”

 

Dikatakan juga bahwa pemuda satria adalah orang yang berani menghancurkan berhala, sebagaimana yang digambarkan Allah dalam firman-Nya:

 

“Kami dengar seorang pemuda yang dipanggil Ibrahim yang mencela berhala-berhala ini.” (QS. Al-Anbiya’: 60)

 

Pemuda ini menghancurkan berhala-berhala kaum kafir.

 

“Maka Ibrahim menjadikan berhala-berhala itu hancur terpotongpotong.” (QS. Al-Anbiya’: 58)

 

Berhala setiap manusia adalah nafsunya, maka seseorang yang mampu menentang nafsunya pada hakikatnya adalah seorang satria.

 

Harits Al-Muhasibi mengatakan, “Sifat prawira adalah kemampuan mengambil sikap tengah-tengah dan adil.” Amru bin Usman Al-Maki mengatakan, “Sifat prawira adalah budi pekerti yang luhur.” Junaid pernah ditanya tentang hal ini, lalu dijawab, “Orang yang tidak menjauhi orang miskin juga tidak menentang orang kaya.” Abul Qasim Nashr Abadzi mengatakan, “Sifat prawira merupakan cabang dari sifat alfutuwah (satria) yang keberadaannya menentang rasa eksis dan harga diri.“ Muhammad bin Ali At-Turmudzi mengatakan, “Sifat satria adalah kemampuan memandang sama antara orang asing dan penduduk asli.”

 

Ahmad bin Hanbal ditanya tentang hal ini, lalu dijawab, “Meninggalkan apa yang kamu inginkan dan kami takutkan.“ Sebagian kaum sufi ditanya, “Apa yang dimaksud alfutuwah?” Kemudian dijawab, “Tidak membeda-bedakan antara yang makan bersamanya adalah seorang wali atau orang kafir.” Setengah kaum sufi menceritakan tentang seorang Majusi yang bertamu ke rumah Ibrahim a.s. Dia meminta jamuan kepadanya.

 

“Ya, dengan syarat kamu harus masuk Islam?” tawar Ibrahim a.s.

 

Orang Majusi itu tidak mau. Dia pergi meninggalkan Ibrahim a.s. Lalu Allah menegur Ibrahim a.s., “Hai Ibrahim, semenjak 50 tahun saya memberinya makan, meski dia kafir. Seandainya engkau mampu memberinya sesuap makanan saja dengan tanpa menuntut mengubah agamanya …?”

 

Ibrahim a.s. merasa bahwa wahyu itu merupakan teguran halus dari Allah. Dia merasa bersalah atas sikapnya terhadap orang Majusi. Ibrahim a.s. kemudian keluar menelusuri jejak orang Majusi sampai menemukannya. Dia meminta maaf atas sikapnya yang kurang menyenangkan. Si Majusi heran lalu menanyakan apa sebabnya. Ibrahim a.s. menjelaskannya hingga akhirnya orang Majusi itu memeluk Islam dengan sendirinya.

 

Junaid mengatakan, “Sifat prawira adalah kemampuan menekan penderitaan dan mencurahkan kemurahan.” Sedangkan menurut Sahal bin Abdullah adalah mengikuti sunnah. Ada beberapa pendapat yang memberi definisi alfutuwah. Sebagian mengartikan pemenuhan janji dan pemeliharaan hak. Sebagian lan mengartikan perolehan nikmat dan Anda tidak memandangnya sebagai kelebihan Anda. Ada juga yang menyebutnya ketiadaan lari jika seorang peminta menghadapnya atau tidak menutup jalan orang yang hendak mendatangi tujuannya atau juga tidak merasa rendah, direndahkan atau mencari-cari alasan. Terkadang juga diartikan penampakan nikmat dan merahasiakan penderitaan, atau digambarkan seperti orang yang mengundang sepuluh orang dan tidak merasa keberatan jika yang hadir sebelas orang, umpamanya. Pada prinsipnya sifat satria adalah kemampuan meninggalkan sikap membeda-bedakan.

 

Ahmad bin Khadhrawih mengusulkan kepada isterinya untuk mengundang seseorang. “Saya ingin mengadakan jamuan yang mengundang seorang penyair pengembara yang cerdas. Dia di negerinya dikenal sebagai seorang tokoh muda yang berjiwa satria,” katanya.

 

“Engkau tidak akan mendapat petunjuk dengan mengundang dia,” timpal isterinya.

 

“Saya harus mendapatkan!”

 

“Jika memaksa melakukan, engkau harus menyembelih beberapa ekor kambing, sapi, dan himar. Kemudian lemparkan binatang sembelihan itu dari pintu seseorang ke pintu rumahmu.”

 

“Mengenai kambing dan sapi, saya memahami, tetapi himar, apa fungsinya?”

 

“Engkau hendak mengundang seorang pemuda satria untuk datang ke rumahmu, maka jangan menjadikannya lebih sedikit dari kebaikan yang dimiliki seekor anjing.”

 

Dikisahkan, sekelompok ulama mengadakan undangan jamuan yang di antara mereka terdapat Syaikh Syairazi. Di tengah mereka makan, tiba-tiba rasa kantuk menyerang mereka.

 

“Apa penyebab kami tertidur?” tanya Syairazi kepada tuan rumah.

 

“Tidak tahu. Namun, barangkali Anda bisa mencari alasan dari cerita saya ini. Sebelum mengadakan jamuan ini, saya telah berusaha keras untuk bisa mengumpulkan hidangan dengan bahan-bahan yang jelas kecuali seekor anak kambing. Saya belum sempat menanyakan status hukum anak kambing itu.”

 

Pagi berikutnya, dia dan para undangan ini mendatangi penjual anak kambing. Mereka menanyakan asal mula kambing yang dibeli tuan pengundang.

 

“Saya sebelumnya tidak memiliki apa-apa,” jelas penjual kambing. “Kemudian saya mencuri seekor anak kambing dari seorang petani dan menjualnya.”

 

Mereka pun akhirnya mendatangi si petani untuk meminta keridaannya. Petani itu bersedia dengan ganti rugi seribu ekor anak kambing, dan kami memberinya dengan tambahan sebidang tanah, dua anak sapi, seekor himar, dan beberapa alat pertaruan.

 

Dikisahkan pula tentang seorang pria yang menikahi seorang gadis. Sebelum menikmati malam pertamanya, laki-laki itu melihat penyakit cacar di sebagian tubuh isterinya. Dia terkejut dan spontan mengatakan, “Subhanallah, mataku sakit! Saya menjadi buta.” Istrinya terkejut, akan tetapi tidak berapa lama dia kembali tenang karena suaminya masih tetap bersikap baik dan setia. Dan waktu pun berjalan. Sepasang suami isteri itu hidup baHagia. Mereka telah menjalani hidup selama 20 tahun. Selama itu pula dia tidak pernah mengalami perlakuan buruk dari suaminya sampai dia meninggal. Semenjak ditinggal mati isterinya, laki-laki itu kembali membuka matanya.

 

“Bagaimana mungkin Anda bisa menjadi demikian?” tanya tetanggannya yang heran melihat matanya tidak buta lagi.

 

“Saya sebenarnya tidak buta, jelas laki-laki itu, “saya hanya pura-pura buta supaya isteriku tidak sedih karena beban mental yang disebabkan penyakit cacarnya.”

 

“Engkau adalah seorang satria sejati,” timpal seseorang.

 

Dzun Nun Al-Mishri mengatakan, “Barangsiapa yang menghendaki kepandaian (sikap satria), maka wajib atasnya menghidangkan air di Bagdad.”

 

“Bagaimana keadaannya?”

 

“Ketika saya dibawa menghadap pada khalifah karena tuduhan kafir, saya melihat seorang pelayan penghidang minuman yang memakai surban dengan sarung tangan model Mesir. Pelayan itu membawa beberapa guci keramik lengkap dengan gelasgelasnya. Saya menunjuk ke arahnya seraya mengatakan, ‘Itu adalah seorang penghidang minuman khusus untuk raja.’ Orang-orang menyangkalnya, “Bukan, dia adalah penghidang minuman untuk umum. Melihat pengakuan itu, saya pun langsung mengambil guci itu dan meminumnya. Saya mengatakan kepada orang-orang di sekitarku, ‘Barangsiapa mengikutiku, maka saya memberinya dinar.’ Namun, tidak seorang pun yang berani mengambilnya.”

 

“Engkau hanyalah seorang tawanan. Bukanlah termasuk golongan satria jika kami mengambil sesuatu darimu,” kata salah seorang pengunjung yang tidak setuju dengan tawaran Dzun Nun.

 

Dikatakan juga bahwa sikap yang mengambil untung dari seorang kawan bukan termasuk jiwa satria. Berkaitan dengan ini, seorang teman kami yang bernama Ahmad bin Sahal mselakukan transaksi dagang. Dia dikenal sebagai seorang pedagang yang memiliki jiwa satria. Kemudian saya membeli sepotong kain darinya, dan dia hanya mengambil harga pokoknya.

 

“Kenapa Anda tidak mengambil untung?” tanya saya.

 

—. “Saya sudah mengambil untung, tetapi tidak dengan cara membebanimu. Seseorang yang mengambil untung dari seorang kawan bukan termasuk satria.”

 

Diceritakan, seorang pemuda Naisabur yang dikenal berjiwa satria keluar mengadakan perjalanan menuju Kota Nasa.’? Di tengah istirahatnya di sebuah rumah penginapan, seorang pria bersama kawan-kawannya bertamu kepadanya untuk meminta jamuan. Para undangan itu pun datang dan mereka makan bersama-sama. Selesai makan, seorang pelayan wanita keluar ke ruangan perjamuan sambil membawa minuman. Dia menuangkan minuman ke masing-masing gelas di tangan para undangan. Namun, begitu giliran tuan rumah, dia segera menarik tangannya dan mengambil wudu. Para undangan memandang heran menunjukkan sikap bertanya. Pemuda itu mendekat lalu berkata, “Bukan termasuk orang yang satria jika membiarkan pelayan wanita menuangkan air ke dalam gelas di genggaman tangan kaum pria.”

 

“Saya semenjak beberapa tahun masuk rumah ini,” timpal seorang pengunjung, “belum pernah melihat seorang wanita pun | yang menuangkan air minuman ke dalam gelas di tangan kaum pria.”

 

Saya mendengar Manshur Al-Maghribi berkata, “Seseorang bermaksud menguji Nuh Al-Ayyari An-Naisaburi, seorang ulama sufi Naisabur. Orang itu kemudian membeli seorang budak wanita yang diberi pakaian anak laki-laki tampan, dan memang budak itu dirias yang sekiranya dapat memberi kesan bahwa dia benar-benar seorang anak laki-laki. Wajahnya sangat elok dan sikapnya menggemaskan. Budak itu dibawa ke rumah Nuh untuk ditawarkan dan dia membelinya dengan standar harga budak laki-laki. Budak itu kemudian tinggal bersama Nuh selama beberapa bulan. Selang beberapa waktu, bekas tuannya datang dan bertanya, “Apakah tuanmu (Nuh Al-Ayyari) telah mengetahui bahwa engkau adalah seorang budak wanita?’

 

“Tidak, dia tidak pernah menyentuhku sama sekali. Dia hanya membayangkan bahwa saya adalah seorang budak laki-laki.

 

Dikisahkan bahwa seorang laki-laki keji dan licik diminta istana untuk menyerahkan seorang budak guna melayani raja. Laki-laki itu menolak, maka raja memaksanya dengan memberi hukuman seribu cambuk, dan laki-laki itu tetap pada pendiriannya. Dia tidak mau menyerahkan budaknya meski dihukum berat. Bertepatan dengan itu, di malam harinya dia bermimpi sampai mengeluarkan air mani. Dia tidak segera mandi janabat hingga pagi hari karena udaranya sangat dingin. Seseorang yang kebetulan melihatnya bertanya kepadanya, “Engkau telah mempertaruhkan jiwamu.” Lalu djawab olehnya, “Saya sebenarnya malu pada Allah yang hanya mampu bersabar menerima pukulan seribu cambukan hanya karena makhluk, sementara untuk mandi janabat dengan air yang dingin saja, saya tidak mampu bertahan. Padahal itu untuk memenuhi syariat-Nya.”

 

Sekelompok pemuda berkunjung ke rumah seorang pemuda yang dikenal memiliki jiwa satria. Pemuda itu menerima mereka dan mengajaknya bepergian. Di tengah perjalanan, mereka menghentikan langkah. Masing-masing saling mempersilakan berangkat duluan, “Silakan Anda berangkat duluan.” Mereka diam tidak melangkah. Disusul orang kedua dan ketiga yang juga mengatakan hal yang sama, dan mereka juga tetap tidak bergeming dari posisinya. Hal itu berjalan cukup lama sampai tiap-tiap penguns jung saling berpandangan.

 

“Tidaklah termasuk satria seseorang yang mempekerjakan orang yang melanggarnya dalam mendahului perjalanan,” kata sebagian mereka.

 

“Lantas mengapa Anda sendiri juga memperlambat langkah?” tanya seseorang kepada pemuda satria.

 

“Di tengah jalan saya dihadang seekor semut. Tidaklah termasuk orang yang sopan berjalan saling mendahului, sementara seekor semut dibiarkan tertinggal di belakang: juga bukan satria seseorang yang menyingkirkan semut dari jalanan yang sedang di lewatinya. Karena itu, saya diam menanti sampai semut itu merayap menghilang.”

 

“Alangkah baiknya, engkau wahai Pemuda!” Para tamu itu kagum melihat kemuliaan akhlak pemuda itu. “Seperti engkaulah orang yang patut disebut satria.”

 

Dikisahkan juga tentang seorang jamaah haji yang ketiduran di Kota Madinah. Dalam setengah sadarnya, dia dikejutkan oleh bayangan yang seolah berhasil mencuri kantong uang dinarnya. Laki-laki itu langsung berjaga dari tidurnya, lalu keluar dan di luar tenda dia melihat Ja’far ash-Shadiq. Dia mencurigai Ja’far karena dialah orang yang pertama kali dilihatnya.

 

“Engkau mencuri kantongku?” tuduhnya.

 

“Apa isi kantongmu?”

 

“Seribu uang dinar.”

 

Ja’far tidak menyangkal. Dia langsung pulang mengambil sejumlah uang yang dinyatakan hilang dan memberikannya kepada laki-laki tadi. Laki-laki itu kemudian membawanya pulang dan di dalam rumahnya dia melihat kantong uang dinarnya yang disangkanya hilang. Dia menyesal karena telah gegabah menuduh seseorang mencurinya. Padahal dia tidak mengenalnya, siapa lelaki itu. Dia kemudian mendatangi laki-laki itu dan meminta maaf kepadanya, lalu mengembalikan uang yang diterima darinya. Ja’far menolak seraya mengatakan, “Sesuatu yang telah saya keluarkan dari tangan saya tidak mungkin saya minta atau tarik kembali.”

 

Musafir ini merasa tidak enak. Dia tidak tahu siapakah laki-laki aneh yang telah dituduhnya mencuri. “Siapa beliau?” tanyanya pada seseorang.

 

“Ja’far ash-Shadiq,” jawab seseorang.

 

Syaqiq Al-Balkhi pernah bertanya kepada Ja’far bin Muhammad tentang alfutuwah (jiwa satria).

 

“Menurutmu sendiri apa?” Dia balik bertanya.

 

“Jika kami diberi, kami berterima kasih. Jika tidak diberi, kami bersabar.”

 

“Anjing-anjing di kota kamijuga berbuat seperti itu,” timpal Ja’far.

 

“Wahai Cucu Rasulullah, kalau begitu menurut Tuan apa makna alfutuwah?“

 

“Jika diberi, kami memuliakannya. Jika tidak diberi, kami berterima kasih.”

 

Abdullah Al-Murta’isi bercerita: Bersama Abu Hafsh, kami serombongan menjenguk seorang ulama yang sedang menderita sakit keras.

 

“Apakah Tuan ingin sembuh?” tanyanya pada si sakit.

 

“Ya.”

 

“Pikullah dia’” perintah Abu Hafsh.

 

Si sakit itu berdiri lalu keluar bersama kami. Akhirnya, kami semua menjadi penghuni tempat tidur orang sakit dan kami menjadi orang yang dikunjungi.

 

32. FIRASAT

 

Allah berfirman:

 

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Kami) bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda.” (QS. Al-Hijr: 75)

 

Rasulullah Saw. bersabda:

 

“Takutlah kalian pada firasat orang mukmin karena dia melihat dengan cahaya Allah.”

 

Ustaz Asy-Syaikh berkata, “Firasat adalah suara batin yang masuk ke dalam hati dan meniadakan kontradiksi. Setiap suara hati mempunyai nilai hukum yang menguasai hati. Kata firasat merupakan pecahan kata arasa yang mengandung makna mener. kam atau memburu. Farisah as-Sabu’u memiliki makna terkaman binatang buas. Akan tetapi, makna pembandingnya tidak bisa diartikan dalam konteks hati secara apa adanya. Keberadaannya mengikuti kualitas iman. Setiap orang yang imannya lebih kuat, pasti firasatnya lebih tajam.”

 

Abu Sa’id Al-Kharraz mengatakan, “Barangsiapa melihat dengan cahaya firasat, berarti dia melihat dengan cahaya Al-Haqq. Sumber ilmunya yang dipakai memandang berasal dari Al-Haqq. Dia dapat melihat dengan tanpa lupa dan lalai. Hukum kebenaran Tuhan berjalan mengiringi gerakan lidah. Manusia semacam ini berbicara menggunakan pancaran kebenaran Tuhan. Ucapan yang menyatakan dia memandang dengan cahaya Al-Haqq, artinya melihat dengan cahaya yang dikhususkan Allah kepadanya.”

 

Muhammad Al-Wasithi mengatakan, “Firasat adalah pencaran cahaya yang memancar ke dalam hati, dominasi ma’rifat yang membawa rahasia-rahasia ke dalam hati, dari sesuatu yang gaib menuju yang gaib, sehingga dia mampu melihat sesuatu menurut sisi mana Tuhan memandang. Dia bisa berbicara dengan hati makhluk.”

 

Abul Hasan Ad-Dailami menuturkan: Saya pernah memasuki Kota Anthakiya” wilayah Turki, karena seorang pria yang berkulit sangat hitam. Menurut kabar yang saya terima, dia mampu berbicara yang sifatnya sangat rahasia. Saya pun tinggal bersamanya sampai dia keluar dari daerah pegunungan Lukam. Sewaktu keluar, dia membawa sesuatu yang mubah yang hendak dijualnya. Sementara keadaan saya sudah dua hari belum makan apa-apa. Saya lihat apa yang dibawanya bisa dimakan.

 

“Berapa harganya?” tanya saya.

 

Saya membayangkan bisa membeli sesuatu yang berada di tangannya.

 

“Duduklah sampai saya selesai berjualan dan memberikan kepadamu apa yang hendak kamu beli.” Dia memberi saran saya.

 

Saya tidak mempedulikan omongannya. Saya biarkan dia menyelesaikan urusannya, sementara saya berjalan ke penjual lain yang saya kira akan menawarkan dagangannya. Akan tetapi, penjual itu tidak butuh tawaran saya, sehingga membuat saya harus kembali kepada laki-laki hitam tersebut. Saya mengulangi tawaran saya dengan suara yang agak keras, “Jika engkau menjual barang ini, maka katakan pada saya berapa harganya?”

 

“Engkau telah kelaparan selama dua hari. Duduklah, hingga saya menjual dan memberikan kepadamu apa yang hendak kamu beli.” Dia kembali menyarankan saya seperti semula. Saya pun akhirnya duduk. Ketika dia menjual dan memberikan sesuatu kepada saya, dia pergi. Saya penasaran, lalu mengikutinya. Dia menoleh kepada saya dan mengatakan, “Jika kamu ditimpa keperluan, maka Allah pasti menurunkannya kecuali jika nafsumu meminta bagian yang dapat menutupi penurunan keterkabulan dari Allah.”

 

Muhammad Al-Kattani mengatakan, “Firasat adalah keter. singkapan keyakinan, kemampuan melihat yang gaib, dan dia merupakan bagian dari derajat iman.” Dikatakan, Imam Syafi’i dan Muhammad bin Hasan berada di Masjidil Haram. Kemudian seorang pria masuk mesjid. Muhammad bin Hasan mengatakan, “Menurut firasatku dia adalah seorang tukang kayu. Namun, Imam Syafi’i mengatakan lain, ‘Menurut firasatku dia adalah seo. rang tukang besi. Keduanya lantas mendatangi pria tersebut dan menanyakan statusnya. Laki-laki itu menjawab, ‘Saya sebelum tahun ini memang seorang tukang besi, tetapi sekarang saya bekerja dalam perkayuan.’”

 

Abu Sa’id Al-Kharraz mengatakan, “Orang yang memiliki sumber adalah orang yang meneliti hal-hal gaib selamanya dan hal-hal gaib tidak tertutup dari pandangannya. Tidak ada yang tersembunyi darinya. Dialah gambaran orang yang ditunjukkan Allah dalam firman-Nya:

 

… tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan Ulil Amri) (QS. An Nisa’: 83).”

 

Orang yang mencari tanda (mencari firasat) adalah orang yang mengetahui tanda. Dia mengetahui sesuatu yang tersimpan dalam kemurungan hati. Kemampuannya didukung dengan petunjuk-petunjuk dan alamat-alamat. Allah berfirman:

 

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tandatanda (kekuasaan Kami) bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda.” (QS. Al-Hijr: 75)

 

Artinya, orang-orang yang mengetahui apa yang ditampakkan oleh Tuhan dengan berbagai alamat. Mereka terbagi menjadi dua golongan: para wali Allah dan para musuh-Nya. Orang yang mempunyai firasat melihat dengan cahaya Allah. Demikian itu merupakan pencaran cahaya yang memancar ke dalam hati, sehingga dia dapat melihat berbagai makna atau nilai-nilai yang termanifestasikan dalam alam semesta. Hal itu merupakan keistimewaan iman. Kebanyakan mereka adalah rabbani. Allah Swt. berfirman: VA ole IP Ubi, “Hendaklah kamu menjadi orang-orang yang rabbani.” (QS. Ali Imran: 79)

 

Rabbani Artinya, para ulama ahli hikmah yang berakhlak dengan akhlak Tuhan dan berpikiran dengan pandangan Tuhan. Mereka kosong dari pengaruh makhluk, kecenderungan melihat mereka, dan terlalu sibuk dengan mereka.

 

Abul Qasim Al-Munadi, seorang ulama sufi Naisabur terbesar di zamannya menderita sakit. Banyak ulama yang menjenguknya, di antaranya Abul Hasan Al-Busanji dan Hasan AlHadad. Sebelum tiba di tempat tujuan, keduanya sempat beli beberapa butir buah apel di tengah jalan secara kredit. Keduanya kemudian membawanya kepada Abul Qasim. Ketika kedua tamu ini masuk dan duduk di sisi pembaringannya, Abul Qasim berkata, “Kenapa suasana menjadi gelap?”

 

Kedua tamu itu terkejut. Seolah-olah ucapan itu ditujukan kepada mereka. Keduanya gelisah dan sedetik kemudian mereka keluar dan bergumam, “Apa yang telah kita perbuat?” Keduanya mencoba berpikir.

 

“Barangkali kita belum membayar penuh harga apel,” kata mereka. Keduanya lantas pergi ke tempat penjual apel dan membayar harganya secara penuh, kemudian kembali ke rumah Abul ODasim. Ketika pandangan beliau jatuh dan melihat kedua tamunya, beliau bergumam, “Mungkinkah secepat ini kegelepan yang menyelimuti seseorang keluar darinya. Kabarkan pada saya ada apa dengan diri kalian?”

 

Keduanya pun menuturkan kisahnya: tentang apel, tentang harga, dan tentang pemenuhan janjinya. Ulama itu diam mendengarkan. Beliau menemukan penyebab kegelapan ruangan tidurnya.

 

“Memang benar, seseorang dari kalian terlalu percaya pada temannya untuk tidak membayar penuh harga apel. Dia percaya dengan kebaikan penjual apel, sementara penjual itu malu untuk tidak memenuhi tawarannya. Dia sungkan dan takut berperkara karena sadar yang dihadapinya adalah ulama. Dia takut menagih. Sedangkan saya adalah penyebab utama. Engkau datang dengan membawa apel karena saya. Itulah yang saya lihat pada diri kalian.”

 

Semenjak peristiwa itu, Abul Qasim Al-Munadi masuk pasar setiap ada pelelangan. Dan, ketika tangannya menjamah sesuatu yang sekiranya mencukupi harga senilai seperenam hingga setengah dirham, dia keluar dan kembali pada pangkal waktunya dan meniti-niti hatinya.

 

Husin bin Manshur berkata, “Al-Haqq jika telah menguasai rahasia (hati), maka rahasia-rahasia itu akan menguasainya, mengurusi dan memberitahukan kepadanya rahasia-rahasia itu.”

 

Seorang ulama sufi ditanya tentang makna firasat, lalu dijawab, “Beningnya nurani yang berputar-putar di dalam kerajaan (alamjasad, alam rohani, dan alam gaib) sehingga dia dimuliakan dengan kemampuan melihat makna-makna gaib, berbicara tentang rahasia-rahasia penciptaan dengan pembicaraan yang nyata, dan dia tidak berbicara dengan dugaan atau persangkaan.”

 

Dikatakan bahwa antara Zakaria Asy-Syahtani, sebelum dia tobat, dan seorang wanita terjalin hubungan asmara. Suatu hari dia menghadap gurunya, Abu Utsman, setelah menjadi salah seorang murid seniornya. Abu Utsman duduk sambil menekurkan kepalanya, sementara Zakaria duduk bersila di depan gurunya dengan pikiran melayang mengkhayalkan kekasihnya. Abu Utsman mengangkat kepalanya dan menatap muridnya. “Mengapa engkau tidak merasa malu?” tegurnya.

 

Ustaz Al-Imam mencentakan kisah awal perjalanan sufinya. Dia mengatakan, “Ketika di awal perjumpaan saya dengan Ustaz Abu Ali, beliau mengikat saya dalam suatu acara di majelis ta’lim di mesjid Al-Mathuraz. Saya minta izin beliau untuk keluar sebentar ke Kota Nasa dan beliau mengizinkan. Kemudian saya berjalan bersamanya. Di tengah jalan menuju majelis ta’lim, hati saya berbisik, ‘Sekiranya beliau mau menggantikan saya di majelis saya selama saya tidak ada …’ Belum selesai hati saya bicara, Ustaz Abu Ali menoleh dan mengatakan kepada saya, Saya akan menggantikanmu selama kamu tidak ada.’ Kemudian kami berjalan. Hati saya kembali berbisik, Seandainya beliau sakit yang membuatnya kesulitan untuk menggantikan saya selama dua hari dalam seminggu atau paling tidak sehari seminggu. Tiba-tiba beliau menoleh kepada saya dan mengatakan, Jika tidak mungkin menggantikan kamu dua hari seminggu, paling tidak saya akan menggantikan kamu seminggu sekali. Kami kembali melanjutkan perjalanan dan ketika hati saya berbisik lagi dengan hal yang lain, beliau juga menoleh dan memberitahukan kepada saya apa yang terlintas dalam hati saya.”

 

Syah Al-Kirmani yang terkenal sebagai seorang ulama yang memiliki ketajaman firasat mengatakan, “Barangsiapa yang mengatupkan pandangannya dari sesuatu yang haram, mencegah dirinya dari syahwat, menetapi batinnya dengan keabadian perasaan diawasi Allah, meneguhkan zhahirnya untuk tetap mengikuti sunnah Rasulullah, dan membiasakan makan halal, maka firasatnya tidak mungkin salah.”

 

Abul Husin An-Nuri pernah ditanya, “Dari mana firasat orang-orang yang ahli firasat itu lahir?“

 

“Dari firman Allah yang berbunyi:

 

“Dan Kami tiupkan ruh-Ku ke dalamnya.” (QS. Al-Hijr: 29)

 

Barangsiapa cahayanya lebih sempurna, maka kesaksiaan hukumnya lebih tepat. Hukumnya dengan penglihatan firasatnya lebih benar. Mengapa kamu tidak melihat bagaimana peniupan ruh itu menyebabkan keharusan sujud kepada-Nya? Firman Allah Swt.:

 

“Ketika Aku sempurnakan (ciptaan)nya dan Aku tiupkan ruhKu ke dalamnya, maka mereka bertiarap sujud kepadanya.” (QS. Al-Hijr: 29)

 

Ustaz Asy-Syaikh berkata, ‘ Tafsiran berikut ini dari Abul Hasin An-Nuri yang menerangkan bahwa ayat tersebut mengandung kesamaran pengertian dengan penyebutan peniupan ruh, bukan pembenaran seseorang yang mengatakan dengan pijakan kaki ruh, dan tidak sebagaimana ruh yang menyinari hati orang-orang yang lemah. Jika benar baginya peniupan, penyambungan, dan pemisahan, maka dia adalah orang yang menerima pengaruh dan perubahan. Itulah di antara beberapa ketinggian sesuatu yang baru. Allah telah mengkhususkan orang-orang mukmin dengan penglihatan dan cahaya yang dengannya mereka berfirasat. Pada hakikatnya hal ini merupakan pengetahuan yang didasarkan sabda Rasulullah Saw.: Sesungguhnya Dia melihat dengan cahaya Allah. Artinya, dengan ilmu dan penglihatan yang dikhususkan Allah kepadanya. Dia diistimewakan Allah dengan kedua anugerah tersebut dan dipisahkan dari yang bukan bentuk-bentuknya. Penamaan ilmu dan penglihatan dengan cahaya adalah bukan sesuatu yang diada-adakan. Sifat demikian itu tidak dijauhkan dengan peniupan karena maksud dari ayat tersebut adalah penciptaan.”

 

Husin bin Manshur mengatakan, “Orang yang punya firasat adalah orang yang menembakkan kebenaran dengan lemparan pertama menuju sasaran yang tepat. Dia tidak condong pada penafsiran, persangkaan, dan dugaan.” Dikatakan, firasat para murid masih pada tataran “persangkaan” yang mengharuskan pada tataran “pemastian”, sedangkan firasat para ahli makrifat berada pada tataran “pemastian” yang mengharuskan pada tataran “kepastian”.

 

Ahmad bin ‘Ashim Al-Anthaki mengatakan, “Jika kalian duduk bersama-sama ahli kebenaran, maka duduklah dengan kebenaran karena mereka adalah para spionase hati. Mereka dapat memasuki hati kalian dan keluar dari hati kalian tanpa kalian rasa.” Abu Ja far Al-Haddad mengatakan, “Firasat adalah awal bisikan hati dengan tanpa penentangan. Jika timbul penentangan dari jenisnya, maka dia adalah sekedar lintasan dan bisikan nafsu.”

 

Abu Abdullah Ar-Razi ketika singgah di Naisabur mengalami pengalaman sufi yang menarik. Dia mengatakan, “Ibnul Anbari pernah mengenakan pada saya pakaian yang terbuat dari bulu domba. Ketika itu saya melihat di kepala Dalf Asy-Syibli terdapat topi manis yang diikat dengan kain wol. Saya berbisik dalam diri saya, ‘Alangkah baiknya jika kedua hiasan tersebut berkumpul pada diri saya.’ Ketika Asy-Syibli berdiri dari duduknya, dia menoleh kepadaku dan saya mengikutinya. Biasanya jika saya bermaksud mengikutinya, dia pasti menoleh kepadaku lebih dulu. Namun, kali ini tidak. Dia langsung berjalan dan masuk ke dalam rumah tanpa memperhatikan saya.

 

‘Lepaskan kain bulu itu! perintahnya.

 

Saya pun melepaskannya. Dia kemudian melipat kain itu, lalu menggabungkannya dengan topi, dan memerintahkan seseorang untuk membakarnya.”

 

Abu Hafsh An-Naisaburi mengatakan, “Tidak patut bagi seseorang mengaku mempunyai firasat yang tajam, sementara dia takut pada firasat orang lain karena Nabi Saw. pernah bersabda, ‘Takutlah kalian pada firasat orang mukmin. Beliau tidak mengatakan, ‘Berfirasatlah.’ Lantas bagaimana mungkin sah pengakuan firasat seseorang, sementara dia masih di maqam takut firasat.”

 

Ahmad bin Masrug mengatakan, “Saya memasuki rumah seorang laki-laki yang sudah lanjut usianya. Dia adalah satu di antara kawan-kawan kami. Saya memanggilnya, tetapi tidak mendapat sahutan. Saya pun masuk ke dalam dan menjumpainya dalam keadaan sangat lemah. Saya bergumam dalam hati, Dari mana dia mendapat pertolongan, sementara dia adalah orang yang sudah sangat tua?’ Tiba-tiba dia menyahut, ‘Hai Abul Abbas, tinggalkan bisikan hatimu yang busuk itu. Sesungguhnya bagi Allah kelembutan yang sangat samar.”

 

Az-Zubaidi mengatakan, “Saya bersama sekumpulan orang fakir tinggal beberapa lama di dalam mesjid Bagdad. Dalam beberapa hari kami tidak kemasukan apa-apa. Saya pun mendatangi Ibrahim Al-Khawwash untuk minta sesuatu. Ketika pandangannya mengarah kepada saya, dia menyindir, “Kebutuhan yang engkau datang kepada saya karenanya, apakah Allah mengetahuinya atau tidak?”

 

“Ya!

 

‘Kalau begitu, diamlah dan jangan menampakkannya pada makhluk.

 

Saya akhirnya kembali ke mesjid dan berkumpul dengan orang-orang fakir. Kami diam pasrah di hadapan Allah dan tidak berapa lama, kami dibukakan rezeki yang melebihi dari cukup.”

 

Diceritakan, Sahal bin Abdullah suatu hari tertimpa kelaparan. Dia mencoba berjalan, tetapi terjatuh. Rasa lapar dan penderitaan yang sangat membuatnya tidak mampu bertahan sehingga tergeletak di serambi mesjid. Akan tetapi, dia masih sempat berpesan, “Jika Syah Al-Kirmani mati pada hari ini atas kehendak Allah, maka tulislah hal ini dan kirimkan kepadanya.” Waktu pun berjalan dan apa yang difirasatkan itu benar-benar terjadi.

 

Ketika Abu Abdullah At-Turghandi, seorang ulama terbesar di zamannya, pergi ke Kota Thus dan ketika sampai di daerah Kharwa, dia berkata pada muridnya, “Belilah roti.”

 

Dia pun berangkat dan tidak lama kemudian kembali dengan membawa roti yang cukup dimakan dua orang.

 

“Belilah yang lebih banyak!” perintahnya lagi.

 

Murid itu pun kembali berangkat dan membeli roti yang sekiranya cukup dimakan oleh sepuluh orang. Dia memang sengaja membeli lebih, tetapi tidak tahu apa maksudnya. Dia hanya berpikir bahwa perintah ini adalah perintah yang terakhir. Ketika mereka berdua melanjutkan perjalanan dan naik ke atas gunung, mereka dikejutkan oleh sekumpulan orang yang ditawan para penyamun. Kaki dan tangan para tawanan itu dalam keadaan terikat. Kondisi mereka sangat tragis dan sudah beberapa hari tidak makan. Mereka meminta makanan kepada dua orang asing itu.

 

“Berikan makanan itu kepada mereka!” pinta Abu Abdullah pada muridnya.

 

Ustaz Al-Imam (Imam Al-Qusyairi) menuturkan pengalaman sufinya. “Ketika saya bersama Ustaz Abu Ali,” kisahnya, “pengajian Syaikh Abu Abdurrahman As-Sulami tengah berlangsung. Dia sebenarnya lebih senang mendengar sambil memenuhi keluhan orang-orang fakir daripada berbuat yang tidak jelas arahnya. Dalam keadaan yang sama, Ustaz Abu Ali juga mengatakan seperti yang dikatakan Syaikh Abu Abdurrahman. Barangkali diam lebih utama baginya. Kemudian dalam majelis tersebut Ustaz berkata, ‘Pergilah ke sana, engkau akan mendapati dia sedang duduk di ruangan perpustakaan pribadinya. Di dalam perpustakaan itu terdapat beberapa jilid buku sampul merah yang salah satunya berbetuk segi empat ukuran kecil yang di dalamnya tertulis beberapa syair Husin bin Manshur. Ambil dan bawalah kemarijilid yang ada syairnya dan jangan berkata apa-apa kepadanya.’ Ketika itu matahari berada di pertengahan langit. Saya berangkat di tengah terik panas matahari, kemudian masuk dan di dalam perpustakaan saya menjumpai Syaikh Abdurrahman dan buku-bukunya sebagaimana yang disebutkan Ustaz. Ketika saya duduk, Syaikh mengucapkan sesuatu, ‘Sebagian orang mengingkari salah seorang ulama yang gerakannya ada dalam diamnya. Orang itu saya lihat sendirian di dalam rumah sambil berjalan berputar-putar seperti orang yang dimabuk asmara. Ketika ditanyakan keadaannya, dia menjawab, ‘Satu masalah menyamarkan saya.’ Dia kemudian menjelaskan maksudnya kepada saya, sehingga saya tidak bisa mengekang kegembiraan saya sampai saya berdiri dan ikut berputar-putar. Seperti demikianlah keadaan mereka,’ katanya kemudian.

 

Ketika saya merenungkan apa yang diperintahkan Ustaz Abu Ali kepada saya dan beberapa gambarannya, kemudian membandingkannya dengan penjelasan-penjelasan Syaikh Abdurrahman, saya menjadi bingung. ‘Bagaimana saya harus menyikapi dua hal itu?’ keluh saya. Saya pun mencoba memecahkannya dan berpikir tentang diri saya. Saya akhirnya berkata pada diri saya sendiri, “Tidak ada arah kecuali kebenaran. Ustaz memberi gambaran pada saya tentang beberapa jilid buku dan perintahnya kepada saya untuk membawa buku-buku tersebut kepadanya tanpa harus meminta izin kepada pemiliknya. Saya sangat segan kepadanya dan tidak mungkin menentang perintahnya. Lantas untuk apa dia memerintahkan saya demikian? Akhirnya, saya mengeluarkan seperenam dari karangan Husin bin Manshur yang diberi judul Ash-Shaihur fi Nagdhid Duhur. Belum sempat berpikir macam-macam, Syaikh Abdurrahman berkata kepada saya, Bawalah lembaran itu kepadanya dan katakan kepadanya, sesungguhnya saya telah mempelajari jilid itu dan saya telah menukil beberapa syairnya ke dalam karangan saya. Kemudian saya berangkat pulang.”

 

Diriwayatkan dari Hasan Al-Haddad yang mengatakan, “Saya bersama Abul Qasim Al-Munadi ketika dia sedang bercengkerama dengan orang-orang fakir. Saya duduk bersama mereka, sampai Abul Qasim meminta saya untuk mencari sesuatu. Keluar dan bawalah sesuatu untuk mereka!’ Saya sangat senang mendapat tugas ini karena bisa ikut melayani orang-orang fakir. Saya mendatangi mereka dengan sesuatu setelah mengetahui kebutuhan saya. Saya masuk ke dalam rumah untuk mengambil keranjang lalu keluar. Ketika melewati lorongan jalan besar yang penuh dengan deretan para saudagar, saya dikejutkan oleh Syaikh yang tiba-tiba telah berada di situ. Wajahnya tampak berseri-seri. Saya sampaikan salam kepadanya kemudian bertanya, “Orang-orang miskin saya pikir masih di majelis Tuan. Apakah Tuan sudah punya sesuatu untuk menjamu mereka?’ Dia diam sebentar kemudian menunjukkan kepada saya roti, daging, dan anggur. Ketika saya sampai di pintu, dia mendekati saya dari arah belakang pintu dan mendorongnya pada tempat di mana saya memasukinya. Saya pun kembali dan meminta maaf kepada Syaikh. Saya tidak menemukan mereka. Saya pikir mereka berpencar. Saya menyampaikan alasan kepadanya, kemudian keluar mendatangi pasar dan kembali membawa sesuatu. ‘Masuk!’ katanya. Saya duduk dan menceritakan kepadanya pengalaman saya. ‘Benar, para saudagar yang kamu temui di jalanan itu adalah para penguasa. Jika engkau mendatangkan sesuatu kepada kaum fakir, maka berilah seperti ini, tidak seperti itu (yang diperoleh dari para saudagar kaum bangsawan).

 

Abul Husin Al-Ourafi berkata, “Saya mengunjungi Abul Khair At-Tainati, kemudian berpamitan pulang dan dia keluar mengantarkan saya sampai di depan pintu mesjid. Hai Abul Hasan,’ panggilnya, ‘saya tahu kamu tidak membawa apa-apa. Karena itu, bawalah dua apel ini. Saya pun mengambil dan memasukkannya ke dalam kantong baju, lalu pergi melanjutkan perjalanan dan tidak membukanya sampai tiga hari. Saya kemudian mengambil sebuah dan memakannya, dan ketika hendak mengambil yang sebuah lagi, tiba-tiba kedua buah itu kembali di dalam kantong baju saya. Saya kembali memakan sebuah dan keduanya kembali lagi seperti semula sampai saya tiba di pintu sambungan bangunan. Saya berbisik, Kedua buah ini merusak kondisi tawakal saya jika keduanya diketahui saya.’ Ketika saya mengeluarkan kedua apel itu semuanya dari kantong, tiba-tiba saya melihat seorang miskin yang berselimut kain mantel. Saya ingin apel, pintanya. Saya pun memberikan keduanya kepadanya. Ketika saya menyeberang, saya pun paham bahwa Syaikh sebenarnya mengirimkan kedua buah itu kepada orang miskin tadi. Ketika itu saya berada di kerumunan orang yang berada di jalanan. Saya pun berbalik menemuiorang miskin tadi dan tidak menemukannya.”

 

Seorang pemuda menemani Al-Junaid. Dia sedang membicarakan suara batin manusia, kemudian menyampaikannya kepada Al-Junaid.

 

“Apa yang disebutkan orang ini tentang kamu?” tanya AlJunaid.

 

“Percayalah pada sesuatu!”

 

“Engkau percaya?”

 

“Saya percaya demikian … demikian,” tegasnya kemudian.

 

“Tidak, tetapi percayalah yang kedua,” kata Al-Junaid.

 

Dia melakukannya, kemudian mengatakan, “Saya mempercayai demikian … demikian.“

 

“Bukan demikian, percayalah yang ketiga.”

 

Imam Al-Junaid kembali mengatakan seperti semula.

 

“Ini sangat mengherankan. Engkau benar, dan saya tahu hati diri saya,” jawab pemuda itu akhirnya.

 

“Engkau memang sudah benar. Dalam perkara yang pertama, kedua, dan ketiga engkau benar. Saya melakukan demikian hanya untuk mengujimu, apakah hatimu berubah?” jelas AlJunaid.

 

Ibrahim, seorang ulama sufi terkenal, jatuh sakit. Lalu dibawakan kepadanya segelas obat. Dia mengambil gelas itu dan hanya memandangnya.

 

“Hari ini sedang terjadi peristiwa penting di kerajaan. Saya tidak akan makan dan minum sampai mengetahuinya.” Dia mengungkapkan firasatnya.

 

Beberapa hari kemudian datang kabar kepadanya bahwa Imam Al-Ourthubi pada hari itu (saat dia membuka firasatnya) masuk Kota Mekkah. Dia terbunuh dalam perang besar tersebut.

 

Anas bin Malik r.a. mengatakan, “Saya mampir ke rumah Utsman bin Affan. Dari rumahnya saya melihat seorang wanita yang tengah berjalan. Saya berpikir tentang kecantikan tubuhnya. Utsman r.a. tersenyum kemudian menyindir saya, Sedang bertamu kepada saya seseorang dari kalian, sementara pengaruh zina tampak di kedua matanya. Saya penasaran, lalu bertanya, ‘Apakah itu wahyu setelah Rasulullah saw.?’

 

Dia menjawab, “Tidak, akan tetapi penglihatan, bukti dan firasat adalah kebenaran.”

 

Ahmad Al-Kharraz berkata, “Saya masuk Masjidil Haram. Saya melihat seorang fakir yang pakaiannya ada dua sobekan sedang meminta sesuatu. Saya berkata dalam hati, Seperti inikah kemiskinan yang menimpa manusia.’ Tiba-tiba mata orang fakir itu memandang saya. Pandangannya menembus sampai ke ulu hati. Dia menyindir saya dengan menyitir sebuah ayat::

 

Dan ketahuilah bahwasannya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya’ (QS.Al-Baqarah: 235)

 

Kemudian dia mengatakan, Saya memohonkan ampun rahasia saya.’ Dia diam lalu memanggil saya seraya mengutip sebuah ayat lain:

 

Dan Dialah Yang menerima tobat dari hamba hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan (QS. Asy-Syura: 25).”

 

Ibrahim Al-Khawwash menceritakan, “Saya di Bagdad di tempat kumpulan orang-orang kota. Dalam kumpulan itu terdapat juga orang-orang fakir. Kemudian datang seorang pemuda yang sangat elok, baunya harum, dan wajahnya sangat menawan. Saya menoleh kepada kawan-kawan dan membisikkan sesuatu kepada mereka. ‘Dia adalah Yahudi. Semua orang menjadi membencinya. Saya keluar dan pemuda itu juga keluar, kemudian dia kembali dan menanyakan sesuatu kepada jamaah, ‘Apa yang dikatakan Syaikh tersebut tentang saya?’ Mereka marah dan tidak mempedulikan pertanyaannya. Akan tetapi, dia terus mendesak sampai orang-orang itu menjawabnya, Engkau adalah Yahudi Pemuda itu terkejut. Dia heran dengan apa yang dikatakan kepada saya. Dia pun akhirnya beranjak pergi dan mendatangi saya. Dia duduk bersimpuh di hadapan saya lalu menyatakan keislamannya. “Apa penyebabnya Anda masuk Islam?’ Seseorang bertanya. ‘Di dalam kitab-kitab kami,’ jelasnya kemudian, ‘disebutkan bahwa orang yang benar firasatnya tidak pernah salah.’ Saya katakan kepadanya, ‘Saya hanya menguji orang-orang Islam. Saya memikirkan mereka. Jika memang ada orang yang benar di antara mereka, maka di dalam kelompok inilah adanya. Karena, mereka mengucapkan firman Allah, dan saya memakaikan kepada mereka.’ Ketika hal itu diperlihatkan kepada saya dan saya berfirasat, maka tahulah saya bahwa dia adalah benar. Pemuda itu akhirnya menjadi seorang ulama sufi yang besar.”

 

Ahmad Al-Jariri mengatakan, “Di antara kalian ada seseorang yang jika Al-Haqq menghendakinya bisa berbicara tentang kerajaan (langit), apakah dia mengetahuinya sebelum ditampakkan kepadanya?”

 

“Tidak,” jawab mereka.

 

“Saya menangisi hati manusia yang di dalamnya tidak dijumpai sesuatu yang berasal dari Allah,” jelas saya.

 

Abu Musa Ad-Dailami menuturkan pengalamannya, “Saya pernah bertamu ke rumah Abdurrahman bin Yahya untuk menanyakan makna tawakal, lalu dijawab, “Kalau engkau memasukkan tanganmu ke dalam mulut seekor naga sampai ke pergelangan tangan, bersama Allah engkau tidak takut apapun selain. Nya.’ Saya keluar dan pergi ke rumah Abu Yazid Al-Busthamj juga untuk menanyakan makna tawakal. Saya ketuk pintu rumahnya dan dia menyahut dari dalam, ‘Bukankah jawaban yang kamu peroleh dari Abdurrahman sudah cukup? Saya penasaran dan mengatakan kepadanya, ‘Bukalah pintunya. Dia menyahut dari dalam, “Engkau tidak mengunjungiku sebagai pengunjung, tetapi hanya untuk bertanya, dan saya cukup menjawabnya dari balik pintu. Saya tidak perlu membukakan pintu.” Saya diam sejenak di depan pintu kemudian pulang. Setahun kemudian saya mendatanginya lagi. Selamat datang, engkau sekarang adalah pengunjungku. Saya kemudian tinggal bersamanya selama sebulan. Selama itu tidak ada bisikan di dalam hati saya selain membisikkan tentangnya. Ketika hendak berpamitan, saya sempat menanyakan sesuatu kepadanya, ‘ Apakah ada faedah untuk saya?’ Dia menjawab, ‘Ibu saya ketika mengandung saya, pernah membisikkan sesuatu kepada saya. Jika disodorkan kepadanya makanan yang halal, beliau mengambilnya. Jika makanannya syubhat, beliau mencegah tangannya untuk mengambilnya.”

 

Ibrahim Al-Khawwash berkata, “Saya masuk desa. Di tengah perjalanan saya tertimpa musibah yang cukup berat. Ketika sampai di Mekkah, sesuatu yang sangat mengherankan menarik perhatian saya. Tiba-tiba seorang laki-laki tua yang sangat lemah muncul di hadapan saya dan memanggil saya. ‘Hai Ibrahim, saya memperhatikanmu semenjak engkau memasuki desa. Saya sengaja tidak menyapamu karena tidak ingin mengganggu kesibukan hatimu. Sekarang saya mengeluarkan rasa waswas dari hatimu.”

 

Diriwayatkan bahwa Ali bin Abu Bakar Al-Furghani Al-Murghinani setiap tahun pergi ke Mekkah untuk haji dan umrah. Ketika melakukan perjalanan haji, dia lewat Naisabur tetapi tidak mampir ke rumah Ali Abu Utsman Al-Hiri. Pada haji berikutnya, dia sempat mampir. Dia mengatakan, “Saya pun masuk ke rumahnya dan mengucapkan salam kepadanya, akan tetapi dia tidak menjawab. Saya membatin, Seorang muslim masuk rumahnya lalu mengucapkan salam kepadanya, dan dia tidak menjawabnya.’ Baru saja hatiku berhenti berbisik, Abu Utsman menyahut, “Apakah seperti ini seseorang melakukan ibadah haji, sementara ibunya dibiarkan di rumah sendirian. Dia tidak berbakti kepada seorang ibu.’ Saya takut. Kata-kata itu pasti ditujukan kepada saya. Saat itu juga saya pulang ke Furghanah dan menemani ibu sampai beliau wafat. Kemudian saya berkunjung lagi ke rumah Abu Utsman. Beliau menyambut saya dan menemani saya duduk. Saya tinggal bersamanya dalam beberapa waktu sampai beliau wafat.”

 

Khair An-Nasaj berkaia, “Saya sedang di rumah. Tiba-tiba saya dikejutkan oleh bayangan kehadiran Al-Junaid yang muncul di samping pintu. Dia seperti berdiri mematung. Saya segera mematikan bisikan itu dari hati saya. Kejadian itu terulang sampai yang ketiga kalinya. Saya pun akhirnya keluar, dan ternyata AlJunaid benar-benar berdiri di samping pintu. Dia menegursaya, “Mengapa tidak kamu keluarkan bisikan hati pada saat bisikan yang pertama.”

 

‘ Muhammad bin Husin Al-Busthami berkata, “Saya masuk rumah Abu Utsman Al-Maghribi. Spontan hati saya berbisik, Semoga dia menawarkan sesuatu kepada saya.’ Abu Utsman menyahut, “Tidak akan mencukupi manusia yang saya mengambil sesuatu dari mereka sampai mereka menambah masalahku untuk mereka.”

 

Seorang fakir menuturkan pengalamannya. Dia mengatakan, “Ketika saya di Bagdad, saya membayangkan Abdullah Al-Murta’isi memberi saya uang lima belas dirham untuk membeli sebuah bejana dan sepasang sandal. Saya pun masuk perkampungan dan menginap di suatu penginapan. Tiba-tiba pintu rumah saya diketuk seseorang. Saya segera membukanya. Abdullah berdiri di depan pintu dan saya terkejut memandangnya. Angin berhembus halus menyertai kehadirannya, masuk ke dalam, dan menerpa badan saya. Dia mengatakan, ‘Ambil kantong ini.’

 

“Wahai Tuan, saya tidak menginginkannya.”

 

“Mengapa engkau menyiksa (maksudnya Abdullah tersiksa oleh suara firasatnya yang melihat seorang fakir yang menginginkan uang) kami? Dan berapa yang engkau inginkan?”

 

“Lima belas dirham.’

 

“Ini lima belas dirham, ‘ jelas Abdullah.”

 

Allah berfirman:

 

“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan.” (QS. Al-An’ am: 122)

 

Ayat ini menurut segolongan kaum sufi adalah: Pikiran mati, lalu Allah menghidupkannya dengan cahaya firasat, lalu dijadikan untuknya cahaya tajalli dan musyahadah (cahaya ketersingkapan dan kesaksian). Dia tidak menjadi seperti orang yang berjalan di antara orang-orang yang lupa dalam keadaan lupa. Dikatakan pula, jika firasat benar, pemiliknya naik sampai ke tingkat musyahadah.

 

Ahmad bin Masruq berkata, “Seorang tua datang kepada saya. Dia berbicara kepadaku tentang firasat dengan kata-kata yang bagus. Lidahnya lezat dan suara batinnya baik. Sebagian ucapan yang dikatakannya kepada kami menyatakan, “Setiap apa yang jatuh menjadi milikmu di dalam suara bisikan hatimu, katakanlah kepadaku.’ Lalu terlintas di dalam hatiku bahwa dia adalah seorang Yahudi. Suara batin ini sangat kuat dan tidak mungkin tergeser. Saya pun akhirnya menvampaikannya kepada Ahmad Al-Jariri. Dia kagum seraya mengucapkan takbir. Saya bergumam, ‘Saya harus mengabarkan hal itu kepada Pak Tua tadi.’ Maka, saya mendatanginya dan mengatakan, Engkau pernah berpesan kepadaku bahwajika ada firasat yang jatuh ke dalam hatiku, saya harus mengabarkannya kepadamu. Firasat yang timbul dalam hatiku mengatakan bahwa engkau adalah Yahudi.’ Pak Tua itu menundukkan mukanya merenung beberapa saat, kemudian mengangkatnya. Engkau benar, katanya, ‘dan sekarang saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya. Saya telah menekuni semua mazhab (aliran atau agama), Saya menimpalinya, Jika memang bersama mereka ada sesuatu, maka apa sesuatu itu? Saya telah memasukimu dan sekarang mengabarkan kepadamu bahwa kamu berada dalam kebenaran.’ Laki-laki tua di kemudian hari menjadi seorang muslim yang baik.”

 

Dikisahkan dari Al-Junaid bahwa Sariy As-Saqthi pernah berkata kepadanya, “Tinggalkan pesan untuk manusia!” Beliau menjawab, “Di dalam hati saya ada rasa malu tentang ucapan yang ditujukan kepada manusia. Saya mendatangi dan mengabarkan kepada mereka bahwa diriku berhak untuk mendapatkan hal itu. Pada suatu malam dalam mimpiku, saya melihat Rasulullah Saw. Ketika itu malam Jumat. Beliau mengatakan kepadaku, Sampaikan pesan kepada manusia. Saya langsung terjaga dari tidur, lalu mendatangi pintu rumah Sariy sebelum subuh. Saya ketuk pintunya. Beliau menyahut, “Mengapa engkau mempercayai kami sampai dikatakan kepadamu.” Al-Junaid akan duduk di hadapan manusia besok di mesjid. Sementara di tengah manusia beredar kabar bahwa Al-Junaid akan duduk di hadapan manusia untuk memberikan fatwa. Kemudian datang seorang anak Nasrani menghadang Al-Junaid untuk bertanya, “Wahai Syaikh, apa makna sabda Rasulullah yang menyatakan: Takutlah kamu pada firasat orang mukmin karena orang mukmin melihat dengan cahaya Allah?” Al-Junaid menundukkan kepalanya, kemudian mengangkatnya, lalu menjawab, “Masuklah Islam! Sungguh telah dekat waktu Islammu!” Anak itu pun segera masuk Islam.

 

33. AKHLAK

 

Allah berfirman:

 

“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-Oalam: 4)

 

Dari Anas bin Malik diriwayatkan tentang makna “yang paling baik akhlaknya”. Ditanyakan kepada Nabi, “Ya Rasulullah, siapakah orang mukmin yang paling utama imannya?”

 

Jawab beliau:

 

“Yang paling baik akhlaknya.”

 

Ustaz Asy-Syaikh berkata, “Akhlak yang baik adalah paling utamanya perjalanan hamba. Cahaya sikap satrianya tampak. Manusia yang tertutup dari makhluk akan tersingkap akhlaknya.”

 

Saya mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Sesungguhnya Allah mengkhususkan Nabi-Nya dengan apa-apa yang memang hanya dikhususkan untuknya. Dia tidak memujinya dengan sesuatu dari sifat-sifatnya seperti yang dipujikan oleh makhluk-Nya. Allah menegaskan:

 

“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4)

 

Sedangkan menurut tafsiran Muhammad Al-Wasithi ayat tersebut bermakna Tuhan mensifati Muhammad dengan akhlak yang agung karena beliau adalah manusia terbaik di antara penduduk alam, dan cukup dengan pujian Allah. Dia juga mengatakan bahwa akhlak yang agung adalah ketiadaan orang yang membantah dan dibantah karena pengetahuannya yang begitu mendalam mengenai Allah.

 

Makna akhlak yang mulia menurut Husin bin Manshur adalah ketiadaan buih (kesia-siaan) bekas makhluk dalam diri seseorang setelah pencapaian penglihatannya pada Al Haqq. Sedangkan menurut Ahmad bin Isa Al-Kharraz adalah ketiadaan keinginan atau cita-cita selain yang ditujukan kepada Allah. Menurut Muhammad Al-Kattani akhlak tercermin dalam sikap sufi. Artinya, tasawuf adalah akhlak yang menjadi bekal dalam kebersamaanmu dengan Allah.

 

Ibnu Umar r.a. mengatakan, “Jika kalian mendengarkan saya berbicara kepada orang yang dikuasai dengan ucapan Allah menahkannya, maka saksikanlah bahwa dia adalah orang yang bebas.” Fudhail bin Iyadh berkata, “Seandainya seorang hamba memperbaiki semua kebaikannya, sementara dia mempunyai seekor ayam, lalu memperlakukannya dengan tidak baik, maka dia bukanlah seorang yang berakhlak.” Dikatakan bahwa Ibnu Umar r.a. jika melihat salah seorang budaknya yang memperbaiki salatnya, maka dia memerdekakannya. Akhlaknya yang demikian itu sempat diketahui oleh budak-budaknya yang lain, maka mereka memperbaiki salatnya dengan menampak-nampakkannya di hadapan Ibnu Umar, dan Ibnu Umar memerdekakan mereka. Seseorang memprotesnya, “Mereka salat dengan riya?” Lalu dijawab, “Barangsiapa menipuku di dalam Allah, hakikat dia menipu saya karena Allah.”

 

Harits Al-Muhasibi berkata, “Kami mencari tiga hal yang hilang, yaitu eloknya wajah bersama pemeliharan kesucian diri, bagusnya ucapan bersama amanat, dan bagusnya persaudaraan! bersama pemenuhan.” Abdullah bin Muhammad Ar-Razi berkata, “Budi pekerti adalah sikap yang menganggap kecil pada apa yang berasal darimu dan menganggap agung apa-apa yang berasal dari selainmu.”

 

Ditanyakan pada Ahnaf bin Oais, “Dari siapa Tuan belajar akhlak?”

 

“Dari Oais bin Ashim Al-Mungiri.”

 

“Sampai sejauh mana akhlaknya?”

 

“Ketika kami duduk bersamanya di rumahnya, tiba-tiba seorang budak wanita datang dengan membawa besi panas alat pemanggang daging. Benda itu lepas dari tangannya dan jatuh menimpa anak laki-laki Oais sehingga menyebabkan kematiannya. Budak itu sangat ketakutan, tetapi Oais justru menghiburnya dengan mengatakan, Jangan takut, engkau bebas karena Allah.” Syah Al-Kirmani berkata, “Tanda akhlak yang baik di antaranya menahan penderitaan dan menanggung siksaan.” Rasulullah Saw. bersabda:

 

“Sesungguhnya kamu tidak akan bisa memuaskan manusia dengan hartamu. Puaskanlah mereka dengan kecerahan wajah dan kebagusan akhlak.”

 

Ditanyakan pada Dzun Nun Al-Mishri, “Siapakah yang paling menggelisahkan manusia?”

 

“Yang paling buruk akhlaknya,” jawabnya.

 

Wahab mengatakan bahwa tidaklah seseorang yang mempraktekkan nilai-nilai akhlak selama 40 hari selain Allah menjadikannya sebagai karakternya.

 

Firman Allah:

 

“dan pakaianmu, maka sucikanlah.” (QS. Al-Muddatstsir: 4)

 

Hasan Bashri menafsiri ayat ini dengan pengertian “dan akhlakmu, maka perbaikilah”.

 

Dikatakan bahwa seorang jamaah haji memiliki seekor kambing. Dia melihatnya sedang terpancang di atas tiga tonggak.

 

“Siapa yang melakukan ini?” tanyanya.

 

“Saya,” jawab seorang anak budak. “Kenapa engkau lakukan?”

 

“Untuk menjagamu.”

 

“Tidak, bahkan untuk menutupi perkaramu. Pergi dan engkau bebas,” jawabnya.

 

Ditanyakan pada Ibrahim bin Adham, “Apakah engkau pernah baHagia di dunia?”

 

“Ya, dua kali.”

 

“Apa saja itu?”

 

“Pertama, ketika saya sedang duduk, datang seseorang, lalu mengencingi saya. Kedua, ketika saya duduk, datang seseorang dan langsung menampar saya.”

 

Uwais Al-Oarni, setiap kali anak-anak melihatnya, mereka melemparinya dengan batu. “Anak-anak,” sapanya lembut, “jika kalian memang harus melempariku dengan batu-batu itu, saya mohon lemparilah dengan batu-batu yang kecil, supaya lutut saya tidak pecah sehingga saya terhalang melakukan salat.”

 

Seorang laki-laki bengis mencaci maki Ahnaf bin Oais. Laki-laki itu terus mengikutinya sambil mengumbar kata-kata kotornya sampai dia malu sendiri dan berhenti. “Wahai Tuan,” sapa Ahnaf, “jika masih tersisa sesuatu di dalam hatimu, muntahkan sekarang saja agar para ulama fikih tidak mendengarmu sehingga mereka mengadilimu.” Ditanyakan pada Hatim Al-Asham, “Apakah tiap orang mempunyai tanggungan?”

 

“Ya, kecuali dirinya,” jawabnya.

 

Dikisahkan bahwa Khalifah Ali bin Abu Thalib r.a. pernah memanggil seorang budak tanggung dan dia tidak menyahutinya. Dia mengulangnya lagi sampai tiga kali dan jawaban yang diperoleh sama. Khalifah melangkah mendekat dan melihatnya sedang enak-enakan berbaring.

 

“Apakah engkau tidak mendengar, hai Anak?” “Mendengar,” jawabnya enteng. “Apa yang membuatmu tidak menyahut?” “Saya merasa aman dari ancaman siksaanmu. Karena itu, saya bermalas-malasan.”

 

“Pergi, engkau bebas karena Allah.”

 

Diriwayatkan bahwa Ma’ruf Al-Karkhi turun ke sungai Dajlah untuk mengambil wudu. Dia letakkan mushaf dan jubah luarnya. Tiba-tiba datang seorang wanita dan mengambil dua barang itu. Ma’ruf melihat lalu membututinya.

 

“Wahai Saudariku,” sapanya, “saya adalah Ma’ruf Al-Karkhi. Andajangan takut sebab engkau tidak bersalah. Apakah engkau mempunyai anak yang bisa membaca?”

 

“Tidak.”

 

“Sudah menikah?”

 

“Belum.”

 

“Kalau begitu kembalikan mushaf saya dan ambil baju itu.”

 

Sekelompok pencuri datang memasuki rumah Syaikh Abu Abdurrahman As-Sulami dengan terang-terangan. Mereka berlagak seolah-olah tidak mengenal rasa takut. Mereka mengambil semua apa yang dijumpai. Abdurrahman tahu, tetapi membiarkan mereka pergi dengan selamat. Pada hari berikutnya dia keluar dan menemukan sesuatu yang berkaitan dengan kasus pencurian. “Ketika saya melewati pasar,” jelasnya, “saya melihat jubah saya pada seseorang yang sedang menawarkannya. Saya segera berpaling dan tidak menoleh kepadanya.”

 

Ahmad Al-Jariri berkata, “Saya kembali dari Mekkah dan segera mendahului Al-Junaid agar ia tidak menyulitkan (melayani saya sehingga membuat saya sibuk membalasnya) saya . Saya ucapkan salam kepadanya kemudian meninggalkannya dan beranjak pulang. Ketika saya salat subuh di mesjid, tiba-tiba dia berada di shaf belakang saya. Selesai salat, saya berkata kepadanya, ‘Saya mendatangi dan mendahuluimu kemarin supaya engkau tidak menyulitkan saya. Dia menjawab, Itu adalah keutamaanmu dan ini adalah hakmu.’”

 

Abu Hafsh pernah ditanya mengenai akhlak, lalu dijawab, “Akhlak adalah apa yang dipilihkan Allah untuk Nabi-Nya sebagaimana yang termaktub dalam firman-Nya:

 

Jadilah engkau pemaaf dan surulah orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang orang yang bodoh .” (QS. Al-A’raf: 199).”

 

Di samping itu, banyak pendapat yang memberi makna akhlak dalam beberapa pengertian. Ada yang mengartikan sebagai keberadaan seseorang yang dekat dengan manusia dan keterasingannya dengan hal-hal yang beredar di tengah kehidupan mereka. Ada juga yang mengartikan sebagai penerimaan sesuatu yang mendatangi dari kesia-siaan makhluk dan kepastian AlHaqq, tanpa merasa jemu dan gelisah. Abu Dzar Al-Ghifari mendatangi kolam mengambil air untuk memberi minum untanya. Akan tetapi, sebagian pengambil air yang lain menyerobotnya dengan kasar sampai kolam itu pecah. Abu Dzar hanya bisa memandang, lalu duduk, kemudian berbaring. Seseorang yang melihatnya heran, lalu menanyakannya. Dia menjawab, “Sesungguhnya Rasulullah Saw. memerintahkan kita jika seseorang marah, maka hendaknya ia duduk jika memang dengan duduk bisa hilang, dan jika tidak, maka hendaknya ia berbaring.”

 

Tersebut dalam kitab Injil nasihat yang mengajarkan: “Hamba-Ku, ingatlah Saya ketika engkau marah, maka Saya akan mengingatmu ketika Saya marah.”

 

Lugman berpesan pada anaknya, “Tidak akan diketahui tiga hal kecuali dalam tiga hal: keasihan ketika marah, keberanian ketika dalam perang, dan persaudaraan ketika dibutuhkan.” Nabi Musa a.s. pernah mengadu pada Allah, “Tuhan, saya mohon Engkau untuk mengatakan kepadaku apa yang tidak ada pada diriku.” Allah mewahyukan kepadanya, “Engkau tidak melakukan demikian untuk-Ku, maka bagaimana Saya memperlakukanmu.”

 

Yahya bin Ziyad Al-Haritsi mempunyai seorang pelayan yang sangat buruk akhlaknya. Tetangganya heran, lalu menanyakannya kepadanya, “Mengapa engkau pertahankan pelayan macam ini?”

 

“Supaya saya bisa mengajarinya sifat asih,” jawabnya.

 

Firman Allah Swt.: :

 

“dan menyempurnakan untukinu mikanat-Nya lahir dan batin.” (QS. Lugman: 20)

 

Dalam ayat ini terkandung pengertian bahwa nikmat lahir adalah kelurusan akhlak, sedangkan nikmat batin adalah kejer. nihan budi pekerti. Al-Fudhail bin Iyadh mengatakan, “Berkawan dengan orang durhaka yang berakhlak baik lebih saya cintai dari. pada dengan seorang ahli ibadah yang berakhlak buruk.” Dikata. kan bahwa akhlak yang baik adalah kemampuan memikul yang dibenci dengan kebaikan yang ditebarkan.

 

Diriwayatkan bahwa Ibrahim bin Adham keluar melewati segerombolan tentara. Seorang dari mereka menemuinya dan ber. tanya, “Di mana tempat hiburan?” Ibrahim menunjuk ke arah kuburan. Wajah tentara itu memerah. Dia tersinggung dan lang. Sung memukul kepala Ibrahim. Setelah dia pergi, seseorang memberitahukan bahwa laki-laki tua yang dipukulnya adalah Ibrahim bin Adham, seorang ulama sufi zahid dari Khurasan. Tentara itu terkejut. Dia menyesali perbuatannya dan langsung pergi menyusul Ibrahim.

 

“Tuan, maafkanlah saya. Saya sangat menyesal telah berbuat kurang ajar pada Tuan.”

 

“Ketika engkau memukul saya,” jawab Ibrahim, “saya memohonkan surga untukmu kepada Allah.”

 

“Mengapa?”

 

“Saya tahu bahwa saya memasukkan perangkap kepadamu. Saya tidak ingin mendapat bagianku yang baik darimu dan bagianmu yang buruk dariku.”

 

Diceritakan bahwa Sa’id bin Ismail Al-Hiri diundang seorang laki-laki untuk acara jamuan. Ketika sampai di depan pintu rumahnya, laki-laki itu berkata, “Wahai Ustaz, bukan sekarang waktunya. Saya sangat menyesal tidak bisa mengabarimu lebih dulu.”

 

Abu Sa’id pulang dan sebentar kemudian kembali datang. Ketika tiba di depan pintu, tuan rumah buru-buru keluar sambil menyapa, “Oh, maaf Ustaz. Undangan belum dimulai. Saya sangat menyesal belum sempat mengabari Ustaz. Datanglah sejam lagi.”

 

Abu Sa’id berdiri mohon pamit kemudian pergi. Pada saat yang dijanjikan tiba, dia berangkat, dan ketika sampai di depan pintu tuan rumah, dia memperoleh jawaban seperti semula. Dia pulang, datang lagi, kembali pulang, datang lagi, dan begitu seterusnya sampai beberapa kali. Laki-laki itu kagum menyaksikan ketabahan Abu Sa’id. Dia menyesali sikapnya.

 

“Wahai Ustaz, saya hanya ingin mengujimu,” kata laki-laki itu seraya menyambut kedatangannya dengan hormat.

 

“Jangan memujiku atas dasar perilakuku yang kautemukan seperti anjing. Anjing jika dipanggil, akan datang, dan jika dicegah, akan pergi.” Abu Sa’id kemudian pergi, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

 

Abu Sa’id ketika melewati gang besar di siang hari, seseorang menumpahkan sebaskom abu kotor dari balkon rumah. Temantemannya yang melihatnya naik pitam. Mereka mencaci maki si pelempar dan siap menghajarnya.

 

“Janganlah kalian mengatakan sesuatu. Barangsiapa yang patut mendapat siksaan neraka, lalu menerima lemparan abu itu dengan baik, maka baginya tidak boleh marah,” katanya.

 

Dikatakan bahwa seorang fakir singgah di rumah Ja’far bin Hanzhalah. Ja far melayaninya dengan baik. Orang fakir itu berkata, “Sebaik-baik laki-laki adalah engkau jika saja engkau bukan orang Yahudi.”

 

“Akidahku tidak akan menodai apa yang engkau butuhkan untuk dilayani. Mintalah kesembuhan pada dirimu sendiri, sedang diriku butuh hidayah.”

 

Diceritakan bahwa Abdullah, seorang penjahit menerima garapan jahitan baju dari seorang Majusi. Selesai menggarapnya, Majusi itu membayarnya dengan uang palsu dan Abdullah menerimanya. Bertepatan dia keluar karena suatu urusan, Majusi itu datang lagi untuk membayar ongkos jahitan yang kesekian kalinya. Murid Abdullah yang menerimanya tahu bahwa uang itu palsu, maka dia menolaknya. Bahkan, Majusi itu diserahkan kepada seorang peneliti uang. Beberapa saat kemudian Abdullah datang dan bertanya kepada muridnya, “Mana baju Majusi itu?”

