Bismillahir-Rahmanir-Rahim
Segala puji bagi Allah yang Mahatinggi lagi Mahaagung, Maha Penyantun lagi Mahamulia, Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Segala puji bagi Allah Rabb sekalian alam. Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Maha Merajai Hari Pembalasan. Sungguh Dia telah menciptakan manusia dari sari pati tanah. Lalu Dia menjadikannya nuthfah (air benih) di dalam rahim yang kokoh. Lalu Dia menciptakan nuthfah itu menjadi ‘alaqah (darah beku) yang terlihat hitam bagi siapa saja yang melihat. Lalu Dia menciptakan ‘alaqah itu menjadi mudghah (daging) yaitu gumpalan sebesar potongan daging yang hendak disantap.’ Lalu Dia menciptakan mudghah itu menjadi tulang-tulang yang beragam ukuran dan bentuknya sebagai kerangka bagi tubuh yang kokoh. Lalu Dia membungkus tulang-tulang itu dengan daging, laksana pakaian bagi tulang-tulang itu. Lalu Dia menciptakan satu ciptaan yang lain. Mahasuci Allah Pencipta yang terbaik di antara semua pencipta.
Mahasuci Allah yang kuasa-Nya meliputi segala kekuasaan. Kehendak-Nya berlaku bagi makhluk-Nya pada segala perkara. Dia satu-satunya yang menguasai segenap langit dan bumi. Allah yang menciptakan apa pun yang Dia kehendaki.
Allah berfirman:
“Dialah yang membentuk kalian dalam rahim menurut yang dia kehendaki. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS. Ali Imran [3]: 6)
Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Tuhan sesembahan yang tidak memiliki tandingan lagi bandingan. Dia Mahatinggi dari segala bentuk kesyirikan dan saingan. Dia Mahasuci dari segala keserupaan dengan makhluk-Nya,
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Yang Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS. asy-Syura [42]: 11)
Saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. Yang terpilih di antara semua makhluk-Nya. Yang tepercaya untuk menerima wahyu-Nya. Yang menjadi hujah bagi-Nya atas seluruh hamba-Nya. Sosok yang Allah utus sebagai rahmat bagi alam semesta, teladan bagi semua pengamal, penuntun bagi para salik dan hujah atas segenap hamba.
Semoga shalawat dari Allah, para malaikat, dan para rasul terlimpah kepada Rasulullah saw. yang bagi beliau pula tercurah segala salam, rahmat, dan berkah Allah swt. Amma ba’d. Kitab ini terdiri dari dua puluh satu pertanyaan mengenai ruh dan berbagai hal yang berhubungan dengannya.
Apakah Orang-Orang Mati Mengetahui Ziarah dan Salam Orang-Orang Hidup Kepada Mereka ataukah Tidak?
Ibnu ‘Abdul Barr berkata: Telah diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw. bahwa beliau bersabda, “Tidak ada seorang muslim pun yang melewati kuburan saudaranya yang dia kenal di dunia, lalu orang itu mengucapkan salam kepadanya, kecuali Allah mengembalikan ruh orang itu hingga dia dapat menjawab salam tersebut kepadanya.”
Inilah dalil yang menunjukkan bahwa orang mati memang mengetahui orang hidup itu secara pasti untuk kemudian dia menjawab salam.
Di dalam dua kitab Sahih diriwayatkan sebuah hadis dari Rasulullah saw. melalui beberapa jalur berbeda, bahwa Rasulullah saw. memerintahkan agar mayat-mayat musuh yang terbunuh di Badar dimasukkan ke dalam sebuah liang. Setelah itu, Rasulullah saw. berdiri di dekat mayat-mayat itu lalu beliau memanggil mereka dengan menyebutkan nama-nama mereka, “Wahai Fulan bin Fulan, wahai Fulan bin Fulan. Apakah kalian telah menemukan apa yang Tuhan kalian janjikan kepada kalian sebagai kebenaran? Sesungguhnya aku telah menemukan apa yang Tuhanku janjikan kepadaku sebagai kebenaran” Kala itu, Umar ra. bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau berbicara dengan orang-orang yang sudah menjadi bangkai?”
Rasulullah saw. menjawab, “Demi Dzat yang telah mengutusku dengan kebenaran, tidaklah kalian lebih mendengar apa yang kukatakan daripada mereka. Hanya saja mereka tidak mampu menjawab.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Telah diriwayatkan pula dari Rasulullah saw., “Bahwa mayat dapat mendengar suara sandal orang-orang yang mengantarnya ketika mereka pulang.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Rasulullah saw. telah menetapkan syariat bagi umat beliau. Jika mereka mengucapkan salam kepada para ahli kubur, hendaklah mereka mengucapkan salam kepada para penghuni kubur itu seperti salam kepada orang yang mereka ajak bicara. Jadi, hendaklah seorang pengucap salam berkata, “Assalamu‘alaikum dara qaumin mu-minin” (Keselamatan atas kalian wahai penghuni hunian orang-orang mukmin).
Bentuk ucapan seperti itu merupakan bentuk ucapan yang hanya ditujukan kepada pihak yang dapat mendengar dan berpikir. Kalau tidak seperti itu, pastilah ucapan ini sama seperti ucapan kepada sesuatu yang tidak ada atau kepada benda mati.
Ulama salaf telah sepakat tentang hal ini. Berbagai atsar’ dari mereka telah diriwayatkan secara mutawatir, menyebutkan bahwa mayat mengetahui ziarah orang hidup dan bergembira karenanya.
Abu Bakar “Abdullah bin Muhammad bin Ubaid bin Abud Dunya menyatakan dalam Kitab al-Qubar pada bab “Ma‘rifat al-Mauta bi-Ziyarat al-Ahya” (Pengetahuan Orang-Orang Mati akan Ziarah Orang-Orang Hidup):
Muhammad bin ‘Aun menuturkan kepada kami, Yahya bin Yaman menuturkan kepada kami, dari Abdullah bin Sim‘an, dari Zaid bin Aslam, dari Aisyah ra., dia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah ada seseorang yang menziarahi kuburan saudaranya lalu dia duduk di sisinya, kecuali dia merasa senang dengannya dan menjawab (salamnya) sampai dia berdiri.”
Muhammad bin Qudamah al-Jauhari menuturkan kepada kami, Mu‘an bin ‘Isa al-Qazzaz menuturkan kepada kami, Hisyam bin Sad mengabarkan kepada kami, Zaid bin Aslam menuturkan kepada kami, dari Abi Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda, “Ketika seseorang lewat kuburan saudaranya dan dia mengenalnya, kemudian mengucapkan salam kepadanya, maka dia akan membalas salam tersebut dan mengetahuinya. Dan jika seseorang itu lewat kuburan orang yang tidak dikenalnya, kemudian mengucapkan salam, maka dia akan menjawab salam tersebut.” (HR. al-Baihaqi)
Muhammad bin Husein menuturkan kepada kami, Yahya bin Bistham al-Ashfar menuturkan kepadaku, Misma’ menuturkan kepadaku, salah seorang kerabat Ashim al-Jahdari menuturkan kepadaku, dia berkata, “Aku telah melihat Ashim al-Jahdari dalam tidurku dua tahun setelah kematiannya. Aku berkata, ‘Bukankah engkau sudah mati?’ Dia menjawab, ‘Benar!’ Aku berkata, ‘Lantas di manakah engkau?’ Dia menjawab, ‘Demi Allah, aku berada di sebuah taman di antara taman-taman surga. Aku bersama beberapa orang di antara sahabat-sahabatku. Kami berkumpul setiap malam Jumat dan paginya kepada Bakr bin Abdullah al-Muzani, lalu kami menelaah kabar kalian.’”
Dia (perawi) berkata, “Aku lalu bertanya, ‘Apakah yang berkumpul itu jasad-jasad kalian ataukah ruh-ruh kalian?’ Dia menjawab, ‘sangat mustahil jasad kami yang berkumpul. Semua tubuh telah hancur, yang saling bertemu adalah ruh.’”
Dia (perawi) berkata, “Aku lalu bertanya, ‘Apakah kalian mengetahui kunjungan ziarah kami kepada kalian?’ Dia menjawab, ‘Ya. Kami mengetahui kunjungan itu di malam (Jumat) dan sepanjang hari Jumat (pagi hingga petang), dan juga di hari Sabtu sampai terbitnya matahari.’”
Dia (perawi) berkata, “Aku lalu bertanya, ‘Bagaimana mungkin bisa seperti itu tanpa ada di hari-hari lain?’ Dia menjawab, ‘Berkat keutamaan dan keagungan hari Jumat.”
Muhammad bin Husein menuturkan kepada kami, Bakr bin Muhammad menuturkan kepadaku, Jisr al-Qashshab menuturkan kepada kami, dia berkata, “Aku selalu bepergian di pagi hari bersama Muhammad bin Wasi di setiap Sabtu pagi, untuk mendatangi kuburan. Kami lalu berdiri di atas kuburan, kami ucapkan salam kepada para penghuninya, berdoa untuk mereka, kemudian kami pergi. Sampai suatu hari aku berkata kepadanya, ‘Bagaimana kalau aku melakukan ini pada hari Senin?’ Dia menjawab, ‘Telah sampai riwayat kepadaku yang mengatakan bahwa orang-orang mati mengetahui orang-orang yang menziarahi mereka pada hari Jumat, satu hari sebelumnya (yaitu hari Kamis) dan satu hari sesudahnya (yaitu hari Sabtu).’’
Muhammad menuturkan kepadaku, Abdul Aziz bin Aban menuturkan kepada kami, dia berkata, Sufyan ats-Tsauri menuturkan kepada kami, dia berkata: Telah sampai riwayat kepadaku dari Dhahak, bahwa dia berkata, ‘Barang siapa yang menziarahi kuburan pada hari Sabtu sebelum terbitnya matahari, si mayat mengetahui ziarah orang itu.”
Seseorang lalu bertanya kepadanya, “Bagaimana bisa begitu?”
Dia menjawab, “Disebabkan keistimewaan hari Jumat.”
Khalid bin Khidasy menuturkan kepada kami, Ja’far bin Sulaiman menuturkan kepada kami, dari Abu at-Tayyah, dia berkata, “Suatu saat Mutharrif bepergian di pagi hari. Ternyata itu adalah hari Jumat.” Aku mendengar Abu Tayyaj berkata, “Telah sampai kepada kami bahwa dia disinari dengan cambuknya, lalu di suatu malam dia berangkat hingga ketika ia tiba di pemakaman dia pun menggerakkan kepalanya dengan dia berada di atas kudanya. Dia melihat para penghuni kuburan, masing-masing penghuni kubur duduk di atas kuburnya. Lalu mereka berkata, ‘Ini Mutharrif datang pada Jumat ini.’ Aku bertanya, ‘Apakah kalian mengetahui hari Jumat?’ Mereka menjawab, ‘Ya! Dan kami mengetahui apa yang dikatakan oleh burung pada hari itu.’ Aku bertanya lagi, ‘Apakah yang mereka katakan?’ Mereka menjawab, ‘Salam, salam (selamat sejahtera)”
Muhammad bin Husein menuturkan kepadaku, Yahya bin Bukair menuturkan kepadaku, Fadh! bin Muwaffaq bin Khali Sufyan bin ‘Uyainah menuturkan kepadaku, dia berkata, “Ketika ayahku meninggal, sungguh aku sangat berduka karenanya dengan duka yang mendalam. Aku pun mendatangi kuburannya setiap hari, sampai kemudian aku mulai jarang menziarahi makamnya. Lalu aku mendatangi kuburannya pada suatu hari. Ketika aku sedang duduk di sisi kuburannya, aku tak kuasa menahan kantuk sehingga aku pun tertidur. Dalam tidurku, aku bermimpi melihat seakan-akan kuburan ayahku telah terbuka. Saat itu, seolah-olah ayahku duduk di kuburannya dengan mengenakan kain kafannya, di dirinya tampak penampilan orang-orang mati. Sepertinya aku menangis ketika melihatnya. Dia berkata, ‘Wahai anakku, mengapa engkau terlambat mendatangiku?’ Aku menjawab, ‘Sungguhkah engkau mengetahui kedatanganku?’ Dia menjawab, “Tidak pernah sekalipun engkau datang, kecuali aku mengetahuinya! Dulu engkau mendatangiku sehingga aku gembira karenamu, sebagaimana orang-orang di sekitarku gembira karena doamu.’ Setelah kejadian itu aku pun menjadi sering mendatangi ayahku itu.”
Muhammad menuturkan kepadaku, Yahya bin Bistham menuturkan kepadaku, Utsman bin Saudah ath-Thufawi menuturkan kepadaku—ibunya itu berjuluk rahibah (rahib perempuan) karena ia merupakan seorang ahli ibadah—dia berkata, “Ketika ibuku sekarat, dia menengadahkan kepalanya ke langit, lalu berkata, ‘Wahai tabungan, simpananku yang menjadi sandaran dalam hidup dan matiku, janganlah Engkau telantarkan aku di saat mati dan janganlah Engkau terasingkan aku di kuburku.’
Ibuku lalu meninggal dunia dan kudatangi kuburnya di setiap Jumat. Aku berdoa untuknya dan memohonkan ampunan baginya serta para penghuni kubur. Pada suatu hari aku bermimpi melihat ibuku dalam tidur. Kukatakan padanya, ‘Wahai Ibu, bagaimana keadaanmu?’
Dia menjawab, ‘Wahai anakku, sungguh kematian merupakan petaka yang amat berat. Alhamdulillah, sungguh keadaanku di Alam Barzakh mendapat anugerah yang di dalamnya kami menebarkan wewangian serta beralaskan sutra sundus (sutra halus) dan istabrag (sutra tebal) sampai Hari Kebangkitan.’
Aku lalu berkata kepadanya, ‘Apakah engkau memerlukan sesuatu?’
‘Ya!’ jawabnya.
‘Apakah itu?’ tanyaku.
Dia menjawab, ‘Jangan pernah engkau tinggalkan kebiasaanmu mengunjungi kami dan berdoa untuk kami. Sesungguhnya aku benar-benar senang dengan kedatanganmu di hari Jumat ketika kau tinggalkan keluargamu. Kala itu dikatakan padaku, “Wahai rahibah (rahib perempuan), Ini anakmu datang! Maka aku pun senang dan semua orang mati di sekitarku juga senang dengan kedatanganmu itu.”
Muhammad menuturkan kepadaku, Muhammad bin Abdul “Aziz bin Sulaiman menuturkan kepadaku, Bisyr bin Manshur menuturkan kepada kami, dia berkata, “Ketika wabah Tan (penyakit menular, epidemi) melanda, ada seorang lelaki yang sering mendatangi pemakaman untuk mengikuti shalat jenazah. Ketika sore tiba, dia berdiri di gerbang makam lalu berkata, ‘Semoga Allah mendengar ketakutan kalian, merahmati keterasingan kalian, mengampuni kesalahan kalian dan menerima kebaikan-kebaikan kalian.’” Hanya itu saja kata-kata yang diucapkannya.
Dia melanjutkan, “Pada suatu malam aku pulang ke rumahku tanpa kudatangi makam itu dan tanpa berdoa seperti doa yang biasa kupanjatkan. Ketika aku tidur malam itu, ternyata aku didatangi banyak orang dalam mimpiku. Aku pun berkata, ‘Siapakah kalian dan apakah gerangan keperluan kalian?’ Orang-orang itu menjawab, ‘Kami adalah para penghuni kuburan.’ Aku bertanya lagi, ‘Apakah keperluan kalian?’ Mereka menjawab, ‘Sungguh kau telah membuat kami terbiasa dengan hadiahmu dan itu tidak kami dapatkan jika engkau langsung pulang ke keluargamu.’ Aku berkata lagi, ‘Apakah hadiah itu?’ Mereka menjawab, ‘Doa-doa yang engkau panjatkan untuk kami.’”
Dia melanjutkan, “Sungguh aku pun membiasakan kunjungan ke kuburan karena itu, dan setelah itu aku tidak pernah lagi meninggalkan kebiasaan itu.”
Muhammad menuturkan kepadaku, Ahmad bin Sahl menuturkan kepadaku, Risydin bin Sa’d menuturkan kepadaku, dari seseorang, dari Yazid bin Abu Habib, bahwa suatu ketika Sulaim bin “Umair melintas di dekat sebuah kuburan. Kebetulan, saat itu dia sedang sakit menahan buang air kecil. Salah seorang temannya berkata kepadanya, “Turunlah engkau ke salah satu kuburan itu lalu kencinglah di liangnya!”
Sulaim pun sontak menangis demi mendengar kata-kata itu, lalu dia berujar, “Subhanallah! Demi Allah sesungguhnya aku malu kepada orang-orang yang sudah mati sebagaimana aku malu kepada orang-orang yang masih hidup!”
Kalau memang orang-orang yang sudah mati tidak dapat menyadari semua itu, tentulah Sulaim tidak akan merasa malu seperti itu.
Yang lebih tegas lagi dari semua yang telah disebutkan di atas, adalah perihal orang yang sudah mati dapat mengetahui amal yang dilakukan oleh kerabat karib dan saudara-saudaranya yang masih hidup.
‘Abdullah bin Mubarak berkata, “Tsaur bin Yazid menuturkan kepadaku, dari Abu Ruhm, dari Abu Ayyub, dia berkata, ‘Berbagai amal perbuatan orang-orang hidup ditunjukkan kepada orang-orang yang sudah mati. Apabila mereka melihat amal perbuatan itu baik, mereka pun bergembira dan senang. Namun apabila mereka melihat amal perbuatan itu buruk, mereka pun berkata, ‘Ya Allah, singkirkanlah amal perbuatan itu.’
Ibnu Abud Dunya menuturkan, dari Ahmad bin Abu al-Hawari, dia berkata, Muhammad saudaraku berkata, “Suatu ketika Abbad bin -Abbad masuk menemui Ibrahim bin Shalih yang berada di Palestina. -Abbad lalu berkata kepada Ibrahim, ‘Nasihatilah aku.’ Ibrahim menyahut, ‘Nasihat seperti apa yang dapat kusampaikan kepadamu, ash-lahakallah? Telah sampai riwayat kepadaku bahwa amal perbuatan orang-orang yang masih hidup ditunjukkan kepada para kerabat mereka yang sudah meninggal. Jadi, telitilah amal perbuatanmu yang akan ditunjukkan kepada Rasulullah saw.’” Demi mendengar itu, Ibrahim pun menangis sampai air matanya membasahi jenggotnya.
Ibnu Abud Dunya berkata: Muhammad bin Husein menuturkan kepadaku, Khalid bin “Amr al-Umawi menuturkan kepadaku, Shadaqah bin Sulaiman al-Ja’fari berkata, “Dulu, aku memiliki sifat yang tidak baik. Ketika ayahku meninggal dunia, aku pun bertobat dan aku menyesali semua keburukanku. Akan tetapi, kemudian aku melakukan suatu kekeliruan, lalu aku bermimpi melihat ayahku dalam tidurku. Ayahku berkata, ‘Wahai anakku, betapa besarnya kegembiraanku padamu karena amal perbuatanmu ditunjukkan kepada kami dan ternyata amalmu menyerupai amal perbuatan orang-orang saleh! Akan tetapi, kali ini aku merasa sangat malu disebabkan perbuatanmu itu. Jadi, janganlah engkau mempermalukan aku di hadapan orang-orang yang sudah mati di sekitarku.’”
Setelah itu, kudengar dia berkata dalam doanya di waktu dini hari karena waktu itu dia menjadi tetanggaku di Kufah, “Aku memohon kepada-Mu tobat yang tidak ada kembali (ke keburukan) di dalamnya dan tidak pula kebinasaan; wahai Pembagus orang-orang saleh, wahai Pemberi petunjuk orang-orang sesat, wahai Dzat yang paling penyayang di antara semua penyayang.”
Di dalam masalah ini, terdapat begitu banyak atsar dari para sahabat Rasulullah saw. Ada seorang sahabat Anshar dari kalangan kerabat “Abdullah bin Rawahah ra. yang berkata dalam doanya, “Sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada-Mu dari amal perbuatan yang membuatku malu di hadapan “Abdullah bin Rawahah.” Orang itu berdoa seperti itu setelah “Abdullah bin Rawahah ra. gugur sebagai syahid.
Berkenaan dengan masalah ini, sebenarnya sudah cukup menjadi bukti’ ketika orang yang mengucapkan salam kepada orang-orang yang sudah meninggal di kuburan disebut dengan istilah “peziarah” (za’ir). Kalau memang para penghuni kuburan tidak dapat menyadari kedatangan orang hidup, tentu tidaklah tepat pengunjung kuburan disebut dengan istilah “peziarah” (za‘ir). Oleh sebab itu, apabila orang yang dikunjungi (mazur) tidak mengetahui kunjungan orang yang mengunjunginya, tidaklah tepat jika kejadian itu disebut menggunakan kata “mengunjungi” (zara—yazuru). Pemahaman seperti ini jelas dapat dimengerti menggunakan akal sehat bagi semua bangsa.
Begitu pula halnya dengan salam kepada para penghuni kubur. Salam yang diucapkan kepada orang yang tidak dapat merasakan dan tidak dapat mengetahui orang yang mengucapkan salam (musallim) adalah sesuatu hal yang mustahil.
Rasulullah saw. telah mengajarkan kepada umat beliau bahwa apabila mereka berziarah ke kuburan untuk mengucap,
“Salam bagi kalian penghuni kubur dari kalangan mukminin dan muslimin. Sesungguhnya, kami insyaallah akan bertemu kalian. Allah merahmati orang-orang yang terdahulu dari kita dan kalian, sebagaimana Dia merahmati orang-orang yang kemudian. Kami bermohon kepada Allah segala keafiatan bagi kami dan kalian.”
Salam seperti ini (dengan menggunakan kalimat seru) hanya dapat digunakan bagi orang yang ada di tempat, mendengar, dapat diajak bicara, berakal, dan dapat menjawab (walaupun si pengucap salam tidak mendengar jawabannya). Apabila seseorang melakukan shalat di dekat orang-orang yang sudah mati, mereka akan menyaksikan orang tersebut, serta mengetahui shalat yang dilakukannya, bahkan mereka merasa iri atas shalat tersebut.
Yazid bin Harun berkata: Sulaiman at-Taimi mengabari kami, dari Abu ‘Utsman an-Nahdi bahwa pada suatu hari Ibnu Minas pergi mengantarkan jenazah dengan mengenakan pakaian ringan, sampai langkahnya berakhir di sebuah kuburan.
Dia menuturkan, “Di situ, aku lalu melaksanakan shalat dua rakaat, lalu aku bersandar ke kuburan itu. Demi Allah, hatiku masih terjaga ketika aku mendengar suara dari dalam kuburan itu, ‘Menjauhlah engkau dariku, dan janganlah kau sakiti aku! Sesungguhnya, kalian merupakan orang-orang yang dapat berbuat amal, tetapi kalian tidak mengetahui. Sementara kami adalah orang-orang yang mengetahui, tetapi tidak dapat berbuat amal. Sungguh, seandainya aku dapat memiliki kesempatan untuk melakukan shalat dua rakaatmu itu, maka itu lebih aku sukai daripada anu dan anu.’ Rupanya, si mayat penghuni kuburan itu mengetahui orang yang bersandar di kuburnya dan mengetahui pula shalat yang dilakukannya.
Ibnu Abud Dunya berkata, Husein bin “Ali al-Ijli menuturkan kepadaku, Muhammad bin Shalat menuturkan kepada kami, Ismail bin “Iyasy menuturkan kepada kami, dari Tsabit bin Salim, Abu Qalabah menuturkan kepada kami, dia berkata, “Suatu Ketika, saat aku berjalan dari Syam menuju Basrah, aku singgah di sebuah tempat. Di situlah aku bersuci, lalu kulaksanakan shalat dua rakaat di malam hari. Kemudian, kuletakkan kepalaku di atas kuburan dan aku pun tertidur. Akan tetapi, tiba-tiba aku terkejut karena penghuni kuburan itu mengeluh kepadaku.
Dia berkata, “Engkau telah menyakiti aku sejak malam ini.” Kemudian dia berkata, “Sesungguhnya kalian adalah orang-orang yang dapat berbuat amal tetapi kalian tidak mengetahui, sementara kami adalah orang-orang yang mengetahui tetapi tidak sanggup berbuat amal.” Kemudian dia berkata lagi, “Dua rakaat yang engkau lakukan itu lebih baik daripada dunia dan segala isinya.” Kemudian dia pun melanjutkan, “Semoga Allah melimpahkan balasan baik kepada para penghuni dunia. Sampaikan salam kami kepada mereka karena sesungguhnya doa mereka masuk kepada kami sebagai cahaya seperti gunung-gunung.”
Husein al-Ijli menuturkan kepadaku, Abdullah bin Namir menuturkan kepada kami, Malik bin Mighwal menuturkan kepada kami, dari Manshur, dari Zaid bin Wahb, dia berkata, “Suatu ketika aku keluar menuju kuburan, lalu aku pun duduk di sisi kuburan itu. Kemudian di kuburan itu datang lagi orang yang hendak meratakan tanah kuburan tersebut. Lalu dia menoleh kepadaku seraya duduk. Aku pun berkata kepada orang itu, ‘Kuburan siapakah ini?’
‘Saudaraku!’ jawabnya.
‘Saudaramu?’ tanyaku.
‘Saudaraku fillah!’ jawabnya, ‘Kulihat dia dalam mimpi sebagaimana lazimnya yang dilihat oleh orang yang sedang tidur. Lalu dia berseru, “Alhamdulillah, wahai Fulan segala puji bagi Allah Rabb alam semesta bahwa engkau masih hidup! Sungguh, ketika aku dapat mengucapkan kalimat ini maka itu lebih aku sukai daripada dunia dengan segala isinya.” Kemudian dia berkata, “Tidakkah engkau melihat ketika mereka menguburkanku, lalu ada si Fulan yang berdiri melaksanakan shalat dua rakaat? Sungguh jika aku sanggup untuk melaksanakan shalat dua rakaat itu, maka itu lebih aku sukai daripada dunia dan segala isinya!”
Abu Bakar at-Taimi menuturkan kepadaku, “Abdullah bin Shalih menuturkan kepada kami, Laits bin Sad menuturkan kepadaku, Humaid ath-Thawil menuturkan kepadaku, dari Mutharrif bin Abdullah al-Harasyi, dia berkata, “Suatu ketika kami pergi mendatangi Rabi’ di masa hidupnya, lalu kami berkata, “Kita akan masuk di hari Jumat untuk melaksanakan shalat Jumat. Sementara jalan yang kami lalui melewati pemakaman.”
Dia melanjutkan, “Kami pun masuk dan kulihat jenazah di sebuah kuburan. Melihat itu, aku berkata, ‘Alangkah baiknya apabila aku beroleh manfaat dari jenazah ini dengan melaksanakan shalat.’ Aku pun menyingkir ke sebuah sudut yang dekat dengan kuburan itu, kemudian aku melaksanakan shalat dua rakaat yang kupendekkan karena aku memang tidak ingin membaguskannya.
Setelah itu, aku merasa mengantuk sehingga aku pun tertidur. Dalam tidurku itu, aku bermimpi melihat penghuni kuburan itu berbicara kepadaku. Dia berkata, “Engkau melakukan shalat dua rakaat, tetapi tidak mau memanjangkannya!”
Aku pun menyahut, “Itu sudah terjadi.”
Penghuni kubur itu berkata, “Kalian merupakan orang-orang yang dapat melakukan amal perbuatan, sedangkan kami hanyalah orang-orang yang tidak bisa lagi melakukan amal perbuatan. Sungguh, seandainya aku dapat melakukan shalat seperti dua rakaat shalatmu itu, maka itu lebih aku cintai daripada dunia seisinya.”
Aku bertanya kepadanya, “Siapakah yang dikubur di pemakaman ini?” Dia menjawab, ‘“Mereka semua muslim dan mereka semua telah melakukan kebaikan.” Aku bertanya lagi, “Siapakah di sini yang paling afdal?” Dia pun menunjuk sebuah kuburan. Aku lalu berdoa dalam hati, “Wahai Tuhan kami, keluarkanlah orang itu kepadaku agar aku dapat berbicara dengannya.” Maka keluarlah seorang pemuda dari kuburan yang ditunjuk itu. Aku lalu berkata kepada pemuda itu, “Benarkah engkau adalah yang paling afdal di pekuburan ini?”
“Mereka yang berkata seperti itu,” jawabnya
“Dengan apa engkau dapat memiliki kedudukan seperti itu? Demi Allah, kulihat engkau belum tua. Tampaknya engkau mendapatkan keutamaan itu dengan panjangnya ibadah haji, umrah, jihad fi sabilillah dan banyaknya amal perbuatan.” Akan tetapi, pemuda itu berkata, “Aku telah banyak diuji dengan berbagai macam musibah dan aku diberi rezeki kesabaran menghadapinya. Sebab itulah, aku menjadi yang paling utama di pemakaman ini.’’
Berkenaan dengan berbagai riwayat yang telah disampaikan di atas, walaupun tidak ada satu pun yang secara mandiri dapat memastikan masalah yang sedang kita bahas ini, namun dengan banyaknya riwayat itu yang jumlahnya hanya Allah saja yang tahu semuanya menyampaikan satu pengertian yang sama. Sementara Rasulullah saw. telah bersabda, “Aku melihat mimpi-mimpi kalian menunjukkan satu hal yang sama pada sepuluh yang terakhir.”
Yang dimaksud dalam hadis ini yaitu “‘malam qadar’. Jadi, apabila mimpi-mimpi yang dialami oleh orang-orang mukmin menunjukkan satu hal yang sama, maka hal itu sama seperti ketika mereka meriwayatkan sesuatu secara serupa. Hal ini sama seperti ketika mereka bersikap sama untuk membaguskan atau memburukkan sesuatu. Segala sesuatu yang dilihat oleh orang-orang muslim sebagai suatu kebaikan, maka sesuatu itu pasti juga baik di sisi Allah dan segala sesuatu yang dilihat oleh orang-orang muslim sebagai keburukan, maka sesuatu itu pasti juga buruk di sisi Allah. Apalagi kami tidak menetapkan kepastian masalah ini hanya dengan mimpi belaka, melainkan dengan berbagai hujah yang telah kami sampaikan dan sebagainya.
Telah dinyatakan dalam kitab ash-Shahih bahwa orang mati meraSa senang dengan orang-orang yang mendampingi jenazahnya setelah dia dimakamkan.
Imam Muslim telah meriwayatkan dalam ash-Shahih sebuah hadis dari “Abdurrahman bin Syamasah al-Mahri, dia berkata, “Kami mendatangi “Amr bin ‘Ash ketika dia menjelang kematiannya. Dia pun menangis panjang lalu memalingkan wajahnya ke dinding. Hal itu mendorong anaknya untuk bertanya, ‘Apa yang membuatmu menangis wahai ayah? Bukankah Rasulullah saw. telah menyampaikan berita gembira kepadamu?’”
“Amr bin ‘Ash membalikkan wajahnya ke arah anaknya itu dan berkata, “Sesungguhnya bekal kita yang paling utama adalah syahadat bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Sesungguhnya aku pernah berada di tiga golongan dan aku benar-benar telah melihat diriku tanpa ada seorang pun yang lebih membenci Rasulullah dibandingkan aku. Saat itu, tidak ada sesuatu pun yang lebih aku sukai selain untuk dapat membunuh beliau. Kalau saja aku mati dalam keadaan seperti itu, aku pasti termasuk penghuni neraka.”
“Amr melanjutkan, “Ketika Allah swt. menetapkan Islam dalam hatiku, aku pun mendatangi Rasulullah saw. lalu kukatakan kepada beliau, ‘Ulurkanlah tanganmu agar aku dapat membaiat kepadamu.’ Beliau pun mengulurkan tangan kanannya. Lalu ku genggamkan tanganku. Beliau berkata, ‘Ada apa denganmu wahai Amr?’ Aku menjawab, ‘Aku ingin mengajukan sebuah syarat.’ Beliau bertanya, ‘Apakah syarat itu?’ Aku menjawab, ‘Aku ingin diberi pengampunan.’ Beliau berkata lagi, ‘Tidakkah engkau tahu bahwa Islam akan menghapuskan semua dosa yang sebelumnya, bahwa hijrah akan menghapus semua dosa yang sebelumnya dan bahwa haji akan menghapus semua dosa yang sebelumnya?’ Sejak saat itu, tidak ada seorang pun yang lebih aku cintai melebihi Rasulullah saw. dan tidak ada pula orang yang lebih mulia di mataku melebihi beliau. Sampai-sampai aku tidak pernah sanggup untuk menatap beliau demi memuliakannya. Kalau saja aku diminta untuk menjelaskan sifat-sifat beliau, aku tidak akan sanggup karena aku tidak pernah sanggup memandangnya. Kalau saja aku mati dalam keadaan seperti itu, aku berharap aku akan menjadi penghuni surga.”
“Amr melanjutkan, “Tetapi kemudian kami diberi kekuasaan atas banyak hal yang aku tidak tahu seperti apa keadaanku dalam semua itu. Maka apabila aku mati, jangan sampai ada seorang pun perempuan yang meratap dan jangan pula ada api. Apabila kalian menguburkan aku, timbunlah aku dengan tanah. Setelah itu, tetaplah kalian di sekitar kuburanku seperti lama waktu yang dibutuhkan untuk menyembelih binatang. Kemudian dagingnya dibagikan agar aku dapat merasa nyaman dengan kalian dan aku dapat melihat apa tanggapanku kepada para utusan Rabb-ku.”
Demikianlah riwayat ini juga menjadi dalil yang menunjukkan bahwa orang mati dapat merasakan senang dengan kedatangan orang-orang yang mengunjungi kuburnya. Telah disebutkan pula, banyak riwayat dari kalangan salaf bahwa mereka berwasiat agar dibacakan al-Quran di kuburan mereka di saat pemakaman dilangsungkan.
*Abdul Haqq berkata, “Telah diriwayatkan bahwa ‘Abdullah bin -Umar memerintahkan agar di kuburannya dibacakan Surah al-Baqarah. Salah satu orang yang menyaksikan hal itu adalah Ala’ bin ‘Abdurrahman. Imam Ahmad semula menyangkal hal itu karena tidak ada atsar yang sampai kepadanya mengenai peristiwa itu, tetapi kemudian Imam Ahmad mencabut pendapatnya itu.”
Khallal menyatakan dalam al-Jami’ dalam Kitab al-Quran ‘inda al-Qubur (Membaca al-Quran di Kuburan), “Abbas bin Muhammad ad-Duri mengabari kami, Yahya bin Main menuturkan kepada kami, Mubasysyir al-Halabi menuturkan kepada kami, “Abdurrahman bin “Ala bin Lajlah menuturkan kepadaku, dari ayahnya, dia berkata, “Ayahku berkata, ‘Apabila aku mati, letakkanlah aku dalam lahad. Lalu ucapkanlah, Bismillah wa ‘ala sunnati rasulillah (Dengan nama Allah dan di atas sunah Rasulullah). Lalu, urukkanlah tanah di atas tubuhku seraya bacakanlah di sisi kepalaku ayat-ayat pembuka Surah al-Baqarah dan ayat-ayat penutupnya karena sesungguhnya aku telah mendengar ‘Abdullah bin ‘Umar mengatakan itu.’”
‘Abbas ad-Duri berkata: Aku pernah bertanya kepada Ahmad bin Hambal. Aku bertanya kepadanya, “Apakah engkau hafal riwayat mengenai masalah bacaan al-Quran di kuburan?” Dia menjawab, “Tidak.” Aku bertanya kepada Yahya bin Ma‘in, dia pun menuturkan riwayat hadis-hadis ini kepadaku.
Khallal berkata: Hasan bin Ahmad al-Warraq mengabariku, “Ali bin Musa al-Hadda—dia orang yang sangat jujur—menuturkan kepadaku, dia berkata, “Suatu ketika aku bersama Ahmad bin Hambal dan Muhammad bin Qudamah al-Jauhari pada seorang jenazah. Ketika orang mati itu dikuburkan, seorang lelaki tunanetra duduk di sisi kuburannya merapalkan al-Quran. Ahmad berkata kepada lelaki itu, ‘Hai kau! Membaca al-Quran di kuburan itu bidah!”
Setelah kami keluar dari pekuburan itu, Muhammad bin Qudamah berkata kepada Ahmad bin Hambal, “‘Wahai Abu Abdillah, bagaimana pendapatmu mengenai Mubasysyir al-Halabi?”’
Ahmad bin Hambal menjawab, “Dia adalah tepercaya (tsiqah).”
Ibnu Qudamah bertanya lagi, “Apakah engkau menulis sesuatu darinya?”’
Ahmad bin Hambal menjawab, “Ya.”
Ibnu Qudamah berkata, ‘“Kalau begitu, Mubasysyir telah mengabariku, dari ~
‘Abdurrahman bin Ala bin Lajlaj, dari ayahnya bahwa dia mewasiatkan agar jika dia dikuburkan, hendaklah dibacakan di sisi kepalanya ayat-ayat pembuka dan penutup Surah al-Baqarah.” Dia juga berkata, “Aku juga telah mendengar Ibnu Umar mewasiatkan yang seperti itu.”” Demi mendengar itu, Ahmad pun berkata, “Kalau begitu kembalilah engkau dan katakanlah kepada lelaki itu untuk membacakan al-Quran di kuburan itu.”
Hasan bin Shabah az-Zafarani berkata, “Aku bertanya kepada Imam Syafi’i mengenai hukum membaca al-Quran di kuburan. Imam Syafi’i menjawab, ‘Itu tidak apa-apa.’”
Khallal menuturkan riwayat dari asy-Sya’bi, dia berkata, “Dulu orang-orang Anshar apabila ada seseorang yang meninggal dunia, mereka akan sering mendatangi kuburan orang itu untuk mereka bacakan al-Quran di kuburannya.”
Dia berkata: Abu Yahya an-Naqid mengabariku, dia berkata, “Aku mendengar Hasan bin al-Jarawi berkata, ‘Aku pernah lewat di kuburan seorang saudara perempuanku, lalu aku bacakan di kuburannya itu Surah Tabarak (al-Mulk) karena apa yang disebutkan padanya. Seseorang lalu mendatangiku dan berkata: Sesungguhnya aku melihat saudara perempuanmu dalam mimpiku. Semoga Allah melimpahkan kebaikan kepada Abu “Ali karena aku mendapatkan manfaat dari apa yang dibacanya.”
Hasan bin Haitsam mengabariku, dia berkata, “Aku pernah mendengar Abu Bakar bin Athrusy bin Binti Abu Nashr at-Tammar berkata, ‘Ada seorang lelaki yang selalu mendatangi kuburan ibunya pada hari Jumat dan membacakan Surah Yasin. Pada suatu hari, dia datang ke kuburan ibunya lalu membaca Surah Yasin. Kemudian berdoa, ‘Ya Allah, jika Engkau memberi pahala bagi surah ini, jadikanlah pahala itu bagi penghuni pekuburan ini.’ Pada Jumat berikutnya, seorang perempuan datang dan bertanya kepada lelaki itu, ‘Apakah engkau si Fulan bin Fulanah?’ Lelaki itu menjawab, ‘Ya.’”
Perempuan itu berkata: Sesungguhnya anak perempuanku telah meninggal, lalu kulihat dia dalam mimpiku sedang duduk di pinggir kuburannya. Aku pun bertanya kepadanya, “Mengapa engkau duduk di situ?” Dia menjawab, “Sesungguhnya Fulan bin Fulanah biasa mendatangi kuburan ibunya dan membacakan Surah Yasin, lalu dia memohon pahala bacaan itu bagi semua penghuni pekuburan ini sehingga kami semua mendapatkan ketenangan karena itu, menerima pengampunan dan lain sebagainya.”
Dalam riwayat Nasa’i dan lainnya terdapat hadis,
Dari Ma’qil bin Yasar al-Muzani, dari Rasulullah saw., bahwa beliau saw. pernah bersabda, “Bacakanlah Yasin oleh kalian pada orang-orang yang mati di antara kalian.”
Sabda Rasulullah saw. ini mengandung kemungkinan pengertian bahwa yang beliau maksud yaitu perintah membaca Surah Yasin bagi orang yang sedang mengalami sakratulmaut. Dengan begitu, hadis-hadis ini serupa dengan sabda beliau yang berbunyi, “Talkinkanlah orang-orang yang mati di antara kalian dengan La ilaha illallah (Tidak ada Tuhan selain Allah).”
Akan tetapi, ada pula kemungkinan pengertian bahwa yang dimaksud yaitu membaca Surah Yasin di kuburan. Walaupun pengertian yang pertama tampaknya lebih tepat disebabkan beberapa alasan berikut ini:
Pertama: Hadis-hadis ini serupa dengan sabda Rasulullah saw., “Talkinkanlah orang-orang yang mati di antara kalian dengan ‘La ilaha illallah (Tidak ada Tuhan selain Allah)’.”
Kedua: Adanya manfaat Surah Yasin bagi orang yang sedang mengalami sakratulmaut, sebab di dalam surah ini terdapat ayat-ayat yang berbicara tentang tauhid, akhirat, berita gembira berupa surga bagi ahli tauhid dan dorongan untuk menginginkan kematian seperti orang yang disebutkan dalam ayat,
“Dikatakan (kepadanya), ‘Masuklah ke surga.’ Ia_berkata, ‘Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui, apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang dimuliakan.’ (QS. Yasin [36]: 26-27)
Dan ayat-ayat itu membuat ruh menjadi gembira sehingga dia akan menyukai perjumpaan dengan Allah sebagaimana Allah juga menyukai perjumpaan dengannya. Apalagi Surah Yasin merupakan surah yang disebut sebagai “Jantung al-Quran” (qalb al-qur’an), serta memiliki khasiat yang menakjubkan dalam bacaannya bagi orang yang sedang sekarat.
Abul Faraj bin al-Jauzi menuturkan, “Ketika kami bersama syekh kami Abul Waqt ‘Abdul Awwal yang sedang mengalami sakratulmaut, akhir dari apa yang dia alami bersama kami adalah dia memandang ke arah langit, tersenyum, lalu dia berucap: ‘Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui, apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang dimuliakan.’ (QS. Yasin [36]: 26-27)
Kemudian dia pun wafat.”
Ketiga: Sudah menjadi amalan orang banyak serta menjadi kebiasaan mereka, baik dulu maupun sekarang, mereka selalu membacakan Surah Yasin untuk orang yang sedang sekarat.
Keempat: Apabila memang para sahabat Rasulullah saw. memahami sabda Rasulullah saw., “Bacakanlah Yasin oleh kalian pada orang-orang yang mati di antara kalian,” sebagai perintah agar mereka membaca Surah Yasin di kuburan, pastilah mereka tidak akan mengabaikan perintah Rasulullah saw. itu karena perintah itu merupakan perintah yang telah mereka ketahui dengan baik.
Kelima: Manfaat yang didapat oleh orang yang sekarat dari mendengar bacaan Surah Yasin serta hadirnya hati dan pikirannya saat surah itu dibacakan, agar semua itu menjadi akhir dari segala amalnya di dunia. Itulah yang menjadi maksud dari sabda Rasulullah itu. Sementara perbuatan membaca Surah Yasin di kuburan seseorang, tentu saja tidak akan melahirkan pahala bagi si penghuni kuburan karena pahala hanya akan didapat dengan membaca atau mendengar, yang keduanya merupakan bentuk amal perbuatan, padahal orang yang sudah mati sudah tidak dapat lagi melakukan amal perbuatan apa pun.
Pasal
Berkenaan dengan masalah ini, ada sebuah keterangan dari al-Hafizh Abu Muhammad Abdul Haqq al-Isybili. Dia berkata, “Telah dinyatakan bahwa orang-orang mati bertanya tentang orang-orang yang masih hidup serta mengetahui ucapan dan amal perbuatan mereka.”
Lalu dia berkata, “Abu ‘Umar bin ‘Abdul Barr menyebutkan sebuah hadis dari Ibnu ‘Abbas, dari Nabi saw., beliau bersabda, ‘Tidak ada seorang pun yang lewat di dekat kuburan saudara mukmin yang dikenalnya, lalu dia mengucapkan salam kepada saudaranya itu, kecuali dia (si orang mati itu) mengetahui hal itu dan menjawab salamnya.’”
Hadis-hadis ini juga diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. dengan status maukuf. Rasulullah saw. bersabda, “Apabila dia (si orang lewat) tidak mengenalnya (si mayat) dan mengucapkan salam kepadanya, maka dia (si mayat) akan menjawab salam kepadanya itu.”
Telah diriwayatkan pula sebuah hadis dari Aisyah ra. bahwa dia berkata: Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada seorang pun yang mengunjungi kuburan saudaranya lalu duduk di sisinya, kecuali dia (si penghuni kubur) akan merasa senang dengan itu sampai dia berdiri.”
Al-Hafizh Abu Muhammad berhujah dalam masalah ini dengan riwayat yang berasal dari Abu Dawud yang termaktub dalam as-Sunan, yaitu hadis-hadis dari Abu Hurairah ra. Dia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada seorang pun yang mengucapkan salam kepadaku, kecuali Allah swt. mengembalikan ruhku kepadaku hingga aku jawab salam itu kepadanya.”?
Sulaiman bin Nu’aim berkata, “Aku pernah bermimpi melihat Rasulullah saw. dalam tidurku. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, mereka itu orang-orang yang mendatangimu dan mengucapkan salam kepadamu. Apakah engkau mengetahui mereka?’ Rasulullah saw. menjawab, ‘Ya. Dan aku menjawab salam mereka.’ Rasulullah saw. mengajari para sahabat beliau untuk mengucapkan doa setiap kali mereka memasuki pekuburan, ‘As-salam ‘alaikum ahla ad-diyar” (Salam atas kalian wahai penghuni hunian) Hadis-hadis ini menjadi dalil yang menunjukkan bahwa orang mati mengetahui salam orang yang mengucapkan salam kepadanya, serta mengetahui doa orang hidup yang berdoa untuknya. Abu Muhammad berkata, Telah disebutkan sebuah riwayat dari Fadhl bin Muwaffaq, dia berkata, “Aku berkali-kali mendatangi kuburan ayahku dan aku sering melakukan hal itu. Pada suatu hari, aku melihat jenazah di sebuah kuburan yang akan dikuburkan di situ. Akan tetapi, aku terburu-buru untuk suatu keperluan sehingga tidak kudatangi jenazah itu. Pada malam harinya, aku melihat orang yang mati itu dalam mimpiku. Dia berkata kepadaku, ‘Wahai anakku, mengapa tak kau datangi aku?’
Kujawab, ‘Wahai ayahku, apakah engkau benar-benar mengetahuiku jika aku datangi dirimu?’ Dia menjawab, ‘Ya, demi Allah, wahai anakku! Aku akan terus dapat melihatmu ketika engkau meniti jembatan itu sampai kau tiba di dekatku, duduk, lalu berdiri. Aku terus dapat melihatmu sampai engkau melintasi jembatan itu.’”
Ibnu Abud Dunya berkata: Ibrahim bin Sayyar al-Kufi menuturkan kepadaku, dia berkata, “Fadhl bin Muwaffiq menuturkan kepadaku…” Lalu dia menyampaikan kisah tersebut di atas.
Ada sebuah riwayat berstatus sahih dari “Amr bin Dinar bahwa dia berkata, “Tidak ada seorang mayat pun yang mati, kecuali dia mengetahui apa yang terjadi pada keluarganya sepeninggalnya. Mereka memandikannya, mengafaninya, dan sebenarnya dia melihat mereka.” Ada pula sebuah riwayat berstatus sahih dari Mujahid bahwa dia berkata, “Sesungguhnya seseorang (yang sudah mati) akan merasa gembira di dalam kuburannya berkat kesalihan anaknya sepeninggalnya.”
Pasal
Dalil lain yang menunjukkan hal ini, yaitu suatu kebiasaan yang diamalkan oleh orang banyak di masa lalu sampai sekarang dalam bentuk tindakan talkin kepada mayat di liang kuburnya. Kalau memang si mayat tidak dapat mendengar talkin tersebut serta memperoleh manfaat darinya, tentulah tidak ada faedahnya tindakan talkin karena itu akan menjadi sebuah kesia-siaan.
Suatu ketika Imam Ahmad ditanya mengenai talkin dan ternyata beliau menyatakan talkin merupakan bagian dari sebuah kebaikan. Adapun hujah yang beliau pakai adalah amal yang dipraktikkan oleh kaum muslimin.
Mengenai masalah talkin ini, telah diriwayatkan sebuah hadis daif yang disampaikan oleh Thabrani dalam al-Mu’jam, yaitu hadis dari Abu ‘Umamah, dia berkata: Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seorang dari kalian mati. Lalu kalian ditimbun jasadnya dengan tanah, hendaklah ada seorang dari kalian yang berdiri di dekat kepala kuburannya lalu berkata, ‘Wahai Fulan bin Fulanah!’ Sesungguhnya dia dapat mendengar, tetapi tidak dapat menyahut. Kemudian hendaklah orang itu berucap, ‘Wahai Fulan bin Fulanah!’ ucapan yang kedua. Maka si mayat itu akan bangkit duduk tegak. Kemudian hendaklah orang itu berucap lagi, ‘Wahai Fulan bin Fulanah!’ ucapan yang ketiga. Maka si mayat itu akan menyahut, ‘Bimbinglah kami, semoga Allah merahmatimu!’ Akan tetapi, kalian tidak mendengar ucapannya itu. Kemudian hendaklah orang itu berkata, ‘Ucapkanlah kalimat yang dengannya engkau keluar dari dunia ini: Syahadat bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Bahwa engkau rela Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, Muhammad sebagai nabi, al-Quran sebagai imam. Sesungguhnya Munkar dan Nakir akan mundur masing-masing dari mereka berdua itu lalu berkata, ‘Pergilah, apakah masih ada gunanya kita duduk di sisi orang ini sementara telah ditalkinkan kepadanya hujahnya? Sementara Allah akan menjadi pembelanya tanpa keduanya.’”
Demi mendengar itu. seseorang lalu berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana apabila dia tidak diketahui nama ibunya?” Rasulullah saw. menjawab, “Hendaklah dia dinasabkan kepada ibunya, Hawa.”
Hadis-hadis ini, walaupun status kesahihannya tidak kuat, namun pada wilayah praktiknya terjadi di semua kota, di sepanjang masa, tanpa ada penyangkalan padanya, sudah cukup sebagai dalil untuk mengamalkannya.
Allah tentu tidak akan membiarkan adanya adat kebiasaan seperti ini pada suatu umat yang telah menyebar ke segala penjuru barat timur dunia. Umat tersebut merupakan umat yang paling sempurna akalnya serta paling melimpah pengetahuannya. Juga adat kebiasaan tersebut yang berupa bicara dengan orang yang tidak dapat mendengar dan tidak dapat berpikir, umat ini juga menganggap semua itu baik tanpa pernah ada yang menyangkalnya. Bahkan di kalangan awal, umat ini mentradisikannya bagi generasi berikutnya. Generasi berikutnya dari mereka
mengikuti adat kebiasaan ini dari kalangan awal umat ini.
Jadi kemungkinannya hanyalah, bahwa orang yang diajak bicara (dalam talkin) itu memang dapat mendengar. Karena kalau tidak, berarti apa yang diucapkan itu sama saja seperti pembicaraan dengan tanah, kayu, batu atau sesuatu yang tidak ada. Hal seperti ini, jika dianggap baik oleh seseorang, maka orang-orang yang berakal sehat tentu akan menganggap itu sebagai sesuatu yang buruk.
Abu Dawud telah meriwayatkan dari as-Sunan dengan sanad yang dapat diterima (la ba‘sa bih), bahwa Rasulullah saw. suatu ketika menghadiri jenazah seseorang. Ketika jenazah itu dimakamkan, beliau bersabda, “Mohonkanlah oleh kalian ketetapan bagi saudara kalian ini karena sesungguhnya sekarang dia sedang ditanya.” Dalam sabda itu Rasulullah saw. mengabarkan bahwa si mayat sedang ditanya pada saat itu. Apabila si mayat sedang ditanya pada saat itu, maka pastilah dia dapat mendengar pula talkin yang dirapalkan kepadanya.
Ada sebuah riwayat sahih yang berasal dari Rasulullah saw. yang menyatakan bahwa mayat dapat mendengar suara terompah ketika para pengantarnya beranjak pulang.
‘Abdul Haqq menuturkan sebuah riwayat dari seorang saleh yang berkata, “Seorang saudaraku wafat, lalu kulihat dia dalam mimpiku. Aku berkata kepadanya, ‘Wahai saudaraku, bagaimana keadaanmu ketika engkau diletakkan di dalam kuburmu?’ Dia menjawab, ‘Aku didatangi sesosok makhluk dengan membawa kobaran api. Kalau saja bukan karena ada pendoa yang mendoakanku aku pasti binasa.’”
Syabib bin Syaibah berkata: Ibuku berwasiat kepadaku menjelang kematiannya. Dia berkata, “Wahai anakku, apabila engkau kubur jasadku, berdirilah engkau di sisi kuburanku lalu katakanlah, ‘Wahai Umm Syaibah katakanlah La ilaha illallah!’ Ketika aku menguburkan jenazah ibuku, aku pun berdiri di sisi kuburannya lalu berucap, ‘Wahai Umm Syaibah katakanlah: La ilaha illallah’!’ Kemudian aku pergi. Setelah malam tiba, aku bermimpi melihat ibuku dalam tidur. Dia berkata kepadaku, ‘Wahai anakku, hampir saja aku celaka kalau bukan karena engkau mengucapkan La ilaha illallah kepadaku. Sungguh engkau telah menjaga wasiatku kepadamu wahai anakku.’’
Ibnu Abid Dunya menuturkan sebuah riwayat dari Tumadhir binti Sahl, istri Ayyub bin ‘Uyainah, dia berkata: Aku pernah melihat Sufyan bin ‘Uyainah dalam tidurku. Dia berkata kepadaku, “Semoga Allah melimpahkan kebaikan kepada saudaraku Ayyub karena dia sering menziarahiku dan dia ada di sisiku hari ini.” Ayyub lalu berkata, “Ya, aku memang mendatangi kuburannya hari ini.” Maka dia (istri Ayyub) mendatangi kuburannya.
Ada sebuah riwayat sahih dari Hammad bin Salamah, dari Tsabit, dari Syahr bin Hausyab, bahwa Sha’b bin Jatstsamah dan ‘Auf bin Malik, mereka berdua bersaudara. Sha’b berkata kepada ‘Auf, ‘‘Wahai saudaraku, siapa pun di antara kita yang meninggal dunia lebih dulu, maka hendaklah dia menampakkan dirinya dalam mimpi.”’ Dia berkata, “Apakah itu dapat terjadi?” Dia menjawab, “Ya.”
Beberapa waktu kemudian Sha’b pun meninggal dunia. ‘Auf lalu melihat saudaranya itu dalam mimpinya seperti yang lazim dilihat orang yang sedang tidur, seakan-akan saudaranya itu mendatanginya.
‘Auf berkata, “Wahai saudaraku!”
Sha’b menyahut, “Ya.”
‘Auf berkata, “Apakah yang dilakukan pada kalian?”’
Shab menjawab, “Kami semua diampuni setelah munculnya uban.”
Kulihat saudaraku itu ada noktah hitam di lehernya. Aku pun bertanya, “Wahai saudaraku, apakah itu?”
Dia (Sha’b) menjawab, “Ini akibat sepuluh dinar yang kupinjam dari si Fulan orang Yahudi. Ada uang sepuluh dinar di dalam wadah anak panahku, berikanlah oleh kalian uang itu kepadanya. Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa tidak ada kejadian apa pun yang terjadi di tengah keluargaku setelah kematianku, kecuali sampai kepadaku kabar tentang semua itu, sampai-sampai ketika kucing milik kami mati beberapa hari lalu. Ketahuilah bahwa putriku akan mati enam hari lagi, jadi berbuat baiklah kalian kepadanya.”
Pada pagi harinya, aku berkata bahwa mimpiku itu merupakan sebuah pertanda. Kudatangi keluarga Sha’b. Setibanya di sana mereka berkata, “Selamat datang wahai ‘Auf! Apakah seperti ini engkau perlakukan peninggalan saudaramu? Engkau tak pernah menyambangi kami setelah Sha’b meninggal.”
Aku pun mengemukakan alasan sebisaku seperti layaknya yang dilakukan orang-orang. Saat itu aku melihat wadah anak panah milik Sha’b. Kuturunkan wadah itu lalu kutumpahkan seluruh isinya dan ternyata kutemukan sebuah kantong yang berisi beberapa keping uang dinar. Uang-uang itu lalu kukirimkan kepada si Yahudi. Kepada orang Yahudi itu kukatakan, “Apakah engkau memiliki hak yang menjadi kewajiban Sha’b?”
Si Yahudi menjawab, “Semoga Allah merahmati Sha’b. Dia adalah salah satu sahabat Muhammad yang terbaik. Semua uang itu adalah miliknya.” Demi mendengar itu, aku pun berkata, “Tolong beri tahu aku mengapa begitu?” Si Yahudi berkata, “Ya. Aku memang pernah meminjamkan uang sepuluh dinar kepadanya. Akan tetapi, kurelakan semua itu kepadanya. Demi Allah, memang segitulah jumlahnya.” Aku berkata, “Ini satu wadah ini.”
Setelah itu, aku kembali menemui keluarga Sha‘b dan aku bertanya kepada mereka, “Apakah ada kejadian yang terjadi di tengah kalian setelah kematian Sha’b?” Mereka menjawab, “Ya. Terjadi di tengah kami kejadian anu. Terjadi di tengah kami kejadian anu.” Aku menukas, “Sebutkanlah semuanya.” Mereka berkata, “Baiklah. Ada seekor kucing kami yang mati beberapa hari lalu.” Aku pun bergumam, “Sudah dua pertanda.” Aku lalu berkata kepada keluarga Sha’b, “Di manakah anak perempuan saudaraku Sha’b?”
Mereka menjawab, “Sedang main!” Anak perempuan Sha’b itu lalu dibawa kepadaku. Kupegang anak itu dan ternyata badannya sedang demam. Aku lalu berkata kepada keluarga Sha’b, “Perlakukanlah dia dengan baik!” Enam hari Setelah itu anak perempuan tersebut meninggal dunia.
Semua itu dapat terjadi karena pemahaman mendalam yang dimiliki ‘Auf rahimahullah, yang merupakan generasi sahabat. Dia telah melaksanakan wasiat Sha’b bin Jatstsamah setelah kematian sahabatnya itu sehingga kemudian dia mengetahui kebenaran ucapan Sha’b tentang wadah anak panah yang dia sampaikan kepadanya; yaitu bahwa ada uang sepuluh dinar di dalam wadah anak panahnya. Dia bertanya kepada si Yahudi dan ternyata semua ucapannya cocok dengan apa yang disampaikan Sha‘b dalam mimpi “Auf. “Auf pun meyakini kebenaran semua itu sehingga kemudian dia memberikan uang dinar milik Sha‘b kepada si Yahudi.
Demikianlah pemahaman mendalam yang memang layak dimiliki oleh orang-orang yang memiliki pemahaman paling baik dan sekaligus paling berpengetahuan; yaitu para sahabat Rasulullah saw. Walaupun ada banyak orang-orang sekarang yang mengingkari riwayat tersebut dengan berkata, “Bagaimana mungkin “Auf diperbolehkan menyerahkan uang-uang dinar itu kepada si Yahudi berdasarkan sebuah mimpi.
padahal uang-uang itu adalah warisan milik anak-anak yatim dan para ahli waris yang “Auf tinggalkan?”
Ada sebuah riwayat lain yang menunjukkan kedalaman pemahaman yang Allah berikan secara khusus kepada orang-orang tertentu dan tidak dimiliki oleh kebanyakan orang. Riwayat itu adalah kisah Tsabit bin Qais bin Syammas. Riwayat ini dituturkan oleh Abu ‘Umar bin Abdul Barr dan para perawi lainnya.
Abu ‘Umar berkata, ‘Abdul Warits bin Sufyan mengabari kami, Qasim bin Ashbagh menuturkan kepada kami, Abu Zinbagh Rauh bin Said bin ‘Afir dan ‘Abdul ‘Aziz bin Faraj menuturkan kepada kami, Malik bin Anas mengabari kami Yahya al-Madini mengabari kami, dari Ibnu Syihab, dari Isma‘il bin Muhammad bin Tsabit al-Anshari, dari Tsabit bin Qais bin Syammas, bahwa Rasulullah saw. bersabda kepadanya, “Wahai Tsabit, tidakkah engkau rela untuk hidup terpuji, terbunuh sebagai syahid dan masuk surga?” Malik berkata, “Tsabit bin Qais tewas dalam Perang Yamamah sebagai syahid.”
Abu ‘Umar berkata, “Hisyam bin ‘Ammar meriwayatkan, dari Shadaqah bin Khalid, ‘Abdurrahman bin Yazid bin Jabir menuturkan Atha al-Khurasani menuturkan kepadaku, kepada kami, dia berkata, dia berkata, “Anak perempuan Tsabit bin Qais bin Syammas menuturkan kepadaku, dia berkata: Ketika turun ayat:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian meninggikan suara kalian lebih dari suara Nabi dan janganlah kalian berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kalian terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalan kalian sedangkan kalian tidak menyadari.” (QS. al-Hujurat [49]: 2)
Ayahnya memasuki rumahnya lalu menutup pintunya. Rasulullah saw. rupanya merasa Kehilangan ayahnya sehingga kemudian beliau mengirim orang untuk menanyakan kabarnya, “Bagaimana kabarnya?” Tsabit lalu menjawab, “Aku seorang lelaki dengan suara lantang. Aku khawatir amalku menjadi sia-sia.” Rasulullah saw. bersabda, “Engkau tidak termasuk mereka itu. Alih-alih engkau justru akan hidup dengan baik dan mati dengan baik.”’ Lalu ketika turun ayat:
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman [31]: 18)
Tsabit kembali menutup pintu rumahnya lalu menangis. Rasulullah saw. kembali merasa kehilangan sehingga beliau mengirim orang untuk mencarinya. Setelah bertemu Rasulullah saw., Tsabit berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku menyukai keindahan dan aku suka untuk memimpin kaumku.”
Rasulullah saw. menjawab, “Engkau tidak termasuk golongan mereka. Alih-alih engkau justru akan hidup dengan baik, mati dengan baik dan akan masuk surga.”
Anak perempuan Tsabit bin Qais berkata: Ketika Perang Yamamah berkobar, dia (Tsabit) berangkat bersama Khalid bin Walid untuk melawan Musailamah. Ketika mereka bertemu musuh, mereka pun bertempur. Saat itu Tsabit dan Salim Maula Abu Hudzaifah berkata, “Tidaklah seperti ini dulu kami berperang bersama Rasulullah!” Masing-masing mereka lalu menggali lubang. Lalu mereka menetap di situ untuk bertempur sampai akhirnya mereka berdua terbunuh. Pada saat itu Tsabit membawa perisai yang mahal harganya. Ketika seorang lelaki muslim lewat di dekatnya, perisai itu diambil oleh lelaki tersebut.
Pada malam harinya, ketika seorang lelaki muslim lain tidur, Tsabit bin Qais mendatangi lelaki itu di dalam mimpinya. Tsabit berkata kepada orang itu, “Aku akan mewasiatkan satu wasiat padamu. Jangan sampai engkau mengatakan bahwa ini sekadar mimpi sehingga engkau akan menyia-nyiakannya! Sesungguhnya ketika aku terbunuh kemarin, seorang lelaki muslim lewat di dekatku, lalu dia mengambil perisai milikku. Tempatnya yaitu di ujung pasukan. Di kemahnya ada kuda yang tingginya sedang. Dia telah menyembunyikan perisai itu di bawah sebuah periuk, yang di atas periuk itu diletakkan sebuah pelana. Jadi, engkau datangilah Khalid lalu perintahkan dia untuk mengirim orang guna mencari perisaiku lalu mengambilnya. Apabila engkau sampai di Madinah, temuilah Khalifah Rasulullah saw. yaitu Abu Bakar Shiddiq lalu katakan kepadanya, ‘Sesungguhnya aku menanggung utang sekian sekian. Lalu si Fulan budak milikku menjadi orang merdeka dan juga si Fulan.’”
Keesokan paginya, lelaki muslim yang ditemui Tsabit dalam mimpi itu langsung menemui Khalid bin Walid ra. guna menyampaikan isi mimpinya. Khalid pun mengutus orang untuk mengambil perisai tersebut. Si lelaki muslim itu berbicara kepada Abu Bakar ra. mengenai mimpinya dan ternyata Abu Bakar ra. membolehkan wasiat Tsabit itu. Saat itu Abu Bakar ra. berkata, “Aku tidak pernah mengetahui ada seorang pun yang kubolehkan wasiatnya setelah kematiannya selain Tsabit bin Qais rahimahulléh.” Sampai di sinilah akhir riwayat yang disampaikan oleh Abu ‘Umar.
Demikianlah ternyata Khalid bin Walid ra. dan Abu Bakar ra. beserta sahabat lain ternyata bersepakat untuk melaksanakan isi mimpi itu serta memenuhi isi wasiat yang disampaikan dalam mimpi itu. Bahkan Khalid langsung menyita perisai milik Tsabit dari orang yang mengambilnya, berdasarkan informasi yang berasal dari mimpi itu. Tentu saja semua itu menunjukkan kedalaman pemahaman mereka.
Ketika Abu Hanifah. Ahmad, dan Malik menerima pernyataan pihak yang menggugat di antara sepasang suami istri, yang gugatan itu baik bagi si penggugat dan tidak baik bagi pasangannya, dengan adanya tanda-tanda kejujuran dari suami; tentulah hal ini (maksudnya, petunjuk mimpi Penj.) lebih dapat diterima.
Begitu pula halnya Abu Hanifah yang menerima pernyataan penggugat tembok dengan melihat posisi kayu penyangga dan ikatan kain peneduh pada tembok yang bersangkutan.
Allah swt. telah menetapkan hukuman had terhadap perempuan berdasarkan sumpah dari pihak suami dengan adanya tanda-tanda penyangkalan dari istri karena itu merupakan salah satu bukti yang paling jelas menunjukkan kejujuran suami. Yang lebih dapat diterima dari itu, yaitu hukuman mati yang dapat dijatuhkan terhadap orang yang menjadi objek sumpah, dengan adanya sumpah dari beberapa orang penggugat, disertai kronologi yang jelas berupa bukti meski lemah dan tidak sempurna (lauts).
Allah swt. telah menetapkan diterimanya pernyataan para penggugat pada warisan salah seorang di antara mereka yang meninggal dunia. Apabila orang yang bersangkutan meninggal dalam perjalanan lalu dia berwasiat kepada dua orang lelaki non-muslim, lalu para ahlj waris melihat adanya sikap khianat dari kedua penerima wasiat itu. Sementara mereka berdua bersumpah atas nama Allah yang mereka memang berhak melakukan itu, sumpah mereka berdua lebih utama daripada sumpah para ahli waris. Masalah ini telah Allah swt. jelaskan di akhir Surah al-Maidah dan menjadi ayat al-Quran yang terakhir turun, sehingga tidak ada lagi ayat yang menasakhnya dan para sahabat pun mengamalkannya.
Semua ini menjadi dalil yang menunjukkan bahwa putusan hukum dapat ditetapkan pada harta berdasarkan bukti yang lemah dan tidak sempurna (lauts). Apabila nyawa seseorang saja dapat menjadi halal melalui hukuman mati berdasarkan bukti yang lemah dan tidak sempurna (lauts) dalam perkara sumpah dengan segala risiko bahayanya, penggunaan bukti yang lemah dan tidak sempurna (lauts)—yang berupa tanda-tanda yang tampak—untuk menetapkan putusan pada perkara harta tentu saja lebih utama dan lebih layak.
Dengan dasar yang sama inilah para pemimpin yang adil bertindak dalam menarik kembali barang-barang curian dari para pelaku pencurian, sampai-sampai banyak orang yang menyangkal hal ini tetap meminta bantuan kepada mereka apabila harta mereka dicuri.
Allah swt. telah menceritakan sosok saksi yang menyaksikan peristiwa yang terjadi pada diri Yusuf ash-Shiddiq as. dan istri al-‘Aziz; yaitu ketika al-‘Aziz menetapkan putusan hukum berdasarkan tanda-tanda yang menunjukkan kejujuran Yusuf dan kedustaan istrinya. Allah swt. tidak menyangkal hal ini, bahkan Dia juga menyampaikan cerita itu sebagai bentuk pengakuan padanya.
Rasulullah saw. telah menyampaikan sebuah cerita mengenai Nabi Sulaiman bin Daud as., ketika Sulaiman as. menetapkan putusan hukum terhadap dua orang perempuan yang mengaku sebagai pemilik seorang berdasarkan tanda-tanda yang tampak baginya. Kala itu.
Sulaiman as. berkata, “Berilah aku pisau agar dapat kubelah bayi ini.” Si perempuan tua itu berkata, “Aku rela itu dilakukan.” Sementara perempuan yang satu lagi berkata, “Jangan engkau lakukan itu. Anak tersebut merupakan anak perempuan itu!” Ternyata kemudian Sulaiman as. menetapkan bahwa anak bayi itu milik perempuan tersebut karena Sulaiman as. mengetahui adanya rasa sayang dan kasih yang bersemayam dalam diri perempuan sehingga dia merelakan bayi itu untuk dimiliki seterusnya asalkan si bayi dapat tetap hidup.
Putusan hukum yang ditetapkan oleh Sulaiman as. itu merupakan salah satu putusan hukum terbaik dan teradil yang pernah ada. Sementara syariat Islam mengukuhkan hal yang sama dan menyatakan kesahihannya. Bukankah penetapan hukum berdasarkan pendapat para ahli tanda nasab (al-qafah) dan penetapan nasab menggunakan itu tidak lain merupakan bentuk penggunaan tanda-tanda yang sebenarnya tidak terlalu jelas dengan segala kesamaran dan ketersembunyian tanda-tanda itu?
Jadi, berbagai tanda yang muncul dalam mimpi “Auf bin Malik dan kisah Tsabit bin Qais jelas termasuk satu di antara sekian banyak tanda-tanda yang disebutkan tadi. Alih-alih tanda (yang muncul dalam mimpi “Auf dan kisah Tsabit) itu justru lebih kuat jika dibandingkan dengan tanda-tanda berupa posisi kain peneduh di tembok. Kebaikan yang didapat penggugat dari objek gugatan dalam kasus yang melibatkan pasangan suami istri atau dua orang yang berseteru karena tanda ini (yang muncul dalam mimpi ‘Auf dan kisah Tsabit) begitu jelas dan tidak tersembunyi sama sekali. Dan lagi, fitrah dan akal sehat manusia telah menyaksikan kebenarannya. Wa billahi-taufiq.
Alhasil, terjawablah sudah pertanyaan si penanya. Apabila berbagai hal kecil yang terperinci seperti yang sudah dijelaskan tadi saja diketahui oleh orang yang sudah mati, tentu saja mereka lebih tahu mengenai kunjungan, ucapan salam dan doa yang dipanjatkan oleh orang-orang yang masih hidup untuk mereka.
PERTANYAAN INI juga merupakan sebuah masalah besar yang penting, Adapun jawabannya adalah sebagai berikut.
Ruh terbagi menjadi dua golongan: 1) Ruh-ruh yang diazab dan 2) Ruh-ruh yang diberi nikmat. Ruh-ruh yang diazab akan terus disibukkan oleh azab siksaan yang mereka terima, sehingga mereka tidak dapat saling mengunjungi dan tidak dapat saling bersua. Sedangkan ruh-ruh yang diberi nikmat, berada dalam keadaan bebas dan sama sekali tidak dikekang sehingga mereka dapat saling bertemu, saling berkunjung dan mengingat berbagai hal yang dulu pernah ada di dunia berikut berbagai hal yang dialami oleh para penghuni dunia. Setiap ruh bersama pendampingnya sebagaimana amalnya di dunia. Adapun ruh Nabi Muhammad berada di ar-Rafiq al-A’la (tempat yang sangat tinggi).
Allah swt. berfirman,
“Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang Allah anugerahi nikmat, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS. an-Nisa’ [4]: 69)
Kebersamaan ini tetap berlaku di dunia, Alam Barzakh, dan di Hari Pembalasan. Seseorang akan bersama orang yang dicintainya di ketiga alam tersebut.
Jarir meriwayatkan, dari Manshur, dari Abu Dhahhi, dari Masruq, dia berkata, para sahabat Nabi Muhammad saw. berkata, “Tidaklah layak bagi kami untuk berpisah denganmu di dunia dan jika engkau mati engkau diangkat ke atas kami sehingga kami tidak dapat lagi melihatmu.” Allah swt. lalu menurunkan ayat, “Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang Allah anugerahi nikmat, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS. an-Nisa™ [4]: 69)
Asy-Sya’bi berkata, “Seorang lelaki Anshar datang sembari menangis kepada Rasulullah saw. Beliau pun bertanya, ‘Apakah yang membuatmu menangis wahai Fulan?’ Sahabat itu menjawab, ‘Wahai Nabiyullah, demi Dzat yang tidak ada Tuhan selain Dia, sesungguhnya engkau lebih aku cintai daripada keluarga dan hartaku. Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia, sesungguhnya engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri. Sesungguhnya kami suka mengingat-ingat tentangmu; aku dan keluargaku, sampai aku mengalami ini agar dapat melihatmu. Akan tetapi, kemudian aku ingat tentang kematianmu dan kematianku, maka aku pun tahu bahwa aku tidak akan pernah bertemu dengannya, kecuali hanya di dunia. Karena engkau akan ditinggikan bersama para nabi, sementara aku tahu bahwa apabila aku masuk surga,
aku berada di tempat yang lebih rendah daripada tempatmu.’” Rasulullah saw. sama sekali tidak menanggapi ucapan sahabat beliau itu, sampai kemudian Allah swt. menurunkan ayat,
“Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang Allah anugerahi nikmat, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah dan Allah cukup mengetahui.” (QS. an-Nisa’ [4]: 69-70)
Allah swt. berfirman,
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai. Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku. (QS. al-Fajr [89]: 27-30)
Maksudnya, “Masuklah engkau dalam kelompok mereka lalu tetaplah bersama mereka.” Kata-kata inilah yang dikatakan kepada ruh ketika kematian datang.
Dalam hadis-hadis dari Abdullah bin Mas’ud ra. yang menerangkan tentang peristiwa Isra’ dikatakan:
Ketika Rasulullah saw. diperjalankan dalam peristiwa Isra’, beliau bertemu dengan Nabi Ibrahim as., Nabi Musa as., dan Nabi Isa as. Mereka semua lalu mengingat tentang Hari Kiamat. Mereka pun memulai dengan bertanya tentang itu kepada Ibrahim as. Namun rupanya Ibrahim as. tidak memiliki pengetahuan tentang Hari Kiamat. Lalu mereka bertanya kepada Musa as. Namun rupanya Musa as. juga tidak memiliki pengetahuan tentang Hari Kiamat. Akhirnya mereka pun menyampaikan masalah itu kepada Isa as.
Nabi Isa as. berkata, “Allah memberitahukan kepadaku perkara-perkara sebelum datangnya Hari Kiamat.” Isa as. kemudian menuturkan ihwal kemunculan Dajjal. Dia berkata, “Lalu aku turun dan aku bunuh dia.” Orang-orang pun kembali ke negeri mereka. Akan Tetapi, mereka disambut oleh Ya’juj dan Ma’juj. Mereka datang dari segala penjuru. Setiap kali mereka melewati air, mereka meminumunya. Setiap kali mereka melewati apa pun, mereka pasti merusaknya. Umat manusia lantas memohon kepada Allah swt., mereka berdoa kepada-Nya sehingga kemudian Allah mematikan Ya’juj dan Ma’juj itu. Namun kemudian bumi memohon kepada Allah akibat bau bangkai mereka, sebagaimana umat manusia juga memohon kepadaku. Maka aku kembali berdoa.
Allah swt. lalu mengirimkan air dari langit yang menghanyutkan jasad-jasad mereka dan menghempaskannya ke lautan. Setelah itu, gunung-gunung diledakkan dan bumi dihamparkan menjadi layaknya hamparan permadani. Allah swt. berjanji kepadaku bahwa apabila semua itu terjadi, maka sesungguhnya itulah Hari Kiamat bagi umat manusia yang seperti wanita hamil tua tanpa keluarganya pernah tahu kapankah wanita itu akan melahirkan, malam ataukah siang?” (HR. al-Hakim, al-Baihaqi, dan yang lainnya ).
Ini menjadi nas yang menunjukkan bahwa ruh-ruh dapat saling mengingatkan mengenai ilmu dan pengetahuan. Allah swt. telah mengabarkan kepada kita tentang para syuhada bahwa mereka semua hidup di sisi Rabb mereka dalam limpahan rezeki. Mereka merasa gembira dengan orang-orang yang belum bertemu mereka dari kalangan penerus mereka. Mereka juga merasa senang dengan nikmat serta karunia yang Allah berikan.
Semua ini menjadi dalil yang menunjukkan bahwa saling bertemunya para arwah terjadi dari tiga segi.
Pertama, mereka merupakan orang-orang yang hidup di sisi Allah dan jika mereka “hidup”, mereka pasti dapat saling bertemu.
Kedua, mereka merasa gembira dengan saudara-saudara mereka yang mendatangi mereka, serta perjumpaan mereka dengan saudara-saudara mereka.
Ketiga, menurut bahasa, kata “yastabsyirun” yang digunakan dalam ayat al-Quran menunjukkan bahwa para arwah “saling membuat senang antar satu sama lain” seperti pengertian kata “yatabasyarun”.
Telah ada banyak riwayat mutawatir yang menunjukkan semua itu. Di antaranya adalah riwayat yang disampaikan oleh Shalih bin Basyir. Dia berkata: Aku melihat Atha as-Salimi dalam mimpiku setelah kematiannya. Aku berkata kepadanya, “Allah merahmatimu, sesungguhnya engkau telah mengalami kesedihan panjang di dunia.” Dia menyahut, “Demi Allah, sesungguhnya Dia telah memberikanku pengganti atas semua itu dengan kegembiraan yang panjang dan kesenangan yang kekal.” Aku berkata, “Di derajat yang manakah engkau?” Dia menjawab, “Bersama-sama dengan orang-orang yang Allah anugerahi nikmat, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS. an-Nisa’ [4]: 69)
Abdullah bin Mubarak berkata, “Aku melihat Sufyan ats-Tsauri dalam mimpiku. Aku bertanya kepadanya, ‘Apakah gerangan yang Allah lakukan terhadap dirimu?’ Dia menjawab, ‘Aku bertemu dengan Muhammad dan golongannya.’”
Shakhr bin Rasyid berkata, “Aku melihat Abdullah bin Mubarak dalam mimpiku setelah dia meninggal dunia. Aku berkata kepadanya, ‘Bukankah engkau sudah mati?’ Dia menjawab, ‘Benar!’ Aku berkata lagi, ‘Lantas apakah gerangan yang Allah lakukan terhadapmu?’ Dia menjawab, ‘Dia mengampuniku dengan ampunan yang meliputi segala dosa.’ Aku bertanya lagi, ‘Bagaimana dengan Sufyan ats-Tsauri?’ Dia menjawab, ‘Bakhin, bakhin…’ (beruntung, beruntung…)
“Bersama-sama dengan orang-orang yang Allah anugerahi nikmat, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS. An-Nisa’ [4]: 69)
Ibnu Abid Dunya menuturkan sebuah hadis dari Hammad bin Zaid, dari Hisyam bin Hassan dari Hafshah binti Rasyid, dia berkata, “Marwan al-Muhallimi dulu adalah tetanggaku dan dia adalah seorang hakim (qadhi) sekaligus mujtahid kemudian dia meninggal dunia dan aku sangat merindukannya.”
Dia melanjutkan: Aku melihatnya dalam mimpi. Aku berkata kepadanya, “Wahai Abu Abdillah, apakah yang dilakukan oleh Rabb-mu kepadamu?”
Dia menjawab, “Dia memasukkanku ke dalam surga.”
Aku bertanya, “Lalu apa lagi?”
Dia menjawab, “Kemudian aku ditinggikan ke Golongan Kanan (ashhab al-yamin).” Aku bertanya, “Lalu apa lagi?”
Dia menjawab, “Kemudian aku ditinggikan ke golongan yang mendekatkan diri kepada Allah (al-muqarrabin).”
“Lantas siapakah yang engkau lihat di antara para saudaramu?”
Dia menjawab, “Aku melihat Hasan,’ Ibnu Sirin dan Maimun bin Siyah.”
Hammad berkata: Hisyam bin Hassan berkata, “Umm Abdillah menuturkan kepadaku, ‘Aku melihat seperti yang biasa dialami oleh orang tidur, seakan-akan aku memasuki sebuah rumah yang indah, lalu aku memasuki sebuah taman.’ Dia lalu menuturkan keindahan taman itu.”
Dia melanjutkan, “Ketika aku berada di dalam taman itu, kulihat seorang lelaki bersandar di atas ranjang yang terbuat dari emas. Di sekelilingnya, ada dayang-dayang dengan cawan-cawan di tangan mereka. Sungguh aku takjub atas keindahan yang kulihat itu. Setelah itu, ada suara berkata, ‘Ini Marwan al-Muhallimi telah datang!’ dia pun melompat, lalu duduk tegak di atas ranjangnya.”’ Sampai di situ, aku terbangun dari tidurku dan ternyata pada saat itu jenazah Marwan tengah diusung melintas di depan pintu rumahku.
Sunah juga telah menyebutkan secara gamblang mengenai saling bertemu dan saling mengenalnya para arwah. Ibnu Abid Dunya berkata, Muhammad bin Abdullah bin Bazi’ menuturkan kepadaku, Fudhail bin Sulaiman an-Numairi mengabari kami, Yahya bin Abdurrahman bin Abu Labibah menuturkan kepadaku, dari kakeknya, dia berkata, “Ketika Bisyr bin Barra” bin Ma’rur meninggal dunia, Umm Bisyr pun merindukannya dengan kerinduan yang sangat. Dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya selalu ada saja orang yang mati dari kalangan Bani Salamah. Apakah orang-orang yang sudah mati dapat saling mengenal sehingga aku dapat mengirim salam kepada Bisyr?’” Rasulullah saw. menjawab, ‘Ya. Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya. Wahai Umm Bisyr, sesungguhnya mereka benar-benar saling mengenal seperti burung yang saling mengenal di pucuk pepohonan.’”
Sejak saat itu tidak ada seorang pun dari Bani Salamah yang hampir meninggal dunia, kecuali Umm Bisyr mendatangi orang itu. Dia berkata, “Wahai Fulan, salam bagimu!” Orang itu pun menyahut, “Begitu pula bagimu!” Lalu Umm Bisyr berkata, “Sampaikanlah salam kepada Bisyr.”
Ibnu Abid Dunya menuturkan sebuah hadis dari Sufyan, dari ‘Amr bin Dinar, dari ‘Ubaid bin ‘Umair, dia berkata, “Para penghuni kubur selalu menunggu berita. Apabila ada orang yang baru meninggal mendatangi mereka, mereka pun bertanya, ‘Apa yang telah dilakukan Fulan?’
Orang yang ditanya itu menjawab, ‘Ia melakukan kebaikan.’
Lalu ada yang bertanya lagi, ‘Apa yang telah dilakukan fulan?’
Orang yang ditanya itu menjawab, ‘Ia melakukan kebaikan.’
Lalu ada yang bertanya lagi, ‘Apa yang dilakukan Fulan?’
Orang yang baru meninggal itu balik bertanya, ‘Apakah dia tidak mendatangi kalian? Tidakkah dia menyambangi kalian?’ Mereka menja. wab, ‘Tidak.’ Orang itu pun berkata, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, dia telah menempuh jalan selain jalan yang kita tempuh.’”
Shalih al-Murri berkata, “Telah sampai riwayat kepadaku bahwa ruh-ruh saling bertemu ketika kematian terjadi. Arwah orang-orang matj lalu berkata kepada ruh yang baru mendatangi mereka, ‘Bagaimana tempatmu? Di manakah di antara dua jasad engkau berada? Pada yang baik ataukah pada yang buruk?’ Setelah itu, dia pun menangis tersedu-sedu.”
‘Ubaid bin ‘Umair juga berkata: Apabila seseorang meninggal dunia, ruh-ruh lain akan meminta kabar berita darinya seperti halnya orang yang melakukan perjalanan ditanyai tentang berbagai kabar, “Bagaimana kabar si Fulan? Bagaimana kabar si Fulan?” Apabila yang ditanya itu menjawab, “Si Fulan sudah meninggal!” sementara si Fulan yang disebutkan itu tidak mendatangi mereka, ruh-ruh itu pun berkata, “Dia dibawa pergi ke induk Hawiyah.”
Sa’id bin Musayyah berkata, “Apabila seseorang meninggal dunia, orang tuanya akan menyambutnya seperti layaknya orang tua menyambut kedatangan anaknya yang pergi.”
‘Ubaid bin ‘Umair berkata, “Apabila aku berputus harapan untuk bertemu dengan keluargaku yang sudah meninggal dunia, pastilah aku sudah mati karena kesedihan.”
Muawiyah bin Yahya menuturkan, dari Abdullah bin Salamah, bahwa Abu Ruhm as-Sima’i menuturkan kepadanya bahwa Abu Ayyub al-Anshari menuturkan kepadanya,
Bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya apabila nyawa seorang mukmin dicabut, maka ruh-ruh yang mendapatkan rahmat dari hadirat Allah akan menunggu ruh itu seperti ditunggunya penyampai kabar gembira di dunia. Mereka lalu berkata, ‘Tunggulah saudara kalian agar dia nyaman karena sesungguhnya dia tengah dirundung kesusahan yang parah. Kemudian mereka bertanya kepada ruh itu, ‘Bagaimana kabar si Fulan? Bagaimana kabar si Fulanah? Apakah si Fulanah sudah menikah?’ Apabila mereka bertanya tentang seseorang yang meninggal dunia sebelum dia, ruh itu berkata, ‘Sesungguhnya dia sudah mati sebelum aku.’ Ruh-ruh itu berkata, ‘Inna lillahi wa Inna ilaihi raji’un, rupanya dia dibawa pergi ke induk Hawiah. Betapa buruknya induk itu dan betapa buruknya yang diasuhnya!’”
Telah disebutkan pula hadis-hadis Yahya bin Bisthma: Misma bin ‘Ashim menuturkan kepadaku, dia berkata, “Aku melihat ‘Ashim al-Jahdari dalam tidurku dua tahun setelah dia meninggal dunia. Aku berkata kepadanya, ‘Bukankah engkau sudah mati?’ Dia menjawab, ‘Benar!’ Aku berkata lagi, ‘Lantas di manakah engkau?’ Dia menjawab, ‘Demi Allah, aku berada di salah satu taman di antara taman-taman surga. Aku bersama beberapa orang sahabatku. Kami berkumpul setiap malam Jumat dan paginya menemui Bakr bin Abdullah al-Muzani lalu kami mendengar berita-berita tentang kalian.’ Aku bertanya lagi, ‘Apakah itu dengan jasad kalian ataukah ruh-ruh kalian?’ Dia menjawab, ‘Mustahil! Jasad-jasad telah hancur. Sesungguhnya yang saling bertemu adalah ruh-ruh.’”
BUKTI-BUKTI YANG menjawab pertanyaan ini, berikut dalil-dalilnya sangatlah banyak sehingga hanya Allah taala yang dapat menghitung semuanya. Perasaan dan kenyataan menjadi saksi yang paling adil mengenai masalah ini. Jadi, ruh orang-orang yang masih hidup memang dapat bertemu dengan arwah orang-orang yang sudah meninggal dunia, sebagaimana ruh orang-orang yang masih hidup dapat pula bertemu dengan arwah orang-orang yang masih hidup. Allah swt. berfirman,
“Allah mewafatkan jiwa (orang) ketika matinya dan (mewafatkan) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir.” (QS. az-Zumar [39]: 42)
Abu Abdillah bin Mandah berkata: Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim menuturkan kepada kami, Abdullah bin Hasan al-Harani menuturkan kepada kami, “Kakekku Ahmad bin Abu Syu’aib menuturkan kepadaku, Musa bin A’yan menuturkan kepada kami, dari Mutharrif, dari Ja’far bin Abul Mughirah, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas mengenai ayat tersebut di atas, dia berkata, ‘Telah sampai riwayat kepadaku bahwa ruh orang-orang yang masih hidup dan arwah orang-orang yang sudah mati dapat bertemu dalam mimpi, lalu mereka saling bertanya. Akan tetapi, Allah menahan ruh orang-orang yang sudah mati dan Dia melepaskan ruh-ruh orang-orang yang masih hidup ke tubuh mereka.’’
Ibnu Abi Hatim berkata dalam tafsirnya: Abdullah bin Sulaiman menuturkan kepada kami, Husein menuturkan kepada kami, ‘Amir menuturkan kepada kami, Asbath menuturkan kepada kami, dari as-Sa’di mengenai firman Allah, “Dan jiwa yang belum mati di dalam tidurnya.” (QS. az-Zumar [39]: 42)
Dia berkata, “Allah mewafatkan jiwa dalam tidurnya, lalu ruh orang yang masih hidup bertemu dengan ruh orang yang sudah mati, sehingga mereka dapat saling mengingatkan dan saling mengenal. Setelah itu, ruh orang yang masih hidup kembali ke dalam jasadnya di dunia sampai kelak ajalnya tiba. Sementara ruh orang yang sudah mati juga ingin untuk kembali ke tubuhnya, tetapi ia ditahan.”
Ini adalah salah satu di antara dua pendapat mengenai ayat tersebut di atas, yaitu bahwa ruh yang dipegang (ditahan) adalah ruh orang yang wafat dalam wafat kematian (wafat al-maut). Sementara ruh yang dilepaskan adalah ruh orang yang wafat dalam wafat tidur (wafat an-naum).
Pengertian berdasarkan pernyataan ini, yaitu bahwa Allah swt. mewafatkan jiwa orang yang sudah mati, lalu dia memegangnya (menahannya) dengan tidak melepaskannya ke dalam tubuhnya sebelum Hari Kiamat. Dan Allah swt. mewafatkan jiwa orang yang sedang tidur, kemudian Dia melepaskannya ke tubuhnya sampai tiba ajalnya. Ketika ajalnya tiba, barulah Allah swt. akan mewafatkannya dengan wafat yang lain (yaitu wafat kematian/wafat al-maut).
Pendapat kedua mengenai ayat di atas, yaitu ruh yang dipegang (ditahan) dan ruh yang dilepaskan dalam ayat tersebut, keduanya merupakan ruh yang mengalami wafat tidur (wafat an-naum). Akan tetapi, bagi ruh yang telah menggenapi ajalnya, maka Allah memegangnya (menahannya) di sisi-Nya dan tidak mengembalikannya ke jasadnya.
Sedangkan ruh yang belum menggenapi ajalnya, Dia kembalikan ruh itu ke tubuhnya untuk menggenapi ajal tersebut.
Syaikhul Islam memilih pendapat ini dan mengatakan bahwa hal ini telah ditunjukkan oleh dalil dari al-Quran dan sunah. Allah swt, telah menyebutkan dipegangnya (ditahannya) ruh yang tiba kematiannya di antara jiwa-jiwa manusia yang Dia wafatkan dalam wafat tidur (wafat an-naum). Adapun ruh yang Dia wafatkan di saat kematiannya, Dia tidak menyebutkan bahwa ruh itu dipegang (ditahan) ataupun dilepaskan. Alih-alih, ruh seperti itu merupakan ruh jenis yang ketiga.”
Yang lebih kuat adalah pendapat yang pertama karena Allah swt. telah memberi tahu adanya dua jenis wafat, yaitu: 1.Wafat besar (wafat kubra); yaitu wafat kematian (wafat al-maut) dan 2.Wafat kecil (wafat shughra); yaitu wafat tidur (wafat an-naum).
Arwah terbagi menjadi dua golongan:
- Golongan ruh yang dimatikan. Allah memegang (menahan) ruh-ruh ini di sisi-Nya, yaitu ruh-ruh yang Dia wafatkan dengan wafat kematian (wafat al-maut).
- Golongan ruh yang masih memiliki sisa ajal. Allah mengembalikan ruh jenis ini ke tubuhnya sampai dia menggenapi ajalnya.
Allah swt. telah menjadikan tindakan-Nya memegang (menahan) dan melepaskan sebagai dua ketetapan hukum bagi kedua jenis wafat yang telah disebutkan tadi. Yang satu dipegang (ditahan) dan yang satu dilepaskan.
Allah swt. juga memberi tahu bahwa ruh yang belum mati adalah ruh yang Dia wafatkan dalam tidurnya. Kalau memang benar bahwa Allah swt. membagi wafat tidur (wafat an-naum) menjadi dua, wafat kematian (wafat maut) dan wafat tidur (wafat naum), tentu saja Dia tidak akan menggunakan kalimat “Dan jiwa yang belum mati” karena ketika jiwa seseorang direnggut, maka itulah kematiannya. Namun Allah swt. menyatakan bahwa jiwa yang seperti itu “Belum mati”; jadi bagaimana mungkin dia menyatakan setelah kalimat tadi, “Dia tahanlah jiwa yang telah Dia tetapkan kematiannya?”
Bagi orang yang mendukung pendapat ini hendaklah menyatakan bahwa firman Allah swt., “Dia tahanlah jiwa yang telah Dia tetapkan kematiannya,” terjadi setelah Dia mewafatkan jiwa yang bersangkutan dengan wafat tidur (wafat an-naum). Jadi, Allah swt. mula-mula mewafatkan jiwa dengan wafat tidur (wafat an-naum), lalu Dia menetapkan kematian pada jiwa yang bersangkutan itu setelah itu (ketika ajalnya tiba—Penj.).
Jadi, penjelasan atas ayat ini menunjukkan bahwa ayat ini memang merangkum dua jenis jiwa, dikarenakan Allah swt. menyebutkan adanya dua jenis wafat, wafat tidur (wafat naum) dan wafat kematian (wafat maut). Allah swt. juga menyatakan tentang dipegangnya (ditahannya) jiwa-jiwa yang diwafatkan dan dilepaskannya jiwa-jiwa yang lain (yang belum tiba ajalnya—Penj.). Telah diketahui pula bahwa Allah swt. memegang (menahan) setiap jiwa yang mati (nafs mayyit), baik yang mati dalam tidur maupun yang “mati” dalam jaga. Dan Dia melepaskan jiwa yang belum mati. Jadi, pernyataan Allah “Allah mewafatkan jiwa ketika matinya” maksudnya yaitu jiwa yang mati dalam jaga dan jiwa yang mati dalam tidur.
Dalil lain yang menunjukkan adanya pertemuan antara arwah orang-orang yang masih hidup dengan arwah orang-orang yang sudah mati, yaitu adanya kenyataan bahwa orang hidup dapat melihat orang yang sudah mati dalam mimpi. Kemudian, orang hidup itu bertanya tentang berbagai berita kepada si orang yang sudah mati. Lalu, si orang mati itu mengabari si orang hidup mengenai berbagai hal yang tidak diketahui oleh orang hidup. Kabar berita yang disampaikan oleh orang yang sudah mati itu dapat mengenai hal-hal yang sudah berlalu dan dapat pula mengenai hal-hal yang akan datang. Orang yang sudah mati dapat mengabari orang hidup tentang suatu harta yang dia pendam di suatu tempat yang tidak diketahui oleh siapa pun selain dia. Mungkin pula orang yang sudah mati mengabarkan tentang utang yang belum dilunasinya, lengkap dengan berbagai bukti dan saksi.
Bukti yang lebih kuat dari itu, yaitu ketika orang yang sudah mati mengabari orang yang masih hidup tentang perbuatan yang ia lakukan yang tidak pernah diketahui oleh siapa pun. Bahkan ada orang mati yang mengabarkan kepada orang yang masih hidup bahwa si orang hidup itu kelak akan mendatangi si orang mati pada waktu sekian dan sekian. Lalu ternyata apa yang dikatakan si orang mati itu benar-benar terjadi. Orang mati juga mungkin saja mengabari orang hidup tentang berbagai hal yang si orang hidup tahu pasti bahwa tidak ada yang mengetahui hal tersebut, kecuali dirinya.
Kami telah menyampaikan kisah Sha’b bin Jatstsamah berikut perkataannya kepada ‘Auf bin Malik. Kami juga telah menyampaikan kisah Tsabit bin Qais bin Syammas berikut pemberitahuan yang dia sampaikan kepada orang yang melihat perisai miliknya dan utang yang ditanggungnya.
Ada pula kisah Shadaqah bin Sulaiman al-Ja’fari dan pemberitahuan ayahnya tentang apa yang dia lakukan sepeninggalnya. Ada pula kisah Syabib bin Syaibah dan ucapan ibunya kepadanya setelah kematiannya, “Jazakallahu khairan” serta talkin si ibu dengan ucapan La ilaha illallah. Ada pula kisah Fadhl bin Muwaffiq dengan ayahnya serta pemberitahuan kepadanya tentang pengetahuannya atas kunjungannya.,
Said bin Musayyab berkata, Abdullah bin Salam bertemu dengan Salman al-Farisi. Salah satu dari mereka berkata kepada yang lain, “Apabila engkau mati sebelum aku, temuilah aku dan kabari aku tentang apa yang engkau dapatkan dari Rabb-mu. Apabila aku yang mati sebelum engkau, aku akan menemuimu lalu kukabari engkau.”
Yang lain berkata, “Apakah orang-orang yang sudah mati dapat bertemu dengan orang-orang yang masih hidup?”
Dia menjawab, “Ya. Arwah mereka ada di dalam surga dan dapat bepergian ke mana pun sekehendaknya.”
Said lalu berkata, “Si Fulan akhirnya meninggal dunia. Dia pun menemui temannya dalam tidurnya, lalu dia berkata kepada temannya, ‘Bertawakallah dan bergembiralah. Aku tidak pernah melihat sesuatu apa pun sehebat tawakal.”
Abbas bin Abdul Muththalib berkata: Aku sangat ingin melihat Umar dalam mimpi karena sudah hampir setahun sejak aku terakhir melihatnya. Maka kulihat dia dalam mimpiku sedang mengusap keringat di dahinya seraya berkata, “Inilah masa kosongku. Sungguh tempatku nyaris berguncang kalau bukan karena aku bertemu dengan dia yang penuh kasih dan sayang.”
Ketika Syuraih bin “Abid ats-Tsumali mengalami sakratulmaut, Ghudhaif bin Harits mendatanginya lalu berkata, “Wahai Abul Hajjaj, jika engkau sanggup untuk mendatangi kami setelah engkau mati untuk mengabarkan tentang apa yang kau lihat, lakukanlah itu.”
Ia berkata, “Kata-kata seperti itu diterima di kalangan ahli fikih.”
Perawi melanjutkan, “Setelah itu, sekian lama waktu berlalu tanpa Ghudhaif melihat Syuraih, sampai akhirnya Ghudhaif melihat Syuraih dalam mimpinya. Ghudhaif bertanya kepada Syuraih, ‘Bukankah engkau sudah meninggal dunia?’
Syuraih menjawab, ‘Benar.’
Ghudhaif bertanya lagi, ‘Bagaimana kabarmu?’
Syuraih menjawab, ‘Rabb kami telah menghapuskan dosa-dosa kami dan tidak ada yang Dia binasakan di antara kami, kecuali hanya ahradh.’
Ghudhaif bertanya lagi, ‘Apakah ahradh itu?’
Syuraih menjawab, ‘Orang-orang yang ditunjuk jari dengan kejahatan.’”
‘Abdullah bin Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata, “Aku melihat ayahku dalam tidurku setelah dia meninggal dunia, seakan-akan dia berada dalam sebuah taman. Dia lalu menyerahkan beberapa butir buah apel kepadaku yang kutakwil sebagai anak. Aku lalu bertanya kepadanya, ‘Amal perbuatan apakah yang engkau dapati sebagai amal perbuatan yang paling utama?’ Dia menjawab, ‘Istighfar, wahai anakku.’”
Maslamah bin Abdul Malik melihat ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz setelah Umar meninggal dunia. Dia berkata, “Wahai Amirul Mukminin, laita syi’ri, dalam keadaan yang seperti apakah engkau setelah kematianmu?” ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz menjawab, “Wahai Maslamah, ini adalah masa kosongku. Demi Allah, aku tidak pernah beristirahat merasa nyaman, kecuali di saat ini.” Dia bertanya lagi, “Di manakah engkau wahai amirulmukminin?” Umar menjawab, “Bersama para Pemimpin Hidayah (aimmatul huda) di Surga ‘Adn.”
Shalih al-Barrad berkata, “Aku melihat Zurarah bin Aufa setelah dia meninggal dunia. Aku berkata kepadanya, ‘Rahimakallah (semoga Allah merahmatimu),?” apakah yang ditanyakan kepadamu, lalu apa jawabanmu?’ Akan tetapi, dia berpaling dariku, aku pun bertanya lagi kepadanya, ‘Apakah yang Allah lakukan terhadap dirimu?’ Dia menjawab, ‘Aku dimuliakan dengan kemurahan dan kemuliaan-Nya.’ Aku berkata, ‘Apakah Abul Ala menambah saudara Mutharrif?’ Dia menjawab, ‘Itu di derajat-derajat yang tinggi (ad-darajat al-‘uld).’ Aku bertanya lagi, ‘Amal perbuatan apakah yang paling utama yang kalian miliki?’ Dia menjawab, ‘Tawakal dan pendek angan-angan.’”
Malik bin Dinar berkata, “Aku melihat Muslim bin Yasar setelah dia meninggal dunia. Aku mengucapkan salam kepadanya, tetapi dia tidak membalas salamku. Aku pun bertanya kepadanya, ‘Mengapa engkau tidak membalas salamku?’ Dia menjawab, ‘Aku ini orang mati, jadi bagaimana aku dapat menjawab salammu?’ Aku bertanya lagi, ‘Apakah yang engkau jumpai setelah kematian?’ Dia menjawab, ‘Demi Allah kujumpai berbagai petaka dan guncangan besar yang hebat.’ Aku bertanya sekali lagi padanya, ‘Lalu apa setelah itu?’ Dia menjawab, ‘Apakah yang engkau lihat itu dari yang Maha Pemurah? Dia menerima segala kebaikan kami, mengampuni segala keburukan dan menanggung segala akibat.’”
Dia (perawi) berkata, “Lalu Malik bin Dinar terguncang sehingga dia jatuh pingsan. Setelah itu, dia sakit sampai hatinya terasa sempit dan dia pun meninggal dunia.”
Suhail saudara Hazm berkata, “Aku pernah melihat Malik bin Dinar setelah kematiannya. Aku berkata, ‘Wahai Abu Yahya, laita syi’ri apakah yang engkau bawa menghadap Allah?’ Dia menjawab, ‘Aku membawa dosa-dosa yang banyak yang kemudian dosa-dosa itu dihapus dariku oleh sangka baikku kepada Allah azza wa jalla.’’’
Ketika Raja’ bin Haywah meninggal dunia, seorang perempuan ahli ibadah melihatnya. Perempuan itu bertanya, ‘“Wahai Abul Miqdam, ke mana engkau akan pergi?” Raja’ menjawab, ‘“Kepada kebaikan. Akan tetapi, kami dikejutkan dengan sesuatu setelah kalian yang kami kira kiamat telah terjadi.” Perempuan itu bertanya, “Apakah yang menyebabkan hal itu?” Raja’ menjawab, “Jarrah dan para sahabatnya memasuki surga dengan berbagai bawaan berat mereka, sampai mereka berdesakkan di pintu surga.”
Jamil bin Murrah berkata, “Muwaffiq al-Ijli saudara dan sekaligus sahabat bagiku. Pada suatu hari, aku berkata kepadanya, ‘Siapa pun di antara kita yang meninggal lebih dulu, maka hendaklah dia mendatangi Siapa dari kita yang masih hidup untuk memberitahunya tentang ke mana dia.’ Beberapa waktu kemudian Muwarriq meninggal dunia. Istriku lalu bermimpi melihatnya seakan-akan dia mendatangi kami seperti dulu dia datang (di saat masih hidup). Dia lalu mengetuk pintu seperti dulu dia biasa mengetuk pintu (di saat masih hidup). Istriku berkata, ‘Aku lalu bangun dan kubukakan pintu untuknya seperti dulu aku biasa membukakan pintu untuknya. Kemudian kukatakan kepadanya, ‘Masuklah wahai Abul Mu’tamir sampai saudaramu datang.’ Dia menyahut, ‘Bagaimana mungkin aku dapat masuk sementara aku telah merasakan kematian? Sesungguhnya, aku datang untuk memberi tahu Jamil tentang apa yang Allah lakukan terhadapku. Jadi beri tahulah dia bahwa Allah telah menempatkan aku bersama golongan yang dekat dengan Allah (al-muqarrabun).’”
Ketika Muhammad bin Sirin meninggal dunia, salah seorang sahabatnya dirundung kesedihan yang parah, sampai suatu ketika sahabatnya itu melihatnya di dalam mimpi dengan penampilan yang bagus. Si sahabat pun berkata, “Wahai saudaraku, sungguh telah kulihat engkau dalam keadaan yang menyenangkanku. Bagaimanakah keadaan Hasan?” Muhammad bin Sirin menjawab, “Dia ditinggikan di atasku tujuh puluh derajat.” Si sahabat itu bertanya lagi, “Bagaimana bisa begitu, padahal kami semua melihat bahwa engkau lebih baik dibandingkan Hasan itu?” Muhammad bin Sirin menjawab, “Itu terjadi disebabkan kesedihannya yang panjang.”
Ibnu ‘Uyainah berkata, “Aku pernah melihat Sufyan ats-Tsauri dalam mimpi. Aku berkata kepadanya, ‘Berwasiatlah engkau kepadaku.’ Dia menjawab, ‘Kurangilah mengenal manusia!’”
‘Ammar bin Saif berkata, “Aku melihat Hasan bin Shalih dalam tidurku, lalu aku berkata kepadanya, ‘Sungguh aku berharap untuk berjumpa denganmu. Jadi apakah yang terjadi padamu untuk kau kabarkan kepada kami tentang kejadian itu?’ Hasan menjawab, ‘Bergembiralah karena sesungguhnya aku tidak melihat ada sesuatu apa pun yang melebihi sangka baik kepada Allah.’”
Ketika seorang ahli ibadah bernama Dhaigham meninggal dunia, seorang sahabatnya melihatnya di dalam mimpi. Dhaigham berkata, “Mengapa engkau tidak berdoa untukku?” Si sahabat itu pun menyampaikan suatu alasan. Dhaigham berkata lagi, “Seandainya saja engkau berdoa untukku, maka engkau telah menguntungkan dirimu.”
Setelah Rabi’ah meninggal dunia, salah seorang sahabat perempuan melihatnya di dalam mimpi dengan Rabi’ah mengenakan pakaian yang terbuat dari sutra tebal (istabraq) dan kerudung yang terbuat darj sutra halus (sundus). Padahal ketika dikubur Rabi’ah dikafani dengan kain yang terbuat dari bulu dan kerudung yang terbuat dari wol. Si sahabat itu pun bertanya kepada Rabi’ah, “Apa yang terjadi dengan jubah yang kukafani engkau dengannya dan juga kerudung wol itu?” Rabi’ah menjawab, “Demi Allah, semua itu telah ditanggalkan dariku laly digantikan untukku dengan apa yang engkau lihat sedang kukenakan ini. Kafanku telah dilipat lalu disegel padanya. Kemudian ia diangkat ke golongan yang ditinggikan (‘illiyyin) agar sempurna bagiku pahalanya di Hari Kiamat.” Si sahabat berkata lagi, “Apakah demi semua ini engkau dulu beramal ketika hidup di dunia?” Rabi’ah menjawab, “Tidaklah semua ini ketika kulihat selain bagian dari kemurahan Allah bagi para wali-Nya!”
Sahabat bertanya lagi, “Lantas bagaimana kabar “Abdah binti Abu Kilab?” Rabi’ah menjawab, “Jauh sekali, jauh sekali. Demi Allah dia mendahului kami ke derajat-derajat yang tinggi (ad-darajat al-’ula)!” Sahabatnya pun menukas, “Bagaimana bisa seperti itu? Padahal menurut orang banyak engkau jauh lebih ahli ibadah dibandingkan dia?” Rabi’ah menjawab, “Semua itu karena dia tidak pernah peduli dengan keadaannya di dunia di pagi ataupun di sore hari.”
Sahabatnya bertanya lagi, “Lantas apa yang terjadi pada Abu Malik?” Yang dia maksud adalah Dhaigham. Rabi’ah menjawab, “Allah tabaraka wa ta’ala memberinya rezeki kapan pun sekehendak-Nya.” Sahabatnya bertanya lagi, “Bagaimana kabar Bisyr bin Manshur?” Rabi’ah menjawab, “Sungguh beruntung, sungguh beruntung! Demi Allah dia diberi jauh lebih tinggi dari semua yang diharapkannya!” Si sahabat berkata lagi, “Kalau begitu, perintahkanlah aku untuk melakukan sesuatu yang dengan itu aku dapat mendekatkan diri kepada Allah ta’ala.” Rabi’ah berkata, “Hendaklah engkau banyak berzikir mengingat Allah, niscaya engkau pasti akan membuat orang lain iri kepadamu di dalam kuburmu.”
Ketika seorang ahli ibadah yang bernama ‘Abdul ‘Aziz bin Sulaiman meninggal dunia, seorang sahabat melihatnya dengan mengenakan pakaian berwarna hijau. Sementara di kepalanya bertengger mahkota yang terbuat dari mutiara. Si sahabat itu lalu bertanya kepada ‘Abdul ‘Aziz, “Bagaimana keadaanmu setelah meninggalkan kami? Bagaimana kau dapati rasa kematian itu? Bagaimana engkau melihat segala urusan di sini?” ‘Abdul ‘Aziz menjawab, “Mengenai rasa kematian, janganlah engkau bertanya lagi soal beratnya petaka dan nestapanya. Hanya saja rahmat Allah telah menutup segala aib kami dan tidaklah kita bertemu, kecuali karena anugerah-Nya.”
Shalih bin Basyir berkata, “Setelah Atha’ as-Salimi meninggal dunia, aku melihatnya dalam mimpiku. Aku berkata kepadanya, ‘Wahai Abu Muhammad, bukankah engkau termasuk orang-orang yang sudah mati?’ Atha’ menjawab, ‘Benar!’ Aku bertanya lagi, ‘Ke dalam keadaan seperti apakah engkau dibawa setelah kematianmu?’ Atha’ menjawab, ‘Demi Allah aku dibawa kepada kebaikan yang sangat banyak dan kepada Rabb yang Maha Pengampun lagi Maha Berterima Kasih.’ Aku bertanya lagi, ‘Demi Allah engkau adalah orang yang merasakan kesedihan yang panjang di dunia!’ Atha’ tersenyum mendengar itu, lalu berkata, ‘Demi Allah, Dia telah memberi aku pengganti dari semua itu dengan ketenangan yang sangat panjang dan kesenangan yang kekal!’ Aku bertanya lagi kepadanya, ‘Di derajat yang manakah engkau sekarang berada?’ Atha’ menjawab, ‘Aku bersama mereka, orang-orang yang diberi nikmat dari kalangan para nabi, orang-orang shiddiq, para syuhada dan orang-orang saleh. Sungguh mereka adalah sebaik-baik teman.’”
Setelah ‘Ashim al-Jahdari meninggal dunia, salah seorang keluarganya melihatnya dalam mimpi. Orang itu bertanya, “Bukankah engkau sudah meninggal?” ‘Ashim menjawab, “Benar!” Orang itu bertanya lagi, “Demi Allah, aku berada di salah satu taman surga. Aku bersama beberapa orang sahabatku. Kami berkumpul di setiap malam Jumat dan pagi harinya menemui Bakar bin Abdullah al-Muzani, lalu kami mendengar berita-berita tentang kalian.” Orang itu bertanya lagi, “Apakah itu dengan jasad kalian ataukah ruh-ruh kalian?” Ashim menjawab, “Sangat tidak mungkin jasad kami! Jasad-jasad telah hancur. Sesungguhnya yang saling bertemu adalah ruh-ruh.”
Suatu ketika Fudhail bin ‘Iyadh muncul dalam mimpi. Dia berkata, “Aku tidak melihat hamba memiliki kebaikan apa pun dibandingkan Rabb-nya.”
Murrah al-Hamdani selalu rajin bersujud sampai-sampai tanah merusak dahinya. Ketika dia meninggal dunia, salah seorang keluarganya melihatnya di dalam mimpi dengan dahi Murrah berkilat seperti bintang terang (kaukab durriy). Orang itu pun bertanya kepada Murrah, “Apakah bekas yang kulihat di wajahmu itu?” Murrah menjawab, “Tempat sujudku yang rusak oleh tanah ini telah ditutupi cahaya.”
Orang itu bertanya lagi, “Seperti apakah tempatmu di akhirat?” Murrah menjawab, “Tempat terbaik. Sebuah tempat tinggal yang penghuninya tidak akan pernah berpindah darinya dan mereka tidak akan pernah mati.” Abu Ya’qub al-Qari’ berkata, “Aku pernah bermimpi melihat seorang lelaki kurus tinggi dan orang-orang mengikutinya. Aku pun ber. tanya, ‘Siapakah itu?’ Mereka menjawab, ‘Uwais al-Qarani!’ Aku pun mengikutinya lalu aku berkata kepada Uwais, ‘Berwasiatlah engkay kepadaku, semoga Allah merahmatimu.’ Tetapi mendadak wajah Uwais berubah masam kepadaku. Aku pun berkata lagi kepadanya, ‘Wahai Orang yang dalam bimbingan, bimbinglah aku, semoga Allah merahmatimu.’ Uwais pun menghadapkan tubuhnya kepadaku lalu berkata, ‘Kejarlah rahmat Allah dari mahabah kepada-Nya. Hindarilah siksa-Nya dengan menjauhi maksiat pada-Nya. Janganlah pernah engkau berputus harapan kepada-Nya di tengah semua itu.’ Setelah itu Uwais berpaling lalu pergi meninggalkanku.”
Ibnus Sammak berkata, “Aku pernah melihat Mis’ar dalam mimpi., Aku berkata kepadanya, ‘Apakah amal perbuatan yang kau dapati sebagai yang paling afdal?’ Dia menjawab, ‘Majelis-majelis zikir!’”
‘Ajlah berkata, “Aku pernah melihat Salamah bin Kuhail dalam mimpi. Aku berkata kepadanya, ‘Amal perbuatan apakah yang kau dapat sebagai amal yang paling utama?’ Dia menjawab, ‘Bangun malam!’”
Abu Bakar bin Abu Maryam berkata, “Aku pernah melihat Wafa’ bin Bisyr dalam mimpi setelah dia meninggal. Aku berkata kepadanya, ‘Bagaimanakah keadaanmu wahai Wafa’?’ Dia menjawab, ‘Aku selamat setelah segala usaha keras.’ Aku bertanya lagi, ‘Amal perbuatan apakah yang kau dapat sebagai amal yang paling afdal?’ Dia menjawab, ‘Menangis karena takut kepada Allah “azza wa jalla.”
Laits bin Sa’d berkata, diriwayatkan dari Musa bin Wardan bahwa dia melihat Abdullah bin Abu Habibah dalam mimpi setelah Abdullah meninggal dunia. Dia berkata, “Ditunjukkan kepadaku segala kebaikan dan keburukanku, lalu kulihat pada kebaikan-kebaikanku terdapat buah delima yang kutemukan lalu kumakan. Dan kulihat pada keburukan-keburukanku dua helai sutra yang ada di kopiahku.”
Sunaid bin Dawud berkata: Keponakanku yang bernama Juwairiyah bin Asma’ berkata kepadaku, “Ketika kami berada ‘Abbadan, datanglah seorang pemuda ahli ibadah asal Kufah kepada kami. Pemuda itu kemudian meninggal di sana, di tengah cuaca yang sangat panas. Aku lalu berkata, ‘Ayolah kita tunggu agar cuaca agak dingin.’ Kami pun menunda mengurus jenazah pemuda ahli ibadah itu, sampai akhirnya aku tertidur. Dalam tidurku itu, aku bermimpi mendapati diriku seperti berada di tengah perkuburan. Di situ kulihat sebuah kubah yang terbuat dari permata indah berkilauan. Ketika kulihat kubah itu, tiba-tiba kubah tersebut terbelah lalu muncullah darinya sosok perempuan jelita yang tidak pernah kulihat perempuan secantik itu sebelumnya. Perempuan itu mendekatiku lalu berkata, ‘Demi Allah, janganlah engkau tahan pemuda itu dari kami sampai zuhur.’ Sontak aku terbangun karena terkejut. Aku langsung membereskan urusan jenazah pemuda itu. Kugali lubang kuburan untuknya persis di tempat yang Kulihat terdapat kubah dalam mimpiku, lalu kumakamkan jenazah pemuda itu di situ.”
Abdul Malik bin ‘Attab al-Laitsi berkata: Aku melihat ‘Amir bin ‘Abd Qais dalam mimpiku. Aku lalu bertanya kepadanya, “Amal perbuatan apakah yang menurutmu paling utama?” Dia menjawab, “Segala amal perbuatan yang hanya diniatkan untuk mendapat keridhaan Allah “azza wa jalla.”
Yazid bin Harun berkata: Aku pernah melihat Abul Ala Ayyub bin Miskin dalam mimpiku. Aku bertanya kepadanya, “Apa yang dilakukan Rabb-mu kepadamu?” Dia menjawab, “Dia mengampuni aku.” Aku bertanya lagi, “Dengan apakah gerangan Dia mengampunimu?” Dia menjawab, “Dengan puasa dan shalat.” Aku bertanya lagi, “Apakah engkau melihat Manshur bin Zadan?” Dia menjawab, “Mustahil! Hanya dapat kulihat istananya dari kejauhan.”
Yazid bin Na’amah berkata: Ketika wabah taun melanda, seorang perempuan meninggal. Ayah perempuan itu, lalu bertemu dengan perempuan itu setelah putrinya meninggal. Si ayah berkata, ‘“Wahai putriku, beri tahulah aku tentang akhirat.” Perempuan itu menjawab, “Wahai ayahku, kami menghadapi sebuah perkara yang sangat agung. Kami dapat mengetahui, tetapi tidak dapat melakukan amal perbuatan. Sementara kalian dapat melakukan amal perbuatan tetapi tidak mengetahui. Demi Allah, sesungguhnya satu ucapan tasbih atau dua ucapan tasbih; satu rakaat atau dua rakaat shalat yang tercatat di lembaran amalku, semua itu lebih aku sukai daripada dunia dengan segala isinya.”
Katsir bin Murrah berkata: Aku pernah bermimpi kulihat diriku seakan memasuki sebuah derajat tinggi di dalam surga. Aku lalu berkeliling di situ dan aku takjub karenanya. Tiba-tiba aku berada di tengah wanita-wanita masjid di salah satu sudut surga itu. Kudatangi mereka lalu kuucapkan salam kepada mereka. Aku lalu berkata, “Dengan apakah kalian semua dapat mencapai derajat ini?” Para wanita itu menjawab, “Dengan banyak sujud dan kusairat.’’
Muzahim Maula “Umar bin “Abdul Aziz berkata, dari Fathimah binti Abdul Malik yang merupakan istri dari ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz dia berkata, “Pada suatu malam ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz terbangun dari tidurnya. Dia lalu berkata, ‘Sungguh aku telah mengalami mimpi yang menakjubkan.’ Fathimah bertanya, ‘Ju’iltu fidak (kujadikan diriku sebagai tebusanmu), beri tahu aku apakah itu?’ ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz menjawab, ‘Aku tidak akan memberi tahumu tentang mimpi itu sampai nanti pagi datang.”
Ketika fajar menyingsing, ‘Umar pun keluar lalu melaksanakan shalat kemudian kembali ke tempatnya. Fathimah berkata, “Aku kira dia akan berkhalwat, aku lalu berkata kepadanya, ‘Beri tahulah aku tentang mimpi yang engkau alami itu.’”
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata, “Kulihat seakan-akan diriku telah didorong ke sebuah padang tanah hijau yang sangat luas seolah-olah padang itu adalah permadani hijau. Di situ terdapat sebuah istana putih mengilap laksana perak. Lalu tiba-tiba dari istana itu keluar sesosok makhluk yang kemudian berseru lantang, “Di manakah Muhammad bin ‘Abdullah bin Abdul Muththalib? Di manakah Rasulullah?” Dan muncullah Rasulullah saw. lalu beliau memasuki istana itu.
Kemudian muncul lagi sosok lain dari istana itu, lalu sosok itu berseru lantang, “Di manakah Abu Bakar Shiddiq? Di manakah Ibnu Abi Quhafah?” Dan muncullah Abu Bakar lalu dia memasuki istana itu. Kemudian muncul lagi sosok lain dari istana itu, lalu sosok itu berseru lantang, “Di manakah Umar bin Khaththab?” Dan muncullah Umar bin Khaththab lalu dia memasuki istana itu. Kemudian muncul lagi sosok lain dari istana itu, lalu sosok itu berseru lantang, “Di manakah ‘Utsman bin ‘Affan?” Dan muncullah ‘Utsman bin ‘Affan lalu dia memasuki istana itu. Kemudian muncul lagi sosok lain dari istana itu, lalu sosok itu berseru lantang, “Di manakah ‘Ali bin Abi Thalib?” Dan muncullah “Ali bin Abi Thalib lalu dia memasuki istana itu. Kemudian muncul lagi sosok lain dari istana itu, lalu sosok itu berseru lantang, “Di manakah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz?”
Sampai di situ Umar bin Abdul Aziz berkata: Aku pun bangkit lalu aku memasuki istana itu. Aku lalu didorong kepada Rasulullah saw. dengan banyak orang di sekeliling beliau. Lalu aku bertanya kepada diriku sendiri, “Di manakah aku dapat duduk?” Aku pun duduk di samping ‘Umar bin Khathab, ayahku. Lalu kulihat Abu Bakar berada di sebelah kanan Rasulullah saw. Umar di sebelah kiri Rasulullah saw. Lalu kulihat lagi Rasulullah saw., ternyata di antara Rasulullah saw. dan Abu Bakar ada sesosok lelaki. Aku pun bertanya, “Siapakah lelaki yang berada di antara Rasulullah saw. dan Abu Bakar itu?” Terdengarlah jawaban, “Itu adalah “Isa bin Maryam. Lalu kudengar suara tanpa rupa yang terdapat tirai cahaya antara aku dengan suara itu, ia berkata, “Wahai ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, berpeganglah pada apa yang engkau telah berada di atasnya dan bertetap hatilah engkau pada apa yang engkau telah berada di atasnya.”
“Umar melanjutkan, “Setelah itu, sepertinya aku telah diizinkan untuk keluar. Aku pun bangkit, lalu aku keluar dari istana itu: Lalu aku menoleh ke belakangku, ternyata di sana ada ‘Utsman bin ‘Affan. Dia juga keluar dari istana itu seraya berkata, ‘Alhamdulillah segala puji bagi Allah yang telah menolongku.’ Lalu Kulihat ‘Ali bin Abi Thalib juga keluar dari istana itu seraya berkata, ‘Alhamdulillah segala puji bagi Allah yang telah mengampuniku.’”
Said bin Abu ‘Arubah berkata, dari ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, “Aku pernah bermimpi melihat Rasulullah saw. bersama Abu Bakar dan ‘Umar bin Khathab sedang duduk bersama beliau. Aku lalu mengucap salam kepada mereka. kemudian aku duduk. Ketika aku duduk, lalu datanglah ‘Ali dan Mu’awiyah. Mereka berdua dimasukkan ke dalam sebuah rumah lalu didoronglah pintu itu untuk mereka berdua dan aku melihat semua itu. Dalam waktu yang singkat, kulihat ‘Ali keluar dari rumah itu seraya berkata, ‘Telah ditetapkan untukku, demi Pemilik Ka’bah!’ Dan tidak lama Setelah itu kulihat Muawiyah juga keluar dari rumah tersebut mengikuti Ali seraya berkata, ‘Aku telah diampuni, demi Pemilik Ka’bah!’”
Hammad berkata, dari Abu Hasyim: Seseorang mendatangi ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz. Orang itu berkata, “Aku bermimpi melihat Rasulullah saw. dalam tidurku. Beliau bersama Abu Bakar di sebelah kanan dan Umar di sebelah kiri. Kemudian datanglah dua orang lelaki yang saling berseteru, sementara engkau duduk di depan beliau. Lalu Rasulullah bersabda kepadamu, “Wahai ‘Umar, kalau engkau ingin berbuat, berbuatlah seperti yang dilakukan dua orang ini!” Yang beliau maksud adalah Abu Bakar dan ‘Umar.
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz pun meminta orang itu bersumpah. Dia berkata, “Demi Allah, apakah engkau benar-benar mengalami mimpi seperti itu?” Orang itu menjawab pertanyaan ‘Umar itu dengan bersumpah dan ‘Umar pun menangis.
‘Abdurrahman bin Ghanm berkata: Aku melihat Mu‘adz bin Jabal tiga hari setelah dia meninggal dunia dengan mengendarai kuda be. lang-belang. Di belakangnya ada beberapa orang berkulit putih dengan mengenakan pakaian hijau yang juga mengendarai kuda belang. Mu‘adz berada di depan mereka seraya berkata,
“Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui, apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang dimuliakan.” (QS. Yasin [36]: 26-27)
Kemudian Mu‘adz menoleh ke kanan dan kirinya sembari berucap: Wahai Ibnu Rawahah, wahai Ibnu Mazh‘un!
“Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi janji-Nya kepada kami dan telah (memberi) kepada kami tempat ini sedang kami (diperkenankan) menempati tempat dalam surga di mana saja yang kami kehendaki.’ Maka surga itulah sebaik-baik balasan bagi orang-orang yang beramal.” (QS. az-Zumar [39]: 74)
Lalu dia menyalamiku dan mengucapkan salam kepadaku. Qabishah bin ‘Uqbah berkata: Aku melihat Sufyan ats-Tsauri dalam tidurku setelah dia meninggal dunia. Aku berkata kepadanya, “Apakah gerangan yang dilakukan Allah terhadapmu?” Dia menjawab dengan syair berikut ini:
Kulihat Rabb-ku dengan mataku, Dia berkata “Selamat dengan ridha-Ku untukmu Ibnu Sa’id Kau berdiri shalat ketika malam gelap datang Dengan Rata sedih serta kalbu pendamba Jadilah pilihlah olehmu istana yang kau mau Sambangi kuu karena Aku tak jauh darimu!”
Sufyan bin ‘Uyainah berkata: Aku pernah bermimpi melihat Sufyan ats-Tsauri setelah dia meninggal dunia. Dia terbang di surga dari satu pokok kurma ke pohon lainnya. Lalu dari satu pohon ke pokok kurma seraya berkata,
“Untuk yang serupa ini hendaklah beramal orang-orang yang beramal.” (QS. ash-Saffat [37]: 61)
Lalu dia ditanya, “Dengan apakah engkau dimasukkan ke dalam surga?” Dia menjawab, “Dengan wara’, dengan wara.’? Ditanyakan lagi kepadanya, “Bagaimana kabar Ali bin Ashim?” Dia menjawab, “Kami tidak melihatnya, kecuali laksana bintang!”’ Syu’bah bin Hajjaj dan Mis’ar bin Kidam adalah dua orang hafiz yang keduanya juga sangat terhormat. Abu Ahmad al-Yazidi berkata: Kulihat mereka berdua setelah mereka berdua meninggal dunia. Aku berkata, ““Wahai Abu Bistham, apakah yang Allah lakukan terhadapmu?” Dia menjawab, “Waffaqakallah,” untuk menghapal apa yang
kukatakan:
Tuhanku memberi aku sebuah qubah di surga Dengan seribu pintu terbuat dari perak permata Ar-Rahman berkata kepadaku, Dia yang Mengetahui segala pengetahuan yang tak terhingga Nikmatlah dekat-Ku Rarena Aku ridha padamu Dan pada hamba-Ku Mis’ar berdiri di malam hart Menziarahiku akan menjadi kemuliaan bagi Mis’ar ‘Kan kusibakkan wajah muliaku agar dia melihat Indah yang kulakukan pada mereka yang beribadah Dan tak pernah Mungkar di masa yang telah talu.”
Ahmad bin Muhammad al-Kindi berkata: Aku pernah melihat Ahmad bin Hambal dalam mimpiku. Aku lalu berkata kepadanya “Wahai Abu ‘Abdillah apakah yang Allah lakukan padamu?” Dia men. jawab, “Allah mengampuniku. Lalu Allah berkata kepadaku, ‘Wahai Ahmad, engkau telah dipukul enam puluh kali cambukan demi Aku? Kujawab, ‘Ya, wahai Rabb!’ Allah berkata lagi kepadaku, ‘Ini wajah-Ku telah kumubahkan bagimu, maka lihatlah!’”
Abu Bakar Ahmad bin Muhammad al-Hajjaj berkata: Seseorang asal Tharasus menuturkan kepadaku, dia berkata, “Aku telah berdoa kepada Allah ‘azza wa jalla agar Dia memperlihatkan kepadaku para penghuni kubur agar aku dapat bertanya kepada mereka tentang Ahmad bin Hambal, apakah yang Allah lakukan padanya. Sampai akhirnya setelah sepuluh tahun berlalu aku melihat dalam mimpi seakan-akan para penghuni kubur berdiri di atas kuburan mereka, lalu mereka berbicara kepadaku. Mereka berkata, ‘Hai kau, berapa lamakah engkau berdoa memohon kepada Allah agar kami diperlihatkan kepadamu? Lalu engkau bertanya kami tentang seseorang yang sejak dia berpisah dengan kalian para malaikat terus saja menghiburnya di bawah pohon Thuba.’”
Abu Muhammad “Abdul Haqq, ‘“Kata-kata yang berasal dari penghuni kubur ini sebenarnya merupakan bentuk informasi mengenai ketinggian derajat Ahmad bin Hambal, keluhuran tempatnya dan keagungan kedudukannya sehingga mereka tidak mampu untuk menjelaskan tentang keadaannya yang sesungguhnya serta mengenai tempat yang dia ada di dalamnya dan apa yang semakna dengannya.”’
Abu Ja’far as-Saqa sahabat Bisyr bin Harits berkata, “Aku melihat Bisyr al-Hafi dan Ma‘ruf al-Karkhi datang. Aku lalu bertanya, ‘Dari manakah kalian?’ Mereka berdua menjawab, ‘Dari surga Firdaus. Kami mengunjungi Musa Kalimullah as.’”
‘Ashim al-Jazari berkata: Aku melihat dalam tidur seakan-akan aku bertemu dengan Bisyr bin Harits. Aku lalu berkata kepadanya, “Dari manakah engkau wahai Abu Nashr?” Dia menjawab, “Dari ‘illiyydan.” Saya bertanya lagi, “Bagaimana kabar Ahmad bin Hambal?” Dia menjawab, “Kutinggalkan dia bersama Abdul Wahhab al-Warraq di hadapan Allah ‘azza wa jalla ketika mereka berdua sedang makan minum.” Aku berkata kepadanya, “Lantas bagaimana dengan engkau?” Dia menjawab,
“Allah mengetahui sedikitnya kesukaanku pada makanan sehingga Dia memubahkan aku untuk melihat kepada-Nya.”
Abu Ja’far as-Saqqa berkata: Aku melihat Bisyr bin Harits dalam tidur setelah dia meninggal dunia. Aku berkata kepadanya, “Wahai Abu Nashr, apakah yang dilakukan Allah padamu?” Dia menjawab, “Dia berlaku lembut padaku dan merahmatiku.” Dia berkata kepadaku, “Wahai Bisyr, apabila engkau bersujud di dunia kepada-Ku di atas bara api, hal itu belum dapat menebus kesyukuran atas apa yang Aku telah memenuhi hati pada hamba-Ku darimu.” Dia memubahkan bagiku setengah surga, lalu aku berkeliling di dalamnya sekehendakku. Dia menjanjikan kepadaku bahwa Dia akan mengampuni siapa saja yang mengiring jenazahku.
Aku lalu bertanya lagi, “Bagaimanakah kabar Abu Nashr at-Tammar?”’
Dia menjawab, “Dia unggul melebihi orang-orang dengan kesabarannya atas cobaan dan kefakiran yang dialaminya.”
“Abdul Haqq berkata: Tampaknya yang dimaksud oleh Bisyr dengan ucapan ’setengah surga‘ adalah setengah kenikmatan surga karena kenikmatan surga memang dapat dibagi menjadi dua; setengah kenikmatan rohani dan setengah kenikmatan jasmani. Mula-mula mereka (para ahli surga) menikmati kenikmatan rohani. Apabila kemudian ruh-ruh dikembalikan ke dalam jasad, ditambahkanlah untuk mereka kenikmatan jasmani itu dengan kenikmatan rohani.
Ulama lain berkata, “Kenikmatan surga tersusun dari ilmu dan amal; bagian manusia dari amalnya lebih sempurna daripada bagiannya dari pada ilmu. Wallahu a’lam.”
Seorang saleh berkata, “Aku melihat Abu Bakar Syibli dalam mimpi, seakan-akan dia sedang duduk di majelis Rusafah di tempat yang biasa menjadi tempatnya duduk (semasa hidupnya). Dia mengenakan pakaian indah, lalu aku bangkit mendekatinya, kuucapkan salam kepadanya dan aku duduk di hadapannya. Aku berkata kepadanya, “Siapakah sahabatmu yang paling dekat denganmu?” Dia menjawab, “Mereka adalah yang paling rajin berzikir mengingat Allah, paling menegakkan hak Allah dan paling cepat mengejar keridhaan Allah.”
Abu Abdurrahman as-Sahili berkata: Aku melihat Maisarah bin Sulaim dalam mimpi setelah dia meninggal dunia. Aku berkata kepadanya, “Ketiadaan dirimu begitu lama.” Dia menyahut, “Perjalanan ini amatlah panjang.” Aku bertanya kepadanya, “Apakah yang engkau hadapi dalam perjalanan itu?” Dia menjawab, “Aku diberi keringanan karena kami dulu suka memberi fatwa berupa rukhsah.” Aku bertanya lagi, “Apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Dia menjawab “Tindakan mengikuti atsar dan bersahabat dengan orang-orang baik akan menyelamatkan dari neraka serta mendekatkan kepada al-Jabbar.
Abu Ja’far adh-Dharir berkata: Aku melihat “Isa bin Zadzan dalam mimpi setelah dia meninggal dunia. Aku bertanya, “Apakah yang dila. kukan Allah terhadapmu?” Dia menjawab dengan syair berikut ini:
Apabila Rau lihat para bidadari kekal di sekelilingku Dengan cawan-cawan pada mereka untuk minum Mereka bersenandung dengan seluruh al-Kitab Mereka berjalan dengan pakaian panjang terulur
Salah seorang sahabat Juraij berkata, “Aku melihat diriku dalam mimpi seakan-akan aku mendatangi perkuburan yang ada di Mekkah, Kulihat pada semua kuburan di situ terdapat kemah-kemah. Di antaranya ada satu kuburan dengan beberapa kemah di atasnya, dengan fusthath dan sidrah (pohon bidara). Aku pun mendatangi kuburan itu, lalu aku masuk seraya mengucapkan salam. Ternyata di situ terdapat Muslim bin Khalid az-Zanji. Kuucapkan salam kepadanya lalu aku berkata, “Wahai Abu Khalid, mengapa semua kuburan di sini memiliki kemah, sementara hanya kuburanmu yang memiliki kemah, fusthath, serta sidrah?” Dia menjawab, “Sesungguhnya aku banyak berpuasa.” Aku bertanya lagi, “Di manakah kuburan Ibnu Juraij? Tunjukkan kepadaku. Sungguh dulu aku biasa duduk-duduk bersamanya dan aku senang untuk mengucapkan salam kepadanya.” Dia lalu berkata seraya telunjuk tangannya dia putar-putar, “Mustahil! Di manakah kuburan Juraij? Catatannya diangkat ke ‘illiyyiin.”
Hammad bin Salamah bermimpi melihat salah seorang sahabatnya, lalu dia bertanya kepada sahabatnya itu, “Apakah yang Allah lakukan terhadapmu?” Si sahabat menjawab, “Allah berkata kepadaku, ‘Telah Panjang nestapamu di dunia, maka hari ini kupanjangkan bagimu istirahatmu sebagai istirahat bagi orang-orang yang lelah.’”
Demikianlah masalah ini amatlah panjang untuk dibahas. Apabila Anda tidak mau memercayai semua ini dengan Anda berkata bahwa semua ini hanya mimpi-mimpi yang sama sekali tidak maksum dari kesalahan, maka cobalah Anda berpikir tentang mereka yang melihat sahabat, kerabat, atau karib mereka dalam mimpi. Kemudian, orang-orang yang dilihat dalam mimpi itu mengabari mereka yang mengalami mimpi tersebut tentang berbagai hal yang tidak diketahui, kecuali hanya oleh mereka. Hal ini seperti mengabarkan kepada orang yang bersangkutan tentang harta yang dipendam atau lainnya; atau mengingatkan orang yang mengalami mimpi tentang sesuatu yang belum terjadi; atau menyampaikan berita gembira dengan sesuatu yang kelak akan terwujud. Lalu ternyata sesuatu itu benar-benar terwujud persis seperti yang dikatakan dalam mimpi; atau orang yang dilihat dalam mimpi itu mengabari orang yang bermimpi mengenai kematian salah seorang anggota keluarganya atau kejadian lain yang kemudian terjadi persis seperti yang dikatakan dalam mimpi.
Kejadian-kejadian seperti ini amat sering terjadi, sehingga sebenarnya berapa banyaknya kejadian seperti itu hanyalah Allah swt. yang mengetahuinya. Sementara manusia hanya ikut serta dalam semua kejadian itu. Sungguh kami dan orang-orang lain telah melihat banyak keajaiban dari semua kejadian itu.
Batallah orang yang menyatakan bahwa semua mimpi itu sebenarnya merupakan tumpukan pengetahuan dan kepercayaan yang tertimbun di dalam diri manusia hingga muncul pada diri orang yang mengalaminya di saat dirinya terputus dari berbagai kesibukan fisik karena tidur. Pendapat seperti ini jelas batil dan mustahil karena jiwa manusia tidak pernah dapat mengetahui berbagai hal yang disampaikan oleh orang-orang yang sudah mati. Hal tersebut juga tidak pernah tebersit dalam diri mereka dan tidak ada tanda-tanda apa pun padanya.
Kami tidak pernah menyangkal bahwa mungkin saja yang terjadi adalah memang seperti itu; bahwa mimpi terjadi akibat bisikan jiwa dan bayangan kepercayaan orang yang mengalaminya. Bahkan banyak dari orang-orang yang mengalami mimpi sebenarnya tidak mengalami apa-apa selain hanya mendapatkan bayangan dari kepercayaan mereka sendiri, baik bayangan yang selaras dengan kepercayaan itu maupun yang tidak selaras dengan itu karena mimpi memang terbagi menjadi tiga macam, yaitu:
- Mimpi yang berasal dari Allah swt.,
- Mimpi yang berasal dari setan, dan
- Mimpi yang berasal dari bersitan jiwa.
Selain itu, mimpi yang benar (ar-ru’ya ash-shahihah) juga terbagi menjadi beberapa macam sebagai berikut.
- Mimpi yang merupakan ilham yang Allah masukkan ke dalam hati hamba-Nya. Mimpi seperti ini sebenarnya merupakan firman Allah yang diberikan kepada hamba-Nya dalam tidur si hamba. Contohnya adalah seperti yang dialami oleh “Ubadah bin Shamit dan lainnya.
- Mimpi yang berisi tamsil perumpamaan” yang ditujukan kepada orang yang mengalaminya.
- Mimpi berupa perjumpaan orang yang mengalaminya dengan ruh-ruh orang yang sudah meninggal dunia, baik dari kalangan keluarga, kerabat, sahabatnya, maupun orang-orang selain itu seperti yang sudah kami paparkan di atas.
4, Mimpi yang berupa naiknya ruh orang yang mengalaminya ke hadirat Allah swt., lalu orang tersebut berbicara dengan-Nya.
- Mimpi yang berupa masuknya ruh orang yang bersangkutan ke dalam surga lalu dia menyaksikan surga dan lainnya.
Jadi, perjumpaan ruh-ruh orang yang masih hidup dengan ruh orang-orang yang sudah meninggal dunia merupakan salah satu jenis mimpi yang benar (ar-ru’ya ash-shahihah), yang menurut semua orang mimpi seperti itu termasuk di antara hal-hal yang dapat diindra (al-mahsusat).
Di sinilah titik perselisihan yang muncul di tengah masyarakat. Ada orang menyatakan bahwa semua pengetahuan terpendam di dalam jiwa manusia. Aktivitas jiwa manusia dengan alam indrawi (‘alam al-hiss)-lah yang menghalangi jiwa untuk dapat menelaah semua pengetahuan itu. Ketika jiwa “bersendirian” di saat tidur, ia pun akan melihat sebagian dari berbagai pengetahuan itu sesuai dengan kesiapannya. Itulah sebabnya ketika jiwa “bersendirian” saat terjadinya kematian, ia menjadi sempurna dalam mengetahui berbagai pengetahuan itu.
Pendapat seperti ini mengandung kebenaran juga kesalahan, sehingga tidak boleh ditolak semuanya tetapi juga tidak boleh diterima semuanya. Kesendirian jiwa yang dapat membuatnya melihat berbagai ilmu dan pengetahuan memang tidak dapat terjadi tanpa kesendirian. Akan tetapi, kalaupun jiwa bersendiri secara total, ia tetap tidak akan dapat mencapai ilmu Allah yang telah mengutus rasul-Nya, sebagaimana jiwa yang mengalami itu juga tidak akan mampu mencapai berbagai hal rinci yang disampaikan oleh para rasul di masa silam oleh bangsa-bangsa yang telah lalu.
Jiwa yang mengalami hal itu juga tidak bisa menjelaskan tentang hal-hal rinci yang terjadi di akhirat, tanda-tanda kiamat, serta rincian perintah, larangan, nama-nama Allah, sifat-sifat Allah, perbuatan Allah dan berbagai hal lain yang tidak dapat diketahui, kecuali hanya melalui wahyu. Hanya saja, kondisi jiwa yang bersendiri (berkhalwat) memang dapat membantu jiwa untuk mengetahui berbagai hal tersebut, sebagaimana kondisi seperti itu juga dapat membuat jiwa lebih mudah, lebih dekat, dan lebih banyak dapat menggali berbagai pengetahuan itu dari sumbernya, sehingga ia mendapatkan lebih banyak dari yang didapatkan oleh jiwa yang tenggelam dalam kesibukan badaniah.
Ada pula yang menyatakan bahwa orang yang bermimpi memiliki berbagai ilmu pengetahuan yang Allah ciptakan di dalam jiwanya secara langsung tanpa melalui sebab apa pun.
Pendapat seperti ini adalah pendapat orang-orang yang menafikan sebab, hikmah, dan daya. Ini adalah pendapat orang yang menyelisihikan syariat, akal, dan fitrah.
Ada pula yang menyatakan bahwa mimpi sebenarnya adalah himpunan perumpamaan tamsil yang Allah ciptakan bagi hamba-Nya sesuai dengan kesiapan si hamba yang bersangkutan, yang terasuki oleh Malaikat Ru’ya (malaikat mimpi). Terkadang ia berupa perumpamaan tamsil yang dibuat dan terkadang ia berupa sesuatu yang sama dengan apa yang dilihat oleh orang yang mengalami mimpi yang bersangkutan, untuk kemudian apa yang dilihatnya itu ternyata persis sesuai dengan kenyataan yang terjadi.
Pendapat terakhir ini lebih dekat dengan kebenaran daripada dua pendapat sebelumnya. Akan tetapi, mimpi tidak hanya terjadi karena itu. Alih-alih, mimpi memiliki berbagai sebab lain seperti yang sudah disebutkan sebelumnya. Seperti perjumpaan antar ruh, saling tukar berita antar ruh, tindakan malaikat menyampaikan sesuatu ke diri manusia atau berupa penglihatan ruh terhadap berbagai hal secara langsung tanpa perantara apa pun.
Dalam kitab an-Nafs wa ar-Rah, Abu ‘Abdullah bin Mandah menyampaikan sebuah hadis dari Muhammad bin Humaid, ‘Abdurrahman bin Maghra ad-Dausi menuturkan kepada kami, Azhar ibn ‘Abdullah al-Azdi menuturkan kepada kami, dari Muhammad bin ‘Ijlan, dari Salim bin ‘Abdullah, dari ayahnya, dia berkata: Suatu ketika ‘Umar bin Khathab bertemu dengan ‘Ali bin Abi Thalib. ‘Umar ra. lalu berkata kepada “Ali ra., “Wahai Abu Hasan, mungkin saja engkau ada dan kami tak ada; atau kami ada dan engkau tak ada. Ada tiga perkara yang kutanyakan kepadamu tentang itu. Apakah engkau memiliki pengetahuan tentang itu?” ‘Ali bin Abi Thalib menjawab, “Apakah itu?” ‘Umar berkata, “Seseorang yang mencintai seseorang tanpa orang itu melihat kebaikan apa pun padanya dan seseorang yang membenci seseorang tanpa orang itu melihat keburukan apa pun padanya.” ‘Ali lalu berkata, “Ya, aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya ruh-ruh itu adalah seperti pasukan yang dikerahkan yang saling bertemu di angkasa, lalu mereka mencium aroma. Lalu siapa pun yang saling mengenal di antara mereka, mereka akan bersatu; dan siapa pun yang saling mengingkari di antara mereka, mereka akan berselisih.
Umar berkata, “Itu satu!”. Kemudian Umar ra. berkata, “Seseorang yang menuturkan sesuatu ketika dia melupakan apa yang dituturkannya itu; tetapi ketika dia melupakan apa yang dituturkannya itu justru saat itulah dia mengingatnya.”
‘Ali ra. menyahut, “Ya. Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Tidaklah di dalam semua hati itu terdapat satu hati, kecuali ia memiliki awan penghalang seperti awan penghalang rembulan ketika rembulan bersinar. Ketika rembulan terhalang awan itu, rembulan pun menjadi gelap dan ketika awan penghalang itu menghilang, rembulan pun menjadi terang. Ketika hati berbicara, tiba-tiba awan penghalang datang sehingga ia menjadi lupa. Dan ketika awan penghalang itu menghilang, ia pun ingat.’”
‘Umar ra. lalu berkata, “Itu dua.”
‘Umar ra. lalu berkata, “Seseorang mengalami mimpi. Di antaranya ada yang benar dan di antaranya ada yang dusta.”
‘Ali ra. menyahut: Ya. Aku telah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada seorang pun hamba yang tidur dengan tidur yang lama, kecuali dia dinaikkan ruhnya ke arsy. Orang yang tidak terbangun di bawah arsy, maka itulah mimpi yang benar; dan orang yang terbangun di bawah arsy, maka itulah mimpi yang dusta.”
‘Umar ra. berkata, “Ada tiga yang kuminta, segala puji bagi Allah yang telah membuatku berhasil mendapatkannya sebelum mati.”
Ibnu Lahi’ah telah meriwayatkan dari ‘Utsman bin Nu’aim ar-Ru‘aini, dari Abu ‘Utsman al-Ashbahi, dari Abu Darda’, dia berkata.: Apabila seseorang tidur, ruhnya akan dinaikkan hingga mendatangi arsy. Apabila ia suci, ia akan diizinkan untuk bersujud. Namun, apabila ia junub, ia tidak diizinkan untuk bersujud.
Ja’far bin ‘Aun meriwayatkan, dari Ibrahim al-Hajari, dari Abu] Ahwash, dari ‘Abdullah bin Mas’ud bahwa dia berkata, “Sesungguhnya ruh-ruh adalah pasukan yang dikerahkan yang saling berjumpa dan dapat mencium seperti menciumnya kawanan kuda. Lalu siapa pun yang saling mengenal di antara mereka, mereka akan bersatu; dan siapa pun yang saling mengingkari di antara mereka, mereka akan berselisih.”
Semua orang, baik yang dulu maupun yang sekarang telah mengetahui semua ini dan menyaksikan kebenarannya. Jamil bin Ma’mar al-Udzri bersyair:
Siangku terus bergolak ketika bertemu Ruh Aku dan ruhnya saat malam dalam tidur
Apabila dikatakan bahwa orang yang sedang tidur dapat melihat serta berbicara dan berbincang dengan orang lain yang masih hidup; yang mungkin saja jarak antara mereka berdua sangat jauh atau orang yang dilihat dalam keadaan terjaga, tanpa ruhnya berpisah dari tubuhnya. Jadi, bagaimana mungkin ruh mereka berdua dapat bertemu?
Tanggapan atas pernyataan itu adalah bahwa mungkin saja mimpi itu terjadi sebagai perumpamaan yang dibuat oleh Malaikat Mimpi bagi orang yang sedang tidur atau mungkin pula itu merupakan bersitan jiwa orang yang mengalami mimpi yang muncul dalam tidurnya, seperti yang dikatakan oleh Habib bin ‘Aus dalam syair berikut ini:
Berhati-hatilah pada Kepalsuan datang padamu Dari bersitan jiwamu yang sedang masyqul
Terkadang dua ruh begitu cocok sebagaimana hubungan satu ruh begitu kuat dengan ruh lainnya. Hal ini membuat masing-masing dari kedua ruh itu dapat saling merasakan perasaan mereka antara satu sama lain. Sementara ruh yang bersangkutan tidak dapat merasakan apa yang terjadi pada ruh, selain sahabatnya itu disebabkan begitu dekatnya hubungan antara dia dengan sahabatnya. Berkenaan dengan hal ini, manusia telah menyaksikan berbagai keajaiban.
Kesimpulan dari pembahasan ini bahwa ruh orang-orang yang masih hidup dapat saling bertemu dalam tidur, sebagaimana halnya ruh-ruh orang-orang yang masih hidup dapat bertemu dengan ruh-ruh orang-orang yang sudah mati.
Sebagian ulama salaf berkata bahwa sebenarnya ruh-ruh manusia bertemu di angkasa untuk kemudian mereka saling mengenal atau saling mengingkari. Setelah itu, Malaikat Mimpi mendatangi ruh-ruh tersebut dengan segala kebaikan atau keburukan yang dipertemukan dengan ruh-ruh itu.
Ulama salaf ini menyatakan bahwa Allah telah memberi kuasa untuk menyampaikan mimpi yang benar kepada satu malaikat yang Dia ajari dan ilhami pengetahuan tentang setiap jiwa secara pasti lengkap dengan namanya, kehidupan agamanya, kehidupan dunianya, tabiatnya dan pengetahuannya, tanpa ada sedikit pun yang tidak jelas padanya dan tidak pula ada kekeliruan di dalamnya.
Caranya adalah dengan datang kepada malaikat itu sebuah naskah (nuskhah) yang berasal dari Ilmu Kegaiban Allah (‘ilm ghaib Allah) dari Ummul Kitab yang pasti akan mengenai si individu yang bersangkutan, baik itu berupa kebaikan maupun keburukan dalam urusan agama dan dunianya. Akan tetapi, dalam penyampaiannya dibuat berbagai perumpamaan dan bentuk-bentuk (simbol-simbol) sesuai dengan kebiasaannya.
Terkadang sang malaikat menyampaikan kabar gembira kepada si individu yang bersangkutan dengan suatu kebaikan yang sudah atau akan terjadi. Terkadang pula sang malaikat memperingatkan individu tersebut atas suatu kemaksiatan yang sudah dia lakukan atau baru dia niatkan. Sang malaikat juga mengingatkan si individu atas suatu hal buruk yang sebab terjadinya telah muncul, agar si individu dapat menghadapi sebab tersebut dengan sebab lain yang akan menangkal keburukan itu. Dan berbagai macam hikmah dan kemaslahatan yang Allah letakkan semua itu ke dalam mimpi yang bersangkutan sebagai nikmat, rahmat, kebaikan, peringatan, dan pemberitahuan dari-Nya. Allah menjadikan salah satu jalannya adalah melalui perjumpaan ruh-ruh yang saling mengingat dan saling mengenal.
Berapa banyak orang yang tobat, kebaikan, kezuhudan, dan perhatiannya kepada akhirat muncul gara-gara mimpi yang dia alami atau sesuatu yang diperlihatkan kepadanya. Berapa banyak orang yang menjadi kaya, menemukan harta karun, mengetahui barang terpendan melalui mimpi.
Dalam Kitab al-Mujalasah karya Abu Bakar Ahmad bin Marwan al-Maliki, dari Ibnu Qutaibah, dari Abu Hatim, dari Ashma’i, dari Mu’tamar bin Sulaiman, dari seseorang yang menuturkan kepadanya dia berkata: Suatu ketika kami keluar dalam sebuah perjalanan. Saat itu kami bertiga. Salah seorang dari kami lalu tidur dan kami melihat, muncul seperti lentera dari hidung orang itu. Lentera itu kemudian memasuki sebuah gua di dekat orang itu, lalu lentera itu kembali dan kembali masuk ke dalam hidung orang itu. Setelah itu orang itu bangun dari tidurnya lalu mengusap wajahnya. Dia berkata, “Aku melihat sesuatu yang menakjubkan. Kulihat di gua ini ada anu anu…” Kami pun memasuki gua itu dan kami temukan harta di dalamnya.
Ada pula kisah Abdul Muththalib yang ditunjukkan letak sumur zamzam melalui sebuah mimpi dan dia juga menemukan harta terpendam yang ada di tempat itu.
Syahdan ‘Umair bin Wahb didatangi sesosok makhluk dalam mimpinya. Sosok itu lalu berkata, “Bangkitlah engkau ke tempat anu dan anu dari rumahmu. Lalu galilah tempat itu niscaya engkau akan menemukan harta milik ayahmu.” Rupanya, ayah ‘Umair telah memen. dam suatu harta di tempat itu sebelum kematiannya tanpa dia sempat berwasiat mengenai harta itu.
“Umair lalu bangun dari tidurnya dan kemudian menggali di tempat yang diperintahkan kepadanya itu. Ternyata di tempat itu dia menemukan uang sepuluh ribu dirham dan banyak kepingan emas. Semua itu dia gunakan untuk melunasi utang-utangnya sehingga membaiklah kehidupannya bersama keluarganya.
Semua kejadian itu terjadi tidak lama setelah ‘Umair masuk Islam. Salah seorang anak perempuannya yang masih kecil berkata, “Wahai ayahku, Tuhan kita yang menunjukkan kita untuk mengikuti agama-Nya tentu lebih baik daripada Hubal dan “Uzza! Karena kalau Dia tidak seperti itu, Dia pasti tidak akan mewariskan semua harta itu kepadamu. Padahal engkau menyembah-Nya baru beberapa hari saja!”
‘Ali bin Abi Thalib al-Qairuwani al-Abir menyatakan bahwa tidaklah peristiwa yang dialami oleh ‘Umair dan keberhasilannya mengeluarkan harta terpendam melalui petunjuk mimpi itu lebih menakjubkan daripada sebuah peristiwa yang telah dialaminya dan disaksikannya sendiri terjadi di kota tempatnya tinggal; yaitu kejadian yang dialami oleh Abu Muhammad Abdullah al-Baghanisyi. Abu Muhammad adalah seorang lelaki yang masyhur dengan mimpinya bertemu dengan orang-orang yang sudah mati yang ditanyai olehnya mengenai berbagai perkara gaib untuk kemudian dia tuturkan semua jtu kepada keluarga dan karib-kerabatnya sehingga hal itu membuatnya terkenal, disebabkan saking banyaknya apa yang dituturkannya itu.
Suatu ketika, seseorang mendatanginya dan mengadukan kepadanya ihwal karibnya yang meninggal dunia tanpa meninggalkan wasiat apa-apa, padahal diketahui bahwa si karib itu memiliki harta yang tidak diketahui tempatnya. Pada malam harinya, Abu Muhammad berdoa kepada Allah swt. Ketika tidur, Abu Muhammad pun bermimpi bertemu orang yang telah meninggal dunia itu, lalu dia bertanya kepada si orang mati itu tentang masalah yang diadukan kepadanya. Orang mati itu pun menjelaskan semuanya.
Di antara kejadian unik yang dialaminya adalah ketika seorang perempuan tua yang sangat salihah meninggal dunia, sementara ada uang tujuh dinar milik temannya yang dititipkan kepadanya. Si pemilik uang itu pun mendatangi Abu Muhammad guna mengadukan apa yang dialaminya. Dia menyampaikan namanya kepada Abu Muhammad berikut nama perempuan salihah sahabatnya yang sudah mati itu.
Keesokan harinya, perempuan itu kembali menemui Abu Muhammad. Dan Abu Muhammad pun berkata kepadanya, “Sahabat perempuanmu itu berpesan agar engkau kembali ke rumahnya lalu membongkar atapnya. Di situ ada tujuh kayu yang di dalam kayu ketujuh engkau akan menemukan uangmu tersimpan dalam buntalan kain wol.” Perempuan itu pun melakukan apa yang dikatakan oleh Abu Muhammad dan dia benar-benar menemukan uangnya persis di tempat yang dikatakan oleh Abu Muhammad.
Dia (al-Qairuwani) menuturkan:
Seseorang pernah menyampaikan kepadaku dan aku tidak mengira bahwa dia tengah berbohong, dia berkata: Seorang perempuan mempekerjakanku untuk membongkar sebuah rumah miliknya dengan upah tertentu. Ketika aku hendak melaksanakan pekerjaan itu, aku pun menemui perempuan itu yang ternyata sedang bersama beberapa orang lainnya. Aku berkata kepada perempuan itu, “Ada apa denganmu? Perempuan itu menjawab, “Demi Allah, sebenarnya aku tidak perlu membongkar rumah ini. Tetapi ayahku baru saja meninggal sementara dia memiliki harta yang sangat banyak. Namun, anehnya kami tidak mengetahui sebagian besar dari hartanya itu. Oleh sebab itu, aku menduga bahwa pasti harta almarhum dipendam di sini, sehingga aku pun ingin membongkar rumah ini agar siapa tahu dapat kutemukan harta milik almarhum ayahku itu.”
Tanpa diduga, salah seorang yang hadir di situ berkata kepada perempuan itu, “Sungguh engkau telah melewatkan sesuatu yang jauh lebih gampang dilakukan daripada membongkar rumah ini!”
“Apakah itu?” tukas perempuan itu.
Orang itu berkata, “Ada seseorang bernama Fulan. Datanglah eng. kau kepadanya, lalu mintalah kepadanya agar memimpikan masalahmu itu malam ini. Siapa tahu dia dapat bermimpi bertemu ayahmu, lalu menunjukkan tempat hartanya tanpa engkau harus berpayah-payah membongkar rumah ini.”
Perempuan itu pun mendatangi si Fulan yang ditunjukkan oleh karibnya itu. Beberapa saat kemudian dia kembali dan mengatakan bahwa dia sudah menyampaikan semuanya kepada si Fulan itu termasuk namanya dan nama mendiang ayahnya.
Keesokan paginya, aku berangkat ke rumah perempuan tempatku bekerja itu pagi-pagi sekali. Rupanya, perempuan yang mempekerjakanku baru saja kembali dari si Fulan yang didatanginya sehari sebelumnya.
Perempuan itu berkata, “Si Fulan berkata kepadaku bahwa dia bermimpi bertemu ayahku. Ayahku lalu berkata kepadanya bahwa harta miliknya dia pendam di bawah gerbang rumah.”
Aku pun langsung menggali tanah di bawah gerbang rumah perempuan itu, sampai akhirnya aku menemukan sebuah celah di dalam tanah tersebut. Ternyata harta milik ayah perempuan itu memang tersimpan di dalamnya.
Bukan main takjubnya kami semua pada saat itu. Akan tetapi. rupanya perempuan itu masih merasa bahwa harta yang aku temukan itu jauh lebih sedikit dibandingkan harta milik ayahnya. Dia berkata, “Harta milik ayahku jauh lebih banyak dari itu! Baiklah aku akan kembali menemui si Fulan.”’
Perempuan itu pun pergi menemui si Fulan. Dia menyampaikan apa yang baru dialaminya kepada si Fulan itu dan meminta agar dia dapat kembali menemui si Fulan untuk mendapatkan keterangan.
Keesokan harinya, perempuan itu kembali mendatangi si Fulan. Si Fulan itu berkata kepadanya: Ayahmu berkata kepadamu, “Galilah di bawah wadah segi empat yang dijadikan sebagai tempat menyimpan minyak.”
Beberapa saat kemudian, aku membongkar tempat yang ditunjukkan itu dan ternyata di situ memang terdapat wadah besar segi empat berisi minyak. Aku geser wadah besar itu, lalu kugali tanah di situ dan ternyata memang benar kutemukan banyak harta terpendam di tempat itu.
Rupanya, perempuan yang mempekerjakanku tidak puas sampai di situ. Ketamakannya terhadap harta membuatnya kembali menemui si Fulan. Dia pun kembali mendatangi si Fulan, tetapi beberapa saat kemudian dia kembali dengan wajah masam. Dia berkata, “Si Fulan mengatakan kepadaku bahwa dia telah bermimpi lagi bertemu ayahku dan mengatakan bahwa aku sudah mengambil harta yang memang menjadi bagianku. Adapun hartanya yang lain telah dikuasai oleh Ifrit untuk nanti disampaikan kepada orang lain yang berhak memilikinya.”
Cerita-cerita semacam ini amat banyak jumlahnya. Sebagaimana banyak pula orang-orang yang berhasil mendapatkan kesembuhan setelah mereka diberi petunjuk mengenai obat penyakit yang mereka derita yang semua itu mereka ketahui lewat mimpi.
Beberapa orang telah berbicara kepada penulis yang sebenarnya mereka tidak terlalu menyukai Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, bahwa mereka bermimpi bertemu dengan Ibnu Taimiyah, setelah dia meninggal dunia. Bahkan, ketika kemudian mereka bertanya kepada Ibnu Taimiyah mengenai berbagai masalah agama, Ibnu Taimiyah mampu memberikan jawaban yang tepat.
Kesimpulannya, masalah yang sedang kita bahas ini adalah sesuatu yang tidak mungkin disangkal kecuali hanya oleh orang-orang dungu yang tidak tahu apa-apa tentang ruh dan segala keadaannya. Wabillahi-t-taufiq.
ORANG-ORANG BERBEDA pendapat tentang masalah ini. Segolongan mereka menyatakan bahwa ruh dapat mati dan merasakan kematian karena ruh (ruh) adalah nafs (jiwa), padahal setiap jiwa pasti akan me. rasakan kematian (kullu nafsin dzaiqatu-l-maut).
Mereka mengatakan bahwa ada banyak dalil yang menunjukkan bahwa tidak ada sesuatu apa pun juga yang kekal, selain hanya Allah swt. semata. Allah swt. berfirman,
“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS. ar-Rahman [55]: 26-27)
Allah swt. berfirman,
“Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Wajah-Nya.” (QS. al-Qashash [28]: 88)
Mereka menyatakan bahwa apabila malaikat saja mati, jiwa manusia (an-nafs al-basyariyyah) tentu jauh lebih layak untuk mati.
Mereka menyatakan bahwa Allah swt. telah berfirman tentang para penghuni neraka, bahwa mereka berkata,
“Ya Tuhan kami Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali…” (QS. al-Gafir [40]: 11)
Jadi, kematian pertama yang dimaksud di sini adalah kematian yang dapat disaksikan, yaitu kematian yang menimpa badan, sementara kematian yang kedua adalah kematian yang menimpa ruh.
Sementara itu, sebagian kelompok lain menyatakan bahwa ruh tidak dapat mati karena ruh diciptakan untuk hidup kekal. Adapun yang merasakan kematian hanya badan. Mereka menyatakan bahwa terdapat banyak hadis-hadis yang menjadi dalil yang menunjukkan akan adanya kenikmatan dan azab yang dirasakan oleh ruh setelah ia terpisah dari badan, sampai nanti Allah swt. mengembalikannya ke badan masing-masing. Kalau memang ruh mengalami kematian, tentu dapat dipastikan bahwa ruh tidak akan merasakan kenikmatan atau siksa. Allah swt. berfirman,
“Janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhan mereka dengan mendapat rezeki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusu! mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Ali Imran [3]: 169-170)
Ayat ini menunjukkan secara pasti bahwa ruh-ruh mereka (para syuhada) telah terpisah dari jasad mereka yang telah merasakan kematian.
Jadi, sebenarnya yang lebih tepat yaitu: Kematian yang dialami jiwa (nafs) terjadi ketika jiwa terpisah dari jasad dan keluar darinya. Jika yang dimaksud dengan “kematian” yang seperti ini, maka benar jika dikatakan bahwa jiwa merasakan (dza‘iqah) kematian. Namun apabila yang dimaksud dengan kematian merupakan “kemusnahan” yang membuatnya menjadi tidak ada secara mutlak (adam mahdh), jiwa tidak dapat mengalami kematian dalam pengertian seperti itu. Alih-alih, jiwa akan tetap kekal setelah ia diciptakan, baik untuk kemudian merasakan nikmat maupun azab, penjelasan mengenai hal tersebut akan disampaikan nanti, insyaallah. Inilah yang disampaikan oleh nas bahwa jiwa akan mengalami semua itu sampai nanti Allah mengembalikannya ke dalam jasad.
Ahmad bin Husein al-Kindi menggubah syair tentang perbedaan pendapat dalam masalah ini, sebagai berikut.
Orang-orang berselisih tak dapat seiya sekata Kecuali bahwa nestapa memang menimpa Ada yang bilang jiwa manusia tetap lestari Ada yang bilang jiwa dan badan bersama mati
Apabila ada yang bertanya: Ketika sangkakala kiamat ditiup, apa. kah ruh akan tetap hidup seperti sebelumnya ataukah dia mati dulu kemudian hidup lagi?
Jawabannya adalah: Allah swt. berfirman,
“Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah.” (QS. az Zumar [39]: 68)
Allah swt. telah mengecualikan makhluk tertentu baik yang ada di langit maupun yang ada di bumi dari tiupan sangkakala itu. Ada yang berpendapat bahwa mereka yang dikecualikan itu adalah para syuhada, seperti pendapat dari Abu Hurairah ra., Ibnu “Abbas ra. dan Sa‘id bin Jubair ra.
Ada pula yang berpendapat bahwa mereka yang dikecualikan dari tiupan sangkakala itu adalah malaikat-malaikat Jibril, Mikail, Israfil dan Malaikat Maut (Izrail). Ini adalah pendapat Mugatil dan lainnya.
Ada pula pendapat lain yang menyatakan bahwa yang dikecualikan dari tiupan sangkakala itu adalah para bidadari (hur‘in) yang menghuni surga dan para penghuni surga lainnya, serta juga para penghuni neraka, yaitu para penghuni dan para penjaganya. Ini adalah pendapat Abu Ishaq bin Syaqila dari kalangan sahabat kami.
Imam Ahmad telah menyatakan bahwa para bidadari (har‘in) dan anak-anak surga (wildan) tidak mati ketika sangkakala ditiup.
Allah swt. telah mengabarkan tentang para penghuni surga,
“Mereka tidak akan merasakan mati di dalamnya, kecuali mati di dunia. Dan Allah memelihara mereka dari azab neraka.” (QS. Ad-Dukhan [44]: 56)
Ayat ini menjadi bukti yang menunjukkan bahwa para penghuni surga tidak pernah mengalami kematian, kecuali hanya kematian yang pertama di dunia. Apabila mereka memang mengalami kematian kedua, berarti ada dua kematian.
Adapun berkenaan dengan ucapan para penghuni neraka, “Ya Tuhan kami Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali…” (QS. al-Gafir [40]: 11)
Ayat ini ditafsirkan oleh ayat lain yang terdapat dalam Surah al-Baqarah; yaitu firman Allah swt.,
“Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?” (QS. Al-Baqarah [2]: 28)
Yang dimaksud oleh ayat ini adalah manusia yang semula dalam keadaan “mati” dalam bentuk nutfah di dalam tulang rusuk ayah-ayah mereka dan kemudian di dalam rahim ibu-ibu mereka. Kemudian Allah menghidupkan mereka Setelah itu. Lalu Allah mematikan mereka Kemudian Allah menghidupkan mereka di Hari Kebangkitan. Di sepanjang rangkaian kejadian itu tidak ada satu pun kematian yang menimpa ruh mereka sebelum Hari Kiamat karena kalau tidak begitu, tentu akan ada tiga kematian.
Ruh-ruh manusia memang akan kehilangan kesadaran (sha’qa)” ketika sangkakala ditiup, tetapi kejadian itu tidak begitu saja membuat mereka mati. Dalam sebuah hadis sahih dikatakan, “Manusia akan kehilangan kesadaran pada Hari Kiamat. Aku akan menjadi manusia pertama yang siuman. Pada saat itu kulihat Musa tengah memegang pilar Arsy. Aku tidak tahu apakah dia siuman sebelum aku, ataukah dia melewati pingsannya pada peristiwa di Thur Sina.
Inilah bentuk hilangnya kesadaran yang terjadi pada Hari Kiamat ketika Allah swt. datang untuk memutuskan segala urusan dan bumi bersinar karena cahaya-Nya. Pada saat itu, semua makhluk mengalami hilang kesadaran, sebagaimana yang Allah firmankan dalam ayat,
“Maka biarkanlah mereka hingga mereka menemui hari (yang dijanjikan kepada) mereka yang pada hari itu mereka dibinasakan.” (QS. Thur [52]: 45)
Apabila memang yang dimaksud dengan “sha’q” dalam ayat ini adalah “mati”, berarti ada satu kematian lain yang mereka alami.
