Pengertian, Pertumbuhan dan Perkembangannya
Al-Qur’anul Karim adalah mukjizat Islam yang kekal dan mukjizatnya selalu. diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Ia diturunkan Allah kepada Rasulullah, Muhammad s.a.w. untuk mengeluarkan manusia dari suasana yang gelap menuju yang terang, serta membimbing mereka ke jalan yang lurus. Rasulullah s.a.w. menyampaikan Qur’an itu kepada para sahabatnya orang-orang Arab asli sehingga mereka dapat memahaminya berdasarkan naluri mereka. Apabila mereka mengalami ketidakjelasan dalam memahami suatu ayat, mereka menanyakannya kepada Rasulullah s.a.w.
Bukhari dan Muslim serta yang lain meriwayatkan, dari Ibn Mas‘ud, dengan mengatakan:
“Ketika ayat ini diturunkan ‘Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman’ (An‘am [6]:82), banyak orang yang merasa resah. Lalu mereka bertanya kepada Rasulullah s.a.w.: ’Ya Rasulullah, siapakah di antara kita yang tidak berbuat kezaliman terhadap dirinya?’ Nabi menjawab: ’Kezaliman di sini bukan seperti yang kamu pahami. Tidakkah kamu pernah mendengar apa yang telah dikatakan oleh seorang hamba Allah yang saleh Sesungguhnya kemusyrikan adalah benar-benar kezaliman yang besar (Luqman [31]:13). Jadi yang dimaksud dengan kezaliman. di sini ialah kemusyrikan.’”
Rasulullah s.a.w. menafsirkan kepada mereka beberapa ayat. Seperti dinyatakan oleh Muslim dan yang lain, yang bersumber dari ‘Uqbah bin ‘Amir; ia berkata:
”Aku pernah mendengar Rasulullah s.a.w. berkata di atas mimbar: ‘Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan yang kamu sanggupi (Anfal [8]:60). Ingatlah bahwa kekuatan di sini adalah memanah.”
Para sahabat sangat antusias untuk menerima Qur’an dari Rasulullah s.a.w., menghafalnya dan memahaminya. Hal itu merupakan suatu kehormatan bagi mereka. Dikatakan oleh Anas r.a.: “Seseorang di antara kami bila telah membaca Surah Baqarah dan Ali ‘Imran, orang itu menjadi besar menurut pandangan kami.” Begitu pula mereka selalu berusaha mengamalkan Qur’an dan memahami hukum-hukumnya.
Diriwayatkan dari Abu Abdurrahman as-Sulami, ia mengatakan:
Mereka yang membacakan Qur’an kepada kami, seperti Usman bin ‘Affan dan Abdullah bin Mas‘ud serta yang lain menceritakan, bahwa mereka bila belajar dari Nabi s.a.w. sepuluh ayat, mereka tidak melanjutkannya sebelum mengamalkan ilmu dan amal yang ada di dalamnya. Mereka berkata: “Kami mempelajari Qur’an berikut ilmu dan amalnya sekaligus.”,
Rasulullah s.a.w. tidak mengizinkan mereka menuliskan sesuatu dari dia selain Qur’an, karena ia khawatir Qur’an akan tercampur dengan yang lain.
Muslim meriwayatkan dari Abu Sa‘id al-Khudri, bahwa Rasulullah s.a.w. berkata: Janganlah kamu tulis dari aku; barangsiapa menuliskan dari aku selain Qur’an, hendaklah dihapus. Dan ceritakan apa yang dariku; dan itu tiada halangan baginya. Dan barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, ia akan menempati tempatnya di api neraka.”
Sekalipun sesudah itu Rasulullah s.a.w. mengizinkan kepada sebagian sahabat untuk menulis hadis, tetapi hal yang berhubungan dengan Qur’an tetap didasarkan pada riwayat yang melalui petunjuk di zaman Rasulullah s.a.w., di masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar r.a.
Kemudian datang masa kekhalifahan Usman ra.’ dan keadaan menghendaki seperti yang akan kami jelaskan nanti untuk menyatukan kaum Muslimin pada satu mushaf. Dan hal itu pun terlaksana. Mushaf itu disebut: Mushaf Imam. Salinan salinan mushaf itu juga dikirimkan ke beberapa provinsi. Penulisan mushaf tersebut dinamakan ar-Rasmul ‘Usmani yaitu dinisbahkan kepada Usman. Dan ini dianggap sebagai permulaan dari ‘Ilmu Rasmil Qur’an.
Kemudian datang masa kekhalifahan Ali r.a. Dan atas perintahnya, Abul Aswad ad-Du’ali meletakkan kaidah-kaidah Nahwu, cara pengucapan yang tepat dan baku dan memberikan ketentuan harakat pada Qur’an. Ini juga dianggap sebagai permulaan ‘Ilmu I‘rabil Qur’an.
Para sahabat senantiasa melanjutkan usaha mereka dalam menyampaikan makna-makna Qur’an dan penafsiran ayat-ayatnya yang berbeda-beda di antara mereka, sesuai dengan kemampuan mereka yang berbeda-beda dalam memahami dan karena adanya perbedaan lama dan tidaknya mereka hidup bersama Rasulullah s.a.w. Hal yang demikian diteruskan oleh murid-murid mereka, yaitu para tabi‘in.
Di antara para mufasir yang termasyhur dari para sahabat adalah empat orang khalifah, kemudian Ibn Mas‘ud, Ibn ‘Abbas, Ubai bin Ka‘b, Zaid bin Sabit, Abu Musa al-Asy’ari dan Abdullah bin Zubair.
Banyak riwayat mengenai tafsir yang diambil dari Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas‘ud dan Ubai bin Ka‘b. Dan apa yang diriwayatkan dari mereka tidak berarti sudah merupakan tafsir Qur’an yang sempurna; tetapi terbatas hanya pada makna beberapa ayat dengan penafsiran tentang apa yang masih samar dan penjelasan apa yang masih global. Mengenai para tabi‘in, di antara mereka ada satu kelompok terkenal yang mengambil ilmu ini dari para sahabat di samping mereka sendiri bersungguh-sungguh atau melakukan ijtihad dalam menafsirkan ayat.
Di antara murid-murid Ibn Abbas di Mekah yang terkenal ialah Sa‘id bin Jubair, Mujahid, ‘Ikrimah bekas sahaya (maula) Ibn Abbas, Tawus bin Kisan al-Yamani dan ‘Ata’ bin Abi Rabah.
Dan terkenal pula di antara murid-murid Ubai bin Ka‘b di Medinah, Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka‘b al-Qurazi.
Dari murid-murid Abdullah bin Mas‘ud di Irak yang terkenal ‘Alqamah bin Qais, Masruq, al-Aswad bin Yazid, ‘Amir asy-Sya‘bi, Hasan al-Basri dan Qatadah bin Di‘amah as-Sadusi.
Ibn Taimiyah berkata: “Adapun mengenai ilmu tafsir, orang yang paling tahu adalah penduduk Mekah, karena mereka sahabat Ibn Abbas, seperti Mujahid, ‘Até’ bin Abi Rabah, ‘Ikrimah maula Ibn Abbas dan sahabat-sahabat Ibn Abbas lainnya seperti Tawus, Abusy Sya‘sa’, Sa‘id bin Jubair dan lain-lainnya. Begitu juga penduduk Kufah dari sahabat-sahabat Ibn Mas‘ud; dan mereka itu mempunyai kelebihan dari ahli tafsir yang lain. Ulama penduduk Medinah dalam ilmu tafsir di antaranya adalah Zubair bin Aslam; Malik dan anaknya Abdurrahman serta Abdullah bin Wahb, mereka berguru kepadanya.
Dan yang diriwayatkan dari mereka itu semua meliputi ilmu Tafsir, ilmu Qaribil Qur’an, ilmu Asbabun Nuzul, ilmul Makki wal Madani dan Ilmu Nasikh dan Mansukh. Tetapi semua ini tetap didasarkan pada riwayat dengan cara didiktekan.
Pada abad kedua Hijri tiba masa pembukuan (tadwin) yang dimulai dengan pembukuan hadis dengan segala babnya yang bermacam-macam; dan itu juga menyangkut hal yang berhubungan dengan tafsir. Maka sebagian ulama membukukan tafsir Qur’an yang diriwayatkan dari Rasulullah s.a.w., dari para sahabat atau dari para tabi‘in.
Di antara mereka itu, yang terkenal adalah Yazid bin Harun asSulami (wafat 117 H.), Syu‘bah bin Hajjaj (wafat 160 H.), Waki‘ bin Jarrah (wafat 197 H.), Sufyan bin ‘Uyainah (wafat 198 H.) dan ‘Abdurrazzaq bin Hammam (wafat 112 H.).
Mereka semua adalah para ahli hadis. Sedang tafsir yang mereka susun merupakan salah satu bagiannya. Namun tafsir mereka yang tertulis tidak ada yang sampai ke tangan kita.
Kemudian langkah mereka itu diikuti oleh segolongan ulama. Mereka menyusun tafsir Qur’an yang lebih sempurna berdasarkan susunan ayat. Dan yang paling terkenal di antara mereka ada Ibn Jarir at-Tabari (wafat 310 H.).
Demikianlah, tafsir pada mulanya dinukil (dipindahkan) melalui penerimaan (dari mulut ke mulut) dari riwayat; kemudian dibukukan sebagai salah satu bagian hadis; selanjutnya ditulis secara bebas dan mandiri. Maka berlangsunglah proses kelahiran at-tafsir bil ma’siir (berdasarkan riwayat), lalu diikuti oleh at-tafsir bir ra’yi (berdasarkan penalaran).
Di samping ilmu tafsir lahir pula karangan yang berdiri sendiri mengenai pokok-pokok pembahasan tertentu yang berhubungan dengan Qur’an, dan hal ini sangat diperlukan oleh seorang mufasir.
Ali bin al-Madini (wafat 234 H.), guru Bukhari, menyusun karangannya mengenai asbabun nuzul. Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam (wafat 224 H.) menulis tentang Nasikh-Mansukh dan qira‘at.
Ibn Qutaibah (wafat 276 H.) menyusun tentang problematika Qur’an (Musykilatul Qur’an).
Mereka semua termasuk ulama abad ketiga Hijri.
Muhammad bin Khalaf bin Marzaban (wafat 309 H.) menyusun al-Hawi fa ‘Ulumil Qur’an.
Abu Muhammad bin Qasim al-Anbari (wafat 751 H.) juga menulis tentang ilmu-ilmu Qur’an.
Abu Bakar as-Sijistani (wafat 330 H.) menyusun Garibul Qur’an.
Muhammad bin Ali al-Adfawi (wafat 388 H.) menyusun al Istigna’ fi ‘Ulumil Qur’an.
Mereka ini adalah ulama-ulama abad keempat Hijri.
Kemudian kegiatan karang-mengarang dalam hal ilmu-ilmu Qur’an tetap berlangsung sesudah itu.
Abu Bakar al-Baqalani (wafat 403 H.) menyusun i‘jazul Qur’an, dan Ali bin Ibrahim bin Sa‘id al-Hufi (wafat 430 H.) menulis mengenai I‘rabul Qur’an. Al-Mawardi (wafat 450 H.) mengenai tamsil tamsil dalam Qur’an (Amsalul Qur’an). Al-‘Izz bin ‘Abdus Salam (wafat 660 H.) tentang majaz dalam Qur’an. ‘Alamuddin as-Sakhawi (wafat 643 H.) menulis mengenai ilmu qira’at [cara membaca Qur’an], dan Aqsamul Qur’an. Setiap penulis dalam karangannya itu menulis bidang dan pembahasan tertentu yang berhubungan dengan ilmu-ilmu Qur’an.