 

Murid itu menceritakan kepada sang guru apa yang telah terjadi. Tentang kebohongannya, kepalsuannya, penolakannya, dan tindakannya terhadap si Majusi.

 

“Buruk yang kaulakukan! Sudah beberapa kali dia memperlakukan saya seperti itu, dan saya sabar menerimanya. Uang palsu itu saya lemparkan ke sumur agar tidak menimbulkan bahaya orang lain,” tegur Abdullah.

 

Akhlak yang buruk menyempitkan hati pemiliknya karena tidak memperluaskan tempat selain yang dikehendakinya, sebagaimana tempat yang sempit yang tidak akan memberi keleluasan selain pemiliknya. Akhlak yang baik tidak akan menjadikan engkau berubah karena seseorang yang berdiri di shaf di sampingmu. Sedangkan keburukan akhlak terdapat pada kejatuhan pandanganmu pada keburukan akhlak terhadap selainmu. Rasulullah Saw. pernah ditanya tentang kesialan, lalu dijawab, “Keburukan akhlak.”

 

Abu Hurairah r.a. menceritakan, “Seorang sahabat bertanya:

 

‘Ya Rasulullah, mohonkanlah pada Allah (agar kita dapat menghancurkan) orang-orang musyrik.’ Beliau menjawab, “Saya diutus untuk (menebarkan) kasih sayang, bukan siksaan!’ “

 

34. DERMAWAN DAN MURAH HATI

 

Allah berfirman:

 

“dan mereka (Anshar) mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).” (QS. Al-Hasyr: 9)

 

Aisyah r.a. berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

 

“Orang yang murah hati dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dekat dengan surga, dan jauh dari neraka. Orang yang bakhil jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga, dan dekat dengan neraka. Orang bodoh yang murah hati lebih dicintai Allah daripada seorang yang ahli ibadah yang bakhil.

 

Ustaz Syaikh berkata, “Tidak ada perbedaan bagi lidah ilmu antara kedermawanan dan hati yang murah hati. Al Haqq tidak disifati dengan kedermawanan karena ketiadaan pemberhentian. Hakikat kedermawanan adalah ketiadaan pemberian yang memberatkan hati.”

 

Murah hati bagi suatu kaum menempati tingkatan yang pertama, kemudian tingkatan dermawan, dan akhirnya pengutamaan.

 

Orang yang memberikan sesuatu kepada sebagian manusia dan menyisakan sebagian, maka dia adalah seorang yang murah hati. Orang yang memberikan sebagian besar miliknya dan menyisakan sedikit untuk dirinya, maka dia adalah orang yang dermawan. Orang yang siap menahan panas penderitaan demi untuk mengutamakan orang lain dengan penganugerahan total, maka dia adalah orang yang memiliki keutamaan.

 

Saya mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq menyampaikan ucapan Asma ‘ bin Kharijah, seorang tabiin dari Kufah, “Saya tidak mencintai kehendak seseorang dari tuntutan hajatnya, karena jika dia mulia, maka saya akan menjaga kehormatannya, dan jika dia hina, maka saya menjaga kehormatan saya.”

 

Dikatakan bahwa Maurig Al-Ajali sangat halus dalam memasukkan kelembutan kasih sayanynya pada kawan-kawannya. Suatu hari dia meletakkan seribu dirham pada kantong mereka. “Peganglah uang ini sampai saya kembali,” pesannya. Dia pergi dan tidak lama kemudian dia mengirim seorang utusan untuk . menyampaikan pesan, “Engkau halal memakai uang itu.”

 

Seorang pria dari Manbaj satu wilayah di bawah kekuasaan Pemerintahan Siria berjumpa dengan seorang pria penduduk Madinah.

 

“Dari penduduk mana laki-laki itu?” tanyanya.

 

“Dari Madinah.”

 

“Telah berkunjung kepada kami seorang pria dari kaummu yang dikenal dengan panggilan Hakim bin Muthalib. Dia memberi kekayaan kepada kami.”

 

“Bagaimana mungkin, saya tidak pernah datang kepadamu kecuali dalam pakaian jubah sufi,” jawab orang Madinah.

 

“Dia tidak memberi kekayaan pada kami dengan harta, tetapi mengajari kami kemuliaan, sehingga masyarakat kami kembali berbuat saling memberi kekayaan.”

 

Saya dengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq bercerita: “Ketika seorang pelayan Khalil menuduh kaum sufi menjalankan ajaran sesat, khalifah memerintahkan algojonya untuk menangkap dan menghukum mereka dengan hukuman pancung. Sementara Imam AlJunaid selamat dari tuduhan karena tertutupi dengan ajaran fikih. Beliau mengajarkan paham mazhab Abu Tsaur. Sedangkan teman-temannya, seperti Asy-Syahham, An-Nuri, dan beberapa sufi yang lain telah ditangkap dan dibawa ke hadapan barisan algojo. Ketika eksekusi hendak dijalankan, An-Nuri minta didahulukan. Seorang pimpinan algojo heran.

 

“Sadarkah engkau, ke tempat mana engkau minta disegerakan?!” tanyanya kemudian.

 

“Ya.”

 

“Apa yang membuatmu ingin didahulukan?”

 

“Saya ingin mengutamakan kehidupan sesaat pada kawankawanku.” An-Nuri berkata sambil memasrahkan lehernya untuk segera dipancung.

 

Algojo itu bingung. Dia tidak bisa mengambil keputusan dan melakukan eksekusi sesuai dengan perintah. Akhlak laki-laki yang hendak dipancungnya begitu menawan hatinya. Dia berusaha menyembunyikan berita ini jangan sampai terdengar khalifah. Karena itu, untuk mengetahui keadaan sebenarnya para tawanan ini, dia mengembalikan mereka pada seorang hakim. Hakim yang ditunjuk untuk menangani kasus ini datang menemui mereka. Dia mendekati Ali Abul Husin An-Nuri lalu menanyakan beberapa masalah fikih dan dijawabnya dengan benar.

 

“Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang disembah. Jika mereka (kaum sufi) menegakkan, mereka menegakkan dengan Allah, jika mereka bicara, mereka berbicara dengan Allah,” jelas An-Nuri. Dia berdiri, kemudian berjalan perlahan sambil bibirnya melantunkan syair-syair ketuhanan sehingga mengucurkan air mata hakim. Sang Hakim itu segera mengirim surat kepada khalifah dan mengatakan, “Jika mereka orang-orang ‘kafir’ (kaum sufi yang dituduh sesat), maka apakah akan ada di permukaan bumi seorang muslim?”

 

Dikatakan bahwa Ali bin Fudhail jika membeli sesuatu, dia melakukannya dari serambi pasar. Seseorang menyarankannya, “Kalau Tuan masuk pasar, tentu akan diberi harga murah.” Dia menjawab, “Mereka dekat dengan saya karena mengharapkan manfaat saya.” Diceritakan, seseorang diutus untuk mendatangi sekumpulan pelayan. Laki-laki yang mengutusnya itu sedang duduk bersama kawan-kawannya. Dia mengatakan, “Sangat buruk jika saya menjadikan pelayan itu hanya untuk saya, sementara kalian hadir. Saya tidak senang mengkhususkan pelayanan hanya pada seseorang. Kalian semua punya hak dan penghormatan.” Orang-orang yang hadir berjumlah delapan puluh orang. Setiap orang didampingi seorang pelayan.

 

Ubaidillah bin Abi Bakrah pernah kehausan di jalanan. Dia minta minum pada seorang wanita yang sedang tinggal di rumahnya. Wanita itu mengeluarkan satu jubung minuman lalu berjalan ke arah pintu dan berdiri di baliknya.

 

“Menyingkirlah dari pintu. Biar pelayanmu yang mengambilnya,” pintanya dengan halus. “Saya adalah seorang wanita Arab yang ditinggal mati pelayan saya dalam beberapa hari.”

 

Ubaidillah menuruti permintaan wanita itu. Dia pulang dan tidak lama kemudian pelayannya datang sambil menyodorkan minuman yang diberikan wanita tadi.

 

“Berikan 10.000 uang dirham ini kepadanya,” pesannya pada pelayannya setelah meminum air pemberiannya.

 

“Subhanallah! Engkau menghina saya.” Wanita itu marah yang ditujukan kepada Ubaidillah.

 

“Berikan kepadanya uang 20.000 dirham ini!” pesannya lagi.

 

“Saya hanya mohon keselamatan pada Allah.”

 

“Wahai Pelayan, bawa uang 30.000 dirham ini kepadanya,” kata Ubaidillah.

 

Sebelum pelayan Ubaidillah tiba di pintu, wanita itu telah menutupnya. Dari dalam dia mengumpat, “Celakalah kamu!” Akan tetapi, pelayan itu tidak kehilangan akal. Dia meletakkan uang itu di depan pintu kemudian ditinggal pergi. Wanita itu mengambil dan menyimpannya. Dia tidak pernah menyentuhnya sampai banyak orang yang mengambilnya.

 

Dikatakan bahwa kedermawanan adalah pemenuhan bisikan hati yang pertama.

 

Saya mendengar sahabat-sahabat Abul Hasan Al-Busyanji mengatakan, “Abul Hasan Al-Busyanji ketika buang hajat di tempat yang sepi, salah seorang muridnya memanggil dan mengatakan, Lepaskan dan lemparkan pakaian itu kepadaku. Saya akan memberikannya kepada seseorang. Kemudian menanyakan kepadanya, Mengapa engkau tidak sabar sampai engkau keluar dari tempat sepi ini? Lalu dijawab, Saya tidak akan tunduk pada diriku untuk mengubahku tentang apa yang menimpaku berupa penangguhan dengan pakaian ini.”

 

Dikatakan pada Oais bin Sa’ad bin Ubadah, “Apakah engkau pernah melihat seseorang yang lebih murah hati daripada Anda?”

 

“Ketika saya turun ke desa,” jawabnya, “saya bertamu padz seorang Wanita, lalu suaminya datang. Si isteri berkata pada suaminya, Engkau kedatangan seorang tamu.’ Laki-laki itu keluar mengambil seekor unta dan menyembelihnya. Besoknya datang lagi tamu lain, dan keduanya melayaninya sebagaimana kemarin. Saya heran melihat sikapnya yang aneh itu. ‘Tuan, sapa saya, ‘saya belum memakan apa yang Tuan sembelih kemarin selain sedikit. Saya pikir Tuan tidak perlu memotong unta lagi. Dia menjawab, ‘Saya tidak akan memberi makan tamu-tamu saya dengan makanan yang sudah menginap semalam.’ Saya tinggal di rumahnya selama dua atau tiga hari, sementara langit masih mencurahkan hujan dan dia tetap memperlakukan tamutamunya seperti itu. Ketika saya hendak berpamit dan melanjutkan perjalanan, saya meletakkan uang 100 dinar di rumahnya tanpa sepengetahuannya. “Terima kasih dan maafkan segala kesalahan saya. Saya hendak melanjutkan perjalanan, kata saya pada tuan rumah setelah segalanya telah siap. Saya pun berangkat. Ketika matahari naik setinggi beberapa tombak, tiba-tiba saya dikejutkan oleh suara laki-laki yang berteriak-teriak di belakang saya. ‘Berhenti,/hai Musafir hina! Engkau telah memberiku harga pelayananku pada tamu-tamuku!’ Dia berkata dengan nada sengit. Dia tetap mengejarku sampai kudanya sejajar dan menghadang di depanku. “Ambil uang itu! katanya memerintah, jika tidak, maka engkau akan saya tikam dengan pisau ini! Saya pun mengambil dan berpaling melanjutkan perjalanan sambil mendendangkan syair kekaguman:

 

Jika saya mengambil pahala yang telah saya berikan kepadanya maka cukup dengan demikian bagi orang yang memperkeruh Ahmad bin Atha’ Ar-Rudzabari masuk rumah salah seorang sahabatnya. Dia tidak menemukan tuan rumah. Penghuninya pergi, tetapi pintunya tertutup. Dia membatin, dia mengaku sufi, tetapi mengapa pintu rumahnya tertutup.

 

“Dobrak dan pecahkan pintunya!” perintahnya.

 

Dia dan muridnya kemudian mengumpulkan semua yang ada di dalam rumah, membawanya ke pasar, menjualnya, lalu kembali pulang dan mereka tinggal di dalam rumah tersebut. Ketika pemilik rumahnya tiba, dia tidak bisa berkata apa-apa selain diam, kemudian menyusul isterinya. Dia masuk rumah dengan mengenakan baju luar yang cukup bagus. Baju itu dilepaskan sambil berkata, “Wahai orang-orang yang tinggal di dalam rumah, baju ini juga termasuk harta benda yang harus disingkirkan, maka juallah.”

 

“Mengapa kamu memberatkan dirimu dengan pilihanmu ini, tegur suaminya.

 

“Diamlah, seperti inilah Syaikh ini menyadarkan dan menghukum kita. Masih ada sisa milik kita yang harus kita hinakan.” Suami isteri itu diam menekuri hidupnya.

 

Bisyr bin Harits berkata, “Memandang pada orang yang bakhil dapat mengeraskan hati.” Dikatakan bahwa ketika Qais bin Sa’ad bin Ubadah sakit, teman-temannya menangguhkan untuk hadir. Mereka sengaja memperlambat kunjungan. Oais menanyakan tentang mereka, lalu dijelaskan, “Mereka merasa malu tentang hutang mereka yang belum terbayarkan kepadamu.”

 

“Semoga Allah menghinakan harta yang mencegah kawankawan mengunjungi saya.” Kemudian Oais bin Sa’ad memanggil seseorang untuk mengumumkan pesannya yang berbunyi: Barangsiapa mempunyai tanggungan hutang pada Oais, maka dia telah menghalalkannya. Semenjak pengumuman itu banyak pengunjung yang datang sampai pintu rumahnya jebol karena terdorong pengunjung yang membludak.

 

Dikatakan pada Abdullah bin Ja’far, “Engkau memberikan yang banyak jika diminta dan bakhil dengan yang sedikit jika dicegah.” Abdullah kemudian meluruskannya, “Sesungguhnya saya memberikan hartaku dan bakhil dengan akalku.”

 

Diceritakan bahwa Abdullah bin Ja’far keluar dan menuju ke sebuah pekarangan. Dia turun dari kudanya lalu memasuki kebun seorang tuan tanah. Di dalam kebun itu terdapat seorang budak hitam yang masih remaja. Dia bekerja dengan giat, seolaholah tidak mengenal lelah. Ketika waktu makan tiba, seorang suruhan tuannya membawakan makanan kepadanya lalu segera pulang. Belum sempat dia menyentuh makanan, seekor anjing llar masuk kebun dan mendekati budak itu. Budak itu memandangnya sejenak, lalu melemparkan makanan itu pada anjing yang segera melahapnya. Dia melemparkan lagi dan melempar lagi sampai makanan jatahnya habis diberikan anjing. Abdullah memperhatikannya dengan seksama. Dia tidak tahan untuk tidak mendekat kepada budak itu.

 

“Wahai Anak muda, berapa kali sehari engkau dikirimi makanan tuanmu?” tanya Abdullah.

 

“Apa yang ingin engkau lihat?”

 

“Mengapa engkau mengutamakan anjing ini?”

 

“Ini memang bukan bumi anjing, tetapi dia datang dari tempat yang sangat jauh. Dia tentu sangat lapar, dan saya tidak suka menolaknya.”

 

“Apakah engkau melakukannya setiap hari?”

 

“Saya kosongkan dan melipat perutku pada hari ini. Budak itu bermaksud mengatakan lapar.

 

“Betapa dermawannya budak ini. Dia lebih dermawan daripada saya.” Abdullah membatin. Dia kemudian pergi menuju rumah majikan budak hitam itu, membeli kebun, budak hitam, dan semua peralatan di dalamnya, lalu memerdekakan budak tersebut sekaligus memberikan kebun itu kepadanya.

 

Diceritakan, seorang pria mendatangi kawannya, lalu mengetuk pintunya, dan tuan rumah itu keluar seraya bertanya, “Untuk apa engkau mendatangiku?”

 

“Untuk 400 dirham yang akan engkau hutangkan kepada saya?”

 

Tuan rumah masuk ke dalam rumah, mengambil uang sejumlah yang dibutuhkan tamunya, dan memberikannya kepadanya. Setelah tamunya pulang, dia menangis. Isterinya heran melihat sikap suaminya.

 

“Apakah engkau merasa keberatan dengan memenuhi permintaan tamumu itu?” tanya isterinya.

 

“Saya menangis karena sampai tidak mengetahui keadaannya sehingga dia datang mengutarakan hajatnya kepada saya,” jawabnya sambil menyeka air mata.

 

Mutharrif bin Asy-Syakhir berkata, “Jika salah seorang dari kalian membutuhkan sesuatu kepada saya, maka ungkapkanlah secara tertulis. Karena, saya tidak suka melihat hinanya kebutuhan di wajahnya.”

 

Abdullah bin Abbas adalah seorang ulama sufi terkenal di zamannya. Seseorang bermaksud meryebaknya dalam permainan kotornya, maka dia mendatangi tokoh-tokoh masyarakat sambil meninggalkan pesan, “Abdullah bin Abbas mengundang kalian pada acara jamuan makan besok pagi.“ Orang-orang itu pun akhirnya datang dan memenuhi ruangan rumah Abdullah.

 

“Ada apa ini?“ tanya Abdullah heran melihat tamu-tamu yang tidak diundang memenuhi rumahnya.

 

Kemudian salah seorang dari mereka menceritakan tentang undangan yang disebarkan kemarin. Abdullah diam. Dia tidak berkata apa-apa selain segera memernntahkan para pelayannya untuk pergi membeli buah-buahan, roti, daging, dan meminta mereka untuk memasaknya dengan baik. Setelah acara jamuan selesai, dia bertanya kepada wakil para undangan, “Apakah acara ini harus kami adakan setiap hari?”

 

“Ya,” jawab mereka.

 

“Kalau begitu datanglah kalian tiap hari mulai besok,” pesannya.

 

Ustaz Abu Sahal Ash-Sha’luki ketika sedang berwudu di halaman rumahnya, seorang pengemis datang meminta sesuatu dan dia tidak segera mengabulkan permintaannya.

 

“Sabarlah sebentar sampai saya menyelesaikan wudu,” katanya pelan.

 

Pengemis itu pun sabar menunggu.

 

“Ambil bejana dan keluarlah,” kata Ustaz.

 

Dia mengambil dan membawanya pergi. Setelah tahu bahwa pengemis itu telah jauh, Abu Sahal berteriak, “Seseorang telah masuk halaman rumah dan mengambil bejana tempat wudu.” Orang-orang yang mendengarnya segera memburu pengambil bejana dan mereka tidak menemukannya. Abu Sahal melakukan demikian karena tahu bahwa penghuni rumah seringkali memakinya akibat sikapnya yang berlebihan dalam memberi.

 

Ustaz Abu Sahal memberikan jubah musim dinginnya kepada seseorang. Kemudian dia pergi mengajar dengan memakai jubah waruta karena memang tidak ada jubah lain selain yang dipakainya. Tidak lama kemudian datang beberapa utusan kenegaraan dari Persi yang di antara mereka terdapat beberapa tokoh ulama dari berbagai kalangan. Di antara mereka ada ulama fikih, ulama ahli teologi, dan ulama ahli bahasa. Abul Hasan, seorang pemimpin rombongan menyodorkan surat yang isinya meminta Ustaz untuk menghadap salah seorang ulama pemerintah. Ustaz kemudian masuk ke dalam lalu keluar dengan memakai baju besi yang melapisi jubah wanitanya, lalu berangkat. Begitu tiba di tempat tujuan, sang imam menyindir, “Dia sepertinya sengaja menganggap enteng kami, seorang imam negara, dengan cara memakai baju besi yang dilapisi jubah wanita.” Kemudian diskusi kenegaraan pun dimulai. Mereka membahas berbagai masalah hukum. Masing-masing ulama saling melemparkan pendapat dengan argumen yang berbeda. Tetapi, tidak satu pun pendapat yang bisa menandingi pendapat Ustaz. Pendapat Ustaz mengungguli semua disiplin ilmu yang dikuasai para ulama yang hadir dalam diskusi tersebut.

 

Saya pernah mendengar Syaikh Abdurrahman As-Sulami berkata, “Uztaz Abu Sahal tidak pernah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan tangannya selain melemparkannya lebih dulu ke tanah supaya seseorang yang membutuhkannya mengambilnya sendiri. Ketika ditanya, dia menjawab, Dunia lebih sedikit mengkhawatirkan saya daripada yang saya lihat pada keagungan tangan di atas daripada tangan di bawah. Rasulullah Saw. bersabda:

 

Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.

 

Abu Murtsid, seorang dermawan yang mulia, pernah mendapat pujian dari seorang penyair. Ketika pujian itu didengarkan di hadapannya, dia berkata, “Saya tidak mempunyai sesuatu yang bisa saya berikan kepada Tuan. Akan tetapi, Tuan bisa mengajukan saya di hadapan hakim dengan tuduhan mencuri uang Tuan sebesar 10.000 dirham. Saya akan mengakui tuduhan itu. Dengan demikian, hakim akan memenjarakan saya dan tentunya keluarga saya tidak akan membiarkan saya dipenjara. Mereka akan menebus saya dengan memberikan uang ganti rugi kepada Tuan.” Penyair itu benar-benar melakukan saran Abu Murtsid. Dia akhirnya dipenjara, kemudian dikeluarkan setelah keluarganya memberikan ganti rugi kepada penyair. Abu Murtsid selamat dari penjara dan penyair mendapat uang 10.000 dirham.

 

Diceritakan bahwa seseorang meminta sesuatu kepada Hasan bin Ali bin Abu Thalib r.a., lalu dia memberinya 50.000 dirham dan 500 dinar sambil memberikan pesan, “Bawalah seorang pelayan yang akan membawakan barang-barang ini untuk Tuan!” Kemudian dia datang dengan ditemani seorang pelayan, dan Hasan memberikan jubah hijaunya kepada pelayan sambil berkata, “Untuk ongkos pelayan biar saya yang menanggung.”

 

Dikisahkan tentang seorang wanita yang meminta Al-Laits bin Sa’ad semangkok madu. Lalu dikirimkan kepadanya sekantong besar yang penuh dengan madu. Pelayannya mengingatkan, “Dia meminta hanya semangkok?”

 

“Benar, dia minta sebatas kebutuhannya, dan saya memberinya sebatas kepuasan saya.”

 

Seorang ulama salat fajar di mesjid Asy’ats di Kufah. Dia memohon pada Allah supaya diberi kemampuan membayar hutang. Setelah salam, dia menemukan sepasang sandal dan sepotong baju baru di depannya.

 

“Apa ini?” tanyanya heran pada seorang pembagi.

 

“Al-Asy’ats baru tiba dari Mekkah. Beliau memerintahkan beberapa muridnya untuk membagikan barang ini kepada semua jamaah mesjidnya.”

 

“Tetapi, saya datang untuk memohon pada Allah supaya dibebaskan dari hutang, dan saya bukan termasuk jamaahnya.”

 

“Sedekah ini untuk semua yang hadir,” jelas mereka.

 

Diceritakan bahwa ketika kematian Imam Syafi’i hampir tiba, dia berpesan, “Datangkan seseorang yang akan memandikan jenazah saya.” Pria yang dimaksud adalah orang asing. Lalu disampaikan kepadanya pesan sang Imam. Laki-laki itu tidak mengerti maksudnya. Dia diminta untuk mengingat-ingat sesuatu, dan akhirnya menemukan bahwa dia mempunyai hutang 70.000 dirham. Imam Syafi’i meminta pelayannya untuk memberikan uang sejumlah itu kepada pria tersebut. “Inilah mandi jenazah saya,” kata sang Imam.

 

Diceritakan juga, ketika Imam Syafi’i tiba di Mekkah dari Kota Shan’a’, dia membawa 10.000 uang dinar.

 

“Apakah Tuan hendak membeli budak?” tanya seseorang.

 

Dia langsung merobohkan kemahnya dan keluar ke pinggiran Mekkah. Uang yang dibawanya dituangkan ke tanah, dan setiap orang yang datang, dia memberinya segenggam uang. Ketika waktu duhur tiba, dia berdiri lalu mengebut-ngebutkan bajunya, dan tidak satu pun uang yang tersisa di dalamnya.

 

Diceritakan, saat hari lebaran, Sariy As-Saqthi keluar rumah. Kemudian seorang tokoh masyarakat menerima kunjungannya. Dia menyambutnya dengan hormat, tetapi AsSaqthi membalasnya dengan biasa. Bahkan, dia membalas salamnya kurang lengkap.

 

“Dia seorang pembesar.” Seseorang mencoba mengingatkannya.

 

“Saya tahu,” jawab Sariy enteng.

 

“Tetapi mengapa?”

 

“Seorang perawi menceritakan, jika dua orang Islam bertemu, maka 100 rahmat dibagi di antara keduanya. Yang 90 bagian untuk yang lebih murah senyum, dan saya ingin dia memperoleh yang lebih banyak.”

 

Dikisahkan, Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a. suatu hari menangis, lalu ditanyakan kepadanya, “Apa yang membuat Tuan menangis?”

 

“Semenjak seminggu saya tidak kedatangan tamu. Saya takut Allah menghinakan saya,” jawabnya.

 

Diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa dia berkata, “Zakat rumah adalah penggunaannya untuk menerima tamu.” Mengenai ayat berbunyi:

 

Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tamu Ibrahim (malaikat-rnalaikat) yang dimuliakan? (QS. Adz-Dzariyat: 24)

 

Menurut seorang mufassir pengertiannya adalah pelayanannya kepada mereka dengan dirinya sendiri. Dikatakan juga bahwa tamu yang mulia adalah orang yang mulia.

 

Ibrahim bin Al-Junaid berkata, “Empat hal yang tidak boleh dipandang rendah meski dia seorang amir atau penguasa: berdiri dari majelis untuk menyambut orang tua, melayani tamu, melayani guru yang telah mengajarinya, dan bertanya tentang sesuatu yang belum diketahui.”

 

Allah berfirman:

 

“Tidak ada halangan bagimu makan bersama-sama mereka atau sendirian.” (QS. An-Nur: 61)

 

Menurut Ibnu Abbas r.a. ayat tersebut mengandung pengertian ketidakbolehan seseorang makan makanan dengan sendirian, lalu mereka diberi keringanan.

 

Diceritakan bahwa Abdullah bin Amir bin Kariz menjamu tamu seorang pria dengan jamuan yang terbaik. Ketika tamu itu hendak melanjutkan perjalanan, para pelayannya tidak membebaskannya. Lalu hal itu dilaporkan kepadanya dan Abdullah menjawab, “Sesungguhnya mereka bermaksud menahannya untuk tidak melanjutkan perjalanan dari kami.”

 

Abdullah bin Bakuwaih mendendangkan syair Al-Mutanabbi kaitannya dengan konteks di atas:

 

Jika engkau pergi dari kaum sungguh mereka kuasa untuk tidak berpisah dengan mereka maka pergi adalah lebih penting

 

Abdullah bin Mubarak berkata, “Bermurah hati dari apa yang ada di tangan manusia (tidak tertarik atau iri) lebih utama daripada bermurah hati dengan memberi.”

 

Seorang sufi berkata, “Saya masuk rumah Bisyr bin Harits pada hari yang cuacanya sangat dingin. Dia melepaskan pakaiannya sehingga tubuhnya tampak menggigil kedinginan. ‘Hai Abu Nashr, sapa saya, ‘orang-orang pada saat musim dingin merangkap pakaiannya dengan berlapis-lapis, tetapi engkau justru menguranginya. Dia menjawab, ‘Saya ingat orang-orang fakir yang tentunya tidak seperti mereka, dan saya tidak punya sesuatu untuk diberikan kepada mereka selain dengan seperti ini. Karena itu, saya berusaha memenuhi hak mereka dengan tebusan diri saya yang saya biarkan kedinginan.”

 

Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Bukan orang yang murah hati seseorang yang memberi orang punya yang kehilangan (orang kaya yang jatuh miskin), tetapi orang yang murah hati adalah orang yang memberikan sesuatu kepada orang yang tidak punya yang menemukan (orang tidak miskin yang menjadi kaya).”

 

35. CEMBURU

 

Allah berfirman:

 

“Katakanlah, Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak atau pun yang tersembunyi.” (QS. Al-A’raf: 33)

 

Rasulullah Saw. bersabda:

 

“Tiadalah seseorang yang lebih cemburu (ghirah) dari Allah termasuk kecemburuannya adalah mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak atau pun yang tersembunyi. “

 

Sabda beliau yang lain:

 

“Sesungguhnya Allah cemburu, dan orang mukmin pun cemburu, kecemburuan Allah adalah jika seorang hamba yang beriman melakukan perbuatan yang diharamkan Allah Taala.

 

Al-Ustaz Asy-Syaikh berkata, “Cemburu adalah kebencian terhadap keikutsertaan orang lain.” Jika Allah telah cemburu artinya Allah tidak rela keikutsertaan selain-Nya yang berhak ditaati hamba-Nya. Diceritakan dari Sariy As-Saqthi bahwa pernah dibacakan sebuah ayat di hadapannya:

 

“Dan apabila kamu membaca Al-Qur’an, niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, suatu dinding yang tertutup.” (QS. Al-Isra’: 45)

 

Kata Sariy kepada sahabat-sahabatnya, “Tahukah kamu, apa yang dimaksud dinding itu? Dinding penutup itu adalah cemburu (ghirah). Tiada seorang pun yang lebih cemburu daripada Allah.” Adapun yang dimaksud Sariy dalam ucapannya “dinding penutup ini adalah cemburu” adalah Allah tidak menjadikan orang-orang kafir mengetahui kebenaran agama.

 

Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Sesungguhnya orang-orang yang malas beribadah adalah mereka yang mengikat kebenaran dibawah kaki mereka seperti orang orang yang hina, sehingga mereka lebih suka men auh dari Allah dan Allah menjadikan mereka menunda-nunda ibadahnya. Mereka menjadi terlambat. Dalam hal ini mereka seolah-olah mengatakan:

 

aku adalah orang yang jatuh cinta pada orang yang aku cintai akan tetapi keburukan menghalangiku dari memandang orang yang saya cintai

 

Dalam hal ini mereka juga mengatakan, “Bagi orang sakit yang tidak dikunjungi bagaikan orang yang menginginkan, akan tetapi tidak terbalaskan keinginannya.”

 

Al-Abbas Az-Zauzani berkata, “Saya mempunyai suatu awal kebaikan. Saya tahu berapa jauh jarak yang akan saya tempuh untuk mencapai tujuan keselamatan yang saya inginkan. Di suatu malam saya melihat dalam mimpi seolah saya tergelincir dari lereng gunung yang tinggi, lalu saya ingin sekali sampai ke puncak itu. Saya sangat sedih sekali, kemudian saya terbangun. Saya mendengar seseorang berkata, ‘Wahai Abbas, Allah belum menghendakimu sampai pada sesuatu yang kamu ingini, namun Allah membuka Al-Hikmah? dari lisanmu. ” Kata Al-Abbas, “Lalu di pagi harinya saya telah diilhami beberapa kalimat Al-Hikmah.”

 

Saya mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq, semoga Allah merahmatinya, mengatakan, “Seorang syaikh mempunyai kondisi dan waktu tersendiri bersama Allah sehingga ia tidak tampak sesaat di tengah-tengah orang fakir, kemudian setelah itu dia tampak tidak seperti pada waktu itu.” Hal itu kemudian ditanyakan lalu dijawab, “Ah, tabir ielah menutupinya.”

 

Ustaz Abu Ali, jika di tengah-tengah majelisnya terjadi sesuatu yang mengganggu hati para jamaah, ia mengatakan, “Ini adalah termasuk kecemburuan Allah. Dia menginginkan cerahnya waktu ini tidak dilalui bersama mereka.”

 

dia ingin mendatangi kita sehingga ketika melihat suatu cermin kecantikan wajahnya maka dia menghalanginya untuk mendatanginya

 

Sebagian ulama sufi ditanya, “Apakah kamu ingin melihatnya?”

 

“Tidak.”

 

“Kenapa?”

 

“Saya menyucikan kecantikan itu dari pandangan orang sepertiku.”

 

sesungguhnya saya hasud terhadap kedua pandangan mataku terhadapmu sehingga kupejamkan mataku

Jika aku melihatmu saya melihatmu berlenggang penuh keindahan yang membuatku tertarik sehingga saya cemburu kepadamu karena keindahanmu

 

Dalf Asy-Syibli pernah ditanya, “Kapan kamu beristirahat?”

 

“Jika saya tidak melihat orang yang mengingatnya,” jawabnya.

 

Saya pernah mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq menyampaikan sabda Nabi Saw. tentang tabiat beliau kepada seorang pasukan berkuda dari suku Baduwi yang mengundurkan diri, lalu beliau mengizinkannya.

 

“Semoga Allah memanjangkan umurmu,” kata Baduwi, “dari suku manakah kamu?”

 

“Seseorang dari  Quraisy,” jawab Nabi Saw.

 

Para sahabat yang mendengarkan dialog itu marah dan langsung menghardiknya, “Celakalah kamu, sampai kamu tidak tahu nabimu!”

 

Menurut Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq, jawaban Rasul yang berbunyi “seseorang dari Juraisy” adalah suatu gambaran tentang kecemburuan. Jika tidak, maka bagi setiap muslim wajib mengenal Rasulullah Saw. Allah kemudian menjadikan lisan para sahabat untuk memperkenalkan beliau kepada Baduwi. Sementara menurut sebagian ulama, cemburu adalah termasuk sifat para sufi pemula. Sesungguhnya orang yang mengesakan tidak dapat menyaksikan kecemburuan dan tidak punya pilihan lain juga tidak bertindak sesuka hatinya dalam kekuasaan. Akan tetapi, urusan-urusan Allahlah yang paling utama dalam memutuskan semua yang diputuskan.

 

Sa’id bin Salam Al-Maghribi berkata, “Cemburu itu perbuatan orang-orang yang belum mantap tauhidnya. Adapun orang-orang yang ahli hakikat, tidak.”

 

Dalf Asy-Syibli berkata, “Cemburu ada dua. Kecemburuan manusia pada yang lain dan kecemburuan Tuhan kepada hati. Kecemburuan Tuhan pada hati memberi tenaga pada manusia untuk tidak peduli pada selain Allah.“ Lebih jelasnya, hal itu bisa dipahami dalam keterangan berikut ini: Cemburu itu memang ada dua. Kecemburuan Allah pada hamba yang mengandung makna mengajak manusia untuk tidak menjadikan makhluk sebagai sekutu-Nya sehingga ia meninggalkan-Nya. Kecemburuan hamba karena Allah mengandung pengertian tentang seorang hamba yang tidak melakukan apa saja selain karena Allah. Dengan demikian, cemburu pada Allah adalah suatu kebodohan, atau bisa saja menjadikannya meninggalkan agama. Sedangkan cemburu karena Allah bisa menjadikannya mengagungkan hak-hak Allah dan membersihkan perbuatan untuk ditujukan semata-mata karena Allah. Dan ketahuilah bahwa termasuk sunnatullah kepada para walinya adalah bahwa jika mereka berada pada selain Allah, cenderung kepada lain-Nya, maka Allah mengacaukan hatinya, sehingga mereka kembali membersihkan hatinya semata-mata karena Allah tanpa tergiur kepada selain Allah. Sebagaimana Nabi Adam a.s. ketika merasa senang diabadikan di surga, maka Allah mengeluarkannya. Sebagaimana Nabi Ibrahim a.s. ketika dia heran diperintah untuk menyembelih Ismail, maka Allah mengeluarkan sifat heran itu dari hati Ibrahim:

 

“Ketika keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya di atas pelipisnya, (nyatalah kesabaran keduanya) (QS. Ash-Shaffat: 103)

 

‘Dan Allah pun membersihkan hatinya dengan menggantikan tebusan lain.“

 

Muhammad bin Hasan bercerita: Ketika saya mengelilingi gunung di Libanon,’2 tiba-tiba muncul seorang pemuda di hadapan kami yang badannya terbakar oleh panasnya udara. Ketika melihat saya, dia langsung berpaling dan lari, lalu saya mengejar dan mengikutinya.

 

“Nasihatilah saya!” teriak saya dari jarak yang agak dekat.

 

Tanpa berpaling, pemuda itu meninggalkan pesan, “Hatihatilah, sesungguhnya Dia sangat pencemburu. Dia tidak ingin di hati hamba-Nya ada ketertarikan kepada selain-Nya.” Pemuda itu kemudian menghilang dan saya merenungkan kata-katanya.

 

An-Nashr Abadzi berkata, “Allah itu sangat pencemburu. Di antara kecemburuan-Nya adalah Dia tidak memberikan jalan untuk menuju kepada-Nya di jalan selain jalan-Nya.” Dikatakan bahwa Allah telah mewahyukan kepada sebagian nabi-Nya bahwa si fulan membutuhkan-Ku dan Aku juga membutuhkannya. Jika ia telah memenuhi kebutuhan-Ku, maka Aku juga memenuhi kebutuhannya.” Setelah memperoleh wahyu, nabi itu bertanya dalam munajatnya, “Tuhan, bagaimana Engkau mempunyai kebutuhan?”

 

“Dia punya kecenderungan kepada selain-Ku, kemudian membersihkan hatinya, sehingga Aku memenuhi kebutuhannya, jelas Allah.

 

Alkisah, Abu Yazid Al-Busthami pernah melihat dalam mimpinya sekelompok bidadari. Dia memandang mereka sampai menghabiskan waktunya dalam beberapa hari. Ketika mimpinya terulang lagi, ia tidak menoleh dan mengatakan kepada mereka, “Kamu sekalian hanya akan menyibukkan saya.”

 

Suatu hari Rabi’ah Al-Adawiyah mengalami sakit. Salah seorang pengunjung menanyakan keadaannya.

 

“Apa penyebab penyakitmu?”

 

“Saya telah melihat surga di dalam hatiku, lalu Tuhan mendidikku. Dia menegurku, dan saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi.” Dia berkata sambil memandang Tuhan di dalam hatinya.

 

Diriwayatkan dari Sariy As-Saqthi yang menceritakan: Saya pernah mencari seorang teman. Daerah-daerah yang saya duga menjadi tempat tinggalnya saya datangi, sampai akhirnya saya tiba dan melewati daerah bebukitan. Tiba-tiba saya dikejutkan oleh sekelompok orang yang terkena penyakit yang cukup parah. Di antara mereka ada yang buta dan ada pula yang menderita penyakit yang menggiriskan. Saya tanyakan kepada seseorang tentang keadaan mereka.

 

“Di tempat ini dalam setahun sekali biasa dilewati oleh seorang laki-laki aneh yang mendoakan orang-orang sakit yang meminta doanya, dan ternyata mereka sembuh,” jawab mereka.

 

Kemudian dengan sabar, saya ikut menanti kehadirannya bersama mereka. Waktu pun berjalan, dan laki-laki yang saya tunggu tiba. Ia mendekati orang-orang yang memohon berkah doanya, lalu mendoakan dan mereka sembuh. Tanpa berkata apa-apa, laki-laki aneh itu melanjutkan perjalanan. Saya memandangnya sejenak lalu mengikuti jejaknya. Setelah agak jauh, saya menyapanya, “Tuan, saya mempunyai penyakit batin. Apa obatnya?”

 

“Wahai Sariy, tinggalkanlah saya. Sesungguhnya Dia sangat pencemburu. Dia tidak mau melihatmu cenderung kepada selainNya, sehingga Dia berpaling darimu.” Laki-laki aneh itu meninggalkan pesan kemudian pergi.

 

Ustaz Syaikh berkata, “Di antara kecemburuan-Nya terlihat ketika orang-orang berzikir kepada-Nya dengan hati yang lengah, maka Dia tidak mempedulikan mereka, bahkan menyusahkanNya.”

 

Saya mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq, semoga Allah merahmatinya, mengatakan, “Ketika seorang Baduwi masuk mesjid Rasulullah Saw. dan kencing di dalamnya, para sahabat marah dan mengusirnya. Mereka merasa malu dan tidak bisa menerima perbuatannya. Demikian juga seorang hamba yang tahu keagungan Tuhannya. Dia merasa sulit mendengarkan zikir orang yang lengah dan beribadah dengan tidak menjaga kesopanan.”

 

Alkisah, ketika Dalf Asy-S5yibli ditinggal mati putranya yang bernama Abul Hasan, isterinya gelisah dan memotong-motong rambutnya. Sementara Asy-Syibli masuk kamar mandi lalu melumuri jenggotnya dengan sabun yang hendak dicukurnya. Setiap orang yang datang berta’ziah menanyakannya, “Apa yang kamu lakukan, wahai Abu Bakar (nama Asy-Syibli)?“

 

“Ikut berduka cita bersama isteriku.”

 

“Jelaskanlah kepada kami, wahai Abu Bakar, mengapa seperti itu yang kamu lakukan?”

 

“Saya tahu mereka mengucapkan belasungkawa kepadaku dengan hati yang lengah. Mereka mengatakan, “Semoga Allah memberimu pahala, maka saya menebus kelengahan zikir mereka dengan jenggotku,” jawab Asy-Syibli.

 

Ahmad An-Nuri, seorang sufi pengembara, ketika sedang dalam pengembaraannya, dia mendengar suara azan, lalu menja.wabnya dengan jawaban lain, “Tusukan dan racun kematian.” Selang beberapa detik, dia mendengar suara lolongan anjing, lalu menjawab, “Baik, dan semoga engkau baHagia.” Orang yang mendengarnya memprotes, “Sesungguhnya hal ini sama halnya dengan meninggalkan agama karena mengatakan tusukan dan racun kematian untuk jawaban suara azan dan menyambut lolongan anjing dengan jawaban yang baik.“ Dia menjawab, “Karena suaranya bagaikan kepala orang yang berzikir kepada Allah dengan hati yang lengah. Sedangkan tentang anjing itu, Allah telah berfirman:

 

Dan tidak satu pun (makhluk) melainkan bertasbih dengan memuji-Nya (QS. Al-Isra’: 44).

 

Dalf Asy-Syibli pernah berazan. Ketika sampai di kalimat syahadatain, ia berkata, “ Kalau bukan karena Engkau memerintahkan saya, pasti saya tidak ingat selain-Mu.”

 

Alkisah, ketika seseorang mengucapkan “Maha Besar Allah”, lalu ditimpali oleh seorang ulama sufi, “Saya suka jika kamu membersihkan zikirmu ini.”

 

Abul Hasan Al-Khazfani mengatakan, “Tiada tuhan selain Allah, dari dalam hati: Muhammad utusan Allah, dari telinga. Barangsiapa melihat dari lahir kata ini, pasti ia akan mengira bahwa ucapan ini meremehkan syariat dan tidak mengingat bahaya kecemburuan Allah. Karena, kekuasaan Allah mengecilkan kepada yang lain-Nya.”

 

36. WALI

 

Allah berfirman:

 

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran yang menakutkan mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Yunus: 62)

 

Diriwayatkan dari Aisyah r.a. yang menuturkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda, Allah berfirman:

 

“Barangsiapa menyakiti kekasih-Ku, berarti ia telah menghalalkan permusuhan-Ku. Seorang hamba yang mendekat kepada-Ku tidak cukup dengan melaksanakan kewajiban yang Aku perintahkan. la harus mendekatkan diri kepada-Ku dengan perbuatan-perbuatan sunat sampai Aku mencintainya. Tiadalah perbuatan yang memberatkan-Ku seperti kebimbangan-Ku ketika mencabut ruh hamba-Ku yang beriman karena ia tidak suka mati, dan Saya tidak mau menyakitinya, padahal ia harus mati.

 

Ustaz Asy-Syaikh berkata, “Wali itu mempunyai dua pengertian. Pertama, wali yang berarti orang yang dicintai-Nya, yaitu orang yang dilindungi Allah segala urusannya. Allah berfirman:

 

“Dia melindungi orang-orang saleh (QS. Al-A’raf: 196).’

 

Sehingga Allah tidak membiarkannya sekejap pun, bahkan Allah selalu melindungi dan memeliharanya.

 

Kedua, wali yang berarti orang-orang yang sangat mencintai Allah. Dia adalah orang yang selalu beribadah dan taat kepada Allah. Ia beribadah kepada Allah dengan istiqamah tanpa diselingi perbuatan durhaka. Kedua sifat tersebut merupakan keharusan sehingga seorang wali benar-benar menjadi wali yang senang melaksanakan hak-hak Allah dengan benar dan selalu menjaga perintah-perintah-Nya, baik dalam keadaan senang atau pun susah.”

 

Termasuk syarat seorang wali adalah terpelihara sebagaimana syarat seorang nabi yang juga terlindungi dari kesalahan. Karena itu, setiap wali yang bertentangan dengan syariat adalah tertipu.

 

Abu Yazid Al-Busthami pernah datang kepada seseorang yang dikenal sebagai wali. Ketika sampai di mesjidnya, ia duduk menunggu. Kemudian orang yang dimaksud keluar dari rumahnya dan membuang dahak dalam mesjid. Abu Yazid langsung pergi dan tidak mengucapkan salam kepadanya. Dia mengatakan, “Orang itu tidak menjaga tatakrama syariat, maka bagaimana dia bisa dipercaya tentang rahasia-rahasia kebenaran.

 

Para ulama berbeda pendapat tentang apakah seorang wali boleh diketahui bahwa dia seorang wali atau bukan. Sebagian mereka mengatakan bahwa hal itu tidak boleh diketahui karena seorang wali selalu melihat dirinya dengan rendah hati. Jika terlihat sedikit saja dari keramatnya, dia khawatir hal itu akan menipu dirinya. Hal itu dikarenakan dia selalu merasa takut jatuh dari kedudukan kewaliannya dan bisa membawa akibat yang berbalik kepadanya. Mereka ini menjadikan syarat seorang wali adalah yang menjaga akibat. Sebagian yang lain mengatakan bahwa seorang wali boleh diketahui bahwa dirinya adalah wali. Mereka iri tidak menjadikan syarat kewalian dengan takut akibat.

 

Jika hal itu menjadi syarat seorang wali, maka boleh bagi seorang wali diberi keistimewaan dengan keramat, yang justru hal itu merupakan bukti kebenaran bahwa dia terpelihara dari akibatnya. Seorang wali harus mempunyai keramat, walaupun dia dibayangi rasa takut terhadap akibat diketahui kewaliannya. – Apa yang ada pada dirinya merupakan suatu kemuliaan dan kewibawaannya yang akan menjadikannya lebih sempurna. Karena, dengan sedikit kemulaan dan kewibawaan saja akan lebih baik untuk membimbing hatinya daripada rasa takut.

 

Ketika Rasulullah Saw. bersabda, sepuluh orang sahabatnya dijamin masuk surga, memang sepuluh orang ini tidak diragukan lagi. Mereka percaya pada Nabi Muhammad Saw. dan tahu bahwa sepuluh orang ini terjamin keselamatannya di kemudian hari. Keadaan mereka tidak pernah tercela atau pun tercemar. Dan, memang termasuk syarat untuk mengetahui suatu kenabian adalah mengetahui kemukjizatannya yang mengetahui sebelum terjadi. Termasuk syarat ini adalah seorang wali dapat diketahui dengan hakikat keramatnya. Jika keramat itu tampak padanya, mara tidak mungkin ia akan disamakan dengan lainnya. Jika telah melihat suatu keramat, maka diketahui bahwa ia berada dalam kebenaran.

 

Kemudian boleh mengetahui bahwa di kemudian hari dia akan tetap dalam kondisi seperti ini. Mengetahui kondisinya sebelum terjadi adalah juga termasuk keramat. Adapun kejadian tentang kekeramatan para wali memang benar adanya. Telah banyak masyarakat membuktikan hal itu. Pendapat ini telah dibenarkan oleh guru kita Al-Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq, rahimahullah.

 

Dikatakan bahwa Ibrahim bin Adham bertanya pada seseorang, “Apakah kamu senang jika menjadi kekasih Allah?”

 

“Ya,” jawabnya.

 

“Kalau begitu, janganlah senang pada dunia atau pun akhirat, meski sedikit. Kosongkan jiwamu untuk Allah. Hadapkan wajahmu kepada-Nya supaya Dia mau menerima dan mencintaiMu.”

 

Yahya bin Mu’adz pernah menjelaskan tentang sifat para wali Allah. Menurutnya, mereka adalah hamba-hamba yang telah mengenakan pakaian ibadah dengan senang setelah mengalami penderitaan. Mereka memeluk jiwa setelah bermujahadah (bersungguh-sungguh dalam ibadah), sehingga mereka sampai ke tingkatan wali.

 

“Para wali itu adalah mempelai-mempelai Allah,” kata Abu Yazid Al-Busthami, “tiadalah yang boleh melihat mereka selain mahramnya. Mereka ini dipingit di sisi Allah dalam tabir kasih sayang-Nya. Tiada seorang pun di dunia ini atau pun di akhirat yang dapat mengetahui mereka.”

 

Saya mendengar Abu Bakar Ash-Shaidalani, seorang yang sangat saleh, berkata, “Saya memperbaiki makam Abu Bakar AthThamastani. Saya melubangi sebuah papan untuk mengukir namanya di pemakaman Al-Hirah”. Papan itu berhasil saya dirikan, tetapi pencuri telah mengambilnya, sedangkan makammakam lainnya tidak dicuri. Saya merasa heran, lalu saya tanyakan hal itu kepada Al-Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq. Beliau menerangkan bahwa Syaikh itu telah merahasiakan dirinya di dunia, sedangkan kamu ingin mempopulerkan makamnya dengan memasang papan yang telah kamu perbaiki. Sesungguhnya Allah Yang Mahasuci tidak berkenan kecuali dengan menyembunyikan makamnya, sebagaimana ia telah menutupi dirinya pada waktu hidupnya.”

 

“Memang, terkadang seorang wali Allah sangat terkenal,” kata Sa’id bin Salam Al-Maghribi, “namun ia tidak tergoda dengan popularitasnya.

 

“Para wali tidak pernah meminta. Mereka hanya tunduk dan tawaduk,” kata Nashr Abadzi.

 

“Puncak akhir perjalanan mereka.merupakan awal dari derajat para nabi,” tambahnya kemudian.

 

“Wali itu perbuatan-perbuatannya selalu dalam rulai ibadah,” jelas Sahal bin Abdullah.

 

Lebih jauh Yahya bin Mu’adz mengatakan, “Wali itu tidak ingin dilihat dan tidak pernah berbuat munafik. Sungguh sedikit sahabat yang mempunyai akhlak demikian.”

 

Abu Ali Al-Jurjani mengatakan, “Wali itu binasa kondisinya, namun abadi penglihatannya kepada Allah. Allah selalu menemaninya sehingga akan tampak terus cahaya kewaliannya. Ia tidak pernah menceritakan tentang dirinya dan tidak pernah punya ketetapan dengan selain Allah.”

 

Abu Yazid Al-Busthami berkata, “Keberuntungan para wali tampak dalam empat asmaul husna yang mengandung arti saling berlawanan. Masing-masing kelompok mereka berdiri dengan membawa nama itu, yaitu Al-Awwalu (Yang Mahadahulu), AlAkhiru (Yang Mahaakhir dengan tiada kesudahan), Azh-Zhahiru (Yang Mahatampak), dan Al-Bathinu (Yang Mahatersembunyi). Barangsiapa yang sampai tenggelam dalam mengamalkannya, maka dia itu sangat sempurna. Barangsiapa yang mendapat keberuntungan dengan nama Azh-Zahir, dia selalu melihat kebesaran kekuasaan Allah. Barangsiapa yang keberuntungannya dengan nama Al-Bathinu, dia melihat apa yang terjadi di dalam rahasia cahaya-Nya. Barangsiapa yang keberuntungannya dengan nama Al-Aurwalu, dia akan selalu sibuk mengoreksi masa lalunya. Dan, barangsiapa yang keberuntungannya dengan nama Al-Akhiru, dia selalu sibuk mempersiapkan sikapnya di masa depannya. Masing-masing akan diperlihatkan sesuai dengan kemampuannya kecuali yang telah mendapatkan kebaikan Allah dengan rahmat-Nya dan kesungguhannya dalam beribadah. Barangkali inilah yang dimaksud ucapan Abu Yazid Al-Busthami yang mengisyaratkan bahwa orang-orang khusus (istimewa) mencapai ketinggian tingkatannya melalui pembagian ini, sehingga mereka tidak mengharapkan balasan dalam zikirnya, tidak menyimpan masa lalu dalam pikirannya, dan tidak merasa tertimpa bencana dalam penjara penderitaan. Demikian juga orang-orang yang memasuki hakikat, maka mereka terhapus dari sifat-sifat makhluk. Allah berfirman:

 

‘Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur’ (QS. Al-Kahfi: 18)”

 

Yahya bin Mu’adz berkata, “Wali itu merupakan keharuman Allah di bumi. Ia dicium oleh orang-orang yang cinta kebenaran, sehingga keharuman mereka sampai di dalam hati pecinta kebenaran, rindu kepada Tuhan, dan ibadah mereka bertambah giat karena terbawa oleh perilaku para wali ini.”

 

“Bagaimanakah seorang wali Allah itu diberi makanan?” tanya seseorang pada Al-Wasithi.

 

“Pada awalnya dengan ibadahnya. Setelah itu dengan tabir penutupnya bersamaan dengan kelembutan dirinya, kemudian ia tertarik untuk mengoreksi masa lalunya, kemudian merasakan nikmatnya makanan beribadah di setiap waktu,” jawabnya.

 

Tanda-tanda wali itu ada tiga: Ia selalu sibuk dengan Allah, pelariannya selalu kepada Allah, dan tujuannya hanya kepada Allah. Al-Kharraz mengatakan, “Jika Allah ingin menolong hamba-hamba-Nya, Dia membukakan pintu zikir untuk-Nya. Jika ia menikmati zikir itu, maka Allah membuka pintu kedekatan dengan-Nya, kemudian mengangkatnya ke tempat duduk kasih sayang-Nya, mendudukkannya di atas kursi tauhid, diangkat tabir penutupnya dan dimasukkan ke dalam ruang abadi, lalu disingkapkan tabir keagungan dan kebesaran Allah. Jika ia telah melihat kebesaran dan keagungan Allah, lalu tetap dalam ketetapan tanpa hawa nafsunya, maka di saat itulah ia menjadi seorang hamba yang tenggelam dalam kecintaan Allah dan terbebas dari tuduhan-tuduhan dirinya.”

 

Askar An-Nakhsyabi berkata, “Jika hati seseorang senang berpaling dari Allah, maka ia akan ditemani oleh fitnah.” Dikatakan bahwa termasuk sifat seorang wali adalah tidak mempunyai rasa takut, karena takut merupakan penantian yang makruh yang hanya boleh dalam hal masa depan (akhirat), atau penantian yang disukai yang lenyap dalam awal kewaliannya. Seorang wali itu adalah anak zamannya. Ia tidak takut sedikit pun karena ia tidak mempunyai masa depan. Ia tidak takut juga tidak punya harapan karena harapan itu merupakan sesuatu yang mungkin disukai atau dibenci. Hal itu merupakan nomer dua. Demikian juga seorang wali tidak mempunyai rasa sedih karena rasa sedih merupakan kekasaran masa. Jika seseorang dalam cahaya keridaan dan berada dalam selimut ibadah, maka bagaimana mungkin dia akan punya rasa sedih. Allah berfirman:

 

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran (yang menguasai) mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Yunus: 62)

 

37. DOA

 

Allah berfirman:

 

“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.” (QS. Al-A’raf: 55)

 

Firman-Nya yang lain:

 

“Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu.” (QS. Al-Mu’min: 60).

 

Rasulullah Saw. bersabda:

 

“Doa itu adalah otak ibadah.”

 

Ustaz Syaikh berkata, “Doa itu kunci kebutuhan. Penghibur orang-orang miskin. Perlindungan bagi orang-orang terjepit. Dan, pelega bagi orang-orang yang dikejar kebutuhan.”

 

Allah sangat mencela orang-orang yang tidak mau berdoa sebagaimana dalam firman-Nya:

 

“Dan mereka menggenggamkan tangannya.” (QS. At-Taubah: 67)

 

Maksud ayat tersebut adalah mereka tidak mau menengadahkan tangannya kepada Kami untuk berdoa. Sahal bin Abdullah berkata, “Allah telah menciptakan makhluk, lalu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku. Jika tidak mau, lihatlah kepada-Ku. Jika tidak mau, dengarkanlah Aku. Jika tidak mau, beradalah di pintu-Ku. Jika tidak mau, berikanlah kebutuhankebutuhanmu kepada-Ku.’ Katanya lagi, “Doa yang paling mudah dikabulkan adalah doa di waktu sedang berada dalam kebutuhan. Doa yang berada dalam waktu kebutuhan adalah jika yang berdoa sedang terjepit dan doanya semata-mata untuk kebutuhannya saat itu.”

 

Abu Abdullah Al-Makanisi bercerita: Saya pernah berada di sisi Al-Junaid, lalu datanglah seorang wanita dan minta doa kepadanya, “Doakanlah saya kepada Allah. Putera saya telah hilang.”

 

“Pulang dan bersabarlah,” katanya.

 

Wanita itu pergi kemudian datang lagi dan mohon doa kepadanya seperti semula.

 

“Pulang dan bersabarlah,” saran Al-Junaid.

 

Wanita itu kembali pulang kemudian datang lagi kepadanya dengan mengatakan seperti sebelumnya berkali-kali.

 

“Bersabarlah.”

 

“Kesabaran saya sudah habis. Tidak tersisa sedikit pun,” kata wanita itu.

 

“Jika begitu, pulanglah. Puteramu sudah kembali.”

 

Wanita itu akhirnya pulang dan segera kembali menemui AlJunaid untuk mengucapkan terima kasih atas doanya yang terkabul.

 

“Bagaimana Tuan bisa tahu hal itu?“ tanyanya heran.

 

Jawab Al-Junaid, “Allah telah berfirman:

 

“Atau siapakah yang telah mernperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan jika berdoa kepada-Nya dan yang menghilangkan kesusahan’ (QS. An-Naml: 62).”

 

Akan tetapi, para ulama berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama, berdoa ataukah diam dengan rida dalam menerima ketentuan Allah. Pendapat pertama mengatakan bahwa doa adalah ibadah sebagaimana yang disabdakan Rasulullah Saw., “Dona itu otak ibadah.” Karena itu, melaksanakan ibadah lebih utama daripada meninggalkannya. Berdoa adalah hak Allah yang harus dipenuhi. Jika doa itu belum dikabulkan dan belum tercapai apa yang diinginkannya, maka dia telah melaksanakan hak Allah karena hakikat doa adalah ungkapan kebutuhan ibadah. Abu Hazim Al-A’raj mengatakan, “Melarang berdoa lebih berat bagi saya daripada tidak dikabulkan-Nya suatu doa.”

 

Sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa diam dar pasrah terhadap jalan keputusan Allah lebih sempurna dan rela dengan apa yang sudah lewat lebih utama. Dalam hal ini Muhammad Al Wasithi berkata, “Memilih diam terhadap ketentuar Allah di zaman azali lebih baik bagimu daripada menentang waktu.” Rasulullah Saw. bersabda dalam hadis gudsinya, “Barangsiapa yang lebih sibuk berzikir kepada-Ku daripada berdoa, maka Aku pasti memberikan kepadanya yang lebih utama daripada yang diberikan kepada orang-orang yang meminta.”

 

Suatu kaum mengatakan bahwa seorang hamba harus berdoa dengan lidahnya dan rela dengan hatinya agar ia mendapatkan keduanya. Dan, akan lebih baik jika dikatakan, “Waktu itu tidak sama keadaannya. Karena itu, dalam kondisi tertentu doa akan lebih utama daripada diam. Hal ini termasuk tatakrama. Dalam kondisi lain dia lebih utama daripada berdoa. Halinijuga termasuk etika. Namun, hal itu diketahui pada saat ia berada dalam kondisi tersebut karena mengetahui kondisi pada saat ia sedang dalam waktu itu. Jika hatinya merasa bahwa berdoa itu lebih baik, maka berdoa pada saat itu adalah lebih utama. Jika hatinya merasa diam lebih baik, maka tidak berdoa adalah lebih sempurna. Dikatakan bahwa sebaik-baik perbuatan bagi seorang hamba yang sedang berdoa adalah tidak lupa dari melihat Tuhannya. Ia harus memperhatikan kondisinya. Jika ia merasa lebih lapang saat berdoa, maka berdoa pada saat itu lebih utama. Namun, jika ia sedang berdoa merasa ada semacam kejanggalan atau tertahan, maka pada saat itu lebih baik ia tidak berdoa. Jika ketika berdoa ia tidak merasa lapang atau ada kejanggalan dalam hati, maka berdoa atau tidak pada kondisi seperti ini adalah sama. Tetapi, jika ia lebih cenderung untuk berdoa, maka berdoa adalah lebih utama karena berdoa itu sendiri adalah ibadah. Jika lebih cenderung untuk ma’rifat dan berdiam diri, maka tidak berdoa adalah lebih utama. Memang benar ada pendapat yang mengatakan, “Setiap muslim mempunyai nasib (bagian) dan Allah mempunyai hak, maka dalam hal ini berdoa adalah lebih utama. Tetapi, jika dalam dirimu telah mendapatkan bagian, maka dalam (tidak berdoa) itu lebih utama.” Dalam sebuah hadis dituturkan, “Ada seorang hamba berdoa kepada Allah dan Allah sangat mencintainya, lalu berfirman kepada Jibril: “Hai Jibril, penuhilah kebutuhan hamba-Ku karena saya tidak suka mendengar suaranya.”

 

Alkisah, Yahya bin Sa’id Al-Oaththan pernah bermimpi melihat Allah Yang Mahabenar. Dalam mimpi itu ia mengadu kepada Tuhannya, “Wahai Tuhanku, banyak sekali doa yang saya panjatkan kepada-Mu, dan Kamu tidak mengabulkan doaku.” Tuhan menjawab, “Wahai Yahya, karena Saya senang mendengar suaramu.”

 

Rasulullah Saw. bersabda:

 

“Demi Allah yang jiwaku berada di dalam kekuasaan-Nya, seorang hamba benar-benar berdoa kepada Allah, sedangkan ia marah kepada-Nya karena tidak mengabulkan doanya, kemudian ia berdoa lagi kepada-Nya, maka Allah berfirman kepada malaikatNya: ‘Hamba-Ku tidak mau berdoa kepada selain-Ku, sungguh Aku kabulkan doanya.

 

Hasan menuturkan sebuah kisah dari Anas bin Malik. Dalam kisah itu Anas mengatakan bahwa di masa Rasulullah Saw. ada seorang pria yang berdagang dari Syam ke Kota Madinah atau dari Madinah ke Syam. Pria itu (dalam berdagang) tidak bergabung dengan kafilah manapun. Dia lebih senang memasrahkan dirinya (dan dagangannya) kepada Allah. Ketika ia berangkat dari Syam menuju Madinah, tiba-tiba ia dihadang penyamun yang mengacungkan pedangnya dari atas punggung kuda. :

 

“Berhenti … berhenti!!”

 

Pedagang itu pun berhenti. Dia menatap sang penyamun sejenak lalu berkata kepadanya, “ Ambillah hartaku dan biarkan saya melanjutkan perjalanan.”

 

“Harta itu telah menjadi milikku, tetapi aku menginginkan dirimu!” bentak sang penyamun.

 

“Apa yang kamu harapkan dari diriku, sedangkan kamu telah mendapatkan harta. Biarkanlah saya melanjutkan perjalanan.”

 

“Harta itu memang telah menjadi milikku, tetapi aku menginginkan dirimu.”

 

“Baiklah kalau memang begitu. Tetapi, berilah saya kesempatan untuk berwudu dan salat serta berdoa kepada Tuhanku Yang Mahamulia dan Mahaagung.”

 

“Lakukan apa yang kamu inginkan!”

 

Pedagang itu beranjak dari duduknya untuk berwudu. Ia kemudian salat empat rakaat, dan sesudah salam ia mengangkat kedua tangannya ke langit dan berdoa. Dalam doanya, di antaranya dia mengatakan: “Wahai Tuhan Yang Mahaperngusih, wahai Tuhar Yang Maha Penyayang, wuhai Tuhan Yang mempunyai Arasy yang mulia, wahai Tehan Yang Maha menampakkan makhluk, wahai Tuhan Yang Maha mengembalikan, wahai Tuhar: Yang Maha melaksanakan apa Yang dikehendaki, saya mohon dengan cahaya-Mu yarg memenuhi sudut-sudut Arasy-Mu. Saya mohon kepada-Mu dengan kekuasaan-Mu yang menguasai makhluk, dan dengan rahmat-Mu yang meliputi segela sesuatu, tiada tuhan yang berhak diserribah seiain Engkau. Wahai Tuhan Yang Maha Penolong, tolonglah saya (3x).“ Baru saja ia selesai berdoa, tiba-tiba muncul seorang penunggang kuda berbaju hijau di atas kuda kelabu, sementara di tangannya tergenggam pedang cahaya. Ketika penyamun itu melihatnya, ia langsung menyongsongnya, tetapi penunggang kuda berhasil menarik dan melemparkannya dari kudanya, kemudian menghampiri pedagang dengan mengatakan, “Bangun dan bunuhlah dia!”

 

“Siapakah Tuan? Seumur saya belum pernah membunuh seorang pun. Hati saya tidak tenang (jika) membunuh.” Pedagang memberi alasan.

 

Penunggang kuda itu kembali kepada penyamun dan langsung membunuhnya, kemudian kembali mendatangi pedagang seraya mengatakan, “Ketahuilah, saya adalah malaikat yang turun dari langit ketiga. Ketika kamu berdoa pada doa yang pertama, saya mendengar suara gemerincing di pintu-pintu langit. Kami (para malaikat) bergumam, Ada suatu kejadian! Kemudian muncullah doamu yang kedua sehingga pintu-pintu langit menjadi terbuka dan tampak percikan cahaya seperti kembang api. Dan, pada doamu yang ketiga, turunlah Malaikat Jibril a.s. kepada kami sambil berseru, Siapakah yang bersedia menolong orang yang meminta pertolongan itu?’ Lalu saya memohon kepada Tuhan agar mengizinkanku untuk melaksanakannya. Ketahuilah wahai Hamba Allah, barangsiapa berdoa dengan doamu iri ketika dalam kesedihan, penderitaan dan semua bencana, maka Allah akan melepaskannya dari kesedihan itu dan menolongnya.”

 

Pedagang itu kemudian tiba di tempat tujuannya dengan selamat. Dia memasuki Kota Madinah sambil membawa keuntungan dan langsung sowan kepada Nabi Saw. lalu menceritakan kepada beliau tentang pengalaman dan doanya. Rasulullah Saw. menimpalinya dengan mengatakan, “Sungguh Allah telah mengajarkan nama-nama-Nya yang baik kepadamu, yang jika kamu berdoa dengan menyebut nama itu, maka akan dikabulkan doamu. Jika Dia dimintai permohonan dengan menyebut nama itu, Dia pasti akan memberikan permohonanmu.”

 

Termasuk tatakrama berdoa adalah berkonsentrasi dengan menghadirkan hati dan tidak lengah. Nabi Saw. bersabda:

 

“Sesungguhnya Allah tidak mengabulkan doa seorang hamba yang lalai hatinya.”

 

Dan, di antara syarat-syarat berdoa adalah menjaga makanan yang halal. Nabi Saw. pernah berkata kepada Sa’ad r.a.:

 

“Perbaikilah pekerjaanmu (carilah pekerjaan yang halal), maka doamu akan dikabulkan.

 

Doa adalah kunci kebutuhan dan geriginya adalah suapan-suapan yang halal. Yahya bin Mu’adz pernah berdoa: “Wahai Tuhan, bagaimanakah saya akan berdoa kepada-Mu, sedangkan aku adalah seorang yang durhaka? Tetapi, bagaimana saya tidak berdoa kepada-Mu sedangkan Engkau Mahamulia (dermawan)?”

 

Alkisah, Nabi Musa a.s. pernah bertemu dengan seorang pria yang sedang berdoa dengan menunduk. Musa a.s. berkata kepada Tuhannya, “Tuhan, jika saja kebutuhan dia berada di tanganku, tentu saya akan memberikannya.” Allah kemudian menurunkan wahyu kepada Musa a.s., “Saya lebih kasih sayang kepadanya daripada kamu. Akan tetapi, dia berdoa kepada-Ku di tengah dia mempunyai seekor kambing, dan hatinya masih teringat dengan kambingnya. Aku tidak mau mengabulkan doa seorang hamba yang ketika berdoa hatinya masih mengingat selain-Ku.” Nabi Musa a.s. mendatangi laki-laki itu dan mengingatkannya tentang firman Allah tersebut, dan ia kemudian melupakan segala hal selain Allah, lalu berdoa kepada-Nya dengan sepenuh hati, sehingga Allah memenuhi kebutuhannya.

 

“Apa salah kami. Kami selalu berdoa, tetapi tidak juga dikabulkan?” tanya seseorang pada Imam Ja’far Ash-Shadiq.

 

“Karena kamu berdoa kepada Tuhan yang tidak kamu ketahui,” jawabnya.

 

Saya pernah mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq, semoga Allah merahmatinya, menuturkan suatu kisah tentang orang, orang yang melaporkan kepadanya mengenai Ya’qub bin Al-Laits yang sakit keras sampai tidak seorang dokter pun yang sanggup mengobatinya.”

 

“Di daerahmu ada seorang yang sangat Saleh. Namanya Sahal bin Abdullah. Jika dia berdoa untukmu, insya Allah mengabulkannya,” saran Ustaz.

 

Orang-orang pun mendatangi Sahal, dan ketika sudah datang, Ya’qub berkata kepadanya, “Doakanlah saya kepada Allah.”

 

“Ya Allah,” seru Sahal, “sebagaimana yang telah Engkau perlihatkan kepadanya tentang hinanya berbuat dosa, maka juga perlihatkanlah kepadanya tentang kemuliaan orang yang taat kepada-Mu. Saya mohon sembuhkanlah sakitnya.” Ya’qub pun akhirnya sembuh, lalu memberi Sahal uang, tetapi dia menolaknya.

 

“Kami mohon Tuan Sahal berkenan menerimanya. Paling tidak nanti bisa diberikan kepada fakir miskin,” desak Ya’qub halus.

 

Sahal diam. Ulama sufi ini hanya mengalihkan pandangannya ke gurun yang tandus. Tiba-tiba di padang pasir itu tampak permata-permata yang berkilauan warnanya. Dia menoleh kepada sahabat-sahabatnya dan berkata, “Orang yang telah diberikan kepadanya harta benda seperti ini, apakah masih butuh pada uang Ya’qub bin Laits?!”

 

“Barangsiapa yang terus-menerus mengetuk pintu (Allah), maka akan dibukakan pintu untuknya,” kata Salih Al-Murri.

 

“Sampai kapan kamu akan mengatakan halini? Kapan pintu ini ditutup sehingga harus dibuka?” nasihat Rabi’ah.

 

“Syaikh yang bodoh dan seorang wanita yang alim (Rabi – ah),” timpal Salih.

 

Sariy berkata, “Saya pernah datang di majelis Ma’ruf AlKarkhi. Tiba-tiba seorang laki-laki berdiri seraya berkata kepadanya, Wahai Abu Mahfuzh, doakanlah saya kepada Allah agar Dia mengembalikan dompet saya yang dicuri. Di dalamnya terdapat seribu dinar.’ Kemudian dia diam, lalu mengulangi lagi perkataanya, kemudian diam dan mengulanginya lagi.

 

“Apa yang akan saya katakan? kata Ma’ruf.

 

Saya pun mengisahkan riwayat yang diceritakan dari para nabi dan orang-orang alim yang telah dikabulkan doanya.

 

“Berdoalah kepada Allah, desak laki-laki itu lagi.

 

‘Ya Allah, pilihkanlah yang terbaik untuknya, kata Ma’ruf berdoa!”

 

Diriwayatkan dari Al-Laits, “Saya tahu bahwa Ugbah bini Nafi’ adalah seorang buta. Akan tetapi, sekarang saya lihat dia tidak buta lagi. Saya tanyakan kepadanya, Dengan apa pengllhatanmu dikembalikan?”