Berkenaan dengan hal ini sudah ada banyak ulama yang mengingatkan kita semua. Abu “Abdillah al-Qurthubi menyatakan bahwa pengertian eksplisit dari hadis-hadis tersebut adalah bahwa yang terjadi pada Hari Kiamat adalah hilangnya kesadaran dalam bentuk “pingsan” (ghasy), bukan hilangnya kesadaran karena kematian, yang semua itu terjadi pada saat sangkakala ditiup.
Syekh kami yang bernama Ahmad bin “Umar pernah menyatakan bahwa pengertian eksplisit hadis-hadis tersebut di atas menjadi dalil yang menunjukkan bahwa hilangnya kesadaran (sha’iqah) yang terjadi pada saat itu, sesungguhnya terjadi setelah tiupan sangkakala yang kedua, yaitu tiupan pembangkitan (nafkhah al-ba’ts). Sementara nas al-Quran jelas menunjukkan bahwa pengecualian itu terjadi setelah tiupan yang menghilangkan kesadaran semua manusia (nafkhah ash-shaq).
Berkenaan dengan pengertian ini, seorang ulama menyatakan bahwa ada kemungkinan Musa as. termasuk Nabi yang tidak mati. Akan tetapi, pendapat ini adalah pendapat yang batil.
Qadhi ‘Iyadh menyatakan bahwa ada kemungkinan bahwa yang dimaksud “hilang kesadaran” (sha’q) di sini adalah “keterkejutan” yang terjadi setelah kebangkitan manusia di saat langit dan bumi terbelah. Jadi, semua hadis-hadis dan ayat bersifat mandiri dan berdiri sendiri.
Akan tetapi, pendapat ini ditolak oleh Abul ‘Abbas al-Qurthubi yang menyatakan bahwa pendapat di atas dibantah oleh hadis-hadis sahih yang menyatakan bahwa ketika Rasulullah saw. keluar dari makam beliau, beliau melihat Musa sedang memegang pilar Arsy. Dia menyatakan bahwa hal itu terjadi ketika tiupan pembangkitan (nafkhah al-ba’ts) terjadi.
Abu ‘Abdillah menyatakan bahwa syekh kami Ahmad bin ‘Umar menjelaskan bahwa yang dapat menghilangkan kemuskilan dalam masalah ini—insya’allah—adalah bahwa “kematian” terjadi bukan dengan hilang musnahnya makhluk yang mengalaminya, tetapi hanya berupa “perpindahan” dari satu keadaan ke keadaan lainnya.
Salah satu dalil yang menunjukkan hal itu yaitu adanya fakta bahwa para syuhada “tetap hidup di sisi Rabb mereka” setelah mereka “terbunuh dan mati”. Bahkan mereka senantiasa dilimpahi rezeki dan penuh kegembiraan. Padahal, semua itu merupakan salah satu ciri bagi orang-orang yang hidup di dunia. Kalau hal seperti itu saja dapat terjadi pada diri para syuhada, tentu saja para nabi jauh lebih layak untuk mengalami hal tersebut. Sementara ada hadis-hadis sahih dari Rasulullah saw. yang menyatakan bahwa bumi tidak pernah mau memakan (menghancurkan) jasad para nabi.
Selain itu, telah diketahui pula bahwa Rasulullah saw. berkumpul dengan semua nabi lain pada saat Isra’ di Baitul Maqdis, sebagaimana beliau juga berjumpa dengan beberapa nabi lain di langit, seperti Musa as. Rasulullah saw. juga mengabarkan bahwa tidak ada seorang muslim pun yang mengucapkan salam kepada beliau, kecuali Allah swt. seketika itu juga mengembalikan ruh beliau, sehingga beliau dapat menjawab salam itu. Dan masih banyak lagi dalil lain yang semuanya menghasilkan kepastian bahwa “kematian” yang dialami para nabi sebenarnya, berarti bahwa mereka “digaibkan” dari kita karena kita menjadi tidak dapat mengetahui di manakah mereka berada, walaupun sebelumnya, mereka benar-benar ada sebagai sosok manusia hidup. Kondisi seperti; ini sebenarnya sama seperti yang terjadi pada para malaikat yang mereka semua benar-benar “hidup” dan “ada” tetapi kita tidak dapat melihat para malaikat itu.
Apabila telah dapat dipastikan bahwa mereka semua hidup, ketika sangkakala ditiup, sebagai tiupan yang menghilangkan kesadaran se. mua manusia (nafkhah ash-sha’q), seketika itu juga hilanglah kesadaran semua makhluk yang ada di langit dan bumi, kecuali hanya mereka yang dikehendaki oleh Allah untuk tidak mengalami hilang kesadaran,
Dari sini dapat diketahui bahwa yang dimaksud “hilang kesadaran” (sha’q) pada para nabi adalah “pingsan” (ghasyyah). Nanti ketika tiupan pembangkitan (nafkhah al-ba’ts) terjadi, semua makhluk yang sebelumnya “mati” akan kembali “hidup”, sementara para makhluk yang sebelumnya “pingsan” akan kembali “siuman”.
Itulah sebabnya Rasulullah saw. menyatakan dalam sebuah hadis sahih muttafaq ‘alaih, “Aku akan menjadi manusia pertama yang siuman.” Nabi kita itulah yang akan menjadi manusia pertama yang keluar dari kubur beliau sebelum semua manusia lain, kecuali Musa as. tetapi sampai di sini muncul keraguan apakah Musa as. dibangkitkan sebelum Rasulullah saw. dari kondisi hilangnya kesadaran beliau ataukah Musa as. memang tetap seperti itu dalam kondisi sadar yang dia alami sebelum terjadinya tiupan yang menyebabkan hilangnya kesadaran (nafkhah ash-sha’q) karena Musa telah mengalami hilang kesadaran pada peristiwa di Thur Sina. Dan itu menjadi sebuah keutamaan besar yang dimiliki Musa as. Walaupun tidaklah satu keutamaan yang dimiliki Musa as., itu tidak serta-merta mengungguli keutamaan mutlak yang dimiliki Rasulullah Muhammad saw. karena sesuatu yang bersifat parsial tidak langsung berlaku secara umum.
Abu ‘Abdillah al-Qurthubi menyatakan bahwa apabila isi hadis-hadis ini diartikan sebagai “hilangnya kesadaran” para makhluk di saat Hari Kiamat terjadi, tidak ada kemuskilan yang muncul. Akan tetapi, apabila isi hadis-hadis ini diartikan sebagai hilangnya kesadaran karena kematian (sha’qah al-maut) yang terjadi ketika sangkakala ditiup, yang dimaksud yaitu penjelasan tentang permulaan Hari Kiamat.
Artinya, ketika sangkakala ditiup sebagai tiupan pembangkitan (nafkhah al-ba’ts) Rasulullah adalah manusia pertama yang “mengangkat kepala”. Pada saat itu, Musa as. memegang salah satu pilar Arsy, tanpa Rasulullah saw. mengetahui apakah Musa as. lebih dulu siuman sebelum beliau, ataukah Musa as. melewati pingsannya di Thur Sina.
Menurut pendapat penulis, isi hadis-hadis tersebut di atas yang diartikan seperti ini (maksudnya, menurut pendapat Abu Abdillah al-Qurthubi) tidaklah tepat karena Rasulullah saw. ragu apakah Musa as. siuman sebelum beliau, ataukah Musa as. sama sekali tidak mengalami hilang kesadaran.
Dalam hadis-hadis itu dikatakan “Aku adalah manusia pertama yang siuman.” Sabda Rasulullah saw. ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw. termasuk manusia yang akan mengalami hilang kesadaran seperti manusia lainnya. Sementara keraguan beliau muncul menyangkut Musa as., yaitu apakah Musa as. mengalami hilang kesadaran lalu siuman sebelum beliau dari pingsannya, ataukah Musa as. sama sekali tidak mengalami hilang kesadaran.
Apabila yang dimaksud di sini adalah peristiwa hilangnya kesadaran yang pertama (ash-sha’qah al-ula), yaitu hilangnya kesadaran karena kematian (sha’qah maut), Rasulullah saw. memang telah memastikan kematiannya, lalu beliau ragu apakah Musa as. “mati” ataukah “tidak mati”. Tentu saja, pengertian seperti ini adalah pengertian yang batil ditinjau dari beberapa segi karena telah diketahui bahwa “hilang kesadaran” (sha’qah) yang disebutkan di sini adalah hilangnya kesadaran karena keterkejutan (sha’qah faza’), bukan hilangnya kesadaran karena kematian (sha’qah maut).
Jadi, ayat ini tidak menunjukkan bahwa ruh-ruh manusia semuanya mengalami kematian pada tiupan sangkakala pertama (an-nafkhah al-ula). Ya, ayat ini memang menunjukkan kematian yang dialami semua makhluk ketika terjadinya tiupan sangkakala pertama (an-nafkhah al-ula) dan juga semua yang belum merasakan kematian sebelumnya. Mereka semua akan merasakan kematian pada saat itu. Adapun bagi makhluk yang telah merasakan kematian atau makhluk yang belum ditetapkan kematian pada mereka, ayat ini tidak menunjukkan bahwa terjadi kematian yang kedua. Wallahu a’lam.
Apabila ada yang bertanya: Bagaimana pendapat kalian mengenai sabda Rasulullah saw. dalam hadis, “Manusia akan kehilangan kesadaran pada Hari Kiamat. Aku akan menjadi manusia pertama yang siuman. Pada saat itu kulihat Musa tengah memegang pilar arsy? (HR. al-Bukhari).
Jawaban atas pertanyaan itu yaitu: Tidak diragukan lagi bahwa lafal hadis-hadis tersebut memang seperti itu dan dari lafal itulah muncul kemuskilan. Akan tetapi, sebenarnya di dalam hadis-hadis itu telah masuk kalimat yang berasal dari hadis-hadis lain, sehingga terjadi tumpang tindih antara dua lafal yang memunculkan hadis-hadis ini. Kedua hadis-hadis itu berbunyi:
* Pertama: “Sesungguhnya manusia mengalami hilang kesadaran pada Hari Kiamat, lalu aku menjadi manusia pertama yang siuman.” (AR. al-Bukhari).
* Kedua: “Aku adalah manusia pertama yang bumi terbelah karenanya di Hari Kiamat.”
Dalam riwayat Tirmidzi dan lainnya, pada hadis-hadis Abu Sa’id al-Khudri, dia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Aku adalah pemimPin anak-anak Adam di Hari Kiamat. Tidak ada kesombongan akan itu. Di tanganku ada panji-panji pujian (liwa ‘al-hamd) dan tidak ada kesombongan akan itu. Tidak ada satu pun nabi pada hari itu, Adam dan lainnya, kecuali berada di bawah panji-panjiku. Aku adalah manusia pertama yang bumi terbelah karenanya. Tidak ada kesombongan akan itu.” (HR. Tirmidzi).
Tirmidzi menyatakan bahwa hadis-hadis ini sahih.
Perawi hadis-hadis ini memasukkannya ke hadis-hadis lain, sebagaimana yang dinyatakan oleh syekh kami Abul Hajjaj.
Apabila ada yang bertanya: Lantas bagaimana sikap kalian terhadap sabda Rasulullah saw., “Aku tidak tahu apakah dia (Musa as.) siuman sebelumku ataukah dia termasuk yang dikecualikan oleh Allah ‘azza wa jalla’’?
Mereka yang dikecualikan oleh Allah, yaitu mereka yang dikecualikan dari hilangnya kesadaran karena tiupan sangkakala (sha’qah an-nafkhah) bukan dari hilangnya kesadaran karena terjadinya Hari Kiamat. Sebagaimana yang Allah swt. firmankan, “Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi, kecuali siapa yang dikehendaki Allah.” (QS. az-Zumar [39]: 68)
Akan tetapi, tidak ada pengecualian pada hilangnya kesadaran semua makhluk pada saat Hari Kiamat terjadi.
Jawaban atas pertanyaan di atas yaitu: Hadis-hadis tersebut—wallahu a’lam—tidak pernah dihafal dan merupakan bentuk kekeliruan yang berasal dari sebagian perawi. Adapun yang dihafal adalah bunyi hadis-hadis seperti yang disampaikan oleh berbagai riwayat yang sahih; yaitu dalam bentuk kalimat,
“Aku tidak tahu apakah dia siuman sebelum aku, ataukah dia melewati pingsannya pada peristiwa di Thur Sina.”
Sebagian perawi mengira bahwa hilangnya kesadaran atau pingsan yang disebutkan dalam hadis-hadis ini adalah hilangnya kesadaran karena tiupan sangkakala (sha’qah an-nafkhah) dan Musa as. termasuk manusia yang dikecualikan dari kejadian itu. Tentu saja, pengertian seperti itu sama sekali tidak sesuai dengan kandungan hadis-hadis ini sendiri. Oleh karena itu, sesungguhnya “siuman” yang terjadi pada saat itu adalah “siuman kebangkitan” (ifaqah al-ba’ts). Jadi bagaimana mungkin Rasulullah saw. bersabda, “Aku tidak tahu apakah dia dibangkitkan sebelum aku” ataukah dia melewati pingsannya pada peristiwa di Thur Sina.” Hendaklah ini direnungkan.
Kondisi ini berbeda dengan kondisi hilang kesadaran yang diaJami semua makhluk pada Hari Kiamat, yaitu ketika Allah swt. datang bertajali kepada mereka semua untuk menetapkan putusan terhadap hamba-hamba-Nya. Pada saat itu, mereka semua mengalami hilang kesadaran. Sementara Musa as., kalau dia tidak mengalami hilang kesadaran bersama makhluk lainnya, dia sudah merasakan hilangnya kesadaran ketika Allah bertajali kepada sebuah gunung dan membuat gunung itu hancur. Hilangnya kesadaran Musa as. pada saat itu dianggap sebagai pengganti dari peristiwa hilangnya kesadaran semua makhluk ketika Allah bertajali pada Hari Kiamat. Silakan Anda merenungkan perkara yang agung ini.
Walaupun dalam jawaban ini hanya memuat penjelasan hadis-hadis tersebut di atas, akan tetapi tepat jika hal ini harus “digigit kuat-kuat menggunakan gigi geraham”. Wa lillahi-l-hamd wa-l-minnah wa bihi-t-taufiq.
PERTANYAAN INI adalah sebuah masalah yang hampir tidak akan dapat Anda temukan orang yang membahasnya, sebagaimana Anda juga akan sulit menemukan buku yang mengulasnya, baik buku yang tebal maupun buku yang tipis. Apalagi jika dikaitkan dengan dasar yang digunakan oleh kalangan yang menyatakan bahwa ruh bersifat terlepas dari materi serta segala keterkaitannya. Ruh dinyatakan tidak berada di dalam alam dan tidak pula di luar alam. Ruh tidak memiliki bentuk, kadar dan kepribadian. Semua itu adalah bentuk pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari dasar yang mereka gunakan yang tidak kunjung ada jawabannya.
Demikian pula halnya orang yang menyatakan bahwa ruh merupakan salah satu tampilan (‘aradh) dari tubuh, sehingga semua ruh dapat dibedakan antar satu sama lain berdasarkan badan yang didiami. Sementara setelah kematian terjadi, ruh tidak memiliki perbedaan apa pun, bahkan ruh dianggap tidak memiliki wujud, menurut dasar yang mereka pakai. Ruh dinyatakan menjadi tiada dan musnah seiring hancurnya tubuh dan seiring hilangnya ciri-ciri dan sifat kehidupan.
Semua pertanyaan tersebut di atas tidak mungkin dijawab, kecuali hanya berlandaskan dasar-dasar yang digunakan oleh Ahlu sunah yang terdiri dari dalil-dalil al-Quran, sunah, atsar, pemikiran, dan akal sehat yang menyatakan bahwa ruh memiliki entitas sendiri sehingga ruh dapat naik, turun, bersambung, berpisah, keluar, pergi, datang, bergerak, dan diam.
Atas dasar inilah ada lebih dari seratus dalil yang telah kami sebutkan dalam kitab tebal yang menjelaskan tentang ruh dan jiwa. Kami juga telah menjelaskan kesalahan pendapat yang berbeda dengan pendapat kami ini dari berbagai sisi karena siapa pun yang berpendapat Jain, maka dia belum mengenal jiwanya sendiri.
Tak kurang Allah swt. telah menjelaskan bahwa ruh dapat masuk, keluar, merengkuh, wafat, pulang, naik ke langit, terbukanya pintu-pintu langit baginya, dan tertutupnya pintu-pintu langit baginya.
Allah swt. berfirman, “Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat kedustaan terhadap Allah atau yang berkata:
“Sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakratulmaut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): ‘Keluarkanlah nyawa kalian’” (QS. al-An’am [6]: 93)
Allah swt. juga berfirman,
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai. Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. al-Fajr [89]: 27-30)
Kalimat-kalimat tersebut disampaikan ketika ruh berpisah dari tubuh. Allah swt. berfirman,
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” (QS. asy-Syams [91]: 7-8)
Melalui ayat ini, Allah swt. mengabarkan bahwa Dialah yang menyempurnakan jiwa (nafs), sebagaimana halnya Dia pula yang menyempurnakan badan manusia, seperti difirmankan dalam ayat,
“Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang.” (QS. al-Infithar [82]: 7)
Jadi, Allah-lah yang telah menyempurnakan jiwa manusia sebagaimana halnya Dia pula yang telah menyempurnakan badan manusia, Bahkan Allah menyempurnakan badan manusia untuk menjadi “cetakan” bagi jiwa manusia. Penyempurnaan badan mengikuti penyempurnaan jiwa karena badan merupakan tempat bagi jiwa seperti sebuah cetakan, ia menjadi tempat bagi apa yang ditempatkan di dalamnya.
Dari sini telah dapat diketahui bahwa jiwa (atau ruh) mengambil bentuk tertentu dari badan yang ditempatinya, sehingga setiap ruh memiliki bentuk yang membuatnya dapat dibedakan antar satu sama lain. Ruh juga dapat memberi bekas dan berpindah dari badan seperti halnya badan dapat memberi bekas dan berpindah dari ruh.
Badan yang baik dan badan yang buruk diperoleh dari kebaikan dan keburukan jiwa. Sebagaimana halnya jiwa yang baik dan jiwa yang buruk, diperoleh dari kebaikan dan keburukan badan. Itulah sebabnya ketika jiwa atau ruh berpisah meninggalkan badan, yang dikatakan kepadanya adalah kalimat, “Keluarlah engkau wahai ruh baik yang ada di dalam jasad yang baik dan keluarlah engkau wahai ruh buruk yang ada di dalam jasad yang buruk.”
Allah swt. berfirman, “Allah mewafatkan jiwa (orang) ketika matinya dan (mewafatkan) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan.” (QS. az-Zumar [39]: 42)
Dalam ayat ini, Allah swt. jelas menyebut bahwa jiwa (nafs) mengalami “wafat”, “tertahan”, dan “lepas”. Sebagaimana Dia juga jelas menyebut bahwa jiwa dapat “masuk”, “keluar”, dan “sempurna”.
Rasulullah saw. telah mengabarkan bahwa penglihatan orang mati mengikuti jiwanya ketika nyawanya dicabut. Rasulullah saw. juga mengabarkan bahwa malaikat mencabut nyawa. Kemudian para malaikat lain mengambil nyawa itu dari tangan malaikat pencabut nyawa.
Selain itu dijelaskan pula bahwa ruh atau nyawa yang dicabut dari jasad itu ada yang memiliki aroma harum melebihi kesturi yang ada di bumi, tetapi ada pula ruh yang berbau busuk melebihi bau bangkai yang ada di bumi. Padahal tampilan (‘aradh) tidak dapat memiliki aroma, tidak dapat dipegang dan tidak dapat dialihkan dari satu tangan ke tangan lain.
Rasulullah juga mengabarkan bahwa ruh dapat naik ke langit, lalu para malaikat Allah berselawat (maksudnya, mendoakan) atas ruh ketika berada di antara langit dan bumi. Lalu dibukakan baginya pintu-pintu langit, kemudian ia naik dari satu langit ke langit berikutnya sampai akhirnya ia tiba di langit yang di situ Allah swt. berada. Ruh itu lalu berdiri di hadapan-Nya. Kemudian Allah memerintahkan agar nama ruh itu ditulis dalam catatan para penghuni surga ‘Illiyyun atau dalam catatan para penghuni neraka Sijjin. Kemudian ia dikembalikan ke bumi. Sementara ruh orang kafir akan dicampakkan, lalu ia akan masuk ke dalam jasadnya di dalam kuburnya untuk ditanyai.
Rasulullah saw. telah mengabarkan bahwa nasamah orang beriman maksudnya, ruhnya dapat terbang sebagai burung yang makan di pepohonan surga, sampai Allah mengembalikannya ke jasadnya.
Rasulullah saw. juga mengabarkan bahwa ruh-ruh para syuhada berada di leher burung hijau yang minum dari sungai-sungai surga dan makan dari buah-buahannya.
Rasulullah saw. juga mengabarkan tentang ruh-ruh para pengikut Fir’aun akan ditunjukkan neraka kepada mereka di setiap pagi dan petang sebelum datangnya Hari Kiamat.
Allah swt. mengabarkan bahwa para syuhada
“Mereka itu hidup di sisi Tuhan mereka dengan mendapat rezeki.” (QS. Ali Imran [3]: 169)
Tentu saja kehidupan yang dialami para syuhada itu adalah kehj. dupan ruh mereka dan ruh itulah yang “mendapat rezeki”. Oleh kareng itu, tidaklah mungkin bukan ruh yang mengalami semua itu karena saat itu badan mereka sudah hancur.
Rasulullah saw. telah menafsirkan “kehidupan” yang disebutkan oleh ayat ini dengan sabda beliau, “Ruh-ruh mereka berada di rongga tubuh burung hijau. la memiliki lentera-lentera yang tergantung dj Arsy. Ia terbang di surga ke mana pun sesukanya, lalu hinggap di lentera-lentera itu. Rabb mereka melihat mereka lalu bertanya, “Apakah kalian menginginkan sesuatu?” Mereka menjawab, “Apa lagi yang kami ingini, sementara kami dapat terbang di surga ke mana pun sesuka kami?” Allah bertanya kepada mereka sampai tiga kali. Ketika mereka menyadari bahwa mereka tidak akan dibiarkan untuk tidak ditanya, akhirnya mereka berkata, “Kami ingin agar ruh kami dikembalikan ke jasad-jasad kami, agar kami dapat mati sekali lagi di jalan-Mu.”
Telah diriwayatkan pula dengan status sahih dari Rasulullah saw, bahwa ruh-ruh para syuhada berada dalam burung hijau yang makan (ta’luq) dari buah surga.” Kata ta’luq berarti “makan sedikit”.
Ibnu Abbas ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Ketika saudara-saudara kalian gugur di Uhud, Allah swt. menempatkan ruh-ruh mereka di rongga tubuh burung hijau yang minum dari sungai-sungai surga dan makan dari buah-buahnya. Mereka hinggap di lentera-lentera emas di naungan Arsy. Ketika mereka mendapati semerbak minuman dan makanan serta keindahan tempat tidur mereka, mereka pun berkata, ‘Duhai seandainya saja saudara-saudara kami mengetahui apa yang Allah lakukan pada kami, pastilah mereka tidak akan menghindari jihad dan tidak akan lari dari peperangan.’ Allah swt. lalu berkata, ‘Aku akan menyampaikan ucapan itu dari kalian.’ Allah lalu menurunkan kepada Rasulullah saw. ayat, ‘Janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhan mereka dengan mendapat rezeki.’ (QS. Ali Imran [3]: 169)” (HR. Al-Imam Ahmad)
Demikianlah dalil-dalil ini secara eksplisit menyatakan tentang ruh yang dapat makan, minum, bergerak, berpindah, dan bicara. Di bagian mendatang akan disampaikan penjelasan tambahan. Insyaallah ta’ala.
Apabila seperti ini keadaan ruh, setelah ruh terpisah dari jasad ia menjadi lebih mudah dibedakan antara satu sama lain daripada badan karena kemiripan antar ruh lebih jauh daripada kemiripan antar-jasad, sebab jasad memiliki banyak kemiripan, sedangkan ruh hanya sedikit kemiripannya.
Hal ini dijelaskan bahwa kita tidak pernah menyaksikan jasad pada nabi, sahabat Rasulullah, dan para imam. Sementara dalam pengetahuan kita mereka begitu berbeda antara satu sama lain, yang perbedaan itu tidak merujuk pada jasad mereka karena kalau sifat-sifat jasad mereka dijelaskan kepada kita, maka tidak ada keistimewaan mereka antara yang satu dengan yang lain. Alih-alih keistimewaan yang mereka miliki itu kita ketahui dari sifat-sifat ruh mereka. Sebab, perbedaan satu ruh dengan ruh lain dengan sifat-sifatnya jauh lebih besar daripada perbedaan satu badan dengan badan lain dengan sifat-sifatnya.
Tidakkah Anda melihat bahwa badan orang mukmin dan badan orang kafir memiliki banyak kemiripan? Sementara ruh-ruh mereka sangat berbeda. Anda dapat melihat dua orang bersaudara sekandung yang sangat mirip bentuk rupanya, tetapi ruh mereka sama sekali berbeda. Ketika kedua ruh mereka dipisahkan sendiri-sendiri, maka keduanya akan tampak sangat berbeda.
Saya akan memberi tahu Anda mengenai sesuatu hal. Apabila Anda mencermati keadaan jiwa dan badan yang dapat anda saksikan secara kasat mata, amatlah jarang Anda temukan badan yang buruk dengan bentuk yang jelek, kecuali diisi oleh jiwa yang memiliki karakter yang sesuai dengan bentuk yang buruk itu. Jarang sekali Anda melihat cacat pada jasad seseorang, kecuali para ruh (jiwa) orang itu juga terdapat cacat yang sesuai dengan cacat fisik itu.
Itulah sebabnya, para ahli ilmu firasat dapat mengetahui kondisi; jiwa seseorang dengan melihat bentuk dan kondisi badannya dan ternyata hal itu jarang meleset. Ada beberapa hal menakjubkan mengenai hal ini yang diceritakan dari Imam Syafi’i rahimahullah.
Anda jarang melihat bentuk yang rupawan dan rupa yang bagus kecuali Anda mendapati ruh pemiliknya berkaitan dan sesuai dengan penampilannya. Tentu saja hal ini berlaku selama orang yang bersangkutan belum terpapar oleh faktor lain yang merusaknya, baik itu dida. patkan dalam proses belajar, latihan, maupun kebiasaan.
Apabila ruh-ruh luhur (al-arwah al-‘ulwiyyah)—yaitu para malaikat-saling berbeda antara satu sama lain tanpa mereka memiliki jasad yang mereka tempati, sebagaimana pula halnya jin, maka tentu saja perbedaan antara ruh-ruh manusia jauh lebih layak terjadi.
CUKUPLAH BAGI kita untuk menyimak penjelasan Rasulullah saw. mengenai masalah ini dan kita tidak perlu mendengar keterangan apa pun dari manusia lain, selain beliau. Beliau telah menyatakan secara gamblang bahwa ruh orang mati dikembalikan ke dalam jasadnya ketika malaikat menanyainya.
Barra’ bin ‘Azib berkata, “Ketika kami tengah bersama jenazah di Baqa Gharqad, Rasulullah saw. mendatangi kami lalu beliau duduk, maka kami pun duduk di sekeliling beliau. Saat itu seakan-akan di kepala kami ada burung, sementara liang lahad tengah digali untuk jenazah itu. Rasulullah saw. kemudian berucap,
“Aku berlindung kepada Allah dari siksa kubur”, tiga kali. Lalu beliau saw. bersabda, “Sesungguhnya apabila seorang hamba mukmin menghadap menuju akhirat dan terputus dari dunia, maka turunlah kepadanya para malaikat yang wajah mereka laksana matahari. Kemudian mereka duduk sejauh mata memandang. Lalu datanglah Malaikat Maut yang kemudian duduk di dekat kepala si hamba mukmin itu.” Malaikat Maut kemudian berkata, “Wahai jiwa yang baik, keluarlah engkau menuju ampunan dan keridhaan Allah!”
Dia (Barra bin ‘Azib) berkata, “Kemudian ruh itu keluar mengalir seperti mengalirnya tetes air dari wadahnya, Malaikat Maut pun mengambil ruh itu. Ketika Malaikat Maut mengambilnya, para malaikat yang lain tidak membiarkan begitu saja ruh itu berada di tangan Malaikat Maut barang sekejap, mereka langsung mengambil ruh itu kemudian mereka letakkan ruh itu dalam kafan dengan wewangiannya (hanuth). Lalu ruh hamba mukmin itu pun keluar darinya dengan aroma kasturi yang paling semerbak di muka bumi.”
Dia (Barra bin ‘Azib) melanjutkan, “Para malaikat itu kemudian naik bersama ruh itu dan tidak pernah mereka melewati kumpulan ma. laikat di tengah perjalanan bersama ruh tersebut, kecuali para malaikat yang dilewati itu bertanya, “Ruh siapakah yang baik itu?”, para malaikat pembawa ruh menjawab, “Dia adalah Fulan bin Fulan!” dengan menyebut nama terbaik yang dimiliki ruh itu ketika dia masih hidup di dunia. Demikian mereka terus sampai akhirnya mereka tiba di langit dunia. Para malaikat itu lalu meminta agar pintunya dibuka, maka dibukalah pintu langit dunia itu demi hamba mukmin tersebut. Ruh itu terus dibawa dari satu langit ke langit berikutnya oleh para malaikat. Sampai akhirnya ruh itu tiba di langit yang di situ ada Allah swt. Allah swt. lalu berkata, “Tuliskanlah catatan hambaku ini di ‘illiiyyun, lalu kembalikanlah dia ke bumi karena sesungguhnya dari bumi itulah Aku menciptakan mereka, di situ Aku kembalikan mereka dan dari situ juga Aku akan keluarkan mereka sekali lagi.”
Dia (Barra bin ‘Azib) melanjutkan, “Ruh hamba mukmin itu lalu dikembalikan ke tubuhnya. Dua sosok malaikat kemudian mendatanginya dan mendudukkannya. Dua malaikat itu lalu berkata kepadanya, “Siapakah Tuhanmu?” Dia menjawab, “Tuhanku Allah!” Dua malaikat itu lalu berkata kepadanya, “Apa agamamu?” Dia menjawab, “Agamaku Islam!’’ Dua malaikat itu lalu berkata kepadanya, “Siapakah lelaki yang diutus kepada kalian itu?” Dia menjawab, “Dia adalah utusan Allah!” Dua malaikat itu lalu berkata kepadanya, “Apakah ilmumu?” Dia menjawab, “Aku membaca Kitabullah. Aku beriman kepadanya dan aku benarkan ia!” Maka kemudian terdengar penyeru dari langit yang berkata,
“Telah benarlah hamba-Ku itu! Maka tempatkanlah dia di dalam surga dan bukakanlah oleh kalian untuknya satu gerbang menuju surga!”
Dia (Barra’ bin “Azib) melanjutkan, “Maka datanglah kepada ruh mukmin itu angin dan harumnya surga. Kemudian dilapangkan baginya kuburannya sejauh mata memandang.”
Dia (Barra) bin “Azib) melanjutkan, “Lalu datanglah kepadanya sesosok lelaki berwajah rupawan dengan pakaian indah dan aroma farum. Sosok itu berkata, ‘Bergembiralah engkau dengan sesuatu yang menyenangkanmu! Ini merupakan hari yang dijanjikan kepadamu.’ Ruh mukmin itu bertanya, ‘Siapakah engkau? Wajahmu adalah wajah yang datang dengan kebaikan!’ Sosok itu menjawab, ‘Aku adalah amal salehmu!’ Ruh mukmin itu pun berkata, ‘Wahai Rabb, laksanakanlah Hari Kiamat! Agar aku dapat kembali kepada keluarga dan hartaku.’”
Dia (Barra bin “Azib) melanjutkan, “Sesungguhnya seorang hamba yang kafir, apabila dia terputus dari dunia dan menuju akhirat, turunlah kepadanya dari langit rombongan malaikat berwajah hitam yang membawa kantong kulit. Mereka lalu duduk pada hamba kafir itu sejauh mata memandang. Kemudian datanglah Malaikat Maut yang lalu duduk di dekat kepalanya kemudian berkata, ‘Wahai jiwa yang buruk! Keluarlah engkau menuju murka dan kemarahan Allah!’”
Dia (Barra’ bin ‘Azib) melanjutkan, “Maka ruh si kafir itu pun berpisah dari tubuhnya. Malaikat Maut mencabutnya seperti dicabutnya safud (tusuk daging untuk memanggang) dari wol basah, lalu dia mengambil ruh itu. Ketika Malaikat Maut mengambil ruh kafir itu, para malaikat lainnya tidak membiarkannya ada di tangan Malaikat Maut barang sejenak, tetapi mereka langsung menempatkannya di dalam kantong kulit itu, kemudian ruh itu keluar dari kantong tersebut laksana bangkai paling busuk yang ada di bumi. Para malaikat lalu naik bersama ruh itu dan tidak pernah mereka melewati kumpulan malaikat di tengah perjalanan bersama ruh tersebut, kecuali para malaikat yang dilewati itu bertanya, ‘Ruh siapakah yang buruk itu?’ para malaikat pembawa ruh menjawab, ‘Dia adalah Fulan bin Fulan!’ dengan menyebut nama terburuk yang dimiliki ruh itu ketika dia masih hidup di dunia. Demikian mereka terus sampai akhirnya mereka tiba di langit dunia. Para malaikat itu lalu meminta agar pintunya dibuka, maka dibukalah pintu langit dunia itu untuknya.”
Sampai di situ Rasulullah saw. merapalkan ayat,
“Sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu Iangit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum.” (QS. al-A’raf [7]: 40)
Setelah itu Allah swt. berkata kepada para malaikat, “Tulislah oleh kalian catatannya dalam Neraka Sijjin di dasar terendah!” Lalu ruh kafir itu pun dicampakkan.
Sampai di situ, Rasulullah saw. merapalkan ayat,
“Barang siapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” (QS. al-Hajj [22]: 31)
Ruh hamba kafir itu pun dikembalikan ke tubuhnya. Dua sosok malaikat kemudian mendatanginya dan mendudukkannya. Dua malaikat itu lalu berkata kepadanya, “Siapakah Tuhanmu?” Dia menjawab, “Hah… hah… aku tak tahu.” Dua malaikat itu lalu berkata kepadanya, “Siapakah lelaki yang diutus kepada kalian itu?” Dia menjawab, “Hah… hah… aku tak tahu.”
Kemudian terdengar penyeru dari langit yang berkata, “Telah dustalah dia! Maka jerumuskanlah dia ke dalam neraka dan bukakanlah oleh kalian untuknya satu gerbang menuju neraka!” Seketika itu pula datanglah kepada ruh kafir itu panas dan kobaran neraka, sementara kuburnya dijadikan sempit hingga membuat tulang-tulang rusuknya bertumpang-tindih.
Setelah itu, datanglah kepadanya sesosok lelaki berwajah buruk dengan pakaian jelek dan bau busuk, seraya berkata, “Bergembiralab engkau dengan yang mencelakaimu! Inilah hari yang diancamkan padamu!” Ruh kafir itu bertanya, “Siapakah engkau? Sungguhnya wajahmu adalah wajah yang mendatangkan keburukan.” Sosok itu menjawab, “Aku adalah perbuatanmu yang buruk!” Ruh kafir itu pun berkata, “Wahai Tuhan, janganlah engkau jadikan dulu kiamat!”
Hadis-hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud; sementara Nasai dan Ibnu Majah meriwayatkan bagian awalnya saja. Abu -Uwanah al-Isfarayini meriwayatkan hadis-hadis ini dalam ash-Shahih.
Semua ulama Ahlu sunah dan ulama hadis-hadis dari semua kelompok berpendapat sama atas kepastian apa yang disampaikan oleb hadis-hadis ini.
Abu Muhammad bin Hazm menyatakan dalam kitab Al-Milal wa an-Nihal yang ditulisnya:
Orang yang mengira bahwa orang mati hidup kembali dalam kuburnya sebelum Hari Kiamat sebenarnya ia telah keliru karena ayat-ayat yang telah kami sebutkan membantah pendapat itu.
Yang dia maksud adalah firman Allah swt.,
“Mereka menjawab: “Ya Tuhan kami Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali (pula),” (QS. al-Gafir [40]: 11)
Dan firman Allah swt.
“Mengapa kalian kafir kepada Allah, padahal kalian tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kalian. Kemudian Allah mematikan kalian lalu Dia hidupkan kalian kembali. Kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?” (QS. al-Baqarah [2]: 28)
Dia (Abu Muhammad bin Hazm) menyatakan:
Apabila orang yang sudah mati hidup kembali di dalam kuburnya berarti Allah ta‘ala telah mematikan kita tiga kali dan menghidupkan kita tiga kali. Tentu saja ini batil dan menyelisihi al-Quran. Terkecuali mereka yang Allah hidupkan yaitu para nabi seperti yang Dia firmankan
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati; maka Allah berfirman kepada mereka: “Matilah kalian!” Kemudian Allah menghidupkan mereka.” (QS. al-Baqarah [2]: 243)
Dan firman-Nya,
“Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya…” (QS. Al-Baqarah [2]: 259), dan juga orang-orang yang dikhususkan oleh nas.
Begitu pula fiman Allah ta’ala, “Allah mewafatkan jiwa (orang) ketika matinya dan (mewafatkan) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir.” (QS. az-Zumar [39]: 42)
Jadi adalah benar berdasarkan nas al-Quran bahwa ruh mereka yang telah kami sebutkan tadi tidak dikembalikan ke jasad mereka kecuali “sampai waktu yang ditentukan”, yaitu Hari Kiamat.
Begitu pula Rasulullah saw. telah mengabarkan bahwa beliau melihat ruh-ruh ketika beliau diperjalankan pada malam Isra’, berada di langit dunia. Di sebelah kanan Adam adalah ruh-ruh orang-orang yang bahagia dan di sebelah kirinya adalah ruh-ruh orang-orang yang sengsara.
Rasulullah saw. juga mengabarkan ketika dalam Perang Badar beliau berbicara dengan mayat-mayat musuh yang mati, bahwa mereka dapat mendengar ucapan beliau sebelum mereka dimasukkan ke liang kubur. Sementara itu, beliau tidak menyangkal pernyataan sahabat yang berkata, “Mereka sudah menjadi bangkai,” tetapi beliau memberi tahu mereka bahwa meski mereka sudah menjadi bangkai, tetapi mayat-mayat itu dapat mendengar ucapan beliau. Dan adalah benar adanya bahwa ucapan dan pendengaran melekat pada ruh-ruh mereka saja tanpa ada keraguan di dalamnya. Adapun jasad mereka tidaklab dapat mengindra lagi.
Allah swt. berfirman,
“,.Dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar.” (QS. Fathir [35]: 22
Dalam ayat ini, Allah swt. meniadakan adanya kemampuan mendengar pada mereka yang sudah dimasukkan ke dalam kubur yang tidak diragukan lagi bahwa yang dimasukkan ke dalam kubur merupakan jasad. Orang muslim tentu saja tidak ragu bahwa yang dinafikan pendengarannya oleh Allah swt. bukanlah orang-orang yang dinyatakan dapat mendengar oleh Rasulullah saw.
Dia (Abu Muhammad bin Hazm) menyatakan,
“Tidak pernah ada satu pun hadis-hadis sahih yang berasal dari Rasulullah saw. yang menyatakan bahwa ruh-ruh orang-orang mati dikembalikan ke dalam tubuh-tubuh mereka ketika mereka menjawab pertanyaan. Kalau saja ada hadis-hadis yang sahih dari beliau yang menyatakan itu, tentu kami akan berpendapat dengan berdasarkan hadis-hadis itu.”
Dia (Abu Muhammad bin Hazm) menyatakan, “Satu-satunya orang yang meriwayatkan, yaitu tambahan keterangan tentang dikembalikannya ruh (ke kubur) ke dalam jasadnya adalah Minhal bin ‘Amr. Dia bukanlah perawi yang statusnya kuat karena Syu’bah dan lainnya meninggalkan hadisnya. Bahkan Mughirah bin Miqsam adh-Dhabbi yang merupakan salah satu imam pernah berkata tentangnya, “‘Minhal bin ‘Amr sama sekali tidak boleh memberikan kesaksian dalam Islam bahkan atas seekor kutu sayuran sekalipun!’ Dan semua riwayat yang tsabit menyatakan yang bertentangan dengan penjelasan ini.”
Dia (Abu Muhammad bin Hazm) menyatakan, “Inilah pendapat kami yang juga sahih bersumber dari para sahabat.”
Setelah itu dia (Abu Muhammad bin Hazm) meriwayatkan dari jalur Ibnu ‘Uyainah, dari Manshur bin Safiyyah, dari ibunya yang bernama Safiyah binti Syaibah, dia berkata, “Suatu ketika Ibnu Umar memasukj Masjid (maksudnya, Masjidil Haram) dan melihat tubuh Ibnu Zubair dicampakkan sebelum disalib. Lalu dikatakanlah kepadanya, ‘Ini Asma’ binti Abu Bakar Shiddiq!’ Ibnu ‘Umar pun iba padanya dan me. nyampaikan duka cita kepada Asma’. Dia lalu berkata, ‘Sesungguhnya jasad-jasad ini sama sekali tidak ada artinya karena semua ruh ada di sisi Allah!’ Tetapi ibunya menukas, ‘Apalah yang menghalangiku, sementara kepala Nabi Yahya bin Zakariya dulu dihadiahkan kepada seorang pelacur Bani Israil!’’
Berikut ini adalah penjelasan saya (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah):
Berkenaan dengan penjelasan yang disampaikan oleh Abu Muhammad bin Hazm, sebenarnya di dalamnya ada yang benar, tetapi ada pula yang batil.
Berkenaan dengan pernyataannya, “Orang yang mengira bahwa orang mati hidup kembali dalam kuburnya sebelum Hari Kiamat sebenarnya telah keliru,” pernyataan ini mengandung pengertian yang bersifat umum. Apabila yang dimaksud kehidupan yang terjadi di dunia, di mana ruh bersemayam di dalam tubuh, lalu ruh itulah yang mengatur dan menggerakkan badan, tentu saja seiring dengan itu badan membutuhkan makanan, minuman, dan pakaian. Semua ini keliru seperti yang dikatakannya. Selain itu, perasaan dan akal sehat juga mendustakannya sebagaimana nas juga mendustakannya.
Apabila yang dia maksud adalah kehidupan lain yang bukan kehidupan ini, melainkan ruh dikembalikan ke jasad dengan pengembalian yang bukan seperti pengembalian di dunia, untuk kemudian ia ditanya dan diuji di dalam kuburnya; itu merupakan sebuah kebenaran dan penangkalan terhadap hal itu merupakan sebuah kekeliruan. Sementara nas sahih secara gamblang telah menyatakan bahwa Rasulullah saw, bersabda, “Ruhnya dikembalikan ke jasadnya.”
Insyaallah, kami akan menjelaskan jawaban atas pernyataannya (maksudnya, pernyataan Abu Muhammad bin Hazm) yang menetapkan status daif terhadap hadis-hadis ini.
Adapun mengenai dalil yang digunakannya, yaitu ayat, “Mereka menjawab: “Ya Tuhan kami Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali (pula).” (QS. al-Ghafir [40]: 11)
Sebenarnya ayat ini tidak menafikan kepastian pengembalian yang terjadi para ruh ke jasadnya untuk ditanyai oleh malaikat. Sebagaimana kasus pembunuhan yang terjadi pada kaum Bani Israil yang korbannya Allah hidupkan setelah terbunuh, lalu Allah mematikan si korban itu lagi.
Kehidupan yang terjadi pada si korban pembunuhan itu sama sekali tidak melanggar kemungkinan dihidupkannya kembali orang yang sudah mati. Pada saat itu, si korban dihidupkan beberapa saat untuk mengatakan, “Si Fulan yang telah membunuhku!” lalu dia kembali mati.
Selain itu sabda Rasulullah, “Kemudian ruhnya dikembalikan ke jasadnya,” sama sekali tidak menunjukkan bahwa “kehidupan” yang terjadi karena dikembalikannya ruh ke jasad itu merupakan kehidupan yang bersifat tetap. Alih-alih, sabda beliau itu hanya menunjukkan bahwa ruh dikembalikan ke badan, sehingga ruh bersatu kembali dengan badan, walaupun badan sudah hancur atau rusak.
Rahasia dari pernyataan ini, yaitu bahwa ruh memiliki lima macam keterkaitan dengan badan yang berubah-ubah. Berikut ini perinciannya:
Pertama: Keterkaitan ruh dengan jasad di dalam perut ibu sebagai janin.
Kedua: Keterkaitan ruh dengan jasad setelah janin terlahir ke bumi.
Ketiga: Keterkaitan ruh dengan jasad dalam keadaan tidur. Dalam keadaan tidur, ruh memiliki keterkaitan dari satu sisi dan memiliki keterpisahan pada sisi lain.
Keempat: Keterkaitan ruh dengan jasad di Alam Barzakh. Apabila ruh berpisah dari jasad dan bersendirian darinya, ruh tidak akan berpisah dari jasad dengan keterpisahan yang bersifat menyeluruh yang membuat ruh sama sekali tidak akan “menoleh” lagi kepada jasad. Di bagian awal telah kami sampaikan beberapa hadis-hadis dan atsar yang menunjukkan kembalinya ruh kepada jasad pada saat ada orang hidup yang mengucapkan salam kepada orang mati. Pengembalian ruh ke jasad ini merupakan bentuk pengembalian yang bersifat khusus dan tidak serta-merta mengharuskan hidupnya jasad sebelum Hari Kiamat.
Kelima: Keterkaitan ruh dengan jasad pada hari ketika semua jasaq dibangkitkan. Inilah jenis keterkaitan paling sempurna antara ruh dengan badan. Tidak ada kesamaan sama sekali antara keterkaitan pada tahap ini dengan semua jenis keterkaitan ruh-jasad yang sebelumnya karena keterkaitan ruh dengan jasad di Hari Kebangkitan membuat jasad tidak lagi mati, tidur dan rusak.
Firman Allah swt., “Allah mewafatkan jiwa (orang) ketika matinya dan (mewafatkan) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan.” (QS. az-Zumar [39]: 42)
Tindakan Allah swt. ‘“menahan” ruh yang telah tiba kematiannya, maka tindakan itu tidak menafikan dikembalikannya ruh ke dalam jasad orang mati pada waktu tertentu dengan pengembalian yang tidak mengharuskan terjadinya kehidupan seperti kehidupan di dunia.
Apabila orang yang sedang tidur, ruhnya berada di dalam tubuhnya dan dia dalam kondisi hidup, tetaplah hidupnya itu tidak sama dengan hidup orang yang dalam kondisi terjaga karena tidur adalah saudara kandung kematian. Seperti itulah halnya orang mati ketika ruhnya dikembalikan ke jasadnya, maka dia mengalami keadaan pertengahan antara keadaan orang hidup dan keadaan orang mati yang ruhnya belum dikembalikan ke jasadnya, seperti keadaan orang tidur adalah pertengahan antara keadaan orang hidup dan orang mati. Silahkan Anda renungkan semua ini, pasti akan hilang banyak kemuskilan dari diri Anda.
Berkenaan dengan berita yang Rasulullah saw. sampaikan mengenai beliau yang melihat para nabi di malam Isra’, sebagian ahli hadis-hadis meyakini bahwa yang Rasulullah lihat sebenarnya adalah ruh-ruh mereka. Allah swt. berfirman,
“Mereka itu hidup di sisi Tuhan mereka dengan mendapat rezeki.” (QS. Ali Imran [3]: 169)
Rasulullah saw. melihat Ibrahim as. menyandarkan punggungnya di Baitul Makmur dan beliau melihat Musa as. berdiri di kuburnya melakukan shalat.
Rasulullah saw. menyebutkan penampilan para nabi itu ketika beliau melihat mereka dengan penampilan ruh. Beliau melihat Musa as. sebagai sosok perkasa tinggi besar seperti lelaki Syanu’ah. Beliau melihat Isa as. selalu meneteskan air dari kepalanya seakan-akan dia baru keluar dari kamar mandi. Dan beliau melihat Ibrahim as., lalu menyatakan bahwa Ibrahim mirip dengan diri beliau.
Akan tetapi, pendapat mereka yang berpendapat seperti ini ditentang Oleh banyak orang lain. Mereka mengatakan: Penglihatan yang dialami Rasulullah saw. terjadi terhadap ruh-ruh para nabi dan bukan jasad-jasad mereka karena jasad-jasad mereka pasti berada di dalam tanah. Kelak nanti jasad-jasad itu akan dibangkitkan pada hari kebangkitan jasad dan tidak dibangkitkan sebelum itu karena kalau memang jasad dibangkitkan sebelum itu, maka pasti tanah terbelah sebelum Hari Kiamat. Ia akan merasakan kematian di saat sangkakala ditiup sehingga itu menjadi kematian yang ketiga, padahal hal itu jelas salah.
Apabila jasad-jasad sudah dibangkitkan dari dalam kubur, maka Allah tidak mengembalikan mereka kepadanya. Alih-alih semuanya itu ada di dalam surga. Padahal riwayat sahih dari Rasulullah saw. menyatakan bahwa Allah swt. mengharamkan surga untuk dimasuki bahkan oleh para nabi sekalipun, sampai Rasulullah saw. yang lebih dulu memasukinya. Beliaulah manusia pertama yang akan membuka gerbang surga, sebagaimana beliau pula manusia pertama yang bangkit dari tanah akan terbuka tanpa ada satu manusia pun yang mengalami itu sebelum beliau.
Padahal, telah diketahui dengan pasti bahwa jasad Rasulullah saw. berada di dalam tanah dalam keadaan segar dan utuh. Suatu kali sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah saw., “Bagaimana selawat kami akan ditunjukkan kepadamu sementara jasadmu telah hancur?” Rasulullah saw. menjawab, “Sesungguhnya Allah swt. mengharamkan bumi untuk memakan jasad-jasad para nabi.”
Dan lagi, apabila jasad Rasulullah saw. tidak ada di dalam Makam beliau yang sekarang, tentulah beliau tidak akan menjawab pertanyaan sahabatnya dalam Hadis-hadis itu dengan jawaban seperti itu.
Sebuah riwayat sahih dari Rasulullah saw. telah menyatakan bahwa Allah swt. memberi kuasa kepada beberapa sosok malaikat untu, berada di makam beliau guna menyampaikan salam dari umat beliau kepadanya.
Sebuah riwayat sahih lainnya dari Rasulullah saw. menyatakan bahwa beliau kelak akan keluar di antara Abu Bakar ra. dan ‘Umar ra. Beliau bersabda, “Seperti itulah kami akan dibangkitkan.’’
Semua itu terjadi dengan diiringi kepastian bahwa ruh Rasulullah saw. yang mulia berada di ar-Rafiq al-A‘la di ‘Illiyyun yang tertinggi bersama ruh-ruh para nabi lainnya.
Sebuah riwayat sahih dari Rasulullah saw. menyatakan bahwa beliau melihat Musa as. berdiri melaksanakan shalat di kuburnya pada malam Isra’ dan Rasulullah saw. juga menyatakan bahwa beliau melihat Musa as. di langit keenam atau ketujuh.
Jadi, ruh memang berada “di sana”, tetapi ia memiliki hubungan dengan jasad yang ada di dalam kubur, ditampakkan dan berkaitan dengan jasad tersebut, sehingga ruh dapat melaksanakan shalat di kuburnya dan juga dapat menjawab salam dari orang yang mengucapkan salam kepadanya, sementara ruh tersebut berada di ar-Rafiq al-A’ld.
Kedua hal tersebut tidak dapat saling menafikan karena ruh berbeda dengan jasad. Anda mungkin mendapati dua ruh yang saling cocok dan sesuai dalam kedekatan dan keakraban. Walaupun antara keduanya terbentang jarak sejauh timur dan barat. Sebagaimana Anda mungkin mendapati dua ruh yang saling jauh dan membenci sedemikian jauhnya, walaupun jasad keduanya saling berdekatan atau bahkan berdempetan.
“Dan tidaklah turunnya ruh dan juga naiknya, dekatnya serta jauhnya terjadi dengan cara yang sama seperti yang terjadi pada jasad karena ruh dapat naik hingga ke atas langit, kemudian ia dapat turun ke bawah tanah di mana mayat terbaring dalam kuburnya. Semua itu dapat terjadi dalam waktu sangat singkat yang jasad tidak akan mungkin dapat naik lalu turun secepat itu. Begitu pula halnya ketika ruh naik lalu kembali ke dalam badan dalam kondisi tidur atau jaga. Sebagian ulama ada yang mengumpamakan hal itu dengan matahari dan sinarnya. Matahari tetap ada di langit, sementara sinarnya berada di bumi.’’
Syekh kami menyatakan, “Tentu saja perumpamaan itu tidaklah tepat karena matahari tidak pernah turun dari langit dan sinar matahari yang memapar bumi sama sekali bukanlah matahari itu sendiri, bahkan bukan pula sifat matahari. Alih-alih, sinar itu adalah sebuah entitas yang dihasilkan oleh matahari. Sedangkan yang terjadi pada ruh, adalah memang ruh itu sendiri yang bergerak naik dan turun.”
Adapun berkenaan dengan pertanyaan sahabat kepada Rasulullah saw. Mengenai orang-orang musyrik yang terbunuh di Badar, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau berbicara dengan orang-orang yang sudah menjadi bangkai?” Yang kemudian dijawab oleh Rasulullah dengan memberi tahu bahwa para mayat itu dapat mendengar ucapan beliau; maka hal itu sama sekali tidak menafikan kemungkinan dikembalikannya ruh mereka ke dalam jasad mereka masing-masing pada saat itu juga yang kemudian mereka dapat mendengar ucapan Rasulullah saw., di saat jasad mereka sudah menjadi bangkai karena sabda Rasulullah saw. sepenuhnya berkaitan dengan semua ruh yang menghuni jasad-jasad yang telah rusak itu.
Adapun berkenaan dengan firman Allah swt. “Dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar.” (QS. Fathir [35]: 22).
Maka kalimat yang digunakan dalam ayat tersebut menunjukkan bahwa maksud ayat itu adalah bahwa orang kafir memiliki hati yang mati, sehingga tidak akan dapat lagi diperdengarkan kepada hati mati itu apa pun yang berguna baginya, sebagaimana halnya orang yang sudah berada di dalam kubur juga tidak akan dapat diperdengarkan apa pun yang berguna bagi mereka.
Jadi, ayat tersebut bukan berisi penjelasan bahwa para penghuni kubur tidak akan dapat mendengar apa-apa karena bagaimana mungkin hal itu dapat terjadi, sementara Rasulullah saw. telah mengabarkan bahwa mereka (para penghuni kubur) dapat mendengar gesekan terompah orang-orang yang mengantarkan jenazah mereka. Rasulullah saw. juga mengabarkan bahwa orang-orang musyrik yang terbunuh di Badar dapat mendengar ucapan dan sabda beliau. Rasulullah saw. juga menetapkan syariat bagi kita untuk mengucapkan salam kepada para penghuni kubur dengan bentuk ucapan seperti yang biasa digunakan untuk orang hidup yang dapat mendengar. Rasulullah saw. bahkan mengabarkan bahwa siapa pun yang mengucapkan salam kepada saudaranya sesama mukmin yang sudah dikubur, maka saudaranya itu akan menjawab salamnya itu
Jadi, sebenarnya ayat tersebut di atas sebanding dengan firman Allah swt. “Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling membelakang.” (QS. an-Naml [27]: 80)
Mungkin saja ada yang berpendapat bahwa penafian pendengaran pada orang tuli dan penafian pendengaran pada orang mati menunjuk. kan bahwa yang dimaksud adalah ketidakmampuan kedua jenis orang untuk mendengar dan ketika hati mereka mati dan tuli. Maka dari itu, tidak mungkin dapat diperdengarkan apa pun kepada mereka sebagaimana halnya yang terjadi pada ucapan yang dilontarkan kepada orang yang sudah mati atau tuli.
Tentu saja semua itu benar adanya, akan tetapi hal itu tidak menafikan kemungkinan diperdengarkannya ruh-ruh setelah kematian mereka dengan sesuatu yang berisi ancaman dan kecaman dengan perantaraan keterkaitan ruh-ruh tersebut dengan jasad-jasad mereka pada suatu waktu tertentu. Jadi, ini bukanlah bentuk memperdengarkan yang dinafikan (tidak dimungkinkan terjadinya). Wallahu a’lam.
Adapun pengertian yang hakiki dari ayat tersebut di atas adalah; Sesungguhnya engkau (maksudnya, Rasulullah saw.) tidak akan pernah mampu memperdengarkan apa pun kepada siapa pun yang Allah swt. tidak perkenankan untuk membuatnya mendengar karena engkau tidak lebih dari sekadar pemberi peringatan. Dengan kata lain, sesungguhnya Allah telah menjadikan untukmu (wahai Rasulullah saw.) kemampuan untuk memberi peringatan kepada orang lain (umatnya) engkau diberi tanggung jawab untuk memperingatkan mereka; bukan kepada orang yang Allah tidak perkenankan untuk membuatnya dapat mendengar peringatanmu.
Berkenaan dengan pernyataannya (maksudnya, Abu Muhammad bin Hazm) bahwa hadis-hadis tersebut di atas tidak sahih disebabkan bersendirinya Minhal bin Amar dalam meriwayatkan hadis-hadis ini, sama sekali bukanlah pendapat yang kuat. Ini adalah bentuk kecerobohan yang dilakukan olehnya (maksudnya, Abu Muhammad bin Hazm) rahimahullah. Hadis-hadis tersebut statusnya sahih dan tidak ada keraguan atas itu. Hadis-hadis itu telah diriwayatkan dari Barra’ bin -Azib oleh beberapa orang lagi selain Zadzan. Di antara mereka adalah -Adi bin Tsabit, Muhammad bin Uqbah dan Mujahid.
Al-Hafizh Abu ‘Abdillah bin Mandah menyatakan dalam kitab ar-Ruh wa an-Nafs:
Muhammad bin Ya’qub bin Yusuf mengabari kami, Muhammad bin Ishaq ash-Shaghani menuturkan kepada kami, Abu Nadhr Hasyim bin al-Qasim menuturkan kepada kami, ‘Isa bin Musayyib menuturkan kepada kami, dari Adi bin Tsabit, dari Barra’ bin Azib, dia berkata, “Suatu ketika kami keluar bersama Rasulullah saw. mengantar jenazah seorang sahabat Anshar. Ketika kami sampai di kuburan, jenazah itu lalu dimasukkan ke dalam liang lahad. Kemudian beliau duduk dan kami pun duduk di sekeliling beliau hingga seakan-akan ada bongkahan batu dan di atas kepala kami ada burung.
Beliau kemudian diam sejenak. Ketika kemudian beliau mengangkat kepala beliau bersabda, “Sesungguhnya ketika orang mukmin berada di permulaan akhirat dan di akhir dunia, dia akan didatangi oleh Malaikat Maut. Pada saat itu turunlah kepadanya para malaikat dengan membawa kafan dari surga dan wewangian hanuth” dari surga. Mereka duduk darinya sampai sejauh mata memandang. Lalu datangnya Malaikat Maut yang kemudian duduk di dekat kepala si hamba mukmin itu dan berkata, “Wahai jiwa yang tenang, keluarlah engkau menuju rahmat dan keridhaan Allah!”
Ruh orang itu lalu mengalir seperti mengalirnya tetes air dari wadahnya. Ketika ruh itu keluar, semua makhluk yang ada di antara langit dan bumi mendoakannya, terkecuali manusia dan jin. Lalu ruh itu dinaikkan ke langit dan dibukakanlah untuknya satu langit. Kemudian mereka yang menghuninya membawanya ke langit kedua, ketiga, keempat, kelima, keenam dan ketujuh menuju Arsy. Mereka yang menghuni setiap langit.
Sesampainya di Arsy, dicatatlah catatannya di ‘Illiyyin. Kemudian Rabb ‘azza wa jalla berkata, “Kembalikanlah hamba-Ku ini ke tempat berbaringnya karena sesungguhnya Aku telah berjanji kepada mereka bahwa dari bumi itu Aku menciptakan mereka, di situ Aku kembalikan mereka dan dari situ juga Aku akan keluarkan mereka sekali lagi.”
Ruh itu pun dikembalikan ke tempat berbaringnya. Munkar dan, Nakir lalu mendatanginya dengan mereka berdua menebarkan tanah dengan kedua taring mereka dan menyibakkan tanah dengan bulu-bulu, mereka. Lalu mereka berdua duduk di dekatnya, kemudian orang itu ditanya, “Hai kau, siapakah Tuhanmu?” Orang itu menjawab, “Tuhanky adalah Allah.” Mereka berdua berkata, “Engkau benar!” Kemudian Orang itu ditanya lagi, “Apakah agamamu?” Orang itu menjawab, “Agamaku Islam.” Mereka berdua berkata, “Engkau benar!” Kemudian orang itu ditanya lagi, “Siapakah nabimu?” Orang itu menjawab, “Muhammad Rasulullah.” Mereka berdua berkata, “Engkau benar!”
Kemudian dilapangkanlah bagi orang itu kuburnya sejauh mata memandang. Lalu ia didatangi oleh sesosok lelaki berwajah tampan, beraroma harum dan berpakaian bagus. Dia berkata, “Jazakallahu khairan (mudah-mudahan Allah membalasmu dengan kebaikan)! Demi Allah setahuku engkau adalah orang yang sangat cepat dalam taat kepada Allah dan sangat lambat dalam bermaksiat kepada Allah!” Dia berkata, “Jazakallahu khairan! Siapakah engkau?” Dia menjawab, “Aku adalah amal salehmu.”
Kemudian dibukakanlah untuknya sebuah gerbang menuju surga sehingga dia dapat melihat tempat duduknya dan tempat tinggalnya dij surga itu sampai Hari Kiamat.
Sesungguhnya apabila orang kafir sampai di akhir dunia dan dj permulaan akhirat lalu dia didatangi oleh kematian, maka turunlah kepadanya rombongan malaikat dari langit dengan membawa kafan dari api dan hanuth dari api. Para malaikat itu kemudian duduk pada orang kafir itu sampai sejauh mata memandang, lalu datang Malaikat Maut yang kemudian duduk di sisi kepalanya. Malaikat Maut berkata, “Keluarlah engkau wahai jiwa yang buruk! Keluarlah menuju kemarahan dan kemurkaan Allah!” Maka bercerai-berailah ruh orang itu di jasadnya karena takut keluar disebabkan apa yang dilihatnya dengan matanya. Malaikat Maut pun menarik keluar ruh itu seperti ditarik keluarnya safdd dari wol basah. Ketika ruh orang kafir itu keluar, segala sesuatu yang ada di antara langit dan bumi melaknatnya, kecuali jin dan manusia.
Kemudian ruh itu dibawa naik ke langit, tetapi langit itu tertutup baginya. Tuhan lalu berkata, “Kembalikanlah hamba-Ku ini ke tempat perbaringnya karena sesungguhnya Aku telah berjanji kepada mereka bahwa dari bumi itu Aku menciptakan mereka, di situ Aku kembalikan mereka dan dari situ juga Aku akan keluarkan mereka sekali lagi.”
Ruh itu pun dikembalikan ke tempat berbaringnya. Mungkar dan Nakir lalu mendatanginya dengan mereka berdua menebarkan tanah dengan kedua taring mereka dan menyibakkan tanah dengan bulu-bulu mereka. Suara kedua malaikat itu seperti petir yang menggelegar. Pandangan mereka seperti kilat yang menyambar. Mereka berdua lalu mendudukkan orang kafir itu, kemudian berkata, ‘‘Wahai engkau, siapakah Tuhanmu?” Dia menjawab, “Aku tidak tahu.” Maka diserulah dia dari samping kubur, “Engkau memang tidak tahu!”’ Kedua malaikat itu lalu memukul orang kafir itu menggunakan godam besar dari besi yang apabila seluruh makhluk yang berada di antara timur dan barat berkumpul, pukulan itu tidak akan berkurang. Kemudian disempitkanlah atas orang kafir itu kuburnya sampai-sampai semua tulang rusuknya bertumpang-tindih.
Setelah itu, datanglah kepadanya sesosok lelaki berwajah buruk, berpakaian jelek dan beraroma busuk. Lelaki itu berkata, “Jazakallahu syarran! (semoga Allah membalasmu dengan keburukan). Demi Allah, setahuku engkau adalah orang yang lambat dalam taat kepada Allah dan cepat dalam maksiat kepada Allah!” Orang kafir itu bertanya, “‘Siapakah engkau?” Sosok itu menjawab, “Aku adalah perbuatan burukmu!”’ Kemudian, dibukakanlah baginya gerbang menuju neraka sehingga dia dapat melihat tempat duduknya di neraka sampai kiamat terjadi. (HR. Ahmad, Mahmud bin Ghailan dan lainnya dari Abu Nashr).
Dalam hadis-hadis tersebut dinyatakan bahwa ruh dikembalikan ke dalam kubur dan kedua malaikat mendudukkan si mayat dan berbicara dengannya.
Kemudian, Ibnu Mandah menyampaikan dari jalur Muhammad bin Salamah, dari Khushaif al-Jazari, dari Mujahid, dari Barra’ bin Azib, dia berkata: Sesungguhnya apabila orang mukmin mengalami kematian, akan datang satu malaikat kepadanya dengan penampilan yang rupawan dan aroma yang harum. Malaikat itu lalu duduk di sisi untuk mencabut nyawanya. Dan datang pula kepadanya dua malaikat dengan membawa hanuth dari surga dan kafan dari surga. Keduanya berada jauh dari Orang mukmin itu. Lalu Malaikat Maut mengeluarkan ruh orang itu dari jasadnya secara perlahan. Ketika ruhnya sudah berada pada Malaikat, Maut, maka kedua malaikat yang lain itu bersegera mengambil ruh itu dari Malaikat Maut. Mereka berdua kemudian memberi wewangian (hanuth) dengan wewangian dari surga, serta mengafaninya dengan kafan dari surga.
Setelah itu, mereka berdua membawa ruh itu ke surga, maka dibukakanlah baginya pintu-pintu langit. Para malaikat bergembira dengan kedatangan ruh itu. Mereka berkata, “Milik siapakah ruh baik yang pintu-pintu surga dibukakan untuknya itu?” Dia disebut dengan nama terbaik yang dulu dia dinamai dengan nama itu di dunia. Dikatakan, “Ini adalah ruh si Fulan!”
Ketika ruh itu dibawa naik ke langit, semua penghuni langit mengerumuninya sampai akhirnya ruh itu diletakkan di hadapan Allah “azza wa jalla di Arsy. Amal ruh itu lalu dikeluarkan dari ‘Illiyyun. Allah lalu berkata kepada para malaikat muqarrabain, ‘“Saksikanlah bahwa aku telah mengampuni pemilik amal ini!” Kemudian kitab catatannya disegel, lalu dikembalikan ke “Illiyyun. Allah lalu berkata lagi, “Kembalikanlah oleh kalian ruh hamba-Ku ini ke bumi karena sesungguhnya Aku telah berjanji untuk mengembalikan mereka ke sana.”’
Sampai di situ Rasulullah saw. merapalkan ayat,
“Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kalian dan kepadanya Kami akan mengembalikan kalian dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kalian pada kali yang lain.” (QS. Thaha [20]: 55)
Apabila orang mukmin diletakkan dalam lahadnya, dibukakan baginya satu gerbang menuju surga di sisi kakinya. Lalu dikatakan kepadanya, “Lihatlah kepada pahala yang Allah siapkan untukmu!” Kemudian dibukakan pula baginya satu gerbang di sisi kepalanya menuju neraka. Lalu dikatakan kepadanya, “Lihatlah azab yang Allah telah hindarkan engkau darinya!”’ Lalu dikatakan kepadanya, “Tidurlah engkau dengan kesenangan!” Demikianlah sehingga tidak ada sesuatu apa pun yang lebih dia sukai daripada terjadinya kiamat.
Rasulullah saw. bersabda: Apabila orang mukmin diletakkan dalam lahadnya, bumi akan berkata kepadanya, “Sungguh engkau adalah kekasih bagiku, ketika engkau ada di punggungku. Jadi bagaimana mungkin hari ini engkau ada di perutku! Akan kuperlihatkan padamu apa yang kulakukan padamu.” Maka dilapangkanlah baginya dalam kuburnya itu sejauh mata memandang.
Rasulullah saw. bersabda: Apabila orang kafir diletakkan di dalam kuburnya, datanglah kepadanya Munkar dan Nakir lalu keduanya mendudukkan orang kafir itu. Mereka berdua berkata, “Siapakah Tuhanmu?” Orang itu menjawab, “Aku tidak tahu.” Mereka berdua berkata kepadanya, “Engkau memang tidak tahu!” Mereka berdua memukulnya hingga orang kafir itu hancur seperti debu. Lalu dikembalikan lagi tubuhnya, didudukkan lagi, kemudian dia ditanya lagi, “Apa pernyataanmu tentang lelaki ini?” Orang kafir itu menyahut, “Lelaki yang mana?” Mereka berdua berkata, “Muhammad saw.!” Orang kafir itu berkata, “Orang-orang berkata bahwa dia adalah Utusan Allah.” Maka kedua malaikat itu kembali memukulnya dengan satu pukulan sehingga membuat orang kafir itu hancur menjadi debu.
Hadis-hadis ini statusnya tsabit, masyhur dan dinyatakan sahih oleh banyak hafiz. Kami juga tidak pernah mengetahui ada seorang pun dari kalangan para imam hadis-hadis yang menyangkal hadis-hadis ini. Alih-alih, mereka justru meriwayatkan hadis-hadis ini di dalam kitab-kitab mereka serta menyikapinya dengan sikap menerima dan menjadikannya sebagai salah satu dasar di antara dasar-dasar agama ini dalam masalah siksa dan nikmat Kubur, pertanyaan Munkar dan Nakir, direnggutnya ruh dan naiknya ruh ke hadapan Allah swt. untuk kemudian kembali ke dalam kubur.
Berkenaan dengan pernyataan Abu Muhammad (Ibnu Hazm) bahwa hadis-hadis ini tidak diriwayatkan oleh perawi, selain Zadzan itu merupakan bentuk dugaan salah darinya karena hadis-hadis ini diriwayatkan dari Barra oleh perawi selain Zadzan. Hadis-hadis ini diriwayatkan darinya oleh ‘Adi bin Tsabit, Mujahid bin Jabr, Muhammad bin ‘Uqbah dan lainnya. Ad-Daruquthni telah menghimpun jalur-jalur periwayatan hadis-hadis ini di dalam tulisannya. Apalagi, Zadzan termasuk perawi yang berstatus tsiqah dan dia banyak meriwayatkan hadis-hadis dari kalangan sahabat besar seperti ‘Umar ra. dan lainnya. Imam Muslim juga meriwayatkan hadis-hadis darinya di dalam ash-Shahih. Yahya bin Mu’adz menyatakan bahwa status Zadzan adalah tsiqah. Humaid bin Hilal yang pernah ditanya tentang Zadzan juga menyatakan bahwa statusnya adalah tsiqah, yang tidak perlu lagi dipertanyakan. Ibnu “Adi menyatakan bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Zadzan boleh diterima (la ba‘sa biha) apabila dia meriwayatkannya dari perawi yang tsiqah.
Berkenaan dengan pernyataan Abu Muhammad (Ibnu Hazm) bahwa Minhal bin ‘Amr bersendirian dengan tambahan dalam hadis-hadis yang diriwayatkannya; yaitu pada kalimat “ruh itu lalu dikembalikan ke dalam tubuhnya” dan dia menyatakan bahwa statusnya daif; maka sebenarnya Minhal adalah salah seorang perawi yang tsiqah dan adil.
Ibnu Mu’in menyatakan bahwa Minhal statusnya tsiqah. Al-Ijli menyatakan bahwa Minhal merupakan “Orang Kufah yang tsigah”, Pernyataan paling serius yang ditujukan terhadap Minhal adalah ketika dikatakan bahwa pernah terdengar suara nyanyian dari rumahnya. Padahal hal seperti itu tidak serta-merta menyebabkan tertolaknya periwayatan darinya dan tertolaknya hadis-hadis darinya.
Singkatnya, pernyataan daif yang ditujukan terhadap Minhal sama sekali tidak ada artinya karena dia tidak dapat menyebutkan sesuatu hal yang dapat menyebabkan da’if-nya Minhal selain bersendiriannya Minhal dalam meriwayatkan hadis-hadis tersebut di atas dengan kalimat tambahan “ruh itu lalu dikembalikan ke dalam tubuhhnya”. Apalagi tadi kami sudah menjelaskan bahwa ternyata Minhal bin ‘Amr tidak bersendirian meriwayatkan hadis-hadis ini, sebab ada para perawi lain yang meriwayatkan hadis-hadis yang sama.
Selain itu telah diriwayatkan pula banyak hadis-hadis lain yang seimbang atau bahkan lebih rinci lagi daripada hadis-hadis yang diriwayatkannya. Seperti adanya kalimat yang berbunyi, “Lalu dikembalikan kepadanya ruhnya” atau kalimat yang berbunyi, “Lalu ruh itu kembali ke kuburnya,” atau kalimat yang berbunyi, “Lalu ia duduk tegak” atau kalimat yang berbunyi, “Lalu kedua malaikat itu mendudukannya” atau kalimat yang berbunyi, “Kemudian dia didudukkan di kuburnya”; yang kesemuanya itu adalah hadis-hadis sahih yang tidak ada cela di dalamnya.
Akan tetapi, ada orang lain yang mencela hadis-hadis ini dengan menyatakan bahwa Zadzan tidak mendengar hadis-hadis ini dari Barra’. Akan tetapi, cela ini batil adanya karena Abu ‘Uwanah al-Isfarayani meriwayatkannya dalam ash-Shahih yang disusunnya dengan sanad darinya (Zadzan). Dia menyatakan, “Diriwayatkan dari Ibnu Amr, dari Zadzan al-Kindi, dia berkata, “Aku mendengar Barra bin ‘Azib…” Hafizh Abu ‘Abdillah bin Mandah berkata, “Ini adalah sanad yang tersambung dan masyhur dan diriwayatkan oleh banyak orang dari Barra.”
Kalaupun kita kesampingkan hadis-hadis Barra’, masih ada banyak hadis-hadis sahih yang secara tegas menyatakan itu. Seperti hadis-hadis Ibnu Abi Dzi’b, dari Muhammad bin ‘Amr bin ‘Atha’, dari Said bin Yasar, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya mayat didatangi oleh malaikat. Apabila mayat itu adalah orang saleh, maka malaikat itu berkata: Keluarlah engkau wahai jiwa yang baik. Keluarlah engkau dengan terpuji. Bergembiralah dengan kenyamanan, wewangian dan Tuhan yang tidak murka.”
Beliau saw. bersabda, “Para malaikat mengucapkan itu sampai ruh tersebut keluar, kemudian ia dibawa naik ke langit dan di minta dibukakan langit itu untuknya. Kemudian ditanyakan, ‘Siapakah itu?’ Mereka menjawab, ‘Fulan!’ Mereka berkata, ‘Selamat datang jiwa baik yang dulu berada di dalam jasad yang baik. Masuklah dengan terpuji. Bergembiralah dengan kenyamanan, wewangian dan Tuhan yang tidak murka.’ Demikian kalimat itu terus dikatakan kepada ruh itu sampai akhirnya ia tiba di langit yang di situ ada Allah azza wa jalla.”
Rasulullah saw. melanjutkan: Apabila yang mati itu adalah seorang Lelaki jahat. Malaikat berkata kepadanya, ‘Keluarlah engkau wahai jiwa buruk yang berada di jasad yang buruk. Keluarlah dengan tercela. Dengarlah berita berupa hamim (air yang sangat panas) dan ghassaq (nanah) serta yang lain sebagai pasangan!’ Mereka terus mengatakan itu sampai ruh itu keluar. Kemudian ruh itu dibawa naik ke langit. Kemudian diminta dibukakan untuknya. Lalu ditanyakan, ‘Siapakah itu?’ Mereka menjawab, ‘Fulan!’ Mereka berkata, ‘Tidak ada selamat datang bagi jiwa buruk yang dulu berada dalam jasad yang buruk. Kembalilah engkau dengan tercela karena sesungguhnya pintu-pintu langit tidak terbuka untukmu.’ Lalu ruh itu pun bergerak di antara langit dan bumi kemudian ke kuburnya.
Lelaki saleh didudukkan di dalam kuburnya tanpa ketakutan dan tanpa disiksa. Lalu dikatakan padanya, “Dalam apakah engkau?” Dia menjawab, “Dalam Islam.” Lalu dia ditanya lagi, “Siapakah lelaki itu?” Dia menjawab, “Muhammad Rasulullah. Dia datang kepada kami dengan membawa berbagai penjelasan dari hadirat Allah. Lalu kami beriman dan membenarkan…”
Kemudian menuntaskan hadis-hadis tersebut.
Hafizh Abu Nu’aim berkata, “Hadis-hadis ini disepakati keadilan oleh para penukilnya. lmam Muhammad bin Isma‘il al-Bukhari dan Muslim bin Hajjaj bersepakat atas Ibnu Abu Dzi’b, Muhammad bin ‘Amr bin Atha’ dan Said bin Yasar, semuanya memenuhi syarat dari mereka berdua. Kalangan terdahulu juga meriwayatkan Hadis-hadis in; dari Ibnu Abi Dzi’b semisal Ibnu Abi Fudaik dan juga meriwayatkan darinya Duhaim bin Ibrahim. Hadis-hadis ini juga diriwayatkan dari Ibnu Abi Dzi’b oleh lebih dari satu orang perawi.
Abu ‘Abdullah bin Mandah telah berhujah atas kembalinya ruh ke dalam tubuh dengan mengatakan: Muhammad bin Husein bin Hasan menuturkan kepada kami, Muhammad bin Yazid an-Nisaburj menuturkan kepada kami, Hammad bin Qarath menuturkan kepada kami, Muhammad bin Fadhl menuturkan kepada kami, dari Yazid bin ‘Abdurrahman ash-Sha‘iqh al-Balkhi, dari Dhahhak bin Muzahim, dari Ibnu ‘Abbas, bahwa dia berkata: Ketika pada suatu hari Rasulullah saw. sedang duduk, beliau merapalkan ayat ini, “Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakratulmaut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata), ‘Keluarkanlah nyawamu.’ Di hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya.” (QS. al-An’am [6]: 93)
Kemudian Rasulullah saw. bersabda, “Demi Dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya. Tidak ada satu jiwa pun yang berpisah dari dunia sampai dia melihat tempat duduknya di surga atau di neraka.”
Lalu beliau bersabda, Apabila itu terjadit padanya, maka berbarislah baginya dua rombongan malaikat yang berbaris di sepanjang antara timur dan barat, seakan-akan wajah mereka adalah matahari. Kemudian mayat itu melihat mereka seperti yang dilihat oleh yang selain mereka. Apabila kalian dapat melihat bahwa mereka melihat kepada kalian. Masing-masing malaikat itu memegang kafan dan hanuth.
Apabila dia orang mukmin, para malaikat itu menyampaikan kabar gembira kepadanya dengan surga, lalu mereka berkata, ‘Keluarlah engkau wahai jiwa yang baik kepada keridhaan dan surga Allah! Sungguh Allah telah menyiapkan untukmu sebagian dari kemuliaan yang itu lebih baik bagimu daripada dunia dengan segala isinya.’
Para malaikat itu terus memberi kabar gembira kepadanya dan meringankannya. Mereka memiliki kelembutan yang jauh lebih lembut daripada kelembutan seorang thu kepada anaknya. Lalu mereka melepaskan ruh orang itu dari bawah setiap kuku dan persendian sehingga matilah lebih dulu yang lebih dulu dan mereka meringankan itu. Walaupun kalian melihatnya berat baginya; sampai nyawa itu mencapai lehernya.”
Rasulullah saw. lalu bersabda, “Sungguh ruh itu jauh lebih tidak suka untuk keluar dari jasad, dibandingkan tidak sukanya anak untuk keluar dari rahim. Pada saat itu, para malaikat bergegas menyambutnya, semua malaikat itu, siapa kiranya dari mereka yang dapat memegang ruh itu. Sementara Malaikat Maut melakukan pencabutannya.”
Kemudian Rasulullah saw. merapalkan ayat,
“Katakanlah: Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa) mu akan mematikan kamu; kemudian hanya kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan.” (QS. as-Sajdah [32]: 11)
Para malaikat membungkusnya dengan beberapa helai kafan berwarna putih kemudian menggendongnya. Sungguh dia jauh lebih berhati-hati dengan ruh itu daripada seorang ibu kepada anaknya. Kemudian berembuslah darinya angin yang lebih harum daripada kesturi. Para malaikat itu menghirup aroma ruh itu dan mereka senang kepadanya. Mereka berkata “Selamat datang aroma yang baik dan ruh yang baik! Ya Allah, limpahkan selawat kepada ruh ini dan limpahkan selawat kepada jasad yang ruh ini keluar darinya!”’
Kemudian Rasulullah saw. bersabda: Para malaikat kemudian naik membawa ruh itu. Allah swt. memiliki makhluk di angkasa yang jumlahnya tidak diketahui, kecuali hanya oleh-Nya. Lalu berembuslah kepada mereka angin yang lebih harum dibandingkan kesturi. Mereka semua lalu berselawat kepada (mendoakan) ruh tersebut dan mereka senang kepadanya. Mereka lalu membuka gerbang-gerbang langit dan semua malaikat berselawat (mendoakan) ruh itu pada setiap langit yang mereka lewati sampai akhirnya dia tiba di hadapan Allah yang Maha Menguasai lagi Maha Menundukkan. Allah swt. lalu berkata, “Selamat datang jiwa baik dan jasad yang jiwa itu keluar darinya!” Apabila Allah azza wa jalla telah mengucapkan “Selamat datang” kepada sesuatu, pastilah sesuatu itu akan disambut oleh segala Sesuatu dan akan disingkirkanlah darinya segala bentuk kesempitan.
Lalu Allah berkata untuk jiwa baik itu: Masukkanlah dia oleh kalian ke dalam surga. Perlihatkanlah kepadanya tempat duduknya di dalam surga. Tunjukkanlah kepadanya semua yang telah Aku siapkan untuknya berupa kemuliaan dan kenikmatan. Lalu bawalah ia ke bumi karena sesungguhnya Aku telah menetapkan bahwa dari bumi itu Aku ciptakan mereka, di situ Aku kembalikan mereka dan dari situ Aku keluarkan mereka sekali lagi.” Demi Dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya. Sungguh ruh itu lebih tidak suka untuk keluar daripadg ketika dia keluar dari jasad. Ruh itu berkata, “Hendak ke manakah, engkau membawaku? Apakah ke jasad yang sebelumnya aku beradg di dalamnya itu?” Para malaikat menjawab, “Sesungguhnya kami di. perintahkan untuk melakukan itu, maka engkau harus menjalaninya,” Para malaikat kemudian turun membawa ruh itu dalam waktu sepert; selesainya mereka memandikan dan mengafaninya. Kemudian mereka memasukkan ruh itu ke tubuhnya dan kafannya.
Hadis-hadis ini menjadi dalil yang menunjukkan bahwa ruh akan dikembalikan ke jasad dan kafannya. Tentu saja pengembalian ini bukan dalam bentuk keterkaitan seperti yang terjadi pada ruh dan badan di dunia, melainkan dalam bentuk lain. Pengembalian ini juga bukan pula dengan bentuk keterkaitan seperti yang terjadi di saat tidur dan juga berbeda dari keterkaitan ruh dengan badan di tempatnya. Alih-alih pengembalian itu merupakan bentuk pengembalian khusus.
Syaikhul Islam’ berkata, “Berbagai hadis-hadis sahih mutawatir telah menunjukkan mengenai kembalinya ruh ke dalam badan di saat pertanyaan berlangsung. Pendapat yang menyatakan bahwa yang ditanya (oleh malaikat) hanya badan tanpa ruh adalah pendapat yang disampaikan oleh sekelompok orang, tetapi disangkal oleh jumhur ulama. Meski diterima oleh beberapa ulama lain. Mereka menyatakan bahwa pertanyaan ditujukan kepada ruh tanpa badan. Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Masarrah dan Ibnu Hazm. Keduanya keliru karena hadis-hadis sahih membantah pendapat itu. Kalau itu terjadi hanya kepada ruh, tidak ada kekhususan pada kuburan bagi ruh.”
Pasal
Masalah ini kemudian dijelaskan oleh jawaban atas pertanyaan tambahan dari penanya yang berkata: Apakah siksa kubur ditimpakan terhadap ruh dengan badan ataukah ditimpakan terhadap ruh tanpa padan ataukah ditimpakan terhadap badan tanpa ruh? Apakah badan ikut bersama ruh merasakan nikmat atau siksa ataukah tidak?”
Syaikhul Islam telah ditanya tentang masalah ini dan di sini kami akan mengetengahkan jawaban yang diberikannya sebagai berikut.
Siksa dan nikmat akan menimpa ruh dan badan sekaligus sesuai kesepakatan ahli sunah wal jamaah. Ruh akan diberi nikmat sebagaimana ia juga akan disiksa secara terpisah dari badan, tetapi ruh juga akan diberi nikmat sebagaimana ia juga akan disiksa dalam kondisi bergapung dengan badan dan badan itu pun bergabung dengan ruh, sehingga nikmat dan siksa terhadap keduanya dalam kondisi seperti itu terjadi ketika ruh dan badan bergabung, sebagaimana itu juga terjadi ketika ruh terpisah dari badan.
Lantas apakah siksa dan nikmat dapat menimpa badan dengan tanpa ruh?
Berkenaan dengan pertanyaan ini, ada dua pendapat yang masyhur dari kalangan ahli hadis dan ahli sunah serta Ahlu Kalam. Akan tetapi, selain itu ada beberapa pendapat aneh (syadz) yang bukan berasal dari kalangan Ahlu sunah dan ahli hadis.
Di antaranya adalah pendapat yang menyatakan bahwa nikmat dan siksa hanya menimpa ruh sementara badan tidak akan pernah diberi nikmat dan tidak pula siksa.
Pendapat ini disampaikan oleh para filsuf yang mengingkari kembalinya badan, serta mereka yang kafir terhadap ijmak kaum muslimin. Selain mereka, pendapat ini juga dinyatakan oleh kalangan Ahlu Kalam dari golongan Muktazilah dan lainnya yang mengakui dikembalikannya badan. Hanya saja mereka menyatakan bahwa semua itu tidak akan terjadi di Alam Barzakh, melainkan akan terjadi ketika manusia dibangkitkan dari Alam Kubur.
Akan tetapi, mereka mengingkari siksa terhadap badan yang terjadi di Alam Barzakh. Mereka menyatakan bahwa ruh yang mendapatkan nikmat atau siksa di Alam Barzakh. Barulah nanti ketika Hari Kiamat terjadi, ruh dan badan secara bersamaan merasakan siksa.
Pendapat ini dinyatakan oleh beberapa kelompok kaum muslimin dari kalangan Ahlu Kalam, Ahli Hadis dan beberapa kelompok lain. Pendapat inilah yang dianut oleh Ibnu Hazm dan Ibnu Masarrah, sebah itu, pendapat ini tidak termasuk di antara ketiga pendapat yang aneh (syadz) tersebut, melainkan berasal dari pendapat orang-orang yang menyatakan adanya siksa kubur, mengakui adanya Hari Kiamat, serta meyakini dikembalikannya badan dan ruh; hanya saja mereka memiliki tiga pendapat mengenai Siksa Kubur sebagai berikut.
Pertama: Siksa kubur hanya akan mengenai ruh.
Kedua: Siksa kubur akan mengenai ruh dan juga badan, dengan perantaraan ruh.
Ketiga: Siksa Kubur hanya akan mengenai badan.
Yang dapat digabungkan kepada pendapat tersebut di atas yaitu pendapat kedua; pendapat yang menyatakan adanya Siksa Kubur serta menetapkan bahwa ruh itulah yang merupakan “kehidupan’’. Adapun
pendapat yang dianggap aneh (syadz), yaitu pendapat mereka yang mengingkari adanya siksa terhadap badan secara mutlak dan juga pendapat mereka yang mengingkari adanya siksa terhadap ruh secara mutlak.
Apabila jumlah pendapat-pendapat yang dinyatakan aneh (syadz) ditetapkan ada tiga, pendapat kedualah yang termasuk pendapat yang aneh (syadz) adalah pendapat orang-orang yang menyatakan bahwa ruh bersendirian tidak akan dikenai nikmat dan tidak akan ditimpa siksa karena ruh merupakan “kehidupan”’. Ini merupakan pendapat beberapa kelompok di antara kalangan Ahlu Kalam dari kalangan Muktazilah dan Asy’ariyah. Di antaranya adalah Qadhi Abu Bakar dan lainnya.
Mereka semua mengingkari bahwa ruh tetap kekal setelah berpisah dari badan. Ini merupakan pendapat yang batil. Pendapat ini diselisihi Oleh para sahabatnya seperti Abul Ma‘ali al-Juwaini dan lainnya. Alih-alih, tetap berdasarkan al-Kitab dan sunah serta kesepakatan ulama salaf, bahwa ruh tetap kekal setelah berpisah dari badan dan juga bahwa ruh akan diberi nikmat atau ditimpa siksa.
Para filsuf ketuhanan (teolog) mengakui pendapat ini. Akan tetapi, mereka mengingkari dikembalikannya badan. Mereka mengakui dikembalikannya badan, tetapi mereka mengingkari dikembalikannya ruh, nikmat terhadapnya dan siksa yang menimpanya tanpa badan.
Kedua pendapat di atas salah dan sesat. Tetapi pendapat para filsuf jauh lebih salah daripada pendapat kalangan muslimin. Kalaupun mungkin ada yang bersepakat dengan mereka dari kalangan orang-orang yang mengaku bahwa mereka menganut Agama Islam, tetapi mereka semua adalah orang-orang yang mengira bahwa diri mereka adalah para ahli makrifat, tasawuf, hakikat, dan kalam.
Pendapat ketiga yang aneh (syadz) adalah pendapat yang menyatakan bahwa di dalam Alam Barzakh tidak ada kenikmatan dan tidak ada siksa. Alih-alih, semua itu tidak akan terjadi sampai Kiamat Kubra terjadi. Sebagaimana hal itu dikatakan oleh mereka yang berpendapat seperti itu dari kalangan Muktazilah dan yang lainnya yang mengingkari siksa dan nikmat kubur berdasarkan pendapat bahwa ruh tidak kekal setelah terpisah dari badan dan bahwa badan tidak menerima nikmat dan tidak pula menerima siksa.
Mereka itulah kelompok-kelompok yang sesat dalam perkara Alam Barzakh. Tetapi mereka tetap lebih baik daripada para filsuf karena mereka masih mengakui adanya Kiamat Kubra.
Pasal
Apabila Anda mengakui berbagai pendapat yang batil ini, hendaklah Anda mengetahui bahwa mazhab salaf umat dan para imam umat berpendapat bahwa apabila orang sudah meninggal, dia akan memperoleh kenikmatan atau memperoleh siksaan. Hal itu juga akan terjadi pada ruh dan juga pada badannya. Ruh akan tetap kekal setelah terpisah dari badan, baik dalam keadaan diberi nikmat maupun ditimpa siksa dan juga kadang-kadang ruh terhubung dengan badan, sehingga badan bersama ruh itu dapat merasakan nikmat, dan siksa.
Setelah itu apabila Kiamat Kubra terjadi, semua ruh dikembalikan kepada jasad masing-masing. Mereka semua berdiri dari kubur mereka demi Allah Tuhan alam semesta. Dikembalikannya badan tersebut telah disepakati oleh semua kaum muslimin, Yahudi, dan Nasrani.
Pasal
Kami menguatkan apa yang telah kami sampaikan. Adapun mengenai hadis-hadis tentang siksa kubur dan pertanyaan dari Malaikat Munkar dan Malaikat Nakir, semuanya sangat banyak dan mutawatir Statusnya dari Rasulullah saw.
Contohnya adalah hadis-hadis yang termaktub dalam dua kitab Sahih, Sahih Bukhari dan Sahih Muslim (penj.)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa suatu ketika Nabi saw. lewat di dekat dua kuburan, beliau bersabda, “Sesungguhnya mereka berdua sedang disiksa dan mereka berdua tidak disiksa karena dosa besar. Yang satu dari mereka berdua tidak bersuci bersih dari air kencing, sementara yang satu lagi suka menyebarkan adu domba.” Setelah itu, Rasulullah saw. meminta diambilkan sebatang pelepah kurma basah, lalu beliau membelahnya menjadi dua. Beliau kemudian bersabda, “Semoga saja (pelepah kurma basah Penj.) ini dapat meringankan mereka selama keduanya belum kering.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dalam Sahih Muslim disampaikan sebuah riwayat dari Zaid bin Tsabit ra., dia berkata, “Ketika kami berada bersama Rasulullah saw. dj sebuah kebun milik Bani Najjar, beliau berada di punggung bagalnya, dan kami bersama beliau, tiba-tiba bagal itu menyentak sehingga nyaris menjungkalkan beliau. Di situ rupanya ada beberapa buah kuburan, Enam, lima, atau empat.”
Rasulullah saw. bersabda, “Siapakah yang tahu para penghuni kuburan-kuburan ini?”
Seseorang menjawab, “Aku!”
Rasulullah saw. pun bertanya, “Kapankah orang-orang itu meninggal?”
Orang itu menjawab, “Mereka mati dalam kesyirikkan.”
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya orang-orang ini sedang disiksa di dalam kubur mereka. Kalau saja bukan agar kalian tidak dikubur (mati), pasti aku akan berdoa kepada Allah antara Dia memperdengarkan kalian siksa kubur yang kudengar darinya.”
Setelah itu Rasulullah saw. menghadap kepada kami dengan wajah beliau, lalu bersabda, “Berlindunglah kalian kepada Allah dari siksa neraka!”
Mereka menyahut, “Kami berlindung kepada Allah dari siksa neraka!”
Rasulullah saw. bersabda lagi, “Berlindunglah kalian kepada Allah dari segala fitnah yang tampak dan yang tersembunyi!”
Mereka menyahut, “Kami berlindung kepada Allah dari segala fitnah yang tampak dan yang tersembunyi!”
Rasulullah saw. bersabda lagi, “Berlindunglah kalian kepada Allah dari segala fitnah Dajjal!”
Mereka menyahut, “Kami berlindung kepada Allah dari segala fitnah Dajjal!”
Dalam Sahih Muslim dan Jami’ as-Sunan terdapat hadis. Dari Abu fiurairah, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seorang dari kalian menyelesaikan tasyahud akhir, maka hendaklah dia berlindung kepada Allah dari empat perkara, yaitu dari siksa Neraka Jahanam, dari siksa kubur, dari fitnah kehidupan dan kematian, serta dari fitnah al-Masih Dajjal.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dalam Sahih Muslim dan kitab lainnya juga terdapat riwayat. Diriwayatkan dari Ibnu “Abbas bahwa Rasulullah saw. mengajari mereka doa tersebut di atas, sebagaimana beliau mengajarkan kepada mereka surah al-Quran, “Wahai Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari siksa Jahanam, berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, berlindung Kepada-Mu dari fitnah kehidupan dan kematian, serta berlindung kepada-Mu dari fitnah al-Masih Dajjal.” (HR. Muslim)
Dalam dua kitab Sahih terdapat riwayat. Diriwayatkan dari Abu Ayyub, dia berkata, “Suatu ketika Rasulullah saw. keluar setelah matahari terbenam. Beliau lalu mendengar suara dan beliau pun bersabda, ‘Orang-orang Yahudi sedang disiksa dalam kubur mereka.’” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dalam dua kitab Sahih terdapat riwayat. Diriwayatkan dari Aisyah ra., dia berkata, “Suatu ketika seorang tua dari kalangan Yahudi Madinah masuk menemuiku. Dia lalu berkata, “Sesungguhnya para penghuni kubur disiksa di dalam kuburan-Kuburan mereka. Aisyah melanjutkan, ‘Aku pun mendustakan perempuan itu dan aku tidak suka memercayainya. Dia lalu keluar dan masuklah Rasulullah saw.’ Aku berkata kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya seorang tua dari kalangan Yahudi Madinah masuk menemuiku, lalu dia menyatakan bahwa para penghuni kubur disiksa di dalam kuburan-kuburan mereka.’ Rasulullah saw. menyahut, ‘Perempuan itu benar! Sungguh mereka disiksa dengan siksaan yang dapat didengar oleh semua binatang.’” Aisyah ra. lalu berkata, ‘Setelah itu aku tidak pernah melihat beliau saw. dalam shalat, kecuali beliau selalu memohon perlindungan dari siksa kubur.’” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dalam Sahih Ibnu Hibban terdapat riwayat. Diriwayatkan dari Umm Mubasysyir, dia berkata, Suatu ketika Rasulullah saw. masuk menemuiku lalu bersabda, “Berlindunglah kalian dari siksa kubur! Aku pun berkata, ‘Wahai Rasulullah! Apakah di dalam kubur ada siksa?’
Beliau menjawab, ‘Sungguh mereka benar-benar disiksa di dalam kuburan-kuburan mereka dengan siksaan yang dapat didengar oleh semua binatang.”’ (HR. Ahmad)
Seorang ulama menyatakan, “Karena sebab inilah orang-orang membawa hewan-hewan tunggangan mereka apabila mengalami sakit, perut ke pemakaman orang-orang Yahudi, Nasrani, dan kaum munafik seperti golongan Isma‘iliyyah, Nushairiyah, dan Qaramithah dan Bani “Ubaid dan lainnya yang ada di Mesir dan Syam. Para pemilik kuda mendatangi pemakaman orang-orang itu dengan tujuan itu, sebagaimana mereka mendatangi pekuburan kaum Yahudi dan Nasrani, Mereka menyatakan bahwa, apabila kuda-kuda mendengar siksa kubur itu akan membuat mereka takut dan merasa panas sehingga sakit perut kuda-kuda itu pun sembuh.”
‘Abdul Haqq al-Isybili berkata: Seorang fakih bernama Abul Hakam bin Barrajan yang merupakan salah seorang ulama yang sekaligus ahli amal (ahlul ‘ilm wal ‘amal), menuturkan kepadaku bahwa suatu ketika mereka menguburkan seorang jenazah di sebelah timur Isybiliyah, Setelah mereka selesai menguburkan jenazah itu, mereka pun duduk di sudut sembari berbincang-bincang dekat seekor binatang yang digembalakan di situ. Tiba-tiba, binatang itu bergerak cepat mendekati kuburan tersebut, lalu meletakkan telinganya di atas makam seakan dia sedang mendengar. Setelah itu, binatang tersebut berpaling lari menjauh, lalu ia kembali ke kuburan itu dan kembali meletakkan telinganya di atas makam itu seakan dia sedang mendengar. Setelah itu, binatang tersebut kembali berpaling lari menjauh dan binatang itu melakukan hal tersebut beberapa kali. Saat itulah Abul Hakam berkata, “Sungguh aku teringat siksa kubur dan sabda Rasulullah saw., ‘Sesungguhnya mereka disiksa dengan siksaan yang dapat didengar oleh binatang-binatang.””
Dia menuturkan cerita ini dan kami memperdengarkan kepadanya Kitab Muslim yang si pembaca mengakhirinya sampai sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya mereka disiksa dengan siksaan yang dapat didengar oleh binatang-binatang.”
Pendengaran itu terjadi atas suara orang-orang yang disiksa. Hannad bin Sariy menyatakan dalam kitab az-Zuhd: Waki’ menuturkan kepada kami, dari A’masy, dari Syaqaq, dari Masruq, dari ‘Aisyah ra., dia berkata, “Suatu ketika seorang perempuan Yahudi masuk menemuiku lalu dia menyampaikan tentang siksa kubur. Aku pun mendustakannya. Lalu Rasulullah saw. masuk menemuiku dan kusampaikan kepadanya tentang hal itu. Beliau bersabda, ‘Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sesungguhnya mereka disiksa di dalam kuburan-kuburan mereka sampai-sampai binatang-binatang mendengar suara mereka.’”
Saya berkata:
Hadis-hadis yang berisi pertanyaan dalam kubur amatlah banyak, seperti di antaranya yaitu sebuah riwayat yang termaktub di dalam dua kitab Sahih dan kitab-kitab Sunan, yang berasal dari Barra bin ‘Azib, yang menyatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seorang muslim ditanya dalam kuburnya, dia akan bersyahadat bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Itulah yang dinyatakan dalam firman Allah swt.,
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ibrahim [14]: 27)
Ada yang menyatakan, “Ayat al-Quran turun untuk menjelaskan tentang siksa kubur. Ketika orang mati ditanya, ‘Siapakah Tuhanmu?’. Dia menjawab, ‘Tuhanku Allah dan Muhammad nabiku.’” Itu adalah firman Allah swt., “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ibrahim [14]: 27)
Hadis-hadis ini telah diriwayatkan oleh kalangan penulis kitab-kitab Sunan dan Musnad secara panjang lebar seperti yang sudah disampaikan sebelumnya.
Dalam hadis-hadis ini Rasulullah saw. secara gamblang menyampaikan tentang dikembalikannya ruh ke dalam badan dengan semua tulang rusuknya yang sudah tumpang-tindih. Ini menjelaskan bahwa siksa ditimpakan terhadap ruh dan badan dalam kondisi keduanya bergabung.
Telah diriwayatkan sebuah hadis yang serupa dengan hadis-hadig Barra’ tentang dicabutnya ruh dan tentang masalah pertanyaan, nikmay dan siksa kubur; yaitu riwayat dari Abu Hurairah ra. yang juga tercantum dalam Musnad dan Sahih Abu Hatim. Dikatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya apabila mayat diletakkan di dalam kuburnva, dia mendengar suara gesekan terompah mereka (para pengantarnya) saat mereka berpaling meninggalkannya. Apabila si maya, itu orang mukmin, shalatnya akan ada di sisi kepalanya, puasa berada di sebelah kanannya, zakat di sebelah kirinya, sementara berbagai perbuatan baik berupa sedekah, silaturahmi, kemakrufan dan kebaikan berada di sisi kedua kakinya.”
Lalu dia didatangi dari arah kepalanya, maka shalat berkata, “Dari arahku tidak ada tempat masuk!” Lalu dia didatangi dari arah kanan. nya, maka puasa berkata, “Dari arahku tidak ada tempat masuk!” Lalu dia didatangi dari arah kirinya, maka zakat berkata, “Dari arahku tidak ada tempat masuk!” Lalu dia didatangi dari arah kedua kakinya, maka berbagai perbuatan baik berupa sedekah, silaturahim, kemakrufan dan kebaikan berkata, “Dari arahku tidak ada tempat masuk!”.
Maka dikatakanlah kepadanya, “Duduklah!” Si mayat itu pun duduk, sementara telah ada seperti matahari yang ditampakkan kepadanya, bersinar menjelang terbenam. Lalu dikatakanlah kepadanya, “Lelaki ini yang ada bersama kalian, apakah yang engkau katakan tentangnya? Dan apakah yang engkau persaksikan terhadapnya?” Si mayat itu berkata, “Biarkanlah aku agar aku melakukan shalat.” Mereka berkata, “Sungguh engkau akan shalat. Kabari kami tentang apa yang kami tanyakan kepadamu. Apakah engkau melihat lelaki ini yang dulu bersama kalian. Apakah yang engkau katakan tentang dia? Dan apakah yang engkau persaksikan terhadapnya?” Si mayat itu menjawab, “Muhammad. Aku bersaksi bahwa dia adalah utusan Allah. Dia datang membawa kebenaran al-haqq dari Allah.” Lalu dikatakan lagi kepada si mayat itu, “Atas persaksian itulah engkau hidup, atas itu pula engkau mati dan atas itu kelak engkau akan dibangkitkan, insyaallah.”
Setelah itu dibukakanlah bagi si mayat itu sebuah gerbang menuju surga, lalu dikatakan kepadanya, “Ini adalah tempatmu dengan segala yang telah Allah siapkan untukmu di dalamnya!” maka kian bertambah hasrat dan kegembiraan si mayat itu. Kemudian kuburannya dilapangkan hingga tujub puluh hasta, cahaya meneranginya dan dikembalikan tubuhnya seperti awalnya, lalu diletakkan sukmanya dalam sukma-sukma yang baik, yaitu burung yang tergantung di pepohonan surga. Itulah yang disebutkan dalam firman Allah swt., “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ibrahim [14]: 27).
Lalu dikatakanlah tentang orang kafir yang berkebalikan dari semua itu, sampai sabda Rasulullah, “…kermudian disempitkanlah terhadap sit mayat kafir itu kuburnya sampai tulang-tulang rusuknya bertumpang-tindih.” Itulah yang dimaksud “penghidupan yang sempit” yang Allah nyatakan dalam firman-Nya,
“Maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta.’’ (QS. Thaha [20]: 124)
Dalam dua kitab Sahih diriwayatkan sebuah hadis dari Qatadah, dari Anas ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya apabila orang mati diletakkan dalam kuburnya lalu para sahabatnya meninggalkannya, dia benar-benar mendengar gesekan sandal-sandal mereka. Dia didatangi dua malaikat yang kemudian memintanya berikrar. Mereka berdua berkata kepadanya, “Apakah yang engkau katakan tentang lelaki Muhammad ini?”
Adapun orang mukmin akan menjawab, “Aku bersaksi bahwa dia adalah hamba dan utusan Allah!”
Malaikat itu berkata, “Lihatlah tempat dudukmu di neraka! Allah telah menggantikan tempatmu dengannya di surga!”
Rasulullah saw. bersabda, “Maka dia melihat keduanya bersama-sama.”
Qatadah berkata, “Telah disebutkan kepada kami bahwa dilapangkan baginya dalam kuburnya sejarak tujuh puluh hasta, lalu dimasukkan sampai penuh kepadanya khadhir sampai hari mereka dibangkitkan.”’
Lalu dia kembali kepada hadis-hadis Anas. Dia berkata: Adapun orang kafir dan munafik, mereka berdua (Munkar dan Nakir) berkata kepadanya, “Apakah yang engkau katakan tentang lelaki ini?” Dia menjawab, “Aku tidak tahu. Aku berkata seperti yang dikatakan orang-orang.”
Mereka berdua berkata, “Engkau tidak tahu dan engkau tidak ucapkan” Kemudian orang itu pun dipukul menggunakan palu besi di antara kedua telinganya sehingga dia berteriak kuat-kuat dan teriakan itu didengar oleh siapa pun yang ada di atasnya, kecuali jin dan manusia.”
Dalam Sahih Abu Hatim diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., dia berkata: Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seorang dari kalian atau seorang manusia dikuburkan, dia akan didatangi oleh dua matlaikat hitam biru. Yang satu bernama Munkar dan yang satu lagi bernama Nakir. Mereka berdua berkata kepadanya, ‘Apakah yang engkau katakan tentang lelaki Muhammad ini?’ Dia pun mengatakan apa yang dikatakannya.”
Apabila dia seorang mukmin, dia menjawab, “Dia adalah hamba dan utusan Allah. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.”
Mereka berdua berkata kepadanya, “Sesungguhnya kami tahu engkau berkata seperti itu.”
Setelah itu, dilapangkanlah baginya dalam kuburnya sejarak tujuh puluh hasta dikali tujuh puluh hasta. Lalu diberi cahaya baginya di dalamnya dan kemudian dikatakan padanya, “Tidurlah!”
Orang itu menyahut, “Aku akan kembali kepada keluarga dan hartaku untuk mengabari mereka!”
Kedua malaikat menyahut, “Tidurlah seperti tidurnya pengantin yang tidak akan dibangunkan, kecuali oleh keluarganya yang paling dia cintai, sampai nanti Allah akan membangkitkan orang tersebut dari tempat tidurnya itu.”
Apabila orang mati itu adalah seorang munafik, dia menjawab, “Aku tidak tahu. Aku mendengar orang-orang mengatakan sesuatu, lalu aku pun mengatakannya.”
Kedua malaikat itu pun berkata, “Kami tahu bahwa engkau mengatakan itu.”
Lalu dikatakanlah kepada bumi, “Impitlah dia!” maka bumi pun mengimpit tubuh orang mati itu sampai-sampai tulang-tulang rusuknya menjadi bertumpang tindih di dalam tanah. Demikianlah dia terus disiksa sampai Allah swt. membangkitkannya dari tempat tidurnya itu.
Semua dalil di atas menunjukkan secara eksplisit bahwa badanlah yang mengalami siksaan.
Telah diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seorang mukmin mengalami sakratulmaut, para malaikat mendatanginya dengan membawa sehelai sutra putih. Mereka berkata, Keluarlah wahai ruh baik dengan ridha dan diridhai menuju kenyamanan, wewangian dan Tuhan yang tidak murka.”
Ruh itu pun keluar seperti aroma kesturi paling semerbak. Teruslah dia diserahkan dari satu malaikat ke malaikat lainnya hingga dia mencapai gerbang langit. Para malaikat kemudian berkata, ‘‘Betapa harumnya aroma yang kalian bawa dari bumi ini!”
Lalu berdatanganlah kepadanya ruh-ruh orang mukmin. Mereka merasakan kegembiraan karena orang mati itu yang lebih besar daripada orang hilang yang kembali kepada mereka.
Mereka (ruh-ruh orang mukmin) itu berkata, “Apakah yang dilakukan si Fulan?”
Mereka (para malaikat) menjawab, “Biarkanlah dia beristirahat karena sesungguhnya dia dulu berada dalam kesusahan dunia.”
Jika dia (si orang mati) berkata, “Dia sudah mendatangi kalian.’’
Mereka berkata, “Sesungguhnya dia dibawa ke neraka Hawiyah.”
Sesungguhnya apabila orang kafir mengalami sakratulmaut, maka para malaikat siksa mendatanginya dengan membawa kain kasar. Mereka lalu berkata, “Keluarlah engkau dengan keadaan dimurkai menuju azab Allah!” Dan ruh orang kafir itu pun keluar seperti bau bangkai yang paling busuk, sampai para malaikat itu membawanya ke gerbang bumi, lalu mereka berkata, ‘‘Betapa busuknya ruh ini!” sampai berdatanganlah ruh-ruh orang-orang kafir karena itu.
Hadis-hadis ini diriwayatkan oleh an-Nasai dan Bazzar serta oleh Muslim secara ringkas. Hadis-hadis ini juga diriwayatkan oleh Abu Hatim dalam ash-Sahih. Dia berkata, “Sesungguhnya apabila orang mukmin didatangi maut, para malaikat rahmat akan mendatanginya. Ketika ruhnya dicabut, ruhnya itu lalu diletakkan di sehelai sutra putih kemudian dibawa pergi dengan sutra itu menuju gerbang surga.”
Para malaikat kemudian berkata, “Kami tidak pernah menemukan aroma seharum ini!”
Lalu ditanyakanlah kepadanya, “Apakah yang dilakukan si Fulan? Apakah yang dilakukan si Fulanah?”
Tetapi lalu dikatakan, “Biarkanlah dia beristirahat karena dia berada dalam kesusahan dunia.”
Adapun apabila orang kafir dicabut nyawanya, lalu dia dibawa ke bumi, kemudian para penjaga bumi berkata, “Kami tidak pernah menemukan bau sebusuk ini!” Lalu dengan bau busuk itu dia mencapai bumi yang paling bawah.”
Nasa‘i meriwayatkan dalam as-Sunan dari hadis-hadis ‘Abdullah bin ‘Umar, dari Rasulullah saw. bersabda, “Inilah yang menggetarkan Arsy dan dibukalah baginya gerbang-gerbang langit dan bersaksi baginya tujuh puluh ribu malaikat. Ia lalu digenggam kemudian dilepaskan.”
Nasa‘i berkata, “Yang dimaksud adalah Sa’d bin Mu‘adz.”
Dia (Nasa’i) juga meriwayatkan hadis-hadis dari ‘Aisyah ra., dia berkata: Rasulullah saw. bersabda, “Kubur itu memiliki tekanan yang kalau ada orang yang dapat selamat darinya, maka yang selamat darinya adalah Sa’d bin Mu’adz.” Dia meriwayatkan hadis-hadis ini dari Syu’bah.
Hannad bin Sariy berkata: Muhammad bin Fudhail menuturkan kepada kami, dari ayahnya, dari Ibnu Abu Mulaikah, dia berkata, “Tidak ada seorang pun yang selamat dari tekanan kubur dan tidak pula Sa’id bin Mu*adz yang salah satu sapu tangannya lebih baik daripada dunia seisinya.”
‘Abdah menuturkan kepada kami, dari ‘Ubaidullah bin ‘Umar, darj Nafi’, dia berkata, “Telah sampai kepadaku bahwa yang menyaksikan jenazah Sa’d bin Mu‘adz jumlahnya tujuh puluh ribu malaikat yang belum pernah sekalipun turun ke bumi. Telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah saw. bersabda, ‘Sahabat kalian telah direngkuh di dalam kubur dengan satu rengkuhan.”
Ali bin Ma’bad berkata: ‘Ubaidullah menuturkan kepada kami, dari Zaid bin Abu Unaisah, dari Jabir, dari Nafi’, dia berkata, ‘‘Safiyah binti Abu ‘Ubaid istri ‘Abdullah bin ‘Umar mendatangi kami dalam keadaan ketakutan. Kami lalu bertanya, ‘Ada apa denganmu?’ Dia pun berkata, ‘Aku datang dari seorang istri Rasulullah saw., lalu dia menuturkan kepadaku bahwa Rasulullah saw. bersabda: Sungguh aku benar-benar melihat bahwa apabila ada seseorang yang selamat dari siksa kubur, yang selamat darinya yaitu Sa’d bin Mu’adz. Sungguh dia telah direngkuh di dalamnya dengan satu rengkuhan.’”
Marwan bin Mu’awiyah menuturkan kepada kami, dari Ala bin Musayyab, dari Mu’awiyah al-Absi, dari Zadzan Abu ‘Umar, dia berkata: Ketika Rasulullah saw. memakamkan putri beliau, beliau duduk di sisi kuburan. Wajah beliau lalu muram tetapi kemudian ceria. Para sahabat pun berkata kepada beliau, “Kami telah melihat wajahmu tadi, kemudian engkau ceria.” Rasulullah saw. lalu bersabda, “Aku teringat pada putrinya dengan kelemahannya dan siksa kubur, maka aku berdoa kepada Allah dan Dia pun menyelamatkannya. Demi Allah dia telah direngkuh dengan satu rengkuhan yang didengar oleh semua yang ada di antara khafiqain.”
Syu’aib menuturkan kepada kami, dari Ibnu Dinar, dari Ibrahim al-Ghanawi, dari seseorang yang berkata: Suatu ketika aku bersama Aisyah, lalu lewatlah jenazah seorang anak kecil, Aisyah pun menangis. Aku berkata kepada Aisyah, “Apakah yang membuatmu menangis wahai Ummul Mukminin?” Aisyah menjawab, “Aku menangis karena anak kecil ini. Aku kasihan kepadanya atas rengkuhan kubur.”
Dari semua dalil di atas dapat diketahui bahwa semua itu terjadi terhadap jasad dengan perantaraan ruh.
PASAL
Sebagaimana hal ini merupakan tuntunan dari sunah yang sahih, maka hal ini menjadi sesuatu yang disepakati oleh kalangan ahli sunah.
Al-Marrudzi berkata: Abu ‘Abdillah berkata, “Siksa kubur adalah sebuah kebenaran yang tidak diingkari, kecuali hanya oleh orang yang sesat menyesatkan.”
Hambal berkata, “Aku bertanya kepada Abu Abdillah mengenai siksa kubur, dia pun menjawab, ‘Ada banyak hadis-hadis sahih yang kami percayai dan kami akui, bahwa kesemuanya berasal dari Nabi saw. dengan sanad yang baik (jayyid) dan kami telah memastikannya. Apabila kami tidak mengakui apa yang dibawa oleh Rasulullah saw. dengan mengingkari serta menolaknya, maka itu sama halnya dengan kami menolak perintah Allah swt., Allah swt. berfirman,
“Dan segala apa yang diberikan Rasul kepada kalian maka terimalah ia.” (QS. al-Hasyr [59]: 7)
Aku (Hambal) lalu bertanya lagi kepadanya, “Apakah siksa kubur adalah sesuatu yang hak?” Dia menjawab, “Itu adalah sesuatu yang hak. Mereka memang benar-benar disiksa di dalam kubur.”
Dia berkata: Aku telah mendengar Abu Abdillah berkata, “Kan; mengimani siksa kubur dan mengimani Munkar dan Nakir, serta meng, imani bahwasanya seorang hamba ditanya dalam kuburnya. Allah swt, berfirman, “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat, ” (QS. Ibrahim [14]: 27) yang maksudnya adalah di dalam kuburnya.
Ahmad bin Qasim berkata, “Aku berkata, ‘Wahai ‘Abdullah, engkau mengakui Munkar dan Nakir, lantas apakah yang diriwayatkan tentang siksa kubur?’
Dia menjawab, ‘Subhanallah! Ya, kami mengakui itu dan kami menyatakannya.’
Aku berkata, “Kalimat ini kami ucapkan ‘Munkar’ dan ‘Nakir’ seperti itu ataukah kami ucapkan ‘Dua malaikat?’
Dia menjawab, ‘Munkar dan Nakir.’
Aku berkata, ‘Mereka mengatakan bahwa tidak ada satu pun ha. dis-hadis yang menyebut Munkar dan Nakir.’
Dia berkata, ‘Itu memang seperti itu!’ maksudnya bahwa lafal yang digunakan adalah ‘Munkar’ dan ‘Nakir.’
Adapun mengenai pernyataan-pernyataan kalangan ahli bidah dan kesesatan, Abul Hudzail dan Marisi berkata, “Barang siapa yang keluar dari ranah keimanan, sesungguhnya dia disiksa di antara nafkhatain (dua tiupan sangkakala). Dan sesungguhnya pertanyaan kubur terjadi pada waktu itu.”
Al-Jubba’i dan putranya, serta al-Balkhi’? memastikan adanya siksa kubur. Akan tetapi, mereka meniadakan siksa kubur itu dari kaum mukminin dan hanya memastikan adanya siksa kubur terhadap orang-orang ateis, kafir, dan kaum fasik dengan segala pedoman mereka.
Banyak tokoh dari kalangan Mu’tazilah yang menyatakan bahwa tidaklah boleh ada malaikat Allah yang disebut dengan nama “Munkar”
dan “Nakir” karena “munkar” menunjukkan orang yang gagap ketika ditanya, sementara “Nakir” menunjukkan kerasnya pertanyaan kedua malaikat kepada orang tersebut.
Ash-Shalihi” dan Shalih Qubbah” menyatakan bahwa siksa kubur hanya berlaku terhadap orang mukmin tanpa dikembalikannya ruh ke dalam jasad karena mayat dapat merasa sakit, merasakan (perasaan), dan mengetahui tanpa adanya ruh. Pendapat seperti ini dianut oleh semua jamaah al-Karramiyyah.
Seorang Mu’tazilah menyatakan bahwa Allah swt. mengazab orang-orang mati di dalam kubur mereka, serta menimpakan rasa sakit kepada mereka sementara mereka tidak merasakan semua itu. Apabila mereka nanti dibangkitkan, barulah mereka mendapatkan dan merasakan semua rasa sakit pukulan itu.
Ada kelompok di antara mereka (kaum Mu’tazilah—Penj.) yang sama sekali mengingkari siksa kubur, seperti misalnya Dhirar bin ‘Amr dan Yahya bin Kamil. Ini merupakan pernyataan al-Marisi.
Singkatnya ini (maksudnya, tidak adanya siksa kubur—penj.) merupakan pernyataan dan pendapat orang-orang yang bingung dan sesat.
Pasal
Salah satu perkara yang harus diketahui adalah bahwa siksa kubur merupakan siksa di Alam Barzakh (‘adzab al-Barzakh). Setiap orang yang mengalami kematian dapat ditimpa azab jenis ini karena siksa kubur pasti akan mengenainya baik orang yang bersangkutan itu jasadnya dikuburkan maupun tidak. Termasuk juga. walaupun orang yang mati itu jasadnya dimakan binatang buas, terbakar hingga menjadi abu, jasadnya hancur dibawa anyin. disalib atau orang yang bersangkutan mati tenggelam di laut. Siksa kubur akan mengenai ruh dan jasad orang yang mati dengan cara seperti itu, sebagaimana siksa kubur mengenai orang mati yang jasadnya dikuburkan di tanah.
Dalam Sahth Bukhari diriwayatkan sebuah hadis dari Samurah bin Jundub, dia berkata: Dulu setiap kali Rasulullah saw. melakukan shalat, beliau menghadapkan wajah beliau kepada kami lalu bertanya, “Siapakah di antara kalian yang malam tadi bermimpi?” Beliau melanjutkan, “Apabila ada seorang dari kalian yang bermimpi, hendaklah dia menceritakannya dan hendaklah dia mengatakan apa pun sekehendak Allah.” Suatu hari, beliau bertanya kepada kami. Beliau bertanya, “Apakah ada seorang dari kalian yang bermimpi?” Kami menjawab, “Tidak.” Beliau bersabda, “Tetapi aku malam tadi bermimpi melihat dua Orang lelaki mendatangiku. Mereka berdua lalu menggamit tanganku lalu mengeluarkan aku menuju Tanah Suci. Ternyata, di situ seorang lelaki duduk dan seorang lelaki berdiri, di tangannya ada sebatang besi yang dia masukkan ke dalam ujung mulut orang yang duduk itu sampai tembus ke tengkuknya. Kemudian dia melakukan hal seperti itu terhadap ujung mulut yang satu lagi. Ujung mulut itu kemudian kembali utuh. Lalu orang itu kembali melakukan seperti apa yang dilakukannya sebelumnya.”
Aku pun bertanya, “Apakah itu?”
Tetapi kedua lelaki itu berkata, “Lanjutkan!”
Kami pun melanjutkan perjalanan sampai kami tiba di seorang lelaki yang berbaring dengan punggungnya dan seorang lelaki yang berdiri di atas kepala orang yang berbaring itu dengan membawa sebongkah cadas atau batu keras, kemudian Dihantamkan lah batu itu ke kepala orang yang berbaring itu. Ketika orang yang berdiri itu menghantam orang yang berbaring itu, batu tersebut pun menggelinding. Orang yang berdiri itu lalu mendatangi batu tersebut untuk mengambilnya dan ketika dia kembali kepala orang yang berbaring itu sudah utuh. Kepalanya kembali seperti sedia kala. Orang yang berdiri itu menghampirinya dan kembali menghantam orang yang berbaring itu.
Aku pun bertanya, “Apakah itu?”
Tetapi kedua lelaki itu berkata, “Lanjutkan!”
Kami pun melanjutkan perjalanan sampai kami tiba di sebuah lubang seperti tanur yang bagian atasnya sempit dan bagian bawahnya lebar sementara di bawahnya dinyalakan api. Ternyata di dalamnya ada banyak lelaki dan perempuan yang bertelanjang. Kemudian datang kobaran api dari bawah mereka. Ketika kobaran itu mendekat, mereka pun naik sampai-sampai mereka hampir saja keluar. Apabila kobaran itu mereda, mereka pun kembali.
Aku pun bertanya, “Apakah itu?”
Tetapi kedua lelaki itu berkata, “Lanjutkan!”
Kami pun melanjutkan perjalanan sampai kami tiba di sebuah sungai darah yang di situ terdapat seorang lelaki sedang berdiri. Sementara di tepi sungai itu ada seorang lelaki yang di depannya ada banyak batu. Lelaki yang berada di sungai itu pun bergerak. Tetapi setiap kali dia ingin keluar, si lelaki yang berada di tepi sungai melemparinya dengan batu tepat di bibirnya, sehingga itu membuatnya kembali ke tempatnya semula.
Aku pun bertanya, “Apakah itu?”
Tetapi kedua lelaki itu berkata, “Lanjutkan!”
Kami pun melanjutkan perjalanan sampai kami tiba di sebuah taman hijau yang di situ terdapat sebatang pohon besar dengan seorang tua dan beberapa anak-anak di pangkalnya. Ternyata di dekat pohon besar itu ada seorang lelaki yang di depannya ada api yang dia nyalakan. Kedua lelaki yang menggiringku memanjat pohon itu bersamaku, lalu mereka memasukkanku ke sebuah tempat yang tidak pernah kulihat tempat seindah itu. Di situ ada beberapa orang tua dan anak-anak muda. Kedua lelaki yang menggiringku itu lalu memanjat lagi bersamaku, kemudian mereka memasukkanku ke sebuah tempat yang lebih indah dan lebih afdal dari tempat pertama.
Aku berkata kepada mereka berdua, “Kalian telah mengajakku berkeliling malam ini. Jadi, beri tahu aku tentang semua yang kulihat tadi!”
Mereka berdua menjawab, “Baiklah! Orang yang engkau lihat robek mulutnya itu adalah pendusta yang mengucapkan kedustaan, lalu kedustaan itu terus berlanjut hingga mencapai berbagai penjuru. Dia akan diperlakukan seperti itu sampai kiamat. Orang yang engkau lihat kepalanya dihantam. Itu adalah seseorang yang Allah ajarkan al-Quran kepadanya, tetapi dia tidur mengabaikan al-Quran itu di malam hari dan tidak pula dia mengamalkan al-Quran itu di siang hari. Dia akan diperlakukan seperti itu sampai Hari Kiamat. Adapun orang-orang yang engkau lihat berada di dalam lubang, mereka adalah para pezina. Sementara orang yang engkau lihat ada di sungai itu adalah pemakan riba. Adapun orang tua yang engkau lihat berada di pangkal pohon besar itu adalah Ibrahim as. Anak-anak kecil di sekelilingnya adalah manusia-manusia keturunannya, sementara orang yang menyalakan api itu adalah Malik sang penjaga neraka. Tempat pertama yang kau lihat itu adalah tempat orang-orang mukmin secara umum, adapun tempat ini adalah tempat para syuhada. Aku Jibril dan ini Mikail. Sekarang angkatlah kepalamu!”
Aku pun mengangkat kepalaku dan tiba-tiba kulihat sebuah istana seperti awan. Mereka berdua lalu berkata, ‘“Inilah tempat tinggalmu!”’
Aku berkata, “Biarkanlah aku masuk ke tempat tinggalku.”
Mereka menyahut, “Sesungguhnya masih tersisa umur bagimu yang belum engkau genapi. Apabila engkau genapi sisa umur itu, barulah engkau dapat mendatangi tempat tinggalmu.”
Hadis-hadis tersebut di atas merupakan nas yang menyebutkan tentang siksa kubur karena mimpi yang dialami para nabi merupakan wahyu yang selalu sesuai dengan kenyataan.
Ath-Thahawi telah menyampaikan sebuah riwayat dari Ibnu Masud, dari Nabi saw., beliau bersabda, “Salah seorang hamba Allah telah diperintahkan untuk dipukul di dalam kuburnya sebanyak seratus kali dera. Akan tetapi, dia terus memohon dan berdoa kepada Allah sampai akhirnya deraan itu hanya tinggal satu dan penuhlah api di dalam kuburnya. Ketika semua itu disingkirkan darinya, diapun siuman lalu berkata, “Mengapa kalian menderaku?” Mereka menjawab, “Sesungguhnya engkau dulu melakukan shalat tanpa taharah dan engkau dulu lewat di dekat orang yang dizalimi, tetapi engkau tidak menolongnya.”
Baihaqi menyampaikan sebuah hadis dari Rabi’ bin Anas, dari Abul ‘Aliyah, dari Abu Hurairah ra., dari Rasulullah saw. mengenai ayat,
“Mahasuci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. al-Isra’ [17]: 1)
Beliau saw. bersabda, “Bahwa kepada beliau dibawakan seekor kuda lalu beliau mengendarainya.”
Rasulullah saw. bersabda, “Setiap langkah (kuda itu) sejarak terjauh pandangan beliau. Beliau pun melakukan perjalanan, sementara Jibril mendampingi beliau. Beliau lalu sampai pada suatu kaum yang menanam dalam satu hari Jalu mereka panen dalam satu hari. Setiap kali mereka memanen, tanaman yang mereka tanam itu langsung tumbuh seperti semula. Beliau pun bertanya, ‘Wahai Jibril, siapakah orang-orang itu?’ Jibril menjawab, ‘Mereka adalah orang-orang yang berhijrah (muhajirun) di jalan Allah. Bagi mereka dilipatgandakan satu kebaikan menjadi tujuh ratus.’”
“Dan apa saja yang kalian infakkan, maka Allah menggantinya dan Dialah pemberi rezeki yang terbaik.” (QS. as-Saba’ [34]: 39)
Setelah itu, beliau mendatangi suatu kaum yang kepala-kepala mereka dihancurkan dengan batu cadas. Akan tetapi, setiap kali kepala mereka hancur, kepala itu langsung kembali utuh seperti sebelumnya, tanpa ada jeda waktu bagi mereka pada semua itu.
Rasulullah saw. bertanya, “Wahai Jibril, siapakah mereka?”
Jibril menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang kepala-kepala mereka terasa berat untuk melaksanakan shalat.”
Kemudian Rasulullah saw. mendatangi suatu kaum yang di depan mereka ada banyak kain dan di belakang mereka ada banyak kain. Mereka menjerit seperti menjeritnya binatang-binatang ternak di atas pohon berduri, zaqqum, dan batu panas Jahannam serta bebatuan lain yang ada di dalamnya.
Rasulullah saw. bertanya, “Wahai Jibril, siapakah mereka?”
Jibril menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan sedekah harta mereka. Allah tidak menzalimi mereka dan tidaklah Allah menzalimi hamba-hamba-Nya.”
Setelah itu Rasulullah saw. mendatangi suatu kaum yang di depan mereka ada daging matang dalam kuali dan ada daging lain yang sudah busuk. Lalu mereka memakan daging dan busuk dan mengabaikan daging matang yang baik.
Rasulullah saw. bertanya, “Wahai Jibril, siapakah mereka?”
Jibril menjawab, “Itu adalah seorang lelaki yang memiliki seorang istri yang halal dan cantik, tetapi dia mendatangi perempuan busuk (pelacur) yang kemudian bermalam bersamanya sampai pagi kemudian mendatangi kayu di jalan yang tidak ada sesuatu apa pun yang melewatinya, kecuali kayu itu menghantamnya.” Allah swt. berfirman,
“Dan janganlah kalian duduk di tiap-tiap jalan dengan menakut-nakuti dan menghalang-halangi orang yang beriman dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan Allah itu menjadi bengkok.” (QS. al-A’raf [7]: 86)
Setelah itu, Rasulullah saw. melewati seorang lelaki yang mengum. pulkan ikatan kayu yang sangat besar sehingga dia tidak mampu mengangkatnya, tetapi lelaki itu ingin menambah lagi kayu yang diangkatnya,.
Rasulullah saw. bertanya, “Wahai Jibril, siapakah itu?”
Jibril menjawab, “Itu adalah seorang lelaki dari kalangan umatmu yang dia memikul amanah dan tidak mampu menunaikannya. Akan tetapi, dia meminta tambah lagi.”
Setelah itu, Rasulullah saw. mendatangi suatu kaum yang bibir-bibir mereka dipotong menggunakan pemotong besi. Setiap kali bibir-bibir mereka itu dipotong, bibir-bibir itu langsung kembali utuh seperti semula tanpa ada jeda waktu bagi mereka di antara semua itu.
Rasulullah saw. bertanya, “Wahai Jibril, siapakah mereka?”
Jibril menjawab, ‘‘Mereka adalah orang-orang yang menyebarluaskan fitnah.”’
Kemudian Rasulullah saw. mendatangi sebongkah batu kecil lalu dari batu itu keluar sinar yang sangat besar. Sinar itu lalu ingin kembali masuk ke dalam batu itu, tetapi dia tidak bisa.
Rasulullah saw. bertanya, “Wahai Jibril, apakah itu?”
Jibril menjawab, “Itu adalah seorang lelaki yang mengucapkan suatu kata-kata lalu dia menyesali kata-kata itu sehingga dia ingin menarik kembali kata-katanya, tetapi dia tidak bisa.”
Demikianlah hadis-hadis ini disampaikan oleh perawinya.
Baihaqi juga menuturkan dalam hadis-hadis tentang Isra’ dari riwayat Abu Said al-Khudri, dari Rasulullah saw., beliau bersabda: Aku kemudian naik bersama Jibril. Jibril kemudian meminta dibukakan gerbang. Ternyata di situ ada Adam seperti bentuknya ketika Allah menciptakan dia dengan Citra-Nya. Kepada Adam itu ditunjukkan ruh-ruh keturunannya yang mukmin. Dia berkata, “Ruh yang baik dan jiwa yang baik. Letakkanlah ia di ‘illiyyun!” Kemudian ditunjukkan kepadanya ruh-ruh keturunannya yang durjana. Dia berkata, “Ruh yang buruk dan jiwa yang buruk! Tempatkanlah ia di dalam sijjin!’
Setelah itu, aku berlalu sebentar dan ternyata kulihat sebuah meja makan yang di atasnya terhidang daging yang sudah dipotong-potong, namun tidak ada seorang pun di situ. Dan kulihat sebuah meja makan lain yang di atasnya tergeletak daging yang sudah berbau dan busuk, tetapi di situ banyak orang yang memakannya.
Aku pun bertanya, “Wahai Jibril, siapakah mereka?”
Jibril menjawab, “Itu adalah orang-orang yang meninggalkan yang halal dan mengambil yang haram.”
Rasulullah saw. melanjutkan:
Kemudian aku berlalu sebentar dan kulihat orang-orang yang perut-perut mereka besar seukuran rumah. Setiap kali salah seorang dari mereka berusaha berdiri, orang itu langsung tersungkur seraya berkata, “Wahai Allah, janganlah engkau bangkitkan kiamat!”. Mereka berada di atas jalan para pengikut Fir’aun. Lalu datanglah orang-orang lain yang menginjak-nginjak mereka sehingga mereka menjerit-jerit.”
Aku pun bertanya, “Wahai Jibril, siapakah mereka?”
Jibril menjawab,
“Itu adalah orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (QS. Al-Baqarah [2]: 275)
Rasulullah melanjutkan:
Kemudian aku berlalu sebentar dan ternyata kulihat suatu kaum yang bibir-bibir mereka seperti bibir unta. Bibir-bibir mereka dibuka, kemudian dimasukkan bara api ke dalamnya, lalu bara api itu keluar dari dubur mereka. Kudengar mereka menjerit.
Aku pun bertanya, “Wahai Jibril, siapakah mereka?”
Jibril menjawab, “Itu adalah orang-orang yang memakan harta anak-anak yatim secara zalim.”
Kemudian aku berlalu sebentar dan ternyata kulihat perempuan-perempuan yang digantung pada bagian payudara mereka. Kudengar mereka menjerit-jerit.
Aku pun bertanya, “Wahai Jibril, siapakah mereka?”
Jibril menjawab, “Itu adalah para pezina.”
Kemudian aku berlalu sebentar dan ternyata kulihat orang-orang yang dipotong daging dari lambung mereka. Kemudian mereka dipaksa mengunyah daging itu seraya dikatakan kepada mereka, ‘“Makanlah seperti yang engkau dulu makan dari daging saudaramu!”’
Aku pun bertanya, “Wahai Jibril, siapakah mereka?”
Jibril menjawab, “Mereka adalah orang-orang dari kalangan umat. mu yang gemar menggunjing.”
Lalu perawi menyampaikan hadis-hadis panjang ini secara lengkap.
Dalam Sunan Abu Dawud diriwayatkan sebuah hadis dari Anas bin Malik, dia berkata: Rasulullah saw. bersabda, “Ketika aku di-mi’rajkan, aku melewati suatu kaum yang mereka memiliki kuku-kuku dari tembaga. Kemudian mereka mencakari wajah dan dada mereka. Aku pun bertanya, ‘Siapakah mereka wahai Jibril?’ Jibril menjawab, ‘Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia’ dan merusak kehormatan mereka.’”
Abu Dawud ath-Thayalisi menyatakan dalam Musnad yang ditulisnya, “Syu’bah menuturkan kepada kami, dari A’masy, dari Mujahid, dari Ibnu ‘Abbas ra., bahwa Rasulullah saw. suatu ketika mendatangi dua kuburan. Beliau bersabda, “Sesungguhnya mereka berdua sedang disiksa disebabkan suatu perkara yang bukan dosa besar. Yang satu disiksa karena memakan daging manusia. Sementara yang satu lagi adalah seorang pengadu domba.” Setelah itu Rasulullah minta diambilkan sebatang pelepah kurma. Beliau kemudian membelah pelepah itu menjadi dua dan meletakkan setengahnya di antara kuburan pertama, lalu meletakkan yang setengah lagi di kuburan kedua. Beliau lalu bersabda, “Semoga diringankan siksa mereka selama kedua pelepah ini masih basah.”
Berkenaan dengan hadis-hadis ini, orang-orang berbeda pendapat mengenai apakah kedua orang yang dikubur itu adalah dua orang kafir ataukah dua orang mukmin. Ada yang menyatakan bahwa keduanya adalah orang kafir karena sabda Rasulullah saw. yang mengatakan bahwa kedua orang itu sedang disiksa “bukan karena dosa besar,’’ menunjukkan bahwa siksa yang menimpa mereka itu adalah tambahan atas siksa yang muncul disebabkan kekufuran dan kesyirikan mereka.
Mereka mengatakan bahwa hadis-hadis tersebut di atas menjadi dalil yang menunjukkan bahwa siksa tidak pernah disingkirkan dari mereka, tetapi hanya diringankan. Selain itu hadis-hadis tersebut juga menunjukkan bahwa keringanan itu hanya terjadi selama pelepah kurma yang diletakkan Rasulullah saw. di kuburan mereka masih basah.
Selain itu, apabila memang kedua orang mati yang berada dalam kuburan itu dua orang mukmin, pasti Rasulullah saw. memberi syafaat dan mendoakan mereka sehingga siksa akan disingkirkan dari mereka berdua berkat syafaat beliau.
Dalam sanad lain dikatakan bahwa kedua orang itu dua-duanya kafir. Siksa yang menimpa mereka itu merupakan tambahan siksa terhadap mereka disebabkan kekufuran dan dosa-dosa mereka berdua. Hadis-hadis ini menjadi dalil yang menunjukkan bahwa orang kafir akan disiksa disebabkan kekufurannya dan semua dosanya. Ini adalah pilihan Abul Hakam bin Barrajan.
Ada yang menyatakan bahwa kedua orang itu dua-duanya muslim dengan adanya penafian oleh Rasulullah saw. terhadap siksa yang ditimpakan terhadap mereka disebabkan sebab selain dua sebab yang telah disebutkan dalam Hadis-hadis tersebut. Alasan lainnya adalah sabda Rasulullah saw., “Dan tidaklah mereka berdua disiksa karena dosa besar”; padahal kekufuran dan kesyirikan merupakan dosa besar yang paling besar. Tidaklah Rasulullah saw. harus selalu memberi syafaat bagi setiap muslim yang disiksa di dalam kuburnya disebabkan suatu kejahatan yang dilakukannya.
Rasulullah saw. pernah mengabarkan tentang seorang pemilik mantel yang terbunuh dalam jihad, bahwa mantel orang itu berubah menjadi api yang menyala di dalam kuburnya, padahal dia adalah seorang muslim yang sekaligus mujahid.
Tidaklah lafal hadis-hadis ini diketahui kepastiannya yaitu pada kalimat “mereka berdua adalah dua orang kafir”. Kalau mungkin saja lafal itu sahih, lafal itu pasti berasal dari ucapan salah seorang perawi hadis-hadis tersebut. Wallahu a’lam. Ini adalah pilihan Abu ‘Abdillah al-Qurthubi.
MEREKA BERKATA: Apabila kami menggali kuburan, ternyata kamj tidak menemukan di dalamnya malaikat yang buta dan tuli sedang memukuli orang-orang mati menggunakan palu besi, sebagaimana kami juga tidak menemukan di dalamnya ular-ular ataupun api yang menyala. Apabila kami mencari tahu tentang keadaan orang mati yang dikubur, kami dapati orang mati itu tetap dengan keadaannya tanpa ada perubahan padanya. Apabila kami letakkan air raksa di matanya dan kami letakkan biji sawi di dadanya, kami akan temukan orang mati itu dengan keadaan seperti itu.
Jadi, bagaimana mungkin dapat dikatakan bahwa kuburan orang mati dilapangkan sejauh mata memandang atau disempitkan hingga mengimpitnya, padahal kami dapati orang mati itu tetap seperti keadaannya semula, sebagaimana kami dapati ukuran kuburannya persis seperti ukuran kuburan yang kami gali untuknya, tanpa bertambah ataupun berkurang? Bagaimana mungkin lahad yang sempit itu dapat memuat orang mati itu, para malaikat dan berbagai sosok yang muncul untuk menghibur ataupun menakuti orang mati itu?
Sementara itu, saudara-saudara mereka dari kalangan ahli bidah dan kesesatan berkata, “Semua hadis-hadis yang menyelisihi tuntunan akal dan indera menunjukkan kesalahan para perawinya.”
Mereka berkata: Kami telah melihat orang yang disalib di sebatang kayu selama beberapa waktu, ternyata tidak pernah ditanya oleh malaikat. Dia tidak menjawab, tidak bergerak, dan tidak ada api yang dinyalakan untuk membakarnya. Sebagaimana halnya semua orang yang mati dimangsa binatang buas dan dimakan burung-burung, semua bagian tubuhnya harus terpencar di perut binatang-binatang buas yang memangsanya serta masuk ke dalam perut burung-burung yang memakannya. Atau orang yang mati dimakan ular, maka tubuhnya masuk ke perut ular yang memakannya.
Bagaimana mungkin semua bagian tubuh yang sudah terpencar-pencar itu dapat ditanya? Bagaimana pula dapat digambarkan terjadinya pertanyaan oleh kedua malaikat bagi orang yang mengalami kematian dengan Cara seperti itu? Bagaimana pula kuburan yang seperti itu dapat menjadi taman di antara taman-taman surga atau menjadi salah satu liang di antara liang-liang neraka? Bagaimana mungkin kuburan itu dapat mengimpit penghuninya hingga tulang-tulang rusuk bertumpang tindih?
Berikut ini kami akan paparkan beberapa poin penting yang dapat menjadi jawaban atas semua pertanyaan tersebut di atas.
Poin pertama: Harus diketahui bahwa semua rasul utusan Allah shalawatullah wa salamuhu ‘alaihim tidak pernah mengabarkan sesuatu yang dianggap mustahil oleh akal dan dianggap pasti mustahil. Alih-alih, semua kabar yang disampaikan oleh para rasul itu dapat dibagi menjadi dua:
* Pertama: Hal-hal yang disaksikan kebenarannya oleh akal dan fitrah.
* Kedua: Hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal semata, semisal perkara-perkara gaib yang dikabarkan oleh para rasul menyangkut berbagai hal yang terjadi di Alam Barzakh dan Hari Akhir atau berbagai hal yang berhubungan dengan pahala dan hukuman.
Selain itu, kabar yang disampaikan para rasul itu sangat rasional dan sangat mungkin dicerna oleh akal. Setiap kabar yang diduga bahwa akal akan menyatakannya mustahil, tidak pernah lepas dari salah satu di antara dua kondisi: a) Kabar itu merupakan sebuah kebohongan atau b) Akal manusia yang rusak sehingga menimbulkan khayalan semu yang oleh orang yang mengalaminya dikira sebagai sesuatu yang masuk akal. Allah swt. berfirman,
“Dan orang-orang yang diberi ilmu (Ahli Kitab) berpendapat bahwa wahyu yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itulah yang benar dan menunjuki (manusia) kepada jalan Tuhan Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji.” (QS. Saba’ [34]: 6)
Allah swt. berfirman,
“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.” (QS. ar-Ra’d [13]: 19)
Allah swt. berfirman,
“Orang-orang yang telah Kami berikan kitab kepada mereka bergembira dengan apa (kitab) yang diturunkan kepadamu dan di antara golongan-golongan (Yahudi dan Nasrani) yang bersekutu, ada yang mengingkari sebagiannya.” (QS. ar-Ra’d [13]: 36)
Padahal jiwa manusia tidak mungkin merasa gembira dengan sesuatu yang mustahil. Allah swt. berfirman,
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah: ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira’.” (QS. Yunus [10]: 57-58)
Padahal sesuatu yang mustahil tidak dapat menyembuhkan, tidak dapat menghasilkan hidayah ataupun rahmat dan tidak dapat membuat gembira.
Ini adalah sesuatu hal yang dialami oleh orang yang kebaikannya belum menetap dalam hatinya serta belum kokoh fondasi keislamannya, yaitu orang yang keadaan terbaik dirinya hanyalah kebingungan dan keraguan.
PASAL
Poin kedua: Haruslah dipahami semua yang dimaksudkan oleh Rasulullah saw. tanpa sikap berlebihan dan tidak pula mengurang-ngurangi. Sabda beliau tidak boleh dibebani dan tidak boleh pula disimpangkan pengertiannya. Sabda beliau tidak boleh dikurangi tujuan dan maksudnya sebagai petunjuk hidayah dan penjelasan.
Pengabaian semua hal ini, serta penyimpangan darinya pasti akan menghasilkan kesesatan dan penyimpangan dari kebenaran yang tidak diketahui, kecuali hanya oleh Allah swt. Bahkan lebih dari itu, buruknya pemahaman terhadap Allah dan Rasulullah merupakan pangkal segala bidah dan kesesatan yang tumbuh di dalam Islam. Bahkan hal itu menjadi pangkal segala kesalahan baik di bagian ushul (pokok) maupun furu’ (cabang) apabila hal itu diperparah dengan maksud buruk. Pada bagian tertentu, buruknya pemahaman dari pihak yang diikuti akan berkelindan yang memiliki tujuan baik, dengan buruknya tujuan pihak yang mengikuti. Sungguh ini adalah mala petaka yang menimpa agama dan para pengikutnya! Walléahul musta‘an.
Bukankah tidak ada yang memerosokkan golongan Qadariyyah. Murji’ah, Khawarij, Mu’tazilah, Jahmiyyah dan Rafidhah serta semua kelompok ahli bidah, kecuali buruknya pemahaman mereka tentang Allah dan Rasulullah sehingga agama yang ada di tangan banyak orang yang memiliki pemahaman yang buruk itu. Sementara pemahaman yang diikuti oleh para sahabat dan semua orang yang mengikuti mereka tentang Allah dan Rasulullah, justru dijauhi dan tidak pernah dipedulikan, tanpa orang-orang itu pernah mau memerhatikannya!
Oleh karena begitu banyaknya contoh kaidah ini, maka kami kesampingkan semua itu. Contoh-contoh tersebut apabila kami jabarkan semuanya, penjelasannya pasti akan lebih dari puluhan ribu halaman, Sampai-sampai jika Anda merunut kitab itu dari awal sampai akhirnya, maka anda tidak akan menemukan bahwa penulisnya tidak memahamj tentang Allah dan Rasulullah sebagaimana yang semestinya, meskipun hanya pada satu judul saja!
Hal ini hanya diketahui oleh orang yang mengetahui apa yang ada pada umat manusia lalu mencocokkannya dengan apa yang disampaikan oleh Rasulullah. Ketika ada orang yang sudah mencocokkan sesuatu perkara dengan apa yang disampaikan oleh Rasulullah sesuai dengan keyakinannya, tetapi dia kesampingkan itu dan tetap memilih untuk bertaklid kepada “orang lain” yang dia berbaik sangka kepada orang itu, maka sikap orang seperti itu tidak perlu kita bahas di sini sedikit pun. Biarkanlah orang itu dengan pilihannya sendiri. Biarkan dia menanggung sendiri penyimpangannya. Pujilah Allah yang telah menyelamatkan Anda dari cobaan-Nya.
PASAL
Poin ketiga: Allah telah menciptakan tempat tinggal dalam tiga bagian: a) Tempat tinggal di dunia (dar ad-dunya), b) Tempat tinggal di Alam Barzakh (dar al-Barzakh), dan c) Tempat tinggal di akhirat (dar al-qarar).
Allah telah menetapkan berbagai hukum yang berlaku secara khusus pada masing-masing tempat tinggal itu. Allah membentuk manusia dari badan dan ruh. Dia menetapkan hukum-hukum yang berlaku di dunia hanya berlaku terhadap badan, sementara ruh hanya mengikuti badan. Itulah sebabnya, Allah swt. menetapkan hukum-hukum syariatnya untuk dilakukan secara lahiriah dengan lidah dan anggota tubuh, walaupun ruh memendam sesuatu yang bertentangan dengan apa yang tampak.
Sementara itu, Allah swt. menetapkan berbagai hukum yang berlaku di Alam Barzakh hanya berlaku terhadap ruh, sementara badan hanya mengikuti ruh. Itulah sebabnya, sebagaimana ruh mengikuti badan ketika tunduk pada hukum-hukum dunia. Ruh akan dapat merasakan sakit ketika badan dan ruh akan merasa nikmat ketika badan merasa nyaman. Oleh karena itu, badan itulah yang bersentuhan dengan berbagai sebab kenikmatan dan siksa. Sementara di Alam Barzakh badan yang mengikuti ruh dalam kenikmatan dan siksa karena pada saat itu ruhlah yang bersentuhan dengan siksa dan nikmat.
Di dunia sini, badan bersifat lahiriah sementara ruh bersifat batiniah sehingga badan menjadi semacam kuburan bagi ruh. Sedangkan di akhirat sana, ruh bersifat lahiriah sementara badan bersifat batiniah di dalam kuburannya, sementara semua hukum Alam Barzakh berlaku pada ruh. Kepada badanlah semua nikmat atau azab akan dialirkan oleh ruh (di Alam Barzakh), sebagaimana hukum-hukum dunia berlaku pada badan (di alam dunia), ketika badan mengalirkan nikmat dan siksa kepada ruh.
Kuasailah dengan baik bagian ini dan ketahuilah bagian ini sebagaimana yang seharusnya, niscaya akan hilang dari diri Anda segala bentuk kemuskilan yang menerpa anda baik dari dalam, maupun dari luar.
Dengan kelembutan, rahmat dan hidayah-Nya, Allah telah memperlihatkan kepada kita sebagian dari apa yang disebutkan di atas itu dalam bentuk contoh-contoh di dunia berupa kondisi orang yang sedang tidur. Orang yang sedang tidur merasakan nikmat dan siksa dalam tidurnya yang sebenarnya mengenai ruhnya, sementara badannya hanya mengikuti apa yang dirasakan oleh ruh.
Terkadang, pengaruh yang muncul itu sedemikian kuat sehingga memberi dampak fisik. Ketika seseorang yang sedang tidur mengalami mimpi dirinya dipukul, ternyata keesokan paginya orang itu mendapati adanya bekas pukulan di tubuhnya. Ada pula orang yang bermimpi makan atau minum, lalu dia terjaga dan ternyata dia mendapati adanya bekas makanan atau minuman yang dimakan atau diminumnya dalam mimpi itu di dalam mulutnya seiring dengan hilangnya rasa lapar dan dahaga.
Yang lebih mengherankan lagi, yaitu ketika anda melihat orang yang sedang tidur berdiri di tengah tidurnya lalu dia melakukan gerakan memukul, merengkuh, dan menangkis seakan-akan dia sedang terjaga. padahal dia sedang tertidur dan tidak merasakan apa pun. Semua itu terjadi karena ketika suatu “hukum” berlaku pada ruh, maka ruh akan “meminta bantuan” badan yang ada di luar. Apabila ia masuk ke dalamnya, ia pasti akan terjaga dan dapat merasakan.
Apabila ruh dapat merasakan sakit dan nikmat yang kemudian semua itu terjadi pada badan dengan jalan mengikuti ruh, seperti itulah pula yang terjadi di Alam Barzakh, bahkan lebih hebat dari itu karena kemandirian ruh di alam sana lebih sempurna dan lebih kuat, Kemandirian tersebut berkaitan dengan badan yang sama sekali tidak akan pernah terputus. Ketika tiba hari penghimpunan, jasad dan kebangkitan manusia dari kubur-kubur mereka, maka hukum, nikmat dan siksa akan menerpa ruh dan badan secara lahiriah.
Ketika anda telah memberikan sikap yang benar terhadap masalah ini, pasti akan menjadi jelas bagi Anda bahwa semua yang dikabarkan oleh Rasulullah saw. menyangkut siksa kubur, nikmat kubur, kesempitan kubur, kelapangan kubur, impitan kubur, kondisinya sebagai salah satu liang neraka dan kondisinya sebagai salah satu taman surga, semuanya memang sesuai dengan akal dan sekaligus merupakan sebuah kebenaran yang tidak ada keraguan di dalamnya. Selain itu, menjadi jelas pula bahwa ketidakpahaman orang-orang terhadap semua itu terjadi disebabkan buruknya pemahaman dan sedikitnya pengetahuan mereka, Sebuah syair mengatakan:
Betapa banyak pencela ucapan baik
Petakanya datang dari pemahaman buruk
Yang lebih menakjubkan lagi dari semua yang telah dipaparkan di atas yaitu ketika anda menemukan dua orang yang tidur di atas satu ranjang. Lalu ruh salah satu di antara mereka berdua merasakan kenikmatan, kemudian bangun dan mendapati bekas nikmat itu pada badannya; sementara ruh orang yang satu lagi merasakan siksa, kemudian bangun dan mendapati bekas siksa itu pada badannya, tanpa ada satu pun di antara mereka yang mengetahui apa yang mereka alami antara satu sama lain. Tentu saja Alam Barzakh jauh lebih menakjubkan dari kejadian seperti itu.
PASAL
Poin keempat: Allah swt. telah menjadikan perkara akhirat dan segala hal yang berhubungan dengannya sebagai sesuatu yang bersifat gaib. Allah menghijabnya dari pengetahuan manusia di dunia ini. Hal itu terjadi sebagai bentuk kesempurnaan kebijaksanaan-Nya dan juga agar kaum mukminin menjadi istimewa dibanding dengan semua orang yang selain mereka, yang berkaitan dengan kegaiban tersebut.
Yang pertama dari semua itu, yaitu bahwa para malaikat turun kepada orang yang sedang mengalami sakratulmaut. Mereka duduk dekat dari orang tersebut, sementara orang tersebut dapat melihat mereka dengan mata kepalanya. Mereka berbincang di dekat orang itu sembari membawa kain-kain kafan dan hanuth baik dari surga atau dari neraka. Selain itu, para malaikat itu bahkan mengamini doa orang-orang yang hadir di tempat orang mati itu, baik berupa kebaikan maupun berupa keburukan. Terkadang mereka mengucapkan salam kepada orang yang sedang sekarat dan terkadang orang itu menjawab salam para malaikat itu dengan ucapannya, terkadang dengan isyarat dan terkadang hanya dengan hati ketika dia tidak lagi dapat berkata-kata dan tidak mampu memberi isyarat.
Pernah didengar dari orang-orang yang mengalami sakratulmaut mereka berkata, “Selamat datang wajah-wajah ini!” Seorang tua mengabari saya tentang seseorang yang sekarat dan saya tidak tahu apakah orang tua itu melihat sendiri atau mendengar kabar tentang itu, bahwa dia mendengar orang yang mengalami sakratulmaut itu berkata, “Alaikassalam! Di sini duduklah! Alaikassalam! Di sini duduklah!”
Ada pula kisah Khair an-Nassai yang terkenal. Dia berkata menjelang kematiannya, “Bersabarlah ‘afakallah, sesungguhnya apa yang diperintahkan kepadamu tidak akan berlalu dan apa yang diperintahkan kepadaku akan berlalu.” Setelah itu dia meminta air dan kemudian berwudhu lalu shalat. Dia berkata, “Laksanakanlah apa yang diperintahkan kepadamu.” Dan dia pun meninggal dunia.
Ibnu Abu Dunya menuturkan bahwa ketika ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz menjelang kematiannya, dia berkata, “Dudukkanlah aku!” Orang-orang pun mendudukkannya, lalu dia berkata, “Aku adalah orang yang engkau perintahkan Jalu aku kurang dalam pelaksanaannya. Engkau larang aku, lalu aku melanggarnya!” Dia mengucapkan kalimat itu tiga kali, kemudian dia melanjutkan, “…tetapi tidak ada Tuhan selain Allah.” Setelah itu dia mengangkat kepalanya dan menajamkan pandangannya sehingga orang-orang berkata, “Sungguh engkau melihat tajam sekali wahai Amirul Mukminin!” “Umar bin “Abdul Aziz menyahut, “Sesungguhnya aku melihat sosok-sosok yang datang dan mereka bukan manusia bukan pula jin.” Setelah itu Umar pun meninggal dunia.
Maslamah bin Abdul Malik berkata: Ketika ‘Umar bin “Abdul Aziz mengalami sakaratulmaut, kami ada bersamanya di sebuah kubah. Dia lalu memberi isyarat kepada kami agar kami keluar. Kami pun keluar, lalu kami duduk di sekitar kubah itu. Hanya Washif yang tetap bersamanya. Kami dengar dia merapalkan ayat, “Negeri akhirat itu, Kamj jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” Kalian bukanlah manusia dan bukan jin!
Setelah itu, Washif keluar lalu memberi isyarat kepada kami agar kami semua masuk. Kami pun masuk dan ternyata “Umar bin “Abdul ‘Aziz telah meninggal dunia.
Fadhalah bin Dinar berkata, “Suatu ketika aku mendatangi Muhammad bin Wasi’ ketika dia sedang mengalami sakratulmaut. Kala itu dia berkata, ‘Selamat datang wahai para malaikat Tuhanku! Tidak ada daya dan tidak ada kekuatan, kecuali hanya pada Allah.’ Setelah itu, aku mencium aroma harum yang tidak pernah sekalipun kucium aroma sesemerbak itu. Muhammad bin Wasi’ lalu memandang ke atas dan dia pun meninggal dunia.
Sementara itu, berbagai atsar yang menuturkan peristiwa-peristiwa semacam ini amatlah banyak tidak berbatas dan semuanya lebih tegas lagi. Tetapi dari semua itu tampaknya cukuplah untuk disampaikan ayat-ayat berikut ini:
“Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, padahal kalian ketika itu melihat dan Kamilebih dekat kepadanya daripada kalian. Tetapi kalian tidak melihat.” (QS. al-Waqi’ah [56]: 83-85)
Maksudnya: “Kami lebih dekat kepada orang yang mengalami sakratulmaut dengan para malaikat dan para utusan Kami. Tetapi kalian tidak dapat melihat mereka.” Inilah yang terjadi pertama-tama, tetapi tidak dapat terlihat dan tidak dapat disaksikan oleh kita, walaupun ada di tempat itu.
Setelah itu malaikat akan mengulurkan tangannya kepada ruh orang yang bersangkutan, menggenggamnya lalu mengajaknya berbicara. Sementara orang-orang yang hadir di tempat orang tersebut tidak ada yang melihat malaikat itu serta tidak dapat mendengarnya. Kemudian ruh orang itu keluar dan keluarlah bersamanya cahaya terang seperti sinar matahari dengan aroma yang lebih harum daripada kesturi. Sementara itu semua orang yang hadir di tempat itu tidak ada yang melihat semua dan tidak dapat pula mencium aroma semerbak tersebut. Lalu ruh tersebut akan naik di antara dua barisan malaikat yang tidak terlihat oleh mereka yang hadir. Setelah itu, ruh tersebut akan datang dan melihat badannya dimandikan, dikafani, dan diusung ke kuburan. Ia berkata, “Bawalah aku! Bawalah aku!” atau berucap, “Hendak ke manakah kalian membawaku?” Tetapi orang-orang tidak mendengar ucapannya itu.
Apabila badan orang tersebut sudah dimasukkan ke dalam lahad lalu tanah ditimbun ratakan di atas badan tersebut, tanah yang menimbunnya itu tidak akan dapat menghalangi para malaikat untuk mencapainya. Bahkan apabila mayat seseorang dimasukkan ke dalam sebongkah batu yang dilubangi lalu ditutup menggunakan segel timah, maka hal itu tidak akan dapat menghalangi para malaikat untuk mencapainya karena semua materi kasar itu tidak dapat menghalangi tembusnya ruh padanya. Bahkan jin pun tidak dapat menghalanginya. Alih-alih, Allah swt. telah menjadikan bebatuan dan tanah bagi para malaikat sama seperti udara bagi burung.
Adapun meluas dan melapangnya kuburan dipahami hanya untuk ruh. Sementara badan hanya mengikutinya, sehingga badan tetap berada di dalam lahad yang ukurannya lebih sempit daripada satu hasta, sementara telah dilapangkan baginya kuburannya itu sejauh mata memandang karena ia mengikuti ruhnya.
Berkenaan dengan impitan kuburan yang membuat tulang-tulang rusuk orang-orang mati bertumpang-tindih, hal itu tidak ditolak baik oleh perasaan, akal, maupun fitrah. Apabila takdir membuat seseorang membongkar kuburan seseorang, lalu ternyata orang itu mendapati tulang-tulang rusuk si mayat tetap utuh seperti sedia kala dan tidak ber. tumpang-tindih, hal itu tidak dapat mematahkan kemungkinan bahwa tulang-tulang rusuk itu sebenarnya telah kembali kepada kondisinya semua setelah kuburannya mengimpit karena orang-orang zindik dan ateis memang selalu mendustakan Rasulullah saw.
Seseorang yang tepercaya pernah mengabarkan bahwa suatu kali dirinya menggali tiga buah kuburan. Setelah itu, dia berbaring untuk beristirahat hingga tertidur. Sesaat kemudian, dia mengalami mimpi melihat dua malaikat turun lalu mereka berdua berdiri di atas salah satu di antara kuburan-kuburan itu. Salah satu malaikat berkata kepada malaikat yang satu lagi, “Tulislah satu farsakh’ dikali satu farsakh!” Lalu malaikat itu berdiri di kuburan kedua dan berkata, “Tulislah satu mil dikali satu mil!” Lalu malaikat itu berdiri di kuburan ketiga dan berkata, “Tulislah satu fitr dikali satu fitr!”’
Setelah itu aku terjaga dari tidurku dan tak lama kemudian dibawalah kepadaku mayat seorang lelaki asing yang meninggal dunia yang kemudian dikuburkan di kuburan pertama. Kemudian dibawa kembalj kepadaku mayat kedua dan dikuburkan di kuburan kedua. Kemudian dibawa lagi kepadaku mayat seorang perempuan kaya raya yang merupakan salah seorang pejabat negara dan jasadnya diiring oleh banyak orang. Perempuan itu pun dikuburkan di kuburan ketiga yang kudengar malaikat berkata di situ “Tulislah satu fitr dikali satu fitr!”
PASAL
Poin kelima: Api yang ada di dalam kuburan dan pepohonan hijau yang ada di dalam kuburan bukanlah bagian dari api yang ada di dunia dan bukan bagian dari tanaman yang ada di dunia. Api dan pepohonan hijau tersebut akan dapat dilihat oleh siapa pun yang dapat melihat api di dunia dan pepohonan hijau di dunia. Alih-alih, api itu merupakan termasuk api yang berasal dari akhirat, sebagaimana pepohonan hijau itu pun termasuk yang berasal dari akhirat.
Api dalam kubur itu lebih hebat daripada api dunia, tetapi ia tidak dapat dirasakan oleh para penghuni dunia. Allah swt. memanaskan di atas tanah dan bebatuan yang ada di atas dan di bawahnya, sehingga api tersebut jauh lebih panas daripada bara yang ada di dunia. Tetapi apabila api itu disentuh oleh penghuni dunia, mereka tidak akan dapat merasakannya.
Bahkan yang lebih menakjubkan dari itu, ketika ada dua orang yang dikuburkan berdampingan satu sama lain, lalu orang pertama ternyata kuburannya menjadi liang di antara liang-liang neraka. Panasnya api yang dirasakannya tidak akan dirasakan oleh mayat kedua yang dikupurkan di sampingnya, jika si mayat kedua ternyata kuburannya jadikan oleh Allah sebagai salah satu taman di antara taman-taman surga. Sebagaimana halnya harum dan kenikmatan yang dirasakan si mayat kedua itu pun tidak akan dapat sampai kepada mayat pertama.
Tentu saja kemahakuasaan Allah swt. jauh lebih luas dan lebih menakjubkan dari semua itu. Dia telah memperlihatkan kepada kita sebagian dari tanda-tanda kemahakuasaan-Nya di dunia ini, yang semuanya jauh lebih menakjubkan dari apa yang telah disampaikan di atas. Akan tetapi, jiwa-jiwa manusia memang telah terbiasa dengan pendustaan atas segala sesuatu yang tidak diketahui oleh ilmu pengetahuan, kecuali hanya orang-orang yang dianugerahi oleh Allah berupa taufik dan berada di bawah perlindungan-Nya.
Bagi mayat orang kafir akan dihamparkan dua lempengan dari api, keduanya berkobar di atas kuburannya sebagaimana berkobarnya api tungku. Apabila Allah swt. berkenan menunjukkan hal itu kepada sebagian di antara hamba-hamba-Nya, Dia akan menunjukkannya, lalu tidak menampakkannya kepada semua hamba-Nya yang lain. Alasannya yaitu apabila hal semacam itu Dia tunjukkan kepada semua hamba-Nya tanpa kecuali, akan hilanglah hikmah pembebanan serta keimanan kepada segala yang gaib dan manusia akan tidak akan sanggup saling menguburkan. Hal ini disampaikan dalam sebuah hadis sahih yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. dalam dua kitab Sahih, “Kalau bukan karena kalian saling menguburkan, aku pasti akan berdoa kepada Allah agar Dia memperdengarkan kepada kalian sebagian dari siksa kubur yang kudengar.”
Itulah sebabnya, ketika hikmah seperti itu tidak dimiliki oleh binatang-binatang, maka mereka pun dapat mendengar dan mengetahui siksa kubur, sebagaimana siksa kubur yang telah menakuti bagal tunggangan Rasulullah saw. yang nyaris menjungkalkan beliau ketika ia lewat di dekat mayat yang sedang disiksa di dalam kuburnya.
Sahabat kami Abu “Abdullah Muhammad bin Ruzaiz al-Haran; menuturkan kepada saya, bahwa suatu ketika dia keluar dari rumahnya beberapa lama selepas ashar menuju sebuah kebun. Dia menuturkan “Ketika matahari sudah akan tenggelam, aku berada di tengah pekuburan dan tiba-tiba kulihat pada salah satu kuburan di pekuburan itu sebongkah bara api menyala-nyala laksana tungku perapian perajin kaca dan kulihat sesosok mayat tergeletak di tengah bara api itu. Aku pun menggosok-gosok mataku seraya bergumam, “Apakah aku sedang tidur ataukah tengah terjaga?”
Abu “Abdullah melanjutkan, “Setelah itu, aku menoleh melihat pagar kota dan aku pun berkata, ‘Demi Allah aku tidak sedang tidur! Aku bergegas pergi menemui keluargaku dengan keadaan penuh ketakutan. Mereka memberiku makanan, tetapi aku tidak sanggup memakannya. Beberapa saat kemudian aku tiba di tengah keramaian kota lalu kutanyakan tentang siapakah orang yang dikuburkan di kuburan yang kulihat menyala itu. Ternyata pada hari itu, di situ baru saja dikuburkan seorang petugas pemungut pajak.”
Penglihatan seperti yang dialami oleh Abu “Abdullah al-Harani itu yang mampu melihat api di kuburan si petugas pajak itu sama seperti penglihatan yang dimiliki para malaikat dan jin yang kadang-kadang dapat terjadi pada siapa pun yang Allah kehendaki untuk Dia perlihatkan hal semacam itu.
Dalam Kitab al-Qubar Ibnu Abu Dunya menuturkan sebuah riwayat dari asy-Sya’bi bahwa suatu ketika seseorang berkata kepada Rasulullah saw., “Aku lewat di dekat Badar dan di situ kulihat seorang lelaki keluar dari dalam tanah, tetapi lelaki itu dipukul oleh lelaki lain menggunakan sebongkah godam sehingga ia kembali terbenam ke dalam tanah. Lelaki itu kembali berusaha keluar dari tanah, tetapi ia kembali digoda oleh lelaki yang satu lagi. Rasulullah pun bersabda, ‘Itu adalah Abu Jahal bin Hisyam yang disiksa seperti itu sampai Hari Kiamat.’”
Disebutkan dalam Hadis-hadis dari Hammad bin Salamah, dari ‘Amr bin Dinar, dari Salim bin ‘Abdullah, dari ayahnya, dia berkata: Ketika kami melakukan perjalanan di antara Mekkah dan Madinah pada sebuah rombongan, aku membawa barang-barang bawaan, aku lewat di dekat sebuah kuburan. Ternyata, di kuburan itu ada sesosok lelaki yang keluar dari dalam kuburnya yang mengobarkan api. Sementara di leher lelaki itu tampak rantai yang dia tarik-tarik. Lelaki itu berkata, “Wahai ‘Abdullah (hamba Allah), guyurlah aku dengan air! Wahai ‘Abdullah (hamba Allah), guyurlah aku dengan air!” Demi Allah, aku tidak tahu apakah lelaki itu memang mengetahui namaku ataukah dia mengucap “Abdullah” itu seperti lazimmnya orang-orang memanggil.”
Dia melanjutkan, ‘“Tetapi kemudian keluar sosok lain yang berkata, ‘Wahai “Abdullah (hamba Allah), jangan guyur dengan air! Wahai ‘Abdullah (hamba Allah), jangan guyur dengan air!’ Kemudian sosok tersebut menarik rantai yang membelenggu leher orang pertama sehingga orang itu kembali masuk ke dalam tanah.”