Sedang pengumpulan hasil pembahasan dan bidang-bidang tersebut mengenai ilmu-ilmu Qur’an, semuanya atau sebagian besarnya dalam satu karangan, maka Syaikh Muhammad ‘Abdul ‘Azim az-Zarqini menyebutkan di dalam kitabnya Manhilul ‘Irfan fi ‘Ulumil Qur’an bahwa ia telah menemukan di dalam Perpustakaan Mesir sebuah kitab yang ditulis oleh Ali bin Ibrahim bin Sa‘id yang terkenal dengan al-Hufi, judulnya al-Burhan fi ‘Ulumil Qur’an yang terdiri atas tiga puluh jilid. Dari ketiga puluh jilid itu terdapat lima belas jilid yang tidak tersusun dan tidak berurutan. Pengarang membicarakan ayat-ayat Qur’an menurut tertib Mushaf. Dia membicarakan ilmu-ilmu Qur’an yang dikandung ayat itu secara tersendiri, masing-masing diberi judul sendiri pula, dan judul yang umum disebutkan dalam ayat, dengan menuliskan al-Qaul fi Qaulihi ‘Azza wa Jalla (pendapat mengenai firman Allah ‘azza wa jalla), lalu disebutnya ayat itu. Kemudian di bawah judul ini dicantumkan al-Qaul fil I‘rab (pendapat mengenai morfologi). Di bagian ini ia membicarakan ayat itu dari segi nahwu dan bahasa. Selanjutnya al-Qaul fil Ma‘nad wat Tafsir (pendapat mengenai makna dan tafsirannya); di sini ia jelaskan ayat itu berdasarkan riwayat (hadis) dan penalaran. Setelah itu al-Qaul fil Waqfi wat Tamam (pendapat mengenai tanda berhenti dan tidak); di sini ia menjelaskan mengenal wagqf (berhenti) yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Terkadang qira’at diletakkan dalam judul tersendiri, yang disebutnya dengan al-Qaul fil Qira’at (pendapat mengenai qiraat). Kadang ia berbicara tentang hukum-hukum yang diambil dari ayat ketika ayat itu dibacakan.
Dengan metode seperti ini, al-Hufi dianggap sebagai orang pertama yang membukukan ‘Ulumul Qur’an, ilmu-ilmu Qur’an, meskipun pembukuannya memakai cara tertentu seperti yang disebutkan tadi. la wafat pada tahun 330 Hyyri.
Kemudian Ibnul Jauzi (wafat 597 H.) mengikutinya dengan menulis sebuah kitab berjudul Fundinul Afnadn fi ‘Aja’ibi ‘Ulamil Qur’an.
Lalu tampil Badruddin az-Zarkasyi (wafat 794 H.) menulis sebuah kitab lengkap dengan judul al-Burhén fi ‘Ulumil Qur’an Jalaluddin al-Balqini (wafat 824 H.) memberikan beberapa tambahan atas al-Burhan di dalam kitabnya Mawaqi‘ul ‘Ulum min Mawaqi‘in Nujim. Jalaluddin as-Suyuti (wafat 911 H.) juga kemudian menyusun sebuah kitab yang terkenal al-Itqan fi ‘Ulimil Qur’an.
Kepustakaan ilmu-ilmu Qur’an pada masa kebangkitan modern tidaklah lebih kecil daripada nasib ilmu-ilmu yang lain. Orang-orang yang menghubungkan diri dengan gerakan pemikiran Islam telah mengambil langkah yang positif dalam membahas kandungan Qur’an dengan metode baru pula, seperti kitab i‘jazul Qur’an yang ditulis oleh Mustafa Sadiq ar-Rafi‘i, kitab at-Taswirul Fanni fil Qur’an dan Masyéhidul Qiyamah fil Qur’an oleh Sayid Qutb, Tarjamatul Qur’an oleh Syaikh Muhammad Mustafa al-Maragi yang salah satu pembahasannya ditulis oleh Muhibbuddin al-Khatib, Mas’alatu Tarjamatil Qur’an oleh Mustafa Sabri, an-Naba’ul ‘Azim oleh Dr. Muhammad ‘Abdullah Daraz dan mukaddimah tafsir Mahdsinut Ta’wil oleh Jamaluddin al-Qasimi.
Syaikh Tahir al-Jaza’iri menyusun sebuah kitab dengan judul at Tibyan fi ‘Ulumil Qur’an. Syaikh Muhammad ‘Ali Salamah menulis pula Manhajul Furqan fi ‘Ulumil Qur’an; yang berisi pembahasan yang sudah ditentukan untuk Fakultas Usuluddin di Mesir dengan spesialisasi dakwah dan bimbingan masyarakat. Kemudian hal itu juga diikuti oleh muridnya, Muhammad ‘Abdul ‘Azim az-Zarqani yang menyusun Mandhilul ‘Irfan ft ‘Ulimil Qur’dGn. Kemudian Syaikh Ahmad ‘Ali menulis Muzakkirat ‘Ulumil Qur’an yang disampaikan kepada para mahasiswanya di Fakultas Usuluddin jurusan dakwah dan bimbingan masyarakat.
Akhirnya muncul Mabdhisu fi ‘Ulumil Qur’an oleh Dr. Subhi as Salih. Juga Ustaz Ahmad Muhammad Jamal menulis beberapa studi sekitar masalah “Ma’idah” dalam Qur’an.
Pembahasan-pembahasan tersebut. dikenal dengan sebutan ‘Ulimul Qur’an, dan kata ini kini telah menjadi istilah atau nama khusus bagi ilmu-ilmu tersebut.
Kata ‘ulum jamak dari kata ‘ilmu. ‘Ilmu berarti al-fahmu wal idrak (’paham dan menguasai’). Kemudian arti kata ini berubah menjadi masalah-masalah yang beraneka ragam yang disusun secara ilmiah. ,
Jadi; yang dimaksud dengan ‘Ulimul Qur’an ialah ilmu yang membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan Qur’an dari segi asbabun nuzal, ’sebab-sebab turunnya Qur’an”, pengumpulan dan penertiban Qur’an, pengetahuan tentang Surah-surah Mekah dan Medinah, an-nasikh wal mansikh, al-muhkam wal mutasydbih dan lain sebagainya yang berhubungan dengan Qur’an. Terkadang ilmu int dinamakan juga Ushulut Tafsir (dasar-dasar tafsir), karena yang dibahas berkaitan dengan beberapa masalah yang harus diketahui oleh seorang mufasir sebagai sandaran dalam menafsirkan Qur’an.
Di antara kemurahan Allah terhadap manusia bahwa Dia tidak Saja memberikan sifat yang bersih yang dapat membimbing dan memberi petunjuk kepada mereka ke arah kebaikan, tetapi juga dari waktu ke waktu Dia mengutus seorang rasul kepada umat manusia dengan membawa al-Kitab dari Allah dan menyuruh mereka beribadah hanya kepada Allah saja, menyampaikan khabar gembira dan memberikan peringatan. Agar yang demikian menjadi bukti bagi manusia.
”Rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada hujjah (alasan) bagi manusia untuk membantah Allah sesudah rasul-rasul itu diutus.” (an-Nisa’ [4]:165).
Perkembangan dan kemajuan berpikir manusia senantiasa disertai oleh wahyu yang sesuai dan dapat memecahkan problem-problem yang dihadapi oleh kaum setiap rasul saat itu, sampai perkembangan itu mengalami kematangannya. Allah menghendaki agar risalah Muhammad s.a.w. muncul di dunia ini. Maka diutuslah beliau di saat manusia sedang mengalami kekosongan para rasul, untuk menyempurnakan “bangunan” saudara-saudara pendahulunya (para rasul) dengan syari’atnya yang universal dan abadi serta dengan Kitab yang diturunkan kepadanya, yaitu al-Qur’anul Karim.
”Perumpamaan diriku dengan para nabi sebelum aku adalah bagaikan orang yang membangun sebuah rumah, dibuat dengan baik dan diper indahnya rumah itu, kecuali letak satu bata di sebuah sudutnya. Maka orang-orang pun mengelilingi rumah itu, mereka mengaguminya dan berkata: Seandainya bukan karena batu bata ini, tentulah rumah itu sudah sempurna. Maka akulah batu bata itu, dan akulah penutup para nabi.”!
Qur’an adalah risalah Allah kepada manusia semuanya. Banyak nas yang menunjukkan hal itu, baik di dalam Qur’an maupun di dalam sunah.
”Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku adalah Rasul Allah kepada kamu semua.” (al-A‘raf [7]:158).
”Mahasuci Allah yang telah menurunkan al-Furqan (Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan ke semesta alam.” (al-Furqan [25]:1).
“Setiap nabi diutus kepada kaumnya secara khusus sedang aku diutus kepada segenap umat manusia.”
Sesudah Muhammad s.a.w. tidak akan ada lagi kerasulan lain.
“Muhammad sekali-kali bukan bapak seorang lelaki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasul Allah dan penutup para nabi.” (al. Ahzab [33]:40).
Maka tidaklah aneh apabila Qur’an dapat memenuhi semua tuntutan kemanusiaan berdasarkan asas-asas pertama konsep agama samawi.
“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu: “Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.” (asy-Syura [42]:13).
Rasulullah juga telah menantang orang-orang Arab dengan Quran, padahal Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka dan mereka pun ahli dalam bahasa itu dan retorikanya. Namun ternyata mereka tidak mampu membuat apa pun seperti Qur’an, atau membuat sepuluh surah saja, bahkan satu surah pun seperti Qur’an. Maka terbuktilah kemukjizatan Qur’an dan terbukti pula kerasulan Muhammad. Allah telah menjaganya dan menjaga pula penyampaiannya yang beruntun, sehingga tak ada penyimpangan atau perubahan apa pun. Tentang Jibril yang membawa Qur’an itu di antaranya dilukiskan: .
“Dia dibawa turun oleh roh yang terpercaya.” (asy-Syu‘ara’ [26]:193).
Dan di antara sifat Qur’an dan sifat orang yang diturunkan kepadanya Qur’an itu adalah:
”Qur’an itu benar-benar firman Allah yang dibawa oleh utusan yang mulia (Jibril); yang mempunyai keutamaan, yang mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Allah Yang mempunyai ‘Arsy; yang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi dipercaya. Dan temanmu (Muhammad) sekali-kali bukanlah orang gila. Dan sesungguhnya ia telah melihat Jibril di ufuk yang terang, dan dia bukanlah orang yang bakhil untuk menerangkan yang gaib.”’ (at-Takwir [81]:19-24).
“Sesungguhnya Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia pada tempat yang terpelihara (Lauhul Mahfuz); tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.”’ (al-Waqi‘ah [56]:77-79).
Keistimewaan yang demikian ini tidak dimiliki oleh kitab-kitab yang terdahulu, karena kitab-kitab itu diperuntukkan bagi satu waktu tertentu. Maka benarlah Allah dengan firman-Nya:
“Sesungguhnya Kamilah yang telah menurunkan az-Zikr (Qur’an), dan sesungguhnya Kamilah yang benar-benar akan menJaganya.” (al-Hijr [15]:9).
Risalah Qur’an di samping ditujukan kepada manusia, juga ditujukan kepada jin.
“Dan ingatlah ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Qur’an, maka tatkala mereka menghadiri pembacaannya lalu mereka berkata: ‘Diamlah kamu untuk mendengarkannya.’ Ketika pembacaan telah selesai, mereka kembali kepada kaumnya untuk memberi peringatan. Mereka berkata: ‘Wahai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab Qur’an yang diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. Wahai kaum kami, terimalah seruan orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepadanya…” (al-Ahqaf [46]:29-31).
Dengan keistimewaan itu Qur’an memecahkan problem-problem kemanusiaan dalam berbagai segi kehidupan, baik rohani, jasmani, sosial, ekonomi maupun politik dengan pemecahan yang bijaksana, karena ia diturunkan oleh yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji. Pada setiap problem itu Qur’an meletakkan sentuhannya yang mujarab dengan dasar-dasar yang umum yang dapat dijadikan landasan untuk langkah-langkah manusia, dan yang sesuai pula buat setiap zaman. Dengan demikian, Qur’an selalu memperoleh kelayakannya di setiap waktu dan tempat, karena Islam adalah agama yang abadi. Alangkah menariknya apa yang dikatakan oleh seorang juru dakwah abad ke 14 ini: “Islam adalah suatu sistem yang lengkap; ia dapat mengatasi segala gejala kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air, atau pemerintah dan bangsa. Ia adalah moral dan potensi atau rahmat dan keadilan. Ia adalah pengetahuan dan undang-undang atau ilmu dan keputusan. Ia adalah materi dan kekayaan, atau pendapatan dan kesejahteraan. Ia adalah jihad dan dakwah atau tentara dan ide. Begitu pula ia adalah aqidah yang benar dan ibadah yang sah.’
