Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Segala puji bagi Allah sang Pencipta Tunggal. Semoga shalawat serta salam senantiasa diberikan kepada Pemimpin kita Nabi Muhammad saw. seorang hamba yang paling mulia, para keluarga dan sahabatnya yang menjadi kebajikan dan petunjuk yang benar.
Setelah selesai membaca hamdalah, shalawat dan salam, lalu berkatalah seorang hamba yang senantiasa membutuhkan kasih sayang Tuhannya Yang Maha Tinggi, yakni Muhammad bin Syafi’ Al Fudlali yang bermadzhab Syafi’i: “Sebagian teman-teman telah meminta kepadaku agar aku mengarang sebuah risalah yang membahas tentang ilmu tauhid. Dan permohonan itupun saya kabulkan dengan mengacu kepada Syaikh As Sanusi dalam menetapkan beberapa dalil. Hanya saja di samping menampakkan madlulnya (yang didalili) saya tambahkan pula dalil lain dan itu saya tambahkan dalam rangka memberikan penjelasan, karena saya tahu tentang betapa lemahnya pengetahuan orang yang meminta kepadaku ini.”
Akhirnya dengan memanjatkan puji kepada Allah swt. saya dapat menghadirkan sebuah risalah yang amat berguna dan baik ini guna menjelaskan makna-makna yang terkandung padanya.
Risalah ini saya beri nama “KIFAYATULAWAM'” (Cukup untuk pedoman bagi orang-orang awam) yang menjelaskan tentang ilmu kalam yang harus diketahui oleh mereka.
Hanya kepada Allahlah saya memohon semoga risalah iri dapat diambil manfa’atnya. Dan hanya Allahlah yang akan memberikan kecukupan kepadaku dan Dialah sebaik-baik Dzat yang diserahi.
Ketahuilah bahwa setiap orang Islam (laki-laki maupun perempuan) wajib mengetahui 50 akidah, dan untuk setiap akidahnya harus diketahui pula dasar-dasarnya baik secara ijmali (garis besar) atau secara tafsili (terinci).
Sebagian ulama berpendapat bahwa masing-masing orang harus dapat mengetahui dasar-dasarnya secara rinci. Akan tetapi menurut pendapat ulama jumhur (terkenal) mengatakan bahwa orang tersebut sudah cukup hanya dengan mengetahui dasar-dasarnya secara garis besar saja untuk masing-masing 50 akidah tersebut.
Contoh dalil tafsili adalah jika ada yang bertanya: “Apakah yang menjadi dasar adanya Allah Ta’ala?” Jawabnya: “Keberadaan semua makhluk ini”. Sipenanya bertanya lagi: “Keberadaan semua makhluk dijadikan dasar adanya Allah itu apakah dari segi sesuatu yang mumkin (bisa ada, bisa tidak) atau dari segi adanya makhluk itu tadinya tidak ada?”
Jika yang ditanya tadi mampu menjawabnya seperti “Bisa jadi dia termasuk sesuatu yang mungkin ada di mana setiap sesuatu yang ada itu pasti ada yang menciptakan. Bisa jadi pula dari segi bahwa makhluk itu tadinya tidak ada menjadi ada dan setiap sesuatu yang ada itu pasti ada yang menciptakan. Atau bisajadi dari kedua segi tersebut di atas secara bersamaan, yakni semua makhluk ini adalah sesuatu yang mungkin ada dan mungkin tidak ada dan ia juga merupakan sesuatu yang baru ada. Jika ia merupakan sesuatu yang baru ada sudah barang tentu mesti ada yang menciptakannya.”
Bila ia mampu menjelaskannya seperti di atas, maka inilah yang dinamakan dalil tafsili, namun jika ia tidak mampu menjelaskan dan ia hanya menjawab dengan “keberadaan semua makhluk ini” saja, tanpa dapat menjelaskan apakah keberadaan semua makhluk yang menjadi dasar adanya Allah swt. ini dari segi mumkinnya atau dari segi dia ada yang tadinya tidak ada, maka inilah yang dinamakan dalil ijmali, dan menurut pendapat ulama jumhur yang demikian ini sudah cukup (bagi orang awam).
Yang dinamakan taqlid adalah jika seseorang telah mampu mengetahui ke 50 akidah yang ada, namun dia tidak mampu mengemukakan dasar-dasarnya baik itu dasar secara garis besar (ijmali) atau dasar secara terinci (tafsili).
Dalam masalah ini terjadi beda pendapat di kalangan ulama. Sebagian mereka ada yang berpendapat bahwa di bidang akidah ini tidak cukup hanya dengan taqlid saja dan orang yang hanya taqlid saja menurutnya ia berstatus kafir. Pendapat ini didukung oleh Ibnu Arabi dan As Sanusi, bahkan dalam sarah kitab “Al Kubra” beliau mengupas panjang lebar untuk menentang pendapat ulama yang berpendapat “cukup dengan taqlid”. Akan tetapi disinyalir Imam As Sanusi telah mencabut kembali ucapannya dan sekarang beliau berpendapat “cukup dengan taqlid (bagi orang yang awam)”. Namun kenyataan dalam beberapa kitabnya kami masih sering melihat beliau mengatakan” tidak cukup dengan taqlid saja.”
- PENGERTIAN WAJIB, MUSTAHIL DAN JAIZ
Ketahuilah bahwa untuk memahami ke 50 akidah yang akan datang nanti sangat tergantung kepada tiga hal, yakni: 1. Wajib,.2. Mustahil, 3. Jaiz.
Pertama : Wajib, adalah di mana akal manusia tidak dapat menerima jika sesuatu itu tidak ada. Maksudnya akal tidak akan membenarkan manakala sesuatu itu tidak ada seperti bertempatnya sebuah benda, yakni pengambilan sebatang pohon pada suatu tempat kosong. Benda yang dimaksud tadi misalnya pohon, batu dan lain sebagainya.
Jika ada orang yang bercerita kepada kamu bahwa ada sebatang pohon yang tidak mengambil tempat sedikit pun di bumi mana pun, ini akal saudara sudah barang pasti tidak akan menerimanya karena bertempatnya sebatang pohon adalah merupakan suatu keharusan yang mana akal sehat manusia tidak akan membenarkan manakala itu tidak terjadi.
Kedua : Mustahil, adalah sesuatu di mana akal manusia tidak akan membenarkannya manakala sesuatu itu ada. Maksudnya akal mana pun tidak akan menerimanya jika sesuatu itu terjadi.
Jika misalnya ada seseorang yang bercerita kepada kamu ada suatu benda yang secara bersamaan dia tidak bergerak dan Juga tidak diam, ini pasti akal saudara tidak akan menerimanya karena mustahil ada sebuah benda yang tidak bergerak dan Juga tidak diam secara bersamaan.
Ketiga : Jaiz, adalah sesuatu yang ada atau tidak adanya sama-sama dapat diterima oleh akal seperti si Zaid mempunyai anak.
Misalnya ada yang bercerita kepada anda bahwa si Zaid mempunyai anak, maka boleh saja akal saudara menerima atau menolaknya. Atau mungkin ada yang bercerita kepada kamu lagi bahwa si Zaid tidak mempunyai anak, maka boleh saja akal saudara menerima atau menolaknya.
Kesimpulannya berarti ada atau tidaknya anak bagi Zaid adalah merupakan hal yang jaiz di mana akal dapat menerima bila Zaid mempunyai anak atau tidak mempunyai anak.
Dengan demikian berarti ketiga hal tersebut di atas sangat berkaitan erat dengan memahami semua akidah sehingga ketiga hal tersebut harus diketahui oleh setiap orang yang telah dewasa (mukallaf) baik laki-laki maupun perempuan, karena sesuatu yang terkait dengan sesuatu yang wajib dia juga menjadi wajib hukumnya. Bahkan menurut pendapat Imam Haramain “memahami ketiga hal tersebut di atas adalah merupakan hakikat daripada akal sehingga bagi yang tidak mengetahui arti wajib, mustahil dan jaiz maka berarti ia tidak memiliki akal”.
Jika ada yang berkata kepada saudara “Qudrah (kekuasaan) adalah merupakan sesuatu yang harus menjadi milik Allah”, maka jika seandainya kekuasaan itu tidak ada pada-Nya pasti akal tidak akan menerimanya karena arti wajib adalah merupakan sesuatu di mana akal tidak bisa menerimanya bilamana sesuatu itu tidak ada, sebagaimana penjelasan terdahulu.
Mengenai “wajib” yang diartikan sebagai sesuatu yang diberikan pahala bilamana dilakukan dan diancam siksa manakala tidak dilakukan, ini merupakan arti lain yang tidak dimaksudkan dalam ilmu tauhid ini. Oleh karenanya dimohon agar saudara tidak mencampuradukkan masalah ini.
Memang, jika ada dikatakan: “Bagi setiap mukallaf harus meyakini adanya kekuasaan Allah”, ini maksudnya adalah ia akan mendapatkan pahala lantaran keyakinannya itu dan sebaliknya bilamana ia tidak meyakininya maka ia akan diancam dengan siksa.
Oleh karenanya dalam hal ini harus dibedakan antara “meyakini hal semacam ini adalah wajib” dan “sifat ilmu adalah wajib bagi Allah”, sebab jika dikatakan bahwa “sifat ilmu itu harus menjadi milik Allah”, maka pengertiannya adalah akal tidak bisa menerimanya bila sifat ilmu dan sirna dari Allah.” Dan bila dikatakan bahwa “meyakini sifat ilmu itu wajib” maka pengertiannya adalah orang tersebut akan mendapatkan pahala bilamana ia meyakininya dan diancam siksa manakala ia tidak meyakininya. Oleh karenanya berhati-hatilah dalam membedakan dua hal tersebut. Jangan sampai saudara hanya bertaqlid saja dibidang akidah-akidah agama ini sehingga iman saudara akan selalu diperselisihkan yang akibatnya saudara akan berada di neraka selama-lamanya menurut pendapat yang mengatakan bahwa “Taqlid dibidang akidah tidak boleh.”
Imam Sanusi berkata: “Seseorang tidak dikatakan beriman jika ia mengatakan “saya telah mantab dalam akidah itu dan saya tidak akan mundur sedikit pun dari kemantapan itu meski badanku dipotong-potong menjadi beberapa bagian”, bahkan orang tersebut tidak sebagai orang yang beriman sebelum dia dapat mengetahui ke 50 akidah yang ada dengan seluruh dalil-dalilnya.
Mendahulukan mempelajari ilmu (pengertian) semacam itu fardlu ain hukumnya sebagaimana dikutip dari penjelasan kitab syarah “AI ‘Aqa-id” karena menurut pengarangnya (Sa’ad At Taftazani) ilmu ini telah dijadikan sebuah pondasi yang di atasnya akan dibangun ilmu-ilmu lain.
Oleh karenanya maka tidak boleh menghukumi sah terhadap wudlu atau shalatnya orang yang tidak mengetahuinya atau tidak mantab dalam akidah-akidah tersebut sesuai dengan alur beda pendapat diatas tadi.
Bila ada yang berkata misalnya: “Ajzu (adalah) suatu yang mustahil bagi Allah Ta’ala”, maka yang dimaksudkan adalah bahwa akal manusia tidak akan menerima dan membenarkannya bila Allah Ta’ala itu memiliki sifat “lemah”. Hal yang semacam ini berlaku pula untuk semua sifat yang mustahil bagi Allah Ta’ala.
Jika ada lagi yang berkata: “Allah Ta’ala telah memberikan rizgi satu dinar kepada Zaid” misalnya, berarti itu adalah merupakan sesuatu yang jaiz dengan arti bahwa akal bisa menerima atau tidak terhadap kejadian tersebut.
- PENJELASAN AKIDAH SECARA GLOBAL
Sebelum kami menjelaskan ke 50 akidah secara rinci, baiklah di sini sebelumnya kami akan menjelaskannya terlebih dahulu secara global.
Ketahuilah bahwa Allah Ta’ala memiliki sifat wajib sebanyak 20, sifat muhal sebanyak 20 dan sifat jaiz ada satu, sehingga jumlahnya ada 41 sifat. Sedang bagi semua Rasul mereka memiliki sifat wajib sebanyak 4, sifat muhal sebanyak 4 dari sifat jaiz sebanyak satu, sehingga jika dijumlah secara keseluruhan menjadi 50 sifat
Mengenai penjelasan ke 50 akidah tersebut secara rinci, Insya Allah akan jelaskan kemudian.
1. SIFAT WAJIB ALLAH YANG PERTAMA “WUJUD”
- PENGERTIAN “WUJUD” MENURUT SELAIN IMAM ASY’ARI
Sifat wajib Allah yang pertama “Wujud”. Mengenai arti sifat “Wujud” terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Selain Imam Asyari dan para pengikutnya berpendapat bahwa “Wujud” artinya adalah suatu keadaan yang harus dimiliki oleh suatu dzat selama dzat tersebut masih ada, dan keadaan semacam ini tidak bisa dibatasi suatu alasan.
Yang dimaksud dengan sifat wujud itu merupakan suatu keadaan adalah bahwa sifat tersebut tidak bisa naik kepada tingkatan sesuatu yang diujudkan sehingga dapat dilihat dan juga tidak bisa turun kepada tingkatan sesuatu yang tidak diujudkan sehingga dia sama sekali tidak ada melainkan dia berada ditengah-tengah antara ada dan tidak ada.
Tentang “Wujud”, keberadaan si Zaid misalnya adalah suatu keadaan yang harus terjadi pada dirinya dalam arti bahwa keberadaan (wujud) Zaid tidak mungkin terlepas dari dirinya dan senantiasa melekat padanya selama dzat itu ada. ‘
Yang dimaksud dengan pendapat para ulama “tidak bisa dibatasi oleh suatu alasan” adalah bahwa hal tersebut tidak bisa timbul dari sesuatu, Ini berbeda dengan keadaan Zaid yang mempunyai “kekuasaan” misalnya, maka hal ini adalah timbul dari kemampuannya sendiri.
Oleh karenanya jika seandainya si Zaid itu mempunyai suatu kemampuan dan dia ada (wujud) itu adalah merupakan dua hal yang ada pada dirinya yang tidak dapat dilihat oleh kelima indera manusia. Hanya saja yang pertama tadi mempunyai suatu alasan yang timbul dari padanya, yakni kemampuan, sementara yang kedua tidak mempunyai alasan sama sekali.
Inilah suatu patokan bagi,”haal nafsiyah” (keadaan diri pribadi). Dan perlu diketahui bahwa setiap keadaan yang berada pada suatu dzat yang tidak bisa dibatasi dengan suatu sebab itu dinamakan “sifat nafsiyah”, yakni di mana keberadaan dzat tersebut tidak bisa diterima akal manakala tidak dibarengi dengan sifat tadi, dengan kata lain bahwa keberadaan barang tersebut tidak bisa diterima oleh akal sehat dan akal akan mau menerimanya bilamana ia bersamaan dengan sifat tersebut seperti suatu barang yang menempati sebuah tempat. Jika seandainya saudara membayangkannya kemudian dapat menemukannya maka saudara akan dapat menyimpulkan bahwa barang tersebut telah menempati suatu tempat. .
Menurut pendapat ini yakin adanya wujud itu adalah merupakan suatu keadaan maka berarti Dzat Allah Ta’ala tidak merupakan wujudnya Allah dan dzat semua yang selain Allah juga bukan merupakan bentuk wujudnya,
- PENGERTIAN “WUJUD” MENURUT PENDAPAT KELOMPOK ASY’ARI
Yang dimaksud dengan “wajib wujud bagi Allah Ta’ala” menurut pendapat yang pertama tadi adalah bahwa sifat nafsiyah yang mana itu adalah merupakan suatu keadaan maka hal tersebut harus ada pada Allah Ta’ala, sedangkan menurut pendapat yang kedua (kelompok Asy’ari) sesuai dengan kenyataannya bahwa Dzat Allah itu pasti ada sehingga jika tabir telah dibuka maka kita akan mampu melihat Dzat ‘ Allah. Dengan demikian berarti bahwa Dzat Allah Ta’ala itu pasti ada, hanya saja menurut pendapat yang pertama tadi wujudnya Allah tidak merupakan dzat-Nya, sementara menurut pendapat kedua bahwa Dzat Allah adalah merupakan bentuk wujud-Nya.