Ibnu Abu Dunya berkata: Ayahku menuturkan kepadaku, Musa bin Dawud menuturkan kepada kami, Hammad bin Salamah menuturkan kepada kami, dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya, dia berkata, “Suatu ketika seorang pengendara melintas di antara Mekkah dan Madinah, lalu dia lewat di dekat sebuah pekuburan. Tiba-tiba ada seorang lelaki yang keluar dari dalam kuburnya yang mengobarkan api, dengan tubuhnya terbelenggu besi. Lelaki itu berseru, ‘Wahai ‘Abdullah (hamba Allah), guyurlah aku dengan air! Wahai ‘Abdullah (hamba Allah), guyurlah aku dengan air!’”
Dia melanjutkan, “Tetapi mendadak keluar sosok lain yang berkata, ‘Wahai ‘Abdullah (hamba Allah), jangan guyur dengan air! Wahai ‘Abdullah (hamba Allah), jangan guyur dengan air!’ Si pengendara itu pun jatuh pingsan dan dia dibawa pergi oleh hewan tunggangannya sampai ke ‘Arj.” Pada saat itu, seluruh rambutnya telah memutih. ‘Utsman yang dikabari tentang kejadian itu akhirnya mengeluarkan larangan bagi siapa pun untuk melakukan perjalanan seorang diri.
Telah dituturkan pula sebuah hadis dari Sufyan, Dawud bin Syabur menuturkan kepada kami, dari Abu Qaza’ah, dia berkata, “Suatu ketika kami lewat di dekat sebuah sumber air yang terletak di antara tempat tinggal kami dan Kota Basrah. Di situ kami dengar ringkikan keledai. Kami pun bertanya kepada orang-orang, “Apakah ringkikan itu?” Mereka menjawab, “Itu bermula dari seorang lelaki yang dulu hidup bersama kami. Suatu ketika ibunya mengucapkan sesuatu kepadanya, tetapi dia menimpali ucapan itu dengan memaki ibunya, “Meringkiklah engkau dengan ringkikanmu!” Ketika orang itu mati, suara ringkikan seperti keledai itu terus terdengar dari kuburannya setiap malam.
Disebutkan pula sebuah riwayat dari ‘Amr bin Dinar, dia berkata. Dulu ada seorang lelaki dari kalangan penduduk Madinah yang memiliki seorang saudara perempuan yang tinggal di sudut kota Madinah. Suatu ketika perempuan itu mengeluh dan lelaki itu pun mendatanginya Tetapi perempuan itu lalu meninggal dunia dan lelaki itu menguburkannya. Setelah lelaki itu beranjak pulang, tiba-tiba teringat bahwa dia telah meninggalkan sesuatu di dalam kuburan perempuan itu. Lelaki itu lalu meminta bantuan salah seorang temannya.
Lelaki itu menuturkan, “Kami membongkar kuburannya dan kami temukan barang yang kami cari.” Lelaki itu berkata kepada temannya, “Minggirlah agar aku dapat melihat bagaimana keadaan saudara perempuanku!” Lelaki itu lalu mengangkat tanah yang menutup lahaq saudara perempuannya, tetapi tiba-tiba kobaran api menyembur darj liang lahad itu, sehingga dia buru-buru menutupnya lagi dan kemudian meratakan kuburan saudara perempuannya.
Lelaki itu kembali kepada ibunya lalu bertanya, “Bagaimanakah dulu saudara perempuanku itu?” Si ibu yang heran balik bertanya, “Mengapa engkau bertanya tentang saudara perempuanmu, padahal dia sudah mati?” Tetapi lelaki itu bersikeras dan berkata, “Engkau harus memberi tahu aku.” Si Ibu menyahut, “Dulu dia selalu menunda-nunda shalat, bahkan menurut dugaanku dia sering melakukan shalat tanpa wudhu. Selain itu, dia suka mendatangi pintu-pintu rumah para tetangga, dia lekatkan telinganya di pintu rumah-rumah itu, lalu dia beberkan semua tentang mereka.”
Disebutkan pula sebuah riwayat dari Hushain al-Asadi, dia berkata: Aku mendengar Martsad bin Hausyab, dia berkata, “Suatu ketika aku duduk bersama Yusuf bin ‘Umar, sementara di sampingnya ada seorang lelaki yang sebelah wajahnya seperti lembaran besi. Yusuf berkata kepada lelaki itu, ‘Ceritakanlah kepada Martsad apa yang pernah kau lihat!’
Pemuda itu pun berkata, “Dulu aku adalah sosok pemuda yang melakukan berbagai macam kejahatan. Ketika wabah pes menyerang, aku berkata kepada diriku sendiri untuk pergi ke daerah pinggiran, lalu aku ingin menggali sebuah kuburan. Pada malam harinya di antara waktu Maghrib dan Isya’ aku sudah selesai menggali satu liang kubur, lalu aku bersandar di atas gundukan tanah kuburan sebelah.”
“Sesaat kemudian, sesosok jenazah dibawa ke kuburan itu lalu dimakamkan di situ. Setelah jenazah tersebut dimasukkan ke dalam le had, para pengantar pun meratakan kuburan itu. Setelah para pengantar jenazah itu pulang, tiba-tiba datanglah dua sosok terbang dari arah barat seperti dua ekor unta yang salah satunya kemudian jatuh di bagian kepala jenazah itu, sementara yang lain di bagian kakinya. Mereka berdua Jalu membongkar kuburan itu. Salah satu dari mereka kemudian masuk ke dalam liang kuburan, sementara yang lain berada di bibir liang kubur. Sementara itu, aku bergegas mendekat lalu ikut duduk di sisi kuburan itu. Pada saat itu, aku adalah sosok lelaki yang tidak berisi apa-apa.”
Pemuda itu melanjutkan, “Kudengar sosok terbang itu berkata kepada orang mati itu, ‘Bukankah engkau yang dulu suka mengunjungi para saudara iparmu dengan mengenakan dua lapis pakaian untuk menyombong dan berjalan dengan congkak?’
Orang mati itu menjawab, ‘Aku lebih lemah dari itu!’
“Sosok terbang yang bertanya itu tiba-tiba memukul orang mati itu dengan satu pukulan yang membuat kuburan itu dipenuhi air dan minyak. Dia lalu mengulangi pertanyaannya, tetapi si orang mati kembali mengulangi jawabannya. Sosok itu pun memukul lagi sampai akhirnya dia memukul orang mati itu tiga kali dan di setiap pukulan itu si orang mati tetap memberikan jawaban yang sama. Sementara kuburan itu sudah penuh oleh air dan minyak.”
“Sosok itu lalu mengangkat kepalanya dan melihat ke arahku seraya berkata, ‘Lihatlah di manakah dia duduk setelah Allah membuatnya putus asa!’ Tiba-tiba sosok itu memukul sisi wajahku hingga aku pun terjungkal. Kulewati malam itu sampai pagi datang. Di pagi itu, kulihat kuburan yang semalam dipenuhi air dan minyak itu, namun anehnya saat itu kuburan tersebut terlihat utuh seperti sebelumnya.”
Air dan minyak yang dilihat dengan mata kepala pemuda itu sebenarnya adalah api yang membakar mayat tersebut. Sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah saw. ketika beliau menuturkan tentang Dajjal, bahwa kelak Dajjal akan datang dengan membawa air dan api. Padahal api yang dibawa Daijal itu adalah air dingin, sementara air yang dibawanya adalah api yang membakar.
Ibnu Abu Dunya menuturkan bahwa suatu ketika seseorang berkata Abu Ishaq al-Fazari tentang pembongkar kuburan,” “Apakah terbuka tobat bagi pembongkar kuburan?”
Abu Ishaq menjawab, “Ya. Apabila memang niatnya betul dan Allah mengetahui kejujuran darinya.”
Orang itu berkata lagi kepada Abu Ishaq, “Dulu aku pernah mombongkar kuburan dan kudapati orang-orang yang wajah mereka tidak menghadap kiblat.”
Mendengar itu, rupanya al-Fazari tidak memiliki pengetahuan apa pun tentang masalah tersebut. Dia pun mengirim surat kepada al-Auza’; yang berisi berita tentang pertanyaan orang itu. Al-Auza’i kemudian membalas surat al-Fazari dengan surat yang berbunyi, “Tobat pembongkar kuburan itu diterima apabila niatnya betul dan Allah mengetahui kejujuran dalam hatinya. Adapun mengenai pernyataannya bahwa dig mendapati orang-orang yang wajah mereka tidak menghadap kiblat, itu adalah orang-orang yang mati dalam keadaan meninggalkan sunah.”
Ibnu Abu Dunya berkata: Abdul Mukmin bin ‘Abdullah bin “Isa al-Qaisi menuturkan kepadaku bahwa suatu kali dia pernah bertanya kepada seorang pembongkar kuburan yang sudah bertobat, “Apakah hal paling aneh yang pernah engkau lihat?”
Mantan pembongkar kuburan itu menjawab, “Suatu ketika aku pernah membongkar kuburan seseorang dan ternyata di sekujur tubuh orang yang dikubur itu ditancapi paku-paku dengan sebatang paku paling besar menancap di kepalanya, lalu sebatang paku besar lagi menancap di kakinya.”
Abdul Mukmin juga pernah bertanya kepada pembongkar kuburan yang lain, “Apakah hal paling aneh yang pernah engkau lihat?”
Pembongkar kuburan itu menjawab, “Aku pernah melihat tengkorak orang mati yang dicor dengan timah.”
Dia berkata kepada si mantan pembongkar kuburan, “Apakah yang menyebabkan engkau bertobat?”’
Mantan pembongkar kuburan itu menjawab, “Karena semua mayat yang kubongkar kuburannya selalu kulihat mereka dipalingkan wajahnya dari kiblat.”
Sahabat kami yang bernama Abu ‘Abdullah Muhammad bin Muntab as-Salemi—yang merupakan salah satu hamba Allah yang terbaik karena kejujurannya—menuturkan kepadaku: Suatu ketika seseorang datang ke pasar para pandai besi di Baghdad untuk menjual beberapa buah paku kecil dengan masing-masing paku memiliki dua kepala. Seorang pandai besi mengambil paku-paku itu, lalu dipanaskan. Namun, anehnya paku-paku itu tidak berubah bentuk termasuk setelah dipukul dalam keadaan panas, sampai akhirnya si pandai besi menyerah untuk memukulnya. Pandai besi itu pun bertanya kepada lelaki yang menjual paku-paku itu kepadanya, “Dari manakah engkau mendapatkan paku-paku ini?”
Orang itu menjawab, “Aku menemukannya.”
Tetapi pandai besi itu tidak memercayai jawaban tersebut dan terus pertanya kepada orang itu mengenai asal-usul paku-paku itu. Sampai akhirnya orang itu menjawab dengan bercerita bahwa dia mendapati sebuah kuburan yang sudah terbuka dan di dalamnya terdapat tujang-tulang mayat yang ditancapi paku-paku.
Dia berkata, “Aku pun menarik paku-paku itu untuk mencabutnya, tetapi aku tidak dapat melakukan itu. Akhirnya kuambil sebongkah patu lalu kuhancurkan tulang-tulang mayat itu lalu kukumpulkan paku-paku ini.”
Dia (Abu ‘Abdullah) berkata, “Aku pernah melihat paku-paku itu.”
Saya (penulis) bertanya kepadanya, ‘“Bagaimanakah bentuk paku-paku itu?”
Dia menjawab, “Paku-paku itu berukuran kecil dengan dua kepala.”®
Ibnu Abu Dunya berkata, “Ayahku menuturkan kepadaku, dari Abul Harisy, dari ibunya, ibunya itu berkata, ‘Ketika Abu Ja’far menggali parit Kufah, orang-orang pun memindahkan kuburan penduduk kota itu. Di antara mayat-mayat yang akan dipindahkan kuburannya itu, kami menemukan mayat seorang pemuda yang sedang menggigit tangannya sendiri.’”
Simak bin Harb menuturkan: Suatu ketika Abu Darda’ melintas di dekat sebuah pekuburan dan tiba-tiba saja dia berkata, “Betapa tenangnya permukaanmu, padahal di dalammu penuh petaka!”
Tsabit al-Bunani berkata: Ketika aku berjalan melewati pekuburan, tiba-tiba terdengar suara di belakangku yang berkata, “Wahai Tsabit, janganlah engkau tertipu oleh tenangnya kuburan ini karena betapa banyak orang yang kesusahan di dalamnya!” Aku pun sontak menoleh ke belakang, tetapi tidak kulihat siapa-siapa.
Suatu ketika Hasan lewat di sebuah pemakaman, lalu dia berkata, “Duhai padahal di situ banyak pasukan yang tidak pernah membiarkan mayat-mayat itu diam! Betapa banyak yang kesusahan di antara mereka itu!”
Ibnu Abu Dunya menuturkan bahwa “Umar bin “Abdul ° Aziz berkata kepada Maslamah bin Abdul Malik, “Wahai Maslamah, siapakah yang menguburkan ayahmu?”
Dia menjawab, “Budak milikku, si Fulan.”
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz bertanya lagi, “Siapakah yang mengubur, kan Walid?”
Dia menjawab, “Budak milikku, si Fulan.”
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata, “Kalau begitu aku akan menyam. paikan kepadamu sesuatu yang disampaikan oleh budak itu kepadaku, Ketika dia menguburkan ayahmu dan Walid meletakkan mereka di dalam kuburan mereka, dia ingin melepaskan ikatan mereka. Tetapi dia dapati wajah mereka berdua telah dipalingkan ke arah tengkuk mereka, Oleh sebab itu, wahai Maslamah apabila nanti aku mati, tolong kau lihat wajahku. Apakah aku akan mengalami apa yang dialami oleh mereka itu ataukah aku akan diselamatkan dari hal semacam itu?”
Maslamah berkata, “Ketika ‘Umar bin “Abdul ‘Aziz meninggal dunia, aku pun meletakkan jenazahnya di dalam kuburannya. Kemudian kulihat wajahnya dan ternyata wajah itu tetap pada posisinya.”
Ibnu Abu Dunya menuturkan sebuah riwayat dari seorang salaf, dia berkata: Ketika anak perempuanku meninggal, kukuburkan ia di dalam kuburan. Beberapa lama kemudian ketika kudatangi kuburannya untuk membetulkan batu bata di kuburan itu, kulihat wajah anak perempuanku itu sudah dipalingkan dari arah kiblat. Aku pun bersedih karena hal itu dengan kesedihan yang luar biasa. Pada malam harinya, aku bermimpi melihat anak perempuanku itu. Dia berkata, “Wahai ayahku, apakah engkau gundah karena apa yang engkau lihat? Padahal sesungguhnya semua orang yang ada di sekelilingku telah dipalingkan wajah mereka dari kiblat.” Sepertinya dia ingin menyampaikan bahwa mereka adalah orang-orang yang mati dalam keadaan masih terus melakukan dosa-dosa besar.
‘Amr bin Maimun berkata: Aku pernah mendengar ‘Umar bin “’Abdul ‘Aziz berkata, “Aku termasuk orang yang ikut memasukkan jenazah Walid bin Abdul Malik ke dalam kuburnya. Saat itu kulihat kedua lututnya telah disatukan dengan lehernya. Anaknya pun berkata, ‘Ayahku hidup, demi Tuhannya Ka’bah!’ Aku pun berkata, ‘Ayahmu disegerakan, demi Tuhannya Ka’bah!’ Rupanya Umar mengambil pelajaran dari peristiwa itu sepeninggal Walid.”
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata kepada Yazid bin Muhallab ketika dia mengangkat Yazid sebagai gubernur di Irak, “Wahai Yazid, bertakwalah engkau kepada Allah! Sesungguhnya ketika aku memasukkan Walid ke dalam lahadnya, ternyata dia menjejakkan kakinya ke tanah di dalam kain kafannya.”’
Yazid bin Harun berkata: Hisyam bin Hassan menuturkan kepada kami, dari Washil maula Abu ‘Uyainah, dari ‘Amr bin Harim, dari ‘Abdul Hamid bin Mahmud, dia berkata, ‘“Ketika aku duduk bersama Ibnu ‘Abbas, dia didatangi sekelompok orang yang kemudian berkata kepadanya, ‘Kami berangkat untuk melaksanakan haji bersama seorang sahabat kami. Tetapi ketika kami sampai di Dzu Shifah sahabat kami itu meninggal dunia. Kami pun mengurus jenazahnya lalu kami yang hendak melanjutkan perjalanan bergegas menggali kubur untuknya lengkap dengan lahad. Akan tetapi, setelah kami selesai menggali lahadnya, tiba-tiba kami melihat ular-ular hitam memenuhi lahad tersebut. Kami pun menggali liang lahad baru. Namun, lagi-lagi ada ular-ular yang memenuhi lahad itu. Kami pun menggali lagi liang lahad baru, tetapi tetap terjadi yang seperti itu.’”
Ibnu ‘Abbas lalu berkata, ‘Itu adalah belenggu yang akan membelenggunya. Maka berangkatlah kalian dan kuburkan dia di sebagiannya. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, apabila kalian menggali seluruh bumi, pasti kalian akan mendapati yang seperti itu juga.’ Kami akhirnya berangkat setelah meletakkan jenazah sahabat kami itu di sebagian dari lubang kuburan. Setelah kami pulang, kami serahkan beberapa barang milik sahabat kami yang mati itu kepada keluarganya. Kami bertanya kepada istrinya, ‘Apakah yang dulu dikerjakan oleh suamimu?’ Dia menjawab, ‘Dulu dia adalah seorang penjual makanan. Dia biasa mengambil dari makanan dagangannya itu makanan yang dia berikan kepada keluarganya, lalu dia tukar apa yang dia ambil itu dengan kotoran yang dia masukkan ke makanan dagangannya.’”
Ibnu Abu Dunya berkata: Muhammad bin Husein menuturkan kepadaku, dia berkata, ‘Abu Ishaq si pemilik kawanan domba menuturkan kepadaku, dia berkata, ‘Suatu ketika aku dipanggil untuk memandikan sesosok mayat. Ketika kusingkap kain penutup mayat itu dari wajahnya, mendadak kulihat seekor ular melilit lehernya. Aku pun buru-buru keluar sebelum memandikannya. Orang-orang berkata bahwa semasa hidupnya orang yang mati itu sering memaki pada sahabat Rasulullah radhiyallahu ‘anhum.’”
Ibnu Abu Dunya menuturkan, dari Said bin Khalid) bin Yazid al-Anshari, dari salah seorang penduduk Basrah yang menggali kuburan. Dia berkata, “Suatu hari aku menggali sebuah kuburan, lalu kuletakkan kepalaku di dekat kuburan itu sampai akhirnya aku tertidur. Dalam tidurku itu, aku bermimpi didatangi dua sosok perempuan. Salah sat, di antara mereka berdua berkata, ‘Wahai hamba Allah, aku memohon kepadamu dengan nama Allah agar engkau pindahkan wanita ini aga, kami tidak berdampingan dengannya.’”
Aku pun terbangun dalam ketakutan. Ternyata pada saat itu ada jenazah seorang perempuan yang diusung ke situ. Aku pun berkatg kepada orang-orang yang mengusung jenazah itu, “Kuburan jenazah itu ada di sebelah belakang!’’ Aku berkata seperti itu agar orang-orang itu berpindah dari kuburan di dekatku. Ketika malam tiba, aku kembalj bermimpi melihat dua orang perempuan yang kulihat dalam mimpiky yang sebelumnya. Salah seorang dari mereka lalu berkata, “Jazakallah khairan (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan)! Sungguh engkau telah menyingkirkan sebuah keburukan yang panjang dari kami.” Aku bertanya, “Mengapa sahabatmu itu tidak berbicara denganku seper. ti engkau berbicara denganku?” Perempuan itu menjawab, “Perempuan ini meninggal tanpa wasiat. Orang yang meninggal tanpa meninggalkan wasiat hanya berhak untuk diam sampai Hari Kiamat.”
Semua riwayat ini, sebagaimana begitu banyak lagi yang lainnya yang tidak dapat dipaparkan semuanya di dalam buku ini, menjelaskan tentang siksa dan nikmat kubur yang Allah swt. perlihatkan kepada sebagian di antara hamba-hamba-Nya secara kasatmata.
Adapun penglihatan di dalam tidur (mimpi), apabila kami sampaikan di sini juga akan menghabiskan berjilid-jilid buku. Bagi siapa pun yang ingin mengetahui lebih banyak tentang hal ini silakan membaca kitab al-Manamat karya Ibnu Abu Dunya dan kitab al-Bustan karya Qairawani atau kitab-kitab lain yang membahas tentang masalah ini. Sementara orang-orang ateis dan zindik tidak memiliki sikap apa-apa selain hanya mendustakan segala hal yang tidak dapat mereka jangkau dengan ilmu mereka.
PASAL
Poin keenam: Allah swt. selalu menciptakan berbagai hal di dunia ini yang jauh lebih menakjubkan dari semua yang telah disebutkan tadi. Jibril turun menemui Rasulullah saw. dengan menjelma sebagai sesosok lelaki, kemudian berkata-kata dengan beliau dengan ucapan yang dapat beliau dengar, padahal di saat yang sama sahabat yang berada di samping Rasulullah saw. tidak dapat melihat dan tidak dapat mendengar Jibril. Demikian pula halnya yang terjadi pada semua Nabi selain Rasulullah saw. Terkadang wahyu datang kepada beliau dalam bentuk seperti dentang lonceng yang tidak dapat didengar oleh semua mereka yang hadir.
Para jin selalu berbicara dan berkata-kata dengan suara yang keras di tengah-tengah kita semua, sementara kita tidak dapat mendengar mereka. Para malaikat memukul orang-orang kafir menggunakan cambuk, sebagaimana mereka memukul leher orang-orang kafir itu sehingga mereka berteriak-teriak karenanya; sementara orang-orang muslim yang ada bersama mereka tidak dapat melihat para malaikat itu dan tidak pula dapat mendengar suara mereka.
Allah swt. memang telah menghijab semua keturunan Adam dari begitu banyak hal yang Dia ciptakan di bumi. Jibril as. sering membacakan untuk Rasulullah saw. serta mengajarkan al-Quran kepada beliau, sementara mereka yang ikut hadir bersama beliau tidak dapat mendengar suara Jibril itu.
Bagaimana mungkin orang yang mengenal Allah swt. dapat mengingkari, tetapi kemudian mengakui kuasa-Nya; bahwa Dia mampu menciptakan berbagai kejadian yang sebagian makhluk-Nya perhatiannya telah disimpangkan oleh Allah kepada hal lain, sebagai bentuk hikmat dan rahmat dari-Nya untuk mereka karena mereka memang tidak sanggup untuk melihat dan mendengarnya? Padahal hamba Allah sangat lemah penglihatan dan pendengarannya untuk dapat tetap tegar ketika menyaksikan siksa kubur.
Sebagian besar dari orang-orang yang Allah persaksikan mereka pada hal-hal seperti itu (siksa kubur—Penj.) mengalami pingsan tidak sadarkan diri, sehingga untuk beberapa lama mereka tidak dapat beroleh manfaat dari kehidupan. Bahkan sebagian dari mereka—karena menyaksikan siksa kubur—ada yang tersingkap tirai kalbunya sehingga langsung meninggal seketika.
Oleh karena itu, maka bagaimana mungkin dapat diingkari segala hikmah ilahiyah atas diulurkannya tirai penutup yang menabiri semua mukalaf dengan kesaksian siksa kubur itu, yang kalau tirai penutup itu dibuka maka mereka akan dapat melihat dan menyaksikan semua itu dengan mata kepala mereka?
Selain itu, kalau bahkan hamba Allah (manusia—Penj.) saja mam, pu menghilangkan air raksa dan khardal (biji sawi) dari mata Orang mati dan dadanya, kemudian mengembalikannya dengan cepat; jadi bagaimana mungkin malaikat tidak mampu melakukan hal seperti itu Dan bagaimana mungkin hal seperti itu tidak dapat dilakukan oleh Dza, yang Mahakuasa atas segala sesuatu? Dan bagaimana mungkin kema, hakuasaan-Nya tidak mampu membuat semua itu tetap di mata dan di dadanya, tanpa pernah jatuh darinya? Tidaklah perbandingan perkarag Alam Barzakh atas semua yang disaksikan oleh manusia di dunia ke. cuali hanya bentuk kebodohan dan kesesatan atau menjadi pendustaan terhadap Dzat yang Mahajujur di antara semua yang jujur dan menjadi peremehan terhadap Tuhan alam semesta, padahal itu adalah puncak kebodohan dan kezaliman?
Apabila salah seorang di antara kita saja mampu meluaskan sebuah kuburan sepanjang sepuluh hasta, seratus hasta, atau lebih dari itu-dalam ukuran panjang, lebar atau kedalamannya—lalu orang itu merahasiakan apa yang dilakukannya itu dari orang banyak, tetapi dig hanya menunjukkan itu kepada orang-orang tertentu; maka bagaimana mungkin Allah Tuhan semesta alam itu tidak mampu untuk meluaskan kuburan terhadap siapa pun yang dikehendaki-Nya, lalu Dia menutup hal itu dari mata semua keturunan Adam sehingga mereka melihat kuburan yang bersangkutan itu tetap sempit? Sebagaimana ketika kuburan seseorang dijadikan sangat luas, beraroma sangat harum, dan bercahaya sangat terang oleh Allah, mereka tidak dapat melihat semua itu.
Rahasia dari masalah ini yaitu, bahwa peluasan, penyempitan, penerangan, penghijauan, dan api pada kuburan itu sebenarnya bukan berasal dari sesuatu yang menjadi bagian dari alam ini (alam dunia—Penj.). Allah swt. selalu menunjukkan kepada semua keturunan Adam di dunia ini segala sesuatu yang ada di dalamnya dan berasal darinya. Adapun segala hal yang termasuk bagian dari urusan akhirat, Allah swt. selalu mengulurkan tirai penutup terhadap hal-hal seperti itu. Tujuannya adalah agar pengakuan dan keimanan terhadap hal-hal seperti itu menjadi jalan bagi kebahagiaan mereka. Padahal apabila tiral penutup itu disingkapkan dari mereka, niscaya semua itu akan dapat dilihat disaksikan dengan mata kepala.
Kalaupun mayat orang yang sudah mati tergeletak begitu saja (maksudnya, tidak dikuburkan—Penj.), maka hal itu tidak dapat menghalangi datangnya kedua malaikat untuk menyampaikan pernyataan kubur kepada orang mati itu, tanpa disadari oleh mereka yang hadir di tempat si mayat tersebut. Orang mati itu dapat menjawab pertanyaan kedua malaikat tersebut tanpa mereka yang hadir di situ dapat mendengar jawabannya. Bahkan kedua malaikat itu dapat memukuli orang mati itu, tanpa hal itu dapat disaksikan oleh mereka yang hadir.
Ketika salah seorang dari kita tidur di samping temannya, lalu dia disiksa dalam tidurnya, dipukuli dan disakiti, semua orang yang terjaga tentu sama sekali tidak mengetahui apa pun dari hal itu. Walaupun terkadang bekas pukulan dan nyeri dapat benar-benar muncul di tubuh orang yang bersangkutan itu.
Di antara bentuk kebodohan yang paling parah, yaitu tindakan menganggap bahwa malaikat tidak akan mampu menembus tanah dan batu. Allah swt. menjadikan benda-benda seperti itu bagi malaikat sama seperti udara bagi burung. Tidaklah halangan tanah dan batu pada jasad kasar dapat menghalangi ruh yang bersifat halus. Jadi, bukankah hal seperti itu® tidak muncul, kecuali hanya karena perbandingan yang saJah? Dengan sikap seperti inilah para rasul shalawatullah wa salaamuhu ‘alaihim didustakan.
PASAL
Poin ketujuh: Ruh tidak mungkin terhalang untuk dikembalikan kepada seseorang yang mati lalu disalib, mati tenggelam atau orang yang tewas terbakar, tanpa kita dapat merasakan hal itu karena pengembalian ruh ke jasad itu adalah dalam bentuk lain yang tidak dapat dijelaskan.
Ketika seseorang jatuh pingsan, mendadak diam, dan orang yang kaku badannya dalam keadaan mereka hidup dan ruh mereka masih melekat bersama mereka, kita tentu tidak akan merasakan hidupnya mereka. Kalau begitu, maka orang yang bagian-bagian tubuhnya telah tercerai, pasti kondisi itu tidak akan menghalangi Allah yang Mahakuasa atas segala sesuatu untuk menjadikan ruh terhubung dengan bagian-bagian tersebut dengan segala kedekatan dan kejauhannya (jaraknya) sehingga bagian-bagian tubuh itu akan dapat merasakan sakit dan kenikmatan.
Allah swt. telah menjadikan adanya rasa dan kemampuan Persesi; pada benda-benda mati, sehingga mereka semua dapat bertasbih memuji Tuhan mereka, sebagaimana halnya batu dapat jatuh karena taku kepada Allah, gunung-gunung pepohonan dapat bersujud kepada-Nya seperti yang juga dilakukan bebatuan kerikil, air, dan tanaman.
Allah swt. berfirman,
“Dan tak ada satu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kalian sekalian tidak mengerti tasbih mereka.” (QS. al-Isra’ [17]: 44)
Kalau memang yang dimaksud tasbih benda-benda mati itu hanya sekadar bahwa mereka menjadi petunjuk akan adanya sang Pencipta, tentu Allah tidak akan menyebut kalimat “…tetapi kalian tidak mengerti tasbih mereka”. Sesungguhnya setiap makhluk berakal pasti memahami petunjuk yang disampaikan oleh benda-benda mati itu kepada Dzat yang menciptakan mereka.
Allah swt. berfirman,
“Sesungguhnya Kami menundukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersama dia (Dawud) di waktu petang dan pagi.” (QS. Shad [38]: 18)
Kalau memang “tasbih” berarti “petunjuk akan adanya Pencipta’”, tentu tidak mungkin “petunjuk” itu hanya ada “di waktu petang dan pagi”.
Begitu pula halnya firman Allah swt.
“,..Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang (awwibi) bersamanya (Dawud).” (QS. Saba’ [34]: 10)
Kalau memang “tasbih” berarti “petunjuk akan adanya Pencipta”, tentu tidak mungkin gunung dan burung yang disebutkan dalam ayat jtu disebut “bertasbih berulang-ulang bersama Dawud.”
Selain itu, sungguh telah mendustakan Allah orang yang menyatakan bahwa yang dimaksud “awwibi” dalam ayat ini adalah “pantulan gema”’ (shada) karena gema akan muncul bagi apa pun yang bersuara. Allah swt. berfirman,
“Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia?” (QS. al-Hajj [22]: 18)
Tentu saja, petunjuk akan adanya sang Pencipta tidak secara khusus hanya melekat pada “sebagian besar daripada manusia.”
Allah swt. berfirman, “Tidakkah kamu tahu bahwasanya Allah bertasbih kepada-Nya segala yang di langit dan di bumi dan (juga) burung yang mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) sembahyang dan tasbithnya.” (QS. an-Nur [24]: 41)
Penyebutan “sembahyang” (shalah) dan tasbih (tasbih) di sini memang bermakna hakiki (bukan majasi) sebagaimana yang telah Allah ajarkan kepada semua yang disebutkan dalam ayat ini; walaupun hal itu diingkari oleh orang-orang dungu yang mendustakannya.
Allah swt. telah memberi tahu tentang bebatuan, bahwa di antara batu-batu yang ada di alam semesta, ada batu-batu tertentu yang bergerak dan jatuh dari tempatnya karena takut kepada Allah.
Allah swt. juga telah memberi tahu tentang bumi dan langit, bahwa kedua makhluk Allah itu “memasang telinga untuk Allah” (ya ‘dzanani lah)—dan mereka berhak seperti itu, yang maksudnya adalah “mendengar firman Allah”. Allah swt. memang telah berbicara kepada mereka berdua lalu mereka berdua benar-benar mendengar firman Allah swt. itu, bahkan mereka menjawab firman Allah dengan jawaban yang baik.
Allah swt. berfirman kepada langit dan bumi,
“Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.” Keduanya menjawab: “Kami datang dengan suka hati.” (QS. Fushshilat [41]: 11)
Para sahabat Rasulullah saw. diriwayatkan pernah mendengar tag. bih makanan yang sedang dimakan. Mereka juga diriwayatkan Pernah mendengar rintihan pokok kurma kering di Masjid Nabawi.
Apabila semua benda mati tersebut di atas memang memiliki rasa dan perasaan, tentu saja makhluk-makhluk yang memiliki ruh dan daya hidup di dalam diri mereka jauh lebih layak memiliki rasa dan perasaan,
Allah swt. telah menunjukkan kepada hamba-hamba-Nya di du. nia ini kejadian pengembalian daya hidup secara utuh ke badan yang sebelumnya sudah terpisah dari ruh sehingga badan-badan itu dapat kembali berbicara, berjalan, makan, minum, kawin dan beranak; yaitu yang terjadi pada orang-orang yang disebutkan dalam ayat,
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati; maka Allah berfirman kepada mereka: ‘Matilah kalian!’ Kemudian Allah menghidupkan mereka.” (QS. al-Baqarah [2]: 243)
Dan juga seperti yang terjadi pada “Orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata, ‘Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?’ Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya, ‘Berapa lama kamu tinggal di sini?’ Ia menjawab, ‘Saya telah tinggal di sini sehari atau setengah hari.’ Allah berfirman, ‘Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi berubah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging.’ Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) dia pun berkata, ‘Saya yakin bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.’” (QS. al-Baqarah [2]: 259)
Dan juga seperti korban pembunuhan dari kalangan Bani Israel,” dan seperti orang-orang yang berkata kepada Nabi Musa as.,
“Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan jelas!” (QS. al-Baqarah [2]: 55)
Lalu mematikan mereka lalu Dia bangkitkan mereka kembali setelah kematian mereka itu. Atau seperti yang dialami para pemuda Ashhabul Kahfi dan seperti cerita Nabi Ibrahim as. dengan empat ekor burung.™
Apabila Allah swt. sanggup mengembalikan kehidupan ke tubuh mereka yang sudah mendingin karena kematian, jadi bagaimana mungkin Allah swt. dengan kekuasaan-Nya yang dahsyat dianggap tidak mampu mengembalikan kehidupan ke tubuh para makhluk yang sudah mati dalam bentuk kehidupan yang dengan kehidupan itu Dia akan menetapkan putusan padanya atas apa yang Dia perintahnya, Dia akan membuat makhluk yang bersangkutan berbicara, disiksa atau diberi nikmat dengan segala amalnya?
Bukankah keingkaran terhadap kesanggupan Allah swt. itu tidak lain hanyalah kedustaan, kekeraskepalaan dan keingkaran? Wabillahit taufiq.
Pasal
Poin kedelapan: Haruslah diketahui bahwa siksa dan nikmat kubur, merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut siksa dan nikmat yang terjadi di Alam Barzakh, yaitu alam yang berada di antara Alam Dunia dan Alam Akhirat. Allah swt. berfirman, “Dan di hadapan me. reka ada dinding (Barzakh) sampai hari mereka dibangkitkan,” (QS. al-Mu’minun [23]: 100).
Di Alam Barzakh inilah para penghuninya akan berada di antara dunia dan akhirat.
Adapun penamaan siksa kubur dan nikmat kubur dengan penyebutan istilah “taman surga” (raudhah) atau “liang neraka” (hufrah nar) dimaksudkan untuk menyebutkan apa yang terjadi pada kebanyakan manusia. Sementara bagi manusia tertentu yang mati lalu disalib, tewas terbakar, tenggelam, dimakan binatang buas, dimangsa burung; mereka semua tetap mengalami siksa Alam Barzakh dan juga dapat merasakan nikmat di alam tersebut sesuai dengan putusan yang dijatuhkan padanya berdasarkan amal perbuatannya, walau seperti apa pun beragam macamnya kenikmatan dan siksa yang terjadi padanya.
Orang-orang zaman dulu mengira bahwa apabila jasad seseorang dibakar menggunakan api sehingga berubah menjadi abu, lalu sebagian abu itu disebarkan di laut dan sebagian lagi di darat ketika angin sedang kencang, maka orang tersebut akan dapat selamat dari siksa kubur, Sehingga orang yang meyakini hal itu, kemudian berwasiat kepada anak-anaknya agar kalau dia mati, hendaklah jasadnya dibakar dan kemudian abunya disebar. Padahal Allah swt. sangat berkuasa untuk memerintahkan kepada laut agar mengumpulkan apa pun yang ada padanya, sebagaimana Dia sangat sanggup memerintahkan daratan untuk mengumpulkan segala yang ada padanya.
Setelah itu Allah swt. berkata, “Bangkitlah!”, maka orang yang abunya ditebarkan di mana-mana itu akan kembali bangkit untuk kemudian Allah bertanya kepadanya, “Apakah yang membuatmu melakukan semua itu?” Orang itu akan menjawab, “Karena aku takut kepadamu wahai Tuhan! Engkaulah yang lebih tahu.” Dan tidaklah semua itu akan dapat meluputkan orang itu dari rahmat Allah.
Singkatnya, siksa dan nikmat kubur tidak akan dapat luput dari semua bagian tubuh orang yang telah diperlakukan seperti yang disebutkan di atas (dibakar lalu abunya ditebarkan—Penj.); Apabila ada orang yang mati lalu tubuhnya disangkutkan di pucuk-pucuk pohon saat angin berembus kencang, pastilah tubuh itu akan tetap mengalami siksa kubur sesuai dengan apa yang harus diterimanya.
Begitu pula apabila ada mayat seorang lelaki saleh yang dimasukkan ke dalam kobaran api, maka pasti jasadnya itu tetap akan dapat mengenyam nikmat Alam Barzakh dengan segala kenyamanan yang memang menjadi jatah dan bagian yang diterimanya. Api yang membakar tubuhnya itu pasti akan Allah swt. ubah menjadi sejuk menyelamatkan, sebagaimana Dia berkuasa untuk mengubah udara menjadi api yang sangat panas.
Semua elemen yang ada di alam semesta berikut segala materi yang ada di dalamnya selalu tunduk kepada Tuhan mereka yang telah menciptakan mereka. Dia sangat berkuasa untuk memperlakukan mereka semua sekehendak-Nya. Mereka tidak mungkin dapat membangkang terhadap apa pun yang Dia kehendaki. Alih-alih mereka justru selalu tunduk pada keinginan-Nya, tunduk patuh kepada kemahakuasaan-Nya. Siapa pun yang mengingkari semua ini, maka dia telah ingkar terhadap Tuhan alam semesta dan sekaligus telah kufur serta menyangkal ketuhanan-Nya.
Pasal
Poin kesembilan: Kematian merupakan bentuk pengembalian (ma’ad) dan bentuk kebangkitan yang pertama (ba’ts awwal). Allah swt. telah menciptakan bagi setiap anak Adam dua pengembalian dan dua kebangkitan. Pada keduanya manusia akan diberi balasan atas semua keburukan yang mereka lakukan, sebagaimana pada keduanya pula manusia-manusia baik akan mendapatkan balasan kebaikan.
Kebangkitan pertama terjadi ketika ruh berpisah dari badan, untuk kemudian ia melakukan perjalanan menuju Negeri Pembalasan Pertama (dar al-jaza al-awwal)
Kebangkitan kedua terjadi pada hari ketika Allah swt. mengembalikan semua ruh ke tubuh mereka masing-masing, untuk kemudian Dia membangkitkan mereka semua dari kubur mereka masing-masing dan melanjutkan perjalanan menuju surga atau menuju neraka. Inilah kebangkitan kedua (al-hasyr ats-tsani). Inilah yang disebutkan dalam hadis-hadis sahih “…dan beriman pada kebangkitan terakhir.” Kebangkitan pertama tidak diingkari oleh siapa pun, walaupun ada banyak orang yang mengingkari adanya pembalasan berupa nikmat atau siksa di dalamnya.
Allah swt. telah menyebutkan dua jenis “kiamat” ini—yaitu Kiamat Kecil (al-qiyamah ash-shughra) dan Kiamat Besar (al-qiyamah al-kubra) dalam Surah al-Mu’minun, Surah al-Waqi’ah, Surah al-Qiyamah, Surah al-Muthaffifin, Surah al-Fajr dan beberapa surah lainnya. Hikmah kebijaksanaan Allah swt. telah menjadikan-Nya membuat keduanya sebagai dua tempat pembalasan bagi orang baik dan bagi orang jahat. Hanya saja, penggenapan balasan yang sempurna hanya terjadi pada Hari Pengembalian Kedua (al-ma’ad ats-tsani) di Dar al-Qarar. Demikianlah yang Allah nyatakan dalam firman-Nya,
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada Hari Kiamat sajalah disempurnakan pahala kalian.” (QS. Ali Imran [3]: 185)
Keadilan Allah swt. dan juga nama-nama baik (al-asma al-husna) yang Dia miliki serta kesempurnaan kemahakudusan-Nya telah mewajibkan pada-Nya untuk memberi nikmat kepada para wali-Nya pada ruh-ruh mereka, sebagaimana itu juga mewajibkan pada-Nya untuk menyiksa jasad musuh-musuh-Nya termasuk ruh-ruh mereka. Oleh sebab itulah, jasad dan ruh hamba yang taat kepada-Nya pasti akan merasakan kenikmatan dan kelezatan yang memang layak baginya, sebagaimana halnya jasad dan ruh orang durjana yang bermaksiat terhadap-Nya juga pasti akan merasakan sakit serta hukuman yang memang pantas dijatuhkan padanya. Semua itu menjadi konsekuensi bagi keadilan, hikmah kebijaksanaan dan kesempurnaan Allah yang Mahakudus.
Ketika alam dunia ini menjadi tempat pembebanan dan ujian (dar taklif wa imtihan) dan bukan sebagai tempat pembalasan (dar jaza), maka tentu saja semua balasan itu tidak akan tampak di dunia ini. Alam Barzakh-lah yang menjadi tempat pembalasan (dar jaza) yang pertama. Di Alam Barzakh itulah akan tampak semua yang memang layak muncul di tempat itu, di mana hikmah kebijaksanaan Allah berkonsekuensi atas kemunculan semua itu. Ketika nanti Hari Kiamat Besar (al-qiyamah al-kubra) terjadi, barulah semua manusia yang taat dan semua manusia yang pemaksiat akan digenapi bagi mereka semua segala apa yang mereka memang berhak menerimanya, baik itu berupa kenikmatan jasad dan ruh, maupun berupa siksa terhadap jasad dan ruh mereka.
Siksa di Alam Barzakh—sebagaimana pula halnya kenikmatan di dalamnya—merupakan semacam siksa akhirat atau nikmat akhirat yang awal karena sebenarnya siksa dan nikmat itu berasal darinya (maksudnya, dari siksa dan nikmat di akhirat—Penj.). Semua yang dirasakan oleh para penghuni Alam Barzakh itu dapat sampai kepada mereka karena semua itu memang berasal dari akhirat, sebagaimana dalil yang disampaikan oleh al-Quran dan sunah yang secara gamblang menyampaikan hal itu.
Contohnya adalah sabda Rasulullah saw. yang berbunyi, “…lalu dibukakan untuknya sebuah gerbang menuju surga, maka kemudian datanglah kenyamanan dan kenikmatan surga itu kepadanya.” Sebagaimana beliau juga bersabda tentang orang durjana, “…lalu dibukakan untuknya sebuah gerbang menuju neraka, maka kemudian datanglah panas yang membakar dari neraka itu kepadanya.”
Telah diketahui secara pasti bahwa jasad mengambil bagiannya dari gerbang yang dibukakan itu, sebagaimana ruh juga pasti mengambil bagiannya. Ketika Hari Kiamat terjadi, si orang mati yang bersangkutan akan memasuki gerbang yang dibukakan baginya di Alam Barzakh itu untuk menuju tempatnya yang harus dimasukinya.
Di dunia ini, kedua gerbang yang disebutkan dalam hadis-hadis tersebut itulah yang menjadi jalan sampainya pengaruh halus (atsar khafiy) yang kemudian terhijab oleh berbagai kesibukan dan kealpaan indrawi, tetapi ia dapat dirasakan oleh kebanyakan orang, walaupun mereka tidak mengetahui sebabnya dan tidak pandai mengungkapkannya karena wujud sesuatu tidak selalu diiringi dengan perasaan yang jelas dan pengungkapannya.
Ketika seseorang meninggal dunia, maka pengaruh halus dari kedua gerbang itu akan mencapai orang tersebut secara lebih sempurna. Dan ketika nanti orang itu dibangkitkan, akan benar-benar sempurnalah pengaruh halus itu sampai kepada dirinya. Hikmah kebijaksanaan Allah swt. telah mengatur semua itu dengan pengaturan yang terbaik sesuai proporsinya di ketiga alam yang ada (yaitu alam dunia, Alam Barzakh dan Alam Akhirat—Penj.).
JAWABAN ATAS pertanyaan itu dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu yang bersifat umum dan jawaban yang bersifat rinci.
Jawaban umum atas pertanyaan ini adalah sebagai berikut:
Allah swt. telah menurunkan dua macam wahyu kepada rasul-Nya dan Dia telah mewajibkan hamba-hamba-Nya untuk mengimani dan mengamalkan kedua jenis wahyu tersebut. Kedua jenis wahyu itu adalah: 1) al-Kitab dan 2) Hikmah. Hal ini disampaikan oleh Allah swt. dalam firman-Nya,
“Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu…” (QS. an-Nisa’ [4]: 113)
Allah swt. berfirman,
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah.” (QS. al-Jumu’ah [62]: 2)
Allah swt. berfirman,
“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumah kalian dari ayat-ayat Allah dan hikmah…” (QS. al-Ahzab [33]: 34)
Menurut kesepakatan generasi salaf, yang dimaksud “al-kitab” dalam ayat ini adalah “al-Quran”, sementara yang dimaksud “al-hikmah” dalam ayat ini adalah “sunah” berikut segala yang Rasulullah saw. sampaikan yang bersumber dari Allah swt. Semua itu hukumnya wajib untuk dipercayai dan diimani, sebagaimana yang Allah swt. kabarkan melalui lisan Rasulullah saw. Ini merupakan sebuah perkara pokok (ushul) yang disepakati oleh seluruh pemeluk Agama Islam tanpa ada yang mengingkarinya kecuali mereka yang tidak termasuk golongan mereka. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya aku diberi al-Kitab dan sesuatu yang serupa dengannya bersamanya.”
Adapun jawaban rinci atas pertanyaan ini adalah sebagai berikut:
Kenikmatan dan siksa di Alam Barzakh telah disebutkan di dalam al-Quran pada lebih dari satu tempat. Salah satu di antaranya adalah firman Allah swt., “… Sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakratulmaut, sementara para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): “Keluarkanlah nyawa kalian”. Di hari ini kalian dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan karena kalian selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kalian selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya.” (QS. al-An’am [6]: 93)
Ucapan ini ditujukan secara tegas kepada mereka (orang-orang zalim) ketika maut datang. Para malaikat mengabarkan—dan tentu saja mereka semua jujur adanya—bahwa mereka pada saat itu akan “dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan’’. Kalau memang semua itu ditunda dari mereka sampai dunia ini musnah (maksudnya, setelah kiamat terjadi—Penj.), tentu akan menjadi tidak benar kalau dikatakan kepada mereka “Di hari ini kalian dibalas.”
Ayat lainnya adalah firman Allah swt.,
“Maka Allah memeliharanya dari kejahatan tipu daya mereka dan Fir’aun beserta kaumnya dikepung oleh azab yang amat buruk. Kepada mereka ditampakkan neraka pada pagi dan petang dan pada hari terjadinya Kiamat. (Dikatakan kepada malaikat): “Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras.” (QS. Ghafir [40]: 45-46)
Dalam ayat ini Allah swt. menyebutkan adanya siksa di kedua alam (yaitu Alam Barzakh dan Alam Akhirat—-Penj.) dengan penyebutan yang sangat jelas sehingga kalimat yang difirmankannya itu tidak memiliki kemungkinan pengertian lain.
Ayat lainnya adalah firman Allah swt.,
“Maka biarkanlah mereka hingga mereka menemui hari (yang dijanjikan kepada) mereka yang pada hari itu mereka dibinasakan, (yaitu) hari ketika tidak berguna bagi mereka sedikitpun tipu daya mereka dan mereka tidak ditolong. Dan sesungguhnya untuk orang-orang yang zalim ada azab selain itu. Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. ath-Thur [52]: 45-47)
Ayat ini mengandung kemungkinan pengertian bahwa yang dimaksud di sini yaitu siksa terhadap orang-orang zalim dengan kematian yang menimpa mereka dan berbagai petaka lainnya di dunia; dan mungkin pula yang dimaksud oleh ayat ini adalah siksa terhadap mereka di Alam Barzakh. Pengertian yang terakhir inilah yang lebih eksplisit karena kebanyakan dari orang-orang zalim itu ternyata mati sebelum mereka sempat disiksa di dunia.
Ada pula yang menyatakan secara lebih gamblang bahwa siapa pun yang mati dari kalangan orang-orang zalim, mereka pasti akan disiksa di Alam Barzakh, sementara mereka yang masih tetap hidup di dunia akan disiksa dengan terbunuhnya mereka atau ditimpa berbagai bentuk mala petaka. Semua ini merupakan bentuk ancaman akan datangnya azab terhadap orang-orang zalim itu baik di dunia maupun di Alam Barzakh.
Ayat lainnya adalah firman Allah swt.,
“Dan sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebahagian azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat); mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. as-Sajdah [32]: 21)
Ayat ini digunakan sebagai hujah oleh sekelompok orang di antaranya, yaitu ‘Abdullah bin ‘Abbas ra. untuk membantah adanya siksa kubur. Walaupun bukti yang mereka sampaikan itu dengan menggunakan ayat ini mengandung “sesuatu” karena siksa yang disebutkan di sini memang siksa di dunia yang dengan siksa itu Allah swt. ingin mendorong agar orang-orang zalim itu kembali ke jalan yang benar dan meninggalkan kekufuran. Tentu saja, pengertian semacam ini tidak akan luput dari pengetahuan Ibnu Abbas sang Hibr al-Ummah yang juga berjuluk Turjuman Al-Quran.
Hanya saja, dengan pengertian mendalam yang dimilikinya tentang al-Quran dan detil pemahamannya terhadap Kitab Suci ini, rupanya Ibnu “Abbas ra. memahami bahwa yang dimaksud oleh ayat ini adalah siksa kubur karena Allah swt. yang mengabarkan bahwa Dia memiliki dua macam siksaan yang akan ditimpakan kepada orang-orang zalim, yaitu azab yang dekat (al-’adzab al-adna) dan azab yang lebih besar (al-’adzab al-akbar). Allah mengabarkan bahwa Dia akan menimpakan kepada mereka “sebagian azab yang dekat” agar “mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar)’’. Apa yang Allah swt. sampaikan ini menunjukkan bahwa memang benar masih ada azab yang dekat (al-’adzab al-adna) yang tersisa bagi orang-orang zalim, mereka kelak akan disiksa karena apa yang tersisa itu setelah datangnya azab di du. nia. Itulah sebabnya Allah swt. menggunakan kalimat yang berbunyi, ““Sebagian azab yang dekat” (min al-’adzab al-adna) dan Dia tidak mengatakan, “Kami akan menimpakan kepada mereka azab yang dekat’’, Silakan masalah ini Anda renungkan.
Semua ini menjadi selaras dengan sabda Rasulullah saw., “…lalu dibukakan untuknya sebuah gerbang menuju neraka, maka kemudian datanglah sebagian panas yang membakar dari neraka itu (ya‘tihi min hurriha wa sumumiha) kepadanya.” Dan Rasulullah saw. tidak menggunakan kalimat “Maka kemudian datanglah panas yang membakar dari neraka itu” (ya‘tihi harruha wa samamuha). Tentu saja itu karena sebenarnya yang memapar orang kafir itu adalah “sebagian” dari panasnya neraka dan masih ada tersisa baginya panas yang jauh lebih hebat lagi. Itulah sebabnya musuh-musuh Allah yang telah Dia timpakan di dunia dengan “sebagian dari azab dunia’’, tentu masih ada azab lain yang tersisa bagi mereka yang jauh lebih besar dari azab yang sudah menimpa mereka di dunia itu.
Ayat lainnya adalah firman Allah swt.,“Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, padahal kalian ketika itu melihat dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kalian. Tetapi kalian tidak melihat, maka mengapa jika kalian tidak dikuasai (oleh Allah)? Kalian tidak mengembalikan nyawa itu (kepada tempatnya) jika kalian adalah orang-orang yang benar?, adapun jika dia (orang yang mati) termasuk orang yang didekatkan (kepada Allah), maka dia memperoleh ketentraman dan rezeki serta surga kenikmatan. Dan adapun jika dia termasuk golongan kanan, maka keselamatan bagimu karena kamu dari golongan kanan. Dan adapun jika dia termasuk golongan orang yang mendustakan lagi sesat, maka dia mendapat hidangan air yang mendidih dan dibakar di dalam neraka. Sesungguhnya (yang disebutkan ini) adalah suatu keyakinan yang benar. Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Mahabesar.” (QS. al-Waqi’ah [56]: 83-96)
Dalam rangkaian ayat-ayat ini Allah swt. menuturkan tentang kondisi ruh ketika maut datang. Di awal Surah al-Waqi’ah Allah swt. menyampaikan tentang kondisi ruh di saat Hari Pembalasan Besar terjadi. Allah swt. sengaja mendahulukan penjelasan tentang hal ini (di awal surah) sebagai bentuk tindakan mendahulukan apa yang menjadi tujuan (taqdim al-ghayah) karena masalah itulah yang jauh lebih penting dan lebih utama untuk disampaikan. Allah membagi mereka ketika maut datang menjadi tiga bagian, sebagaimana Dia juga membagi mereka menjadi tiga bagian kelak di akhirat.
Ayat lainnya adalah firman Allah swt.
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. al-Fajr [89]: 27-30)
Generasi salaf berbeda pendapat tentang kapankah sebenarnya kata-kata yang termuat dalam ayat-ayat tersebut di atas itu disampaikan. Segolongan dari mereka menyatakan bahwa kata-kata itu disampaikan ketika kematian tiba. Pengertian eksplisit dari ayat-ayat di atas memang mendukung pendapat golongan ini. Kalimat tersebut jelas merupakan bentuk ucapan yang ditujukan kepada jiwa (nafs) yang telah terpisah dari badan dan keluar darinya. Rasulullah saw. menafsirkan ini dengan sabda beliau dalam hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Barra’ dan lainnya, “…lalu dikatakanlah kepadanya, ‘Keluarlah engkau dengan ridha dan diridhai…’”. penjelasan tentang masalah ini akan disampaikan nanti pada pertanyaan mendatang yang mengandung penjelasan tentang menetapnya ruh di Alam Barzakh. Insyaallah ta’ala.
Firman Allah swt. yang berbunyi “Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku.” Selaras dengan sabda Rasulullah saw. “Wahai Allah ar-rafiq al-a’la”. Jika Anda merenungkan hadis-hadis yang berbicara tentang siksa dan nikmat kubur, Anda pasti akan mendapati hadis-hadis itu merinci dan menafsirkan berbagai hal yang ditunjukkan oleh al-Quran. Wabillahit taufiq.
JAWABAN ATAS pertanyaan itu dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu yang bersifat global dan jawaban yang bersifat rinci.
Jawaban global atas pertanyaan ini adalah sebagai berikut.
Para penghuni alam kubur akan disiksa akibat ketidaktahuan me. reka akan Allah swt., tindakan mereka mengabaikan perintah-Nya dan karena perbuatan maksiat yang mereka lakukan terhadap Allah swt.
Allah swt. tidak akan mengazab ruh yang mengenal Dia, mencin. tai Dia, melaksanakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Sebagaimana Allah swt. juga tidak akan menyiksa badan yang ruh taat tersebut pernah bersemayam di dalamnya karena sesungguhnya siksa kubur dan siksa akhirat merupakan bentuk kemurkaan dan kemarahan Allah swt. terhadap hamba-hamba-Nya. Siapa pun yang buat Allah marah dan murka kepadanya di dunia ini, lalu orang itu tidak bertobat sampai akhirnya dia mati dalam kemurkaan Allah itu, maka dia akan ditimpa siksa di Alam Barzakh sesuai dengan kadar kemarahan dan kemurkaan Allah terhadap dirinya; baik dia memiliki sedikit kesalahan maupun banyak, baik dia adalah orang yang percaya maupun pendusta.
Adapun jawaban rinci atas pertanyaan di atas adalah sebagai berikut:
Rasulullah saw. telah mengabarkan tentang dua orang yang beliau lihat tengah disiksa di dalam kubur. Masing-masing mereka, orang pertama merupakan sosok yang gemar mengadu domba di tengah masyarakat. Sementara yang kedua merupakan orang yang tidak membersihkan bekas kencingnya secara sempurna. Jadi, orang yang satu suka mengabaikan bersuci yang hukumnya wajib, sementara orang yang satu lagi menjadi biang keladi atas tercetusnya permusuhan di tengah masyarakat dengan ucapannya, walaupun apa yang diucapkan itu benar adanya.
Dari orang pertama ini, kita mendapatkan peringatan bahwa orang yang gemar mengobarkan permusuhan di tengah masyarakat dengan kebohongan, kecurangan, dan manipulasi, pasti akan ditimpa azab yang jauh lebih berat. Sebagaimana pula halnya dari orang kedua yang diazab karena bekas kencingnya juga kita dapat mengambil peringatan bahwa siapa pun yang meninggalkan shalat yang suci dari kencing menjadi salah satu syarat kesalahannya, tentu akan ditimpa siksa yang jauh lebih berat. Dalam hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Syu’bah dikatakan, “Adapun yang satu lagi adalah orang yang gemar memakan daging manusia”; yang maksudnya adalah pelaku gibah, sekaligus menjadi biang adu domba.
Sebelumnya telah disampaikan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud yang membicarakan tentang orang yang dipukul menggunakan cambuk dan kuburnya dipenuhi api akibat orang itu melakukan satu kali shalat tanpa bersuci, serta dia melintas di dekat orang yang dizalimi, tetapi dia tidak menolong orang tersebut.
Sebelumnya juga telah disampaikan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Samurah dan dimuat dalam Sahih Bukhari yang membicarakan tentang azab yang menimpa orang yang berdusta satu kali tetapi kedustaan itu mencapai seluruh penjuru. Begitu pula siksaan yang menimpa orang yang membaca al-Quran, tetapi dia meninggalkannya dalam tidur di malam hari serta tidak mengamalkannya di siang hari. Begitu pula tentang siksaan yang menimpa para perempuan pezina dan para lelaki pezina. Begitu pula siksaan terhadap pemakan riba, seperti yang telah disaksikan oleh Rasulullah saw. di Alam Barzakh.
Sebelumnya juga telah disampaikan hadis-hadis dari Abu Hurairah ra. yang di dalamnya disebutkan tentang dihancurkannya kepala sekelompok orang menggunakan bongkahan batu disebabkan beratnya kepala mereka untuk melaksanakan shalat: Ada pula orang-orang yang menjerit di antara pohon berduri’ dan zaqqum disebabkan tindakan mereka yang tidak membayar zakat harta mereka. Selain itu, orang-orang yang memakan daging busuk disebabkan perbuatan zina yang mereka lakukan. Terakhir, juga orang-orang yang bibir-bibir mereka dipotong menggunakan pemotong besi karena fitnah yang mereka sebarkan lewat kata-kata dan ucapan.
Sebelumnya juga telah disampaikan hadis-hadis dari Abu Sa’iq tentang hukuman yang menimpa para pelaku berbagai kejahatan,. di antara mereka ada orang-orang yang perut mereka dibuat sebesar rumah dan mereka mengikuti para pengikut Fir’aun. Mereka dari para pemakan riba. Di antara mereka ada pula orang-orang yang mulut mereka dibuka paksa, lalu dimasukkan bara api ke dalamnya hingga kemudian tembus keluar dari dubur mereka. Mereka adalah orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim. Di antara mereka juga ada orang-orang yang digantung dengan payudara mereka. Mereka adalah para pezina. Di antara mereka ada orang-orang yang dipotong bagian lambung mereka lalu mereka memakan daging mereka sendiri. Mereka adalah para pelaku ghibah. Di antara mereka ada pula orang-orang yang memiliki kuku-kuku tembaga lalu mereka mencakari wajah dan dada mereka sendiri. Mereka adalah orang-orang yang gemar merusak nama baik orang lain.
Rasulullah saw. telah mengabarkan tentang seorang pemilik jubah yang dia dapatkan secara curang dari harta rampasan perang, bahwa orang itu akan dinyalakan api di dalam kuburnya. Padahal orang itu memiliki hak pada harta rampasan perang itu. Jadi bagaimanakah kiranya pedihnya siksa bagi orang yang menzalimi orang lain atas sesuatu yang dia sama sekali tidak memiliki hak padanya?
Singkatnya, siksa kubur akan ditimpakan kepada seorang hamba akibat kemaksiatan yang dia lakukan dengan hati, mata, telinga, mulut, lisan, perut, kemaluan, tangan, kaki, dan anggota-anggota badan lainnya. Contohnya (maksudnya, contoh orang-orang yang akan ditimpa siksa kubur—Penj.) yaitu orang pendusta, pengadu domba, penggunjing pelaku ghibah, pembuat kesaksian palsu, penuduh zina terhadap wanita baik-baik, pencetus fitnah, penyeru ke arah bidah, pembual yang menyampaikan sesuatu atas nama Allah dan Rasulullah tanpa ilmu ,dan orang yang banyak mulut.
Begitu pula orang pemakan riba, pemakan harta anak yatim, pemakan suap serta sogokan, pemakan harta saudaranya sesama muslim tanpa hak, pemakan harta orang Kafir yang terikat perjanjian damai dengan kaum muslimin, peminum khamr (arak), pemakan cuilan pohon yang terkutuk, pezina, pelaku sodomi, pencuri, pengkhianat, pembelot, penipu, pembuat makar, pengambil riba, pemberi riba, penulis riba, saksi riba, muhallil, muhallal lah, pembuat muslihat untuk menghancurkan kewajiban yang Allah tetapkan dan dilakukannya hal-hal yang Dia haramkan, orang yang menyakiti kaum muslimin, dan orang yang gemar mengorek-ngorek aib kaum muslimin.
Begitu pula hakim yang menetapkan hukum bukan dengan apa yang Allah turunkan; mufti yang menetapkan fatwa yang menyimpang dari syariat Allah; orang yang menolong dalam dosa dan permusuhan, pembunuh orang yang Allah haramkan; penentang keesaan Allah, orang yang mengabaikan serta menentang hakikat nama-nama dan sifat-sifat Allah; dan orang yang lebih mengutamakan hasil pikirannya daripada sunah Rasulullah saw.
Begitu pula perempuan yang meratap karena kematian beserta orang yang suka mendengarkan ratapan itu; para penyanyi yang menyanyikan lagu-lagu yang Allah haramkan; orang yang suka mendengarkan lagu-lagu yang Allah haramkan; orang-orang yang mendirikan masjid di kuburan; orang yang suka menyalakan lentera dan lampu di kuburan; orang yang curang dengan meminta disempurnakannya timbangan ketika mengambil, tetapi mengurangi timbangan ketika menyerahkan; orang-orang yang sewenang-wenang, orang-orang sombong, para pelaku riya’, para pengumpat, para pemaki, para pencaci generasi salaf, para pelaku perdukunan, para ahli nujum, para peramal; orang-orang yang bertanya kepada peramal; dan orang-orang yang memercayai para peramal.
Begitu pula orang-orang yang menyokong para pelaku kezaliman yang telah menjual akhirat mereka dengan dunia mereka dan orang yang jika diingatkan akan Allah, dia tidak takut dan menolak menghentikan keburukan yang sedang dilakukannya. Namun, jika diingatkan akan manusia lain, dia takut dan langsung menghentikan keburukan yang sedang dilakukannya.
Begitu pula orang yang telah disampaikan petunjuk hidayah kepadanya berupa firman Allah dan sabda Rasulullah, tetapi dia mengabaikan petunjuk hidayah itu tanpa mau memedulikannya. Tetapi apabila disampaikan kepadanya ucapan seseorang yang dia sukai, walaupun orang itu mungkin benar dan mungkin salah, dia langsung berpegang kuat-kuat pada ucapan orang itu tanpa menentangnya; orang yang dibacakan al-Quran kepadanya tetapi bacaan itu tidak berpengaruh apa pun kepadanya atau bahkan dia merasa berat dengan isi al Quran itu, tetapi apabila yang disampaikan kepadanya adalah racauan setan, pezina, dan kemunafikan, dia langsung merasa nyaman, suka, dan di dalam hatinya muncul kegembiraan, bahkan dia suka kalau orang yang Menyampaikan Nya tidak berhenti.
Begitu pula orang yang bersumpah atas nama Allah lalu dia berdusta. Padahal ketika dia bersumpah dengan menyebutkan senjata, kepala gurunya, kuburan gurunya, pakaian bagus atau atas nama kehidupan seorang makhluk yang dicintai dan ditakziminya, dia tidak mau berbohong walaupun diancam dan dihukum.
Begitu pula orang yang berbangga-bangga dengan kemaksiatan dan menyebarkan keburukan kepada saudara-saudara, serta karib kerabatnya, yaitu orang yang melakukan kemaksiatan secara terang-terangan, orang yang Anda tidak merasa aman darinya atas harta atau kehormatan Anda, dan orang yang busuk ucapannya sehingga dijauhi orang-orang karena mereka takut pada kejahatan serta kekejiannya.
Begitu pula orang yang selalu menunda shalat sampai ke akhir waktu; orang yang shalatnya seperti burung mematuk-matuk tanpa mengingat Allah kecuali sedikit; orang yang tidak menunaikan zakat hartanya secara suka rela; orang yang tidak berhaji meski sebenarnya mampu melaksanakan ibadah haji; orang yang tidak menunaikan hak-hak yang menjadi tanggungannya meski sebenarnya ia mampu menunaikannya; dan orang yang tidak bersikap warak dalam ucapan, makanan, dan langkah kakinya.
Begitu pula orang yang tidak peduli pada asal-usul hartanya. Berasal dari sumber yang halal kah ataukah dari sumber yang haram; orang yang memutuskan tali silaturahmi; orang yang tidak menyayangi orang-orang miskin; orang yang membenci orang-orang melarat, anak yatim, dan binatang; orang yang gemar menghardik anak yatim; orang yang tidak menganjurkan pemberian makanan kepada orang miskin; para pelaku riya’; orang yang selalu enggan membantu dengan barang-barang yang berguna; orang yang sibuk mengurus aib orang lain hingga alpa memerhatikan aibnya sendiri; dan orang yang sibuk mengurus dosa-dosa orang lain sehingga lalai memerhatikan dosanya sendiri.
Semua jenis orang yang telah disebutkan di atas itu dan siapa pun yang berkelakuan seperti mereka pasti kelak akan menerima siksa di dalam kubur mereka. Hal ini disebabkan oleh segala kejahatan yang mereka lakukan, sesuai dengan kadar banyak atau sedikitnya serta sesuai dengan kadar kecil atau besarnya kejahatan yang mereka lakukan.
Ketika diketahui bahwa ternyata sebagian besar manusia melakukan berbagai perbuatan buruk seperti tersebut di atas, maka tentu sebagian besar penghuni kubur akan mendapatkan siksa dan hanya sedikit dari mereka yang selamat. Tampak luarnya kuburan hanya tanah, tetapi isi dalamnya adalah penyesalan dan siksa. Tampak luarnya kuburan hanyalah tanah dan batu yang diukir dan dibangun, sementara di dalamnya berisi kesusahan dan petaka. Kuburan berisi penyesalan yang mendidih, seperti mendidihnya periuk dengan segala isinya, yang memang layak ditimpakan kepada isi kuburan itu, sementara isi kuburan itu telah terpisah dari segala syahwat dan angan-angannya.
Demi Allah, kuburan telah memberikan nasihatnya. Kuburan tidak lagi menyisakan sepotong kata pun dalam nasihatnya. Kuburan berseru:
“Wahai orang-orang yang membangun dunia, sungguh kalian telah membangun sebuah tempat yang segera akan musnah dari kalian, sementara kalian justru menghancurkan tempat yang kalian akan segera berpindah ke tempat itu. Kalian membangun rumah-rumah yang segala manfaatnya hanyalah untuk orang lain, sementara kalian justru menghancurkan rumah-rumah yang kalian tidak memiliki tempat tinggal selain itu. Dunia ini adalah tempat untuk menyempurnakan amal, menimbun perbuatan baik dan tempat bercocok tanam. Dunia ini adalah tempat untuk mengambil pelajaran, apakah kalian akan menuju salah satu taman di antara taman-taman surga ataukah kelak kalian akan menuju salah satu liang di antara liang-liang neraka!”
JAWABAN ATAS pertanyaan itu dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu yang bersifat global dan jawaban yang bersifat rinci.
Jawaban global atas pertanyaan ini adalah sebagai berikut:
Hal pertama yang dapat menyelamatkan manusia dari siksa kubur adalah dengan menghindari semua perkara yang dapat menyebabkan dijatuhkannya siksa kubur.
Salah satu di antara amalan paling bermanfaat yang dapat meng. hindarkan manusia dari siksa kubur yaitu, hendaklah seorang hamba duduk sebentar dengan menyebut nama Allah sebelum tidur guna melakukan muhasabah atas diri sendiri dengan menghitung kembali segala kerugian dan keuntungan yang telah didapat dalam satu hari yang baru saja berlalu. Setelah itu, hendaklah dia memperbarui tobatnya dengan tobat yang tulus di hadapan Allah, lalu tidur dalam pertobatan itu sembari bertekad untuk tidak mengulangi dosa yang telah dilakukannya apabila nanti dia bangun dari tidurnya.
Hendaklah seorang hamba melakukan amalan itu setiap malam. Apabila dia mati pada malam itu juga, dia mati dalam tobat. Apabila dia terbangun dari tidurnya, dia akan bangun dalam kondisi siap untuk beramal dengan kegembiraan atas ditundanya ajalnya, sampai dia memohon perjumpaan dengan Tuhannya dan berusaha mengetahui apa saja yang telah luput darinya.
Tidak ada yang lebih bermanfaat bagi seorang hamba selain tobat seperti ini. Terlebih apabila tobat itu diiringi dengan zikir mengingat Allah swt. serta mengamalkan berbagai sunah yang bersumber dari Rasulullah saw. di saat tidur, demikian terus sampai dia tertidur. Siapa pun yang Allah inginkan kebaikan baginya, maka Allah pasti akan memberi taufik baginya untuk menuju kebaikan itu. Tidak ada kekuatan kecuali hanya pada Allah swt.
Adapun sebagai jawaban rinci atas pernyataan tersebut di atas, akan kami sampaikan beberapa hadis-hadis yang berasal dari Rasulullah saw. dan berisi mengenai hal-hal yang dapat menyelamatkan kita dari siksa kubur.
Di antaranya adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dalam ash-Shahih. Dari Salman, dia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Menjaga perbatasan satu hari satu malam lebih baik daripada puasa satu bulan lengkap dengan bangun malamnya. Apabila dia mati maka dia akan diberi pahala sesuai amal yang dilakukannya dan akan diberi pahala rezekinya dan akan aman dari penimpa petaka (siksa kubur).” (HR. Muslim)
Dalam Jaami’ at-Tirmidzi terdapat hadis-hadis dari Fadhalah bin Ubaid, dari Rasulullah saw., beliau bersabda, “Setiap orang mati dikhatamkan atas amalnya, kecuali orang yang mati saat menjaga perbatasan di jalan Allah. Amalnya akan terus ditumbuhkan sampai Hari Kiamat dan dia akan aman dari fitnah kubur.” (HR. Tirmidzi)
Tirmidzi menyatakan bahwa hadis-hadis ini statusnya hasan sahih.
Dalam Sunan an-Nasa‘i terdapat hadis, dari Rasyid bin Sa’d, dari salah seorang sahabat Rasulullah saw. yang menyatakan bahwa seseorang berkata kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, mengapa orang-orang mukmin ditimpa petaka di dalam kuburan mereka kecuali orang yang mati syahid?”
Rasulullah saw. menjawab, “Telah cukuplah kilatan pedang di atas kepalanya sebagai petaka.”(HR. an-Nasa’i)
Diriwayatkan dari Miqdam bin Ma’dikarib, dia berkata. Rasulullah saw. bersabda, “Orang mati syahid di sisi Allah memiliki enam perkara: Diampuni baginya (dosanya) pada cucuran pertama darahnya, diperlihatkan kepadanya tempatnya di surga, diselamatkan dari siksa kubur, diamankan dari Kengerian Besar, diletakkan di kepalanya Mahkota Kemuliaan dengan permata yaqut yang lebih baik daripada dunia seisinya, dikawinkan dengan tujuh puluh dua istri dari kalangan bidadari, diberi hak memberi syafaat kepada tujuh puluh kerabatnya.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi)
Tirmidzi menyatakan bahwa hadis-hadis ini statusnya hasan sahih.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ra., dia berkata, “Suatu ketika Salah seorang sahabat Rasulullah saw. mendirikan kemah di atas sebuah kuburan tanpa dia menyadari bahwa tempat itu adalah kuburan. Ternyata di situ ada seseorang yang membaca Surah al-Mulk sampai selesai. Dia pun mendatangi Rasulullah saw. lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku mendirikan kemah di atas kuburan tanpa aku menyadari bahwa tempat itu adalah kuburan. Ternyata di situ ada orang yang membaca Surah al-Mulk sampai selesai.” Rasulullah saw. menyahut, “ia (surah al-Mulk) adalah penghalang. Ia adalah pelindung yang dapat melindungi dari siksa kubur.” Tirmidzi menyatakan bahwa hadis-hadis ini statusnya hasan gharib.
Telah diriwayatkan kepada kami dalam Musnad ‘Abd bin Humaid, dari Ibrahim bin Hakam, dari ayahnya, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas ra., dia berkata kepada seseorang, “Maukah engkau kusampaikan Hadis-hadis kepadamu yang engkau akan bergembira karenanya?”
Lelaki itu menjawab, “Tentu saja!”
Ibnu ‘Abbas ra. berkata: Bacalah tabarakalladzi biyadihil mulk (Surah al-Mulk). Hafalkan surah itu dan ajarkan kepada keluargamu, anak-anakmu, anak-anak kecil di ramahmu dan para tetanggamu karena sesungguhnya surah itu adalah penyelamat dan pendebat yang akan mendebat di Hari Kiamat di sisi Tuhannya bagi pembacanya; sebagaimana surah itu juga akan memintakan kepada Tuhannya untuk pembacanya agar Dia berkenan menyelamatkan pembacanya dari siksa neraka, apabila surah itu ada di dalam diri pembacanya. Dengan surah itu Allah akan menyelamatkan pemiliknya’™ dari siksa kubur. Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh aku sangat menyukai apabila surah itu (maksudnya, Surah al-Mulk—Penj.) bersemayam di dalam hati setiap orang dari kalangan umatku.”
Abu “Umar bin “Abdul Barr menyatakan, “Telah diriwayatkan secara sahih dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, ‘Sesungguhnya surah dengan tiga puluh ayat dapat memberi syafaat kepada pemiliknya sampai dia diberi pengampunan; yaitu tabarakalladzi biyadihil mulk (Surah al-Mulk).”
Dalam Sunan Ibnu Majah disebutkan sebuah hadis dari Abu Hurairah ra. yang berstatus marfuk, “Barang siapa yang mati dalam keadaan sakit, dia mati sebagai syahid. Dia akan dilindungi dari petaka kubur dan dia akan diberi rezeki dari surga.”
Disebutkan dalam Sunan an-Nasa‘i dari Jami’ bin Syidad, dia berkata: Aku telah mendengar Abdullah bin Yasar berkata, “Ketika aku sedang duduk bersama Sulaiman bin Shurad dan Khalid bin ‘Urfuthah, mereka menyampaikan bahwa ada seorang lelaki yang mati disebabkan sakit perutnya. Ketika mereka berdua ingin menyaksikan jenazah orang itu, salah seorang dari mereka berkata kepada orang yang satu lagi, ‘Bukankah Rasulullah saw. telah bersabda bahwa barang siapa yang dimatikan oleh perutnya, niscaya dia tidak akan disiksa di dahan kuburnya?’
Abu Dawud ath-Thayalisi berkata dalam al-Musnad yang disusunnya: Syu’bah menuturkan kepada kami, Ahmad bin Jami’ bin Syaddad perkata, “Ayahku menuturkan kepadaku…” Lalu dia menuturkan hadis-hadis seperti tersebut di atas dan dia menambahkan, “Temannya menjawab, “Ya!”
Dalam at-Tirmidzi dikatakan sebuah hadis dari Rabi’ah bin Saif, dari ‘Abdullah bin ‘Amr, dia berkata: Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada seorang muslim pun yang mati pada hari Jumat atau pada malam Jumat kecuali Allah akan melindunginya dari petaka kubur.” Tirmidzi menyatakan bahwa hadis-hadis ini statusnya hasan gharib. Sanad hadis-hadis ini tidak bersambung. Penyebabnya adalah karena Rabi’ah bin Saif hanya meriwayatkan hadis-hadis dari Abu ‘Abdurrahman al-Hubuli, dari ‘Abdullah bin Amr. Tidak pernah diketahui bahwa Rabi‘ah bin Said menyimak hadis-hadis dari ‘Abdullah bin “Amr.
Tirmidzi dan Hakim’ telah meriwayatkan hadis-hadis ini dari Rabi‘ah bin Saif, dari ‘lyadh bin “Uqbah al-Fihri, dari “Abdullah bin ‘Amr. Hadis-hadis serupa telah diriwayatkan oleh Abu Nu’aim al-Hafiz dari Muhammad bin Munkadir, dari Jabir dengan status marfuk dan dengan lafal yang berbunyi, “Barang siapa yang mati pada malam Jumat atau hari Jumat pasti akan diselamatkan dari siksa kubur dan dia akan datang di Hari Kiamat dengan gelar para syuhada.” Akan tetapi, hadis-hadis ini diriwayatkan sendirian oleh ‘Umar bin Musa al-Wajihi. Dia merupakan seorang penduduk Madinah dan statusnya daif.
Berkenaan dengan sabda Rasulullah saw. yang berbunyi, “Telah cukuplah kilatan pedang di atas kepalanya sebagai petaka,” maksudnya (wallahu a‘lam) yaitu: Orang tersebut telah diuji kadar kemunafikan dan keimanannya dengan kilatan pedang di atas kepalanya yang dig tidak lari ketika menghadapi itu. Kalau orang tersebut memang seorang munafik, tentu dia tidak akan mampu bersabar menghadapi kilatan pedang di atas kepalanya. Sikapnya itu telah menunjukkan bahwa keimanannyalah yang mendorongnya untuk mengorbankan diri dem; Allah dan berserah kepada-Nya. Dari dalam hati orang itu, bergolak kemarahan demi membela Allah dan Rasul-Nya, serta demi membela agama dan meninggikan kalimat-Nya. Semua itu menunjukkan kebe. naran isi hatinya. Dia berani maju berperang, sehingga dengan semua itu tidak tidak perlu lagi menghadapi ujian di dalam kuburnya.
Abu ‘Abdullah al-Qurthubi menyatakan, “Apabila seorang syahid tidak akan ditimpa petaka (dalam kubur), seorang yang jujur (shiddiq) tentu lebih besar pahalanya dan lebih pantas untuk tidak ditimpa petaka kubur karena kaum shiddiqin lebih dulu disebutkan oleh Allah dalam ayat yang menyebut golongan syuhada.’”
Kalau hadis-hadis sahih telah menyatakan bahwa penjaga perbatasan (murdbith) yang statusnya lebih rendah daripada syahid tidak akan ditimpa petaka dalam kubur, maka apatah lagi kiranya dengan orang yang kedudukannya lebih tinggi dari orang syahid?
Hadis-hadis sahih telah menyampaikan berulang kali pernyataan ini dan juga menjelaskan bahwa golongan shiddiq tetap ditanya di dalam kuburnya sebagaimana semua orang selain mereka ditanya di dalam kubur. Tak kurang dari ‘Umar bin Khathab ra. yang merupakan pemuka kalangan shiddiqiin, dia bertanya kepada Rasulullah saw. ketika beliau mengabarkan kepadanya tentang pertanyaan malaikat di dalam kubur, “Apakah aku akan seperti keadaanku ini?” Rasulullah saw. menjawab, “Ya.” Lalu dia menuturkan hadis.
Adapun berkenaan dengan para nabi, orang-orang berbeda pendapat mengenai apakah para nabi juga ditanya di dalam kubur mereka. Mereka memiliki dua pendapat yang keduanya menjadi dua sisi pada mazhab Ahmad dan lainnya. Keistimewaan yang secara khusus dimiliki oleh golongan syahid tidak serta-merta juga ikut dimiliki oleh golongan shiddiq, walaupun golongan shiddiq lebih tinggi dibandingkan golongan syahid karena keistimewaan yang dimiliki para syuhada mungkin saja tidak dimiliki orang mereka yang lebih afdal daripada mereka, walaupun mereka lebih tinggi derajatnya dibandingkan mereka (para syuhada).
Adapun berkenaan dengan hadis-hadis Ibnu Majah yang berbunyi,
“Barang siapa yang mati dalam keadaan sakit, maka dia mati sebagai syahid. Dia akan dilindungi dari petaka kubur.”
Akan tetapi, di antara rangkaian perawi hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah ini terdapat beberapa individu yang berstatus gharib dan munkar. Seperti hadis-hadis ini ada hadis-hadis lain yang berstatus maukuf dan tidak dapat dinyatakan berasal dari Rasulullah saw. Kalaupun hadis-hadis tersebut sahih, maka ia tetap terikat (muqayyad) dengan hadis-hadis lain, yaitu hadis-hadis yang menyebutkan kematian akibat sakit perut. Adalah sahih statusnya bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Orang yang sakit perut (lalu mati) adalah syahid.” Jadi, hadis-hadis yang bersifat mutlak (muthlaq) ini hendaklah kemudian dibawa kepada hadis-hadis yang bersifat terikat (muqayyad) tadi. Wallahu a’lam.
Berkenaan dengan hal-hal yang dapat menyelamatkan hamba dari siksa kubur, ada sebuah hadis yang di dalamnya disebutkan pula mengenai kesembuhan yang diriwayatkan oleh Musa al-Madini yang kemudian dinukil dalam kitabnya dalam at-Targhib wa at-Tarhib yang dia jadikan sebagai penjelasannya. Dia meriwayatkan hadis-hadis itu dari Faraj bin Fadhalah, “Hilal Abu Jabalah menuturkan kepada kami, dari Sa‘id bin Musayyab, dari ‘Abdurrahman bin Samurah, dia berkata, ‘Rasulullah keluar menemui kami ketika kami berada di shuffah (serambi masjid) di Madinah. Beliau berdiri di dekat kami lalu berkata,
“Sesungguhnya semalam aku bermimpi melihat sesuatu yang menakjubkan. Kulihat seorang lelaki dari kalangan umatku didatangi oleh Malaikat Maut untuk mencabut nyawanya. Tetapi datanglah baktinya kepada kedua orang tuanya kepadanya, lalu baktinya itu mengusir Malaikat Maut darinya.
Aku juga melihat seorang lelaki dari kalangan umatku yang telah dihamparkan siksa kubur untuk dirinya. Tetapi wudhunya mendatanginya dan menyelamatkannya dari siksa kubur itu. Aku juga melihat seorang lelaki dari kalangan umatku yang ditakut-takuti oleh setan-setan. Tetapi zikirnya mengingat Allah mendatanginya lalu zikir itu mengusir setan-setan itu darinya. Aku juga melihat seorang lelaki dari kalangan umatku yang ditakut-takuti oleh para malaikat penyiksa. Tetapi shalatnya mendatanginya lalu shalatnya itu menyelamatkannya dari tangan para malaikat itu.
Aku juga melihat seorang lelaki dari kalangan umatku yang kehausan, setiap kali dia mendekati telaga, dia selalu dihalau dan diusir. Tetapi puasanya di bulan Ramadhan mendatanginya lalu puasa itu memberinya minum hingga hilang dahaganya. Aku juga melihat seorang lelaki dari kalangan umatku ketika kulihat para nabi sedang duduk dalam halaqah-halaqah, setiap kali lelaki itu mendekati salah satu halaqah dia langsung diusir. Tetapi datanglah kepadanya mandi junub yang dilakukannya dulu, mandi junub itu menggamit tangannya, lalu mendudukkan lelaki itu di sampingku.
Aku juga melihat seorang lelaki dari kalangan umatku yang di depannya terbentang kegelapan, di belakangnya terbentang kegelapan, di kanannya terbentang kegelapan, di kirinya terbentang kegelapan dan di atasnya terbentang kegelapan sehingga dia benar-benar kebingungan di tempatnya itu. Tetapi datanglah kepadanya haji dan umrah yang dilakukannya, lalu keduanya mengeluarkannya dari kepungan kegelapan itu lalu keduanya memasukkannya ke dalam cahaya. Aku juga melihat seorang lelaki dari kalangan umatku yang ketakutan karena ada kobaran api di depannya. Tetapi sedekahnya mendatanginya dan sedekah itu menjadi tirai pelindung yang melindunginya dari api dan menjadi naungan di kepalanya.
Aku juga melihat seorang lelaki dari kalangan umatku yang berbicara kepada orang-orang mukimin, tetapi orang-orang mukmin itu tidak saudi berbicara kepadanya. Tetapi datanglah kepadanya silaturahmi yang dulu dilakukannya, tali silaturahmi kita berkata, “Wahai orang-orang muslim! Sungguh orang ini adalah orang yang suka bersilaturahmi, maka ajaklah dia berbincang-bincang.” Maka orang-orang mukmin itu pun mengajaknya berbincang. Mereka menyalaminya dan dia menyalami mereka. Aku juga melihat seorang lelaki dari kalangan umatku yang ditakuti-takuti oleh para malaikat Zabaniyah. Tetapi datanglah kepadanya amar makruf nahi mungkar yang dilakukannya. Lalu amar makruf nahi mungkar itu menyelamatkannya dari para malaikat itu dan memasukkannya ke tengah para malaikat rahmat.
Aku juga melihat seorang lelaki dart kalangan umatku yang berlutut karena ada hijab yang menghalangi antara dia dengan Allah swt. Tetapi lalu datanglah kepadanya akhlaknya yang batik. Akhlak baiknya itu lalu menggamit lengannya dan mempertemukannya dengan Allah swt. Aku juga melihat seorang lelaki dari kalangan umatku yang menerima catatan amalnya dari sebelah kiri. Tetapi kemudian takutnya kepada Allah mendatanginya, lalu takutnya kepada Allah itu mengambil catatan amal lelaki itu dan memindahkannya ke sebelah kanan.
Aku juga melihat seorang lelaki dari kalangan umatku yang enteng timbangan amal baiknya. Tetapi lalu datanglah kepadanya cucu-cucunya yang membuat timbangan amalnya menjadi berat. Aku juga melihat seorang lelaki dari kalangan umatku yang sedang berdiri di bibir Jahanam. Tetapi pengharapannya kepada Allah swt. mendatanginya, lalu pengharapannya kepada Allah itu menyelamatkannya dari bibir Jahanam itu dan dia pun meninggalkan tempat itu. .
Aku juga melihat seorang lelaki dari kalangan umatku yang sudah terperosok ke dalam neraka. Tetapi air matanya yang menetes ketika dia takut kepada Allah mendatanginya, lalu air matanya itu menyelamatkannya dari tempat itu. Aku juga melihat seorang lelaki dari kalangan umatku yang berdiri di atas titian Shirath dengan tubuh yang terguncang seperti terguncangnya bulu halus yang diterpa angin ribut. Tetapi kemudian sangka baiknya kepada Allah mendatanginya, lalu menenangkanya dari guncangan itu dan dia pun berhasil lewat.
Aku juga melihat seorang lelaki dari kalangan umatku yang gemetar di atas titian Shirath. Terkadang dia terjatuh terkadang dia bergantung. Tetapi selawatnya kepadaku datang kepadanya lalu selawatnya itu memantapkannya di atas kedua kakinya dan menyelamatkannya. Aku juga melihat seorang lelaki dari kalangan umatku yang telah sampai di gerbang surga, tetapi semua gerbang surga tertutup baginya. Tetapi kemudian datanglah syahadatnya bahwa tidak ada Tuhan selain Allah kepadanya dan syahadatnya itu lalu membukakan baginya gerbang-gerbang surga dan memasukkannya ke dalam surga.”
Al-Hafizh Abu Musa berkata bahwa hadis-hadis ini statusnya hasan Jiddan. Hadis-hadis ini dia riwayatkan dari Sa’id bin Musayyab ‘Umar bin Dzarr dan “Ali bin Zaid bin Jud’an.
Berkenaan dengan hadis-hadis seperti tersebut di atas inilah ada pendapat yang menyatakan bahwa mimpi para nabi adalah wahyu dan mimpi itu adalah seperti pengertian lahiriahnya. Ini tidak seperti sebuah riwayat dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, “Aku bermimpi melihat pedangku patah, maka kutakwilkan itu begini begitu; dan kulihat seekor sapi yang disembelih.” Dan juga sabda beliau, “Aku bermimpi melihat seakan-akan kita berada di rumah ‘Uqbah bin Rafi’.”
Mimpi Rasulullah saw. yang panjang ini juga telah diriwayatkan dalam sebuah hadis dari Samurah dalam ash-Sahih dan juga dari “Ali dan Abu Umamah. Riwayat-riwayat yang disampaikan oleh ketiga orang itu saling berdekatan (bermiripan) antara satu sama lain dan kesemuanya menyebutkan tentang berbagai macam hukuman yang ditimpakan terhadap sekelompok orang yang ditimpa siksa di Alam Barzakh. Adapun dalam riwayat ini, disebutkan tentang hukuman yang kemudian diiringi dengan berbagai amal yang menyelamatkan orang yang bersangkutan dari hukuman.
Perawi hadis-hadis ini dari Ibnul Musayyab adalah Hilal Abu Jabalah yang merupakan seorang penduduk Madinah yang tidak dikenal dengan hadis-hadis selain hadis-hadis ini. Ibnu Abu Hatim menyebutkannya dari ayahnya seperti ini juga. Hakim Abu Ahmad dan Hakim Abu ‘Abdullah menyebut ‘Abu Jabal” tanpa huruf ha’.’” Mereka menuturkan riwayat ini dari Muslim.
Perawi riwayal ini darinya adalah Faraj bin Fadhalah yang statusnya “sedang” (wasath) dalam periwayatan; status hadis-hadis darinya tidak “kuat” (qawiy) tetapi juga tidak “ditinggalkan” (matrik). Perawi siwayat ini darinya’’ yaitu Bisyr bin Walid. Dia merupakan seorang fakih yang terkenal dengan nama Abu Khathib. Mazhabnya baik dan thariqah-nya pun bagus.
Saya pernah mendengar Syaikhul Islam (Ibnu Taimiyah) begitu memperhatikan kandungan hadis-hadis ini. Dia lalu berkata, “Hadis-hadis ini merupakan dasar-dasar sunah yang menjadi saksi baginya. Hadis-hadis ini adalah salah satu hadis-hadis yang paling bagus.” Wallahut taufiq.
ABU ‘UMAR bin ‘Abdul Barr menyatakan dalam kitab at-Tamhid sebagai berikut:
“Berbagai atsar menunjukkan bahwa petaka dalam kubur tidak menimpa, kecuali hanya terhadap orang mukmin atau orang munafik yang dianggap termasuk Ahlul Qiblah dan pemeluk Agama Islam dengan pernyataan syahadat. Sementara orang kafir pembangkang pelaku kebatilan, tidaklah termasuk orang yang akan ditanya di dalam kuburnya tentang Tuhan, agama dan nabinya. Yang ditanyai seperti itu hanyalah pemeluk Agama Islam, untuk kemudian Allah swt. akan mengukuhkan jawaban orang-orang yang beriman, sedangkan para pelaku kebatilan akan goyah.”
Al-Quran dan sunah telah menunjukkan bantahan terhadap pernyataan di atas, dengan menyatakan bahwa pertanyaan dalam kubur akan ditujukan terhadap orang kafir dan juga orang muslim.
Allah swt. berfirman, “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ibrahim [14]: 27)
Telah dinyatakan dalam ash-Shahih bahwa ayat tersebut di atas turun untuk menjelaskan tentang siksa kubur ketika seorang hamba ditanya “Siapakah Tuhanmu?” dan “Apakah agamamu?”
Dalam dua kitab Sahih dinyatakan sebuah hadis dari Anas bin Malik, dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, “Sesungguhnya apabila hamba (yang mati) diletakkan dalam kuburnya lalu para sahabatnya meninggalkannya, maka dia benar-benar mendengar gesekan sandal-sandal mereka…”
Al-Bukhari menambahkan, “Adapun orang munafik dan kafir, maka akan dikatakan kepadanya, ‘Apakah yang engkau katakan tentang lelaki ini?’ Dia lalu menjawab, ‘Aku tidak tahu. Aku berkata seperti yang dikatakan orang-orang.’ Lalu dikatakanlah lagi kepadanya, ‘Engkau tidak tahu dan engkau tidak ucapkan!’ Kemudian orang itu pun dipukul menggunakan palu besi sehingga dia berteriak kuat-kuat dan teriakan itu didengar oleh siapa pun yang ada di dekatnya kecuali jin dan manusia.”
Demikianlah yang disebutkan dalam Sahih al-Bukhari, “Adapun orang munafik dan kafir” dengan huruf waw di antara kedua kata “munafik” dan “‘kafir”.
Telah disebutkan dalam hadis-hadis Abu Said al-Khudri yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Imam Ahmad. Suatu ketika kami bersama Rasulullah saw. pada jenazah, beliau lalu bersabda, “Wahai orang-orang, sesungguhnya umat ini ditimpa petaka dalam kubur mereka. Apabila seseorang dikuburkan lalu para sahabatnya meninggalkannya, akan datang kepadanya malaikat dengan sebuah palu di tangannya. Malaikat itu lalu mendudukkannya kemudian bertanya, ‘Apakah yang engkau katakan tentang lelaki ini?’ Apabila dia adalah orang mukmin dia akan menjawab, ‘Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah semata tiada sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah!’ Malaikat itu lalu berkata kepadanya, ‘Engkau benar!’ Kemudian malaikat itu membukakan baginya sebuah gerbang menuju neraka seraya berkata, ‘Ini adalah tempatmu apabila engkau kafir terhadap Tuhanmu!’. Adapun Jika orang itu kafir dan munafik, maka malaikat berkata kepadanya, ‘Apakah yang engkau katakan tentang lelaki ini?’ Dia menjawab, ‘Aku tidak tahu.’ Maka dikatakanlah kepadanya, ‘Engkau tidak tahu dan engkau tidak mengikuti petunjuk!’ Lalu malaikat membukakan baginya sebuah gerbang ke surga seraya berkata kepadanya, ‘Ini adalah tempatmu apabila engkau beriman kepada Tuhanmu! Adapun apabila engkau kufur, maka sesungguhnya Allah mengganti untukmu dengan ini!’ Kemudian malaikat membuka sebuah gerbang menuju neraka, lalu malaikat menghantamnya menggunakan palu dengan hantaman yang didengar oleh semua makhluk Allah, kecuali jin dan manusia,’”
Suatu ketika seorang sahabat berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, tidak ada seorang pun yang malaikat berdiri di atas kepalanya kecuali dia pasti ketakutan pada saat itu!”
Rasulullah saw. menukas: Allah swt. berfirman, “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ibrahim [14]: 27)
Dalam sebuah hadis panjang dari Barra’ bin Azib dikatakan:
“Adapun apabila orang kafir berada di ambang akhirat dan terputus dari dunia, maka turunlah para malaikat kepadanya dari langit dengan membawa kain-kain kasar…” dan seterusnya hadis ini sampai kalimat, “kemudian dikembalikan ruhnya ke dalam jasadnya di dalam kuburnya,” dan seterusnya perawi sebutkan hadis-hadis ini.
Pada kalimat yang berbunyi, “Apabila orang mati itu adalah seorang durjana, maka datanglah kepadanya Malaikat Maut yang lalu duduk di dekat kepalanya…” dan seterusnya perawi sebutkan hadis-hadis inj sampai kalimat, “…apakah ruh yang busuk ini?” Para malaikat menjawab, “Si Fulan!” dengan menyebut namanya yang paling buruk. Apabila ia sampai dibawa di ujung langit dunia, ditutuplah di depannya, lalu dilemparlah ia dari langit. Kemudian perawi membacakan firman Allah swt., “Barang siapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” (QS. al-Hajj [22]: 31)
Perawi berkata, “Lalu dikembalikanlah kepadanya ruhnya ke dalam jasadnya, lalu datang kepadanya dua malaikat yang perkasa, kemudian mereka berdua mendudukkannya dengan membentaknya. Mereka berdua bertanya, “Siapakah Tuhanmu?” Orang mati itu menjawab, “Hah saya tidak tahu.” Mereka berdua berkata, “Engkau tidak tahu!” Mereka berdua lalu bertanya, “Siapakah nabi yang diutus kepada kalian ini?” Orang mati itu menjawab, “Aku mendengar orang-orang berkata tentang itu tetapi aku tidak tahu.” Para malaikat berkata kepadanya, “Engkau tidak tahu!” Itu adalah firman Allah swt.,
“Dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ibrahim [14]: 27)
Dan seterusnya perawi sebutkan hadis-hadis ini.
Istilah “fajir” (jahat atau durjana) yang disebutkan di dalam al-Quran dan sunah telah diketahui secara pasti bahwa maksudnya adalah “Kafir’”. Contohnya adalah firman Allah swt.,
“Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam surga yang penuh kenikmatan dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka.” (QS. al-Infithar [82]: 13-14)
Dan firman Allah swt.,
“Sekali-kali jangan curang karena sesungguhnya kitab orang yang durhaka tersimpan dalam sijjin.” (QS. al-Muthaffifin [83]: 7)
Dalam lafal yang lain dalam hadis-hadis yang diriwayatkan Barra dikatakan,
“Sesungguhnya apabila orang kafir berada di ambang akhirat dan terputus dari dunia, maka turunlah kepadanya para malaikat yang kejam dan pemarah dengan mereka membawa kain dari api dan pakaian dari timah yang meleleh sehingga mereka menakutinya. Kemudian ruh orang kafir itu dicabut seperti dicabutnya tusukan besi dari wol yang basah. Ketika ruh itu keluar, setiap malaikat yang ada di antara langit dan bumi serta semua malaikat yang ada di langit mengutuknya.” Dan seterusnya perawi menyebutkan hadis ini sampai kalimat, “Sesungguhnya dia benar-benar mendengar gesekan sandal-sandal mereka ketika mereka meninggalkannya. Kemudian dikatakan kepadanya, “Hai kau! Siapakah Tuhanmu? Apa agamamu? Siapakah nabimu?” Dia menjawab, “Aku tidak tahu.” Maka dikatakanlah kepadanya, “Engkau tidak tahu!”, demikian seterusnya perawi menyebutkan hadis-hadis ini. Hadis-hadis ini diriwayatkan oleh lalu malaikat menghantamnya menggunakan palu dengan hantaman yang didengar oleh semua makhluk Allah, kecuali jin dan manusia.’”
Suatu ketika seorang sahabat berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, tidak ada seorang pun yang malaikat berdiri di atas kepala. nya kecuali dia pasti ketakutan pada saat itu!”
Rasulullah saw. menukas: Allah swt. berfirman, “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.,” (QS. Ibrahim [14]: 27)
Dalam sebuah hadis panjang dari Barra’ bin Azib dikatakan:
“Adapun apabila orang kafir berada di ambang akhirat dan terputus dari dunia, maka turunlah para malaikat kepadanya dari langit dengan membawa kain-kain kasar…” dan seterusnya hadis ini sampai kalimat, “kemudian dikembalikan ruhnya ke dalam jasadnya di dalam kuburnya,” dan seterusnya perawi sebutkan hadis-hadis ini.
Pada kalimat yang berbunyi, “Apabila orang mati itu adalah seorang durjana, maka datanglah kepadanya Malaikat Maut yang lalu duduk dj dekat kepalanya…” dan seterusnya perawi sebutkan hadis-hadis ini sampai kalimat, “…apakah ruh yang busuk ini?” Para malaikat menjawab, “Si Fulan!” dengan menyebut namanya yang paling buruk. Apabila ia sampai dibawa di ujung langit dunia, ditutuplah di depannya, lalu dilemparlah ia dari langit. Kemudian perawi membacakan firman Allah swt., “Barang siapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” (QS. al-Hajj [22]: 31)
Perawi berkata, “Lalu dikembalikanlah kepadanya ruhnya ke dalam jasadnya, lalu datang kepadanya dua malaikat yang perkasa, kemudian mereka berdua mendudukkannya dengan membentaknya. Mereka berdua bertanya, “Siapakah Tuhanmu?” Orang mati itu menjawab, “Hah saya tidak tahu.” Mereka berdua berkata, “Engkau tidak tahu!” Mereka berdua lalu bertanya, “Siapakah nabi yang diutus kepada kalian ini?” Orang mati itu menjawab, “Aku mendengar orang-orang berkata tentang itu tetapi aku tidak tahu.” Para malaikat berkata kepadanya, “Engkau tidak tahu!” Itu adalah firman Allah swt.,
orang kafir (kafir)” dengan tegas; sebagian lagi menyatakan, “adapun orang durjana (fajir)”; dan sebagian lagi menyatakan, “adapun orang munafik atau orang ragu); lafal ini muncul karena keraguan sebagian perawi hadis-hadis ini tanpa tahu manakah yang dikatakan. Sementara itu, para perawi yang menyebutkan kalimat “orang kafir (kafir)” dan “orang durjana (fajir)” tidak ragu. Padahal riwayat orang-orang yang tidak ragu dengan pula banyaknya jumlah mereka, jauh lebih utama daripada riwayat orang yang ragu dan bersendirian dalam periwayatan. Dan tidak ada pertentangan antara dua riwayat sehingga orang munafik akan ditanya di dalam kubur sebagaimana halnya orang kafir dan orang mukmin. Hanya saja kelak Allah swt. akan menetapkan orang-orang beriman dengan keimanan mereka dan Allah swt. akan menyesatkan orang-orang zalim; yaitu orang-orang kafir dan munafik.
Abu Sa‘id al-Khudri telah mengumpulkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu ‘Amir al-Aqadi: ‘Abbad bin Rasyid menuturkan kepada kami, dari Dawud bin Abu Hind, dari Abu Nadhrah, dari Abu Said, dia berkata, “Kami menyaksikan jenazah bersama Rasulullah saw….” Demikian seterusnya perawi menyampaikan hadis-hadis ini, Jalu berkata: Apabila orang mati itu kafir atau munafik, malaikat berkata kepadanya, “Apakah yang engkau katakan tentang lelaki ini?” Orang itu menjawab, “Aku tidak tahu…” Hadis-hadis ini secara gamblang menyatakan bahwa pertanyaan kubur ditujukan pula terhadap orang kafir dan orang munafik.
Berkenaan dengan pernyataan Abu ‘Umar’! rahimahullah, “Sementara orang kafir pembangkang pelaku kebatilan, tidaklah termasuk orang yang akan ditanya di dalam kuburnya tentang Tuhan dan agamanya,” hendaklah dikatakan kepadanya bahwa yang terjadi bukan seperti yang dikatakannya itu. Alih-alih, mereka (maksudnya, orang kafir—Penj.) termasuk mereka yang akan ditanya di dalam kubur. Bahkan orang kafir jauh lebih layak untuk ditanya di dalam kubur daripada golongan yang lain.
Allah swt. telah mengabarkan di dalam al-Kitab-Nya bahwa Dia bertanya kepada orang-orang kafir pada Hari Kiamat dalam firman-Nya,
“Dan (ingatlah) hari (di waktu) Allah menyeru mereka, seraya berkata, “Apakah jawaban kalian kepada para rasul?” (Qs, al-Qashash [28]: 65)
Allah swt. berfirman,
“Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu.” (QS, al-Hijr {15}: 92-93)
Allah swt. berfirman,
“Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) rasul-rasul (Kami).” (QS. al-A’raf [7]: 6)
Jadi, apabila orang-orang kafir itu kelak akan ditanya pada Hari Kiamat, bagaimana mungkin mereka tidak akan ditanya di dalam kubur mereka? Itulah sebabnya, apa yang dinyatakan oleh Abu Umar rahima. hullah ini tidak dapat diterima.
TOPIK INI telah banyak dibicarakan oleh orang banyak. Abu Abdullah Tirmidzi menyatakan, “Sesungguhnya pertanyaan bagi orang mati hanya berlaku bagi umat ini saja karena umat-umat sebelum kita telah datang kepada mereka para rasul dengan membawa risalah masing-masing. Jika mereka menolak risalah itu, mereka pun menentang para rasul itu, mengucilkan mereka, lalu disegerakanlah turunnya azab terhadap umat-umat pembangkang itu. Ketika Allah swt. mengutus Muhammad saw. dengan rahmat kasih sayang yang mendatangkan keamanan bagi semua makhluk sebagaimana yang Allah nyatakan dalam ayat,
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. al-Anbiya’ [21]: 107)
Allah pun menahan turunnya azab dari mereka dan Dia memberikan pedang sehingga ada orang yang masuk ke dalam Agama Islam karena takut kepada pedang, kemudian iman merasuk ke dalam hatinya dan mereka pun ditunda. Dari sinilah muncul kemunafikan. Mereka (orang-orang munafik) merahasiakan kekafiran dan menunjukkan keimanan sehingga mereka berada di tengah orang-orang muslim dalam kerahasiaan. Setelah mereka mati, Allah swt. mengirimkan dua penimpa petaka dalam kubur untuk membongkar apa yang mereka rahasiakan itu melalui pertanyaan. Selain itu, Allah swt. juga berfirman,
“Supaya Allah memisahkan (golongan) yang buruk dari yang baik.” (QS. al-Anfal [8]: 37)
Tetapi seiring dengan itu, “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunig dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim,” (QS. Ibrahim [14]: 27)
Akan tetapi, para ulama lain bertentangan dengan pendapat tersebut di atas. Di antara mereka adalah Abdul Haqq al-Isybili dan al-Qurthubi. Mereka menyatakan bahwa pertanyaan kubur ditujukan kepada umat ini (umat Islam) dan semua umat lainnya.
Sementara itu, ada lagi segolongan ulama lain yang tidak menyatakan pendapat apa-apa. Di antara mereka adalah Abu ‘Umar bin ‘Abdul Barr. Dia menyatakan bahwa di dalam hadis-hadis dari Zaid bin Tsabit dari Rasulullah saw., bahwa beliau bersabda, “Sesungguhnya umat ini diuji di dalam kubur mereka.” Lalu ada di antara mereka yang meriwayatkan dengan lafal “…ditanya…”” Berdasarkan lafal ini maka muncul kemungkinan pengertian bahwa hanya umat inilah yang secara khusus akan ditanya di dalam kubur. Sementara perkara ini adalah bukan perkara yang bersifat pasti (qath’i).
Mereka yang berpendapat bahwa pertanyaan kubur hanya dilakukan khusus terhadap umat ini berhujah dengan sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya umat ini diuji di dalam kubur mereka.” Dan juga dengan sabda beliau, “Telah diwahyukan kepadaku bahwa kalian akan ditimpa fitnah (petaka) dalam kubur-kubur kalian.”’?
Dalil ini secara lahiriah menunjukkan kekhususan pertanyaan kubur hanya bagi umat ini. Selain itu, mereka (orang-orang yang berpendapat seperti ini—Penj.) juga menyatakan bahwa ucapan kedua malaikat kepada penghuni kubur juga menunjukkan kekhususan itu karena malaikat berkata kepadanya, “Apakah yang engkau katakan tentang lelaki yang diutus kepada kalian ini?” Maka kemudian orang mukmin akan menjawab, “Aku bersaksi bahwa dia adalah hamba dan utusan Allah.” Pernyataan itu secara khusus ditujukan kepada Rasulullah saw. Apalagi Rasulullah saw. juga bersabda dalam hadis-hadis lain, “Sesungguhnya kalian akan diuji tentang aku dan kalian ditanya tentang aku.”
Sementara itu ada kelompok lain yang menyatakan bahwa semua dalil itu tidak menunjukkan kekhususan pertanyaan kubur hanya bagi umat ini tanpa semua umat yang lain karena sabda Rasulullah saw. yang berbunyi “umat ini” mungkin saja dimaksudkan untuk menyebut “umat manusia” (ummah an-nas); seperti yang Allah swt. firmankan,
“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kalian. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” (QS. al-An’am [6]: 38)
Dalam ayat tersebut Allah swt. menyebut semua jenis binatang dengan istilah “umat”. Sebagaimana juga dinyatakan di dalam sebuah hadis, “Kalaulah bukan karena anjing-anjing merupakan salah satu bagian di antara umat-umat, aku pasti perintahkan untuk membunuhnya.”
Berkenaan dengan hal ini ada pula sebuah riwayat tentang nabi ketika dia digigit oleh seekor semut, lalu dia memerintahkan agar sekawanan semut dibakar. Tetapi Allah swt. mewahyukan kepadanya, “Gara-gara engkau digigit seekor semut, apakah engkau akan bakar satu umat di antara umat-umat yang bertasbih?”
Apabila yang dimaksud oleh dalil tersebut hanya umat Rasulullah saw. yang beliau diutus kepada mereka, di dalam dalil itu tidak ada sesuatu apa pun yang menafikan adanya pertanyaan kepada umat-umat selain umat beliau. Alih-alih, mungkin saja penyebutan mereka itu sebagai bentuk pemberitahuan bahwa mereka akan ditanya di dalam kubur mereka dan bahwa hal itu tidak hanya khusus bagi orang-orang sebelum mereka disebabkan keutamaan umat ini serta kemuliaan mereka di atas semua umat yang lain.
Demikian pula halnya sabda Rasulullah saw.,
“Telah diwahyukan kepadaku bahwa kalian akan ditimpa fitnah (petaka) dalam kubur-kubur kalian.”
Demikian pula halnya pengabaran yang beliau saw. sampaikan tentang ucapan kedua malaikat, “Siapakah lelaki yang diutus kepada kalian ini?” Kalimat itu merupakan bentuk pemberitahuan bagi umat beliau saw. tentang apa yang akan diujikan di dalam kubur mereka.
Yang eksplisit-wallahu a’lam-setiap nabi melakukan hal yang sama kepada setiap umat mereka; yaitu bahwa mereka akan disiksa di dalam kubur mereka setelah mereka ditanya dan ditegakkannya hujah terhadap mereka, sebagaimana mereka akan disiksa di akhirat setelah ditanya dan ditegakkannya hujah. Wallahu subhanahu wa ta’ala a’lam,
ORANG-ORANG BERBEDA pendapat mengenai masalah ini menjadi dua kelompok, yang keduanya menjadi dua bagian dari para pengikut imam Ahmad. Hujah mereka yang menyatakan bahwa anak-anak akan ditanya di dalam kubur mereka yaitu dengan disyariatkannya shalat terhadap mereka. Adanya seruan bagi mereka dan pertanyaan Allah untuk menegakkan siksa dan fitnah (petaka) di alam kubur. Hal ini seperti riwayat yang dinyatakan oleh Imam Malik dalam al-Muwaththa, bersumber dari Abu Hurairah bahwa dia pernah menyalati jenazah seorang anak kecil lalu terdengar sebagian doanya berbunyi, “Wahai Allah lindungilah dia dari siksa kubur.”
Mereka berhujah dengan riwayat dari ‘Ali bin Ma’bad, dari ‘Aisyah ra. bahwa suatu ketika jenazah seorang anak kecil lewat di dekat ‘Aisyah ra. dan ‘Aisyah pun menangis, lalu ditanyakan kepadanya, “Apakah yang membuatmu menangis wahai Ummul Mukminin?” ‘Aisyah ra. menjawab, “Aku menangis karena anak kecil ini demi sayang kepadanya dari himpitan di dalam kubur.”
Mereka berhujah dengan riwayat dari Hunnad bin Sariy, Abu Mu’awiyah menuturkan kepada kami, dari Yahya bin Sa‘id, dari Said bin Musayyab, dari Abu Hurairah ra., dia berkata, “Apabila dia menshalatkan atas seseorang, bahkan yang tidak pernah melakukan dosa sedikit pun,’?” dia tetap berucap, “Wahai Allah selamatkan dia dari siksa kubur.”
Mereka menyatakan bahwa Allah swt. menyempurnakan bagi mereka akal mereka agar mereka dengan akal itu dapat mengetahui kedudukan mereka dan agar mereka dapat diberi ilham mengenai jawaban dari apa yang ditanyakan kepada mereka. Mereka menyatakan bahwa hal itu telah ditunjukkan oleh banyak hadis-hadis yang di dalamnya dikatakan bahwa mereka (anak-anak kecil) tetap diuji di akhirat. Al-Asy’ari menuturkan hal ini dari pendapat kalangan Ahli sunah dan dari hadis. Apabila mereka di akhirat, tentu bukan tidak mungkin mereka juga diuji di alam kubur.
Sementara itu kelompok lain menyatakan bahwa pertanyaan hanya akan ditujukan bagi orang yang sudah mengerti adanya rasul yang diutus dan mursil yang mengutus. Orang berakal akan ditanya apakah dia beriman kepada rasul serta menaatinya ataukah tidak. Kepada orang berakal itu pula akan ditanyakan, “Apa yang engkau katakan tentang lelaki yang diutus kepada kalian ini?’ Sedangkan anak-anak kecil yang belum mencapai tamyiz, bagaimana mungkin dapat ditanyakan kepada mereka pertanyaan, “Apa yang engkau katakan tentang lelaki yang diutus kepada kalian ini?” Kalaupun akalnya dikembalikan kepadanya di dalam kubur, maka dia tetap tidak akan ditanya tentang hal-hal yang tidak pernah ada dalam pengetahuannya sehingga dengan demikian maka pertanyaan seperti itu tidak akan ada gunanya.
Pertanyaan di dalam kubur ini berbeda dengan ujian terhadap mereka (anak-anak) di akhirat. Allah swt. telah mengirim seorang rasul kepada mereka dan memerintahkan mereka untuk taat kepadanya, ketika akal mereka melekat di diri mereka karena itu siapa dari mereka yang mematuhi rasul, niscaya akan selamat dan siapa di antara mereka yang menentang rasul, niscaya Dia akan masukkan ke dalam neraka. Itulah ujian berupa perintah yang Dia perintahkan kepada mereka (anak-anak) lalu mereka laksanakan perintah itu pada waktu itu. Bukan berupa pertanyaan tentang sesuatu perkara yang sudah mereka lalui di dunia, baik itu berupa ketaatan maupun berupa kemaksiatan seperti pertanyaan dua malaikat di dalam kubur.
Adapun berkenaan dengan hadis-hadis dari Abu Hurairah ra., yang dimaksud dengan siksa kubur dalam hadis-hadis itu bukanlah berupa hukuman terhadap anak-anak karena telah mengabaikan ketaatan atau karena melakukan kemaksiatan. Allah tentu tidak akan menyiksa siapa pun tanpa ada suatu dosa yang dilakukannya. Alih-alih, mungkin yang dimaksud dengan siksa kubur dalam hadis-hadis itu adalah rasa sakit yang dirasakan oleh mayat disebabkan hal lain, walaupun sakit itu bukan sebagai bentuk hukuman terhadap suatu perbuatan yang telah dilakukannya.
Contoh lain yang seperti ini adalah sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya mayat benar-benar disiksa oleh tangisan keluarganya terhadapnya.” Maksudnya, orang mati akan merasakan sakit dan nyeri akibat tangisan keluarganya, bukan karena dia dihukum disebabkan dosa orang hidup, sebab Allah swt. berfirman, “Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (QS. al-An’am [6]: 164)
Hal ini serupa dengan sabda Rasulullah saw., “Perjalanan adalah sepotong siksa.” Dan telah diketahui bahwa “siksa” (‘adzab) bersifat lebih umum daripada “hukuman” (‘uqubah).
Tidak ada keraguan sedikit pun bahwa di dalam kubur tentu ada begitu banyak rasa sakit, kengerian, dan penyesalan yang mungkin saja semua itu akan berdampak terhadap anak-anak sehingga mereka akan merasakan sakit. Itulah sebabnya disyariatkan kepada siapa pun yang mendoakan anak kecil yang sudah meninggal dunia untuk memohon kepada Allah swt. agar Dia melindunginya dari siksaan seperti itu. Wallahu a’lam.
JAWABAN ATAS pertanyaan ini adalah bahwasanya siksa kubur ada dua jenis:
JENIS PERTAMA: SIKSA KUBUR YANG BERKELANJUTAN Siksa kubur yang berkelanjutan adalah semua jenis siksa selain yang disebutkan di dalam hadis-hadis tertentu yang menyatakan bahwa ada siksa yang diringankan dari para penghuni kubur di antara nafkhatan (dua tiupan sangkakala). Ketika para penghuni kubur itu dibangkitkan dari dalam kuburan, mereka pun berkata,
“Aduh celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?” (QS. Yasin [36]: 52)
Dalil yang menunjukkan berkelanjutannya siksa kubur di antaranya adalah firman Allah swt.,
“Kepada mereka ditampakkan neraka pada pagi dan petang dan pada hari terjadinya Kiamat.” (QS. Ghafir [40]: 46)
Dalil lain yang menunjukkan berkesinambungannya siksa kubur adalah hadis-hadis yang sudah disampaikan pada bagian terdahulu, yang diriwayatkan dari Samurah dan diriwayatkan oleh Imam Bukhari mengenai mimpi Rasulullah saw. Di dalam hadis-hadis itu disebutkan “…. orang itu diperlakukan seperti itu sampai Hari Kiamat.”
Begitu pula dalam hadis-hadis dari Ibnu ‘Abbas ra. yang berbicara tentang dua pelepah kurma, “…semoga saja diringankan bagi mereka berdua selama kedua pelepah kurma itu belum kering.” Dalam hadis-hadis itu Rasulullah saw. menyatakan bahwa keringanan siksa berlangsung terbatas hanya selama kedua pelepah kurma itu basah.
Dalam hadis-hadis dari Rabi’ bin Anas, dari Abu ‘Aliyah, dari Abu Hurairah ra. dikatakan, “….kemudian aku mendatangi suatu kaum yang kepala-kepala mereka dihancurkan menggunakan batu. Setiap kali kepala-kepala itu hancur, ia kembali seperti semula, tanpa ada jeda sama sekali bagi mereka dari semua itu.” Hadis-hadis ini telah disampaikan pada bagian terdahulu.
Dalam sebuah hadis sahih juga disampaikan kisah tentang orang yang mengenakan dua mantel, lalu dia berjalan dengan pongah, “Allah pun membenamkan bumi karena itu, sementara orang itu berguncang di situ sampai Hari Kiamat.”’
Dalam hadis-hadis dari Barra’ bin ‘Aziz yang menuturkan kisah orang kafir dikatakan, “…lalu dibukakan untuknya gerbang menuju neraka sehingga dia melihat ke tempatnya di dalam neraka itu sampai Hari Kiamat terjadi.” Hadis-hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Dalam sebagian jalur sanadnya dikatakan, “…lalu dibuatlah lubang baginya menuju neraka sehingga sampailah kepadanya sebagian dari kesusahan dan asap neraka itu sampai Hari Kiamat.”
JENIS KEDUA: SIKSA KUBUR YANG BERSIFAT SEMENTARA
Siksa kubur yang bersifat sementara adalah siksa kubur yang terjadi sampai waktu tertentu lalu berhenti. Contohnya, yaitu siksaan yang ditimpakan terhadap sebagian pemaksiat yang kejahatan mereka ringan. Mereka akan disiksa sesuai dengan kadar kejahatan mereka, lalu siksa itu akan diringankan bagi mereka. Seperti ketika siksa dilakukan di dalam api selama beberapa lama, lalu siksa itu dihilangkan dari orang yang bersangkutan.
Mungkin pula siksa yang ditimpakan kepada seseorang menjadi terhenti berkat doa, sedekah, istighfar, pahala haji, atau bacaan tertentu yang sampai kepadanya dari karib-kerabatnya atau orang lain. Hal ini sama seperti ketika seorang pemberi pertolongan (syafaat) memberikan pertolongan kepada orang yang disiksa di dunia sehingga orang tersebut selamat dari siksa berkat pertolongan orang tersebut.
Akan tetapi, pertolongan (syafaat) seperti ini dapat terjadi tanpa adanya perkenan dari orang yang diberi pertolongan. Adapun Allah swt. tidak pernah ada seorang pun yang mengajukan pertolongan (syafaat) di hadapan-Nya, kecuali hanya setelah adanya izin dari-Nya Allah-lah yang memberi izin bagi pemberi pertolongan (syafi’) untuk memberi pertolongan jika Dia berkenan untuk mengasihi orang yang diberi pertolongan (syafaat) tersebut.
Oleh karena itu, jangan ada seorang pun yang teperdaya dengan yang selain itu merupakan kesyirikan dan kebatilan yang Allah swt. mustahil melakukannya.
Allah swt. berfirman,
“Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah kecuali dengan izin-Nya.” (QS. al-Baqarah [2]: 255)
Allah swt. berfirman,
“Dan mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah,” (QS. al-Anbiya’ [21]: 28)
Allah swt. berfirman,
“Tiada seorang pun yang akan memberi syafaat kecuali sesudah ada izin-Nya.” (QS. Yunus [10]: 3)
Allah swt. berfirman,
“Dan tiadalah berguna syafaat di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafaat itu” (QS. Saba’ [34]: 23)
Allah swt. berfirman,
“Katakanlah: Hanya kepunyaan Allah syafaat itu semuanya. Kepunyaan-Nya kerajaan langit & bumi.” (QS. az-Zumar [39]: 44)
Ibnu Abud Dunya telah menuturkan: Muhammad bin Musa ash-Sha’igh menuturkan kepadaku, ‘Abdullah bin Nafi’ menuturkan kepada kami, dia berkata, “Suatu ketika seorang lelaki dari kalangan penduduk Madinah meninggal dunia. lalu ada seseorang lagi yang bermimpi melihat orang itu sepertinya dia termasuk penghuni neraka sehingga dia pun gundah karena itu. Tetapi setelah tujuh atau delapan hari, orang itu kembali bermimpi melihat lelaki yang sudah mati itu sepertinya dia termasuk penghuni surga. Orang itu pun bertanya kepada lelaki tersebut, ‘Bukankah engkau mengatakan bahwa dirimu termasuk penghuni neraka?’ Lelaki itu menjawab, ‘Sebelumnya memang seperti itu. Hanya saja lalu dikuburkan bersama kami seseorang yang saleh dan dia memberi syafaat kepada empat puluh tetangganya. Aku termasuk di antara mereka itu.’”
Ibnu Abud Dunya berkata: Ahmad bin Yahya menuturkan kepada kami, dia berkata, “Seorang sahabat kami menuturkan kepadaku, dia berkata, ‘Saudaraku meninggal dunia, lalu kulihat dia dalam mimpi. Aku berkata kepadanya, “Bagaimanakah kabarmu ketika engkau diletakkan dalam kuburmu?” Dia menjawab, “Aku didatangi sosok yang membawa kobaran api. Kalau saja bukan karena ada seseorang yang berdoa untukku, sungguh kukira sosok itu akan memukulku menggunakan kobaran api itu.’”
Amr bin Jarir berkata, “Apabila seorang hamba berdoa untuk saudaranya yang sudah meninggal, dengan itu akan datang malaikat kepada saudaranya itu di kuburnya. Lalu malaikat berkata, ‘Wahai penghuni kubur yang terasing, ini hadiah dari saudaramu yang menyayangimu!’”
Basysyar bin Ghalib berkata: Aku melihat Rabitah dalam mimpiku dan aku sering berdoa untuknya. Dia berkata kepadaku, “Wahai Basysyar bin Ghalib, hadiah-hadiahmu sampai kepada kami dengan diletakkan di atas pinggan-pinggan yang terbuat dari cahaya dan dj, hiasi sapu tangan sutra.” Aku bertanya, “Bagaimana bisa seperti itu?” Dia menjawab, “Seperti itulah doa orang-orang mukmin yang masih hidup apabila mereka mendoakan orang-orang mati lalu doa mereka itu diijabah, doa itu akan diletakkan di atas pinggan-pinggan cahaya dan dihias sapu tangan sutra kemudian semua itu akan dibawa kepada orang mati yang didoakan seraya dikatakan kepadanya, ‘Ini hadiah si fulan untukmu.’”
Ibnu Abud Dunya berkata: Abu “Abdullah bin Bujair menuturkan kepadaku, dia berkata, “Seorang sahabat kami menuturkan kepadaku, dia berkata, ‘Aku bermimpi melihat salah seorang saudaraku setelah kematiannya. Aku berkata kepadanya, “Apakah doa orang-orang hidup sampai kepada kalian?” Dia menjawab, “Ya, demi Allah. Doa-doa itu mengepak-ngepak laksana cahaya kemudian kami mengenakannya!”
Insyaallah nanti akan disampaikan selengkapnya mengenai hal ini dalam jawaban atas pertanyaan tentang manfaat yang didapat oleh Orang-orang mati dari berbagai hadiah yang diberikan kepada mereka oleh orang-orang yang masih hidup.
PERTANYAAN INI merupakan sebuah masalah besar yang banyak dibicarakan oleh semua orang dan mereka pun saling berbeda pendapat mengenai hal ini. Padahal masalah ini hanya dapat diketahui dari apa yang didengar saja dan perselisihan pun muncul.
Segolongan orang menyatakan bahwa ruh-ruh orang mukmin ada di sisi Allah di surga, baik mereka termasuk syahid maupun bukan, asalkan mereka tidak tertahan masuk surga oleh suatu dosa besar atau utang. Allah Tuhan mereka akan melimpahi mereka dengan pengampunan dan rahmat bagi mereka. Pendapat ini merupakan pendapat Abu Hurairah ra. dan ‘Abdullah bin ‘Amzr.
Segolongan yang lain menyatakan bahwa ruh orang-orang mukmin berada di serambi surga tepat di depan gerbangnya sehingga semerbak, nikmat dan berbagai rezeki dari surga dapat sampai kepada mereka.
Segolongan yang lain menyatakan bahwa ruh-ruh kaum mukminin berada di dalam kubur mereka masing-masing.
Imam Malik menyatakan, “Telah sampai keterangan kepadaku yang menjelaskan bahwa ruh dibebaskan lepas sehingga ia dapat pergi ke mana pun sekehendaknya.”
Imam Ahmad menyatakan dalam sebuah riwayat dari putranya yang bernama “Abdullah, “Ruh-ruh orang-orang kafir berada di dalam neraka, sedangkan ruh-ruh orang mukmin berada di dalam surga.”
Abu “Abdullah bin Mandah menyatakan bahwa ada segolongan Sahabat dan tabiin yang menyatakan bahwa ruh-ruh kaum mukminin berada di sisi Allah ‘azza wa jalla dan mereka tidak memberi tambahan komentar apa pun selain itu.
Dia berkata bahwa telah diriwayatkan sebuah riwayat dari segolongan sahabat dan tabiin lain yang menyatakan bahwa ruh-ruh orang mukmin berada di Jabiyah, sedangkan ruh-ruh orang kafir berada di Barahut, yaitu sebuah sumur di Hadramaut.
Safwan bin “Amr berkata, “Aku pernah bertanya kepada Amir bin Abdullah Abul Yaman, “Apakah jiwa-jiwa orang mukmin dikumpulkan?”
Dia menjawab, “Sesungguhnya bumi yang Allah swt. telah berfirman tentangnya,
“Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini diwarisi hamba-hamba-Ku yang saleh.” (QS. al-Anbiya’ [21]: 105)
Adalah bumi yang kepadanya berkumpul semua ruh orang-orang mukmin sampai nanti dibangkitkan. Mereka menyatakan bahwa itulah bumi yang Allah mewariskannya kepada orang-orang mukmin di dunia.”
Ka‘b berkata, “Ruh-ruh orang mukmin berada di “Illiyyun di langit ketujuh, sedangkan ruh-ruh orang kafir berada di dalam Sijjin di bumi ketujuh di bawah pipi Iblis.”
Segolongan orang menyatakan bahwa rub-ruh orang-orang mukmin berada di dalam sumur Zamzam sedangkan ruh-ruh orang-orang kafir berada di dalam sumur Barahut.
Salman al-Farisi menyatakan bahwa ruh orang-orang mukmin berada di Barzakh di bumi dan mereka dapat bepergian sekehendak mereka, sedangkan ruh orang-orang kafir berada di dalam Sijjin. Dalam sebuah pernyataan darinya dikatakan bahwa nyawa orang mukmin dapat bepergian di bumi ke mana pun sekehendaknya.
Segolongan orang menyatakan bahwa ruh orang-orang mukmin berada di sebelah kanan Adam as., sedangkan ruh orang-orang kafir berada di sebelah kiri Adam as.
Segolongan orang yang lain, termasuk di antara mereka adalah Ibnu flazm, menyatakan bahwa tempat ruh orang-orang yang sudah mati adalah di tempat mereka dulu sebelum jasad mereka tercipta.
Ibnu Hazm menyatakan, “Pendapat kami mengenai tempat tinggal ruh, sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah swt. dan nabi-Nya saw. tanpa kami melanggarnya karena semua itu adalah petunjuk yang jelas. Yaitu firman Allah swt.,
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhan kalian?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap int.” (QS. al-A’raf [7]: 172)
Allah swt. juga berfirman,
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian, lalu Kami bentuk tubuh kalian, kemudian Kami katakan kepada para malaikat: “Bersujudlah kalian kepada Adam”; maka mereka pun bersujud kecuali iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud.” (QS. al-A’raf [7]: 11)
Jadi adalah benar bahwa Allah swt. telah menciptakan semua ruh secara sekaligus, sebagaimana seperti itu pula yang dikabarkan ole, Rasulullah saw.,
“Sesungguhnya ruh-ruh itu seperti pasukan yang dikerahkan. Lalu siapa pun yang saling mengenal di antara mereka, mereka akan bersatu; dan siapa pun yang saling mengingkari di antara mereka, mereka akan berselisih.’”
Kemudian Allah mengambil janji dan kesaksian mereka pada Allah akan ketuhanan-Nya (rububiyyah) dalam kondisi makhluk yang sudah diciptakan, memiliki bentuk dan berakal, sebelum Dia perintahkan para malaikat untuk bersujud kepada Adam, sebelum Dia memasukkan mereka ke dalam jasad-jasad mereka. Pada saat itu jasad-jasad masih berupa debu dan air.
Setelah itu Allah swt. menempatkan ruh-ruh itu sekehendak-Nya, yaitu di Barzakh yang ke tempat itulah ruh-ruh tersebut akan kembali di saat kematian terjadi. Kemudian ruh-ruh tersebut tetap di situ hingga dibangkitkan dari situ secara serombongan demi serombongan (Jumlah ba’da jumlah). Lalu Dia mengembuskan ruh-ruh itu ke dalam jasad-jasad mereka yang terlahir dari air mani.
Ibnu Hazm menyatakan bahwa adalah benar bahwa ruh-ruh merupakan jisim yang membawa segala yang telah dimilikinya baik itu berupa pengenalan maupun berupa ketidakkenalan. Adalah benar bahwa ruh dapat mengenal secara mandiri. Allah swt. kemudian menguji mereka semua di dunia sesuai kehendak-Nya, lalu Dia mematikan mereka sehingga ruh-ruh itu kembali ke Alam Barzakh yang Rasulullah saw. melihat mereka berada di langit dunia di malam ketika beliau diperjalankan dalam peristiwa Isra’ Mi’raj. Ruh-ruh orang-orang yang berbahagia berada di sebelah kanan Adam as. dan ruh-ruh orang-orang yang sengsara berada di sebelah kirinya. Semua itu terjadi di tempat terputusnya segala elemen. Sementara ruh-ruh para nabi dan syuhada dibawa ke surga. ;
Muhammad bin Nashr al-Marwazi menuturkan dari Ishaq bin Rahawaih bahwa dia menuturkan penjelasan yang serupa dengan apa yang kami jelaskan ini. Dia bahkan menyatakan bahwa para ulama telah berijmak pada penjelasan ini.”
Ibnu Hazm menyatakan bahwa penjelasan di atas merupakan pendapat semua kaum muslimin. Dia juga menyatakan bahwa penjelasan inilah yang dimaksud oleh firman Allah swt.,
“Yaitu golongan kanan. Alangkah mulianya golongan kanan itu. Dan golongan kiri. Alangkah sengsaranya golongan kiri itu. Dan orang-orang yang paling dahulu beriman, merekalah yang paling dulu (masuk surga). Mereka itulah orang yang didekatkan (kepada Allah). Berada dalam surga kenikmatan. Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian.” (QS. al-Waqi’ah [56]: 8-14)
Dan juga firman Allah swt.,
“Adapun jika dia (orang yang mati) termasuk orang yang didekatkan (kepada Allah), maka dia memperoleh ketentraman dan rezeki serta surga kenikmatan.” (QS. al-Waqi’ah [56]: 88-89) dan seterusnya.
Ruh-ruh manusia tetap berada di situ sampai genap bilangan semua ruh diembuskan ke dalam jasad. Kemudian mereka semua Pulang ke Barzakh lalu Hari Kiamat terjadi. Setelah itu Allah ‘azza wa jalla mengembalikan semua ruh ke dalam jasad sekali lagi. Itulah kehidup. an yang kedua (al-hayah ats-tsaniyah). Di situ semua makhluk akan dihisab, yaitu satu kelompok masuk ke dalam surga, sementara satu kelompok lagi masuk ke dalam neraka kekal selama-lamanya. Sampai di sini batas kutipan dari Ibnu Hazm.
Abu ‘Umar bin ‘Abdul Barr berkata, “Ruh-ruh para syuhada berada di dalam surga, sementara ruh-ruh semua orang dari kalangan awam mukmin berada di serambi kubur mereka masing-masing.” Kami akan menjelaskan perkataannya dan bukti yang digunakannya, lalu kami jelaskan isi kandungannya.
Ibnul Mubarak berkata, dari Ibnu Juraij, mengenai apa yang dibacakan kepadanya dari Mujahid, “Ruh-ruh itu tidak ada di dalam surga. Akan tetapi, mereka makan dari buah-buahan surga dan mereka men.dapatkan aroma surga.”
Muawiyah bin Shi’lih menuturkan dari Sa’id bin Suwaid, bahwa suatu ketika dia bertanya kepada Ibnu Syihab tentang ruh orang-orang mukmin. Dia menjawab, “Telah sampai sebuah riwayat kepadaku bahwa ruh-ruh para syuhada seperti burung hijau yang bergelantung di ‘Arsy. Mereka datang dan pergi menuju taman-taman surga, mendatangi Tuhan mereka setiap hari serta mengucap salam kepada-Nya.”’
Abu ‘Umar bin “Abdul Barr menyatakan dalam penjelasan Hadis-hadis Ibnu ‘Umar ra., “Sesungguhnya jika seorang dari kalian meninggal, maka akan ditampakkan kepadanya tempat duduknya di setiap pagi dan petang. Apabila dia termasuk penghuni surga, masuklah golongan penghuni surga. Apabila dia termasuk penghuni neraka, maka dari penghuni neraka. Lalu dikatakan kepadanya, “Ini tempat dudukmu sampai Allah membangkitkanmu di Hari Kiamat!”
Dalil ini digunakan oleh orang-orang yang berpendapat bahwa ruh-ruh manusia berada di serambi kuburan mereka masing-masing. Ini adalah pendapat paling sahih dalam masalah ini-walahu a’lam-karena hadis-hadis yang menyampaikan penjelasan ini lebih bagus kualitasnya dan lebih tsabit periwayatannya dibandingkan hadis-hadis yang lain.
Ibnu ‘Abdul Barr menyatakan, “Menurut saya, pengertian dari hadis-hadis itu adalah bahwa mungkin saja ruh-ruh tersebut berada di serambi kuburan mereka; bukan bahwa ruh-ruh itu pasti ada di sana dan tidak dapat meninggalkan serambi kuburan mereka. Alih-alih, ruh-ruh itu seperti yang dinyatakan oleh Imam Malik rahimahullah, bahwa telah sampai riwayat kepadanya yang menjelaskan bahwa ruh-ruh dapat bepergian ke mana pun sekehendak mereka.”
Ibnu ‘Abdul Barr juga menyatakan: Diriwayatkan dari Mujahid bahwa dia berkata, “Ruh-ruh berada di serambi kuburan selama tujuh hari sejak hari dikuburkannya mayat dan tidak pergi dari situ. Wallahu a’lam.”’
Segolongan orang menyatakan bahwa tempat tinggal ruh-ruh manusia yaitu di ketiadaan (al-’adam). Pendapat ini dianut oleh orang-orang yang menyatakan bahwa jiwa manusia merupakan salah satu di antara tampilan (‘aradh) badan seperti kehidupan (hayah) dan kemampuan persepsi (idrak). Dengan demikian, maka jiwa menjadi hilang begitu saja ketika badan mengalami kematian, sebagaimana menghilangnya seluruh tampilan yang mempersyaratkan kehidupan pada badan.
Tentu saja, pendapat seperti ini menyelisihi nas-nas al-Quran, sunah dan ijmak para sahabat dan tabiin, sebagaimana yang nanti akan kami paparkan insyaallah. Yang dimaksud oleh pendapat ini yaitu ketika terjadi perpisahan antara ruh dan badan, maka tempat ruh-ruh manusia setelah kematian adalah di ketiadaan (al-’adam).
Sementara itu, ada segolongan orang yang menyatakan bahwa tempat tinggal ruh-ruh manusia setelah kematian adalah tubuh-tubuh lain yang sesuai dengan akhlak dan sifat ruh-ruh tersebut yang mereka dapatkan ketika mereka masih hidup. Setiap ruh akan berpindah ke tubuh binatang yang memiliki bentuk sesuai dengan ruh yang bersangkutan.
Ruh yang memiliki sifat buas akan berpindah ke dalam tubuh binatang buas. Ruh yang memiliki sifat seperti anjing, akan berpindah ke dalam tubuh anjing. Ruh yang memiliki sifat seperti binatang ternak, akan berpindah ke dalam tubuh binatang ternak. Ruh yang memiliki sifat hina dina akan berpindah ke dalam tubuh serangga.
Inilah yang disebut dengan “reinkarnasi” (tanasukhiyyah) yang para pengikut pendapat ini merupakan orang-orang yang mengingkari Hari Kiamat. Tentu saja pendapat ini telah keluar dari pendapat semua pemeluk agama Islam.
Demikianlah ringkasan yang dapat saya buat dari semua pendapat masyarakat seputar masalah perjalanan ruh-ruh manusia setelah kema. tian. Penjelasan ini tentu tidak akan didapatkan terkumpul jadi satu, dalam sebuah buku selain ini. Kami sampaikan sumber-sumber berbagai pendapat ini berikut kebenaran dan kekeliruannya, serta pendapat manakah yang benar di antara berbagai pendapat itu sebagaimana yang didalilkan oleh al-Quran dan sunah sesuai jalan yang kami anut yang telah Allah swt. anugerahkan kepada kami. Hanya Allah yang menjadi pengharapan atas segala pertolongan dan taufik.
Pasal
Berkenaan dengan mereka yang berpendapat bahwa ruh-ruh manu. sia berada di surga, mereka berhujah dengan firman Allah swt.,
“Adapun jika dia (orang yang mati) termasuk orang yang didekatkan (kepada Allah), maka dia memperoleh ketenteraman dan rezeki serta surga kenikmatan.” (QS. al-Waqi’ah [56]: 88-89)
Mereka menyatakan bahwa kalimat dalam ayat tersebut di atas Allah swt. sampaikan setelah Dia menyampaikan tentang keluarnya ruh dari dalam badan dengan terjadinya kematian. Mereka membagi ruh-ruh manusia menjadi tiga golongan:
1) Muqarrabun, mereka menyatakan bahwa golongan ruh ini berada di dalam surga.
2) Ashhab al-Yamin, mereka menyatakan bahwa golongan ruh ini berada dalam kedamaian dan keselamatan, termasuk keselamatan dari siksa.
3) Mukadzdzibah Dhallah, mereka menyatakan bahwa golongan ruh ini menetap di dalam neraka Hamim dan terperosok ke dalam neraka Jahim.
Mereka menyatakan bahwa semua itu terjadi setelah ruh-ruh tersebut terpisah sama sekali dari badan-badan mereka. Allah swt. telah menyampaikan tentang keadaan ruh-ruh manusia di Hari Kiamat pada awal surah ini. Dia juga menjelaskan tentang kondisi ruh-ruh tersebut setelah kematian terjadi dan juga setelah kebangkitan (al-ba‘ts).
Mereka berhujah dengan firman Allah swt., “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai. Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. al-Fajr [89]: 27-30)
Ada beberapa orang sahabat dan tabiin yang menyatakan bahwa, sesungguhnya kalimat-kalimat dalam ayat tersebut di atas dikatakan kepada ruh-ruh ketika mereka keluar dari dunia, sebagai bentuk kabar gembira dari malaikat untuk mereka. Akan tetapi, hal ini tidak dapat menafikan pendapat mereka yang menyatakan bahwa kalimat dalam ayat tersebut di atas disampaikan kepada ruh-ruh ketika mereka berada di akhirat karena kata-kata itu juga dikatakan kepada ruh-ruh di saat kematian dan ketika terjadinya kebangkitan.
Inilah kabar gembira yang Allah swt. firmankan,
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kalian merasa takut dan janganlah kalian merasa sedih; dan bergembiralah kalian dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepada kalian.” (QS. Fushshilat [41]: 30)
Kalimat dalam ayat ini disampaikan ketika kematian terjadi, ketika ruh masuk ke dalam kubur, ketika kebangkitan terjadi dan menjadi kabar gembira pertama tentang akhirat ketika kematian.
Telah disebutkan sebelumnya dalam hadis-hadis dari Barra’ bin “Azib bahwa sesosok malaikat berkata kepada ruh-ruh di saat mereka dicabut dari badan, “Bergembiralah engkau dengan kenyamanan dan wewangian!” Ini adalah dari wewangian surga.
Mereka yang berpendapat seperti ini berhujah dengan riwayat yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwaththa’, dari Ibnu Syihab, dari ‘Abdurrahman bin Ka’b bin Malik, bahwa dia mengabarinya bahwa ayahnya Ka’b bin Malik pernah menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Sesungguhnya nyawa orang mukmin adalah burung yang bergelantung di pepohonan surga sampai Allah mengembalikannya ke jasadnya pada hari ketika Dia membangkitkannya.”
Abu ‘Umar menyatakan bahwa di dalam riwayat dari Malik ter. sebut di atas terkandung penjelasan tentang az-Zuhri yang menyimak hadis-hadis tersebut dari ‘Abdurrahman bin Ka’b bin Malik. Begitu pula periwayatan oleh Yunus dari az-Zuhri. Dia berkata, “Aku mendengar dari ~Abdurrahman bin Ka’b bin Malik menuturkan hadis-hadis dari ayahnya.” Begitu pula periwayatan oleh Auza’i dari az-Zuhri, “Abdurrahman bin Ka’b menuturkan kepadaku”’.
Muhammad bin Yahya adz-Dzuhli menyampaikan cacat hadis-hadis ini dengan menyatakan bahwa Syu’aib bin Abu Hamzah, Muhammad anak saudara az-Zuhri dan Shalih bin Kisan mereka meriwayatkan hadis-hadis ini dari az-Zuhri dan ‘Abdurrahman bin ‘Abdullah bin Ka‘b bin Malik, dari kakeknya yang bernama Ka’b sehingga status hadis-hadis ini adalah terputus (munqathi’).
Shalih bin Kisan menyatakan, dari Ibnu Syihab, dari Abdurrahman, bahwa telah sampai penjelasan kepadanya bahwa Ka‘b bin Malik menuturkan Hadis-hadis ini. Adz-Dzuhli menyatakan bahwa hadis-hadis ini kami hafal dan isinya serupa dengan hadis-hadis dari Shalih, Syu’aib dan anak dari saudara az-Zuhri.
Akan tetapi, semua penghafal hadis-hadis bertentangan dengannya mengenai hadis-hadis ini dan mereka menetapkan riwayat dari Malik dan al-Auza’i.
Abu ‘Umar menyatakan bahwa Malik bersepakat dengan Yunus bin Yazid dan al-Auza’i serta Harits bin Fudhail atas periwayatan hadis-hadis ini dari az-Zuhri, dari ‘Abdurrahman bin Malik, dari ayahnya. Ini dinyatakan sahih oleh Tirmidzi dan lainnya.
Abu ‘Umar menyatakan bahwa menurutnya tidak ada yang dapat diterima dari apa yang dinyatakan oleh Muhammad bin Yahya tentang semua itu, sebagaimana tidak ada dalil padanya. Kesepakatan antara Malik dan Yunus bin Yazid serta al-Auza’i dan Muhammad bin Ishaq lebih layak untuk benar, sehingga mengikuti pernyataan dan periwayatan mereka lebih menenangkan jiwa. Apabila mereka termasuk orang-orang yang terjamin hafalan dan ketelitiannya sehingga tidak perlu di-qyas dengan mereka siapa pun yang menyelisihi mereka berkenaan dengan hadis-hadis ini.
Sampai di sini batas kutipan dari pernyataan Abu Umar.
Muhammad adz-Dzahli menyatakan bahwa dia mendengar ‘Ali bin Madini berkata bahwa Ka‘b memiliki lima orang anak, yaitu: ‘Abdullah, ‘Ubaidullah, Ma‘bad, “Abdurrahman dan Muhammad.
Adz-Dzahli lalu menyatakan bahwa az-Zuhri menyimak Hadis-hadis dari ‘Abdullah bin Ka‘b yang menjadi penuntun ayahnya setelah ayahnya mengalami kebutaan. Selain itu dia (az-Zuhri) juga menyimak hadis-hadis dari ‘Abdurrahman bin Kab dan juga menyimak hadis-hadis dari ‘Abdurrahman bin ‘Abdullah bin Ka‘b. Dia (az-Zuhri) meriwayatkan hadis-hadis dari Basyir bin ‘Abdurrahman bin Ka’b tetapi dia (adz-Dzahli) tidak memandang bahwa dia (az-Zuhri) menyimak hadis-hadis darinya (Basyir).
Sampai di sini batas kutipan dari pernyataan adz-Dzahli.
Apabila hadis-hadis tersebut di atas diriwayatkan oleh ‘Abdurrahman dari ayahnya yang bernama Ka’b, sebagaimana yang dinyatakan oleh Malik dan perawi lain yang bersamanya, maka itulah yang tampak. Apabila hadis-hadis tersebut di atas diriwayatkan oleh ‘Abdurrahman bin Ka‘b dari kakeknya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Syu’aib dan perawi lain yang bersamanya, maka ujung dari hadis-hadis itu adalah status mursal dari jalur periwayatan tersebut tetapi statusnya maushal dari jalur yang lain. Sementara para perawi yang menjadikan hadis-hadis itu berstatus maushul tidak tanpa para perawi yang menjadikan hadis-hadis itu berstatus mursal baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Itulah sebabnya, hadis-hadis ini sebenarnya termasuk kategori hadis-hadis sahih. Kedua penyusun kitab Sahih (maksudnya, Imam Bukhari dan Imam Muslim—Penj.) tidak mentakhrij hadis-hadis ini disebabkan cacat yang telah diterangkan di atas. Wallahu a’lam.
Abu ‘Umar menyatakan bahwa sabda Rasulullah saw. “nyawa orang mukmin”, kata nasamah (nyawa) di sini maksudnya adalah “ruh” (rah). Dalil yang menunjukkan hal itu adalah sabda Rasulullah saw.
dalam hadis-hadis itu sendiri, “Sampai Allah swt. mengembalikannya, ke dalam jasadnya pada hari ketika Dia membangkitkannya.”
Ada yang menyatakan bahwa arti kata “nasamah” adalah: ruh, jiwa, dan badan. Adapun arti asli lafal “nasamah” adalah “manusia”,
Adapun mengenai alasan mengapa kata “nasamah” digunakan untuk menyebut “ruh” adalah karena—wallahu a’lam—hidup “manusia” hanya terjadi dengan adanya “ruh”. Apabila ruh itu terpisah dari seorang manusia, manusia itu menjadi “tidak ada” atau menjadi “seperti tidak ada”.
Dalil yang menunjukkan bahwa kata “nasamah” berarti “manusia” adalah sabda Rasulullah saw., “Barang siapa yang memerdekakan nasamah mu‘minah (manusia beriman)…” dan juga ucapan “Ali bin Abi Thalib ra., “Demi Dzat yang membelah biji dan menyembuhkan manusia (nasamah).”
Seorang penyair menuturkan:
Takwamu terbesar dalam hisab adalah Jika semua manusia menghalau debu
Maksudnya, “Apabila orang-orang dibangkitkan dari kubur mereka masing-masing pada Hari Kiamat.”
Khalal bin Ahmad berkata bahwa kata “nasamah” berarti “manusia”. Akan tetapi, dia juga berkata bahwa kata “nasamah” berarti “ruh” karena kata “nasim” berarti “embusan angin”.
Sabda Rasulullah saw. “bergelantung (ta’allaqa) di pepohonan surga” diriwayatkan menggunakan huruf lam yang berharakat fathah, sebagaimana yang menjadi mayoritas. Meskipun terkadang diriwayatkan dengan huruf lam yang berharakat dhammah; dengan pengertian yang sama yaitu “makan”. Itu sebabnya Rasulullah saw. bersabda, “Ia makan dari buah-buahan surga serta dapat hilir mudik terbang di antara pepohonan surga.”
Kata ‘aliqah, ‘alaq dan ‘aliq berarti “makanan”. Orang Arab biasa berkata “Hari ini dia belum merasakan ‘aliq”; dan di situ kata ‘aliq berarti “makanan”.
Contoh lainnya adalah ucapan “Aisyah ra., “Perempuan-perempuan kala itu enteng karena tak berdaging. Mereka hanya makan sedikit makanan (‘ulqah).”
Asal kata ini adalah dari ta’alluq, yaitu makanan yang “bergelayut” (ya’laq) di hati dan jiwa.
Para ulama berbeda pendapat mengenai pengertian hadis-hadis ini. Ada di antara mereka yang berpendapat bahwa ruh-ruh orang mukmin berada di sisi Allah swt. di surga; baik mereka syuhada maupun bukan syuhada. Asalkan mereka tidak terhalang masuk surga oleh suatu dosa besar atau utang. Allah swt. melimpahkan kepada mereka pengampunan dan rahmat-Nya bagi mereka.
Mereka berhujah bahwa hadis-hadis ini tidak mengkhususkan orang syahid dari orang-orang yang bukan syahid.
Mereka juga berhujah dengan sebuah riwayat dari Abu Hurairah ra. yang menyatakan bahwa rub orang-orang bajik berada di ‘ilIiyyun. Sementara ruh orang-orang durjana berada di Sijjin. Dan diriwayatkan pula yang seperti itu oleh “Abdullah bin ‘Amr.
Abu ‘Umar menyatakan bahwa pendapat ini bertentangan dengan sunah yang tidak terbantahkan kesahihannya, yaitu sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya jika seorang dari kalian meninggal, maka akan ditampakkan kepadanya tempat duduknya di setiap pagi dan petang. Apabila dia termasuk penghuni surga, maka dari penghuni surga. Apabila dia termasuk penghuni neraka, maka dari penghuni neraka. Lalu dikatakan kepadanya, “Ini tempat dudukmu sampai Allah membangkitkanmu di Hari Kiamat!”
Sementara itu segolongan lainnya menyatakan bahwa pengertian dari hadis-hadis tersebut di atas hanya berlaku pada orang-orang syahid bukan yang selain mereka. Karena al-Quran dan sunah telah menunjukkan hal itu.
Dalil dari al-Quran yang menunjukkan hal itu adalah firman Allah swt.,
“Janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhan mereka dengan mendapat rezeki. mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mere. ka bersedih hati.” (QS. Ali Imran [3]: 169-170)
Adapun dalil dari atsar adalah berupa hadis-hadis marfuk yang berasal dari Abu Sa‘id al-Khudri dari jalur Baqiy bin Makhlad: Para syuhada hilir mudik, kemudian tempat tinggal mereka adalah lentera-lentera yang tergantung di Arsy. Allah swt. lalu berkata kepada mereka, “Apakah kalian mengetahui karamah yang lebih afdal daripada karamah yang telah Aku berikan kepada kalian?”
Mereka menjawab, “Tidak. Hanya saja kami semua suka jika Engkau mengembalikan ruh-ruh kami ke dalam tubuh-tubuh kami agar kami dapat berperang lagi sehingga dapat terbunuh lagi di jalan-Mu.” Hadis-hadis ini diriwayatkan oleh Hannad, dari Ismail bin Mukhtad, dari ‘Athiyyah, darinya (maksudnya, dari Hannad).
Kemudian disampaikan pula hadis-hadis dari Ibnu “Abbas ra, yang berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Ketika saudara-saudara kalian tewas—maksudnya dalam Perang Uhud—Allah menjadikan ruh-ruh mereka berada di dalam rongga burung hijau yang terbang di sungai-sungai surga, makan dari buah-buahnya dan hinggap ke lentera-lentera yang terbuat dari emas bergelayut di naungan Arsy. Ketika mereka mendapati kebagusan makanan, minuman dan tempat tidur mereka, mereka pun berkata, ‘Siapakah yang akan menyampaikan kepada saudara-saudara kami bahwa kami hidup di dalam surga dan kami diberi rezeki, agar mereka tidak mundur dari perang dan agar mereka tidak menjauhi jihad?’ Allah swt. pun menjawab, ‘Aku yang akan menyampaikan kepada mereka semua itu dari kalian.’” Allah swt. lalu menurunkan ayat,
“Janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhan mereka dengan mendapat rezeki.” (QS. Ali Imran [3]: 169)
Selain itu ada pula hadis-hadis dalam Musnad Ahmad dan Sunan Abu Dawud.
Kemudian dituturkan pula hadis-hadis dari A’masy, dari Abdullah bin Murrah, dari Masruq, dia berkata, Kami bertanya kepada “Abdullah bin Mas‘ud tentang ayat ini, “Janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhan mereka dengan mendapat rezeki.” (QS. Ali Imran (3]: 169)
Dia (Ibnu Mas’ud) menjawab, “Kami telah bertanya tentang itu.” Dia lalu berkata, “Ruh-ruh mereka berada di dalam burung hijau hilir mudik di surga ke mana pun sekehendak mereka. Lalu mereka hinggap ke lentera-lentera itu. Lalu Tuhanmu melihat mereka dengan satu tatapan. Kemudian berkata, “Apakah kalian menginginkan sesuatu?” Mereka menjawab, “Apakah lagi yang kami inginkan, sementara kami dapat hilir mudik di surga sekehendak kami!” Akan tetapi, Allah tetap melakukan itu (maksudnya, bertanya kepada mereka—Penj.) sampai tiga kali. Ketika mereka melihat bahwa mereka tidak akan dibiarkan untuk tidak ditanyai, mereka pun berkata, “Wahai Rabb, kami ingin ruh-ruh kami dikembalikan ke dalam tubuh-tubuh kami agar kami dapat terbunuh lagi di jalan-Mu.” Ketika Allah melihat bahwa mereka tidak memiliki hajat apa-apa, maka mereka pun dibiarkan.” (HR. Muslim).
Di dalam Sahih al-Bukhari diriwayatkan dari Anas bahwa Umm Rubayyi’ binti Barra yang merupakan ibu dari Haritsah bin Suraqah mendatangi Nabi saw. lalu berkata, “Wahai Nabiyullah, maukah engkau menuturkan kepadaku tentang Haritsah?—Haritsah gugur dalam Perang Badar akibat terkena panah tak dikenal (sahm gharb)—apabila dia berada di surga, maka aku bersabar. Apabila tidak seperti itu, aku akan menahan untuk tidak menangisinya.” Rasulullah saw. lalu bersabda, “Wahai Umm Haritsah, sesungguhnya itu adalah taman-taman surga.” Sesungguhnya anakmu berada di Firdaus yang tinggi.”
Selain itu juga disampaikan dari jalur Baqiy bin Makhlad, Yahya bin ‘Abdul Hamid menuturkan kepada kami, Ibnu ‘Uyainah menuturkan kepada kami, dari Ubaidullah bin Abu Yazid, dia mendengar Ibny ‘Abbas berkata, “Ruh-ruh para syuhada berada di rongga burung hijau yang makan buah-buahan surga.”
Kemudian dituturkan dari Ma’mar, dari Qatadah, dia berkata, “Telah sampai kepada kami penjelasan bahwa ruh-ruh syuhada dalam bentuk burung putih yang makan (ta’kul) dari buah-buahan surga.”
Dan dari jalur Abu ‘Ashim an-Nabil, dari Tsaur bin Yazid, dar; Khalid bin Ma‘dan, dari ‘Abdullah bin ‘Amr, “Ruh-ruh para syuhada berada di dalam burung seperti Zarazir” mereka saling mengenal dan diberi rezeki dari buah-buahan surga.”
Abu ~Umar berkata bahwa semua atsar ini menjadi dalil yang menunjukkan bahwa mereka adalah para syuhada bukan yang lainnya, Dalam sebagian riwayat dinyatakan “dalam bentuk burung” (shurah thair). Dalam sebagian riwayat yang lain dinyatakan “dalam rongga tubuh burung” (fi ajwaf thair). Dan dalam sebagian riwayat yang lain lagi dinyatakan “seperti burung hijau” (kathair khudhr).
Abu ‘Umar berkata bahwa menurut hemat saya wallahu a’lam adanya pernyataan orang yang menyatakan kalimat “seperti burung ‘ (kathair) atau “bentuk burung” (sharah thair) disebabkan adanya kecocokan antara riwayat itu dengan hadis-hadis yang telah kami sebutkan sebelumnya, yaitu hadis-hadis Ka’b bin Malik. Dan juga pernyataannya di dalam hadis-hadis itu “manusia mukmin adalah burung” (nasamah al-mu’min tha’ir) dan dia tidak menyebut kalimat “dalam rongga tubuh burung” (fi jauf tha’ir).
Abu ‘Umar berkata bahwa “Isa bin Yunus meriwayatkan hadis-hadis Ibnu Masud ra., yang bersumber dari A’masy, dari ‘Abdullah bin Murrah, dari Masruq, dari ‘Abdullah (Ibnu Masud), “seperti burung hijau” (kathair khudhr).
Saya (Ibnu Qayyim) menyatakan bahwa riwayat yang disebutkan dalam kitab Sahih Muslim menyebut kalimat “dalam rongga tubuh burung hijau” (fi ajwaf tha’ir khudhr).
Abu ‘Umar berkata: Berdasarkan takwil ini, sepertinya Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya manusia mukmin dari kalangan syuhada adalah burung yang makan dari (atau bergelantung di) pepohonan surga.”
Menurut pendapat saya (Ibnu Qayyim), tidak ada pertentangan antara ucapan Rasulullah saw. “Manusia mukmin adalah burung yang makan di pepohonan surga” dengan ucapan beliau. “Sesungguhnya jika seorang dari kalian meninggal, akan ditampakkan kepadanya tempat duduknya di setiap pagi dan petang. Apabila dia termasuk penghuni surga, dari penghuni surga. Apabila dia termasuk penghuni neraka, dari penghuni neraka.”
Ucapan tersebut di atas disampaikan kepada orang mati yang mati di atas kasur dan orang yang mati syahid; sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Manusia mukmin adalah burung yang makan di pepohonan surga.” juga ditujukan kepada orang yang mati syahid dan orang mati lainnya.
Seiring dengan ditampakkannya kepada orang mati yang bersangkutan tempat duduknya di setiap pagi dan petang, ruhnya dapat minum dari sungai-sungai surga serta dapat makan dari buah-buahan di dalamnya. Adapun “tempat duduk” (maq’ad) yang secara khusus diperuntukkan baginya dan “rumah” (bait) yang dipersiapkan untuknya, semua itu baru akan dimasuki oleh orang mati yang bersangkutan itu nanti di Hari Kiamat.
Dalil yang menunjukkan hal itu adalah karena tempat-tempat tinggal oleh para syuhada termasuk segala rumah dan istana-istana yang mereka miliki yang telah Allah siapkan untuk mereka, dapat dipastikan sama sekali bukanlah “lentera-lentera” yang menjadi tempat hinggap ruh-ruh mereka ketika mereka sedang berada di Barzakh.
Mereka dapat melihat tempat tinggal dan tempat duduk mereka di dalam surga, sementara tempat tinggal mereka (di Alam Barzakh) adalah di dalam lentera-lentera yang bergantungan di Arsy. Masuknya mereka secara sempurna ke tempat-tempat tinggal mereka itu baru akan terjadi ketika Hari Kiamat tiba. Adapun masuknya ruh-ruh ke dalam surga di Alam Barzakh adalah suatu perkara yang berbeda dari itu.
Sementara itu, berkebalikan dari semua itu (para penghuni surga); berkenaan dengan orang-orang sengsara (maksudnya, para calon penghuni neraka—Penj.) kepada ruh-ruh mereka akan ditampakkan neraka di setiap pagi dan petang. Ketika nanti Hari Kiamat tiba, barulah mereka akan memasuki tempat-tempat tinggal dan tempat-tempat duduk mereka yang selalu ditampakkan kepada mereka di Alam Barzakh.
Jadi, kenikmatan yang dirasakan oleh ruh-ruh dengan segala isi surga di Barzakh adalah sesuatu hal, sementara kenikmatan yang dirasakan oleh ruh-ruh bersama tubuh mereka masing-masing dengan segala isi surga ketika Hari Kiamat terjadi adalah sesuatu hal lain yang berbeda Makanan ruh yang berasal dari surga di Alam Barzakh berbeda dengan makanan ruh bersama tubuh dari surga ketika Hari Kebangkitan terjadi
Itulah sebabnya Rasulullah saw. bersabda, “ia makan sedikit, (ta’luq) di pepohonan surga.” Maksudnya, “makan sedikit saja” (ta’kul al-’ulqah). Adapun makan, minum, dan pakaian serta kenikmatan yang sempurna baru akan terjadi ketika ruh-ruh manusia kembali ke dalam jasad-jasad mereka masing-masing di saat Hari Kiamat tiba. Jadi, tampak jelas bahwa pernyataan di atas sama sekali tidak bertentangan dengan sunah sedikit pun. Alih-alih ia justru sejalan dan selaras dengan sunah,
Adapun pernyataan mereka yang berpendapat bahwa hadis-hadis Ka’b hanya berlaku bagi para syuhada bukan golongan manusia yang lain, maka sebenarnya mengenai pengkhususan seperti itu, tidak ada lafal yang menunjukkan hal tersebut. Yang terjadi sebenarnya adalah tindakan membawa lafal yang bersifat umum pada sebagian kecil dari objek yang disebutkan karena sesungguhnya jumlah orang-orang syahid jika dibandingkan dengan seluruh kaum mukminin amatlah sedikit. Sementara Rasulullah saw. mengaitkan balasan ini dengan keimanan yang menjadi keharusan dan beliau tidak mengaitkannya dengan kesyahidan.
Tidakkah Anda melihat bahwa hukum yang bersifat khusus bagi para syuhada selalu dikaitkan dengan kesyahidan. Contohnya adalah sabda Rasulullah saw. dalam hadis-hadis dari Miqdam bin Ma’dikarib, “Orang syahid memiliki enam perkara di sisi Allah: Diampuni baginya pada curahan darahnya yang pertama, melihat tempat duduknya di surga, diberi pakaian dengan pakaian keimanan, dikawinkan dengan bidadari Hur ‘In, diselamatkan dari siksa kubur, aman dari Kengerian Besar, diletakkan Mahkota Kemegahan di kepalanya yang sepotong yaqut di mahkota itu lebih baik daripada dunia seisinya, dikawinkan dengan tujuh puluh dua bidadari dan dia dapat memberi syafaat kepada tujuh puluh orang dari kalangan kerabatnya.”
Ketika diketahui bahwa semua yang disebutkan itu dikhususkan bagi orang syahid, Rasulullah saw. menyebut “Sesungguhnya orang syahid memiliki…” dan beliau tidak menyebut kalimat “Sesungguhnya orang mukmin memiliki…”
Demikian pula halnya sabda Rasulullah saw. dalam hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Qais al-Judzami, “Orang syahid diberi enam perkara…” Begitu pula halnya semua hadis-hadis dan nas yang di dalamnya tercantum berbagai balasan yang dikaitkan dengan kesyahidan. Adapun berkenaan dengan balasan yang dikaitkan dengan keimanan, hal seperti itu akan diraih oleh setiap mukmin, baik yang mati syahid maupun tidak mati syahid.
Adapun semua nas dan atsar yang menyebutkan tentang rezeki pagi para syuhada dan bahwasanya ruh-ruh mereka ada di dalam surga, semua itu memang benar adanya. Akan tetapi, semua itu tidak menjadi dalil yang menunjukkan ketidakmungkinan ruh-ruh kaum mukminin lainnya (yang tidak mati syahid—Penj.) untuk juga dapat memasuki surga (ketika mereka berada di Barzakh, penerj.). Terlebih golongan shiddiqiin yang lebih afdal kedudukannya dibandingkan para syuhada, tanpa ada perbedaan pendapat di tengah masyarakat tentang hal itu.
Oleh sebab itu, maka hendaklah dikatakan kepada orang-orang yang berpendapat seperti itu tentang bagaimana pendapat mereka mengenai ruh orang-orang yang termasuk golongan shiddiqiin, apakah mereka berada di dalam surga ataukah tidak.
Jika mereka menjawab bahwa ruh golongan shiddiqtn berada di surga dan memang tidak ada jawaban lain yang dapat mereka pilih, berarti benar adanya bahwa nas-nas tersebut di atas’ tidak menjadi dalil yang menunjukkan pengkhususan para syuhada untuk mengalami apa yang disebutkan di dalam nas-nas tersebut.
Jika mereka menjawab bahwa ruh golongan shiddiqin tidak berada di surga, berarti itu sama saja dengan mereka mengatakan bahwa ruh-ruh para sahabat Rasulullah saw. yang mulia seperti Abu Bakar Siddiq ra., Ubay bin Ka‘b ra., “Abdullah bin Mas’ud ra., Abu Darda ra., Hudzaifah bin Yaman ra. dan para sahabat lain yang seperti mereka” tidak berada di surga. Sementara para syahid yang mati di zaman kita sekarang ini justru berada di dalam surga. Tentu saja pemahaman seperti itu pasti salah!
Apabila orang-orang itu balik bertanya, “Jika ketentuan ini tidak secara khusus berlaku bagi para syuhada, apakah sebenarnya maksud penyebutan mereka secara khusus di dalam nas-nas tersebut?”
Maka jawabannya yaitu, “Penyebutan para syuhada secara khusus di dalam nas-nas itu menunjukkan keutamaan kesyahidan dan ketinggian derajatnya dan bahwa semua itu akan diraih oleh orang-orang yang mengalami kesyahidan itu secara pasti, di samping itu bahwa mereka pasti akan mendapatkan yang jauh lebih banyak daripada semua yang telah disebutkan dalam nas-nas itu.
Kenikmatan yang mereka dapatkan di Alam Barzakh pasti lebih sempurna daripada bagian yang didapat oleh orang-orang yang mati di atas ranjang (bukan di medan perang—Penj.). Termasuk walaupun orang yang mati di atas ranjang lebih tinggi derajatnya dibandingkan kebanyakan para syuhada itu. Orang yang mati syahid memiliki kenikmatan khusus yang tidak akan dirasakan oleh yang lain.
Dalil yang menunjukkan hal ini adalah Allah swt. meletakkan ruh-ruh para syuhada di dalam rongga tubuh burung hijau. Ketika para syuhada mengorbankan tubuh mereka lillahi ta’ala sampai akhirnya musuh-musuh Allah merusak tubuh para syuhada itu, Allah pun mengganti tubuh mereka di Alam Barzakh dengan tubuh yang lebih baik daripada tubuh lama mereka dan mereka tetap berada di dalam tubuh-tubuh tersebut sampai Hari Kiamat. Kenikmatan yang dirasakan oleh ruh-ruh para syuhada dengan perantaraan tubuh-tubuh mereka yang baru itu terasa lebih sempurna daripada kenikmatan ruh-ruh lain yang tidak mengalami semua itu. Itulah sebabnya, nyawa orang mukmin dinyatakan “berbentuk burung” (fi shirah thair) atau “seperti burung” (ka-thair), sementara nyawa orang syahid dinyatakan “berada di dalam rongga tubuh burung” (fi jauf thair).
Coba Anda perhatikan baik-baik lafal kedua hadis-hadis tersebut di atas. Rasulullah saw. bersabda, “nyawa orang mukmin adalah burung” (nasmah al-mu‘min thair). Kalimat ini mencakup secara umum semua orang syahid dan lainnya. Setelah itu Rasulullah saw. mengkhususkan syahid dengan sabda beliau, “Ia berada di rongga tubuh burung.” Padahal telah diketahui bahwa apabila ruh berada di dalam rongga tubuh burung, maka ia adalah burung. Semoga selawat dari Allah terlimpah kepada Rasulullah saw. yang sabda-sabdanya saling membenarkan antara satu sama lain dan itu menunjukkan bahwa semua sabda beliau adalah benar-benar dari hadirat Allah swt. Simpulan ini lebih baik daripada simpulan Abu Umar yang juga mentarjih riwayat yang menyatakan “Ruh-ruh mereka seperti burung hijau.” Alih-alih (ada di antara kedua riwayat itu yang lebih benar—Penj.), kedua riwayat itu sama-sama hak dan benar. Ruh memang seperti burung hijau dan juga berada di dalam rongga tubuh burung hijau.
Pasal
Berkenaan dengan pernyataan Mujahid bahwa ruh tidak berada di dalam surga, melainkan hanya makan dari buah-buahan surga serta dapat merasakan semerbak surga; pendapat ini dibantah oleh sebuah riwayat dari Imam Ahmad di dalam al-Musnad dari hadis-hadis Ibnu Ishaq, dari -Ashim bin ‘Umar, dari Mahmud bin Labid, dari Ibnu ‘Abbas ra., dia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Para syahid berada di tepi sungai di gerbang surga pada kubah hijau. Rezeki mereka keluar menuju mereka dari surga di setiap pagi dan petang.”