Manusia yang kini tersiksa hati nuraninya dan akhlaknya sudah rusak, tidak mempunyai pelindung lagi dari kejatuhannya ke jurang kehinaan selain daripada Qur’an.
”Barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, maka dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunnya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (Ta Ha [20]:123-124).
Kaum Muslimin sendirilah yang membangun obor di tengah-tengah gelapnya sistem-sistem dan prinsip-prinsip lain. Mereka harus menjauhkan diri dari segala kegemerlapan yang palsu. Mereka harus membimbing manusia yang kebingungan dengan Qur’an sehingga terbimbing ke pantai keselamatan. Seperti halnya kaum Muslimin dahulu mempunyai negara dengan melalui Qur’an, maka tidak boleh tidak pada masa kini pun mereka harus memiliki negara dengan Qur’an juga.
Definisi Qur’an
Qara’a mempunyai arti mengumpulkan dan menghimpun, dan qira’ah berarti menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain dalam suatu ucapan yang tersusun rapih. Qur’an pada mulanya seperti qira’ah, yaitu masdar (infinitif) dari kata qara’a, qira’atan, qur’anan. Allah berfirman:
”Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (dalam dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya.” (al-Qiyamah [75]:17-18)
Qur’anah di sini berarti qira’atahu (bacaannya/cara membacanya). Jadi kata itu adalah masdar menurut wazan (tasrif, konjugasi) “fu‘lan’’ dengan vokal ”u” seperti ’’gufran” dan ’syukran’’. Kita dapat mengatakan qara’tuhu, qur’an, gira’atan wa qur’anan, artinya sama saja. Di sini maqri’ (apa yang dibaca) diberi nama Qur’an (bacaan); yakni penamaan maf‘il dengan masdar.
Qur’an dikhususkan sebagai nama bagi kitab yang diturunkan kepada Muhammad s.a.w., sehingga Qur’an menjadi nama khas kitab itu, sebagai nama diri. Dan secara gabungan kata itu dipakai untuk nama Qur’an secara keseluruhan, begitu juga untuk penamaan ayat-ayatnya. Maka jika kita mendengar orang membaca ayat Qur’an, kita boleh mengatakan bahwa ia sedang membaca Qur’an.
“Dan apabila dibacakan Qur’an, maka dengarlah dan perhatikanlah…”’ (al-A‘raf [7]:204).
Sebagian ulama menyebutkan bahwa penamaan kitab ini dengan nama Qur’an diantara kitab-kitab Allah itu karena kitab ini mencakup inti dari kitab-kitab-Nya, bahkan mencakup inti dari semua ilmu. Hal itu diisyaratkan dalam firman-Nya:
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (Qur’an) sebagai penjelasan bagi segala sesuatu.” (an-Nahl [16]:89).
Dan firman-Nya:
”Tiada Kami alpakan sesuatu pun di dalam al-Kitab ini (Qur’an).” (al-An‘am [6]:38).
Sebagian ulama berpendapat bahwa kata Qur’an itu pada mulanya tidak berhamzah sebagai kata jadian; mungkin karena ia dijadikan sebagai suatu nama bagi kalam yang diturunkan kepada Nabi s.a.w., dan bukannya kata jadian dari qara’a, atau mungkin juga karena ia berasal dari kata garana asy-syai’a bisy-syai’t yang berarti memperhubungkan sesuatu dengan yang lain; atau juga berasal dari kata gara’in (saling berpasangan) karena ayat-ayatnya satu dengan yang lain saling menyerupai. Dengan demikian, maka huruf nun itu asli. Namun pendapat ini masih diragukan. Yang benar adalah pendapat yang pertama.
Qur’an memang sukar diberi batasan dengan definisi-definisi logika yang mengelompokkan segala jenis, bagian-bagian serta ketentuan-ketentuannya yang khusus, mempunyai genus, diferrentia dan propium, sehingga definisi Qur’an mempunyai batasan yang benar-benar konkrit. Definisi yang konkrit untuk Qur’an ialah menghadirkannya dalam pikiran atau dalam realita seperti misalnya kita menunjuk sebagai Qur’an kepada yang tertulis di dalam mushaf atau terbaca dengan lisan. Untuk itu kita katakan: Qur’an adalah apa yang ada di antara dua jilid buku, atau kita katakan juga: Qur’an ialah bismillahir rahmanir rahim, alhamdulillahi rabbil ‘alamin …. sampai dengan minal Jinnati wannas.
Para ulama menyebutkan definisi Qur’an yang mendekati maknanya dan membedakannya dari yang lain dengan menyebutkan bahwa: Qur’an adalah Kalam atau Firman Allah yang diturunkan kepada Muhammad s.a.w. yang pembacaannya merupakan suatu ibadah. Dalam definisi, ’kalam’ merupakan kelompok jenis yang meliputi segala kalam. Dan dengan menghubungkannya kepada Allah (Kalamullah) berarti tidak termasuk semua kalam manusia, jin dan malaikat.
Dan dengan kata-kata “yang diturunkan” maka tidak termasuk Kalam Allah yang sudah khusus menjadi milik-Nya.
”Katakanlah: ’Sekiranya lautan menjadi tinta untuk menuliskan firman Tuhanku, akan habislah lautan sebelum firman Tuhanku habis ditulis; sekalipun Kami berikan tambahannya sebanyak itu pula.’” (al Kahfi [18]: 109).
”Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan lautan menjadi tinta, ditambahkan sesudahnya tujuh lautan lagi, niscaya kalam Allah tidak akan habis-habisnya…” (Luqman [(31):27).
Dan membatasi apa yang diturunkan itu hanya “kepada Muhammad s.a.w.”, tidak termasuk yang diturunkan kepada nabi-nabi sebelumnya, seperti Taurat, Injil dan yang lain.
Sedangkan “yang pembacaannya merupakan suatu ibadah” mengecualikan hadis ahad dan hadis-hadis kudsi bila kita berpendapat bahwa yang diturunkan dari Allah itu kata-katanya sebab kata-kata “pembacaannya sebagai ibadah” artinya perintah untuk membacanya di dalam salat dan lainnya sebagai suatu ibadah. Sedangkan qiraat ahad dan hadis-hadis kudsi tidak demikian halnya.
Nama dan Sifatnya
Allah menamakan Qur’an dengan beberapa nama, di antaranya: Qur’an:
“Qur’an ini memberi petunjuk kepada jalan yang lebih lurus.” (al-Isra’ [17]:9).
Kitab:
“Telah Kami turunkan kepadamu al-Kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu.” (al-Anbiya’ [21]:10).
Furqan:
“Maha Suci Allah Yang telah menurunkan al-Furqan kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada semesta alam.”’ (al-Furqan [25]:1).
Zikr:
“Sesungguhnya Kamilah yang telah menurunkan az-Zikr (Qur’an), dan sesungguhnya Kamilah yang benar-benar akan menjaganya. (al-Hijr [15]:9).
Tanzil:
“Dan Qur’an ini Tanzil (diturunkan) dari Tuhan semesta alam.” (asy-Syu‘ara’ [26]:192).
Qur’an dan al-Kitab lebih populer dari nama-nama yang lain. Dalam hal ini Dr. Muhammad Abdullah Daraz berkata: ’Ia dinamakan Qur’an karena ia ”dibaca” dengan lisan, dan dinamakan al-Kitab karena ia “ditulis’” dengan pena. Kedua nama ini menunjukkan makna yang sesuai dengan kenyataannya.”’
Penamaan Qur’an dengan kedua nama ini memberikan isyarat bahwa selayaknyalah ia dipelihara dalam bentuk hafalan dan tulisan. Dengan demikian, apabila di antara salah satunya ada yang melenceng, maka yang lain akan meluruskannya. Kita tidak dapat menyandarkan hanya kepada hafalan seseorang sebelum hafalannya sesuai dengan tulisan yang telah disepakati oleh para sahabat, yang dinukilkan kepada kita dari generasi ke generasi menurut keadaan sewaktu dibuatnya pertama kali. Dan kita pun tidak dapat menyandarkan hanya kepada tulisan penulis sebelum tulisan itu sesuai dengan hafalan tersebut berdasarkan isnad yang sahih dan mutawatir.
Dengan penjagaan ganda ini yang oleh Allah telah ditanamkan ke dalam jiwa umat Muhammad untuk mengikuti langkah Nabi-Nya, maka Qur’an tetap terjaga dalam benteng yang kokoh. Hal itu tidak lain untuk mewujudkan janji Allah yang menjamin terpeliharanya Qur’an, seperti difirmankan-Nya:
“Sesungguhnya Kamilah yang telah menurunkan az-Zikr (Qur’an), dan sesungguhnya Kamilah yang benar-benar akan menjaganya.” (al-Hijr [15]:9).
Dengan demikian Qur’an tidak mengalami penyimpangan, perubahan dan keterputusan sanad seperti terjadi pada kitab-kitab terdahulu.
Penjagaan ganda ini di antaranya menjelaskan bahwa kitab-kitab samawi lainnya diturunkan hanya untuk waktu itu, sedang Qur’an diturunkan untuk membetulkan dan menguji kitab-kitab yang sebelumnya. Karena itu Qur’an mencakup hakikat yang ada di dalam kitab-kitab terdahulu dan menambahnya dengan tambahan yang dikehendaki Allah. Qur’an menjalankan fungsi kitab-kitab sebelumnya, tetapi kitab-kitab itu tidak dapat menempati posisinya. Allah telah menakdirkan untuk menjadikannya sebagai bukti sampai hari kiamat. Dan apabila Allah menghendaki suatu perkara, maka Dia akan mempermudah jalannya ke arah itu, karena Dia Mahabijaksana dan Mahatahu. Inilah alasan yang paling kuat.
Allah telah melukiskan Qur’an dengan beberapa sifat, di antaranya:
Nur (Cahaya):
”Wahai manusia, telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhan-Mu, dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang.” (an-Nisa’ [4]:174).
Huda (petunjuk), Syifa’ (obat), Rakmah (rahmat) dan Mau‘izah (nasihat):
“Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu nasihat dari Tuhanmu dan obat bagi yang ada di dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Yunus [10]:57).
Mubin (yang menerangkan):
“Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan Kitab yang menerangkan.” (al-Ma’idah [5]:15).
Mubarak (yang diberkati):
“Dan Qur’an ini adalah Kitab yang telah kami berkahi; membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya…” (al-An’am [6]:92).
Busyra (khabar gembira):
”…yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjadikan petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (al-Baqarah [2]:97).
“Aziz (yang mulia):
“Mereka yang mengingkari az-Zikr (Qur’an) ketika Qur’an itu datang kepada mereka, (mereka pasti akan celaka). Qur’an adalah kitab yang mulia.” (Fussilat [41]:41).
Majia (yang dihormati):
“Bahkan yang mereka dustakan itu adalah Qur’an yang dihormati.” (al-Buruj [85]:21).
Basyir (pembawa khabar gembira) dan nazir (pembawa peringatan):
“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui; yang membawa khabar gembira dan yang membawa peringatan.”’ (Fussilat [41]:3-4).
Setiap penamaan atau pelukisan itu merupakan salah satu makna dalam Qur’an.
Perbedaan antara Qur’an dengan Hadis Kudsi dan Hadis Nabawi
Definisi Qur’an telah dikemukakan pada halaman terdahulu. Dan untuk mengetahui perbedaan antara definisi Qur’an dengan hadis kudsi dan hadis nabawi, maka di sini kami kemukakan dua definisi berikut ini:
Hadis Nabawi
Hadis (baru) dalam arti bahasa lawan qadim (lama). Dan yang dimaksud hadis ialah setiap kata-kata yang diucapkan dan dinukil serta disampaikan oleh manusia baik kata-kata itu diperoleh melalui pendengarannya atau wahyu, baik dalam keadaan jaga ataupun dalam keadaan tidur. Dalam pengertian ini, Qur’an juga dinamai hadis.