- BUKTI YANG MENUNJUKKAN ALLAH WUJUD
Dalil yang menunjukkan wujud (ada)nya Allah adalah baru diciptakannya alam ini, Maksudnya bahwa alam ini “ada” yang sebelumnya “tidak ada”, Allah ini merupakan suatu bentuk sebagaimana halnya dzat dan juga memiliki sifat seperti bergerak, tenang dan juga mempunyai warna. ,
Alam yang baru diciptakan ini dapat menjadi bukti adanya Allah Ta’ala karena pada dasarnya tidak mungkin alam ini bisa ada dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakannya, karena sebelum alam ini diciptakan, keberadaannya sama halnya jika ia tidak diciptakan. Tatkala alam ini telah diciptakan dan tidak adanya telah sirna maka kita menjadi tahu bahwa adanya alam ini telah mengungguli tidak adanya alam tersebut, padahal sebelumnya adanya alam ini sama dengan sebelum diciptakan sehingga tidak mungkin adanya alam ini mengungguli tidak diciptakannya alam itu sendiri.
Dari sini maka jelaslah sekarang bahwa diciptakan alam ini ada yang mengunggulkan atas yang lain, yakni (Allah) yang telah menciptakannya karena pengunggulan terhadap salah satu dari dua hal yang diklasifikasinya sama itu tidak mungkin akan terjadi manakala tanpa ada yang mengunggulkannya. .
Si Zaid misalnya, sebelum ia diciptakan, bisa jadi ia diciptakan pada tahun sekian dan bisa jadi ia tidak diciptakan sama sekali. Dengan demikian berarti diciptakan atau tidak diciptakan Zaid itu sama saja
Ketika si Zaid telah diciptakan dan tidak diciptakannya si Zaid itu telah sirna pada masa yang telah ditentukan berarti kita menjadi tahu bahwa adanya si Zaid itu berarti ada yang menciptakan, tidak ada dengan sendirinya.
Ini berarti kesimpulan dari dalil tersebut adalah saudara harus mengetahui bahwa alam yang memiliki bentuk dan sifat ini adalah merupakan sesuatu yang baru ada yang dia ada setelah tidak ada, sedang setiap sesuatu yang baru ada mesti ada yang mengadakan. Kesimpulannya adalah bahwa alam ini pasti ada yang mengadakan. Dan inilah yang disebut dengan “dalil aqli”
Tentang siapa yang menciptakan alam ini? Dialah yang biasa disebut dengan menggunakan lafaz “JALALAH” yang mulia (Allah) dan nama- nama lain di mana itu telah dijelaskan melalui para Nabi as.
Ingatlah selalu akan permasalahan ini juga dalil yang tersebut di atas yakni alam yang baru diciptakan ini adalah merupakan bukti akan adanya Allah Ta’ala.
- BUKTI BAHWA ALAM INI BARU DICIPTAKAN
Adapun dalil atas barunya alam, ketahuilah bahwa alam ini memiliki bentuk dan sifat-sifat sebagaimana penjelasan terdahulu, sedang sifat-sifat yang ada pada alam ini seperti bergerak atau diam adalah merupakan sesuatu yang baru juga dengan dasar bahwa saudara dapat menyaksikan sendiri bahwa sifat-sifat tersebut selalu berubah-ubah, yang asalnya tidak menjadi ada atau asalnya tidak ada menjadi ada.
Sebagaimana gerakan si Zaid yang sering kita lihat misalnya gerakan itu akan menjadi tidak ada manakala dia diam dan sebaliknya diam itu akan menjadi sirna tatkala ia bergerak. Dengan demikian berarti diam yang dilakukan setelah ia bergerak itu akan terjadi setelah ia tidak bergerak dan gerakan yang dilakukan setelah diam itu akan terjadi setelah diam itu tiada. Dan sesuatu yang ada setelah dia tidak ada dan sirna berarti hal itu baru diciptakan.
Dari sini dapat dimengerti bahwa segala sifat yang ada berarti itu baru dan segala yang berbentuk pasti tidak akan terlepas dari sifat-sifat tadi karena apa pun yang ada di dunia ini tidak mungkin terlepas dari bergerak atau diam, dan setiap sesuatu yang memiliki ciri-ciri barang yang baru maka dia pun juga baru, yakni dia ada setelah sebelumnya tidak ada. Segala yang mempunyai bentuk juga baru sama dengan sifatsifat yang dimiliki tadi.
Kesimpulan dari dasar tersebut adalah saudara harus berani mengatakan bahwa segala sesuatu yang mempunyai bentuk pasti memiliki sifat yang baru dan setiap sesuatu yang memiliki sifat-sifat baru diapun juga baru sehingga dapat disimpulkan bahwa segala yang mempunyai bentuk pasti baru juga.
Mengenai barunya kedua hal tersebut, yakni segala yang mempunyai bentuk dan semua sifat, atau dengan kata lain bahwa kedua hal tersebut ada setelah sebelumnya tidak ada ini adalah sebagai dasar tentang wujudnya Allah Ta’ala karena setiap sesuatu yang baru ada sudah pasti ada yang menciptakannya dan tiada lagi yang mampu menciptakan alam ini kecuali hanya Allah Ta’ala semata, Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya. Hal ini sebagaimana penjelasan yang akan datang adalah juga sebagai dalil akan adanya sifat “Wahdaniyah” bagi Allah Ta’ala.
Inilah yang dinamakan dalil ijmali yang harus diketahui oleh setiap orang yang telah dewasa (mukallaf) baik laki-laki maupun perempuan, sebagaimana pendapat Imam Ibnu Arabi dan Imam Sanusi. Bahkan mereka berdua berani memvonis kafir bagi siapa saja yang tidak mengerti akan dalil tersebut. Oleh karenanya jaga dan peliharalah iman saudara agar tidak terjadi khilaf,
2. SIFAT WAJIB ALLAH YANG KEDUA “QIDAM”
- PENGERTIAN QIDAM
Arti daripada qidam adalah tidak ada permulaannya. Ini berarti bahwa yang dimaksud dengan Allah memiliki sifat qidam adalah wujudnya Allah Ta’ala tidak ada permulaannya. Hal ini sangat berbeda dengan si Zaid misalnya, yakni wujudnya Zaid ada permulaannya, yaitu . sejak dari diciptakannya air sperma yang mana dia diciptakan dari air sperma tadi.
- BEDA PENDAPAT ANTARA QADIM DAN AZALI
Ada beda pendapat tentang apakah antara QADIM (qidam) dan Azali itu satu makna atau masing-masing mempunyai arti yang berbeda?
Bagi yang mengikuti pendapat pertama (memiliki arti sama) ia mendifinisakan QADIM dengan kata “MAALAAAWWALA LAHU” dengan mengartikan kata “MAA” dengan “SYAI-UN? sesuatu, yakni sesuatu yang tidak mempunyai permulaan, sedang Azali adalah “ASYSYAI-U ALLADZI LAAAWWALALAHU”, sesuatu yang tidak memiliki permulaan” sehingga hal ini akan mencakup Dzat Allah dan segala sifat-sifat-Nya. Sementara yang mengikuti pendapat kedua (yang memiliki arti berbeda) dia mendifinisikan QADIM sebagai sesuatu yang wujud yang tidak mempunyai permulaan dan mendifinisikan Azah sebagai sesuatu yang tidak memiliki permulaan. Azali ini akan mencakup segala yang wujud dan yang tidak wujud dan Azali ini lebih umum dibanding QADIM,
Kedua hal tersebut dapat bertemu pada Dzat dan sifat Allah yang ada seperti Qudrah, Iradah dan lain sebagainya, sehingga dapat dikatakan bahwa Dzat Allah itu Azali (dan juga dalam Qadim). Demikian pula qudrah Allah juga Azali (dan Qadim pula).
Azali ini dapat berdiri sendiri pada “ahwaal” (sifat-sifat maknawiyah), sebagaimana Allah Ta’ala memiliki sifat qudrah (kuase menurut pendapat yang menyetujui adanya “ahwaal” tadi. Karena Allah Ta’ala itupun azali juga menurut pendapat ini, dan dia tidak dapat dikatakan Qadim lantaran kita telah mengetahui bahwa QADIM itu hans dibarengi dengan wujud, sementara qudrah sendiri tidak akan dapal sampai kepada tingkatan wujud karena wujud itu adalah merupakan keadaan,
- DALIL YANG MEMBUKTIKAN ALLAH TA’ALA QIDAM
Bukti yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala itu qidam adalah jika seandainya Allah Ta’ala itu tidak qidam (ada permulaannya) sudah barang tentu Allah Ta’ala itu hadits (baru diciptakan) karena antara qidam dan hadits itu tidak ada perantaranya sehingga setiap sesuatu yang terlepas dari qidam pasti ia hadits dan jika Allah Ta’ala itu hadits sudah barang pasti ada pencipta yang menciptakan-Nya, sedang yang menciptakan Allah akan butuh kepada yang menciptakannya lagi. Demikian pula seterusnya. :
D, TASALSUL DAN DAUR
Jika para pencipta Allah itu adalah selalu berurutan tanpa ada habisnya berarti itu akan terjadi “tasalsul”, yakni pertalian sesuatu dengan yang lain tanpa ada batas akhirnya, toh tasalsul yang demikian ini sangat mustahil terjadi,”
Bila pertalian para pencipta Allah itu ada batas akhirnya seperti jika pencipta yang telah menciptakan Allah itu terlebih dahulu diciptakan oleh Allah Ta’ala maka akan terjadilah “daur” yakni pertautan sesuatu kepada yang lain dan yang lain itu bertaut kembali kepada yang pertama lagi.
Dengan demikian berat jika seandainya Allah Azza Wajalla itu ada yang menciptakan maka sudah barang pasti Dia akan sangat tergantung kepadanya, padahal kita semua telah berkeyakinan bahwa Allahlah yang menciptakan segala apa yang ada di dunia ini sehingga semuanya sangat bergantung kepada Allah.
Daur dalam hat ini sangat mustahil terjadi, yakni hal tersebut tidak akan dibenarkan oleh akal, sedang yang mendatangkan kepada daur dan tasalsul yang muhal itu berarti ada-kesimpulan bahwa Allah Azza Wajalla itu hadits, padahal Allah Ta’ala muhal jika Dia hadits karena setiap sesuatu yang telah sampai kepada tataran muhal berarti itu muhal pula.
- KESIMPULAN DALIL QIDAM
Kesimpulan dari dalil qidam di atas adalah jika seandainya Allah Ta’ala itu tidak qidam atau dengan kata lain Dia itu hadits pasti Dia butuh kepada yang menciptakan. Jika demikian maka akan terjadilah daur dan tasalsul, toh keduanya itu tidak mungkin terjadi. Bila memang Allah Ta’ala itu muhal hadits maka Dia wajib qidam dan inilah yang harus terjadi.
Demikian inilah yang disebut dengan “dalil ijmali” tentang Allah QIDAM dan dengan mengetahui dalil inilah seseorang akan terlepas dari belenggu taqlid yang menyebabkan dia akan kekal di neraka menurut pendapat Imam Ibnu Arabi dan Imam Sanusi sebagaimana penjelasan terdahulu
3. SIFAT WAJIB ALLAH YANG KETIGA “BAQA”
- PENGERTIAN BAQA’
Makna dari Baga’ adalah wujud yang tiada akhirnya. Dalil yang dimaksud Allah itu baga’ adalah jika seandainya Allah Itu mungkin ‘adam (tidak ada) niscaya Allah itu hadits dan sudah barang tentu Dia butuh kepada yang menciptakan. Yang demikian ini akan terjadilah daur dan tasalsul sebagaimana pengelasan terdahulu pada sifat qidam
Penjelasannya dalil jika sesuatu itu mungkin ‘adam sudah barang pasti dia tidak qidam, karena setiap yang ‘adam wujudnya tidak menjadi jaiz (bisa ada bisa tidak), sedang setiap yang jaiz dan setiap yang hadits pasti butuh kepada yang menciptakan. Padahal Allah Ta’ala sudah jelas qidam sehingga muhal bagi-Nya ‘adam. Dengan demikian berarti ali yang menunjukkan bahwa Allah itu baga’ sama dengan dalil yang ada pada sifat qidam.
B.KESIMPULAN DALIL BAQA’
Kesimpulannya adalah jika seandainya Allah Ta’ala itu tidak harus. baga’, yakni jika seandainya Allah itu ‘adam (tidak ada) sudah barang pasti tidak mungkin Allah itu qidam, padahal qidam itu sendiri tidak mungkin terlepas dari Allah Ta’ala sesuai dengan dalil di atas.
Inilah dalil ijmali tentang baga’ yang harus diketahui oleh setiap ‘ orang. Yang demikian ini juga berlaku untuk seluruh akidah yang harus diketahui secara keseluruhan di samping harus mengetahui semua dalilnya secara global (ijmal). Jika seseorang hanya mampu mengetahui sebagian akidah saja berikut dalil-dalilnya sementara yang lain belum diketahuinya lengkap dengan seluruh dalilnya maka orang tersebut belum dianggap cukup menurut pendapat yang mengatakan tidak boleh bertaqlid di bidang akidah.
4. SIFAT WAJIB ALLAH YANG KEEMPAT “MUKHALAFAH LIL HAWADITS”
- PENGERTIAN “MUKHALAFAH LIL HAWADITS”
Allah memiliki sifat Mukhalafah lil hawaditsini pengertiannya adalah Allah Ta’ala itu tidak sama dengan makhluk baik itu manusia, jin, malaikat atau yang lain. Dalam hal ini Allah Ta’ala tidak mungkin memiliki sifat yang dimiliki oleh semua makhluk seperti berjalan, duduk atau mempunyai susunan anggota badan. Allah terlepas dari susunan anggota tubuh seperti punya mulut, mata, kuping atau yang lain.
Segala sesuatu yang terlintas dalam hati seperti panjang, lebar, pendek dan gemuk, di sini Allah Ta’ala tidak seperti itu. Allah Ta’ala Maha Suci dari segala macam sifat yang dimiliki oleh semua makhluk.
- DALIL BAHWA ALLAH MEMILIKI SIFAT “MUKHALAFAH LIL HAWADITS”
Dalil yang menjelaskan bahwa Allah harus memiliki sifat Mukhalafah lil hawadits adakah jika seandainya ada sedikit saja dari makhluk ini setara dengan Allah Ta’ala, yakni jika seandainya Allah Ta’ala ini memiliki sedikit saja sifat yang sama dengan sifat yang dimiliki para makhluk niscaya Allah itu baru. Jika Allah itu baru niscaya Dia butuh kepada yang menciptakan dan yang menciptakan Allah akan butuh juga kepada yang menciptakan lagi dan seterusnya. Yang demikian ini akan menimbulkan adanya daur dan tasalsul. Toh itu sangat muhal terjadi.
- KESIMPULAN DALIL SIFAT “MUKHALAFAH LIL HAWADITS”
Kesimpulan dari dasar tersebut di atas adalah jika seandainya Allah Ta’ala itu menyerupai sedikit saja dari sifat-sifat yang dimiliki oleh salah Satu dari makhluk ini sudah barang tentu Dia menjadi baru sama dengan makhluk tersebut, karena sesuatu yang mungkin terjadi pada salah satu – dari dua hal yang memiliki kesamaan sudah pasti hal itu sangat mungkin terjadi pada yang lain, padahal Mustahil Allah itu hadits (sama dengan makhluk) karena Allah Ta’ala itu wajib qidam.
Manakala Allah Ta’ala terlepas dari sifat hadits sudah semestinya Allah itu mukhalafah lil hawadits (tidak sama dengan makhluk).