Sabda ini tidak menafikan keberadaan mereka di dalam surga karena yang disebutkan itu adalah sebuah sungai dari surga dan rezeki mereka mendatangi mereka dari surga sehingga mereka berada di dalam surga; walaupun mereka belum menempati tempat-tempat duduk mereka di surga itu.
Mujahid menafikan masuknya ruh-ruh itu secara sempurna dari segala segi, sementara apa yang disampaikan tidak mampu meliputi seluruhnya karena selalu menonjolkan sesuatu hal tanpa sesuatu hal yang lain. Namun, tentu saja penyampaian yang paling sempurna dan paling tepat menyampaikan apa yang ingin disampaikan adalah apa yang disampaikan oleh Rasulullah saw. Setelah itu, barulah apa yang disampaikan oleh para sahabat. Setiap kali Anda naik, Anda akan dapat melihat kesembuhan, petunjuk, dan cahaya; setiap kali Anda menurun, Anda akan melihat kebingungan, berbagai tuduhan, dan ucapan tanpa ilmu.
Abu ‘Abdullah bin Mandah berkata, Musa bin ‘Ubaidah meriwayatkan, dari ‘Abdullah bin Yazid, dari Umm Kabsyah binti Ma‘rur, dia berkata: Suatu ketika Rasulullah saw. masuk menemui kami, maka kami pun bertanya kepada beliau tentang ruh-ruh ini. Beliau pun menyampaikan sebuah penjelasan yang membuat menangis seluruh Ahlu Bait. Beliau bersabda, “Sesungguhnya ruh-ruh kaum mukminin berada dalam tembolok burung hijau yang dipelihara dalam surga, makan dari buah-buahannya, minum dari airnya dan hinggap ke lentera-lentera emas di bawah Arsy seraya berucap, ‘Wahai Allah gabungkanlah bersama kami saudara-saudara kami dan berilah kami apa yang telah Engkau janjikan.’ Sementara ruh-ruh kaum kafir berada dalam tembolok burung hitam yang makan dari neraka, minum dari neraka dan hinggap ke bebatuan di neraka seraya berucap, ‘Wahai Allah jangan Engkau gabungkan bersama kami saudara-saudara kami dan jangan, lah Engkau beri kami apa yang telah Engkau janjikan.’”
Thabrani menyatakan, “Abu Zur’ah ad-Dimasyqi menuturkan ke, pada kami, “Abdullah bin Shalih menuturkan kepada kami, Mu’awiyah bin Shalih menuturkan kepadaku, dari Dhamrah bin Habib, dia berkata; Rasulullah saw. pernah ditanya tentang ruh-ruh orang-orang mukmin, Beliau menjawab, ‘Berada di dalam burung hijau yang hilir mudik di surga sekehendak mereka.’ Mereka bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana dengan ruh-ruh orang-orang kafir?’ Beliau menjawab, ‘Ditahan di dalam Sijjin.”
Abu Syaikh meriwayatkan hadis-hadis seperti itu dari Hisyam bin Yunus, dari ‘Abdullah bin Shalih; dan hadis-hadis itu juga diriwayatkan oleh Abul Mughirah, dari Abu Bakar bin Abu Maryam, dari Dhamrah bin Habib.
Abu “Abdullah bin Mandah menuturkan sebuah hadis dari Ghunjar, dari Tsauri, dari Tsaur bin Yazid, dari Khalid bin Ma’dan, dari Abdullah bin Amr, dia berkata: Rasulullah saw. bersabda, “Ruh-ruh orang-orang mukmin berada dalam burung seperti Zardazir, makan dari buah-buahan surga.”
Hadis-hadis ini juga diriwayatkan dengan status maukuf oleh perawi lain.
Yazid ar-Raqasyi menuturkan dari Anas dan Abdullah asy-Syami menuturkan dari Tamim ad-Dari; dari Nabi saw., “Apabila Malaikat Maut naik ke langit bersama ruh orang mukmin, maka Jibril menyambutnya bersama tujuh puluh ribu malaikat yang masing-masing malaikat menyampaikan kabar gembira dari langit selain kabar gembira sahabatnya. Ketika dia sampai di Arsy, dia pun tunduk bersujud. Allah swt. lalu berkata kepada Malaikat Maut, “Pergilah engkau bersama ruh hamba-Ku, lalu letakkanlah ia di pohon bidara yang tidak berduri (sidr makhdhud), naungan yang terbentang luas (zhill mamdud) dan air yang tercurah (ma maskub).”
Hadis-hadis ini diriwayatkan oleh Bakr bin Khunais, dari Dhirar bin ‘Amr, dari Yazid dan Abu ‘Abdullah.
Pasal
Adapun mengenai pernyataan orang yang berpendapat bahwa ruh-ruh berada di serambi kuburan mereka. Maka apabila yang dimaksud oleh orang itu hal tersebut merupakan sesuatu kondisi yang harus terjadi pada semua ruh. Ruh-ruh tersebut untuk selamanya berada di situ, pendapat seperti itu merupakan pendapat yang keliru dan tertolak oleh semua nas Kitabullah dan sunah dari begitu banyak segi yang sebagiannya telah kami sebutkan. Di bagian mendatang kami akan sampaikan sebagian lagi di antaranya yang belum kami sebutkan, insyaallah.
Apabila yang dimaksud oleh orang itu, yaitu bahwa ruh-ruh berada di serambi kuburan mereka untuk sementara atau bahwa ruh-ruh itu dapat mendatangi kuburan mereka sementara mereka bertempat tinggal di tempat mereka, itu adalah benar. Akan tetapi, tidaklah dapat dikatakan bahwa tempat tinggal ruh-ruh itu adalah di serambi kuburan mereka.
Pendapat yang terakhir ini telah menjadi pendapat segolongan orang. Di antara mereka adalah Abu ‘Umar bin ‘Abdul Barr. Dia menyatakan di dalam kitabnya dalam penjelasan tentang hadis-hadis dari Ibnu ‘Umar ra., “Sesungguhnya apabila seorang dari kalian meninggal, maka akan ditunjukkan kepadanya tempat duduknya di setiap pagi dan petang.”
Dalil ini dijadikan sebagai dalil oleh orang yang berpendapat bahwa ruh-ruh berada di atas serambi kuburan. Ini adalah dalil yang paling sahih yang dipilih dalam masalah ini dari jalur atsar. Tidakkah Anda melihat bahwa hadis-hadis yang menjadi dalil yang menunjukkan masalah itu statusnya tsabit dan mutawatir. Begitu pula halnya hadis-hadis yang menyebutkan tentang salam terhadap kuburan.
Saya menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hadis-hadis mutawatir adalah seperti hadis-hadis Ibnu ‘Umar ra. tersebut di atas, sebelum hadis-hadis dari al-Barra’ bin ‘Azib yang sudah kami sebutkan di bagian terdahulu. Di dalamnya dikatakan, “Ini adalah tempat duduknya sampai Allah membangkitkanmu di Hari Kiamat.”
Dan seperti hadis-hadis Anas ra., “Sesungguhnya apabila Seorang hamba diletakkan di dalam kuburnya lalu para sahabatnya berpaling meninggalkannya, sungguh dia mendengar gesekan sandal-sandal mereka.”
Di dalamnya disebutkan, “Sesungguhnya di melihat tempat duduknya dari surga dan neraka.” Dan “Sesungguhnya dilapangkan bag; orang mukmin dalam kuburnya sejauh tujuh puluh hasta, sementarg disempitkan atas orang kafir”. Juga seperti hadis-hadis dari Jabir ra “Sesungguhnya umat ini diuji dalam kuburan mereka. Apabila orang mukmin memasuki kuburannya lalu para sahabatnya berpaling mening. galkannya, dia didatangi oleh malaikat…” (Hadis). Dan juga bahwa dia melihat tempat duduknya dari surga, lalu dia berkata, “Biarkanlah aku menyampaikan berita gembira kepada keluargaku.” Lalu dikatakanlah kepadanya, “Diamlah. Ini adalah tempat dudukmu untuk selamanya.”
Dan juga seperti hadis-hadis yang menjelaskan tentang salam kepada para penghuni kubur, ucapan kepada mereka dan pengetahuan mereka mengenai ziarah yang dilakukan orang-orang yang masih hidup kepada mereka. Penjelasan ini sudah disampaikan semuanya di bagian terdahulu.
Pendapat ini dibantah oleh sunah yang sahih dan atsar yang tidak terbantahkan dan sudah dijelaskan sebelumnya. Dan juga semua dalil yang disebutkan, semua itu akan dialami oleh ruh-ruh yang berada di dalam surga berdasarkan nas dan berada di ar-Rafiq al-A’la.
Kami telah menjelaskan bahwa dalil yang menyatakan tentang ditunjukkan tempat duduk orang mati di surga atau di neraka tidak menunjukkan bahwa ruh berada di dalam kubur dan di atas serambinya selamanya dari segala segi. Alih-alih, itu merupakan bentuk hubungan dengan kuburan dan serambinya. Itu adalah bagian darinya yang ditunjukkan tempat duduk si orang mati kepadanya.
Sesungguhnya ruh memiliki kondisi lain, ruh berada di ar-Rafiq al-A’la di ‘Illiyyun yang tertinggi. Selain itu, ruh juga memiliki hubungan dengan badan, sehingga apabila ada seseorang yang mengucapkan salam kepada seorang mayat, maka Allah akan mengembalikan ruhnya kepadanya, sehingga si mayat itu dapat menjawab salam kepada pengucap salam itu, sementara ruhnya berada di al-Mala’ al-A’la.
Sesungguhnya sebagian besar masyarakat keliru dalam masalah ini karena mereka meyakini bahwa ruh termasuk jenis jisim yang apabila ja sibuk di satu tempat, maka ia tidak akan dapat berada di tempat jain. Ini adalah sebuah kekeliruan yang fatal karena ruh berada di atas langit di ‘Iliyyun yang tertinggi. la akan dikembalikan ke dalam kubur untuk menjawab salam. Ia mengetahui orang yang mengucapkan salam sementara ia berada di tempatnya di sana (di atas langit di “illiyyun yang tertinggi—Penj.).
Ruh Rasulullah saw. selalu berada di ar-Rafiq al-A’la. Allah swt. mengembalikan ruh beliau ke dalam kubur untuk menjawab salam siapa pun yang mengucapkan salam kepada beliau dan ruh beliau saw. dapat mendengar ucapan orang itu.
Rasulullah saw. pernah melihat Musa as. melaksanakan shalat di dalam kuburnya dan beliau juga melihat Musa as. di langit keenam atau langit ketujuh. Jadi, mungkin saja yang terjadi adalah ruh Musa as. bergerak sangat cepat, sehingga mampu berpindah tempat sekejapan mata; atau mungkin ruh Musa as. terhubung dengan kuburan berikut serambinya seperti sinar matahari yang sinarnya mencapai bumi sementara jisim matahari itu sendiri tetap berada di langit.
Telah dinyatakan tsabit bahwa ruh orang yang sedang tidur dapat naik hingga menembus tujuh lapisan langit lalu bersujud kepada Allah di depan Arsy. Kemudian ruh itu dapat kembali ke jasadnya dalam waktu yang sangat singkat. Begitu pula ruh orang mati dapat naik dibawa oleh para malaikat hingga menembus tujuh langit, lalu malaikat menempatkan ruh tersebut di hadapan Allah dan ia pun bersujud kepada-Nya dan Allah menetapkan ketetapan-Nya. Malaikat menunjukkan kepada ruh tersebut segala yang telah Allah sediakan baginya di dalam surga, lalu ruh tersebut turun lagi ke bumi untuk menyaksikan jasadnya yang dimandikan, diusung, lalu dikuburkan.
Pada bagian terdahulu telah disampaikan dalam hadis-hadis dari al-Barra’ bin Azib bahwa ruh naik hingga ditempatkan di depan Allah. Kemudian Allah swt. berfirman, “Tulislah oleh kalian catatan hamba-Ku di ‘Illiyyun kemudian kembalikanlah dia ke bumi.” Maka dikembalikanlah ruh itu ke dalam kubur dan itu terjadi pada sekitar waktu dibereskannya dan dikafaninya jasad ruh tersebut.
Hal ini telah dijelaskan dalam hadis-hadis dari Ibnu ‘Abbas ra. yang di dalamnya dikatakan, “Mereka (para malaikat) kemudian membawanya (ruh) turun pada sekitar waktu selesai jasadnya dimandikan dan dikafani. Kemudian mereka memasukkan ruh tersebut ke dalam jasadnya dan kain-kain kafannya.”
Abu ‘Abdullah bin Mandah telah menyatakan dari hadis-hadis “Isa bin ‘Abdurrahman, Ibnu Syihab menuturkan kepada kami, Amir bin Sa’d menuturkan kepada kami, dari Ismail bin Thalhah bin ‘Ubaidullah, dari ayahnya, dia berkata: Suatu ketika aku hendak mendatangi hartaku di Ghabah, tetapi aku kemalaman sehingga aku pun singgah di kuburan ‘Abdullah bin ‘Amr bin Haram. Di situ aku mendengar suara bacaan dari dalam kubur yang tidak pernah kudengar bacaan seindah itu. Aku lalu mendatangi Rasulullah saw. dan kusampaikan kejadian itu kepada beliau saw. Rasulullah saw. kemudian bersabda, “Itu adalah ‘Abdullah. Tidakkah engkau tahu bahwa Allah swt. menggenggam ruh-ruh mereka lalu menempatkan mereka pada lentera-lentera yang terbuat dari zabarjad dan yaqut, lalu Dia menggantungnya di tengah surga. Apabila malam tiba, ruh-ruh mereka dikembalikan kepada mereka dan itu tetap seperti itu sampai ketika fajar terbit, ruh-ruh mereka dikembalikan ke tempat mereka yang sebelumnya mereka ada di sana.”
Dalam hadis-hadis tersebut di atas terdapat penjelasan tentang begitu cepatnya perpindahan yang dapat dilakukan oleh ruh-ruh orang yang sudah mati dari Arsy ke bumi, lalu perpindahan mereka lagi dari bumi ke tempatnya semula.
Atas dasar inilah, Malik dan para imam lainnya berpendapat bahwa ruh orang yang sudah mati dibebaskan, sehingga dapat bepergian ke mana pun sekehendaknya. Sementara orang-orang hidup yang melihat ruh orang-orang yang sudah mati serta datangnya ruh-ruh orang mati kepada orang-orang yang masih hidup dari tempat yang sangat jauh adalah sesuatu perkara yang sudah diketahui oleh seluruh masyarakat dan mereka tidak ragu tentang hal itu. Wallahu a’lam.
Adapun berkenaan dengan salam yang diucapkan kepada para penghuni kubur dan pembicaraan mereka, hal itu tidak dapat menjadi bukti yang menunjukkan bahwa ruh mereka tidak berada di dalam surga karena dikatakan bahwa mereka berada di serambi kuburan mereka masing-masing. Bahkan sang Pemimpin semua anak Adam (Sayyid Walad Adam yaitu Rasulullah saw—Penj.) yang ruhnya berada di “illiyyun yang tertinggi bersama ar-Rafiq al-A’la ketika ada orang yang mengucapkan salam kepada beliau di depan kuburan beliau, ternyata beliau menjawab salam yang diucapkan kepada beliau tersebut.
Abu “Umar rahimahullah telah menyatakan bahwa ruh-ruh para syuhada berada di dalam surga ketika ada orang yang mengucapkan salam kepada mereka di kuburan mereka, sebagaimana salam yang diucapkan kepada orang-orang selain mereka, seperti yang diajarkan kepada kita oleh Rasulullah saw. agar kita mengucapkan salam kepada mereka; dan juga sebagaimana yang dilakukan para sahabat yang mengucapkan salam kepada para syuhada Perang Uhud, padahal telah dipastikan bahwa ruh-ruh mereka berada di dalam surga hilir mudik sekehendak mereka, seperti yang telah dijelaskan di bagian lalu.
Tentu saja pemikiran Anda tidak sempit untuk dapat mengetahui bahwa ruh berada di al-Mala’ al-A’la berhilir mudik di dalam surga sekehendaknya, sementara ia juga dapat mendengar ucapan salam dari orang yang mengucapkan salam kepadanya di kuburnya, lalu turun hingga ia dapat menjawab salam kepada orang tersebut. Semua itu dapat terjadi karena kondisi ruh berbeda dengan kondisi badan.
Jibril as. yang pernah dilihat oleh Rasulullah saw. dengan memiliki enam ratus sayap yang di antaranya ada dua sayap yang dengan keduanya Jibril dapat menutup seluruh tempat dari timur sampai barat, ternyata pernah berada sangat dekat dengan Rasulullah saw. sampai menyentuhkan lututnya dengan lutut Rasulullah saw. sementara kedua tangannya berada di atas kedua paha beliau.
Saya tentu tidak mengira bahwa pikiran Anda tidak akan cukup memahami bahwa pada saat itu Jibril berada di al-Mala’ al-A’la di atas langit-yang menjadi tempat tinggalnya sementara di saat yang sama dia berada begitu dekat dengan Rasulullah saw. dengan kedekatan yang seperti tadi dijelaskan. Tentu saja kepercayaan terhadap hal semacam itu membutuhkan hati yang memang diciptakan untuk itu dan memang layak untuk mengetahui hal seperti itu.
Adapun bagi orang yang pikirannya tidak cukup luas untuk menerima semua itu, maka pikiran orang itu pasti akan jauh lebih sempit untuk dapat mengimani turunnya Ilahi ke langit dunia setiap malam padahal Dia berada di atas langit pada Arsy-Nya tanpa ada sesuatu apa pun lagi di atas-Nya. Alih-alih Dialah yang Mahatinggi atas segala sesuatu dan ketinggian-Nya menjadi kepastian bagi Dzat-Nya.
Demikian pula halnya dengan turun-Nya Allah pada hari Arafah pada mereka yang melaksanakan wuquf. Demikian pula halnya dengan kedatangan Allah pada-Hari Kiamat untuk menghisab makhluk-makhluk-Nya serta terangnya bumi karena cahaya-Nya. Demikian pula halnya dengan kedatangan-Nya ke bumi ketika Dia menghamparkan. nya, menyempurnakannya, memanjangkannya, menghamparkannya, dan menyiapkannya untuk apa yang dimaksudkan darinya. Demikian pula halnya kedatangan-Nya ke bumi sebelum Hari Kiamat ketika Diag merengkuh segala yang ada di atasnya sehingga tidak ada lagi satupun yang tersisa di bumi; sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah saw., “Maka Rabb-mu berkeliling di bumi dan telah kosong seluruh negeri.” Sementara saat itu, Dia berada di langit di atas Arsy-Nya.
Pasal
Di antara yang harus diketahui yaitu bahwa semua yang telah kami jelaskan berkenaan dengan kondisi ruh memang berbeda-beda, sesuai dengan kondisi ruh-ruh yang bersangkutan. Baik dari sisi kuat dan lemahnya, maupun dari sisi besar dan kecilnya. Ruh yang agung dan besar memiliki sebagian dari apa yang telah disebutkan itu yang tidak dimiliki oleh ruh-ruh yang selainnya. Anda dapat melihat ketetapan ruh-ruh di dunia begitu berbeda dengan perbedaan yang sangat jauh sesuai dengan keragaman kondisi ruh-ruh tersebut dari segi kekuatannya, kelambanannya, kecepatannya, dan pertolongan baginya.
Ruh yang bebas dari kungkungan badan dengan segala keterkaitan dan penghalangnya tentu memiliki gerak, kekuatan, daya tembus, tekad dan kecepatan naik menuju Allah swt. Serta keterkaitan dengan Allah swt. yang tidak dimiliki oleh ruh hina yang terpenjara dalam berbagai kaitan badan dan halangan-halangannya.
Apabila semua itu dapat terjadi ketika ruh masih tertahan di dalam badannya, apatah lagi kiranya apabila ruh sudah terpisah dari badan, ketika seluruh kekuatannya berhimpun padanya, sementara pada asal keadaannya ruh adalah sesosok ruh luhur yang suci dan besar serta memiliki tekad yang luhur. Semua itu ada pada ruh setelah ia terpisah dari badan dengan keadaan yang berbeda dan dengan perbuatan yang juga berbeda.
Telah ada begitu banyak mimpi yang dialami oleh anak Adam yang menunjukkan perbuatan para arwah setelah kematian yang tidak dapat digambarkan itu dapat terjadi jika ruh-ruh tersebut masih terkait dengan badan. Contohnya, seperti ketika satu, dua, atau beberapa ruh dapat mengalahkan satu pasukan yang terdiri dari banyak prajurit. Betapa seringnya mimpi menunjukkan ruh Rasulullah saw. bersama ruh Abu Bakar ra. dan ruh ‘Umar ra. mengalahkan pasukan kafir yang zalim.
Pasukan mereka kalah dan hancur padahal jumlah mereka sangat besar dengan persenjataan lengkap sementara kaum mukminin begitu lemah dan sedikit.
Di antara keajaiban yang terjadi yaitu ketika ruh-ruh orang mukmin yang saling mencintai dan saling mengenal dapat saling bertemu walaupun di antara mereka terbentang jarak yang sangat jauh. Mereka dapat saling mengenal dan saling berkenalan sehingga mereka dapat saling mengenal antara yang satu dengan yang lain seakan-akan mereka semua adalah tempat setempat duduk atau satu keluarga. Ketika orang yang bersangkutan melihat orang yang dikenal ruhnya itu, maka mereka pun saling cocok karena ruhnya sudah mengenal ruh orang itu sebelum dia benar-benar melihat orang itu.
‘Abdullah bin ‘Amr menyatakan bahwa sesungguhnya ruh-ruh dua orang mukmin dapat saling bertemu pada jarak perjalanan satu hari walaupun mereka tidak pernah sekalipun saling melihat. Bahkan sebagian dari mereka dapat menghadap Rasulullah saw.
‘Ikrimah dan Mujahid menyatakan bahwa apabila seseorang tidur, dia memiliki jalan agar ruhnya dapat berlari di jalan itu, walaupun entitas aslinya tetap di dalam jasadnya, lalu ruh itu dapat mencapai tempat mana pun sekehendaknya. Selama ruh itu masih bepergian, maka pada saat itulah orang yang bersangkutan tidur. Jika ruh itu kembali ke badannya, pada saat itulah orang tersebut terbangun. Ia persis seperti sinar matahari yang menerpa permukaan bumi, sementara asal aslinya tersambung dengan jisim matahari di langit.
Abu ‘Abdullah bin Mandah menuturkan sebuah penjelasan dari seorang ulama yang berkata bahwa sesungguhnya ruh dapat terulur dari hidung manusia, sementara tempatnya berkendara dan asal aslinya yaitu di dalam badannya. Apabila seluruh ruh keluar, pasti orang yang bersangkutan akan mati, sebagaimana lentera jika dipisahkan antara dirinya dengan sumbunya, pasti ia akan padam. Tidakkah Anda melihat bahwa “tempat berkendara” api, terdapat pada sumbu lentera sehingga cahaya dan pancaran sinarnya dapat memenuhi seisi rumah? Maka seperti itu pula halnya ruh dapat terulur dari hidung manusia di saat tidurnya hingga sampai mencapai langit dan berkelana menjelajahi pelbagai negeri. Bahkan ruh itu dapat bersua dengan ruh-ruh orang-orang yang sudah mati.
Apabila malaikat yang bertugas mengurus ruh-ruh manusia lain menunjukkan ruh mereka kepadanya maka dia tidak suka untuk melihat ruh-ruh itu karena orang itu dalam jaganya adalah orang yang cerdas pintar, dan jujur sehingga dalam jaganya dia enggan melihat sesuatu hal yang batil. Ketika ruhnya dikembalikan ke badannya, kejujuran itu pun meresap ke dalam hatinya sesuai dengan apa yang telah Allah perlihatkan kepada makhluk-Nya. Apabila kejujuran itu sedikit, orang yang bersangkutan akan menyukai kebatilan dan suka melihat kebatilan.
Apabila seseorang tidur, lalu Allah memperlihatkan kepadanya sesuatu perkara kebaikan atau keburukan, ruh orang yang bersangkutan kembali kepadanya. Di mana pun dia melihat suatu perbuatan setan atau kebatilan, ruhnya akan berhenti padanya seperti orang itu juga akan menghentikan badannya di saat terjaga. Hal itu pun kemudian merasuk ke dalam hatinya, sehingga dia tidak dapat memikirkan apa yang dilihatnya karena dia telah mencampurkan antara yang hak dengan yang batil, sehingga tidak ada yang dapat menyampaikannya kepadanya karena dia telah mencampuradukkan antara yang hak dengan yang batil.
Ini merupakan salah satu kata-kata yang paling baik. Ia menjadi dalil yang menunjukkan makrifat pengetahuan orang yang menuturkannya dan menunjukkan ketajaman penglihatan mata batinnya terhadap ruh-ruh manusia dengan segala keadaannya. Antara dapat melihat seseorang yang menyimak ilmu dan hikmah tetapi ternyata semua itu tidak menjadi sesuatu yang paling bermanfaat baginya. Lalu dia melewati kebatilan dan senda-gurau dalam bentuk nyanyian, perkara syubhat, perbuatan dosa atau yang lainnya, ternyata dia begitu tekun mendengarkannya. Bahkan dia bukakan hatinya untuk segala keburukan itu, sehingga semua kejelekan itu pun menyusup ke dalam dirinya dan dia pun dirasuki oleh apa yang didengarnya itu. Sementara di dirinya telah ada ilmu dan hikmat, sehingga kemudian dia pun mencampuradukkan antara yang benar dengan yang salah.
Demikianlah pula keadaan ruh-ruh manusia di saat tidur. Adapun setelah terpisah, ruh tersebut disiksa disebabkan segala bentuk keyakinan dan syubhat yang batil tersebut yang akan mendapatkan bagiannya sesuai dengan kondisi keterkaitannya dengan badan. Setelah itu siksa terhadap ruh itu akan ditimpakan kepadanya disebabkan berbagai keinginan dan syahwat yang ada di antara semua itu dan ruh. Setelah itu terhadap ruh itu juga akan ditimpakan lagi siksa lain, yang Allah ciptakan untuk ruh dan untuk badannya, disebabkan oleh berbagai perbuatan yang dilakukan bersama-sama oleh ruh dan badan. Inilah yang dimaksud dengan “penghidupan yang sempit” (ma’isyah dhank) di barzakh, dengan segala “bekal” (maksudnya, bekal keburukan—Penj,) yang dijejalkan oleh ruh kepadanya.
Sementara itu, ruh yang suci luhur lagi mencintai kebenaran, yang tidak menyukai kebatilan serta tidak pernah suka terhadap segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran, kelak akan mengecap kenikmatan disebabkan berbagai keyakinan yang sahih, ilmu dan pengetahuan yang ia dapatkan dari Misykat Kenabian. Sebagaimana ia juga merasakan semua itu, disebabkan oleh berbagai keinginan dan tekadnya yang suci. Bagi ruh suci seperti itu, Allah swt. akan menciptakan baginya dari segala amal perbuatannya sebentuk nikmat yang akan dinikmati oleh ruh yang bersangkutan itu di Alam Barzakh sehingga ruh itu berada di salah satu taman di antara taman-taman surga. Begitu juga Barzakh untuk orang kafir, akan menjadi salah satu liang di antara liang-liang neraka.
Pasal
Adapun mengenai pernyataan orang yang berpendapat bahwa ruh-ruh kaum mukminin berada di sisi Allah, tidak lebih dari itu maka sebenarnya orang itu menyimpulkan pendapatnya itu dari lafal al-Quran yang di dalamnya Allah swt. menyatakan,
“Janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhan mereka dengan mendapat rezeki.” (QS. Ali Imran [3]: 169)
Orang-orang yang berpendapat seperti ini menguatkan dengan beberapa hujah. Di antaranya yaitu sebuah riwayat dari Muhammad bin Ishaq ash-Shaghani, Yahya bin Abu Bukair menuturkan kepada kami, Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Abu Dzi‘b menuturkan kepada kami, dari Muhammad bin ‘Amr bin Atha’, dari Sa‘id bin Yasar, dari Abu Hurairah ra., dari Nabi saw., beliau bersabda, “Sesungguhnya orang mati apabila nyawanya keluar, nyawa itu akan dibawa naik menuju langit hingga mencapai langit yang di situ ada Allah ‘azza Wa Jalla. Apabila kita adalah lelaki jahat, nyawanya dibawa naik ke langit. lalu sungguh tidak dibukakan baginya gerbang-gerbang langit. Lalu ia dikirim dari langit sehingga berpindah menuju kuburan.”
Sanad hadis-hadis ini tidak perlu Anda tanyakan mengenai kesahihannya. Hadis-hadis ini terdapat di dalam al-Musnad karya Imam Ahmad dan lainnya.
Abu Duwud ath-Thayalisi berkata: Hammad bin Salamah menuturkan kepada kami, dari ‘Ashim bin Bahdalah, dari Abu Wa’il, dari Abu Musa al-Asy-ari, dia berkata, “Ruh orang mukmin keluar dengan harum melebihi aroma kesturi. Para malaikat yang mewafatkannya lalu membawanya pergi, kemudian para malaikat di bawah langit bertemu dengannya. Mereka berkata, “Ini adalah Fulan anak Fulan. Dia melakukan anu dan anu…”’ Lalu disebutkan kebaikan-kebaikan amal perbuatan ruh tersebut. Mereka (para malaikat) berkata, “Selamat datang kalian dan dia!” Lalu mereka (para malaikat langit) itu menerima ruh tersebut dari mereka (para malaikat pembawa ruh) dan membawanya naik dari sebuah gerbang yang dari gerbang itu amal perbuatan ruh tersebut naik. Lalu ia bercahaya di langit dan ia memiliki terang seperti terang matahari sampai ia berakhir di Arsy.
Sedangkan orang kafir, apabila nyawanya dicabut, kemudian ruhnya dibawa pergi. Mereka (para malaikat langit) bertanya, ‘“Apakah ini?’ Mereka (para malaikat pembawa ruh) menjawab, “Ini adalah Fulan anak Fulan. Dia melakukan anu dan anu…” Lalu disebutkan keburukan-keburukan amal perbuatan ruh tersebut. Mereka (para malaikat) berkata, “Tidak ada selamat datang! Tidak ada selamat datang! Kembalikanlah dia oleh kalian ke bumi terbawah ke tanah!”’
Al-Makki bin Ibrahim berkata: Diriwayatkan dari Dawud bin Yazid al-Audi, dia berkata, “Saya melihatnya diriwayatkan dari ‘Amir asy-Sya’bi, dari Hudzaifah bin Yaman, bahwa dia berkata, ‘Ruh-ruh ditempatkan di sisi Allah yang Maha Pengasih ‘azza wa jalla menunggu waktu kembalinya sampai ditiupkan padanya.’”
Sufyan bin ‘Uyainah menuturkan, dari Manshur bin Safiyah, dari ibunya, bahwa Ibnu ‘Umar memasuki masjid setelah terbunuhnya Ibnu Zubair yang disalib. Dia lalu mendatangi Asma’ untuk berbela sungkawa kepadanya. Dia (Ibnu ‘Umar) berkata kepada Asma’, “Hendaklah engkau bertakwa kepada Allah dan bersabar. Sesungguhnya jasad-jasad ini bukanlah apa-apa. Sesungguhnya ruh-ruh berada di sisi Allah.”
Asma’ pun menyahut, “Apakah yang menghalangiku dari sabar, padahal kepala Yahya bin Zakariya dihadiahkan kepada seorang pelacur Bani Israel!”
Jarir menuturkan, dari A’masy, dari Syimr bin ‘Athiyyah, dari Hilal bin Yasaf, dia berkata: Suatu ketika kami duduk-duduk bersama Ka‘b, Rabi’ bin Khutsaim dan Khalid bin ‘Ar’arah bersama orang-orang. Lalu datanglah Ibnu ‘Abbas ra. kemudian dia berkata, “Ini anak lelaki dari paman nabi kalian!” Dia berkata, “Maka dilapangkanlah untuknya dan dia pun duduk.
Dia (Ibnu ‘Abbas ra.) lalu berkata, ‘‘Wahai Ka’b semua yang ada di dalam al-Quran aku sudah tahu, kecuali empat perkara. Beri tahulah aku tentang semua itu: Apakah Sijjin itu? Apakah ‘Illiyyun itu? Apakah Sidratul Muntaha itu? Dan apakah maksud firman Allah tentang Nabi Idris as., “Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi?”’
Dia (Ka’b) menjawab, “Yang dimaksud ‘illiyyun yaitu langit ketujuh yang di sana ruh-ruh kaum mukminin berada. Yang dimaksud Sijjin yaitu lapisan bumi ketujuh yang paling bawah. Sementara ruh-ruh orang-orang kafir berada di bawah pipi iblis. Yang dimaksud oleh firman Allah swt. tentang Idris as.,
“Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi,” (QS. Maryam [19]: 19)
Sesungguhnya Allah swt. memberi wahyu kepada Idris as. bahwa Dia akan menaikkan beliau setiap hari seperti amal perbuatan keturunan Adam. Lalu berkatalah seorang temannya dari kalangan malaikat agar Malaikat Maut berbicara dengannya serta menundanya agar amalnya bertambah. Malaikat itu lalu membawanya di antara kedua sayapnya lalu dia naik bersamanya. Sampai ketika dia berada di langit keempat, ruhnya pun dicabut. Yang dimaksud Sidratul Muntaha adalah sebatang Sidrah (pohon bidara) yang ada di kepala para pembawa Arsy. Itulah ujung ilmu semua makhluk. Tidak ada seorang pun yang memiliki ilmu melebihi itu. Itulah sebabnya ia disebut “Sidratul Muntaha” (Pohon Bidara yang Penghabisan).”
Ibnu Mandah berkata, “Wahb bin Jarir meriwayatkannya dari ayahnya. Hadis-hadis itu juga diriwayatkan oleh Ya’qub al-Qummi dari Syimr. Hadis-hadis itu juga diriwayatkan oleh Khalid bin “Abdullah dari ‘Awwam bin Hausyab, dari Qasim bin Auf. dari Rabi’ bin Khutsaim dia berkata, “Suatu ketika kami duduk-duduk bersama Ka’b….dst.” Dia lalu menuturkan hadis-hadis tersebut.
Ya’la bin “Ubaid menuturkan, dari ‘Ajlah, dari Dhahhak, dia berkata, “Apabila ruh seorang hamba mukmin dicabut, kemudian ruh itu dibawa naik ke langit dunia. Kemudian para Muqarrabian berangkat bersamanya menuju langit kedua, ketiga, keempat, kelima, keenam, lalu ketujuh sampai berakhir di Sidratul Muntaha.”
Aku bertanya kepada Dhahhak, “Mengapa ia dinamai Sidratul Muntaha?”
Dhahhak menjawab, “Sesungguhnya padanyalah penghujung segala sesuatu yang menjadi perintah Allah ‘azza wa jalla, tidak ada yang melampauinya. Dia berkata, “Tuhanku si Fulan menyembah-Mu!” Padahal Dia lebih tahu tentang itu daripada mereka. Allah lalu mengi. rimkan kepadanya sebuah catatan yang disegel dengan keamanan-Nya dari azab. Itu adalah firman-Nya, “Sekali-kali tidak, sesungguhnya ki. tab orang-orang berbakti itu (tersimpan) dalam “Illiyyin. Tahukah kamu apakah ‘Illiyyin itu? (Yaitu) kitab yang bertulis, yang disaksikan oleh malaikat-malaikat yang didekatkan (kepada Allah).” (QS. al-Muthaffifin [83]: 18-21)
Pendapat ini sama sekali tidak menafikan pendapat orang yang menyatakan bahwa ruh-ruh orang beriman berada di surga karena surga berada di dekat Sidratul Muntaha, sebagaimana surga juga berada di sisi Allah. Sepertinya orang yang berpendapat seperti ini melihat bahwa pernyataan ini lebih tepat dan mengena. Allah swt. telah mengabarkan bahwa ruh-ruh para syuhada berada di sisi-Nya, sebagaimana Rasulullah saw. mengabarkan bahwa ruh-ruh para syuhada berhilir mudik di dalam surga sekehendak mereka.
Pasal
Adapun mengenai pendapat yang menyatakan bahwa ruh-ruh kaum mukminin berada di Jabiyah, sementara sedangkan ruh-ruh orang kafir berada di Barahut, yaitu di Hadramaut di Barahut. Abu Muhammad bin Hazm menyatakan bahwa ini merupakan pendapat kaum Syi’ab Rafidhah. Padahal kenyataannya tidaklah seperti yang dia katakan itu, sebab sebenarnya ini adalah pendapat segolongan orang dari kalangan Ahlu sunah.
Abu “Abdullah bin Mandah berkata, ‘“Telah diriwayatkan dari beberapa sahabat Rasulullah saw. dan tabiin bahwa ruh-ruh orang-orang mukmin berada di Jabiyah.” Lalu dia berkata, “Aku adalah Muhammad bin Muhammad bin Yunus, Ahmad bin “Isham menuturkan kepada kami, Abu Dawud Sulaiman bin Dawud menuturkan kepada kami, Hammam menuturkan kepada kami, Qatadah menuturkan kepadaku, seseorang menuturkan kepadaku, dari Said bin Musayyab, dari ‘Abdullah bin ‘Amr, bahwa dia berkata, “Sesungguhnya ruh-ruh kaum mukminin berkumpul di Jabiyah. Sesungguhnya ruh orang-orang kafir berkumpul di sebuah rawa (sabakhah) di Hadramaut yang bernama Barahut.”
Kemudian diriwayatkan dari jalur Hammad bin Salamah, dari ‘Abdul Jalil bin Athiyah, dari Syahr bin Hausyab, bahwa Ka’b pernah melihat ‘Abdullah bin ‘Amr, sementara orang-orang ramai berkerumun bertanya kepadanya. Seseorang berkata kepadanya, “Tanyakanlah kepadanya tentang ruh-ruh orang-orang mukmin dan ruh-ruh orang-orang kafir.” Dia pun bertanya kepadanya, lalu dia menjawab, “Ruh-ruh orang-orang mukmin berada di Jabiyah, sedangkan ruh-ruh orang-orang kafir berada di Barahut.”’
Ibnu Mandah menyatakan bahwa riwayat ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lainnya dari ‘Abdul Jalil.
Lalu diriwayatkan pula sebuah hadis dari Sufyan, dari Furat al-Qazzaz, dari Abuth Thufail, dari ‘Ali, dia berkata, “Sebaik-baik sumur di bumi adalah Zamzam. Seburuk-buruk sumur di bumi adalah Barahut. Sebuah sumur di Hadramaut. Sebaik-baik lembah di bumi, yaitu Lembah Mekkah dan lembah yang Adam turun di situ di Hindustan, darinyalah kebaikan kalian. Seburuk-buruk lembah di bumi, yaitu al-Ahqaf yang terletak di Hadramaut yang ke situ semua ruh orang-orang kafir dibawa.
Ibnu Mandah menyatakan bahwa Hammad bin Salamah telah meriwayatkan, dari ‘Ali bin Zaid, dari Yusuf bin Mahran, dari Ibnu “Abbas ra., dari ‘Ali ra., dia berkata, “Tempat yang paling dimurkai di bumi, yaitu sebuah lembah di Hadramaut yang bernama Barahut. Di Situlah tempat ruh orang-orang kafir. Di situ ada sebuah sumur yang airnya hitam di siang hari seperti nanah, kepadanyalah segala binatang pengganggu mencari tempat.”
Kemudian diriwayatkan pula dari jalur Isma‘il bin Ishaq al-Qadhi, “Ali bin “Abdullah menuturkan kepada kami, Sufyan menuturkan kepada kami, Aban bin Taghlub menuturkan kepada kami, dia berkata “Seseorang berkata, “Aku pernah menginap di situ—maksudnya di lembah Barahut—seakan-akan di situ dikumpulkan semua suara many, sia. Mereka semua berucap, “Hai Dimah! Hai Dimah!”
Aban berkata, “Seseorang dari kalangan Ahlu Kitab menuturkan kepada kami bahwa yang dimaksud “dumah” adalah nama malaikat yang berada di atas kepala-kepala orang-orang kafir. Kami pernah bertanya kepada orang-orang Hadramaut, mereka lalu menjawab bahwa tidak ada seorang pun yang sanggup bermalam di tempat itu.”
Demikianlah beberapa dalil yang saya ketahui tentang masalah ini. Apabila yang dimaksud oleh “Abdullah bin “Amr dari penyebutan “Jabiyah”, yaitu sebagai bentuk perumpamaan, yakni bahwa ruh-ruh orang-orang mukmin dikumpulkan di sebuah tempat yang luas seperti di Jabiyah yang luas dan udaranya yang nyaman; maka pengertian seperti itu agak tepat. Akan tetapi, apabila yang dia maksud adalah memang kawasan Jabiyah itu dan bukan tempat mana pun yang lainnya di muka bumi, hal itu tidak dapat diketahui kecuali hanya berdasarkan penjelasan tauqifi. Tampaknya dia (‘Abdullah bin ‘Amr) mengetahui tentang hal ini dari kalangan Ahli Kitab.
Pasal
Adapun mengenai pernyataan orang yang berpendapat bahwa ruh-ruh berkumpul di bumi sebagaimana yang difirmankan Allah swt, dalam ayat,
“Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini diwarisi hamba-hamba-Ku yang saleh.” (QS. al-Anbiya’ [21]: 105);
Apabila orang itu menyampaikan semua itu sebagai bentuk penafsiran terhadap ayat ini, maka sebenarnya pernyataan seperti itu sama sekali bukanlah penafsiran yang benar terhadap ayat tersebut.
Orang-orang berbeda pendapat mengenai “bumi” yang disebutkan dalam ayat tersebut di atas. Sa‘id bin Jubair, dari Ibnu “Abbas ra. menyatakan bahwa yang dimaksud “bumi” (ardh) dalam ayat itu adalah “tanah surga’ (ardh al-jannah). Ini adalah pendapat sebagian besar mufasir.
Telah diriwayatkan sebuah pendapat lain dari Ibnu Abbas ra. yang menyatakan bahwa yang dimaksud oleh ayat ini adalah dunia yang telah Allah taklukkan bagi umat Muhammad saw.
Pendapat inilah yang sahih, sebagaimana ayat pendamping ayat tersebut di atas terdapat dalam Surah an-Nur,
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa…” (QS. an-Nur [24]: 55)
Dalam sebuah hadis sahih dari Rasulullah saw. diriwayatkan beliau bersabda, “Telah ditampakkan kepadaku seluruh bumi timur dan baratnya. Kekuasaan umatku akan mencapai semua yang telah ditampakkan kepadaku dari bumi itu.”
Segolongan mufasir menyatakan bahwa yang dimaksud oleh Hadis-hadis tersebut, yaitu tanah di Baitul Maqdis. Kawasan itu merupakan bagian dari tanah bumi yang Allah akan wariskan kepada hamba-hamba-Nya yang saleh, sementara ayat tersebut di atas tidak secara khusus mengenai kawasan itu.
Pasal
Adapun mengenai pendapat orang yang menyatakan bahwa ruh-ruh orang-orang mukmin berada di “Illiyyun di langit ketujuh, sementara ruh orang-orang kafir berada di Sijjin pada bumi lapisan ketujuh; pendapat seperti itu telah disampaikan oleh sebagian kaum salaf dan khalaf. Dalil yang menunjukkan hal itu adalah sabda Rasulullah saw. menjelang wafatnya beliau, “Wahai Allah ar-Rafiq al-A’la”.
Sebelumnya telah disebutkan hadis-hadis dari Abu Hurairah yg bahwa berbunyi, “Sesungguhnya orang mati apabila nyawanya keluap nyawa itu akan dibawa naik menuju langit hingga mencapai langi, yang di situ ada Allah ‘azza wa jalla.”
Juga telah disebutkan sebelumnya pernyataan Abu Musa ra. bahwa ruh orang-orang mukmin menaiki hingga mencapai Arsy. Dan juga pernyataan Hudzaifah ra. bahwa ruh orang-orang mukmin ditempatkan qj sisi ar-Rahman swt. Dan juga pernyataan “Abdullah bin “Umar bahwa ruh-ruh orang mukmin berada di sisi Allah swt.
Sebelumnya juga telah disebutkan sabda Rasulullah saw, “Sesungguhnya ruh-ruh pada syuhada bertempat ke lentera-lentera di bawah Arsy.” Telah disebutkan pula sebelumnya hadis-hadis dari Barra’ bin ‘Azib, “Ruh-ruh itu naik dari satu langit ke langit, lalu dar; setiap langit itu datang kepadanya muqarrabin sampai berakhir dj langit ketujuh.” Ada pula lafal yang berbunyi, “… menuju langit yang qj situ ada Allah ‘azza wa jalla.”
Akan tetapi, semua dali] ini tidak menunjukkan bahwa ruh-ruh tersebut terus-menerus dan selalu berada di tempat yang disebutkan dalam berbagai dalil itu. Alih-alih, ruh-ruh itu dibawa naik menuju ke sana untuk ditunjukkan kepada Allah ‘azza wa jalla, lalu Dia menetapkan putusan-Nya terhadap ruh-ruh itu dengan mencatatkan catatan bagi ruh-ruh tersebut: Apakah akan termasuk penghuni “illiyyan ataukah termasuk penghuni Sijjin. Setelah itu, ruh-ruh itu akan dikembalikan ke kuburan mereka masing-masing untuk ditanyai oleh malaikat. Setelah itu ruh-ruh tersebut akan kembali ke tempat mereka yang di situ mereka ditempatkan.
Ruh-ruh orang-orang mukmin berada di illiyyun sesuai dengan kedudukan mereka masing-masing. Sedangkan ruh orang-orang kafir berada di dalam Sijjin juga sesuai dengan kedudukan mereka masing-masing.
Pasal
Adapun mengenai pendapat orang yang menyatakan bahwa ruh-ruh orang-orang mukmin berkumpul di sumur Zamzam, sebenarnya tidak ada dalil yang menunjukkan kebenaran pendapat seperti itu, baik dalil yang berasal dari al-Quran maupun sunah yang mengharuskan kita menerimanya. Bahkan pendapat seperti itu tidak didasarkan pada pendapat sahabat Rasulullah saw. yang dapat dipercaya. Pendapat seperti itu tidaklah benar karena sumur Zamzam tidak akan muat untuk menampung seluruh ruh orang-orang mukmin. Dan lagi, pendapat seperti ini bertentangan dengan pendapat Tsabit dari sunah yang secara gamblang telah menyatakan bahwa nyawa orang mukmin adalah burung yang makan dan bergelantung di pepohonan surga.
Simpulannya, pendapat seperti ini (yaitu pendapat yang menyatakan bahwa ruh orang-orang mukmin dikumpulkan di sumur Zamzam penj.) adalah pendapat yang paling batil dan paling rusak karena pendapat ini lebih rusak daripada pendapat orang yang menyatakan bahwa suh orang mukmin berada di Jabiyah karena Jabiyah adalah sebuah daerah yang luas dan lapang, tidak seperti sumur yang sempit.
Pasal
Adapun mengenai pendapat orang yang menyatakan bahwa ruh-ruh orang-orang mukmin berada di dAlam Barzakh di bumi tetapi dapat bepergian ke mana pun sekehendaknya; pendapat seperti ini telah diriwayatkan dari Salman al-Farisi.
Pengertian “Barzakh” itu sendiri adalah “batas pemisah antara dua buah sesuatu”. Jadi, sepertinya yang dimaksud oleh Salman yaitu ruh-ruh orang-orang mukmin berada di bumi tetapi di antara dunia dan akhirat. Di situ ruh-ruh mereka bebas bergerak dan dapat bepergian ke mana pun sekehendak mereka.
Ini merupakan sebuah pendapat yang kuat, sebab ruh orang mati memang telah terpisah dari dunia, tetapi belum masuk ke akhirat, melainkan berada di “kawasan perbatasan” (Barzakh) antara keduanya. Ruh orang-orang mukmin berada di Barzakh yang luas yang di situ terdapat kenyamanan, wewangian, dan kenikmatan. Sedangkan ruh orang-orang kafir berada di Barzakh yang sempit yang di situ terdapat kegundahan dan siksa.
Allah swt. berfirman,
“Dan di hadapan mereka ada dinding (Barzakh) sampai hari mereka dibangkitkan,” (QS. al-Mu‘minun [23]: 100)
Kata “Barzakh” dalam ayat ini maksudnya adalah sesuatu yang ada di antara dunia dan akhirat. Adapun makna asli dari kata Barzakh adalah “batas pemisah antara dua buah sesuatu” (al-hdjiz baina syaiain).
Pasal
Adapun mengenai pendapat orang yang menyatakan bahwa ruh-ruh orang-orang mukmin berada di sebelah kanan Nabi Adam as sementara ruh-ruh orang-orang kafir berada di sebelah kiri Nabi Adam, as. sungguh demi Allah pendapat ini merupakan sebuah pendapat yang didukung oleh hadis-hadis sahih. Hadis-hadis yang dimaksud yaitu hadis-hadis yang menjelaskan tentang peristiwa Isra’. Dalam hadis-hadj, itu disebutkan bahwa Rasulullah saw. melihat mereka dalam keadaan seperti itu (maksudnya, ruh kaum mukmin di kanan Adam as. dan ruh kaum kafir di kiri Adam as.—Penj.). Akan tetapi, sebenarnya hal itu tidak dapat menjadi dalil yang menunjukkan bahwa ruh-ruh itu berada seimbang di sebelah kanan dan di sebelah kiri. Alih-alih, ruh-ruh yang ada di sebelah kanan Adam as. itu berada dalam ketinggian dan kelapangan, sedangkan ruh-ruh yang ada di sebelah kiri Adam as. berada dalam kerendahan dan keterpenjaraan.
Abu Muhammad bin Hazm menyatakan bahwa itulah “Barzakh” yang dilihat oleh Rasulullah saw. pada malam ketika beliau mengalamj perjalanan Isra’ di langit dunia. Dia menyatakan bahwa itu terjadi pada tempat terputusnya segala unsur. Dia menyatakan bahwa Hadis-hadis itu menjadi dalil yang menunjukkan bahwa ruh-ruh manusia ada dj tempat itu di bawah langit di mana segala unsur terputus. Adapun yang dimaksud “unsur” di sini adalah air, tanah, api dan udara.
Dia (Ibnu Hazm) selalu menyalahkan siapa pun yang menyampaikan suatu pendapat yang tidak dilandasi oleh dalil. Jadi apakah kiranya dalil yang dimilikinya dari Kitabullah dan sunah yang menjadi dasar pendapatnya ini?
Di bagian mendatang akan dibahas lebih lanjut tentang pendapatnya (Ibnu Hazm) pada bagian yang nanti insyaallah kita akan sampai ke situ.
Apabila ada yang menyatakan bahwa jika ruh-ruh orang-orang berbahagia berada di sebelah kanan Nabi Adam as., sementara Adam as. berada di langit dunia, padahal telah dapat dipastikan bahwa ruh-ruh para syuhada berada di bawah naungan Arsy dan Arsy Allah pasti berada di atas langit ketujuh; jadi bagaimanakah kiranya ruh-ruh itu bisa berada di sebelah kanan Adam as.? Dan bagaimana pula Rasulullah saw. dapat melihat ruh-ruh tersebut berada di langit dunia? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu dapat disampaikan melalui beberapa sisi sebagai berikut:
Pertama: Tidaklah keberadaan ruh-ruh mukimin di sebelah kanan Adam as. dapat menghalangi posisi mereka di ketinggian, sebagaimana Keberadaan ruh-ruh kau sengsara di sebelah kiri Adam as. juga tidak dapat menghalangi tempat mereka di kerendahan.
Kedua: Kondisi itu juga tidak dapat menghalangi ruh-ruh tersebut untuk dapat dilihat oleh Rasulullah saw. di langit dunia, walaupun tempat tinggal mereka yang sebenarnya adalah di atas tempat itu.
Ketiga: Rasulullah saw. tidak pernah mengabarkan bahwa beliau melihat semua ruh kalangan bahagia (kaum mukmin) di tempat itu (bersama Adam as.). Alih-alih beliau hanya bersabda, “Ternyata di sebelah kanannya banyak orang-orang dan di sebelah kirinya banyak orang-orang.” Dan telah diketahui secara pasti bahwa ruh Ibrahim as. dan Musa as. berada di atas tempat itu (bersama Adan as.), yaitu di langit keenam dan langit ketujuh. Begitu pula halnya ar-Rafiq al-A’la ruh-ruh mereka juga berada di atas tempat itu karena ruh-ruh kalangan bahagia memang berbeda antara yang satu di atas yang lain sesuai dengan tempat mereka masing-masing. Sebagaimana halnya ruh-ruh kalangan sengsara berbeda-beda antara yang satu di bawah yang lain sesuai dengan tempat mereka masing-masing. Wallahu a’lam.
Pasal
Adapun mengenai pendapat Ibnu Hazm yang menyatakan bahwa tempat ruh-ruh manusia adalah di tempat mereka masing-masing sebelum jasad-jasad mereka diciptakan, dia mendasarkan pendapatnya ini di atas mazhab yang dipilihnya; yaitu bahwa ruh-ruh manusia diciptakan sebelum penciptaan jasad-jasad.
Berkenaan dengan masalah ini, orang-orang memiliki dua pendapat. Sebagian besar mereka menyatakan bahwa ruh-ruh diciptakan setelah jasad-jasad.
Mereka yang menyatakan bahwa ruh-ruh diciptakan sebelum jasad, mereka tidak memiliki dalil apa pun dari Kitabullah, sunah ataupun ijmak; selain hanya hasil pemahaman mereka atas nas-nas yang tidak dapat menjadi dalil yang menunjukkan pendapat itu atau pemahaman atas hadis-hadis yang tidak sahih.
Contohnya adalah hujah yang digunakan oleh Abu Muhammad bin Hazm ketika menggunakan dalil ayat, “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
“Bukankah Aku ini Tuhan kalian?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kam, (bani Adam) merupakan orang-orang yang lengah terhadap ini,” (Qs al-A’raf [7]: 172)
Dan firman Allah swt., “Sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian, lalu Kami bentuk tubuh kalian, kemudian Kami katakan kepada para malaikat: “Bersujudlah kalian kepada Adam”; maka mereka pun bersujud kecuali iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud,” (QS. al-A’raf [7]: 11)
Dia (Ibnu Hazm) menyatakan bahwa adalah benar bahwa Allah swt. telah menciptakan semua ruh (arwah) secara sekaligus. Itulah “nafs” sebagaimana yang dikabarkan oleh Rasulullah saw., “Sesungguhnya ruh-ruh itu adalah seperti pasukan yang dikerahkan. Lalu siapa pun yang saling mengenal di antara mereka, mereka akan bersatu; dan siapa pun yang saling mengingkari di antara mereka, mereka akan berselisih.”
Dia (Ibnu Hazm) menyatakan bahwa Allah swt. lalu mengambil janji dan kesaksian dari mereka semua, ketika mereka sudah dalam kondisi “tercipta” (makhligah), “berbentuk” (mushawwarah), dan “berakal” (‘aqilah) sebelum Allah memerintahkan para malaikat untuk bersujud kepada Adam as. dan sebelum Allah memasukkan ruh-ruh itu ke dalam jasad-jasad mereka masing-masing. Pada saat itu, “jasad” semua manusia masih berwujud tanah (turab).
Dia (Ibnu Hazm) menyatakan bahwa alasan munculnya pendapat itu yaitu karena Allah swt. menggunakan lafal “kemudian” (tsumma) yang menunjukkan adanya urutan dan tahapan. Setelah itu Allah swt. akan mengukuhkan ruh-ruh tersebut di mana pun sekehendak-Nya; yaitu Barzakh yang ruh akan kembali ke situ ketika kematian datang.
Dalam penjelasan ini kami akan memaparkan dalil yang dapat dijadikan sebagai sandaran di saat menjawab pertanyaan orang yang menanyakan ihwal arwah, apakah ruh-ruh diciptakan bersama badan ataukah sebelumnya? Apabila yang dimaksud di sini adalah tempat menetap ruh-ruh manusia setelah kematian terjadi.
Pernyataannya (Ibnu Hazm) bahwa ruh-ruh tinggal di Barzakh yang di situlah tempat ruh-ruh itu sebelum jasad-jasad diciptakan dilandaskan pada keyakinan yang diyakininya ini.
Pernyataannya (Ibnu Hazm) bahwa ruh-ruh kalangan bahagia berada di sebelah kanan Adam as. dan ruh-ruh kalangan sengsara berada di sebelah kiri Adam as. memang benar adanya sebagaimana yang dikabarkan oleh Rasulullah saw.
Pernyataannya (Ibnu Hazm) bahwa itu terjadi di tempat terputusnya segala unsur, tidak berlandaskan dalil apa pun juga baik yang bersumber dari Kitabullah maupun sunah. Bahkan pendapat seperti itu mirip dengan pendapat orang-orang non-muslim. Hadis-hadis sahib telah menunjukkan bahwa ruh-ruh manusia berada di atas segala unsur karena mereka ada di surga di sisi Allah ta’ala. Dalil-dalil dari al-Quran juga menunjukkan hal yang sama.
Abu Muhammad (Ibnu Hazm) telah bersepakat bahwa ruh-ruh para syuhada berada di dalam surga. Sementara itu telah diketahui bahwa kaum Shiddiqin lebih utama daripada para syuhada. Jadi, bagaimana mungkin ruh Abu Bakar Shiddigq, “Abdullah bin Mas‘ud, Abu Darda’, Hudzaifah bin Yamna dan para sahabat Rasulullah lainnya yang seperti mereka, dapat berada di tempat terputusnya segala unsur, padahal tempat itu berada di bawah Cakrawala Terendah (al-falak al-adna) dan juga di bawah langit dunia, sementara ruh-ruh para syuhada dari zaman kita saat ini dan lainnya berada di atas segala unsur itu dan juga di atas seluruh langit?
Adapun mengenai pernyataannya bahwa Muhammad bin Nashr al-Marwazi telah menyatakan sebuah riwayat dari Ishaq bin Rahawaih bahwa dia telah menuturkan pendapat kami ini. Dia menyatakan bahwa dalil ini menjadi landasan bagi semua ulama dan merupakan pendapat seluruh umat Islam.
Saya menyatakan bahwa Muhammad bin Nashr al-Marwazi telah menyebutkan beberapa atsar dalam Kitab ar-Radd ‘ala Ibn Qutaibah dalam penjelasan mengenai tafsir firman Allah, “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhan kalian?” (QS. al-A’raf [7]: 172)
Yaitu atsar yang dituturkan oleh kalangan salaf yang menjelaskan tentang dikeluarkannya keturunan Adam as. dari sulbi Adam as.
Kemudian dilanjutkan dengan diambilnya perjanjian dari mereka dan dikembalikannya mereka ke dalam sulbi Adam as.
Terdapat pula penjelasan tentang keluarnya semua keturunan Adam as. itu seperti benih dan bahwa Allah swt. membagi mereka Pada Saat itu menjadi golongan bahagia dan golongan sengsara. Allah swt. juga menuliskan ajal, rezeki, dan amal perbuatan mereka berikut segala kebaikan dan keburukan yang menimpa mereka.
Setelah itu, dia (Ibnu Hazm) menyatakan bahwa Ishaq berkata bahwa para ulama telah bersepakat bahwa ruh-ruh diciptakan sebelum penciptaan jasad karena Allah lalu meminta mereka bicara, mempersaksikan mereka atas diri mereka dengan ucapan-Nya “Bukankah Aku Tuhan kalian?” (alastu birabbikum?). Lalu ruh-ruh itu berkata,
“Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini” (QS. al-A’raf [7]: 172)
Atau mereka berkata, “Sesungguhnya nenek moyang kami yang terdahulu telah berbuat syirik.”
Ini adalah nas pernyataannya. Dan seperti yang dapat anda lihat, pernyataan-pernyataannya itu tidak dapat menunjukkan bahwa tempat tinggal ruh-ruh manusia seperti yang disebutkan oleh Abu Muhammad, yaitu di tempat terputusnya segala unsur karena sesuatu apa pun. Bahkan pernyataannya itu tidak dapat menjadi dalil yang menunjukkan bahwa ruh-ruh manusia tercipta sebelum jasad-jasad mereka diciptakan. Alih-alih pernyataannya itu justru menunjukkan bahwa Allah swt. pada saat itu mengeluarkan mereka, lalu mengajak mereka bicara. Setelah itu Allah swt. mengembalikannya ke dalam sulbi Adam as.
Berkenaan dengan pendapat ini, walaupun ada beberapa golongan dari kalangan salaf dan khalaf yang berpendapat seperti itu, namun pendapat yang benar adalah pendapat yang lain sebagaimana yang akan Anda ketahui, insyaallah. Akan tetapi karena tujuan menjawab pertanyaan ini adalah untuk membicarakan tentang arwah, apakah ruh-ruh sudah diciptakan sebelum jasad ataukah belum sehingga apabila semua ini diserahkan kepada Abu Muhammad, di dalamnya tetap tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa tempat menetap ruh-ruh manusia adalah di tempat terputusnya segala unsur dan tidak pula bahwa itu adalah tempat awal bagi ruh-ruh tersebut.
Pasal
Adapun mengenai pernyataan orang yang berpendapat bahwa tempat ruh-ruh adalah di ketiadaan mutlak (al-’adam al-mahdh); ini merupakan pendapat orang yang menyatakan bahwa ruh-ruh merupakan salah satu tampilan (‘aradh) di antara berbagai tampilan tubuh, yaitu daya hidup (hayah). Ini adalah pendapat al-Baqillani dan orang-orang yang mengikuti pendapatnya.
Demikian pula dinyatakan oleh Abu Hudzail al-’Allaf bahwa jiwa (nafs) merupakan sebuah tampilan (‘aradh) di antara berbagai tampilan yang ada. Akan tetapi, dia tidak menyebutkan bahwa “jiwa” adalah “hidup” (hayah), seperti yang dilakukan oleh Baqillani. Lalu dia menyatakan bahwa jiwa (nafs) adalah salah satu tampilan (‘aradh) seperti semua tampilan jisim lainnya. Menurut mereka, apabila jisim atau tubuh mengalami kematian, ruhnya “meniada” sebagaimana seluruh tampilan jisim yang keberadaannya menjadi syarat kehidupan juga menjadi tiada.
Di antara ada yang menyatakan bahwa tampilan (‘aradh) tidak mungkin berada pada dua waktu sekaligus seperti yang dinyatakan oleh mayoritas kalangan Asy’ariyah. Di antara pernyataan mereka adalah bahwa ruh manusia “saat ini’? bukanlah ruh manusia tersebut “sebelumnya” karena kalau memang demikian maka tidaklah mungkin terpisah kejadian yang adanya baginya satu ruh lalu ruh itu berubah, lalu ada satu ruh lagi yang kemudian berubah lagi. Demikian seterusnya untuk selamanya sehingga bagi satu individu akan terjadi pergantian seribu ruh atau lebih dalam satu saat di dalam rentang masa atau kurang dari itu.
Apabila individu yang bersangkutan mati, tidak akan ada ruh yang naik ke langit lalu kembali ke kuburnya dan direngkuh oleh para malaikat yang mereka bukakan bagi ruh tersebut gerbang-gerbang langit, sebagaimana pula tidak ada ruh yang diberi nikmat dan tidak pula diberi siksaan karena yang diberi nikmat dan ditimpa siksa adalah badan. Apabila Allah swt. berkehendak untuk memberi kenikmatan atau menimpakan siksa terhadap individu tertentu, Dia akan mengembalikan kehidupan kepada individu tersebut pada waktu yang Dia kehendaki Sebagai saat pemberian nikmat atau penimpaan siksa. Jika tidak seperti itu, tidak ada ruh sama sekali di situ (jasad individu yang bersangkutan) yang berada bersama jiwa individu tersebut.
Sebagian dari kalangan yang berpendapat seperti ini menyatakan bahwa kehidupan dikembalikan ke Tulang Ekor (‘ajb adz-dzanab) dan itulah yang akan ditimpa siksa atau diberi nikmat. Tentu saja pendapat seperti ini ditolak oleh al-Quran, sunah, ijmak para sahabat, dalil akal, dan dalil fitrah.
Ini merupakan pendapat orang yang tidak mengenal ruhnya, apa. lagi ruh orang lain. Allah swt. telah berbicara dengan jiwa (mafs) untuk “kembali”, “masuk” dan ‘keluar”. Nas-nas yang sahih telah secara gamblang menyatakan bahwa ruh dapat naik dan turun, direngkuh, dan dipegang, dilepaskan dan dibukakan baginya gerbang-gerbang langit dan ia juga dapat bersujud serta berbicara. Ruh dapat keluar mengalir seperti mengalirkan aliran air, serta dapat dikafani dan diberi wewangian menggunakan kafan dari surga atau dari neraka. Dinyatakan pula bahwa Malaikat Maut dapat mencabut ruh itu menggunakan tangannya, kemudian para malaikat lain mengambilnya dari tangan Malaikat Maut. Dari ruh itu juga dapat tercium aroma harum yang lebih semerbak daripada kesturi atau bau yang lebih busuk daripada bangkai. Ruh dapat dibawa dari satu langit ke langit, kemudian dikembalikan ke bumi bersama para malaikat. Apabila ruh itu keluar, pandangan orang yang bersangkutan akan melihatnya, sehingga dia dapat melihat ruh itu keluar. Al-Quran menunjukkan bahwa ruh dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain hingga geraknya mencapai tenggorokan.
Semua dalil yang kami sampaikan yang menunjukkan tentang pertemuan dan perkenalan antar ruh, serta bahwasanya ruh-ruh laksana pasukan yang dikerahkan dan berbagai dalil lainnya, telah membatalkan pendapat tersebut di atas. Rasulullah saw. telah: menyaksikan ruh-ruh manusia di malam Isra’ berada di sebelah kanan dan sebelah kiri Nabi Adam as.. Rasulullah saw. juga mengabarkan bahwa nyawa orang mukmin burung yang makan di pepohonan surga, serta bahwa ruh-ruh para syuhada berada di dalam tembolok burung hijau. Allah swt. mengabarkan bahwa ruh-ruh para pengikut Fir’aun selalu ditunjukkan neraka kepada mereka di setiap pagi dan petang.
Ketika bantahan itu disampaikan kepada al-Baqillani, ternyata dia bersikeras untuk menjawab. Dia berkata bahwa tampaknya pendapat itu muncul dari salah satu di antara dua sisi: pertama, ruh merupakan tampilan (‘aradh) kehidupan yang diletakkan pada bagian terkecil dari bagian-bagian tubuh. Atau kedua, akan diciptakan bagi kehidupan dengan kenikmatan dan siksaan itu sebuah jasad yang baru.
Tentu saja pendapat ini benar-benar rusak jika ditilik dari berbagai sisi.
Adakah pendapat yang lebih rusak dibandingkan pendapat orang yang menyatakan bahwa ruh manusia merupakan sebuah tampilan di antara berbagai tampilan yang ada sehingga ia terus berubah dari waktu ke waktu sebanyak ribuan kali? Yang apabila tampilan itu berpisah dari individu yang bersangkutan, maka tidak ada ruh lagi pada individu itu yang dapat menikmati kenikmatan ataupun merasakan siksaan. la tidak dapat naik dan tidak dapat turun. Ia tidak dapat ditahan dan tidak dapat dilepaskan.
Ini merupakan sebuah pendapat yang bertentangan dengan akal sehat, nas-nas Kitabullah, sunah, dan fitrah. Ini adalah pendapat orang yang tidak mengenal dirinya sendiri.
Di bagian mendatang akan disampaikan beberapa bukti yang menunjukkan kebatilan pendapat ini yang akan disampaikan dalam jawaban atas masalah ini, insyaallah. Pendapat ini merupakan sebuah pendapat yang tidak pernah disampaikan oleh siapa pun dari kalangan salaf umat ini dari kalangan sahabat, tabiin, dan para imam kaum muslimin.
Pasal
Adapun mengenai pernyataan orang yang berpendapat bahwa tempat ruh-ruh setelah kematian terjadi adalah di dalam tubuh-tubuh lain yang berbeda dari tubuh-tubuh mereka di dunia; pendapat seperti ini mengandung kebenaran, tapi juga mengandung kebatilan.
Bagian yang benar dari pendapat ini adalah bagian yang dikabarkan oleh Rasulullah ash-Shadiq al-Mashdiiq saw. mengenai ruh-ruh para syuhada; bahwasanya ruh-ruh mereka berada di dalam tembolok burung hijau yang hinggap di lentera-lentera yang tergantung di Arsy. Lentera-lentera itu bagaikan sarang bagi burung-burung tersebut. Rasulullah saw. secara gamblang menyatakan dalam sabda beliau, “Allah menempatkan ruh-ruh mereka di dalam rongga tubuh burung hijau.”
Adapun sabda Rasulullah saw. yang berbunyi, “Nyawa orang mukmin adalah burung yang makan (atau bergelantung) di pepohonan surga”, mengandung kemungkinan pengertian bahwa burung tersebut menjadi kendaraan bagi ruh sebagaimana layaknya badan baginya. Hal itu terjadi bagi sebagian dari kaum mukminin dan para syuhada. Akan tetapi, mungkin pula pengertian dari sabda Rasulullah itu, yaitu bahwa ruh menjelma dalam wujud burung. Pendapat ini dipilih oleh Abu Muhammad bin Hazm dan Abu ‘Umar bin ‘Abdul Barr.
Pernyataan Abu ‘Umar dan bantahan terhadap pendapatnya telah kami sampaikan di bagian yang lalu.
Adapun pendapat Ibnu Hazm; dia menyatakan bahwa pengertian dari sabda Rasulullah saw., “Nyawa orang mukmin adalah burung yang makan (atau bergelantung)” adalah sebagaimana pengertian lahiriahnya, bukan seperti dugaan orang-orang dungu. Rasulullah saw. mengabarkan bahwa nyawa orang mukmin adalah burung yang makan (atau bergelantung) dan itu berarti bahwa ruh orang mukmin dapat terbang di dalam surga, bukan bahwa ruh itu menjelma dalam wujud burung.
Dia (Ibnu Hazm) menyatakan bahwa apabila muncul pernyataan bahwa “nasamah” adalah kata berbentuk feminin (mu‘annats), kami akan menyatakan bahwa sebuah cerita yang sahih telah disampaikan tentang seorang Arab yang fasih berkata, “Suratku telah sampai padamu!” (atatka kitabi) dan dia menggunakan verba feminin (fi’il muannats) “atat” untuk menyebut “kitab” yang merupakan kata maskulin (ism mudzakkar).
Orang yang menjadi lawan bicara si Arab fasih itu pun balik bertanya, “Apakah engkau menjadikan feminin kata “kitab?”
Orang Arab fasih itu balik bertanya, “Bukankah surat itu isinya lembaran (shahifah)?”
Demikianlah pula halnya dengan kata “nasamah” (berbentuk feminin) yang berarti “rah” (berbentuk maskulin), sehingga kata nasamah itu pun diubah menjadi maskulin disebabkan hal itu.
Dia (Ibnu Hazm) menyatakan bahwa adanya tambahan di dalam dalil tersebut di atas yang menyebutkan bahwa ruh-ruh itu “berada di dalam tembolok burung hijau”, sebenarnya itu merupakan penjelasan tentang sifat lentera-lentera yang menjadi tempat hinggap burung-burung tersebut. Kedua hadis-hadis itu sebenarnya adalah satu Hadis-hadis tunggal.
Tentu saja, apa yang dinyatakan olehnya (Ibnu Hazm) merupakan pendapat yang sangat rusak baik dari segi lafalnya maupun pengertiannya karena sebenarnya hadis, “Nyawa orang mukmin adalah burung yang makan (atau bergelantung) di pepohonan surga” bukanlah Hadis-hadis “Ruh-ruh para syuhada berada di dalam tembolok burung hijau.”
Adapun apa yang dijelaskannya itu tampaknya berkaitan dengan hadis-hadis pertama. Adapun hadis-hadis yang kedua, sama sekali tidak ada kemungkinan pengertian seperti itu karena Rasulullah saw. mengabarkan bahwa sub-ruh mereka berada di dalam tembolok burung; atau dinyatakan pula dengan kalimat, “…berada dalam rongga tubuh burung hijau”; atau dinyatakan pula dengan kalimat, “…burung putih”. Kemudian Rasulullah saw. mengabarkan bahwa burung tersebut berhilir mudik di dalam surga, Makan dari buah-buahannya, minum dari sungai-sungainya, lalu mereka hinggap di lentera-lentera yang bergantungan di bawah Arsy, sehingga lentera-lentera itu bagaikan sarang bagi burung-burung itu.
Jadi, pernyataannya (Ibnu Hazm) bahwa tembolok burung-burung itu merupakan sifat lentera-lentera yang dihinggapinya adalah sebuah kesalahan yang parah! Karena sebenarnya lentera-lentera itu merupakan tempat hinggap burung-burung tersebut.
Sampai di sini, ada tiga perkara yang dijelaskan secara gamblang oleh hadis-hadis di atas, yaitu: 1. Arwah, 2. Burung yang ruh-ruh tersebut ada di dalam rongga tubuhnya, dan 3. Lentera-lentera yang menjadi tempat hinggap burung-burung tersebut.
Lentera-lentera yang disebutkan dalam hadis-hadis itu tetap berada di bawah Arsy dan tidak dapat berhilir mudik. Burung-burung itu dapat berhilir mudik ke sana ke mari. Sementara itu, ruh-ruh itu berada di dalam rongga tubuh burung-burung itu.
Apabila dikatakan bahwa ada kemungkinan pengertian bahwa jiwa (nafs)-lah yang menjelma menjadi wujud burung, bukan bahwa ia berada di dalam tubuh burung, berdasarkan firman Allah swt.,
“Dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu.” (QS. al-Infithar [82]: 8)
Dan hal itu ditunjukkan oleh sabda Rasulullah saw. dalam lafal yang lain, “Ruh-ruh mereka seperti burung hijau”. Seperti itulah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Syaibah, Abu Mu’awiyah menuturkan kepada kami, dari A’masy, dari “Abdullah bin Murrah, dari Masruq, dari ‘Abdullah. Abu “Umar menyatakan, “Pendapat yang tepat menurutku-wallahu a’lam-adalah bahwa pernyataan orang yang berpendapat bahwa “seperti burung” (ka-thair) artinya adalah “berbentuk burung” (shuwar thair) disebabkan kecocokannya dengan hadis-hadis yang telah disebutkan, yaitu hadis-hadis dari Ka‘b bin Malik yang menuturkan tentang nyawa (nasamah) orang mukmin.
Jika ada yang menyatakan seperti itu, jawabannya yaitu hadis-hadis, tersebut memang telah diriwayatkan dengan menggunakan dua kalimat tersebut. Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam, kitab ash-Sahih, dari hadis-hadis riwayat A’masy, dari Masruq berbunyi “Ruh-ruh mereka berada di dalam rongga tubuh burung hijau”. Hadis-hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu “Abbas dan Ka’b bin Malik Hadis-hadis mereka berdua tidak berikhtilaf bahwa ruh-ruh itu berada di dalam rongga tubuh burung hijau (fi ajwaf thair khudhr).
Adapun hadis-hadis Ibnu ‘Abbas ra. berbunyi: ‘Utsman bin Aby Syaibah menyatakan, ‘Abdullah bin Idris menuturkan kepada kanji, dari Muhammad bin Ishaq, dari Isma‘il bin Umayyah, dari Abu Zubair, dari Said bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Ketika saudara-saudara kalian gugur (maksudnya dalam Perang Uhud) Allah swt. menempatkan ruh-ruh mereka di rongga tubuh burung hijau yang minum dari sungai-sungai surga dan makan dari buah-buahannya. Mereka hinggap di lentera-lentera emas yang bergan. tungan di naungan Arsy. Ketika mereka mendapati semerbak minuman dan makanan serta keindahan tempat tidur mereka, mereka pun ber. kata, “Siapakah yang dapat menyampaikan kepada saudara-saudara kami bahwa kami semua hidup di dalam surga dengan dilimpahi rezeki, agar mereka tidak lari dari peperangan dan tidak menghindari Jihad?” Allah swt. lalu berfirman, “Aku akan menyampaikan ucapan kalian itu kepada mereka.” Allah lalu menurunkan ayat,
“Janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhan mereka dengan mendapat rezeki.” (QS. Ali Imran [3]: 169)
Adapun Hadis-hadis Ka‘b bin Malik yang termaktub dalam keempat kitab Sunan dan kitab Musnad karya Imam Ahmad dengan lafal dari riwayat Tirmidzi, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya ruh-ruh para syuhada berada dalam burung hijau yang makan (atau bergelantung) di buah-buahan surga atau pepohonan surga.” Tirmidzi menyatakan bahwa status hadis-hadis ini hasan sahih.
Tidak ada mudarat apa pun dalam hal ini. Ia tidak melanggar kaidah syariat apa pun dan tidak bertentangan dengan nas mana pun dari Kitabullah ataupun sunah Rasulullah saw. Alih-alih hal ini merupakan bentuk kesempurnaan pemuliaan Allah swt. bagi para syuhada dengan mengganti tubuh-tubuh mereka yang telah dirusak oleh musuh-musuh Allah, dengan tubuh-tubuh baru yang lebih baik dari tubuh lama mereka yang tubuh-tubuh baru itu menjadi “kendaraan” bagi ruh-ruh mereka demi tercapainya kenikmatan mereka dengan tubuh-tubuh baru jtu. Kelak ketika Hari Kiamat tiba, Allah akan mengembalikan ruh-ruh mereka ke badan-badan yang dulu menjadi tempat ruh-ruh mereka ketika masih hidup di dunia.
Apabila ada yang mengatakan bahwa pendapat seperti ini menunjukkan paham reinkarnasi dan menitisnya arwah ke dalam tubuh yang bukan tubuh mereka, maka jawaban atas pernyataan itu, yaitu sebagai berikut:
Pengertian ini telah ditunjukkan oleh sunah yang jelas sebagai sebuah kebenaran yang wajib diyakini. Pengertian ini tidak dapat dianggap batil hanya karena disebut sebagai paham reinkarnasi. Hal ini sama dengan sifat-sifat Allah swt. yang telah ditunjukkan oleh dalil aqli dan dalil naqli, serta nama-nama-Nya yang disebut al-asma’ al-husna, semuanya semata-mata merupakan kebenaran yang tidak dapat dianggap batil hanya karena dituduh oleh kalangan sesat yang menyebut hal itu sebagai tarkib dan tajsim.
Kalangan sesat itu menyebut bahwa Arsy Allah tabaraka wa ta‘ala “bertempat” dan “berarah”, dengan tujuan agar dengan itu mereka dapat mencapai penafian terhadap ketinggian-Nya atas segenap makhluk-Nya dengan persemayaman-Nya di atas arsy-Nya.
Hal ini sama dengan tindakan kaum Syi’ah Rafidhah yang menyebutkan kesyi‘ahan semua sahabat Rasulullah saw. dengan kecintaan dan doa bagi mereka semua. Atau seperti tindakan aliran Qadariyah Majusiyah yang menyebut takdir sebagai pemaksaan. Padahal hakikat segala sesuatu bukan pada penyebutannya, melainkan pada hakikatnya.
Yang ingin saya sampaikan dengan penjelasan di atas yaitu untuk Menunjukkan bahwa penyebutan terhadap apa yang ditunjukkan oleh sunah yang jelas bahwa ruh-ruh para syuhada berada di dalam rongga burung hijau itu dengan istilah “‘reinkarnasi” tidak dapat menggugurka, pengertian ini karena reinkarnasi yang batil adalah seperti apa yang di nyatakan oleh musuh-musuh para rasul dari kalangan kafir dan lainnya yang semuanya mengingkari adanya akhirat; yaitu dengan menyatakan bahwa ruh-ruh manusia setelah terpisah dari badannya akan berpindah ke jasad berbagai jenis binatang, serangga dan unggas yang sesuai dan bentuknya menggambarkan ruh yang bersangkutan.
Apabila ruh-ruh manusia telah berpisah dari jasad-jasad mereka mereka akan berpindah ke tubuh-tubuh binatang itu untuk merasakan nikmat atau menerima siksa. Setelah itu, ruh-ruh tersebut akan berpisah lagi dari tubuh-tubuh binatang itu untuk berpindah lagi ke tubuh-tubuh lain yang sesuai dengan perbuatan dan akhlak ruh-ruh yang bersangkutan. Dan demikian seterusnya. Itulah “tempat kembali” bagi semua ruh menurut mereka, sebagai bentuk pemberian nikmat atau siksa bag; ruh-ruh tersebut. Tidak ada “tempat kembali” bagi ruh-ruh itu selain hanya dengan bentuk seperti itu. Inilah “reinkarnasi” yang batil dan bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh semua rasul dan nabi dari yang paling pertama sampai yang paling terakhir. Keyakinan seperti ini adalah bentuk kekufuran kepada Allah dan Hari Akhir.
Kelompok ini menyatakan bahwa tempat tinggal ruh-ruh setelah terpisah dari badan-badan mereka, berada di dalam tubuh binatang yang sesuai dengan ruh yang bersangkutan. Ini merupakan pendapat yang paling batil dan busuk.
Di bawah mereka adalah pendapat orang yang menyatakan bahwa ruh-ruh manusia akan musnah begitu saja dengan terjadinya kematian sehingga tidak ada ruh apa pun yang akan mengenyam nikmat atau merasakan azab. Alih-alih, kenikmatan dan siksa akan dirasakan oleh seluruh atau sebagian anggota tubuh; baik bagian tubuh itu adalah Tulang Ekor maupun bagian yang lain. Allah menciptakan sakit dan nikmat di dalamnya. Atau kenikmatan dan siksa akan dirasakan dengan dikembalikannya kehidupan kepadanya seperti yang dinyatakan oleh sebagian pengikut pendapat ini; atau dengan tanpa dikembalikannya kehidupan kepadanya, menurut pendapat sebagian yang lain dari mereka. Jadi, menurut mereka tidak ada azab apa pun di dAlam Barzakb kecuali hanya terhadap jasad.
Sementara itu yang menjadi tandingan mereka, yaitu orang yang menyatakan bahwa ruh tidak dikembalikan ke dalam jasad dengan cara apa pun juga dan tidak memiliki hubungan lagi dengannya. Azab dan nikmat hanya akan dirasakan oleh ruh.
Sunah yang jelas dan mutawatir telah menolak pendapat kelompok yang pertama dan kelompok yang kedua. sunah menjelaskan bahwa siksa akan ditimpakan kepada ruh dan juga jasad dalam kondisi keduanya persatu dan sendiri-sendiri.
Apabila ada yang bertanya, “Anda telah menjelaskan tentang berbagai pendapat orang-orang tentang tempat menetap dan tempat diambilnya arwah manusia. Jadi, yang manakah pendapat yang paling tepat di antara semua pendapat itu agar kami dapat mengikutinya?”’
Jawaban atas pertanyaan itu adalah sebagai berikut:
Ruh-ruh memiliki perbedaan tempat tinggal di Barzakh dengan perbedaan yang sangat beragam.
Di antara mereka ada arwah yang berada di illiyyin yang tertinggi (a’la ‘illiyyin) pada al-Mala al-A’la. Mereka adalah ruh-ruh para nabi shalawatullah wa salamuhu ‘alaihim,. Dan mereka juga berbeda-beda tempatnya seperti yang dilihat oleh Rasulullah saw. pada malam Isra’
Di antara mereka ada ruh-ruh yang berada di dalam tembolok burung hijau yang hilir mudik di dalam surga ke mana pun sekehendak mereka. Ini adalah ruh-ruh sebagian dari para syuhada, bukan mereka secara keseluruhan. Mereka adalah para syuhada yang ruhnya tertahan untuk dapat memasuki surga disebabkan adanya utang atau perkara tertentu yang masih harus ditanggungnya. Demikian yang dijelaskan dalam al-Musnad karya Imam Ahmad, dalam sebuah riwayat dari Muhammad bin ‘Abdullah bin Jahsy; bahwasanya suatu ketika seseorang mendatangi Rasulullah saw. lalu berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang kudapat seandainya aku terbunuh di jalan Allah?” Rasulullah saw. menjawab, “Surga!” Akan tetapi, ketika orang itu beranjak pergi, Rasulullah saw. berujar, “Kecuali apabila ada utang. Jibril baru saja menyampaikan kepadaku.’’
Di antara mereka ada yang tertahan di depan gerbang surga. Demikian yang dinyatakan dalam sebuah hadis lain, “Kulihat sahabat kalian tertahan di depan gerbang surga.”
Di antara mereka ada yang tertahan di kuburnya. Seperti yang disebutkan dalam Hadis-hadis tentang pencuri mantel yang mati syahid. Kala itu orang-orang berkata, “‘Berbahagialah Karena dia mendapatkan surga!” Akan tetapi, Rasulullah saw. menukas “Tidak! Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sesungguhnya, mantel yang dia curi itu akan menyulut api di dalam kuburnya!”
Di antara mereka ada yang tempat tinggalnya berada di gerbang surga. Seperti yang disebutkan dalam hadis-hadis dari Ibnu Abbas ra “Para syahid berada di tepi sungai di gerbang surga pada kubah, hijau. Rezeki mereka keluar menuju mereka dari surga di setiap pagi dan petang.” (HR. Ahmad). Kondisi ini berbeda dengan yang dialami oleh Ja’far bin Abu Thalib ra. yang Allah swt. telah men, beri ganti bagi kedua tangannya dengan dua sayap yang dapat ia gunakan untuk terbang di dalam surga sekehendaknya.
Di antara mereka ada yang tertahan di bumi karena ruh mereka tidak dapat naik ke al-Mala al-A’la. Itu adalah ruh-ruh rendah yang bersifat ardi (al-anfus al-ardhiyyah) karena jiwa-jiwa yang bersifat ardi tidak akan dapat berkumpul dengan jiwa-jiwa sama. wi (al-anfus as-samawiyyah). Sebagaimana ruh-ruh bersifat bumi tidak dapat berhimpun dengan ruh-ruh yang bersifat langit ketika mereka masih hidup di dunia. Jiwa yang ketika di dunia tidak pernah mengenal Rabb-nya, tidak – pernah memiliki cinta kepada-Nya, tidak pernah berzikir mengingat-Nya dan tidak pernah bermesraan dalam takarub pada-Nya adalah jiwa yang bersifat ardi dan rendah (ardhiyyah sufliyyah), sehingga tidak ada tempat baginya setelah ia terpisah dari jasadnya, kecuali hanya dij bumi yang rendah itu.
Sementara itu jiwa yang bersifat luhur (an-nafs al-ulwiyyah) yang ketika di dunia senantiasa tekun dalam mahabah kepada Allah, zikir mengingat-Nya dan bermesraan dalam takarub pada-Nya, setelah ia terpisah dari jasadnya pasti akan bergabung dengan ruh-ruh luhur (al-arwah al-ulwiyyah) yang cocok dengannya karena setiap orang akan bersama orang yang dicintainya di Barzakh dan di Hari Kiamat. Allah swt. memasangkan jiwa-jiwa manusia antara satu sama lain di Barzakh dan di Hari Kiamat. Seperti yang telah disebutkan dalam hadis, “Dan Dia menempatkan ruhnya (ruh orang mukmin) bersama jiwa-jiwa baik.” Maksudnya, bersama ruh-ruh baik yang serupa dengan ruh mukmin tersebut. Jadi, setelah terpisah dari jasadnya ruh akan bergabung dengan ruh-ruh lain yang serupa dengannya, yaitu para saudara dan orang-orang yang memiliki perbuatan yang serupa dengannya. Dia akan berada bersama mereka di sana.
Di antara mereka ada ruh-ruh yang berada di dalam tanur; yaitu para perempuan pezina dan para lelaki pezina dan ada pula ruh-ruh yang berenang dalam sungai darah sembari dilempari batu.
Jadi jelaslah bahwa ruh-ruh manusia—baik yang bahagia maupun yang sengsara—tidak memiliki satu tempat tinggal yang sama. Alih-alih, ada ruh yang tinggal di ‘Illiyyun yang tertinggi tetapi ada pula ruh ardi rendah yang sama sekali tidak dapat naik meninggalkan bumi. Apabila anda mencermati pelbagai sunah dan atsar dalam masalah ini, lalu Anda perhatian semuanya sungguh-sungguh, maka Anda akan mengetahui kebenaran pendapat saya ini.
Jangan pernah Anda menduga bahwa antara berbagai atsar yang sahih dalam masalah ini terdapat pertentangan. Semua atsar itu benar adanya dan saling membenarkan satu sama lain. Hanya saja memang ada perbedaan pada pemahaman mengenai semua itu dan pengetahuan tentang jiwa serta berbagai hukum yang melekat padanya karena jiwa memiliki kondisi yang berbeda dengan kondisi badan. Ruh dapat berada di dalam surga yang berada di langit tetapi terhubung dengan serambi kuburnya yang badannya berada di situ. Ruh adalah sesuatu yang paling cepat gerak, perpindahan, gerak naik, dan gerak turunnya.
Ruh terbagi menjadi ruh yang bebas dan ruh yang tertahan, serta ruh yang luhur dan ruh yang rendah. Setelah ruh terpisah dari badan, ia bisa merasa sehat dan sakit, serta dapat merasakan kelezatan, dan kenikmatan. Ruh dapat merasakan sakit yang lebih besar daripada yang dirasakannya ketika ia masih terhubung dengan badan. Di situ terjadi penahanan, rasa nyeri, siksa, sakit, dan nestapa. Di situ pula terjadi kelezatan, kenyamanan, kenikmatan, dan kebebasan.
Tentu saja kondisi ruh di dalam badan seperti itu mirip dengan kondisi badan ketika berada di dalam perut ibunya dan kondisi ruh setelah terpisah dari badan mirip dengan kondisi badan setelah keluar dari perut ibunya ke dunia.
Jiwa memiliki tempat tinggal, yang tiap-tiap tempat tinggal lebih besar daripada yang sebelumnya. Keempat tempat tinggal itu adalah sebagai berikut:
Tempat tinggal pertama: Perut ibu yang begitu terbatas, sempit dan menyesakkan dengan tiga lapis kegelapan.
Tempat tinggal kedua: Dunia yang di situ jiwa bertumbuh dan mengayominya. Di situlah jiwa meraih kebaikan, keburukan, dan jalan menuju kebahagiaan ataupun kesengsaraan.
Tempat tinggal ketiga: Barzakh yang lebih luas dan lebih besar daripada dunia. Bahkan perbandingannya dengan dunia ini adalah Seperti perbandingan antara dunia ini dengan perut itu.
Tempat tinggal keempat: Negeri Penentuan; yaitu surga atau neraka yang tidak ada tempat lagi Setelah itu.
Allah swt. terus memindahkan jiwa manusia pada semua tempat tinggal itu setahap demi setahap, sampai akhirnya Dia menghantarkan jiwa manusia ke tempat tinggal yang tidak dapat ditinggali oleh yang selainnya dan tidak layak bagi yang selainnya. Itulah tempat yang diciptakan sebagai tempat bagi jiwa serta disiapkan bagi amal perbuatan yang menghantarkan jiwa itu ke tempat tersebut.
Pada setiap tempat tinggal itu, jiwa manusia memiliki hukum dan kondisi tertentu yang saling berbeda di antara semua tempat tinggal itu. Mahasuci Allah yang telah menciptakan dan membentuknya, mematikan dan menghidupkannya, membuatnya bahagia serta membuatnya sengsara, yang telah menciptakan perbedaan padanya sesuai derajat-derajat kebahagiaan dan kesengsaraannya, sebagaimana Dia juga menciptakan perbedaan antar berbagai jiwa pada tingkatan-tingkatan ketinggiannya, amal perbuatannya, kekuatannya, dan akhlaknya.
Siapa pun yang mengenalnya seperti yang semestinya, pasti ia akan dapat menyaksikan bahwa tidak ada Tuhan, selain Allah semata tiada sekutu bagi-Nya. Dzat yang memiliki segenap kekuasaan. Bagi-Nya segala pujian. Di tangan-Nya segala kebaikan. Kepada-Nya segala urusan akan kembali. Dialah pemilik segala kekuatan, pemilik segala kuasa, segala kemuliaan, segala hikmah, dan semua kesempurnaan mutlak secara keseluruhan.
Dengan mengenal jiwanya sendiri, manusia pasti akan membenarkan semua nabi dan rasul yang Allah utus, serta meyakini bahwa ajaran yang mereka bawa adalah kebenaran yang disaksikan pula oleh akal serta dikukuhkan oleh fitrah. Sementara apa pun yang bertentangan dengannya pasti batil. Wabillahit taufiq.
JAWABAN ATAS pertanyaan itu, yaitu bahwa ruh orang-orang yang sudah mati dapat memperoleh manfaat dari usaha yang dilakukan oleh orang-orang yang masih hidup. Dasarnya yaitu dua perkara yang sudah disepakati oleh Ahli sunah dari kalangan ahli fikih, hadis, dan tafsir.
Pertama: Sesuatu yang menjadi jalan diperolehnya manfaat oleh orang mati, yakni yang dilakukannya semasa hidupnya.
Kedua: Doa orang-orang muslim untuk si orang mati, permohonan ampunan yang dilakukan oleh orang-orang muslim untuk si orang mati, sedekah dan haji, yang terdapat perbedaan pendapat dalam hal ini mengenai apakah sebenarnya yang dapat mencapai orang mati; apakah pahala infak ataukah pahala amal? Menurut jumhur ulama, yang mencapai si orang mati, yaitu pahala amal itu sendiri. Akan tetapi, menurut sebagian pengikut Mazhab Hanafi yang sampai kepada si orang mati, yaitu pahala infak.
Ada pula perbedaan pendapat mengenai ibadah-ibadah badaniah seperti puasa, shalat, baca al-Quran, dan zikir. lmam Ahmad dan jumhur ulama salaf menyatakan bahwa semua itu dapat mencapai orang mati. Ini juga menjadi pendapat sebagian dari pengikut Imam Abu Hanifah.
Hal ini disampaikan oleh Imam Ahmad dalam sebuah riwayat dari Muhammad bin Yahya al-Kahhal. Dia berkata, “Suatu ketika pernah ditanyakan kepada ‘Abdullah tentang seorang lelaki yang melakukan sebuah kebaikan berupa shalat, sedekah, dan sebagainya, lalu setengah dari amal itu dia peruntukkan kepada ayah atau ibunya. Apakah pahalanya bisa sampai?” “Abdullah menjawab, “Aku berharap seperti itu,” Dig lalu berkata, “Kepada orang mati dapat sampai segala sesuatu Seperti sedekah dan sebagainya.” Dia juga menyatakan, “Bacalah Ayat Kursi; tiga kali dan Qul huwallahu ahad (surah al-Ikhlash), lalu ucapkan
‘Wahai Allah sesungguhnya pahalanya untuk ahli kubur.’”
Pendapat yang masyhur dari Mazhab Syafi’i dan Maliki menyatakan bahwa hal-hal semacam itu tidak dapat sampai kepada orang mati
Sebagian pembuat bidah dan kalangan ahli Kalam menyatakan bahwa tidak ada sesuatu apa pun yang dapat sampai kepada orang mati, baik itu doa maupun yang lainnya.
Dalil yang menunjukkan bahwa manfaat dari apa yang dilakukan si orang mati semasa hidupnya dapat bermanfaat baginya setelah dia mati adalah hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dalam ash-Sahih dari hadis-hadis Abu Hurairah ra. yang menyatakan,
Bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seseorang meninggal dunia, terputuslah darinya amalnya kecuali tiga: sedekah jariah, ilmu yang dimanfaatkan, atau anak saleh yang mendoakannya.”
Pengecualian yang Rasulullah saw. sampaikan pada ketiga amalan ini dari semua amal manusia menunjukkan bahwa semua itu berasal dari orang yang bersangkutan, sebab orang itulah yang menjadi sebab terjadinya amalan-amalan tersebut.
Dalam kitab Sunan karya Ibnu Majah terdapat hadis-hadis dari Abu Hurairah ra. yang berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya di antara perkara yang dapat sampai kepada orang mukmin dari amal dan kebaikan-kebaikannya setelah dia meninggal dunia adalah amal perbuatan yang dia mengajarkannya dan menyebarkannya, atau anak saleh yang ditinggalkannya, atau musaf yang diwariskannya, atau masjid yang dia dirikan, atau rumah untuk musafir yang dibangunnya, atau sungai yang dia alirkan, atau sedekah yang dia keluarkan dari hartanya dalam kondisi sehatnya dan hidupnya akan sampai kepadanya setelah kematiannya.”
Dalam Sahih Muslim juga disebutkan sebuah hadis dari Jarir bin ‘Abdullah, dia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang membiasakan di dalam Islam sebuah kebiasaan yang baik, dia memiliki pahala kebiasaan itu dan pahala orang yang mengamalkannya sepeninggalnya, tanpa dikurangi dari pahala mereka itu sedikit pun. Barang siapa yang membiasakan di dalam Islam sebuah kebiasaan yang buruk, dia harus menanggung dosanya dan dosa orang yang melakukannya sepeninggalnya, tanpa dikurangi dari dosa mereka itu sedikit pun.”(HR. Muslim)
Inilah pengertian dari apa yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. melalui beberapa jalur periwayatan yang berstatus sahih atau hasan.
Dalam al-Musnad disampaikan sebuah riwayat dari Hudzaifah, dia berkata, Seseorang mengemis pada masa Rasulullah saw. Orang-orang pun tidak memberinya. Lalu ada seseorang yang memberi orang itu, maka orang-orang pun memberi orang itu. Rasulullah saw. lalu bersabda, “Barang siapa yang membiasakan sebuah kebaikan, lalu itu menjadi kebiasaan, dia memiliki pahalanya dan dari pahala semua orang yang mengikutinya tanpa dikurangi dari pahala mereka semua itu sedikit pun. Barang siapa yang membiasakan sebuah keburukan, lalu itu menjadi kebiasaan, dia harus menanggung dosanya dan dosa-dosa orang yang mengikutinya tanpa dikurangi dari dosa-dosa mereka itu sedikit pun.” Hal ini telah ditunjukkan oleh sabda Rasulullah saw.,
“Tidak ada seorang pun yang dibunuh secara zalim kecuali anak Adam yang pertama harus menanggung dosa karena darah orang itu karena dialah yang membuat kebiasaan membunuh, ”
Apabila hal ini berlaku pada perkara adil dan hukuman, tentu saja hal ini jauh lebih layak untuk juga berlaku pada perkara keutamaan dan pahala.
Pasal
Dalil yang menunjukkan diperolehnya manfaat pada orang mati dari sesuatu yang bukan merupakan perbuatan si orang mati yang bersangkutan terdapat di dalam al-Quran, sunah, ijmak, dan kaidah syariat.
Dalil tentang hal itu yang berasal dari al-Quran adalah firman Allah swt.,
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Hasyr [59]: 10)
Dalam ayat tersebut Allah swt. memuji istighfar permohonan ampun yang mereka panjatkan demi orang-orang mukmin yang sebelum mereka. Dengan demikian, Allah telah menunjukkan akan adanya manfaat yang didapat oleh “orang-orang mukmin sebelum mereka” dari istigfar permohonan ampunan yang dipanjatkan oleh orang-orang yang masih hidup.
Mungkin saja dapat dikatakan bahwa sebenarnya orang-orang sebelum mereka itu dapat peroleh manfaat dari istigfar yang dipanjatkan oleh mereka yang masih hidup karena mereka (orang-orang terdahulu) itu telah membuat sunah kebiasaan, berupa keimanan yang kemudian diikuti oleh generasi berikutnya karena mereka (generasi terdahulu) memang hidup sebelum mereka (generasi berikutnya). Ketika mereka (generasi berikutnya) mengikuti mereka (generasi terdahulu) pada sunah kebiasaan itu, mereka (generasi berikutnya) menjadi seperti sebab diraihnya segala kebaikan untuk mereka (generasi terdahulu). Akan tetapi. yang juga menjadi dalil akan diraihnya manfaat oleh orang mati melalui doa orang hidup merupakan kesepakatan umat Islam yang selaju mendoakan orang mati dalam pelaksanaan shalat Jenazah.
Dalam as-Sunan telah disebutkan sebuah hadis dari Abu Hurairah ra. yang menyatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Apabila kalian shalat atas mayat, ikhlaskanlah doa kalian untuknya.
Dalam Sahih Muslim disebutkan sebuah hadis dari ‘Auf bin Malik yang menyatakan, “Rasulullah saw. melaksanakan shalat atas jenazah dan aku hafal doa beliau,
“Wahai Allah ampunilah dia, afiatkanlah dia, maafkanlah dia, muliakanlah tempatnya, lapangkanlah tempat masuknya, basuhlah dia dengan air, salju dan embun. Bersihkanlah dia dari dosa-dosa seperti dibersihkannya kain putih dari noda. Berilah ganti untuknya rumah yang lebih baik daripada rumahnya, keluarga yang lebih baik daripada keluarganya, pasangan yang lebih baik daripada pasangannya. Masukkanlah dia ke dalam surga. Lindungilah dia dari azab kubur dan dari azab neraka.”
Dalam as-Sunan disebutkan sebuah riwayat dari Watsilah bin Asqa yang berkata. Rasulullah saw. shalat atas seorang lelaki muslim dan kudengar beliau berujar, “Wahai Allah sesungguhnya Fulan bin Fulan dalam tanggungan-Mu dan kedekatanmu, maka lindungilah dia dari fitnah kubur dan siksa neraka. Engkau adalah pemilik penepatan Janji dan kebenaran. Ampunilah dia dan kasihilah dia. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Doa-doa semacam ini banyak ditemukan dalam hadis-hadis. Bahkan doa itulah yang menjadi tujuan pelaksanaan shalat mayat. Begitu Pula halnya dengan doa untuk mayat setelah penguburan dilakukan.
Dalam as-Sunan disebutkan sebuah hadis dari ‘Utsman bin ‘Affan ra. yang berkata. Setiap kali Rasulullah saw. selesai menguburkan maya. beliau pun berdiri di atasnya lalu berucap, “Mohonkanlah ampunan untuk saudara kalian dan mohonkanlah keteguhan untuknya karena sesungguhnya sekarang dia sedang ditanyai.”
Demikian pula halnya dengan doa untuk orang-orang mati saat qj. lakukannya ziarah kubur. Seperti yang termaktub dalam Sahih Muslim berupa hadis-hadis dari Buraidah bin Hushaib, dia berkata, “Rasulullah saw. mengabari mereka jika mereka keluar menuju pekuburan agar me. reka mengucapkan,
“Salam atas kalian wahai penghuni kuburan dari kalangan mukminin dan muslimin. Sesungguhnya kami insyaallah akan bertemu dengan kalian. Kami memohon afiat kepada Allah untuk kami dan kalian.” Dalam Sahih Muslim dikatakan, Bahwa Aisyah ra. pernah bertanya kepada Rasulullah saw. apakah bacaan yang dirapalkannya jika dia ingin memohonkan ampunan untuk ahli kubur. Rasulullah saw. lalu menjawab, “Ucapkanlah,
“Salam atas penghuni kuburan dari kalangan mukminin dan muslimin. Allah merahmati orang-orang yang terdahulu dari kita dan orang-orang yang belakangan. Sesungguhnya kami insyaallah akan bertemu dengan kalian.’”
Dalam Sahih Muslim juga diriwayatkan sebuah hadis juga dari Aisyah ra. yang menyatakan bahwa Rasulullah saw. pernah keluar pada malam yang menjadi jatah Aisyah ra. di penghujung malam menuju Baqi’. Beliau lalu berucap,
“Salam atas kalian tempat orang-orang mukmin. Telah datang kepada kalian apa-apa yang kalian dijanjikan besok dengan tunda. Sesungguhnya kami insyaallah akan bertemu dengan kalian. Wahai Allah ampunilah penghuni Baqi’ Gharqad.”
Doa Rasulullah saw. bagi orang-orang yang sudah mati yang berbentuk praktik dan dalam bentuk pengajaran, sebagaimana doa yang dilakukan para sahabat, tabiin dan seluruh kaum muslimin dari generasi ke generasi terlalu banyak untuk dapat disebutkan dan terlalu dikenal luas untuk diingkari.
Ada dalil yang menyatakan bahwa suatu ketika Allah swt. meninggikan derajat seorang hamba-Nya di surga lalu si hamba itu bertanya, “Bagaimana mungkin aku dapat memperoleh semua ini?” Allah menjawab, “Karena doa anakmu untukmu.”
Pasal
Adapun berkenaan dengan sampaikan pahala sedekah orang hidup kepada orang mati dalilnya terdapat dalam dua kitab Sahih.
Dari Aisyah ra. yang menyatakan bahwa suatu ketika seseorang mendatangi Rasulullah saw. lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku meninggal dunia secara mendadak dan dia tidak meninggalkan wasiat. Aku menduga kalau saja dia bisa bicara dia pasti akan bersedekah. Apakah ibuku itu akan mendapatkan pahala apabila aku bersedekah atas namanya?” Rasulullah saw. menjawab, “Ya!”
Dalam Sahih Bukhari disebutkan sebuah hadis. Dari “Abdullah bin “Abbas ra. yang menyatakan bahwa ibu dari Sa‘d bin ‘Ubadah meninggal dunia sementara Sa‘d tidak ada bersama sang ibu. Dia lalu mendatangi Rasulullah saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku meninggal dunia ketika aku sedang tidak bersamanya. Apakah akan bermanfaat bagi ibuku apabila aku bersedekah atas namanya? Rasulullah saw. menjawab, ‘Ya!’. Sa’d pun berkata, ‘Sesungguhnya aku mempersaksikanmu bahwa kebunku al-Mikhraf menjadi sedekah atas nama ibuku.’”
Dalam Sahih Muslim disebutkan sebuah riwayat dari Abu Hurairah ra. bahwa seseorang pernah berkata kepada Rasulullah saw.,
“Sesungguhnya ayahku meninggal dunia dengan meninggalkan harta tanpa dia berwasiat apa-apa. Apakah cukup baginya jika aku bersedekah atas namanya?” Rasulullah saw. menjawab, “Ya”.
Dalam as-Sunan dan Musnad Ahmad disebutkan sebuah riwayat dari Sa‘d bin “Ubadah bahwa dia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Umm Sa’d meninggal dunia. Apakah sedekah yang paling afdal?” Rasulullah saw. menjawab, “Air!” Maka Sa’d pun menggali sebuah sumur lalu berkata, “Ini adalah untuk Umm Sa’d!”.
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr, bahwa ‘Ash bin Wa‘il bernazar di masa jahiliah untuk menyembelih seratus ekor binatang kambing dan Hisyam bin ‘Ash menyembelih bagiannya lima puluh ekor, lalu ‘Umar ra. bertanya kepada Rasulullah saw. tentang itu. Beliau pun bersabda, “Berkenaan dengan ayahmu, apabila dia mengakui tauhid lalu engkau berpuasa dan bersedekah atas namanya, itu bermanfaat baginya.” (HR. Imam Ahmad).
Pasal
Berkenaan dengan sampainya pahala puasa (yang dilakukan oleh orang hidup, kepada orang yang sudah mati), dalam dua kitab Sahih disebutkan sebuah hadis dari Aisyah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Barang siapa yang meninggal dunia dan dia menanggung puasa, walinya harus berpuasa atas namanya.”
Dalam dua kitab Sahih juga disebutkan sebuah riwayat. Dari Ibnu Abbas ra. yang berkata, “Suatu ketika seseorang datang menemui Rasulullah saw., lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku meninggal dunia sementara dia menanggung utang puasa satu bulan; apakah aku boleh mengqada puasa atas namanya?’ Rasulullah saw. menjawab, ‘Ya! Karena utang kepada Allah jauh lebih berhak untuk dilunasi.’”
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa, suatu ketika seorang perempuan mendatangi Rasulullah saw. lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku meninggal dunia sementara dia masih menanggung utang puasa nazar. Apakah aku dapat berpuasa atas namanya?” Rasulullah saw. menjawab, “Bukankah menurutmu jika ibumu menanggung utang lalu engkau melunasinya, maka itu akan melunasi utangnya itu?” Perempuan itu menjawab, “Ya!” Rasulullah saw. pun bersabda, “Maka berpuasalah engkau atas nama ibumu!”
Lafal hadis-hadis ini menurut riwayat Imam Bukhari.
Diriwayatkan dari Buraidah dia berkata: Aku duduk bersama Rasulullah saw., tiba-tiba beliau didatangi oleh seorang perempuan yang lalu berkata, “Sesungguhnya telah bersedekah kepada ibuku berupa seorang budak perempuan. Sekarang dia sudah meninggal.” Rasulullah saw. bersabda, “Telah ditetapkanlah pahalamu dan budak itu dikembalikan kepadamu sebagai warisan.” Perempuan itu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku menanggung puasa satu bulan. Apakah aku boleh berpuasa atas namanya?” Rasulullah saw. menjawab, “Berpuasalah engkau atas namanya!” Perempuan itu berkata, “Sesungguhnya dia belum pernah berhaji sekalipun. Apakah aku boleh berhaji atas namanya?” Rasulullah saw. menjawab, “Berhajilah atas namanya!” (HR. Muslim). Dalam lafal lain disebutkan, “Berpuasalah engkau dua bulan!”
Diriwayatkan dari Ibnu “Abbas ra. bahwa seorang perempuan mengarungi lautan lalu dia bernazar apabila Allah menyelamatkannya, dia akan berpuasa satu bulan. Ternyata Allah swt. menyelamatkannya tetapi dia tidak kunjung berpuasa sampai meninggal dunia. Anak perempuan atau saudara perempuan dari perempuan itu pun mendatangi Rasulullah saw. dan beliau memerintahkannya untuk berpuasa atas nama perempuan itu. Hadis-hadis ini diriwayatkan oleh penuli, as-Sunnan dan Imam Ahmad.
Demikian pula telah diriwayatkan dari Rasulullah saw. mengenai sampainya pahala amalan pengganti puasa yang dilakukan dengan memberi makanan. Dalam as-Sunan diriwayatkan dari Ibnu “Umar ra bahwa dia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang meninggal dunia dengan menanggung puasa satu bulan, maka hendaklah diberikan makanan atas namanya satu orang miskin untuk setiap satu hari.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Tirmidzi menyatakan bahwa dia tidak mengetahui hadis-hadis ini berstatus marfuk, kecuali hanya dari jalur ini. Akan tetapi, yang sahih adalah riwayat dari Ibnu Umar yang pernyataannya berstatus maukuf.
Dalam Sunan Abu Dawud disebutkan riwayat dari Ibnu “Abbas ra, yang berkata, “Apabila seseorang sakit di bulan Ramadhan dan dia tidak berpuasa, hendaklah diberikan makanan atas namanya dan dia tidak harus melaksanakan qada. Apabila seseorang bernazar, yang melakukan qada atas namanya adalah walinya.”
PASAL
Berkenaan dengan sampainya pahala haji kepada orang yang sudah mati, disebutkan dalam Sahih al-Bukhari sebuah riwayat.
Dari Ibnu Abbas ra. bahwa seorang perempuan asal Juhainah mendatangi Rasulullah saw. lalu berkata, “Sesungguhnya ibuku bernazar untuk berhaji tetapi dia tidak sempat berhaji sampai meninggalnya. Apakah aku boleh berhaji atas namanya?” Rasulullah saw. menjawab, “Berhajilah atas namanya. Tidakkah engkau melihat apabila ibumu menanggung utang, engkau harus melunasinya? Lakukanlah qada untuk Allah karena Allah paling berhak atas qada.”
Telah disampaikan sebelumnya hadis-hadis dari Buraidah yang di dalamnya disebutkan, “Sesungguhnya ibuku belum berhaji sama sekali. Apakah aku boleh berhaji atas namanya?” Rasulullah saw. menjawab, “Berhajilah atas namanya.”
Diriwayatkan dari Ibnu “Abbas ra. dia berkata, “Sesungguhnya istri Sinan bin Salamah al-Juhani bertanya kepada Rasulullah saw. bahwa ibunya meninggal dunia dan belum berhaji. Dia lalu bertanya apakah dia sah melaksanakan haji atas nama ibunya itu. Rasulullah saw. menjawab, “Ya. Apabila ibunya menanggung utang, lalu dia melunasi utang itu atas nama ibunya, bukankah itu sah atas namanya?” (HR. Nasa’i).
Telah diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas ra. bahwa seorang perempuan pernah bertanya kepada Rasulullah saw. tentang ayahnya yang meninggal dunia dan belum berhaji. Rasulullah saw. bersabda, “Berhajilah atas nama ayahmu!”.
Telah diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas ra. bahwa seorang lelaki berkata, “Wahai Nabiyullah! Sesungguhnya ayahku meninggal dunia dan dia belum berhaji. Apakah aku boleh berhaji atas namanya?” Rasulullah saw. menjawab, “Tidakkah engkau melihat apabila ayahmu menanggung utang, apakah engkau akan melunasinya?” Orang itu menjawab, “Ya!” Rasulullah saw. lalu bersabda, “Utang kepada Allah Lebih berhak (untuk dilunasi).”
Kaum muslimin telah bersepakat bahwa pelunasan utang akan menggugurkan penanggung utang dari tanggungannya. Termasuk walaupun yang melunasi utang itu adalah orang asing (bukan keluarga Penj.); atau utang itu dilunasi menggunakan harta yang bukan berasal dari warisannya.
Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadis-hadis Abu Qatadah, yang menanggung dua dinar atas nama seorang mayat. Ketika dia melunasi dua dinar itu, Rasulullah saw. bersabda kepadanya, “Sekarang telah dinginlah baginya kulitnya.”
Kaum muslimin juga telah berijmak bahwa apabila seseorang yang masih hidup memiliki hak tertentu yang menjadi tanggungan seorang mayat, lalu dia menghalalkan haknya itu, maka itu akan bermanfaat bagi si mayat karena ia akan terbebas dari tanggungan hak tersebut, sebagaimana halnya tanggungan seperti itu dapat gugur dari orang yang masih hidup.
Apabila tanggungan orang yang masih hidup dapat gugur berdasarkan al-Quran dan ijmak, padahal orang yang masih hidup dapat menunaikan hak itu sendiri, walaupun dia tidak merelakannya dan menolaknya; maka tentu saja tanggungan yang gugur dari orang yang sudah mati dengan pembebasan (pemilik hak) terhadap orang mati yang sudah tidak dapat menunaikan hak itu lagi jauh lebih utama dan lebih layak.
Apabila pembebasan dan pengguguran hak dapat bermanfaat bagi orang mati, berarti seperti itulah pula halnya hibah dan hadiah dapat bermanfaat baginya; tidak ada perbedaan antara keduanya karena pahala amal merupakan hak bagi pemberi hadiah (muhdi) dan pemberi hibah (wahib) sehingga apabila dia memindahkannya bagi orang mat; pahala itu pun berpindah kepada si orang mati.
Hal ini sama seperti ketika seorang mayat menanggung hak-hak tertentu—berupa utang atau lainnya—dan itu merupakan hak penuh bagi orang yang masih hidup. Apabila kemudian orang hidup itu membebaskan hak tersebut, pembebasan itu akan sampai kepada si orang mati sehingga gugurlah tanggungan itu darinya (si orang mati) dan keduanya, merupakan hak bagi orang yang masih hidup. Alhasil, apakah ada Nas kiyas atau kaidah syariat tertentu yang memastikan sampainya Salah satu di antara kedua hal tersebut, tetapi kemudian menafikan sampai, kan hal yang satu lagi?
Nas-nas tersebut di atas menunjukkan pada sampainya pahala berbagai amal perbuatan kepada orang mati apabila ada orang hidup yang melakukan amal perbuatan yang bersangkutan atas nama Si orang mati. Ini merupakan bentuk kiyas penuh karena sebenarnya pahala merupakan hak bagi pelaku suatu amal. Apabila dia kemudian meng. hibahkan pahala itu kepada saudaranya sesama muslim, tidak ada yang dapat menghalangi hal itu. Sebagaimana halnya tidak dapat pula ada yang menghalangi orang tersebut untuk menghibahkan hartanya di saat hidupnya dan pembebasannya baginya (penanggung hak) dari hak tersebut setelah kematiannya (penanggung hak).
Dengan sampainya pahala puasa yang dilaksanakan hanya dengan meninggalkan (hal-hal yang membatalkan puasa) dan niat yang dilakukan dalam hati, tanpa ada yang melihatnya kecuali hanya Allah swt., yang bukan merupakan amal perbuatan anggota tubuh, Rasulullah saw. telah mengingatkan atas sampainya pahala bacaan al-Quran yang merupakan amal perbuatan lisan yang didengar oleh telinga dan dilihat oleh mata dengan cara yang lebih utama.
Dijelaskan bahwa puasa merupakan niat penuh dan menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa. Allah swt. menyampaikan pahalanya kepada orang mati. Jadi apatah lagi dengan bacaan al-Quran yang berupa perbuatan dan niat. Bahkan tidak membutuhkan niat! Sampainya pahala puasa ke orang mati mengandung peringatan atas sampainya pahala semua amal.
Ibadah dapat dibagi menjadi dua, yaitu ibadah material (al-’ibadat al-maliyyah) dan ibadah fisik (al-’ibadat al-badaniyyah). Dengan sampainya pahala sedekah, sydri’ (Allah swt. dan Rasulullah saw.—Penj.) telah mengingatkan atas sampainya pahala semua ibadah material. Dan dengan sampainya pahala puasa, syari’ mengingatkan atas sampainya pahala semua ibadah fisik. Sebagaimana syari’ juga telah mengabarkan tentang sampainya pahala haji yang merupakan bentuk ibadah perpaduan antara ibadah material dan ibadah fisik. Ketiga jenis ibadah ini memang pasti adanya berdasarkan nas dan pengambilan kesimpulan. wa billahit taufiq.
Sementara itu, orang-orang yang menyatakan tidak sampainya pahala perbuatan orang hidup kepada orang mati menyatakan bahwa Allah swt. berfirman,
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. an-Najm [53]: 39)
Allah swt. berfirman,
“Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikit pun dan kalian tidak dibalasi, kecuali dengan apa yang telah kalian kerjakan.” (QS. Yasin [36]: 54)
Allah swt. berfirman,
“…ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.” (QS. al-Baqarah [2]: 286)
Sebuah hadis tsabit (sahih) telah diriwayatkan dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, “Apabila seorang hamba meninggal dunia, amalnya putus kecuali tiga: Sedekah jariah, anak saleh berdoa untuknya, atau ilmu yang dimanfaatkan sepeninggalnya.”
Rasulullah saw. mengabarkan bahwa yang bermanfaat bagi seorang hamba hanyalah apa yang dapat sampai kepadanya dari apa-apa yang dilakukannya semasa hidup, sementara yang tidak sampai kepadanya pasti akan terputus.
Dan ada pula hadis-hadis dari Abu Hurairah ra. yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya di antara yang dapat sampai kepada mayat dari amal dan kebaikan-kebaikan, nya setelah kematiannya adalah amal yang dia sebarkan.” (al-Hadis). Hadis-hadis ini menunjukkan bahwa yang bermanfaat bagi seorang hamba hanyalah apa yang dapat sampai kepadanya (dari apa-apa yang dilakukannya semasa hidup).
Demikian pula hadis-hadis marfa’ dari Anas ra., “Tujuh perkara pahala kesemuanya tetap mengalir pada hamba ketika dia berada dalam kuburnya setelah meninggalnya: Orang yang mengajarkan ilmu, mengalirkan sungai, menggali sumur, menanam kurma, membangun masjid, mewariskan musaf, meninggalkan anak saleh yang memohon. kan ampunan untuknya setelah dia meninggal dunia.”
Semua ini menunjukkan bahwa semua amalan selain yang disebutkan Rasulullah saw. itu tidak akan dapat sampai pahalanya kepada orang yang bersangkutan karena kalau tidak demikian, maka pembatasan yang dilakukan beliau itu menjadi tiada artinya.
Mereka juga menyatakan bahwa pemberian hadiah dalam bentuk pengalihan, padahal pengalihan hanya dapat dilakukan pada suatu hak yang pasti. Sementara amal perbuatan tidak pasti melahirkan pahala karena pahala semata-mata merupakan anugerah Allah swt. berkat kebaikan-Nya. Jadi bagaimana mungkin seorang hamba dapat mengalihkan sesuatu yang semata-mata merupakan anugerah Allah yang bukan merupakan kewajiban Allah untuk memberikannya karena jika Allah berkenan, Dia akan memberikan pahala itu. Akan tetapi, kalau Dia tidak berkenan, maka Dia tidak akan memberikannya. Jadi hal ini sebenarnya sama dengan pengalihan pemberian dari seorang miskin kepada orang yang memohon untuk diberi sedekah. Tentu saja orang miskin seperti itu tidak dapat menghadiahkan dan menghibahkan apa yang tidak dia miliki. Atau seperti sebuah pemberian dari orang yang memiliki sesuatu tetapi tidak dapat tercapai.
Mereka menyatakan bahwa alasan lain (tidak sampainya pahala orang hidup kepada orang mati—Penj.) yaitu karena tindakan mendahulukan orang lain untuk mendapatkan jalan untuk meraih pahala hukumnya makruh karena itu merupakan bentuk tindakan mendahulukan orang lain untuk bertaqarrub. Kalau memang demikian, bukankah jika tindakan mendahulukan orang lain itu dilakukan demi mendapat pahala itu sendiri, yang merupakan tujuan amal? Ketika sikap mendahulukan orang lain atas jalan untuk meraih pahala hukumnya makruh maka, hukum makruh terhadap sikap mendahulukan orang lain untuk mendapatkan pahala atas amal kita jauh lebih layak untuk menjadi makruh.
Atas dasar inilah, Imam Ahmad memakruhkan tindakan seseorang yang mundur dari saf pertama dalam shalat untuk memberi kesempatan kepada orang lain menempati saf pertama itu dikarenakan di saf pertama lebih dapat diharapkan diraihnya pahala yang lebih besar.
Ahmad menyatakan dalam riwayat Hanbal, ketika dia ditanya tentang seseorang yang mundur dari saf pertama lalu meminta ayahnya agar menempati tempat di saf pertama yang ditinggalkannya itu. Imam Ahmad menjawab, “Itu tidaklah aneh, tetapi dia dapat berbakti kepada ayahnya dengan cara selain itu!”
Mereka menyatakan bahwa alasan lain (tidak sampainya pahala orang hidup kepada orang mati—Penj.) yaitu apabila pemberian hadiah kepada orang mati dibolehkan, maka berarti harus dibolehkan pula pengalihan pahala dan pemberian hadiah kepada orang yang masih hidup. Dan lagi, apabila hal seperti itu dibolehkan, berarti boleh pula pemberian hadiah setengah dari pahala atau seperempatnya atau setumpukannya. Dan lagi, apabila hal seperti itu dibolehkan, berarti boleh pula pemberian pahala kepada orang lain setelah orang yang bersangkutan melakukan suatu amalan untuk dirinya sendiri.
Mereka menyatakan, bahwa kami telah menyatakan, bahwa orang yang bersangkutan harus berniat ketika melaksanakan suatu amal yang ingin dia hadiahkan kepada seseorang yang sudah mati, kalau tidak seperti itu, maka pahala amal tersebut tidak akan sampai kepada si mayat. Jika memang pengalihan pahala seperti itu dibolehkan, lantas apakah perbedaan antara kondisi ketika orang yang melakukan amal itu meniatkannya sebelum atau sesudah dia melakukan amal yang bersangkutan?
Dan lagi, apabila pemberian hadiah kepada orang mati itu dibolehkan, berarti boleh pula pemberian pahala dari berbagai ibadah wajib kepada orang yang masih hidup, sebagaimana dibolehkannya pula pemberian hadiah pahala dari berbagai ibadah sunah yang dilakukan oleh yang bersangkutan secara suka rela.
Mereka menyatakan bahwa semua pembebanan merupakan bentuk ujian dan cobaan yang tidak dapat digantikan oleh orang lain karena sesungguhnya yang disasar oleh semua kewajiban pembebanan yaitu si mukalaf itu sendiri yang mengamalkan berbagai perintah dan larangan Seorang mukalaf yang diuji itu tidak boleh dibadalkan oleh orang lain, sebagaimana tidak boleh ada orang lain yang menggantikannya memikul taklif itu. karena hal ini tujuan dari taklif, yaitu agar orang yang bersangkutan menjadi taat dalam penghambaannya.
Kalau memang seseorang dapat memperoleh manfaat dari hadiah yang diberikan oleh orang lain kepadanya tanpa dia sendiri yang harus beramal melakukannya, tentulah Rasulullah Akram al-Akramin yaitu orang yang paling layak melakukan itu. Sementara Allah telah menetapkan ketentuan hukum bahwa tidak ada seorang pun yang beroleh manfaat apa pun, kecuali hanya dengan usahanya sendiri. Hal ini telah menjadi Sunnatullah pada segenap makhluk-Nya dan pada seluruh ke. tetapan-Nya, sebagaimana hal ini juga menjadi sunah-Nya dalam semua perintah dan syariat-Nya.
Seseorang yang sedang sakit tidak dapat digantikan atau diwakili oleh orang lain ketika dia harus meminum obat. Seseorang yang kelaparan, kehausan dan telanjang tidak dapat digantikan oleh orang lain ketika dia harus makan, minum, dan mengenakan pakaian.
Mereka menyatakan bahwa apabila orang mati dapat memperoleh manfaat dari amal orang lain, pastilah bermanfaat pula baginya tobat orang lain yang dilakukan atas namanya.
Mereka menyatakan bahwa atas dasar semua itulah Allah tidak mungkin menerima keislaman seseorang yang dilakukan atas nama orang lain dan tidak mungkin menerima shalat seseorang yang dilakukan atas nama orang lain. Apabila pokok ibadah dasar tidak boleh dihadiahkan pahalanya kepada orang, apalagi kiranya dengan ibadah-ibadah cabang?
Mereka menyatakan bahwa berkenaan dengan doa, maka itu merupakan bentuk permintaan dan pengharapan kepada Allah swt. untuk memberi anugerah kepada si mayat dengan memberinya pengampunan dan pemaafan. Tentu saja hal seperti itu bukan merupakan pemberian hadiah pahala amal orang hidup kepada orang mati.
Orang-orang yang tidak mengakui sampainya ibadah yang dapat diwakilkan oleh orang lain (seperti sedekah dan haji) kepada orang mati menyatakan bahwa ibadah terbagi menjadi dua macam:
- Jenis ibadah yang sama sekali tidak dapat diwakilkan oleh orang lain. Contohnya seperti pernyataan masuk Islam, shalat, membaca al-Quran, dan puasa. Ibadah-ibadah jenis pertama ini pahalanya secara khusus hanya dimiliki oleh pelakunya, tidak dapat melampaui itu dan tidak dapat dialihkan darinya. Sebagaimana halnya dalam hidup ibadah jenis pertama ini tidak dapat dilakukan oleh seseorang atas nama orang lain dan tidak dapat diwakilkan pelakunya oleh orang lain.
- Jenis ibadah yang dapat digantikan atau diwaliki oleh orang lain. Contohnya seperti tindakan mengembalikan barang titipan, melunasi utang, membayar sedekah, dan berhaji. Ibadah-ibadah jenis kedua ini pahalanya dapat sampai kepada orang mati karena semua itu boleh diwakilkan dan seseorang boleh melaksanakannya atas nama orang lain semasa hidupnya, apalagi jika dilakukan setelah kematiannya.
Mereka menyatakan bahwa berkenaan dengan hadis-hadis yang berbunyi “Barang siapa yang meninggal dengan menanggung puasa, hendaklah walinya berpuasa atas namanya”, tanggapan atas Hadis-hadis itu adalah sebagai berikut:
Pertama: Pernyataan Imam Malik dalam al-Muwaththa’. Dia menyatakan bahwa seseorang tidak boleh berpuasa atas nama orang lain. Dia menyatakan bahwa itu adalah sesuatu yang sudah disepakati tanpa ada perbedaan pendapat di dalamnya.
Kedua: Ibnu ‘Abbas ra. adalah sosok yang meriwayatkan hadis-hadis puasa atas nama orang yang sudah mati. Hadis-hadis ini kemudian diriwayatkan oleh Nasa’i Muhammad bin ‘Abdul A’la menuturkan kepada kami, Yazid bin Zurai’ menuturkan kepada kami, Hajjaj al-Ahwal menuturkan kepada kami, Ayyub bin Musa menuturkan kepada kami, dari ‘Atha bin Abu Rabah, dari Ibnu ‘Abbas ra., dia berkata, “Tidak boleh seseorang melaksanakan shalat atas nama orang lain dan tidak boleh seseorang melaksanakan puasa atas nama orang lain.”
Ketiga: Hadis-hadis tersebut merupakan sebuah hadis yang terdapat ikhtilaf dalam sanadnya. Demikian yang dikatakan dalam Syarh Muslim.
Keempat: Hadis-hadis tersebut bertentangan dengan nas al-Quran seperti yang telah disampaikan sebelumnya; yaitu firman Allah swt.,
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. an-Najm [53]: 39)
Kelima: Hadis-hadis tersebut bertentangan dengan riwayat Yang diriwayatkan oleh Nasa‘i dari Ibnu ‘Abbas ra., dari Rasulullah Saw. bahwa beliau bersabda, “Tidaklah seseorang dapat melakukan shalat atas nama orang lain dan tidaklah seseorang dapat melakukan puasa atas nama orang lain. Akan tetapi, hendaklah diberikan makanan atgs namanya untuk menggantikan setiap satu hari sebanyak satu mug gandum hinthah.”
Keenam: Hadis-hadis tersebut bertentangan dengan hadis-hadis Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Abu Laila, dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi saw., “Barang siapa yang meninggal dengan menang. gung puasa Ramadhan, hendaklah diberikan makanan atas namanya.”
Ketujuh: Hadis-hadis tersebut bertentangan dengan kiyas jaliy terhadap shalat, pernyataan masuk Islam dan tobat; yang kesemua itu tidak dapat dilakukan oleh seseorang atas nama orang lain.
Imam Syafi’i menyatakan tentang penjelasannya mengenai riwayat dari Ibnu “Abbas ra., “Ibnu ‘Abbas ra. tidak pernah menyebutkan nazar Umm Sa‘d sehingga ada kemungkinan bahwa yang dinazarkan adalah haji, umrah atau sedekah, yang kemudian diperintahkan qada atas nama Umm Sa‘d. Adapun bagi orang yang bernazar berupa shalat atau puasa, lalu ternyata meninggal dunia (sebelum sempat melaksanakan nazarnya—Penj.), maka yang dapat dilakukan adalah pelaksanaan kafarat atas namanya dari puasa itu, bukan dengan dilakukan puasa atas namanya. Sebagaimana shalat tidak dapat dilakukan atas namanya dan tidak dapat pula dilakukan kafarat atas namanya pada shalat tersebut.
Lalu dia menyatakan bahwa apabila ada yang bertanya bahwa telah diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. telah memerintahkan seseorang untuk berpuasa atas nama seseorang, maka tanggapan atas itu adalah bahwa memang hal itu benar adanya. Ibnu “Abbas ra. telah meriwayatkan itu dari Rasulullah saw.
Apabila ditanyakan lagi mengapa dalil itu tidak diambil, jawabannya yaitu hadis-hadis dari Zuhri, dari ‘Ubaidullah, dari Ibnu ‘Abbas ra., dari Rasulullah saw. yang menyebut “nazar” tanpa menyebutkan nazar apakah itu. Padahal Zuhri dikenal dengan kekuatan hafalannya dan lamanya ‘Ubaidullah bersama Ibnu ‘Abbas ra. sehingga ketika datang riwayat lain dari seseorang yang meriwayatkannya dari Ibnu ‘Abbas ra. yang isinya berbeda dengan apa yang terdapat di dalam hadis-hadis ‘Ubaidullah, maka tampaknya riwayat tersebut tidak dihafal.
Apabila ditanyakan apakah saya mengetahui orang yang meriwayatkan hadis-hadis ini dari Ibnu ‘Abbas ra. telah melakukan kekeliruan? Jawaban atas itu adalah ya, para sahabat Ibnu ‘Abbas telah meriwayatkan hadis-hadis ini dari Ibnu Abbas ra., dia berkata kepada Ibnu Zubair ra. bahwa Zubair sudah halal dari mut’ah haji, lalu dia meriwayatkan hadis-hadis ini dari Ibnu Abbas ra. bahwa itu merupakan mut’ah perempuan. Tentu saja ini sebuah kekeliruan yang fatal.
Ini juga merupakan jawaban atas tindakan puasa. Adapun mengenai tindakan haji yang sampai darinya, yaitu pahala infak. Sementara semua rangkaian kegiatan manasik hajinya kedudukannya sama dengan gerakan shalat yang hanya dapat dilakukan atas nama orang yang melakukannya.
Orang-orang yang menyatakan sampainya pahala perbuatan orang hidup kepada orang mati (ashhab al-wushal) menyatakan bahwa tidak ada sedikit pun dari apa yang telah kami jelaskan yang bertentangan dengan dalil-dalil Kitabullah dan sunah, serta kesepakatan kalangan salaf dan juga tuntunan kaidah-kaidah syariat. Berikut ini merupakan tanggapan mereka atas setiap poin yang telah kami sampaikan di atas dengan penuh keadilan dan keseimbangan.
Berkenaan dengan firman Allah swt. “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. an-Najm [53]: 39)
Orang-orang berbeda pendapat mengenai maksud ayat tersebut. Segolongan orang menyatakan bahwa yang dimaksud “manusia” dalam ayat ini adalah ‘orang Kafir’ karena bagi orang mukmin, dia dapat memiliki apa yang telah diusahakannya sendiri dan juga apa yang diusahakan oleh orang lain untuk dirinya, berdasarkan dalil-dalil yang telah kami sebutkan. Mereka menyatakan bahwa maksud ayat ini adalah pengkhususan dan itu memang boleh apabila ada dalil yang menunjukkan itu.
Akan tetapi, jawaban seperti itu amatlah lemah karena ayat seperti tersebut di atas itu bersifat umum dan tidak dimaksudkan hanya untuk orang kafir semata. Alih-alih, ia berlaku bagi orang muslim dan juga Orang kafir. Ayat ini sama seperti ayat sebelumnya yang juga bersifat umum:; yaitu firman Allah swt., “Bahwasanya seorang yang berdosa, tidak akan memikul dosa orang lain,” (QS. an-Najm [53]: 38)
Susunan kalimat ini dari awal sampai akhir secara gamblang menunjukkan maksud umum (amm), berdasarkan firman Allah swt.,
“Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna,” (QS. an-Najm [53]: 40-41)
Secara tegas isi ayat ini berlaku umum meliputi segala kebaikan dan juga segala keburukan, yang ditujukan terhadap orang bijak dan orang durhaka, orang mukmin dan orang kafir; seperti firman Allah swt,
“Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula.” (QS. az-Zalzalah [99]: 7-8)
Atau seperti firman Allah swt. dalam sebuah hadis Ilahi (Hadis-hadis Qudsi), “Wahai hamba-hamba-Ku sesungguhnya itu adalah amal perbuatan kalian, Aku hitung untuk kalian lalu kugenapi bagi kalian. Barang siapa yang mendapatkan kebaikan, hendaklah dia memuji Allah; dan barang siapa yang mendapatkan yang selain itu janganlah dia mencela kecuali dirinya sendiri.”
Itu juga seperti firman Allah swt.,
“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.” (QS. al-Insyiqaq [84]: 6)
Jadi janganlah Anda tertipu oleh pernyataan banyak mufasir yang menjelaskan tentang lafal “manusia” (al-inaGn) di dalam al-Quran bahwa yang dimaksud di situ adalah “Abu Jahal” atau bahwa lafal “manusia” dalam ayat anu maksudnya adalah ‘Uqbah bin Abu Mu’aith” atau pahwa lafal “manusia” dalam ayat anu maksudnya adalah “Walid bin Mughirah”. Al-Quran terlalu mulia untuk sekadar itu. Alih-alih diartikan seperti itu, pengertian lafal “‘manusia” di dalam al-Quran adalah sebagaimana adanya tanpa dikhususkan bagi seseorang tertentu saja. Contohnya adalah firman Allah swt.
“Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian.” (QS. al-Ashr [103]: 2)
Firman Allah swt.,
“Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar tidak berterima kasih kepada Tuhannya.” (QS. al-’Adiyat [100]: 6)
Firman Allah swt.,
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.” (QS. al-Ma’arij [70]: 19)
Firman Allah swt.,
“Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas karena dia melihat dirinya serba cukup.” (QS. al-’ Alag [96]: 6-7)
Firman Allah swt.,
“Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya, Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Ibrahim [14]: 34)
Firman Allah swt.,
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh,” (QS. al-Ahzab [33]: 72)
Seperti yang disebutkan di atas itulah kondisi manusia dengan jati dirinya yang asli. Ketika manusia berhasil keluar dari sifat-sifat buruk itu, maka itu terjadi berkat anugerah, taufik, dan nikmat yang Allah berikan kepada manusia; bukan dari diri manusia itu sendiri karena manusia tidak memiliki apa-apa di dalam jati dirinya kecuali hanya sifat-sifat tersebut. Apa pun nikmat yang ada pada diri manusia, maka itu pasti dari Allah swt. semata. Allah-lah yang telah mengembuskan iman kepada hamba-Nya, menghiasnya dalam hatinya, membuat manusia membenci kekufuran, kefasikan, dan kemaksiatan. Allah pulalah yang menetapkan iman di dalam kalbu manusia.
Allah swt. telah meneguhkan para nabi, para rasul, dan para wali-Nya di atas agama-Nya. Dialah yang telah menghindarkan segala keburukan dan kekejian dari mereka.
Sebuah syair pernah dituturkan di hadapan Rasulullah saw.:
Allah. Kalau bukan Allah Kita takkan dapat petunjuk Tidak pula Kita akan bersedekah, tidak pula shalat
Allah swt. berfirman,
“Dan tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.” (QS. Yunus [10]: 100)
Allah swt. berfirman,
“Dan mereka tidak akan mengambil pelajaran daripadanya kecuali (jika) Allah menghendakinya. Dia (Allah) adalah Tuhan Yang patut (kita) bertakwa kepada-Nya dan berhak memberi ampun.” (QS. al-Muddatstsir [74]: 56)
Allah swt. berfirman,
“Dan kalian tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. at-Takwir [81]: 29)
Allah swt. adalah tuhan seluruh alam semesta dengan mengatur segala yang ada di alam semesta, baik itu berupa zat, perbuatan, maupun keadaan.
Segolongan orang berpendapat bahwa ayat tersebut di atas merupakan informasi tentang syariat orang-orang sebelum kita karena Syariat kita telah menunjukkan, bahwa manusia memiliki apa yang diusahakannya sendiri dan juga apa yang diusahakan orang lain untuknya. Akan tetapi, pendapat ini justru lebih lemah daripada pendapat, yang pertama di atas atau setidaknya setara dengan pendapat pertama,
Allah swt. telah mengabarkan tentang hal itu dengan informasi yang mengukuhkannya dan menjadi hujah, bukan informasi yang membatalkannya. Itulah sebabnya Allah swt. berfirman,
“Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran-lembaran Musa?,” (QS. an-Najm [53]: 36)
Apabila hal ini batil di dalam syariat, tentu Allah tidak akan mengabarkan hal ini dengan pengabaran yang mengukuhkannya dan menjadi hujah.
Segolongan yang lain menyatakan bahwa huruf lam dalam ayat tersebut di atas (QS. an-Najm [53]: 39), memiliki arti “’ala” sehingga pengertian ayat itu menjadi “Dan bahwasanya seorang manusia tiada menanggung (‘ala-l-insan) selain apa yang telah diusahakannya.”
Tentu saja pendapat ini yang paling batil di antara ketiga pendapat tersebut dan jauh lebih batil daripada dua pendapat yang sebelumnya karena pengertian seperti itu telah membalikkan isi ayat tersebut seratus delapan puluh derajat dari pengertian aslinya. Hal semacam ini tidak boleh dan sama sekali tidak ada kemungkinan pengertian seperti itu menurut bahasa. Adapun firman yang berbunyi
“(Yaitu) hari yang tiada berguna bagi orang-orang zalim permintaan maafnya dan bagi merekalah laknat (wa ‘alaihim al-la’nah dan bagi merekalah tempat tinggal yang buruk.” (QS. al-Mu’min [40]: 52) hanya dapat diartikan sesuai konteksnya; yaitu bahwa laknat itulah yang menjadi bagian atau jatah mereka.
Adapun berkenaan dengan orang-orang Arab yang mengetahui dalam bahasa mereka bahwa arti kalimat “Bagi saya satu dirham” (Ii dirham) yaitu “Saya menanggung satu dirham” (‘alayya dirham), maka pengertian seperti itu tidaklah mungkin!
Segolongan orang lagi menyatakan bahwa dalam kalimat ayat tersebut di atas terdapat kata yang tidak tampak (mahdzaf) karena ayat itu semestinya berbunyi “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya dan apa yang diusapakan (orang lain) untuknya .”
Tentu saja pendapat ini sama salahnya dengan pendapat yang sebelumnya karena sama sekali tidak ada isyarat yang menunjukkan bahwa ada kalimat yang tidak tampak itu. Bahkan ini adalah bentuk pendapat mengenai Allah dan mengenai Kitabullah yang tidak didasarkan pada ilmu!
Segolongan orang yang lain lagi menyatakan bahwa ayat tersebut di atas (QS. an-Najm [53]: 39) sudah dinasakh oleh firman Allah swt.,
“Dan orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. ath-Thur [52]: 21)
Pendapat ini konon dinukil dari Ibnu ‘Abbas ra., tetapi pendapat ini amatlah lemah (daif) karena ketetapan hukum suatu ayat tidak dapat dihapuskan begitu saja hanya dengan ucapan Ibnu Abbas ra. atau siapa pun juga yang menyatakan bahwa suatu ayat sudah dinasakh.
Sementara itu, untuk mempertemukan pengertian kedua ayat ini (maksudnya, QS. an-Najm [53]: 39 dan QS. ath-Thur [53]: 21—Penj.) juga sama sekali tidak sukar dan tidak terlarang karena”anak cucu” memang selalu mengikuti “leluhur” di akhirat, sebagaimana mereka (anak cucu) selalu mengikuti mereka (para leluhur) ketika masih hidup di dunia. Ikutnya para anak cucu dengan para leluhur ini merupakan bentuk kemuliaan para leluhur dan menjadi imbalan bagi mereka yang mereka terima berkat usaha mereka.
Adapun jika dikatakan bahwa para anak cucu dapat meraih derajat tertentu tanpa usaha yang mereka lakukan, pendapat itu tentu Saja keliru karena derajat seperti itu menjadi hak para leluhur. Allah swt menyenangkan hati mereka dengan mengajak keturunan mereka untuk bergabung dengan mereka di surga, sebab mereka memang memiliki keutamaan melebihi para anak cucu yang tidak dimiliki para anak cucu itu.
Hal ini (keutamaan yang dimiliki para leluhur) serupa dengan keutamaan yang dimiliki oleh “anak-anak surga” (wildan), para bidadar; Har ‘fn dan semua makhluk yang Allah ciptakan untuk tinggal di surga, tanpa melakukan amalan apa pun; atau orang-orang yang memasuki surga tanpa melakukan kebaikan atau amal apa pun juga.
Firman Allah swt., “Bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain,” (QS. an-Najm [53]: 38)
Dan firman Allah swt., “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. an-Najm [53]: 39)
Dua ayat yang bersifat muhkam (jelas maknanya karena bukan termasuk ayat mutasyabihat—Penj.). Kedua ayat tersebut menunjukkan keadilan Allah swt. dengan segala hikmah kebijaksanaan dan kesem. purnaan-Nya yang Mahakudus. Akan sehat dan fitrah kita telah menjadi saksi atas kedua ayat tersebut.
Ayat pertama menunjukkan bahwa Allah tidak akan menghukum siapa pun disebabkan dosa yang dilakukan orang lain, sementara ayat kedua menunjukkan bahwa siapa pun tidak akan dapat meraih apa-apa kecuali hanya dengan amal dan usahanya sendiri.
Ayat pertama memberikan jaminan keamanan kepada hamba dari kemungkinan dijatuhkannya hukuman disebabkan dosa orang lain seperti kesalahan yang sering dilakukan oleh para raja di dunia. Ayat kedua memupus ketamakan hamba atas keselamatan dirinya dengan amal perbuatan para leluhur, pendahulu dan guru-gurunya; seperti yang dilakukan oleh orang-orang tamak pendusta. Silakan Anda renungkan kebaikan dari dipadukannya kedua ayat ini!
Pembanding ayat tersebut di atas adalah firman Allah swt.,
“Barang siapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri: dan barang siapa yang sesat, sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS. al-Isra’ [17]: 15)
Allah swt. menetapkan bagi hamba-hamba-Nya empat ketetapan yang menjadi puncak keadilan dan hikmah kebijaksanaan-Nya:
Pertama: Hidayah yang diraih hamba dengan keimanan dan amal saleh adalah untuk dirinya sendiri, bukan untuk orang lain.
Kedua: Kesesatan yang menimpa hamba disebabkan pengabaiannya terhadap iman dan amal saleh pasti akan menimpa dirinya sendiri, bukan menimpa orang lain.
Ketiga: Setiap orang tidak akan dihukum karena dosa orang lain.
Keempat: Setiap orang tidak akan diazab, kecuali setelah ditegakkannya hujah atas dirinya melalui para rasul.
Silakan Anda renungkan isi keempat ketetapan tersebut di atas yang menunjukkan hikmah kebijaksanaan Allah swt. serta keadilan dan anugerah-Nya; serta sekaligus membantah orang-orang yang tertipu, tamak, dan orang-orang yang tidak mengenal Allah, asma dan sifat-Nya.
Segolongan orang lagi menyatakan bahwa yang dimaksud “manusia” dalam ayat ini (QS. an-Najm [53): 39) yaitu “manusia hidup” bukan “manusia mati”. Pendapat ini juga sama seperti pendapat keliru yang sebelumnya.
Semua pendapat salah seperti ini muncul disebabkan kekeliruan dalam memahami peralihan lafal yang bermakna umum, sementara orang yang salah dalam pemahaman lafal ini tidak membiarkan peralihan lafal tersebut untuk tetap mengikuti berbagai petunjuk yang melekat pada lafal tetapi kemudian membawanya pada pengertian yang bukan pada tempatnya dan pengertian yang dapat langsung dipahami dari lafal yang bersangkutan. Ini merupakan bentuk peralihan lafal yang jelas keliru dan menjadi batal oleh susunan kalimat, ungkapan, kaidah syariat, dalil syariat dan tradisi syariat.
Sebab munculnya peralihan lafal yang salah ini karena orang yang melakukannya meyakini suatu pendapat tunggal lalu dia menolak semua yang menunjukkan ke arah yang bertentangan dengan pendapat itu dengan cara apa pun yang selaras dengannya. Jadi menurut orang inj, dalil-dalil yang bertentangan dengan pendapatnya termasuk ranah yang dapat dibantah secara sewenang-wenang, tanpa dia peduli dengan apa dia membantah dalil-dalil itu!
Padahal semua dalil kebenaran tidak ada yang saling bertentangan dan tidak ada yang saling berlawanan. Alih-alih, semuanya justru saling membenarkan antara satu dengan yang lain.
Segolongan lagi menyatakan—ini menjadi jawaban bagi Abul Wafa’ bin ‘Aqil—bahwa jawaban yang menurut saya sangat baik yaitu dengan dikatakan bahwa “manusia” dengan “apa yang diusahakannya” dan bagusnya pergaulannya akan mendapatkan banyak teman, melahirkan anak, menikahi pasangan, melakukan kebaikan, dan berkasih sayang kepada semua orang, sehingga semua orang sayang Kepadanya serta menghadiahkan berbagai ibadah untuknya. Semua itu merupakan buah dari “apa yang diusahakannya”.
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya makanan terbaik yang dimakan oleh seseorang yaitu yang berasal dari kerjanya. Sesungguhnya anaknya merupakan dari kerjanya.”
Hal ini juga ditunjukkan oleh hadis-hadis lain yang berbunyi, “Apabila seorang hamba meninggal dunia, terputuslah darinya amalnya kecuali tiga: Ilmu yang dimanfaatkan sepeninggalnya, sedekah jariah, atau anak saleh yang berdoa untuknya.”
Dari sini Imam Syafi’i berkata, “Apabila anak dari seseorang memberinya biaya untuk perjalanan haji, itu menjadi sebab bagi wajibnya haji atas diri orang tersebut, sampai-sampai seakan itu merupakan bagian dari hartanya sebagai bekal dan ongkos perjalanan. Hal ini berbeda ketika biaya itu diberikan oleh orang asing.”
Ini merupakan jawaban tengah-tengah yang masih membutuhkan penyelesaian. Sesungguhnya seorang hamba dengan keimanan dan ketaatannya kepada Allah dan Rasulullah telah berusaha untuk meraih manfaat dengan amal perbuatan saudara-saudaranya sesama mukmin, di samping juga dengan amalnya sendiri; sebagaimana dia meraih manfaat dengan amal perbuatan mereka di kehidupan dunia, di samping juga dengan amalnya sendiri (di dunia).
Sesungguhnya semua mukmin dapat memperoleh manfaat antara satu sama lain pada semua amal perbuatan yang mereka lakukan bersama-sama. Contohnya, shalat berjemaah. Dalam shalat berjemaah, setiap orang yang ikut serta di dalamnya telah melipatgandakan pahala shalatnya menjadi dua puluh tujuh kali lipat dengan kebersamaan yang dilakukannya bersama mukmin lain dalam shalat tersebut. Dengan demikian, amal perbuatan orang lain telah menjadi sebab bagi bertambahnya pahala orang tersebut. Sebagaimana pula amal perbuatan orang itu menjadi sebab bagi bertambahnya pahala orang lain. Bahkan ada yang mengatakan bahwa pahala shalat dilipatgandakan sejumlah orang yang ikut dalam jemaah yang bersangkutan.
Hal ini juga terjadi dalam kebersamaan yang dilakukan orang-orang mukmin dalam jihad, haji, amar makruf nahi mungkar, serta bertolong-tolongnya mereka dalam kebajikan dan takwa. Rasululullah saw. bersabda, “Orang mukmin satu dengan orang mukmin lain seperti bangunan yang saling topang antara satu dengan yang lain.”
Karena mereka semua menjalin jari-jemarinya. Dan sudah diketahui bahwa hal seperti ini lebih utama dilakukan dalam urusan agama daripada urusan dunia.
Masuknya orang muslim bersama jamaah umat Islam dalam ikatan keislaman merupakan salah satu sebab paling besar bagi sampainya manfaat dari setiap muslim kepada saudara sesama muslim, baik di dalam kehidupan dunia maupun setelah kematian tiba. Doa semua kaum muslimin terus menaungi seluruh umat Islam termasuk mereka yang sudah meninggal dunia. Allah swt. telah mengabarkan tentang para malaikat pemikul Arsy dan yang di sekeliling mereka, bahwa mereka selalu memohonkan ampunan serta berdoa bagi kaum mukminin. Allah swt. juga mengabarkan ihwal doa dan istigfar permohonan ampun para rasul utusan-Nya bagi kaum mukminin, seperti yang dilakukan oleh Nuh as. dan Muhammad saw. Oleh karena itu, dengan keimanannya seorang hamba telah membuka jalan untuk mencapai doa-doa tersebut sehingga pencapaian itu seakan-akan dari usahanya sendiri.
Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa Allah swt. telah menjadikan keimanan sebagai sebab atau jalan bagi siapa pun yang memilikinya (yaitu orang beriman) untuk memperoleh manfaat dari doa saudara-saudaranya sesama mukmin, sebagaimana pula dari berbagai usaha yang mereka lakukan. Ketika manfaat itu mendatanginya, maka sebenarnya dia sudah berusaha menempuh sebab atau jalan yang menghantarkannya kepada pencapaian itu.
Hal ini telah ditunjukkan oleh sabda Rasulullah saw. kepada ‘Amr bin ‘Ash ra., “Sesungguhnya kalau ayahmu mengakui tauhid, maka itu bermanfaat baginya.” Maksudnya, pemerdekaan budak yang dilakukan oleh ‘Amr bin ‘Ash ra. setelah ayahnya meninggal dunia.
Apabila dia (ayah ‘Amr bin ‘Ash) telah menempuh sebab atau jalan (yaitu bertauhid), berarti dia sudah berusaha melakukan suatu amalan yang menghantarkannya menuju pencapaian pahala atas pemerdekaan budak (yang dilakukan anaknya—Penj.). Ini adalah sebuah cara peraihan pahala yang sangat baik.
Segolongan orang lagi menyatakan bahwa al-Quran tidak pernah menafikan diperolehnya manfaat oleh seseorang dari apa yang dilaku. kan oleh orang lain. Al-Quran hanya menafikan kepemilikan seseorang yang bukan karena usahanya. Al-Quran telah menjelaskan perbedaan antara semua itu secara gamblang. Allah swt. telah mengabarkan bahwa manusia tidak dapat memiliki apa pun kecuali hanya usahanya sendiri (La yamlik illa sa’yah), sementara usaha yang dilakukan orang lain menjadi milik orang tersebut. Akan tetapi, jika orang itu mau, dia dapat memberikannya kepada orang lain; atau jika dia mau, dia juga dapat tetap memiliki apa yang dimilikinya itu. Itulah sebabnya Allah swt. tidak menyatakan “tidak ada yang bermanfaat (bagi manusia) kecuali hanya dari apa yang dia usahakan” (La yantafi’ illa ma sa’a). Pasal Begitu pula halnya dengan firman Allah swt.,
“..Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya….” (QS. al-Baqarah [2]: 286)
Dan firman Allah swt.,
“Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikit pun dan kalian tidak dibalasi, kecuali dengan apa yang telah kalian kerjakan.” (QS. Yasin [36]: 54)
Ayat ini menjadi dalil yang paling gamblang menunjukkan bahwa isinya dimaksudkan untuk menafikan adanya hukuman terhadap seorang hamba akibat amal perbuatan orang lain. Allah swt. berfirman, “Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikit pun dan kalian tidak dibalasi, kecuali dengan apa yang telah kalian kerjakan.” (QS. Yasin [36]: 54)
Dalam ayat ini Allah swt. menafikan kemungkinan hamba-Nya akan dizalimi dengan ditambahkan keburukan lain pada keburukan-keburukan dirinya sendiri atau dikurangi kebaikan dari kebaikan-kebaikannya atau dihukum akibat perbuatan orang lain. Akan tetapi, dalam ayat ini Allah swt. tidak menafikan kemungkinan diraihnya manfaat oleh seorang hamba dari amal perbuatan orang lain, termasuk pula jika itu berupa pahala karena manfaat yang diraih oleh seorang hamba sesuai hidayah yang diikutinya bukan sebagai pahala atas amalnya. Itu menjadi semacam sedekah yang Allah swt. berikan kepadanya dan Dia anugerahkan kepadanya tanpa ada usaha apa pun dari si hamba itu sendiri, melainkan menjadi hibah bagi si hamba itu dari tangan hamba-hamba-Nya yang lain, bukan sebagai pahala.
Pasal
Adapun mengenai pengambilan dalil yang kalian lakukan dari sabda Rasulullah saw., “Apabila seorang hamba meninggal dunia maka terputuslah amalnya…dst.”, itu merupakan bentuk pengambilan dalil yang salah karena Rasulullah saw. tidak menyatakan “terputuslah manfaat baginya” (inqath’a intifa’uhu). Rasulullah saw. hanya mengabarkan bahwa yang terputus adalah “amal perbuatannya” (inqatha’a ‘amaluhu). Sementara amal perbuatan yang dilakukan orang lain menjadi milik orang lain itu. Jika kemudian orang lain itu menghibahkannya kepadanya (si orang yang sudah terputus amal perbuatannya karena sudah mati—Penj.) maka pahala amal perbuatan orang lain yang mengamalkan perbuatan itu akan sampai kepadanya (si orang mati) dan itu bukanlah pahala orang mati itu sendiri. Jadi, yang terputus adalah sesuatu hal dan yang sampai adalah sesuatu hal yang lain.
Demikian pula halnya dengan sebuah hadis lain, yaitu sabda Rasulullah saw… “Sesungguhnya di antara yang mencapai orang mat; dari kebaikan-kebaikannya dan amal perbuatannya…dst.”, Hadis-hadig ini sama sekali tidak menafikan sampainya pahala dari amal perbuatan dan kebaikan-kebaikan orang lain (yang masih hidup kepada orang yang sudah mati—Penj.).
Pasal
Adapun berkenaan dengan pernyataan kalian bahwa pemberian hadiah merupakan bentuk pengalihan. Sementara pengalihan hanya berlaku pada suatu hak yang harus ditunaikan; maka sebenarnya penga. lihan yang Anda maksud itu jika terjadi antara seseorang makhluk yang satu dengan seseorang makhluk yang lain. Adapun ketika yang terjadi yaitu pengalihan dari seseorang makhluk atas Allah sang Khalik, itu merupakan sesuatu perkara lain yang tidak dapat dikiyaskan dengan pengalihan yang terjadi antar-sesama hamba. Bukankah ini merupakan kiyas (analogi)yang paling dan rusak?
Yang membatalkan kiyas itu adalah ijmak umat Islam atas diraihnya manfaat oleh orang mati yang utangnya dilunasi oleh orang hidup atau dilakukan penunaian oleh orang yang masih hidup atas hak apa pun yang ditanggung oleh orang yang sudah mati; atau ketika terjadi pembebasan seorang pemilik hak (yang masih hidup) terhadap suatu tanggungan yang harus ditanggung olehnya (orang yang sudah mati); atau ketika dilakukan sedekah atau haji (oleh orang hidup atas nama orang mati); yang semua itu didasari oleh nas yang sama sekali tidak dapat ditolak dan dibantah; sebagaimana pula halnya puasa. Berbagai bentuk kiyas yang rusak ini tentu saja tidak dapat membantah berbagai nas dan kaidah syariat.
Pasal
Adapun berkenaan dengan pendapat kalian yang menyatakan, bahwa hukum mendahulukan orang lain atas jalan pahala hukumnya makruh—hal ini termasuk dalam ranah tindakan mendahulukan orang lain pada tindakan takarub—jadi apa lagi dengan tindakan mendahulukan orang lain atas pahala yang menjadi tujuan amal. Saya telah menanggapi pendapat ini dengan beberapa jawaban sebagai berikut:
Jawaban pertama: Kondisi kehidupan seseorang merupakan suatu kondisi yang di dalamnya tidak dapat dijamin adanya keselamatan sampai akhir hayat. itulah sebabnya ada orang hidup yang melakukan kemurtadan, padahal hal itu. sama saja dengan mendahulukan orang lain untuk bertakarub (kepada Allah) yang mungkin tidak layak menerimanya; sementara orang ini menjadi aman karena kematian.
Apabila ada yang mengatakan bahwa orang yang diberi hadiah juga mungkin saja tidak mati dalam Islam secara batiniah, sehingga tidaklah berguna hadiah yang disampaikan kepadanya; sebenarnya pertanyaan seperti ini merupakan pertanyaan yang benar-benar batil karena hadiah yang diberikan kepada orang lain, seperti yang dilakukan berupa shalat atas jenazahnya, permohonan ampunan baginya dan doa untuknya; jika orang mati itu memang layak menerimanya (maka dia akan mendapatkan manfaat dari semua itu) tetapi jika tidak, yang mendapatkan manfaatnya yaitu orang yang melakukan amalan-amalan itu sendiri.
Jawaban kedua: Tindakan mendahulukan orang lain dalam ranah takarub, menunjukkan minimnya keinginan orang yang bersangkutan untuk meraih takarub itu sendiri dan kecenderungan untuk menunda pengamalannya. Apabila tindakan mendahulukan orang lain dalam ranah ini dibolehkan, hal itu pasti akan menyebabkan malasnya semua orang untuk melakukan takarub dan kecenderungan untuk menunda-nundanya. Hal ini berbeda dengan pemberian hadiah pahala suatu tindakan takarub. Orang yang melakukan takarub itu memang sangat ingin melakukan takarub demi memperoleh pahala darinya, agar kemudian dia mendapatkan manfaat darinya atau dia memberi manfaat dari pahala itu kepada saudaranya sesama muslim. Tentu saja di antara kedua hal ini terdapat perbedaan yang jelas.
Jawaban ketiga: Allah swt. selalu menyukai kesegeraan dalam khidmat hamba kepada-Nya, bahkan para hamba diminta-Nya untuk berlomba dalam hal itu. Sebab itu merupakan bentuk ubudiah tertinggi, sebagaimana lazimnya para raja selalu menyukai kesegeraan dan berlomba-lombanya rakyatnya untuk patuh dan berkhidmat kepada mereka. Oleh Karena itu, tindakan mendahulukan orang lain dalam hal ini tentu telah memupus maksud dari ubudiah.
Allah swt. telah memerintahkan hamba-Nya untuk bertakarub kepada-Nya, baik sebagai suatu kewajiban maupun sebagai bentuk kecintaan. Itulah sebabnya, jika kemudian hamba-Nya mendahulukan orang lain untuk melakukan takarub itu, maka berarti dia telah mengabaikan apa yang Allah perintahkan kepadanya, untuk kemudian dilakukan Oleh orang lain.
Hal ini tentu berbeda dengan kondisi ketika si hamba melakukanya apa yang diperintahkan Allah kepadanya sebagai bentuk ketaatan dan takarub pada-Nya, lalu dia mengirimkan pahala apa yang dilakukannya itu kepada saudaranya sesama muslim.
Allah swt. berfirman,
“Berlomba-lombalah kalian kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhan kalian dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. al-Hadid [57]: 21)
Allah swt. juga berfirman, “…Maka berlomba-lombalah kalian (dalam berbuat) kebaikan…” (QS. al-Baqarah [2]: 148) Padahal telah diketahui bahwa tindakan mendahulukan orang lain dalam kebaikan pasti akan memupus perlombaan dan kesegeraan dalam pelaksanaannya.
Dulu, para sahabat selalu berlomba-lomba antara satu dengan lainnya dalam ranah takarub tanpa ada satu pun di antara mereka yang mendahulukan orang lain dalam hal ini. ‘Umar ra. pernah berkata, “Demi Allah, Abu Bakar tidak pernah mendahuluiku dalam suatu kebaikan, kecuali dia memintaku berlomba mengejar kebaikan itu.” Sampai-sampai ‘Umar ra. pernah berkata, “Demi Allah aku tidak mampu berlomba denganmu menuju kebaikan sampai kapan pun.”
Allah swt. berfirman,
“Laknya adalah kesturi; dan untuk yang demikian itu hendaknya
orang berlomba-lomba.” (QS. al-Muthaffifin [83]: 26)
Kata na-fa-sa, munafasah dan nifas digunakan ketika seseorang ingin menyampaikan “perlombaan” (mubarah). Itulah sebabnya.
sesuatu yang mahal harganya selalu disebut “nafis” karena semua orang selalu berlomba-lomba untuk mendapatkannya. Orang Arab juga biasa menyebut “anfas mali” (harta saya yang paling berharga) untuk menyebut sesuatu yang paling disukai. Semua kata ini merupakan antonim dari kata itsar (mendahulukan orang lain) dan ketidaksukaan.
Pasal
Adapun berkenaan dengan pernyataan kalian bahwa apabila pemberian hadiah kepada orang mati dibolehkan, sehingga berarti dibolehkan pula pemberian hadiah kepada orang hidup; maka jawaban atas pernyataan itu dapat disampaikan melalui dua sisi sebagai berikut:
Pertama: Sebagian ahli fikih pengikut Imam Ahmad dan lainnya memilih pendapat ini. Qadhi menyatakan bahwa pernyataan Ahmad tidak berkonsekuensi pada terjadinya takhsis pada orang mati karena dia menyatakan, “Dia melakukan kebaikan lalu menyerahkan setengahnya kepada ayah dan ibunya” tanpa membedakan semua itu.
Abul Wafa’ bin ‘Aqil membantah ucapan Ahmad itu dengan menyatakan bahwa di dalamnya terdapat pengertian yang jauh dari kebenaran, bahkan merupakan bentuk sikap main-main terhadap syariat, penyimpangan dari amanat Allah dan penantangan terhadap Allah swt. dengan pahala amal yang dialihkan kepada orang lain. Setelah kematian, Allah swt. telah membuatkan untuk manusia suatu jalan yang menghantarkan manfaat kepada orang mati seperti istigfar permohonan ampun dan shalat terhadap mayat.
Setelah itu disampaikan sebuah pertanyaan kepada dirinya, yaitu: Apabila ditanyakan bahwa bukankah tindakan melunasi utang dan memikul beban yang dilakukan di saat masih hidup sama seperti ketika tindakan-tindakan seperti itu dilakukan setelah mati? Tanggungan orang hidup sama dengan tanggungan orang mati; yaitu bahwa keduanya dapat menghilangkan tuntutan darinya. Apabila pelunasan utang setelah kematian terjadi dan ketika orang yang bersangkutan masih hidup sama-sama “sampai” (maksudnya, sampai kepada pemilik piutang), berarti kalian harus menetapkan bahwa pahala yang dihadiahkan juga sampai baik di saat masih hidup maupun di saat sudah meninggal.
Pernyataan ini lalu dijawab dengan dinyatakan bahwa apabila pernyataan ini benar, berarti dosa-dosa yang dimiliki seseorang yang masih hidup dapat dihapuskan dengan tobat yang dilakukan oleh orang lain yang bertobat atas nama si pemilik dosa itu, sebagaimana seseorang juga dapat terhindar dari dosa-dosa di akhirat berkat amal perbuatan dan istigfar yang dilakukan orang lain.
Saya katakan di sini bahwa hal seperti itu tidak pasti akan terjadi seperti itu. Alih-alih hal itu dikembalikan kepada manfaat yang didapatkan orang hidup berkat doa orang lain untuknya, istigfar orang lain untuknya, sedekah atas namanya, dan pelunasan utang-utangnya. ini benar adanya. Rasulullah saw. telah mengizinkan penunaian ibadah haji atas nama orang yang masih hidup tetapi cacat dan lemah, padahal mereka masih hidup.
Sahabat-sahabatnya yang lain menanggapi bahwa kondisi Orang yang masih hidup tidak dapat membuat kita yakin bahwa orang hidup yang bersangkutan pasti selamat hingga akhir hayatnya. Dikarenakan ada kekhawatiran orang yang menerima suatu hadiah ternyata murtad, sehingga menjadi tidak berguna apa yang dihadiahkan kepadanya.
Ibnu ‘Aqil menyatakan bahwa ini merupakan bentuk dalih yang batil dengan adanya hadiah orang yang masih hidup ini karena dia tidak dapat dijamin akan murtad lalu mati, sehingga seluruh amalnya menjadi gugur yang termasuk di antaranya adalah pahala dari apa yang dia hadiahkan kepada orang yang sudah mati.
Saya nyatakan bahwa ini tidak pasti bagi mereka karena maksud dari nas dan ijmak membatalkannya dan menolaknya. Juga sesungguhnya Rasulullah saw. mengizinkan haji dan puasa atas nama orang mati, Semua orang juga sudah berijmak akan terbebasnya tanggungan orang yang berutang dari utangnya apabila ada orang hidup yang melunasi utang tersebut, dengan segala kemungkinan yang sudah disebutkan tadi.
Jawaban atas pernyataan di atas, yaitu dengan mengatakan bahwa apa yang dihadiahkan berupa amal kebajikan kepada orang mati, sudah menjadi miliknya sehingga tidak akan menjadi batal disebabkan kemurtadan orang yang melakukannya setelah sesuatu itu (yaitu hadiah pahala—Penj.) keluar dari kepemilikannya, sebagaimana halnya semua tindakannya yang dia lakukan sebelum murtad semisal tindakan pemerdekaan budak atau kafarat.
Bahkan apabila seseorang melakukan haji atas nama seseorang yang cacat, kemudian orang itu murtad. Setelah itu, maka bagi si orang cacat itu tidak perlu ada orang lain lagi yang melaksanakan haji lagi (selain haji yang sudah dilaksanakan oleh orang yang kemudian murtad) atas namanya, Bahkan hal seperti itu tidak dapat dijamin pada yang kedua atau yang ketiga.
Perbedaan antara orang hidup dan orang mati adalah bahwa orang hidup tidak membutuhkan hal-hal yang dibutuhkan oleh orang yang sudah mati. Hal itu karena memungkinkan baginya untuk melakukan amalan yang bersangkutan atau yang sepadan dengannya, sehingga dia dapat meraih pahala sendiri dengan usahanya sendirian, berbeda dengan orang yang sudah mati.
Selain itu, pendapat seperti itu akan menyebabkan terjadinya sikap mengandalkan orang lain oleh orang-orang tertentu yang masih hidup. Hal ini merupakan bentuk kerusakan yang besar. Apabila kemudian orang-orang kaya yang memiliki banyak harta memiliki pemahaman seperti itu dan mereka meyakininya, mereka pasti akan menyewa orang untuk melakukan ibadah atas nama mereka. Kalau sudah demikian, maka berarti ketaatan kepada Allah dapat dipertukarkan dan hal itu akan menyebabkan gugurnya segala bentuk ibadah dan berbagai amalan sunah. Bahkan berbagai ibadah yang semula diniatkan sebagai bentuk takarub kepada Allah akan berubah menjadi bentuk takarub kepada manusia, sehingga nilai keikhlasan pun dilanggar dan akhirnya tidak ada satu pun di antara keduanya yang mendapatkan pahala.
