Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang menampakkan diri kepada hamba-hamba-Nya dengan Sifat-sifat keagungan-Nya, menyinari hati mereka dengan mengakui Sifat-sifat kebesaran-Nya, dan memperkenalkan diri kepada mereka dengan nikmat-nikmat yang Dia berikan kepada mereka, kemudian mereka mengetahui bahwa Allah adalah Dzat Yang Mahaesa, tempat bergantung, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam Dzat-Nya, Sifat-sifat-Nya, dan tindakan-tindakan-Nya. Allah adalah seperti yang Dia sifatkan kepada diri-Nya sendiri dan jauh di atas penyifatan makhluk kepada-Nya. Siapa pun tidak mampu memberikan sanjungan kepada-Nya, karena adalah Dia seperti yang Dia sanjungkan kepada diri-Nya melalui lisan orang yang Dia muliakan dengan menjadikannya sebagai Rasul-Nya.

 

Allah Mahapertama dan tidak ada sesuatu apa pun sebelum diriNya. Allah Maha Terakhir dan tidak ada sesuatu apa pun sesudah diriNya. Dia Mahadalam dan tidak ada sesuatu apa pun yang lebih dalam dari diri-Nya. Allah Mahahidup dan Maha Mengurusi makhluk-Nya, Mahaesa, Tempat bergantung, Dia sendiri yang abadi, semua makhluk pada akhirnya mati, Dia Maha Mendengar hiruk pikuk suara dalam bahasa apa pun dan untuk keperluan apa pun. Satu suara tidak membuatNya lupa suara yang lain. Banyaknya permintaan tidak membuat-Nya bingung, dan Dia tidak bosan dengan desakan hamba-hamba-Nya dalam doanya. Allah Maha Melihat yang mampu melihat semut hitam di atas batu hitam di malam yang gelap gulita di dataran rendah atau pegunungan.

 

Lebih dari itu semua, Allah Subhanahu wa Ta’ala melihat pergolakan hati hamba-hamba-Nya, dan menyaksikan ragam kondisinya. Jika hati hamba-hamba-Nya datang kepada-Nya, Dia menerimanya dengan antusias, dan kedatangan hati hamba-hamba-Nya tidak terlepas dari kedatangan-Nya kepada hati tersebut. Jika hati hamba-hamba-Nya berpaling daripada-Nya, Dia tidak menyerahkannya kepada musuhnya, dan tidak membiarkannya terombang-ambing dalam ketidakpastian. Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih penyayang kepada hamba-hamba-Nya daripada seorang ibu kepada anak si jantung hatinya ketika ia mengandungnya, menyusuinya, dan menyapihnya. Jika hamba-Nya bertobat kepada-Nya, Dia amat berbahagia dengan tobatnya melebihi kebahagiaan pengembara yang menemukan kembali hewan tunggangannya lengkap dengan makanan dan minuman di daerah yang rawan bahaya, padahal sebelumnya ia telah siap-siap untuk mati, karena hubungannya telah terputus dengan tempat lain. Jika seorang hamba tetap mengotot berpaling daripada-Nya, tidak tertarik kepada sebab-sebab rahmat, bahkan agresif bermaksiat kepada-Nya, berkoalisi dengan musuh-musuh-Nya, dan memutus hubungan dengan panutannya, sungguh ia berhak binasa, Tidak ada yang binasa di sisi Allah kecuali orang yang celaka dan binasa, karena keagungan rahmat-Nya, dan karunia-Nya yang luas.

 

Aku bersaksi, bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya. Allah adalah Tuhan satu-satunya, tempat bergantung, serta Mahaagung dari segala bentuk penyerupaan dan perumpamaan. Allah Mahasuci dari musuh-musuh dan sekutu-sekutu. Satu pun di antara makhluk-Nya tidak ada yang mampu menghalangi pemberian-Nya. Tidak ada yang mampu memberikan apa yang Dia tidak berikan. Tidak ada yang mampu menolak hukum-Nya, dan mengubah perintah-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya, dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (Ar-Ra’du: 11).

 

Aku bersaksi, bahwa Muhammad adalah hamba-Nya, Rasul-Nya yang menunaikan hak-Nya atas dirinya, pemegang amanat wahyu-Nya, dan manusia terbaik di antara makhluk-Nya. Allah ta’ala mengutus beliau sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta, pemimpin bagi orang-orang bertakwa, kerugian bagi orang-orang kafir, dan hujah bagi seluruh manusia. Allah ta’ala mengutus beliau pada saat dunia vakum dari para Rasul.

 

Dengan perantaraan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, Allah ta’ala memberi petunjuk manusia kepada jalan yang paling lurus, dan jalan yang paling jelas. Allah ta’ala mewajibkan hamba-hamba-Nya taat kepadanya, mencintainya, mengagungkannya, menghormatinya, dan menunaikan hak-haknya. Allah ta’ala menutup seluruh pintu ke surga dan tidak membuka surga bagi siapa pun kecuali melalui pintunya. Allah ta’ala melapangkan dadanya, menghilangkan beban yang mengimpitnya, meninggikan namanya (pamornya), menjadikan kehinaan bagi orang yang melanggar perintahnya, bersumpah dengan kehidupannya dalam Kitab-Nya yang maha mengetahui segala permasalahan, menyatukan namanya dengan nama-Nya, dan tidak menyebut nama-Nya kecuali dengan namanya seperti terlihat dalam tasyahhud, khutbah, dan adzan. Allah ta’ala selalu melimpahkan shalawat kepadanya. Beliau senantiasa melaksanakan perintah Allah ta’ala tanpa mampu dihadang oleh rintangan apa pun. Beliau tanpa kenal lelah mencari keridhaan Allah tanpa mampu dihalang-halangi oleh siapa pun, hingga dunia bersinar dengan risalahnya dengan sinar yang terang benderang, manusia masuk ke dalam agama Allah ta’ala dengan berbondong-bondong, dakwahnya berjalan mengikuti perjalanan matahari ke seluruh belahan bumi, dan agamanya yang lurus menjelajah semua wilayah yang dijelajahi siang dan malam. Beliau lebih mengutamakan Allah ta’ala, agar Dia menetapi apa yang Dia janjikan kepadanya dalam Kitab-Nya yang menjelaskan setelah beliau menyampaikan risalah-Nya, menyampaikan amanah, memberi nasihat kepada umat, berjihad di jalan-Nya dengan jihad yang sebenar-benarnya, menegakkan agama, dan meninggalkan umatnya dalam keadaan putih bersih, dan jelas bagi orang-orang yang ingin berjalan menuju Allah. Allah ta’ala berfirman,

 

“Katakanlah, ‘Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kepada Allah dengan hujah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang musyrik’.” (Yusuf: 108).

 

Amma ba’du.

 

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menciptakan makhluk-Nya tanpa tujuan yang pasti. Allah menciptakan mereka sebagai obyek ¢ak/i, perintah, dan larangan. Allah mewajibkan mereka memahami apa yang Dia tunjukkan kepada mereka dengan global dan detail, serta membagi mereka ke dalam dua kelompok; orang celaka dan orang bahagia. Allah ta’ala menyediakan “tempat kembali” bagi masing-masing kelompok. Allah ta’ala memberi mereka sumber-sumber ilmu dan amal perbuatan, yaitu hati, telinga, mata, dan organ tubuh lainnya sebagai nikmat dan karunia dari-Nya. Barang siapa menggunakan semua organ tubuhnya untuk taat kepada-Nya, berjalan dengannya di atas jalan ma’rifah kepada-Nya sesuai dengan apa yang Dia tunjukkan kepadanya, dan tidak tertarik berpaling daripada-Nya, sungguh ia telah melakukan hak syukur atas apa yang dianugerahkan kepadanya, dan dengannya ia meraih jalan kepada keridhaan-Nya. Sebaliknya, Barang siapa menggunakan semua organ tubuhnya untuk memenuhi seluruh keinginannya dan syahwatnya, serta tidak memperhatikan hak Allah atas organ tubuhnya, sungguh ia rugi jika ia dimintai pertanggungan jawab tentang manfaat organ tubuhnya, dan sedih berkepanjangan. Sesungguhnya pertanggungan jawab pasti terjadi terhadap seluruh organ tubuh, berdasarkan firman Allah ta’ala,

 

“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Al-Isra’: 36).

 

Hati bagi seluruh organ tubuh adalah bak raja yang mengendalikan pasukan, mengeluarkan instruksi kepada mereka, dan menggunakan mereka semaunya. Semua organ tubuh berada di bawah perbudakan hati, dan di bawah kendalinya. Dari hati pula konsekuen (istiqamah) di atas jalan yang benar, dan penyimpangan itu berasal. Organ tubuh mengikuti apa saja yang diinginkan hati. Rasulullah Shatlallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Ketahuilah, bahwa di dalam tubuh terdapat segumpal darah. Jika ia baik, baik pula seluruh tubuh.” (Diriwayatkan Al-Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, An-Nasai, Abu Daud, Ibnu Majah, Ahmad, dan AdDarimi).

 

Artinya bahwa hati adalah raja bagi organ tubuh manusia, dan organ tubuh manusia adalah pelaksana apa saja yang diinginkan hati, penerima petunjuknya, dan semua aktivitas organ tubuh tidak ada artinya tanpa adanya niat dari hati. Hati kelak dimintai pertanggungan jawab tentang kepemimpinannya terhadap organ tubuh. Karena setiap pemimpin akan dimintai pertanggungan jawab tentang kepemimpinannya terhadap rakyatnya, maka konsentrasi perbaikan dan pelurusan hati harus menjadi fokus para Salikin (pejalan spiritual), dan deteksi penyakit-penyakit hati sekaligus upaya penyembuhannya harus diperhatikan dengan serius oleh para ahli ibadah dalam ibadahnya Kepada Allah Ta’ala.

 

Ketika musuh Allah ta’ala, iblis mengetahui bahwa poros segala sesuatu adalah hati, dan bahwa hati adalah tempat bergantung, ia pun mengirim pasukan was-was (ragu-ragu) Kepada hati, mendatangkan berbagai macam syahwat kepadanya, mempercantik kondisi dan perbuatan-perbuatan yang menghalanginya dari jalan yang benar, menyodorkan kepadanya sebab-sebab kesesatan yang membuatnya terputus dari sebab-sebab petunjuk, memasang untuknya jebakan-jebakan, dan tipu muslihat. Jika seseorang mampu selamat dari satu perangkap, ia tidak selamat dari rintangan-rintangan lainnya. Tidak ada cara yang menyelamatkan diri dari jebakan-jebakan setan dan tipu muslihatnya, kecuali dengan selalu meminta pertolongan Allah Ta’ala, berusaha mendapatkan sebab-sebab Keridhaan-Nya, menghadapkan hati kepadaNya; dalam diamnya dan seluruh pergerakannya, dan merealisir keindahan ubudiyah yang harus dikenakan manusia agar ia menjadi orang yang mendapatkan jaminan berikut,

 

“Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikut kamu, yaitu orang-orang yang sesat.” (Al-Hijr: 42).

 

Disandarkannya manusia kepada Allah Ta’ala pada kata ‘ibadii (hamba-Ku) itulah yang membedakan antara manusia dengan setan. Penyandaran seperti itu bisa diperoleh dengan melakukan Ubudiyah (penyembahan) kepada Allah Tuhan alam semesta, mengondisikan hati untuk ikhlas dalam semua amal perbuatan, dan selalu berada dalam keadaan yakin. Jika hati diberi minuman ubudiyyah (penyembahan) Kepada Allah Ta’ala, dan ikhlas, hati tersebut di sisi Allah menjadi bagian dari makhluk-makhluk yang didekatkan kepada-Nya, dan Allah Ta’ala memasukkannya ke dalam orang-orang yang mendapatkan pengecualian berikut,

 

“Kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka.” (Shaad: 83).

 

Allah Ta’ala -dengan kelembutan-Nya mengetahui penyakit-penyakit hati manusia, obat-obatnya, was-was (ragu-ragu) yang dimasukkan musuh mereka Ke dalam hatinya, amal perbuatan yang dihasilkan Was-was (ragu-ragu), dan apa yang terjadi pada hati jika was-was (ragu-ragu) telah menyelimuti dirinya. Sesungguhnya perbuatan jahat sumbernya adalah rusaknya Keinginan hati, kemudian perbuatan jahat tersebut menyebabkan hati mengeras, dan menambah daftar penyakitnya kemudian mati; tidak ada kehidupan, dan cahaya di dalamnya. Itu semua akibat pengaruh was-was (ragu-ragu) yang dimasukKan setan Kepadanya, dan kecenderungannya Kepada musuhnya. Tidak selamat dari setan, Kecuali orang yang terang-terangan membangkang Kepadanya.

 

Semua permasalahan di atas saya ulas dengan tuntas dan lugas dalam buku ini, dengan tujuan mengingatkan manusia agar mereka mengakui nikmat Allah, dan karunia-Nya, dan buku ini bermanfaat bagi orang yang membacanya, Kemudian ia mendoakan penulisnya mendapatkan ampunan, rahmat, dan Keridhaan dari Allah. Buku ini saya beri nama Ighastah al-lahfan Min Masayid Shaitan (edisi bahasa Indonesia?). Buku ini saya bagi ke dalam tiga belas bab seperti berikut;

 

Bab Pertama: Jenis-jenis hati; hati yang sehat, hati yang sakit, dan hati yang mati.

 

Bab Kedua: Hakikat penyakit hati

 

Bab Ketiga: Jenis-jenis obat penyakit-penyakit hati; obat biasa, dan obat syar’i.

 

Bab Keempat: Kehidupan hati adalah sumber segala kebaikan dan kematian hati adalah sumber segala keburukan.

 

Bab Kelima: Hati tidak bisa hidup dan sehat Kecuali dengan mengetahui kebenaran, menginginkannya, dan mengutamakannya.

 

Bab Keenam: Tidak ada kebahagiaan hati bagi manusia Kecuali dengan menjadikan Allah sebagai Tuhannya, tujuan akhirnya, dan sesuatu yang paling dicintainya.

 

Bab Ketujuh: Al-Qur’an Al-Karim mengandung obat bagi semua penyakit hati dan menyembuhkannya dari semua penyakit.

 

‘Bab Kedelapan: Zakat hati.

 

Bab Kesembilan: Kebersihan hati dari semua kotorannya.

 

Bab Kesepuluh: Ciri-ciri hati yang sakit dan hati yang sehat

 

Bab Kesebelas: Penyembuhan hati dari penyakit dominasi hawa nafsu.,

 

Bab Kedua Belas: Penyembuhan hati dari setan.

 

Bab Ketiga Belas: Tipu muslihat setan untuk menjebak manusia, Karena bab inilah, buku ini disusun. Di dalamnya terdapat banyak sekali sub-sub pembahasan, dan manfaat-manfaat yang sangat banyak.

 

Semoga Allah Ta’ala menjadikan buku ini ikhlas karena-Nya, mengamankannya dari musibah yang merugikan, bermanfaat bagi penyusunnya, dan pembacanya di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat. Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan Allah Yang Mahatinggi dan Mahaagung.

 

IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH

 

Hati itu mempunyai dua ciri; hidup atau mati. Atas dasar itulah, hati terbagi ke dalam tiga jenis.

 

  1. Hati yang Sehat

 

Hati yang sehat ialah hati yang selamat pada Hari Kiamat, seperti difirmankan Allah Ta’ala,

 

“(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang sehat.” (Asy-Syu’ara’: 88-89).

 

Maksud kata saliim pada ayat di atas adalah salim (sehat). AlQur’an menggunakan kata tersebut, karena ia kata sifat seperti aththawiil (panjang), al-gashiir (pendek), adz-dzariif (cantik menawan). Jadi hati yang sa/iim (sehat) adalah hati di mana sehat telah menjadi ciri khasnya dan melekat padanya, seperti halnya kata al-‘aliim (yang mengetahui), dan al-qadiir (yang mampu). Selain itu, kata saliim adalah lawan dari kata al-mariidh (sakit).

 

Manusia berbeda ungkapan dalam mendefinisikan makna hati yang sehat. Definisi universal tentang hati yang sehat ialah hati yang bersih dari semua syahwat yang bertentangan dengan perintah Allah Ta’ala dan larangan-Nya, bersih dari semua syubhat yang bertentangan dengan wahyu AllahTa’ala, bersih dari penyembahan kepada selain Allah Ta’ala, bersih dari berhukum kepada selain Rasul-Nya, kecintaannya bersih untuk Allah Ta’ala dan berhukum kepada Rasul-Nya; dalam takut kepada-Nya, berharap kepada-Nya, bertawakal kepada-Nya, inabah kepada-Nya, merendahkan diri kepada-Nya, mengutamakan keridhaanNya dalam semua kondisi, dan menjauh dari kemurkaan-Nya, karena itu semua adalah esensi ubudiyah yang tidak pantas diberikan kecuali kepada Allah Ta’ala saja.

 

Jadi hati yang sehat yaitu hati yang sehat dari menjadikan sekutu bagi Allah Ta’ala di dalam hatinya apa pun alasannya. Bahkan, ia telah memurnikan ubudiyahnya kepada Allah Ta’ala; dalam keinginan, cinta, tawakal, inabah, ketundukan, khusyu’, dan berharap. la memurnikan amal perbuatannya karena Allah Ta’ala. Jika ia mencintai orang atau sesuatu, ia mencintainya karena Allah Ta’ala. Jika ia marah, ia marah dj jalan Allah Ta’ala. Jika ia memberi sesuatu, ia memberi karena Allah Ta’ala. Jika ia menolak memberi sesuatu, ia menolaknya memberi karena Allah Ta’ala. Tidak cukup itu saja, ia sehat dari tunduk dan berhukum kepada selain Rasul-Nya Shallallahu Alaihi wa Sallam. ia mengikat hatinya dengan ikatan yang kokoh untuk hanya meniru beliau saja dalam ucapan dan perbuatan; ucapan-ucapan hati yang tiada lain adalah akidah, ucapan-ucapan mulut yaitu informasi dari hati, perbuatan-perbuatan hati yaitu keinginan, cinta, benci, dan lain sebagainya, serta perbuatan-perbuatan organ tubuh. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjadi hakim dalam itu semua; dalam perkara-perkara sepele dan perkara-perkara besar. Itulah ajaran yang dibawa beliau. la tidak mendahulukan beliau dalam akidah, ucapan, dan perbuatan, seperti difirmankan Allah Ta’ala,

 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya.” (Al-Hujurat: 1).

 

Maksudnya, kalian jangan berkata sebelum ia berkata, dan jangan berbuat sebelum ia memerintahkannya.

 

Salah seorang dari generasi salaf berkata, “Semua perbuatan sekecil apa pun, pasti ditanya dua buku; Kenapa Anda melakukannya? Bagaimana Anda melakukannya?”

 

Pertanyaan pertama tentang sebab, latar belakang, dan konsideran amal perbuatan; apakah ia hanya mengharapkan keuntungan dunia, dan salah satu dari tujuan dunia ialah ingin mendapatkan pujian dari manusia atau takut kecaman mereka, atau untuk mendatangkan kesenangan dunia atau menolak kerugian dunia? Ataukah motivasinya adalah karena ingin menunaikan hak ubudiyah, mencari cinta-Nya, berdekatan dengan-Nya, dan mencari perantara kepada-Nya?

 

Poros pertanyaan tersebut ialah, apakah Anda mengerjakan tindakan tersebut karena Rabbmu atau Anda mengerjakannya karena hawa nafsumu?

 

Pertanyaan kedua ialah tentang ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam ubudiyahnya. Maksudnya, apakah perbuatannya termasuk amal perbuatan yang disyariatkan Allah Ta’ala melalui Rasul-Nya, atau amal perbuatan yang tidak Dia syariatkan dan tidak Dia ridhai?

 

Jadi pertanyaan pertama berkisar pada keikhlasan, dan pertanyaan kedua berkisah pada ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Allah Ta’ala tidak menerima amal perbuatan kecuali dengan ikhlas kepada Allah Ta’ala dan ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

 

Solusi dari pertanyaan pertama ialah dengan memurnikan ikhlas. Dan solusi dari pertanyaan kedua ialah dengan mewujudkan ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, membersihkan hati dari segala keinginan yang bertentangan dengan keikhlasan dan membersihkan hati dari hawa nafsu yang bertentangan dengan ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Inilah esensi hati yang sehat yang menjamin keselamatan, dan kebahagiaan.

 

  1. Hati yang Mati

 

Jenis hati kedua ialah kebalikan hati pertama, yaitu hati yang mati yang tidak ada kehidupan di dalamnya. Hati seperti itu tidak mengenal Tuhannya, tidak menyembah-Nya berdasarkan perintah-Nya, tidak mencintai-Nya, dan tidak ridha kepada-Nya. Hati tersebut berdiri di antara syahwatnya dan kelezatannya, kendati di dalamnya terdapat murka Allah dan marah-Nya. Ia tidak peduli apakah Tuhan ridha atau marah kepadanya selagi ia senang dengan syahwatnya. la menyembah selain Allah Ta’ala ; dalam cinta, takut, berharap, ridha, marah, dan merendahkan diri. Jika ia mencintai sesuatu atau orang, ia mencintainya karena hawa nafsunya. Jika ia marah, ia marah karena hawa nafsunya. Jika ia memberi, ia memberi karena hawa nafsunya. Jika ia menolak memberi, ia menolak memberi karena hawa nafsunya. Hawa nafsunya, lebih ia utamakan, dan lebih ia cintai, daripada keridhaan Tuhannya. Hawa nafsunya adalah pemimpinnya, syahwat adalah panglimanya, kebodohan adalah pengemudinya, dan lalai adalah kendaraannya. Pikirannya terkonsentrasi untuk mendapatkan tujuan-tujuan dunia. la mabuk kepayang oleh hawa nafsu dan cinta dunia. Ia diajak kepada Allah Ta’ala dan Hari Akhirat dari kejauhan, tapi ia tidak menggubris ajakan mulia tersebut, dan lebih menuruti setan “si pembangkang”. Dunia membuatnya marah dan ridha. Hawa nafsu membuatnya tuli terhadap selain kebatilan dan membuatnya buta terhadap selain kebatilan. la berada di dunia seperti yang dikatakan penyair tentang Laila,

 

Ta adalah musuh bagi orang yang ia musuhi, dan kedamaian bagi yang memilikinya

 

Barang siapa dekat dengan Laila, ia dicintai dan dekat dengannya

 

Kesimpulannya, bahwa berinteraksi dengan orang yang “berhati” seperti itu adalah penyakit, akrab dengannya adalah racun, dan duduk dengannya adalah kebinasaan.

 

  1. Hati yang Sakit

 

Jenis hati ketiga, yaitu hati yang mempunyai kehidupan dan mempunyai penyakit. Sekali waktu ia didukung kehidupan, dan sekali waktu didukung penyakit. la tergantung aspek mana yang paling dominan di dalamnya di antara dua aspek tersebut. Di dalam hati tersebut terdapat cinta kepada Allah Ta’ala, beriman kepada-Nya, ikhlas karena-Nya, dan tawakal kepada-Nya yang merupakan bahan baku kehidupannya. Di dalamnya juga terdapat cinta kepada syahwat, mengutamakannya, berusaha keras mendapatkannya, dengki, sombong, besar kepala, cinta popularitas dan berbuat kerusakan di bumi yang merupakan bahan dasar kebinasaannya dan mala petakanya.

 

Hati jenis ini selalu diuji dua penyeru; penyeru yang mengajaknya kepada Allah Ta’ala, Rasul-Nya, dan negeri akhirat, dan penyeru yang mengajaknya kepada dunia. la memenuhi penyeru mana yang lebih dekat kepada pintunya.

 

Hati jenis pertama adalah hati yang hidup, khusyu’, santun, dan sadar. Hati jenis kedua adalah hati yang kering dan mati. Dan hati jenis ketiga adalah hati yang sakit; terkadang ia lebih dekat kepada hati yang sehat, dan terkadang lebih dekat kepada hati yang mati.

 

Allah menyebutkan ketiga hati di atas dalam firman-Nya,

 

“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasul pun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, setan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. Agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh setan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu, benar-benar dalam permusuhan yang sangat, dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwa Al Qur’an itulah yang hak dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya, dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.” (Al-Hajj: 52-54).

 

Pada ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala membagi hati manusia ke dalam tiga bagian; dua hati yang terkena fitnah, dan hati yang selamat. Dua hati yang terkena fitnah ialah hati yang di dalamnya terdapat penyakit, dan hati yang keras. Dan hati yang selamat ialah hati yang beriman, tunduk kepada Tuhannya, damai dengan-Nya, dan menyerah diri kepada-Nya.

 

Sesungguhnya hati, dan organ tubuh yang lain diharapkan sehat dan tidak berpenyakit hingga ia siap menerima apa yang disiapkan untuknya, dan diciptakan untuknya. Jika hati keluar dari garis istigamah, itu disebabkan karena ia kering, keras, dan tidak siap menerima apa yang telah disiapkan untuknya seperti halnya tangan yang lumpuh, mulut yang bisu, hidung yang pecah, dan mata yang tidak bisa melihat sesuatu apa pun. Atau disebabkan karena penyakit yang ada di dalamnya yang menyebabkannya tidak bisa berbuat dengan sempurna dan maksimal. Oleh karena itu, hati terbagi ke dalam tiga jenis;

 

Pertama, hati yang sehat. la mengetahui kebenaran dengan sempurna, menerimanya, dan tunduk kepadanya.

 

Kedua, hati yang mati dan keras. Ja tidak menerima kebenaran dan tidak tunduk kepadanya.

 

Ketiga, hati yang sakit. Jika penyakit amat berpengaruh padanya, ia sama dengan hati yang mati dan keras. Sebaliknya, jika ia dominan sehat, ia sama dengan hati yang sehat.

 

Suara-suara dan kata-kata yang dihembuskan setan, syubhatsyubhat, dan keragu-raguan yang ada dalam hati adalah ujian berat bagi kedua hati tersebut, dan menjadi kekuatan bagi hati yang hidup dan sehat karena ia mampu mengusirnya, membencinya, dan mengetahui bahwa kebenaran adalah di luar itu semua, kemudian ia tunduk kepada kebenaran, damai dengannya, mengetahui kebatilan yang ditanamkan setan, ia semakin beriman kepada kebenaran, semakin cinta kepadanya, menolak kebatilan, dan membencinya. Dua hati yang terkena fitnah tidak henti-hentinya ragu-ragu karena pengaruh setan. Sedang hati yang sehat, apa saja yang dihembuskan setan, maka tidak membahayakan dirinya. Hudzaifah bin Al-Yaman Radhiyallahu Anhu berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Fitnah-fitnah ditempelkan di hati manusia seperti menempelnya batang per batang tikar (di tubuh manusia ketika tidur). Jika hati dimasuki fitnah-fitnah tersebut, maka fitnah-fitnah tersebut membentuk titik hitam di dalamnya. Dan jika hati menolaknya, maka terbentuklah titik putih di dalamnya. (Fitnah-fitnah senantiasa ditempelkan) hingga hati terbagi menjadi dua; hati yang hitam dan agak keputih-putihan seperti cangkir yang terbalik. Hati hitam tersebut tidak mengetahui kebaikan dan tidak mencegah kemungkaran. (Hati hitam tersebut tidak mengenal) kecuali hawa nafsu yang masuk ke dalamnya. Dan hati yang putih di mana fitnah-fit nah tidak membahayakan dirinya selagi masih ada langit dan Bumi.” (Diriwayatkan Muslim).

 

Pada hadits di atas, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam meng. umpamakan menempelnya fitnah sedikit demi sedikit ke dalam hati seperti menempelnya tikar. Beliau membagi hati ke dalam dua jenis ketika fitnah datang kepadanya;

 

Pertama, hati yang meminum semua fitnah yang disodorkan kepadanya, seperti bunga karang meminum air, kemudian fitnah tersebut membentuk noda hitam di dalamnya. Ia selalu meminum semua fitnah yang disodorkan kepadanya, hingga ia menghitam dan terjungkir. Itulah makna sabda beliau, “Kalkuuzi mujakhkhiyan.” Yaitu terbalik. Jika hati telah menghitam dan terjungkir, ia terkena dua penyakit kritis yang membawa kepada kematiannya. Penyakit pertama, ia tidak bisa membedakan kebaikan dengan kemungkaran. Ia tidak mengetahui kebaikan, dan tidak mencegah kemungkaran. Bisa jadi penyakit ini semakin menguat, dan akibatnya ia meyakini bahwa kebaikan itu adalah kemungkaran, kemungkaran adalah kebaikan, Sunah adalah bid’ah, bid’ah adalah Sunah, kebenaran adalah kebatilan, dan kebatilan adalah kebenaran. Penyakit kedua, ia lebih percaya kepada hawa nafsunya daripada kepada ajaran yang dibawa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, tunduk kepada hawa nafsunya, dan menuruti kemauan hawa nafsunya.

 

Kedua, hati yang putih. Cahaya iman bersinar di dalamnya, dan pelita iman bercahaya di dalamnya. Jika fitnah-fitnah disodorkan kepadanya, ia menolaknya dan mengusirnya kemudian cahayanya, kecemerlangannya, dan kekuatannya semakin meningkat.

 

Fitnah-fitnah yang disodorkan kepada hati dan membuat hati sakit ialah fitnah-fitnah syahwat, fitnah syubhat, fitnah kesesatan, fitnah kemaksiatan, fitnah bid’ah, fitnah kezaliman, fitnah kebodohan. Fitnah-fitnah syahwat itu merusak keinginan dan fitnah-fitnah syubhat merusak ilmu dan keyakinan.

 

Para sahabat membagi hati ke dalam empat jenis seperti dikatakan Hudzaifah bin Al-Yaman Radhiyallahu Anhu, “Hati itu ada empat jenis; Pertama, hati yang bersih dan di dalamnya pelita bersinar terang. Itulah hati orang Mukmin. Kedua, hati yang tertutup. Itulah hati orang kafir. Ketiga, hati yang terjungkir. Itulah hati orang munafik. la mengetahui kemudian mengingkari, dan melihat kemudian buta. Keempat, hati yang mempunyai dua bekal; bekal iman, dan bekal kemunafikan. la tergantung mana di antara keduanya yang paling dominan.”

 

Yang dimaksud dengan hati yang bersih ialah bersih dari apa saja selain Allah Ta’ala, dan Rasul-Nya. la bersih dan sehat dari apa saja selain kebenaran. Hati orang tersebut bersih dalam arti sehat dari syubhat-syubhat kebatilan, syubhat-syubhat kesesatan, dan mendapatkan pelita iman yang membuatnya bersinar dengan sinar ilmu dan iman.

 

Hudzaifah bin Al-Yaman menjelaskan, bahwa hati yang tertutup adalah hati orang kafir, karena hati tersebut berada di dalam tutupnya,

 

akibatnya sinar ilmu dan iman tidak bisa menembusnya, seperti difirmankan Allah Ta’ala tentang orang-orang Yahudi,

 

“Dan mereka berkata, ‘Hati kami tertutup’.” (Al-Baqarah: 88).

 

Kata ghulf pada ayat di atas adalah jamak dari kata aghlaf yang artinya berada di dalam tutupnya. Tutup ini tiada lain adalah dinding penyumbat yang dipasang Allah Ta’ala di hati mereka, sebagai balasan atas penolakan mereka terhadap kebenaran dan kesombongannya tidak menerima kebenaran. Tutup tersebut adalah tutup di hati, sumbatan di telinga, kebutaan di mata, dan tembok yang menghalangi pandangan, seperti difirmankan Allah Ta’ala,

 

“Dan apabila kamu membaca Al Qur’an, niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, suatu dinding yang tertutup. dan Kami adakan tutupan di atas hati mereka dan sumbatan di telinga mereka, agar mereka tidak dapat memahaminya. Dan apabila kamu menyebut Tuhanmu saja dalam Al Qur’an, niscaya mereka berpaling ke belakang karena bencinya.” (Al-Isra’: 45-46).

 

Jika hati tersebut diberi penjelasan tentang kemurnian tauhid dan kemurnian isttiba’ kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, ia lari menjauh.

 

Hudzaifah bin Al-Yaman menjelaskan, bahwa hati yang terjungkir ialah hati orang munafik seperti difirmankan Allah Ta’ala,

 

“Maka mengapa kalian (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka . sendiri?” (An-Nisa’: 88).

 

Maksudnya, bahwa Allah Ta’ala menjungkirkan orang-orang munafik dan mengembalikan mereka kepada kebatilan yang selama ini mereka pegang, disebabkan usaha dan perbuatan mereka yang batil. Hati orang munafik adalah hati yang paling buruk dan paling brengsek. Ia meyakini kebatilan sebagai kebenaran, loyal (setia) kepada pembela-pembela kebatilan, menganggap kebenaran sebagai kebatilan, dan memusuhi pembela-pembelanya. Hanya Allah tempat meminta pertolongan.

 

Hudzaifah bin Al-Yaman menjelaskan, bahwa hati yang mempunyai dua tarikan ialah hati yang iman di dalamnya tidak begitu kuat, dan pelitanya tidak bersinar, serta tidak memurnikan kebenaran yang dibawa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dari Allah Ta’ala. la mempunyai iman dan tarikan kekafiran. Sekali waktu ia lebih dekat kepada kekafiran daripada kepada keimanan, dan sekali waktu lebih dekat kepada keimanan daripada kepada kekafiran. Ia tergantung kepada tarikan mana yang paling dominan.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya.” (Al-Baqarah: 10).

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

‘Agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh setan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit.” (Al-Hajj: 53).

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Hai istri-istri Nabi, kalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kalian bertakwa. Maka janganlah kalian tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya.” (Al-Ahzab: 32).

 

Pada ayat di atas, Allah Ta’ala memerintahkan istri-istri Nabi tidak lemah lembut ketika berbicara, karena hal tersebut menyebabkan orang yang hatinya “berpenyakit” tertarik kepada mereka. Oleh karena itu, janganlah kalian lemah lembut ketika berbicara, karena itu menimbulkan masalah besar, dan berkatalah kalian dengan perkataan yang baik. Allah Ta’ala berfirman,

 

“Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya Kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar.” (Al-Ahzab: 60).

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat, dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya dan supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab dan orang-orang Mukmin itu tidak ragu-ragu dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (mengatakan), Apakah yang dikehendaki Allah dengan binatangan ini sebagai suatu perumpamaan?’ Demikianlah Allah menyesatkan orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri. Dan Saqar itu tiada lain hanyalah peringatan bagi manusia.” (Al-Muddatstsir. 31).

 

Pada ayat-ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan tentang hikmah Dia menugaskan sembilan Malaikat untuk menjaga neraka. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan lima hikmah;

 

Pertama, sebagai ujian bagi orang-orang kafir, sehingga kekafiran dan kesesatan mereka bertambah.

 

Kedua, menguatkan keyakinan ahli Kitab, kemudian keyakinan mereka menguat karena informasi hal ini sangat sinkron dengan informasi yang mereka terima dari Nabi-nabi mereka, tanpa harus menanyakannya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, kemudian hujah bisa ditegakkan kepada orang-orang yang membangkang di antara mereka dan orang yang diberi petunjuk oleh Allah akan tunduk kepada keimanan.

 

Ketiga, menambah keimanan orang-orang yang beriman kepada kebenaran masalah ini.

 

Keempat, menghilangkan Keragu-raguan ahli Kitab, dan keraguraguan orang-orang beriman.

 

Itulah empat hikmah; ujian bagi orang-orang kafir, meyakinkan ahli Kitab, menambah keimanan orang-orang beriman, menghapus keragu-raguan orang-orang beriman dan ahli Kitab.

 

Kelima, membingungkan orang Kafir, orang yang di dalam hatinya terdapat penyakit, dan buta tidak mengetahui maksud Allah menjadikan petugas neraka sebanyak sembilan hingga ia berkata, ‘Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?”

 

Itulah kondisi hati ketika kebenaran diturunkan Kepadanya; hati yang diuji hingga kekafirannya menjadi-jadi, hati yang dengannya imannya dan Keyakinannya semakin meningkat, hati yang meyakininya kemudian hujah menjadi tegaknya dengannya, dan hati yang semakin bingung dan buta hingga tidak tahu apa yang diinginkan Allah Ta’ala.

 

Maksud dari ini semua ialah menjelaskan hakikat penyakit hati.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepada kalian pelajaran dari Tuhan kalian dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (Wang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Yunus: 57).

 

Jadi Al-Qur’an adalah obat bagi penyakit yang ada di dalam hati seperti penyakit kebodohan dan kesesatan. Kebodohan adalah penyakit, dan obatnya adalah ilmu dan petunjuk. Kesesatan adalah penyakit dan obatnya adalah petunjuk. Allah Subhanahu wa Ta’ala membersihkan Nabi-Nya dari kedua penyakit tersebut. Allah Ta’ala berfirman,

 

“Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru.” (An-Najm: 1-2).

 

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjelaskan bahwa para khalifahnya steril dari kedua penyakit tersebut. Beliau bersabda,

 

“Hendakiah kalian berpegang teguh kepada Sunahku dan Sunah khali ah-khali ah Rasyidin yang mahdiyyin sepeninggalku.” (Diriwayatkan Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban).

 

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan firman-Nya sebagai pelajaran bagi seluruh manusia, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman kepada-Nya secara khusus, serta obat mujarab bagi penyakit-penyakit hati. Maka Barang siapa mencari kesembuhan dengan AlQur’an, ia sehat, dan sembuh dari penyakitnya. Sebaliknya, Barang siapa tidak mencari kesembuhan dengan Al-Qur’an, ia seperti dikatakan salah seorang penyair,

 

Jika ia sembuh dari penyakit

la mengira bahwa ia sehat

Padahal obat tersebut akan membunuhnya

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan Kami turunkan dari Al Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang beriman dan Al Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (Al-Isra’: 82).

 

Penafsiran yang paling tepat tentang ayat di atas, bahwa kata min pada ayat di atas menjelaskan tentang jenis, sebab Al-Qur’an semuanya adalah obat dan rahmat bagi orang-orang beriman.

 

Sebab-sebab Sakitnya Badan dan Hati

 

Hati yang sakit ialah hati yang tidak sehat, tidak normal, dan keluar dari garis keseimbangan, karena kerusakan yang terjadi padanya. Akibatnya, pengetahuan dan gerakan badan menjadi rusak. Bisa jadi pengetahuannya hilang total seperti buta, tuli, dan lumpuh. Atau terkadang pengetahuannya berkurang seperti melemahnya alat-alat pengetahuan, atau melihat sesuatu tidak dalam bentuk aslinya seperti melihat manis sebagai hal yang pahit, buruk sebagai kebaikan, dan kebaikan sebagai keburukan.

 

Adapun Kerusakan gerakan badannya, ialah seperti melemahnya kekuatan mencerna, menahan, mendorong, dan menarik. Sakit yang ia rasakan tergantung kepada sejauh mana ia Keluar dari jalur keseimbangan. Kendati demikian, ia tidak sampai pada tingkatan kematian dan kebinasaan, Karena ia masih mempunyai kekuatan mengetahui dan bergerak.

 

Kehidupan yang sehat bisa dicapai dengan tiga hal. Pertama, menjaga kekuatan tubuh. kedua, melindunginya dari hal-hal yang membahayakannya. ketiga, membuang hal-hal yang rusak. Pandangan Seorang dokter selalu mengarah pada tiga prinsip ini yang sebenarnya telah dikandung oleh Al-Qur’an yang mulia, bahkan Allah Ta’ala menjadikannya sebagai obat dan rahmat.

 

Untuk menjaga kekuatan tubuh, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan musafir dan orang sakit untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadhan. Musafir membayar hutang puasanya jika ia telah tiba di tempat tujuannya, dan orang sakit membayarnya jika ia telah sembuh. Itu semua dalam rangka menjaga kekuatan keduanya, karena puasa membuat orang sakit semakin lemah, dan musafir dalam perjalanannya membutuhkan kekuatan prima, Karena perjalanan yang harus dijalaninya sangat berat dan melelahkan. Oleh Karena itu, jika ia tetap berpuasa dalam perjalanannya, maka puasa membuatnya lemah.

 

Untuk melindungi tubuh dari hal-hal yang membahayakannya, Allah subhanahu wa Ta’ala melarang orang sakit menggunakan air dingin untuk wudhu dan mandi, jika hal tersebut membahayakan dirinya. Sebagai gantinya, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkannya bertayamum dengan tujuan melindunginya dari penyakit yang datang dari luar badannya.

 

Tentang pembuangan hal-hal yang rusak, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengizinkan muhrim (orang yang sedang ihram) yang merasa ada gangguan di kepalanya untuk mencukur rambutnya. la mengatasi gangguan tersebut dengan membuang yang membuatnya terganggu. Ini salah satu cara pembuangan hal-hal yang rusak yang paling mudah dan paling ringan.

 

Salah seorang ketua dokter di Mesir ingat akan hal ini, kemudian ia berkata, “Demi Allah, jika aku pergi ke Eropa untuk mengetahui hal ini, maka tidak membutuhkan yang lama.” Atau seperti yang ia katakan.

 

Jika hal ini telah diketahui dengan baik, sesungguhnya hati itu membutuhkan sesuatu yang menjaga kekuatannya, yaitu iman dan sejumlah Ketaatan-ketaatan, dan sesuatu yang melindunginya dari bahaya yang mengancamnya yaitu dengan menjauhi dosa-dosa, maksiat-maksiat, pelanggaran-pelanggaran, serta pengosongan dari semua hal yang membahayakannya yaitu dengan tobat yang nasuhah dan meminta ampunan kepada Dzat yang mengampuni kesalahan-kesalahan. Hati menderita sakit, karena ada yang rusak di dalamnya. Penyakit hati itu merusak persepsi tentang kebenaran dan keinginannya terhadap kebenaran. Akibatnya ia tidak bisa melihat kebenaran sebagai kebenaran, atau ia melihat kebenaran sebagai keburukan. Atau pengetahuannya terhadap kebenaran menjadi berkurang. Penyakit hati juga merusak keinginannya terhadap kebenaran, akibatnya ia membenci kebenaran yang bermanfaat, atau menyukai kebatilan yang membahayakan, atau kedua duanya terkumpul pada dirinya. Ada yang menafsirkan, bahwa sakit di sini adalah ragu-ragu, seperti dikatakan Mujahid dan Qatadah tentang firman Allah Ta’ala,

 

“Dalam hati mereka ada penyakit.” (Al-Baqarah: 10).

 

Bahwa yang dimaksud dengan penyakit pada ayat di atas adalah ragu-ragu. Ada lagi yang menafsirkan, bahwa penyakit adalah syahwat zina seperti penafsiran yang diberikan ulama tentang firman Allah Ta’ala,

 

“Sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya.” (Al-Ahzab: 32).

 

Penyakit pertama adalah penyakit syubhat, dan penyakit kedua adalah penyakit syahwat.

 

Badan yang sakit itu berbeda dengan badan yang sehat. Badan yang sakit itu rentan sakit karena hal yang sepele seperti sedikit panas, dingin, gerakan, dan lain sebagainya. Hati juga begitu, jika di dalamnya terdapat penyakit, ia juga rentan sakit karena hal-hal yang sangat sepele, seperti syubhat atau syahwat. Jika hati menderita sakit, ia tidak mampu menolak syubhat dan syahwat yang datang kepadanya.

 

Sedang hati yang sehat, maka berapa pun banyaknya syubhat dan syahwat yang datang padanya, ia sanggup menolaknya, karena ia kuat dan sehat.

 

Kesimpulannya, bahwa jika orang sakit mendapat penyakit, maka penyakit tersebut menambah penyakitnya, kekuatannya melemah, dan ia terancam binasa, selagi ia tidak mendapatkan sesuatu yang menguatkan kekuatannya dan menghilangkan penyakitnya.

 

Penyakit hati itu ada dua;

 

Pertama, penyakit yang tidak bisa dirasakan penderitanya pada Saat sekarang yaitu penyakit yang telah disebutkan sebelumnya seperti penyakit kebodohan, penyakit syubhat, penyakit ragu-ragu, dan penyakit syahwat. Penyakit jenis ini sangat menyakitkan. Namun karena hati telah rusak, maka hati tidak merasakannya, karena keindahan kebodohan dan hawa nafsu menjauhkannya hingga ia tidak bisa mengetahui rasa sakitnya. Kendati ia tidak merasakan sakitnya sekarang ini, namun pada suatu saat rasa sakit penyakit ini akan datang kepadanya, dan terjadi pada dirinya. Ila tidak merasakan rasa sakitnya pada saat sekarang, karena ia lebih sibuk dengan kebalikannya, padahal penyakit jenis ini amat membahayakan. Yang bisa mengobati penyakit jenis ini adalah para Rasul, dan pengikut-pengikutnya. Merekalah dokter-dokter ahli tentang penyakit tersebut.

 

Kedua, penyakit yang rasa sakitnya bisa dirasakan saat sekarang, seperti galau, cemas, sedih, dan emosi. Penyakit jenis ini bisa dihilangkan dengan obat-obat yang alami seperti menghilangkan sebab-sebabnya, atau dengan mengobatinya dengan hal-hal yang berlawanan dengan penyebab-penyebabnya. Inilah, sebagaimana hati bisa jadi jatuh sakit karena badan sakit dan sembuh karena badan sembuh, maka badan juga demikian, ia sering kali jatuh sakit karena hati menderita sakit dan sembuh jika hati sembuh dari penyakitnya.

 

Jadi penyakit-penyakit hati yang bisa dihilangkan dengan obat-obat biasa adalah sama seperti penyakit-penyakit badan. Penyakit ini tidak menghendakinya mendapat kecelakaan dan siksa setelah kematiannya. Sedang penyakit-penyakit yang tidak bisa disembuhkan kecuali dengan obat-obat iman, itulah penyakit yang menghendaki pelakunya mendapatkan kecelakaan dan siksa yang berkepanjangan, jika ia tidak mendapatkan obat-obat yang melawan penyakit-penyakit tersebut. Jika ia menggunakan obat-obatan tersebut, ia mendapatkan kesembuhan. Oleh karena itu, dikatakan, “Syufiya ghaidhuhu.” Maksudnya jika seseorang dikuasai musuh, ia menderita karenanya, dan jika ia berhasil mengalahkannya maka hatinya sembuh (lega). Allah Ta’ala berfirman,

 

“Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tangan kalian dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kalian terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman, dan menghilangkan panas hati orang-orang Mukmin. Dan Allah menerima tobat orang yang dike. hendaki-Nya.” (At-Taubah: 14-15). . Pada ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kaum Mukminin memerangi musuh-musuhnya, dan menjelaskan kepada mereka bahwa ada enam manfaat dengan memerangi mereka.

 

Emosi itu menyakitkan hati dan obatnya dengan menyembuhkan emosinya. Jika ia mengobatinya dengan cara yang benar, ia mendapatkan kesembuhan. Jika ia menyembuhkannya dengan kezaliman dan kebatilan, penyakitnya semakin bertambah kendati ia mengira sembuh dengannya. la tak ubahnya seperti orang yang menderita sakit rindu kepada kekasih kemudian mengobati kerinduannya dengan memperkosa kekasihnya. Tidak diragukan lagi, bahwa tindakan konyolnya tersebut justru menambah penyakitnya dan menyebabkannya mendapat penyakit yang lebih parah daripada penyakit rindu seperti yang akan saya jelaskan nanti, insya Allah. Begitu juga galau, cemas, dan sedih, semuanya adalah penyakit hati dan obatnya adalah dengan kebalikannya, yaitu bahagia dan senang. Jika proses kesembuhannya dilakukan dengan cara yang benar, hatinya sembuh, dan sehat dari penyakitnya. Sebaliknya, jika proses kesembuhan dilakukan dengan cara yang tidak benar, maka kesembuhannya bersembunyi dari dirinya, bahkan, ia mendapatkan penyakit lain yang lebih parah.

 

Begitulah kebodohan, ia adalah penyakit yang menyakitkan hati. Sebagian orang mengobati penyakit kebodohan dengan ilmu-ilmu yang tidak bermanfaat dan ia berkeyakinan bahwa ia telah sehat dari penyakitnya dengan ilmu-ilmu tersebut, padahal ilmu-ilmu tersebut justru menambah penyakitnya. Namun hatinya sibuk dengan ilmu-ilmu tersebut daripada mengetahui penyakit yang terpendam dalam dirinya, dikarenakan kebodohannya terhadap ilmu-ilmu yang bermanfaat yang merupakan syarat kesehatan hatinya dan kesembuhannya. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda tentang orang-orang yang berfatwa dengan kebodohannya kemudian orang yang meminta fatwa mati karena fatwa mereka,

 

“Mereka telah membunuhnya dan semoga Allah membunuh mereka. Kenapa mereka tidak bertanya ketika mereka tidak mengerti? Sesungguhnya obat kebodohan adalah bertanya.” (Diriwayatkan Abu Daud, dan Ad-Daruquthni).

 

Pada hadits di atas, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengkategorikan kebodohan sebagai penyakit dan menjelaskan bahwa obatnya ialah dengan bertanya kepada orang berilmu.

 

Begitu juga orang yang ragu-ragu terhadap satu hal, hatinya sakit hingga ia mendapatkan ilmu dan keyakinan. Keyakinan itu membuat hati terasa hangat. Oleh karena itu, dikatakan kepada orang yang telah mendapatkan keyakinan, “Dadanya telah sejuk dan ia telah mendapatkan kesejukan keyakinan.” Selain itu, hati menjadi sempit dan sesak dengan kebodohan dan tersesat dari jalan yang benar. la terbuka dan lapang dengan petunjuk dan ilmu. Allah Ta’ala berfirman,

 

“Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan Barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit.” (Al-An’am: 125).

 

Tentang penyakit sesak dada dan penyebabnya, serta pengobatannya, Insya Allah akan dijelaskan kemudian.

 

Maksud dari semua ialah menjelaskan, bahwa di antara penyakit-penyakit hati ada yang bisa dihilangkan dengan obat-obat biasa dan ada penyakit-penyakit yang tidak bisa disembuhkan kecuali dengan obat-obat syar’i dan imani. Hati itu mempunyai kehidupan dan kematian, penyakit dan obat. Itu semua lebih besar daripada apa yang dimiliki badan.

 

 

Akar semua kebaikan dan kebahagiaan seorang hamba, bahkan semua manusia adalah kesempurnaan kehidupannya dan cahayanya. Jadi kehidupan dan cahaya adalah akar semua kebaikan. Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, Serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya?” (Al-An’am: 122).

 

Pada ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan dua prinsip ini; kehidupan dan cahaya. Dengan kehidupan, seseorang mendapatkan kekuatan, pendengaran, penglihatan, malu, iffah, keberanian, kesabaran, semua sifat-sifat mulia, cinta kebaikan, dan benci keburukan. Semakin kuat kehidupannya, semakin kuat pula semua sifat-sifat tersebut. Jika kehidupan melemah, melemah pula sifat-sifat di atas. Malu tidaknya seseorang kepada keburukan ditentukan sejauh mana keberadaan kehidupan di dalam dirinya. Hati yang sehat dan hidup, jika keburukan datang padanya, ia lari dari padanya, membencinya, dan tidak menoleh kepadanya. Ini berbeda dengan hati yang mati, ia tidak bisa membedakan kebaikan dengan keburukan seperti dikatakan Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu, “Binasalah orang yang tidak mempunyai hati yang bisa mengenal kebaikan dan menolak kemungkaran.”

 

Demikian pula hati yang sakit dengan syahwat, karena kelemahannya itulah ia tertarik kepada syahwat yang datang padanya.

 

Begitu juga jika cahaya menguat, maka terkuaklah baginya rahasia-rahasia ilmu sesuai dengan bentuk aslinya kemudian ia melihat keindahan kebaikan dengan cahayanya dan mengutamakannya dengan kehidupannya. Ia juga bisa melihat kejelekan keburukan. Dua prinsip ini; kehidupan dan cahaya ini disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam banyak ayat-ayat di dalam Kitab-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba, hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Asy-Syura: 52).

 

Pada ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menggabungkan antara ruh yang dengannya kehidupan didapatkan dengan cahaya yang dengannya Sinar diperoleh. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan, bahwa Kitab-Nya yang Dia turunkan kepada Rasul-Nya Shallallahy Alaihi wa Sallam mencakup kedua prinsip tersebut, yaitu ruh yang dengannya hati menjadi hidup dan cahaya yang dengannya hati mendapatkan sinar dan pencahayaan seperti difirmankan Allah Ta’ala,

 

“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya?” (Al-An’am: 122).

 

Maksud ayat di atas, apakah orang yang tadinya kafir, hatinya mati, dan tenggelam dalam kegelapan kebodohan kemudian Kami memberinya petunjuk, Kami arahkannya beriman, Kami jadikan hatinya hidup setelah sebelumnya mati, dan bercahaya setelah sebelum gelap itu seperti orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita dan tidak dapat keluar dari padanya? Allah menjadikan orang kafir -karena ia berpaling dari taat kepada-Nya seperti orang mati yang tidak bisa mendatangkan manfaat bagi dirinya dan menolak bahaya dari darinya, kemudian Kami beri petunjuk kepada Islam hingga ia mengetahui apa yang membahayakan dan bermanfaat bagi dirinya, ia beramal hingga terbebas dari murka Allah dan siksa-Nya, ia mengetahui kebenaran setelah sebelumnya buta terhadapnya, mengenalnya setelah sebelumnya ia bodoh terhadapnya, mengikutinya setelah sebelumnya berpaling dari padanya, mendapatkan cahaya kemudian ia berjalan dengan cahaya tersebut di tengah-tengah manusia, sementara manusia berada dalam puncak kegelapan, seperti dikatakan dalam syair, Manusia berada dalam puncak kegelapan Sedang kita berada dalam cahaya siang

 

Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengibaratkan wahyu-Nya kepada hamba-hamba-Nya seperti air dan api.

 

Yang pertama (seperti air) adalah firman Allah Ta’ala,

 

‘Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengembang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang batil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya, adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.” (Ar-Ra’du: 17).

 

Pada ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengumpamakan wahyu-Nya seperti air, karena air mendatangkan kehidupan. Allah juga mengumpamakan wahyu-Nya seperti api karena ia mendatangkan cahaya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan, bahwa air mengalir di lembah-lembah sesuai dengan takarannya. Ada lembah besar yang mampu menampung air yang banyak dan ada lembah kecil yang cuma mampu menampung air yang sedikit. Begitu juga hati, ia tak ada bedanya dengan lembah-lembah. Hati yang besar mampu menampung ilmu yang banyak dan hati yang kecil hanya mampu menampung ilmu sebatas dengan ukurannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengumpamakan syubhat-syubhat dan syahwat-syahwat yang dikandung hati karena bercampur dengan wahyu-Nya seperti buih yang dibawa arus air. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengumpamakan kebatilan syubhat-syubhat tersebut karena menetapnya ilmu yang bermanfaat di dalamnya seperti hilangnya buih arus air dan ketidakbutuhan lembah kepadanya. Yang hanya bertahan di dalamnya ialah air yang bermanfaat baginya. Begitu juga pada perumpamaan sesudahnya, kotoran yang menempel pada perhiasan musnah dan yang tersisa adalah keasliannya.

 

Adapun pembuatan kedua perumpamaan di atas untuk manusia, maka seperti difirmankan Allah Ta’ala,

 

“Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar). atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat, mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir. atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat, mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati.” (Al-baqarah: 17-19).

 

Inilah perumpamaan wahyu Allah seperti air.

 

Pembicaraan tentang rahasia kedua perumpamaan di atas, dan hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya telah saya bahas dengan tuntas dalam buku saya yang lain.

 

Maksud dari ini semua ialah menjelaskan, bahwa kebaikan hati, kebahagiaannya, dan keberuntungannya sangat tergantung kepada ke. dua prinsip di atas. Allah Ta’ala berfirman,

 

‘Al-Qur’an tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan, supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya).” (Yaasiin: 69-70).

 

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan, bahwa manfaat Al-Qur’an dan peringatannya hanya bisa diperoleh oleh orang yang hatinya hidup seperti difirmankan Allah Ta’ala di ayat lain,

 

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati.” (Qaaf: 37).

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasulapabila Rasul menyeru kalian kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kalian.” (Al-Anfal: 24).

 

Pada ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan, bahwa kehidupan kita hanya bisa didapatkan dengan menerima ilmu dan iman yang diserukan Allah dan Rasul-Nya kepada kita. Dari sini bisa diketahui, bahwa hati itu mati dan binasa, jika ia tidak mempunyai ilmu dan iman.

 

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengumpamakan orang yang tidak memenuhi dakwah Rasul-Nya seperti orang-orang yang mati di alam kubur. Ini adalah perumpamaan yang paling pas, karena badan mereka adalah kuburan bagi hati mereka. Hati mereka telah mati dan dikubur di badan mereka. Allah Ta’ala berfirman,

 

“Sesungguhnya Allah memberikan pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar.” (Fathir: 22).

 

Sungguh tepat seorang penyair yang berkata,

 

Dalam kebodohan sebelum kematian adalah kematian bagi yang bersangkutan

Dan badan mereka sebelum kuburan adalah kuburan

Ruh-ruh mereka merasa asing di badan mereka

Mereka tidak mempunyai kebangkitan hingga Hari Kebangkitan sekalipun

Oleh Karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan Wahyu Nya yang Dia berikan kepada para Nabi sebagai ruh seperti difirmankan Allah Ta’ala,

 

“Dia Yang mengutus Jibril dengan (membawa) perintah-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya.” (Ghafir: 15).

 

Dan di ayat yang lain,

 

“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Qur’an) dengan perintah Kami.” (Asy-Syura: 52).

 

Ruhani dan hati itu bisa hidup dengan wahyu. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan kehidupan baik kepada orang yang menerima wahyu-Nya dan mengamalkannya. Allah Ta’ala berfirman,

 

“Barang siapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl: 97).

 

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengkhususkan kehidupan yang baik di dunia dan akhirat bagi mereka. Ayat yang sama ialah firman Allah Ta’ala,

 

“Dan hendaklah kalian meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertobat kepada-Nya. Niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepada kalian sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya.” (Huud: 3).

 

Ayat yang sama ialah firman Allah Ta’ala,

 

“Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini mendapat (pembalasan) yang baik. Dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa.” (An-Nahl: 30).

 

Ayat yang sama ialah firman Allah Ta’ala,

 

“Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas.” (Az-Zumar: 10).

 

Pada ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan, bahwa Dia membahagiakan orang yang berbuat baik di dunia dan akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menjelaskan, bahwa Dia mencelakakan orang yang berbuat jahat di dunia dan akhirat. Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan Barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. (Thaha: 124).

 

Allah Ta’ala berfirman menjelaskan kedua hal di atas,

 

“Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan Barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.” (Al-An’am: 125),

 

Jadi orang mendapatkan petunjuk dan iman itu mempunyai hati yang lapang dan luas, sedang orang-orang yang tersesat hati mereka sempit dan sesak.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)?” (Az-Zumar: 22).

 

Jadi orang beriman berada dalam cahaya dan hati yang lapang, sedang orang yang tersesat berada dalam kegelapan dan hati yang sempit lagi sesak dan sumpek.

 

Penjelasan lengkap hal ini akan dibahas dalam bab kesucian hati, Insya Allah.

 

Maksud dari ini semua ialah menjelaskan, bahwa kehidupan hati dan cahayanya adalah sumber segala kebaikan, sedang kematian hati dan kegelapannya adalah sumber segala keburukan.

 

Hati itu menyimpan dua kekuatan; Pertama, kekuatan mengetahui dan membedakan. Kedua, kekuatan menginginkan dan mencintai.

 

Oleh karena itu, kesempurnaan hati dan kebaikannya ialah dengan menggunakan kedua kekuatan tersebut ke dalam apa saja yang bermanfaat baginya, dan mendatangkan keberuntungan dan kebahagiaan baginya. Kesempurnaan hati ialah dengan menggunakan kekuatan ilmu untuk mengetahui kebenaran, mengenalnya, membedakannya dengan kebatilan, dan menggunakan kekuatan keinginan dan cinta untuk mencari kebenaran, mencintainya, dan mengutamakannya daripada kebatilan. Barang siapa tidak mengetahui kebenaran, ia tersesat. Barang siapa mengetahui kebenaran, namun ia lebih mengutamakan selain kebenaran, ia orang yang dimurkai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan Barang siapa mengetahui kebenaran dan mengikutinya, ia mendapat nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

 

Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita berdoa kepadaNya dalam setiap shalat kita agar Dia memberi petunjuk kepada kita ke jalan orang yang diberikan nikmat oleh-Nya, dan bukan jalan orang-orang yang dimurkai-Nya, dan bukan pula jalan orang-orang yang tersesat. Orang-orang Kristen adalah orang-orang yang sesat, karena mereka umat yang bodoh, dan orang-orang Yahudi adalah orang-orang yang dimurkai, karena mereka umat pembangkang. Dan umat Islam adalah umat yang mendapatkan nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

 

Oleh karena itu, Sufyan bin Uyainah berkata, “Jika salah seorang dari ahli ibadah kita rusak, ia mirip dengan orang-orang Kristen, dan jika salah seorang dari ulama-ulama kita rusak, ia mirip dengan orang-orang Yahudi.”

 

Ini karena orang-orang Kristen beribadah tanpa dasar ilmu, dan orang-orang Yahudi mengetahui kebenaran kemudian mereka berpaling dari padanya.

 

Disebutkan dalam Al-Musnad dan Jami’ At-Tirmidzi hadits dari Adi bin Hatim dari Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

 

“Orang-orang Yahudi adalah orang-orang yang dimurkai, dan orang-orang Kristen adalah orang-orang yang sesat.” (Diriwayatkan Ahmad, dan At-Tirmidzi). Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dua prinsip ini dalam banyak ayat-ayat dalam Al-Qur’an. Misalnya firman Allah Ta’ala, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepadaKu, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Al-Baqarah: 186). Pada ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatukan antara merespon seruan-Nya dengan beriman Kepada-Nya.

 

Ayat yang sama adalah firman Allah Ta’ala tentang Rasul-Nya Shallaullahu Alaihi wa Sallam, “Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Araf: 157). Allah Ta’ala berfirman, ‘Ali Laam Miim. Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka. dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (Al-Baqarah: 1-5).

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Bukanlah menghadap wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Al-Bagarah: 177).

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasehat menasihati supaya menetapi kesabaran.” (Al-Ashr: 1-3).

 

Pada ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan masa yang merupakan waktu untuk mendapatkan keberuntungan dan kerugian. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan, bahwa semua manusia berada dalam kerugian kecuali orang yang sempurna kekuatan ilmunya dengan beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sempuma kekuatan pengamalannya dengan beramal shalih. Itulah kesempumaan dalam dirinya. Kemudian ia menyempurnakan orang lain dengan menganjurkannya mencari ilmu dan mengamalkannya, dan memiliki keduanya. Itulah sabar. la menyempurnakan dirinya dengan ilmu yang bermanfaat dan amal shalih, dan menyempumakan orang lain dengan mengajarkan ilmu kepadanya, dan menasihatinya untuk bersabar. Oleh karena itu, Imam Syafi’i Rehimahullah berkata, “Seandainya manusia mau memikirkan surat Al-Ashr, maka surat tersebut sudah cukup untuk mereka.”

 

Tentang makna ini banyak sekali dijumpai dalam ayat-ayat AlQur’an di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan, bahwa orang-orang yang berbahagia yaitu orang-orang yang mengikuti kebenaran, dan bahwa orang-orang celaka yaitu orang-orang yang bodoh terhadap kebenaran dan tersesat darinya, atau mereka mengetahuinya, menentangnya, dan mengikuti kebalikannya.

 

Anda harus mengerti, bahwa kedua kekuatan ini tidak diam (tidak Statis) di hati. Jika hati tidak menggunakan kekuatan ilmiahnya untuk mengetahui kebenaran, ia menggunakannya untuk mengetahui kebatilan yang sesuai dengan dirinya. Jika ia tidak menggunakan kekuatan pengamalannya untuk mengamalkan kebenaran, ia menggunakannya untuk selain kebenaran. Manusia adalah pekerja dan makhluk yang berkeinginan menurut wataknya, seperti disabdakan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,

 

“Nama-nama yang paling benar adalah Harits dan Hammam,” (Diriwayatkan An-Nasai dan Abu Daud).

 

Harits adalah seorang pekerja dan Hammam adalah orang yang berkeinginan kuat. Sesungguhnya jiwa itu bergerak dengan keinginan dan pergerakan keinginannya adalah tuntutan bagi dirinya. Keinginan ini menghendaki sesuatu yang diinginkan itu terlihat jelas olehnya. Jika ia tidak mempunyai wawasan yang jelas tentang kebenaran, dan tidak pula mencarinya, maka ia mempunyai wawasan yang jelas tentang kebatilan dan mencarinya, serta menginginkannya dan ini harus terjadj pada dirinya. Masalah ini semakin jelas dengan bab selanjutnya.

 

Sebagaimana diketahui, bahwa semua yang hidup selain Allah Subhanahu wa Ta’ala baik itu malaikat atau manusia atau jin atau binatang, mereka semua membutuhkan sesuatu yang mendatangkan manfaat baginya dan menolak apa saja yang membahayakan dirinya. Hal ini tidak mungkin terealisir kecuali dengan cara ia mempunyai wawasan tentang sesuatu yang bermanfaat baginya dan sesuatu yang membahayakan dirinya. Manfaat tiada lain adalah kenikmatan dan kelezatan, sedang bahaya adalah sakit dan siksa.

 

Seseorang harus mempunyai dua hal;

 

  1. Mengetahui sesuatu yang dicintainya dan dicarinya yang dengannya ia mendapatkan manfaat dan dengan mendapatkannya ia merasa senang.

 

  1. mengetahui sarana yang mengantarkannya kepada tujuannya.

 

Di samping kedua hal di atas, ada dua hal lagi yang harus dimiliki setiap orang;

  1. a) mengetahui apa Saja yang dibenci Allah Ta’ala, dimurkai-Nya, dan membahayakan.
  2. b) mengetahui sarana untuk menolaknya.

 

Jadi di sini, ada empat hal yang harus dimiliki oleh setiap orang;

 

Pertama, sesuatu yang dicintainya dan dikehendaki ada.

 

Kedua, sesuatu yang dibencinya dan keberadaannya tidak disukainya.

 

Ketiga, sarana untuk mendapatkan sesuatu yang dicintainya dan dicarinya.

 

Keempat, sarana untuk menolak sesuatu yang dibencinya.

 

Keempat hal di atas adalah persoalan yang urgen bagi setiap orang, bahkan bagi semua manusia. Eksistensi dirinya dan kebaikannya tidak mungkin tegak kecuali dengan keempat hal di atas.

 

Jika hal ini telah diketahui dengan baik, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah yang wajib dijadikan sebagai tujuan akhir, dan tempat mengarahkan doa. Keridhaan Allah, dan kedekatan dengan-Nya harus dicari. Allah Ta’ala adalah sarana yang membantu tercapainya semua hal tersebut. Beribadah kepada selain Allah Ta’ala, tertarik kepada selain Allah Ta’ala, dan menyatu dengan selain Allah Ta’ala adalah se. suatu yang dibenci Allah Ta’ala dan membahayakan. Dan Allah Ta’ala adalah sarana yang membantu menolak semua itu. Hanya Allah Ta’ala yang mempunyai keempat sifat di atas dan bukan yang lain. Allah Ta’ala adalah Tuhan yang berhak disembah, dicintai, dan dijadikan akhir. Allah yang membantu hamba-Nya untuk sampai pada-Nya dan beribadah ke. pada-Nya. Sesuatu yang dibenci tidak lain karena kehendak-Nya dan kodrat-Nya. Dan Allah yang membantu hamba-Nya menolak itu semua dari dalam dirinya, seperti dikatakan manusia yang paling kenal denganNya,

 

“Ya Allah, aku berlindung diri dengan keridhaan-Mu dari murka-Mu. Aku berlindung diri dengan magf-Mu dari hukuman-Mu. Aku berlindung diri dengan-Mu dari siksa-Mu.” (Diriwayatkan Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah).

 

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam juga bersabda,

 

“Ya Allah, sesungguhnya aku menyerahkan diriku kepada-Mu. Aku menghadapkan wajahku kepada-Mu. Aku menyerahkan segala urusan-Ku kepada-Mu. Aku menyandarkan tulang punggungku kepada-Mu dengan harap dan takut kepada-Mu. Tidak ada tempat menyandarkan diri dan tempat menyelamatkan diri dari-Mu kecuali kepada-Mu.” (Diriwayatkan Al-Bukhari, dan Muslim).

 

Jadi semua urusan adalah milik Allah Ta’ala. Seluruh pujian adalah milik Allah Ta’ala. Seluruh kerajaan adalah milik Allah Ta’ala. Semua kebaikan berada di kedua tangan-Nya. Seorang pun dari makhluk-Nya tidak ada yang sanggup memberikan sanjungan lengkap kepada-Nya.

 

Allah Ta’ala adalah seperti yang Dia pujikan terhadap diri-Nya dan di atas pujian seluruh makhluk-Nya. Oleh karena itu, kebaikan seorang hamba, dan kebahagiaannya adalah dengan merealisir makna firman Allah Ta’ala,

 

“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” (Al-Fatihah: 5).

 

Sesungguhnya ubudiyah itu mencakup tujuan, namun dalam bentuk yang sangat sempurna, dan musta’an (tempat meminta pertolongan) adalah pihak yang membantu tercapainya tujuan. Ubudiyah itu mengandung makna uluhiyah, dan meminta pertolongan kepada Allah Ta’ala itu mengandung makna rububiyah.

 

Sesungguhnya Ilah adalah sesuatu yang digandrungi hati dengan penuh cinta, inabah, penghormatan, pengagungan, merendahkan diri, tunduk, takut, berharap, dan tawakal. Dan rabb ialah pihak yang memelihara hamba-Nya kemudian Dia memberikan banyak hal kepadanya, dan membimbingnya kepada kemaslahatan dirinya. Jadi tidak ada ilah selain Allah dan tidak ada rabb selain Allah. Sebagaimana rububiyah selain Allah Ta’ala adalah kebatilan yang paling batil, maka uluhiyah selain Allah Ta’ala juga merupakan kebatilan yang paling batil.

 

Kedua prinsip ini dijelaskan Allah Ta’ala dalam banyak ayat-ayat dalam Kitab-Nya, seperti firman-Nya,

 

“Maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya.” (Huud: 123).

 

Atau seperti firman Allah Ta’ala tentang Nabi-Nya, Syu’aib Alaihis Salam,

 

“Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-aku kembali.” (Huud: 88).

 

Atau seperti firman-Nya,

 

“Dan bertawakkallah kepada Allah Yang Hidup Yang tidak mati, dan bertasbihlah dengan memuji-Nya.” (al-Furqan: 58).

 

Atau seperti firman-Nya,

 

“Dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan. (Dia-lah) Tuhan timur dan barat, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai pelindung.” (Al-Muzzammil: 8-9).

 

Atau seperti firman-Nya,

 

“Katakanlah, ‘Dialah Tuhanku tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya aku bertobat’.” (Ar-Ra’du: 30).

 

Atau seperti firman-Nya tentang orang-orang hanif (lurus) Pengikut-pengikut Nabi Ibrahim Alaihis Salam,

 

“Ya Tuhan kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertobat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.” (Al-Mumtahanah: 4).

 

Itulah tujuh ayat yang merangkai dua prinsip agung ini yang mengandung dua makna tauhid di mana seseorang tidak mendapatkan kebahagiaan hakiki kecuali dengan keduanya. Ini hal yang pertama.

 

Hal yang kedua, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan makhluk agar mereka beribadah kepada-Nya. Ibadah yang mencakup kenal dengan-Nya, inabah kepada-Nya, mencintai-Nya, dan ikhlas karena-Nya. Dengan dzikir kepada-Nya, hati mereka mendapatkan kedamaian dan jiwa mereka terasa tenang. Dengan melihat-Nya dj akhirat, mata semua penghuni surga berbinar-binar, kenikmatan mereka menjadi sempurna. Mereka tidak diberi sesuatu yang lebih mereka sukai, tidak ada yang menyegarkan mata mereka, dan tidak ada yang menghibur hati mereka kecuali melihat wajah-Nya, dan mendengar firman-Nya secara langsung tanpa perantara. Di dunia, mereka tidak diberi sesuatu yang lebih baik bagi mereka, paling mereka sukai, dan paling menyegarkan mata mereka selain daripada beriman kepada-Nya, mencintai-Nya, rindu bertemu dengan-Nya, damai berdekatan dengan-Nya, dan senang dengan dzikir kepada-Nya.

 

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengumpulkan dua permasalahan mendasar ini dalam doanya yang diriwayatkan An-Nasai, Imam Ahmad, Ibnu Hibban dalam Shahih-nya, dan imam-imam lainnya hadits dari Ammas bin Yasir Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berdoa dengan doa berikut,

 

“Ya Allah, berdasarkan pengetahuan-Mu terhadap alam ghaib, dan kemampuan-Mu terhadap semua makhluk, hidupkan aku jika Engkau mengetahui kehidupan itu lebih batik bagiku dan matikan aku Jika Engkau mengetahui kematian itu lebih baik bagiku. Aku memohon kepada-Mu rasa takut kepada-Mu di alam ghaib dan alam nyata. Aku memohon kepada-Mu perkataan yang benar dalam marah dan senang. Aku memohon kepada-Mu hemat pada saat miskin dan kaya. Aku memohon kepada-Mu kenikmatan yang tidak habis-habisnya. Aku memohon kepada-Mu penyegar mata yang tidak terputus. Aku memohon kepada-Mu sikap ridha setelah adanya qadha’. Aku memohon kepada-Mu kehidupan enak setelah mati. Aku memohon kepada-Mu kenikmatan melihat wajah-Mu. Aku memohon kepada-Mu rindu berternu dengan-Mu tanpa penderitaan yang membahayakan dan tanpa fitnah yang menyesatkan. Ya Allah, hiasilah kami dengan hiasan iman, dan jadikan kami sebagai juru petunjuk yang mendapatkan petunjuk.” (Diriwayatkan An-Nasai, Imam Ahmad, Ibnu Hibban dalam Shahih-nya, dan imam-imam lainnya).

 

Dalam doa yang agung di atas, Rasulullah Shallaullahu Alaihi wa Sallam menggabungkan antara sesuatu yang paling baik di dunia yaitu rindu bertemu dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sesuatu yang amat baik di akhirat yaitu melihat wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kesempurnaan seorang hamba itu sangat ditentukan oleh tidak adanya sesuatu yang membahayakan dunianya dan mengganggu agamanya, oleh Karena itu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berdoa, “Tanpa penderitaan yang membahayakan dan tanpa fitnah yang menyesatkan.

 

Kesempurnaan seorang hamba ialah dengan mengetahui kebenaran, mengikutinya, mengajarkannya kepada orang lain, dan membimbingnya kepada kepadanya, oleh Karena itu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berdoa, “Dan jadikan kami sebagai juru petunjuk yang mendapatkan petunjuk.”

 

Ridha yang bermanfaat adalah ridha setelah terjadinya qadha’ dan bukan sebelumnya. Itulah tekat untuk ridha. Jika qadha’ telah terjadi, maka terbukalah tekat tersebut. Oleh Karena itu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam meminta ridha setelah adanya gadha’. Sesungguhnya sesuatu yang telah ditakdirkan itu bisa dihadapi dengan dua sikap; Pertama, istikharah sebelum takdir tersebut terjadi. Kedua, ridha setelah takdir tersebut terjadi. Kebahagiaan seorang hamba ialah dengan menggabungkan kedua hal tersebut, seperti disebutkan dalam Al-Musnad, dan lain-lain bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Sesungguhnya di antara kebahagiaan anak keturunan Adam ialah istikharah kepada Allah dan keridhaannya terhadap apa yang telah diputuskan Allah. Dan sesungguhnya kecelakaan anak keturunan Adam ialah meninggalkan istikharah kepada Allah dan kebenciannya terhadap apa yang telah diputuskan Allah Ta’ala,” (Diriwayatkan Ahmad).

 

Takut kepada Allah Azza wa Jalla adalah akar semua kebaikan di alam nyata dan alam ghaib, oleh karena itu Rasulullah Shallallahu Alaihj wa Sallam memohon kepada Allah Ta’ala rasa takut kepada-Nya di alam ghaib dan alam nyata.

 

Sebagian besar manusia bisa berkata dengan benar ketika ia senang. Jika ia sedang emosi, maka emosi mengantarkannya kepada kebatilan, dan tidak tertutup kemungkinan kesenangan memasukkan dirinya ke dalam kebatilan, oleh karena itu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar Dia membimbingnya hingga beliau bisa berkata benar ketika marah dan senang.

 

Salah seorang salaf berkata, “Janganlah Anda menjadi orang yang jika senang, maka kesenangannya memasukkannya ke dalam kebatilan, dan jika ia marah maka kemarahannya mengeluarkannya dari kebenaran.”

 

Kemiskinan dan kekayaan adalah petaka dan musibah di mana Allah Ta’ala menguji seorang hamba dengan keduanya. Allah melapangkan Tangan-Nya kepada orang kaya, dan menahannya pada orang miskin. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memohon kepada Allah hemat dalam kedua kondisi tersebut, yaitu sikap pertengahan yang tidak mengandung sikap berlebih-lebihan dan pelit.

 

Kenikmatan itu ada dua macam; Pertama, kenikmatan untuk badan. Kedua, kenikmatan untuk hati yaitu penyejuk mata. Kesempurnaan seseorang ialah dengan adanya kenikmatan tersebut secara terus-menerus, oleh karena itu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menggabungkan keduanya dalam doanya, ‘Aku memohon kepada-Mu kenikmatan yang tidak habis-habisnya. Aku memohon kepada-Mu penyegar mata yang tidak terputus.”

 

Perhiasan itu ada dua; Pertama, perhiasan badan. Kedua, perhiasan hati. Perhiasan hati adalah perhiasan yang amat agung, dan paling signifikan. Jika perhiasan hati telah didapatkan, otomatis didapatkan pula perhiasan badan dengan sempurna. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memohon Rabbnya perhiasan batin. Beliau berdoa, “Ya Allah, hiasilah kami dengan hiasan iman.”

 

Kehidupan di dunia ini tidak menyenangkan semua orang, bahkan ia dikelilingi Kesedihan, kesusahan, penderitaan batin dan penderitaan luar. Oleh Karena itu, Rasullah Skallallahu Alaihi wa Sallam memohon kehidupan enak setelah mati.

 

Maksud dari ini semua ialah menjelaskan, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menggabungkan dalam doa di atas antara sesuatu amat indah di dunia dengan sesuatu yang amat indah di akhirat kelak.

 

Sesungguhnya kebutuhan manusia kepada Tuhan mereka, beribadah Kepada-Nya, dan menjadikan-Nya sebagai Tuhan mereka adalah sama dengan kebutuhan mereka kepada penciptaan untuk mereka, pemberian rezeki oleh-Nya kepada mereka, penyehatan badan mereka, penutupan aurat mereka, dan pengamanan ketakutan mereka. Bahkan sesungguhnya kebutuhan mereka untuk menjadikan Allah Ta’ala sebagai Tuhan sembahan mereka, mereka mencintai-Nya, dan beribadah kepada-Nya adalah lebih agung, Karena hal tersebut adalah tujuan akhir mereka. Tidak ada kebaikan bagi mereka, kenikmatan bagi mereka, Keberuntungan bagi mereka, Kelezatan bagi mereka, dan kebahagiaan bagi mereka kecuali dengan prinsip tersebut. Oleh Karena itu, kalimat la ilaaha ilallahu adalah kebaikan paling baik, dan tauhid uluhiyah adalah akar segala persoalan. Sedang tauhid rububiyah yang diakui orang Muslim dan orang Kafir, dan disepakati para teolog dalam buku-buku mereka, itu saja tidak cukup. Ini sebagaimana dijelaskan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam banyak ayat-ayat dalam Kitab-Nya.

 

Oleh Karena itu, hak Allah Ta’ala atas hamba-hamba-Nya hendaknya mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya seperti dijelaskan dalam hadist shahih yang diriwayatkan Muadz bin Jabal Radhiyallahu Anhu dari Rasulullah Shallaullahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

 

“Tahukah engkau apa hak Allah atas hamba-hamba-Nya?” Aku berkata, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Hak Allah atas hamba-hamba-Nya ialah hendaknya mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Tahukah engkau ape hak hamba-hamba atas Allah jika mereka mengerjakan itu semua? Aku berkata, ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Hak mereka atas Allah ialah hendaknya Allah tidak menyiksa mereka di neraka.” (Diriwayatkan Al-Bukhari, dan Muslim).

 

Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala mencintai hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertauhid, serta berbahagia dengan tobat mereka Itulah kelezatan terbesar bagi seorang hamba, kebahagiaannya, dan Kenikmatannya. Di dunia ini tidak ada sesuatu apa pun Selain Allah Azza wa Jalla yang menyenangkan hati, mendamaikannya, dan senang menghadap kepada-Nya. Barang siapa menyembah selain Allah Subhanahu wa Ta’ala kemudian ia mendapatkan manfaat dan Kelezatan, sesungguhnya bahayanya lebih banyak berkali lipat daripada manfaatnya. Hal ini seperti memakan makanan yang lezat namun beracun. Jika di langit dan bumi terdapat Tuhan-tuhan selain Allah Ta’ala, pasti langit dan bumi menjadi rusak berantakan seperti difirmankan Allah Ta’ala,

 

“Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya telah rusak binasa.” (Al-Anbiya’: 22).

 

Begitu juga hati, jika di dalamnya terdapat Tuhan selain Allah Ta’ala,iarusak dan tidak bisa diharapkan baik kembali Kecuali dengan mengeluarkan Tuhan selain Allah dari hati tersebut, kemudian hanya Allah saja yang menjadi Tuhannya yang ia cintai, berharap kepada-Nya, takut kepada-Nya, bertawakal kepada-Nya, dan berinabah kepada-Nya.

 

Ketiga, sesungguhnya kebutuhan seorang hamba untuk menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun itu tidak bisa diukur dengan apa pun. Kalau pun bisa diukur, ia bisa diukur dengan kebutuhan badan kepada makanan, minuman, dan nafas, namun antara keduanya tetap ada perbedaan tajam.

 

Sesungguhnya hakikat seorang hamba adalah hatinya dan ruhnya. Tidak kebaikan bagi seorang hamba kecuali dengan Tuhannya Yang Mahabenar yang tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Dia. la tidak damai kecuali dengan dzikir kepada-Nya. Ia tidak tenteram kecuali dengan mengenal-Nya dan mencintai-Nya. Ia berjalan dengan serius kepada-Nya hingga berjumpa dengan-Nya, dan ia harus berjumpa dengan-Nya. Tidak ada kebaikan baginya kecuali dengan mentauhidkanNya dengan mencintai-Nya, beribadah kepada-Nya, takut kepada-Nya, dan berharap kepada-Nya.

 

Seandainya ia mendapatkan kelezatan dan kesenangan dengan selain Allah, kelezatan dan kesenangan tersebut tidak abadi, karena ia akan pindah dari satu jenis ke jenis yang lain, dan dari orang kepada orang lain. la merasa senang kepada orang tertentu pada satu kondisi dan senang dengan orang lain pada kondisi yang lain. Dan seringkali terjadi bahwa kenikmatan selain Allah yang ia rasakan itu menjadi bumerang, penyebab penderitaannya, dan nestapanya. Sedang Tuhannya yang Mahabenar, Dia ada dalam setiap waktu dan setiap kondisi. Di mana pun orang berada, maka jiwa iman kepada Allah, mencintai-Nya, beribadah kepada-Nya, mengagungkan-Nya, dan dzikir kepada-Nya adalah konsumsi manusia, kekuatannya, kebaikannya, dan pilarnya sebagaimana hal ini dirasakan orang-orang beriman, ditunjukkan AlQur’an dan Sunah, dan dibenarkan fitrah manusia. Bukan seperti yang dikatakan orang yang minim ilmunya dan pas-pasan bekal kebaikannya. Mereka berkata, bahwa ibadah kepada Allah, dzikir kepada-Nya, dan syukur kepada-Nya adalah taklif, memberatkan, dan tujuannya untuk menguji, atau untuk memberi imbalan pahala, atau untuk melatih jiwa agar ia naik dari derajat hewan. Ini terlihat dengan jelas dalam artikel-artikel orang-orang yang minim ilmunya tentang Ar-Rahman, pas-pasan perasaan hakikat iman, dan bangga dengan “sampah-sampah pemikiran” yang dimilikinya. Justru ibadah kepada Allah Ta’ala, mengenal-Nya, mentauhidkan-Nya, dan bersyukur kepada-Nya adalah penyejuk mata manusia, kelezatan teragung bagi ruh, hati dan badan, serta kenikmatan puncak bagi orang yang berhak mendapatkannya. Allah Ta’ala tempat meminta pertolongan dan kepada-Nya kita bertawakal.

 

Ibadah-ibadah dan perintah-perintah sama sekali tidak dimaksudkan untuk memberatkan dan melelahkan, kendati hal tersebut terjadi di sebagian ibadah dan perintah karena adanya sebab-sebab yang merupakan konsekuensi dari padanya.

 

Jadi perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hak-Nya yang Dia wajibkan kepada hamba-hamba-Nya, dan syariat-syariat-Nya yang Dia tetapkan untuk mereka adalah penyejuk mata, penghibur hati, dan kenikmatan ruhani. Dengan itu semua, hati mendapatkan kesembuhan, kebahagiaan, keberuntungan, dan kesempurnaan di dunia dan akhirat. Bahkan, tidak ada kebahagiaan, kegembiraan, kenikmatan bagi hati, kecuali dengan perintah-perintah dan syariat-syariat Allah Ta’ala seperti difirmankan Allah Ta’ala,

 

“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepada kalian pelajaran dari Tuhan kalian dan penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada, dan petunjuk, serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah, ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan’.” (Yunus: 57-58).

 

Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu Anhu berkata, “Karunia Allah adalah Al-Qur’an, rahmat-Nya ialah Allah menjadikan kalian sebagai orang yang berhak mendapatkan Al-Qur’an.”

 

Hilal bin Yisaf berkata, “Dengan Islam yang diberikan kepada kalian dan Al-Qur’an yang diajarkan kepada kalian. Itu semua lebih baik daripada emas dan perak yang kalian kumpulkan.”

 

Ibnu Abbas, Al-Hasan, dan Qatadah berkata, “Karunia Allah adalah Islam, rahmat-Nya adalah Al-Qur’an.”

 

Salah seorang dari generasi salaf berkata, “Karunia Allah adalah Al-Qur’an, dan rahmat-Nya adalah Islam.”

 

Identifikasi masalah ini, bahwa karunia dan rahmat adalah dua hal yang diberikan Allah Ta’ala kepada Rasul-Nya Shallallahu Alaihi we Sallam.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu.” (Asy-Syura: 52).

 

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengangkat (mening- gikan) seorang hamba dengan Al-Qur’an dan iman, dan merendahkan orang lain karena ia tidak memiliki keduanya.

 

Jika ada yang berkata, sesungguhnya Allah menamakan perintahperintah dan ibadah-ibadah sebagai taklif dalam Al-Qur’an seperti dalam firman-Nya,

 

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286). Dan firman-Nya,

 

“Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya.” (Al-An’am: 152).

 

Jawabnya, betul, namun ayat tersebut dalam konteks kalimat negatif, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak saja menamakan perintah-perintah-Nya, wasiat-wasiat-Nya, dan syariat-syariat-Nya sebagai taklif namun Dia juga menamakannya dengan bahasa lain yaitu ruh, cahaya, obat, petunjuk, rahmat, kehidupan, perjanjian, wasiat, dan lain sebagainya.

 

Keempat, sesungguhnya kenikmatan akhirat yang paling indah, paling agung, dan paling berbobot ialah melihat wajah Allah Azza wa Jalla, dan mendengarkan firman-Nya, seperti disebutkan dalam Shahih Muslim hadits dari Shuhaib Radhiyallahu Anhu dari Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

 

“Jika penghuni surga telah memasuki surga, penyeru memanggil, ‘Wahai semua penghuni surga, sesungguhnya kalian mempunyai Janji di sisi Allah dan sekarang Dia ingin memberikannya kepada kalian.’ Penghuni surga berkata, ‘Bukankah Allah telah memutihkan wajah kami, memberatkan timbangan kami, memasukkan kami ke dalam surga, dan menyelamatkan kami dari neraka?’”

 

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Tirai pun terkuak, kemudian mereka melihat Allah. Mereka tidak diberi sesuatu yang lebih mereka sukai dari melihat wajah-Nya.” (Diriwayatkan Muslim).

 

Dalam hadits lain,

 

“Mereka tidak menoleh ke nikmat-nikmat lainnya ketika mereka melihat Allah.”

 

Pada hadits di atas, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjelaskan, bahwa kendati penghuni surga telah mendapatkan kenikmatan paripurna yaitu surga, namun mereka belum diberi sesuatu yang amat mereka senangi yaitu melihat Allah Ta’ala. Nikmat tersebut amat mereka sukai, karena dengan nikmat tersebut mereka mendapatkan kelezatan, kenikmatan, kebahagiaan, kesenangan, dan penyejuk mata jauh di atas kenikmatan dengan makan, minum, dan wanita-wanita surga bermata jelita. Antara kedua nikmat tersebut tidak bisa dibandingkan apa pun alasannya.

 

Oleh karena itu, Allah berfirman tentang orang-orang kafir,

 

“Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka. Kemudian, sesungguhnya mereka benar-benar masuk neraka.” (Al-Muthaffifin: 15-16).

 

Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi orang-orang kafir dua siksa sekaligus; siksa neraka, dan siksa terhalang tidak bisa melihat wajahNya sebagaimana Allah Ta’ala memberi wali-wali-Nya dua nikmat sekaligus; nikmat menikmati apa saja yang ada di surga, dan nikmat menikmati melihat wajah-Nya. Keempat hal ini disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Al-Muthaffifin ini. Tentang orang-orang yang baik-baik, Allah Ta’ala berfirman,

 

“Sesungguhnya orang-orang yang baik-baik itu benar-benar berada dalam kenikmatan yang besar (surga). Mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang.” (Al-Muthaffifin: 22-23).

