Syekh Abdur Razzaq, putra Syekh Abdul Qadir al-Jailani menuturkan, ayahnya yang merupakan sang pengukuh para imam, junjungan berbagai golongan, Abu Muhammad Muhyiddin Abdul Qadir al-Jailani al-Hasani al-Husaini ash-Shiddiqi bin Abu Shalih Musa Janaki Dausat bin Imam Abdullah bin Imam Yahya az-Zahid bin Imam Muhammad bin Imam Daud bin Imam Musa bin Imam Abdullah bin Imam Musa al-Jun bin Imam Abdullah al-Mahdh bin Imam Hasan al-Mutsni bin Amirul Mukminin Sayyidina Hasan as-Sabth bin Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah, Sang Imam yang gagah berani, singa Allah yang menang, dan kebanggaan Bani Ghalib—semoga Allah ridha kepada mereka semua—berkata:

 

Segala puji bagi Allah, baik di permulaan maupun di akhir, baik lahir maupun batin, sebanyak jumlah makhlukNya, sepanjang kalimat-kalimat-Nya, seberat singgasanaNya, sebanyak keridhaan diri-Nya, sejumlah bilangan genap dan ganjil, sejumlah semua perkara yang basah dan kering, dalam kitab (Lauh mahfuzh)-Nya, dan sebanyak seluruh ciptaan-Nya. Dia-lah Tuhan yang tiada satu pun serupa dengan-Nya sampai kapan pun, selamanya. Tuhan yang Maha Baik, Maha Memberkati. Dia-lah Tuhan yang mencipta, lalu menyempurnakan (ciptaan-Nya). Dia pulalah yang menentukan takdir (masing-masing ciptaan-Nya) dan memberi petunjuk.

 

Dialah yang mematikan dan menghidupkan, membuat tawa dan tangis, mengangkat dan merendahkan, mengasihi dan menghinakan, memberi makan dan minum, membuat bahagia dan sengsara, menahan dan memberi. Dialah Dzat yang mampu menegakkan tujuh lapis langit berdiri kokoh dengan kalimat-Nya, gunung-gunung kokoh berdiri, dan bumi yang terbentang berputar tenang.

 

Tak satu pun makhluk dibuat putus asa dari rahmat-Nya, tak satu pun selamat dari tipu daya, kemarahan, takdir, tindakan, dan perintah-Nya. Tak seorang pun yang terbebas dari kewajiban untuk menyembah-Nya, dan tidak satu pun makhluk yang tidak merasakan nikmat-Nya. Dia Maha Terpuji dengan segala pemberian-Nya, Maha Disyukuri atas segala (mala petaka) yang disingkirkan-Nya.

 

Semoga shalawat senantiasa terlimpah kepada Nabi Pilihan-Nya. Nabi yang memberikan petunjuk kepada siapa pun yang mengikutinya, dan siapa yang berpaling darinya, pasti tersesat dan terlempar. Dialah Nabi yang jujur dan dapat dipercaya, yang zuhud terhadap dunia, yang senantiasa mencari dan menginginkan berada di sisi Tuhan yang Maha Tinggi, yang terpilih di antara makhluk-makhluk-Nya, terseleksi dari seluruh manusia. Dialah Nabi yang dengan cintanya kebenaran tiba, dengan kehadirannya angkara murka lenyap tak tersisa, dan dengan cahayanya bumi terang bercahaya.

 

Shalawat paling sempurna dan keberkatan paling baik. paling suci, dan paling tinggi semoga tercurah pula kepadanya, juga kepada keluarganya yang baik, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan. Merekalah orang-orang yang paling baik tindak tanduknya kepada Allah, paling lurus ucapannya, dan paling benar jalannya.

 

Sembah-simpuh kita, doa kita, dan tempat kembali kita hanyalah kepada Allah swt. Dialah Dzat yang membentuk, menciptakan, memberi rezeki, memberi makan, memberi minum, memberi manfaat, menjaga, melindungi, dan menghidupkan kita. Dialah yang melindungi dan menjaga kita dari segala hal yang menyakiti dan buruk bagi kita. Semua itu Dia lakukan dengan kasih sayang dan anugerah-Nya, dengan cara menjaga kita secara terus menerus dalam setiap ucapan dan perbuatan, yang rahasia dan yang nyata, yang lahir maupun batin, kesempitan maupun kelapangan, serta nikmat maupun kepedihan dan kesakitan.

 

Allah swt. Maha Melaksanakan segala yang Dia kehendaki, Maha Mengadili sesuai kehendak-Nya, Maha Mengetahui segala yang tersembunyi, Maha Mengetahui segala kondisi dan keadaan, baik itu kemaksiatan, ketaatan maupun ibadah. Dia Maha Mendengar segala suara, Maha Mengabulkan segala doa bagi siapa saja yang Dia kehendaki, tanpa pertentangan dan keraguan sedikit pun.

 

Amma ba’du. Nikmat yang diberikan Allah kepadaku sangatlah banyak lagi terus-menerus, baik pada pertengahan malam, penghujung siang, setiap waktu, setiap lintasan pikiran, maupun pada segala kondisi. Hal ini sebagaimana firman-Nya,

 

“Jika kalian menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kalian tidak akan dapat menentukan jumlahnya.” (QS. an-Nahl [16]: 18)

 

“Nikmat (karunia) apa saja yang ada pada kalian, dari Allah (datangnya).” (QS. an-Nahl [16]: 53)

 

Tanganku, hatiku, dan lisanku tak kuasa menghitung-hitung semua nikmat itu. Segala hitungan tak akan mampu mencapai jumlah nikmat-nikmat itu, akal pikiran tak akan mampu menjangkaunya, hati tak akan mampu membayangkannya, dan lisan tak akan mampu mengungkapkannya. Di antara nikmat-nikmat yang tak dapat diungkapkan oleh lisan, dinyatakan dengan ucapan, ditulis dengan tangan, dan ditafsirkan dengan penjelasan itu adalah kalimat-kalimat yang ditampakkan kepada saya dari penyingkapan-penyingkapan gaib (futuh al-ghaib) yang merasuk ke dalam relung jiwaku. Kalimat-kalimat itu melampaui segala ruang, sari patinya dihasilkan dan ditampakkan oleh shidq al-hal (kondisi spiritual yang mantap). Penampakan ini dikendalikan oleh kelembutan Dzat yang Maha Memberi anugerah dan rahmat Tuhan seluruh manusia di dalam firman-Nya yang Maha Benar, bagi para pencari-Nya.

 

Ada tiga hal yang mutlak harus dimiliki seorang mukmin dalam segala keadaan, yaitu (1) menjaga perintah-perintah Allah, (2) menjauhi segala larangan-Nya, dan (3) ridha dengan takdir yang telah ditetapkan-Nya. Seorang mukmin harus melaksanakan tiga hal tersebut. Dia harus menguatkan tekad untuk melaksanakan, selalu mengingatkan dirinya sendiri, dan mengerahkan seluruh organ-organ tubuhnya untuk menerapkan ketiganya dalam segala kondisi.

 

Ikutilah (sunah Rasul), jangan membuat bid’ah. Patuhlah (kepada Allah dan Rasul-Nya), jangan menentang:

 

Junjunglah tauhid tinggi-tinggi, jangan menyekutukan-Nya. Sucikanlah Dia senantiasa, jangan menuduhkan satu keburukan pun kepada-Nya. Yakinilah (kebenaran-Nya), jangan ragu sedikit pun.

 

Bersabarlah selalu, jangan gelisah atau putus asa, Teguhkanlah pendirianmu, jangan melarikan diri., Berdoalah kepada-Nya, jangan pernah bosan berdoa, Bersabarlah menanti, jangan putus harapan. Sambunglah tali persaudaraan, jangan saling bermusuhan. Bekerjasamalah dalam ketaatan, jangan berpecah belah. Saling mencintailah, jangan saling mendendam. Sucikanlah dirimu dari dosa-dosa, jangan nodai dengannya.

 

Jangan lumuri dirimu dengan dosa, hiasilah dengan ketaatan kepada Tuhanmu. Jangan menjauh dari pintu Tuhanmu. Jangan berpaling dari-Nya. Jangan menunda-nunda tobat. Jangan merasa jemu memohon ampunan kepada Sang Pencipta pada waktu siang ataupun malam.

 

Dengan melakukan itu semua, pasti kalian akan mendapat rahmat (kasih sayang Allah) dan kebahagiaan, dijauhkan dari api neraka dan hidup bahagia di surga, bertemu Allah, bersenang-senang di surga dengan segala nikmat dan bidadari-bidadarinya yang masih perawan, tinggal di dalamnya untuk selamanya, mengendarai kuda-kuda putih, bersuka ria dengan bidadari dan aneka aroma, serta suara merdu hamba-hamba sahaya wanita. Kalian akan dimuliakan bersama para nabi, shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang shalih.

 

Apabila seorang hamba tengah mendapat ujian, pertama-tama ia akan mencoba mengatasinya dengan upayanya sendiri. Jika gagal, ia akan mencari pertolongan kepada sesamanya, seperti para raja, penguasa, hartawan, guru spiritual, atau jika dia sakit, kepada dokter. Jika itu pun gagal, ia akan kembali kepada Tuhannya dengan doa-doa, ketundukan, dan puja-puji. Namun, selama ia mampu mengatasinya sendiri, ia tidak akan berpaling kepada sesamanya. Selama ia masih bisa mendapatkan jalan keluar dari sesamanya, ia tidak akan berpaling kepada Tuhan.

 

Kemudian jika dia tidak mendapatkan pertolongan dari Tuhannya, dia akan memasrahkan diri seraya terus memohon, berdoa, merendahkan diri, memuji, dan mengemis kepada-Nya dengan perasaan takut dan penuh harap. Namun, Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung membiarkan ia letih dalam berdoa dan tak mengabulkannya hingga si hamba itu merasa demikian kecewa karena tak mendapatkan sedikit pun jalan keluar. Saat itulah takdir menjelma nyata dan menjalankan tugasnya pada si hamba.

 

Pada titik ini, seorang hamba tak lagi butuh segala macam jalan keluar atau usaha karena yang tersisa pada dirinya hanyalah ruh. Dia tidak melihat apa yang terjadi pada dirinya, melainkan perbuatan Tuhan.

 

Sampailah dia pada keyakinan dan tauhid yang kuat bahwa pada hakikatnya tiada yang melakukan segala sesuatu, kecuali Allah. Tiada yang menggerakkan atau menghentikan sesuatu, kecuali Allah. Tiada kebaikan atau kejahatan, bahaya atau manfaat, pemberian atau penolakan, tiada yang membuka atau menutup, tiada kehidupan atau kematian, kemuliaan atau kehinaan, kecuali semuanya dalam kuasa Allah.

 

Di hadapan takdir Allah itu, seorang hamba laksana bayi menyusui di tangan perawat, bagai mayat dimandikan, dan bagai bola di tongkat pemain polo. Dibolak-balik, dipindahkan, dan diganti. Dia tak berdaya. Pada titik itu, dia terlepas dari dirinya sendiri dan melebur dalam perbuatan Allah. Jika dia melihat, yang dilihat olehnya hanyalah Tuhan beserta perbuatan-Nya. Jika dia mendengar, tak didengar dan tak dipahaminya, kecuali Allah. Apa yang dia dengar adalah firman-Nya, apa yang dia ketahui adalah ilmu-Nya. Dengan karunia-Nya dia diberi nikmat dan dengan kedekatan dari-Nya dia diberi kebahagiaan.

 

Dia menghias dirinya dengan kedekatan itu dan menjadi mulia. Dia bahagia dan yakin dengan janji-Nya. Bersama-Nya dia merasa tenang, dengan firman-Nya dia bahagia. Dia enggan dan lari dari segala sesuatu selain Allah dan memilih menautkan hati untuk mengingat-Nya.

 

Keyakinannya terhadap Allah sangatlah kuat, dan kepada-Nya dia bertawakal. Dengan cahaya makrifat-Nya dia mengambil petunjuk dan berbusana. Dia mengetahui ilmu-ilmu-Nya yang tersembunyi dan rahasia-rahasia kekuasaan-Nya. Dari-Nya dia mendengar dan merasa. Segala puja, puji, dan doanya tertuju kepada-Nya.

 

Jika kau mengabaikan makhluk, layak dikatakan kepadamu, “Semoga Allah merahmatimu dan mematikanmu dari hawa nafsu.” Jika kau mengabaikan hawa nafsumu, engkau perlu mendapatkan ucapan, “Semoga Allah merahmatimu dan mematikanmu dari kehendak dan angan-anganmu.” Jika kau mengabaikan dari kehendakmu, kau akan mendapatkan ucapan, “Semoga Allah merahmatimu dan memberimu kehidupan yang tidak ada matinya.”

 

Kau akan diberi kekayaan yang tidak pernah habis, anugerah yang tidak pernah bisa ditolak, kenyamanan yang tidak pernah berubah menjadi kesusahan, nikmat yang tidak pernah berubah menjadi celaka, ilmu yang tidak ada kebodohan setelahnya, rasa aman yang tidak pernah berubah menjadi ketakutan, kebahagiaan yang tidak pernah berubah menjadi kesusahan, kemuliaan yang tidak pernah berubah menjadi hina, kedekatan yang tiada pernah berubah menjadi jauh.

 

Engkau diangkat dan tidak pernah direndahkan, diagungkan dan tidak pernah dihinakan, disucikan dan tidak pernah ternoda. Segala angan-anganmu akan menjadi kenyataan, perkataanmu dibenarkan sehingga kau menjadi layaknya belerang merah yang nyaris tak terlihat, mulia tiada tandingan, berharga tiada duanya, satu dan satu-satunya, tunggal setunggal-tunggalnya. Engkau akan menjadi gaibnya kegaiban, rahasianya rahasia.

 

Saat itulah engkau menjadi pewaris para nabi, shiddiqin, dan para rasul. Kaulah puncak kewalian, dan para wali abdal’ akan datang kepadamu. Segala kesulitan terpecahkan melaluimu, hujan diturunkan karenamu, tanaman tumbuh berkatmu. Melaluimu, sirnalah segala petaka dan ujian yang menimpa masyarakat, golongan awam maupun khusus; penduduk perbatasan, para penguasa dan rakyatnya, para pemimpin dan masyarakatnya. Dengan demikian, kau menjadi tumpuan seisi negeri dan para hamba.

 

Orang-orang bergegas mendatangimu dengan ketundukan, membawa bingkisan, dan mengabdi kepadamu, dalam segala kondisi, dengan izin Sang Pencipta segalanya. Lidah mereka senantiasa menyebut-nyebut kebaikanmu, melantunkan puja dan puji untukmu di mana pun mereka berada. Tidak akan ada dua orang beriman yang berselisih tentangmu. Duhai manusia terbaik yang hidup di bumi, “Itulah anugerah Allah yang Dia berikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Allah adalah Pemilik karunia yang agung.”

 

Jika engkau melihat dunia ini ada di tangan para pemiliknya dengan bentuk perhiasan, kesesatan, kepalsuan, tipu daya, racunnya yang mematikan, secara lahir tampak lembut, tapi bagian dalamnya sungguh mematikan, menghancurkan dan membunuh siapa pun yang menyentuhnya, terkecoh olehnya, lalai terhadap Dzat yang Menguasainya dan terlena oleh janji-janji palsunya. Jika engkau melihat semua itu, bersikaplah layaknya seseorang yang melihat orang lain sedang buang hajat; kemaluannya terlihat dan baunya menyengat. Dengan begitu, dalam situasi semacam itu, engkau akan memalingkan pandanganmu dari auratnya dan menutup hidungmu dari bau busuknya.

 

Begitulah seharusnya engkau bersikap terhadap dunia. Jika melihatnya, palingkan pandanganmu dari segala perhiasannya, dan tutuplah hidungmu dari aroma busuk syahwat dan kenikmatannya, niscaya engkau akan selamat dari dunia dan segala malapetakanya. Sementara itu, bagianmu dari dunia akan menghampirimu segera, dan engkau pun akan bahagia. Allah swt. telah berfirman kepada Nabi pilihan-Nya,

 

“Janganlah engkau tunjukkan pandangan matamu kepada kenikmatan yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka, (sebagai) bunga kehidupan dunia agar Kami uji mereka dengan (kesenangan) itu. Karunia Tuhanmu lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Ta Ha [20]: 131)

 

Palingkanlah dirimu dari makhluk dengan izin Allah, palingkanlah dirimu dari hawa nafsu dengan perintah-Nya, dan berserahlah (tawakal) kepada Allah, jika engkau benar-benar beriman. Palingkan pula dirimu dari segala keinginanmu dengan perbuatan Allah. Ketika engkau bisa melakukan ini semua, engkau telah layak menjadi bejana ilmu Allah.

 

Ketika dirimu berpaling dari makhluk, ditandai dengan ketidakbutuhanmu terhadap mereka, tidak meminta-minta, dan tidak iri terhadap apa yang mereka miliki. Tanda dirimu berpaling dari hawa nafsu ialah tidak mengumpulkan harta dan tidak bergantung pada sarana atau sebab dalam rangka mengambil suatu manfaat dan mengantisipasi suatu mudarat.

 

Dengan begitu, engkau tidak akan bergerak demi kepentingan pribadi, tidak marah untuk memuaskan nafsu pribadi, tidak membela dan membenci diri sendiri, tetapi memasrahkan semuanya hanya kepada Allah karena Dia telah menguasai segalanya sejak awal. Demikian juga akhirnya, Allah menguasai segalanya. Kondisi kepasrahan seperti ini adalah sebagaimana engkau ketika masih berada di dalam kandungan ibumu atau ketika engkau masih menjadi bayi yang disusui.

 

Memalingkan diri dari kehendakmu sendiri lantaran perbuatan-Nya, ditandai dengan abai terhadap maksud dan tujuan apa pun. Engkau juga tidak merasa membutuhkan atau menginginkan apa pun karena tidak mengharapkan selain kehendak Allah, bahkan hukum Allah sedang berlaku pada dirimu. Saat kehendak dan keinginan Allah itu sama-sama berlangsung pada dirimu, seluruh tubuhmu

akan merasa tenang, hatimu tenteram, dadamu lapang, wajahmu berseri-seri, dan perutmu penuh terisi.

 

Engkau tak lagi membutuhkan segala sesuatu lantaran engkau telah bersama Sang Pencipta segala sesuatu. Tangan kekuasaan Allah telah menyentuhmu, lisan-Nya berbicara denganmu, dan engkau langsung mendapat bimbingan dari Tuhan agama-agama. Allah akan memberimu pakaian berupa cahaya dan menempatkanmu di tempat ulul ‘ilmi (para ahli ilmu) yang utama. Saat itulah engkau menjadi manusia yang tunduk-pasrah selamanya. Di dalam dirimu tak ada lagi syahwat atau keinginan, layaknya bejana retak yang tidak mampu menampung segala air, baik yang bersih maupun kotor.

 

Engkau akan terbebas dari segala perangai manusiawi sehingga jiwamu tidak akan mau menerima apa pun, kecuali kehendak Allah. Pada titik ini, engkau akan mendapat kemampuan “mencipta” dan dapat melakukan hal-hal luar biasa. Orang-orang menyangka kemampuan itu sebagai perbuatan dan kekuatanmu, padahal sebenarnya itu adalah perbuatan dan kehendak Allah di alam semesta ini.

 

Pada titik ini pula, engkau akan masuk ke dalam golongan orang-orang yang hatinya telah tertundukkan, yang keinginan manusiawi serta syahwat alamiahnya telah musnah, serta diilhami oleh kehendak Ilahi. Mengenai maqam ini, Nabi Muhammad saw. bersabda,

 

“Aku dijadikan (oleh Allah) menyukai tiga hal dari dunia ini; wewangian, wanita, dan shalat yang menjadi penyejuk mataku.”

 

Ketiga hal itu diatributkan kepada Rasulullah setelah beliau berpaling dari ketiganya, sebagaimana kami isyaratkan sebelumnya. Allah juga berfirman, “Aku bersama orang-orang yang patah hati demi Aku.”

 

Allah Yang Maha tinggi tidak akan menyertaimu, sampai engkau mengingkari hawa nafsu dan kehendakmu. Jika engkau telah menjadi manusia yang tunduk patuh kepada Allah, tak punya apa pun dan tak ada satu pun yang ideal bagimu, saat itulah Allah akan “membangun” dirimu dan memberimu kehendak yang engkau gunakan untuk berkehendak. Jika engkau berada dalam kehendak itu, sedangkan di dalam dirimu terdapat “pembangunan” Allah, Allah akan meremukkan kehendakmu itu karena keberadaanmu di dalamnya sehingga kau senantiasa menjadi manusia yang tunduk patuh kepada Allah.

 

Allah akan terus menciptakan kehendak baru di dalam dirimu, lalu melenyapkannya kembali tatkala kau berada di dalam kehendak itu. Demikian seterusnya hingga akhir hayatmu dan engkau bertemu dengan-Nya. Inilah makna firman Allah, “Aku bersama orang-orang yang patah hati demi Aku.” Sementara makna ungkapan kami, “Tatkala kau berada dalam kehendak itu”, yaitu kecenderungan dan kenyamananmu terhadap kehendak itu.

 

Dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan langsung oleh Rasulullah, Allah berfirman, “Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunah sehingga Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya, Aku menjadi telinganya yang dia gunakan untuk mendengar, matanya yang dia gunakan untuk melihat, tangannya yang dia gunakan untuk menyentuh, dan kakinya yang dia gunakan untuk berjalan.” Dalam redaksi lain disebutkan, “Denganku dia mendengar, denganku dia menyentuh, dan denganku pula dia mengetahui.”

 

Ini semua hanya bisa terjadi dalam kondisi fana (lenyap dari makhluk), bukan yang lain. Jika engkau telah berhasil lenyap dari dirimu sendiri dan dari makhluk—dan makhluk itu terbagi dua, baik dan buruk, sebagaimana juga dirimu—maka sekali-kali kau tak akan pernah mengharapkan kebaikan dari mereka dan tidak pula khawatir akan terjadinya keburukan dari mereka. Yang tersisa hanyalah Allah semata, sebagaimana kondisi asal-Nya.

 

Dalam takdir Allah itu terdapat dua hal: baik dan buruk. Pada kondisi seperti di atas, Allah akan menyelamatkanmu dari keburukan-Nya dan menenggelamkanmu ke dalam samudra kebaikan-Nya sehingga kau menjadi bejana segala kebaikan, sumber segala nikmat, kebahagiaan, kegembiraan, cahaya, kedamaian, dan ketenteraman. Fana (penafian diri), angan-angan (harapan), keinginan, serta tujuan adalah tapal batas yang menjadi ujung perjalanan para wali. Itulah kondisi istiqamah yang senantiasa dicari-cari oleh para wali dan wali abdal terdahulu, agar mereka bisa berpaling dari kehendak mereka sendiri dan menggantinya dengan kehendak Allah yang Mahakuasa. Mereka berkehendak dengan kehendak Allah selamanya hingga ajal menjemput.

 

Oleh karena itu, mereka disebut sebagai wali abdal. Bagi mereka, dosa adalah menyekutukan kehendak Allah dengan kehendak pribadi dengan cara lalai, lupa, tenggelam dalam suatu situasi, dan rasa takut. Dalam kondisi ini, Allah swt. akan menolong mereka dengan kasih sayang-Nya, dengan cara mengingatkan mereka sehingga sadar dan memohon ampun kepada-Nya. Sebab, tak satu pun yang bisa terlepas dari kehendak, kecuali para malaikat. Mereka senantiasa suci dari berbagai kehendak, sedangkan para Nabi senantiasa terbebas dari hawa nafsu.

 

Adapun manusia dan bangsa jin yang dibebani taklif (kewajiban untuk beribadah), tidaklah terjaga dari keduanya. Hanya saja, sebagian para wali terjaga dari hawa nafsu, dan para wali abdal terjaga dari kehendak. Kendati demikian, mereka tak bisa dianggap terbebas sepenuhnya dari dua keburukan ini. Artinya, pada kondisi tertentu mereka mungkin saja memiliki kecenderungan kepada keduanya sebagai sebuah dosa, tetapi kemudian Allah memberikan pertolongan-Nya dengan cara menyadarkan mereka melalui rahmat-Nya.

 

Tinggalkanlah hawa nafsumu, jauhilah dia, kucilkanlah kehendakmu, dan pasrahkanlah segala sesuatu kepada Allah. Jadilah penjaga-Nya di dalam pintu hatimu, patuhilah perintah-Nya untuk mendekati orang yang Allah kehendaki, taatilah larangan-Nya untuk menjauhi orang yang Allah murkai. Jangan kau memasukkan kembali hawa nafsu ke dalam hatimu setelah hawa nafsu itu keluar darinya. Mengusir hawa nafsu dari hati berarti mengingkari dan tidak mengikutinya dalam segala kondisi. Sementara memasukkan hawa nafsu ke dalam hati berarti mengikuti dan menyetujuinya.

 

Janganlah menghendaki segala hal yang bukan berasal dari kehendak Allah. Segala kehendak yang bukan berasal dari kehendak Allah adalah angan-angan belaka. Itulah lembah kebodohan yang di dalamnya terdapat kematian, kehancuran, kegagalan, dan keterasinganmu dari-Nya. Oleh karena itu, jagalah perintah Allah selamanya, jauhilah larangan-Nya selamanya, pasrahlah selalu kepada-Nya dalam segala yang telah Dia tetapkan, dan jangan sekutukan Dia dengan apa pun dari makhluknya. Kehendak, hawa nafsu, syahwat, semuanya adalah makhluk-Nya. Oleh karena itu, janganlah berkehendak, jangan menuruti hawa nafsu, dan jangan mengikuti syahwat, agar kau tidak termasuk orang-orang yang menyekutukan-Nya. Allah swt. berfirman,

 

“Siapa saja yang mengharap pertemuan dengan Tuhannya, hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia menyekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. al-Kahf [18]: 110)

 

Menyekutukan Allah (syirik) bukan hanya menyembah berhala. Mengikuti hawa nafsu, memilih sesuatu selain Allah berupa dunia beserta isinya dan akhirat beserta isinya, juga syirik. Selain Allah adalah bukan Tuhan. Jika engkau tenggelamkan dirimu dalam sesuatu selain Allah, berarti engkau telah menyekutukan-Nya.

 

Oleh sebab itu, waspadalah, jangan terlena. Takutlah, jangan merasa aman, dan selalu evaluasi dirimu. Jangan pernah lalai dan merasa tenang, jangan mengatribusikan dirimu dengan kondisi atau kedudukan (spiritual) apa pun, jangan pula kau tinggalkan keduanya. Jika engkau berada dalam satu kondisi atau kedudukan tertentu, jangan memilih satu pun dari keduanya. Allah setiap hari berada dalam kesibukan, Dia hadir dalam setiap perubahan dan pergantian yang terjadi. Allah menjadi penengah antara seorang hamba dan hatinya sehingga Dia akan melenyapkanmu dari segala yang engkau kehendaki dan membuatmu fana dari segala sesuatu yang engkau anggap kekal dan abadi.

 

Malulah di hadapan yang kau ajak bicara, simpanlah pengetahuan ini dalam lubuk hatimu, dan jangan perbincangkan dengan orang lain karena semua itu merupakan keabadian dan kau akan mengetahui bahwa itu merupakan anugerah Ilahi sehingga kau pun akan meminta diberi taufik agar dapat bersyukur. Tutuplah pandanganmu terhadapnya, kendati itu bukan sebuah anugerah, sesungguhnya di dalamnya terdapat tambahan ilmu, pengetahuan, cahaya, kesadaran, dan bimbingan dari-Nya. Allah swt. berfirman,

 

“Ayat yang Kami batalkan atau Kami hilangkan dari ingatan, pasti Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu tahu bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?” (QS. al-Baqarah [2]: 106)

 

Oleh karena itu, jangan menganggap Allah tak berdaya dalam kekuasaan-Nya, jangan berburuk sangka terhadap ketetapan-Nya, dan jangan sedikit pun ragu akan janji-Nya. Dalam hal ini, jadikanlah Rasulullah saw. sebagai teladan. Ayat-ayat dan surat-surat yang diturunkan kepadanya, yang dipraktikkan, dikumandangkan di tempat ibadah, dan termaktub di dalam mushaf-mushaf; telah dihapus, diangkat, dan digantikan dengan ayat-ayat lain. Perhatian Nabi pun diarahkan kepada wahyu-wahyu yang baru diterimanya dan menggantikan ayat-ayat yang telah lama itu. Ini terjadi dalam masalah-masalah syariat yang bersifat zhahir.

 

Adapun mengenai masalah-masalah batin, ilmu, dan kondisi spiritual antara beliau dan Allah swt., Rasulullah bersabda,

 

“Sesungguhnya hatiku pun pernah diliputi kelalaian sehingga aku memohon ampun kepada Allah 70 kali dalam sehari.”

 

Dalam riwayat lain ada yang menyebutkan beliau memohon ampun sebanyak 100 kali sehari. Rasulullah saw. dibawa dari satu kondisi spiritual ke kondisi spiritual lain, ditempatkan di tempat-tempat terdekat dari Allah serta ruang-ruang gaib, dan mengembara (ke alam itu) sambil diselubungi oleh nur (cahaya).

 

Setiap kali Rasulullah naik dari satu kondisi spiritual maka kondisi spiritual yang di bawahnya tampak gelap, ‘tidak jelas, dan terbatas. Beliau senantiasa menerima arahan supaya memohon ampunan dan perlindungan Tuhan karena memohon ampun merupakan sebaik-baik kondisi spiritual seorang hamba. Beliau juga diajarkan untuk bertobat dalam segala kondisi karena di dalamnya terdapat pengakuan dosa dan kelemahan seorang hamba. Dosa dan kelemahan merupakan ciri khas seorang hamba dalam segala kondisi. Keduanya merupakan “warisan” dari kakek moyang manusia, Nabi Adam as. hingga Nabi kita Muhammad saw., yaitu manakala kejernihan ruhani (spiritual) Adam terkubur oleh kegelapan alpa dan lupa atas janjinya kepada Allah untuk hidup kekal abadi di dalam surga, hidup berdampingan dengan Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Pemberi karunia. Ketika para malaikat bertamu kepadanya, mereka akan mengucapkan salam dan penghormatan untuknya. Ketika itulah dia mendapati bahwa kehendaknya telah bercampur dengan kehendak Allah. Oleh karena itu, kehendak Adam tersebut menjadi hancur, kondisi spiritualnya yang suci hilang, kedekatannya kepada Tuhan hilang, kedudukan tingginya jatuh, cahayanya yang bersinar terang menjadi gelap dan kesucian ruhaninya menjadi kotor.

 

Kemudian Adam sadar dan ingat. Dia pun mengakui dosa dan kealpaannya, lalu berikrar,

 

“Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. al-A’raf {7}: 23)

 

Kemudian turunlah kepadanya cahaya petunjuk dan pengetahuan mengenai tobat dan berbagai maslahat yang sebelumnya tersembunyi di balik tobat itu pun tersingkap. Maslahat-maslahat itu tidak akan diketahui, kecuali dengan tobat itu sendiri.

 

Setelah itu, kehendak Adam yang salah diganti dengan kehendak yang lain dan kondisi spiritualnya (yang kotor) sebelumnya pun diubah. Dia diberi wilayah (kekuasaan) yang maha dahsyat, serta diberi kedudukan di dalam dunia ini dan di akhirat kelak. Jadilah dunia ini sebagai tempat tinggal dan keturunannya, dan akhirat kelak adalah tempat kembali yang kekal abadi.

 

Dari sini dapat kita simpulkan, di dalam diri kekasih Allah, Nabi Muhammad saw. dan Nabi pilihan Allah, Adam as. terdapat teladan dalam mengakui segala kekurangan serta memohon ampun kepada-Nya dalam segala kondisi.

 

Apabila engkau berada dalam suatu kondisi spiritual (hal) tertentu, janganlah mengharapkan kondisi yang lain, baik yang lebih tinggi maupun yang lebih rendah. Jadi, jika engkau berada di pintu gerbang istana raja, janganlah masuk ke dalam istana itu, kecuali terpaksa, bukan sukarela. Maksud “terpaksa” adalah engkau mendapat perintah keras yang ditekankan berulang-ulang.

 

Janganlah engkau merasa cukup hanya dengan mendapat izin masuk karena mungkin saja izin itu sebuah jebakan atau tipuan dari sang raja. Namun, bersabarlah, sampai engkau benar-benar dipaksa masuk sehingga kau memasuki istana itu dalam kondisi benar-benar terpaksa dan mendapat penghormatan dari sang raja.

 

Dengan demikian, sang raja tidak akan menghukummu karena Dia sendiri yang menghendakimu untuk masuk, Hukuman diberikan kepadamu lantaran keinginan buruk dan ketamakanmu, kegemasan, kekurangajaran, dan kekecewaanmu terhadap kondisi yang sedang dihadapi,

 

Jika kau harus masuk ke dalamnya karena terpaksa, masuklah dengan menundukkan kepala dan pandangan mata, dengan penuh sopan santun. Perhatikan semua yang diperintahkan kepadamu, tanpa berharap mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi. Allah berfirman kepada Rasul pilihan-Nya,

 

“Janganlah engkau tujukan pandangan matamu kepada kenikmatan yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka, (sebagai) bunga kehidupan dunia agar Kami uji mereka dengan (kesenangan) itu. Karunia Tuhanmu lebih baik dan lebih kekal!.” (QS. Ta Ha [20]: 131)

 

Ini cara Allah mendidik Rasul-Nya agar senantiasa menghargai kondisi spiritual yang ada serta rela dengan segala pemberian-Nya. Hal ini ditunjukkan dengan firmanNya, “Karunia Tuhanmu lebih baik dan abadi.” Dengan kata lain, perintah Allah ini berbunyi, “Segala yang telah Aku karuniakan kepadamu berupa perkara-perkara yang baik, kenabian, ilmu, keridhaan, kesabaran, kepemimpinan agama, dan jihad di jalan-Ku, adalah lebih baik dan lebih berharga dibanding semua yang Kuberikan kepada yang lain.”

 

Jadi, kebaikan itu terletak pada bagaimana menghargai dan mensyukuri keadaan yang ada serta tidak menuntut adanya kondisi yang lain. Sebab, kondisi yang lain itu ada dua kemungkinan: Bagianmu atau bagian orang lain. Bisa juga kondisi itu bukan bagian siapa-siapa, tapi Allah menciptakannya sebagai ujian.

 

Jika suatu kondisi telah ditetapkan menjadi bagianmu, ja akan datang kepadamu, baik kau suka maupun benci. Oleh karena itu, tak patut jika engkau bersikap kurang sopan dan rakus dalam mencarinya karena bertentangan dengan hukum ilmu dan akal. Jika kondisi itu telah ditetapkan menjadi bagian orang lain, kau tak perlu bersusah payah meraih sesuatu yang tak bisa kau raih dan tak akan pernah sampai padamu itu. Jika kondisi itu bukan bagian siapa pun, melainkah hanya sebagai cobaan, bagaimana mungkin seseorang yang berakal menyukainya dan berupaya keras meraihnya?

 

Sebagaimana kita ketahui sebelumnya, seluruh kebaikan dan keselamatan terletak pada kerelaan kita terhadap keadaan yang ada. Jika kau dinaikkan ke tingkat atas, bahkan sampai ke ujung—sebagaimana telah kami nyatakan sebelumnya—kau mesti sadar diri, menundukkan kepala dan pandangan mata serta menjaga sikap. Hendaknya kau berbuat lebih dari itu karena engkau kini lebih dekat kepada sang raja sekaligus lebih dekat kepada marabahaya.

 

Oleh karena itu, janganlah menginginkan perubahan kondisi spiritual (hal) dalam dirimu, baik menuju yang lebih tinggi maupun lebih rendah. Jangan pula kau meminta supaya kondisi itu tetap atau abadi padamu. Janganlah mengubah sifat kondisimu itu tatkala kau berada di dalamnya, sedangkan kau tak punya pilihan sama sekali dalam masalah ini. Jika engkau melakukan itu, sama saja dengan kufur (megingkari) nikmat keadaan. Kekufuran menjadikan pelakunya terhina, baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, lakukanlah sebagaimana yang telah kami nasihatkan kepadamu, sampai kau mencapai kondisi yang kelak menjadi maqam (posisi) yang kau tempati, dan kau tidak akan lenyap darinya.

 

Saat itulah, kau akan mengetahui kondisi spiritual itu merupakan anugerah Allah yang penjelasan dan petunjuknya muncul kemudian. Tambatkanlah dirimu padanya dan jangan biarkan dirimu lepas darinya. Ahwal (keadaan ruhani) adalah milik para wali, sedangkan maqamat (perubahan posisi) adalah milik para wali abdal. Allah-lah yang menguasai petunjuk bagimu.

 

Para wali Allah dan wali abdal diberi kemampuan kasyf (penyingkapan gaib) dan musyahadah (pengalaman spiritual) terhadap berbagai kehendak Allah. Penyingkapan ini di luar jangkauan nalar dan kebiasaan manusia. Kehendaknya ini terwujud dalam Jalal (keagungan) dan Jamal (keindahan).

 

Penyingkapan keagungan (jalal) menimbulkan rasa takut, kegelisahan, kegundahan, dan pengaruh yang sangat menguasai hati sehingga gejala-gejalanya tampak pada fisik. Hal ini sebagaimana diriwayatkan bahwa tatkala Rasulullah saw. sedang shalat, dari dadanya terdengar suara bagaikan air mendidih di dalam periuk. Hal itu karena intensitas rasa takut yang timbul dari penglihatan beliau terhadap keagungan dan kebesaran Allah swt. yang tersingkap untuk beliau. Diriwayatkan pula bahwa Nabi Ibrahim Khalilullah dan Umar bin Khattab al-Faruq pernah mengalami kondisi serupa.

 

Adapun penyingkapan keindahan (jamal) adalah terhiasnya hati dengan cahaya, kebahagiaan, kelembutan, kata-kata manis, ucapan penuh kasih sayang, kegembiraan karena berbagai anugerah-Nya yang besar, kedudukan yang tinggi, dan kedekatan dengan-Nya, di mana segala urusan mereka akan kembali kepada-Nya. Ketetapan Allah (takdir) mengenai bagian mereka masing-masing telah ditetapkan pada masa lampau. Itu merupakan bentuk karunia, rahmat, dan ketetapan dari-Nya untuk mereka di dunia ini, sampai batas waktu ajal menjemput.

 

Hal ini dilakukan agar kadar cinta mereka tidak berlebihan akibat rindu yang menggebu-gebu kepada Allah, dan karenanya tekad mereka kendor sehingga mereka pun hancur dan tak berdaya melaksanakan ibadah hingga ajal tiba. Allah melakukan itu terhadap mereka sebagai wujud kasih sayang, rahmat, pengobatan, serta pendidikan dan kelemahlembutan bagi hati mereka. (Sesungguhnya Dia Maha Bijaksana dan Maha Tahu), Maha Berbuat Lemah Lembut, (Maha Pengasih dan Maha Penyayang) terhadap mereka.

 

Diriwayatkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda kepada Bilal Sang Muazin,

 

“Wahai Bilal, hiburlah hati kita dengan iqamat agar kita segera masuk waktu shalat.”

 

Maksud beliau, dengan memasuki shalat, Rasulullah dapat menyaksikan kondisi sebagaimana yang telah kami sebutkan sebelumnya. Itulah sebabnya Nabi saw. bersabda,

 

“Dan shalat dijadikan penyenang dan penggembira hatiku.”

 

Dalam hidup ini tidak ada yang lain, selain Allah dan hawa nafsumu. Sementara engkau hanyalah objek pembicaraan. Hawa nafsu itu bertentangan dengan Allah dan menjadi musuh-Nya. Segala sesuatu tunduk kepada Allah dan milik Allah. Demikian pula hawa nafsu, ia adalah makhluk sekaligus milik-Nya. Hawa nafsu itu pongah, dipenuhi angan-angan, syahwat dan kenikmatan dalam menurutinya.

 

Oleh karena itu, jika engkau mengikuti Allah Yang Maha Benar dalam menentang hawa nafsu dan memusuhinya, kau telah menjadi musuh bagi hawa nafsumu karena Allah semata. Hal ini sebagaimana firman Allah swt. kepada Nabi Daud as., “Wahai Daud, Akulah tujuan hidupmu yang tak mungkin kau elakkan. Oleh karena itu, berpegang teguhlah pada tujuanmu ini dengan beribadah sebenar-benarnya sampai kau menjadi lawan hawa nafsumu.”

 

Pada titik ini, keakraban dan penghambaanmu kepada Allah benar-benar terwujud nyata. Lalu engkau memperoleh bagian-bagianmu dengan damai, menyenangkan lagi baik. Engkau menjadi orang yang kuat dan terhormat, segala sesuatu mengabdi kepadamu dan mengagungkanmu karena semuanya tunduk dan patuh kepada Tuhan-Nya. Itu tak lain karena Allah adalah Pencipta mereka, sedangkan mereka telah berikrar untuk menyembah-Nya. Allah swt. berfirman,

 

“Tidak ada sesuatu pun, melainkan bertasbih dengan memuji-Nya.” (QS. al-Isra’ [17]: 44)

 

“Lalu Dia berfirman kepadanya dan kepada bumi, ‘Datanglah kamu berdua menurut perintah-Ku dengan patuh atau terpaksa.’ Keduanya menjawab, ‘Kami datang dengan patuh.’” (QS. Fushshilat [41]: 11)

 

Jadi, ibadah tertinggi itu terletak pada penentangan terhadap hawa nafsu. Allah berfirman,

 

“Janganlah engkau mengikuti hawa nafsu karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah.” (QS. Shad [38]: 26)

 

Allah juga berfirman kepada Nabi Daud as., “Jauhilah hawa nafsumu karena sesungguhnya hawa nafsu itu selalu menentang-(Ku).”