Kami melarang tindakan mengambil upah atas setiap pelaksanaan takarub atau ibadah. Bahkan kami nyatakan bahwa ibadah apa pun yang dilakukan dengan upah pahalanya menjadi gugur. Termasuk ibadah dalam bentuk pemberian putusan, fatwa, pengajaran, shalat, baca al-Quran, dan sebagainya. Allah tidak akan memberi pahala pada semua ibadah seperti itu, kecuali hanya bagi orang yang ikhlas dan menyerahkan amal ibadah mereka semata-mata hanya untuk keridhaan Allah swt. Apabila seseorang melakukan ibadah semata-mata hanya untuk mendapatkan upah, maka padahal tidak akan didapat baik oleh si pelaku maupun oleh si pemberi upah.
Amatlah tidak selaras dengan nilai-nilai kebaikan syariat jika seseorang menjadikan amal ibadah yang seharusnya dilakukan ikhlas hanya demi Allah, lalu diubah menjadi pekerjaan yang tujuannya hanya upah dan imbalan duniawi. Kemudian hal itu dibedakan dengan pelunasan utang yang merupakan hak manusia (haqq adamiy) yang dapat diwakilkan antara satu dengan lainnya. Itulah sebabnya hal itu hukumnya boleh baik ketika orang yang bersangkutan masih hidup maupun setelah Mati
Pasal
Adapun berkenaan dengan pernyataan kalian bahwa hal itu di bolehkan, maka menjadi boleh pula penghadiahan setengah atau seperempat pahala orang yang masih hidup kepada orang yang sudah mati kami akan menjawabnya dari dua sisi:
Pertama, pernyataan itu tidak dapat dipastikan karena kalian tidak, menyebutkan dalil apa pun atas pendapat kalian itu, selain hanya berupa anggapan.
Kedua, pernyataan itu dapat dipastikan sehingga pendapat itu dapat diikuti. Pendapat ini disampaikan oleh Imam Ahmad dalam riwayat dari Muhammad bin Yahya al-Kahbhal. Dalih pendapat ini yaitu bahwa pahala merupakan miliknya (si pelaku) sehingga dia dapat menghadiahkan seluruhnya, sebagaimana dia juga dapat menghadiahkan sebagiannya. Penjelasannya, apabila si pelaku ibadah menghadiahkan pahala ibadahnya untuk—misalnya—empat orang, berarti masing-masing orang akan mendapatkan seperempat. Apabila si pelaku ibadah menghadiah. kan seperempat dari pahala amalnya, lalu dia tetap mengambil pahala yang sisanya, itu boleh, seperti halnya apabila dia menghadiahkan seluruhnya untuk orang lain.
PASAL
Kalian berpendapat bahwa apabila hal itu dibolehkan, maka dibolehkan pula penghadiahannya kepada orang lain setelah si pelaku melaksanakan amal yang bersangkutan itu untuk dirinya sendiri. Kalian juga berpendapat bahwa si pelaku harus berniat menghadiahkan pahala amalnya kepada orang mati ketika dia melaksanakan amal ibadah yang dilakukannya karena jika itu tidak dilakukan, maka pahalanya tidak akan sampai.
Jawaban atas pernyataan kalian itu, yaitu bahwa masalah tersebut tidak pernah dinukil dari Imam Ahmad dan tidak pula terdapat dalam pernyataan orang-orang kalangan awal di antara para pengikut Imam Ahmad. Yang menyampaikan pendapat seperti itu, yaitu al-Qadhi dan para pengikutnya.
Ibnu ‘Aqil menyatakan bahwa, apabila seseorang melaksanakan suatu ibadah berupa shalat, puasa atau membaca al-Quran, lalu dia menghadiahkan pahalanya kepada orang muslim yang sudah meninggal dunia. Pahala itu akan sampai kepada si orang mati dan akan permanfaat baginya, dengan syarat orang yang melakukan ibadah itu harus mengawali ibadahnya dengan niat memberikan pahala amalnya sebagai hadiah (bagi orang lain) atau niat itu dilekatkan bersama ibadah yang bersangkutan.
Abu “’Abdullah bin Hamdan menyatakan dalam ar-Ri’ayah bahwa parang siapa yang melakukan ibadah secara tathawwu’ (sunah) berupa sedekah, shalat, puasa, haji, umrah, membaca al-Quran, pemerdekaan pudak dan berbagai bentuk ibadah fisik lain yang dapat diwakilkan oleh orang lain atau ibadah material. Setelah itu, orang yang melakukannya akan menyerahkan seluruh pahalanya atau sebagiannya kepada seorang muslim yang sudah meninggal. Bahkan seandainya orang mati itu adalah Rasulullah saw. dan dia mendoakan orang mati itu, memohonkan ampunan baginya, atau menunaikan hak syariat yang ditanggung orang mati itu, atau yang dilakukan oleh si pelaku ibadah itu adalah ibadah wajib yang sah diwakilkan, maka semua itu akan bermanfaat bagi si orang mati dan pahala ibadah itu juga akan sampai kepadanya.
Akan tetapi, ada yang menyatakan bahwa apabila si pelaku ibadah meniatkannya (penyerahan pahala kepada orang lain—Penj.) ketika dia sedang melaksanakan ibadah yang bersangkutan atau sebelum itu; pahala ibadah itu akan sampai kepada orang lain yang dimaksud; namun apabila tidak seperti itu, pahala ibadah tersebut tidak akan sampai kepada orang lain itu.
Satu hal yang tersembunyi dari masalah ini, yaitu apakah disyaratkan dicapainya pahala secara langsung oleh orang yang menerima hadiah pahala itu ataukah pahala itu akan diberikan terlebih dulu kepada si pelaku ibadah lalu darinya pahala itu berpindah kepada orang lain?
Orang yang mensyaratkan pelaku untuk berniat sebelum melaksanakan ibadah yang dilakukannya atau setelah dia selesai melaksanakan ibadah itu menyatakan bahwa apabila si pelaku ibadah tidak meniatkan hal itu (pengalihan pahalanya kepada orang lain—Penj.), maka pahala ibadahnya adalah untuk si pelaku itu sendiri. Pahala itu tidak dapat dialihkan darinya kepada orang lain karena sesungguhnya pahala mengikuti amal, seperti ikutnya akibat pada penyebabnya.
Oleh karena itulah, apabila seseorang memerdekakan Seorang budak atas nama dirinya sendiri, maka hak perwalian (wala’) buda itu melekat padanya. Apabila dia (pemerdeka budak) mengalihkan hak wala’ itu kepada orang lain setelah pemerdekaan dilakukan, maka hak wala’ itu tidak dapat berpindah. Hal ini berbeda apabila seseorang memerdekakan seorang budak atas nama orang lain, hak perwalian (wala’) budak itu melekat pada orang lain itu yang si budak dimerdekakan atas namanya.
Begitu pula apabila seseorang melunasi utang atas nama dirinya lalu setelah pelunasan dilakukan dia ingin mengalihkan pelunasan itu kepada orang lain, dia tidak boleh melakukan hal itu. Demikian pula, halnya apabila seseorang melakukan ibadah haji, puasa atau shalat atau nama dirinya sendiri, setelah itu dia ingin menjadikan pahala ibadah, nya itu untuk orang lain, dia tidak boleh melakukan hal itu.
Ketentuan ini ditegaskan oleh orang-orang yang bertanya kepada Rasulullah saw. tentang hal ini tidak pernah bertanya kepada beliau tentang menghadiahkan pahala suatu amal ibadah setelah amal yang bersangkutan itu selesai dilakukan. Yang mereka tanyakan adalah tentang amal ibadah yang akan mereka lakukan atas nama orang yang sudah meninggal dunia.
Contohnya seperti ucapan Sa‘d, “Apakah bermanfaat baginya apabila aku bersedekah atas namanya?” Saat itu Sa‘d tidak bertanya, “Apakah aku dapat menghadiahkan kepadanya pahala dari apa yang sudah kusedekahkan atas namaku sendiri?”
Demikian pula halnya pertanyaan seorang perempuan kepada Rasulullah saw., “Apakah aku dapat melaksanakan haji atas namanya?” dan ucapan seorang lelaki lain, “Apakah aku dapat melaksanakan haji atas nama ayahku?”
Rasulullah saw. lalu menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka itu dengan izin untuk melaksanakan perbuatan atas nama orang-orang yang sudah mati itu, bukan dengan menghadiahkan pahala dari apa-apa yang mereka amalkan untuk diri mereka sendiri kepada orang-orang yang sudah mati itu. Hal seperti ini tidak pernah sekalipun diketahui bahwa Rasulullah saw. pernah ditanya tentang itu dan tidak pernah diketahui bahwa ada seorang sahabat beliau yang pernah melakukannya dan berkata, “Wahai Allah, jadikanlah untuk si Fulan pahala amal saya yang terdahulu!” atau “…pahala apa yang sudah saya lakukan untuk diri saya!”.
Ini merupakan rahasia dari syarat dan dia lebih memahami. Orang yang tidak mensyaratkan hal itu berkata bahwa pahala adalah milik orang yang melakukan. Apabila kemudian dia menghadiahkannya kepada orang lain, maka itu sama seperti dia menghadiahkan sesuatu dari hartanya.
Pasal
Adapun berkenaan dengan pernyataan kalian bahwa apabila pemberian hadiah dibolehkan, berarti dibolehkan pula pemberian hadiah pahala amalan-amalan wajib yang harus dilaksanakan oleh orang yang masih hidup.
Jawaban atas pernyataan itu, bahwa hal seperti itu hukumnya mustahil berdasarkan landasan yang digunakan oleh orang yang mensyaratkan sampainya (pahala kepada orang mati) harus disertai dengan niat amal atas nama orang mati yang bersangkutan karena sesungguhnya kewajiban tidak sah untuk dilakukan atas nama orang lain. Kewajiban itu merupakan kewajiban atas si pelaku yang bersangkutan dan wajib atas dirinya untuk meniatkan apa yang dilakukannya itu untuk bertakarub kepada Allah swt.
Adapun menurut orang yang tidak mensyaratkan niat amal atas nama orang lain, lalu apakah menurutnya dibolehkan untuk menjadikan pahala kewajiban sebagai milik orang yang sudah mati?
Jawaban atas pertanyaan ini ada dua:
Abu ‘Abdullah bin Hamdan berkata, “Telah dikatakan bahwa apabila yang dihadiahkan oleh pelaku amal merupakan pahala ibadah wajibnya seperti shalat, puasa, dan sebagainya; hal itu boleh dan amalan tersebut sah bagi si pelaku.”
Saya nyatakan bahwa telah dinukil dari sekelompok orang bahwa mereka telah menjadikan pahala amal-amal mereka yang berupa amalan wajib dan amalan sunah, untuk kaum muslimin. Mereka lalu menyatakan bahwa mereka akan menghadap Allah dalam keadaan miskin dan bangkrut total!
Syariat tentu tidak dapat melarang sikap seperti itu karena pahala adalah milik pelaku amal. Apabila dia mau, dia dapat menyerahkannya kepada orang lain karena memang tidak ada larangan atas itu. Walléhu a’lam.
Pasal
Adapun mengenai pernyataan kalian bahwa semua taklif merupakan ujian dan cobaan sehingga tidak boleh dibadalkan, sebab tujuan dari semua taklif, yaitu mukalaf yang bersangkutan.
Jawaban atas pernyataan itu, yaitu bahwa pendapat seperti itu tidak dapat menghalangi adanya izin dari syari’ bagi orang muslim untuk memberi manfaat kepada saudaranya dengan sesuatu dari amalnya Alih-alih, hal itu merupakan bentuk kesempurnaan kebaikan Allah serta rahmat-Nya bagi hamba-hamba-Nya. Sebagaimana itu juga merupakan bentuk kesempurnaan syariat Islam yang telah ditetapkan bagi mereka, yang landasan syariat itu adalah keadilan, kebaikan dan Sikap saling tolong-menolong.
Allah swt. telah memerintahkan para malaikat dan para pemikul arsy-Nya untuk berdoa bagi hamba-hamba-Nya yang mukmin, ber. istighfar memohonkan ampunan bagi mereka semua, serta Meminta kepada-Nya agar melindungi mereka dari segala keburukan.
Allah swt. juga memerintahkan kepada Rasul terakhir-Nya saw. untuk beristighfar memohonkan ampunan bagi kaum mukminin dan muk. minat, serta menempatkan beliau di Hari Kiamat pada Tempat Terpuji (maqam mahmad), sehingga beliau dapat memberi syafaat kepada para pengikutnya dan para pemegang sunahnya yang melakukan kemasiatan.
Allah swt. juga telah memerintahkan kepada Rasulullah saw. untuk mendoakan para sahabat-sahabat beliau baik ketika mereka masih hidup maupun setelah mereka mati, sehingga Rasulullah saw. diketahui sering berdiri di dekat kuburan para sahabat dan mendoakan mereka.
Syariat dengan tegas telah menetapkan bahwa dosa yang harus ditanggung oleh semua orang akibat mereka semua meninggalkan suatu amalan fardu kifayah akan langsung gugur apabila ada orang yang melaksanakan amalan tersebut sesuatu yang dimaksud, meskipun yang melakukan itu hanya satu orang.
Allah swt. telah menghapuskan tanggungan dan rasa panas kulit orang mati di dalam kuburnya apabila ada orang yang masih hidup yang menanggung utang orang mati tersebut lalu melunasinya. Walaupun utang itu merupakan kewajiban yang menjadi ujian yang merupakan hak mukalaf.
Rasulullah saw. telah mengizinkan pelaksanaan haji dan puasa atas nama orang yang sudah mati, walaupun kewajiban-kewajiban seperti itu merupakan ujian pada haknya.
Rasulullah saw. juga menggugurkan kewajiban Sujud Sahwi dari makmum dengan sahnya shalat imam yang bersih dari kealpaan, sebagaimana beliau juga menggugurkan kewajiban membaca Surah al-Fatihah dari makmum dengan bacaan surah tersebut oleh imam. Jadi, imamlah yang menanggung kealpaan, bacaan, dan sutrah makmum karena bacaan dan sutrah imam menjadi bacaan dan sutrah bagi orang-orang yang bermakmum di belakangnya.
Bukankah kebaikan kepada mukalaf dengan menghadiahkan pahala kepadanya itu tidak lain merupakan bentuk pengharapan akan kebaikan Allah swt.? Karena Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik. “Semua makhluk adalah keluarga Allah, maka yang paling Dia cintai di antara mereka adalah yang paling bermanfaat bagi keluarga-Nya.” Apabila Allah swt. mencintai orang yang bermanfaat bagi keluarga-Nya meski manfaat itu hanya berupa seteguk air, sececap susu atau secuil roti; lantas bagaimanakah kiranya kecintaan Allah kepada hamba-Nya yang bermanfaat bagi hamba-Nya yang lain di saat hamba-hamba-Nya yang lain itu berada dalam kondisi lemah, miskin, tidak dapat beramal lagi, dan mereka benar-benar membutuhkan hadiah pahala melebihi kebutuhan mereka sebelumnya! Orang yang paling Allah cintai adalah siapa yang paling bermanfaat bagi keluarga-Nya dalam kondisi seperti itu.
Atas dasar inilah kemudian muncul sebuah atsar dari kalangan salaf yang berbunyi, “Barang siapa yang setiap hari merapalkan tujuh puluh kali bacaan,
“Wahai Allah ampunilah aku, kedua orang tuaku, kaum muslimin, kaum muslimat, kaum mukminin dan kaum mukminat”. Niscaya dia akan mendapatkan pahala sebanyak bilangan orang muslim, muslimat, mukmin, dan mukminat.
Anda tidak boleh menganggap mustahil hal seperti ini karena apabila seorang muslim beristighfar memohonkan ampunan bagi saudara-saudaranya, berarti dia sudah berbuat baik kepada mereka dan Allah swt. tidak mungkin menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.
Pasal
Berkenaan dengan pernyataan kalian bahwa apabila amal seseorang bermanfaat bagi orang lain, berarti dapat bermanfaat pula tobat yang dilakukan oleh seseorang atas nama orang lain dan keislaman yang dilakukan seseorang atas nama orang lain; pernyataan seperti itu merupakan bentuk ketidakjelasan yang dapat disampaikan dengan dua bentuk sebagai berikut:
Bentuk yang menunjukkan adanya kepastian yang di dalamnya dinyatakan adanya kepastian antara dua hal, lalu dijelaskan mengenai gugurnya hal yang memastikan sehingga menjadi gugur pula hal yang dipastikan. Maksudnya, apabila seseorang dapat memperoleh manfaat dari amal yang dilakukan orang lain atas namanya, berarti seseorang juga dapat memperoleh manfaat dari keislaman atau tobat yang dilakukan orang lain atas nama dirinya. Ketika ternyata hal seperti itu tidak bermanfaat baginya, maka berarti tidak bermanfaat pula amal yang dilakukan orang lain itu.
Bentuk kedua yaitu dengan mengatakan bahwa keislaman dan tobat yang dilakukan orang lain tidak bermanfaat bagi seseorang sehingga kalau demikian maka tidak bermanfaat pula baginya shalat, puasa, dan bacaan al-Quran orang lain bagi diri seseorang itu.
Padahal telah diketahui dengan jelas bahwa hubungan kepastian dan keterkaitan seperti ini adalah batil berdasarkan beberapa alasan berikut ini:
Alasan pertama karena itu merupakan bentuk analogi yang berbenturan dengan apa yang sudah dijelaskan secara gamblang oleh nas dan berbenturan pula dengan ijmak umat Islam.
Alasan kedua karena pendapat di atas merupakan bentuk penggabungan antara hal-hal yang Allah swt. telah pisahkan. Allah swt. telah memisahkan antara keislaman seseorang atas nama orang lain dengan tindakan bersedekah, berhaji, dan memerdekakan budak atas nama lain. Kiyas yang menyamakan antara kedua perkara yang berbeda itu sama saja dengan kiyas yang dilakukan oleh orang-orang yang menyamakan antara binatang bangkai dengan binatang yang disembelih secara sah atau menyatakan antara riba dengan jual-beli.
Alasan ketiga karena Allah swt. telah menjadikan Islam sebagai jalan bagi kaum muslimin untuk saling memberi manfaat antara satu sama lain, baik dalam kehidupan maupun setelah kematian. Oleh karena itu, apabila seseorang tidak menempuh jalan manfaat yang didapat melalui amal perbuatan orang-orang muslim, tentu dia tidak dapat memperoleh manfaat tersebut. Hal inilah yang dinyatakan oleh Rasulullah saw. kepada ‘Amr ra., “Sesungguhnya ayahmu, apabila dia mengakui tauhid lalu engkau berpuasa dan bersedekah atas namanya, itu bermanfaat baginya.”
Hal ini serupa dengan tindakan Allah swt. yang telah menjadikan islam sebagai jalan menuju diperolehnya manfaat oleh hamba dari kebaikan yang dilakukannya. Apabila seorang hamba mengabaikan jalan ini, tidak akan bermanfaat amal perbuatannya dan tidak akan diterima kebaikan darinya.
Hal ini serupa dengan tindakan Allah swt. menjadikan ikhlas dan ittiba’ sebagai jalan bagi diterimanya amal ibadah. Apabila dua hal itu tidak dipenuhi, amal perbuatan hamba tentu tidak akan diterima. Hal ini serupa dengan tindakan Allah swt. yang telah menetapkan wudhu dan semua syarat sah shalat sebagai jalan bagi sahnya shalat. Apabila syarat-syarat sah shalat tidak dipenuhi, maka sahnya shalat tentu juga tidak akan tercapai.
Demikianlah seterusnya kondisi semua bentuk jalan dan tujuan yang dicapai melalui jalan-jalan tersebut baik dilihat dari segi syariat, akal, maupun perasaan. Siapa pun yang menyamakan antara dua kondisi ini, yaitu kondisi adanya jalan dan tidak adanya jalan, dapat dipastikan bahwa dia telah keliru.
“Kegilaan” ini sebanding dengan pendapat yang menyatakan bahwa apabila syafaat bagi para pemaksiat dapat diterima, pasti akan diterima pula syafaat bagi orang-orang musyrik. Apabila para pelaku dosa besar dari kalangan Ahli Tauhid (kaum mukminin) kelak akan dapat keluar dari neraka, berarti orang-orang kafir juga akan dapat keluar dari neraka.
Dan masih banyak bentuk-bentuk kiyas yang sebenarnya muncul dari kenajisan pikiran dan kebusukan mulut orang-orang yang melakukannya! Singkatnya, sebenarnya yang lebih utama dilakukan oleh para ulama adalah tidak menyibukkan diri untuk membantah berbagai bentuk racauan ini, kalau bukan karena orang-orang sesat itu telah mengotori lembaran-lembaran amal ibadah dan hubungan baik anta, warga masyarakat!
Pasal
Berkenaan dengan pendapat kalian yang menyatakan bahwa ibadah ada dua jenis: Jenis pertama, yaitu ibadah-ibadah yang dapat diwakilkan sehingga hadiah pahala ibadah seperti itu akan dapat sampai kepada orang yang sudah mati. Jenis kedua, yaitu ibadah-ibadah yang tidak dapat diwakilkan, sehingga hadiah pahala ibadah seperti itu tidak akan dapat sampai kepada orang lain.
Apa yang kalian sampaikan itu merupakan pendapat yang sama-sama keliru seperti pendapat-pendapat kalian yang sebelumnya, jadi bagaimana mungkin kalian dapat berhujah dengan pendapat salah seperti itu? Dari manakah kalian menemukan pembagian ibadah seperti itu? Dari ayat al-Quran yang mana? Dari hadis-hadis yang mana? Atay dari hasil pemikiran yang manakah yang melahirkan pendapat seperti itu sehingga pendapat kalian itu harus diikuti?
Rasulullah saw. telah mensyariatkan puasa yang dilakukan atas nama orang yang sudah mati, padahal puasa termasuk ibadah yang tidak dapat diwakilkan kepada orang lain. Rasulullah saw. juga telah mensyariatkan bagi umat Islam untuk saling mewakilkan antar-sesama mereka dalam pelaksanaan ibadah-ibadah yang hukumnya fardu kifayah. Apabila ada satu orang saja yang sudah melaksanakan suatu ibadah fardu kifayah, maka orang itu sudah cukup mewakili semua muslim yang lain sehingga gugurlah dosa mereka semua berkat amalan satu orang itu.
Rasulullah saw. juga telah mensyariatkan bagi pengasuh anak kecil yang belum matang akalnya untuk mewakili si anak kecil ketika melaksanakan ibadah haji dalam pelaksanaan ihram dan manasik lainnya.
Bahkan beliau menyatakan bahwa si anak kecil tetap mendapatkan pahala atas apa yang dilakukan oleh pengasuh yang mewakilinya dalam ibadah itu.?
Abu Hanifah menyatakan bahwa seorang pendamping boleh melaksanakan ihram atas nama seseorang yang sedang pingsan. Para pengikut Mazhab Hanafi menyatakan bahwa ihram yang dilakukan si pendamping itu sama kedudukannya dengan ihram orang yang pinggall tersebut.
Syari’ (pemberi syariat) telah menetapkan bahwa keislaman kedua orang tua sama kedudukannya dengan keislaman anak-anak mereka. begitu pula halnya keislaman orang yang menawan tawanan dan orang yang memiliki budak, menurut pendapat yang umum.
Anda telah dapat melihat betapa syariat yang sempurna ini telah menetapkan bahwa berbagai perbuatan bajik yang dilakukan pelakunya dapat menjangkau orang lain. Jadi bagaimana mungkin dapat dinyatakan bahwa syariat menghalangi hamba Allah untuk dapat memberi manfaat bagi kedua orang tuanya, karib-kerabatnya, dan saudara-saudaranya sesama muslim di saat-saat mereka sedang sangat membutuhkan kebaikan dan kebajikan yang dilakukan si hamba, lalu pahalanya dihadiahkan kepada mereka?
Dan bagaimana mungkin pula seorang hamba dapat menghalangi dirinya sendiri atau dihalangi oleh orang lain atas seseorang, yang sydri’ sendiri tidak pernah menghalangi si hamba untuk mendapatkan pahala dari amal ibadah yang dilakukan si hamba itu, untuk kemudian dia alihkan sebagian dari pahala ibadah apa pun yang dia lakukan itu kepada siapa pun sekehendaknya dari kalangan umat Islam? Sementara hal yang menyebabkan sampainya pahala haji, sedekah, dan pemerdekaan budak (dari seseorang kepada orang lain—Penj.) adalah sesuatu yang ( sama dengan apa yang menyebabkan sampainya pahala puasa, shalat, membaca al-Quran, dan iktikaf; yaitu Islam yang dihidayahkan kepadanya, kerelaan pemberi hadiah dengan segala kebaikannya, dan tidak adanya halangan dari syari’ terhadap hamba untuk berbuat baik karena syari’ juga mendorong hamba untuk melakukan kebaikan dengan jalan apa pun.
Telah ada begitu banyak mimpi yang dialami oleh orang-orang mukmin yang diriwayatkan oleh begitu banyak orang dari generasi ke generasi, yang menunjukkan adanya pengabaran dari orang-orang yang sudah mati kepada orang-orang yang masih hidup mengenai sampainya hadiah yang diberikan oleh mereka yang masih hidup kepada mereka yang sudah mati, baik itu berupa bacaan al-Quran, shalat, sedekah, haji, maupun ibadah-ibadah lainnya.
Kalau saja semua yang diceritakan kepada kami oleh orang-orang di masa sekarang dan berbagai riwayat yang kami terima dari orang-orang terdahulu mengenai hal ini kami sampaikan di sini, pastilah pemaparannya akan menjadi sangat panjang.
Rasulullah saw. bersabda, “Aku melihat mimpi-mimpi kalian menunjukkan satu hal yang sama pada sepuluh yang terakhir.’’ Rupanya Rasulullah saw. mengambil iktibar dari mimpi-mimpi serupa yang dialami oleh orang-orang mukmin. Hal ini sama seperti ketika diambil iktibar dari riwayat-riwayat yang serupa yang kemudian me. reka riwayatkan beramai-ramai tentang apa yang mereka saksikan, Kaum muslimin mustahil berdusta dalam periwayatan—termasuk dalam perkara mimpi—apabila berbagai riwayat yang mereka riwayatkan itu bermiripan.
Pasal
Berkenaan dengan bantahan yang kalian sampaikan terhadap hadis-hadis Rasulullah saw. yang berbunyi,
“Barang siapa yang meninggal dengan menanggung puasa, hendaklah walinya yang berpuasa atas namanya.”
Dengan beberapa sisi yang kalian sampaikan; maka kami ingin membela hadis-hadis Rasulullah saw. dan menjelaskan kesesuaiannya dengan bagian yang benar dari beberapa sisi itu. Adapun untuk bagian yang bathil dari apa yang kalian sampaikan, maka kami rasa cukuplah kebatilan itu bertentangan dengan hadis-hadis sahih yang jelas yang sama sekali tidak boleh disangkal dan tidak boleh disikapi dengan cara apa pun ketika kita menerima, kecuali hanya dengan mendengar, menaati, tunduk, dan menerimanya karena kita tidak memiliki hak untuk memilih lagi setelah adanya hadis-hadis sahih. Alih-alih, pilihan yang ada hanyalah dengan menerimanya, termasuk walaupun hadis-hadis itu ditentang oleh semua orang yang ada di antara timur dan barat.
Adapun berkenaan dengan pernyataan kalian bahwa kalian akan menolak hadis-hadis itu dengan menggunakan pendapat Imam Malik dalam al-Muwaththa yang berbunyi, “Tidak boleh ada seorang pun yang berpuasa atas nama orang lain”, maka sebenarnya orang-orang yang membantah kalian menyatakan bahwa mereka akan membantah pernyataan Imam Malik itu dengan sabda Rasulullah saw. Kalau sudah seperti itu, maka kelompok manakah yang lebih benar dan lebih bagus bantahannya?
Adapun berkenaan dengan pernyataan kalian bahwa Imam Malik menyatakan bahwa hal itu sudah menjadi ijmak yang tidak ada perselisihan lagi di dalamnya; maka sebenarnya Imam Malik rahimahullah tidak pernah menyampaikan ijmak umat ini dari semua muslim yang ada di antara timur bumi sampai baratnya karena yang Imam Malik sampaikan, yaitu pendapat penduduk Madinah yang sampai kepadanya dan memang tidak ada bantahan atas pendapat itu yang sampai kepadanya. Apalagi posisi Imam Malik rahimahullah yang tidak mengetahui adanya perselisihan pendapat dalam hal itu tidak dapat menggugurkan hadis-hadis Rasulullah saw. Alih-alih, apabila semua penduduk Madinah berijmak atas sesuatu, maka mereka pasti akan berijmak bahwa mengambil hadis-hadis dari sosok yang maksum (yaitu Rasulullah saw.) jauh lebih utama daripada mengambil pendapat penduduk Madinah yang sama sekali tidak dijamin kemaksuman mereka dalam pendapat dan pernyataan mereka. Dan lagi, Allah swt. dan Rasulullah saw. tidak pernah menetapkan bahwa pendapat penduduk Madinah adalah hujah yang harus ditolak semua yang bertentangan dengannya. Allah swt. justru berfirman,
“..kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.” (QS. an-Nisa’ [4]: 59)
Apabila Imam Malik dan penduduk Madinah telah menyatakan bahwa tidak boleh ada seorang pun yang berpuasa atas nama orang lain, maka Hakam bin “Utaibah dan Salamah bin Kuhail telah meriwayatkan dari Said bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbas, bahwa dia memfatwakan dalam, perkara qada’ puasa Ramadhan: Hendaklah diberikan makanan atas nama orang yang bersangkutan, sementara pada puasa nazar: Hendaklah dilakukan puasa atas nama orang yang bersangkutan. Ini menjadi mazhab Imam Ahmad dan mayoritas Ahli Hadis dan juga merupakan pendapat Abu’ Ubaid.
Abu Tsaur menyatakan bahwa puasa hendaklah dilakukan atas nama orang yang bersangkutan baik menyangkut puasa nazar (yang belum ditunaikan oleh orang yang terlanjur mati—Penj.) maupun puasa yang lainnya. Hasan bin Shalih menyatakan dalam perkara puasa nazar. Hendaklah walinya berpuasa atas nama orang yang bersangkutan.
Pasal
Berkenaan dengan pernyataan kalian bahwa Ibnu “Abbas ra. merupakan sosok yang meriwayatkan hadis-hadis puasa atas nama orang yang sudah mati, tetapi ternyata dia berpendapat bahwa tidak boleh ada seorangpun yang berpuasa atas nama orang lain; maka sebenarnya kesimpulan terjauh dari apa yang kalian sampaikan itu hanyalah kalangan sahabat terkadang mengeluarkan fatwa yang berbeda dari apa yang dia riwayatkan sendiri.
Hal seperti ini tidak merusak riwayat yang diriwayatkan oleh sahabat yang bersangkutan karena riwayatnya berstatus maksum, sementara fatwanya tidak berstatus maksum. Boleh jadi sahabat yang bersangkutan itu lupa hadis-hadis yang diriwayatkannya atau dia menakwil hadis-hadis itu atau dia meyakini bahwa hadis-hadis yang dia riwayatkan itu dibantah oleh riwayat lain yang lebih kuat menurut dugaannya atau ada sebab-sebab lagi selain itu.
Apabila diketahui bahwa sebenarnya fatwa Ibnu Abbas ra. tidak bertentangan dengan hadis-hadis tersebut. Oleh karena itu, Ibnu Abbas ra. berfatwa bahwa tidak boleh ada yang berpuasa atas nama orang lain, itu hanya berlaku pada puasa Ramadhan; adapun pada puasa nazar Ibnu Abbas ra. berfatwa bahwa boleh seseorang berpuasa atas nama orang lain. Alhasil, fatwa Ibnu Abbas ra. itu sebenarnya bukan bertentangan dengan riwayat yang dia riwayatkan, melainkan yang terjadi yaitu dia membawa hadis-hadis tersebut hanya berlaku pada perkara nazar.
Kemudian mengenai hadis, “Barang siapa yang meninggal dunia dengan menanggung puasa, hendaklah walinya berpuasa atas namanya ”, hadis-hadis itu statusnya tsabit (sahih) dari riwayat Aisyah ra. Kalaulah memang Ibnu Abbas ra. menyelisihi hadis-hadis itu, jantas apa? Tindakan Ibnu Abbas ra. menyelisihi hadis-hadis itu sama sekali tidak dapat menggugurkan riwayat dari Ummul Mukminin itu. Alih-alih, justru riwayat dari Aisyah ra. itulah yang lebih layak untuk membantah riwayat dari Ibnu Abbas ra. daripada riwayat Ibnu Abbas ra. yang membantah riwayat Aisyah ra.
Dan lagi, sebenarnya pendapat Ibnu Abbas ra. tentang masalah ini juga mengandung ikhtilaf, sebab ada dua riwayat darinya karena tidaklah pengguguran suatu hadis-hadis oleh sebuah riwayat yang menyelisihinya itu lebih utama daripada pengguguran riwayat tersebut oleh sebuah riwayat lain atau oleh sebuah hadis.
Pasal
Berkenaan dengan pernyataan kalian bahwa hadis-hadis tersebut di atas yaitu sebuah hadis yang terkandung ikhtilaf dalam sanadnya, maka sebenarnya pernyataan kalian itu merupakan pernyataan ceroboh yang tidak boleh untuk diterima karena hadis-hadis itu statusnya sahih, sabit dan disepakati kesahihannya. Hadis-hadis itu diriwayatkan oleh kedua penulis kitab Sahih (yaitu Imam Bukhari dan Imam Muslim Penj.) dan tidak ada ikhtilaf dalam periwayatannya.
Ibnu ‘Abdul Barr menyatakan, “Telah tsabit (sahih) diriwayatkan dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, “Barang siapa yang meninggal dunia dengan menanggung puasa, hendaklah walinya berpuasa atas namanya”.
Hadis-hadis ini dinyatakan sahih oleh Imam Ahmad dan menjadi pendapat mazhabnya. Imam Syafi’i juga memberi komentar bahwa hadis-hadis ini sahih. Dia menyatakan, “Telah diriwayatkan dari Rasulullah saw. sebuah riwayat tentang puasa atas nama orang yang sudah mati. Apabila hadis-hadis itu tsabit, hendaklah dilakukan puasa atas nama orang mati yang bersangkutan sebagaimana halnya haji boleh dilakukan atas namanya (si orang mati).” Dan ternyata hadis-hadis itu statusnya tsabit (sahih) tanpa ada keraguan dan itu pun menjadi mazhab Imam Syafi’i. Begitu pula yang dinyatakan oleh banyak imam dari kalangan pengikut Mazhab Syafi’i.
Imam Baihaqi menuturkan setelah dia menyampaikan riwayat ini dengan mengutip dari Imam Syafi’i, “Telah tsabit (sahih) bahwa dibolehkan qada atas nama orang yang sudah mati berdasarkan riwayat dari Said bin Jubair, Mujahid, ‘Atha’ dan Ikrimah, dari Ibnu Abbas ra. Dan dalam riwayat sebagian besar dari mereka dinyatakan bahwa yang bertanya seorang perempuan sehingga tampaknya riwayat mereka berbeda dari kisah Umm Sa‘d. Dalam riwayat sebagian dari mereka dikatakan, “Berpuasalah engkau atas nama ibumu!”.
Pada bagian mendatang akan dipaparkan mengenai hal ini dalam penjelasan tentang pernyataan Imam Baihaqi rahimahullah. Berkenaan dengan pernyataan kalian bahwa hadis-hadis tersebut di atas bertentangan dengan nas al-Quran, yaitu firman Allah swt., “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakan. nya.” (QS. an-Najm [53]: 39)
Maka itu merupakan bentuk ketidaksopanan (su’ul adab) dalam pernyataan dan sekaligus merupakan kesalahan yang besar dalam pengertian.
Allah swt. dan Rasulullah saw. telah melindungi dari kemung. kinan terjadinya pertentangan antara sunah Rasulullah saw. dengan nas al-Quran. Alih-alih bertentangan dengan nas al-Quran, sunah Rasulullah saw. justru memperkuat dan menegaskan nas-nas al-Quran, Demi Allah, tidak ada lagi gunanya fanatisme dan taklid!
Pada bagian terdahulu kami telah menyampaikan penjelasan tentang ayat tersebut (maksudnya, QS. an-Najm [53]: 39) yang kami anggap sudah cukup memadai. Kami juga sudah menjelaskan bahwa tidak ada pertentangan sedikit pun antara ayat tersebut dengan sunah Rasulullah saw. Dugaan akan adanya pertentangan itu muncul semata-mata akibat jeleknya pemahaman.
Sungguh adalah sebuah jalan yang buruk dan hina, ketika jalan tersebut menolak sunah-sunnah yang tsabit (sahih) dengan menggunakan pemahaman atas pengertian lahiriah ayat-ayat al-Quran. Ilmu yang tertinggi adalah sunah yang menjelaskan tentang al-Quran, sebab sunah bersumber dari al-Quran dan sunah juga diambil dari sosok manusia yang al-Quran itu diturunkan kepadanya (yaitu Rasulullah saw—Penj). sunah merupakan penjelasan bagi al-Quran, bukan sebagai penentang bagi al-Quran.
Berkenaan dengan pernyataan kalian bahwa hadis-hadis tersebut di atas bertentangan dengan hadis-hadis riwayat Nasa’i yang menyatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidak boleh seseorang melakukan shalat atas nama orang lain. Tidak boleh seseorang melakukan puasa atas nama orang lain. Tetapi hendaklah diberikan makanan atas namanya setiap hari satu mud berupa gandum hinthah”; ini merupakan sebuah kesalahan yang buruk.
Yang benar, yaitu Nasa’i meriwayatkan riwayat ini sebagai berikut:
Muhammad bin “Abdul A’la mengabari kami, Yazid bin Zurai’ menuturkan kepada kami, Hajjaj al-Ahwal menuturkan kepada kami, Ayyub bin Musa menuturkan kepada kami, dari Atha’ bin Abu Rabah, dari Ibnu ‘Abbas ra., dia berkata, “Tidak boleh seseorang melakukan shalat atas nama orang lain. Tidak boleh seseorang melakukan puasa atas nama orang lain. Tetapi hendaklah diberikan makanan atas namanya untuk setiap satu hari satu mud berupa gandum hinthah.” Demikianlah itu yang diriwayatkan oleh Nasa‘i dan itu merupakan ucapan Ibnu ‘Abbas ra., bukan sabda Rasulullah saw. Jadi bagaimana mungkin sabda Rasulullah saw. dipertentangkan dengan ucapan Ibnu Abbas ra., lalu ucapan Ibnu ‘Abbas ra. itu yang lebih diunggulkan daripada sabda beliau, padahal telah diketahui dengan pasti adanya khilaf dari Ibnu ‘Abbas ra.?
Rasulullah saw. sama sekali tidak pernah bersabda seperti itu. Bagaimana mungkin beliau bersabda seperti itu, sementara telah tsabit (sahih) diriwayatkan dari beliau dalam dua kitab Sahih, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang meninggal dunia dan dia menanggung puasa, walinya harus berpuasa atas namanya”?
Bagaimana mungkin Rasulullah saw. bersabda seperti itu, sementara beliau telah bersabda dalam sebuah hadis dari Buraidah yang diriwayatkan oleh Muslim dalam ash-Shahih bahwa suatu ketika seorang perempuan berkata kepada Rasulullah saw., “Ibuku meninggal dunia dan dia menanggung puasa satu bulan”. Rasulullah saw. lalu berkata, “Berpuasalah atas nama ibumu?”
Berkenaan dengan pernyataan kalian bahwa hadis-hadis tersebut di atas bertentangan dengan hadis-hadis dari Ibnu ‘Umar ra., “Barang siapa yang meninggal dengan menanggung puasa Ramadhan, hendaklah diberikan makanan atas namanya”; maka itu juga sebuah kekeliruan yang sama seperti sebelumnya karena itu bukanlah hadis-hadis dari Rasulullah saw.
Baihaqi menyatakan bahwa hadis-hadis Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Abu Laila, dari Nafi‘, dari Ibnu ‘Umar ra., dari Nabi saw., “Barang siapa yang meninggal dengan menanggung puasa Ramadhan, hendaklah diberikan makanan atas namanya”, statusnya tidak sahih karena Muhammad bin ‘Abdurrahman merupakan Sosok perawi yang sering mengira-ngira. Riwayat ini kemudian diriwayatkan oleh para sahabat Nafi’ dari Nafi’, dari Ibnu “Umar ra., dari ucapannya,
Berkenaan dengan pernyataan kalian bahwa hadis-hadis tersebut di atas bertentangan dengan kiyas jaliy yang dilakukan terhadap shalat, pernyataan keislaman dan tobat karena tidak boleh ada seorang pun yang melakukan hal-hal seperti itu dengan diatasnamakan pada orang lain; maka demi Allah, sungguh itu adalah sebuah kiyas jaliy yang jelas kebatilan dan kerusakannya karena kiyas tersebut telah membantah sunah Rasulullah saw. yang sahih dan jelas, yang justru menjadi saksi atas kebatilan kiyas seperti itu.
Kami telah menjelaskan tentang perbedaan antara tindakan mene. rima keislaman seorang kafir setelah orang kafir itu meninggal dunia, dengan diperolehnya manfaat oleh orang muslim dari apa yang dihadiahkan kepadanya oleh saudaranya sesama muslim dalam bentuk pahala puasa, sedekah atau shalat. Demi Allah, perbedaan antara kedua hal tersebut amatlah jelas sehingga tidak dapat disamarkan sedikit pun.
Apakah ada kiyas yang lebih jelek daripada kiyas yang dilakukan dengan menyamakan antara manfaat yang diperoleh orang muslim setelah kematiannya dari hadiah yang diberikan oleh saudaranya sesama muslim dalam bentuk pahala, dengan tindakan menerima keislaman seorang kafir setelah orang kafir itu mati? Atau dengan tindakan menerima tobat yang dilakukan atas nama seorang durjana setelah penjahat itu mati?
Pasal
Berkenaan dengan pernyataan Imam Syafi’i rahimahullah tentang kekeliruan perawi hadis-hadis Ibnu “Abbas ra. yang menyatakan bahwa nazar Umm Sa‘d yaitu berupa puasa. Masalah ini telah dijawab oleh seorang, tokoh yang menjadi pendukung terkuat Imam Syafi’i, yaitu imam Baihaqi. Berikut ini kami nukilkan penjelasan Imam Baihaqi sesuai apa yang disampaikannya sendiri.
Imam Baihaqi menyatakan dalam kitab al-Ma’rifah setelah dia menjelaskan tentang pernyataannya:
Telah dipastikan boleh hukumnya mengganti puasa atas nama orang yang sudah mati berdasarkan riwayat dari Said bin Jubair, Mujahid, ‘Atha dan ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas ra. Dalam riwayat sebagian besar dari mereka disebutkan, “Sesungguhnya seorang perempuan bertanya…” Jadi tampaknya ini bukanlah kisah Umm Sa‘d. Sementara dalam riwayat sebagian lagi dari mereka disebutkan, “Berpuasalah engkau atas nama ibumu.”
Dia melanjutkan:
Yang mendukung kesahihannya adalah riwayat dari “Abdullah bin Atha al-Madani, dia berkata, ‘Abdullah bin Buraidah al-Aslami menuturkan kepadaku, dari ayahnya, dia berkata, Aku pernah bersama Rasulullah saw., lalu beliau didatangi oleh seorang perempuan yang kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku bersedekah berupa budak perempuan kepada ibuku, tetapi ibuku lalu meninggal dunia sementara budak perempuan itu tetap hidup.” Rasulullah saw. bersabda, “Pahala pun sudah ditetapkan dan budak perempuan itu dikembalikan kepadamu melalui warisan.” Perempuan itu berkata lagi, “Dia meninggal dengan menanggung puasa satu bulan.” Rasulullah saw. bersabda, “Berpuasalah engkau atas nama ibumu!” Perempuan itu berkata lagi, “Dia meninggal dan belum berhaji.” Rasulullah saw. bersabda, “Maka berhajilah atas nama ibumu!” Hadis-hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam ash-Sahih dari beberapa jalur, dari “Abdullah bin ‘Atha’.
Sampai di sini batas kutipan pernyataan Imam Baihaqi.
Saya (Ibnu Qayyim) menyatakan bahwa Abu Bakar bin Abu Syaibah meriwayatkan, Abu Mu’awiyah menuturkan kepada kami, dari A’masy, dari Muslim al-Bathin, dari Said bin Jubair, dari Ibnu “Abbas ra., dia berkata, Datang seorang lelaki kepada Rasulullah saw. lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku meninggal dunia dan dia masih menanggung puasa satu bulan. Apakah aku boleh mengganti atas namanya?” Rasulullah saw. menjawab, “Utang Allah lebih berhak untuk dilunasi!”
Hadis-hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abu Khaitsaman Mulawiyah bin ‘Amr menuturkan kepada kami, Zaidah menuturkan kepada kami, dari A’masy, dst. Kemudian dia menyampaikan hadis-hadis tersebut.’
Hadis-hadis ini juga diriwayatkan oleh Nasa’i dari Qutaibah bin Said, ‘Abtsar menuturkan kepada kami, dari A’masy, dst. Kemudian dia menyampaikan hadis-hadis tersebut.
Jadi, hadis-hadis ini sama sekali bukanlah hadis-hadis Umm Sa‘q baik dilihat dari segi sanadnya maupun dari segi matannya karena kisah Umm Sad disampaikan oleh Imam Malik, dari Zuhri, dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdullah bin Utbah, dari Ibnu ‘Abbas ra., bahwa Sad bin ‘Ubadah meminta fatwa kepada Rasulullah saw.. Dia berkata, “Sesungguhnya ibuku meninggal dunia dan dia menanggung nazar.” Rasulullah saw, bersabda, “Lakukanlah qada atas namanya!” Demikianlah hadis-hadis ini ditakhrij oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam dua kitab ash-Shahih karya mereka masing-masing.
Kalaupun memang inilah yang dihafal pada hadis-hadis ini, yaitu bahwa ini memang menyangkut sebuah nazar mutlak yang tidak disebutkan perinciannya, maka apakah hal itu dapat menjadi ‘illah (cacat) pada hadis-hadis A’masy, dari Muslim al-Bathin, dari Said bin Jubair, darinya (A’masy)? Karena Rasulullah saw. tidak meminta Sa’d untuk menjelaskan secara rinci mengenai nazar yang ditanyakannya; apakah nazar itu berupa shalat, sedekah atau puasa. Padahal orang yang bernazar mungkin saja menazarkan anu, anu, dan anu. Hal ini menjadi dalil yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara qada nazar puasa dan qada nazar shalat karena kalau memang tidak demikian, pasti Rasulullah saw. akan bertanya kepada Sa’d tentang nazar apakah yang dinazarkan oleh mendiang ibunya. Kalaulah memang nazar terbagi menjadi dua, yaitu nazar yang dapat diqada atas nama penazar yang sudah mati dan nazar yang tidak dapat diqada atas nama penazar yang sudah mati, maka pasti harus dijelaskan lebih lanjut tentang nazar orang yang bersangkutan.
Pasal
Berikut ini kami sampaikan beberapa pendapat ulama mengenai puasa atas Nama orang yang sudah mati, agar tidak ada dugaan bahwa dalam masalah ini ada ijmak yang bertentangan dengan ketentuan tersebut.
‘Abdullah bin “Abbas ra. menyatakan, “Hendaklah puasa dilakukan atas nama orang yang sudah meninggal dunia pada nazar dan hendaklah diberikan makanan atas nama orang yang sudah meninggal dunia pada qada puasa Ramadhan.” Ini juga menjadi mazhab Imam Ahmad.
Abu Tsaur menyatakan, “Hendaklah puasa dilakukan atas nama orang yang sudah meninggal dunia pada nazar dan ibadah fardu.” Demikianlah pula yang dinyatakan oleh Dawud bin “Ali dan para sahabatnya, “Hendaklah puasa dilakukan atas nama orang yang sudah meninggal dunia baik pada nazar maupun pada ibadah fardu.”
Auza’i menyatakan, “Hendaklah wali si orang meninggal mengeluarkan sedekah sebagai pengganti puasa itu. Apabila si wali tidak sanggup, hendaklah dia berpuasa atas nama si orang meninggal.” Ini juga merupakan pendapat Sufyan Tsauri dalam salah satu di antara dua riwayat yang berasal darinya.
Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam menyatakan, “Hendaklah puasa dilakukan atas nama orang yang sudah meninggal dunia pada nazar dan hendaklah diberikan makanan atas namanya pada ibadah fardu.”
Hasan menyatakan, “Apabila orang yang meninggal menanggung puasa satu bulan, lalu ada tiga puluh orang yang masing-masing berpuasa satu hari atas namanya, maka itu boleh.”
Pasal
Berkenaan dengan pernyataan kalian bahwa dari pelaksanaan ibadah haji yang dilakukan oleh orang hidup atas nama orang mati, maka yang sampai kepada si orang mati itu hanyalah pahala infaknya dan bukan manasiknya; itu merupakan sebuah tuduhan kosong yang tidak berdasarkan dalil. sunah membantah pendapat kalian itu karena Rasulullah saw. telah bersabda, “Berhajilah atas nama ayahmu!” Beliau juga telah bersabda kepada seorang perempuan, “Berhajilah atas nama ibumu!” Dengan sabda itu Rasulullah saw. telah menyampaikan bahwa memang ibadah haji itulah yang diatasnamakan kepada si Orang mati. Beliau tidak berkata bahwa hanya infak si orang mati itulah yang menjadi bagiannya.
Demikian pula halnya sabda Rasulullah saw. kepada orang yang beliau dengar bertalbiah atas nama Syubrumah, “Berhajilah atas nama dirimu, lalu berhajilah atas nama Syubrumah.”
Ketika seorang perempuan bertanya kepada Rasulullah saw. tentang anak kecil yang digendongnya, “Apakah anak ini berhaji?” Rasulullah saw. menjawab, “Ya. Dan engkau juga mendapatkan pahala.” Pada saat itu Rasulullah saw. tidak mengatakan bahwa dia akan mendapatkan pahala infak. Alih-alih beliau justru mengabarkan bahwa dia memiliki haji meskipun dia tidak melakukan apa-apa, tetapi hanya walinya yang mewakilinya dalam pelaksanaan manasik.
Selain itu seorang wakil yang mewakili orang yang sudah mati terkadang tidak membelanjakan apa-apa dalam pelaksanaan hajinya kecuali hanya biaya untuk tempat tinggalnya. Jadi apakah gerangan yang membuat pahala infak biaya tempat tinggal itu sebagai milik orang yang dihajikan (mahjdaj ‘anhu), padahal orang yang melaksanakan haji tidak membelanjakan apa-apa dalam hajinya? Itulah infaknya baik dia menetap maupun melakukan perjalanan. Dan lagi, pendapat ini juga dibantah oleh sunah dan kiyas. Wallahu a’lam.
Pasal
Apabila ada yang bertanya, Apakah disyaratkan pada sampainya pahala kepada orang mati bagi pelaku ibadah untuk menghibahkan pahalanya dengan ucapannya? Ataukah sudah cukup untuk sampainya pahala itu kepada si orang mati dengan niat si pelaku ibadah untuk menghadiahkannya kepada orang lain?
Jawaban atas pertanyaan itu yaitu sebagai berikut:
Tidak ada satu pun hadis-hadis di dalam sunah yang mensyaratkan pernyataan pemberian hadiah pahala. Alih-alih, Rasulullah saw. membiarkan tidak terikatnya suatu perbuatan yang dilakukan atas nama orang lain, semisal puasa, haji dan sedekah. Beliau tidak berkata kepada orang yang melakukan ibadah yang bersangkutan, “Ucapkanlah “Wahai Allah ini adalah atas nama fulan bin fulan”. Allah swt. tentu mengetahui niat dan maksud hamba-Nya dengan amal yang dilakukannya, Namun apabila seorang hamba melafalkan niatnya, maka itu boleh; dan apabila dia tidak melafalkannya dan merasa cukup dengan niat dan tujuannya, amal itu akan sampai kepada orang yang bersangkutan. Orang yang bersangkutan tidak perlu mengucapkan, “Wahai Allah, sesungguhnya aku berpuasa besok atas nama si fulan bin fulan.”
Atas dasar inilah-wallahu a’lam—terdapat syarat bagi orang yang mensyaratkan niat amal perbuatan atas nama orang lain untuk meniatkannya sebelum melaksanakan amal ibadah yang bersangkutan, dengan tujuan agar amalan tersebut benar-benar dilakukan atas nama si mayat.
Adapun apabila dia melakukannya untuk dirinya sendiri, lalu dia meniatkan untuk menghadiahkan pahalanya kepada orang lain, pahala amal perbuatannya itu tidak dapat berpindah begitu saja kepada orang lain yang bersangkutan hanya dengan niat, sebagaimana halnya apabila seseorang melakukan hibah, memerdekakan budak atau bersedekah, semua itu tidak akan dapat tercapai jika hanya berupa niat semata.
Di antara yang menjelaskan hal itu, yaitu bahwa apabila seseorang mendirikan suatu tempat dengan niat untuk menjadikan tempat itu sebagai masjid, madrasah, atau tempat penyimpanan air, atau lainnya, maka tempat itu menjadi wakaf dengan tindakannya yang diiringi niat tanpa perlu dilafalkan. Begitu pula halnya apabila seseorang menyerahkan suatu harta kepada seorang miskin dengan niat zakat, maka sudah gugurlah kewajiban zakat dari dirinya walaupun dia tidak melafalkan zakat.
Begitu pula halnya apabila seseorang melunasi suatu utang atas nama orang lain, baik orang si pengutang itu masih hidup maupun sudah mati, tanggungan orang itu sudah gugur walaupun ketika orang tersebut melakukan pelunasan dia tidak melafalkan, “Ini atas nama si fulan.”
Apabila ada yang bertanya, “Apakah perlu bagi pemberi hadiah pahala untuk mengucapkan “Wahai Allah, apabila Engkau menerima amalku ini, berikanlah pahalanya kepada Fulan,” ataukah tidak perlu ada ucapan seperti itu?
Jawaban atas pertanyaan itu yaitu, pernyataan seperti itu tidak diperlukan baik dalam bentuk lafal maupun dalam bentuk maksud. Bahkan tidak ada gunanya syarat seperti itu karena Allah swt. pasti akan melakukan itu baik dia menyebutkan syarat seperti itu maupun tidak. Kalau memang Allah swt. melakukan yang bukan seperti yang dimaksudkan oleh si pelaku ibadah tanpa adanya syarat, barulah syarat seperti itu ada gunanya.
Berkenaan dengan ucapan si pelaku ibadah “Wahai Allah apabila Engkau menerima amalku ini, berikanlah pahalanya kepada fulan”, maka sebenarnya hal itu dilakukan berdasarkan adanya anggapan bahwa pahala lebih dulu akan jatuh ke tangan pelaku ibadah. Setelah itu barulah pahala itu berpindah darinya kepada orang yang dia hadiahkan pahala itu kepadanya. Padahal kenyataannya tidaklah seperti itu, tetapi apabila si pelaku ibadah pada saat melakukan ibadah yang bersangkut. an meniatkan ibadahnya atas nama si Fulan, pahala amal itu lebih dulu akan jatuh ke tangan orang yang dihadiahi pahala ibadah tersebut.
Contohnya, yaitu apabila seseorang memerdekakan budak milik. nya atas nama orang lain, kami tidak menyatakan bahwa hak perwalian (wala’) budak itu jatuh ke tangan orang yang memerdekakan budak itu lebih dulu, kemudian hak itu berpindah ke tangan orang yang pemer. dekaan budak itu dilakukan atas namanya. Demikianlah hal ini adanya. Wallahul muwaffiq.
Apabila ada yang menanyakan apakah yang paling afdal dihadiahkan kepada orang yang sudah mati?
Jawabannya adalah: Yang paling afdal dihadiahkan kepada orang mati yaitu apa pun yang paling bermanfaat bagi dirinya. Pemerdekaan budak dan sedekah atas nama orang yang sudah mati jauh lebih utama daripada puasa yang dilakukan atas namanya. Adapun sedekah yang paling utama yaitu sedekah yang sesuai dengan kebutuhan pihak penerima sedekah (mutashaddaq ‘alaih) dan sedekah yang berkesinambungan berkelanjutan.
Salah satu di antara contoh sedekah seperti itu yaitu seperti yang disabdakan oleh Rasulullah saw., “Sedekah yang paling utama yaitu mengalirkan air.” Tentu saja hal ini berlaku di tempat yang mengalami kekurangan air dan banyak orang yang kehausan karena kalau kondisi yang terjadi tidak seperti itu, maka sedekah berupa penyaluran air melalui sungai-sungai dan saluran-saluran air tidak lebih utama dibandingkan pemberian makanan di tengah kelaparan.
Demikian pula halnya doa dan istigfar untuk memohonkan ampunan bagi orang yang sudah mati, apabila dilakukan dengan penuh keyakinan, keikhlasan, dan ketundukan dari orang yang melakukannya, maka ketika itu dilakukan pada tempat yang tepat itu lebih afdal davipada sedekah atas orang mati tersebut, seperti shalat jenazah dan doa di atas kuburannya.
Singkatnya, amalan yang paling utama dihadiahkan kepada orang Mati yaitu: memerdekaan budak, sedekah, istighfar, doa dan haji. Berkenaan dengan bacaan al-Quran yang pahalanya dihadiahkan kepada orang mati dan dilakukan secara suka rela tanpa upah, maka pahalanya akan sampai kepada orang mati yang bersangkutan, seperti sampainya pahala puasa dan haji.
Apabila ada yang menyatakan bahwa amalan seperti ini tidak pernah dikenal pada masa salaf dan tidak mungkin pula amalan seperti itu dinukil dari salah seorang di antara mereka dengan segala hasrat mereka dalam melakukan kebaikan. Sebagaimana Rasulullah saw. juga tidak pernah menunjukkan mereka untuk melakukan amalan itu karena beliau telah membimbing mereka untuk berdoa, beristighfar, bersedekah, berhaji dan berpuasa (yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal). Kalau memang pahala bacaan al-Quran dapat sampai kepada orang yang sudah meninggal, Rasulullah saw. pasti juga akan membimbing mereka agar melakukan hal itu dan mereka pasti akan mengamalkan amalan itu.
Jawaban atas pertanyaan seperti itu, yaitu bahwa orang yang menyampaikan pertanyaan tersebut apabila dia mengakui sampainya pahala haji, puasa, doa, dan istigfar. Hendaklah dikatakan kepadanya bahwa kekhususan seperti itu tidak dapat menghalangi sampainya pahala bacaan al-Quran (kepada orang yang sudah mati), tetapi hanya menunjukkan sampainya pahala amalan-amalan tersebut (kepada orang yang sudah mati—Penj.). Tindakan seperti itu tidak lebih dari bentuk pembedaan terhadap beberapa hal yang sebenarnya serupa!
Kalaupun tidak ada yang mengakui semua itu, kecuali hanya si orang mati yang bersangkutan, maka orang yang berpendapat seperti tersebut di atas tetap terpatahkan pendapatnya oleh Kitabullah, sunah, ijmak dan kaidah-kaidah syariat.
Adapun berkenaan dengan sebab yang membuat kalangan salaf tidak tampak pernah melakukan amalan yang satu ini (menghadiahkan pahala bacaan al-Quran kepada orang yang sudah mati—Penj.), maka sebenarnya itu terjadi karena mereka belum berada pada kondisi yang membuat mereka perlu menghadiahkan bacaan al-Quran kepada Orang yang sudah meninggal. Bahkan mereka tidak mengenal sama sekali amalan seperti itu. Mereka tidak pernah mendatangi kuburan untuk membaca al-Quran di situ seperti yang banyak dilakukan saat ini. Dan tidak pernah pula ada seorangpun di antara mereka yang didatangi oleh orang yang bersaksi bahwa pahala bacaan al-Quran dihadiahkan kepada si fulan yang sudah meninggal dunia. Bahkan tidak pula pahala sedekah atau pun puasa.
Lalu hendaklah dikatakan kepada orang yang berpendapat sepertj itu, “Apabila anda ditugaskan untuk menukil dari salah seorang di an. tara generasi salaf yang pernah mengucapkan doa “Wahai Allah pahala puasa ini untuk si fulan”, Anda tentu tidak akan bisa, karena mereka orang-orang yang sangat berusaha menyembunyikan amalan-amalan baik, sehingga mereka tidak pernah mempersaksikan pada Allah ten. tang sampainya pahala bacaan al-Quran kepada orang-orang mati.
Apabila dikatakan bahwa Rasulullah saw. telah membimbing mereka untuk melaksanakan ibadah puasa, sedekah, dan haji (untuk dihadiahkan pahalanya kepada orang yang sudah mati), tetapi beliau tidak pernah memberikan bimbingan seperti itu menyangkut bacaan al-Quran, maka jawaban atas pernyataan itu adalah sebagai berikut:
Rasulullah saw. tidak pernah mendahului menyampaikan bimbingan seperti itu kepada mereka. Tetapi selalu saja semua itu muncul dari Rasulullah saw. sebagai bentuk jawaban dari beliau kepada mereka.
Ada sahabat yang bertanya kepada beliau tentang haji yang dilakukan atas nama keluarganya yang sudah mati, maka beliau pun mengizinkan sahabat itu melakukannya. Lalu ada sahabat lain yang bertanya kepada beliau tentang puasa (yang dilakukan dengan niat pahalanya untuk orang yang sudah mati—Penj.), maka beliau pun mengizinkan sahabat itu melakukannya. Lalu ada sahabat lain yang bertanya kepada beliau tentang sedekah (yang dikeluarkan dengan niat pahalanya untuk orang yang sudah mati—Penj.), maka beliau pun mengizinkan sahabat itu melakukannya. Rasulullah saw. tidak pernah melarang para sahabat dari semua ibadah yang selain itu. Apakah ada perbedaan antara sampainya pahala puasa yang pelaksanaannya hanya dengan niat dan menahan diri dari semua hal yang membatalkan puasa, dengan sampainya pahala bacaan al-Quran?
Orang yang menyatakan bahwa tidak ada seorang pun dari kalangan salaf yang pernah melakukan amalan seperti itu tidak lain merupakan orang yang tidak memiliki ilmu tentang masalah itu. Kenyataan ini menjadi bukti yang menunjukkan penafian terhadap segala yang tidak diketahuinya.
Bagaimana mungkin dia dapat mengetahui bahwa kalangan salaf melakukan amalan seperti itu, sementara mereka tidak pernah mempersaksikan amalan seperti itu kepada orang-orang yang ada bersama mereka. Alih-alih, cukuplah bagi mereka bahwa Allah mengetahui niat dan maksud mereka. Apalagi pengucapan niat untuk menghadiahkan amalan seperti itu sama sekali tidak disyaratkan,. seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Satu hal yang tersembunyi dari masalah ini yaitu, bahwa pahala merupakan milik pelaku amal ibadah yang bersangkutan. Apabila kemudian orang tersebut memberikan atau menghadiahkan pahala itu kepada saudaranya sesama muslim, pasti Allah akan menyampaikan pahala itu kepada saudaranya. Jadi apakah kiranya yang dapat mengecualikan pahala bacaan al-Quran dari hal ini, dan apakah gerangan yang dapat menghalangi seorang hamba untuk mengirimkan pahala bacaan al-Quran-nya kepada saudaranya? Padahal ini merupakan amalan yang dilakukan oleh banyak orang sampai-sampai orang-orang mungkar pun melakukannya sepanjang masa, di mana saja tanpa ada satu pun ulama yang mengingkarinya.
Apabila ada yang bertanya tentang pendapat kami mengenai hadiah bacaan al-Quran untuk Rasulullah saw., maka jawaban atas pertanyaan itu ialah sebagai berikut:
Ada di antara para ahli fikih generasi belakangan yang menyatakan bahwa hukumnya mustahab. Namun, ada yang menyatakan bahwa hukum amalan seperti itu bukan mustahab, bahkan menganggapnya sebagai bidah. Karena para sahabat tidak pernah melakukan amalan seperti itu. Dan lagi, Rasulullah saw. sudah memiliki bagian dari semua pahala yang didapat oleh semua umat beliau dari segenap perbuatan baik yang mereka lakukan, tanpa mengurangi sedikit pun pahala mereka. Karena beliaulah yang menunjukkan umat beliau untuk melakukan berbagai bentuk kebaikan. Beliau pun yang membimbing mereka dan menyeru mereka menuju kebaikan itu. Sebab “barang siapa yang menyeru ke arah hidayah, maka dia mendapatkan bagian dari pahala seperti pahala semua orang yang mengikutinya, tanpa dikurangi sedikit pun dari pahala mereka semua itu.” Setiap hidayah dan pengetahuan yang diterima oleh umat Rasulullah saw. selalu melalui tangan beliau saw., sehingga Nabi saw. berhak memiliki pahala seperti pahala sem, orang yang mengikutinya, baik yang beliau tunjukkan kepada mereka, maupun yang tidak. Wallahu a’lam.
APABILA RUH bersifat baru sebagai makhluk, padahal ruh muncul dari perintah Allah swt., bagaimana mungkin perintah Allah dapat bersifat baru sebagai makhluk? Padahal Allah swt. telah mengabarkan bahwa Dia meniupkan kepada Adam sebagian dari ruh-Nya.
Apakah penyebutan “ruh” yang dilekatkan kepada Allah ini menunjukkan bahwa ruh bersifat kadim ataukah tidak seperti itu? Apakah sebenarnya hakikat dari cara penyebutan seperti itu? Allah swt. telah mengabarkan tentang Adam as. bahwa Dia menciptakan Adam as. menggunakan tangan-Nya, lalu dia embuskan ruh-Nya. Allah melekatkan kata “tangan” dan “ruh” dengan diri-Nya.
Ini merupakan satu masalah yang banyak orang pandai tergelincir di dalamnya, dan banyak golongan manusia yang tersesat tentangnya. Namun, Allah memberi hidayah kepada para pengikut rasul-Nya dalam masalah ini, menuju kebenaran yang jelas dan ketepatan yang nyata.
Semua rasul utusan Allah shalawatullahi wa salamuhu ‘alaihim telah bersepakat menyatakan bahwa ruh memiliki sifat baru sebagai makhluk yang Allah ciptakan, Dia miliki, dan Dia ayomi. Hal ini telah diketahui secara pasti dari agama yang disampaikan oleh para rasul, sebagaimana halnya telah diketahui secara pasti dari agama yang mereka sampaikan bahwa alam semesta bersifat baru, dan bahwa kehancuran tubuh pasti terjadi, dan bahwa Allah sematalah yang menjadi Pencipta, sementara yang lain adalah makhluk yang Dia ciptakan.
Masa sahabat, tabiin, dan tabiit tabiin yang merupakan generasi terbaik-telah berlalu dalam keyakinan itu tanpa ada perbedaan pendapat sedikit pun di antara mereka atas sifat baru ruh, dan pada keyakinan bahwa ruh merupakan makhluk.
Itulah sebabnya, sungguh keterlaluan jika orang yang pemahamannya dangkal terhadap Kitabullah dan sunah lalu meyakini bahwa ruh memiliki sifat kadim, bukan makhluk. Orang itu berhujah bahwa ruh merupakan bagian dari perintah Allah, sementara perintah Allah bukanlah makhluk, apalagi kemudian Allah melekatkan penyebutan “ruh” dengan diri-Nya seperti Dia melekatkan penyebutan pengeta. huan-Nya, kitab-Nya, kuasa-Nya, pendengaran-Nya, penglihatan-Nya, dan tangan-Nya. Sementara itu ada pula golongan lain yang tidak berpendapat apa-apa lalu mereka menyatakan bahwa mereka tidak menga. takan bahwa ruh adalah makhluk, tetapi juga tidak mengatakan bahwa ruh bukan makhluk.
Masalah ini pernah ditanyakan kepada Hafizh Ashbahan Abu ‘Abdullah bin Mandah. Dia berkata bahwa seseorang bertanya kepadanya tentang ruh yang Allah jadikan ia sebagai penopang jiwa dan badan semua makhluk. Lalu dia menyebutkan bahwa ada orang-orang yang berbicara tentang ruh dan mereka meyakini bahwa ruh bukanlah makhluk, sementara sebagian dari mereka menyatakan bahwa ada ruh-ruh yang bersifat kudus, dan mereka itu merupakan bagian dari Dzat Allah swt.
Dia lalu melanjutkan bahwa dia menuturkan perbedaan pendapat orang-orang yang terdahulu, lalu dia menjelaskan tentang dalil dari Kitabullah, atsar, ucapan sahabat, tabiin, dan ulama yang menyelisihikan pendapat mereka. Setelah itu dia menyampaikan penjelasan tentang ruh yang bersumber dari Kitabullah dan atsar sembari menunjukkan kesalahan orang-orang yang berbicara tentang ruh tanpa ilmu. Karena ucapan mereka sama seperti pendapat Jahm’ dan para pengikutnya.
Berikut pendapat kami dan kami memohon taufik dari Allah swt.
Orang-orang banyak berbeda pendapat mengenai ruh dan posisinya dalam jiwa manusia. Sebagian dari mereka menyatakan bahwa semua ruh adalah makhluk. Ini merupakan mazhab Ahlul Jamaah dan atsar. Mereka berhujah dengan sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya ruh-ruh itu seperti pasukan yang dikerahkan. Lalu siapa pun yang saling mengenal di antara mereka, mereka akan bersatu; dan siapa pun yang saling mengingkari di antara mereka, mereka akan berselisih.” Pasukan yang dikerahkan pasti adalah makhluk.
Sebagian lagi menyatakan bahwa ruh merupakan bagian dari perintah Allah. Dia lalu menyembunyikan hakikatnya dan pengetahuan tentangnya dari semua makhluk. Kelompok ini berhujah dengan firman Allah swt.,
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, ‘Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.’” (QS. al-Isra’ [17]: 85)
Sebagian lagi menyatakan bahwa ruh adalah satu cahaya di antara Cahaya Allah swt. dan merupakan satu kehidupan dari hidup-Nya. Kelompok ini berhujah dengan sabda Rasulullah saw.,
“Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk dalam kegelapan. Kemudian Dia melemparkan sebagian dari cahaya-Nya kepada mereka.”
Kemudian disebutkan pula perbedaan pendapat tentang arwah, apakah ruh mati ataukah tidak? Apakah ruh disiksa bersama jasad di Alam Barzakh? Di manakah tempat tinggal ruh setelah kematian terjadi? Apakah ruh (rah) sama dengan jiwa (nafs) ataukah tidak sama?
Muhammad bin Nashr al-Marwazi menyatakan dalam kitabnya,
Sekelompok orang dari kalangan zindik dan sekelompok orang dari kalangan syi’ah rafidhah melakukan takwil mengenai ruh Adam as. dengan takwil yang sama dengan takwil kaum Nasrani terhadap ruh Isa as. dan takwil segolongan orang yang menyatakan bahwa ruh merupakan belahan dari Dzat Allah yang berada pada zat mukmin. Itulah sebabnya sekelompok orang dari kalangan Nasrani menyembah Isa as. dan Maryam karena menurut mereka Isa as. adalah ruh dari Allah yang bersemayam dalam diri Maryam, sehingga menurut mereka Isa as. bukanlah makhluk.
Sekelompok orang dari kalangan zindik dan sekelompok orang dari kalangan syi’ah rafidhah menyatakan bahwa ruh Adam as. sama seperti ruh Isa as. dan bukan makhluk. Mereka berpendapat seperti itu dengan menakwilkan firman Allah swt.,
“Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh-Ku, tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” (QS. al-Hijr [15]: 29)
Dan firman Allah swt.,
“Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh) nya ruh-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.” (QS. as-Sajdah [32]: 9)
Orang-orang zindik dan sebagian dari kalangan syi’ah rafidhah ini meyakini bahwa ruh Adam as. bukanlah makhluk, sebagaimana takwil yang dilakukan oleh orang yang menyatakan bahwa cahaya (nur) berasal dari Tuhan, sehingga cahaya bukan makhluk. Mereka menyatakan bahwa ruh bukan makhluk yang merasuk di dalam diri Adam as. itu kemudian berpindah kepada washiy sepeninggalnya; dan demikian seterusnya ruh bukan makhluk itu terus berpindah dari nabi ke nabi dan dari washiy sampai akhirnya tiba di tubuh Ali bin Abi Thalib ra., lalu ia berpindah lagi ke jasad Hasan ra. dan Husein ra., kemudian berpindah lagi kepada para washiy dan para Imam. Dengan ruh bukan makhluk itulah Imam dapat mengetahui segala sesuatu tanpa perlu belajar dari Siapa pun.
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin bahwa semua ruh yang ada di diri Adam as., anak-anak Adam, di diri Isa as., dan semua keturunan Nabi Adam as. merupakan makhluk Allah swt.. Allah yang menciptakannya. mengadakannya. membentuknya, dan mewujudkannya, kemudian Allah masukkan ruh tersebut ke dalam jiwanya seperti yang Dia lakukan pada segenap makhluk-Nya. Allah swt. berfirman,
“Dan Dia menundukkan untuk kalian apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya.” (QS. al-Jatsiyah [45]: 13)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Ruh bangsa adam merupakan makhluk yang diciptakan dan diadakan menurut kesepakatan seluruh generasi salaf, para imam mereka, dan seluruh Ahlus sunah.”
Ibnu Taimiyah telah menceritakan kesepakatan para ulama dari beberapa imam kaum muslimin mengenai pendapat tentang ruh yang berbeda-beda, seperti Muhammad bin Nashr al-Marwazi, seorang imam yang terkenal sebagai ulama yang paling mengetahui di zamannya mengenai ijmak dan ikhtilaf. Begitu pula dengan Abu Muhammad bin Qutaibah. Dia menyatakan dalam kitab al-Lafzh ketika membahas tentang ruh, “Arti nasam adalah ruh-ruh.” Dia mengatakan bahwa semua orang sudah berijmak bahwa Allah swt. adalah yang Maha Membelah biji dan menciptakan ruh.
Abu Ishaq bin Syaqla berkata dalam jawaban yang disampaikan olehnya tentang masalah ini, “Engkau telah bertanya rahimakallah tentang ruh, apakah ia makhluk atau bukan?” Dia menjawab, “Di antara perkara yang tidak terdapat keraguan oleh orang yang benar, ruh termasuk makhluk.”
Masalah ini telah dibicarakan oleh banyak golongan ulama besar dan para syekh. Mereka semua membantah orang-orang yang meyakini bahwa ruh bukan makhluk. Mengenai masalah ini al-Hafizh Abu ‘Abdullah bin Mandah telah menulis sebuah kitab besar. Beberapa ulama juga pernah menulis kitab tentang masalah ini, seperti Imam Muhammad bin Nashr al-Marwazi dan lainnya, Syekh Abu Sa‘id al-Kharraz, Abu Ya’qub an-Nahrajuri, dan Qadhi Abu Ya’la.
Selain itu, para imam besar pun telah menulis masalah ini. Bantahan mereka begitu keras terhadap orang yang menyatakan hal itu (maksudnya, ruh bukan makhluk—Penj.) menyangkut Isa bin Maryam as. Apalagi sosok ruh selain Isa!
Contohnya, yaitu penuturan yang disampaikan oleh Imam Ahmad dalam tulisan yang dibuatnya di dalam penjara yang berjudul ar-Radd ‘ala az-Zanadiqah wa al-Jahmiyyah, sebagai berikut,
Seorang Jahmiy mendakwakan sesuatu. Dia berkata, “Saya mendapati sebuah ayat dalam Kitabullah yang menunjukkan bahwa al-Quran adalah makhluk, yaitu firman Allah swt.,
“,,. Sesungguhnya Al Masih, ‘Isa putra Maryam itu adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) ruh dari-Nya.” (QS. An-Nisa’ [4]: 171).
Sebagaimana Isa as. juga adalah makhluk.” Kami pun berkata kepada orang Jahmiy itu, “Sesungguhnya Allah swt. telah menghalangimu untuk memahami al-Quran.’* Sesungguhnya Isa as. berlaku padanya beberapa kata-kata yang tidak berlaku pada al-Quran. Karena kami menyebut Isa as. sebagai anak yang dilahirkan, makan, dan minum. Isa as, juga menjadi objek perintah dan larangan. Firman Allah swt. berlaku pada Isa as. berikut segala janji dan ancaman-Nya. Selain itu, Isa as. merupakan keturunan Nuh as. dan juga keturunan Ibrahim as. Dengan demikian, tidaklah halal bagi kami untuk menyatakan pada al-Quran hal-hal yang kami nyatakan pada Isa as. Apakah kalian mendengar Allah berfirman kepada al-Quran sebagaimana Dia berfirman kepada Isa as.?
Akan tetapi, pengertian dari firman Allah swt., “…Sesungguhnya Al Masih, Isa putra Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) ruh dari-Nya.” (QS. An-Nisa’ [4]: 171)
Yang dimaksud oleh ayat ini yaitu “kalimat” yang Allah swt. sampaikan kepada Maryam ketika Allah berfirman “kun”; maka Isa as. pun tercipta dengan kalimat “kun” itu. Namun, Isa as. bukanlah “kun” itu sendiri. Isa as. ada karena “kun”, jadi “kun” berasal dari Allah swt. sebagai firman, dan” kun” bukanlah makhluk.
Kaum Nasrani dan kaum Jahmiyyah telah berdusta terhadap Allah swt. dalam perkara Isa as., yaitu ketika kaum Jahmiyyah menyatakan, ruh Allah dan kalimat-Nya, tetapi kalimat-Nya adalah makhluk. Kaum Nasrani menyatakan bahwa Isa adalah ruh Allah dan kalimat-Nya, dan kalimat itu dari Dzat-Nya, seperti ketika dikatakan bahwa potongan kain ini bagian dari pakaian ini.
Kami menyatakan bahwa Isa as. terwujud berkat kalimat Allah. Namun, Isa as. sama sekali bukanlah kalimat Allah itu. Karena kalimat jtu adalah firman Allah swt. Adapun mengenai firman Allah swt., “… dan ruh dari-Nya”, maksudnya adalah “ruh yang terwujud dari perintah-Nya”. Ini sama seperti firman Allah swt., “Dan Dia menundukkan untuk kalian apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya.” (QS. al-Jatsiyah [45]: 13). Dia menyatakan dari perintah-Nya. Adapun tafsir kalimat “Ruh Allah” (ruhullah) pengertian ialah “Allah menciptakan ruh itu dengan kalimat-Nya”, sebagaimana ungkapan yang berbunyi “hamba Allah”, “langit Allah”, dan “bumi Allah”.
Sampai di sini akhir kutipan dari kitab “ar-Radd ‘ald az-Zanadiqah wa al-Jahmiyyah”.
Dalam tulisan di atas Imam Ahmad telah menyatakan secara gamblang bahwa ruh Isa al-Masih as. adalah makhluk. Jadi apatah lagi kiranya semua ruh yang lain! Allah swt. telah menyebut ruh yang Dia kirimkan kepada Maryam dengan dikaitkan dengan-Nya, sementara Isa as. adalah hamba dan rasul-Nya. Karena pernyataan Allah swt. itu tidak menunjukkan bahwa ruh Isa as. memiliki sifat kadim, bukan makhluk.
Allah swt. berfirman, “Maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka; lalu Kami mengutus ruh Kami kepadanya, maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna. Maryam berkata, ‘Sesungguhnya aku berlindung daripadamu kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, jika kamu seorang yang bertakwa’. Ia (Jibril) berkata, ‘Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci.’” (QS. Maryam [19]: 17-19)
Inilah ruh yang disebut rahullah itu, dan dia adalah hamba dan rasul-Nya.
Insyaallah kami akan sampaikan beberapa pembagian hal-hal yang dikaitkan dengan Allah swt., dan bagaimana sesuatu yang dilekatkan pada-Nya itu menjadi sifat-Nya yang kadim? Apakah ia termasuk makhluk? Dan apakah yang menetapkan itu?
PASAL
Dalil-dalil yang menunjukkan bahwa ruh adalah makhluk di antaranya adalah sebagai berikut. Dalil pertama: Firman Allah swt.,
“Allah Pencipta segala sesuatu.” (QS. az-Zumar [39]: 62)
Ayat ini berisi lafal yang bersifat umum (‘amm) tanpa ada takhsis di dalamnya sama sekali dan sifat-sifat Allah swt. tidak termasuk di dalamnya. Karena sifat-sifat Allah swt. termasuk dalam Dzat yang dinamai dengan nama-Nya (musamma ismuh). Allah swt. adalah Tuhan yang disifat dengan sifat-sifat kesempurnaan (shifat al-kamal). ilmuNya, kuasa-Nya, hidup-Nya, kehendak-Nya, pendengaran-Nya, penglihatan-Nya, dan semua sifat-Nya termasuk dalam Dzat yang dinamai dengan nama-Nya (musamma ismuh), dan tidak masuk dalam segala sesuatu apa pun yang bersifat makhluk, sebagaimana Dzat Allah juga tidak dapat dimasukkan di dalamnya (maksudnya, dimasukkan dalam segala sesuatu apa pun yang bersifat makhluk—Penj).
Allah subhanahu dengan Dzat-Nya dan sifat-sifatnya adalah sang Khalik; sementara semua yang selain Allah swt. adalah makhluk. Dan telah diketahui dengan pasti bahwa ruh sama sekali bukanlah Allah, sebagaimana ruh juga bukan salah satu sifat di antara sifat-sifat-Nya. ruh adalah sesuatu yang dibuat di antara pelbagai buatan-Nya. Tersematnya status makhluk terhadap ruh sama dengan tersematnya status makhluk pada para malaikat, jin, dan manusia.
Dalil kedua: Firman Allah swt. kepada Zakariya as.,
“Dan sesungguhnya telah Aku ciptakan kamu sebelum itu, padahal kamu (di waktu itu) belum ada sama sekali.” (QS. Maryam [19]: 9).
Firman ini ditujukan kepada ruh dan badannya, bukan hanya ditujukan kepada badannya. Karena badan saja tidak dapat memahami, tidak dapat diajak bicara (tidak dapat dijadikan sebagai objek firman), dan tidak dapat berpikir. Sebab yang dapat memahami, berpikir, dan diajak bicara (dapat dijadikan sebagai objek firman) adalah ruh.
Dalil ketiga: Firman Allah swt.,
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kalian dan apa yang kalian perbuat itu.” (QS. ash-Saffat [37]: 96)
Dalil keempat: Firman Allah swt.,
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian (Adam), lalu Kami bentuk kalian, kemudian Kami katakan kepada para malaikat, “Bersujudlah kalian kepada Adam”; maka mereka pun bersujud kecuali iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud.” (QS. al-A’raf [7]: 11)
Pengabaran ini mungkin saja ditujukan terhadap ruh-ruh dan jasad-jasad kita, seperti yang dinyatakan oleh jumhur ulama atau mungkin pula ditujukan hanya terhadap ruh-ruh kita sebelum jasad-jasad kita diciptakan, seperti yang diyakini oleh orang-orang yang meyakini hal itu. Namun, pada dua pendapat ini yang diketahui secara jelas, yaitu bahwa ruh merupakan makhluk.
Dalil kelima: Nas-nas yang menunjukkan bahwa Allah swt. adalah Rabb kita semua dan Rabb dari segenap nenek moyang kita yang terdahulu, sebagaimana Dia juga merupakan Rabb bagi segala sesuatu.
Posisi Allah dengan rububiyah-Nya itu meliputi seluruh ruh dan badan kita semua. Semua ruh adalah milik Allah (marbub lahu mamlukah), begitu pula dengan seluruh tubuh kita. Dan semua yang bersifat dimiliki (marbub mamluk) pasti adalah makhluk (ciptaan).
Dalil keenam: Surah pertama dalam al-Quran yaitu al-Fatihah telah, menunjukkan bahwa ruh adalah makhluk, jika dilihat dari beberapa segi sebagai berikut.
- Firman Allah swt. menyatakan,
“Segala puji bagi Allah Rabb alam semesta.” (QS. al-Fatihah [1]: 2)
Sementara ruh termasuk bagian dari ‘alam semesta’, dan Allah merupakan Rabb-nya.
- Firman Allah swt. menyatakan,
“Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.” (QS. al-Fatihah [1]: 5)
Sementara ruh termasuk yang menyembah (‘abidah) kepada Allah dan termasuk yang memohon pertolongan (musta’inah) kepada-Nya. Apabila ruh bukan termasuk makhluk, tentu ruh juga akan menjadi objek penyembahan dan tempat meminta pertolongan.
- Ruh selalu fakir terhadap hidayah Allah yang Menciptakannya dan sekaligus Rabb-nya. ruh selalu meminta kepada Allah swt. agar ditunjuki jalan yang lurus.
- Ruh merupakan objek pemberian nikmat dan objek kasih sayang Allah, sebagaimana ruh juga menjadi objek kemurkaan Allah yang dapat menyesatkan dan menyengsarakan. Tentu saja, kondisi-kondisi seperti itu merupakan kondisi yang hanya dapat terjadi pada entitas yang bersifat “dimiliki” (marbab mamlak), bukan entitas yang memiliki sifat kadim ataupun makhluk.
Dalil ketujuh: Nas-nas yang menunjukkan bahwa manusia sepenuhnya adalah “hamba’”. Penghambaan (‘ubudiyyah) manusia tentu saja tidak hanya jatuh pada raganya saja. Alih-alih, justru penghambaan manusia itu terletak pada ruhnya, sementara raga manusia hanya mengikuti ruhnya, sebagaimana raga hanya sekadar mengikuti rub dalam semua ketetapan hukum. Sebab ruhlah yang menggerakkan raga dan mempekerjakannya, sehingga raga hanya mengikuti ruh dalam penghambaan.
Dalil kedelapan: Firman Allah swt.,
“Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?” (QS. al-Insan [76]: 1)
Jika ruh manusia bersifat kadim, pastilah “‘manusia” merupakan “sesuatu yang dapat disebut’’. Manusia menjadi manusia dengan ruhnya, bukan hanya raganya, seperti yang dikatakan oleh seorang penyair.
Wahai pelayan raga betapa sengsara melayaninya Engkaulah ruh, bukan raga, sebagai “manusia”
Dalil kesembilan: Nas-nas yang menunjukkan bahwa Allah swt. adalah Dzat yang “ada” sebelum segala sesuatu selain Dia ada, seperti yang dinyatakan dalam Shahih al-Bukhariy, hadis dari Imran bin Hushain bahwa penduduk Yaman berkata, ‘“Wahai Rasulullah, kami mendatangimu untuk mempelajari agama. Kami bertanya kepadamu tentang awal dari urusan (agama) ini. Rasulullah pun bersabda, “Allah ada ketika belum ada sesuatu apapun selain Dia. Arsy-Nya di atas air. Dia telah menuliskan segala sesuatu dalam adz-dzikr.”
Jadi, tidak ada yang bersama Allah, baik ruh ataupun jiwa yang bersifat kadim. Tidak ada ruh yang wujudnya menyamai wujud Allah swt. Maha Tinggi Allah dari hal seperti itu dengan ketinggian yang setinggi-tingginya. Dialah yang Maha Awal semata. Tidak ada sesuatu apapun selain Dia yang menyekutui-Nya pada keawalan-Nya dalam bentuk apapun.
Dalil kesepuluh: Nas-nas yang menunjukkan penciptaan para malaikat, yang merupakan ruh-ruh yang tidak membutuhkan jasad. Para malaikat merupakan makhluk-makhluk yang diciptakan sebelum penciptaan manusia dengan ruhnya. Jadi apabila malaikat yang mencetuskan ruh dalam jasad Adam as. dengan embusannya itu saja juga merupakan makhluk, maka apa lagi kiranya ruh yang bersifat baru ada dengan embusan Allah yang bersifat kadim?
Orang-orang sesat menduga bahwa malaikat dikirim kepada janin dengan membawa ruh yang bersifat kadim azali yang kemudian di embuskan ke janin, sebagaimana halnya seorang kurir diutus kepada seseorang untuk membawa sehelai pakaian untuk dikenakan oleh Orang tersebut.
Dugaan seperti itu tentu saja sesat dan salah. Karena sebenarnya yang terjadi yaitu Allah swt. mengutus malaikat kepada janin, untuk kemudian malaikat itu mengembus satu embusan yang mencetuskan ruh bagi janin tersebut dengan perantaraan embusan tersebut. Embusan itulah yang menjadi sebab sampainya ruh dan tercetusnya ruh pada janin. Hal ini sama seperti dengan persetubuhan dan masuknya benih lelaki ke dalam rahim menjadi sebab bagi pembentukan tubuh janin. atau makanan yang menjadi sebab bagi pertumbuhannya.
Bahan baku atau materi pembentuk ruh berasal dari embusan ma. laikat. Bahan baku tubuh berasal dari tertuangnya air mani ke dalam rahim. Yang satu merupakan bahan baku yang bersifat samawi (maddah samawiyyah), sementara yang satu merupakan bahan baku yang bersifat ardi (maddah ardhiyyah).
Setelah itu, sebagian orang ada yang dirinya dikuasai oleh materi pembentuk yang bersifat samawi (maddah samawiyyah), sehingga ruhnya menjadi ruh luhur yang mulia selaras dengan para malaikat; sementara ada sebagian orang lagi yang dikuasai oleh materi pembentuk atau bahan baku yang bersifat ardi (maddah ardhiyyah), sehingga ruhnya menjadi ruh rendah yang hina selaras dengan ruh-ruh yang nista. Jadi, malaikat bagaikan ayah bagi ruhnya, sementara tanah bagaikan ayah bagi tubuhnya.
Dalil kesebelas: Hadis Abu Hurairah ra. yang terdapat dalam Shahih al-Bukhariy dan lainnya, dari Rasulullah saw., “Ruh-ruh itu seperti pasukan yang dikerahkan. Lalu siapa pun yang saling mengenal di antara mereka, mereka akan bersatu; dan siapa pun yang saling mengingkari di antara mereka, mereka akan berselisih.” Padahal “pasukan yang dikerahkan” pasti makhluk yang diciptakan.
Hadis tersebut diriwayatkan dari Rasulullah saw. oleh Abu Hurairah ra., Aisyah ra. Ummul Mukminin, Salman al-Farisi ra., Abdullah bin ‘Abbas ra., “Abdullah bin Mas‘ud ra., ‘Abdullah bin ‘Umar ra., “Ali bin Abi Thalib ra., dan “Amr bin’ Abasah ra.
Dalil kedua belas: ruh dapat dimatikan, dicabut, ditahan, dan dilepaskan. Semua kondisi ini merupakan kondisi makhluk yang bersifat baru dan marbdab. Allah swt. berfirman, “Allah mewafatkan jiwa (orang) ketika matinya dan (mewafatkan) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir.” (QS. az-Zumar [39]: 42).
Yang dimaksud “jiwa” (anfus) dalam ayat ini pasti adalah “ruh”.
Dalam dua kitab Sahih disebutkan sebuah hadis dari Abdullah bin Abu Qatadah al-Anshari, dari ayahnya, dia berkata, “Pada suatu malam kami melakukan perjalanan bersama Rasulullah saw. Kami lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana kalau engkau beristirahat bersama kami?’ Rasulullah saw. menyahut, ‘Sungguh aku takut kalian tertidur, lantas siapakah yang akan membangunkan kita untuk shalat?’ Bilal berkata, ‘Aku wahai Rasulullah saw.!’ Maka mereka pun beristirahat dan mereka semua berbaring. Sementara Bilal bersandar ke kendaraannya sehingga dia pun tertidur. Beberapa lama kemudian Rasulullah saw. terjaga sementara matahari sudah terbit. Rasulullah saw. lalu bersabda, ‘Wahai Bilal, di manakah yang engkau katakan kepada kami itu?’ Bilal menjawab, ‘Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak pernah mengalami tidur seperti ini!’ Rasulullah saw. bersabda, ‘Sesungguhnya Allah menggenggam ruh-ruh kalian ketika Dia menghendaki, lalu Dia kembalikan ruh-ruh itu ketika Dia menghendaki.’”
Ruh yang digenggam oleh Allah swt. ini adalah “jiwa” (nafs) yang Allah wafatkan ketika waktu kematiannya tiba dan di saat tidur. ruh itulah yang diwafatkan oleh Malaikat Maut. Pada ruh itulah, Rasulullah saw. mengalami kematian. Malaikat duduk di samping pemilik ruh tersebut, mengeluarkannya dari tubuh sang pemilik secara paksa, lalu mengafaninya menggunakan kafan dari surga atau neraka. Malaikat kemudian membawa ruh itu ke langit, para malaikat lalu mendoakannya atau melaknatnya. ruh itu lalu didirikan di depan Tuhannya untuk kemudian Dia tetapkan urusan-Nya padanya. Setelah itu, ruh tersebut dikembalikan ke bumi lalu menyusup ke antara si mayit dan kain-kain kafannya. Kemudian ruh tersebut ditanya, diuji, dihukum, dan diberi nikmat. Ruh itulah yang diletakkan di dalam rongga tubuh burung hijau yang makan dan minum di dalam surga. Ruh itulah yang ditampakkan neraka kepadanya di setiap pagi dan petang.
Ruh itulah yang beriman dan berbuat Kufur, atau patuh dan bermaksiat. Ruh itulah yang mengajak ke arah keburukan (ammarah bi-s-su). Ruh itulah yang disebut nafs lawwamah atau disebut nafs muthmainnah yang dengan tenang kembali kepada Rabb-nya dengan segala perintah dan peringatan-Nya. Ruh itulah yang disiksa atau dj. beri nikmat, yang berbahagia atau sengsara, ditahan atau dilepaskan, mengalami sehat atau sakit, merasakan enak atau nyeri, merasa takut atau sedih.
Tentu saja, hal-hal seperti di atas hanya terjadi pada makhluk yang diciptakan, karena semua itu adalah sifat yang dibuat dan diciptakan, Sebagaimana ketetapan yang berlaku pada marbab, diatur dan digerakkan di bawah kehendak pencipta-Nya dan pembuat-Nya.
Rasulullah saw. bersabda ketika tidurnya, “Wahai Allah Engkau menciptakan jiwaku dan Engkau mewafatkannya. Engkau memiliki kematian dan kehidupannya. Jika Engkau menahannya maka kasihilah ia, dan apabila Engkau melepaskannya, jagalah ia dengan apa yang Engkau jaga dengannya hamba-hamba-Mu yang saleh.”
Allah swt. merupakan Pencipta semua jiwa sebagaimana Dia juga Pencipta semua jasad. Allah swt. berfirman,
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak Pula) pada diri kalian sendiri (anfusukum) melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah.” (QS. al-Hadid [57]: 22)
Ada yang menyatakan bahwa yang dimaksud “sebelum Kami menciptakannya” yaitu “sebelum Kami menciptakan bencana (mushibah)”. Ada pula yang mengatakan bahwa maksudnya yaitu “sebelum Kami menciptakan bumi’.. Namun, ada pula yang mengatakan bahwa maksudnya adalah “sebelum Kami menciptakan jiwa (nafs)’’. Pengertian terakhir inilah yang paling tepat. Karena kata “jiwa” (anafusukum) yaitu yang paling dekat penyebutannya dengan kata ganti (dhamir). Apabila ada yang mengatakan bahwa maksud dari kalimat itu ialah ketiga perkara yang disebutkan dalam ayat tersebut—yaitu musibah, bumi, dan jiwa—maka pendapat itulah yang paling mendekati.
Jadi, bagaimana mungkin ruh dapat dianggap bersifat kadim yang tidak membutuhkan Pencipta yang mengadakan dan menciptakannya, padahal bukti-bukti kefakirannya, kebutuhannya, dan kebergantungannya telah menjadi bukti yang paling kuat menunjukkan bahwa ruh memang makhluk, marbib, yang dibuat. Selain itu semua hal tersebut juga menunjukkan bahwa wujud keberadaannya dengan segala sifat dan perbuatannya sepenuhnya berasal dari Rabb yang telah menciptakannya. Sementara ruh itu sendiri tidak memiliki apa-apa selain ketiadaan.
Ruh tidak memiliki kuasa atas dirinya sendiri untuk mencetuskan padanya bahaya, manfaat, kematian, kehidupan, dan kebangkitan. Ruh juga tidak dapat mengambil kebaikan apapun, kecuali hanya yang Allah berikan kepadanya. Ruh tidak dapat berlindung dari segala bentuk keburukan, kecuali hanya yang Allah lindungi dia darinya. Ruh tidak dapat mengikuti petunjuk menuju kebaikan apapun baik berupa kebaikan dunia maupun akhirat, kecuali berkat petunjuk Allah swt. Ruh tidak dapat menjadi baik, kecuali berkat taufik Allah dan kebaikan-Nya kepadanya. Ruh tidak dapat mengetahui kecuali hanya yang Allah ajarkan kepadanya. Ruh tidak dapat menjangkau lebih dari yang Allah ilhamkan kepadanya.
Allah-lah yang telah menciptakan ruh dan menyempurnakannya. Dia pula yang mengilhamkan kepada ruh segala keburukan dan segala ketakwaan. Allah swt. juga mengabarkan bahwa Dialah Pencipta ruh berikut segala perbuatannya, baik berupa keburukan maupun ketakwaan. Hal ini membantah orang yang menyatakan bahwa ruh bukan makhluk, juga membantah orang yang menyatakan bahwa walaupun ruh adalah makhluk, tetapi Allah tidak menciptakan perbuatan yang dilakukan oleh ruh, karena ruh-lah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya sendiri. Kedua pendapat ini milik orang-orang sesat.
Perlu diketahui, apabila ruh bersifat kadim dan bukan makhluk, pastilah ruh tidak membutuhkan pihak lain dalam wujud, sifat, dan penyempurnaannya. Inilah bentuk kebatilan yang paling batil. Karena sesungguhnya kefakiran ruh kepada Allah swt. dalam wujud, kesempurnaan, dan kebaikannya telah menjadi keharusan yang melekat pada zat ruh itu sendiri; bukan muncul karena sebab tertentu. Semua itu merupakan sebuah perkara intrinsik (dzatiy) bagi ruh, sebagaimana halnya ke-Mahakaya-an Rabb yang telah menciptakan ruh itu juga telah menjadi perkara intrinsik (dzatiy) bagi-Nya, bukan muncul karena sebab tertentu. Allah memiliki sifat Mahakaya (tidak membutuhkan yang selain Dia) dengan Dzat-Nya, sementara ruh memiliki sifat membutuh, kan Allah dengan zatnya.
Dalam ke-Mahakaya-an itu Allah tidak memiliki sekutu siapa pun, sebagaimana pula tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekadiman-Nya rububiah-Nya, uluhiah-Nya, dan kekuasaan-Nya yang sempurna serta keparipurnaan-Nya yang kudus.
Berbagai bukti yang menunjukkan kemakhlukan dan kebaruan ruh sama seperti bukti-bukti yang menunjukkan hal serupa pada badan Allah swt. berfirman,
“Hai manusia, kalianlah yang memerlukan (al-fuqara’) kepada Allah; dan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (QS. Fathir [35]: 15)
Kata-kata yang menyebut “faqr” dalam ayat ini ditujukan kepada ruh dan raga sekaligus, bukan ditujukan hanya kepada raga. Inilah ke-Mahakaya-an Allah swt. semata yang di dalamnya tidak ada sesuatu pun selain Dia yang bersekutu dengan-Nya.
Allah swt. telah menuntun hamba-hamba-Nya kepada dalil yang paling jelas menunjukkan hal ini dengan firman-Nya,
“Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, padahal kalian ketika itu melihat, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kalian. Tetapi kalian tidak melihat, maka mengapa jika kalian tidak dikuasai (oleh Allah)? Kalian tidak mengembalikan nyawa itu (kepada tempatnya) jika kalian adalah orang-orang yang benar?” (QS. al-Waqi’ah [56}:83-87)
Maksudnya, jika kalian memang bukan sesuatu yang dimiliki, ditundukkan, marbub, dan diberi balasan atas perbuatan kalian, kalian pasti dapat mengembalikan nyawa ke dalam raga ketika nyawa itu sudah sampai di kerongkongan! Tidakkah kalian mengetahui dari situ bahwa ruh itu dikuasai, dimiliki, marbub, dihisab, dan dibalas atas amal perbuatannya?
Semua yang sudah dipaparkan di bagian terdahulu dalam jawaban ini dalam bentuk berbagai ketetapan dan kondisi ruh serta tempatnya setelah kematian terjadi, kesemuanya menjadi dalil yang menunjukkan bahwa ruh bersifat baru, makhluk (diciptakan), marbub, diayomi, dan tidak bersifat kadim.
Hal ini sudah terlalu jelas untuk menggiring dalil-dalil itu ke sana. Jika bukan karena perbuatan orang-orang sesat dari kelompok mutashawwifah dan para pembuat bidah serta orang-orang yang dangkal pengetahuannya tentang Kitabullah dan sunah Rasulullah saw., kesesatan itu muncul dari buruknya pemahaman dan bukan dari nas. Mereka berbicara tentang diri dan ruh mereka dengan segala hal yang menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang paling tidak memahami tentang ruh.
Bagaimana mungkin orang yang memiliki sedikit akal pikiran dapat mengingkari sesuatu yang telah dipersaksikan oleh dirinya sendiri, sifat-sifatnya, perbuatannya, anggota tubuhnya, oleh segenap langit, bumi, dan seluruh makhluk?
Pada semua yang selain itu Allah swt. memiliki ayat dan bahkan ayat-ayat yang menunjukkan bahwa ruh bersifat makhluk marbab, dan bahwa Allah-lah yang menjadi Penciptanya, Rabb-nya, dan pemiliknya. Walaupun dia mengingkari semua itu, dalam dirinya tetap melekat bukti yang menyaksikan semua itu.
PASAL
Berkenaan dengan hujah yang disampaikan oleh kelompok sesat ini, yaitu pendapat yang mereka sampaikan yang bersumber dari ayat mutasyabihat dalam al-Quran atau dari ayat muhkamat yang disalahtafsirkan—karena memang seperti itulah ciri orang-orang sesat pembuat bidah. Perlu diketahui bahwa semua ayat muhkamat di dalam al-Quran dari awal sampai akhir, semuanya menunjukkan bahwa Allah swt. adalah Pencipta semua ruh dan Dialah yang membuat semua ruh itu.
Adapun firman Allah swt, “Katakanlah, Ruh itu termasuk Urusan (amr) Tuhanku.’” (QS. al-Isra’ [17]: 85)
Telah diketahui secara pasti bahwa kalimat tersebut maksudnya, bukan “perintah” yang menjadi salah satu jenis ucapan. Karena jika demikian, maka ruh adalah “ucapan Allah yang dengannya Dia memberi perintah”. Padahal yang dimaksud amr dalam ayat ini ialah “Yang diperintah” (al-ma‘mar). Pengertian ini sudah diketahui secara umum dalam Bahasa Arab, dan di dalam al-Quran dapat ditemukan banyak contoh lain yang serupa. Contohnya firman Allah swt.,
“Telah pasti datangnya ketetapan (amr) Allah…” (QS. an-Nahl [16]: 1)
Maksud kata “amr” di sini yaitu objek perintah Allah yang telah Allah tetapkan takdir dan keputusannya. Kemudian Allah swt. berkata kepadanya “kun”.
Demikian pula firman Allah swt.,
“.. Karena itu tiadalah bermanfaat sedikit pun kepada mereka sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah, di waktu azab (amr) Tuhanmu datang.” (QS. Hud [11]: 101).
Maksud kata “amr” di sini ialah objek perintah Allah untuk membinasakan mereka. Demikian pula firman Allah swt.,
“….Tidak adalah kejadian (amr) kiamat itu, melainkan seperti sekejap mata atau lebih cepat (lagi)…” (QS. an-Nahl [16]: 77)
Demikian pula dengan kata “khalq” (ciptaan) yang sering digunakan dengan arti “makhluq” (yang diciptakan); seperti firman Allah swt.,
“Inilah ciptaan Allah” (QS. Luqman [31]: 11)
Begitu pula dengan kata “rahmah” terkadang digunakan dengan pengertian “makhluk yang diciptakan dengan rahmat” seperti firman Allah yang menyebut surga, “Engkau rahmat-Ku.”
Selain itu, di dalam ayat, “…Katakanlah, ‘Ruh itu termasuk urusan (amr) Tuhanku’…” (QS. al-Isra’ [17]: 85)
Sama sekali tidak terdapat dalil yang menunjukkan bahwa ruh memiliki sifat kadim dan bukan makhluk. Sebagian dari kalangan salaf menyatakan dalam tafsir ayat ini, “Ruh merasuk ke dalam jasad makhluk dengan perintah Allah, lalu ruh itu menetap di dalam jasad dengan kuasa-Nya.”
Kesimpulan di atas diambil berdasarkan kenyataan bahwa yang dimaksud “ruh” dalam ayat tersebut (QS. al-Isra’ [17]: 85) yaitu “ruh manusia”. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat antara kaum salaf (generasi terdahulu) dengan kaum khalaf (generasi belakangan). Sebagian besar dari kalangan salaf atau bahkan mereka semua menyatakan bahwa ruh yang dimaksud dalam ayat bukanlah ruh keturunan Adam as., melainkan ruh yang Allah kabarkan di dalam kitab-Nya bahwa ruh tersebut akan berdiri bersama para malaikat di Hari Kiamat; yaitu malaikat yang agung.
Telah tsabit (sahih) di dalam ash-Shahih sebuah hadis dari A’masy, dari Ibrahim, dari Alqamah, dari “Abdullah, dia berkata, “Ketika aku berjalan bersama Rasulullah saw. di lahan pertanian (harts) Madinah, beliau bersandar ke punggung, lalu kami dilewati oleh segerombolan orang-orang Yahudi. Mereka lalu berkata antara satu sama lain, ‘Tanyakanlah kepadanya tentang ruh!’ Sebagian lagi menyahut, ‘Janganlah kalian bertanya kepadanya! Mungkin saja dia akan menyampaikan sesuatu yang kalian benci.’ Sebagian lagi menukas, ‘Kami akan bertanya kepadanya!’ Maka bangkitlah seorang lelaki yang kemudian berkata, ‘Wahai Abul Qasim, apakah ruh itu?’ Rasulullah saw. pun diam dan aku tahu bahwa ada wahyu yang turun kepada beliau. Setelah wahyu selesai turun, beliau berujar, “Dan mereka bertanya kepadamu ten. tang ruh. Katakanlah, ‘Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kalian diberi pengetahuan melainkan sedikit.’” (QS. al-Isra’ [17]: 85)
Telah diketahui bahwa sebenarnya orang-orang Yahudi itu bertanya kepada Rasulullah saw. tentang sesuatu perkara yang tidak dapat diketahui, kecuali hanya melalui wahyu. Itulah ruh yang ada di sisi Allah dan tidak diketahui oleh manusia. Adapun mengenai ruh-ruh keturunan Adam as., itu bukanlah sesuatu yang gaib, karena banyak golongan yang membicarakan tentang ruh manusia sehingga jawaban tentang ruh seperti itu tidak menjadi bagian dari tanda-tanda kenabian,
Apabila ada yang mengajukan pertanyaan tentang masalah berikut ini.
Abu Syaikh mengatakan, “Husein bin Muhammad bin Ibrahim menuturkan kepada kami, Ibrahim bin Hakam mengabarkan kepada kami, dari ayahnya, dari as-Suddi, dari Abu Malik, dari Ibnu ‘Abbys ra., dia berkata, ‘Kaum Quraisy mengutus ‘Uqbah bin Abu Mu’aith dan ‘Abdullah bin Abu Umayyah bin Mughirah kepada kaum Yahudi Madinah untuk bertanya kepada mereka tentang Rasulullah saw.
Mereka lalu berkata kepada kaum Yahudi, “Sesungguhnya telah muncul di tengah kami seorang lelaki yang mengaku sebagai nabi, tetapi ajarannya tidak seperti agama kami dan tidak pula seperti agama kalian.”
Orang-orang Yahudi bertanya, “Siapakah yang menjadi pengikutnya?” Mereka menjawab, “Orang-orang rendahan di antara kami, orang-orang lemah, para budak, dan orang-orang yang tidak terhormat. Sedangkan orang-orang mulia dari kaumnya sendiri tidak menjadi pengikutnya.”
Orang-orang Yahudi bertanya lagi, “Sungguh telah tiba masa bagi seorang nabi untuk muncul, dan nabi itu seperti ciri-ciri lelaki yang kalian sebutkan. Datangilah dia lalu tanyakanlah kepadanya tentang tiga perkara yang kami perintahkan kepada kalian. Apabila dia memberi tahu kalian tentang ketiganya, dia memang benar-benar seorang nabi. Namun, apabila dia tidak memberi tahu kalian tentang semua itu, dia seorang pendusta. Tanyakanlah kepadanya tentang ruh yang Allah embuskan kepada Adam. Apabila dia menjawab kepada kalian, ‘Ruh itu dari Allah’, maka katakanlah kepadanya, ‘Bagaimana mungkin Allah mengazab di neraka sesuatu yang berasal darinya?’”
Maka Rasulullah saw. bertanya kepada Jibril tentang ruh, dan Allah pun menurunkan ayat, “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, ‘Ruh itu termasuk urusan (amr) Tuhanku.’” (QS. al-Isra’ [17]: 85)
Rasulullah saw. bersabda, “Ruh merupakan salah satu ciptaan Allah. Dia bukan Allah.”
Kemudian perawi menuturkan lanjutan hadis ini. Tanggapan atas pernyataan di atas ialah sebagai berikut.
Sanad hadis tersebut tidak dapat dijadikan sebagai hujah karena berasal dari penafsiran as-Suddi dari Abu Malik dan di dalamnya banyak hal-hal mungkar. Sementara itu alur kisah ini dalam pertanyaan dari kitab-kitab Sahih dan Musnad semuanya menyelisihi alur yang disampaikan oleh as-Suddi.
Hadis ini telah diriwayatkan oleh al-A’masy dan Mughirah bin Miqsam, dari Ibrahim, dari ‘Alqamah, dari ‘Abdullah, dia berkata, “Rasulullah saw. lewat di dekat segerombolan orang Yahudi dan aku berjalan bersama beliau. Mereka bertanya kepada beliau tentang ruh. Rasulullah saw. pun diam. Aku mengira wahyu sedang diturunkan kepada beliau. Maka turunlah ayat, “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, ‘Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kalian diberi pengetahuan melainkan sedikit.’” (QS. al-Isra’ [17]: 85)
Seperti itulah pula qiraat ‘Abdullah. Orang-orang Yahudi itu berkata, “Seperti itulah pula yang kami dapati di dalam Taurat, yaitu bahwa ruh termasuk urusan Allah “azza wa jalla.” Hadis ini diriwayatkan oleh Jarir bin ‘Abdul Hamid dan lainnya, dari Mughirah.
Yahya bin Zakariya bin Abu Zaidah, dari Dawud bin Abu Hind, dari “Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas ra., dia berkata, “Orang-orang Yahudi datang kepada Nabi saw. lalu mereka bertanya kepada beliau tentang ruh. Ternyata beliau tidak menjawab mereka dengan apapun juga. Allah swt. menurunkan ayat, “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, ‘Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kalian diberi pengetahuan melainkan sedikit.’” (QS. al-Isra’ [17]: 85)
Penjelasan ini menunjukkan dhaifnya hadis as-Suddi dan bahwa pertanyaan itu terjadi di Mekkah, padahal hadis ini dan hadis dari Ibnu Mas’ud secara gamblang menunjukkan bahwa pertanyaan itu terjadi di Madinah yang disampaikan secara langsung oleh orang-orang Yahudi Apabila pertanyaan itu sudah lebih dulu disampaikan sementara jawaban sudah ada di Mekkah, tentu Rasulullah saw. tidak akan diam Beliau pasti akan langsung menjawab orang-orang Yahudi itu dengan jawaban yang sudah Allah sampaikan kepada beliau dan ayat yang Dia turunkan kepadanya.
Terdapat kekacauan yang parah dalam beberapa riwayat dari Ibnu ‘Abbas ra. mengenai penafsiran ayat ini. Mungkin saja itu terjadi dap; pihak para perawi, atau mungkin pula itu terjadi karena kata-kata yang digunakan Ibnu Abbas ra. memang tidak sama. Kami menyampaikan itu.
Kami telah menyampaikan riwayat as-Suddi dari Abu Malik darinya (Ibnu “Abbas ra.), dan riwayat Dawud bin Abu Hind, dari ‘Ikrimah, darinya (Ibnu “Abbas ra.) yang menyelisihi riwayat yang pertama itu (riwayat as-Suddi. Dalam riwayat Dawud bin Abu Hind juga terdapat kekacauan ini. Masruq bin Marzuban dan Ibrahim bin Abu Thalib menyatakan, dari Yahya bin Zakariya, darinya (Ibnu ‘Abbas ra.), “Sesungguhnya orang-orang Yahudi mendatangi Nabi saw…”
Muhammad bin Nashr al-Marwazi mengatakan, “Ishaq bin Ibrahim menuturkan kepada kami, Yahya bin Zakariya menuturkan kepada kami, dari Dawud, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu “Abbas ra., dia berkata, ‘Orang-orang Quraisy berkata kepada orang-orang Yahudi, “Berilah kami sesuatu untuk kami tanyakan kepada lelaki itu.” Orang-orang Yahudi berkata, “Tanyakanlah kepadanya tentang ruh!” maka turunlah ayat, “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, ‘Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kalian diberi pengetahuan melainkan sedikit.’” (QS. al-Isra’ [17]: 85)
Hadis ini menyelisihi riwayat lain darinya (Ibnu Abbas ra.) dan hadis Ibnu Mas’ud ra.
Dari Ibnu “Abbas ra. ada lagi riwayat yang ketiga. Husyaim berkata, “Abu Bisyr menuturkan kepada kami, dari Mujahid, dari Ibnu ‘Abbas ra., dia berkata, ‘Ruh merupakan salah satu urusan Allah swt. dan salah satu ciptaan Allah swt. serta salah satu bentuk keturunan Adam. Tidak pernah turun satu malaikat pun dari langit, kecuali bersama ada satu ruh.’
Dalil ini menunjukkan bahwa ruh yang dimaksud di sini bukanlah ruh yang ada dalam diri keturunan Adam as.
Dari Ibnu ‘Abbas ra. juga ada riwayat keempat. Ibnu Mandah berkata. Abdussalam bin Harb meriwayatkan, dari Khushaif, dari Mujahid, dari Ibnu ‘Abbas ra., “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, ‘Ruh itu termasuk urusan Tuhanku…’” (QS. al-Isra’ [17]: 65)
Diturunkan sebagai bagian dari al-Quran dengan kedudukan “kun”. Kami berkata seperti yang dikatakan oleh Allah, “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, ‘Ruh itu termasuk urusan Tuhanku…’” (QS. al-Isra’ [17]: 85). Kemudian diriwayatkan dari jalur Khushaif, dari ikrimah, dari Ibnu Abbas ra., bahwa dia tidak menafsirkan empat perkara: raqim, ghislin, ruh, dan firman Allah,
“Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, daripada-Nya.” (QS. al-Jatsiyah [45]: 13)
Dari Ibnu ‘Abbas ra. juga diriwayatkan riwayat kelima yang diriwayatkan oleh Juwaibir, dari Dhahhak, darinya (Ibnu ‘Abbas ra.), bahwa orang-orang Yahudi bertanya kepada Rasulullah saw. tentang ruh. Rasulullah saw. lalu bersabda, “Allah swt. berfirman,
Katakanlah, ‘Ruh itu termasuk urusan Tuhanku,’ maksudnya, salah satu di antara ciptaan-Ku ‘dan tidaklah kalian diberi pengetahuan melainkan sedikit.’” (QS. al-Isra’ [17]: 85)
Maksudnya, apabila kalian ditanya tentang penciptaan diri kalian dan tentang tempat masuknya makanan serta minuman berikut tempat keluarnya, maka kalian tidak menjelaskan itu dengan sifatnya yang sebenarnya karena kalian tidak mengetahui sifatnya.
Dari Ibnu Abbas ra. diriwayatkan riwayat keenam: Abdul Ghani bin Sa’id meriwayatkan, Musa bin Abdurrahman menuturkan kepada kami, dari Ibnu Juraij, dari Atha’, dari Ibnu Abbas ra., dan dari Muqatil, dari Dhahhak, dari Ibnu Abbas ra. tentang firman Allah, “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh…” (QS. al-Isra’ [17]: 85)
Itu terjadi ketika orang-orang Quraisy berkumpul, lalu sebagian dari mereka berkata kepada sebagian yang lain, “Demi Allah Muhammad tidaklah berdusta. Dia telah tumbuh dewasa bersama kita dengan kejujuran dan amanah.” Mereka lalu mengirimkan sekelompok orang kepada orang-orang Yahudi untuk bertanya kepada mereka tentang Rasulullah saw. Karena sebelumnya orang-orang Yahudi itu begitu bergembira dengan kemunculan nabi baru, sering menyebut-nyebut tentangnya mengakui kenabiannya, berharap akan kemenangannya, meyakini bah. wa nabi itu akan berhijrah kepada mereka sehingga mereka pun akan menjadi penolong bagi nabi itu. Itulah sebabnya orang-orang Quraisy itu bertanya kepada mereka tentang Rasulullah saw.
Orang-orang Yahudi lalu berkata kepada mereka, “Tanyakanlah kepadanya tentang tiga perkara. Tanyakanlah kepadanya tentang ruh, Karena di dalam Taurat tidak ada cerita dan tidak ada pula penjelasan tentangnya, kecuali hanya disebut istilah ruh.”
Kemudian Allah swt. menurunkan ayat, “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, ‘Ruh itu termasuk urusan Tuhanku…’” (QS. al-Isra’ [17]: 85). Maksudnya, ruh itu termasuk di antara ciptaan Allah swt.?
Di dalam al-Quran, kata “ruh” (ar-radh) disebutkan dalam beberapa pengertian.
Pertama, ruh berarti wahyu, seperti firman Allah swt.,
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (ruhan) dengan perintah Kami.” (QS. asy-Syura [42]: 52)
Dan firman Allah swt.,
“(Dialah) Yang Maha Tinggi derajat-Nya, Yang mempunyai ‘Arsy, Yang mengutus Jibril (ar-rah) dengan (membawa) perintah-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya diantara hamba-hamba-Nya, supaya dia memperingatkan (manusia) tentang hari pertemuan (Hari Kiamat).” (QS, al-Mu’min [40]: 15)
Wahyu disebut “ruh” karena wahyu dapat mendatangkan kehidupan pada kalbu dan ruh.
Kedua, ruh berarti kekuatan, keteguhan, dan pertolongan yang dengan semua itu Allah dukung hamba-hamba-Nya yang beriman yang pia kehendaki. Seperti firman Allah swt.,
“Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan (birihin) yang datang daripada-Nya” (QS. al-Mujadilah [58]: 22)
Ketiga, ruh berarti Jibril. Seperti firman Allah swt.,
“Dia dibawa turun oleh ar-Ruh al-Amin (fibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan.” (QS. asy-Syu’ara’ [26]: 193-194)
Allah swt. berfirman,
“Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, Jibril itu telah menurunkannya (al-Quran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa yang (kitab-kitab) sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman” (QS. al-Baqarah [2]: 97). Jibril adalah ruh Kudus (ruh al-quds),
Allah swt. berfirman,
“Katakanlah, ‘Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan al-Quran itu dari Tuhanmu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).’” (QS. an-Nahl] [16]: 102)
Keempat, ruh yang ditanyakan oleh kaum Yahudi, lalu pertanyaan mereka itu dijawab bahwa ruh tersebut merupakan “salah satu urusan (amr) Allah”. Ada yang mengatakan bahwa ruh itu adalah ruh yang disebutkan dalam firman Allah swt.,
“Pada hari, ketika ruh dan para malaikat berdiri bersaf-saf, mereka tidak berkata-kata, kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan Yang Maha Pemurah; dan ia mengucapkan kata yang benar.” (QS. an-Naba’ [78]: 38)
Itulah ruh yang disebutkan dalam firman Allah swt.,
“Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril (ar-rah) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.” (QS. al-Qadr [97]: 4)
Kelima, ruh berarti Isa al-Masih bin Maryam as.,
Allah swt. perfirman,
“Sesungguhnya al-Masih, Isa putra Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) ruh dari-Nya…” (QS. an-Nisa’ [4]: 171)
Adapun ruh-ruh manusia keturunan Adam as. di dalam al-Quran tidak pernah disebut, kecuali hanya dengan menggunakan kata “nafs” (jiwa). Allah swt. berfirman, “Hai jiwa yang tenang.” (QS. al-Fajr [89]: 27)
Allah swt. berfirman,
“Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).” (QS. al-Qiyamah [75]: 2)
Allah swt. berfirman,
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yusuf [12]: 53)
Allah swt. berfirman,
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat kedustaan terhadap Allah atau yang berkata, ‘Telah diwahyukan kepada saya’, padahal tidak ada diwahyukan sesuatu pun kepadanya, dan orang yang berkata, ‘Saya akan menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah.’ Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakaratulmaut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata), ‘Keluarkanlah nyawamu (anfusakum).’” (QS. al-An’am [6]: 93)
Allah swt. berfirman,
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” (QS. asy-Syams [91]: 7-8)
Allah swt. berfirman, “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.” (QS. Ali Imran [3]: 185)
Sementara di dalam sunah, ruh manusia disebut menggunakan kata nafs dan rah.
Maksud dari semua penjelasan ini ialah ruh yang disebut “bagian dari urusan Allah” (min amrillah) tidak menjadi dalil yang menunjukkan kekadimannya dan tidak pula menunjukkan bahwa ruh bukan makhluk.
PASAL
Berkenaan dengan dalil yang mereka sampaikan dengan adanya pengaitan antara ruh dengan Allah swt. seperti yang disampaikan dalam firman-Nya, “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah Aku tiupkan ke dalamnya ruh (ciptaan) Ku, tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” (QS. al-Hijr [15]: 29)
Perlu diketahui bahwa pengaitan kepada Allah swt. ada dua macam:
Pertama, sifat-sifat Allah yang tidak berdiri sendiri, seperti ilmu, kuasa, bicara, pendengaran, penglihatan. Pengaitan sifat seperti ini adalah dengan yang disifati (maushuf biha). Ilmu-Nya, bicara-Nya, kehendak-Nya, kuasa-Nya, dan hidup-Nya merupakan sifat-sifat yang Allah miliki dan semua itu bukan makhluk. Demikian pula halnya dengan “wajah-Nya” dan “tangan-Nya”.
Kedua, pengaitan dengan sesuatu yang sama sekali terpisah dari-Nya, seperti “bait” (menjadi “baitullah”—Penj.), ‘“unta” (menjadi “naqatullah”—Penj.), “hamba” (menjadi “abdullah’’—Penj.), “rasul” (menjadi “rasulullah”—Penj.), dan “ruh” (menjadi “ruhullah”—Penj.).
Bentuk-bentuk pengaitan yang kedua ini merupakan bentuk pengaitan antara makhluk dengan Khalik Penciptanya, atau objek yang dibuat dengan pembuatnya. Pengaitan seperti ini menunjukkan takhsis dan pemuliaan objek pengaitan (mudhaf ilaih) daripada yang lainnya. Contohnya “baitullah”, walaupun semua bait pada hakikatnya adalah milik Allah swt. Begitu pula halnya dengan “unta Allah” (naqatullah), walaupun semua unta pada hakikatnya adalah milik Allah dan juga ciptaan-Nya. Pengaitan para makhluk dengan keilahian Allah seperti ini menunjukkan kecintaan Allah kepada makhluk-makhluk-Nya berikut pemuliaan dan penghormatan-Nya. Berbeda dengan pengaitan yang bersifat umum kepada kerububiahan-Nya yang menunjukkan penciptaan dan perwujudan para makhluk oleh-Nya.
Pengaitan yang bersifat umum menunjukkan penciptaan dan perwujudan, sementara pengaitan yang bersifat khusus menunjukkan pilihan. Allah swt. menciptakan apa pun yang Dia kehendaki dan Dia memilih apapun yang Dia ciptakan. Seperti yang Dia firmankan dalam ayat,
“Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia).” (QS. al-Qasas [28]: 68)
Pengaitan ruh kepada Allah swt. adalah dari pengaitan yang bersifat khusus ini (al-idhafah al-khashshah), bukan dari pengaitan yang bersifat umum (al-idhafah al-‘ammah) dan bukan pula dari pengaitan sifat (idhafah ash-shifat). Silakan Anda pikirkan masalah ini, karena itu akan menyelamatkan Anda dari berbagai bentuk kesesatan yang terjadi pada banyak orang.
Apabila ada yang mengatakan seperti ini:
Apakah pendapat kalian tentang firman Allah swt., “…Dan telah Aku tiupkan ke dalamnya ruh (ciptaan) Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” (QS. al-Hijr [15]: 29), yang di dalamnya Allah mengaitkan embusan atau tiupan-Nya dengan Diri-Nya?
Sebagaimana ada ayat yang menunjukkan tindakan langsung dari Allah swt. seperti yang difirmankan-Nya, “…Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku…” (QS. Shad [38]: 75)
Oleh sebab itulah Allah swt. menggandengkan keduanya pada penyebutan dalam hadis sahih yang disabdakan oleh Rasulullah saw, “Lalu mereka mendatangi Adam, kemudian mereka berkata, ‘Engkau Adam ayah umat manusia. Allah menciptakanmu dengan tangan-Nya., Dia embuskan kepadamu dari ruh-Nya. Dia meminta para malaikat-Nya bersujud kepadamu. Dia mengajarimu nama-nama segala sesuatu.”
Mereka menyebutkan empat keistimewaan yang dimiliki Adam as, dan tidak dimiliki manusia mana pun selain dia. Apabila ruh yang diembuskan ke dirinya merupakan embusan malaikat, dia tidak memiliki keistimewaan dengan itu, dan dia setara dengan al-Masih as., bahkan semua keturunannya karena ruh ada di diri mereka semua dari embusan malaikat. Allah swt. berfirman, “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan) Ku (rahi) maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” (QS. al-Hijr [15]: 29)
Allah-lah yang telah menyempurnakannya dengan tangan-Nya. Allah pulalah yang telah mengembuskan ke dalam dirinya dari ruh-Nya.
Tanggapan atas pernyataan di atas ialah sebagai berikut:
Pendapat seperti ini pasti lekat dengan kelompok ini, yaitu kelompok yang menyatakan bahwa ruh bersifat kadim, yang kemudian diikuti oleh kelompok lain tanpa memahami apa sebenarnya maksud ayat al-Quran.
Berkenaan dengan ruh yang dikaitkan dengan Allah swt., ruh tersebut merupakan ruh yang diciptakan, kemudian Allah kaitkan dengan
Diri-Nya sebagai bentuk pengaitan yang berfungsi sebagai pengkhususan dan penghormatan (takhshish wa tasyrif) seperti yang sudah kami jelaskan sebelumnya.
Adapun mengenai embusan atau tiupan (nafkh), Allah swt. telah menyatakan dalam ayat tentang Maryam,
“Dan (ingatlah kisah) Maryam yang telah memelihara kehormatannya, lalu Kami tiupkan ke dalam (tubuh) nya ruh dart Kami dan Kami jadikan dia dan anaknya tanda (kekuasaan Allah) yang besar bagi semesta alam.” (QS. al-Anbiya’ [21]: 91)
Allah swt. juga telah memberi tahu di tempat lain bahwa Dia mengirimkan malaikat kepada ruh lalu malaikat itulah yang mengembus di kemaluan Maryam. Jadi, embusan itu memang dikaitkan dengan Allah gwt. sebagai bentuk perintah dan izin (amran wa idznan); sementara ketika embusan itu dikaitkan kepada utusan Allah (maksudnya, malaikat—Penj.), itu menunjukkan “tindakan langsung” (mubasyaratan).
Sekarang mari kita bahas dua pertanyaan berikut:
Pertama, hendaklah dikatakan apabila embusan itu terjadi pada diri Maryam dari pihak malaikat, sebagaimana malaikat pula yang mengembuskan ruh-ruh ke semua manusia, apakah kiranya maksud dari penyebutan Isa al-Masih dengan julukan Ruhullah? Apabila ternyata Isa as. sama seperti semua manusia lainnya yang ruh mereka muncul dari ruh tersebut, maka apakah keistimewaan yang dimiliki oleh Isa al-Masih as.?
Kedua, hendaklah dikatakan apakah keterkaitan ruh dengan Adam as. terjadi dengan perantaraan embusan ruh ini. Dia (malaikat) yang mengembuskan itu ke diri Adam as. atas seizin Allah swt. sebagaimana dia (malaikat) pula yang mengembuskan ruh ke dalam tubuh Maryam; ataukah Allah swt. sendiri yang mengembuskan ruh sebagaimana Dia menciptakan Adam dengan tangan-Nya?
Tanggapan atas kedua pertanyaan itu ialah sebagai berikut.
Demi Allah, kedua pertanyaan di atas amatlah penting. Untuk pertanyaan pertama, jawabannya adalah ruh yang diembuskan ke tubuh Maryam merupakan ruh yang dikaitkan kepada Allah yang istimewa bagi Diri-Nya dan dia kaitkan kepada-Nya. Itu adalah ruh istimewa dj antara semua ruh yang lain. ruh itu bukan seperti ruh yang diwakilkan kepada malaikat untuk mengembuskannya ke semua perut ibu-ibu hamil, baik yang berasal dari kalangan mukmin maupun kafir.
Allah swt. telah menugasi satu malaikat di setiap rahim untuk mengembuskan ruh ke dalam janin, kemudian malaikat itu pula yang menuliskan rezeki, ajal, amal perbuatan, kebahagiaan, dan kesengsaraan bagi anak tersebut.
Adapun ruh yang dikirimkan kepada Maryam, itu adalah ruhullah (ruh ciptaan Allah) yang Allah istimewakan daripada semua ruh yang lain. Sebab bagi Maryam ruh tersebut menjadi seperti “ayah” (pasangan lelaki) bagi makhluk lain. Ketika embusan ruh istimewa itu memasuki kemaluan Maryam, sama seperti pertemuan benih lelaki dengan benih perempuan, terjadi para diri Maryam tanpa adanya persetubuhan.
Adapun mengenai keistimewaan yang dimiliki Adam as.; yaitu bahwa Adam as. tidak diciptakan seperti penciptaan Isa al-Masih as, dari seorang ibu, dan tidak pula seperti penciptaan manusia lainnya yang melalui ayah dan ibu. Selain itu, ruh yang Allah embuskan ke diri Adam berasal dari-Nya, tidak sama dengan ruh yang diembuskan oleh malaikat ke tubuh semua keturunan Adam as. Sebab jika ruh Adam sama dengan ruh mereka, maka tidak ada keistimewaan apapun yang dimiliki Adam dalam hal ini.
Di dalam hadis disebutkan empat perkara yang hanya berlaku pada Adam as. dan tidak pada manusia lain.
- Allah menciptakan Adam as. dengan tangan-Nya;
- Allah mengembuskan kepada Adam dari ruh-Nya;
- Para malaikat diperintahkan bersujud kepadanya; dan
- Adam diajari nama-nama segala sesuatu.
Jadi, embusan yang Allah lakukan pada diri Adam ra. dari ruh-Nya menegaskan adanya “pengembus” (nafikh), “embusan” (nafkh), dan “yang diembuskan” (manfakh minh). Yang diembuskan itulah ruh yang dikaitkan dengan Allah swt. (disebut ruhullah—Penj.). Dari ruh itulah embusan terjadi pada tubuh Adam as. Allah-lah yang mengembuskan ruh tersebut ke tubuh Adam as.
Demikianlah yang ditunjukkan oleh nas. Adapun berkenaan dengan embusan yang terjadi dengan adanya tindakan langsung (mubasyarah) dari Allah swt., sebagaimana Allah menciptakan dengan tangan-Nya, atau bahwa ruh itu tercipta atas perintah Allah seperti yang terjadi pada Maryam, maka hal itu membutuhkan dalil.
Perbedaan antara penciptaan yang Allah swt. lakukan terhadap Adam as. “dengan tangan”, dan embusan-Nya kepada Adam “dari ruh-Nya” adalah bahwa “tangan” Allah itu bukanlah makhluk, sedangkan ruh yang disebutkan itu adalah makhluk, sementara “penciptaan” (khalq) merupakan salah satu tindakan Allah swt.
Adapun mengenai “pengembusan” atau “peniupan” (nafkh) itu sendiri apakah ia merupakan salah satu tindakan Allah yang tetap melekat pada-Nya ataukah itu merupakan objek tindakan-Nya yang terjadi dengan yang selain Dia dan terpisah dari-Nya? Jawabannya juga membutuhkan dalil.
Ini berbeda dengan embusan yang terjadi pada farji Maryam, sebab itu merupakan salah satu di antara tindakan Allah. Allah swt. lalu mengaitkan tindakan itu dengan-Nya karena itu terjadi dengan izin dan perintah-Nya.
Embusan yang Allah swt. lakukan terhadap Adam as., apakah itu tindakan (fi’l) ataukah objek tindakan (maf’ul)? Apa pun itu, ruh yang Allah swt. embuskan pada diri Adam as. adalah ruh yang bersifat makhluk dan tidak bersifat kadim. Itu adalah bahan baku ruh Adam as., sehingga ruh Adam as. lebih pasti bersifat baru dan makhluk. Itulah yang dimaksud dari semua penjelasan ini.
MENGENAI PERTANYAAN ini ada dua pendapat yang tersebar luas di kalangan masyarakat, yang keduanya dituturkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan lainnya.
Di antara mereka yang berpendapat bahwa ruh lebih dulu diciptakan daripada jasad yaitu pendapat Muhammad bin Nashr al-Marwazi dan Abu Muhammad bin Hazm. Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Hazm sebagai ijmak.
Berikut kami akan sampaikan hujah-hujah yang disampaikan oleh kedua kelompok tersebut dan manakah di antara keduanya yang paling tepat.
Mereka yang berpendapat bahwa ruh diciptakan lebih dulu daripada penciptaan jasad menyatakan: Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian, lalu Kami bentuk tubuh kalian, kemudian Kami katakan kepada para malaikat, ‘Bersujudlah kalian kepada Adam’; maka mereka pun bersujud kecuali iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud.” (QS. al-A’raf [7]: 11)
Mereka mengatakan bahwa kata “kemudian” (tsumma) yang terdapat dalam ayat tersebut bermakna “pengurutan” (tartib) dan “jeda” (muhlah). Ayat tersebut menunjukkan bahwa “Kami ciptakan” lebih dulu daripada perintah Allah swt. kepada para malaikat untuk bersujud kepada Adam as. Dan telah diketahui secara pasti bahwa badan-badan kita semua baru muncul setelah itu, sehingga diketahui bahwa yang diciptakan lebih dulu pastilah ruh.
Mereka menyatakan bahwa dalil yang menunjukkan itu ialah firman Allah swt.,
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Tuhan kalian?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.’” (QS. al-A’raf [7]: 172)
Mereka menyatakan bahwa persaksian ini terjadi pada ruh-ruh kita, ketika raga belum ada pada saat itu.
Dalam al-Muwaththa dikatakan: Imam Malik menuturkan kepada kami, dari Zaid bin Abu Unaisah, bahwa ‘Abdul Hamid bin ‘Abdurrahman bin Zaid bin Khithab, dia mengabarkannya, dari Muslim bin Yasar al-Juhni, bahwa “Umar bin Khaththab ra. ditanya tentang ayat ini, “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka…” (QS. al-A’raf [7]: 172)
‘Umar ra. lalu berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. ditanya tentang itu, beliau saw. pun menjawab, “Allah swt. menciptakan Adam, lalu Dia mengusap punggung” Adam dengan tangan kanan-Nya, lalu Dia mengeluarkan dari situ keturunannya. Allah lalu berfirman, ‘Aku menciptakan mereka untuk neraka dan dengan amal perbuatan para penghuni neraka mereka berbuat. Aku ciptakan mereka untuk surga dan dengan amal perbuatan para penghuni surga mereka berbuat.’ Seseorang lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, kalau begitu maka apakah gunanya berbuat?’
Rasulullah saw. menjawab, ‘Sesungguhnya apabila Allah menciptakan seseorang untuk surga maka Dia akan memperlakukan orang itu dengan perlakuan penghuni surga, sampai dia mati di atas amal perbuatan penghuni surga, lalu Dia memasukkannya ke dalam surga. Dan apabila Dia menciptakan seorang hamba untuk neraka, Dia memperlakukan orang itu dengan perlakuan penghuni neraka, sampai dia mati di atas amal perbuatan penghuni neraka, lalu Dia memasukkannya ke dalam neraka.’” Hakim menyatakan bahwa hadis ini berdasarkan syarat Muslim.
Hakim juga meriwayatkan dari jalur Hisyam bin Sad, dari Zaid bin Aslam, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah ra. dengan status marfuk, “Ketika Allah menciptakan Adam Dia mengusap punggungnya, falu Jatuhlah dari punggungnya (Adam) setiap ruh yang Allah adalah pen. ciptanya sampai Hari Kiamat seperti benih. Kemudian Allah membuat setitik cahaya di antara kedua mata setiap manusia, lalu Dia menunjukkan itu kepada Adam. Adam pun berkata, ‘Siapakah mereka itu wahai Rabb?’ Allah menjawab, ‘Mereka adalah keturunanmu.’ Adam lalu melihat seseorang di antara mereka yang mengagumkannya titik cahaya di antara kedua matanya, sehingga dia berkata, ‘Wahai Rabb, siapakah ini?’ Allah menjawab, ‘Ini adalah keturunanmu Dawud, dia akan muncul pada umat terakhir.’ Adam bertanya, ‘Berapakah umur yang Engkau tetapkan baginya?’ Allah menjawab, ‘Enam puluh tahun.’ Adam berkata, ‘Wahai Rabb, tambahkanlah untuknya dari umurku selama empat puluh tahun.’ Allah swt. menjawab, ‘Kalau begitu maka ditulis dan disegel dan tidak diganti.’
Ketika umur Adam habis, Malaikat Maut mendatanginya dan Adam berkata, ‘Bukankah masih tersisa umurku empat puluh tahun?’ Malaikat Maut menjawab, ‘Bukankah engkau sudah menyerahkannya untuk keturunanmu Dawud?’ Adam ternyata mengingkari itu sehingga ingkarlah keturunannya. Adam lupa, sehingga lupalah keturunannya. Adam bersalah, sehingga bersalahlah keturunannya.’”
Hadis ini diriwayatkan dengan syarat Muslim. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Tirmidzi, dan dia menyatakan bahwa hadis ini berstatus hasan sahih.
Imam Ahmad meriwayatkannya dari hadis Ibnu ‘Abbas ra. Dia mengatakan, “Ketika ayat tentang utang turun, Rasulullah saw. bersabda,
‘Sesungguhnya manusia pertama yang ingkar adalah Adam.’
Muhammad bin Sa’d menambahkan, “Kemudian Allah swt. menyempurnakan seribu tahun bagi Adam dan bagi Dawud seratus tahun.”
Dalam Sahih Hakim juga disebutkan sebuah hadis dari Abu Ja’far ar-Razi, Rabi’ bin Anas menuturkan kepada kami, dari Abul “Aliyah, dari Ubay bin Ka’b, tentang firman Allah swt., “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka…” (QS. al-A’raf [7]: 172)
Dia berkata, “Berkumpullah mereka untuk Allah pada hari itu semua yang terjadi sampai Hari Kiamat. Dia menjadikan mereka sebagai ruh-ruh, kemudian Dia membentuk rupa mereka, membuat mereka bicara, sehingga mereka pun dapat berbicara dan Dia mengambil perjanjian dan sumpah dari mereka, “…dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Tuhan kalian?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di Hari Kiamat kalian tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.’” (QS. al-A’raf [7]: 172)
Dia berkata, “Sesungguhnya Aku mempersaksikan atas kalian tujuh Lapis langit dan tujuh lapis bumi, dan kami persaksikan atas kalian ayah kalian Adam,
“.Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.” (QS. al-A’raf [7]: 172)
“Maka janganlah kalian menyekutukan Aku dengan sesuatu apapun karena sesungguhnya Aku mengutus kepada kalian rasul-rasul-Ku agar mereka mengingatkan kalian tentang janji dan sumpah kepada-Ku. Aku juga menurunkan kitab-kitab-Ku kepada kalian.”
Mereka berkata, “Kami bersaksi bahwa Engkau Rabb dan Ilah kami. Tidak ada Rabb bagi kami selain Engkau!”
Maka diangkatlah bagi mereka ayah mereka Adam, dia lalu melihat di antara mereka orang yang kaya dan orang yang fakir, orang yang berpenampilan bagus dan yang selain itu. Dia (Adam) berkata, “Tuhanku, bagaimana kalau Engkau samakan antara semua hamba-Mu?” Allah swt. menjawab, “Sesungguhnya Aku suka kalau Aku disyukuri.”
Dia (Adam) melihat para nabi di antara mereka terang seperti lentera. Mereka itulah yang kemudian secara khusus dengan janji lain berupa janji kerasulan (risalah) dan kenabian (nubuwwah).
Hal ini termuat dalam firman Allah swt.,
“Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri), dari Nuh.” (QS. al-Ahzab [33]: 7)
Allah swt. berfirman,
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah” (QS. ar-Rum [30]: 30)
Allah swt. berfirman,
“Ini (Muhammad) seorang pemberi peringatan di antara pemberi-pemberi peringatan yang telah terdahulu.” (QS. an-Najm [53]: 56)
Allah swt. berfirman,“Dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati kebanyakan mereka orang-orang yang fasik.” (QS. al-A‘raf [7]:102)
Pada saat itu, ruh Isa as. termasuk di antara ruh-ruh tersebut. Allah swt. mengambil sumpah mereka, lalu mengirimkan ruh tersebut kepada Maryam.
“Ketika dia menjauhkan diri dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah timur.” (QS. Maryam [19]: 16). la masuk dari mulutnya.
Sanad hadis tersebut sahih.
Ishaq bin Rahawaih mengatakan, Baqiyah bin Walid mengabari kami, dia berkata, ‘Zubaidi Muhammad bin Walid mengabariku, dari Rasyid bin Sad, dari ‘Abdurrahman bin Abu Qatadah an-Nashri, dari ayahnya, dari Hisyam bin Hakim bin Hizam bahwa seseorang berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah amal perbuatan merupakan sesuatu yang baru bermula, ataukah sudah lewat ketetapannya?’ Rasulullah saw. menjawab, ‘Sesungguhnya ketika Allah mengeluarkan keturunan Adam dari punggungnya, Dia mempersaksikan mereka atas diri mereka, kemudian Dia menggerakkan mereka di kedua telapak tangannya. Lalu Dia berkata, “Mereka adalah untuk surga, dan mereka adalah untuk neraka!” Maka kemudian para penghuni surga dimudahkan untuk melakukan perbuatan penghuni surga, sementara para penghuni neraka dimudahkan untuk melakukan perbuatan penghuni neraka.’”
Ishaq menyatakan, Nadhr mengabari kami, Abu Ma’syar mengabari kami, dari Sa’id al-Maqburi dan Nafi’ maula Zubair, dari Abu Hurairah ra., dia berkata, “Ketika Allah swt. ingin menciptakan Adam—dia menyebut ‘penciptaan Adam’ (khalq adam)—Allah berfirman kepadanya,
‘Wahai Adam, manakah di antara kedua tangan-Ku yang lebih Kusukai untuk kutunjukkan kepadamu dengan keturunanmu di situ?’ Adam menjawab, ‘Tangan kanan wahai Rabb! Itulah kedua tangan Tuhanku yang kanan.’ Dia mengulurkan tangan kanan-Nya, dan ternyata di situ ada keturunan Adam. Dia adalah Pencipta mereka semua sampai Hari Kiamat. Yang sahih dengan citra-Nya, yang diuji dengan citra-Nya, dan para nabi dengan citra mereka. Lalu Adam berkata, ‘Mengapa Engkau tidak mengafiatkan mereka semua!’ Allah menjawab, ‘Sungguh Aku suka untuk disyukuri!”
Demikianlah hadis itu disampaikan oleh perawi.
Muhammad bin Nashr menyatakan, Muhammad bin Yahya menuturkan kepada kami, Sa’id bin Abu Maryam menuturkan kepada kami, Laits bin Sa’d menuturkan kepada kami, Ibnu “Ijlan menuturkan kepadaku, dari Sa’id bin Abu Said al-Maqbari, dari ayahnya, dari ‘Abdullah bin Salam. Dia berkata, Allah swt. menciptakan Adam lalu Dia berfirman dengan kedua tangan-Nya lalu Dia merengkuhkan keduanya secara berfirman, “Pilihlah wahai Adam!” Adam menjawab, “Aku memilih tangan kanan wahai Rabb-ku. Kedua tanganmu itu kanan.” Allah lalu menghamparkannya. dan ternyata di situ ada keturunan Adam. Adam berkata, “Siapakah mereka itu wahai Rabb?” Allah swt. menjawab,
“Mereka yang Kutetapkan untuk Kuciptakan di antara keturunanmu itu termasuk di antara penghuni surga sampai terjadinya Hari Kiamat.” Dia (Muhammad bin Nashr) menyatakan, Ishaq mengabari kami, Ja’far bin ‘Aun menuturkan kepada kami, Hisyam bin Sad menuturkan kepada kami, dari Zaid bin Aslam, dari Abu Hurairah ra., dari Nabi saw., beliau bersabda, “Ketika Allah swt. menciptakan Adam, Dia mengusap punggung Adam lIalu jatuhlah dari punggungnya setiap ruh. Dia adalah Pecipta mereka dari kalangan keturunan Adam sampai Hari Kiamat.”
Ishaq dan “Amr bin Zurarah menuturkan kepada kami, Isma‘il menuturkan kepada kami, dari Kaltsum bin Jabr, dari Sa‘id bin Jubair, darj Ibnu “Abbas ra. tentang firman Allah swt.,
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka…” (QS. al-A’raf [7]: 172)
Dia (Ibnu “Abbas ra.) berkata, “Tuhanmu mengusap punggung Adam, lalu keluarlah darinya setiap ruh. Dia adalah Pencipta mereka sampai Hari Kiamat di Na’man yang terletak di belakang Arafah.” Lalu Allah mengambil sumpah mereka,
“…bukankah Aku ini Tuhan kalian?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi…’” (QS. al-A’raf [7]: 172)
Yang meriwayatkan hadis tersebut yaitu Abu Jamrah adh-Dhuba’i, Mujahid, Habib bin Abu Tsabit, Abu Shalih, dan lainnya; semuanya dari Ibnu ‘Abbas ra.
Ishaq mengatakan, “Jarir mengabari kami, dari Manshur, dari Mujahid, dari “Abdullah bin “Amr tentang ayat tersebut di atas (QS. al-A’raf [7]: 172). Dia (Ibnu “Abbas ra.) berkata, “Allah mengambil mereka seperti menggunakan sisir di kepala.”
Hajjaj menuturkan kepada kami, dari Ibnu Juraij, dari Zubair bin Musa, dari Said bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbas ra., dia berkata,
“Sesungguhnya Allah swt. memukul bahunya sebelah kanan. lalu keluarlah setiap jiwa yang tercipta bagi surga dengan warna putih bersih. Allah kemudian berfirman, ‘Mereka adalah para penghuni surga.’ palu Allah memukul bahunya yang sebelah kiri, lalu keluarlah setiap jiwa yang tercipta bagi neraka dengan warna hitam. Allah kemudian berfirman, ‘Mereka adalah para penghuni neraka.’ Kemudian Allah swt. mengambil sumpah dari mereka dengan janji kepada-Nya dan pengetahuan bagi-Nya, perintah-Nya, pembenaran pada-Nya, dan juga pembenaran pada perintah-Nya, dari semua keturunan Adam. Lalu Dia mempersaksikan mereka atas diri mereka sendiri. Mereka pun beriman, membenarkan, mengetahui, dan mengakui.”
Muhammad bin Nashr menuturkan dari tafsir as-Suddi, dari Abu Malik dan dari Abu Shalih, dari Ibnu ‘Abbas ra. dan dari Murrah al-Hamdani. dari Ibnu Mas’ud dan dari beberapa orang sahabat Rasulullah saw., tentang firman Allah, “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka…” (QS. al-A’raf [7]: 172)
Ketika Allah swt. mengeluarkan Adam dari surga sebelum Adam turun dari langit, Allah mengusap permukaan punggung Adam sebelah kanan, lalu Dia mengeluarkan darinya keturunan dengan warna putih seperti mutiara seperti benih. Allah lalu berkata kepada mereka, “Masuklah kalian ke dalam surga dengan rahmat-Ku!” Kemudian Allah mengusap punggung Adam sebelah kiri, lalu Dia mengeluarkan darinya keturunan dengan warna hitam seperti benih. Lalu Dia berkata kepada mereka, “Masuklah kalian ke dalam neraka dan Aku tidak peduli!” itulah yang dimaksud firman Allah,
“Dan golongan kanan, alangkah bahagianya golongan kanan itu.” (QS. al-Waqi’ah [56]: 27). Dan Dia berfirman,
“Dan golongan kiri, siapakah golongan kiri itu.” (QS. al-Waqi’ah [56]: 41)
Kemudian Allah swt. mengambil sumpah dari mereka semua dengan berfirman, “‘Bukankah Aku ini Tuhan kalian?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami).’” (QS. al-A’raf [56]: 172)
Maka segolongan manusia memberi-Nya dengan kepatuhan, sementara segolongan lagi dengan terpaksa sebagai bentuk ketakutan. Kemudian Allah berfirman kepada para malaikat, “…Kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di Hari Kiamat kalian tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini,’ atau agar kalian tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka…” (QS. al-A’raf [7]: 172-173)
Tidak ada seorang pun keturunan Adam as. yang tidak mengetahui bahwa Tuhannya adalah Allah, sehingga tidak ada seorang musyrik pun kecuali mereka selalu berkata, “Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu agama!” Inilah yang dimaksud Oleh firman Allah swt., “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka…” (QS. al-A’raf [7]: 172)
Dan firman Allah swt.,
“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.” (QS. Ali Imran [3]: 83)
Dan firman Allah swt.,
“Katakanlah, ‘Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat; maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kalian semuanya.’” (QS. al-An’am [6]: 149)
Dia (Muhammad bin Nashr) menyatakan, “Yang dimaksud di sini yaitu hari ketika diambilnya perjanjian dari mereka.”
Ishaq menyatakan, Rauh bin ‘Ubadah mengabari kami, Musa bin Ubaidah ar-Rabadzi, dia berkata, “Aku mendengar Muhammad pin Ka’b al-Qurazhi berkata tentang ayat ini, “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka” (QS. al-A’raf [7]: 172)
Mereka berikrar kepada Allah atas iman dan makrifat pengetahuan (bahwa Allah adalah Tuhan—Penj.), dalam bentuk ruh sebelum jasad-jasad mereka diciptakan.
Dia (Ishaq) menyatakan, Fadhl bin Musa menuturkan kepada kami, dari “Abdul Malik, dari ‘Atha, tentang ayat ini. Dia menyatakan, “Keluarlah kalian dari sulbi Adam agar diambil perjanjian dari kalian kemudian kalian dikembalikan ke dalam sulbinya.”
Ishaq menyatakan, ‘Ali bin ‘Ajlah mengabarkan kepada kami, dari Dhahhak, dia berkata, “Sesungguhnya Allah mengeluarkan dari punggung Adam pada hari Dia menciptakannya semua yang akan ada sampai terjadinya Hari Kiamat. Allah lalu mengeluarkan mereka seperti benih lalu Allah bertanya kepada mereka, “…Bukankah Aku ini Tuhan kalian?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami).’ Lalu para malaikat berkata, ‘Kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di Hari Kiamat kalian tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.’” (QS. al-A’raf [7]: 172)
Kemudian Dia merengkuh satu rengkuhan dengan tangan kanan-Nya seraya berfirman, “Mereka berada di dalam surga.” Lalu Allah merengkuh yang lain seraya berfirman, “Mereka berada di neraka.”
Ishaq menyatakan, Abu “Amir al-’Aqadiy dan Abu Nu‘aim al-Mula‘iy mengabarkan kepada kami, mereka berdua berkata, Hisyam bin Sad menuturkan kepada kami, dari Yahya—bukan Ibnu Sa‘id—dia berkata, “Aku berkata kepada Ibnul Musayyib, ‘Apakah yang kalian katakan tentang ‘azl?’ Dia menjawab, “Jika engkau mau aku dapat menuturkan kepadamu sebuah hadis yang hak: Sesungguhnya Allah swt. ketika menciptakan Adam Dia memperlihatkan kepadanya (Adam) kemuliaan yang tidak pernah dilihat oleh satu pun makhluk-Nya. Dia memperlihatkan kepadanya (Adam) setiap ruh yang Dia merupakan Pencipta mereka dari kalangan keturunannya sampai Hari Kiamat. Jadi siapa pun yang menuturkan hadis kepadamu bahwa ada tambahan sesuatu pada mereka, atau ada kekurangan pada mereka, maka sesungguhnya dia telah berdusta. Walaupun aku memiliki tujuh puluh, aku tidak peduli.’”
Dalam Tafsir Ibnu ‘Uyainah diriwayatkan dari Rabi’ bin Anas, dari Abul ‘Aliyah, “Maka apakah mereka mencari agama yang lain dar; agama Allah, padahal kepada-Nyalah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.” (QS. Ali Imran [3]: 83). Dia menyatakan, “Maksudnya yaitu hari ketika diambilnya perjanjian dari mereka.”
Ishaq mengatakan, “Mereka pada waktu itu semuanya berikrar mengakui. Yaitu bahwa Allah swt. telah mengabarkan firman-Nya, “… Bukankah Aku ini Tuhan kalian? Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami).’” (QS. al-A’raf [7]: 172)
Allah swt. tentu tidak akan mengajak bicara makhluk yang tidak mengerti pembicaraan, sebagaimana halnya jawaban juga tidak akan muncul, kecuali hanya dari makhluk yang mampu memahami pertanyaan. Jadi, jawaban mereka kepada Allah dengan ucapan mereka sendiri? menjadi dalil yang menunjukkan bahwa mereka telah memahami dan mengerti pertanyaan Allah swt. yang meminta mereka bersaksi “Bukankah Aku ini Tuhan kalian?” Mereka pun menjawab pertanyaan Allah setelah mereka mengerti dan memahami ucapan Allah, mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami).”” Mereka berikrar mengakui rububiyah Allah swt.
PASAL
Selain itu, mereka juga berhujah dengan riwayat dari Abu ‘Abdullah bin Mandah, Muhammad bin Muhammad bin Shabir al-Bukhari mengabarkan kepada kami, Muhammad bin Mundzir bin Sa‘id al-Harawi menuturkan kepada kami, Ja’far bin Muhammad bin Harun al-Mishshishi menuturkan kepada kami, ‘Utbah bin Sakan menuturkan kepada kami, Arthah bin Mundzir menuturkan kepada kami, “Atha bin “Ijlan menuturkan kepada kami, dari Yunus bin Halbas, dari ‘Amr bin Abasah, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Sesungguhnya Allah swt. telah menciptakan ruh-ruh para hamba dua ribu tahun sebelum (penciptaan jasad) para hamba. Lalu siapa pun yang saling mengenal di antara mereka, mereka akan bersatu; dan siapa pun yang saling mengingkari di antara mereka, mereka akan berselisih.’
Demikianlah beberapa bukti penjelasan yang mereka gunakan.
Sementara yang lain menyatakan bahwa pembicaraan dengan mereka ada pada dua pembahasan.
Pertama, penjelasan tentang dalil yang menunjukkan bahwa ruh diciptakan setelah penciptaan badan.
Kedua, tanggapan atas dalil yang mereka gunakan.
Pembahasan pertama. Allah swt. berfirman,
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal mengenal.” (QS. al-Hujurat [49]: 13)
Ucapan yang dimuat dalam ayat ini merupakan ucapan yang ditujukan kepada manusia yang terdiri dari ruh dan badan. Hal ini menjadi dalil yang menunjukkan bahwa semua manusia diciptakan setelah diciptakannya kedua orang tua.
Dalil yang lebih jelas lagi adalah firman Allah swt.,
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-kalian yang telah menciptakan kalian dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (QS. an-Nisa’ [4]: 1)
Ayat ini secara gamblang menyatakan bahwa penciptaan manusia terjadi setelah penciptaan orang tua mereka.
Apabila ada yang menyatakan bahwa hal ini tidak dapat menafikan penciptaan ruh lebih dulu daripada jasad, walaupun ruh diciptakan setelah penciptaan Abul Basyar (maksudnya, Adam as.) seperti yang ditunjukkan oleh berbagai atsar yang sudah disampaikan di bagian terdahulu.
Tanggapan atas pernyataan itu yaitu Insyaallah kami akan menjelaskan bahwa berbagai atsar yang telah disebutkan tidak menunjukkan lebih dulunya penciptaan ruh daripada jasad sebagai sesuatu yang berlaku secara kaku dan tetap. Tujuan berbagai atsar itu untuk menunjukkan—setelah terbukti statusnya tsabit dan sahih—bahwa Dzat yang menciptakan ruh adalah Dzat yang juga membentuk manusia, sebagaimana Dia pula yang menetapkan takdir penciptaan, ajal, dan amal perbuatan ruh tersebut. Allah mengeluarkan citra itu dari bahan bakunya (materi pembentuknya), kemudian Dia pula yang mengembalikannya kepadanya, dengan menetapkan takdir keluarnya setiap individu pada waktu yang telah ditakdirkan baginya.
Semua ini tidak menunjukkan bahwa ruh diciptakan sebagai ciptaan yang tetap, kemudian ia tetap maujud dalam hidup yang disertai pengetahuan dan kemampuan bicara yang kesemuanya ada di satu posisi. Kemudian sebagian darinya dikirimkan ke tubuh-tubuh serombongan demi serombongan, seperti yang dinyatakan oleh Abu Muhammad bin Hazm. Lantas apakah atsar mengandung penjelasan yang tidak dapat dijangkau? Ya, Allah swt. telah menciptakan sebagian ruh itu sekelompok demi sekelompok dengan cara yang telah ditetapkan takdirnya sebelumnya. Setelah itu ciptaan bagian luar (al-khalq al-kharijiy) datang selaras dengan takdir yang sudah ditetapkan terdahulu (at-taqdir as-sabiq) seperti yang Allah swt. lakukan pada semua makhluk-Nya. Allah menetapkan berbagai takdir bagi makhluk-makhluk-Nya itu berikut ajal, sifat, dan kondisi. Setelah itu, Dia memunculkannya ke ranah maujud selaras dengan takdir yang sudah Dia tetapkan baginya, tanpa terjadi kelebihan atau kekurangan dari takdir tersebut.
Atsar-atsar yang telah disebutkan itu menunjukkan ditetapkannya takdir terdahulu (al-qadar as-sabiq). Sementara sebagian lagi menunjukkan bahwa Allah swt. mengeluarkan (menampilkan) penampakan dan citra mereka, lalu Dia memisahkan kaum bahagia dan kaum sengsara. Adapun mengenai pembicaraan Allah dengan mereka dan permintaan tanggapan oleh Allah dari mereka yang diiringi dengan ikrar pengakuan Rububiyah Allah serta kesaksian mereka atas diri mereka sebagai hamba-Nya, maka kalangan salaf yang menyatakan seperti itu sebenarnya melandaskan pernyataan mereka di atas pemahaman terhadap ayat, padahal ayat itu sendiri tidak menunjukkan hal seperti itu, tetapi justru menunjukkan yang sebaliknya.
Adapun mengenai hadis Malik, Abu ‘Umar mengatakan bahwa hadis itu sanadnya terputus (munqathi’), karena Muslim bin Yasar tidak pernah bertemu dengan ‘Umar bin Khathab ra., dan di antara mereka berdua terdapat Nu’aim bin Rabi’ah yang juga tidak dapat dijadikan hujah dengan sanad seperti itu. Dan lagi Muslim bin Yasar merupakan sosok yang tidak jelas (majhal). Ada yang mengatakan bahwa dia orang Madinah, tetapi dia bukan Muslim bin Yasar al-Bashri. Ibnu Khaitsamah menyatakan, “Aku membaca dari Yahya bin Ma‘in hadis Malik ini dari Zaid bin Abu Unaisah, lalu dia menulisnya sendiri pada Muslim bin Yasar yang statusnya tidak dikenal (La yu’raf).”
Kemudian Abu “Umar meriwayatkannya dari jalur Nasa‘i, Muhammad bin Wahb mengabarkan kepada kami, Muhammad bin Salamah menuturkan kepada kami, dia berkata, Abu ‘Abdurrahim menuturkan kepadaku, dia berkata, ‘Zaid bin Abu Unaisah menuturkan kepadaku, dari ‘Abdul Hamid bin ‘Abdurrahman, dari Muslim bin Yasar, dari Nu’aim bin Rabi’ah.”
Lalu dia meriwayatkannya dari jalur Ibnu Sanjar, Ahmad -bin ‘Abdul Malik bin Waqid menuturkan kepada kami, Muhammad bin Salamah menuturkan kepada kami, dari ‘Abdurrahim, dari Zaid bin Abu Unaisah, dari ‘Abdul Hamid, dari Muslim, dari Nu’aim.
Abu ‘Umar menyatakan, “Tambahan oleh orang yang menambahkan dalam hadis ini ‘Nu’aim bin Rabi’ah’ bukanlah hujah. Sesungguhnya orang yang tidak menyebutkannya lebih kuat hafalannya karena tambahan baru dapat diterima apabila berasal dari seseorang yang hafalannya kuat dan teliti (hafizh mutqin).”
Simpulan penjelasan mengenai hadis ini, yaitu hadis ini merupakan hadis yang sanadnya tidak kuat karena Muslim bin Yasar dan Nu’aim bin Rabi’ah keduanya tidak dikenal sebagai pengemban ilmu. Akan tetapi, pengertian hadis ini memang sahih berasal dari Rasulullah saw. jika dilihat dari berbagai sisi yang tsabit (sahih) yang terlalu panjang jika dijelaskan di sini; seperti dari hadis ‘Umar bin Khathab dan lainnya serta beberapa orang lain yang terlalu panjang jika disebutkan semuanya di sini.
Yang menjadi maksud Abu “Umar dengan hadis-hadis yang menjadi dalil adanya takdir terdahulu (al-qadar as-sabiq), yaitu hadis yang diriwayatkan setelah itu. Dia lalu menyebutkan hadis “Abdullah bin ‘Umar mengenai takdir. Dia menyatakan di bagian akhir hadis itu, Rasulullah ditanya oleh seorang lelaki asal Muzainah—atau Juhainah dia berkata, “Wahai Rasulullah, lantas apakah gunanya amal perbuatan?” Rasulullah saw. menjawab, “Sesungguhnya para penghuni surga dimudahkan untuk melakukan amal perbuatan penghuni surga. sebagaimana para penghuni neraka juga dimudahkan untuk melakukan amal perbuatan penghuni neraka.’
Dia menyatakan, “Hadis yang semakna dengan hadis di atas juga diriwayatkan [dari ‘Umar ra.], dari Rasulullah saw. dari beberapa jalur, dan dari para sahabat yang meriwayatkan pengertian tentang takdir dari Rasulullah saw., yaitu, “Ali bin Abi Thalib ra., Ubayy bin Ka’b ra., ‘Abdullah bin ‘Abbas ra., Ibnu ‘Umar ra., Abu Hurairah ra., Abu Said ra., Abu Sarihah al-Ghifariy ra., ‘Abdullah bin Mas’ud ra., ‘Abdullah bin ‘Amr ra., ‘Imran bin Hushain ra., Aisyah ra., Anas bin Malik ra., Suraqah bin Ju’tsum ra., Abu Musa al-Asy ari ra., dan ‘Ubadah bin Shamit ra. yang sebagian besar hadis-hadis dari para Rasulullah saw. ini memiliki jalur periwayat yang bermacam-macam. Lalu diriwayatkan banyak darinya dengan sanadnya.”
Adapun mengenai hadis Abu Shalih dari Abu Hurairah ra., hadis itu menunjukkan dikeluarkannya keturunan Adam dan penampakan mereka dalam bentuk benih. Pada saat itu di antara mereka ada yang bercahaya dan ada yang gelap. Namun di dalam hadis tersebut tidak ada Keterangan yang menjelaskan bahwa Allah swt menciptakan ruh-ruh mereka sebelum jasad jasad mereka lalu Dia menempatkannya di satu tempat, Kemudian Dia mengirimkan setiap ruh dari kumpulan ruh-ruh itu ketika tiba saatnya untuk memasukkannya ke dalam badannya.
Ya, Allah memang mengkhususkan setiap raga untuk ruh yang telah Dia takdirkan untuk berada di raga yang bersangkutan pada waktu itu (yang sudah ditetapkan).
Adapun mengenai kemungkinan bahwa Allah swt. menciptakan jiwa (ruh) raga tersebut pada waktu itu (waktu penciptaan), lalu Allah selesai menciptakannya, kemudian Dia menyimpan ruh itu di sebuah tempat dengan kondisi terpisah dari badan ruh tersebut, sampai ketika Dia menciptakan raga bagi ruh tersebut, Dia mengirimkan ruh itu ke raga tersebut dari tempat itu; maka berkenaan dengan itu tidak ada petunjuk dari hadis-hadis mengenai hal itu secara tegas bagi orang yang memikirkan masalah tersebut.
Adapun hadis dari Ubay bin Ka‘b, maka hadis itu sebenarnya bukan berasal dari Rasulullah saw. Batas maksimal dari hadis itu kalau memang statusnya sahih—dan ternyata hadis itu tidak sahih—merupakan ucapan dari Ubay bin Ka‘b. Sanad hadis ini telah diriwayatkan darinya banyak riwayat yang sangat mungkar baik yang statusnya marfuk maupun maukuf. Karena Abu Ja’far ar-Razi adalah perawi yang pernah dinyatakan tsiqah, tetapi pernah pula dinyatakan daif.
Abu ‘Ali bin Madini menyatakan bahwa dia (Abu Ja’far) berstatus tsiqah. Namun, dia (Abu ‘Ali) juga menyatakan bahwa dia (Abu Ja’far) pernah mencampurkan (antara hadis dengan yang bukan hadis—Penj.).
Ibnu Ma’in menyatakan bahwa dia (Abu Ja’far) berstatus tsiqah. Dia (Ibnu Ma‘in) juga menyatakan bahwa hadisnya (Abu Ja’far) layak dicatat, hanya saja terkadang dia salah.
Imam Ahmad menyatakan bahwa dia (Abu Ja’far) berstatus tidak kuat (Jaisa biqawiy) dalam hadis. Dia (Imam Ahmad) juga menyatakan bahwa dia (Abu Ja’far) statusnya shalih al-hadits (hadisnya baik).
Fallas menyatakan bahwa dia (Abu Ja’far) berstatus buruk hafalannya (sayyi al-hifzh).
Abu Zur’ah menyatakan bahwa dia (Abu Ja’far) banyak mengira-ngira (yahimu katsiran).
Ibnu Hibban menyatakan bahwa dia (Abu Ja’far) sering menyampaikan hadis yang mungkar di antara hadis-hadis yang masyhur.
Saya (Ibnu Qayyim) menyatakan bahwa di antara yang diingkari dari hadis ini beralasan, “Ruh Isa termasuk di antara ruh-ruh tersebut, yang Allah swt. mengambil sumpah mereka. Allah swt. lalu mengirim. kan ruh tersebut kepada Maryam.”
“Ketika dia menjauhkan diri dari keluarganya ke suatu tempat d; sebelah timur.” (QS. Maryam [19]: 16) la masuk dari mulut Maryam.
Padahal telah diketahui bahwa ruh yang dikirimkan kepada Maryam bukanlah ruh Isa al-Masih, melainkan ruh yang diembuskan ke dalam tubuh Maryam yang membuatnya mengandung Isa al-Masih as. Allah swt. berfirman, “Maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka; lalu Kami mengutus ruh Kami kepadanya, maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna. Maryam ber. kata, ‘Sesungguhnya aku berlindung daripadamu kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, jika kamu seorang yang bertakwa.’ Ia (Jibril) berkata, ‘Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk mem. berimu seorang anak laki-laki yang suci.’” (QS. Maryam [19]: 17-19),
Tentu saja, ruh Isa al-Masih tidak akan berbicara dengan Maryam tentang dirinya dengan ucapan seperti yang termuat dalam ayat ini.
Pada sebagian jalur hadis Abu: Ja’far dinyatakan bahwa ruh Isa al-Masih as. yang berbicara dengan Maryam dan dia pula yang dikirim kepada Maryam.
Sampai di sini ada empat poin yang dapat dijelaskan:
Pertama, bahwasanya Allah mengeluarkan cintra dan penampakan mereka lalu Dia memisahkan antara mereka yang bahagia dan mereka yang sengsara, antara mereka yang selamat dan mereka yang menderita.
Kedua, bahwasanya Allah swt. pada saat itu menegakkan hujah terhadap mereka semua dengan mempersaksikan mereka atas rububiyah-Nya dengan mereka juga disaksikan oleh para malaikat-Nya.
Ketiga, bahwasanya peristiwa ini merupakan penafsiran dari firman Allah swt., “Dan (ingatlah), ketika Tahanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka” (QS. al-A’raf [7]: 172)
Keempat, bahwasannya Allah swt. menempatkan ruh-ruh tersebut semuanya di satu tempat setelah mereka dikeluarkan, dan pada saat itu Dia sudah selesai menciptakan mereka. Setelah itu, terus terjadi di sepanjang waktu pengiriman serombongan demi serombongan ruh menuju badan-badan mereka.
Berkenaan dengan poin pertama, berbagai afsar telah menjelaskan hal itu secara gamblang, baik atsar yang statusnya marfuk maupun maukuf.
Berkenaan dengan poin kedua, pendapat ini diambil oleh para mufasir yang mengambilnya dari ayat tersebut dan mereka mengira bahwa pendapat inilah penafsirannya. Ini merupakan pendapat jumhur mufasir dari kalangan Ahlul Atsar.