 

“Di suatu malam saya bermimpi yang dalam mimpi itu dikatakan kepada saya, berdoalah dengan mengatakan:

 

“Ya Allah Yang Mahadekat, ya Allah Yang Maha mengabulkan doa, ya Allah Yang Maha mendengarkan doa, ya Allah Yang Mahalembut terhadap apa Yang dikehendaki-Nya, kembalikanlah penglihatan saya.”

 

“Akhirnya Allah mengembalikan penglihatan saya.”

 

Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq suatu hari memberikan fatwa yang sempat saya dengar. Beliau mengatakan, “Ketika saya pulang dari Marwa menuju Naisabur, saya merasa sakit di mata saya.

 

Selama beberapa hari saya sempat tidur sehingga di pagi hari saya sudah sangat mengantuk. Saya mendengar seseorang berkata kepada saya, Bukankah Allah Yang mecukupi hamba-Nya’ (QS. Az-Zumar: 36). Saya langsung terjaga dan bersamaan itu sakit mata saya hilang. Sejak saat itu saya tidak pernah tertimpa sakit mata lagi.”

 

Diriwayatkan dari Muhammad bin Khuzaimah yang mengatakan, “Ketika Imam Ahmad bin Hanbal wafat, saya berada di Iskandaria. Saya sangat berduka cita mendengar kabar itu. Saya melihatnya dalam mimpi dia berjalan seperti jalannya orang yana sombong dan membanggakan diri. Saya tanyakan kepadanya, “Wahai Abu Abdullah, jalan model apa ini?”

 

Jalan model para pelayan di Darus Salam (surga).’

 

“Apa yang telah Allah perlakukan kepadamu?”

 

“Allah mengampuniku, mengenakan mahkota dan dua sandal emas kepadaku. Allah mengatakan kepadaku, ‘Wahai Ahmad, ini karena pendapatmu yang mengatakan bahwa Al-Quran adalah firman-Ku. Wahai Ahmad, berdoalah kepada-Ku dengan doa-doa yang pernah Aku sampaikan kepadamu lewat Sufyan Ats-Tsauri ketika kamu berada di dunia dan berdoa dengan doa itu, yaitu:

 

“Wahai Tuhan segala sesuatu, dengan kekuasaan-Mu, Engkau menguasai segala sesuatu. Armpunilah saya dari segala sesuatu dan janganlah Engkau menanyakan sesuatu kepadaku.

 

“Karena itu, masuklah ke surga, wahai Ahmad, dan saya pun masuk.“

 

Alkisah, seorang pemuda memegang erat tabir-tabir Ka’bah sambil mengatakan, “Wahai Tuhanku, tiada sekutu bagi-Mu sehingga harus didatangkan: tiada materi bagi-Mu sehingga harus disuap. Jika saya taat kepada-Mu, maka hal itu karena keutamaanMu. Saya panjatkan segala puji untuk-Mu. Jika saya durhaka kepada-Mu, maka hal itu karena kebodohanku dan Engkau berhak menghujatku serta menentukan hukuman bagiku. Tiada harapan dari hukuman-Mu selain ampunan-Mu. Kemudian pemuda ini mendengai suara bisikan bahwaia telah dibebaskan darj neraka.

 

Faedah doa adalah dengan menunjukkan kebutuhan kepada Allah. Jika tidak, maka Allah akan melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya. Doa orang awam dilakukan dengan ucapan. Doa para ahli zuhud dengan perbuatan. Doa orang-orang yang ahli ma’rifat dilakukan dengan keadaan.

 

“Sebaik-baik doa adalah yang diungkapkan dari kesedihannya, kata seseorang.

 

“Jika kamu hendak memohon kepada Allah tentang kebutuhanmu, maka lakukanlah hari itu juga. Barang kali hari itu merupakan hari dikabulkan-Nya doamu,” fatwa sebagian ulama.

 

“Lidah para sufi pemula dilakukan dengan doa, sedangkan lidah orang-orang yang ahli hakikat adalah diam dari doa,” nasihat seorang sufi.

 

Muhammad Al-Wasithi pernah diminta untuk berdoa. Dia menjawab, “Saya takut jika berdoa, maka akan dikatakan kepadaku, Jika kamu meminta kepada Kami sesuatu yang ada pada Kami tetapi tidak Kami berikan, maka kamu akan menuduh Kami. Jika kamu meminta Kami sesuatu yang tidak Kami peruntukkan kepadamu, maka kamu akan mencela-Ku. Jika kamu mau, maka Kami akan memberikan sesuatu kepadamu yang telah Kami tentukan sejak dulu.”

 

Abdullah bin Mubarak mengatakan, “Saya tidak berdoa sejak lima puluh tahun yang lalu, dan saya tidak imgin didoakan siapapun.”

 

“Doa itu tangga orang-orang yang berdosa,” kata seorang ulama. “Doa itu koresponden. Selama koresponden berjalan terus, maka urusannya akan terlaksana dengan baik,” kata yang lain. “Lidah orang-orang yang berdosa adalah air mata mereka,” fatwa seorang ahli hikmah.

 

Saya mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Jika seorang berdosa menangis, sungguh ia telah mengirim surat kepada Allah. Dalam hal ini mereka mengartikan: Air mata pemuda yang menyesali perbuatan gilanya merupakan tafsiran tobatnya. Desis napasnya merupakan ungkapan apa yang tersimpan dalam hatinya.“

 

“Doa itu meninggalkan perbuatan dosa,” kata sebagian ulama. “Doa itu merupakan lidah kerinduan kepada kekasih,” pesan yang lain. “Merestui dengan doa lebih baik daripada memberikan Suatu hadiah,” nasihat seorang ulama.

 

Muhammad Al-Kattani berkata, “Allah tidaklah membuka lisan seorang mukmin untuk memohon maaf melainkan Allah ingin membuka pintu ampunan baginya.”

 

“Doa mengharuskan hadir dan pemberian mengharuskan pulang. Berdiri di depan pintu lebih sempurna daripada pergi meninggalkan pertemuan,” nasihat seorang ulama. “Doa itu menghadap kepada Yang Mahabenar dengan lidah malu,” kata yang lainnya. “Syarat doa itu meyakini ketentuan Allah dengan hati yang rela,” kata seseorang. Dikatakan pada seseorang, “Bagaimana kamu menunggu keterkabulan doa, sedangkan kamu telah menutup jalannnya dengan perbuatan dosa.”

 

“Doakan saya,” pinta seseorang kepada seorang ulama.

 

“Jangan mengandalkan orang lain untuk kamujadikan perantara antara kamu dan Allah,” tegurnya.

 

Abdurrahman bin Ahmad bercerita: Saya mendengar ayah bercerita tentang seorang wanita yang datang kepada Tagiy bin Mukhallad. Wanita itu mengadukan puteranya, “Puteraku telah ditawan tentara Romawi. Saya tidak mampu menebusnya dengan uang yang lebih dari harga tanah di dekat bukit itu. Saya bisa menjualnya. Saya mohon barangkali ada orang yang bersedia menebusnya. Sepanjang siang dan malam saya tidak bisa tidur. Hati saya tidak tenang. Saya nsau memikirkan keselamatan puteraku.”

 

“Ya, sekarang Ibu pulanglah lebih dulu sampai saya melihat persoalannya insya Allah,” janji Tagiy sedikit menghibur.

 

Saya kemudian mengetuk pintu rumah Syaikh Taqiy, kata ayah. Saya lihat dia sedang menggerak-gerakkan bibirnya (berdoa). Kemudian kami menunggu sebentar. Tiba-tiba muncul wanita tesebut bersama puteranya dan memanggil Syaikh dengan mengatakan, “Ia telah pulang dengan selamat dan ia ingin menceritakan sesuatu kepadamu.”

 

Pemuda itu pun menghadap dan bercerita, “Saya berada di dalam kekuasaan para penguasa Romawi bersama sekelompok tawanan yang lain. Setiap hari kami selalu dikawal tentara dengan ketat. Kami kemudian digiring ke gurun untuk dipekerjakan secaya paksa, dan setelah waktu istirahat tiba, kami diantarkan pulang ke tahanan dengan kaki dan kedua tangan dibelenggu. Suatu hari saat kami pulang dari bekerja setelah magrib bersama pengawal, tiba-tiba belenggu itu terlepas danjatuh ke tanah.” Kejadian itu bertepatan dengan kedatangan ibu pemuda itu kepada Syaikh. Dia kemudian melanjutkan ceritanya, “Pengawal saya terkejut. Dia datang kepada saya dan membentak keras. Kamu lepas bejenggu itu! katanya. Tidak, jawab saya. Ia terlepas sendiri dari kakiku. Pengawal itu heran dan bingung. Ia berbisik-bisik dengar! kawan-kawannya, kemudian mereka memanggil seorang tukang besi dan membelenggu kaki saya lagi lebih kuat. Ketika saya mejangkah beberapa tindak, belenggu ini pun terlepas lagi. Mereka semakin kebingungan dan tidak tahu harus berbuat apa. Tibatiba mereka mengambil keputusan untuk mengadukan persoalan itu kepada pendeta. Pendeta itu bertanya kepadaku. Apakah kamu punya seorang ibu, tanyanya kepadaku. Ya, jawabku singkat. Doanya telah dikabulkan, jelas pendeta itu kepadaku. Allah telah melepaskanmu dan kamu tidak mungkin dibelenggu lagi. Karena itu, antarkan saya dan bekalilah saya untuk datang kepada orang-orang Islam, katanya lagi.”

 

38. KEMISKINAN

 

Allah berfirman:

 

“Berinfaklah kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah. Mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi. Orang yang tidak tahu menyangka mereka adalah orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya. Mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan, apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 273)

 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi Saw. yang bersabda:

 

“Orang-orang miskin akan masuk surga sebelum orang-orang kaya dengan jangka waktu lima ratus tahun setengah hari.”

 

Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud bahwa Nabi Saw. bersabda:

 

“Orang-orang miskin adalah bukan orang-orang yang berkeliling untuk meminta sesuap atau dua suap makanan, satu biji atau dua biji kurma.’ Seorang bertanya: “Kalau begitu, siapakah mereka, wahai Rasulullah?” Nabi Saw. menjawab: “Orang yang tidak mendapatkan sesuatu yang bisa mencukupinya. Ia malu untuk meminta-minta kepada orang lain dan tidak mau disebutkan (daJam daftar) agar diberi sedekah,

 

Ustaz Syaikh berkata, “Arti sabda ‘malu meminta-minta kepada orang lain” adalah malu kepada Allah untuk meminta kepada orang lain, bukan malu kepada manusia. Kemiskinan adalah lambang para wali dan hiasan orang-orang suci, pilihan Allah kepada orang-orang istimewa yang bertakwa kepada-Nya dan para nabiNya. Orang-orang miskin adalah pilihan Allah, tempat rahasia-rahasia Allah untuk diperlihatkan kepada makhluk-makhlukNya. Lantaran mereka, Allah menjaga para makhluk-Nya. Lantaran berkah mereka, Allah meluaskan rezeki para makhlukNya. Orang-orang miskin yang sabar adalah kawan duduk Allah di hari kiamat. Oleh karena itu, Nabi Saw. bersabda:

 

‘Setiap segala sesuatu ada kuncinya, dan kunci surga adalah mengasihi orang-orang miskin. Orang-orang miskin yang sabar adalah kawan duduk Allah di hari kiamat. “

 

Alkisah, ada seorang pnia datang kepada Ibrahim bin Adham dengan membawa sepuluh ribu dirham, namun Ibrahim tidak mau menerimanya dengan mengatakan, “Kamu ingin menghapus nama saya dari catatan orang-orang miskin dengan sepuluh ribu dirham. Saya tidak akan melakukan hal itu.”

 

“Tidaklah Allah menghancurkan suatu kaum, walaupun mereka banyak beramal sampai mereka menghina dan merendahkan orang-orang miskin,” fatwa Mu’adz An-Nasafi.

 

Dikatakan, “Andaikata seorang miskin tidak mempunyai keutamaan, selain keinginan mereka agar orang-orang Islam dilapangkan dan dimurahkan rezekinya, itu sudah cukup bagi mereka. Sebab orang miskin itu ingin membeli harga itu, sedangkan orang kaya ingin menjualnya. Hal ini merupakan keistimewaan orang miskin biasa, lalu bagaimana dengan orang miskin yang mendapatkan keistimewaan?”

 

Yahya bin Mu’adz pernah ditanya tentang kemiskinan, laly dijawab, “Hakikat kemiskinan adalah hendaknya seseorang tidak merasa cukup kecuali dengan Allah dan menggambarkannya dengan tanpa sebab.” Ibrahim Al-Qashshar berkata, “ Kemiskinan adalah pakaian yang bisa menjadikan keridaan jika seorang hamba telah memahaminya.”

 

Pada tahun 394 atau 395 Hijriah Abu Ali Ad-Daqaq kedatangan tamu seorang miskin dengan membawa tenunan kain kasar dan sebuah topi. Sebagian teman kami berkata dengan nada gurau, “Berapa kamu membeli tenunan kasar ini?”

 

“Saya telah membelinya dengan dunia, lalu seseorang memintaku untuk menjualnya dengan akhirat, tapi saya tidak mau,” katanya.

 

“Orang miskin itu kemudian berdiri di suatu majelis,” kata Ustaz Abu Ali, “untuk meminta sesuatu dengan mengatakan, “Saya lapar sejak tiga hari. Sementara di tempat itu ada beberapa syaikh (ulama sufi). Mereka mengatakan dengan nada keras, ‘Kamu bohong! Sesungguhnya kemiskinan itu rahasia Allah dan Allah tidak akan meletakkan rahasia-Nya kepada orang yang membawanya kepada orang yang diingininya.

 

Hamdun Al-Qashshar mengatakan, “Jika iblis berkumpul dengan pasukannya. Mereka tidak merasa gembira seperti kegembiraannya terhadap tiga hal: orang mukmin yang membunuh mukmin yang lain, orang mati dalam keadaan kafir, dan hati orang yang takut terhadap kemiskinan.”

 

Al-Junaid menasihatkan, “Wahai orang-orang miskin, sesungguhnya kalian tahu Allah dan kalian dimuliakan karena Allah. Karena itu, lihatlah bagaimana kalian bersama Allah ketika berkhalwat dengan-Nya.”

 

“Manakah yang lebih sempurna, butuh kepada Allah atau merasa cukup dengan Allah?” tanya seseorang kepadanya.

 

“Jika telah benar kebutuhannya kepada Allah, maka telah benar perasaan cukupnya kepada Allah. Jika telah benar perasaan cukupnya dengan Allah, maka telah sempurna kecukupannya dengan Allah. Jangan dikatakan manakah yang lebih sempurna, miskin atau kaya? Karena keduanya merupakan suatu kondisi yang tidak bisa dipisahkan, jelas Al-Junaid.

 

Ruwaim bin Ahmad pernah ditanya tentang sifat orang miskin, lalu dijawab, “Mengirimkan jiwanya ke dalam hukumhukum Allah.” Kemudian dikatakan pula bahwa sifat orang miskin ada tiga: menjaga rahasia, melaksanakan kewajiban, dan menjaga kemiskinannya.

 

Pernah ditanyakan kepada Ahmad bin Isa Al-Kharraz, “Kenapa orang-orang kaya diakhirkan masuk surga setelah orang-orang miskin?”

 

“Karena tiga hal,” jawabnya. “Sesuatu yang menjadi miliknya tidak enak, mereka tidak bersenang-senang di dunia, dan orang-orang miskin ini menginginkan ujian dari Allah.”

 

Dikatakan, Allah pernah mewahyukan kepada Musa a.s., “Jika kamu melihat orang-orang miskin, maka mintalah kepada mereka seperti kamu meminta kepada orang-orang kaya. Jika tidak kamu lakukan, maka tanamlah segala sesuatu yang telah saya ajarkan kepadamu di bawah debu (tanah).”

 

Diriwayatkan dari Abu Darda’ yang mengatakan, “Jika saya jatuh dari atas istana hingga mati, akan lebih saya sukai daripada berkumpul dengan orang kaya karena saya pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:

 

Janganlah kamu duduk-duduk dengan orang-orang mati.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah orang-orang mati?’

 

Beliau menjawab, Orang-orang kaya.

 

Seseorang melaporkan kepada Ar-Rabi’ bin Khaitsam ten. tang harga-harga yang mahal, lalu dijawab, “Kita lebih menggam. pangkan Allah daripada melaparkan kita. Allah memang melaparkan para walinya.”

 

“Kami mohon kemiskinan, namun yang kita terima justru kekayaan. Orang-orang memohon kekayaan, namun yang diteri, ma justru kemiskinan,” kata Ibrahim bin Adham.

 

Yahya bin Mu’adz ditanya, “Apakah kemiskinan itu?”

 

“Takut pada kemiskinan,” jawabnya.

 

“Apakah kekayaan itu?”

 

“Merasa aman dengan Allah,” lanjutnya.

 

Ibnul Karaini berkata, “Sesungguhnya orang miskin yang jujur pasti menjaga dirinya dari kekayaan, karena ia berhati-hati menjaga dirinya jangan sampai kekayaan masuk ke dalam hidupnya sehingga merusak (makna) kemiskinan, sebagaimana orang kaya yang berhati-hati menjaga dirinya dari kemiskinan. Dia takut kemiskinan itu masuk kepadanya sehingga merusak kekayaannya.”

 

Abu Hafsh ditanya, “Karena apa orang miskin didahulukan oleh Allah?” Jawabnya, “Tiadalah orang miskin didahulukan oleh Allah kecuali karena kemiskinannya.”

 

Allah menurunkan wahyu kepada Musa a.s. dengan melemparkan pertanyaan kepadanya, “Apakah kamu ingin di hari kiamat nanti mempunyai kebaikan-kebaikan seperti yang dimiliki semua orang?”

 

“Ya.”

 

“Kunjungilah orang sakit dan pastikan bahwa orang-orang miskin punya pakaian,” jelas Allah.

 

Akhirnya, Musa a.s. setiap bulan berkeliling selama satu minggu untuk mendatangi orang-orang miskin dan membersihkan pakaian mereka sekaligus menengok mereka yang sakit.”

 

“Ada lima hal yang menjadi permata jiwa,” kata Sahal bin Abdullah. “Orang miskin yang menampakkan dirinya kaya, orang lapar yang menampakkan kenyang, orang sedih yang menampakkan baHagia, orang yang bermusuhan, namun ia menampakkan rasa cinta kepada yang dimusuhinya, dan orang puasa di siang hari dan salat di malam hari, tetapi ia tidak tampak lemah.”

 

Bisyr bin Al-Harits berkata, “Kedudukan yang paling utama adalah keyakinan yang tabah terhadap kemiskinan sampai masuk kuburan (mati).” Dzun Nun Al-Mishri berkata, “Tanda kemurkaan Allah kepada seorang hamba adalah kekhawatiran seorang hamba terhadap kemiskinan.” Menurut Dalf Asy-Syibli, tandatanda kemiskinan yang paling rendah adalah jika seseorang telah memiliki duria beserta isinya, lalu menafkahkannya dalam sehari, kemudian kondisinya menjadi sulit hanya karena ditahan sehari makanannya, maka dia bukanlah orang yang jujur kemiskinannya.

 

“Orang-orang telah membicarakan tentang kemiskinan dan kekayaan. Manakah yang lebih utama di antara keduanya?” tanya seseorang kepada Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq.

 

“Menurut saya yang paling utama jika seseorang diberi rezeki secukupnya, maka ia menjaganya dalam kondisi seperti itu,” jawabnya.

 

Ahmad bin Al-Jalla’ pernah ditanya tentang kemiskinan lalu dia diam sampai merasa tenang, kemudian pergi, dan tidak lama ia kembali seraya mengatakan, “Saya mempunyai empat keping uang seperenam dirham. Saya malu pada Allah untuk berbicara tentang kemiskinan. Saya keluarkan uang itu untuk dinafkahkan, kemudian saya duduk dan membahas kemiskinan.”

 

“Kapan orang miskin berhak mendapat prediket miskin?”

 

tanya Ibrahim bin Al-Muwallad kepada Ahmad bin Al-Jalla’

 

“Jika tiada sisa sedikit pun pada dirinya,” jawab Ahmad.

 

“Bagaimana jelasnya?”

 

“Jika mempunyai sesuatu, ia tidak mengambilnya. Jika tidak mempunyai, ia rela menerima hal itu.”

 

Kemiskinan yang benar terjadi jika orang yang miskin tidak membutuhkan sesuatu ketika ia dalam keadaan miskin kecuali butuh pada orang yang bisa menjadikannya miskin. Abdullah bin Al-Mubarak mengatakan bahwa menampakkan diri sebagai orang kaya ketika dalam keadaan miskin lebih baik daripada kemiskinan.

 

Alkisah, ketika Banan Al-Mishri duduk di Mekkah, di hadapannya ada seorang pemuda. Lalu datang seseorang kepadanya dengan membawa sekantong uang dirham dan meletakkannya di hadapan pemuda itu.

 

“Saya tidak butuh uang itu,” jawab pemuda itu.

 

“Kalau begitu, bagikan kepada orang-orang miskin,” tawar si pembawa uang.

 

Ketika malam tiba, Banan Al-Mishri melihat orang tersebut berada di lembah sedang mencari sesuatu untuk kebutuhannya sendiri.

 

“Seandainya kamu menyisakan sedikit uang yang kamu bawa tadi untuk kebutuhamu …,” kata Banan setengah mengingatkan.

 

“Saya tidak tahu bahwa saya akan hidup sampai saat ini,” jawabnya.

 

Berkata Abu Hafsh, “Sebaik-baik perantara seorang hamba kepada Tuhannya adalah keabadian kemiskinan dalam segala kondisi, menetapi sunnah dalam semua perbuatan, dan mencari kehidupan dengan cara halal.“

 

Abdullah Al-Murta’isi berkata, “Sebaiknya seorang miskin jangan punya cita-cita yang mendahului keadaannya sekarang.”

 

Ahmad bin Muhammad Ar-Rusbari berkata, “Ada empat macam orang di masa mereka. Pertama, seorang yang tidak mau menerima apapun dari saudaranya atau pun penguasanya. Dia itu adalah Yusuf bin Asbath. Dia menerima warisan dari ayahnya sebanyak tujuh puluh dirham, tapi tidak mau mengambilnya sedikit pun. ia bekerja sebagai penjual daun kurma. Kedua, seorang yang mau menerima dari saudaranya juga dari penguasanya. Dia itu adalah Abu Ishaq Al-Fazzari. Dia berkenan mengambil pemberian dari saudara-saudaranya untuk disedekahkan kepada orang-orang yang menutup dirinya (mastur) yang tidak bekerja. Adapun bantuan yang diterima dari para penguasa dia keluarkan untuk penduduk Tharsus.’ Ketiga, seorang yang mau menerima bantuan dari saudara-saudaranya, tapi tidak mau mengambil bantuan dari penguasa. Dia itu adalah Abdullah Al-Mubarak. Dia menerima bantuan dari saudaranya dan dipergunakan untuk membiayai semua kebutuhan. Keempat, seorang yang mau menerima bantuan dari penguasa, tetapi tidak mau menerima bantuan dari saudara-saudaranya. Dia adalah Mukhallad bin Al-Husin. Penguasa itu tidak menerima pemberian, sedangkan saudara itu berhak menerima pemberian,“ katanya.

 

Saya mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq, semoga Allah merahmatinya, berkata, “Barangsiapa yang merendah kepada orang kaya karena kekayaannya, maka hilanglah dua pertiga agamanya. Demikian itu adalah seorang yang terbawa oleh hati, lisan, dan jiwanya. Jika merendahkan diri kepada orang kaya hanya dengan jiwa dan lisannya, maka hal itu juga menghilangkan dua pertiga agamanya. Jika meyakini keutamaan orang kaya dengan hatinya sebagaimana ia merendahkan diri dengan lisan dan jiwanya, maka hilanglah semua agamanya.”

 

Dikatakan bahwa seorang miskin paling tidak harus menetapiempat hal: Ilmu yang menghiasinya, sikap wara’ yang membentenginya, keyakinan yang menghalaunya, dan zikir yang selalu dilakukannya.

 

Barangsiapa yang menginginkan kemiskinan karena ingin mendapatkan kemuliaan, ia akan mati dalam keadaan miskin. Barangsiapa yang menginginkan kemiskinan dengan tujuan supaya ibadahnya kepada Allah tidak terganggu, maka ia akan mati kaya.

 

Ali Al-Muzayyin berkata, “Jalan untuk menuju kepada Allah lebih banyak daripada jumlah bintang di langit. Akan tetapi, jalan yang paling benar tidak ada kecuali jalan kemiskinan.”

 

Dalf Asy-Syibli pernah ditanya tentang hakikat kemiskinan, maka jawabnya, “Hendaknya jangan merasa cukup dengan sesuatu selain Allah.”

 

Manshur bin Khalaf Al-Maghribi bercerita bahwa Abu Sahaj Al-Kasysyab Al-Kabir pernah menuturkan sesuatu kepadanya.

 

“Kemiskinan itu selalu butuh dan hina,” katanya. “Tidak,” sanggah Manshur, “akan tetapi miskin dan mulia.”

 

“Miskin dan kaya,” kata Abu Sahal. “Tidak, akan tetapi miskin dan luhur,” tegas Manshur.

 

Saya mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Saya ditanya tentang hadis Rasulullah Saw. yang berbunyi:

 

Kemiskinan itu hampir bisa menjadikan kafir.

 

Lalu saya jelaskan bahwa bencana tidaknya sesuatu adalah tergantung keutamaan dan kedudukannya. Jika dalam jiwanya lebih utama, maka bencananya lebih sedikit, sebagaimana iman. Jika iman itu adalah yang termulia, maka lawannya adalah kafir.

 

Akan tetapi, jika kemiskinan itu justru bisa dipertaruhkan untuk menangkis bahaya kekafiran, maka kemiskinan itu adalah sifat yang paling mulia.”

 

Al-Junaid berkata, “Jika kamu bertemu dengan seorang miskin, maka berilah dia kasih sayang. Jangan kamu beri ilmu karena kasih sayang itu bisa melunakkannya, sedangkan ilmu bisa menjadikannya buas.”

 

“Wahai Abul Qasim, apakah ada seorang miskin yang menjadi buas karena ilmunya?” tanya seseorang.

 

“Ya, orang yang miskin jika benar-benar jujur dalam kemiskinannya, kemudian kamu berikan ilmu kepadanya, maka ia akan larut dan meleleh seperti lelehnya timah dalam api,” jelasnya.

 

Mudzaffar Al-Qaramsini berkata, “Orang miskin adalah orang yang tidak minta kebutuhan kepada Allah.”

 

Ustaz Abul Qasim berkata, “Kata-kata ini agak sedikit kabur. Maksud pembicaraannya adalah tidak adanya tuntutan kepada Allah, tidak mengajukan pilihan, bahkan puas dan rela dengan ketentuan dari Allah.”

 

Abu Abdullah bin Khafif berkata, “Miskin itu tidak memiliki apa-apa juga tidak memiliki sifat apapun.”

 

“Tidak benar kemiskinan seseorang sampai ia merasa lebih senang memberi daripada menerima, dan kedermawanan bukanlah orang kaya yang memberi orang miskin. Akan tetapi, kedermawanan itu adalah orang miskin yang memberi orang kaya,” kata Abu Hafsh.

 

Ahmad bin Al-Jalla’ berkata, “Kalau bukan karena kemuliaan tawaduk, pastilah seorang miskin akan berjalan dengan gaya yang sombong.”

 

Yusuf bin Asbath berkata, “Sejak empat puluh tahun saya belum pernah memiliki dua gamis (baju Arab yang panjang).”

 

Alkisah, seorang ulama sufi bermimpi. Dalam mimpi tersebut diceritakan bahwa dia bertemu dengan dua orang kawannya saat hari kiamat tiba. Sebuah suara memberi instruksi malaikat. “Masukkanlah Malik bin Dinar dan Muhammad bin Wasi’ ke dalam surga,” kata suara itu. Ulama sufi itu memperhatikan siapakah yang lebih dulu masuk surga di antara keduanya. Ternyata Muhammad bin Wasi lebih dulu masuk. Dia ingin tahu rahasianya, maka ia tanyakan apa sebab ia lebih dulu masuk surga. “Karena Muhammad bin Wasi hanya mempunyai satu gamis, sedangkan Malik mempunyai dua gamis,” jawabnya.

 

Muhammad Al-Masuhi berkata, “Orang miskin adalah orang yang tidak terlihat butuh pada perantara apapun.”

 

“Kapan seorang miskin akan beristirahat?” tanya seseorang kepada Sahal bin Abdullah.

 

“Jika dirinya tidak terlihat kecuali dalam kondisi saat dia berada,” jawabnya.

 

Kemiskinan dan kekayaan pernah dibahas para ulama sufi dengan Yahya bin Mu’adz. Mereka menanyakan hakikatnya ke. padanya, lalu dijawab, “Kemiskinan dan kekayaan tidak bisa diukur esok harinya, akan tetapi diukur dengan kesabaran dan syukur. Karena itu, biasa dikatakan lihatlah syukur dan sabarnya.”

 

Dikatakan bahwa Allah telah memberi wahyu kepada para nabi-Nya, “Jika kamu ingin melihat keridaan-Ku kepadamu, maka lihatlah keridaan orang-orang miskin kepadamu.”

 

Ahmad bin Nashr Az-Zaggag Al-Kabir berkata, “Barangsiapa yang tidak disertai takwa dalam kemiskinannya, maka ia akan makan makanan yang benar-benar haram.”

 

“Sesungguhnya orang-orang miskin yang ada di majelis Sufyan Ats-Tsauri seperti para pemimpin,” kata sekelompok orang.

 

Abu Bakar bin Tahir berkata, “Termasuk ciri khas orang miskin adalah tidak memiliki keinginan. Jika harus mempunyai keinginan, ia tidak melampui batas keinginannya kecuali secukupnya.” Ibnu Atha’ mensyairkan dalam baitnya:

 

Mereka berkata, esok adalah hari raya apa yang akan kau pakai? katakanlah, jubah kehormatan yang diberi-Nya yang mencurahkan cinta dengan penuh kemurahan hati

Kemiskinan dan kesabaran adalah pakaianku yang di bawahnya ada satu hati bagi kekasihnya yaitu hari Jumat dan hari raya

Pakaian yang paling pas untuk memenuhi Kekasih pada hari ziarah adalah pakaian yang dicintai-Nya

Tahun-tahun penuh berkabung bagiku jika Kau tak ada Wahai harapanku

Hari raya adalah hari ketika aku melihat dan mendengar suara-Mu

 

Berkata Abu Bakar Al-Mishri ketika ditanya tentang orang-orang miskin yang tulus, yaitu orang yang tidak mempunyai apa-apa dan tidak cenderung kepada apapun

 

Dzun Nun Al-Mishri berkata, “Selalu butuh kepada Allah dengan memakan makanan yang tidak enak lebih baik bagiku daripada selalu suci disertai dengan ujub.”

 

Abu Abdullah Al-Hashri berkata, “Abu Ja’far Al-Haddad pernah tinggal selama dua puluh tahun di suatu tempat. Setiap harinya bekerja mendapatkan upah satu dinar lalu dia nafkahkan kepada orang-orang miskin. la berpuasa dan keluar antara waktu magrib dan isya untuk memberikan sedekah dari pintu ke pintu.”

 

Ahmad An-Nuri berkata, “Orang miskin itu jika tidak ada, ia diam. Jika memiliki sesuatu, ia menafkahkannya dan lebih mengutamakan orang lain.”

 

Muhammad bin Ah Al-Kattani berkata, “Di Mekkah, semoga Allah senantiasa melindunginya, ada seorang pemuda yang mengenakan kain yang sudah usang. Ia tidak mau masuk dan berkumpul dengan kami. Saya merasa senang kepadanya dan hati saya terbuka untuk memberikan uang dua ratus dirham dengan cara halal. Saya bawa uang itu kepadanya dan saya letakkan di ujung sajadahnya sambil mengatakan, Saya ingin memberikan uang itu kepadamu dengan halal. Kamu dapat membelanjakannya untuk keperluanmu. Pemuda itu memandang saya dengan melirik atau berpaling dengan marah, kemudian tangannya membuka tutup kantong pemberianku. “Saya telah membeli tempat duduk bersama Allah ini dengan tujuh puluh ribu dinar tanpa sia-sia dan tanpa mengambil keuntungan. Apakah kamu ingin menipuku dengan ini? katanya marah. Dia berdiri tegak sambil menghamburkan uang pemberian saya. Sementara saya duduk mengambili uang itu. Sungguh saya benar-benar melihatnya sangat mulia ketika berjalan. Kemudian pandangan saya mengarah kepada diriku yang kulihat sangat hina ketika mengambil dan mengumpulkan uang yang tercecer.”

 

Abu Abdullah bin Khafif berkata, “Selama empat puluh tahun saya tidak wajib mengeluarkan zakat fitrah, dan saya mempunyai penerimaan yang besar antara orang istimewa dan orang awam.”

 

Muhammad Ad-Daqqi pernah ditanya tentang adab orang-orang miskin yang buruk terhadap Allah dalam beberapa kondisi. Dia menjawab, “Mereka turun dari hakikat ilmu.”

 

Khair An-Nasa’i berkata, “Saya pernah masuk mesjid. Tiba-tiba di mesjid itu ada seorang miskin. Ketika melihatku, dia merangkulku seraya berkata, “Wahai Syaikh, kasihanilah saya. “Cobaan saya sangat besar.

 

“Cobaan apa?’

 

“Saya telah kehilangan ujian (balak). Saya sekarang menjadi kuat dan sehat.’

 

Saya lihat dia membuka sesuatu yang di dalamnya terdapat hartanya.”

 

Muhammad bin Umar Al-Warraq berkata, “Beruntunglah Orang miskin, baik di dunia maupun di akhirat.”

 

Orang-orang bertanya heran. Mengapa bisa begitu, kata mereka.

 

“Dia beruntung di dunia karena tidak dimintai pajak oleh penguasa, dan beruntung di akhirat karena Allah tidak menghisabnya,” jawabnya.

 

39. TASAWUF

 

Ustaz Asy-Syaikh berkata, “Bersih (tulus) itu terpuji oleh semua lisan, dan lawannya adalah kotor yang tercela.”

 

Diriwayatkan dari Yazid bin Abu Ziyad dari Abu Juhaifah yang berkata bahwa Rasulullah Saw. perah datang kepada kami yang wajahnya tampak seperti marah, lalu bersabda:

 

“Telah hilang kebersihan dunia. Tinggal keruhnya. Maka, mati hari ini adalah sesuatu yang mahal bagi setiap muslim.

 

Ustaz Asy-Syaikh berkata, “Nama ini (tasawuf) telah melekat pada kelompok ini, sehingga dikatakan, dia seorang sufi. Jika kelompok mereka itu shufiyah (orang-orang sufi), maka jika seseorang telah mencapai nama ini, dia itu disebut mutasawwif. Bentuk pluralnya mutashawwifah. Nama ini menurut bahasa Arab bukan termasuk kias atau istigag (kata pecahan atau jadian). Nama ini semacam julukan. Adapun ucapan yang mengatakan, ‘Ini dari bahan wol (shuf)’, jika kata itu diambil dari kata tashawwafa. Artinya, memakai baju wol, sebagaimana kata taqammasha (dari kata qarnis) yang berarti memakai baju gamis. Ini dari satu sisi. Akan tetapi, orang-orang Arab tidak mengkhususkan makna tashawwafa dengan mengenakan pakaian wol. Ada yang mengatakan, ‘Mereka (mutashawwifah) adalah orang-orang yang dinisbatkan pada sifat masjid Rasulullah Saw. Padahal perusbatan pada sifat ini bukan untuk para sufi. Sedangkan pendapat yang mengatakan, ‘Kata tashawwuf itu diambil dari kata ash-shaofa’ yang berarti ketulusan.’ Kata-kata ini sangatlahjauh jika ditinjau dari pecahan kata asli menurut bahasa Arab. Ada yang mengatakan tashawwuf berasal dari kata shaff (barisan) terdepan di hadapan Allah karena ketulusun hatinya. Makna ini memang benar, namun dari segi bahasa tidak sesuai dengan penisbatan pada kata shaff. Kemudian kelompok ini memang sangat terkenal dan banyak orang yang menanyakan arti tasawuf itu sendiri. Siapakah sufi itu? Maka, masing-masing orang mengungkapkan pengertian seperti ini, dan kami akan menguraikan pendapat mereka dengan jelas.”

 

Ahmad Al-Jariri pernah ditanya tentang tasawuf, maka jawabnya, “Memasuki dalam semua akhlak nabi dan keluar dari semua akhlak yang tak terpuji.”

 

Al-Junaid ditanya tentang tasawuf, jawabnya, “Yaitu kebenaran yang kamu palingkan dapat mematikanmu, dan dengan kebenaran ini dapat menghidupkanmu.”

 

Al-Husin bin Manshur ditanya tentang seorang sufi, jawabnya, “Orang yang berkepribadian tunggal, tidak mencium seseorang dan tidak dicium orang.

 

Abu Hamzah Al-Baghdadi berkata, “Tanda seorang sufi yang tulus adalah keberadaan seseorang yang menjadi miskin setelah kaya, menjadi hina setelah jaya, dan menjadi tersembunyi setelah terkena!. Tanda seorang sufi yang dusta adalah keberadaan sese. orang yang menjadi kaya setelah miskin, menjadi jaya setelah hina, dan menjadi terkenal setelah tersembunyi.” .

 

Arar bin Utsman Al-Makki pernah ditanya tentang tasawuf, lalu dijawab, “Seorang hamba yang setiap waktu meningkat kebaikannya.”

 

Muhammad bin Ali Al-Oashshab berkata, “Tasawuf itu adalah akhlak yang terpuji, yang tampak di masa yang mulia, dari seorang yang mulia, bersama dengan orang-orang yang mulia.”

 

Sumnun pernah ditanya tentang tasawuf, jawabnya, “Janganlah memiliki sesuatu dan janganlah dimiliki sesuatu.”

 

Ruwaim pernah ditanya tentang tasawuf, jawabnya, “Jiwa yang menurut kepada Allah sesuai dengan kehendak-Nya.:.”

 

Al-Junaid pernah ditanya tentang tasawuf, lalu jawab, “Hendaklah kamu bersama Allah saja, tidak punya hubungan lain.”

 

Ruwaim bin Ahmad berkata, “Tasawuf itu dibangun atas tiga hal: Berpegang teguh dengan kemiskinan dan menjadi miskin, suka memberi dan lebih mengutamakan orang lain daripada dirinya sendiri, menutup diri dan penuh pasrah pada Allah.”

 

Menurut Ma’ruf Al-Karkhi, tasawuf itu mengambil hakikat dan berputus asa dari apa yang ada pada tangan makhluk. Hamdun Al-Qashshar mengatakan, “Bagi orang-orang sufi kejelekan banyak alasannya, tetapi kebaikan bukan merupakan kebanggaan mereka. Mereka menghormati seseorang karena kebaikan.” Al-Kharraz pernah ditanya tentang orang-orang ahli tasawuf, jawab nya, “Mereka adalah orang-orang yang telah diberi Allah sehingga dilimpahi dengan nikmat-nikmat-Nya dan hal-hal yang luar biasa. Mereka tenang bersama Allah. Mereka tidak berpaling dari Allah sehingga tidak peduli dengan dirinya sampai meninggal, kemudian mereka dipanggil! dari jiwa-jiwa yang lembut, Ingatlah, menangislah karena ditinggal mereka.”

 

Al-Junaid berkata, ‘ Tasawuf merupakan sikap tunduk yang tidak ada kompromi sama sekali.” Katanya lagi, “Mereka itu adalah keluarga satu rumah yang tidak pernah dimasuki orang lain.”

 

“Tasawuf itu pikiran yang penuh dengan konsentrasi satu, hati yang bersandar kepada Allah, dan perbuatan yang bersandar pada kitabullah dan sunnah rasul-Nya,” kata seorang ulama. orang sufi itu seperti tanah, setiap kejelekan (kotoran) dilemparkan kepadanya, tapi tanah itu masih tetap membuahkan yang baik,” kata sebagian yang lain. “Orang sufi itu seperti bumi yang diinjak oleh orang baik dan orang yang jelek, atau seperti mendung yang menutupi (mengayomi) segala sesuatu yang ada, dan seperti tetesan air yang menyirami semuanya,” kata lainnya. “Jika kamu melihat seseorang yang zhahirnya sufi, maka ketahuilah bahwa batinnya keropos,” kata lainnya lagi. ‘

 

Sahal bin Abdullah berkata, “Orang sufi adalah orang yang melihat darahnya sendiri sia-sia dan segala miliknya dihalalkan untuk orang lain.”

 

“Sifat orang sufi adalah tenang jika miskin dan lebih mengutamakan orang lain jika mempunyai sesuatu,” kata Ahmad AnNuri. “Tasawuf adalah akhlak, maka barangsiapa yang bertambah baik akhlaknya, maka akan bertambah mantap tasawufnya (semakin bersih jiwanya),” kata Muhammad bin Al: Al-Kattani. “Tasawuf itu menetap di pintu kekasih (Allah) walaupun ia terusir (karena dosanya),” kata Ahmad bin Muhammad Ar-Rudzabari. “Kebersihan hati yang dekat pada Allah adalah setelah jauh dari Allah karena kotoran dosa.” katanya lagi.

 

“Orang yang paling buruk adalah seorang sufi yang bakhil,” kata seorang ulama. “Tasawuf adalah tangan yang kosong (banyak memberi sampai habis) dan hati yang baik,” kata sebagian ulama.

 

Dalf Asy-Syibli berkata, “Tasawuf adalah duduk bersama Allah tanpa merasa sedih sedikit puti.

 

Dikatakan bahwa sufi adalah  seseorang yang menunjukkan kebenaran tentang Allah karena makhluk itu butuh Allah.

 

Dalf Asy-Syibli berkata, “Seorang sufi itu terputus dari makhluk dan bersambung dengan Allah, sebagaimana dalam firman-Nya:

 

“Dan Aku telah memilihmu untuk diri-Ku’ (QS. Thaha: 41)

 

“Ia memutuskan segala hubungan dengan selain Allah, kemudian berkata, ‘Kamu tidak akan melihatku. ”

 

“Orang-orang sufi adalah anak-anak kecil yang berada di pangkuan Allah,” katanya lagi. “Sedangkan tasawuf itu seperti kilat yang mampu membakar,” lanjutnya.

 

Dikatakan bahwa tasawuf merupakan benteng diri dari memandang dunia. Ruwaim bin Ahmad berkata, “Orang-orang sufi tetap baik walaupun mereka dimusuhi. Jika mereka telah damai (takut dimusuhi), maka tiadalah kebaikannya.”

 

Ahmad Al-Jariri berkata, “Tasawuf selalu mengoreksi hal ihwal dirinya dan menetapi sopan santun.” “Tasawuf tunduk pada kebenaran,” kata Ali Al-Muzayyin. “Orang sufi (orang yang bersih) tidak bisa dikotori suatu apapun, bahkan semua yang keruh menjadi jernih karena dia,” kata Askar An-Nakhsyabi.

 

Dikatakan bahwa orang sufi tidak diikuti tuntutan dan tidak terganggu oleh sebab.

 

Dzun Nun Al-Mishri pernah ditanya tentang orang-orang sufi, lalu dijawab, “Yaitu orang-orang yang mengutamakan Allah daripada lainnya, sehingga Allah lebih mengutamakan mereka daripada lainnya.”

 

Muhammad Al-Wasithi berkata, “Manusia yang telah mempunyai tanda-tanda (isyarat), kemudian terjadi pelanggaran sehingga tiada akibatnya selain penyesalan.”

 

Ahmad An-Nuri pernah ditanya tentang seorang sufi, lalu dijawab, “Yaitu orang yang mendengarkan apa yang didengar dan lebih mendahulukan sebab.”

 

Abu Nashr As-Siraj Ath-Thusi berkata, “Saya bertanya Ali Al-Hushri, “Siapakah orang sufi itu menurutmu?’ Jawabnya, ‘Orang sufi adalah orang yang tidak menginjak bumi dan tidak dinaungi langit.”

 

Ustaz Abul Qasim Al-Qusyairi berkata, “Akan tetapi, dia mengisaratkan kepada kondisi penghapusan.”

 

Dikatakan bahwa orang-orang sufi jika berhadapan dengan dua hal yang sama-sama baik, dia selalu mengerjakan yang terbaik.

 

Dalf Asy-Syibli pernah ditanya, “Kenapa mereka memberi nama dengan nama ini (sufi)?” Lalu dijawab, “Karena masih ada jiwa mereka yang tersisa, kalau bukan karena hal itu, pastilah tidak ada lagi hubungan nama (sufi) dengan mereka.”

 

Ahmad bin Al-Jalla’ ditanya, “Apakah arti sufi?” jawabnya, “Kami tidak mengetahuinya dalam syarat ilmu pengetahuan, akan tetapi kami mengetahui bahwa sufi itu adalah orang yang benar-benar miskin dari sebab. Dia selalu bersama Allah tanpa tempat, dan Allah tidak kesulitan mengetahuinya di segala tempat. Dia adalah orang sufi.”

 

Abu Ya’qub Al-Muzabili berkata, “Tasawuf adalah suatu kondisi yang hilang dari dunia manusia.”

 

Abul Hasan As-Sirwani berkata, “Orang sufi itu orang yang mengikuti aturan sufi bukan membaca wirid.“

 

Saya mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq, semoga Allah merahmatinya, berkata, “Sebaik-baik ucapan dalam bab ini adalah ucapan orang yang mengatakan, Jalan ini tidak patut kecuali bagi orang-orang yang lurus. Sungguh Allah telah menyapu bersih kotoran mereka dengan jiwa mereka.

 

Katanya lagi di suatu hari, “Seorang miskin tiadalah yang dimilikinya selain jiwa, lalu dihadapkan kepadanya anjing-anjing perjaga pintu, namun tidak ada satu anjing pun yang melihatnya.”

 

Abu Sahal Ash-Sha’luki berkata, “Tasawuf berpaling dari semua rintangan.” Ali Al-Hushri berkata, “Seorang sufi itu tidak ada setelah hilang, dan tidak hilang setelah ada.“

 

Ustaz Abul Qasim Al-Qusyairi berkata, “Maksud ucapan ‘tidak ada setelah hilang, dari tidak hilang setelah ada’ adalah jika telah hilang perbuatan-perbuatan tercelanya, maka tidak akan terulangi lagi, dan jika telah sibuk dengan Allah, maka tidak bisa terganggu oleh makhluknya. Apapun yang terjadi tidak mempengaruhinya sedikit pun.”

 

Dikatakan bahwa orang sufi adalah orang yang mencabut semua kejelekan sampai akarnya, dan menggantinya dengan apa saja yang benar. “Orang sufi dipaksa untuk memurnikan ketuhanan dan tertutup dengan perbuatan ibadahnya,” kata seorang sufi. “Orang sufi tidak berubah. Jika harus berubah, perubahan Itu tidak sampai menjadikannya kotor,” kata sebagian sufi lain.

 

40. KESOPANAN

 

Allah berfirman:

 

“Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu tidak (pula) melampuinya.” (QS. An-Najm: 17)

 

Dikatakan bahwa Nabi Saw. sangat menjaga hal itu karena untuk menetapi hak-hak Allah.

 

Allah berfirman:

 

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”

 

(QS. At-Tahrim: 6)

 

Diterangkan dalam buku tafsir yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan, “Ajarilah mereka sampai pandai dan didiklah kesopanan.”

 

Diriwayatkan dari Aisah r.a. dari Nabi Saw. bersabda:

 

“Hak anak dari ayahnya adalah hendaknya sang ayah memberi kepadanya nama yang baik, memberi penyusuan yang baik, dan memberikan pendidikan moral yang baik.”

 

Diriwayatkan dari Sa’id bin Al-Musayyab berkata, “Barangsiapa yang tidak mengetahui hak-hak Allah terhadap dirinya dan tidak beradab dengan perintah dan larangannya, maka ia akan terisolir.”

 

Diriwayatkan dari Nabi Saw. yang bersabda:

 

“Sesungguhnya Allah telah mendidikku dan sangatlah baik pendidikan-Nya padaku.”

 

Hakikat kesopanan (adab) adalah keterkumpulan kebaikan. Seorang yang beradab adalah orang yang telah mengumpulkan segala kebaikan, termasuk di antaranya pemberian jamuan.

 

Saya mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq, semoga Allah merahmatinya, berkata, “Dengan ketaatan, seorang hamba sampai pada surga. Dengan adab, seorang hamba sampai pada ketaatan.” “Saya pernah melihat seseorang yang ketika salat, hendak memegang hidungnya, lalu ia tahan tangannya,” katanya lagi.

 

Ustaz Abul Qasim Al-Qusyairi bercerita, “Ustaz Abu Ali tidak senang bersandar pada suatu apapun. Di suatu pertemuan saya ingin memberikan sebuah bantal agar dibuat bersandar dj punggungnya karena saya lihat ia tidak bersandar. Ketika saya meletakkan bantal, ia menjauhi sedikit dari bantal tersebut. Saya pikir ia tidak mau bantal karena bantal tidak ada sarungnya. ‘Saya tidak ingin bersandar, katanya. Sejak saat itu saya tahu bahwa ia memang tidak mau bersandar kepada sesuatu apapun.”

 

Al-Jalajili Al-Bashri berkata, “Tauhid itu selalu berbarengan dengan iman. Barangsiapa yang tidak punya iman, maka ta tidak punya tauhid. Iman berbarengan dengan syariat. Barangsiapa yang tidak punya syariat, maka ia tidak punya iman juga tidak punya tauhid. Syari’at itu selalu berbarengan dengan adab (tata krama). Barangkali yang tidak punya adab, maka ia tidak punya syariat, tidak punya iman, dan tidak punya tauhid.”

 

Ibnu Atha’ berkata, “Adab itu perbuatan yang berbarengan dengan hal-hal yang baik.” .

 

“Apa maksudnya?”

 

“Hendaknya kamu memperiakukan tindakanmu di hadapari Allah dengan sopan santun, baik di tempat tersembunyi atau pun terbuka. Jika kamu mampu berbuat begitu, maka kamu ada: lah seorang yang beradab walaupun kamu orang asing,” jawab: nya sambil mendendangkan syair:

 

Jika kamu berbicara maka akan datang kepadamu segala keindahan

jika kamu berdiam diri maka akan datang kepadamu semua yang manis

 

Abdullah Al-Jariri berkata, “Sejak dua puluh tahun yang lalu saya tidak pernah menjulurkan kaki ketika duduk dalam khalwat karena menjaga adab yang baik di hadapan Allah adalah lebih diutamakan.”

 

Saya mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Barangsiapa yang bergaul dengan raja dengan tanpa adab, maka iaakan menyerahkannya kepada orang bodoh untuk membunuhnya.”

 

“Adab apakah yang paling mendekatkan diri kepada Allah?” tanya seseorang kepada Ibnu Sirin.

 

“Mengetahui ketuhanan-Nya, berbuat baik kepada-Nya, memuji-Nya ketika dalam keadaan senang dan tabah ketika dalam keadaan susah,” jawab Ibnu Sirin.

 

Menurut Yahya bin Mu’adz, seorang arif jika tidak bersopan santun di hadapan orang yang seharusnya ia berbuat sopan, sungguh ia akan binasa bersama orang-orang yang binasa. Saya mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Meninggalkan sopan santun adalah suatu sebab yang menjadikannya harus diusir. Barangsiapa berakhlak buruk di dalam suatu ruangan, ia akan diusir ke pintu. Barangsiapa berakhlak buruk, maka ia akan diusir ke tempat binatang.”

 

Ditanyakan kepada Hasan Bashri, “Orang-orang telah banyak yang mempelajari sopan santun, maka apa manfaatnya sekarang ini dan apa hubungannya kelak?”

 

“Mempelajari agama, zuhud di dunia, dan mengetahui hakhak Allah,” jawabnya.

 

“Barangsiapa yang beradab dengan adab Allah, maka ia akan menjadi orang yang cinta Allah,” jelas Yahya bin Mu’adz.

 

“Sungguh orang-orang telah minta tolong pada Allah untuk menunaikan perintah-Nya dan mereka tabah karena Allah untuk tetap bersikap sopan kepada-Nya,” kata Sahal bin Abdullah.

 

“Kami lebih membutuhkan sedikit sopan santun daripada ilmu yang banyak,” kata Abdullah bin Mubarak.

 

“Kami mencari sopan santun ketika kami kehilangan orang-orang yang mendidik kesopanan,” jelasnya kemudian.

 

Tiga hal yang tidak menjadikan seseorang terasing: menjauhi orang yang bimbang, berbuat kesopanan, dan tidak menyakiti orang lain. Dalam hal ini Syaikh Abdullah mensyairkan dalam nasihatnya.

 

tiga hal jika seorang asing berhias dengannya ia tidak akan menjadi asing

pertama bersikap sopan

kedua bersikap baik pada orang lain

ketiga menjauhi orang yang bimbang

 

Ketika Abu Hafsh memasuki Kota Bagdad, Al-Junaid berkata kepadanya, “Sungguh engkau telah bersikap sopan sekali terhadap sahabat-sahabatmu seperti adab keraton.”

 

“Bersikap sopan dan baik dalam penampilannya adalah menunjukkan kesopanan batinnya yang baik,” sahutnya.

 

“Sopan santun bagi orang ahli ma’rifat seperti tobat orang yang baru memulai,” kata Abdullah bin Mubarak.

 

Saya pernah mendengar Manshur bin Khalaf Al-Maghribi menyapa sekelompok orang dengan sapaan, “Hai orang-orang yang berakhlak buruk!”

 

“Kami bukan orang yang berakhlak buruk.”

 

“Siapakah yang mendidikmu?”

 

“Orang-orang sufi,” jawab Manshur.

 

Abu Nashr As-Siraj Ath-Thusi berkata, “Sopan santun dalam pergaulan manusia ada tiga tingkatan. Orang-orang ahli dunia kebanyakan adab mereka adalah tutur kata yang fasih, indah, menjaga pengetahuan, menjaga nama-nama raja dan kemashuran bangsa Arab. Sedangkan orang-orang ahli agama kebanyakan adab mereka adalah melatih jiwa, mendidik anggota tubuh, menjaga batas-batas hukum, dan meninggalkan hawa nafsu. Adapun orang-orang khusus, kebanyakan adab mereka adalah kesucian hati, menjaga rahasia, menepati janji, menjaga waktu, jarang terpengaruh oleh kondisi buruk, bersopan santun di hadapan Allah waktu bermunajat, dan mendekatkan diri.”

 

Sahal bin Abdullah berkata, “Barangsiapa memaksa dirinya dengan adab, maka ia benar-benar beribadah kepada Allah dengan ikhlas.”

 

Dikatakan, “Tiada kesempurnaan adab yang sempurna kecuali adab pa:a nabi dan orang-orang ahli kebenaran.”

 

“Sungguh orang-orang telah banyak berbuat kesopanan, sedangkan kami mengatakan, kescpanan yang sebenarnya adalah mengetahui jiwa,” kata Abdullah bin Mubarak.

 

Dalf Asy -Syibli berkata, “Berkata panjang lebar dengan Allah termasuk kurang sopan.”

 

Dzun Nun Al-Mishri berkata, “Adab orang-orang ahli ma’rifat berada di atas segala adab karena mereka dikenal sebagai orang yang pandai mendidik hatinya.”

 

Menurut sebagian ahli sufi, Allah telah menyatakan bahwa orang yang beribadah dengan menyebut nama-nama dan sifat-sifat-Nya, maka ia telah berbuat kesopanan. Orang yang beribadah dengan mencari-cari hakikat Dzat-Nya, maka ia telah berbuat kerusakan Karena itu, pilihlah di antara keduanya dengan sesuka hatimu, kesopanan atau kerusakan.

 

Dikatakan, Ibnu Atha’ suatu hari pernah menjulurkan kakinya di hadapan sahabat-sahabatnya seraya berkata, “Meninggalkan adab di hadapan orang-orang ahli adab adalah bentuk adab.” Ia menceritakan hal ini seperti yang diriwayatkan dalam sebuah hadis Nabi Saw. yang mengatakan bahwa beliau penah bersama Abu Bakar dan Umar, lalu masuklah Utsman. Kemudian Nabi Saw. menutup kakinya seraya berkata, “Tidakkah saya harus merasa malu kepada seseorang yang malaikat malu kepadanya.” Beliau mengingatkan bahwa rasa malu Utsman sangat besar di sisi Nabi, padahal antara Utsman, Abu Bakar, dan Umar sama-sama beradab.

 

Mendekati makna dalam konteks ini mereka bersyair:

 

saya sangat malu jika bertemu dengan orang baik dan mulia saya biarkan diriku bebas menuruti perangaiku saya katakan apa yang ingin snya katakan tanpa malu

 

Al-Junaid berkata, “Jika rasa saling cinta benar-benar telah melekat, maka hilanglah kesopanan antara keduanya.” Dzun Nun berkata, “Jika seorang murid telah keluar dari kesopanan, berarti dia kembali dari mana asal dia datang.”

 

Allah berfirman:

 

“Dan, (ingatlah kisah) Ayyub ketika ia menyeru Tuhannya, “Ya Tuhan. ), sesungguhnya saya telan ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.” (QS. Al-Anbiya’: 83)

 

Menurut tafsiran Ustaz Abu Ali Ad-Daqaqg, dalam ayat ter. Sebut Ayyub tidak mengatakan “kasihanilah saya” karena Ayyub telah menjaga kesopanan pada Tuhan yang dimintai. Demikian juga Nabi Isa as. ketika mengatakan:

 

“jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu.” (QS. Al-Maidah: 118)

 

Atau permhonan beliau dalam ayat lain:

 

“jika aku pernah mengatakannya, maka tentulah Engkau telah mengetahuinya.” (QS. Al-Maidah: 116)

 

Beliau (Ad-Daqaq) tidak mengatakan permintaannya dengan terus terang karena untuk menjaga kesopanan di hadapan Allah.

 

Al-Junaid bercerita: Di hari Jumat ada beberapa orang saleh datang kepadaku dan mengatakan, “ Kirimkanlah seorang miskin bersama saya agar ia datang kepada saya dengan senang hati dan makan-makan bersama saya.” Saya tiba-tiba bertemu dengan seorang miskin. Saya lihat dia kelaparan, lalu saya panggil dan mengatakan, “Pergilah bersama Syaikh ini dan hiburlah dia!” Dia pun pergi bersama mereka. Tidak lama kemudian datang seorang pria kepada saya seraya mengatakan, “Wahai Abul Qasim, yakni Al-Junaid, lelaki miskin itu tidak makan kecuali hanya sesuap kemudian keluar.”

 

“Mungkin kamu mengatakan kata-kata yang kurang pantas?”

 

“Saya tidak mengatakan apa-apa,” kata pria itu.

 

Saya berpaling, dan tiba-tiba saya lihat laki-laki miskin tersebut sedang duduk. Saya tanyakan kepadanya, “ Kenapa tidak kamu sempurnakan kebaHagian mereka?”

 

“Wahai Tuan, saya keluar dari Kuffah menuju Bagdad tanpa makan apapun. Saya tidak ingin tampak kurang sopan di hadapan Tuan hanya karena rasa lapar. Ketika Tuan memanggil saya, saya senang sekali. Karena hal itu merupakan awal dari perkenalan saya dengan Tuan. Saya pun pergi bersama mereka, sedangkan saya tidak rela mendapatkan surga karena itu. Saya menginginkan yang lebih tinggi. Ketika saya duduk di meja makannya, ia memberi saya sesuap makanan sambil berkata, makanlah, makanan ini lebih saya senangi daripada seribu dirham. Saya mendengar ucapannya ini. Saya tahu bahwaniatnya kurang baik. Karena itu, saya berusaha makan sesuap saja.”

 

Setelah mendengar penuturan laki-laki miskin itu, Al-Junaid berkata kepada tuan rumah, “Benarkan apa yang saya katakari kepadamu. Engkau memang telah berlaku kurang sopan kepadanya.”

 

“Wahai Abul Qasim, saya sangat menyesal,” katanya.

 

“Kamu pergilah bersamanya dan hiburlah dia,” saran Al-Junaid.“

 

41. MUSAFIR

 

Allah berfirman:

 

“Dialah Tuhan Yang menjadikanmu dapat berjalan di daratan dan berlayar di lautan.” (QS. Yunus: 22)

 

Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah Saw. ketika menunggangi binatang tunggangannya untuk bepergian, beliau mengucapkan takbir tiga kali, kemudian membaca ayat:

 

“Mahasuci Tuhan Yang telah menundukkan semua ini bagi kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya. Dan, sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami.” (QS. Az-Zukhruf 13-14)

 

Selanjutnya beliau membaca doa:

 

“Ya Allah, dalam perjalanan saya ini saya mohon kebaikan dan ketakwaan serta perbuatan yang Engkau ridai. Ringankanlah perjalanan kami, ya Allah. Engkau adalah Pendamping dalam perjalanan sekaligus Penjaga keluarga dan harta, ya Allah. Saya berlindung kepada-Mu dari kesulitan perjalanan, keadaan yang menyedihkan, dan kekecewaan harta dan keluarga.” Ketika pulang, beliau membaca doa tersebut dengan menambahkan. “Kami kembali, kami tobat, dan kami memuji Tuhan kami.”

 

Ustaz Asy-Syaikh berkata, “Ketika pendapat sebagian besar kelompok ini memilih bepergian jauh, maka kami juga membuat satu bab tersendiri dalam risalah ini untuk menerangkan “masalah musafir”. Bab ini permasalahannya cukup penting, meski para ulama berbeda pendapat mengenai urgensinya. Di antara mereka terdapat para ulama sufi yang lebih senang tinggal di rumah dari pada mengembara kecuali karena tujuan atau kepentingan Isjam. Namun, kebanyakan mereka lebih senang tinggal, seperti Al-Junaid, Sahal bin Abdullah, Abu Yazid Al-Busthami, Abu Hafsh, dan lain-lainnya. Sementara sebagian yang lain lebih suka pepergian jauh dan melakukannya sampai wafat, seperti, Abu Abdullah Al-Maghribi, Ibrahim bin Adham, dan lam-lainnya. Sisanya, dan ini yang terbanyak, mengembara jauh ke berbagai negeri ketika masih muda, kemudian menetap di suatu tempat pada masa tuanya. Seperti, Sa’id bin Ismail Al-Hiri, Dalf AsySyibli, dan lain-lainnya. Masing-masing dari kelompok ini mempunyai pegangan sendiri-sendiri dan semuanya ditujukan untuk membangun cara bertagarrub pada Allah.”

 

Ketahuilah bahwa bepergian ada dua macam. Pertama, bepergian dengan badannya. Yaitu, berpindah tempat dari suatu daerah ke daerah lain. Kedua, bepergian dengan hatinya. Yaitu, meningkatnya suatu sifat kebaikan kepada yang lebih baik. Banyak orang yang melakukan dengan cara pertama ini dan sedikit sekali yang melakukan dengan cara yang kedua.

 

Saya mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Di sebuah desa di luar Naisabur ada seorang syaikh (guru spritual) dari kelompok ini. Dia juga mempunyai beberapa karangan tentang masalah ini. Sekelompok orang datang kepadanya dan bertanya, Apakah kamu sudah pernah mengembara, wahai Syaikh?” Dia menjawab, Apakah yang kamu maksudkan pengembaraan di bumi inj atau di langit? Kalau yang kamu maksudkan pengembaraan di bumi, saya belum melakukan. Tetapi, jika yang kamu maksudkan pengembaraan di langit, saya sudah.“

 

Sayajuga mendengar Ustaz bercerita, “ Beberapa orang miskin pernah datang kepada saya ketika saya berada di Marwa, lalu mereka berkata, Saya telah menyeberang jauh untuk menemuimu. Saya menjawab, Sebenarnya kamu cukup melangkah satu langkah saja jika ingin bepergian dari dirimu.“

 

Para ulama dari kelompok ini, masing-masing memiliki hikayat yang berbeda-beda sesuai dengan pilihan pengembaraan mereka. Seperti yang diceritakan Ahnaf Al-Hamdani. “Saya pernah berada di suatu gurun sendirian,” katanya mengawali kisahnya, “Saya merasa lelah sekali. Saya kemudian mengangkat tangan ke langit seraya berkata, “Wahai Tuhan, seorang yang lemah tidak berdaya datang kepada-Mu untuk memenuhi panggilan-Mu.’ Tiba-tiba hati saya berbisik, Kepada siapakah kamu berdoa?’ Saya pun mengubah doasaya, ‘Tuhan, ini adalah kerajaan yang menanggung tamu-tamu yang tak diundang. Tiba, tiba telinga saya mendengar suara dari belakang. Saya menoleh, ternyata seorang Baduwi sedang menunggang unta. Dia me. manggil saya, ‘Wahai Orang Asing, hendak kemanakah kamu?

 

“Tidak tahu, jawab saya.

 

Baduwi itu memandang saya kemudian berkata, Bukankah Allah telah berfirman:

 

(memenuhi panggilan Allah itu) bagi orang yang mampu menempuh jalan-Nya.’ (QS. Ali Imran: 97)

 

“Kerajaan ini sangat luas dan mampu menanggung tamu yang tak diundang, jawabku.

 

“Hai, Tamu yang tak diundang, bisakah kamu berkhidmat pada unta ini?’

 

“Ya.

 

Orang Baduwi itu segera turun dari untanya lalu memberikannya kepadaku seraya mengatakan, ‘Lanjutkan perjalananmu dengan unta ini.“

 

Alkisah, beberapa orang miskin datang kepada Muhammad Al-Kattani. “Berilah saya wasiat,” kata wakil mereka.

 

“Rajinlah setiap malam menjadi tamu mesjid, dan janganlah kamu mati kecuali berada di antara dua rumah itu,” nasihat Muhammad.

 

Al-Hushri berkata, “Duduk sekali lebih baik daripada seribu tahun. Yaitu, duduk yang menyesali dosa dengan menghadirkan hati. Demi hidupku, hal ini lebih sempurna daripada seribu tahun tanpa melakukan hal ini.”

 

Muhammad bin Ismail Al-Farghani berkata, “Kami pernah mengembara sejauh kurang lebih dua puluh tahun. Kami berlima, yaitu saya, Abu Bakar, Az-Zaqaq, dan Muhammad Al-Kattani.

 

Selama bepergian kami tidak bergaul dengan siapa pun sampai kami tiba di suatu negeri. Jika di negeri ini ada seorang syaikh, kami akan bertamu dan berkumpul dengannya hingga larut malam. Kami kemudian kembali ke mesjid. Dalam mesjid itu, Muhammad Al-Kattani salat dari awal hingga akhir malam dan mengkhatamkan Al-Quran. Sedangkan Az-Zagag duduk menghadap kiblat. Saya sendiri tidur telentang sambil berpikir. Setelah itu, kami salat subuh dengan wudu tadi malam. Tiba-tiba saya lihat ada seorang pria yang semalam tidur, tapi tampak lebih utama daripada kami.”

 

Ruwaim bin Ahmad pernah ditanya tentang sopan santun bepergian, lalu dijawab, “Hendaknya cita-citanya tidak melampaui kakinya. Ketika berhenti, hatinya adalah rumahnya.”

 

Malik bin Dinar berkata bahwa Allah telah menurunkan wahyu kepada Nabi Musa a.s., “Pakailah dua sandal dan tongkat yang keduanya dari besi, kemudian berjalanlah di muka bumi. Carilah peninggalan-peninggalan dan contoh-contoh pelajaran sampai dua sandalmu rusak dan tongkatmu patah.”

 

Dikisahkan bahwa Muhammad bin Ismail Al-Maghribi selalu bepergian dengan sahabat-sahabatnya. Ketika waktu ihram dan tahallul tiba, ia lakukan berkali-kali sebelum bajunya kotor dan sebelum kuku dan rambutnya panjang. Sahabat-sahabatnya jika ada yang menyimpang dan jalan, ia memperingatkan, “Awas, sebelah kananmu, hai Fulan. Awas, sebelah kirimu, hai Fulan.” Tangannya tidak pernah meraih sesuatu yang telah diraih tangan manusia. Makanannya adalah pangkal tumbuh-tumbuhan yang dicabut kemudian dipotong untuk dimakan. Setiap sahabatnya berkata, “Berdirilah, dan ke mana kita akan pergi?” Maka, tidak seorang pun yang menjawab.

 

jika mereka dimintai tolong mereka tidak bertanya siapakah anda baik untuk bertempur atau pergi ke tempat manapun

 

Abu Ali Ar-Ribathi berkata, “Saya pernah menemani Abdullah Al-Maruzi. Ia masuk sebuah lembah sebelum saya temani, tanpa membawa bekal atau kendaraan. Ketika saya menemaninya, ia menawarkan padaku dua pilihan. ‘Manakah yang lebih kamu sukai, engkau atau saya yang jadi pemimpin perjalanan Ini? tawarnya.

 

“Tidak, kamu saja yang jadi pemimpin, jawabku.

 

‘Kalau begitu, kamu harus taat.

 

‘“Ya.’

 

Selesai bicara, ia mengambil keranjang, memenuhinya, dengan bekal, kemudian memikulnya.

 

‘Berikan pada saya. Biar sava yang membawanya.” ‘Saya pemimpinnya dan kamu harus taat.

 

Malam pun tiba, dan bersamaan itu hujan turun dengan de. ras. Abdullah menghentikan langkahnya. Dia berdiri di sisi kepala saya dengan memegang kain untuk menahan hujan. Dia mela. kukannya hingga pagi. Hati saya tergetar menyaksikan ketegarannya. Saya bersumpah dalam hati, ‘Lebih baik saya mati daripada mengatakan kamu saja ketuanya.’ Tiba-tiba matanya menatapku sampai menusuk dada.

 

Jika kamu berteman dengan seseorang, maka temanilah dia seperti apa yang kamu lihat saya berteman denganmu.”

 

Seorang pemuda datang kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Rudzabari. Ketika hendak pulang, ia berkata, “Syaikh pernah mengatakan sesuatu kepada saya, ‘Wahai Anak Muda, mereka tidak pernah meninggalkan janji dan tidak pula meninggalkan musyawarah. ‘”

 

Abu Abdullah An-Nashibaini berkata, “Saya menjadi seorang musafir selama tiga puluh tahun. Selama itu, saya tidak pernah menjahit pakaianku yang robek. Saya juga tidak perah mampir ke rumah temanku untuk minta bantuan. Saya juga tidak pernah membiarkan seseorang membawakan sesuatu kepadaku ”

 

Ketahuilah bahwa sekelompok kaum telah melaksanakan adab bermujahadah kemudian mereka ingin menambahkan sediki mujahadahnya, yaitu dengan melakukan bepergian karena Allah untuk melatih jiwa mereka (riyadhah) sehingga mendapatkan pengetahuan dan mencapai ma’rifat agar mereka dapat hidup persama Allah tanpa perantara apapun. Mereka tidak meninggalkan sama sekali wirid-wirid mereka selama pengembaraannya. Kata mereka, “Kemurahan itu bagi mereka yang melakukar pepergian jauh karena terpaksa, sedangkan kami dala m pengemparaan ini tidak ada kesibukan atau keteipaksaan.”

 

Nashr Abadzi berkata, “Pernah saya merasa lemas di sebuah gurun sehingga saya berputus asa untuk menyelamatkan jiwa saya. Saya kemudian melihat bulan di siang hari. Di bulan itu saya melihat tertulis:

 

maka Allah akari mencukupi mereka. (QS. Al-Baqarah: 137)

 

Saya pun melanjutkan perjalanan dan sejak saat itu hati saya terbuka.”

 

Menurut Abu Ya’qub As-Susi, seorang musafir butuh empat hal dalam perjalanannya, yaitu sebuah ilmu yang menyetir dirinya, wara’ yang menahan dirinya, hati yang membawanya, dan perangai (adab) yang menjaganya.