 

Sebuah kisah yang masyhur tentang Abu Yazid al Busthami menyatakan bahwa ia pernah melihat Allah di dalam mimpinya. Ia bertanya kepada Allah, “Bagaimanakah caranya agar dapat sampai kepada-Mu?” Allah menjawab, “Buanglah hawa nafsumu lalu datanglah kepada-Ku.”

 

Abu Yazid mengisahkan, “Aku pun melepaskan diri dari hawa nafsuku layaknya seekor ular yang berganti kulit.” Benar saja, semua kebaikan itu terdapat pada memerangi hawa nafsu secara keseluruhan dan dalam segala kondisi. Oleh karena itu, sekiranya kau berada dalam kondisi takwa, lawanlah hawa nafsumu dengan cara keluar dari hal-hal yang haram dan syubhat?, tidak mengharapkan pertolongan makhluk, tidak mengandalkan mereka, tidak memercayai mereka, tidak takut, dan tidak berharap kepada mereka, serta tidak iri dengan perkara duniawi yang mereka miliki.

 

Jangan pula mengharapkan pemberian mereka, baik berupa hadiah, zakat, sedekah, maupun nazar. Hendaklah engkau membebaskan dirimu dari segala keinginan terhadap mereka, apa pun cara dan perantaranya. Bahkan jika sekiranya engkau mempunyai saudara yang hartawan, janganlah mengharapkan dia lekas mati demi mewarisi hartanya.

 

Lantas bebaskanlah dirimu dari ikatan makhluk dengan sungguh-sungguh, dan anggaplah mereka layaknya pintu yang bisa tertutup dan terbuka, atau pohon yang kadang berbuah dan kadang tidak. Semua itu terjadi atas kuasa dan rancangan Allah Yang Maha Agung dan Maha Tinggi, agar engkau senantiasa mengesakan-Nya. Akan tetapi, bersamaan dengan itu, janganlah engkau melupakan upaya manusiawi (kasb) agar engkau tak menjadi korban keyakinan kaum fatalis Jabariyyah), dan yakinlah bahwa tak ada satu pekerjaan pun yang bisa terwujud, kecuali atas izin Allah. Jangan kau sembah mereka dan kau lupakan Allah.

 

Jangan pula engkau katakan bahwa perbuatan makhluk itu terjadi tanpa ada campur tangan Allah, sebab dengan demikian engkau akan menjadi kafir dan termasuk golongan Qadariyyah. Hendaknya kau katakan bahwa segala perbuatan makhluk itu Allah yang menciptakan, dan makhluk hanya diberi kuasa untuk mengupayakan (kasb) perbuatan itu. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam berbagai hadis yang menjelaskan persoalan pahala dan hukuman.

 

Laksanakan perintah Allah yang berkenaan dengan mereka (makhluk), lepaskanlah bagianmu dari mereka dengan perintah-Nya pula, dan jangan melanggar perintahNya. Sebab, hukum Allah itu tegak dengan ketetapan-Nya terhadap dirimu dan mereka. Oleh karena itu, jangan sok menjadi hakim. Kebersamaanmu dengan mereka adalah sebuah takdir, dan takdir merupakan kegelapan. Bawalah kegelapan itu ke dalam pelita, yaitu kitabullah (al-Quran) dan sunah Rasul-Nya (hadis), jangan sampai keluar dari keduanya.

 

Jika terlintas olehmu suatu pikiran, atau kau menerima ilham, tundukkan pikiran atau ilham itu kepada kitabullah dan sunah Rasul. Jika dalam kegelapan itu kau dapati sebuah larangan (sesuatu yang diharamkan), misalnya engkau tiba-tiba mendapat ilham untuk berzina, berbuat riya, bergaul dengan orang-orang fasik dan tukang maksiat, dan lain-lain; maka buanglah jauh-jauh, tinggalkanlah, dan jangan pernah menuruti ilham semacam itu. Yakinilah ilham itu berasal dari setan yang terlaknat.

 

Jika dalam kegelapan takdir yang kau dapati adalah hal-hal mubah semisal pemenuhan keinginan-keinginan yang dibolehkan, seperti makan, minum, berpakaian, atau menikah, jauhilah pula ilham itu, jangan kau turuti. Ketahuilah, hal itu adalah godaan untuk memuaskan hawa nafsu dan syahwat belaka. Sementara engkau telah diperintahkan untuk menentang dan memerangi hawa nafsu.

 

Jika apa yang diilhamkan kepadamu itu tidak kaudapati haram-halalnya di dalam al-Quran dan sunah, bahkan tidak sesuai dengan akal sehatmu, layaknya seseorang yang mengendalikanmu dan berkata, “Datanglah ke tempat ini dan ini, temuilah si fulan yang shalih,” sedangkan kau sudah tak perlu lagi pergi ke sana atau menemui si orang shalih itu karena Allah telah memberimu karunia ilmu dan makrifat, berhentilah. Jangan buru-buru kau datangi tempat itu, lalu kau berkata, “Ini ilham dari Allah swt., aku harus melakukannya.”

 

Bersabarlah dahulu sampai kau melihat adanya kebaikan seluruhnya dalam ilham tersebut, dan sampai kau mengetahui bahwa ilham itu adalah perbuatan Allah, Yakni, ilham itu datang berulang-ulang kepadamu dan memerintahkanmu untuk melakukannya. Atau tunggulah datangnya pertanda yang ditampakkan kepada orang-orang yang mengenal Allah, diketahui oleh para wali yang cerdas, dan para wali abdal yang diberi kekuatan.

 

Kau tak layak terburu-buru mengerjakan perkara itu karena kau tak tahu akibat dan bagaimana ujungnya. Kau juga tak tahu ujian, kehancuran, tipu daya, dan cobaan Allah apa yang terkandung dalam ilham itu. Bersabarlah, sampai Allah swt. menjadi pelaku semua itu di dalam dirimu. Jika tindakan itu telah murni (terbebas dari keinginanmu dan menjadi tindakan Allah) dan kau “disetir” untuk melakukannya, kemudian kau ditimpa fitnah (ujian), kau menjadi orang yang disetir, tapi tetap terlindungi. Sebab, Allah tidak akan menghukummu atas tindakan yang dikehendaki-Nya sendiri, tapi Dia akan menghukummu atas “keterlibatanmu” dalam suatu perkara.

 

Jika kau telah berada dalam tingkatan hakikat, yaitu kedudukan sebagai wali, lawanlah hawa nafsumu dan taatilah perintah Allah sepenuhnya. Menaati perintah itu terbagi dua. Pertama, mengambil bekal dari dunia sekadarnya sebatas hak bagi dirimu, mencampakkan kesenangan dunia yang menjadi bagianmu, melaksanakan kewajiban dan menyibukkan diri untuk meninggalkan dosa, yang nyata maupun yang tersembunyi.

 

Kedua, berhubungan dengan perintah batiniah, yaitu perintah Allah kepada hambanya berupa suruhan dan larangan untuk melakukan sesuatu. Perintah seperti ini terjadi dalam hal-hal mubah yang tidak ada ketentuan hukumnya dalam syariat, yakni hal-hal yang tidak tergolong larangan dan tidak tergolong kewajiban, akan tetapi seorang hamba diberi kebebasan untuk bertindak sesuai ikhtiarnya. Oleh karena itu, perintah seperti ini dinamakan mubah.

 

Dalam hal ini, hendaknya si hamba tidak mengambil prakarsa sendiri untuk melakukan sesuatu, akan tetapi dia harus menunggu perintah (dari-Nya). Apabila perintah ini telah datang, hendaknya dia menaatinya sehingga segala gerak dan diamnya terjadi karena Allah. Jika sesuatu itu terdapat ketentuan hukumnya di dalam syariat, dia kembalikan kepada syariat. Namun, jika tidak ada ketentuan hukumnya, ia bertindak atas dasar perintah batin (tersembunyi) tadi. Pada titik ini, ia benar-benar termasuk golongan orang yang telah mencapai hakikat.

 

Adapun sesuatu yang tidak terdapat perintah batin di dalamya, itu hanyalah tindakan dalam kondisi berserah diri. Jika kau telah sampai pada kebenarannya kebenaran (haqul haqqi), yaitu kondisi ketiadaan diri (mahwu) dan lenyap (fana)—yang merupakan ciri khusus para wali abdal yang hatinya luluh karena Allah, senantiasa mengesakan Allah, mengenal-Nya, memiliki keluasan ilmu dan akal, yang merupakan pemimpin-pemimpin terhormat, pelindung makhluk, khalifah Allah Sang Maha Pengasih, kepercayaan-Nya, penolong-Nya, serta kekasih-Nya (semoga Allah melimpahkan kesejahteraan bagi mereka semua)—maka mematuhi perintah dalam kondisi seperti ini adalah dengan cara melawan hawa nafsumu sendiri, yaitu dengan membebaskan diri dari ketergantungan terhadap segala kemampuan dan kekuatan, melepaskan diri dari segala kehendak dan tujuan duniawi dan ukhrawi.

 

Dengan demikian, kau menjadi abdi Sang Raja, bukan abdi kerajaan-Nya. Kau menjadi abdi perintah-Nya, bukan abdi hawa nafsu. Kau laksana bayi dalam buaian ibu yang menyusui, atau mayat yang dimandikan, atau pasien yang tak sadarkan diri di hadapan sang dokter, dalam segala hal yang berada di luar wilayah perintah dan larangan. Hanya Allah yang Maha Tahu.

 

Apabila di dalam dirimu telah muncul syahwat untuk menikah, padahal kau dalam kondisi serba kekurangan dan tak sanggup menanggung beban persiapannya, yang harus kau lakukan adalah bersabar sembari menunggu datangnya jalan keluar dari Allah swt. Entah jalan keluar itu berupa dihilangkannya syahwat menikahmu dengan kuasa-Nya, atau dimudahkannya engkau menanggung beban itu, atau didatangkan segala keperluan yang meringankan bebanmu itu sebagai anugerah yang menenangkan dan mencukupimu, tanpa harus kau raih dengan susah payah di dunia atau pun membuatmu sengsara di akhirat.

 

Jika kau telah melakukan ini, Allah akan menyebutmu sebagai orang yang sabar dan bersyukur karena kesabaranmu terhadap syahwat dan keridhaanmu atas ketentuan-Nya. Allah pun akan menambah perlindungan dan kekuatan-Nya padamu. Jika pernikahan itu memang ditakdirkan untukmu, Allah pasti akan mendatangkannya padamu. Segala kebutuhanmu akan tercukupi, kau akan merasa tenteram, dan kesabaranmu itu akan bertukar dengan syukur. Allah swt. telah berjanji untuk senantiasa menambah karunia-Nya kepada orang-orang yang bersyukur, sebagaimana firman-Nya,

 

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu. Namun, jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), pasti azab-Ku sangat berat.” (QS. Ibrahim [14]: 7)

 

Akan tetapi jika pernikahan itu belum ditakdirkan untukmu, jalan keluarnya adalah dihilangkannya keinginan menikah itu dari hatimu, baik kau suka maupun tidak suka. Oleh karena itu, bersabarlah selalu, tentanglah hawa nafsumu, berpegang teguhlah pada perintah-perintah-Nya, ridhalah terhadap ketentuan-Nya, dan dengan ini semua, berharaplah akan anugerah dan karunia-Nya. Allah swt. telah berfirman,

 

“Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.” (QS. az-Zumar [39]: 10)

 

Apabila Allah Yang Maha Agung memberimu limpahan kekayaan, lantas kekayaan itu memalingkanmu dari kepatuhan kepada-Nya, niscaya Dia akan menghalangimu dari-Nya di dunia dan di akhirat. Mungkin Allah juga akan mencabut karunia-Nya darimu, mengubah kondisimu, dan membuatmu miskin sebagai hukuman atas nikmat yang membuatmu berpaling dari Sang Pemberi Nikmat.

 

Tetapi jika sebaliknya, kepatuhanmu kepada-Nya membuatmu berpaling dari harta, Allah akan menjadikan harta itu karunia bagimu dan tidak akan sedikit pun menguranginya. Harta akan menjadi abdimu, sedangkan kau menjadi abdi Sang Raja (Allah). Engkau akan hidup di dunia di bawah bimbingan-Nya, dan di akhirat kelak hidup terhormat dan penuh suka cita bersama para shiddiqin’, para syuhada, dan orang-orang shalih.

 

Jangan bersusah payah mengusahakan suatu nikmat, jangan pula berupaya menangkis datangnya suatu bencana. Jika nikmat telah ditakdirkan untukmu, ia pasti akan datang kepadamu, baik kau suka maupun benci. Sebaliknya, jika bencana telah ditetapkan untukmu, ia pasti akan menimpamu entah kau suka atau tidak suka, atau kau berusaha menghalaunya dengan doa-doa, atau kau menghadapinya dengan kesabaran, atau kau berusaha bersikap teguh demi meraih ridha-Nya.

 

Berserah dirilah kepada Allah dalam segala hal, biarlah Dia melakukan perbuatan-Nya pada dirimu. Jika Dia memberimu nikmat, sibukkanlah dirimu dengan syukur. Jika yang Dia berikan adalah bencana, sibukkanlah dirimu dengan ketabahan dan kesabaran, atau terimalah bencana itu dengan sepenuh hati, atau nikmatilah ia, atau tiadakan dan tenggelamkan dirimu dalam bencana itu sesuai kondisi spiritual yang diberikan kepadamu dan sesuai tingkatan-tingkatan yang kau lalui dalam perjalanan menuju Allah, Tuhan yang memerintahkanmu untuk taat kepada-Nya dan menjadikan-Nya penolong, agar engkau bisa sampai kepada-Nya.

 

Dengan demikian, kau akan ditempatkan pada maqam (kedudukan) yang sebelumnya telah dicapai oleh para shiddiqin, syuhada, dan orang-orang shalih terdahulu agar engkau dapat melihat langsung mereka yang telah mendahuluimu menuju Tuhan dan dekat dengannya. Yaitu orang-orang yang mendapatkan hal-hal baru, kebahagiaan, ketenteraman, kemuliaan dan kenikmatan di sisi-Nya. Biarkanlah bencana itu menyambangimu, menyingkirlah dan jangan rintangi jalannya. Jangan merasa gundah atas kedatangannya karena panas apinya tak lebih mengerikan daripada api neraka Jahannam dan Lazha.

 

Diriwayatkan bahwa manusia terbaik, orang terbaik yang pernah hidup di atas bumi dan kolong langit, Nabi Muhammad saw., pernah bersabda,

 

“Sungguh, api neraka akan berseru kepada orang beriman, ‘Wahai mukmin, cepatlah berlalu karena cahayamu memadamkan kobaran apiku.’”

 

Cahaya seorang mukmin yang memadamkan nyala api neraka Lazha itu tak lain adalah cahaya yang ada padanya di dunia ini. Cahaya itu berguna bagi orang yang hidup di dunia, baik yang taat maupun yang berbuat maksiat. Biarkanlah cahaya ini memadamkan kobaran api bencana, dan biarkankanlah dinginnya kesabaran dan ketaatanmu terhadap Allah memadamkan hawa panas ujian berupa bencana yang menimpa dan mendekat kepadamu.

 

Dengan demikian, ujian yang menimpamu bukanlah untuk menghancurkanmu, melainkan untuk mencobamu, memastikan kebenaran imanmu, mengukuhkan pilar-pilar keyakinanmu, dan memberimu kabar baik dari Allah bahwa Dia membanggakanmu. Allah swt. berfirman,

 

“Sungguh Kami benar-benar akan menguji kamu sehingga Kami mengetahui orang-orang yang benar-benar berjihad dan bersabar di antara kamu; dan akan Kami uji perihal kamu.” (QS. Muhammad [47]: 31)

 

Jika keimananmu kepada Allah telah teguh dan kau pun telah menyelaraskan diri dengan tindakan Allah dengan keyakinanmu—dan semua itu berkat taufik dan anugerah dari-Nya—maka kau mesti tetap bersabar, menyelaraskan diri dengan Allah, dan berserah diri pada-Nya. Tidak ada satu kejadian pun dalam dirimu atau orang lain di luar perintah atau larangan Allah. Jika datang perintah-Nya, dengarkanlah dengan seksama, segeralah melaksanakannya, bertindaklah, jangan diam, dan jangan pasif terhadap takdir dan perbuatan-Nya. Namun, curahkanlah seluruh kekuatan dan upayamu untuk melaksanakan perintah itu.

 

Jika kau tak mampu melaksanakan perintah itu, segeralah kembali kepada Tuhanmu yang Maha Mulia dan Maha Agung. Berlindunglah kepada-Nya dengan penuh kerendahan diri dan mohonlah ampun kepada-Nya. Lantas coba carilah sebab ketakmampuanmu melaksanakan perintah itu dan apa yang menghalangimu untuk taat kepada-Nya dengan penuh antusias. Sebab bisa jadi itu karena buruknya doa dan etikamu dalam mematuhi-Nya, atau kebodohanmu, atau kau terlalu mengandalkan kekuatan dan upayamu sendiri, atau kau sombong dengan ilmumu, atau kau menyekutukan-Nya dengan dirimu sendiri dan makhluk-Nya.

 

Akibatnya, Allah menghalangimu dari pintu-Nya, memecatmu dari ketaatan dan pengabdian terhadap-Nya, memutus limpahan taufik-Nya darimu, memalingkan wajah-Nya yang mulia darimu, membencimu, membuatmu sibuk dengan bencana, dunia, hawa nafsu, keinginan dan angan-anganmu. Tidakkah kau tahu bahwa itu semua membuatmu lupa akan Allah dan memutusmu dari Dia yang menciptakanmu, mengurusmu, memeliharamu, mengaruniaimu, memberimu anugerah dan kesejahteraan?

 

Waspadalah, jangan sampai segala sesuatu selain Allah melalaikanmu dari-Nya karena segala sesuatu selain-Nya bukanlah Tuhanmu. Jangan mementingkan sesuatu selain Allah karena Dia menciptakanmu semata-mata untuk-Nya. Janganlah berbuat zalim terhadap dirimu sendiri dengan melupakan perintah-Nya karena sibuk dengan segala sesuatu selain-Nya.

 

Akibatnya, Allah akan menjerumuskanmu ke dalam api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan. Engkau pasti akan menyesal, tetapi penyesalanmu itu tidak berguna lagi. Engkau meminta ampun, tetapi tiada lagi ampunan bagimu. Engkau meratap meminta keridhaan Tuhan, tetapi tiada lagi ridha-Nya bagimu. Engkau meminta dikembalikan ke dunia untuk menebus kesalahan-kesalahanmu dan melakukan amal shalih, tetapi kau tidak akan pernah dikembalikan.

 

Kasihanilah dirimu sendiri dan bersimpatilah padanya. Gunakanlah segala sarana yang dikaruniakan kepadamu berupa upaya, keimanan, makrifat, dan ilmu untuk mengabdi kepada Tuhanmu. Terangilah dirimu dengan cahaya ketaatan dalam menghadapi gelapnya takdir. Pegang teguhlah semua perintah dan larangan Allah, laksanakanlah keduanya di jalan-Nya, dan serahkanlah selain keduanya kepada Dzat yang menciptakanmu. Janganlah ingkar terhadap Dzat yang telah menciptakanmu dari tanah dan mengurusmu yang Dia dijadikan engkau seorang manusia sempurna dari setetes air mani.

 

Janganlah menghendaki (mencari) apa pun yang tidak diperintahkan-Nya, dan jangan membenci (menjauhi) apa pun tidak dilarang-Nya. Cukuplah bagimu berkehendak seperti ini, dan cukuplah membenci seperti ini pula, di dunia dan akhirat. Segala sesuatu yang kau kehendaki haruslah berjalan sebagaimana kehendak di atas. Sebaliknya, segala sesuatu yang kau benci haruslah berjalan sebagaimana kebencian di atas.

 

Jika kau telah berjalan seiring seirama dengan perintah Allah, alam semesta ini akan tunduk pada perintahmu. Jika kau membenci apa yang dibenci oleh Allah, segala hal yang kau benci akan lari tunggang langgang darimu, di mana pun kau berada. Dalam beberapa kitab-Nya (yang terdahulu seperti Injil, Taurat, Zabur, dll.) Allah swt. berfirman, “Wahai bani Adam, Akulah Allah, tiada Tuhan selain Aku. Jika Aku katakan pada sesuatu, ‘Jadilah,’ pasti jadi. Taatlah kepada-Ku, niscaya Kujadikan kau manusia yang jika berkata ‘Jadilah’ pada sesuatu, sesuatu itu pasti jadi.’”

 

Allah swt. juga berfirman, “Wahai dunia, mengabdilah kepada orang yang mengabdi kepada-Ku, dan buatlah susah orang yang mengabdikan diri kepadamu.”

 

Jika larangan Allah datang, bersikaplah seperti orang yang lunglai sendi-sendi tulangnya, panca indranya tak berfungsi, tak punya tenaga, tubuhnya tak berdaya, tak punya gairah, hilang ketampanannya, fisiknya tak berbentuk, kehilangan jejak, halaman rumahnya gelap, bangunannya hancur, rumahnya roboh, atapnya jebol, dan tiada jejak-jejak kehidupan di dalamnya. Bersikaplah layaknya kau tuli sejak lahir, atau buta sejak lahir, mulutmu penuh luka dan bisul, lidahmu kelu, gigimu nyeri dan tanggal, kedua tanganmu lumpuh dan tak kuasa memegang apa pun, kakimu gemetar dan penuh luka, kemaluanmu lemah, perutmu kekenyangan tak mampu Lagi menampung makanan, akalmu gila, dan tubuhmu seakan seperti mayat yang tengah diangkut ke kubur.

 

Engkau mesti segera mendengarkan dan menunaikan semua perintah-Nya, sebagaimana kau mesti enggan dan tak bergairah terhadap semua hal yang dilarang-Nya. Kau juga mesti bersikap layaknya seonggok mayat ketika berhadapan dengan takdir-takdir-Nya. Teguklah minuman ini, berobatlah dengan obat ini, dan santaplah makanan ini, niscaya kau akan selamat dan sembuh. Engkau juga akan sembuh dari berbagai penyakit dosa dan belenggu hawa nafsu, dengan izin-Nya, Insya Allah.

 

Wahai budak nafsu, jangan mengklaim bahwa dirimu telah mencapai kondisi spiritual golongan rabbani! Kau pemuja nafsu, sedang mereka adalah hamba-hamba Allah sejati. Dambaanmu adalah dunia, sedang dambaan mereka adalah akhirat. Matamu hanya melihat dunia, sedang mata mereka melihat Tuhan bumi dan langit. Kau pencinta ciptaan, sedang mereka pencinta Sang Pencipta. Hatimu terpaut pada yang di bumi, sedang hati mereka terpaut pada Tuhan Pemilik Arasy. Kau adalah korban segala yang kaulihat, sedang mereka tak melihat (tak menganggap) segala yang kaulihat. Mereka hanya melihat Sang Pencipta segalanya dan semua hal yang dapat dilihat. Orang-orang ini meraih tujuan hidup mereka pada Dzat Allah sehingga mereka pun memperoleh keselamatan, sedang kau menjadi tawanan hawa nafsu dan kesenangan duniawi.

 

Mereka memalingkan diri dari makhluk, nafsu duniawi, kehendak, dan angan-angan. Dengan demikian, mereka dapat sampai kepada Tuhan Yang Maha Tinggi sehingga Allah pun menuntun mereka untuk taat dan memuja-Nya sesuai yang Dia kehendaki. Itulah anugerah Allah yang Dia berikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Mereka jadikan taat dan pemujaan sebagai kewajiban, dan konsisten menjalan keduanya dengan pertolongan-Nya tanpa mengalami kesulitan. Ketaatan menjadi ruh sekaligus santapan bagi mereka. Di waktu yang sama, dunia bagi mereka adalah siksaan dan kehinaan.

 

Pada akhirnya, dunia bagai surga bagi mereka. Sebab, mereka tidak melihat apa pun, kecuali di balik itu mereka melihat tindakan Dzat yang menciptakan dan menegakkan langit dan bumi, serta menetapkan hidup dan mati. Hal itu karena Allah telah menjadikan mereka pasak bagi bumi yang terhampar ini.

 

Mereka laksana gunung-gunung yang berdiri tegak. Menyingkirlah dari jalan mereka dan jangan coba-coba merintangi manusia-manusia yang bahkan bapak dan anak-anak mereka pun tak mampu menyelewengkan mereka dari tujuan semula. Mereka adalah makhluk terbaik yang diciptakan Tuhan dan disebarkan-Nya di bumi. Semoga kedamaian dan salam penghormatan senantiasa dilimpahkan Allah kepada mereka, selagi langit dan bumi masih ada.

 

Aku pernah bermimpi seolah-olah berada di suatu tempat mirip masjid. Di dalamnya terdapat sekelompok orang yang mengasingkan diri dari orang lain. “Seandainya saja ada seseorang yang mendidik dan memberi bimbingan kepada mereka,” batinku. Aku lantas menunjuk kepada seorang shalih. Orang-orang itu justru datang mengelilingiku. Salah seorang dari mereka bertanya, “Kenapa Anda tak bicara sepatah kata pun?”

 

Aku menjawab, “Jika kalian berkenan, aku akan bicara.” Demi mendengar persetujuan mereka, aku pun melanjutkan, “Jika kalian mengasingkan diri dari orang-orang demi Allah yang Maha Benar, jangan sekali-kali meminta kepada manusia dengan lisan kalian. Jika kalian telah berhenti melakukan itu, jangan sekali-kali meminta kepada manusia dengan hati kalian. Sebab, meminta dalam hati atau dengan lisan itu sama saja. Ketahuilah, setiap waktu Allah berada dalam kesibukan: mengubah dan mengganti, meninggikan dan merendahkan. Ada golongan manusia yang diangkat oleh Allah ke tempat tertinggi (‘illiyyin), ada pula yang diturunkan ke tempat paling rendah (Asfala as-Safilin).

 

Ketakutan mereka yang diangkat ke tempat tertinggi adalah jika mereka harus diturunkan ke tempat terendah, sedangkan harapan mereka adalah agar Allah senantiasa menempatkan dan menjaga mereka di tempat tertinggi, Adapun ketakutan mereka yang diturunkan ke tempat terendah adalah jika Allah membuat mereka langgeng berada di tempat terendah. Sementara harapan mereka adalah agar Allah berkenan mengangkat mereka ke tempat tertinggi.” Kemudian aku pun terjaga dari mimpiku.

 

Tingkatannya Kau akan dijauhkan dari karunia dan nikmat Allah kalau kau masih bergantung pada makhluk, sarana-sarana duniawi, serta upaya dan usaha sendiri. Makhluk adalah penghalang bagimu dalam mencari rezeki sesuai dengan sunah Rasul, yaitu bekerja mencari nafkah.

 

Selama kau bergantung pada makhluk, mengharap pemberian dan anugerah dari mereka, bahkan bolak-balik meminta-minta hingga ke depan pintu rumah mereka, kau telah menyekutukan Allah dengan makhluk-Nya. Akibatnya, Allah akan menghukummu dengan cara menghalangimu dari sumber rezeki yang sesuai dengan sunah, yaitu pekerjaan yang halal.

 

Jika kau telah bertobat dari ketergantungan terhadap makhluk dan dari menyekutukan Allah dengan mereka, lalu kau bergantung pada mata pencaharian yang halal, mencari penghidupan dengannya, bahkan mengandalkan dan merasa nyaman dengan mata pencaharian itu, sedangkan kau lupa akan karunia Allah, sejatinya kau juga telah berbuat syirik (menyekutukan Allah). Hanya saja, ini adalah syirik halus (tersembunyi), lebih halus dari syirik pertama tadi. Akibatnya, Allah akan menghukummu atas kedurhakaanmu ini dan menjauhkanmu dari karunia-Nya.

 

Jika engkau telah bertobat dan membuang jauh-jauh kemusyrikan dari segala sarana mencari penghidupan, kemudian kau campakkan semua ketergantunganmu terhadap upaya, daya, dan kekuatan, lantas kau yakin hanyalah Allah yang memberi rezeki, Dialah Penyebab datangnya rezeki yang sesungguhnya, yang memudahkan dan memberi kekuatan untuk mencari nafkah, yang memberi pertolongan dalam setiap kebaikan, dan bahwa rezeki sepenuhnya berada di tangan-Nya—kadang rezeki itu dilimpahkan-Nya kepadamu melalui orang lain dengan cara kau memintanya pada saat mendapat ujian, atau pada masa perjuangan, atau melalui permohonanmu kepada-Nya.; atau dengan cara lain seperti bekerja sebagai perantara memperoleh rezeki, atau rezeki itu Allah berikan kepadamu secara langsung tanpa kau ketahui perantara atau sebabnya—lantas kau pun akan kembali kepada-Nya dan bersimpuh di hadapan-Nya, Dia pun akan mengangkat sekat yang menjadi penghalang antara kau dan karunia-Nya, membuka pintu-pintu rezeki untukmu, dan memberimu karunia dalam setiap kebutuhanmu sesuai kondisimu saat itu, layaknya seorang dokter yang penuh kasih sayang dan ramah terhadap pasiennya.

 

Itu semua Allah lakukan untuk melindungi dan menyucikanmu agar kau tak berpaling kepada selain Dia.

 

Allah akan menyayangimu dengan limpahan karunia-Nya. Oleh karena itu, apabila hatimu telah terbebas dari segala kehendak, syahwat, kenikmatan, permintaan, dan kecintaan, yang tersisa dalam hatimu hanyalah kehendak Allah semata. Jika Dia telah berkehendak untuk mendatangkan bagian yang memang harus kaudapatkan—dan memang bukan hak orang lain—maka ditimbulkan-Nya di dalam hatimu keinginan untuk meraih bagian itu, lantas didatangkan-Nya padamu. Dia serahkan bagian itu ke tanganmu tatkala kau membutuhkannya.

 

Allah akan membimbingmu dan membuatmu mengerti bahwa bagian itu semata-mata dari-Nya. Dialah yang mendatangkannya padamu. Dialah yang memberimu rezeki itu. Pada titik ini kau akan bersyukur, memahami, dan akhirnya mengerti sehingga Dia pun akan semakin meneguhkanmu dalam menjauhi manusia dan mengosongkan hatimu dari apa pun selain-Nya. Apabila ilmu dan keyakinanmu telah mantap, dadamu telah lapang, hatimu telah tercerahkan, jarak dan kedudukanmu di sisi-Nya semakin dekat, dan kau pun telah pantas menjaga rahasia-rahasia-Nya, kau akan mampu “melihat ke depan” kapan bagianmu itu datang, sebagai kemuliaan bagimu dan sebagai penghargaan atas kehormatanmu. Itu semua merupakan anugerah, pemberian, dan petunjuk Allah swt.

 

Allah swt. berfirman,

 

“Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami selama mereka sabar. Mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. as-Sajdah [32]: 24)

 

Allah juga berfirman,

 

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al-Ankabut [29]: 69)

 

Firman-Nya yang lain,

 

“Bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu.” (QS. al-Baqarah: [2] 282)

 

Kemudian, Allah akan memberimu kemampuan untuk “mencipta”, dengan izin yang jelas dari-Nya, tiada rancu sedikit pun; dengan tanda-tanda yang nyata dan terang benderang bagaikan surya; dengan tutur kata yang manis, lebih manis dari segala yang manis; dan dengan ilham yang benar dan tak sedikit pun ambigu, ilham yang bersih dari dorongan hawa nafsu dan rayuan setan yang terkutuk.

 

Dalam kitab-kitabnya, Allah swt. pernah berfirman, “Wahai Bani Adam, Akulah Allah, tiada Tuhan selain Aku. Jika Aku katakan pada sesuatu, ‘Jadilah,’ pasti jadi. Taatlah kepada-Ku, niscaya Kujadikan kau manusia yang jika berkata ‘Jadilah’ pada sesuatu, sesuatu itu pasti jadi.”

 

Allah telah memberikan kemampuan “mencipta” ini kepada banyak nabi-nabi-Nya, para wali-Nya, dan orang-orang khusus dari Bani Adam.

 

Jika dikatakan, “Kau telah sampai kepada Allah swt. dan mencapai kedekatan dengan-Nya berkat pertolongan dan taufik-Nya,” maka yang dimaksud dengan sampai kepada Allah tersebut adalah kau melepaskan diri dari makhluk, hawa nafsu, kehendak, dan angan-angan, lalu hanya menganggap tindakan Allah semata, tanpa gerakmu pada dirimu sendiri dan gerak orang lain pada dirimu. Kau menganggap bahwa itu semua terjadi dengan keputusan, perintah, dan tindakan-Nya semata.

 

Inilah kondisi fana (lenyap dari makhluk) yang disebut dengan “sampai kepada Allah.” Tentu, sampai kepada Allah tak sama dengan sampai kepada makhluk-Nya yang serba dapat dinalar dan serba terbatas itu. Hal ini sebagaimana firman-Nya,

 

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dia Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat.” (QS. asy-Syura [42]: 11)

 

Allah Maha Tinggi untuk diserupai oleh makhluk-makhluk-Nya atau dibandingkan dengan ciptaan-ciptaan-Nya. Seseorang yang telah sampai kepada Allah, di kalangan ahlul wushul dapat dikenali melalui pemberitahuan Allah kepada mereka satu persatu secara eksklusif. Pengalaman setiap orang dari mereka dalam mengetahui hal ini berbeda-beda dan sangat personal.

 

Hal serupa juga dilakukan Allah kepada para nabi, rasul, dan wali-Nya, di mana Dia memberikan kepada setiap orang dari mereka rahasia yang tak diketahui orang lain. Bahkan, seorang murid terkadang memiliki suatu rahasia dari Allah yang tak diketahui oleh gurunya.

 

Sebaliknya, sang guru terkadang juga memiliki rahasia yang tak diketahui si murid, kendati mungkin suluk si murid sudah mendekati ambang pintu kondisi spiritual sang guru. Jika si murid telah benar-benar sampai pada kondisi spiritual sang guru, ia akan terpisah dari gurunya itu. Allahlah yang akan mengambil alih pembimbingan nya secara langsung. Allah juga akan “menyapihnya” dari seluruh makhluk.

 

Dengan demikian, sang guru bagai seorang pengasuh yang berhenti menyusui sang bayi setelah dua tahun. Tiada lagi baginya hubungan dengan makhluk setelah lenyapnya hawa nafsu dan kehendak pribadinya. Sang guru dibutuhkan selama si murid masih terbelenggu hawa nafsu dan kehendak dalam rangka menghancurkan keduanya. Namun, begitu keduanya musnah maka keberadaan sang guru tak lagi dibutuhkan. Sebab pada dirinya tak ada lagi noda dan kekurangan.

 

Jadi, jika kau sudah sampai kepada Allah sebagaimana yang kami jelaskan di atas, jadilah kau orang yang terbebas dari segala sesuatu selain Allah selamanya. Sehingga, tak kaulihat lagi sesuatu pun, kecuali Allah, di kala suka ataupun duka, diberi maupun ditolak, dan di kala takut maupun berharap. Hanya Allah semata lah yang berhak ditakuti, dan Dia Maha Memberi Ampunan. Lihatlah tindakan Allah selalu, ikutilah perintah-Nya senantiasa, taatlah kepada-Nya selamanya, dan tinggalkanlah seluruh makhluk-Nya di dunia dan akhirat.

 

Jangan tambatkan hatimu pada satu pun makhluk-Nya. Anggaplah seluruh makhluk ini bagaikan seseorang yang ditahan oleh raja sebuah kerajaan besar yang dahsyat titahnya lagi menakutkan siksaannya. Lalu sang raja merantai leher dan kedua kakinya, lantas menyalibnya pada sebatang pohon pinus di tebing sungai berombak besar, amat luas, dalam, dan berarus deras. Sementara itu sang Raja duduk di atas singgasananya. Dia tampak sangat berwibawa, tinggi derajatnya, dan luas kuasanya. Dia bersenjatakan tombak, anak panah, dan berbagai senjata tajam yang tak dapat dimiliki oleh orang lain. Lalu mulailah sang raja mengarahkan dan melesatkan salah satu senjata itu kepada si tawanan.

 

Pantaskah seseorang yang melihat kejadian ini memalingkan pandangan dari sang raja, sama sekali tak takut dan tak berharap kepadanya, sebaliknya dia justru mengarahkan pandangannya kepada si hamba yang tersalib itu seraya takut dan berharap kepadanya? Bukankah, menurut pertimbangan akal sehat, orang semacam ini tergolong tak punya akal, tak punya perasaan, dan gila? Bukankah dia layak disebut binatang? Kita berlindung kepada Allah dari kebutaan hati sesudah mata hati itu terbuka, dari keterputusan setelah sampai (kepada-Nya), dari keterhalangan sesudah kedekatan (dengan-Nya), dari kesesatan sesudah memperoleh petunjuk, dan dari kekufuran sesudah beriman.

 

Dunia ini bak sungai besar berarus deras, sebagaimana telah kita singgung sebelumnya. Setiap hari airnya bertambah. Itulah perumpamaan nafsu hewani manusia, kesenangan duniawi mereka, dan berbagai bencana yang menimpa mereka di dunia. Sedang anak panah dan berbagai senjata tajam itu, merupakan perumpamaan ujian hidup yang telah ditetapkan bagi mereka. Dari sini jelaslah bahwa kehidupan manusia dikuasai oleh berbagai cobaan hidup, kesenangan, penderitaan, dan ujian. Bahkan semua nikmat dan kesenangan yang mereka terima di dunia ini juga dibayang-bayangi oleh berbagai bencana.

 

Jika orang yang berakal menggunakan pikirannya, tidak ada kehidupan dan tidak ada istirahat yang sebenarnya, kecuali di akhirat. Itu pun orang berakal harus dalam keadaan beriman karena hal itu hak khusus bagi seorang mukmin. Rasulullah saw. bersabda,

 

“Tak ada kehidupan selain kehidupan di akhirat.”

 

Rasul juga bersabda,

 

“Tidak ada istirahat bagi seorang mukmin, kecuali bertemu dengan Tuhannya.”

 

Ini semua hanya terjadi pada diri orang beriman. Dalam hadis lain, Rasulullah bersabda,

 

“Dunia ini penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir.”

 

Beliau juga bersabda,

 

“Orang bertakwa itu terkekang.”

 

Jika melihat berbagai hadis dan kenyataan di atas, bagaimana mungkin seorang beriman akan mengaku hidup enak di dunia? Sesungguhnya, kenyamanan hakiki terletak pada penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah dan hubungan sempurna dengan-Nya. Dengan melakukan ini semua, seorang hamba akan terbebas dari dunia ini. Pada titik ini, engkau akan memperoleh ketenangan batin sebagai kasih sayang rahmat, kelembutan, kebajikan, dan anugerah dari-Nya. Wallahu a’lam.

 

Nasihatku kepadamu, janganlah kau mengadukan kebaikan yang engkau peroleh kepada siapa pun, baik kepada kawan maupun lawan. Jangan pula menyalahkan Tuhan atas semua takdir-Nya bagimu dan atas ujian yang ditimpakan-Nya kepadamu. Akan tetapi, tunjukkanlah kebaikan dan rasa syukur karena kepura-puraannya menunjukkan rasa syukur atas nikmat yang sesungguhnya tidak kau terima itu lebih baik dibanding kejujurannya dengan mengadukan secara terang-terangan kebaikan dan ujian yang menimpamu. Adakah makhluk Allah yang luput dari nikmat-Nya?

 

Allah swt. berfirman,

 

“Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya.” (QS. an-Nahl [16]: 18)

 

Berapa banyak nikmat yang telah Kauterima, tetapi engkau tak menyadarinya? Jangan merasa nyaman dengan makhluk, jangan menyenanginya, dan jangan menceritakan ihwalmu kepada siapa pun. Biarlah rasa senangmu, kenyamananmu, dan keluh kesahmu itu hanya tertuju kepada Allah, bukan yang lain. Sebab, sejatinya segala sesuatu selain Allah itu tak mampu mendatangkan bahaya maupun manfaat, tak mampu mendatangkan atau menolak, memuliakan atau merendahkan, mengangkat atau menjatuhkan, memiskinkan atau memperkaya, dan menggerakkan atau mendiamkan.

 

Segala sesuatu adalah ciptaan-Nya. Segalanya berada dalam genggamannya. Segalanya berjalan dengan perintah dan izin-Nya. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Segala sesuatu di sisi-Nya ada ukurannya. Tak ada yang bisa mempercepat apa yang Dia tangguhkan, dan tak ada yang bisa memperlambat apa yang Dia dahulukan. Allah swt. berfirman,

 

“Jika Allah menimpakan suatu bencana kepadamu, tidak ada yang dapat menghilangkannya, kecuali Dia. Jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, tidak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Yunus [10]: 107)

 

Jika kau mengeluh kepada Allah—padahal kau diberi kesehatan dan nikmat—lantaran kau menginginkan tambahan nikmat dan kau menutup mata atas nikmat serta kesehatan yang Dia berikan kepadamu, kau telah melecehkan nikmat itu. Allah niscaya akan murka kepadamu dan mencabut nikmat-Nya darimu. Dia akan mewujudkan segala keluhanmu, melipatgandakan kesusahanmu, memperberat hukuman, kemurkaan dan kebencian-Nya kepadamu. Dia akan membuatmu terhina dalam pandangan-Nya.

 

Janganlah mengeluh sedikit pun, meskipun tubuhmu dipotong-potong menggunakan gunting. Berhati-hatilah, berhati-hatilah, berhati-hatilah! Takutlah kepada Allah, takutlah kepada Allah, takutlah kepada Allah! Selamatkanlah dirimu, selamatkanlah dirimu! Waspadalah, waspadalah! Sebagian besar musibah yang menimpa anak Adam adalah disebabkan oleh keluhan (ke tidak ridhaan) mereka terhadap-Nya.