 

Sungguh meremukkan makna ayat orang yang berkata, bahwa mereka melihat musuh-musuh mereka yang sedang disiksa atau melihat istana-istana mereka atau taman-taman mereka, atau melihat sebagian yang lain. Semua penafsiran ini menyimpang dari maksud ayat yang sebenarnya. Makna ayat yang benar bahwa mereka melihat wajah Tuhan mereka. Ini berbeda dengan kondisi orang-orang kafir yang terhalang melihat Tuhan mereka. Allah Ta’ala berfirman,

 

“Kemudian, sesungguhnya mereka benar-benar masuk neraka,” (Al-Muthaffifin: 16).

 

Cobalah renungkan, bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas ucapan orang-orang Kafir terhadap lawan-lawannya di dunia dan penghinaan mereka terhadap lawan-lawannya dengan ucapan kebalikannya pada Hari Kiamat. Dulu di dunia, jika orang-orang Kafir dilewati orang-orang Mukmin, mereka menghina mereka dan menertawakan mereka. Firman Allah Ta’ala,

 

“Dan apabila mereka melihat orang-orang mukmin, mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang sesat’.” (Al-Muthaffifin: 32).

 

Kemudian Allah Ta’ala berfirman,

 

“Maka pada hari ini, orang-orang yang beriman menertawakan orang-orang k@fir. Mereka (duaduk) diatas dipan-dipan sambil memandang.” (Al-Muthaffifin: 34-35).

 

Sebagai balasan dari penghinaan mereka dan tertawaan mereka terhadap orang-orang Mukmin. Kemudian Allah Ta’ala berfirman,

 

“Mereka (aduduk) di atas dipan-dipan sambil memandang.” (Al-Muthaffifin: 35).

 

Pada ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan umum kata memandang dan tidak membatasinya dengan memandang sesuatu dan tidak memandang sesuatu yang lain. Puncak yang mereka lihat, yang paling agung, dan paling tinggi yaitu Allah subhanahu wa Ta’ala. Melihat wajah Allah Ta’ala adalah penglihatan yang paling mulia, dan paling utama, serta derajat petunjuk yang paling tinggi. Dengan nikmat itulah Allah Ta’ala membalas ucapan orang-orang kafir,

 

“Sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang sesat’.” (Al-Muthaffifin: 32).

 

Jadi melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah yang dimaksud dengan kedua ayat di atas.

 

Sebagaimana halnya kenikmatan di surga tidak bisa disamakan dengan kenikmatan melihat wajah Allah Yang Mahatinggi dan Mahasuci, maka kenikmatan dunia juga tidak bisa disamakan dengan kenikmatan mencintai Allah Ta’ala, mengenali-Nya, rindu berjumpa dengan-Nya, dan damai dengan-Nya. Bahkan, bisa dikatakan bahwa kelezatan melihat wajah Allah Subhanahu wa Ta‘ala diukur dari pengenalan manusia kepada Allah Ta’ala, dan kecintaan mereka kepada-Nya. Sesungguhnya kelezatan itu tergantung perasaan dan cinta. Sebagaimana seorang pecinta itu amat mengenali kekasihnya dan amat mencintainya, maka kenikmatan berdekatan dengan Allah Ta’ala, melihat wajah-Nya, dan tiba di tempat-Nya jauh lebih agung lagi.

 

Kelima, sesungguhnya makhluk itu tidak bisa memberi manfaat dan madzarat kepada seseorang. Tidak juga bisa memberi, menahan, memberi petunjuk, menyesatkan, menolong, menelantarkan, merendahkan, mengangkat, memuliakan, dan menghinakan. Hanya Allah saja yang mampu melakukan semua hal di atas. Allah Ta’ala berfirman,

 

‘Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorang pun yang dapat menahannya, dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorang pun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu. Dan Dia-lah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (Fathir: 2).

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Jika Allah menimpakan sesuatu madzarat kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Yunus: 107).

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Jika Allah menolong kalian, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kalian, jika Allah membiarkan kalian (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kalian (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang Mukmin bertawakkal.” (Ali Imran: 160).

 

Allah Ta’ala berfirman tentang sahabat Yaasiin,

 

“Mengapa aku akan menyembah tuhan-tuhan selain-Nya, jika (Allah) Yang Maha Pemurah menghendaki madzarat terhadapku, niscaya syafa’at mereka tidak memberi manfaat sedikit pun bagi diriku dan mereka tidak (pula) dapat menyelamatkanku?” (Yaasiin: 23).

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepada kalian, adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezeki kepada kalian dari langit dan bumi? Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, maka mengapa kalian berpaling (dari ketauhidan)?» (Fathir: 3).

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

‘Atau siapakah dia yang menjadi tentara bagi kalian yang akan menolong kalian selain daripada Allah Yang Maha Pemurah? Orang-orang kafir itu tidak lain hanyalah dalam (keadaan) tertipu, Atau siapakah dia ini yang memberi kamu rezeki jika Allah menahan rezeki-Nya? Sebenarnya mereka terus-menerus dalam kesombongan dan menjauhkan diri?” (Al-Mulk: 20-21).

 

Pada ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menggabungkan antara rezeki dengan kemenangan. Sesungguhnya seorang hamba itu membutuhkan Dzat yang mampu mengusir musuhnya dari dirinya dengan jalan memberi pertolongan kepadanya dan mendatangkan manfaat kepadanya dengan memberinya rezeki. la harus mempunyai penolong dan pemberi rezeki. Dan hanya Allah Ta’ala saja yang dapat memberi pertolongan dan rezeki. Allah Ta’ala adalah Pemberi Rezeki dan Yang Mempunyai Kekuatan Yang Tangguh.

 

Di antara kesempurnaan kecerdasan dan pengetahuan seorang hamba ia mengerti, bahwa jika Allah Ta’ala menimpakan penderitaan kepadanya, maka penderitaan tersebut tidak dapat dihilangkan oleh selain Allah Ta’ala. Jika ia mendapatkan nikmat, maka tidak ada selain Allah yang dapat memberinya nikmat tersebut. Disebutkan, bahwa Allah Ta’ala memberi wahyu kepada salah seorang dari Nabi-nabi-Nya,

 

“Ketahuilah Aku dengan kecerdasan yang halus, dan kelembutan yang tidak terlihat, karena sesungguhnya Aku menyukai hal yang demikian!” Nabi tersebut berkata, “Tuhanku, apa yang dimaksud dengan kecerdasan yang halus?” Allah berfirman, “Jika Aku menjatuhkan lalat kepada-Mu, Ketahuilah bahwa Aku yang menjatuhkannya dan mintalah Aku mengangkatnya kembali.” Nabi tersebut berkata, “Tuhanku, apa yang dimaksud dengan kelembutan yang tidak terlihat?” Allah berfirman, “Jika engkau mempunyai biji-bijian, Ketahuilah bahwa Aku mengidengannya.”

 

Allah Ta’ala berfirman tentang tukang-tukang sihir,

 

“Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah.” (Al-Baqarah: 102). :

 

Jadi hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala saja yang mencukupi ham ba-Nya, menolongnya, memberinya rezeki, dan menjaganya.

 

Imam Ahmad berkata, bahwa berkata kepada kami Abdurrazzaq yang berkata, bahwa berkata kepada kami Ma’mar yang berkata, bahwa aku mendengar Wab berkata, bahwa Allah Ta’ala berfirman dalam sebagian Kitab-Nya,

 

“Demi keagungan-Ku, sesungguhnya Barang siapa berpegang teguh kepada-Ku, jika seluruh langit dan seisinya dan seluruh bumi dengan seisinya menipunya, maka Aku memberikan jalan keluar baginya. Dan Barang siapa tidak berpegang teguh kepada-Ku, maka sesungguhnya Aku memutus keduanya tangannya dari sebab-sebab langit, Aku menenggelamkan bumi dari bawah kedua kakinya, kemudian Aku menjadikannya berada di udara dan menyerahkannya kepada dirinya sendiri, ‘Cukupilah untuk hamba-Ku hingga penuh’. Jika hamba-Ku taat kepada-Ku, Aku memberinya sebelum ia meminta, dan Aku mengabulkan sebelum ia berdoa kepada-Ku. Aku mengetahui kebutuhannya yang sangat ia butuhkah daripada ia sendiri.”

 

Imam Ahmad berkata, bahwa berkata kepada kami Hasyim bin AlQasim yang berkata, bahwa berkata kepada kami Abu Sa’id Al-Muaddab yang berkata, bahwa berkata kepada kami orang yang mendengar Atha’ Al-Khurasani berkata, bahwa aku bertemu dengan Wahb bin Munabbih yang sedang thawaf di Baitullah, kemudian aku berkata kepadanya, “Berilah aku satu hadits yang bisa aku hapal darimu dari tempat ini dan jangan terlalu panjang.” Wahb bin Munabbih berkata, “Ya, Allah mewahyukan kepada Nabi Daud, ‘Hai Daud, demi keagungan-Ku dan kebesaran-Ku, tidaklah salah seorang hamba-ku berpegang teguh kepada-Ku dan tidak kepada makhluk -Aku mengetahuinya dari niatnya kemudian ia ditipu oleh tujuh langit beserta isinya. dan bumi tujuh dengan seisinya melainkan Aku menjadikan baginya jalan keluar. Demi keagungan-Ku, dan kebesaran-Ku, tidaklah salah seorang hamba dari hamba-hamba-Ku berpegang teguh kepada makhluk selain Aku -Aku mengetahuinya dari niatnya melainkan Aku memutus sebab-sebab langit dari tangannya, dan Aku benamkan bumi dari bawah kedua kakinya, kemudian Aku tidak peduli di lembah mana ia mati’.”

 

Sisi ini lebih lugas bagi kebanyakan orang daripada sisi sebelumnya. Oleh karena itu, ia lebih banyak dijumpai dalam Al-Qur’an daripada sisi sebelumnya, dan dari sisi itu pula para Rasul mengajak manusia kepada sisi pertama.

 

Jika orang cerdas mengkaji Al-Qur’an, ia mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengajak hamba-hamba-Nya dengan sisi ini ke sisi pertama. Sisi ini menghendaki seseorang bertawakal kepada Allah Ta’ala, meminta pertolongan kepada-Nya, berdoa kepada-Nya, dan meminta kepada-Nya dan bukannya kepada yang lain. Sisi ini juga menghendaki seseorang mencintai Allah Ta’ala, dan beribadah kepada-Nya karena kebaikan-Nya kepada hamba-Nya, dan pemberian nikmat oleh. Nya kepadanya. Jika manusia mencintai Allah Ta’ala, beribadah kepada. Nya, dan bertawakal kepada-Nya dari sisi ini, mereka masuk daripada. nya kepada sisi pertama.

 

Begitu juga jika seseorang mendapatkan cobaan berat, atau kemiskinan yang parah, atau ketakutan, kemudian ia berdoa kepada Allah Ta’ala dengan rendah hati hingga dibukakan untuknya kenikmatan bermunajat kepada-Nya dan beriman kepada-Nya, serta inabah kepada-Nya yang semuanya itu lebih ia sukai daripada tujuan yang ia inginkan sejak awal yaitu hilangnya musibah yang menderanya. Namun pada awalnya, ia tidak mengetahuinya hingga akhirnya pada suatu saat ia mendapatkannya dan rindu kepadanya. Sisi Keenam, sesungguhnya ketergantungan seorang hamba kepada selain Allah Ta’ala itu membahayakan dirinya sendiri, jika ia mengambil darinya melebihi yang semestinya dan tidak menggunakannya untuk taat kepada Allah Ta’ala. Jika seseorang makan, minum, melakukan hubungan seksual, dan berpakaian melebihi yang semestinya, itu semua membahayakan dirinya. Jika ia mencintai selain Allah Ta’ala@ seperti halnya ia mencintai Allah Ta’ala, pasti ia akan berpisah dengannya. Jika ia mencintainya tidak karena Allah Ta’ala, maka cintanya akan membahayakan dirinya dan ia tersiksa oleh kekasihnya di dunia atau di akhirat. Dan pada umumnya ia tersiksa di dunia dan akhirat.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahanam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka, Inilah harta benda kalian yang kalian simpan untuk diri kalian sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kalian simpan itu.” (At-Taubah: 34-35).

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta Lenda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir.” (At-Taubah: 55). Tidak benar orang misalnya Al-Jurjani yang berpendapat, bahwa ada taqdim (pengedepanan) ta’khir (pengakhiran) pada ayat di atas. Al-Jurjani berkata, bahwa firman Allah Ta’ala fi al-hayati ad-dunya (dalam kehidupan dunia) disusun setelah pemenggalan lain yang tidak pada tempatnya. Jadi penafsiran ayat tersebut adalah “Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka dalam kehidupan dunia menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki menyiksa mereka di akhirat dengan harta benda dan anak-anak tersebut.” Pendapat di atas diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma, namun sanadnya terputus. Pendapat tersebut dianut Qatadah, dan sekelompok ulama. Sepertinya mereka tidak begitu paham dengan yang dimaksud dengan penyiksaan mereka di dunia dengan harta, dan anak-anak mereka, dan bahwa kebahagiaan dan kelezatan mereka, serta kenikmatan mereka adalah dengan harta dan anak-anak mereka, kemudian mereka berpendapat ada taqdim (pengedepanan) dan ta’khir (pengakhiran) pada ayat di atas.

 

Sedang orang-orang yang berpendapat, bahwa ayat di atas memang seperti itu, kemudian mereka berbeda pendapat tentang yang dimaksud dengan penyiksaan. Hasan Basri berkata berkata, “Mereka disiksa dengan diambilnya zakat dari hartanya dan berinfak di jalan Allah.” Pendapat ini juga dianut Ibnu Jarir. Ibnu Jarir menambahkan, “Yang dimaksud dengan siksa dengan harta ialah bahwa Allah mewajibkan hak-hak-Nya dan kewajiban-kewajiban-Nya kepada mereka, sebab hak-hak Allah tersebut diambilkan dari hartanya tanpa kerelaan hatinya, ia tidak mengharapkan pahala dari Allah, dan ia tidak mengharapkan pujian dan terima kasih dari orang yang mengambilnya, namun hak tersebut diambil dengan perasaan tidak senang dan marah darinya.”

 

Penafsiran di atas juga menyimpang dari yang dimaksud dengan menyiksa mereka dengan harta di dunia, dan maksud ayat tidak seperti itu.

 

Sekelompok ulama berkata, bahwa yang dimaksud dengan menyiksa mereka dengan hartanya ialah bahwa karena kekafirannya, maka harta mereka terancam dirampas dan anak mereka terancam disandera, karena hukum tentang orang kafir memang demikian.

 

Penafsiran di atas tidak berbeda dengan penafsiran sebelumnya, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mengakui orang-orang munafik, dan melindungi harta mereka dan anak-anak mereka karena keislaman mereka secara lahiriah, serta Dia sendiri yang mengetahui rahasia mereka yang sebenarnya. Jika yang dimaksud ayat adalah seperti yang mereka katakan, maka maksud Allah Ta’ala adalah dengan dirampasnya harta mereka dan ditawannya anak-anak mereka. Sesungguhnya yang dimaksud dengan iradat di sini adalah sifatnya kauniyah (alamiah) dengan arti kehendak. Apa yang dikehendaki Allah Ta’ala, pasti terjadi, dan apa saja yang tidak dikehendaki Allah, tidak akan terjadi.

 

Penafsiran yang benar tentang ayat di atas, wallahu a’lam, ialah bahwa penyiksaan mereka dengan harta bisa dilihat dari penyiksaan para pemburu dunia, para pencinta dunia, dan orang-orang yang lebih mengutamakannya daripada akhirat dalam bentuk ambisi untuk mendapatkannya, Kelelahan luar biasa dalam mendapatkannya, dan menemui banyak sekali ke dalam proses mencarinya. Anda tidak melihat oran yang lebih lelah dari orang yang menjadikan dunia sebagai obsesi besarnya dan ambisi untuk mendapatkannya. Siksa di sini adalah rasa sakit, kesulitan, dan kelelahan, seperti sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Bepergian adalah penggalan dari siksa.” (Diriwayatkan al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah). Atau seperti sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Sesungguhnya mayat itu pasti disiksa dengan tangisan keluarganya terhadapnya.” (Diriwayatkan Al-Bukhari, dan Muslim). Maksudnya ia sakit dan menderita karenanya, dan bukannya ia disiksa karena perbuatan mereka. Begitulah orang yang menjadikan dunia sebagai obsesi atau obsesi terbesarnya seperti disabdakan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam hadits yang diriwayatkan At-Tirmidzi, dan lain sebagainya hadits dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu,

 

“Barang siapa akhirat menjadi obsesinya, maka Allah menjadikan kekayaannya dalam hatinya, menyatukan perpecahannya, dan dunia datang kepadanya dalam keadaan patuh kepadanya. Dan Barang siapa dunia menjadi obsesinya, maka Allah menjadikan kemiskinannya di antara kedua matanya, memecah belah persatuannya, dan dunia tidak datang kepadanya kecuali apa yang telah ditentukan untuknya.” (Diriwayatkan At-Tirmidzi).

 

Di antara siksa dunia yang paling menyakitkan ialah pemecah belah persatuan, perpecahan hati, dan kemiskinan diletakkan di pelupuk matanya dan tidak meninggalkannya sedetik pun. Seandainya perindu dunia tidak mabuk kepayang dengan cinta dunia, mereka pasti berteriak meminta perlindungan dari dunia. Disebutkan dalam Jami’ At-Tirmidzi hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

 

‘Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, ‘Hai anak Adam, berkonsentrasilah untuk beribadah kepada-Ku, niscaya Aku memenuhi dadamu dengan kekayaan, dan menutup kemiskinanmu. Jika engkau tidak melakukannya, Aku memenuhi kedua tanganmu dengan kesibukan dan Aku tidak menutup kemiskinanmu.” (Diriwayatkan At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban).

 

Termasuk siksa dunia yaitu kesibukan hati dan badan menanggung siksa dunia, bersaing dengan manusia dalam memperebutkan dunia, dan memusuhi mereka, seperti dikatakan salah seorang dari generasi salaf, “Barang siapa mencintai dunia, hendaklah ia menyiapkan dirinya untuk menanggung banyak musibah.”

 

Pecinta dunia tidak pernah lepas dari tiga hal;

 

Pertama, galau yang selalu terjadi.

 

Kedua, kelelahan yang berkepanjangan.

 

Ketiga, kerugian yang tidak berakhir. Ini disebabkan karena setiap kali para pecinta dunia mendapatkan sesuatu, pasti jiwanya berambisi mendapatkan sesuatu yang lebih besar lagi seperti disebutkan dalam hadits shahih dari Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

 

‘Jika anak Adam mempunyai dua lembah berisi harta, pasti menginginkan lembah ketiga.” (Diriwayatkan Al-Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, dan Ahmad).

 

Nabi Isa bin Maryam Alaihis Salam mengibaratkan pecinta dunia seperti peminum minuman keras. Semakin banyak ia minum minuman Keras, rasa hausnya semakin meningkat.

 

Ibnu Abu Dunya menyebutkan, bahwa Al-Hasan Al-Basri menulis surat kepada Umar bin Abdul Aziz,

 

“Sesungguhnya dunia adalah negeri yang akan pergi, dan tidak abadi. Adam diturunkan Kepadanya sebagai hukuman baginya. Oleh Karena itu, berhati-hatilah terhadapnya, wahai Amirul Mukminin. Sesungguhnya bekal di dunia ialah dengan meninggalkannya, dan Kaya di dalamnya ialah dengan tidak memilikinya. Dunia selalu meminta korban dalam setiap waktu. Ia merendahkan orang yang mengagungkannya dan membuat miskin orang yang mengumpulkannya. Ia seperti racun yang diminum orang yang tidak mengetahuinya dan di dalamnya terdapat kematiannya. Maka jadilah baginda, wahai Amirul Mukminin di dalamnya seperti orang yang mengobati lukanya. Ia memilih bertahan menghadapi pantangan sebentar daripada sakit lama, dan bersabar terhadap sakitnya pengobatan daripada merasakan sakit dalam jangka waktu yang lama. Berhati-hatilah terhadap dunia yang menipu, berkhianat, dan memperdaya. la berhias dengan tipuannya, berdandan dengan muslihatnya, membuat gila dengan angan-angannya, dan membuat rindu para pelamarnya hingga ia menjadi seperti pengantin yang menjadi pusat perhatian. Semua mata melihat Kepadanya, semua hati rindu kepadanya, dan semua jiwanya tertarik kepadanya. Ia pembunuh bagi suami-suaminya, namun tragisnya orang-orang yang masih hidup tidak mau belajar dari orang yang telah meninggal dunia dan orang generasi terakhir tidak mengambil pelajaran dari orang generasi pertama. Orang yang kenal dengan Allah, jika ia diberitahu tentang dunia, ia sadar. Orang yang merindukannya bisa jadi mendapatkan apa yang diinginkannya kemudian ia terpedaya, berbuat sewenang-wenang, dan lupa pada hari kemudian. Hatinya sibuk dengan dunia hingga kakinya tergelincir di dalamnya. Akibatnya penyesalannya menggelembung, kesedihannya membesar, terkumpul padanya sakaratul maut dan rasa sakitnya dengan kesedihan kehilangan dunia. Ia pergi dari dunia dalam keadaan terpukul hatinya, tidak mendapatkan apa yang dicarinya, dan jiwanya tidak bisa istirahat dari kelelahan. Ia keluar dari dunia tanpa bekal dan tiba di tempat tujuan tanpa oleh-oleh. Oleh karena itu, waspadalah wahai Amirul Mukminin! Karena sesungguhnya pemilik dunia, setiap kali ia senang kepadanya, maka itu berubah menjadi kebencian. Hiburan di dalamnya adalah makanan yang membahayakan. Kemakmuran dengannya mengantarkan kepada petaka, dan keabadian di dalamnya menjadi tidak abadi. Kebahagiaannya bercampur dengan kesedihan. Apa yang telah hilang dari seseorang, tidak akan kembali lagi. Ia tidak tahu apa yang akan datang kepadanya kemudian ia menunggu kedatangannya. Angan-angannya adalah bohong belaka, kejernihannya adalah kekeruhan, dan kehidupannya adalah melelahkan. Seandainya Pencipta dunia tidak menyampaikan berita tentang dunia, dan tidak memberi perumpamaan tentang dunia, pasti dunia akan membangunkan orang yang tidur, dan mengingatkan orang yang lupa diri. Bagaimana tidak, padahal telah datang larangan dari Allah Azza wa Jalla dan ada penasihat di dalamnya? Dunia di sisi Allah Azza wa Jalla tidak ada bobot dan nilainya. Dia tidak melihat kepadanya sejak Dia menciptakannya. Sungguh dunia dengan kunci-kuncinya dan semua kekayaannya yang nilainya di sisi Allah lebih ringan dari sayap lalat pernah diperlihatkan kepada Nabi kita Shallallahu Alaihi wa Sallam kemudian beliau menolak menerimanya. Beliau tidak mencintai sesuatu yang dibenci Allah, atau mengangkat apa yang direndahkan Pemiliknya. Allah menjauhkan dunia dari orang-orang yang shalih dengan sukarela dan membentangkannya kepada musuhmusuh-Nya dengan tujuan menipunya. Orang yang tertipu dengan dunia dan berkuasa terhadapnya menyangka bahwa ia dimuliakan dengan dunia tersebut dan lupa apa yang diperbuat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ketika beliau mengikatkan batu di perutnya.”

 

Al-Hasan Basri menambahkan, “Sesungguhnya jika suatu kaum memuliakan dunia, maka dunia menyalib mereka di atas pohon. Oleh karena itu, hinakan dunia, ia akan menjadi sesuatu yang paling terhina jika kalian menghinakannya.”

 

Para pemilik dunia dan para perindunya mengetahui dengan betul penderitaan dan berbagai macam sakit yang mereka alami ketika mereka mencari dunia.

 

Karena dunia menjadi obsesi terbesar bagi orang yang tidak beriman kepada Hari Akhirat, dan tidak mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka siksa dirinya dengan dunia adalah sesuai dengan besar kecilnya ambisinya terhadap dunia dan keseriusan usahanya dalam mencarinya.

 

Jika Anda ingin tahu penderitaan pemilik dunia, cobalah renungkan kondisi seorang perindu yang larut dalam mencintai kekasih idaman hatinya. Setiap kali ia bermaksud mendekat kepada kekasihnya, justru kekasihnya menjauh dari padanya, tidak menetapi cintanya, mendiamkannya, dan musuh datang kepadanya. Bersama kekasihnya, ia merasakan kehidupan yang sangat melelahkan. la memilih mati demi kekasihnya, padahal kekasihnya jarang sekali menetapi janji, cuek, mempunyai kekasih-kekasih idaman yang lain, cepat berubah, sering berkhianat, dan seringkali berganti haluan seperti bunglon. Bersamanya, ia mendapatkan keamanan dalam dirinya dan hartanya. Kendati begitu, ia tidak memiliki kesabaran darinya, tidak mendapatkan jalan kepada hiburan yang menghibumya, dan ikatan yang ia selalu bisa bersama dengannya. Jika seorang perindu tidak mempunyai penderitaan lain selain penderitaan di atas, maka penderitaan di atas sudah cukup. Bagaimana jika ia dijauhkan dari semua kelezatannya dan ia tersiksa oleh kesenangannya yang menyibukkannya dari berusaha mencari bekal dan kemaslahatan masa depannya di akhirat?

 

Kita kembali kepada permasalahan bab ini tentang pengobatan penyakit cinta dunia yang ada di dalam hati, insya Allah. Sebab tujuan dari bab ini ialah menjelaskan bahwa Barang siapa mencintai sesuatu selain Allah, cintanya bukan untuk Allah, dan ia tidak menggunakan sesuatu tersebut untuk taat kepada Allah Ta’ala, maka Allah menyiksanya dengannya di dunia sebelum Hari Kiamat, seperti dikatakan dalam syair, .

 

Engkau menjadi korban oleh apa saja yang engkau cintai

 

Oleh karena itu, pilihlah untuk dirimu siapa yang engkau pilih di udara .

 

Pada Hari Kiamat, Hakim Yang Mahaadil menghakimi semua orang yang mencintai sesuatu di dunia; dengan memberinya nikmat atau siksa. Oleh karena itu, “Untuk pemilik harta, hartanya dijelmakan menjadi ular besar yang botak yang menggigit dengan kedua sudut mulutnya. la berkata (Kepada pemiliknya), Akulah hartamu. Akulah simpanannya Kemudian dibuka untuknya lembaran-lembaran dari neraka lalu diseterikakan di keningnya, tulang rusuknya, dan punggungnya.” (Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim).

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (Az-Zukhruf: 67).

 

Pada ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan, bahwa orang-orang yang saling mencintai dalam kekafiran di dunia, pada Hari Kiamat sebagian dari mereka mengingkari sebagian yang lain, saling mengutuk yang lain, tempat mereka adalah neraka, dan mereka tidak mempunyai penolong. Seseorang itu selalu bersama dengan kekasihnya di dunia dan akhirat.

 

Oleh Karena itu, pada Hari Kiamat Allah Ta’ala berfirman di hadapan seluruh makhluk, “Tidakkah termasuk keadilan dari-Ku Aku mengangkat setiap orang dari kalian di negeri dunia?”

 

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Seseorang itu bersama dengan orang yang dicintainya.” (Diriwayatkan Al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad).

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua langannya, seraya berkata, Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku, kiranya aku (dulu) tidak menjadikan Si Fulan itu temanakrab. Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al Qur’an ketika Al Qur’an itu telah datang kepadaku. Dan adalah setan itu tidak mau menolong manusia.” (Al-Furqan: 27-29).

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“(kepada malaikat diperintahkan), ‘Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman sejawat mereka dan sembahan-sembahan yang selalu mereka sembah. selain Allah, maka tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka. Dan tahanlah mereka (di tempat perhentian) karena sesungguhnya mereka akan ditanya’. Kenapa kalian tidak tolong-menolong?” (Ash-Shaaffaat: 22-24).

 

Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu berkata, “Yang dimaksud dengan kata azwaajuhum pada ayat di atas adalah orang-orang yang sama dengan mereka.”

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan apabila ruh-ruh dipertemukan.” (At-Takwir: 7).

 

Allah Subhanahu wa Ta’ala menggabungkan satu bentuk dengan bentuk yang sama dengannya dan menjadikannya berpasang-pasangan; orang baik dengan orang baik, dan orang jahat dengan orang jahat.

 

Maksud dari ini semua ialah menjelaskan, bahwa Barang siapa mencintai sesuatu selain Allah Azza wa Jalla, ia akan mendapatkan kerugian dari apa yang dicintainya; baik yang dicintai masih ada atau telah hilang. Jika apa yang dicintai sudah tidak ada lagi, ia disiksa dengan tidak adanya sesuatu yang dicintai tersebut. la menderita sesuai dengan besar Kecilnya Ketergantungan hatinya dengannya. Jika yang dicintainya masih ada, sebelum ia mendapatkannya ia sudah menderita, ia lelah setelah mendapatkannya, dan rugi ketika hal tersebut hilang dari dirinya. Itu semua lebih besar daripada kenikmatan yang ia rasakan. Dikatakan dalam syair,

 

Di dunia ini tidak ada orang yang lebih celaka daripada seorang pecinta

Kendati ia mendapatkan hawa nafsu sebagai sesuatu yang amat

Manis rasanya

Anda lihat ia menangis dalam semua kondisi

Karena takut berpisah atau karena rindu

la menangis Jika mereka yang dicintainya jauh, karena rindu kepada mereka

la menangis jika mereka dekat, karena khawatir berpisah dengan mereka

Matanya memerah ketika berjumpa

Dan matanya memerah ketika berpisah

 

Realitas ini bisa dilihat dengan renungan dan pengalaman. Oleh Karena itu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan At-Tirmidzi, dan lain-lainnya,

 

“Dunia itu terkutuk dan terkutuk pula apa saja yang ada di dalamnya kecuali dzikir kepada Allah dan apa saja yang berpihak kepada Allah.” (Diriwayatkan At-Tirmidzi).

 

Dzikir kepada Allah Ta’ala adalah semua bentuk Ketaatan kepadaNya. Jadi jika seseorang taat kepada Allah Ta’ala, ia dalam Keadaan dzikir kepada-Nya, kendati mulutnya tidak bergerak dengan dzikir. Barang siapa berpihak kepada Allah Ta’ala, ia dicintai Allah dan didekatkan kepada-Nya.

 

Sisi ketujuh, sesungguhnya ketergantungan seorang hamba kepada makhluk sesamanya dan penyerahan dirinya kepadanya menyebab. kan ia mendapatkan kerugian dari padanya dan itu pasti terjadi pada dirinya, serta ia tidak mendapatkan apa yang inginkan darinya. la pasti ditelantarkan oleh pihak yang ia harapkan bisa menolongnya dan pasti ia dicela oleh pihak yang sebelumnya ia pastikan memujinya. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Al-Qur’an dan Sunah, juga bisa diketahui dengan perenungan dan pengalaman. Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan mereka telah mengambil sembahan-sembahan selain Allah, agar sembahan-sembahan itu menjadi pelindung bagi mereka. Sekali-kali tidak, kelak mereka (sembahan-sembahan) akan mengingkari penyembahan (pengikut-pengikutnya) terhadapnya, dan mereka (sembahan-sembahan) itu akan menjadi musuh bagi mereka.” (Maryam: 81-82).

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Mereka mengambil sembahan-sembahan selain Allah agar mereka mendapat pertolongan. Berhala-berhala itu tiada dapat menolong mereka, padahal berhala-berhala itu menjadi tentara yang disiapkan untuk menjaga mereka.” (Yaasiin: 74-75).

 

Maksudnya, bahwa sesembahan-sesembahan tersebut membenci mereka, dan memerangi mereka, sebagaimana seorang tentara marah dan memerangi musuh-musuhnya. Sesembahan-sesembahan tersebut tidak mampu menolong para penyembahnya dan justru ia menjadi tanggungan mereka. Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan Kami tidaklah menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri, karena itu tidaklah bermanfaat sedikit pun kepada mereka sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah, di waktu adzab Tuhanmu datang. Dan sembahan-sembahan itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali kebinasaan (kerugian) belaka.” (Huud: 101).

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Maka janganlah kamu menyeru (menyembah) tuhan yang lain di samping Allah, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang diadzab.” (Asy-Syu’ara’: 213).

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Janganlah kamu adakan tuhan yang lain di samping Allah, agar kamu tidak menjadi tercela dan tidak ditinggalkan (Allah).” (AlIsra’: 22).

 

Orang musyrik mengharapkan sekutunya mampu memberikan pertolongan kepadanya, pujian, dan sanjungan kepadanya. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa keinginan orang musyrik tersebut tidak terpenuhi dan justru ia di telantarkan dan di hina.

 

Maksud dari ini semua ialah menjelaskan, bahwa ketergantungan diri dan penyerahan diri harus diberikan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jadi kebahagiaan, dan keberuntungan ialah dengan beribadah kepada Allah Ta’ala., dan meminta pertolongan kepada-Nya. Dan kecelakaan hati dan kerugian di dunia dan di akhirat ialah dengan beribadah kepada makhluk sesamanya dan meminta pertolongan kepadanya.

 

Sisi kedelapan, sesungguhnya Allah itu Mahakaya, Mahamulia, Mahaperkasa, dan Maha Penyayang. Dia berbuat baik kepada hambaNya tanpa mengharapkan sesuatu apa pun , mengharapkan kebaikan baginya, dan menghilangkan musibah darinya tidak karena ingin mendapatkan manfaat dari hamba-Nya atau menolak madzarat, namun karena rahmat dari-Nya dan perbuatan baik dari-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menciptakan makhluk-Nya tidak dalam kerangka untuk memperbanyak mereka, jaya dengan mereka, mereka memberi-Nya rezeki, memberi manfaat kepada-Nya, dan menolak madzarat dari-Nya seperti difirmankan Allah Ta’ala,

 

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (Adz-Dzaariyat: 56-58).

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan katakanlah, ‘Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan Dia bukan pula hina yang memerlukan penolong dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya’.” (Al-Isra’: 111).

 

Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak berpihak kepada orang yang Dia berpihak kepadanya karena merasa hina sebagaimana halnya makhluk yang berpihak kepada makhluk, namun Dia berpihak kepada wali-waliNya karena kebaikan-Nya, rahmat-Nya, dan cinta-Nya kepada mereka. Adapun manusia, mereka seperti difirmankan Allah Ta’ala,

 

“Dan Allah-lah yang Mahakaya sedangkan kalian adalah orang-orang yang membutuhkan (Nya).” (Muhammad: 38).

 

Manusia, karena kemiskinannya dan kebutuhannya, sebagian dari mereka berbuat baik kepada sebagian yang lain, karena memang mereka membutuhkannya dan ingin mendapatkan manfaat darinya di dunia dan akhirat. Jika ia tidak mendapatkan manfaat darinya, ia tidak akan berbuat baik kepadanya.

 

Pada hakikatnya, seseorang itu menginginkan kebaikan untuk dirinya sendiri, dan ia menjadikan kebaikannya kepada orang lain sebagai sarana dan pengantar tercapainya manfaat kebaikannya tersebut. Jika ia berbuat baik kepada orang lain, ia mengharapkan imbalan di dunia ini karena ia amat membutuhkannya atau mengharapkan kebaikan yang sama, atau mengharapkan pujian dan ucapan terima kasih dari. padanya. la juga berbuat baik kepada orang Karena mengharapkan mendapatkan sanjungan dan pujian. la berbuat baik kepada dirinya dengan jalan berbuat baik kepada orang lain. Atau ia berbuat baik kepada orang lain karena menginginkan balasan dari Allah Ta’ala di akhirat kelak. la berbuat baik kepada dirinya dengan cara seperti itu. la menunda balasannya pada hari di mana pada hari tersebut ia amat membutuhkan imbalan kebaikannya, dan ia tidak tercela dalam hal ini, karena pada hakikatnya ia adalah orang miskin yang membutuhkan, dan Kemiskinan adalah sifat yang melekat dalam dirinya. Kesempurnaan dirinya ialah dengan serius mencari apa yang bermanfaat baginya dan ia tidak lemah dalam mencarinya. Allah Ta’ala berfirman,

 

‘Tika kalian berbuat baik (berarti) kalian berbuat baik bagi dirimu sendiri.” (Al-Isra’: 7). Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan apa saja harta yang baik yang kalian nafkahkan (di jalan Allah), maka pahalanya itu untuk kalian sendiri.” (Al-Baqarah;: 272).

 

Allah Ta’ala berfirman dalam hadits yang diriwayatkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dari-Nya,

 

“Hai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya kalian tidak mampu memberi manfaat kepada-Ku, dan membuat madzarat kepada-Ku. Hai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya amal perbuatan kalian Aku catat untuk kalian kemudian Aku menyempurnakan pahalanya untuk kalian. Oleh karena itu, Barang siapa mendapatkan kebaikan, hendaklah ia memuji Allah, dan Barang siapa mendapatkan kebalikannya, ia sekali-kali jangan mencela kecuali mencela dirinya sendiri.” (Diriwayatkan Muslim, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah). Jadi manusia itu sama sekali tidak ingin memberi manfaat Kepada Anda, justru ia mendapatkan manfaat dari Anda. Sebaliknya, Allah Ta’ala ingin memberi manfaat kepada Anda dan Dia tidak mengharapkan manfaat dari Anda. Sebuah manfaat murni yang bersih dari madzarat. Ini berbeda dengan keinginan orang untuk memberi manfaat kepada Anda, bisa jadi di dalam manfaat yang diberikan kepada Anda menyimpan madzarat bagi Anda, kendati Anda merasakannya enak.

 

Renungkan hal ini, karena sesungguhnya kesadaran Anda meng halangi Anda berharap kepada makhluk sesama, atau memperlakukannya untuk selain Allah Azza wa Jalla, atau meminta manfaat dari padanya, atau memintanya menolak madzarat dari diri Anda, atau Anda menggantungkan hati Anda kepadanya, karena sesungguhnya ia justru ingin mendapatkan manfaat dari Anda dan sama sekali tidak ingin memberi manfaat kepada Anda. Itulah kondisi umum seluruh makhluk; sebagian dengan sebagian yang lain, anak dengan ayahnya, suami dengan istrinya, budak dengan tuannya, dan mitra dengan mitra yang lainnya. Orang yang berbahagia ialah orang yang menggunakan mereka untuk Allah Ta’ala dan bukan untuk mereka, berbuat baik kepada mereka karena Allah Ta’ala, takut kepada Allah Ta’ala pada mereka, tidak takut kepada mereka bersama Allah Ta’ala, berharap kepada Allah dengan berbuat baik kepada mereka, tidak mengharap kepada mereka bersama Allah Ta’ala, mencintai mereka karena cinta kepada Allah, dan tidak mencintai mereka bersama Allah Ta’ala seperti difirmankan Allah Azza wa Jalla,

 

“Sesungguhnya Kami memberi makanan kepada kalian hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kalian dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (Al-Insan: 9).

 

Sisi kesembilan, sesungguhnya seorang hamba itu tidak mengetahui kemaslahatan Anda jika Allah Ta’ala tidak mengenalkan kemaslahatan tersebut kepadanya. la tidak mampu mendapatkannya jika Allah Ta‘ala tidak menentukannya baginya. Dan ia tidak mampu menginginkannya hingga Allah Ta’ala menciptakan padanya keinginan dan kehendak. Jadi semua kebaikan berasal dari Allah Ta’ala. Semua kebaikan ada di tangan-Nya. Dan kepada-Nya dikembalikan segala persoalan. Jadi menggantungkan hati kepada selain Allah Ta’ala; dalam berharap, takut, tawakal, dan ubudiyah adalah madzarat mumi yang tidak ada manfaat di dalamnya. Kalau pun ada manfaat di dalamnya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mentakdirkannya, dan mengantarkannya kepada Anda.

 

Sisi kesepuluh, sesungguhnya mayoritas besar manusia itu ingin mendapatkan manfaat dari Anda, tanpa memedulikan manfaat tersebut merugikan agama dan dunia Anda. Tujuan mereka ialah mendapatkan kebutuhan dari Anda kendati itu merugikan Anda. Sedang Allah Tabaraka wa Ta’ala, Dia menginginkan manfaat untuk Anda, ingin berbuat baik kepada Anda untuk Anda sendiri dan bukan untuk manfaat Dia, dan ingin menghilangkan madzarat dari Anda, maka bagaimana Anda menggantungkan impian Anda, harapan Anda, dan ketakutan Anda kepada selain Dia?

 

Puncak dari ini semua, hendaklah Anda mengetahui,

 

“Bahwa jika seluruh makhluk sepakat untuk memberi sedikit pun manfaat kepada Anda, mereka tidak mampu memberi manfaat kepada Anda kecuali sesuatu yang telah ditakdirkan Allah untuk Anda, dan jika mereka sepakat untuk memberi sedikit pun madzarat kepada Anda, mereka tidak mampu memberi madzarat kepada Anda kecuali dengan sesuatu yang telah ditakdirkan Allah Ta’ala untuk Anda.” (Diriwayatkan At-Tirmidzi).

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Katakanlah, ‘Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakkal’.” (At-Taubah: 51).

 

Penutup Bab ini

 

Manusia, bahkan semua makhluk hidup itu bergerak dengan keinginan, dan tidak lepas dari ilmu, keinginan, dan beraktivitas dengan Keinginan tersebut. la mempunyai tujuan, dan sebab yang mengantarkannya Kepada tujuan tersebut. Terkadang penyebabnya berasal dari dalam dirinya, dan terkadang berasal dari luar dirinya. Terkadang berasal dari dalam dirinya sekaligus luar dirinya. Oleh Karena itu, makhluk nidup diberi fitrah untuk menginginkan sesuatu dan menggunakan sesuatu untuk mencapai tujuan yang diinginkannya.

 

Tujuan itu ada dua; Pertama, tujuan untuk dirinya sendiri. Kedua, tujuan untuk orang lain.

 

Sarana itu ada dua; Pertama, sarana dengan dirinya sendiri. Kedua, sarana dalam bentuk alat.

 

Inilah keempat hal itu; Pertama, tujuan untuk diri sendiri. Kedua, tujuan untuk orang lain. Ketiga, sarana dengan diri sendiri. Keempat, sarana dengan alat yang bersumber dari sarana dengan dirinya sendiri.

 

Hati harus mempunyai tujuan yang ia senangi dan cintanya berakhir kepadanya. Hati harus mempunyai sarana yang mengantarkan kepada tujuannya, dan sarana tersebut kelak akan dimintai pertanggungan jawab. Ibadah dan meminta pertolongan pada umumnya saling mengikat. Barang siapa menggantungkan hatinya kepada sesuatu dalam rezekinya, pertolongannya, dan manfaatnya, ia tunduk kepadanya, merendahkan diri kepadanya, patuh kepadanya, dan mencintainya dari sisi ini, kendati ia tidak mencintainya untuk dirinya sendiri, namun dalam perjalanan waktu, ia akan mencintainya untuk dirinya, dan lupa akan maksudnya dari padanya. Sedang orang yang dicintai hati dan diinginkannya, bisa jadi ia tidak meminta tolong kepadanya dan meminta tolong orang lain untuk menghadapinya, seperti orang yang mencintai harta, atau jabatan, atau wanita, jika ia mengetahui bahwa apa yang dicintainya mampu mewujudkan keinginannya, ia meminta pertolongan kepadanya. Jadi terkumpul pada dirinya cinta kepadanya dan meminta pertolongan kepadanya.

 

Jika hal ini telah diketahui dengan baik, menjadi jelaslah siapa yang paling berhak akan ubudiyah dan permintaan tolong, dan bahwa mencintai selain Allah dan meminta pertolongan kepada selain Allah jika ia tidak menggunakannya sebagai sarana untuk mencintai Allah dan meminta pertolongan kepada-Nya, maka itu adalah madzarat bagi seorang hamba dan kerusakannya lebih banyak daripada kemaslahatannya. Allah tempat meminta pertolongan dan kepada-Nya kita bertawakal.

 

Allah Ta’ala berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepada kalian pelajaran dari Tuhan kalian dan penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Yunus: 57).

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan Kami turunkan dari Al Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Al-Isra’: 82).

 

Sebelumnya telah dijelaskan, bahwa penyakit hati yang paling besar dan paling parah adalah penyakit syubhat dan syahwat. Dan AlQur’an adalah obat bagi kedua penyakit hati tersebut. Di dalam Al-Qur’an terdapat keterangan-keterangan, dan petunjuk-petunjuk yang membedakan antara kebenaran dengan kebatilan kemudian sirnalah penyakit syubhat yang merusak ilmu, wawasan, dan pengetahuan, karena ia mampu melihat sesuatu-sesuai dengan bentuk aslinya. Tidak ada di kolong langit sebuah buku yang mengandung petunjuk-petunjuk dan ayat-ayat tentang tujuan yang mulia seperti tauhid, penetapan sifat-sifat Allah, pengakuan Hari Akhirat dan kenabian, dan menolak sekte-sekte batil dan pemikiran-pemikiran rusak seperti kitab Al-Qur’an.

 

Al-Qur’an menjamin semua hal di atas ada di dalamnya, dan memuatnya dengan gaya bahasa yang amat sempurna, amat indah, amat dekat di akal, dan amat jelas keterangannya. Al-Qur’an benar-benar obat dari penyakit syubhat dan keragu-raguan, namun hal tersebut sangat ditentukan oleh pemahaman terhadapnya, dan pengetahuan terhadapnya. Barang siapa dianugerahi Allah Ta’ala kemampuan tersebut, sungguh ia melihat kebenaran dan kebatilan secara transparan dengan hatinya sebagaimana ia melihat malam dan siang. Selain itu, ia akan mengetahui bahwa selain Al-Qur’an; buku-buku karangan manusia, pemikiran-pemikiran mereka, dan pendapat-pendapat mereka adalah semata-mata pendapat dan fanatisme belaka, dugaan-dugaan salah yang sedikit pun tidak berguna bagi kebenaran, hal-hal baik namun tidak ada manfaatnya bagi hati, dan ilmu-ilmu bermanfaat namun mereka menemui banyak sekali kesulitan dalam proses mencarinya. Mereka berbicara panjang lebar untuk mempertegas ilmu-ilmu mereka, namun manfaat ilmu-ilmu tersebut sangat sedikit. Ilmu-ilmu tersebut adalah “ibarat sepotong daging unta yang kurus di puncak gunung yang sulit; tidak ada tanah datar untuk naik mendaki Ke arah sana, dan tidak ada pula tanah tak berbatu untuk berjalan Ke arah sana”. Apa yang paling baik yang dimiliki para teolog, dan orang-orang selain mereka, sesungguhnya di dalam AlQur’an terdapat sesuatu yang lebih benar dan lebih indah interpretasinya. Apa yang mereka miliki hanyalah pemaksaan kehendak, keterangan panjang lebar tanpa makna, dan upaya mempersulit diri.

 

Mereka beranggapan bahwa mereka menolak syubhat-syubhat dan keragu-raguan dengan konsep yang mereka buat, padahal orang yang cerdas mengetahui bahwa justru syubhat-syubhat dan keragu-raguan semakin bertambah dengan konsep mereka. Adalah mustahil obat, rahmat, ilmu, dan keyakinan tidak ditemukan dalam Kitab Allah Ta’ala dan ucapan Rasul-Nya, dan ditemukan dalam ucapan orang-orang bingung, pembuat keragu-raguan dan orang-orang yang ragu-ragu? Padahal salah seorang senior dari mereka menjelaskan nasib akhir mereka ketika mereka berada di puncak pencarian mereka. Ia berkata,

 

Akhir langkah akal adalah belenggu

Dan semua usaha manusia adalah sia-sia

Ruh-ruh kami merasa asing dalam badan kami

Dan dunia kami penuh dengan penderitaan dan petaka

Kami tidak mendapatkan manfaat dari pembahasan kami sepanjang hidup kami

Sebab kami hanya mampu mengumpulkan sesuatu yang tidak jelas sumbernya

 

 

Sungguh aku telah mengkaji konsep-konsep teologi dan konsep-konsep filsafat, kemudian aku lihat semuanya tidak menyembuhkan luka dan tidak menghilangkan dahaga. Aku lihat, bahwa konsep yang paling benar yaitu konsep Al-Qur’an. Tentang penetapan bacalah firman Allah Ta’ala,

 

“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas “Arsy.” (Thaha: 5)..

 

Atau firman Allah Ta’ala,

 

“Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shalih dinaikkan-Nya.” (Fathir: 10).

 

Tentang penafian, bacalah firman Allah Ta’ala,

 

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.” (Asy-Syura: 11).

 

Atau firman Allah Ta’ala,

 

“Sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya.” (Thaha: 110).

 

Barang siapa menjalani seperti pengalamanku, ia mengetahui seperti yang aku ketahui.”

 

Itulah tulisannya di akhir bukunya, dan ia adalah orang yang sangat pakar dalam ilmu teologi dan filsafat pada zamannya. Ucapan-ucapan semisalnya banyak sekali dan saya rangkum dalam buku Ash-Shawaiq, dan buku-buku lainnya. Selain itu, saya sebutkan juga ucapan salah seorang yang bijak, “Akhir pencarian para teolog adalah keraguraguan, dan akhir pencarian orang-orang sufi adalah teki-teki.”

 

Dan Al-Qur’an mengantarkan Anda kepada keyakinan dalam tujuan ini yang notebene merupakan tujuan yang paling tinggi derajatnya bagi manusia. Oleh karena itu, Al-Qur’an diturunkan oleh Dzat yang berfirman dengannya dan Dia menjadikannya sebagai obat bagi penyakit yang ada di dalam hati, petunjuk, dan rahmat bagi orang-orang beriman.

 

Adapun obat Al-Qur’an bagi penyakit syahwat-syahwat, sesungguhnya di dalam Al-Qur’an terdapat hikmah, pelajaran yang baik, anjuran bersikap zuhud di dunia, anjuran cinta akhirat, perumpamaan-perumpamaan, dan kisah-kisah yang di dalamnya terdapat banyak sekali ibrah. Walhasil, jika itu semua dilihat hati yang sehat, ia menyukai apa saja yang bermanfaat baginya di dunia dan akhirat, dan ia membenci apa saja yang membahayakan dirinya, hatinya menjadi cinta petunjuk dan benci kesesatan.

 

Jadi Al-Qur’an menghilangkan penyakit-penyakit yang mengajak kepada keinginan-keinginan yang rusak, kemudian hati menjadi normal, keinginan menjadi lurus, dan kembali kepada fitrah asalnya, dan amal perbuatan menjadi baik, seperti badan, jika ia telah sehat, ia kembali kepada kondisi semula. Akhirnya ia tidak menerima selain kebenaran seperti anak kecil yang tidak mau menerima selain susu.

 

Anak muda itu kembali seperti anak kecil, ia tidak mau menerima

 

Selain air susu murni kemudian jiwanya tenang

 

Kemudian hati mendapat konsumsi iman dan Al-Qur’an yang membersihkannya, menguatkannya, mendukungnya, membahagiakannya, menyenangkannya, membuatnya giat, dan mengokohkan kekuasaannya, sebagaimana badan mendapat konsumsi yang menguatkannya. Hati dan badan perlu berkembang kemudian meningkat dan tumbuh hingga mencapai tingkatan kesempurnaan. Sebagaimana badan butuh berkembang dengan makanan yang bergizi dan perlindungan dari bahaya yang mengancamnya, dan badan tidak berkembang kecuali dengan diberi sesuatu yang bermanfaat baginya dan dilarang dari apa saja yang membahayakannya. Hati juga begitu, ia tidak berkembang, meningkat, dan keshalihahannya tidak sempurna kecuali dengan cara seperti itu dan tidak ada jalan untuk bisa sampai pada tingkatan kesempurnaan bagi hati kecuali dengan Al-Qur’an. Jika hati mendapat kesempurnaan dari selain Al-Qur’an, itu adalah sesuatu yang tidak ada harganya dan ia gagal mendapatkan kesempurnaan puncak. Tanaman juga begitu, ia tidak sempurna kecuali dengan kedua hal tersebut (diberi makanan dan dijaga dari hal-hal yang membahayakannya). Jika kedua hal tersebut telah diberikan kepadanya, tanaman tersebut berkembang dan sempurna. .

 

Karena kehidupan hatinya dan kenikmatannya tidak sempurna kecuali dengan zakat dan kebersihannya, maka kedua hal tersebut harus diuraikan dengan tuntas dan hal tersebut saya bahas dalam bab berikutnya.

 

Zakat menurut bahasa adalah berkembang, dan bertambah kebaikannya, serta telah mencapai kesempurnaannya. Dikatakan, “Zaka asy syai’u.” maksudnya sesuatu tersebut telah berkembang. Allah Ta’ala berfirman, ‘Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka.” (At-Taubah: 103).

 

Pada ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menggabungkan antara kebersihan dengan zakat karena keduanya saling terkait. Sesungguhnya kotoran perbuatan dosa, dan maksiat di dalam hati adalah seperti kotoran yang menjijikkan di badan, atau seperti hama bagi tanaman, atau seperti kotoran dalam emas, perak, tembaga, dan besi. Jika badan steril dari kotoran-kotoran, kekuatan alamiahnya menjadi sempurna, merasa tenang, mampu menjalani aktivitasnya tanpa gangguan, dan berkembang baik. Hati juga begitu, jika ia steril dari dosa-dosa dengan bertobat, sungguh ia steril dari sesuatu yang mengotorinya, kemudian kekuatannya menjadi sempurna, keinginannya terfokus kepada kebaikan, dan ia bebas dari tarikan-tarikan yang rusak dan bahan-bahan yang kotor. Hati tersebut bersih, berkembang, menguat, tangguh, duduk di singgasana kerajaannya, menerapkan hukumnya pada rakyatnya, ia didengar, dan ditaati. Hati tidak bisa sampai pada kebersihannya kecuali setelah ia dicuci sebelumnya, seperti difirmankan Allah Ta’ala,

 

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat’.” (An-Nur: 30).

 

Pada ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kesucian hati setelah sebelumnya menahan pandangan dan menjaga kemaluan.

 

Oleh karena itu, menahan pandangan dari hal-hal yang haram itu menghasilkan tiga manfaat yang sangat penting dan sangat berbobot;

 

Manfaat pertama, kemanisan iman dan kelezatannya yang lebih manis, lebih nikmat, dan lebih lezat dari apa yang ia menahan pandangan dari padanya dan daripada apa yang ia tinggalkan karena Allah Ta’ala. Jika seseorang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah Azza wa Jalla menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik daripada apa yang ia tinggalkan. Jiwa itu diberi fitrah suka melihat sesuatu yang indah dan mata adalah suruhan hati. Hati menyuruh suruhan melihat apa yang ada di depannya, jika mata membuat laporan kepada hati tentang keindahan apa yang dilihatnya, hati pun tergerak untuk rindu padanya. Yang sering terjadi adalah hati merasa lelah dan termasuk juga suruhannya (mata) seperti dikatakan dalam syair,

 

Engkau, jika engkau mengutus mata sebagai suruhan bagi hatimu pada suatu hari

 

Maka engkau akan dibuat lelah oleh pemandangan

 

Kulihat semua yang engkau tidak sanggup Menguasainya

 

Dan sebagiannya yang engkau tidak mampu bersabar terhadapnya

 

Jika mata (suruhan) menahan diri dari memandang, hati pun merasa tenang dari kelelahan keinginan. Barang siapa melepaskan pandangannya sebebas-bebasnya, kerugiannya terjadi secara berkepanjangan. Sesungguhnya melihat itu memunculkan cinta. Dari sinilah dimulai ikatan antara hati dengan sesuatu yang dilihatnya, kemudian ikatan menguat menjadi shababah yaitu hati Mengarahkan semua cintanya kepadanya, kemudian ikatan menguat menjadi gharm (cinta yang menyala-nyala) yang menyatu di hati, kemudian ikatan menguat menjadi ‘isyqu yaitu cinta yang meluap-luap, kemudian ikatan menguat menjadi syaghgf yaitu cinta yang masuk ke dalam hati yang paling dalam, kemudian ikatan menguat lagi menjadi tatayyum yaitu tahapan menyembahnya, kemudian hati menjadi budak bagi sesuatu yang sebenarnya ia tidak pantas menjadi budaknya. Inilah kejahatan melihat hal-hal yang haram dan ketika itulah hati jatuh menjadi sandera. la menjadi sandera setelah sebelumnya menjadi raja, dan menjadi narapidana setelah sebelumnya menjadi orang bebas. Ia tersiksa oleh mata dan mengeluhkannya. Mata berkata, ‘Aku adalah suruhanmu dan utusanmu. Engkau yang menyuruhku.” Itulah yang terjadi pada hati yang kosong dari cinta kepada Allah Ta’ala, dan ikhlas karena-Nya. Sesungguhnya hati itu harus menyatu dengan kekasihnya. Barang siapa tidak menjadikan Allah Ta’ala sebagai kekasih satu-satunya, dan Tuhan sesembahannya, pasti hati menyembah kepada selain Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman tentang Nabi Yusuf Alaihis Salam,

 

“Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.” (Yusuf: 24).

 

Karena permaisuri raja adalah wanita kafir, maka terjadilah apa yang terjadi pada dirinya, padahal ia mempunyai suami. Dan Yusuf Alaihis Salam karena ia ikhlas karena Allah Ta’ala, ia selamat dari godaan permaisuri raja, padahal ia masih muda belia, jejaka, orang asing jauh dari orang tuanya, dan seorang budak.

 

Manfaat kedua, menahan pandangan itu memunculkan cahaya hati dan Kebenaran firasat.

 

Abu Syuja’ Al-Karmani berkata, “Barang siapa mengisi badannya dengan mengikuti Sunah, mengisi batinnya dengan selalu merasa diawasi Allah, menahan dirinya dari syahwat-syahwat, menahan pandangannya dari hal-hal yang haram, dan membiasakan diri memakan makanan yang halal, maka firasatnya tidak pernah meleset (salah).”

 

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan kisah kaum Luth, dan ujian yang mereka terima, kemudian berfirman,

 

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Kami) bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda.” (Al-Hijr: 75).

 

Mereka yang dimaksud yaitu ahli firasat yang selamat dari melihat hal-hal yang haram dan dosa. Setelah memerintahkan orang-orang beriman menahan pandangannya, dan menjaga Kemaluannya, Allah Ta’ala berfirman,

 

‘Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi.” (An-Nuur: 35).

 

Rahasia ini semua bahwa imbalan itu sesuai dengan amal perbuatan. Maka Barang siapa menjaga pandangannya dari apa saja yang diharamkan Allah Azza wa Jalla, maka Allah Ta’ala menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik dari padanya. Sebagaimana ia menahan cahaya pandangannya dari hal-hal yang diharamkan Allah Ta’ala, maka Allah Ta’ala melepaskan cahaya batinnya dan hatinya, kemudian dengannya ia melihat apa yang tidak bisa dilihat oleh orang yang melepaskan pandangannya dan tidak menahannya dari hal-hal yang diharamkan Allah Ta’ala. Hal ini dirasakan oleh jiwa manusia sendiri. Sesungguhnya hati itu seperti kaca cermin dan hawa nafsu adalah seperti karat di dalam kaca cermin tersebut. Jika kaca cermin bersih dari karat, terlihatlah gambar apa saja dalam bentuk aslinya. Sebaliknya jika kaca cermin berkarat, gambar segala sesuatu tidak terlihat dengan jelas padanya.

 

Manfaat ketiga, kekuatan hati, ketegarannya, dan keberaniannya. Dengan Kekuatan hatinya, Allah Ta’ala menganugerahkan Kekuasaan pertolongan kepadanya, dan dengan cahaya hatinya, Allah Ta’ala menganugerahkan kekuasaan hujah padanya. Jadi terkumpul dua kekuasaan pada dirinya, akibatnya setan melarikan diri dari padanya, sebagaimana disebutkan dalam atsar,

 

“Sesungguhnya orang yang menentang hawa nafsunya, maka setan berpencar dari naungannya.”

 

Oleh Karena itu, pada diri orang yang menuruti hawa nafsunya dijumpai sifat rendah diri, lemah, dan minder yang semuanya diberikan Allah Ta’ala kepada orang yang bermaksiat kepada-Nya. Allah subhanahu wa Ta’ala memberikan kejayaan dan kekuatan kepada orang yang taat kepada-Nya dan memberikan kehinaan kepada orang yang bermaksiat Kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman, “Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang Mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.” (Al-Munafiqun: 8).

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“janganlah kalian bersikap lemah, dan janganlah kalian bersedih hati, padahal kalianlah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kalian orang-orang yang beriman.” (Ali Imran: 139).

 

Allah Ta’ala berfirman, “Barang siapa menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah

 

kemuliaan itu semuanya.” (Fathir: 10). Maksudnya, Barang siapa mendambakan kejayaan dan kemuliaan, hendaklah ia mencarinya dengan taat Kepada Allah; dengan ucapan yang baik, dan amal perbuatan yang shalih. Salah seorang dari generasi salaf berkata, “Manusia mencari kemuliaan di pintu-pintu raja, dan mereka tidak akan menemukannya kecuali dalam taat kepada Allah.”

 

Al-Hasan berkata, “Kendati dua kuda berjalan dengan indah bersama mereka, dan kendati keledai berjalan dengan baik bersama mereka, sesungguhnya kehinaan maksiat pasti ada dalam hati mereka. Allah tidak menghendaki kecuali menghinakan orang yang bermaksiat kepada-Nya. Barang siapa taat kepada Allah, sungguh ia telah berpihak kepada-Nya. Allah tidak menghinakan orang yang berpihak kepada-Nya.”

 

Ini seperti terlihat dalam doa qunut,

 

“Sesungguhnya Allah tidak menghinakan orang yang berpihak kepada-Mu, dan tidak memuliakan orang yang memusuhi-Mu.” (Diriwayatkan Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu _Majah).

 

Maksud dari ini semua ialah menjelaskan, bahwa zak(kebersihan) hati sangat ditentukan oleh kesuciannya, sebagaimana Kebersihan badan sangat ditentukan oleh sterilnya dari kotoran-kotoran yang rusak. Allah Ta’ala berfirman, “Sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kalian sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kalian bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (An-Nuur: 21).

 

Allah Ta’ala berfirman seperti di atas setelah sebelumnya mengharamkan zina, menuduh orang lain berzina tanpa bukti yang akurat, dan menikahi wanita penzina. Ini menunjukkan, bahwa usaha pembersihan ialah dengan menjauhi semua larangan di atas. Begitu juga firman Allah Ta’ala tentang anjuran meminta izin kepada tuan rumah,

 

“Dan jika dikatakan kepada kalian, ‘Kembali (saja) lah’, maka hendaklah kalian kembali. Itu lebih bersih bagi kalian.” (An-Nuur: 28).

 

Ketika mereka diperintahkan pulang oleh tuan rumah agar mereka tidak melihat aurat yang tuan rumah tidak ingin dilihatnya, itu lebih bersih bagi mereka, sebagaimana memalingkan pandangan dan menahannya itu lebih bersih bagi yang bersangkutan. Allah Ta’ala berfirman,

 

“Sungguh beruntung orang yang membersihkan diri. Dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia shalat.” (Al-Ala: 14-15). Allah Ta’ala berfirman tentang Nabi Musa Alaihis Salam yang berkata kepada Fir’aun, ‘Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan dairi?” (AnNazi’at: 18). Allah Ta’ala berfirman, “Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menyekutukan(Nya). (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat.” (Fushshilat: 6-7).

 

Sebagian besar ahli tafsir generasi salaf dan generasi sesudahnya berkata, “Itulah tauhid yaitu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan iman yang dengannya hati menjadi bersih.”

 

Tauhid ialah mencakup penolakan kKetuhanan selain Allah Ta’ala dari dalam hati. Itulah kebersihan hati dan mencakup pengakuan ketuhanan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang merupakan akar semua Kebersihan. Sesungguhnya tazakki (pembersihan) kendati makna asalnya adalah berkembang, bertambah, dan berkah, namun ia bisa dicapai dengan menghilangkan keburukan. Oleh karena itu, tazakki (pembersihan) mencakup kedua-duanya sekaligus. Akar yang bisa membersihkan hati dan ruh ialah tauhid. tazkiyah yaitu membuat sesuatu menjadi bersih; baik dalam kepribadiannya, atau dalam keyakinannya, atau dalam informasinya darinya. Dengan demikian, firman Allah Ta’ala, “Maka janganlah kalian mengatakan diri kalian suci.” (An-Najm: 32). Adalah tidak sama dengan firman Allah Ta’ala, “Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya.” (Asy-Syams: 9). Maksud firman Allah Ta’ala pada surat An-Najm: 32 di atas ialah kalian jangan menyiarkan Kebersihan hati kalian dengan mengatakan, “Kami adalah orang-orang bersih, orang-orang shalih, dan orang-orang bertakwa.” Oleh Karena itu, sesudah itu Allah Ta’ala berfirman, “Dia-lah yang mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (An-Najm’: 32).

 

Tadinya nama Zainab adalah Barrah, kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menamakannya Zainab dan bersabda,

 

‘Allah lebih mengetahui siapa orang yang baik di antara kalian.” Begitu juga firman Allah Ta’ala,

 

‘Apakah kalian tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih?” (An-Nisa’: 49).

 

Maksudnya, mereka meyakini Kebersihan hatinya dan mengungkapkannya, seperti halnya orang yang memberi kesaksian Kebersihan orang lain. Mereka mengatakan tentang dirinya seperti halnya orang mengatakan orang lain bersih. Kemudian Allah Ta’ala berfirman,

 

“Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisa’: 49).

 

Maksudnya, Allah-lah yang menjadikannya bersih dan Dia yang menceritakan Kebersihan dirinya. Ini berbeda dengan firman Allah Ta’ala,

 

“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya.” (Asy-Syams: 9).

 

Karena ayat tersebut sama dengan ayat berikut,

 

‘Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri?” (An-Nazi’at: 18).

 

Maksudnya, apakah engkau mau melakukan ketaatan kepada

 

Allah Ta’ala kemudian engkau menjadi orang yang bersih. Ayat yang sama ialah firman Allah Ta’ala,

 

“Sungguh beruntung orang yang membersihkan diri.” (Al-Ala: 14).

 

Ulama berbeda pendapat mengenai kata ganti pada firman Allah Ta’ala, “Zakkahaa.” Ada yang berpendapat, bahwa kata gantinya adalah Allah. Jadi maksud ayat tersebut ialah, “Sungguh beruntung jiwa yang dibersihkan Allah Azza wa Jalla dan sungguh rugi jiwa yang dibuat kotor oleh Allah.”

 

Ada ulama yang berpendapat, bahwa Kata gantinya ialah kembali kepada fa’il (subyek) kata aflaha yaitu man (orang); baik ia sebagai kata sambung atau yang disifati. Jika kata ganti kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, pasti ayat tersebut berbunyi, “Sungguh beruntung orang yang dibersihkan Allah dan orang yang dibuat kotor oleh Allah.”

 

Kelompok pertama berkata, kata man kendati ia adalah mudzakkar (menunjukkan arti laki-laki), namun jika berada dalam susunan kalimat muannats (wanita), maka dibenarkan kata ganti dikembalikan kepadanya dengan kata muannats (wanita) untuk menjaga maknanya, dan dengan kata mudzakkar (menunjukkan arti laki-laki) untuk menjaga lafalnya, dan keduanya merupakan gaya bahasa yang benar. Al-Qur’an juga menggunakan gaya bahasa seperti di dalam ayat-ayatnya. Contoh pertama ialah firman Allah Ta’ala,

 

“Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkan (bacaan)mu.” (Al-An’am: 25).

 

Pada ayat di atas, kata ganti dibuat tunggal.

 

Contoh kedua ialah firman Allah Ta’ala,

 

“Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkanmu.” (Yunus: 42).

 

Kelompok yang berpendapat dengan pendapat pertama berkata, yang menunjukkan kebenaran pendapat kami ialah hadits yang diriwayatkan para pemilik sunan hadits dari Ibnu Abu Malikah dari Aisyah Radhiyallahu Anha yang berkata,

 

“Pada suatu malam aku masuk rumah dan mendapati Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berdoa, ‘Ya Allah, berikan ketakwaan kepada hatiku dan bersihkanlah. Engkaulah yang sangat baik membersihkannya. Engkau adalah wali-nya dan pelindungnya.”

 

Doa di atas adalah tafsir tentang ayat di atas, bahwa Allah Ta’ala yang membersihkan jiwa kemudian jiwa menjadi bersih. Jadi Allah adalah “Pembersih” dan hamba adalah pihak yang dibersihkan. Perbedaan antara keduanya (Allah dan hamba) adalah seperti perbedaan antara pelaku dengan orang yang disuruh.

 

Mereka berkata lagi, penyandaran kepada seorang hamba yang ada dalam Al-Qur’an ialah dengan arti kedua dan bukan arti yang pertama, seperti firman Allah Ta’ala,

 

“Sungguh beruntung orang yang membersihkan diri.” (Al-Ala: 14).

 

Dan firman Allah Ta’ala,

 

“‘Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri?” (An-Nazi’at: 18).

 

Maksudnya, apakah engkau mau menerima pembersihan oleh Allah Ta’ala kemudian engkau menjadi orang yang bersih?

 

Kata mereka, inilah yang benar, karena tidak beruntung kecuali orang yang dibersihkan Allah Ta’ala.

 

Kata mereka, pendapat inilah pilihan penerjemah Al-Qur’an Ibnu Abbas. Ibnu Abbas berkata dalam riwayat Ali bin Abu Thalhah, Atha’,

 

dan Al-Kalbi, “Sungguh beruntung orang yang jiwanya dibersihkan Allah Ta’ala.”

 

Ibnu Zaid berkata, “Sungguh beruntung orang yang jiwanya dibersihkan Allah.”

 

Pendapat ini juga pilihan Ibnu Jarir.

 

Mereka berkata, pendapat ini juga dibenarkan firman Allah Ta’ala pada awal surat Asy-Syams,

 

“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kesesatan dan ketakwaannya.” (Asy-Syams: 8).

 

Mereka berkata, selain itu, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan, bahwa Dia menciptakan jiwa dan sifat-sifatnya. Itulah yang dimaksud dengan penyamaan.

 

Kelompok yang berpendapat dengan pendapat kedua berkata, sekilas ungkapan kelompok pertama adalah benar, bahwa kata ganti kembali kepada kata man. Maksudnya, sungguh beruntung orang jiwanya dibersihkan Allah. Inilah yang terlintas dalam pemahaman, bahkan nyaris orang tidak memahami pemahaman lainnya. Ini sama seperti ungkapan, “Budak wanita ini, sungguh beruntung orang yang membelinya.” Atau ungkapan, “Shalat ini, sungguh beruntung orang yang mengerjakannya.” Atau ungkapan, “Kekayaan ini, sungguh beruntung orang yang menemukannya.” Dan ungkapan-ungkapan lainnya.

 

Mereka berkata, kata nafsu adalah muannats (kata yang menunjukkan wanita). Jika kata ganti kembali kepada Allah, maka redaksi bahasanya adalah sebagai berikut, “Qad aflahat nefsu man zakkahaa.” Atau, ‘Aflahat man zakkahaa.”

 

Mereka menambahkan, sesungguhnya kata man adalah kata sambung dengan arti alladzi (yang). Jika dikatakan, “Qad aflaha alladzi zakkaahallahu (sungguh beruntung yang dibersihkan Allah).” Maka tidak dibenarkan, karena dengan begitu kata ganti muannatas (wanita) kembali kepada kata alladzi yang merupakan mudzakkar.

 

Mereka menambahkan, Allah Subhanahu wa Ta’ala ingin menyandarkan keberuntungan kepada pemilik jiwa jika ia membersihkan jiwanya. Oleh karena itu, kata kerjanya (aflaha) tidak menggunakan huruf ta’ yang menunjukkan kata muannats (wanita) dan menggunakan kata man dengan arti alladzi. Inilah penafsiran semua ahili tafsir, termasuk sahabat-sahabat Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma.

 

Qatadah berkata, “Maksud firman Allah Ta’ala, ‘Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya.’ (Asy-Syams: 9). Ialah, Barang siapa mengerjakan amal shalih, berarti ia membersihkan jiwanya dengan taat kepada Allah Azza wa Jalla.”

 

Kata Qatadah lagi, “Sungguh beruntung orang yang membersihkan jiwanya dengan mengerjakan amal shalih.”

 

Al-Hasan berkata, “Sungguh beruntung orang yang membersihkan jiwanya, kemudian ia memperbaikinya dan membawanya kepada taat kepada Allah. Dan sungguh merugi orang yang membinasakan jiwanya dan membawanya kepada maksiat kepada Allah.”

 

Ibnu Qutaibah berkata, “Yang dimaksud Allah ialah orang yang membersihkan jiwanya, maksudnya mengembangkannya dan meninggikkannya dengan taat kepada Allah, mengerjakan amal shalih, bersedekah, dan berbuat baik. Firman Allah Ta’ala, ‘Dan sungguh merugi orang

 

yang mengotorinya.’ (Asy-Syams: 10). Maksud firman Allah dassahaa ialah menguranginya, dan merahasiakannya dengan tidak mengerjakan amal shalih dan mengerjakan kemaksiatan.”

 

Orang yang berbuat jahat itu selamanya merahasiakan tempat, kejantanannya cacat, rendah kepribadiannya, dan kepalanya terjungkir. Jadi orang yang mengerjakan dosa itu mengotori jiwanya, dan menghancurkannya. Sedang orang yang berbuat baik, ia meninggikan jiwanya.

 

Penafsiran ketiga, sesungguhnya makna ayat di atas ialah bahwa merugilah orang yang mengotori jiwanya bersama orang-orang shalih, padahal ia bukan orang shalih. Penafsiran ini dikemukakan Al-Wahidi.

 

Al-Wahidi berkata, makna ayat tersebut, sesungguhnya orang tersebut menyembunyikan dirinya ketika berada di tengah-tengah orang-orang shalih, agar orang-orang menganggapnya sebagai orang shalih.

 

Kendati ungkapan di atas benar, namun kalau dikatakan bahwa itulah makna ayat di atas, maka tidak dibenarkan, karena ia masuk ke dalam ayat dengan cara yang umum sekali, wallahu a’lam.

 

Bab ini, kendati sebenarnya masuk dalam pembahasan bab sebelumnya, dan telah saya jelaskan, bahwa kebersihan hati tidak mungkin dicapai kecuali dengan kesucian. Oleh karena itu, pembahasan ini saya jadikan bab tersendiri untuk menjelaskan makna kesucian hati, kebutuhan yang mendesak kepadanya, dan dalil-dalil Al-Qur’an dan Sunah tentang masalah ini. Allah Ta’ala berfirman,

 

“Hai orang yang berselimut. Bangunlah, lalu berilah peringatan.

 

Dan Tuhanmu, agungkanlah. Dan pakaianmu, bersthkanlah.” (AL-Muddatstsir: 1-4).

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Mereka adalah orang-orang yang Allah tidak hendak menyucikan hati mereka. Mereka memperoleh kehinaan di dunia dan di akhirat mereka memperoleh siksaan yang besar.” (Al-Maidah: 41).

 

Mayoritas besar ahli tafsir dari generasi salaf dan generasi sesudahnya sepakat bahwa yang dimaksud dengan tsiyab (pakaian) pada surat Al-Mudatstsir di atas adalah hati dan yang dimaksud dengan dibersihkan ialah memperbaiki amal perbuatan dan akhlak.

 

Al-Wahidi berkata, para pakar tafsir berbeda pendapat mengenai maknanya. Atha’ meriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma yang berkata, “Yaitu membersihkan hati dari dosa dan apa saja yang dulunya disahkan oleh jahiliyah.”

 

Itulah pendapat Qatadah dan Mujahid. Keduanya berkata, “Dirimu, hendaklah engkau bersihkan dari dosa.”

 

Pendapat yang sama dikemukakan Asy-Sya’’bi, Ibrahim, Adz-Dzahhak, dan Az-Zuhri. Menurut pendapat ini, kata tsiyab (pakaian) adalah Kata lain dari jiwa dan orang-orang Arab menggunakan kata tsiyab (pakaian) sebagai kiasan dari jiwa.

 

Sa’id bin Jubair berkata, “Jika seseorang berkhianat, ia dikatakan pakaiannya kotor atau pakaiannya jelek.”

 

Ikrimah berkata, “Jangan engkau kenakan pakaianmu dalam kemaksiatan dan perbuatan dosa.” Ungkapan tersebut diriwayatkan dari Ibnu Abbas.

 

Makna di atas diinginkan orang yang berpendapat, bahwa maksud ayat di atas ialah, “Dan amalmu, hendaklah engkau perbaiki.” Itulah pendapat Abu Razin dan riwayat Mansur dari Mujahid dan Abu Rauq,

 

As-Sadi berkata, “Dikatakan bagi orang yang shalih, ‘la bersih pakaiannya.’ Jika orang jahat, ia dikatakan, ‘Ia buruk pakaiannya’.”

 

Al-Hasan berkata, “Akhlakmu, hendaklah engkau perbaiki.” Itulah pendapat Al-Qurthubi. Menurut pendapat ini, kata tsiyab (pakaian) adalah kata lain dari akhlak, karéna akhlak manusia mencakup semua kondisinya sebagaimana pakaian mencakup dirinya.

 

Al-Aufa meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang makna ayat di atas “Janganlah pakaian yang engkau kenakan berasal dari penghasilan yang haram.” jadi makna ayat, “Bersihkan pakaianmu dari kemungkinan berasal dari pencurian, atau berasal dari sumber yang tidak halal.”

 

Diriwayatkan dari Sa’id bin Jubair, “Dan hatimu, dan niatmu, hendaklah engkau bersihkan.”

 

Abu Al-Abbas berkata, “Tsiyab adalah pakaian, dan terkadang bermakna hati.”

 

Ulama lain menafsirkan ayat di atas secara tekstual. Mereka berkata, “Ayat di atas adalah perintah membersihkan pakaian dari segala najis karena pakaian yang mengandung unsur najis tidak sah digunakan untuk shalat.” Itulah pendapat Ibnu Sirin, dan Ibnu Zaid. Abu Ishaq berkata, “Dan pakaianmu, hendaklah engkau perpendek.” Kata Abu Ishaq lebih lanjut, “Karena pakaian yang pendek lebih terjaga dari najis. Sebaliknya, jika pakaiannya sampai menyentuh tanah, maka tidak aman dari kemungkinan terkena najis.” Itulah pendapat Thawus.

 

Tentang makna ayat di atas, Ibnu Arafah berkata, “Wanita-wanita, hendaklah engkau bersihkan.” Karena wanita disebut dengan tsiyab dan Jibas (pakaian) dalam Al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dihalalkan bagi kalian pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kalian, mereka adalah pakaian bagi kalian, dan kalian adalah pakaian bagi mereka.” (Al-Baqarah: 187).

 

Wanita juga dibahasakan dengan izaar (sarung). Dalam hal ini, seorang penyair berkata,

 

Ketahuilah, aku mengirim Abu Hafs sebagai wakil

 

Sebagai tebusanmu dari saudara yang bisa dipercaya yaitu “sarungku”

 

Yang dimaksud dengan sarungku pada syair di atas adalah istriku. Hal yang sama terlihat dalam ucapan Al-Barra’ bin Ma’rur kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pada malam Aqabah, “Pasti kami melindungi kamu sebagaimana kami melindungi sarung-sarung kami.” Yang ia maksud dengan sarung-sarung kami ialah istri-istri kami.

 

Saya Katakan, bahwa ayat mencakup semua penafsiran di atas, dan menunjukkan penafsiran yang demikian dalam secara kontekstual, jika ayat tersebut tidak menyebutkannya secara tekstual. Sesungguhnya jika yang diperintahkan adalah kebersihan hati, maka kebersihan pakaian dan Kebersihan asal usulnya adalah menyempurnakan kebersihan hati, Karena pakaian yang buruk membuat hati menjadi sesuatu yang jelek. Makanan yang buruk juga menyebabkan hati seperti itu. Oleh karena itu, diharamkan pemakaian kulit singa dan binatang-binatang buas lainnya, seperti dijelaskan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam banyak sekali hadits shahih, karena hal tersebut membuat hati menjadi seperti binatang. Sesungguhnya penampilan luar bisa menyerap ke dalam penampilan batin. Oleh karenanya, diharamkan pemakaian sutra dan emas bagi laki-laki, karena hal tersebut membuat hati menjadi seperti orang yang mengenakannya yaitu para wanita, dan orang-orang yang sombong.

 

Maksud dari ini semua ialah menjelaskan, bahwa kebersihan pakaian dan asal usulnya yang baik itu menyempurnakan kebersihan hati. Jika yang diperintahkan ayat adalah hal tersebut yang merupakan sarana, maka tujuan lebih tepat dijadikan sebagai hal yang diperintahkan. Sebaliknya, jika yang diperintahkan ialah Kebersihan hati kesucian jiwa, maka hal tersebut tidak bisa terealisir kecuali dengan Kebersihan pakaian. Dengan demikian ayat menunjukkan kedua penafsiran di atas.

 

Firman Allah Ta’ala,

 

“Mereka adalah orang-orang yang Allah tidak hendak menyucikan hati mereka.” (Al-Maidah: 41).

 

Dilanjutkan dengan firman Allah Ta’ala,

 

“Mereka amat suka mendengar (berita-berita) bohong dan amat suka mendengar perkataan-perkataan orang lain yang belum pernah datang kepadamu, mereka merubah perkataan-perkataan (Taurat) dari tempat-tempatnya.” (Al-Maidah: 41).

 

Ini menunjukkan, bahwa jika seseorang terbiasa mendengarkan kebatilan, dan menerimanya, maka hal tersebut membuatnya merubah kebenaran dari tempat aslinya. Jika seseorang menerima Kebatilan, maka ia mencintainya dan meridhainya. Ketika kebenaran yang bertentangan dengan Kebatilan datang kepadanya, ia menolaknya dan mendustakannya jika ia mampu. Kalau tidak, ia merubahnya seperti yang dilakukan aliran Jahmiyah terhadap ayat-ayat sifat dan hadits-hadits sifat. Mereka menolak sifat-sifat tersebut berdasarkan takwil yang tiada lain adalah manipulasi terhadap hakikat sifat-sifat Allah, dan dengan alasan bahwa hadits-hadits tersebut adalah hadits ahad yang tidak boleh diterapkan untuk mengenal Allah Ta’ala, Nama-nama-Nya, dan Sifat-sifat-Nya. Mereka dan konco-konconya termasuk orang-orang yang Allah berkehendak tidak menyucikan hati Mereka. Jika hati mereka bersih, pasti mereka tidak berpaling dari kebenaran dan mendengarkan firman Allah Ta’ala dan Rasul-Nya daripada mendengarkan kebatilan, Demikian pula orang-orang sesat, Karena hati mereka tidak bersih, mereka mendengar kan setan daripada mendengarkan suara Al-Qur’an dan keimanan. Utsman bin Affan Radhiyallahu Anhu berkata, “Jika hati kita bersih, pasti ia tidak kenyang dengan firman Allah.”

 

Jadi hati yang bersih -karena kesempurnaan kehidupannya, cahayanya, dan Steril dari segala kotoran tidak kenyang dengan Al-Qur’an dan tidak makan kecuali dengan hakikat-hakikat Al-Qur’an, serta tidak berobat kecuali dengan obat-obatan Al-Qur’an. Ini berbeda dengan hati yang tidak dibersihkan Allah Ta’ala, ia tidak makan dengan makanan-makanan yang cocok dengannya karena kotoran yang ada di dalamnya. Sesungguhnya hati yang kotor adalah seperti badan yang sakit yang makanannya berbeda dengan makanan badan yang sehat.

 

Ayat di atas juga menunjukkan, bahwa kesucian hati sangat tergantung kepada kehendak Allah Ta’ala, dan bahwa karena Allah tidak berkehendak membersihkan hati orang-orang yang mengucapkan kebatilan dan orang-orang yang merubah kebenaran, maka hati mereka tidak bersih.

 

Kehendak di sini tidak boleh diartikan dengan kehendak agama, yaitu perintah dan cinta, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki hati mereka bersih menurut perintah dan cinta, namun tidak menghendakinya secara alami, dan tidak menghendaki kebersihan itu berasal dari mereka karena pada yang demikian itu terdapat hikmahnya. Jika hikmah tersebut hilang, ia amat tidak menyukainya daripada hilangnya kebersihan hati karena mereka.

 

Hal ini telah saya bahas dengan tuntas dalam buku saya yang lain yaitu Syifa’ul Al-Alili fi Al-Qadha’i wa Al-Qadari wa At-Ta’lili.

 

Ayat di atas juga menunjukkan, bahwa orang yang hatinya tidak dibersihkan Allah Ta’ala, ia harus mendapatkan kehinaan di dunia dan siksa di akhirat. Itu sesuai dengan kotoran yang ada di dalam hatinya. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan surga bagi orang yang di dalam hatinya terdapat kotoran dan surga itu tidak dimasuki kecuali oleh orang yang hatinya bersih dan suci, karena surga adalah tempat orang-orang yang baik-baik. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman kepada orang-orang yang baik-baik,

 

“Kesejahteraan atas kalian, berbahagialah kalian! Maka masukilah surga ini, sedang kalian kekal di dalamnya.” (Az-Zumar: 73).

 

Maksudnya, masuklah kalian ke dalam surga karena kebaikan kalian. Mereka juga mendapatkan berita gembira sebelum kematiannya dan berita gembira ini tidak diberikan kepada orang-orang selain mereka, seperti difirmankan Allah Ta’ala,

 

“(Yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para Malaikat dengan mengatakan (kepada mereka), ‘Salaamun ‘alaikum, masuklah kalian ke dalam surga disebabkan apa yang telah kalian kerjakan’.” (An-Nahl: 32).

 

Jadi surga itu tidak boleh dimasuki orang yang kotor atau orang yang di dalam dirinya terdapat kotoran. Barang siapa telah bersih di dunia dan ia berjumpa Allah dalam keadaan bersih, ia masuk surga tanpa rintangan. Sebaliknya, Barang siapa tidak bersih di dunia, jika kotorannya adalah kotoran karakter seperti kekafiran, ia tidak masuk surga apa pun alasannya, dan jika kotorannya bukan merupakan karakater, ia masuk surga dan tidak Keluar dari padanya setelah sebelumnya ia dibersihkan di neraka dari kotoran tersebut. Hatta penghuni surga sekali pun, ketika mereka melintasi shirat, mereka tertahan di jembatan antara surga dengan neraka. Mereka dicuci dan dibersihkan dari sisa-sisa kotoran yang melekat pada diri mereka. Mereka tertahan masuk surga dan tidak masuk neraka. Jika mereka telah dicuci dan dibersihkan, mereka diizinkan masuk surga.

 

Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hikmah-Nya menjadikan kebersihan sebagai persyaratan masuk kepada-Nya. Orang tidak sah shalatnya hingga ia bersih. Allah Ta’ala juga menjadikan Kebersihan dan kesucian sebagai persyaratan masuk surga-Nya. Surga tidak dimasuki Kecuali orang yang hatinya bersih dan suci. Jadi di sini, ada dua Kebersihan; kebersihan badan, dan kebersihan hati. Oleh karena itu, usai wudlu, seseorang diperintahkan membaca doa,

 

‘Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Ya Allah, jadikan aku termasuk orang-orang yang bertobat dan jadikan aku termasuk orang-orang yang bersih.” (Diriwayatkan Muslim, At-Tirmidzi, Abu Daud, dan Ahmad).

 

Kebersihan hati ialah dengan tobat dan Kebersihan badan ialah dengan air. Jika kedua kebersihan tersebut telah tercapai, seseorang sah seseorang menghadap Allah Ta’ala, berdiri di hadapan-Nya, dan berdoa kepada-Nya.

 

Saya pernah bertanya kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang makna doa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Ya Allah, bersihkan aku dari kesalahan-kesalahanku dengan air, salju, dan es.” Saya bertanya, bagaimana Allah membersihkan Kesalahan-kesalahan dengan itu semua? Apa manfaat pembatasan pembersihan dengan ketiga-tiganya? Dan doa beliau dalam redaksi yang lain, “Dengan air yang dingin.” Padahal panas lebih tepat dijadikan sarana pembersihan?

 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjawab, “Kesalahan-Kesalahan (dosa-dosa) itu membuat hati menjadi panas, kotor, dan lemah, kemudian hati menjadi lembek, api syahwat berkobar-kobar di dalamnya, dan membuatnya kotor. Sesungguhnya kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa itu seperti kayu bakar yang menyulut api. Oleh karena itu, jika kesalahan-kesalahan semakin banyak, maka api hati, dan kelemahannya semakin menjadi-jadi. Dan air, ia mencuci Kotoran yang ada di dalam hati, dan memadamkan api yang ada di dalam hati. Jika air tersebut dingin, ia membuat badan menjadi kokoh dan kuat. Jika ditambah dengan salju, dan es, maka ia mempunyai Kemampuan mendinginkan yang luar biasa dan membuat hati semakin kokoh dan kuat. Jadi ia menghilangkan pengaruh kesalahan-kesalahan.” Itulah penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Penjelasan tersebut membutuhkan tambahan penjelasan.

 

Ketahuilah, bahwa di sini ada empat hal; dua hal yang sifatnya lahiriyah dan dua hal yang sifatnya batiniyah. Kotoran yang hilang dengan air adalah dua hal yang sifatnya lahiriyah, dan pengaruh kesalahan-kesalahan yang hilang dengan tobat dan istighfar adalah dua hal yang sifatnya batiniyah. Kebaikan hati, kehidupannya, dan kenikmatannya tidak mungkin terealisir kecuali dengan kKeempat unsur tersebut (dua hal yang sifatnya lahiriyah dan dua hal yang sifatnya batiniyah).

 

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menyebutkan satu bagian untuk mengingatkan bagian lainnya. Jadi sabda beliau mencakup keempat hal di atas dengan amat ringkas dan amat indah, seperti terlihat dalam hadits tentang wudlu,

 

“Ya Allah, jadikan aku termasuk orang-orang yang bertobat, dan Jadikan aku termasuk orang-orang yang bersih.”