Dengan demikian berarti sudah barang pasti sedikit pun Allah Ta’ala tidak mempunyai kemiripan dengan makhluk. Inilah dalil ijmali yang harus diketahui oleh setiap mukallaf sebagaimana penjelasan terdahulu.
5. SIFAT WAJIB ALLAH YANG KELIMA “QIYAMUHU BINAFSIHI”
- PENGERTIAN SIFAT “QIYAMUHU BINAFSIHI”
Arti dari “QIYAMUHU binafsihu” adalah tidak membutuhkan pada tempat dan yang menciptakan. Tempat diartikan sebagai dzat sedang yang menciptakan diartikan sebagai mukhassis.
Dengan demikian berarti dari Allah memiliki sifat “Qiyamuhu binafsihi” adalah bahwa Dia tidak butuh kepada dzat lain sebagai sandarannya dan juga tidak butuh kepada yang menciptakan karena memang Dialah Sang Pencipta segala sesuatu.
B.DALIL ALLAH MEMILIKI SIFAT “QIYAMUHU BINAFSIHI”
Dalil yang membuktikan Allah memiliki sifat “Qiyamuhu binafsihi” adalah jika seandainya Allah itu membutuhkan suatu tempat atau dzat yang dijadikan sebagai pijakan sebagaimana warna putih butuh suatu tempat untuk melekat, niscaya Allah Ta’ala itu berupa suatu sifat sebagaimana halnya warna putih yang juga berupa sifat.
Allah Ta’ala tidak mungkin berupa sifat karena Allah Ta’ala sendiri memiliki beberapa sifat sedangkan sifat itu sendiri tidak mungkin memiliki sifat lagi. Dengan demikian berarti Allah Ta’ala itu tidak berupa sifat.
Jika seandainya Allah Ta’ala itu butuh kepada yang menciptakan sudah barang tentu Allah itu hadits, dan yang menciptakan Allah juga hadits pula. Bila demikian maka akan terjadilah “Daur dan Tasalsul”. Oleh karenanya maka jelaslah bahwa Allah Ta’ala itu Maha kaya yang memiliki kekayaan mutlak, yakni tidak butuh kepada apapun.
Adapun kekayaan yang dimiliki oleh makhluk itu adalah merupakan kekayaan yang terbatas yakni dia hanya memiliki sesuatu tapi masih butuh yang lain. Hanya Allahlah yang memberikan petunjuk kepada kita semua.
6. SIFAT WAJIB ALLAH YANG KE 6 “WAHDANIYYAH”
- PENGERTIAN WAHDANIYYAH
Sifat wajib Allah yang ke 6 adalah “Wahdaniyyah” (Esa) yang artinya adalah bahwa Allah Ta’ala itu Maha Esa dalam Dzat, sifat dan perbuatan-Nya. Esa artinya tidak berbilang.
Yang dimaksud Allah Ta’ala Maha Esa dalam dzat-Nya adalah Dzat Allah Ta’ala tidak tersusun dari berbagai macam anggota bada” Dan susunan inilah yang disebut dengan istilah “Kam Muttashil”. Ada lagi yang memberikan pengertian bahwa tidak ada dzat yang manapun yang ada dan yang mungkin ada di dunia ini yang menyerupai dan mirip dengan Dzat Allah Ta’ala. Kemiripan semacam inilah yang disebut “Kam Munfashil”.
Dengan demikian berarti ke-Esa-an Allah dalam dzat ini dapat menafikan (menghapus) dua “Kam” tadi, yakni Kam Muttashil fidz dzat dan Kam Munfashil fidz dzat.
Yang dimaksud Allah Esa dalam sifat-Nya adalah bahwa Allah Ta’ala tidak memiliki dua sifat yang sama, baik sama dalam nama maupun artinya ilmu atau dua sifat iradah. Allah Ta’ala hanya memiliki satu sifat qudrah, satu sifat ilmu dan satu sifat iradah. Pendapat ini berbeda dengan pendapat Imam Abu Sahal yang mengatakan bahwa Allah Ta’ala itu memiliki beberapa sifat ilmu sesuai jumlah yang diketahui-Nya. Dan inilah – yakni double-nya sifat Allah – yang dinamakan Kam Muttashil fis sifaat.
Ada lagi yang mengartikan bahwa tak seorangpun yang memiliki sifat yang menyerupai salah satu dari’sifat-sifat Allah dan inilah – yakni ‘ jika ada orang yang memiliki sifat-sifat yang mirip dengan sifat Allah yang disebut Kam Munfasil fis sifaat.
Dengan demikian berarti ke-Esa-an Allah dalam sifat-sifat-Nya telah menafikan adanya Kam Muttashil fis sifaat dan Kam Munfashil fis sifat.
Yang dimaksud dengan Allah Maha Esa dalam perbuatan-Nya adalah tak seorangpun di dunia ini yang memiliki perbuatan yang sama atau mirip dengan perbuatan Allah, karena Allahlah yang menciptakan perbuatan semua makhluk tersebut baik itu perbuatan para Nabi, para malaikat atau yang lainnya.
Mengenai kematian seseorang atau ada orang yang disiksa lantaran menentang kepada salah satu wali Allah misalnya, itu adalah merupakan sesuatu yang diciptakan Allah bersamaan dengan marahnya sang wali tersebut karena dia berani menentangnya.
Esa dalam perbuatan tidak boleh ditafsirkan bahwa selain Allah Ta’ala itu memiliki perbuatan sama dengan perbuatan-Nya karena yang demikian itu dapat diartikan bahwa selain Allah juga memiliki perbuatan namun tidak seperti perbuatan Allah. Penafsiran yang demikian ini sama sekali tidak benar karena Allah Ta’alalah yang menciptakan segala perbuatan para makhluk-Nya.
Hal-hal yang terjadi pada diri saudara seperti gerakan tangan ketika memukul si Zaid misalnya itu adalah merupakan suatu gerakan yang diciptakan oleh Allah Ta’ala, karena di dalam Al Qur’an Allah telah berfirman: “Dan Allalah yang telah menciptakan kamu dan (menciptakan pula) semua yang kamu lakukan”.
Mengenai selain Allah memiliki perbuatan inilah yang dinamakan dengan istilah “Kam Munfashil fidz dzat”‘.
- SIFAT WAHDANIYAH MENAFIKAN LIMA KAM
Sifat Wahdaniyah (Esa) yang harus dimiliki Allah itu telah menafikan lima Kam yang mustahil bagi Allah, yakni:
- Kam Muttashul fidz dzat, yakni Dzat Allah memiliki dzat lain yang sama dengan dzat-Nya.
- Kam Munfashil fidz dzat, yakni Dzat Allah memiliki dzat lain yang sama dengan dzat-Nya.
- Kam Muttashil fis sifat, yakni misalnya bila Allah memiliki dua sifat qudrah (Allah memiliki sifat yang double).
- Kam Munfashil fis sifat, yakni bila selain Allah memiliki sifat-sifat yang menyerupai salahsatusifatAllah.
- Kam Munfasil fil Afaal, yakni jika selain Allah memiliki perbuatan
Kelima kam tersebut di atas menjadi sirna lantaran Allah swt. memiliki sifat Wahdaniyah.
- DALIL YANG MENUNJUKKAN ALLAH MEMILIKI SIFAT WAHDANIYYAH
Dalil yang membuktikan bahwa Allah Ta’ala memiliki sifat Wahdaniyyah adalah adanya alam ini.
Jika seandainya Allah Ta’ala memiliki sekutu dalam ke-TuhananNya maka permasalahan ini tidak terlepas dari adakalanya Tuhan tersebut bersatu dalam menciptakan alam ini, yakni Tuhan yang satu berkata “Aku akan menciptakan alam ini”, sedang Tuhan yang lain berkata: “Aku juga ikut menciptakan alam ini bersama kamu agar kita dapat bekerja sama”. Atau bisa jadi kedua Tuhan tersebut saling berselisih di mana Tuhan yang satu berkata: “Aku akan menciptakan alam ini dengan kemampuanku sendiri”, sedang Tuhan yang satunya lagi berkata: “Aku tidak menghendaki jika alam ini diciptakan.”
Apabila kedua Tuhan tersebut bersatu dalam menciptakan alam ini, yakni mereka menciptakannya secara bersama-sama dan alam ini terwujud atas kerja sama mereka berdua sudah barang tentu akan terjadi bertemunya dua Tuhan dalam menciptakan satu benda. Padahal yang demikian ini sangat mustahil.
Bila kedua Tuhan tersebut tidak bersatu dalam menciptakan alam Ini, bisa jadi kemauan Tuhan yang satu dapat dilaksanakan dan kemudian Tuhan yang lainnya tidak dapat dilaksanakan, maka berarti Tuhan yang tidak mampu melaksanakan kemauannya itu lemah, padahal dibidang ke-Tuhan-anNya – di depan tadi telah kita prediksikan – Tuhan yang tidak mampu melaksanakan kemauannya mempunyai kedudukan yang sama dengan Tuhan yang mampu melaksanakan kemauannya. Jika Tuhan yang satu lemah maka Tuhan yang lain pun juga ikut lemah. Dan jika kedua Tuhan itu sama-sama tidak mampu melaksanakan kehendaknya berarti kedua Tuhan tersebut sama-sama lemah.
Andaikan kedua Tuhan tersebut bersatu atau masing-masing Tuhan mempunyai kehendak yang berbeda maka mustahil akan tercipta alam ini karena jika dua Tuhan tersebut bersatu untuk menciptakan alam maka akan terjadilah persekutuan dua Tuhan untuk mewujudkan sebuah benda, padahal ini tidak mungkin terjadi sehingga tidak mudah untuk merealisasikan kehendak kedua Tuhan tersebut yang pada gilirannya tidak mungkin alam ini akan terwujud.
Dan jika kedua Tuhan itu mempunyai kehendak yang berbeda dan Tuhan yang satu dapat melaksanakan kehendaknya sementara Tuhan yang lain tidak, maka Tuhan yang tidak mampu melaksanakan kehendaknya juga lemah sehingga karena kelemahannya itu dia tidak mungkin akan mampu menciptakan alam ini sendirian. Dengan demikian berarti Tuhan itu hanya satu.
Jika seandainya kedua Tuhan tersebut berbeda kemauannya dan ‘ masing-masing tidak dapat melaksanakan kemauan tersebut, maka kedua Tuhan tersebut sama-sama lemahnya sehingga mereka tidak akan mampu menciptakan alam ini, padahal sebagaimana kita saksikan bersama alam ini telah tercipta. Dari sini menjadi jelaslah bahwa Tuhan itu hanya satu, yakni Tuhan yang menjadi harapan semua makhluk.
Adanya alam ini adalah merupakan bukti atas ke-Esa-an Allah Ta’ala dan juga sebagai bukti bahwa Allah Ta’ala tidak memiliki sesuatu dan perantara dalam melaksanakan perbuatan-Nya Allah Maha Agung lagi Maha Tinggi, Dialah Yang Maha Kaya yang memiliki kekayaan yang mutlak.
Dari dalil di atas dapat diketahui bahwa api, pisau dan makar tidak memiliki kemampuan untuk membakar, memotong dan mengenyangkan. Hanya Allahlah yang menciptakan terbakarnya sesuatu yang disentuh oleh api, Allah-lah yang menjadikan sesuatu itu terpotong lantaran tergores pisau. Dialah yang menciptakan kenyang manakala ia makan dan Allah pulalah yang melenyapkan dahaga bila ia minum.
Barang siapa yang berkeyakinan bahwa dengan kemampuannya sendiri apa itu bisa membakar, air bisa menyegarkan dan lain sebagainya maka menurut konsensus ulama dia telah menjadi kafir.
Dan barang siapa yang meyakini bahwa api itu dapat membakar lantaran memiliki kekuatan.yang telah diciptakan Allah untuknya maka berarti orang tersebut bodoh lagi fasiq karena berarti dia belum mengetahui tentang hakekat Wahdaniyah.
Inilah dalil ijmali yang harus diketahui oleh setiap orang mukallaf laki-laki maupun perempuan. Siapa saja yang tidak mengetahuinya maka ia berstatus kafir menurut pendapat Imam Sanusi dan Imam Ibnu Arabi. Semoga Allah senantiasa memberikan petunjuk kepada kita semua. Amin.
- SIFAT-SIFAT YANG TERMASUK SIFAT SALBIYAH
Sifat qidam, baga’, mukhalafah lil hawadits dan giyamuhu binafsih serta wahdaniyah ini dinamakan sifat Salbiyah, yakni sitat-sifat yang memiliki arti menghapus dan meniadakan, karena masing-masing sifat tersebut menghapus dan meniadakan segala sesuatu yang tidak patut bagi Allah Azz wa Jalla.
7. SIFAT WAJIB ALLAH YANG KETUJUH “QUDRAH’
- PENGERTIAN QUDRAH
Sifat wajib Allah yang ketujuh adalah “Qudrah” (Kuasa) yang artinya adalah suatu sifat yang menyebabkan ada atau tidak adanya sesuatu yang mungkin terjadi.
Sifat Qudrah ini berkaitan erat dengan sesuatu yang belum ada lalu ia mewujudkannya, sebagaimana saja qudrah yang berhubungan dengan diri sendiri sebelum saudara ada lalu dengan qudrah itu diri saudara menjadi ada.
Sifat Qudrah ini juga berkaitan erat dengan segala sesuatu yang telah ada kemudian ia menjadikannya, sebagaimana sifat qudrah yang berhubungan dengan diri saudara yang dikehendaki Allah untuk tidak ada lalu dengan sifat qudrah itu diri saudara menjadi benar-benar tidak ada.
Keterkaitan semacam ini yang dinamakan “Ta’alluq Tanjizi”, yakni keterkaitan sifat qudrah dengan suatu perbuatan. Ta’alluq Tanjizi ini adalah merupakan ta’alluq yang baru.
Sifat qudrah ini juga memiliki “Ta’alluq Shaluhi QADIM”, yakni kepatutan sifat qudrah untuk menciptakan sesuatu pada zaman azali (dahulu kala) sehingga pada masa tersebut sifat qudrah ini pantas jika mewujudkan si Zaid menjadi orang yang tinngi, pendek atau dempal. dan palut pula menjadikannya st Zaid ini sebagai orang yang berilmu.
Ta’alluq Tanjizinya sifat qudrah ini hanya khusus berkaitan dengan keadaan yang ada pada diri si Zaid saja.
Dari penjelasan di atas Japat disimpulkan bahwa sifat qudrah itu memuliii dua ta’alluq, yakru taallug shaluhu qidam sebagaimana penjelasan. di atas dan ta’alluq tanjizi hadits seperti keterkaitan sifat qudrah dengan sesuatu yang tidak ada lalu ia menjadi ada dan juga berkaitan dengan yang telah ada sehingga ia menjadi tidak ada.
Keterkaitan semacam inilah, yakni keterkaitan sifat qudrah dengan sesuatu yang ada dan yang tidak ada yang disebut dengan ta’alluq yang sebenarnya.
Selain yang tersebut di atas, sifat qudrah juga memiliki ta’alluq lagi yang disebut “Ta’alluq majazi” (keterkaitan yang tidak sebenarnya), yakni keterkaitan sifat qudrah dengan sesuatu yang ada setelah sesuatu itu ada dan sebelum sesuatu itu ada, seperti keterkaitan sifat qudrah dengan diri kita setelah kita ada dan sebelum kita ada. Ta’alluq semacam ini dinamakan “Ta’alluq Qabdlah” dalam arti bahwa wujud itu berada dalam penggaman qudrah, jika Allah menghendaki maka dia akan tetap ada (tidak mati) dan jika Allah menghendaki maka ia akan tidak ada (mati).