 

Bagaimana mungkin kita mengeluh kepada Allah, sedangkan Dia Maha Pengasih di antara para pengasih, Sebaik-baik pemberi keputusan, Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Lembut terhadap hamba-hamba-Nya, dan Dia tidak berbuat zalim terhadap hamba-hamba-Nya. Ibarat seorang dokter yang bijaksana, dicintai, penyayang, santun, dan akrab dengan pasiennya, begitulah Allah. Akankah kita menuduh seorang ibu kandung yang penuh kasih sayang (sebagai orang jahat terhadap anaknya)?

 

Nabi Muhammad saw. bersabda,

 

“Allah lebih penyayang terhadap hamba-Nya daripada seorang ibu terhadap anaknya.” Wahai orang yang malang, perbaikilah etikamu! Bersabarlah saat kau ditimpa musibah, meski kau tak berdaya untuk bersabar. Bersabarlah selalu, meski kau tak berdaya untuk menerima takdir-Nya. Jika kau memperoleh sesuatu, berpuas dirilah. Jika kau kehilangan sesuatu, lenyapkanlah dirimu. Wahai belerang merah’! Di manakah dirimu? Di manakah kau berada? Di manakah kau dapat ditemukan? Tidakkah kau dengar firman Allah,

 

“Diwajibkan atasmu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Namun, boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. al-Baqarah [2]: 216)

 

Allah menyembunyikan ilmu hakikat segala sesuatu darimu dan menghalangimu darinya. Oleh karena itu, jagalah etikamu jika kau membenci ataupun mencintai sesuatu.

 

Jika kau telah berada di maqam taqwa, ikutilah ketentuan syariat dalam segala hal yang menimpamu. Inilah tingkatan pertama. Kemudian, manakala kau telah berada di maqam kewalian (wilayah) dan hawa nafsumu telah padam, ikutilah perintah dan janganlah kaulanggar perintah itu. Inilah tingkatan kedua. Ketika engkau kau telah berada di tingkat wali abdal, ghauts, quthub, dan shiddiq, hendaknya kau ridha terhadap ketentuan Allah, serasikanlah dirimu dengan-Nya dan lenyapkanlah dirimu pada-Nya. Inilah tingkatan terakhir.

 

Menyingkirlah dari jalan takdir. Janganlah kau coba-coba merintanginya. Usirlah hawa nafsumu, tahanlah lisanmu dari segala keluhan. Jika kau telah menjalani ini dan ternyata takdirmu baik, Allah akan menambahkan kebaikan, kebahagiaan, dan kenikmatan untukmu. Namun, jika ternyata takdirmu buruk, Allah akan menjagamu agar tetap berada dalam ketaatan terhadap-Nya dan menghilangkan kehinaan darimu. Allah akan melenyapkanmu dalam takdir itu sampai takdir itu berlalu kala waktunya telah tiba, sebagaimana malam yang berganti siang dan musim dingin yang berganti musim panas. Itulah perumpamaan-perumpamaan untukmu. Ambillah pelajaran dari mereka (para wali).

 

Kemudian, jauhilah segala dosa, kesalahan, dan noda akibat berbagai perbuatan maksiat. Sebab, tak seorang pun layak berinteraksi dengan Tuhan, kecuali orang yang suci dari segala kotoran dosa dan kesalahan. Tak seorang pun dapat memasuki pintu-Nya, kecuali orang yang suci dari segala tuduhan buruk terhadap-Nya, sebagaimana tak layak berada di sisi seorang raja, kecuali orang yang bersih dari kotoran dan bau busuk.

 

Oleh karena itu, semua musibah yang menimpa kita merupakan penebus dosa dan pembersih diri. Nabi saw. bersabda,

 

“Demam sehari adalah penebus dosa setahun.”

 

Sungguh benar apa yang dikatakan Rasulullah saw.

 

Menuai Nikmat Jika iman dan keyakinanmu masih lemah, lalu kau mengutarakan sebuah janji, tepatilah janji itu dan jangan sekali-kali melanggarnya supaya iman dan keyakinanmu itu tidak sirna. Namun, jika iman dan keyakinanmu itu telah kuat dan mantap di dalam hatimu, kau telah menjadi objek dari firman Allah,

 

“Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi di lingkungan kami dan dipercayai.” (QS. Yusuf [12]: 54)

 

Firman Allah ini akan tertuju kepadamu berulang. ulang, dari satu kondisi spiritual ke kondisi lainnya sehingga engkau pun termasuk golongan orang-orang khusus (khawash), bahkan orang khusus di antara orang. orang khusus (khawashul khawash). Tak tersisa lagi pada dirimu kehendak atau tujuan pribadi, amal yang dapat kausombongkan, kedekatan yang dapat kaulihat, dan kedudukan yang dapat kau pandang sehingga membuat keinginanmu tercurah seluruhnya pada kedekatan dan kedudukan itu.

 

Kau seolah-olah menjadi sebuah bejana bocor yang tak dapat menampung satu cairan pun sehingga hatimu bersih dari kehendak, makhluk, serta keinginan untuk meraih sesuatu baik di dunia maupun di akhirat. Kau akan dibersihkan dari segala sesuatu selain Allah, dianugerahi keridhaan terhadap Allah, dan dijanjikan keridhaan Allah terhadapmu. Kau akan diberi rasa nikmat dan lezat dengan segala perbuatan Allah padamu.

 

Pada saat itulah, kau akan diberi suatu janji. Jika kau merasa puas dengan janji itu dan kau mendapati tanda-tanda suatu keinginan di dalamnya, kau akan diberikan oleh-Nya janji lain yang lebih luhur dan lebih mulia. Kau akan dibuat merasa tak lagi butuh terhadap janji pertama itu. Pintu-pintu ilmu pengetahuan akan dibukakan untukmu, misteri-misteri tersembunyi, hakikat-hakikat kebijaksanaan, dan berbagai maslahat terpendam yang terdapat dalam perpindahan dari satu janji ke janji jain yang lebih tinggi itu akan disingkap untukmu. Di sini, kau akan dianugerahi peningkatan posisi spiritual dalam memelihara hal (keadaan ruhani) dan maqam (kedudukan).

 

Demikian pula kepercayaan yang diberikan kepadamu dalam menjaga berbagai rahasia ilahi, kelapangan dadamu, keceriaan hatimu, kefasihan lidahmu, serta hikmah di balik cinta yang dianugerahkan kepadamu. Semua itu akan ditingkatkan untukmu. Sehingga, kau akan menjadi kesayangan seluruh makhluk, baik dari golongan jin dan manusia atau makhluk-makhluk lainnya di dunia dan di akhirat.

 

Ketika kau telah menjadi kekasih Allah, sedangkan seluruh makhluk pun tunduk kepada-Nya dan cinta mereka berada dalam naungan cinta-Nya sebagaimana kebencian mereka berada dalam naungan kebencian-Nya. Jika kau telah mencapai kedudukan yang di dalamnya, kau tak lagi memiliki hasrat terhadap apa pun sehingga kau akan dibuat berhasrat terhadap sesuatu.

 

Jika hasrat terhadap sesuatu itu telah mewujud nyata dalam dirimu, hasrat itu akan kembali dilenyapkan darimu. Kau dijauhkan dari sesuatu yang kauinginkan itu. la tidak diberikan padamu di dunia ini, melainkan akan diberi gantinya di akhirat nanti dengan sesuatu yang dapat menambah kedekatanmu terhadap Tuhan yang Maha Tinggi dan pemandangan yang menyejukkan kedua matamu di surga Firdaus dan Ma’wa nanti.

 

Namun, jika kau tak berhasrat, tak berharap, dan tak mengangankan apa pun di dunia ini—negeri yang fana, tempat yang penuh beban dan kepenatan—melainkan tujuanmu semata-mata hanyalah Sang Maha Pencipta, Maha Memberi dan Maha Menahan, Dzat yang membentangkan bumi dan menegakkan langit—sebah itulah tujuan, keinginan, dan harapanmu yang sejati—dan bisa jadi kau malah diberi sesuatu yang lebih rendah dari itu semua setelah kau berputus asa dan matamu pun buta, saat itulah Allah akan menghalangimu dari hasrat tersebut. Kau akan diberi gantinya di akhirat nanti, sebagaimana telah kita bicarakan sebelumnya. Wallahu a’lam.

 

Nabi Muhammad saw. bersabda,

 

“Tinggalkanlah sesuatu yang membuatmu ragu, dan kerjakanlah sesuatu yang tidak membuatmu ragu.”

 

Jika sesuatu yang meragukanmu bercampur dengan sesuatu yang tidak meragukan, tinggalkanlah yang meragukan itu dan ambillah yang tidak meragukan dengan penuh keyakinan. Jika sesuatu yang meragukan dan bercampur itu telah terbebas sepenuhnya dari kekacauan dan kebimbangan di dalam hati, berhentilah sejenak. Tunggulah datangnya perintah batin.

 

Jika kau diperintahkan untuk mengambilnya, lakukanlah. Jika kau dilarang untuk mengambilnya, tinggalkanlah. Anggaplah sesuatu yang dilarang itu tidak pernah ada sebelumnya. Kembalilah ke pintu gerbang Allah dan carilah rezeki dari sisi Tuhanmu. Andaikata kau merasa tak sanggup bersabar, pasrah, ridha, atau fana, ingatlah bahwa Allah swt. tak butuh diingat. Dia tak lupa terhadapmu dan makhluk-makhluk lain selain dirimu.

 

Dia memberi rezeki orang-orang kafir, munafik, dan mereka yang berpaling dari-Nya, lantas bagaimana mungkin Dia melupakanmu, duhai orang yang beriman dan bertauhid, duhai manusia yang senantiasa patuh kepada-Nya dan teguh menunaikan perintah-perintah-Nya siang dan malam?

 

Penjelasan lain: campakkanlah segala sesuatu yang ada di tangan manusia, jangan menginginkannya, dan jangan kau buat hatimu terpaut padanya. Jangan pula berharap atau takut kepada makhluk, dan ambillah karunia Allah yang tidak meragukanmu. Hendaknya kau hanya memiliki satu pemberi rezeki, satu tumpuan harapan, satu yang ditakuti, satu entitas (wujud), dan satu tujuan, yaitu Tuhanmu yang Maha Mulia lagi Maha Agung.

 

Dialah Dzat yang memegang ubun-ubun (menguasai) para raja dan mengendalikan hati manusia yang merupakan rajanya badan. Seluruh harta makhluk adalah milik-Nya. Sementara mereka hanyalah wakil dan pemegang amanat-Nya. Uluran tangan manusia yang memberimu sesuatu pun terjadi dengan izin, perintah-Nya. Dialah yang menggerakkan tangan mereka. Begitu pula jika mereka menahan tangannya darimu, sejatinya yang melakukannya adalah Allah. Allah swt. berfirman,

 

“Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.” (QS. an-Nisa’ [4]: 32)

 

“Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rezeki kepadamu; maka mintalah rezeki dari Allah, dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nya kamu akan dikembalikan.” (QS. al-‘Ankabut [29]: 17)

 

“Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, (jawablah) sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku.” (QS. al-Baqarah [2]: 186)

 

“Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu.” (QS. al-Mu’min [40]: 60)

 

“Sungguh Allah, Dialah Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (QS. adz-Dzariyat [51]: 58)

 

“Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa perhitungan.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 37)

 

Suatu waktu aku melihat Iblis yang terkutuk di dalam mimpi. Seolah-olah aku berada di tengah kerumunan manusia, dan aku sangat ingin membunuhnya.

 

Si laknat itu berkata kepadaku, “Mengapa kau hendak membunuhku, apa dosaku? Jika Tuhan telah menakdirkan kejahatan terjadi, aku tak kuasa mengubah dan menjadikannya kebaikan. Demikian juga sebaliknya, jika Tuhan telah menakdirkan kebaikan terjadi, aku pun tak kuasa mengubahnya menjadi kejahatan. Lantas apa yang ada dalam kuasaku?”

 

Aku mendapati rupa Iblis itu seperti seorang banci, suaranya lembut, buruk rupa, janggutnya panjang dan lebat, fisiknya buruk rupa. Dia lalu tersenyum padaku penuh rasa malu dan takut. Itu terjadi pada malam Ahad, 12 Dzul Hijjah 516 H. Hanya Allah yang dapat memberi petunjuk untuk melakukan segala kebaikan.

 

Allah senantiasa menguji hamba-Nya yang beriman sesuai kadar imannya. Jika imannya kuat dan mantap, cobaannya pun dahsyat. Cobaan seorang rasul lebih besar daripada cobaan seorang nabi karena iman rasul lebih tinggi daripada iman nabi. Cobaan seorang nabi lebih besar daripada cobaan seorang wali abdal. Cobaan seorang wali abdal lebih besar daripada cobaan seorang wali biasa. Setiap orang diuji menurut kadar iman dan keyakinannya.

 

Ungkapan ini berdasar pada sabda Nabi Muhammad saw.,

 

“Sesungguhnya kami—para Nabi—adalah orang-orang yang paling berat ujiannya, kemudian orang-orang yang lebih rendah, kemudian yang lebih rendah lagi.”

 

Oleh karena itu, Allah terus menguji manusia-manusia mulia ini agar mereka senantiasa berada di sisi-Nya dan tidak lalai. Allah mencintai mereka. Merekalah Para pemilik cinta Tuhan yang senantiasa mencintai-Nya, Allah tidak ingin orang-orang yang dicintai-Nya itu jauh dari-Nya. Maka, berbagai ujian yang menimpa mereka adalah dalam rangka “merebut” hati dan mengikat jiwa mereka dari kecenderungan terhadap segala sesuatu yang bukan tujuan hidup mereka. Ujian itu juga dalam rangka menjauhkan mereka dari perasaan senang dan cenderung kepada segala sesuatu selain Allah Yang Maha Pencipta.

 

Ketika hal ini telah menjadi kondisi abadi mereka, hawa nafsu mereka meleleh dan hancur lebur. Kebenaran telah mengalahkan kebatilan sehingga syahwat, hasrat, serta kecenderungan terhadap segala kesenangan hidup baik di dunia maupun akhirat—lenyap dari mereka, berganti kebahagiaan dengan janji Allah, keridhaan terhadap takdir dan segala pemberian-Nya, kesabaran terhadap ujian-Nya, keselamatan dari kejahatan makhluk-Nya, dan seterusnya yang berhubungan dengan kebahagiaan hati.

 

Dengan demikian, hati mereka semakin bertambah kuat dan layak mengendalikan seluruh anasir tubuh. Ini tak lain karena cobaan memperkuat hati dan keyakinan, memperteguh iman dan kesabaran, serta melumpuhkan hawa nafsu. Tatkala penderitaan datang mendera orang beriman, tapi dia bersabar, ridha, dan pasrah terhadap segala perbuatan Allah, Allah pun akan ridha dan berterima kasih kepada-Nya. Lantas, datanglah pertolongan, karunia, dan taufik kepadanya. Allah swt. berfirman,

 

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu.” (QS. Ibrahim [14]: 7)

 

Namun, jika manusia bergerak mencari sasaran pemuas hawa nafsu dan kenikmatan, lalu hatinya menuruti keinginannya tanpa perintah dan izin dari Allah, akibatnya adalah lalai dari Allah, syirik, dan maksiat kepada-Nya sehingga Allah pun menimpakan kepadanya kehinaan, bencana, luka, kecemasan, menjadikannya budak makhluk, menurunkan padanya kepedihan, penyakit, siksaan, dan kekacauan hidup.

 

Hati dan jiwa akan mendapat bagiannya masing-masing. Jika keduanya tidak memedulikan keinginan itu sampai datang izin Allah melalui ilham (bagi para wali), atau melalui wahyu (bagi para nabi dan rasul), lalu tindakan diambil atas dasar ilham dan wahyu tersebut, baik berupa pemberian maupun penolakan, Allah akan menganugerahi jiwa dan hati itu kasih sayang, keberkahan, keselamatan, keridhaan, cahaya, makrifat, kekayaan, keselamatan dari bencana, serta kemenangan atas lawan. Ketahuilah dan camkan hal ini.

 

Bekerja keraslah untuk menyelamatkan dirimu dari bencana, yaitu bencana akibat terburu-buru menuruti kehendak hawa nafsu. Berhenti dan tunggulah izin dari Allah dalam hal ini, agar kau senantiasa selamat di dunia ini dan di akhirat kelak. Insya Allah.

 

Terimalah maqam atau kedudukan spiritualmu yang rendah dan pegang teguhlah itu, sampai datang takdir Allah untuk menempatkanmu di tempat yang lebih tinggi dan lebih mulia. Di tempat itu kau akan hidup tenteram, kekal, terlindungi dari kesulitan hidup di dunia dan akhirat, serta terbebas dari segala konsekuensi dan kehancuran. Engkau akan dibawa ke tempat yang lebih menyejukkan matamu dan menenteramkanmu.

 

Ketahuilah, bagianmu tak akan lepas darimu meskipun kau tak mengupayakannya, sedang yang bukan bagianmu tak akan pernah kauraih walau kau berupaya keras untuk meraihnya. Oleh karena itu, bersabarlah, tetaplah teguh, dan terimalah keadaanmu. Jangan mengambil apa pun sebelum datang perintah untukmu, jangan memberi apa pun, jangan bergerak, dan jangan diam sebelum datang perintah untukmu. Jika kau melakukan itu, kau akan teraniaya oleh dirimu dan oleh orang lain yang lebih buruk darimu. Sebab, dengan demikian berarti kau telah berbuat zalim, dan kezaliman tidak akan pernah luput dari Tuhan.

 

Allah swt. berfirman,

 

“Demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang zalim berteman dengan sesamanya.” (QS. al-An’am [6]: 129)

 

Ketahuilah bahwa kau berada di dalam istana Raja yang perintah-Nya berdaulat, kekuasaan-Nya dahsyat, tentara-Nya tiada terhingga, kehendak-Nya pasti terjadi, keputusan-Nya tak bisa dibantah, kerajaan-Nya kekal, kekuasaan-Nya abadi, pengetahuan-Nya mendalam, kebijaksanaan-Nya paling tinggi, hukumnya paling adil,

 

“Tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya sekalipun seberat zarrah, baik yang di langit maupun yang di bumi.” (QS. Saba’ [34]: 3)

 

Tak satu pun kezaliman orang-orang yang berbuat zalim akan luput dari-Nya, sedangkan kaulah manusia paling zalim, kaulah pendosa paling besar. Sebab kau telah menyekutukan-Nya dengan hawa nafsumu melalui tindakanmu pada dirimu sendiri dan pada makhluk-Nya yang lain. Allah swt. berfirman,

 

“Wahai anakku! Janganlah engkau menyekutukan Allah, sesungguhnya menyekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman [31]: 13)

 

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena menyekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. an-Nisa [4]: 48)

 

Berupayalah sekuat daya untuk meninggalkan syirik (menyekutukan Allah). Jangan kaudekati dosa ini, jauhilah dia dalam setiap gerak dan diammu, siang dan malammu, ketika sendiri ataupun saat di tengah keramaian. Waspadalah terhadap segala bentuk dosa dalam anasir tubuhmu maupun dalam hatimu. Tinggalkanlah dosa yang tampak maupun yang tersembunyi.

 

Jangan melarikan diri dari Allah karena Dia pasti akan menemukanmu. Jangan memusuhi-Nya atas takdir-Nya padamu karena Dia pasti akan meremukkanmu. Jangan menyalahkan keputusan-Nya karena Dia pasti akan menghinakanmu. Jangan melupakan-Nya karena Dia pasti akan menegurmu dan memberimu bencana. Jangan berbuat macam-macam di dalam rumah-Nya karena Dia pasti akan membinasakanmu.

 

Jangan berbicara tentang agama-Nya dengan hawa nafsumu karena Dia pasti akan membinasakanmu, membuat hatimu gelap, mencabut iman dan makrifatmu, membuatmu dikuasai oleh setan-setanmu, hawa nafsumu, syahwatmu, keluargamu, tetanggamu-tetanggamu, sahabat dan kawan-kawanmu, dan seluruh makhluk-Nya, termasuk kalajengking, ular, jin, bahkan singa di dalam rumahmu. Sehingga dengan demikian kau akan hidup sengsara di dunia, dan di akhirat kau akan terus menerus mendapat siksaan.

 

Jauhilah maksiat kepada Allah sekuat daya, berpegang teguhlah pada pintu-Nya sebenar-benarnya. Keluarkanlah segenap kekuatan dan usahamu untuk taat kepada-Nya seraya bertobat, merendahkan diri, memelas, tunduk, khusyuk, menundukkan kepala, tidak memandang makhluk-Nya, tidak menuruti bujuk rayu hawa nafsu, tidak mengharap imbalan duniawi ataupun ukhrawi, dan tidak menginginkan derajat tinggi atau kedudukan mulia.

 

Camkanlah bahwa kau adalah budak-Nya. Seorang budak beserta segala miliknya adalah milik tuannya. Ia tak memilik hak apa pun terhadap Tuhan-Nya.

 

Perbaikilah etikamu dan jangan salahkan Tuhanmu,. Sebab, segala sesuatu di sisi-Nya ada ukurannya. Tak ada yang bisa mempercepat apa yang Dia tangguhkan, dan tak ada yang bisa memperlambat apa yang Dia dahulukan, Segala sesuatu yang memang telah Dia takdirkan untukmu pasti akan datang padamu pada waktunya, baik kau suka maupun benci. Jangan mendikte Tuhan mengenai apa yang harus Dia lakukan.

 

Jangan meminta, jangan pula bersedih hati (iri) atas apa yang dimiliki orang lain. Sebab, apa yang tak kau miliki terdapat dua kemungkinan: akan menjadi milikmu atau menjadi milik orang lain. Jika sesuatu itu milikmu, dia pasti akan datang padamu dan kau akan “disetir” untuk mendatanginya. Kau akan mendapatinya dalam waktu dekat. Adapun jika sesuatu itu bukan milikmu, kau akan dijauhkan darinya dan dia akan disingkirkan darimu. Lantas di manakah keduanya akan bertemu?

 

Karena itu, sibukkanlah dirimu dengan memperbaiki etika dalam hal ketaatan kepada Allah swt. di masa mendatang, jangan kau angkat kepalamu, jangan pula menoleh kepada selain Dia. Allah swt. berfirman,

 

“Janganlah engkau tujukan pandangan matamu kepada kenikmatan yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka, (sebagai) bunga kehidupan dunia, agar Kami uji mereka dengan (kesenangan) itu. Karunia Tuhanmu lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Ta Ha [20]: 131)

 

Allah melarangmu untuk cenderung kepada segala sesuatu yang tidak dapat mengantarkanmu kepada-Nya. Dia memberimu rezeki berupa ketaatan, Dia memberimu bagian, rezeki, dan anugerah dari-Nya. Dia memperingatkanmu bahwa segala hal di luar itu hanyalah ujian yang ditimpakan kepada mereka (yang memperolehnya). Ridhamu atas bagian yang Dia berikan kepadamu adalah lebih baik, lebih kekal, lebih berkah, Lebih layak, dan lebih utama bagimu.

 

Jadikanlah ini sebagai ketekunan, konsistensi, tempat tinggal, jargon, pakaian, keinginan, tujuan, syahwat, dan angan-anganmu. Niscaya kau akan meraih segala tujuan, segala posisi kaucapai, segala kebaikan, kenikmatan, keajaiban, kebahagiaan, dan kemuliaan kaugapai. Allah swt. berfirman,

 

“Maka tidak seorang pun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyenangkan hati sebagai balasan terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS, as-Sajdah [32]: 17)

 

Tidak ada lagi amal setelah ibadah yang lima itu dilaksanakan, dan meninggalkan dosa. Tak ada yang lebih besar, lebih agung, lebih mulia, lebih dicintai dan diridhai Allah dibanding apa yang telah kita singgung. Semoga Allah memberi kita semua taufik untuk melaksanakan apa yang dicintai dan diridhai-Nya.

 

Wahai manusia yang malang! Wahai manusia yang dunia beserta isinya berpaling darinya! Wahai manusia hina dina namanya di mata penguasa dunia! Wahai si lapar, wahai si haus, dan si telanjang! Wahai manusia yang hatinya kering kerontang, yang merambah ke setiap sudut dunia, di masjid-masjid, di lembah-lembah, di reruntuhan. Wahai manusia yang terusir dari segala pintu, tertolak dari segala keinginan, yang remuk, yang hatinya dipenuhi segala kebutuhan hidup dan keinginan.

 

Sekali-kali jangan pernah berkata, “Allah telah membuatku miskin, menjauhkan dunia dariku, menipuku, meninggalkanku, menjauhiku, mencerai beraikanku dan tidak mempersatukanku, menghinakanku, tidak memberiku jatah dunia yang cukup, membuatku tidak terkenal di tengah manusia dan kawan-kawanku, justru Allah melimpahkan nikmat kepada orang lain. Mereka mempergunakan nikmat itu siang dan malam. Allah pun lebih mengunggulkan mereka dibanding diriku dan keluargaku, padahal kami sama-sama muslim dan sama-sama beriman, dan nenek moyang kami sama-sama Adam dan Hawa.”

 

Allah telah memperlakukanmu begitu sebab fitrahmu adalah bebas, dan kasih sayang Allah terus-menerus terlimpah kepadamu dalam bentuk kesabaran, keridhaan, keyakinan, keselarasan dengan-Nya, ilmu, serta cahaya iman dan tauhid. Dengan begitu, akarnya dan benih pohon imanmu menjadi kuat, daunnya rindang, senantiasa berbuah, bercabang-cabang, subur, dan teduh. Pohon itu senantiasa tumbuh besar setiap hari sehingga tak perlu lagi disiram air atau dipupuk.

 

Urusan Allah dengan persoalan-persoalanmu itu telah tuntas. Dia akan memberimu rumah abadi di akhirat dan menganugerahimu berbagai nikmat di dalamnya. Dia akan melimpahkan padamu berbagai anugerah yang tak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga, dan tidak pernah terbesit dalam pikiran. Allah swt. berfirman,

 

“Tidak seorang pun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyenangkan hati sebagai balasan terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. as-Sajdah [32]: 17)

 

Kalimat “apa yang telah mereka kerjakan” dalam ayat di atas maksudnya: segala yang mereka perbuat di dunia seperti menaati perintah Allah, bersabar dalam meninggalkan maksiat, pasrah dan berserah diri kepada-Nya dalam setiap takdir, serta menyelaraskan diri dengan Allah dalam segala urusan.

 

Adapun orang lain—yang oleh Allah diberi segala kenikmatan dunia dan dianugerahi berbagai karunia-Nya

 

Allah berbuat demikian pada orang itu karena tempat imannya adalah tanah tandus dan batu cadas yang tak dapat menampung air dan menumbuhkan pepohonan. Tanaman dan buah-buahan pun tak dapat tumbuh dengan baik. Maka, Allah pun menurunkan hujan dan berbagai jenis air lainnya sehingga tanaman dan pepohonan itu bisa tumbuh.

 

Dengan air itu, Allah menjaga kelestarian pohon iman dan tanaman amal yang Dia tumbuhkan di dunia. Seumpama Allah tidak menurunkan air itu, tentu pepohonan dan tetumbuhan akan kering, buah-buahan tak tumbuh, perkampungan akan hancur. Sementara, Allah hendak memakmurkan dunia ini.

 

Pohon iman orang yang kaya itu lemah akarnya dan kosong dari segala hal yang mengisi pohon imanmu, wahai si miskin. Makanan dan kelestarian pohon itu bergantung pada dunia dan berbagai kenikmatan yang dia miliki. Seandainya dunia dan segala kenikmatannya itu dicabut darinya, sedangkan pohon imannya lemah maka pohon itu pasti akan kering, bahkan dapat mengantarkannya pada kekufuran, penentangan terhadap Tuhan, dan memasukkannya ke dalam golongan orang-orang munafik, murtad dan kafir, kecuali jika Allah mengirimkan pada orang kaya itu bala tentara kesabaran, keridhaan, keyakinan, taufik, ilmu, dan berbagai makrifat sehingga imannya pun kuat. Jika demikian kondisinya, dia tak akan peduli dengan tercabutnya dunia dan segala kenikmatan darinya.

 

Hanya Allah yang Maha Memberi petunjuk dan Maha Memberi taufik.

 

Jangan kau sibak tabir yang menutupi wajahmu sampai kau bisa terlepas dari makhluk, memalingkan hatimu darinya dalam segala kondisi, dan sampai hawa nafsu, kehendak, serta angan-anganmu lenyap. Jika kau telah melakukan semua itu, engkau akan lenyap dari seluruh entitas di dunia atau pun di akhirat sehingga engkau pun menjadi laksana bejana bocor yang tak mampu menampung air. Tak tersisa padamu selain kehendak Tuhanmu yang Mahakuasa. Seluruh dirimu terisi oleh Allah dan hukum-Nya.

 

Tatkala yang palsu telah keluar, masuklah Cahaya. Tiada tempat di dalam hatimu, kecuali bagi Tuhanmu. Kau akan menjadi penjaga pintu kalbumu, dan kau dikaruniai pedang tauhid, keagungan dan jabarut (kekuatan). Siapa pun yang kaulihat hendak mendekati pintu kalbumu, akan kaupenggal kepalanya, agar tak ada lagi kepatuhan bahkan suara sedikit pun bagi dirimu, hawa nafsumu, kehendakmu, serta dambaanmu di dunia ini dan di akhirat kelak.

 

Tidak ada pendapat yang pantas diikuti, kecuali kepatuhan terhadap perintah-perintah Allah, berdampingan bersama-Nya, menerima qadha dan takdir-Nya, bahkan melenyapkan diri dalam qadha dan qadar itu. Dengan demikian, kau akan menjadi hamba Tuhan berikut perintah-Nya yang sejati, bukan hamba makhluk berikut pendapat-pendapat mereka.

 

Jika kondisi ini terus berlanjut dalam dirimu, di sekeliling hatimu akan dibangun tenda-tenda semangat dan parit-parit keagungan. Hatimu akan dikelilingi kekuatan jabarut, dijaga oleh bala tentara hakikat dan tauhid, serta dilindungi oleh para pengawal kiriman Allah swt. Dengan demikian, segala makhluk seperti setan, hawa nafsu kebinatangan, kehendak, angan-angan semu, klaim-klaim palsu yang timbul dari tabiat, nafsu amarah, serta kesesatan yang tumbuh dari hawa nafsu, tidak akan dapat menerobos masuk ke dalam hatimu yang terkawal rapat itu.

 

Pada saat itu, jika ditakdirkan bahwa orang-orang akan datang kepadamu terus-menerus tiada henti demi mendapatkan cahaya yang berkilauan, tanda-tanda yang terang benderang, dan ilmu yang mendalam, serta agar mereka dapat melihat langsung karamah” dan hal-hal luar biasa darimu dalam rangka menambah kedekatan, ketaatan, dan usaha mereka untuk beribadah kepada Allah, kau akan tetap terlindungi dari mereka. Semua itu tidak akan dapat memengaruhimu untuk menuruti hawa nafsu, bersikap sombong, serta berbangga diri karena mereka telah datang dan meminta tolong kepadamu.

 

Demikian pula jika ditakdirkan kau mendapat istri yang cantik jelita dengan segala kekayaan dan harta bendanya. Kau akan diselamatkan dari keburukan-keburukannya, dari beban-beban dirinya atau keluarganya. Dia bagimu akan menjadi karunia yang menyenangkan, yang suci dari segala sifat suka menipu, kekejian, iri dengki, suka marah, dan berkhianat saat kau tak ada. Dia akan takluk padamu. Beban dia dan keluarganya akan dijauhkan darimu, kau pun akan terhindar dari siksaan hidup karenanya.

 

Jika dia ditakdirkan melahirkan anak, anak itu akan menjadi anak yang shalih dan akan menjadi keturunan yang baik serta menenangkan jiwa. Allah swt. berfirman,

 

“Dan Kami jadikan istrinya dapat mengandung.” (QS. al-Anbiya’ [21]: 90)

 

“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Furqan [25]: 74)

 

“Jadikanlah dia, Ya Tuhanku, seorang yang diridhai.” (QS. Maryam [19]: 6)

 

Maka, doa-doa sebagaimana tertera dalam ayat-ayat di atas akan menjadi nyata dan terkabul bagimu, tak soal apakah kau memanjatkan doa-doa ini atau tidak.

 

Sebab, doa-doa itu memang sudah seharusnya berada di tempatnya dan ditujukan kepada orang yang layak menerimanya. Orang yang paling layak mendapat nikmat tersebut adalah para pemilik kedudukan mulia ini. Mereka menempati kedudukan ini seraya mendapat anugerah dari Allah dan kedekatan kepada-Nya.

 

Demikian halnya jika hal-hal dunia itu ditakdirkan mendatangimu. Ia tak akan membahayakanmu sedikit pun. Apa yang menjadi bagianmu dari dunia, pasti akan kau dapatkan setelah terlebih dahulu disucikan oleh-Nya dan muncul perintah dari-Nya untuk meraih bagian itu. Kau pun melaksanakan perintah itu dan mendapat pahala dari usahamu untuk meraih bagian itu, sebagaimana kau memperoleh pahala karena menunaikan shalat dan puasa wajib.

 

Adapun yang bukan bagianmu, kau akan diperintahkan untuk memberikannya kepada yang berhak, seperti para sahabat, tetangga, saudara-saudara yang fakir, serta orang-orang yang harus mendapat bagian lainnya, sesuai kondisi saat itu. Kau akan mengetahui kondisi yang sebenarnya dan mampu membedakan (orang-orang yang patut diberi dan orang-orang yang tidak patut diberi) karena kabar burung tidaklah sama dengan penyaksian langsung.

 

Semuanya akan tampak terang olehmu, tidak ada keraguan dan tidak ada kesamaran lagi padamu. Oleh karena itu, bersabarlah, bersabarlah! Ridhalah, ridhalah! Jagalah kondisi spiritualmu, jagalah kondisi spiritualmu! Sembunyikan dirimu, sembunyikan dirimu! Tenanglah, tenanglah! Diamlah, diamlah! Tutuplah mulutmu, tutuplah mulutmu! Waspadalah, waspadalah! Selamatkanlah dirimu, selamatkanlah dirimu! Segeralah, segeralah! Allah, Allah, dan Allah!

 

Tundukkanlah kepalamu, tundukkanlah kepalamu! Palingkanlah pandanganmu, palingkanlah pandanganmu! Malulah, malulah! Lakukanlah semua itu, hingga datang takdir kepadamu dan tanganmu dituntun untuk melangkah maju. Kemudian, segala sesuatu yang memberatkanmu akan lenyap. Lantas kau pun akan tenggelam di lautan keutamaan, anugerah, dan kasih sayang Allah. Kau juga akan dianugerahi pakaian cahaya, rahasia ketuhanan, ilmu yang datang dari Allah, serta hal-hal yang luar biasa.

 

Engkau akan didekatkan kepada-Nya, diberi pengetahuan dan ilham, diajak bicara, diberi karunia, dibebaskan dari segala keperluan, diberi keberanian, dimuliakan, dan firman ini akan ditujukan kepadamu,

 

“Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi di lingkungan kami dan dipercayai.” (QS. Yusuf [12]: 54)

 

Dalam kondisi demikian, cobalah bayangkan kondisi Nabi Yusuf a.s. ketika kata-kata di atas ditujukan kepadanya melalui mulut raja Mesir atau Firaun di negeri itu. Secara lahir, memang raja itu yang berkata, tetapi sebenarnya Allah-lah yang berkata demikian melalui lisan pengetahuan.

 

Nabi Yusuf diberi kerajaan lahir, yaitu kerajaan Mesir. Ia juga diberi kerajaan batin, kerajaan makrifat, kerajaan ilmu, kedekatan kepada-Nya, keistimewaan, serta kedudukan tinggi di sisi-Nya. Allah berfirman,

 

“Demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri ini untuk tinggal di mana saja yang dia kehendaki. Kami melimpahkan rahmat kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Yusuf [12]: 56)

 

Negeri yang dimaksud dalam ayat di atas ialah Mesir. Mengenai kerajaan batin, Allah berfirman,

 

“Demikianlah, Kami palingkan darinya keburukan dan kekejian. Sungguh, dia (Yusuf) termasuk hamba Kami yang terpilih.” (QS. Yusuf [12]: 24)

 

Mengenai kerajaan makrifat dan pengetahuan, Allah berfirman,

 

“Itu sebagian dari yang diajarkan Tuhan kepadaku. Sesungguhnya aku meninggalkan agama orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, bahkan mereka tidak percaya kepada hari akhirat.” (QS. Yusuf [12]: 37)

 

Apabila kalimat-kalimat sebagaimana ayat-ayat di atas ditujukan kepadamu, berarti kau dianugerahi bagian terbesar dari “ilmu teragung”. Kau pun diberi taufik, anugerah, kekuatan, kewalian biasa, perintah yang dapat memengaruhi ruhani dan non ruhani, serta dianugerahi daya untuk “mencipta”. Semua itu terjadi dengan izin Allah di dunia ini, sebelum akhirat tiba. Adapun di akhirat kelak, yaitu di Negeri Kedamaian dan Surga Tertinggi, kau akan dianugerahi kemampuan untuk memandang wajah Allah yang Mahamulia, sebagai nikmat dan anugerah yang tidak ada habisnya. Allah yang mengizinkan semua itu terjadi karena Allah amat belas kasihan lagi penyayang.

 

Anggaplah kebaikan dan keburukan sebagai dua buah dari dua cabang sebuah pohon. Cabang yang satu menghasilkan buah yang manis, sedangkan cabang yang lain menghasilkan buah yang pahit. Oleh karena itu, tinggalkanlah negeri-negeri, kota-kota, dan seluruh penjuru bumi di mana buah-buahan dari pohon tadi dijajakan. Jauhkanlah dirimu dari negeri ini beserta para penduduknya. Mendekatlah ke pohon itu dan jadilah penjaga dan pelindungnya yang senantiasa berada di sisinya. Kenalilah kedua cabang dan buah tersebut beserta sekelilingnya, kemudian tetaplah kau berada di sisi cabang pohon yang mengeluarkan buah-buahan manis tersebut karena di situlah makananmu berada.

 

Jauhkanlah dirimu dari dahan atau cabang yang menghasilkan buah-buahan yang pahit, jangan makan buahnya karena kau dapat binasa. Jika kau senantiasa bersikap demikian, kau akan selamat dan aman dari segala malapetaka. Sebab, segala malapetaka dan bencana itu datang dari buah-buahan yang pahit itu.

 

Jika kau menjauhi pohon itu dan berada di tempat-tempat yang jauh, lalu buah-buahan itu dibawa ke hadapanmu setelah dicampur adukkan antara buah-buah yang manis dan buah-buah yang pahit sehingga kau tak lagi dapat membedakan mana yang manis dan mana yang pahit, kemudian kau mengambilnya, bisa jadi yang kau ambil adalah buah yang pahit. Kau pun akan mendekatkannya ke mulutmu dan memakannya sebagian sehingga rasa pahit itu akan menjalar ke tenggorokanmu, lubang hidungmu, urat-uratmu, dan sekujur tubuhmu, Kau pun akan binasa karenanya. Kalimat yang keluar dari mulutmu (akibat rasa pahit itu), atau tindakanmu mencuci bekas rasa pahit itu dari mulutmu, tidak akan berguna manakala rasa pahit itu sudah menjalar ke seluruh tubuhmu.

 

Jika pada mulanya yang kau makan adalah buah yang manis, lalu rasa manisnya itu merasuk ke dalam tubuhmu, kau menikmatinya serta merasa senang, besar kemungkinan kau tidak akan merasa puas dengannya. Engkau pun akan mengambil buah yang lain. Akan tetapi, tidak ada jaminan bagimu untuk tidak mengambil buah yang pahit sehingga kau akan mengalami apa yang telah kami singgung di atas: binasa.

 

Oleh karena itu, tidaklah baik menjauhkan diri dari pohon itu dan tidak mengetahui tentang buah-buahannya. Keselamatan akan kamu raih, jika engkau berada di dekat pohon itu. Baik dan buruk terjadi karena perbuatan Allah. Dialah yang melakukan keduanya. Allah swt. berfirman,

 

“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (QS. ash-Shaffat [37]: 96)

 

Nabi Muhammad saw. bersabda,

 

“Allah menciptakan manusia yang menyembelih dan binatang yang disembelih.”

 

Segala tindakan hamba adalah ciptaan Allah, begitu pula daya upayanya. Allah berfirman,

 

“Masuklah kamu ke dalam surga karena apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. an-Nahl [16]: 32)

 

Betapa Pemurah dan Penyayang Allah. Dia memberikan perbuatan itu kepada mereka, lalu Dia berfirman bahwa berhak menjadi penghuni surga karena perbuatan mereka, padahal sebenarnya adalah karena taufik (pertolongan) dan rahmat (kasih sayang)-Nya kepada mereka di dunia dan akhirat.

 

Rasulullah saw. bersabda,

 

“Tiada seorang pun yang masuk surga lantaran amal-amalnya sendiri.” Rasulullah pun ditanya, ‘Termasuk Anda, ya Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Ya, termasuk aku, jika Allah tak mengasihiku.’ Ketika mengatakan ini, beliau meletidak akan tangannya di atas kepalanya.”

 

Hadis ini diriwayatkan oleh Aisyah ra.