 

Hadits di atas mencakup keempat hdi atas. Di antara kesempurnaan penjelasan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan kebenaran apa yang beliau sampaikan dan perintahkan, beliau menyerupakan perintah batiniyah dengan perintah lahiriyah. Ini terlihat dalam banyak sabda beliau, seperti sabda beliau kepada Ali bin Abu Thalib,

 

“Mintalah petunjuk dan ketepatan kepada Allah. Berpikirlah dengan petunjuk seperti hainya engkau memberi petunjuk jalan, dan dengan ketepatan seperti ketepatan anak panah.”

 

Sabda di atas adalah nasihat yang paling sempurna, sebab beliau memerintahkan Ali bin Abu Thalib ketika ia meminta Allah petunjuk kepada keridhaan-Nya dan surga-Nya agar ia ingat bahwa ia adalah seorang musafir yang tersesat di jalan dan tidak tahu ke mana kakinya harus melangkah? Kemudian muncul padanya orang yang ahli tentang jalan dan pakar tentang jalan, Kemudian ia memintanya agar orang tersebut bersedia menunjukkan jalan kepadanya. Jalan akhirat juga begitu, ia sama persis dengan jalan bagi seorang musafir. Kebutuhan musafir kepada Allah Ta’ala agar Dia menunjukkan jalan akhirat tersebut kepadanya adalah lebih besar daripada kebutuhan seorang musafir dari satu daerah ke daerah lainnya kepada orang yang memberi petunjuk kepadanya tentang jalan yang mengantarkannya ke daerah tersebut. Demikian pula ketepatan, ia seperti pelempar anak panah. Jika anak panahnya mengenai sesuatu yang menjadi sasarannya, maka anak panahnya tepat mengenai sasaran dan tidak melenceng. Demikian pula orang yang benar dalam ucapan dan perbuatannya, ia seperti pemanah yang tepat melepaskan anak panah Kepada sasarannya. Seringkali kedua hal tersebut digabungkan dalam Al-Qur’an, misalnya firman Allah Ta’ala,

 

“Berbekallah kalian, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (Al-Baqarah: 197).

 

Pada ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan orang yang hendak melakukan ibadah haji untuk menyiapkan perbekalan dalam perjalanan mereka, dan mereka tidak bisa bepergian tanpa bekal. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan mereka akan bekal perjalanan akhirat, yaitu takwa. Maka sebagaimana seorang musafir tidak bisa tiba di tempat tujuan perjalanannya tanpa perbekalan yang secukupnya, maka musafir kepada Allah Ta’ala dan negeri akhirat juga tidak bisa di tempat tujuan Kecuali dengan bekal takwa. Jadi pada ayat di atas, Allah subhanahu wa Ta’ala menggabungkan kedua bekal tersebut. Ayat yang sama adalah firman Allah Ta’ala,

 

“Flai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kalian pakaian untuk menutupi aurat kalian dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik.” (Al-Araaf: 26).

 

Pada ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menggabungkan antara dua perhiasan; perhiasan badan dengan pakaian dengan perhiasan hati dengan takwa, perhiasan lahiriyah dengan perhiasan batiniyah, dan kesempurnaan lahiriyah dengan kesempurnaan batiniyah. Ayat yang sama ialah firman Allah Ta’ala,

 

“Maka Barang siapa mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak sesat dan tidak celaka.” (Thaaha: 123).

 

Pada ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menafikan Kesesatan yang tiada lain adalah penderitaan hati dan ruh dari orang yang mengikuti petunjuknya. Allah juga menafikan kesesatan yang tiada lain adalah penderitaan badan dan ruh dari orang yang mengikuti petunjuk-Nya. Jadi Allah menganugerahkan petunjuk dan kebaikan kepada hati dan badan. Yang senada dengan ayat di atas adalah ucapan permaisuri Mesir tentang Yusuf Alaihis Salam ketika ia dikecam wanita-wanita Mesir karena ia mencintai Nabi Yusuf Alaihis Salam,

 

“Itulah dia orang yang kamu cela aku karena (tertarik) kepadanya.” (Yusuf: 32).

 

Permaisuri mempertontonkan ketampanan pisik Nabi Yusuf Alaihis Salam kepada wanita-wanita Mesir, kemudian ia berkata,

 

“Dan sungguh aku telah menggoda dia untuk menundukkan dirinya (kepadaku) akan tetapi dia menolak.“ (Yusuf: 32).

 

Permaisuri menjelaskan ketampanan batiniyah Nabi Yusuf dalam bentuk kesuciannya dan ketampanan lahiriyahnya.

 

Hal ini telah diisyaratkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam sabdanya,

 

“Ya Allah, bersihkan aku dari kesalahan-kesalahanku dengan air, salju, dan es.”

 

Ini karena badan dan hati amat membutuhkan sesuatu yang membersihkannya, mendinginkannya, dan menguatkannya. Doa beliau mencakup kedua aspek tersebut, wallahu a’lam.

 

Yang dekat dengan hal ini, jika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam keluar dari kamar mandi, beliau berdoa,

 

‘Aku meminta ampunan kepada-Mu ya Allah.” (Diriwayatkan AtTirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad).

 

Rahasia ini semua, wallahu a’lam bahwa kotoran (tinja dan urine) itu memberatkan badan dan menyakitkannya, jika ia tertahan di dalamnya. Dosa-dosa juga memberatkan hati, dan membuatnya sakit karena ia tersimpan di dalamnya. Jadi keduanya-duanya menyakitkan, dan membahayakan badan dan hati. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memuji Allah ketika kotoran telah keluar hingga ia terbebas dari sesuatu yang membahayakan badannya. Badan pun terasa enteng dan tenang. Selain itu, beliau meminta Allah Subhanahu wa Ta’ala membebaskannya hatinya dari gangguan yang lain, dan meringankannya.

 

Rahasia-rahasia ungkapan-ungkapan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan doa-doa beliau jauh di atas yang terlintas dalam pikiran.

 

Kotoran di dalam Syirik, Zina, dan Homoseksual

 

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menamakan syirik, zina, dan homoseksual sebagai kotoran dan keburukan dalam Kitab-Nya, dan bukannya dosa-dosa yang lain, kendati dosa-dosa tersebut termasuk kotoran dan keburukan. Namun yang ada dalam Al-Qur’an adalah firman Allah Ta’ala,

 

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu kotor.” (At-Taubah: 28).

 

Firman Allah Ta’ala tentang kaum Nabi Luth Alaihis Salam,

 

“Dan kepada Luth, Kami telah berikan hikmah dan ilmu, dan telah Kami selamatkan dia dari (azab yang telah menimpa penduduk) kota yang mengerjakan perbuatan keji. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang jahat lagi fasik.” (Al-Anbiya’: 74).

 

Kaum Nabi Luth Alaihis Salam berkata,

 

“Usirlah Luth beserta keluarganya dari negeri kalian, karena sesungguhnya mereka orang-orang yang (mendakwakan dirinya) bersih.” (An-Naml: 56).

 

Kendati mereka musyrik dan Kafir, mereka mengakui bahwa mereka adalah orang-orang kotor dan buruk, dan bahwa Nabi Luth dan keluarganya adalah orang-orang yang bersih karena mereka menjauhi apa yang mereka kerjakan.

 

Tentang para penzina, Allah Ta’ala berfirman, “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang kejiadalah buat wanita-wanita yang keji.” (An-Nuur: 26).

 

Kotoran syirik itu ada dua;

1) Kotoran yang berat.

2) Kotoran yang ringan.

 

Kotoran yang berat adalah syirik besar yang tidak diampuni Allah Azza wa Jalla, karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidak mengampuni orang yang menyekutukan-Nya. Kotoran yang ringan ialah syirik kecil, seperti riya’, bersumpah dengan makhluk, takut kepadanya, dan berharap kepadanya.

 

Kotoran syirik adalah kotoran tetap. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan syirik sebagai najas (Kotoran) dan tidak mengatakan, “Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis.” Karena najas adalah inti kotoran, dan najis yaitu orang yang kotor. Jika pakaian terkena air kencing atau minuman keras, ia najis, karena air kencing dan minuman Keras adalah najas (kotoran). Jadi kotoran yang paling kotor ialah syirik, dan ia adalah kezaliman yang paling zalim. Najas menurut bahasa adalah kotoran yang harus ditinggalkan dan dijauhi, dengan arti kata seseorang tidak menyentuhnya, menciumnya, melihatnya, mencampurnya, dan mengenakannya karena kekotorannya dan kebencian jiwa yang sehat kepadanya. Jika orang hidup semakin sempurna dan semakin benar kehidupannya, ia semakin menjauh dari kotoran tersebut, dan ia lari dari padanya.

 

Inti kotoran itu merusak badan atau hati, atau kedua-duanya sekaligus. Kotoran itu terkadang mengganggu karena baunya dan terkadang mengganggu jika ia dikenakan kendati ia tidak mempunyai bau busuk.

 

Maksud dari ini semua ialah menjelaskan, bahwa kotoran itu sekali waktu bersifat lahiriyah dan sekali waktu bersifat batiniyah, kemudian menimbulkan kotoran dan keburukan di dalam ruh dan hati hingga orang yang hatinya sehat mampu mencium bau busuk yang mengganggu dari ruh dan hati tersebut, sebagaimana ia terganggu oleh bau busuk suatu baran. Hal ini sering kali terlihat dalam bau keringatnya hingga keringatnya menjadi busuk. Sesungguhnya kebusukan ruh dan hati itu menyatu dengan bagian tubuh yang paling dalam. Keringat itu berasal dari bagian tubuh yang paling dalam. Oleh karena itu, orang shalih itu keringatnya wangi, dan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah manusia yang paling wangi keringatnya. Tentang keringat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, Ummu Sulaim berkata, “Keringat beliau adalah wewangian yang paling wangi.” (Diriwayatkan Al-Bukhari, dan Muslim).

 

Jadi jiwa yang busuk itu kebusukannya semakin menguat hingga terlihat di badan. Jiwa yang baik juga begitu. Jika jiwa bersih dari kotoran, dan semua kotoran keluar dari badan, maka dari jiwa tersebut muncul wewangian seperti kesturi yang paling wangi di seluruh dunia, dan muncul bau sangat busuk di seluruh dunia dari jiwa yang busuk.

 

Maksud dari ini semua ialah menjelaskan, bahwa karena syirik adalah kezaliman yang paling zalim, keburukan yang paling buruk, dan kemungkaran yang paling mungkar, maka ia adalah sesuatu yang sangat dibenci Allah Ta’ala. Untuk itu, bagi syirik Allah Ta’ala menyiapkan hukuman-hukuman di dunia dan akhirat yang tidak Dia berikan kepada selain syirik. Allah Ta’ala menjelaskan, bahwa Dia tidak mengampuni dosa syirik, dan bahwa orang musyrik adalah orang kotor. Allah Ta’ala melarang mereka mendekati tanah suci-Nya, mengharamkan hewan sembelihan mereka, mengharamkan kaum Muslimin menikah dengan mereka, memutus hubungan mereka dengan kaum Mukminin, menjadikan mereka sebagai musuh-Nya, para Malaikat, Rasul-rasulNya, dan kaum Mukminin, menghalalkan harta mereka, istri-istri mereka, dan anak-anak mereka bagi kaum Mukminin, serta menghalalkan kaum Mukminin menjadikan mereka sebagai budak-budaknya. Ini karena syirik itu meremukkan hak rububiyah, mengurangi keagungan uluhiyah, dan buruk sangka kepada Rabb alam semesta, seperti difirmankan Allah Ta’ala,

 

“Dan supaya Dia mengadzab laki-laki munafik, dan perempuan-perempuan munafik, dan laki-laki musyrik, dan perempuan-perempuan musyrik yang berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran (kebinasaan) yang amat buruk dan Allah memurkai dan mengutuk mereka serta menyediakan bagi mereka neraka Jahanam. Dan (neraka Jahanam) itulah sejahat-jahat tempat kembali.” (Ali-Fath: 6).

 

Pada ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menggabungkan salah satu dari ancaman dan hukuman di atas kecuali kepada orang-orang musyrik. Mereka berburuk sangka kepada Allah Ta’ala, akibatnya mereka menyekutukan-Nya. Seandainya mereka berbaik sangka Kepada Allah Ta’ala, pasti mereka mentauhidkan Allah Ta’ala dengan tauhid yang sebenar-benarnya.

 

Oleh Karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan tentang orang-orang musyrik bahwa mereka tidak menghargai Allah Ta’ala dengan penghargaan yang sebenar-benarnya dalam tiga ayat dalam Kitab-Nya. Bagaimana akan menghargai Allah Ta’ala dengan penghargaan yang sebenar-benarnya orang yang menjadikan bagi Allah sekutu yang ia cintai, berharap kepadanya, berkorban untuknya, tunduk kepadanya, lari dari murkanya, dan lebih mengutamakan Keridhaannya? Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah.” (Al-Bagarah: 165).

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Segala puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi, dan mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir menyekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka.” (Al-An’am: 1).

 

Maksudnya, mereka menjadikan sekutu bagi Allah Ta’ala dalam ibadah, cinta, dan pengagungan. Inilah penyamaan oleh orang-orang musyrik antara Allah Ta’ala dengan Tuhan-tuhan mereka. Kelak di neraka, mengetahui bahwa tuhan-tuhan tersebut adalah kesesatan dan Kebatilan. Mereka berkata kepada tuhan-tuhan mereka Ketika mereka Sama-sama berada di neraka,

 

“Demi Allah, sungguh kita dahulu (didunia) dalam kesesatan yang nyata. karena kita mempersamakan kalian dengan Tuhan semesta alam.” (Asy-Syu’ara’: 97-98).

 

Sebagaimana diketahui, bahwa mereka tidak menyamakan Tuhan-tuhan mereka dengan Allah Ta’ala dalam Dzat, sifat-sifat, dan perbuatan. Mereka juga tidak mengatakan, bahwa Tuhan-tuhan mereka menciptakan langit dan bumi, serta bahwa Tuhan mereka bisa menghidupkan dan mematikan. Namun mereka menyamakan Tuhan-tuhan mereka dengan Allah Ta’ala dalam cinta, pengagungan, dan ibadah kepadanya, sebagaimana yang Anda lihat pada orang-orang musyrik yang mengklaim masuk Islam. Lucunya, mereka mengecam orang-orang bertauhid bahwa mereka melecehkan para syaikh, para Nabi, dan orang-orang shalih, hanya karena mereka mengatakan, bahwa mereka (para syaikh, para Nabi, dan orang-orang shalih) adalah budak-budak yang tidak memiliki diri mereka, tidak mampu memberikan madzarat dan manfaat kepada orang lain, tidak mempunyai kematian, kehidupan, dan kebangkitan? Bahwa mereka tidak bisa memberikan syafa’at kepada penyembah-penyembahnya selama-lamanya, bahkan Allah Ta’ala mengharamkan pemberian syafa’at oleh mereka. Mereka tidak bisa memberi syafa’at kepada orang-orang bertauhid kecuali setelah Allah Ta’ala mengizinkannya memberi syafa’at. Mereka tidak mempunyai sedikit pun dalam satu urusan, karena semua urusan milik Allah Ta’ala. Semua syafa’at milik Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan perwalian adalah milik-Nya. Makhluk tidak mendapatkan pelindung, dan pemberi syafa’at selain pada Allah Ta’ala.

 

Jadi syirik dan penolakan sifat-sifat Allah Ta’ala itu dibangun di atas berburuk sangka kepada Allah Ta’ala. Oleh karena itu, Ibrahim, imam seluruh orang-orang yang hanif berkata kepada lawan-lawannya dari orang-orang musyrik,

 

‘“Apakah kalian menghendaki sembahan-sembahan selain Allah dengan jalan berbohong? Maka apakah anggapan kalian terhadap Tuhan semesta alam?” (Ash-Shaaffaat: 86-87).

 

Sesungguhnya orang musyrik bisa jadi menduga bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala membutuhkan orang yang mengatur alam beser. ta diri-Nya misalnya seorang menteri, atau penolong. Ini adalah “pengerdilan” terhadap Dzat yang Mahakaya dari segala hal dengan Dzat-Nya dan semua selain diri-Nya butuh kepada-Nya dengan dzatnya. Terkadang orang musyrik itu menyangka bahwa kekuasaan Allah Ta’ala itu tidak sempurna kecuali dengan kekuasaan sekutu-Nya. Atau terkadang ia menyangka, bahwa Allah Ta’ala tidak mengetahui hingga ia perlu diberitahu oleh perantara, Dia tidak menyayangi hingga butuh perantara yang menyayangi, Dia tidak bisa mencukupi hamba-Nya, atau Dia tidak bisa mengerjakan apa yang diinginkan hamba hingga perantara di sisi-Nya memberi syafa’at sebagai seorang makhluk memberi syafa’at di sisi makhluk yang lain kemudian Dia butuh menerima syafa’atnya karena Dia membutuhkan pemberi syafa’at dan manfaat darinya, memperbanyak sesuatu dengannya, dan memuliakan dengannya. Atau Dia tidak menjawab doa hamba-hamba-Nya hingga mereka harus berdoa kepada perantara agar perantara tersebut mengangkat doanya kepada-Nya seperti yang terjadi pada penguasa-penguasa dunia. Ini adalah akar syirik makhluk. Atau ia menduga, bahwa Allah Ta’ala tidak mendengar doa mereka karena Dia berjauhan dengan mereka hingga doa tersebut diangkat perantara Kepada-Nya. Atau ia menduga, bahwa makhluk mempunyai hak dalam doa tersebut. Semua ini adalah pengerdilan terhadap rububiyah dan peremukKan terhadap hak rububiyah. Syirik itu tidak lain adalah pengerdilan terhadap Allah Ssubhanahu wa Ta’ala dan pengerdilan (Kekurangan) itu melekat pada Allah Ta’‘ala. Itulah yang dikehendaki orang musyrik; ia setuju atau tidak. Oleh karena itu pujian Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan kesempurnaan rububiyahNya menghendaki Allah Ta’ala tidak mengampuni orang musyrik, membuatnya abadi dalam sika yang menyakitkan, dan menjadikannya sebagai manusia yang paling celaka. Jadi, Anda tidak melihat orang musyrik itu melainkan mengerdilkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, kendati ia mengklaim mengagungkan-Nya. Anda juga tidak melihat ahli bid’ah melainkan ia mengerdilkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, kendati ia mengklaim mengagungkannya dengan bid’ah tersebut. la mengklaim, bahwa bid’ah itu lebih baik dan lebih benar daripada Sunah, atau mengklaim bahwa bid’ah itu adalah Sunah, Kendati ia orang bodoh yang suka ikut-ikutan, dan kendati ia mengetahui bid’ahnya sesungguhnya ia menentang Allah dan Rasul-Nya. Jadi orang-orang yang mengerdilkan dan orang-orang yang Kerdil di sisi Allah Ta’ala, Rasul-rasul-Nya, dan wali-wali-Nya adalah orang-orang musyrik dan ahli bid’ah, terutama orang yang membangun agamanya dengan prinsip bahwa firman Allah dan sabda Rasul-Nya adalah dalil-dalil kata belaka yang tidak menghasilkan Keyakinan, dan sedikit pun tidak mengandung keyakinan dan ilmu! Ya Allah, sebegitu parahkah kondisi kaum Muslimin?

 

Begitu juga orang yang tidak mengakui sifat-sifat kesempurnaan Allah subhanahu wa Ta’ala karena khawatir menyerupakan Allah Ta’ala dengan makhluk. Sungguh ia melakukan pengerdilan terhadap Kesempurnaan yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada diri-Nya.

 

Maksud dari ini semua ialah menjelaskan bahwa orang musyrik dan ahli bid’ah adalah orang-orang Kerdil dan manusia paling Kerdil. Setan menghiasi mereka hingga mereka menduga bahwa kekerdilan mereka itu adalah Kesempurnaan. Oleh Karena itu, bid’ah adalah pasangan syirik dalam Kitabullah. Allah Ta’ala berfirman,

 

“Katakanlah, ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui (Al-A’raaf :33)

 

Jadi dosa dan kesesatan adalah satu pasangan. Syirik dan bid’ah adalah satu pasangan

 

Adapun kotoran dosa-dosa dan maksiat-maksiat, dari sisi yang lain, keduanya tidak menghendaki pengerdelian terhadap rububiyah dan buruk sangka terhadap Allah Azza wa Jalla. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memberikan hukuman dan hukum seperti yang Dia berikan kepada syirik. Begitulah, syariat Islam menentukan untuk memaafkan kotoran ringan, seperti kotoran yang ada pada beristinja’ dengan batu, kotoran yang ada di bawah kaos kaki atau sepatu, atau air kencing anak kecil yang masih menyusui, dan lain sebagainya. Syariat Islam tidak memaafkan kotoran berat. Syariat Islam juga mentolerir dosa-dosa kecil dan tidak mentolerir dosa-dosa besar. Syariat Islam juga memberi ampunan kepada orang bertauhid yang tidak mengotori tauhidnya dengan syirik dan tidak memberi ampunan kepada orang musyrik.

 

Jika orang bertauhid yang tidak menyekutukan Allah Ta’ala dengan sesuatu apa pun menghadap Allah Ta’ala dengan membawa kesalahan-kesalahan lain seberat bumi, maka Allah Ta’ala memberi ampunan kepadanya seberat bumi pula. Ini tidak diberikan Allah Ta’ala kepada Orang yang tauhidnya minus dan mengotorinya dengan syirik. Sesungguhnya tauhid murni yang tidak bercampur dengan syirik itu tidak menyisakan dosa di dalamnya. Tauhid seperti itu mengandung cinta kepada Allah Ta’ala, mengagungkan-Nya, takut kepada-Nya, berharap kepadaNya saja, dan mengharuskan pencucian dosa. Meski dosa-dosa tersebut seberat bumi, kotorannya sifatnya tidak kuat karena kekuatan pengusirnya lebih kuat. Oleh Karena itu, kotoran tersebut tidak bisa bertahan lama. Sedang kotoran zina, homoseksual, dan lain sebagainya, ia paling berat dibandingkan kotoran-kotoran lainnya, karena kotoran tersebut merusak hati dan melemahkan tauhid seseorang. Oleh karena itu, orang yang paling banyak kotorannya ialah orang yang paling banyak syiriknya. Jika syirik mendominasi seseorang, maka kotorannya dan keburukannya semakin membengkak. Sebaliknya, orang yang paling besar keikhlasannya adalah orang yang paling jauh dari praktek syirik seperti difirmankan Allah Ta’ala tentang Nabi Yusuf Alaihis Salam,

 

“Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf ‘termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.” (Yusuf: 24).

 

Sesungguhnya para pecinta gambar-gambar yang diharamkan Allah adalah termasuk bentuk ibadah kepada gambar-gambar tersebut, bahkan kecintaan kepada gambar-gambar tersebut termasuk jenis ibadah yang paling tinggi, apalagi jika cinta gambar menguasai hatinya dan menetap di dalamnya hingga menjadi tatayyum (ibadah), kemudian pecintanya menjadi budak baginya. Seringkali cinta kepadanya, ingat kepadanya, rindu kepadanya, berusaha mendapatkan keridhaannya, dan lebih mengutamakan kecintaanya itu lebih besar daripada cinta kepada Allah Ta‘ala, ingat kepada-Nya, dan berusaha mendapatkan keridhaanNya. Bahkan, terkadang cinta kepada Allah Ta’ala hilang total dari dalam hatinya kemudian yang tersisa ialah ketergantungannya kepada gambar seperti yang terlihat dalam realitas sehari-hari, kemudian gambar-gambar tersebut menjadi Tuhannya selain Allah Azza wa Jalla. !a mengutamakan keridhaannya dan cintanya daripada keridhaan Allah Ta’ala dan cinta-Nya, ia mendekatkan diri kepadanya daripada mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, berinfak di jalan keridhaannya dan tidak berinfak di jalan keridhaan Allah Ta’ala, ia menjauhkan diri dari kemurkaannya dan tidak menjauhkan diri dari kemurkaan Allah Ta’ala. Ia lebih diutamakan daripada Allah Ta’ala dalam cinta, kepatuhan, ketundukan, pendengaran, dan ketaatan.

 

Oleh Karena itu, cinta dan syirik ada dua hal yang inheren. Allah subhanahu wa Ta’ala mengisahkan cinta orang-orang musyrik pada kaum Nabi Luth, dan permaisuri Mesir yang ketika itu masih berstatus musyrik. Semakin besar kesyirikan seseorang, maka ia diuji dengan cinta gambar-gambar dan sebaliknya semakin kuat tauhid seseorang, maka dipalingkan dari padanya.

 

Tidak ada dosa-dosa yang lebih merusak hati, agama, dan dunia dari dua dosa besar ini (Zina dan homoseksual). Keduanya berperan kuat dalam menjauhkan hati dari Allah Ta’ala dan termasuk dosa-dosa yang paling buruk. Jika hati tercetak dengan keduanya pada orang yang tadinya baik-baik, maka tidak naik kepadanya kecuali hal-hal yang baik. Jika

 

hati semakin buruk, ia semakin jauh dari Allah Ta’ala. Oleh Karena itu, Al-Masih Isa bin Maryam berkata dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dalam buku Az-Zuhdu,

 

“Para pengangguran itu tidak berasal dari kalangan orang-orang yang cerdik pandai dan para penzina tidak akan memasuki kerajaan langit.” (Diriwayatkan Ahmad).

 

Karena keadaan para penzina Seperti itu, maka ia dekat dengan syirik dalam Kitabullah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

 

“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang penzina tidak ai kawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang Mukmin.” (An-Nuur: 3).

 

Yang benar, bahwa ayat di atas termasuk ayat-ayat muhkamat, harus diamalkan, tidak ada satu ayat pun yang me-nasakh-nya. ayat tersebut mengandung informasi dan larangan. Orang yang mengklaim ayat di atas di-nasakh tidak mampu mendatangkan dalil, padahal apa yang dianggap tidak jelas oleh kebanyakan manusia itu sesungguhnya sangat jelas. Mereka mendapatkan ketidakjelasan mengenai firman Allah, “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik.” Apakah ayat di atas merupakan informasi belaka, ataukah larangan, ataukah pembolehan? Jika ayat tersebut merupakan informasi, maka sesungguhnya seringkali kita temui para penzina itu menikahi wanita-wanita suci (bukan wanita penzina). Jika ayat tersebut merupakan larangan, berarti Allah Ta’ala melarang pria penzina menikah kecuali dengan wanita penzina atau wanita musyrik, maka itu berarti larangan baginya menikahi wanita-wanita Mukminah yang tidak berzina, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menyebutkannya secara gat’i. Karena mereka mendapatkan ketidakjelasan tentang ayat di atas, mereka meminta penafsiran tepat mengenai ayat di atas.

 

Sebagian di antara mereka berkata, bahwa yang dimaksud dengan nikah pada ayat di atas adalah hubungan seksual dan zina. Sepertinya Allah Ta’ala berfirman, “Pria penzina tidak berzina kecuali dengan wanita penzina atau wanita musyrik.”

 

Penafsiran seperti di atas sangat rancu dan tidak ada manfaat di dalamnya, serta firman Allah Ta’ala bersih dari penafsiran seperti itu, Karena sebagaimana diketahui, bahwa pria penzina tidak berzina kecuali dengan wanita penzina, dengan demikian apa manfaatnya penafsiran seperti di atas? Karena jumhur ahli tafsir melihat kerancuan penafsiran di atas, mereka pun berpaling dari padanya.

 

Kelompok lain berkata, ayat di atas sifatnya umum, namun makna khusus. Yang dimaksud dengan ayat di atas ialah pria penzina dan wanita penzina. Pria tersebut masuk Islam kemudian meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk menikahi wanita tersebut, kemudian turunlah ayat di atas.

 

Penafsiran di atas juga tidak benar, sesungguhnya kasus di atas kendati ia menjadi sebab turunnya ayat, sesungguhnya Al-Qur’an tidak membatasi dengannya. Jika itu yang terjadi, maka hujah tidak dibenarkan dengan penafsiran seperti itu.

 

Kelompok lain berkata, bahwa ayat di atas dinasakh dengan firman Allah Ta’ala “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara Ralian.” (An-Nuur: 32).”

 

Penafsiran di atas lebih rusak daripada semua penafsiran sebelumnya, karena tidak ada kontradiksi di antara kedua ayat di atas. Yang benar, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan menikahkan anak-anak yatim dan melarang menikahi wanita penzina seperti halnya Allah Ta’ala mengharamkan menikahi wanita yang berada pada masa iddah, wanita-wanita yang haram dinikahi, dan wanita-wanita muhrim. Mana nasikh dan mansukh pada ayat di atas?

 

Jika ada yang bertanya, jika demikian bagaimana penafsiran yang benar tentang ayat di atas?

 

Jawabnya, wallhu a’lam bahwa orang yang hendak menikah diperintahkan menikahi wanita yang suci (tidak pernah berzina). Itulah persyaratannya jika ia hendak menikah, sebagaimana hal ini disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala di surat An-Nisa’ dan Al-Maidah. Jika sebuah hukum dikaitkan dengan persyaratan, maka hukum tersebut hilang dengan hilangnya persyaratannya. Pembolehan juga dikaitkan dengan syarat kesucian, maka jika syarat tersebut tidak ada, maka hilang pula pembolehan yang disyaratkan dengannya. Orang yang hendak menikah dihadapkan pada dua pilihan; Pertama, ia beriltizam dengan hukum Allah, dan syariat-Nya yang telah Dia syariatkan melalui lisan RasulNya. Kedua, ia tidak beriltizam dengan hukum Allah dan syariat-Nya. Dialah orang musyrik, karena ia tidak mau menikah kecuali dengan orang musyrik seperti dirinya. Jika ia iltizam dengan hukum Allah, namun ia menentangnya dengan menikahi orang-orang yang diharamkan baginya, maka pernikahan tidak sah dan ia adalah seorang penzina. Dengan demikian, sudah jelaslah makna firman Allah Ta’ala, “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik.” Ya, makna ayat di atas terlihat dengan amat jelas, begitu juga hukum bagi wanita.

 

Sebagaimana hukum ini adalah tuntutan Al-Qur’an dan penegasan Al-Qur’an, hukum tersebut juga tuntutan fitrah dan tuntutan akal. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan hamba-Nya menjadi pasangan dayyuts (cuek kepada maksiat) dengan menikah orang yang rusak. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia membenci hal yang demikian dan muak dengannya. Ya, Allah mengharamkan seorang Muslim menjadi orang seperti itu.

 

Dengan demikian, sudah semakin jelaslah hikmah pelarangan ayat di atas dan maknanya.

 

Al9lah Pemberi Petunjuk.

 

Di antara yang memperjelas pelarangan, bahwa yang cocok dengan syariat Islam yang integral ini bahwa zina yang dilakukan wanita ini adalah menyebabkan kekisruhan di ranjang suaminya, dan merusak nasab yang dijadikan Allah Ta’ala di antara mereka untuk kemaslahatan mereka dan Allah mengkategorikannya sebagai nikmat dari-Nya. Zina itu mengakibatkan kesimpang siuran pada sperma dan ketidakjelasan naSab keturunan. Oleh karena itu, di antara keindahan syariat ini, ia mengharamkan menikahi wanita penzina hingga wanita penzina tersebut ber. tobat dan melepaskan diri dari praktik zina.

 

Selain itu, sesungguhnya wanita penzina itu wanita kotor sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Di sisi lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan pernikahan sebagai sarana untuk menjalin cinta, dan kasih sayang, maka bagaimana wanita kotor bisa dicintai orang yang baik-baik, dan menjadi pasangannya? Ketidakcocokan pasti terjadi antara orang baik dengan wanita kotor menurut syariat dan takdir. Bersama wanita kotor, orang baik-baik tidak akan mendapatkan keserasian, jalinan kasih sayang, dan cinta. Sungguh tepat orang yang berpendapat dengan pendapat seperti ini dan melarang pria menikahi wanita kotor.

 

Bagaimana pendapat di atas bisa dibandingkan dengan pendapat yang membolehkan pria baik-baik menikahi wanita penzina dan bersenggama dengannya pada malam ini, padahal malam sebelumnya wanita tersebut telah bersenggama dengan orang lain?

 

Kelompok yang berpendapat dengan pendapat di atas berkata, bahwa ovum wanita penzina itu tidak ada kesucian di dalamnya. Jika permasalahannya demikian, sesungguhnya sperma laki-laki itu suci, maka bagaimana diperbolehkan pertemuan spermanya dengan ovum kotor dalam satu rahim?

 

Maksud dari ini semua ialah menjelaskan, bahwa Allah Subhanahu we Ta’ala menamakan pria-pria penzina dan wanita-wanita penzina sebagai pria-pria kotor dan wanita-wanita kotor. Hubungan seksual ini disyariatkan adanya pencucian dalam syariat Islam, meski hubungan seksual tersebut halal, dan pelakunya dinamakan junub, karena ia tidak dibenarkan membaca Al-Qur’an, mengerjakan shalat, dan mendekati masjid. la dilarang melakukan semua aktivitas di atas hingga ia dibersihkan dengan air. Begitu juga, jika hubungan seksual dilakukan secara haram, ia menjauhkan hati dari Allah Ta’ala, menjauhkannya dari akhirat, dan menjauhkannya dari iman, hingga ia mengadakan pembersihan total dengan tobat, dan membersihkan badannya dengan air.

 

Firman Allah Ta’ala tentang kaum Nabi Luth Alaihis Salam,

 

“Usirlah Luth beserta keluarganya dari negeri kalian, arena sesungguhnya mereka orang-orang yang (mendakwakan dirinya) bersih.” (An-Naml: 56).

 

Adalah sama dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’’ala tentang ashabul ukhdud,

 

“Dan mereka tidak menyiksa orang-orang Mukmin melainkan karena orang-orang Mukmin itu beriman kepada Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji.” (Al-Buruj: 8).

 

Dan sama dengan firman Allah Ta’ala,

 

“Katakanlah, ‘Hai Ahli kitab, apakah kalian memandang kami salah, hanya lantaran kami beriman kepada Allah, kepada apa yang diturunkan kepada kami dan kepada apa yang diturunkan sebelumnya, sedang kebanyakan di antara kalian benar-benar orang-orang yang asik.” (Al-Maidah: 59).

 

Begitu juga orang musyrik, ia menyiksa orang bertauhid tidak lain karena orang bertauhid memurnikan tauhidnya dan tidak menodai tauhidnya dengan syirik. Begitu juga ahli bid’ah, ia menyiksa pengikut Sunah tidak lain disebabkan karena pengikut Sunah memurnikan ittiba’nya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, tidak mengotori dirinya dengan pendapat tokoh-tokoh selain Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan sesuatu apa pun yang menyalahi Sunah beliau. Kesabaran orang bertauhid dan orang yang mengikuti Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam terhadap penyiksaan oleh orang musyrik dan ahli bid’ah adalah lebih bermanfaat, lebih baik, dan lebih mudah baginya daripada kesabarannya terhadap penyiksaan oleh Allah dan Rasul-Nya disebabkan ia berkompromi dengan orang musyrik, dan ahli bid’ah.

 

Setiap organ tubuh dari organ tubuh manusia diciptakan untuk tugas khusus. Kesempurnaan organ tubuh ialah dengan terjadinya aktivitas darinya. Dan ciri-ciri organ tubuh yang sakit ialah ia gagal mewujudkan tugas yang diciptakan untuknya hingga tidak terjadi aktivitas darinya, atau terjadi aktivitas darinya namun tidak sempurna. Misalnya di antara ciri-ciri tangan yang sakit ialah ia tidak bisa bergerak. Ciri-ciri mata yang sakit ialah tidak bisa melihat dan memandang. Ciri-ciri lisan yang sakit ialah tidak bisa berbicara. Ciri-ciri badan yang sakit ialah tidak bisa bergerak secara alami atau gerakannya lemah. Ciri-ciri hati yang sakit ialah tidak bisa melakukan apa yang diciptakan Allah Ta’ala untuknya yaitu mengenal Allah Ta’ala, mencintai-Nya, rindu bertemu dengan-Nya, inabah kepada-Nya, dan mengutamakan Allah Ta’ala atas semua syahwat.

 

Jika seseorang mengetahui segala sesuatu, namun ia tidak mengenal Tuhannya, ia seolah-olah tidak mengetahui sesuatu apa pun. Jika ia memperoleh seluruh keuntungan dunia, kelezatannya, dan syahwatnya, namun ia gagal memperoleh kecintaan Allah Ta’ala, rindu kepada-Nya, dan tenteram dengan-Nya, ia sepertinya tidak pernah mendapatkan kelezatan, kenikmatan, dan penyejuk mata. Bahkan, jika hati gagal mendapatkan itu semua, maka keberuntungan dan kelezatan berubah menjadi siksa baginya dan itu sebuah keniscayaan. Ia tersiksa dengan kenikmatan yang ada padanya dari dua arah;

 

Pertama, ia merugi ketika seluruh keberuntungan dan kenikmatan telah hilang darinya, dan ia dijauhkan dari kenikmatan tersebut padahal hatinya sangat menyatu dengannya.

 

Kedua, ia kehilangan mendapatkan sesuatu yang sangat bermanfaat dan amat langgeng baginya. Sesuatu yang ia cintai yang telah ia dapatkan tidak lama lagi akan hilang dari dirinya dan sesuatu yang paling besar dicintainya gagal ia dapatkan.

 

Semua orang yang mengenal Allah Ta’ala, pasti ia mencintai-Nya, mengikhlaskan diri karena-Nya, dan tidak mengutamakan sesuatu selain Allah. Ini sebuah keniscayaan yang harus terjadi. Sedang Barang siapa mencintai sesuatu selain Allah Ta’ala, maka hatinya sakit sebagaimana halnya jika lambung terbiasa menerima pasokan makanan-makanan yang kotor dan mengutamakannya atas makanan-makanan yang bersih, maka selera terhadap makanan-makanan yang bersih hilang dari lam bung dan berubah menjadi menyukai makanan-makanan yang kotor

 

Terkadang hati itu sakit dan sakitnya amat parah, namun pemiliknya tidak menyadarinya, karena ia sibuk dan berpaling dari mengetahui kesehatannya dan sebab-sebabnya. Bahkan, terkadang hati itu mati, namun pemiliknya tidak menyadari kematiannya. Ciri-ciri hati yang mati ialah ia tidak merasakan sakitnya luka-luka keburukan, kebodohannya terhadap kebenaran, dan akidahnya yang batil. Sesungguhnya jika di dalam hati terdapat kehidupan, ia menderita dan sakit terhadap datangnya keburukan kepadanya. Ia menderita dengan kebodohannya terhadap kebenaran dan itu tergantung kepada kehidupan hatinya.

 

Terkadang seseorang merasakan hatinya sakit, namun ia amat berat dalam menanggung pahitnya obat dan bersabar terhadapnya. Ia lebih menyukai kelangsungan sakitnya daripada pahitnya obat. Sesungguhnya obat bagi penyakit hatinya ialah dengan menentang hawa nafsu. Itulah yang paling sulit bagi jiwa dan tidak ada yang paling bermanfaat baginya selain hal tersebut.

 

Terkadang seseorang mengondisikan dirinya untuk bisa bersabar, kemudian tekatnya memudar dan tidak berkelanjutan, karena kelemahan ilmunya, hati nuraninya, dan kesabarannya, seperti halnya orang yang memasuki jalan rawan bahaya namun jalan tersebut mengantarkannya kepada puncak keamanan. la mengetahui bahwa jika ia bersabar terhadapnya, maka ketakutan akan sirna dan berganti dengan keamanan. Ia amat membutuhkan kekuatan kesabaran, dan kekuatan keyakinan yang membuatnya bersabar terhadapnya. Jika kesabarannya dan keyakinannya melemah, ia berbalik arah, dan tidak kuasa menanggung kesulitan perjalanan, apalagi jika ia tidak mendapatkan teman seperjalanan, dan merasa ngeri karena berjalan sendirian. Ia berkata dalam benaknya, “Ke mana manusia pergi, mereka semua adalah tauladan bagiku?”

 

Itulah keadaan sebagian besar manusia dan itulah yang membinasakan mereka. Sedang orang yang berhati nurani dan jujur, ia tidak merasa takut terhadap sedikitnya teman seperjalanan, dan tidak adanya teman seperjalanan jika hatinya merasa keikutsertaan generasi awal yang telah diberi nikmat oleh Allah yaitu para Nabi, orang-orang yang jujur, para syuhada’, dan orang-orang yang shalih. Mereka itulah sebaik-baik teman pergaulan. Jadi kesendirian seseorang dalam perjalanan yang dicarinya adalah bukti kebenaran pencariannya.

 

Ishaq bin Rahawih pernah ditanya tentang suatu masalah kemudian ia menjawabnya. la ditanya, “Sesungguhnya saudaramu, Ahmad bin Hanbal berkata dalam masalah ini seperti jawaban Anda?” Ishag bin Rahawih menjawab, ‘Aku tidak pernah menyangka ada orang yang sependapat denganku dalam masalah ini, dan setelah munculnya Kebenaran padanya ia tidak merasa ngeri Karena tidak adanya teman perjalanan. Sesungguhnya jika kebenaran terlihat dengan jelas, ia tidak membutuhkan saksi yang memberikan kesaksian terhadapnya. Hati itu melihat kebenaran, sebagaimana mata melihat matahari. Jika seseorang telah melihat matahari, ia tidak membutuhkan orang yang memberi Kesaksian bersamanya dan sepakat bersamanya bahwa matahari tersebut telah terbit.”

 

Alangkah indahnya apa yang dikatakan Abu Muhammad Abdurrahman bin Ismail yang terkenal dengan panggilan Abu Syamah dalam buku Al-Hawaditsu wa Al-Bida’u, “Beriltizam dengan jamaah itu diperintahkan. Yang dimaksud dengan ungkapan di atas ialah beriltizam dengan Kebenaran dan pengikutnya, kendati orang yang berpegang teguh Kepada kebenaran tersebut sedikit sekali, dan orang yang menentangnya sangat banyak.”

 

Ini karena kebenaran adalah sesuatu yang dianut oleh generasi pertama sejak masa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan sahabat-sahabatnya, dan ini tanpa melihat kepada banyaknya ahli bid’ah sepeninggal mereka.

 

Amr bin Maimun Al-Audi berkata, ‘Aku menemani Muadz di Yaman. Aku berpisah dengannya Ketika ia meninggal dunia dan dikubur di Syam. Sesudah Muadz meninggal, aku menemani manusia yang paling ahli figh yaitu Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu. Aku dengar ia berkata, ‘Hendaklah kalian berpegang teguh Kepada jamaah, Karena Sesungguhnya Tangan Allah berada di atas jamaah.’ Pada hari yang lain, aku dengar Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu berkata, ‘Suatu saat nanti akan datang Kepada Kalian pemimpin-pemimpin yang menunda shalat-shalat dari waktunya, maka shalatlah kalian tepat pada waktunya, Karena shalat-shalat adalah kewajiban fardhu, kemudian shalatlah bersama mereka, Karena ia adalah ibadah Sunah bagi Kalian’.” Sambung Amr bin Maimun Al-Audi, “Aku berKata, ‘Hai saahabat-sahabat Muhammad, aku tidak tahu apa yang Kalian katakan kepada kami? Apa maksudnya? Engkau menyuruhku berpegang teguh kepada jamaah dan menganjurkanku kepadanya, Kemudian engkau mengatakan, shalatilah sendiri, Karena shalat adalah Kewajiban fardhu, kemudian shalatlah bersama jamaah, Karena ia adalah ibadah Sunah?’” Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu berkata, “Hai Amr bin Maimun, aku pikir engkau manusia yang paling ahli fiqh di desa ini, tahukah engkau yang dimaksud dengan jamaah?” Amr bin Maimun menjawab, “Tidak.” Abdullah bin Mas’ud berkata, “Sesungguhnya jamaah adalah sesuatu yang sesuai dengan kebenaran, kendati engkau sendirian di dalamnya.” Dalam versi lain disebutkan, ‘Abdullah bin Mas’ud menepuk pahaku dan berkata, ‘Celaka engkau, sesungguhnya sebagian besar manusia itu meninggalkan jamaah, dan sesungguhnya jamaah yang sesuai dengan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla.’”

 

Nu’aim bin Hammad berkata, “Maksudnya, jika jamaah telah rusak, hendaklah engkau berpegang teguh kepada sesuatu yang ada pada jamaah sebelum jamaah tersebut rusak, kendati engkau sendirian dj dalamnya, karena sesungeuhnya ketika itu engkau adalah jamaah.” Ini disebutkan Al-Baihagi, dan lain sebagainya.

 

Abu Syamah berkata dari Mubarak dari Hasan Basri yang berkata, “Sunah, dan Dzat yang tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Dia, berada di antara orang yang berlebih-lebihan dengan orang yang keras, maka bersabarlah terhadap Sunah, mudah-mudahan kalian dirahmati Allah. Sesungguh pengikut Sunah itu jumlahnya sedikit pada zaman yang silam dan pada zaman mendatang. Yaitu mereka yang tidak ikut-ikutan dengan orang-orang mewah dalam kemewahan mereka dan orang-orang ahli bid’ah dalam bid’ah mereka. Mereka bersabar terhadap Sunah mereka hingga mereka berjumpa dengan Allah. Maka kalian hendaknya juga demikian, /nsya Allah.”

 

Muhammad bin Aslam At-Tusi adalah seorang imam yang diakui keimamannya, kedudukannya tinggi, dan manusia yang paling konsekwen dengan Sunah pada zamannya, hingga ia berkata, “Tidaklah aku mendapatkan Sunah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melainkan aku segera mengamalkannya. Sungguh aku terbiasa thawaf di Baitullah di atas kendaraan. Ketika aku dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba salah seorang dari orang berilmu pada zamannya ditanya tentang yang dimaksud dengan as-sawad al-a’dzam (kelompok terbesar) yang disebutkan dalam suatu hadits, ‘Jika manusia berbeda pendapat, maka hendaklah kalian berpegang teguh kepada as-sawad al-a’dzam (kelompok terbesar).’ Orang berilmu tersebut menjawab, ‘Muhammad bin Aslam AtTusi aas-sawad al-a’dzam (kelompok terbesar)’.”

 

Demi Allah, ia benar, karena suatu zaman, jika di dalamnya terdapat orang yang mengerti tentang Sunah dan mengajak manusia kepadanya, ia adalah hujah dan ijma’, serta as-sawad al-a’dzam (kelompok terbesar). Dia adalah jalan bagi orang-orang beriman. Jika orang berpaling dari jalan tersebut, dan menuruti hawa nafsunya, maka Allah menguasakannya kepada siapa yang dikehendakinya, dan memasukkannya ke dalam Jahanam. Itulah tempat yang paling buruk.

 

Maksud dari ini semua ialah menjelaskan, bahwa di antara ciri-ciri hati yang sakit ialah ia beralih dari konsumsi-konsumsi yang bermanfaat dan sesuai dengan hatinya kepada konsumsi-konsumsi yang membahayakan. Ia berpaling dari obat-obatnya yang bermanfaat kepada obat-obatan yang membahayakan.

 

Di sini ada empat hal;

 

Pertama, konsumsi yang bermanfaat.

Kedua, obat yang menyembuhkan.

Ketiga, konsumsi yang membahayakan.

Keempat, obat yang mematikan.

 

Hati yang sehat itu memilih sesuatu yang bermanfaat dan menyembuhkan daripada sesuatu yang membahayakan dan menyakitkan, dan hati yang sakit memilih yang sebaliknya.

 

Konsumsi-konsumsi yang paling bermanfaat adalah konsumsi iman, obat-obatan yang paling bermanfaat adalah obat Al-Qur’an, dan di dalam keduanya terdapat konsumsi dan obat.

 

Di antara ciri-ciri hati yang sehat yang lain ialah ia pergi dari dunia kemudian singgah di akhirat, dan berdomisili di dalamnya hingga seakan-akan ia termasuk penduduk akhirat dan anak-anak akhirat. la pergi ke dunia dalam keadaan terasing, ia mengambil dunia sebatas kebutuhannya, kemudian pulang kembali ke tanah airnya, seperti disabdakan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhuma,

 

“Jadilah engkau di dunia seakan-akan engkau orang asing atau penyeberang jalan. Anggaplah engkau termasuk orang-orang penghuni kuburan.”

 

Disebutkan dalam sebuah syair,

 

Mari kita pergi menuju surga Aden

 

Karena sesungguhnya ia adalah negerimu yang pertama dan di dalamnya terdapat kemah-kemah

 

Tronisnya, kita tertawan oleh musuh-musuh kita

 

Adakah engkau melihat, pada suatu saat nanti kita pula kembali ke tanah air kita dalam keadaan selamat?

 

Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu berkata, “Sesungguhnya dunia telah pergi dengan mundur, dan akhirat datang dengan maju, serta masing-masing dari keduanya mempunyai anak-anak. Maka jadilah kalian anak-anak akhirat, dan jangan menjadi anak-anak dunia, karena hari ini adalah amal perbuatan tanpa hisab di dalamnya, dan kelak adalah hisab tanpa amal perbuatan di dalamnya.”

 

Jika hati sehat dari penyakit, ia pergi ke akhirat dan dekat kepadanya hingga ia menjadi salah seorang dari penghuninya. Sebaliknya, jika hati sakit, dan tidak normal, ia mengutamakan dunia, dan menjadikan dunia sebagai tempat kediamannya hingga ia menjadi salah seorang dari penghuninya.

 

Di antara ciri-ciri lain tentang hati yang sehat, ia Senantiasa memukul pemiliknya hingga bertobat kepada Allah Ta’ala, khusyu’ kepada-Nya, dan menyatu dengan-Nya seperti penyatuan pecinta yang membutuhkan kekasihnya di mana ia tidak mendapatkan kehidupan, keberuntungan, kenikmatan, dan kesenangan, kecuali dengan keridhaanNya, berinteraksi dengan-Nya, ia mendapatkan kedamaian di dalamNya, ia merasa senang kepada-Nya, kepada-Nya ia berlindung, ia berbahagia dengan-Nya, bertawakal kepada-Nya, ia yakin kepada-Nya, ia berharap kepada-Nya, takut kepada-Nya, dzikir kepada-Nya adalah kekuatannya dan konsumsinya, ia mencintai-Nya, rindu kepada-Nya, berpaling dari selain Dia, dan menyatu dengan selain Dia adalah penyakit baginya, serta kembali kepada-Nya adalah obat baginya.

 

Jika ia telah mendapatkan Tuhannya, ia senang kepada-Nya, tenteram dengan-Nya, sirna darinya kegoncangan dan kepanikan, serta muncullah perasaan butuh (miskin) kepada-Nya. Sesungguhnya di dalam hati terdapat kemiskinan yang tidak bisa ditutup oleh sesuatu selain Allah saja selama-lamanya. Di dalam hati terdapat perpecahan yang tidak bisa didamaikan kecuali oleh sikap menghadap kepada-Nya. Di dalamnya terdapat penyakit yang tidak bisa disembuhkan kecuali oleh ikhlas kepada Allah Ta’ala, dan beribadah hanya kepada-Nya.

 

Ya, hati selalu memukul pemiliknya hingga ia merasa tenteram dan damai kepada Tuhannya yang berhak disembah. Ketika itulah, hati merasakan ruh kehidupan, dan kenikmatannya, serta mendapatkan kehidupan lain yang berbeda dengan kehidupan orang-orang yang lalai yang berpaling dari hal yang diciptakan untuknya ini, surga dan neraka diciptakan oleh karenanya, untuknya para Rasul diutus dan Kitab-kitab diturunkan. Jika ia tidak mempunyai imbalan selain inti keberadaan dirinya, maka imbalan itu sudah cukup baginya, dan cukuplah bahwa ketidakadaan hal tersebut adalah kerugian dan siksaan.

 

Salah seorang dari ulama berkata, “Penghuni-penghuni dunia itu miskin. Mereka pergi dari dunia tanpa mampu merasakan sesuatu yang paling nikmat di dalamnya.” Ditanyakan kepadanya, ‘Apa sesuatu yang paling nikmat di dalamnya?” Ia menjawab, “Yaitu mencintai Allah, damai dengan-Nya, rindu berjumpa dengan-Nya, senang dengan dzikir kepadaNya dan taat kepada-Nya.”

 

Salah seorang ulama yang lain berkata, “Sesungguhnya waktuwaktu berjalan kepadaku dan pada waktu-waktu tersebut aku berkata bahwa penghuni surga pada waktu seperti ini pasti berada dalam kehidupan yang paling enak.”

 

Salah seorang ulama yang lain berkata, “Demi Allah, dunia tidak indah kecuali dengan mencintai Allah, dan taat kepada-Nya. Tidak ada surga kecuali dengan melihat-Nya dan memandang-Nya.”

 

Abu Al-Husain Al-Waraq berkata, “Kehidupan hati ialah dengan dzikir kepada Dzat Yang Mahahidup yang tidak mati, dan kehidupan yang indah ialah bersama Allah Ta’ala dan tidak bersama yang lain.”

 

Oleh Karena itu, bagi para ulama sesungguhnya kehilangan Allah Ta’ala itu sangat menyakitkan daripada kematian, karena kehilangan Allah Ta’ala berarti terputus dari kebenaran, dan kematian adalah terputus dari manusia, maka betapa jauh perbedaan antara keduanya!

 

Ulama lain berkata, “Barang siapa matanya terhibur dengan Allah Ta’ala, maka semua mata merasa terhibur dengannya. Dan Barang siapa matanya tidak terhibur dengan Allah, maka hatinya terputus dari dunia dalam Keadaan merugi.”

 

Yahya bin Muadz berkata, “Barang siapa senang dengan mengabdi kepada Allah, maka segala sesuatu merasa senang mengabdi kepadanya, dan Barang siapa matanya merasa terhibur dengan Allah, maka mata semua Orang merasa terhibur melihatnya.”

 

Ciri-ciri hati yang sehat yang lain, ialah tidak malas dari dzikir kepada Tuhannya, tidak jenuh dari berkhidmah Kepada-Nya, dan tidak damai dengan selain Dia, Kecuali orang yang menunjukkannya kepada Allah Ta’ala, mengingatkannya kepada-Nya, dan mengingatkannya Kepada persoalan ini.

 

Ciri-ciri hati yang sehat yang lain, ialah jika ia tidak melakukan wirid, ia merasakan penderitaan yang lebih menyakitkan daripada penderitaan penghuni dunia yang kehilangan harta.

 

Ciri-ciri hati yang sehat yang lain, ia rindu ingin selalu mengabdi Kepada Allah Ta’ala, sebagaimana orang yang Kelaparan merindukan makanan dan minuman.

 

Ciri-ciri hati yang sehat yang lain, ialah jika ia memasuki shalat, maka hilang dari padanya kegalauannya dan kegelisannya terhadap dunia. la ingin segera keluar dari dunia. Di dalamnya, ia mendapatkan kesenangannya, kenikmatannya, penyejuk matanya, dan kedamaian hatinya.

 

Diri-ciri hati yang sehat yang lain, bahwa obsesinya adalah satu yaitu Allah Ta’ala saja.

 

Ciri-ciri hati yang sehat yang lain, ialah bahwa ia sangat kikir dengan waktunya jika waktunya hilang secara sia-sia daripada orang yang kikir dengan hartanya.

 

Ciri-ciri hati yang sehat yang lain ialah bahwa perhatian terbesarnya ialah meluruskan amal perbuatan yang lebih besar dengan amal perbuatan. la berusaha keras untuk ikhlas dalam amal perbuatannya, memberi nasihat, memantaunya, dan berbuat baik. la bersaksi, bahwa itu adalah karunia Allah Ta’ala padanya dan keterbatasan dirinya terhadap hak Allah terhadapnya.

 

Keenam kesaksian ini tidak bisa disaksikan kecuali oleh hati yang sehat dan selamat.

 

Kesimpulannya, hati yang sehat ialah hati yang obsesinya terbesarnya terfokus kepada Allah Ta’ala, kecintaannya tercurah kepada Allah, semua keinginan terarah kepada-Nya, badannya adalah untuk-Nya, Semua amal perbuatadalah milik-Nya, tidurnya adalah milik-Nya, tidak tidurnya adalah milik-Nya, firman Allah Ta’ala dan menceritakan firman-Nya adalah sesuatu yang paling disukainya daripada semua pembicaraan, semua pikirannya melayang-layang dalam keridhaan-Nya dan kecintaan-Nya. Berduaan dengan-Nya lebih ia utamakan daripada pergaulan kecuali jika pergaulan tersebut sangat dicintai Allah Ta’ala dan sangat diridhai-Nya. Penyejuk matanya ialah dengan Allah Ta’ala. ketenteramannya dan kedamaiannya ialah kepada-Nya. Jika muncul dalam dirinya keinginan kepada selain Allah Ta’ala, ia membacakan kepadanya ayat berikut,

 

“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (Al-Fajr: 27-30).

 

la membacakan berulang-ulang ayat di atas kepada hatinya agar ia mendengarnya dari Tuhannya pada hari perjumpaan dengan-Nya, kemudian hatinya tercetak di hadapan Tuhannya yang berhak disembah dan Yang Mahabenar dengan cetakan ubudiyah, kemudian ubudiyah menjadi sifatnya dan cita rasa yang tidak dipaksakan. la datang kepada ubudiyah dengan perasaan cinta, senang, dan taqarrub, sebagaimana seorang pecinta mencintai kekasihnya dengan mengabdi kepadanya, dan memenuhi kebutuhannya. Setiapkali ia mendapatkan perintah atau larangan dari Tuhannya, ia merasa dari dalam hatinya ada penyeru yang berseru, “Aku sambut panggilan-Mu ya Allah. Aku mendengar seruanMu, menaatinya, dan mengamalkannya. Engkau mempunyai karunia atas diriku dalam hal ini, dan segala pujian kembali kepada-Mu.”

 

Jika ia mendapatkan takdir, ia menemukan dalam hatinya penyeru yang berkata, ‘Aku adalah hamba-Mu, orang miskin-Mu, dan orang fakir-Mu. Aku adalah hamba-Mu yang fakir yang tidak berdaya, yang lemah, dan yang miskin. Sedang Engkau adalah Tuhanku Yang Mahaperkasa dan Maha Penyayang. Aku tidak mempunyai kesabaran, jika Engkau tidak memberikan kesabaran kepada-Ku. Aku tidak mempunyai kekuatan, jika Engkau tidak menanggungku dan menguatkanku. Tidak ada tempat perlindungan bagiku dari-Mu kecuali kepada-Mu. Tidak tempat meminta pertolongan bagiku kecuali dengan-Mu. Aku tidak bisa berpaling dari pintu-Mu dan tidak ada pintu masuk bagiku dari-Mu.”

 

Kemudian ia dengan sepenuh hatinya menjatuhkan diri di hadapan Allah Ta’ala, dan bergantung kepada-Nya. Jika ditimpa sesuatu yang tidak mengenakkan, ia berkata, “Ini adalah rahmat yang dihadiahkan kepadaku, dan obat mujarab dari Dokter yang Maha Penyayang.” Jika sesuatu yang dicintainya berpaling dari padanya, ia berkata, “Ini adalah keburukan yang dipalingkan dariku.”

 

Dikatakan dalam syair,

 

Betapa seringnya aku menginginkan sesuatu dan engkau mengharapkanku berpaling darinya

 

Namun engkau tetap berbuat baik dan sayang kepadaku

 

Apa Saja yang menimpanya; kesenangan dan penderitaan, ia menjadikannya sebagai jalan kepada Allah Ta’ala, kemudian terbukalah pintu untuk masuk kepada-Nya, seperti dikatakan oleh seorang penyair,

 

Tidaklah takdir yang tidak mengenakkan atau yang mengenakkan menimpaku

 

Kecuali dengannya aku mendapatkan jalan kepada-Mu

 

Jadikan aku ridha terhadap qadha’

 

Sesungguhnya dalam ujian aku dapatkan Dzat yang Pengasih

 

Demi Allah, sungguh hebat hati seperti itu, rahasia-rahasia yang dikandungnya, dan simpanan kekayaan yang diberikan kepadanya! Demi Allah, rahasia-rahasianya amat indah, terutama ketika rahasia-rahasia tersebut diperlihatkan, seperti dikatakan salah seorang penyair,

 

Akan terlihat padanya keindahan, cahaya, kegembiraan

 

Dan sanjungan yang baik ketika rahasia-rahasia diperlihatkan

 

Demi Allah, sungguh diperlihatkan kepada hati tersebut ilmu yang agung kemudian ia mencarinya dengan serius. Jalan yang lurus terlihat dengan jelas baginya, kemudian ia istiqamah terhadapnya. la diajak oleh apa yang bukan tujuannya tertinggi kemudian ia tidak menjawabnya. la memilih kebalikannya, dan mengutamakan apa yang ada di sisi Allah Ta’ala.

 

Bab ini adalah asas dan akar dari bab-bab sebelumnya. Sesungguhnya semua penyakit hati itu disebabkan hawa nafsu. Semua hal-hal yang rusak, semuanya disebabkan hawa nafsu, kemudian dari padanya pindah ke organ tubuh. Dan yang pertama kali diserangnya ialah hati. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa sallam berkata dalam Khutbah hajah,

 

“Segala puji bagi Allah. Kita meminta pertolongan-Nya, meminta petunjuk-Nya, memohon ampunan-Nya, dan berlindung diri kepada Allah dari keburukan hawa nafsu kita dan kesalahan amal perbuatan kita.” (Diriwayatkan Abu Daud, At-Tirmidzi, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi).

 

Dalam Al-Musnad, dan Jami’ At-Tirmidzi disebutkan hadits dari Hushain bin Ubaid yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepadanya,

 

“Hai Hushain, berapa kali engkau beribadah?” Hushain bin Ubaid menjawab, “Tujuh kali. Enam kali di bumi, dan sekali di langit.” RaSulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Siapakah yang engkau harapkan dan takutkan?” Hushain bin Ubaid menjawab, “Yang ada di langit.” Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Masuk Islamlah hingga aku ajarkan kepadamu kalimat-kalimat yang Allah menjadikannya bermanfaat bagimu.” Hushain bin Ubaid pun masuk Islam, kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Ya Allah, berilah aku petunjuk, dan Jagalah aku dari keburukan hawa nafsuku.” (Diriwayatkan At-Tirmidzi, dan Ahmad).

 

Sungguh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Salam meminta perlin. dungan dari Keburukan hawa nafsu secara umum, kemudian meminta perlindungan diri dari keburukan amal perbuatan yang timbul dari, padanya, serta meminta perlindungan dari hal-hal yang tidak mengenak. kan dan siksaan yang terjadi karenanya. Jadi Rasulullah Shallallahy Alaihi wa Sallam meminta perlindungan dari keburukan hawa nafsu dan kesalahan amal perbuatan. Ada dua persoalan penting dalam hal ini;

 

Pertama, bahwa itu adalah penyandaran (‘idha’ah) satu bagian kepada jenisnya. Maksudnya, aku berlindung diri kepada-Mu dari bagian amal perbuatan seperti ini.

 

Kedua, bahwa yang dimaksud dengan ungkapan pada hadits di atas ialah siksaan-siksaan amal perbuatan yang membuat pelakunya menderita.

 

Berdasarkan penafsiran pertama, bahwa Rasulullah Shallallahy Alaihi wa Sallam berlindung diri dari sifat hawa nafsu dan amal perbuatannya.

 

Berdasarkan penafsiran kedua, bahwa beliau berlindung diri dari siksaan-siksaan dan sebab-sebabnya.

 

Amal perbuatan yang salah masuk dalam cakupan Keburukan hawa nafsu. Apakah yang dimaksud; balasan amal perbuatanku yang membuatku menderita, atau dari amal perbuatanku yang salah? Bisa jadi makna yang benar adalah kemungkinan pertama, sebab yang dimaksud dengan perlindungan diri dari amal perbuatan yang salah jika ia telah terjadi, ialah perlindungan diri dari balasannya. Jika tidak, sesungguhnya sesuatu yang ada itu tidak bisa dihilangkan.

 

Para salikin (pejalan spiritual) kepada Allah, kendati jalan mereka berbeda-beda, mereka telah sepakat bahwa hawa nafsu menghalangi hati tiba kepada Allah Ta’ala, hati tersebut tidak dimasuki Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan Allah Ta’ala tidak mengantarkannya kepada-Nya kecuali setelah ia mematikan hawa nafsu, dan meninggalkannya dengan cara melawannya dan mengalahkannya.

 

Sesungguhnya manusia itu terbagi ke dalam dua kelompok;

 

Pertama, kelompok manusia yang dikalahkan hawa nafsunya kemudian dikuasai hawa nafsunya, dibinasakannya, dan ia menjadi orang yang taat kepada perintah-perintah hawa nafsu. ,

 

Kedua, kelompok yang mampu mengalahkan hawa nafsunya dan menundukkannya, Kemudian hawa nafsu menjadi taat dan tunduk kepada perintah-perintah mereka.

 

Salah seorang ulama berkata, “Perjalanan orang-orang yang mencari Allah ialah pada kemenangan mereka atas hawa nafsunya. Barang siapa berhasil mengalahkan hawa nafsunya, ia beruntung dan berhasil.

 

sebaliknya, Barang siapa dikalahkan hawa nafsunya, ia merugi dan celaka. Allah Ta’ala berfirman,

 

‘Adapun orang yang melampaui batas. Dan lebih mengutamakan kehidupan dunia. Maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal (ya). Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa na sunya. maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya).” (An-Nazi’at:37-41).”

 

Jadi hawa nafsu itu mengajak melampaui batas, dan mencintai dunia, sedangkan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengajak hamba-Nya kepada takut kepada-Nya, dan menahan diri dari keinginan hawa nafsu. Hati itu mempunyai dua penyeru. Ia sekali waktu tertarik kepada penyeru pertama, dan sekali waktu tertarik kepada penyeru kedua. Inilah letak ujian dan cobaan.

 

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menyifati hawa nafsu dalam Al-Qur’an dengan tiga sifat;

 

Pertama, hawa nafsu yang muthma’innah (tenteram).

 

Kedua, hawa nafsu yang memerintahkan kepada Keburukan (al ammaratu bi as-su’i).

 

Ketiga, hawa nafsu yang lawwamah.

 

Para ulama berbeda pendapat; apakah hawa nafsu itu satu dan ketiga hal di atas adalah sifat-sifatnya, ataukah seorang hamba itu mempunyai tiga hawa nafsu sekaligus; hawa nafsu yang muthma’innah (yang tenteram), hawa nafsu yang memerintahkan kepada keburukan, dan hawa nafsu yang lawwamah?

 

Pendapat pertama ialah pendapat para fuqaha’, para teolog, sebagian besar pakar tafsir, dan orang-orang sufi yang benar. Dan pendapat Kedua adalah pendapat kebanyakan orang-orang tasawuf.

 

Identifikasi masalah ini, bahwa tidak ada yang kontradiksi dalam dua kelompok di atas, Karena hawa nafsu adalah satu jika dilihat kepada dzatnya, dan tiga bentuk jika dilihat kepada sifat-sifatnya. Jika yang dimaksud dengan hawa nafsu adalah hawa nafsu itu sendiri, maka ia satu. Dan jika yang dimaksud dengannya ialah hawa nafsu dengan Setiap sifat-sifatnya, maka ia banyak. Saya pikir mereka mengatakan, bahwa setiap orang mempunyai tiga hawa nafsu; setiap hawa nafsu berdiri dengan sendirinya, dan sama dengan hawa nafsu yang lain dalam batasannya dan hakikatnya, serta bahwa jika seorang hamba dicabut nyawanya, maka tercabut pula darinya tiga hawa nafsu; setiap hawa nafsu berdiri dengan sendirinya.

 

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan Kata an-nafsu dan menyandarkannya Kepada pemiliknya, serta menyebutkan dengan Kata tunggal. Begitu pula dalam semua hadits-hadits yang ada. Tidak ada pun dalam satu dalil disebutkan kata nufusuku (hawa nafsu-hawa nafsumu), nufusuhu (hawa nafsu-hawa nafsunya), anfusuka (hawa nafsu-hawa nafsumu), dan anfusuhu (hawa nafsu-hawa nafsunya). Kala tersebut datang dengan maksud umum, seperti firman Allah Ta’ala, “Dan apabi. la ruh-ruh diperternukan (dengan tubuh).” (At-Takwir: 7). Atau disandar, kan kepada jamak, seperti sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sal. lam, “Sesungguhnya jiwa-jiwa kita berada di Tangan Allah.” (Diriwayat. kan Muslim, dan Ahmad). Jika manusia mempunyai tiga jiwa, pasti ketiga-tiganya disandarkan kepadanya meski dalam satu dalil pun.

 

Jadi, jika jiwa tenteram dengan Allah Ta’ala, damai dengan dzikir kepada-Nya, bertobat kepada-Nya, rindu ingin bertemu dengan-Nya, dan senang berdekatan dengan-Nya, jiwa tersebut dinamakan jiwa yang muthma’innah (tenang). Ketika jiwa tersebut meninggal dunia, maka dikatakan kepadanya,

 

“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.” (A\-Fajr: 27-28).

 

Tentang firman Allah Ta’ala, “Hai jiwa yang tenang.” Ibnu Abbas berkata, “Yang dimaksud dengan jiwa yang muthma’innah muthma’innah (tenang) ialah jiwa yang membenarkan.”

 

Tentang ayat di atas, Oata-dah berkata, “Yang dimaksud dengan jiwa yang muthma’innah (tenang) ialah jiwa orang Mukmin. Jiwanya tenang terhadap apa yang dijanjikan Allah kepadanya.”

 

Tentang ayat di atas, Al-Hasan berkata, “Jiwanya tenang terhadap apa yang difirmankan Allah, dan membenarkan apa yang difirmankanNya.”

 

Tentang ayat di atas, Mujahid berkata, “Yang dimaksud dengan jiwa yang muthma’innah (tenang) ialah jiwa yang bertobat, dan khusyu’ yang meyakini bahwa Allah adalah Tuhannya, matanya sejuk dengan perintah-Nya dan taat Kepada-Nya, serta yakin suatu saat berjumpa dengan-Nya.”

 

Hakikat jiwa yang thuma’ninah (tenang) ialah tenang dan stabil. Yaitu jiwa yang merasa tenang Kepada Tuhannya, taat kepada-Nya, perintah-Nya, dzikir kepada-Nya, dan tidak merasa tenang kepada selain Allah Ta’ala. Sungguh ia merasa tenang dengan mencintai Allah Ta’ala, ubudiyah kepada-Nya, dan dzikir kepada-Nya. Sungguh ia merasa tenang kepada perintah Allah Ta’ala, larangan-Nya, dan informasi-Nya. la merasa tenang Kepada perjumpaan dengan Allah Ta’ala, dan janji-Nya. Ia merasa tenang kepada pembenaran terhadap hakikat-hakikat Nama-nama Allah Ta’ala, dan Sifat-sifat-Nya. la merasa tenang Kepada meridhai Allah Ta’ala sebagai Tuhannya, Islam sebagai agama-Nya, dan Muhammad sebagai Rasul-Nya. Ia merasa tenang Kepada qadha’ dan takdirnya. Ia merasa tenang kepada pencukupan Allah Ta’ala, dan jaminan-Nya. Ia merasa tenang bahwa hanya Allah Ta’ala saja yang menjadi Tuhannya yang berhak disembah, Pemiliknya, Penguasa semua persoalannya, semua permasalahan kembali kepada-Nya, dan bahwa jiwanya tidak bisa berpisah dengan-Nya sekejap mata pun.

 

Kebalikan dari jiwa yang thuma’ninah (tenang) ialah jiwa yang menyuruh kepada Keburukan (al-ammaratu bi as-su’i). Jiwa tersebut menyuruh pemiliknya kepada apa yang digemari jiwanya; syahwat-syahwat kesesatan dan mengikuti kebatilan. Inilah pangkal semua keburukan. Jika ia menaati jiwanya yang seperti itu, maka jiwanya menggiringnya kepada segala keburukan dan hal-hal yang menyengsarakan. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan, bahwa jiwa tersebut sering kali menyuruhnya kepada keburukan, dan Allah Ta’ala tidak mengatakan, “‘Amiratu.” Karena Kata ammaratu menunjukkan arti banyak, bahwa itu adalah kebiasaan jiwa tersebut dan tradisinya Kecuali orang yang dirahmati Allah Ta’ala, menjadikannya bersih, dan jiwa tersebut menyuruh pemiliknya kepada kebaikan. Itu adalah rahmat dari Allah Ta’ala dan bukan berasal dari jiwanya. Sesungguhnya jiwanya menyuruh kepada Keburukan, Karena pada dasarnya jiwa tersebut diciptakan dalam keadaan zalim dan bodoh, Kecuali orang yang dirahmati Allah Ta’ala. Keadilan dan ilmu adalah sesuatu yang berasal dari luar jiwanya karena ilham dari Tuhannya dan Penciptanya.

 

Jika Allah Ta’ala tidak mengilhamkKan petunjuk kepadanya, maka jiwanya tetap dalam keadaan zalim, dan bodoh. Ia menyuruh kepada keburukan, Karena hal ini merupakan tuntutan kezaliman dan kebodohan yang ada di dalam jiwanya. Seandainya tidak ada Karunia Allah Ta’ala, dan rahmat-Nya bagi orang-orang beriman, pasti tidak ada satu jiwa pun dari jiwa-jiwa mereka yang bersih. Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki kebaikan kepada jiwa, maka Allah Ta’ala menjadikan di dalamnya sesuatu yang menyucikannya dan memperbaikinya; seperti keinginan-keinginan, dan gagasan-gagasan. Sebaliknya, jika Allah Ta’ala tidak menghendaki kebaikan kepada jiwa tersebut, maka Allah Ta’ala meninggalkannya tetap dalam keadaannya semula sejak awal ia diciptakan yaitu zalim, dan bodoh. Sebab kezaliman ialah Kebodohan, atau Kemiskinan. Jiwa pada dasarnya adalah bodoh, dan miskin adalah sifat yang melekat padanya. Oleh karena itu, perintah jiwa tersebut kepada keburukan adalah sifat yang melekat padanya, jika ia tidak mendapatkan rahmat dan Karunia dari Allah Ta’ala. Dengan ini, bisa diketahui bahwa kebutuhan seorang hamba kepada Tuhannya itu berada di atas semua Kebutuhan, dan tidak ada Kebutuhan yang sebanding dengan kebutuhan tersebut. Jika Allah Ta’ala menahan rahmat-Nya, taufik-Nya, dan hidayah-Nya dari orang tersebut sekejap mata pun, pasti rugi, dan celaka. Para ulama berbeda pendapat mengenai asal usul kata lawwamah; apakah berasal dari kata at-talawwum yang berarti berubah-ubah dan ragu-ragu, atau berasal dari kata al-laum? Ungkapan-ungkapan para generasi salaf berputas di antara kedua kata ini. Sa’id bin Jubair berkata, ‘Aku pernah berkata kepada Ibnu Abbas, ‘Apa yang dimaksud dengan lawwamah?’ Ibnu Abbas menjawab, ‘Yaitu jiwa yang sering mencela’. ”Mujahid berkata, “Jiwa yang lawwamah yaitu jiwa yang menyesali apa yang hilang dari dirinya, dan mengecamnya.”

 

Qatadah berkata, “Jiwa yang lawwamah yaitu jiwa yang berdosa.” Ikrimah berkata, “Jiwa yang lawwamah yaitu jiwa yang mengecam kebaikan dan keburukan.” Atha’ berkata dari Ibnu Abbas, “Pada Hari Kiamat, setiap jiwa mengecam dirinya. Orang yang jiwanya baik mengecam kenapa kebaikannya tidak bertambah, dan orang yang jiwanya buruk mengecam kenapa ia tidak meninggalkan keburukan.” Al-Hasan berkata, “Demi Allah, sesungguhnya orang Mukmin itu tidak Anda lihat melainkan menyalahkan dirinya dalam semua kondisinya. la merendahkan kondisinya dalam segala hal yang telah dikerjakannya, dan menyalahkan dirinya. Sedang orang berdosa, ia pergi seenaknya tanpa menyalahkan dirinya.” Itulah di antara ungkapan-ungkapan orang yang berpendapat, bahwa kata lawwamah berasal dari kata al-laum.

 

Adapun kelompok yang berpendapat, bahwa kata lawwamah berasal dari kata talawwum, itu karena jiwa seringkali bersikap ragu-ragu, dan tidak pemah stabil dalam satu kondisi. Kelihatannya, pendapat pertama lebih tepat. Sebab jika yang dimaksudkan adalah pendapat kedua, maka tentunnya teks ayat berbunyi, “Al-Matlumah.” Sebagaimna dikatakan, ‘Al-Matlunah dan al-mutaraddidah.” Sesungguhnya ragu-ragu adalah tuntutan dari pendapat pertama, bahwa karena keragu-raguan jiwa tersebut dan tidak stabil, maka ia mengerjakan sesuatu kemudian menyalahkannya. Jadi sikap ragu-ragu (talawwum) adalah salah satu dari tuntutan sikap menyalahkan (al-laum).

 

Jiwa itu terkadang menyuruh kepada yang buruk, terkadang menyalahkan (lawwamah), dan terkadang muthma’innah (tenang). Bahkan, dalam satu hari atau bahkan dalam satu jam ketiga-tiganya bisa terjadi pada seseorang. Ketentuan terakhir adalah kondisi mana yang dominan padanya. Status muthma’innah (tenang) adalah sifat pujian bagi jiwa tersebut. Status memerintahkan kepada keburukan adalah sifat yang tidak terpuji baginya. Dan status lawwamah itu terbagi ke dalam terpuji dan tercela. Itu tergantung kepada apa yang ia kecamnya.

 

Maksud dari ini semua ialah menjelaskan tentang pengobatan hati dari penyakit dominasi jiwa yang memerintahkan kepada keburukan. Ada dua pengobatan untuk penyakit ini:

 

Yaitu mengadakan perhitungan (muhasaban) terhadap jiwa tersebut, dan menentangnya. Kebinasaan hati adalah disebabkan ia tidak mengadakan perhitungan terhadapnya, menyetujuinya, dan mengikuti hawa nafsunya.

 

Disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Ahmad, dan lain-lain hadits dari Syadad bin Aus Radhiyallahu Anhu yang berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Orang cerdik ialah orang yang mampu menghisab jiwanya, dan bekerja untuk hari setelah kematiannya. Dan orang lemah ialah orang yang jiwanya mengikuti hawa nafsunya dan bermimpi kepada Allah.” (Diriwayatkan Ahmad, dan lain-lain).

 

Imam Ahmad menyebutkan dari Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu yang berkata, “Hisablah jiwa kalian sebelum Kalian dihisab, dan timbanglah jiwa kalian sebelum kalian ditimbang. Karena sesungguhnya kalian lebih mudah menghisab hari ini daripada dihisab kelak. Berhiaslah kalian untuk hari perhitungan terbesar di mana pada hari itu Kalian diperlihatkan dan tidak ada yang tersembunyi dari kalian.”

 

Imam Ahmad juga menyebutkan dari Al-Hasan yang berkata, ‘Anda tidak melihat seorang Mukmin, melainkan ia sibuk menghisab jiwanya; apa yang mesti ia kerjakan? Apa yang mesti ia makan? Apa yang mesti ia minum? Sedang orang berdosa, ia berjalan terus tanpa menghisab jiwanya.”

 

Tentang firman Allah Ta’ala, “Dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (Al-Kahfi: 28). Qatadah berkata, “Maksudnya, ia menyia-nyiakan jiwanya, dan pengecut. Kendati demikian, Anda lihat ia menjaga hartanya dan menyia-nyiakan agamanya.”

 

Al-Hasan berkata, “Sesungguhnya seorang hamba selalu berada dalam kebaikan, selagi ia mempunyai pengingat dalam jiwanya, dan muhasabah menjadi obsesinya.”

 

Maimun bin Mahran berkata, “Seorang hamba tidak dikatakan sebagai orang bertakwa hingga ia mengadakan muhasabah (perhitungan) terhadap jiwanya melebihi muhasabah (perhitungan) teman terhadap temannya yang lain. Oleh Karena itu dikatakan, ‘Jiwa itu seperti teman yang suka berkhianat. Jika Anda tidak menghisabnya, ia pergi dengan membawa harta Anda.”

 

Maimun bin Mahran juga berkata, “Sesungguhnya orang bertakwa ialah orang yang sangat memuhasabah jiwanya melebihi muhasabah penguasa yang bermaksiat, dan teman yang kikir.”

 

Imam Ahmad berkata dari Wahb yang berkata, bahwa tertulis dalam hikmah keluarga Nabi Daud,

 

“Hak bagi orang berakal ialah hendaknya ia tidak lalai terhadap empat jam; satu jam ia bermunajat kepada Tuhannya, satu jam ia memuhasabah jiwanya, satu jam ia berduaan dengan teman-temannya yang menjelaskan tentang aib jiwanya, dan membenarkan Jiwanya, dan satu jam ia menyepi antara jiwanya dengan kelezatannya memikirkan apa yang halal dan apa yang menjadikan jiwanya terlihat indah. Sesungguhnya satu jam dari waktu-waktu tersebut sangat membantu jam-jam tersebut dan menghibur hati.” (Diriwayatkan Ahmad).

 

Ucapan di atas juga diriwayatkan dari Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam oleh Abu Hatim, Ibnu Hibban, dan lain-lain.

 

Al-Ahnaf bin Qais pernah mendatangi lampu kemudian ia meletakkan kedua telapak tangannya ke dalamnya, sambil berkata, “Rasakan, wahai Al-Ahnaf, akibat dari perbuatanmu hari ini! Dan akibat perbuatanmu pada hari ini!”

 

Umar bin Khattab menulis surat kepada salah seorang dari gubernurnya, “Hisablah jiwa Anda pada saat makmur sebelum dihisab pada masa menderita. Barang siapa menghisab jiwanya pada masa makmur sebelum penghisaban pada masa menderita, maka semua permasalahannya membawanya kepada keridhaan. Dan Barang siapa dilalaikan kehidupannya, dan disibukkan hawa nafsunya, maka semua persoalannya membawanya kepada penyesalan dan kerugian.”

 

Al-Hasan berkata, “Orang Mukmin itu selalu mengurusi jiwanya. Ia menghisab jiwanya karena Allah. Hisab pada Hari Kiamat menjadi amat ringan bagi orang-orang yang mengadakan hisab terhadap jiwanya di dunia. Dan hisab tersebut menjadi amat sulit bagi orang-orang yang mengambil masalah ini tanpa muhasabah di dalamnya. Sesungguhnya orang Mukmin itu selalu dikejutkan oleh sesuatu dan ia kagum terhadapnya. la pun berkata, ‘Demi Allah, aku sangat tertarik kepadamu (sesuatu tersebut). Engkau pasti termasuk kebutuhanku. Namun demi Allah, aku tidak mempunyai hubungan denganmu.

 

Jadi ada jurang yang jauh antara aku denganmu. Aku dipisahkan darimu.’ Seorang Mukmin juga terkadang menyia-nyiakan sesuatu kemudian ia kembali kepada jiwanya, sambil berkata, Apa yang engkau inginkan dengan ini semua? Apa hubunganku dengan ini semua? Demi Allah, aku tidak akan kembali kepada hal ini untuk selama-lamanya.’ Sesungguhnya orang-orang beriman yaitu orang-orang yang dibuat tegak oleh AlQur’an dan dijauhkan dari apa saja yang membuat mereka celaka. Sesungguhnya orang Mukmin itu tawanan di dunia dan ia berusaha dengan serius untuk melepaskan diri dari tawanannya. Ia tidak merasa aman hingga berjumpa dengan Allah. la mengetahui, bahwa ia akan dimintai pertanggungan jawab tentang telinganya, matanya, lisannya, dan seluruh organ tubuhnya. Ya, ia akan dimintai pertanggungan jawab atas itu semua.”

 

Malik bin Dinar berkata, “Semoga Allah merahmati seorang hamba yang berkata Kepada jiwanya, ‘Bukankah engkau adalah sahabat ini? Bukankah engkau adalah sahabat ini?’ la pun mengendalikan jiwanya, memukulnya, kemudian jiwanya diarahkan oleh Kitabullah Azza wa Jalla. Dan Kitabullah adalah sebaik pengendali bagi jiwanya.”

 

Status jiwa dengan pemiliknya diibaratkan seperti orang yang bersekutu terhadap harta. Sebagaimana persekutuan ini tidak mungkin mendatangkan keuntungan, kecuali dengan diawali dengan membuat ketentuan-ketentuan tentang apa yang harus dikerjakan oleh sekutu kemudian ditindaklanjuti dengan diadakan pemantauan terhadap pekerjaannya, kemudian ditindaklanjuti dengan diadakan perhitungan terhadapnya, kemudian dilanjutkan dengan ia dilarang dari berkhianat jika terlihat gejala Ke arah tersebut. Maka jiwa juga begitu, untuk pertama kalinya, ia harus diberi ketentuan untuk menjaga Ketujuh organ tubuh, Karena jika ketujuh organ tubuh tersebut dijaga dengan baik, maka itu adalah modal berharga baginya. Ketujuh organ tubuh tersebut adalah mata, telinga, mulut, Kemaluan, tangan, dan Kaki. Ketujuh organ tubuh tersebut adalah kendaraan petaka dan Keselamatan. Dari organ tubuh inilah petaka terjadi dikarenakan ketujuh organ tersebut disia-siakan dan tidak dijaga dengan baik. Sedang orang yang menjaganya dengan baik, ia selamat. Jadi menjaga ketujuh organ tubuh tersebut adalah modal semua kebaikan dan menyia-nyiakannya adalah modal semua Keburukan. Allah Ta’ala berfirman,

 

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandang, dan memelihara kemaluannya.” (AnNuur: 30). ;

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan janganlah kamu berjalan adi muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” (Al-Isra’: 37).

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

‘Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabNya.” (Al-Isra’: 36).

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, ‘Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar)’.” (Al-Isra’: 53)

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.” (Al-Ahzab: 70).

 

Allah Ta’ala juga berfirman,

 

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” (Al-Hasyr: 18).

 

Jika ia menugaskan jiwa untuk menjaga ketujuh organ tubuh tersebut, maka dari sini ia akan mengawasi dan memantau organ tubuh tersebut, serta tidak menyia-nyiakannya. Jika ia menyia-nyiakan organ tubuh tersebut sekejap saja, maka organ tubuh jatuh dalam pengkhianatan. Jika ia menyia-nyiakannya dalam jangka waktu yang lama, maka organ tubuh tersebut jatuh dalam pengkhianatan yang lama hingga pengkhianatan tersebut menghabiskan seluruh modal kebaikannya. Jika ia merasa ada kekurangan dalam dirinya, ia segera melakukan muhasabah (perhitungan). Ketika itulah terlihat dengan jelas olehnya hakikat keberuntungan dan kerugian. Jika ia merasa dirinya rugi, ia lari dari padanya sebagaimana seseorang lari dari temannya dengan tidak kembali ke masa lalunya, dan melakukan penjagaan dan pemantauan. Jadi hendaknya seseorang bersikap hati-hati dan jangan sampai ia menyia-nyiakan jiwanya.

 

Di antara hal yang membantunya dalam melakukan muragabah (merasa diawasi Allah), dan muhasabah ialah ia mengetahui bahwa jika ia bersungguh-sungguh melakukan muhasabah, maka ia terbebas dari padanya kelak ketika muhasabah dilakukan terhadap orang lain. Tapi, jika ia menyia-nyiakannya pada hari ini, ia akan mendapatkan muhasabah yang berat kelak.

 

Di antara hal lain yang membantunya dalam melakukan muhasabah dan muraqabah ialah ia mengetahui bahwa keuntungan bisnis ini adalah menempati surga Firdaus, dan melihat wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan kerugiannya ialah masuk neraka dan terhalang melihat wajah Allah Ta’ala. Jika seseorang meyakini hal ini, ia dapat melakukan muhasabah terhadap dirinya pada hari ini (di dunia) dengan mudah. Oleh karena itu, sungguh tepat kalau orang yang bernyali kuat dan beriman kepada Allah Ta’ala dan hari akhir untuk tidak lalai dalam melakukan muhasabah terhadap dirinya dan mempersempit dirinya; dalam pergerakannya, diamnya, bisikannya, dan langkah-langkahnya. Karena sesungguhnya setiap nafas dari nafas-nafas umur ini adalah permata yang sangat berharga dan tidak bisa dibandingkan dengan kekayaan apa pun. la tidak bisa dibeli dengan kekayaan yang kenikmatannya tidak berhenti selama-lamanya. Jadi menyia-nyiakan nafas-nafas ini atau dengannya pemiliknya membeli apa yang mencelakakannya adalah Kerugian besar yang tidak bisa ditolerir kecuali manusia yang paling bodoh, paling tolol, dan paling minim akalnya. Kerugian ini akan terlihat dengan jelas pada Hari Kemudian. Allah Ta’ala berfirman,

 

“Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan, begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya. Ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh.” (Ali Imran: 30).

 

Muhasabanh itu ada dua macam;

 

  1. muhasabah sebelum beraktivitas.
  2. muhasabah setelah beraktivitas.

 

  1. Muhasabah sebelum Aktivitas

 

Muhasabah sebelum beraktivitas, yaitu hendaknya seseorang berhenti pada awal obsesi dan keinginannya, dan tidak buru-buru mengerjakannya hingga terlihat dengan jelas olehnya kelayakannya untuk dikerjakan daripada ditinggalkan (tidak dikerjakan).

 

Al-Hasan Rahimahullah berkata, “Semoga Allah merahmati orang yang berhenti pada keinginannya. Jika keinginannya itu Karena Allah, ia mengerjakannya. Jika keinginan tersebut bukan Karena Allah, ia menunda pelaksanaannya.”