Abu Ishaq berkata, “Boleh apabila Allah swt. menjadikan bentuk seperti benih yang Dia keluarkan (dari sulbi Adam as.) untuk memudahkan pemahaman; seperti yang Dia firmankan,
“Hingga apabila mereka sampai di lembah semut berkatalah seekor semut, ‘Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarang kalian, agar kalian tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.’” (QS. an-Naml [27]: 18)
Hal ini sama seperti pernyataan Allah yang menghamparkan gunung-gunung dan burung untuk ikut berzikir bersama Daud as.”
Ibnul Anbari menyatakan, “Mazhab para ahli hadis dan para ulama besar tentang ayat ini ialah bahwa Allah swt. mengeluarkan keturunan Adam as. dari sulbinya dan sulbi-sulbi semua keturunannya yang pada saat itu mereka dalam bentuk benih. Kemudian Allah mengambil sumpah dari mereka bahwa Dialah Pencipta mereka dan bahwa mereka semua adalah ciptaan-Nya. Mereka pun mengakui dan menerima itu. Semua itu terjadi setelah Allah menciptakan akal di dalam diri mereka yang dengan akal itu mereka dapat mengetahui apa-apa yang ditunjukkan kepada mereka; sebagaimana Dia menjadikan akal untuk gunung hingga gunung dapat diajak bicara; sebagaimana yang Dia lakukan terhadap unta ketika bersujud;” juga pada pohon kurma hingga dapat mendengar dan menunduk ketika dipanggil.”
Al-Jurjani menyatakan, “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah tidak ada perbedaan antara sabda Rasulullah saw., ‘Sesungguhnya Allah swt. mengusap punggung Adam lalu Dia mengeluarkan keturunannya darinya.’ dengan ayat tersebut di atas (QS. al-A’raf: 172). Karena apabila Allah swt. mengambil mereka dari punggung Adam as., Dia telah mengambil mereka dari punggung keturunannya karena keturunan Adam adalah keturunan dari keturunannya antara satu sama lain.
Allah swt. berfirman, “(Kami lakukan yang demikian itu) agar di Hari Kiamat kalian tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.’” (QS. al-A’raf [7]: 172)
Maksudnya, lengah terhadap perjanjian yang diambil dari mereka. Apabila mereka menyatakan itu, para malaikat menjadi saksi atas mereka dengan diambilnya perjanjian itu.”
Dia (al-Jurjani) menyatakan, “Dalam penjelasan ini terdapat dalil yang menunjukkan penafsiran yang disampaikan oleh riwayat yang menyatakan bahwa Allah swt. berkata kepada para malaikat, ‘Bersaksilah kalian!’, mereka pun menyahut, ‘Kami bersaksi!’”
Dia (al-Jurjani) mengatakan, “Sebagian ulama meyakini bahwa perjanjian tersebut diambil hanya dari ruh tanpa jasad. Karena ruhlah yang berpikir dan memahami. ruh pula yang memiliki pahala dan menanggung hukuman, sementara jasad bersifat mati sehingga tidak dapat berpikir dan tidak dapat memahami.”
Dia (al-Jurjani) menyatakan, “Ishaq bin Rahawaih mengikuti pengertian ini, dan dia mengatakan bahwa itu adalah pernyataan Abu Hurairah ra. Ishaq juga mengatakan bahwa para ulama berijmak bahwa ruh-ruh itu ada sebelum adanya jasad. Allah membuat mereka bicara dan mempersaksikan mereka.”
Al-Jurjani menyatakan, “Mereka berhujah dengan firman Allah swt., “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” (QS. Ali Imran [3]: 169)
Padahal setelah kematian jasad menjadi hancur di dalam tanah, sementara ruh-ruhlah yang mendapatkan rezeki dan bergembira. Ruh itulah yang mengalami kenikmatan dan merasakan nyeri, bergembira dan bersedih, mengetahui dan mengingkari. Penjelasan mengenai hal ini dapat dilihat dari mimpi ketika seseorang bangun di pagi hari dengan bekas kegembiraan atau nyeri kesedihan ada pada dirinya yang kesemua itu dirasakan oleh ruh tanpa jasad.”
Dia (al-Jurjani) menyatakan, “Faedah yang didapat dari penjelasan ini yaitu, bahwa Allah swt. menetapkan hujah terhadap setiap yang bernyawa (manusia). Baik yang mencapai balig maupun yang tidak mencapai balig, dengan adanya perjanjian yang Dia ambil dari mereka semua.”
Selain itu ada juga tambahan hujah untuk mematahkan dalih manusia yang mencapai balig, dengan adanya ayat-ayat dan dalil-dalil yang Allah sematkan ayat-ayat itu pada diri manusia dan juga pada alam semesta. Ada pula para rasul yang diutus kepada mereka sebagai penyampai berita gembira dan pemberi peringatan, serta dengan berbagai nasihat melalui teladan yang disampaikan beritanya kepada mereka. Sementara itu, Allah swt. tidak pernah menuntut seorang pun di antara manusia untuk taat, kecuali hanya sesuai kadar hujah yang mengenai dirinya, kemampuan yang Dia berikan kepada mereka, serta perangkat yang Dia anugerahkan kepada mereka.
Allah swt. telah menjelaskan apa-apa saja yang berlaku bagi orang-orang balig yang dapat mematuhi perintah dan larangan, sementara itu Dia menghijab dari kita semua pengetahuan tentang ketetapan takdir-Nya pada orang-orang yang belum balig. Hanya saja kita semua tahu Allah Mahaadil yang tidak mungkin ada kezaliman dalam hukum-Nya, Mahabijaksana yang tidak mungkin ada kerancuan dalam ciptaan-Nya, Mahakuasa yang tidak dapat dipertanyakan segala tindakan-Nya, Dialah pemilik penciptaan dan segala urusan, tabarakallahu rabba-l-’alamin.
PASAL
Para ulama lain menentang pendapat mereka berkenaan dengan ayat ini. Mereka menyatakan bahwa pengertian ayat, “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka” (QS. al-A’raf [7]: 172).
Maksudnya, Allah mengeluarkan mereka dan menghidupkan mereka setelah sebelumnya berbentuk nutfah di dalam sulbi nenek moyang mereka, ke dunia sesuai urutan kemunculan mereka.
Allah mempersaksikan mereka atas diri mereka sendiri bahwa Dia adalah Tuhan mereka dengan berbagai macam ayat dan bukti kebenaran yang Dia tampakkan kepada mereka yang kesemua itu memaksa mereka untuk mengetahui bahwa Dialah Pencipta mereka. Tidak ada seorang pun, kecuali di dalam dirinya terdapat ciptaan Tuhannya yang bersaksj bahwa memang Allah lah Penciptanya yang menegakkan hukum-Nya pada dirinya.
Ketika mereka mengetahui semua itu, mereka juga diseru oleh berbagai hal yang mereka lihat dan saksikan menuju keyakinan kepada Allah, sehingga mereka sama seperti para saksi dan orang-orang yang dipersaksikan atas diri mereka dengan kebenarannya, sebagaimana yang Allah firmankan mengenai hal lain,
“…sedang mereka mengakui (syahidin) bahwa mereka sendiri kafir…” (QS. at-Taubah [9]: 17)
Maksud ayat ini adalah mereka (orang-orang kafir) sama seperti para saksi, walaupun mereka tidak mengucapkan bahwa mereka orang-orang kafir. Pengertian seperti ini sama seperti ketika Anda berkata, “Anggota-anggota tubuh saya bersaksi atas ucapan Anda!” Maksud dari ucapan Anda yaitu Anda sudah mengetahui orang itu. Namun, seakan-akan anggota-anggota tubuh Anda menjadi saksi atas itu, karena jika anggota tubuh dapat berbicara, mereka pasti akan bersaksi.
Contoh lainnya ialah firman Allah swt.,
“Allah menyatakan (syahida) bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan.” (QS. Ali Imran [3]: 18)
Maksud kata “syahida” dalam ayat ini yaitu “memberi tahu” (a’lama) atau “menjelaskan” (bayyana) sehingga pemberitahuan dan penjelasan dari Allah itu menjadi kesaksian dari saksi di depan hakim dan lainnya. Ini merupakan penjelasan dari Ibnul Anbari.
Al-Jurjani menambahkan sebuah penjelasan selain penjelasan yang sudah disampaikan tadi dengan menyampaikan sebuah riwayat dari para sahabatnya, yaitu bahwasanya Allah swt. ketika menciptakan makhluk Dia menegakkan pengetahuan-Nya pada mereka melalui semua yang ada, sehingga segala sesuatu yang belum ada menjadi seperti sesuatu yang sudah ada. Karena pengetahuannya tentang “adanya” menjadi penghalang tanpa “adanya’’, sebab dibolehkan dalam majas bahasa Arab untuk menempatkan sesuatu yang ditunggu (yang belum terjadi kemudian) pada posisi sesuatu yang sudah nyata disebabkan pengetahuan yang sudah lebih tahu mengenai terjadinya sesuatu itu (di masa mendatang). Allah swt. berfirman di beberapa tempat dalam al-Quran, seperti contohnya firman-Nya,
“Dan penghuni neraka menyeru penghuni surga.” (QS. al-A’raf [7]: 50)
“Dan penghuni surga menyeru.” (QS. al-A’raf [7]: 44)
“Dan orang-orang yang di atas A’raéf memanggil.” (QS. al-A’raf {7}: 428)
Dia (al-Jurjani) menyatakan bahwa takwil firman Allah swt., “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu telah mengeluarkan (akhadza)…” (QS. al-A’raf [7]: 172), yaitu “Ketika Tuhanmu sedang/selalu mengeluarkan (ya khudzu).”
Begitu juga dengan firman Allah swt., “Dan Allah telah mengambil kesaksian (asyhadahum) terhadap jiwa mereka.” (QS. al-A’raf [7]: 172), takwilnya yaitu Allah sedang/selalu mengambil kesaksian (yusyhiduhum) dengan akal yang Dia buat di dalam diri mereka yang dengan akal itulah mereka dapat memahami, serta dengan akal itu pula mereka menjadi layak menerima pahala atau menanggung hukuman.
Setiap orang yang dilahirkan, lalu mencapai kematangan akal sehingga dia mampu mengetahui mana yang berbahaya dan mana yang berguna, mampu memahami janji, ancaman, serta mampu mengerti pahala dan hukuman. Maka seakan-akan Allah swt. mengambil perjanjian dari manusia untuk menauhidkan-Nya dengan menggunakan akal yang telah Allah ciptakan dalam diri manusia; setelah Allah swt. menunjukkan kepadanya berbagai ayat (tanda) dan bukti atas sifat baru yang melekat pada diri manusia, dan juga tidak mungkin manusia menciptakan dirinya sendiri. Kalau hal itu tidak mungkin, pastilah ada Pencipta yang menciptakan dirinya itu, yang sama sekali bukan dirinya sendiri dan tidak serupa dengannya.
Tidak ada satu makhluk pun yang mencapai pencapaian ini. Tidaklah muncul penghalang pemahamannya, kecuali apabila dia tertimpa suatu musibah, dia pasti akan langsung merajuk kepada Allah. Dia pun menengadahkan kepalanya ke langit sembari menunjukkan jarinya ke sana karena dia tahu bahwa Pencipta dirinya pasti berada di atasnya.
Apabila akal paham dan memahamkan tentang pengetahuan yang sudah kami sebutkan serta membuktikan tentang hal itu; siapa pun orang yang telah mencapai pencapaian ini, sebenarnya Allah telah mengambil perjanjian dan sumpah darinya. Karena Allah telah menciptakan dalam diri orang tersebut “sebab” (atau jalan) dan perangkat yang dengan keduanya itu sebuah perjanjian dan sumpah dapat diambil.
Oleh karena itu, boleh apabila dikatakan kepada orang tersebut bahwa dia sudah berikrar, tunduk, dan berserah diri. Seperti yang dinyatakan oleh Allah swt., “Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari.” (QS. ar-Ra’d [13]: 15)
Dia (al-Jurjani) menyatakan, bahwa orang-orang itu juga berhujah dengan sabda Rasulullah saw., “Pena (pencatat dosa) diangkat dari tiga orang: Anak kecil sampai mengalami mimpi basah, orang gila sampai sadar, dan orang tidur sampai terjaga.’’ Dan juga dengan firman Allah swt., “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia…” (QS. al-Ahzab [33]: 72)
Kata “amanat” dalam ayat ini maksudnya adalah ‘“perjanjian dan sumpah”. Semua langit, bumi, dan gunung-gunung menolak mengemban amanat itu karena mereka semua tidak memiliki akal yang digunakan untuk memahami dan untuk memahamkan. Manusia memikul amanat ini disebabkan aka] yang dimilikinya.
Dia (al-Jurjani) menyatakan bahwa orang-orang Arab banyak memiliki syair yang menuturkan tentang pengertian ini. Berikut ini di antaranya.
Qanan untuk Faq’as menanggung segala aibnya
Sungguh Qanan bagi Faq’as tak mampu bersaksi?
Qanan adalah nama gunung. Di sini penyair menuturkan bahwa Gunung Qanan menanggung untuk penduduk Faq’as. Yang ditanggung oleh gunung itu bagi mereka adalah karena setiap kali mereka dirundung musibah berupa petaka ataupun ketakutan, mereka selalu berlindung di gunung itu sehingga seakan-akan gunung itulah yang menanggung mereka.
Ada pula syair Nabighah berikut ini.
Seperti bukit Golan binasa oleh Tuhan
Houran di sampingnya kurus ketakutan
Orang yang berpendapat seperti ini menyatakan bahwa dalam firman Allah swt., “…Agar di Hari Kiamat kalian tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini,’ atau agar kalian tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka…’” (QS. al-A’raf [7]: 172-173)
Terkandung dalil yang menunjukkan takwil ini karena Allah swt. memberi tahu bahwa pengambilan sumpah dari mereka, agar mereka di Hari Kiamat nanti tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.”
Lengah, lupa, atau alpa (ghaflah) yang disebutkan di sini tidak mungkin lepas dari salah satu di antara dua kemungkinan, lengah terhadap terjadinya Hari Kiamat, atau lengah terhadap pengambilan perjanjian.
Jika lengah di sana objeknya Hari Kiamat, maka Allah swt. tidak pernah menyebutkan di dalam Kitab-Nya bahwa Dia telah mengambil perjanjian dan sumpah dari mereka berikut pengetahuan tentang Kebangkitan dan Hisab. Dia hanya menyebutkan pengetahuannya saja.
Jika lengah di situ objeknya ialah perjanjian tersebut, maka anak-anak kecil dan bayi-bayi yang mati karena keguguran, jika perjanjian itu juga diambil dari mereka (seperti yang dikatakan oleh orang yang menentang pendapat ini) dan mereka setelah diambilnya perjanjian itu belum mencapai kondisi “lengah” sehingga mereka menentang dan ingkar; maka kapankah “lengah” itu dapat terjadi pada diri mereka? Padahal Allah swt. tidak akan menghukum mereka karena sesuatu yang tidak pernah ada pada diri mereka.
Allah swt. berfirman,
“Atau agar kalian tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka.’” (QS. al-A’raf [7]: 173)
Kesyirikan yang disebutkan dalam ayat ini yang menyebabkan orang-orang kafir dihukum karenanya, tidak mungkin terjadi, kecuali dari diri mereka sendiri atau orang tua mereka.
Apabila kesyirikan itu muncul] dari diri mereka, tidak mungkin terjadi, kecuali mereka telah balig sehingga hujah terhadap mereka menjadi tegak. Sebab anak kecil tidak mungkin dianggap telah melakukan kesyirikan atau hal lainnya.
Apabila kesyirikan itu muncul dari orang lain, seluruh umat telah berijmak bahwa, “…dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain…” (QS. al-An‘am [6]: 164) sebagaimana yang Allah swt. firmankan di dalam al-Kitab.
Hal ini sama sekali tidak bertentangan dengan riwayat dari Rasulullah saw., “Sesungguhnya Allah mengusap punggung Adam lalu Dia mengeluarkan darinya keturunannya kemudian Dia mengambil sumpah dari mereka.” Sebab Rasulullah saw. sebenarnya tengah menceritakan tentang firman Allah swt.; dan ternyata penyampaian beliau saw. serupa dengan nazamnya; yaitu dengan meletakkan lafal yang bersifat lampau (madhi) di tempat lafal yang bersifat masa depan (mustaqbal).
Dia (al-Jurjani) menyatakan bahwa kisah ini sangat mirip dengan kisah dalam firman-Nya, “Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi, ‘Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepada kalian berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepada kalian seorang rasul yang membenarkan apa yang ada pada kalian, niscaya kalian akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya.’” (QS. Ali Imran [3]: 81)
Allah swt. telah menjadikan semua yang Dia turunkan kepada para nabi dalam bentuk Kitab dan hukum sebagai “perjanjian” yang Dia ambil dari umat mereka sepeninggal mereka. Dalil pernyataan ini adalah firman Allah swt., “…Kemudian datang kepada kalian seorang rasul yang membenarkan apa yang ada pada kalian, niscaya kalian akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya.” (QS. Ali Imran [3]: 81)
Lalu Allah swt. berfirman kepada semua umat, “‘Apakah kalian mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?’ Mereka menjawab, ‘Kami mengakui.’ Allah berfirman, ‘Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kalian.’” (QS. Ali Imran [3]: 81)
Allah swt. telah menjadikan sampainya Kitab-Nya yang diturunkan kepada para nabi sebagai hujah atas mereka seperti pengambilan sumpah dari mereka; sebagaimana Allah juga menjadikan makrifat pengetahuan mereka tentang Allah sebagai ikrar pengakuan dari mereka.
Saya (Ibnu Qayyim) menyatakan bahwa ayat tersebut di atas juga Sangat mirip dengan firman Allah swt.,
“Dan ingatlah karunia Allah kepada kalian dan perjanjian-Nya yang telah diikat-Nya dengan kalian, ketika kalian mengatakan, ‘Kami dengar dan kami taati.’” (QS. al-Ma‘idah [5]: 7)
Jadi, ini adalah perjanjian-Nya yang Dia ambil dari mereka setelah dikirimnya para rasul-Nya kepada mereka dengan keimanan dan kepercayaan pada-Nya.
Pembandingnya ialah firman Allah swt.,
“Orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian.” (QS. ar-Ra’d [13]: 20)
Allah swt. berfirman,
“Bukankah Aku telah memerintahkan kepada kalian hai Bani Adam supaya kalian tidak menyembah setan?! Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian, dan hendaklah kalian menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus.” (QS. Yasin [36]: 60-61).
Inilah perjanjian yang Allah ambil dari mereka melalui lisan para rasul.
Contoh lain ialah firman Allah swt. kepada Bani Israil,
“Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepada kalian, dan penuhilah janji kalian kepada-Ku niscaya Aku penuhi janji-Ku kepada kalian.” (QS. al-Baqarah {2}: 40).
Contoh lainnya ialah firman Allah swt.,
“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu), ‘Hendaklah kalian menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kalian menyembunyikannya.’ Lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruk tukaran yang mereka terima.” (QS. Ali Imran [3]: 187)
Dan firman Allah swt.,
“Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri), dari Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa putera Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh.” (QS. al-Ahzab [33]: 7)
Ini merupakan perjanjian yang Allah swt. ambil dari mereka setelah diutusnya mereka, seperti Dia mengambil perjanjian dari umat-umat mereka setelah peringatan yang mereka sampaikan. Allah swt. melaknat siapa pun yang melanggar perjanjian ini.
Dia hukum pelanggar itu dengan firman-Nya, “(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka mengubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al-Ma’idah [5]: 13)
Allah swt. menghukum mereka disebabkan tindak pelanggaran yang mereka lakukan terhadap perjanjian yang telah Dia ambil dari mereka melalui lisan para rasul-Nya. Allah menyatakan dalam firman-Nya,
“Dan (Ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kalian dan Kami angkatkan gunung (Thursina) di atas kalian (seraya Kami berfirman), ‘Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan ingatlah selalu apa yang ada di dalamnya agar kalian bertakwa.’” (QS. al-Baqarah [2]: 63)
Ketika ayat ini dan pembandingnya ada dalam surah Madaniyah yang di dalamnya Allah swt. mengingatkan perjanjian tersebut kepada kaum Ahli Kitab, maka itu bentuk perjanjian yang Allah ambil dari mereka dengan iman kepada-Nya dan kepada para rasul-Nya. Ketika ayat dalam Surah al-A’raf ada dalam surah Makkiyyah, Allah swt. menuturkan di dalamnya perjanjian dan persaksian yang bersifat umum bagi semua mukalaf, berupa ikrar pengakuan atas ketuhanan (rububiyah) dan keesaan (wahdaniyah) Allah serta batilnya kesyirikan.
Ini merupakan perjanjian dan persaksian yang dengannya Allah menegakkan hujah terhadap mereka semua sehingga dengannya pula segala dalih menjadi pupus, segala hukuman menjadi halal untuk dijatuhkan, dan tindakan menentangnya pasti akan diganjar dengan kebinasaan. Mereka semua harus mengingat perjanjian itu dan mengetahuinya. Itulah fitrah yang Allah tetapkan bagi mereka berupa ikrar pengakuan akan ketuhanan-Nya; bahwa Allah adalah Rabb mereka dan Pencipta mereka. Juga bahwa mereka semua merupakan makhluk dan marbab. Allah swt. lalu mengirimkan kepada mereka para rasul-Nya untuk mengingatkan mereka dengan apa-apa yang ada dalam fitrah dan akal mereka, serta memberi tahu mereka hak Allah yang menjadi kewajiban mereka berikut semua perintah, larangan, janji, dan ancaman-Nya.
Susunan kalimat dalam ayat tersebut (QS. al-A’raf {7}: 172) menunjukkan beberapa sisi sebagai berikut.
Pertama, Allah swt. berfirman, “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam.” Di sini Allah tidak menyambut “Adam”, padahal “keturunan Adam” (bani Adam) bukanlah Adam.
Kedua, Allah swt. berfirman, “dari sulbi mereka” (min zhuhurihim), bukan “dari sulbinya” (min zhahrihi). Ini merupakan bentuk penggantian sebagian dari keseluruhan (badal ba’dh min kull), atau badal isytimal dan itu lebih baik.
Ketiga, Allah swt. berfirman, “keturunan mereka” (dzurriyyatuhum) dan Dia tidak menyebut “keturunannya” (dzurriyyatuhu).
Keempat, Allah swt. berfirman, “Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka.” Maksudnya, Allah menjadikan mereka sebagai saksi-saksi atas jiwa mereka sendiri sehingga “saksi” harus dapat mengingat apa yang menjadi objek kesaksiannya; yaitu dengan mengingat kesaksiannya setelah keluarnya dia ke dunia ini, tanpa mengingat kesaksian sebelumnya.
Kelima, Allah swt. mengabarkan bahwa hikmah persaksian itu yaitu untuk menegakkan hujah terhadap mereka, agar mereka tidak berkata saat Hari Kiamat tiba, “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.” Hujah dapat tegak terhadap mereka dengan keberadaan para rasul dan fitrah yang mereka telah ditetapkan memiliki fitrah tersebut, seperti yang Allah swt. nyatakan, “Rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu.” (QS. an-Nisa [4]: 165).
Keenam, ingatnya mereka dengan perjanjian itu agar mereka tidak berkata saat Hari Kiamat tiba, “…Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.” (QS. al-A’raf [7]: 172)
Telah diketahui bahwa mereka lengah dan alpa pada keluarganya mereka dari sulbi Adam, termasuk kesaksian mereka semua pada waktu itu, sehingga tidak ada satu pun di antara mereka yang mengingatnya.
Ketujuh, firman Allah swt.,
“Atau agar kalian tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka.” (QS. al-A’raf [7]: 173)
Dalam ayat ini Allah swt. menyebutkan dua hikmah berkenaan dengan pengetahuan dan kesaksian itu.
Yang pertama agar mereka tidak mengaku lengah atau alpa, dan yang kedua agar mereka tidak mengaku hanya bertaklid (kepada orang-orang tua mereka). Orang yang alpa tentu tidak akan merasakan apa-apa, sementara orang yang bertaklid selalu meniru orang lain dalam taklidnya.
Kedelapan, Allah swt. berfirman, “…Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?” (QS. al-A’raf [7]: 173)
Maksudnya, apabila Dia mengazab mereka dengan keingkaran mereka dan kesyirikan mereka, mereka pasti akan mengatakan kalimat-kalimat itu.
Allah swt. membinasakan mereka karena mereka menentang serta mendustakan rasul-rasul-Nya. Apabila Allah swt. membinasakan mereka karena taklid yang mereka lakukan terhadap orang-orang tua mereka dalam kesyirikan tanpa tegaknya hujah atas mereka dengan diutusnya para rasul, niscaya Allah membinasakan mereka dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang batil. Allah swt. juga membinasakan mereka karena kealpaan mereka pada pengetahuan akan kebatilan yang mereka tenggelam di dalamnya. Allah swt. mengabarkan bahwa Dia tidak mungkin menghancurkan suatu kampung secara zalim, sementara penduduknya alpa. Mereka hanya akan dibinasakan setelah adanya hujah dan peringatan.
Kesembilan, Allah swt. mempersaksikan satu persatu jiwa atas diri mereka masing-masing bahwa Dia adalah Rabb dan Pencipta mereka. Lalu Dia berhujah atas mereka dengan kesaksian itu seperti yang dinyatakan-Nya dalam ayat lain dari Kitab-Nya, seperti firman-Nya, “Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan mereka?’ Niscaya mereka menjawab, ‘Allah’, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?” (QS. az-Zukhruf [43]: 87)
Maksudnya, bagaimana mungkin mereka disimpangkan dari tauhid setelah pengakuan mereka bahwa Allah adalah Rabb dan Pencipta mereka. Ayat-ayat seperti ini banyak di dalam al-Quran. Inilah hujah yang mereka persaksikan atas diri mereka sendiri dengan kandungannya, dan mereka diingatkan oleh para rasul utusan Allah dengan firman-Nya, “Berkata rasul-rasul mereka, ‘Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi?’” (QS. Ibrahim [14]: 10)
Allah swt. mengingatkan mereka melalui lisan para rasul-Nya pada pengakuan dan pengetahuan tersebut. Allah swt. tidak pernah sekalipun mengingatkan mereka pada ikrar pengakuan terdahulu di saat mereka dimaujudkan, dan tidak pula pada hujah yang ditegakkan terhadap mereka.
Kesepuluh, Allah menjadikan ayat ini sebagai dalil yang jelas menunjukkan objek dalilnya yang sama sekali tidak bertentangan dengannya. Memang seperti itulah kondisi semua ayat Allah swt. yang semuanya menjadi dalil yang menunjuk pada sesuatu objek yang harus diketahui. Allah swt. berfirman, “Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat al-Quran…” (QS. al-An’am [6]: 55)
Maksudnya, seperti keterangan dan penjelasan inilah kami menjelaskan ayat-ayat tersebut agar mereka kembali kepada tauhid dan meninggalkan kesyirikan; serta agar mereka kembali kepada iman dan meninggalkan kekufuran.
Ayat-ayat yang Allah terangkan itu, yang Dia jelaskan di dalam Kitab-Nya, merupakan bagian di antara makhluk-Nya. Ayat-ayat itu dapat berupa ayat-ayat semesta (ayat ufuqiyyah) dan ayat-ayat diri (ayat nafsiyyah). Ayat-ayat yang ada dalam diri mereka, zat mereka, serta penciptaan mereka; dan ayat-ayat yang ada di seluruh penjuru segala ciptaan Allah swt. Semuanya menunjukkan wujud-Nya, keesaan-Nya, kebenaran para rasul-Nya, dan kebenaran terjadinya kiamat.
Ayat yang paling jelas di antara semua ayat itu adalah ayat yang Dia persaksikan pada setiap orang atas diri mereka masing-masing yang menunjukkan bahwa Dialah Rabb, Pencipta, dan Pembuat mereka; serta menunjukkan pula bahwa mereka adalah marbub yang dibuat dan diciptakan dengan sifat baru (hadits, bukan kadim) setelah sebelumnya tidak ada. Padahal adalah mustahil bagi apa pun yang “baru ada” dapat menjadi ada tanpa zat yang membuatnya ada (disebut muhdits), sebagaimana mustahil pula baginya untuk menjadi ada dengan sendirinya. Segala yang bersifat baru pasti memiliki zat yang membuatnya ada (disebut mujid) yang mewujudkannya dan mujid itu pasti berbeda dengan dia. Ikrar pengakuan dan kesaksian ini merupakan fitrah yang ditetapkan bagi mereka semua dan bukan merupakan sesuatu yang dicari.
Ayat ini merupakan firman Allah swt., “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka…” (QS. al-A’raf [6]: 172)
Ayat ini selaras dengan sabda Rasulullah saw., “Setiap anak dilahirkan dengan fitrah.” Dan juga selaras dengan firman Allah swt., “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui, dengan kembali bertobat kepada-Nya…” (QS. ar-Rum [30]: 30-31)
Di antara para mufasir ada yang tidak menyampaikan penjelasan selain hanya penjelasan ini, seperti yang dilakukan oleh Zamakhsyari., Namun, di antara mereka ada pula yang tidak menyampaikan penjelasan apa pun selain pendapat yang pertama saja. Dan ada lagi di antara para mufasir yang menyampaikan kedua pendapat ini, seperti Ibnul Jauzi, al-Wahidi, al-Mawardi, dan sebagainya.
Hasan bin Yahya al-Jurjani menyatakan, “Apabila ada orang yang membantah penjelasan ini dengan menyampaikan hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah saw., bahwa beliau bersabda, ‘Sesungguhnya Allah mengusap punggung Adam dan mengeluarkan darinya keturunannya, lalu Dia mengambil janji dari mereka, kemudian Dia mengembalikan mereka ke dalam Punggungnya (Adam).’ Kemudian orang itu berkata bahwa hadis itu melarang dibolehkannya takwil yang Anda?” pilih, karena tidaklah mungkin mereka dikembalikan ke dalam punggung (Adam) apabila perjanjian itu diambil dari mereka setelah mereka mencapai balig dan matang akal.”
Tanggapan atas orang tersebut, yaitu bahwa pengertian dari kalimat “kemudian Dia sudah mengembalikan mereka (raddahum) ke punggungnya (Adam)” ialah kemudian Dia sedang mengembalikan (yarudduhum) ke punggungnya, seperti yang kami katakan bahwa pengertian dari “Rabb-mu telah mengambil (akhadza)” ialah “Rabb-mu sedang mengambil (ya‘khudzu)”. Dengan demikian, pengertiannya adalah Kemudian Dia sedang mengembalikan mereka ke punggungnya dengan kematian mereka karena jika mereka mati mereka akan dikembalikan ke tanah untuk dikuburkan, sementara Adam as. diciptakan dari tanah dan dikembalikan ke tanah. Apabila mereka dikembalikan ke tanah, mereka dikembalikan ke “punggungnya”. Karena Adam diciptakan dari tanah dan dikembalikan ke tanah, padahal sebagian dari sesuatu adalah dari sesuatu itu sendiri.
Berkenaan dengan pendapat kalian berupa takwil hadis ini sesuai pengertian eksplisitnya terdapat perbedaan antara takwil itu dengan penjelasan dari al-Quran pada pengertian ini, kecuali jika takwilnya dikembalikan kepada apa yang telah kami jelaskan. Karena Allah swt. berfirman, “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka.” (QS. al-A’raf [7]: 172)
Dalam penuturan ini Allah swt. tidak menyebut “Adam” karena dalam ayat ini “Adam” hanya berposisi sebagai “yang dikaitkan” (mudhaf ilaih) dengan keturunannya dan anak-anaknya bahwa mereka memang berasal darinya. Sedangkan di dalam hadis disebutkan “Sesungguhnya Allah mengusap punggung Adam”, padahal tidak mungkin isi al-Quran dan hadis dibawa menuju keselarasan, kecuali dengan takwil seperti yang sudah kami sampaikan.
Al-Jurjani berkata, saya katakan bahwa kami memilih riwayat dari Rasulullah saw. berkenaan dengan ayat ini dan juga memiliki pendapat para ulama dari kalangan salaf saleh yang lebih tepat, lebih berterima, dan saya sukai. Allah adalah penguasa taufik pada semua yang lebih tepat dan lebih dekat kepada hidayah.
Berkenaan dengan sebagian sahabat kami dari kalangan Ahlus sunah yang menuturkan bantahan terhadap orang yang berpendapat seperti ini dengan sebuah pengertian yang bersumber dari nazhm dan majas dalam bahasa Arab dengan mudah tanpa ada pemaksaan. Yaitu bahwa firman Allah swt., “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka.” (QS. al-A’raf [7]: 172)
Menjadi awal kabar dari Allah swt. mengenai janji yang Dia ambil dari mereka; yang di dalamnya muncul jawaban yang termuat dalam firman Allah, “Mereka menjawab, ‘Betul!’” dan ternyata kabar itu terputus sampai di situ.
Kemudian Allah swt. mengawali sebuah kabar lain dengan menyampaikan apa yang dikatakan oleh orang-orang musyrik di Hari Kiamat. Allah swt. berfirman, “Kami telah bersaksi (syahidna), Maksudnya yaitu “Kami sedang bersaksi (nasyhadu).” Demikianlah yang dikatakan oleh Huthaiah dalam syairnya berikut ini.
Huthaiah telah bersaksi saat berjumpa Tuhannya
Bahwa orang tua lebih berhak untuk diampuni
Maksud “telah bersaksi” (syahida) dalam bait ini ialah “sedang bersaksi” (yasyhadu). Allah swt. menyatakan, “Kami bersaksi bahwa kalian akan berkata di Hari Kiamat, ‘Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.’” Maksudnya, mereka alpa terhadap hisab, pertanyaan, dan hukuman yang ditimpakan akibat kekufuran.
Kemudian Allah swt. menambahkan kabar lain dengan menyatakan, “atau mereka mengatakan” (aw taqulu) yang maksudnya “dan mereka mengatakan” (wa an taqulu), karena “atau” (aw) berarti “dan” (wa), seperti firman Allah swt.,
“Dan janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan (aw) orang yang kafir di antara mereka.” (QS. al-Insan [76]: 24)
Takwilnya adalah, Kami bersaksi mereka menyatakan di Hari Kiamat, “…Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka…” (QS. al-A’raf [7]: 173)
Maksudnya, “Mereka (orang-orang tua) musyrik lalu mereka menyeret kami ke kesyirikan ketika kami masih kecil, sehingga kami pun mengikuti mereka. Jadi tidak ada dosa bagi kami karena kami hanya mengikuti mereka. Dosa semua ini adalah bagi mereka.” Sebagaimana yang mereka katakan, “…Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” (QS. az-Zukhruf [43]: 23)
Yang menunjukkan itu adalah pernyataan mereka,
“…Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?” (QS. al-A’raf [7]: 173)
Maksudnya, Mereka menyeret kami ke kesyirikan.
Kisah pertama merupakan kabar tentang semua makhluk yang diambil sumpahnya. Kisah kedua merupakan kabar tentang ucapan orang-orang musyrik di Hari Kiamat sebagai pembelaan mereka.
Dia (al-Jurjani) menyatakan tentang apa yang dinyatakan sebagai bentuk ketidakselarasan bahwa terjadi perbedaan antara isi Kitabullah dan khabar (riwayat) disebabkan adanya perbedaan lafal pada keduanya, sehingga melahirkan pendapat yang wajib diterima berdasarkan analisis dan pernyataan yang menegaskan perbedaannya.
Dia (al-Jurjani) menyatakan bahwa khabar (riwayat) dari Rasulullah saw. yang menyatakan bahwa Allah swt. mengusap punggung Adam as. menunjukkan adanya tambahan kabar dari apa yang ada di dalam kisah yang sudah Allah sampaikan sebagiannya di dalam Kitab-Nya, yang di situ Dia memang tidak menyampaikan semuanya. Kalaupun Rasulullah saw. mengabarkan sesuatu yang berbeda dari tambahan yang beliau kabarkan, yang itu memungkinkan bahwa ia (maksudnya, manusia) sudah ada pada waktu itu ketika perjanjian diambil darinya, yang hal itu tidak disebutkan oleh Allah di dalam Kitab-Nya. Semua itu bukanlah ketidakselarasan dan bukan perbedaan, melainkan merupakan tambahan.
Begitu pula halnya dengan lafal-lafal yang berbeda substansinya, sementara objek rujukannya satu, maka hal itu belum pasti merupakan sebuah pertentangan. Seperti contohnya firman Allah swt. dalam KitabNya mengenai penciptaan Adam as. Pada satu kesempatan Allah menyatakan bahwa Adam diciptakan dari debu tanah (turab), sementara di kesempatan lain Allah menyatakan bahwa Adam diciptakan dari hama masnun (lumpur hitam yang dibentuk), di kesempatan yang lain lagi Dia menyatakan bahwa Adam diciptakan dari tanah liat (thin lazib), dan di kesempatan yang lain lagi Dia menyebut tanah kering seperti terbikar (shalshal ka-l-fakhkhar).
Lafal-lafal tersebut berbeda-beda, pengertian lafal-lafal itu juga berbeda-beda; karena tanah kering (shalshal) bukanlah lumpur hitam (hama’), sebagaimana lumpur hitam (hama’) juga bukan debu tanah (turab); hanya saja sumber semua zat itu adalah dari satu asal yang sama yaitu “debu tanah” (turab). Dari debu tanah itulah kemudian muncul berbagai bentuk lain tersebut.
Firman Allah swt., “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka…” (QS. al-A’raf [7]: 172)
Sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya Allah mengusap punggung Adam lalu Dia mengeluarkan darinya keturunannya.” Sebenarnya memiliki satu pengertian yang sama. Hanya saja kalimat dalam sabda Rasulullah saw. “Dia mengusap punggung Adam” merupakan tambahan pada kabar yang bersumber dari Allah swt.
Tindakan Allah swt. mengusap punggung Adam as. dan mengeluarkan keturunannya darinya merupakan bentuk usapan untuk menunjukkan keturunan Adam kepadanya dan juga tindakan untuk mengeluarkan para keturunan Adam dan punggung-punggung mereka seperti yang dinyatakan oleh Allah swt. Sebab kita semua sudah mengetahui bahwa semua keturunan Adam as. bukan berasal dari sulbi Adam, melainkan hanya generasi pertamalah yang berasal dari sulbi Adam as. Setelah itu, generasi kedua berasal dari sulbi generasi pertama itu. Setelah itu, generasi ketiga berasal dari sulbi generasi kedua.
Bentuk urutan seperti ini dapat dinisbatkan ke “punggung Adam”, Sebab mereka semua merupakan keturunan Adam as. dan Adam as. menjadi asal mereka semua. Hal ini sama seperti bolehnya apa yang telah Allah swt. nyatakan berupa tindakan-Nya mengeluarkan dari punggung-punggung keturunan Adam dari punggung Adam as. sehingga boleh pula jika apa yang disampaikan oleh Rasulullah saw. bahwa Dia mengeluarkan dari punggung Adam seperti mengeluarkan dari punggung keturunan Adam. Sebab yang asal dan yang cabang merupakan suatu kesatuan.
Selain itu, ketika Allah swt. mengaitkan “keturunan” kepada “Adam” dalam kabar yang disampaikan-Nya, hal itu memberi kemungkinan bahwa kabar ini berbicara tentang “keturunan” dan sekaligus tentang “Adam”. Seperti firman Allah swt.,
“Jika Kami kehendaki niscaya Kami menurunkan kepada mereka mukjizat dari langit, maka senantiasa kuduk-kuduk mereka tunduk kepadanya.” (QS. asy-Syu’ara’(26): 4)
Dalam ayat ini disampaikan kabar yang secara eksplisit menunjuk pada “leher” (kuduk), dan sifat yang melekat padanya yang dikaitkan kepadanya (mudhaf ilaih), sebagaimana Adam juga menjadi yang dikaitkan kepadanya di sana. Padahal kedua pengertian eksplisit ini bukanlah pengertian yang dimaksud. Tidaklah mungkin firman Allah “mereka tunduk” (khadhi’in) itu menunjuk pada “leher” (kuduk), karena kalau memang merujuk ke kata itu, maka kata yang seharusnya digunakan yaitu khadhi’at (karena a’naq berbentuk feminin—Penj.). Seperti kata penyair,
Engkau menyala karena ucapan kau sebarkan
Seperti permukaan kanal menyala Karena darah
Dalam syair ini kata “permukaan” (shadr) yang berbentuk maskulin disebut menggunakan verba feminin “syaraqat” karena kata “permukaan” (shadr) dikaitkan dengan “kanal” (qanah) yang berbentuk feminin.
PASAL
Inilah sebagian dari pernyataan kalangan salaf dan khalaf tentang ayat ini (QS. al-A’raf [7]: 172). Walau bagaimanapun, ayat ini tidak menunjukkan penciptaan ruh sebelum jasad sebagai penciptaan yang tetap. Sebab tujuan ayat ini untuk menunjukkan dikeluarkannya bentuk dan penampakan mereka dalam bentuk benih, dimintanya mereka untuk berkata-kata, kemudian dikembalikannya mereka ke tempat asal mereka; apabila memang kabar tentang semua itu benar adanya. Karena yang jelas benar, yaitu adanya penetapan takdir terdahulu (al-qadar as-sabiq) dan pembagian manusia menjadi orang-orang yang sengsara dan orang-orang yang berbahagia.
Berkenaan dengan pengambilan dalil oleh Abu Muhammad bin Hazm dari firman Allah swt., “Sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian, lalu Kami bentuk tubuh kalian, kemudian Kami katakan kepada para malaikat, ‘Bersujudlah kalian kepada Adam.’ Maka mereka pun bersujud kecuali iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud.” (QS. al-A’raf [7]: 11).
Betapa tepatnya apabila pengambilan dalil dari ayat ini dilakukan berdasarkan pengertian eksplisitnya. Disebabkan adanya urutan mulai dari perintah sujud kepada Adam yang disampaikan setelah “Kami ciptakan” dan “Kami bentuk”. Kalimat yang digunakan di sini jelas ditujukan kepada kumpulan manusia yang terdiri dari badan dan ruh, dan semua itu baru terjadi setelah penciptaan Adam as.
Atas dasar itulah Ibnu ‘Abbas ra. menyatakan bahwa yang dimaksud oleh kalimat “Sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian” yaitu Adam, sementara yang dimaksud oleh kalimat “lalu Kami bentuk tubuh kalian” yaitu keturunan Adam. Ada pula penjelasan tentang hal ini yang dinyatakan oleh Mujahid, bahwa maksud kalimat “Sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian” yaitu Adam, sementara yang dimaksud oleh kalimat “Jalu Kami bentuk tubuh kalian” yaitu keturunan Adam yang dibentuk di punggung (sulbi) Adam as. Jadi, Allah swt. menggunakan kalimat “Kami telah menciptakan kalian” dengan lafal jamak, meski sebenarnya yang Dia maksud yaitu Adam as., karena memang bentuk jamak lazim digunakan untuk bentuk tunggal, semisal kalimat “kami pukul kalian” (dharabnadkum) untuk menyebutkan pukulan yang ditujukan terhadap pemimpin suatu kaum.
Berkenaan dengan penjelasan mengenai ayat ini (QS al-A’raf [7]: 11), Abu ‘Ubaid memilih pendapat Mujahid yang menjelaskan bahwa kalimat “Kemudian Kami katakan kepada para malaikat, “Bersujudlah kalian…” yaitu firman Allah kepada para malaikat “Bersujudlah kalian!” dilontarkan sebelum penciptaan para keturunan Adam dan sebelum dibentuknya mereka di dalam rahim. Karena imbuhan “kemudian” (tsumma) menunjukkan penundaan dan pengurutan.
Mereka yang menyatakan bahwa penciptaan dan pembentukan yang disebutkan dalam ayat ini ditujukan kepada keturunan Adam di dalam rahim, adalah orang-orang yang memilih pengertian “kemudian” (tsumma) sebagai pengurutan. Terkecuali apabila mereka mengambil pendapat Akhfasy.
Akhfasy menyatakan bahwa “kemudian” (tsumma) dalam ayat ini berarti “dan” (waw). Az-Zajjaj berkata, “Ini merupakan sebuah kesalahan yang tidak mungkin dapat dibenarkan oleh Khalil dan Sibawaih atau siapa pun tokoh yang tepercaya keilmuannya.”
Abu Ubaid menyatakan, “Mujahid telah menjelaskan ketika dia menyatakan bahwa Allah menciptakan Adam dan membentuk mereka di punggungnya, lalu Allah memerintahkan sujud setelah semua itu.”
Dia menyatakan, “Telah jelas di dalam hadis bahwa ‘Allah mengeluarkan mereka dari punggung Adam dalam bentuk benih.’”
Menurut saya (Ibnu Qayyim), ayat-ayat al-Quran menafsirkan antara satu sama lain. Pembanding ayat ini adalah firman Allah swt., “Hai manusia, jika kalian dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kalian dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kalian dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kalian sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kalian sampailah kepada kedewasaan…” (QS. al-Hajj [22]: 5)
Allah menyatakan bahwa penciptaan dari tanah dilakukan terhadap mereka semua, padahal itu hanya terjadi pada nenek moyang mereka Adam as. karena Adam as. itulah asal mereka.
Allah swt. berbicara dengan banyak entitas maujud dengan dimaksudkan pada nenek moyang mereka. Seperti dalam firman-Nya,
“Dan (ingatlah), ketika kalian berkata, ‘Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang,’ karena itu kalian disambar halilintar, sedang kalian menyaksikannya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 55)
Dan firman Allah swt., “Dan (ingatlah), ketika kalian berkata, ‘Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. Sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi…” (QS. al-Baqarah[2]: 61).
Dan firman-Nya, “Dan (ingatlah), ketika kalian membunuh seorang manusia lalu kalian saling tuduh menuduh tentang itu.” (QS. al-Baqarah [2]: 72),
Dan firman Allah swt., “Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kalian dan Kami angkatkan gunung (Thursina) di atas kalian…” (QS. al-Baqarah [2]: 63).
Contoh-contoh semacam ini banyak terdapat di dalam al-Quran. Ketika Allah swt. berbicara kepada “mereka”, tetapi yang dimaksud ialah “nenek moyang mereka”. Demikian pula firman Allah swt.,
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian, lalu Kami bentuk tubuh kalian.” (QS. al-A’raf [7]: 11).
Terkadang Allah swt. mengalihkan penyebutan manusia ke penyebutan benda. Seperti firman Allah swt., “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah (thin). Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (nuthfah) dalam tempat yang kokoh (rahim).” (QS. al-Mu’minun [23]: 12-13).
Sosok makhluk yang diciptakan dari tanah (thin) yaitu Adam as., sementara yang dibuat dari air mani (nuthfah) dalam tempat yang kokoh yaitu semua keturunan Adam as.
Adapun berkenaan dengan hadis yang menjelaskan ihwal penciptaan ruh dua ribu tahun sebelum penciptaan jasad, status sanadnya tidaklah sahih. Dalam sanadnya terdapat ‘Utbah bin Sakan. Dar Quthni menyatakan bahwa ‘Utbah statusnya matrok (layak ditinggal riwayatnya). Dalam sanadnya juga terdapat Arthah bin Mundzir yang menurut Ibnu ‘Adi status Arthah adalah “sebagian hadisnya keliru.”
PASAL
Berkenaan dengan dalil yang menunjukkan bahwa penciptaan ruh sesudah penciptaan raga, berikut ini penjelasannya:
Pertama: Penciptaan Adam as. sebagai moyang umat manusia (abul basyar) dan menjadi leluhur asal mereka memang seperti itu (maksudnya, diciptakan raganya terlebih dulu sebelum ruhnya—Penj.). Allah swt. mengutus Jibril untuk mengambil segenggam tanah dari bumi lalu tanah itu didiamkan sampai menjadi thin, lalu Dia membentuknya. Kemudian Allah mengembuskan ruh ke dalamnya setelah Dia membentuknya. Ketika ruh masuk ke dalamnya, tanah itu pun menjadi daging dan darah yang hidup dan berbicara.
Dalam tafsir Abu Malik dan Abu Shalih disebutkan sebuah riwayat dari Ibnu ‘Abbas ra., dan dari Murrah, dari Ibnu Masud ra., dan dari beberapa orang sahabat Rasulullah saw., “Ketika Allah selesai menciptakan apa-apa yang diinginkannya, dia pun bersemayam di atas arsy. Dia jadikan Iblis pada kekuasaan langit dunia. Dia termasuk dari satu kabilah kalangan malaikat yang bernama Jinn. Mereka disebut Jinn karena mereka merupakan para penjaga surga (Jannah). Iblis adalah seorang penjaga bersama rajanya, lalu muncullah dalam dadanya kata-katanya, “Allah tidak mungkin memberiku semua ini, kecuali sebagai tambahan bagiku’’—dalam lafal lain disebutkan “sebagai keistimewaan bagiku’”’—di atas para malaikat. Ketika kesombongan itu muncul dalam dirinya Allah pun melihat itu darinya. Allah lalu berkata kepada para malaikat,
“,..Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi…’’ (QS. al-Baqarah [2]: 30).
Mereka pun berkata, “Wahai Tuhan kami, bagaimanakah keadaan khalifah itu?” Allah swt. menjawab, “Dia memiliki keturunan yang merusak di bumi, saling mendengki, dan saling membunuh satu sama lain.” Para malaikat berkata, “‘Wahai Tuhan kami mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?’ Allah pun menjawab, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’” (QS. al-Baqarah [2]: 30). Maksudnya, mengenai keadaan Iblis.
Allah lalu mengutus Jibril ke bumi untuk membawakan tanah dari bumi kepada-Nya. Bumi pun berkata, “Sungguh aku berlindung kepada Allah darimu untuk kau ambil dariku!” Maka Jibril pun kembali tanpa mengambil apa-apa. Dia berkata kepada Allah, “Wahai Rabb, sesungguhnya dia berlindung kepada-Mu dariku. Maka aku pun melindunginya.”
Allah lalu mengutus Mikail dan bumi pun kembali berlindung kepada Allah dari Mikail, sehingga Mikail pun melindunginya. Allah lalu mengutus Malaikat Maut dan bumi kembali berlindung kepada Allah dari Malaikat Maut. Namun, Malaikat Maut menyahut, “Aku berlindung kepada Allah untuk kembali sebelum aku berhasil melaksanakan perintah-Nya!” Malaikat Maut lalu mengambil tanah dari permukaan bumi yang dia campurkan. Dia tidak mengambil dari satu tempat. Dia mengambil tanah merah, putih, dan hitam. Itulah sebabnya keturunan Adam terlahir dengan warna yang berbeda-beda. Malaikat Maut laly membawa tanah itu naik, lalu Dia membasahi tanah itu hingga menjadi basah yang lengket (thin lazib). Arti lazib adalah lengket satu sama lain,
Kemudian Allah berfirman kepada para malaikat,
“Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh (ciptaan) Ku; hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya!” (QS. Shad [38]: 71-72)
Allah lalu menciptakan manusia itu dengan tangan-Nya agar Iblis tidak sombong terhadap manusia. Allah akan dapat berkata kepada Iblis, “Engkau sombong terhadap sesuatu yang kubuat dengan tangan-Ku, padahal aku tidak sombong dengannya!” Allah swt. menciptakannya sebagai sesosok manusia. Yaitu berupa jasad yang terbuat dari tanah selama empat puluh tahun. Para malaikat lewat di dekatnya dan mereka pun terkejut ketika melihatnya. Yang paling terkejut di antara mereka adalah Iblis. Dia lalu melewatinya, memukulnya, dan membunyikan jasad itu seperti membunyikan tembikar. Jasad itu berupa tanah kering (shalshalah); yaitu ketika Allah berfirman,
“Dia menciptakan manusia dari tanah kering (shalshal) seperti tembikar.” (QS. ar-Rahman [55]: 14)
Kala itu Iblis berkata, “Untuk urusan apa engkau diciptakan?” Lalu Iblis masuk dari mulut jasad itu dan keluar dari duburnya. Iblis berkata kepada para malaikat, “Janganlah kalian takut kepada sosok ini karena Tuhan kalianlah yang menjadi tempat bergantung. Sementara ini hanyalah jasad berongga. Sungguh kalau aku diberi kuasa atasnya, aku pasti akan membinasakannya!”
Saat Allah berkehendak untuk mengembuskan ruh ke dalam jasad itu, Dia berfirman kepada para malaikat, “Apabila Aku mengembuskan ke dirinya dari ruh-Ku, bersujudlah kalian semua kepadanya!”
Tatkala Allah swt. mengembuskan ruh ke jasad itu hingga ruh masuk di kepalanya, jasad itu tiba-tiba bersin. Para malaikat berkata, «Ucapkanlah, alhamdulillah!” Jasad itu pun berucap, “Alhamdulillah!” Allah berfirman, “Semoga Rabb-mu merahmatimu!”
Ketika ruh masuk ke kedua matanya, dia dapat melihat buah-buahan surga. Ketika masuk ke rongga tubuhnya, dia pun menginginkan makanan sebelum ruh sampai ke kedua kakinya. Diapun bangkit terburu-buru ke arah buah-buahan surga; yaitu ketika Allah swt. berfirman,
“Manusia telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa…” (QS. al-Anbiya’ [21]: 37); dan demikian selanjutnya perawi menuturkan hadis ini.
Yuunus bin ‘Abdul A’la berkata, Ibnu Wahb mengabarkan kepada kami, dia berkata, Ibnu Zaid menuturkan kepada kami, dia berkata, “Ketika Allah menciptakan neraka, malaikat pun ketakutan bukan kepalang. Mereka berkata, ‘Wahai Tuhan kami, mengapa Engkau ciptakan neraka ini? Untuk apa Engkau menciptakannya?’
Allah menjawab, “Untuk siapa pun di antara hamba-hamba-Ku yang bermaksiat terhadap-Ku.” Pada saat itu Allah belum memiliki makhluk selain para malaikat. Bumi saat itu, belum dihuni makhluk apapun. Adam diciptakan setelah itu.
Dia lalu merapalkan firman Allah,
“Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?” (QS. ad-Dahr [67]: 1)
‘Umar bin Khathab ra. berkata, ‘“Wahai Rasulullah! bagaimanakah waktu itu?”
Dia melanjutkan, Para malaikat berkata, “Apakah telah datang kepada kami masa ketika kami bermaksiat kepada-Mu?”—mereka tidak melihat makhluk-Nya yang lain.
Allah menjawab, “Tidak. Sesungguhnya Aku ingin mencipta. kan makhluk di bumi, dan kujadikan dia sebagai khalifah di situ.” Demikianlah perawi melanjutkan hadis ini.
Ibnu Ishaq menuturkan, “Telah dikatakan—wallaahu a’lam—Allah menciptakan Adam kemudian meletakkannya dengan melihat kepada-Nya selama empat puluh tahun sebelum Dia embuskan ruh ke dalamnya, sehingga ia kembali menjadi tanah kering seperti tembikar, tanpa pernah disentuh oleh api. Lalu dikatakan—wallaahu a’lam—setelah ruh sampai di kepalanya, diapun bersin lalu berucap, ‘Alhamdulillah!’, Demikianlah perawi melanjutkan hadis ini.?
Al-Quran, hadis, dan atsar menunjukkan bahwa Allah swt. mengembuskan kepada Adam dari ruh-Nya setelah Dia menciptakan jasadnya. Dari embusan itulah muncul ruh di dalamnya. Apabila ruhnya diciptakan sebelum raganya bersama seluruh ruh keturunannya, pasti para malaikat tidak terkejut atas penciptaannya, dan dia tidak akan terkejut pada penciptaan neraka. Para malaikat berkata, “Untuk apa Engkau menciptakannya (neraka)?” Sementara melihat ruh-ruh keturunan Adam di antara mereka ada yang mukmin dan ada yang kafir, ada yang baik dan ada yang buruk.
Saat itu ruh-ruh orang-orang kafir belum menjadi pengikut Iblis, melainkan ruh-ruh kafir itu diciptakan sebelum kekufurannya (Iblis). Sesungguhnya Allah menghukumnya (Iblis) dengan kekufuran setelah Dia menciptakan raga dan ruh Adam. Sebelum itu, dia (Iblis) belum kafir. Jadi bagaimana mungkin ruh-ruh sudah ada sebelumnya sebagai kafir dan mukmin, padahal dia belum menjadi kafir pada saat itu? Bukankah kekufuran terjadi pada ruh-ruh manusia akibat tipu dayanya (Iblis)? Ruh-ruh yang kafir muncul setelah kekufurannya (Iblis). Terkecuali dikatakan bahwa mereka semua mukmin, lalu menjadi murtad karenanya (Iblis).
Sementara itu, mereka yang berhujah dengannya atas penciptaan ruh yang lebih dulu (daripada jasad) bertentangan dengan dalil ini.
Dalam hadis Abu Hurairah ra. mengenai penciptaan alam semesta disampaikan kabar tentang penciptaan berbagai jenis makhluk di alam semesta dan diakhirkannya penciptaan Adam sampai hari Jum’at. Apabila ruh-ruh diciptakan sebelum jasad, pastilah ruh-ruh termasuk bagian alam semesta yang diciptakan dalam enam hari. Ketika tidak ada berita tentang penciptaan ruh-ruh pada hari-hari (yang enam) tersebut, dapat diketahui bahwa penciptaan ruh-ruh mengikuti penciptaan keturunan Adam, dan dapat diketahui pula bahwa hanya penciptaan Adam yang dilakukan pada hari-hari yang enam itu. Sedangkan penciptaan keturunannya terjadi sesuai dengan apa yang dapat disaksikan dan dilihat.
Apabila ruh memiliki wujud sebelum adanya raga, dengan ruh itu sudah hidup, mengetahui, dan dapat berbicara; pastilah ruh itu dapat mengingat semua itu di alam dunia ini dan dapat merasakannya walau bagaimanapun caranya. Tidaklah mungkin ruh dalam keadaan hidup, berpengetahuan, berbicara, bermakrifat pada Tuhannya ketika dia berada di tengah para ruh, lalu ruh itu berpindah ke raga tanpa dia merasakan keadaannya yang sebelumnya walau bagaimanapun caranya. Apabila setelah perpisahan ia dapat merasakan keadaannya, ia berada dalam raga, dan ia mengetahui apa yang terjadi padanya sebelumnya di situ—sementara ia bersama raga telah merasakan berbagai perkara yang jauh dari sempurna—maka baginya untuk merasakan yang pertama ketika ia tidak berkekurangan di sana dengan cara yang lebih layak. Terkecuali apabila dikatakan bahwa keterkaitannya dengan raga dan kesibukannya dengan pengayoman raga itu menghalanginya dari perasaannya pada keadaannya yang pertama.
Kami mengatakan bahwa kalaulah raga itu menghalangi ruh dari perasaannya secara rinci dan sempurna, maka apakah raga juga menghalanginya dari secuil perasaan yang ia alami sebelum terkait dengan raga? Sementara sudah diketahui bahwa keterkaitan ruh dengan raga tidak menghalangi ruh untuk dapat merasakan keadaannya yang pertama ketika ia berada dalam raga. Jadi bagaimana mungkin raga itu menghalanginya dari perasaan yang dialaminya sebelum itu?
Selain itu, apabila ruh sudah ada sebelum raga, ruh itu dalam kondisi berpengetahuan, hidup, berbicara, dan berakal; sehingga ketika ruh tersebut bergabung dengan raga, semua itu pun hilang. Setelah itu muncullah padanya perasaan, ilmu, dan akal pikiran secara sedikit lebih sedikit.
Apabila hal seperti ini memang benar terjadi seperti itu, maka menjadi suatu perkara yang mengherankan ketika ruh sudah sempurna dan berakal, tetapi kemudian ruh itu kembali menjadi kurang, lemah, dan bodoh tak berpengetahuan; lalu setelah itu barulah kembali padanya akal dan kekuatannya. Lantas dimanakah dalil akal, dalil naqli, dan fitrah yang menunjukkan hal tersebut? Allah swt. berfirman,
“Dan Allah mengeluarkan kalian dari perut-perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kalian pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kalian bersyukur.” (QS. an-Nahl [16]: 78)
Kondisi ketika kita dikeluarkan itulah kondisi kita yang asli, sementara ilmu, akal, makrifat, dan kekuatan muncul Kepada kita sebagai sesuatu yang baru di diri kita setelah sebelumnya tidak ada. Sebelum itu kita tidaklah berpengetahuan sedikit pun, karena saat itu kita belum memiliki wujud yang dengannya kita dapat mengetahui dan berpikir.
Selain itu, apabila ruh sudah diciptakan sebelum jasad, sementara kondisi ruh pada saat itu sama seperti kondisinya “saat ini” (setelah bergabung dengan jasad—Penj.) baik dalam kondisi bagus maupun buruk, kufur maupun beriman, baik maupun jahat, maka semua itu tetap melekat pada ruh sebelum terjadinya amal perbuatan. Ruh mendapatkan berbagai sifat dan keadaan itu dari amal perbuatannya yang ia kuasa untuk meraihnya dengan meminta bantuan kepada raga. Ruh tidak dapat memiliki berbagai keadaan dan sifat itu sebelum ia bergabung dengan raga yang dengannya berbagai amal perbuatan itu dilakukannya. Apabila semua itu sudah ditakdirkan bagi ruh sebelum perwujudannya, kemudian ruh itu keluar ke dunia ini sesuai dengan takdir yang telah ditetapkan padanya, maka kita tidak mungkin dapat mengingkari al-Kitab dan takdir terdahulu yang telah Allah tetapkan bagi ruh itu. Apabila ada dalil yang menunjukkan bahwa semua ruh diciptakan secara sekaligus, lalu ruh-ruh itu disimpan di satu tempat dalam keadaan hidup, berpengetahuan, dan mampu berbicara. Kemudian di sepanjang perjalanan waktu ruh-ruh itu muncul satu persatu pada raga mereka masing-masing, maka kamilah orang pertama yang berpendapat seperti itu. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Namun, kami tidak mungkin menyampaikan kabar dari-Nya baik mengenai penciptaan maupun mengenai suatu urusan, kecuali hanya apa yang Allah kabarkan tentang Diri-Nya sendiri melalui lisan Rasul-Nya saw. Padahal telah diketahui bahwa Rasulullah saw. tidak pernah mengabarkan sesuatu apa pun tentang itu dari Allah swt. Yang beliau kabarkan adalah apa yang termaktub dalam hadis sahih, “Sesungguhnya penciptaan keturunan Adam adalah dihimpun dalam perut ibunya selama empat puluh hari. Kemudian menjadi ‘alaqah selama itu (empat puluh hari). Kemudian menjadi mudghah selama itu (empat puluh hari). Kemudian diutuslah kepadanya satu malaikat yang menembuskan ruh kepadanya.
Satu malaikat itulah yang dikirimkan kepadanya (janin) untuk kemudian mengembuskan ruh kepadanya. Jadi, embusan malaikat itulah yang menjadi sebab munculnya ruh dalam janin.
Rasulullah saw. tidak berkata, “Diutuslah kepadanya satu malaikat dengan membawa ruh, kemudian dia memasukkan ruh itu ke dalam raga (janin)”, melainkan yang dikirim kepadanya hanyalah satu malaikat itu dan kemudian malaikat itulah yang membuat munculnya ruh pada janin tersebut dengan embusannya pada janin. Jadi, bukan Allah swt. mengirimkan ruh kepada janin, ruh tersebut sudah ada sebelumnya untuk waktu yang sangat lama bersama malaikat.
Jelaslah perbedaan antara dikirimkannya malaikat kepadanya yang kemudian malaikat itu mengembuskan ruh padanya, dengan dikirimkannya ruh kepadanya yang ruh itu sudah diciptakan dan mandiri bersama malaikat. Silakan Anda renungkan apa yang ditunjukkan oleh nas di antara kedua pengertian ini. Wabillahi-t-taufiq.
JAWABAN ATAS pertanyaan itu ialah sebagai berikut.
Pertanyaan ini telah dibicarakan oleh banyak orang dari seluruh generasi. Berbagai pendapat mereka banyak yang rancu, bahkan mayoritasnya keliru. Namun, Allah memberi hidayah kepada para pengikut Rasulullah dan kalangan Ahli sunah beliau, sehingga mereka tidak berselisih dari kebenaran berkat perkenan Allah. Sebab Allah Maha Memberi Hidayah kepada siapa pun yang Dia kehendaki menuju jalan yang lurus. Berikut kami akan paparkan beberapa pendapat di kalangan masyarakat beserta pembelaan dan bantahan terhadap berbagai pendapat itu. Dan kami juga akan menyampaikan pendapat yang paling tepat dengan maksud Allah swt.
Abul Hasan al-Asy‘ari menyatakan dalam muqalat beliau, “Orangorang berbeda pendapat mengenai ruh (rah), jiwa (nafs), dan kehidupan (hayah); apakah ruh itu kehidupan ataukah bukan? Dan apakah ruh itu jisim atau bukan?”
An-Nazhzham menyatakan, “Ruh adalah jisim dan ia adalah jiwa.” Dia juga meyakini bahwa ruh hidup secara mandiri. Dia mengingkari kehidupan dan kekuatan memiliki pengertian yang berbeda dari “yang hidup” dan “yang kuat”, Beberapa orang menyatakan bahwa ruh merupakan sebuah tampilan (‘ardh).
Beberapa orang, seperti Ja’far bin Harb menyatakan, “Kami tidak tahu apakah ruh itu substansi ataukah tampilan?”
Dalam hal ini, mereka beralasan dengan firman Allah swt.,
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, ‘Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kalian diberi pengetahuan melainkan sedikit.’” (QS. al-Isra’ [17]: 85)
Allah tidak pernah mengabarkan apakah ruh itu. Tidak pernah menyatakan bahwa ruh adalah substansi, dan tidak pula pernah menyatakan bahwa ruh adalah tampilan. Dia menyatakan, “Aku mengira Ja’far memastikan bahwa kehidupan bukanlah ruh, tetapi dia memastikan bahwa kehidupan adalah tampilan.”
Al-Jubba’i berpendapat bahwa ruh merupakan jisim, ia bukanlah kehidupan, dan kehidupan adalah tampilan. Dia beralasan menggunakan ucapan kalangan ahli bahasa, “Ruh manusia keluar”. Dia meyakini bahwa ruh tidak boleh memiliki tampilan.
Orang-orang mengatakan bahwa ruh bukanlah sesuatu yang melebihi keseimbangan empat karakter. Mereka tidak mencabut pendapat mereka tentang keseimbangan itu, kecuali pada yang seimbang, sebagaimana mereka juga tidak memastikan apapun di dunia, kecuali hanya keempat karakter yang berupa panas, dingin, basah, dan kering.
Ada pula segolongan orang yang menyatakan bahwa ruh adalah makna kelima yang bukan termasuk empat karakter. Mereka meyakini bahwa di dunia hanya ada empat karakter dan ruh. Mereka berbeda pendapat tentang perbuatan ruh. Sebagian dari mereka memastikan bahwa itu memang karakternya, sementara sebagian yang lain menyatakan bahwa itu merupakan pilihan.
Segolongan orang menyatakan bahwa ruh adalah darah murni yang bersih dari segala bentuk kotoran dan noda. Mereka juga mengatakan ini pada kekuatan (al-quwwah). Segolongan orang menyatakan bahwa kehidupan adalah “semangat keinstingan” (hararah ghariziyyah). Mereka semua yang telah kami sampaikan pendapat mereka mengenai ruh dari kalangan yang mengakui adanya empat karakter memastikan bahwa kehidupan adalah ruh.
Al-Ashamm tidak memastikan bahwa kehidupan dan ruh merupakan entitas non-jasad. Dia menyatakan, “Sava tidak mengenal kecualj jasad panjang, lebar, dalam, yang sava lihat dan sava saksikan.” Dia menvatakan, “Jiwa adalah raga ini, bukan yang lain. Penyebutan seperti ini sebagai bentuk penjelasan dan penegasan bagi hakikat sesuatu, bukan kok pengertian ruh adalah suatu entitas non-raga.”
Aristoteles menyatakan bahwa jiwa adalah sebuah entitas yang melampaui eksistensi di bawah alam semesta. Jiwa adalah substansi terentang beredar di alam semesta berupa kehidupan dalam bentuk aktivitas dan pengayoman. Ia tidak memiliki sifat sedikit dan tidak pula banyak.
Dia menyatakan bahwa jiwa adalah seperti yang saya jelaskan bahwa ia terentang di seluruh alam semesta tidak terbagi zat dan strukturnya. Pada setiap yang hidup di seluruh alam semesta jiwa adalah satu kesatuan tunggal tidak ada yang lain.
Segolongan yang lain menyatakan bahwa jiwa adalah makna maujud yang memiliki batas-batas, penopang, panjang, lebar, dan kedalaman. Ia tidak terpisah di alam ini dengan segala sesuatu yang lain yang tunduk pada panjang, lebar, dan kedalaman. Masing-masing dari keduanya itu disatukan oleh sifat terbatas dan penghabisan.
Segolongan orang menyatakan bahwa jiwa memiliki sifat seperti yang dinyatakan oleh orang-orang yang sebelumnya sudah kami sampaikan di sini, yaitu sifat terbatas dan penghabisan. Hanya saja jiwa tidak terpisah yang selainnya yang tidak mungkin dapat disifati dengan sifat makhluk yang hidup.
Hariri menuturkan, dari Ja’far bin Mubasysyir bahwa jiwa adalah substansi (jauhar). Ila bukan jisim ini dan ia bukanlah jisim sama sekali, melainkan makna yang menunjukkan substansi dan jisim.
Segolongan yang lain lagi mengatakan bahwa jiwa adalah makna yang bukan ruh, ruh bukan kehidupan, dan kehidupan menurut mereka adalah tampilan. Abul Hudzail meyakini bahwa mungkin saja seseorang dalam kondisi tidur tertahan jiwanya dan ruhnya, tetapi tidak kehidupannya. Seperti dalam firman Allah swt., “Allah mewafatkan Jiwa (orang) ketika matinya dan (mewafatkan) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.” (QS. az-Zumar [39]: 42)
Jafar bin Harb mengatakaan bahwa jiwa adalah tampilan di antara perbagai tampilan yang terdapat pada jisim. Ia adalah salah satu perangkat yang digunakan oleh manusia untuk berbuat seperti halnya kesehatan, keselamatan, dan sebagainya. Jiwa tidak dapat disifati dengan sifat apapun yang dimiliki oleh substansi dan jisim. Demikianlah yang disampaikan oleh al-Asy’ari.
Segolongan orang menyatakan bahwa jiwa adalah embusan udara yang keluar masuk di sepanjang aktivitas bernapas. Mereka menyatakan pahwa ruh adalah tampilan dan ruh itulah kehidupan itu sendiri, dan ja bukan jiwa. Ini merupakan pendapat Qadhi Abu Bakar bin Bagillani dan para pengikutnya dari kalangan Asy’ariyyah.
Segolongan orang mengatakan bahwa jiwa bukan jisim dan bukan tampilan serta tidak berada dalam tempat. Jiwa tidak memiliki panjang, Jebar, kedalaman, warna, dan bagian. Jiwa berada di dalam alam dan pukan di luar alam. Jiwa juga tidak terbelah dan tidak terpisah. Ini merupakan pendapat kaum Peripatetik sebagaimana yang dituturkan oleh al-Asy’ari dari Aristoteles. Mereka meyakini bahwa keterkaitan antara jiwa dengan raga bukanlah dengan merasuknya jiwa di dalam raga dan bukan pula dengan kedekatannya, berdiamnya, ataupun berhubungan dengannya, melainkan hanva dengan pengayoman jiwa pada raga.
Pendapat ini diikuti oleh Busyanji, Muhammad bin Nu’man yang berjuluk al-Mufid, Muhammad bin ‘Abbad, dan al-Ghazali. Ini juga menjadi pendapat Ibnu Sina dan para pengikutnya. Ini merupakan pendapat yang paling buruk dan paling batil serta paling jauh dari kebenaran.
Abu Muhammad bin Hazm mengatakan, “Semua penganut Islam dan penganut semua agama yang meyakini adanya akhirat berpendapat bahwa jiwa adalah jisim yang memiliki panjang, lebar, dan kedalaman serta berada dalam tempat. Jiwa juga hidup dan menjadi penggerak bagi jasad.”
Dia (Ibnu Hazm) menyatakan bahwa pendapat ini juga merupakan pendapatnya. Dia menyatakan bahwa jiwa dan ruh merupakan dua istilah yang bersinonim karena memiliki satu arti, sebab arti dari keduanya sama.
Abu ‘Abdullah bin Khathib pernah menjelaskan tentang berbagai aliran pendapat mengenai jiwa. Dia mengatakan, “Ketika seseorang menunjuk dirinya dengan mengucapkan ‘saya’, maka yang ditunjuk itu dapat berupa jisim atau tampilan yang melekat pada jisim; atau mungkin bukan berupa jisim dan bukan tampilan dari jisim.”
Bagian pertama menyatakan bahwa ia adalah jisim. Jisim itulah yang mungkin disebut dengan raga atau mungkin merupakan suatu jisim lain yang bergabung dengan raga; atau mungkin berada di luar darinya (di luar raga).
Bagian kedua menyatakan bahwa jiwa manusia merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut jisim yang berada di luar raga. Namun, pendapat ini tidak pernah dinyatakan oleh siapa pun.
Berkenaan dengan bagian pertama bahwa “manusia” adalah istilah yang digunakan untuk menyebut raga dan struktur unik ini; menjadj pendapat mayoritas. Pendapat inilah yang dipilih oleh mayoritas ahli Kalam.
Saya (Ibnu Qayyim) menyatakan bahwa ini merupakan pendapat mayoritas orang yang ar-Razi mengetahui pendapat-pendapat mereka dari kalangan ahli bidah dan orang-orang sesat lainnya. Adapun pendapat kalangan sahabat, tabiin, dan Ahli Hadis, yaitu bahwa raga tidak memiliki rasa apa pun dengan jiwanya. Saya tidak yakin bahwa mereka miliki pendapat tertentu dalam masalah ini, seperti kebiasaannya menurut apa yang disampaikan oleh semua aliran yang batil. Pendapat yang benar seperti yang ditunjukkan oleh al-Quran, sunah, dan pendapat para sahabat tidak pernah dia kenal dan tidak pernah ia ingat.
Pendapat yang dinisbahkan hepada mayoritas masyarakat, yaitu bahwa manusia adalah raga unik ini saja. Tanpa ada sesuatu apa pun selain itu, merupakan pendapat yang paling batil dalam masalah ini. Bahkan pendapat ini lebih batil daripada penyataan Ibnu Sina dan para pengikutnya.
Alih-alih manusia hanyalah raga, pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama, yaitu pendapat yang menyatakan bahwa manusia adalah raga dan ruh secara bersama-sama (bergabung). Namun, terkadang istilah ini (manusia) digunakan untuk menyebutkan salah satunya tanpa yang lain.
Jadi, di tengah masyarakat ada empat pendapat mengenai objek yang disebut “manusia” (insan), apakah manusia hanya ruh, ataukah hanya raga, ataukah ruh yang bergabung dengan raga, ataukah masing-masing dari keduanya?
Keempat pendapat ini masih harus dihadapkan dengan sebuah pertanyaan, “Apakah ia hanya lafal, atau hanya makna, atau gabungan keduanya, atau masing-masing dari keduanya?” Terjadinya perselisihan di antara mereka berkenaan dengan “subjek yang berbicaya” dan “pembicaraan”.
Ar-Razi menyatakan bahwa bagian yang kedua, yaitu bahwa “manusia” merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut sebuah jisim unik yang ada di dalam raga. Mereka yang berpendapat seperti ini perbeda pendapat mengenai penetapan jisim tersebut sebagai berikut.
Pertama, Jisim unik itu sebenarnya merupakan empat campuran, yang dari keempatnya raga ini lahir.
Kedua, Jisim itu adalah darah.
Ketiga, Jisim itu adalah ruh lembut yang lahir di sebelah kiri jantung (qalb) lalu menyusup melalui pembuluh darah ke seluruh anggota tubuh.
Keempat, Jisim itu adalah ruh yang naik dari jantung ke otak untuk kemudian melakukan proses yang membuat otak mampu menerima daya hafal, daya pikir, dan daya ingat.
Kelima, Jisim itu adalah bagian yang tidak terpisahkan dari jantung.
Keenam, Jisim itu merupakan sebuah jisim yang berbeda bentuknya dengan jisim indrawi. Jisim unik itu merupakan jisim yang bersifat nurani, luhur, ringan, hidup, bergerak, menembus ke substansi semua anggota tubuh, menyusup ke dalam semua anggota tubuh itu seperti merembesnya air di dalam bunga mawar, atau seperti meresapkan minyak dalam buah zaitun, dan menyatunya api dalam bara.
Selama semua anggota tubuh berfungsi baik untuk menerima berbagai efek yang mengalir kepadanya dari jisim lembut itu, maka jisim lembut itu akan terus menyusup ke seluruh anggota tubuh itu untuk kemudian berbagai efek itu akan memberi pengaruh pada indera dan gerak inisiatif (al-harakah al-iradiyyah).
Apabila anggota-anggota tubuh itu rusak disebabkan adanya dominasi unsur berat padanya sehingga membuatnya tidak lagi mampu menerima berbagai efek tadi, ruh pun meninggalkan raga untuk berpindah ke alam ruh.
Berikut merupakan pendapat yang paling benar untuk menjawab pertanyaan dalam bab ini, karena semua jawaban yang lain adalah tidak benar dan semua pendapat yang lain adalah batil. Pendapat ini dilandaskan pada Kitabullah, sunah, ijmak para sahabat, dalil akal, dan fitrah. Kami gabung beberapa dalilnya menjadi satu.
Dalil pertama: Firman Allah swt., “Allah mewafatkan jiwa (orang) ketika matinya dan (amewafatkan) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai wakty yang ditentukan…” (QS. az-Zumar [39]: 42)
Dalam ayat ini terkandung tiga dalil, kabar bahwa Allah mewafat. kan jiwa, menahannya, dan melepaskannya.
Dalil keempat: Firman Allah swt., “… Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): ’Keluarkanlah nyawa kalian’. Di hari ini kalian dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena_ kalian selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kalian selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya. Dan sesungguhnya kalian datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana kalian Kami ciptakan pada mulanya…” (QS. al-An’am [6]: 93-94)
Dalam ayat ini terdapat empat dalil:
Pertama: Pukulan malaikat menggunakan tangan untuk mengeluarkan nyawa.
Kedua : Jiwa dapat dikeluarkan dan dapat keluar.
Ketiga : Kabar tentang siksaan terhadap jiwa pada hari itu.
Keempat: Kabar tentang datangnya jiwa kepada Rabb-nya.
Sampai di sini sudah ada tujuh dalil.
Dalil kedelapan: Firman Allah swt., “Dan Dialah yang menidurkan kalian di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kalian kerjakan pada siang hari, kemudian Dia membangunkan kalian pada siang hari untuk disempurnakan umur (kalian) yang telah ditentukan, kemudian kepada Allah-lah kalian kembali, lalu Dia memberitahukan kepada kalian apa yang dahulu kalian kerjakan. Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepada kalian malaikat-malaikat penjaga, sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kalian, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya.” (QS. al-An’am [6]: 60-61)
Dalam ayat ini terkandung tiga dalil:
Pertama : Kabar tentang wafatnya jiwa di malam hari.
Kedua : Pengembalian jiwa ke dalam jasad di siang hari.
Ketiga : Malaikat mewafatkan jiwa di saat kematian tiba.
Sampai di sini sudah ada sepuluh dalil.
Dalil kesebelas: Firman Allah swt., “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tahanmu dengan hati yang puas lagi diridhai. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. al-Fajr [89]: 27-30)
Dalam ayat-ayat ini terkandung tiga dalil:
Pertama : Jiwa dapat kembali.
Kedua : Jiwa dapat masuk. .
Ketiga : Jiwa dapat merasa ridha.
Kalangan salaf berbeda pendapat apakah kalimat-kalimat dalam ayat di atas disampaikan kepada jiwa manusia di saat kematian terjadi, ataukah ketika manusia dibangkitkan, atau pada kedua kesempatan itu. Pendapat mereka terbagi menjadi tiga.
Telah diriwayatkan dari hadis marfuk bahwa Rasulullah saw. bersabda kepada Abu Bakar Shiddiq, “Sesungguhnya malaikat akan mengatakan semua itu kepadamu di saat kematian terjadi.”
Zaid bin Aslam berkata, “Ruh diberi berita gembira berupa surga di saat kematian, di hari Jumat, dan di saat kebangkitan.”
Abu Shalih berkata, “Kalimat
“Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai.” (QS. al-Fajr [89]: 28), disampaikan di saat kematian terjadi. Kalimat,
“Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. al-Fajr: 29-30), disampaikan pada Hari Kiamat.”
Sampai di sini sudah ada empat belas dalil.?
Dalil kelima belas: Sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya apabila ruh dicabut pandangan akan mengikutinya.
Dalam hadis ini terkandung dua dalil, yaitu ruh dapat dicabut dan pandangan dapat melihat ruh.
Dalil ketujuh belas: Riwayat dari Nasai, Abu Dawud menuturkan kepada kami, dari “Affan, dari Hammad, dari Abu Ja’far, dari ‘Umarah bin Khuzaimah, bahwa ayahnya berkata, “Aku bermimpi melihat seakan-akan aku bersujud di atas dahi Nabi saw.” Dia pun kemudian mengabarkan hal itu kepada Rasulullah saw. Beliau saw. bersabda, “Sesungguhnya ruh pasti bertemu ruh.” Rasulullah saw. mengangkat kepala seperti ini—Affan mengatakan itu sembari mendongakkan kepala ke belakang—kemudian dia meletakkan dahinya di atas dahi Rasulullah saw.
Dalam hadis ini Rasulullah saw. mengabarkan bahwa ruh-ruh dapat saling bertemu dalam tidur (dalam mimpi). Pada bagian terdahulu telah disampaikan pernyataan Ibnu “Abbas ra., “Ruh-ruh orang-orang yang masih hidup dapat bertemu dengan orang-orang yang sudah mati dalam tidur (mimpi), lalu mereka dapat saling bertanya. Allah menahan ruh-ruh orang yang sudah meninggal dunia.”
Dalil kedelapan belas: Sabda Rasulullah saw. dalam hadis Bilal, “Sesungguhnya Allah menggenggam ruh-ruh kalian lalu Dia mengembalikan ruh-ruh itu kepada kalian ketika Dia menghendakinya.”
Dalam hadis ini terkandung dua dalil, yaitu ruh dapat digenggam oleh Allah dan ruh dikembalikan oleh Allah ke jasad.
Dalil kedua puluh: Sabda Rasulullah saw., “Nyawa orang mukmin adalah burung yang bergelantung (atau makan) di pepohonan surga.”
Dalam hadis ini terkandung dua dalil:
Pertama : Ruh dalam bentuk burung di surga.
Kedua : Ruh bergelantung dan makan di pepohonan surga, sesuai dengan adanya dua penafsiran.?
Dalil kedua puluh dua: Sabda Rasulullah saw., “Ruh-ruh para syuhada berada dalam tembolok burung hijau yang hilir-mudik di surga ke manapun sekehendak mereka, lalu hinggap di lentera-lentera yang bergantung di Arsy. Rabb-mu melihat mereka seraya bertanya, ‘Apakah yang kalian inginkan?’…” Hadis ini sudah disampaikan di bagian awal.
Dalam hadis ini terkandung enam dalil:
Pertama : Ruh ditempatkan di rongga tubuh burung.
Kedua : Ruh dapat berhilir-mudik di dalam surga.
Ketiga : Ruhomakan dari buah-buahan surga dan minum dari sungai-sungainya.
Keempat : Ruh hinggap di lentera-lentera surga. Maksudnya, menetap di situ.
Kelima : Allah swt. berbicara kepada ruh-ruh itu dan membuat mereka bicara, sehingga mereka lalu menjawab dan berbicara dengan Allah swt.
Keenam : Ruh memohon kembali ke dunia, sehingga dari situ diketahui bahwa ruh dapat kembali ke dunia.
Apabila ada yang menyatakan bahwa hal-hal tersebut di atas sebenarnya merupakan sifat burung dan bukan sifat ruh, tanggapan atas penyataan itu adalah bahwa ruh-ruh itu memang ditempatkan di dalam rongga tubuh burung secara sengaja. Berdasarkan riwayat yang dianggap kuat oleh Abu “Umar dikatakan, “Ruh-ruh pada syuhada seperti burung.” Dengan riwayat inilah pertanyaan tersebut dijawab.
Dalil kedua puluh sembilan: Sabda Rasulullah saw. dalam hadis dari Thalhah bin ‘Ubaidullah, “Suatu ketika aku hendak mendatangi hartaku di Ghabah, tetapi aku kemalaman sehingga aku pun singgah di kuburan ‘Abdullah bin ‘Amr bin Haram. Di situ aku mendengar suara bacaan dari dalam kubur yang tidak pernah kudengar bacaan seindah itu. Aku lalu mendatangi Rasulullah saw. dan kusampaikan kejadian itu kepada beliau saw. Rasulullah saw. kemudian bersabda, “Itu adalah Abdullah. Tidakkah engkau tahu bahwa Allah swt. menggenggam ruh-ruh mereka lalu menempatkan mereka pada Jentera-lentera yang terbuat dari zabarjad dan yaqut, lalu Dia menggantungnya di tengah surga. Apabila malam tiba, ruh-ruh mereka dikembalikan kepada mereka, dan tetap seperti itu sampai fajar terbit, ruh-ruh mereka dikembalikan ke tempat mereka yang sebelumnya mereka ada di sana.”
Dalam hadis ini terkandung empat dalil selain yang sudah disebutkan sebelumnya:
Pertama : ruh ditempatkan dalam lentera-lentera.
Kedua : Ruh berpindah dari satu tempat ke tempat lain.
Ketiga : Ruh dapat berbicara dan dapat membaca al-Quran di dalam kubur.
Keempat : Ruh berada di suatu tempat.
Dalil ketiga puluh tiga: Hadis Barra’ bin ‘Azib yang sudah disampaikan pada bagian lalu. Di dalamnya terkandung dua puluh dalil berikut ini.
Pertama: Ucapan Malaikat Maut kepada jiwa, “Hai jiwa yang tenang.” (QS. al-Fajr [89]: 27). Ucapan seperti ini ditujukan kepada makhluk yang berakal dan dapat memahami.
Kedua: Ucapan Malaikat Maut kepada jiwa, “Keluarlah engkau menuju ampunan dari Allah dan keridhaan.”
Ketiga: Sabda Rasulullah saw., “Ruh itu keluar mengalir seperti mengalirnya tetes air dari mulut wadah air.”
Keempat: Sabda Rasulullah saw., “Para malaikat itu tidak membiarkan ruh itu di tangannya sekejap mata pun, sampai mereka mengambil ruh itu darinya.”
Kelima: Sabda Rasulullah saw., “Sampai mereka mengafaninya di kafan itu Jalu mewangikannya dengan hanith itu.”
Keenam: Sabda Rasulullah saw., “Kemudian dibawa naik ruhnya ke langit.”
Ketujuh: Sabda Rasulullah saw., “Dan didapati darinya aroma semerbak kesturi.”
Kedelapan: Sabda Rasulullah saw., “Maka dibukakanlah baginya gerbang-gerbang langit.”
Kesembilan: Sabda Rasulullah saw., “Lalu dia didatangi oleh para malaikat yang mendekatinya dari setiap langit sampai berakhir ke Rabb ta’ala.”
Kesepuluh: Sabda Rasulullah saw., “Allah swt. berfirman, ‘Kembalikanlah hamba-Ku ke bumi!’”
Kesebelas: Sabda Rasulullah saw., “Maka ruhnya dikembalikan ke jasadnya.”
Kedua belas: Sabda Rasulullah saw. mengenai ruh orang kafir, “Maka bercerai-berailah di jasadnya, dan ia menariknya, sehingga darinya putus semua otot dan jari-jemari.”
Ketiga belas: Sabda Rasulullah saw., “Lalu didapati pada ruhnya bau paling busuk yang ada di permukaan bumi.”
Keempat belas: Sabda Rasulullah saw., “Lalu ia dicampakkan dengan ruhnya dari langit, lalu dilemparkan sehingga jatuh ke bumi.”
Kelima belas: Sabda Rasulullah saw., “Nan tidaklah para malaikat itu lewat dengan membawa ruh ita di dekat kumpulan malaikat, kecuali mereka berkata, ‘Apakah ruh yang baik ini’ atau ‘Apakah ruh yang buruk ini?’”
Keenam belas: Sabda Rasulullah saw., “Kedua malaikat itu mendudukannya lalu mereka berdua berkata kepadanya, ‘Apakah yang engkau katakan tentang lelaki ini?’ Apabila ucapan itu ditujukan kepada ruh, itu sudah jelas. Apabila itu ditujukan kepada raga, berarti itu diucapkan setelah dikembalikannya ruh ke raga dari langit.
Ketujuh belas: Sabda Rasulullah saw., “Apabila ruhnya dibawa naik, dikatakanlah, ‘Wahai Rabb, ini hamba-Mu si Fulan.’”
Kedelapan belas: Sabda Rasulullah saw., “‘Kembalikanlah ‘dia dan perlihatakan kepadanya apa yang telah Kusiapkan untuknya berupa karamah!’ Maka ruh itu pun melihat tempat duduknya di surga atau di neraka.”
Kesembilan belas: Sabda Rasulullah saw. dalam hadis, “Apabila ruh mukmin keluar, setiap malaikat milik Allah yang ada di langit dan bumi berdoa untuknya.” Jadi, para malaikat berdoa untuk ruhnya, sementara manusia yang masih hidup berdoa untuk jasadnya.
Kedua puluh: Sabda Rasulullah saw., “Lalu dia melihat tempat duduknya dari api neraka sampai kiamat terjadi.” Raga sudah hancur membusuk, sementara yang melihat tempat duduk itu adalah ruh.
PASAL
Dalil kelima puluh empat: Hadis Abu Musa, “Ruh orang mukmin keluar dengan harum melebihi aroma kesturi. Para malaikat yang mewafatkannya lalu membawanya pergi, kemudian para malaikat di bawah langit bertemu dengannya. Mereka berkata, ‘Ini adalah fulan anak fulan. Dia melakukan anu dan anu…’ Lalu disebutkan kebaikan-kebaikan amal perbuatan ruh tersebut. Mereka (para malaikat) berkata, ‘Selamat datang kalian dan dia!’ Lalu mereka (para malaikat langit) itu menerima ruh tersebut dari mereka (para malaikat pembawa ruh) dan membawanya naik dari sebuah gerbang yang dari gerbang itu amal perbuatan ruh tersebut naik. Lalu ia bercahaya di langit dan ia memiliki terang seperti terang matahari sampai ia berakhir di arsy. Sedangkan orang kafir, apabila nyawanya dicabut, maka kemudian ruhnya dibawa pergi. Mereka (para malaikat langit) bertanya, ‘Apakah ini?’ Mereka (para malaikat pembawa ruh) menjawab, ‘Ini adalah fulan anak fulan.
Dia melakukan anu dan anu…’ Lalu disebutkan keburukan-keburukan amal perbuatan ruh tersebut. Mereka (para malaikat) berkata, ‘Tidak ada selamat datang! Tidak ada selamat datang! Kembalikanlah dia oleh kalian ke bumi terbawah ke tanah!’”
Dalam hadis ini terkandung sepuluh dalil:
Pertama : Keluarnya ruh orang mati.
Kedua : Aroma ruh yang harum.
Ketiga : Malaikat membawa ruh pergi.
Keempat : Ucapan selamat malaikat kepada ruh.
Kelima : Malaikat mencabut ruh.
Keenam : Malaikat membawa ruh naik.
Ketujuh : Langit menjadi terang karena cahaya ruh.
Kedelapan : Perjalanan ruh berakhir di arsy.
Kesembilan: Ucapan para malaikat, “Siapakah ini?” Pertanyaan ini ditujukan pada sesuatu entitas yang ada.
Kesepuluh : Firman Allah, “Kembalikanlah dia!” Maka dikembalikanlah ruh itu ke bumi paling bawah.
PASAL
Dalil keenam puluh empat: Hadis Abu Hurairah ra., “Apabila ruh orang mukmin keluar, ia ditemui oleh dua malaikat kemudian mereka berdua membawanya naik ke langit. Para penghuni langit lalu berkata, ‘Ruh baik datang dari arah bumi. Allah mendoakanmu dan jasad yang dulu engkau ada di situ’ (disebutkan pula tentang kesturi). Kemudian ruh itu dibawa naik menuju Rabb-nya, kemudian Allah berfirman, “Kembalikanlah ia ke akhir dua ajal.”
Dalam hadis ini terkandung enam dalil:
Pertama : Sabda Rasulullah saw., “Dua malaikat menemuinya.”
Kedua : Sabda Rasulullah saw., “Lalu mereka berdua membawanya naik ke langit.”
Ketiga : Ucapan para malaikat, “Ruh baik datang dari arah bumi.”
Keempat : Doa para malaikat untuk ruh.
Kelima : Aroma harum ruh.
Keenam : Ruh dibawa naik menuju Allah swt.
PASAL
Dalil ketujuh puluh satu: Hadis Abu Hurairah ra., “Sesungguhnya orang mukmin didatangi oleh para malaikat. Apabila mayit itu orang saleh, para malaikat itu berkata, ‘Keluarlah engkau wahai jiwa yang baik yang dulu berada dalam jasad yang baik. Keluarlah engkau dengan terpuji. Bergembiralah dengan kenyamanan, wewangian, dan Tuhan yang tidak murka.’ Para malaikat terus mengucapkan itu kepada ruh jtu sampai ruh tersebut keluar. Kemudian ia dibawa naik sampai berakhir di langit, lalu diminta dibukakan Jangit itu untuknya. Kemudian ditanyakan, ‘Siapakah itu?’ Mereka menjawab, ‘Fulan anak Fulan!’ Mereka berkata, ‘Selamat datang jiwa baik yang dulu berada di dalam jasad yang baik. Masuklah dengan terpuji. Bergembiralah dengan kenyamanan, wewangian, dan Tuhan yang tidak murka.’ Demikian kalimat itu terus dikatakan kepada ruh itu sampai akhirnya ia tiba di langit yang di situ ada Allah‘azza wa jalla.
Apabila yang mati itu seorang lelaki jahat, para malaikat berkata, ‘Keluarlah engkau wahai jiwa buruk yang berada di jasad yang buruk. Keluarlah dengan tercela. Dengarlah berita berupa hamim (air yang sangat panas) dan ghassaq (nanah) serta yang lain seperti itu sebagai pasangan!’ Kalimat itu terus diucapkan kepada ruh tersebut sampai ruh itu keluar. Kemudian ruh itu dibawa naik ke langit. Lalu ditanyakan, ‘Siapakah itu?’ Mereka menjawab, ‘Fulan anak Fulan!’ Maka dikatakan kepadanya, ‘Tidak ada selamat datang bagi jiwa buruk yang dulu berada dalam jasad yang buruk. Kembalilah engkau dengan tercela. Karena sesungguhnya pintu-pintu langit tidak terbuka untukmu!’ Lalu ruh itu pun dikirimkan ke bumi dan kemudian ke kuburnya.”
Hadis ini sahih. Di dalamnya terkandung sepuluh dalil:
Pertama : Sabda Rasulullah saw., “Dulu ia di dalam jasad yang baik” dan “Dulu ia di dalam jasad yang buruk”, keduanya menunjukkan adanya perpidahan dan tempat.
Kedua : Sabda Rasulullah saw., “Keluarlah engkau dengan terpuji.”
Ketiga : Sabda Rasulullah saw., “Bergembiralah dengan kenyamanan, wewangian”; kabar gembira ini menunjukkan tempat yang akan menjadi tempat bagi ruh setelah ia keluar (dari jasad).
Keempat : Sabda Rasulullah saw., “itu terus dikatakan bagi ruh tersebut sampat ita berakhir di langit.”
Kelima : Sabda Rasulullah saw., “Maka diminta dibukankan untuknya.”
Keenam : Sabda Rasulullah saw., “Masuklah dengan terpuji.”
Ketujuh : Sabda Rasulullah saw., “Sampai ia berakhir di langit yang di situ ada Allah.”
Kedelapan : Sabda Rasulullah saw. tentang jiwa durjana, “Kembalilah engkau dengan tercela!”’
Kesembilan: Sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya tidak dibukakan bagimu gerbang-gerbang langit.”
Kesepuluh : Sabda Rasulullah saw., “Lalu ruh itu dikirimkan ke bumi lalu ia masuk ke dalam kubur.”
PASAL
Dalil ke delapan puluh satu: Sabda Rasulullah saw., “Ruh-ruh itu seperti pasukan yang dikerahkan. Lalu siapa pun yang saling mengenal di antara mereka, mereka akan bersatu; dan siapa pun yang saling mengingkari di antara mereka, mereka akan berselisih.”
Dalam hadis ini Rasulullah saw. menjelaskan bahwa ruh seperti pasukan yang dikerahkan, padahal diketahui bahwa seluruh anggota pasukan bersifat mandiri. Rasulullah juga menuturkan bahwa ruh dapat saling mengenal dan saling mengingkari. Tentu saja mustahil jika pasukan itu hanya berupa tampilan, atau apabila mereka tidak berada di dalam alam semesta dan juga tidak berada di luarnya; sebagaimana dikatakan pula bahwa ruh tidak memiliki “sebagian” dan tidak memiliki “keseluruhan”’.
Dalil kedelapan puluh dua: Sabda Rasulullah saw. dalam hadis dari Ibnu Masud ra. dan ‘Ali ra., “Ruh-ruh dapat saling berjumpa dan mengenali tanda seperti ditandainya kuda.” Hadis sudah disampaikan di bagian terdahulu.
Dalil kedelapan puluh tiga: Sabda Rasulullah saw. dalam hadis dari ‘Abdullah bin ‘Amr, “Sesungguhnya ruh-ruh dua orang mukmin benar-benar dapat saling bertemu pada jarak perjalanan dua hari,
padahal salah satu dari keduanya tidak pernah melihat sahabatnya.”
Dalil kedelapan puluh empat: Beberapa atsar yang sudah kami sebutkan mengenai penciptaan Adam as. dan mengenai ruh ketika memasuki kepala Adam as. Lalu Adam pun bersin seraya berucap, “Alhamdulillah!” Ketika ruh sampai ke kedua matanya, dia pun melihat buah-buahan surga. Ketika ruh itu sampai ke rongga tubuhnya, Adam pun menginginkan makanan. Dia melompat sebelum ruh mencapai kedua kakinya. ruh masuk secara terpaksa dan keluar juga secara terpaksa.
Dalil kedelapan puluh lima: Beberapa atsar yang di dalamnya disebutkan tentang tindakan Allah mengeluarkan nyawa manusia, serta pemisahan mereka antara golongan sengsara dengan golongan bahagia. Pada saat itu ruh-ruh tersebut sudah berbeda menyangkut terang dan gelapnya. ruh-ruh para nabi di antara semua ruh itu tampak seperti Jentera. Hadis tentang ini telah disebutkan pada bagian terdahulu.
Dalil kedelapan puluh enam: Hadis Tamim ad-Dari yang menyatakan bahwa apabila ruh orang mukmin dinaikkan kepada Allah ta’ala, dia akan langsung bersujud di hadapan Allah. Para malaikat dapat menyampaikan kegembiraan bagi ruh. Allah swt. berfirman kepada Malaikat Maut, “Pergilah engkau membawa ruh hamba-Ku, lalu letakkanlah ia di tempat anu dan anu!” Hadis tentang ini telah disebutkan pada bagian terdahulu.
Dalil kedelapan puluh tujuh: Beberapa atsar yang sudah kami sampaikan mengenai tempat bagi ruh setelah kematian dan berbagai ikhtilaf orang-orang tentang masalah ini. Di dalam perbedaan pendapat itu terdapat ijmak kaum salaf atas pendapat bahwa ruh tetap setelah meninggal, walaupun ada ikhtilaf mengenai penentuannya.
Dalil kedelapan puluh delapan: Telah diketahui dengan pasti bahwa Rasulullah saw. mendatangkan dan mengabarkan umat bahwa jasad-jasad mereka akan ditanam dalam kubur. Apabila sangkakala ditiup, semua ruh akan kembali ke jasad mereka masing-masing, lalu ruh itu masuk ke dalamnya, sehingga karena itu bumipun terbelah lalu jasad bangkit dari kuburnya.
Dalam hadis sangkakala (shar) dinyatakan bahwa Israfil menyeru semua ruh, maka mereka pun mendatanginya—ruh-ruh kaum mukminin berupa cahaya, ruh-ruh kaum kafir berupa kegelapan—lalu dia menghimpun mereka semua dan mengaitkannya di sangkakala dan diembuskanlah kepadanya. Allah swt. berfirman, “Demi kemuliaan-Ku, setiap ruh pasti benar-benar kembali ke jasadnya.” Maka keluarlah ruh-ruh itu dari sangkakala seperti kawanan lebah yang kemudian memenuhi langit dan bumi. Setiap ruh mendatangi jasadnya lalu masuk. Allah swt. lalu memerintahkan bumi dan bumi pun terbelah karena mereka. Mereka lalu keluar dengan cepat menuju Rabb mereka dengan penuh ketundukan mendatangi sang penyeru. Mereka mendengar penyeru dari tempat yang dekat, dan pada saat itu mereka semua berdiri dan melihat.
Telah diketahui secara pasti bahwa Rasulullah saw. mengabarkan tentang masalah ini dan bahwa Allah swt. tidak mungkin menciptakan ruh-ruh baru bagi mereka selain ruh-ruh yang dulu telah ada di dunia, Alih-alih menciptakan ruh-ruh baru, semua ruh itu merupakan ruh-ruh yang dulu mereka dengan ruh-ruh tersebut melakukan kebaikan dan kejahatan. Sementara itu, Allah swt. menciptakan raga bagi ruh itu dengan penciptaan yang lain untuk kemudian Allah swt. mengembalikan ruh-ruh itu ke raga-raga tersebut.
Dalil kedelapan puluh sembilan: Ruh dan jasad kelak akan berseteru di hadapan Allah swt. pada Hari Kiamat. ‘Ali bin ‘Abdul ‘Aziz menyatakan, Ahmad bin Yunus menuturkan kepada kami, Abu Bakar bin ‘Ayyasy menuturkan kepada kami, dari Abu Sa‘d al-Baqqal, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas ra., dia berkata, “Perseteruan terjadi antarmanusia pada Hari Kiamat sampai-sampai ruh berseteru dengan jasad. ruh berkata, ‘Wahai Rabb, sesungguhnya aku adalah ruh dari-Mu. Engkau tempatkan aku di jasad ini, jadi tidak ada dosa bagiku.’ Namun jasad lalu menyahut, ‘Wahai Rabb, aku dulu adalah jasad yang Engkau ciptakan. Lalu masuklah ruh ini kepadaku seperti api. Dengan dia, aku berdiri. Dengan dia, aku duduk. Dengan dia, aku pergi. Dengan dia, aku hidup. Tidak ada dosa bagiku.’”
Maka dikatakanlah, “Aku memutuskan bagi kalian berdua. Beri tahu aku tentang orang buta dan orang lumpuh memasuki sebuah kebun.” Lalu si lumpuh berkata kepada si buta, “Sungguh aku melihat buah! Kalau saja aku memiliki dua kaki, aku pasti ambil buah itu.” Si buta menyahut, “Aku akan menggendongmu di atas bahuku!” Si buta itu pun lalu menggendong si lumpuh sehingga si lumpuh dapat mengambil buah itu lalu mereka menyantapnya bersama-sama. “Kalau begitu, siapakah yang harus menanggung dosa?” Jasad dan ruh menjawab, “Mereka berdua!” Allah swt. pun berfirman, “Aku telah tetapkan putusan atas kalian berdua!”
Dalil kesembilan puluh: Berbagai hadis dan atsar yang menunjukkan adanya siksa dan nikmat kubur yang berlangsung sampai Hari Kiamat. Telah diketahui bahwa jasad akan hancur luluh, sementara siksa dan nikmat terus berlangsung sampai Hari Kiamat terhadap ruh.
Dalil kesembilan puluh satu: Kabar yang disampaikan oleh Rasulullah saw. ash-Shadiq al-Mashduq dalam hadis sahih tentang para syuhada bahwa ketika mereka ditanya, “Apakah yang kalian inginkan?” Mereka menjawab, “Kami ingin ruh-ruh kami dikembalikan ke jasadjasad kami agar kami dapat terbunuh lagi di jalan-Mu!”
Pertanyaan dan jawaban ini muncul dari zat yang hidup, berpengetahuan, dan dapat menalar yang dapat dikembalikan ke dunia dan dapat masuk ke dalam jasad yang sebelumnya ia telah keluar darinya. Ini adalah ruh-ruh yang ditanyai ketika ia berhilir-mudik di dalam surga, sementara pada saat itu jasad-jasad mereka sudah hancur dalam tanah.
Dalil kesembilan puluh dua: Riwayat tsabit (sahih) dari Salman al-Farisi dan sahabat lainnya bahwa ruh orang-orang mukmin di Barzkah dapat bepergian sekehendak mereka, sedangkan ruh orang-orang kafir berada dalam Sijjin, seperti yang telah dijelaskan pada bagian lalu.
Dalil kesembilan puluh tiga: Nabi Muhammad saw. yang melihat ruh-ruh umat manusia di sebelah kanan dan sebelah kiri Nabi Adam as. pada malam Isra’. Beliau melihat ruh-ruh itu berada di tempat tertentu.
Dalil kesembilan puluh empat: Nabi Muhammad saw. yang melihat ruh-ruh para nabi di langit, ucapan salam dan sambutan mereka kepada beliau saw. sebagaimana yang beliau kabarkan. Padahal raga para nabi itu terkubur di bumi.
Dalil kesembilan puluh lima: Nabi Muhammad saw. yang melihat ruh-ruh anak-anak kecil di sekeliling Ibrahim al-Khalil as. .
Dalil kesembilan puluh enam: Nabi Muhammad saw. yang melihat ruh orang-orang yang disiksa di Barzakh dengan berbagai macam siksaan sebagaimana yang disampaikan dalam hadis Samrah yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam ash-Sahih. Padahal pada saat itu jasad-jasad mereka sudah hancur lebur. Yang dilihat Rasulullah saw. adalah ruh-ruh dan nyawa mereka yang sedang mengalami semua itu.
Dalil kesembilan puluh tujuh: Kabar yang disampaikan oleh Allah swt. tentang orang-orang yang gugur di jalan-Nya bahwa mereka semua hidup di sisi-Nya dengan menerima anugerah rezeki. Bahkan mereka bergembira bersama saudara-saudara mereka. Tentu saja semua itu pasti hanya dialami oleh ruh-ruh mereka, karena raga-raga mereka berada di dalam tanah menanti kembalinya ruh-ruh mereka pada Hari Kebangkitan.
Dalil kesembilan puluh delapan: Hadis dari Ibnu ‘Abbas ra. terdahulu. Kami sampaikan hadis itu untuk menjelaskan berapa banyak dalil yang menunjukkan batilnya pendapat orang-orang kafir dan para pembuat bidah tentang ruh. Kami telah menyampaikan hadis itu berikut sanadnya pada bagian terdahulu.
Dia berkata, “Ketika pada suatu hari Rasulullah saw. sedang duduk, beliau merapalkan ayat ini,
“..Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu, orang-orang yang zalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata), ‘Keluarkanlah nyawamu’. Di hari init kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya.” (QS. al-An’am [6]: 93)
Kemudian Rasulullah saw. bersabda. “Demi Dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya. Tidak ada satu jiwa pun yang berpisah dari dunia sampai dia melihat tempat duduknya di surga atau di neraka.”
Lalu beliau bersabda, “Apabila itu terjadi padanya, berbarislah baginya dua rombongan malaikat yang berbaris di sepanjang antara timur dan barat, seakan-akan wajah mereka adalah matahari. Kemudian mayat itu melihat mereka seperti yang dilihat oleh yang selain mereka. Apabila kalian dapat melihat bahwa mereka melihat kepada kalian. Masing-masing malaikat itu memegang kafan dan hanuth.
Apabila dia orang mukmin, para malaikat itu menyampaikan kabar gembira kepadanya dengan surga, lalu mereka berkata, ‘Keluarlah engkau wahai jiwa yang baik kepada keridhaan dan surga Allah! Sungguh Allah telah menyiapkan untukmu sebagian dari kemuliaan yang itu lebih baik bagimu daripada dunia dengan segala isinya.’
Para malaikat itu terus memberi kabar gembira kepadanya dan meringankannya. Mereka memiliki kelembutan yang jauh lebih lembut dGaripada kelembutan seorang ibu kepada anaknya. Lalu mereka melepaskan ruh orang itu dari bawah setiap kuku dan persendian, sehingga matilah lebih dulu yang lebih dulu, dan binasalah setiap anggota tubuh lebih dulu yang lebih dulu. Mereka meringankan itu, walaupun kalian melihatnya berat baginya; sampai nyawa itu mencapai lehernya. Sungguh ruh itu jauh lebih tidak suka untuk keluar dari jasad, dibandingkan tidak sukanya anak untuk keluar dari rahim. Pada saat jtu para malaikat bergegas menyambutnya, semua malaikat itu, siapa kiranya dari mereka yang dapat memegang ruh itu. Sementara Malaikat Maut melakukan pencabutannya.”’
Kemudian Rasulullah saw. merapalkan ayat,
“Katakanlah, ‘Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa) mu akan mematikan kamu; kemudian hanya kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan.’” (QS. as-Sajdah [32]: 11)
Para malaikat membungkusnya dengan beberapa helai kafan berwarna putih, kemudian menggendongnya. Sungguh dia jauh lebih berhati-hati dengan ruh itu daripada seorang ibu kepada anaknya.
Kemudian berembuslah darinya angin yang lebih harum daripada kesturi. Para malaikat itu menghirup aroma ruh itu dan mereka senang kepadanya. Mereka berkata, “Selamat datang aroma yang baik dan ruh yang baik! Wahai Tuhanku, limpahkan selawat kepada ruh ini dan limpahkan selawat kepada jasad yang ruh ini keluar darinya!”’
Kemudian Rasulullah saw. bersabda, “Para malaikat kemudian naik membawa ruh itu. Allah swt. memiliki makhluk di angkasa yang jumlahnya tidak diketahui, kecuali hanya oleh-Nya. Lalu berembuslah kepada mereka angin yang lebih harum dibandingkan kesturi. Mereka semua lalu berselawat kepada (mendoakan) ruh tersebut dan mereka senang kepadanya. Mereka lalu membuka gerbang-gerbang langit, dan semua malaikat berselawat (mendoakan) ruh itu pada setiap langit yang mereka lewati sampai akhirnya dia tiba di hadapan Allah yang Maha Menguasai lagi Maha Menundukkan. Allah swt. lalu berkata, “Selamat datang jiwa baik dan jasad yang jiwa itu keluar darinya!” Apabila Allah ‘azza wa jalla telah mengucapkan “Selamat datang” kepada sesuatu, maka pastilah sesuatu itu akan disambut oleh segala sesuatu dan akan disingkirkanlah darinya segala bentuk kesempitan.
Lalu Allah berkata untuk jiwa baik itu, “Masuklah dia oleh kalian ke dalam surga. Perlihatkanlah kepadanya tempat duduknya di dalam surga. Tunjukkanlah kepadanya semua yang telah Aku siapkan untuknya berupa kemuliaan dan kenikmatan. Lalu bawalah ia ke bumi, karena sesungguhnya Aku telah menetapkan bahwa dari bumi itu Aku ciptakan mereka, di situ Aku kembalikan mereka, dan dari situ Aku keluarkan mereka sekali lagi.” Demi Dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya. Sungguh ruh itu lebih tidak suka untuk keluar daripada ketika dia keluar dari jasad. Ruh itu berkata, “Hendak ke manakah engkau membawaku? Apakah ke jasad yang sebelumnya aku berada di dalamnya itu?” Para malaikat menjawab, “Sesungguhnya kami diperintahkan untuk melakukan itu, maka engkau harus menjalaninya.” Para malaikat kemudian turun membawa ruh itu dalam waktu seperti selesainya mereka memandikan dan mengafaninya. Kemudian mereka memasukkan ruh itu ke tubuhnya dan kafannya.
Silakan Anda pikirkan sendiri betapa banyak dalil dalam hadis ini yang menunjukkan kebatilan pendapat orang-orang batil mengenai ruh!
Dalil kesembilan puluh sembilan: Riwayat yang dituturkan oleh ‘Abdurrazzaq, dari Ma’mar, dari Zaid bin Aslam, dari ‘Abdurrahman bin Bailamani, dari ‘Abdullah bin ‘Amr, dia berkata, “Apabila orang mukmin meninggal dunia, diutuslah kepadanya dua malaikat dengan wewangian dari surga dan potongan kain yang ruhnya digenggam di situ. Ruhnya lalu keluar bagaikan aroma paling semerbak yang pernah didapatkan oleh seseorang dengan hidungnya; sampai kemudian ruh itu dibawa kepada ar-Rahman jalla jalaluh. Para malaikat lalu bersujud di hadapan-Nya, lalu ruh itu bersujud setelah mereka. Kemudian dipanggillah Mikail, lalu dikatakan, “Pergilah dengan jiwa ini! Jadikanlah ia bersama jiwa-jiwa orang mukmin sampai Aku bertanya kepada mereka pada Hari Kiamat.”
Selain itu, ada banyak atsar dari sahabat yang menyatakan bahwa ruh orang mukmin bersujud di depan arsy di saat ia wafat dalam tidur (wafat an-naum) dan di saat ia wafat ketika mati (wafat al-maut). Adapun ketika ia datang menghadap Allah, ucapan terbaiknya adalah “Wahai Allah Engkaulah as-salam, dari-Mu as-salam. Mahasuci Engkau wahai Pemilik keagungan dan kemuliaan.’’
Qadhi Nuruddin bin Sha’igh menuturkan kepada saya, dia berkata, “Aku memiliki seorang bibi yang termasuk kalangan perempuan-perempuan salihah ahli ibadah. Suatu ketika aku menjenguknya di saat dia sakit menjelang kematiannya. Bibiku itu berkata kepadaku, ‘Apabila yuh dihadapkan kepada Allah dan diberdirikan di hadapan-Nya, apakah ucapan selamat darinya dan kata-katanya bagi-Nya?’ Sungguh berat bagiku pertanyaan bibiku itu. Aku memikirkannya lalu kukatakan, ‘Ucapkanlah, Wahai Allah Engkaulah as-Saladm, dari-Mu as-salam. Mahasuci Engkau wahai Pemilik keagungan dan kemuliaan.’ Setelah bibiku itu meninggal dunia, aku bermimpi melihatnya berkata kepadaku, ‘Jazakallahu khairan! Sungguh aku terkejut sehingga aku tidak tahu apa yang kukatakan. Setelah itu aku teringat kalimat yang engkau katakan kepadaku, maka aku pun mengucapkannya.’
PASAL
Dalil keseratus: Kesepakatan semua orang di dunia atas terjadinya pertemuan orang-orang hidup dengan ruh orang-orang yang sudah mati, pertanyaan orang hidup kepada orang mati, pengabaran hal-hal tersembunyi oleh orang-orang mati kepada orang-orang hidup, karena mereka telah melihatnya secara langsung. Semua ini terlalu banyak sehingga menjadi sulit untuk disampaikan semuanya.
Namun, yang lebih menakjubkan yaitu:
Dalil keseratus sebelas: Ruh orang yang sedang tidur yang bermimpi bertemmu orang mati terkadang meninggalkan bekas tertentu, sehingga ketika orang itu bangun di pagi hari dia dapat melihat bekas itu di raganya. Itu merupakan bekas yang muncul akibat perbuatan ruh (orang mati) terhadap ruh (orang hidup yang tidur). Seperti riwayat yang disampaikan oleh al-Qairuwani dalam kitab al-Bustdn dari kalangan salaf. Dia menyatakan, “Aku memiliki tetangga yang sering memaki Abu Bakar ra. dan ‘Umar ra. Pada suatu hari, dia memaki mereka parah sekali sehingga aku pun melawannya dan dia melawanku. Aku lalu kembali ke rumahku dengan hati sedih. Aku tidur tanpa sempat makan malam. Dalam tidurku itu aku bermimpi bertemu Rasulullah saw. Aku pun berkata, ‘Wahai Rasulullah, si Fulan sering memaki sahabat-sahabatmu.’ Rasulullah menyahut, ‘Siapakah sahabat-sahabatku itu?’ Aku menjawab, ‘Abu Bakar dan Umar!’ Rasulullah lalu berujar, ‘Ambillah pisau ini lalu penggallah dia menggunakan pisau ini!’ Aku pun mengambil pisau itu, lalu kubaringkan tetanggaku itu dan kupenggal kepalanya. Kulihat seakan-akan tanganku terkena darahnya, sehingga kucampakkan pisau itu lalu kuturunkan tanganku ke tanah untuk mengusapkannya. Pada saat itu aku terbangun dan kudengar jeritan dari arah rumah tetanggaku itu. Aku pun berseru, ‘Apakah jeritan itu?’ Orang-orang menyahut, ‘Si Fulan mati mendadak!’ Keesokan paginya aku datang dan kulihat mayatnya. Ternyata ada guratan bekas pemenggalan di lehernya!”
Dalam kitab al-Manamat karya Ibnu Abud Dunya disebutkan tentang seorang tua dari kalangan Quraisy yang berkata, “Aku melihat seorang lelaki di Syam telah menghitam setengah wajahnya dan dia menutupinya. Aku pun bertanya kepadanya tentang itu. Dia menjawab, ‘Aku telah berjanji kepada Allah bahwa tidak akan ada seorang pun yang bertanya kepadaku tentang hal ini, kecuali aku harus memberitahunya. Dulu aku sangat membenci ‘Ali bin Abi Thalib ra. Sampai suatu malam aku bermimpi didatangi seseorang dalam mimpi. Orang itu lalu bertanya, “Apakah engkau yang sangat membenciku?” Dia pun langsung memukul sebelah wajahku. Keesokan paginya aku terbangun dengan setengah wajahku menghitam seperti engkau lihat ini.’”
Mas’adah menuturkan, dari Hisyam bin Hassan, dari Washil maula Abu ‘Uyainan, dari Musa bin ‘Ubaidah, dari Safiyyah binti Syaibah, dia berkata, “Ketika aku sedang bersama Aisyah ra. dia didatangi seorang perempuan yang membungkus tangannya. Para perempuan pun mengerumuni perempuan itu. Dia lalu berkata, ‘Aku tidak mendatangimu, kecuali demi tanganku ini. Sungguh ayahku adalah sosok lelaki pemurah. Lalu aku bermimpi melihat sebuah telaga dengan orang-orang memegang wadah air untuk memberi air kepada siapa pun yang mendatangi mereka. Kemudian kulihat ayahnya dan aku pun berkata, “Di manakah ibuku?” Ayahku menjawab, “Lihatlah!” Lalu aku melihat dan ternyata ibuku tidak membawa apa-apa selain hanya sepotong kain. Ayahku berkata, “Sungguh ibumu tidak pernah menyedekahkan apa-apa, kecuali hanya potongan kain itu dan segumpal lemak dari sapi yang disembelih.” Lemak itu dilelehkan lalu dipukulkan kepadanya. Dia lalu berkata, “Duhai hausnya!” Maka kuambil sebuah wadah air di antara wadah-wadah itu kemudian kuberi minum ibuku. Namun, tiba-tiba datang sesosok makhluk seraya berkata kepadaku, “Siapa yang memberi minum perempuan ini Adalah pasti kakukan tangannya!”’ Seketika iu juga tanpanku jadi seperti yang kalian lihat ini.”
Harits bin Asad al-Muhasibi, Asbagh, Khalaf bin Qasim, dan heberapa orang lainnya menuturkan, dari Said bin Maslamah, dia berkata, “Suatu ketika seorang perempuan bersama Aisyah ra. Dia berkata, ‘Aku berbaiat kepada Rasulullah saw. untuk tidak menyekutukan Allah dengan apa pun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anakku, tidak melakukan kebohongan dengan tangan kakiku, dan tidak bermaksiat dalam kebaikan. Aku pun menepati janjiku untuk Rabb-ku, sebagaimana Rabb-ku juga menepati janji-Nya padaku. Demi Allah, Allah tidak menyiksaku.’ Lalu perempuan itu didatangi oleh sesosok malaikat dalam mimpi seraya berkata kepadanya, ‘Tidak! Sesungguhnya engkau bersolek, kau tampakkan perhiasanmu, kau ingkari kebaikanmu, kau sakiti tetanggamu, dan kau membangkang terhadap suamimu!’ Malaikat itu pun meletakkan lima jarinya di wajah perempuan tersebut. Malaikat itu berkata, “Lima dengan lima. Kalau engkau tambah, maka kami tambah bagimu!” Keesokan paginya bekas jemari malaikat itu melekat di wajah perempuan itu.?
‘Abdurrahman bin Qasim sahabat Imam Malik menuturkan, “Aku pernah mendengar Malik berkata, ‘Sesungguhnya Ya’qub bin ‘Abdullah bin Asyaj merupakan satu di antara orang-orang terbaik umat ini. Suatu ketika dia tidur pada hari syahidnya, lalu dia berkata kepada para sahabatnya, “Sesungguhnya aku bermimpi melihat sesuatu yang pasti kukabarkan kepada kalian. Aku bermimpi melihat diriku dimasukkan ke dalam surga lalu aku diberi minum susu.” Dia lalu berusaha memuntahkan isi perutnya, dan ternyata dia benar-benar memuntahkan susu. Setelah itu, dia gugur sebagai syahid.’”
Ibnul Qasim berkata, “Kejadian itu terjadi pada sebuah peperangan di tengah laut, di suatu tempat yang tidak ada susu di situ. Aku pernah mendengar orang selain Malik menuturkan Cerita itu seraya mengatakan bahwa cerita itu begitu terkenal. Dia berkata, ‘Sesungguhnya aku bermimpi melihat diriku dimasukkan ke dalam surga, lalu di situ aku diberi minuman susu.’ Orang-orang pun berkata kepadanya, ‘Aku bersumpah engkau celaka kalau tak muntah!’ Dia pun muntah mengeluarkan susu yang jernih, padahal di kapal itu tidak ada susu ataupun domba.”
Ibnu Qutaibah menyatakan bahwa yang dimaksud yashlid adalah “jernih”. Kata ini juga digunakan dalam hadis tentang ‘Umar ra.,
“Seorang tabib memberi “Umar air susu, tetapi keluarlah dari bekas tikamannya susu yang putih jernih,”
Syahdan, Nati’ yang terkenal sebagai qari setiap kali berbicara darj mulutnya tercium aroma kesturi sehingga orang-orang pun bertanya kepadanya, “Apakah setiap kali engkau duduk engkau menggunakan wewangian?” Dia menjawab, “Aku tidak pernah mengenakan wewangian, bahkan tidak pernah mendekati wewangian. Namun, aku pernah bermimpi melihat Rasulullah saw. membaca di mulutku. Sejak saat itu dari mulutku selalu tercium aroma seperti ini.”
Mas adah menuturkan dalam kitabnya yang berjudul ar-Ru‘ya, dari Rabi bin Yazid ar-Raqasyi, dia berkata, “Aku didatangi oleh dua orang yang kemudian duduk di dekatku. Mereka lalu menggunjing seseorang dan kularang mereka melakukan itu. Beberapa saat setelah itu salah seorang di antara dua orang itu mendatangiku lalu berkata, ‘Sesungguhnya aku bermimpi melihat seakan-akan seorang negro mendatangiku dengan pinggan yang di atasnya terdapat potongan daging babi yang tidak pernah kulihat daging segemuk itu. Dia berkata, “Makanlah!” Aku menjawab, “Aku harus memakan daging babi?” Namun orang negeri itu memaksaku sehingga aku pun memakan daging itu. Pada pagi harinya mulutku menjadi sangat bau.’ Mulut orang itu tetap berbau busuk sampai dua bulan.”
Ala bin Ziyad memiliki satu waktu khusus untuk melaksanakan shalat. Pada suatu malam dia berkata kepada keluarganya, “Aku mendapatkan waktu luang. Nanti kalau tiba waktu anu, kalian bangunkanlah aku!” Ternyata keluarganya alpa melaksanakan pesan Ala’. Dia berkata, “Pada tidurku malam itu aku bermimpi didatangi sesosok makhluk yang berkata kepadaku, ‘Bangunlah wahai Ala’ bin Ziyad! Allah menyebutmu!’ Sosok itu berkata begitu sembari merenggut helai rambut bagian depan kepalaku.” Sejak saat itu, rambut bagian depan kepala Ala bin Ziyad selalu tegak berdiri, dan tetap seperti itu sampai dia meninggal dunia. Yahya bin Bistham berkata, “Kami ikut memandikan jenazahnya setelah dia meninggal. Rambut-rambut di kepalanya itu tetap berdiri.”
Ibnu Abud Dunya menuturkan, dari Abu Hatim ar-Razi, dari Muhammad bin “Ali, dia berkata, “Ketika kami berada di Mekkah duduk-duduk dalam Masjidil Haram, tiba-tiba bangkit berdiri seorang jelakiyyang setengah wajahnya menghitam padahal setengahnya putih, Lelaki itu berujar, ‘Wahai orang-orang ambillah pelajaran dariku! Dulu aku sering Memaki Syaikhain (maksudnya, Abu Bakar ra. dan ‘Umar bin Khathab ra.). Sampai suatu malam aku tidur aku bermimpi didatangi sesosok makhluk yang mengangkat tangannya lalu menampar wajahku. Sosok itu berkata. “Wahai musuh Allah! Hei orang fasik! Bukankah engkau yang sering memaki Abu Bakar dan “Umar?!” Pada pagi harinya aku sudah seperti ini.”
Muhammad bin ‘Abbad al-Muhallabi berkata, “Aku pernah bermimpi melihat seakan-akan aku berada di tengah Bani Fulan. Ternyata di situ ada Rasulullah saw. duduk di atas gundukan tanah bersama Abu Bakar ra., sementara Umar ra. berdiri di depan beliau saw. ‘Umar ra. berkata kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah! Sesungguhnya orang ini memaki diriku dan memaki Abu Bakar.’ Beliau pun bersabda, ‘Bawalah ke mari orang itu wahai Abu Hafsh!’ Dia pun membawa lelaki itu dan ternyata adalah seorang Ummaniy yang terkenal sering mencaci Abu Bakar dan ‘Umar. Rasulullah pun berkata kepada ‘Umar, ‘Baringkanlah dia!’ ‘Umar pun membaringkannya. Beliau bersabda, ‘Penggallah kepalanya!’ ‘Umar pun memenggalnya. Sungguh aku tidak terbangun dari tidurku kala itu, kecuali karena suara jeritan. Saat itu aku bergumam mengapa aku tidak sampaikan kepada lelaki itu agar dia bertobat. Namun, setibanya aku di rumah lelaki itu aku mendengar suara tangis yang keras. Aku pun bertanya, ‘Mengapa mereka menangis?’ Orang-orang menjawab, ‘Tadi malam Ummaniy terpenggal kepalanya di atas tempat tidurnya.’ Aku bergegas mendekati leher lelaki itu, dan ternyata terlihat gurat merah seperti darah dari telinganya yang satu ke telinganya yang lain.”
Al-Qairuwani menuturkan, “Salah seorang tokoh yang menjadi guru kami menyatakan, ‘Rasulullah saw. mengabariku. Dia berkata, “Aku pernah melihat sesuatu yang mengejutkan di Madinah. Dulu ada seorang lelaki yang sering memaki Abu Bakar ra. dan “Umar ra., sampai suatu hari ketika kami baru menyelesaikan shalat Subuh, datanglah seorang lelaki dengan mata yang keluar dan air mata meleleh di kedua pipinya. Kami pun bertanya, ‘Apa yang terjadi padamu?’ Lelaki itu menjawab, ‘Semalam aku bermimpi bertemu Rasulullah sementara “Ali di depan beliau bersama Abu Bakar dan ‘Umar. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, inilah orang yang menyakiti dan memaki kami!” Rasulullah saw. bersabda kepadaku, “Siapakah yang menyuruhmu melakukan ini wahai Abu Qais?” Aku menjawab, “Ali!” Sembari kutunjuk Ali. Ali pun menghadapkan wajahnya kepadaku dengan tangan diarahkan padaku. Jemarinya terkepal, tetapi telunjuk dan jari tengahnya lurus digerakkan ke arah kedua mataku. Ali berujar, “Sungguh engkau telah berdusta! Semoga Allah mencungkil kedua matamu!” Ali pun menusukkan kedua jarinya ke kedua mataku. Sontak aku terbangun dari tidurku dalam keadaan sudah seperti ini.’ Lelaki itu bercerita sembari menangis. Dia mengabarkan semua itu kepada orang banyak dan menyatakan bertobat.”
Al-Qairuwani menuturkan, “Salah seorang tokoh yang menjadi guru kami mengabarkan padaku, dia berkata, ‘Ada seorang fakih yang mengabariku, dia berkata, “Dulu ada seorang lelaki yang hidup bersama kami dan rajin berpuasa. Hanya saja dia selalu menunda buka puasanya. Lelaki itu pun bermimpi melihat seakan-akan ada dua sosok hitam datang merenggut kedua ketiaknya lalu menyeret tubuhnya ke sebuah tanur yang membara untuk ditempatkan ke situ. Lelaki itu pun berujar kepada kedua sosok tersebut, ‘Mengapa aku hendak dibakar?’ Kedua sosok itu menjawab, ‘Sebab engkau menyelisihi sunah Rasulullah. Beliau memerintahkan untuk menyegerakan buka puasa, tetapi engkau justru menundanya!’ Sejak saat itu lelaki itu menjadi hitam wajahnya seperti bekas terbakar, sampai-sampai dia selalu mengenakan cadar setiap kali harus berjalan di tengah orang banyak.”
Kisah yang lebih menakjubkan daripada cerita di atas ialah sebagai berikut:
Suatu ketika seorang lelaki bermimpi di saat dirinya sedang mengalami dahaga, lapar, dan sakit yang parah; sementara dia lihat orang lain memberinya minum, makan, dan mengobati sakitnya. Lelaki itu pun terbangun dan semua deritanya itu sudah hilang.
Malik menuturkan, dari Abu Rijal, dari ‘Amrah, dari Aisyah ra. bahwa seorang budak perempuannya menyihirnya lalu datanglah seorang Sind kepadanya dalam keadaan sakit. Orang Sind itu berkata, “Engkau disihir!” Dia menyahut, “Siapakah yang menyihirku?” Dia menjawab, “Seorang budak perempuan yang dikamarnya ada anak kecil mengencinginya.” Dia pun langsung memanggil budak perempuannya, tetapi budak perempuan itu berujar, “Tunggulah aku harus mencuci bekas kencing di pakaianku!” Dia lalu bertanya kepada budak perempuan itu, “Apakah engkau menyihirku?” Budak perempuan itu menjawab, “Ya.” Dia bertanya lagi, “Apa yang membuatmu melakukan itu?” Budak perempuan itu menjawab, “Aku ingin mempercepat kemerdekaan diriku.”
Dia pun memerintahkan saudaranya untuk menjual budak perempuan jtu kepada seorang badui yang dikenal jahat. Setelah itu Aisyah ra. bermimpi mendenpar suara yang mengatakan kepadanya agar dia mandi dari air tiga sumur yang saling terhubung. Aisyah pun meminta agar dibawakan air dari tiga sumur yang kemudian dia gunakan untuk mandi. dan dia pun sembuh.
Ketika Simak bin Harb kehilangan penglihatannya, dia bermimpi melihat Ibrahim as. dalam tidurnya. Ibrahim as. lalu mengusap kedua matanya seraya berujar, ‘‘Pergilah ke Eufrat lalu berendamlah di situ tiga kali.” Simak pun melakukan apa yang dikatakan kepadanya itu dan penglihatannya pulih kembali.
Ismail bin Bilal al-Hadhrami mengalami kebutaan. Dia lalu bermimpi bertemu seseorang yang berkata kepadanya, ‘“Ucapkanlah, ‘Wahai yang Mahadekat, wahai yang Maha Mengijabah doa, wahai yang Mahalembut pada apa pun sekehendak-Nya. Kembalikanlah kepadaku penglihatanku.’” Ismail pun merapalkan doa itu dan penglihatannya ternyata kembali pulih.
Laits bin Sa’d menyatakan, “Aku melihat Ismail mengalami kebutaan, lalu dia dapat melihat kembali.”
‘Ubaidullah bin Abu Ja’far berkata, “Suatu ketika aku mengeluhkan sesuatu yang sangat berat menimpaku. Pada saat itu aku selalu membaca Ayat Kursi. Ketika aku tidur, aku bermimpi didatangi dua lelaki yang kemudian berdiri di hadapanku. Salah seorang di antara mereka berkata kepada yang satu lagi, ‘Dia terus membaca suatu ayat yang di dalamnya terkandung tiga ratus enam puluh rahmat. Tidakkah dituangkan kepada orang susah ini satu rahmat saja?’ Aku lalu bangun dari tidurku dan aku merasa ringan.”’
Ibnu Abud Dunya menuturkan, “Suatu ketika seorang perempuan yang terkenal dengan kebaikan dan kesalehannya tertimpa sakit lambung. Perempuan itu lalu bermimpi mendengar suara yang berkata kepadanya, ‘La ilaha illallah, air matang, dan air mawar.’ Perempuan itu pun meminum air yang didengarnya dalam mimpinya, ternyata kemudian Allah menghilangkan penyakitnya.”
Perempuan itu juga menuturkan, “Aku juga pernah bermimpi seakan-akan aku berkata, ‘Sina, madu, air himmash hitam merupakan obat sakit pinggang.’ Setelah aku bangun, seorang perempuan mendatangiku mengeluhkan nyeri di pinggangnya. Aku pun sarankan agar dia meminum apa yang kudengar dalam mimpiku itu, dan ternyata dia sembuh.”
Jalinus berkata, “Sebab yang membuatku membedah urat nadi yaitu karena aku diperintahkan melakukan itu dalam mimpiku dua kali. Pada saat itu aku masih remaja. Aku juga mengetahui bahwa Allah telah menyembuhkan seseorang dari suatu penyakit yang menyerang lambungnya dengan dibedah urat nadinya karena mimpi yang dialaminya.”
Ibnul Jazzar menyatakan, “Aku pernah mengobati seorang lelaki yang mengalami sakit lambung. Beberapa lama dia menghilang lalu aku berjumpa dengannya. Aku pun bertanya tentang kabarnya. Dia berkata, ‘Aku bermimpi melihat seseorang dengan pakaian ahli ibadah bertelekan pada sebatang tongkat lalu berdiri di dekatku seraya berkata, “Apakah engkau lelaki mengalami sakit lambung?” Aku menjawab, “Ya!” Lelaki itu berkata, “Lakukanlah kaya dan julanjabin!” Keesokan paginya aku bangun lalu kutanya orang-orang tentang kedua kata itu. Seseorang berkata padaku, “Kaya adalah pedupaan yang panas. Julanjabin?” adalah mawar yang direndam dalam madu.” Aku lalu menggunakan kedua cara itu selama beberapa hari dan aku pun sembuh.”
Aku berkata kepadanya, “Itu adalah Jalinus!”
Demikianlah, terlalu banyak kejadian seperti ini untuk disebutkan di sini, sampai-sampai ada orang yang berkata, “Sesungguhnya asal usul ilmu penyembuhan berasal dari mimpi.” Karena memang tidak ada keraguan bahwa banyak dari dasar ilmu ini memang berasal dari mimpi, sementara sebagian yang lainnya berasal dari percobaan, kiyas, dan sebagian lagi dari ilham. Siapa pun yang ingin mendalami ilmu ini, hendaklah melihat sejarah para tabib dalam kitab al-Bustdn karya Qairuwani dan lainnya.
PASAL
Dalil keseratus dua: Allah swt. berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang Yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menvombongkan dirt terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum.” (QS. al-A’raf {71}: 40)
Avat ini menjadi dalil yang menunjukkan bahwa bagi orang-orang mukmin akan dibukakan gerbang-gerbang langit. Tentu saja dibukanya gerbang-gerbang itu adalah untuk ruh-ruh mereka ketika mereka meninggal dunia, sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya dalam berbagai hadis yang menunjukkan bahwa langit dibuka untuk ruh orang mukmin sampai mereka dibawa di hadapan Allah swt. Sedangkan orang kafir, gerbang-gerbang langit tidak akan dibukakan bagi ruhnya, sebagaimana tidak akan dibukakan pula gerbang-gerbang surga bagi jasadnya.
PASAL
Dalil keseratus tiga: Sabda Rasulullah saw., “Wahai Bilal, tidaklah aku memasuki surga, kecuali kudengar gesekan terompahmu di dekatku. Mengapa bisa seperti itu?” Bilal menjawab, “Aku tidak pernah berhadas, baik di malam maupun di siang hari kecuali aku langsung berwudhu lalu shalat dua rakaat.” Rasulullah saw. menyahut, “Karena itu!’”
Sudah jelas diketahui bahwa gesekan terompah yang terdengar di dekat Rasulullah saw. itu adalah suara dari ruh Bilal. Karena pada saat itu jasad Bilal sama sekali belum masuk surga.
Dalil keseratus empat: Berbagai hadis dan atsar yang berbicara mengenai ziarah kubur serta ucapan salam kepada para penghuni kubur dan berbicaranya mereka. Selain itu ada pula kabar tentang pengetahuan mereka mengenai orang-orang yang mengunjungi mereka dan kemampuan mereka untuk menjawab salam. Penjelasan tentang semua itu telah disampaikan pada bagian yang lalu.
Dalil keseratus lima: Berbagai pengaduan yang disampaikan Oleh ruh orang-orang yang sudah mati kepada para kerabat mereka dan orang-orang lainnya menyangkut hal-hal yang menyakitkan bagi mereka. Ternyata orang-orang hidup itu mendapati orang-orang mati itu dalam keadaan seperti yang diadukan kepada mereka lalu mereka menghilangkan hal-hal tersebut.
Dalil keseratus enam: Apabila ruh merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut salah satu tampilan raga, atau untuk menyebut sebuah substansi mandiri (jauhar fard) yang non-jisim dan tidak pula bersemayam di dalamnya, maka pernyataan “keluar”, “pergi”, “berdiri”. “datang”, “duduk”, “bergerak”, “masuk”, “pulang”, dan sebagainya menjadi omong kosong. Karena sifat-sifat seperti itu tidak dapat ada pada tampilan atau substansi mandiri. Setiap orang yang berakal tentu mengetahui kebenaran ucapannya dan ucapan yang selain itu. Cacat dalam hal ini menjadi cacat pada pengetahuan yang sudah jelas, sehingga itu menjadi bentuk kerancuan.
Tidaklah dapat dikatakan bahwa hasil dari dalil ini yaitu sikap berpegangan (berpedoman) pada lafal atau kata yang diucapkan orang banyak dan sikap me-muthlaq-kan (tidak membatasi) yang mereka lakukan (pada lafal-lafal tersebut), sementara lafal-lafal ita mengandung kemungkinan adanya pengertian hakiki dan majasi. Mungkin saja yang mereka maksud “Raga saya masuk dan keluar” karena kami menggunakan dalil berdasarkan kesaksian akal dan fitrah pada pengertian lafal-lafal tersebut. Padahal setiap orang dengan akal dan inderanya dapat bersaksi (mengetahui dengan sebenar-benarnya) bahwa “orang” itulah yang “masuk”, “keluar”, dan “berpindah”, bukan raganya secara mandiri (terpisah dari ruhnya). Kesaksian indera dan akal terhadap berbagai pengertian lafal-lafal ini berikut dilekatkannya lafal-lafal tersebut dengan ruh (sebagai pelekatan primer) dan dengan raga (sebagai pelekatan sekunder) merupakan kesaksian yang paling benar. Itulah yang menjadi landasan,?” bukan sekadar bentuk muthlaq (tidak dibatasi) pada Jafal yang digunakan.
Dalil keseratus tujuh: Sesungguhnya raga adalah “kendaraan” (markab) atau “objek” (mahall) bagi gerak jiwa. Masuk, keluar, dan berpindahnya raga selalu berlangsung bersamaan dengan masuknya (atau keluar atau berpindahnya) “kendaraan” itu dari kuda atau dari hewan tunggangannya. Apabila jiwa tidak dapat “masuk”, “keluar”, “berpindah”, “bergerak”, atau “diam”, maka itu sama saja dengan menyatakan masuknya “kendaraan” milik seseorang ke sebuah rumah lalu ia keluar lagi tanpa ia pernah memasukinya. Pemahaman seperti ini tentu saja batil adanya. Setiap orang mengetahui bahwa jiwa dan ruhlah yang membuat “masuk”, “keluar”, “berpindah”, “bergerak”nya raga. ruh itulah yang menjadikan raga mongikutinya dalam semua gerak “masuk” dan “keluar” itu. Karena semua tindakan itu adalah milik ruh (sebagai asal) dan juga milik raga (sebagai pengikut). Hanya saja gerakan-gerakan itu diketahui terjadi pada raga berdasarkan kesaksian (penglihatan inderawi—Penj.) dan diketahui terjadi pada ruh berdasarkan pengetahuan dan akal.
Dalil keseratus delapan: Apabila jiwa memang seperti yang mereka katakan, yaitu bahwa jiwa adalah “tampilan” berarti di sepanjang waktu jiwa seseorang dapat berubah-ubah seratus ribu kali atau lebih dari itu. Padahal “manusia” menjadi manusia dengan segenap ruh dan jiwanya, bukan dengan raganya. Karena “manusia” yang ada “sekarang” tentu berbeda dengan “manusia” yang sebelumnya atau sesudahnya. Ini merupakan salah bentuk kegilaan.
Apabila ruh bersifat mandiri dan keterkaitannya dengan raga semata-mata melalui penggerakannya? saja, bukan dengan berdiam dan merasuk di dalam raga, pasti tidak dapat dianggap tidak mungkin terputusnya hubungan ruh dengan raganya untuk kemudian ruh itu terhubung dengan raga yang lain. Sebagaimana memungkinkannya terputusnya penggerakan pengurus sebuah rumah atau sebuah kota dengan rumah atau kota yang diurutnya untuk kemudian dia mengurus rumah atau kota yang lain.
Berdasarkan pendapat ini, kita menjadi ragu bahwa jiwa yang menjadi milik “Zaid’’ adalah jiwa “Zaid” yang pertama ataukah yang lainnya. Dan kita ragu pula apakah “Zaid’’ memang benar-benar lelaki yang kita lihat itu ataukah orang lain. Pemikir tentu tindakan melanggar batas sampai sejauh ini! Apabila ruh memang sekedar tampilan atau sesuatu entitas mandiri (yang terpisah dari raga), pasti keraguan semacam itu akan muncul.
Dalil keseratus sembilan: Setiap orang pasti dapat memastikan bahwa’ “dirinya” memiliki ilmu, pikiran, cinta, benci, rela, marah, dan berbagai kondisi kejiwaan lainnya. Setiap orang juga mengetahui bahwa yang “memiliki” berbagai kondisi itu sama sekali bukan sekedar tampilan dari raganya, dan bukan pula substansi mandiri yang terpisah dari raganya dan tidak menyatu dengan raganya. Setiap orang dapat memastikan bahwa berbagai persepsi itu muncul sebagai respons terhadap sesuatu yang terjadi pada raganya, sebagaimana setiap orang dapat memastikan bahwa apabila dia mendengar, melihat, menghidu, mengecam, menyentuh, bergerak, dan diam; semua tindakan itu memang benar-benar “dia” lakukan secara melekat dengan jiwanya.” Dia juga mengetahui bahwa substansi jiwanyalah yang “melakukan” semua itu. Ia tidak melakukannya hanya dengan kesendirian raga (tanpa jiwa), tidak pula melakukannya dengan tampilannya, melainkan melakukannya bersama dalam alam semesta ketika berpindah dari satu tempat ke tempat lain, ketika bergerak, diam, keluar, atau masuk. Semua itu sama sekali tidak dilakukan kecuali oleh raga bersama jisim (yaitu ruh atau jiwa) yang ada di dalam raga, yang apabila ia (ruh atau jiwa) tidak ada, raga itu menjadi sama saja seperti benda mati.
Dalil keseratus sepuluh: Apabila jiwa memang benar-benar mandiri, dan keterkaitannya dengan raga hanyalah sebatas untuk menggerakkannya, seperti keterkaitan yang terjadi antara nelayan dengan perahunya atau seorang sais dengan untanya; maka berarti mungkin bagi jiwa untuk meninggalkan penggerakannya terhadap raga untuk kemudian dia menyibukkan diri dengan menggerakkan raga yang lain, sebagaimana si nelayan dan si sais dapat melakukan hal seperti itu. Berarti, pendapat seperti ini membolehkan terjadinya perpindahan jiwa dari satu raga ke raga lainnya.
Sementara itu tidaklah dapat dikatakan bahwa jiwa menyatu dengan raga sehingga raga akan menghalangi jiwa untuk berpindah; atau bahwa jiwa adalah semacam rasa cinta alamiah atau rindu intrinsik yang menggerakkan raga, yang dengan sebab itu ia terhalang untuk berpindah.
Alasannya? yaitu karena kami berpendapat bahwa bersatunya sesuatu yang tidak dapat menjadi bagian dari sesuatu dengan sesuatu itu adalah mustahil. Dan juga karena apabila jiwa menyatu dengan raga, jiwa menjadi batal dengan kebatalan raga. Dan juga karena apabila setelah terjadinya penyatuan ternyata penyatuan itu berlaku tetap, keduanya tetaplah dua substansi yang bukan satu. Apabila keduanya musnah lalu muncul yang ketiga, penyatuan itu tidak ada artinya. Apabila salah satu dari keduanya tetap ada sementara yang satu lagi musnah, itu juga tidak dapat disebut sebagai penyatuan.
Adapun berkenaan dengan “rindu alamiah” yang dimiliki oleh jiwa kepada raga, sebenarnya jiwa morindukan raga karena jiwa dapat merasakan berbapai kenikimatan dengan perantaraan raga. Apabila raga perhasil mencapai keinginan jiwa, penisbatan terhadap jiwa (dengan penisbatan terhadap raga) adalah sama saja.
Pendapat kalian yang menyatakan bahwa jiwa hanya merindukan raga merupakan pendapat yang batil. Contohnya apabila seseorang yang sedang kehatisan meminum sewadah air, tentu “semuanya” (maksudnya, raganya dan juga jiwanya—Penj.) dianggap berhasil mencapai keinginannya (yaitu “minum”—Penj.). Tentu tidak mungkin bagi salah satunya untuk merindu tanpa yang satu lagi, tanpa keseluruhannya.
Dalil keseratus sebelas: Apabila jiwa manusia merupakan substansi mandiri yang tidak berada di dalam alam semesta dan sekaligus tidak berada di luar alam semesta, tidak terhubung dengan alam semesta dan tidak pula terpisah dari alam semesta, tidak terpisah dari alam semesta dan tidak pula menyatu dengannya; maka dapat diketahui dengan pasti bahwa ia ada dengan sifat-sifat itu. Karena pengetahuan manusia tentang dirinya dengan segala sifatnya adalah sebuah pengetahuan yang sangat jelas. Karena pengetahuannya dengan semua yang selain itu hanya mengikuti pengetahuannya tentang dirinya. Itulah sebabnya, semua anggapan tersebut di atas pasti batil. Karena segenap penghuni bumi mengetahui bahwa penetapan kemandirian (jiwa dari raga) seperti itu mustahil adanya baik terlihat maupun tidak. Siapa pun yang berpendapat seperti ini mengenai dirinya dan mengenai Tuhannya pasti tidak mengenal dirinya, apalagi Tuhannya!
Dalil keseratus dua belas: Raga yang dapat disaksikan ini sebagai “tempat” (mahall) bagi semua sifat kejiwaan dan segala pencapaian persepsi baik yang bersifat universal maupun yang bersifat parsial. Raga merupakan tempat (mahall) bagi kemampuan untuk melakukan gerak inisiatif (harakat iradiyyah). Oleh sebab itu menjadi pasti bahwa “wadah” berbagai persepsi dan sifat-sifat itu adalah raga dan sesuatu yang bersemayam di dalam raga (yaitu jiwa). Itulah sebabnya pendapat yang menyatakan bahwa objek itu merupakan sebuah substansi mandiri yang tidak berada di dalam alam semesta dan sekaligus tidak berada di luar alam semesta, jelas batil adanya.
Dalil keseratus tiga belas: Apabila jiwa memang mandiri terpisah dari “bentuk” dan “tempat”, pasti menjadi terlarang bagi semua pergerakannya untuk bersentuhan dengan objek perbuatan (maf’ul). Karena segala sesuatu yang tidak bertempat tidak mungkin bersentuhan dengan yang bertempat. Apabila memang seperti itu kenyataannya, perbuatannya dilakukan sebagai inovasi tanpa ada kebutuhan pada terjadinya persentuhan ataupun pertemuan antara pelaku perbuatan dan objek perbuatan. Seorang dari kita kuasa untuk menggerakkan berbagai jisim (benda) tanpa harus menyentuhnya atau menyentuh sesuatu benda yang menyentuh jisim tersebut.
Jiwa—sebagaimana juga menurut pendapat kalian—mampu menggerakkan raga tanpa ada persentuhan antara jiwa dengan raga. Begitu pula halnya jiwa tidak terhalang kemampuannya untuk menggerakkan jisim lainnya tanpa menyentuhnya dan tanpa disentuh olehnya. Tentu saja pendapat seperti ini batil adanya. Karena telah diketahui bahwa jiwa tidak mampu untuk menggerakkan apa pun kecuali hanya dengan syarat terjadinya persentuhan dengan objek gerak atau persentuhan dengan sesuatu yang menyentuh raga. Semua yang bersentuhan dengan jisim atau tidak bersentuhan dengannya semuanya merupakan jisim.
Apabila dikatakan bahwa mungkin saja pengaruh yang diberikan oleh jiwa dalam menggerakkan raga bersifat khusus sehingga tidak mensyaratkan terjadinya persentuhan, sehingga pengaruh yang diberikan oleh jiwa dalam menggerakkan raga lain bertumpu pada terjadinya. persentuhan antara raga dengan jisim; maka jawaban atas pendapat itu adalah sebagai berikut:
Ketika keberterimaan raga terhadap berbagai gerakan jiwa tidak bertumpu pada terjadinya persentuhan antara jiwa dengan raga, maka pasti kondisi seperti ini harus juga terjadi pada semua jisim lainnya. Karena semua jisim memiliki kedudukan yang sama dalam hal keberterimaan atas gerak. Sebagaimana penisbatan jiwa kepada semua jisim juga sama. Karena apabila jiwa itu bersifat mandiri terlepas dari bentuk dan berbagai hal yang berkaitan dengan bentuk, penisbatan zatnya kepada segala sesuatu juga sama. Ketika zat pelaku dinisbatkan kepada segala sesuatu secara sama, maka keberterimaan nisbat terhadap kepada pelaku juga sama, sebagaimana pengaruh yang dinisbatkan kepada segala sesuatu juga sama.
Apabila pelaku tidak membutuhkan persentuhan dengan objek gerak ketika menyangkut sebagian (di antara jisim-jisim yang ada), pastilah hal itu juga berlaku pada semuanya (semua jisim). Dan apabila pelaku membutuhkan persentuhan dengan objek gerak pada sebagian (di antara jisim-jisim yang ada), pastilah ia juga membutuhkan hal yang sama pada semuanya.
Apabila ada yang menyatakan bahwa jiwa hanya merindukan raganya tanpa raga yang lain, sehingga pengaruh yang muncul dari jiwa itu selalu lebih kuat terhadap raganya daripada pengaruhnya terhadap raga yang lain; jawaban atas pernyataan itu sebagai berikut. : Rindu yang sangat kuat itu tentu menuntut adanya keterkaitan yang lebih besar antara jiwa dengan raganya, sebagaimana penggerakan dari jiwa itu sangat kuat terhadap raganya. Tetapi apabila dikatakan bahwa raga dapat berubah sesuatu dengan zat jiwa jika dinisbatkan kepada jisim-jisim yang lain, itu merupakan hal yang mustahil. Dalil ini sangat kuat.
Dalil keseratus empat belas: Semua pemikir menyepakati bahwa “manusia”’ merupakan manusia konkret yang hidup, berbicara, makan, tidur, berperasaan, dan dapat bergerak dengan inisiatifnya. Sementara itu sifat-sifat ini terdiri dari dua jenis: 1-sifat-sifat bagi raga dan 2-sifat-sifat bagi ruh dan jiwanya yang dapat menalar. ‘
Apabila ruh merupakan sebuah substansi mandiri yang tidak berada di dalam alam semesta dan tidak pula di luar alam semesta, serta juga tidak terhubung dengan alam semesta dan tidak pula terpisah dari alam semesta, pastilah “manusia” juga tidak berada di dalam alam semesta dan tidak pula di luar alam semesta. Ia tidak terhubung dengan alam semesta dan tidak pula terpisah dari alam semesta; atau sebagian darinya berada di dalam alam semesta sementara sebagian lagi tidak berada di luar alam semesta dan tidak pula di dalam alam semesta. Semua pemikir pasti tahu bahwa pendapat seperti ini adalah batil. Karena “manusia” secara utuh berada di dalam alam semesta: raga dan ruhnya.
Kesalahan berpikir inilah yang mematahkan pendapat orang yang menyatakan bahwa jiwa bersifat kadim bukan makhluk, dan mereka yang menyatakan bahwa setengah dari “‘manusia’’ merupakan makhluk sementara yang setengahnya lagi bukan makhluk.
Apabila ada yang menyatakan bahwa mereka menerima pendapat bahwa “manusia” adalah seperti yang kami jelaskan tadi, tetapi mereka meyakini adanya suatu substansi yang menggerakkan “manusia” yang memiliki berbagai sifat tersebut di atas; tanggapan atas pendapat seperti itu sebagai berikut:
Substansi yang kalian yakini keberadaannya itu kalian anggap sebagai substansi yang dapat mengubah “manusia” ataukah kalian anggap ia sebagai “manusia” itu sendiri? Kalian tidak mungkin lepas dari dua kondisi.
Apabila kalian menjawab pernyataan tadi dengan menyatakan bahwa substansi itu adalah “manusia” itu sendiri, berarti kalian telah rancu dalam berpendapat. Apabila kalian menjawab dengan mengatakan bahwa substansi itu bukan “manusia”, pendapat kalian itu telah mematahkan keyakinan kalian bahwa manusia memiliki sesuatu selain dia yang menggerakkannya, yang kalian sebut “jiwa” itu. Sekarang kita sedang membahas tentang hakikat “manusia” bukan “penggerak manusia”. Karena sebenarnya “Penggerak” bagi semua manusia dan seluruh alam semesta, baik Alam Luhur maupun Alam Bawah adalah Allah yang Maha Esa lagi Mahaperkasa.
Dalil keseratus lima belas: Apabila semua pemikir ditanya “Apakah manusia itu?” Mereka semua pasti akan menunjuk raga dan sesuatu yang membuat raga itu tegak (hidup). Tidak pernah terbersit dalam benak pemikir mana pun untuk meyakini adanya sesuatu “penggerak” yang bersifat mandiri yang keberadaannya bukan di dalam alam semesta dan sekaligus tidak di luar alam semesta. Pengetahuan tentang ini bersifat absolut sehingga tidak dapat diragukan lagi.
Dalil keseratus enam belas: Akal semua manusia meyakini bahwa semua ucapan selalu ditujukan kepada “raga” dan “sesuatu yang tinggal di dalam raga itu dan membuat raga itu hidup” (yaitu ruh). Begitu pula halnya dengan pujian, hinaan, pahala, hukuman, dorongan, dan ancaman.
Apabila ada orang yang menyatakan bahwa objek perintah, larangan, pujian, hinaan, dan objek ucapan adalah suatu substansi mandiri yang tidak berada di dalam semesta dan tidak pula di luar alam semesta, tidak terhubung dengan alam semesta dan juga tidak terpisah dari alam semesta; pasti orang-orang yang berakal akan menertawakannya dan akan sepakat bahwa orang itu telah berbohong.
Segala sesuatu yang telah disaksikan kebatilannya oleh akal, pasti telah menjadikan pembuktian atas kepastiannya sebagai pembuktian atas keberadaan sesuatu yang mustahil. Wabillahit taufiq.
PASAL
Dalil-dalil yang digunakan oleh mereka yang menentang pendapat kami.
Mereka berkata, “Kalian telah menyampaikan berbagai dalil yang menunjukkan kebendaan dan kebertempatan ruh. Lantas apakah jawaban kalian atas dalil-dalil yang menentang pendapat kalian itu?”
Mereka menggunakan dalil-dalil sebagai berikut.
Pertama, mereka menyatakan bahwa para pemikir telah bersepakat bahwa “ruh dan jisim” dan “jiwa dan jisim” bukanlah “jisim”. Karena kalau semua itu adalah “jisim’’, maka pendapat ini tidak ada artinya.
Kedua, poin kedua ini menjadi argumen terkuat mereka; yaitu: Telah diketahui bahwa di antara semua entitas maujud (al-maujudat) ada entitas-entitas yang tidak dapat dibagi. Contohnya “inti” (nuqthah) dan “substansi mandiri” (jauhar fard). Alih-alih (dapat dibagi), semua entitas bersifat “wajib ada” (wajib al-wujud). Dengan demikian, maka pengetahuan tentang entitas-entitas itu harus juga tidak dapat dibagi. Dan harus pula objek pengetahuan itu tidak dapat dibagi. Itulah jiwa, sebab apabila ia adalah jisim, berarti ia dapat dibagi. Dalil ini juga disampaikan dengan penjelasan berbeda sebagai berikut.
Apabila objek semua ilmu universal adalah jisim atau bersifat jisim, pastilah berbagai ilmu itu terbagi-bagi; karena sesuatu yang menjadi objek terbagi pasti juga terbagi, sementara pembagian semua ilmu itu mustahil.
Ketiga, semua citra rasional universal pasti bersifat mandiri.
Kemandirian itu mungkin disebabkan sesuatu yang (citra rasional universal) terambil darinya, atau mungkin disebabkan pihak yang mengambilnya (citra rasional universal). Pernyataan di awal itu batil karena semua citra itu diambil dari berbagai individu yang memiliki kemampuan berbeda-beda dengan kondisi yang beragam, sehingga kemandiriannya pasti terjadi disebabkan pihak yang mengambilnya; yaitu daya akal (quwwah ‘aqliyyah) yang disebut “jiwa”.
Keempat, daya akal (quwwah ‘aqliyyah) mampu melakukan berbagai tindakan yang tak terbatas. Daya akal mampu melakukan persepsi yang tidak terbatas. Sementara itu daya jasmani tidak memiliki kemampuan untuk melakukan berbagai tindakan tak terbatas, karena daya jasmani terbagi sesuatu dengan keragaman objeknya. Ketika ia mampu melakukan sebagian dari suatu objek, pasti kemampuannya itu lebih sedikit daripadanya kemampuannya ketika melakukan objek yang sama secara keseluruhan. Ketika ia mampu melakukan keseluruhan dari suatu objek, pasti kemampuannya akan lebih besar ketika melakukan sebagian dari objek yang sama, beberapa kali lipat, tetapi terbatas. Karena sesuatu yang lebih dari sesuatu yang terbatas, pasti terbatas oleh batas tertentu.
Kelima, walaupun daya akal (quwwah ‘aqliyyah) berada dalam perangkat jasmani, tetapi pasti daya akal itu selalu merupakan persepsi bagi perangkat tersebut, atau tidak mampu melakukan persepsi secara keseluruhan. Kedua pendapat ini batil, karena persepsi daya akal pada perangkat itu adalah mustahil, walaupun perangkat itu menjadi objek yang sebenarnya. Apabila yang ada adalah citra yang sama bagi wujudnya, sementara ia ada dalam daya akal yang berada pada perangkat tersebut, maka pasti akan berhimpun dua citra yang sama, padahal itu adalah mustahil.
Apabila pendapat ini batil, pasti daya akal (quwwah ‘aqliyyah) mampu memersepsi perangkatnya, tentu persepsi itu merupakan penyataan tentang pencapaian perangkat itu oleh daya akal (quwwah ‘aqliyyah). Sehingga pencapaian persepsi itu menjadi berkesinambungan. Apabila kadar ini dianggap cukup, ia pasti menjamin pencapaian persepsi. Tetapi apabila kadar ini tidak dianggap cukup, pasti hal itu akan menghalangi pencapaian persepsi pada waktu tertentu. Apabila persepsi dapat dicapai pada waktu tertentu dan tidak pada waktu yang lain, itu terjadi disebabkan adanya sesuatu yang berlebih dari kemunculan citra perangkat (yang digunakan dalam persepsi).
Keenam, setiap orang pasti memersepsikan dirinya, sementara persepsi atas sesuatu merupakan pernyataan mengenai munculnya entitas objek pengetahuan oleh subjek pengetahuan. Apabila kita mengetahui jiwa kita, itu terjadi mungkin Karena keberadaan diri kita bagi diri kita, atau mungkin karena keberadaan citra yang sama dengan diri kita di dalam diri kita. Kemungkinan yang kedua ini tentu saja batil, karena kalau tidak maka menjadi keharusan berpadunya kedua model tersebut. Padahal sudah pasti bahwa pengetahuan kita tentang diri kita tidak akan ada artinya kecuali hanya dengan keberadaan diri kita pada diri kita. Hal ini terjadi apabila diri kita adalah berupa diri yang berdiri sendiri dan tidak membutuhkan tempat (mahall). Karena apabila diri kita bertempat di suatu tempat, berarti diri kita berada pada tempat tersebut. Sudahlah pasti bahwa pengertian ini dicapai apabila jiwa bersifat mandiri dan tidak membutuhkan tempat (mahall) baginya untuk bertempat.
Ketujuh, hajah yang digunakan oleh Abu Barakat al-Baghdadi yang membatalkan semua hujah lainnya. Dia menyatakan, “Kami tidak ragu bahwa seorang dari Kami memungkinkan untuk mengkhayalkan lautan perak. gunung yaqut, beberapa matahari, dan beberapa rembulan.” Citra khayalan seperti itu tidak dapat dianggap tidak ada; karena daya khayal memang menunjukkan citra khayalan seperti itu, berikut perbedaan antara satu citra khayalan dengan yang lain. Mungkin saja si pengkhayal mampu membuat semua citra khayalannya itu menjadi seperti objek yang disaksikan dan terindra. Sementara itu telah diketahui bahwa ketiadaan absolut dan kenafian gerak tidak dapat menetapkan keberadaan semua itu. Kita juga mengetahui secara pasti bahwa citra-citra khayalan seperti itu bukan ada secara kasat mata, sehingga yang dapat dipastikan adalah bahwa semua citra khayalan itu hanya maujud dalam pikiran.
Sampai di situ kita dapat mengatakan bahwa tempat citra tersebut adalah mungkin berupa jisim, atau berada dalam jisim, atau ia bukan berupa jisim, atau tidak berada dalam jisim. Tentu saja, kedua hal pertama (hal pertama dan kedua) adalah batil. Karena citra laut dan gunung adalah citra yang sangat besar, sementara otak dan kalbu adalah jisim yang kecil; padahal dimuatnya sesuatu yang sangat besar dalam sesuatu yang kecil adalah mustahil. Jadi, dapat dipastikan bahwa tempat Citra khayalan itu bukan berupa jisim dan bukan berupa sesuatu yang bersifat jasmani.
Kedelapan, apabila daya akal (quwwah ‘aqliyyah) jasmani memang ada, pasti ia melemah di masa tua. Padahal tidak seperti itu.
Kesembilan, daya akal tidak membutuhkan gerakan yang dilakukan jisim, dan semua yang tidak membutuhkan jisim dalam gerakannya harus tidak membutuhkan jisim pada tataran zatnya.
Penjelasan bagian pertama dari pernyataan ini yaitu, bahwa daya akal (quwwah ‘aqliyyah) dapat memersepsi dirinya sendiri. Jadi mustahil apabila di antara daya akal dan diri itu terdapat perangkat yang menjadi perantara. Dan lagi, persepsi akal itu dapat memersepsi dirinya sendiri. Tentu saja persepsi itu bukanlah perangkat. Dan lagi, akal dapat memersepsi jisim yang menjadi perangkatnya, dan tidak ada perangkat lain antara akal dengan perangkatnya.
Penjelasan bagian pertama dari pernyataan ini dapat disampaikan dalam dua poin:
- Daya jasmani seperti daya lihat, daya dengar, daya khayal, dan daya sangka, walaupun bersifat jasmani, tetapi amatlah sulit untuk diketahui substansinya, padahal persepsi akal terhadap keberadaannya merupakan bentuk persepsi pada substansinya dan juga persepsi pada jisim-jisim yang membawanya. Apabila daya akal (quwwah ‘aqliyyah) bersifat jasmani, akan sulitlah baginya ketiga hal ini.
- Sumber perbuatan berasal dari jiwa. Apabila jiwa berhubungan dalam keberadaan dan wujudnya dengan jisim, semua perbuatan tidak akan pernah ada, kecuali hanya dengan terjadinya kerja sama dengan jisim. Ketika telah dipastikan bahwa memang seperti itu kenyataannya, maka dapat dipastikan pula bahwa daya akal tidak dapat tidak (maksudnya, pasti) membutuhkan jisim.
Kesepuluh, daya jasmani akan merasakan lelah dengan banyaknya perbuatan yang dilakukan. Orang yang sebelumnya kuat, pasti tidak akan kuat lagi setelah menjadi lemah. Penyebab terjadinya hal seperti itu yaitu karena materi daya jasmani pasti akan melemah dan rusak apabila melakukan berbagai macam perbuatan yang dilakukannya. Sementara itu, daya akal (quwwah ‘aqliyyah) tidak dapat melemah disebabkan banyaknya perbuatan yang dilakukannya. Bahkan daya dapat menjadi semakin kuat setelah sebelumnya lemah. Oleh sebab itu, daya akal pasti bukan bersifat jasmani.
Kesebelas, apabila kita telah menetapkan bahwa hitam merupakan lawan dari putih, pasti tidak boleh muncul dalam benak kita adanya suatu entitas yang memadukan hitam dan putih. Intuisi kita pun menyatakan bahwa bergabungnya hitam dan putih atau panas dan dingin pada jisim adalah mustahil. Ketika diketahui bahwa penggabungan seperti itu dapat terjadi pada daya akal, pastilah daya akal itu tidak bersifat jasmani.
Kedua belas, apabila tempat (mahall) berbagai persepsi adalah jisim, padahal semua jisim pasti dapat dibagi-bagi, maka tidak dapat dianggap tidak mungkin adanya sebagian dari bagian-bagian jisim yang memiliki pengetahuan tentang sesuatu, sementara bagian yang lainnya tidak mengetahui sesuatu itu. Sampai di situ, manusia berada dalam satu kondisi tunggal: tahu dan sekaligus tidak tahu tentang satu entitas tunggal.
Ketiga belas, apabila pada materi jasmani muncul beberapa jiwa khusus tertentu, jiwa-jiwa itu akan menghalangi munculnya jiwa-jiwa yang lain. Sementara jiwa-jiwa yang bersifat aqliy tidaklah seperti itu. Karena ketika jiwa kosong dari berbagai pengetahuan dan persepsi, maka akan sulitlah baginya untuk belajar. Apabila anda mempelajari sesuatu, tentu pencapainya berbagai ilmu itu akan membantu anda untuk mencapai pengetahuan yang lain. Jiwa-jiwa yang bersifat jasmani selalu berubah dan saling menafikan, sementara jiwa-jiwa yang bersifat aqliv selalu saling membantu dan menolong.
Keempat belas, apabila jiwa memang berbentuk jisim, pasti di antara keinginan seseorang untuk menggerakkan kakinya dan gerakan kakinya itu ada jeda waktu sesuai dengan kadar gerakan dan bobotnya. Jiwa merupakan penggerak bagi jisim dan menjadi pihak yang memiliki keinginan untuk melakukan gerak tersebut. Apabila penggerak pada diri manusia adalah berupa jisim, ia harus muncul dari salah satu anggota tubuh, atau datang kepada anggota tubuh yang bersangkutan. Apabila penggerak itu memang datang kepadanya, hal itu pasti membutuhkan jeda waktu. Apabila penggerak itu muncul padanya, sementara kita sudah memastikan bahwa apabila anggota tubuh yang gerakan itu terjadi padanya dipotong, pasti tidak akan ada apa-apa lagi pada anggota tubuh yang digerakkan itu. Apabila yang digerakkan itu menghasilkan gerak di dalamnya, pasti akan tersisa sesuatu pada anggota tubuh tersebut.
Kelima belas, apabila jiwa berupa jisim, pasti ia terbagi-bagi sehingga menjadi benar bahwa ia dapat diketahui sebagiannya sebagaimana ia dapat diketahui seluruhnya. Dari situ, manusia akan mengetahui sebagian dari jiwanya sendiri tetapi tidak mengetahui sebagian yang lain. Padahal hal seperti mustahil adanya.
Keenam belas, apabila jiwa adalah jisim, pasti raga akan merasakan bobot jiwa itu ketika jiwa memasukinya. Karena kondisi jisim yang kosong pasti akan menjadi berat apabila ada sesuatu yang lain yang memenuhinya, seperti halnya sebuah karung yang kosong. Padahal kenyataannya yang terjadi adalah sebaliknya. Raga justru menjadi ringan apabila terdapat jiwa di dalamnya, dan menjadi lebih berat apabila jiwa sudah terpisah darinya.