 

Oleh karena itu, jika kau taat kepada Allah, melaksanakan segala perintah-Nya, menjauhi segala larangan-Nya, dan menerima segala takdir-Nya, Dia akan melindungimu dari segala kejahatan yang Dia ciptakan, melimpahkan padamu segala kebaikan, dan menjagamu dari segala keburukan, baik berkenaan dengan urusan duniawi maupun ukhrawi. Berkenaan dengan urusan duniawi, Allah berfirman,

 

“Demikianlah, Kami palingkan darinya keburukan dan kekejian. Sungguh, dia (Yusuf) termasuk hamba Kami yang terpilih.” (QS. Yusuf [12]: 24)

 

Adapun berkenaan dengan urusan ukhrawi, Allah berfirman,

 

“Allah tidak akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman. Allah Maha Mensyukuri, Maha Mengetahui.” (QS. an-Nisa’ [4]: 147)

 

Adakah bencana yang akan menimpa orang yang beriman lagi bersyukur, sedangkan dia lebih dekat kepada keselamatan daripada bencana? Bahkan dia senantiasa mendapat tambahan nikmat lantaran bersyukur. Sebagaimana firman Allah,

 

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu.” (QS. Ibrahim [14]: 7)

 

Imanmu itu bahkan akan memadamkan kobaran apj neraka di akhirat kelak, yaitu api yang menjadi hukuman bagi para pendosa. Lantas bagaimana mungkin api itu tidak memadamkan api bencana di dunia ini? Ya, terkecuali jika si hamba termasuk orang-orang majdzub (ditarik atau didekatkan kepada-Nya), para wali, dan orang-orang terpilih lainnya. Dalam hal ini mereka harus mendapat ujian (musibah) dalam rangka menyucikan jiwa mereka dari kotoran hawa nafsu, kecenderungan terhadap watak (yang buruk), nafsu hewani dan kenikmatannya, kenyamanan terhadap makhluk dan keinginan untuk berada di dekat mereka, tinggal bersama mereka dan meraih kebahagiaan bersama mereka.

 

Mereka akan diberi musibah sehingga seluruh “kotoran” lenyap dari jiwa mereka, dan hati mereka pun menjadi bersih dengan keluarnya kotoran-kotoran jiwa itu. Oleh karena itu, yang tersisa hanyalah keesaan Allah, makrifat kepada-Nya, serta jalur-jalur gaib menuju-Nya berupa berbagai rahasia, ilmu, dan cahaya kedekatan kepada-Nya karena dia ibarat ramah yang tak cukup untuk menampung dua orang. Allah berfirman,

 

“Allah tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam rongganya.” (QS. al-Ahzab [33]: 4)

 

“Sesungguhnya raja-raja apabila menaklukkan suatu negeri, mereka tentu membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina.” (QS. an-Naml [27]: 34)

 

Mereka (para raja) mengeluarkan orang-orang mulia dari rumahnya yang nyaman dan kehidupannya yang penuh nikmat. Demikian pula kondisi hati. Manakala hati dikuasai setan dan hawa nafsu, seluruh organ tubuh pun bergerak sesuai perintah keduanya, dengan mengerjakan berbagai maksiat, kebatilan, dan kesia-siaan. Tatkala kuasa setan dan hawa nafsu itu dikeluarkan (dihilangkan) dari hati, seluruh organ tubuh menjadi tenang. Hati yang merupakan istana sang raja itu pun menjadi lapang, dan dada yang merupakan halamannya pun menjadi bersih.

 

Hati itu akan menjadi tempat tinggal tauhid, makrifat, dan ilmu. Adapun halamannya, yaitu dada, akan menjadi landasan berbagai jalan menuju Tuhan dan keajaiban-keajaiban gaib. Semua merupakan hasil dan buah dari musibah. Nabi Muhammad saw. bersabda,

 

“Sesungguhnya kami—para Nabi—adalah orang-orang yang paling berat ujiannya, kemudian orang-orang yang lebih rendah, kemudian yang lebih rendah lagi.”

 

“Aku manusia yang paling mengenal Allah dibanding kalian, dan aku manusia yang paling takut kepada Allah dibanding kalian.”

 

Dari sini kita dapat mengerti, siapa pun yang berada di dekat seorang raja, rasa takut dan kewaspadaannya akan memuncak. Sebab, dia berada di hadapannya dan tak ada satu pun gerak-geriknya luput dari pandangan matanya. Jika kau berkata, seluruh makhluk di alam semesta ini di mata Allah laksana satu orang saja karena tak satu pun dari mereka tersembunyi dari-Nya. Apa gunanya pernyataan apa di atas?

 

Jawabannya adalah jika kedudukan ruhani seseorang tinggi dan mulia, semakin besar pula cobaan (risiko) yang harus dia hadapi karena dia harus bersyukur atas nikmat dan karunia besar yang Allah berikan kepadanya. Penyimpangan sedikit pun dalam mengabdi kepada-Nya akan dianggap sebagai sikap tidak bersyukur dan kurang patuh kepada-Nya. Allah swt. berfirman,

 

“Wahai istri-istri Nabi! Siapa pun di antaramu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya azabnya akan dilipatgandakan dua kali lipat kepadanya.” (QS. al-Ahzab [33]: 30)

 

Allah mengultimatum istri-istri Nabi seperti itu karena karunia-Nya kepada mereka telah disempurnakan dengan membawa mereka berada di sisi Nabi. Jika kondisi orang yang dekat dengan Nabi saja seperti itu, lantas bagaimana kondisi orang yang dekat dengan Tuhan? Maha Tinggi Allah dari segala sesuatu yang menyerupai-Nya. Dia berfirman,

 

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. asy-Syara [42]: 11)

 

Hanyalah Allah yang Maha Memberi petunjuk.

 

Apakah kau menginginkan kedamaian, kebahagiaan, ketenangan, kegembiraan, rasa aman, kenyamanan, kenikmatan, dan kesentosaan, sedangkan kau masih berupaya menghancurleburkan hawa nafsu, menghilangkan kehendak dan tujuan-tujuan duniawi maupun ukhrawi, serta masih ada sisa-sisa semua itu dalam dirimu?

 

Jangan terburu-buru. Pelanlah, wahai manusia yang menunggu dan tertahan di depan pintu. Sungguh pada dirimu masih ada sisa-sisa semua itu, masih tersisa sebiji kecil dari semua itu di dalam dirimu. Ada sebuah ungkapan yang bagus mengenai hal ini,

 

“Seorang budak mukatab adalah tetap sebagai budak ketika masih berhutang satu dirham.”

 

Kau terhalang dari semua kenikmatan itu selama masih ada dunia di hatimu meski sebesar atom. Kau terhalang dari semua kenikmatan itu selama dunia masih jadi keinginan dan tujuanmu, selama pandanganmu terhadap sesuatu, pencarianmu akan segala sesuatu, dan keinginanmu untuk memperoleh balasan segala sesuatu adalah demi tujuan duniawi maupun ukhrawi.

 

Selama hal itu masih bersemayam dalam dirimu, kau masih berada di pintu pelenyapan diri. Berhentilah di situ, sampai pelenyapan dirimu sempurna, lalu kau dikeluarkan dari tempat peleburan dalam keadaan bersih, dipakaikan busana, dan diberi wewangian, lalu kau dibawa ke hadapan Sang Raja Yang Maha Agung, seraya mendapat sambutan,

 

“Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi di lingkungan kami dan dipercayai.” (QS. Yusuf [12]: 54)

 

Engkau akan diberi kebahagiaan, kasih sayang, anugerah, didekatkan kepada-Nya, dan diberitahu rahasia-rahasia Ilahi yang tidak akan tersembunyi lagi darimu. Dengan segala pemberian itu, kau tak lagi membutuhkan apa pun. Tidakkah kau lihat kepingan emas yang beraneka ragam, yang beredar sepanjang pagi dan petang di tangan penjual minyak wangi, penjual makanan dan minuman, tukang jagal, penyamak, tukang minyak, tukang sapu, tukang jahit, dan berbagai profesi lainnya, baik yang mulia maupun yang hina?

 

Kemudian kepingan-kepingan emas itu dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam tempat peleburan logam, lalu kepingan-kepingan ini meleleh dalam kobaran api, dikeluarkan darinya, ditempa, dipipihkan, dijadikan perhiasan, dibuat mengkilap, diberi wewangian, kemudian ditempatkan di tempat-tempat terbaik, dikunci di dalam lemari, kotak-kotak, tempat-tempat gelap, atau dijadikan hiasan pengantin.

 

Terkadang pengantin itu milik seorang raja agung. Begitulah, kepingan emas itu dipindahkan dari tempatnya semula sampai berada di sisi sang raja, setelah dilebur dan ditempa. Demikian pula engkau, wahai orang beriman. Jika kau bersabar atas segala takdir-Nya dan menerima segala keputusan-Nya dalam segala keadaan, kau akan didekatkan kepada Tuhanmu yang Mahamulia di dunia. Kau akan diberi anugerah makrifat, ilmu, dan rahasia-rahasia-Nya. Sementara di akhirat kelak, kau akan ditempatkan di surga beserta para nabi, shiddiqin, para syuhada, serta orang-orang shalih. Kau akan ditempakan di sisi Allah, di dalam rumah dan kedekatan kepada-Nya.

 

Oleh karena itu, bersabarlah, jangan terburu-buru. Terimalah segala keputusan Allah, dan jangan pernah menuduhkan hal buruk kepada-Nya. Jika kau lakukan itu, kau akan merasakan ampunan, kelembutan, dan kemurahan yang Dia anugerahkan kepadamu.

 

Seorang hamba hendaknya beriman kepada Allah dan memasrahkan segala urusannya kepada-Nya. Hendaknya dia juga meyakini bahwa Allah akan memudahkan rezekinya, dan bahwa apa saja yang telah ditetapkan Allah baginya pasti akan ia dapati, serta apa saja yang tak ditetapkan Allah padanya pasti tidak akan ia dapati. Hendaknya dia juga meyakini firman Allah,

 

“Siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya. Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. ath-Thalaq [65]: 2—3)

 

Ia akan mengucapkan ayat itu dan meyakininya tatkala tengah menikmati kesehatan dan kekayaan. Lalu Allah pun akan mengujinya dengan musibah dan kemiskinan; lantas dia pun berdoa dengan penuh kerendahan diri, tetapi doanya itu tak mampu menolak musibah dan kemiskinan yang dideritanya itu. Saat itulah sabda Nabi saw. berikut ini menjadi kenyataan, “Kemiskinan rawan menjadi kekufuran.”

 

Siapa yang mendapat kemurahan Allah, Dia akan memberinya jalan keluar dari segala yang menimpanya. Allah pun akan memberinya keselamatan dan kekayaan, menganugerahinya kemampuan untuk bersyukur, dan memuji-Nya hingga ia menghadap-Nya. Sementara itu, orang yang hendak ditimpakan bencana oleh Allah, Dia akan terus menerus memberinya musibah, bencana, dan kemiskinan. Allah pun akan memutus tali keimanan darinya sehingga dia pun menjadi kafir dengan cara menentang Allah, menuduh-Nya dengan berbagai tuduhan buruk, serta ragu terhadap janji-Nya. Sehingga, dia pun mati dalam keadaan kafir kepada Allah, mengingkari ayat-ayat-Nya, serta marah kepada-Nya.

 

Mengenai orang semacam ini, Nabi saw. bersabda,

 

“Sesungguhnya orang yang paling sengsara pada Hari Kiamat nanti adalah orang yang Allah himpun baginya kemiskinan di dunia dan siksa di akhirat.”

 

Kita berlindung kepada Allah dari hal buruk tersebut, yaitu kemiskinan yang membuat lalai dari Allah, di mana Rasulullah pun memohon kepada Allah agar dijauhkan darinya. Adapun orang kedua yaitu orang memang dipilih oleh Allah, akan dimasukkan ke dalam golongan hamba-hambanya yang istimewa, dijadikan kekasih-Nya, pengganti para Nabi-Nya, serta pemimpin para wali-Nya. Tak hanya itu, Allah pun akan memasukkannya ke dalam golongan hamba-hamba-Nya yang agung, para ulama, orang-orang bijaksana, para penolong, para guru, serta para pembimbing menuju jalan petunjuk dan menghindari jalan yang hina.

 

Kepada orang seperti ini, Allah akan mengirimkan gunung-gunung ketabahan, lautan keridhaan, kepatuhan, dan kekayaan di dalam setiap ketetapan dan kehendak-Nya terhadapnya. Allah pun akan memberinya limpahan anugerah, memanjakannya pada siang dan malam hari, kala ramai maupun sendiri, terang-terangan maupun tersembunyi, dengan berbagai kelembutan dan kondisi jadzab sampai waktu berjumpa dengan Tuhannya tiba. Hanya Allah yang Maha Memberi petunjuk.

 

Betapa sering kau berkata, “Apa yang mesti kulakukan? Bagaimana caranya?” Jawaban yang tepat bagimu adalah “Tetaplah di tempatmu. Jangan melampaui batasmu sampai datang jalan keluar bagimu dari Dzat yang telah memerintahkanmu untuk tetap di tempatmu.” Allah berfirman,

 

“Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu serta tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 200)

 

Allah memerintahkanmu untuk bersabar, wahai orang beriman, lalu berlomba-lomba dalam kesabaran, memegang teguh kesabaran itu, menjaganya, serta senantiasa menekuninya. Allah kemudian memperingatkanmu agar tidak meninggalkan kesabaran itu. Dia berfirman, “Takutlah kepada Allah,” jika kau meninggalkan kesabaran itu.

 

Artinya, janganlah kau tinggalkan kesabaran, sebab di dalamnya terdapat kebaikan dan keselamatan. Nabi Muhammad saw. bersabda,

 

“Kedudukan sabar dalam iman laksana kepala dalam tubuh.”

 

Ada sebuah ungkapan yang berbunyi, “Segala sesuatu akan diberi balasan yang setimpal, kecuali kesabaran. Balasannya tidak terhitung dan berlipat ganda.” Hal ini sesuai dengan firman Allah,

 

“Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.” (QS. az-Zumar [39]: 10)

 

Jika kau bertakwa kepada Allah, Dia akan menjagamu agar kau senantiasa dapat bersabar dan menjaga batas-batas yang telah ditentukan oleh-Nya. Sehingga Allah pun akan memenuhi janji-Nya kepadamu. Sebagaimana yang Dia janjikan dalam kitab-Nya,

 

“Siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya. Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (QS. ath-Thalaq [65]: 2—3)

 

Dengan kesabaran itu, kau akan termasuk ke dalam golongan orang-orang yang bertawakal kepada Allah, hingga jalan keluar terbentang bagimu. Sungguh Allah telah menjanjikanmu kecukupan, sebagaimana firman-Nya,

 

“Siapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya. (QS. ath-Thalag [65]: 3)

 

Dengan kesabaran dan tawakalmu itu, kau akan termasuk ke dalam golongan orang-orang yang berbuat baik (ihsan). Allah telah menjanjikan balasan untukmu, sebagaimana firman-Nya,

 

“Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al-Qashash [28]: 14)

 

Dengan kesabaran, tawakal, dan ihsan-mu itu, Allah akan mencintaimu, sebab Dia berfirman,

 

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al-Baqarah [2]: 195)

 

Jadi, kesabaran adalah sumber segala kebajikan dan keselamatan, baik di dunia maupun di akhirat. Melalui kesabaran ini, seorang mukmin merangkak naik ke tingkatan ridha, muwafaqah (menyesuaikan dirinya dengan kehendak Allah), dan terakhir fana (melenyapkan diri) di dalam takdir-Nya, sebagaimana kondisi wali abdal atau wali yang tersembunyi. Sebaiknya engkau berhati-hati, jangan sampai meninggalkan kesabaran agar Allah tidak membuatmu hina di dunia ini dan di akhirat kelak, dan agar engkau tidak kehilangan kebaikan keduanya. Na’udzu billah min dzalik.

 

Jika engkau merasakan hatimu sedang membenci atau mencintai seseorang, kembalikanlah perilaku orang itu kepada al-Quran dan sunah Nabi. Jika perilakunya ternyata dibenci oleh al-Quran dan hadis, dan kau pun juga membencinya, berbahagialah karena tindakanmu telah selaras dengan Allah dan Nabi-Nya. Jika perilakunya sesuai dengan al-Quran dan hadis, sedangkan kau membencinya, ketahuilah bahwa kau adalah pengikut hawa nafsu. Kau membencinya berdasarkan hawa nafsu. Kau berbuat zalim kepadanya dengan kebencianmu itu, tidak taat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta menentang al-Quran dan hadis.

 

Bertobatlah kepada Allah dari kebencian terhadapnya, mohonlah kepada-Nya agar engkau dapat mencintai orang itu dan hamba-hamba-Nya yang lain, seperti para wali-Nya, para kekasih-Nya, orang-orang suci, orang-orang shalih, dan lain-lain, agar perilakumu selaras dengan Allah azza wa jalla.

 

Demikian pula seharusnya kau bertindak terhadap orang yang kau cintai. Pertimbangkan kitab Allah dan sunah Nabi. Jika perilakunya dicintai oleh keduanya, cintailah dia. Tapi, jika perilakunya dibenci oleh keduanya, bencilah dia, agar kau tak mencintai dan membencinya karena hawa nafsumu. Sebab Allah telah memerintahkanmu untuk melawan hawa nafsumu. Dia berfirman,

 

“Dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. ” (QS. Shad [38]: 26)

 

Betapa sering kau berkata, “Siapa pun yang kucintai, cintaku kepadanya tak abadi. Kami selalu saja berpisah, entah karena berjauhan, kematian, permusuhan, atau lenyapnya harta.” Tidakkah kau tahu, wahai hamba yang dicintai Allah, wahai hamba yang diperhatikan dan dicemburui Allah. Tidakkah kau tahu bahwa Allah itu cemburu. Dia telah menciptakanmu, mengapa kau justru ingin menjadi milik selain Dia? Tidakkah kaudengar firman-Nya,

 

“Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya.” (QS. al-Ma‘idah [5]: 54)

 

Juga firman-Nya,

 

 

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat [51]: 56)

 

Atau belumkah kau dengar hadis Nabi,

 

“Jika Allah mencintai seorang hamba, Dia akan mengujinya. Jika si hamba bersabar, Allah memeliharanya. Rasul ditanya, ‘Ya Rasulullah, apa maksud Allah akan memiliharanya?’ Beliau menjawab, ‘Allah tidak menyisakan kekayaan atau anak baginya.’”

 

Hal ini karena jika si hamba mempunyai anak dan harta, cintanya kepada Allah akan berkurang dan terbagi-bagi. Cinta yang seharusnya diserahkan sepenuhnya kepada Allah, dia bagi kepada selain-Nya. Allah tidak mau disekutukan. Dia cemburu. Dia Mahakuasa atas segalanya. Oleh karena itu, Dia menghancurkan segala yang menjadi sekutu bagi-Nya, agar tak ada yang lain di hati hamba-Nya selain Dia. Saat itulah, Allah akan membuktikan firman-Nya,

 

“Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya.” (QS. al-Ma‘idah [5]: 54)

 

Sampai akhirnya, hati si hamba bersih dari segala sekutu Allah, seperti keluarga, harta, anak, kenikmatan dan syahwat duniawi, keinginan memperoleh kekuasaan, pangkat, kemuliaan, kedudukan, bahkan surga, derajat, serta kedekatan di sisi Allah. Tiada kehendak dan tujuan apa pun di hatinya selain Allah. Maka, hatinya menjadi layaknya bejana berlubang yang tidak mampu menampung air. Sebab saat ini, Allah menghendakinya hancur.

 

Setiap muncul di dalam hatinya kali suatu keinginan, Allah akan menghancurkannya dengan kehendak dan kecemburuan-Nya. Kemudian, tirai-tirai keluhuran, kekuatan dan kewibawaan akan menyelimutinya. Parit-parit keagungan dan kekuasaan mengitarinya. Sehingga, tak satu pun kehendak terhadap sesuatu mampu mendekati hatinya.

 

Akhirnya, tidak satu pun harta, anak, istri, sahabat, kemuliaan, kekuasaan, ilmu pengetahuan, atau ibadah yang mampu membahayakan hatinya. Oleh karena itu, semua berada di luar hati, Allah pun tidak cemburu kepadanya. Sebaliknya, semua itu justru menjadi penghormatan, kasih sayang, kenikmatan, dan rezeki yang dianugerahkan Allah kepada para hamba-Nya yang menempuh jalan menuju-Nya (suluk). Mereka pun dimuliakan, disayangi, dan dijaga karena dia mulia di mata Allah. Allah pun menjadi penjaga, pelindung, pemelihara dan pemberi syafaat kepada mereka di dunia dan akhirat.

 

Ada empat jenis manusia. Pertama, manusia yang tidak mempunyai lidah dan hati, yaitu ahli maksiat, orang bodoh dan hina. Allah sama sekali tidak memedulikannya, dan tidak ada kebaikan di dalam dirinya. Orang-orang seperti itu layaknya kulit padi yang tak berbobot, kecuali jika Allah mengasihi mereka, membimbing hati mereka untuk beriman kepada-Nya, dan menggerakkan segenap raga mereka untuk taat kepada-Nya.

 

Waspadalah, jangan sampai kau termasuk jenis manusia seperti itu. Jangan pedulikan mereka, jangan pula kau bergaul dengan mereka. Sebab mereka itu manusia yang akan mendapat siksa. Mereka orang-orang yang dimurkai oleh Allah dan calon penghuni neraka. Kita berlindung kepada Allah dari mereka. Sebaliknya, hendaklah kau menjadi manusia yang mengenal Allah, guru yang mengajarkan kebaikan, serta pembimbing, pemimpin, dan penyeru agama.

 

Datangilah mereka, ajaklah mereka menaati Allah, dan peringatkanlah mereka agar tidak berbuat maksiat kepada-Nya. Maka, di mata Allah kau akan dicatat sebagai pejuang, dan kau akan diberi pahala layaknya para nabi dan rasul. Nabi Muhammad saw. pernah bersabda kepada Ali bin Abi Thalib r.a.,

 

“Jika Allah membimbing seseorang melalui perantara bimbinganmu, hal itu lebih baik bagimu dari apa saja yang disinari oleh matahari.”

 

Kedua, manusia yang mempunyai lidah tetapi tidak memiliki hati. Dia berbicara bijak, tetapi tidak mengamalkannya. Dia menyeru orang kepada Allah, tetapi mereka sendiri lari dari-Nya. Dia jijik dengan aib orang lain, tetapi dia sendiri tenggelam dalam aibnya. Dia menunjukkan keshalihan kepada orang lain, tetapi dia sendiri berbuat banyak dosa besar kepada Allah. Di kala sendiri, orang seperti ini bagai serigala berbusana. Inilah tipe manusia yang diperingatkan Nabi dalam sabdanya,

 

“Hal yang paling aku takuti terjadi pada umatku, melebihi ketakutanku terhadap seluruh orang munafik, yaitu orang yang alim, tapi hanya di lidahnya saja.”

 

Dalam hadis lainnya, Rasulullah bersabda,

 

“Hal yang paling aku takuti terjadi pada umatku adalah munculnya para ulama busuk (jahat).”

 

Kita berlindung kepada Allah dari tipe manusia seperti itu. Menjauhlah dari orang seperti itu dan jangan pernah bersinggungan dengannya, agar kau tak termakan oleh lidahnya yang manis sehingga api dosa-dosanya pun akan membakarmu, dan pada akhirnya kebusukan hatinya akan membinasakanmu.

 

Ketiga, manusia yang memiliki hati tetapi tidak memiliki lidah. Inilah tipe orang beriman yang disembunyikan Allah dari seluruh makhluk-Nya. Allah memeliharanya, menunjukkan aib-aib dirinya sendiri, mencerahkan hatinya, membuatnya sadar akan mudarat berbaur dengan manusia dan ucapan yang keji (buruk).

 

Tipe orang ini juga meyakini bahwa keselamatan terletak pada sikap diam, menjauh, dan menyendiri dari manusia. Dia memerhatikan betul-betul sabda Nabi,

 

“Siapa yang senantiasa diam, dia akan memperoleh keselamatan.”

 

Dia juga mendengarkan ungkapan bijak salah seorang ulama,

 

“Sesungguhnya ibadah kepada Allah itu terdiri atas sepuluh macam, sembilan di antaranya adalah terdapat pada diam.”

 

Orang seperti ini adalah wali Allah yang tersembunyi. Dia diberi keselamatan dan kebijaksanaan. Dia menjadi kekasih Allah dan diberi karunia oleh-Nya. Segala yang baik akan diberikan kepadanya. Maka, hendaklah kau berteman dan bergaul dengan orang seperti ini, bantu dan cintailah mereka dengan cara memenuhi kebutuhan dan bekal mereka. Jika engkau berbuat demikian, Allah akan mencintaimu, menyucikanmu, dan memasukkanmu ke dalam golongan para kekasih-Nya dan hamba-hamba-Nya yang shalih, dengan keberkatan dari-Nya. Insya Allah.

 

Keempat, manusia yang dijuluki “Sang Agung” di alam Malakut. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi saw.,

 

“Siapa yang mempelajari (suatu pengetahuan), mengajarkan, dan bertindak berdasarkan pengetahuannya, dia akan dijuluki sebagai Orang Yang Agung di alam Malakut.”

 

Tak lain, dia adalah orang yang mengenal Allah dan tanda-tanda-Nya. Allah menitipkan pengetahuan-pengetahuan rahasia-Nya di dalam hatinya dan memberitahunya berbagai rahasia yang Dia sembunyikan dari orang lain. Allah memilihnya, mendekatkannya kepada-Nya sendiri, serta membimbingnya menuju pintu kedekatan-Nya.

 

Allah juga akan melapangkan hatinya agar dapat menerima berbagai rahasia dan pengetahuan gaib itu, menjadikannya seorang yang mengetahui hal-hal tersembunyi, menjadikannya penyeru, pemberi peringatan, sekaligus hujjatullah (argumentasi Allah) di tengah-tengah mereka. Allah juga akan menjadikannya pemberi petunjuk sekaligus yang diberi petunjuk, pemberi syafaat sekaligus yang diberi syafaat, orang yang jujur sekaligus dipercaya. Allah akan menjadikannya pengganti para rasul, nabi-Nya (semoga Allah melimpahkan shalawat, salam, penghormatan, dan keberkahan kepada mereka seluruhnya).

 

Inilah tingkatan tertinggi dalam kehidupan manusia. Tidak ada kedudukan lain yang lebih tinggi darinya, kecuali maqam kenabian. Oleh karena itu, berhati-hatilah, jangan sampai menentang, menjauhi, atau memusuhi orang seperti ini. Jangan sampai kau tidak menghiraukan nasihat dan perkataannya. Sebab, keselamatan dalam segala hal yang dia ucapkan ada padanya, sedangkan kehancuran dan kesesatan ada pada orang lain, kecuali mereka yang diberi taufik, pertolongan, dan rahmat oleh Allah.

 

Demikianlah, aku telah memaparkan jenis-jenis manusia kepadamu. Sekarang, terserah kepadamu untuk mengintrospeksi dirimu sendiri, jika memang engkau berpikir. Selamatkanlah dirimu, jika memang engkau menginginkan keselamatan dan menyayangi dirimu sendiri. Mudah-mudahan Allah membimbing kita dalam meraih apa yang Dia cintai dan ridhai.

 

Betapa anehnya jika kau marah kepada Allah. Betapa keji tuduhanmu, penentanganmu, dan tudinganmu bahwa Dia telah berbuat tidak adil terhadapmu dengan menahan rezeki dan tidak menjauhkan musibah darimu. Tidakkah kau tahu bahwa segala sesuatu ada waktunya dan setiap musibah ada akhirnya? Keduanya tak bisa dimajukan atau ditunda. Musibah tak bisa diubah menjadi masa bahagia. Masa-masa sulit tak bisa diubah menjadi masa penuh suka cita. Masa miskin tak bisa diubah menjadi masa bergelimang harta.

 

Perbaikilah etikamu kepada Allah. Diamlah senantiasa, sabar, pasrah, dan ridhalah kepada Tuhanmu. Selaraskanlah dirimu dengan-Nya selalu. Bertobatlah kepadanya atas dosa yang telah kau perbuat. Sebab, tidak ada ruang untuk menuntut di hadapan Allah sebagaimana yang berlaku sesama manusia.

 

Allah swt. Maha Menyendiri di Azal. Wujud-Nya mendahului segala sesuatu. Dialah yang menciptakan segala sesuatu berikut manfaat dan mudaratnya. Dia juga mengetahui permulaan dan akhir segala sesuatu itu. Dia Maha Bijaksana dalam bertindak, Maha Sempurna ciptaan-Nya, tidak ada kekurangan sedikit pun dalam tindakan-Nya, perbuatan-Nya tidak ada yang sia-sia, dan Dia tidak pernah menciptakan sesuatu secara sia-sia dan main-main.

 

Tidaklah layak mengatributkan kekurangan dan mengaJamatkan celaan pada tindakan-Nya. Lebih baik tunggulah jalan keluar dari-Nya jika kau merasa tak mampu lagi menyelaraskan diri dengan-Nya dan pasrah terhadap segala tindakan-Nya, hingga saatnya tiba. Seiring berjalannya waktu, kondisi akan berubah, seperti halnya musim dingin berganti musim panas, malam berganti siang.

 

Jika kau memohon datangnya cahaya siang di tengah malam, tentu permohonanmu tak akan terkabul. Bahkan, gelapnya malam itu akan kian memuncak hingga terbit fajar dan cahaya siang datang terang benderang, baik kau menginginkannya atau tidak. Sebaliknya, jika kau menginginkan datangnya malam pada saat itu, keinginanmu pun tidak akan terkabul. Sebab kau telah meminta sesuatu tidak pada waktunya sehingga kau pun akan merasa sedih, putus asa, marah, dan bingung.

 

Tinggalkanlah semua itu, selaraskanlah dirimu dengan Allah, berbaiksangkalah kepada-Nya, dan bersabarlah selalu. Sebab segala sesuatu yang ditakdirkan menjadi milikmu tidak akan lari darimu, dan segala yang ditakdirkan bukan milikmu tidak akan kaudapatkan. Sesungguhnya kau memohon kepada Tuhanmu dengan doa-doa khusyuk dan kerendahan diri—keduanya adalah ibadah—sebagai bentuk kepatuhan terhadap perintah-Nya, sebagaimana firman-Nya,

 

“Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu.” (QS. al-Mu‘min [40]: 60)

 

Juga firman-Nya,

 

“Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.” (QS. An-Nisa’ [4]: 32)

 

Demikian pula ayat dan hadis-hadis lainnya.

 

Ketika kau memohon kepada Allah, Dia akan mengabulkan permohonanmu pada waktunya. Jika memang Dia menghendakinya dan hal itu membawa manfaat bagimu, baik di dunia maupun di akhirat, Dia akan mengatur kapan permohonanmu itu terkabul dan kapan berakhir. Jika Allah menangguhkan terkabulnya doamu, jangan pula jemu untuk berdoa Jangan menyalahkan-Nya karena jika kau tak memperoleh keuntungan dari doamu itu, kau juga tidak rugi.

 

Seandainya Allah tidak mengabulkan doamu di kehidupan dunia ini, Dia telah menyiapkan pahala bagimu di akhirat kelak. Dalam sebuah hadis sahih, Nabi saw, bersabda,

 

“Pada hari kiamat nanti, seorang hamba Allah akan mendapati dalam buku catatan amalnya berbagai kebaikan yang tak dikenalinya, lalu dikatakan kepadanya bahwa itu adalah pengganti (balasan) dari doa-doanya di kehidupan duniawi yang tak dikabulkan.”

 

Sekurang-kurangnya harus selalu ingat kepada Allah dan mengesakan-Nya, di mana engkau hanya meminta kepada-Nya, bukan kepada yang lain, dan tidak menggantungkan kebutuhanmu kepada selain-Nya. Setiap saat, baik siang maupun malam hari, di kala sehat maupun sakit, suka maupun duka, di saat sulit maupun mudah, engkau tidak akan terlepas dari dua kondisi berikut ini:

 

Pertama, tidak memohon kepada Allah, menerima keputusan-Nya, dan pasrah terhadap segala perbuatan-Nya, layaknya jasad sesosok mayat di hadapan orang yang memandikannya, atau bayi di tangan perawatnya, atau seperti bola di tangan pemain polo yang menggulirkannya sesuka hati dengan tongkatnya. Engkau membiarkan takdir Allah memperlakukanmu semaunya. Jika takdir itu berupa nikmat, kau akan bersyukur dan memuji-Nya. Sementara, Allah pun akan menambahkan nikmat-Nya padamu, sebagaimana firman-Nya,

 

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu.” (QS. Ibrahim [14]: 7)

 

Namun, jika takdirmu adalah musibah, engkau akan bersabar dan menerimanya dengan lapang dada.

 

Sementara, Allah pun akan memberikan taufik, keteguhan, pertolongan, dan kasih sayang-Nya padamu dengan segala karunia dan kemurahan-Nya. Hal ini sebagaimana firman-Nya,

 

“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. al-Baqarah [2]: 153)

 

Maksudnya, Allah akan senantiasa bersama orang-orang yang bersabar, dengan memberi mereka pertolongan dan keteguhan. Bagi seorang hamba, Allah adalah penolongnya dalam melawan hawa nafsu dan setan.

 

Juga sebagaimana firman-Nya,

 

“Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad [47]: 7)

 

Jika kau telah menolong Allah dalam hal menentang hawa nafsu, yaitu dengan cara tidak menyalahkan-Nya, tidak marah dengan segala perbuatan-Nya padamu, dan dengan cara menjadi musuh bagi hawa nafsumu karena Allah, bersiap menebasnya dengan pedang. Jika dia bergerak dengan kekafiran dan kesyirikannya, memenggal kepalanya dengan kesabaran dan keselarasanmu dengan Allah, serta dengan kerelaan dan rasa tenangmu terhadap perbuatan dan janji-janji-Nya, Allah akan menjadi penolongmu.

 

Mengenai rahmat dan kasih sayang-Nya, sebagaimana disinggung di atas, adalah berdasarkan firman-Nya,

 

“Sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un’ (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. al-Baqarah [2]: 155—157)

 

Kedua, memohon kepada Allah dengan segenap kerendahan diri, sebagai bentuk pengagungan terhadapNya dan ketaatan terhadap perintah-perintah-Nya. Inilah yang seharusnya kau lakukan. Sebab, Allah sendirilah yang memerintahkanmu untuk memohon dan kembali kepada-Nya. Allah juga menjadikan permohonan (doa) itu sebagai sarana untukmu beristirahat, juga menjadikannya semacam utusan dan sarana penghubungmu kepada-Nya., Asalkan, kau tidak menyalahkan-Nya dan marah kepada-Nya manakala permohonanmu ditangguhkan sampai waktunya tiba.

 

Perhatikanlah perbedaan antara dua kondisi itu. Janganlah engkau melampaui batas-batas keduanya karena tidak ada alternatif lain selain dua kondisi tersebut. Berhati-hatilah, jangan sampai kau menjadi orang yang zalim dan melampaui batas sehingga Allah akan membinasakanmu dan membiarkanmu seperti orang-orang sebelummu yang telah dibinasakan dan dihancurkan oleh-Nya di dunia ini. Sementara di akhirat kelak, mereka akan mendapat siksa yang amat pedih.

 

dari Dosa Wajib bagimu bersikap wira’i. Jika tidak, kehancuran akan menjerat lehermu. Kau tidak akan bisa lepas darinya, kecuali jika Allah mengasihimu. Dalam sebuah hadis dikisahkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda,

 

“Fondasi agama adalah sikap wara’, sedangkan kehancurannya adalah ketamakan. Orang yang berjalan di sekitar daerah larangan, sejatinya dia hampir terperangkap di dalamnya. Layaknya seorang yang tengah bersenang-senang di samping sebuah pohon, mulutnya pasti akan tergoda untuk memakan buahnya.”

 

Sementara itu, Abu Bakar Shiddiq ra. juga pernah mengatakan,

 

“Kami terbiasa menghindari 70 perkara yang mubah (dibolehkan) karena khawatir terperangkap dalam dosa.”

 

Ungkapan senada juga pernah dilontarkan oleh Umar bin Khatthab ra.,

 

“Kami terbiasa meninggalkan sembilan dari sepuluh perkara halal, sebab khawatir terjerumus ke dalam perkara haram.”

 

Mereka melakukan itu demi dapat terhindar dari segala yang diharamkan. Tindakan mereka itu berdasarkan sabda Nabi saw.,

 

“Sesungguhnya setiap raja memiliki kawasan terlarang. Kawasan terlarang Allah adalah perkara-perkara yang Dia haramkan. Siapa yang berada di sekitar kawasan terlarang, sejatinya dia hampir terperangkap di dalamnya.”

 

Namun, siapa yang memasuki benteng raja, melewati gerbang pertama, kedua, ketiga, dan sampai di singgasananya, lebih baik daripada orang yang hanya berada di pintu pertama di luar istana.

 

Jika pintu ketiga tertutup baginya, hal itu tidak akan merugikannya karena ia masih berada di balik dua pintu istana lainnya. Di samping itu, dia pun masih berada dalam penjagaan para pengawal raja dan bala tentaranya. Adapun jika dia hanya memasuki pintu pertama saja, ketika pintu itu ditutup, dia akan berada di luar istana sendirian. Dia akan menjadi mangsa para serigala dan musuh hingga binasa.

 

Demikian pula halnya orang yang senantiasa menempuh jalan Allah dengan tekad yang kuat. Jika pertolongan dan karunia Allah diambil dan terputus darinya, dia masih memperoleh kemudahan dan tidak sampai keluar dari syariat. Apabila mati, dia mati dalam keadaan taat dan menyembah Allah, serta memperoleh kesaksian sebagai orang yang berbuat baik.

 

Adapun orang yang hanya mengandalkan bantuan dan tidak berusaha dengan tekad yang kuat dalam menempuh jalan Allah, jika pertolongan itu dicabut darinya, dia pasti akan dikuasai hawa nafsu. Dia pun akan tenggelam dalam perkara-perkara haram, keluar dari syariat, dan bergabung ke dalam kawanan para setan, musuh-musuh Allah yang tersesat dari jalan kebenaran. Jika maut merenggutnya, sedang dia belum sempat bertobat, dia pasti akan binasa, kecuali jika Allah mengasihi-Nya dan memberikan karunia-Nya. Betapa bahayanya, jika kau hanya mengandalkan kemudahan atau keringanan. Sebaliknya, jika engkau mencanangkan tekad yang kuat untuk meniti jalan-Nya, engkau pasti akan memperoleh keselamatan. Hanya Allah-lah yang Maha Memberi Petunjuk menuju jalan yang lurus.

 

Jadikanlah akhirat sebagai modalmu dan dunia sebagai keuntunganmu. Akan tetapi, prioritaskan seluruh waktumu untuk meraih akhirat terlebih dahulu. Jika masih ada waktu tersisa, barulah pergunakan untuk meraih dunia dan bekerja mencari nafkah. Sebaliknya, jangan jadikan dunia sebagai modalmu dan akhirat sebagai labamu.

 

Lantas, jika kau masih punya sisa waktu, baru kau gunakan untuk akhiratmu dengan melaksanakan berbagai shalat dalam sekali waktu. Bahkan shalat yang kaukerjakan itu rusak rukun-rukunnya, syarat-syarat wajibnya pun tak terpenuhi, tanpa rukuk, sujud, dan tumakninah dari satu rukun ke rukun lainnya. Atau bisa jadi kau merasa penat dan letih sehingga kau pun tidur dan meninggalkan semua shalat itu. Pada malam hari kau seperti mayat, sedangkan pada siang hari kau memuaskan nafsu dan setan-setanmu. Kau menjual akhirat dengan dunia di sisi hawa nafsu dan kau serahkan kendali kepada hawa nafsumu.

 

Kau diperintahkan untuk mengendalikan diri, menyucikannya, menggemblengnya, dan menuntutnya di jalan keselamatan, yaitu jalan akhirat dan ketaatan kepada Tuhan yang Maha Mulia dan Maha Agung. Akan tetapi, engkau justru berbuat zalim dengan menuruti hawa nafsumu, kau serahkan kendalimu kepadanya, dan kau turuti seluruh keinginan, kenikmatan, dan setan-setannya.

 

Akhirnya, kau tak mendapat bagian yang baik dari dunia dan akhirat, bahkan merugi. Dengan menuruti hawa nafsu, kau tak akan meraih bagian terbesar dari dunia. Namun, jika kau membimbing hawa nafsumu untuk menempuh jalan akhirat, dan menjadikannya sebagai modal utamamu, kau akan memperoleh keuntungan dunia dan akhirat sekaligus. Tak hanya itu, bagian terbesarmu dari dunia pun akan datang kepadamu secara menyenangkan, sedangkan kau akan dijaga dan diberi kemuliaan oleh-Nya. Sebagaimana sabda Nabi,

 

“Sesungguhnya Allah memberikan dunia (kepada hamba-Nya) dengan niat (tujuan) mencari akhirat, dan tidak memberikan akhirat dengan niat (tujuan) mencari dunia.”

 

Demikianlah, niat mencari akhirat berarti pula ketaatan kepada Allah dan niat adalah ruh sekaligus inti ibadah.

 

Jika engkau menaati Allah dengan segala kezuhudanmu di dunia dan amalmu untuk akhirat, kau akan menjadi hamba pilihan, ahli ibadah, dan kekasih-Nya. Engkau akan mendapatkan akhirat, yaitu surga dan kedekatan dengan-Nya. Dunia pun akan mengabdi kepadamu, dan bagian yang telah ditentukan untukmu akan sepenuhnya kau peroleh. Sebab segalanya tunduk dan patuh kepada Penciptanya, yaitu Allah swt.

 

Tetapi jika kau hanya sibuk dengan urusan-urusan duniawi dan berpaling dari akhirat, Allah akan murka kepadamu. Sehingga kau pun akan kehilangan akhirat, dunia tidak akan patuh kepadamu dan sulit kau peroleh, bahkan menghalangi datangnya bagianmu karena murka Allah kepadamu. Hal itu tak lain karena dunia adalah budak-Nya. Allah akan membuat siapa saja yang menentang-Nya hina dina dan menjadikan siapa saja yang taat kepada-Nya mulia. Di sinilah sabda Rasulullah saw. berikut ini menjadi nyata,

 

“Dunia dan akhirat ibarat dua istri. Jika kau menyenangkan yang satu, yang lain akan marah kepadamu.”