Hal ini juga sama dengan keterkaitan qudrah terhadap sesuatu yang tidak ada sebelum Allah Ta’ala hendak menciptakannya, sebagaimana keterkaitan sifat qudrah dengan si Zaid pada zaman Topan (kematian massal). Ini juga dinamakan ta’alluq qabdlah, yakni sesuatu yang belum ada itu berada dalam genggaman qudrah, jika Allab menghendaki sesuatu itu akan tetap tidak ada dan jika Allah menghendaki Jain maka Allah akan menyingkirkan yang tidak ada menjadi ada.
Masalah ini sama pula dengan keterkaitan qudrah dengan diri kita setelah kita mati nanti sebelum datangnya hari kebangkitan. Ta’alluq yang demikian ini juga dinamakan ta’alluq qabdlah sebagaimana penjelasan di atas.
Disamping ta’alluq yang tersebut tadi, sifat qudrah masih memiliki 7 ta’alluq lagi, yaitu:
- Ta’alluq shaluhi Qadim.
- Ta’alluq qabdlah, yakni keterkaitannya dengan diri kita sebelum Allah menghendaki untuk menciptakan kita.
- Ta’alluq bil fi’li, yakni Allah Ta’ala menciptakan sesuatu melalui qudrah-Nya.
- Ta’alluq qabdlah, yakni keterkaitannya dengan sesuatu setelah sesuatu itu ada dan sebelum Allah menghendaki untuk meniadakannya.
- Ta’alluq bil fi’li, yakni Allah Ta’ala menciptakan sesuatu dengan qudrah-Nya,
- Ta’alluq qabdlah, yakni keterkaitannya dengan sesuatu setelah sesudah itu tidak ada sebelum hari kebangkitan.
- Ta’alluq bil fi’il, yakni Allah menciptakan kita kembali pada har kebangkitan nanti,
Dari penjelasan di atas, ta’alluq hakiki ini memiliki dua ta’alluq, yakni Allah Ta’ala menciptakan atau tidak menciptakan sesuatu melalui qudrah-Nya.
Penjelasan tengang ke 7 ta’alluq tersebut adalah merupaka penjelasan secara rinci, sedangkan penjelasannya secara global adalah bahwa sifat qudrah tersebut memiliki dua ta’alluq sebagaimana yang tersebut di atas yakni ta’alluq shaluhi dan ta’alluq tanjizi. Hanya saja ta’alluq tanjizi ini khusus pada menciptakan atau tidak menciptakan saja.
Mengenai ta’alluq qabdlah, ia tidak bisa dikategorikan ke dalam taallug shaluhi Qadim.
Penjelasan terdahulu tentang ta’alluqnya sifat qudrah dengan sesuatu yang telah ada dan yang tidak ada adalah merupakan pendapat kelompok ulama terkenal, sementara pendapat sebagian ulama mengatakan bahwa sifat qudrah tidak bisa berta’alluq (berkait) dengan sesuatu yang tidak ada. Jika seandainya Allah Ta’ala menghendaki seseorang itu tidak ada maka Allah Ta’ala akan menghambat adanya berbagai macam hal yang menyebabkan dia menjadi tetap hidup.
8. SIFAT WAJIB ALLAH KEDELAPAN “IRADAH’
- PENGERTIAN IRADAH
Sifat wajib Allah yang kedelapan adalah Qudrah, yang artinya adalah suatu sifat yang menentukan terhadap sesuatu yang mungkin ada atas sebagian sesuatu yang mungkin ada padanya.
Zaid misalnya, bisa jadi ia menjadi orang yang tinggi atau pendek. Dalam hal ini sifat iradah adalah yang menentukan dia menjadi orang tinggi, sedangkan sifat qudrah berfungsi untuk mewujudkan “tinggi” yang sebelumnya tidak ada menjadi ada. Dalam hal ini sifat iradah berfungsi menentukan sedang sifat qudrah berfungsi mewujudkan.
B.TA’ALLUQ (KETERKAITAN) SEGALA YANG MUNGKIN DENGAN SIFAT QUDRAH DAN IRADAH .
Segala yang mungkin yang dikarti (dita’alluqi) oleh sifat qudrah dan iradah ada enam hal, yakni sesuatu yang ada, sesuatu yang tidak ada, sifat seperti panjang dan pendek, masa, tempat dan arah. Semua itu dinamakan hal-hal yang mungkin dan saling berlawanan. Ada. kebalikan tidak ada, panjang kebalikan pendek, atas kebalikan bawah, tempat ini Mesir misalnya adalah kebalikan dari yang lain seperti Syam.
Kesimpulannya Adalah si Zaid misalnya sebelum ia diciptakan boleh jadi ja akan tetap tidak diciptakan dan bisa jadi ia akan diciptakan pada masa ini.
Ketika si Zaid telah diciptakan maka sifat iradah yang menentukan wujudnya sebagai ganti dari dia tidak diciptakan. Sedangkan sifat qudrah berfungsi mewujudkan si Zaid yang bisa jadi dia diciptakan pada zaman topan atau di masa lain.
Sifat yang berfungsi diciptakannya si Zaid di masa ini bukan di masa yang lai adalah sifat iradah.
Bisa jadi si Zaid itu menjadi orang tinggi atau pendek. Sifat yang menentukan dia menjadi orang tinggi atau pendek adalah sifat iradah.
Dan bisa jadi si Zaid berada di tempat yang tinggi dan sifat yang menentukan dia berada di tempat yang tinggi atau rendah di bumi ini adalah sifat iradah.
Qudrah dan iradah merupakan dua sifat yang selalu ada dan senantiasa berada pada dzat Allah Ta’ala sehingga seandainya tabir dibuka dari kita niscaya kita akan mampu menyaksikannya.
Kedua sifat tersebut tidak akan berkait kecuali hanya kepada yang mungkin saja dan ia tidak akan terkait dengan segala hal yang mustahil seperti adanya sekutu bagi Allah – Maha Suci Allah dari berbagai macam penyekutuan – dan kedua sifat ini tidak akan berkait dengan hal-hal yang mewajibkan seperti dzat dan sifat Allah.
Adalah termasuk kebodohan bila seseorang mengatakan: “Sesungguhnya Allah itu memiliki kekuasaan untuk mengambil anak”, karena alasannya bahwa sifat qudrah tidak mungkin berkaitan dengan segala hal yang mustahil, padahal mengambil anak bagi Allah Ta’ala adalah merupakan sesuatu yang mustahil.
Juga tidak boleh dikatakan “Bila Allah tidak mampu mengambil anak berarti Dia itu lemah”, karena kita telah sepakat kelemahan itu akan terjadi manakala yang tidak mungkin terjadi (mustahil) itu masuk – dalam lingkaran qudrah. Padahal qudrah itu sama sekali tidak terkait dengan segala yang mustahil di samping yang mustahil tadi tidak masuk dalam lingkarannya. Yang masuk pada lingkarannya hanyalah yang mungkin saja.
- KETERKAITAN (TA’ALLUQ) SIFAT IRADAH
Sifat iradah hanya memiliki dua ta’alluq saja, yakni:
- Ta’alluq shaluhi Qadim, yaitu kepatutan sifat tersebut untuk menentukan segala yang mungkin pada zaman azali. Zaid yang (diciptakan) menjadi orang yang tinggi atau pendek itu bisa jadi tidak seperti apa yang ada pada dirinya sekarang ini tinggal melihat kepada kesesuaian iradah yang ada, yakni mungkin dia menjadi seorang raja (memiliki kedudukan tinggi) atau bisa jadi ia menjadi rakyat jelata (orang rendahan), tinggal melihat bagaimana ta’alluq shaluhinya.
- Ta’alluq tanjizi Qadim, yaitu penentuan Allah Ta’ala terhadap sesuatu dengan menggunakan sifat yang (sesuatu itu) ada padanya, seperti ilmu yang dimiliki si Zaid itu adalah merupakan iradah (kehendak)Nya. Zaid ditentukan menjadi orang yang berilmu misalnya ja adalah Qadim yang lazim disebut ta’alluq tanjizi Qadim, sedang kepatutan iradah untuk menentukan si Zaid memiliki ilmu atau yang lain dengan hanya melihat kepada dzatnya saja tanpa memandang kepada kepatutan penentuan dengan perbuatannya itu dinamakan ta’alluq shaluhi Qadim.
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa sifat iradah memiliki ta’alluq tanjizi hadits, yakni misalnya si Zaid di tentukan menjadi orang yang tinggi ketika dia diciptakan.
Bila demikian berarti sifat iradah itu memiliki 3 ta’alluq. Akan tetapi yang jelas yang ketiga ini tidak merupakan bentuk ta’alluq, namun hanya – merupakan sekedar penjelesan dari ta’alluq tanjizi Qadim.
Ta’alluqnya sifat qudrah dan iradah ini mencakup semua yang mungkin termasuk segala yang terlintas dalam hati sanubari seseorang pun juga sangat ditentukan oleh iradah (kehendak) Allah Ta’ala yang juga ditentukan melalui qudrah (kekuasaan)-Nya, sebagaimana penjelasan yang disampaikan oleh Syekh Malawi dalam sebagian bukunya.
Ketahuilah bahwa menghubungkan “penentuan” dengan iradah dan “menciptakan serta mewujudkan” dengan qudrah adalah merupakan majaz, sedang sang penentu yang hagigi adalah Allah Ta’ala melalui iradah 9 kehendak-Nya dan pencipta yang hagigi adalah Allah Jalla wa’ala melalui qudrah (kekuasaan)-Nya.
Mengenai ucapan kebanyakan orang yang mengatakan bahwa qudrah dapat membuat orang menjadi begini, bila yang dimaksudkan adalah perbuatan untuk mengubah seseorang itu hakikatnya adalah milik qudrah atau milik qudrah dan dzat Allah maka orang tersebut kafir. “Semoga Allah Ta’ala senantiasa melindungi kita dari kekafiran”. Akan tetapi (yang benar adalah) perbuatan itu adalah milik Allah Azza Wajalla melalui qudrah-Nya.
9. SIFAT WAJIB ALLAH YANG KESEMBILAN “ILMU”
- PENGERTIAN ILMU
Sifat wajib Allah yang ke sembilan adalah ilmu, yaitu suatu sifat yang Qadim yang melekat pada dzat Allah bagi maujud di mana dengan sifat tersebut segala yang maklum dapat diketahui-Nya dengan jelas tanpa didahului ketidaktahuan terlebih dahulu.
- KETERKAITAN (TA’ALLUQ) SIFAT ILMU
Sifat ilmu ini mempunyai keterkaitan yang erat dengan segala yang wajib, segala yang jaiz dan segala yang mustahil sehingga dengan ilmuNya Dia mampu mengetahui dzat dan sifat-sifat-Nya sendiri, dengan ilmu-Nya pula Dia dapat mengetahui segala sesuatu yang telah ada dan yang belum ada, Dia juga dapat mengetahui segala yang mustahil dalam arti bahwa mengetahui adanya sekutu adalah merupakan sesuatu yang mustahil terjadi pada diri Allah Ta’ala: dan juga mengetahui jika Ia memiliki sekutu maka akan terjadilah kehancuran yang berkepanjangan Maha Suci Allah dari sekutu dan Maha Luhur Dia dengan keluhuran yang tiada tara.
Sifat Ilmu ini hanya memiliki ta’alluq tanjizi Qadim saja. Allah Ta’ala mampu mengetahui secara sempurna semua yang tersebut di atas sejak zaman azali tanpa melalui praduga terlebih dahulu dan juga tanpa keraguraguan, karena praduga dan keragu-raguan adalah merupakan sesuatu yang mustahil bagi Allah Ta’ala.
Maksud dari pendapat ulama “tanpa didahului adanya tidak jelasan” adalah bahwa Allah Ta’ala sejak zaman azali telah mengetahui segala sesuatu. Bukan tadinya tidak mengetahuinya baru kemudian dapat mengetahuinya. Maha Suci Allah dari semua itu. Sedang pengetahuan semua yang hadits (makhluk) ada batasnya, yakni pada mulanya ia tidak mengetahuinya baru kemudian dia dapat mengetahuinya.
Sifat ilmu ini tidak memiliki ta’alluq shaluhi dalam arti sudah sepantasnya bahwa melalui ilmu-Nya segala sesuatu akan terbuka bagi Allah karena yang demikian itu akan menimbulkan pemikiran bahwa sesuatu itu tidak bisa terungkap dengan suatu perbuatan, sedang tidak dapat terungkapnya sesuatu dengan perbuatan itu adalah merupakan “suatu kebodohan. Maha Suci Allah dari kebodohan itu.
10. SIFAT WAJIB ALLAH YANG KESEPULUH “HAYAT”
- PENGERTIAN HAYAT
Sifat wajib Allah yang kesepuluh adalah “Hayat” (hidup), yaitu suatu sifat yang membenarkan kepada orang yang memiliki pemahaman seperti ilmu (pengertian), sama (pendengaran) dan bashar (penglihatan). Artinya Allah harus memiliki sifat “Hayat” tersebut.
Dari sifat hayat ini Allah Ta’ala tidak harus memiliki pemahaman melalui perbuatan-Nya Artinya sifat hayat ini sedikit pun tidak memuliki keterkaitan dengan semua yang ada dan yang tidak ada.
- DALIL TENTANG ALLAH HARUS MEMILIKI SIFAT QUDRAH, IRADAH, ILMU DAN HAYAT
Dalil yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala harus memiliki sifat qudrah, adalah, ilmu dan hayat adalah adanya semua makhluk ini, karena bila Allah Ta’ala tidak memiliki salah satu dari keempat sifat ini maka seluruh makhluk in tidak akan terwujud. Ketika makhluk ini telah ada maka kita dapat menyimpulkan bahwa Allah Ta’ala memiliki sifat-sifat tersebut.
Bukti ketergantungan terciptanya makhluk ini terhadap keempat sifat tersebut adalah bahwa seseorang yang hendak membuat sesuatu dia tidak mungkin akan memulai menciptakannya manakala terlebih dahulu ia tidak mengetahui tata cara membuatnya. Setelah ia mengetahuinya baru kemudian punya karsa untuk membuatnya, kemudian kemampuannya bergerak untuk membuatnya dan sudah barang tentu yang membuat sesuatu tersebut harus hidup.
Dengan demikian berarti sifat ilmu qudrah dan iradah disebut sifat yang memiliki fungsi ta’tsir (sifat-sifat yang mempengaruhi proses terjadinya sesuatu) karena proses terjadinya sesuatu itu sangat tergantung pada sifat-sifat tersebut, sebab setiap orang yang hendak menciptakan sesuatu, sebelum memulai pekerjaannya tak terlebih dahulu harus mengetahui tata cara membuatnya baru ia mempunyai kemauan untuk membuatnya.
Contohnya jika di dalam rumah saudara ada sebuah benda dan saudara hendak mengambilnya maka sebelum saudara mengambilnya harus tahu dulu bagaimana cara mengambilnya. Setelah tahu baru ada karsa untuk mengambilnya, setelah ada karsa baru saudara bisa mengambilnya.
Bagi setiap makhluk, keterkaitan sifat-sifat ini harus dilakukan secara berurutan. Pertama dia harus memiliki pengetahuan tentang sesuatu yang dituju, lalu ada karsa kemudian baru melakukan. Sedang bagi Allah Ta’ala sifat-sifat tersebut tidak harus berlaku secara berurutan kecuali jika untuk merasionalkan, yakni menurut pemikiran kita memang ilmu harus ada dahulu, baru iradah dan kemudian qudrah, sementara dalam praktek dan kenyataannya sifat-sifat Allah tersebut tidak harus berurutan sehingga tidak dapat dikatakan bahwa ilmu sangat terkait dengan perbuatan, baru iradah kemudian qudrah, karena yang demikian ini hanya berlaku bagi makhluk saja sedang urutan tersebut bagi Allah Ta’ala hanya sebatas uraian pemikiran kita saja.