 

Dikatakan, dinamakan musafir karena bepergian ini melatih akhlak para tokoh. Dalam suatu kisah dituturkan bahwa Ibrahim Al-Khawwash ketika bepergian tidak membawa suatu apapun yang berarti. Akan tetapi, ia tidak terpisah dengan jarum dan tempat air. Jarum untuk menjahit pakaiannya jika robek supaya auratnya tertutupi. Sedangkan tempat air digunakan untuk bersuci. la tidak melihat hubungan apapun selain untuk itu.

 

“Abu Abdullah Ar-Razi bercerita, “Saya keluar rumah untuk mengembara dari Tharsus dengan tanpa alas kaki. Saya bersama seorang teman, lalu kami memasuki beberapa desa di Syam (Siria). Kemudian datanglah kepada saya seorang miskin dengan membawa sepatu dan memberikannya kepada saya. Saya menolak memakainya. “Pakailah sepatu ini. Engkau sangat lelah. Ia datang dan membuka sepatu ini untukmu karena saya, saran teman saya. Saya ganti bertanya, “Apakah yang menimpamu?’ Dia menjawab, ‘Saya mencopot sandal saya untuk kamu dan menjaga hak persahabatan.

 

Ibrahim Al-Khawwash dalam perjalanan jauhnya ditemani oleh tiga orang temannya. Mereka melakukan pengembaraan hingga sampai di sebuah mesjid di padang pasir. Mereka bermalam di mesjid yang bangunannya tanpa pintu. Udara malam sangat dingin sekali, tetapi mereka tetap melakukan ibadah ma, lam. Ketika datang waktu subuh, teman-temannya melihat Ibra, him sedang berdiri di pintu. Mereka menghampiri seraya mengatakan, “Saya khawatir kamu kedinginan.” Padahal dia telah berdiri di pintu itu semalam.

 

Alkisah, Muhammad Al-Kattani, seorang ulama sufi, meminta izin ibunya untuk menunaikan ibadah haji dan sang ibu mengizinkan. Dia pun berangkat. Ketika sampai di gurun, pakaiannya terkena percikan kencing. “Sesungguhnya kejadian ini pasti menandakan ada sesuatu dalam kondisi saya,” gumamnya. Ia pun pulang. Ketika mengetuk pintu, ibunya mempersilakan. Pintu dibuka dengan perlahan, dan pandangannya melihat ibunya duduk di belakang pintu. Ia heran mengapa ibunya duduk di situ, dan ia pun menanyakannya. Ibunya menjawab, “Saya yakin kamu tidak meninggalkan tempat ini dan saya melihatmu kembali.”

 

Ibrahim Al-Qashshar berkata, “Saya telah mengembara selama tiga puluh tahun. Saya memperbaiki hati manusia untuk baik kepada fakir miskin.”

 

Dawud Ath-Thai, seorang ulama sufi pernah menerima kunjungan seorang tamu pria. Tamu itu berkata, “Wahai Abu Sulaiman, hati saya bertengkar ketika diajak untuk menemuimu. Kejadian ini berlangsung cukup lama.”

 

“Tidak mengapa, selama tubuhmu masih tenang dan hatimu damai. Bertemu itu masalah mudah.“ Ulama itu berkata dengan tenang dan datar.

 

Saya pernah mendengar Abu Nashr As-Sufi bercerita. Dia mengatakan, “Saya pernah keluar mengembara dari laut Oman. Di tengah perjalanan, saya merasa lapar. Saya melanjutkan perjalanan dengan melewati pasar hingga sampai di warung makanan. Saya lihat daging-daging kambing panggang dan buah-buahan segar yang manis. Saya bertemu seorang pria. Saya katakan kepadanya, “Belikan saya barang-barang ini.’

 

‘Kenapa? Apakah saya berhutang budi kepadamu, atau saya punya hutang padamu?’ tanyanya.

 

‘Kamu harus membelikan saya makanan dari warung ini, kata Saya.

 

Tiba-tiba seorang pria lain melihat saya, lalu menyahut, ‘Biarkanlah dia, wahai Pemuda. Sesungguhnya yang harus membelikan apa yang kamu inginkan adalah saya. Bukan dia! Mintalah pada saya dan katakan apa yang kamu inginkan. Kemudian dia membelikan apa saja yang saya inginkan lalu pergi.”

 

Abul Husin Al-Mishri bercerita tentang kisah pengalaman perjalanannya dengan seorang sufi aneh. “Saya pernah sepakat dengan Asy-Syajari untuk mengembara,” kisahnya. “Kami pun memulai perjalanan dari Tharablus’”. Kami terus berjalan selama perhari-hari tanpa makan apapaun. Di tengah jalan mata saya melihat buah gara’ yang masak. Saya mengambil dan memakannya. Syaikh Asy-Syajari hanya menoleh kepada saya tanpa mengatakan apapun. Saya langsung membuang buah itu karena saya tahu bahwa Syaikh tidak suka perbuatan saya. Ia lantas membuka kantong yang berisi lima dinar, lalu membawanya ke sebuah desa. Saya berbisik, Jika membelikan suatu makanan untuk kita, tidaklah mengapa.’ Ia memang berjalan melewati desa tersebut, tetapi tanpa membeli apapun. ‘Mungkin kamu berkata, kita berjalan dengan lapar, tapi mengapa tidak membelikan apapun untuk kita, gumamnya yang seolah-olah ditujukan kepada saya. Di tengah perjalanan, ia mendatangi sebuah desa Yahudi. Di sana ada seorang yang mempunyai keluarga besar. Kami masuk desa tersebut dan bekerja dengan orang yang kami tuju. Setelah itu, dia membayarnya agar kami dapat memberi nafkah keluarganya dan kami sendiri. Setelah sampai di desa tersebut dengan bayaran uang-uang dinar, kami memberikannya kepada seseorang agar menafkahkannya, kemudian kami keluar.

 

‘Kemana saja kamu, wahai Abul Husin?” tanya Syaikh “Pada saya ketika berada di luar kampung.

 

Saya berjanji akan berjalan bersamamu lagi.’

 

“Tidak, kamu telah mengkhianati saya dengan memakan buah gara’. Kamu juga telah berjanji akan menemani saya terus dalam pengembaraan ini, dan kau melanggarnya. Jangan kamu lakukan itu!

 

la akhirnya benar-benar tidak mau saya temani.”

 

Saya mendengar Muhammad bin Abdullah Asy-Syairazj berkata bahwa dia mendengar Abu Ahmad Ash-SHagir berkata, “Saya mendengar Abu Abdullah bin Khafif berkata, Ketika dalam pengembaraan di usia saya yang masih muda, ada beberapa orang miskin menjemput saya. Ia melihat saya seperti saya ini kelaparan. Ia pun membawa saya ke rumahnya dan menyuguhkan daging yang dimasak dengan kisyik. Daging ini telah berubah rasanya. Barangkali karena basi. Maka, saya memakan rotinya saja dan meninggalkan dagingnya. Ia kemudian memberi saya satu mangkok sup dan saya menelannya dengan kesulitan. Rupanya tuan rumah menyadari apa yang terjadi pada diri saya. Ia merasa malu. Saya pun ikut malu. Saya kemudian keluar dan merasa tidak betah untuk melanjutkan pengembaraan. Saya mengutus seseorang menemui ibu agar mengirimi saya sesuatu, namun beliau tidak mengabulkan. Akan tetapi, beliau merelakan kepergian saya. Maka, saya berangkat dari Al-Oadisiyah”! bersama sekelompok orang miskin. Di tengah jalan kami tersesat dan kehabisan bekal sampai kami hampir binasa. Kami akhirnya tiba di sebuah perkampungan Arab, namun tidak menemukan sesuatu yang bisa dimakan. Dengan terpaksa kami membeli seekor anjing dari mereka dengan harga beberapa dinar. Teman-teman memanggangnya dan memberi saya sepotong daging yang sudah masak. Ketika hendak memakannya, saya berpikir sejenak tentang diri saya. Saya merasa bahwa semua ini merupakan suatu siksaan. Bayangan orang miskin yang wajahnya dipenuhi rasa malu kembali hadir di benak saya. Dia malu karena sikap saya yang kurang bisa menyembunyikan rasa tidak enak saya. Tiba-tiba rasa penyesalan mengalir dalam diri saya. Saya akhirnya bertobat atas perbuatan saya. Saya diam berapa lama. Tidak berapa lama, orang-orang kampung menujukkan jalan kepada kami. Kami tidak lagi kebingungan dan segera melanjutkan perjalanan, berhaji, kemudian kembali kepada orang fakir tersebut untuk meminta maaf.”

 

42. PERSAHABATAN

 

Allah berfirman:

 

“Dia adalah salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di saat dia berkata kepada temannya, “Janganlah kamu berduka cita. Sesungguhnya Allah bersama kita.” (QS. At-Taubah: 40)

 

Ustaz Abul Qasim Al-Junaid mengatakan, “Ketika Allah menetapkan Abu Bakar Ash-Shiddig r.a. untuk menemani Rasulullah Saw., Dia menerangkan kasih sayang-Nya kepada Abu Bakar. Firman Allah Swt., ‘Di waktu dia (Rasulullah) berkata kepada temannya, janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah bersama kita’ (QS. At-taubah: 40)

 

Sesungguhnya kebebasan merupakan suatu kasih sayang bagi orang yang menemaninya.”

 

Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a. bahwa Nabi Saw. bersabda:

 

“Kapankah saya bertemu dengan para kekasihku?” Sahut paras, sahabat: Demi ayah. Tuan, dan ibuku, bukankah kami ini kekasiah-kekasihmu? Jawab Nabi Saw.: “Kamu sekalian adalah sahabat-sahabatku. Adapun para kekasihku adalah orang-orang yang be lum pernah melihatku, tetapi mereka beriman kepadaku. Saya benar-benar sangat rindu kepada mereka.”

 

Persahabatan itu ada tiga macam. Persahabatan dengan orang yang lebih tinggi. Sebenarnya ini merupakan bentuk suatu khidmat. Persahabatan dengan orang yang di bawah Anda, yaitu sikap kasih sayang kepada para pengikutnya, dan bagi pengikut: nya harus setia dan menghormatinya. Persahabatan dengan orang yang setara merupakan bentuk yang ketiga. Persahabatan model ini lebih didasarkan pada sikap yang lebih mengutamakan orang lain. Karena itu, orang yang bersahabat dengan seorang syaikh atau guru yang lebih tinggi kedudukannya, maka tata kramanya adalah tidak menolak dan tidak keberatan untuk melakukan apa saja demi kepentingannya, dan caranya harus baik serta menerima semua kondisi dengan penuh rasa percaya.

 

Saya mendengar Manshur bin Khalaf Al-Maghribi ditanya oleh beberapa sahabat kami. “Berapa tahun kamu bersahabat dengan Sa’id bin Salam Al-Maghribi?”

 

la melirik dengan marah, kemudian berkata, “Saya belum pernah bersahabat dengannya, tetapi saya pernah berkhidmat sebentar kepadanya. Jika Anda bersahabat dengan orang yang lebih rendah kedudukannya dengan Anda, maka Anda sudah cukup untuk disebut seorang pengkhianat persahabatan jika Anda tidak mau mengingatkan kekurangannya atau menolong kondisinya.”

 

Abu Khair At-Tinati pernah menulis surat kepada Ja’far bin Muhammad bin Nashr. Dalam surat itu, dia menulis:

 

“Dosa kebodohan orang-orang miskin dilemparkan kepadamu karena kamu sibuk dengan dirimu sendiri. Tidak mau mendidik mereka sehingga mereka tetap bodoh. Jika kamu bersahabat dengan orang yang setingkat denganmu, maka caramu dengan menutup mata dari aib-aib mereka. Kamu hanya selalu melihat mereka dengan pandangan baik. Jika tidak mendapatkan kebaikan, rnaka kembalilah menuduh pada dirimu sendiri dan tetaplah berbuat yang wajar.”

 

Saya mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq, semoga Allah merahmatinya, berkata bahwa Ahmad bin Abul Hawari, berkata, “Saya pernah mengadu kepada Abu Sulaiman Ad-Darani tentang seseorang yang saya tidak punya rasa senang atau benci kepadanya. Kemudian dia menanggapinya dengan sikap rendah hati. ‘Sayajuga begitu Ahmad,’ kata beliau, “mungkin masalah mi berasal dari diri kita sendiri. Kita bukan termasuk orang-orang saleh sampai kita tidak punya rasa cinta kepada mereka.”

 

Alkisah, seorang pria telah bersahabat dengan Ibrahim bin Adham. Ketika hendak berpisah dengannya, ia berkata, “Jika kamu melihat aib pada diri saya, maka ingatkanlah saya.” Ibrahim menjawab, “Saya tidak melihat aib pada dirimu karena saya melihatmu dengan mata cinta, sehingga saya menganggap baik semua yang saya lihat dari dirimu. Karena itu, tanyakanlah kepada orang lain tentang aibmu.”

 

Dalam konteks ini mereka bersyair:

 

mata yarig senang tidak sangguh melihat setiap aib orang yang disenanginya mata yang benci akan tarnpak semua kejelekan pada apa yang dilihatnya

 

Abu Ahmad Al-Oalanasi berkata, “Saya menjalin persahabatan dengan beberapa orang di Basrah. Mereka memuliakan saya. Suatu saat saya menanyakan kepada sebagian mereka tentang barang saya. ‘Di manakah sarung saya?’ Sejak itu saya merasa jatuh dari mata mereka.”

 

Seseorang datang kepada Sahal bin Abdullah dan berkata, “Saya ingin bersahabat denganmu, wahai Abu Ahmad.“

 

“Jika salah seorang di antara kita ada yang mati, maka siapakah yang akan bersahabat dengan yang lain?”

 

“Allah,” jawab pria itu.

 

“Maka dari itu, bersahabatlah dengan Allah mulai sekarang juga,” pesan Sahal.

 

Ibrahim bin Adham pernah bekerja di kebun. Kebun itu dikes lola dengan baik, dipelihara, dan dipanen hasilnya, kemudian dinafkahkan kepada sahabat-sahabatnya. Ia sering berkumpul bersama kawan-kawannya. Ketika siang, ia bekerja dan memberikan hasilnya kepada para sahabatnya. Di waktu malam, mereka berkumpul di tempat yang sunyi. Pernah ia pulang terlambat kerja sampai agak larut malam. Sahabat-sahabatnya sudah lama menunggu sampai mereka berkata, “Mari kita makan saja makanan ini untuk sarapan besok agar ia akan pulang lebih cepat setelah kejadian ini.“ Mereka memakannya, kemudian tidur dengan perut kenyang. Ketika Ibrahim pulang, mereka masih tidur dengan pulas.

 

“Kasihan …,” gumamnya lirih, “barangkali mereka tidak punya makanan.”

 

Ibrahim kemudian mengambil tepung lalu mengadonnya. Nyala api di tungku disiapkan. Bejana tempat memasak diletakkan di atasnya. Ketika Ibrahim meniup api setelah mempersiapkan semuanya, sahabat-sahabatnya terbangun.

 

“Apa yang sedang kamu lakukan?” tariya mereka.

 

“Barangkali kalian tidak punya makanan yang bisa dimakan sehingga kalian tertidur. Saya ingin kalian bangun dan makanan sudah tersedia. Sekarang saya telah mempersiapkannya dan nyala api sudah mulai membara,” kata Ibrahim dengan nada yang amat mesra.

 

“Lihatlah, apa yang telah ia lakukan untuk kita, dan apa yang bisa kita lakukan untuknya?!” kata mereka lebih kepada hati mereka sendiri.

 

Diceritakan bahwa Ibrahim bin Adham jika ditemani seseOrang, ia menawarkan tiga syarat: mau berkhidmat, melakukan azan, dan bersedia menjadikan tangannya seperti tangan mereka dalam memperoleh semua kekayaan dunia yang diberikan Allah. Salah seorang temannya berkata, “Saya tidak mampu melakukannya.” Ibrahim menimpali, “Saya kagum atas kejujuranmu.”

 

“Dengan siapakah saya harus bersahabat?” tanya Yusuf bin Al-Husin kepada Dzun Nun Al-Mishri.

 

“Dengan siapa saja yang kamu tidak merahasiakan apapun kepadanya, maka Allah akan mengajarinya kepadamu,” jawabnya.

 

Sahal bin Abdullah berkata kepada seseorang, “Jika kamu termasuk orang yang takut pada binatang buas, maka jangan menemani saya.”

 

“Berteman dengan orang jahat bisa menimbulkan buruk sangka pada orang-orang baik,” kata Bisyr bin Al-Harits.

 

Al-Junaid berkata, “Ketika Abu Hafsh masuk Kota Bagdad, ia bersama dengan seorang botak yang tidak berkata sesuatu apapun, maka saya menanyakannya kepada sahabat-sahabat Abu Hafsh. Mereka menjawab, Lelaki itu telah menafkahkan hartanya seratus ribu dirham kepadanya, kemudian meminjam uang seratus ribu dirham untuk dinafkahkan lagi kepadanya, sementara Abu Hafsh tidak memperbolehkan dia berkata satu huruf pun.

 

Dzun Nun Al-Mishri berkata, “Janganlah bersahabat dengan Allah kecuali dengan beribadah. Janganlah bersahabat dengan manusia kecuali dengan saling memberi nasihat. Janganlah bersahabat dengan hawa nafsu kecuali dengan melawannya. Dan, janganlah bersahabat dengan setan kecuali dengan memusuhinya.” Seseorang kemudian bertanya kepadanya, “Dengan siapakah saya harus bersahabat?”

 

“Bersahabatlah dengan orang yang jika kamu sakit, ia mengunjungimu. Jika kamu bersalah, ia memaafkanmu,” jawab Dzun Nun.

 

Saya mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Pohon bila tumbuh dengan sendirinya tanpa ditanam oleh seseorang, maka ia akan berdaun tapi tidak bisa berbuah. Demikian juga seorang murid jika tidak mempunyai seorang guru, ia bisa pandaj tapi tidak bisa mendatangkan sesuatu apapun.“ Beliau kemudian melanjutkan, “Saya mengambil jalan atau thariqah ini dari An, Nashr Abadzi yang diambilnya dari Asy-Syibli. Asy-Syibli dari Al-Junaid yang didapatinya dari Sariy. Sariy dari Ma’ruf Ak Karkhi yang memperolehnya dari Dawud Ath-Thai, sementara Dawud Ath-Thai bertemu langsung dengan para tabiin.” Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq pernah mengatakan, “Tidaklah saya datang ke majelis An-Nashr Abadzi kecuali sebelumnya saya mandi.”

 

Ustaz Abul Qasim Al-Qusyairi bercerita, “Saya belum pernah masuk ke tempat Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq pada permulaan saya datang kecuali dalam keadaan puasa. Sebelumnya saya mandi dulu, kemudian datang mendekati pintu sekolah. Saya bimbang, kemudian kembali dari pintu karena malu untuk masuk langsung sehingga bertemu dengan beliau. Ketika saya memberanikan diri untuk masuk sampai tiba di tengah-tengah majelis, tiba-tiba saya merasa seperti kehilangan rasa karena gemetar, sehingga andaikata ditusuk jarum, mungkin saya tidak merasakan apa-apa. Kemudian ketika saya duduk mendengarkan nasihat-nasihatnya, beliau menerangkannya sesuai dengan masalah saya. Saya tidak perlu bertanya langsung kepada beliau dengan lisan. Ketika saya hadir dan duduk sebagaimana biasanya, beliau kembali menerangkan problem hati saya. Hal ini tidak hanya terjadi sekali saja. Karena itu, sering kali saya berpikir tentang diri saya. Seandainya Allah mengutus seorang rasul di masa saya ini, apakah mungkin hati saya akan bertambah malu lebih dari rasa malu saya kepada beliau. Semoga Allah merahmatinya. Saya tidak bisa membayangkan bahwa hal itu sangat mungkin terjadi. Saya tidak ingat lagi selama kedatangan saya di mejelis beliau. Entah berapa kali. Yang jelas, keberadaan saya bersama beliau setelah mendapat wasilah (ijazah) akan tetap menimbulkan rasa malu di hati saya atau tergerak untuk menentangnya sampai beliau wafat.”

 

Muhammad bin An-Nadhr Al-Haritsi berkata, “Allah telah mewahyukan kepada Musa a.s., “Jadilah orang yang waspada, penuh usaha, dan banyak teman baik. Setiap teman jangan sampai dia memaksakan diri untuk menyenangkanmu sehingga hal ini bisa menjauhkannya darimu. Janganlah kamu menemaninya sampai ia mengeraskan hatimu. Dia adalah musuhmu. Perpanyaklah berzikir dan bersyukur kepada-Ku, maka saya akan menambahkan keutamaan-Ku kepadamu.“

 

Abu Bakar Ath-Thamasthani berkata, “Bersahabatlah bersama Allah. Jika tidak mampu, bersahabatlah dengan Orang-orang yang bersahabat dengan Allah supaya kamu sampai pada berkah mereka yang menyebabkanmu sampai kepada berkah Allah.”

 

43. TAUHID

 

Allah berfirman:

 

“Dan Tuhamu adalah Yang Maha Esa.” (QS. Al-Baqarah: 163)

 

Rasulullah Saw. bersabda:

 

“Pernah ada seseorang sebelum kalian yang hidup tanpa melakukan kebaikan apapun kecuali tauhid. (Ketika ajalnya hampir tiba), ia berpesan kepada keluarganya, ‘Jika saya mati, bakarlah mayat saya, kemudian lembutkan. (Abu jenazah saya) yang separoh biarkan di daratan dan separohnya lagi buanglah ke laut pada saat banyak angin.’ Mereka pun (akhirnya) melakukan (wa. siatnya). Maka, Allah berfirman kepada angin, ‘ Bawalah kepada.

 

Ku apa yang telah kamu ambil!” Tiba-tiba ia (abu jenazah yang telah dihidupkan) berada di hadapan Allah, kemudian Allah berfirman, “Apa yang membuatmu berbuat begitu?” Dia menjawab, ‘Karena malu kepada-Mu.’ Maka, Allah pun memaafkannya. “

 

“Tauhid itu adalah keputusan bahwa Allah Yang Maha Agung itu satu (Esa),” kata Ustaz. Dan, mengetahui bahwa sesuatu itu satu juga dinamakan tauhid.

 

Dikatakan bahwa mengesakan Allah adalah mensifati-Nya dengan tunggal atau Maha Esa. Jika dikatakan, “Saya mendorong seseorang untuk berani. Maksudnya adalah menjadikannya beraru. Menurut bahasa, kata wahdaniyah (tunggal) berasal dari kata wahada yahidu yang kata subjeknya adalah wahid, wahdun, dan wahid, seperti halnya kata farida yang bentuk subjeknya adalah faridun, fardun, dan fariidun. Adapun asal kata ahad (esa) adalah wahdun lalu diubah huruf wawu-nya dengan hamzah. Wawu itu bisa diubah menjadi hamzah sebagaimana diubahnya huruf yang di-kasrah menjadi di-dhammah.

 

Pengertian keberadaan Allah Yang Esa menurut ilmu pengetahuan adalah ketiadaan pembenaran tentang Allah Yang memiliki sifat positif dan negatif. Hal ini berbeda dengan, misalnya, ucapan “manusia seorang”. Karena, ucapan “manusia” yang diucapkan dengan tanpa tangan dan kaki akan menjadi sesuatu yang negatif. Sedangkan Allah Yang Maha Benar adalah Satu Dzat-Nya. Beda halnya dengan sebuah nama jumlah yang mengandung berbagai pelengkap.

 

Sebagian ahli hakikat berkata, “Makna Allah Yang Maha Esa adalah peruadaan bagian dari Dzat, hak, dan sifat-Nya dari penyerupaan dengan lainnya, peniadaan sekutu yang membantu perbuatan dan ciptaan-Nya.”

 

Tauhid ada tiga. Pertama, tauhid Allah untuk Allah, yaitu mengetahui bahwa Allah itu Esa. Kedua, mengesakan Allah untuk makhluk, yaitu keputusan Allah bahwa seorang hamba adalah yang mengesakan-Nya dan Allah menciptakannya sebagai hamba yang mempunyai tauhid. Ketiga, tauhid makhluk untuk Allah, yaitu seorang hamba yang mengetahui bahwa Allah adalah Esa. Dia memutuskan sekaligus menyampaikan bahwa Allah itu Esa. Uraian ini merupakan penjelasan singkat tentang makna tauhid.

 

Dzun Nun Al-Mishri pernah ditanya tentang tauhid, lalu dijawab, “Hendaknya kamu tahu bahwa kekuasaan-Nya dalam menciptakan segala sesuatu adalah tanpa obat dan penyakit. Segala sesuatu adalah perbuatan Allah. Tiada cacat dalam ciptaanNya. Segala sesuatu yang kamu bayangkan tentang diri Allah sesungguhnya Allah berbeda dengan yang kamu bayangkan.”

 

Ahmad Al-Jariri berkata, “Tiadalah pengetahuan tauhid kecuali lisan tauhid (menyatakan keesaan Allah).”

 

Al-Junaid pernah ditanya tentang tauhid. Jawabnya, “Mengesakan Tuhan Yang diesakan dengan merealisasikan keesaan-Nya dengan kesempurnaan keesaan-Nya, meyakini bahwa Dia adalah Esa yang tidak pernah melahirkan atau pun dilahirkan, tidak mempunyai kawan, sekutu atau keserupaan, tanpa ada sifat mirip, bentuk, rupa atau pun gambaran. Allah tidak seperti apapun. Allah Maha Mendengar dan Maha Tahu.” Kata Al-Junaid, “Jika telah sampai puncak akal orang-orang genius untuk mencari hakikat tauhid, maka pada puncaknya ia akan bingung.”

 

Al-Junaid pernah ditanya tentang tauhid, lalu dijawab, “Pengertiannya adalah menghilangkan gambaran dan tidak bisa dijangkau ilmu pengetahuan. Allah itu seperti Dzat-Nya Yang Kekal.”

 

Ali Al-Hushri berkata, “Pokok-pokok kami dalam masalah tauhid ada lima hal: menghapuskan ha’ yang baru, mengesakan Yang Maha Dahulu, meninggalkan kawan, meninggalkan tanah air, dan melupakan apa yang diketahui dan yang tidak.”

 

Manshur Al-Maghribi menuturkan, “Tauhid adalah melepas, kan segala perantara dalam sebagian besar kondisinya dan kem, bali kepada perantara dalam masalah-masalah hukum. Sesungguhnya kebaikan tidak mengubah celaka atau baHagia dalam takdirnya.”

 

Al-Junaid pernah ditanya tentang tauhid orang istimewa, Dia menjawab, “Hendaknya seorang hamba selalu merasa dirinya di hadapan Allah. Semua renungannya hanya menuju kepada, Nya, kepada hukum-hukum kekuasaan-Nya, kepada lautan tauhid-Nya, merasa bahwa dirinya akan binasa, tidak membutuh, kan doa orang lain, dan tidak mengharapkan keterkabulan doa, nya hanya untuk membuktikan adanya Allah. Keesaan-Nya me. realisasikan kedekatannya dengan Allah. Hilangnya perasaan dan gerakannya untuk melaksanakan perintah Allah Yang dikehendaki-Nya. Dia akan seperti orang terakhir yang kembali ke awal nya, sehingga ia akan menjadi seperti semua sebelum adanya. 2

 

Ali Al-Busanji pernah ditanya tentang tauhid, lalu dijawab, “Dia tidak bisa diserupakan Dzat-Nya dan tidak hilang sifat-sifat Nya.”

 

Sahal bin Abdullah pernah ditanya tentang Dzat Allah, jawabnya, “Dzat Allah hanya disitati dengan ilmu, tidak bisa diketahui dengan mengenali semuanya, dan tidak bisa dilihat dengan mata dunia. Dzat-Nya ada dan nyata dengan hakikat iman yang tiada batas. Tidak harus melihat atau menitis pada makhluk.

 

Setiap mata dapat melihat-Nya dengan nyata pada kerajaan dan kekuasaan-Nya. Allah telah menutupi makhluk-Nya untuk melihat keberadaan Dzat-Nya, tetapi hati bisa mengetahui-Nya, sedangkan akal tidak mampu menjangkau-Nya. Orang-orang yang beriman dapat melihat-Nya dengan mata, tetapi bukan secara nyata atau pada puncak keberadaan-Nya.”

 

Al-Junaid berkata, “Kalimat tauhid yang paling mulia adalah seperti yang diucapkan oleh Abu Bakar Ash-Shiddig: Mahasuci Allah Yang telah menjadikan makhluk-Nya tidak mengetahui cara untuk menemukan (Dzat-Nya) kecuali ia tidak akan mampu mengetahui Dzat-Nya.’”

 

Ustaz Abul Qasim Al-Junaid berkata, “Maksud Abu Bakar Ash-Shiddig r.a. bukanlah tidak mengetahui Allah. Karena, menurut ahli hakikat yang dimaksud dengan tidak mampu adalah tidak mampu melihat yang maujud (yang diadakan), bukan yang ma’duimn (tidak ada), sebagaimana orang lumpuh yang tidak mampu duduk atau berbuat sesuatu karena kakinya tidak bisa bergerak, padahal tempat duduk ada di depannya. Demikian juga orang arif yang tidak mampu mengetahui Dzat-Nya. Ia dapat berma’rifat dengan-Nya karena ma’rifat itu penting. Menurut kelompok ini, berma’rifat dengan Allah pada puncaknya adalah penting, sedangkan bagi pemula, berma’rifat adalah dengan usaha. Jika ma’rifatnya itu secara hakikat, maka hal itu menurut kata Abu Bakar Ash-Shiddig r.a. tidak berarti melihat seperti sesuatu, sebagaimana pentingnya mengetahui lampu ketika matahari terbit dan pancaran cahaya menutupinya.”

 

Al-Junaid berkata, “Tauhid menurut ahli sufi adalah menyendirikan sifat gidam (dahulu) daripada sifat huduts (baru), keluar dari tanah air, menjauh dari orang yang dicintai, dan meninggalkan yang diketahuinya atau pun tidak. Ia berkeyakinan bahwa yang ada adalah Allah di semua tempat.”

 

Yusuf bin Husin berkata, “Barangsiapa yang jatuh dalam lautan tauhid, maka ia tidak akan bertambah segar sepanjang masa kecuali bertambah haus.”

 

Al-Junaid berkata, “Ilmu tauhid itu menerangkan tentang adanya Allah. Adanya Allah tidak dapat diketahui dengan ilmunya. Ilmu tauhid itu dilipat bentangannya sejak dua puluh tahun, sedangkan orang-orang yang membicarakannya itu hanya sampai pada tepinya saja.”

 

Ada seorang laki-laki berdiri di hadapan Al-Husin bin Manshur. “Siapakah Allah yang telah mereka tunjuk?” tanyanya.

 

“Dzat yang menimpakan penyakit pada makhluk dan Dia tidak pernah sakit,” jawabnya.

 

Dalf Asy-Syibli berkata, “Barangsiapa yang melihat puncak ilmu tauhid, maka ia akan lemah atau tidak mampu membawanya karena beban berat yang ia pikul.”

 

Dalaf Asy-Syibli pernah ditanya tentang tauhid dengan ungkapan kata yang jelas. “Celaka kamu,” jawabnya, “barangsiapa yang menjawab masalah taulid dengan ungkapan kata, maka dia itu adalah orang yang mulhid (mengingkari agama atau kafir). Barangsiapa yang menjawabnya dengan isyarat, maka dia itu adalah seorang Tsanawi. Barangsiapa yang menjawab dengan menunjuk sesuatu, maka dia adalah penyembah berhala. Barangsiapa yang membicarakan tauhid, dia adalah orang yang lengah. Barangsiapa yang diam tidak membicarakannya, dia adalah bodoh. Barangsiapa yang menyangka dirinya sampai pada ma’rifatullah, maka dia itu tidaklah sampai. Barangsiapa yang melihat bahwa dirinya dekat dengan-Nya, sesungguhnya dia itu adalah jauh. Barangsiapa yang mengaku telah menemukan Dzat-Nya, dia adalah orang yang kehilanagan. Dan apa saja yang kamu khayalkan atau kamu temukan dengan akalmu, meski dengan makna yang paling sempurna, semua itu adalah tertolak dan termasuk ciptaan baru seperti kamu.”

 

Yusuf bin Al-Husin berkata, “Tauhid kelompok istimewa adalah dengan hatinya. Seolah-olah ia berdiri di hadapan Allah, pasrah dengan aturan-Nya dan hukum-hukum kekuasaan-Nya, tenggelam dalam tauhid Aliah sampai binasa dirinya, hilang rasanya dengan menunaikan perintah Allah, sehingga ia seperti yang dikatakan bahwa dia menjadi orang yang terbawa arus hukum Allah.”

 

“Tauhid itu untuk Allah, sedangkan makhluk seperti tamu yang tak diundang,” kata sebagian ulama. “Tauhid harus menghilangkan sifat egois. Karena itu, janganlah mengatakan dengan kata-kata ‘untukku, lantaranku, dariku, atau kepadaku,” kata sebagian yang lain.

 

Ditanyakan kepada Abu Bakar Ath-Thamasthani, “Apakah tauhid itu?” Jawabnya, “Tauhid itu mengesakan Yang diesakan serta ada yang mengesakan.”

 

Ruwaim bin Ahmad berkata, “Tauhid menghapus kesankesan unsur manusiawi semata-mata hanya menunggalkan ketuhanan.”

 

Saya mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq, semoga Allah merahmatinya, berpesan di akhir hayatnya, sedangkan penyakitnya sudah sangat keras. “Termasuk tanda-tanda kemantapan tauhid adalah menjaganya pada waktu-waktu keputus-asaan,” pesannya. “Seperti seorang yang menafsirkan tentang keadaan Allah: ‘Dia memotongmu dengan gunting-gunting kekuasaan, dalam melaksanakan hukumnya potong demi potong, sedangkan kamu tinggal bersyukur dan memuji-Nya.’”

 

Dalf Asy-Syibli berkata, “Tiadalah akan mencium bau tauhid orang yang hanya menggambarkan tauhid.”

 

Abu Sa’id Ahmad Al-Kharraz berkata, “Kedudukan pertama orang yang telah mendapatkan ilmu tauhid dan hakikatnya adalah lenyapnya ingatan hati kepada segala sesuatu. Dia hanya mengingat Allah saja.” ,

 

Dalf Asy-Syibli berkata kepada seseorang, “Tahukah kamu mengapa tidak benar tauhidmu?”

 

“Karena kamu mencari-Nya dengan dirimu,” jawab AsySyibli sendiri.

 

Ibnu Atha’ berkata, “Tanda hakikat tauhid adalah lupa tauhid. Dia berdiri sendiri hanya dengan Allah.”

 

“Seseorang ada yang menampakkan tauhidnya dengan perbuatan. Ia melihat alam dengan Allah. Ada yang menampakkannya dengan hakikat sehingga lenyap perasaannya terhadap selain Allah. Ia menyaksikan semuanya dari hati ke hati. Zhahir. nya memang tampak berserakan.”

 

Al-Junaid pernah ditanya tentang tauhid, jawabnya, “Saya mendengar seseorang berkata:

 

hatiku bernyanyi untukku aku pun bernyanyi seperti nyanyian hatiku kami berada di mana saja mereka berada mereka pun ada di mana kami berada.”

 

“Sungguh (tauhid) mengalahkan Al-Quran dan hadis,” kata seseorang kepada temannya.

 

“Tidak, akan tetapi orang yang mentauhidkan Allah mengambil cara dari perintah yang paling gampang dan paling rendah,” jawab temannya.

 

44. KELUAR DARI DUNIA (KEMATIAN)

 

Allah berfirman:

 

“Orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka), ‘Salaamun alaikum, masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan oleh apa yang telah kamu kerjakan’.” (QS. An-Nahl: 32)

 

Maksudnya keadaan baik jiwa mereka adalah lantaran kesungguhannya dalam melaksanakan ibadah sehingga tidak memberatkannya di saat kembali kepada Tuhan mereka.

 

Diriwayatkan dari Anas r.a. yang mengatakan bahwa Nabi Saw. bersabda:

 

“Sesungguhnya seorang hamba hendaknya mengobati kesusahan kematian dan sekarat maut. Setiap anggota badan saling mengucapkan salam perpisahan satu sama lain dengan mengatakan, ‘Alaikas Salaam, kamu akan berpisah denganku dan saya akan berpisah denganmu sampai hari kiamat. “

 

Anas bin Malik menuturkan bahwa Rasulullah Saw. pernah datang kepada seorang pemuda yang akan mati, lalu bersabda, “Bagaimanakah kamu dapatkan dirimu?”

 

“Saya berharap kepada Allah dan saya takut dengan dosadosa saya,” jawab pemuda.

 

Rasulullah Saw. juga bersabda, “Keduanya tidaklah berkumpul di hati seorang hamba di tempat ini kecuali Allah akan memberikan apa yang ia harapkan dan memberikan keamanan dari apa yang ia takuti.”

 

Ustaz Abul Qasim Al-Qusyairi berkata, “Ketahuilah bahwa keadaan mereka di saat naza’ berbeda-beda. Sebagian mereka ada yang tenggelam dalam rasa takut terhadap dosanya. sebagian ada yang tenggelam dalam harapannya kepada Allah, dan sebagian lagi ada yang dibukakan keadaannya sehingga ia merasa tenang dan penuh percaya diri.”

 

Ahmad Al-Jariri berkata, “Saya pernah berada di sisi Aj Junaid ketika ia dalam keadaan naza’. Hari itu adalah hari Jumat hari pertama tahun syamsiah. Semua orang dalam keadaan se. nang, sementara dia asyik membaca Al-Quran hingga hatam. Sa, ya menggeser duduk saya agak mendekat. Wahai Abul Qasim sapa saya. Namun, dia sudah menyahut, “Siapakah yang lebih utama dariku dengan hal itu. Inilah lembaranku dilipat.”

 

Abu muhammad Abdullah Al-Ibrahimi Al-Harawi berkata, “Ketika Dalf Asy-Syibli mendekati ajal, saya menunggunya semalam. Sepanjang malam ia mengucapkan dua bait berikut ini:

 

setiap rumah Engkau ada di dalamnya tanpa membutuhkan lampu-lampu wajah-Mu selalu kuharapkan yang akan menjadi hujjah kami di hari orang-orang berdatangan dengan hujjah mereka

 

Ketika Bisyr Al-Hafi menjelang wafat, seseorang menyapanya dengan sapaan ketuhanan, “Wahai Abu Nashr, sepertinya kamu menyukai kehidupan?” Dia menjawab, “Telah datang kepada Allah dengan sangat mengerikan.”

 

Alkisah, ketika Hasan bin Ali bin Abu Thalib akan wafat, ia menangis. Para sahabatnya duduk di sekitarnya heran.

 

“Apa yang membuatmu menangis?” tanya mereka.

 

“Saya akan datang kepada Tuhan Yang saya belum pernah melihat-Nya,” jawabnya.

 

Ketika Bilal r.a. akan wafat, isterinya berkata, “Sedih sekali!” Bilal r-a. menimpalinya, “Senang sekali! Besok saya bertemu para kekasih, Nabi Muhammad Saw. dan sahabat-sahabat beliau.“ Diceritakan bahwa Abdullah bin Al-Mubarak membuka matanya ketika menjelang wafat. Dia tersenyum lalu berkata:

 

“Untuk kemenangan serupa ini hendaknya berusaha Orang-orang yang bekerja.” (QS. Ash-Shaffat: 61)

 

Diceritakan juga bahwa Makhul Al-Huzn ketika sakit dalam kematiannya, orang-orang berdatangan kepadanya, sementara ia sendiri tertawa. Para pengunjung ini heran melihatnya, maka mereka menanyakannya. “Mengapa saya tidak tertawa?” jawabnya, “sedangkan perpisahanku dengan Dzat Yang saya takuti telah dekat. Saya akan segera datang kepada Dzat Yang sangat saya harapkan.“

 

Ruwaim bin Ahmad berkata, “Telah datang kematian Ahmad bin Isa Al-Kharraz. Di akhir hembusan napasnya ia berkata:

 

hati orang-orang arif selalu rindu urtuk berzikir kenangan mereka untuk bersenang-senang adalah di waktu munajat mereka mengelilingi gelas-gelas minuman kematian sehingga mereka tidak teringat dunia sebagaimana orang-orang yang mabuk keinginan mereka berkeliling di perkemahan orang-orang yang cinta Allah seperti bintang-bintang yang bersinar tubuh mereka di bumi terbunuh oleh cintanya dan ruh mereka dalam tabir berjalan menuju atas tidaklah mereka melamun kecuali untuk dekat dengan kekasih-Nya mereka tidak menghindar dari bahaya apapun yang menghadangnya

 

Dikatakan kepada Al-Junaid bahwa Abu Sa’id dan Ahmad Al-Kharraj adalah orang yang sangat bercinta dengan Allah ketika mati. Oleh karena itu, tidaklah heran jika ruhnya terbang dengan penuh kerinduan kepada Allah.

 

Sekelompok orang menceritakan tentang Ahmad Al-Kharraj saat kewafatannya telah dekat. Ketika maut benar-benar hendak menjemputnya, Ahmad mengatakan, “Wahai Anak muda, tarik. lah bahu saya dan lumurilah pipi saya dengan debu.” Sufi agung ini menatap sejenak orang yang dimaksud, kemudian bibirnya kembali bersuara, “Keberangkatan (kematian) telah dekat, namun tidak ada pembebasan dosa saya, tidak juga alasan untuk ber. alasan, dan tidak pula ada kekuatan untuk menang. Engkau ada. lah Penolongku … Engkau adalah Penolongku.“ Kemudian dia berteriak membawa terbang ruhnya ke langit. Orang-orang yang sedang menungguinya mendengar suara gaib yang mengatakan, “Hamba itu merendahkan dirinya di hadapan Tuhannya sehingga ia diterima di sisi-Nya.”

 

Ditanyakan kepada Dzun Nun Al-Mishri ketika maut menjelangnya, “Apa yang kamu inginkan?”

 

“Saya ingin mengetahui tempat saya sekejap saja sebelum kematian saya,” jawabnya.

 

Saat naza’, orang-orang mengatakan kepadanya, “Ucapkanlah Allah.“ Namun, di luar jangkauan pikiran mereka, Dzun Nun justru menjawab, “Sampai kapan kamu mengatakan itu? Saya sudah hangus terbakar dengan zikrullah.”

 

Salah seorang dari kelompok sufi bercerita: “Saya perah berada di tempat Mimsyad Ad-Dinawari, lalu datanglah seorang miskin dengan mengucapkan salam dan orang-orang di situ pun menjawabnya. Laki-laki miskin itu kemudian berkata kepada mereka, “Apakah di sini ada tempat yang bersih yang memungkinkan seseorang bisa mati di tempat itu?’ Lalu ia ditunjukkan pada sebuah tempat yang ada mata airnya. Dia kemudian berjalan memperbaruhi wudunya dan salat. Masya Allah. Dia benar-benar mendatangi tempat itu, lalu berbaring seraya menjulurkan kedua kakinya dan akhirnya meninggal.”

 

Abul Abbas dan Ahmad Ad-Dinawari pernah di suatu hari memberi nasihat di majelisnya. Tiba-tiba seorang wanita berteriak karena rindu kepada Allah. Ahmad Ad-Dinawari menyahutinya dengan mengatakan, “Matilah kamu” Wanita itu lantas berdiri dan berjalan. Ketika sampai di pintu rumah, ia menoleh kepada Ahmad seraya berkata, “Saya telah mati.” Habis berkata demikian, ia terjatuh dan meninggal.

 

Seseorang berkata, “Saya pernah berada di sisi Mimsyad AdDinawari ketika akan wafat. Seseorang mendekat dan bertanya kepadanya, Bagaimanakah penyakitmu?’ Dia menjawab, ‘Tanyakan sendiri pada penyakit yang mengeram dalam tubuh saya, bagaimana ia melihat saya?” Kemudian dikatakan lagi kepadanya, ‘Kalau begitu ucapkan Laa Ilaaha Illaallaah’ Namun, Mimsyad memalingkan mukanya menghadap ke arah dinding dan mengatakan, Saya telah lama binasa seluruhnya bersama-Mu. Iri adalah balasan orang yang mencintai-Mu.”

 

Begitu juga pada Abu Muhammad Ad-Dubaili. Ketika maut menjelangnya, dikatakan kepadanya, “Ucapkanlah Laa Ilaaha Illallaah’” Dia menjawab, “Hal ini telah kita ketahui bersama. Dengan kalimat irulah saya beribadah sampai binasa.” Kemudian beliau bersyair:

 

engkau memakai pakaian linglung ketika terpesona dengan-Nya

Dia menolak dan tak rela tak sudi dirimu adalah hamba-Nya

 

Dikatakan kepada Asy-Syibli ketika ia menjelang wafatnya, “Ucapkanlah laa ilaaha illallaah,” lalu Asy-Syibli bersyair:

 

berkatalah penguasa cintanya

Aku tak menerima yang lain bertanyalah dengan sebenarnya mengapa kematianku ia berurusan?

 

Ahmad bin Atha’ pernah mendengar salah seorang miskin bercerita: “Ketika Yahya Al-Ashthakhri akan wafat, kami duduk di sekelilingnya. Tiba-tiba seseorang di antara kami berkata kepadanya, Katakan: Asyhadu an Laa Ilaaha Illallaah.'”? Ia tetap duduk pai di rumah di pagi harinya dengan darah mengalir di kedua kakinya, kemudian ia jatuh lagi seperti orang yang mabuk, sehingga kedua kakinya membengkak dan akhirnya meninggal.” piriwayatkan pula bahwa ketika dalam keadaan naza’, dikatakan kepadanya, “Ucapkanlah Laa Ilaaha Illailaah.” Dia pun menjawab, “Bukankah kepada-Nya saya akan kembali.”

 

Saya mendengar Manshur Al-Maghribi berkata, “Yusuf bin Al-Husin permah datang kepada Ibrahim Al-Khawwash untuk menengoknya setelah beberapa hari ia tidak menengok dan melihatnya. Ketika menengoknya, ia berkata kepada Ibrahim, “Apakah kamu menikmati sesuatu? Jawabnya, Ya, sepotong daging” hati panggang.

 

Ustaz Abul Qasim Al-Qusyairi berkata, “Barangkali isyarat ini maksudnya adalah saya menikmati hati yang berbelas kasih kepada seorang miskin, dan sepotong daging hati tersebut dipanggang dan dibakar untuk orang asing.”

 

Diceritakan bahwa sebab kematian Ahmad bin Atha’ adalah ia pernah datang kepada seorang menteri. Pejabat tinggi itu berkata kepadanya dengan kata-kata kasar, dan Ibnu Atha’ menimpalinya dengan lembut, “Tenanglah, wahai Bapak Menteri.” Akan tetapi, Menteri justru memerintahkan salah seorang pengawalnya untuk memukulnya dengan sepatu ke arah kepalanya, sehingga ia mati.”

 

Diriwayatkan dari Abu Ali Ar-Rudzabari berkata, Saya pernah melihat seorang anak muda. Ketika melihatku, ia berkata, “Tidakkah cukup kerinduan dan cintaku kepada-Nya sehingga membuatku sakit.’ Kemudian saya melihatnya akan menghembuskan napas terakhirnya, maka saya katakan kepadanya, Ucapkanlah Laa Ilaaha Illallaah.’ Ia menjawabnya dengan syair:

 

wahai Tuhan Yang tidak jauh dariku walaupur kelelahan ini telah menyiksaku wahai orang yang telah memperoleh contoh dari hatiku yarig tidak dapat diukur.

 

Dikatakan kepada Al-Junaid, “Ucapkanlah Laa Ilaaha Illallaah.” Dia menjawab, “Apakah aku lupa!! Aku selalu mengingat-Nya.” Lalu Junaid bersyair:

 

Dia selalu hadir di hati lalu menetap di dalam-Nya saya tidaklah lupa sehingga harus mengingat-Nya

Dia adalah Tuhan saya dan tempat yang bisa dipercaya bagianku dari-Nya sangatlah melimpah

 

Ja’far bin Nashr pernah bertanya kepada Bakran Ad-Dina, Wari yang pernah mengabdi kepada Asy-Syibli, “Apa yang per. nah kamu lihat darinya (Asy-Syibli)?” Ia menjawab, “Ia pernah berkata, “Saya mempunyai uang satu dirham gelap yang menyik, saku. Saya telah mensedekahkan beberapa ribu lainnya, maka tidak ada yang paling menyibukkanku selain satu dirham ini.” Kemudian ia berkata, ‘Wudukanlah saya untuk salat.’ Lalu saya melakukannnya tetapi lupa menyela-nyelai jenggotnya. Ia menahan lidahnya (tidak mau bicara), lalu memegang tanganku dan dimasukkan ke dalam jenggotnya, kemudian ia mati.”

 

Ja’far menangis dan berkata, “Apa yang akan kamu katakan tentang seorang laki-laki yang tidak pernah mengabaikan adab (ajaran) syariat sampai akhir hayatnya.”

 

Ali Al-Muzayyin berkata, “Saya pernah berada di Mekkah, semoga Allah senantiasa melindunginya, dan merasa gelisah. Saya keluar menuju Madinah Al-Munawwarah. Ketika sampai di Bi’r Maimun, saya bertemu seorang pemuda tergeletak. Saya pun mendekatinya dan ternyata dia dalam keadaan naza’ (sekarat). Saya mencoba menuntunnya pada kalimat tauhid dengan mengatakan, ‘Ucapkan Lana Ilaaha Illallaah!’ Tiba-tiba dia membuka matanya dan bersyair:

 

Jika aku telah mati maka cinta pada Allah telah memenuhi hatiku memang dengan penyakit cinta

Orang-orang mulia akan mati

 

Dia kemudian menarik napas sekali dan akhirnya mati. Saya memandikannya, mengkafani dan mensalatinya sekalian. Ketika selesai menguburkannya, hati saya tenang dan tidak gelisah lagi untuk melanjutkan perjalanan. Kemudian saya kembali melangkah menuju Mekkah, semoga Allah senantiasa melindunginya.”

 

Sekelompok sufi pernah ditanya, “Apakah kamu senang mati?” Mereka menjawab, “Kembali kepada Tuhan yang selalu diharapkan kebaikannya adalah lebih baik daripada menetap bersama orang yang tidak bisa diharapkan kebaikannya.”

 

Diriwayatkan juga dari Al-Junaid yang menceritakan, “Saya pernah berada di sisi guru saya Ibnul Kuraini ketika beliau hendak wafat. Saya memandang langit dan beliau mengatakan, “Jauh!” Kemudian saya memandang bumi dan beliau kembali menanggapi, “Jauh!” Maksudnya, beliau mengatakan bahwa Dia lebih dekat kepadamu daripada kamu memandang langit atau bumi, bahkan Dia ada di balik tempat (di depan)-mu.” Saya juga pernah mendengar salah seorang sahabat kami berkata bahwa ketika akan wafat, Abu Yazid berkata, “Tidaklah aku mengingat-Mu kecuali jika saya lengah dari-Mu, dan tidaklah Kamu mencabut nyawaku kecuali sebentar lagi.”

 

Abu Ali Muhammad Ar-Rudzabari berkata, “Saya masuk Mesir. Saya lihat orang-orang sedang berkumpul. Mereka berkata, “Kami merawat jenazah seorang pemuda. Sebelumnya seseorang dari kami mendengar dia berkata dalam nada syair: Telah besar keinginan seorang hamba yang rindu untuk melihat-Mu. Selesai – mengucapkan kalimat ini, dia menarik napas sekali tarikan dan meninggal.”

 

Diceritakan ada sekelompok orang datang kepada Mimsyad Ad-Dinawari ketika ia sedang sakit keras. Mereka berkata kepadanya, Apa yang telah dilakukan Allah kepadamu. Apa yang telah diperbuat-Nya?”

 

“Sejak tiga puluh tahun, surga dan seisinya telah diperlihatkan kepadaku, namun saya tidak meliriknya sama sekali,” katanya. Dan, ketika maut hendak membawanya terbang, mereka kembali bertanya, “Bagaimana kamu memperoleh hatimu?”

 

“Sejak tiga puluh tahun saya kehilangan hati.” Seiring dengan habisnya kata-kata itu, napasnya berhenti dan dia pergi ke Tuhannya.

 

Kematian Abul Husin bin Bunan disebabkan oleh terjadinya sesuatu di dalam hatinya yang membuatnya pergitak tentu arah tujuannya. Orang-orang menemukannya tergeletak di padang sahara tempat pemukiman bani Israil. Kemudian ia membuka kedua matanya dan berkata, “Merumputlah! Ini adalah tempat merumput para kekasih.” Lalu keluarlah ruhnya (mati).

 

Abu Ya’qub Ishaq An-Nahrajuri bercerita, “Saya pernah berada di Mekkah Al-Mukarramah, semoga Allah melindunginya. Kemudian seorang miskin mendatangiku dengan membawa uang satu dinar sambil meninggalkan pesan, ‘Jika besok saya mati, maka pakailah setengah dinar uang ini untuk kuburku, dan setengahnya lagi untuk mempersiapkan jenazahku.’ Saya bergumam, ‘Pemuda iri tidak waras. Ia telah kelaparan sehingga datang ke Hijaz. Keesokan harinya ia datang dan masuk mesjid Al-Haram untuk thawaf, kemudian pergi dan tidak lama kemudian tubuhnya direntangkan di atas tanah. Melihat ini saya kembali bergumam, ‘Dia iri pura-pura mati. Kemudian saya mendatanginya dan menggerak-gerakkan tubuhnya. Ternyata dia telah meninggal. Saya heran dan segera memakamkannya seperti yang dipesankannya.”

 

Diceritakan bahwa ketika keadaan Abu Utsman Sa’id Al-Hiri mulai berubah, puteranya yang bernama Abu Bakar merobek baju kemejanya. Abu Utsman membuka kedua matanya dan berkata, “Wahai Anakku, sesungguhnya menampakkan diri dengan melanggar sunnah Nabi adalah termasuk ria di batin.”

 

Diceritakan bahwa Ahmad bin Atha’ pernah masuk rumah Al-Junaid ketika dia akan meninggal. Ahmad mengucapkan salam dan Al-Junaid menjawabnya dengan lambat (pelan) kemudian berkata, “Maafkanlah saya. Saya masih membaca zikir.” Selesai berkata demikian, dia langsung wafat.

 

Abu Ali Ahmad Ar-Rudzabari meriwayatkan, “Pernah datang kepada saya seorang miskan lalu ia mati, maka saya memakamkannya. Saya membuka wajahnya untuk meletakkannya di atas tanah agar Allah merahmatinya karena keasingannya. Tibatiba ia membuka kedua matanya dan berkata, ‘Wahai Abu Ali, apakah kamu akan menghinaku di hadapan Dzat yang telah memanjakanku?’ Kataku, Wahai Tuan, apakah ada kehidupan setelah kematian?” Jawabnya, ‘Bahkan saya ini hidup. Setiap orang yang mencintai Allah adalah hidup. Kelak tidak ada yang mencelakakanmu lantaran aku, wahai Rudzabari.

 

Diriwayatkan bahwa Abul Hasan Ali Al-Ashbihani berkata, “Tidakkah kamu tahu bahwa saya akan mati seperti orang-orang yang telah mati. Mereka sakit dan berobat kemudian mati, namun saya akan mati dengan dipanggil.”

 

“Wahai Ali!” Tiba-tiba ada suara memanggilnya saat dia berjalan.

 

“Ya,… jawabnya kemudian ia meninggal.

 

Abul Hasan Ali Al-Muzayyin menuturkan pengalamannya, “Ketika Abu Ya’qub Ishaq An-Nahrajuri sakit keras yang mengantarkannya pada kematian, saya berkata kepadanya, “Ucapkan Laa Ilaaha Illallaah.’ Mendengar anjuran saya, ia hanya tersenyum seraya menatap saya. Maksudmu saya yang kamu suruh, katanya kemudian, Demi kemuliaan Dzat Yang tidak pernah mencicipi kematian, tiadalah pemisah antara aku dan Dia selain kemulaan-Nya.’ la tampak tenang sebelum akhirnya meninggal. Ali Al-Muzayyin berkata seraya memegang jenggotnya, Seorang tukang bekam seperti saya mentalgin (menuntun) kalimat syahadat kapada waliyullah (maksudnya Abu Ya’qub Ishaq AnNahrajuri). Sungguh malunya saya. Al-Muzayyin-pun menangis setiap kali teringat hikayat ini.”

 

Abul Husin Al-Maliki menuturkan kisahnya: Saya pernah menemani Khairan An-Nassaj selama bertahun-tahun. Delapan hari sebelum wafatnya, ia sempat berkata kepadaku, “Saya akan mati hari Kamis pada waktu Magrib, dan saya akan dimakamkan pada hari Jumat, maka janganlah lupa pesanku ini.” Abul Husin kemudian melanjutkan kisahnya, “Setelah itu saya lupa pesannya sampai tiba hari Jumat dan saya baru tahu ketika bertemu dengan seseorang yang memberitahukan kematiannya kepadaku. Saya terkejut dan segera beranjak pergi untuk menghadiri jenazahnya. Di sana saya menjumpai orang-orang yang sedang pulang dengan mengatakan, Jenazah akan dimakamkan hari Jumat sebelum salat Jumat. Saya kemudian memutuskan untuk tetap menghadiri (mengantarkan) jenazahnya. Ternyata benar jenazahnya dikeluarkan hari Jumat seperti yang ia katakan. Saya pun bertanya pada seseorang tentang sebab kematiannya, dan dia menjawab, ‘Dia pingsan kemudian sadar, lalu wajahnya menoleh ke arah Baitullah dan berkata: ‘Berdirilah, semoga Allah memaafkanmu. Sesungguhnya kamu adalah seoarang hamba yang diperintah. Sayajuga seorang hamba yang diperintah. Apa yang telah diperintahkan kepadamu, janganlah kamu meninggalkan, tetapi apa yang telah diperintahkan kepadaku telah aku tinggalkan.’ Kemudian ia meminta air dan berwudu dengan ar itu, lalu melakukan salat. Setelah itu ia membaringkan dirinya dan memejamkan kedua matanya. Setelah kematiannya ini ada yang melihatnya dalam mimpi. Dalam mimpinya itu, si pemimpi bertanya kepadanya, Bagaimanakah kamu?’ Jawabnya, Janganlah kamu bertanya lagi. Saya sekarang telah terbebas dari duriamu yang fana (wafat).

 

Seorang penyusun buku “Bahjatul Asrar” menyebutkan dalam bukunya bahwa ketika Sahal bin Abdullah telah meninggal, orang-orang yang berta’ziah (belasungkawa) berjatuhan dalam keadaan tertelungkup di atas jenazahnya. Di daerah itu ada seorang Yunani yang berusia lebih dari tujuh puluh tahun. Ia mendengar suara hiruk pikuk lalu keluar untuk melihat apa yang telah terjadi. Ketika melihat jenazah tersebut, ia berteriak dengan mengatakan, “Apakah kamu semua melihat seperti yang saya lihat?”

 

“Tidak, apakah kamu melihat sesuatu?” kata orang-orang yang sedang berkerumun.

 

“Saya melihat orang-orang yang turun dari langit memandikan jenazah ini.” Kemudian ia bersyahadat dan masuk Islam. Semenjak itu dia menjadi muslim yang bagus sekali keislamannya.

 

Abu Sa’id Ahmad Al-Kharraz berkata, “Saya pernah berada di Kota Mekkah, semoga Allah melindunginya. Di suatu hari saya melewati pintu Bani Syaibah. Saya melihat seorang pemuda yang sangat tampan wajahnya sedang meninggal. Saya perhatikan wajahnya, maka ia tersenyum kepadaku, ‘Wahai Abu Sa’id, tidakkah kamu tahu bahwa para kekasih Allah itu hidup walaupun mereka telah mati. Mereka hanya dipindahkan dari suatu tempat ke tempat yang lain.”

 

Ahmad Al-Jariri bercerita, “Telah sampai kepadaku sebuah berita bahwa pernah dikatakan kepada Dzun Nun Al-Mishri ketika dia akan wafat (dalam keadaan naza”), Wasiatkanlah sesuatu kepada kami! Jawabnya, Janganlah kamu merepotkan saya. Sesungguhnya saya sedang mengagumi keindahan kelembutanNya.”

 

Berkata Abu Utsman Al-Hiri, “Abu Hafsh pernah dimintai nasihat ketika akan wafat, ‘Nasihatilah kami! Jawabnya, Saya tidak kuat untuk berbicara.” Namun, beberapa waktu kemudian ia merasa kuat untuk bicara, lalu saya katakan kepadanya, Katakanlah, sehingga saya bisa meriwayatkan sesuatu darimu.’ Dia menjawab, Patah hati itu menjadikan hati takut untuk berbuat sembrono.

 

  1. MA’RIFAT KEPADA ALLAH

 

Allah Swt. berfirman:

 

“Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya.” (QS. Al-An’am: 91)

 

Diterangkan dalam sebuah tafsir bahwa maksud ayat tersebut adalah: “Mereka tidak bisa berma’ rifat.”

 

Diriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa Nabi Saw. bersabda:

 

“Sesungguhnya penopang (kekuatan) rumah tergantung pada pondasinya, sedangkan penopang agama tergantung ma’rifatnya kepada Allah, keyakinan, dan akal yang bisa menundukkan (hawa nafsu). Aisyah r.a. bertanya: ‘Demi engkau dengan tebusan ibuku, bagaimana akal bisa menundukkan hal itu?’ Beliau menjawab: ‘Mampu menahan dari perbuatan durhaka kepada Allah dan selalu mendorong untuk taat kepada-Nya.

 

Ustaz Al-Qusyairi menjelaskan bahwa ma’rifat menurut bahasa ulama adalah ilmu. Maka, setiap ilmu adalah ma’rifat dan setiap ma’rifat adalah ilmu. Setiap orang yang berma’rifat kepada Allah adalah arif (orang bijak yang banyak pengetahuannya). Setiap orang arif adalah alim.”

 

Menurut sebagian ulama, ma’rifat adalah sifat orang-orang yang mengenal Allah dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya, kemudian ia membenarkan Allah dengan melaksanakan ajaranNya dalam segala perbuatan. Ia membersihkan dirinya dari akhlak yang rendah dan dosa-dosa, kemudian lama berdiri mengetuk “pintu” Allah. Dengan hati yang konsis dan istigomah, dia beri tikaf untuk menjauhi dosa-dosa, sehingga ia memperoleh sambutan Allah yang indah. Allah membimbing dalam semua keadaannya, maka terputuslah gelora nafsu dari dirinya dan hatinya tidak pernah terdorong lagi untuk melakukan selain ini. Ia menjadi asing di tengah manusia, bebas dari dosa-dosa, bersih dari urusan dunia, terus-menerus bermunajat di hadapan Allah dengan cara sirri (rahasia dan tersembunyi). Semua ucapannya adalah benar. Dia berkata dengan bimbingan Allah. Diberitahukan kepadanya rahasia-rahasia Allah tentang kekuasaan-Nya yang berlaku. Itulah yang disebut orang arif dan keadaannya disebut ma’rifat. Pendek kata, dengan keasingan dirinya itu,’? ma’rifatnya akan mendapatkan Tuhannya Yang Maha Agung dan Maha Mulia.

 

Para guru sufi telah membicarakan tentang ma’rifat ini. Masing-masing membahas sesuai dengan kejadian yang mereka alami dan mengisyaratkan apa saja yang dijumpainya ketika itu.

 

Saya pernah mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq, semoga Allah merahmatinya, berkata, “Termasuk tanda-tanda ma’rifat kepada Allah adalah memperoleh haibah (keramat dan wibawa) dari Allah. Jika semakin tinggi ma’rifatnya, maka semakin tambah haibahnya.” Saya juga mendengar Ustadz Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Ma’rifat itu menjadikan ketenangan, maka barangsiapa yang bertambah ma’rifatnya, maka ia akan bertambah tenang.”

 

Dalf Asy-Syibli berkata, “Seorang yang arif (mempunyai ma ‘rifat) tidak mempunyai hubungan. Seorang yang cinta tidak pernah mengeluh. Seorang hamba tidaklah mempunyai tuduhan. Seorang yang takut (kepada Allah) tidaklah lari dari-Nya, dan tidaklah ada tempat untuk lari dari Allah.”

 

Ditanyakan kepada Asy-Syibli tentang ma’rifat, maka jawabnya, “Pertama ma’rifat untuk Allah, dan akhirnya tidak ada batasnya.”

 

Kata Abu Hafsh, “Sejak saya berma’rifat kepada Allan, hati saya tidak dimasuki kebenaran atau pun kebatilan.”

 

Ustaz Abul Qasim Al-Qusyairi berkata, “Apa yang dikatakan Abu Hafsh tersebut adalah masih perlu penjelasan. Kemungkinan besar yang dimaksudkan ma’rifat menurut para sufi adalah pengosongan diri untuk selalu mengingat Allah Yang Maha Benar dan Maha Suci.'” Ia tidak lagi menyaksikan selain Allah Azza wa Jalla dan tidak kembali kepada selain-Nya, sebagaimana orang yang berakal akan kembali kepada hati, pikiran, dan renungannya dalam menghadapi sesuatu, atau menghadapinya dengan kenyataan, maka seorang yang arif akan kembali pada Tuhannya. Jika ia hanya disibukkan dengan Tuhannya, maka ia tidak lagi kembali kepada hatinya. Bagaimanakah suatu makna akan bisa masuk ke dalam hati orang yang tidak memiliki hati. Bedakanlah antara orang yang hidup dengan hatinya dan orang yang hidup dengan Tuhannya.”

 

Ditanyakan kepada Abu Yazid Al-Busthami tentang ma’rifat, lalu dijawab dengan ayat:

 

“Sesungguhnya raja-raja jika memasuki suatu negeri niscaya mereka membinasakannya dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina.” (QS. An-Naml: 34)

 

Menurut Abu Yazid, manusia mempunyai beberapa kondisi, namun bagi orang arif tidak mempunyai kondisi, karena tandatandanya telah dihapus, identitasnya telah dihapuskan oleh identitas lain-Nya, dan jejak-jejaknya telah hilang karena jejak-jejak yang lain-Nya. Sedangkan menurut, Muhammad Al-Wasithi, ma rifat seorang hamba tidak benar jika dibarengi dengan rasa butuh dan tidak butuh kepada Allah.

 

Ustaz Abul Qasim Al-Qusyairi menjelaskan, “Yang dimaksud ucapan Muhammad Al-Wasithi ‘bahwa sifat butuh dan tidak butuh’ adalah bentuk penjelasan yang menunjukkan salah satu tanda kesadaran dan jejak dirinya, sedangkan seorang arif hanya mevakini Tuhan yang dima’rifati, maka bagaimana bisa dibenarkan suatu ma’rifat yang dibarengi dengan sifat butuh dan tidak butuh, sedangkan dia seharusnya hanya bersungguh-sungguh mengakui dan mengimplementasi dirinya dalam keberadaan Tuhan dan tenggelam dalam kesaksiaannya, walaupun keberadaan Allah itu tidak sampai dikuasai oleh perasaannya dengan segala sifat yang dimiliki Allah. Oleh karena itu, Al-Wasithi berkata juga, “Barangsiapa yang telah berma’rifat kepada Aliah, dia menjadi terputus (dari duniawi), bahkan menjadi bisu serta menghindarkan dirinya dari semua keinginannya. ”

 

Rasulullah Saw. bersabda:

 

“Saya tidak menghitung pujian kepada-Mu.”

 

Inilah sifat-sifat orang yang jauh dari jangkauan mereka. Adapun orang-orang yang turun dari batasan ini, maka itu adalah orang-orang yang telah membicarakan ma ‘rifat dan banyak sekali pembicaraannya.

 

Ahmad bin ‘Ashim Al-Anthaki berkata, “Barangsiapa yang lebih berma’rifat kepada Allah, maka ia lebih takut kepada-Nya.”

 

Sebagian ulama sufi berkata, “Barangsiapa yang telah berma rifat kepada Allah, dia akan binasa dengan dirinya dan dunia yang luas terasa sempit.”

 

Diriwayatkan, “Barangsiapa yang telah mengenal (ma ‘rifat) Allah, maka kehidupannya menjadi cerah dan nikmat. Segala sesuatu akan segan kepadanya, hilang perasaan takut kepada semua makhluk, dan merasa asyik berteman dengan Allah.”

 

Dikatakan pula bahwa siapa saja yang ma’rifat kepada Allah, maka hilanglah kesenangannya kepada segala sesuatu. Dia tidak putus juga tidak sambung. Dikatakan, ma’rifat itu harus membuahkan rasa malu dan ta’zhim, sebagaimana tauhid harus membuahkan rasa rida dan penuh pasrah.

 

Ruwaim bin Ahmad berkata, “Ma’rifat bagi seorang yang arif adalah suatu cermin. Jika ia melihat cermin itu, maka tampak jelas Tuhannya.”

 

Dzun Nun Al-Mishri berkata, “Arwah para nabi itu berlari di medan ma’rifat, kemudian ruh Nabi kita Saw. mendahului para nabi menuju ke taman pertemuan.”

 

Kata Dzun Nun lagi, “Bergaul dengan orang arif itu seperti bergaul dengan Allah. Dia akan membawamu ke sifat santun padamu. Dia akan berakhlak dengan akhlak Allah.”

 

Al-Hasan bin Yazdaniyar pernah ditanya, “Kapan seorang arif akan menyaksikan Allah?” Jawabnya, “Jika saksi (malaikat) telah tampak, bumi telah binasa, indera telah hilang, dan keikhlasan telah lenyap.” :

 

Al-Husin bin Manshur Al-Hallaj berkata, “Jika seorang hamba telah sampai kepada ma’rifatullah, maka Allah membisikkan kepadanya dengan melalui hatinya dan menjaga hatinya dari kata hati yang tidak benar.” Katanya juga, “Tanda seorang yang arif (telah ma’rifat) adalah jika ia telah kosong dari dunia dan akhirat.”

 

Berkata Sahal bin Abdullah, “Ma’rifat itu puncaknya pada dua hal: tercengang dan bingung.”

 

Dzun Nun Al-Mishri berkata, “Orang yang paling ma’rifat kepada Allah adalah yang paling bingung (tenggelam dalam lamunan) tentang Allah.”

 

Seseorang berkata kepada Al-Junaid, “Orang-orang ahli ma’rifat itu ada beberapa kelompok. Mereka mengatakan, “Bahwa meninggalkan usaha termasuk berbuat baik dan takwa.

 

“Ini adalah ucapan orang-orang yang tidak mau bekerja,” tukas Al-Junaid, “padahal menurut pendapat saya usaha itu adalah hal yang penting. Karena itu, orang yang mencuri dan berzina itu lebih baik kondisinya daripada orang yang mengatakan itu. Sesungguhnya orang-orang yang arif billah (ma’ rifatullah) mengambil pekerjaan-pekerjaan dari Allah dan kepada Allah mereka kembali dengan pekerjaan itu. Seandainya saya hidup seribu tahun, saya tidak akan mengurangi perbuatan baik sedikit pun.”

 

Ditanyakan kepada Abu Yazid Al-Busthami, “Dengan apa kamu mendapatkan ma’rifat ini?”

 

“Dengan perut yang lapar dan tubuh-tubuh yang telanjang,” jawabnya.

 

Abu Ya’qub Ishaq An-Nahrajuri berkata, “Saya menanyakan kepada Abu Ya’qub As-Susi tentang seorang arif (ahli ma’rifat) yang merasa sedih jika melihat sesuatu selain Allah.”

 

“Apakah iaakan melihat selain Allah sehingga akan bersedih dengan melihat selain-Nya?” |

 

“Dengan mata yang mana ia melihat sesuatu?”

 

“Dengan mata binasa dan musnah,” jawab Abu Ya gub.

 

Abu Yazid Al-Busthami berkata, “Orang arif itu adalah penerbang dan orang zuhud itu adalah pejalan kaki.”