 

Allah swt. juga berfirman,

 

“Di antara kamu ada orang yang menghendaki dunia dan di antara kamu ada (pula) orang yang menghendaki akhirat.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 152)

 

Artinya, orang yang menghendaki dunia saja disebut ahli dunia dan orang yang menghendaki akhirat disebut ahli akhirat. Lihatlah, termasuk golongan yang manakah kau?

 

Ke dalam golongan manakah kau hendak bergabung selama di dunia ini? Di akhirat nanti, manusia pun terbagi menjadi dua golongan: golongan para pencari dunia dan golongan para pencari akhirat. Demikian pula pada hari kiamat nanti, manusia terbagi dua, sebagaimana firman Allah berikut ini,

 

“Segolongan masuk surga, dan segolongan masuk neraka.” (QS. asy-Syara [42]: 7)

 

Satu golongan senantiasa berdiri di tempatnya selama dihisab dalam sehari setara dengan 50.000 tahun menurut perhitungan dunia. Sebagaimana firman Allah di dalam al-Quran. Satu golongan lainnya berada di bawah naungan Arasy, sebagaimana sabda Nabi,

 

“Pada hari kiamat nanti, kalian akan berada di bawah Arasy duduk menghadap meja makan, di atasnya terdapat berbagai hidangan dan buah-buahan paling lezat, serta madu yang warnanya lebih putih daripada es.”

 

Juga sebagaimana sabda Nabi saw.,

 

“Mereka akan melihat tempat tinggal mereka di surga. Apabila Allah telah selesai menghisab amal perbuatan manusia, mereka akan memasuki surga itu. Mereka akan pergi menuju tempat tinggal mereka, seperti halnya seseorang yang menuju tempat tinggal mereka di dunia.”

 

Mereka tak akan meraih itu semua, kecuali karena mereka telah mencampakkan dunia dan berupaya menyibukkan diri dengan akhirat dan Tuhannya. Sementara itu, mereka yang harus menghadapi beratnya hisab, berbagai siksa dan rasa hina karena mereka tenggelam dalam urusan dunia belaka. Mereka menginginkan dunia semata, sedangkan akhirat mereka tinggalkan. Mereka tak peduli dengan urusan akhirat, melupakan hari kiamat dan tempat kembali mereka nanti, sebagaimana disebutkan dalam al-Quran dan hadis.

 

Pandanglah dirimu dengan pandangan penuh kasih sayang, pilihkanlah bagi dirimu yang terbaik di antara kedua golongan itu, dan jauhkanlah dirimu dari teman-teman yang buruk yang berasal dari bangsa manusia atau pun jin. Jadikanlah al-Quran dan sunah Nabi-Nya sebagai pembimbingmu, renungkan dan amalkanlah keduanya. Jangan terkecoh oleh perkataan kosong dan pikiran-pikiran gila. Allah swt. berfirman,

 

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, terimalah. Apa yang dilarangnya bagimu, tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Allah.” (QS. al-Hasyr [59]: 7)

 

Janganlah kalian langgar dan tinggalkan apa yang dicontohkan Rasul kepada kalian itu, lantas kalian mengada-adakan ibadah sendiri, sebagaimana firman Allah tentang sebuah kaum yang tersesat dari jalan lurus berikut ini,

 

“Mereka mengada-adakan rahbaniyyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka.” (QS. al-Hadid [57]: 27)

 

Allah menyucikan jiwa Nabi-Nya dan membersihkannya dari segala kebatilan serta dosa. Dia berfirman,

 

“Tidaklah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut keinginannya. Tidak lain (al-Quran itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. an-Najm [53]: 3-4)

 

Dengan kata lain, Allah hendak menyampaikan demikian: “Al-Quran yang dibawanya kepada kalian adalah berasal dari-Ku, bukan dari dirinya sendiri atau hawa nafsunya. Oleh karena itu, ikutilah dia.” Allah swt. juga berfirman,

 

“Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kalian mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian.’” (QS. Ali ‘Imran [3): 31)

 

Dalam ayat di atas, Allah menjelaskan bahwa jalan untuk menggapai cinta-Nya ialah mengikuti Nabi dalam setiap kata dan perilakunya. Nabi Muhammad bersabda,

 

“Berusaha adalah prinsipku dan bertawakal kepada Allah adalah spiritku.”

 

Oleh karena itu, setidaknya engkau harus berada di antara usaha dan spiritualitas ini. Jika kondisi imanmu lemah, hendaknya kau melakukan upaya (secara fisik), dan ini adalah jalan yang diajarkan Nabi. Jika kondisi imanmu kuat, hendaknya kau menguatkan spiritualitasmu, yaitu bertawakal kepada-Nya. Allah swt. berfirman,

 

“Dan bertawakallah kamu hanya kepada Allah, jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. al Maidah [5]: 23)

 

Allah juga berfirman,

 

“Siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (kebutuhan)-nya.” (QS. ath-Thalaq [65]: 3)

 

Di ayat lain, Allah juga berfirman,

 

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal (kepada-Nya).” (QS. Ali ‘Imran [3]: 159)

 

Demikianlah, Allah telah memerintahkanmu untuk senantiasa bertawakal kepada-Nya, sebagaimana Dia juga memerintahkan Nabi-Nya dalam firman-Nya,

 

“Bertawakallah kepada Allah.” (QS. An-Nisa’ [4]: 81)

 

Patuhilah segala perintah Allah dalam segala perbuatanmu. Jika tidak, perbuatanmu itu tidak akan diterima Allah. Rasulullah saw. bersabda,

 

“Siapa yang berbuat sesuatu yang bukan perintah kami, perbuatannya itu tidak akan diterima.”

 

Hal ini mencakup urusan mencari rezeki, perilaku dan ucapan. Tidak ada Nabi lain bagi kita, kecuali Nabi Muhammad, ikutilah beliau. Tidak ada kitab lain bagi kita, kecuali al-Quran, amalkanlah isinya. Jika tidak, hawa nafsu dan setan-setanmu akan menyesatkanmu. Allah berfirman,

 

“Janganlah engkau mengikuti hawa nafsu karena dia akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. Shad [38]: 26)

 

Jika kau berpegang pada selain keduanya, kau akan binasa. Sebaliknya, dengan keduanya seorang hamba bisa mencapai derajat kewalian, menjadi wali abdal serta ghauts.’” Wallahu a’lam.

 

Wahai orang yang beriman, mengapa kau merasa iri hati kepada tetanggamu dalam hal makanan, minuman, pakaian, pasangan, tempat tinggal, kekayaan, serta nikmat yang diberikan Allah kepadanya? Tidakkah kau tahu bahwa kedengkianmu itu akan melemahkan imanmu, merendahkan derajatmu di mata Allah, dan mendatangkan murka Allah kepadamu? Tak pernahkah kau mendengar hadis Nabi yang berbunyi,

 

“Allah berfirman dalam salah satu firmannya, ‘Pendengki adalah musuh anugerah nikmatku.’” Atau engkau lupa dengan sabda Nabi,

 

“Sesungguhnya kedengkian itu melahap habis kebajikan, sebagaimana api melahap habis kayu bakar.”

 

Lantas, untuk apa kau harus iri kepadanya, duhai orang yang malang? Adakah kau iri terhadap bagiannya ataukah bagianmu sendiri? Jika memang kau iri terhadap bagian yang telah Allah berikan kepadanya sebagaimana firman-Nya,

 

“Kamilah yang menentukan penghidupan mereka dalam kehidupan dunia.” (QS. Az-Zukhruf [43]: 32)

 

Dengan demikian, engkau telah berbuat zalim terhadapnya. Padahal dia hanyalah manusia yang mempergunakan nikmat yang dianugerahkan dan ditakdirkan Allah hanya untuknya, bukan untuk yang lain. Lantas siapakah yang lebih zalim, kikir, tolol dan bodoh darimu?

 

Tetapi jika iri dengkimu itu tertuju kepada bagianmu sendiri, kau telah bersikap bodoh sebodoh-bodohnya. Sebab bagianmu tak akan diberikan atau dipindahkan kepada orang lain. Maha Suci Allah yang telah berfirman,

 

“Keputusan-Ku tidak dapat diubah dan Aku tidak menzalimi hamba-hamba-Ku.” (QS. Qaf [50]: 29)

 

Allah tidak akan berbuat zalim terhadapmu dengan mengambil bagian yang telah ditakdirkan untukmu kemudian memberikannya kepada orang lain. Jika kau berpikir demikian, inilah kebodohan dan kezalimanmu terhadap saudaramu sendiri. Kedengkianmu terhadap bumi tempat disimpannya benda-benda berharga, seperti emas, perak, dan mutiara yang dulu dikumpulkan oleh para raja, seperti raja kaum ‘Ad, Tsamud, kisra, kaisar dan lain-lain itu lebih berbahaya dan lebih besar dibandingkan kedengkianmu terhadap tetanggamu, baik dia beriman maupun kufur karena apa yang terdapat di dalam rumahnya itu tidak sampai sepersekian ribu dibandingkan dengan apa yang terdapat di bumi.

 

Sikapmu yang iri terhadap tetangga itu tak ubahnya seperti seorang laki-laki yang melihat sesosok raja yang penuh kuasa, bala tentara, kehormatan dan kerajaan, yang menguasai penjuru negeri, memungut pajak, dan hidup bergelimang kenikmatan, tetapi dia tak iri terhadap raja itu. Di sisi lain, dia justru iri ketika melihat seekor anjing liar yang tunduk kepada salah satu anjing milik sang raja tadi, di mana anjing itu duduk, berdiri, dan menggonggong atas perintah anjing sang raja. Kemudian, anjing liar itu diberi sisa-sisa makanan dan kotoran dari dapur sang raja, lantas dia pun memakannya.

 

Orang itu iri dengan anjing tersebut, bahkan memusuhi, ingin membunuhnya, dan menggantikan kedudukannya demi mendapatkan bagian yang sedikit lagi hina, tanpa sedikit pun bersikap zuhud, ingin menegakkan agama, ataupun puas terhadap apa yang ada (qana’ah). Adakah manusia di sepanjang masa yang lebih bodoh dan tolol dibandingkan orang ini?

 

Andai saja kau tahu, duhai orang yang malang, betapa panjang hisab (penghitungan amal) yang akan dihadapi oleh tetanggamu itu kelak pada hari kiamat sekiranya dia tak mematuhi Allah dan menunaikan kewajiban kepada-Nya, tidak mempergunakan hartanya untuk melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya, tidak memanfaatkannya untuk melaksanakan ibadah, dan tidak membayangkan sedikit pun seandainya saja harta itu tidak sedikit pun dia miliki, atau dia tidak sedikit pun mendapat nikmat dalam sehari saja?

 

Tidakkah kau mendengar bahwa Nabi Muhammad saw. pernah bersabda,

 

“Sesungguhnya pada Hari Kebangkitan akan ada kelompok orang yang menghendaki agar daging mereka dipisahkan dari tubuhnya dengan gunting karena mereka melihat pahala yang diterima oleh orang-orang yang kesusahan (semasa di dunia).”

 

Jika demikian kondisimu, pada hari kiamat nanti tetanggamu itu justru akan menginginkan kedudukanmu yang serba kekurangan selama di dunia ini. Sebab, mereka baru merasakan betapa panjang hisab yang harus dia hadapi, betapa lama dia harus berdiri selama 50.000 tahun di bawah terik matahari karena selama di dunia tidak menggunakan hartanya di jalan yang benar.

 

Sementara itu, kau justru akan selamat dari semua itu. Kau akan berada di bawah naungan Arasy dan hidup bersenang-senang sembari menikmati berbagai makanan, minuman, kenikmatan, kebahagiaan, kesenangan, dan kenyamanan berkat kesabaranmu atas berbagai kesulitan hidup selama di dunia serta berkat keridhaanmu terhadap segala ketentuan Tuhan yang menjadikanmu miskin dan orang lain kaya, kau sakit dan orang lain sehat, kau kesulitan dan orang lain penuh kemudahan, kau hina dan orang lain mulia.

 

Semoga Allah memasukkan kita semua ke dalam golongan orang-orang yang mampu bersabar ketika mendapatkan musibah dan bersyukur ketika mendapatkan nikmat. Pasrahkanlah segala urusan kepada Dzat Pemilik Langit.

 

Siapa yang berinteraksi dengan Tuhannya secara tulus dan sungguh-sungguh, dia telah mencampakkan segala hal selain-Nya pada siang dan malam hari. Wahai manusia, jangan mengklaim segala yang bukan milikmu. Esakanlah Allah dan jangan sekutukan Dia dengan apa pun. Demi Allah, sesungguhnya panah takdir yang mengenaimu hanya akan melukaimu, tidak membunuhmu. Siapa yang gugur di jalan Allah, dia akan memperoleh ganti dari-Nya.

 

Sesuatu yang dilakukan berdasarkan nafsu, dan bukan berdasarkan perintah Allah merupakan bentuk permusuhan (syiqaq) terhadap Allah. Melakukan sesuatu bukan karena nafsu adalah keselarasan (wifaq) denganNya. Sementara itu, melakukan sesuatu karena riya’ (ingin dilihat manusia) adalah kemunafikan.

 

Jangan berharap tergolong ke dalam kelompok ruhaniyyin jika kau belum menjadi musuh dirimu sendiri secara keseluruhan, memisahkan diri dari organ-organ tubuhmu, dan memutuskan hubungan dengan wujud, gerak, diam, pendengaran, penglihatan, ucapan, sentuhan, usaha, amal, akal, dan segala hal yang berasal darimu sebelum atau setelah ruh ditiupkan padamu. Sebab, itu semua menjadi penghalang antara kau dan Tuhanmu.

 

Jika kau telah sepenuhnya menjadi ruh yang terlepas dari itu semua, jika kau telah menjadi rahasianya rahasia dan gaibnya kegaiban, jika kau telah memisahkan diri dari segala sesuatu yang berkaitan dengan batinmu dan menjadikannya musuh sekaligus kegelapan, sebagaimana Nabi Ibrahim as. bersabda menyinggung berhala-berhala yang disembah kaumnya,

 

“Sesungguhnya mereka (apa yang kamu sembah)

itu musuhku, lain halnya Tuhan seluruh alam.” (QS. asy-Syu’ara’ [26]: 77)

 

Jika kau telah melakukan itu semua, anggaplah dirimu sendiri berikut anggota tubuhmu sebagai berhala-berhala. Demikian pula makhluk-makhluk lain. Jangan pernah pernah sedikit pun mematuhi mereka, baik sebagian maupun secara keseluruhan. Engkau akan dikaruniai rahasia-rahasia Tuhan, ilmu laduni dan ilmu-ilmu tak biasa.

 

Kau pun akan dikaruniai kemampuan untuk “mencipta”, hal-hal luar biasa yang sebenarnya hanya dimiliki oleh orang-orang beriman di surga. Dalam kondisi demikian, seakan-akan kau dibangkitkan dari kematian di akhirat. Sepenuhnya kau akan menjadi manifestasi kekuasaan Allah. Dengan Allah engkau mendengar, dengan-Nya engkau bicara, dengan-Nya engkau melihat, dengan-Nya engkau menyentuh, dengan-Nya engkau berjalan, dengan-Nya engkau berpikir, dengan-Nya pula engkau merasa tenang dan damai.

 

Pada akhirnya, kau akan menjadi buta dan tuli atas segala sesuatu selain-Nya. Kau tak akan melihat wujud lain, kecuali Dia, dengan tetap menjaga batasan-batasan, perintah, dan larangan-Nya. Jika ada salah satu aturan-aturan Allah yang terlepas darimu, ketahuilah bahwa kau sedang diuji dan dipermainkan oleh setan. Oleh karena itu, kembalilah kepada hukum syariat, dan abaikanlah bisikan hawa nafsu karena setiap perkara yang tidak sah menurut hukum-hukum syariat adalah kesesatan yang nyata. Wallahu a’lam.

 

Kami paparkan bagimu sebuah perumpamaan tentang fana berikut ini: katakanlah ada seorang raja yang melantik orang biasa menjadi gubernur untuk memerintah di suatu wilayah. Orang itu diberi pakaian kerajaan dengan bendera, panji-panji, genderang kerajaan, dan bala tentara yang cukup lengkap. Waktu pun berlalu. Akhirnya dia mengira bahwa kedudukan dan kondisinya itu akan kekal sehingga timbullah rasa bangga dan sombong. Dia lupa akan keadaannya sebelum dilantik menjadi gubernur dahulu.

 

Kemudian karena bangga dan sombongnya itu, dia dipecat oleh sang raja, dimintai pertanggungjawaban dan diinterogasi mengenai sebab dia melakukan kesalahan itu. Akhirnya dia diputuskan bersalah, lalu dijebloskan ke dalam penjara. Menyesallah dia berada di dalam penjara yang sempit dan gelap. Saking lamanya berada di dalam penjara, perasaan bangga dan sombongnya itu pun hilang. Hatinya luluh dan api hawa nafsunya pun padam, kemudian semua keadaannya itu diketahui oleh sang raja. Seiring berjalannya waktu, sang raja pun merasa iba kepadanya.

 

Dia dikeluarkan dari penjara. Sang raja pun menyerahkan kembali jabatan yang pernah dipegangnya dahulu untuk menjadi gubernur di wilayah lain, sebagai hadiah untuknya. Dia tetap memangku jabatan gubernur dengan baik dan tidak lagi berperangai buruk seperti dahulu. Akhirnya, dia pun menjadi orang yang baik, lurus, dan bahagia.

 

Demikianlah perumpamaan seorang mukmin jika Allah berkehendak untuk membuatnya dekat dengan-Nya dan menjadikannya orang pilihan-Nya. Dibukanya pintu hati seorang mukmin untuk menerima kasih sayang dan karunia-Nya. Dengan mata hatinya, dia akan melihat hal-hal yang tidak bisa dilihat oleh mata kepala, tidak bisa didengar oleh telinga, dan tidak pernah terbesit di dalam hati manusia.

 

Akan tampak olehnya hal-hal gaib dari kerajaan langit dan bumi, semakin dekat dengan Allah, mendengar ucapan paling manis dan lembut, janji paling indah yang pasti ditepati, dikabulkan doanya, dianugerahi ungkapan-ungkapan bijak, dan janji yang benar. Semua itu muncul jauh dari lubuk hatinya yang paling dalam, lalu ditampakkan oleh mulutnya. Di samping itu, Allah juga akan menyempurnakan karunia-Nya kepada si mukmin secara lahir, seperti makanan, minuman, pakaian, pasangan yang baik, perkara-perkara yang halal, pemeliharaan terhadap aturan-aturan Allah, dan seluruh ibadah lahiriah lainnya.

 

Allah akan memberikan kondisi demikian kepada hamba-Nya yang beriman dan dekat dengan-Nya untuk beberapa masa lamanya, sampai si hamba merasa nyaman dan kekal dalam kondisi itu. Setelah itu, Allah akan mendatangkan malapetaka, kesusahan hidup dan bencana kepadanya dalam hal harta, jiwa, keluarga, anak, dan hati. Terputus sudah segala kenikmatan yang dahulu dia reguk sehingga si hamba akan merasa sedih, bingung, putus asa, dan remuk hatinya.

 

Jika dia melihat kondisi lahiriahnya, dia akan melihat keburukan yang menimpanya. Jika dia melihat kondisi batiniahnya, dia melihatnya sesuatu yang menyedihkannya. Jika ia meminta kepada Allah agar melenyapkan kesusahan yang tengah dihadapinya itu, Allah tidak akan mengabulkannya. Jika dia meminta janji-janji yang baik, dia tidak akan mendapatkannya dengan segera. Jika dia menjanjikan sesuatu, dia tidak akan mudah menepatinya. Jika dia memimpikan sesuatu, dia tidak akan dapat mengetahui tafsir (maksud) mimpinya itu. Jika dia menginginkan kembali kepada manusia sebagaimana biasanya, dia pun tidak menemukan jalan.

 

Dalam kondisi demikian, ketika dia mendapati kemudahan dan hendak mengambilnya, sungguh disayangkan, hukuman baginya telah terlebih dahulu datang. Tangan-tangan manusia mencabik-cabik badannya, lisan mereka menghancurkan kehormatannya. Jika dia menginginkan untuk diasingkan dari kondisi sebelum dia menjadi manusia pilihan Allah, itu pun tidak akan dikabulkan.

 

Jika dia menginginkan keridhaan, kebaikan, dan kenikmatan dalam menghadapi bencana yang menimpanya, itu pun tidak dikabulkan. Saat itulah diri dan hawa nafsunya hancur, kehendak dan angan-angannya kabur, dan segala entitas binasa. Kondisi itu akan berlangsung untuknya terus menerus, bahkan semakin bertambah dari masa ke masa. Hingga sampailah masa di mana dia lenyap dari tabiat dan sifat-sifat manusiawi. Yang tersisa padanya hanyalah ruh yang mendengar seruan gaib sebagaimana ditujukan kepada Nabi Ayyub a.s. berikut,

 

“Hentakkan kakimu; inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum.” (QS. Shad [38]: 42)

 

Allah akan melimpahkan lautan rahmat, Kasih sayang, kelembutan, dan anugerah di dalam hatinya.

 

Allah pun akan menghidupkannya dengan ruh-Nya, menganugerahinya makrifat dan ilmu-ilmu-Nya yang mendalam, membukakan pintu-pintu rahmat, nikmat, dan anugerah untuknya. Manusia akan datang kepadanya membawa berbagai pemberian dan mengabdi kepadanya. Mereka akan senantiasa memuji dan menyanjungnya di setiap tempat. Mereka akan datang berbondong-bondong kepadanya.

 

Para raja dan orang besar akan tunduk padanya. Allah akan menyempurnakan karunia-Nya kepadanya, baik lahir maupun batin. Allah akan memelihara sisi lahiriahnya melalui makhluk dan nikmat-nikmat-Nya, dan batinnya melalui kasih sayang dan kemurahan-Nya. Kondisi itu akan terus berlangsung sampai dia bertemu Tuhannya. Setelah itu, Allah akan memasukkannya ke tempat yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas dalam hati siapa pun. Sebagaimana firman Allah,

 

“Tidak seorang pun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyenangkan hati sebagai balasan terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. as-Sajdah [32]: 17)

 

Kondisi jiwa manusia itu hanya dua, tidak ada yang ketiga: bahagia dan sengsara. Ketika sedang sengsara, dia akan gelisah, mengeluh, marah, mengkritik dan menyalahkan Allah, tidak sabar, tidak bertawakal, dan tidak ikhlas dengan keputusan Allah, bahkan berperangai buruk kepada Allah dan menyekutukan-Nya dengan makhluk sehingga tidak percaya atau kufur.

 

Namun, ketika sedang bahagia, dia akan berbuat jahat, sombong, mengikuti hawa nafsu dan segala kelezatan. Nafsunya tidak pernah merasa puas. Dia akan selalu merasa dengan segala nikmat yang dia peroleh, baik berupa makanan, minuman, pakaian, istri, tempat tinggal, maupun kendaraan. Di matanya, seluruh nikmat ini adalah aib dan sedikit jumlahnya. Dia menghendaki nikmat lebih banyak dan lebih besar yang belum ada dalam genggaman, sedangkan nikmat yang ada mereka campakkan.

 

Dengan demikian, dia akan terjerumus dalam derita berkepanjangan, tidak ikhlas menerima apa yang telah dia miliki sehingga tenggelam di lautan kebinasaan panjang tiada akhir. Tak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat. Hal ini sebagaimana ungkapan yang berbunyi,

 

“Sesungguhnya hukuman yang paling menyiksa adalah mencari atau menuntut sesuatu yang tidak ditentukan (untuk kita).”

 

Ketika sedang sengsara, dia tak menginginkan apa pun, kecuali agar kesengsaraan itu dihilangkan. Dia lupa akan segala kenikmatan dan kelezatan, tak sedikit pun menginginkannya. Namun, tatkala sedang bahagia, dia kembali tamak, berbuat jahat, mengingkari Allah, tenggelam ke dalam lautan maksiat serta lupa akan penderitaan yang pernah dialaminya. Akibatnya, dia akan kembali ditimpa kesusahan dan penderitaan, bahkan lebih berat dari yang pernah dialaminya, sebagai akibat dari dosa-dosa besar yang dia perbuat.

 

Dengan cara demikian, dia akan berhenti berbuat maksiat dan dosa pada masa mendatang. Sebab, kesenangan dan kebahagiaan itu tidak akan menyelamatkannya, justru kesengsaraan dan penderitaanlah yang dapat menyelamatkannya. Sekiranya dia berbuat baik, taat kepada Allah, bersyukur dan ridha kepada-Nya ketika penderitaan dan kesusahan itu dihilangkan, hal itu lebih baik baginya di dunia dan di akhirat. Allah akan menambahkan karunia, nikmat, kebahagiaan, dan keselamatan untuknya.

 

Oleh karena itu, siapa yang menghendaki keselamatan hidup di dunia dan di akhirat, hendaklah senantiasa bersabar dan ridha kepada Allah, tidak mengeluh kepada manusia, mengadukan segala kebutuhannya hanya kepada Allah, senantiasa taat kepada-Nya, menunggu datangnya jalan keluar dari-Nya, dan pasrah hanya kepada-Nya. Sebab Dia lebih baik dari segala sesuatu selain-Nya. Segala yang tidak diberikan Allah kepada kita sejatinya adalah karunia, Hukuman-Nya sejatinya adalah nikmat, dan penderitaan yang Dia berikan sejatinya adalah obat.

 

Janji-Nya pasti dipenuhi, firman-Nya pasti terjadi di waktu yang dia kehendaki.

 

“Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu Dia hanya berkata kepadanya, Jadilah!,’ jadilah sesuatu itu.” (QS. Yasin [36]: 82)

 

Semua perbuatan-Nya adalah baik dan berdasarkan hikmah serta maslahat. Namun, hanya Allah Yang Maha Tahu atas hikmah dan maslahat itu. Dengan demikian, yang lebih utama dilakukan oleh seorang hamba adalah senantiasa pasrah, berserah diri, dan kembali kepada-Nya, melakukan apa saja yang diperintahkan-Nya, dan meninggalkan apa saja yang dilarang-Nya. Jangan mencampuri urusan ketuhanan-Nya karena hal itu merupakan penyakit sekaligus musuh dari takdir-Nya. Berhentilah mengatakan, “Mengapa, bagaimana, dan kapan?”

 

Jangan pula menyalahkan Allah dalam segala gerak dan diammu. Semua nasihat ini berdasarkan sabda Nabi yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas dan diriwayatkan oleh ‘Atha’ bin ‘Abbas r.a. berikut,

 

“Ketika aku sedang bersama Nabi saw. beliau berkata kepadaku, ‘Wahai anakku, peliharalah (kewajibanmu terhadap) Allah, niscaya Allah akan memeliharamu. Peliharalah (kewajibanmu terhadap Allah), niscaya kau akan mendapati-Nya di hadapanmu. Jika kau meminta, mintalah kepada Allah. Jika kau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan dari-Nya. Tinta catatan amal telah kering jika sesuatu itu telah terjadi.”

 

Oleh karena itu, andaikan seluruh hamba Allah hendak memberikan suatu manfaat yang tidak digariskan Allah untukmu, mereka tak akan mampu melakukannya. Sebaliknya, jika mereka hendak menimpakan suatu bahaya yang tidak ditetapkan oleh-Nya, perbuatan mereka itu akan sia-sia belaka. Oleh karena itu, jika kau mampu melakukan seluruh perintah Allah dengan sungguh-sungguh dan yakin, lakukanlah semua itu. Akan tetapi, jika kau tidak mampu melakukannya, hendaknya kau bersabar terhadap sesuatu yang tidak kau suka, sebab di dalam kesabaran itu terdapat banyak kebaikan.

 

Ketahuilah, sesungguhnya pertolongan Allah itu datang melalui kesabaran. Ketahuilah, sesungguhnya jalan keluar itu datang bersama kesulitan, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Oleh karena itu, setiap orang yang beriman hendaknya menjadikan hadis di atas sebagai cerminan hati, semboyan, selimut, dan topik pembicaraannya. Dia juga harus mengamalkannya dalam setiap gerak dan diamnya, agar senantiasa mendapatkan keselamatan di dunia dan di akhirat serta memperoleh kemuliaan pada keduanya, dengan rahmat Allah swt.

 

Seseorang akan meminta sesuatu kepada manusia karena dia tidak mengenal Allah, lemah imannya, lemah makrifat dan keyakinannya, dan sedikit kesabarannya. Sebaliknya, dia akan berhenti meminta-minta kepada manusia karena dia amat mengenal Allah, kuat imannya, makrifat (pengetahuan)-nya tentang Allah semakin bertambah setiap hari, setiap saat. Dia menyadari bahwa hidupnya berasal dari-Nya.

 

Sesungguhnya penyebab doa orang yang mengenal Allah (‘arif) itu Allah tidak dikabulkan, dan setiap janji untuknya tidak dipenuhi adalah agar dia tidak dikuasai oleh harapan yang dapat membinasakannya. Sebab setiap kondisi atau kedudukan spiritual pasti di dalamnya terdapat perasaan takut (khauf) dan harap (khauf). Keduanya ibarat dua sayap burung. Iman tidak akan sempurna tanpa keduanya, demikian pula kondisi dan kedudukan spiritual.

 

Hanya Saja, rasa takut dan harap dalam setiap kondisi spiritual itu disesuaikan dengannya. Dengan demikian, seorang ‘arif menjadi dekat dengan Allah sehingga dia tak menghendaki apa pun selain-Nya. Permohonan hamba agar doanya diterima dan janji untuknya dipenuhi, bertentangan dengan spiritualitas yang sedang dia jalani.

 

Ada dua sebab (tujuan) untuk ini. Pertama, agar dia tidak terbuai oleh harapan dan tipu daya dunia yang dibuat Allah sehingga dia lalai untuk melaksanakan kewajibannya terhadap-Nya. Kedua, agar dia tidak menyekutukan Allah dengan apa pun, sebab tidak ada satu pun manusia yang terlindungi (ma’shum) dari dosa, kecuali para nabi, termasuk Nabi Muhammad saw. Semoga Allah senantiasa melimpahkan shalawat dan salam kepada mereka semua.

 

Sebab dua hal inilah Allah tidak selalu mengabulkan permohonan seorang ‘arif, agar dia tak meminta sesuatu pun atas dorongan hawa nafsunya, bukan karena mematuhi perintah-Nya. Ada kemungkinan hal ini akan membawanya kepada perbuatan syirik. Syirik adalah dosa paling besar di setiap keadaan, langkah, dan kedudukan spiritual seluruhnya. Adapun jika doanya itu selaras dengan perintah Allah, hal itu justru akan menambah kedekatannya kepada Allah, semisal shalat, puasa, serta ibadah-ibadah wajib maupun sunah lainnya. Sebab, dengan mengikuti semua itu berarti dia telah mematuhi perintah Allah.

 

Sesungguhnya manusia itu ada dua macam: yang diberi nikmat duniawi dan yang diuji. Mereka yang dikaruniai nikmat duniawi belum tentu terlepas dari dosa dan khilaf dalam menikmati karunia Allah tersebut. Mereka justru berbangga dengan karunia yang diterima, lalu tiba-tiba datanglah takdir Allah berupa kesulitan dan malapetaka yang menimpa diri, keluarga atau harta bendanya. Mereka pun lantas merasa sedih dan berputus asa. Mereka lupa akan segala kebanggaan dan kebahagiaan yang mereka nikmati sebelumnya.

 

Meskipun mereka telah diberi kekayaan, keselamatan, dan kebahagiaan, mereka tetap lupa diri. Mereka menduga keadaan itu akan kekal. Jika mereka ditimpa malapetaka, mereka pun lupa akan segala kenikmatan yang pernah dirasakan sebelumnya, seakan-akan kenikmatan itu tidak pernah ada pada mereka. Semua ini terjadi karena kebodohan mereka terhadap Tuannya yang hakiki, yaitu Allah swt.

 

Andaikan mereka mengetahui bahwa Allah berkuasa melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya, baik menjatuhkan ataupun mengangkat, membuat kaya atau miskin, menyenangkan ataupun menyusahkan, memuliakan ataupun menghinakan, menghidupkan ataupun mematikan, dan seterusnya maka tentulah mereka tidak akan menduga bahwa kebahagiaan dan kekayaan yang mereka nikmati itu akan kekal, dan tentulah mereka tidak akan merasa bangga dan sombong ataupun putus asa dan kecewa, ketika kekayaan dan kebahagiaan dicabut darinya.

 

Tindakan mereka ini disebabkan oleh kebodohannya sendiri mengenai dunia. Mereka tidak mengetahui bahwa dunia adalah tempat ujian, tempat berusaha, tempat bersakit-sakitan dan tempat bersusah payah. Dunia ini bagaikan dua lapisan rasa, di luarnya rasa pahit dan di dalamnya rasa manis. Makanlah dahulu yang pahit itu, baru kemudian yang manis. Seseorang tidak akan merasakan buah yang manis hidup sebelum dia mengecap kulitnya yang pahit. Dia tidak akan mencapai rasa yang manis, kecuali setelah bersabar memakan lapisannya yang pahit.

 

Oleh karena itu, siapa yang bersabar terhadap ujian. ujian di dunia ini, ia akan mengecap manisnya nikmat, Ibarat seorang pekerja, dia akan diberi upah setelah keningnya berkeringat, tubuh dan jiwanya letih karena bekerja. Setelah semua jerih payah yang telah dia lakukan, dia akan mendapatkan jatah makanan dan minuman yang lezat, busana yang bagus serta merasa senang dan bahagia, meskipun tak seberapa.

 

Dunia ini permukaannya pahit. Ibarat madu yang diletidak akan dalam sebuah wadah yang dilapisi lapisan pahit di bagian atasnya. Orang yang hendak memakan madu itu tak akan dapat meraih madu murni (yang tidak terkena rasa pahit) sampai dia mengecap lapisan atas yang pahit itu.

 

Oleh karena itu, jika seorang hamba Allah telah berupaya keras menunaikan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, pasrah kepada-Nya, dan telah merasakan kepahitan dari semua itu, menanggung semua beban beratnya, berupaya melawan hawa nafsu dan kehendaknya sendiri, Allah akan memberinya kehidupan baru yang lebih baik, kebahagiaan, kenyamanan, dan kemuliaan. Allah juga akan memeliharanya dan menjamin penghidupannya, layaknya bayi yang disusui ibunya.

 

Allah akan memberinya rezeki tanpa harus bersusah payah atau berusaha keras, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Dia akan merasakan kenikmatan layaknya orang yang mengecap manisnya madu yang terdapat di lapisan bawah wadah, setelah merasakan pahitnya di lapisan atas.

 

Oleh karena itu, seorang hamba yang diberi karunia oleh Allah hendaknya tidak merasa telah aman dari cobaan-Nya, tidak terpedaya oleh kenikmatan, dan tidak merasa yakin bahwa kenikmatan itu akan kekal baginya sehingga pada akhirnya lupa untuk bersyukur. Nabi Muhammad saw. bersabda,

 

“Kenikmatan adalah binatang buas, ikatlah dia dengan syukur.”

 

Cara mensyukuri nikmat kekayaan adalah dengan mengakui bahwa kekayaannya itu milik Sang Pemberi Nikmat, yaitu Allah, senantiasa mengingatnya setiap waktu, mengingat kemurahan dan karunia-Nya, tidak mengklaim nikmat itu sebagai miliknya, tidak melampaui batas, tidak meninggalkan perintah-Nya, diiringi dengan menunaikan kewajiban atas harta itu, seperti mengeluarkan zakat, membayar kafarat, nazar, sedekah, menolong orang-orang yang lemah, membantu mereka yang sedang membutuhkan dan sedang mengalami kesulitan akibat kondisinya yang tiba-tiba berubah menjadi buruk, yaitu ketika masa-masa bahagianya berubah menjadi duka lara.

 

Adapun menggunakan cara mensyukuri nikmat sehat adalah dengan mempergunakan seluruh anggota tubuh untuk menunaikan perintah-perintah Allah dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan, kekejian, maksiat dan dosa. Begitu pula cara menjaga nikmat, menyiram tanamannya, menumbuhkan dahan dan dedaunannya, serta mempercantik buahnya. Inilah cara membuat manis buahnya, menghindari racunnya, mengunyahnya dengan nikmat, dan memetiknya dengan nikmat.

 

Inilah cara menjalarkan ke seluruh anggota tubuh sehingga keberkahan menyelimutinya melalui berbagai ibadah dan pendekatan diri kepada-Nya, senantiasa mengingat-Nya. Pada akhirnya, semua itu akan memasukkan hamba ke dalam rahmat, kasih sayang, dan surga Allah bersama para nabi, para shiddiqin, syuhada, dan orang-orang shalih. Mereka itulah sebaik-baiknya teman.

 

Namun, jika semua itu tidak dilakukan dan justru terpedaya oleh keindahan dan kenikmatan dunia, terbuai oleh kilau fatamorgana dunia, dan semilir angin dingin pagi pada musim panas, terkecoh oleh kulit ular dan kalajengking, lupa dengan bisanya yang mematikan dan perangkap-perangkap dunia yang siap membuatnya binasa, berbahagialah dengan kehinaan. Bergembiralah dengan kehancuran yang segera datang, disertai kehinaan di dunia dan siksa pedih neraka di akhirat kelak.

 

Adapun jenis manusia yang kedua, yaitu manusia diuji. Ada dua kemungkinan mengapa dia diuji. Pertama, sebagai hukuman atas kejahatan dan kemaksiatan yang telah dia perbuat. Kedua, sebagai penghapus dosa-dosanya. Ketiga, untuk mengangkat derajat dan kedudukannya ke maqam yang lebih tinggi, agar dapat bersama-sama dengan para pemilik ruhani dan maqam tinggi di alam tertinggi. Hal itu terjadi setelah Allah memberikan perhatian khusus kepada mereka dengan cara membuatnya mengembara di padang bencana melalui kendaraan kasih sayang dan kelembutan-Nya. Allah memanjakan mereka dengan angin sepoi yang berhembus dari pandangan dan perhatian-Nya di setiap gerak dan diam mereka.

 

Demikianlah, ujian tidak ditujukan untuk menghancurkan dan menghinakan mereka, tetapi sebaliknya, ujian itu untuk memilih, dan memunculkan keimanan hakiki mereka, serta membersihkannya dari segala kesyirikan, kesombongan, dan kemunafikan. Sebagai balasannya, Allah memberi mereka berbagai ilmu, rahasia dan cahaya-Nya, serta menjadikan mereka manusia paling bersih di antara manusia-manusia pilihan, mempercayakan rahasia-rahasia-Nya kepada mereka, dan meridhai mereka untuk berada di sisi-Nya.

 

Nabi Muhammad saw. bersabda,

 

“Orang-orang miskin yang bersabar adalah pendamping-pendamping Allah pada hari kiamat nanti.”

 

Mereka akan berada di sisi Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia dengan hati mereka, sedangkan di akhirat dengan jasad atau fisik mereka. Oleh karena itu, bencana ditimpakan kepada mereka untuk membersihkan hatinya dari kotoran-kotoran syirik, memutuskan hubungannya dengan makhluk, sebab, angan-angan, dan kehendak. Di samping itu, juga untuk menghancurkan kebanggaan, kesombongan, dan keinginan mereka untuk mendapat imbalan derajat yang tinggi di surga dari berbagai ibadah dan ketaatan yang mereka lakukan.

 

Tanda bahwa suatu ujian ditujukan sebagai hukuman adalah ketika hamba yang mendapat ujian tidak sabar menerimanya, gelisah, dan mengeluh kepada makhluk, Tanda bahwa ujian ditujukan sebagai penghapus dosa dan kesalahan adalah ketika hamba bersabar, tidak mengeluh, dan tidak menunjukkan kecemasan kepada teman dan tetangga, serta tidak merasa bosan melaksanakan perintah Allah dan beribadah. Sementara itu, tanda bahwa ujian ditujukan untuk meninggikan derajat adalah ketika hamba ridha dan pasrah, jiwanya tenang dan tenteram atas perbuatan Allah, dan melenyapkan diri dalam ujian itu sampai masa ujian itu berakhir.

 

Dalam sebuah hadis Qudsi, Rasulullah menyatakan bahwa Allah swt. berfirman,

 

“Siapa yang lebih sibuk mengingat-Ku dibanding meminta sesuatu kepada-Ku, Aku akan memberinya sesuatu yang lebih baik daripada yang Aku berikan kepada mereka yang meminta.”

 

Allah menyatakan demikian karena apabila Dia hendak memilih orang yang beriman (untuk tujuan-Nya), Dia akan membawa orang itu melewati berbagai kondisi spiritual dan mengujinya dengan bermacam-macam kesulitan dan kesusahan. Allah akan membuatnya miskin papa, bahkan sampai hampir mengemis kepada orang lain untuk mendapatkan rezeki. Namun, Allah lantas menyelamatkannya dari sikap mengemis-ngemis dan memaksanya untuk berusaha. Allah pun memudahkan jalan usahanya itu sehingga dia pun dapat memenuhi nafkahnya melalui usaha yang juga merupakan sunah Nabi.

 

Kemudian, Allah kembali memberinya kesulitan dalam mencari rezeki. Allah lalu memberinya ilham untuk meminta-minta kepada orang lain dan memerintahkannya melakukan itu dengan perintah rahasia yang hanya diketahui olehnya sendiri. Allah menjadikan pekerjaan meminta-minta ini sebagai ibadah baginya, dan berdosalah dia jika tidak melakukannya.