 

Salah seorang ulama menjelaskan makna ucapan Al-Hasan di atasnya. la berkata, bahwa jika jiwa tergerak untuk melakukan salah satu aktivitas, dan seseorang ingin mengerjakannya, ia berhenti sejenak dan berpikir; apakah aktivitas tersebut ditakdirkan untuknya atau tidak ditakdirkan untuknya dan ia tidak ditakdirkan mampu melaksanakannya? Jika hal tersebut tidak ditakdirkan untuknya, ia tidak mengerjakannya. Jika hal tersebut ditakdirkan untuknya, ia berhenti untuk kedua kalinya dan berpikir; apakah mengerjakan hal tersebut lebih baik baginya daripada tidak mengerjakannya? Ataukah tidak mengerjakannya itu lebih baik daripada mengerjakannya? Jika yang terbaik baginya ialah tidak mengerjakannya, ia pun tidak mengerjakannya. Jika mengerjakannya adalah lebih baik baginya daripada tidak mengerjakannya, ia berhenti untuk Ketiga kalinya dan berpikir; apakah motivasinya karena mencari Keridhaan Allah Azza wa Jalla, dan pahala-Nya, ataukah mencari jabatan, pujian, dan harta dari makhluk sesamanya? Jika motivasinya adalah yang kedua, ia tidak mengerjakannya, kendati jika mengerjakannya, ia mendapatkan apa yang diinginkannya, agar jiwa tidak terbiasa melakukan syirik kepada Allah dan tidak memandang ringan beramal karena selain Allah Ta’ala. Jika ia memandang ringan beramal karena selain Allah, ia mengalami kesulitan dalam beramal karena Allah hingga tidak tertutup kemungkinan beramal karena Allah menjadi sesuatu yang paling sulit baginya. Jika motivasinya adalah mencari keridhaan Allah, ia berhenti untuk keempat kalinya dan berpikir; apakah ia diberi pertolongan dalam menjalani aktivitas tersebut, dan apakah ia mempunyai Backing yang membantunya dan menolongnya jika aktivitasnya membutuhkan pertolongan orang lain, atau tidak? Jika ia tidak mempunyai backing, ia menahan diri (tidak mengerjakan aktivitas tersebut), sebagaimana Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menahan diri dari jihad di Mekkah hingga beliau mempunyai kekuatan, dan penolong (backing). Jika ia mempunyai penolong (backing), ia harus mengerjakan aktivitas tersebut, karena ia pasti ditolong. Jika seseorang tidak memiliki sifat-sifat tersebut, ia gagal mendapatkan keberuntungan, dan jika ia menghimpun sifat-sifat tersebut, ia pasti mendapatkan keberuntungan.

 

Inilah empat tahapan yang dibutuhkan seseorang dalam melakukan muhasabah terhadap dirinya sebelum beraktivitas. Jadi apa saja yang diinginkan dikerjakan seseorang, maka ia ditakdirkan untuknya. Tidak semua yang ditakdirkan untuknya itu pengerjaannya lebih baik daripada ditinggalkan (tidak dikerjakan). Tidak semua yang ia kerjakan daripada ia tinggalkan itu ia kerjakan karena Allah. Tidak semua yang ia kerjakan karena Allah itu ia mendapatkan pertolongan di dalamnya. Jika seseorang mengadakan muhasabah terhadap dirinya seperti itu, maka terlihat jelas olehnya apa yang mesti ia kerjakan dan apa yang mesti ia tinggalkan.

 

  1. Muhasabah setelah Aktivitas

 

Bagian kedua dari muhasabah yaitu muhasabah terhadap diri setelah melakukan aktivitas. Muhasabah setelah aktivitas ini terbagi ke dalam tiga bagian;

 

Pertama, muhasabah hak Allah Ta’ala yang ia sia-siakan dan tidak ia kerjakan sebagaimana semestinya.

 

Hak Allah Ta’ala dalam ketaatan ada enam hal yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu mengikhlaskan amal perbuatan karena Allah semata, memberi nasihat kepada Allah di dalamnya, ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, mengakui kebaikan Allah di dalam amal perbuatan tersebut, mengakui karunia Allah di dalamnya, dan mengakui keteledorannya di dalamnya.

 

la me-muhasabah dirinya; apakah ia telah menyempurnakan tahapan-tahapan tersebut dalam amal perbuatannya, dan apakah ia menggunakannya dalam ketaatan kepada Allah?

 

Kedua, ia me-muhasabah dirinya terhadap semua amal perbuatan yang tidak dikerjakan itu lebih baik daripada jika dikerjakan.

 

Ketiga, ia me-muhasabah dirinya terhadap hal-hal yang mubah, atau hal-hal yang biasa; kenapa ia mengerjakannya? Apakah ia mengerjakannya karena menginginkan Allah dan Hari , kemudian ia menjadi orang yang beruntung? Ataukah ia mengerjakannya karena mengharapkan dunia, kemudian ia gagal mendapatkan keberuntungan tersebut?

 

Lalai tidak mengadakan muhasabah, lepas kendali, menganggap enteng. Masalah, dan menerjangnya, semuanya membawa Kepada kebinasaan. Itulah kondisi orang-orang yang tertipu. Mereka menutup mata terhadap akibat segala sesuatu, dikondisikan oleh keadaan, dan bersandar kepada maaf. Mereka tidak mengadakan muhasabah terhadap dirinya dan tidak memikirkan akibat segala sesuatu. Mereka mudah melakukan dosa-dosa, senang dengan dosa-dosa, dan susah disapih (dihentikan) dari dosa-dosa. Padahal jika mereka sadar, pasti mereka mengetahui bahwa “diet” dari dosa itu lebih mudah daripada “disapih” dari dosa, dan meninggalkan kebiasaan.

 

Ibnu Abu Dunya berkata, bahwa salah seorang dari Quraisy berkata kepadaku sambil menjelaskan, bahwa ia adalah anak dari Thalhah bin Ubaidillah yang berkata, bahwa Tobat bin Ash-Shimmah sedang berada di padang pasir guna mengadakan muhasabah terhadap dirinya. Pada suatu hari, ia mengadakan muhasabah dan ternyata ia mendapati umurnya telah mencapai enam puluh tahun. Ila pun mengadakan muhasabah terhadap hari-harinya, dan ternyata jumlah total harinya ialah dua puluh satu ribu lima ratus hari. Ia berteriak dengan suara keras, ‘Aduh, celakanya aku! Aku menghadap kepada Tuhanku dengan dua puluh satu ribu dosa? Bagaimana tidak dalam satu hari terdapat ribuan dosa-dosa?” Kemudian ia tidak Sadarkan diri, dan tidak lama setelah itu meninggal dunia. Orang-orang yang hadir ketika itu mendengar ada suara yang berbunyi, “Engkau, selamat melangkahkan kaki ke surga Firdaus yang tertinggi.”

 

Kesimpulannya, hendaklah seseorang pertama kali mengadakan muhasabah terhadap ibadah-ibadah wajib. Jika ia mendapati dirinya lalai terhadapnya, ia segera memperbaikinya dengan menggadha’nya atau memperbaikinya. Setelah itu, ia mengadakan muhasabah terhadap larangan-larangan. Jika ia mendapati dirinya mengerjakan salah satu larangan tersebut, ia segera memperbaikinya dengan bertobat, beristighfar, dan mengerjakan kebaikan-kebaikan yang menghapus dosa-dosa tersebut. Kemudian ia mengadakan muhasabah terhadap kelalaiannya. Jika ia lalai terhadap tujuan penciptaannya, ia segera memperbaikinya dengan dzikir kepada Allah Ta’ala, dan menghadap kepada-Nya. Kemudian ia mengadakan muhasabah terhadap apa saja yang telah ia ucapkan, atau langkah-langkah kedua kakinya, atau pergerakan kedua tangannya, atau yang didengar oleh kedua telinganya; apa yang ia inginkan dengan itu semua? Untuk siapa ia mengerjakannya? Seperti apa ia mengerjakannya? Jika ia mengerjakan itu semua, pasti ia mengetahui bahwa semua perbuatan dan semua ucapannya ditulis dalam dua buku; untuk siapa engkau mengerjakannya? Dan bagaimana engkau mengerjakannya? Pertanyaan pertama tentang keikhlasannya, dan pertanyaan kedua tentang ittiba’-nya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Allah Ta’ala berfirman,

 

“Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, Tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu.” (Al-Hijr: 92-93),

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) rasul-rasul (Kami). Maka sesungguhnya akan Kami kabarkan kepada mereka (apa-apa yang telah mereka perbuat), sedang (Kami) mengetahui (keadaan mereka), dan Kami sekali-kali tidak jauh (dari mereka).” (Al-Araaf: 6-7).

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

‘Agar Dia menanyakan kepada orang-orang yang benar tentang kebenaran mereka.” (Al-Ahzab: 8).

 

Jika orang-orang yang jujur saja dimintai pertanggungan jawab dan ditanyakan kejujuran mereka, maka bagaimana dengan orang-orang yang tidak jujur (para pembohong)?

 

Mugatil berkata, bahwa Allah Ta’ala berfirman, “Aku mengambil perjanjian kalian agar Allah menanyakan orang-orang yang jujur yaitu para Nabi tentang penyampaian risalah oleh mereka.”

 

Mujahid berkata, ‘Allah bertanya kepada orang-orang yang mendapatkan ilmu dari para Rasul; apakah mereka telah menyampaikan apa yang telah mereka dari para Rasul. Allah juga akan bertanya kepada para Rasul; apakah mereka telah menyampaikan apa yang telah mereka terima dari Allah Ta’ala.”

 

Identifikasi masalah ini, sesungguhnya ayat di atas mencakup kedua penafsiran di atas. Orang-orang yang jujur ialah para Rasul dan orang-orang yang menyampaikan ajaran para Rasul. Allah akan bertanya kepada para Rasul tentang penyampain risalah, dan bertanya kepada orang-orang menyampaikan ajaran para Rasul; apakah mereka telah menyampaikan apa yang telah mereka terima dari para Rasul, kemudian Allah bertanya kepada orang-orang yang menerima risalah tersebut; bagaimana respon (jawaban) mereka terhadap risalah tersebut? Seperti difirmankan Allah Ta’ala,

 

“Dan (ingatlah) hari (di waktu) Allah menyeru mereka, seraya berkata, Apakah jawaban kalian kepada para Rasul?’” (Al-Qashash: 65).

 

Qatadah berkata, “Ada dua Kalimat yang akan ditanyakan kepada generasi manusia pertama dan generasi manusia terakhir; apa yang kalian sembah? Dan bagaimana respon (jawaban) kalian terhadap para Rasul. Mereka akan ditanya tentang siapa yang mereka sembah, dan bagaimana ibadah mereka.”

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Kemudian kalian pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (At-Takaatsur: 8).

 

Muhammad bin Jarir berkata, “Allah Ta’ala berfirman, ‘Kemudian Allah pasti bertanya kepada kalian tentang kenikmatan yang Kalian rasakan di dunia; apa yang Kalian Kerjakan di dalam Kenikmatan tersebut? Dari mana Kalian mendapatkan kenikmatan tersebut? Untuk apa kalian menggunakan Kenikmatan tersebut? Dan apa yang kalian kerjakan dengan kenikmatan tersebut?’”

 

Qatadah berkata, “Sesungguhnya Allah akan bertanya kepada setiap orang tentang Kenikmatan-Nya dan hak-Nya yang Dia berikan kepadanya.” .

 

Kenikmatan yang akan ditanyakan itu ada dua;

 

Kenikmatan yang diambil dari sumber yang halal dan dialokasikan sesuai dengan haknya. Dalam hal ini, Allah menanyakan kesyukuran orang tersebut.

 

Kenikmatan yang diambil dari sumber yang tidak halal, dan dialokasikan tidak pada tempatnya. Dalam hal ini, Allah menanyakan tentang alokasi kenikmatan tersebut.

 

Jika seorang hamba kelak akan ditanya dan dihisab hingga terhadap pendengarannya, penglihatannya, dan hatinya, seperti difirmankan Allah Ta’ala,

 

“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Al-Isra’: 34).

 

Maka sudah sepantasnya Kalau ia me-muhasabah dirinya sebelum ia mendebat muhasabah di akhirat kelak.

 

Kewajiban mengadakan muhasabah terhadap diri ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala,

 

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” (Al-Hasyr: 18).

 

Allah Ta’ala berfirman, “Hendaklah setiap orang dari kalian memperhatikan amal-amal perbuatan yang telah ia siapkan untuk Hari Kiamat; apakah amal perbuatan tersebut termasuk amal-amal shalih yang menyelamatkannya, atau termasuk dosa-dosa yang mencelakakannya?”

 

Qatadah berkata, “Tuhan kalian senantiasa mendekatkan Hari Kiamat, hingga Dia menjadikannya seperti akan terjadi besok pagi.”

 

Maksud dari ini semua ialah menjelaskan, bahwa kebaikan hati itu dengan melakukan muhasabah terhadap diri, dan kerusakannya ialah dengan menyia-nyiakan muhasabah dan lepas kendali.

 

Manfaat-manfaat Muhasabah

 

  1. Mengetahui kekurangan-kekurangan diri.

 

Barang siapa tidak mengetahui kekurangan-kekurangan dirinya, ia tidak mampu menghilangkannya. Jika seseorang mengetahui kekurangan-kekurangan dirinya, ia membencinya karena Allah Ta’ala.

 

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Darda’ Radhiyallahu Anhu yang berkata, “Orang benar-benar tidak berilmu hingga ia membenci manusia karena Allah, kemudian ia memikirkan dirinya lalu ia sangat membencinya.”

 

Mutharrif bin Abdullah berkata, “Seandainya aku tidak mengerti dari diriku, pasti aku membenci manusia.”

 

Mutharrif berkata dalam doanya di Arafah, “Ya Allah, janganlah Engkau mengusir manusia karenaku.”

 

Bakr bin Abdullah Al-Muzani berkata, “Ketika aku melihat orang-orang di Arafah, aku berkeyakinan bahwa mereka telah diberi ampunan. Ah, seandainya aku ada di tengah-tengah mereka.”

 

Ayyub As-Sikhtiyani berkata, “Jika dikisahkan tentang orang-orang yang shalih, aku merasa di tempat yang jauh dari mereka.”

 

Ketika Sufyan Ats-Tsauri akan meninggal dunia, Abu Al-Asyhab dan Hammad bin Salamah masuk menemuinya. Hammad bin Salamah berkata, “Wahai Abu Abdullah, bukankah engkau telah merasa aman dari apa yang engkau takutkan selama ini, dan engkau mendapatkan apa yang engkau harapkan, serta Allah itu paling Penyayang?” Sufyan AtsTsauri berkata, “Wahai Abu Salamah, apakah engkau berharap orang seperti diriku bisa selamat dari neraka? Demi Allah, sesungguhnya aku sangat berharap engkau seperti itu.”

 

Disebutkan dari Muslim bin Sa’id Al-Wasithi yang berkata, bahwa berkata kepadaku Hammad bin Ja’far bin Zaid bahwa ayahnya berkata, “Kami keluar dalam barisan tentara menuju Kabul, dan di dalam pasukan terhadap Shilah bin Asyam. Pada malam hari, semua tentara menghentikan perjalanannya. Mereka shalat kemudian tidur. Aku berkata, Aku pasti mengamati gerak-geriknya.’ Shilah bin Asyam menunggu orang-orang beristirahat hingga aku berkesimpulan bahwa orang-orang sudah tidur, Shilah bin Asyam pun berdiri dan masuk ke hutan yang dekat denganku. Aku pun mengikutinya. la wudlu kemudian shalat. Tiba-tiba datanglah seekor singa dan mendekat kepadanya. Aku segera naik ke pohon. Shilah menoleh ke arah singa dan menganggapnya sebagai anak singa. Ketika Shilah sujud, aku berkata dalam hati, ‘Sekaranglah singa tersebut menerkam Shilah.’ Shilah duduk kemudian mengucapkan salam lalu berkata, ‘Hai singa, carilah rezeki di tempat lain!’ Shilah melanjutkan shalatnya dan ketika menjelang subuh, ia duduk. la memuji Allah Ta‘ala dengan pujian-pujian yang tidak pernah aku dengar sebelumnya. Selanjutnya ia berkata, ‘Ya Allah, aku meminta-Mu menyelamatkanku dari neraka, karena orang sepertiku terlalu kerdil untuk meminta surga kepada-Mu.’ Sesudah itu, Shilah kembali ke tempatnya semula dan sepertinya ja tidur di atas kasur. Sedang aku pada pagi itu merasakan sesuatu yang hanya Allah yang mengetahuinya.”

 

Yunus bin Ubaid berkata, “Sesungguhnya aku menemukan ada seratus sifat-sifat yang baik, dan aku tidak menemukan satu pun dari keseratus sifat tersebut ada pada diriku.”

 

Muhammad bin Wasi’ berkata, “Jika dosa-dosa itu mempunyai aroma, pasti tidak ada seorang pun yang sanggup duduk dekat denganku.”

 

Ibnu Abu Dunya menyebutkan dari Al-Khald bin Ayyub yang berkata, “Salah seorang rahib Bani Israil menetap di dalam biara sejak enam puluh tahun. Dalam tidurnya, ia bermimpi didatangi seseorang yang berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya Si Fulan tukang sepatu itu lebih baik daripada kamu.’ Mimpi tersebut terjadi setiap malam. Kemudian sang rahib mendatangi tukang sepatu dan menanyakan pekerjaannya. Tukang sepatu menjawab, “Sesungguhnya setiap kali ada orang lewat di depanku, aku berkeyakinan bahwa ia masuk surga sedang aku masuk neraka.’ Tukang sepatu tersebut lebih baik daripada rahim, karena ia merendahkan dirinya.”

 

Daud Ath-Thai berceramah di hadapan salah seorang gubernur, dan para hadirin pun memberi pujian kepadanya. Daud Ath-Thai berkata, “Jika manusia mengetahui sebagian yang kita rasakan sekarang ini, maka lisan tidak mudah mengatakan hal yang baik tentang kita selama-lamanya.”

 

Abu Hafsh berkata, “Barang siapa tidak memperhatikan dirinya sepanjang waktu, tidak menentangnya dalam semua kondisi, dan tidak mengarahkannya kepada hal-halnya yang dibencinya, sungguh ia termasuk orang yang tertipu. Barang siapa memperhatikan dirinya dengan memandang baik apa saja yang ada pada dirinya, sungguh ia telah mencelakakan jiwanya (dirinya).”

 

Jadi hawa nafsu itu mengajak kepada kebinasaan, membantu para musuh, berambisi kepada keburukan, dan mengikuti semua kejahatan, Hawa nafsu sesuai dengan tabiatnya selalu berada dalam medan pembangkangan.

 

Jadi kenikmatan yang tidak bisa dilukiskan ialah keluar dari pembangkangan hawa nafsu, dan melepaskan diri dari perbudakannya, karena hawa nafsu adalah tembok terbesar yang menghalangi seseorang dengan Allah. Manusia yang paling mengerti ialah manusia yang paling merendahkan hawa nafsunya dan membencinya.

 

Ibnu Abu Hatim berkata dalam tafsirnya, bahwa berkata kepada kami Ali bin Al-Husain Al-Maqdami yang berkata, bahwa berkata kepada kami Amir bin Shalih dari ayahnya dari Ibnu Umar, bahwa Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu berkata, “Ya Allah, ampunilah kezalimanku, dan kekafiranku.” Seseorang berkata kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin, kalau kezaliman betul, tapi apa yang dimaksud dengan kekafiran?” Umar bin Khattab menjawab, “Sesungguhnya manusia itu banyak kezalimannya dan kekafirannya.”

 

Ibnu Abu Hatim juga berkata, bahwa berkata kepada kami Yunus bin Habib yang berkata, bahwa berkata kepada kami Abu Daud dari AshShalt bin Dinar yang berkata, bahwa berkata kepada kami Ugbah bin Shahban Al-Hanai yang berkata, bahwa aku bertanya kepada Aisyah Radhiyallahu Anha tentang firman Allah Ta’ala, “Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hambahamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah.” (Fathir: 32). Aisyah menjawab, “‘Anakku, mereka semua masuk surga. Adapun orang yang lebih dahulu berbuat kebaikan ialah orang-orang sebelum Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan beliau memberi kesaksian bahwa mereka memang masuk surga dan mendapatkan rezeki dari Allah. sedang orang pertengahan ialah sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang mengikuti beliau hingga menyusul beliau. Sedang orang yang menzalimi dirinya ialah orang seperti aku dan seperti kalian.” Uqbah bin Shahban Al-Hanai berkata, “Aisyah mengelompokkan dirinya seperti kami.”

 

Imam Ahmad berkata, bahwa berkata kepada kami Hajjaj yang berkata, bahwa berkata kepada kami Syuraik dari Ashim dari Abu Wail dari Masruq yang berkata,

 

‘Abdurrahman bin Aud masuk menemui Ummu Salamah Radhiyallahu Anha. Ummu Salamah berkata, bahwa aku mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Sesungguhnya di antara sahabat-sahabatku, pasti ada orang yang tidak melihatku selama-lamanya setelah aku mati.’ Kemudian Abdurrahman keluar dari rumah Ummu Salamah dalam keadaan bingung tidak karuan. la segera pergi menemui Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu dan berkata kepadanya, ‘Dengarkan apa yang dikatakan ibumu (Ummul Mukminin Ummu Salamah)!’ Umar bin Khattab pun berdiri kemudian mendatangi rumah Ummu Salamah. Tiba di rumah Ummu Salamah, Umar masuk menemuinya dan bertanya kepadanya. Umar bin Khattab berkata, Aku bersumpah dengan nama Allah, apakah aku termasuk mereka (yang dikatakan Rasulullah)?’ Ummu Salamah menjawab, ‘Tidak, dan sesudahmu aku tidak akan menyatakan bersih seseorang untuk selama-lamanya’.” (Diriwayatkan Ahmad).

 

Aku mendengar Syaikh kami berkata, bahwa maksud ucapan Ummu Salamah di atas ialah bahwa aku tidak membuka masalah ini, dan bukan saja engkau yang bersih dari itu semua.

 

Membenci hawa nafsu karena Allah adalah salah satu sifat orang-orang yang jujur. Sifat tersebut lebih mendekatkan diri seorang hamba kepada Allah daripada amal perbuatan yang lain.

 

lbnu Abu Dunya menyebutkan dari Malik bin Dinar yang berkata, “Sesungguhnya salah satu kaum Bani Israil berada di dalam masjid pada hari raya mereka. Kemudian datanglah seorang pemuda lalu berdiri di pintu masjid sambil berkata, ‘Sesungguhnya orang seperti aku tidak layak masuk bersama kalian, karena aku adalah pelaku ini dan itu.’ la merendahkan dirinya hingga Allah Azza wa Jalla memberi wahyu kepada Nabi mereka, bahwa Si pemuda tersebut orang yang jujur.” imam Ahmad berkata, bahwa berkata kepada kami Muhammad bin Al-Hasan bin Anas yang berkata, bahwa berkata kepada kami Mundzir dari Wahb yang berkata, “Seseorang pengembara beribadah kepada Allah Azza wa Jalla selama tujuh puluh tahun. Pada satu hari, ia keluar kemudian memandang sedikit amal perbuatannya, mengadukan amal perbuatannya kepada Allah Ta’ala, dan mengakui dosa-dosanya.

 

Malaikat datang kepadanya dan berkata, ‘Sesungguhnya dudukmu inj febih Aku sukai daripada amal perbuatanmu Sepanjang umurmu’.”

 

Imam Ahmad berkata, bahwa berkata kepada kami Abdushshamad (Abu Hilal) dari Qatadah yang berkata, bahwa Nabi Isa Alaihis Salam berkata, “Bertanyalah kepadaku, karena aku adalah orang yang berhati lembut, dan kecil di hadapan jiwaku sendiri.”

 

Imam Ahmad juga menyebutkan dari Abdullah bin Riyah Al-Anshari yang berkata, bahwa Nabi Daud Alaihis Salam melihat forum ilmu Bani Israil kemudian ia duduk di tengah-tengah mereka, sambil berkata, “Ya Allah, aku adalah orang miskin di tengah-tengah orang miskin.”

 

Imam Ahmad menyebutkan dari Imran bin Musa Al-Qashir yang berkata, bahwa Nabi Musa Alaihis Salam berkata, “Ya Tuhanku, di mana aku mencari-Mu.” Allah berfirman, “Carilah aku di antara orang-orang yang sedih hatinya, karena Aku mendekat sedepa kepada mereka dalam setiap hari. Tanpa itu semua, mereka hancur binasa.”

 

imam Ahmad berkata dalam bukunya Az-Zuhdu, bahwa salah seorang dari Bani Israil beribadah selama enam puluh tahun dalam rangka mencari sesuatu namun gagal mendapatkannya. Ia berkata dalam dirinya, “Demi Allah, seandainya dalam dirimu terdapat kebaikan, pasti aku mampu memenuhi kebutuhanmu.” Dalam tidurnya, ia bermimpi dan dikatakan kepadanya, “Tahukah engkau, bahwa penghinaanmu terhadap dirimu pada waktu itu? Sesungguhnya penghinaanmu terhadap dirimu itu lebih baik daripada ibadahmu selama enam puluh tahun.”

 

  1. Muhasabah Membuat Seseorang Mengetahui Hak Allah Ta’ala.

 

Barang siapa tidak mengetahui hak Allah Ta’ala terhadap dirinya, maka ibadahnya nyaris tidak bermanfaat baginya, dan sangat minim manfaatnya.

 

Imam Ahmad berkata, bahwa berkata kepada kami Hajjaj yang berkata, bahwa berkata kepada kami Jarir bin Hazim dari Wahb yang berkata, bahwa aku mendapatkan informasi bahwa Nabi Musa Alaihis Salam berjalan melewati seseorang yang sedang berdoa dengan khusyu’. Nabi Musa Alaihis Salam berkata, “Ya Tuhanku, sayangilah orang ini, karena aku menyayanginya.” Allah Ta’ala memberi wahyu kepada Nabi Musa Alaihis Salam, “Jika orang tersebut berdoa kepadaku hingga tenaganya habis, Aku tidak mengabulkan doanya hingga ia mengetahui hakKu atas dia.”

 

Di antara manfaat bagi hati mengetahui hak Allah atas hamba ialah melahirkan sifat membenci diri sendiri, dan merendahkannya.

 

Manfaat lain ialah membebaskannya dari sifat besar kepala, dan memandang besar amal perbuatannya.

 

Manfaat lainnya ialah membuka untuknya sifat tunduk kepada Allah Ta’ala, merendahkan diri di hadapan-Nya, dan menumpahkan seluruh isi hatinya kepada-Nya. Bahwa ia tidak mendapatkan keselamatan, kecuali dengan maaf Allah Ta’ala, ampunan-Nya, dan rahmat-Nya.

 

Di antara hak Allah, ialah Dia ditaati, tidak dimaksiati, diingat, tidak dilupakan, disyukuri, dan tidak diingkari.

 

Barang siapa mengetahui bahwa hak ini adalah milik Allah Ta’ala atas dirinya, ia mengetahui sepenuhnya bahwa ia tidak mampu menunaikannya sebagaimana semestinya, bahwa tidak ada yang ia butuhkan melainkan maaf Allah Ta’ala dan ampunan-Nya, serta bahwa jika ia dijauhkan dari menunaikan hak tersebut, pasti ia celaka.

 

Inilah sentral konsentrasi orang-orang yang kenal Allah Ta’ala dan kenal diri mereka. Inilah yang membuat mereka putus asa terhadap diri mereka dan membuat mereka menggantungkan harapannya kepada maaf Allah Ta’ala dan rahmat-Nya.

 

Jika Anda mengamati realitas sehari-hari manusia, Anda temukan hal yang sebaliknya. Anda lihat mereka mengetahui hak mereka atas Allah Ta’ala dan tidak mengetahui hak Allah Ta’ala atas diri mereka. Karena itulah, mereka terputus dari Allah Ta’ala, dan hati mereka terhalang untuk kenal dengan-Nya, mencintai-Nya, rindu bertemu dengan-Nya, dan merasa nikmat ingat kepada-Nya. Itulah puncak kebodohan manusia terhadap Tuhannya dan dirinya sendiri.

 

Jadi muhasabah terhadap diri ialah seorang hamba mengetahui hak Allah Ta’ala, kemudian ia berpikir apakah ia telah menunaikan hak tersebut sebagaimana semestinya? Berpikir yang paling baik ialah memikirkan persoalan ini, karena persoalan ini membuat hati berjalan menuju Allah Ta’ala, dan melemparkan hati di hadapan-Nya dalam keadaan hina, tunduk, mengajukan kebutuhan kepada-Nya yang di dalamnya terdapat kekayaannya, dan hina yang di dalamnya terdapat kemuliaannya. Seandainya ia mengerjakan salah satu amal perbuatan -semoga ia betul-betul mengerjakannya-, namun ia tidak memiliki sifat-sifat di atas, maka kebaikan yang hilang darinya itu lebih baik daripada yang datang kepadanya.

 

Imam Ahmad berkata, bahwa berkata kepada kami Ibnu Al-Qasim yang berkata, bahwa berkata kepada kami Shalih Al-Madani dari Abu Imran Al-Jauni dari Abu Al-Khald bahwa Allah Ta’ala memberi wahyu kepada Nabi Musa Alaihis Salam,

 

‘Jika engkau ingat kepada-Ku, ingatlah kepada-Ku dalam keadaan semua organ tubuhmu menggigil. Jadilah engkau ketika engkau ingat kepada-Ku orang yang khusyu’ dan tenteram. Jika engkau ingat kepada-Ku, jadikan lisanmu di belakang hatimu. Jika engkau berdiri di hadapan-Ku, maka berdirilah seperti berdirinya seorang budak yang hina dina. Celalah dirimu, karena ia layak untuk dihina. Berdoalah kepada-Ku ketika engkau berdoa kepada-Ku dengan hati yang takut, dan lisan yang jujur.” (Diriwayatkan Ahmad).

 

Manfaat lain seorang mengetahui hak Allah Ta’ala atas dirinya ialah membuat seseorang tidak memamerkan amal perbuatannya; amal perbuatan apa pun, karena Barang siapa memamerkan amal perbuatannya, maka amal perbuatannya tersebut tidak naik kepada Allah Ta’ala, seperti disebutkan Imam Ahmad dari salah seorang berilmu, bahwa seseorang berkata kepadanya, “Sesungguhnya aku berdiri dalam shalatku, kemudian aku menangis hingga nyaris air mataku menumbuhkan bawang merah.” Orang berilmu berkata, “Sesungguhnya jika engkau tertawa dalam keadaan mengakui kesalahan-kesalahanmu kepada Allah, itu lebih baik daripada engkau menangis dalam keadaan memamerkan amal perbuatanmu, karena sesungguhnya shalatnya orang yang pamer itu tidak naik di atasnya.” Orang tersebut berkata, “Berilah aku nasihat!” Orang berilmu berkata, “Hendaklah engkau bersikap zuhud di dunia dan engkau tidak memperebutkan dunia dengan manusia. Jadilah engkau seperti lebah. Jika ia makan, ia makan makanan yang baik. Jika ia meletakkan sesuatu, ia meletakkan sesuatu yang baik. Jika ia singgah di ranting pohon, ia tidak membahayakannya, dan tidak mematahkannya. Aku memberi wasiat kepadamu, hendaklah engkau memberi nasihat kepada Allah seperti anjing memberi nasihat kepada pemiliknya. Para pemilik anjing, membuatnya lapar, dan mengusirnya, namun anjing tersebut tetap melindungi mereka, dan memberi nasihat kepada mereka!” (Diriwayatkan Ahmad).

 

Dari sinilah, Asy-Syathibi berkata,

 

Sungguh dikatakan, jadilah engkau seperti anjing yang diisolir pemiliknya

 

Namun ia tidak bosan memberi nasihat kepada mereka

 

Imam Ahmad berkata, bahwa berkata kepada kami Sayyar yang berkata, bahwa berkata kepada kami Ja’far yang berkata bahwa berkata kepada kami Al-Jurairi yang berkata, ‘Aku mendapatkan informasi, bahwa salah seorang dari Bani Israil mempunyai kebutuhan kepada Allah Azza wa Jalla, kemudian ia beribadah kepada Allah dengan sungguh-sungguh. la meminta kebutuhannya kepada Allah Ta’ala, namun tidak mendapatkannya. Pada malam harinya, ia semalaman suntuk merendahkan dirinya, sambil berkata, ‘Wahai diriku, kenapa engkau tidak memenuhi kebutuhanmu?’ Semalam penuh orang tersebut merasa sedih hati, dan menghina dirinya. Ia berkata, ‘Demi Allah, aku tidak datang dari arah Tuhanku, namun aku datang dari arah diriku sendiri.’ Ia menghina dirinya, kemudian berhasil memenuhi kebutuhannya.” (Diriwayatkan Ahmad).

 

Bab ini bab paling penting, dan paling besar manfaatnya. Para Salikin (pejalan spiritual) generasi terakhir tidak begitu memperhatikannya sebesar perhatian mereka terhadap penjelasan tentang hawa nafsu, dan kekurangan-kekurangannya. Mereka bicara panjang lebar tentang permasalahan tersebut, namun kurang peduli terhadap bab ini. Barang siapa mengkaji Al-Qur’an dan Sunah Nabawiyah, pastiia mendapatkan perhatian keduanya terhadap penjelasan tentang setan, tipu muslihatnya, dan penentangannya. Penjelasan keduanya tentang permasalahan ini lebih banyak daripada penjelasan keduanya tentang hawa nafsu. Sesungguhnya jiwa yang tercela disebutkan Allah Ta’ala dalam firman-Nya, “Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan.” (Yusuf: 53). Jiwa yang mencela dirinya disebutkan Allah Ta’ala dalam firman-Nya, “Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya

sendiri).” (Al-Qiyamah: 2).

 

Jiwa yang tercela juga disebutkan Allah Ta’ala dalam firman-Nya,

 

“Dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya.” (An-Nazi’at: 40).

 

Adapun setan, ia disebutkan dalam banyak ayat dalam Al-Qur’an, dan dibahas dalam surat tersendiri. Peringatan Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya dari setan jauh lebih banyak daripada peringatan Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya dari hawa nafsu. Permasalahan ini harus mendapatkan perhatian yang semestinya, karena keburukan jiwa, dan kerusakannya bersumber dari bisikan setan. Hawa nafsu adalah kendaraan setan, lahan kejahatannya, dan tempat ketaatannya.

 

Allah Ta’ala memerintahkan kita berlindung diri dari setan ketika kita akan membaca Al-Qur’an dan pada moment-moment yang lain. Ini karena besarnya kebutuhan berlindung diri dari setan, dan di sisi lain Allah Ta’ala tidak menyuruh kita berlindung diri dari hawa nafsu dalam satu ayat pun. Perintah berlindung diri dari keburukan hawa nafsu hanya terjadi pada khutbatul hajah dalam sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Aku berlindung diri kepada AUah dari keburukan hawa nafsu (jiwa) kita dan kesalahan amal perbuatan kita.” Seperti dijelaskan dalam bab sebelumnya.

 

Nabi Muhammad Skallallahu Alaihi wa Sallam menghimpun per. mintaan perlindungan diri dari keduanya (setan dan hawa nafsu) dalam hadits yang diriwayatkan At-Tirmidzi dan ia meng-shahih-Kannya dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa Abu Bakar Radhiyallahu Anhy berkata,

 

“Ya Rasulullah, ajarkan aku sesuatu yang bisa aku baca pada pagi dan petang hari!” Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Katakan, ‘Ya Allah, Dzat yang Mengetahui alam ghaib dan alam nyata, Pencipta langit dan bumi, dan Pernelihara segala sesuatu sekaligus Pemiliknya. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau. Aku berlindung diri dengan-Mu dari keburukan hawa nafsuku (jiwaku) dan keburukan setan dan perangkapnya. Aku mengakui keburukan hawa nafsuku (jiwaku) atau aku mengarahkan keburukan tersebut kepada orang Muslim.’ Sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam lagi, ‘Ucapkan doa tersebut jika engkau berada di petang hari pagi hari, dan jika engkau akan tidur.” (Diriwayatkan At-Tirmidzi).

 

Hadits di atas merangkum permintaan perlindungan diri dari keburukan; sebab-sebabnya, dan akibatnya. Sesungguhnya keburukan itu bisa jadi bersumber dari hawa nafsu atau dari setan. Dan akibatnya bisa jadi dirasakan pelakunya, atau saudaranya sesama Muslim. Jadi hadits di atas merangkum dua sumber keburukan sekaligus dan segala akibatnya.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

‘Apabila kamu membaca Al qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. Sesungguhnya setan ini tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya. Sesungguhnya kekuasaannya (setan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang menyekutukannya dengan Allah.” (An-Nahl: 98-100).

 

Maksud dengan firman Allah Ta’ala, “Hendaklah karnu memintda perlindungan Allah.” Ialah cegahlah setan dengan Allah Ta’ala, berpegang teguhlah dengan-Nya, dan berlindunglah kepada-Nya. Mashdar dari kata ista’adza ialah al-audzu, al-iyadzu, dan al-ma’adzu. Namun yang sering digunakan ialah al-musta’adzu.

 

Asal muasal Kata isti’adzah (permintaan perlindungan diri) ialah berlindung kepada sesuatu dan mendekat kepadanya. Orang-orang Arab mengatakan, “Daging yang paling enak ialah wdzu yaitu daging yang menempel dengan tulang. Dalam hal ini, Rasulullah Shellallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Bersama mereka adalah unta-unta.”

 

Kata al-mathafiilu pada hadits di atas ialah jamak dari Kata al-muthfilu yang artinya unta yang membawa anaknya.

 

Sebagian ulama termasuk di dalamnya pengarang buku Jami’u Al-Ushuli berpendapat, bahwa kata al-mathafiilu ialah Kata Kiasan dan maksudnya ialah wanita dan anak-anak.

 

Kata tersebut tidak perlu ditafsirkan seperti itu, Karena Kata tersebut sesuai dengan hakikatnya. Maksud dari Kata tersebut ialah, bahwa mereka keluar Kepadamu dengan membawa hewan-hewan mereka, dan kendaraan-kendaraan mereka, bahkan mereka membawa unta yang masih menyusui anaknya.

 

Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita berlindung Kepada-Nya dari setan pada saat kita hendak membaca Al-Qur’an. Ada beberapa alasan Kenapa Kita diperintahkan seperti itu;

 

Pertama, Karena Al-Qur’an adalah obat bagi penyakit-penyakit yang ada di dalam hati, dan mengusir was-was, syahwat-syahwat, dan keinginan-keinginan bejat yang dimasukkan setan. Al-Qur’an adalah obat bagi apa saja yang diperintahkan setan di dalam hati. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita mengikis gejala penyakit, dan membersihkan hati dari padanya, agar obat mendapatkan tempat Kosong kemudian menetap di dalamnya, dan mempengaruhinya, seperti dikatakan salah seorang penyair,

 

Hawa nafsunya datang kepadaku sebelum aku mengenal hawa nafsu

 

Kemudian hawa nafsu mendapatkan hati yang kosong lalu menetap di dalamnya

 

Obat mujarab ini harus datang Kepada hati yang kosong dari lawannya, kemudian ia bereaksi di dalamnya.

 

Kedua, sesungguhnya hati adalah bahan baku petunjuk, ilmu, dan kebaikan di dalam hati, sebagaimana air adalah bahan baku tumbuh-tumbuhan. Sedang setan adalah api yang membakar tumbuh-tumbuhan. Jika setan melihat ada tumbuh-tumbuhan kebaikan di dalam hati, ia segera berusaha merusaknya dan membakarnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita berlindung dari setan, agar ia tidak merusak apa yang dihasilkan oleh Al-Qur’an.

 

Perbedaan antara poin ini dengan poin sebelumnya, bahwa permintaan perlindungan pada poin pertama ialah dalam rangka mendapatkan manfaat Al-Qur’an sedang permintaan perlindungan pada poin ini dalam rangka kelestarian manfaat Al-Qur’an, penjagaannya, dan keawetannya.

 

Sepertinya orang yang berkata, “Sesungguhnya meminta perlindungan dari setan setelah membaca Al-Qur’an, pasti melihat makna ini.”

 

Demi Allah, ini adalah catatan yang baik, namun Sunah, dan atsaratsar para sahabat menerangkan bahwa permintaan perlindungan itu harus dilakukan ketika hendak membaca Al-Qur’an. Itulah pendapat mayoritas umat dari generasi salaf dan khalaf

 

Ketiga, sesungguhnya para Malaikat mendekat kepada orang yang membaca Al-Qur’an dan mendengar bacaannya, seperti dijelaskan hadits yang diriwayatkan Usaid bin Hudhair, bahwa Ketika ia membaca AlQur’an, ia melihat seperti bayangan yang di dalamnya terdapat sinar, kemudian Rasulullah Skellallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Itulah para Malaikat.” (Diriwayatkan Al-Bukhari, dan Muslim).

 

Sedang setan, ia lawan dan musuh para Malaikat. Oleh Karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan orang yang membaca AIQur’an untuk meminta Allah Ta’ala menjauhkan musuhnya dari padanya hingga ia didatangi para Malaikat-Nya. Ini adalah kedudukan yang di dalamnya para Malaikat dan setan tidak bisa bertemu.

 

Keempat, sesungguhnya setan datang kepada orang yang membaca Al-Qur’an dengan pasukan berkudanya dan pasukan pejalan kakinya, hingga memalingkan qari’ dari tujuan utama Al-Qur’an, yaitu mengkajinya, memahaminya, dan mengetahui apa yang dikehendaki Allah subhanahu wa Ta’ala. Setan berusaha Keras menjauhkan hati dari maksud utama Al-Qur’an hingga hati tidak mendapatkan manfaat dari Al-Qur’an. Oleh Karena itu, ketika hendak membaca Al-Qur’an, Allah Azza wa Jalla memerintah kita berlindung dengan-Nya dari setan tersebut.

 

Kelima, sesungguhnya qari’ (orang yang membaca Al-Qur’an) itu bermunajat kepada Allah Ta’ala dengan firman-Nya. Allah Ta’ala lebih mendengarkan gari’ yang membaca Al-Qur’an dengan suara yang bagus ketimbang suara lagu. Sedang setan, bacaannya ialah syair dan lagu. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan gari’ mengusir setan dengan meminta perlindungan pada saat kedatangan Allah ta‘ala, dan pendengaran Allah Ta’ala terhadap bacaannya.

 

Keenam, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan, pahwa Dia tidak mengutus seorang Rasul atau seorang Nabi, melainkan jika Rasul dan Nabi tersebut mempunyai keinginan, maka setan memasukkan godaan-godaan terhadap keinginannya. Para generasi sala semuanya sepakat, bahwa makna ayat di atas ialah jika seseorang membaca Al-Qur’an, maka setan mengganggu bacaannya.

 

Jika itu yang dikerjakan setan terhadap para Rasul, maka apa yang dikerjakan setan terhadap orang-orang selain mereka? Oleh karena itu, terkadang setan membuat gari’ melakukan kesalahan bacaan, merusak bacaannya, dan mengacaukan bacaannya hingga membuat lisannya bicara tidak karuan, atau mengacaukan otaknya dan hatinya. Jika setan hadir pada saat gari’ membaca Al-Qur’an, ia mengganggu dengan membuatnya melakukan kesalahan, atau mengacaukan bacaannya, atau kedua-duanya sekaligus. Jadi kata kunci dari persoalan di atas ialah meminta perlindungan Allah Ta’ala dari setan.

 

Ketujuh, sesungguhnya setan itu sangat berambisi kepada seseorang ketika ia berkeinginan kepada kebaikan atau masuk ke dalam kebaikan. Ketika itulah, setan mengganggunya dengan sungguh-sungguh untuk memutus orang tersebut dari kebaikan.

 

Disebutkan dalam Shahih dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

 

“Sesungguhnya setan datang kepadaku kemarin malam. Ia ingin memutus Shalatku.”

 

Semakin amal perbuatan itu bermanfaat bagi seorang hamba dan paling dicintai Allah Ta’ala, maka penentangan setan terhadapnya sangat besar. Disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad hadits dari Sabrah bin Abu Al-Fakihah bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Sesungguhnya setan itu menduduki anak keturunan Adam dengan semua cara. la menghadangnya dengan jalan Islam. Ia berkata, Apakah engkau masuk Islam dan meninggalkan agamanya sendiri, agama ayahmu, dan ayah dari ayahmu?’ Orang tersebut tidak menggubris setan dan tetap masuk Islam. Kemudian setan menghadangnya dengan jalan hijrah. Setan berkata, Apakah engkau akan hijrah dengan meninggalkan bumimu dan langitmu?: Sesungguhnya perumpamaan orang yang berhijrah ialah seperti kuda dalam hal usia. Orang tersebut tidak menggubris setan dan tetap melakukan hijrah. Kemudian setan menghadangnya dengan Jalan jihad -jihad dengan jiwa dan harta-. la berkata, Apakah engkau akan berperang kemudian engkau dibunuh, atau kemudian engkau menikahi seorang wanita dan mendapatkan harta?’ Orang tersebut tidak menggubris setan dan tetap berjihad.” (Diriwayatkan Ahmad).

 

Jadi setan itu selalu mengincar manusia dalam semua jalan kebaikan.

 

Mansur berkata dari Mujahid Rehimahullah, “Tidaklah rombongan musafir berjalan menuju Mekkah, melainkan iblis menyiapkan untuk mereka sesuatu seperti perbekalan mereka.” (Diriwayatkan Ibnu Hatim dalam tafsirnya).

 

Setan itu selalu mengintip manusia, terutama ketika ia hendak membaca Al-Qur’an. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan setiap hamba memerangi musuhnya dan memutus jalan menuju kepadanya, serta meminta perlindungan kepada Allah Ta’ala dari padanya, kemudian ia meneruskan perjalanannya, sebagaimana jika seorang musafir dihadang perampok jalanan, ia langsung menyingkirkannya, kemudian melanjutkan kembali perjalanannya.

 

Kedelapan, sesungguhnya isti’adzah (meminta perlindungan) adalah simbol dan proklamasi seseorang, bahwa yang akan ia datangi setelah isti’adzah tersebut ialah Al-Qur’an. Oleh karena itu, isti’adzah tidak disyariatkan kepada selain Al-Qur’an. Isti’adzah ialah pengantar dan

 

pengingat bagi pendengar bahwa yang akan ia lakukan setelah isti’adzah ialah membaca Al-Qur’an. Jika seorang mendengar isti’adzah, ia pun segera bersiap-siap untuk mendengarkan firman Allah Ta’ala. Isti’adzah disyariatkan kepada gari’ kendati ia membaca Al-Qur’an sendirian, karena hikmah-hikmah yang telah kami sebutkan sebelumnya. Inilah sebagian manfaat dari isti’adzah (meminta perlindungan kepada Allah).

 

Ahmad berkata dalam riwayat Hanbal, bahwa ia tidak membaca Al-Qur’an dalam shalat dan selain shalat, melainkan ia membaca isti‘adzah, berdasarkan firman Allah, Apabila kamu membaca Al Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.” (An-Nahl: 98).

 

Ahmad berkata dalam riwayat Ibnu Masyisy, “Setiap Kali ia membaca Al-Qur’an, pasti ia membaca isti’adzah.”

 

Abdullah bin Ahmad berkata, bahwa aku dengar ayahku jika ia membaca Al-Qur’an, ia membaca isti’adzah. la membaca, “Aku berlindung diri kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat.”

 

Disebutkan dalam Al-Musnad, dan Jami’ At-Tirmidzi hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyalahu Anhu yang berkata,

 

‘Jika Rasulullah Shallallahu Alaihiwa Sallam berdiri untuk shalat, beliau membaca doa iftitah, kemudian berkata, Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengardan Maha Melihat dari setan yang terkutuk, dari bisikan setan, kesombongannya, dan syairmya’.” (DiriwayatKan At-Tirmidzi, dan Ahmad).

 

Ibnu Al-Mundzir berkata, bahwa disebutkan dari Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa sebelum beliau membaca Al-Qur’an, beliau berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk.”

 

Imam Syafi’i, Abu Hanifah, dan Al-Qadhi dalam bukunya Al-ami’u bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk.”

 

Hadits di atas diriwayatkan dari Imam Ahmad, berdasarkan firman ayat tersebut, dan hadits riwayat Ibnu Al-Mundzir.

 

Disebutkan dari Imam Ahmad dari riwayat Abdullah bahwa ia berkata, “AKu berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui dari setan yang terkutuk.” Berdasarkan hadits Abu Sa’id.

 

Itulah mazhab Al-Hasan dan Ibnu Sirin. Hal ini diperkuat dengan hadits yang diriwayatkan Abu Daud dalam kisah tentang berita bohong (kisah tuduhan zina terhadap Aisyah),

 

“Bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Salam duduk dan membuka wajahnya sambil berkata, Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui dari setan yang terkutuk’,”

 

Disebutkan dari Imam Ahmad dalam riwayat yang lain, bahwa ia berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.”

 

Hal yang sama dikatakan Sufyan Ats-Tsauri, dan Muslim bin Yasar. Pendapat yang sama juga dipilih Al-Qadhi dan Ibnu Aqil, Karena firman Allah Ta’‘ala, “Hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.” (An-Nahl: 98). Dzahirnya ialah berlindung kepada Allah dengan mengatakan, ‘Aku berlindung diri kepada Allah dari setan yang terkutuk.” Dan firman Allah Ta’ala di ayat yang lain, “Maka mohonlah perlindungan kepada Allah, Sesungguhnya Dia-lah Yang Mahe Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Fushshilat: 36). Menghendaki bahwa isti’adzah (permintaan perlindungan) harus disusul dengan sifat bahwa Allah itu Maha Mendengar dan Maha Mengetahui dalam susunan kalimat terpisah yang dipertegas dengan kata imma (sesungguhnya), karena Allah Subhanahu wa Ta’ala disebut seperti itu.

 

Ishag berkata, “Yang aku pilih ialah apa disebutkan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung diri kepada-Mu dari setan yang terkutuk,; dari bisikan setan, kesombongannya, dan syairnya’.”

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan katakanlah, ‘Ya Tuhanku aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan setan. Dan aku berlindung kepada Engkau ya Tuhanku, dari kedatangan mereka kepadaku’.” (Al-MukKminun: 97-98).

 

Hamazaat pada ayat di atas adalah Kata jamak dari kata hamzah. Makna hamzah ialah mendorong. Abu Ubaidah berkata dari Al-Kasai, “Hamaztuhu, lamaztuhu, lahaztuhu, dan nahaztuhu, maksudnya ialah aku mendorongnya.”

 

Identifikasi masalah ini, bahwa setan itu mendorong dengan pukulan, dan fitnah seperti. Ini dorongan yang bersifat Khusus. Jadi yang dimaksud dengan hamazaati asy-syaithani pada ayat di atas ialah bisikan dan rayuan yang mereka dorong (masukkKan) Ke dalam hati.

 

Ibnu Abbas berkata, “Yang dimaksud dengan hamazaati asysyaithani ialah kecenderungan dan bisikan setan.”

 

Hamaazaatiasy-syaithani terkadang ditafsirkan dengan bisikan, dan terkadang ditafsirkan dengan cekikan setan.

 

Tekstual hadits menjelaskan bahwa hamaazati ialah bukan bisikan. Ada yang mengatakan, bahwa jika hamazaati asy-syaithani dibuat terpisah, maka masuk Ke dalamnya semua upaya setan terhadap manusia. Dan jika digabung dengan Kata ma akh danna akh, maka merupakan jenis khusus.

 

Kemudian Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan aku berlindung kepada Engkau ya Tuhanku, dari kedatangan mereka kepadaku.”

 

Ibnu Zaid berkata, “Maksudnya dari kedatangan mereka kepada semua urusanku.”

 

Al-Kalbi berkata, “Maksudnya dari kedatangan mereka pada saat aku membaca Al-Qur’an.”

 

Ikrimah berkata, “Maksudnya dari kedatangan mereka pada saat sakaratul maut.”

 

Pada ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan seseorang meminta perlindungan dari dua jenis keburukan yaitu bisikan setan dan mendekatnya setan kepadanya.

 

Jadi ist’adzah mencakup hendaknya setan tidak menyentuhnya dan tidak mendekat kepadanya. Allah Ta’ala menyebutkan hal yang demikian setelah firman-Nya, “Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifati.” (Al-Mukminun: 96).

 

Pada ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan manusia berlindung dari keburukan setan manusia dengan menolak Kejahatan mereka dengan yang lebih baik dan menolak kejahatan setan dari golongan jin dengan meminta perlindungan dari mereka.

 

Ayat yang sama ialah firman Allah Ta’ala di surat Al-Araaf,

 

‘Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (Al-Araaf: 199).

 

Pada ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan manusia menolak kejahatan orang-orang bodoh dengan berpaling dari mereka, kemudian Allah Ta’ala memerintahkan menolak Kejahatan setan dengan meminta perlindungan dari padanya.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Fushshilat: 36).

 

Ayat yang sama ialah firman Allah Ta’ala di surat Fushshilat,

 

“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (Fushshilat: 34).

 

Itu adalah menolak kejahatan setan dari golongan manusia. Kemudian Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Fushshilat: 36).

 

Allah Ta’ala menguatkan ayat di atas dengan Kata inna (sesungguhnya), dengan adzamir (kata ganti) terpisah, dan alifdan laam pada Kata As-Sami’u dan Al-Aliimu. Sedang di surat Al-Araaf, Allah Ta’ala berfirman, “dnnahu Sami’un Aliim.” Tanpa menggunakan alif dan laam.

 

Rahasia ayat ini -wallahu a’lam bahwa Allah hanya membatasi diri dengan menyebutkan nama dan tidak menguatkannya, karena hendak menegaskan sifat yang menjamin mampu memberikan perlindungan, dan menjelaskan bahwa Dia mendengar dan melihat. Allah Ta’ala mendengar permintaan perlindungan Anda kemudian mengabulkannya dan mengetahui apa yang Anda minta perlindungan darinya kemudian Dia mengusirnya dari Anda. Jadi, Allah Ta’ala mendengar ucap. an orang yang meminta perlindungan dan mengetahui tindakan orang yang meminta perlindungan darinya. Dengan cara seperti itulah tujuan isti’adzah (permintaan perlindungan) tercapai. Makna ini mencakup kedua ayat di atas, dan ayat di surat Fushshilat mempunyai keistimewaan dengan tambahan penguat, definiti (menggunakan hurufalifdan laam), dan takhshis (pengkhususan), karena redaksi ayat tersebut se. telah sebelumnya Allah Subhanahu wa Ta’ala membantah dugaan orang. orang bahwa Allah tidak mendengar ucapan mereka dan tidak mengetahui mereka, seperti disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim hadits dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu yang berkata,

 

“Tiga orang; dua orang dari Quraisy, dan satu orang dari Tsaqfi, atau dua orang dari Tsaqafi dan satu orang dari Quraisy bertemu di Baitullah. Perut mereka banyak lemaknya dan hati mereka sedikit ilmunya. Mereka berkata, ‘Bagaimana pendapat kalian, apakah Allah mendengar apa yang kita katakan?’ Salah seorang dari mereka berkata, Allah mendengar jika kita berkata keras, dan tidak mendengar jika kita bicara pelan.’ Yang lain berkata, ‘Jika Allah mendengar sebagian ucapan, maka Dia juga mendengar semua ucapan.’ Kemudian Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat, ‘Kalian Sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari persaksian pendengaran, penglihatan dan kulit kalian terhadap kalian bahkan kalian mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kalian kerjakan. Dan yang demikian itu adalah prasangka kalian yang telah kalian sangka terhadap Tuhan kalian, prasangka itu telah membinasakan kalian, maka jadilah kalian termasuk orang-orang yang merugi.” (Fushshilat: 22-23).

 

Penguat dalam firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar, dan Maha Melihat.” Adalah dalam konteks pengingkaran. Maksudnya, bahwa hanya Allah saja yang mempunyai kekuatan mendengar dan mengetahui dengan sempurna, dan bukan seperti yang diduga musuh-musuh-Nya yang bodoh yang berkata bahwa Dia tidak mendengar jika mereka bicara pelan dan bahwa Dia tidak mengetahui sebagian besar apa yang mereka kerjakan.

 

Selain itu, yang diperintahkan dalam surat Fushshilat ialah menolak kejahatan mereka dengan berbuat baik kepada mereka, dan sikap itu sangat berat bagi jiwa daripada sekedar berpaling dari mereka. Oleh karena itu, setelah itu Allah Ta’ala berfirman,

 

“Si at-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” (Fushshilat: 35).

 

Jadi keindahan penguat itu karena kebutuhan orang yang meminta perlindungan.

 

Di samping itu, redaksi ayat di sini dalam rangka menegaskan sifat-sifat kesempurnaan Allah Ta’ala, dalil-dalil kepastian kesempurnaan Allah Ta’ala, tanda-tanda Rububiyah-Nya, dan bukti-bukti keesaan-Nya. Oleh karena itu, kemudian Allah Ta’ala meneruskan ayat dengan berfirman, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam dan siang.” (Fushshilat: 37). Dan dengan berfirman, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaannya, bahwa kamu lihat bumi itu kering tandus.” (Fushshilat: 39). Allah Ta’ala menggunakan huruf ta’rifyaitu ali dan laam yang menunjukkan bahwa di antara nama-nama-Nya yang baik ialah AsSami’u (Yang Maha Mendengar), dan AL-Aliim (Yang Maha Mengetahui), sebagaimana bahwa semua nama-nama-Nya adalah ma’ri ah (definitif). Surat di Al-Araaf adalah dalam konteks memberi ancaman kepada orang-orang musyrik dan saudara-saudara mereka dari golongan setan, dan memberi janji kepada orang yang meminta perlindungan bahwa ia mempunyai Tuhan yang Mendengar dan Melihat, sedang tuhan-tuhan orang-orang musyrik tidak mempunyai mata yang mereka melihat dengannya dan tidak pula mempunyai telinga yang mereka mendengar dengannya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui, sedang tuhan-tuhan orang-orang musyrik tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak mengetahui. Maka bagaimana kalian menyamakan tuhan-tuhan tersebut dengan Allah Ta’ala dalam ibadah? Dari sini bisa diketahui, bahwa tidak ada yang tepat bagi redaksi ayat selain indefiniti , dan tidak ada yang tepat baginya selain definitif Allah Maha Mengetahui terhadap rahasia-rahasia firman-Nya.

 

Karena yang diminta perlindungan pada surat Fushshilat adalah keburukan perdebatan orang-orang kafir terhadap ayat-ayat Allah Ta’ala, dan tindakan-tindakan mereka yang bisa dilihat dengan mata, maka Allah Ta’ala berfirman,

 

“Sesungguhnya orang-orang yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah (keinginan akan) kebesaran yang mereka sekali-kali tiadakan mencapainya, maka mintalah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Al-Mukmin: 56).

 

Karena yang dimintai perlindungan dari padanya adalah tindakan dan ucapan mereka yang bisa dilihat mata, maka Allah Ta’ala berfirman bahwa Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat. Selain itu ada sesuatu yang diminta perlindungan dari padanya itu yang tidak bisa dilihat dengan mata, karena ia (setan) dan kelompoknya melihat kita sedang kita tidak melihat mereka. Hal ini bisa diketahui dengan iman, dan penjelasan Allah dan Rasul-Nya.

 

Jadi Al-Qur’an memberi petunjuk untuk menolak dua musuh tersebut dengan cara yang paling mudah, yaitu meminta perlindungan kepada-Nya, berpaling dari orang-orang yang bodoh, dan membalas kejahatan mereka dengan berbuat baik kepada mereka. Allah Ta’ala juga menjelaskan tentang besarnya keberuntungan orang yang mendapatkan hal ini. Sesungguhnya dengan sikap seperti itu, orang yang tadinya berniat jahat terhadapnya mengurungkan niatnya, kemudian berubah menjadi sahabat yang akrab, manusia mencintainya, memberikan pujian terhadapnya, ia berhasil menundukkan hawa nafsunya, hatinya selamat dari dendam dan dengki, serta manusia hatta musuhnya merasa damai dengannya. Ini belum termasuk apa yang ia terima yang lain yaitu kemuliaan dari Allah Ta’ala, pahala-Nya yang baik, dan keridhaan Allah Ta’ala kepadanya. Inilah puncak keberuntungan di dunia dan akhirat. Karena hal tersebut tidak bisa dicapai kecuali dengan sabar, maka Allah Ta’ala berfirman,

 

“Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar.” (Fushshilat: 35).

 

Orang yang terburu nafsu dan gegabah tidak mampu membalas kejahatan dengan perbuatan yang baik.

 

Emosi adalah kendaraan setan, kemudian jiwa yang emosional ini berkoalisi dengan setan untuk menyerang jiwa yang muthmainnah (tenteram) yang menyuruh membalas kejahatan dengan perbuatan yang baik. Untuk itu, Allah memerintahkannya menghadapi setan dengan berlindung dari padanya, kemudian isti’adzah (permintaan perlindungan diri) pun menyokong jiwa yang tenteram kemudian menguat hingga mampu mengadakan perlawanan terhadap jiwa yang emosional, dan datanglah bala bantuan sabar di mana kemenangan bisa dicapai dengannya. Ya, datanglah bala bantuan iman dan tawakal, kemudian meruntuhkan kekuatan setan. Allah Ta’ala berfirman,

 

“Sesungguhnya setan ini tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhannya.” (An-Nahl: 99).

 

Mujahid berkata, “Maksudnya bahwa setan itu tidak mempunyai hujah atas orang-orang yang beriman, dan bertawakal kepada Tuhannya.”

 

Penafsiran yang benar, bahwa setan itu tidak mempunyai jalan untuk menguasai mereka; tidak dari jalan hujah, atau dari jalan kekuasaan. Kekuasaan adalah definisi lain dari kata sultan pada ayat di atas. Hujah dinamakan sultan (kekuasaan), karena orang yang mempunyai hujah menjadi berkuasa dengan hujahnya sebagaimana orang yang mempunyai kekuasaan menjadi berkuasa dengan kekuasaannya. Allah subhanahu wa Ta’ala menjelaskan, bahwa setan tidak mempunyai kekuasaan atas hamba-hamba-Nya yang ikhlas dan bertawakal kepadaNya. Allah Ta’ala berfirman di surat Al-Hijr,

 

“Iblis berkata, ‘Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka.’ Allah berfirman, ‘Ini adalah jalan yang lurus, kewajiban Aku-lah (menjaganya). Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikuti kalian, yaitu orang-orang yang sesat’.” (Al-Hijr: 39-42).

 

Allah Ta’ala berfirman di surat An-Nahl,

 

“Sesungguhnya setan ini tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya. Sesungguhnya kekuasaannya (setan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang menyekutukannya dengan Allah.” (An-Nahl: 99-100).

 

Ayat di atas mengandung dua persoalan penting;

 

Pertama, bahwa Allah Ta’ala menolak dan menghilangkan kekuasaan setan atas orang-orang yang bertauhid, dan ikhlas.

 

Kedua, bahwa Allah Ta’ala menegaskan, bahwa kekuasaan setan itu terjadi pada orang musyrik dan orang-orang yang setia dengannya.

 

Karena musuh Allah “setan” mengetahui betul, bahwa ia tidak bisa berkuasa atas orang-orang yang bertauhid dan orang-orang yang ikhlas, ia pun berkata,

 

“Iblis menjawab, ‘Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka’.” (Shaad: 82-83).

 

Musuh Allah “setan” paham betul, bahwa Barang siapa berpegang teguh kepada Allah Azza wa Jalla, ikhlas karena-Nya, dan tawakal kepada-Nya, ia tidak mampu menipunya dan menyesatkannya. Sesungguhnya penguasaannya hanyalah pada orang-orang yang setia padanya dan menyekutukan Allah Ta’ala. Mereka adalah rakyat setan, sedang setan adalah pelindung mereka, raja mereka, dan pemimpin mereka.

 

jika ada yang bertanya, “Apa komentar Anda terhadap firman ‘ allah fa’ala di surat Ibrahim, ketika setan berkata kepada penghuni neraka “Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadap kalian, melainkan (sekedar) aku menyeru kalian lalu kalian mematuhi seruanku.” (Ibrahim: 22).

 

Inilah, kendati ucapan di atas adalah ucapan setan, namun Allah subhanahu wa Ta’ala menjelaskan, bahwa memang hal tersebut terjadi dan Allah sendiri tidak mengingkarinya. Jadi hal ini menunjukkan kebenaran ucapan setan.

 

Jika dikatakan, “Ini adalah pertanyaan yang baik.”

 

Jawabnya, sesungguhnya kekuasaan yang tidak diakui Allah Ta’ala pada ayat di atas ialah kekuasaan dengan hujah dan petunjuk. jadi maksud ucapan setan di atas, ‘Aku tidak mempunyai hujah dan petunjuk yang bisa aku gunakan terhadap kalian.” Seperti dikatakan ibnu Abbas yang berkata, “Aku tidak mempunyai hujah yang bisa aku pakai terhadap kalian.” Maksudnya, aku tidak memperlihatkan hujah kepada kalian, melainkan aku mengajak kalian kemudian kalian menerima ajakanku, membenarkan ucapanku, dan mengikutiku tanpa petunjuk dan hujah. Adapun kekuasaan setan yang diakui Allah Ta’ala dalam firman-Nya, “Sesungguhnya kekuasaannya (setan) hanyalah atas orang-orang yang menjadikannya sebagai pemimpin.” (An-Nahl: 100).

 

Yang dimaksud dengan kekuasaan pada ayat tersebut ialah kekuasaan setan dalam bentuk menipu dan menyesatkan manusia, serta dominasinya atas mereka dalam arti ia mendorong mereka kepada kekafiran dan syirik, serta tidak rela mereka meninggalkan kekafiran dan syirik, seperti difirmankan Allah Ta’ala, “Tidakkah kamu lihat, bahwasanya Kami telah mengirim setan-setan itu kepada orang-orang kafir untuk menghasut mereka berbuat maksiat dengan sungguh-sungguh?” (Maryam: 83). Ibnu Abbas berkata, “Maksudnya dari firman Allah tauzzuhum azza ialah untuk menipu mereka.” Dalam riwayat lain, “Maksudnya dari firman Allah tauzzuhum azza ialah untuk memanggil mereka kepada kemaksiatan.”

 

Dalam redaksi yang lain, “Maksudnya dari firman Allah tauzzuhum azza ialah untuk menggerakkan mereka kepada kemaksiatan.”

 

Dalam redaksi yang lain, “Maksudnya dari firman Allah tauzzuhum azza ialah untuk mengajak mereka kepada kemaksiatan.”

 

Dalam redaksi yang lain, “Maksudnya dari firman Allah tauzzuum azza ialah untuk membakar mereka.”

 

Al-Akhfasy berkata, “Maksudnya dari firman Allah tauzzuhum azza ialah untuk menyalakan mereka.”

 

Penjelasannya, bahwa makna kata al-azzu ialah menggerakkan. Dari sinilah kenapa air mendidih dikatakan al-azizu karena air terus bergerak ketika ia mendidih. Disebutkan dalam hadits, “Bahwa di dadanya ada suara mendidih karena menangis seperti air mendidih di periuk”

 

Abu Ubaidah berkata, “Arti kata AL-Azizu ialah berkobar-kobar dan bergerak, seperti berkobar-kobarnya api di kayu.”

 

Dikatakan, “iz gidraka maksudnya kobarkan (nyalakan) api dj bawah periukmu.”

 

Jadi kata al-azzu mempunyai dua arti;

 

Pertama, menggerakkan.

 

Kedua, menyalakan atau mengobarkan.

 

Kedua arti di atas mempunyai kesamaan. Jika digabung maka artinya ialah menggerakkan secara khusus dengan menyalakan dan mengobarkan.

 

Itulah bentuk penguasaan setan terhadap “orang-orangnya” dan orang-orang musyrik. Kendati begitu, setan tidak mempunyai kekuasaan hujah dan petunjuk atas manusia. Mereka menjawab seruan setan, hanya karena ajakannya kepada mereka itu sesuai dengan hawa nafsu mereka dan keinginan-keinginan mereka. Manusia sendirilah yang membantu jiwanya dan membuat musuh mereka berkuasa atas mereka dikarenakan mereka mengikuti musuhnya.. Karena mereka memberikan tangannya kepada setan, dan meminta ditawan, maka setan dibuat berkuasa atas mereka sebagai hukuman bagi mereka. Dengan demikian, terlihat dengan jelaslah makna firman Allah Ta’ala,

 

“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (An-Nisa’: 141).

 

Ayat di atas bersifat umum dan luas. Artinya jika orang-orang beriman melakukan kemaksiatan yang bertentangan dengan iman, maka karena kemaksiatan itulah orang-orang kafir mampu berkuasa atas mereka, dan penguasaan orang-orang kafir atas mereka sangat ditentukan oleh sejauh mana tingkat kemaksiatan mereka. Jadi mereka sendirilah yang melicinkan jalan bagi orang-orang kafir untuk berkuasa atas mereka, sebagaimana kemaksiatan dan penentangan para sahabat terhadap Rasul di perang Uhud menjadi penyebab kekalahan mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memberikan kekuasaan bagi setan terhadap seorang hamba dan justru hamba sendiri yang membuat setan berkuasa atas dirinya yaitu dengan jalan ia taat kepadanya dan menyekutukan Allah Ta’ala. Maka ketika itulah, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kekuasaan bagi setan dan kekalahan bagi hamba tersebut. Barang siapa mendapatkan kebaikan, hendaklah ia memuji Allah Ta’ala atas kebaikan tersebut. Dan Barang siapa mendapatkan selain kebaikan, hendaklah ia menyalahkan dirinya sendiri.

 

Jadi tauhid, tawakal, dan ikhlas itu menghalangi penguasaan setan atas seseorang. Sedang syirik dan cabang-cabangnya, ia menghendaki penguasaan setan atas seseorang. Namun semuanya tetap sesuai dengan ketetapan Dzat yang segala sesuatu ada di Tangan-Nya dan segala sesuatu kembali kepada-Nya. Allah Ta’ala mempunyai hujah yang sempurna. Jika Allah Ta’ala berkehendak, Dia membuat manusia menjadi satu umat. Tapi, hikmah Allah Ta’ala, pujian-Nya, dan kekuasaan-Nya tidak menghendaki hal yang demikian. Allah Ta’ala berfirman,

 

“Maka bagi Allah-lah segala puji, Tuhan langit dan Tuhan bumi, Tuhan semesta alam. Dan bagi-Nyalah keagungan di langit dan di bumi, Dialah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (Al-Jatsiyah: 36-37).

 

BAB TIGA BELAS

 

TIPU MUSLIHAT SETAN UNTUK MEMPERDAYA MANUSIA

 

Allah Ta’ala berfirman menjelaskan tentang musuh-Nya “iblis”, ketika Allah bertanya kepadanya tentang alasan ketidakmauannya sujud kepada Nabi Adam Alaihis Salam dan alasannya bahwa ia lebih baik daripada Nabi Adam, serta pengusiran terhadapnya dari surga. Iblis meminta penundaan, kemudian Allah Ta’ala memberi penundaan kepadanya. Setelah itu, musuh Allah ini berkata,

 

“Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (Al-A’raaf: 16-17).

 

Ibnu Abbas berkata, “Yang dimaksud dengan firman Allah shiratuka al-mustaqim yaitu agama-Mu yang jelas.”

 

Ibnu Mas’ud berkata, “Yang dimaksud dengan firman Allah shiratuka al-mustaqim yaitu Kitabullah.”

 

Jabir berkata, “Yang dimaksud dengan firman Allah shiratuka al-mustaqim yaitu Islam.”

 

Mujahid berkata, “Yang dimaksud dengan firman Allah shiratuka al-mustaqim yaitu kebenaran.”

 

Semua definisi di atas, pada hakikatnya adalah sama, yaitu jalan yang mengantarkan seseorang kepada Allah Ta’ala. Sebelumnya telah disebutkan hadits Sabrah bin Al-Fakihah, “Sesungguhnya setan itu menduduki anak keturunan Adam dengan semua cara dan seterusnya.” Jadi tidak ada satu jalan kebaikan pun, kecuali setan duduk di atasnya dengan tujuan memotong jalan tersebut dari orang yang berjalan di atasnya.

 

Tentang firman Allah Ta’ala, “Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka.” Ibnu Abbas berkata dalam riwayat Athiyyah, “Yaitu dari arah dunia.” Ibnu Abbas berkata lagi dalam riwayat Ali, “Maksud ayat di atas, bahwa aku membuat mereka ragu-ragu terhadap akhirat.”

 

Penafsiran yang sama dikemukakan Al-Hasan yang berkata, “Maksud penggalan ayat di atas, ialah dari arah akhirat dengan mendustakan hari kebangkitan, surga, dan neraka.”

 

Mujahid berkata, “Yang dimaksud dengan firman Allah min aidiihim ialah dari arah yang mereka lihat.”

 

Tentang firman Allah min khalfihim, Ibnu Abbas berkata, “Maksudnya, aku membuat mereka cinta dunia.”

 

Al-Hasan berkata, “Maksudnya, yaitu dari arah dunia mereka. Aku membuat indah dunia di mata mereka, dan membuat mereka tertarik kepadanya.”

 

Ibnu Abbas berkata dalam riwayat lain, “Maksudnya, dari arah akhirat.”

 

Abu Shalih berkata, “Maksudnya, aku membuat mereka ragu kepada akhirat, dan menjauhkan mereka dari padanya.” Mujahid berkata, “Maksudnya dari arah yang tidak mereka lihat.” Tentang firman Allah wa ‘an aimaanihim, Ibnu Abbas berkata, “Aku mengacaukan urusan agama mereka.” Abu Shalih berkata, ‘Aku jadikan mereka ragu-ragu terhadap kebenaran.” Ibnu Abbas berkata dalam riwayat yang lain, “Dari arah kebaikan-kebaikan mereka.”

 

Al-Hasan berkata, “Dari arah kebaikan-kebaikan, dan aku buat mereka malas terhadapnya.”

 

Tentang firman Allah min khalfihim, Al-Hasan berkata, “Maksudnya, yaitu kesalahan-kesalahan. Iblis memerintahkan manusia melakukan kesalahan-kesalahan, menganjurkan mereka kepadanya, dan membuat kesalahan-kesalahan terlihat indah di mata mereka.”

 

Disebutkan bahwa ibnu Abbas berkata, “Iblis tidak mengatakan dari atas mereka, karena ia mengetahui bahwa Allah berada di atas mereka.”

 

Asy-Sya’bi berkata, “Allah Azza wa Jalla menurunkan rahmat untuk mereka dari atas mereka.”

 

Qatadah berkata, “Hai anak keturunan Adam, sesungguhnya setan datang kepadamu dari semua arah, kecuali dari atasmu. Ia tidak mampu menjauhkanmu dari rahmat Allah.”

 

Al-Wahidi berkata, “Pendapat orang yang mengatakan bahwa kata aiman adalah kiasan dari kebaikan-kebaikan, dan bahwa kata asysyama’ilu adalah kiasan dari kesalahan-kesalahan adalah tepat, karena orang-orang Arab berkata, ‘Ij’alni fi yaminika wa laa taj’alni fi syamalika.’ Maksudnya, jadikan aku termasuk orang-orang yang terdepan di sisimu, dan jangan jadikan aku termasuk orang-orang yang terbelakang di sisimu.”

 

Abu Ubaidah meriwayatkan dari Al-Ashmai yang berkata, “Orang-orang Arab mengatakan huwa indana bi al-yamini, maksudnya ia kedudukannya baik di sisi kami. Dan kebalikannya ialah huwa indand bi asy-syama’ili, maksudnya kedudukannya tidak baik di sisi kami.”

 

Al-Azhari meriwayatkan dari salah seorang ulama tentang ayat di atas, “Pasti aku membujuk mereka sehingga mereka mendustakan hal-hal tentang umat-umat sebelum mereka, dan hal-hal yang terjadi sesudah mereka meninggal yaitu tentang hari kebangkitan. Maksud dari firman Allah wa ‘an aimaanihim wa syamaa’ilihim bahwa aku pasti menyesatkan mereka dalam apa saja yang mereka kerjakan.”

 

Ulama-ulama lain termasuk di dalamnya Abu Ishaq dan Az-Zamakhsyari, berkata, “Arah-arah di atas disebutkan untuk mempertegas. Maksudya, bahwa aku pasti mendatangi mereka dari semua arah tersebut.”

 

Makna ayat di atas yang sebenarnya -wallhu a’lam-, bahwa aku akan menyesatkan mereka dari semua arah mereka.

 

Az-Zamakhsyari berkata, “Maksudnya, aku pasti mendatangi mereka dari keempat arah tersebut dan biasanya musuh masuk dari padanya. Ini seperti bisikan iblis kepada mereka dan bujukannya kepada mereka sesuai dengan kemampuannya, seperti firman Allah,

 

“Dan ajaklah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki.” (Al-isra’: 64).

 

Ini sesuai dengan ucapan Qatadah yang telah saya sebutkan sebelumnya, “Hai anak keturunan Adam, sesungguhnya setan datang kepadamu dari semua arah, kecuali dari atasmu.” Pendapat ini manfaatnya sangat besar dan tidak bertentangan dengan pendapat generasi salaf, karena hal tersebut hanya sebagai perumpamaan saja.

 

Syafiq berkata, “Dalam setiap pagi, setan pasti menghalangiku dari empat arah; dari depanku, belakangku, sebelah kananku, dan sebelah kiriku dengan berkata, ‘Engkau tidak perlu takut, karena Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.’ Kemudian aku membaca firman Allah Ta’ala, ‘Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertobat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar.’ (Thaha: 82). Adapun terhadap sesuatu di belakangku, setan menakut-nakutiku kekayaan apa yang akan aku tinggalkan kepada anak keturunanku, kemudian aku membaca firman Allah Ta’ala, ‘Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.’ (Huud: 6). Sedang dari arah sebelah kananku, setan datang kepadaku dari arah wanita, kemudian aku membaca firman Allah Ta’ala, ‘Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.’ (Al-Araaf: 128). Sedang dari arah sebelah kiriku, setan datang kepadaku dari arah syahwat, Kemudian aku membaca firman Allah Ta’ala, ‘Dan dihalangi antara mereka dengan apa yang mereka ingini.’ (Saba’: 54).

 

Saya Katakan, bahwa jalan yang biasanya dilalui manusia itu ada empat dan tidak lebih. Terkadang manusia berjalan di sebelah kanan, terkadang di sebelah kiri, terkadang berjalan di depan, dan terkadang di belakang. Jalan mana pun yang ia lalui di antara keempat jalan tersebut, pasti ia mendapati setan berada di atasnya dan mengintipnya. Jika ia melalui jalan tersebut dengan taat Kepada Allah Ta’ala, ia mendapati setan berada di atasnya dengan tujuan menggebosinya, memutusnya dari ketaatannya, atau menghalang-halanginya dan membuatnya malas. Jika ia melaluinya dengan bermaksiat, ia mendapati setan berada di atasnya dengan menghasungnya, mengabdi kepadanya, membantunya, dan memberi harapan Kepadanya. Jika setan sepakat dengannya untuk turun Ke tempat yang paling bawah, pasti ia akan datang dari sana.

 

Di antara dalil yang menunjukkan Kebenaran pendapat-pendapat generasi salaf ialah firman Allah Ta’ala,

 

“Dan Kami tetapkan bagi mereka teman-teman yang menjadikan mereka memandang bagus apa yang ada di hadapan dan di belakang mereka.” (Fushshilat: 25).

 

Al-Kalbi berkata, “Maksud ayat di atas, bahwa Kami tetapkan bagi mereka teman-teman dari setan.”

 

Muqatil berkata, “Maksud ayat di atas, bahwa Kami siapkan untuk mereka teman-teman dari setan.”

 

Ibnu Abbas berkata, “Yang dimaksud dengan apa yang ada di depan mereka ialah urusan dunia, dan apa yang ada di belakang mereka ialah urusan akhirat.”

 

Makna ayat di atas, bahwa setan membuat dunia indah di mata manusia, kemudian mereka lebih mementingkan dunia, dan setan mengajak mereka mendustakan akhirat dan berpaling dari padanya.

 

Al-Kalbi berkata, “Setan-setan membuat indah urusan akhirat di depan mereka, bahwa tidak ada surga, atau neraka, atau hari kebangkitan. Mereka juga membuat indah urusan dunia yaitu Kesesatan yang ada pada mereka.” Itulah penafsiran pilihan Al-Farra’.

 

Ibnu Zaid berkata, “Mereka membuat indah kejahatan-kejahatan yang telah mereka kerjakan dan kejahatan-kejahatan yang akan mereka Kerjakan.”

 

Berdasarkan penafsiran di atas, makna ayat ialah bahwa mereka membuat indah apa saja yang telah mereka kerjakan, kemudian mereka tidak bertobat dari padanya dan membuat indah apa yang akan mereka kerjakan, kemudian mereka tidak berniat untuk meninggalkannya.

 

Jadi ucapan musuh Allah, “Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka.” Adalah mencakup urusan dunia dan akhirat.

 

Dan ucapannya, “Dari kanan dan dari kiri mereka.” Sesungguhnya Malaikat pencatat kebaikan di sebelah kanan seseorang menganjurkan orang untuk mengerjakan kebaikan, kemudian datanglah setan Kepadanya dari arah tersebut guna menghalang-halanginya dari kebaikan. Hal ini merinci apa yang disebutkan setan secara umum dalam surat shaad,

 

‘Iblis menjawab, ‘Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya’.” (Shaad: 82).

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Yang mereka sembah selain Allah itu, tidak lain hanyalah berhala, dan (dengan menyembah berhala itu) mereka tidak lain hanyalah menyembah setan yang durhaka. yang dilaknat Allah dan setan itu mengatakan, ‘Saya benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bahagian yang sudah ditentukan (untuk saya). Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan akan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (merubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merubah ciptaan Allah.’ Barang siapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ita menderita kerugian yang nyata. Setan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal setan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka.” (An-Nisa’: 117-120).

 

Adz-Dzahhak berkata, “Yang dimaksud dengan firman Allah mafrudza pada ayat di atas ialah yang telah diketahui.”

 

Az-Zajjaj berkata, “Yang dimaksud dengan firman Allah mafrudza pada ayat di atas ialah bagian yang telah ditentukan untukku.”

 

Al-Farra’ berkata, “Yang dimaksud dengan firman Allah mafrudza pada ayat di atas ialah jalan pada manusia yang disediakan untuk iblis.”

 

Saya katakan, bahwa yang dimaksud dengan firman Allah mafrudza pada ayat di atas ialah ketentuan. Maksudnya, bahwa Barang siapa mengikuti setan dan taat kepadanya, ia termasuk bagian (jatah) yang ditentukan dan dibagikan untuk setan. Siapa saja yang taat kepada musuh Allah “setan”, ia termasuk bagian (jatah) setan. Jadi manusia itu terbagi ke dalam dua bagian; Pertama, orang yang menjadi bagian (jatah) setan. Kedua, wali-wali Allah, kelompok-Nya, dan orang-orang pilihan-Nya. Firman Allah Ta’ala, “Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka.” Maksudnya, menyesatkan mereka dari kebenaran.

 

ibnu Abbas berkata, “Setan ingin menghalangi manusia dari tobat, dan menundanya.”

 

Al-Kalbi berkata, “Maksudnya, bahwa aku membangkitkan angan. angan kosong pada mereka, bahwa surga, neraka, dan kebangkitan itu tidak ada.”

 

Az-Zajjaj berkata, “Maksudnya, bahwa di samping menyesatkan mereka, aku juga membuat angan-angan kepada mereka, bahwa mereka akan mendapatkan bagian dari akhirat.”

 

Ada yang mengatakan, bahwa maksud ayat di atas, bahwa pasti aku akan membuat mereka menaiki hawa nafsu yang mengajak mereka kepada kemaksiatan dan bid’ah.

 

Ada lagi yang mengatakan, bahwa makna ayat di atas, bahwa aku membuat mereka berangan-angan abadi dalam kenikmatan dunia, kemudian aku memanjangkan angan-angan mereka terhadap dunia, lalu mereka mengutamakannya daripada akhirat.

 

Firman Allah Ta’ala, “Dan akan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya.” Yang dimaksud dengan kata yubattikunna pada ayat di atas ialah memotong dan yang dimaksud di sini ialah memotong telinga unta menurut sebagian besar pakar tafsir. Dari sinilah, sebagian besar ulama memandang makruh melubangi (menindik) telinga anak kecil, dan sebagian dari mereka memberi rukhshah (dispensasi) bagi anak perempuan untuk tujuan perhiasan (anting-anting) dengan berhujah dengan hadits Ummu Zara’ yang di dalamnya disebutkan, ‘Abu Zara’ tidak pernah menggerak-gerakkan anting-anting yang ada di kedua telingaku.” (Diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim). Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Aku terhadapmu (Aisyah) adalah seperti Abu Zara’ terhadap Ummu Zara’.”

 

Imam Ahmad membolehkan melubangi (tindik) bagi anak perempuan dan memandang makruh melubangi (tindik) bagi anak laki-laki. Tentang firman Allah Ta’ala, “Dan akan aku suruh mereka (merubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merubahnya.” ibnu Abbas berkata, “Maksudnya bahwa mereka benar-benar merubah agama Allah-” Itulah pendapat Ibrahim, Mujahid, Al-Hasan, Adz-Dzahhak, Qatadah As-Sudi, Sa’id bin Al-Musayyib, dan Sa’id bin Jubair.

 

Makna ayat di atas, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan hamba-hamba-Nya berada dalam fitrah yang lurus yaitu agama Islam, seperti difirmankan Allah Ta’ala,

 

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Dengan kembali bertobat kepada-Nya.” (Ar-Ruum: 30-31).

 

Oleh Karena itu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda “Tidaklah setiap bayi itu dilahirkan melainkan berada dalam keadaan fitrah, kemudian kedua orang tuanya yang menjadikan Yahudi, atau menjadikan Nasrani, atau menjadikan majusi, sebagaimana hewan melahirkan hewan dalam keadaan selamat tanpa cacat. Apakah kalian melihat hewan-hewan tersebut ada yang terpotong (hidungnya, telinganya, dan bibirnya), hingga kalian sendiri yang memotongnya?” Kemudian Abu Hurairah membaca ayat, (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Muttafaq Alaihi). pada hadits di atas, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa sallam menjelaskan dua hal penting; Pertama, perubahan fitrah dengan yahudisasi dan kristenisasi.

 

Kedua, perubahan ciptaan Allah dengan pemotongan. Kedua hal itulah yang dijelaskan iblis, bahwa ia akan merubahnya. Ia merubah fitrah Allah Ta’ala dengan kekafiran, dan itu adalah perubahan tujuan penciptaan mereka. Tidak cukup itu, setan juga merubah pisik dengan memotongnya. Jadi ia merubah fitrah kepada syirik dan merubah pisik kepada terpotong. Yang pertama adalah perubahan ruh, dan yang kedua ialah perubahan pisik.

 

Selanjutnya setan berkata, “Setan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka.” Janji setan ialah apa yang sampai pada hati manusia, misalnya bahwa mereka akan berumur panjang, bahwa Anda akan mendapatkan kenikmatan dunia, bahwa Anda akan lebih hebat daripada sahabat-sahabat Anda, bahwa Anda akan mampu mengalahkan lawan-lawan Anda, bahwa dunia itu berputar; sekali waktu menjadi milik Anda dan pada waktu yang lain menjadi milik orang lain. Angan-angan orang tersebut panjang sekali. Setan menjanjikan kebaikan untuknya atas syiriknya dan kemaksiatannya. la memberinya angan-angan dusta dalam berbagai bentuk. Perbedaan antara pemberian janji dan angan-angan oleh setan, yaitu bahwa ia menjanjikan kebaikan dan membuatnya menginginkan (berangan-angan) kemustahilan. Jiwa yang hina yang tidak ada harganya pasti termakan oleh janji dan angan-angan setan, seperti dikatakan salah seorang penyair,

 

Harapan, jika engkau memang benar, engkau pasti merupakan harapan yang paling baik, Jika tidak, sesungguhnya kami hidup bahagia dengannya . Jadi jiwa yang hina dina merasa nikmat dengan angan-angan kosong, janji-janji palsu, dan senang dengannya, seperti halnya ia senang kepada wanita-anak, dan anak-anak, serta bekerja untuk mereka.

 

Pendapat-pendapat yang rusak sumbernya ialah janji setan dan angan-angannya. Sesungguhnya setan membuat “orang-orangnya” berangan-angan kepada kebenaran dan menemukannya, serta menjanjikan mereka sampai padanya tidak melalui jalannya. Jadi semua orang yang pendapatnya Kacau, ia termasuk dalam cakupan firman Allah Ta’ala, “Setan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka.”

 

Ayat yang sama ialah firman Allah Ta’ala,

 

“Setan menjanjikan kalian dengan kemiskinan dan menyuruh kalian berbuat kejahatan, sedang Allah menjanjikan untuk kalian ampunan daripada-Nya dan karunia.” (Al-Baqarah: 268).

 

Ada yang mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan “Menjanjikan dengan kemiskinan.” ialah menakut-nakuti miskin. Setan berkata, ‘Jika kalian menginfakkan harta kalian, maka kalian akan jatuh miskin.”

 

Firman Allah Ta’ala, “Dan menyuruh kalian berbuat kejahatan.” Para ulama mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan Iahsya’ (Kejahatan) di sini ialah kikir.

 

Disebutkan dari Mugqatil dan Al-Kalbi yang keduanya berkata, “Yang dimaksud dengan kata fahsya’ (kejahatan) dalam Al-Qur’an ialah zina, kecuali dalam ayat di atas. Yang dimaksud dengan Kata fahisyah (Kejahatan) pada ayat di atas ialah kikir.”

 

Yang benar, bahwa Kata fahsya’ itu sesuai dengan babnya. Kata tersebutialah himpunan semua ahisyah (kejahatan). Kata tersebut ialah sifat bagi maushuf (yang disifati) yang dibuang. Maushu -(yang disifati)nya dibuang Karena yang dikehendaki adalah arti yang umum. Maksudnya dengan tindakan yang jahat dan sifat yang jahat termasuk di dalamnya kikir.

 

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan janji setan dan perintahnya, bahwa ia memerintahkan manusia berbuat jahat, dan membuat mereka takut mengerjakan kebaikan. Dua hal itulah kesimpulan yang diinginkan setan pada manusia. Jika ia berhasil membuat seseorang takut mengerjakan kebaikan, orang tersebut meninggalkan kebaikan, dan jika ia telah memerintahkannya mengerjakan kejahatan dan membuatnya indah di matanya, ia pun mengerjakannya. Kemudian Allah subhanahu wa Ta’ala menyebutkan tentang janji-Nya bagi orang yang taat kepada-Nya, melaksanakan perintah-perintah-Nya, dan menjauhi larangan-larangan-Nya, yaitu ampunan dan karunia. Ampunan ialah terjaga dari keburukan, dan karunia ialah diberi kebaikan. Disebutkan dalam hadits yang terkenal,

 

“Sesungguhnya Malaikat mempunyai keinginan terhadap hati, dan setan juga mempunyai keinginan terhadap hati. Keinginan Malaikat ialah menjanjikan kebaikan, dan membenarkan janji. Dan keinginan setan ialah menjanjikan keburukan, dan mendustakan janji. Kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam membaca Firman Allah, ‘Setan menjanjikan kalian dengan kemiskinan dan menyuruh kalian berbuat kejahatan’.” (Diriwayatkan At-Tirmidzi,

 

An-Nasai, Ibnu Hatim, dan Ibnu Hibban).