 

Dikatakan bahwa orang arif itu menangis matanya, tapi tertawa hatinya. Menurut Al-Junaid, seorang arif tidak dikatakan arif sampai ia bisa menjadi seperti bumi yang diinjak oleh orang baik dan jahat: menjadi seperti awan yang menaungi segala sesuatu, dan seperti air hujan yang menyirami apa saja yang di senanginya atau tidak disenanginya.

 

Yahya bin Mu’adz berkata, “Seorang arif ketika keluar dari dunia, ia melaksanakan hajatnya kecuali dua hal: menangisi dirinya dan memuji Tuhannya.”

 

Abu Yazid Al-Busthami berkata, “Sesungguhnya mereka memperoleh ma’rifat dengan menghilangkan apa yang mereka miliki, dan berdiri dengan apa yang dimiliki.”

 

Yusuf bin Ali berkata, “Tidaklah seorang arif itu dikatakan benar-benar arif sampai ia jika diberi seperti apa yang pernah diberikan kepada Nabi Sulaiman a.s., semua itu tidak akan mengganggunya sedikit pun untuk berzikir kepada Allah.”

 

Ahmad bin Atha’ berkata, “Ma’rifat itu ada tiga rukun: takut pada Allah, malu pada Allah, dan senang pada Allah.”

 

Ditanyakan kepada Dzun Nun Al-Mishri, “Dengan apakah kamu mengenal (ma’rifat) Tuhamu?” Jawabnya, “Saya ma’rifat (mengenal) Tuhanku dengan Tuhanku. Kalau bukan karena Tuhanku, saya tidak mengenal Tuhanku.”

 

Dikatakan bahwa seorang alim itu mengikuti ajaran-Nya, sedangkan orang arif itu memperoleh petunjuk-Nya.

 

Dalf Asy-Syibli, “Orang yang arif tidak memperhatikan kepada selain Allah, tidak berbicara selain Allah, dan selalu menjaga dirinya dari selain Allah.”

 

Dikatakan bahwa orang yang arif asyik berzikir kepada Allah, sehingga ia tidak suka makhluknya. Dia hanya butuh kepada Allah sehingga ia tidak butuh kepada makhluknya. Dia menghinakan diri di hadapan Allah sehingga dimuliakan di hadapan makhluknya.

 

Abu Thayyib As-Samiri berkata, “Ma’rifat itu adalah munculnya kebenaran yang dapat mengalahkan hatinya dengan terus menerusnya cahaya ma’rifat.”

 

Dikatakan bahwa orang arif lebih dari apa yang ia katakan, sedangkan orang alim di bawah apa yang ia katakan.

 

Abu Sulaiman Abdurrahman Ad-Darani berkata, “Sesungguhnya Allah akan membuka ma’rifat bagi orang arif yang lebih dari orang arif lainnya, jika ia berada di atas alasnya ketika mendirikan salat.”

 

Al-Junaid berkata, “Orang arif adalah yang mengatakan kebenaran dari hatinya, tapi ia diam.”

 

Dzun Nun Al-Mishri berkata, “Setiap sesuatu ada siksaan, dan siksaan orang yang arif adalah jika ia terputus dari zikrullah.” Berkata Ruwaim bin Ahmad, “Riyanya orang arif itu lebih baik daripada ikhlasnya para murid.”

 

Abu Bakar Al-Warraq berkata, “Diam orang arif lebih berguna, dan ucapannya lebih nikmat dan menyenangkan.”

 

Dzun Nun Al-Mishri berkata, “Orang-orang yang zuhud adalah raja-raja akhirat, dan mereka adalah orang-orang arif yang miskin.”

 

Al-Junaid pernah ditanya tentang orang yang arif. Jawabnya, “Warna air dari warna tempatnya.” Maksudnya, orang arif itu ditetapkan oleh waktunya (masa hidupnya).

 

Abu Yazid Al-Busthami pernah ditanya tetang orang arif. Jawabnya, “Ketika tidur ia tidak melihat selain Allah. Ketika terjaga ia tidak melihat selain Allah. Ia tidak beribadah selain kepada Allah, dan tidak melihat kecuali kepada Allah.”

 

Abdullah bin Muhammad Ad-Dimasyqi bercerita tentang seorang syeikh yang ditanya, “Dengan apa kamu mengenal (ma ‘rifat) Allah?” Jawabnya, “Dengan suatu isyarat yang diisyaratkan oleh lidah yang diambil dari keistimewaan yang telah diketahui, dan dengan suatu ucapan yang berjalan di atas lidah yang sampai binasa dan lenyap, yang menunjuk pada hati yang tampak, dan menceritakan tentang rahasia yang menutupi, yaitu dengan apa yang Allah tampakkan, dan hal-hal lain yang diciptakan. Kemudian bersyair:

 

saya telah mengucapkan dengan tanpa ucapan sebenarnya hal ini dapat kamu ucapkan dengan kata atau menerangkan ucapan saya pura-pura melihat supaya saya dapat merahasiakan diri padahal saya meyembunyikan diri kemudian tampaklah kilat yang menyinar pada diriku sehingga saya berbicara dengan kilat

 

Abu Turab Askar An-Nakhsyabi pernah ditanya tentang sifat orang arif, maka jawabnya, “Orang yang tidak bisa dikeruhkan apapun, bahkan setiap hal akan menjadi jernih karena dia.”

 

Abu Sa’id Utsman Sa’id Al-Maghribi berkata, “Orang arif disinari oleh cahaya-cahaya ilmu, sehingga terlihatlah olehnya keajaiban-keajaiban alam gaib.”

 

Saya pernah mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq, semoga Allah merahmatinya, berkata, “Orang arif itu tenggelam dalam lautan hakikat, sebagaimana yang dikatakan seseorang di antara mereka, ‘Ma’rifat itu bagai gelombang yang kadang-kadang terbenam, terangkat, dan turun.’

 

Yahya bin Mu’adz pernah ditanya tentang orang arif, maka jawabnya, “Seseorang yang keberadaannya nyata.” Dalam kesempatan lain dia juga berkata, “Seorang yang telah berada dan telah nyata.”

 

Dzun Nun Al-Mishri berkata, “Tanda seorang arif ada tiga cahaya ma’rifatnya tidak memadamkan cahaya wara’nya, tidak meyakini ilmu kebatinan yang dapat merusak lahiriah hukum, banyaknya nikmat yang dianugerahkan Allah kepadanya tidak membawanya pada kebinasaan sampai merusak tabir dan halhal yang diharamkan oleh Allah.”

 

Dikatakan bahwa seorang arif bukanlah orang yang menerangkan ma’rifat di hadapan orang-orang yang cinta akhirat. Jika demikian, bagaimana halnya jika di hadapan orang-orang yang cinta dunia?

 

Abu Sa’id Ahmad Al-Kharraz berkata bahwa ma’rifat itu datang dari mata kemurahan hati, dan usaha yang dicurahkan.

 

Al-Junaid pernah ditanya tentang ucapan Dzun Nun AlMishri tentang sifat seorang arif. (Dia mondar mandir ke sana kemari lalu pergi). Al-Junaid kemudian berkata, “Seorang yang arif tidak dihimpit oleh suatu keadaan dari keadaan yang lain. Dia tidak tertutup oleh satu rumah dengan pindah dari rumah ke rumah. Dia selalu diterima di setiap tempat seperti rumahnya sendiri, menjumpai orang seperti rumahnya sendiri, dan dia berbicara dengan petunjuk-petunjuknya untuk diambil manfaatnya oleh mereka.”

 

Muhammad bin Fadhal Al-Farawi berkata, “Ma’rifat itu kehidupan hati bersama Allah Ta’ala.”

 

Abu Sa’id Ahmad Al-Kharraz pernah ditanya, “Apakah seorang arif bisa menderita karena tangisan?” Jawabnya, “Ya, ketika ia menangis di waktu-waktu perjalanannya menuju Allah, namun jika ia telah sampai pada hakikat kedekatannya dengan Allah dan merasakan lezatnya kebaikan Allah, maka lenyaplah semua penderitaannya.”

 

46. CINTA (MAHABBAH)

 

Allah Azza wa Jalla berfirman:

 

“Hai orang-orang yamg beriman, barangsiapa di antara kamu murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya.” (QS. Al-Maidah: 54)

 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. yang berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

 

“Barangsiapa yang senang bertemu kepada Allah, maka Allah senang bertemu dengannya. Barangsiapa yang tidak senang bertemu Allah, maka Allah pun juga tidak senang bertemu dengannya.”

 

Diriwayatkan dari Anas bin Malik dari Nabi Saw. dari Jibril a.s. dari Tuhannya Yang Maha Agung Yang berfirman:

 

“Barangsiapa yang menghina wali-Ku (kekasih-Ku), sesungguhnya ia telah terang-terangan memerangi-Ku. Tidaklah Aku ragu-ragu melakukan seperti Keraguan-Ku ketika mencabut nyawa hamba-Ku yang beriman. Dia benci kematian dan saya tidak mau menyakitinya, sedangkan kematian itu pasti ada. Tidak ada sesuatu yang paling Aku sukai yang bisa mendekatkan hambaKu dengan-Ku lebih dari melakukan kewajiban yang Aku perintahkan kepadanya. Dan senantiasa mendekati-Ku dengan melaksanakan ibadah-ibadah sunat sampai Aku mencintainya. Dan barangsiapa yang telah Aku cintai, maka Aku akan mendengar, melihat, menolong, dan mendukung-nya. “

 

Nabi Saw. bersabda:

 

“Jika Allah telah mencinta hamba-Nya, Allah berkata kepada Jibril a.s., “Wahai Jibril, sesungguhnya Aku mencintai fulan, maka cintailah dia’ Maka Jibril pun mencintainya, kemudian menyeru kepada para penduduk langit, ‘Sesungguhnya Allah telah mencintai fulan, maka cintailah dia!” Maka penduduk langit pun mencintainya. Kemudian Allah memberikan pengabulan kepadanya di — bumi. Dan jika Allah membenci seorang hamba, maka Malaikat Malik berkata, ‘Saya tidak menganggapnya kecuali saya membencinya seperti kebencian Allah kepadanya. “

 

Menurut Ustaz Al-Qusyairi, cinta adalah suatu hal yang mulia. Allah Yang Maha Suci menyaksikan cinta hamba-Nya dan Allah pun memberitahukan cinta-Nya kepada hamba itu. Allah menerangkan bahwa Dia mencintainya. Demikian juga hamba itu menerangkan cintanya kepada Allah Yang Maha suci. Cinta menurut istilah ulama adalah keinginan, karena keinginan tidak berhubungan dengan sifat Jadim. Kami akan menerangkan hakikat masalah ini dalam dua segi insya Allah. Cinta Allah kepada seorang hamba merupakan keinginan-Nya untuk memberikan nikmat kepadanya sebagai orang yang telah dikhususkan-Nya!, sebagaimana rahmat-Nya yang diberikan kepadanya merupakan bentuk keinginan-Nya untuk memberikan nikmat. Rahmat adalah keinginan spesial, dan cinta lebih khusus daripada rahmat. Karena itu, keinginan Allah untuk menyampaikan pahala dan nikmat kepada hamba-Nya disebut rahmat, sedangkan keinginan-Nya untuk mengkhususkan hamba-Nya dengan kedekatan dan kedudukan yang tinggi dinamakan cinta (nahabbah). Sifat kehendak Allah hanya satu. Dengan berbagai macam hubungan keinginan-Nya, maka nama-Nya menjadi bermacammacam. Jika berkaitan dengan siksaan, maka nama itu dinamakan murka. Jika berkaitan dengan segala kenikmatan, maka nama itu dinamakan rahmat. Jika berkaitan dengan keistimewaan, maka hal itu dinamakan mahabbah (cinta).

 

Orang-orang berkata bahwa kecintaan Allah kepada hambaNya terlihat dari pujian-Nya kepadanya dengan kata-kata yang indah, sehingga makna cinta-Nya kepada hamba-Nya yang diungkapkan dalam pujian-Nya akan kembali pada firman-Nya, sedangkan firman Allah adalah gadim (Maha Dahulu).

 

Para ulama sufi berkata, “Kecintaan Allah kepada hambaNya termasuk sifat perbuatan-Nya, yaitu suatu kebaikan khusus yang diberikan Allah kepada hamba-Nya, dan suatu tingkat teristimewa yang Allah angkat, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian mereka, Sesungguhnya rahmat Allah kepada hambaNya adalah nikmat yang diberikan kepadanya.“

 

Sekelompok ulama salaf berkata bahwa kecintaan Allah termasuk sifat kebaikan. Mereka memutlakkan ucapan itu tanpa penafsiran lagi. Adapun ungkapan cinta selain yang disebut di atas dengan pengertian yang dirasionalkan termasuk sifat cinta pada makhluk, sebagaimana kecenderungan atau perasaan senang dengan sesuatu, atau seperti suatu keadaan yang dirasakan oleh seorang kekasih dengan kekasihnya, sedangkan Allah Yang Maha dahulu bersih dari halitu. Adapun kecintaan seorang hamba kepada Allah adalah suatu kondisi yang dirasakan dari hatinya yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Kadang-kadang kondisi ini bisa membawanya ke suatu tingkat ta’zhim (pengagungan Allah), lebih senang mencari rida-Nya, kurang sabar menahan cinta-Nya, tergila-gila kepada-Nya, dan tidak merasa tenang dengan tanpa berzikir kepada-Nya. Kecintaan semacam itu akan abadi dengan zikirnya yang terus-menerus dalam hati.

 

Kecintaan seorang hamba kepada Allah tidak mengandung suatu kecenderungan. Bagaimana mungkin mengandung, sedangkan hakikat ketinggian Allah tidak bisa bertemu denganNya. Karena itu, seorang hamba yang mencintai Allah akan tenggelam dalam cinta-Nya. Cinta-Nya lebih utama daripada yang bisa digambarkan dengan kecenderungan. Cinta tidak bisa diberi suatu keterangan (sifat), tidak bisa didefinisikan dengan defenisi apapun dan berapapun jelasnya, juga tidak bisa diterangkan dalam pengertian yang lebih dekat.”? Orang yang jatuh cinta akan memuji dengan ucapannya yang paling indah, apapun yang akan menghalangi. Jika telah benar-benar nyata cintanya, maka tidak diperlukan lagi ungkapan-ungkapan kata untuk menyatakan kedalaman cintanya.”

 

Ungkapan tentang cinta banyak orang yang mendefinisikannya dengan berbagai ungkapan, di antaranya ungkapan yang menitikberatkan pada pengertian bahasanya. Sebagian lagi mendefirisikannya sebagai sebuah nama yang diambil dari kejernihan kasih sayang, karena orang Arab mengatakan bahwa gigi yang paling disukai adalah gigi yang tampak putih, jernih, dan bersih.

 

Dikatakan pula bahwa cinta merupakan sesuatu yang melambung di atas air ketika hujan turun deras. Di atas cinta ini hati terasa mendidih dan semakin meluap ketika haus serta berkobar kerinduannya untuk bertemu kekasihnya.

 

Dikatakan bahwa cinta diambil dari kata habab (gelembung : air) yang selalu berada di atas air. Dikatakan demikian karena cinta merupakan puncak segalanya dalam hati. Dikatakan pula bahwa cinta itu berasal dari istilah menetapi. Jika dikatakan, “Dia mencintai unta, maka ia menetapi bersama unta dan tidak meninggalkannya, seolah-olah orang yang jatuh cinta itu hatinya tidak pernah melupakan untuk mengingat kekasihnya.

 

Dikatakan bahwa hubbu (Cinta) diambil dari kata al-habbu yang berarti anting-anting seperti yang dikatakan syair:

 

ular yang menulurkan lidah menggerakkan lidahnya diam menetapi tempat lobang mendengarkan suara malam

 

Anting-anting disebut cinta. Mungkin karena anting-anting menempel di telinga atau karena kegelisahan (ketidak tenangan)nya. Dua pengertian ini sama-sama besarnya.

 

Diceritakan bahwa kata hubbu (cinta) diambil dari kata alhabbu sebagai bentuk plural dari kata habbah (biji), sedangkan bjji hati merupakan sesuatu yang berada dan menetap dalam hati, sehingga habbu (biji-bijian) dinamakan hubbu (cinta), karena yang dimaksud adalah tempatnya.

 

Dikatakan pula bahwa hubbu (cinta) diambil dari kata hibbah dengan dikarsrah huruf ha’-nya yang berarti kerikil kecil padang pasir. Dari sini cinta disebut benih (biji) karena cinta adalah benih kehidupan. Benih merupakan cikal-bakal yang menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. Dikatakan juga cinta adalah sepotong kayu yang menyangga gentong yang diletakkan di atasnya. Kemudian cinta itu disebut tiang karena cinta menanggung kesenangan dan penderitaan.

 

Disebutkan bahwa cinta merupakan suatu tempat yang berisi air. Tempat ini penuh dengan air dan tidak ada tempat untuk laimnya. Demikian juga jika hati telah penuh dengan cinta, maka tiada tempat untuk selain kekasihnya.

 

Mengenai pendapat-pendapat para ulama sufi tentang cinta, sebagian dari mereka mengatakan bahwa cinta adalah kecenderungan yang abadi dalam hati yang dimabuk rindu. Dikatakan bahwa cinta mendahulukan kekasihnya daripada semua yang menyertainya. Dikatakan pula bahwa cinta setia kepada kekasih, baik ketika berhadapan dengannya atau tidak. Dikatakan bahwa cinta menghapus semua sifat kekasihnya dan menetapi dzat kekasihnya, cinta merupakan kesepakatan hati untuk menuruti kehendak-kehendak Tuhan: cinta adalah takut tidak menghormati dan dibarengi dengan pengabdian yang tiada hentinya.

 

Abu Yazid Al-Busthami berkata, “Cinta menggangap sedikit pemberian yang ia keluarkan dan menganggap banyak pemberian kekasih walaupun sedikit.” Sahal bin Abdullah berkata, “Cinta itu merangkul ketaatan dan menentang kedurhakaan.”

 

Al-Junaid pernah ditanya tentang cinta, lalu dijawab, “Cinta adalah masuknya sifat-siat kekasih pada sifat-siat yang mencintanya.” Maksudnya, orang yang mencintai itu selalu memujimuji yang dicintainya, sehingga orang yang mencintai tenggelam dalam ingatan sifat-sifat yang dicintainya dan melupakan sifat-sifat dirinya sendiri dan perasaannya pada sifat-sifat yang dimilikinya.

 

Abu Ali Ahmad Ar-Rudzabari berkata, “Cinta adalah kesetiaan.” Abu Abdullah Al-Qurasyi: berkata, “Hakikat cinta jika kamu memberi, maka kamu memberikan semua yang kamu miliki kepada orang yang kamu cintai, tanpa tersisa sedikit pun untukmu.”

 

Dalf Asy-Syibli berkata, “Disebut cinta karena cinta menghapus hati dari ingatan semua selain yang dicintainya.” Ahmad bin Atha’ berkata, “Cinta selalu menegur kelengahan dirinya.”

 

Saya pernah mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq, semoga Allah merahmatinya, berkata, “Cinta itu kesenangan, sedangkan letak-letak hakikatnya pada keterangannya.” Katanya lagi, “Cinta itu melampaui batas dalam bercinta. Sedangkan Allah tidak memiliki sifat yang melampaui batas, sehingga tidak layak bagi Allah diberi sifat cinta”. Seandainya semua cinta makhluk dikumpulkan jadi satu pada diri seseorang, semua itu tidak bisa mengimbangi nilai cinta Allah kepada makhluk-Nya. Maka dari itu pula, tidak boleh dikatakan bahwa seorang hamba telah melampaui batas cintanya pada Allah, begitu juga dengan Allah tidak boleh diberi sifat cinta, dan seorang hamba tidak boleh dikatakan mempunyai cinta seperti cintanya Allah. Allah tidak membutuhkan cintanya hamba, dan hamba tidak dibutuhkan untuk dicintai Allah.

 

Dalf Asy-Syibli berkata, “Cinta, jika kamu cemburu pada seorang kekasih, maka orang sepertimu adalah mencintainya.”

 

Ahmad bin Atha’ pernah ditanya tentang cinta, lalu dijawab, “Cinta itu dahan-dahan yang ditancapkan dalam hati sehingga hati akan berbuah sesuai dengan kemampuan akal.”

 

Saya mendengar Manshur bin Abdullah berkata, “Saya mendengar An-Nashr Abadzi berkata bahwa cinta bisa menyuntik darah dan menumpahkannya.”

 

Abul Hasan Samnun bin Hamzah Al-Khawwash berkata, “Orang-orang yang mencintai Allah telah pergi dengan kemuliaan dunia dan akhirat. Hal itu dikarenakan Nabi Saw. pernah bersabda:

 

“Seseorang akan bersama yang dicintainya.”

 

“Mereka ini telah pergi bersama Allah.”

 

Yahya bin Mu’adz berkata, “Hakikat cinta tidak bisa berkurang karena kurangnya pemberian dan tidak bisa bertambah karena kebaikan yang diberikan kepadanya.” Katanya lagi, “Tidak benar seseorang yang mengaku telah mencintai Allah, tapi ia tidak menjaga batas-batas hukum Allah.”

 

Ustaz Al-Junaid berkata, “Jika cinta itu benar, maka hilanglah rasa ketersinggungan (karena kurang sopan).“ Maksud ucapan ini diterangkan oleh Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq, semoga Allah merahmatinya, “Jika saya mengatakan bahwa orang-orang saling mencintai dan abadi dalam cintanya, maka buruklah pujian-pujian mereka (tidak ada ketersinggungan karena ucapan kurang sopan).” Katanya lagi, “Kamu tidak pernah melihat seorang ayah yang mengasihi anaknya dengan menghormati anaknya dalam kata-kata suratnya, sedangkan kepada orang lain sangat menghormati dalam ucapan-ucapan tulisan suratnya kepadanya. Sedangkan seorang ayah hanya mengatakan, ‘Hai Fulan.’”

 

Muhammad bin Ali Al-Kattani berkata, “Cinta harus lebih mengutamakan yang dicintai.”

 

Bandar bin Al-Husin bercerita tentang seorang gila Bani Amir yang diperlihatkan dalam mimpinya, lalu dia bertanya kepadanya, “Apa yang diperlakukan Allah terhadapmu?“

 

“Allah telah mengampuniku, dan menjadikanku bukti (hujjah) bagi orang-orang yang mencintai-Nya,” jawabnya.

 

Abu Ya’qub As-Susi berkata, “Hakikat cinta itu terwujud jika seorang hamba mampu melupakan bagiannya dari Allah dan melupakan kebutuhan-kebutuhannya kepada Allah.”

 

Berkata Al-Husin bin Manshur, “Hakikat cinta itu jika kamu berdiri bersama kekasihmu dengan menanggalkan sifat-sifatmu.” Saya mendengar Syaikh Abu Abdurrahman As-Sulami menuturkan bahwa telah dikatakan kepada An-Nashr Abadzi, “Cintamu itu tidak ada apa-apanya.” Lalu dijawab, “Mereka benar, tapisaya menyesalkan mereka. Lihatlah saya telah terbakar dalam cinta.” Saya mendengar lagi An-Nashr Abadzi berkata, “Cinta itu menjauh: kesenangan dalam setiap keadaan.“ Kemudian dia membacakan syair:

 

Barangsiapa sepanjang cintanya merasakan kesenangan maka saya sepanjang malam tidak bisa merasakan kesenangan apapun kebanyakar hal-hal yang saya lalui berderet tidak menyenangkan banyak angan-angan yang tidak nyata bagai sekejap kilat yang menyilau

 

Berkata Muhammad bin Al-Fadhal Al-Farawi, “Cinta itu runtuhnya semua cinta dalam hati kecuali kepada Kekasih (Allah).”

 

Al-Junaid berkata, “Cinta itu berlebihan dalam kecenderungannya tanpa berharap mendapatkan sesuatu.” Dikatakan pula bahwa cinta itu kegelisahan dalam hati karena jatuh cinta kepada Kekasih. Dikatakan, “Cinta itu suatu fitnah (ketidak tenangan) dalam hati sanubari.”

 

Dalam syair Ahmad bin Atha’ dikatakan:

 

saya telah menancapkan satu tangkai cinta pada penggemar cinta namun belum ada satupun yang tahu sebelumku apakah cinta itu? maka tangkai itu berdaun menumbuhkan beberapa tangkai membuahkan kasih sayang lalu buah yang matang dan manis ini pun berakhir dengan kepahitan orang-orang yang asyik dimabuk cinta Jika mereka tenggelam dalam cinta sesungguhnya cinta itu berasal dari kepahitan

 

Dikatakan, “Cinta itu berawal dengan tipuan dan berakhir dengan kematian.” Saya mendengar Al-Ustadz Abu Ali AdDaqaq, rahimahullah, menerangkan sabda Rasulullah Saw.:

 

“Cintamu kepada sesuatu bisa membuatmu buta dan tuli.”

 

Lalu kata Ad-Daygag, “Membutakannya dari kecemburuan orang lain dan membutakan wibawa dari orang yang dicintainya.” Kemudian dia membacakan syair:

 

Jika cinta telah tampak padaku saya berpura-pura sombong sehingga ia tampil seperti orang yang tidak menginginkan apa-apa

 

Berkata Harits Al-Muhasibi, “Cinta itu rasa kecenderunganmu kepada sesuatu secara keseluruhan, kemudian kamu lebih mementingkan cinta itu daripada dirimu, jiwamu atau hartamu, kemudian kesetiaanmu padanya, baik ketika berada di tempat sunyi atau di tempat terbuka, kemudian ia memberitahukan kepadamu tentang keteledoran cintamu.”

 

Berkata Sariy As-Saqthi, “Cinta itu tidak patut untuk dua orang, sehingga yang satu berkata kepada yang lain, “Oh,.. saya.”

 

Dalf Asy-Syibli berkata, “Orang yang jatuh cinta itu jika diam saja dia akan binasa, sedangkan orang yang arif jika ia tidak diam dia akan binasa.

 

Dikatakan, “Cinta itu adalah api dalam hati yang dapat membakar apa saja selain yang dicintainya.” Dikatakan, “Cinta itu mencurahkan segala kemampuan, sedangkan kekasih itu boleh berbuat apa saja yang dia mau.” Berkata Ahmad An-Nuri, “Cinta itu membuka tabir dan membuka semua rahasia.” Berkata Abu Ya’qub As-Susi, “Tidak benar suatu cinta kecuali harus keluar dari penglihatan cinta menuju penglihatan kekasih dengan tidak mengetahui cintanya.”

 

Al-Junaid berkata, “Sariy telah membayar kepada saya ongkos menambal baju, lalu berkata, “Ini untukmu lebih baik daripada tujuh ratus kisah atau hadis.” Lalu dia menjawab dengan syair:

 

ketika saya mengaku jatuh cinta

cinta pun berkata, “Kamu dusta padaku

saya tidak melihat anggota tubuhmu mengenakan pakaian.

tiadalah cinta sehingga hati melekat pada isi perut dan menjadi layu sarnpai tak sanggup menjawab suara panggilan cinta bisa menjadikan kurus sampai tak tersisa cinta padamu selain mata yang menangis dan mengadu karena cinta

 

Berkata Ibnu Masruq “Saya pernah melihat Samnun berbicara tentang cinta, sampai lampu-lampu mesjid menjadi pecah semua.”

 

Diceritakan, “Samnun duduk di dalam mesjid membicarakan tentang cinta. Tiba-tiba datanglah seekor burung kecil lalu mendekat kepadanya, kemudian semakin mendekat hingga duduk di atas tangannya, kemudian burung tersebut mematukkan paruhnya ke tanah sehingga mengalir darah, kemudian burung itu pun mati.”

 

Berkata Al-Junaid, “Setiap cinta mempunyai tujuan. Jika telah hilang tujuan itu, maka hilanglah cinta itu.”

 

Diceritakan bahwa Dalf Asy-Syibli pernah dirawat di rumah sakit, lalu datanglah sekelompok orang untuk menjenguknya.

 

“Siapakah kalian ini?” tanya Asy-Syibli.

 

“Orang yang mencintaimu, Wahai Abu Bakar,” jawab mereka. Tiba-tiba Dalf melempari mereka dengan batu seraya mengatakan, “Jika kamu semua mengaku mencintaiku, maka bersabarlah atas ujian yang menimpaku (dengan lemparan batu yang menimpamu).“ Lalu Dalf Asy-Syibli membacakan syair:

 

wahai Tuhan Yang Mulia cinta-Mu telah rnenetap di antara isi perut (hati) wahai Tuhan Pencabut tidur dari pelupuk mataku

Engkau Maha Tahu dengan apa yang telah terjadi padaku

 

Yahya bin Mu’adz pernah menulis surat kepada Abu Yazid Al-Busthami, “Saya telah mabuk karena banyak meminum gelas cinta-Nya.” Maka Yazid membalas suratnya dengan mengatakan, “Orang selainmu telah meminum lautan langit dan bumi dan tidak pernah merasa puas, bahkan mengatakan, apakah bisa tambah lagi? Mereka mengatakan:

 

aku heran dengan orang yang mengatakan saya teringat kasih-Ku apakah saya akan lupa sehingga saya harus mengingat apa yang saya lupa saya terasa mati jika saya mengingat-Mu kemudian saya hidup lagi kalau bukan karena kebaikan prasangkaku tidaklah saya bisa hidup maka saya hidup dengan penuh cita-cita dan saya mati karena kerinduan betapa seringnya saya hidup dan mati karena-Mu saya telah meminum bergelas-gelas cinta air cinta pun tak pernah habis dan saya tak pernah puas

 

Dikatakan, “Allah pernah mewahyukan kepada Nabi Isa a.s. “Sesungguhnya Aku bila melihat hati seorang hamba, dan ternyata Aku tidak menjumpai di hatinya cinta dunia dan akhirat, maka Aku penuhi hatinya dengan cinta-Ku.”

 

Saya pernah melihat tulisan Al-Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq rahimahullah, yang mencatat firman Allah yang pernah diturunkan dalam beberapa Kitabullah, “Wahai hamba-Ku, Aku dan hakmu untukmu adalah mendapatkan yang mencintaimu, maka dengan hak-Ku, jadilah orang yang mencintai-Ku.”

 

Berkata Abdullah bin Al-Mubarak, “Barangsiapa memberikan suatu cinta, dan belum pernah memberikan rasa takut seperti cintanya, maka dia itu tertipu.” Dikatakan, “Cinta itu sesuatu yang dapat menghapus jejakmu.”

 

“Cinta itu mabuk,” kata suatu pendapat, “orang yang dimabuk cinta ini tidak akan sadar kecuali jika melihat kekasihnya, kemudian mabuk cinta setelah bertemu. Hal itu tidak bisa diuraikan. Kemudian mereka membacakan syair:

 

putaran gelas itu telah membuat orang-orang mabuk sedangkan mabukku dikarenakan orang yang memutarkan gelas itu

 

Berkata Al-Ustadz Abu Ali Ad-Daqaq dalam syairnya yang sering dibacakan:

 

saya pernah mabuk dua kali dan menyesal satu kali itu adalah sesuatu yang membuatku teristimewa di antara mereka

 

Berkata Ahmad bin Atha’, “Cinta itu menyesali kesalahan untuk berbuat lurus.”

 

Al-Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq mempunyai seorang jariyah (budak waruta) namanya Fairuz. Dia menyukainya karena budak yru telah berbakti kepadanya dalam waktu yang lama sekali. Saya pernah mendengar Al-Ustadz Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Di suatu hari Fairus pernah menyakiti hatiku, dan mencemarkan nama saya karena lidahnya.” Maka Abul Hasan Al-Oari bertanya kepada Fairus, “Mengapa kamu menyakiti hati Syaikh ini?” Jawabnya, “Karena saya mencintainya.”

 

Yahya bin Mu’adz berkata, “Cinta yang sekecil biji sawi lebih saya sukai daripada beribadah tujuh puluh tahun tanpa rasa cinta.”

 

Dikatakan bahwa ada seorang pemuda mengawasi orang-orang di suatu hari raya seraya mengatakan: “Barangsiapa yang mati karena cinta, maka matilah seperti ini. Tiada artinya cinta yang tidak membawa kematian.” Setelah berkata demikian, dia melemparkan dirinya dari atas loteng sampai iajatuh dan mati.”

 

Diriwayatkan bahwa ada seorang India jatuh cinta kepada seorang wanita. Lalu wanita ini pergi meninggalkannya, maka lelaki India ini keluar untuk mengucapkan selamat tinggal, dan kedua matanya mencucurkan air mata, sedangkan wanita ini tidak menangis sedikit pun. Kemudian lelaki ini memejamkan matanya yang belum pernah menangis sejak 84 tahun. Dia tidak mau membuka matanya untuk menyiksanya karena wanita ini tidak mau menangis atas perpisahan dengan kekasihnya ini. Berkata seorang penyair:

 

mataku menangis mencucurkan air mata di saat perpisahan di pagi hari sedangkan yang kutangisi tidak mau ikut menangis atas perpisahan kami maka saya menyiksa wanita yang bakhil tidak mau memberikan air matanya itu dengan saya pejamkan mata saat di hari kami bertemu

 

Berkata salah seorang di antara mereka, “Kami pernah berada di sisi Dzun Nun Al-Mishri, maka kami teringat cinta, maka berkatalah Dzun Nun:

 

rasa takut dan sedih untuk berbuat kejelekan lebih utarna bagi orang yang telah beribadah dan cinta akan menjadi indah bila disertai dengan takwa dan bersih dari kotoran

 

Samnun lebih mendahulukan cinta daripada ma’rifat, sedangkan kebanyakan mereka lebih mendahulukan ma’rifat daripada cinta.

 

Menurut ahli hakikat, “Cinta itu binasa dalam kelezatan, dan ma rifat itu persaksian dalam kebingungan, dan hancur dalam rasa takut.”

 

Abu Bakar Muhammad Al-Kattani berkata, “Pernah terjadi dialog cinta di Mekkah Al-Mukarramah di waktu musim haji. Para syaikh (guru besar) menyampaikan pendapatnya, sedangkan AlJunaid pada saat itu adalah yang paling muda usianya. Mereka berkata kepada Al-Junaid, Sampaikanlah pendapatmu wahai orang Irag.. Maka Al-Junaid menundukkan kepalanya, dan kedua matanya mencucurkan air mata, kemudian berkata, “Seorang hamba yang telah meninggalkan dirinya untuk mengingat Tuhannya, berdiri menunaikan hak-hak Tuhannya, memandangNya dengan mata hatinya sampai hatinya membakar identitas dirinya, meminum kejernihan minuman dari gelas cintanya, sehingga tersingkaplah tabir Tuhan Yang Maha Perkasa dari kegaiban-Nya. Jika hamba ini berbicara, maka ia berbicara dengan nama Allah. Jika menyampaikan suatu pendapat, maka ia mengambilnya dari Allah. Jika bergerak, maka itu karena perintah Allah. Jika diam, maka ia selalu bersama Allah. Dia selalu dengan nama Allah dan untuk Allah serta selalu bersama Allah.’ Maka menangislah para syeikh seraya mengatakan, “Tiadalah ucapan yang lebih baik dari ucapanmu, semoga Allah memberikan mahkota kepada orang-orang arif.

 

Diceritakan, “Allah pernah mewahyukan kepada Nabi Dawud a.s., “Wahai Dawud, Saya mengharamkan yang dimasuki cinta-Ku dengan cinta selain-Ku secara bersamaan.”

 

Berkata Abul Abbas, pelayan Al-Fudhail bin Iyadh, “Al-Fudhail pernah sakit tidak bisa buang air kecil, maka dia mengangkat kedua tangannya seraya berdoa, “Ya Allah Demi cintaku kepada-Mu, saya memohon lancarkan air seni saya.” Maka Allah pun menyembuhkan sakit saya.“

 

Dikatakan bahwa cinta itu mengalahkan dirinya sendiri, sebagaimana yang terjadi pada isteri seorang yang terhormat (Zulaiha). Ketika sudah tidak bisa menyelesaikan masalahnya, ia berkata:

 

“Akulah yang menggodanya untuk rnenundukkan dirinya (kepadaku), dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar.” (QS. Yusuf: 51)

 

Padahal pada mulanya ia mengatakan:

 

“Apa pembalasan terhadap orang yang bermaksud berbuat serong dengan isterimu, selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan azab yang pedih.” (QS. Yusuf: 25)

 

Wanita ini pada mulanya membebankan kesalahan ini pada Nabi Yusuf a.s., namun pada akhirnya ia mengakui bahwa dirinyalah yang berkhianat.

 

Abu Sa’id Hamdun Al-Kharraz meriwayatkan bahwa ia berkata: “Saya telah bermimpi melihat Nabi Saw., lalu saya katakan, ‘Wahai Rasulullah, maafkanlah saya. Cintaku kepada Allah telah menyibukkanku dari bercinta denganmu. Jawab Nabi Saw., ‘Wahai Mubarak,” barangsiapa yang mencintai Allah, maka sungguh ia telah mencintaiku.”

 

Rabi’ah Al-Adawiyah berkata dalam munajatnya, “Wahai Tuhanku, apakah Engkau akan membakar hati yang mencintaiMu?” Kemudian ada suara yang menyahut, “Kami tidaklah memperlakukan demikian, maka janganlah kamu punya prasangka buruk terhadap Kami.”

 

Dikatakan, “Kata hubbu terdiri dari dua huruf: ha’ dan ba’. Isyarahnya bahwa orang yang jatuh cinta harus keluar dari ruh, badan, dan hatinya, seperti kesepakatan suatu kaum yang mengatakan bahwa cinta itu adalah kesetiaan. Kesetiaan yang paling nyata adalah kesetiaan dalam hati. Cinta harus tidak kontradiksi karena orang yang jatuh cinta akan selalu bersama orang yang dicintainya. Dengan demikian, maka terjadilah komunikasi.”

 

Diriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy’ari, bahwa pernah dikatakan kepada Nabi Saw., “Sesungguhnya orang itu mencintai suatu kaum.” Ketika Nabi bertemu mereka, beliau bersabda, “Seseorang akan dikumpulkan bersama orang yang dicintainya.”

 

Berkata Abu Hafsh, “Kebanyakan rusaknya kondisi karena tiga hal: fasiknya orang-orang arif, khianatnya orang-orang yang jatuh cinta, dan berbohongnya para murid.”

 

Berkata Abu Utsman, “Fasiknya orang-orang arif terjadijika melepaskan pandangan mata, lisan, dan telinga kepada hal-hal yang menjurus kepada dunia dan kepentingan-kepentingan du. rua. Sedangkan khianatnya muhibbin (orang-orang yang mencintai Allah) terjadi jika memilih hawa nafsunya daripada rida Allah Azza wa Jalla dalam menghadapi masa depan mereka. Adapun bohongnya murid terjadi apabila urusan makhluk dan kepen, tingan mereka mengalahkan zikir kepada Allah dan kepentingan Allah.”

 

Berkata Abu Ali Mimsyad bin Sa’id Al-Ukbari, “Ada seekor burung pipit merayu seekor burung pipit betina di kubah Nabi Sulaiman a.s. Burung pipit betina menolaknya. ‘Mengapa kamu menolak saya?’ tanya burung pipit jantan, ‘jika kamu menerima cintaku, maka saya akan membalikkan kubah ini menjadi di atas Sulaiman (Nabi Sulaiman mendengar perbincangan kedua bu. rung tersebut karena Allah telah memberikan kepahaman bahasa burung kepadanya).’ Maka Nabi Sulaiman memanggil burung jantan dan bertanya, “Apa vang menyebabkan kamu berani berkata seperti yang kamu katakan? Jawab burung jantan, Wahai Nabi Allah, sesungguhnya setiap vang jatuh cinta, pasti dia menjadi kurang teliti (tidak peduli dengan apa yang dikatakannya. Kata Nabi Sulaiman a.s., Benar kamu.”

 

47. RINDU

 

Allah Azza wa Jalla berfirman:

 

“Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu, pasti datang. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Ankabut: 5)

 

Dari Atha’ bin As-Sa’ib dari ayahnya dikatakan, “Pernah Ammar bin Yasir salat bersama kami. Salatnya sangat singkat. Lalu saya mengatakan kepadanya, ‘Wahai Abul Yaqzhan, kamu mengentengkan salat.’ Jawab Ammar (Abul Yaqzhan), Saya tidak bisa lebih dari itu. Sungguh saya telah berdoa kepada Allah dengan doa-doa yang pernah saya dengar dari Rasulullah Saw.’ Ketika Ammar berdiri, dia diikuti oleh seorang lelaki, lalu menanyakan doa-doa tersebut, maka Ammar bin Yasir menjawabnya: ‘Ya Allah, dengan ilmu-Mu yang gaib, dan kekuasaan-Mu terhadap makhluk, berilah saya kehidupan yang menurut-Mu lebih baik untukku, dan matikanlah saya yang menurut-Mu kematian itu lebih baik bagiku. Ya Allah, saya mohon kepada-Mu. Jadikanlah saya orang yang takut kepada-Mu, baik di tempat tertutup atau terbuka, dan saya memohon kepada-Mu, berikanlah saya pembicaraan yang benar, baik ketika marah atau tidak marah. Saya mohon kepada-Mu kesederhanaan baik ketika kaya ataupun miskin. Saya mohon kepada-Mu kenikmatan yang tidak punah, kesenangan yang tidak terputus, dan saya mohon kepada-Mu sifat rida jika telah datang takdir-Mu, dan kehidupan yang sejuk setelah kematian. Saya mohon kepada-Mu dapat melihat wajahMu Yang Mulia. Saya rindu untuk bertemu dengan-Mu dengan tanpa mengalami penderitaan yang mencelakakan, atau ujian yang menyesatkan. Ya Allah, hiasilah kami dengan hiasan iman. Ya Allah, jadikanlah kami petunjuk bagi orang-orang yang mencari petunjuk. ”

 

Berkata Al-Ustaz Al-Qusyairi, “Rindu adalah kegoncangan hati untuk menemui yang dicintai. Kerinduan tergantung dalamnya cinta.”

 

Saya mendengar Al-Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq, rahimahullah, membedakan antara kata Asy-Syauq (rindu) dan Al-Isytiyaq (rindu). Katanya, “Asy-Syauq itu kerinduan yang bisa reda dengan bertemu dan melihatnya, sedangkan Al-Isytiyaq adalah kerinduan yang tidak bisa hilang dengan bertemu.” Dalam hal ini mereka mengatakan dalam bait syair:

 

mata yang melihat tiadalah ingin kembali melihatnya kecuali karena ada isytiyaq (kerinduan) untuk memandangnya lagi

 

Berkata An-Nashr Abadzi, “Setiap makhluk semuanya mempunyai syauq, namun mereka tidak mempunyai isytiyaq (kerinduan). Barangsiapa yang telah masuk dalam isytiyaq, maka ia selalu tidak pernah puas kerinduannya sampai tidak terlihat bekas atau ketetapan.

 

Diceritakan bahwa Ahmad bin Hamid Al-Aswad pemah bertamu kepada Abdullah bin Al-Mubarak, lalu berkata, “Saya telah bermimpi bahwa kamu akan mati setahun lagi, maka sebaiknya kamu bersiap-siap untuk keluar dari dunia.” Maka Abdullah bin Al-Mubarak berkata kepada Ahmad bin Hamid Al-Aswad, “Sungguh kamu telah menunda dalam waktu yang lama sekali. Saya akan hidup satu tahun lagi. Sungguh saya telah mempunyai kedamaian di rumah ini yang saya dengar dari seorang alim, Abu Ali:

 

wahai orang yang telah mengadukan rindunya karena perpisahan yang cukup lama bersabarlah barangkali kamu akan bertemu dengan yang kamu cintai besok

 

Berkata Abu Utsman, “Tanda kerinduan itu senang kematian dengan keadaan tenang.”

 

Yahya bin Mu’adz berkata, “Tanda kerinduan itu menghentikan semua anggota badan dari semua syahwat (kesenangan dunia).

 

Saya mendengar Al-Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Nabi Dawud a.s. pernah keluar ke beberapa padang sahara sendirian. Kemudian Allah menurunkan wahyu kepadanya, Wahai Dawud, belum pernah Aku melihatmu sendirian? Maka Nabi Dawud a.s. berkata, Wahai Tuhanku, kerinduan untuk bertemu denganMu telah mengalahkan semua keinginan hatiku, telah menghalangiku bersahabat dengan makhluk.’ Maka Allah pun menurunkan wahyu kepadanya, ‘Kembalilah kepada mereka, sesungguhnya jika kamu datang kepada-Ku dengan membawa seorang hamba yang lari dari tuannya, maka akan Aku tetapkan di Lauh Mahfuzh bahwa kamu adalah seorang arif yang dapat membedakan antara yang baik dan jelek.”

 

Diceritakan, “Ada seorang perempuan tua didatangi sebagian keluarganya yang datang dari bepergian. Orang-orang pun menampakkan ikut senang, namun wanita tua ini malah menangis, lalu ditanyakan kepadanya, Apakah yang membuatmu menangis? Jawabnya, Kedatangan pemuda ini mengingatkanku hari kedatangan kepada Allah Taala.’”

 

Ahmad bin Atha’ pernah ditanya tentang rindu, maka jawabnya, “Terbakarnya isi perut, berkobarnya hati, dan terputusputusnya limpa hati.”

 

Ahmad pernah ditanya juga tentang rindu, “Apakah rindu lebih tinggi daripada cinta?” Jawabnya, “Cinta lebih tinggi karena rindu itu bersumber dari cinta.”

 

Sebagian mereka berkata, “Rindu itu kobaran yang muncul di tengah-tengah isi perut, berkobar di saat berpisah. Jika telah terjadi pertemuan, padamlah kobaran tersebut, dan jika melihat “kekasih itu dapat mengalahkan hati, maka rindu tidak dapat lagi mengetuk cinta.”

 

Dikatakan kepada sebagian mereka, “Apakah kamu rindu (kepada Allah)?” Jawabnya, “Tidak, karena rindu itu kepada yang tidak ada, sedangkan Dia telah hadir.”

 

Saya mendengar Al-Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq menerangkan firman Allah:

 

“Dan aku bersegera kepada-Mu, ya Tuhanku, agar Engkau rida (kepadaku).” (QS. Thaha: 84)

 

Menurutnya, makna ayat tersebut adalah aku rindu kepadaMu, kemudian ia menutupinya dengan kata rida.

 

Saya juga mendengar dia berkata, “Termasuk tanda-tanda rindu adalah mengharapkan kematian di atas kehidupan yang menyenangkan, seperti Nabi Yusuf a.s. ketika dilemparkan ke dalam sumur. Dia tidak mengatakan, ‘Matikanlah aku.’ Juga ketika dimasukkan dalam penjara juga tidak mengatakan, Matikanlah aku. Tetapi, ketika kedua orangtuanya datang dan para saudaranya menunduk di hadapannya, dia berkata matikanlah saya dalam keadaan Islam.” Pendapat iri seperti yang tersirat dalam syair yang mengatakan:

 

kami berada dalam puncak kegembiraan akan tetapi tiadalah kegembiraan yang paling menyenangkan kecuali dengan kalian aiblah apa yang ada pada kami wahai orang-orang yang mencintaiku sesungguhnya kalian tidak ada sedangkan kami hadir

 

Mereka juga mengatakan yang searti dengan hal di atas:

 

barangsiapa yang merasa baHagia dengan adanya hari raya yang baru sungguh kamu telah menghapuskan kebahagiaan menurutku kebahagiaan itu benar-benar terwujud Jika kekasih-kekasihku telah hadir

 

Berkata Abu Abdullah bin Khafif, “Rindu itu damainya hati dengan jiwa, senang bertemu dan berada di dekatnya.”

 

Berkata Abu Yazid Al-Busthami, “Sesungguhnya Allah mempunyai hamba-hamba yang andaikata Allah menutupi mereka dari melihat Allah di surga, pastilah mereka akan meminta tolong kepada surga, sebagaimana penduduk neraka meminta tolong kepada neraka.”

 

Al-Husin Al-Anshari berkata, “Saya pernah bermimpi seolah-olah dunia telah kiamat, lalu saya lihat ada seseorang berdiri di bawah Arasy, maka Allah berfirman, ‘Wahai malaikatmalaikat-Ku, siapakah orang ini. Mereka menjawab, Allah Maha Tahu. Allah kemudian memberitahukan mereka bahwa dia adalah Ma’ruf Al-Karkhi. Dia telah mabuk karena cinta kepada-Ku. Ia tidak bisa sadar kecuali jika bertemu dengan-Ku.”

 

Dalam hikayat lain seperti di atas (dalam mimpi), dikatakan, “Ini adalah Ma’ruf Al-Karkhi. Dia telah keluar dari dunia karena rindu kepada Allah, maka Allah mengizinkan kepadanya untuk melihat-Nya.”

 

Faris berkata, “Hati orang-orang yang rindu kepada Allah diterangi dengan cahaya Allah Taala. Jika kerinduan mereka berguncang, hatinya menerangi langit dan bumi, maka Allah mengatakan kepada para malaikat, “Mereka ini adalah orang-orang yang rindu kepada-Ku, maka Aku persaksikan kepada kalian bahwa Aku lebih rindu kepada mereka daripada mereka.’

 

Saya pernah mendengar Al-Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq menerangkan sabda Rasulullah Saw., “Saya memohon kepada-Mu kerinduan untuk bertemu dengan-Mu.” Kata Al-Ustaz Abu Ali, “Rindu itu ada seratus bagian. Sembilan puluh sembilan dimiliki Allah, dan satu bagian dibagikan kepada manusia, maka Allah menghendaki satu bagian ini juga dimiliki Allah, sehingga Allah cemburu jika pecahan satu bagian rindu ini diberikan kepada selain Allah.”

 

Dikatakan, “Kerinduan orang-orang yang dekat kepada Allah lebih berat daripada kerinduan orang-orang yang tertutup dari Allah. Oleh karena ini, dikatakan dalam syair:

 

saya heran dengan kerinduan di suatu hari karena tenda telah berdekatan namun rindu tetap membara

 

Dikatakan, “Bahwa orang-orang yang rindu kepada Allah dapat merasakan manisnya kematian jika kerinduan itu memang telah datang, karena telah dibukakan kepada mereka bahwa ruh yang sampai kepada Allah akan lebih manis daripada menyak, sikan.

 

Berkata Sariy As-Saqthi, “Rindu itu mempunyai kedudukan yang tinggi bagi seorang arif yang telah mencapai hakikat. Jika kerinduannya telah menghakikat, maka ia menjadi lupa dengan segala sesuatu yang bisa mengganggu kerinduannya.”

 

Berkata Abu Utsman Sa’id Al-Hiri yang menerangkan firman Allah:

 

“Maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang.” (QS. Al-Ankabut: 5)

 

Menurutnya, ayat ini merupakan ta’ziyah (menghibur) kepada orang-orang yang rindu kepada Allah. Dengan redaksi lain, ayat menyiratkan makna, sesungguhnya Aku tahu bahwa kerinduanmu kepada-Ku tidak dapat kamu kendalikan, sedangkan Aku menunda pertemuan ini dengan satu tempo, dalam waktu dekat kamu akan sampai kepada yang kamu rindukan.

 

Dikisahkan bahwa Allah telah menurunkan wahyu kepada Dawud a.s., “Katakanlah kepada para pemuda Bani Israil, ‘Mengapa kalian repot dengan selain-Ku, sedangkan Aku sangat merindukan kalian? Kekejaman macam apa ini? “

 

Dikatakan juga bahwa Allah Azza wa Jalla telah mewahyukan kepada Dawud a.s., “Seandainya orang-orang yang merenungkan tentang Aku bagaimana penantian-Ku kepada mereka, kasih sayang-Ku dengan mereka, kerinduan-Ku untuk tidak menyalahi mereka, pastilah mereka akan mati karena rindu kepada-Ku, dan terputuslah persendian mereka karena cinta-Ku. Wahai Dawud, ini keinginan-Ku terhadap orang-orang yang mau merenungkan tentang Aku, maka bagaimanakah keinginan-Ku terhadap orang-orang yang mau datang kepada-Ku?“

 

Dikabarkan, telah tertulis dalam kitab Taurat: “Kami telah menjadikan kerinduan padamu, namun kamu tidak pernah rindu. Kami telah menjadikan takut kepadamu, tapi kamu tidak takut. Kami telah menjadikan tangisan kepadamu, tapi kamu tidak pernah menangis karena Aku.“

 

Saya mendengar Al-Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Nabi Syu’aib a.s. pernah menangis sampai buta matanya, kemudian Allah mengembalikan pandangan matanya, kemudian ia menangis lagi sampai buta matanya, kemudian Allah mengembalikan lagi pandangan matanya, kemudian ia menangis lagi sampai buta matanya, lalu Allah mewahyukan kepadanya, Jika tangisan ini karena surga, maka telah Aku izinkan surga untukmu. Jika karena takut kepada neraka, maka Aku lindungi kamu dari neraka.’ Jawab Nabi Syu’aib, Bukan, akan tetapi karena rindu kepada-Mu.’ Maka Allah mewahyukan kepada Nabi Syu’aib, Karena itulah, Aku jadikan kamu Nabi-Ku dan kalin (orang yang diberi kesempatan berbicara dengan Allah secara langsung)-Ku selama sepuluh tahun.”

 

Dikatakan, “Barangsiapa yang rindu kepada Allah Taala, maka segala sesuatu akan rindu kepadanya.”

 

Diceritakan dalam hadis, “Sorga telah rindu kepada tiga orang: Ali, Ammar, dan Salman.”

 

Berkata Malik bin Dinar, “Saya telah membaca kitab Taurat yang di dalamnya disebutkan: Karni telah menciptakan rindu kepadamu, namun kamu tidak rindu kepada-Ku. Kami telah menciptakan seruling!” untukmu, tapi kamu tidak mau menari.”

 

Al-Junaid pernah ditanya, “Dari manakah tangisan seseorang kepada kekasihnya yang dijumpainya?” Jawabnya, “Dia menangis seperti itu karena gembira, dan hatinya yang sangat rindu kepada kekasihnya.”

 

48. MENJAGA HATI PARA GURU

 

Allah berfirman menerangkan kisah Nabi Musa a.s. bersama Nabi Khidir a.s.:

 

“Musa berkata kepada Khidir, “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (QS. Al-Kahfi: 66)

 

Berkata Al-Imam Al-Junaid. “Ketika Nabi Musa a.s. ingin bersama Nabi Khidir a.s., Nabi Musa a.s. diharuskan menjaga syarat sopan santun yang telah disepakati dengannya. Syarat ini berkaitan dengan permintaan izin Musa a.s. untuk diperbolehkan bersahabat dengan Nabi Khidir a.s. kemudian Nabi Khidir a.s. memberikan syarat kepada Nabi Musa a.s. agar tidak menentang atau memprotes keputusannya. Kemudian ketika Nabi Musa a.s. tidak menepati peraturan Nabi Khidir a.s. yang pertama dan kedua, kekeliruan Nabi Musa a.s. iru dimaafkan. Akan tetapi, ketika pelanggaran itu sampai yang ketiga kalinya, tiga adalah merupakan batas terakhir, maka Nabi Khidir a.s. memutuskan untuk berpisah dengannya seraya mengatakan:

 

“Inilah perpisahan antara aku denganmu.’ (QS. Al-Kahfi: 78)”

 

Rasulullah Saw. bersabda:

 

“Tidaklah anak muda memuliakan seorang guru karena umurnya, kecuali Allah akan mentakdirkannya di usia tuanya (dengan dijadikan) orang (lain) yang akan (ganti) menghormati (memuliakan-nya.)

 

Saya mendengar Syeikh Abu Ali Ad-Daqaq, rahimahullah, berkata, “Awal setiap perpisahan adalah karena adanya pelanggaran, yakni orang yang melanggar gurunya sehingga ia tidak lagi tetap pada thariqah (jalan) gurunya dan hubungan antara keduanya menjadi terputus, walaupun keduanya berada dalam satu tanah. Barangsiapa yang bersahabat dengan salah seorang syeikh (guru), kemudian menentangnya dengan hatinya, maka ia telah : merusak perjanjian hubungan murid dengannya, dan ia wajib bertobat.”

 

Berkata salah seorang guru (Syeikh), “Menentang guru tidak ada tobatnya (secara sempurna).”

 

Saya mendengar syeikh Abu Abdurrahman As-Sulami berkata, “Saya pernah keluar menuju Marwa di saat guru saya AlUstaz Abu Sahal Ash-Sha’ luki masih hidup. Sebelum saya keluar beberapa hari yang lalu, dia mengadakan majelis pembacaan AlQuran dan khataman. Ketika pulang, saya lihat dia sedang menggantikan majelis ini dan mengadakan pembicaraan dengan Abul Ghaffani pada saat itu. Saat itu hati saya merasa tidak setuju dan saya bergumam dalam diri saya sendiri, “Dia telah menggantikan majelis khataman dengan majelis pembicaraan. Di hari yang lain guru saya berkata kepada saya, ‘Wahai Abu Abdurrahman, apa yang dikatakan orang-orang tentang saya? Jawabku, ‘Mereka mengatakan bahwa Tuan Guru telah menggantikan majelis khataman Al-Quran dengan majelis pembicaraan.’ Al-Ustaz Abu Sahal Ash-Sha’luki menjawab dengan menjelaskan, “Barangsiapa yang berkata kepada gurunya dengan mengatakan mengapa atau untuk apa, maka ia tidak akan beruntung selamanya.

 

Telah diketahui bersama bahwa Al-Junaid berkata, “Saya pernah datang kepada Sariy As-Saqthi di suatu hari. Dia menyu, ruh saya untuk mengerjakan sesuatu, dan saya melaksanakannya dengan cepat. Ketika saya kembali kepadanya, ia memberi saya selembar kertas dengan berkata, “Inilah tempat pelaksanaanmu tentang keperluan saya yang kamu lakukan dengan cepat. Kemudian saya membaca kertas tersebut yang ternyata tertulis: Saya mendengar seorang penggiring onta mendendangkan lagu di lembah:

 

saya menangis tahukah kamu apa yang menyebabkan aku menangis saya menangis karena takut kamu meninggalkanku dan takut kamu akan memutus tali hubunganku serta kamu biarkan aku sendiri.

 

Diriwayatkan dari Abul Hasan Al-Hamdani Al-Alawi yang berkata, “Di suatu malam saya berada di tempat Ja’far Al-Khuldi. Saya diperintahkan untuk menggantungkan burung di sangkar di rumah saya, maka saya mengikuti petunjuknya. Kemudian Ja far berkata kepadaku, Bangunkanlah di waktu malam! Maka saya mengajukan suatu alasan (pertanyaan) kepadanya kemudian pulang ke rumah dan mengeluarkan burung dari sangkarnya. Burung itu berhenti di hadapan saya. Tiba-tiba muncul seekor anjing yang masuk lewat pintu, lalu membawa burung tersebut ketika orang-orang yang hadir lengah. Ketika pagi hari tiba, saya datang kepada Ja far. Ketika dia melihatku, dia berkata, Barangsiapa tidak menjaga perasaan para guru maka Allah menyuruh anjing untuk menyakiti (mengganggu)nya.

 

Abdullah Ar-Razi telah mendengar Abu Utsman Said AlHiri menerangkan sifat Muhammad bin Al-Fadhal Al-Balkhi dan memujinya. Abdullah ingin sekali mengunjunginya. Ketika mengunjunginya, hati Abdullah tidak terkesan dengan Muhammad bin Al-Fadhal sebagaimana yang diduganya sebelumnya. Karena itu, Abdullah kembali kepada Abu Utsman.

 

“Bagaimana kamu dapati dia?” tanya Abu Utsman.

 

“Saya menemuinya tidak seperti yang saya kira,” jawab Abdullah.

 

“Karena kamu menganggap kecil (meremehkannya) kepadanya! Ketahuilah, tidak seorangpun yang meremehkan orang lain kecuali dia akan dihalangi faedah darinya. Karena itu, kembalilah kepadanya dengan penuh penghormatan.”

 

Abdullah akhirnya kembali kepada Muhammad bin AlFadhal Al-Balkhi, dan dalam kunjungannya itu, dia membawa banyak manfaat.

 

Al-Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq, rahimahullah, berkata, “Ketika penduduk Balkh mengusir Muhammad bin Al-Fadhal dari daerahnya, dia mendoakan mereka: “Ya Allah, hilangkanlah kejujuran dari mereka.” Maka di daerah Balakh sesudah itu tiada seorangpun yang bisa dipercaya.

 

Saya mendengar Ahmad bin Yahya Al-Abiwardi rahimahullah, berkata, “Barangsiapa yang diridai gurunya, maka di masa hidupnya tidak dibalas (kejelekan) oleh Allah agar rasa ta’zhimnya (hormat) kepada gurunya tidak hilang. Ketika guru itu telah meninggal, Allah menampakkan balasan keridaan gurunya. Barangsiapa yang gurunya tidak meridainya, maka selama hidup guru itu tidak diberi balasan oleh Allah agar guru tersebut tidak menaruh belas kasih kepadanya. Sesungguhnya para guru diciptakan sebagai orang-orang yang mulia. Ketika guru itu telah meninggal, maka murid tersebut akan memperoleh balasannya.”

 

49. MENDENGAR

 

Allah berfirman:

 

“Sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku yang mendengarkan perkataan,” lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.” (QS. Az-Zumar: 17-18)

 

Kata Al-Qaul (perkataan) dalam firman Allah di atas terdapat huruf alif dan lam menunjukkan ucapan yang umum dan menyeluruh, buktinya Allah memuji mereka dengan mengikuti yang paling baik.

 

Allah berfirman:

 

“Maka mereka di dalam taman (surga) bergembira.” (QS. Ar-Rum: 15)

 

Diterangkan dalam tafsir bahwa maksudnya adalah mendengarkan.

 

Ketahuilah bahwa mendengarkan syair-syair dengan lagulagu yang enak, jika yang mendengarkan itu tidak meyakini bahwa hal itu dilarang, tidak mendengar dalam syarak bahwa hal itu adalah tercela, tidak menarik kendali hawa nafsunya, dan tidak berdampak negatif, maka hal itu secara global adalah diperbolehkan (mubah). Tidak ada perbedaan pendapat tentang berita bahwa ada syair-syair yang dibacakan di hadapan Rasulullah Saw. yang beliau pun mendengarkannya dan tidak mengingkari (melarang) mereka membacakan syair-syair tersebut. Jika boleh mendengarkan bait-bait syair tersebut tanpa lagu-lagu yang indah, maka hukumnya pun tidak berubah kalau disampaikan dengan lagu. Iri merupakan keadaan lahiriyah, kemudian yang penting adalah menjadikan pendengar senang untuk melakukan ketaatan dan mengingat balasan yang telah disiapkan oleh Allah bagi orang-orang yang bertakwa dengan beberapa derajat, menjauhkannya dari perbuatan dosa untuk menjernihkan hati dalam situasi apapun, menjadikannya cinta agama, dan memilih hukum Allah. Rasulullah Saw. pun pernah mengucapkan kalimat yang hampir mirip dengan syair, kalau memang tidak bermaksud membacakan syair.

 

Berkata Anas bin Malik, “Para sahabat Anshar ketika menggali tanah Khandaq,” mereka mengucapkan syair:

 

kami adalah orang-orang yang telah berbaiat kepada Muhammad maka selamanya kami tidak akan berhenti berjihad

 

Maka Rasulullah saw menjawab:

 

ya Allah tiadalah kehidupan yang sebenarnya kecuali kehidupan akhirat maka muliakanlah kaum Anshar dan Muhajirin.”

 

Ucapan beliau di atas bukanlah ungkapan yang diukur dan diformat dengan timbangan syair, tetapi mirip dengan syair. Para ulama salaf juga ada yang mendengarkan bait-bait syair dengan lagu. Di antara mereka yang membolehkan adalah Malik bin Anas dan ulama ahlu Hijaz.“ Semuanya memperbolehkan adanya lagu di dalamnya. Adapun lagu-lagu di saat menggiring unta, menurut kesepakatan mereka diperbolehkannya. Hadits-hadits tentang hal ini banyak jumlahnya.

 

Diriwayatkan dari Juraij bahwa dia memperbolehkan mendengar lagu. Kemudian ditanyakan kepadanya, “Jika kamu ber. ada di hari kiamat kelak, kemudian kamu dimintai pertanggungjawaban atas amal-amal baik dan amal-amal buruk, maka mendengarkan lagu ini kamu kelompokkan di mana?”

 

“Tidak termasuk dalam kelompok kebaikan atau kelompok keburukan, tetapi masuk kelompok yang mubah.’”

 

Adapun Imam Syafi’i, rahimahullah, tidak mengharamkan lagu, namun untuk orang awam dimakruhkan, walaupun lagu itu termasuk profesinya, atau boleh dikatakan selalu mendengar. kan lagu untuk bersenang-senang tanpa menonton. Imam Syafi’i menggolongkan hal ini dalam kelompok sesuatu yang menjatuhkan muru’ah (nilai kewibawaan), tidak sampai dalam kelompok yang diharamkan. Pembicaraan kami ini tidaklah berlebihan tentang mendengar lagu, tapi kelompok mazhab ini telah meraih kedudukan yang besar dalam pembolehan bersenang-senang dengan lagu, duduk-duduk untuk menikmati lagu, merenungkan isi kandungannya dengan hati, atau hanya mendengarkan saja secara tidak persis.

 

Telah diriwayatkan beberapa hadis yang bersumber dari Ibnu Umar tentang diperbolehkannya mendengar lagu-lagu, demikian juga riwayat dari Abdullah bin Ja far bin Abu Thalib dan riwayat dari Umar. Begitu juga tentang diperbolehkannya lagu-lagu penggiring unta atau lagu-lagu lainnya. Pernah dilagukan beberapa syair di hadapan Nabi Saw., namun beliau tidak melarangnya. Dan diriwayatkan bahwa beliau Saw. pernah meminta untuk dibacakan syair-syair. Menurut riwayat yang populer diterangkan bahwa Nabi Saw. pernah masuk rumah Aisyah r.a. Di rumah tersebut terdapat dua budak wanita yang sedang menyanyi. Beliau Saw. tidak melarangnya. Diriwayatkan pula dari Aisyah r.a. bahwa Abu Bakar Ash-Shiddig r.a. pernah masuk rumah Aisyah yang di dalamnya ada dua budak perempuan yang menyanyikan tentang apa yang telah terjadi pada kaum Anshar di hari Bi’ats.”

 

Tiba-tiba Abu Bakar r.a. berkata, “Seruling setan, seruling setan.”

 

Nabi Saw. menghampirinya seraya bersabda:

 

“Biarkan mereka wahai Abu Bakar. Sesungguhnya setiap kaum mempunyai hari raya, dan hari raya kita adalah hari ini.” Diriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa dia pernah menikahkan kerabatnya dengan seorang pria dari Anshar. Kemudian Nabi Saw. datang dan bersabda, “Apakah kamu menghadiahkan seorang gadis?” “Ya,” “Apakah kamu mengundang seseorang untuk menyanyi?” “Tidak.”

 

“Seandainya kamu mengundang sekalian seseorang yang akan menyanyikan: kami datang kepadamu, kami datang kepadamu, maka ucapkanlah selamat kepada kami, maka kami akan mengucapkan selamat kepadamu.”

 

Rasulullah Saw. bersabda:

 

“Perindahlah Al-Quran dengan suaramu. Sesungguhnya suara yang indah akan menambah keindahan Al-Quran.”

 

Hadis-hadis di atas menunjukkan keutamaan suara yang bagus. Beliau Saw. juga bersabda:

 

“Setiap segala sesuatu mempunyai hiasan dan hiasan Al-Quran adalah suara yang indah.”

 

Sabda beliau Saw. yang lain:

 

“Dua suara yang dilaknat: suara ‘celaka’ (kata kotor) ketika terkena musibah dan suara seruling ketika mendapatkan kenikmatan.” Hal ini menunjukkan bolehnya berhibur dengan selain ini dalam kondisi selain tersebut. Jika tidak, berarti pengkhususan tersebut tidak berarti. Sedangkan hadis-hadis tentang masalah ini banyak sekali. Jika kami sebutkan semua, berarti keluar dari tujuan pembahasan yang kita sajikan secara ringkas.

 

Telah diriwayatkan bahwa ada seorang lelaki mensyairkan di hadapan Rasulullah Saw.:

 

saya datang maka dia pun memandang sekejap pada wanita itu keduanya saling berpaling seperti pakaian hitam saya pergi lalu saya katakan kepada wanita itu sedangkan hati ini penuh cinta yang berkobar apakah akan menyakiti saya celaka kamu berdua Jika aku mencintai orang yang telah tertekan Mendengar ini, Rasulullah Saw. menimpali, “Tidak.”

 

Demikian ini walaupun suara bagus merupakan sebuah anugerah, Allah telah berfirman:

 

“Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendakinya.” (QS. Al-Fathir: 1)

 

Dikatakan dalam tafsir, “Termasuk dalam hal ini adalah suara yang bagus.” Allah mencela suara yang mengerikan, seperti yang Allah difirmankan:

 

“Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai.” (QS. Lugman: 19)

 

Hati yang senang menikmati suara-suara yang bagus dan indah, dan terasa santai jika mendengarkannya adalah sesuatu yang tidak bisa diingkari. Sesungguhnya anak kecil pun akan tenang jika mendengar suara yang enak. Unta yang berjalan dengan kasar dan berat oleh muatan di punggungnya akan menjadi tenang dan santai jika mendengar suara lagu-lagu penggiring unta.

 

Allah berfirman:

 

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan.” (QS. Al-Ghasyiyah: 17)

 

Rasulullah Saw. bersabda:

 

“Tidaklah Allah mengizinkan sesuatu seperti izin yang telah diberikan oleh Allah kepada Nabi-Nya untuk melagukan Al-Quran.”

 

Dikatakan bahwa Nabi Dawud a.s. jika membaca kitab Zabur, suaranya didengarkan oleh jin dan manusia, burung dan binatang buas.

 

Rasulullah Saw. bersabda kepada Abu Musa Al-Asy’ari:

 

“Sungguh dia telah diberi sebuah seruling dari seruling-seruling Nabi Dawud.”

 

Mu ‘adz berkata, “Seandainya saya tahu bahwa engkau (Nabi) mau mendengarkan (suara indah), pasti saya akan menghiasi (memperindah) suaraku kepadamu.”

 

Abu Bakar Muhammad Ad-Dinawari Ad-Daqqi bercerita: Saya pernah berada di lembah, lalu bertemu dengan suatu kabilah Arab. Seorang lelaki di antara mereka mempersilakanku bertamu kepadanya. Di dalamnya saya melihat seorang anak berkulit hitam dalam keadaan diikat dan saya lihat beberapa ekor unta telah mati di halaman rumah. Anak tersebut berkata kepada saya, “Malam ini kamu adalah tamu, dan kamu adalah orang yang dimuliakan oleh tuan saya (karena tamu). Karena itu, tolonglah saya karena dia tidak mungkin menolak permintaanmu.” Maka saya katakan kepada tuan rumah, “Saya tidak mau makan makananmu sampai kamu mau melepas ikatan tali budak ini.”

 

“Anak ini telah membuatku miskin dan menghancurkan harta saya,” sanggahnya.

 

“Apa yang telah dia perbuat?”

 

“Dia punya suara yang merdu, dan saya hidup dengan kerja kerasnya unta-unta itu. Dia memuati unta-unta tersebut dengan muatan-muatan yang berat, kemudian dia menyanyikan lagu penggiring unta sehingga perjalanan unta yang mestinya dapat ditempuh hanya dalam satu hari, tapi ternyata sampai tiga hari. Ketika dia telah menurunkan muatan-muatan tersebut, unta-unta pun menjadi mati semua. Meskipun demikian, (sekarang ini) saya menghibahkan semuanya kepadamu (saya menerima permintaanmu untuk menolong anak ini). Sekarang saya melepaskan ikatan talinya.”

 

Keesokan harinya saya ingin mendengarkan suaranya lalu gaya tanyakan kepadanya tentang hal itu. Anak ini kemudian diperintah untuk menyanyikan lagu-lagu penggiring unta di atas seekor unta yang sedang minum di pinggir sungai, maka anak ini pun bernyanyi. Tiba-tiba unta tampak seperti dimabuk cinta sampai tali-talinya terpotong. Saya tidak pernah mendengar suara yang lebih merdu dan indah dari suara dia, sampai-sampai saya menundukkan muka seperti orang yang akan jatuh, sehingga juragannya mengisyaratkannya agar menghentikan nyanyiannya.