 

Perintah ini dimaksudkan agar hawa nafsunya dan egonya hilang. Inilah latihan keruhanian sehingga tindakannya meminta-minta itu merupakan paksaan dari Allah, bukan syirik terhadap Allah yang Maha Memaksa, kemudian Allah melepaskannya dari keadaan tersebut dan menyuruhnya supaya meminjam. Perintah ini tidak boleh dibantah, sebagaimana perintah untuk mengemis sebelumnya. Setelah itu, Allah mengubah keadaan orang itu dengan cara memutus segala keterikatannya terhadap makhluk, menjadikannya hanya bergantung kepada-Nya dalam mencari nafkah hidup. Apa saja yang dia kehendaki akan dikabulkan Allah, bahkan jika dia diam dan tidak meminta sekali pun.

 

Allah akan kembali mengubah kondisinya, dari permintaan dengan lisan ke permintaan dengan hati. Maka, orang itu pun meminta segala keperluannya kepada Allah melalui hatinya saja, dan Allah pun mengabulkan segala permintaannya itu. Jika dia meminta dengan lisan, Allah tidak akan mengabulkannya. Demikian pula jika dia meminta kepada manusia, dia tidak akan mendapatkan apa-apa dari mereka. Allah membuatnya tidak lagi perlu meminta-minta secara keseluruhan, baik lahir maupun batin.

 

Allah memberinya segala hal yang menjadi kebutuhannya seperti makanan, minuman, pakaian, dan segala keperluan hidup lainnya, tanpa harus berusaha atau memikirkannya. Allah akan menguasai dirinya. Sebagaimana firman-Nya,

 

“Sesungguhnya pelindungku adalah Allah yang telah menurunkan kitab (al-Quran). Dia melindungi orang-orang shalih.” (QS. al-A’raf [7]: 196)

 

Pada titik ini, firman Allah dalam hadis Qudsi, “Siapa yang lebih sibuk mengingat-Ku dibanding meminta sesuatu kepada-Ku, Aku akan memberinya sesuatu yang lebih baik daripada yang Aku berikan kepada mereka yang meminta,” sebagaimana tersebut di atas menjadi kenyataan.

 

Inilah yang disebut kondisi fana’ (lenyap dari segala sesuatu selain Allah) yang merupakan tingkatan spiritualitas tertinggi para wali dan para wali abdal. Tak hanya itu, dia pun akan diberi kuasa untuk “mencipta,” sehingga apa pun yang dia inginkan akan terjadi, dengan izin Allah. Hal ini sebagaimana disinggung Allah dalam salah satu kitab-Nya,

 

“Wahai anak Adam, Akulah Allah, tiada Tuhan selain Aku. Apabila Aku berkata kepada sesuatu, Jadilah,’ sesuatu itu pasti akan terjadi. Taatlah kepadaku, akan kujadikan kau jika berkata kepada sesuatu, ‘Jadilah, sesuatu itu pasti akan terjadi.’”

 

Kepada Allah Aku pernah ditanya lelaki tua renta di dalam mimpi. Dia berkata, “Apa yang dapat membuat seorang hamba dekat kepada Allah?” Aku menjawab, “Dalam hal ini terdapat permulaan dan akhiran. Permulaannya adalah sikap wara’ dan akhirnya adalah ridha, berserah diri, dan bertawakal kepada Allah.”

 

Seorang mukmin, pertama-tama, hendaknya menyibukkan diri untuk melaksanakan hal-hal yang wajib. Jika telah selesai menunaikan yang wajib, hendaknya dia menunaikan hal-hal yang sunah. Jika telah selesai menunaikan keduanya, hendaknya dia menunaikan ibadah-ibadah sunah tambahan (nawafil) dan keutamaan-keutamaannya (fadha‘il). Selama belum melaksanakan yang wajib, melaksanakan yang sunah adalah kebodohan dan ketololan. Jika dia menyibukkan diri dengan perkara-perkara sunah dan nawafil sebelum menunaikan yang wajib, amalnya tak akan diterima bahkan dia akan dihinakan.

 

Dalam kondisi seperti itu, dia ibarat seseorang yang diminta oleh raja untuk mengabdi kepadanya, tapi dia enggan dan justru mengabdi kepada amir yang merupakan anak sang raja. Amir itu berada di bawah perintah dan kekuasaan sang raja.

 

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib r.a. meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw. pernah bersabda,

 

“Sesungguhnya perumpamaan orang yang melaksanakan shalat-shalat sunah dan meninggalkan shalat-shalat wajib itu seperti seorang wanita hamil yang masa melahirkannya telah dekat, dia justru keguguran. Dengan demikian, wanita itu tidak lagi hamil dan tidak juga menjadi seorang ibu.”

 

Demikian pula orang yang shalat. Allah tidak akan menerima shalat sunah yang dia kerjakan sebelum dia melaksanakan shalat wajib. Ibarat seorang pedagang, dia tidak akan memperoleh keuntungan bersih sampai modalnya dagangannya dia kembalikan. Pun orang-orang yang mengerjakan shalat sunah. Ibadahnya tidak akan diterima sampai dia melaksanakan shalat wajib. Demikian halnya orang yang meninggalkan perkara-perkara sunah dan justru menyibukkan diri dengan ibadah-ibadah tambahan yang tidak selaras dengan perkara-perkara wajib, tidak ada dalam nas (al-Quran dan hadis), dan tidak ditekankan perintahnya.

 

Contoh perkara-perkara wajib adalah meninggalkan perkara haram, menyekutukan Allah dengan makhluk-Nya, menentang qadha dan takdir Allah, tunduk dan patuh kepada makhluk, serta menentang perintah Allah dan tidak menaati-Nya.

 

Rasulullah saw. bersabda,

 

“Tiada ketaatan bagi makhluk yang mendurhakai Allah.”

 

Siapa yang lebih memilih tidur daripada shalat malam, sejatinya dia telah memilih sesuatu yang buruk dan hina. Sejatinya pula dia telah menyongsong kematian dan lalai terhadap segala kebaikan. Sebab, tidur adalah saudara kematian. Oleh karena itu, Allah tidak tidur karena bersih dari segala kekurangan. Begitu pula para malaikat karena mereka senantiasa dekat dengan Allah, mereka pun tidak tidur. Pun demikian dengan para penghuni surga karena mereka berada di tempat tertinggi, tersuci, dan termulia, dan terhormat, mereka tidak tidur. Tidur merupakan aib dan kekurangan bagi mereka.

 

Oleh karena itu, segala kebaikan terdapat pada kondisi terjaga, sedangkan segala keburukan terdapat pada kondisi tidur dan lalai. Siapa yang makan karena hawa nafsu belaka; makan berlebihan, minum berlebihan, dan tidur pun berlebihan, dia akan mengalami penyesalan panjang dan melewatkan banyak kebaikan.

 

Siapa yang memakan sedikit perkara haram, dia serupa dengan orang yang banyak memakan perkara halal dengan hawa nafsunya. Sebab sesuatu yang haram akan menutupi iman dan menggelapkannya, laksana arak yang menggelapkan dan menutupi akal. Apabila iman telah tertutup, tak ada lagi shalat, ibadah, atau keikhlasan. Siapa yang banyak memakan perkara-perkara halal berdasarkan perintah, dia layaknya orang yang memakan sedikit kenikmatan ibadah dan mengambil sedikit kekuatan.

 

Perkara halal adalah cahaya di dalam cahaya, sedangkan perkara haram adalah kegelapan di dalam kegelapan. Tiada kebaikan di dalamnya. Dia memakan perkara halal dengan tamak, tanpa ada perintah. Dia juga memakan perkara haram demi dapat tidur. Ini pun sama, tiada kebaikan di dalamnya.

 

Sejatinya dirimu tidak terlepas dari dua kondisi: jauh dari Allah atau dekat dan sampai kepada-Nya. Jika kau jauh dari-Nya, mengapa kau masih duduk berleha-leha, tidak bersegera mengejar bagianmu yang terbesar, kemuliaan yang kekal, kecukupan terbesar, keselamatan, kekayaan, dan nikmat di dunia dan akhirat? Berdiri dan segeralah terbang kepada-Nya dengan dua sayap.

 

Sayap pertama adalah meninggalkan segala kenikmatan dan syahwat yang haram dan mubah, serta meninggalkan seluruh kenyamanan. Sayap kedua adalah sabar terhadap segala kepedihan, hal-hal yang tidak menyenangkan, menguatkan tekad, menjauhkan diri dari makhluk, keinginan, dan cita-cita duniawi atau pun ukhrawi, agar bisa sampai dan dekat kepada Allah. Pada kondisi ini, kau akan memperoleh segala yang kau dambakan, dan diberi kemuliaan serta kehormatan terbesar.

 

Jika kau telah menjadi orang yang dekat dan sampai kepada-Nya, meraih perhatian, cinta, dan kasih sayangNya, tunjukkanlah perilaku yang baik dan jangan sampai tertipu dengan semua itu, agar kau tak lalai mengabdi dan tidak kembali terjerumus kembali ke dalam kegelapan dan kebodohanmu semula, sebagaimana firman Allah,

 

“Lalu dipikullah amanat itu oleh manusia.

Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh.” (QS. al-Ahzab [33]: 72)

 

Juga sebagaimana firman Allah,

 

“Memang manusia bersifat tergesa-gesa.” (QS.

al-Isra’ [17]: 11)

 

Lindungilah hatimu dari kecenderungan terhadap makhluk, hawa nafsu, kehendak, usaha, serta ketidaksabaran, ketidakselarasan dengan Allah, dan ketidakridhaan saat mendapat ujian, yang sebelumnya telah kau campakkan seluruhnya. Pasrahkanlah dirimu ke hadapan Allah layaknya bola di hadapan pemain polo yang menggulirkannya dengan stiknya, bagai mayat di hadapan orang yang memandikannya, dan bagai bayi di gendongan ibu atau perawatnya. Butakanlah matamu dari segalanya selain Allah sehingga kau tak melihat wujud apa pun selain-Nya, tiada mudarat, manfaat, pemberian, maupun pencegahan, kecuali Dia yang melakukan.

 

Anggaplah makhluk dan faktor-faktor duniawi, di masa kau mendapat kesulitan dan ujian, sebagai cambuk yang dipukulkan Allah kepadamu. Sementara di saat kau mendapat nikmat dan anugerah, anggaplah keduanya sebagai tipu daya Allah yang akan Dia gunakan untuk “menyuapimu”.

 

Dengan sikapnya terhadap bagian-bagian duniawi, orang zuhud menerima pahala dua Kali. Pertama, dia diberi pahala karena meninggalkan bagian-bagian duniawi itu. Dia tidak mengambil jatah duniawinya dengan hawa nafsu atau untuk menuruti hawa nafsu, melainkan sekadar untuk memenuhi perintah Allah. Apabila dia telah menjadi musuh bagi dirinya sendiri dan menentang hawa nafsunya, sejatinya dia telah termasuk dalam golongan ahli hakikat dan wali Allah.

 

Dia pun akan dimasukkan ke dalam golongan wali abdal dan orang-orang ‘arif (yang mengenal Allah). Setelah itu, barulah dia diperintahkan untuk mengambil bagian-bagian duniawi karena bagian itu merupakah jatah yang harus dia ambil dan telah ditentukan hanya untuknya, bukan untuk orang lain.

 

Tinta takdir telah kering untuknya, dan Allah pun telah mengetahuinya. Apabila perintah ini telah dia laksanakan, dia akan memperoleh ilmu dari Allah. Dia akan mengambil bagian-bagian duniawinya seiring berjalannya takdir dan kehendak Allah pada dirinya tanpa sedikit pun dia terlibat di dalamnya, tanpa hawa nafsu, tanpa keinginan, dan tanpa ambisi. Dengan demikian, dia akan mendapatkan pahala yang kedua. Dengan demikian pula, dia telah melaksanakan perintah Allah dan menyelaraskan diri dengan perbuatan Allah di dalam dirinya.

 

Jika ada yang mengatakan, “Bagaimana mungkin kau berbicara tentang pahala bagi orang yang telah mencapai kedudukan spiritual paling tinggi, sebagaimana yang kau katakan bahwa orang seperti ini telah termasuk dalam golongan wali abdal dan orang-orang ‘arif, di mana perbuatan Allah berlangsung dalam diri mereka, mereka lenyap dari makhluk, hawa nafsu, kehendak, bagian-bagian duniawi, angan-angan, bahkan balasan atas segala amal yang mereka lakukan. Mereka melihat bahwa semua ketaatan dan ibadah yang mereka lakukan adalah semata-mata karena anugerah, nikmat, kasih sayang, pertolongan, dan kemudahan dari Allah swt.

 

Mereka juga meyakini bahwa mereka adalah budak-budak Allah. Tentu saja, seorang budak tidak memiliki hak apa pun atas tuannya. Sebab, dirinya berikut segala gerak gerik, diam, dan pekerjaannya adalah milik sang tuan. Lantas, bagaimana mungkin kau mengatakan orang semacam ini mendapat pahala, sedangkan dia sendiri tidak mengharapkan pahala atau imbalan dari amal yang dia lakukan, bahkan menganggap dirinya yang melaksanakan amal itu pun tidak. Sebaliknya, dia justru melihat dirinya adalah bagian dari kaum pengangguran dan orang paling miskin amal.”

 

Jika dikatakan demikian, jawablah, “Kau benar, Saudara. Namun, Allah hendak melimpahkan anugerah dan nikmat-Nya kepada orang itu. Dia hendak memeliharanya dengan lemah lembut, penuh kasih sayang, keridhaan, dan kemuliaan. Hal itu tak lain karena orang itu telah menahan tangannya dari segala kepentingan pribadinya, dari bagian-bagian duniawi, serta dari tujuan mengambil manfaat bagi dirinya sendiri atau menepis mudarat dari dirinya sendiri pula.

 

Dia tak ubahnya sesosok bayi yang disusui dan tak berdaya mencari kebutuhannya sendiri. Dia diasuh oleh kasih sayang dan rezeki Allah yang diwakilkan kepada kedua orang tuanya. Tatkala segala kepentingan pribadinya telah dibuang darinya, orang-orang akan bersimpati kepadanya dan menyayanginya sepenuh hati. Bahkan, setiap manusia akan menyayanginya, bersikap lemah lembut kepadanya, serta memperlakukannya dengan baik. Demikianlah, setiap orang dari mereka telah lenyap dari segala sesuatu selain Allah. Tak ada yang bisa membuatnya bergerak kecuali perintah atau perbuatan Allah. Dia senantiasa mendapat anugerah dan nikmat Allah di dunia ataupun di akhirat, dia senantiasa dijauhkan dan dilindungi dari segala derita.”

 

Allah swt. berfirman,

 

“Sesungguhnya pelindungku adalah Allah yang telah menurunkan kitab (al-Quran). Dia melindungi orang-orang shalih.” (QS. al-A’raf [7]: 196)

 

Allah menguji golongan orang yang beriman, yaitu para wali yang menjadi kekasih-Nya, supaya mereka berdoa kepada-Nya. Dia senang menerima doa dan permohonannya. Jika mereka berdoa, Allah senang mengabulkan doanya. Dia pun akan memberikan kemurahan dan kebaikan-Nya kepada mereka, sebab kemurahan dan kebaikan-Nya itu telah diminta oleh para kekasih-Nya. Jika orang-orang beriman memohon kepada-Nya, Allah pasti akan mengabulkan doa mereka.

 

 Terkadang, doa dan permohonan itu Dia diperkenankan, tapi tidak Dia wujudkan saat itu juga. Hal ini sesuai takdir-Nya yang memang memperlambat dikabulkannya doa itu, bukannya tidak dikabulkan. Oleh karena itu, manakala seorang hamba ditimpa malapetaka, hendaknya dia memperbaiki etikanya kepada Allah, memeriksa dirinya sendiri apakah dia telah melakukan dosa dan maksiat, mengabaikan perintah Allah, melanggar hal-hal yang dilarang, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi, ataukah dia menyalahkan takdir. Jika memang demikian, musibah itu merupakan hukuman baginya.

 

Jika malapetaka itu telah berlalu, itu baik baginya. Namun, jika tidak, dia mesti selalu berdoa, merendahkan diri, meminta maaf, dan senantiasa memohon kepada Allah. Bisa jadi ujian itu dimaksudkan untuk membuatnya terus berdoa dan memohon. Dia tak boleh menyalahkan Allah karena doanya yang ditangguhkan pengabulannya, sebagaimana kami paparkan sebelumnya. Hanya Allah yang Maha Tahu.

 

Mohonlah kepada Allah agar dapat bersikap ridha terhadap takdir-Nya atau lenyap di dalam perbuatan-Nya. Sebab, di situlah letak kedamaian terbesar dan surga tertinggi di dunia. Itulah gerbang Allah yang paling agung dan alasan mengapa Dia mencintai hamba-Nya yang beriman. Siapa yang Allah cintai, orang itu tidak akan mendapat siksaan di dunia ataupun di akhirat. Dua kebajikan itu dapat mengantarkan seorang hamba kepada Allah.

 

Jangan pula bernafsu meraih bagian-bagian duniawi, baik yang tidak ditakdirkan untukmu maupun yang ditakdirkan. Sebab, jika kau berambisi meraih bagian yang tidak ditakdirkan untukmu, itulah kebodohan, ketololan, dan kepandiran. Itulah siksaan paling berat, sebagaimana ungkapan bijak, “Di antara siksaan paling besar ialah berupaya meraih sesuatu yang tidak ditakdirkan. Jika sesuatu itu ditakdirkan, sibuk meraihnya adalah kerakusan, ketamakan, dan kesyirikan dalam upaya beribadah, meraih cinta-Nya, serta menyelami hakikat.

 

Sibuk dengan selain Allah adalah syirik. Sementara itu, orang yang berupaya mendapatkan bagian duniawi, cinta dan sayangnya kepada Allah adalah palsu. Siapa yang menyekutukan Allah, dia adalah pendusta. Siapa yang mengharapkan balasan atas amalnya, dia tidak ikhlas. Orang ikhlas yang sejati akan memberikan hak-hak ketuhanan (rububiyyah) kepada yang berhak, yaitu Allah yang Mahakuasa dan Maha Sejati karena Allah swt. menguasai dirinya sepenuhnya dan memiliki hak untuk dia sembah dengan seluruh gerakan, diam, ataupun upayanya.

 

Seorang hamba dan segala yang dimilikinya adalah milik tuannya. Telah kami singgung di banyak tempat sebelumnya bahwa ibadah itu merupakan nikmat dan anugerah Allah bagi hamba-Nya karena Dia-lah yang mengizinkan dan memberi kekuatan kepada si hamba untuk melakukan ibadah itu. Oleh karena itu, menyibukkan diri untuk bersyukur kepada Allah lebih baik baginya daripada meminta balasan atau pahala kepada-Nya atas amal yang dia lakukan.

 

Lantas, bagaimana mungkin kau masih saja sibuk memburu bagian-bagian duniawi itu, padahal kau telah melihat banyak manusia yang setiap kali kemewahan, kelezatan, kenikmatan, dan bagian duniawinya sehingga bertambah pula kebencian dan keluhan mereka kepada Allah. Mereka semakin mengingkari nikmat, banyak bersedih, semakin menjadi-jadi mengejar bagian yang tidak ditakdirkan dan tidak mereka miliki. Mereka selalu memandang apa yang mereka miliki itu masih terlalu kecil dan buruk, sedangkan apa yang dimiliki orang lain tampak lebih baik di hati dan matanya.

 

Mereka pun bergegas mengejarnya, hingga jatah hidupnya semakin berkurang, kekuatannya melemah, usianya bertambah, kondisinya berantakan, tubuhnya lelah, dahinya berkeringat, dan catatan amalnya hitam legam akibat banyaknya maksiat dan dosa-dosa besar yang mereka lakukan dalam mengejar hak-hak orang lain. Pun akibat pengabaian mereka terhadap perintah-perintah Tuhannya. Mereka gagal mendapatkannya, dan akan meninggalkan dunia ini dalam keadaan miskin papa,

 

“Tidak termasuk kepada golongan ini (orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang kafir).” (QS. an-Nisa’ [4]: 143)

 

Mereka lupa untuk bersyukur kepada Allah atas karunia yang Dia berikan kepadanya, lalu mereka memohon karunia itu agar digunakan untuk beribadah kepada-Nya. Mereka tidak akan mendapatkan bagian orang lain yang mereka kejar itu. Yang mereka lakukan tak lain hanyalah menyia-nyiakan dunia dan akhirat. Inilah makhluk paling jahat, bodoh, pandir, dan rendah akal dan hatinya. .

 

Sekiranya mereka ridha terhadap ketetapan Allah, menerima sepenuh hati pemberian-Nya, serta menaati-Nya dengan baik maka bagian-bagian duniawi mereka akan mendatanginya, tanpa perlu bersusah payah mengejarnya. Mereka menjadi dekat dengan Allah yang Mahamulia dan mendapatkan segala yang mereka dambakan. Semoga Allah menjadikan kita semua orang-orang yang ridha dengan ketentuan-Nya. Semoga Dia menjadikan ridha dan lenyap pada-Nya sebagai permohonan kita. Semoga Allah menjaga kondisi ruhani dan memberi kita taufik untuk melakukan segala yang Dia sukai dan ridhai.

 

Siapa yang menghendaki akhirat, wajib baginya zuhud terhadap dunia. Siapa yang menghendaki Allah, wajib baginya zuhud terhadap akhirat. Dia harus mencampakkan dunianya demi akhirat, dan mencampakkan akhiratnya demi Tuhannya.

 

Selama di dalam hatinya masih ada syahwat, kenikmatan, dan kesenangan duniawi, seperti makan, minum, pakaian, pasangan, tempat tinggal, kendaraan, jabatan, pangkat, memperdalam pengetahuan Ilmu fikih atas rukun Islam yang lima, meriwayatkan hadis dan qiraah al-Quran beserta riwayatnya, mendalami ilmu nahwu, menguasai bahasa, fashahah dan balaghah, menginginkan kemiskinan dihilangkan darinya, ingin kaya, tidak ingin terkena bencana, ingin sehat, atau secara keseluruhan menginginkan hilangnya bahaya dan datangnya manfaat maka hal itu menunjukkan bahwa dia belum benar-benar zuhud karena di dalam setiap hal itu tersimpan kenikmatan dan keselarasan dengan hawa nafsu, serta kesenangan, dan kecintaan terhadap tabiat pribadi. Semua itu bagian dari kehidupan duniawi yang membuat manusia senantiasa cinta dan merasa nyaman dengannya.

 

Oleh karena itu, seorang hamba harus berupaya sekuat tenaga mengeluarkan hal-hal buruk dari dalam hatinya, membersihkan jiwanya dari semua itu, serta ridha dengan kehilangan, kekurangan, dan kefakiran abadi sehingga tak tersisa sedikit pun semua itu di dalam hatinya, agar zuhudnya terhadap dunia benar-benar murni. Apabila dia telah melaksanakan semua itu dengan sempurna, segala duka dan sedih akan lenyap dari hatinya, segala derita akan menghilang dari dirinya. Sebagai gantinya, datanglah kebahagiaan, kebaikan, dan kenyamanan bersama Allah, sebagaimana sabda Rasulullah,

 

“Zuhud terhadap dunia itu membawa ketenangan pada hati dan badan.”

 

Namun, selama di dalam hatinya masih ada secuil kesenangan duniawi itu maka duka cita, ketakutan, dan beban hidup akan tetap bersemayam di dalam hatinya. Kehinaan senantiasa mengiringnya. Tabir tebal dan berlipat-lipat akan menghalanginya dari Allah dan menutupinya dari kedekatan terhadap-Nya. Semua itu tak akan bisa teratasi kecuali dengan membuang kecintaan terhadap dunia secara total dan memutuskan hubungan dengannya secara keseluruhan.

 

Dia harus zuhud terhadap akhirat dengan tidak menghendaki derajat atau kedudukan tinggi di surga, tidak menginginkan bidadari-bidadari cantik, anak-anak, rumah, istana, taman-taman, kendaraan, kuda tunggangan, perhiasan, makanan, minuman, dan lain sebagainya yang disediakan Allah bagi hamba-hamba-Nya yang beriman di surga. Hendaklah dia tidak mengharapkan balasan ataupun pahala dari Allah sedikit pun atas amal yang dia lakukan, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

 

Dengan demikian, dia akan menjumpai Allah, dan Allah pun akan memberinya balasan sebagai anugerah dan kasih sayang dari-Nya. Allah akan mendekatkannya, menyayanginya, dan memperkenalkan diri-Nya dengan berbagai kasih sayang dan kebaikan, sebagaimana yang Dia lakukan terhadap para nabi, para wali, orang-orang khusus, serta para kekasih-Nya yang amat mengenal-Nya. Setiap hari urusannya kian bertambah sempurna, sepanjang usia. Dia akan dibawa ke negeri akhirat untuk mengecap segala hal yang tak pernah dilihat oleh mata, tak pernah terdengar oleh telinga, dan tak pernah terbersit oleh hati manusia. Semua itu tak dapat dipahami oleh akal dan tak dapat dilukiskan dengan ungkapan apa pun. Hanya Allah yang Maha Tahu.

 

Kesenangan hidup dibuang sebanyak tiga kali. Pada mulanya, seorang hamba berada dalam kebodohan yang membutakan dan tak tentu arah. Dia bertindak sewenang-wenang berdasarkan nalurinya dalam segala kondisi tanpa mau mengabdikan diri kepada Allah dan tanpa memerhatikan hukum agama. Dalam keadaan seperti itu, Allah memerhatikan-Nya degan penuh kasih sayang.

 

Oleh karena itu, Allah mengirimkan seorang penasihat kepadanya dari orang-orang yang termasuk dalam golongannya yang juga seorang hamba Allah yang baik dan satu penasihat lagi yang terdapat dalam dirinya sendiri sehingga terjalin hubungan yang baik di antara kedua penasihat itu pada diri dan nalurinya. Kemudian, kedua penasihat itu memengaruhi dirinya sehingga hamba itu dapat melihat cela yang ada pada dirinya, seperti mengikuti hawa nafsu dan tidak mengikuti yang benar.

 

Alhasil, orang itu akan condong kepada hukum Allah dalam segala tindakannya sehingga dia pun menjadi muslim hakiki yang berdiri tegak bersama syariat sekaligus lenyap dari naluri hewaninya. Perkara-perkara haram, syubhat, dan pemberian makhluk akan dia tinggalkan. Sebagai gantinya, dia hanya akan mengambil perkara-perkara yang halal yang dibolehkan Allah dan dihalalkan syariat dalam hal makanan, minuman, pakaian, pasangan, dan segala hal yang menjadi kebutuhannya.

 

Semua itu dia lakukan dalam rangka menjaga kondisi tubuhnya agar tetap kuat menjalankan ibadah kepada Allah, juga dalam rangka mengambil jatah duniawi yang telah ditakdirkan untuknya, yang tidak mungkin bisa dia hindari dan tak mungkin pula menjauhi dunia tanpa meraih dan memanfaatkan jatahnya itu. Dia pun berjalan dengan menunggang kendaraan mubah dan halal secara syariat di segala kondisi. Kendaraan ini akan mengantarkannya pada pintu gerbang kewalian, memasukkannya ke dalam golongan ahli hakikat, orang-orang pilihan yang memiliki tekad baja dan menginginkan Allah semata.

 

Sekalipun dia makan, hal itu atas perintah-Nya. Saat itulah, dia mendengar seruan Allah dari dalam dirinya berkata, “Campakkanlah dirimu dan kemarilah! Campakkanlah bagian-bagian duniawi dan seluruh makhluk, jika kau menghendaki Sang Khalik. Buanglah dunia dan akhirat serta kosongkanlah diri dari segalanya. Cintailah Allah yang Maha Esa. Buanglah syirik dan bersikaplah ikhlas.

 

Telanjangilah dirimu dari segalanya, lenyapkanlah dirimu dari segalanya, pakailah wewangian tauhid, tinggalkanlah syirik, dan luruskanlah niat.

 

Langkahkan kakimu di atas karpet dan berjalanlah menuju-Nya seraya menundukkan kepala, jangan arahkan pandanganmu ke kanan menuju akhirat, jangan pula ke kiri menuju dunia. Jangan pula melihat ke arah makhluk dan bagian-bagian duniawi. Jika kau telah mencapai tingkatan ini, dan kau pun telah sampai kepada-Nya, kau akan menerima busana kemuliaan dari Allah, diberi pelbagai pengetahuan, ilmu, dan keutamaan.

 

Lantas kepadanya dikatakan, “Selimutilah dirimu dengan nikmat dan karunia itu. Jangan beretika buruk dengan menolak memakai busana itu karena menolak karunia Raja sama saja dengan membangkang-Nya dan meremehkan kekuasaan-Nya.”

 

Dia pun akan memakai busana karunia dan bagian dari Allah tanpa harus terlibat di dalamnya, dan sebelum dia memakai busana hawa nafsunya. Dari sini dapat dikatakan, dirinya tak terlepas dari empat kondisi dalam meraih bagian-bagian duniawi.

 

Pertama, dia meraihnya dengan motif naluri hewani belaka. Inilah yang diharamkan. Kedua, dia meraihnya dengan syariat agama. Inilah yang diperbolehkan dan halal. Ketiga, dia meraihnya dengan perintah. Inilah kondisi kewalian dan pencampakan hawa nafsu. Keempat, dia meraihnya dengan karunia Allah. Inilah kondisi lenyapnya kehendak pribadi, tercapainya derajat wali abdal, dan kondisi di mana dia menjadi objek takdir yang merupakan perbuatan Allah. Inilah kondisi di mana dia telah mengenal Allah dan memiliki sifat shalih. Dia tidak akan disebut shalih jika belum meraih tingkatan tersebut. Hal ini sesuai dengan firman Allah,

 

“Sesungguhnya pelindungku adalah Allah yang telah menurunkan kitab (al-Quran). Dia melindungi orang-orang shalih.” (QS. al-A’raf [7]: 196)

 

Dengan demikian, dia menjadi seorang hamba yang menahan tangannya dari mengambil maslahat dan manfaat atau menolak bahaya dan bencana bagi dirinya ; sendiri. Dia laksana bayi di pelukan perawat, ibarat mayat di tangan orang yang memandikannya. Dia pasrah sepenuhnya pada kuasa dan takdir Allah tanpa harus berupaya atau mengusahakan apa pun. Dia telah lenyap dari semua itu. Dia lenyap dari segala kondisi, tingkatan, ataupun kehendak. Sebaliknya, dia berdiri tegak bersama kuasa Allah. Terkadang dia mendapat kelapangan rezeki, terkadang kaya, terkadang miskin.

 

Dia tidak mengupayakan atau menginginkan hilangnya semua itu dari dirinya. Yang tersisa hanyalah ridha yang abadi dan keselarasan dengan-Nya selamanya. Inilah puncak kondisi spiritual para wali Allah. Semoga Allah menyucikan jiwa mereka.

 

Jika seorang hamba telah lenyap dari sesama makhluk, hawa nafsu, kehendak, angan-angan akan dunia dan akhirat, tidak menginginkan apa pun selain Allah, dan segala sesuatu selain Dia telah sirna dari hatinya maka sesungguhnya dia telah sampai kepada-Nya dan menjadi manusia pilihan-Nya. Allah akan membuatnya dicintai makhluk-makhluk-Nya, menjadikannya senantiasa mencintai-Nya dan mencintai kedekatan kepada-Nya. Dia akan menerima limpahan karunia-Nya, diperlakukan dengan nikmat-Nya, dan dibukakan untuk-Nya pintu-pintu kasih sayang-Nya. Allah berjanji kepadanya untuk tidak menutup pintu-pintu kasih sayang itu selamanya.

 

Pada titik ini, dia hanya memilih Allah. Dia mengatur segala sesuatu dengan pengaturan-Nya, berkehendak dengan kehendak-Nya, dan ridha terhadap segala sesuatu dengan keridhaan-Nya. Dia hanya tunduk-patuh pada perintah-Nya, bukan yang lain. Dia tak melihat wujud atau pekerjaan apa pun kecuali Allah dan dari Allah.

 

Mungkin saja Allah menjanjikan sesuatu kepada hamba itu, tetapi janji itu tak kunjung ditunaikan. Meskipun tidak lagi cemburu (sakit hati) karena janji itu terpenuhi, sebab perasaan cemburu telah hilang seiring hilangnya hawa nafsu dan kehendak. Seluruh diri hamba itu akan luruh ke dalam perbuatan dan kehendak Allah semata.

 

Dalam keadaan ini, janji Allah bagi orang yang berada dalam tingkatan ini bisa diibaratkan seperti orang yang telah berniat hendak melakukan sesuatu perkara, tetapi kemudian niat itu dialihkan kepada niat yang lain.

 

Hal ini tak ubahnya seperti nasikh dan mansukh” dalam wahyu Allah kepada Nabi Muhammad saw., sebagaimana firman Allah,

 

“Ayat yang Kami naskh (hapus) atau Kami hilangkan dari ingatan, pasti Kami ganti dengan

yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu tahu bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?” (QS. al-Baqarah [2]: 106)

 

Ketika Nabi saw. telah terlepas dari segala hawa nafsu dan kehendak, kecuali pada saat-saat tertentu sebagaimana disebutkan Allah di dalam al-Quran sehubungan dengan tawanan Perang Badar, yaitu firman-Nya,

 

“Kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Sekiranya tidak ada ketetapan terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena (tebusan) yang kamu ambil.” (QS. al-Anfal [8]: 67—68)

 

Nabi adalah kehendak (kekasih) Allah. Dia tidak akan membiarkan Nabi terus-terusan berada dalam satu kondisi tertentu saja, tetapi memindahkan beliau ke dalam takdir untuk menuju kepada-Nya. Dengan demikian, Allah menempatkan beliau di dalam takdir-Nya dan memalingkan beliau dari kondisi tersebut. Allah memperingatkan beliau dengan firman-Nya,

 

“Tidakkah kamu tahu bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?” (QS Al-Baqarah [2] :106)

 

Dengan kata lain, Allah hendak mengatakan, “Sejatinya kau berada di samudera takdir. Ombaknya mengombang-ambingkanmu ke sana ke mari.” Oleh karena itu, akhir perjalanan seorang wali adalah awal perjalanan seorang nabi. Tidak ada tingkatan lain yang lebih tinggi setelah kewalian dan badal, kecuali tingkat kenabian. Hanya Allah yang Maha Tahu.

 

Segala pengalaman spiritual tak lain merupakan pengekangan (qabdh), sebab seorang wali diperintahkan untuk menjaga spiritualitasnya. Segala hal yang diperintahkan untuk dijaga adalah bentuk pengekangan. Sementara itu, tunduk terhadap takdir adalah bentuk pembebasan (basth), sebab tak ada perintah apa pun di dalamnya kecuali menempatkan diri pada jalannya takdir. Seorang wali tak boleh memusuhi takdir. Sebaliknya, dia harus senantiasa menyelaraskan diri dan tidak menentang takdir dalam segala hal yang menimpa dirinya, baik manis maupun pahit. Pengalaman spiritual itu terbatas. Oleh karena itu, seorang wali diperintahkan untuk menjaga batasan-batasannya. Di sisi lain, anugerah Allah, yaitu takdir, tak mempunyai batasan-batasan yang harus dijaga.

 

Tanda seorang hamba telah luruh di dalam takdir, tindakan Allah, dan pembebasan ialah diperintahkannya ia untuk meminta bagian-bagian duniawi setelah sebelumnya diperintahkan untuk meninggalkannya dan zuhud terhadapnya.

 

Sebab ketika ruhaninya telah benar-benar hampa dari segala bagian duniawi, dan yang tersisa hanyalah Tuhan, ia diperintahkan untuk meminta, mendambakan, dan mencari hal-hal yang menjadi bagiannya. Dia harus meraihnya dengan perantara permintaan itu, dalam rangka mempertegas kemuliaan dan kedudukannya di sisi Allah dan memastikan anugerah Allah baginya dengan dikabulkannya permintaan tersebut.

 

Mengutarakan permintaan bagian-bagian duniawi dengan lisan merupakan ciri paling umum bahwa seseorang telah memasuki tingkat pembebasan (basth) setelah sebelumnya berada dalam tingkat pengekangan (qabdh). Hal ini sekaligus pertanda bahwa dia telah dibebaskan dari segala kondisi spiritual, tingkatan, dan beban dalam menjaga batasan-batasan di atas.

 

Jika ada pertanyaan atau pembahasan yang menyatakan bahwa keteledoran hamba di dalam menjaga dan mengikuti hukum-hukum atau syari’at itu akan membawanya ke lembah kekufuran (tidak percaya adanya Allah) dan keluar dari Islam atau tidak mematuhi firman-Nya ini,

 

“Sembahlah Tuhanmu sampai yakin (ajal) datang kepadamu.” (QS. al-Hijr [15]: 99)

 

Maka jawabannya adalah: ini sama sekali tidak menunjukkan demikian, tidak pula menyebabkan semua itu. Akan tetapi, Allah memuliakan dan melindunginya sehingga Dia tidak mengizinkannya menempati kedudukan yang hina di mata hukum dan agama-Nya. Sebaliknya, Dia menyelamatkannya dan menjauhkannya dari semua itu, melindunginya, serta memperingatkan agar senantiasa berada di dalam batasan-batasan-Nya.

 

Akhirnya, dia pun terlindung dari dosa dan senantiasa berada di dalam batas-batas hukum tanpa upaya atau perjuangan darinya sendiri, sedang dia tak menyadari keadaan ini dikarenakan kedekatannya kepada Allah. Allah swt. berfirman,

 

“Demikianlah, Kami palingkan darinya keburukan dan kekejian. Sungguh, dia (Yusuf) termasuk hamba Kami yang terpilih.” (QS. Yasuf [12]: 24)

 

Allah juga berfirman,

 

“Sesungguhnya kamu (Iblis) tidak kuasa atas hamba-hamba-Ku.” (QS. al-Hijr [15]: 42)

 

Di tempat lain, Allah berfirman,

 

“Tetapi hamba-hamba Allah yang dibersihkan (dari dosa).” (QS. ash-Shaffat [37]: 40)

 

Duhai orang yang malang! Ketahuilah, orang semacam itu ditinggikan derajatnya oleh Allah sekaligus kehendak (kekasih)-Nya. Allah memeliharanya di ruang kedekatan dan kasih sayangnya. Bagaimana bisa setan mendekatinya? Bagaimana bisa perkara-perkara buruk dan dosa menyentuhnya? Mengapa kau lari dari rahmat Allah dan mengabdikan dirimu pada kedudukan (derajat)? Kau telah mengatakan sesuatu yang amat buruk.

 

Celakalah tujuan-tujuan yang hina itu, celakalah yang tak sempurna dan jauh dari kebenaran. Celakalah pendapat-pendapat yang rusak itu. Semoga Allah melindungi kita dan saudara-saudara kita seluruhnya dari kesesatan yang beraneka ragam dengan kuasa-Nya yang tiada terhingga dan rahmat-Nya yang luas tiada terkira.

 

Semoga Allah melindungi kita dengan tabir-Nya yang dapat menutup dengan sempurna dan melindungi kita. Semoga Dia senantiasa memelihara kita dengan nikmat-Nya yang sempurna dan anugerah-Nya yang kekal selamanya, dengan segala kemurahan-Nya. Maha tinggi Allah dalam segala kehendak-Nya.

 

Butakanlah matamu dari segala penjuru, jangan melirik ke satu penjuru pun, selain Allah. Selama kau masih melihat ke salah satu penjuru, karunia dan kedekatan Allah swt. akan tertutup bagimu. Oleh karena itu, tutuplah segala penjuru itu dengan mengesakan Allah dan meniadakan diri serta ilmumu. Tampak oleh mata hatimu penjuru karunia Allah Yang Maha Agung. Saat itu kau akan melihat dengan kedua mata kepalamu pancaran cahaya hati, iman, dan keyakinanmu.

 

Cahaya itu akan muncul dari dalam batinmu ke permukaan lahirmu, laksana pijar lilin di sebuah rumah gelap di tengah malam gulita yang mencuat melalui lubang dan jendela. Akibatnya, sisi luar rumah pun menjadi terang oleh cahaya dari dalam. Jika kau telah berlaku demikian, jiwa dan seluruh anggota tubuhmu merasa tenteram terhadap janji dan anugerah Allah dibanding janji dan pemberian selain-Nya.

 

Oleh karena itu, kasihanilah dirimu. Jangan berbuat aniaya terhadap dirimu. Jangan kau campakkan dirimu di lembah gelap kebodohan dan ketololanmu karena hal itu akan membuatmu mengarahkan pandangan kepada penjuru selain Allah, kepada makhluk, daya, upaya, serta sarana sehingga kau pun akan bertumpu kepada hal-hal itu. Jika kau lakukan semua itu, segala penjuru akan tertutup bagimu, dan karunia Allah pun tak akan terbuka bagimu lantaran kesyirikanmu dengan melihat kepada selain-Nya.

 

Namun, jika kau telah menemukan dan melihat karunia Allah, kau pun hanya berharap kepada-Nya dan membutakan matamu dari segala hal selain-Nya. Dengan begitu, Allah akan membuatmu dekat dengan-Nya. Dia akan mengasihimu, memeliharamu, memberimu makan dan minum, mengobatimu, menyehatkanmu, menganugerahimu karunia, dan membuatmu kaya. Akhirnya, kau tak akan lagi memandang kaya atau miskin kondisimu.

 

Sebagian dari Iman Engkau tak akan terlepas dari dua kondisi, yaitu kondisi diuji atau diberi nikmat. Jika kau tengah diuji atau ditimpa musibah, berusahalah untuk bersabar—inilah hal terendah yang harus kau lakukan—dan hadapilah dengan penuh keberanian—dan ini yang lebih tinggi dari sekadar bersabar. Kemudian, hendaknya kau ridha dengan takdir-Nya dan selaraskanlah dirimu dengan kehendak-Nya. Akhirnya, lenyapkanlah dirimu di dalam kehendak-Nya. Inilah kondisi ruhani para wali abdal.