11. SIFAT WAJIB ALLAH YANG KESEBELAS DAN DUA BELAS “SAMA’ DAN BASHAR'”
- PENGERTIAN SIFAT SAMA’ DAN BASHAR
Sifat wajib Allah yang kesebelas dan dua belas adalah Sama (mendengar) dan Bashar (melihat). Keduanya adalah merupakan sifat yang harus ada pada dzat Allah Ta’ala yang memiliki keterkaitan dengan . segala yang ada, yakni dengan memiliki kedua sifat tersebut segala yang ada di dunia ini akan tampak jelas oleh-Nya baik yang ada itu wajib atau jaiz.
- KETERKAITAN (TA’ALLUQ) SIFAT SAMA’ DAN BASHAR
Sifat sama’ dan bashar ini sangat berkaitan dengan dzat Allah Ta’ala, yang artinya bahwa dzat dan sifat-sifat Allah Ta’ala akan tampak jelas oleh-Nya melalui pendengaran dan penglihatan-Nya melebihi pengamatan melalui ilmu-Nya.
Mengenai si Zaid, si Umar dan tembok misalnya Allah Ta’ala mampu melihat diri mereka, juga Allah mampu mendengar dan melihat Siapa pemilik suara tersebut.
Jika seandainya saudara berpendapat bahwa mendengarkan suara itu sudah jelas (karena Dia memiliki sifat sama’) lalu bagaimana cara mendengarkan diri Zaid dan tembok. Ini merupakan sesuatu yang perlu ada penjelasan, sementara keterkaitan pendengaran itu hanya kepada suara saja lantaran suara itu hanya bisa didengar. Jawabnya adalah kita harus yakin bahwa kedua sifat tersebut memiliki keterkaitan dengan semua yang ada lalu mengenai bagaimana cara keterkaitannya, itu adalah merupakan hal yang tidak dapat kita ketahui. Dalam hal ini Allah Ta’ala mampu mendengar diri Zaid namun kita tidak tahu bagaimana cara mendengarnya.
Yang dimaksud bukan berarti Allah Ta’ala mampu mendengar cara jalannya si Zaid, karena mendengar akan cara jalan itu telah termasuk alam mendengar suara dan Allah Ta’ala Maha Mengetahui segala macam suara. Akan tetapi yang dimaksud adalah mendengar diri dan baan di Zaid melebihi pendengaran-Nya terhadap cara jalannya, namun kita tidak tahu bagaimana cara keterkaitan pendengaran Allah Ta’ala dengan bentuk dzat-dzat tersebut.
- DALIL ADANYA SIFAT SAMA’ DAN BASHAR
Dalil yang menunjukkan adanya sifat sama’ dan bashar bagi Allah Ta’ala adalah firman-Nya yang berbunyi:
Sesungguhnya Allah itu Maha Mendengar dan Maha Melihat.
Ketahuilah bahwa keterkaitan (ta’alluq) sifat sama’ dan bashar bila dihubungkan dengan segala yang baru ada (makhluk) sebelum ia diciptakan disebut ta’alluq shaluhi Qadim, sedang setelah makhluk tersebut diciptakan melalu sifat sama’ dan bashar-Nya Allah Ta’ala mampu melihat secara jelas melebihi pengamatan-Nya melalu sifat ilmu-Nya. Dengan dernikian berarti kedua sifat ini memiliki dua ta’alluq yaitu taallug shaluhi Qadim dan Taallug tanyizi hadits.
Akan tetapi bila kedua sifat tersebut dikaitkan dengan dzat dan sifat-sifat Allah Ta’ala maka akan terjadilah ta’alluq tanjizi Qadim dalam arti bahwa dzat dan sifat-sifat Allah sejak zaman azali (dahulu kala) telah dapat diketahui-Nya dengan jelas melalui sifat sama’ dan basharNya sehingga Allah Ta’ala mampu mendengar dzat dan segala sifatNya yang ada seperti qudrah, sama’ dan lain sebagainya. Namun kita tidak tahu bagaimana cara ta’alluqnya, juga kita tidak tahu bagaimana cara Allah Ta’ala memandang dzat dan sifat-sifat-Nya yang ada sepen qudrah, bashar dan yang lain di samping kita tidak tahu pula bagaimana cara ta’alluqnya.
Mengenai penjelasan terdahulu tentang sifat sama’ dan bashar memiliki keterkaitan dengan semua yang ada ini adalah pendapat dan Imam Sanusi serta para pengikutnya dan inilah pendapat yang diunggulkan. Ada pula yang berpendapat bahwa sifat sama’ itu hanya berkaitan dengan suara saja, sedang sifat bashar hanya berkaitan dengan segala yang dapat dilihat.
Perlu diketahui bahwa pendengaran Allah Ta’ala itu tidak menggunakan telinga dan dua telinga, dan penglihatan-Nya juga tidak menggunakan kornea dan pelupuk mata. Maha Suci dan Maha Luhur Allah yang tiada tara.
12. SIFAT WAJIB ALLAH YANG KETIGABELAS “KALAM”
- PENGERTIAN KALAM
Sifat wajib Allah yang ke tiga belas adalah Kalam (berbicara), yakni suatu sifat Qadim yang berada pada dzat Allah Ta’ala. Pembicaraan (kalam) Allah itu tidak menggunakan huruf dan juga tidak bersuara, tidak ada permulaan dan juga tidak ada akhirnya: tidak memakai susunan dan tidak ada binaknya. Berbeda dengan pembicaraan makhluk.
- AL QUR’AN BUKAN KALAM ALLAH “Yang dimaksud kalam Allah bukan lafadz-lafadz syarifah (Al Qur’an) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. itu, karena Al Qur’an an tersebut baru saja diturunkan, sementara sifat kalam yang ada pada Allah Ta’ala itu Qadim (ada sejak dahulu kala).
Al Qur’an yang ada pada kita itu pada permulaannya, ada akhirnya, ada surat-suratnya dan ada ayat-ayatnya. Sedang sifat kalam yang Qadim terlepas dari semua itu sehingga disana tidak terdapat ayat, surat maupun i’rabnya, karena semua itu (Al Qur’an) adalah merupakan kalam yang mengandung berbagai macam huruf dan suara, sedangkan pada sifat kalam Qadim tidak terdapat huruf dan suara sebagaimana penjelasan terdahulu.
Lafadz-lafadz syarifah (Al Qur’an) tidak dapat menunjukkan adanya sifat kalam Allah yang Qadim tadi. Maksudnya sifat kalam Allah yang Qadim itu ada pada pemahaman Al Qur’an yang artinya bahwa pemahaman dari Al Qur’an itu sama persis dengan pemahaman yang ada pada kalam Allah yang Qadim sehingga seandainya tabir telah terbukti dari kita niscaya kita akan dapat mendengarkannya.
Kesimpulannya adalah bahwa lafadz-lafadz yang ada pada Al Qur’an itu menunjukkan suatu makna dan makna ini sama persis dengan pemahaman dari kalam Qadim yang ada pada dzat Allah Ta’ala. Tolong perhatikan perbedaan ini karena banyak orang salah membedakannya.
Masing-masing dari sifat Qadimah dan lafadz-lafadz syanifah biasa disebut dengan nama Al Qur’an atau kalam Allah. Hanya saja bedanya bahwa lafadz-lafadz syarifah (Al Qur’an)itu diciptakan dan ditulis di Laukh Al Mahfudz yang diturunkan melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw setelah terlebih dahulu Al Qur’an tersebut diturunkan pada – Lalatul Oadar di Baitul Izzah sebuah tempat yangadadi langit dunia yang ditulis pada beberapa lembar kertas dan kemudian disimpan di sana.
- BAGAIMANA CARA ALQUR’AN DITURUNKAN?
Mengenai bagaimana cara Al Qur’an diturunkan, ada beda pendapat di kalangan ulama, yakni:
Pertama : Ada yang mengatakan Al Qur’an diturunkan di Batul Izzah dalam satu kali turun, baru kemudian diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. pada masa 20 th, 23 th, atau 25 tahun.
Kedua : Al Qur’an diturunkan di Baitul Izzah pada malam Qadar sesuai dengan ukuran yang ditentukan tiap tahunnya dan ta tidak diturunkan dalam sekali turun.
Al Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. itu berupa lafazh dan maknanya, namun ada yang berpendapat maknanya saja.
Tentang cara turunnya Al Qur’an ini dikalangan ulama terjadi perbedaan pendapat. Sebagian ulama mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw. mengucapkan makna dan lafadznya, sedang ulama lain mengatakan bahwa malaikat Jibril Lah yang mengucapkan lafadznya.
Yang jelas bahwa Al Qur’an itu diturunkan berupa lafazh dan maknanya. Dengan demikian berarti sifat kalam yang ada pada dzat Allah Ta’ala itu Qadim yang tidak menggunakan huruf dan tidak ada suaranya.
- JAWABAN KELOMPOK AHLUSSUNNAH KEPADA KELOMPOK MU’TAZILAH MENGENAI SIFAT KALAM
Kelompok Mu’tazilah merasa bingung tentang adanya kalam (ucapan) tanpa menggunakan huruf, kemudian kelompok Ahlussunnah memberikan jawaban bahwa bisikan hati adalah merupakan ucapan seseorang di dalam hati yang tidak menggunakan huruf dan suara.
Dalam hal ini bukan berarti orang-orang Ahlussunnah menyamakan kalam Allah Ta’ala dengan bisikan hati karena kalam Allah itu Qadim sementara bisikan hati adalah hadits. Akan tetapi tujuannya adalah untuk melawan pendapat orang-orang Mu’tazilah yang mengatakan tidak ada ucapan yang tanpa menggunakan huruf dan suara.
- DALIL YANG MEMBUKTIKAN ALLAH MEMILIKI SIFAT KALAM
Dasar yang membuktikan bahwa Allah Ta’ala memiliki sifat kalam adalah firman-Nya dalam Al Qur’an: “Dan Allah telah berbicara dengan Nabi Musa dengan sebenar-benar pembicaraan.”
- KETERKAITAN (TA’ALLUQ) SIFAT KALAM
Sifat kalam ini memiliki keterkaitan yang sama dengan sifat ilmu, yaitu berkait pada sesuatu yang wajib, yang jaiz dan yang mustahil. Hanya saja keterkaitan sifat ilmu dengan hal-hal tersebut merupakan ta’alluq inkisyaf yang artinya bahwa segala yang wajib, yang jaiz dan yang mustahil akan menjadi jelas oleh Allah Ta’ala melalui ilmu-Nya, sementara keterkaitan sifat kalam dengan hal-hal tersebut adalah merupakan ta’alluq dalalah yang maksudnya andaikan hijab telah dibuka dari kita dan kita dapat mendengarkan kalam Qadim tersebut niscaya kita akan dapat memahaminya.
13. SIFAT WAJIB ALLAH YANG KEEMPAT BELAS “KAUNUHU QAADIRAN”
- PENGERTIAN SIFAT KAUNUHU QAADIRAN
Sifat wajib Allah yang keempat belas adalah Kaunuhu Qaadiran (Allah Maha Kuasa), yakni suatu sifat yang ada pada dzat Allah Ta’ala yang tidak maujud dan juga tidak ma’dum.
Sifat ini berbeda dengan sifat Qudrah, namun antara sifat ini dan sifat Qudrah sama-sama saling membutuhkan sehingga setiap sesuatu yang memiliki qudrah (kekuasaan) pasti disitu ada sebuah sifat yang dinamakan Kaunuhu Qaadiran (dia memiliki kekuasaan) baik sesuatu itu Qadim atau hadits.
Si Zaid misalnya, Allah telah menetapkan pada dirinya suatu qudrah (kemampuan) untuk melakukan sesuatu dan pada dirinya pula Allah menciptakan suatu sifat yang disebut “Zaid memiliki kemampuan”. Sifat yang semacam inilah yang disebut haal (keadaan).
Qudrah (kemampuan/kekuasaan) bagi makhluk adalah merupakan suatu alasan bagi haal tersebut. Namun bagi Allah Ta’ala qudrah tidak bisa dikatakan sebagai alasan bahwa Allah itu Maha Kuasa, akan tetapi harus dikatakan antara qudrah dan Kaunuhu Qaadiran itu sama-sama saling membutuhkan.
Orang-orang Mu’tazilah berpendapat bahwa antara kemampuan makhluk dan ia sebagai orang yang memiliki kemampuan itu sama-sama saling membutuhkan. Hanya saja mereka tidak mengatakan bahwa Allah telah menciptakan sifat yang kedua ini. Akan tetapi ketika Allah Ta’ala telah menciptakan suatu kemampuan pada diri makhluk maka dari kemampuan itu akan muncullah sifat lain yang tidak diciptakan oleh Allah yang bisa disebut “dia memiliki kemampuan”.
14. SIFAT WAJIB ALLAH YANG KELIMA BELAS “KAUNUH MURIIDAN’
- PENGERTIAN SIFAT KAUNUH MURIIDAN
Sifat wajib Allah Ta’ala yang kelima belas adalah Kaunuh Muriidan (Allah Maha Berkehendak), yakni suatu sifat yang berada pada dzat Allah Ta’ala yang tidak maujud dan juga tidak ma’dum. Dan yang demikian ini disebut “haal”
Sifat Kaunuh Muriidan ini tidak sama dengan iradah baik dzat yang memilikinya itu Qadim atau hadits.
Pada diri Zaid misalnya, Allah telah menciptakan iradah (kehendak) untuk melakukan seusatu dan pada diri Zaid pula Allah telah menjadikan dia sebagai “orang yang memiliki kehendak.”
Penjelasan terdahulu mengenai perbedaan pendapat antara kelompok Mu’tazilah dan Ahlussunnah tentang sifat Kaunuhu Qaadiran juga berlaku pada sifat Kaunuhu Muriidan ini.
15. SIFAT WAJIB ALLAH YANG KEENAM BELAS “KAUNUHU ‘AALIMAN”
- PENGERTIAN SIFAT KAUNUH ‘AALIMAN
Sifat wajib Allah yang keenam belas adalah Kaunuh ‘Aaliman (Allah Maha Mengetahui), yakni suatu sifat yang ada pada dzat Allah Taala yang tidak maujud dan juga tidak ma’dum.
Sifat Kaunuhu ‘aaliman ini tidak sama pula dengan sifat ilmu. sifat Imi juga berlaku untuk yang hadits yang contohnya sebagaimana di atas.
Beda pendapat antara kelompok Mu’tazilah dan Ahlussunnah berlaku pula pada sifat ini.
16. SIFAT WAJIB ALLAH YANG KETUJUH BELAS “KAUNUHU HAYYAN”
- PENGERTIAN SIFAT KAUNUHU HAYYAN “
Sifat wajib Allah yang ketujuh Belas adalah Kaunuhu Hayyan (Allah Maha Hidup), yakni suatu sifat yang ada pada dzat Allah yang tidak maujud dan juga tidak ma’dum. Sifat ini berada dengan sifat Hayat dan pada sifat ini pula berlaku beda pendapat antara kelompok Mu’tazilah dan Ahlussunnah.
17. SIFAT WAJIB ALLAH YANG KEDELAPAN BELAS “KAUNUHU SAMITAN”
- PENGERTIAN SIFAT KAUNUHU SAMII’AN
Sifat wajib Allah yang kedelapan belas adalah Kaunuhu Samii’an (Allah Maha Mendengar), yaitu suatu sifat yang berada pada dzat Allah yang tidak maujud dan juga tidak ma’dum. Sifat ini tidak sama dengan sifat Sama’, dan pada sifat ini terjadi pula perbedaan pendapat antara kelompok Mu’tazilah dan Ahlussunnah, sebagaimana penjelasan di depan.
18. SIFAT WAJIB ALLAH YANG KESEMBILAN BELAS “KAUNUHU BASHIIRAN”
- PENGERTIAN SIFAT KAUNUHU BASHIIRAN
“ Sifat wajib Allah yang kesembilan belas adalah Kaunuhu Bashirran (Allah Maha Melihat), yaitu suatu sifat yang berada pada dzat Allah yang tidak maujud dan juga tidak ma’dum pula. Sifat ini tidak sama dengan sifat Bashar, dan sifat ini juga berlaku beda pendapat antara kelompok kaum Mu’tazilah dan Ahlussunnah sebagaimana di atas.