 

Jadi Malaikat dan setan itu datang secara bergantian kepada hati seperti pergantian siang dan malam. Di antara manusia, ada orang yang malamnya lebih panjang daripada siangnya dan ada orang yang siangnya lebih panjang daripada malamnya. Di antara mereka ada orang yang hari-harinya adalah siang seluruhnya, dan ada orang yang hari-harinya adalah malam seluruhnya. Kuberlindung diri kepada Allah Ta’ala dari kejahatan setan.

 

Tipu Muslihat Setan

 

Tipu muslihat setan itu sangat banyak, di antaranya setan menunjukkan kepada manusia tempat-tempat yang ia bayangkan kepada mereka bahwa mereka mendapatkan manfaat di dalamnya, kemudian ia mengeluarkan mereka kepada tempat-tempat yang membawa petaka bagi mereka, dan ia sendiri meninggalkan mereka, kabur dari mereka, menghina mereka, dan menertawakan mereka. Ia memerintahkan mereka mencuri, berzina, dan membunuh, kemudian menjelek-jelekkan mereka. Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan ketika setan menjadikan mereka memandang baik pekerjaan mereka dan mengatakan, ‘Tidak ada seorang manusia pun yang dapat menang terhadap kalian pada hari ini, dan sesungguhnya saya ini adalah pelindung kalian.’ Maka tatkala kedua pasukan itu telah dapat saling lihat melihat (berhadapan), setan itu balik ke belakang seraya berkata, ‘Sesungguhnya saya berlepas diri daripada kalian, sesungguhnya saya dapat melihat apa yang kalian sekalian tidak dapat melihat, sesungguhnya saya takut kepada Allah.’ Dan Allah sangat keras siksa-Nya.” (Al-Anfal: 48).

 

Setan menampakkan diri kepada orang-orang musyrik yang hendak keluar menuju Badar dalam bentuk Suraqah bin Malik dengan berkata, ‘Aku adalah pelindung Kalian terhadap kemungkinan Bani Kinanah bermaksud jahat terhadap keluarga kalian dan anak-anak Kalian.” Ketika musuh Allah “setan” ini. Melihat tentara-tentara Allah 7a ‘ala dari para Malaikat turun untuk membantu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, ia melarikan diri dari orang-orang musyrik dan membiarkan mereka, seperti dikatakan Hassan bin Tsabit.

 

la membujuk mereka, kemudian ia membiarkan mereka

 

Sesungguhnya orang yang brengsek itu banyak menipu orang-orang setia kepadanya

 

Begitu juga ulah setan terhadap rahib (pendeta) yang membunuh seorang wanita dan bayinya. Pertama-tama setan menyuruhnya berzina dengan wanita tersebut, kemudian menyuruhnya membunuh wanita tersebut, kemudian memberitahukan pembunuhan ini Kepada keluarga wanita dan membeberkannya Kepada mereka, Kemudian ia menyuruh rahib tersebut sujud kepadanya. Ketika hal tersebut telah dikerjakan rahib, ia lari dari padanya. Untuk itu, Allah subhanahu wa Ja’ala menurunkan ayat berikut,

 

“(Bujukan orang-orang munafik itu adalah) seperti (bujukan) setan ketika dia berkata kepada manusia, kafirlah kamu.” Maka tatkala manusia itu telah kafir ia berkata, ‘sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu karena sesungguhnya aku takut kepada Allah Tuhan semesta alam.” (Al-Hasyr: 16).

 

Ayat di atas tidak hanya berlaku pada orang yang bersangkutan, namun mencakup Siapa saja yang menaati perintah setan Kepada kekafiran. Jika ia berharap setan menolongnya dan memenuhi kebutuhannya, maka setan lepas tangan dari padanya. dan menelantarkannya, sebagaimana ia lepas tangan dari semua “orang-orangnya” yang masuk neraka. la berkata Kepada mereka.

 

“Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatan kalian menyekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu.” (Ibrahim: 22).

 

Setan menunjukkan tempat-tempat yang buruk kepada manusia. Kemudian ia lepas tangan dari mereka selepas-lepasnya.

 

Para pakar tafsir berbeda pendapat mengenai ucapan musuh Allah Ta’ala, “Sesungguhnya aku takut kepada Allan.”

 

Qatadah dan Ibnu Ishaq berkata, “Musuh Allah benar ucapannya ketika ia mengatakan, ‘Sesungguhnya saya dapat melihat apa yang Kalian sekalian tidak dapat melihat.’ Namun ia bohong ketika ia mengatakan, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah. ’Demi Allah, setan tidak mempunyai sifat takut kepada Allah. Tapi, ia tahu betul, bahwa ia tidak mempunyai kekuatan dan perlindungan, oleh Karena itu ia menunjukkan tempat-tempat kepada mereka, Kemudian mereka menelantarkan mereka. Begitulah kebiasaan musuh Allah terhadap orang yang taat kepadanya.”

 

Ulama lainnya berkata, “Sesungguhnya setan takut mendapatkan hukuman Allah di dunia dan bukannya takut siksa-Nya di akhirat, sebagaimana orang Kafir dan penjahat takut dibunuh atau dihukum, karena kejahatannya.”

 

Penafsiran ini lebih tepat, dan takut seperti tidak menjadikan seseorang dinamakan orang beriman, dan selamat dari siksa Allah Ta’ala.

 

Al-Kalbi berkata, “Setan takut kalau ia diambil oleh Malaikat Jibril kemudian Malaikat Jibril menjelaskan siapa sesungguhnya setan itu, kemudian manusia tidak taat kepadanya.”

 

Ini penafsiran yang kacau, karena sesungguhnya setan mengatakan seperti itu kepada mereka setelah ia lari dari orang yang telah berhasil ia tipu. Dengan penafsiran seperti itu, Al-Kalbi menghendaki bahwa jika orang-orang musyrik mengetahui bahwa pihak yang berjanji melindungi mereka, dan menunjukkan tempat Kepada mereka adalah iblis, maka mereka tidak akan taat kepadanya setelah itu. Sungguh AlKalbi telah menjauhkan manfaat, jika ia menghendaki penafsiran seperti itu, dan memaksakan sesuatu yang tidak semestinya.

 

Atha’ berkata, “Maksudnya, bahwa aku takut Kalau Allah membinasakanku bersama orang-orang yang binasa.” Ini adalah takut mati, jadi tidak ada gunanya baginya.

 

Az-Zajjaj dan Ibnu Al-Anbari berkata, “Setan menduga, bahwa waktu yang ditangguhkan untuknya telah tiba.”

 

Ibnu Al-Anbari menambahkan, “Setan berkata, AKu takut Kalau waktu yang ditangguhkan untukku telah tiba kemudian aku mendapatkan siksa.’ Sesungguhnya ketika setan melihat para Malaikat, ia takut kalau waktu penundaannya telah berakhir, kemudian ia mengatakan seperti di atas karena merasa Kasihan terhadap dirinya.”

 

Di antara tipu muslihat musuh Allah Ta’ala “setan” yang lain. setan menakut-nakuti orang-orang beriman terhadap tentara-tentaranya dengan tujuan agar orang-orang beriman tidak memerangi mereka, tidak memerintahkan mereka Kepada Kebaikan, dan tidak melarang mereka dari kemungkaran. Ini puncak tipu muslihat setan terhadap orang-orang beriman. Hal ini dijelaskan Allah Ta’ala dengan firman-Nya,

 

“Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (Ali Imran: 175).

 

Makna ayat di atas menurut mayoritas besar pakar tafsir, bahwa setan menakut-nakuti kalian dengan kawan-kawannya.

 

Qatadah berkata, “Setan membuat kawan-kawannya besar dj dada kalian. Oleh Karena itu, Allah berfirman, ‘Karena itu janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kalian benar-benar orang yang beriman.’ jika iman seorang hamba semakin kuat, hilanglah dari dalam hatinya rasa takut kepada kawan-kawan setan. Dan jika imannya melemah, menguatlah rasa takut kepada mereka.”

 

Di antara tipu muslihat setan yang lain, setan selalu menyihir akal hingga ia berhasil menipunya dan tidak ada yang selamat dari sihirnya Kecuali orang yang dikehendaki Allah Ta’ala. Setan mempercantik tindakan yang merugikannya hingga terbayang olehnya bahwa tindakan tersebut adalah tindakan yang paling bermanfaat. Selain itu, setan juga membuatnya benci Kepada tindakan yang sesungguhnya sangat bermanfaat baginya hingga terbayang olehnya bahwa tindakan tersebut adalah tindakan yang paling merugikannya.

 

Tidak ada Tuhan yang berhak disembah Kecuali Allah Ta’ala. Betapa banyaknya manusia yang tertipu dengan sihir ini? Betapa setan seringnya menjauhkan hati dari Islam, iman, dan ihsan? Betapa seringnya setan mempertontonkan kebatilan dan menampilkannya dalam bentuk yang indah, di sisi lain ia menjelek-jelekkan kebenaran dan menampilkannya dalam bentuk yang memuakkan? Betapa seringnya setan membuat indah kepalsuan di mata orang-orang yang brengsek, dan menyebarkan Kesalahan Kepada para ulama? Setanlah yang menyihir akal manusia hingga menjerumuskan mereka Ke dalam hawa nafsu dan pendapat-pendapat yang berbeda-beda. Ia berjalan dengan mereka di jalan-jalan Kesesatan. Setan melemparkan mereka ke tempat-tempat yang mencelakakan. Ia membuat indah di mata mereka penyembahan berhala, memutus hubungan sanak famili, mengubur anak wanita dalam keadaan hidup-hidup, dan menikahi ibu kandung. Ia menjanjikan mereka mendapatkan keberuntungan dan surga jika mereka kafir, bermaksiat, dan fasik. la menampilkan syirik kepada mereka dalam bentuknya yang agung. Kafir kepada sifat-sifat Allah Ta’ala, ketinggian-Nya dan firman-Nya dengan Kitab-kitab-Nya adalah justru menyucikan Allah! Meninggalkan amar makruf dan nahi munkar adalah perlu untuk mendapatkan simpati manusia, merupakan bentuk pergaulan yang baik terhadap mereka, dan sikap tersebut adalah mengejewantahkan firman Allah Ta’ala, ‘Jagalah diri kalian.” (Al-Maidah: 105). Berpaling dari ajaran Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kemudian menggantinya dengan taklid, dan mencukupkan diri dengan pendapat orang yang paling pandai di antara mereka.

 

Setan adalah sahabat kedua orang tua kita (Adam dan Hawwa’). ketika ia mengeluarkan keduanya dari surga. Ila adalah sahabat Qabil ketika ia membunuh saudaranya. Ia adalah sahabat kaum Nabi Nuh Alaihis Salam ketika mereka tenggelam. Ia adalah sahabat kaum Ad, ketika mereka dibinasakan dengan angin yang dahsyat. Ia adalah sahabat kaum Nabi Shalih Alaihis Salam ketika mereka dibinasakan dengan suara Keras yang mengandung guntur. Ia adalah sahabat kaum Luth Alaihis Salam ketika mereka ditenggelamkan kemudian disusul dengan dirajam dengan batu. Ia adalah sahabat Fir’aun, dan Kaumnya ketika mereka disiksa dengan siksaan yang berat. la adalah sahabat para penyembah sapi betina (Bani Israil) ketika terjadi pada mereka apa yang telah terjadi pada mereka. Ia adalah sahabat Quraisy ketika mereka diundang untuk perang Badar. Ia adalah sahabat semua orang celaka dan orang yang tertipu.

 

Tipu muslihat setan pertama, ia menipu kedua orang tua kita (Adam dan Hawwa’) dengan sumpah palsu, bahwa ia adalah penasihat bagi keduanya, dan bahwa ia menginginkan Keduanya abadi di dalam surga. Allah Ta’ala berfirman,

 

“Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu auratnya dan setan berkata, ‘Tuhan kamu berdua tidak melarang kamu berdua dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal (dalam surga).’ Dan dia (setan) bersumpah kepada keduanya. ‘Sesungguhnya saya adalah termasuk orang yang memberi nasehat kepada kamu berdua.’ Maka setan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya.” (Al-A’raf: 20-22).

 

Yang dimaksud dengan Al-Waswasah pada ayat di atas ialah pembicaraan jiwa, dan suara yang tersembunyi. Suara perhiasan dinamakan was-was. Rajulun muwaswisun maksudnya orang yang dibisiki, karena hatinya membisikan sesuatu kepadanya. Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan Kami mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya.” (Qaaf: 16).

 

Musuh Allah “setan” paham betul, bahwa jika Adam dan Hawwa’ memakan buah-buahan pohon tersebut, maka aurat Keduanya terbuka dan itu adalah maksiat dan maksiat adalah merusak tabir antara Allah Ta’ala dengan hamba. Ketika Adam dan Hawwa’ bermaksiat, rusaklah tabir tersebut, dan terbukalah aurat keduanya. Jadi maksiat itu menampakkan aurat batin dan luar. Oleh Karena itu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bermimpi melihat laki-laki dan wanita penzina dalam keadaan telanjang auratnya. Begitulah, jika seorang laki-laki dan wanita melihat dirinya telanjang dalam mimpinya, itu menunjukkan Kerusakan agamanya. Seorang penyair berkata,

 

Sepertinya aku melihat orang yang tidak punya rasa malu

 

Dan sifat amanah di tengah-tengah manusia itu telanjang

 

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan dua pakaian; pakaian lahiriah yang menutupi aurat, dan pakaian batiniah yaitu takwa yang memperindah seseorang dan menutupinya. Jika pakaian tersebut hilang, terbukalah auratnya yang batiniah sebagaimana auratnya yang lahiriah terbuka dengan terlepasnya pakaian dari padanya.

 

Kemudian setan berkata, “Tuhan kamu berdua tidak melarang kamu berdua dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal (dalam surga).” Maksudnya, bahwa Tuhan Kamu berdua tidak melarang kamu berdua dari mendekati pohon tersebut, melainkan Karena Dia tidak suka kalau engkau berdua menjadi malaikat, dan tidak suka kalau engkau berdua abadi di surga. Dari sinilah, setan masuk kepada Adam dan Hawwa’, karena keduanya ingin abadi di dalam surga. Itulah pintu utama dan dari pintu utama inilah ia masuk Kepada anak Keturunan Adam. Sesungguhnya setan itu mengalir pada manusia melalui peredaran darah hingga ia menemukan jiwa orang tersebut dan membaur dengannya, kemudian bertanya kepadanya apa yang ia sukai kemudian jiwa orang tersebut lebih mementingkan setan. Jika setan telah mengenal seseorang, ia menggunakan hawa nafsunya untuk masuk Kepada seseorang dan masuk padanya dari pintu ini. la juga mengajari saudara-saudaranya dan kawan-kawannya, jika mereka menginginkan Keinginan-keinginan yang rusak terhadap yang lain, hendaknya mereka masuk Kepada mereka dari pintu yang mereka senangi dan gemari. Sesungguhnya pintu tersebut tidak menggagalkan rencana orang yang masuk dari padanya. Barang siapa ingin masuk kepadanya melalui pintu yang lain, maka pintu tersebut tertutup.

 

Musuh Allah “setan” masuk kepada Adam dan Hawwa’, Kemudian membuat Keduanya merasa dan cenderung abadi di tempat tersebut dan dalam Kenikmatan yang abadi. Dari sini bisa diketahui, bahwa setan tidak masuk kepada keduanya melalui pintu yang lain. Setan pun bersumpah dengan nama Allah kepada keduanya, bahwa ia penasihat bagi keduanya. Ia berkata, “Tuhan kamu berdua tidak melarang kamu berdua dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal (dalam surga).”

 

Ibnu Abbas membaca malikaini, dan berkata, “Adam dan Hawwa’ tidak berambisi untuk menjadi Malaikat, namun keduanya berambisi menjadi raja, kemudian setan masuk kepada keduanya melalui arah kerajaan (kekuasaan). Bacaannya ini dibenarkan firman Allah Ta’ala pada ayat yang lain,

 

“Setan berkata, ‘Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?’” (Thaha: 120).

 

Adapun terhadap bacaan yang biasa, maka dikatakan, “Bagaimana musuh Allah membuat Adam Alaihis Salam berambisi menjadi Malaikat dengan memakan buah-buahan tersebut, padahal ia mengetahui bahwa para Malaikat tidak makan, dan tidak minum? Adam Alaihis salam amat tahu tentang Allah, dirinya, dan para Malaikat sehingga tidak mungkin ia berambisi menjadi seperti mereka, apalagi terhadap sesuatu yang ia dilarang Allah untuk memakannya!”

 

Jawabnya, bahwa sejak awal Adam Alaihis Salam dan Hawwa’ tidak pernah berambisi terhadap hal di atas, namun keduanya ditipu dan dikecoh oleh musuh Allah “setan” yang menamakan pohon tersebut pohon abadi. Inilah tipu muslihat pertama dan dari sinilah para pengikut setan mewarisi menamakan hal-hal yang diharamkan dengan nama-nama (jargon-jargon) yang menyenangkan jiwa. Mereka menamakan minuman keras dengan nama “induk kebahagiaan”, menamakan riba dengan nama “muamalah”, menamakan penarikan pajak dengan nama “hak-hak raja”, menamakan kezaliman yang paling buruk dengan nama “ketentuan pemerintahan”, menamakan kekafiran paling parah yaitu mengingkari sifat-sifat Allah dengan nama “tanzih (penyucian), dan menamakan forum-forum kefasikan dengan nama “forum kebaikan”.

 

Ketika setan menamakan pohon tersebut dengan nama pohon abadi, ia berkata, “Tidaklah Tuhan engkau berdua melarang engkau berdua dari pohon ini melainkan karena Dia tidak suka engkau berdua menjadi Malaikat dengan memakan buah-buah pohon tersebut, kemudian engkau berdua abadi di surga dan tidak mati seperti para Malaikat yang tidak mati. Adam sebelumnya tidak pernah tahu bahwa ia akan mati. Oleh karena itu, ia tertarik abadi di surga. Terjadilah syubhat dari ucapan musuh Allah dan sumpahnya dengan menggunakan nama Allah bahwa ia adalah penasihat bagi keduanya. Jadi bertemulah tiga sekaligus; syubhat, syahwat, dan takdir. Akibatnya lalai pun menyerang keduanya, sedang musuhnya tetap dalam keadaan terjaga terhadap keduanya, seperti dikatakan salah seorang penyair,

 

Mereka terbangun, padahal Allah menginginkan mereka lalai

 

Untuk mewujudkan takdir yang telah ditentukan sejak zaman azali

 

Jawabnya, penipu itu harus bisa menunjukkan kebatilan dan tipu muslihatnya. Kita tidak perlu meluruskan ucapan musuh Allah “setan”,

 

dan memaafkannya. Justru yang harus diberi maaf ialah ayah kita Adam yang terlanjur mendengar ucapan setan. Sesungguhnya saya sendiri tidak bisa memberi kepastian kepada Adam dan Hawwa’ bahwa jika Keduanya mau memakan buah-buahan pohon tersebut, maka keduanya langsung menjadi Malaikat, namun setan sendiri ragu-ragu terhadap dua hal;

 

Pertama, sesuatu yang mustahil terjadi.

 

Kedua, sesuatu yang mungkin terjadi.

 

Inilah tipu muslihat yang paling canggih. Oleh Karena itu, ketika setan berhasil menggiring Adam ke dalam sesuatu yang mungkin ter. jadi, setan tidak ragu-ragu terhadapnya. Ia pun berkata,

 

“Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?” (Thaha: 120).

 

Di sini, setan tidak memasukkan unsur keragu-raguan sebagaimana ia memasukkan unsur Keragu-raguan pada ucapannya,

 

”Melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal (dalam surga).”

 

Maka renungkanlah! Setelah itu, setan berkata,

 

“Dan dia (setan) bersumpah Kepada Keduanya. ‘Sesungguhnya saya adalah termasuk orang yang memberi nasehat kepada kamu berdua’.”

 

Pernyataan setan di atas mengandung banyak sekali penguat;

 

Pertama, penguat dengan sumpah.

 

Kedua, penguat dengan Kata inna (sesungguhnya).

 

Ketiga, obyeknya (lakumma) lebih didahulukan daripada subyeknya (an-nashihin), untuk tujuan pengkhususan. Maksudnya, bahwa nasihat-Ku hanya khusus untuk engkau berdua, dan manfaat nasihat tersebut Kembali kepada engkau berdua dan bukannya Kembali kepadaku.

 

Keempat, penggunaan Kata benda a’il (an-nashihin) yang menunjukkan kepastian, dan bukannya Kata kerja. Jadi maksud ayat, sesungguhnya pemberian nasihat adalah sifatku dan pembawaanku, serta bukannya hal yang baru bagiku.

 

Kelima, penggunaan huruf laam penguat pada jawaban sumpah (aminannaashihin).

 

Keenam, setan menggambarkan dirinya kepada Adam dan Hawwa’ termasuk orang-orang yang memberi nasihat. Sepertinya ia berkata Kepada Keduanya, “Pemberi nasihat kepada engkau berdua itu banyak, dan aku termasuk salah seorang dari mereka.” Sebagaimana yang Anda Katakan kepada orang yang Anda perintahkan kepada satu hal, “Semua orang yang ikut bersamaku juga seperti ini, dan aku termasuk salah seorang dari mereka yang memberikan perintah kepadamu.”

 

Setan mewariskan tipu muslihat seperti di atas kepada “anak buahnya” dan golongannya jika mereka hendak menipu orang-orang beriman, seperti yang dikatakan orang-orang munafik Kepada Rasulullah shallalahu Alaihi wa Sallam ketika mereka datang menghadap kepada beliau,

 

“Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah.” (Al-Munafiqun: 1).

 

Mereka memperkuat ucapan mereka dengan kesaksian, huruf inna (sesungguhnya), dan laam penguat. Begitu juga firman Allah Ta’ala,

 

“Dan mereka (orang-orang munafik) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa sesungguhnya mereka termasuk golongan kalian, padahal mereka bukanlah dari golongan kalian.” (At-Taubah: 56).

 

Kemudian Alfah Ta’ala berfirman,

 

“Maka setan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya.” (Al-A’raf: 22).

 

Abu Ubaidah berkata, “Maksudnya, setan menerlantarkan keduanya dan membiarkan Keduanya. Asal kata dalla pada ayat di atas ialah taliyatud dalwi maksudnya menurunkan timba ke dalam sumur.”

 

Al-Azhari berkata, bahwa Kata tersebut mempunyai dua asal usul;

 

Pertama, asal muasal kata tersebut ialah orang Kehausan yang turun ke sumur untuk mengambil air, namun tidak mendapatkan air di dalamnya. Jadila tertipu di dalam sumur tersebut. Kemudian Kata turun dikonotasikan kepada berambisi kepada sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Dikatakan, “Dallaahu.” Maksudnya, membuatnya berambisi.

 

Kedua, maksud dari firman Allah, “Alfaka setan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya.” Bahwa setan membuat Adam dan Hawwa’ berani memakan buah-buahan pohon terlarang. Asal kata dallaahumaa ialah dallalahumaa maksudnya membuat keduanya berani. Syammar berkata, “Maa dallalaka ‘alayya?” Maksudnya apa yang membuatmu berani terhadapku?

 

Saya Katakan, asal muasal Kata tadliyah dalam bahasa ialah menjatuhkan dan menggantung. Dikatakan, “Dalla asy-syai’a fi mihwaatin.” Maksudnya, ia menurunkannya dengan menggantung. Disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,

 

“Kemudian datanglah kelompok orang-orang musafir, lalu mereka menyuruh seorang pengambil air, maka dia menurunkan timbanya.” (Yusuf: 19).

 

Mayoritas besar pakar bahasa Arab berkata, bahwa yang dimaksud dengan adla dalwahu ialah menurunkan timba ke dalam sumur. Dan yang dimaksud dengan dallaaha ialah mencabut timba dari dalam sumur.

 

 Maksud dari ini semua ialah menjelaskan tipu muslihat musuh Allah terhadap Adam dan Hawwa’.

 

Mutharrif bin Abdullah berkata, “Setan berkata kepada Adam dan Hawwa’, Aku diciptakan sebelum engkau berdua, dan aku lebih tahu daripada engkau berdua, maka ikutilah aku, niscaya aku memberi petunjuk kepada engkau berdua.’ Setan bersumpah kepada keduanya. Sesungguhnya orang beriman itu hanya tertipu oleh Allah.”

 

Qatadah berkata, “Salah seorang ulama berkata, ‘Barang siapa menipu kami dengan Allah, maka kita tertipu.”

 

Jadi seorang Mukmin itu penipu yang mulia, sedang orang bejat itu penipu yang jahat.

 

Di antara tipu muslihat setan yang unik, bahwa setan masuk ke dalam jiwa hingga ia mengetahui kekuatan mana yang menang di dalamnya; apakah kekuatan keberanian, ataukah kekuatan bertahan?

 

Jika ia melihat bahwa yang menang di dalam jiwa ialah kekuatan bertahan, ia menggembosi orang tersebut, melemahkan semangatnya dan keinginannya terhadap sesuatu yang diperintahkan kepadanya, membuatnya berat melaksanakan perintah Allah Ta’ala, membuatnya mudah meninggalkannya hingga ia meninggalkan (tidak melaksanakan) perintah, atau membuatnya malas terhadap perintah, dan bertindak sembrono terhadapnya.

 

Jika setan melihat yang menang di dalam jiwa ialah kekuatan keberanian, dan semangat yang tinggi, ia pun mengerdilkan sesuatu yang diperintahkan kepadanya, melemahkannya bahwa sesuatu yang diperintahkan kepadanya itu tidak memadai baginya dan bahwa ia perlu meningkatkannya.

 

Orang pertama malas, sedang orang kedua berlebih-lebihan, seperti dikatakan salah seorang dari generasi salaf, “Tidaklah Allah memerintahkan suatu perintah, melainkan setan mempunyai dua keinginan di dalamnya; sembrono, atau berlebih-lebihan. Ia tidak peduli mana di antara keduanya yang menang.”

 

Sebagian besar manusia kecuali sedikit di antara yang sedikit menempuh dua jalur ini; jalur lalai, dan jalur berlebih-lebihan. Hanya sedikit di antara mereka yang serius berjalan di atas jalan yang dulunya dilalui Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan sahabat-sahabatnya.

 

Sebagian orang lalai dalam melaksanakan kewajiban bersuci, dan sebagian yang lain berlebih-lebihan dalam bersuci hingga sampai pada tarap was-was (ragu-ragu).

 

Sebagian manusia lalai tidak mengeluarkan hak yang ada pada harta mereka, dan sebagian manusia yang lain berlebih-lebihan hingga mengeluarkan semua kekayaan yang dimilikinya kemudian mereka menjadi tanggungan orang lain, dan menunggu pemberian orang lain.

 

Sebagian manusia lalai tidak memenuhi kebutuhan makan, minum, dan pakaian, hingga membahayakan tubuh dan hati mereka, dan sebagian manusia yang lain berlebih-lebihan dalam memenuhinya hingga membahayakan tubuh dan hati mereka juga.

 

Sebagian manusia lalai tidak menghormati para Nabi dan pewaris Nabi hingga membunuh mereka, dan sebagian yang lain berlebih-lebihan menghormati mereka hingga menyembah mereka.

 

Sebagian manusia lalai tidak bergaul dengan manusia kemudian mengisolir diri dari manusia guna melakukan ibadah-ibadah, seperti shalat-shalat Jum’at, shalat-shalat jamaah, jihad, dan menuntut ilmu, sementara sebagian yang lain menyatu dengan manusia hingga dalam kezaliman, kemaksiatan, dan dosa sekali pun.

 

Sebagian manusia tidak mau menyembelih burung atau kambing untuk dimakan, sementara sebagian yang lain berlebih-lebihan hingga berani menumpahkan darah yang dilindungi hukum Islam.

 

Sebagian manusia malas hingga membuat mereka tidak bisa sibuk dengan ilmu yang bermanfaat bagi mereka, sementara sebagian yang lain berlebih-lebihan hingga menjadikan ilmu sebagai satu-satunya tujuan hidup mereka, dan tidak mengamalkannya.

 

Sebagian manusia lalai hingga harus makan rumput, dan tumbuh-tumbuhan, dan bukannya makan makanan manusia, sementara sebagian yang lain berlebih-lebihan hingga memakan barang-barang haram.

 

Manusia lalai hingga memandang indah meninggalkan Sunah Nabi “pernikahan” dan membencinya, sementara sebagian yang lain berlebih-lebihan hingga melakukan hal-hal yang diharamkan menuju pernikahan.

 

Sebagian manusia tidak menghormati ulama, dan orang-orang berilmu, dan berpaling dari mereka, serta tidak memenuhi hak mereka, sementara sebagian yang lain bersikap berlebih-lebihan hingga menyembah mereka bersama Allah Ta’ala.

 

Sebagian manusia bersikap sembrono hingga menolak pendapat-pendapat orang-orang berilmu, sementara sebagian yang lain bersikap berlebih-lebihan hingga mereka menjadikan halal apa saja yang mereka halalkan, dan menganggap haram apa saja yang mereka haramkan. Mereka mendahulukan ucapan mereka atas Sunah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang benar dan tegas.

 

Sebagian manusia lalai hingga berkata, “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menakdirkan perbuatan-perbuatan hamba-hamba-Nya, dan tidak menghendakinya untuk mereka. Namun mereka sendiri yang mengerjakan perbuatan-perbuatan tersebut tanpa kehendak Allah Ta’ala dan kekuasaan-Nya.” Sementara sebagian yang lain bersikap berlebih-lebihan hingga berkata, “Sesungguhnya manusia tidak bisa melakukan perbuatan apa pun, dan hanya Allah sendiri yang mengerjakan perbuatan-perbuatan tersebut. Perbuatan-perbuatan tersebut tidak lain adalah perbuatan Allah sendiri dan bukan perbuatan-perbuatan mereka. Seorang budak itu tidak mempunyai kekuasaan dan perbuatan apa pun.”

 

Sebagian manusia lalai hingga berkata, “Sesungguhnya Allah Tuhan alam semesta tidak masuk dalam makhluk-Nya, tidak menampakkan diri kepada mereka, tidak berada di atas mereka, tidak berada di bawah mereka, tidak berada di belakang mereka, tidak berada di depan mereka, tidak berada di sebelah kanan mereka, dan tidak berada di sebelah kiri mereka.” Sementara sebagian yang lain berlebih-lebihan hingga berkata, “Allah berada di setiap tempat dengan Dzat-Nya, seperti udara yang masuk ke dalam semua tempat.”

 

Sebagian manusia lalai hingga berkata, “Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak pernah sekali pun mengatakan sesuatu.” Sementara Sebagian yang lain bersikap bertebih-lebihan hingga berkata, “Sesungguhnya Allah senantiasa berfirman, ‘Hai iblis, apa yang menghalangimu untuk sujud kepada makhluk yang Aku ciptakan dengan kedua Tangan-Ku?’ Allah juga berfirman kepada Nabi Musa, ‘Pergilah kepada Fir’aun!’ Firman tersebut senantiasa Dia kerjakan dan didengar dari-Nya, sebagaimana keabadian sifat hidup yang ada pada Allah.”

 

Sebagian manusia lalai hingga berkata, “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak pernah memberi syafaat kepada seseorang karena seseorang, dan tidak pernah memberi rahmat kepada seseorang karena syafa’at seseorang.” Sementara sebagian yang lain bersikap berlebih-lebihan hingga menyangka bahwa makhluk bisa memberi syafa’at di sisi-Nya tanpa izin-Nya, sebagaimana pejabat bisa memberi syafa’at di sisi raja kepada orang lain.”

 

Sebagian manusia lalai hingga berkata, “Keimanan manusia yang paling fasik, dan paling zalim adalah sama seperti keimanan Malaikat Jibril, Malaikat Mikail, Abu Bakar, dan Umar.” Sementara sebagian yang lain bersikap berlebih-lebihan hingga memvonis kafir seseorang karena dosa besar yang dikerjakannya.

 

Sebagian manusia lalai hingga menolak hakikat Nama-nama Allah Ta’ala, dan Sifat-sifat-Nya, dan mereka mengosongkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari sifat-sifat tersebut. Sementara sebagian yang lain bersikap berlebih-lebihan hingga mereka menyerupakan Allah Ta’ala seperti makhluk-Nya, dan mengumpamakan-Nya dengan mereka.

 

Sebagian manusia lalai hingga memusuhi alahlul bait Rasulullah shallallahu Alaihi wa Salam, memerangi mereka, dan menghalalkan kehormatan mereka. Sementara sebagian yang lain bersikap berlebih-lebihan hingga mengatakan bahwa ahlul bait mempunyai hak-hak khusus kenabian, seperti maksum (bersih dari dosa), dan lain sebagainya. Bahkan tidak tertutup kemungkinan mereka mengatakan, bahwa ahlul bait mempunyai hak uluhiyah.

 

Orang-orang Yahudi lalai terhadap Nabi Isa hingga mereka mendustakannya, dan menuduh Nabi Isa Alaihis Salam dan ibunya dengan tuduhan yang Keduanya dibersihkan Allah Ta’ala dari padanya. Sementara Orang-orang Kristen bersikap berlebih-lebihan hingga mereka menjadikan Nabi Isa Alaihis Salam sebagai anak Allah Ta’ala, dan menjadikannya sebagai Tuhan yang disembah bersama Allah Ta’ala.

 

Sebagian manusia lalai hingga menolak sebab-sebab, kekuatan, watak, dan Keinginan. Sementara sebagian yang lain bersikap berlebih-lebihan hingga menjadikan sebab-sebab sebagai sesuatu yang pasti yang tidak bisa dirubah dan diganti, dan tidak tertutup kemungkinan sebagian yang lain menjadikan sebab terjadi karena pengaruh sesuatu.

 

Sebagian manusia lalai hingga menyembah dalam Keadaan kotor. Mereka adalah orang-orang Kristen dan sejenisnya. Sementara sebagian yang lain bersikap berlebih-lebihan hingga rasa was-was (ragu-ragu) mereka membuat mereka terbelenggu. Mereka adalah orang-orang Yahudi.

 

Sebagian manusia lalai hingga berhias untuk manusia dan memamerkan amal perbuatan dan ibadahnya kepada mereka dengan harapan mereka memujinya, sementara sebagian manusia yang lain bersikap berlebih-lebihan hingga menunjukkan keburukan dan perbuatan-perbuatan yang salah yang membuat pamor mereka jatuh di mata mereka.

 

Sebagian manusia bersikap berlebih-lebihan hingga cuek dengan amal perbuatan hati, tidak menoleh kepadanya, dan mengategorikan amal perbuatan hati sebagai urusan sampingan, sementara sebagian manusia yang lain bersikap berlebih-lebihan hingga memfokuskan konsentrasi dan Kerja mereka kepada amal-amal perbuatan hati, dan tidak menggubris amal-amal perbuatan badan.

 

Di antara tipu muslihat setan yang lain, ucapan yang batil, pendapat yang rancu, dan Khayalan-khayalan yang kontradiktif yang tidak lain adalah sampah akal, puing-puing pemikiran, dan buih yang dengannya setan menyerang hati yang gelap, bingung, dan mengganti kebenaran dengan kebatilan. Sungguh, gelombang ombak syubhat mengalir dengan cepat ke dalam hati seperti itu, dan awan khayalan menggelembung di atasnya. Kendaraan hati tersebut ialah gosip, ragu-ragu, dan banyak membantah. Hati tersebut tidak mempunyai keyakinan, dan tidak sesuai dengan kebenaran. Sebagian dari orang-orang yang mempunyai hati seperti itu membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu. Mereka menelantarkan Al-Quran. Mereka berkata berdasarkan hawa nafsu kemudian mengatakan perkataan yang mungkar dan dusta. Mereka bingung dalam keragu-raguannya, dan selalu dalam keadaan bingung. Mereka mencampakkan Al-Quran di belakang punggung mereka seolah-olah tidak mengetahui kandungan. nya, dan mengikuti apa yang diserukan setan-setan melalui mulut Orang-orang sesat. Mereka meminta keputusan kepada setan, dan karenanya mereka berperang. Mereka meninggalkan dalil dan mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dan, menyesatkan banyak orang, dan tersesat dari jalan yang benar.

 

Di antara tipu muslihat setan yang lain untuk mengeluarkan manusia dari ilmu dan agama, setan berkata melalui mulut “anak buahnya” bahwa firman Allah, dan sabda Rasul-Nya adalah sekedar untaian kata-kata yang tidak menghasilkan keyakinan. Setan membisikkan kepada manusia, bahwa kemajuan intelektual, dan keyakinan itu ada di dalam konsep-konsep filsafat, dan konsep-konsep teologi. Ya, setan menjauhkan mereka dari memetik petunjuk dan keyakinan dari pelita AlQur’an, dan memberi mereka alternatif pengganti yaitu teologi Yunani dan klaim-klaim mereka yang dusta dan telanjang dari petunjuk. Setan berkata kepada mereka, “Teologi Yunani adalah ilmu klasik yang dihasilkan akal dan hati yang cemerlang, serta telah diterapkan di sekian abad!” Lihatlah, bagaimana halusnya tipu muslihat setan hingga mengeluarkan mereka dari iman, sebagaimana mengeluarkan rambut dari adonan roti.

 

Di antara tipu muslihat setan yang lain, petaka besar yang setan susupkan kepada orang-orang sufi yang bodoh. Setan menjerumuskan mereka ke dalam berbagai macam kebatilan, dan kebohongan, dan membuka untuk mereka pintu-pintu klaim-klaim yang luar biasa. Setan membisikkan kepada mereka, “Sesungguhnya di belakang ilmu ini terdapat jalan. Jika kalian melintasi jalan tersebut, maka jalan tersebut membuatmereka mampu melihat apa yang tidak bisa dilihat oleh mata.” Setan mengondisikan mereka tidak bersandarkan kepada Al-Qur’an, dan Sunah. Setan membuat indah di mata mereka pembersihan spiritual, pendidikan moral, menjauhkan diri dari apa saja yang digeluti penghuni dunia, para penguasa, dan orang-orang berilmu, serta berkonsentrasi mengosongkan hati dari segala sesuatu hingga kebenaran terukir di dalamnya tanpa perantara. Karena hati orang tersebut kosong dari ajaran yang dibawa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, maka tetukirlah di dalamnya setan yang telah menyiapkan berbagai kebatilan untuknya. Jika para pewaris Rasul mengecam mereka, mereka berkata,

 

“Kalian hanyalah mempunyai ilmu bagian luarnya, sedang kami mem punyai ilmu bagian dalamnya. Kalian hanya mempunyai Syariat bagian luarnya saja, sedang kami mempunyai Syariat bagian dalamnya (hakikat). Kalian hanya mempunyai kulit Syariat saja, sedang kami mempunyai intinya.” Ketika keadaan seperti itu menguat di dalam hati mereka, maka keadaan tersebut menelanjangi hati dari Al-Qur’an dan Sunah, sebagaimana malam berubah menjadi siang, kemudian merubah mereka berjalan di atas khayalan-khayalan tersebut, dan memberi gambaran kepada hati bahwa khayalan-khayalan tersebut termasuk ayat-ayat yang terang benderang dan bahwa khayalan-khayalan tersebut berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, khayalan-khayalan tersebut tidak boleh dipertentangkan dengan Al-Qur’an, dan Sunah, serta ia harus diterima dan tunduk kepadanya.

 

Untuk selain Allah, setan membuka untuk mereka khayalankhayalan dan berbagai bentuk igauan. Jika mereka semakin jauh dan berpaling dari ajaran Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Salla, maka setan semakin membuka khayalan-khayalan untuk hati mereka.

 

Di antara tipu muslihat setan yang lain, setan mengajak manusia dengan keindahan bentuk pisiknya, kemulusannya, dan wajah ceria kepada berbagai macam dosa, dan kejahatan. Jika orang yang tidak bisa melepaskan diri dari keburukannya bersikap masam, dan berpaling dari padanya, maka setan menemui orang tersebut dengan wajah ceria, dan perkataan yang baik, kemudian orang tersebut terpikat kepadanya dan jika ia ingin melepaskan diri dari padanya ia tidak berdaya. Setan selalu menggunakan dua hal; wajah ceria, dan perkataan yang baik hingga ia berhasil memenuhi kebutuhannya. Ia masuk kepada seorang hamba dengan menggunakan tipu muslihat akhlak yang baik dan wajah ceria. Dari sinilah, para “dokter spiritual” menganjurkan agar manusia berpaling dari pelaku bid’ah, tidak mengucapkan salam kepada mereka, tidak memperlihatkan wajah ceria kepada mereka, dan menemui mereka dengan muka masam dan cuek.

 

Para “dokter spiritual” juga menasihatkan, agar kita bermuka masam kepada orang-orang yang dikhawatirkan menimbulkan fitnah seperti wanita dan anak-anak. Mereka berkata, “Jika Anda memperlihatkan putihnyan gigi-gigi Anda (tersenyum) kepada wanita dan anak-anak, maka keduanya (wanita dan anak-anak) akan memperlihatkan apa yang dimiliki keduanya kepada Anda. Jika Anda berjumpa dengan keduanya dengan wajah masam, maka Anda dilindungi dari keburukan keduanya.”

 

Di antara tipu muslihat setan yang lain, setan menyuruh Anda bertemu dengan orang-orang miskin dengan wajah masam, dan menyuruh Anda tidak memperlihatkan wajah ceria kepada mereka, agar mereka tidak makan dengan Anda, tidak lancang terhadap Anda, dan wibawa Anda tidak jatuh di mata mereka. Setan membuat Anda diharamkan mendapatkan doa mereka, kecenderungan hati mereka kepada Anda, dan kecintaan mereka kepada Anda. Setan menyuruh Anda berakhlak tidak baik, dan tidak menampakkan wajah ceria kepada mereka, Karena setan ingin membuka pintu keburukan untuk Anda, dan menutup pintu kebaikan untuk Anda.

 

Di antara tipu muslihat setan yang lain, setan menyuruh Anda memuliakan jiwa Anda, dan melindunginya, padahal keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala itu dengan merendahkannya dan mengorbankannya, seperti dengan memerangi orang-orang kafir dan orang-orang munafik, menyuruh orang-orang yang berdosa dan orang-orang zalim berbuat baik, dan melarang mereka berbuat jahat. Setan membuat gambaran kepada Anda, bahwa jihad, amar makruf nahi munkar, dan lain sebagainya itu menjerumuskan jiwa Anda kepada tempat-tempat kebinasaan, penguasaan musuh dan serangan mereka terhadap Anda, akibatnya jabatan Anda hilang dan oleh karenanya setelah itu Anda tidak ditaati orang.

 

Setan juga menyuruh Anda menghinakan diri Anda, padahal kemaslahatannya dengan memuliakannya, dan melindunginya. Setan juga menyuruh Anda merendahkan diri Anda kepada para pejabat, dan menghinakan diri Anda terhadap mereka, serta ia membuat kesan kepada Anda bahwa Anda memuliakan diri Anda dengan mereka, dan mengangkat pamornya dengan merendahkan diri kepada mereka. Setan mengingatkan kepada Anda ucapan seorang penyair,

 

Aku menghinakan diriku terhadap mereka dengan tujuan mengangkatnya dengan mereka

 

Sekali-kali tidak akan mulia jiwa yang tidak Anda hinakan

 

Penyair di atas salah besar, karena hal seperti itu tidak pantas diberikan kecuali kepada Allah Ta’ala. Jika seorang hamba merendahkan dirinya kepada Allah Ta’ala, maka Allah memuliakannya.

 

Di antara tipu muslihat setan yang lain, setan menyuruh seseorang menetap di masjid, atau mushalla, dan melarangnya keluar dari padanya. Setan berkata kepadanya, “Jika engkau keluar dari masjid ini, nama Anda jatuh di mata mereka, wibawa Anda jatuh dari hati mereka, dan bukan mustahil jalan yang Anda tempuh ini dianggap mungkar oleh mereka.” Musuh Allah mempunyai tujuan-tujuan terselubung yang ingin ia dapatkan dari orang tersebut. Di antara tujuan-tujuan tersebut, agar orang tersebut sombong, menghina manusia, dan menjaga ritualnya. Orang tersebut menginginkan ia dikunjungi dan tidak ingin berkunjung kepada orang lain, manusia merasa perlu kepadanya, dan ia merasa tidak perlu kepadanya, ia senang dengan kedatangan para pejabat kepadanya, dan berkumpulnya manusia kepadanya, dan manusia mencium tangannya. la meninggalkan ibadah-ibadah fardhu, dan ibadah-ibadah Sunah yang mendekatkan dirinya kepada Allah Ta’ala dan sebagai gantinya ia melakukan hal-hal yang mendekatkan dirinya kepada manusia.

 

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam juga pergi ke pasar. Salah seorang pakar hadits berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam membeli kebutuhannya dan memikulnya sendiri.” Seperti yang diriwayatkan Abu Al-Faraj bin Al-Jauzi, dan lain sebagainya.

 

Abu Bakar Radhiyallahu Anhu pergi ke pasar dengan membawa pakaian, dan melakukan aktivitas jual beli.

 

Abdullah bin Salam Radhiyallahu Anhu berjalan dengan memikul kayu, kemudian ditanyakan kepadanya, “Kenapa Anda melakukan hal ini, padahal Allah Azza wa jalla telah membuat Anda kaya?” Abdullah pin Salam menjawab, “Dengan cara seperti ini, aku ingin mengusir kesombongan dari dalam diriku, karena aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Tidak masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan’.”

 

Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu memikul kayu dan lain sebagainya, padahal ia gubernur Madinah, sambil berkata, “Berilah jalan kepada gubernur kalian! Berilah jalan kepada gubernur kalian!”

 

Pada suatu hari Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu dalam kapasitasnya sebagai khalifah keluar untuk memenuhi kebutuhannya dengan berjalan kaki hingga kelelahan, kemudian ia melihat seorang pemuda mengendarai Keledainya. Umar bin Khattab berkata kepada pemuda tersebut, “Hai anak muda, tolong angkutlah aku, Karena aku kelelahan!” Anak muda tersebut segera turun dari atas Keledainya dan berkata, “Naiklah, wahai Amirul Mukminin!” Umar bin Khattab berkata, “Tidak, naiklah engkau kemudian aku duduk di belakangmu!” Kemudian Umar bin Khattab naik di belakang anak muda tersebut, hingga tiba di Madinah dan penduduk Madinah melihatnya.

 

Di antara tipu muslihat setan yang lain, setan membujuk manusia agar mereka mencium tangannya, menyentuhnya, menyanjungnya, meminta doanya, dan lain sebagainya hingga ia bangga dengan dirinya sendiri. Jika dikatakan kepadanya, “Sesungguhnya Anda termasuk pasak bumi dan dengan Anda musibah diusir dari manusia.” la menyangka bahwa hal tersebut benar adanya. Bisa jadi dikatakan kepadanya, “Sesunggu orang bertawasul kepada Allah denganmu, dan Allah dimintai dengan perantaraanmu dan kehormatanmu, kemudian Allah memenuhi kebutuhan mereka.” Hal ini membekas dalam hatinya dan ia bahagia dengannya, serta menyangkanya benar, padahal itu semua adalah kebinasaan baginya. Jika ia melihat ada seseorang menjauh dari padanya, dan sedikit kepatuhannya kepadanya, ia marah, dan ada ganjalan dalam hatinya. Orang seperti ini termasuk pelaku dosa besar, dan berkubang dengannya, sedang orang lain lebih dekat kepada keselamatan daripada dia.

 

Di antara tipu muslihat setan yang lain, setan mengondisikan orang-orang yang mengisolir diri dari dunia, dan bersikap zuhud untuk lebih tertarik kepada menerapkan bisikan hati daripada ketentuan Syariat. Mereka berkata, “Jika hati dijaga bersama Allah, maka bisikan-bisikannya dan lintasan-lintasannya terjaga dari kesalahan.” Ini tipu muslihat setan yang paling jitu terhadap mereka.

 

Sesungguhnya bisikan-bisikan hati dan lintasan-lintasannya terbagi ke dalam tiga bagian;

 

Pertama, rahmaniyah (berasal dari Allah).

 

Kedua, setaniyah (berasal dari setan).

 

Ketiga, nafsaniyah (berasal dari hawa nafsu).

 

Seperti mimpi misalnya. Betapapun seorang hamba berada di puncak zuhud, dan ibadah, ia tetap bersama dengan setan dan hawa nafsunya, karena keduanya tidak meninggalkannya hingga kematiannya. Setan itu mengalir padanya seperti peredaran darah. Sedang maksum terjaga dari dosa, ia khusus milik para Rasul yang menjadi mediator antara Allah Azza wa Jalla dengan hamba-hamba-Nya dalam menyampaikan perintah-Nya, larangan-Nya, janji-Na, dan ancaman-Nya. Selain mereka, pasti benar dan salah.

 

Tokoh pakar hadits dan orang yang diberi ilham yaitu Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu pemah mengatakan sesuatu kemudian dikritik oleh orang-orang yang levelnya di bawahnya. Ketika terbukti pendapatnya salah, ia ikut pendapat yang lebih benar, dan ia menghadapkan bisikan-bisikan hatinya dan lintasan-lintasannya kepada AlQur’an dan Sunah. Ia tidak menoleh kepada bisikan-bisikan hatinya, tidak memutuskan dengannya, dan tidak mengamalkannya.

 

Salah seorang dari orang-orang bodoh di atas melihat sesuatu yang amat sepele, kemudian ia menerapkan bisikan-bisikan hatinya dan bukannya Al-Qur’an dan Sunah, serta tidak menoleh kepada keduanya. Ia berkata, “Hatiku berkata kepadaku dari Tuhanku. Kami menerima dari Dzat Yang Mahahidup, sedang kalian mengambil dari orang yang mati. Kalian mengambil dari mediator, sedang kami mengambil dari Aakikat. Kalian mengikuti Ruit.” Ucapan di atas dan ucapan-ucapan yang senada dengannya merupakan kekafiran. Puncak obsesi orang tersebut ialah menjadi orang bodoh yang diberi ampunan karena kebodohannya, hingga dikatakan kepada salah seorang dari mereka, “Jangan engkau pergi untuk mendengar hadits dari Abdurrazzaq!” Orang tersebut menjawab, ‘Apa artinya mendengar hadits dari Abdurrazzaq dibandingkan dengan mendengar dari Raja Yang Maha Mencipta?”

 

ini puncak kebodohan, Karena orang yang mendengar langsung dari Raja Yang Maha Mencipta adalah Musa bin Imran. Adapun orang tersebut dan orang-orang yang semisal dengannya, mereka tidak pernah mendengar dari satu pun para pewaris Rasul, kendati ia mengklaim mendengar dari Dzat yang mengutus para Rasul kemudian menyatakan tidak butuh kepada ilmu. Barangkali yang berbicara dengan mereka ialah setan atau hawa nafsunya yang zalim, atau kedua-duanya sekaligus.

 

Barang siapa merasa tidak butuh kepada ajaran Rasul karena bisikan-bisikan yang dimasukkan ke dalam hatinya, sungguh ia termasuk orang yang paling kafir. Begitu juga jika menyangka bahwa merasa Cukup dengan ini dan itu, maka apa yang masuk ke dalam hatinya tidak bisa dijadikan sebagai hujah, dan ia tidak boleh menoleh kepadanya jika ia tidak mengukurnya dengan ajaran Rasul dan Rasul tidak memberi rekomendasi Kepadanya. Jika tidak begitu, hal tersebut termasuk bisikan hawa nafsu dan setan.

 

Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu pernah ditanya tentang permasalahan pemberian kuasa selama sebelum. Setelah berjalan sebulan, Ibnu Mas’ud berkata, “Aku berpendapat dalam persoalan ini berdasarkan pendapatku pribadi. Jika pendapatku benar, ia berasal dari Allah. jika ia salah, ia berasal dari hawa nafsuku dan setan, serta Allah dan Rasul-Nya lepas tangan dari padanya.”

 

Sekertaris Umar bin Khattab menulis surat di depan Umar, “Ini sesuatu yang diperlihatkan Allah kepada Umar.” Umar berkata, “Tidak seperti itu. Hapus tulisan itu dan tulislah, ‘Ini pendapat Umar’.”

 

Umar bin Khattab Radhivallahu Anhu berkata, “Hai manusia, anggaplah salah pendapat kKalian dalam permasalahan agama. Karena sungguh aku telah melihat diriku berbuat seperti itu pada hari Abu Jandal. Jika aku sanggup menolak perintah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa sallam, pasti aku menolaknya.”

 

Para sahabat sering kali menganggap salah pendapat-pendapat mereka, padahal mereka umat yang paling bersih hatinya, paling mendalam ilmunya. dan paling jauh dari setan. Mereka umat yang paling mengikuti Sunah, dan paling sering menyalahkan pendapat-pendapat pribadinva. Sedang orang-orang di atas., mereka tidak seperti generasi sahabat.

 

Salah seorang dari orang-orang istiqamah tetap berjalan di atas jalan yang lurus. dan tidak menoleh kepada sedikit pun dari bisikan-bisikan hati, dan ilham, hingga status dirinya sama dengan dua orang dalam kesaksian hukum.

 

Al-Junaid berkata, bahwa Abu Sulaiman berkata. “Jika muncul Sesuatu dalam diriku yang berasal dari suatu kaum. maka aku tidak menerimanya kecuali dengan dua orang saksi yang adil dari Al-Qur’an dan Sunah.”

 

Abu Zaid berkata, “Jika kalian melihat salah seorang yang diberi karomah hingga ia mampu duduk bersila di atas udara, kalian jangan tertipu olehnya, hingga kalian melihat bagaimana sikapnya terhadap perintah, dan larangan Allah, serta perlindungannya terhadap batasan-batasan agama!”

 

Abu Zaid juga berkata, “Barang siapa meninggalkan membaca Al-Qur’an, shalat-shalat berjamaah, menghadiri shalat jenazah, dan menjenguk orang sakit, kemudian ia mengaku ini dan itu, sungguh ia orang ahli bid’ah.”

 

Sari As-Saqgathi berkata, “Barang siapa mengaku mempunyai ilmu batin yang bertentangan dengan teks hukum, ia orang yang kacau pikirannya.”

 

Al-Junaid berkata, “Mazhab kami sangat terkait dengan prinsip-prinsip dalam Al-Qur’an dan Sunah. Oleh karena itu, Barang siapa tidak menghapal Al-Qur’an, tidak menulis hadits, dan tidak belajar, ia tidak boleh diikuti.”

 

Abu Bakr Ad-Daqqaq berkata, “Barang siapa menyia-nyiakan batasan-batasan perintah dan larangan dalam lahiriyahnya, maka hatinya diharamkan melihat di dalam batinnya.”

 

Abu Al-Husain An-Nuri berkata, “Barang siapa yang aku lihat mengaku mempunyai satu kondisi yang mengeluarkannya dari batasan ilmu syar’i, maka jangan mendekat kepadanya. Dan Barang siapa mempunyai satu kondisi yang tidak didukung dengan lahiriyah ilmu, maka pertanyakan kualitas agamanya.”

 

Al-Jariri berkata, “Permasalahan kita ini bisa dirangkum dalam satu kesimpulan, yaitu hendaknya hati Anda selalu merasa diawasi Allah, dan ilmu tegak dalam lahiriyahmu.”

 

Abu Hafsh Al-Kabiri Asy-Syan berkata, “Barang siapa tidak menimbang kondisi batinya dan perbuatannya dengan Al-Qur’an dan Sunah, serta tidak menyalahkan bisikan-bisikan hatinya, jangan anggap dia berada dalam jajaran manusia.”

 

Sungguh indah apa yang dikatakan Abu Ahmad Asy-Syairazi, “Dulu orang-orang sufi itu menertawakan setan, dan sekarang justru setan yang menertawakan mereka.”

 

Ucapan yang hampir sama diucapkan salah seorang ulama, “Pada zaman yang silam setan kalah dari manusia, dan sekarang justru manusia yang kalah dari setan.”

 

Di antara tipu muslihat setan yang lain, setan menyuruh manusia mengenakan satu pakaian, berjalan dengan model jalan tertentu, berguru kepada satu ulama, dan berjalan di atas jalan bid’ah. Setan menyuruh mereka menjaga hal-hal di atas sebagaimana mereka menjaga shalat-shalat fardhu hingga sampai pada tarap mereka tidak meninggalkannya, dan memandang aib orang yang keluar dari kebiasan di atas. Tidak tertutup kemungkinan setan mengharuskan mereka mengkapling satu tempat untuk shalat di mana ia tidak shalat kecuali di tempat tersebut, padahal Rasulullah Shallaliahu Alaihi wa Sallam melarang,

 

“Seseorang tidak boleh memsatu tempat untuk shalat sebagaimana ia memilih satu tempat untuk untanya.”

 

Bisa jadi Anda melihat salah seorang dari mereka tidak shalat kecuali di atas sajadah, padahal Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak pernah sekali pun shalat di atas sajadah, tidak pernah sajadah digelar di depannya, dan malah beliau shalat di atas tanah, bahkan beliau sujud di atas tanah. Beliau juga pernah shalat di atas tikar. Beliau shalat sesuai dengan luas tikar tersebut, dan jika tidak mendapatkan apa pun, beliau shalat di atas tanah.

 

Sedang orang-orang di atas, mereka sibuk menjaga rusumm (hal-hal seremonial) dan melupakan syariat dan hakikat. Mereka hanya percaya kepada rusum (hal-hal seremonial), dan bukannya percaya kepada para ulama dan ahli hakikat. Jadi ahli hakikat itu sangat bergantung kepada rusum (hal-hal seremonial) dan itu adalah penghalang terbesar antara Allah Ta’ala dengan seorang hamba. Jika seseorang bergantung kepada rusum (hal-hal seremonial), hatinya berhenti dari perjalanannya. Kondisi hati yang paling jelek ialah ketika hati bergantung kepada rusum (hal-hal seremonial), dan tidak berhenti berjalan, namun ia maju atau mundur, seperti difirmankan Allah Ta’ala, “(yaitu) bagi siapa di antara kalian yang berkehendak akan m@ju atau mundur.” (Al-Mudatstsir: 37). la tidak berhenti berjalan, namun pergi dan maju, atau pulang dan mundur.

 

Barang siapa mengkaji petunjuk Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan sejarah hidupnya, pasti mendapati beliau tidak seperti petunjuk mereka. Sekali waktu, beliau mengenakan gamis, atau gaba’ (pakaian luar), atau jubah, atau sarung, atau sejenis mantel. Beliau terkadang naik unta sendirian dan terkadang berboncengan dengan orang lain. Beliau terkadang naik kuda dengan menggunakan pelana dan terkadang tanpa pelana. Beliau juga naik keledai. Beliau makan apa yang dihidangkan kepada beliau. Terkadang beliau duduk di atas tanah, atau tikar, atau karpet. Terkadang beliau berjalan sendiri, dan terkadang berjalan dengan sahabat-sahabatnya. Petunjuk beliau tidak mengandung hal-hal yang tidak diperintahkan kepada beliau, dan antara petunjuk beliau dengan petunjuk mereka terdapat perbedaan yang jauh.

 

Tipu muslihat setan yang lain kepada orang-orang bodoh ialah perasaan was-was (ragu-ragu) yang menipu mereka dalam bersuci, dan hendak shalat, hingga melemparkan mereka ke dalam belenggu, dan mengeluarkan mereka dari pengikut Sunah Rasulullah Shallallahy Alaihi wa Sallam. Setan memberi gambaran kepada mereka bahwa apa yang dibawa Sunah belum cukup, oleh karena itu Sunah harus ditambah dengan yang lain. Jadi untuk mereka, setan mengumpulkan antara dugaan yang rusak dengan kelelahan terus-menerus, dan terhapusnya pahala atau berkurang.

 

Tidak disangsikan lagi, bahwa setanlah yang mengajak seseorang kepada perasaan was-was (ragu-ragu). ‘Anak buah” setan menaati Setan, menjawab ajakannya, mengikuti perintahnya, dan membenci para pengikut Sunah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan konsep beliau. Bahkan jika salah seorang dari mereka berwudlu seperti wudlunya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan mandi seperti mandinya beliau, maka ia tidak bersih, dan kotorannya tidak hilang. Jika tidak ada udzur karena kebodohannya, pasti hal ini memberatkan Rasul. Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berwudlu dengan satu mud yaitu sepertiga pound Damaskus. Beliau mandi sebanyak satu sha’ yaitu satu sepertiga pound. Orang yang dihinggapi perasaan was-was (ragu-ragu) merasa tidak cukup dengan takaran tersebut untuk mencuci kedua tangannya. Disebutkan secara shahih bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa sallam berwudlu dengan membasuh organ tubuh sekali saja dan tidak lebih dari tiga kali basuh. Bahkan beliau menjelaskan,

 

“Barang siapa melebihi ukuran tersebut, sungguh ia telah berbuat yang tidak baik, melanggar, dan berbuat zalim.” (Diriwayatkan Ahmad, An-Nasai, dan Abu Daud).

 

Berarti orang yang dihinggapi perasaan was-was (ragu-ragu) itu berbuat yang tidak baik, melanggar, dan berbuat zalim berdasarkan penjelasan Rasulullah Shellallahu Alaihi wa Sallam di hadits di atas. Dengan demikian, bagaimana ia bertaqarrub kepada Allah Ta’ala, padahal ia berbuat yang tidak baik kepada Allah, dan melanggar batasan batasannya?

 

Disebutkan secara shahih bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mandi bersama Aisyah dengan satu ember yang di dalamnya terdapat bekas tepung. Seandainya orang yang dihinggapi perasaan was-was (ragu-ragu) mengetahui ada orang yang mengerjakan seperti itu, pasti ia mengecamnya dengan keras dengan berkata, “Ukuran air seperti itu tidak cukup untuk mandi dua orang? Bagaimana bekas tepung bisa dihalalkan oleh air?” Inilah, jika percikan darah mengenai air, sebagian ulama berpendapat bahwa percikan darah tersebut membuat najis air, dan sebagian ulama yang lain berpendapat percikan darah merusak air tersebut, jadi air tersebut tidak sah digunakan untuk bersuci. Rasulullah shallallahu Alaihi wa Sallam berbuat seperti di atas tidak saja dengan Aisyah, tapi juga dengan istri-istri beliau yang lain, misalnya dengan Maimunah, dan Ummu Salamah. Itu semua ada dalam Shahih Al-Bukhari.

 

Disebutkan secara shahih dalam Shahih Al-Bukhari dari lbnu Umar Radhiyallahu Anhuma yang berkata,

 

“Sesungguhnya orang laki-laki, dan orang-orang perempuan pada zaman Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berwudlu dari satu tempat.”

 

Tempat yang dipakai untuk mandi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, istri-istri beliau, sahabat-sahabat beliau, dan istri-istri mereka bukanlah tempat yang besar, dan tidak pula mempunyai sumber yang mengisinya seperti pipa air kamar mandi, dan lain sebagainya. Para sahabat juga tidak menggali sumber air hingga air mengalir dari sisi-sisinya seperti yang dilakukan orang-orang bodoh yang dihinggapi perasaan was-was yang menggali sumber air kemudian berwudlu dari padanya.

 

Jadi petunjuk Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang Barang siapa membencinya, berarti dia membenci Sunah beliau itu membolehkan mandi dari kolam dan tempat air, kendati air tidak banyak dan tidak penuh. Barang siapa menunggu kolam penuh, kemudian ia menggunakannya sendiri, dan tidak membolehkan orang lain menggunakannya, sungguh ia tukang bid’ah yang bertentangan dengan Syariat.

 

Syaikh kami Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Harus dikenakan sanksi yang berat yang membuat orang tersebut dan orang-orang yang semisal dengannya berhenti dari membuat Syariat yang tidak diizinkan Allah dalam agama, dan beribadah kepada Allah dengan bid’ah dan bukannya dengan ittiba’ Rasul.

 

Sunan-sunan yang ada menunjukkan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam dan sahabat-sahabat beliau tidak memperbanyak penggunaan air. Hal yang sama juga dilakukan para tabi’in sesudah mereka.

 

Sa’id bin Al-Musayyib berkata, “Sesungguhnya aku cebok dengan seciduk gayung. Aku berwudhu dengannya dan menyisakannya untuk Keluargaku.”

 

Imam Ahmad berkata, “Di antara yang menunjukkan ilmu seseorang ialah sedikitnya penggunaan air olehnya.”

 

Al-Marwazi berkata, ‘Aku mewudlukan Abu Abdullah di barak dan tidak memberitahukannya Kepada manusia agar mereka tidak mengatakan bahwa Abu Abdullah tidak bisa wudlu dengan baik karena ia menggunakan air sedikit.”

 

Imam Ahmad berwudlu dan nyaris air wudlunya tidak membasahi tanah (karena saking sedikitnya).

 

Disebutkan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa,

 

“Beliau berwudlu dari tempat air. Beliau memasukkan tangannya ke dalam tempat air tersebut, kemudian beliau mengusapnya, dan menghirupnya.”

 

Begitu juga jika beliau mandi, beliau memasukkan tangannya ke dalam tempat air, dan mengambil air dari tempat air. Sedang orang yang dihinggapi perasaan was-was (ragu-ragu) tidak membolehkan hal yang demikian, dan tidak tertutup kemungkinan ia berpendapat bahwa air tersebut najis dan Kesuciannya hilang karena tangan dimasukkan ke dalamnya.

 

Kesimpulannya, jiwa orang yang dihinggapi was-was (ragu-ragu) itu tidak mengizinkannya mengikuti Rasulullah Shallallahu Alaihi we Sallam dan melakukan apa yang beliau lakukan untuk selama-lamanya. Bagaimana jiwa orang yang dihinggapi perasaan was-was (ragu-ragu) mengizinkannya mandi bersama istrinya dalam satu tempat air yang berisi lima pound Damaskus, keduanya memasukkan kedua tangannya ke dalamnya? Jadi orang yang dihinggapi perasaan was-was (ragu-ragu) itu tidak senang dengan cara seperti sebagaimana orang musyrik tidak senang jika nama Allah disebut di sisinya.

 

Orang-orang yang dihinggapi perasaan was-was (ragu-ragu) berkata, “Sesungguhnya yang mendorong kami bertindak seperti itu ialah sebagai Ihtiyath (sikap hati-hati) terhadap agama kami dan mengamalkan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, ‘Tinggalkan apa yang meragukanmu dan ambil yang tidak meragukanmu.’ (Diriwayatkan Ahmad, An-Nasai, dan At-Tirmidzi). Dan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, ‘Barang siapa menjaga dirinya dari perkara-perkara syubhat, sungguh ia telah membersihkan agamanya dan kehormatannya.’ (Diriwayatkan Al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan At-Tirmidzi). Serta sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, ‘Dosa ialah sesuatu yang mengganjalmu di dalam dada’.”

 

Salah seorang dari generasi salaf berkata, “Dosa ialah kebingungan hati.”

 

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah menemukan satu biji kurma, kemudian beliau bersabda,

 

“Kalaulah karena tidak takut kurma ini sedekah, pasti aku memakannya.” (Diriwayatkan Al-Bukhari).

 

Bukankah pada kejadian di atas, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak memakan kurma tersebut sebagai sikap ihtiyath (sikap hati-hati) kalau-kalau kurma tersebut merupakan harta sedekah?

 

Imam Malik Rahimahullah memfatwakan tentang orang yang menceraikan istrinya dengan ragu-ragu; apakah talaknya (perceraiannya) talak (perceraian) satu atau tiga, maka perceraian tersebut dihitung talak (perceraian) tiga untuk melindungi kemaluan istri.

 

Imam Malik Rahimahullah juga memberi fatwa bahwa Barang siapa bersumpah akan menceraikan istrinya dengan berkata, “Jika buah Luzah ini bijinya dua.” Dan ia tidak mengetahuinya, maka jika terbukti buah tersebut bijinya dua seperti yang ia sumpahkan, maka ia berdosa, karena ia bersumpah tidak berdasarkan pengetahuan.

 

Terhadap orang yang menceraikan salah seorang dari istri-istrinya, kemudian ia lupa siapa nama istrinya yang telah ia ceraikan tersebut, Imam Malik Rahimahullah berkata, “Orang tersebut harus menceraikan semua istrinya sebagai ihtiyath (sikap hati-hati), dan menghilangkan Keragu-raguan.”

 

Tentang orang yang bersumpah kemudian lupa, sahabat-sahabat Imam Malik Rahimahullah berkata, “Sesungguhnya ia wajib mengerjakan apa saja yang ia sumpahkan. Ia harus melakukan perceraian, pembebasan budak, bersedekah dengan sepertiga kekayaannya, membayar kafarat dzihar (menyamakKan istrinya seperti ibunya), haji dengan jalan kaki, perceraian terhadap semua istrinya, dan ia harus memerdekakan seluruh budak laki-lakinya dan para budak wanitanya.” Inilah salah satu dari pendapat mereka.

 

Mazhab Imam Malik Rahimahullah juga menegaskan bahwa jika seseorang bersumpah pasti ia mengerjakan sesuatu, maka ia berdosa hingga ia mengerjakannya. Untuk itu ia dipisahkan dari istrinya.

 

Mazhab Imam Malik Rahimahullah juga menegaskan, bahwa jika seorang suami berkata Kepada istrinya, “Jika awal tahun telah tiba, engkau aku talak (ceraikan) dengan talak (perceraian) tiga sekaligus.” Maka wanita tersebut diceraikan saat itu juga.

 

Ini semua ialah dalam kerangka ihtiyath (sikap hati-hati).

 

Para fuqaha’ berkata, “Barang siapa tidak mengetahui secara pasti tempat kotoran di bajunya, ia harus mencuci seluruh bajunya.”

 

Mereka juga berkata, “Jika seseorang mengenakan pakaian suci, dan ada kotoran di dalamnya, serta ia ragu di dalamnya, maka ia shalat dengan berganti-ganti pakaian sesuai dengan jumlah kotoran yang ada pada bajunya tersebut. la menambah shalatnya agar ia terbebas dari kewajiban shalat dengan yakin.

 

Mereka juga berkata, “Jika tempat air yang bersih bercampur dengan kotoran (najis), maka semua air harus dibuang, dan orang tersebut bertayamum. Begitu juga, jika ia ragu-ragu tentang kiblat; ia tidak tahu menghadap ke arah mana, maka ia ia shalat empat shalat (raka‘at, agar tanggung jawab dirinya hilang dengan keyakinan.“

 

Mereka juga berkata, “Barang siapa meninggalkan shalat dalam sehari kemudian ia lupa, ia wajib shalat lima shalat.”

 

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan orang yang ragu-ragu dalam shalatnya untuk membangun shalatnya berdasarkan keyakinan.

 

Beliau mengharamkan memakan hasil buruan jika yang bersangkutan ragu-ragu apakah hewan buruan tersebut mati karena panahnya atau panah orang lain, seperti yang terjadi dalam masalah air.

 

Beliau mengharamkan memakan hewan hasil buruan, jika anjingnya bercampur dengan anjing orang lain, karena adanya keragu-raguan dalam pengucapan bismillah oleh pemiliknya.

 

Bab masalah ini sangat panjang lebar.

 

Jadi Ihtiyath (sikap hati-hati) dan yakin itu tidak ditolak oleh Syariat, kendati mereka menamakannya was-was.

 

Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhuma membersihkan kedua matanya ketika bersuci hingga menyebabkannya buta.

 

Jika Abu Hurairah Radhiyallahu Anhuma berwudlu, ia memasukkan tangannya hingga lengannya ke dalam air dan jika mencuci kedua kakinya, ia memasukkan keduanya hingga kedua betisnya ke dalam air.

 

Jika kita bersikap hati-hati untuk diri kita, memegang prinsip Keyakinan, membuang keragu-raguan, dan menjauhi hal-hal yang tidak jelas, maka kita dengan cara seperti itu kita tidak keluar dari Syariat, dan tidak masuk ke dalam bid’ah. Apakah hal tersebut tidak lebih baik daripada memudah-mudahkan permasalahan? Hingga seseorang tidak peduli terhadap agamanya, tidak bersikap hati-hati di dalamnya, bahkan memudah-memudahkan semua persoalan dan menerjangnya? la tidak peduli bagaimana ia harus berwudlu? Tidak peduli dengan air apa ia harus berwudlu? Tidak peduli di tempat mana ia harus shalat? Tidak peduli dengan apa yang mengenai bagian bawah bajunya atau bajunya secara umum? Ia tidak menanyakan apa yang dijanjikan untuknya, bahkan ia pura-pura melupakannya dan membenarkan dugaannya? la cuek terhadap agamanya, dan cuek terhadap apa yang ragu-ragu di dalamnya? Ia masuk dengan ragu-ragu dan keluar dengan ragu-ragu? Mana orang tersebut jika dibandingkan dengan orang yang serius dalam mengerjakan apa yang diperintahkan kepadanya, bersungguh-sungguh di dalamnya, hingga ia tidak membuat Kesalahan di dalamnya? Jika ia menambah pelaksanaan apa yang diperintahkan kepadanya, ia melakukannya dalam rangka menyempurnakan apa yang diperintahkan kepadanya dan agar ia tidak mengurangi sedikit pun dari padanya?

 

Mereka berkata, semua yang kalian tolak dari kami ialah Ihtiyah (sikap hati-hati) dalam melaksanakan sesuatu yang diperintahkan atau hati-hati dalam menjauhi sesuatu yang dilarang. Sikap hati-hati terhadap dua hal tersebut lebih baik daripada sikap sembrono terhadap keduanya, karena biasanya sikap sembrono itu membuat orang tidak mengerjakan hal-hal yang wajib dengan sempurna, dan membuatnya melanggar hal-hal yang diharamkan. Jika kerusakan ini kita timbang dengan kerusakan karena was-was (ragu-ragu), maka kerusakan karena was-was (ragu-ragu) itu lebih ringan. Inilah, kendati kami membuat kalian menamakannya was-was (ragu-ragu), namun kami mengatakannya ihtiyath (sikap hati-hati). Kalian tidak lebih bahagia daripada kami dalam Sunah ini. Kami berputar-putar di sekitar Sunah, dan kami ingin melengkapinya.

 

Orang-orang pertengahan dan orang-orang yang mengikuti Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata, bahwa Allah Ta’ala berfirman,

 

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Kiamat.” (Al-Ahzab: 21).

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Katakanlah, ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi kalian’.” (Ali Imran: 31).

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan ikutilah dia, supaya kalian mendapat petunjuk”.” (Al-Araaf: 158).

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kalian bertakwa.” (Al-An’aam: 153).

 

Jalan lurus yang kita diperintahkan untuk mengikutinya ialah jalan yang dilalui Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan sahabat-sahabat. Yaitu jalan yang adil dan jalan yang keluar dari padanya ialah jalan-jalan yang zalim, kendati dianggap benar oleh sebagian orang. Kezaliman itu bisa jadi merupakan kezaliman yang besar dari jalan yang lurus dan bisa jadi ringan, dan di antara kedua jalan tersebut terdapat tingkatan-tingkatan yang hanya diketahui Allah Ta’ala saja. Seperti halnya jalan raya, sesungguhnya penggunanya bisa jadi berpaling darinya dengan total atau ringan. Jadi barometer untuk mengukur lurusnya tidaknya seseorang di jalan ialah jalan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan jalan sahabat-sahabatnya. Orang yang zalim itu bermacam-macam; ada yang melampaui batas dengan zalim, atau berusaha dengan sungguh namun berdasarkan takwil, dan pengekor tanpa ilmu. Di antara mereka ada yang berhak mendapatkan siksa, ada yang mendapatkan ampunan, dan ada yang mendapatkan pahala satu sesuai dengan niatnya, maksudnya, dan kesungguhannya dalam taat kepada Allah Ta’ala, dan Rasul-Nya, atau keteledoran mereka.

 

Saya ketengahkan petunjuk Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada sahabat-sahabatnya untuk menjelaskan siapa di antara kelompok ini yang layak menjadi pengikut beliau, kemudian saya menjawab hujah-hujah mereka dengan pertolongan Allah Ta’ala, dan petunjuk-Nya.

 

Sebelum ini telah saya jelaskan perihal larangan bersikap berlebih-lebihan dalam agama, melanggar batasan-batasan agama, dan bahwa bersikap pertengahan dan berpegang teguh kepada Sunah adalah poros agama.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Wahai Ahli Kitab, janganlah kalian melampaui batas dalam agama kalian.” (An-Nisa’: 171).

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan janganlah kalian berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Al-An’aam: 141).

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian melanggarnya.” (Al-Bagarah: 229).

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Janganlah kalian melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Bagarah: 190).

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Berdoalah kepada Tuhan kalian dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Araaf: 55).

 

Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda pada pagi hari Aqabah dan beliau berada di atas untanya, “Ambilkan untukku beberapa kerikil!” Kemudian aku mengambil untuk beliau tujuh kerikil kecil. Lalu beliau meletakkan di tangannya dan meniupnya sambil bersabda, ‘Seperti mereka itulah, hendaklah kalian melempar!’ Kemudian beliau bersabda, ‘Hai manusia, tinggalkan sikap berlebih-lebihan dalam agama, karena orang-orang sebelum kalian binasa disebabkan sikap berlebih-lebihan dalam agama’.” (Diriwayatkan Ahmad, dan An-Nasai).

 

Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Janganlah kalian bersikap keras terhadap diri kalian, hingga mengakibatkan Allah bersikap terhadap kalian. Sesungguhnya tidaklah satu kaum bersikap keras terhadap diri mereka, melainkan Allah bersikap keras terhadap mereka. Itulah sisa-sisa mereka di biara-biara dan rumah-rumah, ‘Yaitu rahbaniyyah yang mereka ciptakan dan Kami tidak mewajibkannya kepada mereka’.”

 

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang bersikap keras dalam agama, karena sikap itu menambah sesuatu yang disyariatkan. Sesungguhnya sikap seseorang terhadap dirinya adalah penyebab sikap keras Allah Ta’ala terhadap dirinya; dengan takdir atau dengan Syariat.

 

Sikap keras dengan Syariat, ialah seperti orang yang bersikap keras terhadap dirinya dengan nadzar yang berat, dan memaksa dirinya

 

– menunaikan nadzar tersebut. Sikap keras dengan takdir ialah seperti tindakan orang-orang yang dihinggapi perasaan was-was (ragu-ragu). la bersikap keras terhadap dirinya, kemudian takdir bersikap keras terhadap dirinya, hingga sikap tersebut menjadi sifat yang melekat pada mereka.

 

Al-Bukhari berkata, “Para ulama memandang makruh berlebih-lebihan dalam wudlu dan melebihi apa yang dilakukan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam di dalamnya. Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu berkata, ‘Yang dimaksud dengan menyempurnakan wudlu ialah membersihkannya’.”

 

Jadi puncak pengetahuan ialah bersikap pertengahan dalam agama dan berpegang teguh kepada Sunah.

 

Ubai bin Ka’ab berkata, “Hendaklah kalian berpegang teguh kepada jalan yang lurus dan Sunah. Tidaklah seseorang berpegang teguh kepada jalan yang lurus dan Sunah kemudian nama Allah Azza wa Jalla disebutkan padanya, maka kulitnya bergemetar karena takut kepada Allah Ta’ala, melainkan kesalahan-kesalahan rontok sebagaimana daun-daun rontok dari pohon yang kering. Sesungguhnya sikap pertengahan dalam jalan yang lurus dan Sunah adalah lebih baik daripada berusaha menentang jalan yang lurus dan Sunah. Maka usahakan seluruh amal perbuatan kalian itu bersifat pertengahan dan sesuai dengan konsep para Nabi dan Sunah mereka!”

 

Syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi berkata dalam bukunya Dzammu Al-Wiswas,

 

“Segala puji bagi Allah yang memberi petunjuk kepada kita dengan nikmat-Nya, dan memuliakan kita dengan Muhammad Shallallahy Alaihi wa Sallam dan risalahnya, serta membimbing kita untuk menirunya dan berpegang teguh kepada Sunahnya. Allah Ta’ala memberi kita karunia dengan menjadikan kita mengikuti beliau dan Dia menjadikan ittiba’ kepada beliau sebagai simbol kecintaan-Nya dan ampunan-Nya, dan sebab kedatangan rahmat-Nya, dan petunjuk-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

 

“Katakanlah, ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Ali Imran: 31).

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

‘Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami. (Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi (yang tidak bisa baca tulis).’ (Al-Araaf: 156-157).

 

Kemudian Allah Ta’ala berfirman,

 

“Maka berimanlah kalian kepada Allah dan Rasul Nya, Nabi yang ummi (tidak bisa baca tulis) yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kalian mendapat petunjuk.” (Al-Araaf: 158). Setelah itu.

 

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan setan sebagai musuh bagi manusia yang menghalang-halangi mereka dari jalan yang lurus, datang kepada mereka dari semua arah dan jalan, seperti dijelaskan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman tentang setan,

 

‘Saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.’ (Al-Araaf: 16-17).

 

Allah Azza wa Jalla melarang kita mengikuti setan, dan memerintahkan kita bermusuhan dengannya, serta menentangnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

 

“sesungguhnya setan itu musuh bagi kalian, maka anggaplah ia sebagai musuh.” (Fathir: 6).

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kalian ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapak kalian dari surga.” (Al-Araaf: 27).

 

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan kepada kita apa yang diperbuat setan terhadap kedua orang tua kita (Adam dan Hawwa’) dengan maksud melarang kita taat kepada setan, dan agar tidak ada alasan untuk mengikutinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita mengikuti jalan yang lurus dan melarang kita mengikuti jalan-jalan yang lain. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

 

‘Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya.’ (Al-An’aam: 153).

 

Jalan Allah Ta’ala dan jalan-Nya yang lurus ialah jalan yang dilalui Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla,

 

‘Yaa Siin. Demi Al Qur’an yang penuh hikmah. Sesungguhnya kamu salah seorang dari Rasul-rasul. (yang berada) di atas jalan yang lurus.’ (Yaasiin: 1-4).

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

‘Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus.’ (Al-Hajj: 67).

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada Jalan yang lurus.” (Asy-Syura: 52).

 

Jadi Barang siapa mengikuti Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam; dalam ucapannya, dan tindakannya, ia berada di atas jalan yang lurus, dan termasuk orang yang dicintai Allah, dan dosa-dosanya diampuni. Dan Barang siapa tidak sependapat dengan beliau; dalam ucapannya dan tindakannya, ia mengikuti jalan-jalan setan dan tidak masuk dalam kelompok orang yang dijanjikan Allah mendapatkan surga, ampunan, dan kebaikan.”

 

Sesungguhnya di antara orang-orang yang dihinggapi perasaan was-was (ragu-ragu) ada orang-orang yang betul-betul menaati setan hingga mereka dikenal suka was-was (ragu-ragu), menerima ucapan setan, menaatinya, dan benci ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan sahabat-sahabatnya. Bahkan jika salah seorang dari mereka berpendapat bahwa jika berwudlu seperti wudlunya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan shalat seperti shalatnya be. liau, maka wudlunya adalah batil dan shalatnya tidak sah. Ia berpendapat, bahwa jika seseorang mengerjakan seperti yang dikerjakan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam misalnya dalam memberi makan anak. anak, dan memakan makan orang-orang Muslim, ia menjadi najis dan ia wajib mencuci tangannya dan mulutnya sebanyak tujuh kali, sepertj kalau keduanya terkena anjing atau terkena air kencing kucing.

 

Iblis berkuasa atas mereka hingga sampai pada tarap mereka menjawab seruannya seperti orang gila saja dan seperti aliran Saufasthaiyah yang tidak mempercayai hakikat benda-benda, dan hal-hal yang sifatnya pisikal, padahal pengetahuan seseorang akan kondisi dirinya termasuk hal-hal yang sifatnya urgen dan keyakinan. Salah seorang dari mereka membersihkan organ tubuhnya dengan dilihat matanya, diucapkan lisannya, didengar kedua telinganya, diketahui hatinya, bahkan diketahui orang lain dan dibenarkan orang lain, kemudian ia ragu-ragu; apakah ia sudah membersihkan organ tubuhnya atau belum?

 

Setan juga membuatnya ragu-ragu dalam niatnya yang sesungguhnya telah diketahui jiwanya sebagai sebuah keyakinan dan diketahui orang lain berdasarkan keadaan dirinya. Kendati begitu, ia masih menerima ucapan iblis bahwa ia tidak berniat shalat dengan tujuan menentang matanya, dan keyakinannya hingga Anda lihat ia bingung. la seperti orang yang mengerjakan sesuatu yang menariknya, atau melihat sesuatu dalam hatinya kemudian mengeluarkannya. Ini semua sangat keterlaluan dalam menaati iblis, dan menerima was-wasnya. Barang siapa ketaatannya kepada iblis seperti itu, sungguh ia sangat keterlaluan dalam menaatinya.

 

la juga menerima ucapan iblis dalam menyiksa dirinya dan menaatinya dalam merugikan badannya. Terkadang ia menyelam ke dalam air yang dingin, dan sekali waktu ia banyak sekali menghabiskan air dan memanjangkan suara. Atau terkadang ia membuka kedua matanya di dalam air yang dingin dan mencuci kedua matanya di dalam air hingga merusaknya. Atau tidak tertutup kemungkinan ia membuka auratnya di hadapan manusia. Atau tidak tertutup kemungkinan ia berada pada satu kondisi yang menjadi bahan tertawa anak-anak dan ditertawakan oleh orang yang melihatnya.

 

Abu Al-Faraj bin Al-Jauzi menyebutkan dari Abu Al-Wafa’ bin Agil yang berkata bahwa seorang laki-laki berkata kepadanya, “Aku menyelam ke dalam air beberapa kali dan aku ragu-ragu; apakah mandiku sah atau tidak? Bagaimana pendapatmu dalam hal ini?” Abu Al-Wafa’ berkata, “Pergilah, karena shalatmu tidak sah!” Orang tersebut berkata, “Bagaimana tidak sah?” Abu Al-Wafa’ berkata, “Karena Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam telah bersabda, ‘Pena itu diangkat dari tiga orang; orang gila hingga ia sadar (normal) kembali, orang tidur hingga bangun, dan anak kecil hingga baligh.” Dan Barang siapa menyelam ke dalam air hingga berkali-kali, namun ia ragu-ragu apakah air sudah membasahinya atau belum, ia orang gila.”

 

Kata Abu Al-Faraj lagi, bisa jadi ia disibukkan oleh was-was setan hingga ia ketinggalan shalat jamaah atau terkadang hingga waktu shalat telah habis. la disibukkan was-was setan dalam niatnya hingga ia ketinggalan takbir pertama, atau bisa jadi ia ketinggalan satu raka’at atau lebih. Salah seorang dari mereka bersumpah bahwa ia tidak akan mengucapkKan lebih kemudian ia berdusta.

 

Saya katakan, bahwa saya pernah mendapatkan kisah dari orang yang aku percayai tentang orang yang dihinggapi perasaan was-was (ragu-ragu). Kata orang tersebut, ‘Aku melihatnya mengucapkan niat berkali-kali hingga mengganggu para jamaah. Kemudian orang tersebut disuruh untuk bersumpah bahwa ia akan menceraikan istrinya, jika ia menambah niatnya. Namun iblis tidak membiarkannya hingga ia tetap mengucapkan niat, kemudian ia dipisahkan dari istrinya. Hal ini membuatnya sedih tidak Karuan. Keduanya akhirnya hidup sendiri-sendiri dalam jangka waktu yang lama hingga wanita tersebut menikah lagi dengan laki-laki lain dan mempunyai anak dari suami barunya. Kemudian setan memisahkan antara kedua orang tersebut, kemudian wanita tersebut Kembali kepada suaminya pertama, setelah sebelumnya iblis memisahkan Keduanya.

 

Abu Al-Faraj berkata, ada di antara mereka yang dibuat was-was (ragu-ragu) oleh setan dalam mengeluarkan huruf hingga mengulanginya berkali-kali.

 

Kata Abu Al-Faraj lagi, aku lihat salah seorang dari mereka ada yang berkata, ‘Allahu Akkkkbar.”

 

Kata Abu Al-Faraj lagi, salah seorang dari mereka berkata kepadaku, ‘Aku mengalami Kesulitan dalam mengucapkan Assalaamu ‘alaikum.” Saya Katakan Kepadanya, “Ucapkan seperti yang barusan engkau katakan, Karena engkau bisa mengatakannya.”

 

Sungguh setan telah menyiksa mereka di dunia, mengeluarkan mereka dari pengikut Rasulullah Shellallahu Alaihi wa Sallam, dan memasukkan mereka ke dalam kelompok orang-orang yang berlebih-lebihan. Lucunya mereka menyangka dirinya berbuat baik.

 

Barang siapa ingin terbebas dari petaka ini, hendaklah ia merasa bahwa kebenaran itu adalah dengan mengikuti Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam ucapan dan tindakan beliau. Hendaklah ia bertekat kuat untuk meniti jalannya dengan tekat yang ia tidak ragu-ragu bahwa jalan tersebut adalah jalan yang lurus, dan bahwa selain itu adalah godaan dan bisikan iblis. la harus yakin, bahwa setan adalah musuhnya yang tidak mengajak kepada kebaikan. Allah Ta’ala berfirman,

 

“Karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Fathir: 6).

 

Hendaklah ia meninggalkan apa saja yang bertentangan dengan jalan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam apa pun bentuknya. la tidak ragu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berada di atas jalan yang lurus. Barang siapa meragukan hal ini, ia bukan orang Muslim. Barang siapa telah mengetahui hal ini, kenapa ia berpaling dari jalan beliau? Apa sih yang dicari seorang hamba kalau tidak di jalan beliau? la berkata kepada dirinya, “Bukankah engkau telah mengetahui bahwa jalan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah jalan yang lurus?” Dirinya menjawab, “Ya betul.” la berkata lagi kepada dirinya, “Apakah beliau mengerjakan hal ini?” Dirinya menjawab, “Tidak.” Orang tersebut berkata kepada dirinya, “Tidak ada setelah kebenaran itu melainkan kesesatan. Tidak ada setelah jalan surga melainkan jalan neraka? Tidak ada setelah jalan Allah, dan jalan Rasul-Nya melainkan jalan setan? Diriku, jika engkau mengikuti jalan Allah, engkau bersama Allah, dan engkau akan berkata, ‘Aduhai, semoga (jarak) antaraku dan kamu seperti jarak antara masyriq dan maghrib, maka setan adalah sejahat-jahat teman.’ (Az-Zukhruf: 38).