 

Al-Junaid pernah ditanya, “Kenapakah orang yang asalnya tenang, namun begitu mendengar suara lagu menjadi goncang?” “Sesungguhnya Allah berfirman kepada janin pada perjanjian pertama:

 

“Bukankah Aku adalah Tuhanmu?” Jawab mereka, “Ya’ (QS. Al-A’raf: 172)

 

Keindahan suara firman ini telah mengesan pada ruh-ruh, maka ketika ruh-ruh ini mendengar suara firman yang indah, mereka mampu bergerak.”

 

Saya mendengar Al-Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Mendengarkan lagu itu hukumnya haram bagi awam karena pengaruh lagu itu akan menetap di dalam jiwa mereka, namun mubah (boleh) bagi orang-orang yang zuhud karena mereka telah berhasil mujahadahnya,sebagaimana pula disunatkan bagi sahabatsahabat kita karena hati mereka telah hidup.”

 

Berkata Al-Harits bin Asad Al-Muhasibi, “Tiga haljika dapat dimiliki, maka dapat menikmatinya dan kita telah kehilangan ini semua: wajah yang indah dengan dibarengi penjagaan dari maksiat, suara vang merdu dibarengi sikap yang berpegang teguh pada agama, dan persaudaraan yang baik dengan dibarengi kesetiaan.”

 

Dzun Nun Al-Mishri pernah ditanya tentang suara yang indah, maka jawabnya, “Perkataan dan isyarat yang dititipkan oleh Allah pada setiap pria atau wanita yang baik suaranya.” Pernah ditanya tentang mendengarkan lagu. Maka jawabnya, “Suara yang benar-benar menggoda hati menuju kebenaran. Barangsiapa yang mendengarkannya dengan benar, maka ia dapat mewujudkannya. Barangsiapa yang mendengarkannya dengan jiwa (nafsu), maka dia adalah zindig (orang yang purapura beriman).”

 

Berkata Al-Junaid, “Rahmat akan turun kepada orang-orang miskin pada tiga hal. Ketika mendengar, mereka tidak mendengarkan kecuali tentang kebenaran dan tidak berkata kecuali dari hati. Ketika makan, menunggu lapar. Dan ketika menuntut ilmu, mereka tidak mengingat kecuali sifat para wali (dalam hal kondisi, hal ihwal, dan kedudukan mereka).“ Kata Al-Jinaid lagi, “Mendengar lagu itu suatu ujian bagi orang-orang yang mencarinya, dan ketenangan bagi orang yang menjumpai dengan tidak sengaja.” Katanya lagi, “Mendengar lagu itu membutuhkan tiga hal: waktu, tempat, dan teman.”

 

Dalf Asy-Syibli pernah ditanya tentang mendengar lagu, makajawabnya, “Lahirnya adalah fitnah (ujian), sedangkan batinnya adalah pelajaran. Maka barangsiapa yang mengetahui isyarat lagu Itu, maka ia dapat mendengar suatu pelajaran. Jika tidak, maka lagu itu mengundang fitnah dan menjerumuskan diri dalam ujian.”

 

Dikatakan, “Tidak baik mendengarkan lagu kecuali orang yang nafsunya mati dan hatinya hidup. Nafsunya akan disembelih oleh pedang-pedang mujahadahnya, dan hatinya akan hidup dengan cahaya ibadahnya.”

 

Abu Ya’qub Ishaq An-Nahrajuri pernah ditanya tentang mendengarkan lagu, maka jawabnya, “Suatu kondisi yang menampakkan kembali kepada hati yang terbakar.”

 

Dikatakan, “Mendengarkan lagu itu adalah kesenangan bagi jiwa orang-orang ahli ma’rifat.”

 

Saya mendengar Al-Ustaz Abu Ali Ad-Daqaqg, rahimahullah, berkata, “Mendengarkan lagu itu bisa mewatak (kecanduan) kecuali lagu tentang agama, bisa menghancurkan kecuali tentang kebenaran, dan bisa memfitnah kecuali tentang pelajaran.”

 

Diriwayatkan, “Mendengar itu ada dua bagian: mendengar dengan syarat mengetahui dan sadar. Dalam hal ini pendengar harus mengetahui nama-nama dan sifat-sifat Allah. Jika tidak, bisa jatuh kufur. Mendengar dengan syarat kondisi. Dalam hal ini pendengar lupa dengan kondisi manusia dan bersih dari pengaruh-pengaruh duniawi karena adanya hukum hakikat yang lebih menonjol.”

 

Diriwayatkan dari Ahmad bin Abul Hawari yang berkata, “Saya mendengar Abu Sulaiman tentang mendengar, lalu dia menjawab, Dua lebih saya sukai daripada satu.”

 

Diriwayatkan dari Abul Husin Ahmad An-Nuri tentang seorang sufi. Maka jawabnya, “Orang yang mendengar suatu pendengaran dan lebih mengutamakan sebab.”

 

Abu Ali Ahmad Ar-Rudzabari pernah ditanya tentang mendengar, maka jawabnya, “Semoga kita terhindar (selamat) dari mendengar dengan satu persatu.”

 

Berkata Abu Utsman Sa’id Al-Maghribi, “Barangsiapa yang mengaku mendengar, tapi dia tidak bisa mendengar suara burung, Suara pintu, semilir angin, maka dia adalah orang miskin yang mengaku-ngaku.”

 

Ibnu Zairi adalah seorang syeikh yang dihormati, termasuk salah seorang sahabat Al-Junaid. Dia pernah datang di suatu tempat yang dipakai untuk mendengarkan suara nyanyian. Jika merasa senang, dia membentangkan sarungnya kemudian duduk lalu berkata, “Seorang sufi itu bersama hatinya. Walaupun ia tidak menikmati pendengaran itu.” Katanya juga, “Mendengar itu milik orang-orang yang punya hati.” Kemudian ia berjalan dan mengambil sandalnya.

 

Ruwaim bin Ahmad pernah ditanya tentang hati (jiwa) orang-orang sufi ketika mendengar, maka jawabnya, “Mereka mendengarkan makna-makna yang jauh dari selain mereka, lalu mengisyaratkan kepada mereka dan saya. Kemudian mereka menikmati suara itu dengan senang hati, sehingga tabir jatuh dan kesenangan itu kembali dengan tangisan. Di antara mereka ada yang merobek pakaiannya, yang berteriak, yang menangis, dan semuanya tergantung kepada ketergantungan hatinya kepada Tuhannya.”

 

Berkata Ali Al-Hushri, “Apakah yang dapat saya lakukan dengan pendengaran. Pendengaran itu akan terputus jika yang didengarkan itu terputus. Oleh karena itu, sebaiknya pendengaran Anda tidak terputus.”

 

Katanya juga, “Sebaiknya dia harus selalu, dan minum terus, semakin bertambah minumnya akan semakin bertambah hausnya.

 

Diterangkan dalam tafsir dari Mujahid tentang firman Allah:

 

“Maka mereka di dalam taman (surga) bergembira.” (QS. Ar-Rum: 15)

 

Hal ini adalah mendengar suara bidadari yang cantik dan suaranya yang merdu dan indah, “Kami adalah bidadari-bidadari yang abadi, tak akan mati selamar.ya. Kami adalah bidadari-bidadari yang menyenangkan, tak pemah menyusahkan selamanya.”

 

Dikatakan, “Mendengar itu suatu panggilan, sedangkan hati itu suatu tujuan.”

 

Berkata Abu Utsman Sa’id Al-Maghribi, “Hati orang-orang ahli kebenaran itu adalah hati yang hadir (konsentrasi), sedang kan pendengaran mereka adalah pendengaran yang terbuka.”

 

Saya mendengai Al-Ustaz Abu Sahal Ash-Sha’Juki berkata, “Orang yang mendengar itu berada di antara keadaan tertutup dan terang-terangan. Tutup bisa mendatangkan kobaran (penasaran), sedangkan suara yang terang (jelas) bisa mendatangkan kepuasan. Tutup bisa menimbulkan gerakan-gerakan orang-orang yang menginginkan, dan ini adalah tempat kelemahan. Sedangkan suara yang jelas itu bisa menimbulkan ketenangan hati orang-orang yang menyambungnya, dan ini adalah tempat istiqamah dan mengokohkan. Itulah sifat orang-orang yang konsentrasi. Maka tiadalah yang dimilikinya selain kelayuan di bawah sumber haibah (rasa takut). Allah berfirman:

 

‘Maka tatkala mereka menghadiri pembacaan (nya) lalu mereka berkata: Diamlah kamu (untuk mendengarkannya) (QS. Al-Ahqaf: 29)”

 

Berkata Abu Utsman Sa’id Al-Hiri, “Mendengar itu ada tiga macam: Pertama, mendengarnya para murid dan para pemula. Hal ini bisa mendatangkan kondisi yang mulia, bisa dikhawatirkan mendatangkan fitnah dan riya bagi mereka. Kedua, mendengarnya para Shadiqin (ahli kebenaran yang hakiki) yang mencari tambahan untuk memperbaiki kondisi mereka. Mereka mendengarkan hal itu sesuai dengan waktu-waktu mereka. Ketiga, mendengarnyz para ahli istiqarah dan orang-orang arif. Mereka ini tidak memilih hal-nal yang bisa mengalahkan gerakan dan ketenangan hati mereka kepada Allah.”

 

Abu Sa’id Ahmad Al-Kharraz berkata, “Barangsiapa yang mengaku telah mengerti, yaxni mendengar dan gerakan-gerakan perilakunya menunjukkan hal itu, berarti hal itu menandakan ia menunjukkan kebaikan dirinya dalam majelis dengan hatinya.”

 

Syaikh Abu Abdurrahman berkata, “Saya teringat hikayat ini dari Abu Utsman Sa’id Al-Maghribi yang mengatakan bahwa hal ini adalah yang paling rendah, dan tandanya yang benar adalah tidak akan tinggal di majelis orang yang mencari kebenaran kecuali ia betah di majelis itu dan tidak merasa tidak betah di majelis itu kecuali orang yang cinta kebatilan.”

 

Bandar bin Al-Husin berkata, “Mendengar itu atas tiga cara. Pertama, mendengar dengan naluri. Kedua, mendengar dengan kondisi. Dan ketiga, mendengar dengan kebenaran (hakikat). Adapun mendengar dengan naluri termasuk orang awam dan orang istimewa, karena naluri manusia senang menikmati suara yang indah. Sedangkan mendengar dengan kondisi adalah mendengar dengan merenungkan apa saja yang berkaitan dengan dirinya, seperti mengingat celaan, mengingat surat, ketika sambung atau putus, atau ketika dekat atau jauh, atau menyesali atas sesuatu yang telah lewat atau haus dengan yang akan datang, atau ketika terpenuhi janji atau mempercayai sebuah janji, janji yang dirusak atau mengingat kegelisahan, atau ketika rindu atau takut berpisah, senang ketika masih ada hubungan atau takut terjadi putus, atau kondisi-kondisi lain. Dan orang yang mendengar dengan kebenaran, maka ia mendengar dengan Allah dan untuk Allah, tidak pernah tercampuri dengan kondisi-kondisi yang bercampur dengan nasib manusia. Karena hal ini bisa menimbulkan hal yang menyakitkan. Mereka hanya mendengar yang sekiranya dapat menjernihkan tauhid dengan benar (hakikat), bukan kebutuhan manusiawi.“

 

Disebutkan bahwa orang-orang yang suka mendengar ada tiga tingkatan. Pertama, orang-orang yang cinta hakikat. Mereka mendengar untuk kembali berdialog dengan Allah Swt. Kedua, mereka berdialog dengan Allah dengan hati mereka, dengan makna-makna (nilai-nilai) yang telah didengarnya. Mereka ini menuntut kejujuran terhadap apa yang diisyaratkan kepada Allah. Ketiga, orang miskin yang sekadar terputus hubungan dari dunia dan bencana. Mereka mendengar dengan hati yang baik. Mereka ini lebih mendekati keselamatan.

 

Abu Ali Ahmad Ar-Rudzabari pernah ditanya tentang mendengar, maka jawabnya, “Membuka rahasia-rahasia untuk melihat kekasih yang dicintai.”

 

Ibrahim Al-Khawwash pernah ditanya tentang orang yang katinya tergerak ketika mendengar selain Al-Quran, dan tidak tergerak ketika mendengar Al-Quran. Dia menjawab, “Karena mendengar Al-Quran itu suatu hal yang menyentuh hatinya, sehingga tidak mungkin untuk bergerak karena tenggelam dalam pendengarannya, sedangkan mendengar selain Al-Quran adalah menyenangkan sehingga ia tergerak dalam pendengarannya.”

 

Berkata Al-Junaid, “Jika kamu melihat seorang murid yang senang mendengarkan (hal-hal yang menyenangkan), maka ketahuilah bahwa di dalam dirinya masih tersisa kebatilan. “

 

Berkata Sahal bin Abdullah, “Mendengar itu adalah suatu ilmu yang lebih mengutamakan Allah, dan tidak ada yang mengajarinya kecuali Dia.”

 

Diceritakan bahwa ketika Dzun Nun Al-Mishri masuk Kota Bagdad, orang-orang sufi segera menghampiri dan mengerubutinya. Ketika itu di antara mereka ada seorang penyanyi, maka mereka meminta izin kepada Dzun Nun Al-Mishri agar penyanyi ini menyampaikan sesuatu di hadapannya, dan olehnya diizinkan. Penyanyi ini akhirnya mulai melantunkan suaranya:

 

kecil

cinta di dalamnya telah mampu menyiksaku

maka bagaimana jika cinta ini semakin menguasai

engkau telah mengumpulkan dari hatiku

cinta pun telah menyatu bersamanya

tidakkah kamu meratapi dengan lagu-lagu sedih

kepada orang-orang yang sedang bersedih

ketika tertawa orang yang tidak punya kesedihan

ia pun menangis

 

Dzun Nun tiba-tiba berdiri, lalu jatuh tertelungkup, dan darah terus menetes dari keningnya, namun tidak sampai jatuh di atas tanah.

 

Ibrahim Al-Maristani pernah ditanya tentang gerakan ketika mendengar, maka jawabnya, “Saya pernah mendengar bahwa Nabi Musa a.s. pernah menceritakan tentang Bani Israil, maka salah seorang di antara mereka ada yang merobek-robek bajunya. Kemudian Allah mewahyukan kepada Nabi Musa a.s., Katakan kepadanya: Robek-robeklah hatimu untuk-Ku. Jangan kamu merobek-robek pakaianmu.

 

Abu Ali Al-Maghazili pernah bertanya kepada Dalf Asy. Syibli, “Kadang-kadang pendengaranku terketuk oleh ayat kitab Allah, sehingga menyuruhku untuk meninggalkan beberapa hal yang kurang baik dan menyuruhku berpaling dari dunia, kemudian saya kembali kepada kondisi-kondisi saya dan kepada Orang-orang.” Dalf Asy-Syibli menjawab, “Apa yang menarikmu untuk cenderung kepada pendengaranmu itu merupakan kasih dan kebaikan Allah, sedangkan apa yang menyuruhmu kembali kepada dirimu itu adalah belas kasih dan kesayangan Allah kepadamu, karena kamu tidak punya daya atau kekuatan untuk melakukan apa saja.”

 

Ahmad bin Muqatil Al-Akki berkata, “Saya pernah bersama Dalf Asy-Syibli di suatu mesjid di malam-malam bulan Ramadan. Dia salat di belakang imam dan saya berada di sampingnya, kemudian imam membaca ayat:

 

‘Dan sesungguhnya jika Kami menghendaki, niscaya Kami lenyapkan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu’ (QS. Al-Isra’: 86)

 

Maka Dalf menjadi ketakutan dan gemetar tubuhnya. Kataku, Telah terbang nyawanya.’ Kata Dalf, ‘Memang selalu seperti ini para kekasih itu jika berbicara. Dia ulangi kata-kata ini berulang kali.”

 

Al-Junaid telah meriwayatkan, “Di suatu hari saya mampir ke rumah Sariy As-Saqthi. Saya lihat di sisinya ada seorang lelaki yang pingsan, lalu saya tanyakan, Kenapakah. dia? Jawabnya, “Dia telah mendengar satu ayat dari Kitabullah.’ Kataku, Ulangi bacaan ayat itu sekali lagi. Maka Dalf membacakannya sehingga dia menjadi sadar. Kemudian Dalf berkata kepadaku, Dari mana kamu tahu hal ini? Jawabku, Sesungguhnya baju Yusuf a.s. telah menjadi sebab hilangnya pandangan ayah Yusuf (Nabi Ya’qub), kemudian pandangan mata itu kembali dengan perantaraan baju itu juga. Karena itu, dia meniru hal itu.”

 

Abdul Wahid bin Alwan berkata, “Seorang pemuda menemani Al-Junaid. Setiap kali mendengar zikir, ia ketakutan. Suatu hari Al-Junaid berkata kepadanya, Jika kamu melakukan hal itu sekali lagi, maka jangan menemani saya lagi.’ Ketika ia mendengar zikir, jiwanya menjadi berubah dan ia menahan-nahan dirinya, sehingga rambutnya jatuh satu per satu dari tubuhnya. Di hari yang lain ia menjerit dengan satu jeritan yang bisa membuatnya pandir.”

 

Abu Nashr As-Siraj bercerita: Sebagian temanku telah menceritakan kepadaku tentang Abul Husin Ad-Darraj. Dia berkata, “Dari Bagdad saya bermaksud menemui Yusuf bin Al-Husin Ar-Razi. Ketika masuk daerah Ar-Ray, saya menanyakan rumahnya. Setiap orang yang saya tanyai mengatakan, Apa yang akan kamu lakukan terhadap orang zindiq itu? Jawaban mereka ini sungguh telah menyesakkan dadaku sehingga saya berruat untuk kembali. Maka pada malam itu saya bermalam di sebuah mesjid, kemudian berkata, ‘Saya sudah datang ke negeri ini. Karena itu, saya tidak mau menggagalkan kunjungan saya kepadanya. Maka dari itu, saya selalu menanyakan hingga saya tiba di mesjidnya. Ketika itu, dia sedang duduk di mihrab mesjid. Di depannya ada sebuah meja kecil. Di atasnya terdapat sebuah mushaf yang sedang dia baca. Ternyata Yusuf vin Al-Husin Ar-Razi adalah seorang Syaikh yang berwajah tampan dan berjenggot indah. Saya mendekat dan mengucapkan salam kepadanya, kemudian ia menjawab salam saya dan berkata, ‘Dari mana kamu datang?’ Jawabku, Dari Bagdad. Saya datang kemari bermaksud mengunjungi Syaikh.’ Dia menjawab, Seandainya ada orang berkata kepadamu di sebagian negeri ini: Tinggallah di tempatku sampai saya selesai membeli sebuah rumah untukmu atau seorang wanita, apakah hal ini akan menghalangimu dari berkunjung kepadaku? Jawabku, Wahai Tuan, Allah tidak mengujiku dengan hal itu. Andaikata terjadi seperti itu, saya tidak tahu apa yang akan terjadi padaku. Jawabnya, ‘Sebaiknya kamu katakan sesuatu. Kataku, Ya. Dan saya pun akhirnya berkata: ‘Kulihat kamu sedang membangun suatu usaha pembenahan diri di tempat yang terputus dariku. Seandainya saya punya keinginan, pasti saya akan menghacurkan apa yang sedang kamu bangun.’ Maka Yusuf menutup mushafnya dan menangis terus sampai basah jenggot dan pakaiannya. Saya kasihan kepadanya karena tangisannya yang tak henti-hentinya. Kemudian ia berkata kepada saya, ‘Wahai Anakku, janganlah kamu mencela penduduk ArRay yang mengatakan aku seorang yang zindig, karena sejak waktu salat saya membaca Al-Quran, namun tidak setetes pun air mata yang jatuh. Sungguh kiamat telah terjadi pada saya dari rumah ini.”

 

Berkata Abul Husin Ad-Darraj, “Saya bersama Ibnul Fauthi pernah melewati sungai Dajlah’” yang ada di antara Basrah dan Ubullah. Tiba-tiba kami melewati sebuah istana yang indah pemandangannya. Di atasnya ada seorang lelaki dan di hadapannya ada seorang wanita yang bernyanyi dengan syair:

 

di jalan Allah

kau curahkan cinta yang kau peroleh dariku

jika setiap hari kamu berganti warna selain ini

pasti kamu akan lebih tapan

 

Tiba-tiba di bawah tempat penjagaan itu ada seorang pemuda di tangannya terdapat sebuah tempat minum dari kulit yang ditambal di atasnya. Dia mendengarkan, lalu berkata, Wahai Budak Wanita, demi kehidupan tuanmu, ulangilah kalimatmu.’ Budak wanita ini pun mengulanginya. Kata pemuda itu lagi, ‘Katakanlah” Maka wanita ini pun mengulangi lagunya. Tiba-tiba ada seorang miskin berkata, ‘Demi Allah, hal ini telah mewarnaiku dengan kebenaran.’ Setelah berkata demikian, dia tidak sadarkan diri dan akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir. Pemilik istana ini berkata kepada budak wanita tersebut, Karena Allah, kamu sekarang bebas dan merdeka.’ Penduduk Basrah kemudian keluar dan memakamkan orang miskin tersebut. Setelah dimakamkan dan didoakan, maka pemilik istana berdiri seraya mengatakan, Tidakkah kamu semua tahu saya. Saya persaksikan kepada kamu semua bahwa segala sesuatu yang saya miliki adalah untuk dijalan Allah dan semua budakku merdeka. Kemudian pemilik istana ini mengenakan sarung dan selendang, mensedekahkan istananya, dan pergi. Setelah itu dia tidak tampak lagi dan tidak didengar kabarnya.”

 

Abu Salman Ad-Dimasyqi ketika mendengar orang thawaf yang berseru, “Ya sa’tar barri,” dia langsung jatuh pingsan. Ketika telah sadar, dia ditanya, maka jawabnya, “Saya kira dia mengatakan ‘Is’a tara barri – datanglah, maka kamu akan melihat kebaikanku padamu.”

 

Seorang anak kecil mendengar seorang lelaki berkata, “Mahasuci Tuhan pencipta langit, sesungguhnya pecinta-Mu telah lelah.” Anak itu menjawab, “Benar kamu.” Kemudian mendengar orang lain berkata seperti itu, lalu dia berkata, “Bohong kamu, setiap orang mendengar dari situ.”

 

Ruwaim bin Ahmad pernah ditanya tentang beberapa guru besar (masyayikh) yang dijumpainya. Ketika mendengar masalah mereka, dia menjawab, “Seperti sekawan kambing yang didatangi serigala.”

 

Diriwayatkan dari Abu Sa’id Ahmad Al-Kharraz yang berkata, “Saya melihat Ali bin Al-Muwaffag mengungkapkan tentang mendengar. Dia menjelaskan, ‘Berdirikanlah saya,” maka mereka mendirikannya, kemudian dia berdiri dan pura-pura senang, kemudian berkata, “Saya adalah syeikh yang suka menari.”

 

Dikatakan bahwa Ibrahim Ar-Raqqi pernah bangun malam sampai pagi. Dia berdiri dan jatuh dengan bersyair, sedangkan orang-orang bangun malam (beribadah) dengan menangis. Syair itu adalah:

 

demi Allah

kembalikanlah hati seorang yang dilanda kesedihan dia tidak lagi mempunyai kekasih lain

 

Berkata Al-Husin bin Muhammad bin Ahmad, “Saya pernah berkhidmah kepada Sahal bin Abdullah selama beberapa tahun. Saya belum pernah melihat dia berubah ketika mendengar zikir, Al-Quran atau lainnya. Akan tetapi, ketika di akhir umurnya, dia mendengar ayat:

 

‘Maka pada hari ini tidak diterima tebusan dari kamu.’ (QS. Al-Hadid: 15)

 

Saya lihat wajahnya berubah dan gemetar yang hampir saja jatuh pingsan. Ketika ia telah kembali seperti keadaan semula, saya menanyakan hal itu, maka jawabnya, ‘Wahai Kekasihku, kami tidak mampu.

 

Saya mendengar Syaikh Abu Abdurrahman As-Sulami berkata, “Saya pernah datang kepada Abu Utsman Sa’id Al-Maghribi. Di sana saya menjumpai seseorang yang meminum air sumur dengan memakai kerekan. Kata Abu Utsman. ‘Wahai Abu Abdurrahman, tahukah kamu apa yang diucapkan kerekan itu?’ Jawabku, ‘Tidak.’ Katanya, ‘Dia mengatakan Allah, Allah.”

 

Ruwaim mer’wayatkan kisah yang diambil dari Ali bin Abu Thalib r.a. ketika dia mendengar suara lonceng. Ali r.a. bertanya kepada sahabat-sahaba’nya, “Tehukhan kamu apa yang dikatakan ionceng itu?”

 

“Tidak.”

 

“Lonceng itu mengatakan: Subhanallah, benar … benar. Sesungguhnya Ailah tempat bergantung adalah kekal.”

 

Ahmad bin Al-Karkhi bercerita,” Ada sekelompok orang sufi berkumpul di rumah Hasan Al-Gazzaz. Di antara mereka ada para penyanyi. Mereka menyanyi dan berpura-pura senang. Kemudian Mimsyad Ad-Dinawari berdiri dan melihat mereka sehingga membuat mereka diam semua. “Kembalilah kepada keadaanmu semula,’ kata Mimsyad, ‘seandainya semua tempat hiburan di dunia ini dikumpulakan di telingaku, tidak akan menyibukkan hatiku, dan tidak akan bisa menyembuhkan sebagian penderitaan yang ada padaku.’ Katanya lagi, Saya mendengar Abu Ali Ar-Rudzabari berkata bahwa dalam hal ini kami telah sampai pada suatu tempat seperti mata pedang. Jika kami condong ke sini ke situ, maka akan jatuh ke neraka.”

 

Khairun Nassaj berkata, “Pernah Nabi Musa bin Imran a.s. bercerita kepada kaumnya tentang suatu cerita. Salah seorang di antara mereka ada yang ketakutan, maka Nabi Musa a.s. menghardiknya?”,maka Allah menurunkan wahyu kepada Musa a.s., ‘Wahai Musa, karena keharuman-Ku, mereka gemeter. Karena cinta-Ku, mereka kacau pikirannya. Dan karena kegernbiraanKu, mereka sadar, maka mengapa kamu menghardik hambahamba-Ku karena itu?”

 

Diceritakan bahwa Dalf Asy-Syibli pernah mendengar seseorang berkata, “Orang-orang baik itu ada sepuluh macam.” Mendengar penjeiasan ini, Dalf berteriak dan berkata, “Jika orang-orang baik itu ada sepuluh macam, maka bagaimana dengan orang-orang jahat.”

 

Dikisahkan bahwa Aun bin Abdullah pernah menyuruh budak warutanya yang mempunyai suara yang bagus untuk menyanyi, maka ia menyanyi dengan suara yang sedih sehingga orang-orang menangis.

 

Abu Sulaiman Ad-Darani pernah ditanya tentang mendengar, makajawabnya, “Setiap hati senang suara yang bagus. Dia lemah, tetapi dapat mengobati seperti mengobati anak kecil ketika ingin ditidurkan.” Kemudian Abu Sulaiman melanjutkan, “Sesungguhnya suara yang indah tidak bisa memasukkan sesuatu, akan tetapi dapat menggerakkan sesuatu yang ada di dalamnya.”

 

Ahmad Al-Jariri berkata, “Jadilah orang yang ma’rifat kepada Allah, yakri mendengarkan dari Allah, berbicara?” dengan Allah Taala.”

 

Sebagian mereka ditanya tentang mendengar, jawabnya, “Bagai kilat yang bersinar kemudian padam, atau bagai cahaya yang tampak kemudian lenyap. Alangkah manisnya jika cahaya itu menetap pada dirinya walaupun hanya sekejap mata.” Kemudian dia bersyair:

 

sekali getaran yang menggetar dalam hati bagai getaran kilat yang tampak kemudian lenyap khayalan apakah yang datang di hatiku dan kamu akan tahu jika benar-benar telah terjadi

 

Disebutkan bahwa pendengaran mempunyai bagian untuk tiap-tiap anggota tubuh. Jikajatuh pada mata, ia akan menangis. Jika jatuh pada lisan, ia akan menjerit. Jika jatuh pada tangan, ia akan merobek-robek baju dan menampar. Dan jika jatuh pada kaki, ia akan menari.

 

Saya mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq bercerita: “Abu Amr bin Najid pernah berkumpul dengan An-Nashr Abadzi dan sekelompok orang di zamannya di suatu tempat. Ketika itu Nashr Abadzi berkata, Saya mengatakan jika suatu kaum berkumpul, kemudian yang satu berkata dan yang lainnya diam, itu lebih baik daripada mereka mengumpat seseorang.” Abu Amr menimpali, Sungguh mengumpat selama tiga puluh tahun itu lebih selamat daripada menampakkan pendengaran yang tidak berkonsentrasi dalam pendengarannya. Sementara Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq, rahinahullah, berkata, “Manusia dalam pendengaran itu ada tiga macam: Orang yang mendengar dengan waktu, mendengar dengan situasi, dan mendengar dengan kebenaran.’ Saya lantas bertanya kepada Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq, rahimahullah, “Tidakkah hanya satu macam meminta kebolehan untuk mendengar?” Dia menjawab dengan menyuruh saya menahan diri, kemudian setelah berkali-kali saya bertanya, dia pun akhirnya menjelaskan, Sesungguhnya para guru berkata bahwa selama pendengaran itu dapat menyatukan hati dengan Allah swt, maka tidak apa-apa.”

 

Dari Ibnu Abbas r.a. diceritakan bahwa Allah telah mewahyukan kepada Musa a.s., “Sesungguhnya Aku menjadikan sepuluh ribu pendengaran pada dirimu, sehingga kamu dapat mendengar firman-Ku, sepuluh ribu lisan sehingga kamu bisa menjawab-Ku, dan sesuatu yang paling Aku cintai dan paling mendekatkan dengan-Ku adalah jika kamu memperbanyak membaca selawat untuk Muhammad Saw.”

 

Berkata Abul Harits Al-Aulasi, “Dalam mimpi, saya telah melihat iblis, semoga Allah melaknatinya, di atas atap Aulas. Ketika itu saya juga sedang di atas atap. Di sebelah kanan iblis ada sekelompok setan dan di sebelah kirinya ada juga sekelompok setan. Mereka semua mengenakan pakaian bersih. Iblis berkata kepada kelompok setan tersebut, ‘Katakanlah!’ Maka mereka berkata dan bernyanyi. Keindahan dan kemerduan lagunya membuat saya takut, sehingga saya ingin melemparkan diri (meloncat) dari atap. Kata Iblis, “Menarilah Maka mereka pun menari dengan tarian yang paling indah. Kemudian Iblis berkata kepadaku, Wahai Abul Harits, ttadalah yang mencelakakanmu ketika aku masuk kepadamu selain ini.”

 

Abdullah bin Ali berkata, “Pernah saya berkumpul di suatu malam dengan Dalf Asy-Syibli, rahimahullah. Di sana ada seorang penyanyi yang menyanyikan sesuatu. Tiba-tiba Asy-Syibli berteriak dan berpura-pura senang dengan duduk. Kemudian ditanyakan kepadanya, ‘Wahai Abu Bakar, apa yang menyebabkanmu duduk di tengah-tengah jamaah ini? Maka dia berdiri dan berpura-pura senang lalu berkata:

 

saya punya dua kali mabuk satu kali penyesalan tentang sesuatu yang dikhususkan kepadaku di antara banyak orang

 

Abu Ali Ar-Rudzabari berkata, “Saya pernah lewat di sebuah Istana. Tiba-tiba saya melihat seorang pemuda tampan yang terlempar dari depan istana, sementara di sekitarnya banyak orang. Saya heran, kemudian menanyakannya kepada orang-orang di sekitarnya. Mereka menjawab, Pemuda ini ketika berjalan melewati istana yang di dalamnya terdapat seorang budak wanita (biduwanita) yang sedang menyanyikan lagu-lagu yang sangat indah.

 

betapa besar cita-cita hamba untuk berambisi melihat-Mu ataukah karena tidak ada pertimbangan mata untuk melihat orang yang benar-benar melihat-Mu

 

Pemuda itu pingsan dan akhirnya mati.”

 

1. KARAMAH PARA WALI

 

Nampaknya, karamah bagi para wali diperbolehkan. Dalil kebolehannya didasarkan pada alasan bahwa karamah merupakan kejadian yang bersifat asumtif di dalam rasio, yang hasilnya tidak akan membawa implikasi kehilangan dasar. Hal itu wajib karena sifat Allah berkuasa untuk mewujudkannya. Apabila keberadaan wajib itu disandarkan pada kekuasaan Allah, maka tak satu pun yang mampu menghalangi kebolehan diperolehnya karamah.

 

Karamah merupakan indikasi kebenaran orang. Indikasi ini selalu nampak dalam hal ihwalnya. Barangsiapa yang tidak benar, maka realitas sesama karamah tidak diperbolehkan. Argumentasi yang memberikan petunjuk bahwa Allah Swt. memberikan definisi (batasan) kepada kita, sehingga kita dapat membedakan antara orang yang benar dalam halihwalnya dan orang yang gagal dalam metodologi pengambilan argumen merupakan hal yang bersifat asumtif. Hal itu tidak akan terwujud kecuali dengan keistimewaan wali yang tidak mungkin diperoleh oleh orang yang mengaku-aku. Konteks inilah yang disebut karamah.

 

Karamah merupakan aktivitas yang bertolak belakang dengan adat di saat-saat pemaksaan dan merupakan realitas sifat kewalian tentang makna pembenaran dalam situasi (keadaan)nya.

 

Ahli kebenaran membahas perbedaan antara kararmah dan mukjizat. Imam Abu Ishaq Al Asfarayaini berpendapat, mukjizat merupakan argumentasi kebenaran para nabi. Argumentasi kenabian tidak akan diketemukan oleh selain nabi sebagaimana kekuatan rasio. Apabila kekuatan rasio dijadikan argumentasi oleh cendekiawan untuk membuktikan bahwa dirinya cendekiawan, maka ia tidak akan diketemukan kecuali yang cendekiawan. Oleh karena itu, Al-Asfarayaini berkata, “Para wali mempunyai karamahi yang menyerupai keterkabulan doa.! Sedangkan bentuk mukjizat yang dimiliki para wali itu bukan kepunyaan para wali.”

 

Menurut Imam Abu Bakar bin Furak, mukjizat merupakan argumentasi kebenaran. Apabila orang yang mempunyai mukjizat mengaku sebagai nabi, maka mukjizat dapat dijadikan argumentasi untuk membenarkan ucapannya. Apabila orang yang mempunyai mukjizat menunjukkan kewalian, maka mukjizat dapat dijadikan argumen untuk membenarkan keadaannya. Yang terakhir ini disebut karamah.

 

Abu Bakar Al-Furak juga berpendapat, perbedaan antara mukjizat dan karamah terletak pada keberadaan para nabi yang diperintah untuk merealisasikannya, sedang wali diwajibkan menutup dan menyembunyikannya. Nabi Muhammad Saw. mendakwakan hal itu, tetapi beliau memutuskan sabdanya, sedang wali tidak mendakwakan dan tidak memutuskan karamahnya. Hal itu mungkin terjadi dengan berulang-ulang.

 

Di dalam tulisan yang tidak diedarkan, Al-Qadhi Abu Bakar Al-Asy’ari pada masa hidupnya mengintegrasikan bahwa mukjizat hanya dikhususkan kepada para nabi, sedang karamah dikhususkan pada para wali, sebagaimana yang terjadi pada para nabi. Mukjizat tidak mungkin terjadi pada para wali karena syarat mukjizat harus mendakwakan kenabian. Mukjizat tidak akan tampak dengan sendirinya, tetapi diperoleh dengan berbagai sifat. Apabila salah satu syaratnya tidak dipenuhi, maka ia tidak dapat dinamakan mukjizat. Salah satu syaratnya adalah mendakwakan kenabian. Wali tidak boleh mendakwakan kenabian. Oleh karena itu, sesuatu yang diperoleh para wali bukanlah mukjizat. Pendapat ini yang perlu kita jadikan sandaran (pegangan).

 

Kebanyakan syarat mukjizat terdapat di dalam karamah kecuali syarat yang satu iri. Karamah merupakan aktivitas yang harus terjadi, tetapi tidak harus terkhususkan kepada satu orang, yaitu bertolak belakang dengan adat dan akan terrealisir (nampak) di saat pemaksaan. Apabila hamba mendapatkan hal itu, maka dia mendapatkan keistmewaan dan keutamaan. Mukjizatakan diperoleh dengan cara ikhtiar (usaha, pilihan) dan pengajakan (pengakuan), sedang karamah tidak. Pada saat-saat tertentu, karamah tidak akan diperoleh dengan ikhtiar. Oleh karena itu, wali tidak diperintah mengajak makhluk untuk mengikuti dirinya. Apabila wali menampakkan karamahnya kepada orang yang ahli, maka dia diperbolehkan.

 

Ahli kebenaran berbeda pendapat tentang wali. Apakah diperbolehkan bagi wali untuk diketahui atau tidak?

 

Menurut Imam Abu Bakar bin Furak, diketahuinya wali tidak diperbolehkan karena akan menghilangkan rasa takut dan harus pula merasa aman. Menurut Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq, diketahuinya wali diperbolehkan dan perlu kita istimewakan. Kita dapat mengungkapkan bahwa diketahuinya wali diwajibkan bagi semua wali, sehingga akan mengetahui bentuk kewajiban bahwa dia adalah wali. Sebagian mereka diperbolehkan mengetahui wali sebagaimana tidak diperbolehkan kepada sebagian mereka.

 

Apabila sebagian para wali mengetahui bahwa dia adalah wali, maka kema’rifatannya merupakan karamah tersendrri. Tiaptiap karamah tidak hanya dimiliki oleh wali yang wajib menampakkan bentuknya kepada semua wali. Akan tetapi, bagi wali tidak harus mempunyai karamah riil di dunia ini yang ketiadaannya mengakibatkan buruk terhadap eksistensi kewalian.? Berbeda dengan para nabi. Mereka wajib menerima mukjizat karena Nabi Muhammad Saw. diutus kepada makhluk. Mereka butuh mengetahui kebenarannya. Dia tidak akan diketahui kecuali dengan mukjizat. Sedangkan wali tidak diutus kepada makhluk dan tidak wajib diketahui bahwa dia adalah wali. Oleh karena itu, sahabat yang sepuluh membenarkan Rasulullah Saw. tentang informasinya kepada mereka dengan digolongkan ahli surga.

 

Menurut pendapat yang tidak memperbolehkan wali itu diketahui karena dia mengentaskan mereka dari ketakutan. Oleh karena itu, mereka tidak diperkenankan takut kepada perubahan akibat (siksaan). Mereka akan menemukan kehebatan, kemuliaan, dan keagunan dalam hatinya karena Alah Swt. Yang akan menambah rasa takut.

 

Perlu diketahui, wali akan tenang apabila mendapatkan karamah yang sedang muncul dan dia tidak memperhatikan. Terkadang wali itu menampakkan karamahnya kepada orang banyak, seperti kekuatan yakin dan penglihatan batin yang bertambah untuk menyatakan kepada mereka bahwa hal itu merupakan pekerjaan Allah Swt. Mereka akan mengambi! petunjuk atas kebenaran akidah yang dipegang oleh wali. Pendapat umum tentang kebolehan menampakkan karamah bagi para wali adalah wajib. Ini adalah pendapat mayoritas ahli ma’rifat.

 

Karena banyaknya informasi dan cerita yang berturut-turut tentang macam-macam karamah, maka mengetahui eksistensi dan realitasnya terhadap para wali secara keseluruhan merupakan ilmu yang kuat yang akan menghilangkan keragu-raguan. Barangsiapa yang memoderati kelompok (pendapat) ini sekaligus meruntuhkan informasi dan cenita tentang mereka, maka secara keseluruhan (umum) kerancuan (kesyubhatan) tidak akan terjadi.

 

Argumentasi (dalil-dalil) pendapat ini, yaitu pertama, nash Al-Quran tentang cerita teman Nabi Sulaiman’ yang mengatakan:

 

“Saya akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.” (QS. An-Naml: 40)

 

Dia (teman Nabi Sulaiman) bukanlah seorang nabi. Kedua, Hadis sahih tentang Amirul Mukminin Umar ibnul Khaththab yang mengatakan:? “Ya Sariyah bin Zunaim, tetaplah diatas gunung, tetaplah di atas gunung.” Peristiwa itu terjadi ketika Umar Ibnu Al-Khaththab berkhotbah di hari Jumat yang suaranya sampai kepada Sariyah pada waktu dia sedang menaklukan Negara Persi, sehingga umat Islam dapat terjaga dari ancaman benteng pertahanan musuh melalui gunung.

 

Menurut satu pendapat, karamah ini hanya pantas terkait dengan kemukjizatan Nabi Muhammad Saw. karena setiap orang tidak selamanya benar di dalam Islam. Dan, karamah tidak selalu diperoleh. Karamah seorang nabi akan nampak bagi salah seorang umatnya. Karamah ini masih terhitung dari keseluruhan kemukjizatan nabi. Apabila rasul itu tidak benar, maka karamah tidak akan diperoleh oleh para pengikutnya. Oleh karena itu, tingkatan para wali tidak akan sampai pada tingkatan para nabi secara ijmak.

 

Abu Yazid Al-Busthami pernah ditanya tentang masalah ini. Dia menjawab, “Perumpamaan apa yang diperoleh para nabi seperti tempat air yang di dalamnya terdapat madu. Darinya akan menetes satu tetesan. Satu tetes inilah perumpamaan apa yang dimiliki semua wali. Sedang apa yang ada di dalam bejana merupakan perumpamaan apa yang dimiliki Nabi Muhammad Saw.”

 

2. BERBAGAI KARAMAH DARI AL-QURAN DAN AS-SUNNAH

 

Perlu diketahui bahwa karamah yang paling besar yang dimiliki wali, yaitu selalu mendapat pertolongan untuk taat dan terjaga dari kemaksiatan dan pertentangan.

 

Diriwayatkan dari Sahal bin Abdullah bahwa dia berkata, “Barangsiapa zuhud di dunia ini selama empat puluh hari dengan betul-betul tulus keluar dari hatinya dan ikhlas, maka dia akan memperoleh karamah. Barangsiapa yang tidak memperoleh karamah, maka zuhudnya tidak benar ‘betul).” Sahal pernah ditanya, “Bagaimana karamah itu akandiperoleh?” Dia menjawab, “Dia harus mengambil apa yang dia kehendaki seperti dia kehendaki dan dari tempat yang dia kehendaki.”

 

Berbagai Karamah di Dalam Al-Quran

 

Al-Qur’an menyebutkan contoh-contoh karamah yang diperoleh para wali, antara lain:

  1. Firman Allah Swt. tentang Maryam a.s. yang bukan nabi dan bukan pula Rasul:

 

“Maka Tuhannya menerimanya (Maryam sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakaria perneliharanya. Setiap Zakaria masuk ke mihrab untuk menemuinya, ia mendapati makanan di sisinya. Zakaria berkata, ‘Hai Maryam dari manakah engkau mendapatkan makanan ini?” Maryam menjawab, “Makanan itu dari sisi Allah Swt. Sesungguhnya Allah Swt. memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa dihisab.” (QS. Ali Imran: 37)

 

Demikian juga firman Allah yang lain:

 

“Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah yang masak kepadarmmu .” (QS. Maryam: 25)

 

Hal itu terjadi ketika tidak terdapatnya kurma.

 

  1. Cerita tentang Ashhabul Kahfi tentang kekaguman yang nampak dari pembicaraan anjing yang selalu bersama mereka.

 

  1. Cerita Dzul Qarnain tentang kekuatan (kekuasaan) yang diberikan Allah Swt. kepadanya yang belum pernah diberikan kepada orang lain.

 

  1. Sesuatu yang nampak di atas kedua tangan Khidhir tentang urusan-urusan yang bertentangan dengan adat yang hanya dimiliki olehnya. Dia bukan seorang nabi, tetapi seorang wali.

 

Karamah di Dalam As-Sunnah

 

  1. Tentang Juraij Ar-Rahib

 

Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Tidak seorang pun yang dapat berbicara ketika masih dalam ayunan (bayi) kecuali tiga orang, yaitu Isa bin Maryam, bayi di masa Juraij, dan bayi yang lain.”

 

Juraij adalah seorang ahli ibadah di kalangan Bani Israil. Dia mempunyai seorang ibu. Suatu hari Juraij mengerjakan salat saat ibunya merasa keberatan kepadanya.

 

“Wahai Juraij.” Ibunya memanggil Juraijj di tengah melaksanakan salat.

 

“Ya Tuhan, apakah saya dengan tetap mengerjakan salat akan lebih baik ataukah saya harus mendatangi ibu?” gumam Juraijy. Akan tetapi, dia lebih senang meneruskan salatnya. Ibunya memanggil lagi, dan Juraij menyahut dalam hati sebagaimana jawaban semula. Setelah itu dia kembali melanjutkan salatnya. Hal itu membuat ibunya marah, lantas dia berdoa, “Ya Allah, jangan Kau matikan Juraij sebelum Kau perlihatkan padanya kecantikan wanita pezina.”

 

Saat itu di kalangan Bani Israil terdapat seorang perempuan pezina. Dia bersumpah di hadapan orang-orang Israil bahwa dia akan memfitnah Juraij hingga bersedia menzinahi dirinya. Perempuan itu akhirnya mendatangi Juraij dan merayunya, tetapi dia tidak berhasil.

 

Bersamaan dengan itu, terdapat seorang penggembala yang tinggal di dasar gereja di tengah malam. Ketika Juraij mengusirnya, perempuan itu merayu agar menyetubuhi dirinya sampai apa yang direncanakan berhasil dan perempuan itu hamil. Setelah dia melahirkan, orang-orang bertanya tentang anak yang dilahirkan.

 

“Anak ini hasil persetubuhan dengan Jurajij.“ Perempuan itu terus mengumbar fitnah. Berita menyebar, menelusup, dan menggerakkan emosi massa. Orang-orang Israil marah. Mereka segera mendatangi Juraij dan menhancurkan gerejanya seraya mencaci maki dengan kata-kata kotor.

 

Juraij diam. Dia beranjak mengambil wudu lalu salat dan berdoa. Setelah itu Juraij menepuk punggung bayi seraya berkata, “Hai Bayi, siapa ayahmu?”

 

“Ayahku adalah pengembala.” Dari lidah yang mungil meluncur jawaban yang jelas. Orang-orang Israil terhenyak. Sesuatu yang luar biasa menghantam kesadaran mereka. Mereka menyesal atas apa yang dikerjakan. Mereka bersimpuh di hadapan Juraij dan mohon maaf.

 

“Gerejamu akan kami bangun,” janji mereka untuk menebus rasa bersalahnya. Juraij menolak. Dia lebih senang membangunnya sendiri sebagaimana semula.

 

  1. Tentang Hadis Gua

 

Rasulullah Saw. bersabda bahwa di zaman dulu ada tiga orang laki-laki bepergian. mereka kemalaman di tengah jalan, kemudian memasuki sebuah gua. Tidak berapa lama sebongkah batu besarjatuh dari gunung dan menutupi gua.

 

“Demi Allah, Allah Swt. tidak ada yang akan menyelamatkan kita dari batu besar ini kecuali kita berdoa kepadaNya dengan kebaikan perbuatan kita.” Salah seorang dari mereka mengusulkan pemecahan.

 

Kemudian seseorang dari mereka maju dan berdoa,” (Ya Allah), saya mempunyai ayah dan ibu yang sangat tua. Saya tidak pernah minum di setiap senja hari tiba sebelum orang tuaku meminumnya. Suatu hari, saya berhalangan hadir karena ada tuntutan (permintaan) sehingga membuat saya tidak sempat bertemu mereka sampai mereka tertidur. Dalam cerita saya memerah susu itu untuk kedua orang tuaku, saya datang mendekati mereka yang sedang tidur. Saya takut salah (berdosa) apabila membangunkan mereka (untuk minum susu), apalagi meminumnya sebelum mereka minum. Akhirnya, saya berdiri dengan mangkok berada ditanganku. Saya menunggu mereka sampai fajar mulai bercahaya. Setelah itu mereka bangun dan meminumnya.”

 

“Ya Allah, jika apa yang telah saya kerjakan itu semata mata mencari kerelaan-Mu, maka bukakanlah batu yang menghadang kami.” Batu itu terbuka sedikit, tetapi belum cukup untuk tempat keluar.

 

Orang kedua maju lalu berdoa, “Ya Allah, saya mempunyai keponakan. Dia sangat mencintai saya. Suatu hari saya mencoba merayunya (untuk berbuat yang tidak senonoh), tetapi dia menolak. Hati saya sakit oleh penolakan itu sehingga menderita selama satu tahun. Suatu hari dia datang kepadaku (karena suatu keperluan). Saya memberikan kepadanya seratus dua puluh dinar. (Pemberian itu saya maksudkan) agar dia dapat tinggal berduaan bersamaku. Dengan begitu saya dapat mencabulinya. (Ketika saya hendak melakukan niat jahat itu), dia berkata, ‘Tidak halal bagimu memecahkan cincin ini (kegadisan) tanpa seizin pemiliknya! Saya (malu) dan cepat-cepat berpaling pergi darinya, padahal dia sangat mencintai diriku. Saya tinggalkan harta (uang) yang telah saya berikan kepadanya.”

 

“Ya Allah, jika apa yang telah saya perbuat itu semata mata karena mencari kerelaan-Mu, maka bukakanlah batu yang menghadang kami.” Batu itu terbuka, tetapi masih belum cukup untuk jalan keluar.

 

Giliran orang ketiga berdoa: Ya Allah, saya pernah menyuruh orang lain untuk menyewakan barang dengan ganti upah. Setelah itu saya memberi (membayar) upah mereka, kecuali satu orang dari mereka yang pergi tanpa pamit. Upahnya saya simpan sehingga bertambah banyak. Selang beberapa waktu dia datang kepadaku untuk menagih upahnya, “Ya Abdullah, berikan upahku.”

 

“Upahmu adalah unta, kambing, sapi, dan budak sebagaimana yang engkau lihat,” jawabku sambil menunjuk barang-barang yang menjadi haknya.

 

“Ya Abdullah, engkau jangan menghinaku.” Dia ragu dan mengira saya bergurau.

 

“Tidak! Saya tidak bermaksud menghinamu.”

 

Begitulah yang terjadi. Setelah itu semuanya diambil olehnya dengan penuh kebahagiaan, sehingga tak satu pun yang dia tinggalkan.

 

“Ya Allah, jika apa yang telah saya kerjakan itu semata mata mencari kerelaan-Mu, maka bukakanlah batu yang menghadang kami.” Batu itu terbuka lebar sehingga mereka dapat keluar. Mereka berjalan pergi meninggalkan gua. Hadis ini Sahih dan telah disepakati Bukhari-Muslim.

 

3. URGENITAS WALI DAN KEWALIAN

 

Arti Wali Jika ditanyakan, “Apa arti kata wali?” Terdapat dua kemungkinan dalam jawaban. Pertama, kata “wali” mengikuti wazan “fa’iil” sebagaimana bentuk mubalaghah (yang menunjukkan arti berlebih-lebihan) dari kata “faa’il” seperti “aliim”, “gadiir”, dan kata-kata lain. Dengan demikian, arti “wali” adalah orang yang selalu taat tanpa mencampur aduk dengan kemaksiatan. Kedua, kata yang berwazan “fa’iil” diperbolehkan mempunyai arti kata yang berwazan “maf’ul” dalam kata yang sama. Seperti, “qatiil” mempunyai arti “maqtul” (yang dibunuh) dan “jariih” (yang dilukai). Dengan demikian, arti wali adalah orang yang dijadikan wali (kekasih) oleh Allah Swt. Dia dijaga dan dipelihara olehNya agar tetap konsisten dan terus menerus taat kepada-Nya. Allah Swt. tidak menjadikan dia sebagai penipu (pembujuk) yang terperangkap dalam kekuasaan maksiat, tetapi justru selalu memberikan pertolongan, sehingga dia menjadi orang yang selalu taat kepada-Nya. Allah Swt. berfirman:

 

“Dia melindungi orang-orang yang saleh.” (QS. Al-A’ raf: 196)

 

Ke-ma’shuman Wali

 

Jika ditanyakan, “Apakah wali itu ma’shum (terjaga dan terpelihara dari dosa)?” Menurut satu pendapat, terdapat dua jawaban. Pertama, wali itu wajib ma’shum sebagaimana yang terjadi bagi para nabi. Oleh karena itu, dia tidak akan berbuat dosa. Kedua, wali itu hanya sekedar mahfuzh (terjaga biasa). Dia kemungkinan berbuat dosa. Apabila dia tertimpa kebinasaan dan kesalahan, maka halitu wajar karena merupakan bagian dari sifat mereka.

 

Al-Junaid pernah ditanya, “Apakah orang yang ma’nifat bisa berbuat zina?” Dia diam agak lama, kemudian mengangkat kepala seraya menjawab dengan mengutip firman Allah Swt.:

 

“Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku (ditentukan).” (QS. Al-Ahzab: 38)

 

Takutnya Para Wali

 

Jika ditanyakan, “Apakah rasa takut akan gugur (hilang) dari para wali?” Menurut satu pendapat, biasanya mereka takut mengerjakan dosa besar. Pendapat ini telah kita ungkapkan pada pembahasan yang telah lewat tentang cara kebiasaan yang tanpa terhalang (tercegah).

 

Sariy As-Saqthi berkata, “Seandainya ada orang yang memasuki kebun yang di dalamnya terdapat banyak pohon dan setiap pohon terdapat burung, maka dia akan berkata dengan bahasa yang fasih, “Mudah-mudahan keselamatan selalu tercurahkan kepadamu, wahai waliyullah.’ Apabila dia tidak takut bahwa dia adalah orang yang menipu, maka dia akan ditipu.”

 

Melihat Allah Swt. Dengan Mata Jika ditanyakan, “Apakah melihat Allah Swt. dengan mata diperbolehkan atas dasar karamah?” Menurut pendapat yang kuat, hal itu tidak diperbolehkan berdasarkan ijmak.

 

Saya pernah mendengar Abu Bakar bin Furak meriwayatkan pendapat Abu Musa Al-Asy’ari yang berkata, “Masalah tersebut terdapat dua pendapat sebagaimana dijelaskan di dalam kitab Al-Ru’yatul Kabir.”

 

Berubahnya Keadaan Para Wali

 

Jika ditanyakan, “Apakah diperbolehkan bagi orang yang menjadi wali pada saat sekarang, tetapi dikemudian hari dia berubah?” Menurut satu pendapat, apabila baiknya penyempurnaan dijadikan syarat kewaliaan, maka berubahnya keadaan wali tidak diperbolehkan. Menurut pendapat yang lain, pada hakikatnya dia adalah orang yang beriman di saat sekarang. Apabila keadaannya yang berubah di masa lalu itu diperbolehkan, maka pada saat sekarang dia masih dianggap wali sampai dia berubah lagi. Pendapat yang terakhir ini yang kita pilih.

 

Dari keseluruhan karamah wali diperbolehkan mengetahui bahwa dia terjaga akibat (akhir hidup)nya, karena ia tidak berubah. Masalah ini sesuai dengan keterangan yang mengatakan, “Diperbolehkan mengetahui bahwa dirinya adalah wali.”

 

Wali dan Takut Terhadap Cobaan

 

Jika ditanyakan, “Apakah rasa takut dari tipu daya (cobaan) Allah Swt. akan hilang dari wali?” Menurut satu pendapat, jika wali diliputi orang yang menyaksikan dan disambar perasaan dengan keadaan, maka dia akan binasa dan tenggelam dalam masalah yang dikuasai. Sedangkan takut merupakan bagian dari sifat-sifat orang yang hadir di hadapan Allah Swt.

 

Wali dalam Keceriaan “Cuaca”

 

Jika ditanyakan, “Biasanya apa yang dikerjakan wali ketika keadaan ‘cuaca’ terang?” Menurut satu pendapat, benar melaksanakan hak Allah Swt., menolong dan mengasihi orang lain dalam segala hal, kasih sayang kepada semua orang, dan selalu bersabar terhadap mereka dengan cara berbudi pekerti yang baik dan memulai pekerjaan untuk mencari kebaikan dari Allah Swt. tanpa mencari keuntungan dari mereka, menggantungkan cita-cita dengan keberhasilan mereka, meninggalkan sifat balas dendam, menjaga tersebarnya kedengkian dengan cara tidak mengambil keuntungan dari harta mereka, mencegah pembicaraan jelek agar tidak tersebar, dan menjaga diri agar terhindar dari kejahatan mereka yang nampak yang tidak menimbulkan permusuhan, baik di dunia maupun di akhirat.

 

Terpeliharanya Para Guru

 

Tidak wajib bagi murid (orang yang hendak menuju Allah Swt.) meyakini tentang keterpeliharaan para guru. Bahkan, dia wajib meninggalkan mereka dan hal ihwalnya. Akan tetapi, dia harus berbaik sangka kepada mereka dan menjaga batasan yang ditetapkan dengan sikap selalu ingat kepada Allah Swt. serta selalu mengarahkan pandangan kepada-Nya yang kekuatannya dimotori oleh ilmu dan perbuatan, sehingga dia mampu membedakan antara yang terpuji dan yang tercela.

 

Murid dan Harta Dunia

 

Tiap-tiap murid (orang yang hendak menuju Allah Swt.) di dalam hatinya pasti memiliki kadar (timbangan) sesuatu yang berupa harta dunia. Oleh karena itu, keinginan pada dunia merupakan hal yang boleh-boleh saja. Apabila di dalam hatinya terdapat ikhtiar tentang hal-hal yang timbul dari apa yang diketahui, lalu dia mengistimewakan satu bentuk kebaikan yang diingininya, maka dia adalah orang yang terbebani. Dengan kegelisahannya, dia ingin cepat kembali ke dunia. Hal itu dikarenakan tujuan murid meninggalkan berbagai hubungan adalah keluar darinya, bukan upaya dalam berbagai amal kebaikan. Sangat buruk bagi murid apabila dia mengeluarkan pokok hartanya karena dia akan menjadi tawanan pekerjaan. Oleh karena itu, dia harus menstabilkan, baik ketika mempunyai harta maupun tidak sehingga dia tidak menggelisahkan orang lain, meskipun orang lain itu Majusi.

 

Diterimanya Guru Bagi Murid

 

Diterimanya guru bagi murid merupakan saksi yang paling benar untuk memperoleh kebahagiaan. Barangsiapa yang menyakiti hati guru, pasti dia akan mendapatkan balasan yang setimpal di kemudian hari.

 

Bersahabat dengan Perbincangan

 

Kerusakan yang sulit dikonstruksi adalah bersahabat dengan pemuda. Hatinya selalu sibuk berhubungan dengan orang lain. Allah SWT. berfirman:

 

“Kamu kira hal itu (omongan dari mulut ke mulut) ringan saja, padahal di sisi Allah adalah (dosa) besar.” (QS. An-Nur: 15) Fath Al-Mushili berkata, “Ada tiga puluh guru saling bersahabat. Mereka terhitung dari kelompok wali abdal.’ Semuanya berwasiat kepadaku ketika berpisah, “Takutlah bersahabat dengan perbincangan dan mempergaulinya.’”

 

Apa yang mereka katakan merupakan bisik rayuan dan cerita-cerita tentang sebagian guru (orang tua). Yang utama adalah penurunan tabir yang menutupi centa-cerita itu karena menyerupai syirik dan kafir. Kita mohon perlindungan kepada Allah Swt. agar terhindar dari keputusan yang jahat.

 

Dengki

 

Sebagian dari kehancuran murid adalah karena menyimpan rasa dengki terhadap saudara-saudaranya. Kedengkian itu telah meresap di dalam jiwanya. Sedangkan pengaruh (dampak) yang disendirikan oleh Allah Swt. merupakan bentuk dan larangan bagi murid. Oleh karenanya, dia harus mengetahui bahwa setiap perkara telah dibagi dan ditentukan kadarnya oleh Allah Swt. Dengan demikian, hamba dapat menjernihkan perkara tersebut dengan sikap merasa cukup terhadap eksistensi Tuhan dan menghadap kepada-Nya agar memperoleh kedermawanan dan kenikmatan dari-Nya.

 

Sikap Mengutamakan

 

Perlu diketahui, sebagian murid apabila mendapatkan kejadian yang telah disepakati untuk mementingkan segala perkara, dia harus mendatangi orang yang lapar dan kenyang serta mengutamakan orang yang menampakkan sifat keguruannya (orang tua) meskipun murid lebih tahu daripadanya. Bergerak

 

Tata cara murid ketika mendengarkan. Murid hendaknya jangan bergerak ketika mendengarkan. Dia cukup berikhtiar. Apabila dia harus bergerak sedang dia tidak mampu, maka cukup dengan kekuatan yang dimiliki. Apabila dia tidak kuat, maka dia wajib duduk dan tenang. Apabila dia selalu bergerak untuk mendatangkan maksud tanpa kemampuan dan keterpaksaan, maka dia termasuk orang yang menentang dan hakikat sesuatu tidak akan terbuka baginya.

 

Perjalanan dan Perpindahan

 

Apabila murid diberi cobaan oleh Allah Swt. dengan memperoleh kemuliyaan, dapat bergaul dengan pemuda, atau mencintai seorang perempuan, sedang dia tidak mempunyai guru yang memberikan petunjuk atas kebolehan tersebut, maka dia diperbolehkan berjalan dan berpindah dari tempat (kedudukan) itu. Para guru sufi berkata, “Apabila orang yang ma’rifat menceritakan ma’rifat, maka mereka menganggapnya bodoh. Hal itu dikarenakan pemberitahuan itu harus berkaitan dengan tempat (kedudukan atau maqam), bukan dengan ma’rifat. Barangsiapa yang mengerti tentang tempat (kedudukan dunia), maka dia pemilik ilmu bukan pemilik suluk (usaha menempuh Allah Swt.).“

 

Melayani Orang Fakir

 

Apabila murid melayani orang fakir yang mendapatkan kesulitan, tidak layak baginya meninggalkan sifat ikhlas yang sudah tertanam di dalam hati untuk melayani mereka dan dia harus mencurahkan keluasan dan kemampuan.

 

Sabar Terhadap Kebencian Orang

 

Sebagian dari keadaan murid apabila sedang melayani orang fakir, dia harus bersabar mendapat kebencian dari orang lain dan harus mencurahkan ruh (diri)nya ketika sedang melayani. Apabila orang lain benci, maka dia harus menyalahkan diri sendiri untuk memperlunak hati mereka, meskipun dia tahu bahwa dirinya pihak yang bebas. Apabila mereka semakin benci, maka dia wajib mengoptimalkan pelayanan dan kebaikan kepada orang fakir. Saya telah mendengar Imam Abu Bakar bin Furak berkata, “Apabila kita tidak bersabar terhadap martil (pemukul), maka bagaimana jika kita menjadi penempa besi?”

 

Menjaga Tata Cara Syariat

 

Pondasi dan sendi perkara adalah menjaga tata cara syariat, memelihara tangan agar tidak diulurkan kepada barang yang haram dan syubhat, menjaga panca indera dari hal-hal yang diharamkan, memperhatikan keluar masuknya nafas bersama Allah Swt. agar terhindar dari kelupaan, dan jangan menghalalkan biji-bijian yang di dalamnya terdapat syubhat di saat terpaksa. Bagaimana jika berikhtiar di saat kemudahan? Murid harus selalu bermujahadah (bersungguh-sungguh) meninggalkan hal-hal yang syubhat. Barangsiapa yang menolong (bersepakat dengan) syahwatnya, maka kesuciannya akan hilang. Oleh karena itu, perilaku yang paling buruk bagi murid kembali kepada syahwat yang telah dia tinggalkan.

 

Menjaga Janji Bersama Allah Swt.

 

Murid wajib menjaga janjinya bersama Allah Swt. karena merusak janji di jalan iradah sama halnya dengan orang murtad bagi agama ahli zhahir. Tidak layak bagi murid berjanji kepada Allah Swt. atas segala sesuatu dengan memilih perkara yang sangat mungkin, karena di dalam ketetapan-ketetapan syarak segala sesuatu yang dapat dipenuhi merupakan kemudahan. Allah Swt. berfirman tentang sifat-sifat orang:

 

“Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah (tidak bersuami atau beristri dan mengurung diri di dalam kamar), padahal Kami tidak memerintahkan demikian kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakan) untuk mencari kerelaan Allah Swt., lalu mereka tidak memeliharanya menurut pemeliharaan yang semestinya.” (QS. Al-Hadid: 27)

 

Menjauhkan Diri Dari Anak-Anak Dunia

 

Wajib bagi murid menjaukan diri dari anak-anak dunia. Bergaul dengan mereka merupakan racun yang membahayakan karena mereka akan memanfaatkannya. Oleh karena itu, dia harus mengurangi pergaulan dengan mereka. Allah Swt. berfirman:

 

“Dan janganlah engkau taat kepada orang-orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami dan mengikuti hawa nafsunya.” (QS. Al-Kahfi: 28)

 

Orang-orang yang zuhud mengeluarkan uang dari dompet karena semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt., sedangkan orang-orang yang suci mengeluarkan budi pekerti dan kemarrifatan dari hatinya karena menyatakan kebenaran bersama Allah Swt.

 

4. MIMPI

 

Allah Swt. berfirman:

 

“Untuk mereka kabar gembira waktu mereka hidup di dunia dan di akhirat.” (QS. Yunus: 64)

 

Menurut satu pendapat, yang dimaksud ayat ini adalah mimpi baik yang dilihat orang atau yang diperlihatkan kepadanya.

 

Abu Darda’ berkata:

 

“Saya bertanya kepada Nabi Muhammad Saw. tentang ayat: ‘Untuk mereka kabar gembira waktu hidup di dunia dan di akhirat’. Beliau menjawab, “Belum pernah ada orang yang bertanya kepadaku tentang ayat itu sebelum dirimu. Yang dimaksud ayat itu adalah mimpi baik yang dilihat oleh orang atau yang diperlihatkan kepadanya.

 

Dari Abdullah bin Ma’sud diceritakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

 

“Mimpi berasal dari Allah Swt., sedang mimpi buruk berasal dari setan.”

 

Beliau juga bersabda:

 

“Barangsiapa yang bermimpi melihatku, maka dia melihatku karena setan tidak akan bisa menyerupai diriku.”

 

Makna hadis ini menunjukkan bahwa mimpi itu adalah mimpi yang benar dan panakwilannya juga benar. Oleh karena itu, mimpi juga merupakan karamah.

 

Merealisasikan mimpi merupakan pemikiran (perasaan) yang muncul (tertanam) di dalam hati dan hal ihwal yang tergambar di dalam khayalan. Apabila orang yang tidur terkalahkan oleh perasaan mengetahui, maka ketika bangun dia menduga bahwa mimpi itu adalah kenyataan. Hal itu hanya deskripsi dan illusi yang tertanam di dalam hati. Ketika perasaan yang tampak hilang, maka tinggallah dugaan-dugaan yang diketahui tentang perasaan dan keterpaksaan, sehingga keadaan itu menjadi kuat (mengakar) bagi pemiliknya (orang yang bermimpi). Apabila dia bangun, maka keadaan yang digambarkan berdasarkan perasaan menyaksikan dan memperoleh ilmu-ilmu pasti akan menjadi lemah.

 

Perupamaan orang bermimpi seperti orang yang berada di tengah-tengah sinar lampu di tempat yang sangat gelap. Apabila matahari terbit, maka sinar matahari akan mengalahkan sinar lampu. Sinar lampu akan mengecil jika disandarkan pada matahari. Perumpamaan orang yang tidur seperti orang yang berada di tengah-tengah sinar lampu, sedangkan perumpamaan orang yang bangun seperti orang yang berada di pertengahan (ketinggian) siang. Orang yang bangun akan mengingat pertolongan yang didapatkan ketika dia tidur.

 

Berbagai cerita dan pemikiran itu meresap (tertanam) di dalam hati ketika dia tidur yang terkadang keluar dari setan, dari keterlintasan jiwa, keterlintasan malaikat, dan terkadang pula pemberitahuan Allah Swt. dengan menciptakan keadaan itu di dalam hati sebagai bahan permulaan. Di dalam hadis disebutkan: “Di antara kamu sekalian yang paling benar mimpinya adalah di antara kamu sekalian yang benar ceritanya.”

 

Perlu diketahui bahwa tidur terbagi menjadi beberapa macam, yaitu tidur lupa dan tidur kebiasaan. Kedua tidur ini tidak terpuji bahkan tercela karena ia saudaranya mati sebagaimana hadis yang berbunyi: “Tidur adalah saudara mati.” Begitu juga dalam firman Allah Swt. telah dijelaskan:

 

“Dan Dialah Yang menidurkan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang hari. (QS. Al-An’am: 60)

 

Demikian juga firman-Nya yang lain:

 

“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan memegang) jiwa (orang) yang belur mati di waktu tidurnya.” (QS. Az-Zumar: 12)

 

Menurut satu pendapat, seandainya tidur itu lebih baik, maka di dalam surga akan terdapat tidur. Menurut pendapat yang lain, ketika Allah Swt. menurunkan Nabi Adam a.s. yang telah terkalahkan tidur di dalam surga, Allah Swt. mengeluarkan Ibu Hawa darinya. Dia mendapatkan cobaan setiap Hawa mendapatkan cobaan. –

 

Saya mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Ketika Nabi Ibrahim a.s. berkata kepada puteranya, Ismail:

 

“Wahai Anakku, saya bermimpi bahwa saya menyembelihmu.’ (QS. Ash-Shaffat: 102)

 

Dia menjawab, ‘Wahai Ayah, ini adalah pembalasan bagi orang yang tidur menghindari kekasihnya. Seandainya engkau tidak tidur, engkau tentu tidak akan diperintah menyembelih anak.”

 

Menurut sebagian ulama, Allah Swt. menurunkan wahyu kepada Nabi Dawud a.s. yang isinya menyatakan: “Orang yang mengaku cinta kepada-Ku adalah bohong. Apabila malam telah tenggelam, dia tidur dengan melupakan-Ku.”

 

Tidur merupakan kebalikan dari ilmu. Oleh karena itu, Dalf Asy-Syibli berkata, “Mengantuk seribu tahun adalah tercela.” Dia juga berkata, “Al-Haqq Tampak padaku dan berfirman, ‘Barangsiapa yang tidur, maka dia terhalang.”

 

Melihat kedudukan tidur yang tidak baik ini, sampai-sampai Asy-Syibli memberi celak matanya dengan garam supaya dia tidak tidur. Dalam pengertian ini ulama mengilustrasikan dalam syair-syair sufinya:

 

alangkah mengagumkan orang yang cinta bagaimana dia bisa tidur padahal setiap tidur bagi orang yang cinta adatah haram

 

Menurut sebagian ulama, makannya murid adalah kesusahan, tidurnya kekalahan, dan bicaranya adalah keterpaksaan. Ada yang berpendapat, ketika Nabi Adam a.s. tidur di Hadhrah, dikatakan kepadanya, “Ini adalah Hawa agar engkau bisa tenang bersamanya. Ini adalah pembalasan bagi orang yang tidur di Hadhrah.” Menurut yang lain, apabila kita menghadiri suatu tempat, kita jangan tidur, karena tidur di hadapan orang merupakan budi pekerti yang jelek. Apabila kita tidak menghadirinya, maka kita termasuk orang yang menyesal dan mendapat cobaan. Orang yang mendapat cobaan tidak akan bisa tidur.