19. SIFAT WAJIB ALLAH YANG KEDUA PULUH “KAUNUHU MUTAKALLIMAN”
- PENGERTIAN SIFAT KAUNUHU MUTAKALLIMAN
Sifat wajib Allah yang kedua puluh yakni sifat yang menjadi kesempurnaan seluruh sifat wajib bagi Allah Ta’ala adalah Kaunuhu Mutakkalimtan (Allah Maha Berbicara), yaitu suatu sifat yang ada pada Dzat Allah yang tidak maujud dan juga tidak ma’dum.
Sifat ini juga tidak sama dengan sifat Kalam dan pada sifat ini pula terdapat perbedaan pendapat antara kelompok Mu’tazilah dan Ahlussunah sebagaimana pada sifat-sifat terdahulu.
- SIFAT-SIFAT YANG TERMASUK DALAM SIFAT MA’ANI DAN MA’NAWIYAH
Sifat-sifat yang terdahulu, yakni sifat Qudrah, Iradah, Ilmu, Hayat, Sama’, Bashar dan Kalam semua itu dinamakan sifat Ma’ani, sedangkan sifat-sifat yang sesudah itu, yakni Kaunuhu QAADIRAN, Kaunuhu Muridan, Kaunuhu ‘Aaliman, Kaunuhu Hayyan, Kaunuhu Samifan, Kaunuhu Bashuiran dan Kaunuhu Mutakalliman disebut sifat Ma’nawiyah. Sifat-sifat Ma’nawiyah ini selalu terkait dan saling berhubungan dengan sifat-sifat Ma’ani karena sifat-sifat tersebut akan selalu bersama dengan sifat-sifat Ma’ani pada sesuatu yang Qadim dan akan muncul daripadanya pada sesuatu yang hadits sebagaimana penjelasan terdahulu.
- TAMBAHAN IMAM MATURIDI TENTANG SIFAT MA’ANI YANG JUGA DITENTANG OLEH IMAM ASYA’ARI
Mengenai sifat Ma’ani Imam Maturidi memberikan tambahan satu sifat lagi sehingga jumlahnya menjadi delapan sifat, yakni yang ia sebut dengan nama “sifat takwin” (menjadikan). Sifat ini adalah merupakan Sifat yang maujud sebagaimana sifat-sifat ma’ani yang lain yang jika seandainya tabir telah dibuka dari hadapan kita niscaya kita akan mampu melihatnya sebagaimana kita mampu melihat sifat-sifat ma’ani yang lainnya.
Pendapat ini ditentang oleh kelompok Imam Asy’ari yang mempertanyakan tentang apa sebenarnya manfa’at sifat takwin setelah adanya sifat qudrah? Karena menurut kelompok Imam Maturidi Allah akan mewujudkan atau tidak mewujudkan sesuatu itu menggunakan sifat takwin. Kelompok Maturidi lalu memberikan jawaban bahwa sifat qudrah memiliki fungsi untuk mempersiapkan sesuatu yang mungkin bisa diciptakan yang sebelumnya tidak ada. Dan setelah semuanya beres baru sifat takwinlah yang bertugas untuk mewujudkannya dengan sebuah pekerjaan
Jawaban ini dibantah oleh kelompok Asy’ariyah yang mengatakan bahwa sesuatu yang mungkin itu bisa diwujudkan tanpa bantuan sifat yang lain.
Dan lantaran kelompok Maturidi ini menambahkan sifat takwim ini ke dalam sifat ma’ani kemudian kelompok Asy’ari lalu memberikan komentar bahwa sifat-sifat perbuatan itu Qadim, seperti menciptakan, menghidupkan, memberi rizki dan mematikan karena kata-kata tersebut adalah merupakan nama-nama untuk menjadikan (takwin) yang mana menurut mereka takwin itu adalah merupakan sifat yang maujud, sementara takwin itu sendiri Qadim sehingga sifat-sifat perbuatan itu juga Qadim.
Menurut pendapat kelompok Asy’ari mengatakan bahwa sifat-sifat perbuatan itu hadits karena semua itu adalah merupakan nama-nama yang berhubungan dengan ta’alluqnya sifat qudrah. Menghidupkan misalnya adalah merupakan sebuah yang masuk pada ta’alluqnya sifat qudrah dengan hayat, memberikan rizki juga merupakan sebuah nama yang masuk pada taallaugnya sifat qudrah dengan yang diben rizki, menciptakan adalah sebuah nama yang masuk pada ta’alluqnya sitat qudrah dengan yang diciptakan dan mematikan pula merupakan sebuah nama yang masuk pada ta’alluqnya sifat qudrah dengan kematian. Menurut pendapat kelompok Asyari ta’alluqnya sifat qudrah adalah hadits.
- PERINCIAN SIFAT MUHALALLAH
Dari ke 50 akidah yang tersebut di atas ada lagi 20 sifat yang menjadi lawan dari ke 20 sifat wajib Allah, yaitu:
- Adam (tidak ada) sebagai lawan dari Wujud (ada).
- Huduts (baru) sebagai lawan dari QIDAM (dahulu kala). “
- Fana’ (rusak) sebagai lawan dari Baga’ (kekal).
- Mumatsalah lil hawadits (sama dengan makhluk) sebagai lawan dari Mukhalafah lil hawadits (tidak sama dengan makhluk).
Rasanya mustahil bila Allah Ta’ala memiliki sifat-sifat yang mirip dengan sifatnya makhluk sehingga tidak mungkin Allah terlewati oleh masa, Allah tidak memiliki tempat, Allah tidak bergerak, Allah tidak tenang, Allah memiliki warna dan tidak berada dalam suatu arah, Allah Ta’ala tidak boleh dikatakan ada di atas suatu benda dan tidak berada di sebelah kanan suatu benda, Allah tidak berada pada suatu arah sehingga tidak boleh dikatakan: “Saya berada di bawah Allah”. Mengenai orang yang mengatakan bahwa saya berada di bawah Tuhan dan Tuhan ada di atas saya, ini adalah merupakan ucapan yang mungkar di mana orang yang meyakininya dikhawatirkan menjadi kafir.
- Ihtiyaaj (membutuhkan) pada suatu tempat atau sesuatu untuk berpijak, atau Allah Ta’ala butuh kepada seseorang yang menentukan atau yang mewujudkan-Nya. Maha Luhur Allah dari semua itu. Sifat ini adalah merupakan kebalikan dari QIYAMUHU binafsihi (berdiri sendiri).
- Ta’addud yang artinya bahwa dzat Allah memiliki struktur atau Allah Ta’ala memiliki tandingan baik dalam dzat, sifat atau perbuatan-Nya. Sifat ini adalah merupakan kebalikan dari sifat Wahdaniyah (Esa).
7 ‘Ajzu (lemah) sebagai lawan dari Qudrah (Kuasa). Dalam hal ini Allah muhal tidak memiliki kemampuan (untuk menjadikan atau tidak menjadikan) segala yang mungkin dilakukani.
- Karahah (dipaksa) sebagai lawan dari Iradah (berkehendak). Dalam hal ini mustahil bila Allah Ta’ala ketika menciptakan alam ini dengan cara dipaksa. Oleh karenanya segala yang ada didunia ini telah diciptakan-Nya atas kehendak dan prakarsa-Nya sendiri.
Dari keharusan Allah Ta’ala memiliki sifat Iradah ini dapat disimpulkan bahwa terciptanya seluruh alam ini tidak karena adanya suatu sebab atau tidak ada dengan sendirinya. Perbedaan antara adanya alam ini lantaran suatu sebab dan ada dengan sendirinya adalah:
- Bila alam ini terwujud karena adanya suatu sebab maka ketika sebab itu telah ada niscaya alam ini akan terwujud tanpa adanya ketergantungan dengan hal-hal yang lain. Contohnya gerakan jari jemari kita ini adalah merupakan sebab akan bergeraknya cincin yang ada di jari itu. Manakala jari kita bergerak maka akan bergerak pula cincin yang ada pada jari tersebut.
- Suatu yang ada karena kemampuannya sendiri akan sangat tergantung dengan adanya syarat dan tidak ada penghalang yang menghalanginya. Api misalnya tidak akan dapat membakar manakala api tersebut tidak menyentuh kayu dan kayu tersebut tidak basah di mana basah itu adalah merupakan penghambat sehingga api tidak mampu membakarnya.
Memang ada yang berpendapat bahwa api itu bisa membakar sesuatu dengan kemampuannya sendiri -semoga mereka mendapat laknat Allah-. Akan tetapi sebenarnya Allahlah yang menciptakan kayu itu bisa terbakar ketika tersentuh oleh api sebagaimana Allah menciptakan gerakan cincin ketika jari itu digerakkan. Jadi di sini tidak ada sesuatu yang terwujud melalui adanya sebab dan dengan kemampuannya sendiri, kecuali menurut orang-orang yang berpendapat demikian.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa Allah mustahil menjadi suatu sebab atas terwujudnya alam ini di mana alam int tercipta tanpa adanya perantara dari Dia atau Dia sebagai mediator yang mana alam ini bisa terwujud karena dimediatoriNya. Maha Suci Allah dari semua itu dan Maha Luhur Allah dengan keluhuran yang tiada tara.
- Jahlun (bodoh) yang artinya mustahil Allah Ta’ala tidak dapat mengetahui segala yang ada di dunia ini baik itu jahil bashit yakni tidak mengetahuinya sama sekali atau jahil murakkab yakni mengetahui sesuatu tidak sesuai dengan kenyataan yang ada, juga mustahil Allah itu pelupa atau bingung. Sifat ini adalah merupakan kebalikan dari sifat Ilmu (mengetahui).
- Mautun (mati) sebagai lawan dari Hayat (hidup).
11 Shamam (tuli) sebagai lawan dari Sama’ (mendengar)
- ‘Ama (buta) sebagai layan dari Bashar (melihat)
- Bakam (bisu) sebagai lawan dari Kalam (berbicara).
- Kaunuhu ‘Ajizan (Allah itu lemah) sebagai lawan dari Kaunuhu QAADIRAN (Allah Maha Kuasa).
- Kaunuhu Kaarihan (Allah dipaksakan) sebagai lawan dari Kaunuhu Muriidan (Allah Maha Berkehendak).
- Kaunuhu Jaahilan (Allah itu bodoh) sebagai lawan dari Kaunuhu ‘Aaliman (Allah Maha Mengetahui).
- Kaunuhu Mayyitan (Allah itu mati) sebagai lawar’dari Kaunuhu Hayyan (Allah Maha Hidup).
- Kaunuhu Ashamma (Allah itu tuli) sebagai lawan dari Kaunuhu Samii’an (Allah Maha mendengar).
- Kaunuhu A’maa (Allah itu buta) sebagai lawan dari Kaunuhu Bashiiran (Allah Maha Mengetahui).
- Kaunuhu Abkam (Allah itu bisu) sebagai tawan dari Kaunuhu Mutakalliman (Allah Maha Berbicara).
Inilah kedua puluh sifat yang mustahil terjadi pada dzat Allah Ta’ala
- DALIL MASING-MASING SIFAT WAJIB DAN SIFAT MUHALALLAH
“Ketahuilah bahwadalil dari masing-masing ke 20 sifat wajib Allah Ta’ala adalah bahwa sifat-sifat tersebut sudah menjadi milik tetap Allah yang sekaligus menafikan segala sifat kebalikannya. Dan dalil adanya tujuh sifat Ma’ani adalah dalil yang ada pada ketujuh sifat ma’nawiyah.
Inilah ke 40 akidah yang harus diketahui oleh setiap mukallaf baik laki-laki maupun perempuan, yakni yang 20 berupa sifat wajib Allah, dan yang 20 lagi adalah sifat muhal Allah serta inilah pula 20 dalil yang masing-masing menetapkan satu sifat dan menafikan kebalikannya.
- PEMBAGIAN SEGALA YANG ADA DI DUNIA
Perlu diingat bahwa ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini dibagi menjadi 4 bagian, yaitu maujudat, ma’dumat, ahwaal dan i’tibarat.
- Muajudat (segala yang ada) seperti keadaan dari Zaid sebagaimana yang dapat kita saksikan bersama.
- Ma’dumat (segala yang belum ada) seperti anak kita yang belum lahir.
- Ahwaal (keadaan) seperti keberadaan seseorang yang memiliki kemampuan.
- Itibarat (ketetapan) seperti si Zaid yang ditetapkan sebagai.orang yang sedang berdiri.
Pendapat ini, yakni yang membagi menjadi 4 bagian telah ditulis oleh Imam Sanusi dalam kitab “Ash Shughra” karena beliau telah menetapkan adanya ahwaal adn menghitung sifat-sifat wajib Allah ada 20, juga beliau menulisnya pada kitab yang lain lagi yang menjelaskan pula tentang pendapat ulama yang menafikan ahwaal. Inilah pendapat yang benar.
Menurut pendapat ini berarti sifat wajib Allah hanya 13 karena pendapat ini menggugurkan 7 Sifat ma’nawiyah, yakni Kaunuhu QAADIRAN, Kaunuhu Muriidan, Kaunuhu ‘Aaliman, Kaunuhu Hayyan, Kaunuhu Samif’an, Kaunuhu Bashiiran dan Kaunuhu Mutakalliman. Dengan demikian berarti Allah tidak memiliki sifat Kaunuhu QAADIRAN karena yang jelas menurutnya tidak menganggap adanya ahwaal. Jika demikian berarti segala yang ada didunia ini hanya 3 bagian, yakni maujudat, Ma’dumat dan i’tibaarat.
Manakala dari 20 sifat wajib Allah Ta’ala ada 7 sifat ma’nawiyah yang gugur maka akan gugur pula ke 7 sifat yang menjadi kebalikannya sehingga di sini sifat Kaunuhu ‘Aajizan dan seterusnya tidak akan lagi dan sifat-sifat tersebut tidak masuk lagi dalam jajaran sifat mustahil bagi Allah. Dengan demikian berarti jumlah sifat-sifat yang mustahil bagi Allah hanya tinggal 13 sifat saja.
Jumlah sebanyak itu bila kita masih menghitung sifat Wujud sebagai suatu sifat menurut pendapat selain Imam Asyari. Menurut Imam Asyari sifat Wujud adalah menipakan keadaan sesuatu yang maujud. Menurutnya wujudnya Allah Ta’ala adalah merupakan keberadaan dzat-Nya sendiri sehingga wujud di sini bukan merupakan suatu sifat. Dengan demikian berarti sifat wajib Allah hanya tinggal 12 saja yang dimulai dari QIDAM, Baga’, Mukhalafah lil hawadits. QIYAMUHU binafsihu yang biasa diistilahkan sebagai yang memiliki kekayaan yang mutlak, Wahdaniyah, Qudrah, Iradah, Ilmu, Hayat, Sama’, Bashar dan Kalam. Dalam Kal ini sifat ma’nawiyah tidak dihitung karena adanya sifat ma’nawiyah tersebut mengikuti pendapat yang mengakui adanya ahwaal, “padahal yang benar Allah Ta’ala tidak seperti itu.
Apabila saudara ingin mengajarkan sifat-sifat AlTah Ta’ala kepada masyarakat umum, maka sebaiknya saudara menggunakan nama-nama lain dari sifat-sifat tersebut. Saudara bisa mengajarkannya kepada mereka bahwa Allah Ta’ala itu maujud (ada), QADIM (dahulu), Baga’ (kekal). Mukhalafah lil hawadits (tidak sama dengan makhluk) atau dengan kata lain Allah tidak membutuhkan sesuatu, Qadiir (kuasa), Muriid (yang berkehendak), ‘Aalim (yang mengetahui), Hayyun (yang hidup), Samii’ (yang mendengar), Bashir (yang melihat) dan Mutakallim (yang berbicara). Disamping itu pula saudara harus mengajarkan sifat-sifat yang menjadi kebalikannya.