 

Hendaklah ia melihat keadaan para generasi salaf dalam ittiba’ mereka kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kemudian ia meniru mereka. Hendaklah ia memilih jalan mereka, karena saya telah meriwayatkan dari salah seorang dari mereka yang berkata, “Sungguh kaum sebelum aku, seandainya wudhu mereka tidak melebihi kukunya, pasti aku tidak melebihinya.”

 

Saya katakan, bahwa orang yang dimaksud ialah Ibrahim AnNakh’i.

 

Pada suatu hari Zainal Abidin berkata kepada anaknya, “‘Anakku, tolong ambilkan pakaian untuk aku kenakan dalam membuang air besar, karena aku lihat lalat itu hinggap di sesuatu kemudian hinggap di pakaian.” Setelah itu, Zaindal Abidin sadar, kemudian ia buru-buru berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam hanya mengenakan satu pakaian.” la pun mengurungkan perintahnya.

 

Adalah Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu, jika ia ingin mengerjakan sesuatu kemudian dikatakan kepadanya bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak pernah mengerjakan apa yang akan ia kerjakan, ia membatalkan keinginannya, hingga ia berkata, “Sungguh aku bermaksud melarang pemakaian baju ini karena aku mendapat kabar bahwa pakaian tersebut diwarnai dengan air kencing wanita, kemudian Ubai berkata kepadaku, ‘Kenapa engkau melarang pemakaian baju jni, padahal Rasulullah Shallaliahu Alaihi wa Sallam sendiri mengenakannya dan baju tersebut dikenakan banyak orang pada zaman beliau? jika Allah mengetahui bahwa pemakaiannya adalah haram, pasti hal ini dijelaskan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.” Umar pun berkata, “Engkau benar.”

 

Kemudian hendaklah ia mengetahui bahwa di antara generasi sahabat tidak ada satu pun dari mereka yang dijangkiti perasaan was-was (ragu-ragu). Jika seandainya was-was (ragu-ragu) itu baik, pasti Allah Ta’ala memberikannya kepada Rasul-Nya dan sahabat-sahabatnya, karena mereka manusia terbaik dan termulia. Kalau pun misalnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melihat muwaswis (orang yang serba ragu), pasti beliau membencinya. Jika orang seperti itu diketahui Umar, pasti ia memenggal lehernya, dan jika orang tersebut diketahui para sahabat, pasti mereka memvonisnya pelaku bid’ah.

 

Sekarang saya jelaskan tentang ketimpangan mazhab mereka berdasarkan kemudahan yang diberikan Allah Ta’ala.

 

Niat dalam Bersuci dan Shalat

 

Niat adalah maksud dan keinginan untuk mengerjakan sesuatu. Niat ini pada prinsipnya tidak berhubungan dengan mulut. Oleh karena itu, tidak ada riwayat dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam atau dari para sahabat tentang pengucapan niat. Kita juga tidak pernah mendengar mereka melakukannya. Ungkapan-ungkapan ini yang diciptakan untuk diucapkan ketika memulai bersuci dan shalat dijadikan setan sebagai perang terhadap para muwaswis (orang yang serba ragu). Setan memenjaranya di ungkapan-ungkapan tersebut dan menyiksanya di dalamnya. Anda lihat salah seorang dari mereka mengulangi ungkapan-ungkapan di atas hingga berkali-kali dan memaksa dirinya untuk mengucapkannya, padahal hal tersebut tidak termasuk dalam rangkaian aktivitas shalat, dan padahal niat itu adalah keinginan untuk mengerjakan sesuatu. Jadi setiap orang yang berkeinginan mengerjakan sesuatu, maka ia dikatakan orang yang berniat. Jadi Barang siapa duduk untuk berwudhu, sungguh ia telah berniat untuk berwudhu. Barang siapa berdiri untuk shalat, sungguh ia telah berniat untuk shalat. Tidak mungkin orang berakal mengerjakan salah satu ibadah tanpa niat, karena niat adalah Sesuatu yang melekat pada perbuatan yang ingin dikerjakan seseorang dan niat tidak membutuhkan kelelahan. Jika seseorang ingin mengosongkan perbuatannya yang bersifat sukarela dari niat, pasti ia tidak mampu melakukannya. Jika Allah Azza wa Jalla memerintahkannya Shalat dan berwudhu tanpa shalat, pasti Allah memerintahkannya apa yang tidak mampu ia kerjakan dan tidak masuk dalam kesanggupannya. Jika ia ragu-ragu dalam niatnya, ia seperti orang gila, Karena pengetahuan seseorang terhadap Keadaan dirinya adalah sesuatu yang yakin, maka bagaiamana orang berakal ragu-ragu terhadap dirinya? Barang siapa berdiri untuk shalat dzuhur di belakang imam, bagaimana ia ragu-ragu di dalamnya? Jika dalam Kondisi seperti itu ia diundang seseorang, pasti ia berkata, ‘Aku sibuk. Aku akan shalat dzuhur.” Jika ketika ia keluar rumah ditanya orang berakal, “Engkau akan pergi ke mana? “la pasti menjawab, ‘Aku akan shalat dzuhur bersama imam.” Bagaimana Orang berakal ragu-ragu terhadap dirinya, padahal hal tersebut adalah sesuatu yang pasti (keyakinan)?

 

Yang lebih lucu lagi, bahwa orang lain pun mengetahui niatnya berdasarkan bukti. Jika orang tersebut melihat seseorang sedang duduk di shaf pertama pada saat menjelang shalat, ia pun mengerti bahwa orang tersebut sedang menunggu datangnya waktu shalat. Jika mengetahui bahwa orang tersebut berdiri dari duduknya setelah igamah dikumandangkan, ia mengetahui bahwa orang tersebut berdiri untuK shalat. Jika orang tersebut berdiri di depan para makmum, ia pun mengetahui bahwa orang tersebut akan menjadi imam bagi mereka. Jika ia melihatnya berdiri di antara shaf, ia mengetahui bahwa orang tersebut menjadi makmum.

 

Abu Al-Faraj berkata lagi, jika orang lain saja mengetahui niatnya yang tersembunyi berdasarkan bukti-bukti yang ada, maka bagaimana ia sendiri tidak mengetahuinya dari dalam dirinya, padahal ia ia lebih tahu tentang dirinya? Penerimaan orang tersebut terhadap setan bahwa ia belum berniat adalah pembenaran terhadapnya dalam menentang mata, pengingkaran terhadap hakikat-hakikat yang telah diketahui sebagai sebuah keyakinan, penentangan terhadap Syariat, antipati terhadap Sunah, dan jalan para sahabat.

 

Sesungguhnya niat yang telah dimiliki tidak mungkin diperoleh dan apa saja yang sudah ada tidak mungkin diadakan lagi, Karena di antara syarat pengadaan sesuatu ialah bahwa sesuatu tersebut sebelumnya tidak ada. Sesungguhnya mengadakan (menciptakan) sesuatu yang sudah ada adalah sebuah kemustahilan.

 

Kata Abu Al-Faraj lagi, sungguh aneh Kalau seseorang merasa was-was (ragu-ragu) pada saat ia berdiri hingga imam ruku’. Jika ia takut tidak mendapatkan ruku’nya imam, ia pun buru-buru bertakbir dan mengejar ruku’nya imam. Barang siapa tidak mendapatkan niat, padahal ia sudah berdiri lama dengan hati tenang, maka bagaimana ia bisa mendapatkannya pada saat yang mepet dalam keadaan hati yang sibuk karena takut tidak mendapatkan rukuknya imam?

 

Lalu apa yang dicarinya itu adalah mudah atau sulit. Jika yang dicarinya adalah mudah, kenapa ia mempersulitnya? Jika yang dicarinya adalah sulit, kenapa ia menjalankannya dengan mudah pada saat imam ruku’? Bagaimana hal tersebut sampai tidak diketahui oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, para sahabatnya para tabi’in, dan generasi sesudah mereka? Bagaimana hal tersebut tidak dipahami kecuali oleh orang yang dikuasai oleh setan? Bagaimana yang ia katakan terhadap shalatnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan shalatnya seluruh kaum Muslimin yang tidak berbuat seperti yang diperbuat oleh muwaswis (orang yang serba ragu) tersebut? Apakah menurutnya shalat mereka itu tidak sempurna ataukah sudah sempurna? Apa yang menyebabkannya berbeda dengan mereka dan membenci jalan mereka?

 

Jika Abu Al-Faraj mengatakan, itulah penyakit yang diderita orang tersebut. Itulah yang dikatakan Abu Al-Faraj.

 

Saya katakan, itu betul dan penyebabnya adalah karena ia menerima setan, dan Allah Ta’ala tidak menerima alasan orang yang melakukan hal tersebut. Tidakkah Anda lihat ketika Adam dan Hawwa’ menerima setan ketika ia menggodanya, kemudian setan mengeluarkan keduanya dari surga? Keduanya diseru seperti yang telah Anda dengar! Adam dan Hawwa’ lebih dekat kepada maaf, karena keduanya belum pernah mendapatkan ibrah dari kasus seperti ini. Sedang Anda, sungguh Anda telah mendengar kalau Allah Ta’ala melarang Anda termakan oleh bujuk rayu setan? Allah Ta’ala telah menjelaskan tentang permusuhan setan terhadap Anda dan menjelaskan jalan yang benar kepada Anda? Maka apa alasan Anda meninggalkan Sunah dan menerima setan?

 

Saya katakan lagi, bahwa Syaikh kami Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, di antara mereka ada orang yang mengerjakan sepuluh bid’ah yang tidak pernah sekali pun dikerjakan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan tidak seorang pun dari sahabat-sahabat beliau. la berkata, “Nawaitu ushalli shalata adz-dzuhri aridzata al-waqti ada’an lillahi Ta’ala imaman au makmuman arba’a raka’atin mustaqbila al-qiblati (aku berniat shalat dzuhur sebagai ibadah fardhu saat ini. Saya melakukannya karena Allah Ta’ala sebagai imam atau makmum sebanyak empat raka’at dengan menghadap kiblat).” Setelah itu, ia menggoyang-goyang organ tubuhnya, menundukkan dahinya, meluruskan urat lehernya dan bertakbir dengan suara keras seperti bertakbir terhadap musuh di medan perang. Jika ia mempunyai umur seperti umurnya Nabi Nuh Alaihis Salam guna mengkaji apakah tindakan tersebut dikerjakan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam atau salah seorang dari generasi Sahabat, ia tidak menemukannya, kecuali kalau ia berbohong. Jika pada tindakannya terdapat kebaikan, pasti mereka lebih dahulu mengerjakannya dan menyuruh kita untuk mengerjakannya. Jika ini adalah petunjuk, maka mereka tersesat dari padanya. Jika yang mereka kerjakan adalah petunjuk dan kebenaran, maka tidak ada setelah kebenaran melainkan kesesatan.

 

Kata Ibnu Taimiyah lebih lanjut, di antara bentuk-bentuk was-was (ragu-ragu) yang merusak shalat ialah mengulang-ulang sebagian kata, seperti berkata pada saat tahiyyat, “At, at. At-tahi. At-tahi.” Atau berkata pada saat salam, “As. As.” Atau berkata pada saat takbir, ‘Allahu Akkkkbar.” Tindakan-tindakan seperti itu jelas membatalkan shalat. Jika ia imam, ia merusak shalatnya para makmum dan akhirnya shalat yang merupakan ketaatan terbesar menjadi sesuatu yang menjauhkannya dari Allah daripada dosa-dosa besar itu sendiri. Kalau pun shalatnya tidak batal, namun tindakan-tindakan seperti itu hukumnya makruh, merupakan bentuk berpaling dari Sunah, membenci jalan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, petunjuk beliau, dan jalan para sahabatnya. Atau terkadang ia meninggikan suaranya hingga mengganggu orang yang mendengarnya dan membuat orang mencacinya dan mengecamnya. Jadi setan mengumpulkan dalam dirinya taat kepada iblis dan menentang Sunah, mengerjakan perbuatan-perbuatan yang paling buruk “bid’ah”, menyiksa dirinya, membuang-buang waktu, sibuk dengan sesuatu yang mengurangi pahalanya, ia gagal mendapatkan sesuatu yang sangat bermanfaat baginya, dan menyebabkan dirinya mendapatkan penghinaan dari orang lain, dan membuat orang bodoh meniru dirinya. Ia berburuk sangka terhadap kandungan Sunah dengan mengatakan Sunah tidak memadai. Jiwanya emosional dan tidak berdaya terhadap setan hingga setan sangat berambisi kepadanya, dan membuat dirinya mendapatkan sikap keras dari takdir sebagai hukuman baginya, karena ia berada dalam kebodohan, dan karena ia menerima ketidakberesan (gila) di otaknya, seperti dikatakan Abu Hamid Al-Ghazali, dan lain-lain, “Penyebab was-was (ragu-ragu) ialah bodoh terhadap Syariat atau adanya ketidakberesan (gila) di otak, dan kedua-duanya merupakan aib yang paling besar.”

 

Inilah lima belas kerusakan was-was (ragu-ragu) dan kerusakan-kerusakan nya yang lain masih banyak lagi.

 

Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya hadits dari Utsman bin Abu Al-Ash yang berkata,

 

“aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, ‘Sesungguhnya setan telah mengganggu shalatku dengan mengacaukan shalatku.’ Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Itu setan yang bernama Khinzab. Jika engkau merasakan kedatangannya, hendaklah engkau berlindung kepada Allah dari badanya, dan meludahlah ke sebelah kirimu sebanyak tiga kali!’ Aku mengerjakan apa yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kemudian Allah Ta’ala menjauhkan setan dariku.” (Diriwayatkan Muslim).

 

Jadi para muwaswis (orang yang serba ragu) adalah orang kesenangan setan Khinzab dan sahabat-sahabatnya. Kita berlindung kepada Allah Azza wa Jalla dari padanya.

 

Contoh lain dari sikap yang berlebih-lebihan ialah berlebih-lebihan dalam penggunaan air ketika wudhu dan mandi.

 

Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya hadits dari Abdullah bin Amr Radhiyallahu Anhuma yang berkata,

 

“Bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berjalan melewati Sa’ad yang sedang berwudhu, kemudian beliau bersabda, ‘Jangan berlebih-lebihan.’ Sa’ad bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah ada sikap berlebih-lebihan dalam penggunaan air?’ Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Ya, kendati engkau berada di sungai yang mengalir’.” (Diriwayatkan Ahmad).

 

Disebutkan dalam Jami’ At-Tirmidzi hadits dari Ubai bin Ka’ab Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Sesungguhnya wudhu mempunyai setan yang bernama Al-Walhan. Oleh karena itu, takutlah godaan air.” (Diriwayatkan At-Tirmidzi).

 

Disebutkan dalam Al-Musnad dan As-Sunan hadits dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya yang berkata,

 

“Seorang Arab Badui datang menghadap kepada Rasulullah Shallaliahu Alaihi wa Sallam guna menanyakan wudhu kepada beliau.

 

Kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memperlihatkan wudhunya kepadanya tiga-tiga, dan bersabda, ‘Inilah wudhu itu. Barang siapa melebihkannya, sungguh ia telah berbuat yang tidak baik, melanggar batasan, dan berbuat zalim’.” (Diriwayatkan Ahmad).

 

Disebutkan dalam buku Asy-Syafi karangan Abu Bakar Abdul Aziz hadits dari Ummu Sa’ad yang berkata, bahwa Rasulullah Shallallahy Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Wudhu itu cukup dengan satu mud, dan mandi sudah cukup dengan satu sha’. Setelah itu akan datang suatu kaum yang menganggapnya sedikit. Mereka itu bertentangan dengan orang-orang yang mengikuti Sunahku. Orang yang mengambil Sunahku berada di surga, tempat hiburan penghuni surga.”

 

Disebutkan dalam Sunan Al-Atsram hadits dari Salim bin Abu AlJa’du dari Jabir bin Abdullah yang berkata, “Wudhu itu cukup dengan satu mud. Dan mandi biasa dan mandi jinabat cukup dengan satu sha’.” Seseorang berkata, “Itu tidak cukup bagiku.” Jabir pun marah hingga wajahnya memberungut, kemudian berkata, “Orang yang lebih baik darimu dan lebih lebat rambutnya merasa cukup dengan air tersebut.”

 

Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya hadits marfu’ dari Jabir yang berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Mandi itu cukup dengan satu sha’, dan wudhu cukup dengan satu mud.”

 

Disebutkan dalam Shahih Muslim hadits dari Aisyah Radhiyallahu Anha yang berkata, bahwa ia dan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mandi dari satu tempat air yang berkapasitas air sebanyak tiga mud, atau mendekati tiga mud.

 

Disebutkan dalam Sunan An-Nasai hadits dari Ubaid bin Umair, bahwa Aisyah Radhiyallahu Anha berkata,

 

‘Aku dan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mandi dari tempat ini.” -Ternyata tempat tersebut adalah tempat yang terbuat dari tembaga yang mampu menampung air satu sha’ atau kurang dari satu sha’-. Kami memasukkan tangan ke dalamnya, kemudian aku menuangkan dengan kedua tanganku ke kepalaku sebanyak tiga kali tanpa merontokkan sehelai rambut pun.” (Diriwayatkan An-Nasai).

 

Disebutkan dalam Sunan Abu Daud dan An-Nasai hadits dari Abbad bin Tamim dari Ummu Imarah binti Ka’ab bahwa Nabi Muhammad Shallaliahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Wud!’ Kemudian aku mengambil air dalam tempat air sebanyak dua pertiga mud.” (Diriwayatkan Abu Daud, dan An-Nasai).

 

Abdurrahman bin Atha’ berkata bahwa aku mendengar Sa’id bin Al-Musayyib berkata, “Sesungguhnya aku mempunyai rikwah (tempat air dari kulit) atau gelas yang mampu menampung air sebanyak setengah mud atau kurang lebih dari setengah mud. Aku cebok dari kencing dan berwudhu dengannya, serta masih menyisakannya.” Abdurrahman berkata, “Hal di atas aku ceritakan kepada Sulaiman bin Yasar kemudian ia berkata, Aku juga merasa cukup dengan air tersebut’.” Abdurrahman berkata, “Kemudian aku menceritakan hal di atas kepada Abu Ubaidah bin Muhammad bin Ammar bin Yasir yang kemudian berkata, ‘Memang itulah yang kami dengar dari sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.” (Diriwayatkan Al-Atsram dalam Sunan-nya.

 

Ibrahim An-Nakh’i berkata, “Mereka lebih sempurna dalam mempergunakan air daripada kalian. Mereka berpendapat bahwa air seperempat mud itu sudah cukup untuk dipakai berwudhu.”

 

Ini sikap berlebih-lebihan, karena seperempat mud itu tidak mencapai satu setengah uqiyah standart Damaskus.

 

Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim hadits dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu yang berkata,

 

“Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam wudhu dengan air satu mud, dan mandi dengan air sebanyak satu sha’ sampai lima mud.” (Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim).

 

Disebutkan dalam Shahih Muslim hadits dari Safinah yang berkata,

 

“Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mandi jinabat cukup dengan air satu sha’ dan wudhu cukup dengan air satu mud.” (Diriwayatkan Muslim).

 

Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shiddiq berwudhu dengan air setengah mud atau kurang dari setengah mud.

 

Ibrahim An-Nakh’i berkata, “Sesungguhnya aku berwudhu dengan seciduk air sebanyak dua kali.”

 

Muhammad bin Ajlan berkata, “Bukti pengetahuan seseorang terhadap agama Allah ialah menyempurnakan wudhu, dan sedikit menumpahkan (menggunakan) air.”

 

Imam Ahmad berkata, “Ada yang mengatakan, bahwa di antara bukti sedikitnya ilmu seseorang ialah menghabiskan banyak air.”

 

Al-Maimuni berkata, ‘Aku pernah berwudhu dengan air yang banyak kemudian Ahmad berkata kepadaku, ‘Maukah engkau menjadi orang Seperti itu?’ Kemudian aku menghentikan penggunaan air yang banyak ketika berwudhu.”

 

Abdullah bin Ahmad berkata, “Aku pernah berkata kepada ayahku, ‘Sesungguhnya aku menghabiskan banyak air ketika berwudhu.’ Ayahku melarangku dari tindakan tersebut dan berkata, ‘Anakku, ada yang mengatakan bahwa wudhu mempunyai setan yang bernama Al-Walhan,.’ Ayahku mengatakan seperti itu tidak hanya sekali. la melarangku menggunakan banyak air ketika berwudhu. Pada suatu hari ia berkata kepadaku, Anakku, pergunakan sedikit mungkin air ini’.”

 

ishaq bin Mansur berkata, “Aku pernah berkata kepada Ahmad, ‘Kami mengusap organ tubuh lebih dari tiga kali ketika berwudhu.” Ahmad berkata, “Tidak. Demi Allah, tidak melakukan hal tersebut kecuali orang yang tidak waras.”

 

Aswad bin Salim, salah seorang guru Imam Ahmad berkata, ‘Aku kurang bagus dalam berwudhu, kemudian aku turun ke sungai Dijlah untuk berwudhu, ketika itu aku mendengar suara yang berbunyi, ‘Hai Aswad, sesungguhnya wudhu itu tiga kali saja. Jika lebih dari tiga kali, maka tidak diangkat.’ Aku pun menoleh dan tidak melihat siapa-siapa.”

 

Abu Daud meriwayatkan dalam Sunan-nya hadits dari Abdullah bin Mughaffal Radhiyallahu Anhu yang berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

‘Akan datang pada umat ini kaum yang berlebih-lebihan dalam berwudhu dan berdoa.” (Diriwayatkan Abu Daud).

 

Jika Anda memadukan hadits di atas dengan firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Araaf: 55). Dan Anda mengetahui bahwa Allah Ta’ala mencintai ibadah kepada-Nya, maka Anda mendapatkan kesimpulan bahwa wudhunya muwaswis (orang yang serba ragu) bukanlah ibadah yang diterima Allah Ta’ala. Jika Anda menggugurkan kewajiban dari padanya, maka Anda jangan membukakan delapan pintu surga sehingga ia masuk dari mana saja yang ia maui karena wudhunya seperti itu.

 

Di antara sisi negatif lain dari was-was (ragu-ragu), bahwa muwaswis (orang yang serba ragu) itu berhutang atas kelebihan air yang ia gunakan, jika air tersebut milik orang lain misalnya air WC umum. la keluar dari WC umum tersebut dalam keadaan berhutang atas kelebihan air yang ia gunakan. Jika hal tersebut terjadi padanya terus menerus, ia mempunyai hutang yang banyak, dan itu jelas membahayakan dirinya di alam barzakh dan pada hari akhirat kelak.

 

Di antara was-was (ragu-ragu) yang lain ialah was-was (ragu-ragu) wudhunya batal, dan dalam kondisi seperti itu ia tidak perlu menggubris was-was (ragu-ragu) tersebut.

 

Disebutkan dalam Shahih Muslim hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu yang berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Jika salah seorang dari kalian merasakan sesuatu dalam perutnya dan ia ragu-ragu, apakah ada sesuatu yang keluar dari padanya atau tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid, hingga ia mendengar suara (kentut) atau mencium baunya.” (Diriwayatkan Muslim).

 

Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim hadits dari Abdullah bin Zaid yang berkata,

 

“Bahwa seseorang mengeluh kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa dirinya seolah-olah merasakan sesuatu dalam Shalatnya, kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, ‘la jangan keluar dari masjid hingga ia mendengar suara (kentut), atau mencium baunya’.” (Diriwayatkan Al-Bukhari, dan Muslim).

 

Disebutkan dalam Al-Musnad, dan Sunan Abu Daud hadits dari

 

Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Sesungguhnya setan datang kepada salah seorang dari kalian yang sedang shalat. la mengambil sehelai rambut dari duburnya kemudian ia memanjangkannya, dan memperlihatkan kepadanya bahwa ia telah batal. Oleh karena itu, janganlah ia keluar dari masjid hingga ia mendengar suara (kentut) atau mencium bau(nya).” Dalam versi Abu Daud, “Jika setan datang kepada salah seorang dari kalian dan berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya Anda telah batal.’ Maka hendaklah ia berkata kepadanya, ‘Engkau bohong.’ Terkecuali jika ia mencium bau dengan hidungnya dan mendengar suara dengan telinganya.” (Diriwayatkan Ahmad, dan Abu Daud).

 

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan kita tidak mempercayai setan terhadap informasinya yang kemungkinan mengandung kebenaran, maka bagaimana terhadap informasinya yang jelas-jelas bohong dan tidak mengandung kebenaran di dalamnya, seperti perkataan setan kepada muwaswis (orang yang serba ragu), “Engkau belum mengerjakan hal ini, padahal ia telah mengerjakannya?”

 

Syaikh Abu Muhammad berkata, “Orang disunahkan membasuh kemaluannya dan celananya sehabis buang air kecil agar ia bisa mengusir perasaan was-was (ragu-ragu) dari dalam dirinya. Jika setelah itu ia merasa ada yang basah dalam dirinya, ia berkata bahwa ini air yang ia pakai membasuh kemaluan dan celananya tadi, karena Abu Daud telah meriwayatkan dengan sanadnya dari Sufyan bin Al-Hakam ats-Tsaqafi atau Al-Hakam bin Sufyan yang berkata, bahwa jika Rasulullah Shal. lallahu Alaihi wa Sallam usai kencing, maka beliau berwudhu dan membasuh. Dalam riwayat lain disebutkan, Aku melihat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kencing kemudian beliau membasuh kemaluannya’.”

 

Adalah Ibnu Umar, jika ia membasuh kemaluannya, maka sampai celananya basah.

 

Salah seorang sahabat Imam Ahmad mengeluh kepada Imam Ahmad, bahwa ia merasakan basah setelah berwudhu, kemudian Imam Ahmad memerintahkannya membasuh kemaluannya usai kencing. Imam Ahmad berkata, “Jangan Anda menjadikan was-was (ragu-ragu) sebagai bagian dari keinginanmu. Berpalinglah dari was-was (ragu-ragu)!”

 

Al-Hasan pernah ditanya tentang permasalahan yang sama kemudian ia menjawab, “Berpalinglah dari padanya!” Ia ditanya kembali tentang permasalahan yang sama, kemudian ia menjawab, “Apakah engkau menghabiskan air banyak? Semoga engkau tidak mempunyai bapak. Berpalinglah dari hal tersebut!”

 

Ada sepuluh hal yang biasanya dikerjakan muwaswis (orang yang serba ragu) setelah buang air kecil. Kesepuluh hal tersebut ialah as-saltu, an-nahnahatu, al-masyyu, , al-hablu, at-tafaqqudu, al-wajuru, alhasywu, al-‘ishabatu, dan ad-darajatu.

 

As-Saltu ialah mengeluarkan dengan paksa air kencing dari sumbernya hingga keluar di ujung kemaluan. Ada hadits dalam hal ini, namun haditsnya tidak kuat. Disebutkan dalam Sunan Ibnu Majah hadits dari Isa bin Daud dari ayahnya yang berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Jika salah seorang dari kalian buang air kecil, hendaklah ia membersihkan kemaluannya hingga tiga kali.” (Diriwayatkan Ibnu Majah).

 

Jabir bin Zaid berkata, “Jika Anda buang air kecil, hendaklah Anda membersihkan kemaluan Anda bagian bawah, karena hal tersebut bisa memutus (ragu-ragu).” (Diriwayatkan Sa’id).

 

Para muwaswis (orang yang serba ragu) berkata, “Karena dengan melakukan As-saltu, maka air kencing yang dikhawatirkan keluar lagi setelah cebok itu bisa dikeluarkan.”

 

Kata mereka lagi, “Jika seseorang perlu berjalan beberapa langkah dan itu betul-betul ia lakukan, itu baik sekali. An-Nahnahatu (berdehem) itu bisa mengeluarkan sisa air kencing. Begitu juga al-gafazu yaitu ia naik ke atas permukaan tanah kemudian duduk dengan segera. Al-Hablu ialah salah seorang dari mereka mengambil tali kemudian ia bergantune kepadanya hingga ia seperti akan naik, kemudian ia turun dari padanya dan duduk. At-tafaqqud ialah memegang kemaluan kemudian melihat tempat keluarnya air kencing; apakah masih tersisa air kencing atau tidak di dalamnya? Al-Wajur ialah memegang kemaluan kemudian membuka lubang kemaluan dan menuangkan air ke dalamnya. Al-Hasywu ialah mengambil kapas, atau yang sejenis dengannya kemudian menutup lubang kemaluan dengan kapas tersebut, sebagaimana ia menutup lubang bisul dengan kapas setelah ia meletus. Al-ishabatu ialah mengikat kemaluan dengan secarik kain. Ad-Darajatu ialah ia naik ke atas tangga sebentar kemudian turun dengan segera. ALMasyyu ialah berjalan beberapa langkah kemudian membersihkan kemaluannya lagi.

 

Syaikh kami, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Itu semua was-was (ragu-ragu) dan bid’ah.”

 

Saya bertanya kepadanya tentang as-saltu, ia mengatakan bahwa hadits tersebut tidak Shahih.

 

Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah lagi, ‘Air kencing itu tak ubahnya seperti air susu di ambing (kantong kelenjar) susu hewan. Jika Anda biarkan, air susu tersebut tetap berada di dalam ambing. Dan jika Anda memerahnya, ia keluar.”

 

Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah lagi, “Barang siapa terbiasa melakukan hal tersebut, sungguh ia menderita sesuatu yang tidak diderita oleh orang yang tidak melakukan kebiasaannya.”

 

Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah lagi, “Jika hal ini Sunah, pasti orang yang paling layak mengerjakannya adalah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan sahabat-sahabatnya. Salah seorang Yahudi berkata kepada Salman Al-Farisi, ‘Sungguh Nabi kalian telah mengajari kalian segala hal hingga masalah buang air besar.’ Salman menjawab, ‘Ya betul’. Mana buktinya Kalau Nabi kita Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam mengajari kita salah satu dari hal-hal di atas? Betul bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam mengajarkan kepada wanita mustahadzah (mengeluarkan darah seperti darah haid) agar ia menahan keluarnya darah tersebut, dan hal ini bisa diqiyaskan (analogikan) kepada orang yang mudah mengeluarkan air Kencing. la melakukan seperti yang dilakukan wanita mustahadzah yaitu mengikat kemaluannya dengan secarik kain.

 

Banyak sekali hal-hal dipermudah oleh Nabi Muhammad yang diutus membawa agama yang tolerans, namun muwaswis (orang yang Serba ragu) berlebih-lebihan dalam menyikapinya.

 

Di antara hal-hal yang dipermudah oleh Rasulullah Shallallahy Alaihi wa Sallam ialah berjalan telanjang kaki di jalanan kemudian shalat tanpa membersihkan kaki.

 

Abu Daud meriwayatkan dalam Sunan-nya hadits dari seorang wanita dari Bani Abdul Asyhal yang berkata,

 

“Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya jalan kami menuju masjid itu berbau, maka apa yang harus kami perbuat jika kami ingin membersihkannya?’ Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, Apakah setelah jalan tersebut ada jalan yang lebih baik?’“ Wanita tersebut berkata, “Aku berkata, ‘Ya, ada’.” Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Ini (kotoran) dengan ini (jalan raya yang bersih).”

 

Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu berkata, “Kami tidak berwudhu lagi setelah menginjak tanah.”

 

Dari Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu disebutkan, bahwa ia berjalan di atas tanah basah karena hujan, kemudian ia masuk masjid dan shalat, tanpa membersihkan kedua kakinya.

 

Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma pemah ditanya tentang orang yang menginjak kotoran. Ibnu Abbas menjawab, “Jika kotoran tersebut kering, maka tidak ada masalah. Jika kotoran tersebut basah, maka ia harus mencuci bagian mana yang terkena kotoran tersebut.”

 

Hafsh berkata, “Aku berjalan berdua dengan Abdullah bin Umar dengan tujuan masjid. Ketika kami berdua tiba di masjid, aku pergi ke tempat pembersihan untuk mencuci kedua kakiku karena sesuatu yang mengenai keduanya. Abdullah bin Umar berkata, ‘Jangan engkau cuci kedua kakimu, karena engkau menginjak tanah yang kotor kemudian setelah itu engkau menginjak tanah yang bersih. Dengan demikian, kedua kakimu telah menjadi bersih.’ Kemudian kami masuk masjid untuk shalat.”

 

Abu Asy-Sya’tsa’ berkata, “Ibnu Umar berjalan di Mina di atas kotoran binatang dan darah dengan telanjang kaki, kemudian ia masuk ke dalam masjid untuk shalat tanpa mencuci kedua kakinya.”

 

Imran bin Hudair berkata, “Aku pernah berjalan berdua dengan Abu Mijlaz untuk shalat Jum’at, dan di jalan yang kami lewati terdapat banyak kotoran yang kering. Abu Mijlaz melewatinya dengan berkata, ‘Kotoran ini semua tiada lain adalah biji-bijian.’ Kemudian ia berjalan menuju masjid dengan telanjang kaki kemudian shalat tanpa mencuci kedua kakinya.” Ashim Al-Ahwal berkata, “Kami mengunjungi Abu Al-Aliyah, kemudian kami meminta air wudhu.” Abu Al-Aliyah bertanya, “Bukankah kalian sudah berwudhu?” Kami menjawab, “Ya betul. Tapi, kami tadi melewati banyak kotoran.” Abu Al-Aliyah berkata, “Apakah kalian menginjak sesuatu yang basah kemudian menempel pada kaki-kaki kalian?” Kami menjawab, “Tidak.” Abu Al-Aliyah berkata, “Bagaimana dengan kotoran yang telah mengering kemudian diterbangkan angin ke kepala-kepala kalian?”

 

Di antara hal-hal yang dipermudah oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ialah bahwa jika bagian bawah sepatu terkena kotoran (najis), maka untuk menghilangkan kotoran (najis) tersebut cukup dengan digosok dengan tanah secara mutlak kemudian shalat dibenarkan dengannya berdasarkan Sunah. Ini dikatakan Imam Ahmad dan dipilih sahabat-sahabatnya.

 

Abu Al-Barakat berkata, “Dan riwayat, ‘Cukup dengan digosok (dengan tanah) secara mutlak, menurut pendapatku adalah shahih, karena Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Jika salah seorang dari kalian dengan sandalnya menginjak kotoran, maka sesungguhnya tanah bisa membersihkannya.” Dalam riwayat lain, “Jika salah seorang dari kalian menginjak kotoran dengan kedua sepatunya, maka keduanya bersih dengan tanah.” (Diriwayatkan Abu Daud).

 

Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu Anhu meriwayatkan,

 

“Bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam shalat kemudian beliau melepas kedua sandalinya. Melihat hal yang demikian, para sahabat pun melepas sandal mereka. Usai shalat, beliau bersabda, ‘Kenapa kalian melepas sandal kalian?’ Mereka menjawab, ‘Ya Rasulullah, kami melihatmu melepas sandal, jadi kami pun melepas sandal kami.’ Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Sesungguhnya Jibril datang kepadaku kemudian memberitahukan kepadaku bahwa di kedua sandalku ada kotoran. Jadi jika salah seorang dari kalian datang ke masjid, hendakiah ia membalik kedua sandalnya kemudian hendaklah ia melihat, jika ia melihat ada kotoran di keduanya, hendaklah ia mengusapnya ke tanah, kemudian hendaklah ia shalat dengan keduanya’.” (Diriwayatkan Ahmad, Abu Daud, dan Al-Hakim).

 

Penafsiran tentang hadits di atas ialah bahwa hal-hal yang bersih seperti air ingus dan lain sebagainya tidak sah dianggap kotor, karena alasan-alasan berikut;

 

Pertama, bahwa ingus tidak dinamakan kotoran.

 

Kedua, sesunghal tersebut tidak diperintahkan untuk diusap ketika seseorang hendak shalat, karena ia tidak membatalkan shalatnya.

 

Ketiga, sandal tidak dilepas dalam shalat, karena itu tidak diperlukan. Jadi minimal hukumnya ialah makruh.

 

Keempat, sesungguhnya Ad-Daruquthni meriwayatkan dalam Sunan-nya hadits melepaskan sandal dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu. ma, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Sesungguhnya Jibril datang kepadaku, kemudian memberitahukan kepadaku bahwa di kedua sandalku ada darah kutu.”

 

Karena biasanya sandal bersentuhan dengan kotoran, maka untuk membersihkannya cukup dengan benda padat seperti halnya membersihkan kemaluan dan dubur, bahkan harus diutamakan, karena kemaluan dan dubur itu hanya mendapatkan kotoran (air kencing dan tinja) dua atau tiga kali dalam sehari.

 

Begitu ekor baju wanita menurut pendapat yang benar. Seorang wanita berkata kepada Ummu Salamah, “Sesungguhnya aku memanjangkan ekor pakaianku kemudian aku berjalan di jalan yang kotor.” Ummu Salamah berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Ia bisa dibersihkan dengan jalan sesudahnya.” (Diriwayatkan Ahmad, dan Abu Daud).

 

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memberi keringanan (dispensasi) kepada wanita untuk memanjangkan ekor bajunya sepanjang lengan. Sebagaimana diketahui, ekor baju tersebut mengenai kotoran, namun beliau tidak memerintahkannya mencucinya. Beliau memberi fatwa kepada para wanita, bahwa ekor kain bisa bersih dengan tanah.

 

Di antara hal lain yang tidak disukai muwaswis (orang yang serba ragu) ialah shalat dengan menggunakan sandal, padahal itu Sunah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan sahabat-sahabatnya, dan kebiasaan, serta perintah dari beliau.

 

Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Shalat dengan menggunakan sandal.” (Muttafaq Alaihi). Diriwayatkan dari Syaddad bin Aus Radhiyallahu Anhu yang berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Berbedalah dengan orang-orang Yahudi. Sesungguhnya mereka tidak shalat dengan menggunakan sepatu-sepatu mereka dan sandal-sandal mereka.” (Diriwayatkan Abu Daud).

 

Ditanyakan kepada Imam Ahmad, “Bolehkah seseorang shalat dengan menggunakan kedua sandalnya?” Imam Ahmad menjawab, “Ya, boleh, demi Allah.”

 

Anda lihat jika salah seorang dari para muwaswis (orang yang serba ragu) shalat jenazah dengan menggunakan sandal, ia segera bangkit sepertinya ia berdiri di atas bara api hingga ia tidak mau shalat di atasnya.

 

Disebutkan dalam hadits riwayat Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu Anhu,

 

“Jika salah seorang dari kalian datang ke masjid, hendakiah ia melihat, jika ia melihat kotoran di atas kedua sandainya, hendaklah ia membersihkannya kemudian shalat di atasnya.”

 

Hal lain yang dipermudah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, bahwa Sunah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam membolehkan shalat dikerjakan dalam kondisi apa pun dan di tempat mana pun, kecuali tempat-tempat yang diharamkan dilakukan shalat seperti kuburan, kamar mandi, dan kandang unta.

 

Disebutkan dengan shahih dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

 

“Tanah dijadikan bagiku sebagai masjid dan suci. Maka jika shalat tiba di salah seorang dari umatku, hendaklah ia shalat.” (Diriwayatkan Al-Bukhari, dan Muslim).

 

Rasulullah Shallaliahu Alaihi wa Sallam pernah shalat di kandang kambing dan memerintahkan umatnya mengerjakannya, tanpa mensyaratkan membuat pembatas.

 

Ibnu Al-Mundzir berkata, “Orang yang telah sepakat dibolehkannya shalat di kandang-kandang kambing, kecuali Imam Syafi’i. Imam Syafi’i berkata, Aku memandangnya makruh, kecuali jika kandang tersebut bersih dari kotoran-kotoran kambing’.”

 

Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Shalatlah kalian di kandang-kandang kambing dan jangan shalat di kandang-kandang unta.” (Diriwayatkan At-Tirmidzi yang berkata bahwa hadits tersebut shahih).

 

Imam Ahmad meriwayatkan hadits dari Uqbah bin Amir Radhiyallahu Anhu yang berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Shalatlah kalian di kandang-kandang kambing, dan jangan shalat di kandang-kandang unta atau tempat berhentinya unta.” (Diriwayatkan Ahmad).

 

Disebutkan juga dalam Al-Musnad hadits dari Abdullah bin AlMughaffal Radhiyallahu Anhu yang berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Shalatlah kalian di kandang-kandang kambing, dan jangan shalat di kandang-kandang unta, karena kandang-kandang unta diciptakan untuk para setan.” (Diriwayatkan Ahmad).

 

Dalam permasalahan ini terdapat nama-nama lain seperti Jabir bin Samurah, Al-Barra’ bin Azib, dan Usaid bin Al-Hudhair, dan Ya’isy AlJuhani yang terkenal dengan julukan Dzu Al-Ghurrah (orang yang raut mukanya bersih). Semuanya meriwayatkan dari Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam,

 

“Shalatlah di kandang-kandang kambing.” (Diriwayatkan Ahmad, dan Ibnu Majah).

 

Dalam sebagian redaksi hadits yang lain disebutkan,

 

“Shalatlah di kandang-kandang kambing, karena di dalamnya terdapat keberkahan.”

 

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Bumi semuanya adalah masjid, kecuali kuburan dan kamar mandi.” (Diriwayatkan semua penulis Sunan kecuali An-Nasai).

 

Cobalah bandingkan antara petunjuk Nabi di atas dengan tindakan orang yang tidak mau shalat kecuali di atas sajadah yang digelar di atas karpet dan di atasnya tikar? la meletakkan sapu tangan di atasnya, dan tidak berjalan di atas tikar dan karpet. Kalau pun ia mau berjalan di atas karpet dan tikar, ia berjalan dengan melekukkan jari-jari kakinya seperti jalannya burung pipit! Betapa layaknya mereka mendapatkan perkataan Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu. “Apakah kalian lebih benar daripada sahabat-sahabat Muhammad ataukah kalian masuk dalam kelompok sesat?”

 

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam shalat di atas tikar yang menghitam karena terlalu lama digunakan. Tikar tersebut disiram dengan air, kemudian beliau shalat di atasnya tanpa digelari di atasnya sajadah atau sapu tangan (Diriwayatkan Al-Bukhari). Beliau terkadang sujud di atas lumpur, terkadang sujud di atas kerikil, dan terkadang sujud di atas tanah hingga hal ini membekas di dahi dan hidung beliau (Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim).

 

Ibnu Umar berkata, “Anjing datang, pergi, dan kencing di masjid. Kendati begitu, mereka para sahabat tidak membersihkannya.” (Diriwayatkan Al-Bukhari).

 

Di antara hal-hal yang dipermudah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa manusia pada zaman sahabat dan tabi’in datang ke masjid dengan telanjang kaki.

 

Yahya bin Watstsab berkata, “Aku bertanya kepada Ibnu Abbas, ‘Seseorang berwudhu, kemudian ia pergi ke masjid dengan telanjang kaki?’ Ibnu Abbas menjawab, ‘Tidak apa-apa’.”

 

Kumail bin Zayyad berkata, “Aku pernah melihat Ali Radhiyallahu Anhu berjalan di atas tanah bekas hujan, kemudian masuk masjid dan shalat tanpa membersihkan kedua kakinya.”

 

Ibrahim An-Nakh’i berkata, “Mereka berjalan melewati air dan tanah menuju masjid kemudian langsung shalat.”

 

Yahya bin Watstsab berkata, “Mereka berjalan di bawah guyuran air hujan.” (Diriwayatkan Sa’id bin Mansur dalam Sunan-nya).

 

Ibnu Al-Mundzir berkata, “Ibnu Umar berjalan di Mina dengan telanjang kaki di atas air dan tanah, kemudian shalat tanpa wudhu lagi. Di antara yang berpendapat seperti pendapat ini adalah Alqamah, AlAswad, Abdullah bin Mughaffal, Sa’id bin Al-Musayyib, Asy-Sat’bi, Imam Ahmad, Abu Hanifah, Malik, dan salah satu pendapat dari sahabat-sahabat Imam Syafi’i.”

 

Al-Mundziri menambahkan, “Inilah pendapat sebagian besar ulama. Karena kotoran yang ada pada kaki adalah kesulitan besar yang bertentangan dengan Syariat, sebagaimana makanan dan pakaian orang-orang Kafir, pakaian orang-orang fasik, minuman keras, dan lain sebagainya.”

 

Abu Al-Barakat Ibnu Taimiyah berkata, “Ini semua menguatkan bahwa tanah itu bersih dengan pengeringan. Karena pada umumnya manusia selalu melihat kotoran di jalan yang ia lewati menuju pasar, masjid, atau tempat-tempat lainnya. Seandainya tanah tidak bersih, padahal “pengeringan” telah menghilangkan bekas-bekas kotorannya, pasti hal ini menghendaki setiap orang menghindari melihat tempat-tempat kotoran setelah bekas-bekasnya telah , dan pasti ia tidak diperbolehkan berjalan telanjang kaki setelah itu. Sebagaimana diketahui, bahwa para salafush shalih tidak melakukan hal yang demikian. Ini diperkuat dengan perintah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa sallam kepada orang yang datang ke masjid dan melihat ada kotoran di kedua sandalnya untuk membersihkan kedua sandalnya dengan tanah. Jika tanah dengan kotoran tersebut menjadi najis dan tidak bisa dibersihkan dengan “pengeringan”, pasti beliau memerintahkan perlindungan semua jalan menuju masjid dari segala jenis kotoran, Karena jalan tersebut dilalui orang dengan telanjang Kaki, dan lain sebagainya.

 

Saya Katakan, ini adalah pilihan Syaikh kami (Ibnu Taimiyah).

 

Abu Qilabah berkata, “Tanah yang kering itu suci.”

 

Di antara hal-hal yang dipermudah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, bahwa beliau pernah ditanya tentang permasalahan madzi (lendir yang keluar dari kemaluan karena syahwat), kemudian beliau | memerintahkan orang yang mengalaminya untuk berwudhu.

 

“Salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu Alaihi wa Sallam, ‘Bagaimana menurut pendapatmu tentang pakaianku yang terkena madzi?’ Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Engkau mengambil seciduk air kemudian engkau menyiram tempat.yang engkau yakini terkena air rmadzi.” (Diriwayatkan Ahmad, At-Tirmidzi, dan An-Nasai).

 

Rasulullah Skallallahu Alaihi wa Sallam membolehkannya menyiram tempat yang terkena air madzi, sebagaimana beliau memerintahkan menyiram tempat yang terkena air kencing anak kecil.

 

Syaikh kami berkata, “Inilah pendapat yang benar, Karena kotoran tersebut adalah kotoran yang sangat sulit dihindari, karena sering kali mengenai baju para bujangan. Air madzi lebih berhak mendapatkan Keringanan daripada air kencing anak kecil, dan daripada sepatu bagian bawah.”

 

Di antara hal lain yang dipermudah Rasululullah Shallallahu Alaihi wa sallam, bahwa ijma’ kaum Muslimin terhadap apa yang disunahkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada mereka yaitu diperbolehkannya cebok dengan batu pada musim panas dan musim dingin.

 

Di antara hal yang dipermudah Rasulullah Shellallahu Alaihi wa Sallam, bahwa beliau mentolerir sedikit kotoran bighal (peranakan Kuda denga Keledai), Keledai, dan binatang-binatang buas dalam salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Pendapat ini dipilih Syaikh kami Karena sulitnya menghindar dari padanya.

 

Al-Walid bin Muslim berkata, aku pernah bertanya Kepada AlAuzai, “Bagaimana dengan air kencing hewan-hewan yang dagingnya tidak dimakan seperti bighal (peranakan Kuda dengan Keledai), Keledai, dan kuda?” Al-Auzai menjawab, “Sungguh mereka (para sahabat) terkena air kencing dari hewan-hewan tersebut dalam perang-perang mereka, namun mereka tidak mencuci badan dan pakaian mereka.”

 

Di antara hal lain yang dipermudah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam seperti dikatakan Imam Ahmad, bahwa beliau mentolerir sedikit muntah.

 

Syaikh kami Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Pakaian dan badan tidak wajib dicuci karena terkena nanah, Karena tidak ada dalil yang menyatakan bahwa nanah itu najis.”

 

Sebagian ulama berpendapat bahwa nanah adalah bersih seperti dikemukakan Abu Al-Barakat.

 

Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma tidak membatalkan shalatnya Karena nanah, dan membatalkan shalatnya Karena darah. Al-Hasan juga mengatakan hal yang sama.

 

Abu Mijlaz pernah ditanya tentang nanah yang mengenai badan dan pakaian, ia menjawab, “Tidak apa-apa, karena yang disebutkan Allah dalam Al-Qur’an ialah darah, dan Dia tidak menyebutkan nanah.”

 

Ishaq bin Rahawih berkata, “Menurutku semua selain darah adalah seperti keringat yang bau dan sejenisnya dan seseorang tidak wajib mengulang wudhunya.”

 

Imam Ahmad pernah ditanya, “Apakah darah dan nanah itu sama menurutmu?” Imam Ahmad menjawab, “Tidak sama. Orang tidak berbeda pendapat mengenai darah, dan mereka berbeda pendapat mengenai nanah.”

 

Pada kesempatan yang lain, Imam Ahmad berkata, “Bagiku nanah itu lebih ringan daripada darah.”

 

Di antara hal lain yang dipermudah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ialah apa yang dikatakan Abu Hanifah, bahwa jika kotoran tikus mengenai gandum kemudian gandum tersebut dibuat adonan roti atau mengenai minyak, maka makanan darj adonan gandum dan minyak tersebut boleh dimakan selagi ia tidak berubah, karena tidak mungkin menghindar dari padanya.”

 

Abu Hanifah menambahkan, “Namun jika kotoran tikus tersebut mengenai air, maka air menjadi najis.”

 

Salah seorang dari sahabat-sahabat Imam Syafi’i membolehkan memakan gandum yang terkena air kencing Keledai di hutan tanpa dicuci. la berkata, “Alasannya ialah karena generasi salaf tidak menghindar dari padanya.”

 

Aisyah Radhiyallahu Anha berkata, “Kami memakan daging, padahal ketika direbus darahnya menempel di periuk.”

 

Allah Azza wa Jalla membolehkan memakan hewan hasil tangkapan anjing, dan tidak memerintahkan mencuci tempat cengkeraman anjing, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak memerintahkannya, dan seorang pun dari generasi sahabat juga tidak memberi fatwa untuk mencucinya.

 

Di antara hal lain yang dipermudah agama ini ialah apa yang difatwakan oleh Abdullah bin Umar, Atha’ bin Rabah, Sa’id bin Al-Musayyib, Thawus, Salim, Mujahid, Asy-Sya’bi, Ibrahim An-Nakh’i, Az-Zuhri, Yahya bin Sa’id Al-Anshari, Al-Hakam, Al-Auzai, Malik, Ishag bin Rahawih, Abu Tsaur, Imam Ahmad dalam satu riwayat, dan lain sebagainya, bahwa jika seseorang melihat kotoran di badannya atau pakaiannya usai shalat dan ia tidak mengetahuinya atau mengetahuinya namun lupa atau tidak lupa tapi tidak mampu menghilangkannya, maka shalatnya sah dan ia tidak perlu mengulang shalatnya.

 

Di antara hal lain yang diperbolehkan agama bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam

 

“Shalat sambil menggendong Umamah binti anaknya Zainab. Jika beliau ruku’, beliau menurunkannya, dan jika berdiri, beliau menggendongnya lagi.” (Muttafaq Alaihi).

 

Menurut Abu Daud, shalat tersebut terjadi di salah satu shalat malam petang (maghrib atau isya’).

 

Ini juga merupakan dalil dibolehkannya shalat dengan memakai pakaian ibu asuh, wanita menyusui, wanita haid, dan anak-anak, selagi ada kepastian bahwa pakaian tersebut tidak najis.

 

Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu berkata,

 

“Kami sedang bersama Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam mengerjakan shalat Isya’. Ketika beliau sujud, Al-Hasan dan Al-Husain meloncat ke punggungnya. Ketika beliau mengangkat kepalanya, beliau mengambil keduanya dari belakangnya dengan pengambilan yang lembut dan meletakkan keduanya di atas tanah. Jika beliau mengulangi gerakannya, keduanya pun mengulangi gerakannya hingga beliau menyelesaikan shalatnya.” (Diriwayatkan Ahmad).

 

Syaddad bin Al-Had berkata dari ayahnya,

 

“Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam keluar menemui kami sambil menggendong Al-Hasan atau Al-Husain, kemudian beliau meletakkannya dan bertakbir. Beliau shalat dan sujud dengan lama di antara dua sujud. Ketika usai shalat, beliau bersabda, ‘Sesungguhnya anakku ini menaikiku, dan aku tidak ingin menyegerakan ia turun dari punggungku .” (Diriwayatkan Ahmad).

 

Aisyah Radhiyallahu Anha berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam shalat malam sedang aku yang saat itu sedang haid berada di sampingnya. Aku mengenakan kain dari bulu dan sebagiannya menempel pada beliau.” (Diriwayatkan Abu Daud).

 

Aisyah Radhiyallahu Anha menambahkan, “Aku dan Rasulullah Shallaullahu Alaihi wa Sallam tidur dalam satu selimut padahal aku sedang haid. Jika beliau terkena sedikit dari padaku (darah haid), beliau mencuci tempat yang terkena darah haid tersebut, tidak menyingkirkannya, dan shalat dengannya.” (Diriwayatkan Abu Daud).

 

Di antara hal lain yang diperbolehkan agama, bahwa Rasulullah shallallahu Alaihi wa Sallam mengenakan pakaian yang ditenun orang-orang musyrik dan shalat dengan mengenakan pakaian tersebut.

 

Sebelumnya telah disebutkan ucapan Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu dan keinginannya untuk melarang pemakaian pakaian tersebut karena ia mendengar pakaian tersebut diwarnai dengan air kencing, serta ucapan Ubai kepadanya, “Kenapa engkau melarang pemakaian pakaian tersebut, padahal Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sendiri mengenakannya, dan pakaian tersebut dipakai dengan luas pada zamannya? Jika Allah mengetahui pakaian tersebut haram,pasti Dia menjelaskannya kepada Rasul-Nya.” Umar berkata, “Engkau benar.”

 

Ketika Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu tiba di Al-Jabiyah, ia meminjam pakaian kepada seorang Kristen kemudian mengenakannya, hingga mereka para sahabat selesai menjahit pakaiannya dan mencucinya. Umar juga wudhu dari guci wanita Kristen.

 

Di antara hal lain yang diperbolehkan agama, bahwa para sahabat, dan para tabi’in berwudhu di danau-danau dan tempat-tempat terbuka tanpa menanyakan apakah tempat-tempat tersebut terkena kotoran atau apakah anjing dan binatang buas minum di dalamnya atau tidak?

 

Disebutkan dalam Al-Muwaththa’ hadits dari Yahya bin Sa’id, bahwa Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu bepergian bersama rombongan yang di dalamnya terdapat Amr bin Ash, hingga ketika mereka tiba di salah satu danau, Amr bin Ash berkata, “Hai pemilik danau, apakah ada anjing atau binatang yang minum di danau ini?” Umar bin Khattab berkata kepada pemilik danau, “Jangan ceritakan kepada kami.”

 

Disebutkan dalam Sunan ibnu Majah bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ditanya,

 

‘Apakah kami boleh berwudhu dengan air sisa keledai?” Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Ya, termasuk dengan air ; sisa binatang buas sekali pun.” (Diriwayatkan Ibnu Majah).

 

Di antara hal lain yang diperbolehkan agama ialah jika sesuatu dari saluran air jatuh ke tempat air, dan ia tidak ada yang tahu apakah air tersebut air biasa atau air kencing, maka seseorang tidak perlu bertanya. Kalau pun ia bertanya, orang yang ditanya tidak wajib menjawab, kendati ia mengetahui bahwa air tersebut najis, dan ia tidak wajib mencucinya.

 

Pada suatu hari, Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu berjalan, kemudian sesuatu dari saluran air jatuh mengenai dirinya. Pada saat itu Umar ditemani salah seorang sahabatnya. Sahabat Umar bertanya kepada pemilik saluran air, “Hai pemilik saluran, airmu bersih atau kotor?” Umar berkata kepada pemilik saluran, “Jangan ceritakan kepada kami.” Kemudian Umar melanjutkan perjalanannya. (Diriwayatkan Ahmad).

 

Syaikh kami Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Begitu juga, jika pada suatu malam kaki dan ekor baju seseorang menyentuh sesuatu yang basah yang tidak diketahuinya, ia tidak wajib menciumnya atau mengenalinya.”

 

Ibnu Taimiyah berhujah dengan peristiwa Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu dengan saluran air di atas. Inilah ilmu, karena hukum-hukum itu bisa diterapkan kepada mukalaf setelah ia mengetahui sebab-sebabnya. Sebelum ia mengetahuinya, ia dimaafkan. Dan apa saja yang telah dimaafkan Allah, ia tidak perlu menanyakannya.

 

Di antara hal lain yang diperbolehkan agama ialah shalat dengan sedikit darah dan shalat tidak perlu diulang.

 

Al-Bukhari berkata, bahwa Al-Hasan Rahimahullah berkata, “Kaum Muslimin shalat dalam keadaan terluka.”

 

Al-Bukhari berkata, “Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma menekan bisulnya, hingga mengeluarkan darah, dan ia tidak wudhu lagi. Ibnu Abu Aufa berlumuran darah, namun tetap melanjutkan shalatnya. Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu shalat, sedang lukanya mengeluarkan darah.”

 

Di antara hal lain yang diperbolehkan agama, bahwa wanita-wanita menyusui sejak zaman Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sampai zaman sekarang shalat dengan pakaian mereka, padahal anak-anak yang mereka susui muntah, dan ludah mereka mengalir di pakaian dan badan mereka, dan mereka tidak mencuci pakaiannya tersebut, karena air ludah anak susuan bersih oleh mulutnya karena adanya kebutuhan, sebagaimana air ludah kucing bersih oleh mulutnya.

 

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Sesungguhnya kucing tidak najis (kotor), karena ia termasuk binatang-binatang yang selalu mengelilingi kalian.” (Diriwayatkan Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, dan An-Nasai).

 

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memiringkan tempat air kepada kucing, hingga kucing tersebut minum air yang di dalamnya. (Diriwayatkan Ad-Daruquthni).

 

Di antara hal lain yang diperbolehkan agama, bahwa para sahabat shalat dengan memegang pedang mereka yang berlumuran darah dan mereka mengusapnya, serta menganggap shalatnya sah.

 

Hal ini bisa disamakan dengan mengusap kaca cermin yang terkena kotoran, karena dengan mengusapnya kaca cermin tersebut menjadi persih. ,

 

Imam Ahmad menyatakan, bahwa pisau penyembelih hewan itu persih dengan diusap.

 

Di antara hal lain yang diperbolehkan agama, Imam Ahmad menegaskan bahwa jika tali jemuran dipakai untuk menjemur pakaian kotor, kemudian pakaian tersebut kering oleh sinar matahari, maka pakaian tersebut menjadi bersih. Imam Ahmad berkata, “Tidak apa-apa.” Ini seperti dikatakan Abu Hanifah, “Sesungguhnya tanah yang kotor itu dibersihkan oleh angin dan matahari.” Ini salah satu dari pendapat salah seorang dari sahabat Imam Ahmad, bahkan ia memperbolehkan tayamum dengan tanah tersebut. Hadits riwayat Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma menegaskan hal ini, “Anjing datang, pergi, dan kencing di masjid. Kendati begitu, para sahabat tidak membersihkannya.” (Diriwayatkan Al-Bukhari).

 

Ini tidak bisa diterapkan kecuali kepada pendapat yang menyatakan kesucian tanah dengan angin dan matahari.

 

Di antara hal lain yang diperbolehkan agama, bahwa Sunah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan atsar-atsar sahabat-sahabat menunjukkan, bahwa air itu tidak kotor (najis) kecuali dengan perubahan (warna dan bau), walau dengan sedikit perubahan.

 

Inilah pendapat orang-orang Madinah dan sebagian besar ulama. Itulah yang difatwakan Atha’ bin Abu Rabah, Sa’id bin Al-Musayyib, Jabir bin Zaid, Al-Auzai, Sufyan Ats-Tsauri, Malik bin Anas, dan Abdurrahman bin Mahdi. Ibnu Al-Mundzir juga memilih pendapat tersebut. Orang-orang ahlu dzahir (tekstual) juga berpendapat dengan pendapat di atas. Imam Ahmad berkata seperti itu dalam salah satu riwayat. Pendapat tersebut juga dipilih sekelompok dari sahabat-sahabat kami, di antaranya Ibnu Agil, Syaikh kami Abu Al-Abbas, dan Syaikhnya Ibnu Abu Umar.

 

Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

‘Air tidak kotor (najis) dengan apa pun.” (Diriwayatkan Ahmad).

 

Disebutkan dalam Al-Musnad dan Sunan-sunan hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu Anhu yang berkata,

 

“Ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, ‘Wahai Rasulullah, bolehkah kami berwudhu di sumur budha’ah yang menjadi tempat pembuangan darah haid, daging anjing, dan hal-hal busuk?’ Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

Air itu suci. la tidak kotor (najis) oleh sesuatu apa pun’.” (Diriwayatkan Ahmad, At-Tirmidzi, dan Abu Daud).

 

At-Tirmidzi berkata, “Hadits di atas hasan.” Imam Ahmad berkata, “Hadits tentang sumur budha’ah adalah shahih.”

 

Dalam redaksi Imam Ahmad,

 

“Sesungguhnya air ini diambil untukmu dari sumur budha’ah yaitu sumur tempat pembuangan darah haid para wanita, daging anjing, dan kotoran manusia?” Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya air itu bersih. la tidak kotor (naJis) oleh sesuatu apa pun.” (Diriwayatkan Ahmad).

 

Disebutkan dalam Sunan Ibnu Majah hadits dari Abu Umamah

 

Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah bersabda,

 

‘Air itu tidak kotor (najis) oleh sesuatu apa pun, kecuali jika telah berubah baunya, atau rasanya, atau warnanya.” (Diriwayatkan Ibnu Majah).

 

Disebutkan juga dalam Sunan lbnu Majah hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu Anhu,

 

“Bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ditanya tentang danau antara Mekkah dengan Madinah di mana danau tersebut dikunjungi binatang buas, anjing, dan keledai, dan tentang hukum bersuci di dalamnya? Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Hewan-hewan tersebut berhak atas yang ada di dalam danau tersebut, dan apa yang disisakan untuk kita adalah bersih.” (Diriwayatkan Ibnu Majah).

 

Kendati sanad kedua hadits di atas dipermasalahkan, kami mengetengahkannya untuk sebagai pembuktian dan bukannya berdalil dengannya.

 

Al-Bukhari berkata, bahwa Az-Zuhri berkata, “Tidak ada masalah penggunaan air selagi tidak berubah rasanya, baunya, dan warnanya.”

 

Az-Zuhri menambahkan, “Jika anjing menjilat tempat air seseorang dan ia tidak mempunyai air wudhu yang lain, ia dibenarkan berwudhu dengan air yang ada di tempat air tersebut kemudian ia bertayamum.”

 

Di antara hal lain yang diperbolehkan agama, bahwa Rasulullah shallallahu Alaihi wa Sallam memenuhi undangan siapa saja yang mengundangnya, dan beliau memakan makanan yang dihidangkan kepadanya. Beliau pernah disuguhi roti dari gandum, dan lemak yang sudah tengik oleh salah seorang Yahudi. Kaum Muslimin juga memakan makanan-makanan ahli Kitab.

 

Imam Ahmad berkata tentang tempat minyak yang telah dijilat anjing, “Minyak tersebut boleh dimakan.”

 

Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu memerintahkan kaum Muslimin menjamu siapa saja yang melewati mereka. Umar bin Khattab berkata, “Berilah mereka makan seperti yang kalian makan.” Hal tersebut dihalalkan Allah dalam Kitab-Nya.

 

Ketika Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu tiba di Syam, ia dibuatkan makanan oleh salah seorang ahli Kitab, dan mereka mengundangnya. Umar berkata, “Di mana dia (orang ahli Kitab)?” Orang-orang menjawab, “Di gereja.” Umar tidak mau memasuki gereja tersebut, kemudian berkata kepada Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu, “Pergilah dengan kaum Muslimin!” Ali bin Abu Thalib pun pergi dengan kaum Muslimin. Mereka masuk ke gereja dan memakan makanan yang dihidangkan kepada mereka. Ali bin Abu Thalib melihat-lihat gambar, kemudian berkata, “Tidak ada salahnya kalau Amirul Mukminin masuk dan memakan makanan yang ada di sini.”

 

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mencium kedua bibir salah satu cucunya, meminum dari tempat minum Aisyah, mengambil daging dari tulangnya dengan giginya, kemudian meletakkan bibirnya ke tempat minum Aisyah, padahal Aisyah sedang haid.

 

Abu Bakar Radhiyallahu Anhu menggendong Al-Hasan di pundaknya, sedang air ludah Al-Hasan mengalir padanya.

 

Seorang anak kecil didatangkan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, kemudian beliau memangkunya. Anak kecil tersebut kencing mengenai pakaian beliau, kemudian beliau meminta air lalu menyiramkannya ke pakaiannya yang terkena air kencing dan tidak mencucinya.

 

sering kali anak-anak didatangkan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kemudian beliau mendoakan mereka.

 

Apa yang telah kami sebutkan ini hanyalah sedikit dari apa yang ada dalam Sunah. Barang siapa mengkaji perilaku Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan perilaku sahabat-sahabatnya, hal ini bukan hal yang aneh baginya.

 

Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

 

‘Aku diutus dengan membawa agama yang lurus dan tolerans.” (Diriwayatkan Ahmad).

 

Pada hadits di atas, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjelaskan bahwa agama yang dibawanya adalah lurus dan tolerans. Maksudnya, lurus dalam tauhid, dan toleran dalam tindakan. Dan Kebalikan dari keduanya ialah syirik dan mengharamkan yang halal. Kedua itulah yang disebutkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam hadits yang beliau riwayatkan dari Tuhannya yang berfirman,

 

“Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan lurus. Sesungguhnya setan datang kepada mereka, kemudian ia mencabut mereka dari agamanya, mengharamkan kepada mereka apa yang Aku halalkan kepada mereka, dan memerintahkan mereka menyekutukan-Ku, padahal Aku tidak menurunkannya.” Jadi syirik dan mengharamkan hal yang halal adalah dua sahabat akrab. Syirik dan mengharamkan yang halal inilah yang dikecam Allah Ta’ala dalam Kitab-Nya dalam surat Al-An’aam, dan surat Al-Araaf. Sungguh, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengecam orang-orang yang berlebih-lebihan dalam agama, dan menjelaskan Kebinasaan mereka. Beliau bersabda,

 

“Ketahuilah, bahwa orang-orang yang berlebih-lebihan itu binasa. Ketahuilah, bahwa orang-orang yang berlebih-lebihan itu binasa. Ketahuilah, bahwa orang-orang yang berlebih-lebihan itu binasa.” (Diriwayatkan Muslim, Ahmad, dan Abu Daud). Ibnu Abu Syaibah berkata, bahwa berkata kepada kami Abu Usamah dari Mus’ir yang berkata, “Ma’an bin Abdurrahman menyodorkan sebuah buku kepadaku. la bersumpah dengan nama Allah, bahwa buku tersebut adalah tulisan ayahnya. Dikatakan dalam buku tersebut, bahwa Abdullah berkata; ‘Demi Allah yang tidak ada Tuhan melainkan Dia, aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih tegas sikapnya terhadap orang-orang yang berlebih-lebihan daripada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Sepeninggal beliau, aku tidak melihat seorang pun yang lebih mengkhawatirkan mereka daripada Abu Bakar. Dan aku kira Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu adalah orang yang paling mengkhawatirkan mereka’.”

 

Generasi sahabat adalah umat yang paling sedikit takallauf (menyusahkan diri), karena mereka meniru Nabi mereka Muhammad shallallahu Alaihi wa Sallam. Allah Ta’ala berfirman,

 

“Katakanlah (hai Muhammad), Aku tidak meminta upah sedikit pun kepada kalian atas dakwahku, dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang menyusahkan diri.” (Shaad: 86).

 

Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu berkata, “Barang siapa di antara kalian ingin meniru, hendaklah ia meniru orang yang sudah meninggal dunia, karena orang yang masih hidup itu tidak bisa dijamin lolos dari fitnah. Orang-orang yang pantas ditiru adalah sahabat-sahabat Muhammad. Mereka generasi terbaik dalam umat ini, paling bersih hatinya, paling mendalam ilmunya, dan paling sedikit takallauf ‘(menyusahkan diri). Allah Ta’ala memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya, dan menegakkan agama-Nya. Oleh karena itu, ketahuilah kelebihan mereka, dan ikutilah jejak dan jalan mereka, karena mereka berada di atas petunjuk yang lurus.”

 

Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu berkata, “Kami sedang berada di tempat Umar Radhiyallahu Anhu, kemudian aku dengar ia berkata, ‘Kita dilarang melakukan takallauf (menyusahkan diri)’.”

 

Malik berkata bahwa Umar bin Abdul Aziz berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para penguasa sesudahnya telah membuat ketentuan-ketentuan (Sunah-Sunah). Mengambil ketentuan-ketentuan (Sunah-Sunah) tersebut adalah bukti membenarkan Kitabullah, menyempurnakan ketaatan kepada Allah, dan kuat dalam agama Allah.

 

Siapa pun tidak diperkenankan mengganti ketentuan-ketentuan (Sunah-Sunah) tersebut, merubahnya, dan melihat kepada sesuatu yang bertentangan dengannya. Barang siapa mengambilnya, ia mendapatkan petunjuk. Barang siapa meminta pertolongan dengannya, ia diberi pertolongan. Barang siapa bertentangan dengannya, dan mengikuti selain jalan-jalan kaum Muslimin, maka Allah menguasakannya kepada pihak yang menguasainya, dan memasukkannya ke neraka Jahanam dan neraka Jahanam adalah tempat kembali yang paling tidak mengenakkan.”

 

Malik berkata, “Dikisahkan kepadaku bahwa Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu berkata, ‘Sunah telah dibuatkan untuk kalian, ibadah-ibadah fardhu telah diwajibkan kepada kalian, dan kalian ditinggalkan dalam keadaan terang benderang, kecuali kalau kalian condong ke kanan dan ke kiri kepada manusia’.”

 

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Ilmu ini dalam setiap generasi dihasung oleh orang-orang yang adil. Mereka membuang dari ilmu ini distori orang-orang yang radikal (berlebih-lebihan), plagiasi (jiplakan) para pendusta, dan takwil orang-orang bodoh.”

 

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjelaskan, bahwa orang-orang yang berlebih-lebihan itu merubah ajaran yang beliau bawa, dan para pendusta itu dengan kebatilannya merumuskan sesuatu yang tidak ada di dalam ajaran beliau. Sedang orang-orang bodoh, mereka menafsirkan ajaran beliau tidak dengan penafsiran yang semestinya. Ketiga jenis manusia itulah yang merusak Islam. Kalaulah sekiranya Allah Ta’ala tidak menyiapkan bagi agama-Nya orang-orang yang menghilangkan ulah mereka, pasti terjadilah pada agama ini apa yang dulu pernah terjadi pada agama-agama para Nabi disebabkan ulah Ketiga jenis manusia seperti itu.

 

Di antara bentuk was-was (ragu-ragu) yang lain ialah was-was (ragu-ragu) dalam makharijul huruf (keluarnya huruf) dan berlebih-lebihan terhadapnya.

 

Sekarang kami sebutkan apa yang pernah dikatakan para ulama dalam permasalahan ini.

 

Abu Al-Faraj bin Al-Jauzi berkata, “Sungguh iblis mengacaukan sebagian orang-orang yang shalat dalam makharijul huruf (tempat Keluarnya huruf). Anda lihat ia mengatakan, Al-Hamdu. Al-Hamdu.” la sibuk mengulang-ulang Kata hingga ia keluar dari etika shalat. Terkadang iblis mengacaukannya dalam mengucapkan huruf dzad pada firman Allah al-maghdzubi.”

 

Kata Abu Al-Faraj bin Al-Jauzi lagi, “Sungguh aku pernah melihat orang mengucapkan huruf dzad hingga ludahnya keluar. Iblis menjadikan orang tersebut sibuk dengan huruf-huruf daripada memahami bacaan. Ini semua adalah was-was (ragu-ragu) dari setan.”

 

Al-Khallal berkata dalam Al-Jami’ dari Abu Abdullah bahwa Abu Abdullah berkata, ‘Aku tidak suka dengan bacaan Si Fulan.” Maksudnya bacaan yang berlebih-lebihan. la amat membenci bacaan seperti itu dan amat heran dengannya. Ia berkata, “Aku amat heran dengan bacaan seperti itu. Jika orang tersebut datang kepadamu, maka laranglah!”

 

Al-Hasan bin Muhammad bin Al-Harits bertanya kepada Al-Fadhl bin Ziyad, ‘Apakah engkau tidak suka Kalau seseorang belajar bacaan seperti itu (bacaan yang berlebih-lebihan)?” Al-Fadhl bin Ziyad menjawab, “Aku sangat tidak menyukainya. Bacaan tersebut bacaan bid’ah. Tidak ada seorang pun yang membaca dengan bacaan seperti itu.”

 

Abdurrahman bin Mahdi berkata, “Seandainya saya shalat di belakang imam yang membaca Al-Qur’an dengan berlebih-lebihan, pasti saya mengulangi shalatku.”

 

Imam Ahmad berkata, bahwa seseorang harus mengulangi shalatnya, jika ia shalat di belakang imam yang membaca dengan berlebih-lebihan, dan tidak mengulanginya dalam riwayat yang lain.

 

Jadi semua imam membenci sikap berlebih-lebihan dalam mengucapkan huruf.

 

Barang siapa mengkaji petunjuk Rasulullah Shallallahu Alaihi wa sallam, dan persetujuan beliau kepada para gari’ sahabat, maka terlihat olehnya bahwa berlebih-lebihan dalam mengeluarkan huruf dan raguragu di dalamnya itu bukan petunjuk beliau.

 

Bantahan terhadap Hujah Muwaswis (Orang yang Serba Ragu)

 

Adapun dalih mereka, bahwa kami melakukan hal ini berangkat dari sikap Ihtiyath (hati-hati), dan bukan karena was-was (ragu-ragu).

 

Kami katakan, terserah kalian mau menamakan apa. Kami bertanya kepada kalian, apakah tindakan kalian ini sesuai dengan tindakan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, perintahnya, serta tindakan para sahabat, atau justru bertentangan?

 

Jika kalian mengatakan, tindakan kalian sesuai dengan tindakan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan sahabat-sahabatnya, ini adalah kebohongan nyata. Oleh karena itu, harus dinyatakan dengan tegas bahwa tindakan kalian tidak sesuai dengan tindakan beliau dan sahabat-sahabat beliau, dan bahwa tindakan kalian bertentangan dengan tindakan beliau dan tindakan sahabat-sahabatnya. Jadi tidak ada gunanya kalian menamakannya sikap ihdiyath (sikap hati-hati). Inisama halnya dengan orang yang menerjang larangan, dan menamakan larangan tersebut dengan nama yang lain, sebagaimana minuman keras dinamakan dengan nama yang lain yang bukan namanya, riba dinamakan muamalah, dan shalat dengan buru-buru yang pelakunya divonis belum shalat oleh Rasulullah Shallaliahu Alaihi wa Sallam dinamakan dengan takhfi (menyederhanakan) shalat. Begitu juga sikap berlebih-lebihan dalam agama dinamakan dengan ihtiyath (sikap hati-hati).

 

Harus diketahui bahwa sikap thitiyath (sikap hati-hati) yang bermanfaat bagi pelakunya dan pelakunya mendapatkan pahala ialah sikap thtiyahth (hati-hati) dengan arti menyesuaikan diri dengan Sunah dan tidak menentangnya. Itulah yang dinamakan sikap ihtiyath (hai-hati). Jadi tidak ada sikap ihtiyath (hati-hati) bagi orang yang keluar dari Sunah, dan justru dengan sikapnya meninggalkan Sunah, ia tidak bersikap ihtiyahth (hati-hati).

 

Begitu juga orang-orang yang gampang menjatuhkan talak (perceraian) pada masalah-masalah yang diperdebatkan para imam-imam Islam, seperti perceraian oleh orang yang diancam, perceraian oleh orang yang sedang teler, talak (perceraian) tiga sekaligus, perceraian dengan niat, perceraian yang dikaitkan dengan waktu tertentu, sumpah akan menceraikan istrinya, dan masalah-masalah lainnya yang masih menjadi bahan perdebatan para ulama.

 

Syaikh kami, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sikap ihtiyath (hati-hati) adalah baik, jika tidak membuat yang bersangkutan bertentangan dengan Sunah. Jika sikap ihtiyath (hati-hati) membuatnya bertentangan dengan Sunah, maka sikap ihtiyath (hati-hati) yang benar ialah dengan meninggalkan sikap ihtiyath (hati-hati) tersebut.”

 

Dengan demikian, tidak benar hujah mereka dengan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,

 

“Barang siapa meninggalkan syubhat, sungguh ia telah melindungi agamanya dan kehormatannya.”

 

Atau hujah mereka dengan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,

 

“Tinggalkan apa yang meragukanmu, dan ambillah apa yang tidak meragukanmu.”

 

Atau hujah mereka dengan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,

 

“Dosa ialah sesuatu yang mengganjal di dalam hati.”

 

Ini semua adalah dalil yang paling kuat yang menunjukkan tentang ketidakbenaran was-was (ragu-ragu).

 

Syubhat ialah sesuatu di mana di dalamnya kebenaran bercampur dengan kebatilan, dan halal bercampur dengan haram, serta di dalamnya tidak ada dalil yang menunjukkan dengan pasti salah satu dari keduanya, atau bukti-bukti keduanya saling berlawanan hingga ia tidak bisa memastikan salah satu dari keduanya. Ia tidak bisa melihat dengan jelas di antara keduanya. Dalam kondisi seperti itu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memberi solusi, yaitu hendaknya setiap orang meninggalkan sesuatu yang tidak jelas dan berpaling kepada sesuatu yang jelas.

 

Sebagaimana diketahui, bahwa tujuan was-was (ragu-ragu) ialah seseorang tidak mempunyai kejelasan tentang ketaatan dengan maksiat, dan ibadah dengan bid’ah? Inilah salah satu kondisi paling baik dari orang yang was-was. Sedang jalan yang terang benderang ialah mengikuti Sunah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan apa yang beliau Sunahkan untuk umat; ucapan atau perbuatan. Barang siapa ingin meninggalkan syubhat, hendaknya ia berpaling dari sesuatu yang tidak jelas kemudian menghadap kepada jalan yang jelas ini. Bagaimana tidak, karena -alhamdulillah- jalan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak mengandung syubhat? Sunah telah menegaskan, bahwa was-was (ragu-ragu) adalah sikap berlebih-lebihan, dan akibatnya ialah meninggalkan Sunah, mengamalkan bid’ah, meninggalkan hal-hal yang dicintai Allah Ta’ala dan diridhai-Nya, mengambil halfal yang dibenci dan dimurkai Allah. Orang tidak bisa mendekat kepada Allah dengan was-was (ragu-ragu), ia tidak bisa mendekat kepadaNya kecuali dengan apa yang telah Dia syariatkan, dan bukan dengan yang diinginkan orang dan berasal dari hawa nafsunya. Inilah yang mengganjal di dalam dada dan terjadi di dalam hati. Itulah tabiat hati.

 

Adapun kurma yang tidak dimakan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan beliau bersabda, “Saya khawatir kurma ini termasuk kurma sedekah (zakat).” Maka kekhawatiran beliau terjadi karena beliau ingin menjauhi syubhat dan meninggalkan sesuatu yang tidak jelas halalnya dan haramnya. Kurma tersebut beliau temukan di rumahnya. Di rumah beliau terdapat kurma sedekah (zakat) yang beliau bagi-bagikan Kepada orang yang berhak menerimanya dan Kurma untuk bahan makanan Keluarga beliau. Jadi di rumah beliau terdapat dua jenis kurma; Kurma sedekah (zakat), dan kurma untuk keluarga. Ketika beliau menemukan Kurma tersebut, beliau tidak tahu persis kurma berasal dari jenis kurma yang mana; kurma sedekah (zakat) atau kurma keluarga. Kemudian beliau memilih tidak memakan kurma tersebut. Jadi hadits di atas adalah landasan sikap wara’ (menjauhi syubhat), dan meninggalkan syubhat. Oleh Karena itu, apa hubungan hadits tersebut dengan was-was (ragu-ragu)?

 

Adapun ucapan Kalian, bahwa Imam Malik berfatwa terhadap orang yang menceraikan istrinya dan ia tidak mengetahui apakah perceraiannya tersebut perceraian satu atau tiga, kemudian Imam Malik memutuskan bahwa perceraian tersebut perceraian tiga sebagai sikap ihtiyath (hati-hati). Ya, betul, memang itu pendapat Imam Malik. Namun apa arti ini semua? Apakah itu berarti pendapat tersebut merupakan hujah untuk menentang Imam Syafi’i, Abu Hanifah, Imam Ahmad, dan semua orang yang tidak sependapat dengan Imam Malik dalam masalah ini? Hingga memaksa mereka harus meninggalkan pendapatnya masing-masing hanya karena pendapatnya Imam Malik seperti itu? Pendapat Imam Malik tersebut sedikit pun tidak masuk dalam bab was-was (ragu-ragu).

 

Penjelasan pendapat Imam Malik tersebut, bahwa perceraian itu membuat istri menjadi haram bagi suami, dan rujuk itu menghapus haram tersebut. Imam Malik berkata, “Orang tersebut telah meyakini penyebab haram istrinya yaitu perceraian, dan ragu-ragu tentang terhapusnya haram tersebut dengan rujuk. Sesungguhnya talak perceraian tersebut mengandung dua kemungkinan. Pertama, perceraian yang masih memungkinkan rujuk Kemudian rujuk tersebut menghapus perceraian. Kedua, perceraian tersebut ialah perceraian tiga dan rujuk tidak bisa menghapusnya. Jadi orang tersebut telah meyakini penyebab haram istrinya baginya dan ragu-ragu terhadap apa yang menghilangkan perceraiannya.

 

Mayoritas ulama berkata, bahwa pernikahan tetap sah, dan yang menghilangkannya (perceraian) diragukan. Ada dua kemungkinan dalam hal ini; Pertama, perceraian tersebut ialah perceraian raj’i yang masih memungkinkan suami kembali kepada istrinya, dan dengan demikian pernikahan tidak hilang. Kedua, pernikahan tersebut ialah pernikahan ba’in yang tidak memungkinkan suami untuk kembali kepada istrinya, dan dengan demikian perceraian seperti itu menghentikan pernikahan. Jadi kami meyakini keabsahan pernikahan, dan meragukan perceraian yang menghilangkan pernikahan tersebut. Pada prinsipnya, pernikahan tetap berlangsung hingga ada keyakinan yang menghentikannya.

 

Jika kalian berkata, bahwa orang tersebut telah meyakini keharaman istrinya baginya dan ragu-ragu terhadap kehalalan kembali istrinya. Kami katakan, bahwa perceraian raj’i yang memungkinkan suami kembali rujuk dengan istrinya adalah haram menurut kalian. Oleh karena itu, kalian memperbolehkan “menggauli” istri yang sedang menjalani perceraian raj’i, kemudian dengan begitu ia telah rujuk (kembali) kepadanya jika ia meniatkannya.

 

Jika kalian berkata, bahwa perceraian raj’i adalah haram, dan rujuk (kembali) kepada istri itu terjadi dengan niat ketika “menggaulinya”. Kami katakan, bahwa hal tersebut tidak bermanfaat bagi kalian, karena orang tersebut telah meyakini keharaman istrinya yang bisa dihilangkan dengan rujuk dan tidak meyakini keharaman istrinya yang tidak bisa dihilangkan dengan rujuk (kembali).

 

Adapun orang yang bersumpah, bahwa jika buah-buahan ini mempunyai dua biji, atau bersumpah dengan lainnya yang tidak ia ketahui dengan pasti, kemudian ternyata terbukti kebenaran sumpahnya.

 

Maka ia tidak berdosa menurut sebagian besar ulama. Begitu juga, jika sumpahnya meleset dan berapa biji buah-buahan tersebut tidak diketahui, maka pernikahan tetap sah dengan keyakinan dan tidak hilang dengan ragu-ragu.

 

Imam Malik mempunyai pendapat yang ditentang ulama yang lain, yaitu perceraian bisa dijatuhkan dengan ragu-ragu dalam bersumpah, perceraian bisa dijatuhkan dengan ragu-ragu tentang jumlahnya; talak satu atau talak tiga seperti telah disebutkan sebelumnya, dan bisa dijatuhkan dengan ragu-ragu terhadap istri mana yang dicerai, misalnya seseorang mencerai salah seorang dari istri-istrinya kemudian ia lupa istri yang mana yang telah ia cerai hingga masa ila’ (masa istri menunggu karena suaminya bersumpah tidak akan menggaulinya) menjadi tidak jelas, maka perceraian tersebut mencakup semua istri-istrinya.

 

Begitu juga, jika seorang suami bersumpah terhadap sesuatu bahwa ini adalah orang atau hewan, tanpa didasari keyakinan, dan ia ragu-ragu ketika bersumpah, kemudian ternyata sumpahnya benar, maka menurut Imam Malik orang tersebut berdosa, dan ia harus menalak istrinya.

 

Jika seseorang menceraikan salah seorang dari istrinya, kemudian jupa namanya, atau ia menceraikan salah satu istrinya yang tidak ia ketahui namanya, maka para fuqaha’ berbeda pendapat dalam masalah jni.

 

Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Ats-Tsauri, dan Hammad berpendapat, pahwa orang tersebut bebas memilih siapa saja di antara istrinya yang ja ceraikan. Ini pada kasus perceraian salah satu dari istri-istrinya yang tidak ia ketahui namanya.

 

Adapun pada kasus yang ia lupa nama istri yang telah ia ceraikan, maka ia menahan mereka dan tetap memberikan nafkah kepada mereka hingga persoalannya menjadi jelas. Jika orang tersebut meninggal dunia sebelum diadakan undian, Abu Hanifah berkata, harta orang terseput dibagikan kepada semua istrinya seperti halnya satu istri.

 

Sahabat-sahabat Malik berkata, “Jika seorang suami menceraikan salah seorang dari istri-istrinya yang tidak ia ketahui namanya, misalnya ia berkata, “Engkau aku cerai.” la tidak tahu siapa dia, maka ia menceraikan semua istrinya. Jika ia menceraikan salah seorang dari istrinya yang telah diketahui namanya, kemudian ia lupa namanya, maka ia menunda menceraikan mereka hingga ia ingat kembali nama istrinya tersebut. Jika untuk bisa ingat, ia membutuhkan waktu yang lama, maka masa muli (orang yang bersumpah tidak menggauli istrinya) diterapkan padanya. Jika pada rentang waktu tersebut, ia tetap tidak ingat juga, maka semua istrinya harus ia ceraikan. Jika ia berkata, “Salah seorang dari istri-istriku aku ceraikan.” Tanpa menguatkannya dengan niat, maka semua istrinya harus ia ceraikan.

 

Imam Ahmad berkata, “Diadakan undian terhadap mereka dalam kedua bentuk perceraian tersebut (tidak tahu nama istrinya dan lupa namanya).” Hal ini diriwayatkan beberapa orang dari sahabat-sahabatnya, dan ia meriwayatkannya dari Ali dan Ibnu Abbas.

 

Pendapat yang dipegang oleh sahabat-sahabat terkemuka Imam Ahmad, bahwa tidak ada bedanya antara istri yang akan dicerai tersebut tidak diketahui namanya atau mengetahuinya kemudian lupa.

 

Penulis buku Al-Mughni berkata, “Harus diterapkan undian terhadap istri yang tidak ia ketahui namanya. Adapun terhadap istri yang ia ketahui namanya kemudian ia lupa, maka semua istrinya menjadi haram baginya, hingga ia mengetahui dengan yakin siapa sesungguhnya istrinya yang telah ia ceraikan, namun ia tetap harus memberikan nafkah kepada mereka. Jika ia meninggal dunia, maka diadakan undian terhadap istri-istrinya untuk menentukan siapa yang berhak menerima warisannya. Ismail bin Sa’id meriwayatkan dari Ahmad yang menjelaskan bahwa undian tidak diterapkan pada wanita yang suaminya lupa namanya untuk mengetahui kehalalan istrinya dan hanya diterapkan pada istri yang ia tidak mengetahui namanya untuk mengetahui siapa yang berhak menerima warisannya. Ismail bin Abu Sa’id berkata, ‘Aku bertanya kepada Imam Ahmad bagaimana hukumnya suami yang menceraikan salah seorang dari istri-istrinya dan ia tidak mengetahui siapa sesungguhnya istrinya yang akan ia cerai? Imam Ahmad menjawab, Aku tidak suka mengatakan perceraian dengan undian.’ Aku berkata, ‘Bagaimana pendapatmu, jika orang tersebut meninggal dunia?’ Imam Ahmad menjawab, Aku berpendapat bahwa undian diterapkan dalam Kasus ini, karena undian bisa diterapkan terhadap harta’.” Ismail bin Abu Sa’id berkata, “Semua orang yang meriwayatkan dari Imam Ahmad tentang undian pada istri yang suaminya lupa namanya ialah untuk Keperluan pembagian warisan. Adapun tentang Kehalalan istrinya, undian tidak bisa diterapkan. Inilah pendapat sebagian besar ulama.”

 

Untuk membenarkan pendapatnya, penulis buku Al-Mughni berhujah, ini karena istrinya menjadi mirip dengan wanita gjnabiyah (wanita lain), jadi salah seorang dari istri-istrinya tidak menjadi halal baginya dengan undian. Ini sama seperti jika istrinya mirip dengan wanita ajnabiyah yang belum pernah ia nikahi. Selain itu, karena undian itu tidak menghilangkan status keharaman wanita yang dicerai, maka undian tersebut juga tidak bisa menghapus perceraian terhadap wanita yang telah dicerai. Juga ada sebab lain, yaitu adanya kemungkinan wanita yang telah dicerai itu bukan wanita yang Keluar namanya dalam undian. Oleh Karena itu, jika suaminya berkata, bahwa istri yang dicerainya itu bukan wanita yang namanya Keluar dalam undian tersebut, maka istrinya menjadi haram baginya.