 

Tidurnya ahli mujahadah merupakan sedekah dari Allah Swt. Dia akan bangga pada hamba, apabila dia tidur dalam sujudnya. Allah Swt. berfirman dalam hadis gudsi: Perhatikanlah hamba-Ku. Ruhnya selalu berada di samping-Ku dan jasadnya berada di antara kedua tangan (kekuasaan)-Ku.”

 

Menurut Ustaz Al-Qusyairi, yang dimaksud firman Allah Swt. dalam hadis gudsi itu ialah ruhnya berada di tempat kebahagiaan dan badannya berada di atas permadani ibadah. Menurut suatu pendapat, setiap orang yang tidur di dalam suci, ruhnya diperkenankan mengelilingi Arasy dan bersujud di hadapan Allah Swt. Dia berfirman:

 

“Dan Kami jadikan tidurmu untuk beristirahat.” (QS. An-Naba’: 9)

 

Saya telah mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq bercerita tentang seorang laki-laki yang mengeluh kepada gurunya karena banyak tidur. Dia menjawab, “Pergi dan bersyukurlah atas keselamatan yang engkau dapatkan. Banyak orang yang sakit karena matanya terpejam untuk tidur sebagaimana yang engkau keluhkan itu.”

 

Menurut sebagian ulama, tidak satu pun yang dikehendaki iblis selain tidurnya orang yang maksiat. Iblis berkata, “Kapan orang itu bangun dan berdiri sehingga dia bermaksiat kepada Allah.” Menurut sebagain ulama yang lain, keadaan yang terbaik bagi orang yang bermaksiat adalah tidur. Jika dia tidak punya waktu untuk tidur, dia tidak akan memperoleh apa-apa.

 

Saya telah mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Syah Al-Karmani membiasakan diri tidur. Suatu saat dia tertidur. Dia bermimpi melihat Allah Swt. Setelah kejadian itu, dia memaksakan diri tidur. Dia ditanya tentang keadaannya. Dia menjawab:

 

di saat tidur saya bermimpi hatiku penuh kebahagiaan setelah itu saya cinta kantuk dan tidur

 

Ada seorang guru mempunyai murid. Keduanya berbeda pandangan. Yang satu berpendapat bahwa tidur lebih baik, karena manusia tidak akan berbuat maksiat. Yang laimnya berkata bahwa bangun lebih baik, karena manusia akan mengetahui Allah Swt. Keduanya lantas menceritakan kepada gurunya. Dia menjelaskan duduk perkaranya. “Engkau telah berbicara tentang keutamaan tidur, Oleh karena itu, mati lebih baik bagimu daripada hidup. Sedang engkau berbicara tentang keutamaan bangun. Oleh karena itu, hidup lebih baik bagimu daripada mati.” . Dalam cerita yang lain, seorang laki-laki membeli budak. Ketika malam telah tiba dia berkata kepada budaknya, “Hamparkanlah tikar.”

 

Wahai Tuanku, apakah engkau mempunyai tuan?”

 

“Ya.”

 

“Apakah engkau tidak malu hendak tidur, sedang tuanmu belum tidur?”

 

Diceritakan juga kisah anak perempuan yang bertanya kepada Sa’id bin Jubair. “Kenapa engkau tidak tidur?” tanyanya.

 

Neraka Jahannam tidak akan meninggalkan diriku jika saya tidur,” jawab Sa’id.

 

Ketika Rabi’ bin Khaitsam meninggal dunia, anak perempuannya bertanya kepada ayahnya, “Kemana hilangnya piringan hitam padahal ia berada di kamar samping kita?” Ayahnya menjawab, “Suatu saat, orang laki-laki mendatangi kita. Dia berdiri sejak awal malam sampai akhir malam.” Anak perempuan itu lantas mengkhayal bahwa dirinya masih muda. Dia tidak dapat menaiki atap kecuali di waktu malam. Setelah itu dia bertemu dengan lelaki dalam keadaan berdiri.

 

Sebagian ulama berkata bahwa saat tidur mereka memperoleh pertolongan yang tidak akan diperoleh di saat bangun. Sebagian dari pertolongan itu berupa mimpi mereka yang melihat Rasulullah Saw., sahabat, dan orang-orang terdahulu. Namun, mereka tidak dapat melihatnya di saat bangun. Merekajuga bermimpi melihat Tuhan. Ini merupakan keistimewaan yang sangat besar. Menurut satu pendapat, Abu Bakar Al-Ajiri pernah bermimpi melihat Tuhan Swt. Yang berkata kepadanya, “Memohonlah tentang kebutuhanmu!” Dia lantas berdoa, “Ya Allah, ampunilah umat Muhammad yang bermaksiat.” Allah Swt. menimpali, “Dengan ini Aku lebih utama daripada kamu. Memohonlah tentang kebutuhanmu!”

 

Muhammad bin Ali Al-Kattani berkata, “Saya bermimpi melihat Nabi Muhammad Saw. Beliau bersabda kepadaku, “Barangsiapa yang berhias diri di hadapan orang banyak, maka Allah Swt. akan mengetahui perselisihannya. Allah Swt. akan menjadikan dia orang yangjahat.” Al-Kattanijuga berkata, “Saya mimpi melihat Nabi Muhammad Saw. Saya berkata, “Mohonkanlah saya kepada Allah Swt. agar tidak mematikan hati saya.” Beliau menjawab, “Bacalah setiap hari empat puluh kali lafal:

 

Wahai Dzat Yang Maha Hidup dan Maha Tegak, tidak ada tuhan selain Engkau.

 

“Dengan demikian Allah Swt. akan menghidupkan hatimu.”

 

Hasan bin Ali pernah bermimpi melihat Nabi Isa bin Maryam. Dalam mimpinya itu, dia berkata. “Saya ingin membuat cincin. Tulisan apa yang harus kugoreskan?” Nabi Isa a.s. menjawab, “Tulislah dengan kata:

 

“Tidak ada tuhan selain Allah, Dzat Yang Maha Raja, Maha Benar, dan Maha Terang.

 

“Ini adalah kata-kata terakhir dalam Injil.”

 

Diriwayatkan dari Abu Yazid Al-Busthami, dia berkata, “Saya pernah mimpi melihat Allah Swt. Saya bertanya, ‘bagaimana cara bertemu dengan-Mu?’ Allah Swt. menjawab, ‘Tinggalkan jiwamu dan kemarilah.’”

 

Ahmad binKhadhrawaih juga pernah bermimpi melihat Allah Swt. Dalam mimpinya itu, Dia berfirman, “Ya Ahmad, setiap manusia mencari sesuatu dari-Ku kecuali Abu Yazid. Dia hanya mencari-Ku.”

 

Demikian juga Yahya bin Sa’id Al-Oaththan. “Saya pernah bermimpi melihat Allah Swt.,” katanya. “Ketika itu, saya berkata kepada-Nya, ‘Saya sering berdoa kepada-Mu, tapi Engkau tidak mengabulkannya. Allah Swt. menjawab, Ya Yahya, Aku paling senang mendengarkan suaramu.”

 

Bisyr bin Al-Harits bercerita: Saya pernah bermimpi melihat Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib. Saya bertanya, “Ya Amirul Mukminin, berilah saya peringatan.” Dia menjawab, “Alangkah baiknya kelemahlembutan orang yang kaya terhadap orang fakir karena mencari pahala dari Allah Swt. dan alangkah baiknya kesombongan orang fakir terhadap orang kaya karena percaya kepada Allah Swt.” Saya bertanya lagi, “Ya Amirul Mukminin, berilah saya tambahan peringatan.” Dia menjawab menyitir sebuah syair:

 

saya orang yang telah mati kemudian menjadi hidup dan dari orang yang dekat engkau menjadi mati

 

Menurut suatu cerita, Sufyan Ats-Tsauri pernah dimimpikan orang. Dalam mimpi itu, dia ditanya, “Apakah yang telah Allah Swt. perbuat terhadapmu?” Dia menjawab, “Allah Swt. telah mengasihiku.” Dia ditanya, “Bagaimana keadaan Abdullah bin Mubarak?” Dia menjawab, “Dia termasuk sebagian orang yang menghadap Allah Swt. setiap hari dua kali.”

 

Saya telah mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Ustaz Abu Sahal Ash-Sha’luki mimpi melihat Abu Sahal AzZujjaji. Az-Zujjaji berbicara tentang janji (ancaman) yang abadi.

 

Lantas dia ditanya oleh Sha’luki, ‘Apa Yang telah Allah Swt. kerjakan kepadamu?” Az-Zujjaji menjawab, Perkara seperti ini (di akhirat) lebih mudah daripada yang kita duga (di dunia).

 

Hasan bin ‘Ashim As-Syaibani pernah dimimpikan orang. Dia ditanya, “Apa yang telah Allah kerjakan terhadapmu?” Dia menjawab, “Tidak ada Dzat Yang Maha Pemurah kecuali kemurahan Allah Swt.“ Demikian juga sebagaian ulama pernah dimimpikan orang saat tidur. Dia ditanya tentang keadaannya, lalu dijawab dengan melantunkan syair:

 

mereka memperhatikan kami lantas mereka bersifat lemah lembut mereka memberikan sesuatu kepada karni lantas mereka memerdekakan

 

Hasan Al-Bashri pernah memasuki mesjid untuk mengerjakan salat magrib. Imamnya seorang non Arab (orang ajam) yang dicintai jamaahnya. Akan tetapi, Al-Bashri tidak mengerjakan salat di belakangnya. Dia mengkhawatirkan kesalahan kata dari ucapannya karena dia bukan orang Arab. Malamnya ia bermimpi melihat seseorang yang menegurnya. “Kenapa engkau tidak mengerjakan salat di belakangnya, maka Allah Swt. akan mengampuni dosa-dosamu yang telah lewat.”

 

Malik bin Anas pernah dimimpikan orang. Dalam mimpi itu, dia ditanya, “Apa yang telah Allah Swt. perbuat terhadapmu?” Dia menjawab, “Allah Swt. telah mengampuni dosa-dosaku dengan perkataan yang pernah diucapkan Utsman bin Affan ketika melihat jenazah, yaitu ucapan:

 

“Maha Suci Dzat Yang Maha Hidup Yang tidak pernah akan mati.”

 

Ketika Hasan Al-Bashri meninggal dunia, di malam harinya seakan-akan pintu langit dimimpikan terbuka yang bersamaan dengan itu orang yang memanggilnya, “Ingatlah bahwa Hasan bin Al-Bashri menghadap Allah Swt. Yang Dia rela kepadanya.”

 

Saya telah mendengar Abu Bakar bin Asykib berkata, “Saya bermimpi melihat Ustaz Abu Sahal Ash-Sha’luki dalam keadaan baik. Saya bertanya, ‘Ya Ustaz, dengan apa engkau menemukan ini? Dia menjawab, Dengan prasangka baik terhadap Tuhan.”

 

Menurut satu ungkapan, Al-Jahizh pernah dimimpikan orang.

 

Dia ditanya, “Apa yang telah Allah diperbuat terhadapmu?” Dia menjawab dengan ungkapan syair:

 

jangan menulis tanpa tujuan Allah akan membaHagiakanmu di kala engaku melihat-Nya

 

Junaid pernah mimpi melihat iblis dalam keadaan telanjang. Dia berkata kepada iblis, “Apakah engkau tidak malu kepada manusia?” Dia menjawab, “Mereka bukanlah manusia. Manusia adalah orang yang selalu berada di mesjid Syauniziyah. Mereka selalu mencerca tubuhku dan membakar limpaku.” Dalam kesempatan lain Junaid berkata, “Ketika bangun saya pergi ke mesjid. Suasananya masih sangat pagi. Saya melihat sekelompok orang meletakkan kepalanya di atas lutut-lututnya dalam keadaan berpikir. Ketika melihatku, mereka berkata, “Jangan engkau tertipu oleh cerita setan!”

 

Setelah Nashr Abadzi meninggal dunia, dia dimimpikan orang di saat tidurnya.

 

“Apa yang telah Allah Swt. perbuat terhadapmu?” tanyanya.

 

“Saya dicela sebagaimana dicelanya orang yang punya kemuliaan, lantas saya dipanggil dengan ditanya, Apakah setelah bertemu engkau hendak berpisah?” Saya Jawab, Tidak, wahai Dzat Yang Maha Agung. Saya tidak pernah diletakkan di lubang lahad sehingga saya bertemu dengan seseorang.”

 

Dzun Nun Al-Mishri pernah dimimpikan orang. Dia ditanya, “Apa yang telah Allah Swt. perbuat terhadapmu?” Dia menjawab, “Saya mohon kepada Allah Swt. tiga kebutuhan dunia, lantas Dia memberikan kepadaku sebagian. Saya mengharap agar sisanya diberikan. Saya mohon kepada Allah Swt. agar memberikan saya satu kebutuhan dari sepuluh yang ada di tangan orang yang rela, lantas Dia memberikan kepadaku dengan sendiri-Nya (secara langsung). Saya berdoa agar Allah Swt. memberikan air minum dari sisa yang satu yang ada di tangan pemilik dengan sepuluh macam, lantas Dia menguasakannya. Saya Mohon agar Allah Swt. memberikan rezeki kepadaku sehingga saya dapat mengingat-Nya dengan ucapan yang tidak berkesudahan.”

 

Setelah Dalf Asy-Syibli meninggal dunia, dia dimimpikan orang. Dia ditanya, “Apa yang telah Allah Swt. perbuat terhadapmu?” Dia menjawab, “Allah Swt. tidak menuntutku beberapa dirham dengan beberapa dakwaan kecuali satu. Suatu hari saya berkata, “Tidak ada kerugian yang lebih besar daripada kerugian surga dan masuk neraka.’ Allah Swt. bertanya kepadaku, Kerugian apa yang lebih besar daripada bertemu dengan-Ku?

 

Al-Nabbaji berkata, “Suatu hari saya menginginkan sesuatu. Saya bermimpi di saat tidur seakan-akan ada orang berkata, Apakah murid (orang yang sedang menuju Allah Swt.) bangga dengan kemerdekaannya dan merendahkan budak, padahal dia memperoleh apa yang dikehendaki dari tuannya?“

 

Ahmad bin Jalla’ berkata, “Saya pernah memasuki kota Madinah dan saya mendapatkan kesusahan, lantas saya mendatangi kuburan. Saya mengadu, ‘ Saya adalah tamumu. Saya mengantuk sehingga tertidur. Dalam tidur itu saya bermimpi melihat Nabi Muhammad Saw. Beliau meraberi separuh roti kepadaku. Saya makan separuhnya. Setelah bangun ternyata separuhnya berada di tanganku.”

 

Utbah bin Ghulammun, melihat bidadari yang masih gadis dengan wajah sangat cantik. Bidadari itu menyapanya dengan kata-kata yang sangat mesra. “Ya Utbah, saya sangat rindu kepadamu. Perhatikanlah bahwa engkau tidak pernah mengerjakan satu pekerjaan yang akan mengubah hubungan antara diriku dan dirimu.“ Uthah menimpalinya, “Saya telah menceraikan dunia tiga kali dan saya tidak akan rujuk (kembali) kepadanya sehingga saya dapat bertemu denganmu.”

 

Saya pemah mendengar Manshur Al-Maghiribi bercerita: “Saya melihat seorang syaikh (guru, orang tua) di negeri Syam. Dia memperoleh peristiwa besar. Biasanya berduka cita. Kemudian seseorang berkata kepadaku, ‘Jika engkau ingin syaikh ini bersuka cita denganmu, berilah dia salam dan berkatalah: Mudah-mudahan Allah Swt. memberikan rezeki kepadamu.’ Kemudian saya tanya sebabnya. Dia menjawab, ‘Syaikh ini pernah mimpi melihat bidadari di saat tidur. Peristiwa itu tertanam di dalam hatinya.’ Saya pun akhirnya melaksanakan apa yang dianjurkan. Kepadanya saya ucapkan salam seperti yang diajarkannya kepadaku: Mudah-mudahan Allah Swt. memberikan rezeki bidadari kepadamu. Syaikh itu spontan senang kepadaku.”

 

Ayyub Al-Sikhtiyani pernah melihat jenazah orang yang berbuat maksiat. Dia memasuki dihliz (tempat masuk antara pintu dan tengah rumah) supaya tidak perlu mengerjakan salat untuknya. Suatu saat orang bermimpi melihat mayit di saat tidur. Dia bertanya kepada mayit, “Apa yang telah Allah Swt. kerjakan terhadapmu?” Mayit itu menjawab, “Allah Swt. telah mengampuniku.” Mayit itu melanjutkan, “Katakanlah kepada Ayyub AsSikhtiyani:

 

“Katakanlah, kalau kamu menguasai perbendaharaan-perbendaharaan rahmat Tuhanku, niscaya perbendaharaan itu kamu tahan karena takut membelanjakannya (QS. Al-Isra: 100).

 

Ketika Malik bin Dinar meninggal dunia, suatu malam dia dimimpikan orang yang seakan-akan pintu langit terbuka Jan ada orang yang berkata, “Ingatlah bahwa Malik bin Dinar termasuk penduduk surga.”

 

Setengah ulama berkata, “Suatu malam ketika Dawud At-Thai meninggal dunia, saya bermimpi melihat cahaya dan para malaikat. Mereka ada yang naik dan ada yang turun. Saya bertanya, “Ada apa malam ini? Mereka (para malaikat) menjawab, “(Di malam ini Dawud At-Thai meninggal dunia. Oleh karenanya, surga dihiasi karena kedatangan ruhnya.

 

Ustaz Abul Qasim Al-Qusyairi berkata, “Saya mimpi melihat Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq. Saya bertanya kepadanya, “Apa yang telah Allah Swt. perbuat terhadapmu? Dia menjawab, “Dosa besar tidak akan diampuni apabila kedudukannya lebih sedikit (rendah) daripada pekerjaan Fulan yang telah diberikan seperti ini dan itu.’ Kejadian mimpi di saat tidur itu, orang yang disebut oleh Ad-Daqaq ternyata orang yang mati bunuh diri.”

 

Ketika Kurz bin Wabrah meninggal dunia, ada orang bermimpi seakan-akan ahli kubur keluar dari tempatnya. Mereka memakai pakaian baru serba putih. Seseorang darinya ditanya, “Ada apa ini?” Dia menjawab, “Ahli kubur diberi pakaian baru, karena mereka kedatangan Kurz bin Wabrah.” Yusuf bin Husin pernah dimimpikan orang. Dia ditanya, “Apa yang telah Allah Swt. perbuat terhadapmu?” Dia menjawab,

 

“Allah Swt. telah mengampuniku.” Dia ditanya, “Karena apa Allah Swt. mengampunimu?” Dia menjawab, “Karena saya tidak

 bersendau gurau ketika saya bergaul.”

 

Abdullah bin Zarrad juga pernah dimimpikan orang. Dia ditanya, “Apa yang telah Allah Swt. kerjakan terhadapmu?“

 

“Allah Swt. memberhentikan diriku. Dia mengampuni segala dosa yang pernah saya kerjakan kecuali satu. Akibatnya saya malu berdekatan dengan-Nya, lantas Allah Swt. memberhentikan diriku di suatu tempat, sehingga daging mukaku jatuh.”

 

“Apa itu ?”

 

“Suatu hari saya melihat orang yang begitu tampan, tapi saya malu menyebutnya.”

 

Saya pernah mendengar Abu Sa’id As-Sakhkham bercerita: Saya pernah bermimpi melihat syaikh Imam Abu Ath-Thayyib

 

Sahal Ash-Sha’luki. “Wahai Syaikh,” sapa saya. “Tinggalkan Syaikh.” “Itu adalah keadaan yang pernah saya saksikan.’

 

“Engkau tidak akan memberikan kecukupan kepada kami sedikitpun.”

 

Kalau begitu, apa yang telah Allah Swt. perbuat terhadapmu?”

 

Allah Swt. telah mengampuni, karena banyaknya masalah yang perah ditanyakan oleh orang-orang yang lemah.”

 

Saya juga pernah mendengar Abu Bakar Ar-Rasyidi AlFaqih berkata, “Saya pernah mimpi melihat Muhammad At-Thusi Al-Mu’allim. Dia berkata: Katakanlah kepada Abu Sa’id AsShaffar Al-Muaddib bahwa:

 

kami tidak mengubah kelobaan dan hidup cinta kalian yang mengubahnya sedang kami tidak kalian sibuk dengan orang selain kami sehingga kalian jauh dari kami kalian telah menampakkan putus hubungan yang keadaan kami seperti demikian semoga Allah memutuskan segala perkara dengan ilmu-Nya yang akan menghidupkan kami seperti kami semula ‘

 

Setelah itu saya bangun. Peristiwa tersebut saya ceritakan kepada Abu Sa’id Ash-Shaffar. Dia berkata, Setiap hari saya berziarah ke kuburnya, tapi pada hari Jumat ini saya tidak berziarah.“

 

Diriwayatkan dari sebagaian ulama yang berkata, “Saya pernah mimpi melihat Rasulullah Saw. di saat tidur. Di sekelilingnya terdapat sekelompok orang fakir. Suatu saat dua malaikat turun dari langit. Di tengah salah satunya terdapat wadah terbuat dari perak, sedang di tangan yang lain terdapat kendi. Dia meletakkan wadah itu di antara kedua tangan Rasulullah Saw. Beliau membersihkan tangannya, kemudian memerintah agar mereka juga membersihkan tangan. Setelah itu beliau meletakkan wadah tersebut di anara kedua tangan saya. Salah satu malaikat berkata kepada malaikat yang lain, “Jangan kau tuangkan air di atas tangannya karena dia bukan termasuk kelompok mereka.’ Saya berkata. Ya Rasulullah, tidaklah telah diriwayatkan darimu bahwa engkau pernah bersabda: Seseorang akan bersarna orang yang dicintai Beliaiu menjawab, ‘“Ya.’ Saya berakata, “Saya mencintaimu juga mencintai orang-orang fakir itu.” Beliau bersabda, “Tuangkanlah wahai Malaikat di atas tangannya karena dia termasuk kelompok mereka.”

 

Suatu hari Umar Al-Hammal bedoa, “Keselamatan-keselamatan.” Seseorang menanyakan maknanya, “Apa arti doa ini?”

 

Dia menjawab, “Di awaltahun hidup saya, saya bekerja menjadi tukang pikul. Suatu hari saya membawa tepung yang saya letakkan di atas dada. Kemudian saya meletakkannya sejenak untuk istirahat. Saya berdoa dalam hati, Ya Tuhan, seandainya Engkau memberikan dua roti kepadaku setiap hari tanpa susah payah, tentu saya merasa cukup.’ belum habis berbicara, tibatiba di hadapanku terdapat dua orang yang saling bertengkar. Saya mendatangi mereka untuk mendamaikan. Namun, salah seorang di antara mereka memukul kepalaku ketika hendak memukul musuhnya, sehingga wajahku mengeluarkan darah. Tidak berapa lama, datang pihak keempat. Dia langsung memegang kedua orang tersebut. Akan tetapi, ketika dia melihatku penuh darah, dia juga menangkapku karena menduga saya ter-masuk orang yang bertengkar. Dia membawaku dan menyjebloskan ke dalam penjara. Akhirnya, saya mendekam di penjara selama satu tahun. Di dalam penjara, setiap hari para sipir mendatangiku dengan membawa dua potong roti. Suatu malam saya bermimpi melihat seseorang yang menegurku, “Engkau telah memohon dua roti setiap hari tanpa susah payah dan engkau telah mendapatkannya, tetapi mengapa engkau tidak memohon keselamatan.’ Kemudian saya bangun dan segera berdoa, (Berilah) keselamatan, (berilah) keselamatan.’ Selang beberapa saat, saya melihat di pintu penjara ada undian dan panggilan. Di mana Umar Al-hammal?’ Ternyata mereka membiarkan saya berjalan bebas.”

 

Diriwayatkan dari Muhammad Al-Kattani. Dia bercerita tentang sahabatnya. “Di samping kami terdapat seorang sahabat laki-laki yang matanya menderita sakit keras. Dia ditanya, ‘Apakah engkau tidak mengobatinya?’ Dia menjawab, Saya memang sengaja tidak ingin mengobatinya sampai sembuh.’ Di saat tidur saya mimpi melihat yang berkata, Seandainya tujuan ini ditimpakan kepada ahli nereka, tentu Kami mengeluarkan mereka dari neraka.”

 

Diriwayatkan dari Junaid bahwa dia berkata, “Di sat tidur, saya bermipi seakan-akan berbicara di hadapan orang banyak. Di sana terdapat malaikat yang sedang berdiri. Dia bertanya, Perbuatan apa yang paling mendekatkan diri kepada Allah Swt.? Yaitu, yang pernah dilakukan oleh orang-orang yang dekat dengan-Nya? Saya menjawab, “Perbuatan yang samar, tetapi dengan timbangan yang memadai. Malaikat itu berpaling dariku dan berkata, ‘Demi Allah, pembicaraanmu itu benar.“

 

Seorang laki-laki berkata kepada Alla’ bin Zaid, “Di saat tidur saya pernah bermimpi seakan-akan engkau termasuk ahli surga.”

 

“Barangkali setan merencanakan satu perkara,” katanya kemudian.

 

Allah segera mencegahnya dan secepatnya menentukan seorang laki-laki yang dapat menolongnya.

 

Atha’ As-Sulami pernah dimimpikan orang. Ditanya, “Engkau adalah orang yang sangat susah, apa yang telah Allah Swt. perbuat terhadapmu?” Dia menjawab, “Demi Allah, di balik kesusahan itu Allah Swt. memberikan kebahagiaan yang begitu lama dan kekal.” Dia ditanya lagi, “Di mana letak derajatmu?” Dia menjawab, “Bersama orang-orang yang telah diberikan kenikmatan oleh Allah Swt., seperti para nabi dan orang-orang yang benar.”

 

Al-Auza’i pernah dimimpikan orang. Dia berkata,” Saya tidak pernah melihat derajat yang lebih tinggi daripada derajat ulama dan orang-orang yang mendapat kesusahan.”

 

An-Nabbaji pernah berkata, “Di saat tidur saya bermimpi bertemu seseorang yang berkata kepadaku, ‘Barangsiapa yang percaya kepada Allah Swt. memberikan rezeki kepadanya, maka dia akan mendapat tambahan budi pekerti dan dirinya akan mendapat kemudahan dalam mencari nafkah.” Saya berkata, “Gangguan dia terletak di dalam salatnya.’

 

Zubaidah pernah dimimpikan orang di saat tidurnya. Dia ditanya, “Apa yang telah Allah Swt. kerjakan terhadapmu?”

 

“Allah Swt. telah mengampuniku.”

 

“Apakah karena engkau sering memberikan nafkah di tengah jalan Mekkah?”

 

“Tidak. Pahala nafkah dikembalikan kepada orang yang memiliki. Namun, Allah Swt. mengampuniku karena niatku.”

 

Demikian juga Sufyan Ats-Tsauri pernah dimimpikan orang. Dia ditanya, “Apa yang telah Allah Swt. kerjakan terhadapmu?” Dia menjawab, “Saya meletakkan telapak kaki yang pertama di titian (neraka) dan yang kedua di surga.”

 

Ahmad bin Abul Hawari berkata, “Di saat tidur saya mimpi melihat gadis. Saya tidak pernah melihat gadis secantik dia. Wajahnya penuh sinar cahaya. Saya bertanya, ‘Apa yang menyinari wajahmu?’ Dia balik bertanya, ‘Ingatkah ketika engkau menangis di waktu malam?’ Saya menjawab, ‘Ya.’ Dia berkata lagi, “Air matamu telah aku bawa, lantas kuusap wajahku dengan air matamu, sehingga wajahku jadi seperti ini.”

 

Menurut satu ungkapan, Yazid Ar-Raqqasvi pernah mimpi melihat Rasulullah Saw. Saat itu, dia membaca Al-Quran di hadapan beliau. Beliau bersabda, “Ini adalah bacaanmu. Di mana tangismu?” Dalam ungkapan yang lam Junaid berkata, “Saya pernah bermimpi di saat tidur, seakan-akan dua malaikat turun dari langit. Yang satunya bertanya kepadaku, ‘Apa atu benar?’ Saya menjawab, ‘Memenuhi janji. Yang lain berakata, ‘ Jawabanmu benar.’ Mereka lantas naik ke atas.’

 

Bisyr Al-Hafi pernah dimimpikan orang. Dia ditanya, ” Apa yang telah Allah Swt. kerjakan terhadapmu?” Dia menjawab, “Allah Swt. telah mengampunuku.” Allah Swt. bertanya, “Apakah engkau tidak malu kepada-Ku, wahai Bisyr, meskipun engkau takut kepada-Ku?”

 

Demikian juga Abu Sulaiman Ad-Darani pernah dimimpikan orang. Dia ditanya, “Apa yang telah Allah Swt. kerjakan terhadapmu?” Dia menjawab, “Allah Swt. telah mengampuniku. Tidak satu pun yang lebih berbahaya bagiku selain isyaratnya orang banyak.”

 

Ali Ibnul Muwaffig berkata, “Suatu hari saya memikirkan keluargaku dan kefakiran yang menimpa mereka. Di saat tidur saya mimpi melihat rug’ah (bantalan yang bertuliskan atau jimat) yang mengandung tulisan: Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ya Ibnul Muwaffig, apakah engkau takut kefakiran, pahadal Aku Tuhanmu? Ketika gelap di akhir malam tiba, seorang laki-laki datang kepadaku dengan membawa dompet yang berisi lima ribu dinar. Dia berkata, “Ambillah dinar ini wahai orang yang lemah keyakinan.”

 

Junaid berkata, “Saya pernah bermimpi sekan-akan saya berdiri (berhenti) di hadapan Allah Swt. Allah bertanya kepadaku, “Ya Abul Qasim, dari mana pembicaraan ini kau peroleh?” Saya menjawab, Saya tidak pernah berkata kecuali yang benar.” Dia berfirman, ‘Engkau benar.”

 

Abu Bakar Al-Kattani bercerita: Di saat tidur saya mimpi melihat pemuda. Saya tidak pernah melihat pemuda yang lebih tanpan daripada dia.

 

“Siapakah engkau?” tanyaku kepadanya.

 

“Saya adalah takwa.”

 

“Di mana engkau tinggal?”

 

“Di hati orang susah.” Setelah itu saya menoleh, di hadapanku ternyata ada orang perempuan yang sangat hitam seperti binatang liar.

 

“Siapa engkau?” tanyaku.

 

“Saya adalah tertawa.”

 

“Di mana engkau tinggal?”

 

“Di hati orang yang sangat baHagia.”

 

Setelah itu saya bangun. Saya tidak akan tertawa kecuali terpaksa.”

 

Diriwayatkan dari Abdullah bin Khafif bahwa dia berkata, “Di saat tidur saya mimpi melihat Rasulullah Saw. seakan-akan beliau bersabda kepadaku, “Barangsiapa yang mengetahui jalan menuju Allah Swt., maka dia akan memberi jalan. Apabila orang itu kembali menjahui Allah Swt., maka dia akan menyiksanya yang tidak pernah dialami oleh orang lain.“

 

Dalf Asy-Syibli pernah dimimpikan orang. Dia ditanya, “Apa yang telah Allah Swt. perbuat terhadapmu?“ Dia menjawab, “Allah Swt. membantah diriku sehingga saya berputus asa. Ketika saya melihat (memperhatikan keputusasaanku), Allah Swt. meliputiku dengan rahmat-Nya.”

 

Abu Utsman Al-Maghribi berkata, “Di saat tidur, saya pernah bermimpi seakan-akan ada Yang berkata kepadaku, ‘Ya Abu Utsman, takutlah kepada-Ku dari kekafiran meski menurut seberat biji-bijian.“

 

Menurut satu cerita, Abu Sa’id Al-Kharraz mempunyai anak yang meninggal dunia. Suatu saat Al-Kharraz melihatnya dalam mimpinya. Dia menyapanya dan minta nasihat.

 

“Wahai Anakku, berilah saya nasihat.”

 

“Wahai Ayah, jangan bergaul dengan (beribadah kepada) Allah Swt. penuh ketakutan.”

 

Wahai Anakku, berilah saya tambahan nasihat.”

 

“Jangan menentang Allah Swt. karena ada hal yang menuntutmu.”

 

“Wahai Anakku, beri lagi saya tambahan.”

 

“Jangan membuat kemeja (tabir) antara dirimu dengan Allah Swt.“ Setelah itu, Al-Kharraz tidak pernah memakai kemeja selama tiga puluh tahun.

 

Dalam cerita yang lam, seseorang berdoa: “Ya Allah, mudahmudahan barang ini tidak membahayakan-Mu dan memberikan manfaat pada kami. Oleh karena itu, janganlah Engkau halangi ia dari kami.” Disaat tidur dia bermimpi seakan-akan ada orang berkata, “Engkau menginginkan sesuatu, padahal ia membahayakanmu dan tidak memberikan manfaat kepadamu. Oleh karena itu, tinggalkan dia.”

 

Diriwayatkan dari Abu Fadhl Al-Ashfahani bahwa dia berkata, “Di saat tidur saya mimpi melihat Rasulullah Saw. Saya mengadu, Ya Rasulullah, doakanlah saya kepada Allah Swt. agar Dia tidak menghilangkan iman dariku, Rasulullah Saw. menjawab, “Hal itu sudah diselesaikan oleh Allah Swt.’”

 

Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Kharraz. Dia berkata, “Di saat tidur saya pernah bermimpi melihat jin. Saya mengambil tongkat untuk saya pukulkan kepadanya. Tiba-tiba ada orang berkata kepadaku, “Dia tidak dapat diselesaikan dengan tongkat, tetapi dapat diselesaikan dengan cahaya dalam hati.”

 

Seseorang berkata, “Saya berdoa untuk Rabiah Al-Adawiyah Di saat tidur saya mimpi melihatnya. Dia berkata, ‘Hadiahmu telah mendatangkan kami tempat makan (tutup, pinggan) dari cahaya yang ditutupi dengan sapu tangan dari cahaya.’”

 

Diriwayatkan dari Sammak bin Harb. Dia berkata, “Penglihatanku tertutup. Di saat tidur saya mimpi, seakan-akan ada orang yang berkata kepadaku, “Datanglah ke Sungai Euphrat, benamkan dirimu di dalamnya, dan bukalah matamu.’ Apa yang disarankan saya laksanakan. Setelah itu saya dapat melihat lagi.”

 

Menurut satu cerita, Bisyr Al-Hafi dimimpikan orang. Dia ditanya, “Apa yang telah Allah Swt. kerjakan terhadapmu?” Dia menjawab, “Saya melihat Tuhan. Dia berfirman kepadaku: ‘Selamat datang wahai Bisyr. Engkau telah aku wafatkan di hari yang telah aku wafatkan. Tidak ada di atas bumi yang lebih dicintai oleh-Ku selain dirimu.”

 

5. WASIAT UNTUK PARA MURID

 

Langkah awal bagi murid dalam pembahasan ini adalah harus bersikap benar agar pijakannya benar sesuai dengan nilainilai kebenaran. Para guru berkata, “Mereka diharamkan (terhalang) sampai kepada Tuhan jika menyia-nyiakan dasar yang fundamental.”

 

Saya pernah mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Kewajiban tahap awal memperbaiki tujuan, membersihkan praduga, dan keserupaan, menghilangkan kesesatan dan bid’ah, dan menuangkan berbagai keterangan dan argumentasi. Murid tidak diperkenankan menghubungkan aliran yang bukan kelompoknya. Demikian juga orang sufi tidak diperkenankan menghubungkan kepada aliran selain kelompoknya, kecuali karena mereka bodoh dalam memberikan kesimpulan terhadap kelompoknya sendiri. Dalam berbagai masalah argumentasi lebih riil daripada argumentasi orang lain dan kaidah aliran mereka juga lebih kuat daripada kaidah aliran yang lain.”

 

Manusia terkelompokkan menjadi dua. Pertama, Ashhabun Nagl (kelompok Al-Quran) dan Ashhabul Atsar (kelompok hadis). Kedua, Ashhabul “Ag! (kelompok rasional) dan Ashhabul Fikr (kelompok pemikir). Setiap guru dari kelompok ini menaiki (menempuh) keseluruhan.”

 

Apabila terdapat sesuatu yang lain bagi manusia merupakan kesamaran, maka hal itu bagi mereka merupakan realitas. Apabila kema’rifatan yang bagi makhluk merupakan sesuatu yang dituju, maka bagi mereka eksistensi Tuhan harus ditetapkan. Yang terakhir disebut ahlul wishal (sampai atau bersambung dengan Tuhan), sedang yang pertama disebut ahlul istidlal (yang mengambil argumentasi). Mereka dikatakan:

 

malamku menjadi terang karena wajah-Mu kegelapan bagi manusia tetap berjalan manusia dalam kegelapan sedang kita berada di sinarnya siang

 

Dalam pemerintahan Islam tidak pernah terdapat satu masa kecuali di dalamnya terdapat guru (syaikh) dari kelompok ini, yaitu dari orang yang mempunyai ilmu-ilmu tauhid dan manajemen.

 

Para pemimpin pada saat itu tunduk kepada guru (syaikh). Mereka merendahkan diri dan mengambil barakah kepadanya. Tidak ada keagungan dan keistimewaan bagi mereka, bahkan sebaliknya. Hal ini seperti Ahmad bin Hanbal ketika berada di hadapan Imam Syafi’i.

 

Suatu saat Syaiban Ar-Ra’i datang. Ahmad bin Hanbal berkata, “Ya Abu Abdullah, saya ingin memperingati orang ini karena dia tidak mempunyai ilmu yang memadai agar dia berusaha mencari sebagian ilmu.”

 

“Jangan kau kerjakan. Syaiban tidak akan menerima,” saran Imam Syafi’i.

 

Akan tetapi, Imam Ahmad tetap mendatanginya dan bertanya kepada Syaiban, “Apa pendapatmu tentang orang yang melupakan salat lima waktu dalam sehari semalam, sedang dia tidak tahu, salat yang mana yang dia lupakan. Oleh karena itu, apa kewajiban dia ya Syaiban?“

 

“Ya Ahmad, hati iri telah melupakan Allah Swt. Oleh karena itu, dia wajib diajari sehingga dia tidak lupa kepada Tuhannya.” Seketika itu Ahmad jatuh pingsan. Ketika dia siuman, Imam Syafi’i berkata kepadanya, “Bukankah saya sudah menyarankanmu, janganlah hatimu tergerak untuk melaksanakan itu, karena Syaiban Ar-Ra’i orang yang bodoh. Orang yang bodoh keadaannya seperti itu. Dia tidak dapat diasumsikan dengan para imam.”

 

Telah diriwayatkan bahwa seorang tokoh fikih mempunyai tempat kajian yang terletak di samping tempat kajian Dalf AsySyibli di mesjid Al-Manshur. Seorang tokoh fikih itu Abu Imran. Tempat kajian para santrinya menjadi berantakan karena ucapan Asy-Syibli. Suatu hari santri-santri Abu Imran bertanya kepada Syibli tentang masalah haid (menstruasi). Mereka bermaksud menjatuhkannya. Syibli menyebutkan beberapa pendapat para ulama tentang masalah itu. Perselisihan tidak dapat dihindari. Di antara mereka terjadi silang pendapat. Kemudian Abu Imran berdiri dan mencium kepala Syibli seraya berkata, “Ya Abu Bakar (pangilan Asy-Syibli), engkau telah menjelaskan sepuluh pendapat dalam masalah ini yang belum pernah saya dengar, sedang saya hanya mempunyai tiga pendapat. Pendapat saya hanya sebagian dari apa yang engkau katakan.”

 

Menurut satu cerita, Abul Abbas bin Suraij pernah melewati tempat kajian Junaid dan bertemu seorang ulama ahli hukum. Abul Abbas bertanya, “Bagaimana pendapatmu tentang pembicaraan Junaid?”

 

“Saya tidak tahu apa yang dikatakan Junaid. Tetapi menurut saya, pembicaraan ini bukan merupakan hal yang merusak.”

 

Abdullah bin Sa’id bin Kilab pernah ditanya, “Engkau sedang membahas setiap pembicaraan orang. Di sana terdapat seorang laki-laki yang ditanya Junaid. Perlu engkau lihat, apakah engkau dapat membantah atau tidak?” Setelah itu Abdullah bin Sa’id menghadiri tempat kajian Dia bertanya kepada Junaid tentang masalah tauhid, lantas Junaid menjawabnya. Abdullah bingung.

 

“Ulangi apa yang engkau katakan,” pinta Abdullah.

 

Junaid mengulanginya dengan redaksi yang berbeda.

 

“Ini adalah jawaban lain yang tidak dapat saya hapal. Ulangi lagi apa yang engkau katakan!”

 

Junaid mengulangi lagi dengan redaksi yang lain pula.

 

“Saya tidak mungkin menghapal apa yang engkau katakan. Oleh karena itu, dektelah kamu.’

 

“Jika memang engkau membolehkan, akan saya dekte.”

 

Setelah itu Abduliah berdiri. Dia mengakui keutamaan Junaid dan mengetahui ketinggian budi pekertinya.

 

Apabila dasar-dasar kelompok ini lebih benar, para guru mereka lebih mulia, dan ulama mereka lebih pintar, maka murid (orang yang hendak menuju Tuhan) wajib percaya kepada mereka. Hal itu terjadi jika mereka termasuk ahli suluk dan tadarruj (usaha dan menempuh dakian menuju Tuhan) untuk meraih suatu tujuan. Murid harus mengikuti mereka tentang hal-hal yang telah ditentukan mereka, seperti keterbukaan hal-hal yang samar. Dia tidak perlu merasa kecil hati kepada orang diluar kelompok ini.

 

Apabila murid ingin berpaling ke jalan taklid agar sampai pada kebenaran, maka hendaknya dia bertaklid (mengikuti) orang terdahulu (salaf) dan hendaknya berjalan di atas tingkatan ini karena mereka lebih utama daripada yang lain.

 

Junaid berkata, “Seandainya saya mengetahui bahwa Allah Swt. memiliki ilmu di bawah kelanggengan langit yang lebih mulia daripada ilmu yang sering kami bicarakan bersama kawankawan kami, maka saya akan berusaha dan menuju ke sana.”

 

Jika dia menentukan hukum pada muridnya yang menyangkut antara dirinya dan Allah, maka dia wajib memperoleh ilmu syariat, baik dengan menyatakan maupun dengan bertanya kepada para imam tentang hal-hal yang dapat mengantarkan pada kewajibannya. Apabila fatwa ahli fikih berbeda, hendaknya dia mengambil fatwa yang lebih hati-hati dengan tujuan menghindar dari perselisihan (perbedaan). –

 

Dispensasi dalam syariat hanya bagi orang-orang yang lemah, butuh, dan sibuk. Mereka sebenarnya tidak sibuk selain beribadah kepada Allah Swt. Untuk itu dapat dikatakan, “Apabila orang fakirjatuh (turun) dari derajat hakikat ke dispensasi syariat, maka dia telah merusak akidahnya dan merusak janji yang ditetapkan antara dirinya dan Allah Swt.”

 

Murid (orang yang hendak menuju Allah Swt.) wajib belajar kepada guru. Apabila dia tidak mempunyai guru, dia tidak akan berhasil selamanya. Dalam konteks ini Abu Yazid Al-Busthami berkata, “Barangsiapa yang tidak mempunyai guru, maka imamnya adalah setan.”

 

Saya telah mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Pohon jika tumbuh dengan sendirinya tanpa ada yang menanam, ia akan berdaun tapi tidak berbuah. Demikian juga murid, jika tidak mempunyai guru, dia akan mengambil jalan dengan sendirinya. Dia akan menyembah hawa nafsunya tanpa menemukan kelangsungan.”

 

Apabila murid menginginkan suluk (menempuh Tuhan), secara keseluruhan dia wajib bertobat kepada Allah Swt. dari segala kesalahan. Dia harus merunggalkan segala kesalahan, baik yang samar dan yang terang maupun yang kecil dan yang besar. Dia harus bersungguh-sungguh merelakan (meninggalkan) permusuhan. Barangsiapa yang tidak merelakan permusuhan, jalan ini tidak akan terbuka baginya sedikit pun. Atas dasar tujuan ini dia dapat menempuh. Dengan demikian dia harus melepas ketergantungan (hubungan) dan kesibukan karena pondasi jalan ini di atas kekosongan hati.

 

Dalf Asy-Syibli pernah berkata kepada Ali Al-fushri tentang permulaan perkaranya, “Jika engkau melangkah sejak hari Jumat sampai hari Jumat kedua sebagaimana engkau datang kepadaku tanpa mengingat Allah Swt., maka haram bagimu mendatangiku.”

 

Apabila murid ingin lepas dari ketergantungan, pertama kali dia harus melepaskan harta, karena harta akan menjauhkannya dari kebenaran (Tuhan). Apabila murid memasuki perkara ini dan bergantung (berhubungan) dengan dunia, maka dia tidak akan memperoleh apa-apa, kecuali ketergantungan itu sendiri yang dapat menariknya sehingga dia terjauhkan dari apa yang seharusnya didekatinya. Apabila dia meninggalkan harta, maka dia wajib meninggalkan kemuliaan (pangkat) karena orang yang ingin kemuliaan akan terputus dari jalan kebenaran.

 

Apabila murid tidak mampu meluruskan antara menerima makhluk dan menolaknya, maka dia tidak akan memperoleh sesuatu. Bahkan, sesuatu itu justru membahayakan dia dan orang-orang akan memperhatikannya. Oleh karena itu, dia harus menetapkan dan mengambil iradah (kehendak), bagaimana dia dapat dibenarkan mengambil barakah.

 

Mereka wajib meninggalkan kemuliaan karena kemuliaan merupakan racun yang dapat membunuh. Apabila murid meninggalkan harta dan kemuliaan, maka dia wajib membenarkan akidahnya. Dia tidak boleh menentang gurunya dalam segala hal yang ditunjukkan. Perselisihan bagi murid yang masih dalam taraf permulaan merupakan kesalahan besar, karena permulaan keadaan murid merupakan argumentasi atas segala umurnya.

 

Hati murid disyaratkan tidak menentang guru. Apabila di dalam hatinya masih terlintas pikiran dunia dan akhirat untuk memperoleh kekuatan, nilai, dan seseorang selain Allah Swt., maka iradahnya tidak dibenarkan. Dia diwajibkan bersungguhsungguh mengetahui Tuhan, bukan untuk memperoleh kekuatan untuk dirinya sendiri.

 

Dalam konteks demikian dapat dibedakan orang yang menginginkan Allah Swt. dan orang yang menginginkan kemuliaan dirinya, baik secara cepat (di dunia) maupun lambat (di akhirat).

 

Murid wajib menjaga rahasia hingga yang nampak, kecuali kepada gurunya. Apabila murid menyembunyikan pernapasan dari gurunya, maka dia mengkhianati persahabatan (persantrian) yang sebenarnya. Apabila murid menyalahi apa yang disarankan guru, maka dia wajib mengakui di hadapannya seketika itu. Dia harus tunduk atas ketentuan yang ditetapkan guru sebagai hukuman atas pelanggaran dan kesalahannya, baik dengan sistem berjalan yang dipaksakan oleh guru maupun perintah lain yang menurut guru adalah baik.

 

Para guru tidak dibenarkan melewati batas-batas kesalahan para murid karena akan menyia-nyiakan hak Allah Swt. Apabila murid meninggalkan segala hubungan (ketergantungan), maka guru tidak diperbolehkan mengajarkan zikir, tetapi guru wajib mendahulukan pengujian (percobaan). Apabila hati guru telah menyaksikan murid pada kebenaran tujuan, maka guru disyratkan rela terhadap apa yang dihadapi murid seperti macam-macam berubahnya putusan. Guru mengambil perjanjian dari murid agar tidak mengubah jalan yang sedang dihadapi, baik berupa kebahayaan, kehinaan, kefakiran, kesakitan, dan kepedihan.

 

Murid tidak boleh menyukai dispensasi dan tidak boleh mempermudah diri, baik ketika terserang kesusahan maupun ketika memperoleh kebahagiaan. Dia tidak boleh mementingkan tuntutan dan tidak boleh juga bermalas diri.

 

Keberhentian (waqfah) murid merupakan keburukan dari selang waktu (fatrah)nya. Waqfah dan fatrah terdapat perbedaan. Fatrah adalah kembali dari iradah dan keluar darinya, sedang wagfah adalah tenang dari perjalanan dengan menghiasi keadaan malas. Setiap murid berhenti pada permulaan iradahnya yang tidak menimbulkan masalah.

 

 

Apabila guru menguji (mencoba) murid, maka guru wajib mengajarkan zikir yang menurut pandangannya adalah baik. Guru memerintahkan murid agar menyebut nama zikir itu dengan lisannya, lantas memerintahkan agar dia membersamakan zikir hati dengan lisannya. Kemudian guru berkata kepadanya, “Tetaplah di atas konsistensi zikir, seakan-akan engkau bersama Tuhan. Di atas lisanmu selain nama zikir ini tidak boleh melewatinya, meskipun mungkin bagimu.” Setelah itu guru memerintahkannya agar tetap dalam keadaan suci. Jangan tidur kecuali sangat payah. Dia harus mempersedikit makan secara berangsur-angsur sehingga dia menjadi kuat. Guru juga memerintahkannya agar meninggalkan kebiasaannya sekaligus, sebagaimana nasihat hadis:

 

“Sesungguhnya tempat menumbuhkan bukanlah tanah yang terputus dan bukan punggung yang tetap.”

 

Guru harus menuntutnya agar dia lebih mementingkan menyendiri dan mengasingkan din. Guru juga harus menjadikan ijtihadnya tetap dalam keadaan semula, tidak boleh meninggalkan kepentingan agama dan kekhawatiran yang menyibukkan hati.

 

Perlu diketahui, dalam keadaan ini sedikit sekali murid menyendiri di saat-saat penyendirian pada permulaan iradahnya untuk menghindan gangguan dalam ijtihad, terutama bagi murid yang mempunyai kecerdikan hati. Setiap murid menghadapi keadaan seperti ini pada permulaan iraduhnya. Ini merupakan ujian (cobaan) yang harus diterima oleh para murid.

 

Kewajiban guru jika dia melihat kecerdikan murid, keadaannya harus diarahkan pada argumentasi yang rasional. Hanya dengan ilmu dia akan menjadi bersih yang secara pasti dia akan menghilangkan berbagai gangguan. Apabila guru mengetahui dia mempunyai kekuatan dan ketetapan dalam taraf ini, maka guru memerintahkannya agar tetap sabar dan selalu berzikir, sehingga dalam hatinya terpancar cahaya “terima” dan cahaya “sampai.

 

Dalam waktu dekat hal ini akan tercapai, akan tetapi hanya tertuju pada pribadi para murid. Biasanya mereka berusaha mengembalikan pandangan dan perenungan ayat-ayat sehingga memperoleh ilmu ushul (pokok atau inti) menurut kadar kebutuhan yang mendorong kepada murid.

 

Perlu diketahui, para murid akan memperoleh ujian secara khusus. Apabila mereka menyendiri di tempat-tempat zikir, mereka berada di tempat-tempat kajian atau selain hal itu, maka di dalam diri dan hati mereka terlintas berbagai hal yang bertentangan. Mereka dapat menyatakan bahwa Allah Swt. suci dari hal itu. Mereka dapat meninggalkan kesyubhatan yang batil. Namun, hal itu tidak selamanya muncul. Oleh karena itu, kesakitan mereka menjadi keras sehingga sampai pada batas cacian yang lebih sulit, ucapan yang lebih buruk, dan pikiran yang lebih huna. Dengan demikian, murid tidak mungkin melaksanakan di atas lisan dan menyampaikan kepada orang lain. Kondisi ini paling parah yang terjadi pada mereka.

 

Dalam keadaan seperti ini para murid wajib meninggalkan cobaan dengan sikap kekhawatiran, tetap berzikir, dan memohon kepada Allah Swt. agar menghilangkan hal tersebut. Kekhawatiran itu bukan termasuk gangguan dari setan, tetapi merupakan kekhawatiran diri sendiri. Apabila hamba menemukan hal itu dengan tidak mempedulikannya, maka hal itu akan terputus.

 

Sebagian dari tata cara murid, bahkan merupakan kewajiban, harus menetap di tempat iradahnya. Dia tidak boleh bepergian sebelum mendapatkan jalan dan sebelum hatinya sampai kepada Tuhan. Bepergian bagi murid yang belum waktunya merupakan racun yang dapat membunuh. Murid tidak akan mendapatkan apa yang diharapkan apabila dia bepergian bukan waktunya.

 

Apabila Allah Swt. menghendaki kebaikan pada murid, maka Dia menetapkannya di awal kehendak-Nya (juga kehendaknya).

 

Jika Dia menghendaki keburukan pada murid, maka Dia melemparkannya pada apa yang dia keluar dari pekerjaan atau keadaannya. Apabila Allah Swt. menghendaki kesengsaraan pada murid, maka Dia menguasainya di tempat pembuangan yang jauh. Hal ini terjadi jika murid masih pantas untuk sampai kepada Tuhan.

 

Apabila murid seorang pemuda, maka dia harus melayani orang-orang fakir. Orang-orang selain mereka merupakan pang: kat dan orang-orang yang sebanding perlahan-lahan meninggal: kan, sehingga merekajadi terputus di perjalanan. Puncak bagian mereka merupakan argumentasi yang sedang ditempuh dan merupakan pertemuan dengan para guru. Mereka menyaksikan hal-hal yang nampak dan perlahan-lahan mereka menempuh perjalanan. Oleh karena itu, maka mereka wajib terus menerus berjalan sehingga mereka tidak dituntut mengerjakan hal yang dilarang.

 

Seorang pemuda tersebut apabila menemukan kemudahan dan tuntutan, maka dia akan memperoleh fitnah.” Apabila murid memoderati keseluruhan fakir dan teman-temannya dalam taraf permulaan, maka dia akan mendapat bahaya. Apabila murid memperoleh ujian semacam itu, dia harus melayani para guru, teman-teman, meninggalkan perselisihan di antara mereka, memberikan kemudahan kepada orang fakir, dan berupaya tidak membenci hati guru.

 

Dalam bergaul dengan orang-orang fakir, murid wajib menerima permusuhan mereka kepada dinnya, tetapi dirinya tidak boleh memusuhi mereka. Dia harus berpandangan bahwa setiap orang dari mereka mempunyai hak dan kewajiban, tetapi dia tidak boleh berpandangan bahwa dinnya mempunyai kewajiban kepada mereka.

 

Murid tidak boleh menentang seseorang. Apabila dia tahu bahwa dirinya benar, dia harus diam dan menampakkan kesepakatan terhadapnya. Setiap murid boleh tertawa, keras hati dalam melakukan pekerjaan, dan keras hati dalam cita-cita. Karena itu, tidak menyebabkan masalah.

 

Apabila murid berada di perkumpulan orang-orang fakir, baik di perjalanan maupun di pertemuan, murid tidak layak menentang mereka secara lahiriyah, tidak dalam makan, puasa, diam, dan bergerak, lantas menjaganya supaya tetap bersama Allah Swt. Jika misalnya mereka menyuruh makan, dia harus makan sesuap atau dua suapan. Dia tidak boleh memberi sesuatu yang baik karena sangat ingin.

 

Yang bukan termasuk tatacara para murid adalah memperbanyak wirid secara lahiriah. Kaum sufi selalu bersusah payah menghilangkan kekhawatiran, memperbaiki akhlak, dan akan menghilangkan kelupaan, tidak dalam memperbanyak perbuatan baik.

 

Mereka harus melaksanakan kewajiban dan sunah rawatib. Tambahan-tambahan selawat lebih sempurna apabila dilaksanakan dengan hati melalui zikir yang terus menerus.

 

Modal utama harta murid barangkali dapat diperoleh dari setiap orang dengan sikap kebaikan jiwanya dan menerima apa yang dijumpainya dengan sikap rela, sabar mendapat kesusahan dan kefakiran, meninggalkan minta-minta dan pertentangan, baik sedikit maupun banyak yang merupakan bagiannya. Barangsiapa yang tidak sabar menghadapi hal tersebut, hendaknya dia masuk ke.pasar.

 

Orang yang menginginkan apa yang diingini orang lain, dia wajib memperoleh keinginannya dari apa yang diinginkan orang lain, baik berupa lelahnya tangan kanan maupun berkeringatnya dahi.

 

Apabila murid terus menerus berzikir dan mementingkan penyendirian, maka jika dia menemukan apa yang tidak ditemukan hati baik ketika dalam tidur, bangun atau pun di antara bangun dan tidur seperti suara yang didengar atau makna (nilai-nilai atau rahasia-rahasia yang bersifat gaib) yang disaksikan atau sesuatu yang tidak menentang kebiasaan, maka murid harus tidak menyibukkan dirinya sama sekali dengan hal-hal ini, tidak diam, mendiami, dan condong kepadanya, serta tidak harus memandang keberhasilan contoh-contoh tersebut. Murid juga tidak harus menunggu diperbolehkan hal itu karena semuanya merupakan kesibukan yang dapat menjauhkan diri dari Allah Swt.

 

Dalam keadaan seperti ini, murid harus berkonsultasi kepada gurunya sehingga hatinya menjadi kosong dan bersih. Guru wajib menjaga hatinya lantas menyembunyikan perkara dari orang lain dan menganggap kecil dalam pandangannya. Sebenarnya semua itu merupakan cobaan seperti kemiskinan yang menyerang. Murid hendaknya takut dari hal itu beserta pandangannya dan menjadikan cita-citanya di atas semua itu.

 

Perlu diketahui, sesuatu yang paling membahayakan bagi murid adalah menyukai hai yang dapat menjauhkan hatinya dari kedekatan dengan Allah Swt. dan karunia-Nya. Hal itu saya khususkan dan sendirikan dari keserupaan, karena seandainya ada orang mengatakan dengan meninggalkan ini, maka dalam waktu dekat dia akan tersambar oleh sesuatu yang nampak dari terbukanya hakikat. Untuk itu dia dapat menjelaskan keseluruhan dari ketetapan yang sulit dalam berbagai kitab.

 

Sebagian dari ketentuan-ketentuan murid, apabila tidak menemukan orang yang dapat mengajari kesopanan di tempatnya, dia boleh pindah kepada orang yang selalu mempunyai waktu untuk memberikan petunjuk kepada para murid. Setelah itu dia harus melaksanakan dan tidak boleh meninggalkan tempatnya kecuali sudah sampai pada masa yang diperbolehkan.

 

Perlu diketahui, mendahulukan mengetahui “Penguasa Baitullah” (Tuhan) daripada berziarah ke sana (Ka’bah) adalah wajib. Seandainya tidak mengetahui Penguasa Baitullah (Tuhan), maka berziarah ke sana tidak diwajibkan. Demikian juga mengenai para pemuda yang melaksanakan haji tanpa ada petunjuk para guru. Ini merupakan pertukaran (peralihan) keberanian diri. Mereka hanya memperoleh tanda karena perjalanan mereka tanpa dasar.

 

Hal yang menunjukkan bahwa perjalanan mereka dianggap tanpa bekal. Jika tidak, berpisahnya hati mereka dapat dijadikan bekal. Oleh karena itu, apabila mereka berangkat sendiri dengan satu langkah, tentu lebih terhormat bagi mereka daripada seribu perjalanan.

 

Murid disyaratkan apabila berziarah kepada guru, hendaknya dia masuk dengan penuh hormat dan memandangnya dengan sikap malu. Apabila guru memuji sesuatu yang berkaitan dengan pelayanannya, itu dianggap kenikmatan yang besar.

 

Ketahuilah bahwa para tokoh muslim di masa sesudah Rasulullah Saw. tidak pernah menamakan diri mereka selain dengan nama “sahabat Rasulullah”, karena tidak ada nama yang paling utama selain nama itu, sehingga mereka terkenal dengan sebutan “para sahabat”.

 

Pada periode kedua mereka yang hidup bersama para sahabat terkenal dengan sebutan “tabiin”. Kelompok yang mendapat sebutan ini adalah orang-orang yang paling mulia di masanya.

 

Kemudian generasi yang hidup sesudahnya dinamakan ““atba’ut tabi’in” atau para pengikut tabiin.

 

Sesudah itu terjadilah perbedaan pendapat mengenai nama para tokoh muslim. Pada kurun sesudah “atba’ut tabi’in” terdapat beberapa kelompok tingkatan. Para tokoh istimewa yang mempunyai perhatian sangat besar terhadap masalah agama dinamakan “zuhhad” (ahli zuhud) dan ““ubbad” (ahli ibadah).

 

Kemudian muncullah perbedaan baru, yaitu terjadi istilah sebutan baru di kalangan beberapa golongan. Setiap golongan mengaku mempunyai seorang “zuhhad”. Golongan “Ahlus Sunnah” menamakan para tokohnya yang sangat hati-hati dalam memelihara jiwa dengan pendekatan diri pada Allah dan sangat waspada terhadap kelengahan zikir pada Allah dengan sebutan kelompok “tasawuf”. Sebutan ini sangat populer pada periode dua ratus tahun sesudah Hjjrah.

 

Pada pasal ini akan kami sebutkan beberapa nama kelompok para guru besar (syaikh) thariqah dari tingkatan pertama hingga ke tingkatan kelompok muta’akhirin, dan akan kami sebutkan juga sekilas peri hidup mereka serta mutiara-mutiara hikmah mereka. yang menunjukkan nilai ajaran dan perilaku mereka.

 

1. ABDULLAH AL-ABHARI

 

Namanya adalah Abu Bakar Abdullah bin Thahir Al-Abhari, wafat sekitar tahun 330 H./942 M. Hidup seperiode dengan Dalf Asy-Syibli, termasuk guru besar (Syaikh) yang sangat alim dan wara”, bersahabat dengan Yusuf bin Al-Husin dan lain-lainnya.

 

Di antara mutiara nasihatnya:

 

  1. Barangsiapa yang memberi seorang fakir, janganlah karena kefakirannya. Jika karena begitu, berikanlah sebatas keperluannya.
  2. Jika kamu memenuhi undangan saudara seagama, maka kurangilah berbicara tentang dunia.

 

2. RUWAIM BIN AHMAD

 

Namanya Abu Muhammad Ruwaim bin Ahmad, wafat pada tahun 303 H./915 M. Termasuk guru besar (Syaikh) yang paling dihormati, berkebangsaan Bagdad, seorang mugri’ (ahli membacakan Al-Quran) dan ahli fikih (hukum Islam) mazhab Dawud.

 

Di antara mutiara nasihatnya:

  1. Di antara hakim yang bijaksana adalah memberikan kelonggaran hukum pada orang lain, mempersulit hukum pada dirinya sendiri. Memberikan kelonggaran hukum pada orang lain termasuk mengikuti ilmu, dan mempersulit hukum pada diri sendiri termasuk kebijakan seorang wara”.
  2. Abu Abdullah bin Khafif pernah berkata kepada Ruwaim, “Berilah saya wasiat!” Dia menjawab, “Masalah (tasawuf) tidak bisa dicapai kecuali dengan mencurahkan jiwa. Memasuki tasawuf harus dengan pencurahan jiwa. Jika tidak, janganlah menyelam dalam tasawufmu yang tiada guna.”
  3. Bergaul dengan segala lapisan manusia membuatmu lebih aman daripada bergaul dengan orang-orang sufi saja. Karena, kebanyakan orang berperilaku sesuai dengan garis hukum, sedangkan kelompok sufi berperilaku di atas prinsip hakikat.’ Orang-orang pada umumnya hanya menuntut zhahirnya syarak, sedangkan para sufi menuntut diri mereka pada hakikat wara’ dan menetapi ketulusan. Barangsiapa yang memasuki dunia mereka dan mengingkari apa yang mereka hakikatkan, maka Allah akan mencabut cahaya iman dari hatinya.
  4. Saya pernah melewati Bagdad pada siang hari yang panas. Ketika itu saya berjalan di beberapa jalan dalam keadaan sangat haus. Saya mencoba meminta air minum pada salah seorang penghuni rumah. Kemudian muncullah seorang anak perempuan kecil membuka pintu rumah dengan membawa sebuah tempat air minum. Ketika melihatku, ia berkata, “Seorang sufi minum air di siang hari!” Maka sejak itu saya tidak pernah membatalkan puasaku.”
  5. Jika Allah memberimu kemampuan untuk memberi nasihat dan mengamalkannya, lalu saya mengambilnya, hat itu adalah nikmat. Jika saya melaksanakannya, sedangkan engkau sendiri tidak mengamalkannya, hal itu adalah musibah bagimu. Jika kamu tidak punya nasihat juga tidak.berbuat benar, hal itu adalah siksaan.

 

3. AHMAD AL-ADAMI

 

Nama lengkapnya Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin Sahal bin Atha’ Al-Adami. Beliau wafat pada tahun 309 H./921M. dan termasuk salah seorang alim dan guru besar (Syaikh) kaum sufi. Pengaruhnya sangat besar. Hidup seperiode dengan Al-Junaid, dan sangat akrab dengan Ibrahim Al-Maristani.

 

Di antara mutiara nasihatnya:

  1. Barangsiapa menetapi hukum-hukum syariat, Allah akan memberikan cahaya ma’rifat di hatinya, dan tiada kedudukan yang paling mulia selain mengikuti perintah, perilaku, dan perangai baginda Rasulullah Saw.
  2. Kelalaian yang paling besar adalah kelalaian seorang hamba kepada Tuhannya Yang Maha Mulia dan Maha Agung, kelalaian terhadap perintah dan larangan-Nya, dan kelalaian terhadap hukum-hukum Allah.
  3. Semua pertanyaan carilah jawabannya di padang ilmu. Jika tidak kamu temukan jawabnya, carilah di medan hikmah. Jika kamu tidak menemukan juga, maka timbanglah dengan tauhid: Jika kamu tidak memperolehnya dalam tiga tempat ini, maka lemparkanlah pertanyaan ini ke muka setan.

 

4. IBRAHIM BIN ADHAM

 

Nama aslinya adalah Abu Ishaq Ibrahim bin Adham bin

Manshur, wafat pada tahun 161 H./77/8 M. Dia berasal dari daerah Balkh, putera salah seorang raja.

 

Pada suatu hari Ibrahim berburu, lalu menerkam seekor musang atau kelinci. Ketika itu ia mendengarkan suara bisikan, “Wahai Ibrahim, untuk inikah kamu diciptakan? Untuk inikah kamu diperintahkan? Bukan untuk ini kamu diciptakan! Bukan untuk ini pula kamu diperintahkan!” Suara itu menusuk telinganya hingga menembus jantungnya. Dadanya sesak. Nafasnya memburu. Penglihatannya nanar. Dia sadar bahwa ini adalah teguran.

 

Ibrahim kemudian turun dari kendaraannya menuju salah seorang penggembala domba milik ayahnya. la mengambil jubah wol milik penggembala dan memakainya. Sementara kuda dan semua yang dimilikinya diberikan kepada penggembala. Dengan langkah yang mantap, kakinya bergerak menuju padang sahara, menyusuri bebukitan pasir, lembah-lembah terjal, hutan-hutan jar hingga sampai di Mekkah. Di sana dia tinggal bersama Sufyan Ats-Tsauri dan Fudhail bin Iyadh. Pada akhirnya ia pergi ke Syam (Syria) dan wafat di sana. :

 

Ibrahim lebih suka memakan dari hasil kerja tangannya seperti bertani, bekerja di kebun atau lainnya. Di padang sahara ia pernah bertemu seorang lelaki yang mengajarinya nama Allah Al-A’zham, lalu ia berdoa dengan nama itu, dan tidak berapa lama ia bertemu Nabi Khidhir a.s. yang mengatakan kepadanya, “Yang mengajarimu nama Allah Al-A’zham adalah saudaraku Dawud (a.s.).“ Cerita ini saya peroleh dari penuturan Abu Abdurrahman As-Sulami. Kata Ibrahim bin Basyar, “Saya telah bersahabat dengan Ibrahim bin Adham, lalu menanyakan kepadanya tentang asal mula tobatnya. Ia menjawabnya dengan cerita seperti itu.”

 

Doa yang paling sering diucapkannya adalah: “Ya Allah, pindahkanlah saya dari kehinaan berbuat dosa menuju kemuliaan berbakti (taat) kepada-Mu.”

 

Di antara mutiara hikmahnya:

 

  1. Ketika berthawaf, ia berkata kepada salah seorang lelaki, “Ketahuilah bahwa kamu tidak akan mencapai tingkatan orang saleh sebelum kamu melalui 6 jalan, yaitu: (1) Tutuplah pintu kesenangan dan bukalah pintu kesengsaraan. (2) Tutuplah pintu kesombongan dan bukalah pintu kerendahan. (3) Tutuplah pintu bersantai dan bukalah pintu perjuangan. (4) Tutuplah pintu tidur dan bukalah pintu bangun malam. (5) Tutuplah pintu kekayaan dan bukalah pintu kemiskinan. (6) Tutuplah pintu harapan dan bukalah pintu persiapan kematian.”

 

  1. Pernah Ibrahim bin Adham menjaga kebun anggur, lalu lewat seorang prajurit dan berkata, “Berilah kami anggur!” “Pemiliknya tidak menyuruhku begitu,” jawabnya. Prajurit itu memukulnya dengan cambuk, sementara Ibrahim hanya mengangguk-anggukkan kepala seraya berkata, “Pukullah kepala ini selama ia durhaka kepada Allah!” Akan tetapi, prajurit itu tidak sanggup memukulnya lalu pergi.

 

  1. Sahal bin Ibrahim menuturkan, “Saya pernah bersahabat dengan Ibrahim bin Adham. Ketika saya sakit, ia membiayai pengobatanku. Ketika saya menginginkan sesuatu, ia menjual keledainya lalu uangnya dihabiskan untukku. Ketika saya di hadapannya, saya mengatakan, Wahai Ibrahim, di manakah keledai itu?’ Dia menjawab ringan, Saya jual.’ Saya bertanya lagi, “lalu saya naik apa?’ Dia menjawab, ‘Wahai Saudaraku, naiklah di atas punggungku. Kemudian ia membawaku ketiga tempat.”

 

5. ALI AL-ASHBIHANI

 

Namanya adalah Abul Hasan Ali bin Sahal Al-Ashbihani, termasuk sahabat Al-Junaid. Amr bin Utsman pernah datang kepadanya untuk menagih hutang dengan melipatgandakan tagihan. Ali Al-Ashbihani masuk ke dalam sejenak kemudian keluar seraya membayar semua tagihannya dengan jumlah 30.000 dirham. Ia juga pernah bertemu Abu Turab dan orang-orang sezamannya.

 

Di antara mutiara hikmahnya adalah: “Segera menaati perintah Allah adalah suatu tanda mendapatkan taufik-Nya, berdiam diri dari perselisihan adalah tanda hati-hati, menjaga rahasia adalah tanda waspada, dan menampakkan tuduhan adalah kebodohan. Barangsiapa yang tidak benar dasar-dasar keinginannya, ia tidak akan selamat pada dampak-dampak akhirnya.”

 

6. HATIM AL-ASHAM

 

Nama lengkapnya Abu Abdurrahman Hatim bin Alwan, terkenal dengan julukan Al-Asham. Wafat pada tahun 237 H./ 751 M. Dia termasuk tokoh guru besar (syaikh) Khurasan, murid ‘ Syaikh Sagig, guru Ahmad bin Khadrawaih. Hatim dijuluki AlAsham (orang yang tuli) bukan karena ia tuli, tetapi pernah sekali ia berpura-pura tuli karena untuk menjaga kehormatan seseorang sehingga ia dijuluki dengan Al-Asham (orang yang tuli).

 

Al-Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq, semoga Allah merahmatinya, bercerita, “Seorang wanita datang kepada Hatim. Ia bermaksud menanyakan sesuatu kepadanya. Namun, di tengah mengutarakan pertanyaannya, wanita itu tiba-tiba kentut, sehingga membuatnya sangat malu. Hatim tahu apa yang berada di balik perasaan tamunya. Dia tidak ingin tamunya bertambah malu karena pendengarannya. Karena itu, dia mencoba menutupinya dengan mengatakan, “Keraskan suaramu!” Ia berkata demikian karena berpura-pura tuli. Akibatnya, wanita itu senang dan tidak salah tingkah. Ia mengira Hatim tidak mendengar suara kentutnya. Sejak saat itulah ia dijuluki Al-Asham, Hatim yang tuli.