- PERBEDAAN ANTARA HAAL DAN I’TIBARAT
Ketahuilah bahwa sebagian ulama telah membedakan antara haal dan itibarat. Menurut mereka haal dan i’tibarat masing-masing merupakan sesuatu yang tidak maujud dan juga tidak ma’dum akan efapi masing-masing memiliki kepastian tempat pada dirinya sendiri. . Hanya saja Haal itu memiliki keterkaitan (ta’alluq) dan dia berdiri pada suatu dzat sementara itibarat tidak memiliki keterkaitan dengan dzat.
Ada yang mengatakan bahwa ibarat itu mempunyai kepastian tempat di luar hati. Pendapat ini ditentang oleh ulama lain yang mengatakan bahwa i’tibarat itu berupa sifat. Jika ia tidak memiliki hubungan dengan dzat dan ia memiliki kepastian tempat di luar hati lalu di mana barang yang disifati? Padahal sifat itu tidak mungkin bisa berdiri sendiri dan la sangat membutuhkan pada sesuatu yang disifati. Menurut kami yang benar itibarat tidak memiliki tempat yang pasti kecuali hanya di luar hati saja.
- PEMBAGIAN I’TIBARAT
I’tibarat ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
- Itibarat ikhtira’i, yaitu sesuatu yang wujudnya tidak ada asalnya sebagaimana jika kita membayangkan seorang dermawan yang bakhil atau ada orang bodoh yang pandai.
2, Ttibarat intiza! yaitu sesuatu yang dalam kenyataannya memiliki asal mula, seperti keadaan Zaid yang sedang berdiri, Keadaan ini terlepas dari ucapan “Zaid berdiri” dan berdirinya si Zaid menurut kenyataannya sudah ada sebelumnya.
- SIFAT JAIZ ALLAH SWT ADA SATU
Akidah yang ke 41 adalah sifat jaiz bagi Allah Ta’ala di mana setiap orang mukallaf wajib meyakini bahwa Allah Ta’ala bisa menciptakan , sesuatu yang baik atau yang buruk, Allah Ta’ala bisa saja menciptakan si Zaid sebagai orang Islam dan menciptakan si Umar sebagai orang kafir, bisa saja Allah Ta’ala menjadikan yang satunya pandai dan yang lain bodoh.
B, MEYAKINI ADANYA QADLA’ DAN QADAR
Di antara yang wajib diyakini setiap mukallaf adalah bahwa semua masalah yang baik atau yang buruk itu adalah atas qadla’ dan qadar-Nya. Mengenai arti qadla’ dan qadar ini terjadi beda pendapat di kalangan ulama, Ada yang berpendapat bahwa qadla’ (dahulu kala), sedang qadar adalah penciptaan Allah Ta’ala atas sesuatu yang sesuai dengan kehendak-Nya.
Kehendak Allah yang ada sejak zaman azali seperti kehendak Pencipa tak saudara menjadi orang pandai atau menjadi presiden itu disebut godla’, sedang menciptakan ilmu pada diri saudara setelah saudara lahir atau menjadi presiden yang sesuai dengan kehendak-Nya itu disebut qadar.
Ada pula yang berpendapat bahwa qadla’ adalah iImu Allah yang ada sejak zaman azali yang memiliki keterkaitan dengan segala yang maklum, sedang qadar adalah penciptaan Allah Ta’ala atas sesuatu yang sesuai dengan ilmu-Nya. Ilmu Allah Ta’ala yang ada sejak zaman azali untuk menjadikan seseorang menjadi pandai ketika ia telah lahir nanti itu disebut qadla’, sedang mencipatakan kepandaian pada dirinya setelah Ia lahir nanti disebut qadar. Menurut masing-masing pendapat tersebut ds atas mereka sepakat bahwa qadla’ itu Qadim karena ta adalah | merupakan salah satu dari sifat Allah Ta’ala baik yang mengatakan pada gadia’ rtu sebagai kehendak atau yang mengatakan sebagai ilmu, sedang qadar itu sebagai kehendak atau yang mengatakan sebagai ilmu, sedang qadar adalah hadits karena qadar adalah merupakan penciptaan dan penciptaan itu termasuk pada ta’alluqnya sifat Qudrah, sementara taallugnya sifat Qudrah itu juga hadits.
- DALILBAHWA SEGALA YANG MUNGKIN ITU JAIZ
Dalil yang membuktikan bahwa segala yang mungkin itu jaiz bagi Allah Ta’ala adalah bahwa hal tersebut menurut konsensus ulama adalah memang jaiz. Andaikan Allah Ta’ala harus menciptakan sesuatu niscaya sesuatu yang jaiz itu akan berubah menjadi wajib, dan seandainya Allah harus tidak menciptakan niscaya yang jaiz itu akan berubah menjadi mustahil, sedang perubahan yang jaiz menjadi wajib atau mustahil itu adalah tidak benar (batal).
Dari penjelasan di atas dapat kita ketahui bahwa Allah Ta’ala tidak mempunyai keharusan atas sesuatupun. Ini sangat berbeda dengan kaum Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Allah Ta’ala harus menciptakan suatu kebajikan terhadap hamba-Nya, dalam arti Allah Ta’ala harus memberikan rizki kepada hamba-Nya. Ini adalah merupakan kebohongan dan kedustaan terhadap Allah Ta’ala Maha Suci Allah dani semua itu.
Misalnya si Zaid dijadikan orang beriman dan diberi ilmu oleh Allah Ta’ala ini adalah merupakan anugerah-Nya, bukan merupakan suatu kewajiban bagi-Nya.
Juga termasuk sanggahan terhadap kaum Mu’ttazilah adalah adanya anak kecil yang mendapat cobaan seperti sakit dan lain sebagainya, padahal ini adalah sesuatu yang tidak patut bagi anak kecil tersebut.
Jika berbuat baik itu adalah merupakan kewajiban Allah Ta’ala niscaya tidak mungkin anak kecil tersebut akan terkena cobaan, karena menurut mereka (Mu’tanzilah) Allah Ta’ala tidak mungkin akan melalaikan kewajiban-Nya sebab melalaikan kewajiban bagi-Nya adalah merupakan suatu kekurangan. Maha Suci Allah dari segala kekurangan itu.
Menurut pendapat Ahlussunnah Allah memberikan pahala kepada orang yang ta’at adalah merupakan anugerah dari-Nya dan memberikan siksa kepada orang yang durhaka adalah merupakan keadilan-Nya, karena ketaatan seseorang tidak akan membawa dampak positif bagi Allah Ta’ala dan kemaksiatan seseorangpun tidak akan membawa dampat negatif bagi-Nya, sebab Dialah yang memberikan manfa’at yang sekaligus memberikan bahaya. Ketaatan dan kemaksiatan yang ada hanyalah sebagai pertanda bahwa Allah Ta’ala berhak untuk memberikan pahala atau menyiksa kepada orang-oang yang mempunyai predikat orang ta’at atau orang durhaka.
Barang siapa yang dikehendaki Allah Ta’ala menjadi yang dekat dengan-Nya maka ia akan diberikan pertolongan untuk ta’at dan barang siapa yang dikehendaki Allah Ta’ala untuk dihinakan dan jauh daripada-Nya maka ia akan diciptakan sebagai orang yang durhaka.
Dengan demikian berarti semua perkara baik itu perbuatan yang baik atau yang buruk adalah merupakan ciptaan Allah Ta’ala karena hanya Allah-lah yang menciptakan hamba-Nya dan semua yang mereka lakukan, sebagaimana yang tercantum dalam firman-Nya.
Dan Allahlah yangtelah menciptakan kamu. dan (menciptakan pula) segala yang kamu lakukan.
- DI AKHIRAT NANTI ORANG MUKMIN AKAN MELIHAT ALLAH SWT.
Di antara yang harus diyakini lagi adalah bahwa Allah Ta’ala bisa dilihat oleh orang-orang mukmin di akhirat nanti, karena Allah telah mengkaitkan melihat Allah ini dengan keberadaan gunung sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya:
“Jika ia (gunung itu) tetap berada di tempatnya (sebagaimana sedia – kala) niscaya kamu dapat melihat-Ku.” (Al A’raaf: 143)
Keberadaan gunung yang tetap berada di tempatnya itu adalah merupakan sesuatu yang jaiz sehingga melihat Allah yang dikala itu juga menjadi jaiz pula karena sesuatu yang dikaitkan dengan yang jaiz dia pun Juga menjadi jaiz pula.
Namun perlu diketahui bahwa melihat Allah swt. nanti tidak bisa dibayangkan, yakni tidak seperti bila kita melihat orang lain. Allah Taala tidak bisa dilihat berada pada suatu arah, tidak ada warnanya dan tidak memiliki bentuk. Maha Suci Allah dari semua itu dengan ketinggian yang tiada bandingnya.
Orang-orang Mu’tazilah -semoga Allah menjelek-jelekkan mereka tidak mengakui adanya melihat Allah Ta’ala di akhirat nanti dan ini merupakan bagian dari akidah mereka yang sesat dan tidak benar.
- PENDAPAT MU’TAZILAH, OADARIYAH DAN AHLUSSUNNAH TENTANG PERBUATAN MANUSIA
Ada lagi termasuk akidah mereka yang sesat adalah mereka menganggap bahwa manusia itu mampu menciptakan pekerjaannya sendiri. Sebab pendapatnya yang demikian inilah kelompok yang dinamakan aliran Qodariyah, karena mereka berpendapat bahwa segala yang dilakukan oleh seseorang itu atas prakarsanya sendiri. Aliran ini bertolak belakang dengan aliran Jabariyah yang mengatakan bahwa Seseorang itu sangat dipaksakan oleh Allah untuk melakukan suatu pekerjaan yang akan dilakukan. Aliran ini dinamakan aliran Jabariyah karena identik dengan pemahaman mereka tentang pemaksaan pekerjaan seseorang. Ini juga termasuk akidah yang sesat.
Yang benar seseorang itu tidak mampu menciptakan pekerjaannya sendiri dan dia tidak juga dipaksakan oleh Allah. Akan tetapi Allah-lah yang menciptakan pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang di samping dia memiliki kebebasan dalam melakukan pekerjaan tersebut.
Imam Sa’ad dalam syarah kitab “Al Aqaa’id” mengatakan: “Kebebasan semacam ini tidak mungkin diungkapkan melalui kata-kata, akan tetapi setiap orang akan dapat membedakan manakah yang dipaksakan antara gerakan tangan yang digerakkan sendiri atau gerakan tangan yang diterpa oleh angin?”
Ada lagi yang termasuk sifat jaiz Allah Ta’ala adalah Allah Ta’ala yaitu Nabi Ibrahim as., Nabi Musa as., Nabi Isa as., dan Nabi Nuh as. Tingkatan kemuliaan mereka itu adalah sebagaimana urutan tersebut.
Jadi jumlah Nabi yang memiliki gelar Ulul Azmi ada 5 yaitu beliau Nabi Muhammad saw. dan 4 orang Nabi yang tersebut di atas. Ini adalah pendapat yang shahih meskipun ada pendapat lain yang mengatakan bahwa Nabi Ulul Azmi tidak hanya itu saja.
Masih ada lagi yang memiliki keutamaan di bawah para Nabi Ulul Azmi, yakni para Rasul dan para Nabi lainnya – semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi kita dan kepada mereka Setelah itu baru para malaikat.
Dan yang harus diyakini lagi adalah bahwa Allah Ta’ala telah mengutus para Rasul dan Nabi itu telah diperkuat dengan berbagai macam mu’jizat, dan Nabi Muhammad saw. diciptakan khusus sebagai penutup para Rasul di samping syariat (ajaran agama) beliau tidak akan mungkin di amandemen hingga akhir zaman nanti.
- NABI ISA AS. NANTI AKAN TURUN DENGAN MENERUSKAN SYARIAT NABI MUHAMMAD SAW,
Mengenai Nabi Isa as, di akhir zaman nanti beliau akan turun dan memberikan konsep hukum Nabi kita Muhammad saw.
Ada yang berpendapat bahwa hukum yang diberlakukan oleh Nabi Isa as. nanti adalah bersumber dari Al Qur’an dan Hadits Nabi, dan ada pula yang berpendapat bahwa setelah Nabi Isa as. turun nanti beliau terus menuju ke makan Nabi Muhammad saw. dan di situ Nabi Isa as. kemudian belajar kepada beliau Nabi Muhammad saw.
G, SEBAGIAN SYARI’AT NABI MUHAMMAD SAW. ADA YANG DIAMANDEMEN
Ketahuilah bahwa sebagian syariat Nabi Muhammad saw, ada yang di amandemen dengan sebagian yang lain, sebagaimana kewajiban iddah (masa menanti) selama satu tahun penuh bagi seorang wanita yang ditinggal mati suaminya yang di amandemen dengan hanya menanti (beriddah) selama 4 bulan 10 hari saja, tidak boleh kurang.
- KEWAJIBAN MENGENAL PARA RASUL
Setiap mukallaf baik laki-laki maupun perempuan wajib mengenal Secara. rinci para Rasul yang tersebut dalam Al Qur’an dan juga wajib mempercayainya.
Menurut pendapat Syekh Malawi cukup beriman kepada masing-masing rasul yang ada saja sehingga jika seandainya dia ditanya tentang masalanya dia pun mau mengakuinya dan dia tidak wajib menghafalnya secara rinci
Tentang selain para rasul yang tersebut di atas, kita wajib mempercayainya secara global saja. Namun dalam syarah kitab “Al Maqaashid” menyitir pendapat Imam Sa’ad dikatakan bahwa setiap mukallaf cukup mempercayainya secara global saja, hanya saja dia tidak boleh diikuti.
Mengenai para Rasul ini ada sebagian ulama yang menciptakan sebuah syair:
Wajib bagi setiap mukallaf mengenal para Nabi secara rinci sebagaimana mereka telah termaktub dalam ayat “WATILKA HUJJATUNAA” yakni sebanyak 18 dan sisanya 7 lagi, yakni Idris, Huud, Syu’aib, Sholeh, Dzul Kifli, dan Adam. Mereka ini diakhiri Nabi pilihan (Muhammad saw.)
- MASA PARA SAHABAT ADALAH MASA YANG TERBAIK
Di antara hal-hal yang harus diyakini lagi adalah bahwa masa para sahabat Rasulullah saw. adalah masa yang terbaik, kemudian disusul masa para tab’in (generasi setelah sahabat) lalu masa tabi’it tabi’in (generasi setelah tabi’in).
Perlu diketahui bahwa shahabat yang paling mulia adalah Abu Bakar Ash Shiddig, kemudian Umar, lalu Utsman baru kemudian Ali sesuai dengan urutan yang ada.
Akan tetapi Imam Al ‘Aqlami berpendapat bahwa Sayyidatina Fatimah dan saudaranya Sayyid Ibrahim itu lebih utama secara mutlak dibanding dengan semua shahabat termasuk keempat orang Khalifah tersebut di atas. Sementara junjungan kita Imam Malik mengatakan: “Saya tidak berani mengunggulkan seseorang pun melebihi darah daging Rasulullah saw”. Inilah yang harus diyakini dan Insya Allah kita akan bertemu Allah.
C.ORANG TUA WAJIB MENDIDIK ANAKNYA MENGENAL KELAHIRAN NABI SAW.
Di antara yang harus diyakini lagi adalah bahwa Rasulullah saw. dilahirkan di kota Mekkah dan wafat di Madinah. Setiap orang tua wajib mengajarkan hal ini kepada anak-anaknya.
Menurut pendapat Imam Al Ajhuri: “Kecuali mengetahui hal itu juga setiap orang tua wajib mengetahui nasab beliau Rasulullah saw. baik dari jalur ayah maupun dari jalur ibu” Penjelasan tentang nasab Nabi saw. ini insya Allah akan kami beberkan pada bagian penutup nanti.