”Hadis (kata-kata) siapakah yang lebih benar selain daripada Allah?” (an-Nisa’ [4]:87).
Begitu pula apa yang terjadi pada manusia di waktu tidurnya juga dinamakan hadis.
” dan Engkau telah mengajarkan kepadaku sebagian takwil dari hadis-hadis maksudnya mimpi.” (Yusuf [12]:101).
Sedang menurut istilah pengertian hadis ialah apa saja yang disandarkan kepada Nabi s.a.w. baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan atau sifat.
Yang berupa perkataan seperti perkataan Nabi s.a.w.:
“Sesungguhnya sahnya amal itu disertai dengan niat. Dan setiap orang bergantung pada niatnya…”
Yang berupa perbuatan ialah seperti ajarannya kepada para sahabat mengenai bagaimana cara mengerjakan salat; kemudian ia mengatakan:
“Salatlah seperti kamu melihat aku melakukan salat.”
Juga mengenai bagaimana ia melaksanakan ibadah haji dalam hal ini Nabi s.a.w. berkata:
”Ambillah daripadaku manasik hajimu.”
Sedang yang berupa persetujuan ialah seperti ia menyetujui suatu perkara yang dilakukan salah seorang sahabat, baik perkataan ataupun perbuatan, dilakukan di hadapannya ataupun tidak, tetapi beritanya Sampai kepadanya. Misalnya mengenai makanan biawak yang dihi. dangkan kepadanya; dan persetujuannya dalam sebuah riwayat, Nabi S.a.w. mengutus orang dalam suatu peperangan. Orang itu. membaca suatu bacaan dalam salat yang diakhiri dengan qul huwallahu ahad. Setelah pulang, mereka menyampaikan hal itu kepada Nabi. Lalu kata Nabi: ’Tanyakan kepadanya mengapa dia berbuat demikian!”’ Mereka pun menanyakannya. Dan orang itu menjawab: “Kalimat itu adalah sifat Allah dan aku senang membacanya’’. Maka jawab Nabi:
“Katakan kepadanya bahwa Allah pun menyenangi dia.”
Dan yang berupa sifat adalah riwayat seperti, “bahwa Nabi s.a.w. itu. selalu bermuka cerah, berperangai halus dan lembut, tidak keras dan tidak pula kasar, tidak suka berteriak keras, tidak pula berbicara kotor dan tidak juga suka mencela….’’.
Hadis Kudsi
Kita telah mengetahui makna hadis secara etimologis. Sedang kata qudsi (kudsi) dinisbahkan kepada kata quds. Nisbah ini mengesankan rasa hormat, karena materi kata itu sendiri menunjukkan kebersihan dan kesucian dalam arti bahasa. Maka kata taqdits berarti menyucikan Allah. Taqdis sama dengan tathir; dan taqaddasa sama dengan tahhara (suci, bersih). Allah berfirman dengan kata-kata malaikat-Nya:
”..padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan diri kami karena Engkau.” (al-Baqarah [2]:30), yakni membersihkan diri untuk-Mu.
Hadis kudsi ialah hadis yang oleh Nabi s.a.w. disandarkan kepada Allah. Maksudnya Nabi meriwayatkannya bahwa itu adalah kalam Allah. Maka Rasul menjadi perawi kalam Allah ini dengan lafal dari Nabi sendiri. Bila seseorang meriwayatkan hadis kudsi, maka dia meriwayatkannya dari Rasulullah dengan disandarkan kepada Allah, dengan mengatakan:
“Rasulullah s.a.w. mengatakan mengenai apa yang diriwayatkannya dari Tuhannya”; atau ia mengatakan:
”Rasulullah s.a.w. mengatakan: Allah Ta‘ala telah berfirman atau berfirman Allah Ta‘ala.”
Contoh yang pertama:
“Dari Abu Hurairah r.a., dari Rasulullah s.a.w. mengenai apa yang diriwayatkannya dari Tuhannya ‘azza wa jalla: ’Tangan Allah itu penuh, tidak dikurangi oleh nafakah, baik di waktu malam ataupun siang hari…”
Contoh yang kedua:
Dari Abu Hurairah r.a.. bahwa Rasulullah s.a.w. berkata: ’ Allah Ta‘ala berfirman: Aku menurut sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku. Aku bersamanya bila dia menyebut-Ku. Bila dia menyebut-Ku di dalam dirinya, maka Aku pun menyebutnya di dalam diri-Ku. Dan bila dia menyebut-Ku di kalangan orang banyak, maka Aku pun menyebutnya di kalangan orang banyak yang lebih baik dari itu…’
Perbedaan Qur’an dengan Hadis Kudsi
Ada beberapa perbedaan antara Qur’an dengan hadis kudsi, dan yang terpenting ialah:
- Al-Qur’anul Karim adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Rasulullah dengan lafalnya, dan dengan itu pula orang Arab ditantang; tetapi mereka tidak mampu membuat seperti Qur’an itu, atau sepuluh surah yang serupa itu, bahkan satu surah sekalipun. Tantangan itu tetap berlaku, karena Qur’an adalah mukjizat yang abadi hingga hari kiamat. Sedang hadis kudsi tidak untuk menantang dan tidak pula untuk mukjizat.
- Al-Qur’anul Karim hanya dinisbahkan kepada Allah, sehingga dikatakan: Allah Ta‘ala telah berfirman. Sedang hadis kudsi seperti telah dijelaskan di atas terkadang diriwayatkan dengan disandarkan kepada Allah; sehingga nisbah hadis kudsi kepada Allah itu merupakan nisbah dibuatkan. Maka dikatakan: ’Allah telah berfirman atau Allah berfirman.” Dan terkadang pula diriwayatkan dengan disandarkan kepada Rasulullah s.a.w.; tetapi nisbahnya adalah nisbah kabar, karena Nabi yang menyampaikan hadis itu dari Allah. Maka dikatakan: Rasullulah s.a.w. mengatakan mengenai apa yang diriwayatkan dari Tuhannya.
- Seluruh isi Qur’an dinukil secara mutawatir, sehingga kepastiannya sudah mutlak. Sedang hadis-hadis kudsi kebanyakannya adalah khabar ahad, sehingga kepastiannya masih merupakan dugaan. Ada Kalanya hadis kudsi itu sahih, terkadang hasan (baik) dan terkadang pula da‘if (lemah).
- Al-Qur’anul Karim dari Allah, baik lafal maupun maknanya. Maka ia adalah wahyu, baik dalam lafal ataupun maknanya. Sedang hadis kudsi maknanya saja yang dari Allah, sedang lafalnya dari Rasullulah s.a.w. Hadis kudsi ialah wahyu dalam makna tetapi bukan dalam lafal. Oleh sebab itu, menurut sebagian besar ahli hadis diperbolehkan meriwayatkan hadis kudsi dengan maknanya saja.
- Membaca al-Qur’anul Karim merupakan ibadah; karena itu ia dibaca di dalam salat.
“Maka bacalah apa yang mudah bagimu dari Qur’an itu.” (al Muzzammil [73]:20).
Nilai ibadah membaca Qur’an juga terdapat dalam hadis:
“Barang siapa membaca satu huruf dari Qur’an, dia akan memperoleh satu kebaikan. Dan kebaikan itu akan dibalas sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan alif lam mim itu satu huruf. Tetapi alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf.”!!
Sedang hadis kudsi tidak disuruh membacanya di dalam salat. Allah memberikan pahala membaca hadis kudsi secara umum saja. Maka membaca hadis kudsi tidak akan memperoleh pahala seperti yang disebutkan dalam hadis mengenai membaca Qur’an bahwa pada setiap huruf mendapatkan sepuluh kebaikan.
Perbedaan Hadis Kudsi dengan Hadis Nabawi
Hadis nabawi itu ada dua:
Tauqifi. Yang bersifat tauqifi, yaitu yang kandungannya diterima oleh Rasulullah dari wahyu, lalu ia menjelaskan kepada manusia dengan kata-katanya sendiri. Bagian ini, meskipun kandungannya dinisbahkan kepada Allah, tetapi dari segi pembicaraan lebih layak dinisbahkan kepada Rasullulah s.a.w., sebab kata-kata itu dinisbahkan kepada yang mengatakannya, meskipun di dalamnya terdapat makna yang diterima dari pihak lain.
Taufiqi. Yang bersifat taufiqi, yaitu yang disimpulkan oleh Rasulullah menurut pemahamannya terhadap Qur’an, karena ia mempunyai tugas menjelaskan Qur’an atau menyimpulkannya dengan pertimbangan dan ijtihad. Bagian kesimpulan yang bersifat ijtihad ini diperkuat oleh wahyu bila ia benar. Dan bila terdapat kesalahan di dalamnya, maka turunlah wahyu yang membetulkannya.
Bagian ini bukanlah kalam Allah secara pasti.
Dari sini jelaslah bahwa hadis nabawi dengan kedua bagiannya yang fauqifi dan taufiqi dengan ijtihad yang diakui oleh wahyu itu bersumber dari wahyu. Dan inilah makna dari firman Allah tentang Rasul kita Muhammad s.a.w.:
“Dia (Muhammad) tidak berbicara menurut hawa nafsunya. Apa yang diucapkannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diturunkan kepadanya.” (an-Najm [53]:3-4)
Hadis kudsi itu maknanya dari Allah, ia disampaikan kepada Rasullulah s.a.w. melalui salah satu cara penurunan wahyu; sedang lafalnya dari Rasulullah s.a.w. Inilah pendapat yang kuat. Dinisbahkannya hadis kudsi kepada Allah Ta‘ala adalah nisbah mengenai isinya, bukan nisbah mengenai lafalnya. Sebab seandainya hadis kudsi itu lafalnya juga dari Allah, maka tidak ada lagi perbedaan antara hadis kudsi dengan Qur’an; dan tentu pula gaya bahasanya menuntut untuk ditantang, serta membacanya pun dianggap ibadah.
Mengenai hal ini timbul dua macam ketaskaan (syubhah):
Pertama: Bahwa hadis nabawi ini juga wahyu secara maknawi yang lafalnya dari Rasullulah s.a.w. Tetapi mengapa hadis nabawi tidak kita namakan juga hadis kudsi? Jawabnya ialah bahwa kita merasa pasti tentang hadis kudsi bahwa ia diturunkan maknanya dari Allah karena adanya nas syara‘ yang menisbahkannya kepada Allah; yaitu kata-kata Rasullulah s.a.w.: Allah Ta‘ala telah berfirman, atau Allah Ta‘ala berfirman. Itu sebabnya, kita namakan hadis itu hadis kudsi. Hal ini berbeda dengan hadis-hadis nabawi, karena hadis nabawi itu tidak memuat nas seperti ini. Di samping itu masing-masing isinya boleh jadi diberitahukan (kepada Nabi) melalui wahyu (yakni secara tauqifi) namun mungkin juga disimpulkan melalui ijtihad (yaitu. secara taufiqi). Dan oleh sebab itu, kita namakan masing-masing dengan nabawi sebagai terminal nama yang pasti. Seandainya kita mempunyai bukti untuk membedakan mana wahyu tauqifi, tentulah hadis nabawi itu kita namakan pula hadis kudsi.
Kedua: Bahwa apabila lafal hadis kudsi itu dari Rasullulah s.a.w., maka dengan alasan apakah hadis itu dinisbahkan kepada Allah melalui kata-kata Nabi “Allah Ta‘ala telah berfirman” atau “Allah Ta‘ala berfirman?”
Jawabnya ialah bahwa hal yang demikian ini biasa terjadi dalam bahasa Arab, yang menisbahkan kalam berdasarkan kandungannya, bukan berdasarkan lafalnya. Misalnya, ketika kita mengubah sebait syair menjadi prosa, kita katakan “si penyair berkata demikian”. Juga ketika kita menceritakan apa yang kita dengar dari seseorang, kita pun mengatakan “si fulan berkata demikian”. Begitu juga Qur’an menceritakan tentang Musa, Firaun dan sebagainya isi kata-kata mereka dengan lafal yang bukan lafal mereka dan dengan gaya bahasa yang bukan pula gaya bahasa mereka, tetapi dinisbahkan kepada mereka.