 

Penulis buku Al-Mughni menambahkan, Al-Khiragi berpendapat tentang orang yang menceraikan istrinya kemudian ia tidak mengetahui; apakah perceraian yang telah ia jatuhkan tersebut perceraian satu atau tiga, dan orang yang bersumpah bahwa ia akan menceraikan istrinya jika ia tidak makan kurma, Kemudian ternyata ia makan kurma, maka istrinya menjadi haram baginya, hingga ia mengetahui dengan jelas bahwa istrinya tersebut bukan wanita yang ia maksud dalam sumpahnya. Ya, istrinya menjadi haram baginya, padahal pada prinsipnya pernitu tetap eksis dan tidak mendapatkan sesuatu yang mengharamkannya. Maka dalam Kasus ini hal tersebut lebih layak diterapkan.

 

Penulis Al-Mughni melanjutkan, hukum di atas bisa diterapkan terhadap semua orang yang menjatuhkan perceraian terhadap istrinya yang sudah jelas namanya, kemudian istrinya tersebut membaur dengan wanita-wanita lain. Misalnya ia melihat istrinya berada di dalam lubang salah satu tembok atau sedang lari, kemudian ia berkata, “Engkau aku cerai.” Tanpa mengetahui dengan jelas siapa nama istrinya tersebut. begitu juga, jika seorang suami menjatuhkan perceraian kepada salah seorang dari istri-istrinya dalam masalah burung, dan lain sebagainya, maka semua istrinya menjadi haram baginya hingga terbukti dengan jelas siapa sesungguhnya istri yang telah ia cerai. Namun ia tetap harus menanggung nafkah semua istrinya, karena mereka masih berada di dalam rumahnya. Jika diadakan undian terhadap mereka, undian sedikit pun tidak ada manfaatnya, dan istri yang namanya dalam undian tidak dibenarkan menikah dengan orang lain, Karena bisa jadi ia bukan wanita yang dicerai, dan selain wanita yang keluar namanya dalam undian juga menjadi haram bagi suaminya, Karena bisa jadi ia adalah wanita yang telah ia cerai.

 

Sahabat-sahabat kami berkata, “Jika diadakan undian terhadap semua istrinya, kemudian undian mengeluarkan salah seorang dari mereka, maka hukumnya bisa diterapkan terhadapnya, dan wanita terseput menjadi halal bagi suaminya jika masa iddah-nya telah berakhir, dan istri-istrinya yang lain tetap halal baginya. Permasalahan ini sama dengan perceraian terhadap salah seorang dari istrinya tanpa menyebut namanya.”

 

Syaikh kami berkata, “Pendapat yang benar ialah mengadakan undian dalam kedua model perceraian tersebut.”

 

Saya Katakan, bahwa pendapat tersebut dikatakan Imam Ahmad seperti yang diriwayatkan banyak orang dari padanya.

 

Adapun riwayat Asy-Syalanji, Imam Ahmad tidak berpendapat apa-apa (tawaqqu/), dan tidak suka berpendapat perceraian itu bisa diterapkan dengan undian. Ia tidak memdukung perceraian terhadap wanita mansiyah (suaminya lupa namanya) atau wanita mubhamah (wanita yang namanya tidak diketahui oleh suaminya). Semua perkataannya menyatakan bahwa undian bisa diterapkan terhadap kedua model perceraian tersebut.

 

Dalam riwayat Al-Maumuni, Imam Ahmad berkata terhadap orang yang mempunyai empat orang istri, kemudian ia mencerai salah seorang dari mereka dan ia tidak mengetahui siapa sesungguhnya istri yang dicerai tersebut. Menurut Imam Ahmad, harus diadakan undian terhadap mereka. Jika undian telah diadakan terhadap mereka, kemudian undian mengeluarkan salah seorang dari mereka, setelah itu suami tersebut ingat siapa nama istrinya yang telah ia ceraikan, maka istrinya yang namanya Keluar dalam undian Kembali kepadanya dan perceraian dijatuhkan kepada istrinya yang telah ia ingat namanya tadi. Jika istri yang namanya Keluar dalam undian telah menikah dengan orang lain, maka segalanya telah terjadi.

 

Abu Al-Harts juga meriwayatkan dari Imam Ahmad tentang orang yang mempunyai empat orang istri, kemudian ia menceraikan salah seorang dari mereka, dan ia tidak mempunyai niat menceraikan salah satu dari mereka tanpa menyebut namanya (misalnya si A), maka diadakan undian terhadap mereka, dan siapa pun yang namanya keluar dalam undian, ia diceraikan. Begitu juga, jika ia bermaksud menceraikan salah seorang dari mereka dengan menyebut namanya kemudian ia lupa namanya, Imam Ahmad menyatakan bahwa undian bisa diterapkan dalam Kedua model perceraian tersebut dan tidak membedakan antara keduanya.

 

Yang difatwakan Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu ialah terhadap istri mansiyah (suaminya lupa namanya). Imam Ahmad berhujah dengan pendapat Ali bin Abu Thalib tersebut.

 

Waki’ berkata, aku mendengar Abdullah berkata, ‘Aku pernah bertanya kepada Abu Ja’far tentang orang yang mempunyai empat istri Kemudian ia menceraikan salah satu dari mereka, dan ia tidak tahu siapa sesungguhnya istrinya yang telah ia ceraikan, Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu berkata, ‘Diadakan undian terhadap mereka semua’.”

 

Dalil-dalil yang menunjukkan tentang undian mencakup kedua model perceraian di atas, dan istri mansiyah (suaminya lupa namanya) menjadi wanita yang tidak dikenal secara syari’i, jadi tidak ada bedanya antara dia dengan istri yang mubhamah (istri yang namanya tidak diketahui oleh suaminya). Juga karena menahan istri-istrinya hingga ia ingat siapa yang telah ia cerai, pengharaman semua istrinya baginya, dan kewajiban pemberian nafkah Kepada mereka, semua itu menimbulkan banyak sekali Kerugian bagi suami. Selain itu, undian adalah salah satu alternatif yang paling dekat Kepada tujuan syariat, dan kepada Kemaslahatan bagi suami dan semua istri-istrinya daripada membiarkan wanita-wanita dalam posisi menggantung tanpa suami dan membiarkan suami dalam posisi menggantung tanpa istri dan membujang. Syariat tidak bermaksud berbuat seperti itu. Dalam masalah ini, hukum tidak boleh dihentikan, dan justru perselisihan harus diputuskan dengan alternatif (jalan) yang paling mungkin bisa dikerjakan. Jika semua jalan (alternatif) tertutup, dan alternatif yang ada hanyalah undian, maka undian menjadi alternatif (jalan) yang harus diterapkan, sebagaimana undian ini diterapkan oleh syariat dalam banyak Kasus, karena tidak ada alternatif lain selain undian, dan persoalan tidak dihentikan hingga zaman tertentu. Karena jika telah diketahui bahwa ia tidak mendapatkan jalan sampai waktu tertentu, maka menghentikan permasalahan ini sampai akhir hayat adalah kerusakan besar yang tidak dikehendaki syariat. kalau pun toh bisa dipastikan, undian itu merugikan wanita yang sesungguhnya tidak dicerai oleh suaminya dan undian tersebut salah dalam menentukan siapa sesungguhnya wanita yang dicerai, namun hal tersebut di sini tidak menjadi masalah, karena tidak adanya kejelasan siapa sesungguhnya wanita yang telah dicerai, maka status wanita terseput menjadi seperti tidak ada. Semua sisi negatif yang kemungkinan terjadi pada Kasus perceraian seperti itu juga bisa terjadi pada kasus kemerdekaan budak. Dan Sunah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah yang shahih dan tegas menunjukkan, bahwa budak yang dimerdekakan harus dipisahkan dari budak-budak yang lain dengan sistem undian. Imam Ahmad menyatakan, bahwa kemaluan wanita bisa menjadi halal dengan undian.

 

Imam Ahmad berkata menurut riwayat Ibnu Mansur dan Hanbal, “‘jika seorang wanita dinikahkan oleh dua orang wali, dan tidak diketahui mana di antara kedua wali tersebut yang lebih dahulu menikahkan wanita tersebut, maka diadakan undian terhadap Keduanya. Siapa pun yang namanya keluar dalam undian, maka ia diputuskan sebagai wali pertama yang menikahkan wanita tersebut.”

 

Ucapan Syaikh Abu Muhammad -Qaddasallahu Ruhahu-, “Ini Karena istrinya menjadi mirip dengan wanita ajnabiyah (wanita lain), jadi salah seorang dari tidak halal menjadi halal baginya dengan undian.”

 

Jawabnya, bahwa dengan melihat perbedaan antara kondisi dawam (kelangsungan sesuatu) dan Kondisi ibtida’ (permulaan sesuatu) seperti telah dijelaskan sebelumnya, maka di sini ada keragu-raguan tentang wanita ajnabiyah ini; apakah ia sudah dinikahinya atau belum? Jika ada kemiripan antara istrinya dengan wanita gjnabiyah, maka suami tersebut tidak dibenarkan menggauli salah seorang dari mereka. Dalam kasus ini kehalalan istrinya dan pernikahannya sah, namun kemudian ia ragu-ragu; apakah pernikahannya gagal diteruskan dengan istrinya yang ini atau istrinya yang lain. Dalam hal ini, ia dihadapkan Kepada beberapa pilihan; kedua istrinya menjadi haram baginya atau tetap halal baginya, atau dikatakan kepada suami tersebut, ‘Pilihlah istrimu yang sudah ditetapkan haram bagimu, atau masalah ini dihentikan sampai di Sini hingga selama-lamanya, atau metode undian diterapkan? Pilihan pertama adalah batil, Karena tidak mempunyai pijakan dalam Sunah, dan syariat tidak menjadikannya sebagai alternatif pilihan. Ini berbeda dengan undian.

 

Kesimpulannya, bahwa tidak dibenarkan menyamakan kedua model perceraian tersebut, sebab pada model perceraian pertama adalah haram, dan kami meragukan kehalalannya, dan pada model perceraian kedua adalah halal dan kami meragukan Keharamannya kepada semua istri.

 

Ucapan Syaikh Abu Muhammad, “Ini karena undian itu tidak bisa menghilangkan status keharaman istri yang telah dicerai dan tidak bisa menghilangkan perceraian dari istri yang telah dicerai.”

 

Jawabnya, jika istri yang telah dicerai tidak diketahui, dan tidak ada jalan untuk memastikannya, maka status undian adalah seperti saksi, dan apa yang dinyatakan oleh undian, bahwa istri itulah yang dicerai adakah karena darurat, Karena undian tersebut telah dijadikan sebagai satu-satunya jalan (alternatif). Jadi istri yang telah diceraikan, namun tidak diketahui istri yang mana, maka perceraian terhadapnya adalah seperti tidak ada, kendati ia adalah istri yang sesungguhnya telah diceraikan, karena Allah tidak membebani Kita terhadap sesuatu yang tidak bisa dilihat, dan Dia hanya membebani kita sesuatu yang terlihat dan tampak. Oleh Karena itu, jika seorang suami lupa Kalau dirinya telah menceraikan istrinya, kemudian ia menggaulinya hingga akhir hayatnya, maka hukumnya adalah seperti hukum pernikahan, anak-anaknya dinasabkan Kepadanya, dan harta warisnya dibagikan kepada istrinya, kendati pada hakikatnya istrinya tersebut telah ia ceraikan, namun ia bukan istri yang telah diceraikan dalam hukum Allah. Ini sama halnya jika seseorang benar-benar telah melihat bulan dan seorang pun tidak ada yang melihatnya, atau bulan tersebut tidak terlihat karena terhalang mendung, maka hal tersebut tidak bisa diterapkan untuk menentukan bulan tersebut dan tidak bulan tersebut diputuskan terlihat menurut hukum Allah Ta’ala, kendati sebenarnya bulan tersebut terlihat. Contoh-contoh lain dalam hal ini banyak sekali.

 

Kesimpulannya, bahwa jika seseorang sebenarnya telah dicerai, dan tidak ada jalan untuk membuktikan perceraiannya, ia diputuskan tidak diceraikan menurut hukum. Ini sama halnya kalau seorang suami lupa istri mana yang sesungguhnya telah ia cerai.

 

Perkataan Syaikh Abu Muhammad, “Oleh Karena itu, jika suami tersebut ingat bahwa bukan wanita ini yang telah ia cerai, maka wanita tersebut menjadi haram baginya.”

 

Jawabnya, sesungguhnya undian itu diterapkan jika suami tersebut terus-menerus lupa, dan jika ia tidak lupa lagi, maka undian tidak diterapkan. Sama halnya kalau orang yang bertayamum itu dipastikan bisa menggunakan air, maka tayamumnya batal, Karena tanah hanya boleh digunakan ketika ia tidak bisa menggunakan air dan jika ia mampu Kesimpulannya, bahwa tidak dibenarkan menyamakan kedua model perceraian tersebut, sebab pada model perceraian pertama adalah haram, dan kami meragukan kehalalannya, dan pada model perceraian kedua adalah halal dan kami meragukan keharamannya Kepada semua istri.

 

Ucapan Syaikh Abu Muhammad, “Ini karena undian itu tidak bisa menghilangkan status keharaman istri yang telah dicerai dan tidak bisa menghilangkan perceraian dari istri yang telah dicerai.”

 

Jawabnya, jika istri yang telah dicerai tidak diketahui, dan tidak ada jalan untuk memastikannya, maka status undian adalah seperti saksi, dan apa yang dinyatakan oleh undian, bahwa istri itulah yang dicerai adakah karena darurat, kKarena undian tersebut telah dijadikan sebagai satu-satunya jalan (alternatif). Jadi istri yang telah diceraikan, namun tidak diketahui istri yang mana, maka perceraian terhadapnya adalah seperti tidak ada, kendati ia adalah istri yang sesungguhnya telah diceraikan, karena Allah tidak membebani Kita terhadap sesuatu yang tidak bisa dilihat, dan Dia hanya membebani kita sesuatu yang terlihat dan tampak. Oleh Karena itu, jika seorang suami lupa Kalau dirinya telah menceraikan istrinya, Kemudian ia menggaulinya hingga akhir hayatnya, maka hukumnya adalah seperti hukum pernikahan, anak-anaknya dinasabkKan Kepadanya, dan harta warisnya dibagikan kepada istrinya, kendati pada hakikatnya istrinya tersebut telah ia ceraikan, namun ia bukan istri yang telah diceraikan dalam hukum Allah. Ini sama halnya jika seseorang benar-benar telah melihat bulan dan seorang pun tidak ada yang melihatnya, atau bulan tersebut tidak terlihat karena terhalang mendung, maka hal tersebut tidak bisa diterapkan untuk menentukan bulan tersebut dan tidak bulan tersebut diputuskan terlihat menurut hukum Allah Ta’ala, kendati sebenarnya bulan tersebut terlihat. Contoh-contoh lain dalam hal ini banyak sekali.

 

Kesimpulannya, bahwa jika seseorang sebenarnya telah dicerai, dan tidak ada jalan untuk membuktikan perceraiannya, ia diputuskan tidak diceraikan menurut hukum. Ini sama halnya kalau seorang suami lupa istri mana yang sesungguhnya telah ia cerai.

 

Perkataan Syaikh Abu Muhammad, “Oleh Karena itu, jika suami tersebut ingat bahwa bukan wanita ini yang telah ia cerai, maka wanita tersebut menjadi haram baginya.”

 

Jawabnya, sesungguhnya undian itu diterapkan jika suami tersebut terus-menerus lupa, dan jika ia tidak lupa lagi, maka undian tidak diterapkan. Sama halnya Kalau orang yang bertayamum itu dipastikan bisa menggunakan air, maka tayamumnya batal, Karena tanah hanya boleh digunakan ketika ia tidak bisa menggunakan air dan jika ia mampu kurma, maka Al-Khiragi berkata, sumpahnya tersebut membuatnya haram menggauli istrinya hingga ia yakin betul. Hukum haram yang ia maksudkan bisa berarti makruh atau memang betul-betul haram. Sedang menurut mazhab Syafi’i dan Abu Hanifah, suami tersebut tidak berdosa, dan ia tidak diharamkan menggauli istrinya. Itulah pendapat pilihan Abu Al-Khattab dan itulah pendapat yang benar. Jika ia yang dikehendaki Al-Khiragi adalah haram, itu mirip dengan apa yang dikatakan Imam Malik terhadap seorang suami yang menceraikan istrinya kemudian ragu-ragu; apakah ia menjatuhkan perceraian satu atau dua Kepadanya?

 

Adapun orang yang bersumpah, kemudian lupa sumpahnya, dan ucapan mereka, bahwa orang tersebut harus melaksanakan apa Saja yang ia sumpahkan adalah pendapat yang sangat rancu. Pendapat tersebut bukan berasal dari Imam Malik, namun berasal dari sahabat-sahabatnya. Semua ulama tidak sependapat dengan pendapat di atas. Orang tersebut tidak diminta sesuatu hingga ia meyakini sumpahnya, sebagaimana kalau ia ragu; apakah ia sudah bersumpah atau belum?

 

Jika ada yang berkata, “Ia harus membayar penebus sumpah, Karena penebus sumpah adalah sesuatu yang sangat minimal.”

 

Jawabnya, “Konsekuensi sumpah itu diperdebatkan para ulama. Tidak ada satu sumpah pun, melainkan ia diperdebatkan ulama; apakah ia boleh bersumpah dengan sumpah tersebut atau tidak boleh? Menurut pendapat Syaikh kami, orang tersebut cukup membayar penebus sumpah saja, karena menurutnya konsekuensi dari semua sumpah ialah membayar penebus.

 

Adapun orang yang bersumpah akan melakukan sesuatu tanpa menyebutkan waktunya. Menurut mayoritas ulama berpendapat, ia menunda pelaksanaannya hingga akhir hayatnya, kecuali jika menentukan waktu untuk niatnya tersebut Kemudian ia terikat dengan waktu tersebut. Jika ia bertekad meninggalkan secara total (tidak melaksanakan sumpahnya), ia berdosa ketika mempunyai semangat seperti itu. Ini dikatakan Imam Ahmad.

 

Imam Malik berkata, “Orang tersebut berdosa terus hingga ia melaksanakan sumpahnya, kemudian ia dipisahkan dari istrinya hingga ia melaksanakan sumpahnya.”

 

Ini benar untuk menutup terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, sebab jika pelaksanaan sumpahnya ditunda hingga akhir hayatnya, maka sumpahnya menjadi tidak ada artinya dan tidak ada bedanya ia bersumpah dengan tidak bersumpah.

 

Adapun mengkaitkan perceraian dengan waktu yang pasti datang, seperti awal bulan, atau awal tahun, atau petang hari, dan lain sebagainya, ada empat pendapat para ulama dalam masalah ini;

 

Pendapat pertama, istrinya tidak diceraikan pada saat itu juga (pada saat seorang suami mengatakan seperti itu). Inilah mazhab Ibnu Hazm, dan pilihan Abu Abdurrahman Asy-Syafi’i, salah seorang yang terkenal.

 

Hujah mereka adalah bahwa perceraian tersebut tidak bisa dikaitkan dengan syarat, sebagaimana syarat ini tidak bisa dikaitkan dalam pernikahan, jual beli, sewa menyewa, dan kebersihan wanita dari haid.

 

Mereka menambahkan, perceraian tidak terjadi pada saat itu juga, dan tidak pula terjadi pada saat yang dijanjikan. Perceraian tidak bisa diterapkan pada saat itu juga, karena perceraian tidak dijatuhkan. Perceraian tidak pula diterapkan pada syang dijanjikan telah datang, karena pada saat tersebut suaminya tidak menjatuhkan perceraian pada istrinya dan ia tidak memperbarui perceraiannya selain datangnya waktu terseput dan datangnya waktu itu bukan merupakan perceraian.

 

Pendapat kedua, perceraian berlaku pada saat itu juga. Ini mazhab Imam Malik, dan beberapa ulama dari kalangan tabi’in.

 

Hujah mereka, bahwa seandainya perceraian tidak diterapkan pada saat itu juga (saat seorang suami mengucapkan rencananya), pasti hubungan seks yang bersifat sementara (nikah untuk sementara waktu) menjadi halal, padahal itu tidak dibenarkan dalam syariat, karena pembolehan berhubungan seks di dalamnya itu selalu bersifat mutlak. Oleh karena itu, nikah muth’ah diharamkan, karena aspek waktu masuk ke dalamnya. Begitu juga menggauli budak wanita yang berada dalam proses pembebasan dengan membayar uang kepada tuannya. Tidakkah Anda lihat, seandainya seorang majikan berkata kepada budak wanitanya tanpa mengaitkan waktu, “Jika engkau mampu memberiku uang sebanyak seribu dirham, maka engkau menjadi merdeka.” Maka ucapannya tersebut tidak menghalanginya untuk berhubungan badan dengan budak wanita tersebut?

 

Mereka menambahkan, hukum dawam (kelangsungan sesuatu) tidak dibenarkan diambilkan dari hukum ibtida’ (permulaan), karena syariat membedakan di antara keduanya. Sesungguhnya akad nikah pada saat sedang ihram itu tidak benarkan, namun ihram tidak menghentikan kelangsungan pernikahan. Akad nikah dengan wanita yang sedang menjalani masa iddaah tidak dibenarkan, namun masa iddah tidak menghentikan kelangsungan pernikahan. Akad nikah dengan wanita penzina adalah batil menurut Imam Ahmad dan orang-orang yang Sependapat dengannya, namun itu tidak membatalkan kelangsungan pernikahan, dan contoh-contoh yang lain.

 

Pendapat ketiga, jika perceraian yang dikaitkan dengan datang waktu tertentu adalah perceraian tiga, maka perceraian terjadi saat itu juga. Jika perceraian tersebut adalah perceraian raj’i yang masih memungkinkan suami rujuk dengan istrinya, maka perceraian tidak terjadi sebelum datangnya waktu tersebut. Ini pendapat Imam Ahmad dalam salah satu dari dua riwayat darinya. Hal ini dikatakannya dalam riwayat Muhanna, “Jika seseorang berkata kepada istrinya, ‘Engkau aku cerai tiga sebulan sebelum Kematianku.’ Maka istrinya harus diceraikan pada Saat itu juga. Muhanna berkata, “Aku bertanya kepada Imam Ahmad, Apakah wanita yang diberi ucapan seperti itu boleh menikah dengan orang lain?’ Imam Ahmad menjawab, ‘Tidak, namun suaminya tidak boleh berhubungan badan dengannya selama-lamanya hingga ia mati’.”

 

Ada ketidakjelasan dalam perkataan di atas. Imam Ahmad mengatakan perceraian telah berlaku pada wanita tersebut, maka bagaimana ia melarang wanita tersebut menikah dengan orang lain? Ucapan Imam Ahmad, “Tidak, namun suaminya tidak boleh berhubungan badan dengannya selama-lamanya hingga ia mati.” Menunjukkan, bahwa wanita tersebut masih menjadi istrinya, namun ia tidak menggaulinya. Ini berarti perceraian tidak terjadi, karena jika perceraian terjadi, maka hilanglah semua hukum-hukum sekitar pernikahan.

 

Bisa jadi ada yang mengatakan, bahwa agar orang bersikap hati-hati, perceraian diterapkan Kepada istrinya Karena ucapannya tersebut, dan wanita tersebut dilarang menikah karena adanya perbedaan ulama di dalamnya. Jadi ia diharamkan menggauli istrinya, Karena itu adalah ekses dari perceraian, dan wanita tersebut dilarang menikah, Karena pernikahan tidak terputus menurut ijma’ ulama atau dalil.

 

Menurut pendapat ini, jika perceraian di sini adalah perceraian tiga, maka suami tidak halal menggauli istrinya setelah waktu yang tentukan dalam sumpahnya telah datang. Jadi hubungan seksual dengan istrinya halal untuk sementara hingga waktu yang telah ia tentukan dalam sumpahnya telah datang. Jika perceraian adalah perceraian raj’i, maka ia tetap halal menggauli istrinya kendati waktu yang telah ia tentukan dalam sumpahnya telah tiba. Jadi kehalalan hubungan seksual dengan istrinya tidak bersifat sementara. Pendapat ini lebih tepat daripada pendapat pertama.

 

Pendapat keempat, istrinya tidak diceraikan kecuali setelah tibanya waktu yang ia tentukan dalam sumpahnya. Ini pendapat sebagian besar ulama, namun mereka berbeda pendapat; apakah istrinya harus diceraikan saat itu juga, dan tibanya waktu yang ia tentukan dalam sumpahnya itu merupakan syarat keabsahan perceraian, sebagaimana jika ia menunjuk seseorang menjadi wakilnya pada saat sekarang dan ia berkata, “Engkau jangan bertindak sampai awal bulan.” Tibanya awal bulan adalah syarat keabsahan tindakannya, dan bukan untuk mendapatkan jabatan wakil tersebut. Ini berbeda Kalau ia berkata, “Jika telah tiba awal bulan, engkau aku angkat sebagai wakilku.” Oleh Karena itu, imam Syafi’i membedakan kedua perkataan di atas. la membenarkan perkataan pertama, dan menyalahkan perkataan Kedua.

 

Atau dikatakan, bahwa istri tidak diceraikan pada saat itu juga, namun setelah datangnya waktu yang ia tentukan dalam sumpahnya, maka ketika telah tiba waktunya, ia diasumsikan berkata, “Engkau aku ceraikan.” Jadi syarat telah terpenuhi, begitu juga asumsi ucapannya, “Engkau aku ceraikan.” Sepertinya orang tersebut berkata, “Jika awal pulan telah datang, maka ketika itu aku berkata kepadamu, ‘Engkau aku ceraikan’.” Jadi jika awal bulan telah datang, ia diasumsikan telah mengatakan perkataan yang telah diucapkannya.

 

Sahabat-sahabat Imam Syafi’i berkata, “Syarat itu berpengaruh dalam menunda hukum. Illat itu sudah ada, namun pengaruhnya ditunda hingga waktu datangnya syarat. Jadi sesuatu yang illat-nya sudah ada bisa jadi pengaruhnya ditunda hingga datangnya syarat.”

 

Adapun fatwa yang diberikan Al-Hasan, Ibrahim An-Nakh’i, dan Malik dalam salah satu riwayat, bahwa Barang siapa ragu-ragu; apakah wudhunya batal atau tidak, ia wajib wudhu sebagai thtivath (sikap hatihati) dan ia tidak masuk dalam shalat dengan Kesucian yang ia ragu-ragu di dalamnya.

 

Permasalahan ini termasuk yang masih diperdebatkan para ulama.

 

Mayoritas ulama termasuk di dalamnya Imam Syafi’i, Ahmad, Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya, serta Malik dalam salah satu riwayat berpendapat, bahwa ia tidak wajib wudhu lagi, dan ia dibenarkan shalat dengan wudhu yang telah ia yakini dan ia ragu-ragu pembatalannya.

 

Mereka berhujah dengan hadits yang diriwayatkan Muslim dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu yang berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa sallam bersabda,

 

‘Jika salah seorang dari kalian merasakan sesuatu di dalam perutnya, kermudian ia ragu, apakah telah keluar sesuatu dari perutnya atau tidak, ia jangan keluar dari masjid hingga ia mendengar suara (kentut), atau mencium baunya.” (Diriwayatkan Muslim).

 

Ketentuan ini umum mencakup orang yang shalat, dan orang-orang lain.

 

Para ulama yang berpendapat dengan pendapat pertama berkata, “Shalat itu tetap menjadi tanggungannya dengan Keyakinan dan sekarang ia ragu apakah ia sudah bebas dari tanggungan tersebut dengan wudhu seperti itu atau tidak. Maka jika diasumsikan ia masih mempunyai wudhu, maka shalatnya sah, dan jika diasumsikan wudhunya sudah batal, maka shalatnya tidak sah. Jadi ia tidak yakin sepenuhnya Sudah bebas dari tanggungannya dan ia meragukan syarat shalat; apakah syarat tersebut masih ada atau sudah hilang? Jadi ia tidak dibenarkan masuk dalam shalat dengan ragu-ragu.”

 

Pernyataan di atas dijawab oleh kelompok lain, shalat itu dibangun di atas Kesucian yang pasti. Jika seseorang ragu apakah wudhunya telah batal apa belum, maka ia tidak perlu menggubris keraguannya tersebut dan Keyakinan tidak hilang karena keraguan tersebut. Ini sama seperti seandainya ia ragu; apakah pakaiannya dan badannya terkena kotoran atau tidak? Dalam kondisi seperti itu, ia tidak wajib mencuci pakaiannya, kendati ia masuk dalam shalat dengan ragu-ragu.

 

Ulama lain berkata, “Asal muasal kotoran (hadats) telah hilang dengan keyakinan dirinya bersih, jadi keyakinan dirinya bersih menjadi prinsip dasar. Jika kita meragukan kotoran (hadats), kita kembalikan kepada prinsip dasarnya. Maka mana buktinya ini termasuk was-was (ragu-ragu) yang tercela menurut akal dan tradisi?”

 

Adapun ucapan kalian, bahwa jika seseorang tidak mengetahui letak Kotoran (najis) pada pakaiannya, ia harus mencuci semuanya, maka ini bukan termasuk was-was (ragu-ragu), dan ia masuk bab Kewajiban yang tidak bisa direalisir kecuali dengannya. Ila wajib mencuci bagian yang terkena kotoran namun ia tidak mengetahui letak kotoran tersebut, dan ia tidak mendapatkan jalan untuk melaksanakan Kewajiban tersebut kecuali dengan mencuci semua bajunya.

 

Adapun permasalahan baju bersih yang bercampur dengan kotoran (najis), maka masalah ini diperdebatkan para ulama.

 

Imam Malik dalam satu riwayat dan Imam Ahmad berkata, “Ia harus shalat dengan berganti-ganti pakaian, hingga ia yakin betul bahwa ia telah shalat dengan pakaian yang bersih.”

 

Mayoritas ulama di antaranya Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Malik dalam riwayat yang lain berpendapat, “Ia memilih salah satu pakaian kemudian mengerjakan satu shalat dengannya, sebagaimana ia memilih salah satu arah mata angin jika ia tidak mengetahui dengan pasti arah kiblat yang sebenarnya.”

 

Al-Muzani dan Abu Tsaur berkata, “Ia shalat dengan telanjang tanpa pakaian, Karena pakaian yang najis dalam syariat itu tidak ada artinya dan shalat dengannya adalah haram. Karena ia tidak mampu menutupi dirinya dengan pakaian yang bersih, menutupi dirinya menjadi gugur.

 

Ini pendapat yang paling lemah.

 

Pendapat yang mengatakan harus memilih salah satu pakaian adalah pendapat yang benar; baik jumlah pakaian yang bersih itu banyak atau lebih sedikit. Itulah pendapat pilihan Syaikh kami.

 

Ibnu Aqil merinci lebih detail. la berkata, “Jika jumlah pakaian banyak, ia memilih yang bersih untuk menghilangkan Kesulitan, dan jika sedikit, ia bertindak dengan yakin.”

 

Syaikh kami berkata, “Menjauhi hal-hal yang najis termasuk menjauhi hal-hal yang dilarang. Jika seseorang memastikan dan menduga kuat kebersihan pakaiannya, ia dibenarkan shalat dengan pakaian terseput. Shalatnya tidak batal dengan ragu-ragu, karena pada prinsipnya tidak ada kotoran pada pakaiannya. Ini sama dengan orang yang meminjam atau membeli pakaian dan ia tidak mengetahui keadaannya (bersih atau kotor).”

 

Pendapat Abu Tsaur sangat kacau, Karena jika ia yakin bahwa pakaiannya najis, pasti shalat dengan pakaian tersebut lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada shalat dengan telanjang dan auratnya dijihat orang banyak.

 

Yang jelas, hal ini tidak masuk dalam was-was (ragu-ragu) yang tercela.

 

Adapun masalah ketidakjelasan tempat air, ia juga bukan termasuk was-was (ragu-ragu).

 

Para fuqaha’ berbeda pendapat dalam masalah ini;

 

Ahmad berkata, “Ia bertayamum dan tidak menggunakan air di tempat tersebut.” Pada kesempatan lain, Imam Ahmad berkata, “Ia membuang air tersebut kemudian bertayamum, agar tidak adanya air bersih itu diketahui dengan penuh keyakinan.”

 

Abu Hanifah berkata, “Jika jumlah tempat air yang bersih itu lebih banyak, ia mencari tempat air yang bersih. Jika sama atau malah tempat yang najis lebih banyak, ia tidak mencari tempat air yang bersih. Ini pendapat pilihan Abu Bakr, Ibnu Syagilla, dan An-Najjad, salah seorang sahabat Ahmad.

 

Imam Syafi’i, dan salah seorang sahabat Imam Malik berkata, “Ia harus mencari tempat yang bersih dalam semua kondisi.”

 

Muhammad bin Maslamah, salah seorang sahabat Imam Malik berkata, “Ia berwudhu dari salah satu tempat tersebut kemudian shalat, kemudian ia mencuci bagian yang terkena air najis, kemudian berwudhu dari tempat yang lain, lalu shalat.”

 

Sekelompok ulama termasuk di dalamnya Syaikh kami berpendapat, ia wudhu dari tempat air mana pun, Karena air itu tidak najis kecuali jika terjadi perubahan padanya. ;

 

Inilah permasalahannya, namun di sini bukan tempatnya untuk menyebutkan dalil setiap pendapat dan men-tarjih-nya.

 

Adapun jika seseorang tidak mempunyai kejelasan tentang arah hiblat, para ulama berpendapat, ia berijtihad dan mengerjakan satu shalat Saja.

 

Tidak benar orang yang mengatakan, bahwa ia harus mengerjakan empat shalat ke empat arah mata angin. Ini pendapat sesat dan bertentangan dengan Sunah.

 

Adapun orang yang tidak shalat pada hari tertentu, dan ia tidak tahu hari apa ia tidak shalat tersebut, maka para ulama berbeda pendapat di dalamnya;

 

Pertama, ia harus shalat lima raka’at. Ini pendapat Imam Ahmad, Malik, Imam Syafi’i, Abu Hanifah, dan Ishaq, karena ia tidak mendapatkan jalan untuk mengetahui ia bisa bebas dari kewajiban shalat dengan yakin, kecuali dengan mengerjakannya lima raka’at.

 

Kedua, ia shalat empat raka’at dengan niat shalat yang tidak ia kerjakan, dan duduk setelah shalat kedua, ketiga, dan keempat. Ini pendapat Al-Auzai, Zufar bin Al-Hudzail, dan Muhammad bin Muqatil (salah seorang sahabat Abu Hanifah), berdasarkan asumsi bahwa ia keluar dari shalat tanpa mengucapkan shalawat kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan tanpa salam.

 

Ketiga, ia cukup mengerjakan shalat Subuh, dan shalat Maghrib, Dzuhur, Ashar, dan Isya’. Ini pendapat Sufyan Ats-Tsauri, dan Muhammad bin Al-Hasan. ;

 

Abdullah bin Ahmad berkata, “Aku mendengar ayahku ditanya, ‘Bagaimana pendapatmu tentang orang yang mengaku mempunyai hutang shalat tanpa menyebutkan shalat yang tidak ia kerjakan? Kemudian ia shalat dua rakaat, duduk, tasyahhud, ia meniatkannya shalat subuh tanpa salam. Kemudian ia shalat satu raka’at lagi dan duduk, kemudian ia tasyahhud dan meniatkannya shalat maghrib, ia berdiri lagi tanpa salam, kemudian ia melakukan raka’at keempat kemudian duduk, lalu bertasyahhud dan meniatkannya shalat dzuhur dan ashar atau isya’ kemudian salam?’ Ayahku menjawab, ‘Itu sudah cukup baginya dan ia sudah membayar hutangnya dengannya menurut mazhab orang-orang Irak, karena tentang tasyahhud, mereka berpegangan kepada hadits Ibnu Mas’ud, ‘Jika engkau telah mengatakan ini, maka shalatmu telah sempurna.’ Adapun menurut mazhab sahabat kami Abu Abdullah Imam Syafi’i dan mazhab kami sendiri, itu belum cukup baginya, karena kami berpegangan kepada sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, ‘Shalat itu diharamkan dengan takbir, dan dihalalkan dengan salam.’ Dan kami berpatokan kepada shalawat kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam di dalam shalat’.”

 

Adapun orang yang ragu-ragu dalam shalatnya, ia harus memastikannya dengan keyakinan, karena ia tidak bisa terbebas dari kewajiban shalat dengan ragu-ragu.

 

Adapun keharaman memakan hewan buruan, jika pemiliknya ragu-ragu; apakah hewan buruan tersebut mati karena terluka, atau tenggelam? Dan keharaman memakannya jika anjingnya menyatu dengan anjing-anjing lain, maka ragu-ragu seperti ini diperintahkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, karena ia ragu-ragu terhadap penyebab kehalalannya, di sisi lain pada prinsipnya binatang itu haram dimakan. Jadi hewan tersebut tidak menjadi halal dengan ragu-ragu terhadap penyebab kehalalannya. Ini berbeda dengan sesuatu yang pada prinsipnya adalah halal, maka sesuatu tersebut tidak diharamkan dengan ragu-ragu terhadap penyebab keharamannya. Seperti misalnya seseorang membeli air minum, atau makanan, atau pakaian yang tidak ia ketahuinya keadaannya, ia dibenarkan meminumnya, memakannya, dan mengenakannya, kendati ia ragu-ragu; apakah ia najis atau tidak? Karena syarat, jika ia susah diketahui atau prinsipnya tidak dilarang, maka syarat tersebut tidak perlu ditoleh.

 

Contoh pertama, jika seseorang diberi daging yang tidak ia ketahui keadaannya; apakah orang yang menyembelihnya membaca bismillah atau tidak? Apakah ia menyembelih lehernya dan memenuhi syarat-syarat penyembelihan atau tidak? Ia tidak diharamkan memakan daging tersebut, karena ia mengalami kesulitan untuk mengetahuinya, dan karena Aisyah Radhiyallahu Anha pernah berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya orang-orang dari Arab pedesaan memberi kami daging; kami tidak tahu apakah mereka menyebut Allah ketika menyembelihnya atau tidak?” Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Bacalah bismillah dan makanlah.” inilah, padahal beliau melarang memakan sesuatu yang nama Allah tidak disebut di dalamnya.

 

Contoh kedua, ialah membeli air minum, makanan, dan pakaian seperti telah saya sebutkan tadi, karena pada prinsipnya ia adalah suci. Jika ia ragu-ragu apakah ada kotoran di dalamnya atau tidak, maka keraguannya tidak perlu digubris.

 

Adapun apa yang kalian katakan dari Ibnu Umar, dan Abu Huraitah, maka itu hanya berasal dari keduanya, dan bukan dari semua sahabat. Tidak ada seorang dari generasi sahabat yang sependapat dengan Ibnu Umar. Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu berkata, “Sesungguhnya aku mempunyai was-was (ragu-ragu). Jadi jangan meniruku.”

 

Mazhab Syafi’i dan Ahmad mengatakan, membersihkan mata dalam wudhu tidak disunahkan, kendati tidak membahayakan, karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak melakukannya dan tidak pula memerintahkannya. Banyak sekali sahabat yang meriwayatkan wudhu beliau, di antaranya Utsman, Ali, Abdullah bin Zaid, ArRubay’i binti Muawwadz, dan lain sebagainya. Tidak seorang dari mereka yang mengatakan, bahwa beliau membersihkan matanya dalam berwudhu.

 

Tentang wajibnya membersihkan mata dalam mandi jinabat, ada dua riwayat dari Imam Ahmad. Yang paling benar ialah tidak wajib dan inilah pendapat seluruh ulama. Oleh karena itu, tidak wajib membersihkan mata dari kotoran, karena tidak efektif.

 

Sahabat-sahabat Imam Syafi’i dan sahabat-sahabat Abu Hanifah berkata, “Wajib hukumnya membersihkan mata, karena ia jarang terkena kotoran, jadi pembersihannya dari kotoran tidak sulit.”

 

Di antara sahabat-sahabat Imam Ahmad, ada yang berpendapat bahwa wajib membersihkan mata dalam wudhu. Pendapat ini tidak usah digubris. Pendapat yang benar ialah tidak wajib membersihkannya dalam wudhu, jinabat, dan dari kotoran.

 

Adapun tindakan Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, itu hanyalah penafsiran dia saja. Buktinya penafsirannya ditentang orang lain, dan para sahabat tidak sependapat dengannya. Permasalahan ini masuk dalam permasalahan memanjangkan ghurraa (sinar di organ tubuh karena air wudhu), kendati ghurrah itu lebih khusus di wajah.

 

Para fuqaha’ berbeda pendapat dalam permasalahan ghurrah ini. Ada dua riwayat dari Imam Ahmad.

 

Pertama, memanjangkan ghurrah adalah Sunah. Hal yang sama dikatakan Abu Hanifah dan Imam Syafi’i. Pendapat ini dipilih Abu AlBarakat Ibnu Taimiyah, dan lain sebagainya.

 

Kedua, memanjangkan ghurrah adalah tidak Sunah. Inilah mazhab Imam Malik dan menjadi pilihan Syaikh kami Abu Al-Abbas.

 

Orang-orang yang berpendapat bahwa memanjangkan ghurrah adalah Sunah berhujah dengan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Kalian adalah orang-orang yang bersinar dan orang-orang yang sinarnya memancar (di wajah, tangan, dan kaki) karena air wudhu pada hari kiamat. Barang siapa di antara kalian sanggup, hendaklah ia memanjangkan ghurrah (sinarnya) dan daya pancarnya.” (Muttafaq Alaihi).

 

Orang-orang yang berpendapat bahwa memanjangkan ghurrah tidak Sunah berhujah dengan hadits bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menentukan batasan-batasan, maka kalian jangan melewatinya (melanggarnya).” (Diriwayatkan Ahmad, dan Ad-Daruquthni). Jadi Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menentukan batasan sampai kedua siku dan kedua mata kaki. Oleh karena itu, tidak dibenarkan seseorang melebihi (melewati) batasan tersebut. Dalil lain ialah tidak ada satu pun perawi yang meriwayatkan dari Rasululah Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa beliau melebihi batasan wudhu di atas (dua siku, dan dua mata kaki). Selain itu, rena memanjangkan ghurrah adalah akar was-was (ragu-ragu), dan rena pelakunya melakukannya sebagai bentuk ibadah, padahal prinsip ibadah ialah ittiba’ dan karena hal tersebut membuka jalan untuk embersihkan paha, dan ketiak. Sebagaimana diketahui, Rasulullah hallallahu Alaihi wa Sallam, dan sahabat-sahabatnya tidak pernah sekali pun melakukannya, dan juga karena hal tersebut termasuk sikap berlebih-lebihan dalam agama, karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa sallam telah bersabda, “Ketahuilah oleh kalian sikap berlebih-lebihan dalam gama.” Terakhir, bahwa memanjangkan ghurrah termasuk sikap berlebih-lebihan yang dilarang.

 

Adapun ucapan kalian, bahwa was-was (ragu-ragu) itu lebih baik daripada apa yang dikerjakan orang-orang yang lalai, sembrono, dan seterusnya.

 

Demi Allah, ini model lain dari sikap berlebih-lebihan dan sembrono, menambah dan mengurangi, padahal kedua seperti itu telah dilarang Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam banyak ayat. Misalnya firman

 

Allah Ta’ala,

 

“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya.” (Al-Isra’: 29). Atau seperti firman-Nya,

 

“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan, dan

 

Janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.” (Al-Isra’: 26).

 

Atau seperti firman-Nya,

 

“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (al-Furqan: 67).

 

Atau seperti firman-Nya,

 

“Dan makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungeuhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Al-Araaf: 31).

 

Jadi agama Allah itu di antara dua penyikapan; berlebih-lebihan di dalamnya, atau lalai terhadapnya. Manusia terbaik ialah orang yang berada dalam kelompok pertengahan yang naik dari kelalaian orang-orang yang lalai dan tidak bergabung dengan berlebih-lebihannya orang-orang yang melewati batas. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan umat ini umat pertengahan, yaitu umat pilihan dan adil, karena mereka berada di pertengahan dari dua kelompok yang tercela. Adil ialah sikap pertengahan di antara kezaliman dan lalai. Kebanyakan bahaya itu datang dari pinggir dan yang di tengah itu dilindungi dengan yang ada di pinggir. Jadi sesuatu yang paling baik ialah sesuatu yang pertengahan.

 

Tadinya ia adalah pertengahan yang dilindungi,

Kemudian datanglah bencana yang menjadikannya sebagai pinggiran

 

Di antara tipu daya terbesar setan yang memperdaya banyak orang, dan tidak ada yang selamat dari padanya kecuali orang yang tidak dikehendaki Allah terkena fitnahnya ialah fitnah kuburan yang sejak dulu hingga sekarang ia bisikkan kepada “orang-orangnya”. Hingga akhirnya para mayat yang berada di kuburan tersebut disembah selain Allah, kubur-an-kuburan mereka disembah, kuburan-kuburan mereka dijadikan sebagai berhala-berhala, dibangun bangunan di atasnya, orang-orang yang meninggal di dalamnya dilukis dan lukisannya dipajang di dalamnya, kemudian lukisan tersebut diberi pisik yang diberi naungan, Kemudian dijadikan sebagai berhala, kemudian disembah bersama Allah Ta’ala.

 

Penyakit parah ini untuk pertama Kalinya terjadi pada umat Nabi Nuh Alaihis Salam, seperti dijelaskan Allah dalam Kitab-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

 

“Nuh berkata, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka telah mendurhakai, dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka. dan melakukan tipu-daya yang amat besar. Dan mereka berkata, Jangan sekali-kali kalian meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kalian dan jangan pula sekali-kali kalian meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula Suwa’a, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr.’ Dan sesudahnya mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia).” (Nuh: 21-24).

 

Ibnu Jarir berkata, “Informasi tentang mereka seperti yang sampai pada kami ialah apa yang dikatakan kepada kami oleh Ibnu Humaid yang berkata, bahwa berkata kepada Kami Mahran dari Sufyan dari Musa dari Muhammad bin Qais, bahwa Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr adalah orang-orang shalih. Mereka mempunyai pengikut-pengikut yang mencontoh mereka. Ketika mereka meninggal dunia, pengikut-pengikutnya berkata, ‘Jika kita mematungkan mereka, maka itu bisa membuat Kita bersemangat dalam ibadah.’ Mereka betul-betul srematungkan mereka. Ketika para pengikut-pengikut Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr telah meninggal dunia dan datang generasi berikutnya, setan menyusup kepada mereka dengan berkata, ‘Sesungguhnya generasi sebelum ini menyembah mereka. Dengan merekalah (Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr), generasi sebelum ini mendapatkan siraman hujan.’ Mereka termakan informasi setan, jalu menyembah Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr.”

 

Sufyan berkata dari ayahnya dari Ikrimah yang berkata, “Antara Nabi Adam dan Nabi Nuh terdapat dua puluh generasi dan kesemuanya masuk Islam.”

 

Sufyan berkata, bahwa berkata kepada kami Ibnu Abdul Ala yang perkata, bahwa berkata kami Abdurrazzaq dari Ma’mar dari Qatadah tentang ayat di atas, “Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr adalah berhala-berhala yang disembah kaum Nabi Nuh, kemudian sesudahnya disembah oleh orang-orang Arab. Berhala Wad ialah berhala Kalb di Daumatu Al-Jandal. Suwa’ adalah berhala Hudzail. Yaghuts adalah berhala Bani Ghuthaif dari Murad. Ya’uq adalah berhala Himdan. Dan Nasr adalah berhala Dzu Al-Kila’ dari Himyar.”

 

Al-Walibi berkata dari Ibnu Abbas, “Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr adajah berhala-berhala yang disembah pada zaman Nabi Nuh Alaihis Salam.”

 

Al-Bukhari berkata, bahwa berkata kepada kami Ibrahim bin Musa yang berkata, bahwa berkata kepada kami Hisyam dari Ibnu Juraij yang perkata, bahwa Atha’ berkata dari Ibnu Abbas, “Kemudian berhala-berhala kaum Nabi Nuh disembah orang-orang Arab. Wad adalah berhala Kalb di Daumatu Al-Jandal. Suwa’ adalah berhala Hudzail. Yaghuts adajah berhala Murad, kemudian menjadi berhala Bani Ghuthaif di Al-Jurf di Saba’. Ya’uq adalah berhala Himdan. Dan Nasr adalah berhala Himyar dari Bani Dzu Al-Kila’. Berhala-berhala tersebut adalah nama-nama orang-orang shalih dari kaum Nabi Nuh. Ketika mereka meninggal dunia, setan membisikkan kepada kaumnya, ‘Hendaklah kalian membangun berhala-berhala di tempat-tempat yang biasa diduduki orang-orang tersebut dan berilah nama berhala-berhala tersebut dengan nama-nama mereka.’ Mereka mengerjakan apa yang diperintahkan setan. Pada saat itu, berhala-berhala tersebut tidak disembah. Ketika mereka (pengikut Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr) telah meninggal dunia dan ilmu dilupakan, maka berhala-berhala tersebut kemudian disembah.”

 

Banyak dari kalangan generasi salaf berkata, “Yaghuts, Ya’ug, dan Nasr adalah orang-orang shalih pada kaum Nabi Nuh Alaihis Salam. Ketika mereka meninggal dunia, orang-orang berkumpul di kuburan-kuburan mereka, kemudian mematungkan mereka. Zaman terus berlalu, hingga kemudian mereka disembah.”

 

Orang-orang di atas melakukan dua fitnah; fitnah kuburan, dan fitnah patung. Kedua fitnah itulah yang diisyaratkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam hadits yang disepakati ke-shahih-annya dari Aisyah Radhiyallahu Anha yang berkata,

 

“Sesungguhnya Ummu Salamah Radhiyallahu Anha bercerita tentang gereja di daerah Habasyah kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Gereja tersebut bernama Mariyan. Ummu Salamah menceritakan apa saja yang ada di dalam gereja tersebut kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, kemudian beliau bersabda, ‘Mereka adalah kaum yang jika salah seorang hamba yang shalih atau laki-laki shalih meninggal dunia, mereka membangun masjid di atas kuburannya dan mematungkannya di kuburan tersebut. Mereka manusia yang paling buruk di sisi Allah Ta’ala.”

 

Dalam redaksi lain dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim,

 

“Sesungguhnya Ummu Habibah dan Urmmu Salamah menceritakan tentang gereja yang keduanya lihat.” (DiriwayatkKan AlBukhari, dan Muslim).

 

Ibnu Jarir dalam Musnad-nya meriwayatkan dari Sufyan dari Mansur dari Mujahid tentang firman Allah Ta’ala, “Tahukah kalian tentang Lata dan Uzza?” (An-Najm: 19). Lata bekerja membuat tepung untuk kaumnya. Ketika ia meninggal dunia, mereka berkumpul di atas kuburannya.

 

Abu Al-Jauza’ berkata dari ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma, “la (Lata) bekerja membuat tepung untuk para haji.”

 

Saya berpendapat, bahwa latar belakang disembahnya Wad, Yaghuts, Ya’uq, Nasr, dan Lata ialah karena pengagung-agungan terhadap Kuburan mereka kemudian mereka mematungkannya dan menyembahnya, seperti yang diisyaratkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

 

Syaikh kami Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Karena sebab itulah, Allah melarang membangun masjid di atas kuburan, Karena hal tersebut menjerumuskan manusia ke dalam syirik terbesar dan syirik terkecil. Manusia telah melakukan kesyirikan dengan patung-patung orang-orang shalih dan patung-patung yang mereka yakini bahwa patung-patung tersebut adalah mantera untuk bintang-bintang, dan lain sebagainya. Sesungguhnya syirik dengan kuburan orang yang diakui keshalihannya adalah lebih membekas di hati daripada syirik dengan Kayu atau batu. Oleh karena itu, kita lihat orang-orang musyrik merendahkan diri di kuburan, khusyu’, dan menyembah para mayat yang ada di dalam kuburan tersebut dengan model ibadah yang tidak mereka Kerjakan di rumah-rumah Allah (masjid), dan tidak pula pada waktu sahur. Ada di antara mereka yang sujud kepada kuburan. Kebanyakan dari mereka mengharapkan keberkahan shalat di kuburan tersebut dan berdoa di dalamnya. Ironisnya, hal yang sama tidak ia harapkan di masjid-masjid. Karena kerusakan inilah, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengikis semua penyebabnya, hingga beliau melarang shalat di kuburan secara mutlak, kendati orang yang melakukannya tidak mencari keberkahan tempat tersebut dengan shalatnya, sebagaimana ia mengparapkan keberkahan masjid dengan shalatnya. Beliau juga melarang shalat pada saat matahari terbit dan terbenam, karena orang-orang musyrik melakukan shalat pada waktu-waktu tersebut untuk matahari. Oleh karena itu, beliau melarang umatnya shalat pada waktu-waktu tersebut, kendati ia tidak bermaksud seperti maksud orang-orang musyrik, untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.”

 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menambahkan, “Jika seseorang shalat di kuburan dengan maksud mencari keberkahannya dengan shajatnya, ini adalah inti pendurhakaan kepada Allah dan Rasul-Nya, pertentangan dengan agama-Nya, dan membuat ajaran baru yang tidak diizinkan Allah Ta’ala. Kaum Muslimin telah sepakat berdasarkan agama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, bahwa shalat di kuburan adalah haram, dan bahwa beliau mengutuk orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid. Di antara bid’ah terbesar dan penyebab kesyirikan ialah shalat di kuburan, menjadikan kuburan sebagai masjid, dan membangun masjid di atas kuburan. Banyak sekali nash-nash dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam secara tegas melarang keras halhal tersebut. Semua kelompok juga secara tegas menyatakan keharaman membangun masjid di atas kuburan, karena kelompok-kelompok tersebut mengikuti Sunah yang shahih dan tegas. Sahabat-sahabat Imam Ahmad, sahabat-sahabat Malik, dan sahabat-sahabat Imam Syafi’i menyatakan keharaman pembangunan masjid di atas kuburan. Kelompok lain memandang makruh membangun masjid di atas kuburan. Hukum makruh yang mereka berikan dalam masalah ini harus dipahami sebagai haram sebagai bentuk berbaik sangka terhadap para ulama. Jangan ada yang berprasangka bahwa mereka membolehkan perbuatan yang pelakunya dikutuk Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam haditsnya yang shahih, dan beliau melarangnya.

 

Disebutkan dalam Shahih Muslim hadits dari Jundab bin Abdullah Al-Bajali Redhiyallahu Anhu yang berkata,

 

“Lima hari sebelum Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam wafat, aku dengar beliau bersabda, ‘Sesungguhnya aku berlepas tangan kepada Allah dari menjadikan kekasih dari kalian. Sesungguhnya Allah telah menjadikanku sebagai kekasih-Nya sebagaimana Dia menjadikan Ibrahim sebagai kekasih-Nya. Jika aku menjadikan kekasih dari umatku, pasti aku menjadikan Abu Bakar sebagai kekasihku. Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian menjadikan kuburan Nabi-nabinya sebagai masjid. Ketahuilah, Janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai masjid. Sesungguhnya aku melarang kalian dari hal tersebut.” (Diriwayatkan Muslim).

 

Disebutkan, bahwa Aisyah dan Ibnu Abbas berkata,

 

“Ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sakit, beliau menutupkan kain ke wajahnya. Jika beliau merasa sakitnya agak berat, beliau membuka kainnya, sambil bersabda, ‘Demikianlah, laknat Allah atas orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen. Mereka menjadikan kuburan Nabi-nabi mereka sebagai masjid. Mereka telah dilarang dari apa yang mereka kerjakan tersebut.” (Muttafag Alaihi).

 

Disebutkan juga dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu yang berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Semoga Allah mematikan orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen. Mereka menjadikan kuburan Nabi-nabi mereka sebagai masjid.” (Diriwayatkan Al-Bukhari, dan Muslim).

 

Disebutkan dalam Shahih Muslim,

 

‘Allah mengutuk orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen yang menjadikan kuburan Nabi-nabi mereka sebagai masjid.” (Diriwayatkan Muslim).

 

Pada akhir hayatnya, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang menjadikan kuburan sebagai masjid, kemudian menjelang wafatnya beliau mengutuk orang yang melakukannya yaitu orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen. Beliau melarang umatnya melakukan apa yang dilakukan orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen.

 

Aisyah Radhiyallahu Anha berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata ketika sakit yang membuatnya meninggal dunia,

 

“Semoga Allah mengutuk orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen yang menjadikan kuburan Nabi-nabinya sebagai masjid. Kalaulah tidak seperti itu, pasti aku menampakkan kuburannya, namun karena dikhawatirkan kuburan tersebut dijadikan sebagai kuburan (maka tidak aku lakukan).” (Muttafaq Alaihi).

 

Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya dengan sanad yang paik hadits dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Sesungguhnya manusia yang paling buruk ialah orang yang hidup ketika kiamat terjadi dan orang-orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid.” (Diriwayatkan Ahmad).

 

Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya hadits dari Zaid pin Tsabit RadhAnhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen yang menjadikan kuburan Nabi-nabinya sebagai masjid.” (Diriwayatkan Ahmad).

 

Disebutkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma yang berkata,

 

“Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengutuk wanita-wanita yang berziarah kubur, dan orang-orang yang membangun masjid, dan meletakkan lampu di atas kuburan.” (Diriwayatkan Ahmad, dan penulis semua Sunan).

 

Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari, bahwa Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu melihat Anas bin Malik shalat di kuburan, kemudian Umar berkata, “Ini kuburan. Ini kuburan.”

 

Ini menunjukkan, bahwa shalat di kuburan yang dilarang Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam juga terjadi pada generasi sahabat, namun tindakan Anas bin Malik sama sekali tidak menunjukkan bahwa ia membolehkan shalat di kuburan.

 

Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu Anhu berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Bumi semuanya adalah masjid, kecuali kuburan dan kamar mandi.” (Diriwayatkan Ahmad, empat penulis Sunan. Hadits tersebut di-shahih-kan Abu Hatim bin Hibban).

 

Lebih dari itu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang shalat menghadap kuburan. Jadi tidak boleh ada kuburan antara orang shalat dengan kiblat.

 

Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya hadits dari Abu Martsad Al-Ghanawi Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Janganlah kalian duduk di atas kuburan, dan janganlah shalat menghadap kepadanya.” (Diriwayatkan Muslim).

 

Hadits di atas membatalkan pendapat yang mengatakan, bahwa shalat di kuburan dilarang, karena kuburan itu kotor (najis). Pendapat seperti itu sangat jauh dari yang dimaksud Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Ya, pendapat tersebut batal dan tidak benar, karena beberapa alasan, di antaranya;

 

Pertama, semua hadits tidak membedakan antara kuburan yang baru dengan kuburan yang lama, seperti dikatakan orang-orang yang berpendapat bahwa shalat di kuburan dilarang, karena kuburan tersebut kotor (najis).

 

Kedua, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengutuk orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen, karena mereka menjadikan kuburan Nabi-nabinya sebagai masjid. Sebagaimana diketahui, larangan tersebut bukan karena kuburan itu kotor (najis). Alasan kuburan kotor (najis) tidak bisa diterapkan kepada kuburan para Nabi, karena kuburan para Nabi termasuk tempat yang paling suci dan kotoran (najis) tidak mendapatkan jalan kepadanya, karena Allah mengharamkan bumi (tanah) memakan tubuh mereka. Jadi mereka tetap bersih dan suci di dalam kuburannya.

 

Ketiga, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang shalat menghadap kuburan.

 

Keempat, sesungguhnya lokasi masjid Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah di bekas kuburan orang-orang musyrik. Beliau menggali kuburan mereka, meratakannya dengan tanah, kemudian menjadikannya sebagai masjid, tanpa memindahkan tanahnya. Beliau meratakan kuburan kemudian shalat di dalamnya, seperti disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu yang berkata,

 

“Ketika Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam tiba di Madinah, beliau berhenti di tempat yang paling tinggi di Madinah, tepatnya di kampung yang bernama Bani Amr bin Au . Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berada di sana selama empat belas malam, kemudian beliau memanggil tokoh-tokoh Bani An-Najjar yang kemudian datang dengan menghunus pedang. Sepertinya aku melihat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berada di atas hewan tunggangannya, Abu Bakar di belakangnya, dan tokoh-tokoh Bani An-Najjar di sekitarnya, hingga beliau tiba di halaman rumah Abu Ayyub. Beliau lebih suka shalat pada waktunya, dan shalat di kandang kambing. Beliau memerintahkan pembangunan masjid, lalu beliau memanggil tokoh-tokoh Bani An-Najjar. Beliau berkata kepada mereka, ‘Hai orang-orang Bani Najjar, beritahu aku tentang harga kebun kalian ini!’ Orang-orang Bani An-Najjar menjawab, ‘Demi Allah, kami tidak menginginkan harganya kecuali kepada Allah.’ Di kebun terdapat apa yang dikatakan kepada kalian yaitu kuburan orang-orang musyrik. Di dalamnya juga terdapat reruntuhan rumah, dan pohon kurma. Kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan penggalian mayat-mayat orang-orang musyrik, reruntuhan rumah diratakan dengan tanah, dan pohon kurma ditebang. Kemudian para sahabat menumpuk pohon kurma sebagai kiblat masjid, meletakkan batu di kedua sisi pintu masjid, dan memindahkan batu-batu, sambil mendendangkan syair.” (Diriwayatkan Al-Bukhari, dan Muslim).

 

Kelima, sesungguhnya fitnah syirik dengan shalat di kuburan dan menyerupai para penyembah berhala itu jauh lebih berbahaya dan merusak daripada shalat setelah shalat Ashar dan Subuh. Jika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang shalat setelah Ashar dan Subuh untuk menutup jalan menyerupai umat lain yang tidak terlintas dalam benak pelakunya, maka bagaimana jika jalan tersebut secara terus-menerus mengajak kepada kesyirikan, berdoa kepada orang-orang sudah meninggal, meminta pertolongan kepada mereka, meminta mereka memenuhi kebutuhannya, dan meyakini shalat di kuburan mereka lebih baik daripada shalat di masjid, dan lain sebagainya di antara hal-hal yang secara terang-terangan menantang Allah dan Rasul-Nya. Mana dalilnya yang menyatakan bahwa larangan shalat di kuburan adalah karena kuburan tersebut kotor (najis)? Di antara bukti lain bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang umatnya terkena fitnah kuburan sebagaimana fitnah tersebut menimpa kaum Nabi Nuh dan generasi sesudah mereka adalah seperti yang dijelaskan pada poin berikut;

 

Keenam, beliau mengutuk orang-orang yang membangun masjid di atas kuburan. Jika larangan pembangunan masjid di atas kuburan adalah karena alasan tanahnya kotor (najis), maka bisa saja masjid dibangun di atasnya dengan tanah yang bersih, kemudian kutukan tersebut tidak berlaku. Ini jelas pendapat yang batil.

 

Ketujuh, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menggabungkan kutukan untuk orang-orang yang membangun masjid di atas kuburan dan untuk orang yang menyalakan lampu di kuburan. Kedua orang tersebut sama-sama mendapatkan kutukan dan sama-sama mengerjakan dosa besar, karena apa saja yang dikutuk Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam maka ia termasuk dosa-dosa besar. Sebagaimana diketahui, orang menyalakan lampu di atas kuburan dikutuk Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, karena tindakannya tersebut mengarah kepada pengagungan kuburan dan menjadikannya sebagai berhala yang dikunjungi orang-orang musyrik, seperti yang terjadi di masyarakat. Maka membangun masjid di atas kuburan juga begitu. Jadi tidak heran, kalau keduanya disebut secara bersamaan, karena membangun masjid di atas kuburan juga mengandung makna pengagungan kuburan dan terfitnah dengannya. Oleh karena itu, Allah mengisahkan tentang orang-orang yang berlebih-lebihan dalam menyikapi ashabul kahfi. Mereka berkata,

 

“Sesungguhnya kami pasti mendirikan sebuah masjid di atasnya.” (Al-Kahfi: 21).

 

Kedelapan, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Ya Allah, jangan Engkau jadikan kuburanku sebagai berhala yang disembah. Kemurkaan Allah sangat keras terhadap orang-orang yang menjadikan kuburan Nabi-nabinya sebagai masjid.” Rasululah Shallallahu Alaihi wa Sallam menyebutkan kemurkaan Allah kepada orang-orang yang menjadikan kuburan Nabi-nabinya sebagai masjid setelah sebelumnya beliau berkata, “Ya Allah, jangan Engkau jadikan kuburanku sebagai berhala yang disembah.” Ini adalah penjelasan dari beliau tentang penyebab kutukan bagi mereka, dan bahwa menjadikan kuburan sebagai masjid adalah pengantar ke arah menjadikannya sebagai berhala yang disembah.

 

Kesimpulannya, Barang siapa mempunyai pengetahuan tentang syirik, sebab-sebabnya, dan jalan-jalan kepadanya, serta mempunyai pemahaman tentang maksud Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, ja meyakini dengan keyakinan yang tidak mengandung keragu-raguan, bahwa kutukan keras dan larangan dari beliau dengan dua gaya bahasa, “jangan kalian kerjakan.” Dan gaya bahasa, “Sesungguhnya aku melarang kalian.” Adalah bukan karena kuburan itu kotor (najis), namun karena kotornya (najisnya) syirik ada pada orang yang durhaka kepada beliau, mengerjakan apa yang beliau larang, mengikuti hawa nafsunya, tidak takut kepada Tuhannya, dan tidak merealisir syahadat laa ilaaha jllallahu. Apa yang dilakukan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ini adalah dalam rangka melindungi tauhid dari kemungkinan terkena syirik, dan memurnikan tauhid. Namun, orang-orang musyrik tetap durhaka kepada perintah beliau, dan mengerjakan larangan beliau. Mereka ditipu setan. Setan berkata, “Justru ini adalah pengagung-agungan kuburan orang-orang shalih. Jika kalian semakin mengagung-agungkannya, kalian menjadi dekat dengan mereka, dan menjadi jauh dari musuh-musuh mereka.”

 

Demi Allah, dari pintu inilah, setan masuk kepada para penyembah Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr. Dari pintu inilah, setan masuk kepada para penyembah berhala sejak dulu kala hingga kiamat kelak. Orang-orang musyrik melakukan dua kesalahan sekaligus, sikap berlebih-lebihan terhadap orang-orang shalih yang telah meninggal dunia, dan mencela jalan hidup mereka. Allah memberi petunjuk kepada orang-orang yang bertauhid untuk berjalan di atas jalan mereka dan menempatkan mereka ke tempatnya di mana Allah menempatkan mereka di dalamnya.

 

Adapun orang-orang musyrik, mereka durhaka kepada orang-orang shalih yang telah meninggal dunia dan menghina mereka dengan kedok mengagung-agungkan mereka.

 

Imam Syafi’i berkata, “Saya memandang makruh seseorang diagung-agungkan hingga kuburannya dijadikan sebagai masjid, karena khawatir hal tersebut menimbulkan fitnah bagi orang tersebut dan generasi sesudahnya.”

 

Di antara orang yang berpendapat bahwa larangan shalat di kuburan adalah karena syirik dan menyerupai orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen ialah Al-Atsram dalam buku Nasikhul Al-Haditsi wa Mansukhuhu. Setelah menyebutkan hadits Abu Sa’id, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Bumi (tanah) dijadikan masjid untukku, kecuali kuburan dan kamar mandi.” Dan hadits Zaid bin Jubair dari Daud bin Al-Hushain dari Nafi’ dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang shalat di tujuh tempat dan dj antara ketujuh tempat tersebut ialah kuburan, Al-Atsram berkata, “Shalat di kuburan dipandang makruh, karena ia menyerupai orang-orang Yahudi, dan orang-orang Kristen. Mereka menjadikan kuburan Nabinabinya sebagai masjid.

 

Di antara tipu muslihat setan, ialah menjadikan kuburan sebagai ‘Id (hari raya).

 

Hari raya ialah sesuatu yang biasa didatangi dan disenangi; baik tempat atau hari. Tentang hari raya hari, misalnya sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Hari Arafah, hari penyembelihan (hewan kurban), dan hari-hari Mina, adalah hari raya kita, orang-orang Islam.” (Diriwayatkan Abu Daud, dan lain-lain).

 

Tentang hari raya tempat, misalnya seperti yang disebutkan Abu Daud dalam Sunan-nya bahwa seseorang berkata,

 

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku bernadzar menyembelih satu unta di Buwanah.” Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Apakah di Buwanah tersebut terdapat salah satu berhala dari berhala-berhala orang-orang musyrik, atau hari raya di antara hari-hari raya mereka?” Orang tersebut menjawab, “Tidak.” Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Laksanakan nadzarmu.” (Diriwayatkan Abu Daud).

 

Atau seperti sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,

 

“Janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai hari raya.”

 

‘Id berasal dari kata Al-Mu’awadah dan Al-I’tiyad yang artinya rutin. Jika ia adalah kata benda yang menunjukkan tempat, ia adalah tempat yang dirancang untuk bertemu, beribadah, dan lain sebagainya, seperti Masjidil Haram, Mina, Muzdalifah, Arafah, Masya’ir. Allah menjadikan tempat-tempat tersebut sebagai ‘id (hari raya) bagi orang-orang yang lurus (bertauhid), sebagai tempat berkumpul, dan menjadikan hari-hari beribadah di dalamnya sebagai hari raya.

 

Orang-orang musyrik mempunyai hari raya hari dan tempat. Ketika Islam datang, Islam menghapusnya, kemudian menggantinya dengan hari raya Idul Fitri, idul Adha, hari raya Mina. Islam juga mengganti hari raya tempat dengan Ka’bah, Baitul Haram, Arafah, Mina, dan Masya’ir.

 

Jadi menjadikan kuburan sebagai hari raya adalah salah satu dari hari raya orang-orang musyrik sebelum Islam. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarangnya di kuburan paling mulia untuk mengingatkan kuburan lainnya.

 

Abu Daud berkata, bahwa berkata kepada kami Ahmad bin Shalih yang berkata, bahwa aku membaca pada Abdullah bin Nafi’ yang berkata bahwa berkata kepadaku Ibnu Abu Di’bu dari Sa’id Al-Maqburi dari Abu hurairah Radhiyallahu Anhu yang berkata, bahwa Rasulullah shel jallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan. Janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai hari raya. Bershalawatlah kepadaku, karena shalawat kalian sampai kepadaku di mana pun kalian berada.” (Diriwayatkan Abu Daud).

 

Sanad hadits di atas hasan dan semua perawinya orang-orang jujur dan terkenal.

 

Abu Ya’la Al-Maushuli berkata dalam Musnad-nya bahwa berkata kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah yang berkata, bahwa berkata kepada kami Zaid bin Al-Hubab yang berkata, bahwa berkata kepada kami Ja’far bin Ibrahim yang berkata, bahwa berkata kepada kami Ali bin Umar dari ayahnya dari Ali bin Al-Husain, “Bahwa ia melihat seseorang datang di tempat Kosong di samping kuburan Rasulullah Skallallahu Alaihi wa Sallam. la masuk Ke dalamnya dan berdoa. Ali bin Al-Husain melarangnya berdoa di dalamnya dengan berkata, ‘Maukah Kalian aku beri satu hadits yang aku dengar dari ayahku dari kakekku dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam? Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Jangan kalian menjadikan kuburanku sebagai hari raya, dan jangan menjadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan. Sesungguhnya salam kalian sampai kepadaku di mana pun Kalian berada’.” (Diriwayatkan Abu Abdullah bin Abdul Wahid Al-Maqdisi dalam Mukhtaraat-nya).

 

Sa’id bin Mansur berkata dalam Sunan-nya bahwa berkata kepada kami Hibban bin Ali yang berkata bahwa berkata kepadaku Muhammad bin Ajlan dari Abu Sa’id mantan budak Al-Muhri yang berkata, bahwa Rasulullah Shellallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

‘Janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai hari raya, dan Jangan menjadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan. Bershalawatlah kepadaku adi mana saja kalian berada, karena shalawat kalian tetap sampai kepadaku.”

 

Sa’id bin Mansur berkata, bahwa berkata Kepada kami Abdul Aziz bin Muhammad yang berkata, bahwa berkata kepadaku Suhail bin Abu Suhail yang berkata, ‘Aku dilihat oleh Al-Hasan bin Al-Hasan bin Ali bin Abu Thalib di kuburan. Ia memanggilku, ketika itu ia sedang makan malam di rumah Fathimah. la berkata, ‘Ayo makan malam!’ Aku berkata, Aku tidak punya selera untuk makan.’ Ia bertanya kepadaku, ‘Kenapa engkau berada di kuburan?’ Aku menjawab, ‘Untuk mengucapkan Salam kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.’ \a berkata, ‘Jika engkau masuk masjid, ucapkan salam.’ Setelah itu, ia berkata, ‘Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Janganlah kalian menjadikan rumahku sebagai hari raya, dan jangan kalian menjadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan. Allah mengutuk orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen yang menjadikan kuburan-kuburan Nabi-nabi mereka sebagai masjid-masjid. Bershalawatlah kepadaku, karena sesungguhnya shalawat kalian tetap sampai kepadaku di mana pun kalian berada. Tidak ada bedanya antara kalian di sini dengan orang yang berada di Andalus (shalawat tetap sampai kepada beliau)’.

 

Dua hadits mursal dari sumber yang berbeda di atas menunjukkan kebenaran hadits, apalagi orang yang me-mursa/-kannya berhujah dengannya. Oleh karena itu, ini menghendaki, bahwa hadits tersebut shahih baginya. Inilah, jika seandainya hadits di atas tidak diriwayatkan dari musnad selain kedua musnad tersebut, maka bagaimana ia diriwayatkan di musnad yang lain seperti telah saya sebutkan?

 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Qaddasallhu Ruhahu berkata, “Penjelasan hadits di atas, bahwa kuburan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah kuburan yang paling mulia sedunia, dan beliau melarangnya dijadikan sebagai hari raya. Maka tentunya kuburan lain yang nilainya di bawah kuburan beliau itu tepat untuk dilarang dijadikan sebagai hari raya, apa pun alasannya? Kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengaitkan hadits di atas dengan sabdanya, ‘Dan jangan kalian menjadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan.’ Maksudnya, jangan kosongkan rumah-rumah kalian dari shalat di dalamnya, berdoa, dan membaca Al-Qur’an, karena jika rumah kosong dari aktivitas-aktivitas tersebut, rumah-rumah tersebut menjadi seperti kuburan. Oleh karena itu, beliau memerintahkan pelaksanaan shalat-shalat Sunah di rumah, dan melarang ibadah di kuburan. Ini berbeda dengan apa yang terjadi pada orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen, serta orang-orang yang sejiwa dengan mereka. Beliau melanjutkan sabdanya dengan melarang kuburannya dijadikan sebagai hari raya, ‘Dan bershalawatlah kepadaku, karena shalawat kalian tetap sampai kepadaku di mana pun kalian berada.’ Beliau mengisyaratkan, bahwa shalawat dan salam yang aku terima dari kalian itu tidak terkait dengan dekat atau jauhnya kalian dari kuburanku. Jadi, tidak ada kepentingannya kalian menjadikan kuburanku sebagai hari raya.”

 

Hadits-hadits di atas dirubah oleh orang yang menyerupai orang-orang Kristen dalam syiriknya, dan menyerupai orang-orang Yahudi dalam perubahan firman Allah dan sabda Nabinya. Ja berkata, “Hadits ini perintah untuk mendatangi kuburan beliau, berkumpul di sekitarnya, dan rajin mengunjunginya. Selain itu, hadits tersebut ialah larangan menjadikan kuburannya sebagai hari raya sebanyak dua atau tiga kali dalam setahun. Sepertinya beliau bersabda, ‘Janganlah kalian menjadikan kuburanku seperti hari raya yang terjadi dari tahun ke tahun, namun kunjungilah ia dari waktu-waktu’.”

 

Ini jelas-jelas penentangan terhadap apa yang diinginkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, manipulasi data, dan menuduh Rasulullah shallallahu Alaihi wa Sallam melakukan penipuan, dan pemalsuan. Semoga Allah membunuh orang-orang yang batil. Kenapa mereka bisa rusak seperti itu?

 

Tidak disangsikan lagi, bahwa orang yang menyuruh orang lain membiasakan satu hal, dan selalu mengerjakannya dengan rutin dengan sabda beliau, Janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai hari raya.’ Maka ia lebih dekat kepada pemalsuan, dan daripada kepada penjelasan yang benar. Jikalau hal ini bukan merupakan penodaan, maka menurut kami penodaan itu tidak ada artinya, seperti halnya menuduh para pembela Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, golongannya.

 

Seandainya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menginginkan seperti yang dikatakan orang-orang sesat di atas, pasti beliau tidak melarang menjadikan kuburan para Nabi sebagai masjid dan tidak mengutuk pelakunya. Namun, jika beliau mengutuk orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid tempat menyembah Allah, maka bagaimana beliau memerintahkan umatnya selalu berada di tempat tersebut dan berkumpul di sekitarnya? Tempat tersebut selalu dikunjungi? Dan ia tidak dijadikan seperti hari raya pada umumnya yang terjadi dari tahun ke tahun? Kalau begitu, kenapa beliau meminta Tuhannya tidak menjadikan kuburannya sebagai berhala yang disembah selain Allah? Bagaimana beliau yang notabene manusia yang paling tahu tentang Allah mengatakan, “Seandainya tidak karena yang demikian, aku pasti menampakkan kuburannya, namun dikhawatirkan kuburan tersebut dijadikan sebagai masjid.” Bagaimana beliau bersabda, “Janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai hari raya, dan bershalawatlah kepadaku di mana pun kalian berada?” Bagaimana bisa para sahabatnya dan keluarganya tidak memahami seperti yang dipahami orang-orang sesat yang memadukan antara syirik dengan merubah agama?

 

Inilah orang terbaik dari generasi tabi’in yang tiada lain adalah keluarga Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang seseorang berdoa di kuburan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan berhujah kepada hadits di atas. Dialah yang meriwayatkan hadits tersebut dan mendengarnya dari ayahnya yaitu Al-Husain dari kakeknya, Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu. la lebih paham makna hadits tersebut daripada orang-orang sesat tersebut. Begitu juga keponakannya yaitu AlHasan bin Al-Hasan, guru ahlul bait, ia membenci seseorang pergi ke kuburan Nabi jika ia tidak melengkapinya dengan keinginan ke masjid nabawi. Bahkan, ia berpendapat, bahwa hal tersebut sudah termasuk menjadikan kuburan beliau sebagai hari raya.

 

Syaikh kami Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Lihatlah Sunah ini! Bagaimana pintu keluar Sunah tersebut ialah orang-orang Madinah dan ahlul bait-nya yang mempunyai kedekatan nasab dan tempat tinggal dengan beliau? Karena mereka lebih membutuhkan Sunah daripada orang-orang lain, maka mereka sangat menjaga Sunah tersebut.”

 

Kemudian dalam menjadikan kuburan sebagai tempat peringatan itu terdapat banyak sekali kerusakan yang tidak diketahui Kecuali oleh Allah. Kerusakan-Kerusakan tersebut membuat marah orang yang di dalam hatinya terdapat takut kepada Allah, ghirah kepada tauhid, dan benci syirik.

 

Sayangnya, melukai orang yang mati itu tidak membuatnya sakit

 

Di antara Kerusakan-kerusakan menjadikan kuburan sebagai peringatan hari raya ialah shalat di dalamnya, thawaf di sekitarnya, menciumnya, mengusapnya, menempelkan pipi di tanahnya, menyembah orang-orang yang ada di dalamnya, meminta pertolongan mereka, meminta perlindungan, rezeki; kesehatan, pemenuhan Kebutuhannya, menghilangkan bencana Kepada mereka, dan tuntutan-tuntutan lain yang biasa dimintakan para penyembah berhala kepada berhala-berhala mereka.

 

Jika Anda melihat orang-orang yang menjadikan kuburan sebagai peringatan hari raya, pasti mereka turun dari pelana unta dan hewan Kendaraannya jika mereka melihat kuburan dari kejauhan, Kemudian mereka menempelkan dahinya di tanah untuk kuburan tersebut, mencium tanah, membuka tutup kepalanya, mengeraskan suaranya, dan pura-pura menangis hingga Anda mendengar isak tangis mereka. Mereka berkeyakinan, bahwa mereka mendapatkan keuntungan yang lebih banyak daripada keuntungan yang didapatkan orang yang mengerjakan ibadah haji, kemudian mereka meminta pertolongan kepada orang yang tidak bisa menciptakan makhluk dan menghidupkannya kembali. Mereka berdoa, namun dari tempat yang jauh. Jika mereka telah mendekati kuburan tersebut, mereka segera shalat dua raka’at di samping Kuburan tersebut. Dengan melakukan shalat dua raka’at, mereka berkeyakinan bahwa mereka telah menggenggam pahala, dan tidak ada pahala bagi orang yang shalat menghadap kiblat. Anda lihat mereka ruku’, dan sujud di sekitar kuburan tersebut karena mengharapkan Karunia dan ridha dari mayat yang ada di dalamnya. Sungguh, mereka telah memenuhi telapak tangan mereka dengan Kerugian dan Kegagalan, Karena itu semua ia kerjakan bukan karena Allah, bahkan Karena setan, air mata dikucurkan di sana, suara ditinggikan, mayat diminta memenuhi kebutuhannya, mayat diminta menghilangkan deritanya, mengkayakan orang-orang miskin, dan menyembuhkan orang-orang yang sakit. Setelah itu, mereka thawaf mengitari kuburan tersebut dengan berkelompok layaknya thawaf di Baitullah yang dijadikan Allah sebagai tempat yang penuh perkah, dan petunjuk bagi alam semesta. Lalu mereka mencium kuburan tersebut, dan mengusapnya. Tidakkah Anda lihat Hajar Aswad, dan apa yang dikerjakan tamu-tamu Baitullah di mana mereka merapatkan dahi dan pipi kepadanya? Padahal Allah mengetahui bahwa dahi tersebut tidak pernah dirapatkan di depan-Nya, ketika ia sujud! Selanjutnya mereka menyempurnakan manasik haji di kuburan tersebut dengan memendekkan rambutnya, dan memotongnya. Mereka menikmati bagian mereka dari berhala tersebut, sebab mereka tidak mempunyai bagian di sisi Allah kelak. Mereka mendekatkan diri kepada berhala tersebut. Shalat mereka, ibadah mereka, dan hewan kurban mereka adalah untuk selain Allah Tuhan semesta alam. Jika Anda lihat mereka, Anda lihat sebagian dari mereka mengucapkan salam kepada sebagian yang lain dengan mengatakan, “Semoga Allah memberi pahala yang banyak kepada kita dan kepada kalian.” Jika mereka pulang ke tempat mereka masing-masing, kemudian orang-orang yang berhalangan menunaikan ibadah di kuburan tersebut meminta salah seorang dari mereka menjual pahala haji di kuburan tersebut dengan pahala orang yang berhalangan haji di Baitul Haram, ia b, “Tidak bisa, kendati dengan haji tiap tahun olehmu.”

 

Inilah, kita tidak melebihi apa yang dikisahkan tentang mereka, dan tidak menghitung semua bid’ah dan kesesatan mereka, karena bid’ah-bid’ah tersebut jauh di atas bayangan hati dan berputar di khayalan. Itulah akar penyembahan berhala pada umat Nabi Nuh seperti telah disebutkan sebelumnya. Semua orang yang mencium aroma terendah ilmu dan figh, pasti mengetahui bahwa di antara persoalan yang paling penting ialah menutup semua jalan yang mengantarkan kepada larangan tersebut. Pemilik Syariat ini Maha Mengetahui akibat dari apa yang Dia larang jika larangan tersebut diterjang, tepat dalam melarang dan mengancam. Sesungguhnya kebaikan dan petunjuk itu ada di dalam mengikuti Allah, dan taat kepada-Nya. Sebaliknya, keburukan dan kesesatan itu ada di dalam bermaksiat kepada-Nya dan menentang-Nya.

 

Saya lihat pembahasan indah dalam buku Abu Al-Fawa’ bin Aqil tentang masalah ini, dan sekarang saya nukil dengan utuh,

 

“Karena perintah-perintah agama ini terasa berat bagi orang-orang bodoh dan orang-orang yang pura-pura bodoh, maka mereka berpaling dari ajaran Syariat kepada mengagung-agungkan ajaran yang mereka ciptakan untuk diri mereka, kemudian mereka tidak mendapatkan kesulitan di dalamnya, sebab ajaran mereka itu tidak masuk di bawah perintah orang-orang selain mereka.”

 

Abu Al-Fawa’ bin Aqil menambahkan, “Menurutku, mereka menjadi kafir dengan ajaran-ajaran seperti mengagung-agungkan Kuburan dan melakukan hal-hal yang dilarang Syariat, seperti menyalakan lampu di kuburan, menciumnya, memberi wangi-wangian padanya, meminta mayat memenuhi kebutuhannya, memasang tulisan di dalamnya yang berbunyi, “Wahai pelindungku, perbuatlah terhadapku ini dan itu!” Ia mengambil tanah kuburan untuk mencari keberkahannya, menjelaskan kebaikan kuburan, menganjurkan bepergian kepadanya, dan menaruh kain penutup di atas pohon, Karena meniru orang yang menyembah Lata dan Uzza. Mereka meyakini bahwa kecelakaan akan mendera orang yang tidak menyentuh batu merah masjid Al-Malmusah pada hari Rabo, atau para pengangkut jenazah yang tidak mengatakan, “As-Shiddig Abu Bakar, atau Muhammad, atau Ali.” Atau orang yang tidak membangun rumah dengan batu bata di atas kuburan ayahnya, atau orang yang tidak merobek bajunya hingga ekor bajunya, atau orang yang tidak menyiramkan air kembang di atas kuburan.”

 

Barang siapa membandingkan Sunah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang Kuburan, apa yang beliau perintahkan, apa yang beliau larang, dan apa yang dilakukan para sahabat dengan apa yang dikerjakan kebanyakan manusia dewasa ini, pasti ia melihat salah satu dari keduanya bertentangan dengan yang lain dan Keduanya tidak bisa bertemu.

 

Misalnya, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang shalat di atas kuburan, anehnya mereka justru shalat di atasnya.

 

Rasulullah Skallallahu Alaihi wa Sallam melarang menjadikan kuburan sebagai masjid, namun mereka malah membangun masjid di atasnya, dan menamakannya Masyahid karena ingin menandingi Baitullah.

 

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang menyalakan lampu di atas Kuburan, namun mereka tidak henti-hentinya menyalakan lampu di atasnya.

 

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang kuburan dijadikan peringatan hari raya, namun mereka malah menjadikannya sebagai peringatan hari raya besar dan manasik. Mereka berkumpul di dalamnya sebagaimana mereka berkumpul pada hari raya atau malah pertemuan mereka di dalamnya jauh lebih meriah.

 

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan meratakan kuburan, seperti disebutkan Muslim dalam Shahih-nya dari Abu AlHayyaj Al-Asadi yang berkata, bahwa Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu berkata kepadanya, “Maukah engkau aku perintah seperti yang pernah diperintahkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kepadaku? Aku diperintahkan tidak meninggalkan patung kecuali menghancurkannya, dan kuburan yang agak tinggi dari permukaan tanah melainkan meratakannya dengan tanah.” (Diriwayatkan Muslim).

 

Muslim juga menyebutkan dalam Shahih-nya hadits dari Tumamah bin Syufay yang berkata,

 

“Kami pernah bersama-sama dengan Fadhalah bin Ubaid di wilayah Romawi, tepatnya di Rudis, kemudian salah seorang dari sahabat kami meninggal dunia. Fadhalah memerintahkan kuburannya diratakan dengan tanah, kemudian ia berkata, Aku mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan meratakan kuburan dengan tanah.” (Diriwayatkan Muslim).

 

Mereka sangat keterlaluan dalam menentang kedua hadits di atas. Mereka malah meninggikan kuburan di atas permukaan tanah, dan membangun kubah di atasnya.

 

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang mengecat kuburan dan bangunan di atasnya, seperti diriwayatkan Muslim dalam shahih-nya dari Jabir Radhiyallahu Anhu yang berkata,

 

“Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang mengecat kuburan, duduk di atasnya, dan dibangun bangunan di atasnya.” (Diriwayakan Muslim).

 

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang membuat tulisan di atas kuburan, seperti diriwayatkan Abu Daud dan At-Tirmidzi dalam Sunan keduanya dari Jabir Radhiyallahu Anhu yang berkata,

 

“Bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang kuburan dicat, dan ditulis di atasnya.” (Diriwayatkan Abu Daud, dan At-Tirmidzi. At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih).

 

Mereka malah membuat tulisan di atas kuburan, menulis AlQur’an di atasnya, dan lain sebagainya.

 

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang menambahkan ke atas kuburan melainkan tanah dari kuburan itu sendiri, seperti diriwayatkan Abu Daud dari Jabir Radhiyallahu Anhu yang berkata,

 

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang kuburan dicat, atau ditulis tulisan di atasnya, atau diberi tambahan yang lain.” (Diriwayatkan Abu Daud).

 

Mereka menambahkan batu bata dan bebatuan ke atas kuburan.

 

Umar bin Abdul Aziz melarang kuburan dibangun dengan batu bata, dan berwasiat agar hal tersebut tidak dilakukan terhadap kuburannya.

 

Al-Aswad bin Yazid berwasiat, “Jangan kalian letakkan batu bata di atas kuburanku.” .

Ibrahim An-Nakh’i berkata, “Para ulama memandang makruh peletakan batu bata di atas kuburan.”

 

Menjelang wafatnya, Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu berwasiat, “Kalian jangan meletakkan kain di atas kuburanku.”

 

Imam Ahmad memandang makruh pemasangan tenda di atas kuburan.