 

Sementara itu, jika kau tengah diberi nikmat, berusahalah untuk bersyukur, baik dengan lisan, hati maupun organ-organ tubuh. Bersyukur dengan lisan itu dilakukan dengan cara mengakui bahwa nikmat itu berasal dari Allah, tidak mengatributkan (menyandarkan, menisbatkan) nikmat itu kepada makhluk, baik itu dirimu sendiri, daya dan upayamu maupun orang lain. Sebab, baik dirimu maupun orang lain hanyalah alat atau sarana datangnya nikmat. Sementara itu, pemberi nikmat yang sejati dan faktor utama datangnya nikmat itu hanyalah Allah swt. Dialah yang paling berhak mendapat rasa syukur, bukan yang lain. .

 

Pandangan kita tidaklah tertuju kepada bocah kecil yang menerima sebuah hadiah, tetapi pandangan kita akan tertuju kepada guru yang memberinya hadiah. Allah — berfirman tentang orang yang tak bersikap selayaknya,

 

“Mereka mengetahui yang lahir (tampak) dari kehidupan dunia; sedangkan terhadap (kehidupan) akhirat mereka lalai.” (QS. ar-Riim [30]: 7)

 

Siapa yang hanya melihat hal yang tampak dan sarana dari datangnya sebuah nikmat, sedangkan pengetahuan dan makrifatnya tak mampu menembus faktor utama di balik itu, sejatinya dia manusia yang pandir dan rendah akalnya. Seseorang yang berakal disebut berakal karena dia mampu memahami hal-hal yang tak tampak. Adapun bersyukur dengan hati, dilakukan dengan keyakinan abadi dan janji yang teguh bahwa segala nikmat, kebaikan, dan kenikmatan—baik lahir maupun batin—di dalam gerak ataupun diammu, berasal dari Allah, bukan yang lain. Dalam hal ini, rasa syukurmu melalui lisan menyatakan isi hatimu. Allah swt. berfirman,

 

“Segala nikmat yang ada padamu (datangnya) dari Allah.” (QS. an-Nahl [16]: 53)

 

“Menyempurnakan nikmat-Nya untukmu lahir dan batin.” (QS. Luqman [31]: 20)

 

“Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya.” (QS. Ibrahim [14]: 34)

 

Dengan semua pernyataan itu, tak tersisa lagi di hati seorang mukmin pemberi nikmat selain Allah. Sementara bersyukur dengan anggota tubuh dilakukan dengan menggerakkan dan menggunakannya untuk menjalankan ibadah kepada Allah dan mematuhi perintah-perintah-Nya, bukan untuk siapa pun selain Dia. Oleh karena itu, jangan sekali-kali menaati makhluk dalam hal yang bertentangan dengan perintah Allah. Siapa pun itu, termasuk hawa nafsu, kehendak, angan-angan, dan seluruh makhluk lainnya. Jadikanlah ketaatan terhadap Allah sebagai dasar sekaligus pemimpin yang harus kau ikuti, dan jadikan segala sesuatu selain-Nya sebagai cabang sekaligus objek yang dipimpin.

 

Jika kau bertindak lain, berarti kau telah menyimpang dari jalan lurus, berbuat aniaya, menjalankan keputusan dengan selain hukum Allah yang ditetapkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, dan menempuh jalan di luar jalannya orang-orang shalih. Allah swt. berfirman,

 

“Siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, mereka itulah orang-orang kafir.” (QS. al-Maidah [5]: 44)

 

“Siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, mereka itulah orang-orang zalim.” (QS. al-Ma’idah [5]: 45)

 

“Siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. al-Ma’idah [5]: 47)

 

Jika itu yang kau lakukan, tempat terakhirmu adalah neraka yang bahan bakarnya manusia dan bebatuan. Jika kau tak tahan dengan demam selama satu jam saja, atau dengan sedikit saja jilatan api yang mengenai tubuhmu di dunia ini, bagaimana mungkin kau bisa tahan berada di neraka bersama penghuni-penghuninya selamanya? Selamatkanlah dirimu, selamatkanlah dirimu! Segeralah, segeralah! Berlindunglah kepada Allah, berlindunglah kepada Allah!

 

Perhatikanlah dua kondisi di atas berikut syarat-syaratnya. Sebab kau tak akan lepas dari dua kondisi tersebut sepanjang hayat: diuji atau diberi nikmat. Berilah setiap kondisi itu hak-haknya, yaitu kesabaran dan rasa syukur, sebagaimana yang telah aku paparkan untukmu. Jangan sekali-kali mengeluh kepada makhluk ketika kau ditimpa ujian atau musibah. Jangan menunjukkan kegundahanmu kepada siapa pun, jangan menyalahkan Tuhanmu di dalam benakmu, dan jangan meragukan kebijaksanaan.

 

Pilihlah yang terbaik bagi dunia dan akhiratmu. Janganlah berharap kepada orang lain untuk melepaskanmu dari malapetaka. Dengan begitu, kau telah menyekutukan-Nya. Segala sesuatu adalah milik Allah dan tak ada satu makhluk pun yang turut memilikinya. Tidak ada yang mampu memberikan mudarat dan manfaat, mendatangkan kebahagiaan atau penyakit, menurunkan ujian atau menyembuhkan, kecuali Allah swt. semata.

 

Oleh karena itu, janganlah kau disibukkan oleh makhluk, baik lahir maupun batin. Sebab mereka tidak mempunyai daya dan upaya apa pun terhadapmu. Sebaliknya, hendaknya kau selalu bersabar, ridha, menyesuaikan diri dengan Allah dan melenyapkan diri dalam perbuatan-Nya.

 

Jika kau tak dapat melakukan semua itu, hendaknya kau memohon pertolongan-Nya, merendahkan diri kepada-Nya seraya menyadari kemalangan diri, menyucikan-Nya, menegaskan keesaan-Nya, mengakui nikmat-nikmat-Nya, membebaskan diri dari segala kesyirikan, memohon kesabaran, keridhaan, dan keselarasan dengan-Nya, sampai waktunya tiba. Musibah itu pun akan berakhir, segala kesulitan teratasi, kenikmatan, kelapangan, kebahagiaan, dan keceriaan datang bertubi-tubi.

 

Hal ini sebagaimana terjadi pada diri Nabi Ayub a.s., atau seperti gelapnya malam yang berganti cerahnya siang, atau musim dingin yang berganti angin sepoi musim panas. Sebab, segala sesuatu ada kebalikan atau lawannya, segala sesuatu ada awal dan akhirnya.

 

Kesabaran adalah kunci, permulaan, akhir, sekaligus perhiasan utamanya. Inilah yang tersirat dalam sabda Nabi saw.,

 

“Posisi sabar dalam iman itu laksana posisi kepala dalam tubuh.”

 

Juga dalam sabda Nabi,

 

“Sabar adalah keseluruhan iman.”

 

Terkadang, syukur itu berbentuk rasa senang menikmati karunia Ilahi yang dilimpahkan kepadamu. Syukurmu adalah menikmati karunia-Nya dalam keadaan lenyapnya diri, hawa nafsu, serta penjagaanmu. Inilah kondisi ruhani para wali abdal. Inilah terminal terakhir mereka. Ambillah pelajaran dari apa yang telah aku jelaskan kepadamu ini, niscaya kau akan mendapatkan bimbingan-Nya, insya Allah.

 

Awal kehidupan spiritual adalah keluar dari (jatah-jatah duniawi) yang dijanjikan menuju syariat, lalu takdir, kemudian kembali lagi kepada hal-hal yang dijanjikan dengan syarat tetap menjaga batasan-batasan hukum. Dengan demikian, kau dapat keluar dari segala yang dijanjikan untukmu berupa makanan, minuman, pakaian, suami atau istri, rumah, kecenderungan, dan kebiasaan, lalu masuk ke dalam hukum-hukum syariat, baik perintah maupun larangannya. Hendaknya kau mengikuti al-Quran dan sunah Nabi, sebagaimana firman Allah,

 

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu terimalah. Apa yang dilarang bagimu tinggalkanlah.” (QS. al-Hasyr [59]: 7)

 

Juga firman Allah,

 

“Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu.’” (QS. Ali ‘Imran [3]: 31)

 

Engkau akan berpaling dari hawa nafsu dan kebodohanmu, lahir ataupun batin. Tak ada yang tersisa dalam batinmu, kecuali tauhidmu kepada-Nya, sedangkan dalam lahirmu hanya ada ketaatan dan ibadah kepada Allah, baik perintah maupun larangan-Nya. Inilah ketekunan, jargon, dan pakaianmu di setiap gerak dan diammu, pada siang dan malam harimu, dalam perjalanan ataupun diammu, saat mudah ataupun sulit, sehat ataupun sakit, dan dalam segala keadaanmu.

 

Engkau dibawa ke lembah takdir yang akan mengendalikanmu sekehendaknya sehingga kau pun akan lenyap dari segala usaha, perjuangan, upaya, dan dayamu. Lantas, bagian-bagianmu yang telah dicatat oleh tinta takdir dan telah diketahui Allah akan didatangkan kepadamu. Bagian-bagian itu akan kaunikmati seraya memperoleh keselamatan dan kemampuan menjaga batasan-batasan hukum sehingga kau tidak akan keluar dari batasan-batasan itu dan justru kau menyelaraskan diri dengan perbuatan Allah. Kau pun tak akan keluar dari kaidah-kaidah syariat menuju kekufuran dan menghalalkan yang haram. Allah swt. berfirman,

 

“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan alQuran, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya.” (QS. al-Hijr [15]: 9)

 

Allah juga berfirman,

 

“Demikianlah, Kami palingkan darinya keburukan dan kekejian. Sungguh, dia (Yusuf) termasuk hamba Kami yang terpilih.” (QS. Yusuf [12]: 24)

 

Dengan demikian, kau akan mendapat perlindungan Allah dalam rangka menggunakan bagian-bagian yang memang dipersiapkan untukmu. Dia menahan bagian-bagian duniawi darimu ketika kau tengah menempuh jalan menuju Allah, sebab bagian-bagian itu tak ubahnya gurun hawa nafsu dan tabiat hewani. Di samping itu, bagian-bagian tersebut merupakan beban yang paling berat untuk kau singkirkan. Allah melakukan itu agar beban-beban itu tidak memberatkan dan membuatmu tak berdaya dalam perjalananmu sehingga kau pun sampai di pintu gerbang fana’.

 

Inilah yang disebut sampai pada pintu kedekatan dengan Allah dan mengenal-Nya. Sebuah keistimewaan berupa rahasia-rahasia Allah dan ilmu-ilmu agama, masuk ke dalam samudra cahaya, ketika gelapnya tabiat hewani tak akan membahayakan cahaya itu. Tabiat hewani itu akan tetap ada di dalam dirimu untuk menjemput bagian-bagiannya, sampai ruh meninggalkan jasad. Jika tabiat hewani itu lenyap dari manusia, manusia akan masuk ke dalam golongan malaikat. Jika demikian keadaannya, gugurlah hikmah penciptaan manusia. Oleh karena itu, tabiat hewani manusia itu akan tetap ada pada dirimu demi meraih bagiannya masing-masing. Akan tetapi, pencarian akan bagian-bagian duniawi itu bagi manusia hanyalah tugas, bukan tabiat aslinya. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw.,

 

“Aku dijadikan (oleh Allah) menyukai tiga hal dari dunia ini; wewangian, wanita, dan shalat yang menjadi penyejuk mataku.”

 

Ketika Nabi Muhammad telah lenyap dari dunia dan segala isinya ini maka bagian-bagian duniawinya yang dulu ditahan oleh Allah pada saat beliau menempuh jalan menuju-Nya, akan dikembalikan. Beliau akan meraihnya seraya menyelaraskan diri dengan kehendak Allah, ridha terhadap perbuatan-Nya, serta memenuhi perintah-perintah-Nya. Mahasuci nama-nama Allah. Kasih sayang-Nya meliputi segala hal. Anugerah-Nya kepada para wali dan nabi-Nya mahaluas. Demikianlah kondisi para wali.

 

Bagian-bagian duniawinya akan dikembalikan kepada mereka seraya tetap menjaga batasan-batasan hukum Allah. Inilah yang disebut kembali dari akhir ke awal. Hanya Allah yang Maha Tahu.

 

Sebelum mengambil bagian-bagian duniawinya, setiap mukmin harus berhenti dan memeriksa terlebih dahulu bagian-bagian duniawi itu, sampai jelas baginya bahwa hukum syariat membolehkannya dan dia benar-benar yakin bahwa itu memang bagiannya. Sebab, orang mukmin itu selalu waspada, sedangkan orang munafik itu selalu memangsa dengan buas. Nabi Muhammad saw. bersabda,

 

“Sesungguhnya orang mukmin itu senantiasa waspada.” Nabi juga bersabda,

 

“Tinggalkanlah segala yang membuatmu ragu dan ambillah yang tidak membuatmu ragu.”

 

Jadi, orang mukmin itu selalu berhati-hati terhadap semua perkara seperti makanan, minuman, pakaian, perkawinan, istri/suami dan apa saja yang diberikan kepadanya. Dia tidak akan serta merta mengambil sesuatu, kecuali setelah memastikan bahwa sesuatu itu boleh diambil dan halal secara hukum syariat. Inilah tingkatan takwa (mukmin awam). Sementara dalam tingkatan kewalian terlebih dahulu dia harus mendengarkan perintah dari dalam hatinya. Adapun dalam tingkatan wali abdal dan ghauts, dia harus memastikannya dengan ilmu Allah. Jika dalam tingkatan fana’, dia harus mengikuti perbuatan Allah, dan ini adalah takdir itu sendiri.

 

Kemudian datanglah satu kondisi spiritual lain ketika seorang mukmin menerima apa saja yang datang kepadanya selama tidak bertentangan dengan ketiga kondisi di atas, yaitu hukum syariat, perintah hati, dan ilmu Allah. Akan tetapi, jika dia bertentangan dengan salah satu dari tiga kondisi di atas, dia tidak boleh mengambil bagian duniawinya. Kondisi ini merupakan kebalikan dari tingkatan pertama (tingkatan takwa atau mukmin awam), ketika kewaspadaan dan kehati-hatian menjadi hal yang paling dominan baginya. Sementara pada tingkatan kedua, yang paling dominan adalah tindakan mengambil dan menggunakan semua bagian yang diberikan kepadanya.

 

Kemudian datanglah kondisi spiritual ketiga, ketika seorang mukmin dapat mengambil dan menggunakan nikmat apa saja yang diberikan kepadanya tanpa pertentangan sedikit pun dengan ketiga hal di atas. Inilah hakikat fana’ yang sesungguhnya. Pada keadaan ini, sang mukmin terlindungi dari segala bencana dan pelanggaran hukum, dan segala kejahatan dijauhkan darinya, sebagaimana firman Allah,

 

“Demikianlah, Kami palingkan darinya keburukan dan kekejian. Sungguh, dia (Yusuf) termasuk hamba Kami yang terpilih.” (QS. Yusuf [12]: 24)

 

Dengan perlindungan ini, si hamba menjadi seperti orang yang diberi pinjaman, diberi kebebasan untuk. mempergunakan segala hal yang halal, serta diberi kemudahan untuk memperoleh segala kebaikan. Bagiannya yang telah dibersihkan dari segala bencana dan konsekuensi buruk, serta telah selaras dengan kehendak, keridhaan, dan perbuatan Allah, akan datang menjempunya, baik di dunia maupun di akhirat.

 

Tidak ada tingkatan lain yang lebih tinggi daripada itu. Inilah tujuan akhir para wali agung, yaitu orang-orang pilihan pemilik rahasia Allah. Merekalah orang-orang yang telah sampai ke ambang pintu spiritual para Nabi. Semoga Allah senantiasa melimpahkan shalawat kepada mereka seluruhnya.

 

Menunggalkan-Nya Betapa sering seorang mukmin berkata, “Si fulan dekat dengan Allah, sedangkan aku jauh dari-Nya. Si fulan diberi karunia, sedangkan aku tidak. Si fulan kaya, sedangkan aku miskin. Si fulan sehat, sedangkan aku sakit. Si fulan dimuliakan, sedangkan aku dihinakan. Si fulan dipuji, sedangkan aku dicaci. Si fulan dipercaya, sedangkan aku tak dipercaya. Tidakkah dia tahu bahwa Allah itu Tunggal dan bahwa Yang Tunggal itu menyukai yang tunggal serta hanya mencintai orang yang cintanya tunggal hanya untuk-Nya?

 

Jika Dia mendekatkanmu kepada-Nya melalui perantara selain-Nya, cintamu kepada-Nya itu akan ternoda dan terbagi. Sebab, mungkin saja kau lebih condong kepada manusia yang tampaknya memiliki kekayaan dan anugerah nikmat sehingga cintamu kepada Allah pun akan ternoda. Allah swt. adalah Dzat yang Maha Cemburu. Dia tidak suka cinta-Nya diduakan. Oleh karena itu, Dia menahan tangan orang lain dari membantumu, lidah mereka dari memujimu, dan kaki mereka dari mengunjungimu, agar mereka tak memalingkanmu dari-Nya. Tidakkah kau dengar sabda Nabi,

 

“Hati tercipta dengan fitrah mencintai siapa pun yang berbuat baik kepadanya.”

 

Oleh karena itu, Allah menahan manusia berbuat kebaikan kepadamu dari berbagai cara dan sarana, hingga kau hanya mengesakan-Nya, mencintai-Nya semata, dan sepenuhnya menjadi milik-Nya dari segala penjuru, lahir maupun batin, dalam gerak maupun diammu. Dengan demikian, kau tak melihat kebaikan ataupun keburukan, kecuali pasti dari-Nya. Kau pun akan lenyap dari makhluk, dirimu sendiri, hawa nafsu, kehendak, angan-angan dan segala sesuatu selain Allah. Akhirnya, tangan manusia akan digerakkan kepadamu untuk memberimu karunia, lidah mereka pun digerakkan untuk memujimu. Allah akan memberimu karunia abadi di dunia dan di akhirat.

 

Oleh karena itu, janganlah bersikap tidak sopan. Lihatlah kepada Dzat yang melihatmu. Datangilah Dzat yang datang menemuimu. Cintailah Dzat yang mencintaimu. Sambutlah seruan Dzat yang memanggilmu. Ulurkanlah tanganmu kepada Dzat yang menyelamatkanmu yang jatuh tersungkur, mengeluarkanmu dari gelapnya kebodohan, menyelamatkanmu dari kebinasaan, menyucikanmu dari noda dan kotoran, melepaskanmu dari kebusukan diri, angan-angan murahan, hawa nafsu yang senantiasa menyeru kepada kejahatan, teman-temanmu yang sesat dan menyesatkan, setan-setanmu, rekan-rekanmu yang pandir dan senantiasa merintangi jalanmu menuju Allah serta menghalangimu dari berbagai hal yang mulia dan terhormat.

 

Berapa lamakah kau akan kembali? Kapankah kau akan datang kepada-Nya? Sampai kapankah kau mengikuti hawa nafsu dan kebodohanmu? Sampai kapankah kau akan terus memuja dunia? Kapankah kau akan kembali ke akhirat? Sampai kapankah kau akan terus bersama selain Allah? Mengapa kau menjauh dari Dzat yang menciptakanmu dan menciptakan seluruh makhluk lainnya? Dialah Dzat yang Maha Mencipta, Yang Awal, Yang Akhir, Yang Nyata, dan Yang Batin. Dialah tempat kembali dan tempat bermula segala sesuatu. Dialah Pemilik seluruh hati dan kedamaian jiwa. Dialah Dzat yang Maha Meringankan Beban dan Maha Memberi Karunia. Maha tinggi Dia dengan segala kemuliaan-Nya.

 

Aku pernah bermimpi seolah-olah aku berkata, “Wahai manusia yang menyekutukan Tuhannya dengan dirinya sendiri di dalam batin, dengan makhluk secara lahir, dan dengan kehendak pribadi di dalam tindakannya!” Mendengar ucapannya, bertanyalah seseorang di sampingku, “Pernyataan apakah itu?” Aku pun menjawab, “Ini salah satu jenis ilmu makrifat.”

 

Suatu hari, masalah mengusik jiwaku dan membuatku tertekan. Lantas, seolah-olah ada suara yang bertanya kepadaku, “Apa yang engkau inginkan?” Aku menjawab, “Aku menginginkan kematian yang tidak ada kehidupan di dalamnya, dan kehidupan yang tidak ada kematian di dalamnya.” Suara itu kembali bertanya, “Kematian apakah yang tidak ada kehidupan di dalamnya? Dan kehidupan apakah yang tidak ada kematian di dalamnya?”

 

“Kematian yang tidak ada kehidupan di dalamnya adalah kematianku dari sesamaku sehingga aku tak melihat mereka dapat memberi manfaat dan mudarat sedikit pun; kematianku dari hawa nafsu, kehendak pribadi, dan angan-anganku di dalam kehidupan dunia dan akhirat sehingga aku tak berada di dalam semua itu. Adapun kehidupan yang tidak ada kematian di dalamnya ialah kehidupanku dengan kehendak-Nya tanpa campur tanganku di dalamnya, dan kematian di dalamnya adalah wujudku dengan-Nya. Inilah keinginan paling tinggi yang aku inginkan semenjak aku dewasa,” jawabku.

 

Mengapa kau marah kepada Allah lantaran doamu belum dikabulkan? Kau mengatakan, “Allah mengharamkan hamba-Nya meminta kepada makhluk dan mewajibkan mereka meminta hanya kepada-Nya. Namun, mengapa ketika aku meminta kepada-Nya Dia tidak mengabulkan permintaanku?”

 

Inilah jawabanku untukmu: apakah engkau orang yang merdeka atau budak? Jika engkau jawab bahwa kau orang yang merdeka, kau telah kafir. Namun, jika engkau jawab bahwa kau adalah budak-Nya, aku kembali bertanya: apakah kau akan menyalahkan Tuhanmu lantaran dia belum mengabulkan permohonanmu? Ragukah kau akan kearifan dan kasih sayang-Nya kepadamu dan kepada seluruh makhluk-Nya? Ragukah engkau bahwa Dia Maha Mengetahui segala kondisimu? Atau justru sebaliknya, kau tak menyalahkan-Nya?

 

Jika memang kau tak menyalahkan Allah, menerima kebijaksanaan-Nya, kehendak-Nya, maslahat yang akan Dia berikan kepadamu, serta penangguhan doamu, kau wajib bersyukur kepada-Nya, sebab sejatinya dia telah memilihkan yang terbaik bagimu. Dia ingin memberimu nikmat dan menghindarkanmu dari bahaya.

 

Jika kau menyalahkan Allah, berarti kau telah kafir karena kau telah menuduh-Nya berbuat tidak adil (zalim), sedangkan Allah tidak menzalimi hamba-hamba-Nya. Allah tidak menerima kezaliman dan mustahil berbuat zalim. Allah Pemilik segalanya dan berkuasa penuh atas segala milik-Nya. Tidaklah layak Allah disebut zalim atau tidak adil karena yang disebut tidak adil adalah pihak yang berbuat sesuatu terhadap yang bukan miliknya tanpa izin dari sang pemilik. Oleh karena itu, janganlah kau marah terhadap-Nya atas segala ketentuan-Nya perbuat padamu, meskipun engkau tidak menyukai dan secara lahir tampak merugikanmu.

 

Sebaliknya, kau wajib bersyukur, bersabar, ridha, tidak marah dan tidak menyalahkan-Nya, serta tidak menuruti kebodohan diri dan hawa nafsu yang dapat menyesatkan dari jalan Allah. Wajib pula bagimu senantiasa berdoa, bersandar hanya kepada-Nya, berbaik sangka terhadap-Nya, menanti datangnya jalan keluar dari-Nya, yakin akan janji-Nya, malu terhadap-Nya, menyesuaikan diri dengan perintah-Nya, senantiasa mengesakan-Nya, segera melaksanakan perintah-perintah-Nya, dan bersikap seolah-olah seperti mayat terhadap takdir dan perbuatan Allah yang terjadi padamu.

 

Jika pun kau harus menyalahkan dan berburuk sangka, salahkan dan berburuk sangkalah terhadap hawa nafsumu yang senantiasa menyerumu untuk berbuat keji dan maksiat kepada Allah. Itu lebih baik bagimu. Alih-alih menuduh Allah berbuat tidak adil terhadapmu, lebih baik tuduhlah hawa nafsumu sendiri. Waspadalah, jangan sampai kau menuruti hawa nafsu itu, jangan pernah terbujuk oleh perbuatan dan kata-katanya yang manis, apa pun kondisimu. Sebab dia adalah musuh Allah dan musuhmu. Dia pelayan musuh Allah dan musuhmu, yaitu setan yang terkutuk.

 

Hawa nafsu adalah teman, mata-mata, sekaligus sahabat setan. Takutlah kepada Allah, takutlah kepada Allah, takutlah kepada Allah! Waspadalah, waspadalah, waspadalah! Selamatkan dirimu, selamatkan dirimu, selamatkan dirimu! Salahkanlah dia dan tuduhlah dia telah berbuat zalim terhadapmu. Bacakan firman Allah berikut ini kepadanya,

 

“Allah tidak akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman.” (QS. an-Nisa* [4]: 147)

 

Juga firman Allah,

 

“Sesungguhnya Allah tidak menzalimi manusia sedikit pun, tetapi manusia itulah yang menzalimi dirinya sendiri.” (QS. Yunus [10]: 44)

 

Demikian pula ayat-ayat serta hadis-hadis lainnya. Berperanglah melawan hawa nafsumu demi Allah. Jadilah penentang dan algojonya karena Allah. Jadilah bala tentara dan pasukan Allah, sebab hawa nafsu adalah musuh Allah paling utama. Allah swt. berfirman, “Wahai Daud, tinggalkan hawa nafsumu, sebab tidak ada yang berani menentang-Ku di kerajaan-Ku, kecuali hawa nafsu.”

 

Jangan berkata, “Aku tidak mau berdoa kepada Allah karena yang permohonanku memang telah ditentukan menjadi milikku, pasti akan datang kepadaku, baik aku berdoa maupun tidak. Namun, jika sesuatu itu tidak ditentukan menjadi milikku, Allah tak akan memberikannya kepadaku, kendati pun aku selalu berdoa.”

 

Jangan bersikap demikian. Sebaliknya, mintalah kepada-Nya segala kebaikan dunia dan akhirat yang kau inginkan, asalkan yang engkau minta itu tidak mengandung perkara haram dan kerusakan. Sebab Allah swt. telah memerintahkan kita untuk memohon kepada-Nya. Allah swt. berfirman, 

 

“Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu.” (QS. al-Mu‘min [40]: 60)

 

Allah juga berfirman,

 

“Janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.” (QS. An-Nisa’ [4]: 32)

 

Hal ini senada pula dengan sabda Nabi Muhammad saw.,

 

“Berdoalah kepada Allah dengan penuh keyakinan bahwa doamu akan diterima.”

 

Juga sabda Nabi,

 

“Berdoalah kepada Allah dengan kedua telapak tanganmu.”

 

Masih banyak lagi sabda Nabi lainnya. Jangan katakan, “Sesungguhnya aku telah berdoa kepada-Nya, tetapi Dia tak mengabulkan doaku. Aku tak akan berdoa lagi kepada-Nya.” Berdoalah selalu kepada-Nya. Sebab, jika memang sesuatu yang engkau minta itu ditakdirkan untukmu, Allah akan mendatangkannya padamu setelah kau memohon kepada-Nya. Sebagai imbasnya, iman, keyakinan, dan tauhidmu semakin bertambah. Kau pun tak akan meminta-minta kepada makhluk, melainkan hanya mengandalkan Allah dalam memenuhi segala kebutuhanmu, di segala kondisi.

 

Namun, jika sesuatu yang engkau minta itu tidak ditakdirkan untukmu, Allah akan membuatmu tak lagi membutuhkan sesuatu itu dan ridha dengan pemberian-Nya. Jika yang diberikan-Nya padamu adalah kemiskinan atau penyakit, Dia akan membuatmu ridha menerimanya. Jika yang Dia berikan adalah utang, Dia akan melunakkan hati orang yang memberimu pinjaman agar tidak menagihmu dengan cara yang buruk, melainkan dengan penuh kesantunan, atau memaklumi keterlambatanmu dan memberimu kemudahan dalam membayar sampai kau mampu, atau menghapuskan utang-utangmu, atau menguranginya.

 

Jika pun utangmu tidak dihapuskan atau dikurangi selama di dunia, Allah akan memberimu pahala yang melimpah sebagai ganti dari permintaan yang tidak Dia kabulkan di dunia. Sebab Allah Maha Pemurah, Maha Kaya, dan Maha Pengasih. Dia tidak akan menyia-nyiakan permohonan hamba yang berdoa kepada-Nya, baik di dunia maupun di akhirat. Sehingga bagaimana pun, si hamba akan tetap memperoleh keuntungan, baik di dunia maupun di akhirat. Rasulullah saw. bersabda,

 

“Pada hari kiamat kelak, seorang mukmin akan melihat di dalam buku catatan perbuatannya beberapa catatan kebaikan yang tidak pernah dia lakukan dan tidak pernah dia ketahui. Dia akan ditanya, ‘Tahukah kau perbuatan-perbuatan itu?’

 

Dia pun akan menjawab, ‘Aku sungguh tidak tahu dari mana datangnya ini.’ Dikatakan kepadanya, ‘Sesungguhnya ini balasan dari doamu (yang tidak terkabul) selama di dunia dahulu.’”

 

Seorang mukmin mendapat pahala sedemikian rupa karena dengan berdoa kepada Allah, berarti dia telah mengingat-Nya, mengesakan-Nya, menempatkan sesuatu pada tempatnya, menunaikan hak kepada pemiliknya, melepaskan diri dari daya dan upayanya sendiri, membuang kesombongan, kebanggaan, dan kepongahan. Semua itu menjadi amal shalih baginya, dan Allah sendiri yang akan memberikan balasannya.

 

Setiap kali kau memerangi hawa nafsumu, mengalahkan, serta membunuhnya dengan pedang perlawanan, Allah akan menghidupkan jiwamu. Hawa nafsu itu akan kembali melawanmu dan memintamu menuruti segala syahwat dan kelezatan, baik yang haram maupun yang mubah. Sehingga kau pun harus kembali berjuang melawannya agar Allah senantiasa memberimu pahala. Inilah makna sabda Rasulullah saw.,

 

“Kita baru saja kembali dari jihad kecil menuju

jihad paling besar.”

 

Jihad paling besar yang dimaksud Rasulullah dalam hadis di atas adalah jihad melawan hawa nafsu, mengingat dia senantiasa menyeru kepada syahwat, kenikmatan duniawi, serta tenggelam ke dalam lautan maksiat. Inilah makna firman Allah,

 

“Sembahlah Tahanmu sampai yakin (ajal) datang kepadamu.” (QS, al-Hijr [15]: 99)

 

Allah telah memerintahkan Nabi-Nya untuk beribadah kepada-Nva, dan ini berarti perlawanan terhadap hawa nafsu. Sebab, segala bentuk ibadah tidaklah diinginkan oleh hawa nafsu yang justru menginginkan sebaliknya, hingga ajal menjemput.

 

Jika dikatakan, bagaimana mungkin hawa nafsu Rasulullah menolak ibadah kepada Allah, sedangkan beliau tidak lagi memiliki nafsu? Allah berfirman,

 

“Tidaklah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut keinginannya. Tidak lain (al-Quran itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. an-Najm [53]: 3-4)

 

Maka jawaban dari pernyataan di atas adalah: Allah menyatakan ini kepada Rasulullah dengan maksud untuk menegaskan syariat sehingga menjadi pedoman bagi seluruh umatnya hingga hari kiamat kelak. Lantas, Allah memberikan kekuatan kepada beliau untuk melawan hawa nafsu sehingga hawa nafsu itu tidak mampu menyentuhnya. Inilah yang membedakan antara beliau dan umatnya. Apabila seorang mukmin terus berjuang melawan hawa nafsu sampai akhir hayatnya dengan pedang terhunus dan berlumuran darah hawa nafsu, Allah akan memberinya surga yang Dia janjikan, sebagaimana firman-Nya,

 

“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya, sungguh, surgalah tempat tinggal-(nya).” (QS. an-Nazi’at [79]: 40-41)

 

Jika Allah telah memasukkannya ke dalam surga dan menjadikan surga sebagai tempat tinggal, tempat beristirahat, dan tempat kembalinya, orang mukmin itu tidak akan dipalingkan dan dipindahkan kembali kepada kehidupan dunia. Sebaliknya, Allah akan senantiasa memperbarui nikmat baginya di surga, setiap hari, setiap saat. Si mukmin akan senantiasa berada dalam kondisi baru, dengan berbagai perhiasan yang juga senantiasa berganti dan tak akan pernah berakhir atau habis, sebagaimana dahulu dia senantiasa memperbarui perlawanannya terhadap hawa nafsu di setiap detik, setiap saat, dan setiap hati.

 

Adapun orang kafir, orang munafik dan tukang maksiat, mereka meninggalkan perlawanan terhadap hawa nafsu di dunia, bahkan menurutinya, bersekutu dengan setan dan berbaur dengan aneka macam maksiat seperti kekafiran, kemusyrikan, dan hal-hal lainnya sampai dia mati dalam keadaan kafir dan belum bertobat; maka Allah pasti akan memasukkan mereka ke dalam neraka yang memang telah dipersiapkan untuk orang-orang kafir, sebagaimana firman Allah,

 

“Peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang kafir.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 131)

 

Jika Allah telah memasukkan mereka ke dalam neraka dan menjadikan neraka itu tempat tinggal dan tempat kembali mereka, neraka itu akan membakar kulit dan dagingnya. Allah lantas akan kembali mengganti kulit dan daging mereka dengan yang baru. Hal ini sebagaimana firman-Nya,

 

“Setiap kali kulit mereka hangus, kami ganti kulit mereka dengan kulit mereka dengan kulit yang lain.” (QS. An-Nisa’ [4]: 56)

 

Allah memperlakukan mereka seperti itu sebagaimana mereka dahulu senantiasa menuruti hawa nafsunya untuk berbuat maksiat kepada-Nya selama di dunia. Kulit dan daging penghuni neraka akan senantiasa diperbarui (setelah dibakar) setiap saat, agar mereka terus-terusan tersiksa dan kesakitan. Sebaliknya, kenikmatan para penghuni surga senantiasa diperbarui setiap waktu, agar kenikmatan dan kelezatan yang mereka rasakan bertambah berlipat-lipat. Hal ini tak lain karena perjuangan mereka melawan nafsu dan keengganan mereka untuk menurutinya selama di dunia. Inilah makna sabda Nabi

 

“Dunia adalah ladang akhirat.”

 

Jika Allah mengabulkan doa seorang hamba dan memberinya apa yang dia minta, bukan berarti kehendak Allah itu kalah oleh kehendak hamba.”! Bukan berarti pula tinta takdir-Nya belum kering dan pengetahuan-Nya terhadap kehendak si hamba itu belum final. Yang terjadi justru sebaliknya. Permohonan atau doa si hamba itu sesuai dengan kehendak Allah dan masa yang Dia inginkan. Doa itu terkabul pada waktu yang memang telah dia tentukan sebelumnya agar takdir Allah terjadi sesuai waktunya. Inilah yang dikatakan oleh orang-orang ‘arif di dalam menerangkan firman Allah,

 

“Setiap waktu Dia dalam kesibukan.” (QS. ar-Rahman [55]: 29)

 

Artinya, Allah merealisasikan takdir pada waktu yang telah Dia tentukan. Dengan demikian, Allah tidak memberikan sesuatu kepada seseorang di dunia ini karena doanya semata. Demikian pula sebaliknya, Dia tidak menjauhkan sesuatu darinya lantaran doanya semata. Adapun tentang hadis yang mengatakan,

 

“Tak ada yang bisa menolak takdir, kecuali doa.”

 

Maksud hadis tersebut adalah bahwa tidak ada yang bisa menolak takdir, kecuali doa yang ditakdirkan dapat menolak takdir itu. Demikian halnya seorang hamba, di akhirat nanti dia tidak akan masuk surga karena amal baik yang telah diperbuatnya selama di dunia, melainkan rahmat (kasih sayang) Allahlah yang membuatnya masuk surga. Akan tetapi, Allah akan memberikan derajat kepada hamba-hamba-Nya di surga nanti sesuai kadar amal mereka masing-masing.

 

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra. dikisahkan,

 

“Suatu hari dia (‘Aisyah) pernah bertanya kepada Rasulullah saw., ‘Apakah seorang hamba akan masuk surga lantaran amalnya?’’ Rasulullah menjawab, ‘Sama sekali tidak, melainkan lantaran rahmat (kasih sayang) Allah.’ ‘Aisyah kembali bertanya, ‘Termasuk kau, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Ya, termasuk aku, kecuali Allah memberikan kasih sayangnya kepadaku.’ Rasul mengatakan itu sambil meletidak akan tangan di atas kepalanya.”

 

Hal ini tak lain karena Allah tidak memiliki kewajiban apa pun terhadap hamba-Nya, tidak wajib pula bagi-Nya memenuhi janji. Sebaliknya, Allah berbuat semau-Nya.

 

Dia menyiksa siapa saja yang Dia kehendaki, mengampuni siapa saja yang Dia kehendaki, dan mengasihi siapa saja yang Dia kehendaki. Dia Maha Melaksanakan segala yang Dia kehendaki, dan tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan-Nya. Justru hamba-hamba-Nya yang akan dimintai pertanggungjawaban.

 

Allah memberi rezeki kepada siapa saja yang Dia kehendaki tanpa batas, dengan rahmat dan karunia-Nya, Dia menahan rezeki bagi siapa saja dengan keadilan-Nya. Begitulah adanya, sebab seluruh makhluk yang ada di kolong langit ini hingga ke dasar bumi lapis ketujuh, semuanya adalah milik dan ciptaan-Nya. Tidak ada yang memiliki mereka, kecuali Allah. Tiada yang menciptakan mereka, kecuali juga Dia. Allah swt. berfirman,

 

“Adakah pencipta selain Allah.” (QS. Fatir [35]: 3)

 

“Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)?” (QS. an-Naml [27]: 60)

 

“Apakah engkau mengetahui ada sesuatu yang sama dengan-Nya?” (QS. Maryam [19]: 65)

 

“Katakanlah, ‘Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau mencabut kekuasaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu. Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Engkau berikan rezeki kepada siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas).’” (QS. Ali ‘Imran [3]: 26—27)

 

Janganlah meminta apa pun kepada Allah swt., kecuali ampunan atas segala dosa yang telah lalu, perlindungan dari segala dosa yang akan datang, pertolongan untuk dapat taat kepada-Nya, kemampuan untuk melaksanakan perintah-Nya, keridhaan terhadap pahitnya takdir, kesabaran dalam menghadapi beratnya ujian, syukur atas segala nikmat dan karunia-Nya, mati dalam keadaan husnul khatimah, serta perjumpaan dengan para Nabi, shiddiqin, syuhada dan orang-orang shalih. Merekalah sebaik-baiknya teman.

 

Jangan pula kau meminta kekayaan duniawi, dihindarkan dari kemiskinan dan kesusahan hidup, serta diberi kekayaan dan kesenangan. Akan tetapi, hendaklah kau meminta keridhaan terhadap segala yang Dia berikan dan Dia atur untukmu. Mintalah agar Allah senantiasa menjagamu dalam setiap keadaan, tempat dan ujian yang Dia berikan kepadamu, hingga Dia membawamu ke kondisi yang sebaliknya. Sebab, kau tak tahu di mana kebaikan itu berada: dalam kemiskinan atau kekayaan, dalam kesulitan atau kebahagiaan. Allah merahasiakan pengetahuan tentang segala sesuatu darimu. Hanya Dia yang mengetahui baik buruknya sesuatu perkara.

 

Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa Umar bin Khatthab pernah berkata, “Aku tak peduli dalam kondisi apa aku memasuki pagi hari, apakah dalam kondisi yang aku sukai maupun aku benci. Sebab, aku tak tahu dalam kondisi apa kebaikan itu berada.” Umar mengatakan itu tak lain karena dia ridha sepenuhnya terhadap segala perbuatan Allah dan merasa tenang atas segala pilihan dan ketetapan Allah untuknya. Allah berfirman,

 

“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Akan tetapi, boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. al-Baqarah [2]: 216)

 

Tetaplah dalam kondisi ini sampai keinginan hawa nafsumu musnah, hina, dapat dikuasai, dan takluk. Lantas musnah pula kehendak dan angan-anganmu, dan keluarlah segala makhluk dari hatimu. Tak ada yang tersisa di dalam hatimu, kecuali Allah. Ketika itulah, hatimu akan dipenuhi dengan cinta kepada Allah, dan niatmu untuk mencapaiNya menjadi tulus. Setelah itu, dengan perintah-Nya, tujuan dan kehendakmu akan dikembalikan lagi kepadamu melalui perintah-Nya untuk mencari bagian-bagianmu di dunia dan akhirat.

 

Pada titik ini, kau akan meminta bagian-bagian itu kepada Allah, dan kau akan mencarinya sesuai perintah-Nya. Jika Allah memberikan bagian-bagian itu, kau akan bersyukur dan menikmatinya. Jika Dia menahannya darimu, kamu pun tidak akan marah, sakit hati, atau menuduh Allah pelit. Sebab kau tidak mencarinya berdasarkan hawa nafsu dan kehendakmu karena hatimu telah terbebas dari semua itu, kau semata-mata hanya mengikuti perintah Allah untuk berdoa. Semoga ketenteraman dan kedamaian dilimpahkan kepadamu.