”Dan ingatlah ketika Tuhanmu menyeru Musa dengan firmanNya: ’Datangilah kaum yang zalim itu, yaitu Firaun. Mengapa mereka tidak bertakwa?’ Musa berkata: ’Ya Tuhanku, sesungguhnya aku takut bahwa mereka akan mendustakan aku. Dan karenanya sempit lah dadaku dan tidak lancar lidahku, maka utuslah Jibril kepada Harun. Dan aku berdosa terhadap mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku’. Allah berfirman: ’Jangan takut, mereka tidak akan membunuhmu, maka pergilah kamu berdua dengan membawa ayat-ayat Kami, sesungguhnya Kami bersamamu mendengarkan apa-apa yang mereka katakan. Maka datanglah kamu berdua kepada Firaun dan katakan olehmu: Sesungguhnya kami adalah Rasul Tuhan semesta alam, lepaskan Bani Israil bersama kami.’ Firaun menjawab: “Bukankah kami telah mengasuhmu di antara keluarga kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal di antara keluarga kami beberapa tahun dari umurmu? Dan kamu telah berbuat suatu perbuatan yang telah kamu lakukan itu dan kamu termasuk orang-orang yang tidak membalas guna?’ Berkata Musa: ’Aku telah melakukannya, sedang aku di waktu itu termasuk orang-orang yang khilaf. Lalu aku lari meninggalkan kamu ketika aku takut kepadamu, kemudian Tuhanku memberikan kepadaku ilmu serta Dia menjadikanku salah seorang di antara rasul-rasul. Budi yang kamu limpahkan kepadaku adalah disebabkan perbudakan darimu terhadap Bani Israil’. Firaun bertanya: ’Apa Tuhan semesta alam itu?’ Musa menjawab: ’Tuhan pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya. Itulah Tuhanmu jika kamu termasuk orang-orang yang mempercayaiNya.’” (asy-Syu‘ara’ [26]:10-24).
Kemungkinan dan Terjadinya Wahyu.
Perkembangan ilmiah telah maju dengan pesat, dan cahayanya pun telah menyapu segala keraguan yang selama ini merayap dalam diri manusia mengenai roh yang ada di balik materi. Ilmu materialistis yang meletakkan sebagian besar dari yang ada di bawah percobaan dan eksperimen percaya terhadap dunia gaib yang berada di balik dunia nyata ini, dan percaya pula bahwa alam gaib itu lebih rumit dan lebih dalam daripada alam nyata, dan bahwa sebagian besar penemuan modern yang membimbing pikiran manusia menyembunyikan rahasia yang samar yang hakikatnya tidak bisa dipahami oleh ilmu itu sendiri, meskipun pengaruh dan gejalanya dapat diamati. Hal yang demikian ini telah mendekatkan jarak antara pengingkaran terhadap agama-agama dengan keimanan. Dan itu sesuai dengan firman Allah:
“Akan kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Qur’an itu benar adanya.” (Fussilat [41]:53).
Dan firman-Nya:
“Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (al-Isra’ [17]:85).
Pembahasan psikologik dan rohani kini mempunyai tempat yang penting dalam ilmu pengetahuan. Dan hal itu pun didukung dan diperkuat oleh perbedaan manusia dalam kecerdasan, kecenderungan dan naluri mereka. Di antara inteligensi itu ada yang istimewa dan cemerlang sehingga dapat menemukan segala yang baru. Tetapi ada pula yang dungu dan sukar memahami urusan yang mudah sekalipun. Di antara dua posisi ini, terdapat sekian banyak tingkatan. Demikian pula halnya dengan jiwa. Ada yang jernih dan cemerlang, dan ada pula yang kotor dan kelam.
Di balik tubuh manusia ada roh yang merupakan rahasia hidupnya. Apabila tubuh itu kehabisan tenaga dan jaringan-jaringan mengalami kerusakan jika tidak mendapatkan makanan menurut kadarnya, maka demikian pula roh. Ia memerlukan makanan yeng dapat memberikan tenaga rohani agar ia dapat memelihara sendi-sendi dan ketentuan-ketentuan lainnya.
Bagi Allah bukan hal yang jauh dalam memilih dari antara hamba-Nya sejumlah jiwa yang dasarnya begitu jernih dan kodrat yang lebih bersih yang siap menerima sinar ilahi dan wahyu dari langit serta hubungan dengan makhluk yang lebih tinggi; agar kepadanya diberikan risalah ilahi yang dapat memenuhi keperluan manusia. Mereka mempunyai ketinggian rasa, keluhuran budi dan kejujuran dalam menjalankan hukum. Mereka itulah para rasul dan nabi Allah. Maka tidaklah aneh bila mereka berhubungan dengan wahyu yang datang dari langit.
Manusia kini menyaksikan adanya hipnotisma yang menjelaskan bahwa hubungan jiwa manusia dengan kekuatan yang lebih tinggi itu menimbulkan pengaruh. Ini mendekatkan orang kepada pemahaman tentang gejala wahyu. Orang yang berkemauan lebih kuat dapat memaksakan kemauannya kepada orang yang lebih lemah; sehingga yang lemah ini tertidur pulas dan ia dikemudikan menurut kehendaknya sesuai dengan isyarat yang diberikan, maka mengalirlah semua itu ke dalam hati dan mulutnya. Apabila ini yang diperbuat manusia terhadap sesama manusia, bagaimana pula dengan yang lebih kuat dari manusia itu?!
Sekarang orang dapat mendengar percakapan yang direkam dan dibawa oleh gelombang eter, menyeberangi lembah dan dataran tinggi, daratan dan lautan tanpa melihat si pembicara, bahkan sesudah mereka wafat sekalipun. Kini dua orang dapat berbicara melalui telepon, sekalipun yang seorang berada di ujung timur dan yang Jain di ujung barat, dan terkadang pula keduanya saling melihat dalam percakapan itu, sementara orang-orang yang duduk di sekitarnya tidak mendengar apa-apa selain dengungan yang seperti suara lebah, persis seperti dengungan di waktu turun wahyu.
Siapakah di antara kita yang tidak pernah mengalami percakapan dengan diri sendiri, dalam keadaan sadar atau dalam keadaan tidur yang pernah terlintas dalam pikirannya tanpa melihat orang yang diajak berbicara di hadapannya?
Yang demikian ini serta contoh-contoh lain yang serupa cukup menjelaskan kepada kita tentang hakikat wahyu.
Orang yang sezaman dengan wahyu itu menyaksikan wahyu dan menukilnya secara mutawatir dengan segala persyaratannya yang meyakinkan kepada generasi-generasi sesudahnya. Umat manusia pun menyaksikan pengaruhnya di dalam kebudayaan bangsanya serta dalam kemampuan pengikutnya. Manusia akan menjadi mulia selama tetap berpegang pada keyakinan itu, dan akan hancur serta hina bila mengabaikannya. Kemungkinan terjadinya wahyu serta kepastiannya sudah tak dapat diragukan lagi, serta perlunya manusia kembali kepada petunjuk wahyu demi menyiram jiwa yang haus akan nilai-nilai luhur dan kesegaran rohani.
Rasul kita Muhammad s.a.w. bukanlah Rasul pertama yang diberi wahyu. Allah telah memberikan juga wahyu kepada rasul-rasul sebelum itu seperti yang diwahyukan kepadanya:
“Sesungguhnya Kami telah menyampaikan wahyu kepadamu seperti Kami telah menyampaikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah menyampaikan wahyu pula kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Ya‘kub dan anak cucunya, Isa, Ayub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan kami berikan Zabur kepada Daud. Dan kami telah mengutus rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.” (an-Nisa’ [4]:163-164).
Dengan demikian, maka wahyu yang diturunkan kepada Muhammad s.a.w. itu bukanlah suatu hal yang menimbulkan rasa heran. Oleh sebab itu Allah mengingkari rasa heran ini bagi orang-orang yang berakal.
”Patutkah menjadi keheranan bagi manusia bahwa Kami mewahyukan kepada seorang laki-laki di antara mereka: ’Berilah peringatan kepada manusia dan gembirakanlah orang-orang yang beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan tinggi di sisi Tuhan mereka?’ Orang-orang kafir berkata: ’Sesungguhnya orang ini (Muhammad) adalah benar-benar tukang sihir yang nyata.’” (Yunus [10]:2).
Arti Wahyu
Dikatakan wahaitu ilaih dan auha itu, bila kita berbicara kepadanya agar tidak diketahui orang lain. Wahyu adalah isyarat yang cepat. Itu terjadi melalui pembicaraan yang berupa rumus dan lam. bang, dan terkadang melalui suara semata, dan terkadang pula melalui isyarat dengan sebagian anggota badan.
Al-Wahy atau wahyu adalah kata masdar (infinitif); dan materi kata itu menunjukkan dua pengertian dasar, yaitu: tersembunyi dan cepat. Oleh sebab itu, maka dikatakan bahwa wahyu ialah pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat yang khusus ditujukan kepada orang yang diberitahu tanpa diketahui orang lain. Inilah pengertian masdarnya. Tetapi terkadang juga bahwa yang dimaksudkan adalah almiha yaitu pengertian isim maf‘il, yang diwahyukan. Pengertian wahyu dalam arti bahasa meliputi:
- Ilham sebagai bawaan dasar manusia, seperti wahyu terhadap ibu Nabi Musa:
“Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; “Susuilah dia…” (al-Qasas [28]:7).
- Ilham yang berupa naluri pada binatang, seperti wahyu kepada lebah:
“Dan Tuhanmu telah mewahyukan kepada lebah: ’Buatlah sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di rumah-rumah yang didirikan manusia.’” (an-Nahl [16]:68).
- Isyarat yang cepat melalui rumus dan kode, seperti isyarat Zakaria yang diceritakan Qur’an:
“Maka keluarlah dia dari mihrab, lalu memberi isyarat kepada mereka: ’Hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang.” (Maryam [19]:11).
- Bisikan dan tipu daya setan untuk menjadikan yang buruk kelihatan indah dalam diri manusia.
“Sesungguhnya syaitan-syaitan itu. membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu.” (al-An‘am [6]:121).
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan dari jenis manusia dan dari jenis jin; sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu manusia.”’ (al-An‘am [6]:112).
- Apa yang disampaikan Allah kepada para malaikatnya berupa suatu perintah untuk dikerjakan.
“Ingatlah ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: ’Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah pendirian Orang-orang yang beriman.’” (al-Anfal [8]:12).
Sedang wahyu Allah kepada para nabi-Nya secara syara‘ mereka definisikan sebagai ”kalam Allah yang diturunkan kepada seorang nabi’’. Definisi ini menggunakan pengertian maf’ul, yaitu al-miaha (yang diwahyukan). Ustaz Muhammad Abduh mendefinisikan wahyu di dalam Risalatut Tauhid sebagai ’pengetahuan yang didapati seseorang dari dalam dirinya dengan disertai keyakinan pengetahuan itu datang dari Allah, baik dengan melalui perantara ataupun tidak; yang pertama melalui suara yang terjelma dalam telinganya atau tanpa suara sama sekali. Beda antara wahyu dengan ilham adalah bahwa ilham itu intuisi yang diyakini jiwa sehingga terdorong untuk mengikuti apa yang diminta, tanpa mengetahui dari mana datangnya. Hal seperti itu serupa dengan perasaan lapar, haus, sedih dan senang.”
Definisi di atas adalah definisi wahyu dengan pengertian masdar. Bagian awal definisi int mengesankan adanya kemiripan antara wahyu dengan suara hati atau kasyaf, tetapi perbedaannya dengan ilham di akhir definisi meniadakan hal ini.