 

Maksud dari ini semua ialah menjelaskan, bahwa orang-orang yang mengagung-agungkan kuburan, menjadikannya sebagai hari raya, menyalakan lampu di atasnya, membangun masjid, dan kubah di atas. nya adalah bertentangan dengan ajaran Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Yang paling parah ialah menjadikan kuburan sebagai masjid, dan menyalakan lampu di atasnya. Keduanya termasuk dosa-dosa besar, dan para fuqaha’ dari sahabat-sahabat Imam Ahmad, dan lain sebagainya secara tegas mengharamkannya.

 

Abu Muhammad Al-Magqdisi berkata, “Seandainya menyalakan lampu di atas kuburan diperbolehkan, maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak mengutuk pelakunya, karena tindakan tersebut membuang-buang uang tanpa manfaat yang bisa diraih, merupakan tindakan berlebih-lebihan dalam mengagung-agungkan kuburan, dan sangat mirip dengan pengagung-agungan berhala.”

 

Kata Abu Muhammad Al-Maqdisi lebih lanjut “Tidak boleh membangun masjid di atas kuburan, berdasarkan hadits tadi, dan karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, Allah melaknat orang-orang Yahudi yang menjadikan kuburan Nabi-nabi mereka sebagai masjid, padahal mereka telah dilarang melakukannya.’ (Muttafaq Alaihi). Aisyah Radhiyallahu Anha berkata, ‘Sesungguhnya kuburan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak diperlihatkan secara umum, agar ia tidak dijadikan sebagai masjid.’ Juga karena menurut Aisyah, bahwa shalat di kuburan adalah mirip dengan mengagung-agungkan berhala dengan sujud kepadanya dan bertaqarrub kepadanya.”

 

Persoalan ini tidak berhenti di sini saja, kesesatan orang-orang musyrik meningkat hingga mereka mensyariatkan haji bagi kuburan, dan menyusun manasik untuknya, bahkan salah seorang fanatik dari mereka menulis buku dan memberinya judul Manasiku Hajji Al-MasyaAidi untuk menandingi Baitullah. Bukan rahasia umum, bahwa hal ini bertentangan dengan agama Islam, dan masuk ke dalam agama para penyembah berhala.

 

Lima belas, perbedaan mencolok antara apa yang disyariatkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan apa yang diinginkan seperti larangan membangun masjid di atas kuburan dan lain sebagainya yang telah disebutkan sebelumnya, dengan apa yang mereka syariatkan dan inginkan. Tidak disangsikan lagi, bahwa kerusakan-kerusakan yang ditimbulkannya sangat banyak hingga manusia tidak sanggup menghitungnya.

 

Di antara kerusakan-kerusakannya adalah sebagai berikut;

 

Pertama, pengagung-agungan kuburan seperti itu menimbulkan fitnah.

 

Kedua, menjadikannya sebagai hari raya.

 

Ketiga, bepergian kepadanya.

 

Keempat, mirip dengan penyembahan berhala-berhala, misalnya persemedi di dalamnya, berdekatan dengannya, menggantungkan kain penutup di atasnya dan kepada para penjaganya. Para penyembah kuburan merasa lebih sreg berdekatan dengan kuburan daripada berdekatan dengan Masjidil Haram, dan berpendapat bahwa penjaga kuburan itu lebih mulia daripada penjaga masjid. Mereka meyakini, adalah kecelakaan besar bagi penjaganya yang mematikan lampu yang digantung di atasnya pada malam hari.

 

Kelima, nadzar untuk kuburan dan untuk para penjaganya.

 

Keenam, keyakinan orang-orang musyrik bahwa kuburan mampu menghilangkan derita, menolong mereka menghadapi musuh, menurunkan air hujan, melepaskan musibah, memenuhi kebutuhan, menolong orang teraniaya, melindungi orang yang takut, dan lain sebagainya.

 

Ketujuh, syirik terbesar yang dikerjakan di kuburan.

 

Kedelapan, menyakiti para mayat yang ada di dalam kuburan karena tindakan orang-orang musyrik kuburan mereka. Sesungguhnya orang-orang musyrik menyakiti para mayat dengan tindakan-tindakan mereka di kuburan, dan mereka (para mayat) sangat membencinya, sebagaimana Isa Al-Masih Alaihis Salam membenci apa yang diperbuat orang-orang Kristen terhadap kuburannya. Begitu juga para Nabi, para wali Allah, dan para ulama. Mereka semua merasa tersiksa dengan apa yang dikerjakan seperti orang-orang Kristen terhadap kuburan mereka, dan pada hari kiamat, mereka lepas tangan dari mereka, seperti difirmankan Allah Ta’ala,

 

“Dan (ingatlah) suatu hari (ketika) Allah menghimpunkan mereka beserta apa yang mereka sembah selain Allah, lalu Allah berkata (kepada yang disembah), Apakah kalian yang menyesatkan hamba-hamba-Ku itu, atau mereka sendirikah yang sesat dari jalan (yang benar)?’ Mereka (yang disembah itu) menjawab, ‘Mahasuci Engkau, tidaklah patut bagi kami mengambil selain Engkau (untuk jadi) pelindung, akan tetapi Engkau telah memberi mereka dan bapak-bapak mereka kenikmatan hidup, sampai mereka lupa mengingati (Engkau), dan mereka adalah kaum yang binasa’.” (Al-Furgqan: 17-18).

 

Allah Ta’ala berfirman kepada orang-orang musyrik,

 

“Maka sesungguhnya mereka yang disembah itu) telah mendustakan kalian tentang apa yang kalian katakan maka kalian tidak akan dapat menolak (adzab) dan tidak (pula) menolong (dari kalian).” (Al-Furqan: 19).

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, ‘Hai Isa putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia, Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah?’ Isa menjawab, ‘Mahasuci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya)’.” (Al-Maidah: 116).

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan (ingatlah) hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka semuanya kemudian Allah berfirman kepada Malaikat, Apakah mereka ini dahulu menyembah kalian?’ Malaikat-malaikat itu menjawab, ‘Mahasuci Engkau. Engkaulah pelindung kami, bukan mereka, bahkan mereka telah menyembah jin, kebanyakan mereka beriman kepada jin itu’.” (Saba’: 40-41).

 

Kesembilan, menyerupai orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen dalam membangun masjid di atas kuburan, dan menyalakan lampu di atasnya.

 

Kesepuluh, menantang Allah dan Rasul-Nya, serta bertentangan dengan apa yang Allah syariatkan di dalam agama-Nya.

 

Kesebelas, kelelahan yang luar biasa dan dosa yang banyak.

 

Kedua belas, mematikan Sunah, dan menghidupkan bid’ah-bid’ah.

 

Ketiga belas, lebih mengutamakan kuburan daripada tempat-tempat yang lebih baik dan lebih dicintai Allah. Sesungguhnya para penyembah mempersembahkan pengagungan, penghormatan, kekhusyukan, hati yang sensitif, dan berkerumun dengan semangat tinggi di sekitar kuburan. Itu semua tidak mereka persembahkan Kepada masjid.

 

Keempat belas, penyembahan kuburan seperti itu berarti memakmurkannya dan meruntuhkan masjid-masjid. Agama Allah yang dibawa Rasul-Nya menentangnya. Oleh Karena itu, orang-orang Syi’ah Ar-Rafidhah adalah manusia yang paling jauh dari ilmu dan agama, karena mereka memakmurkan kuburan, dan meruntuhkan masjid-masjid.

 

Kelima belas, sesungguhnya yang disyariatkan Rasulullah Shellallahu Alaihi wa Sallam dalam ziarah kubur ialah dalam rangka ingat kepada akhirat, berbuat baik kepada pihak yang diziarahi (mayat) dengan mendoakannya, memintakan rahmat untuknya, memintakan ampunan untuknya, dan memintakan maaf untuknya. Jadi peziarah kubur perbuat baik kepada dirinya sendiri dan juga kepada mayat. Orang-orang musyrik menjungkirbalikkan hal ini, merubah agama, dan menjadikan qujuan Ziarah kubur ialah syirik kepada mayat, berdoa kepadanya, berdoa dengannya, memintanya memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka, keperkahan turun dari padanya, menolongnya dalam menghadapi musuh-musuhnya, dan lain sebagainya. Jadinya, mereka berbuat yang tidak etis terhadap diri mereka dan terhadap mayat. Seandainya tidak ada kekhawatiran mayat tidak mendapatkan keberkahan, maka Allah Ta’a/la tidak akan mensyariatkan berdoa untuknya, memintakan rahmat untuknya, dan memintakan ampunan untuknya.

 

Sekarang, dengarlah ziarah kubur versi orang-orang beriman seperti yang disyariatkan Allah melalui Rasul-Nya Shallalahu Alaihi wa sallam, kemudian bandingkan dengan ziarah kubur versi orang-orang musyrik yang disyariatkan setan untuk mereka, kemudian silahkan pilih ziarah versi mana yang Anda kehendaki!

 

Aisyah Radhiyallahu Anha berkata, “Pada setiap malam Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam keluar dari rumah pada akhirmalam menuju kuburan Al-Baqi’, kermudian beliau berkata, ‘Kesejahteraan atas kalian wahai ternpat orang-orang beriman. Telah datang kepada kalian apa yang aijanjikan kepada kalian kelak. Sesungguhnya Insya Allah kami akan menyusul kalian. Ya Allah, ampunilah penghuni Baqi Al-Gharqad ini’.” (Diriwayatkan Muslim).

 

Muslim juga menyebutkan dalam Shahih-nya hadits dari Aisyah Radhiyallahu Anha yang berkata,

 

“Malaikat Jibril mengunjungi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, lalu berkata, ‘Sesungguhnya Tuhanmu menyuruhmu mengunjungi penghuni kuburan Al-Baqi’ kemudian engkau memintakan ampunan untuk mereka’.” Aisyah berkata, “Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, apa yang aku bacakan untuk mereka?’ Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Ucapkanlah, ‘Kesejahteraan atas kalian wahat penghuni tempat ini yaitu orang-orang Mukmin dan orang-orang Muslim. Semoga Allah merahmati orang-orang aulu dan orang-orang belakangan. Sesungguhnya Insya Allah kami menyusul kalian’.” (Diriwayatkan Muslim).

 

Muslim juga menyebutkan dalam ShahiA-nya hadits dari Sulaiman bin Buraidah dari ayahnya yang berkata,

 

“Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengajari para sahabat, bahwa jika mereka pergi ke kuburan, hendaknya mereka berkata, ‘Kesejahteraan atas kalian wahai penghuni tempat ini.’” Dalam riwayat lain, “Kesejahteraan atas kalian wahai penghuni tempat ini; orang-orang Mukmin dan orang-orang Muslim. Sesungguhnya Insya Allah kami akan menyusul kalian. Kami memintakan maaf untuk kami dan kalian.”

 

Buraidah berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Dulu aku melarang kalian berziarah kubur. Maka Barang siapa ingin berziarah kubur, berziarahlah! Dan jangan kalian mengatakan kata-kata yang batil.” (Diriwayatkan Ahmad, dan An-Nasai).

 

Tadinya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang orang laki-laki berziarah kubur untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Ketika tauhid telah mantap di dalam hati mereka, beliau mengizinkan mereka berziarah kubur sesuai dengan cara yang beliau syariatkan dan melarang mereka mengatakan Kata-kata yang batil. Jadi, Barang siapa berziarah kubur tidak dengan cara yang disyariatkan, dicintai Allah dan Rasul-Nya, maka ziarahnya tidak diizinkan. Di antara kata-kata yang batil ialah syirik dengan perkataan dan perbuatan di kuburan.

 

Disebutkan dalam Shahih Muslim hadits dari Abu Hurairah RaaAhiyallahu Anhu yang berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Hendaklah kalian berziarah kubur, karena kuburan itu mengingatkan kepada akhirat.” (Diriwayatkan Muslim).

 

Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu berkata, bahwa Rasulullah Shallailahu Alaihi wa sallam bersabda,

 

“Sesungguhnya dulu aku melarang kalian berziarah kubur. Sekarang berziarahlah, karena kuburan itu mengingatkan kalian kepada akhirat.” (Diriwayatkan Ahmad).

 

Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma berkata,

 

“Rasulullah Shallaulahu Alaihiwa Sallam berjalan melewati kuburan Madinah, kemudian beliau menghadapkan wajahnya kepada kuburan tersebut dan berkata, ‘Kesejahteraan untuk kalian wahai penghuni kuburan ini. semoga Allah mengampuni dosa-dosa kami dan dosa-dosa kalian. Kami akan mengikuti jejak kalian’.” (Diriwayatkan Ahmad, dan At-Tirmidzi. At-Tirmidzi menilai hasan hadits tersebut).

 

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

‘Aku dulu melarang kalian dari berziarah kubur. Sekarang berziarahlah ke kuburan, karena kuburan membuat orang bersikap zuhud di dunia, dan mengingatkan kepada akhirat.” (Diriwayatkan Ibnu Majah).

 

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Sa’id Radhiyallahu Anhu yang berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Dulu aku melarang kalian dari ziarah kubur. Sekarang berziarahlah ke kuburan, karena di dalam kuburan terdapat ibrah.” (Diriwayatkan Ahmad).

 

Itulah ziarah kubur yang disyariatkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk umatnya dan yang beliau ajarkan kepada mereka. Apakah di dalamnya Anda lihat secuil pun yang menjadi pijakan orang-orang musyrik dan ahli bid’ah? Ataukah Anda lihat di dalamnya bertentangan dengan apa yang mereka kerjakan?

 

Sungguh tepat apa yang pernah dikatakan Imam Malik Rahimahullah, “Generasi terakhir umat ini tidak bisa diperbaiki kecuali dengan apa yang telah memperbaiki umat Islam generasi pertama.”

 

Namun, jika komitmen umat terhadap perjanjian Nabinya lemah, dan Keimanan mereka berkurang, maka mereka diberi ganti berupa bid’ah dan syirik.

 

Generasi salaf telah memurnikan tauhidnya, dan berputar di sekitarnya hingga salah seorang dari mereka jika hendak mengucapkan salam Kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam kemudian ingin berdoa, ia menghadap kiblat, mendekatkan punggungnya di tembok Kuburan Kemudian ia berdoa.

 

Salamah bin Wardan berkata, ‘Aku pernah melihat Malik bin Anas mengucapkan salam Kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, kemudian ia menyandarkan punggungnya di tembok kuburan, lalu ia berdoa.”

 

Empat imam sepakat, bahwa orang harus menghadap kiblat pada Saat berdoa hingga ia tidak berdoa menghadap kuburan (Nabi), Karena berdoa adalah ibadah. .

 

Disebutkan dalam jami’ At-Tirmidzi,

 

“Berdoa itu ibadah.” (Diriwayatkan At-Tirmidzi).

 

Ya, generasi salaf memurnikan ibadahnya untuk Allah semata, dan pada saat berziarah kubur, mereka tidak mengerjakan kecuali apa yang diizinkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk dikerjakan seperti mengucapkan salam Kepada penghuni kuburan, memintakan ampunan untuk mereka, dan memintakan rahmat untuk mereka.

 

Kesimpulannya, bahwa mayat itu telah terputus dari amal perbuatannya. la membutuhkan orang yang mendoakannya dan memberikan syafa’at kepadanya. Oleh karena itu, ketika menshalatinya, disyariatkan mendoakannya, dan doa tersebut tidak disyariatkan diucapkan untuk orang yang masih hidup.

 

Auf bin Malik berkata,

 

“Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menshalati jenazah, kemudian aku mengapal doanya. Beliau berkata, ‘Ya Allah, ampunilah dia! Sayangilah dia! Berilah ia maaf? Muliakan tempatnya! Luaskan pintu masuknya Bersihkan dia dengan air, es, dan salju!

 

Cucilah dia dari semua dosa sebagaimana pakaian putih dicuci dari kotoran! Berilah ganti untuknya rumah yang lebih baik daripada rumah sebelumnya, keluarga yang lebih baik daripada keluarga sebelumnya, dan pasangan yang lebih baik daripada pasangan sebelumnya! Masukkan dia ke dalam surga’! Dan lindungilah dia dari siksa kubur -atau siksa neraka-.’ Hingga aku berharap kiranya aku menjadi mayat tersebut, karena doa Rasulullah Shallallahu Alaihiwa Sallam kepada mayat tersebut.” (Diriwayatkan Muslim).

 

Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu berkata, bahwa aku mendengar Rasulullah Skellallahu Alaihi wa Sallam berkata Ketika menshalati jenazah,

 

“Ya Allah, Engkau adalah Tuhan jenazah ini. Engkau telah menciptakannya, menunjukinya kepada Islam, dan memegang ruhnya. Engkau amat tahu apa yang dirahasiakan dan apa yang tidak ia rahasiakan. Kami datang untuk menjadi pemberi syafa’at, maka ampunilah dia!” (Diriwayatkan Ahmad).

 

Disebutkan dalam Sunan Abu Daud hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, .

 

“Tika kalian menshalati mayat, ikhlaslah ketika mendoakannya.” (Diriwayatkan Abu Daud).

 

Aisyah dan Anas berkata dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa sallam yang bersabda,

 

“Tidaklah mayat dishalati umat Islam sebanyak seratus orang yang semuanya memintakan syafa’at untuknya, melainkan mereka diizinkan memberi syafa’at kepadanya.” (Diriwayatkan Muslim). ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidaklah seorang Muslim meninggal dunia kemudian ia dishalati empat puluh orang yang tidak menyekutukan Allah, melainkan Allah mengizinkan mereka memberi syafa’at kepadanya.” (Diriwayatkan Muslim). Itulah tujuan menshalati mayat, yaitu mendoakannya, memintakan ampunan untuknya, dan memintakan syafa’at untuknya. Sebagaimana diketahui, mayat di dalam kuburannya sangat membutuhkan doa, karena ketika itu ia sedang menghadapi rentetan pertanyaan, dan lain sebagainya. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berdiri di salah satu kuburan setelah jenazahnya disemayamkan, kemudian beliau bersabda,

 

“Mintakan keteguhan untuknya, karena sekarang ia sedang ditanya.” (Diriwayatkan Abu Daud, dan Al-Hakim).

 

Dari sini bisa diketahui, bahwa setelah mayat disemayamkan, ia sangat membutuhkan doa untuknya. Jadi jika kita sedang berdiri di depan jenazah, kita mendoakannya dan bukannya berdoa dengannya. Kita memintakan syafa’at untuknya, dan bukan meminta syafa’at kepadanya. Maka jika ia telah disemayamkan, ia lebih membutuhkan itu semua.

 

Ahli bid’ah dan orang-orang musyrik merubah ketentuan. Mereka merubah mendoakan mayat menjadi berdoa kepada mayat, dan memintakan syafa’at untuknya menjadi meminta syafa’at kepadanya. Mereka meniatkan ziarah kubur yang disyariatkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagai perbuatan baik untuk mayat dan pelakunya, serta mengingatkan kepada akhirat itu untuk meminta kepada mayat, bersumpah dengannya, mengkhususkan salah satu tempat dengan doa yang merupakan intisari ibadah, menghadirkan hati di sampingnya, dan kekhusyukannya di dalamnya jauh lebih besar daripada kekhusyukannya di masjid, dan pada waktu sahur.

 

Adalah mustahil berdoa kepada orang-orang yang sudah meninggal dunia, atau berdoa dengan mereka, atau berdoa di samping mereka itu dikategorikan sebagai hal yang disyariatkan, dan amal shalih, serta tidak diberikan kepada tiga generasi terbaik sesuai dengan penegasan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, kemudian hal tersebut diberikan Kepada generasi-generasi yang mengatakan sesuatu yang tidak mereka kerjakan, dan mengerjakan sesuatu yang tidak diperintahkan Kepada mereka.

 

Inilah Sunah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam berziarah kubur selama dua puluhan tahun lebih hingga beliau dipanggil Allah Ta’ala. Itulah Sunah khulafaurrasyidin. Itulah jalan semua sahabat, dan jalan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Dapatkah seseorang di atas permukaan bumi ini meriwayatkan dari generasi sahabat dan generasi tabi’in hadits shahih, atau hadits hasan, atau hadits dai ; atau hadits sunqathi, bahwa jika mereka mempunyai kebutuhan kemudian mereka pergi ke kuburan, lalu mereka berdoa di dalamnya, mengusapnya, shalat di dalamnya, berdoa kepada Allah dengan perantaraan penghuni kuburan, dan meminta mereka memenuhi kebutuhan-kebutuhannya? Kalau bisa, silahkan mereka menunjukkan kita satu hadits atau satu huruf. Tidak bisa. Mereka hanya bisa mendatangkannya dari generasi-generasi yang diciptakan sesudah mereka. Jika zaman semakin berjalan Ke belakang, maka semakin banyak hadits-hadits palsu, hingga ditemukan banyak sekali buku-buku di mana di dalamnya tidak ada satu huruf pun yang berasal dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, empat khalifahnya, dan sahabat-sahabat beliau yang lain. Ya, di dalamnya banyak sekali yang bertentangan dengan hadits dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan atsar dari sahabat.

 

Adapun atsar-atsar sahabat, maka terlalu banyak untuk dihitung. Sebelumnya telah saya sebutkan Ketidaksetujuan Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu terhadap Anas Radhiyallahu Anhu yang shalat di samping kuburan, dan ucapan Umar kepada Anas, “Kuburan. Kuburan.”

 

Muhammad bin Ishaq mengatakan dalam Maghazi-nya dari tambahan Yunus bin Bukair dari Abu Khaladah Khalid bin Dinar yang berkata, bahwa berkata kepada kami Abu Al-Aliyah yang berkata, “Ketika Kami menaklukkan Tustar, di Baitul Mal Hurmuzan kami menemukan singgasana yang di atasnya terdapat orang yang telah mati dan di Kepalanya terdapat mushaf miliknya. Kami mengambil mushaf tersebut, dan menyerahkannya kepada Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu. Umar bin Khattab memanggil Ka’ab lalu Ka’ab untuk menterjemahkan mushaf tersebut ke dalam bahasa Arab. Dan aku adalah orang Arab pertama yang membaca mushaf tersebut. Aku membacanya seperti aku membaca Al-Qur’an.” Abu Khaladah Khalid bin Dinar berkata, “Aku bertanya kepada Abu Al-Aliyah, Apa yang tertulis di dalam mushaf terseput?’” Abu Al-Aliyah menjawab, “Perjalanan kalian, persoalan-persoalan kalian, dialek kalian, dan apa saja yang terjadi setelah itu.” Aku (Abu Khaladah Khalid bin Dinar) bertanya, “Apa yang kalian perbuat terhadap orang yang mati di atas singgasana?” Abu Al-Aliyah menjawab, “Pada siang hari, kami menggali tiga belas liang yang berbeda tempat, kemudian pada malam hari, kami memakamkan orang tersebut dan kami ratakan semua liang kuburan tadi, agar kami bisa menyembunyikan kuburan orang tersebut dari manusia.” Aku bertanya, ‘Apa yang mereka harapkan dari orang tersebut?” Abu Al-Aliyah menjawab, “Jika langit tidak hujan, mereka mengeluarkan singgasana tersebut kemudian hujan turun kepada mereka.” Aku bertanya, “Siapa orang tersebut menurut kalian?” Abu Al-Aliyah menjawab, “Orang tersebut bernama Daniel.” Aku bertanya, “Sejak kapan kalian menemukannya mati?” Abu Al-Aliyah menjawab, “Sejak tiga ratus tahun yang silam.” Aku bertanya, ‘Apakah sedikit pun tidak ada perubahan pada badannya?” Abu Al-Aliyah menjawab, “Tidak, Kecuali rambut-rambut kecil di belakang tengkuknya, karena daging para Nabi itu tidak bisa dimusnahkan oleh tanah, dan tidak bisa dimakan oleh binatang buas.”

 

Pada kisah di atas, terlihat bahwa para Muhajirin dan Anshar merahasiakan kuburan Daniel, agar manusia tidak terfitnah dengannya, dan mereka tidak menampakkannya untuk dijadikan tempat berdoa di dalamnya dan tempat mencari keberkahan. Jika hal ini diketahui orang-orang generasi terakhir, pasti mereka mempertahankan Kuburan tersebut dengan pedang-pedang mereka, dan pasti mereka menyembah kuburan tersebut. Mereka -tidak ada yang menyainginya dalam hal ini menjadikan kuburan-kuburan sebagai berhala-berhala, mengangkat penjaga untuknya, dan menjadikannya sebagai tempat ibadah yang lebih agung daripada masjid.

 

Seandainya berdoa di kuburan, shalat di dalamnya, dan mencari keberkahan di dalamnya adalah hal yang baik, atau hal yang disunahkan, atau hal yang mubah, pasti kaum Muhajirin, dan kaum Anshar memasang tanda di kuburan untuk tujuan tersebut, dan pasti mereka berdoa di dalamnya, serta mewariskannya kepada generasi sesudah mereka. Namun mereka lebih tahu tentang Allah, Rasul-Nya, dan agama-Nya daripada generasi-generasi yang diciptakan sesudah mereka. Para tabi’in juga berjalan di atas jalan ini. Di tempat mereka banyak sekali ditemukan Kuburan-kuburan sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, namun begitu tidak ada seorang pun dari mereka yang meminta pertolongan di kuburan sahabat, atau berdoa kepadanya, atau berdoa dengannya, atau berdoa di sisinya, atau meminta kesembuhan dengannya, atau meminta hujan dengannya, atau meminta pertolongan dengannya. Sebagaimana diketahui, bahwa permasalahan seperti ini termasuk hal yang mendorong orang untuk meriwayatkannya kepada orang lain.

 

Jika demikian permasalahannya, maka ada dua kemungkinan dalam hal ini. Kemungkinan pertama, bahwa berdoa di kuburan dan berdoa dengan para mayat yang ada di dalam kuburan adalah lebih baik daripada di tempat-tempat lainnya. Kemungkinan kedua, bahwa berdoa di kuburan dan berdoa dengan para mayat di dalam kuburan tidak lebih baik daripada tempat-tempat lainnya. Jika berdoa di kuburan dan berdoa dengan para mayat di kuburan adalah lebih baik, maka Kenapa hal tersebut kok sampai tidak diketahui dan tidak dikerjakan para sahabat, para tabi’in, dan para tabi’ tabi’in? Ya, ketiga generasi terbaik tersebut tidak mengetahui kebaikan agung ini, dan justru kebaikan agung ini diketahui dan dikerjakan generasi-generasi sepeninggal mereka yang secara kualitas lebih rendah daripada mereka? Mereka tidak boleh mengetahui doa tersebut, padahal mereka adalah generasi yang amat concern Kepada Kebaikan, apalagi terhadap doa? Sesungguhnya orang yang berada dalam keadaan terdesak itu bergantung kepada semua sebab, Kendati di dalam sebab tersebut terdapat sesuatu yang tidak mengenakkan. Kemudian bagaimana mereka dalam berbagai momen mereka membutuhkan doa, dan mereka mengetahui Keutamaan berdoa di kuburan Kemudian mereka tidak melakukannya? Ini adalah sesuatu yang mustahil menurut watak dan syariat.

 

Jika demikian, maka yang terjadi adalah kemungkinan kedua, bahwa berdoa di kuburan itu tidak mempunyai Keutamaan, tidak disyariatkan, tidak diizinkan mengerjakan tujuan khusus di dalamnya. Bahkan mengkhususkan berdoa di kuburan adalah pengantar timbulnya Kerusakan-kerusakan yang telah saya sebutkan sebelumnya. Ini termasuk hal-hal yang tidak disyariatkan Allah dan Rasul-Nya, bahkan memandang Sunah berdoa di kuburan adalah syariat ibadah yang tidak disyariatkan Allah, dan tidak diturunkan Allah.

 

Hal yang lebih ringan dari hal di atas saja ditentang para sahabat.

 

Banyak orang meriwayatkan dari Al-Ma’rur bin Suwaid yang berkata, “Aku shalat subuh dengan Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhua dijalan menuju Makkah. Dalam shalatnya, Umar bin Khattab membaca surat, Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara berqjah?’ (AI-Fiil) Dan surat, ‘Karena kebiasaan orang-orang Quraisy.’ (Quraisy). Kemudian ia melihat manusia pergi ke tempat yang lain, ia bertanya, ‘Mereka akan pergi ke mana?’ Dikatakan kepadanya, ‘Wahai Amirul Mukminin, mereka akan pergi ke masjid yang pernah dipakai shalat oleh Rasulullah Shaliallahu Alaihi wa Sallam. Mereka akan shalat di dalamnya.’ Umar berkata, ‘Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa karena perbuatan semacam ini. Mereka menapaktilasi jejak-jejak Nabi mereka, dan menjadikannya sebagai gereja, dan biara. Oleh karena itu, Barang siapa datang waktu shalat padanya di masjid-masjid ini, hendaklah ia shalat. barang siapa tidak berada di masjid-masjid tersebut, hendaklah ia berjalan menuju masjid tersebut dan jangan berniat sejak awal kepadanya’.” Selain itu, Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu mengutus seseorang untuk menebang pohon tempat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa sallam membaiat sahabat-sahabatnya.

 

Bahkan, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah menentang sahabat-sahabat ketika mereka meminta beliau menunjuk pohon tempat mereka menggantungkan senjata mereka, dan perbekalan mereka.

 

Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya hadits dari Abu Waqid Al-Laitsi Radhiyallahu yang berkata,

 

“Kami keluar bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menuju Hunain, dan ketika itu kami orang-orang yang baru masuk Islam. Orang-orang musyrik mempunyai pohon tempat mereka berkumpul di sekitarnya dan menggantungkan senjata-senjatanya.

 

Pohon tersebut bernama Dzatu Anwath. Ketika kami berjalan melewati Dzatu Anwath, kami berkata, ‘Wahai Rasulullah, buatkan untuk kami Dzatu Anwath’, sebagaimana mereka mempunyai Dzatu Anwath’.” Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Allah Mahabesar. Perkataan ini persis seperti yang diucapkan Bani Israil, ‘Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).’ Musa menjawab, ‘Sesungguhnya kalian ini adalah kaum yang tidak mengetahui (Sifat-sifat Tuhan)’.” (Al-Araaf: 138).” (Diriwayatkan Al-Bukhari).

 

Jika menjadikan pohon tersebut sebagai tempat untuk menggantungkan senjata-senjata, dan berkumpul di sekitarnya saja sudah termasuk menjadikannya sebagai tuhan selain Allah, padahal mereka tidak menyembah pohon tersebut, dan tidak meminta kepadanya, maka apa komentar Anda terhadap berkumpul di sekitar kuburan, berdoa dengannya, berdoa kepadanya, dan berdoa di dalamnya? Lebih kecil mana fitnah di pohon tersebut dengan fitnah di kuburan tersebut? Ya, seandainya orang-orang musyrik dan ahli bid’ah itu tidak bodoh!

 

Salah seorang berilmu dari sahabat Malik berkata, “Lihatlah semoga Allah merahmati Kalian, di mana saja kalian menemukan pohon yang sengaja dikunjungi manusia untuk mengagung-agungkannya, atau mengharapkan obat dan kesembuhan padanya, dan memasang Kain padanya, itu semua termasuk Dzatu Anwath, maka tebanglah.”

 

Barang siapa mempunyai ilmu tentang ajaran Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang beliau bawa dari Allah, dan mempunyai ilmu tentang apa yang diperbuat orang-orang musyrik dan ahli bid’ah dalam permasalahan ini, dan permasalahan-permasalahan yang lain, pasti mengetahui bahwa terdapat jarak yang amat jauh antara generasi salaf dengan generasi khalaf dan bahwa jarak antara keduanya lebih jauh daripada jarak antara timur dengan barat. Mereka melakukan sesuatu, sedang generasi salaf melakukan sesuatu yang lain, seperti dikatakan salah seorang penyair,

 

la berjalan ke arah timur, sedang Anda berjalan ke arah barat

 

Duhai, betapa jauhnya jarak antara timur dengan barat

 

Demi Allah, permasalahan ini lebih besar dari apa yang saya Katakan.

 

Al-Bukhari menyebutkan dalam Shahih-nya hadits dari Ummu Darda’ Radhiyallahu Anha yang berkata,

 

‘Abu Darda’ datang kepadaku dalam keadaan marah, lalu aku bertanya kepadanya, ‘Kenapa engkau?’ Abu Darda’ menjawab, ‘Demi

Allah, aku tidak melihat secuil pun pada mereka yang diperintahkan Muhammad shallallahu Alaihi wa sallam. Mereka hanya shalat saja.” (Diriwayatkan Al-Bukhari).

 

Malik meriwayatkan dalam AL-Muwaththa’ hadits dari pamannya, Abu Suhail bin Malik dari ayahnya yang berkata, “Sekarang ini aku tidak melihat sesuatu di antara yang biasa dikerjakan manusia (generasi sahabat), kecuali panggilan adzan saja.”

 

Az-Zuhri berkata, ‘Aku menemui Anas bin Malik di Damascus yang ketika itu sedang menangis. Aku bertanya kepadanya, ‘Kenapa engkau menangis?’ Anas bin Malik menjawab, ‘Tidak ada sesuatu yang tersisa yang bisa aku lihat, kecuali shalat ini, dan shalat ini pun sudah disia-siakan’.” (Diriwayatkan Al-Bukhari).

 

Dalam redaksi lain, Anas bin Malik berkata, “Aku tidak melihat sesuatu yang biasa terjadi pada zaman Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, kecuali hal tersebut sekarang aku tolak.”

 

Al-Hasan Al-Basri berkata, “Seseorang bertanya kepada Abu Darda’ Radhiyallahu Anhu, dengan berkata, ‘Semoga Allah merahmatimu.

 

seandainya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berada di tengah-tengah kita, apakah beliau tidak menyetujui apa yang sedang kita kerjakan sekarang ini?’ Abu Darda’ marah dan sangat marah, ia berkata, apakah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengetahui apa yang gedang kalian kerjakan sekarang?’”

 

Al-Mubarak bin Fadhalah berkata, “Al-Hasan mengerjakan shalat jum’at, kemudian ia duduk dan menangis. Ditanyakan kepadanya, ‘Kenapa Anda menangis, wahai Abu Sa’id?’ Al-Hasan menjawab, “Engkau menyalahkan aku menangis? Seandainya salah seorang dari kaum Muhajirin melongok ke pintu masjid kalian, pasti ia melihat bahwa tidak ada sesuatu yang biasa dikerjakan pada zaman Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang tersisa pada kalian, kecuali kiblat kalian ini?”

 

Inilah petaka besar seperti dikatakan Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu, “Bagaimana kalian, jika fitnah terjadi pada kalian. Karena fitnah tersebut, orang dewasa menjadi cepat tua, dan anak-anak menjadi cepat besar? Fitnah tersebut terjadi pada manusia dan mereka menjadikannya sebagai Sunah.”

 

Ini menunjukkan, bahwa jika amal perbuatan berlangsung tanpa berdasarkan Sunah, ia tidak perlu digubris, dan ditoleh. Amal perbuatan yang tidak sesuai dengan Sunah ini sudah terjadi sejak zaman Abu Darda’, dan Anas, seperti telah dijelaskan sebelumnya.

 

Abu Al-Abbas Ahmad bin Yahya berkata, bahwa berkata kepadaku Abdullah bin Ishaq Al-Ja’fari yang berkata, “Abdullah bin Al-Hasan banyak belajar kepada Rabi’ah. Pada suatu hari, mereka membahas tentang Sunah, tiba-tiba seseorang di antara yang hadir berkata, Amal perbuatan itu tidak berdasarkan pada Sunah ini.’ Abdullah bin Al-Hasan berkata, ‘Tidakkah engkau lihat, bahwa jika orang-orang bodoh itu sangat banyak, kemudian mereka menjadi penguasa, maka mereka menentang Sunah?’ Rabi’ah berkata, ‘Aku bersaksi, bahwa perkataanmu itu adalah perkataan anak-anak para Nabi’.”

 

Di antara tipu muslihat setan yang paling dahsyat, ialah berhala dan mengundi nasib dengan anak panah yang telah disiapkan setan untuk manusia. Kedua hal tersebut adalah aktivitas rutin setan. Oleh karena itu, Allah Ta’ala memerintahkan kaum Muslimin menjauhinya dan menyatakan bahwa keberuntungan itu dengan menjauhi aktivitas setan tersebut. Allah Ta’ala berfirman,

 

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan.” (Al-Maidah: 90).

 

Yang dimaksud dengan kata Anshaab pada ayat di atas ialah apa saja yang dipasang (dibuat) untuk disembah selain Allah; batu, pohon, patung, atau kuburan. Kata Anshab adalah jamak dan kata tunggalnya ialah mushub seperti kata thunub yang kata jamaknya ialah Athnaabu.

 

Mujahid, Oatadah, dan Ibnu Juraij berkata, “Dulu di sekitar Baitullah terdapat batu. Orang-orang jahiliyah menyembelih hewan kurban di atas batu tersebut dan memotong-motong daging hewan Kurban di atas batu tersebut. Mereka mengagung-agungkan batu tersebut dan menyembahnya.”

 

Kata mereka bertiga lagi, “Itu bukan patung, karena patung itu dibentuk dan diukir.”

 

Ibnu Abbas berkata, “Yang dimaksud dengan Kata anshaab pada ayat di atas ialah patung-patung yang mereka sembah selain Allah Ta’ala.”

 

Az-Zajjaj berkata, “Yang dimaksud dengan kata Anshaab pada ayat di atas ialah batu yang mereka sembah dan batu tersebut ialah patung.”

 

Al-Farra’ berkata, “Yang dimaksud dengan Kata Anshaab pada ayat di atas ialah tuhan-tuhan yang mereka sembah; batu, dan lain sebagainya.”

 

Dari sudut bahasa, kata Anshaab ialah sesuatu yang dipasang agar sesuatu tersebut disenangi orang yang melihatnya. Dalam hal ini, Allah Ta’ala berfirman,

 

“(Yaitu) pada hari mereka keluar dari kubur dengan cepat seakan-akan mereka pergi dengan segera kepada berhala-berhala (sewaktu di dunia).” (Al-Ma’aarij: 43).

 

Ibnu Abbas berkata, “Maksudnya, mereka bersegera kepada tujuan.”

 

Itu adalah penafsiran Kebanyakan ahli tafsir.

 

Al-Hasan berkata, “Maksudnya, mereka bersegera kepada berhala-berhala mereka; mana di antara berhala-berhala tersebut yang harus ia sentuh terlebih dahulu.”

 

Az-Zajjaj berkata, “Inilah penafsiran orang yang membaca nushub seperti firman Allah Ta’ala, “Yang disembelih untuk berhala.” (Al-Maidah: 3). Yang dimaksud dengan kata mushub pada ayat di atas ialah berhala.

 

Maksud dari ini semua ialah menjelaskan, bahwa kata nushub ialah sesuatu yang disiapkan seperti kayu, batu, dan bendera. Dan yang dimaksud dengan kata yufidzun ialah bersegera.

 

Sedang kata Al-Azlaam, Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma berkata, “Al-Azlaam ialah gelas di mana orang-orang jahiliyah memutuskan segala masalah dengannya. Artinya, bahwa dengan gelas tersebut mereka ingin mengetahui apa yang dibagikan untuk mereka.”

 

Sa’id bin Jubair berkata, “Orang-orang jahiliyah mempunyai batu-batu kecil. Jika salah seorang dari mereka hendak berperang, atau duduk, ja meminta pertimbangan batu-batu kecil tersebut.”

 

Sa’id bin Jubair juga berkata, “Yang dimaksud dengan Al-Azlaam jalah dua gelas yang digunakan orang-orang jahiliyah untuk memutuskan persoalan-persoalan mereka. Di salah satu gelas tersebut tertulis, aku diperintahkan Tuhanku.’ Dan di gelas satunya tertulis, Aku dilarang Tuhanku.’ Jika mereka menginginkan sesuatu, mereka mengocoknya. jika yang keluar ialah kata aku diperintah Tuhanku, ia pun mengerjakan apa yang mereka inginkan. Sebaliknya jika yang keluar ialah kata aku dilarang Tuhanku, ia tidak mengerjakan apa yang diinginkannya.”

 

Abu Ubaid berkata, “Yang dimaksud dengan Al-Istiqsaam ialah meminta bagian.”

 

Al-Mubarrid berkata, “Yang dimaksud dengan Al-Istiqsaam ialah setiap orang mengambil bagiannya.”

 

Ada yang mengatakan, “Yang dimaksud dengan Al-Istiqsaam ialah mengharuskan dirinya mengerjakan apa yang diperintahkan oleh undian tersebut.”

 

Al-Azhari berkata tentang firman Allah, “Wa an tastagsimuu bi alazlaami” ialah kalian bertanya kepada undian tentang apa yang diputuskan bagi kalian dari dua perkara.”

 

Abu Ishaq, Az-Zajjaj, dan lain sebagainya berkata, “Bertanya kepada undian itu haram.”

 

Ini tidak ada bedanya dengan ucapan dukun, “Anda jangan pergi karena bintang ini dan berangkatlah karena munculnya bintang ini.” Karena Allah Ta’ala telah berfirman,

 

“Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok.” (Luqman: 34).

 

Karena hal tersebut telah masuk dalam ilmu Allah Azza wa Jalla dan tidak terlihat oleh kita, maka hukumnya haram, sebagaimana undian yang disebutkan Allah Ta’ala.

 

Maksud dari ini semua, ialah menjelaskan, bahwa manusia diuji dengan berhala dan undian. Berhala dan undian adalah haram. Berhala ‘adalah untuk syirik dan ibadah. Sedang undian adalah untuk meramal, dan menuntut ilmu yang hanya Allah yang berhak mengetahuinya. Undian ini untuk mengetahui sesuatu, sedang berhala untuk beramal.

 

Dan agama Allah Subhanahu wa Ta‘ala menentang keduanya, dan ajaran yang dibawa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengikis keduanya.

 

Di antara berhala-berhala yang telah dibangun setan untuk orang-orang musyrik ialah pohon, tugu peringatan, patung, kuburan, kayu, mata air, dan lain sebagainya. Kewajiban kita adalah meruntuhkan itu semua dan mengikis bekas-bekasnya, seperti yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu untuk menghancurkan kuburan-kuburan yang agak tinggi dari permukaan tanah dan meratakannya dengan tanah, sebagaimana diriwayatkan Muslim dalam Shahih-nya dari Abu Al-Hayyaj Al-Asadi yang berkata, bahwa Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu berkata kepadaku, “Maukah engkau aku perintah seperti yang pernah diperintahkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kepadaku? Aku diperintahkan tidak meninggalkan patung kecuali menghancurkannya, dan kuburan yang agak tinggi dari permukaan tanah melainkan meratakannya dengan tanah.” (Diriwayatkan Muslim).

 

Atas perintah Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu, para sahabat merahasiakan kuburan Daniel dari manusia. Ketika Umar bin Khattab mendapat khabar bahwa manusia berdatangan ke pohon di mana Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam membaiat sahabat-sahabatnya, ia mengirim orang untuk menebang pohon tersebut. (Diriwayatkan Ibnu Wadhdhah dalam bukunya).

 

Lebih lanjut, Ibnu Wadhdhah berkata, aku mendengar Isa bin Yunus berkata, “Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu memerintahkan penebangan pohon di mana Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam membaiat sahabat-sahabatnya di bawah pohon tersebut.” Umar bin Khattab menebangnya, karena manusia berdatangan ke pohon tersebut untuk shalat di bawahnya. Umar bin Khattab khawatir akan terjadi fitnah.

 

Isa bin Yunus berkata lagi, “Menurut kami, hadits tersebut berasal dari Ibnu Aun dari Nafi’, “Bahwa manusia berdatangan ke pohon tersebut, kemudian Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu menebangnya.”

 

Jika itu yang diperbuat Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu terhadap pohon yang disebutkan Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an, dan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam membaiat sahabat-sahabatnya di bawahnya, maka bagaimana hukumnya terhadap selain pohon tersebut, yaitu berhala-berhala yang menimbulkan fitnah dan petaka besar bagi umat?

 

Lebih keras lagi, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menghancurkan masjid Dhirar. Ini menjadi dalil keabsahan menghancurkan sesuatu yang Kerusakannya lebih besar daripada masjid Dhirar, seperti masjid-masjid yang dibangun di atas kuburan. Hukum Islam terhadap masjid-masjid yang dibangun di atas kuburan ialah dihancurkan seluruhnya hingga rata dengan tanah dan masjid-masjid yang dibangun di atas kuburan tersebut lebih pantas dihancurkan daripada masjid Dhirar.

 

Begitu juga kubah-kubah yang dibangun di atas kuburan, ia wajib dihancurkan, Karena ia didirikan untuk bermaksiat kepada Rasul dan karena beliau telah melarang bangunan di atas kuburan, seperti telah dijelaskan sebelumnya. Jadi bangunan yang didirikan untuk bermaksiat kepada beliau dan menentang beliau tidak layak dihormati, dan lebih tepat dihancurkan daripada bangunan dari hasil merampok.

 

Sungguh, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan penghancuran kuburan-kuburan yang agak tinggi dari permukaan tanah hingga rata dengan tanah, seperti telah disebutkan sebelumnya.

 

Jika demikian, maka penghancuran kubah-kubah, bangunan, dan masjid yang dibangun di atas Kuburan adalah lebih diutamakan, Karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengutuk orang-orang yang membangun masjid-masjid di atas Kuburan dan melarang bangunan di atasnya. Oleh karena itu, harus ada tindakan segera dan kerja sama antara semua pihak untuk menghancurkan sesuatu yang pelakunya telah dikutuk oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan beliau telah melarang dari padanya. Allah Azza wa Jalla menyiapkan orang-orang yang siap sedia menegakkan agama-Nya dan Sunah Rasul-Nya, dan membela keduanya. Mereka sangat tinggi ghirah-nya dan sigap dalam melakukan perubahan.

 

Selain itu, harus ada upaya membuang semua lampu di kuburan, karena orang yang menaruh lampu di kuburan juga dikutuk Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Wakaf dengannya tidak sah, dan tidak dibenarkan dilaksanakan.

 

Imam Abu Bakr Ath-Thatthusyi berkata, “Lihatlah semoga Allah merahmati kalian, di mana saja kalian menemukan pohon yang sengaja dikunjungi manusia untuk mengagung-agungkannya, atau mengharapkan obat dan kesembuhan padanya, dan memasang kain padanya, itu semua termasuk Dzatu Anwath, maka tebanglah.”

 

Al-Hafidz Abu Muhammad Abdurrahman bin Ismail yang terkenal dengan nama Abu Syamah berkata dalam bukunya Al-Hawaditsu wa Al-Bida’u, “Termasuk dalam bagian ini yang petakanya meluas yaitu setan memandang indah di mata orang-orang awam membangun tembok, tiang, dan lampu di tempat-tempat tertentu di setiap daerah. Seseorang dari mereka berkisah bahwa ia bermimpi bertemu dengan orang yang dikenal shalih, dan bertakwa, kemudian mereka menjaga kuburan tersebut, padahal mereka menyia-nyiakan kewajiban-kewajiban Allah dan Sunah-Sunah-Nya. Mereka menduga bahwa mereka bisa dekat dengan Allah dengan cara yang demikian. Tidak cukup itu saja, ternyata di kemudian hari tempat-tempat tersebut membekas di hati mereka kemudian mereka mengagung-agungkannya, mencari kesembuhan untuk penyakit mereka, dan mencukupi kebutuhan mereka dengan nadzar untuknya. Hal-hal tersebut ialah mata air, pohon, tembok, dan batu. Itu semua banyak ditemui di kota Damascus. Seperti Uwainah Al-Hima di luar pintu Tuma, tiang yang dibangun di dalam pintu Ash-Shaghir, dan pohon terkutuk yang kering di luar pintu An-Nashr. Semoga Allah memudahkan penebangannya dan mencabutnya dari akarnya. Alangkah miripnya hal di atas dengan Dzawatu Anwath yang disebutkan dalam hadits. Kemudian ia mengetengahkan hadits Abu Waqid,

 

“Bahwa para sahabat berjalan bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melewati pohon besar dan hijau yang bernama Dzatu Anwath. Para sahabat berkata, ‘Wahai Rasulullah, buatkan untuk kami Dzatu Anwath sebagaimana mereka mempunyai Dzatu Anwath.’ Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, Allah Mahabesar. Ini persis seperti yang dikatakan kaum Musa kepada Musa, ‘Buatkan untuk kami Tuhan sebagaimana mereka mempunyai tuhan-tuhan!’ Musa Alaihis Salam berkata, ‘Sesungguhnya kalian adalah orang-orang yang bodoh.’ Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, ‘Kalian pasti mencontoh perilaku-perilaku orang-orang sebelum kalian’.” (At-Tirmidzi berkata, bahwa hadits ini hasan shahih).

 

Setelah itu, Al-Hafidz Abu Muhammad Abdurrahman bin Ismail menyebutkan tindakan yang diambil salah seorang ulama di Afrika. Dikisahkan, bahwa di dekat tempat tinggalnya terdapat mata air yang bernama mata air Al-Afiyah. Banyak orang terperdaya karena mata air AlAfiyah, dan mereka berdatangan kepadanya dari berbagai penjuru. Barang siapa terganjal pernikahannya atau tidak mempunyai anak, orang-orang awam berkata, “Mari ikut aku pergi ke mata air Al-Afiyah.” Ulama tersebut melihat fitnah di mata air Al-Afiyah, lalu ia pergi ke sana menjelang subuh untuk menghancurkannya. Setelah itu, ia mengumandangkan adzan subuh di atasnya, dan berkata, “Ya Allah, aku menghancurkan mata air tersebut karena Engkau.”

 

Di Damaskus, banyak dijumpai berhala-berhala ini, kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memudahkan penghancurannya melalui tangan syaikhul Islam dan wali-wali Allah dari orang-orang yang bertauhid, seperti tiang dan berhala yang ada di masjid An-Narj yang disembah orang-orang bodoh, berhala yang ada di bawah penggiling tebu yang ada di samping Kuburan Kristen yang dikunjungi banyak orang untuk mencari keberkahan di dalamnya. Berhala tersebut mirip berhala yang ada di sungai Al-Qalluth di mana manusia bernadzar untuknya dan mencari keberkahan di dalamnya. Mudah-mudahan Allah memudahkan penghancuran berhala di halaman yang diterangi dengan lampu dan orang-orang musyrik mencari keberkahan di dalamnya. Berhala tersebut ialah tiang panjang dan di ujungnya terdapat batu seperti bola. Di samping masjid Darbu Al-Hajr juga terdapat berhala yang di atasnya dibangun sebuah masjid kecil yang disembah orang-orang musyrik. Mudah-mudahan Allah memudahkan penghancurannya.

 

Alangkah mudahnya dan cepatnya orang-orang musyrik menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan selain Allah, apa pun bentuknya. Mereka berkata, “Sesungguhnya batu ini, pohon ini, dan mata air ini menerima nadzar.” Maksudnya, menerima ibadah selain kepada Allah Ta‘ala. Sesungguhnya nadzar adalah ibadah dan taqarrub Kepada Allah. Dengan nadzar ini, orang yang bernadzar mendekat Kepada pihak yang ia berikan nadzarnya kepadanya. Untuk itu, mereka mengusap berhala-berhala tersebut dan menciumnya.

 

Para generasi salaf memandang mungkar mengusap batu Al-Maqam, Karena Allah Ta’ala hanya memerintahkan sebagiannya dijadikan sebagai tempat shalat, seperti dikatakan Al-Azragi dalam buku Tarikhu Makkah dari Qatadah tentang firman Allah Ta’ala, “Dan jadikan sebagian Maqam lbrahim sebagai tempat shalat.” (Al-Baqarah: 125). Qatadah berkata, “Sesungguhnya manusia diperintahkan shalat di sampingnya dan tidak diperintahkan mengusapnya. Sungguh, umat ini dibebani sesuatu yang tidak pernah dibebankan Kepada umat-umat sebelumnya. Jika umat ini masih saja mengusap batu Maqam Ibrahim, mereka hancur”

 

Fitnah yang lebih besar daripada berhala-berhala ini ialah berhala-berhala kuburan yang merupakan akar fitnah penyembahan patung-patung sebagaimana dikatakan generasi salaf dari para sahabat, dan tabi’in, seperti dijelaskan sebelumnya.

 

Di antara tipu muslihat setan terbesar yang lain, ia menyiapkan bagi orang-orang musyrik sebuah kuburan agung yang diagung-agungkan manusia, kemudian setan menjadikan kuburan tersebut sebagai berhala yang disembah selain Allah. la membisikkan kepada anak buahnya, “Barang siapa melarang penyembahan kuburan ini, melarang menjadikannya sebagai tempat peringatan hari raya, dan melarang menjadikannya sebagai berhala, sungguh ia telah menghina kuburan ini, dan meremukkan haknya.” Orang-orang bodoh mempercayai bisikan setan tersebut, kemudian mereka berusaha membunuh orang yang melarang penyembahan kuburan, menyiksanya, dan memvonisnya kafir. Dosa orang tersebut menurut orang-orang musyrik ialah bahwa orang tersebut memerintahkan apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya kepadanya, dan melarang apa yang dilarang Allah dan Rasul-Nya, yaity melarang menjadikan kuburan sebagai berhala dan peringatan hari raya, menyalakan lampu di dalamnya, membangun masjid plus kubah di atasnya, mengecatnya, memplesternya, menciumnya, mengusapnya, berdoa kepadanya, atau berdoa dengannya, bepergian kepadanya, meminta pertolongan kepadanya, dan hal-hal lain yang jelas-jelas bertentangan dengan ajaran yang dibawa Rasul dari Allah, yaitu memumikan tauhid dan tidak menyembah kecuali kepada Allah. Jika orang bertauhid melarang penyikapan seperti itu terhadap kuburan, orang-orang musyrik marah besar dan hati mereka gemetar karena muak. Mereka berkata, “Sungguh orang ini (orang bertauhid) telah memandang rendah orang-orang mulia, dan menyangka bahwa mereka tidak mempunyai kemuliaan dan harga diri.” Hal tersebut meresap di dalam hati orang-orang bodoh, orang-orang yang pura-pura bodoh, dan orang-orang yang mengaku beragama Islam. Mereka memusuhi orang-orang bertauhid, menuduh mereka mengerjakan dosa-dosa besar, dan membuat masyarakat benci mereka. Mereka setia kepada orang-orang musyrik dan menyangka bahwa mereka adalah wali-wali Allah dan penolong-penolong agama-Nya, dan Rasul-Nya. Allah tidak menghendaki hal yang demikian, sebab mereka bukan wali-wali-Nya. Sesungguhnya wali-wali Allah ialah orang-orang yang mengikuti Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, sependapat dengan beliau, mengetahui ajaran yang beliau bawa, mengajak kepada ajaran beliau, dan bukan orang-orang yang merasa kenyang dengan apa yang tidak diberikan kepada mereka dan pemakai baju kebohongan, yaitu orang-orang yang menghalang-halangi manusia dari Sunah Nabi mereka, dan menginginkan Sunah tersebut bengkok tidak lurus. Anehnya, mereka berasumsi, bahwa mereka telah berbuat baik!

 

Anda, wahai orang yang diberi nikmat Allah berupa mengikuti jalan yang lurus yang tiada lain adalah jalan orang-orang yang diberinya nikmat, rahmat-Nya, dan kebaikan-Nya jangan sekali-kali berpikiran, bahwa larangan menjadikan kuburan sebagai berhala, atau tempat perayaan, atau tugu peringatan, atau larangan menjadikan kuburan sebagai masjid, atau larangan membangun masjid di atasnya, larangan menyalakan lampu di atasnya, larangan bepergian kepadanya, larangan nadzar untuknya, larangan menyentuhnya, larangan menciumnya, dan larangan mendekatkan dahi ke pelataran kuburan, itu karena orang-orang membenci para mayat yang ada di dalam kuburan, sebagaimana hal ini diyakini orang-orang musyrik dan orang-orang sesat. Namun, itu semua dilarang karena pengagungan mereka terhadap kuburan, penghormatan mereka kepadanya, mengikuti apa yang dicintainya, dan menjauhi apa yang dibencinya.

 

Demi Allah, Anda adalah sahabat dekat pada Nabi, dan orang-orang shalih, pecinta mereka, penolong jalan dan Sunah mereka, berada di atas petunjuk, dan konsep mereka. Sedang orang-orang musyrik, mereka manusia yang paling tidak tahu diri terhadap orang-orang shalih, dan paling jauh dari petunjuk mereka, serta dari mengikuti mereka. Seperti orang-orang Kristen terhadap Al-Masih Alaihis Salam, orang-orang Yahudi terhadap Nabi Musa Alaihis Salam, dan orang-orang Syi’ah terhadap Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu. Sedang pembela-pembela kebenaran, ia lebih berhak terhadap orang-orang yang benar daripada pembela-pembela kebatilan. Laki-laki Mukmin dan wanita-wanita Mukminah adalah pembela bagi sebagian yang lain. Dan laki-laki munafik dan wanita-wanita munafik adalah pembela bagi sebagian yang lain.

 

Barang siapa mengikuti jejak para Nabi dan orang-orang shalih, maka itu menjadi penyebab bertambahnya pahala-pahala mereka (para Nabi dan orang-orang shalih) karena ia mengikuti mereka dan mengajak manusia untuk mengikuti mereka. Sebaliknya, jika ia berpaling dari apa yang mereka dakwahkan, dan lebih sibuk dengan kebalikannya, maka ia mengharamkan dirinya dan mengharamkan mereka mendapatkan pahala tersebut. Adakah pengagungan mereka seperti ini?

 

Kebanyakan orang sibuk dengan berbagai macam ibadah yang bid’ah yang dibenci Allah dan Rasul-Nya, dikarenakan mereka berpaling dari yang disyariatkan atau berpaling dari sebagian disyari. Kendati mereka mengerjakannya secara lahiriyah, sesungguhnya mereka meninggalkan hakikat yang dikehendaki ibadah tersebut.

 

Barang siapa mengerjakan shalat lima waktu dengan benar, menyertakan hatinya, memahami apa yang dikandung firman yang agung, dan amal shalih, betul-betul peduli terhadapnya, pasti ia anti syirik. Sebaliknya, orang yang menyia-nyiakan semua ibadah, atau sebagiannya saja, Anda lihat ada syirik padanya.

 

Barang siapa mendengarkan dengan serius firman Allah dengan hatinya, merenungkannya, dan memahaminya, maka ia merasa tidak butuh mendengar suara setan yang menghalang-halangi manusia dari dzikir kepada Allah, dari shalat, dan menumbuhkan kemunafikan di dalam hati.

 

Begitu juga, orang yang serius mendengarkan Al-Qur’an dan hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan mengajak dirinya memetik petunjuk dan ilmu dari padanya, dan bukannya dari orang lain selain beliau, maka ia tidak membutuhkan bid’ah-bid’ah, pendapat-pendapat yang rancu, kebohongan-kebohongan, dan impian-impian kosong, karena itu semua adalah was-was jiwa dan khayalan jiwa.

 

Jadi Barang siapa jauh dari kondisi ideal di atas, ia harus mendapat ganti yang tidak bermanfaat baginya, sebagaimana orang yang memenuhi relung hatinya dengan cinta kepada Allah, dzikir kepada-Nya, takut kepada-Nya, dan inabah kepada-Nya, maka ia tidak butuh mencintai sesuatu yang lain selain Allah, atau bertawakal kepada sesuatu tersebut. Jika hatinya kosong dari itu semua, ia menyembah hawa nafsunya.

 

Jadi orang yang berpaling dari tauhid adalah orang musyrik; diakui atau tidak. Orang yang berpaling dari Sunah ialah ahli bid’ah dan orang sesat; diakui atau tidak. Dan orang yang berpaling dari mencintai Allah, dzikir kepada-Nya adalah pecinta gambar; diakui atau tidak. Allah tempat meminta pertolongan, dan kepada-Nya kita bertawakal. Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan Allah Yang Mahatinggi, dan Mahaagung.

 

Ketahuilah, bahwa jika hati sibuk dengan bid’ah-bid’ah, maka ia berpaling dari Sunah. Anda lihat kebanyakan orang-orang yang beribadah di kuburan itu berpaling dari jalan, petunjuk, dan Sunah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Mereka lebih sibuk dengan kuburan daripada apa yang diperintah dan diserukan Rasulullah Shallalahu Alaihi wa Sallam. Sesungguhnya mengagungkan para Nabi, dan orang-orang shalih ialah dengan mengikuti apa yang ia serukan kepada mereka, yaitu ilmu yang bermanfaat, amal shalih, menapaktilasi jejak-jejak mereka, berjalan di atas jalan mereka, dan bukannya menyembah kuburan mereka, beribadah di atasnya, dan menjadikannya sebagai peringatan hari raya besar.

 

Jika ada yang bertanya, “Apa yang menyebabkan para penyembah kuburan terjerumus menyembah kuburan, padahal sudah diketahui bahwa penghuni kuburan telah meninggal dunia yang tidak mampu memberikan madzarat, manfaat untuk mereka, kematian, kehidupan, dan kebangkitan?”

 

Jawabnya, yang menyebabkan mereka terpuruk dalam menyembah kuburan ialah hal-hal berikut;

 

Pertama, bodoh terhadap ajaran yang dibawa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, bahkan ajaran yang dibawa seluruh Rasul, yaitu mengejawentahkan tauhid. Mereka menjawab seruan setan karena kebodohannya, dan terjaga karena ilmunya.

 

Kedua, karena adanya hadits-hadits dusta yang banyak sekali yang dibuat oleh para penyembah berhala. Mereka membuat hadits-hadits yang bertentangan dengan agama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan ajaran yang beliau bawa, misalnya hadits, “Jika kalian menghadapi perkara-perkara sulit, hendaknya kalian pergi kepada orang-orang yang ada di kuburan.” Atau hadits, “Jika salah seorang dari kalian berbaik sangka dengan batu, maka itu bermanfaat baginya.” Dan hadits-hadits palsu lain yang bertentangan dengan agama Islam yang dibuat oleh orang-orang musyrik dan diterima dengan antusias oleh orang-orang bodoh dan sesat. Allah mengutus Rasul-Nya untuk membunuh orang yang berbaik sangka dengan batu-batu, dan menjauhkan umatnya dari fitnah kuburan seperti telah dijelaskan sebelumnya.

 

Ketiga, karena adanya cerita-cerita yang dikisahkan kepada mereka dari kuburan. Misalnya seseorang meminta bantuan kepada kuburan Si Fulan untuk menghadapi penderitaannya, kemudian ia terbebas dari penderitaan tersebut. Atau seseorang berdoa kepada kuburan Si Fulan atau berdoa dengannya agar kebutuhannya dipenuhi, kemudian ternyata doanya terkabul. Atau seseorang mendapatkan musibah kemudian ia meminta bantuan kepada mayat, kemudian musibahnya hilang. Penjaga kuburan dan para penyembah kuburan mempunyai segudang cerita-cerita seperti di atas. Mereka adalah manusia yang paling bohong kepada orang-orang yang masih hidup dan orang-orang yang telah meninggal dunia. Setiap jiwa itu mendambakan kebutuhannya terpenuhi dan musibahnya hilang. Jika ia mendengar bahwa kuburan Si Fulan adalah obat yang mujarab, maka setan bermain-main dalam doanya. Kemudian setan mengajak mereka berdoa di kuburan, dan betul orang tersebut berdoa di samping kuburan dengan khusyu’ lalu Allah mengabulkan doanya kerena hatinya khusyw’ dan bukan karena kuburan tersebut. Jika orang berdoa dengan doa seperti itu di bar, tempat penjualan minuman keras, dan pasar, Allah pasti mengabulkan doanya. Orang bodoh menduga, bahwa kuburan berpengaruh dalam terkabulnya doa, padahal Allah mengabulkan doa orang mendapat musibah, kendati orang kafir sekali pun. Allah Ta’ala berfirman,

 

“Kepada masing-masing golongan baik golongan ini maupun golongan itu Kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu. Dan kemurahan Tuhanmu tidak dapat dihalangi.” (Al-Isra’: 20).

 

Nabi Ibrahim Alaihis Salam berkata,

 

“Dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian.”

 

(Al-baqarah: 126).

 

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjawab doa Nabi Ibrahim Alaihis Salam dengan berfirman,

 

“Dan kepada orang yang kafir pun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (Al-Baqarah: 126).

 

Jika Allah mengabulkan doa seseorang, maka itu berarti Allah tidha kepadanya, mencintainya, dan ridha kepada tindakannya, karena Dia juga mengabulkan doa orang baik-baik dan doa orang jahat, doa orang Mukmin dan doa orang kafir. Banyak sekali manusia yang berdoa dengan doa yang tidak etis, atau membuat persyaratan dalam doanya, atau meminta sesuatu yang tidak boleh diminta, kemudian doanya dikabulkan semuanya atau sebagiannya saja, lalu ia menduga bahwa itu adalah bukti bahwa amalnya adalah shalih, ia diridhai Allah, dan kedudukan dirinya adalah seperti orang yang diberi kekayaan dan anak-anak oleh Allah. la menduga, bahwa Allah Ta’ala langsung memberikan kebaikan-kebaikan kepadanya, padahal Allah Ta’ala berfirman,

 

“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka.” (Al-An’aam: 44).

 

Doa itu terkadang merupakan ibadah kemudian orang yang berdoa diberi pahala karena doa tersebut. Atau merupakan permintaan pemenuhan kebutuhannya kemudian doa seperti itu menjadi bumerang baginya, karena ia disiksa dengan apa yang ia terima, atau permintaannya tersebut mengurangi derajatnya. Allah memenuhi kebutuhannya, sekaligus menghukumnya karena ia melanggar hak-hak-Nya, dan batasan-batasan-Nya.

 

Maksud dari ini semua ialah menjelaskan, bahwa setan dengan kelihaian tipu dayanya membuat indah berdoa di kuburan, dan bahwa berdoa di kuburan itu lebih baik daripada di rumah, atau masjid, atau waktu sahur. Jika setan telah berhasil menciptakan kondisi seperti itu (membuat orang berdoa di kuburan), ia naik ke tingkatan yang lebih tinggi, yaitu beralih dari berdoa di samping kuburan kepada berdoa dengannya, dan bersumpah atas nama Allah dengannya. Tingkatan ini lebih parah daripada tingkatan sebelumnya, karena urusan Allah lebih agung dari sekedar dipakai sumpah, atau Dia meminta bantuan dari salah seorang dari makhluk-Nya. Ini semua ditentang para ulama Islam.

 

Abu Al-Husain Al-Quduri berkata dalam Syarhu Kitabi Al-Karkhi, bahwa Bisyr bin Al-Walid berkata, bahwa aku mendengar Abu Yusuf berkata, bahwa Abu Hanifah berkata, “Seseorang tidak layak berdoa kepada Allah, kecuali dengan-Nya.” Kata Abu Hanifah lagi, “Aku tidak suka orang berdoa, Aku meminta-Mu dengan kursi kemuliaan dari Arasy-Mu.’ Aku juga benci seseorang berkata, Aku berdoa kepada-Mu dengan hak Si Fulan, hak Nabi-nabi-Mu, hak Rasul-rasul-Mu, dan hak Masjidil Haram’.”

 

Kata Abu Al-Husain lagi, “‘Adapun meminta dengan selain Allah, maka itu hal yang munkar menurut pendapat para ulama, Karena tidak hak bagi selain Allah atas Allah, dan hak itu adalah milik Allah atas makhluk-Nya. Adapun ucapan seseorang, Aku meminta-Mu dengan kursi kemuliaan dari Arasy-Mu.’ Abu Hanifah memandangnya makruh, dan Abu Yusuf memberikan keringanan (toleransi) terhadapnya.”

 

Kata Abu Al-Husain lagi, diriwayatkan dari Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa beliau berdoa dengan doa tersebut. Selain itu, karena yang dimaksud dengan kursi kemuliaan dari Arasy ialah kemampuan di mana dengan kemampuan tersebut Allah menciptakan Arasy. Jadi seolah-olah ia berdoa dengan sifat-sifat-Nya.

 

Ibnu Baldaji dalam Syarhu Al-Mukhtari, “Makruh hukumnya seseorang berdoa kepada Allah kecuali dengan-Nya. Ia tidak boleh berdoa, ‘Ya Allah, aku meminta kepada-Mu dengan Si Fulan, atau dengan Malaikat malaikat-Mu, atau dengan Nabi-nabi-Mu, dan lain sebagainya.’ Karena makhluk tidak mempunyai hak atas Al-Khaliq. la juga tidak boleh berkata dalam doanya, ‘Aku meminta kepada-Mu dengan kursi kemuliaan dari Arasy-Mu.’ Abu Yusuf membolehkan berdoa dengan doa tersebut.

 

Tentang apa yang dikatakan Abu Hanifah, dan sahabat-sahabatnya, ‘Aku tidak suka dan seterusnya.’ Menurut Muhammad, hal tersebut hukumnya haram. Menurut Abu Hanifah, dan Abu Yusuf, hal tersebut lebih dekat kepada haram dan aspek haram lebih kuat menurut keduanya.

 

Dalam fatwa-fatwa Abu Muhammad bin Abdussalam disebutkan, bahwa tidak dibenarkan meminta kepada Allah dengan sesuatu dari makhluk-makhluk-Nya; para Nabi, dan selain para Nabi.” Abu Muhammad bin Abdussalam tidak berkomentar terhadap Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam karena ia berkeyakinan bahwa hal tersebut disebutkan dalam salah satu hadits, namun ia tidak mengetahui kesahihan hadits tersebut.

 

Jika setan telah berhasil mengondisikan orang tersebut bersumpah kepada Allah dengan orang yang di dalam Kuburan, dan ia berdoa dengannya, serta bahwa cara tersebut adalah cara yang paling bermanfaat dalam memenuhi kebutuhannya, maka setan naik ke tingkatan yang lebih tinggi yaitu orang tersebut berdoa kepada mayat yang ada di dalam kuburan dan bukannya berdoa kepada Allah. Jika itu telah terwujud, setan naik lagi ke tingkatan berikutnya yaitu membuat orang menjadikan kuburan sebagai berhala yang ia beribadah kepadanya, ia menyalakan lampu di dalamnya, diberi kain penutup, dibangun masjid di atasnya, disembah dengan sujud kepadanya, berkeliling di sekitarnya, menciumnya, menyentuhnya, haji di sekitarnya, dan menyembelih hewan kurban di sampingnya. Setelah sukses mewujudkan itu semua, setan naik membawa orang tersebut ke tingkatan selanjutnya yaitu membuat orang tersebut mengajak manusia beribadah kepada kuburan tersebut, menjadikannya sebagai tempat perayaan hari raya dan manasik, serta bahwa cara seperti itu lebih bermanfaat baginya di dunia dan akhirat.

 

Syaikh kami, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Qaddasahullahu ruhahu berkata, ‘Aktivitas-aktifis bid’ah di kuburan ini mempunyai tingkatan-tingkatan. Tingkatan paling jauh dari Syariat ialah seseorang meminta pemenuhan kebutuhannya kepada si mayat dan meminta pertolongan kepadanya dalam memenuhi kebutuhannya, seperti yang dilakukan banyak orang.”

 

Kata Ibnu Taimiyah lebih lanjut, “Mereka tidak berbeda dengan para penyembah berhala. Oleh karena itu, bisa jadi setan menjelma Kepada mereka dalam bentuk mayat sebagaimana ia menjelma Kepada para penyembah berhala. Ini terjadi pada orang-orang musyrik, dan ahli Kitab. Salah seorang dari mereka mengajak orang lain mengagungkannya, Kemudian setan menjelma pada dirinya lalu ia menjelaskan hal-hal ghaib kepada mereka. Begitu juga, sujud di kuburan, menyentuhnya, dan menciumnya.

 

Tingkatan kedua, ialah berdoa kepada Allah Azza wa Jalla dengan mayat. Ini dilakukan banyak sekali orang-orang belakangan ini dan hukumnya adalah bid’ah menurut kesepakatan kaum Muslimin.

 

Tingkatan ketiga, ialah ia meminta kepada mayat itu sendiri.

 

Tingkatan keempat, orang tersebut berkeyakinan bahwa berdoa di samping kuburan mayat adalah mustajab (dikabulkan), atau bahkan lebih mulia daripada berdoa di masjid, kemudian ia bermaksud mengunjunginya, dan shalat di sampingnya agar kebutuhannya tercukupi. Ini juga termasuk kemungkaran plus bid’ah menurut kesepakatan kaum Muslimin serta hukumnya haram. Dan sepengetahuanku tidak ada perbedaan di antara ulama dalam masalah ini, kendati orang-orang belakangan mengerjakannya. Salah seorang dari mereka berkata, ‘Kuburan Si Fulan adalah obat yang mujarab’.”

 

Kisah tentang Imam Syafi’i bermaksud berdoa di kuburan Abu Hanifah adalah kisah yang tidak benar.

 

Perbedaan antara Ziarah Kubur oleh Orang-orang yang Bertauhid dengan Orang-orang Musyrik

 

Tujuan orang-orang yang bertauhid melakukan ziarah kubur ialah tiga hal;

 

Pertama, dalam rangka ingat akhirat, dan mengambil pelajaran darinya. Hal ini telah diisyaratkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan sabdanya,

 

“Hendaklah kalian berziarah kubur, karena kuburan mengingatkan kalian kepada akhirat.” (Diriwayatkan Muslim, Ibnu Majah, dan Al-Hakim).

 

Kedua, dalam rangka berbuat baik kepada si mayat yang ada di kuburan, dan agar ia tidak berpisah dengannya. Sebab jika ia berpisah dengannya (tidak menziarahinya), bisa jadi ia tidak peduli kepadanya dan lupa kepadanya. Ini sama halnya jika ia tidak berziarah (berkunjung) kepada orang yang masih hidup dalam jangka waktu yang lama, bisa jadi lupa kepadanya. Jika ia berziarah (berkunjung) kepada orang yang masih hidup, maka orang tersebut amat berbahagia dan senang dengan ziarahnya (kunjungannya). Seperti itu pula yang terjadi pada mayat jika berziarah kepadanya di kuburnya, karena ia sekarang berada di tempat yang jauh dari keluarganya, saudara-saudaranya, sanak kerabatnya, dan sahabat-sahabatnya. Jadi jika si mayat diziarahi (dikunjungi) dan diberi hadiah dalam bentuk doa, atau sedekah, atau ibadah, maka kebahagiaannya dan kesenangannya semakin besar, sebagaimana orang yang hidup merasa senang kepada orang yang berziarah (berkunjung) kepadanya dan memberinya hadiah. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan orang-orang yang berziarah kubur untuk memintakan ampunan, rahmat, dan maaf untuk para mayat yang ada di kuburan. Beliau tidak memerintahkan mereka berdoa kepada para mayat, tidak pula berdoa dengan mereka, dan tidak pula shalat di kuburan.

 

Ketiga, dalam rangka berbuat baik kepada dirinya sendiri dengan mengikuti Sunah, dan melaksanakan apa yang disyariatkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Jadi ia berbuat kepada dirinya sendiri dan pihak yang diziarahinya (mayat).

 

Sedang ziarah kubur oleh orang-orang musyrik, ia berasal dari para penyembah berhala.

 

Para penyembah berhala berkata, “Mayat yang dimuliakan yang ruhnya pasti mempunyai kedudukan dan keistimewaan di sisi Allah itu tidak henti-hentinya mendapatkan banyak kebajikan dari Allah Ta’ala dan banyak sekali kebaikan mengalir dengan deras kepadanya. Jika peziarah menyatukan jiwanya dengan mayat dan mendekatkannya kepadanya, maka kebaikan-kebaikan tersebut mengalir kepada jiwa peziarah melalui perantaraan ruh mayat, sebagaimana cahaya cermin yang bersih, air, dan lain sebagainya memancar pada badan.”

 

Kata mereka lagi, ‘Demi kesempurnaan ziarah kubur, peziarah hendaknya menghadapkan ruhnya dan hatinya kepada mayat, mengarahkan obsesinya kepadanya, dan mengonsentrasikan semua keinginannya kepadanya dalam artian ia tidak lagi mempunyai Ketertarikan kepada selain mayat. Semakin ia menyatukan obsesi dan hati kepada mayat, maka semakin banyak manfaat yang ia dapatkan dari mayat.”

 

Ziarah kubur dengan model seperti itu dikemukakan Ibnu Sina, AlFarabi, dan lain sebagainya. Para penyembah bintang-bintang juga secara tegas menyatakan seperti itu dalam ibadahnya.

 

Kata mereka lagi, “Jika jiwa orang yang masih hidup menyatu dengan jiwa yang tinggi (mayat), maka cahaya dari jiwa yang tinggi (mayat) akan mengalir kepada jiwa orang tersebut.”

 

Itulah rahasia Kenapa bintandisembah, dibuatkan rumah-rumah peribadatan untuknya, disusun doa-doa untuknya, dan diciptakan berhala-berhala sebagai jelmaan dari bintang-bintang tersebut. Itu pula yang menyebabkan para penyembah kuburan menjadikan kuburan sebagai hari raya, meletakkan Kain penutup di atasnya, menyalakan lampu di atasnya, dan membangun masjid di atasnya. Itulah yang ingin dikikis hingga habis (total) oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan beliau menutup semua jalan yang mengantarkan kepada terjadinya praktik seperti itu. Orang-orang musyrik berdiri di jalan beliau, namun mereka berbeda maksud dengan beliau. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berada di satu jalan, dan mereka berada di jalan yang lain.

 

Orang-orang musyrik menginginkan syafa’at dari ziarah kubur yang mereka lakukan, Karena mereka menyangka bahwa tuhan-tuhan mereka mampu memberi manfaat kepada mereka dengan ziarahnya, dan memberikan syafa’at kepada mereka di sisi Allah.

 

Mereka berkata, “Sesungguhnya jika seseorang menyatukan jiwanya dengan jiwa agung yang didekatkan kepada Allah, ia mengarahkan obsesinya kepadanya, dan menghadap dengan hatinya kepadanya, maka terjalinlah hubungan antara dirinya dengan jiwa luhur (mayat), dan orang tersebut mendapatkan aliran kebaikan yang didapatkan mayat dari Allah.”

 

Mereka menyamakan hal tersebut dengan orang yang mengabdi kepada pejabat dan mempunyai kedekatan dengan penguasa. Ia mendapatkan fasilitas dari pejabat atau penguasa, karena ia mempunyai ikatan dan Kedekatan dengannya.

 

Inilah mistri penyembahan patung-patung, dan oleh karena itu pula Allah mengutus Rasul-rasul-Nya dan menurunkan Kitab-kitabnya untuk mengikisnya, mengkafirkan para pelakunya, dan mengutuk mereka. Allah menghalalkan darah mereka, kekayaan mereka, serta menyandera anak-anak mereka. Allah memasukkan mereka ke dalam neraka. Dan Al-Qur’an dari awal hingga akhir sarat dengan kritikan (kecaman) kepada penyembah berhala, dan mengikis jalan hidup mereka.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Bahkan mereka mengambil pemberi syafa ‘at selain Allah. Katakanlah, ‘Dan apakah (kamu mengambilnya juga) meskipun mereka tidak memiliki sesuatu pun dan tidak berakal?’ Katakanlah,

 

‘Hanya kepunyaan Allah syafaat itu semuanya. Kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi’.” (Az-Zumar: 43-44).

 

Pada ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan, bahwa syafa’at itu milik Dzat yang memiliki langit dan bumi, yaitu Allah Yang Mahaesa. Dia-lah yang memberi syafa’at dengan diri-Nya kepada diri-Nya dengan tujuan menyayangi hamba-Nya. Allah memberi izin kepada siapa yang dikehendaki-Nya untuk memberi syafa’at. Jadi pada hakikatnya, syafa’at adalah milik Allah, dan yang memberi syafa’at di sisi-Nya tidak lain karena izin-Nya dan perintah-Nya, setelah pemberian syafa’at Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada diri-Nya, maksudnya keinginan dari diri-Nya untuk menyayangi hamba-Nya. Ini berbeda dengan syafa’at syirik yang dipahami orang-orang musyrik, dan orang-orang yang sependapat dengan mereka. Itulah syafa’at yang dihapus Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Kitab-Nya. Allah Ta’ala berfirman, “Dan takutlah kalian kepada suatu hari di waktu seseorang tidak dapat menggantikan seseorang lain sedikit pun dan tidak akan diterima suatu tebusan dari padanya dan tidak akan memberi manfaat sesuatu syafa’at kepadanya.” (Al-Baqarah: 123).

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepada kalian sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafaat.” (Al-baqarah: 254).

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan berilah peringatan dengan apa yang diwahyukan itu kepada orang-orang yang takut akan dihimpunkan kepada Tuhannya (pada hari kiamat), sedang bagi mereka tidak ada seorang pelindung dan pemberi syafa’at pun selain daripada Allah, agar mereka bertakwa.” (Al-An’aam: 51).

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

‘Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘arsy. Tidak ada bagi kalian selain daripada-Nya seorang penolong pun dan tidak (pula) seorang pemberi syafaat.” (As-Sajdah: 4).

 

Pada ayat-ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan, bahwa manusia tidak mempunyai pemberi syafa’at selain Allah. Bahkan, jika Allah Subhanahu wa Ta’ala berkehendak menyayangi hamba-Nya, Dia mengizinkan makhluk-Nya untuk memberi syafa’at, seperti yang Allah firmankan,

 

“Tiada seorang pun yang akan memberi syafaat kecuali sesudah ada izin-Nya.” (Yunus: 3).

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah.” (Al-Anbiya’: 28).

 

Jadi syafa’at itu dengan izin Allah dan tidak ada syafa’at tanpa izin-Nya. Tidak ada yang memberi syafa’at tanpa izin-Nya, dan semua pemberi syafa’at adalah dengan izin-Nya. Perbedaan antara kedua pemberi syafa’at tersebut (pemberi syafa’at dengan izin Allah dan pemberi syafa’at tanpa izin Allah) ialah seperti perbedaan antara sekutu selain Allah dengan hamba. Jadi syafa’at yang ditolak Allah Subhanahu wa Ta’ala ialah syafa’at oleh sekutu selain Allah, karena Dia tidak mempunyai sekutu, dan syafa’at yang diakui Allah ialah syafa’at hamba yang diperintahkan yang tidak mampu memberi syafa’at dan tidak berdiri di hadapan-Nya hingga Allah mengizinkannya memberi syafa’at dengan berfirman, “Berilah syafa’at kepada Si Fulan!” Oleh karena itu, orang yang paling berbahagia dengan syafa’at tokoh pemberi syafa’at “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam” ialah orang-orang yang bertauhid, yaitu orang-orang yang memumikan tauhidnya dan membersihkannya dari semua kaitankaitan syirik. Mereka itulah orang-orang yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan mereka tidak bisa memberi syafaat, melainkan kepada orang yang diridhai Allah.” (Al-Anbiya’: 28).

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Pada hari itu tidak berguna syafa’at, kecuali (syafaat) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya, dan Dia telah meridhai perkataannya.” (Thaaha: 109).

 

Pada ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan, bahwa di akhirat kelak orang tidak mendapatkan syafa’at yang bermanfaat, kecuali setelah Allah meridhai perkataan orang yang diberi syafa’at, dan izin Allah kepada pemberi syafa’at. Adapun orang musyrik, ia tidak diridhai Allah dan Allah juga tidak meridhai perkataannya, serta tidak mengizinkan para pemberi syafa’at untuk memberi syafa’at kepadanya, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mengaitkan syafa’at dengan dua syarat;

 

Pertama, keridhaan Allah kepada perkataan orang yang diberi syafa’at.

 

Kedua, izin Allah kepada pemberi syafa’at.

 

Jika kedua syarat tersebut tidak terpenuhi, maka syafa’at tidak terjadi.

 

Rahasianya adalah bahwa segala sesuatu itu milik Allah, dan seseorang tidak memiliki sedikit pun dari sesuatu tersebut bersama-Nya. Makhluk yang paling luhur, paling utama, dan paling mulia di sisi-Nya ialah para Rasul, dan para Malaikat yang didekatkan kepada-Nya. Mereka muri budak-budak Allah. Mereka tidak mendahului firman Allah, tidak mendahului-Nya, dan tidak mengerjakan sesuatu kecuali setelah mendapat izin dan perintah dari Allah kepada mereka. Terutama pada hari di mana seseorang tidak mempunyai sedikit pun kekuasaan atas orang lain. Ya, mereka adalah budak-budak Allah. Segala tingkah laku mereka sangat terkait dengan perintah Allah dan izin-Nya. Jika orang musyrik menyekutukan Allah dengan mereka, dan menjadikan mereka sebagai pemberi syafa’at selain Allah, karena orang musyrik tersebut menduga bahwa jika ia mengerjakan hal tersebut, maka mereka menghadap kepada Allah dan bisa memberikan syafa’at kepadanya di sisi Allah. Orang tersebut adalah orang yang paling bodoh terhadap hak Allah Subhanahu wa Ta’ala, apa yang wajib bagi-Nya, dan apa yang tidak wajib bagi-Nya. Adalah hal yang mustahil mengumpamakan Allah dengan para penguasa dan para pejabat yang menunjuk orang kepercayaannya untuk memberi syafa’at di sisi mereka.

 

Ya, dengan giyas yang tidak beres seperti itulah berhala-berhala disembah, dan orang-orang musyrik menjadikan selain Allah sebagai pemberi syafa’at.

 

Perbedaan antara pemberi syafa’at dengan izin Allah dengan pemberi syafa’at tidak dengan izin Allah ialah seperti perbedaan antara makhluk dengan Al-Khaliq (Sang Pencipta), antara Pemelihara dengan pihak yang dipelihara, antara majikan dengan budak, antara raja dengan rakyat, antara orang kaya dengan orang miskin, dan antara Dzat yang tidak butuh Kepada siapa pun dengan orang yang butuh kepada orang lain dalam semua Keperluannya.

 

Para pemberi syafa’at (mediator) di sisi makhluk (pejabat atau penguasa) adalah sekutu-sekutu mereka. Semua Kepentingan makhluk terealisir dengan pemberi syafa’at (mediator) tersebut. Para pemberi syafa’at (mediator) adalah penolong-penolong mereka dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan. Tanpa mereka, tangan dan lisan para pejabat atau penguasa tidak mungkin digubris manusia. Karena para pejabat atau penguasa membutuhkan rakyat, maka mereka merasa perlu syafa’at diterima rakyat, kendati ia tidak memberi izin dan tidak meridhai pemberi syafa’at. Sebab mereka khawatir kalau syafa’atnya ditolak rakyat, maka mereka menjadi tidak patuh kepadanya dan berpaling Kepada orang selain dirinya. Adapun Dzat Yang Mahakaya Karena tuntutan Dzat-Nya, semua makhluk membutuhkan-Nya, seluruh makhluk yang ada di semua langit dan bumi adalah budak-budaknya, tunduk di bawah kekuasaan-Nya, dan dikendalikan dengan kehendak-Nya. Jika Allah membinasakan mereka, maka sebesar biji atom pun itu semua tidak mengurangi kemuliaan Allah, kekuasaan-Nya, Kerajaan-Nya, rububiyahNya, dan uluhiyah-Nya.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, ‘Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putra Maryam.’ Katakanlah, ‘Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah, jika Dia hendak membinasakan Al Masih putra Maryam itu beserta ibunya dan seluruh orang-orang yang berada adi burni semuanya?’ Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang di antara keduanya, Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (AlMaidah: 17).

 

Allah Ta’ala berfirman di ayat terbaik di antara ayat-ayat Al-Qur’an, yaitu ayat Kursi,

 

“Kepunyaan-Nya apa yang dilangit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya..” (Al-Baqarah: 155).

 

Pada ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan, bahwa Karena Dia adalah Pemilik semua langit dan bumi, maka ini mengharuskan semua syafa’at itu menjadi milik-Nya, bahwa tidak seorang pun yang bisa memberi syafa’at di sisi-Nya kecuali dengan izin-Nya, dan bahwa Dia tidak mempunyai sekutu. Ini berbeda dengan syafa’at oleh sebagian manusia Kepada sebagian yang lain.

 

Dari sini jelaslah, bahwa syafa’at yang ditolak Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-Qur’an adalah syafa’at syirik yang beredar luas di kajangan manusia dan dipraktikkan sebagian dari mereka terhadap sebagian yang lain. Oleh karena itu, Allah terkadang memutlakkan (generalisir) penolakan-Nya tersebut karena syafa’at tersebut dikenal luas di kalangan manusia, dan terkadang Allah membatasi penolakan-Nya dengan mengatakan bahwa syafa’at tidak akan bermanfaat kecuali setelah izin-Nya. Jadi pada hakikatnya syafa’at itu berasal dari Allah. Dialah yang mengizinkannya, menerimanya, ridha kepada orang yang diberi syafa’at, dan yang memberi petunjuk kepada orang tersebut sehingga ia berhak mendapatkan syafa’at. Jadi orang yang mencari pemberi syafa’at selain Allah adalah musyrik, syafa’atnya tidak berguna, dan ia tidak mampu memberi syafa’at untuknya. Sedang orang yang menjadikan Allah sebagai Tuhan sembahan-Nya, kekasih-Nya, tempat menaruh harapan, yang ditakutinya, ia hanya kepada-Nya, mencari keridhaan-Nya, menjauhkan diri dari murka-Nya, untuk dialah Allah mengizinkan pemberi syafa’at untuk memberi syafa’at kepadanya.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Bahkan mereka mengambil pemberi syafa’at selain Allah. Katakanlah, ‘Dan apakah (kalian mengambilnya juga) meskipun mereka tidak memiliki sesuatu pun dan tidak berakal?’ Katakanlah, ‘Hanya kepunyaan Allah syafa’at itu semuanya’.” (Az-Zumar: 4344),

 

Allah Ta’ala berfirman, “Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata, ‘Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah.’ Katakanlah, Apakah kalian mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) di bumi?’ Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari apa yang mereka menyekutukan (itu).” (Yunus: 18).

 

Pada ayat-ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan, bahwa orang-orang yang mengambil pemberi syafa’at selain Allah adalah orang-orang musyrik, bahwa syafa’at tidak bisa diperoleh dengan menjadikan mereka sebagai pemberi syafa’at, bahwa syafa’at diperoleh dengan izin Allah kepada pemberi syafa’at, dan keridhaan-Nya kepada orang yang diberi syafa’at.

 

Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah untuk memahami poin penting ini dan mengenalinya, jelaslah baginya hakikat tauhid dan syirik, dan mengetahui perbedaan antara syafa’at yang diakui Allah Ta’ala dengan syafa’at yang ditolak-Nya serta dikikis-Nya. Barang siapa tidak diberi cahaya oleh Allah, dia tidak memiliki cahaya.