 

Bagaimana bisa engkau sombong dengan segala amalmu? Bagaimana bisa kau memandang bahwa dirimu sendirilah yang melakukannya, bahkan kau meminta ganjaran atas segala amalmu itu, sedangkan semuanya terjadi atas izin, pertolongan, kekuatan, kehendak, dan karunia Allah swt. Jika pun kau bisa meninggalkan maksiat, itu pun karena perlindungan dan penjagaan Allah terhadapmu.

 

Lantas di manakah letak syukur dan pengakuanmu atas semua nikmat yang Dia berikan kepadamu? Betapa tolol dan pandirnya dirimu.

 

Engkau terheran-heran dengan keberanian, kedermawanan, dan kemurahan orang lain. Jika kau belum bisa membunuh musuhmu, kecuali dengan pertolongan Dzat yang gagah perkasa yang akan menebas musuhmu hingga binasa, kau akan jatuh tersungkur di hadapan musuhmu itu. Kau pun tak akan mampu mendermakan hartamu, kecuali dengan jaminan Dzat Yang Maha Benar, Maha Pemurah, Maha Dipercaya yang menjamin balasan dan imbalan bagimu.

 

Jika bukan karena janji-Nya dan ketamakanmu terhadap janji Allah yang diberikan kepadamu berikut jaminan-Nya terhadap janji itu, engkau tidak akan dapat melakukan amal itu sedikit pun. Lantas mengapa kau masih sombong dengan amalmu sendiri?

 

Jalan terbaik bagimu adalah bersyukur kepada Sang Maha Menolong, senantiasa memuji-Nya, dan mengatributkan segala amalmu kepada-Nya dalam segala kondisimu, kecuali kejahatan, maksiat dan celaan. Semua hal buruk ini harus kau atributkan pada dirimu sendiri, kezaliman, serta etikamu yang buruk.

 

Engkau harus menyalahkan hawa nafsumu sendiri. Hawa nafsumu memang pantas disalahkan lantaran dia merupakan tempat segala kejahatan dan senantiasa menyeru kepada perbuatan keji.

 

Jika kau menyadari bahwa Allah adalah Pencipta dirimu, sekaligus Pencipta segala perbuatanmu yang disertai upaya darimu, sejatinya kau hanyalah “pihak yang berupaya (kasib)”, sedangkan Allah adalah pihak yang menciptakan upayamu itu. Hal ini sebagaimana ungkapan para ulama ahli makrifat, “Perbuatan itu akan datang dan kau tidak akan dapat lari darinya.”

 

Hal ini juga selaras dengan sabda Nabi saw.,

 

“Berbuat baiklah, mendekatlah kepada Allah, dan luruskanlah dirimu karena setiap orang itu dimudahkan untuk mendapatkan apa yang telah diciptakan untuknya.”

 

Kau tak akan terlepas dari dua hal: menghendaki (murid) atau dikehendaki (murad). Jika kau menjadi seorang yang menghendaki, kau akan menanggung beban yang berat dan sulit. Sebab kau adalah seorang pencari (thalib), dan seorang pencari pastilah mengalami kesulitan sebelum akhirnya meraih sesuatu yang dia cari dan mencapai tujuan yang dia idamkan. Tidak pantas kau lari dari kesusahan yang menimpa diri, harta benda, keluarga, dan anakmu sehingga beban-beban yang kau tanggung itu diringankan atau hilang sama sekali, deritamu diangkat, kesulitan dan kehinaanmu dilenyapkan.

 

Dengan demikian, kau akan terlindungi dari segala kehinaan, kotoran, dan ketergantungan terhadap makhluk dan seluruh manusia. Jika sudah begitu, kau akan masuk ke dalam golongan para kekasih Allah yang senantiasa diberi karunia dan dikehendaki (murad) oleh-Nya.

 

Namun, jika kau adalah orang yang dikehendaki (murad), jangan menyalahkan Allah jika Dia menimpakan musibah kepadamu. Jangan pula kau ragukan kedudukan dan derajatmu di hadapan-Nya, sebab terkadang Dia mengujimu agar kau meraih kedudukan para kekasih Allah dan agar kau dapat mencapai derajat para wali serta para wali abdal. Apakah kau suka jika kedudukan dan derajatmu berada di bawah mereka, atau jika busana kemuliaan, cahaya, dan anugerahmu tak seperti milik – mereka? Jika pun kau rela dengan kedudukan rendahmu ini, ketahuilah bahwa Allah swt. tidak rela itu terjadi padamu. Allah berfirman,

 

“Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. al-Baqarah [2]: 232)

 

Dia memilihkan untukmu derajat yang lebih tinggi, lebih mulia, dan lebih terhormat, tetapi kau justru menampiknya.

 

Mungkin kau bertanya, mengapa seorang hamba yang dikehendaki Allah (murad) itu masih diuji, padahal dia telah meraih anugerah (derajat tinggi di sisi Allah)? Anda pun tahu bahwa ujian itu biasanya ditujukan kepada hamba yang mencintai Allah, sedangkan hamba yang dicintai (dikehendaki) Allah biasanya diberi anugerah.

 

Jawabannya yang pertama adalah kondisi secara umum atau mayoritas, sedangkan yang kedua adalah kondisi yang sangat jarang, tapi mungkin terjadi. Lagi pula, tak seorang pun menyangkal bahwa Nabi Muhammad saw. adalah pemimpin para kekasih Allah. Namun demikian, beliau juga sekaligus manusia yang ujiannya paling berat. Hal ini sebagaimana beliau sampaikan,

 

“Aku pernah merasa demikian takut di jalan Allah, tiada seorang pun yang lebih takut dariku. Aku pernah disiksa di jalan Allah, tiada seorang pun yang siksanya lebih berat dariku. Pernah aku mengalami tiga puluh hari tiga puluh malam di mana kami tidak mendapatkan makanan, kecuali hanya sebesar yang dapat disembunyikan di bawah ketiak Bilal.”

 

Rasulullah saw. juga bersabda,

 

“Sesungguhnya kami—para nabi—adalah manusia yang paling berat ujiannya, kemudian orang-orang yang berada di bawah tingkatan kami, kemudian orang-orang yang berada di bawah itu.”

 

Di kesempatan lain, Rasulullah juga bersabda,

 

“Aku manusia yang paling mengenal Allah dibanding kalian, dan aku manusia yang paling takut kepada Allah dibanding kalian.”

 

Lantas bagaimana mungkin orang yang dicintai atau dikehendaki Allah bisa diuji dan ditimpakan rasa takut? Hal ini tak lain agar dia dapat mencapai derajat tinggi di surga, sebagaimana yang kami jelaskan sebelumnya. Sebab, derajat di surga dibangun berdasarkan amal yang dikerjakan selama di dunia.

 

Dunia tak lain adalah ladang akhirat. Amal kebajikan para nabi dan wali setelah segala perintah telah mereka laksanakan dan segala larangan mereka patuhi adalah sabar, ridha, dan menyelaraskan diri dengan kehendak Allah pada saat mendapat ujian. Lantas, ujian itu akan dilepaskan dari mereka, diganti dengan segala nikmat, anugerah, serta perjumpaan abadi dengan Allah. Wallahu a’lam.

 

Orang Islam dan ahli ibadah yang mampir ke pasar saat sedang dalam perjalanan melaksanakan perintah Allah seperti shalat Jumat, shalat jamaah, dan memenuhi kebutuhan hidup, terdapat beberapa macam:

 

Pertama, orang yang jika melihat berbagai barang dan kelezatan di pasar langsung terkesima dan menginginkan barang-barang tersebut sehingga tanpa dia sadari hatinya telah terpaut pada fitnah (ujian hawa nafsu). Inilah yang menyebabkan dirinya hancur, meninggalkan agama dan ibadahnya, kembali pada tabiat hewani, serta menuruti hawa nafsu, kecuali jika Allah melimpahkan kasih sayang (rahmat), perlindungan, dan kesabaran baginya dalam menghadapi godaan hawa nafsu itu maka dia akan selamat.

 

Kedua, orang yang ketika melihat barang-barang di pasar dan nyaris tergoda olehnya, tapi dia langsung menepisnya dengan akal dan ajaran agamanya, menahan diri, lalu menanggung pahitnya mencampakkan barang-barang itu. Mereka bagaikan pejuang di jalan Allah yang diberi pertolongan oleh-Nya dalam mengendalikan hawa nafsu serta tabiat hewani mereka. Mereka akan diberi pahala melimpah di akhirat kelak, sebagaimana sabda Nabi dalam hadis berikut ini,

 

“Tujuh puluh kebajikan akan dicatatkan untuk seorang mukmin, apabila dia berhasil membuang syahwat ketika sedang dikuasai hawa nafsu, atau apabila dia dapat menguasainya.”

 

Ketiga, orang yang membeli dan memanfatkan barang-barang dari pasar itu dengan karunia yang Allah berikan kepada mereka, berupa keluasan rezeki dan harta. Lantas, mereka pun bersyukur atas rezeki tersebut.

 

Keempat, orang yang tidak sedikit pun melihat ataupun tergoda oleh barang-barang itu. Dia buta terhadap segala sesuatu selain Allah swt. maka tak ada apa pun yang dia lihat, kecuali Allah semata. Dia tuli terhadap

segala sesuatu selain Allah maka tak ada apa pun yang dia dengar, kecuali Allah semata. Dia terlampau sibuk dengan Allah, Sang Kekasih dan dambaan hatinya sehingga lupa terhadap yang lain. Mereka jauh dari dunia dan segala kesibukannya. Apabila kau bertanya kepada orang semacam ini di pasar tentang apa yang mereka lihat, dia akan menjawab, “Kami tidak melihat apa-apa.”

 

Betul bahwa dia melihat barang-barang tersebut di pasar, tapi dia hanya melihatnya dengan mata kepala saja, bukan dengan mata hatinya. Dia hanya melihat semua itu sekedarnya saja, tidak dengan hawa nafsu. Yang dia lihat hanyalah rupa fisiknya, bukan maknanya. Yang dia lihat hanyalah sisi lahiriahnya, bukan batiniahnya, Secara lahiriah memang dia melihat barang-barang yang ada di pasar, tetapi di dalam hatinya dia hanya melihat Allah. Terkadang pada keagungan-Nya, terkadang pada keindahan-Nya.

 

Kelima, orang yang ketika memasuki pasar, hatinya justru penuh dengan Allah dan mengasihi orang-orang yang ada di situ. Hatinya disibukkan oleh kasih sayang terhadap mereka, alih-alih memusatkan pandangan pada barang-barang milik mereka dan segala sesuatu yang ada di hadapan mereka. Sejak memasuki pasar sampai keluar lagi, orang ini senantiasa terhubung dengan Allah melalui doa, istighfar, memohonkan keselamatan bagi penghuni pasar, serta mengasihi mereka.

 

Matanya tertuju pada segala yang ada di hadapannya, sedangkan lisannya tiada henti memuji Allah atas segala karunia dan nikmat yang Dia limpahkan kepada seluruh makhluk. Orang semacam ini dijuluki pengawal negeri dan para hamba. Bisa juga kau menyebutnya sebagai orang ‘arif (mengenal Allah), wali abdal, zahid, orang alim yang tersembunyi, wali abdal yang dicintai dan dikehendaki Allah, wakil Allah di muka bumi, duta Allah, peneliti, penegak hukum Allah, pemberi hidayah, yang diberi hidayah, dan pembimbing jalan yang lurus. Mereka layaknya permata yaqut merah atau burung kucica (‘aq’aq). Semoga Allah meridhai orang seperti ini dan setiap mukmin yang dikehendaki Allah, yang telah mencapai derajat tertinggi. Hanya Allah yang dapat memberi petunjuk.

 

Kadang Allah memberitahu wali-Nya tentang aib, kebohongan, pernyataan palsu, syirik—baik dalam ucapan maupun perbuatan—rahasia, serta niat orang lain. Oleh karenanya, sang wali amat cemburu terhadap Tuhan, Nabi, dan agama-Nya. Batinnya sangat marah karena ingin membela ketiganya, lantas menjalar pada fisik luarnya, saat dia berada di tempat ataupun saat sedang tak ada di tempat.

 

Kemarahan sang wali itu dipicu oleh pertanyaan: bagaimana bisa orang itu mengaku telah memperoleh keselamatan, sedangkan berbagai penyakit masih menggerogoti lahir dan batinnya? Bagaimana bisa dia mengaku bertauhid, sedangkan kesyirikan masih tertanam dalam dirinya? Dan syirik membawa seseorang kepada kekufuran dan menjauhkannya dari Allah. Lagi pula, bukankah syirik juga merupakan ciri musuh-musuh Allah seperti setan yang terkutuk dan para munafik yang akan dicampakkan ke dalam kerak neraka dan kekal di dalamnya?

 

Oleh karena itu, melalui lisan wali-Nya, Allah akan menunjukkan aib, perilaku-perilaku buruk serta tak tahu malu orang itu, yang mengaku-ngaku telah mencapai kondisi spiritual para shiddiqin, padahal dia memusuhi orang-orang yang telah fana’ (lenyap) dalam takdir dan kehendak Allah.

 

Sang wali melakukan itu lantaran kecemburuan mereka untuk Allah, terkadang dengan cara mengingkari si pengaku-ngaku itu, terkadang dengan cara menasihatinya, terkadang dengan menunjukkan kekuasaan, kehendak, dan kemurkaan Allah atas dustanya itu. Dengan demikian, wali itu dituduh melakukan ghibah terhadap orang yang bersangkutan. Dia akan ditanya, “Apakah seorang wali dibenarkan membicarakan aib orang lain? Bukankah ghibah itu dilarang? Bolehkah dia membicarakan seseorang, ada maupun tak ada orang itu, di hadapan masyarakat luas?” Pengingkaran terhadap seorang wali seperti ini bisa diibaratkan sebagaimana firman Allah,

 

“Tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.” (QS. al-Baqarah [2]: 219)

 

Secara lahiriah, yang tampak adalah pengingkaran terhadap sang wali. Tetapi pada hakikatnya, dia telah membuat Allah murka, bahkan dia telah menentang-Nya. Akibatnya, dia akan merasa kebingungan sendiri. Dalam kondisi seperti ini, yang wajib dia lakukan adalah diam, tunduk dan pasrah, serta mencari kebenarannya di dalam syariat. Bukan malah menentang Allah dan wali-Nya dengan dusta dan kebohongannya.

 

Sikap seperti inilah yang kadang menjadi sebab hilangnya kekejian dari dalam dirinya, menjadi faktor dia bertobat, serta sembuh dari kebodohan dan kebingungannya. Di sisi lain, hal ini juga menjadi sebab kebencian mereka terhadap sang wali, tapi sekaligus juga menjadi manfaat bagi orang-orang yang tertipu (oleh bujuk rayu dunia) dan hampir binasa oleh ketertipuan dan kebohongannya itu. Allah memberi petunjuk orang yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus.

 

Orang yang berakal pertama-tama harus memerhatikan dirinya sendiri dan bagaimana tubuhnya dirancang sedemikian rupa. Setelah itu, barulah dia memerhatikan seluruh makhluk dan ciptaan. Melalui dua hal ini, dia lantas membuktikan adanya Penciptanya. Sebab, di dalamnya memang terdapat tanda-tanda yang menunjukkan adanya Sang Pencipta. Demikian pula di dalam kekuatan maha dahsyat dan mahasempurna (yang tampak dalam penciptaan alam semesta ini), juga terdapat tanda adanya Dzat yang Maha Bijaksana. Sebab seluruh makhluk ini ada lantaran keberadaan-Nya.

 

Inilah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra. dalam ulasannya tentang firman Allah,

 

“Dia menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untukmu semuanya (sebagai rahmat) dari-Nya.” (QS. al-Jatsiyah [45]: 13)

 

Menurut Ibnu Abbas, segala sesuatu di dalamnya terdapat satu nama Allah, dan nama segala sesuatu itu merupakan bagian dari nama-Nya. Dengan demikian, kau berada di antara nama-nama, sifat-sifat dan kehendak-Nya. Dia tersembunyi dengan kuasa-Nya dan tampak melalui kebijaksanan-Nya. Dia tampak melalui sifat-sifat-Nya, sedangkan dzat-Nya tersembunyi. Allah menutupi dzatNya dengan sifat-sifat-Nya, dan menutupi sifat-sifat-Nya dengan perbuatan-Nya. Dia menyingkap pengetahuan dengan kehendak-Nya, dan menyingkap kehendak-Nya dengan gerak-Nya. Dia menyembunyikan kehendak-Nya dan menampakkan hasilnya itu melalui perbuatan-Nya. Maka, Dia bersembunyi di dalam kegaiban-Nya dan tampak di dalam kebijaksanaan dan kekuasaan-Nya. Allah swt. berfirman,

 

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dia Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat.” (QS. asy-Syara [42]: 11)

 

Dalam firman-Nya ini, Allah menyingkap berbagai ilmu rahasia yang tidak dapat diketahui, kecuali dari lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Ibnu Abbas mendapatkan ilmu itu disebabkan doa Nabi Muhammad saw. untuknya,

 

“Ya Allah, berilah ia pemahaman mendalam soal agama dan ajarilah ia ilmu takwil.”

 

Semoga Allah menganugerahi kita keberkahan sebagaimana yang Dia berikan kepada mereka dan memasukkan kita ke dalam golongan mereka pada hari kiamat kelak. Amin.

 

Bertakwalah dan taatlah kepada Allah. Patuhilah hukum-hukum syariat dan bersihkanlah hatimu. Bersikaplah murah hati, tampakkanlah wajah ceria. Balaslah kebaikan orang lain, jangan menyakiti. Tabahlah dalam kepedihan dan kemiskinan. Jagalah kehormatan guru-gurumu, bergaullah dengan sesamamu. Nasihatilah kaum muda dan generasi tua, jauhilah permusuhan, perbanyaklah teman. Gemarlah memberi, jauhilah sikap suka menimbun harta. Jangan berkawan dengan orang-orang yang bukan golongan mereka dan saling tolong menolonglah dalam perkara duniawi dan agama.

 

Hakikat kemiskinan adalah kau tidak meminta-minta kepada orang lain, dan hakikat kekayaan adalah engkau tidak merasa butuh terhadap orang lain. Tasawuf tidaklah dicapai dengan ucapan belaka, melainkan dengan rasa lapar dan memutus segala kesenangan. Janganlah menunjukkan kepandaianmu di hadapan orang bodoh, tetapi tunjukkanlah sikap lemah lembut terhadapnya karena unjuk kepandaian membuatnya tak senang, dan sikap lemah lembut membuatnya merasa nyaman.

 

Tasawuf itu dibangun atas delapan fondasi:

 

  1. Kemurahan Nabi Ibrahim
  2. Kepasrahan Nabi Ishak
  3. Kesabaran Nabi Ya’kub
  4. Doa Nabi Zakaria
  5. Kemiskinan Nabi Yahya
  6. Berbusana wol seperti Nabi Musa
  7. Pengembaraan Nabi Isa
  8. Kesahajaan Nabi Muhammad

 

Aku menasihatimu supaya kau bergaul bersama orang kaya dengan sikap mulia dan bergaul bersama orang miskin dengan sikap rendah hati. Hendaklah engkau senantiasa bersikap rendah hati dan ikhlas. Keikhlasan itu akan membawamu untuk senantiasa memandang Allah. Jangan menyalahkan Allah dalam masalah duniawi. Tunduklah pada-Nya dalam segala keadaan. Jangan engkau abaikan hak saudaramu karena hubungan baik di antara dia dan engkau.

 

Bergaullah bersama kaum miskin dengan sikap rendah hati, akhlak mulia, dan murah hati. Musnahkanlah egomu (nafsu) sehingga kau dapat hidup kembali di alam ruhani. Orang yang paling dekat kepada Allah adalah yang akhlaknya paling luhur. Perbuatan yang paling utama adalah menjaga hati agar tidak berpaling kepada selain Allah.

 

Teruslah berpegang teguh pada kebenaran dan kebesaran. Cukuplah bagimu dua hal ini dari dunia, yaitu bergaul dengan orang miskin dan mengabdi kepada sang wali. Orang miskin adalah orang yang tidak membutuhkan apa pun, kecuali Allah. Cacianmu terhadap orang yang lebih lemah adalah tanda kelemahanmu. Sementara, cacianmu terhadap orang yang lebih tinggi adalah sikap tidak tahu malu. Cacianmu terhadap orang yang sepadan denganmu adalah cerminan budi pekerti yang buruk.

 

Kemiskinan dan tasawuf adalah dua upaya serius. Jangan pernah mempermainkan keduanya. Semoga Allah memberikan pertolongan-Nya kepada kita semua dan umat Islam seluruhnya. Amin.

 

Duhai wali Allah! Hendaknya kau selalu mengingat Allah pada segala kondisi karena mengingat Allah adalah penghimpun segala kebaikan. Hendaknya kau senantiasa berpegang teguh pada tali Allah karena itu dapat mencegah kesengsaraan. Hendaklah kau bersiap-siap menghadapi takdir Allah karena ketentuan Allah itu pasti akan terjadi. Ketahuilah bahwa kau akan dimintai pertanggungjawaban atas segala gerak dan diammu.

                                     

Oleh karena itu, hendaklah kau senantiasa menyibukkan diri dengan perbuatan paling baik pada waktu yang tepat dan hindarkanlah anggota tubuhmu dari tindakan-tindakan tak berguna. Taatlah kepada Allah, Rasul-Nya, dan para pemimpin setelahnya. Tunaikanlah hak pemimpin itu, jangan menuntutnya dengan segala kewajibannya. Berdoalah dalam segala keadaan.

 

Berbaik sangkalah terhadap sesama muslim, perbaikilah niatmu, dan berbuat baiklah kepada mereka. Jangan pernah tidur, tapi di hatimu masih tersimpan kejahatan dan kebencian terhadap seseorang, doakanlah yang baik-baik bagi orang yang menzalimimu, dan sadarlah senantiasa bahwa kau selalu dalam pengawasan Allah. Makanlah hanya yang halal, bertanyalah tentang segala hal yang tak kau tahu kepada orang yang mengenal Allah, dan malulah kepada Allah swt.

 

Bersahabatlah dengan orang yang senantiasa bersama Allah. Bersahabatlah dengan selain Allah dalam kerangka persahabatan di jalan-Nya. Sedekahkanlah hartamu di setiap pagi dan ikutlah shalat jenazah bagi setiap orang Muslim yang meninggal. Dirikanlah shalat istikharah usai melaksanakan shalat Magrib. Ucapkanlah pada setiap pagi hari dan sore hari doa ini sebanyak tujuh kali,

 

“Ya Allah, jauhkanlah kami dari neraka.”

 

Ucapkanlah juga selalu doa yang diambil dari ayat al-Quran ini,

 

“Dialah Allah tidak ada tuhan selain Dia. Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, Dialah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.” (QS. al-Hasyr [59]: 22)

 

Lanjutkanlah sampai akhir surah al-Hasyr. Hanya Allah yang Maha Memberi Taufik dan Maha Memberi Pertolongan. Tidak ada daya dan upaya, kecuali dari Allah yang Maha tinggi dan Maha Agung.

 

Tinggallah bersama Allah, seolah-olah tidak ada makhluk. Berdampinganlah dengan makhluk, seolah-olah dirimu tidak ada. Jika kau telah tinggal bersama Allah, tanpa makhluk, sejatinya kau telah benar-benar ada, sekaligus lenyap dari seluruh makhluk. Jika kau telah berdampingan dengan makhluk seolah-olah dirimu tidak ada, sejatinya kau telah berbuat adil dan selamat dari kesusahan hidup.

 

Tinggalkanlah segala makhluk di luar pintu khalwatmu dan masuklah ke dalamnya seorang diri. Engkau akan melihat kedamaian di dalamnya dengan mata batinmu. Engkau akan menyaksikan segala sesuatu yang tak dapat dilihat oleh mata telanjang. Dirimu akan lenyap, lalu sebagai gantinya—datanglah perintah Allah dan kedekatan dengan-Nya. Di dalam kondisi itu, kebodohanmu akan menjadi pengetahuanmu, kejauhanmu akan menjadi kedekatanmu, bisumu akan menjadi zikir, dan kondisi burukmu akan menjadi kesenangan.

 

Wahai saudaraku! Sejatinya tidak ada yang lain, kecuali makhluk dan Sang Khaliq. Jika engkau memilih Allah, katakanlah pada mereka,

 

“Sesungguhnya mereka (apa yang kamu sembah) itu musuhku, lain halnya Tuhan seluruh alam.” (QS. asy-Syu’ara [26]: 77)

 

Kemudian Syekh Abdul Qadir al-Jailani berkata, “Siapa yang telah merasakan kondisi ini, dia akan mengerti.”

 

Lantas beliau ditanya, “Bagaimana mungkin orang yang telah dikuasai pahitnya empedu dapat mengecap rasa manis?”

 

Beliau pun menjawab, “Dia harus berusaha menjauhkan syahwat dari hatinya dengan tekad dan upaya keras. Saudaraku, jika seorang mukmin berbuat kebajikan, hafsu hewaninya akan berubah menjadi hati, dan dia pun akan mengetahui hal-hal yang hanya dapat diketahui oleh hati.

 

Kemudian, hatinya itu akan bertukar menjadi rahasia Ilahi. Selanjutnya, kefanaan (lenyapnya diri dari makhluk) akan berubah menjadi wujud dan keabadian sejati.” Syekh Abdul Qadir melanjutkan, “Bagi para kekasih, pintu akan selalu terbuka. Ketahuilah, saudaraku. Fana adalah menganggap tak ada seluruh makhluk dan mengganti sifat-sifat manusiawi dengan sifat-sifat malaikat, kemudian lenyap dari sifat-sifat malaikat ini, dan selanjutnya kembali pada kondisi semula. Dalam kondisi ini, Tuhanmu akan menyirami sesuka-Nya dan menanam di dalam hatimu sesuka-Nya. Jika engkau menghendaki kondisi ini, hendaklah kau menganut agama Islam terlebih dahulu, kemudian istislam (berserah diri kepada Allah), kemudian mengenal Allah, lalu makrifat, lantas menegaskan wujud sejati. Jika wujudmu telah menjadi milik-Nya, kau akan menjadi milik Allah sepenuhnya. Zuhud adalah amalan satu jam dan wara’ adalah amalan dua jam, sedangkan makrifatullah amalan sepanjang waktu (abadi).”’

 

Ada sepuluh sifat yang harus dimiliki oleh orang-orang yang berada dalam perjuangan ruhani (mujahadah), yang sedang mengintrospeksi diri (muhasabah), dan yang sedang mengencangkan tekad demi mencapai tujuan spiritual (ulul ‘azmi). Jika mereka telah memenuhi dan melaksanakan sifat-sifat itu, mereka akan mendapatkan kedudukan tinggi dengan izin Allah.

 

Pertama, tidak bersumpah atas nama Allah, baik sumpah itu benar maupun palsu, baik sengaja maupun terpaksa. Jika ahli mujahadah, muhasabah, dan ulul ‘azmi telah berbuat demikian, ia akan terbiasa untuk tidak gampang bersumpah atas nama Allah. Jika dia telah terbiasa untuk tidak bersumpah, Allah akan membukakan pintu cahaya-Nya baginya. Dengan begitu, dia akan merasakan manfaat hal itu di dalam hatinya. Allah akan mengangkat derajatnya, menguatkan tekadnya, dan mempertebal sabarnya. Allah akan membuatnya dipuji oleh sahabatnya dan dihormati tetangganya, bahkan setiap orang yang melihatnya akan merasa segan kepadanya.

 

Kedua, menghindari dusta, baik serius maupun bercanda. Jika dia bersikap tegas terhadap hal ini pada dirinya sendiri, dan lidahnya pun terbiasa untuk tidak berdusta, Allah akan melapangkan hatinya dan menjernihkan pikirannya sehingga ia tampak tak tahu kepalsuan. Apabila dia mendengar orang lain berbohong, dia akan mencela kedustaan orang lain itu dan mencelanya di dalam dirinya sendiri. Jika dia berdoa supaya dusta itu dihilangkan dari orang lain yang berdusta, dia akan mendapat pahala.

 

Ketiga, tidak mengingkari janji. Hendaknya dia juga tepat waktu dalam memenuhi janji. Hal ini akan menjadi karakter kuat dirinya sekaligus menjadi jalannya yang paling baik karena mengingkari janji termasuk dusta. Jika dia telah melakukan ini, Allah akan membukakan pintu kemurahan baginya, memberinya derajat yang tinggi dalam sifat malu, membuatnya dicintai oleh orang-orang yang jujur, serta mengangkat derajatnya di sisi-Nya.

 

Keempat, tidak mengutuk satu makhluk pun dan tidak menyakitinya meski sekecil atom, bahkan lebih kecil dari itu. Inilah budi pekerti orang-orang shalih dan para shiddiqin. Dengan mengamalkan prinsip ini, dia akan memperoleh kehidupan yang baik di bawah perlindungan Allah selama di dunia. Allah akan mengangkat derajatnya, mengentaskannya dari kehancuran, menyelamatkannya dari (ketergantungan terhadap) makhluk, menjadikan manusia mengasihinya, dan mendekatkannya kepada-Nya.

 

Kelima, tidak mendoakan keburukan bagi seorang pun, meski dia telah dizalimi. Hendaknya dia tidak membalas kezaliman orang lain dengan lisan ataupun dengan perbuatan. Sebab, orang yang memiliki sifat ini akan dianugerahi derajat yang tinggi. Orang yang telah terlatih dengan sifat ini akan memperoleh kedudukan mulia di dunia ataupun di akhirat, dicintai seluruh makhluk yang jauh ataupun dekat—doanya senantiasa terkabul, memperoleh kedudukan tinggi di tengah manusia, serta meraih kemuliaan di hati orang-orang beriman.

 

Keenam, tidak memvonis musyrik, kafir, atau munafik seorang Muslim. Sikap ini lebih dekat dengan kasih sayang, derajat yang lebih tinggi, sekaligus pengamalan sunah yang sempurna. Sikap ini juga menghindarkan seseorang dari intervensi terhadap ilmu Allah, menjauhkan dari siksa-Nya, serta mendekatkan kepada ridha dan rahmat-Nya. Inilah pintu kasih sayang bagi seluruh makhluk di dalam hatinya.

 

Ketujuh, tidak menoleh maksiat sedikit pun dan menjaga segenap raga dari perbuatan dosa. Inilah salah satu amal kebajikan—baik lahir maupun batin—yang paling cepat mendatangkan pahala di dunia dan di akhirat kelak yang telah disiapkan untuknya oleh Allah. Kita memohon kepada-Nya agar menganugerahi dan membimbing kita semua untuk meraih sifat terpuji itu, dan memohon agar Dia mengeluarkan segala syahwat duniawi dari hati kita.

 

Kedelapan, tidak membebani seorang pun, baik ringan maupun berat. Sebaliknya, hendaknya melepaskan beban yang dipikul oleh seluruh makhluk, baik diminta maupun sukarela. Inilah kemuliaan sempurna bagi ahli ibadah, sekaligus kehormatan bagi orang-orang bertakwa. Dengan sifat ini pula, dia akan memperoleh kekuatan untuk melaksanakan amar makruf nahi munkar. Dia akan memandang seluruh makhluk itu memiliki kedudukan yang sama. Jika sifat ini telah terealisasi di dalam dirinya, Allah akan membuatnya tidak lagi butuh terhadap segala sesuatu. Sebaliknya, Allah akan membuatnya yakin dan percaya hanya kepada-Nya. Orang itu tak akan memuliakan siapa pun, kecuali Allah. Sementara seluruh makhluk baginya memiliki hak yang sama. Dia meyakini sepenuhnya bahwa hal ini merupakan kemuliaan orang-orang beriman dan kehormatan orang-orang bertakwa, bahkan hal ini merupakan pintu terdekat menuju keikhlasan.

 

Kesembilan, tidak mengharapkan pertolongan manusia dan tidak menginginkan apa pun yang mereka miliki. Inilah kemuliaan terbesar, kekayaan sejati, kerajaan besar, kebanggaan yang agung, keyakinan yang suci, dan penyandaran yang penuh kepada Allah. Inilah salah satu pintu keyakinan terhadap Allah sekaligus salah satu pintu kezuhudan yang mengantarkan seseorang pada sikap wara’ dan kesempurnaan ibadah, bahkan ini salah satu tanda orang-orang yang hanya pasrah dan mengandalkan Allah semata.

 

Kesepuluh, rendah hati (tawadhu). Dengan sifat ini, kedudukan seorang hamba akan diangkat, kemuliaan dan derajatnya di sisi Allah dan manusia disempurnakan. Dia diberi kuasa untuk meraih segala urusan dunia dan akhirat yang dia inginkan. Sifat ini merupakan dasar segala sifat lain. Seluruh sifat lain terkumpul dalam sifat ini. Inilah cabang dan kesempurnaannya. Dengan sifat ini, seorang hamba akan meraih derajat orang-orang shalih yang ridha terhadap Allah dalam segala kondisi, di kala susah ataupun senang. Inilah ketakwaan yang sempurna.

 

Kerendahan hati adalah tatkala seorang hamba tak melihat orang lain, kecuali orang itu memiliki kelebihan darinya. Dia akan berkata, “Mungkin orang ini lebih baik dan lebih tinggi derajatnya dariku di hadapan Allah.” Jika orang lain itu lebih muda darinya, dia akan berkata, “Orang ini tak pernah bermaksiat kepada Allah, sedang aku penuh dengan dosa, pasti dia lebih baik dariku.” Jika orang lain itu lebih tua darinya, dia akan berkata, “Orang ini telah menyembah Allah lebih lama dariku, dia pun lebih baik dariku.”

 

Jika orang lain itu pandai, dia akan berkata, “Orang ini memiliki ilmu yang tak aku miliki, mencapai ilmu yang tak pernah aku capai, mengetahui apa yang tak aku tahu, dan mengamalkan ilmunya.” Jika orang lain itu bodoh, dia akan berkata, “Orang ini melakukan maksiat karena kebodohannya, sedangkan aku melakukan maksiat meskipun aku berilmu. Aku tidak tahu bagaimana akhir hidupku dan akhir hidupnya nanti.

 

Jika orang lain itu kafir, dia akan berkata, “Bisa jadi suatu hari nanti dia akan masuk Islam sehingga dia meraih husnul khatimah pada akhir hidupnya. Sebaliknya, bisa jadi suatu hari nanti aku kafir dan hidupku berujung su‘ul khatimah.

 

Inilah pintu kasih sayang dan pintu takut kepada Allah. Sifat ini pula yang pertama kali perlu dimiliki oleh seorang hamba dan terakhir kali harus tersisa dalam hidupnya. Apabila dia telah mengimplementasikan sifat ini dalam hidupnya, Allah akan memeliharanya dari kesengsaraan dan membawanya pada derajat para pemberi nasihat di jalan Allah. Dia akan menjadi manusia pilihan dan kekasih Allah, sekaligus menjadi musuh iblis yang dilaknat dan dimusuhi Allah. Inilah pintu rahmat. Dengan mengamalkan sifat ini pula, berarti dia telah menutup erat pintu kesombongan, memotong gunung-gunung kebanggaan diri (ujub), dan membuang keinginan memperoleh kedudukan tinggi dalam hal agama, dunia, bahkan akhirat sekalipun.

 

Inilah puncak penghambaan dan penyembahan kepada Allah. Inilah tujuan utama orang-orang zuhud dan ciri para hamba sejati. Tidak ada yang lebih baik dari hal ini. Dengan tercapainya peringkat ini, lidahnya akan berhenti membicarakan hal-hal duniawi dan perkara sia-sia. Amalnya tak akan sempurna tanpa mengamalkan sifat ini. Kedengkian, kesombongan, dan kezaliman akan sirna dari hatinya dalam segala kondisi. Lisannya di kala sembunyi ataupun terbuka tak ada bedanya. Demikian pula ucapan dan perbuatannya, tak ada bedanya lahir dan batin.

 

Di matanya, seluruh manusia sama saja dalam hal saling menasihati. Dia tidak akan menjadi juru nasihat yang baik jika masih membicarakan keburukan orang lain, mencelanya dengan perbuatan, atau ingin mendengar keburukan orang lain yang dibicarakan di sisinya. Inilah bencana para hamba, kebinasaan para ahli ibadah, dan kehancuran orang-orang zuhud, kecuali mereka yang diberi pertolongan oleh Allah, dijaga lisan dan hatinya dengan rahmat, anugerah dan kebaikan-Nya.

 

Ketika Syekh Abdul Qadir menderita sakit yang menyebabkannya meninggal dunia, putranya, Syekh Abdul Wahhab berkata, “Berikanlah satu nasihat yang dapat aku jadikan pegangan sepeninggal Ayah nanti.” Beliau berpesan kepada putranya, “Takutlah kepada Allah, jangan takut kepada siapa pun selain-Nya. Jangan berharap kepada siapa pun selain-Nya. Pasrahkanlah segala kebutuhanmu kepada-Nya. Jangan bergantung kepada siapa pun selain-Nya. Mintalah segala kebutuhanmu kepada-Nya semata. Jangan mengandalkan siapa pun selain-Nya. Tegakkanlah tauhid karena di dalamnya terkumpul segala kebaikan.”

 

Syekh Abdul Qadir melanjutkan, “Apabila hati telah bersama Allah, ia tidak akan pernah kosong dari (mengingat) Allah dan tidak akan pernah sedikit pun lalai dariNya. Aku ini ibarat isi tanpa kulit. Menjauhlah dariku karena yang bersama kalian hanyalah fisikku belaka, sedangkan batinku bersama Allah. Tamu-tamuku telah datang berkunjung kepadaku. Berilah mereka ruang dan hormatilah mereka. Di sinilah tempat rahmat yang agung itu. Jangan kalian persempit ruang mereka.”

 

Syekh Abdul Qadir masih terus berbicara, “Semoga kesejahteraan, rahmat Allah, dan keberkahan-Nya senantiasa terlimpah untuk kalian. Semoga Allah mengampuni dosa-dosaku dan dosa-dosa kalian. Semoga Dia berkenan menerima tobatku dan tobat kalian. Dengan menyebut nama Allah secara terus menerus.” Beliau mengucapkan itu selama sehari semalam.

 

Syekh Abdul Qadir lantas berkata, “Celakalah kalian! Aku tidak takut kepada siapa pun. Aku tak takut pada raja atau malaikat maut sekali pun. Berilah anugerah kepada kami, ya Allah. Siapa lagi yang dapat melindungi kami selain-Mu?” Beliau mengucapkan ini sambil memekik keras. Ini terjadi pada hari ketika beliau meninggal dunia.

 

Sementara itu, putranya yang lain, Syekh Abdur Razzaq dan Syekh Musa mengisahkan, ayahanda mereka mengangkat dan merentangkan kedua tangannya sembari berkata, “Semoga kesejahteraan, rahmat Allah, dan keberkahan-Nya senantiasa terlimpah untuk kalian. Bertobatlah dan masuklah ke dalam barisan-Nya tatkala maut menjemput kalian.”

 

Dikisahkan pula, beliau sempat berkata, “Berhentilah.” Kemudian, beliau kembali ke rahmatullah. Kepada putra-putranya, beliau juga berwasiat, “Antara aku, kau, dan makhluk terdapat jurang pemisah yang jauhnya laksana langit dan bumi. Oleh karena itu, jangan kalian bandingkan aku dengan siapa pun dan jangan kalian bandingkan kita semua dengan siapa pun pula.”

 

Putranya yang lain, Syekh Abdul Aziz, lantas bertanya mengenai sakit dan kondisinya saat itu. Beliau menjawab, “Jangan ada seorang pun yang bertanya kepadaku tentang apa pun karena aku sedang berkelana di dalam ilmu Allah.”

 

Syekh Abdul Aziz, putranya yang lain juga bertanya kepadanya tentang penyakitnya. Beliau menjawab, “Tak seorang pun dari manusia, jin, atau malaikat mengetahui penyakitku. IImu Allah tak akan berkurang oleh ketetapan-Nya. Ketetapan bisa saja berubah, tapi ilmu-Nya tak akan berubah.”

 

Beliau lalu membaca dua ayat berikut,

 

“Allah menghapus dan menetapkan apa yang Dia kehendaki. Di sisi-Nya terdapat Ummul-Kitab.” (QS. ar-Ra’d [13]: 39)

 

“Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang dikerjakan, tetapi merekalah yang akan ditanya.” (QS. al-Anbiya [21]: 23)

 

Sementara itu, Syekh Abdul Jabbar, putranya yang lain juga bertanya, “Apa gerangan yang membuat engkau sakit, Ayah?” Syekh Abdul Qadir menjawab, “Seluruh tubuhku membuatku sakit, kecuali hatiku yang tidak akan pernah merasa sakit selama masih bersama Allah.” Kemudian maut menjemputnya, setelah sempat mengatakan, “Aku tidak pernah meminta tolong kepada siapa pun, kecuali Allah swt., Dia-lah Dzat Maha Hidup yang tak pernah takut mati. Maha Suci Dia, Dzat yang kekuatan-Nya tiada tandingnya, yang menguasai hamba-Nya dengan kematian. Tiada Tuhan selain Allah, Muhammad adalah utusan Allah.”

 

Adapun Syekh Musa, putra lainnya, mengisahkan, “Ketika Syekh Abdul Qadir tengah menghadapi sakaratul maut, beliau mengucapkan kata, ‘Ta’azzaza (Maha Perkasa)’, tetapi lidahnya tak mampu mengucapkannya dengan benar. Beliau terus mengulang-ulang kata itu, memanjangkan bunyinya dan mengeraskannya sehingga bisa mengucapkannya dengan benar, lantas beliau berkata, ‘Allah, Allah, Allah’ sehingga suaranya melemah dan lidahnya melekat pada langit-langit mulut, kemudian ruhnya yang mulia itu pun berpisah dari badannya.”

 

Semoga Allah senantiasa melimpahkan ridha-Nya kepada beliau.