Cara Wahyu Allah Turun kepada Malaikat
- Di dalam al-Qur’anul Karim terdapat nas mengenai kalam Allah kepada para malaikat-Nya:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman: ’Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’. Mereka berkata: ’Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan di dalamnya…?’” (al-Baqarah [(2]:30).
Juga terdapat nas tentang wahyu Allah kepada mereka:
“Ingatlah ketika Tuhanmu mewahyukan kepada malaikat: ‘Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah pendirian orang-orang yang beriman.’” (al-Anfal [8]:12).
Di samping ada pula nas tentang para malaikat yang mengurus urusan dunia menurut perintah-Nya.
“Demi malaikat-malaikat yang membagi-bagi urusan.” (az-Zariyat [51]:4).
“Dan demi malaikat-malaikat yang mengatur urusan dunia.”’ (anNazi‘at [79]:5).
Nas-nas di atas dengan tegas menunjukkan bahwa Allah berbicara kepada para malaikat tanpa perantaraan dan dengan pembicaraan yang dipahami oleh para malaikat itu. Hal itu diperkuat oleh hadis dari Nawas bin Sam‘an r.a. yang mengatakan: Rasulullah s.a.w. berkata:
“Apabila Allah hendak memberikan wahyu mengenai suatu urusan, Dia berbicara melalui wahyu; maka langit pun tergetarlah dengan getaran atau dia mengatakan dengan goncangan — yang dahsyat Karena takut kepada Allah ‘azza wa jalla. Apabila penghuni langit mendengar hal itu, maka pingsan dan jatuh bersujudlah mereka itu kepada Allah. Yang pertama sekali mengangkat muka di antara mereka itu adalah Jibril, maka Allah membicarakan wahyu itu kepada Jibril menurut apa yang dikehendaki-Nya. Kemudian Jibril berjalan melintasi para malaikat. Setiap kali dia melalui satu langit, maka bertanyalah kepadanya malaikat langit itu: Apakah yang telah dikatakan oleh Tuhan kita wahai Jibril? Jibril menjawab: Dia mengatakan yang hak dan Dialah yang Mahatinggi lagi Mahabesar. Para malaikat itu semuanya pun mengatakan seperti apa yang dikatakan Jibril. Lalu Jibril menyampaikan wahyu itu seperti diperintahkan Allah ‘azza wa jalla.”
Hadis ini menjelaskan bagaimana wahyu turun. Pertama Allah berbicara, dan para malaikat mendengarnya. Dan pengaruh wahyu itu pun sangat dahsyat. Apabila pada lahirnya di dalam perjalanan Jibril untuk menyampaikan wahyu hadis di atas menunjukkan turunnya wahyu khusus mengenai Qur’an, akan tetapi hadis tersebut juga menjelaskan cara turunnya wahyu secara umum. Pokok persoalan itu terdapat di dalam hadis sahih:
“Apabila Allah memutuskan suatu perkara di langit, maka para malaikat memukul-mukulkan sayapnya karena terpengaruh oleh firman-Nya, bagaikan mata rantai di atas batu yang licin.”
- Telah nyata pula bahwa Qur’an telah dituliskan di lauhul mahfiz, berdasarkan firman Allah:
“Bahkan ia adalah Qur’an yang mulia yang tersimpan di lauhul mahfuz.” (al-Buruj [85]:21-22).
Demikian pula bahwa Qur’an itu diturunkan sekaligus ke baitul ‘izzah yang berada di langit dunia pada malam lailatul qadar di bulan Ramadan.
“Sesungguhnya Kami menurunkannya Qur’an pada malam lailatul qadar.” (al-Qadar [97]:1).
“Sesungguhnya Kami menurunkannya Qur’an — pada suatu malam yang diberkahi.” (ad-Dukhan [44]:3).
“Bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya aiturunkan Qur’an.” (al-Baqarah [2}:185).
Di dalam sunah terdapat hal yang menjelaskan nuzul (turunnya) Qur’an yang menunjukkan bahwa nuzul itu bukanlah nuzul ke dalam hati Rasulullah s.a.w.
Dari Ibn Abbas dengan hadis mauquf: ’Qur’an itu diturunkan sekaligus ke langit dunia pada malam lailatul qadar. Kemudian setelah itu diturunkan selama dua puluh tahun. Lalu Ibn ‘Abbas membacakan: ’Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu dengan membawa sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penyelesaiannya.’ (al-Furqan [25]:33). “Dan Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya secara perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.’ (al-Isra’ [17]:106)
Dan dalam satu riwayat:
”Telah dipisahkan Qur’an dari az-Zikr, lalu diletakkan di Baitul ‘izzah di langit dunia; kemudian Jibril menurunkannya kepada Nabi S.a.w.”
Oleh sebab itu para ulama berpendapat mengenai cara turunnya wahyu Allah yang berupa Qur’an kepada Jibril dengan beberapa pendapat:
- Bahwa Jibril menerimanya secara pendengaran dari Allah dengan lafalnya yang khusus.
- Bahwa Jibril menghafalnya dari Lauhul mahfuz.
- Bahwa maknanya disampaikan kepada Jibril, sedang lafalnya adalah lafal Jibril, atau lafal Muhammad s.a.w.
Pendapat pertama itulah yang benar; dan pendapat itu yang dijadikan pegangan oleh Ahlus Sunnah wal Jama‘ah, serta diperkuat oleh hadis Nawas bin Sam‘an di atas.
Menisbahkan Qur’an kepada Allah itu terdapat dalam beberapa ayat:
“Sesungguhnya kamu benar-benar diberi Qur’an dari Allah yang Mahabijaksana dan Maha Mengetahui.” (an-NamI [{27]:6).
”Dan jika ada orang di antara kaum musyrik itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah dia supaya dia sempat mendengar firman Allah.” (at-Taubah [9]:6).
“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharap pertemuan dengan Kami berkata: ’Datangkanlah Qur’an yang lain dari ini atau gantilah ia’, Katakanlah: ’Tidaklah patut bagiku untuk menggantikannya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku…” (Yunus {10]:15).
Qur’an adalah kalam Allah dengan lafalnya, bukan kalam Jibril atau kalam Muhammad. Sedang pendapat kedua di atas itu tidak dapat dijadikan pegangan, sebab adanya Qur’an di lauhul mahfuz itu seperti hal-hal gaib yang lain, termasuk Qur’an.
Dan pendapat ketiga lebih sesuai dengan hadis, sebab hadis itu wahyu dari Allah kepada Jibril, kemudian kepada Muhammad s.a.w. secara maknawi saja. Lalu hal itu diungkapkan dengan ungkapan beliau sendin.
“Dia (Muhammad) tidaklah berbicara menurut kemauan hawa nafsunya. Apa yang diucapkannya itu tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (an-Najm [53]:3-4).
Dan oleh sebab itulah diperbolehkan meriwayatkan hadis menurut maknanya, sedang Qur’an tidak.
Demikianlah, telah kami perbincangkan perbedaan Qur’an dengan Hadis Kudsi dan Hadis Nabawi.
Keistimewaan Qur’an: 1) Qur’an adalah mukjizat; 2) kepastiannya mutlak; 3) membacanya dianggap ibadah; 4) wajib disampaikan dengan lafalnya. Sedang hadis kudsi, sekalipun ada yang berpendapat lafalnya juga diturunkan, tidaklah demikian halnya.
Hadis nabawi ada dua macam: Pertama: Yang merupakan ijtihad Rasulullah s.a.w. Ini bukanlah wahyu. Pengakuan wahyu terhadapnya dengan cara membiarkan, hanyalah bila ijtihad itu benar, Kedua: Yang maknanya diwahyukan, sedang lafalnya dari Rasulullah sendiri. Oleh sebab itu, ini dapat dinyatakan dengan maknanya saja. Hadis kudsi itu menurut pendapat yang kuat, maknanya saja yang diturunkan, sedang lafalnya tidak. Ia termasuk ke dalam bagian yang kedua ini. Sedang menisbahkan hadis kudsi kepada Allah dalam periwayatannya karena adanya nas syara’ tentang itu; sedang hadits-hadits nabawi lainnya tidak.
Cara Wahyu Allah Turun kepada Para Rasul
Allah memberikan wahyu kepada para rasul-Nya ada yang melalui perantaraan dan ada yang tidak melalui perantaraan.
Yang pertama: melalui Jibril, malaikat pembawa wahyu. Dan hal ini akan kami jelaskan nanti.
Yang kedua: tanpa melalui perantaraan, di antaranya ialah: mimpi yang benar dalam tidur.
- Mimpi yang benar di dalam tidur.
Dari Aisyah r.a, dia berkata: Sesungguhnya apa yang mula-mula terjadi bagi Rasulullah s.a.w. adalah mimpi yang benar di waktu tidur. Beliau tidaklah melihat mimpi kecuali mimpi itu datang bagaikan terangnya pagi hari.”
Hal itu merupakan persiapan bagi Rasulullah untuk menerima wahyu dalam keadaan sadar, tidak tidur. Di dalam Qur’an wahyu diturunkan ketika beliau dalam keadaan sadar, kecuali bagi orang yang mendakwakan bahwa Surah Kausar diturunkan melalui mimpi, karena adanya satu hadis mengenai hal itu. Di dalam Sahih Muslim, dari Anas r.a., dia berkata:
”Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang sangat sabar. Maka tatkala anak itu telah sampai pada umur sanggup berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ’Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!’ Dia menjawab: ’Wahai bapak, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapati aku termasuk orang-orang yang sabar’. Tatkala keduanya telah berserah diri, dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya, nyatalah kesabaran keduanya. Dan kami panggillah dia: ’’Wahai Ibrahim, sesungguh engkau telah membenarkan mimpi itu’, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu pujian yang baik di kalangan orang-orang yang datang kemudian, yaitu ’Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sungguh dia termasuk di antara hamba-hamba Kami yang beriman. Dan Kami beri dia kabar gembira dengan kelahiran Ishak. seorang nabi yang termasuk orang-orang yang saleh.” (as-Saffat [37]:101-112).
Mimpi yang benar itu tidaklah khusus bagi para rasul saja. Mimpi yang demikian itu tetap ada pada kaum Mukminin, sekalipun mimpi itu bukan wahyu; hal itu seperti dikatakan oleh Rasulullah S.A.W.:
“Wahyu telah terputus, tetapi berita-berita gembira tetap ada, yaitu mimpi orang mukmin.”
Mimpi yang benar bagi para nabi di waktu tidur itu merupakan bagian pertama dari sekian macam cara Allah berbicara seperti disebutkan di dalam firman-Nya:
”Dan tiada seorang manusia pun Allah akan berbicara kepadanya, kecuali dengan perantaraan wahyu atau dari balik tabir atau dengan mengutus utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Dia sungguh Mahatinggi dan Mahabijaksana.” (asy-Syura [42]:51).
- Yang lain ialah kalam ilahi dari balik tabir tanpa melalui perantara. Yang demikian itu terjadi pada Musa a.s.
“Dan tatkala Musa datang untuk munajat dengan Kami di waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman langsung kepadanya, Musa berkata: ’Wahai Tuhan, tampakkanlah diri-Mu kepadaku agar aku dapat melihat Engkau.” (al-A‘raf [7]:143).
“Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung.” (al-Ma’ idah [5]:164).
Demikian pula menurut pendapat yang paling sah, Allah pun telah berbicara secara langsung kepada Rasul kita Muhammad s.a.w. pada malam Isra dan Mi’raj. Yang demikian ini yang termasuk bagian kedua dari apa yang disebutkan oleh ayat di atas (atau dari balik tabir), Dan di dalam Qur’an wahyu macam ini pun tidak ada.
Cara Penyampaian Wahyu oleh Malaikat kepada Rasul
Wahyu Allah kepada para Nabi-Nya itu adakalanya tanpa perantaraan, seperti yang telah kami sebutkan di atas, misalnya mimpi yang benar di waktu tidur dan kalam ilahi dari balik tabir dalam keadaan jaga yang disadari; dan adakalanya melalui perantaraan malaikat wahyu. Wahyu dengan perantaraan malaikat wahyu inilah yang hendak kami bicarakan dalam topik ini, karena Qur’an diturunkan dengan wahyu macam ini.