Ketujuh belas, apabila jiwa adalah jisim, pasti jiwa itu juga memiliki semua sifat yang dimiliki jisim yang tidak mungkin tidak dimilikinya; semisal sifat ringan, berat, panas, dingin, sejuk, hangat, hitam, putih, dan berbagai sifat jisim lainnya. Padahal telah diketahui bahwa kondisi jisim berupa berbagai keutamaan dan kehinaan yang bukan berbentuk kondisi jasmani. Dengan demikian, jiwa pasti bukan jisim.
Kedelapan belas, apabila jiwa adalah jisim, dapat dipastikan bahwa jiwa berada di bawah semua indera, atau berada di bawah salah satu, dua, atau lebih di antara indera-indera yang ada. Kami melihat bahwa semua jisim merupakan objek yang dapat dipersepsi menggunakan seluruh indera. Di antaranya ada yang dipersepsi dengan sebagian besarnya. Dan di antaranya ada yang dipersepsi dengan dua atau satu indera saja. Jiwa tentu saja terbebas dari hal seperti ini.
Demikianlah hujah yang digunakan oleh kelompok-kelompok kafir ketika mereka mengingkari Allah swt. Mereka berkata, “Apabila memang Tuhan itu maujud, Ia pasti dapat dipersepsi oleh salah satu indera.” Lalu dia mempertentangkannya dengan jiwa. Pertentangan seperti itu akan dapat dilakukan apabila Dia bukan berupa jisim. Apabila Dia berupa jisim, persepsinya dapat dilakukan dengan indera tertentu.
Kesembilan belas, apabila jiwa berupa jisim, pasti ia memiliki panjang, lebar, dalam, permukaan, dan bentuk. Padahal ukuran-ukuran dan jarak seperti itu mungkin terjadi kecuali dengan adanya materi dan tempat. Apabila materi dan tempat jiwa itu juga berupa jiwa, berarti terjadi perpaduan dua jiwa. Apabila jiwa bukan berupa jiwa, berarti jiwa terbentuk dari raga dan citra. Dengan demikian maka satu “manusia” sebenarnya terdiri dari “dua manusia”.
Kedua puluh, salah satu kekhasan jisim yaitu keberterimaannya pada pembagian. Bagian yang kecil dari satu jisim pasti tidak sama dengan bagiannya yang besar. Apabila jisim berterima pada pembagian, setiap bagian darinya—apabila jisim itu berupa jiwa, menjadikan satu orang manusia memiliki beberapa jiwa yang banyak, bukan hanya satu jiwa. Apabila itu tidak dapat disebut satu jiwa, himpunannya juga tidak dapat disebut jiwa. Sama seperti apabila satu bagian dari air bukan air, himpunannya juga bukan air.
Kedua puluh satu, jisim membutuhkan jiwa dalam keberlangsungannya, kelestariannya, dan keberadaannya. Itulah sebabnya jisim menjadi hancur dan rusak ketika jiwa meninggalkannya. Apabila jiwa itu jisim, ia pasti membutuhkan jiwa lain; dan jiwa lain itu akan membutuhkan jiwa lain lagi, dan demikian seterusnya tanpa ada ujungnya. Tentu saja hal ini mustahil terjadi.
Kedua puluh dua, apabila jiwa berupa jisim, artinya ketika terhubungnya jiwa dengan jisim itu terjadi dengan cara “merasuk” (mudakhalah), tentulah itu akan menyebabkan terjadinya merasuknya jisim ke dalam jisim. Apabila terhubungnya jiwa dengan jisim itu terjadi dengan cara “melekat” (mulashaqah) atau “mendempet” (mujawarah), maka berarti satu “manusia” merupakan dua jisim yang berdempet, yang satu dapat dilihat dan yang satu lagi tidak dapat dilihat.
Pendapat seperti inilah yang dikhayalkan oleh kelompok sesat ini! Kami menanggapi pendapat mereka secara rinci satu persatu dengan daya, kekuatan, pertolongan Allah swt.
PASAL
Jawaban atas dalil-dalil mereka yang menentang pendapat kami.
Berkenaan dengan pernyataan mereka bahwa semua pemikir bersepakat pada pendapat mereka bahwa adanya “ruh dan jisim” serta “jiwa dan jisim” menunjukkan perubahan keduanya. Berikut ini jawaban kami.
Yang disebut “jisim” dalam istilah kaum filsuf dan ahli Ilmu Kalam (mutakallim) jauh lebih umum daripada pengertian kata ini dalam Bahasa Arab dan tradisi masyarakat. Para filsuf menggunakan kata “jisim” untuk menyebut apa pun yang berterima pada tiga dimensi (panjang, lebar, dan dalam—Penj.); baik objek yang bersangkutan ringan maupun berat, dapat dilihat maupun tidak dapat dilihat. Mereka menyebut udara sebagai jisim, api sebagai jisim, dan air juga sebagai jisim. Demikian pula halnya dengan kabut, asap, dan benda-benda langit. Padahal dalam bahasa Arab sama sekali tidak pernah dikenal penggunaan kata “jisim’”’ untuk objek-objek seperti itu. Jadi, semua ini merupakan bahasa dan kebiasaan mereka. Dan penukilan ini berasal dari mereka dalam buku-buku bahasa.
Jauhari menyatakan, “Abu Zaid menyatakan bahwa kata ‘jisim’ (jism) sama dengan ‘jasad’ (Jasad). Begitu pula halnya Kata ‘jusman’ dan ‘jutsman’.”
Ashmu’i menyatakan bahwa Kata “jism” dan “jusman’’ berarti sad”. Sementara Kata “jutsman” berarti “individu” (syakhsh).
Kalimat jasuma asy-syai berarti “‘sesuatu itu membesar”’; sehingga kata jasim berarti “‘sangat besar” (‘azhim). Kata lain yang berarti sama adalah jusam dengan harakat dhammah pada huruf dhad.
Apabila kami menyebut “jiwa” (nafs) dengan kata “jisim’’, sebenarnya itu berdasarkan istilah yang mereka gunakan dan kebiasaan dalam kata-kata mereka. Kalau tidak seperti itu, jiwa bukanlah jisim berdasarkan bahasa. Yang kami maksudkan bahwa jiwa itu jisim adalah: Menetapkan sifat, perbuatan, dan hukum yang ditunjukkan oleh syariat, akal, dan indera: yaitu dalam bentuk gerak, pindah, naik, turun, persentuhan dengan nikmat, siksa, kelezatan, dan sakit. Selain itu ia juga dapat ditahan, dilepaskan, direngkuh, masuk, dan keluar.
Itulah sebabnya, kami menggunakan istilah “‘jisim” sebagai bentuk implementasi bagi pengertian-pengertian seperti itu. Apabila kemudian para ahli bahasa tidak menggunakan kata jisim untuk menyebut jiwa, pembicaraan dengan kelompok batil ini adalah pada tataran pengertian bukan pada tataran lafal. Demikianlah pula halnya ucapan pada ahli pidato yang menyatakan bahwa “ruh” adalah “jisim” sebenarnya dalam pengertian seperti ini.
PASAL
Berkenaan dengan syubhat (ketidakjelasan) yang kedua, ini merupakan syubhat (ketidakjelasan) mereka yang paling parah yang gunakan sebagai argumentasi. Syubhat ini dibangun di atas empat premis:
- Wujud sama sekali tidak dapat dibagi dengan cara apapun juga;
- Wujud pasti dapat diketahui;
- Pengetahuan tentang wujud pasti tidak dapat dibagi-bagi;
- Tempat (mahall) pengetahuan pasti juga seperti itu (tidak dapat dibagi-bagi), karena kalau tempat itu berupa jisim maka ia pasti dapat dibagi-bagi.
Dalam masalah ini kelompok sesat ini ditentang oleh mayoritas pemikir. Mereka menyatakan, “Kalian belum memiliki dalil yang menunjukkan bahwa di antara semua wujud ada entitas yang tidak dapat berterima baik pada pembagian yang bersifat fisik (qasamah hissiyyah) maupun pembagian yang bersifat ilusif (qasamah wahmiyyah). Yang ada di tangan kalian hanyalah berbagai klaim yang tidak ada kenyataannya! Kalian menetapkannya dari yang wajib ada, padahal itu berdasarkan pandangan kalian yang batil menurut semua pemikir, baik dari kalangan beragama maupun yang lain, dalam bentuk pengingkaran terhadap esensi Tuhan berikut segala sifat-Nya dan juga bahwa Dia maujud mandiri tanpa sifat dan tanpa esensi.
Ini merupakan sebuah pendapat yang dengannya Kalian menyelisihi akal, semua Kitab Suci yang diturunkan dari langit, dan ijmak semua rasul. Dengan pendapat itu juga kalian telah menafikan pengetahuan Allah, kuasa-Nya, kehendak-Nya, pendengaran-Nya, penglihatan-Nya, dan ketinggian-Nya daripada semua makhluk. Dengan pendapat itu kalian juga menafikan penciptaan langit dan bumi dalam waktu enam masa. Namun kalian sebut itu sebagai tauhid, padahal itu. merupakan pangkal sepala kerancuan.”
Mereka menyatakan, “Inti (nuqthah) yang kalian gunakan sebagai dalil merupakan bagian yang paling menampakkan kebatilan dalil kalian sendiri. Karena jiwa sama sekali tidak dapat dibagi dan ia berada di dalam jisim yang dapat dibagi. Karena sesuatu yang tidak dapat dibagi dapat berada dalam sesuatu yang dapat dibagi. Orang-orang yang menetapkan adanya substansi mandiri (jauhar fard)-yaitu kalangan mutakallim—menentang kalian berkenaan dengan dasar ini dengan mengatakan bahwa substansi dapat berada dalam jisim, bahkan jisim terbentuk darinya. Karena sesuatu yang tidak dapat dibagi dapat berada dalam sesuatu yang dapat dibagi.
Dalil kalian tidak dapat disempurnakan, kecuali dengan menafikan keberadaan substansi mandiri (jauhar fard). Apabila kalian menyatakan bahwa inti (nuqthah) adalah inti yang digunakan untuk menyebut penghujung dan ketiadaan dari garis, berarti ia merupakan sesuatu yang tidak ada (amr ‘adamiy) sehingga penggunaannya sebagai dalil oleh kalian menjadi batil. Apabila ia merupakan sesuatu yang ada (amr wujudiy), ia berada dalam sesuatu yang dapat dibagi, sehingga pada kedua kondisi itu dalil tersebut menjadi batil.”
Mereka menyatakan, “Selain itu, pengetahuan tidak berada pada. tempatnya dan tidak pula secara menyebar dan mengalir; karena bertempatnya segala sesuatu di tempatnya sesuai dengan kondisinya. Keberadaan hewan dalam kandang-merupakan suatu bentuk, keberadaan garis dalam buku merupakan satu bentuk, keberadaan lemak dalam wijen merupakan suatu bentuk, keberadaan tampilan dalam jisim merupakan suatu bentuk, keberadaan ruh dalam raga merupakan suatu bentuk, dan keberadaan ilmu pengetahuan dalam jiwa merupakan suatu bentuk.”
Mereka menyatakan, “Selain itu, ketunggalan dapat terjadi. Apabila jiwa berupa substansi, berarti terbukti adanya substansi mandiri (jauhar fard) dan dalil kalian menjadi batal, karena dalil itu tidak dapat lengkap kecuali hanya dengan dinafikannya substansi mandiri (jauhar fard). Apabila jiwa berupa tampilan, jiwa harus memiliki tempat. Jika jiwa memiliki tempat, dan tempatnya dapat dibagi, berarti sesuatu yang tidak dapat dibagi dapat ada pada sesuatu yang dapa dibagi. Apabila. tempat jiwa itu tidak dapat dibagi, ia pasti berupa substansi sehingga dalil kami menjadi batal.
Apabila kalian menyatakan bahwa ketunggalan merupakan sesuatu yang tidak ada (amr ‘adamiy) dan tidak pernah maujud dalam realitas, seperti itulah pula apa yang kalian tempatkan; yaitu bahwa wujud yang tidak dapat dibagi semuanya adalah sesuatu yang tidak ada (amp ‘adamiy) dan tidak maujud dalam realitas. Karena sifat wajib ada (wdjib al-wujud) yang kalian tetapkan itu merupakan sesuatu yang tidak ada (amr ‘adamiy). Bahkan ia menjadi mustahil ada (mustahil al-wujud).”
Mereka menyatakan, “Selain itu, berbagai bentuk pengaitan dapat dilakukan terhadap semua jisim, seperti posisi atas, bawah, memiliki, dan dimiliki. Apabila sesuatu yang bertempat menjadi dapat dibagj akibat tempat yang ditempatinya, berarti harus terbagi pula berbagaj pengaitan tersebut, sehingga akhirnya hakikat posisi atas dan bawah memiliki ukuran seperempat dan seperdelapan. Padahal hal seperti itu tidak masuk akal.”
Mereka menyatakan, “Daya ilusi dan daya pikir bersifat jasmani menurut pemimpin kalian Ibnu Sina, sehingga ia pasti memiliki bagian-bagian. Padahal hal itu mustahil; karena apabila hal-hal seperti itu dapat dibagi, setiap bagiannya pasti sama antara satu sama lain apabila semuanya sama sepertinya. Namun apabila bagian-bagian itu tidak sama sepertinya, maka bagian-bagian itu tidak seperti itu. Selain itu, ilusi sebenarnya tidak ada artinya selain hanya untuk menyebut bahwa ini adalah teman dan itu adalah musuh, dan semua itu tidak dapat dibagi.”
Mereka menyatakan, “Menurut kalian, wujud merupakan tambahan bagi berbagai entitas. Apabila pembagian sesuatu yang bertempat harus terjadi disebabkan terbaginya tempatnya, pembagian wujud tersebut menjadi harus terjadi disebabkan terbaginya tempatnya. Hal ini tidak harus terjadi disebabkan diubahnya wujud sesuatu sebagai entitasnya.”
Mereka menyatakan, “Selain itu, karakter bilangan-bilangan merupakan sebagai entitas-entitas yang berbeda-beda. Pemahaman bahwa ‘sepuluh’ adalah sepuluh merupakan satu pemahaman tunggal pada entitas tunggal. Entitas tersebut mungkin saja dapat berupa tampilan bagi masing-masing objek dari semua objek yang ada—dan itu mustahil; atau ia terbagi disebabkan terbaginya masing-masing objek tersebut—dan itu juga mustahil. Karena pemahaman bahwa ‘sepuluh’ adalah sepuluh tidak dapat dibagi-bagi. Ya, “yang sepuluh” memang dapat dibagi, tetapi tidak dengan kesepuluhannya.”
Mereka menyatakan, “Sesuatu yang tidak dapat dibagi dapat ada dengan sesuatu yang dapat dibagi.” Mereka menyatakan, “Selain itu, kualitas-kualitas dapat ada dengan kuantitas-kuantitas, seperti lingkaran dengan Tengkungan. Menurut pada filsuf semua itu merupakan bentuk tampilan yang ada dalam bentuk lingkaran. Apabila jiwa merupakan tampilan, baik ia ada secara utuh dengan adanya tiap-tiap bagiann yadan itu mustahil maupun tampilan itu terbagi dengan terbaginya bagian-bagian, lalu setiap bagian dari bagian-bagian satu garis ada bagian yang menjadi bagian dari tampilan tersebut, maka itu juga mustahil.
Penyebabnya yaitu karena bagian tersebut walaupun berupa lengkungan, tetapi pasti bagian dari sebuah lingkaran tetaplah lingkaran. Apabila ia tidak melengkung di saat bertemunya seluruh bagian, seandainya tidak terjadi hal-hal lain, pasti lingkaran tidak akan terjadi. Apabila terjadi hal lain, seandainya sesuatu itu dapat dibagi, pembagian itu pasti berulang. Apabila sesuatu itu tidak dapat dibagi, yang bertempat itu tidak dapat dibagi sementara tempatnya dapat dibagi.”
Menurut saya, pendapat seperti ini tidak harus bagi mereka. Mereka boleh menyatakan bahwa sesuatu dapat dibagi dengan terbaginya tempat sesuatu itu karena mengikutinya, seperti halnya semua tampilan yang ada dengan tempatnya berupa putih dan hitam. Adapun pada sesuatu yang tidak dapat dibagi seperti contohnya “panjang”, maka syarat pencapaiannya adalah berhimpunnya seluruh bagian. Sebab sesuatu yang terkait dengan sesuatu syarat akan menjadi hilang dengan hilangnya syarat yang bersangkutan.
Mereka menyatakan, “Jisim-jisim yang ada selalu bersifat mungkin dengan zat jisim-jisim itu sendiri. Tetapi hal itu merupakan sebuah sifat tampilan baginya yang berada di luar esensinya. Apabila ia tidak terbagi dengan terbaginya tempatnya, dalil yang digunakan menjadi batal. Apabila ia terbagi, kembalilah semua hal terlarang yang telah disebutkan tadi berupa kesamaan atau berupa keterkaitan antara ‘yang bagian’ dengan ‘yang keseluruhan’.”
Menurut saya, hal ini juga tidak harus, karena kemungkinan bukanlah sesuatu yang dapat menunjukkan keberterimaan sesuatu yang mungkin ada dan mungkin tidak ada. Keberterimaan itu menjadi salah satu konsekuensi zat sesuatu itu, tetapi bukan merupakan sifat yang tambil darinya. Hanya saja pikiran manusia menempatkan keberterimaan itu dari objek keberterimaan itu, sehingga semua itu menjadi tampilannya bagi esensi dengan kemandirian pikiran.
Berkenaan dengan masalah kesamaan antara “yang bagian” dengan “yang keseluruhan”, sama sekali tidak ada halangan pada hal tersebut seperti yang terjadi pada semua entitas sederhana. Bagian-bagian dari semua entitas seperti itu sama dengan keseluruhannya, baik pada batasan maupun pada hakikatnya. Contohnya, seperti air, tanah, dan udara. Karena sebenarnya yang tidak dapat disamakan antara “yang bagian” dengan “yang keseluruhan” yaitu pada aspek kuantitasnya bukan pada hakikatnya.
Landasan pembatalan syubhat (ketidakjelasan) ini, yaitu bahwasanya ilmu bukanlah citra yang bertempat dalam jiwa, melainkan bentuk penisbatan dan pengaitan antara subjek ilmu (‘alim) dengan objek ilmu (ma’lum). Seperti yang kami nyatakan tentang penglihatan; bahwa penglihatan tidak terjadi karena adanya kesan citra yang sama pada objek penglihatan pada daya penglihatan, melainkan merupakan bentuk penisbatan dan pengaitan antara daya penglihatan dan objek penglihatan,
Semua syubhat (ketidakjelasan) mereka yang mereka sampaikan di bagian ini didirikan di atas kesan citra objek pengetahuan pada daya pengetahuan. Lalu di antara dasar itu pula mereka mendirikan pendapat yang menyatakan bahwa pembagian sesuatu yang tidak terbagi pada sesuatu yang dapat dibagi adalah mustahil.
Mereka menyatakan bahwa tempat berbagai ilmu pengetahuan universal—apabila itu berupa jisim atau sesuatu yang bersifat jasmani—pasti akan membagi berbagai pengetahuan itu. Karena sesuatu yang berada di sesuatu yang dapat dibagi pasti dapat dibagi. Mereka tidak menyebutkan satu dalil pun yang menunjukkan kesahihan premis ini, bahkan tidak pula ada bukti yang tidak jelas. Karena yang ada di tangan mereka hanyalah serangkaian klaim. Ia bukanlah berupa aksioma sampai tidak memerlukan dalil sama sekali. Ia didirikan di atas landasaan bahwa ilmu mengenai sesuatu merupakan pernyataan atas pencapaian citra yang sama dengan esensi objek pengetahuan dalam diri subjek pengetahuan. Inilah salah satu kebatilan yang paling parah di antara semua yang telah disebutkan di sana.
Selain itu, apabila kami menerima itu dari kalian, itu merupakan dalil yang paling jelas menunjukkan kebatilan pendapat kalian. Apabila citra tersebut berada pada substansi jiwa yang dapat bicara, ia merupakan citra parsial yang beradal pada jiwa parsial yang melekat padanya segala bentuk tampilan yang berada pada jiwa parsial itu. Apabila kita renungkan citra tersebut bersama berbagai hal yang melekat padanya, citra itu tidak mandiri. melainkan tersambung dengan berbagai hal yang melekat padanya dan dengan berbagai tampilan. Padahal kondisi seperti itu menghalangi keuniversalannya.
Apabila kalian menyatakan bahwa yang dimaksud dengan keuniversalan Citra itu adalah apabila kita menghapuskan berbagai hal yang melekat padanya lalu kita pikirkan Citra itu dari posisi yang sebenarnya, Maka ia bersifat universal. Sehingga, kami katakan kepada kalian bahwa apabila hal itu boleh, lantas mengapa tidak boleh dikatakan bahwa Citra ini berada dalam materi jasmani yang khusus, dengan kadar yang tertentu dan dengan kualitas tertentu. Terkecuali bahwa apabila kita menghilangkan semua itu darinya, lalu kita pikirkan Citra itu dari posisinya, ia sama dengan citra yang kita lakukan itu? Sesuatu yang ditentukan berhadapan dengan sesuatu yang ditentukan, sementara yang muthlag (tidak ditentukan) diambil dari posisinya ketika berhadapan dengan tempatnya yang bersifat muthlag. Inilah rasionalitas yang dibenarkan oleh akal sehat dan timbangan yang benar.
Jadi, tampak jelaslah bahwa syubhat (ketidakjelasan) ini merupakan syubhat yang paling buruk dan paling batil. Karena sebenarnya ketika mereka diberikan hal-hal universal, merekalah yang menghancurkan bangunan mereka sendiri serta merusak penglihatan dan pandangan mereka. Mereka mengenyampingkan berbagai hal universal yang tidak ada wujudnya dalam kenyataan, lalu mereka menetapkan semua itu dengan ketentuan yang berlaku pada entitas maujud serta menjadikannya sebagai timbangan dan dasar bagi semua entitas maujud. Ketika mereka mengesampingkan berbagai citra yang menjadi objek pengetahuan lalu menjadikannya sebagai bentuk universal, maka kami mengenyampingkan tempatnya dan kami jadikan itu sebagai bentuk universal. Apabila yang diambil adalah bagian parsial tertentu, maka tempatnya juga seperti itu. Karena yang universal berhadapan dengan yang universal, dan yang parsial berhadapan dengan yang parsial.
Kami menyatakan bahwa di dalam pikiran tidak ada sesuatu apa pun yang bersifat universal, karena di dalam pikiran hanya ada citra tertentu yang sesuai dengan seluruh individu yang menjadi bagiannya. Apabila ia disebut universal dengan pernyataan seperti ini, maka memang seperti itulah pelafalannya, ia menjadi universal dan sekaligus Pparsial dengan dua pernyataan itu.
PASAL
Berkenaan dengan pernyataan kalian pada poin ketiga, bahwa semua citra rasional pasti bersifat mandiri, yang kemandiriannya disebabkan hal yang mengambilnya, yaitu daya akal, tanggapan kami sebagai berikut.
Apakah sebenarnya yang kalian maksud dengan citra rasional universal itu? Apakah yang kalian maksud objek pengetahuan yang dicapaj oleh subjek pengetahuan, ataukah bahwa pengetahuan tentangnya dicapai dalam subjek pengetahuan itu sendiri?
Yang pertama jelas mustahil, sementara yang kedua memang benar hanya saja itu tidak berguna apa-apa bagi kalian. Karena hal universal yang berlaku umum pada semua individu manusia adalah kemanusiaan itu sendiri bukan pengetahuan tentang kemanusiaan. Sementara kemanusiaan tidak memiliki wujud pada ranah kenyataan secara universal. Karena yang wujud dalam kenyataan hanyalah hal-hal yang tertentu saja, sementara pengetahuan selalu mengikuti objek pengetahuan. Maka sebagaimana objek pengetahuan itu tertentu, maka pengetahuan tentangnya pun tertentu. Namun, ia berupa citra yang cocok dengan banyak individu. Dengan demikian di dalam pikiran dan di luar pikiran (dalam kenyataan) tidak ada citra apa pun yang tidak terbagi sama sekali. Betapa banyak kelompok pemikir yang keliru dalam hal ini. Hanya Allah yang mengetahui jumlah mereka.
Citra universal yang mereka pastikan wujudnya dan mereka yakini bahwa citra universal itu berada di dalam jiwa, itu merupakan citra individual yang memiliki sifat-sifat tampilan individual. Taruhlah kalau memang citra rasional itu berada dalam substansi dan ia bukan berupa jisim serta bukan pula sesuatu yang bersifat jasmani, ia tidak mandiri terlepas dari segala bentuk tampilan.
Apabila kalian menyatakan bahwa yang kalian maksud dengan wujudnya (citra rasional) yang mandiri adalah pandangan kepada citra tersebut dari posisinya sembari tidak melihat berbagai tampilan yang ada; maka kami nyatakan bahwa citra seperti itu tidak boleh ada pada tempat yang bersifat jasmani dan dapat dibagi. Ia mandiri jika kita melihatnya dari posisinya, dengan memutuskan pandangan dari semua tampilannya.
PASAL
Pernyataan kalian pada poin keempat, bahwa daya akal (quwwah agliyyah) dapat kuat melakukan berbagai perbuatan tanpa batas. Sementara tidak ada satu pun daya jasmani yang seperti itu; maka jawaban atas pernyataan itu yaitu, bahwa kami tidak dapat menerima bahwa daya akal dapat melakukan berbagai perbuatan tanpa batas.
Pernyataan kalian bahwa daya akal mampu melakukan berbagai persepsi tanpa batas, sementara semua persepsi itu termasuk perbuatan (fa’al) merupakan dua premis bohong. Karena berbagai persepsi yang dapat dilakukan oleh daya akal walau sejauh apa pun, semua itu tetaplah terbatas. Walaupun daya akal memiliki kemampuan untuk melakukan sejuta persepsi, pasti persepsi itu tetap ada ujungnya. Daya akal pasti berujung pada berbagai persepsi dan pengetahuan sampai satu batas yang tidak mungkin lagi baginya untuk melampauinya. Allah swt. berfirman,
“Dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi Yang Maha Mengetahui.” (QS. Yusuf [12]: 76); sampai akhirnya ilmu pengetahuan berakhir di tangan Dia yang “Maha Mengetahui segala sesuatu” (bikulli syai’ ‘alim).
Dialah Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia semata. Itu menjadi salah satu kekhasan-Nya yang tidak ada sesuatu apa pun yang menyekutui-Nya dalam keistimewaan itu.
Apabila kalian menyatakan bahwa apabila persepsi daya akal berujung pada suatu batas tertentu yang tidak memungkinkan baginya untuk melampaui batas itu, berarti harus terjadi berbaliknya sesuatu dari kemungkinan intrinsik (iman dzatiy) menjadi ketidakmungkinan intrinsik (imtind’ dzatiy). Tanggapan kami atas penyataan kalian itu yaitu, bahwa apabila hal ini memang benar, berarti itu menunjukkan bahwa daya jasmani kuat untuk melakukan perbuatan tak terbatas, dan itu meniscayakan gugurnya syubhat ini dan kebatilannya.
Selain itu, daya khayal, daya pikir, dan daya ingat kuat (mampu) untuk menghadirkan berbagai objek khayal dan objek ingatan hingga tak terbatas, walaupun menurut kalian daya-daya itu merupakan daya jasmani. Jika kalian menyatakan bahwa kalian tidak dapat menerima, bahwa daya-daya tersebut mampu melalukan hal-hal tak terbatas; maka akan dikatakan kepada kalian bahwa pernyataan itu juga disampaikan oleh seteru kalian dalam masalah daya akal.
Berkenaan dengan kebohongan premis kedua, sebenarnya persepsi bukanlah perbuatan, sehingga tidaklah sesuatu yang terbatas perbuatannya maka pasti persepsinya juga terbatas. Kalian telah menyatakan bahwa substansi akal berterima pada citra objek pengetahuan, bukan bahwa ia adalah subjek perbuatan (pelaku) citra objek pengetahuan itu. Menurut kalian, sesuatu yang satu tidak dapat menjadi pelaku yang sekaligus penerima. Kalian telah menyatakan bahwa semua jisim tidak mungkin dapat melakukan perbuatan-perbuatan tanpa batas, sementara semua jisim tidaklah terhalang untuk menerima berbagai objek penerimaan dan objek perbuatan tanpa batas.
Ibnu Sina telah menyampaikan sebuah pertanyaan terhadap syubhat (ketidakjelasan) yang satu ini. Dia berkata, “Bukankah jiwa kosmos (nafs falakiyyah) yang menggerakkan kosmos merupakan daya jasmani. Sementara gerak kosmos tidaklah terbatas?” Ibnu Sina lalu menjawab pertanyaan itu dengan menyatakan bahwa walaupun jiwa kosmos me-~ rupakan daya jasmani, hanya saja ia mengandalkan kesempurnaan dari akal pembeda (‘aql mufariq). Karena sebab inilah jiwa kosmos mampu melakukan berbagai perbuatan yang tidak terbatas.
Kami menyatakan bahwa apabila masalah ini memang seperti ini, mengapa tidak boleh untuk dikatakan bahwa jiwa penalar (nafs nathiqah) mendapatkan kesempurnaan dan kekuatan dari Pencipta dan Pembuatnya yang memiliki segenap kekuatan? Jadi tidaklah mustahil ia mampu melakukan segala yang tidak terbatas walaupun ia bersifat jasmani. Apabila anda menyatakan itu, berarti anda sudah bersepakat dengan para rasul dan akal. Anda pun telah bergabung dengan kaum muslimin dan berpisah dari gerombolan orang-orang batil.
PASAL
Pernyataan kalian poin kelima. Apabila daya akal bertempat pada perangkat jasmani maka wajiblah baginya untuk selalu ada dalam persepsi terhadap perangkat tersebut, atau ia terhalang dari persepsi terhadapnya; hal itu didirikan di atas dasar kalian yang rusak itu; yaitu bahwa persepsi adalah istilah yang dipakai untuk menyebut pencapaian citra yang sama bagi objek persepsi dalam daya persepsi (quwwah mudrirkal).
Kemudian apabila kami menerima dasar itu untuk kalian, itu sama sekali tidak bermanfaat apa-apa bagi kalian. Karena pencapaian citra tersebut menjadi syarat untuk tercapainya persepsi. Ketika dikatakan bahwa persepsi merupakan semata-mata berupa pencapaian citra tersebut, maka hal ini tidak pernah dinyatakan oleh pemikir. Jadi mengapa tidak boleh dikatakan bahwa daya akal bertempat dalam jisim khusus?
Kemudian, sesungguhnya daya penalar (quwwah nathiqah) mungkin terjadi padanya kondisi sekunder yang disebut “perasaan” (syu’ar) dan “persepsi” (idrak). Pada saat itu terjadi, daya akal menjadi pelaku persepsi terhadap perangkat tersebut. Namun, terkadang ia tidak mendapatkan kondisi sekunder itu sehingga ia menjadi alpa terhadapnya. Apabila hal ini mungkin terjadi, gugurlah seluruh syubhat (ketidakjelasan) itu.
Kemudian kami menyatakan kepada mereka apakah mereka mengeklaim bahwa apabila kami memikirkan sesuatu, Citra yang hadir di dalam akal pasti sama dengan objek pikiran tersebut dari segala sisi dan iktibarnya; ataukah tidak harus tercapai kesamaan seperti itu dari berbagai sisinya?
Pernyataan-pernyataan tentu tidak akan dinyatakan oleh pemikir, karena pernyataan itu terlalu jelas kerusakannya untuk dapat dijadikan sebagai hujah. Apabila telah diketahui bahwa kesamaan dari segala sisi seperti itu tidak harus terjadi, tidak harus pula munculnya citra lain di dalam hati dan otak yang memadukan kedua misal itu.
Dan lagi, daya akal bertempat dalam substansi hati atau otak, sehingga citra yang baru muncul bertempat dalam daya akal. Salah satu di antara dua citra itu menjadi tempat bagi daya akal, sementara yang satu lagi bertempat di dalamnya. Lantas mengapa keadaan itu tidak cukup menjadi pengubah? Dan lagi, apabila kita melihat jarak yang jauh, apakah penglihatan seperti itu dapat bertumpu pada penggambaran citra kasatmata pada mata orang yang melihat, ataukah tidak bertumpu seperti itu?
Apabila memang bertumpu seperti itu, harus terjadi pertemuan kedua misal itu; karena daya penglihatan menurut kalian bersifat jasmani. Ia berada di tempat yang memiliki ukuran dan kadar. Apabila di dalamnya terdapat ukuran dan kadar objek yang dilihat, maka harus terjadi pertemuan kedua misal itu. Apabila hal itu boleh terjadi di sana, lantas mengapa tidak boleh ada sesuatu yang seperti itu dalam masalah kami?
Apabila persepsi sesuatu tidak bertumpu atas pencapaian Citra objek penglihatan pada pelaku penglihatan, maka menjadi batal pernyataan kalian bahwa hati dan otak bertumpu pada pencapaian citra hati dan orang dalam daya akal. Dan lagi, pernyataan kalian apabila daya akal bertempat di dalam jisim, ia harus memiliki persepsi berkesinambungan bagi jisim tersebut. Tetapi persepsi kita bagi hati dan otak kami tidaklah berkesinambungan. Jadi hal ini menjadi harus bagi orang yang menyatakan bahwa ia (daya akal) bertempat dalam hati atau otak.
Berkenaan dengan orang yang menyatakan bahwa daya akal bertempat dalam jisim Khusus, yaitu jiwa yang berkelindan dengan raga; keharusan seperti itu tidak terjadi padanya, dia menyatakan bahwa jiwa adalah jisim khusus, dan manusia selamanya mengetahui (‘alim) bahwa ia adalah jisim khusus. Manusia tetap seperti itu disebabkan akalnya kecuali apabila ia terpapar oleh kealpaan. Dengan demikian, gugurlah syubhat (ketidakjelasan) yang kalian jadikan argumentasi pada segala keadaan.
PASAL
Pernyataan kalian poin keenam. Setiap orang memersepsikan dirinya. Persepsi merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan pencapaian esensi objek pengetahuan (ma’lum) oleh subjek pengetahuan (‘alim). Hal ini benar apabila jiwa tidak membutuhkan tempat, dan seterusnya.
Jawabannya: Hal tersebut dibangun di atas dasar yang lalu; yaitu bahwa ilmu merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut pencapaian citra yang sama bagi objek pengetahuan dalam jiwa subjek pengetahuan. Dasar seperti ini batil adanya ditinjau dari berbagai sisi yang telah disebutkan dalam masalah ilmu. Sampai apabila hal itu benar, citra yang disebutkan itu merupakan syarat pencapaian ilmu, tetapi citra itu bukan ilmu itu sendiri.
Dan lagi, syubhat (ketidakjelasan) ini dengan kejelekan susunan kata-katanya dan kerancuan premisnya telah batal. Apabila kita mengambil sebongkah batu atau sebatang kayu, lalu kita katakan bahwa benda ini merupakan sebuah substansi yang berdiri sendiri, maka zat substansi itu ada pada zatnya, sehingga menjadi wajib pada benda-benda mati itu untuk menjadi subjek pengetahuan (mengetahui) zatnya sendiri.
Dan lagi, semua binatang (makhluk hidup) dapat memersepsi diri mereka sendiri. Apabila kondisi sesuatu yang dapat memersepsikan zatnya sendiri berkonsekuensi pada keberadaan zatnya sebagai substansi mandiri, berarti semua jiwa makhluk hidup merupakan substansi-subtansi yang mandiri. Kalian tidak berpendapat seperti itu.
PASAL
Pernyataan kalian pada poin ketujuh. Seorang dari kami mengkhayalkan sebuah lautan perak dan sebuah gunung yakut, dan seterusnya. Itu termasuk syubhat (ketidakjelasan) yang bersumber dari Abul Barakat al-Baghdadi dan merupakan sebuah syubhat yang sangat batil. Pernyataan itu dibangun di atas dugaan bahwa berbagai objek khayalan jtu merupakan hal-hal yang maujud, dan bahwa berbagai objek khayalan (mutakhayyalat) itu tersemat dalam jiwa nalar seperti tersematnya ukiran di tempatnya. Padahal telah diketahui secara pasti bahwa semua objek khayalan itu sama sekali tidak memiliki hakikat pada zatnya. Hanya pikiranlah yang menetapkan keberadaannya. Ia sama sekali tidak tersemat dalam jiwa, karena semua pengetahuan eksternal citra-citranya tidak tersemat di dalam jiwa. Jadi apatah lagi dengan berbagai objek khayalan yang memang tidak ada? Ia merupakan ketiadaan mutlak.
Kami tidak melarang terjadinya pembedaan antara berbagai ketiadaan sekunder. Karena akal memang membedakan antara ketiadaan pendengaran, ketiadaan penglihatan, ketiadaan penciuman, dan sebagainya. Akan tetapi dari pembedaan itu tidak kemudian menjadi harus bahwa berbagai ketiadaan itu ada. Alih-alih hal itu justru membedakan antara berbagai perkara mustahil yang tidak mungkin pernah ada.
Kemudian kami nyatakan bahwa apabila masuk akal keberadaan berbagai bentuk dan kadar yang bersifat mandiri tidak membutuhkan ukuran dan kadar dari seluruh sisinya, maka berarti jauh lebih masuk akal keberadaan pengetahuan dengan bentuk yang besar dan kadar yang besar di dalam tubuh yang kecil.
Dan lagi, apabila tidak cocoknya sesuatu dari segala sisi tidak dapat menghalangi keberadaan citra dan bentuk pada substansi mandiri, maka ketidakcocokan sesuatu yang besar dengan sesuatu yang kecil jauh lebih tidak dapat menghalangi keberadaan citra besar dalam tempat yang kecil.
Selain itu, sesungguhnya para pendahulu kalian dari kalangan terdahulu telah menegakkan dalil yang menunjukkan bahwa pengaruh citra khayalan pada substansi mandiri adalah mustahil. Mereka telah menyampaikan beberapa hal mengenai itu.
PASAL
Pernyataan kalian pada poin kedelapan. Apabila daya akal bersifat jasadi, pastilah daya akal itu akan melemah di waktu tua. Padahal tidak seperti itu. Jawaban atas pernyataan itu ada beberapa sisi sebagai berikut:
Pertama, mengapa tidak boleh dikatakan bahwa kadar yang dibutuhkan berupa kesehatan raga pada kesempurnaan daya akal itu berupa kadar yang sudah tentu? Berkenaan dengan kesempurnaan kondisi raga dalam kesehatan, maka hal itu tidak dapat dinyatakan pada kesempurnaan kondisi daya akal. Apabila itu memang ada kemungkinan, paling tidak dapat dikatakan bahwa kadar yang dibutuhkan itu selalu ada sampai akhir masa tua sehingga akal tetap ada sampai akhirnya.
Kedua, orang yang sudah tua mungkin memungkinkan baginya untuk melanjutkan kemampuan persepsi akal dalam kondisi benar, karena akal orang yang sudah tua tetap ada dengan adanya sebagian anggota tubuh yang tertunda kerusakannya dan beralih kepadanya; apabila di ujung ia mengalami kerusakan dan ketidakjelasan, akal dan persepsi orang yang bersangkutan itu juga akan rusak.
Ketiga, tidaklah terhalang bagi sebagian tabiat raga (mizaj) untuk lebih cocok dengan daya tertentu, sehingga mungkin saja tabiat tua lebih cocok bagi daya akal. Itulah sebabnya di masa tua daya akal itu menjadi semakin kuat.
Keempat, ketika tabiat raga (mizaj) berada pada pundak kekuatan dan keperkasaan, pastilah seluruh kekuatan menjadi kuat. Termasuk daya syahwat dan amarah juga menjadi sangat kuat. Menguatnya daya-daya ini menghalangi akal dari kesempurnaan. Apabila ketuaan terjadi, kemudian terjadilah kelemahan. Kelemahan memang menyebabkan terjadinya kelemahan pada daya-daya yang menghalangi akal dari kesempurnaan tersebut. Demikian pula terjadi kelemahan pada akal. Tetapi kelemahan itu sesuai dengan kelemahan yang terjadi pada tandingannya, sehingga kekurangan pada salah satu di antara dua sisi itu akan terjadi bersamaan dengan kekurangan yang terjadi pada sisi yang satu lagi, sehingga terjadilah keseimbangan.
Kelima, orang yang sudah tua dapat menghafalkan berbagai ilmu dan pengalaman yang banyak, serta mampu melakukan berbagai hal sehingga pengalamannya menjadi bertambah banyak. Berbagai kondisi ini dapat Membantu orang yang bersangkutan pada sisi pikiran dan daya lihat, untuk kemudian dia dapat mengukur kekurangan yang terjadi disebabkan melemahnya raga dan kekuatannya.
Keenam, banyaknya perbuatan akan menyebabkan tercapainya berbagai kemampuan yang mendalam, sehingga kemudian itu menjadi kelebihan yang muncul melalui cara seperti itu melalui kelemahan yang terjadi disebabkan melemahnya raga.
Ketujuh, telah tsabit (sahih) dalam sebuah riwayat sahih dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, “Keturunan Adam akan menjadi tua, tetapi pada saat itu akan menjadi muda dua perkara padanya: Ketamakan dan panjang angan-angan.’’ Kenyataan telah membuktikan kebenaran hadis ini. Padahal ketamakan termasuk di antara daya-daya jasmani dan termasuk di antara sifat-sifat khayali.
Selain itu, kelemahan raga tidak meniscayakan kelemahan kedua sifat tersebut. Dan telah diketahui bahwa tidaklah harus ketika terjadi kelemahan pada raga terjadi pula kelemahan pada sifat-sifat ragawi.
Kedelapan, kita melihat banyak orang tua yang menjadi kekanak-kanakan dan lemah akal atau pikun; bahkan hal inilah yang sering terjadi. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah swt.,
“Allah menciptakan kalian, kemudian mewafatkan kalian; dan di antara kalian ada yang dikembalikan kepada umur yang paling lemah (pikun), supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang pernah diketahuinya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (QS. an-Nahl [16]: 70)
Jadi, orang yang tua ketika sudah memasuki puncak usia usianya yang tua kembali menjadi seperti anak-anak, atau bahkan lebih buruk dari itu. Adapun orang yang tidak mengalami hal itu, maka sebenarnya dia tidak termasuk yang “dikembalikan kepada umur yang paling lemah”
Kesembilan, tidak ada hubungan antara kuatnya raga dengan kuatnya jiwa. Sebagaimana halnya tidak ada hubungan antara lemahnya raga dengan lemahnya jiwa. Seorang lelaki yang kuat raganya tetapj lemah jiwanya akan menjadi lelaki penakut dan pengecut; sementara scorang Ielaki yang lemah raganya, tetapi kuat jiwanya akan menjadj lelaki yang pemberani dengan segala kelemahan raganya.
Kesepuluh, apabila memang benar semua yang kalian katakan itu, tetapi semua itu tidak menunjukkan bahwa jiwa merupakan sebuah substansi mandiri yang tidak berada di dalam alam dan tidak pula dj luar alam. Sebagaimana pula tidak pula dapat dikatakan bahwa jiwa tidak dalam raga dan tidak di luar raga. Karena apabila jiwa adalah jisim memancar jernih yang bersifat samawi dan berbeda dari semua jisim bersifat bumi, maka pastilah jiwa tidak berterima pada segala bentuk kehancuran, kerusakan, dan perubahan seperti yang terjadi pada jisim-jisim yang bersifat ardi. Dengan demikian, maka tidaklah terjadinya kehancuran dan kerusakan pada raga ini meniscayakan terjadinya kedua hal tersebut pada jiwa.
PASAL
Pernyataan kalian pada poin kesembilan. Daya akal tidak membutuhkan jisim dalam segala perbuatannya, dan ketika daya akal tidak membutuhkan jisim maka ia juga tidak membutuhkan jisim pada zatnya, dan seterusnya.
Jawaban atas pernyataan tersebut yaitu, bahwa tidaklah adanya ketetapan pada suatu daya jasmani tertentu mengharuskan adanya ketetapan yang sama pada seluruh daya jasmani yang lain. Sementara kalian tidak memiliki apa-apa selain hanya klaim dan analogi yang salah.
Dan lagi, berbagai citra dan tampilan memiliki kebutuhan pada tempat (mahall). Tetapi kebutuhan semua itu pada tempat tidak lain hanya karena kemandirian berbagai citra dan tampilan itu. Setelah itu kebebasan semua itu dengan ketetapan itu tidak mengharuskan adanya ketidakbutuhan citra dan tampilan dari tempat. Oleh sebab itu, ketika sesuatu bebas disebabkan adanya ketetapan tertentu padanya, maka tidaklah hal itu mengharuskan sesuatu itu untuk tidak membutuhkan tempat. Wallahu a’lam.
Pernyataan kalian poin kesepuluh. Daya jasmani akan kelelahan disebabkan banyaknya perbuatan. Orang yang kuat tidak akan kuat lagi setelah melemah, dan seterusnya.
Jawaban atas pernyataan tersebut, yaitu bahwa daya khayal merupakan bersifat jasmani. Tetapi ia mampu melakukan khayalan mengenai hal-hal sangat besar di samping juga bisa melakukan khavalan mengenai hal-hal kecil. Hal itu. memungkinkan baginya untuk mengkhayalkan nyala api yang kecil ketika ia seedang mengkhayalkan matahari dan rembulan.
Dan lagi, penglihatan hal-hal kuat menghalangi penglihatan hal-hal lemah. Itulah yang kami katakan bahwa berbagai objek pikiran yang besar dan luhur menghalangi pemikiran mengenai berbagai objek pikiran yang lemah. Contohnya, seseorang yang sedang tenggelam dalam makrifat keagungan Allah swt. pemilik langit dan bumi dengan segala asma dan sifatnya-Nya pasti dalam kondisi seperti itu akan terhalang dari pikiran mengenai keberadaan substansi mandiri beserta hakikatnya.
PASAL
Pernyataan kalian pada poin kesebelas. Apabila kami menetapkan bahwa hitam berlawanan dengan putih, maka di dalam pikiran dapat muncul suatu entitas hitam dan putih secara bersamaan, padahal intuisi menetapkan kemustahilan bertemunya dua hal itu pada jisim.
Jawaban atas pernyataan tersebut, bahwa hal ini didirikan di atas dugaan bahwa siapa pun yang memersepsi sesuatu, tentu telah ada pada objek yang dipersepsi itu sebuah citra yang sama pada diri pemersepsi. Ini adalah batil. Pengambilan dalil oleh kalian atas kebenaran argumen itu dengan adanya pengaruh citra pada permukaan cermin merupakan sebuah kebatilan. Karena pada cermin tidak pernah ada impresi sama sekali. Seperti yang dinyatakan oleh mayoritas pemikir dari kalangan filsuf, ahli Ilmu Kalam, dan lainnya. Jadi, pernyataan akan adanya impresi tertolak ditinjau dari berbagai segi.
Kemudian kami katakan, jika kalian sudah menyatakannya bahwa impresi pada jiwa ketika memersepsi hitam dan putih pada rupa dan permisalan keduanya, bukan pada hakikat keduanya. Lantas mengapa tidak dibolehkan tercapainya rupa berbagai hal ini pada materi jasmani?
PASAL
Pernyataan kalian pada poin kedua belas. Apabila tempat berbagai persepsi berada di dalam jisim—sementara semua jisim pasti dapat dibagi—maka tidaklah terhalang jika ada pengetahuan mengenai sesuatu pada sebagian dari bagian jisim, sementara bagian yang lainnya tidak diketahui, sehingga sescorang menjadi tahu tentang sesuatu, tetapi dig juga sekaligus pada saat yang sama tidak tahu tentang sesuatu itu.
Jawaban atas pernyataan itu adalah bahwa syubhat ini menjadj runtuh berdasarkan dasar-dasar yang kalian gunakan. Syahwat, amarah, dan khayalan menurut kalian merupakan bagian dari berbagai kondisj jasmani, dan tempat semua itu adalah suatu yang dapat dibagi-bagi, sehingga menjadi harus bagi kalian untuk membolehkan adanya syahwat dan amarah dengan salah satu dari kedua bagian itu lalu lawan keduanya dengan bagian yang lain, sehingga orang yang bersangkutan menjadi sangat menginginkan sesuatu tetapi ia juga lari dari sesuatu itu; ia menjadi marah terhadap sesuatu itu tetapi juga tidak marah pada sesuatu itu di satu waktu yang sama.
PASAL
Pernyataan kalian pada poin yang ketiga belas. Apabila pada materi jasmani muncul beberapa jiwa khusus tertentu, maka jiwa-jiwa itu akan menghalangi munculnya jiwa-jiwa yang lain. Sementara jiwa-jiwa yang bersifat aqliy tidaklah seperti itu, dan seterusnya.
Jawaban atas pernyataan itu yaitu, bahwa tujuan ini menjadi analogi tamsil tanpa ada penghimpunan, dan hal itu tidak ada gunanya bagi dugaan apalagi bagi keyakinan. Karena jiwa-jiwa yang bersifat akli dapat berupa ilmu dan persepsi; sedangkan jiwa-jiwa yang bersifat jasmani berupa bentuk dan citra. Tidak diragukan lagi bahwa berbagai ilmu yang berbeda-beda pada hakikatnya adalah berupa citra dan bentuk. Ditetapkannya suatu ketetapan pada suatu jenis substansi tidak mengharuskan adanya ketetapan yang sama pada jenis substansi yang lain.
PASAL
Pernyataan kalian pada poin yang keempat belas. Apabila jiwa memang berbentuk jisim, pasti di antara keinginan seseorang untuk menggerakkan kakinya dan gerakan kakinya itu ada jeda waktu, dan seterusnya.
Jawaban atas pernyataan tersebut yaitu, bahwa jiwa bersama jasad tidak pernah tidak memiliki tiga hal: 1. Jiwa menjadi pakaian luar bagi seluruh jasad seperti halnya kain baju, atau 2. Jiwa berada pada satu tempat tunggal seperti hati dan otak, atau 3. Jiwa mengalir di seluruh bagian jasad.
Yang mana pun di antara ketiga hal itu yang terjadi, penggerakan jiwa seperti keinginannya untuk menggerakkan jasad akan terjadi persamaan dengan keinginan jiwa untuk melakukan itu tanpa ada jeda waktu. Gontohnya seperti persepsi penglihatan pada apa yang ditemui, sebagaimana pula halnya persepsi pendengaran, penciuman, dan perasa. Apabila anda memotong anggota tubuh tertentu, maka tidak akan ikut terpotong pula apa yang dialami oleh tubuh manusia pada anggota tubuh itu. Baik jiwa itu menjadi pakaian anggota tubuh tersebut dari dalam maupun dari luarnya. Namun, ia akan berpisah dari anggota tubuh yang kemampuan indranya batal pada satu waktu dan akan menyusut darinya tanpa masa. Perpisahan jiwa dari anggota tubuh itu sama seperti perpisahan udara dengan suatu wadah apabila wadah tersebut diisi penuh dengan air.
Adapun apabila jiwa tetap berada di satu tempat dengan raga, maka tidaklah harus jiwa itu terpisah dari anggota tubuh yang dipotong. Apabila jiwa menjadi pakaian bagi raga dari luar, maka tidaklah harus antara keinginan jiwa untuk menggerakkan raga dan gerakan itu sendiri ada masa. Alih-alih, perbuatan jiwa pada saat itu untuk menggerakkan anggota-anggota raga sama seperti apa yang dilakukan magnet terhadap besi, walaupun magnet tidak melekat pada besi tersebut.
Kemudian kami nyatakan bahwa racauan yang kalian telah sibuk dengannya ternyata benar-benar mengenai kalian. Karena menurut kalian, jiwa tidak terhubung dengan raga tetapi juga tidak terpisah darinya; sebagaimana jiwa juga tidak berada di dalam raga dan tidak pula di luarnya, sehingga hal seperti itu menjadi niscaya bagi kalian pada semua hal lain yang sama.
PASAL
Pernyataan kalian pada poin Kelima belas. Apabila jiwa berupa jisim, pasti ia terbagi-bagi sehingga menjadi benar bahwa ia dapat diketahui sebagiannya sebagaimana ia dapat diketahui seluruhnya. Dari situ, manusia akan mengetahui sebagian dari jiwanya sendiri tetapi tidak mengetahui sebagian yang lain. Padahal hal seperti mustahil adanya.
Jawaban atas pertanyaan tersebut yaitu, bahwa syubhat ini terbentuk dari dua premis, yakni keterkaitan dan pengecualian. Lalu halangan muncul pada kedua premis tersebut atau pada salah satunya. Kami tidak dapat menerima apabila jiwa adalah jisim, menjadi benar bahwa jiwa dapat diketahui sebagainya dan tidak diketahui sebagiannya, karena jiwa bersifat sederhana dan tidak terbentuk dari berbagai unsur ataupun bagian-bagian yang beragama. Ketika anda merasakan zatnya, Anda merasakan keseluruhannya. Ini adalah penghalang premis keterkaitan (nuqaddimah talazumiyyah).
Sementara berkenaan dengan premis pengecualian, kami juga tidak dapat menerima bahwa sebagiannya mengetahui sementara sebagian yang lain tidak mengetahui. Kalian tidak menyebutkan kebatilan hal itu sebagai syubhat, apalagi sebagai dalil.
Telah diketahui bahwa manusia terkadang merasakan sesuatu dengan jiwanya hanya sebagian dan bukan keseluruhan. Mereka berbeda-beda dalam hal ini. Di antara mereka ada yang perasaannya dengan jiwanya jauh lebih sempurna daripada orang lain.
Allah swt. berfirman, “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. al-Hasyr [59]: 19)
Mereka itu merupakan orang-orang yang melupakan diri atau jiwa mereka, bukan secara keseluruhan melainkan hanya pada satu sisi tertentu di antara kemaslahatannya, kesempurnaannya, atau kebahagiaannya. Walaupun mereka tidak melupakan jiwa mereka pada sisi yang menjadi syahwat, bagian, dan keinginannya. Namun, kemudian itu membuat mereka lupa pada kemaslahatan jiwa mereka untuk mereka lakukan dan mereka kejar. Mereka juga lupa pada segala aib dan kekurangan jiwa mereka untuk mereka hilangkan dan mereka hindari. Mereka juga lupa pada kesempurnaan jiwa mereka yang mereka diciptakan untuknya untuk mereka ketahui dan mereka kejar. Mereka pun menjadi orang-orang yang tidak tahu hakikat jiwa mereka sendiri pada Sisi-sisi tersebut walaupun mereka tetap berbuat menggunakan jiwa mereka itu untuk sisi yang lain.
PASAL
Pernyataan kalian pada poin keenam belas. Apabila jiwa adalah jisim, pasti raga akan merasakan bobot jiwa itu ketika jiwa memasukinya. Karena kondisi jisim yang kosong pasti akan menjadi berat apabila ada sesuatu yang lain yang memenuhinya.
Pernyataan ini merupakan sebuah ketidakjelasan yang benar-benar parah, sementara orang yang menjadikannya sebagai dasar jauh lebih parah lagi! Karena tidaklah setiap jisim yang padanya ditambahkan jisim lain menjadikannya bertambah berat. Contohnya yaitu ketika kayu yang sebelumnya berat, ternyata setelah ditambahkan jisim api padanya, justru kayu itu: menjadi sangat ringan. Atau benda tertentu yang sebelumnya berat, ternyata ketika dimasukkan jisim udara ke dalamnya, benda itu berubah menjadi ringan. Jadi sebenarnya pendapat di atas hanya berlaku pada jisim-jisim berat yang memang selalu mengejar ke arah tengah sesuai tabiatnya, sebab ia memang bergerak secara alamiah ke sana. Adapun jisim-jisim yang secara alamiah bergerak ke atas, pernyataan seperti tersebut di atas menjadi tidak berlaku. Alih-alih, yang terjadi justru berkebalikan dari semua jisim-jisim berat tersebut. Bahkan apabila jisim-jisim yang bergerak ke atas itu ditambahkan ke jisim berat, ia akan menyebabkan jisim berat itu menjadi ringan.
Pemahaman inilah yang kemudian dituangkan dalam sebuah syair berikut ini:
Botol-botol begitu berat muncul dengan rongga
Ketika semuanya diisi penuh dengan udara
Botol-botol itu pun meringan hampir terbang
Begitu pula semua jisim meringan Rarena ruh
PASAL
Pernyataan kalian pada poin ketujuh belas. Apabila jiwa adalah jisim, pasti jiwa itu juga memiliki semua sifat yang dimiliki jisim yang : tidak mungkin tidak dimilikinya; semisal sifat ringan, berat, panas, , dingin, sejuk, kering, nyaman, hangat, dan seterusnya.
Pernyataan ini merupakan sebuah ketidakjelasan yang parah dan dasar yang rancu. Karena bukanlah sebuah keharusan berpadunya seluruh jisim pada semua karakter dan sifat. Allah swt. telah menciptakan keragaman pada sifat, karakter, dan tabiat jisim-jisim tersebut. Di antara jisim-jisim itu ada yang dapat dilihat menggunakan penglihatan dan dapat disentuh menggunakan tangan; tetapi ada pula di antara jisim-jisim itu yang tidak dapat dilihat dan tidak dapat disentuh. Di antara jisim-jisim itu ada yang memiliki warna dan ada pula di antaranya yang tidak memiliki warna. Di antara jisim-jisim itu ada yang berterima pada panas dan dingin, tetapi ada pula di antaranya yang tidak berterima pada hal-hal seperti itu.
Jiwa miliki berbagai karakter yang berlalu khusus terhadap jiwa dan tidak berlaku pada raga. Jiwa memiliki sifat ringan dan berat, panas dan dingin, kering dan lunak yang sesuai dengannya. Itulah sebabnya anda mendapati manusia yang sangat berat meski tubuhnya kerempeng. Sementara ada manusia lain yang begitu ringan padahal tubuhnya ge. muk. Anda juga dapat menemukan jiwa yang lunak dan jiwa yang ke. ting lagi keras. Seseorang yang memiliki indera yang tajam pasti dapat menghidu aroma jiwa-jiwa tertentu dengan bau busuk seperti bangkai, sementara ada jiwa yang lain begitu semerbak laksana kesturi.
Setiap kali Rasulullah saw. melintas di suatu jalan, bekas aroma harum sosok beliau tetap ada di jalan itu untuk beberapa lama sampai-sampai dapat diketahui bahwa beliau melintasi jalan tersebut. Aroma itu berasal dari jiwa dan hati beliau. Bahkan aroma keringat Rasulullah saw. sangat harum. Hal itu terjadi karena aroma keringat beliau mengikuti semerbak jiwa dan raga beliau saw.
Rasulullah saw. (manusia paling jujur) pernah menyatakan bahwa ketika ruh berpisah dari raga, akan muncul aroma yang lebih harum dari semua kesturi yang ada di bumi. Tetapi ada ruh yang baunya busuk melebihi bangkai paling busuk yang ada di bumi. Kalau saja bukan karena flu, pastilah orang-orang yang hadir dapat menghidu aroma itu.
Kita telah mengetahui bahwa ada banyak orang yang mengalami hal seperti itu, karena kita menerima kabar tentang hal seperti itu dari banyak orang. Tetapi cukuplah pernyataan Rasulullah as-Shadiq asl-Mashdugq yang diketengahkan di sini. Selain itu, Rasulullah saw. juga menyatakan bahwa ruh-ruh orang-orang mukmin tampak mengilap, sedangkan ruh orang-orang kafir tampak hitam. Singkatnya, berbagai karakter yang melekat pada jiwa begitu jelasnya sehingga tidak dapat disangkal kecuali hanya oleh orang-orang yang terlalu dungu untuk mengetahuinya.
PASAL
Pernyataan kalian pada poin kedelapan belas. Apabila jiwa adalah jisim, dapat dipastikan bahwa jiwa berada di bawah semua indera, atau berada di bawah salah satu, dua, atau lebih, dan seterusnya.
Jawaban atas pernyataan di atas yaitu, bahwa tidaklah harus seperti itu. Kalian belum menyampaikan ketidakjelasan apa pun tentang penjelasan dalil. Seiring dengan tidak adanya keharusan seperti itu, maka sebenarnya ruh dapat dipersepsi menggunakan indera, dapat disentuh, dapat dilihat. dan dapat dicium karena ruh memiliki aroma harum atau pau busuk seperti yang sudah disampaikan oleh banyak nas. Tetapi kami tidak akan mempersaksikan dengan itu.
Dalil ini oleh orang yang meyakini para rasul tidak mungkin dijadikan hujah. Malaikat adalah jisim yang tidak berada di bawah jndera Mana pun yang kita miliki. Begitu pula halnya dengan jin dan setan-setan, mereka semua adalah jisim-jisim halus yang tidak berada di bawah indera kita.
Dalam hal ini, jisim-jisim memiliki begitu banyak keragaman. Di antara mereka ada yang dapat dipersepsi menggunakan sebagian besar indera, tetapi ada pula di antara mereka yang tidak dapat dipersepsi oleh sebagian besar indera. Di antara jisim-jisim itu ada yang hanya dapat dipersepsi menggunakan satu indera saja. Di antara jisim-jisim itu ada yang biasanya kita tidak dapat memersepsinya, walaupun pada kondisi tertentu dapat dipersepsi, karena memang bagi kita tidak diciptakan kemampuan untuk memersepsi jisim itu; atau mungkin disebabkan adanya sesuatu yang menghalangi persepsi terhadap objek yang bersangkutan; atau mungkin objek yang bersangkutan telalu halus sehingga tidak dapat dijangkau oleh persepsi indera kita.
Semua jisim yang tidak memiliki warna tentu tidak dapat dipersepsi menggunakan penglihatan, semisal udara dan api pada unsurnya. Semua jisim yang tidak memiliki aroma tentu tidak dapat dipersepsi menggunakan penciuman, semisal api, batu, dan kaca. Semua jisim yang tidak memiliki tekstur tentu tidak dapat dipersepsi menggunakan rabaan, semisal udara yang tidak bergerak.
Selain itu, ruh merupakan pemersepsi bagi berbagai objek persepsi indera-indera manusia melalui berbagai perangkatnya. Jiwa (nafs) adalah perasa dan pemersepsi, walaupun jiwa itu sendiri tidak dapat diindra. Semua jisim dan tampilan bersifat dapat diindra, sementara jiwa menjadi subjek yang merasakannya (muhiss) menggunakan indera-indera tersebut. Jiwa itulah yang dapat menerima berbagai tampilan dari jisim-jisim yang terjadi padanya baik itu berupa keutamaan maupun berupa kehinaan.
Contohnya, seperti penerimaan substansi tertentu oleh tampilan yang mamaparnya. Jiwa bergerak dengan pilihannya sendiri, sekaligus jiwa itu pula yang menjadi penggerak bagi raga baik suka maupun terpaksa. Jiwa itulah yang memengaruhi raga, sebagaimana ia juga terdampak oleh raga. Jiwa dapat merasakan nyeri, merasa enak, bergembira, bersedih, rela, marah, merasa nikmat, merasa sial, mencintai, membenci, mengingat, melupakan, naik, turun, mengetahui, dan mengingkari. Semua efek yang bersumber dari jiwa merupakan dali] paling kuat yang menunjukkan keberadaan jiwa, sebagaimana halnya berbagai efek yang bersumber dari sang Pencipta merupakan dalil yang menunjukkan keberadaan-Nya dengan segala kesempurnaan-Nya; karena petunjuk yang berasal dari suatu efek pasti menunjukkan sumber efek yang bersangkutan.
Berbagai pengaruh yang bersumber dari sebagian jiwa pada sebagian jiwa yang lain merupakan suatu hal yang tidak dipungkiri oleh siapa pun yang memiliki perasaan yang baik dan akal yang lurus. Apalagi ketika jiwa itu terpisah dari berbagai keterkaitan dan halangan badaniah. Kekuatan yang dimiliki jiwa akan berlipat ganda dan bertambah sesuai dengan keterpisahan itu. Apalagi ketika jiwa mampu menentang hawa nafsu lalu membawanya menuju akhlak luhur seperti kehormatan, keberanian, adil, dan pemurah; serta juga mampu menghindarkannya dari berbagai bentuk akhlak buruk yang hina dan rendah. Ketika itu terjadi, maka pengaruh yang diberikan oleh jiwa itu terhadap alam akan menjadi sangat kuat, yang tidak akan dapat dicapai oleh raga dengan segala tampilannya. Jiwa mampu melihat batu besar lalu menghancurkannya, menjinakkan binatang, atau menghilangkan suatu nikmat.
Hal ini merupakan sesuatu perkara yang telah banyak disaksikan oleh pelbagai bangsa dari berbagai macam ras dan agama. Inilah yang disebut ishabah al-’ain. Mereka mengaitkan efek yang terjadi pada mata (‘ain), walaupun pada hakikatnya yang terjadi bukan seperti itu, sebab semua itu terjadi berkat jiwa yang memiliki bentuk hina dan sekaligus luhur. Mungkin saja itu terjadi dengan perantaraan pandangan mata, dan mungkin pula tidak seperti itu, melainkan hanya menyifati sesuatu dari jauh lalu jiwanya membentuk seperti apa yang dilihatnya itu, lalu ia merusaknya. Anda tentu pernah melihat pengaruh jiwa pada jisim yang membuat warnanya berubah menjadi kuning, merah, atau gemetar hanya karena jisim yang bersangkutan berhadapan jiwa dan disebabkan kekuatan yang dimiliki jiwa.
Hal-hal seperti ini atau yang berkali-kali lipat dari itu merupakan bentuk efek yang muncul dari pengaruh raga dan tampilan-tampilannya. Raga tidak dapat memengaruhi apa pun kecuali hanya apa yang ditemuinya dan disentuhnya dengan pengaruh yang bersifat khusus. Semua bangsa terus menyaksikan pengaruh dari berbagai keinginan yang berlaku di alam semesta untuk kemudian mereka mendapatkan bantuan dengannya atau berhati-hati pada efeknya.
Rasulullah saw. memerintahkan agar orang yang terpengaruh oleh mata jahat (‘din) orang lain untuk membasuh daerah Jipatan tubuh dan bagian kotor di raga, kemudian hendaklah diguyurkan air padanya, karena tindakan seperti itu akan menghilangkan pengaruh jiwa jahat dari diri orang yang menjadi korban mata jahat (ma’in).
Itu terjadi disebabkan kondisi alami yang muncul dari hikmah Allah swt. Karena an-nafs al-ammarah melekat pada bagian-bagian kotor itu. Sementara ruh-ruh busuk keluar membantunya. Bagian-bagian kotor itulah yang biasanya menjadi tempat terhubungnya antara dia (an-nafs al-ammarah) dan dia (ruh-ruh busuk). Apabila bagian itu dibasuh menggunakan air, sifat api (nariyyah) akan padam darinya seperti mendinginnya besi panas oleh air. Apabila air disiramkan di atas bagian yang diguyur, pasti sifat api yang mengenainya dari mata jahat (‘din) jtu akan padam. Para tabib telah menjelaskan tentang air yang dapat memadamkan besi karena adanya nyeri dan sakit sudah dikenal luas.
Orang-orang telah memiliki pengalaman dari pengaruh antara ruh-ruh ketika ia bersendirian dalam tidur dalam bentuk keajaiban yang tak terbatas. Kami telah mengingatkan mengenai sebagian darinya pada pembahasan yang lalu.
Alam Arwah adalah alam lain yang lebih besar daripada Alam Raga. Berbagai ketetapan dan pengaruhnya lebih menakjubkan daripada pengaruh yang berasal dari raga. Bahkan setiap efek insani (atsar insaniyyah) yang ada di alam semesta sebenarnya muncul dari pengaruh jiwa melalui perantaraan raga. Jiwa dan raga saling membantu dalam memberi pengaruh seperti saling menolongnya dua orang yang bekerja sama dalam satu perbuatan. Tetapi jiwa bersendirian pada efek-efek tertentu yang raga tidak bekerja sama dengannya. Sebagaimana raga juga bersendirian pada efek-efek tertentu yang jiwa tidak bekerja sama dengannya.
PASAL
Pernyataan kalian pada poin kesembilan belas. Apabila jiwa berupa jisim, pasti ia memiliki panjang, lebar, dalam, bentuk, dan permukaan. Padahal ukuran-ukuran dan jarak seperti itu mungkin terjadi, kecuali dengan adanya materi dan tempat, dan seterusnya.
Jawaban atas pernyataan itu, yaitu bahwa pendapat kalian yang menyatakan bahwa berbagai sifat itu tidak mungkin terjadi, kecuali hanya pada materi, maka menurut kami apakah hal itu? Karena jiwa memiliki materi yang diciptakan darinya, dan dijadikan dengan bentuk dan citra tertentu.
Pernyataan kalian bahwa apabila materi pembentuk jiwa berupa jiwa, hal itu mengharuskan terjadinya perpaduan dua jiwa, sementara jika materi pembentuk jiwa itu bukan berupa jiwa, maka berarti jiwa terbentuk dari raga dan citra; berkenaan dengan pernyataan itu kami nyatakan bahwa materi pembentuk jiwa bukanlah jiwa, sebagaimana materi pembentuk manusia bukanlah manusia, materi pembentuk jin bukanlah jin, dan materi pembentuk binatang bukanlah binatang.
Pernyataan kalian bahwa jiwa harus terbentuk dari raga dan citra merupakan sebuah premis bohong. Yang harus adalah jiwa diciptakan dari materi tertentu dan ia memiliki citra tertentu. Demikianlah yang kami nyatakan, sementara kalian tidak menyampaikan keterangan syubhat atas kebatilan ini, apalagi hujah baik yang bersifat dugaan maupun pasti.
PASAL
Pernyataan kalian pada poin kedua puluh. Kekhasan jisim yaitu keberterimaannya pada pembagian. Bagian yang kecil dari satu jisim pasti tidak sama dengan bagiannya yang besar. Apabila jisim berterima pada pembagian, pasti setiap bagian darinya apabila jisim itu berupa jiwa, menjadikan satu orang manusia memiliki beberapa jiwa yang banyak, bukan hanya satu jiwa. Apabila itu tidak dapat disebut satu jiwa, pasti himpunannya juga tidak dapat disebut jiwa.
Jawaban atas pernyataan ini, apabila kalian memaksudkan bahwa jisim berterima pada pembagian di luar, pasti itu merupakan kebohongan yang jelas. Karena matahari, rembulan, dan benda-benda langit tidak berterima akan hal itu (maksudnya, tidak dapat dibagi—Penj.). Bukanlah sebuah keharusan bahwa setiap jisim dibagi-bagi pada bagian luarnya. Menurut pendapat orang-orang yang menafikan keberadaan substansi mandiri VGauhar fard) hal ini sufat jelas. Sementara menurut pendapat orang-orang yang meyakini keberadaan substansi mandiri, itu menurut mereka adalah substansi parsial yang tidak berterima pada pembagian. Sementara kami menerima bahwa ia berterima pada pembagian. Jadi manakah di antara semua itu yang harus?
Kalian menyatakan bahwa setiap bagian dari bagian-bagian itu merupakan jiwa sehingga hal itu meniscayakan berhimpunnya jiwa-jiwa yang banyak pada satu orang. Kami menyatakan bahwa hal itu meniscavakan terjadinya kondisi seperti itu apabila jiwa benar-benar terbagi menjadi banyak jiwa. Padahal itu mustahil.
Pernyataan kalian bahwa apabila setiap bagian bukan jiwa, berarti himpunannya pun bukan jiwa, merupakan sebuah premis bohong yang batal. Karena setiap esensi pasti memiliki status hukum tertentu ketika bagian-bagiannya berhimpun. Dan status itu tidak tetap bagi setiap bagian dari bagian-bagian itu, semisal esensi rumah, manusia, keluarga, dan sebagainya.
PASAL
Pernyataan kalian pada poin kedua puluh satu. Jisim membutuhkan jiwa dalam keberlangsungannya, kelestariannya, dan keberadaannya. Itulah sebabnya jisim menjadi hancur dan rusak ketika jiwa meninggalkannya. Apabila jiwa adalah jisim, pasti ia pasti membutuhkan jiwa lain; dan jiwa lain itu akan membutuhkan jiwa lain lagi, dan demikian seterusnya tanpa ada ujungnya.
Jawaban atas pernyataan di atas yaitu, bahwa tidaklah kebutuhan raga pada jiwa mengharuskan adanya kebutuhan jiwa kepada jiwa lain yang menjaganya. Pernyataan itu tidak lain hanyalah klaim bohong yang mengandalkan kiyas yang sudah jelas kebatilannya. Sesungguhnya setiap jiwa tidak membutuhkan jiwa lain untuk menjaganya seperti yang terjadi pada jisim-jisim mineral dan jisim udara, air, api, debu, dan jisim segenap benda mati.
Apabila kalian menyatakan bahwa semua itu bukan makhluk hidup yang bernalar yang berbeda dengan jiwa yang memiliki sifat hidup dan bernalar; kami nyatakan bahwa sampai di sini ada dalil seperti ini: Setiap jisim hidup bernalar membutuhkan jiwa lain untuk menjaganya dan demi keberlangsungannya. Ini tidak lain merupakan klaim bohong. Karena semua jin dan malaikat yang mereka semua hidup dan dapat bernalar, ternyata keberlangsungan mereka tidak membutuhkan rub-ruh lain.
Apabila kalian menyatakan bahwa pembicaraan kalian bersama kami mengenai jin dan para malaikat, mereka bukanlah jisim-jisim parsial; kami menyatakan bahwa pembicaraan dengan orang yang beriman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab Allah, dan para rasul. Adapun bagi orang yang kufur terhadap semua itu, maka pembicaraan dengannya mengenai jiwa menjadi sia-sia. Dia telah kafir terhadap Pencipta semua jiwa, para malaikat-Nya, semua yang disampaikan olah rasul-rasul-Nya, dan terhadap semua dalil yang menunjukkan ke arah itu baik yang dalil kasatmata maupun dalil keimanan. Berbagai jejak yang dapat disaksi, kan di alam semesta yang berasal dari efek perbuatan para malaikat dan jin dengan seizin Tuhan mereka, tidak mungkin untuk disangkal. Selain itu tidaklah mungkin semua itu muncul dengan sendirinya sehingga tidak dapat dijangkau oleh daya-daya kemanusiaan.
PASAL
Pernyataan kalian pada poin kedua puluh dua. Apabila jiwa berupa jisim, tentu ketika terhubungnya jiwa dengan jisim itu terjadi dengan cara “merasuk” (mudékhalah), tentulah hal tersebut akan menyebab. kan terjadinya merasuknya jisim ke dalam jisim. Apabila terhubungnya jiwa dengan jisim itu terjadi dengan cara “melekat” (mulashaqah) atau “mendempet” (mujawarah), berarti satu “manusia” merupakan dua jisim yang berdempet, yang satu dapat dilihat dan yang satu lagi tidak dapat dilihat.
Jawaban atas pernyataan ini ada beberapa sisi sebagai berikut.
Pertama, merasuknya jisim ke dalam jisim yang mustahil terjadi, yaitu ketika dua buah jisim kasar salah satunya memasuki yang lain, sementara tempat mereka sama. Adapun apabila jisim halus memasuki jisim kasar, sehingga ia dapat meresap ke dalamnya, hal itu sama sekali tidak mustahil.
Kedua, pernyataan kalian itu batil ditinjau dari banyak sisi. Contohnya, masuknya air ke dalam kayu atau awan, masuknya api ke dalam besi, masuknya makanan ke seluruh anggota tubuh, dan masuknya jin ke raga orang yang kerasukan. Ruh dengan kelembutannya tidak akan terhalang oleh jaringan raga untuk masuk ke seluruh bagiannya.
Ketiga, tempat jiwa adalah raga, dan tempatnya itu merupakan tempatnya yang terpisah darinya. Ini bukan bentuk masuk yang tidak dapat terjadi. Apabila jiwa berpisah dari raga, jiwa memiliki tempat lain yang bukan tempat raga. Pada saat itu maka keduanya tidak saling memasuki, melainkan masing-masing memiliki tempat khusus tersendiri.
Simpulannya, masuknya ruh ke raga lebih halus daripada masuknya air ke tanah atau lemak ke raga: Demikianlah beberapa syubhat rancu yang tidak dapat diterima berdasarkan dalil nas wahyu dan dalil aqliy. Wa billahi-t-taufiq.
ORANG-ORANG BERBEDA pendapat mengenai hal ini. Ada yang menyatakan bahwa objek yang disebut menggunakan dua kata ini (“jiwa” dan “ruh”) merupakan satu entitas yang sama. Ini termasuk pendapat jumhur ulama. Ada yang menyatakan bahwa keduanya berbeda. Dengan daya dan kekuatan yang berasal dari Allah kami berupaya menyingkap misteri di balik masalah ini. .
Istilah “jiwa” (nafs) digunakan untuk menyebut beberapa entitas berikut ini:
Kata “nafs” diartikan sebagai “ruh”. Jauhari menyatakan bahwa “jiwa” (nafs) adalah ruh. Itulah sebabnya orang mengatakan “jiwanya keluar” ketika ruh seseorang dicabut.
Abu Khirasy bersyair:
Dia selamat dan jiwanya di tulang rahang .
Tidaklah selamat selain sarung pedang dan kain
Kata “nafs” diartikan sebagai “darah”. Orang biasa mengatakan “sGlat nafsuhu” yang artinya “darahnya mengalir”. Dalam hadis dikatakan, “Hewan yang tidak memiliki darah (nafs) yang mengalir, maka jika ia mati dalam air, air itu tidak najis karenanya.”
Kata “nafs” diartikan sebagai jasad. Seorang penyair menuturkan:
Kudikabari Bani Suhaim memasuki
rumah mereka darah jasad al-Mundzir
Kata “nafs” diartikan sebagai mata jahat. Ada ungkapan, “Si fulan terkena nafs”, maksudnya si Fulan terkena pengaruh mata jahat.
Saya menyatakan bahwa yang benar bukanlah seperti yang dikatakan itu, tetapi kata “nafs” di sini diartikan sebagai ruh. Penisbatan kepada mata jahat merupakan bentuk pelebaran makna; sebab itu terjadi melalui perantaraan penglihatan orang yang terkena mata jahat itu. Yang mengenainya adalah diri ‘a‘in seperti yang telah dijelaskan di bagian lalu.
Saya menyatakan bahwa di dalam al-Quran kata “nafs” digunakan untuk menyebut zat (diri) secara keseluruhan. Seperti firman Allah swt.,
“maka apabila kalian memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kalian memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada diri kalian sendiri (anfusikum)…” (QS. an-Nur [24]: 61)
Firman Allah swt.,
“…dan janganlah kalian membunuh diri kalian (anfusakum); sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada kalian.” (QS. an-Nisa’ [4]: 29)
Firman Allah swt.,
“(ingatlah) suatu hari (ketika) tiap-tiap diri (nafs) datang untuk membela dirinya sendiri (nafsiha)…” (QS. an-Nahl [16]: 111)
Firman Allah swt.,
“Tiap-tiap dirt (kullu nafsin) bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” (QS. al-Muddatstsir [74]: 38)
Dan ada pula kata “nafs” yang digunakan untuk menyebut ruh. Seperti firman Allah swt.,
“Hai jiwa (nafs) yang tenang.”’ (QS. al-Fajr [89]: 27)
Firman Allah swt.,
“… keluarkanlah nyawa kalian (anfusakum)!’ (QS. al-An’am [G6]: 93)
Firman Allah swt.
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri (nafs) dari keinginan hawa nafsunya.” (QS. an-Nazi’at [79]: 40)
Firman Allah swt.,
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu (mafs) itu selalu menyuruh kepada kejahatan.” (QS. Yusuf [12]: 53)
Sementara itu, kata “ruh” (rih) tidak pernah digunakan untuk menyebut “raga’’,, baik raga ketika bersendirian maupun ketika raga bergabung bersama “jiwa” (nafs). Kata “ruh” (rah) terkadang digunakan untuk menyebut “al-Qur’an” yang Allah swt. wahyukan kepada Rasulullah saw. Allah swt. berfirman,
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu al-Qur’an (rihan) dengan perintah Kami…” (QS. asy-Syura [42]: 52)
Terkadang kata “ruh” (rah) dipakai untuk menyebut “wahyu” (wahy) yang Allah swt. wahyukan kepada para nabi dan para rasul-Nya. Allah swt. berfirman,
“(Dialah) Yang Maha Tinggi derajat-Nya, Yang mempunyai Arsy, Yang mengutus jibril (yulqi ar-rah) dengan perintah-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya, supaya dia memperingatkan (manusia) tentang hari pertemuan (Hari Kiamat).” (QS. al-Mu’min [40]: 15)
Allah swt. berfirman,
“Dia menurunkan para malaikat dengan wahyu (bi-r-rah) dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hhamba-hamba-Nya, yaitu ‘Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka hendaklah kalian bertakwa kepada-Ku.’” (QS. an-Nahl [16]: 2)
Allah menyebut itu dengan kata “ruh” karena di dalamnya terkandung kehidupan yang bermanfaat. Kehidupan tanpanya tidak ada gumanya sama sekali bagi orang yang menjalaninya. Alih-alih, kehidupan binatang lebih baik daripada kehidupan seperti itu dan lebih selamat di ujungnya. ruh disebut ruh (rua) karena dengan ruh itulah kehidupan pada raga terjadi. Begitu pula ia terkadang disebut rih (angin) karena kehidupan yang dicapai dengannya. Tetapi karena kata ini mengandung huruf waw, maka bentuk jamaknya menjadi arwah. Seorang penyair menuturkan:
Jika angin (arwah) berembus dari tanah kalian
Kudapati dingin pada semilirnya dalam hatiku
Dari kata inilah pula muncul kata rauh, riyah, dan istirahah. Jiwa (nafs) disebut roh karena kehidupan yang dicapai dengannya.
Terkadang ruh disebut menggunakan kata “nafs” (jiwa), baik disebabkan karena jiwa adalah sesuatu yang “berharga” (nafis) dikarenakan keberhargaannya dan kemuliaannya, maupun karena terjadinya proses “bernapas” (tanaffus) ketika ia keluar. Karena ruh banyak keluar dan masuk ke dalam tubuh, maka ia terkadang disebut “nafs’’. Dari kata inilah muncul kata “nafas’’—dengan harakat alif pada huruf fa—karena setiap kali seorang hamba tidur, ruhnya keluar darinya. Ketika nanti si hamba bangun, maka ruh itu kembali kepadanya. Apabila kelak si hamba meninggal dunia, maka ruh itu akan keluar secara keseluruhan. Ketika kemudian raganya dikuburkan, ruh itu kembali ke tubuhnya. Ketika si hamba ditanya oleh malaikat, ruh itu keluar. Ketika setelah itu si hamba dibangkitkan, ruhnya kembali ke raganya.
Jadi, perbedaan antara nafs (jiwa) dengan rah (ruh) merupakan perbedaan dengan sifat-sifat, bukan perbedaan dengan zat keduanya.
Darah terkadang disebut menggunakan kata “nafs” karena ketika darah keluar, maka itu akan menyebabkan kematian sehingga menyebabkan keluarnya “nafs”. Dan juga karena kehidupan tidak dapat terwujud tanpa darah, sebagaimana pula kehidupan tidak dapat terwujud tanpa nafs. Terkadang dikatakan “fadhat nafsuhu wa kharajat nafsuhu” (keluar darahnya, lalu keluarlah nyawanya) yang sama pengertiannya dengan kalimat “kharajat rihuh” (keluar ruhnya).
Sementara itu, kata “faidh” berarti “mengalir secara sekaligus”. Dari kata inilah muncul kata ifadhah, yang berarti “mengalir banyak dan cepat”. Adapun kata afadha digunakan untuk menyebutkan keluarnya sesuatu dengan keinginan subjeknya. Sementara kata fadha digunakan ketika aliran terjadi baik secara suka rela maupun terpaksa. Allah-lah yang “mengalirkan” ruh ketika kematian terjadi, sehingga ruh itu pun mengalir keluar.
PASAL
Kelompok lain dari kalangan Ahli Hadis, Ahli Fikih, dan Ahli Tasawuf menyatakan bahwa “ruh” (rah) bukan “jiwa” (nafs).
Muaatil bin Sulaiman berkata, “Manusia memiliki kehidupan (hayah), ruh (rah), dan jiwa (nafs). Apabila dia tidur, keluarlah jiwanya (nafs) yang dia gunakan untuk memikirkan berbagai hal. Tetapi ia tidak berpisah dari jasad, melainkan keluar seperti seutas tali panjang yang memiliki sinar. Itulah sebabnya kemudian dia bermimpi dengan jiwa.nya yang keluar darinya itu, sementara kehidupan dan ruhnya tetap bersemayam dalam jasadnya, karena dengan itulah dia terus bergerak dan bernapas di saat tidur. Apabila jasadnya digerakkan, jiwa (nafs) itu akan kembali ke jasadnya dalam sekejap. Ketika Allah swt. berkehendak untuk mematikannya dalam tidurnya, maka Dia akan menahan jiwa (nafs) yang keluar itu.”
Muaatil bin Sulaiman juga menyatakan, “Apabila seseorang tidur, keluarlah jiwanya (nafs) tersebut lalu naik ke atas. Apabila ia melihat mimpi, ia kembali untuk memberi tahu ruh (rah), lalu ruh mengabari hati?” (qalb). Di pagi harinya, orang yang bersangkutan pun mengetahui bahwa dia bermimpi anu dan anu.”
Abu “Abdullah bin Mandah menyatakan sebagai berikut.
Orang-orang berbeda pendapat mengenai ruh (ruh) dan jiwa (nafs). Sementara orang mengatakan bahwa jiwa adalah bersifat tanah-api (thinah nariyyah), sedangkan ruh bersifat cahaya-rohani (nariyyah ruhaniyyah). Sebagian lagi menyatakan bahwa ruh bersifat lahut (lahutiyyah), sedangkan jiwa bersifat nasut (nasiitiyyah), sehingga dengannyalah semua makhluk ditimpa bala.
Sekelompok orang dari kalangan Ahlul Atsar menyatakan bahwa sesungguhnya ruh (rah) bukanlah jiwa (nafs), sebagaimana jiwa juga bukanlah ruh, tetapi tegaknya jiwa adalah dengan adanya ruh. Jiwa merupakan citra hamba, sementara hawa (hawa) syahwat (syahwah) dan bala (bala) berkelindan di dalam jiwa. Tidak ada musuh yang lebih berbahaya bagi keturunan Adam as. melebihi nafsunya sendiri, sebab tidak ada yang diinginkan oleh nafsu selain hanya dunia dan tidak ada yang dicintainya selain hanya dunia. Sementara ruh selalu menyeru menuju akhirat serta memprioritaskannya. Hawa telah diciptakan sebagai pengikut nafs. Setan selalu bersama nafs dan hawa. Sementara malaikat selalu bersama akal dan ruh. Allah swt. memberi ilham dan taufik kepada keduanya.
Sebagian orang lagi menyatakan bahwa ruh merupakan bagian dari urusan Allah yang Dia sembunyikan hakikat dan ilmu tentangnya dari semua makhluk-Nya. Sebagian orang lagi menyatakan bahwa ruh merupakan salah satu cahaya dari Cahaya Allah (narullah) dan salah satu kehidupan dari Kehidupan Allah (hayatullah). Tetapi kemudian mereka berbeda pendapat mengenai ruh, apakah ruh mati bersama kematian yang dialami raga dan jiwa (nafs) ataukah ruh itu tidak mati? Sekelompok orang menyatakan bahwa ruh tidak dapat mati dan tidak dapat rusak.
Sekelompok orang lagi menyatakan bahwa ruh memiliki citra seperti makhluk; ia memiliki tangan, kaki, mata, pendengaran, penglihatan, dan lisan. Sekelompok orang lagi menyatakan bahwa orang mukmin memiliki tiga ruh, sementara orang munafik dan orang kafir memiliki satu ruh. Sekelompok orang lagi menyatakan bahwa para nabi dan kalangan shiddiqin memiliki lima ruh. Sekelompok orang lagi menyatakan bahwa ruh-ruh yang bersifat ruhaniyyah diciptakan dari Malakut.
Apabila ruh-ruh ini menjernih, mereka pasti akan kembali ke Malakut.
Menurut saya, berkenaan dengan ruh yang diwafatkan dan dicabut dari raganya, jumlahnya adalah satu; itulah yang disebut nafs. Adapun ruh yang dengannya Allah menguatkan para wali-Nya adalah jenis ruh lain yang berbeda dengan ruh yang dicabut itu. Allah swt. berfirman,
“Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan. keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan (bi-rih) yang datang daripada-Nya.” (QS. al-Mujadilah [58]: 22)
Begitu pula halnya dengan ruh yang dengannya Allah swt. menguatkan Isa bin Maryam al-Masih as., seperti yang Dia firmankan dalam ayat, “(Ingatlah). ketika Allah mengatakan: “Hai Isa putra Maryam, ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu di waktu Aku menguatkan kamu dengan ruh Kudus (ruh al-qudus).” (QS. al-Maidah [5]; 110). Begitu pula halnya ruh yang Allah anugerahkan kepada siapa pun sekehendak-Nya dari kalangan hamba-hamba-Nya, itu adalah ruh yang berbeda jenisnya dari ruh yang ada di dalam raga.
Berkenaan mengenai quwa (kekuatan atau daya) yang ada di raga, terkadang itu juga disebut “ruh”, sehingga dalam Bahasa Arab sering digunakan kalimat “ar-ruh al-bdshir” (daya penglihatan), “ar-ruh as-sami” (daya pendengaran), “ar-ruh asy-syam” (daya penciuman). “Ruh” jenis ini sebenarnya merupakan “daya” yang bersemayam di dalam raga manusia yang akan ikut mati seiring dengan kematian raga. “Ruh” jenis ini tentu berbeda dengan ruh yang tidak mati ketika raga mengalami kematian dan tidak pernah rusak ketika raga menjadi rusak.
Terkadang pula kata “ruh”dipakai untuk pengertian yang jauh lebih khusus daripada semua pengertian di atas; yaitu ketika ia diartikan sebagai “daya makrifat kepada Allah” (quwwah al-ma’rifah bi-llah) berikut pertobatan kepada-Nya, mahabah pada-Nya, dorongan tekad untuk mengejar dan mendambakan-Nya. Penisbatan “ruh” jenis yang satu ini kepada ruh serupa seperti penisbatan ruh ke raga. Ketika “ruh” ini kehilangan ruh, maka itu sama seperti raga yang kehilangan ruh.
Inilah ruh yang dengannya Allah swt. menguatkan para pengemban kewalian dan ketaatan pada-Nya. Itulah sebabnya orang-orang berkata “Fulan fihi ruh” (si Fulan ada ruh di dirinya) atau “Fulan ma fihi ruh” (si Fulan tidak ada ruh di dirinya), dan sebagainya.
Oleh karena itu, ilmu memiliki “ruh”, kebaikan memiliki “ruh”, keikhlasan memiliki “ruh”, mahabah memiliki “ruh”, tobat memiliki “ruh”, dan tawakal serta kejujuran juga memiliki “ruh”. Berkenaan dengan semua bentuk ruh itu umat manusia sangat berbeda-beda dalam kepemilikannya. Di antara mereka ada yang dikuasai oleh ruh-ruh seperti itu sehingga menjadi sosok manusia rohani (rahaniy). Di antara mereka ada pula orang-orang yang kehilangan semua jenis ruh tersebut atau sebagian besar darinya sehingga menjadi sosok manusia bumi yang liar. Wallahul musta’an.
TELAH ADA dalam pembicaraan banyak orang bahwa semua keturunan Adam memiliki tiga jiwa (nafs), yaitu: 1. Nafs Muthma‘innah (jiwa tenang), 2. Nafs Lawwamah (jiwa pencela), dan 3. Nafs Ammarah (jiwa penyeru keburukan). Di antara umat manusia ada orang-orang yang dikuasai oleh jiwa tertentu sementara ada orang-orang yang lain dikuasai oleh jiwa tertentu yang lain. Mereka yang berpendapat seperti ini berhujah dengan firman Allah swt., “Hai jiwa (nafs) yang tenang.” (QS. al-Fajr [89]: 27)
Firman Allah swt.,
“Aku bersumpah dengan hari kiamat, dan aku bersumpah dengan jiwa (nafs) yang mencela (dirinya sendiri).” (QS. alQiyamah [75]: 1-2).
Firman Allah swt.,
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu (nafs) itu selalu menyuruh kepada kejahatan.” . (QS. Yusuf [12]: 53).
Yang benar, yaitu bahwa masing-masing manusia hanya memiliki satu jiwa (nafs). Hanya saja jiwa yang tunggal itu memiliki beberapa sifat, sehingga kemudian ia dinamai dengan sifat yang melekat padanya.
pJiwa (nafs) disebut “tenang” (nafs miuthmainnah) untuk menyatakan ketenangan jiwa yang bersangkutan karena bersandar kepada Allah dengan ibadah, mahabah, bertobat, bertawakal, ridha, dan menenangkan diri kepada-Nya.
Tanda cinta, takut, dan harap kepada-Nya, yaitu fananya jiwa dari kecintaan, takut, dan harap kepada semua yang selain Allah. Dengan demikian maka dengan mahabah kepada-Nya menjadi fanalah semua cinta kepada yang selain Dia, dengan zikir mengingat-Nya menjadi fanalah semua ingatan pada yang selain Dia, dan dengan kerinduan pada-Nya dan perjumpaan dengan-Nya menjadi sirnalah semua bentuk kerinduan kepada yang selain Dia.
Menenangkan diri kepada Allah (thama’ninah ilallah) merupakan suatu kKualitas kejiwaan yang Allah limpahkan ke dalam hati hamba-Nya, yang membuatnya totalitas padanya dan ketenangan itulah yang akan menangkal hati si hamba yang bersangkutan dari segala gangguan yang menerpanya, hingga seakan-akan si hamba tengah duduk bersama Allah, mendengar dengan-Nya, melihat dengan-Nya, bergerak dengan-Nya, dan menghamparkan tangan dengan-Nya. Setelah itu, ketenangan itulah meresap ke dalam jiwa, hati, segenap persendian, kekuatan lahiriah, dan kekuatan batiniah si hamba. Ruhnya akan ditarik (jadzb) menuju Allah, dan kulit, hati, serta seluruh persendiannya akan berkhidmat takarub kepada-Nya.
Ketenangan sejati (thama’ninah haqiqiyyah) tidak mungkin tercapai kecuali hanya dengan Allah dan dengan berzikir mengingat-Nya. Itulah yang Allah nyatakan sendiri melalui rasul-Nya. Allah swt. berfirman, “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. ar-Ra’d [13]: 28)
Sesungguhnya ketenangan dan ketenteraman hati hanya dapat terwujud dengan hilangnya segala kegelisahan, kegundahan, dan kegalauan dari dalam hati. Semua itu tidak dapat digapai dengan apa pun juga kecuali hanya Allah dan zikir mengingat-Nya semata. Adapun semua yang selain Dia; ketenangan kepada semua itu dan dengan semua itu hanyalah tipuan, sebagaimana kepercayaan kepada semua itu adalah bentuk kelemahan.
Allah telah menetapkan satu ketetapan yang tidak dapat disangkal sama sekali; yaitu bahwa siapa pun yang menenangkan diri kepada sesuatu selain Allah, pasti orang itu akan merasakan kegelisahan, kegundahan, dan kegalauan dari sesuatu itu. Walau seperti apa pun sesuatu itu. Bahkan apabila seorang hamba menenangkan dirinya dengan ilmu, keadaan, dan amal yang dimilikinya, maka semua itu akan terampas dan hilang darinya.
Allah telah menjadikan jiwa-jiwa yang menenangkan diri kepada yang selain Dia sebagai sasaran mata panah mala petaka. Tujuannya yaitu untuk mengajarkan kepada semua hamba dan wali-Nya, bahwa siapa pun yang bergantung kepada yang selain Dia pasti akan terputus, dan siapa pun yang menenangkan diri kepada yang selain Dia pasti akan tertolak dan terhalang.
Hakikat ketenangan yang dicapai oleh jiwa yang tenang (nafs muthmainnah) yaitu ketika jiwa menenangkan diri pada gerbang makrifat asma, sifat, dan berbagai ciri kesempurnaan Allah menuju kabar yang Allah sampaikan tentang-Nya dan yang disampaikan oleh para rasul-Nya. Lalu jiwa menelaah semua itu dengan sikap menerima, berserah, tunduk, lapang dada, dan gembira hatinya dengan-Nya.
Itu merupakan salah satu bentuk pengenalan (ta’arruf) di antara sekian banyak pengenalan dari hadirat Allah swt. kepada hamba-hamba-Nya melalui lisan rasul-Nya. Hati akan selalu berada dalam kegelisahan dan kegalauan yang parah di sini sampai berjalin di dalamnya keimanan kepada semua asma Allah beserta sifat, tauhid, keluhuran-Nya di arsy-Nya, dan firman-Nya melalui wahyu ke permukaan hatinya.
Semua itu akan turun kepada si hamba seperti turunnya air terjun ke dalam hati yang meradang karena dahaga, sehingga hati itu pun menenangkan dirinya kepada-Nya, bernyaman-nyaman kepada-Nya, gembira dengan-Nya, melembut kepada-Nya dengan seluruh hati dan persendiannya. Hingga seakan-akan si hamba menyaksikan semua itu seperti yang disampaikan oleh para rasul. Bahkan kemudian itu meresap ke dalam hatinya seperti terangnya sinar matahari ketika dia melihatnya.
Kalaupun kemudian semua orang yang ada di penjuru muka bumi berbeda atas semua yang dialaminya itu, maka dia sama sekali tidak berpaling untuk mengikuti mereka. Ketika dia dirundung kesunyian karena kesendiriannya, dia akan berkata bahwa ash-Shiddig al-Akbar dulu tenang hatinya hanya dengan iman, di saat semua penghuni bumi menentangnya, tanpa berkurang secuilpun dari ketenangannya itu.
Ini merupakan anak tangga pertama dari sekian banyak anak tangga ketenangan (thama‘ninah). Setelah itu, hati si hamba akan kian menguat setiap kali mendengar ayat yang mengandung sifat di antara sifat-sifat Rabb-nya. Ini merupakan sesuatu yang tidak ada ujungnya. Ketenangan inilah yang menjadi dasar yang paling dasar di antara seluruh dasar keimanan yang di atasnya bangunan keimanan didirikan. Setelah itu hati akan merasa tentang ketika mendengar kabar tentang berbagai hal pasca-kematian berupa Barzakh serta rangkaian petaka kiamat yang datang setelah itu, sampai-sampai ia menyaksikan semua itu dengan mata kepalanya. Inilah hakikat yakin yang dijelaskan oleh Allah swt. kepada orang-orang beriman sebagaimana yang difirmankan-Nya,
“Dan mereka yang beriman kepada Kitab yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.” (QS. Al-Baqarah [2]: 4).
Keimanan akan adanya akhirat tidak akan tercapai sampai hati merasa tenang pada semua yang Allah swt. kabarkan, dengan ketenangan pada berbagai hal yang tidak ada keraguan di dalamnya. Inilah orang yang beriman kepada akhirat yang sebenar-benarnya, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis dari Haritsah, “Pagi ini aku beriman sebenar-benarnya.” Rasulullah pun bersabda, “‘Sesungguhnya setiap kebenaran memiliki hakikat, lantas apakah hakikat keimananmu?’ Haritsah menjawab, ‘Kujauhkan diriku dari dunia dan para penghuninya, dan seakan-akan aku melihat Arsy Rabb-ku muncul, juga kepada penghuni surga saling mengunjungi di dalamnya, juga kepada para penghuni neraka yang sedang disiksa di dalamnya.’ Rasulullah saw. pun menukas, ‘Seorang hamba yang Allah sinari hatinya!’
PASAL
Ketenangan hati kepada asma Rabb dan sifat-sifat-Nya ada dua macam: 1. Ketenangan kepada keimanan, penetapan, dan keyakinan pada sifat-sifat Allah tersebut; dan 2. Ketenangan kepada segala yang muncul dari sifat-sifat Allah itu dalam bentuk ubudiah.
Contohnya yaitu: keimanan kepada takdir, Penetapan keimanan kepada takdir pasti akan menyebabkan lahirnya ketenangan kepada objek takdir yang setiap hamba tidak diperintahkan untuk menolaknya, sebagaimana pula tidak ada kesanggupan pada diri si hamba untuk menolaknya; sehingga si hamba menerima, rela, tidak marah, tidak mengeluh, dan tidak terguncang imannya disebabkan takdir yang ditetapkan terhadapnya. Si hamba pun menjadi sosok yang tidak berputus asa atas segala yang luput darinya, dan sekaligus tidak terlalu gembira atas segala yang didapatkannya. Karena musibah di dirinya telah ditakdirkan sebelum musibah itu benar-benar sampai ke dirinya, bahkan sebelum dirinya itu diciptakan, sebagaimana yang Allah firmankan, “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada diri kalian sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitab sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kalian jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kalian, dan supaya kalian jangan terlalu gembira terhadap apa yang Dia berikan kepada kalian…” (QS. al-Hadid [57]: 22-23).
Allah swt. berfirman, “Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. at-Taghabun (64]: 11).
Beberapa orang dari kalangan salaf menyatakan bahwa ketika seorang hamba tertimpa musibah, dia pun mengetahui bahwa musibah itu dari hadirat Allah, sehingga dia rela dan berserah diri.
Ini merupakan bentuk ketenangan (thama‘ninah) kepada sifat-sifat Allah dan berbagai konsekuensi dan pengaruhnya pada alam semesta. Takdir inilah yang akan menambah ketenangan hamba setelah semua itu diketahui dan diyakini. Demikian pula halnya dengan semua sifat, pengaruh, dan hal-hal yang berkaitan dengannya seperti pendengaran, penglihatan, pengetahuan, kerelaan, kemarahan, dan mahabah. Inilah yang disebut ketenangan keimanan (thama‘ninah al-iman).
Adapun yang disebut ketenangan kebaikan (thama‘ninah al-ihsdn) adalah: Ketenangan kepada perintah-Nya dalam bentuk kepatuhan, keikhlasan, dan ketulusan. Degan ketenangan ini, si hamba tidak akan pernah mendahulukan keinginan, hawa, atau taklid apa pun daripada perintah Allah swt. Dia juga tidak akan menerima syubhat untuk menentang khabar dari-Nya, dan tidak pernah membiarkan syahwat menentang perintah-Nya. Alih-alih, apabila ketenangan ini melintas pada diri si hamba, ia akan meletakkan ketenangan itu pada posisi was-was yang tidak ada sesuatu apa pun yang membuat siapa pun yang ada di langit dan di bumi akan tunduk melebihi keberhasilan untuk mendapatkannya. Inilah yang oleh Rasulullah saw. disebut dengan “orang yang imannya nyata” (sharth al-iman).
Tanda ketenangan yang satu ini, yaitu si hamba merasa tenang dengan berpindah dari kegelisahan maksiat menuju ketenteraman tobat dengan segala rasa manis dan kegembiraan di dalamnya. Semua itu kemudian memudahkan si hamba untuk mengetahui bahwa kelezatan, rasa manis, dan kegembiraan yang diraih melalui tobat besarnya berkali-kali lipat daripada kelezatan, rasa manis, dan kegembiraan yang didapat melalui kemaksiatan. Tetapi hal ini merupakan sesuatu hal yang tidak diketahui kecuali hanya oleh orang yang telah mengecap kedua hal tersebut dan hatinya telah bersentuhan dengan dampak dari keduanya.
Tobat memiliki ketenangan yang akan berhadapan dengan kegundahan dan kegelisahan yang muncul dari kemaksiatan. Apabila seorang pemaksiat menelisik hatinya, pasti dia akan menemukan dirinya dipenuhi oleh berbagai bentuk ketakutan, kegundahan, kegelisahan, dan kegalauan. Tetapi semua itu ditutupi darinya oleh mabuk kealpaan dan syahwat; karena syahwat memiliki daya mabuk yang lebih parah dibandingkan mabuk khamar. Begitu pula halnya dengan amarah yang memiliki daya mabuk yang lebih hebat daripada mabuk minuman keras. Itulah sebabnya Anda dapat melihat seseorang yang sedang mabuk cinta dan orang yang meluap amarahnya dapat melakukan hal-hal yang tidak dilakukan oleh peminum khamar.
Demikian pula halnya orang yang menenangkan hatinya dari kegelisahan kealpaan menuju ketenteraman kepasrahan kepada Allah serta manisnya zikir mengingat-Nya serta ketergantungan ruh pada cinta dan makrifat-Nya, yang tidak akan ada ketenangan bagi ruh tanpa semua ini sampai selama-lamanya. Apabila ia menyeimbangkan jiwanya, pasti ia akan dapat melihat jika ia kehilangan semua itu di puncak kegundahan, kegelisahan, dan kegalauan. Hanya saja semua itu ditutupi oleh kemabukan, yang apabila penutup itu disingkapkan pastilah akan tampak jelas isinya yang sebenarnya.
PASAL
Di sinilah misteri yang harus diperhatikan dan diwaspadai, sementara taufik padanya ada di tangan Dia yang menggenggam kendali pemberian taufik. Maksudnya, Allah swt. telah menjadikan kesempurnaan untuk tiap-tiap anggota tubuh manusia apabila dia belum berhasil mencapainya, maka ia berada dalam kegelisahan, kegalauan, dan kKegundahan disebabkan hilangnya kesempurnaan yang telah dijadikan Allah baginya.
Contohnya kesempurnaan mata dengan penglihatan, kesempurnaan telinga dengan pendengaran, dan kesempurnaan lisan dengan pengucapan. Apabila anggota-anggota tubuh itu kehilangan daya kemampuan yang melengkapi kesempurnaannya, pastilah akan terjadi rasa sakit atau rasa kurang sesuai dengan kehilangan yang dialaminya itu.
Allah juga menjadikan kesempurnaan, kenikmatan, dan kesenangan hati yaitu dengan mengenal Allah swt. berikut segala kehendak, cinta, tobat kepada-Nya, menghadap pada-Nya, mendambakan-Nya, dan menenangkan diri pada-Nya. Apabila hati kehilangan semua itu, maka pedih yang dirasakan si hamba akan lebih menyakitkan daripada ketersiksaan dan kegalauan yang muncul ketika mata kehilangan cahaya penglihatan; atau lisan yang kehilangan daya wicara dan kemampuan mengecap rasa, sehingga tidak ada jalan sama sekali baginya menuju ketenangan dengan cara apa pun juga. Termasuk, walaupun si hamba berhasil mendapatkan dunia atau ilmu yang banyak. Terkecuali apabila hanya Allah semata yang menjadi kekasihnya, Tuhannya, sesembahannya, dan puncak pencariannya, serta Dia semata menjadi penolongnya dalam menggapai semua itu. Sesungguhnya tidak ada ketenangan bagi hamba tanpa pencapaian melalui
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” (QS. al-Fatihah [1]: 5)
Pendapat para mufasir mengenai “muthmainnah” (yang tenang) merujuk kepada semua itu. Ibnu ‘Abbas ra. berkata bahwa “muthma‘innah” (yang tenang) berarti “mushaddiqah” (yang percaya). Qatadah ra. berkata bahwa orang mukmin yaitu orang yang jiwanya tenang dengan apa yang Allah swt. janjikan. Hasan berkata bahwa “muthma‘innah”’
(yang tenang) berarti “mushaddiqah” (yang percaya) kepada apa yang difirmankan oleh Allah swt. Mujahid berkata bahwa itu (maksudnya, nafs muthma‘innah—Penj.) yaitu jiwa yang meyakini bahwa Allah swt. adalah Rabb-nya, yang berserah pada perintah-Nya pada semua yang Dia lakukan terhadapnya.
Manshur meriwayatkan darinya,”” dia menyatakan bahwa itu (maksudnya, nafs muthmainnah—Penj.) merupakan jiwa yang meyakinj bahwa Allah swt. adalah Rabb-nya dan bersungguh-sungguh mematuhi perintah-Nya serta mematuhi-Nya. Ibnu Abu Nujaih menyatakan bahwa nafs muthma‘innah adalah jiwa yang berpayah-payah menuju Allah swt.
Dia juga menyatakan bahwa nafs muthma‘innah adalah jiwa yang meyakini perjumpaan dengan Allah swt. Pembicaraan kalangan salaf mengenai muthma‘innah berkisar pada dua landasan ini, (1) Ketenangan ilmu dan iman, (2) Ketenangan keinginan dan amal.
PASAL
Apabila jiwa merasa tenang dari keraguan menuju keyakinan, dari kebodohan menuju pengetahuan, dari kealpaan menuju zikir mengingat Allah, dari khianat menuju tobat, dari riya’ menuju ikhlas, dari dusta menuju kejujuran, dari kelemahan menuju kecakapan, dari ujub menuju kerendahan hati, dari kesombongan menuju ketawadukan, dari kekosongan menuju amal perbuatan; maka jiwa yang bersangkutan itu telah memiliki ketenangan.
Dasar dan tempat kemunculan semua itu dari keterjagaan (yaqzhah), karena keterjagaan itulah kunci kebaikan yang pertama. Orang yang lalai dari kesiapan perjumpaan dengan Tuhannya serta lalai dari membekali diri demi menyongsong akhiratnya, sebenarnya sama seperti orang yang sedang tidur; bahkan lebih buruk dari itu.
Orang yang lalai mengetahui janji dan ancaman Allah berikut segala perintah, larangan, dan berbagai ketetapan-Nya menyangkut hak, tetapi dia ditabiri dari hakikat pengetahuan serta dibuat tak bergerak dari pencapaian oleh kealpaan hatinya. Itulah kelalaiannya yang di dalamnya kemudian dia tertidur dengan tidur yang panjang. Bahkan dia lalu diam terseret oleh syahwat sedemikian parahnya, sehingga dia pun tenggelam dalam gelimang syahwat, dicengkeram oleh kebiasaan dan bergabung bersama orang-orang batil. Dia rela dirinya mirip dengan orang-orang yang menyia-nyiakan waktu.
Dalam tidurnya dia bergabung bersama orang-orang yang terlelap. Dalam kemabukannya dia bergabung bersama para peminum khamar. Ketika kealpaan itu tersibak dari hatinya dengan adanya tarikan kebenaran dalam hatinya, dia pun bersedia menyambut nasihat Allah yang dilesakkan ke dalam hati hamba-Nya yang mukmin, atau menyambut panggilan tekad luhur. Dia pun memukul dengan beliung pikirannya sembari mengumandangkan takbir yang menerangi istana di surga untuknya.
Seorang penyair menuturkan:
Wahai jiwa mengapa tak kau senangkan aku
Dengan usahamu dalam kegelapan malam
Pikiran itu kemudian memancarkan sinar yang dalam cahayanya dia dapat melihat berbagai hal yang diciptakan untuknya dan semua yang kelak akan diraihnya sejak kematiannya sampai memasuki Negeri Keputusan. Dia akan melihat kehancuran dunia yang tak lama, keingkaran dunia terhadap pada penghuninya, pembinasaan yang dilakukan dunia terhadap mereka yang mendambakannya, dan semua penyiksaan yang dilakukan dunia terhadap mereka.
Setelah itu, dia pun bangkit dalam sinar itu dengan tekad yang kuat seraya berkata,
“Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah…” (QS. az-Zumar [39]: 56)
Dia pun mengarahkan sisa umurnya yang tak ada harganya lagi dalam upaya untuk meraih semua yang telah dilaluinya, menghidupkan apa-apa yang dulu dia matikan, meninggalkan berbagai kekeliruan yang dulu dialaminya, dengan menggunakan kesempatan yang apabila dia lewatkan lagi kesempatan itu, maka dia akan kehilangan selurub kebaikan.
Setelah itu, dia melihat dalam pancaran cahaya keterjagaan itu berbondong-bondongnya anugerah nikmat Rabb-nya kepadanya mulai sejak dia bersemayam dalam rahim sampai waktu yang tengah dijalaninya. Di dalamnya dia berbolak-balik lahir dan batin, siang dan malam, jaga dan tidur, sembunyi-sembunyi dan terang-terangan.
Apabila dia berusaha untuk menghitung macam-macam nikmat itu, dia pasti tidak akan sanggup. Cukuplah disebut yang paling remeh, yaitu nikmat napas. Karena Allah memberinya setiap hari dua puluh empat ribu macam nikmat, lantas apakah dugaan anda pada yang lainnya?
Di bawah cahaya itu dia dapat melihat bahwa dirinya takkan mampu untuk membatasi dan menghitung pelbagai nikmat itu, serta bahwa dirinya takkan sanggup untuk menunaikan haknya. Dia juga akan melihat bahwa apabila Allah yang melimpahkan nikmat itu menuntutnya untuk menunaikan hak-hak nikmat tersebut, maka pastilah akan habis seluruh amalnya hanya untuk memenuhi hak satu nikmat saja. Sampai di situ dia pun yakin bahwa memang tidak ada yang dapat dia harapkan dalam menggapai keselamatan, kecuali hanya dengan ampunan, rahmat, dan anugerah dari Allah swt.
Dalam cahaya keterjagaan itu, dia akan dapat melihat bahwa apabila dia mengamalkan amal-amal kebajikan yang dilakukan segenap jin dan manusia, pastilah semua itu akan terasa terlalu sedikit jika disandingkan dengan begitu besarnya keagungan Allah swt. dengan segala yang dimiliki-Nya dengan kemuliaan wajah-Nya dan keagungan kuasa-Nya.
Semua itu diukur apabila memang amal-amal itu benar-benar dari dirinya; lantas bagaimana kiranya apabila ternyata semua itu sepenuhnya merupakan anugerah kebaikan Allah swt.? Yang Allah swt. telah mudahkan semua itu untuknya, Dia bantu dirinya padanya, Dia sediakan semua itu untuknya, Dia berkehendak untuk memberikan semua itu kepadanya, dan Dia yang mewujudkannya. Apabila dia tidak melakukan itu, tentu tidak ada jalan baginya menuju nikmat tersebut. Sampai di situ, dia pasti tidak melihat bahwa amal-amal yang dilakukannya semata-mata bersumber dari dirinya sendiri.
Allah swt. tidak akan pernah menerima suatu amal perbuatan yang pelakunya melihat amal perbuatan itu semata-mata dari dirinya; sampai nanti dia melihat bahwa amal tersebut sejatinya merupakan taufik dari Allah swt. untuknya, anugerah-Nya kepadanya, karunia-Nya padanya, dan bahwa itu berasal dari Allah bukan dari dirinya. Juga bahwa dia tidak memiliki apa-apa dari dirinya kecuali hanya keburukan. Semua nikmat pada dirinya adalah sepenuhnya dari Allah semata, sebagai sedekah dari-Nya untuknya, sebagai anugerah dari-Nya untuknya, yang dia dapat begitu saja tanpa sebab, yang dia raih begitu saja tanpa perantara. Dia akan melihat Rabb-nya, Walinya, Sesembahannya sebagai satu-satunya pihak yang memiliki segala kebaikan, sementara dia melihat dirinya sebagai satu-satunya pihak yang memiliki segala keburukan.
Semua ini merupakan dasar semua amal saleh, baik yang lahir maupun yang batin. Dialah yang mengangkatnya lalu menjadikan semua jtu masuk dalam catatan kalangan Ashhabul Yamin.
Setelah itu jelas baginya pada cahaya keterjagaan itu sebuah sinar Jain, yang dalam cahayanya dia melihat seluruh aib dirinya dan kerusakan amal perbuatannya, berikut segala kejahatan, keburukan, serta pelanggaran keharaman yang telah dia lakukan. Dia lihat pula kealpaannya dari begitu banyak hak dan kewajiban.
Ketika semua itu telah terkumpul menuju kesaksiannya pada nikmat-nikmat yang Allah limpahkan kepadanya serta pertolongan-Nya untuknya, maka dia akan melihat bahwa hak Pemberi Nikmat dengan segenap nikmat dan perintah-Nya tidak menyisakan sepotong pun kebaikan baginya yang layak membuatnya pantas mendongakkan kepala.
Hatinya pun menjadi tenang. Jiwanya menjadi luluh. Sekujur raganya tenggelam dalam khusyuk. Dia lalu berjalan menuju Allah sembari menundukkan kepala di tengah kesaksian akan nikmat-nikmat-Nya serta kesadaran akan semua kejahatan, aib diri, dan rusaknya amal perbuatannya. Dia lalu berkata, “Aku tundak pada-Mu dengan nikmat-Mu padaku. Aku tunduk pada-Mu dengan dosaku. Ampunilah aku. Sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa-dosa, kecuali hanya Engkau!”
Dia tidak melihat secuil pun kebaikan sebagai milik dirinya. Bahkan dia tidak melihat dirinya layak memiliki kebaikan. Lalu muncullah dua perkara agung sebagai jawaban baginya: (1) Anugerah Allah yang kian berlimpah baginya, dan (2) Kebebasan baginya dalam ketaatan.
Setelah itu, memancarlah lagi sebuah pancaran lain baginya, yang dengan pancaran itu dia melihat kemuliaan, urgensi, dan kehormatan waktu yang dimilikinya. Dia menyadari bahwa waktu adalah modal bagi kebahagiaannya. Dia pun menjadi sosok yang pelit dengan waktunya sehingga dia tidak akan menyia-nyiakan waktunya untuk melakukan apa pun yang tidak dapat mendekatkan dirinya kepada Rabb-nya. Dia menyadari bahwa tindakan menyia-nyiakan waktu akan berbuah kerugian, nestapa, dan penyesalan. Sementara tindakan menjaga waktu baik-baik akan berbuah keuntungan dan kebahagiaan. Dia pun menjadi pelit dengan setiap embusan napasnya, sehingga dia tidak rela menyia-nyiakan setiap embusan napasnya untuk berlalu begitu saja dalam perbuatan yang tidak berguna baginya di hari kiamat kelak.
PASAL
Setelah itu, dia akan memperhatikan dalam cahaya pancaran itu, berbagai hal yang dituntun oleh keterjagaannya dari tidur kealpaannya, baik itu berupa tobat, muhasabah, murdqabah, sikap cemburu demi Allah kalau dia dahulukan yang selain Dia. Pada bagian yang diterimanya, berupa keridhaan-Nya, kedekatan-Nya, dan karamah-Nya kemudi. an dia jual semua itu dengan harga murah di dunia yang cepat musnah ini. Dia juga melihat dirinya harus diserahkan sepenuhnya kepada Allah yang dirindukannya, apabila dia memikirkan akhir dari kebaik. annya dan dia melihat akhir dari semua itu dengan mata bashirahnya, yang dia merelakan semua itu karena mahabah-Nya.
Semua ini merupakan jejak dan buah dari keterjagaan. Itulah manzilah pertama bagi jiwa yang tenang (nafs muthma‘innah) yang darinya dia memulai perjalanan menuju Allah dan Negeri Akhirat.
PASAL
Adapun mengenai Lawwamah, itu adalah jiwa (nafs) yang Allah bersumpah dengannya dalam firman-Nya,
“Dan aku bersumpah dengan jiwa (nafs) yang mencela (dirinya sendiri).” (QS. al-Qiyamah [75]: 2).
Tetapi terjadi perbedaan pendapat mengenai kandungan ayat ini.
Sekelompok orang menyatakan bahwa itu (maksudnya, nafs lawwamah—Penj.) adalah jiwa (nafs) yang tidak pernah menetap pada satu kondisi tunggal. Mereka berpendapat seperti itu karena melihat bahwa kata “lawwamah” berasal dari kata “talawwum” yang berarti “keraguan” (taraddud), yaitu kondisi berbolak-balik dan berubah-ubah.
Jiwa jenis yang satu ini merupakan salah satu tanda kekuasaan Allah swt. yang paling hebat. Jiwa jenis ini merupakan salah satu di antara sekian banyak makhluk ciptaan-Nya yang terus berbolak-balik dan berubah-ubah dalam waktu sesaat—baik dalam waktu satu hari, satu bulan, satu bulan, atau satu kali kehidupan—dengan berbagai corak warna-warni. itulah sebabnya jiwa jenis ini (nafs lawwamah) terkadang ingat terkadang lupa, terkadang menerima terkadang menolak, terkadang lembut terkadang kasar, terkadang menerima terkadang menolak, terkadang mencintai terkadang membenci, terkadang senang terkadang sedih, terkadang rela terkadang marah, terkadang bertakwa terkada durjana, dan demikian seterusnya dalam berbagai bentuk kondisi dengan segala coraknya. Jiwa jenis ini terus berubah-ubah setiap waktu dengan corak warna yang beragam.
Sekelompok orang menyatakan bahwa kata “lawwamah” berasal dari kata “lawm” (celaan). Tetapi kemudian mereka berbeda pendapat. Sebagian dari mereka menyatakan bahwa nafs lawwamah adalah jiwa orang mukmin, dan itu merupakan satu di antara sifat-sifatnya yang terpuji. Hasan Bashri menyatakan bahwa orang mukmin tidak pernah melihatnya, kecuali dia selalu mencela dirinya sendiri. Dia (nafs lawwamah) selalu bertanya, “Apa yang kuinginkan dari ini?’”, “Mengapa aku melakukan ini?” dan berbagai bentuk ucapan lainnya.
Sebagian yang lain menyatakan bahwa itu (nafs lawwamah) merupakan jiwa orang mukmin yang membuat orang mukmin itu terperosok ke dalam dosa, tetapi kemudian dialah yang mencela orang mukmin itu atas dosa tersebut. Celaan ini berasal dari keimanan. Hal ini berbeda dari orang sengsara yang tidak pernah mencela dirinya atas suatu dosa, tetapi selalu mencela nafs lawwamah itu dan mencela atas luputnya.
Sekelompok orang menyatakan bahwa celaan di sini merupakan milik kedua jenis manusia ini; karena masing-masing mereka mencela diri mereka sendiri. Jika dia tergolong manusia jahat, maka dia mencela dirinya karena kejahatannya. Jika dia manusia baik, tentu dia mencela dirinya karena kekurangannya.
Semua pendapat tersebut benar adanya dan tidak dapat saling menafikan satu sama lain. Karena jiwa memang memiliki sifat-sifat seperti itu, yang karena itulah jiwa itu disebut Jawwdmah (pencela). Hanya saja lawwamah ada dua macam:
- Pencela yang tercela (lawwdmah malamah); yaitu jiwa bodoh lagi zalim yang dicela oleh Allah dan para malaikat-Nya.
- Pencela yang tidak tercela (lawwamah ghair malaimah); yaitu jiwa yang terus mencela pemiliknya atas kekurangannya dalam menaati Allah dengan segala kesungguhannya. Jiwa seperti ini tidaklah tercela.
Jiwa yang paling mulia adalah jiwa yang mencela dirinya sendiri dalam ketaatan kepada Allah, dan mengesampingkan celaan para pencela demi meraih keridhaan-Nya. Jiwa mulia seperti itu tidak akan peduli pada celaan pencela, karena ia telah merangkum celaan Allah padanya, Sementara jiwa yang senang pada amal perbuatannya sendiri, tanpa pernah mencela dirinya sendiri dan tidak pernah mau menanggung celaan para pencela demi Allah, jiwa jenis itulah yang Allah swt. cela.
PASAL
Adapun berkenaan dengan Nafs Ammarah, itu merupakan jenis jiwa yang tercela. Karena ia jenis jiwa (nafs) yang selalu memerintahkan segala macam keburukan. Hal ini telah menjadi bagian dari tabiatnya, kecuali hanya jika Allah memberi taufik kepadanya, menetapkannya, dan menolongnya. Karena tidak ada satu pun yang dapat selamat dari kejahatan jiwanya atau dirinya (nafs-nya) kecuali hanya dengan taufik Allah swt. baginya; sebagaimana yang Allah swt. firmankan ketika Dia bercerita tentang istri “Aziz, “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku., Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yusuf [12]: 53)
Allah swt. berfirman, “…Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kalian sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kalian bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya.” (QS. an-Nur [24]: 21)
Allah swt. berfirman kepada makhluk-Nya yang paling dicintai-Nya, “Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati) mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka.” (QS. al-Isra’ [17]: 74)
Rasulullah saw. telah mengajari umat Islam doa hajat, “Sesungguhnya segala puji milik Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan-Nya, dan memohon ampunan-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kami dan dari keburukan-keburukan ama! perbuatan kami. Barang siapa yang Allah beri hidayah kepadanya, pasti tidak ada yang dapat menyesatkannya. Barang siapa yang Allah sesatkan, pasti tidak ada yang dapat memberinya hidayah.”
Jadi, kejahatan memang terpendam dalam jiwa, dan itulah yang melahirkan segala amal buruk. Apabila Allah swt. membiarkan begitu saja antara hamba dengan dirinya, pasti si hamba akan binasa di antara Kejahatannya dan berbagai perbuatan buruknya. Apabila Dia berkenan memberi taufik kepadanya, Dia akan menolong dan menyelamatkannya dari semua itu. Kita semua memohon kepada Allah untuk melindungi kita dari segala kejahatan diri kita dan dari keburukan amal perbuatan kita.
Allah swt. telah menguji manusia dengan dua jenis jiwa ini; nafs ammarah dan nafs lawwamah, sebagaimana halnya Dia juga telah memuliakan manusia dengan nafs muthma‘innah. Jadi, sebenarnya hanya ada satu jiwa (nafs) yang kemudian menjadi nafs ammarah, lalu menjadi nafs lawwdémah, lalu menjadi nafs muthma‘innah. Nafs muthma‘innah inilah puncak kesempurnaan dan kebaikannya.
Allah telah menguatkan jiwa tenang (nafs muthma‘innah) dengan banyak bala tentara. Dia menjadikan malaikat sebagai pendamping dan teman bagi nafs muthma‘innah itu yang membimbing dan menuntun arahnya. Malaikat itulah yang memasukkan kebenaran ke dalam jiwa tenang itu, membuat menyenanginya, menunjukkan kepadanya keindahan citranya, menjauhkannya dari kebatilan, membuatnya zuhud dalam kepenatan, dan menunjukkan keburukan citranya.
Malaikat itu pula yang memberi jiwa itu semua yang telah Allah ajarkan kepadanya berupa al-Quran, doa-doa, dan amal kebajikan; sementara menjadikan berbagai macam kebaikan dan taufik dapat menjangkaunya melalui berbagai arah. Setiap kali jiwa itu menerimanya dengan penerimaan, kesyukuran, dan pujian kepada Allah, lalu dia melihat keutamaannya pada semua itu; maka kian bertambahlah baginya perbekalannya, sehingga ia menjadi kuat dalam memerangi nafs ammarah.
Di antara bala tentara itu, yang dia menjadi panglima pasukannya, yaitu iman dan yakin. Segenap bala tentara Islam berada di bawah panji-panjinya dan senantiasa melihat kepadanya. Apabila ia berteguh, pasti jiwa itu pun teguh. Apabila ia kalah, tentu jiwa itu pun berpaling pergi.
Selain itu, para komandan pasukan itu yang memimpin pasukannya berupa cabang-cabang keimanan yang berkaitan dengan anggota tubuh sesuai dengan keragaman jenisnya. Hal ini seperti shalat, zakat, puasa, haji, jihad, amar makruf nahi munkar, nasihat untuk orang lain, dan berbuat baik kepada mereka dengan berbagai bentuk kebaikan.
Selain itu juga cabang-cabang batiniah yang berhubungan dengan hati. Diantaranya seperti ikhlas, tawakal, inabah, tobat, muraqabah, sabar, tabah, tawaduk, kesederhanaan, memenuhi hati dengan mahabah kepada Allah dan rasul-Nya, mengagungkan perintah-perintah serta hak-hak Allah, girah demi Allah dan karena Allah, keberanian, teguh menjaga kehormatan, kejujuran, kesantunan, dan kasih sayang.
Yang paling utama dari semua itu yaitu keikhlasan dan kesidikan (kejujuran). Orang yang jujur (sidik) dan ikhlas tidak akan pernah menderita, karena dia telah berada di atas jalan yang lurus, sehingga dia diperjalankan di jalan lurus itu dalam keadaan tidur. Siapa pun yang tidak memiliki kejujuran dan keikhlasan pasti tidak akan pernah merasa nyaman, karena jalan telah terputus darinya dan setan-setan telah menjebloskannya ke dalam tanah kebingungan. Apabila dia mau hendaklah dia beramal, dan apabila dia mau dia dapat tidak beramal. Karena amalnya tidak menambah apa pun baginya dari Allah kecuali hanya dirinya yang kian jauh.
Singkatnya, apa pun yang demi Allah dan dengan Allah, maka itulah yang termasuk pasukan jiwa tenang (nafs muthma‘innah).
Adapun berkenaan dengan Nafs Ammarah, Allah swt. telah menjadikan setan sebagai pendamping dan teman jiwa jenis yang satu ini yang menuntunnya. Setan itulah yang mendukung dan menolong jiwa ini serta merasukkan kebatilan ke dalamnya; memerintahkannya berbuat jahat serta membuat kejahatan itu terlihat indah baginya; membuatnya menyukai sikap panjang angan-angan, memperlihatkan kebatilan kepadanya dalam citra yang layak diterima dan indah, serta membekalinya dengan berbagai bentuk kebatilan berupa angan-angan dusta dan syahwat yang membinasakan.
Selain itu, setan juga meminta dukungan darinya dengan hawa dan keinginan nafs ammarah itu sendiri. Dari setan itulah segala keburukan menyusup kepada jiwa, lalu dia memasukkan segala bentuk keburukan ke dalam jiwa. Tidak ada penolong apa pun bagi jiwa yang lebih kuat dibandingkan hawa dan keinginan jiwa itu sendiri.
Berbagai keburukan itu juga telah diajarkan oleh saudara-saudara setan itu yang berwujud setan manusia (syayathin al-ins), sehingga mereka tidak meminta pertolongan dari mereka ketika menghadapi berbagai citra yang terhalang dari mereka itu dengan sesuatu yang lebih kuat daripada hawa dan keinginan mereka. Apabila mereka gagal pada satu citra, mereka pun berupaya untuk mengejar yang disukainya, lalu mereka berupaya untuk meraihnya, sehingga dengannya mereka mempuru citra tersebut,
Apabila jiwa membukakan pintu hawa untuk mereka, mereka pun masuk dari pintu itu, lalu mereka merajalela “di kampung-kampung” (maksudnya, di mana-mana—Penj.). Mereka lalu merampok dan merusak, menghancurkan dan menangkap. Mereka melakukan semua yang biasa dilakukan musuh di negeri musuh ketika mereka berhasil menguasainya. Mereka hancurkan semua simbo] keimanan, al-Quran, zikir, shalat, dan masjid-masjid. Mereka ramaikan sinagog, gereja, kedai minuman, dan rumah bordil. Bahkan mereka menangkap raja untuk kemudian mereka tawan, rampas, taklukkan, dan mereka ubah dari kalangan penyembah ar-Rahman menjadi penyembah kesesatan dan berhala.
Mereka pindahkan dari kemuliaan taat menuju kehinaan maksiat; dari pendengaran Rahmani menuju pendengaran Syaithani dari kesiapan berjumpa dengan Allah menuju kesiapan bertemu dengan kaki tangan setan. Ketika dulu dia menjaga hak-hak Allah beserta segala yang Dia perintahkan kepadanya, yang sekarang dia pelihara adalah kawanan babi! Kalau dulu dia berkhidmat kepada Allah yang Penyayang, sekarang dia menjadi pelayan setan yang terkutuk!
Yang ingin saya sampaikan, yaitu bahwa malaikat merupakan pendamping jiwa tenang (nafs muthma‘innah), sementara setan merupakan pendamping jiwa sebagai penyeru keburukan (nafs ammarah). Abul Ahwash telah meriwayatkan, dari Atha’ bin Sa‘ib, dari Murrah, dari ‘Abdullah, dia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya setan memiliki bisikan” pada keturunan Adam, dan malaikat juga memiliki bisikan. Bisikan setan adalah janji kejahatan dan kedustaan terhadap yang hak, sedangkan bisikan malaikat adalah janji kebaikan dan pembenaran pada yang hak. Barang siapa yang mendapatkan yang itu (bisikan malaikat—Penj.), hendaklah dia mengetahui bahwa itu berasal dari Allah, dan hendaklah dia memuji Allah. Barang siapa yang mendapatkan yang Iain (bisikan setan—Penj.), hendaklah dia berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk.” Kemudian Rasulullah saw. membacakan ayat,
“Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kalian dengan kemiskinan dan menyuruh kalian berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untuk kalian ampunan daripada-Nya dan karunia.
Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-Baqarah [2]: 268).
Hadis ini juga telah diriwayatkan oleh “Amr, dari Atha bin Sa‘ib; tetapi ada tambahan dalam riwayat ‘Amr ini, “Kami mendengar dalam hadis ini dikatakan, ‘Apabila seorang dari kalian merasakan sesuatu bisikan malaikat, hendaklah dia memuji Allah dan hendaklah dia memohon anugerah-Nya. Apabila dia merasakan suatu bisikan setan, hendaklah dia beristighfar memohon ampunan Allah dan hendaklah dia berlindung dari setan.’”
PASAL
Malaikat dan bala tentaranya berupa keimanan akan menuntut dari jiwa tenang (nafs muthma‘innah) tauhid, ihsan, kebajikan, takwa, sabar, tawakal, tobat, inabah, siap menyambut Allah, pendek angan-angan, dan kesiapan menyongsong kematian serta segala yang setelahnya. Sementara setan dan bala tentaranya berupa kekufuran akan menuntut dari jiwa penyeru keburukan (nafs ammdrah) segala hal yang bertentangan dengan hal-hal baik yang telah disebutkan tadi.
Allah swt. telah memberi kekuasaan kepada setan atas segala sesuatu yang dilakukan bukan lillahi ta’ala, tidak dimaksudkan demi ridha-Nya, dan bukan merupakan ketaatan kepada-Nya. Allah menjadikan semua itu sebagai bagian setan. Kemudian setan pun menunjuk jiwa penyeru keburukan (nafs ammdrah) untuk melakukan semua itu dan merampas berbagai amal baik dari jiwa tenang (nafs muthma‘innah). Setelah itu, dia jadikan semua itu sebagai kekuatan bagi jiwa penyeru keburukan.
Jiwa penyeru keburukan inilah yang paling tamak untuk dapat merampas semua amal perbuatan, agar semua itu menjadi bagian miliknya, sehingga membuat perkara yang paling sulit bagi jiwa tenang (nafs muthma’innah) untuk menvelamatkan amal dari setan dan dari jiwa penyeru keburukan untuk diserabkan kepada Allah swt. Apabila berhasil dicapai satu amal sebagaimana seharusnya, tentu dengan amal itulah si hamba akan selamat. Tetapi jiwa penyeru keburukan dan setan tidak akan membiarkan satu amal pun untuk dapat sampai kepada Allah. Seperti yang dikatakan oleh seorang Arif Billah mengenai dirinva sendiri, “Demi Allah, apabila aku tahu bahwa aku memiliki satu amalan yang sampai kepada Allah, aku pasti jauh lebih gembira dengan datangnya kematian daripada seseorang yang hilang yang kembali kepada keluarganya.”
‘Abdullah bin ‘Umar ra. berkata, “Apabila aku mengetahui bahwa Allah swt. menerima satu sujud dariku, maka tidak ada yang gaib yang jebih aku sukai daripada kematian. ‘Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Ma’idah [5]: 27).
PASAL
Jiwa penyeru keburukan (nafs ammarah) selalu siap menghadapi jiwa tenang (nafs muthma‘innah). Setiap kebaikan yang dilakukan oleh jiwa tenang (nafs muthma‘innah) selalu ditandingi oleh jiwa penyeru keburukan (nafs ammarah) dengan keburukan yang menandingi kebaikan itu, agar keburukan tersebut dapat merusak kebaikan itu. Apabila jiwa tenang (nafs muthma‘innah) membawa iman dan tauhid, tentu jiwa penyeru keburukan (nafs ammarah) akan membawa keraguan dan kemunafikan yang merusak keimanan itu, membawa kesyirikan untuk merusak tauhid tersebut, serta membawa kecintaan kepada yang selain Allah untuk merusak harapan dan rasa takut pada-Nya.
Jiwa penyeru keburukan (nafs ammdrah) tidak pernah rela sampai berhasil membuat jiwa orang yang bersangkutan lebih mendahulukan cinta kepada yang selain Allah dan rasa takut serta berharap kepada yang selain Dia, daripada cinta, takut, dan harap kepada-Nya. Sehingga yang dimiliki-Nya pada jiwa itulah yang dibelakangkan, sementara yang menjadi milik makhluk itulah yang dikedepankan. Inilah keadaan sebagian besar makhluk.
Ketika jiwa tenang (nafs muthma‘innah) membawa dorongan untuk mengikuti Rasul, jiwa penyeru keburukan (nafs ammdrah) membawa dorongan untuk mengutamakan pendapat dan ucapan manusia daripada wahyu Allah. Dia (jiwa penyeru keburukan) juga membawa syubhat sesat yang akan menghalangi jiwa dari kesempurnaan untuk mengikuti sunah sembari berpaling dari pendapat manusia. Demikianlah peperangan terus terjadi di antara kedua jenis jiwa ini, dan yang tertolong hanyalah orang yang ditolong oleh Allah swt.
Apabila jiwa tenang (nafs muthma‘innah) membawa keikhlasan, kesidikan, tawakal, inabah, dan muraqabah, tentu jiwa penyeru keburukan (nafs ammarah) datang dengan membawa semua yang berlawanan dengan kebaikan-kebaikan itu, sembari bersumpah dengan nama Allah yang diinginkannya tidak lain hanyalah kebaikan dan taufik. Padahal Allah mengetahui bahwa jiwa penyeru keburukan (nafs ammarah) itu pendusta, dan tidak ada tujuan darinya selain hanya bagian miliknya dan memperturutkan hawanya; juga demi mengeluarkan diri dari “penjara” sikap mengikuti dan berhukum pada sunah menuju “kebebasan” keinginan, syahwat, dan bagian yang dimilikinya.
Demi Allah, jiwa tidak akan “terbebas” kecuali hanya dari sikap mengikuti sunah menuju penjara hawa dan keinginan yang sempit, gelap, dan mengerikan. Jiwa pun terpenjara di dalamnya di alam dunia ini, lalu begitu pula di Barakh kelak yang lebih sempit lagi, lalu di Hari Kiamat yang jauh lebih sempit lagi.
Di antara keajaiban yang dimilikinya (jiwa penyeru keburukan), yaitu kemampuannya untuk menyihir akal dan hati. Ia datang kepada berbagai hal mulia, utama, dan terhormat, lalu dia menampakkan hal-hal mulia itu dalam bentuk citra yang jelek.
Sementara itu, sebagian manusia memiliki akal kanak-kanak dan mimpi bocah belia, karena mereka belum mencapai masa sapihan pertama dari berbagai kebiasaan dan hal-hal yang disukai. Apalagi mencapai masa balig yang pada saat itu seorang akil balig akan dapat memilih yang terbaik di antara dua pilihan untuk kemudian dia dahulukan, serta mengenali yang terburuk di antara dua keburukan untuk kemudian dia hindari.
Itulah sebabnya jiwa penyeru keburukan lalu menunjukkan kepadanya citra totalitas tauhid yang lebih hebat daripada citra matahari dan rembulan, dengan esensi penampilan citra kekurangan yang tercela. Ia mencopot orang-orang agung dari posisi mereka, lalu menjatuhkan mereka ke posisi budak yang miskin, hina, dan fakir yang tidak memiliki apa-apa; yang tidak memiliki keinginan dan tidak memiliki pertolongan, kecuali setelah datang izin Allah.
Jiwa penyihir itu menunjukkan kepacda mereka semua kemuliaan itu dalam bentuk kekurangan, kemerosotan, dan jatuhnya kehormatan, karena mereka menjadi tidak berbeda dari orang-orang miskin.
Sampai di situ, akhirnya jiwa-jiwa mereka lari meninggalkan tajrid tauhid sejauh-jauhnya. Mereka bahkan berkata,
“Mengapa ta menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (QS. Shad [38]: 5)
Jiwa penyeru keburukan (nafs ammd4drah) memperlihatkan kepada mereka sikap totalitas dalam mengikuti Rasulullah berikut semua yang beliau bawa dan menyuguhkannya kepada para tokoh dengan esensi bentuk celaan kepada para ulama dan kebencian terhadap kata-kata mereka, berikut semua yang mereka pahami dari Allah dan Rasulullah.
Ditunjukkanlah kepada mereka bahwa semua kebaikan itu merupakan bentuk ketidaksopanan terhadap mereka dan sikap lancang di hadapan mereka. Hal itu kemudian menyebabkan munculnya prasangka buruk terhadap mereka, bahwa kebenaran sudah luput dari mereka, jadi bagaimana mungkin kita dapat memiliki kekuatan untuk membantah mereka serta meraih kebenaran tanpa mereka?
Akhirnya jiwa pun lari dari semua itu sejauh-jauhnya. Lalu ia menjadikan ucapan mereka sebagai hukum yang harus diikuti; sementara sabda Rasul menjadi kata-kata absurd sebagaimana yang tampak dari ucpaan mereka, “Semua yang sesuai dengan kami, kami bersedia menerimanya. Semua yang bertentangan dengan kami, kami menolaknya, kami takwil, atau kami biarkan.”
Bahkan jiwa penyihir itu kemudian bersumpah atas nama Allah dengan berkata, “Yang kami inginkan tidak lain hanyalah kebaikan dan taufik!” Itulah orang-orang yang hanya Allah yang mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka.
PASAL
Jiwa penyeru keburukan (nafs ammdrah) itu. memperlihatkan kepada si hamba citra keikhlasan dalam tampilan buruk yang harus dijauhi. Keikhlasan dinyatakan sebagai pelanggaran terhadap hukum akal dalam kehidupan, serta sebagai bentuk tindakan mencari muka yang akan merasuki siapa pun yang melakukan dalam hidup di tengah masyarakat. Siapa pun orang yang mengikhlaskan segala perbuatannya tanpa pernah melakukan apa pun bagi seseorang, maka orang itu menjauhi mereka dan mereka pun menjauhinya, membenci mereka dan mereka membencinya, dia berjalan di satu jalan dan mereka berjalan di jalan yang lain, sehingga kemudian si hamba lari jauh dari keikhlasan itu. Tujuan dari semua itu adalah agar si hamba hanya mengikhlaskan secuil amalnya yang tidak berhubungan dengan orang banyak, sementara semua amalnya yang lain diniatkan bagi yang selain Allah!
PASAL
Jiwa penyeru keburukan (nafs ammarah) itu memperlihatkan kepada si hamba, citra kesidikan kepada Allah dan memerangi orang yang sudah keluar dari ajaran dan perintah agama-Nya dengan cara mengobarkan permusuhan, menyakiti, dan perang terhadap umat manusia. Selain itu digambarkan pula bahwa orang itu juga telah memerosokkan dirinya ke dalam mala petaka yang dia tidak sanggup memikulnya. Orang tersebut dinyatakan menjadi sasaran bagi panah para penyerang.
Seperti itulah contoh syubhat yang dibuat-buat oleh jiwa penyihir beserta berbagai khayalan yang dia ciptakan. Jiwa penyeru keburukan itu menunjukkan kepada si hamba citra jihad dalam bentuk bayangan penghilangan nyawa, dinikahinya janda perang, dijadikannya anak-anak sebagai yatim, serta dibagikannya harta rampasan perang.
Jiwa penyeru keburukan (nafs ammarah) itu memperlihatkan kepada si hamba citra zakat dan sedekah sebagai bentuk tindakan dikeluarkannya harta, berkurangnya harta, lepasnya harta dari tangan, munculnya kebutuhan kepada orang lain, dan kesamaan orang yang melakukannya dengan orang fakir dan kembalinya ke kedudukannya.
Jiwa penyeru keburukan (nafs ammarah) itu memperlihatkan kepada si hamba tindakan meyakini sifat-sifat Allah sebagai tindakan menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, sehingga kemudian si hamba menjadi lari dari peyakinan terhadap sifat-sifat Allah itu dan mengajak orang lain untuk menjauhinya. Jiwa penyeru keburukan (nafs ammarah) itu memperlihatkan kepada si hamba tindakan menganggur dan ingkar dibungkus dalam citra penyucian dan takzim.
Yang lebih mengherankan dari semua itu, yaitu ketika jiwa penyeru keburukan itu menyamakan antara berbagai sifat, akhlak, dan perbuatan yang disukai oleh Allah dan rasul-Nya, dengan hal-hal yang dibenci oleh Allah swt. Jiwa buruk itu memakaikan pada si hamba salah satu di antara kedua perkara itu bersama perkara lain.
Tidak ada yang dapat selamat dari semua ini, kecuali hanya orang-orang yang memiliki bashirah (mata batin). Karena berbagai perbuatan muncul dari keinginan dan kemudian tampak pada anggota tubuh berupa dua jenis jiwa, yaitu Jiwa penyeru keburukan dan jiwa tenang. Jadi kedua perbuatan itu hanya berbeda dari sisi batiniah, sementara pada penampakan lahiriahnya keduanya terlihat sama.
Ada banyak contoh yang dapat menunjukkan hal seperti itu. Di antaranya yaitu tindakan menolong orang lain dan tindakan mencari muka dari orang lain. Tindakan pertama berasal dari jiwa tenang (nafs muthma‘innah), sementara tindakan kedua berasal dari jiwa penyeru keburukan (nafs ammarah).
Contoh lainnya, seperti knusyuk dalam iman dan khusyuk dalam kemunafikan, harga diri dan kesombongan, menjaga diri (hamiyyah) dan antipati terhadap orang lain (jafa’), rendah hati (tawddhu’) dan rendah diri (muhanah), kuat dalam perintah Allah dan sikap congkak di muka bumi, menjaga diri dan marah karena Allah dengan menjaga diri dan marah karena nafsu, kedermawanan (jud) dan sikap boros (saraf), wibawa (mahabah) dan kesombongan (kibr), tindakan melindungi diri (shiyanah) dan ketakaburan (takabbur), keberanian (syaja’ah) dan kecerobohan (jara‘ah), tekad kuat (hazm) dan kepengecutan (jubn), hemat (iqtishdd) dan pelit (syuhh), waspada (ihtiraz) dan sangka buruk (si zhann), firasat (firasah) dan prasangka (zhann), nasihat (nashihah) dan gunjingan (ghibah), hadiah (hadiyyah) dan sogokan (risywah), sabar (shabr) dan kekerasan hati (gaswah), pemaafan (‘afw) dan kehinaan diri (dzull), keselamatan hati (salamah al-qalb) dan kelalaian (taghafful), kepercayaan (tsiqah) dan ketertipuan (ghirrah), harapan (raja) dan angan-angan (tamanni), menuturkan nikmat (tahadduts bi ni’mah) dan membanggakan diri (fakhr), kegembiraan hati (farah al-qalb) dan kegembiraan nafsu (farah an-nafs), kehalusan kalbu (riqah al-qalb) dan keluh kesah (jaz’), kegeraman (maujidah) dan dengki (hiqd), persaingan (munafasah) dan iri (hasad), mabuk kekuasaan (hubb ar-riydsah) dan menyukai kepemimpinan demi dakwah menuju Allah (hubb al-imamah li-d-da’wah ilallah), cinta demi Allah (hubb fillaah) dan cinta lain bersama Allah (hubb ma’allah), tawakal (tawakkul) dan menyerah (‘ajz), kehati-hatian (ihtiyath) dan waswas (waswasah), ilham malaikat (ilham al-malak) dan bisikan setan (ilqa’ asy-syaithan), kehati-hatian dan sikap menunda-nunda, pertengahan (igtishad) dan kekurangan (taqshir), kesungguhan (ijtihad) dan sikap berlebihan (ghuluw), nasihat (nashihah) dan cercaan (ta‘nib), kesegeraan (mubadarah) dan ketergesaan (‘ajalah), penyampaian keadaan (ikhbar bi-I-hal) dan keluhan (syakwa).
Satu citra dibarengi dengan citra yang lain. Lalu ia terbagi menjadi yang terpuji dan yang tercela; seperti gembira, sedih, iba, marah, cemburu, congkak, tamak, bergaya, khusyuk, hasad, ghibthah, berani, memata-matai, rakus, persaingan, menampakkan nikmat, sumpah, kemiskinan, diam, zuhud, warak, menyerah, uzlah, harga diri, fanatik, dan kehilangan.
Dalam hadis dinyatakan, “Sesungguhnya di antara kecemburuan, ada yang Allah sukai dan di antaranya ada yang Allah benci. Kecemburuan yang Allah sukai, yaitu kecemburuan dalam keraguan. Yang Dia benci, yaitu kecemburuan pada yang bukan keraguan. Sesungguhnya di antara kesombongan ada yang Allah sukai dan di antaranya ada yang Allah benci. Yang Allah sukai adalah kesombongan dalam perang.”
Dalam ash-Shahih juga dinyatakan, “Tidak ada iri kecuali hanya pada dua perkara: Seseorang yang diberi Allah harta, lalu dia menggunakannya untuk menghabiskannya dalam kebenaran, dan seseorang yang Allah beri hikmah lalu dia menetapkan putusan dengannya serta mengajarkannya.
Dalam ash-Shahih juga dinyatakan, “Sesungguhnya Allah adalah teman yang menyukai pertemanan. Dia memberi dalam pertemanan apa-apa yang tidak Dia berikan dalam permusuhan.”
Dalam ash-Shahih juga dinyatakan, “Barang siapa yang diberi bagiannya dari pertemanan, dia telah diberi bagiannya dari kebaikan.”
Pertemanan merupakan sesuatu hal, sementara sikap menunda-nunda dan kemalasan merupakan sesuatu hal lain yang berbeda. Orang yang suka menunda-nunda selalu merasa berat dalam memenuhi kepentingannya sendiri walaupun ada kesempatan baginya, dia tetap tak bergerak untuk meraihnya. Sementara teman bersikap lembut dapat meraihnya sesuai dengan kesempatan yang ada dengan diiringi persaingan.
Begitu pula halnya dengan pergaulan dengan orang lain (mudarah) merupakan sifat terpuji, sementara sikap mencari muka dari orang lain (mudahanah) merupakan tindakan tercela. Perbedaan antara keduanya yaitu dalam pergaulan dengan orang Jain terkandung kelembutan terhadap sahabat sehingga orang yang bersangkutan dapat memunculkan kebenaran atau menangkal kebatilan. Sedangkan sikap mencari muka merupakan tindakan lembut untuk membuat seseorang tetap dalam kebatilan sembari membiarkannya dalam hawanya. Itulah sebabnya bergaul dengan orang lain (mudarah) merupakan perbuatan orang beriman, sementara sikap mencari muka dari orang lain (mudahanah) adalah perbuatan orang munafik.
Mengenai masalah ini ada sebuah contoh menarik, yaitu ketika ada seseorang terluka yang sangat menyakitkan, lalu datanglah seorang tabib terampil yang berinteraksi dengan pasiennya tersebut. Tabib itu pun mencari tahu keadaan orang sakit itu. Lalu dia berusaha melembekkan luka itu agar luka itu matang, dia dapat membedahnya dengan mudah untuk mengeluarkan nanah di dalamnya. Setelah itu, dia dapat meletakkan obat yang mencegah kian parahnya luka itu, yang mungkin asalnya mengharuskan tindakan amputasi. Setelah itu, si tabib memberikan obat lagi untuk menumbuhkan jaringan baru pada luka itu, dan setelah jaringan baru tumbuh, si tabib memberi obat lagi untuk memulihkannya. Setelah itu, si tabib membalut luka tersebut dan demikian seterusnya sampai luka itu benar-benar sembuh.
Sementara itu, apabila yang datang kepada si sakit itu sosok pribadi yang gemar mencari muka, maka dia pasti akan berkata, “Tak apalah engkau sakit seperti itu. Luka itu tidak apa-apa! Tutuplah luka itu dengan kain agar tidak terlihat orang lain, setelah itu lupakanlah jukamu itu!” Tentu saja, sikap seperti itu akan membuat luka itu semakin parah hingga kian membesar. Contoh seperti ini juga cocok bagi jiwa penyeru keburukan yang berhadapan dengan jiwa tenang. Silakan anda renungkan.
Apabila luka yang terjadi itu hanya seukuran kacang, lantas bagaimanakah kiranya dengan sakit parah yang disebabkan oleh jiwa penyeru keburukan. Padahal jiwa buruk yang satu itu merupakan sumber segala syahwat dan sarang segala kefasikan yang terus didampingi oleh setan dalam tipu daya dan muslihat. Setan selalu membualkan janji dan angan-angan kepada jiwa buruk itu, sembari dia menyihirnya dengan berbagai macam sihir. Sampai-sampai berhasil memanipulasi sesuatu yang berguna menjadi sesuatu yang berbahaya, sesuatu yang berbahaya menjadi sesuatu yang berguna, sesuatu yang baik sebagai keburukan, dan sesuatu yang buruk sebagai kebaikan!
Demi Allah, ini adalah sihir yang paling berbahaya. Itulah sebabnya Allah swt. berfirman, “…Maka dari jalan manakah kamu ditipu?” (QS. al-Mu‘minun [23]: 89).
Orang-orang yang menyebut bahwa para rasul utusan Allah sebagai orang-orang yang disihir sebenarnya merekalah yang justru terkena sihir. Karena mereka memang layak disihir, bukan para rasul utusan Allah yang Dia limpahi selawat dan keselamatan. Sebagaimana halnya orang-orang itu menyebut bahwa para rasul adalah orang-orang sesat yang merusak di muka bumi, orang gila, dan bodoh.
Tidaklah para nabi dan para rasul memerintahkan semua umat untuk berlindung dari kejahatan jiwa penyeru keburukan (nafs ammarah) ini beserta begundalnya yang bernama setan, selain karena jiwa buruk ini merupakan biang keladi semua kejahatan yang menjadi pangkal dan akar segala keburukan. Sementara keduanya (nafs ammarah dan setan, penj.) saling menolong dan membantu.
Dua penyusu payudara ibu bersumpah Dengan yang hitam kelam takkan berpisah
Allah swt. berfirman,
“Apabila kamu membaca al-Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.” (QS. an-Nahl [16]: 98).
Allah swt. berfirman,
“Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan, berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-A’raf [7]: 200)
Allah swt. berfirman,
“Dan katakanlah, ‘Ya Tuhanku aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan syaitan. Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau ya Tuhanku, dari kedatangan mereka kepadaku.’” (QS. al-Mu‘minun [23]: 97-98)
Allah swt. berfirman,
“Katakanlah, ‘Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh, dari kejahatan makhluk-Nya, dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul, dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki.’” (QS. al-Falaq . [113]: 1-5)
Ini merupakan bentuk permohonan perlindungan kepada Allah dari kejahatan nafs (jiwa). Allah swt. berfirman,
“Katakanlah, ‘Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. Sembahan manusia. dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia. dari (golongan) jin dan manusia.” (QS. an-Nas: 1-6)
Ini merupakan permohonan perlindungan kepada Allah dari kejahatan garin atau teman dari jiwa (nafs), karena dialah seburuk-buruk pendamping.
Allah swt. memerintahkan kepada nabi-Nya serta para pengikutnya untuk memohon perlindungan dengan rububiyah-Nya yang sempurna dari kedua makhluk yang begitu besar kejahatan dan kerusakannya ini. Hati manusia berada di antara kedua musuh ini, sementara kejahatan keduanya terus mengetuk dirinya. Bahaya pertama yang disusupkan oleh jiwa penyeru keburukan (nafs ammarah), yaitu berupa syahwat dengan segala hal yang mengikutinya dalam bentuk cinta, kerakusan, pencarian, dan kemarahan. Begitu pula hal-hal lain yang mengikutinya seperti ketakaburan, hasad, kezaliman, dan kesewenang-wenangan.
Sampai di situ, sang tabib penipu lagi pengkhianat yang mengetahui sakit seseorang itu mendatanginya. Lalu menyebutkan berbagai jenis racun dan bahan berbahaya. Lalu dia memberikan ilustrasi kepadanya dengan pengaruhnya bahwa kesembuhan si hamba ada pada bahan-bahan berbahaya itu. Kelemahan hati akan berpadu dengan penyakit dan kekuatan jiwa penyeru kerusakan bersama setan sehingga dia mengikuti keduanya. Padahal ada peringatan yang datang bahwa itu merupakan kenikmatan sesaat.
Penyeru datang kepadanya dari segala penjuru, ditambah hawa nafsu terus mendorong. Ketidakpastian menggoyahkan si hamba, ia sangat putus asa, kemudian meniru mereka, dan rela tertimpa apa pun seperti halnya yang menimpa mereka. Kalau sudah seperti itu, maka bagaimana mungkin dengan segala hambatan itu si hamba akan dapat menjawab seruan iman yang mengajak menuju surga; terkecuali orang yang Allah limpahi taufik. Dia kuatkan dengan rahmat-Nya, Dia jaga dan lindungi, serta Dia bukakan mata batin dalam kalbunya, sehingga si hamba dapat melihat betapa cepatnya dunia ini pupus dan musnah; serta dapat melihat bahwa jika dibandingkan dengan kehidupan kekal abadi di akhirat, kehidupan di dunia ini tak lebih laksana air di ujung telunjuk yang dicelupkan ke lautan.
PASAL
Perbedaan antara khusyuk keimanan dan khusyuk kemunafikan yaitu, bahwa khusyuk keimanan merupakan khusyuk hati Lillahi ta‘ala dengan penuh takzim, pemuliaan, penghormatan, ketundukan, dan rasa malu, sehingga hati si hamba menjadi remuk disebabkan perasaan tak enak hati, cinta, dan malu karena meonyaksikan limpahan nikmat Allah yang berhadapan dengan kejahatan-kojahatan yang difakukannya. Pastilah hati si hamba akan khusyuk, dan kemudian kekhusyukan itu diikuti oleh kekhusyukan anggota tubuhnya.
Sedangkan khusyuk kemunafikan adalah kekhusyukan yang muncul pada anggota raga sebagai bentuk kepura-puraan dalam beban, sementara hati tidak khusyuk sama sekali. Seorang sahabat berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari khusyuk kemunafikan.” Dia lalu ditanya, “Apakah khusyuk kemunafikan itu?” Dia menjawab, ‘“Ketika jasad terlihat khusyuk, padahal hati tidak khusyuk.”
Orang yang khusyuk lillahi ta‘ala merupakan hamba yang api syahwatnya telah padam. Asap api itu pun telah sirna dari dadanya, sehingga hatinya menjadi lapang dan menyemburatlah darinya cahaya keagungan. Syahwat jiwanya telah mati disebabkan rasa takut yang menimbulkan khasyyah. Anggota tubuhnya menunduk, hatinya merunduk, dia pun tenteram kepada Allah dan zikir mengingat-Nya, dengan ketenangan yang turun kepadanya dari hadis Rabb-nya, sehingga dia tenteram kepada-Nya.
Kata mukhbit berarti “orang yang tenang’’. Kata khabt yang digunakan pada kalimat “khabt min al-ardh”, menunjukkan bagian cekung pada permukaan bumi yang digenangi air. Itulah gambaran hati yang “tenang” dalam khusyuk dan ketenteraman, seperti perairan tenang di muka bumi yang air mengalir ke tempat itu lalu menggenang tenang.
Tanda kekhusyukan hamba yaitu ketika dia bersujud di hadapan Rabb-nya sebagai bentuk pemuliaan bagi-Nya dalam kehinaan dan keremukan diri di depan-Nya. Sebuah sujud yang si hamba tidak mengangkat kepalanya dari sujud itu sampai dia “berjumpa” dengan-Nya. Sementara itu, hati yang takabur selalu gemetar dengan ketakaburannya. la seperti daerah ketinggian di bumi yang air tidak mungkin menggenang di tempat itu. Demikian itulah khusyuk keimanan.
Adapun berkenaan dengan khusyuk kemunafikan, itu merupakan kondisi si hamba yang dengan berat menenangkan anggota-anggota tubuhnya dalam kepura-puraan dan riya. Sementara jiwa yang ada di dalam batinnya tetap seperti perempuan muda yang dijelali syahwat dan keinginan-keinginan. Si hamba berpura-pura khusyuk secara lahiriah, sementara ular lembah dan harimau hutan terus mengintai di sekitarnya menunggu mangsanya.?
PASAL
Yang dimaksud dengan kemuliaan jiwa (syaraf an-nafs) adalah tindak perlindungan jiwa dari berbagai bentuk kerendahan, kehinaan, dan ketamakan yang dapat memenggal leher hamba. Si hamba pun bersusah payah untuk menjaga diri agar jiwanya tidak terperosok ke dalam keburukan. Hal ini berbeda dengan kesombongan yang selalu muncul dari dua hal: 1. Rasa ujub terhadap diri sendiri, dan 2. Sikap meremehkan orang lain. Dari kedua sikap itulah muncul kesombongan.
Sementara itu, sikap yang pertama (maksudnya, kemuliaan jiwa Penj.) akan melahirkan dua akhlak mulia, yaitu: 1) Penghormatan dan pemuliaan diri, dan 2) Rasa takzim terhadap Pemilik jiwa itu yang tidak mungkin rela jika hamba-Nya menjadi hina, rendah, dan nista. Dari kedua sikap itulah kemudian muncul kemuliaan jiwa. Dasar semua itu yaitu kesiapan jiwa (isti’ada an-nafs) dan kesigapan untuk menyokong wali dan maula jiwa itu baginya. Ketika kesiapan dan sokongan itu hilang, maka seluruh kebaikan pun menjadi sirna.
PASAL
Demikian pula perbedaan antara tindakan menjaga diri (hamiyyah) dan sikap antipati terhadap orang lain (jafa’). Tindakan menjaga diri dilakukan dengan menyapih jiwa dari penyusuan yang hina dari payudara yang mengalirkan kebusukan, kehinaan, dan kerendahan. Walaupun susu yang keluar begitu banyak dan sudah banyak orang binasa karenanya. Mereka memiliki keteguhan berhenti menyusu meski itu membuat banyak hati merasa menderita!
Tetapi penyapihan itu harus tetap dilakukan. Jika Anda mau, Anda dapat menyegerakannya sehingga Anda akan terpuji dan disyukuri. Atau jika Anda mau, Anda dapat menundanya tetapi Anda takkan beroleh pahala. Semua ini jelas berbeda dari sikap antipati terhadap orang lain (jafa‘) yang merupakan bentuk kekasaran dalam jiwa, kekakuan dalam hati, dan kekerasan dalam watak yang dari semua itu akan lahir sikap berupa antipati terhadap orang lain.
PASAL
Perbedaan antara rendah hati (lawddhu’) dan rendah diri (muhanah) yaitu kerendahan hati lahir dari pongetahuan tentang Allah swt. dan makrifat tentang asma dan sifat-sifat keagungan-Nya, serta dari sikap takzim, mahabah, dan pemuliaan pada-Nya. Dari pengetahuan si hamba akan dirinya berikut segala kekurangan, aib, dan kerusakan dirinya. Dari semua sikap itulah muncul akhlak yang bernama rendah hati. la merupakan representasi keremukan hati demi Allah dan sikap merendahkan hati serta kasih bagi hamba-hamba-Nya. Sehingga si hamba tidak pernah melihat keunggulan apa pun pada dirinya daripada siapa pun juga, dan juga tidak melihat ada hak yang layak dituntutnya dari siapa pun juga. Alih-alih, dia juga selalu melihat keunggulan orang lain atas dirinya berikut hak-hak mereka yang harus dia penuhi. Akhlak yang satu ini hanya Allah anugerahkan kepada orang yang Dia cintai, Dia muliakan, dan Dia dekatkan ke hadirat-Nya.
Sedangkan sikap rendah diri (muhGnah) adalah bentuk kehinaan dan kenistaan yang dilakukan dalam upaya menggerakkan jiwa untuk mendapatkan segala hal yang menjadi syahwatnya. Contohnya seperti sikap rendah diri orang-orang rendah demi mendapatkan syahwat mereka; sikap rendah diri orang-orang yang menjadi objek keburukan dari para pelaku keburukan; sikap rendah diri pengemis di depan orang yang dia harapkan akan sudi memberinya sesuatu. Semua sikap seperti itu merupakan bentuk kehinaan, bukan kerendahan hati (tawadhu’) sama sekali. Allah swt. menyukai sikap rendah hati dan memurkai sikap rendah diri.
Dalam ash-Shahth dinyatakan sebuah sabda Rasulullah saw., “Telah diwahyukan kepadaku, Hendaklah kalian berendah hati hingga tidak ada seorang pun yang menyombongkan diri dari siapa pun juga, dan tidak ada seorang pun yang sewenang-wenang terhadap siapun juga.
Kerendahan hati yang terpuji ada dua macam:
Pertama, kerendahan hati hamba terhadap perintah Allah dengan melaksanakannya, dan terhadap larangan Allah dengan menghindarinya. Sesungguhnya jiwa manusia yang selalu menginginkan kenyamanan selalu lamban dalam pelaksanaan perintah Allah, sehingga muncullah darinya semacam penolakan dan penyangkalan karena ingin lari dari penghambaan (‘ubidiyyah). Jiwa juga gemar melompat ketika menghadapi larangan Allah demi meraih keuntungan dari apa yang Allah larang. Ketika seorang hamba telah merendahkan jiwanya demi perintah Allah dan larangan-Nya, maka dia telah berendah hati dalam penghambaannya.
Kedua, Kerendahan hati hamba terhadap keagungan dan kemuliaan Allah swt., serta ketundukan hamba terhadap kemuliaan dan perbawa-Nya. Setiap kali jiwa si hamba ingin menyombong, dia langsung mengingat keagungan Allah dan murka-Nya yang keras terhadap siapa pun yang membangkang-Nya. Jiwa si hamba pun tunduk berendah hati karena remuk redam oleh keagungan Allah swt. Jiwa si hamba menjadi tenang berkat wibawa-Nya, dan ia tunduk kepada kekuasaan-Nya. Inilah puncak kerendahan hati.
Kerendahan hati jenis yang kedua selaras dengan kerendahan hati jenis yang pertama dan sama sekali tidak bertentangan dengannya. Orang yang memiliki kerendahan hati yang sejati yaitu orang yang memiliki dua jenis kerendahan hati ini. Wallaahul musta‘an.
PASAL
Demikian pula halnya dengan sikap kuat atau tegar dalam perintah Allah (quwwah fi amrillah) muncul dari sikap takzim kepada Allah dan kepada segenap perintah dan hak-hak Allah swt. Sementara sikap congkak di muka bumi (‘uluw fi-l-ardh), muncul dari sikap takzim terhadap diri sendiri yang mendambakan jabatan dan kemasyhuran tanpa peduli apakah Allah mulia atau terhina. Bahkan ketika datang perintah Allah kepada si hamba beserta hak dan keridhaan-Nya, dia tidak memedulikan semua itu dan justru mematikan itu demi meraih ketinggian yang diinginkannya.
Demikian pula halnya dengan perbedaan antara sikap menjaga diri karena Allah dan sikap menjaga diri demi nafsu. Sikap yang pertama akan mendorong munculnya sikap takzim terhadap perintah dan Pemberi Perintah, sedangkan sikap yang kedua akan mendorong munculnya sikap takzim terhadap diri sendiri dan memicu amarah ketika ada jatahnya yang luput darinya.
Sikap menjaga diri karena Allah dilakukan dengan si hamba melindungi hatinya demi Allah. Ini merupakan kondisi si hamba yang di dalam hatinya telah bersinar cahaya kekuasaan Allah, lalu hatinya dipenuhi dengan sinar cahaya itu. Ketika si hamba marah, maka dia hanya marah demi cahaya kekuasaan Allah yang menancap dalam hatinya itu.
Dulu setiap kali Rasulullah saw. marah, beliau akan menampilkan wajah merah dan mata yang menunjukkan kemarahan, Tetapi tidak pernah sekali pun beliau marah seperti itu, kecuali hanya demi membela Allah swt.
Zaid bin Aslam meriwayatkan dari ayahnya bahwa Musa _ bin ‘Imran as. jika marah, maka akan menyala api pada kopiah yang dikenakannya. Sikap marah seperti itu sama sekali berbeda dari sikap menjaga diri sendiri yang merupakan representasi dari luapan hawa panas dalam diri si hamba yang terjadi gara-gara luputnya suatu jatah yang dikejarnya. Fitnah memang terjadi dalam jiwa dan fitnah di situ berarti api yang menyala. Karena jiwa manusia memang mengandung api syahwat dan amarah.
Keduanya merupakan hawa panas yang akan tampak pada anggota tubuh hamba yang bersangkutan. Yang pertama, hawa panas yang muncul dari jiwa tenang (nafs muthma‘innah) yang didorong oleh sikap takzim kepada hak Allah. Sedangkan yang kedua, hawa panas yang muncul dari jiwa penyeru keburukan (nafs ammdrah) yang didorong oleh luputnya suatu keinginan.
Perbedaan antara kedermawanan (jiid) dan sikap boros (saraf) yaitu, bahwa kedermawanan adalah tindakan bijaksana yang meletakkan semua pemberian pada tempat yang tepat. Sedangkan sikap boros tidak lain adalah tindakan mubazir, yang terkadang pemberiannya tepat sasaran, tetapi lebih sering pemberian itu melenceng tak karuan.
Penjelasan mengenai hal ini yaitu, bahwa Allah swt. dengan hikmah kebijaksanaan-Nya telah menetapkan hak-hak tertentu pada harta. Hak-hak itu ada dua macam: 1) Hak-hak yang sudah ditentukan, dan 2) Hak-hak tambahan. Hak-Hak yang sudah ditentukan contohnya adalah zakat dan berbagai macam infak wajib atas siapa pun yang harus mengeluarkan infak. Sementara hak-hak tambahan contohnya adalah hak tamu, membalas pemberian hadiah, memberi sesuatu demi menjaga kehormatan diri, dan sebagainya.