Di samping Itu Sebaiknya setiap orang tua mengenal juga para putra Rasulullah saw. sesuai dengan urutan kelahirannya, karena sebaiknya setiap orang bisa mengenal para pemimpinnya yakni pemimpin umat. Namun hal ini sepengetahuan saya para ulama tidak ada yang menjelaskan apakah itu hukumnya wajib atau sunnat. Akan tetapi bila diqiyaskan dengan yang tersebut di atas yang sepadan hukumnya akan menjadi wajib.
Putra Rasulullah saw. menurut pendapat yang shahih jumlahnya ada 3 orang laki-laki dan 4 orang perempuan.
Adapun urutannya dalam kelahiran adalah: Qasim yang lahir pertama kemudian Zainab, Rugayyah, Fatimah, Ummu Kultsum, Abdullah yang juga diberi gelar Thayyib dan Thahir. Kedua nama itulah sebagai gelar Abdullah, bukan nama dua orang yang berbeda. Keenam putra tersebut berasal dari seorang ibu Sayyidatina Khadijah, sedang putra yang ke 7 bernama Ibrahim yang berasal dari Ibu Mariyam Al Qibthiyyah.
Kami mohon ini dipahami dahulu-baru kemudian mari kita kembali kepada masalah akidah.
- SIFAT WAJIB RASUL
Akidah yang ke 42 adalah para Rasuk – semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada mereka -itu memiliki sifat “Shidqu” (selalu benar) dalam segala tindakan dan ucapannya,
Akidah yang ke 43 adalah para Rasul tersebut memiliki sifat “Amanah” yakni mereka terlindungi agar tidak terjerumus untuk melakukan yang haram atau yang makruh.
Akidah yang ke 44 adalah para Rasul memiliki sifat “Tabligh” (menyampaikan) segala perintah kepada semua makhluk.
Akidah yang ke 45 adalah para Rasul memiliki sifat “Fathanah” (cerdik).
Inilah ke 4 sifat yang harus dimiliki para Rasul – semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada mereka – dalam arti bahwa akal tidak bisa menerima manakala sifat-sifat tersebut tidak dimiliki mereka di samping iman seseorang akan sangat beruntung dengan mengetahui sifat-sifat tersebut di atas sesuai beda pendapat antara Imam Sanusi dan yang lain.
- SIFAT MUHAL PARA RASUL
Bagi para Rasul – semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada mereka – mustahil memiliki sifat-sifat yang menjadi kebalikan ke 4 sifat tersebut di atas. Mereka mustahil memiliki sifat “Kadzib” (dusta), Khianat sehingga mereka melakukan yang haram atau yang makruh, Kitman (tidak menyampaikan) segala yang diperintahkan untuk disampaikan kepada makhluk dan Baladah (dungu).
Keempat sifat inilah yang mustahil dimiliki para Rasul – semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada mereka – dalam arti tidak akan mempercayainya manakala mereka memiliki sifat-sifat tersebut di samping iman seseorang akan sangat tergantung kepada mengetahui sifat-sifat tersebut sebagaimana penjelasan di atas.
Sampai di sini berarti jumlah akidah telah mencapai 49 akidah.
- SIFAT JAIZ PARA RASUL
Yang menjadi penutup dan kesempurnaan 50 akidah ini adalah Sifat jaiz para Rasul, yaitu:
Para Rasul memiliki sifat-sifat yang lazim dilakukan oleh manusia biasa selama sifat-sifat tersebut tidak sampai menurunkan derajat mereka yang tinggi itu.
- DALIL ADANYA SIFAT SHIDIQ
Dalil yang menunjukkan para Rasul – semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada mereka – memiliki sifat “Shidiq” adalah jika seandainya mereka itu berdusta niscaya berita-berita yang datang dari Allah itu juga dusta karena Allah Ta’ala telah membenarkan pengakuan mereka sebagai Rasul dengan menampakkan mu’jizat yang ada di tangan mereka dan mu’jizat itu memiliki kedudukan yang sama dengan firman Allah Ta’ala:
“Hamba-Ku (Muhammad) selalu benar (jujur) dalam menyampaikan setiap sesuatu yang datang dari Aku.”
Penjelasannya adalah bahwa ketika seorang Rasul mendatangi tempatnya dan berkata: “Aku adalah utusan Allah kepada kamu”, kemudian mereka mempertanyakan: “Apa buktinya jika engkau seorang Rasul?” Lalu ia menjawab: “Terbelahnya gunung” misalnya, kemudian bila mereka mendesak agar ia membuktikan ucapannya maka pada Saat itu pula akan terbelahlah gunung itu sebagai bukti atas kebenaran. pengakuannya sebagai seorang Rasul. Dengan demikian berarti pembelahan gunung oleh Allah Ta’ala mempunyai kedudukan yang sama dengan firman-Nya tadi yakni:
Jika seandainya Rasul itu berdusta maka sudah barang pasti berita yang dibawanya itu juga merupakan berita bohong, padahal bohong adalah merupakan sesuatu yang muhal bagi Allah Ta’ala sehingga kebohongan Rasul pun adalah muhal pula. Bila dusta itu tidak terdapat pada diri Rasul maka yang ada tinggallah kebenaran belaka.
- DALIL ADANYA SIFAT AMANAH
Adapun dalil yang membuktikan bahwa para Rasul itu memiliki sifat “Amanah” yakni secara lahir batin mereka terlindungi untuk tidak melakukan yang haram maupun yang makruh adalah jika seandainya mereka berkhianat dengan melakukan hal-hal yang haram atau yang makruh niscaya kita juga diperintahkan untuk melakukan sebagaimana apa yang mereka lakukan, padahal tidak benar bila kita diperintahkan untuk melakukan sesuatu yang haram atau yang makruh karena tidak mungkin Allah Ta’ala akan memerintahkan untuk melakukan sesuatu yang keji dan mungkar.
Dengan demikian maka jelaslah bahwa para Rasul itu hanya melakukan ketaatan saja baik itu yang wajib maupun yang sunat. Dan tidak menyangkut yang mubah. Andaikan para Rasul itu melakukan hal-hal yang mubah itu hanya sekedar menjelaskan bahwa hal itu boleh dilakukan.
- DALIL ADANYA SIFAT TABLIGH
Adapun dalil yang membuktikan bahwa para Rasul itu memiliki sifat “Tabligh” adalah jika seandainya mereka tidak menyampaikan semua perintah Allah niscaya kita juga akan diperintahkan untuk tidak menyebarluaskan ilmu, Padahal tidak benar bila kita tidak menyebar luaskan ilmu yang kita miliki karena orang yang tidak mau menyebarluaskan ilmunya dia akan dilaknat, Dengan demikian berarti para Rasul itu telah menyampaikan semua perintahnya sehingga mereka memiliki sifat Tabligh.
G.DALIL ADANYA SIFAT FATHANAH
Adapun dalil yang membuktikan bahwa para Rasul memiliki sifat “Fathanah” (cerdik) adalah bahwa seandainya mereka tidak memiliki kecerdikan niscaya mereka tidak akan mampu menyampaikan hujah dalam berdiskusi, Padahal kenyataannya para Rasul mampu menyampaikan hujjahnya dalam berbagai macam diskusi dan Al Quran juga telah menunjukkan betapa banyak ayat-ayat yang menjelaskan tentang penegakan hujjah sebagaimana tercantum dalam firman-Nya:
“Dan bantahlah mereka (orang-orang yang menentang)itu dengan – hujjah yang lebih baik.”
Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang senada. Penegakan hujjah semacam ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang cerdik saja.
- DALIL ADANYA SIFAT JAIZ PARA RASUL
Adapun dalil yang menunjukkan bahwa para Rasul itu memiliki sifat-sifat yang lazim dilakukan oleh manusia biasa adalah karena para Rasul tersebut senantiasa naik pada derajat yang lebih tinggi, sementara misalnya mereka terserang suatu penyakit adalah juga dalam rangka menaikkan martabat mereka yang tinggi itu di samping orang lain (para ummatnya) akan merasa terhibur olehnya serta orang-orang yang berakal pun akan dapat mengetahui bahwa dunia tidak merupakan tempat pembalasan bagi para kekasih-Nya. Sebab jika dunia ini sebagai tempat pembalasan kepada para kekasih-Nya niscaya mereka sedikit pun tidak akan tertimpa dunia ini. Semoga Allah senantiasa melimpahkan shalawat dan salam kepadanya, juga kepada pemimpin besar mereka Nabi kita Muhammad saw. seluruh keluarga, para shahabat dan semua ahli baitnya.
- NABI KITA MUHAMMAD SAW. MEMILIKI TELAGA
Sempurnalah sudah pembahasan tentang ke 50 akidah berikut tentang kewajiban meyakini hal-hal yang didasarkan kepada sam’iyyat (pendengaran) saja.
Ketahuilah bahwa kita wajib beriman bahwa Nabi kita Muhammad saw. memiliki telaga dan tidak mengapa andaikan ada seseorang yang tidak tahu akan keberadaan telaga tersebut, apakah ia berada setelah akhirat atau sebelumnya.
Telaga wu di hari kiamat nanti akan didatangi oleh seluruh manusia yang selama di dunia mereka tidak pernah melakukan kezaliman, penyelewengan dan kebid’ahan. Dan perlu di ketahui pula bahwa telaga ini bukan telaga Kautsar, yakni sebuah telaga yang ada di surga.
- NABI MUHAMMAD SAW. AKAN MEMBERI SYAFA’AT DI HARI KIAMAT
Ada lagi yang harus diyakini oleh setiap mukallaf adalah bahwa di hari kiamat nanti di hadapan pengadilan Allah swt. Nabi Muhammad saw. akan memberikan syafaat (pertolongan) kepada para umatnya di saat mereka sedang menanti dan berharap untuk segera kembali meskipun ke neraka. Di saat mereka kembali dari tempat inilah Rasulullah saw. kemudian memberikan syafaatnya, syafaat semacam ini hanya khusus dimiliki oleh beliau Rasulullah saw. saja.
- ORANG YANG MELAKUKAN DOSA BESAR TIDAK KAFIR
Di antaranya hal yang harus diyakini lagi adalah orang yang melakukan dosa besar selama tidak mengarah kepada kekafiran tidak menyebabkan ia menjadi kafir. Menurut pendapat yang kuat, orang yang melakukan dosa meskipun itu dosa kecil seketika itu juga ia wajib bertobat dan nilai tobatnya tidak akan berkurang lantaran ia mengulangi lagi perbuatan dosanya, akan tetapi untuk dosa yang baru dilakukan ia wajib bertobat kembali.
- LARANGAN SOMBONG, HASUD DAN MENGGUNJING
Setiap orang wajib menjauhkan diri dari sombong, hasud dan menggunjing sebagaimana sabda Rasulullah saw.: “Sesungguhnya di pintu-pintu langit itu terdapat beberapa penjaga untuk menolak amal-amal orang yang sombong, orang yang hasud dan orang-orang yang suka menggunjing sehingga amal mereka tidak akan diterima.”
- DEFINISI IMAN DAN ISLAM :
Iman menurut tujuan bahasa adalah kepercayaan secara mutlak, sebagaimana firman Allah swt. yang mengisahkan tentang putra nabi Ya’qub As.: “Dan sekali-kali kamu tidak-percaya kepada kami sekalipun kami adalah orang-orang yang benar”
Sedang tinjauan iman menurut syariat adalah mempercayai segala apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.
Ada beda pendapat di kalangan ulama mengenai kepercayaan terhadap semua yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. di atas. Sebagian ulama berpendapat bahwa kepercayaan adalah merupakan bentuk dari makrifat sehingga orang telah mengenal segala yang dibawa oleh beliau Rasulullah saw. berarti dia orang mukmin. Pendapat ini ditentang oleh pendapat ulama lain yang mengatakan bahwa orang kafir pun telah mengenal pula ajaran yang dibawa oleh Rasulullah saw. namun mereka tetap saja tidak mau beriman,
Yang benar arti iman adalah bisikan hati nurani yang mengikuti kepada suatu kemantapan, baik kemantapan itu berdasar pada suatu dalil yang mendukungnya yang disebut dengan makrifat atau kemantapan Itu timbul karena taklid saja.
Definisi ini tidak dapat memasukkan orang kafir karena dia tidak memiliki bisikan hati sebab maksud dari bisikan hati adalah seperti Jika saudara berkata: “Aku rela atas segala yang di bawa oleh Nabi Muhammad saw.”, padahal orang kafir tidak pernah mengatakan semacam itu, Akan tetapi pendapat ini memasukkan orang yang bertaklid karena ia memiliki bisikan hati nurani yang mengikuti kepada suatu kemantapan meskipun kemantapan yang ia miliki tidak berdasar pada sebuah dalil yang relevan.
- WAJIB MENGETAHUI NASAB NABI MUHAMMAD SAW.
Setiap orang mukallaf wajib mengetahui nasab Nabi Muhammad saw. baik dari jalur ayah maupun dari jalur ibu.
Adapun nasab Nabi Muhammad saw. dari jalur ayah adalah Nabi Muhammad saw. putra Abdullah, putra Abdul Muthallib, putra Hasyim, putra Manaf, putra Oushay, putra Kilab, putra Murrah, putra Ka’ab, putra Lu-ay, putra Ghalib, putra Fihr, putra Malik, putra Nadhar, putra Kinanah, putra Huzaimah, putra Mudrikah, putra Ilyas, putra Mudlar, putra Nizar, putra Ma’ad, putra Adnan.
Menurut konsensus ulama nasab Nabi Muhammad saw. ini hanya berakhir pada Adnan saja, sedangkan nasab seterusnya hingga Nabi Adam as. belum ada pendapat yang menjelaskan secara benar.
Adapun nasab Nabi Muhammad saw. dari pihak ibu adalah Nabi Muhammad saw. putra Aminah, putra Wahab, putra Abdul Manaf, (Abdul Manaf ini bukan Abdul Manaf yang masuk pada jajaran kakek Nabi Muhammad saw. dari jalur ayah di depan), putra Kilab yang juga termasuk pada jajaran kakek Nabi Muhammad dari pihak ayah,
Dengan demikian berarti nasab Nabi Muhammad saw. dari jalur Ayah dan ibu bertemu pada kakeknya yang bernama Kilab.
3, WARNA KULIT NABI MUHAMMAD SAW.”
Disamping yang tersebut di atas kita juga harus mengetahui bahwa kulit Nabi Muhammad saw. berwarna putih kemerah-merahan. Ini menurut pendapat sebagian ulama. Jadi tidak benar bila ada yang mengatakan bahwa kulit Nabi Muhammad saw. berwarna putih mulus atau merah mulus. Akan tetapi kulit beliau berwarna putih kemarah marahan yang mana itu adalah merupakan warna kulit yang terbaik di dunia ini. Adapun warna kulit yang terbaik di akhirat nanti adalah putih kekuning-kuningan sebagaimana warna kulit para penduduk surga, sebagaimana pendapat kalangan ulama ahli tafsir terkenal dalam menafsirkan firman Allah swt.: “Seakan-akan mereka adalah telur (burung onta) yang tersimpan dengan baik”,
Allah menyamakan kulit penduduk surga dengan kulit telur burung onta yang tersimpan rapi yakni yang berwarna putih kekuning-kuningan karena ia memang warna yang terbaik.
Warna kulit Rasulullah saw. di dunia ini tidak sama dengan warna kulit beliau di akhirat, ini adalah merupakan suatu keistimewaan dan guna menambah keagungan beliau Rasulullah saw.
Ini adalah merupakan akhir dari segala kemudahan yang telah diberikan oleh Allah Ta’ala melalu anugerah-Nya. Semoga shalawat dan salam senantiasa disanjungkan keharibaan pemimpin kita Nabi Muhammad saw., keluarga dan para sahabat dan semua ahli baitnya selama orang-orang yang berdzikir masih menyebut nama-Nya dan selama orang-orang yang lupa tidak mau berdzikir kepada-Nya. Segala puji hanyalah milik Allah Penguasa seluruh alam ini.