Ada dua cara penyampaian wahyu oleh malaikat kepada Rasul:
Cara pertama: Datang kepadanya suara seperti dencingan lonceng dan suara yang amat kuat yang mempengaruhi faktor-faktor kesadaran, sehingga ia dengan segala kekuatannya siap menerima pengaruh itu. Cara ini yang paling berat buat Rasul. Apabila wahyu yang turun kepada Rasulullah s.a.w. dengan cara ini, maka ia mengumpulkan segala -kekuatan kesadarannya untuk menerima, menghafal dan memahaminya. Dan suara itu mungkin sekali suara kepakan sayap-sayap para malaikat, seperti diisyaratkan di dalam hadis:
”Apabila Allah menghendaki suatu urusan di langit, maka para malaikat memukul-mukulkan sayapnya karena tunduk kepada firmanNya, bagaikan gemercingnya mata rantai di atas batu-batu yang licin.”
Dan mungkin pula suara malaikat itu sendiri pada waktu Rasul baru mendengarnya untuk yang pertama kali.
Cara kedua: malaikat menjelma kepada Rasul sebagai seorang laki-laki dalam bentuk manusia. Cara yang demikian itu lebih ringan daripada cara yang sebelumnya, karena adanya kesesuaian antara pembicara dengan pendengar. Rasul merasa senang sekali mendengarkan dari utusan pembawa wahyu itu, karena merasa seperti seorang manusia yang berhadapan dengan saudaranya sendiri.
Keadaan Jibril menampakkan dirt seperti seorang laki-laki itu tidaklah mengharuskan ia melepaskan sifat kerohaniannya. Dan tidak pula berarti bahwa zatnya telah berubah menjadi seorang laki-laki. Tetapi yang dimaksudkan ialah bahwa dia menampakkan diri dalam bentuk manusia tadi untuk menyenangkan Rasulullah sebagai manusia. Yang sudah pasti keadaan pertama tatkala wahyu turun seperti dencingan lonceng tidak menyenangkan karena keadaan yang demikian menuntut ketinggian rohani dari Rasulullah yang seimbang dengan tingkat kerohanian malaikat. Dan inilah yang paling berat. Kata Ibn Khaldun: ’Dalam keadaan yang pertama, Rasulullah melepaskan kodratnya sebagai manusia yang bersifat jasmani untuk berhubungan dengan malaikat yang rohani sifatnya. Sedang dalam keadaan lain sebaliknya, malaikat berubah dari yang rohani semata menjadi manusia jasman?’.
Keduanya itu tersebut dalam hadis yang diriwayatkan dari Aisyah Ummul Mukminin r.a., bahwa Haris bin Hisyam r.a. bertanya kepada Rasulullah s.a.w. mengenai hal itu. Dan jawab Nabt:
”Kadang-kadang ia datang kepadaku bagaikan dencingan lonceng, dan itulah yang paling berat bagiku, lalu ia pergi, dan aku telah menyadari apa yang dikatakannya. Dan terkadang malaikat menjelma kepadaku sebagai seorang laki-laki, lalu dia berbicara kepadaku, dan aku pun memahami apa yang dia katakan.”
Aisyah juga meriwayatkan apa yang dialami oleh Rasulullah s.a.w. berupa kepayahan, dia berkata:
“Aku pernah melihatnya tatkala wahyu sedang turun kepadanya pada suatu hari yang amat dingin. Lalu malaikat itu pergi, sedang keringat pun mengucur dari dahi Rasulullah.”
Keduanya itu merupakan macam ketiga pembicaraan ilahi yang diisyaratkan di dalam ayat: “Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berbicara kepadanya, kecuali dengan: perantaraan wahyu, atau dari balik tabir, atau dengan mengutus seorang utusan laly diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang ia kehendaki. Sesungguhnya Dia Mahatinggi dan Mahabijaksana.” (asy-Syura [47]:S1).
Mengenai hembusan di dalam hati, telah disebutkan di dalam hadis Rasulullah s.a.w:
”Roh Kudus telah menghembuskan ke dalam hatiku bahwa seseorang itu tidak akan mati sehingga dia menyempurnakan rezeki dan ajalnya. Maka bertakwalah kepada Allah, dan carilah rezeki dengan jalan yang baik.”
Hadis ini tidak menunjukkan keadaan turunnya wahyu secara tersendiri. Hal itu mungkin dapat dikembalikan kepada salah satu dari dua keadaan yang tersebut di dalam hadis Aisyah. Mungkin malaikat datang kepada beliau dalam keadaan yang menyerupai dencingan lonceng, lalu dihembuskannya wahyu kepadanya. Dan kemungkinan pula bahwa wahyu yang melalui hembusan itu adalah wahyu selain Qur’an.
Keraguan Orang-orang yang Ingkar terhadap Wahyu
Orang-orang jahiliyah baik yang lama ataupun yang modern selalu berusaha untuk menimbulkan keraguan mengenai wahyu dengan sikap keras kepala dan sombong. Keraguan demikian itu lemah sekali dan tidak dapat diterima.
- Mereka mengira bahwa Qur’an dari pribadi Muhammad, dengan menciptakan maknanya dan dia sendiri pula yang menyusun “bentuk gaya bahasanya” Qur’an bukanlah wahyu. Ini adalah sangkaan yang batil. Apabila Rasulullah s.a.w. menghendaki kekuasaan untuk dirinya sendiri dan menantang manusia dengan mukjizat-mukjizat untuk mendukung kekuasaannya, tidak perlu ia menisbahkan semua itu kepada pihak lain. Dapat saja menisbahkan Qur’an kepada dirinya sendiri, karena hal itu cukup untuk mengangkat kedudukannya dan menjadikan manusia tunduk kepada kekuasaannya, sebab kenyataannya semua orang Arab dengan segala kefasihan dan retorikanya tidak juga mampu menjawab tantangan itu. Bahkan mungkin ini lebih mendorong mereka untuk menerima kekuasaannya, karena dia juga salah seorang dari mereka yang dapat mendatangkan apa yang tidak mereka sanggupi.
Tidak pula dapat dikatakan bahwa dengan menisbahkan Qur’an kepada wahyu ilahi, ia menginginkan untuk menjadikan kata-katanya terhormat sehingga dengan itu ia dapat memperoleh sambutan manusia untuk menaati dan menuruti perintah-perintahnya, sebab dia juga mengeluarkan kata-kata yang dinisbahkan kepadanya pribadi, yaitu yang dinamakan hadis nabawi, yang juga wajib ditaati. Seandainya benar apa yang mereka tuduhkan, tentu kata-katanya akan dijadikannya sebagai kalam Allah Ta‘ala.
Sangkaan ini menggambarkan bahwa Rasulullah s.a.w. termasuk pemimpin yang menempuh cara-cara berdusta dan palsu untuk mencapai tujuan. Sangkaan itu ditolak oleh kenyataan sejarah tentang perilaku Rasulullah s.a.w., kejujuran dan keterpercayaannya yang terkenal, yang sudah disaksikan oleh musuh-musuhnya sebelum disaksikan oleh kawan-kawan sendiri.
Orang-orang munafik menuduh istrinya Aisyah dengan tuduhan berita bohong, padahal Aisyah seorang istri yang sangat dicintainya. Tuduhan yang demikian itu menyinggung kehormatan dan kemuliaannya. Sedang wahyu pun datang terlambat, Rasulullah dan para sahabat merasa sangat sedih sekali. Beliau berusaha dengan bersungguh-sungguh untuk meneliti dan memusyawarahkan nya. Dan satu bulan pun telah berlalu, akan tetapi akhirnya ia hanya dapat mengatakan kepadanya:
”Telah sampai kepadaku berita yang begini dan begitu. Apabila engkau benar-benar bersih, maka Allah akan membersihkanmu. Dan apabila engkau telah berbuat dosa, mohon ampunlah engkau kepada Allah”
Keadaan berlangsung secara demikian hingga turunlah Wahyu yang menyatakan kebersihan istrinya itu. Maka apakah yang meng. alanginya untuk mengatakan kata-kata yang dapat mematahkan para penuduh itu dan melindungi kehormatannya, seandainya Qur’an kata. katanya sendiri. Tetapi dia tidak mau berdusta kepada manusia dan juga tidak mau berdusta kepada Allah.
“Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas Kami, tentulah Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kamu yang dapat menghalangi Kami dari pemotongan urat nadi itu.” (al-Haqqah [69]:44-47).
Ada segolongan orang meminta izin untuk tidak ikut berperang di Tabuk. Mereka mengajukan alasan. Di antara mereka terdapat Orang-orang munafik yang sengaja mencari-cari alasan. Nabi mengizinkan mereka. Maka turunlah wahyu Qur’an mencela dan mempersalahkan tindakannya itu.
”Semoga Allah memaafkanmu. Mengapa engkau memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang, sebelum jelas bagimu alasan mereka) dan sebelum kau ketahui mana mereka yang benar dan mana yang berdusta?” (at-Taubah [9]:43).
Seandainya teguran ini datang dari perasaannya sendiri dengan menyatakan penyesalannya ketika ternyata pendapatnya itu salah, tentulah teguran yang begitu keras itu tidak akan diungkapkannya.
Begitu pula teguran kepadanya karena ia menerima tebusan tawanan perang Badar.
”Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum dia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi, sedangkan Allah menghendaki pahala akhirat untukmu. Dan Allah Mahaperkasa dan Mahabijaksana. Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, tentulah kamu akan ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil.” (al-Anfal [8]:67-68).
Begitu juga adanya teguran karena berpaling dari ‘Abdullah bin Umm Maktum r.a. yang buta, karena menekuni salah seorang pembesar Quraisy untuk diajak masuk Islam.
“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling. Karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali dia ingin membersihkan dirinya dari dosa, atau dia ingin mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya, Padahal tidak ada celaan atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersungguh-sungguh untuk mendapatkan pengajaran, sedang dia takut kepada Allah, maka kamu mengabaikannya. Sekali-kali jangan demikian! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhanmu itu adalah suatu peringatan.” (‘Abasa [80]:1-11).
Yang dikenal dalam peri kehidupan Rasulullah s.a.w. adalah bahwa dia sejak kecil merupakan teladan yang khas dalam hal budi pekerti yang baik, perilaku yang mulia, ucapan yang benar dan kejujuran dalam kata dan perbuatan. Masyarakatnya sendiri pun telah menyaksikan itu semua ketika ia mengajak mereka pada permulaan dakwah. la berkata kepada mereka:
“Bagaimana pendapatmu sekiranya aku beritahukan kepadamu bahwa pasukan berkuda di balik lembah ini akan menyerangmu, percayakah kamu kepadaku?” Mereka menjawab: ”Ya, kami tidak pernah melihat engkau berdusta.”
Peri hidupnya yang suci itu menjadi daya tarik bagi manusia untuk masuk Islam. Dari ‘Abdullah bin Sallam r.a., dia berkata:
“Ketika Rasulullah s.a.w, datang ke Medinah, orang orang mengerumuninya. Mereka mengatakan: “Rasulullah sudah datang, Rasulullah sudah datang!’. Lalu aku datang ke dalam kerumunan orang banyak itu untuk melihatnya. Ketika aku melihat wajah Rasulullah s.a.w., tahulah aku bahwa wajahnya itu bukanlah wajah pendusta.”!?
Orang yang memiliki sifat-sifat agung yang dihiasi oleh tanda-tanda kejujuran tidak pantas diragukan ucapannya ketika dia menyatakan tentang dirinya bahwa bukan dialah yang membuat Qur’an.
“Katakanlah: ’Tidaklah patut bagiku untuk menggantikannya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikuti kecuali wahyu yang diwahyukan kepadaku.’” (Yunus [10]:15).
- Orang-orang Jahiliah, dahulu dan sekarang, menyangka bahwa Rasullullah s.a.w. mempunyai ketajaman otak, kedalaman penglihatan, kekuatan firasat, kecerdikan yang hebat, kejernihan jiwa dan renungan yang benar, yang menjadikannya memahami ukuran-ukuran yang baik dan yang buruk, benar dan salah melalui Ilham (inspirasi), serta mengenali perkara-perkara yang rumit melalui kasyaf, sehingga Qur’an itu tidak lain daripada hasil penalaran intelektual dan pemahaman yang diungkapkan oleh Muhammad dengan gaya bahasa dan retorikanya.