Seorang dermawan menggunakan hartanya untuk menunaikan hak-hak tersebut secara sempurna, sehingga jiwanya menjadi baik, ridha, sembari mendambakan penggantian di dunia dan pahala di akhirat. Dia mengeluarkan semua pemberiannya itu dengan hati yang tulus, jiwa yang pemurah, dan dada yang lapang. Semua ini berbeda dengan seorang mubazir yang menggelontorkan hartanya semata-mata demi memperturutkan hawa nafsu dan syahwatnya, tanpa memerhatikan kemaslahatan apa pun, walaupun itu bisa dilakukannya.
Orang pertama (si dermawan) posisinya sama seperti orang yang menanam sebutir benih di tanah subur. Dengan benih itu dia mengharapkan tanamannya tumbuh subur. Tentu saja orang dermawan seperti ini tidak dapat disebut orang mubazir atau orang dungu.
Sedangkan orang kedua (si mubazir) posisinya sama seperti orang yang menanam benih di tanah gersang. Kalaupun ternyata dia menanam benihnya di tempat yang tepat, ternyata dia menancapkan benih secara serampangan bertumpang-tindih satu sama lain, sehingga di tempat tanamnya itu ada bagian yang dibiarkan kosong percuma, dan ada tempat di mana benih-benih berdesakan. Tentu saja ketika itu terjadi harus dicabut sebagian dari tanamannya agar tanamannya yang lain tetap lestari dan agar tanah tidak rusak.
Allah swt. adalah Dzat yang Mahadermawan secara absolut. Bahkan segala bentuk kedermawanan yang terjadi di Alam Luhur dan Alam Bawah kalau semuanya dibandingkan dengan kedermawanan-Nya, maka semua itu hanya laksana setitik air di lautan dunia. Semua itu berasal dari kedermawanan-Nya, tetapi seiring dengan itu Dia selalu menurunkan anugerah-Nya sesuai kadar yang Dia kehendaki. Karena kedermawanan Allah tidak pernah bertentangan dengan kebijaksaan-Nya. Allah selalu meletakkan anugerah-Nya di tempat yang tepat. Walaupun mungkin kebanyakan orang tidak melihat bahwa itu adalah tempat yang tepat. Allah adalah yang paling mengetahui di mana dia letakkan anugerahnya dan tempat manakah yang paling layak bagi pemberian-Nya. Wallahu a’lam.
PASAL
Perbedaan antara wibawa (mahabah) dan kesombongan (kibr) yaitu, bahwa wibawa merupakan sesuatu yang muncul dari penuhnya kalbu dengan keagungan, cinta, dan pemuliaan Allah swt. Ketika hati sudah dipenuhi oleh semua itu, maka akan muncul cahaya di dalamnya, ketenangan akan turun ke dalamnya, dan pada diri si hamba yang bersangkutan akan muncul wibawa. Wajahnya juga akan terlihat manis sekaligus penuh wibawa, sehingga ia merebut banyak hati yang mencintainya dan segan kepadanya. Hati manusia akan tunduk kepadanya, mereka akan mendambanya, dan akan menyukainya. Kata-katanya menjadi cahaya, tempat masuknya menjadi cahaya, tempat keluarnya menjadi cahaya, ilmunya menjadi cahaya. Apabila dia diam, tentu dia akan membuat orang lain tertarik. Apabila dia bicara, pasti kata-katanya akan menaklukkan hati dan pendengaran.
Sementara kesombongan adalah sikap yang muncul dari sikap ujub dan semena-mena dari hati yang disesaki kebodohan dan kezaliman. Hati itu sudah kosong dari penghambaan kepada Allah, sehingga kemurkaanpun turun menimpanya. Pandangan si hamba yang sombong akan menjadi tatapan sinis, berjalannya di tengah masyarakat menjadi kecongkakan, pergaulannya dengan orang lain hanya basa-basi yang sama sekali tidak seimbang. Geraknya penuh keangkuhan. Dia tak pernah mau lebih dulu mengucapkan salam kepada orang lain. Kalaupun dia menjawab salam seseorang, tampak jelas yang dilakukannya itu terlalu berlebihan. Wajahnya tidak pernah ceria di hadapan orang lain. Kelakuannya tidak pernah baik terhadap mereka. Dia tidak pernah melihat adanya hak orang lain yang harus ditanggungnya, padahal dia selalu menuntut haknya dari orang lain. Dia tidak pernah melihat kelebihan orang lain dari dirinya, sementara dia selalu melihat dirinya lebih unggul dari orang lain. Dia pun terus kian jauh dari Allah, sementara di depan orang banyak dia adalah orang hina yang layak dibenci.
PASAL
Perbedaan antara tindakan melindungi diri (shiyanah) dan ketakaburan (takabbur) yaitu, bahwa orang yang melindungi dirinya (disebut sha’in) posisinya sama seperti seseorang yang mengenakan baju baru putih yang mahal untuk datang menghadap seorang raja dan para pejabat. Dengan pakaian itu, dia pun melindungi tubuhnya dari kotoran, debu, dan berbagai keburukan demi menjaga kebersihan warna putih pakaian yang dikenakannya. Orang tersebut pasti akan anda lihat begitu berhati-hati dan selalu menghindari tempat-tempat yang dikhawatirkan dapat. menodai pakaian bersihnya. Orang itu tidak akan pernah membiarkan adanya kotoran melekat di pakaiannya. Ketika ada noda yang mengenai pakaiannya, maka dia langsung menanggalkan bajunya untuk membersihkannya dari doa itu.
Demikian itulah, perumpamaan sosok manusia yang berusaha melindungi hati dan agamanya dari kotoran. Anda akan melihat orang itu terus menghindari segala bentuk dosa dan segala dampaknya. Karena dosa-dosa akan meninggalkan bekas keburukan di dalam hati yang jauh lebih buruk daripada melekatnya kotoran pada pakaian putih. Tetapi banyak mata manusia yang tertutup untuk dapat mengetahui kotoran seperti itu.
Anda lihat, orang itu terus lari dari semua tempat yang dikhawatirkan akan mengotorinya. Dia akan begitu awas terhadap semua manusia, lalu berusaha menjauhi pergaulan dengan mereka karena takut di hatinya akan muncul keburukan seperti pakaian yang terkena noda akibat pemiliknya berbaur dengan para penyamak kulit, jagal binatang ternak, para juru masak, dan lainnya.
Tentu saja orang-orang yang berusaha menjaga kesucian hati mereka ini jauh berbeda dari orang-orang sombong yang takabur, walaupun mungkin gerak-gerik mereka semua serupa. Orang yang itu (si takabur) menginginkan dirinya lebih tinggi dari orang lain lalu menjadikan mereka di bawah telapak kakinya. Orang ini (si takabur) memiliki satu corak tersendiri, sementara orang itu (si penjaga kesucian diri) memiliki corak tersendiri.
PASAL
Perbedaan antara keberanian (syaja’ah) dan kecerobohan (jara‘ah), bahwa keberanian muncul dari dalam hati, yaitu ketegaran dan keteguhan hati dalam kondisi yang menakutkan. Keberanian merupakan bentuk akhlak yang muncul dari kesabaran dan sangka baik (husn zhann). Ketika seseorang menyangka akan mendapatkan kemenangan, lalu dirinya didukung oleh kesabaran, maka dia pun berteguh hati. Hal ini sebagaimana kepengecutan yang muncul dari sangka buruk (sa zhann) dan ketidaksabaran, sehingga orang yang bersangkutan tidak menyangka akan menang, dan kesabaran pun tidak akan membantunya.
Pangkal kepengecutan yaitu dari sangka buruk dan waswas dalam jiwa yang muncul dari paru-paru. Ketika seseorang bersangka buruk dan jiwanya membisikkan waswas, paru-parunya mengembung sehingga menyesakkan jantung di tempatnya, mengimpitnya dari tempatnya, sehingga orang yang bersangkutan akan mengalami guncangan dan gangguan pada paru-parunya.
Itulah sebabnya dalam hadis dari “Amr bin “Ash ra. yang diriwayatkan oleh Ahmad dan lainnya, dari Rasulullah saw. dikatakan, “Keburukan yang ada dalam diri manusia yaitu kepengecutan yang mencopot (parah) dan kekikiran yang mengerikan.”
Rasulullah menyatakan bahwa kepengecutan dapat “mencopot” karena sikap penakut memang akan mencopot jantung dari tempatnya disebabkan membengkaknya paru (salir). Kata “sahr” yang berarti “paru” pernah diucapkan oleh Abu Jahal kepada ‘Utbah bin Rabiah dalam Perang Badar.
Ketika jantung bergeser dari tempatnya, maka kestabilan akal akan hilang, lalu kerusakan akan tampak di sekujur anggota tubuh. Berbagai hal pun menjadi menyimpang dari tempatnya.
Keberanian terasa panas di dalam jantung, ia muncul dalam bentuk kemarahan, ketegaran, keteguhan, dan ketetapan. Ketika semua anggota tubuh yang lain melihat itu, maka mereka pun membantu jantung, sebab mereka semua adalah pelayan atau bala tentara bagi jantung, sebagaimana apabila ia berpaling, berpalinglah seluruh anggota pasukannya.
Sedangkan kecerobohan (Jara’ah) adalah tindakan yang dilakukan disebabkan ketidakpedulian dan tumpulnya pandangan terhadap akibat yang akan muncul. Bahkan terkadang kecerobohan terjadi dalam bentuk tindakan nekat yang dilakukan bukan pada tempatnya tanpa memerhatikan bahaya ataupun keuntungannya. Wallahu a’lam.
PASAL
Perbedaan antara tekad kuat (hazm) dan kepengecutan (jubn): Orang yang memiliki tekad kuat (disebut Hazim) yaitu orang yang telah berhasil menghimpun tekad, keinginan, dan akal pikirannya dengan menyeimbangkan semua itu. Lalu dia menyiapkan segala sesuatunya bagi masing-masing elemen tersebut.
Berdasarkan lafalnya dalam Bahasa Arab, kata “hazm” memang selalu menunjukkan tindakan menghimpun atau menyatukan yang kuat. Contohnya kalimat “huzmah al-hathab” yang berarti “kayu bakar yang diikat kuat-kuat”; atau “hazim ar-ra’y”’ yang digunakan untuk menyebut orang yang berhasil memadukan seluruh buah pikirannya sehingga dia sanggup mengenali yang terbaik di antara dua kebaikan dan yang terburuk di antara dua keburukan. Dia pun sanggup menahan diri berdasarkan pandangan dan pikiran, bukan karena takut ataupun lemah.
Orang lemah akal sia-siakan waktunya
Ketika sesuatu luput dia salahkan takdir
Perbedaan antara hemat (igtishad) dan pelit (syuhh) yaitu, bahwa hemat merupakan suatu bentuk akhlak terpuji yang lahir dari dua akhlak lain, adil dan bijaksana. Dengan keadilan, si hamba akan bersikap seimbang di antara menahan dan memberi, dengan sikap bijaksana si hamba akan meletakkan masing-masing dari kedua hal itu pada tempatnya yang layak. Dari keduanya itulah kemudian lahir sikap hemat; yang merupakan sikap tengah di antara dua sisi ekstrem yang tercela.
Allah swt. berfirman, “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganiah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS. al-Isra’ [17]: 29)
Allah swt. berfirman, “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. al-Furqan [25]: 67)
Allah swt. berfirman, “Hai anak Adam, pakailah pakaian kalian yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. al-A’raf {7}: 31)
Adapun mengenai sikap pelit atau kikir (syuhh), itu merupakan bentuk akhlak tercela yang lahir dari sikap buruk sangka (su’ zhann) dan lemah jiwa (dha‘f nafs) yang kemudian diperkuat lagi oleh janji setan sehingga si hamba menjadi orang yang sangat rakus (hali’). Dalam Bahasa Arab kata yang menunjukkan “sangat rakus” (syiadah al-hirsh) adalah hala’ yang berarti: Sangat rakus terhadap sesuatu. Dari sikap inilah muncul sikap enggan memberi sekaligus rasa takut kehilangan apa yang dimiliki. Allah swt. berfirman,
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir (halia’). Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir.” (QS. al-Ma’arij {70}: 19-21)
PASAL
Perbedaan antara waspada (ihtirdz) dan sangka buruk (siu zhann) yaitu, bahwa orang yang waspada seperti seseorang yang sudah berangkat membawa harta dan kendaraannya untuk melakukan perjalanan, lalu dia berusaha sekuat tenaga untuk waspada terhadap kemunculan perampok dan menghindari daerah-daerah berbahaya. Demikian pula merupakan bentuk kewaspadaan apabila orang itu lalu mempersiapkan diri melakukan berbagai hal yang dapat menyelamatkan dirinya dari berbagai hal buruk.
Orang yang waspada sama seperti seseorang yang membawa senjata dan mengenakan baju perang yang bersiap siaga menghadapi musuh. Dia persiapkan persenjataannya, sehingga tekadnya untuk mempersiapkan diri melawan musuh itu menjadi jalan keselamatannya. Tindakannya memerangi musuh itu tentu mengalihkan kesibukannya dari sikap sangka buruk. Setiap kali muncul sangkaan buruk, dia akan langsung bersiap siaga.
Sedangkan sikap sangka buruk (su’u zhann) adalah sikap hati yang dipenuhi dengan berbagai prasangka jelek terhadap orang lain hingga prasangka itu muncul lewat lisan dan anggota tubuhnya. Orang yang selalu bersangka buruk selalu bersikap terhadap orang lain dengan memata-matai, mengejek, menyerang, mencela, dan membenci. Orang yang bersangka buruk begitu membenci orang lain, sehingga itu membuat orang-orang membencinya. Dia gemar mengutuk mereka, sehingga mereka pun mengutuk dirinya. Dia selalu mencurigai mereka, sehingga mereka pun mencurigainya.
Orang jenis pertama (si waspada) tetap bergaul dengan masyarakat sembari tetap waspada terhadap mereka, sementara orang jenis kedua (si penyangka buruk) menjauhi masyarakat sehingga mereka membencinya. Yang pertama masuk ke tengah masyarakat dengan membawa nasihat, kebaikan, dan kewaspadaan kepada masyarakat. Yang kedua keluar dari masyarakat dengan membawa kecurangan, kerusakan, dan kebencian.
PASAL
Perbedaan antara firasat (firdsah) dan prasangka (zhann) yaitu, bahwa prasangka terkadang salah terkadang benar. Prasangka muncul bersama hati yang gelap, bersinar, bersih, dan sekaligus bernajis. Itulah sebabnya Allah swt. memerintahkan agar sikap yang satu ini dijauhi, dan Dia juga mengabarkan bahwa sebagian dari prasangka adalah dosa.
Sedangkan firasat (firasah) adalah sesuatu yang Allah puji bagi siapa yang melakukannya. Allah swt. berfirman,
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Kami) bagi orang-orang yang memperhatitkan tanda-tanda.” (QS. al-Hijr [15]: 75)
Ibnu ‘Abbas ra. dan lainnya menyatakan bahwa yang dimaksud “orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda” dalam ayat itu adalah “orang-orang yang memiliki firasat” (al-mutafarrisan).
Allah swt. berfirman, “(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.” (QS. al-Baqarah [2]: 273)
Allah swt. berfirman,
“Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepada kalian sehingga kalian benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tanda mereka. Dan kalian benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatan kalian.” (QS. Muhammad [47]: 30)
Jadi, firasat yang benar hanya akan dimiliki oleh hati yang sudah suci dan bersih yang jauh dari segala kotoran, sekaligus dekat dengan Allah swt., sehingga si hamba melihat dengan cahaya Allah yang telah Allah ciptakan di dalam hatinya. Dalam riwayat Tirmidzi dan lainnya dikatakan sebuah hadis dari Abu Sa’id yang berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Takutlah kalian terhadap firasat orang mukmin, karena dia melihat menggunakan cahaya Allah!’’
Firasat muncul pada diri seorang hamba berkat kedekatannya dengan Allah. Karena apabila hati manusia dekat dengan Allah, tentu hati cahaya itu menyusup ke matanya, sehingga penglihatan matanya dapat menyingkap yang tak terlihat (kasyf) dengan cahaya itu.
Dulu Rasulullah saw. mampu melihat para sahabat beliau yang shalat bermakmum di belakang beliau persis seperti beliau melihat mereka ketika mereka ada di depan beliau. Rasulullah saw. pernah melihat Baitul Muqaddas di Palestina ketika beliau sedang berada di Mekkah. Rasulullah saw. pernah melihat istana-istana negeri Syam, gerbang kota Sana’a di Yaman, dan kota Mada‘in Kisra Persia, ketika beliau sedang berada di Madinah sembari menggali parit dalam Perang Khandaq.
Rasulullah saw. mampu melihat para panglima perang yang gugur di Mu‘tah, sementara beliau tengah berada di Madinah. Rasulullah saw. juga melihat Raja Najasyi di Habasyah ketika sang raja meninggal dunia, padahal saat itu beliau berada di Madinah. Beliau pun berangkat ke tempat shalat lalu melaksanakan shalat gaib.
‘Umar ra. melihat pasukan muslim di Nahawand, Persia, yang sedang menyerang musuh, lalu “Umar ra. berseru kepada mereka, “Wahai pasukan, gunung itu!”
Suatu ketika serombongan orang asal Madzhij menemui ‘Umar ra. yang di tengah mereka terdapat Asytar Nakha’i. ‘Umar pun menetapkan pandangannya lalu bertanya, “Siapakah pemimpin mereka?” Mereka menjawab, “Malik bin Harits!” ‘Umar pun menukas, “Semoga Allah memeranginya! Sungguh aku melihat orang-orang muslim mengalahkannya dalam hari yang genting.”
Suatu ketika “Amr bin “Ubaid menemui Hasan ra., maka Hasan ra. pun berkata, “Ini adalah pemimpin para pemuda kalau _berumur panjang.”
Telah dikisahkan bahwa suatu ketika Imam Syafi’i duduk di Masjidil Haram bersama Muhammad bin Hasan, maka masuklah seseorang dan Muhammad pun berkata, “Aku berfirasat bahwa orang ini adalah seorang tukang kayu.” Imam Syafi’i berkata, “Aku berfirasat bahwa orang ini adalah seorang pandai besi.” Mereka berdua lalu bertanya kepada orang itu, dan dia pun menjawab, “Dulu aku adalah seorang pandai besi, tetapi sekarang aku tukang kayu.”
Suatu ketika Abul Hasan al-Busyanji dan Hasan al-Haddad masuk menemui Abul Qasim al-Munadi untuk menjenguknya. Di jalan, mereka berdua membeli sebuah apel dengan harga setengah dirham secara utang. Ketika mereka berdua masuk menemui Abul Qasim, tiba-tiba dia bertanya, “Mengapa mendadak gelap?” Mereka berdua pun keluar lau berkata, “Kami tidak tahu. Mungkin ini terjadi disebabkan apel yang bejum lunas ini. Mereka pun bergegas membayar apel tersebut lalu kembali menemui Abul Qasim, dan penglihatannya kembali pulih. Dia berkata, “Mungkinkah bagi seseorang untuk keluar dari kegelapan secepat ini? Beri tahu aku tentang apa yang kalian lakukan.” Mereka berdua pun menyampaikan semuanya. Setelah mendengar itu Abul Qasim berkata, “Ya. Masing-masing kalian rupanya mengandalkan yang lain untuk membayar apel itu, sementara kalian juga malu untuk melunasinya.”
Syahdan terjadi sesuatu antara Abu Zakariya an-Nakhsyabi dan seorang perempuan yang menjadi sebab pertobatannya. Pada suatu hari Abu Zakariya duduk di atas kepala Abu ‘Utsman al-Hiri lalu dia memikirkan tentang perempuan itu. Tiba-tiba saja Abu ‘Utsman berkata kepadanya, “Tidakkah engkau malu?!”
Syah Kirmani termasuk sosok yang bagus firasatnya, karena firasatnya tidak pernah salah. Dia berkata, “Barang siapa yang menundukkan pandangannya dari segala yang haram, menahan dirinya dari syahwat, memakmurkan batinnya dengan muraqabah yang berkesinambungan, memakmurkan lahiriahnya dengan mengikuti sunah, dan membiasakan diri menyantap makanan halal, pasti firasatnya tidak akan salah!”
Syahdan ada seorang pemuda yang bersahabat dengan Junaid lalu dia berbicara tentang bersitan hati (khawathir) yang kemudian disampaikan kepada Junaid. Dia pun berkata kepada pemuda itu, “Apakah yang disampaikan kepadaku tentangmu itu?” Pemuda itu berkat Junaid, “Yakinilah sesuatu!” Junaid menyahut, “Sudah!” Pemuda itu berkata lagi, “Yang engkau yakini itu adalah anu dan anu.” Junaid pun menukas, “Bukan!” Pemuda itu berkata lagi, “Kalau begitu yakinilah sesuatu yang kedua!”
Junaid menyahut, “Sudah!” Pemuda itu berkata lagi, “Yang engkau yakini itu adalah anu dan anu.” Junaid pun menukas, “Bukan!” Pemuda itu berkata lagi, “Kalau begitu yakinilah sesuatu yang ketiga!”
Junaid menyahut, “Sudah!” Pemuda itu berkata lagi, “Yang engkau yakini itu adalah anu dan anu.” Junaid pun menukas, “Bukan!” Pemuda itu berkata, “Sungguh menakjubkan. Engkau benar dan aku mengetahui berdua membeli sebuah apel dengan harga setengah dirham secara utang. Ketika mereka berdua masuk menemui Abul Qasim, tiba-tiba dia bertanya, “Mengapa mendadak gelap?” Mereka berdua pun keluar lau berkata, “Kami tidak tahu. Mungkin ini terjadi disebabkan apel yang bejum lunas ini. Mereka pun bergegas membayar apel tersebut lalu kembali menemui Abul Qasim, dan penglihatannya kembali pulih. Dia berkata, “Mungkinkah bagi seseorang untuk keluar dari kegelapan secepat ini? Beri tahu aku tentang apa yang kalian lakukan.” Mereka berdua pun menyampaikan semuanya. Setelah mendengar itu Abul Qasim berkata, “Ya. Masing-masing kalian rupanya mengandalkan yang lain untuk membayar apel itu, sementara kalian juga malu untuk melunasinya.”
Syahdan terjadi sesuatu antara Abu Zakariya an-Nakhsyabi dan seorang perempuan yang menjadi sebab pertobatannya. Pada suatu hari Abu Zakariya duduk di atas kepala Abu ‘Utsman al-Hiri lalu dia memikirkan tentang perempuan itu. Tiba-tiba saja Abu ‘Utsman berkata kepadanya, “Tidakkah engkau malu?!”
Syah Kirmani termasuk sosok yang bagus firasatnya, karena firasatnya tidak pernah salah. Dia berkata, “Barang siapa yang menundukkan pandangannya dari segala yang haram, menahan dirinya dari syahwat, memakmurkan batinnya dengan muraqabah yang berkesinambungan, memakmurkan lahiriahnya dengan mengikuti sunah, dan membiasakan diri menyantap makanan halal, pasti firasatnya tidak akan salah!”
Syahdan ada seorang pemuda yang bersahabat dengan Junaid lalu dia berbicara tentang bersitan hati (khawathir) yang kemudian disampaikan kepada Junaid. Dia pun berkata kepada pemuda itu, “Apakah yang disampaikan kepadaku tentangmu itu?” Pemuda itu berkat Junaid, “Yakinilah sesuatu!” Junaid menyahut, “Sudah!” Pemuda itu berkata lagi, “Yang engkau yakini itu adalah anu dan anu.” Junaid pun menukas, “Bukan!” Pemuda itu berkata lagi, “Kalau begitu yakinilah sesuatu yang kedua!”
Junaid menyahut, “Sudah!” Pemuda itu berkata lagi, “Yang engkau yakini itu adalah anu dan anu.” Junaid pun menukas, “Bukan!” Pemuda itu berkata lagi, ““Kalau begitu yakinilah sesuatu yang ketiga!”
Junaid menyahut, “Sudah!” Pemuda itu berkata lagi, “Yang engkau yakini itu adalah anu dan anu.” Junaid pun menukas, “Bukan!” Pemuda itu berkata, “Sungguh menakjubkan. Engkau benar dan aku mengetahui hatiku!” Junaid pun berkata, “Engkau benar pada yang pertama, kedua, dan ketiga. Hanya saja aku ingin mengujimu apakah hatimu berubah.” Abu Sa‘id al-Kharraz berkata, “Suatu ketika aku memasuki Masjidil Haram, lalu masuklah seorang fakir dua kain rombeng bertanya sesuatu. Aku pun bergumam dalam diriku,‘Orang seperti ini hanya membebani masyarakat.’” Tiba-tiba orang itu memandangku seraya berucap, “Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hat; kalian; maka takutlah kepada-Nya.” (QS. al-Baqarah [2]: 235)
Aku pun langsung beristigfar dalam hati. Orang itu berkata lagi kepadaku, “Dan Dialah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya….” (QS. asy-Syura [42]: 25)
Ibrahim Khawwash berkata, “Suatu ketika aku berada di sebuah masjid, lalu datanglah seorang pemuda beraroma semerbak, berwajah tampan, berpenampilan menawan. Aku pun berkata kepada teman-temanku, “Kukira dia adalah seorang Yahudi!” Teman-temanku rupanya tidak menyukai ucapanku itu. Aku pun keluar, dan pemuda itu ternyata juga keluar. Tetapi pemuda itu kemudian kembali masuk menemui teman-temanku. Dia lalu bertanya, “Apakah yang dikatakan oleh syekh itu tentangku?” Mereka menolak menjawab, tetapi pemuda itu terus mendesak mereka, sampai akhirnva mereka berkata, “Dia berkata bahwa engkau adalah seorang Yahudi!” Pemuda itu bergegas menemuiku, mencium tanganku, dan kemudian menyatakan diri masuk Islam. Aku bertanya kepadanya, “Apakah yang menyebabkan engkau masuk Islam?” Pemuda itu menjawab, “Kami telah mengetahui dari Kitab Suci kami bahwa orang yang sidik tidak pernah salah firasatnya. Aku pun ingin menguji orang-orang muslim dan akan kuperhatikan mereka. Menurutku apabila di antara mereka ada orang sidik, sudah pastilah dia ada di kelompok ini. Itulah maka kau ingin bersiasat terhadap kalian. Ketika syekh ini melihatku dan menyampaikan firasatnya tentang aku, maka aku pun tahu bahwa dia adalah seorang sidik.”
Suatu ketika ‘Utsman bin ‘Affan ra. didatangi seorang sahabat yang telah melihat seorang perempuan di jalan lalu dia membayangkan kecantikan perempuan itu. Utsman pun berkata kepadanya, “Seorang dari kalian menemuiku, sementara bekas zina tampak pada matanya!” Utsman pun ditanya, “Apakah itu wahyu setelah Rasulullah saw.?” Utsman menjawab, “Bukan. Itu adalah mata batin (tabshirah), bukti kebenaran (burhan), dan firasat yang benar.”
Demikianlah keadaan firasat. la merupakan cahaya yang Allah masukkan ke dalam hati sehingga kemudian tebersit sesuatu di dalamnya dan yang terjadi sama seperti yang terbersit padanya. Itu kemudian menyusup ke mata, sehingga si hamba dapat melihat apa yang tidak dilihat oleh yang lain.
PASAL
Perbedaan antara nasihat (nashihah) dan gunjingan (ghibah) yaitu, bahwa nasihat tujuannya untuk memperingatkan orang muslim lain dari pembuat bidah, pemfitnah, penipu, atau perusak; serta mengingatkan—ketika si muslim meminta saran—tentang berbagai kerusakan yang ada pada orang jahat itu jika si muslim berteman, bergaul, atau bergantung padanya.
Inilah yang terjadi pada Rasulullah saw. kepada Fathimah binti Qais yang meminta saran kepada beliau tentang perkara pernikahan dengan Muawiyah dan Abu Jahm. Rasulullah saw. bersabda, “Muawiyah adalah orang yang pelit, sedangkan Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkatnya dari budaknya.” Rasulullah juga pernah bersabda kepada para sahabat beliau yang melakukan perjalanan bersama beliau, “Apabila engkau sudah mendekati negeri kaumnya, maka berhati-hatilah padanya!”
Apabila “gunjingan” dilakukan sebagai nasihat demi Allah, Rasulullah, dan kaum muslimin, pasti itu merupakan bentuk takarub kepada Allah karena menjadi bagian dari kebaikan. Tetapi apabila gunjingan dilakukan untuk mencela saudara Anda, merusak kehormatannya, mengejeknya, atau merendahkannya, agar nama baiknya hancur di tengah masyarakat, maka itu sama seperti sakit parah atau api yang akan membakar kebaikan seperti api memusnahkan kayu bakar.
PASAL
Perbedaan antara hadiah (hadiyyah) dan sogokan (risywah), yaitu keduanya sama pada tujuannya. Seorang penyogok dengan sogokannya hanya ingin melanggar suatu hak atau mencapai suatu kebatilan. Inilah penyogok yang dilaknat dalam sabda Rasulullah saw. Tetapi apabila seseorang menyogok demi menolak kezaliman yang menimpa dirinya, pasti hanya si penerima sogokanlah yang terlaknat.
Adapun pemberi hadiah, tujuannya adalah untuk mendapatkan cinta, perkenalan, dan kebaikan. Apabila seorang pemberi hadiah bertujuan untuk mendapatkan balasan, tentu dia bukanlah pemberi hadiah melainkan “pengharap balasan” (mu’awidh). Apabila pemberi hadiah mengharapkan keuntungan yang lebih banyak, maka dia disebut “pengharap imbalan yang lebih banyak” (mustaktsir).
PASAL
Perbedaan antara sabar (shabr) dan kekerasan hati (qaswah); yaitu bahwa sabar merupakan sebuah sikap yang diupayakan oleh hamba, dengan menahan diri untuk tidak terguncang, gelisah, dan mengeluh; dengan menahan jiwa dari marah, menahan lisan dari keluhan, dan menahan segenap anggota tubuh dari semua hal yang tidak layak dilakukannya, sehingga si hamba memiliki keteguhan hati dalam segala ketetapan takdir dan syariat.
Sedangkan kekerasan hati (qaswah) adalah bentuk kegersangan hati yang menghalangi si hamba dari sentuhan emosi, atau bentuk kekakuan yang menghalangi si hamba dari kepekaan akan segala yang terjadi. Itulah sebabnya si hamba tidak peka pada semua itu disebabkan kekakuan dan kekerasan hatinya, bukan karena kesabaran dan ketahanannya.
Dari sini dapat dijelaskan bahwa hati manusia ada tiga macam: 1) Hati keras kaku yang sama seperti tangan yang kaku, dan 2) Hati lembek yang terlalu halus.
Hati jenis pertama tidak ada manfaatnya bagi kebaikan, karena ia sama seperti batu. Sementara hati jenis kedua sama seperti air. Jadi kedua jenis hati ini sama-sama memiliki kekurangan.
Yang paling benar yaitu hati jenis ketiga, yaitu hati yang lembut, jernih, dan sekaligus teguh. Hati jenis ketiga inilah yang dapat melihat beda kebenaran dari kebatilan berkat kejernihannya, lalu ia dapat menerima dan memengaruhinya dengan kelembutannya, dan juga menjaga kebenaran itu termasuk dengan memerangi musuhnya dengan keteguhannya.
Dalam atsar dikatakan, “Hati menjadi wadah Allah di bumi-Nya. yang paling dicintai-Nya yaitu hati yang paling lembut, teguh, dan jernih.” Inilah hati laksana kaca. Karena kaca memiliki tiga sifat utama ini.
Hati yang paling dimurkai Allah adalah hati yang keras. Allah swt. berfirman,
“…Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah….” (QS. az-Zumar [39]: 22)
Allah swt. berfirman,
“Kemudian setelah itu hati kalian menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi.” (QS. al-Baqarah [2]: 74)
Allah swt. berfirman,
“Agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya.” (QS. al-Hajj [22]: 53)
Dalam ayat tersebut Allah swt. menyebutkan dua jenis hati yang menyimpang dari kebenaran. Yang satu dengan sakitnya, dan yang satu dengan kekerasannya. Lalu Allah menetapkan adanya fitnah dari setan bagi orang-orang yang memiliki dua jenis hati ini, sementara Dia tetapkan rahmat bagi yang memiliki hati jenis ketiga; yaitu hati jernih yang dengan kejernihannya dapat membedakan bisikan setan dan bisikan malaikat. Pemilik hati jenis ketiga ini pun dapat menerima yang hak berkat kelembutan hatinya, serta mampu memerangi nafsu yang batil dengan keteguhan hatinya.
Allah swt. berfirman,
“Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya al-Quran itulah yang hak dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya, dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.” (QS. al-Hajj [22]: 54)
PASAL
Perbedaan antara pemaafan (‘afw) dan kehinaan diri (dzull) yaitu, bahwa pemaafan merupakan tindakan anda menggugurkan haknya sebagai bentuk kedermawanan, kemurahan hati, dan kebaikan walaupun sebenarnya anda mampu membalas dendam. Anda lebih mengutamakan untuk tidak membalas karena anda menyukai kebaikan dan akhlak mulia.
Pemberian maaf seperti ini tentu berbeda dengan kehinaan diri (dzull), karena orang yang dirinya hina tidak membalaskan dendamnya disebabkan dirinya yang lemah, takut, dan rendah diri. Sikap seperti ini tercela, bahkan orang yang membalas dengan cara yang hak justru lebih baik daripadanya.
Allah swt. berfirman, “Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim mereka membela diri.” (QS. asy-Syura [42]: 39)
Allah swt. memuji mereka dengan kekuatan mereka untuk membela diri. Sampai ketika mereka mampu menaklukkan orang yang menzalimi mereka, mereka tetap teguh pada apa yang seharusnya dan tetap berakhlak baik dengan memberi pemaafan. Allah swt. berfirman,
“Dan balasan suatu kejahatan berupa kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik, pasti pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. asy-Syura [42]: 40)
Allah swt. menyebutkan tiga kondisi: 1) Keadilan dan Dia memubahkannya, 2) Keutamaan dan Dia membolehkannya, dan 3) Kezaliman dan Dia mengharamkannya.
Apabila ada yang bertanya mengapa Allah memuji mereka atas pembelaan diri dan juga atas pemaafan, padahal kedua hal itu saling bertentangan, jawabannya yaitu bahwa Allah swt. tidak memuji mereka jika mereka lakukan adalah pembasalan dendam. Allah swt. memuji mereka atas pembelaan diri, yaitu tindakan yang dilakukan dengan kesanggupan dan kekuatan untuk memenuhi hak mereka. Inilah yang disebut “pembelaan diri” (intishGr). Ketika mereka memiliki kesanggupan untuk membalas, Allah membolehkan mereka untuk memberi pemaafan.
Seorang salaf pernah menjelaskan tentang ayat ini bahwa mereka tidak suka apabila diri mereka direndahkan. Dan ketika mereka sanggup membalas, mereka memberi maaf. Jadi, Allah memuji mereka atas pemaafan yang diberikan setelah adanya kemampuan untuk membalas; bukan pemaafan yang diberikan karena kehinaan, kelemahan, dan kerendahan diri.
Inilah kesempurnaan yang Allah swt. puji diri-Nya dalam firmanNya, “…Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Mahakuasa.” (QS. an-Nisa’ [4]: 149)
Allah swt. berfirman, “…Dan Allah adalah Maha Kuasa. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Mumtahanah [60]: 7)
Dalam sebuah atsar dinyatakan, “Para pemikul arsy ada empat, dua berkata, ‘Mahasuci Engkau wahai Allah Tuhan kami dengan pujian bagi-Mu. Milik-Mu segala puji atas ketabahan-Mu setelah pengetahuan-Mu.’ Yang dua lagi berkata, ‘Mahasuci Engkau wahai Allah Tuhan
kami dengan pujian bagi-Mu. Milik-Mu segala puji atas maaf-Mu seteJah Kuasa-Mu.’” . Itulah sebabnya Isa al-Masih as. berkata, “Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka merupakan hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Ma’idah [5]: 118) Maksudnya, “Apabila Engkau mengampuni mereka, tentu Engkau beri ampunan dengan keperkasaan-Mu yang merupakan kesempurnaan kuasa-Mu: dan dengan hikmah yang merupakan kesempurnaan pengetahuan-Mu. Engkau berikan ampunan setelah Engkau mengetahui apa-apa yang mereka lakukan dan setelah kuasa-Mu melingkupi mereka.”
Karena makhluk terkadang memberi maaf disebabkan kelemahannya yang tidak sanggup membalas, atau disebabkan kebodohannya yang tidak mengetahui keburukan yang terjadi. Pemaafan dari makhluk secara lahiriah merupakan kehinaan, tetapi secara batiniah adalah keperkasaan. Sementara pembalasan dendam secara lahiriah adalah keperkasaan, tetapi secara batiniah adalah kehinaan. Dengan pemaafan Allah tidak akan menambah apa pun pada hamba-Nya selain keperkasaan. Dengan pembalasan dendam, Allah tidak akan menambah apa pun pada hamba-Nya selain kehinaan. Tidak ada seorang pun yang membalaskan dendamnya demi dirinya sendiri, kecuali dia pasti akan menjadi hina, walaupun itu tidak akan ada kecuali dengan luputnya kemuliaan. Itulah sebabnya Rasulullah saw. tidak pernah sama sekali melakukan balas dendam demi diri beliau sendiri.
Silakan Anda renungkan firman Allah swt., “…mereka membela diri.” (QS. asy-Syura: 39), bagaimana dapat dipahami darinya bahwa mereka memiliki kekuatan yang dengan kekuatan itu mereka dapat membela diri mereka, bukan bahwa ada pihak lain yang menolong mereka.
Ketika pembelaan diri sering tidak dapat menghentikan jiwa manusia pada suatu batas keadilan, bahkan selalu saja dilanggar, Allah pun menetapkan di dalamnya keseimbangan dan kesamaan. Allah mengharamkan adanya kelebihan (pelanggaran) dan membolehkKan pemaafan. Maksudnya, bahwa pemaafan merupakan bagian dari akhlak jiwa tenang (nafs muthma’innah), seementara kehinaan merupakan bagian dari akhlak jiwa penyeru keburukan (nafs ammarah).
Poin penting dari masalah ini yaitu, bahwa pembalasan dendam merupakan sesuatu hal tersendiri, sementara pembelaan diri adalah sesuatu hal lain yang berbeda. Pembelaan diri hanya dilakukan dengan pembelaan demi hak Allah serta demi kepentingan-Nya. Tidaklah ada yang sanggup melakukan itu kecuali hanya orang yang Allah selamatkan dari kehinaan dirinya dan hawa nafsunya. Sesungguhnya pada saat itu dia mendapatkan bagian dari keperkasaan yang Allah anugerahkan kepada kaum mukminin. Ketika dia diperlakukan secara sewenang-wenang, dia pun mampu membela diri dari si pelaku kesewenangan itu, demi keperkasaan Allah yang telah membuatnya perkasa dengannya, dan sebagai bentuk ghirah atas keperkasaan itu agar dia tidak ditindas: serta demi melindungi si hamba yang dinisbatkan kepada Allah yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji agar tidak dihinakan. Dia pun berkata kepada orang yang semena-mena terhadapnya, “Saya panyalah hamba dari Dzat yang hamba-Nya tidak dapat dihinakan begitu saja, sebagaimana Dia juga tidak suka jika hamba-Nya dihina oleh siapa pun.”
Apabila jiwa si hamba termasuk jiwa penyeru keburukan (nafs ammarah) tegak di atas pondasinya, maka tidak akan ada yang dilakukan setelah itu selain menuntut pembalasan dendam dan mengalahkan si pelaku kesewenangan, demi membela bagiannya dalam meraih kemenangan, dan demi memuaskan nafsunya serta sekaligus untuk menghinakan seterunya.
Adapun jika jiwa si hamba termasuk jiwa tenang (nafs muthma‘innah), dan jiwa itu lalu keluar dari kehinaan bagiannya dan perbudakan hawa nafsunya, menuju keperkasaan tauhid dan inabah kepada Tuhannya, maka apabila kesewenangan menimpanya, dia akan langsung bangkit melindungi dan membela diri dengan keperkasaan yang Allah anugerahkan itu. Inilah hakikat dari perlindungan diri demi Tuhannya.
Ada sebuah ilustrasi yang dapat menggambarkan masalah ini; yaitu dua orang budak petani lalu salah satu memukul yang lain. Ternyata si korban memaafkan si pelaku pemukulan sebagai bentuk ketulusan darinya untuk pemiliknya, dan juga karena kasihan terhadap si pelaku pemukulan yang pasti akan dihukum pemiliknya. Dia tidak mau pemiliknya menderita karena harus menghukum si budak dan merusaknya dengan pemukulan. Dia pun berterima kasih kepada si pemberi maaf atas pemaafannya.
Sementara itu ada seorang budak lain yang dihadapkan kepada pemiliknya, lalu pemiliknya menghias budak itu dan memakaikan kepadanya pakaian yang layak baginya. Tetapi kemudian datang penggembala binatang yang membalurkan kotoran hewan ke pakaian tersebut, atau merobek pakaian itu. Apabila dia memberi maaf atas apa — yang dilakukan si penggembala terhadap dirinya, maka pemaafannya itu pasti tidak akan selaras dengan pandangan dan rasa sayang pemilik dirinya. Budak itu pun lebih suka untuk membela diri karena itu pasti selaras dengan kerelaan pemilik dirinya. Seakan-akan si pemilik berkata, “Perbuatan si penggembala itu merupakan kelancangan terhadapku, untuk meremehkan kekuasaanku!”
Tetapi ketika dia telah berhasil menangkap si penggeinbala itu untuk dijatuhi hukuman, setelah dia menundukkan dan menaklukkannya, sehingga tidak ada lagi yang perlu dilakukan kecuali tinggal menghantamnya, tiba-tiba hatinya terasa remuk; karena pemilik dirinya pasti menyukai jika dia tidak menjatuhkan hukuman demi haknya, dan mengambil darinya hak pemiliknya, sehingga pada saat itu pembelaan dirinya semata-mata demi hak pemilik dirinya, bukan demi dirinya sendiri.
Seperti yang diriwayatkan dari ‘Ali ra. bahwa suatu ketika ‘Ali ra. melintas di dekat seseorang yang kemudian meminta pertolongannya. Dia berkata, “Orang ini tidak menyerahkan hakku dan tidak memberikannya kepadaku.” Ali pun berkata, “Berikan haknya kepadanya!”
Tetapi setelah ‘Ali ra. meninggalkan kedua orang itu, si zalim berbuat ulah dengan menampar si pemilik hak, sehingga si pemilik hak meminta tolong lagi kepada Ali ra. Ia pun kembali lalu berkata, “Engkau akan ditolong.” ‘Ali ra. berkata, “Bersiaplah untuk membalas tempelengan padamu itu!” Tetapi orang itu menyahut, “Aku telah memberi maaf wahai amirulmukminin!” Maka ‘Ali ra. pun memukul si zalim itu sembilan kali seraya berkata, “Engkau telah diberi maaf oleh orang yang engkau tampar. Tetapi ini adalah hak penguasa!” Rupanya ‘Ali ra. menghukum orang itu karena dia telah lancang terhadap kekuasaan Allah swt. (dengan menampar hamba-Nya—Penj.), dan Ali ra. tidak mau membiarkan hal itu.
Peristiwa ini mirip dengan kisah seorang lelaki yang mendatangi Abu Bakar ra. lalu berkata, “Bawalah aku, karena demi Allah aku lebih perwira dibandingkan engkau dan ayahmu!” Pada saat itu di situ ada Mughirah bin Syu’bah yang langsung menanggalkan baju besinya lalu menghantamkan baju besi itu ke hidung lelaki tersebut hingga membuatnya berdarah.
Tidak lama berselang, kaum lelaki itu mendatangi Abu Bakar ra. lalu berkata, “Izinkan kami membalas Mughirah!” Abu Bakar ra. menyahut, “Aku yang akan membalas untuk kalian siapa yang menahan diri dari keburukan. Aku tidak mengizinkan kalian yang membalasnya!”
Rupanya Abu Bakar ra. melihat bahwa itu merupakan bentuk pembelaan dari Mughirah dan sekaligus perlindungan untuk Allah dan kemuliaan yang dengannya Allah telah memuliakan Khalifah pengganti Rasulullah saw. agar kemuliaan tetap lestari dengan kebaikan kekhalifahannya serta penegakan agamanya. Dia mengabaikan pembalasan terhadap Mughirah atas tindakannya itu, berdasarkan kemuliaan dan kekuasaan Allah yang dengannya Dia telah memuliakan Rasul-Nya, agama-Nya, dan khalifah-Nya.
Jadi, tindakan seperti ini merupakan satu hal tersendiri, sementara pemukulan demi memperturutkan nafsu penyeru keburukan merupakan sesuatu hal lain yang berbeda.
PASAL
Perbedaan antara keselamatan hati (salamah al-qalb), kedunguan, dan kelalaian (taghafful) yaitu, bahwa kesucian hati terbentuk dari tidak adanya keinginan jahat setelah mengetahuinya, sehingga hatinya menjadi selamat dari keinginan dan tujuannya sendiri, bukan dari pengetahuan dan ilmu tentangnya.
Hal ini berbeda dari kedunguan dan kKelalaian, sebab kelalaian merupakan bentuk kebodohan dan kekurangan pengetahuan. Hal yang satu ini sama sekali tidak terpuji karena merupakan sebuah kekurangan, sebab manusia dipuji jika mereka selamat dari kedunguan seperti itu.
Kesempurnaan terwujud ketika hati mengetahui berbagai kejahatan secara rinci sekaligus selamat dari keinginannya sendiri. Umar bin Khaththab ra. berkata, “Aku bukan penipu dan aku tidak dapat terpedaya oleh tipuan.” Umar ra. adalah sosok yang terlalu cerdas untuk dapat diperdaya, sebagaimana dia juga terlalu warak untuk dapat diperdaya.
Allah swt. berfirman,
“(Yaitu) di hart harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih,”’ (QS. asy-Syu’ara’ [26]: 88-89).
Inilah orang yang selamat dari berbagai malapetaka yang menimpa hati yang sakit karena mengalami penyakit syubhat yang menyebabkan si hamba mengikuti prasangka, atau penyakit syahwat yang menyebabkan si hamba mengikuti keinginan hawa nafsu. Jadi, hati yang selamat adalah hati yang selamat dari yang ini (syubhat) dan selamat pula dari yang itu (syahwat).
PASAL
Perbedaan antara kepercayaan (tsiqah) dan ketertipuan (ghirrah) yaitu, bahwa kepercayaan merupakan bentuk ketenangan karena bersandar pada berbagai bukti dan tanda yang menenangkan hati. Ketika tanda-tanda itu kian menguat, maka kepercayaan pun juga semakin kuat dan kokoh. Terlebih ketika itu dilandaskan pula pada banyaknya pengalaman dan firasat yang benar.
Tampaknya—wallahu a’lam—kata ‘“tsigah” (kepercayaan) berasal dari kata watsGq yang berarti “tali ikatan”. Ketika hati “diikat” oleh orang yang dipercaya karena orang itu memang dapat diandalkan dan diduga baik, hati itu pun seperti “diikat tali’” cinta padanya, keakraban dengannya, dan mengandalkannya. Itulah tali ikatan yang ada di hatinya, ruhnya, dan raganya.
Ketika hati telah bergerak menuju Allah dan memutuskan menuju Dia, hati itu pasti akan terikat oleh cinta-Nya sehingga ia menjadi bera-~da dalam ikatan penghambaan pada-Nya. Si hamba tidak akan memiliki tempat pelindung yang lain lagi selain hanya Allah swt. Allah akan menjadi tumpuan baginya dalam kesulitan, menjadi andalan dalam kesusahan, menjadi tempat perlindungan dalam petaka, dan menjadi tempat pertolongan baginya dalam semua hajat dan kebutuhannya.
Sementara itu yang dimaksud dengan ketertipuan (ghirrah) adalah kondisi orang yang teperdaya oleh jiwa, setan, hawa, dan angan-angannya yang kosong serta dusta terhadap Rabb-nya, sampai akhirnya dia memperturutkan hawanya lalu membayangkan berbagai angan kosong terhadap Allah.
Kondisi “tertipu” (ghurar) adalah ketika anda memercayai orang yang tidak dapat dipercaya, anda merasa nyaman kepada orang yang tidak layak menjadi tempat kenyamanan, atau ketika anda berharap mendapatkan manfaat dari orang yang tidak akan mendatangkan kebaikan, seperti kondisi orang yang tertipu oleh fatamorgana.
Allah swt. berfirman, “Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apa pun. Dan di dapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.” (QS. an-Nur [24]: 39)
Allah swt. telah menjelaskan kondisi oranp-orang yang teperdaya, “Katakanlah: ‘(Apakah akan Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuataniva dalam kehidupan dunia ini, seedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebatk-baiknya’.”’ (QS. al-Kahfi [18]: 103-104)
Mereka itulah orang-orang yang apabila tirai penutup telah tersingkap dan hakikat segala urusan telah tegak, mereka pun mengetahui bahwa mereka tidak berpijak pada apa-apa.
“…Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan.” (QS. az-Zumar [39]: 47)
Dalam sebuah atsar dinyatakan, “Apabila engkau melihat bahwa Allah menambahkan nikmat-Nya padaku, sementara saat itu engkau tengah bermaksiat terhadap-Nya, maka berhati-hatilah. Karena itu adalah istidraj yang dengannya Dia sedang mengulurmu!”’
Dalil yang menunjukkan itu termaktub dalam al-Quran pada firman-Nya, “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.”’ (QS. al-An’am [6]: 44).
Inilah bentuk kealpaan yang paling parah. Ketika Anda mengira bahwa Allah sedang melimpahkan nikmat-Nya kepadamu, sementara anda terus melakukan hal-hal yang tidak Dia sukai.
Setan memiliki kuasa untuk melakukan berbagai macam tipuan, sebagaimana karakter utama dari jiwa penyeru keburukan (nafs ammarah) adalah ketertipuan. Ketika seorang pezina bertemu dengan pelacur, periba bertemu orang yang membutuhkan, setan penipu bertemu dengan jiwa yang tertipu; maka semua itu sudah cocok! .
Para setan selalu menipu orang-orang yang tertipu. Mereka membuat orang-orang itu kian tamak—dengan segala kelakuan mereka yang terus membuat Allah murka dan marah—pada pemaafan dan ampunan dari-Nya. Para setan itu berbicara kepada mereka tentang tobat sehingga hati orang-orang menjadi tenang, dan mereka terus melakukan itu sampai akhirnya ajal datang dan orang-orang itu dicabut nyawanya dalam keadaan yang paling buruk. Allah swt. berfirman, “ Orang-orang munafik itu memanggil mereka (orang-orang mu’min) seraya berkata: ‘Bukankah kami dahulu bersama-sama dengan kamu?’ Mereka menjawab, ‘…Dan kalian ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong sehingga datanglah ketetapan Allah; dan kalian telah ditipu terhadap Allah oleh (syaitan) yang amat penipu.”” (QS. al-Hadid [57]: 14).
Allah swt. berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kalian dan sekali-kali janganlah syetan yang pandai menipu, memperdayakan kalian tentang Allah.” (QS. Fathir [35]: 5).
Manusia yang paling parah tertipu tentang Allah swt. yaitu orang yang apabila Allah swt. memberinya rahmat atau anugerah tertentu, dia langsung berkata, “Ini milik saya!” atau “Saya memang pantas mendapatkan nikmat ini!”, lalu orang itu berkata,
“Aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang” (QS. al-Kahfi {18}: 36).
Orang itu mengira bahwa dia memang berhak memiliki nikmat Allah itu, padahal dia sendiri kufur terhadap Allah. Orang itu pun kian parah dalam ketertipuannya. Dia lalu berkata,
“…Dan jika aku dikembalikan kepada Tuhanku maka sesungguhnya aku akan memperoleh kebaikan pada sisi-Nya….” (QS. Fushshilat [41]: 50); maksudnya, dia mengira akan mendapatkan surga dan kemuliaan.
Itulah bentuk ketertipuan pada Allah swt. Orang yang tertipu oleh setan sebenarnya tertipu oleh janji-janji dan angan kosong yang setan sampaikan, lalu ketertipuan itu juga disokong oleh tertipunya dirinya oleh dunianya dan dirinya, sehingga itu terus berlangsung sampainya akhirnya dia terperosok ke dalam liang kebinasaan.
PASAL
Perbedaan antara harapan (raja) dan angan-angan (tamanni), yaitu bahwa harapan muncul dilakukan bersama usaha sungguh-sungguh dan pengerahan segala kekuatan untuk menempuh jalan keberhasilan dan kemenangan. Sedangkan angan-angan (tamanni) adalah bisikan jiwa tentang tercapainya keberhasilan yang diiringi dengan pengabaian terhadap semua jalan yang menghantarkan ke sana.
Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Baqarah [2]: 218).
Allah telah menghamparkan permadani harapan kepada semua orang, kecuali hanya bagi mereka yang suka berangan-angan.
Orang-orang yang tertipu selalu berkata bahwa sebenarnya orang-orang yang mengabaikan perintah Allah, dan melakukan larangan-larangan-Nya, lalu mengikuti segala yang dimurkai-Nya sembari menjauhi segala yang diridhai-Nya adalah orang-orang yang berharap rahmat dari Allah swt.! Tentu saja ini bukanlah hal baru dari ketertipuan jiwa manusia akibat perbuatan setan terhadap mereka.
Harapan bagi hamba telah memenuhi hatinya dengan iman kepada Allah swt. dan Hari Akhir, sehingga dia pun membayangkan di depan matanya semua yang telah Allah janjikan dalam bentuk kemuliaan dan surga, sehingga hatinya terisi penuh dengan kerinduan itu serta hasrat untuk meraihnya. Orang ini serupa dengan orang yang terus mengulurkan lehernya kepada apa yang dikejarnya sehingga menjadi pusat perhatiannya.
Tanda harapan yang benar adalah ketika si pengharap—disebabkan begitu takutnya surga luput darinya-selalu meninggalkan semua yang dapat menghalangi dirinya untuk masuk kedalam surga. Perumpamaannya adalah seperti seorang lelaki yang sudah meminang seorang gadis terhormat dari keluarganya, lalu tibalah saat baginya untuk melaksanakan akad, karena para tokoh dan pembesar sudah berkumpul dan mengundang lelaki itu untuk hadir guna dilihat penampilannya oleh mereka. Tentu saja lelaki itu pun berusaha menghias dirinya serupawan mungkin. Dia rapikan rambutnya, dia bersihkan tubuhnya, dan dia kenakan pula wewangian, lalu dia pakaian baju terbaik miliknya, Setelah itu, di sepanjang perjalanan menuju rumah sang gadis. lelaki itu terus berusaha menghindari semua bentuk noda dan kotoran dengan sekuat tenaga. Bahkan sampai-sampai debu atau asap pun dia hindari, Setelah sampai di rumah sang gadis, tuan rumah menyambutnya dan mempersilakannya duduk di tengah rumah di atas tilam indah. Semua mata tertuju padanya sebagai bentuk penghormatan padanya.
Sekarang coba Anda bayangkan kalau lelaki itu setelah memperindah penampilannya, ternyata kemudian dia duduk di tempat sampah, lalu dia berguling-guling di situ untuk mengotori dirinya dengan berbagai macam kotoran yang ada di tempat itu, untuk kemudian dia memasuki rumah calon istrinya dengan rambut, kulit, dan pakaian kotor sembari menyatakan bahwa dia ingin memenuhi janjinya. Tentu saja wajar apabila penjaga gerbang kediaman sang gadis akan memukul dan mengusirnya!
Lelaki pertama itu merupakan contoh seorang pengharap, sementara lelaki yang kedua itu contoh seorang penumpuk angan-angan.
Jika Anda berkenan, berikut ini saya sampaikan lagi sebuah contoh yang membedakan antara seorang pengharap (rajf) dan seorang penimbun angan-angan (mutamanni).
Ada dua orang yang menghadap seorang raja yang merupakan manusia terkaya di bumi. Raja itu juga terkenal sangat amanah, baik dalam bersikap, tidak pernah melanggar hak siapa pun, tetapi dia selalu mempergauli siapa saja dari balik tirai tanpa dilihat oleh siapa pun. Hanya barang, harta, aset perniagaan, dan budak-budak miliknya yang dapat dilihat di kediamannya oleh orang-orang yang bekerja padanya.
Dua orang itu lalu datang kepada raja itu. Yang satu bersikap kepada raja itu dengan penuh kejujuran, amanah, dan tulus. Orang pertama ini tidak pernah coba-coba untuk menipu, berkhianat, ataupun merancang makar terhadap sang raja. Dia lalu menjual semua barangnya kepadanya. Dia hanya mengandalkan bersama semua budaknya pada apa yang dia suka dirinya untuk diandalkan. Apabila masuk kepadanya barang-barang tertentu, dia pun memilih barang-barang terbaik yang paling disukainya. Apabila dia membuat sendiri suatu barang, tentu dia berusaha sekuat tenaga untuk membuat barang itu sebagus mungkin. Dia berusaha agar barang buatannya lebih bagus isinya daripada tampilannya. Lalu dia menerima barang hanya dari orang yang dia memang diperintahkan sang raja untuk menerima barang darinya. Dia selalu melaksanakan perintah sang raja melalui utusannya sesuai kadar pengetahuan, sifat, keadaan, bentuk, waktu, dan segenap keadaan cirinya.
Sementara itu, orang kedua masuk menemui sang raja dengan membawa barang-barang terburuk yang dimilikinya. Dia tidak pernah berhenti berbuat curang tanpa pernah tulus dalam berbuat. Dia tidak pernah melaksanakan apa yang diperintahkan kepadanya oleh sang raja melalui penerjemah dan utusan sang raja kepadanya, untuk kemudian dia sampaikan kepada para pekerja dan pedagang pesan yang semau hawa nafsunya. Selain itu, dia berkhianat terhadap sang raja hanya karena sang raja tidak ada bersamanya. Setiap kali ada keinginan, dia pasti berkhianat. Setiap kali ada larangan raja, dia justru memusatkan perhatiannya kepada apa yang dilarang itu. Singkatnya, tidak ada sesuatu apa pun perkara yang akan membuat sang raja murka, kecuali orang kedua ini pasti melakukannya jika dia sanggup melakukannya.
Beberapa waktu berlalu, datanglah titah yang menyatakan bahwa sang raja akan memanggil para pekerjanya untuk diperhitungkan hasil kerjanya, lalu sang raja akan memberi balasan sesuai hak mereka. Dua orang itu pun datang menghadap, lalu sang raja ternyata hanya memperlakukan masing-masing mereka sesuai dengan apa yang memang benar untuk dilakukan terhadap mereka.
Sampai di sini, silakan Anda renungkan tamsil di atas. Apa pun yang terjadi pada kedua orang itu, pasti akan sesuai dengan pribadi masing-masing keduanya. Seorang pengharap yang hakiki, ketika surga menjadi pusat perhatiannya, pengharapannya, dan dambaannya; dia pun berusaha untuk meraihnya—karena harapan refleksi kecenderungan hati—dan dia wujudkan pengharapannya itu dengan usaha yang paripurna. Khawatir kalau-kalau surga sampai luput darinya, dan dia sangat berhati-hati.
Kata raja (harapan) asalnya berarti “arah’’; arti kalimat arja as-samawat adalah “arah penjuru langit”. Kata raja’ menggambarkan hati yang terulur “mengarah” kepada sesuatu yang dicintai sehingga menyebabkan putusnya segala sesuatu yang lain. Itulah sebabnya, seorang pengharap sejati adalah orang yang terputus dari jiwa penyeru keburukan (nafs ammdrah) karena dia memusatkan “arah” perhatiannya hanya kepada ridha Allah swt..
Bentuk hati yang terulur, condong, dan khawatir ini merupakan watak jiwa tenang (mafs muthmainnah). Ketika hati pandangannya menjadi tajam, ia akan dapat melihat akhirat dan semua yang Allah janjikan di dalamnya bagi orang-orang yang taat kepada-Nya dan orang-orang yang bermaksiat terhadap-Nya. Yang satu takut, yang satu lagi ringan bergerak menuju Allah dan Negeri Akhirat. Sebelum itu semuanya tenang pada jiwa, dan jiwa tenang pada syahwat dan dunia. Ketika tirai penutup jiwa telah tersibak, ia pun ringan melesat mengejar kedekatan dengan Allah di surga.
Dari sini maka diketahui bahwa setiap orang yang mengalami takut sebenarnya berharap, sebagaimana setiap orang yang berharap sebenarnya takut. Sehingga yang satu disebut dengan sebutan antonimnya. Orang yang berharap hatinya memiliki sifat yang mirip dengan hati orang yang takut.
Si pengharap telah mengarahkan hatinya untuk meninggalkan nafsu dan setan lalu bergerak menuju Allah. Telah diangkat untuknya panji-panji dari surga, sehingga dia singsingkan lengan baju untuk meraihnya dengan sepenuh hati. Inilah orang yang takut lalu lari dari keduanya (nafsu dan setan) demi berlindung kepada Allah dari kungkungan keduanya dalam penjara keduanya di dunia, yang akan membuatnya terpenjara bersama mereka berdua setelah kematian datang dan berlanjut hingga kiamat. Setiap orang akan bersama teman akrabnya di dunia dan di akhirat.
Saat mendengar ancaman, dia langsung melesat meninggalkan keburukan dunia akhirat, sehingga dia disebut “orang yang takut” (khda‘if). Ketika dia mendengar janji, dirinya pun bergerak dalam kerinduan dan kegembiraan untuk meraihnya, sehingga dia disebut “orang yang berharap” (raji). Kedua kondisi itu saling berkelindan tak terpisahkan. Setiap orang yang berharap pasti takut dirinya luput dari apa yang diharapkannya, sebagaimana setiap orang yang takut pasti mengharapkan dirinya aman dari apa yang ditakutkannya. Itulah sebabnya kedua nama ini silih berganti tersemat pada dirinya. Allah swt. berfirman, “Mengapa kalian tidak berharap akan kebesaran Allah?” (QS. Nuh [71]: 13).
Para mufasir menjelaskan bahwa maksud ayat ini adalah, “Mengapa kalian tidak takut kepada keagungan Allah?”
Telah disebutkan sebelumnya bahwa Allah swt. telah menggulung harapan bagi siapa saja kecuali hanya dari orang-orang yang beriman, berhijrah, dan berjihad. Rasulullah saw. telah menafsirkan bahwa iman memiliki banyak cabang dan amal lahiriah serta batiniah. Beliau menafsirkan hijrah sebagai gerak hijrah meninggalkan semua yang Allah larang. Sementara jihad beliau nyatakan sebagai jihad melawan hawa nafsu dalam Dzat Allah (fi dzatillah).
Rasulullah saw. bersabda, “Orang yang berhijrah adalah yang berhijrah meninggalkan semua yang Allah larang. Orang yang berjihad adalah orang yang berjihad melawan dirinya dalam Dzat Allah.”
Maksudnya, Allah swt. telah menjadikan para pengharap (ahl raja’) sebagai orang-orang yang beriman, berhijrah, dan berjihad, lalu Dia tidak memasukkKan siapa pun selain mereka ke golongan itu.
Adapun mengenai angan-angan, itu merupakan “modal orang-orang pailit”; yaitu mereka yang sudah pupus harapannya. Allah berfirman, “Itulah angan-angan mereka,” (QS. al-Baqarah [2]: 111).
Angan-angan muncul dari hati yang dijejali oleh waswas jiwa, sehingga digelapkan oleh asapnya, karena pemiliknya menggunakan hatinya hanya untuk syahwatnya. Setiap kali dia melakukan itu, dia pun berangan-angan akan meraih akhir yang baik dan keselamatan. Dia memimpikan maaf, ampunan, dan anugerah; karena Allah yang Maha Pemurah tidak mungkin dapat dia penuhi hak-Nya, Dia tidak terkena apa-apa kalau hamba-Nya berdosa, dan pemberian ampunan tidak akan membuat Dia merugi.
Sampai di situ, si penumpuk angan-angan itu akan menyebut kelakuannya sebagai “pengharapan’’. Padahal itu adalah waswas dan angan kosong yang dirasukkan oleh nafsu ke dalam hati yang bodoh, hingga hati dungu itu pun merasa nyaman padanya. Allah swt. berfirman, “(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-angan kalian yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.” (QS. an-Nisa [4]: 123)
Apabila si hamba telah mengabaikan perwalian dalam menolong kebenaran, tentu Allah pun akan mengabaikan perwalian baginya dan tidak akan menolongnya. Padahal si hamba tidak akan memiliki wali ataupun penolong kecuali hanya Allah semata. Ketika si hamba mengabaikan perwalian dalam menolong kebenaran, maka nafsu dan setan akan memalingkannya sehingga keduanya (nafsu dan setan) menjadi wali baginya. Si hamba akan mengandalkan nafsunya sehingga dia akan terus menolong nafsunya sebagai pengganti dari keharusan menolong agama Allah dan Rasulullah saw. Perwalian Allah pun ditukar dengan perwalian nafsu dan setan. sehingga yang dia tolong hanya nafsu dan hawanya. dan habislah tempat bagi pengharapan.
Jika nafsu berkata kepada anda, “Aku adalah tempat pengharap.an, maka kejarlah dengan bukti kebenaran!” Segeralah anda jawab kata-katanva itu, “Itu adalah angan-angan kosong. Coba datangkan bukti kebenaranmu kalau engkau memang benar!”
Orang yang cerdas selalu melakukan amal kebajikan dalam hasrat dan harapan; sedangkan orang pandir selalu menunda-nunda amal baik sembari mengandalkan diri pada angan-angan kosong yang dia sebut sebagai harapan. Wallahu muwaffia li-sh-shawab.
PASAL
Perbedaan antara tindakan menuturkan nikmat (tahadduts bi ni’mah) dan membanggakan diri (fakhr) yaitu, bahwa orang yang menuturkan nikmat selalu menyampaikan tentang sifat-sifat Pengayom dirinya dengan segala kemurahan dan kebaikan-Nya. Dengan menampakkan dan menuturkan nikmat Allah swt., sebenarnya dia sedang memuji-Nya dan bersyukur pada-Nya. Tujuannya melakukan semua itu yaitu untuk menunjukkan sifat-sifat Allah dengan segala pujian bagi-Nya, untuk kemudian mendorong jiwa-jiwa yang lain agar hanya meminta kepada Allah bukan yang selain Dia; agar mereka hanya mencintai dan berharap pada-Nya. Dengan begitu, maka dia telah menjadi dai yang menyeru kepada Allah dengan menampakkan, menyiarkan, dan menuturkan nikmat-nikmat-Nya.
Adapun sikap membanggakan diri dengan nikmat Allah adalah tindakan memamerkan nikmat Allah kepada orang-orang untuk memperlihatkan kepada mereka bahwa dirinya lebih mulia dan lebih besar dibandingkan mereka. Orang yang bersikap seperti ini ingin membelenggu leher orang lain, memperbudak hati mereka, dan mendorong mereka agar hormat dan siap melayani dirinya.
Nu‘man bin Basyir menyatakan, “Sesungguhnya setan memiliki banyak jebakan dan perangkap. Di antara jebakan dan perangkap setan adalah melakukan kesewenangan menggunakan nikmat Allah, congkak terhadap hamba-hamba Allah, sombong dengan anugerah Allah, dan meremehkan selain Dzat Allah.”
PASAL
Perbedaan antara kegembiraan hati (farah al-qalb) dan kegembiraan natsu (farah an-nafs) begitu jelas terlihat. Kegembiraan yang muncul dengan Allah, makrifat-Nya, mahabah-Nya, dan firman-Nya, selalu muncul dari dalam hati. Allah swt. berfirman, “Orang-orang yang telah Kanu berikan kitab kepada mereka bergembira dengan kitab yang diturunkan kepadamu.,” (QS. ar-Ra’d [13]: 36).
Apabila kalangan Ahli Kitab saja bergembira dengan datangnya wahyu, maka tentu saja para wali Allah dan para pengikut Rasulullah jauh lebih berhak untuk bergembira dengan itu.
Allah swt. berfirman, “Dan apabila diturunkan suatu surat, tentu di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata, ‘Siapakah di antara kalian yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?’ Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira.” (QS. at-Taubah [9]: 124).
Allah swt. berfirman, “Katakanlah, ‘Dengan anugerah Allah (fadhlullah) dan rahmat-Nya (rahamatuh), hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Yunus [10]: 58)
Abu Said al-Khudri menyatakan, “Anugerah Allah, yaitu al-Quran, sementara rahmat-Nya menjadikan kalian sebagai ahli al-Quran.”
Hilal bin Yasaf menyatakan, “Anugerah Allah dan rahmat-Nya berupa Islam yang kalian diberi hidayah kepadanya, dan al-Quran yang Dia ajarkan kepada kalian. Semua itu lebih baik dari pada emas dan perak yang kalian kumpulkan.”
Ibnu ‘Abbas ra., Hasan ra., Qatadah, dan jumhur pakar tafsir menyatakan, “Anugerah Allah berupa agama Islam, rahmat Allah berupa al-Quran.”
Inilah kegembiraan hati yang muncul dari iman sehingga si hamba akan diberi pahala karenanya. Karena kegembiraannya dengannya membuktikan kerelaannya padanya. Bahkan itu lebih tinggi dari rela. Kegembiraan dengannya sesuai dengan kadar mahabahnya. Kegembiraan terbentuk dari keberhasilan menggapai yang dicintai, dan sesuai kadar cintanya dia akan bergembira ketika berhasil meraihnya. Kegembiraan dengan Allah, asma, sifat, rasul, sunah, dan firman-Nya menjadi inti keimanan yang juga merupakan bukti kejernihan dan pokok kandungannya. Kegembiraan seperti ini akan melahirkan ubudiah yang menakjubkan dan efek ke hati yang tak terbayangkan.
Kegembiraan hati dengan Allah, asma, sifat, firman, rasul, dan perjumpaan dengan-Nya adalah anugerah paling utama yang Dia berikan. Bahkan itu merupakan pemberian-Nya yang paling menonjol. Kegembiraan di akhirat dengan Allah dan perjumpaan dengan-Nya kelak akan sepadan dengan kegembiraan dengan Allah dan mahabah pada-Nya di dunia. Karena kegembiraan yang muncul dari tercapainya yang dicintai akan sepadan dengan kekuatan cinta kepadanya. Inilah keadaan kegembiraan hati.
Akan tetapi, hati memiliki kegembiraan yang lain; yaitu kegembiraan hati dengan anugerah Allah kepadanya dalam bentuk muamalah dengan-Nya, keikhlasan pada-Nya, tawakal kepada-Nya, kepercayaan pada-Nya, takut pada-Nya, dan berharap pada-Nya. Setiap kali ada salah satu di antara semua itu yang masuk ke dalam diri si hamba, maka kian besarlah kegembiraannya.
Selain itu, hati hamba juga memiliki satu jenis kegembiraan lain yang sangat besar dan menakjubkan; yaitu kegembiraan yang dicapai melalui tobat. Tobat mengandung kegembiraan menakjubkan yang sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan kegembiraan yang didapat melalui maksiat. Apabila pemaksiat mengetahui bahwa lezatnya tobat dan kegembiraan yang muncul darinya berkali-kali lipat lebih besar daripada kegembiraan yang didapat dari kemaksiatan, pastilah pemaksiat itu akan lebih bersegera menuju tobat daripada bergerak menuju maksiat.
Rahasia kegembiraan seperti ini hanya diketahui oleh orang yang mengetahui rahasia kegembiraan Allah swt. dengan pertobatan yang dilakukan hamba-Nya yang sedemikian besarnya. Untuk menggambarkan kegembiraan Allah itu, Rasulullah saw. telah membuat sebuah perumpamaan yang menunjukkan kegembiraan yang tak tertandingi dengan apapun yang ada di dunia. Beliau menggambarkan kegembiraan Allah swt. dengan tobat hamba-Nya itu serupa seperti seseorang yang bepergian dengan mengendarai hewan tunggangannya berikut bekal makanan dan minuman pada tunggangannya itu, lalu tunggangannya itu hilang di tengah gurun pasir yang mematikan.
Orang itu pun berusaha mencari hewan tunggangannya, tetapi usahanya nihil, hingga dia akhirnya merasa putus asa. Sembari duduk orang itu kepayahan menanti kematiannya, tetapi tiba-tiba di tengah purnama dia melihat hewan tunggangannya datang. Kegembiraannya pun meluap sampai-sampai orang itu berujar, “Wahai Allah, Engkau hambaku dan aku adalah Tuhan-Mu.” Dia salah ucap karena saking besarnya kegembiraannya. Rasulullah saw. lalu: menyatakan bahwa kegembiraan yang Allah swt. rasakan dengan tobat hamba-Nya lebih besar daripada kegembiraan si musafir yang sempat kehilangan hewan tunggangan itu.
Itulah sebabnya tidak dapat dipungkiri bahwa orang yang bertobat pasti akan mendapatkan kegembiraan yang sangat besar dengan pertobatan yang dilakukannya. Hanya saja, dalam hal ini ada sesuatu yang harus diperhatikan, yaitu kegembiraan seperti itu tidak akan dapat diraih kecuali hanya setelah datangnya cobaan dan ujian yang bahkan gunung pun tidak akan sanggup tegak jika menjalaninya. Apabila si hamba sanggup bersabar menanggungnya, niscaya dia akan berhasil mengecap lezatnya kegembiraan itu. Apabila dia tidak sanggup memikulnya dan tidak sabar menahannya, dia tidak akan beroleh apa-apa. Apabila dia juga sudah kehilangan kegembiraan dari kemaksiatan, sehingga dengan demikian dia telah luput dari dua jenis kegembiraan sekaligus. Orang itu pun hanya akan tertimpa lawan dari kenikmatan berupa nyeri bertumpuk-tumpuk setelah dirinya ditindih oleh nyeri dan sekaligus kehilangan apa yang dia sukai. Fa-l-hukm lillahi-l-’aliyyi-l-’azhim.
PASAL
Sampai di sini, ada sebuah kegembiraan yang terbesar melebihi semua jenis-jenis kegembiraan yang lain; yaitu kegembiraan hamba ketika nyawanya meninggalkan dunia menuju Allah. Ketika para malaikat diutus kepadanya, lalu mereka menyampaikan berita gembira perjumpaannya dengan Allah swt. Kala itu Malaikat Maut berkata kepadanya, “Keluarlah wahai ruh baik yang dulu bersemayam dalam jasad yang baik. Bergembiralah engkau dengan kenyamanan, wewangian, dan Tuhan yang tidak murka. Keluarlah engkau dengan ridha dan diridhai, “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. al-Fajr [89]: 27-30).
Kalaulah saja orang yang bertobat tidak mendapatkan apa-apa selain kegembiraan yang satu ini, maka akal pasti akan memerintahkannya untuk mengutamakan kegembiraan ini. Jadi bagaimana kalau ternyata setelah kegembiraan itu ada banyak kegembiraan lainnya? Di antaranya adalah doa para malaikat yang ada di antara langit dan bumi untuk ruhnya. Di antaranya adalah terbukanya gerbang-gerbang langit untuk ruhnya, doa para malaikat langit untuk ruhnya, sambutan para malaikat yang mendekatinya menuju langit kedua yang dibukakan untuknya dengan segenap penghuninya berdoa untuknya, dan sambutan seperti itu terus dialaminya sampai langit ketujuh.
Bagaimana mungkin kegembiraan ruh itu dapat diukur, sementara telah diizinkan baginya untuk berjumpa dengan Tuhannya, Walinya, dan Kekasihnya? Ruhnya lalu berdiri di hadapan-Nya, kemudian diizinkan baginya untuk bersujud kepada-Nya dan ia pun bersujud. Ruhnya lalu mendengar Allah berkata kepada para malaikat, “Catatlah oleh kalian kitab orang ini pada ‘illiyyun!”
Setelah itu, ruhnya dibawa untuk diperlihatkan kepadanya surga dan tempat duduknya di dalamnya beserta segala yang telah Allah janjikan untuknya. Diapun bersua dengan para sahabat dan keluarganya yang mereka semua bergembira dengan kedatangannya, sebagaimana dia juga gembira dengan mereka seperti gembiranya orang yang pergi lama lalu pulang kepada keluarganya. Dia dapat mereka semua dalam kondisi terbaik. Mereka semua mendapatkan yang terbaik dari semua yang didapatkan oleh para musafir.
Semua itu terbentang sebelum kegembiraan terbesar yang terjadi pada saat jasad-jasad dikumpulkan duduk di bawah naungan Arsy, minum dari telaga haudh, menerima kitab catatan amal dengan tangan kanan, beratnya timbangan amal baik, wajah yang cerlang putih, dan anugerah berupa cahaya terang benderang, ketika banyak orang terbenam dalam kegelapan. Dia juga berhasil melintasi jembatan Jahanam tanpa susah, lalu tiba di gerbang surga yang telah didekatkan kepadanya. Dia lalu berjumpa dengan para penjaga surga yang menyambut dengan salam dan wajah berseri, untuk kemudian dia masuk ke tempat tinggalnya berupa istana dengan pasangan serta bidadari di dalamnya.
Setelah itu, si hamba akan merasakan satu kegembiraan terakhir yang tidak dapat diukur atau pun dibayangkan. Semua kegembiraan lain seakan-akan sirna ketika kegembiraan yang satu ini tercapai. Kegembiraan yang hanya akan dimiliki oleh orang-orang yang berpegang kepada sunah; yaitu kegembiraan melihat Wajah Allah swt. di atas mereka, salam dari-Nya kepada mereka, dan firman yang diucapkan-Nya kepada mereka.
Kegembiraan ini tidak dimiliki kecuali
Hanya oleh dia yang merana di dunia
Singsingkan lengan bajumu sesanggupmu
Semoga kau berhasil meraih anugerah itu Puasalah engkau dari segala kenikmatan
Demi selamatnya engkau dari mala petaka
Tinggalkan angan jika kau tak menggapainya
Kau tersiksa atau Rau dapat dambaan itu
Jangan kau anggap telat janji sang Rasul
Janji pasti datang dari Tuhan alam semesta
PASAL
Perbedaan antara kehalusan kalbu (riqqah al-qalb) dan keluh kesah (jaz’) adalah keluh kesah (jaz’) merupakan bentuk kelemahan dalam jiwa dan ketakutan dalam hati, yang kemudian diperparah oleh ketamakan dan kerasukan, dan ia lahir dari lemahnya keimanan kepada takdir. Kalau bukan seperti itu, maka kapankah diketahui bahwa segala yang ditakdirkan pasti terjadi. Keluh kesah adalah nestapa yang sesungguhnya dan merupakan “musibah kedua”, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah swt., .
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak Pula) pada diri kalian sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitab sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kalian jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kalian, dan supaya kalian jangan terlalu gembira terhadap apa yang Dia berikan kepada kalian. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri,” (QS. al-Hadid [57]: 22-23)
Ketika hamba mengimani takdir, dan mengetahui bahwa musibah memang sudah ditakdirkan, pasti dia tidak akan berkeluh kesah, sebagaimana dia juga tidak akan terlalu gembira.
Tentu saja keimanan terhadap takdir ini tidak akan menafikan kehalusan kalbu (riqqah al-qalb); sebab ia muncul dari sifat penyayang yang merupakan sebuah sifat kesempurnaan. Allah menyayangi hamba-hamba-Nya yang penyayang. Rasulullah saw. adalah manusia yang paling halus kalbunya dan paling jauh dari keluh kesah. Jadi, kehalusan kalbu adalah hentuk rahmat kasih sayang, sementara keluh kesah adalah penyakit dan kelemahan.
Keluh kesah adalah kondisi hati yang sakit karena dunia. Hati yang dilingkupi oleh kabut asap jiwa penyeru keburukan (nafs ammarah), yang kemudian merenggut napasnva dan menyempitkan jalannva menuju akhirat. Si hamba pun terkurung dalam penjara hawa nafsunya sendiri, dan itu adalah sebuah penjara yang sempit dengan lorong-lorong gelap.
Disebabkan terkekang dan sempitnya hati itulah ia kemudian berkeluh kesah. Ketika menyemburat di dalamnya cahaya iman dan keyakinan pada janji Allah, lalu dipenuhi pula dengan mahabah kepada Allah dan kemuliaan-Nya, hati itu pun menjadi lembut lalu muncul kasih dan rahmat di dalamnya. Anda pun melihatnya menjadi penyayang yang lembut hatinya kepada setiap kerabat dan orang muslim. Bahkan ia mengasihi semut di liangnya, burung di sarangnya, apalagi sesama manusia. Injlah hati yang paling dekat dengan Allah swt.
Anas ra. mengatakan bahwa Rasulullah saw. adalah manusia paling penyayang terhadap keluarga. Apabila Allah swt. ingin mengasihi seorang hamba, Dia tanamkan di dalam hati si hamba itu rasa kasih dan sayang. Apabila Dia ingin menyiksa seorang hamba, maka Dia cabut rasa kasih dan sayang dari hati si hamba itu, lalu menggantinya dengan kekakuan dan kekerasan.
Dalam hadis tsabit (sahih) dikatakan,
“Tidaklah kasih itu dicabut kecuali hanya dari orang sengsara.”
Dalam hadis lain dikatakan,
“Barang siapa yang tidak menyayangi, tidak akan disayangi.”
Dalam hadis lain dikatakan,
“Sayangilah siapa yang di bumi, niscaya kalian disayangi Dia yang di langit.”
Dalam hadis lain dikatakan, “Penghuni surga ada tiga: (1) Pemilik kekuasaan yang adil lagi penyedekah, (2) Orang penyayang berhati lembut kepada kerabat serta orang muslim, dan (3) Orang yang menjaga kehormatan dirinya serta keluarganya.’’
Abu Bakar Shiddiq ra. lebih utama dari semua umat karena isi hatinya berupa kasih sayang yang melebihi kesidikan. Itulah sebabnya kemudian muncul efeknya pada semua maqamnya, sampai-sampai terhadap para tawanan Perang Badar, dan ternyata yang terjadi adalah seperti yang ditunjukkannya. Rasulullah saw. mengumpamakannya dengan Isa as. dan Ibrahim as.
Allah swt. adalah yang Maha Penyantun lagi Maha Penyayang. Makhluk yang paling dekat dengan-Nya adalah yang paling besar kesantunan dan sayangnya di antara mereka, sebagaimana makhluk yang paling jauh dari-Nya adalah orang yang memiliki sifat yang berlawanan dengan sifat-sifat-Nya. Ini merupakan satu gerbang yang tidak dapat dimasuki kecuali hanya segelintir orang di antara seluruh isi alam semesta.
PASAL
Perbedaan antara kegeraman (maujidah) dan dengki (hiqd) adalah “seram” (wajd) muncul dari kepekaan terhadap orang yang disakiti dan pengetahuan tentangnya, sehingga muncul gerak jiwa untuk membelanya. Ini merupakan bentuk sifat kesempurnaan. Sedangkan dengki (hiqd) adalah bentuk keburukan yang dipendam untuk kemudian dilampiaskan kapan pun pada orang yang menjadi objek kedengkian, sehingga efeknya tidak pernah menyingkir dari hati.
Perbedaan lainnya, bahwa kegeraman terjadi pada sesuatu di luar yang mengenai Anda, sedangkan kedengkian terjadi pada sesuatu di luar yang Anda kenai. Karena kegeraman muncul ketika Anda merasakannya disebabkan kesusahan orang lain, sedangkan kedengkian muncul ketika anda ingin menimpakan sesuatu terhadap orang lain. Kegeraman lekas hilang, sementara kedengkian lambat hilangnya. Kedengkian dapat bersama kesempitan hati dan jiwa yang dikuasai oleh kegelapan. Ini berbeda dari kegeraman yang muncul bersama kekuatan hati dan kekuatan cahaya serta kepekaannya.
PASAL
Perbedaan antara persaingan (mundfasah) dan iri (hasad) adalah bahwa persaingan merupakan kesegeraan menuju kesempurnaan yang anda lihat dari orang lain, lalu anda berusaha bersaing dengannya, agar anda dapat menyamainya atau mengunggulinya. Ini adalah bentuk kemuliaan jiwa, keluhuran tekad, dan kebesaran kehormatan. Allah swt. berfirman,
“Laknya adalah kesturi; dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” (QS. al-Muthaffifin [83]: 26)
Persaingan berakar dari sesuatu yang berharga yang semua jiwa terkait dengannya untuk mengejar dan menyukainya, sehingga bersainglah padanya kedua jiwa yang lain. Bahkan mungkin anda akan bergembira apabila ada yang lain ikut dalam sebuah persaingan. Hal inilah yang terjadi pada para sahabat Rasulullah saw. yang selalu bersaing dalam kebaikan, di mana mereka saling bergembira ketika mereka ikut dalam sebuah persaingan. Bahkan mereka selalu saling mendorong untuk saling bersaing dalam kebaikan. Itulah sebabnya persaingan mereka itu menjadi semacam “perlombaan” (musabaqah). Allah swt. berfirman,
“Berlomba-lombalah dalam kebaikan” (QS. al-Baqarah: 148)
Allah swt. berfirman,
“Berlomba-lombalah kalian kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhan kalian dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi” (QS. al-Hadid [57]: 21)
Umar bin Khathab ra. sering berlomba dengan Abu Bakar ra. tetapi ‘Umar ra. tidak pernah menang sekalipun. Ketika ‘Umar ra. mengetahui bahwa Abu Bakar ra. telah menguasai suatu kebaikan tertentu, ‘Umar ra. berkata, “Demi Allah, aku tidak akan berlomba denganmu menuju apapun juga selamanya!”
‘Umar ra. juga pernah berkata, “Demi Allah, aku tidak pernah berlomba mengejarnya (maksudnya, Abu Bakar ra.) kepada suatu kebaikan, kecuali aku selalu mendapatinya sudah mengungguliku pada kebaikan itu.”
Dua orang yang bersaing laksana dua orang budak di hadapan tuan mereka, lalu mereka berlomba dan bersaing demi meraih keridhaan tuan mereka itu dalam perlombaan untuk meraih cintanya. Tentu saja tuan mereka akan menyukai hal yang dilakukan kedua budaknya itu, sebagaimana masing-masing dari kedua budak itu juga menyukai satu sama lain dan saling mendorong untuk meraih cinta dari tuan mereka.
Adapun rasa iri (hasad) merupakan bentuk akhlak jiwa tercela, hina, dan nista yang di dalamnya sama sekali tidak ada hasrat meraih kebaikan. Hal ini disebabkan kelemahan dan kehinaannya itulah kemudian jiwa tersebut merasa iri kepada siapa pun yang melakukan kebaikan serta perkara terpuji. Dia berharap agar orang lain itu kehilangan kebaikannya, agar dia akhirnya sama dengan orang lain itu dalam kekurangan.
Allah swt. berfirman, “Mereka ingin supaya kalian menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kalian menjadi sama (dengan mereka)” (QS. an-Nisa‘[4]: 89).
Allah swt. berfirman, “Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kalian kepada kekafiran setelah kalian beriman, Karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran” (QS. al-Baqarah [2]: 109).
Pelaku iri merupakan musuh bagi nikmat, karena dia selalu berharap hilangnya nikmat dari orang yang dia iri sebagaimana nikmat itu tidak ada pada dirinya. Sementara pelaku persaingan adalah orang yang mengejar nikmat dan dia selalu berharap dapat mencapai nikmat itu. sebagaimana nikmat itu juga diraih oleh orang yang dia saingi. Dia pun berusaha menyaingi orang lain agar dapat mengunggulinya, dan dia suka jika berhasil menyusul orang itu atau mengunggulinya dalam keutamaan. Sedangkan pelaku iri menyukai merosotnya orang lain agar menjadi sama dengan dirinya dalam kekurangan.
Kebanyakan jiwa utama yang baik dapat memetik manfaat dari persaingan. Siapa pun yang menjadi pusat perhatiannya adalah seseorang yang memiliki keutamaan dan keunggulan, lalu dia berusaha menyaingi orang itu, maka dia pasti akan memperoleh banyak manfaat dari itu, sebab dia akan berusaha menyamai orang yang disainginya itu dan berupaya sekuat tenaga untuk menyusul atau mengunggulinya. Tentu saja tindakan seperti ini tidak tercela.
Akan tetapi terkadang istilah “iri” (hasad) digunakan untuk menyebut persaingan yang terpuji. Contohnya seperti yang termaktub dalam ash-Sahih, dari Rasulullah saw., “Tidak ada iri kecuali hanya pada dua orang: 1. Orang yang diberi al-Quran oleh Allah, lalu orang itu melaksanakannya di sepanjang malam dan siang, dan 2. Orang yang diberi harta oleh Allah, lalu orang itu menghabiskannya dalam kebenaran.”
Iri seperti ini sebenarnya merupakan sebuah persaingan atau “ghibthah” yang menunjukkan keluhuran tekad orang yang melakukannya, kebesaran jiwanya, dan upaya kerasnya untuk dapat menyamai orang-orang mulia.
PASAL
Perbedaan antara mabuk kekuasaan (hubb ar-riyasah) dan menyukai kepemimpinan demi dakwah menuju Allah (hubb al-imamah li-da’wah ilallah) sama dengan perbedaan antara pengagungan perintah Allah dalam ketulusan, dengan pengagungan diri sendiri dalam usaha mendapatkan bagiannya.
Orang yang tulus bertindak demi Allah dalam mengagungkan-Nya, lagi mencintai karena Allah, pasti merasa suka jika Allah ditaati, dan tidak dimaksiati, sebagaimana dia juga pasti menyukai apabila kalimatullah menjadi yang tertinggi, segenap keyakinan hanya diperuntukkan bagi Allah, dan seluruh hamba-Nya melaksanakan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya.
Orang yang seperti ini pasti akan tulus dalam ibadah kepada Allah, sebagaimana dia juga tulus terhadap makhluk-Nya dalam dakwah menyeru kepada Allah. Dia tentu suka untuk menjadi pemimpin dalam urusan agama, bahkan dia memohon kepada Allah agar dirinya dijadikan pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa yang diikuti oleh umat, sebagaimana dia juga selalu mengikuti jejak orang-orang yang bertakwa.
Apabila hamba yang menyeru kepada Allah ini ingin dirinya mulia di mata orang banyak, disegani, dicintai, dan dipatuhi, sehingga dia dapat memimpin mereka, juga agar mereka dapat menemukan jejak Rasulullah pada dirinya, maka semua itu bukanlah mudarat baginya, melainkan sebuah sikap terpuji. Karena dia menyeru kepada Allah swt. yang memiliki sifat suka untuk dipatuhi, disembah, dan ditauhidkan. Dia menyukai pula segala yang menolong terwujudnya semua itu serta menghantarkan kepada-Nya.
Itulah sebabnya Allah swt. menyebut hamba-hamba-Nya yang Dia khususkan bagi Diri-Nya. Dia memuji mereka dalam ayat yang diturunkan-Nya, serta Dia berikan balasan terbaik bagi mereka di hari perjumpaan dengan-Nya. Allah menyebut mereka dengan amal dan sifat-sifat mereka yang terbaik. Allah swt. lalu berfirman, “Dan orang-orang yang berkata: Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa’.” (QS. al-Furqan [25]: 74).
Mereka memohon kepada Allah agar membuat hati mereka senang dengan kepatuhan para istri dan keluarga mereka kepada-Nya, serta agar juga membuat hati mereka senang dengan mengikuti orang-orang yang bertakwa kepada-Nya dalam taat dan ubudiah pada-Nya.
Sesungguhnya pemimpin dan orang yang dipimpin merupakan dua pihak yang saling menolong dalam ketaatan. Mereka memohon kepada Allah agar diberikan apa pun yang dapat menjadi pertolongan bagi orang-orang yang bertakwa dalam keridhaan dan ketaatan-Nya. Itu merupakan seruan mereka menuju Allah swt. melalui kepemimpinan dalam agama yang dilandasi sabar dan yakin.
Allah swt. berfirman, “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. as-Sajdah [32]: 24)
Permohonan mereka agar Allah swt. berkenan menjadikan mereka sebagai pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa merupakan permohonan agar Dia memberi mereka hidayah dan taufik, serta menganugerahi mereka berbagai ilmu yang bermanfaat serta berbagai amal saleh baik lahir maupun batin yang menjadi syarat sempurnanya kepemimpinan.
Silakan anda renungkan betapa Allah dalam ayat-ayat tersebut menisbatkan mereka dengan nama-Nya ar-Rahman, agar semua makhluk-Nya tahu bahwa apa yang mereka raih itu semata-mata berkat rahmat-Nya dan kemurahan anugerah-Nya semata!
Renungkanlah pula bagaimana Allah menetapkan balasan bagi mereka dalam surah tersebut di atas, berupa “ghuraf’, yaitu tempat tinggal tinggi di dalam surga!
Ketika kepemimpinan dalam agama termasuk di antara martabat yang tinggi, bahkan merupakan tingkatan tertinggi yang diberikan kepada hamba di dunia, maka balasannya memang layak berupa tempat tinggal tinggi di dalam surga.
Tentu saja hal ini jauh berbeda dengan sikap mabuk kekuasaan (hubb ar-riyasah). Orang-orang yang mabuk kekuasaan selalu berusaha mencapai keinginan mereka itu hanya demi meraih keinginan mereka menjadi yang tertinggi kedudukannya di dunia, dengan menunjukkan hati orang banyak, membuat mereka condong kepadanya, dan mengejar dukungan mereka atas semua keinginan pribadinya; meski sebenarnya orang-orang ini kelak akan menindas mereka.
Sikap rakus kekuasaan seperti ini pasti akan melahirkan begitu banyak kerusakan yang hanya diketahui oleh Allah swt.; berupa kesewenangan, jasad, pembangkangan, dengki, kezaliman, fitnah, melindungi kepentingan pribadi dengan mengenyampingkan hak Allah, mengagungkan orang yang Allah hinakan, dan menghinakan orang yang dimuliakan oleh Allah swt. Karena kekuasaan di dunia biasanya memang tidak akan tercapai kecuali hanya dengan hal-hal buruk itu, sebagaimana ia juga tidak dapat diraih dengan keburukan yang berkali-kali lipat lebih busuk dari semua itu.
Para penguasa tentu buta akan hal ini. Ketika tirai penutup sudah disibakkan, barulah terlihat jelas berbagai kerusakan di mata mereka. Apalagi kalau mereka dikumpulkan seperti benih tanaman yang kemudian mereka diinjak sebagai penghinaan terhadap mereka, sebagaimana sebelumnya mereka menghina perintah Allah dan meremehkan hamba-hamba-Nya.
PASAL
Perbedaan antara cinta demi Allah (hubb fillah) dan cinta lain bersama Allah (hubb ma’allah) yaitu, salah satu perbedaan yang paling penting, karena masing-masing dari keduanya perlu bahkan harus dibedakan. Cinta demi Allah (hubb fillah) termasuk dari kesempurnaan iman, sedangkan cinta lain bersama Allah (hubb ma’allah) adalah inti kemusyrikan.
Perbedaan antara keduanya yaitu, bahwa cinta demi Allah selalu mengikuti mahabah kepada Allah. Ketika cinta-Nya telah bersemayam di dalam hati hamba, maka pasti cinta tersebut akan membuahkan cinta kepada semua yang Allah cintai. Ketika si hamba telah mencintai semua yang Allah cintai, maka itulah cinta bagi-Nya dan demi-Nya (hubb lahu wa fihi), sebagaimana kecintaan kepada para rasul dan nabi-nabi-Nya, kepada para malaikat dan wali-wali-Nya, karena Allah mencintai mereka semua, dan Dia membenci siapa pun yang membenci mereka karena Allah membenci orang-orang yang seperti itu.
Tanda cinta dan benci demi Allah terlihat ketika si hamba tidak mengubah kebenciannya terhadap orang yang dibenci Allah menjadi cinta, hanya gara-gara kebaikan orang itu kepadanya, atau karena orang itu bersedia melayaninya atau memenuhi kebutuhannya. Tanda lainnya adalah ketika si hamba tidak mengubah kecintaannya kepada orang yang dicintai Allah menjadi benci, hanya gara-gara terjadi sesuatu hal yang tidak disukai dari perbuatan orang tersebut, baik hal itu terjadi secara tidak sengaja maupun secara sengaja, sementara orang itu melakukannya karena ketaatannya kepada Allah atau karena takwil dan ijtihad yang dilakukannya, atau karena dia memang salah tetapi kemudian bertobat.
Seluruh bagian agama ini memang beredar pada empat pilar, cinta dan benci, yang kemudian keduanya melahirkan perbuatan dan pengabaian. Barang siapa yang cinta dan bencinya, perbuatan dan pengabaiannya hanya demi Allah, dia telah menyempurnakan imannya. Karena jika dia mencintai, dia mencinta demi Allah. Apabila dia membenci, dia membenci demi Allah. Apabila dia berbuat, dia berbuat demi Allah. Apabila dia mengabaikan sesuatu, dia mengabaikan itu demi Allah. Bagian mana pun di antara keempat perkara ini yang mengalami kekurangan dalam mengaitkannya dengan Allah, maka itu akan juga menjadi kekurangan pada iman, agama, dan kemuliaan dirinya.
Cinta seperti tersebut di atas jauh berbeda dengan cinta lain bersama Allah (hubb ma’allah); yang ada dua macam: 1-cinta yang merusak fondasi tauhid, berupa kesyirikan, dan 2-cinta yang merusak kesempurnaan ikhlas dan cinta kepada Allah, namun tidak mengeluarkan orang yang melakukannya dari Islam.
Cinta jenis pertama contohnya cinta kepada orang-orang musyrik dengan segala berhala dan sesembahan yang mereka puja. Allah swt. berfirman, “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintai semua itu sebagaimana mereka mencintai Allah….” (QS. al-Baqarah [2]: 165).
Orang-orang musyrik begitu mencintai berhala, patung, dan Tuhantuhan mereka selain Allah, seperti mereka mencintai Allah swt. Ini merupakan bentuk cinta penyembahan dan pewalian yang diikuti dengan rasa takut, harap, ibadah penyembahan, dan doa permohonan. Cinta jenis inilah inti kesyirikan yang tidak akan diampuni Allah swt., sebagaimana keimanan juga tidak akan sempurna, kecuali hanya dengan memusuhi sesembahan-sesembahan itu dan membenci serta memerangi siapa pun yang menyembah mereka.
Itulah sebabnya Allah swt. mengutus semua rasul-Nya, menurunkan semua kitab-Nya, menciptakan neraka untuk orang-orang yang memiliki cinta syirik seperti itu, dan menciptakan surga bagi siapa pun yang memerangi serta memusuhi mereka demi Allah dan ridha-Nya.
Setiap orang yang menyembah sesuatu apapun mulai dari Arsy-Nya sampai lapisan bumi-Nya, maka orang itu telah membuat tuhan tandingan bagi Allah sekaligus menyekutukan-Nya—seperti apa pun sesembahan itu—dia harus berlepas diri dari sesembahan itu sejauh-jauhnya.
Cinta jenis kedua, yaitu cinta kepada hal-hal yang Allah telah menjadikannya indah bagi jiwa manusia, seperti cinta kepada perempuan (lawan jenis), anak keturunan, emas, perak, kuda, binatang ternak, tanaman pertanian, dan sebagainya. Si hamba akan mencintai semua itu dengan cinta syahwat seperti cintanya seorang kelaparan kepada makanan atau cinta orang kehausan kepada air. Cinta jenis ini terbagi menjadi tiga macam sebagai berikut:
- Apabila si hamba mencintai hal-hal seperti itu demi Allah (lillah) sebagai bentuk perantaraan kepada-Nya dan demi menyokong pencapaian ridha dan taat kepada-Nya, tentu si hamba akan diberi pahala atas cintanya itu karena itu termasuk bagian cinta demi Allah (hubb lillah). Dia akan diberi pahala dan akan menikmati cinta itu. Inilah keadaan makhluk paling sempurna (maksudnya, Rasulullah saw.) yang dibuat mencintai sebagian dari dunia berupa perempuan dan wewangian. Cinta beliau kepada dua hal itu menjadi pendukung bagi beliau untuk mencintai Allah serta demi pelaksanaan tablig risalah kerasulan yang emban dalam menegakkan perintah-Nya.
- Apabila si hamba mencinta hal-hal seperti itu demi memenuhi hasrat tabiat serta keinginan dirinya, dan seiring dengan itu dia tidak lebih mengutamakan cintanya kepada hal-hal tersebut daripada cinta kepada Allah dan kepada ridha-Nya, karena dia menjalani cinta itu sebagai bentuk kecenderungan alamiah tabiatnya; cinta itu hukumnya mubah. Dia tidak akan dihukum karena cinta seperti itu. Hanya saja cinta seperti itu akan mengurangi kesempurnaan cintanya kepada Allah swt.
- Apabila si hamba mencintai hal-hal tersebut sebagai tujuan utama, lalu dia mengerahkan segenap kemampuannya hanya untuk mewujudkan cintanya, sembari dia utamakan cintanya itu daripada hal-hal yang Allah cintai dan ridhai, si hamba telah berlaku zalim terhadap dirinya karena memperturutkan hawa nafsunya.
– Cinta jenis pertama merupakan cintanya kalangan saiqan (orang-orang unggul).
– Cinta jenis kedua merupakan cintanya kalangan muqtashidin (orang-orang pertengahan).
– Cinta jenis ketiga merupakan cintanya kalangan zhaliman (orang-orang zalim).
Silakan Anda renungkan mengenai hal ini dengan segala kesamaan dan perbedaan antara yang satu dengan yang lain, karena yang membuat Anda menderita, yaitu jiwa penyeru keburukan (nafs ammdrah), dan yang menuntun Anda, yaitu siapa saja yang Allah beri petunjuk hidayah.
PASAL
Perbedaan antara tawakal (tawakkul) dan menyerah (‘ajz) yaitu, bahwa tawakal merupakan perbuatan dan ubudiah hati dengan bersandar kepada Allah, percaya kepada-Nya, mengandalkan-Nya, berserah pada-Nya, dan ridha pada ketetapan-Nya. Disebabkan pengetahuan si hamba mengenai cukupnya Allah sebagai andalan baginya dan pilihan-Nya yang selalu baik bagi hamba-Nya jika si hamba berserah kepada-Nya sembari tetap menempuh sebab atau jalan yang diperintahkan kepadanya dan berupaya mencapainya dengan sungguh-sungguh.
Rasulullah saw. sosok manusia yang paling besar tawakalnya kepada Allah swt., tetapi ternyata beliau tetap mengenakan baju besi di saat perang, bahkan mengenakan dua lapis baju besi dalam Perang Uhud. Beliau juga pernah tiga kali bersembunyi dalam gua, sebab beliau merupakan sosok manusia yang bertawakal sembari tetap menempuh sebab, bukan mengesampingkannya.
Sementara itu yang dimaksud dengan menyerah (‘ajz) adalah ketika seseorang mengesampingkan kedua atau satu di antara dua hal tersebut di atas. Baik dengan mengenyampingkan sebab karena jiwanya memang lemah lalu dia meyakini bahwa itulah tawakal, padahal demi Allah itu adalah bentuk kelemahan dan tindakan berlebihan; maupun dengan menempuh sebab sembari mengandalkan sepenuhnya pada apa yang dilakukannya itu lalu alpa terhadap sang Penyebab dan bahkan menentang-Nya.
Ketika tebersit dalam hatinya sesuatu, tentu apa yang tebersit itu tidak akan menetap; dia juga tidak pernah menggantungkan hatinya kepada Allah secara sempurna yang membuat hatinya “bersama Allah” sementara raganya ‘‘bersama sebab”. Orang seperti ini tawakalnya menyerah, dan menyerahnya dianggap sebagai tawakal.
Inilah posisi di mana manusia terbagi menjadi dua kubu ekstrem dan satu kubu pertengahan:
1) Kubu ekstrem pertama mengabaikan sebab, karena mengandalkan tawakal.
2) Kubu ekstrem kedua mengabaikan tawakal, karena mengandalkan sebab.
Kubu pertengahan mengetahui bahwa hakikat tawakal tidak akan pernah sempurna kecuali hanya dengan menempuh sebab, sehingga tawakal kepada Allah seiring dengan sebab.
Kubu yang mengabaikan sebab lalu meyakini bahwa dirinya sedang bertawakal. sebenarnya dia orang yang tertipu dan penumpuk angan-angan. Ini sama seperti orang yang menolak menikah lalu dia bertawakal dirinya akan memiliki anak kandung. Atau orang yang menolak menanam, tetapi bertawakal bahwa dirinya kelak akan mendapatkan hasil panen. Atau orang yang menolak makan minum, tetapi lalu bertawakal dia akan kenyang dan hilang dahaganya. Tawakal merupakan pendamping pengharapan, sementara sikap menyerah adalah pendamping angan-angan kosong.
Hakikat tawakal, yaitu ketika si hamba menjadikan Allah sebagai wakil (tempat bertawakal) baginya. Dia berserah kepada Allah seperti orang yang mewakilkan sesuatu menyerahkan sesuatu itu kepada wakilnya yang mengetahui kecukupan, kebangkitan, ketulusan, keamanahan, pengalaman, dan pilihan terbaik.
Allah swt. telah memerintahkan hamba-Nya untuk berusaha dan sekaligus bertawakal kepada-Nya, dengan mengerahkan segala upaya pada apa pun yang maslahat baginya. Allah swt. juga memerintahkan hamba-Nya untuk menanam, menebar benih, dan berusaha, tetapi juga memerintahkan agar si hamba memohon rezeki dari-Nya di tengah semua usahanya itu, sebagaimana yang telah Dia takdirkan sesuai dengan hikmah kebijaksanaan-Nya. Allah swt. juga memerintahkan hamba-Nya untuk jangan pernah menggantungkan hatinya kepada yang selain Allah, melainkan hendaklah dia menjadikan tumpuan harapannya hanyalah Dia, takutnya hanya pada-Nya, kepercayaannya hanya untuk-Nya, dan tawakalnya hanya kepada-Nya. Allah swt. telah memberi tahu hamba-Nya bahwa Dia selalu siap menerima pewakilan/tawakal, dan selalu memenuhi apapun yang ditanggung.
Sementara itu, orang yang menyerah justru mencampakkan semua itu ke belakang punggungnya. Lalu dia duduk malas bernyaman-nyaman sambil berkata, “Rezeki pasti akan mengejar orang yang menerimanya seperti ajal mengejar orang yang harus mati. Rezeki pasti datang kepadaku sesuai takdirku dengan segala kelemahanku, karena aku juga tidak akan mungkin mendapatkan segala yang tidak ditakdirkan padanya dengan segala kekuatanku. Kalau aku lari dari rezekiku seperti aku lari dari kematian, maka rezeki pasti tetap menjangkau diriku.”
Hendaklah dikatakan kepada orang malas itu, “Ya, semua ocehanmu itu memang benar. Engkau rupanya sudah tahu bahwa rezekimu telah ditakdirkan, tetapi apakah engkau tahu seperti apakah kiranya takdir rezekimu itu? Apakah dengan usahamu sendiri ataukah dengan usaha orang lain? Kalau ternyata rezeki itu hanya didapat dengan usahamu, maka dengan sebab apakah dan dari arah manakah ia datang? Jika semua itu engkau tidak tahu jawabannya, kemudian bagaimana mungkin engkau bisa tahu bahwa engkau sudah ditakdirkan akan didatangi rezekimu tanpa engkau harus berpayah-payah? Berapa banyak hal yang engkau usahakan untuk dirimu, ternyata itu ditakdirkan menjadi rezeki orang lain? Dan berapa banyak hal yang diusahakan oleh orang lain, tetapi ternyata itu ditakdirkan menjadi rezeki bagimu. Jika memang engkau sudah melihat itu dengan mata kepalamu, lantas dari manakah engkau tahu bahwa rezekimu semuanya berasal dari usaha orang lain?”
Selain itu, inilah sesuatu hal yang nafsu tunjukkan kepada Anda, yang harus Anda enyahkan pada semua sebab dan akibat-akibatnya, hingga sesuatu yang berkenaan dengan sebab-sebab masuk surga dan keselamatan dari neraka. Apakah Anda akan mengabaikan sebab hanya karena mengandalkan tawakal, ataukah Anda tetap menempuh semua sebab itu sembari bersanding bersama tawakal?
Tentu saja! Dunia tidak akan pernah kehilangan orang yang bertawakal sekaligus jiwanya bersabar demi Allah, memenuhi hatinya dengan rasa percaya kepada Allah dalam pengharapan dan sangka baik pada-Nya. Ketika hatinya terasa terimpit oleh sebab tertentu, maka hatinya itu langsung mencari ketenangan kepada Allah sehingga dia pun tenang bersama-Nya dengan kepercayaan pada-Nya.
Sikap seperti inilah yang menjadi sebab paling kuat bagi tercapainya rezeki, yaitu tanpa mengesampingkan sebab. Dia menjauhi suatu sebab menuju suatu sebab yang lebih kuat. Tawakalnya menjadi sebab paling kuat baginya. Hatinya yang sibuk dengan Allah dan ketenangannya pada-Nya serta ketundukannya kepada-Nya lebih dia cintai daripada kesibukan hati karena suatu sebab yang menghalanginya dari pencapaian itu atau merusak kesempurnaannya. Karena hati manusia tidak pernah cukup menampung dua hal. Ketika menerima sesuatu, ia pasti menolak yang lain. Tidak diragukan lagi bahwa itulah kondisi yang lebih sempurna daripada orang yang menyesaki hatinya dengan sebab lalu dia disibukkan oleh sebab itu hingga alpa pada Tuhannya.
Yang paling sempurna daripada kedua kubu tersebut di atas yaitu kubu ketiga yang berhasil menghimpun kedua sisi ekstrem itu. itulah keadaan pada rasul dan sahabat. Zakariya merupakan seorang tukang kayu. Allah swt. memerintahkan Nuh as. untuk membuat kapal. Di kalangan sahabat tidak ada seorang pun yang mengabaikan sebab karena mengandalkan tawakal. Alih-alih, mereka adalah orang-orang yang menempuh keduanya (tawakal dan usaha) sekaligus. Tidakkah Anda melihat mereka berusaha sekuat tenaga untuk memerangi musuh-musuh Islam dengan tangan dan lisan mereka?! Sementara di tengah semua usaha itu mereka tetap bertawakal sungguh-sungguh kepada Allah. Mereka tetap mencari harta, mereka tetapi memenuhi kebutuhan keluarga mereka demi mengikuti teladan Rasulullah sang pemimpin orang-orang yang bertawakal.
PASAL
Perbedaan antara kehati-hatian (ihtiyath) dan waswas (waswasah) yaitu, bahwa kehati-hatian merupakan bentuk upaya untuk semaksimal mungkin mengikuti sunah yang diteladankan oleh Rasulullah saw. dan para sahabat beliau tanpa bersikap berlebihan ataupun melakukan pelanggaran, sekaligus tidak pula berkekurangan ataupun berlebihan. Inilah kehati-hatian yang diridhai oleh Allah swt. dan Rasulullah saw.
Adapun waswas (waswasah) adalah tindakan bidah yang tidak pernah ditemukan dalam sunah dan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. atau siapa pun di antara para sahabat beliau; karena si hamba meyakini bahwa dengan waswas itu dia dapat mencapai apa yang disyariatkan secara presisi.
Contoh orang was-was, yaitu orang yang berwudhu lalu membasuh anggota wudhu lebih dari tiga kali; orang yang berlebihan dalam menggunakan air dalam wudhu atau mandi besar; orang yang mengucapkan jelas-jelas niat shalat berkali-kali; orang yang mencuci pakaiannya yang dia tidak yakin najis hanya karena was-was; menolak mengenakan alas kaki dalam shalat; dan berbagai bentuk tindakan berlebihan lainnya yang dianggap oleh orang-orang yang was-was itu sebagai perintah agama lalu mereka nyatakan itu sebagai bentuk kehati-hatian (ihtiyath)
Padahal seiring dengan itu, sikap untuk mengikuti petunjuk Rasulullah saw. adalah yang lebih utama bagi mereka. Kehati-hatian yang sudah menyimpang dari tuntunan beliau sebenarnya sudah keluar dari kehati-hatian itu sendiri, bahkan melenceng dari jalan yang lurus.
Karena kehati-hatian yang maksimal adalah keluar dari perbedaan pendapat dalam sunah, walaupun itu bertentangan dengan sebagian besar atau seluruh penduduk bumi.
PASAL
Perbedaan antara ilham malaikat (ilham al-malak) dan bisikan setan (ilqa asy-syaithan) dapat dilihat dari beberapa sisi berikut ini:
– Semua tindakan yang dilakukan demi Allah dan selaras dengan keridhaan serta tuntunan Rasul-Nya, pasti itu datang dari malaikat. Sementara semua yang dilakukan demi yang selain Allah dan tidak selaras dengan keridhaan-Nya, itu pasti bagian dari bisikan setan.
– Semua yang membuahkan keberterimaan kepada Allah, inabah pada-Nya, zikir mengingat-Nya, tekad yang kuat menuju Dia, pasti itu datang dari malaikat. Sementara semua yang membuahkan kondisi yang bertentangan dengan semua hal tadi, pasti datang dari setan.
– Semua yang menerbitkan kelembutan dan cahaya di dalam hati serta kelapangan di dada, pasti itu datang dari malaikat. Sementara semua yang memicu munculnya semua yang berlawanan dengan hal-hal tersebut, pasti itu datang dari setan.
– Semua yang memunculkan ketenangan dan ketenteraman, pasti itu datang dari malaikat. Sementara semua yang menyebabkan munculnya kegelisahan, kegundahan, dan kekacauan, pasti itu datang dari setan.
Itulah sebabnya, ilham malaikat akan banyak masuk ke dalam hati yang suci bersih yang telah disinari oleh cahaya Allah, sehingga malaikat pun terhubung dengannya dan terjalin keterkaitan antara hati itu dengan malaikat. Karena malaikat bersifat baik lagi suci, dan dia tidak mungkin sudi berdekat-dekat dengan hati mana pun kecuali hanya yang cocok dengannya. Hati yang suci seperti itu pasti akan lebih banyak menerima ilham malaikat daripada bisikan setan. Sedangkan hati yang gelap menghitam akibat asap syahwat dan syubhat, pastilah bisikan setan lebih banyak merasuk ke dalamnya.
PASAL
Perbedaan antara sikap pertengahan (iqtishad) dan kekurangan (taqshir) yaitu, bahwa sikap hemat adalah sikap pertengahan antara dua sisi ekstrem: berlebihan dan kekurangan. la memiliki dua sisi yang menjadi lawannya, yaitu kekurangan dan berlebihan.
Orang yang hemat adalah orang yang menempuh yang pertengahan dan seimbang di antara dua sisi ekstrem.
Allah swt. berfirman, “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. al-Furqan [25]: 67).
Allah swt. berfirman, “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS. al-Isra’ [17]: 29)
Allah swt. berfirman, “Hai anak Adam, pakailah pakaian kalian yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. al-A’raf [7]: 31)
Seluruh ajaran Agama Islam senantiasa berada di antara dua titik ekstrem. Bahkan Islam itu sendiri merupakan jalan tengah di antara semua agama lainnya. Sebagaimana sunah adalah jalan tengah antara semua bidah. Dan agama Allah berada di antara sikap melebih-lebihkan dan sikap mengabaikan.
Demikian pula hanya dengan kesungguhan (ijtihad) yang merupakan usaha sungguh-sungguh untuk memenuhi perintah Allah, sedangkan sikap berlebihan (ghuluw) adalah bentuk pelanggaran dan pembangkangan terhadap perintah-Nya. Allah tidak pernah memerintahkan sesuatu apa pun kecuali setan pasti mencetuskan dua godaan pada perintah itu: baik menyeret kepada sikap berlebihan yang melanggar batas, maupun menyeret kepada sikap kekurangan. Keduanya merupakan petaka yang tidak akan dapat selamat dari keduanya dalam keyakinan, tujuan, dan amal, kecuali hanya orang yang setia berjalan mengikuti Rasulullah saw. sembari meninggalkan semua omongan dan pendapat siapa pun selain beliau demi mengikuti tuntunan beliau; bukan orang yang meninggalkan tuntunan beliau demi mengikuti ucapan dan pendapat semua orang selain beliau.
Kedua penyakit ini begitu berbahaya dan telah menguasai sebagian besar anak cucu Adam. Itulah sebabnya kalangan salaf memperingatkan tentang keduanya dengan sedemikian kerasnya. Mereka bahkan menakuti siapa pun yang melakukan salah satu di antara keduanya dengan kebinasaan. Kedua hal itu dapat terjadi pada satu orang, seperti yang terjadi pada kebanyakan orang; seorang hamba melakukan kekurangan pada sebagian dari agamanya, tetapi dia juga berlebihan pada sebagian yang lain. Yang mendapat hidayah hanyalah orang yang Allah beri hidayah kepadanya.
PASAL
Perbedaan antara nasihat (nashthah) dan cercaan (ta’nib) adalah bahwa nasihat merupakan sebuah kebaikan untuk orang yang anda nasihati dengan penuh kasih sayang dan rasa girah padanya. Itu merupakan bentuk kebaikan yang muncul dari kasih sayang, karena tujuan darj nasihat itu hanyalah Wajah dan keridhaan Allah semata, serta kebaikan kepada makhluk-Nya.
Dalam menyampaikan nasihat hendaklah orang yang memberi nasihat bersikap lembut, sembari berusaha menanggung segala celaan dari orang yang dinasihatinya. Hendaklah dia mempergauli orang yang dinasihatinya dengan perlakuan yang baik, seperti seorang alim yang begitu penuh kasih mengobati orang yang mengalami sakit parah. Tentu Saja dia harus siap menahan jeleknya perlakuan si sakit itu dengan segala kekasaran atau bahkan penolakan. Hendaklah dia tetap lembut dalam memberi obat kepadanya dengan cara apa pun. Demikian inilah pula seharusnya dilakukan oleh orang yang memberi nasihat.
Adapun yang dimaksud pencerca (mu-annib) adalah orang yang hanya ingin mengejek, menghina, dan mencela orang yang dicercanya, serta memakinya dengan ucapan yang terkesan seperti nasihat. Seorang penghina biasanya berkata, ‘Hai pelaku kejahatan!’, atau “Hai orang hina!”, dan dia sampaikan itu seperti sebuah nasihat.
Tanda yang menunjukkan bahwa suatu ucapan merupakan sebuah cercaan (ta’nib) yakni apabila si pencerca itu melihat seseorang yang dicintainya atau orang yang berbuat baik padanya melakukan suatu perbuatan atau suatu Kejahatan yang biasanya langsung dia cerca, ternyata dia tidak mencerca orang itu, bahkan dia tidak mengatakan apa pun kepada orang itu. Alih-alih dia justru menyampaikan berbagai macam dalih, seperti ucapan, “Siapakah di antara kita yang maksum dari dosa?”, atau “Manusia memang tempatnya kesalahan…’’, atau “Biarkanlah, kebaikannya sudah lebih banyak daripada kejelekannya. Allah saja Maha Pengampun…”, dan sebagainya.
Jadi memang sungguh mengherankan bagaimana mungkin orang itu bersikap seperti itu terhadap orang yang dia sukai, tetapi bersikap berbeda terhadap orang yang dia benci. Orang yang satu langsung dia cerca dan maki-maki walaupun dia sebut itu sebagai nasihat; sementara orang yang satu lagi dia harap-harapkan ampunan baginya dengan berbagai macam dalih.
Salah satu perbedaan lain antara nasihat dan cercaan yakni, bahwa pemberi nasihat tidak pernah memusuhi anda kalau nasihatnya tidak anda terima. Dia akan berkata, “Insyaallah saya sudah mendapatkan pahala dari Allah, baik anda menerima ataupun tidak nasihat saya ini.” Lalu dia mendoakan Anda baik secara terang-terangan maupun secara tidak anda ketahui, dan dia tidak pernah membeberkan aib Anda kepada orang banyak. Sedangkan seorang pencerca akan melakukan semua yang berkebalikan dari itu.
PASAL
Perbedaan antara kesegeraan (mubadarah) dan ketergesaan (‘ajalah), yaitu bahwa kesegeraan adalah penggunaan kesempatan tempat pada waktunya, tanpa mengabaikannya sampai akhirnya ketika kesempatan itu luput barulah si hamba mengejarnya. Orang yang bersegera adalah orang yang tidak mengejar sesuatu sesudah waktunya lewat dan tidak pula melakukannya sebelum waktunya tiba. Alih-alih, ketika waktunya tiba, dia pun bersegera melaksanakan sesuatu itu dengan tangkas seperti harimau yang melompat menerkam mangsanya. Orang yang bersegera serupa dengan orang yang bersegera memetik buah di saat sudah masak sempurna.
Adapun ketergesaan (‘ajalah) adalah mengejar sesuatu yang belum tiba waktunya, dan itu dilakukan disebabkan sebegitu tamaknya orang yang bersangkutan itu. Orang yang tergesa-gesa serupa dengan orang yang memetik buah sebelum matang.
Jadi, kesegeraan (mubadarah) sebenarnya merupakan titik tengah di antara dua sisi buruk yang tercela: yang satu adalah penyia-nyiaan, dan yang kedua adalah keburu-buruan sebelum waktunya tiba.
Itulah sebabnya dikatakan bahwa ketergesaan datang dari setan (al-’ajalah mina-sy-syaithan), karena ketergesaan muncul dalam bentuk kesembronoan dan gerak asal-asalan pada diri si hamba yang semua itu menghalanginya dari sikap teguh, tenang, dan tabah; di samping sikap seperti itu pasti menyebabkan diletakkannya segala sesuatu bukan pada tempatnya, membuka peluang terjadinya berbagai bentuk kejahatan, dan menghalanginya dari berbagai bentuk kebaikan.
Ketergesaan merupakan teman pendamping bagi penyesalan. Betapa banyak orang yang tergesa-gesa berujung pada penyesalan, sebagaimana kemasalan adalah teman pendamping penyia-nyiaan.
PASAL
Perbedaan antara penyampaian keadaan (ikhbar bi-I-hal) dan keluhan (syakwa) yang bentuknya serupa, yaitu bahwa penyampaian tentang keadaan tujuannya adalah maksud baik orang yang menyampaikan keadaannya agar kesusahannya dapat sirna, atau untuk meminta maklum dari orang yang meminta sesuatu darinya, atau untuk memperingatkan orang lain agar jangan mengalami suatu keburukan yang dialaminya. Dengan apa yang disampaikannya itu dia telah memberi nasihat kepada orang lain, atau menghibur orang lain itu agar tetap tabah dan sabar.
Suatu ketika, Ahnaf didatangi orang yang mengeluh kepadanya tentang sesuatu. Orang itu berkata, “Wahai keponakanku, sungguh sinar mataku telah sirna sejak sekian tahun lamanya tetapi aku tidak pernah menyampaikan itu kepada siapa pun.”
Bentuk penyampaian seperti itu mengandung ketabahan diri si pengadu dalam kesabaran yang akan mendatangkan pahala kepada pemberi kabar. Walaupun itu tampak seperti keluhan. Tujuanlah yang membedakan antara keduanya.
Tampaknya karena itulah Rasulullah saw. bersabda ketika Aisyah ra. berkata kepada beliau, “Duh, kepalaku!”, beliau menyahut, “Yang mengaduh kepalanya itu aku!” Maksudnya, nyeri kepalaku aku yang merasakan bukan engkau. Rasulullah ingin menghibur Aisyah ra. agar dia tidak mengeluh.
Akan tetapi, saya melihat sebuah hal lain dari hadis tersebut di atas. Yaitu bahwa Aisyah ra. kekasih Rasulullah saw., bahkan merupakan istri yang sangat beliau cintai. Ketika Aisyah ra. mengadu kepada beliau mengenai sakit di kepalanya, beliau pun mengabarkan kepada Aisyah bahwa beliau juga mengalami sakit kepala seperti yang dialami Aisyah ra. Ini menunjukkan kecocokan antara seorang pencinta dengan orang yang dicintainya. Sang pencinta merasakan nyeri seperti yang dirasakan oleh orang yang dicintainya, dia merasa senang dengan kesenangan yang dirasakan kekasihnya. Sampai-sampai apabila ada anggota tubuh sang kekasih yang sakit, maka sang pencinta juga merasakan sakit itu. Ini menunjukkan cinta yang jujur dan sayang yang murni.
Pengertian pertama menunjukkan bahwa Rasulullah saw. sangat memahami nyeri yang dirasakan Aisyah, sehingga dia tidak perlu mengeluh dan hendaklah dia bersabar. Karena Rasulullah saw. juga mengalami nyeri yang sama. Hendaklah Aisyah ra. bersabar dan jangan mengeluh.
Pengertian kedua menunjukkan bahwa Rasulullah saw. memberi tahu kejujuran cinta beliau kepada Aisyah ra. Seakan-akan beliau berkata kepada Aisyah, “Lihatlah betapa kuatnya cintaku padamu. Betapa aku ikut merasakan sakitmu di kepalamu itu. Jadi tidaklah engkau sakit sementara aku tidak merasakan sakit itu. Yang menyakitkanmu juga menyakitkanku, sebagaimana yang menyenangkanmu juga menyenangkanku.”
Sebuah syair menuturkan:
Orang pertama yang harus Rau hibur dalam suka
Adalah orang yang menghiburmu dalam duka
Adapun keluhan (syakwa) adalah tindakan menyampaikan sesuatu tanpa tujuan yang benar. Bahkan sumber keluhan itu sebenarnya yakni kemarahan dan keluhan yang disampaikan kepada orang lain. Ketika seseorang mengeluhkan sesuatu kepada seseorang, maka itu belum tentu merupakan keluhan, melainkan berupa tindakan mencari muka atau memohon kasih dari orang tersebut. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Ayyub as.,
“…(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.” (QS. al-Anbiya'[21]: 83)
Dan ucapan Ya’qub as.,
“Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya.” (QS. Yusuf [12]: 86)
Demikian pula ucapan Musa as.,
“Wahai Allah bagi-Mu segala puji, kepada-Mu tempat mengadu, Engkau tempat memohon pertolongan, pada-Mu tempat memohon bantuan, kepada-Mu segala tawakal. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali pada-Mu.”
Demikian pula sabda Rasulullah saw.,
“Wahai Allah, kepada-Mu aku mengadu lemahnya kekuatanku, sedikitnya upayaku, dan kehinaanku di depan orang banyak. Engkau Rabb orang-orang lemah. Engkau Rabb-ku. Kepada siapakah Engkau sandarkan aku? Kepada yang jauh yang masam padaku, ataukah kepada musuh yang Engkau serahkan urusanku padanya? Asalkan engkau tidak marah padaku, maka aku tidak peduli (wang selain itu). Karena afiat-Mu begitu lapang bagiku. Aku berlindung dengan cahaya wajah-Mu yang Engkau sinari kegelapan, dan Engkau perbaiki semua urusan dunia akhirat, dari halalnya marah-Mu padaku, atau turun padaku murka-Mu. Bagi-Mu utba sampai Engkau ridha. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali hanya pada-Mu.
Tindakan mengadu kepada Allah swt. sama sekali tidak menafikan kesabaran. Allah swt. telah berfirman mengenai Ayyub as., “Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya).” (QS. Shad (38): 44).
Padahal Allah swt. juga mengabarkan bahwa Ayyub as. mengadu kepada-Nya dalam ucapannya, “Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit.”’ (QS. al-Anbiya [21]: 83).
Allah swt. juga mengabarkan bahwa nabi-Nya Ya’qub as. berjanji untuk bersabar sebaik-baiknya—jika seorang nabi berkata pasti dia tepati—pada firman-Nya, “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya.” (QS. Yusuf [12]: 86), ternyata Allah tidak menjadikan ucapan Ya’qub as. itu tidak menjadi kekurangan pada sabarnya.
Dalam hal ini tidaklah perlu kita ambil peduli kepada orang-orang tertentu yang berpendapat berbeda; seperti yang dikatakan oleh sebagian dari mereka bahwa ketika Ayyub as. berkata, “Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit,” lalu Allah swt. berfirman “Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar (shabiran)”; dan Allah swt. tidak menyebut “shabaran” (sangat penyabar).
Sebagian dari mereka juga menyatakan bahwa Ayyub as. tidak mengucapkan “Sayangilah aku!’’, melainkan menyatakan, “dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.”’ Dia tidak menambah penggambaran tentang keadaannya dan penjelasan Tuhannya.
Sebagian dari mereka menyatakan bahwa Ayyub as. mengadukan sakitnya ketika lisannya sudah tidak sanggup lagi berzikir, sehingga sebenarnya yang di adukan adalah sakit yang membuatnya sulit berzikir, bukan sakit yang terasa nyeri olehnya.
Sebagian dari mereka menyatakan bahwa Ayyub as. sebenarnya sengaja dibuat mengucapkan kalimat itu untuk menjadi teladan bagi orang-orang lemah dari kalangan umat ini.
Tampaknya, orang-orang yang berpendapat seperti tersebut di atas itu mengira bahwa tindakan mengadu kepada Allah swt. akan menafikan kesabaran, sehingga mereka pun keliru, sebab yang akan menafikan kesabaran adalah “mengadukan Allah” (syakwahu), bukan “mengadu kepada Allah” (syakwa ilaihi). Allah sengaja menguji hamba-Nya agar Dia mendengar pengaduan si hamba serta doanya memohon kepada-Nya, bukan karena Dia gemar menindas hamba-Nya. Allah sangat menyukai remuknya hati hamba-Nya di hadapan-Nya, merunduknya hamba-Nya kepada-Nya, dan ketika hamba-Nya menunjukkan kelemahan, kesulitan, kepasrahan, dan kesabarannya yang tinggal sedikit. Jadi, berhati-hatilah Anda jangan sampai menunjukkan sikap membangkang terhadap Allah. Hendaklah Anda menundukkan dan menenangkan hati seraya menunjukkan kepasrahan, kesulitan, kehinaan, dan kelemahan. Karena rahmat Allah lebih dekat ke hati Anda daripada jarak antara tangan dan mulut Anda!
PASAL
Berikut ini merupakan bab khusus yang menjelaskan beberapa perbedaan antara berbagai hal. Semoga saja takdir menolong penulis untuk dapat mengemas secara khusus bagian ini dalam satu kitab tebal tersendiri. Kami hanya akan menyampaikan yang mendasar saja pada bagian ini, karena orang yang cerdas sudah cukup dengan sebagian penjelasan saja.
Seluruh isi agama kita merupakan pembeda, sebagaimana Kitabullah disebut al-Furqan (Pembeda), “Dan Muhammad saw. adalah pembeda di antara umat manusia.”
Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, tentu Dia akan menciptakan furqan (pembeda) baginya, “Hai orang-orang yang beriman, jika kalian bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepada kalian furqan dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahan kalian dan mengampuni (dosa-dosa) kalian. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. al-Anfal [8]: 29)
Bahkan Allah menyebut Perang Badar dengan “yaum al-furqan” (Hari Pembeda), karena perang itulah yang membedakan antara para waliullah dan musuh-musuh Allah. Bahkan semua jenis hidayah adalah “pembeda” (Furqan).
Sementara itu, pengertian asal dari kesesatan (dhalala) adalah “penggabungan” (jaim’), seperti tindakan kaum musyrikin yang menggabungkan ibadah kepada Allah dengan penyembahan patung-patung; cinta kepada Allah dengan cinta kepada berhala; antara berbagai hal yang Allah sukai dan ridhai dengan berbagai hal yang Dia takdirkan dan tetapkan. Merekalah orang-orang yang menggabungkan segala sesuatu menjadi satu, lalu mengambil dalih dengan ketetapan dan takdir-Nya atas cinta dan ridha-Nya.
Mereka juga menggabungkan antara riba dengan jual-beli. Mereka menyatakan, “Sesungguhnya jual-beli seperti riba,” (QS. al-Baqarah [2]: 275). Mereka menggabungkan antara hewan halal sembelihan dengan bangkai dengan menyatakan, “Bagaimana mungkin kami menyantap hewan yang kami bunuh, sementara kami tidak menyantap hewan yang Allah bunuh?”
Para pelanggar syariat menggabungkan antara halal dan haram, lalu berkata, “Perempuan ini ciptaan Allah. Perempuan ini juga ciptaan Allah. Binatang ini ciptaan Allah. Binatang ini juga ciptaan Allah. Jadi bagaimana mungkin yang ini halal sementara yang ini haram?” Mereka menggabungkan antara para wali Allah dan para wali setan!
Lalu muncul pula kelompok Ittihadiyyah yang mengalirkan air lembah ke saluran di tengah taman. Mereka menyatukan segala sesuatu pada zat tunggal, lalu menyatakan bahwa zat itulah adalah “Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia”. Penulis Fushush menyatakan, “Ketahuilah bahwa ini perkara qur’an (bacaan) bukan furqan (pembedaan).”
Segala sesuatu satu adanya
Tak ada pujian dan tiada cela
Adalah yang mengkhususkan
Tabiat dan syari’ menjadi hukum
Maksudnya, para pemilik mata batin adalah para pemegang furqan. Manusia yang paling hebat dalam membedakan antara berbagai hal yang bermiripan adalah manusia paling hebat mata batinnya. Kemiripan selalu terjadi pada ucapan, perbuatan, keadaan, harta, dan manusia. Kebanyakan ahli ilmu diberi hal-hal yang bermiripan itu. Tetapi Furqan tidak dapat digapai kecuali hanya dengan cahaya yang Allah lesakkan ke dalam hati siapa pun di antara hamba-Nya yang Dia kehendaki, Hamba yang mampu melihat hakikat segala urusan dalam cahaya-Nya, sehingga mampu memisahkan antara segala yang hak dari segala yang batil, antara yang sahih dari yang keliru;
“Barang siapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun.” (QS. an-Nur [24]: 40).
Jadi, janganlah Anda menganggap saya sedang bertele-tele dengan penjelasan ini, sebab tampaknya bagian ini justru menjadi bagian paling bermanfaat dari semua isi kitab ini. Apalagi kebutuhan akan penjelasan ini amatlah besar, karena Allah akan menganugerahkan kepada Anda dari bab ini ketajaman mata batin yang dengannya Anda akan keluar menuju furgan yang lebih besar, yaitu: perbedaan antara tauhid para rasul dan tauhid orang-orang sesat; perbedaan antara tanzih (penyucian) para rasul dan tanzih orang-orang sesat; perbedaan antara isbat sifat-sifat Allah, ketinggian-Nya, firman-Nya, dan penyampaian firman-Nya yang hakiki, dengan tindakan tasybih dan tamtsi’ (menyerupakan Allah dengan makhluk); perbedaan antara membersihkan (tajrid) tauhid amal berdasarkan kehendak pribadi dan tindakan merendahkan para pemilik martabah yang Allah tempatkan mereka di situ; perbedaan antara tajrid dalam mengikuti Rasulullah yang maksum dengan pengabaian ucapan ulama serta ketidakpedulian padanya; perbedaan antara taklid pada ulama dan bernaung di bawah cahaya ilmu ulama serta pencarian bantuan dengan pemahaman ulama; perbedaan antara para wali Allah dan para wali setan; perbedaan antara hal iman Rahmani dan hal syaithani kufri serta hal nafsani; perbedaan antara hukum yang diturunkan Allah yang wajib diikuti dengan hukum hasil takwil yang boleh diikuti di saat darurat. :
PASAL
Kami akan mengakhiri kitab ini dengan sebuah penjelasan ringkas tentang perbedaan antara hal-hal yang telah disebutkan di atas. Walaupun sebenarnya setiap perbedaan membutuhkan ulasan dalam satu kitab tebal tersendiri.
Perbedaan antara tauhid para rasul dan tauhid orang-orang sesat yaitu, bahwa tauhid para rasul merupakan bentuk penetapan (itsbat) sifat-sifat sempurna milik Allah, ibadah menyembah-Nya tanpa ada sekutu bagi-Nya, meniadakan tandingan apa pun bagi Allah baik dalam tujuan maupun dalam cinta, baik dapat takut (khauf) maupun dalam pengharapan (rajd’), baik dalam ucapan maupun dalam sumpah dan nazar. Alih-alih (menyekutukan-Nya), si hamba justru mengenyahkan semua tandingan Allah dari hatinya, tujuannya, lisannya, dan ibadahnya; sebagaimana semua tandingan Allah itu juga musnah dalam jiwanya tanpa ada wujudnya sedikit pun. Sama sekali tidak boleh ada wujud bagi tandingan-tandingan Allah itu di dalam hatinya ataupun di dalam lisannya.
Adapun tauhid orang-orang sesat adalah tindakan menafikan hakikat asma dan sifat-sifat Allah. Siapa pun dari mereka yang mampu mengabaikan asma dan sifat itu dari lisannya, maka dia akan mengabaikan asma dan sifat itu tanpa pernah menyebutnya, tanpa menyebutkan satu ayat pun yang berisi asma dan sifat-sifat itu, tanpa menyebutkan satu hadis pun yang menyatakan itu.
Sementara ketika penyebutan asma dan sifat itu tidak mungkin diabaikan, maka mereka menyimpangkannya, menafikan hakikatnya, menjadikan asma dan sifat-sifat itu sebagai kata-kata kosong tak bermakna, atau maknanya dianggap bagian dari teka-teki yang perlu dijelaskan lagi.
Siapa pun dari mereka yang mengusir penghilangannya, dia pasti mengetahui bahwa harus baginya pada penyimpangan yang dilakukannya terhadap pengertian nas sebenarnya sama dengan tindakan lari dari nas. Ketika harus dilakukan tamtsil, tasybih, atau hudits dalam hakikat, maka harus pula itu terjadi pada pengertian yang dibawa oleh nas. Apabila itu tidak harus pada semua ini, tentu itu lebih layak untuk tidak harus pada hakikat.
Ketika dia mengetahui hal ini, maka dia tidak mungkin melakukan apa-apa kecuali hanya dengan mengabaikan keseluruhannya; maka ini menjadi bentuk pengusiran terhadap landasan pengabaian. Sementara pembedaan lebih dekat darinya, tetapi dia memang orang yang mempertentangkan tetapi berhukum dengan kebatilan, di mana dia menetapkan bagi Allah beberapa hal yang telah Allah tetapkan bagi Diri-Nya, lalu dia menafikan dari Allah beberapa hal yang lain. Keharusan yang batil pada keduanya merupakan satu, dan keharusan yang benar tidak memisahkan antara keduanya.
Maksudnya, mereka menyebut tindakan pengabaian itu sebagai tauhid. Padahal sebenarnya itu adalah kekufuran terhadap asma dan sifat-sifat Allah dan pengabaian terhadap hakikatnya.
PASAL
Perbedaan antara tanzih para rasul dan tanzih orang-orang sesat yaitu, bahwa para rasul melakukan tanzih terhadap Allah swt. dari segala bentuk kekurangan dan aib yang Allah sendiri telah melakukan tanzih pada Diri-Nya dari semua kekurangan itu. Karena segala kekurangan dan aib itu meniadakan kesempurnaan-Nya dan kesempurnaan rububiyah keagungan-Nya. Contohnya, yaitu kantuk, tidur, lali, mati, lesu, zalim, keinginan-Nya, penamaan-Nya, sekutu, istri, tandingan, anak, pemberi syafaat tanpa izin-Nya, tindakan mengabaikan hamba-hamba-nya sia-sia, kesia-siaan makhluk-Nya, tindakan menciptakan langit dan bumi secara batil, tidak memberi pahala, tidak memberi hukuman, tidak memberi perintah, tidak memberi larangan, tindakan menyamakan para wali-Nya dengan para musuh-Nya, menyamakan orang baji dengan orang durjana, menyamakan antara orang kafir dengan orang mukmin, adanya sesuatu dalam kerajaan-Nya yang tidak Dia kehendaki, Dia membutuhkan yang selain Dia dengan cara apa pun juga, ada sesuatu perintah yang bersumber dari yang selain Dia, Dia terpapar oleh kealpaan, lalai, lupa, Dia melanggar janji-Nya, dia menukar kalimat-Nya, dikaitkan keburukan pada-Nya pada asma, sifat, atau tindakan.
Alih-alih (memiliki kekurangan atau aib seperti tersebut di atas), semua asma Allah baik. Segenap sifat-Nya adalah sempurna. Seluruh tindakan-Nya adalah baik, bijaksana, dan menjadi maslahat. Inilah tanzih para rasul pada Rabb mereka.
Adapun tanzih yang dilakukan orang-orang sesat, yaitu dengan melakukan tanzih terhadap Allah dari sifat-sifat kesempurnaan yang Dia sifati Diri-Nya dengan sifat-sifat itu. Mereka mentanzihkan Allah dari kemampuan-Nya berbicara atau mengajak bicara makhluk-Nya, mentanzihkan Allah dari bersemayam-Nya Dia di atas Arsy, diangkatnya tangan kepada-Nya, dinaikkan kepada-Nya kalimat baik, turunnya sesuatu dari hadirat-Nya, naiknya para malaikat dan ruh kepada-Nya, serta keberadaan-Nya di atas semua hamba-Nya dan semua makhluk-Nya.
Mereka juga mentanzihkan Allah bahwa Dia memiliki Wajah, bahwa orang-orang mukmin kelak akan dapat melihat-Nya dengan penglihatan mereka di surga, bahwa mereka dapat berbicara dengan-Nya dan Dia mengucapkan salam kepada mereka, bahwa Allah bertajali kepada mereka sembari tertawa, bahwa Dia turun di setiap malam ke langit dunia lalu Dia bertanya, “Siapakah yang memohon ampunan kepada-Ku agar Kuampuni dia? Siapakah yang memohon kepada-Ku agar Kuberi dia?” Menurut mereka Allah sama sekali tidak dapat turun dan tidak dapat berbicara.
Mereka mentanzihkan Allah, bahwa Dia dapat melakukan sesuatu untuk sesuatu. Bahkan mereka menyatakan bahwa semua tindakan Allah terjadi tanpa hikmah, tanpa tujuan, dan tanpa maksud apa-apa. Mereka mentanzihkan Allah bahwa, Dia memiliki kehendak sempurna. Allah mereka nyatakan tidak mampu melaksanakan kehendak-Nya, bahkan memungkinkan bagi hamba untuk menghendaki sesuatu yang menentang kehendak-Nya lalu yang terjadi adalah kehendak si hamba dan kehendak-Nya tidak terwujud!
Allah dinyatakan tidak menghendaki sesuatu lalu ternyata yang tidak Dia kehendaki itu dapat terjadi, sementara ketika Dia menghendaki sesuatu, maka sesuatu itu tidak terjadi. Mereka menyebut semua itu sebagai keadilan, sebagaimana mereka menyebut “tanzih” yang mereka lakukan itu sebagai “tauhid”. Mereka juga mentanzihkan Allah untuk dicintai atau mencintai. Mereka mentanzihkan Allah dari sifat penyantun, kasih, murka, dan ridha. Sementara sebagian dari mereka mentazihkan Allah dari sifat Maha Mendengar dan Maha Melihat. Sementara sebagian yang lain lagi mentanzihkan Allah dari sifat Maha Mengetahui.
Bahkan sebagian dari mereka mentanzihkan Allah dari sifat Wujud, dengan menyatakan, “Orang-orang yang melakukan tanzih dengan melakukan tasybih dan tamtsil mengharuskan munculnya sifat Wujud. Itulah sebabnya kami harus mentanzihkan Allah dari sifat Wujud.” Itulah tanzih orang-orang sesat, sedangkan tanzih yang dijelaskan sebelumnya adalah tanzih para rasul.
PASAL
Perbedaan antara penetapan (itsbat) hakikat asma dan sifat-sifat Allah dengan tasybih dan tamtsil sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Ahmad dan para imam lain yang berjalan dalam hidayah:
“Yang dimaksud dengan tasybih dan tamtsil adalah ketika engkau mengatakan bahwa tangan Allah sama seperti tanganku, pendengaran Allah sama seperti pendengaranku, penglihatan Allah sama seperti penglihatanku, dan seterusnya. Sementara jika engkau mengatakan “pendengaran”, “penglihatan”, “tangan”, “wajah”, “bersemayam” tanpa Allah itu serupa dengan sesuatu apa pun yang seperti itu dari sifat-sifat makhluk-Nya, bahkan amatlah berbeda antara sifat ini (sifat Allah) dengan sifat itu (sifat makhluk) seperti perbedaan antara sesuatu yang disifati (milik Allah) dengan sesuatu yang disifati (milik makhluk), maka tamtsil atau tasybih macam apakah itu?! Kalau bukan hanya sebagai manipulasi yang dilakukan orang-orang sesat!”
Jadi, titik pusat kebenaran yang disepakati oleh semua rasul atas sifat yang boleh disematkan terhadap Allah sebagaimana sifat yang Dia menyifati Diri-Nya dengan sifat-sifat itu, atau yang Rasul-Nya menyifati Diri-Nya dengan sifat-sifat itu. Tanpa terjadi penyimpangan dan tanpa terjadi pengabaian. Tanpa mengandung tasybih dan tanpa mengandung tamtsil. Maksudnya, penetapan (itsbat) sifat-sifat Allah dan meniadakan (nafy) keserupaan-Nya dengan makhluk-Nya.
Barang siapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, tentulah orang itu sudah kafir. Barang siapa yang menentang hakikat semua sifat yang Allah menyifati Diri-Nya dengan sifat-sifat itu, pasti orang itu sudah kafir. Barang siapa yang menetapkan bagi Allah berbagai hakikat asma dan sifat-sifat-Nya sembari dia juga menafikan dari-Nya keserupaan-Nya dengan makhluk-Nya, pasti orang itu telah diberi hidayah ke arah jalan yang lurus.
PASAL
Perbedaan antara membersihkan (tajrid) tauhid dan tindakan merendahkan para pemilik martabah adalah bahwa membersihkan tauhid merupakan tidak diberikannya hak Allah sedikit pun kepada makhluk. Tidak boleh ada makhluk yang menjadi objek ibadah, menjadi objek shalat, menjadi objek sujud, atau menjadi objek sumpah atas namanya.
Tidak boleh pula ada makhluk yang disampaikan peringatan demi dia, menjadi tempat bertawakal, dipertuhankan, menjadi objek sumpah atas Allah, atau disembah dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah.
Tidak boleh ada makhluk yang disamakan dengan Allah dalam ucapan, misalnya, “Terserah kehendak Allah dan kehendakmu!”, “Ini darimu dan dari Allah!”, “Aku demi Allah dan demi engkau!”, “Aku bertawakal kepada Allah dan bertawakal kepadamu!”, “Allah milikku di langit, dan engkau milikku di bumi!”, “Ini sedekahmu dan sedekah Allah!”, “Aku bertobat kepada Allah dan bertobat kepadamu!”, atau “Aku dalam kuasa Allah dan dalam kuasamu!”.
Tidak boleh pula ada hamba yang bersujud kepada makhluk seperti bersujudnya orang-orang musyrik kepada para tetua mereka. Tidak boleh pula ada makhluk yang seseorang menggunduli kepalanya demi makhluk itu; atau bersumpah atas nama makhluk itu; atau dilakukan peringatan demi makhluk itu, atau disembah kuburannya setelah kematiannya, atau dimintai pertolongannya dalam hajat dan keperluan; atau dikejar keridhaannya walaupun itu dimurkai Allah, atau ditakuti murkanya walaupun itu diridhai Allah, atau makhluk itu didekati dengan cara takarub yang setara dengan takarub kepada Allah, atau makhluk itu dicintai, ditakuti, diharapkan, lebih dari cinta, takut, dan harapan kepada Allah; atau sebanding dengan cinta, takut, dan harapan kepada Allah swt.
Ketika ada makhluk yang diperlakukan secara keliru dengan memberinya berbagai keistimewaan Allah, sementara Allah justru diturunkan ke kedudukan hamba yang tidak memiliki dirinya—apalagi diri orang lain—untuk memberi bahaya, manfaat, kematian, kehidupan, atau kebangkitan; maka semua itu sama sekali tidak mengurangi kuasa-Nya dan tidak akan menurunkan martabah-Nya, walaupun orang-orang musyrik mengira itu yang terjadi.
Dalam hadis sahih dinyatakan sebuah sabda Rasulullah saw., “Janganlah kalian memujaku seperti orang-orang Nasrani memuja Isa
Ibnu Maryam. Sesungguhnya aku adalah hamba Allah, jadi katakanlah ‘Hamba Allah dan rasul-Nya.’
Rasulullah saw. bersabda, “Wahai manusia, aku tidak suka kalian angkat aku melebihi kedudukanku!”
Rasulullah saw. bersabda “Janganlah kalian jadikan kuburanku sebagai perayaan!”
Rasulullah saw. bersabda,
“Wahai Allah, janganlah Engkau jadikan kuburanku sebagai berhala yang disembah. ”
Rasulullah saw. bersabda,
“Janganlah kalian berkata, “Terserah kehendak Allah dan kehendak Muhammad!’
Suatu ketika seseorang berkata kepada Rasulullah saw., “Terserah kehendak Allah dan kehendakmu!” Rasulullah pun menukas, “Apakah engkau jadikan aku sebagai tandingan Allah?”
Suatu ketika seorang pendosa berkata kepada Rasulullah saw., “Wahai Allah, sesungguhnya aku bertobat kepada-Mu dan tidak bertobat kepada Muhammad.” Rasulullah pun bersabda, “Orang itu sudah mengetahui hak bagi Pemiliknya.”
Allah swt. berfirman kepada Rasulullah saw.,
“Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu” (QS. Ali Imran [3]: 128).
Allah swt. berfirman kepada Rasulullah saw.,
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah’” (QS. Ali Imran [3]: 154)
Allah swt. berfirman kepada Rasulullah saw.,
“Katakanlah, ‘Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudharatan dan tidak (pula) kemanfaatan kepada diriku, melainkan apa yang dikehendaki Allah’” (QS. Yunus [10]: 49).
Allah swt. berfirman kepada Rasulullah saw., “Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatan pun kepada kalian dan tidak (pula) sesuatu kemanfaatan.’ Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku sekali-kali tiada seorang pun yang dapat melindungiku dari (azab) Allah dan sekali-kali tiada akan memperoleh tempat berlindung selain daripada-Nya.’” (QS. al-Jinn [72]: 21-22)
Rasulullah saw. juga pernah bersabda kepada putrinya Fathimah ra., pamannya Abbas bin Abdul Muththalib ra., dan bibinya Safiyah ra., “Aku tidak ikut campur sedikit pun pada urusan kalian dengan Allah.”
Tentu saja hal seperti ini terasa berat bagi orang-orang musyrik dengan segala tetua dan tuhan-tuhan mereka. Mereka menyangkal semua itu dan mendakwakan hal yang bertentangan dari semua itu bagi para tetua dan sesembahan-sesembahan mereka serta merongrongnya. Mereka meyakini bahwa siapa pun yang merampas itu dari mereka, maka orang itu telah merendahkan mereka dan martabat mereka. Padahal mereka telah merendahkan sisi ilahiyah dengan serendah-rendahnya serta merongrongnya.
Sungguh merekalah orang-orang yang disebutkan dalam firman Allah swt., “Dan apabila hanya nama Allah saja yang disebut, kesallah hati orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat; dan apabila nama sembahan-sembahan selain Allah yang disebut, tiba-tiba mereka bergirang hati.” (QS. az-Zumar [39]: 45)
PASAL
Perbedaan antara tajrid dalam mengikuti Rasulullah yang maksum dengan pengabaian ucapan ulama serta ketidakpedulian padanya adalah bahwa tajrid dalam mengikuti Rasulullah dilakukan dengan tidak mengutamakan apa pun atas semua yang disampaikan oleh beliau, baik itu berupa ucapan seseorang maupun pendapat seseorang siapa pun orang itu. Apabila Anda sudah memahami hal ini, tentu anda pasti tidak akan menyimpang walaupun anda ditentang oleh semua orang yang ada di antara timur dan barat.
Ma’adzallah! Kita berlindung kepada Allah dari satu umat yang bersepakat untuk menyimpang dari apa yang disampaikan oleh nabi mereka. Alih-alih menyimpang, justru haruslah pada umat tersebut ada orang yang berkata-kata dengan apa yang disampaikan oleh nabi mereka, walaupun anda tidak mengenal orang itu. Jangan jadikan ketidaktahuan anda pada orang yang menyampaikan ajaran Rasul itu sebagai hujah untuk membantah Allah dan Rasul-Nya. Pergilah kepada nas dan janganlah anda lemah! Ketahuilah bahwa beliau telah menyampaikan sesuatu yang pasti, hanya saja itu tidak sampai kepada Anda. Semua itu dilakukan dengan penjagaan yang baik terhadap martabat para ulama, pengayoman mereka, keyakinan akan kehormatan mereka, keamanahan mereka, dan kesungguhan mereka dalam menjaga agama.
Mereka merupakan orang-orang yang beredar di antara satu pahala, dua pahala, dan ampunan. Akan tetapi, tidaklah semua itu mengharuskan pengabaian nas dan dikedepankannya pernyataan seorang dari mereka atas nas dengan adanya syubhat bahwa dia lebih tahu tentang nas dibandingkan Anda. Kalau seperti itu, kemudian siapakah yang memilih nas yang lebih tahu tentangnya dibandingkan Anda, lalu barulah Anda bersepakat dengannya apabila dia benar!
Barang siapa yang menolak pernyataan para ulama demi menerima nas, membandingkan pernyataan para ulama dengan nas, menentang pendapat ulama yang bertentangan dengan nas; tentu sebenarnya orang itu sama tidak sedang mengabaikan pendapat para ulama dan tidak sedang merendahkan mereka. Alih-alih dia justru seedang mengikuti para ulama, karena mereka semualah yang memerintahkan sikap seperti itu. Mengikuti para ulama yang sebenarnya adalah dengan melaksanakan apa yang mereka wasiatkan, bukan orang yang menentang mereka. Bertentangan dengan para ulama pada suatu pernyataan yang ternyata nas menyatakan yang bertentangan dengannya adalah lebih mudah daripada bertentangan dengan para ulama dalam kaidah umum yang mereka perintahkan dan mereka serukan semua orang kepadanya, yaitu kaidah bahwa nas harus didahulukan daripada pernyataan mereka.
Dari sini, maka jelaskan perbedaan antara taklid kepada ulama pada setiap pernyataannya, dengan mengambil bantuan dari pemahaman ulama serta mengambil cahaya dari sinar ilmu ulama.
Yang pertama (taklid) merupakan tindakan mengambil pernyataan ulama tanpa menelitinya dan tanpa meminta dalilnya dari Kitab dan sunah. tetapi justru menjadikan itu seperti tali yang dikalungkannya di lehernya untuk dijadikan pengikat baginya. Itulah sebabnya sikap seperti ini disebut taglid (pengalungan. tali).
Ini berbeda dengan orang yang memetik bantuan dari pemahaman ulama dan meraih cahaya dari sinar ilmu ulama demi mencapai Rasulullah saw. Orang yang melakukan ini akan menempatkan para ulama pada posisi sebagai dalil penuntun yang membimbing menuju Dalil Pertama (ad-dalil al-awwal). Ketika dia sudah sampai kepada Dalil Pertama itu, maka dia tidak memerlukan lagi petunjuk dari yang selain Dalil Pertama itu. Sesiapa yang menggunakan bintang sebagai petunjuk arah kiblat, tentu tidak membutuhkan bintang lagi setelah dia melihat kiblat itu secara langsung!
Imam Syafi’i menyatakan, “Semua manusia telah berijmak bahwa siapa pun yang telah jelas suatu sunah Rasulullah saw. baginya, maka dia tidak boleh meninggalkan sunah itu demi mengikuti pernyataan siapa pun juga!”
PASAL
Perbedaan antara para wali Allah dengan para wali setan adalah bahwa para wali Allah tidak ada ketakutan pada diri mereka dan tidaklah mereka bersedih. Mereka adalah orang-orang yang beriman dan mereka adalah orang-orang yang bertakwa. Merekalah orang-orang yang disebutkan pada awal Surah al-Baqarah, “Kitab ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Kitab (al-Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. al-Baqarah [2]: 2-5).
Merekalah orang-orang yang disebutkan di tengah Surah al-Baqarah dalam firman-Nya, “Bukanlah menghadapkan wajah kalian ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Baqarah [2]: 177).
Merekalah orang-orang yang disebutkan di awal Surah al-Anfal dalam firman-Nya, “Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah: “Harta rampasan perang itu kepunyaan Allah dan Rasul, sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman”, Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.” (QS. al-Anfal [8]: 1-4).
Merekalah orang-orang yang disebutkan di awal Surah al-Mu’minun dalam firman-Nya, “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari yang di balik itu, pasti mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya, dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.” (QS. al-Mu’minun [23]: 1-11).
Merekalah orang-orang yang disebutkan di akhir Surah al-Furqan.
Merekalah orang-orang yang disebutkan dalam ayat, “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. al-Ahzab [33]: 35).
Merekalah orang-orang yang disebutkan dalam ayat, “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (QS. Yunus [10]: 62-63).
Merekalah orang-orang yang disebutkan dalam ayat,
“Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, tentu mereka merupakan orang-orang yang mendapat kemenangan.” (QS. an-Nur [24]: 52).
Merekalah orang-orang yang disebutkan dalam ayat, “Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya, dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta), dan orang-orang yang mempercayai hari pembalasan, dan orang-orang yang takut terhadap azab Tuhannya. Karena sesungguhnya azab Tuhan mereka tidak dapat orang merasa aman (dari kedatangannya). Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari yang dibalik itu, tentu mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. Dan orang-orang yang memberikan kesaksiannya. Dan orang-orang yang memelihara shalatnya. Mereka itu (kekal) di surga lagi dimuliakan.” (QS. al-Ma’arij [70]: 22-35).
Merekalah orang-orang yang disebutkan dalam ayat, “Mereka itu adalah orang-orang yang bertobat, yang beribadat, yang memuji (Allah), yang melawat, yang rukuk, yang sujud, yang menyuruh berbuat makruf dan mencegah berbuat mungkar, dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu.” (QS. at-Taubah [9]: 112)
Jadi, para waliullah adalah orang-orang yang ikhlas kepada Rabb mereka, tunduk kepada hukum Rasul-Nya dalam sempit dan lapang, menentang semua yang lain demi sunah beliau, tidak pernah bertentangan dengan sunah beliau demi membela yang lain, tidak melakukan bidah, tidak menyeru ke arah bidah, tidak bergabung dengan kelompok pembela sesuatu selain Allah, Rasulullah, dan para sahabat beliau; tidak menjadikan agama sebagai senda gurau dan main-main, tidak suka lebih mendengarkan setan daripada mendengarkan al-Quran, tidak pernah mengutamakan pertemanan dengan yang busuk (antdn) daripada keridhaan Rahman, dan tidak pernah lebih memilih nyanyian daripada as-Sab’ al-Matsani.
Para wali Rahman sama sekali tidak serupa dengan para wali setan, kecuali hanya bagi orang yang kehilangan pandangan batin dan iman. Lagi pula bagaimana mungkin orang-orang yang menentang Kitabullah dan tuntunan hidayah serta sunah Rasulullah, yang menyimpang dari semua itu untuk mengikuti yang selain itu, dapat menjadi wali bagi Allah? Sementara mereka telah menyatakan pembangkangan terhadap Allah serta menyimpang dari tuntunan dan jalan Nabi-Nya!
Allah berfirman, “Mereka bukanlah orang-orang yang berhak menguasainya (awliya’ah) Orang-orang yang berhak menguasai (awliyauh), hanyalah orang-orang yang bertakwa, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. al-Anfal [8]: 34)
Para wali Rahman adalah orang-orang yang senantiasa mengenakan pakaian yang disukai oleh Wali mereka (yaitu Allah swt.), menyeru kepada-Nya, memerangi siapa pun yang menyimpang dari-Nya. Para wali setan adalah orang-orang yang senantiasa mengenakan pakaian yang disukai oleh wali mereka (yaitu setan) dalam ucapan dan perbuatan, menyeru kepada setan, dan memerangi orang-orang yang menghalangi umat manusia dari gangguan setan.
Apabila Anda melihat seseorang yang gemar mendengar setan, penyeru setang, dan saudara bagi setan, serta menyeru kepada hal-hal yang disukai setan dalam bentuk syirik, bidah, dan kejahatan; tentu Anda tahu bahwa orang itu adalah wali setan. Apabila orang yang bersangkutan itu tidak terlalu jelas bagi anda, telisiklah darinya lebih dalam pada tiga perkara: 1) Shalatnya, 2) Kecintaannya pada sunah dan pengikut sunah serta kedekatannya dengan mereka; dan 3) Dakwah yang dilakukannya untuk menyeru kepada Allah, Rasulullah, tajrid tauhid serta mengikuti sunah dan penetapannya sebagai hukum.
Timbanglah orang itu hanya dengan menggunakan tiga tolok ukur itu. Janganlah Anda ukur dia dengan hal, kasyf, atau kemampuan ajaib yang dimilikinya; hatta seandainya orang itu dapat berjalan di atas air atau terbang di angkasa!
PASAL
Dari sini maka dapat diketahui perbedaan antara hal imani dan hal syaithani, Hal imani merupakan buah dari keteguhan mengikuti Rasulullah saw., ikhlas dalam beramal, dan tajrid tauhid. Buah dari hal imani ini yaitu lahirnya manfaat bagi orang-orang muslim pada agama dan dunia mereka. Hal imani hanya benar apabila diiringi dengan keistiqomahan dalam sunah dan keteguhan menjaga perintah dan larangan Allah swt.
Sementara itu, hal syaithani muncul dari syirik atau kedurhakaan. Hal syaithani hanya muncul dari kedekatan kepada setan dan terjalinnya hubungan dengan setan berikut segala keserupaan dengan mereka. Hal seperti ini hanya dimiliki para penyembah berhala, salib, api, dan setan. Ketika orang yang memiliki hal syaithani ini menyembah setan, maka setan pun memberinya suatu hdl yang dapat menjebak orang-orang yang lemah akal dan imannya.
La ilaha illallah! Betapa banyak orang yang binasa oleh para wali setan ini,
“…Untuk membinasakan mereka dan untuk mengaburkan bagi mereka agamanya. Dan kalau Allah menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya….” (QS. al-An’am [6]: 137)
Jadi, bentuk hal seperti apa pun yang pemiliknya keluar dari hukum Kitabullah dan ajaran Rasulullah, maka itu pasti—seperti apa pun bentuknya—merupakan hal yang berasal dari setan!
Saya telah mendengar banyak hal yang konon dimiliki oleh para penyihir, penyembah api, penyembah salib, dan beberapa orang yang secara lahiriah menampilkan diri sebagai muslim walaupun batinnya kafir; mereka memiliki hal seperti itu yang sepadan dengan ketundukan mereka kepada setan dan permusuhan mereka terhadap Allah swt..
Terkadang ada seseorang yang jujur, tetapi karena ketidaktahuannya, dia pun teperdaya sehingga dia memiliki suatu hal tertentu yang ternyata berasal dari setan; sementara dia adalah orang yang zuhud, ahli ibadah, dan ikhlas. Tetapi perkara ini tidak jelas baginya disebabkan sedikitnya ilmu yang dimilikinya tentang setan dan malaikat serta ketidaktahuannya mengenai hakikat iman.
Orang-orang seperti itu dan orang-orang yang tidak termasuk bagian dari mereka telah banyak diceritakan. Bahkan penampilannya serupa dengan orang yang pandai menipu atau mampu melakukan berbagai hal ajaib. Masyarakat pun terperosok dalam petaka karena tidak mampu membedakan antara mereka (para pemilik hal imani) dan mereka (para pemilik hal syaithani). Mereka menyangka bahwa setiap yang berwarna hitam pasti buah kurma, dan semua yang berwarna putih pasti lemak.
Jelaslah bahwa furqan merupakan sesuatu yang paling mulia di tengah alam semesta; ia adalah cahaya yang Allah masukkan ke dalam hati, yang kemudian dengannya seorang hamba dapat membedakan antara yang hak dengan yang batil, serta menimbang hakikat berbagai perkara, yang baik dan yang buruk, yang saleh dan yang merusak. Siapapun yang tidak memiliki furqan pasti akan terperosok dalam jebakan setan. Wallahul musta’an wa ‘alaihi-t-tiklan.
PASAL
Perbedaan antara hukum yang diturunkan Allah yang wajib diikuti, dengan hukum hasil takwil yang boleh diikuti adalah bahwa hukum yang Allah turunkan (al-hukm al-munazzal) adalah semua hukum yang Allah swt. turunkan kepada Rasulullah saw. sebagai ketetapan hukum di tengah hamba-hamba-Nya. Inilah hukum Allah yang tidak ada hukum bagi-Nya yang selain itu.
Adapun hukum hasil takwil (al-hukm al-muawwal) adalah semua pernyataan atau pendapat para mujtahid yang berbeda-beda sehingga tidak wajib diikuti, dan hukum itu juga tidak dapat menyebabkan kafir atau fasiknya orang yang tidak mengikutinya.
Hukum hasil takwil ini tidak pernah dinyatakan oleh para pembuatnya sebagai hukum Allah dan Rasul-Nya. Alih-alih mereka justru selalu menyatakan bahwa mereka berijtihad menggunakan pendapat mereka. Jadi siapa pun yang mau silakan menerimanya, dan siapa pun yang mau silakan menolaknya. Mereka tidak pernah mengharuskan hasil takwil mereka itu diterima oleh umat.
Imam Abu Hanifah pernah berkata, “Ini pendapatku. Tetapi siapa pun yang datang kepada kami dengan yang lebih baik, kami pasti akan menerimanya.” Kalau memang hasil-hasil ijtihadnya yaitu sepenuhnya hukum Allah, tentu Imam Abu Hanifah tidak membuka perbedaan pendapat antara Abu Yusuf, Muhammad, dan lainnya mengenai hasil ijtihadnya.
Demikian pula halnya dengan Imam Malik yang suatu ketika dimintai saran oleh Khalifah Harun ar-Rasyid untuk menetapkan Kitab al-Muwaththa sebagai undang-undang, namun ternyata Imam Malik melarang sang Khalifah melakukan itu seraya berkata, “Para sahabat Rasulullah saw. telah berpencar ke berbagai negeri, sehingga setiap kaum memiliki ilmu yang berbeda dengan yang dimiliki kaum yang lain.”
Imam Syafi’i juga pernah melarang para sahabatnya bertaklid kepadanya seraya berpesan kepada mereka untuk meninggalkan pendapatnya apabila ada hadis yang bertentangan dengan pendapatnya.
Imam Ahmad pernah menyangkal orang yang mencatat fatwa-fatwanya dengan berkata, “Janganlah engkau bertaklid padaku dan janganlah engkau bertaklid kepada si fulan atau si fulan. Tetapi ambillah dari mana mereka mengambil pendapat.”
Apabila para tokoh besar itu—radhiyallahu ‘anhum—mengetahui bahwa pendapat mereka adalah wahyu yang wajib diikuti, pasti mereka akan mengharamkan siapa pun untuk menyelisihi pendapat mereka. Tetapi ketika mereka mempersilakan para sahabat mereka untuk mengeluarkan fatwa yang menyelisihi pendapat mereka mengenai sesuatu perkara, dan ketika mereka berpendapat tentang sesuatu lalu dia mengeluarkan fatwa yang menyelisihi fatwa pertama itu; sehingga dari situ dapat dilihat bahwa satu masalah tunggal dapat disikapi dengan dua pendapat, tiga pendapat, atau lebih dari itu; maka pendapat dan ijtihad merupakan sesuatu yang memang baik untuk diikuti, sementara pada hukum yang diturunkan oleh Allah, tidaklah halal bagi orang muslim mana pun untuk menyelisihinya ataupun menyimpang darinya.
Ada satu lagi jenis hukum yang disebut “hukum yang diganti” (hukm Mubaddal), yaitu semua hukum yang berdasarkan pada yang tidak diturunkan Allah, hukumnya tidak halal untuk dilaksanakan, tidak boleh diamalkan, tidak boleh diikuti, dan siapa pun yang mengikutinya pasti termasuk orang kafir, fasiq, atau zalim.
Simpulan: Peringatan atas kondisi jiwa tenang (nafs muthma‘innah), jiwa pencela (nafs lawwamah), dan jiwa penyeru keburukan (nafs ammarah), ketiga jenis jiwa tersebut dapat berkolaborasi. Ketiganya dapat saling dibedakan dengan berbagai muatan masing-masing dari ketiganya, perselisihannya, tujuannya, dan niatnya. Pada semua itu terkandung peringatan atas apa yang muncul sesudahnya.
Setiap manusia hanya memiliki satu jiwa (nafs); terkadang ia menjadi jiwa penyeru keburukan (nafs ammarah), terkadang ia menjadi jiwa pencela (nafs lawwamah), dan terkadang ia menjadi jiwa tenang (nafs muthmainnah). Tetapi kebanyakan manusia dikuasai oleh jiwa penyeru keburukan (nafs ammarah). Sementara jiwa tenang (nafs muthma‘innah) adalah jenis jiwa yang paling sedikit berhasil dicapai manusia, dan ia merupakan jiwa yang paling agung di sisi Allah. Jiwa jenis inilah yang dikatakan kepadanya,
“Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. al-Fajr [89]: 28-30)
Allah swt. adalah Dzat yang dimohon dan diharapkan ijabah-Nya. Semoga Dia berkenan menjadikan jiwa-jiwa kita sebagai jiwa yang tenang kepada-Nya, teguh dalam tekadnya pada-Nya, tunduk pada-Nya, terus mendamba apa-apa yang ada di sisi-Nya. Semoga Dia berkenan melindungi kita semua dari kejahatan jiwa kita sendiri dan dari keburukan amal perbuatan kita. Semoga Dia berkenan tidak menjadikan kita termasuk orang yang dilalaikan hatinya dari zikir mengingat-Nya, mengikuti hawa nafsunya, sehingga melampaui batas. Semoga Dia tidak menjadikan kita semua termasuk orang-orang yang “Sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. al-Kahfi [18]: 104)
Sesungguhnya Dia Maha Mendengar segala doa, tumpuan segala harapan. Cukuplah Dia bagi kita semua dan Dialah sebaik-baik penolong.
TAMAT