 

Di antara mutiara hikmahnya:

 

  1. Tiada waktu pagi datang melainkan setan mencercaku dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggoda, Apa yang akan kamu makan? Apa yang akan kamu pakai? Di manakah kamu akan tinggal?” Saya tidak ingin hanyut oleh jebakan itu, maka saya cukup menjawabnya, “Saya akan makan kematian, mengenakan kain kafan, dan tinggal di liang kubur.”

 

  1. Pernah suatu hari saya ditanya, “Tidakkah kamu menginginkan sesuatu?” Maka sayajawab, “Saya ingin selalu sehat dari pagi hingga malam.” Ditanyakan lagi, “Bukankah kamu selama seharian sehat?” Saya jawab, “Sehat menurutku adalah tidak menjalankan dosa dari pagi hingga malam.”

 

  1. Saya permah dalam suatu pertempuran. Saya ditangkap oleh seorang tentara Turki, kemudian badan saya ditelentangkan untuk disembelih. Hati saya tidak merasa takut sedikit pun, bahkan saya menunggu keputusan Allah untukku. Ketika prajurit itu menghunus pedangnya untukmenyembelihku, tiba-tiba meluncur sebuah anak panah menembusnya sampai mati sehingga ia terlempar dariku. Saya pun segera berdiri.

 

  1. Barangsiapa memasuki mazhab kami ini, hendaklah bersedia menerima empat hal kematian: Mati putih karena lapar, mati hitam karena menanggung penderitaan dari manusia, mati merah karena berbuat ketulusan untuk melawan hawanafsu, dan mati hijau karena fitnah.

 

7. ABU SAID BIN AL-A’RABI

 

Namanya Abu Sa’id Ahmad bin Muhammad bin Ziyad Al-Bashri Al-A’rabi (246-340 H./860-952 M.). Tinggal disekitar mesjid Al-Haram, bersahabat dengan Junaid, Amr bin Utsman Al-Makki, An-Nuri dan lain-lainnya. Di antara mutiara hikmahnya adalah: “Orang yang paling rugi adalah orang yang menampakkan perbuatan-perbuatan baiknya di hadapan manusia, dan menampakkan terang-terangan di hadapan Allah.“

 

8. ABUL KHAIR AL-AQTHA

 

Namanya Abul Khair Al-Aqtha’, wafat pada tahun 340 H./ 952 M. Berasal dari Maroko, daerah Tinaat. Dia mempunyai banyak keramat dan firasat yang tajam, dan sangat agung. Diantara – Mutiara hikmahnya: “Seseorang tidak akan mencapai kemuliaan kecuali dengan rajin beribadah, berakhlak mulia, melaksanakan kewajiban-kewajiban, dan bergaul dengan orang-orang saleh.”

 

9. AHMAD AL-ANTHAKI

 

Namanya Abu Ali Ahmad bin ‘Ashim Al-Anthaki, seperiode dengan Bisyr bin Al Harits, Sariy As-Saqthi, dan Harits AlMuhasibi. Abu Sulaiman Ad-Darani menjulukinya “seseorang yang menjadi mata-mata hati” yasusul (Qulub) karena ketajaman firasatnya.

 

Di antara mutiara nasihatnya:

  1. Jika kamu ingin memperbaiki hatimu, jagalah lidahmu.
  2. Allah berfirman:

 

“Sesungguhnya harta dan anak-anakmu adalah finah (cobaan).” (QS. At-Taghabun: 15) Namun, kita selalu mencari fitnah itu.

 

10. ABU HAMZAH AL-BAZZAR

 

Namanya Abu Hamzah Al-Baghdadi Al-Bazzar, wafat pada tahun 289 H./902 M., hidup seperiode dengan Al-Junaid, namun wafat lebih dahulu dari Al-Junaid, bersahabat dengan Sariy dan Hasan Al-Masuhi. Dia seorang ahli fikih dan ahli baca Al-Quran dan putera dari Isa bin Aban. Ahmad Ibnu Hanbal pernah bertanya kepadanya tentang beberapa masalah dengan memanggilnya, “Bagaimanakah pendapatmu tentang masalah-masalah ini, wahai Sufi?” Beliau pun menyampaikan nasihat-nasihatnya di majelisnya pada hari Jumat. Ketika itu kesehatannya kurang sempurna, sehingga dia terjatuh dari kursi dan wafat pada minggu berikutnya. Di antara mutiara hikmahnya:

 

  1. Barangsiapa yang mengetahui jalan kebenaran, maka ia akan mudah menempuhnya. Tidak ada pemandu (guide) yang mengantarkan kepada Allah Swt. kecuali dengan mengikuti perilaku, perbuatan, dan sabda-sabda Rasulullah Saw.

 

  1. Barangsiapa yang mempunyai tiga hal ini, ia akan selamat dari bencana-bencana, yaitu: Perut yang kosong disertai sikap batin yang qana’ah, kemiskinan yang disertai sikap zuhud, dan ketabahan yang disertai keabadian zikir.

 

11. ABU UBAID AL-BISRI

 

Abu Ubaid Al-Bisri termasuk salah seorang dari guru-guru besar terdahulu. Beliau pernah bersahabat dengan Abu Turab . An-Nakhsyabi.

 

Ahmad bin Al-Jalla’ berkata: “Saya telah menjumpai seratus Syaikh, namun saya lihat tiada yang seperti empat Syaikh ini:

 

Dzun Nun Al-Mishri, ayahku, Abu Turab An-Nakhsyabi, dan Abu Ubaid Al-Bisri.”

 

12. ABU YAZID AL-BUSTHAMI

 

Namanya Abu Yazid Thaifur bin Isa Al-Busthami, (188261 H./804-875 M). Kakeknya bekas seorang Majusi yang sudah masuk Islam. Dia tiga bersaudara, dua lainnya bernama Adam Thaifur dan Ali. Mereka semua ahli zuhud dan ibadah, namun : Abu Yazid (Thaifur) adalah yang paling agung di antara ketiganya.

 

Di antara mutiara hikmahnya:

 

  1. Dia pernah ditanya, “Dengan apakah kamu mencapai ma’rifat ini?” Jawabnya, “Dengan perut yang lapar dan tubuh yang jelek.”

 

  1. Dia berpesan, “Saya telah bermujahadah (beribadah sungguhsungguh) selama 30 tahun. Tidak ada yang paling berat bagiku selain mempelajari ilmu dan mengamalkannnya. Kalau bukan p perbedaan pendapat para ulama, pasti saya akan tetap mendalaminya. Perbedaan pendapat para ulama adalah rahmat kecuali dalam masalah tauhid.” Dikatakan pula bahwa Abu Yazid tidak meninggal dunia kecuali dia telah menghatamkan Al-Quran seluruhnya.

 

  1. Dia pernah bercerita: “Saya pernah pergi mengunjungi seseorang yang terkenal dengan kewaliannya. Dia seorang yang banyak dikunjungi dan terkenal dengan kezuhudannya, lalu saya datang kepadanya. Ketika saya lihat dia keluar dari rumah dan masuk mesjid, ia meludah ke arah kiblat, maka saya berpaling dan tidak mengucapkan salam kepadanya. Dia tidak dapat dipercaya dan kurang berpegang teguh dengan adabadab Rasulullah Saw. Jika demikian, bagaimana mungkin kewaliannya dapat dipercaya.”

 

  1. Saya pernah ingin memohon kepada Allah agar mencukupi saya dengan bahan makanan dan wanita (isteri). Namun saya bergumam, “Bagaimana mungkin saya memohon kepada Allah seperti ini, sedangkan Rasulullah Saw. belum pernah memohonnya.” Akhirnya, saya tidak memohonnya lagi dan Allah malah mencukupi saya dengan wanita (isteri). Semenjak itu saya tidak peduli jika bertemu dengan wanita atau dinding:

 

  1. Pernah ditanyakan tentang awal tobat dan zuhudnya, lalu dijawab, “Zuhud tidak mempunyai kedudukan.” Ditanyakan lagi, “Mengapa?” Jawabnya, “Karena ketika saya berzuhud selama tiga hari, pada hari ke empatnya saya keluar dari zuhud. Hari pertama saya zuhud dari dunia dan seisinya, Pada hari kedua saya zuhud dari akhirat dan seisinya, pada hari ketiga saya zuhud dari apa saja selain Allah. Maka pada hari ke empat tiadalah yang tersisa selain Allah, lalu saya menemukan suatu kesimpulan pengertian. Tiba-tiba saya mendengar suara bisikan yang mengatakan, Wahai Abu Yazid, tidak ada rasa takut orang yang bersama kami.’ Saya pun menimpalinya, “Inilah yang saya inginkan.’ Datanglah suara berikutnya yang mengatakan, Kamu telah menemukan, kamu telah menemukan.

 

  1. Pernah ditanyakan, “Penghalang apa yang paling berat dalam melalui jalan menuju Allah?” Jawabnya, “Saya tidak dapat menerangkannya.” Ditanyakan lagi, “Usaha apakah yang paling ringan untuk menghindari nafsu?” Jawabnya, “Kalau ini saya dapat menerangkan. Saya pernah mengajak hawa nafsuku untuk taat pada Allah Swt., namun ia menolaknya, lalu saya jauhi air (berpuasa) selama setahun.“

 

  1. Saya melakukan salat sejak tiga puluh tahun. Tiap salat saya kerjakan dengan mantap, namun saya merasakan salatku seperti orang Majusi, sehingga saya ingin sekali memotong ikat pinggangku.

 

  1. Jika kamu melihat seorang yang telah diberi keramat sampai ia bisa terbang di udara sekalipun, maka janganlah tertipu dengannya, sehingga kamu dapat menilai kesungguhannya dalam melaksanakan perintah dan larangan Allah, dalam menjaga batas-batas hukum Allah, dan dalam melaksanakan syariat Allah. –

 

  1. Pamanku, Al-Busthami pernah menceritakan dari ayahnya. Dia mengatakan, “Di suatu malam pernah Abu Yazid pergi ke suatu markas untuk berzikir di pagar markas, namun sampai pagi ia tidak dapat berzikir. Saya tanyakan sebabnya, lalu dijawab, Saya teringat sebuah kata ketika saya masih kecil yang kata ini berputar-putar terus di lidahku, sehingga saya malu untuk berzikir kepada Allah.“

 

13. SYAQIQ AL-BALKHI

 

Namanya Abu Ali Syaqiq bin Ibrahim Al-Balkhi, wafat pada tahun 194 H./810ML., termasuk guru besar Khurasan. Dia adalah sSuru liarim Al-Asham.

 

Diceritakan bahwa Syaqiq Al-Balkhi adalah putera orang kaya. Ia pernah pergi berdagang ke Turki ketika masih muda, lalu masuk sebuah tempat penyembahan berhala. Ia melihat seorang pelayan beribadah dengan kepala gundul dan dicukur jenggotnya serta memakai pakaian berwarna hijau. Syaqiq heran. Dia tidak bisa diam. Dia pun mendekat.

 

“Wahai Pelayan, sesungguhnya kamu mempunyai Tuhan yang Maha Menciptakan, Hidup, Maha Tahu, dan Maha Kuasa, maka sembahlah Dia. Jangan menyembah berhala-berhala yang tidak bisa mencelakakan dan menguntungkan.”

 

“Jika yang kamu ucapkan itu benar, bahwa Tuhanmu Maha Kuasa untuk memberikan rezeki kamu di negerimu, mengapa kamu susah-susah datang kemari untuk berdagang.”

 

Hati Syaqiq terpukul. Kata-kata itu menyodok hatinya. Dia sadar bahwa selama ini dirinya terlalu sibuk dengan duria. Dia pun membuang kehidupannya dan lebih berhati-hati. Semenjak itu dia memilih jalan zuhud.

 

Diceritakan bahwa sebab kezuhudan Syaqiq adalah karena dia pernah melihat seorang budak bermain dan bersenang-senang di masa paceklik dan orang-orang pun senang menontonnya.

 

“Kegiatan apakah yang kamu lakukan? Tidakkah kamu lihat keadaan manusia di masa paceklik ini?”

 

“Saya tidak susah dengan masa paceklik ini karena tuan saya mempunyai desa (ladang) yang bebas untuk kami ambilapa saja yang kami butuhkan,” jawab budak.

 

Jawaban itu mampu menggores sanubari Syaqiq. Dia lebih berhati-hati dan tidak gegabah mengambil tindakan. Dia bergumam, “Jika tuannya hanya memiliki sebuah desa, tuannya adalah seorang yang miskin, dan budak itu pun tidak pusing dengan rezekinya, maka bagaimana seorang muslim pusing dengan rezekinya, sedangkan Tuhannya adalah Maha Kaya.”

 

Berkata Hatim Al-Asham, “Syaqiq Al-Balkhi adalah seorang yang kaya. Dia suka bergaul dengan anak-anak muda. Ketika itu yang menjadi penguasa Balkhi (nama kota) adalah Ali bin Isa bin Mahan. Dia seorang Amir yang suka anjing-anjing pemburu. Suatu saat dia kehilangan seekor anjingnya. Dia mengira bahwa anjingnya ada di salah seorang tetangga Syaqiq. Mengetahui dirinya dicurigai, orang itu segera melarikan diri dan meminta perlindungan di rumah Syaqiq. Dia sangat takut. Syaqiq pun akhirnya datang kepada Amir dan berkata, ‘Biarkan dia lari, anjing itu ada padaku. Saya akan mengembalikannya kepadamu dalam waktu tiga hari. Biarkan dia lari pergi.’ Lalu Syaqiq pulang. Pada hari ke tiga datanglah seorang teman Syaqiq yang telah lama pergi dari Balkh. Ia menemukan seekor anjing di jalan dengan memakai kalung. Anjing itu diambilnya seraya berkata, “Akan saya hadiahkan anjing ini kepada Syaqiq. Dia adalah orang yang suka berbuat seperti anak muda.’ Anjing itu kemudian dibawanya kepada Syaqiq. Sementara Syaqiq tahu bahwa anjing itu adalah milik Amir. Gembiralah Syaqiq. Ia segera membawanya kepada Amir. Terbebaslah Syaqiq darijaminannyasehingga ia lebih waspada dan bertobat dari semua yang pernah dilakukannya.

 

Dia memilih jalan zuhud.”

 

Berkata Hatim Al-Asham, “Kami pernah bersama Syaqiq di suatu medan pertempuran menyerbu Turki. Saat tiada yang terlihat selain kepala-kepala manusia yang mati, tombak-tombak yang patah, dan pedang-pedang putus, Syaqiq berkata kepadaku, ‘Apakah kamu merasa khawatir pada hari ini? Apakah kamu bisa tidur seperti malam yang ditemani isterimu?’ Jawabku, ‘Tidak, sungguh tidak!” Kata Syaqiq, Demi Allah, hari ini saya merasa tenteram seperti malam itu. Kemudian ia tidur di antara dua barisan, sementara saya berada di bawah kepalanya sehingga saya mendengar suara dengkurnya.

 

Di antara mutiara hikmahnya:

 

  1. Jika kamu ingin mengetahui kejujuran seseorang, lihatlah janji Allah dan apa yang dijanjikan manusia, apakah ia lebih mantap hatinya kepada janji Allah atau janji manusia?
  2. Ketakwaan seseorang bisa dilihat dari tiga hal: Dalam kesukaannya menerima pemberian, keikhlasannya, dan pembicaraannya.

 

14. MUHAMMAD BIN AL-FADHAL AL-BALKHI

 

Namanya Abu Abdullah Muhammad bin Al-Fadhal Al-Balkhi, wafat pada tahun 319 H./931 M.,, asal daerah Balkh, sebuah daerah di Samarkand, dan wafat di sana. Dia bersahabat dengan Ahmad binKhadhrawaih dan lain-lainnya. Abu Utsman Al-Hiri sangat cenderung kepadanya.

 

Di antara mutiara nasihatnya:

 

  1. Pernah Abu Utsman Al-Hiri menulis surat kepada Muhammad bin Al-Fadhal Al-Balkhi yang menanyakan, “Apakah tanda-tanda orang yang celaka?” Lalu dijawab, “Ada tiga hal: “Ia diberi ilmu tapi tidak bisa mengamalkannya, bisa berbuat kebaikan, tetapi tidak ikhlas, suka bergaul dengan orang: orang saleh, tetapi tidak dihormati di tengah-tengah mereka.” Kata Abu Utsman Al-Hiri, Muhammad bin Al-Fadhal Al-Balkhi adalah seorang broker.”
  2. Hilangnya Islam karena empat hal: (1) mempelajari agama tapi tidak diamalkan (2) mengamalkan agama tapi tidak didasari ilmu agama (3) tidak mau mempelajari kebodohannya tentang agama (4) tidak mendukung pendidikan agama.
  3. Menyenangkan sekali orang yang dapat mengarungi padang sahara sehingga ia dapat sampai di Baitullah dan dapat melihat sejarah-sejarah kenabian, maka putuskan hubungan jiwamu dengan hawa nafsumu sehingga kamu dapat sampai di hatimu dan dapat melihat tanda-tanda kebesaran Tuhan Azza wa Jalla.
  4. Jika kamu melihat seorang murid memperbanyak masalah dunianya, maka hal itu adalah tanda kemundurannya.
  5. Pernah ditanyakan tentang zuhud, jawabnya, “Memandang dunia dengan mata yang tidak pernah puas, namun ia menjauh dari kesenangan dunia untuk mencari kemuliaan.”

 

15. ABUL HUSIN BIN BUNAN

 

Abul Husin bin Bunan semarga dengan Abu Sa’id AlKharraz. Dia termasuk tokoh guru-guru Mesir.

 

Di antara mutiara nasihatnya:

  1. Setiap orang sufi hatinya selalu damai dan tenang menetapi amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan tanda kedamaian hatinyajikaia telah meyakini kekuasaan Allah dari kemampuan dirinya.
  2. Jauhilah moral yang rendah sebagaimana kamu menjauhi hal yang haram.

 

16. ALI AL-BUSYANJI

 

Namanya Abul Hasan Ali Ahmad bin Sahal Al-Busyanji, wafat pada tahun 348 H./959 M. Dia salah seorang pemuda Khurasan dan pernah bertemu Abu Utsman, Ahmad bin Atha’, Ahmad Al-Jariri, dan Abu Amr Ad-Dimasyqi. Di antara mutiara nasihatnya:

 

  1. Pernah ditanyakan kepadanya tentang muru’ah (harga suatu kehormatan), lalu dijawab, “Janganlah memakai apa saja yang diharamkan untukmu dan bergaullah dengan orang-orang saleh.”
  2. Seseorang permah berkata kepadanya, “Berdoalah kepada Allah untuk saya.” Ia pun berdoa, “Semoga Allah melindungi dirimu dari

 fitnahmu.”

  1. Awalnya iman, tergantung dengan detik akhirnya.

 

17. MUHAMMAD AT-TURMUDZI

 

Namanya Abu Abdullah Muhammad bin Ali At-Turmudzi, termasuk tokoh guru besar, dan mempunyai beberapa karya tulis tentang sosiologi. Dia bersahabat dengan Abu Turab An-Nakhsyabi, Ahmad bin Khadhrawaih, Ahmad bin Al-Jalla’, dan lain-lainnya.

 

Di antara mutiara nasihatnya:

  1. Pernah ditanyakan kepadanya tentang manusia, lalu dijawab, “Makhluk yang sangat lemah dan banyak kesalahan.“
  2. Saya tidak punya uraian satu huruf pun tentang suatu karya tulis. Saya juga tidak suka disebutkan nama saya untuk suatu karya tulis, tetapi jika waktu saya penuh masalah, maka saya menikmatinya dengan menulis. Bertemu dengan Dzun Nun di Mekkah ketika beribadah haji.

 

18. SAHAL AT-TUSTARI

 

Nama lengkapnya Abu Muhammad Sahal bin Abdullah AtTustari, hidup antara tahun 283-200 H./815-896 M. Dia termasuk salah seorang imam di masanya yang memiliki kelebihan dalam muamalat dan wara’ serta terkenal dengan keramatnya. Pernah bertemu dengan Dzun Nun Al-Mishri di Mekkah ketika beribadah haji.

 

Dia pernah bercerita: Ketika itu saya berumur tiga tahun. Di suatu malam saya bangun tidur. Saya lihat pamanku (saudara ibu), Muhammad bin Siwar sedang salat malam. Dia melihatku, lalu mendekat dan berkata, “Wahai Sahal, pergi dan tidurlah!” Saya jawab, “Paman tidak bisa membuatku tidur.”

 

Di hari yang lain, dia bercerita: Suatu hari pamanku berkata, “Mengapa kamu tidak berzikir kepada Allah yang telah menciptakanmu?”

 

“Bagaimana cara saya berzikir kepada-Nya?”

 

“Ucapkan kalimat ini sebanyak tiga kali ketika kamu berada dalam selimut tidurmu, tanpa harus menggerakkan lisanmu, yaitu:

 

“Allah bersamaku. Allah melihatku. Allah saksiku .”

 

Zikir ini saya kerjakan selama tiga malam, kemudian hasilnya saya beritahukan kepadanya.

 

“Ucapkan tujuh kali setiap malamnya!” kata Paman.

 

Saya pun mempraktekkannya seperti yang diperintahkannya, kemudian saya laporkan lagi hasilnya. “Sekarang, ucapkan sebanyak sebelas kali setiap malamnya.”

 

Saya mengamalkannya sesuai yang dipesankan. Tiba-tiba hati saya merasakan manisnya zikir. Setelah satu tahun saya melakukannya, Paman berkata, “Hapalkan terus apa yang saya ajarkan kepadamu dan berzikirlah dengan istigarmah sampai kamu masuk ke liang kubur. Sesungguhnya zikir bermanfaat bagimu di dunia dan akhirat.” Semenjak itu saya senantiasa berzikir dengan kalimat itu selama bertahun-tahun, sehingga saya mendapatkan kelezatan dan manisnya zikir dalam hatiku.

 

Kemudian di suatu hari pamanku (dari ibu) berkata, “Wahai Sahal, jika seseorang senantiasa merasa bahwa Allah Yang Maha Agung selalu melihat dan menyaksikannya, maka apakah ia akan durhaka (bermaksiat) kepada-Nya? Jauhilah maksiat!” Saya pun akhirnya selalu berkhalwat (menyepi), sehingga keluargaku mengirimku ke sebuah sekolah.

 

“Sungguh saya takut jika akan mengalami banyak kesedihan,” kataku yang bermaksud menolak sarannya. Akan tetapi, keluargaku memberitahukan kepada sang guru agar saya belajar satu jam kemudian pulang. Saya pun akhirnya berangkat ke sekolah. Saya telah mampu menghapal Al-Quran Al-Karim. Ketika itu saya berusia enam atau tujuh tahun. Saya juga berpuasa setiap hari. Makanan saya adalah roti gandum. Kebiasaan ini saya lakukan hingga saya berusia dua belas tahun. Ketika mempunyai suatu masalah, saya minta keluargaku agar mengirimkan saya ke Basrah untuk menanyakan masalah itu. Saya pun datang ke ‘ Basrah dan menanyakan kepada para ulama di sana. Tidak seorang pun yang dapat menyelesaikan masalah saya ini, kemudian saya pergi ke Abadan? mendatangi seorang lelaki yang terkenal dengan nama Abu Habib Hamzah bin Abdullah Al-Abadani. Saya tanyakan masalah itu kepadanya, dan ia pun menjawabnya. Akhirnya, saya menetap bersamanya beberapa waktu untuk mendengar nasihat-nasihatnya dan berguru kepadanya, kemudian kembali ke Tustar. Semenjak itu, saya membatasi makanan saya dengan sepuluh dirham. Uang itu saya belikan gandum pecahan (paling jelek) untuk dibuat adonan roti sebagai makananku. Setiap malamnya saya bersahur dengan satu ons gandum tanpa garam atau pun lauk. Uang satu dirham ini dapat mencukupi kehidupan saya selama satu tahun. Kemudian saya berniat untuk menggabung tiga malam bersahur sekali, kemudian tiap lima malam, tujuh malam, sampai dua puluh lima malam.

 

Salah satu pesan Sahal yang cukup terkenal adalah: “Semua pekerjaan yang tidak disetir orang lain, baik pekerjaan baik atau pun buruk adalah suatu kepuasan jiwa. Semua pekerjaan yang dikerjakan dengan aturan orang lain adalah siksaan bagi jiwa.”

 

19. MUHAMMAD ATS-TSAQAFI

 

Namanya Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahab Ats-Tsaqafi, wafat pada tahun 328 H./940 M., seorang imam di masanya, bersahabat dengan Abu Hafish dan Hamdun Al-Qashshar karena dia tasawuf yang muncul di Naisabur.

 

Di antara mutiara hikmahnya: Andaikata seseorang telah menguasai semua ilmu dan bersahabat dengan macam-macam kelompok manusia, ia tidak akan sampai ke tingkatan tokoh kecuali dengan riyadhah dari seorang syaikh, imam atau seorang guru pendidik yang alim. Barangsiapa yang tidak meneladani adab gurunya, maka akan diperlihatkan kepadanya kesalahan-kesalahan amalnya serta kebodohan dirinya. Ia tidak boleh diikuti perbuatannya untuk meluruskan kehidupan sehari-hari.

 

Akan datang suatu masa di tengah-tengah umat Islam, di mana seorang mukmin tidak senang dengan kehidupannya, kecuali dengan bersandar kepada orang munafik.

 

Jauhilah kesibukan-kesibukan dunia jika datang kepadamu. Jauhilah duka cita karena masalah dunia jika kamu kembali. Seorang yang berakal sehat tidak cenderung kepada suatu apa pun, sebab jika datang, ia akan merepotkan, dan jika pergi, ia akan membuat susah.

 

20. AHMAD AL-JARIRI

 

Namanya Abu Muhammad Ahmad bin Muhammad bin AlHusin Al-Jariri (dinisbatkan pada nama Jarir bin ‘Ubad dari bani Bakar bin Wail), termasuk salah seorang tokoh sahabat Al-Junaid. Dia yang menempati kedudukan Junaid sepeninggalnya. Dia bersahabat dengan Sahal bin Abdullah dan termasuk salah seorang yang alim tentang ilmu-ilmu kelompok ini.

 

Ahmad bin Atha’ Ar-Rudzabari berkata, “Al-Jarir wafat pada tahun masuknya angin kencang. Setahun kemudian saya bertemu dengannya dalam keadaan duduk bersandar, lutut di dadanya, dan jarinya mengisyaratkan kepada Allah.”

 

Di antara mutiara hikmahnya:

 

  1. Barangsiapa yang dikuasai oleh hawa nafsunya, maka ia menjadi tawanannya, terbelenggu dalam penjaranya, dan Allah menutupi hatinya untuk mencari kemanfaatan, sehingga ia tidak dapat menikmati kelezatan firman Allah dan tidak dapat mengambil buahnya, meski berulang kali membacanya. Allah berfirman:

 

“Aku akan palingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa ada alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku.” (QS. Al-A’raf: 146)

 

  1. Untuk mengetahui asal (pokok, dasar atau inti sesuatu) dengan cara menggunakan furu’ (cabang atau pecahannya), meluruskan furu’ dengan mendasarkannya pada usul, dan tidak akan sampai ke tingkatan penyaksian usul kecuali dengan mengagungkan perantara dan furu’ yang telah diperintahkan oleh Allah.

 

21. AHMAD BIN AL-JALLA

 

Namanya Abu Abdullah Ahmad bin Yahya Al-Jalla’. Dia berasal dari Bagdad, tinggal di Ramalah’ dan Damaskus, dan termasuk salah seorang tokoh para guru Syria (Syam). Ahmad banyak bersahabat dengan Abu Turab, Dzun Nun Al-Mishri, Abu “Ubaid Al-Bisri, dan ayahnya Yahya Al-Jalla’.

 

Ada satu kisah menarik yang berkaitan dengannya. Suatu hari dia menghadap ayah ibunya dan berkata, “Saya suka jika Ayah dan Ibu menghibahkan diri saya kepada Allah Azza Wa Jalla.”

 

“Memang kami telah menghibahkan kamu kepada Allah Azza wa Jalla,” jawab ayah dan ibunya.

 

Beberapa saat kemudian Ahmad meninggalkan sejenak kedua orang tuanya. Ketika kembali di waktu malam hujan, dia mengetuk pintu rumahnya.

 

“Siapakah yang mengetuk pintu?” tanya ayahnya.

 

“Puteramu, Ahmad,” jawab Ahmad.

 

“Kami memang pernah mempunyai seorang anak lelaki, tetapi dia telah kami hibahkan kepada Allah. Kami adalah bangsa Arab yang tidak akan mencabut kembali apa yang telah dihibahkan.” Setelah berkata demikian ayahnya tidak membukakan pintu untuknya.

 

Di antara mutiara hikmahnya: “Barangsiapa yang bersikap sama antara pujian dan celaan terhadap dirinya, dia adalah zahid. Barangsiapa menjaga salat fardunya di awal waktunya, dia adalah seorang abid (ahli ibadah). Barangsiapa yang melihat semua perbuatannya adalah dari Allah Azza wa Jalla, dia adalah muwahhid (orang yang mengesakan Allah).

 

Ketika wafat, Ahmad bin Al-Jalla’ tampak tersenyum, sehingga dokter mengiranya masih hidup. “Dia masih hidup,” katanya. Kemudian dokter memeriksa denyut urat nadinya. “Dia sudah meninggal,” gumamnya heran. Kemudian dokter membuka wajahnya lagi dan berkata, “Saya tidak tahu apakah dia sudah meninggal atau masih hidup.”

 

22. BUNAN AL-JAMAL

 

Namanya Abul Hasan Bunan Al-Jamal, wafat pada tahun 316 H./928 M., berasal dari Wasith,” kemudian tinggal di Mesir. Dia adalah orang yang mulia dan mempunyai banyak keramat.

 

Dia pernah ditanya tentang perihal ajaran sufi yang paling penting, lalu dijawab, “Meyakini jaminan Allah, melaksanakan perintah-Nya, menjaga hati, dan meninggalkan tujuan duniawi (mencari keridaan Allah semata).”

 

Abu Ali Ar-Rudzabari berkata, “Saya pernah bertemu Bunan Al-Jamal ketika sedang berada di hadapan binatang buas. Binatang itu tidak mencelakainya, tetapi malah menciumnya.”

 

“Apa yang ada di dalam hatimu sehingga binatang buas menciummu?” tanya seseorang.

 

“Saya memikirkan bahaya perbedaan pendapat para ulama yang tingkatannya seperti bahayanya binatang buas,” jawabnya.

 

23. BISYR AL-HAFI

 

Namanya Abu Nashr Bisyr bin Al-Harits Al-Hafi, hidup antara tahun (150-227 H./767-841 M.), berasal dari Marwa, tinggal di Bagdad dan wafat di tempat yang sama. Dia putera saudara perempuan Ali bin Khasyram, seorang mulia yang berkedudukan tinggi.

 

Hikayat sebab tobatnya menuturkan, “Ketika sedang berjalan-jalan di suatu jalan, ia menemukan secarik kertas yang bertuliskan nama Allah Azza wa Jalla. Kertas itu lusuh karena habis diinjak-injak kaki-kaki yang lewat. Bisyr mengambilnya, kemudian membeli minyak wangi dan memoleskannya pada kertas itu, Jalu diletakkan di celah-celah dinding. Ketika tidur, Bisyr mendengar suara yang mengatakan, Wahai Bisyr, kamu telah mengharumi nama Saya, maka Saya sungguh akan mengharumkan namamu di dunia dan akhirat.”

 

Ustaz Ali Ad-Daqaq rahimahullah berkata, “Pernah Bisyr lewat di hadapan beberapa orang. Mereka berkata, ‘Ini adalah orang yang tidak pernah tidur semalam suntuk, juga tidak pernah berbuka kecuali sekali dalam tiga hari.’ Bisyr pun menangis, lalu ditanyakan sebabnya menangis, jawabnya, Saya tidak ingat bahwa saya tidak tidur semalam suntuk, dan tidak berbuka sampai malam ketiga puasa saya. Akan tetapi, Allah telah memberikan kasih sayang dan kemuliaan padaku lebih dari orang lain.”

 

Dalam suatu kesempatan, Bisyr menceritakan, “Saya pernah bermimpi melihat Nabi Muhammad Saw. Beliau berkata kepadaku, ‘Wahai Bisyr, tahukah kamu mengapa Allah mengangkat derajatmu melebihi sahabat-sahabatmu?’ Jawabku, “Tidak tahu, wahai Rasulullah. Kata beliau, ‘Karena perbuatanmu yang mengikuti sunnahku, baktimu kepada orang-orang saleh, saran baikmu kepada saudara-saudaramu, dan rasa cintamu kepada sahabatsahabat-ku dan ahlu baitku. Itulah yang menjadikan sebab kamu sampai pada tingkatan orang-orang saleh.’”

 

Bilal Al-Khawwash bercerita: Saya pernah berada di padang sahara yang dihuni orang-orang Israil. Tiba-tiba seorang lelaki muncul dan berjalan menemaniku. Saya heran, siapakah gerangan ini. Tidak berapa lama saya diberi ilham bahwa laki-laki itu adalah Khidir a.s. Saya pun segera beranjak menemui laki-laki asing itu dan bertanya, “Demi kebenaran suatu kebenaran, siapakah kamu sebenarnya?!”

 

“Saudaramu, Khidhir,” jawabnya. .

 

“Bagaimana pendapatmu tentang Imam Syafi’i, rahimahullah?” tanyaku kemudian.

 

“Dia adalah termasuk pemelihara agama.”

 

“Bagaimana pendapatmu tentang Imam Ahmad bin Hanbal?”

 

“Dia seorang shiddig”.

 

“Dan bagaimana pendapatmu tentang Bisyr bin Al-Harits Al-Hafi?” tanyaku lagi.

 

“Belum ada orang sepertinya sesudahnya kelak.”

 

“Apakah yang bisa menjadikanku bisa bertemu denganmu?”

 

“Karena kebaikanmu kepada ibumu.”

 

Dalam kisah yang berbeda, Abu Abdullah Ahmad bin AlJalla’ berkata, “Saya pernah bertemu Dzun Nun Al-Mishri. Dia adalah orang yang banyak memberikan pelajaran. Saya juga pernah bertemu Sahal. Dia adalah orang yang banyak memberikan teladan, di samping sikapnya yang sangat wara’.” Kemudian ditanyakan kepada Abu Abdullah, “Kepada siapakah kamu condong?”

 

“Kepada guru kami, Bisyr bin Al-Harits.”

 

Diceritakan bahwa Bisyr bin Al-Harits Al-Hafi senang dengan makanan kacang-kacangan. Namun, dalam beberapa tahun berikutnya ia tidak memakannya. Setelah kewafatannya, ada yang bermimpi bertemu dengannya dan bertanya, “Apa yang dilakukan Allah terhadapmu?”

 

“Allah telah mengampuni dosaku dan menyuruhku dengan berfirman: ‘Makanlah, wahai orang yang belum makan, dan . minumlah, wahai orang yang belum minum.”

 

Bisyr juga pernah menasihatkan bahwa perkara yang halal tidak mungkin berkumpul dengan hal yang berlebihan (melampaui batas), dan tidak akan mendapatkan manisnya akhirat seorang yang suka popularitas.

 

Pernah seseorang bertemu Bisyr dalam mimpinya. Dalam mimpi itu, Bisyr ditanya, “Apakah yang dilakukan Allah terhadapmu?”

 

“Allah telah mengampuni dosaku dan menghalalkanku-untuk menikmati separuh surga. Allah juga mengatakan kepadaku, ‘Wahai Bisyr, seandainya kamu bersujud kepada-Ku di atas bara api, sujudmu itu belum memenuhi rasa syukurmu terhadap nikmat yang Aku berikan kepadamu.”

 

24. UMAR AL-HADDAD

 

Namanya Abu Hafsh Umar bin Maslamah Al-Haddad, wafat pada tahun 260 H./874 M., berasal dari Desa Kurdabadz,’ sebuah jalan menuju Bukhara. Dia termasuk salah seorang imam dan sayyid (bernasab kepada Rasulullah Saw.).

 

Di antara mutiara hikmahnya:

  1. Perbuatan dosa adalah pengantar kekufuran, sebagaimana demam adalah pengantar kematian.
  2. Jika seorang murid senang mendengar saja, ketahuilah bahwa ia masih banyak membuang waktu.
  3. Peradaban baik yang tampak merupakan suatu tanda kebaikan peradaban batin.
  4. Kemurahan hati bisa mendatangkan keinsafan, dan tidak butuh diinsafkan.
  5. Barangsiapa yang tidak menimbang perbuatan dan kondisi dirinya dengan Al-Kitab dan As-Sunnah pada setiap waktu dan waspada terhadap kemunculan hati yang buruk, maka janganlah dia digolongkan dalam catatan tokoh.

 

25. ALI AL-HUSHRI

 

Namanya adalah Abul Hasan Ali bin Ibrahim Al-Hushri AlBashri, wafat pada tahun 371 H./981 M., bertempat tinggal di Bagdad. Dia sangat mengagumkan dan nasihatnya sangat mempesona. Dia adalah seorang guru besar di masanya dan semazhab dengan Dalf Asy-Syibli.

 

Di antara mutiara hikmahnya:

  1. Orang-orang mengatakan, “Al-Hushri tidak mengatakan perbuatan sunat,” tetapi saya punya kebiasaan sejak masa muda. Jika saya meninggalkan satu rakaat saja, pasti saya akan ditegur.
  2. Barangsiapa yang mengaku benar dalam suatu hal, maka kebenaran itu harus diungkapkan dengan bukti-bukti kebenaran.

 

26. SUMNUN BIN HAMZAH

 

Namanya Abul Hasan atau Abul Qasim Sumnun bin Hamzah, wafat pada.tahun 290 H./903 M., bersahabat dengan Sariy As-Saqthi dan Abu Ahmad Al-Qalanasi serta Muhammad bin Ali Al-Qashshab. Sumnun adalah orang yang pandai, kebanyakan nasihatnya tentang kasih sayang (mahabbah), di samping dia adalah seorang yang sangat mulia.

 

Abu Ahmad Al-Maghazili menuturkan: “Di Bagdad ada seorang lelaki yang membagikan uang 40.000 dirham kepada fakir miskin. Sumnun yang melihatnya berkata kepadaku, ‘ Wahai Abu Ahmad, tidakkah kamu lihat sedekah yang diinfakkan dan diamalkannya, sedangkan kita tidak melakukannya sedikit pun? Marilah kita pergi ke suatu tempat dan salat untuk satu dirhamnya dengan satu rakaat.’ Maka, kami pun pergi bersama-sama ke Al-Madain. Di sana kami melakukan salat sebanyak 40.000 rakaat.”

 

27. SAID AL-HIRI

 

Namanya Abu Utsman Sa’id bin Ismail Al-Hiri, wafat pada tahun 298 H./910 M., berasal dari Ar-Ray dan tinggal di Naisabur, bersahabat dengan Syah Al-Karmani dan Yahya bin Mu’adz ArRazi. Dia datang ke Naisabur bersama Syah Al-Karmani dan tinggal di rumah Abu Hafsh Al-Haddad serta belajar kepadanya, kemudian dinikahkan dengan puterinya. Dia hidup tiga puluh tahun lebih setelah Abu Hafsh.

 

Di antara mutiara nasihatnya: “Tidak sempurna iman seseorang sampai ia dapat menyeimbangkan empat hal di hatinya: kebakhilan, kedermawanan, kemuliaan, dan kehinaan.”

 

Diceritakan bahwa di dunia ada tiga orang besar, yaitu Abu Utsman di Naisabur, Al-Junaid di Bagdad, dan Abu Abdullah bin Al-Jalla’ di Syam (Syria).

 

Dia pernah mengatakan: “Sejak empat puluh tahun Allah belum pernah menjadikan saya dalam keadaan yang tidak saya sukai dan tidak memindahkan ke kondisi lain yang aku membencinya.”

 

Sa’id Al-Hiri pernah menasihatkan bahwa bersama Allah harus dengan adab yang baik, selalu takut kepada-Nya, dan selalu merasa dilihat-Nya. Bersama Rasulullah Saw. harus dengan mengikuti sunnahnya dan memegang teguh zhahirnya ilmu. Bersama para wali Allah harus dengan penghormatan dan berbakti. Bersama keluarga harus dengan perangai yang baik. Bersama sahabat harus selalu berseri selama tidak dalam dosa. Bersama orang-orang bodoh harus dengan mendoakan mereka dan penuh kasih.

 

Dia juga menuturkan, “Barangsiapa yang berbicara dan berbuat sesuai dengan sunnah, maka ia telah berbicara dengan bjjaksana. Barangsiapa yang berbicara dan berbuat dengan hawanafsunya, maka ia telah berbicara dengan bid’ah. Allah berfirman:

 

“Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk, dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (QS. An-Nur: 54)

 

28. ABDULLAH BIN KHUBAIQ

 

Namanya Abu Muhammad Abdullah bin Khubaiq, termasuk orang sufi yang sangat zuhud, berasal dari Kufah, tinggal di Anthakia, dan bersahabat dengan Yusuf bin Asbath.

 

Di antara mutiara nasihatnya:

 

  1. Jagalah empat hal, tidak ada lainnya: matamu, lidahmu, hatimu, dan hawa nafsumu. Lihatlah matamu, jangan kamu pergunakan untuk melihat sesuatu yang tidak halal. Lihatlah lidahmu, janganlah berbicara sesuatu yang Allah tahu pembicaraanmu itu bertentangan dengan hatimu. Lihatlah hatimu, jangan ada di dalamnya rasa dengki dan dendam terhadap seorang muslim. Dan lihatlah hawa nafsumu, janganlah menyenangi keburukan sedikit pun. Jika kamu tidak bisa menjaga empat hal ini, maka taburilah kepalamu dengan abu. Sungguh kamu telah celaka!

 

  1. Janganlah kamu bersedih hati kecuali karena sesuatu yang ‘akan mencelakakanmu esok (di akhirat), dan janganlah kamu bersenang hati kecuali karena sesuatu yang akan menyenangkanmu esok.

 

  1. Kebuasan hati seorang hamba terhadap kebenaran akan menjadikan hatinya buas. Seandainya mau mendekat kepada Tuhannya, pasti semua orang akan dekat dengan-Nya.

 

  1. Takut yang paling berguna adalah takut yang bisa menahannya dani berbuat dosa, menjadikan hatinya menyesali kebaikan yang ditinggalkannya, menyadarkan pikiran untuk mengisi sisa-sisa umurnya. Sedangkan harapan yang paling berguna adalah harapan yang dapat meringankanmu untuk beramal baik.

 

  1. Senang mendengarkan kebatilan dapat melenyapkan manisnya taat dalam hati.

 

29. AHMAD AL-KHARRAZ

 

Namanya Abu Sa’id Ahmad bin Isa Al-Kharraz, wafat pada tahun 277 H./890 M., berasal dari Bagdad, bersahabat dengan Dzun Nun Al-Mishri, An-Nabaji, Abu ‘Ubaid Al-Bisri, Sariy, Bisyr bin Al-Harits, dan lain-lainnya.

 

Di antara mutiara hikmahnya: “Semua isi hati yang bertentangan dengan lahirnya adalah batil.” Satu pengalaman menarik dituturkan Ahmad Al-Kharraz, “Saya pernah bermimpi melihat iblis. Tiba-tiba dia lari menjauh dariku, lalu saya panggil, “Kemarilah! Ada apa?”

 

“Apakah yang akan saya lakukan terhadap dirimu. Kamu telah melemparkan sesuatu yang biasa aku lakukan untuk manusia,” tukasnya.

 

“Apakah itu?” “Dunia.” Kemudian iblis pergi dan kembali menoleh kepadaku seraya berkata, “Hanya saja saya punya sesuatu yang halus untuk menipumu.”

 

“Apakah itu?”

 

“Senang dengan hal-hal baru,” jawabnya penuh rasa kemenangan.

 

Suatu hari, Ahmad Al-Kharraz bercerita, “Saya bersahabat dengan orang-orang sufi, tetapi belum pernah terjadi perselisihan antara saya dan mereka.”

 

“Mengapa?” tanya para jamaah.

 

“Karena jiwa saya bersama mereka.”

 

30. ABDULLAH AL-KHARRAZ

 

Namanya Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad AlKharraz, wafat sebelum tahun 310 H./922 M., termasuk penduduk Ar-Ray, tinggal di Mekkah Al-Mukarramah, bersahabat dengan Abu Hafsh dan Abu Imran Al-Kabir. Dia adalah sufi yang sangat wara’. Di antara mutiara nasihatnya: “Lapar adalah makanan orang-orang zuhud, dan zikir adalah makanan orang-orang arif.”

 

31. ABU HAMZAH AL-KHURASANI

 

Namanya Abu Hamzah Al-Khurasani, wafat pada tahun 290 H./903 M., berasal dari Naisabur daerah Mulgabadz, termasuk seperiode dengan Al-Junaid, Al-Kharraz, dan Abu Turab AnNakhsyabi. Dia seorang wara’ dan sangat berpegang teguh pada agama. Di antara mutiara hikmahnya:

 

  1. Barangsiapa telah merasakan ingat kematian, maka Allah akan menjadikan ia senang mencari pahala dan benci terhadap dosa.
  2. Seorang yang arif mempertahankan hidupnya hari demi hari dan mencari makanannya sehari untuk hari esok.
  3. Pernah seseorang berkata kepadanya, “Wasiatilah saya?” Lalu dijawab, “Siapkan bekalmu untuk perjalanan yang ada di hadapanmu.”

 

32. AHMAD BIN KHADHRAWAIH

 

Namanya Abu Hamid Ahmad bin KhadhrawaihA|l-Balkhi, wafat pada tahun 240 H./854 M., termasuk tokoh guru besar Khurasan, telah ditokohkan sejak masa mudanya, bersahabat dengan Abu Turab An-Nakhsyabi, pernah datang ke Naisabur kemudian mengunjungi Abu Hafsh, juga singgah di Bustham untuk mengunjungi Abu Yazid Al-Busthami. Abu Yazid pernah berkata, “Ustaz kami adalah Ahmad.”

 

Abu Hafsh mengatakan, “Belum pernah saya melihat seorang yang paling tinggi cita-citanya dan paling tulus hatinya melebihi Ahmad bin Khadhrawaih.”

 

Saya pernah mendengar Muhammad bin Hamid berkata, “Saya pernah duduk di samping Ahmad bin Khadhrawaihketika mendekati wafatnya (nazr) dalam usianya yang ke 95 tahun. Ketika sebagian sahabatnya menanyakan suatu masalah, matanya meneteskan air mata, kemudian berkata, “Wahai Anakku, sebuah pintu telah kuketuk sejak 95 tahun. Kini terbuka untukku sesaat. Saya tidak tahu apakah saya akan datang ke kebahagiaan atau kesengsaraan. Saya berharap segera datang jawabnya.”

 

Di antara mutiara hikmahnya menasihatkan: “Tidak ada tidur yang lebih berat melebihi lengah. Tiada perbudakan yang lebih menguasai daripada hawa nafsu. Kalau bukan beratnya nilai kelengahan padamu, pasti kamu akan selamat dari hawa nafsu.”

 

33. AHMAD BIN ABUL KHIWARI

 

Namanya Abul Husin Ahmad bin Abul Khiwari, wafat pada . tahun 230 H./845 M., berasal dari Damaskus, bersahabat dengan Abu Sulaiman Ad-Darani dan lainnya. “Ahmad bin Abul Khiwari adalah pengharum negeri Syam (Syria),” kata Al-Junaid.

 

Di antara mutiara nasihatnya:

  1. Barangsiapa yang memandang dunia dengan hati senang dan penuh keinginan, maka Allah akan mengeluarkan cahaya keyakinan dan zuhud dari hatinya.
  2. Barangsiapa yang berbuat suatu amalan tanpa mengikuti sunnah Rasulullah Saw., maka amalannya itu tidak diterima.
  3. Menangis yang paling utama adalah tangisan seorang hamba “yang menyesali waktu-waktunya yang hilang tanpa beribadah.
  4. Tidaklah Allah menguji seorang hamba dengan ujian yang paling berat selain lengah dan keras hati (sulit menerima nasihat kebenaran).

 

34. IBRAHIM AL-KHAWWASH

 

Namanya Abu Ishaq Ibrahim bin Ahmad Ismail Al-Khawwash, wafat pada tahun 291 H./904 M., seperiode dengan Al-Junaid dan An-Nuri, sangat kuat tawakal dan riyadhahnya. Dia pernah sakit perut sehingga membawa kewafatannya di Ar-Ray.

 

Di antara mutiara nasihatnya:

  1. Orang alim bukanlah orang yang banyak menyampaikan ilmu, tetapi orang yang mengikuti ilmu dan mengamalkannya serta mengikuti sunnahsunnah Nabi Saw. walaupun sedikit pengetahuannya.
  2. Obat hati ada lima: Membaca Al-Quran dengan merenungkan isinya, mengosongkan perut, bangun malam, munajat (tadharru) di waktu sahur (sebelum subuh), dan berkumpul dengan orang-orang saleh.

 

35. ABDURRAHMAN AD-DARANI

 

Namanya Abu Sulaiman Abdurrahman bin Athiyah Ad-Darani, wafat pada tahun 215 H./830 M., berasal dari Desa Daran, sebuah desa di Damaskus.

 

Di antara mutiara nasihatnya:

  1. Barangsiapa yang berbuat baik di waktu siangnya, maka ia akan dibalas di waktu malamnya. Barangsiapa berbuat baik di waktu malamnya, maka ia akan dibalas di waktu siangnya. Barangsiapa yang meninggalkan satu hawa nafsunya, maka Allah akan menghapuskan satu duka cita di hatinya. Allah tidak akan menyiksa hati yang telah meninggalkan hawa nafsunya karena-Nya.
  2. Jika dunia telah menempati hatinya, maka akhirat akan pergi darinya.
  3. Kata Al-Junaid Abu Sulaiman Ad-Darani berkata, “Mungkin di hatiku terdapat satu titik hitam yang menyangkut orang lain di dalam beberapa hari, namun saya tidak mau menerimanya kecuali dengan dua kali saksi yang adil, yaitu Al-Quran dan As-Sunnah.”
  4. Sebaik-baik perbuatan adalah yang berlawanan dengan hawa nafsu.
  5. Setiap sesuatu ada tandanya, dan tanda kehinaan (di akhirat) adalah tidak pernah menangis (karena takut kepada Allah).
  6. Setiap sesuatu ada karatnya, dan karat cahaya hati adalah perut yang kenyang.
  7. Semua yang menyibukkanmu, baik keluarga, harta, maupun anak, sehingga k kamu melupakan Allah, semua itu adalah sial bagimu.
  8. Ahmadbin Abul Khiwari berkata, “Saya pernah datang kepada Abu Sulaiman di suatu hari. Ketika itu dia sedang menangis. Saya tanyakan kepadanya, “Mengapa kamu menangis?” Lalu dijawab, “Wahai Ahmad, bagaimana saya tidak menangis? Jika malam telah tiba dan setiap mata telah tertidur, setiap kekasih telah kesepian, sedangkan orang-orang yang dimabuk cinta telah menghamparkan sejadahnya dan air mata mereka pun mengalir di pipinya sampai menetes di mihrabmihrabnya, dan Allah Yang Maha Agung telah memuliakan mereka dengan mengatakan, ‘Wahai Jibril demi Dzat-Ku, barangsiapa yang menikmati firman-firman-Ku dan senang berzikir kepada-Ku, maka Saya akan melihatnya di tempat khalwatnya, mendengarkan rintihannya, dan melihat tangisnya. Mengapakah kamu tidak mengumumkan kepada mereka? Tangisan apakah ini? Apakah kamu kira seorang kekasih akan menyiksa kekasih-Nya? Atau bagaimana mungkin Saya akan menyiksa suatu kaum jika datang waktu malam, maka mereka datang kepada-Ku. Saya bersumpah bahwajika telah datang hari kiamat kelak, maka Saya akan membuka tabir wajah-Ku Yang Mulia di hadapan mereka, sehingga mereka akan memandang-Ku dan Aku pun akan memandang mereka.”

 

  1. Abu Sulaiman juga berkata, “Saya pernah berada di suatu malam yang dingin sekali di mihrab. Saya tidak tahan terhadap hawa dingin ini, maka saya selipkan salah satu tanganku ke tubuh agar hangat, sedangkan salah satu tanganku tetap membentang (berdoa). Kemudian kedua mataku tertidur. Saat itu saya mendengar suara memanggilku, Wahai Abu Sulaiman, telah saya tangguhkan apa yang telah menimpa satu tanganmu. Jika kamu menyelipkan yang satunya juga, maka Saya akan menangguhkannya.’ Sejak saat itulah saya bersumpah pada diriku untuk tidak berdoa kecuali dengan kedua tangan yang membentang, baik di musim panas atau pun di dingin.”

 

  1. Abu Sulaiman berkata, “Saya tertidur sehingga lupa membaca wirid (doa yang rutin dibaca setiap hari). Tiba-tiba saya bertemu dengan seorang wanita (bidadari) yang berkata kepadaku, “Kamu tidur, sedangkan saya memeliharamu dalam rumah selama lima ratus tahun.“

 

36. MUHAMMAD AD-DAQQI

 

Namanya Abu Bakar Muhammad bin Dawud Ad-Dinawari yang terkenal dengan sebutan Ad-Daqqi, wafat setelah tahun 350 H./961 M.,, tinggal di Syam (Syria), hidup lebih dari seratus tahun, dan bersahabat dengan Ahmad Al-Jafa’ dan Az-Zaqqaq.

 

Di antara mutiara hikmahnya: “Perut besar itu tempat mengumpulkan makanan. Jika diisi dengan makanan halal, maka akan menggerakkan anggota badannya untuk berbuat kebaikan. Jika diisi dengan makanan syubhat, makajalan yang mengantarkan pada Allah menjadi kabur. Jika diisi dengan makanan haram, maka hati akan tertutup dari (cahaya) Allah.”

 

37. AHMAD AD-DINAWARI

 

Namanya Abul Abbas Ahmad bin Muhammad Ad-Dinawari, wafat setelah tahun 340 H./951 M., bersahabat dengan Yusuf bin Al-Husin, Ibnu Atha”’, dan Al-Jariri. Dia seorang alim dan mulia. Datang ke Naisabur dan tinggal sebentar. Dia seorang pemberi nasihat dan senang berbicara tentang ma’ rifat. Kemudian pergi ke Samarkand dan wafat di sana.

 

Di antara mutiara nasihatnya:

 

  1. Serendah-rendah zikir adalah melupakan hal-hal selain zikir, dan puncak zikir adalah orgng yang telah tenggelam dalam zikirnya. –
  2. Sikap zhahir tidak bisa mengubah pernyataan batin.
  3. Sungguh mereka telah merusak sendi-sendi tasawuf, menghancurkan jalannya, dan mengubah makna-maknanya dengan nama-nama baru yang mereka namakan. Arti tamak bagi mereka adalah tambahan (nilai plus), akhlak yang buruk adalah ketulusan apa adanya, menentang kebenaran adalah kebanggaan, menikmati hal-hal tercela adalah enak, mengikuti hawa nafsu adalah menjalani ujian, kembali kepada dunia adalah penghantar ke akhirat, berakhlak jahat adalah kekuasaan, bakhil itu adalah bisa menjadikan bertahan, meminta-minta adalah amal, perkataan yang kotor adalah menyenangkan. Ini bukanlah cara bermasyarakat.

 

38. MIMSYAD AD-DINAWARI

 

Mimsyad Ad-Dinawari wafat pada tahun 299 H./911 M. Dia termasuk para tokoh masyayikh (guru besar).

 

Di antara mutiara nasihatnya:

  1. Tata krama seorang murid adalah menjaga kehormatan guru, menolong sesamanya, tidak mengeluarkan kata celaan, dan menjaga ajaran-ajaran agama.
  2. Tidaklah saya datang kepada salah seorang guru saya melainkan dengan ikhlas, untuk menantikan berkah yang diberikan kepada saya karena melihat dan mendengarkan nasihatnya. Sesungguhnya orang yang datang kepada seorang guru dengan mengharapkan keuntungan dirinya, akan terputuslah berkah melihat, berkumpul, dan mendengarkan nasihatnya.

 

39. ABDULLAH AR-RAZI

 

Namanya Abu Muhammad Abdulla Ar-Razi, wafat pada tahun 353 H./964 M., dilahirkan dan dibesarkan di Naisabur, ber

 

sahabat dengan Abu Utsman Al-Hiri, Al-Junaid, Yusuf bin AlHusin, Ruwaim, Sumnun, dan lain-lainnya.

 

Suatu hari Abdullah pernah ditanya, “Mengapa orang-orang yang telah tahu kesalahan diri mereka sendiri, namun tidak mau kembali kepada kebenaran?” Jawabnya, “Karena mereka sibuk dengan kebanggaan ilmu dan tidak sibuk untuk mengamalkannya, sibuk dengan masalah lahiriah dan tidak sibuk dengan masalah hati, sehingga Allah akan membutakan hati mereka dan mengikat anggota badan mereka hingga sulit beribadah.”

 

40. YAHYA BIN MU’ADZ AR-RAZI

 

Namanya Abu Zakaria Yahya bin Mu’adz Ar-Razi, seorang penasihat, wafat pada tahun 258 H./872 M. Yahya orang termulia di zamannya karena senang memberikan nasihat tentang harapan (raja’ dalam sufi) dan ma’rifat. Dia pergi ke Balkh dan tinggal sebentar di sana, kemudian kembali ke Naisabur.

 

Di antara mutara nasihatnya:

 

  1. Bagaimana bisa zuhud seorang yang tidak punya wara’, bersikaplah wara’ terhadap sesuatu yang bukan milikmu, kemudian berzuhudlah dengan apa yang kamu miliki.
  2. Laparnya orang-orang yang bertobat adalah percobaan, laparnya orang-orang zuhud adalah kebijaksanaan, dan laparnya orang-orang shiddig adalah kemuliaan.
  3. Kehilangan kebaikan adalah lebih berat daripada kematian, karena kehilangan kebaikan berarti terputus dari kebenaran, sedangkan kematian hanya terputus dari tubuh.
  4. Zuhud itu ada tiga: sederhana, khalwat (menyepi untuk beribadah), dan lapar.
  5. Janganlah engkau memberikan keuntungan dirimu dengan sesuatu yang lebih besar dari apa yang lebih baik kamu lakukan setiap waktu.
  6. Barangsiapa yang mengkhianati Allah dengan sembunyi-sembunyi, maka Allah akan membuka tabir aibnya.
  7. Mensucikan orang jahat adalah aib bagimu, dan cinta mereka kepadamu juga aib bagimu, dan penghinaan terhadapmu adalah lebih baik daripada orang yang membutuhkanmu.

 

41. YUSUF BIN AL-HUSIN AR-RAZI

 

Namanya Abu Ya’qub Yusuf bin Al-Husin Ar-Razi, wafat pada tahun 304 H./961 M. Dia adalah guru besar (Syeikh) di ArRay dan Al-Jibal di masanya, di samping seorang penenun asli, ahli sastra dan ilmuwan yang brilian. Semasa hidupnya banyak bersahabat dengan Dzun Nun Al-Mishri dan Abu Turab An-Nakhsyabi. Pendapatnya sependapat dengan Abu Sa’id AlKharraz.

 

Di antara mutiara nasihatnya:

  1. Bertemu dengan Allah dengan semua dosa lebih senang bagiku daripada menemui-Nya dengan sedikit kepura-puraan (munafik).
  2. Jika kami melihat seorang murid senang melakukan yang rukhsah (keringanan), ketahuilah bahwa dia tidak memberikan apapun (kemanfaatan).

 

  1. Saya melihat bencana yang menimpa orang-orang sufi dikarenakan bergaul dengan orang-orang muda, berkumpul dengan orang-orang yang bertentangan dengannya, dan berteman dengan wanita.

 

  1. Pernah menulis kepada Al-Junaid yang isinya: “Semoga Allah tidak mencicipkan makanan yang menyenangkan seleramu. Jika kamu mencicipinya, maka kamu tidak akan mencicipi yang lebih lezat selamanya.

 

  1. IBRAHIM AR-RAQQI

 

Namanya Abu Ishaq Ibrahim bin Dawud Ar-Raqqi, wafat pada tahun 326 H./938 M., termasuk tokoh guru besar Syam

 

(Syria). Dia seperiode dengan Al-Junaid dan Ibnul Jalla’.

 

Di antara mutiara nasihatnya:

 

  1. Ma’rifat itu menetapkan kebenaran di atas kebenaran, tanpa ada sedikit keraguan di dalamnya.
  2. Kekuasaan Allah itu tampak, dan setiap mata terbuka, namun pandangan setiap mata melemah.
  3. Selemah-lemah manusia adalah yang tidak mampu melawan hawa nafsunya, dan sekuat-kuat manusia adalah yang mampu melawannya.
  4. Tanda cinta kepada Allah adalah sikap yang mengutamakan ketaatan kepada Allah dan mengikuti Nabi Saw.

 

43. AHMAD BIN ATHA AR-RUDZABARI

 

Namanya Abu Abdullah Ahmad bin Atha’ Ar-Rudzabari, wafat pada tahun 369 H./979 M. Dia adalah guru besar di Syam (Syria) pada masanya, wafat di Shur? Ahmad adalah putera saudara perempuan Syeikh Abu Ali Muhammad Ar-Rudzabari.

 

Ali bin Sa’id Al-Mashishi menuturkan, “Saya mendengar Ahmad bin Atha’ Ar-Rudzabari menceritakan, ‘Saya pernah menunggu unta, lalu kaki kedua unta tersebut masuk ke dalam

tanah pasir. Maha Agung Allah, Maha Agung Allah, kataku.”

 

Diceritakan bahwa Abu Abdullah Ar-Rudzabari pernah berjalan seperti orang miskin. Memang salah satu kebiasaannya adalah berjalan seperti orang miskin. Sementara orang-orang tengah datang menuju tempat pengajian. Seseorang menyindir, “Mereka itu adalah orang-orang yang menganggap halal semua yang dilakukannya (maksudnya kepada Ar-Rudzabari).”

 

“Salah seorang di antara mereka,” katanya, “meminjam uang saya seratus dirham. Dia belum mengembalikannya dan saya tidak tahu kepada siapa harus memintanya.”

 

Ketika mereka telah masuk gedung tempat pengajian, Abu Abdullah dan Ahmad bin Atha’ Ar-Rudzabari berkata kepada pemilik gedung. Dia termasuk salah seorang simpatisan kelompok ini, “Berikan kepadaku uang seratus dirham jika kamu ingin menenangkan hatiku.”

 

Kemudian Abu Abdullah menyuruh salah seorang sahabatnya seraya berkata, “Bawalah uang seratus dirham ini kepada si Fulan pemilik toko di sana, dan katakan kepadanya, ‘Ini adalah uang yang pernah dipinjam salah seorang sahabat kami. Dia terlambat mengembalikannya karena berhalangan, sekarang dia mengirimkan uang itu, dan terimalah permohonan maafnya.’ Utusan itu kemudian berangkat dan melakukan seperti apa yang diperintahkan Abu Abdullah. Ketika mereka pulang dari pengajian dan melewati toko si Fulan, pemiliknya memuji mereka dengan mengatakan, Mereka itu adalah orang-orang jujur, bisa dipercaya, dan saleh.’”

 

Ahmad juga pernah menasihatkan, “Sejelek-jelek dari semua yang jelek adalah seorang sufi yang bakhil.”

 

44. AHMAD BIN MUHAMMAD AR-RUDZABARI

 

Namanya Abu Ali Ahmad bin Muhammad Ar-Rudzabari, wafat pada tahun 322 H./934 M., berasal dari Bagdad, tinggal di Mesir dan wafat di sana, bersahabat dengan Al-Junaid, An-Nuri, Ibnul Jalla”, dan orang-orang semasanya.

 

Pernah Abu Ali ditanya tentang orang-orang yang mengatakan, “Tempat hiburan (diskotik) itu halal untuk saya, karena saya telah sampai pada tingkatan yang tidak bisa dipengaruhi oleh macam-macam situasi apapun.”

 

“Ya, ia telah sampai, tetapi ke neraka sagar,” jawabnya.

 

Juga pernah ditanya tentang tasawuf, lalu dijawab, “Iniadalah kelompok yang semua amalannya adalah harus sungguhsungguh. Karena itu, janganlah dicampuri dengan senda gurau.”

 

Dia pernah menasihatkan bahwa yang termasuk tanda ketertipuan adalah jika kamu berbuat buruk, namun Allah tetap berbuat baik kepadamu, sehingga kamu tidak bertobat mengira Allah telah mengampuni kesalahan-kesalahanmu, dan kamu mengira bahwa hal itu adalah termasuk pahala kebenaran yang kamu kira.

 

“Guruku dalam ilmu tasawuf adalah Al-Junaid,” katanya, “dalam ilmu fikih adalah Abul Abbas bin Syuraih, dalam ilmu sastra adalah Isa’lab, dan dalam hadis adalah Ibrahim Al-Harbi.”

 

45. MUHAMMAD AZ-ZUJJAJI

 

Namanya Abu Amr Muhammad bin Ibrahim Az-Z.ujjaji AnNaisaburi, wafat pada tahun 348 H./959 M. tinggal di Mekkah dalam beberapa tahun dan wafat di sana. Dia bersahabat dengan Al-Junaid, Abu Utsman, An-Nuri, Al-Khawwash, dan Ruwaim.

 

Abu Amr pernah ditanya, “Kenapa wajahmu berubah seperti orang ketakutan di saat takbir pertama pada setiap salat fardu?”

 

“Karena saya takut jika saya memulai salat farduku dengan tidak jujur,” jelasnya, “maka bagaimana seseorang mengatakan Allahu Akbar (Allah Maha Agung), sedangkan di hatinya masih ada sesuatu yang lebih besar dari-Nya, atau mengagungkan sesuatu selain Allah sepanjang waktunya. Sungguh dia itu adalah orang yang membohongi dirinya dengan lidahnya.”

 

“Barangsiapa yang menyampaikan sesuatu yang belum di capainya,” katanya dalam kesempatan lain, “maka ucapannya adalah fitnah bagi orang yang mendengarkannya, merupakan tuntunan yang keluar dari hatinya, dan Allah akan mengharamkannya untuk mencapai sesuatu itu.”

 

Muhammad Az-Zujjaji tinggal di Mekkah beberapa tahun. Dia bermukim cukup lama, namun belum pernah bersuci di Tanah Haram. Jika ingin bersuci, ia keluar dari Tanah Haram dengan maksud menghormati Masjidil Haram.

 

46. ABU BAKAR AZ-ZAQQAQ

 

Namanya Abu Bakar Ahmad bin Nashr Az-Zaqqaq Al-Kabir, termasuk seperiode dengan Al-Junaid dan tokoh besar di Mesir. Al-Kattani pernah berkata, “Ketika Abu Bakar Az-Zaqqaq wafat, terputuslah penunjuk orang-orang miskin yang masuk ke Mesir.”

 

Di antara mutiara nasihatnya:

 

  1. Barangsiapa yang tidak bersahabat dengan orang-orang yang bertakwa di saat miskinnya, maka ia akan makan makanan haram.
  2. Saya (Abu Bakar Az-Zaggag) pernah tersesat di padang Tih Baru Israil selama lima belas hari. Ketika saya terjatuh di sebuah jalan, datang kepadaku seorang prajurit dan memberiku seteguk air. Sejak saat itu hati saya menjadi keras karena air itu. Kekerasannya cukup lama, sekitar tiga puluh tahun.

 

47. SARIY AS-SAQTHI

 

Namanya Abul Hasan Sariy bin Al-Mughillis (dijuluki demikian karena ia selalu menetap di rumah. Tidak keluar rumah kecuali untuk salat Jumat dan jamaah) As-Saqthi, wafat pada tahun 253 H./867 M. Dia adalah paman (dari ibu) Al-Junaid sekaligus gurunya, dan murid Ma’ruf Al-Karkhi. Dia satu-satunya ahli wara’, ilmu hadis, dan ilmu tauhid di masanya.

 

Al-Abbas bin Masrug bercerita, “Telah sampai kepadaku berita bahwa Sariy pernah berdagang di pasar. Dia adalah sahabat Ma’ruf Al-Karkhi. Suatu hari Ma’ruf datang kepada Sariy dengan membawa anak kecil. Berilah pakaian anak yatim ini, kata Ma’ruf. Kemudian Sariy memberi pakaian anak yatim ini, dan Ma’ruf senang dengannya. Semoga Allah menjadikanmu benci dengan dunia dan menjadikanmu senang dengan apa yang ada padamu,’ kata Ma’ruf. Semenjak itu Sariy meninggalkan toko dan tiada sesuatu pun yang paling tidak disukainya daripada dunia. Semua yang ada padanya diakuinya sebagai berkat doa Ma’ruf.”

 

Al-Junaid berkata, “Belum pernah saya melihat orang yang ahli ibadah melebihi Sariy. Selama 98 tahun dia belum pernah terlihat tidur telentang kecuali ketika sakit menjelang wafatnya.”

 

Diriwayatkan dari Sariy yang mengatakan bahwa sufi adalah nama yang mempunyai tiga arti: cahaya wara’nya tidak memadamkan cahaya ma’rifatnya, tidak membicarakan masalah hakikat ilmu yang dapat merusak zhahir Al-Quran dan As-Sunnah. dan keramat-keramatnya tidak membuatnya menerjang tabirtabir yang diharamkan Allah.

 

Al-Junaid menuturkan, “Suatu hari Sariy bertanya kepadaku tentang cinta (mahabbah). Jawab saya, Sebagian orang mengatakan bahwa cinta adalah kesatuan hati, sebagian yang lain mengatakan cinta adalah mengutamakan orang lain, sebagian lagi mengatakan cinta adalah begini begitu.’ Maka, As-Sariy memegang sepotong kulit lengannya dan membentangkannya, namun kulit itu tidak bisa dibentangkan. ‘Demi Allah Yang Maha Agung dan Maha Mulia, andaikata saya mengatakan bahwa kulit inijika kering di atas tulang ini karena cinta, pasti saya akan percaya, kata Sariy kemudian langsung pingsan. Wajahnya tampak berubah bagai bulan yang sedang bersinar.”

 

Sariy pernah berkata, “Sejak tiga puluh tahun saya memohon ampun kepada Allah karena ucapanku “Alhamdulillah yang saya ucapkan satu kali.”

 

“Bagaimana bisa begitu?“ tanya seseorang.

 

“Di suatu hari terjadi kebakaran di Bagdad, lalu datanglah seorang lelaki kepadaku seraya mengatakan, Kedaimu selamat.’ Maka sayajawab, ‘Al-Hamdulillah.’ Sejak kejadian itu yang telah berlangsung selama tiga puluh tahun saya menyesali ucapanku itu. Bagiku ucapan itu menandakan bahwa saya hanya menginginkan kebaikan diriku sendiri dan saya melupakan kebaikan kaum muslimin yang lain.”

 

Diriwayatkan bahwa Sariy berkata, “Saya pernah melihat hidungku karena takut hidungku menjadi hitam. Saya.takut jika Allah menjadikan hitam rupaku dikarenakan dosa yang telah saya lakukan.”

 

Al-Junaid mengisahkan pertemuannya dengan Sariy. Ketika itu dia mendengar Sariy berkata, “Saya mengetahui jalan pintas menuju surga.”

 

“Bagaimanakah caranya?” tanya Al-Junaid.

 

“Janganlah meminta sesuatu pun dari seseorang, jangan mengharapkan sesuatu apapun dari orang lain, dan jangan mengambil sesuatu yang akan kamu berikan kepada seseorang.”

 

Al-Junaid berkata, “Saya pernah datang kepada Sariy AsSaqthi. Ketika itu dia sedang menangis.”

 

“Mengapa kamu menangis?” tanyaku.

 

“Tadi malam datang kepadaku anak gadis kecil. Dia mengatakan, Wahai Ayahku, malam ini panas sekali. Te