Apakah yang sebenarnya didasarkan pada kecerdasan, penalaran dan perasaan di dalam Qur’an itu?
Segi berita yang merupakan bagian terbesar dalam Qur’an tidak diragukan oleh orang yang berakal bahwa apa yang diterimanya hanya didasarkan pada penerimaan dan pengajaran. Qur’an telah menyebutkan berita-berita tentang umat terdahulu, golongan-golongan dan peristiwa-peristiwa sejarah dengan kejadian-kejadiannya yang benar dan cermat, seperti halnya yang disebutkan oleh saksi mata, sekalipun masa yang dilalui oleh sejarah itu sudah amat jauh, bahkan sampai pada kejadian pertama alam semesta ini. Hal demikian tentu tidak memberikan tempat bagi penggunaan pikiran dan kecermatan firasat. Sedang Muhammad sendiri tidak semasa dengan umat-umat dan peristiwa-peristiwa di atas dengan segala macam kurun waktunya sehingga beliau dapat menyaksikan kejadian-kejadian itu dan menyampaikan beritanya. Demikian pula beliau tidak mewarisi kitab-kitabnya untuk dipelajari secara terinci dan kemudian menyampaikan beritanya.
”Dan tidaklah kamu (Muhammad) berada di sisi sebelah barat lembah Tuwa ketika Kami menyampaikan perintah kepada Musa, dan tiada pula kamu termasuk orang-orang yang menyaksikan. Tetapi Kami telah mengadakan beberapa generasi, dan berlalulah atas mereka masa yang panjang, dan tiadalah kamu tinggal bersama penduduk Madyan dengan membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka, tetapi Kami telah mengutus Rasul-rasul.” (al-Qasas [28]:44-45).
“Itu adalah di antara berita-berita penting tentang yang gaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak pula kaummu sebelum ini.” (Hud [11]:49).
“Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Qur’an ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan)nya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui.” (Yusuf [12]:3).
”Padahal kamu tidak hadir beserta mereka ketika mereka melemparkan anak-anak panah mereka untuk mengundi siapa di antara mereka yang akan memelihara Maryam.” (Ali ‘Imran [3]:44).
Dan di antaranya ialah berita-berita yang cermat mengenai angka-angka hitungan yang tidak diketahui kecuali oleh orang terpelajar yang sudah sangat luas pengetahuannya. Di dalam kisah Nabi Nuh:
”Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka dia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim.” (al-Ankabut [29]:14).
Hal ini sesuai dengan apa yang terdapat dalam Kitab Kejadian di dalam Taurat. Dan di dalam kisah Ashabul Kahfi (Penghuni Gua):
”Dan mereka tinggal di dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun lagi.” (al-Kahfi [18]:25).
Hitungan itu menurut ahli kitab adalah tiga ratus tahun matahari. Sedang sembilan tahun yang disebutkan di atas ialah perbedaan perhitungan antara tahun matahari dengan tahun bulan. Dari manakah Muhammad memperoleh angka-angka yang benar ini, seandainya bukan karena wahyu yang diberikan kepadanya, sebab dia adalah seorang buta huruf yang hidup di kalangan bangsa yang buta huruf pula tidak tahu tulis-menulis dan berhitung? Orang-orang jahiliah lama lebih pintar dalam menentang Muhammad daripada orang-orang jahiliah modern. Sebab orang jahiliah lama itu tidak mengatakan bahwa Muhammad mendapat berita ini dari kesadaran dirinya seperti dikata. kan orang-orang jahiliah modern; tetapi mereka mengatakan bahwa Muhammad mempelajari berita itu dan kemudian dituliskan:
“Dan mereka berkata: ’Dongengan-dongengan orang-orang dahulu, dimintanya supaya dituliskan, maka dibacakanlah dongengan itu kepadanya setiap pagi dan petang.’” (al-Furqan [25]:5).
Muhammad tidak menerima pelajaran dari seorang guru pun akan kami jelaskan nanti jadi dari manakah berita-berita ini datang kepadanya secara seketika di waktu usianya telah empat puluh tahun?
“Apa yang diucapkannya itu tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (an-Najm [53]:4).
Itulah mengenai segi berita dalam Qur’an. Adapun ilmu-ilmu lain yang ada di dalamnya, bagian akaid saja mengandung perkara-perkara yang begitu terinci tentang permulaan makhluk dan kesudahannya, kehidupan akhirat dan apa yang ada di dalamnya seperti surga dengan segala kenikmatannya, neraka dengan segala azabnya dan lain sebagainya, seperti malaikat dengan segala sifat dan pekerjaannya. Pengetahuan ini semuanya tidaklah memberikan tempat bagi kecerdasan akal dan kekuatan firasat semata.
“Dan tidaklah Kami jadikan penjaga-penjaga neraka itu melainkan dart para malaikat; dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk menjadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang-orang yang beriman bertambah imannya…” (al-Muddassir [74]:31).
“Tidaklah mungkin Qur’an ini dibuat-buat oleh selain Allah; akan tetapi Qur’an itu membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya; tidak ada keraguan didalamnya, diturunkan dari Tuhan semesta alam.” (Yunus [10]:37).
Begitu juga ketentuan-ketentuan yang memberi keputusan tentang berita-berita yang akan datang yang berlaku pada sunnatullah yang bersifat sosial mengenai kekuatan dan kelemahan, naik dan turun, mulia dan hina, bangun dan runtuh yang terdapat di dalam Qur’an.
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana ia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar keadaan mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap beribadah kepada-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku.”’ (an-Nur [24]:55).
“Allah pasti akan menolong orang yang membela agama-Nya. Allah benar-benar Mahakuat Mahaperkasa. Yaitu. orang-orang yang Jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan salat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.”’ (al-Hajj [22]:40-41).
demikian itu karena Allah sekali-kali tidak akan mengubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, kalau kaum itu tidak mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.”’ (al-Anfal [8]:53).
Dapat ditambahkan pula, bahwa al-Qur’anul Karim telah menceritakan tentang Rasulullah bahwa dia hanyalah mengikuti wahyu.
“Dan apabila kamu tidak membawa suatu ayat Qur’an kepada mereka, mereka berkata: ’Mengapa tidak kamu buat sendiri ayat itu?’ Katakanlah: ’Sesungguhnya aku hanya mengikuti apa yang diwahyukan Tuhanku kepadaku…” (al-A‘raf [7]:203).
Dan bahwa dia adalah manusia yang tidak mengetahui perkara yang gaib dan tidak pula berkuasa atas dirinya sedikit pun.
“Katakanlah: ’Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia seperti kamu; aku mendapat wahyu, tetapi sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan yang Maha Esa.’” (al-Kahfi (18]:110).
”Katakanlah: ’Aku tidak berkuasa menarik manfaat untuk diriku dan tak dapat menolak mudarat kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang gaib, tentulah aku akan berbuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa mudarat. Aku hanyalah memberi peringatan dan membawa berita gembira.’” (al-A‘raf [7]:188).
Rasulullah s.a.w. tidak sanggup memahami apa yang sebenarnya terjadi antara dua orang yang berselisih yang datang menghadapnya untuk meminta keputusan, meskipun dia mendengarkan kata-kata mereka berdua. Maka tentu saja dia tidak sanggup untuk mengetahui apa yang telah lalu dan apa yang akan datang.
“Rasulullah s.a.w. telah mendengar suatu perselisihan yang terjadi di dekat pintu kamar beliau. Ia mendatangi mereka dan berkata: “Aku hanyalah seorang manusia; sedang kamu meminta kepadaku untuk diadili. Mungkin salah satu pihak dari kamu akan lebih baik dalam menyampaikan alasan, sehingga aku mengira bahwa dialah yang benar, lalu aku memutuskan hal itu dengan memenangkannya, Yang kuputuskan dengan memberikan kemenangan kepadanya dari hak seorang Muslim itu adalah sepotong api neraka. Dia boleh meng. ambilnya dan boleh pula meninggalkannya.”
Dr. Muhammad Abdullah Daraz mengatakan: ”Pendapat inilah yang diramaikan oleh orang-orang ateis masa kini dengan nama wahyu nafsi. Mereka mengira bahwa dengan nama ini mereka telah memberikan kepada kita pendapat ilmiah yang baru. Tetapi hal itu sebenarnya tidaklah baru; itu adalah pendapat jahiliah yang kuno; tidak berbeda sedikitpun baik dalam garis besarnya maupun dalam perinciannya. Mereka melukiskan Nabi s.a.w. sebagai seorang lelaki yang mempunyai imajinasi yang luas dan perasaan yang dalam, maka dari itu beliau adalah seorang penyair.
Kemudian mereka menambahkan bahwa kata hatinya mengalahkan inderanya, sehingga ia berkhayal bahwa dia melihat dan mendengar seseorang berbicara kepadanya. Apa yang dilihat dan didengarnya itu tidak lain daripada gambaran khayal dan perasaannya sendiri saja. Yang demikian itu suatu kegilaan dan ilusi. Namun mereka tidak bisa berlama-lama mempertahankan alasan-alasan ini. Mereka terpaksa harus ‘meninggalkan istilah ”gerak hati” (al-wahyun-nafsi) itu, ketika mereka melihat bahwa di dalam Qur’an terdapat segi berita, baik berita masa lalu maupun berita masa yang akan datang. Mereka mengatakan: Mungkin berita-berita itu dia peroleh dari para ahli ketika ia pergi berdagang. Dengan demikian berarti dia diajar oleh seorang manusia. Jadi manakah yang baru dalam pendapat ini semua? Bukankah hal itu hanyalah omongan biasa yang menyerupai omongan kaum jahiliah Quraisy? Demikianlah, ateisma dalam pakaiannya yang baru itu mempunyai bentuk yang kotor, bahkan amat kotor. Dan itulah yang menjadi sumber segala gagasan yang sudah ”’maju” di masa kini. Padahal ia hanyalah sisa-sisa hidangan yang diwariskan oleh hati yang sudah membatu di masa jahiliah pertama. ”…Demikianlah orang-orang yang sebelum itu berkata, persis seperti perkataan mereka. Memang hati mereka itu serupa…” (al-Baqarah [2]:118).
Namun demikian, kalau ada orang merasa heran, yang lebih mengherankan lagi adalah kata-kata mereka yang menyebutkan bahwa dia (Muhammad) adalah orang yang jujur dan terpercaya, dan bahwa dia beralasan menisbahkan apa yang dilihatnya sebagai wahyu ilahi, sebab mimpi-mimpinya yang kuat itu menyatakan sebagai wahyu ilahi. Dia tidak mau menjadi saksi kecuali apa yang dilihatnya. Demikianlah Allah menceritakan kepada kita tentang pendahulu-pendahulu mereka. “Sebenarnya mereka bukan mendustakan kamu, tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah.” (al-An‘am [6]:33).
Apabila ini alasan Rasulullah dalam menyatakan apa yang dilihat dan didengarnya, maka apakah alasannya dalam pengakuannya bahwa dia tidak mengetahui berita-berita itu, juga tidak kaumnya sebelum itu; sedang menurut sangkaan mereka dia telah mendengarnya sebelumnya? Dengan demikian, mereka hendak mengatakan bahwa dia mengada-ada, agar tuduhan mereka itu sempurna. Tetapi mereka tidak mau menyatakan kata-kata itu, sebab mereka mendakwakan diri mereka sendiri sebagai orang-orang yang objektif dan bijaksana. Ingatlah, sebenarnya mereka telah mengatakannya tetapi mereka sendiri tidak merasa.
- Orang-orang jahiliah dahulu dan sekarang menyangka bahwa Muhammad telah menerima ilmu-ilmu Qur’an dari seorang guru. Yang demikian itu. adalah benar; akan tetapi guru yang menyampaikan Qur’an itu ialah malaikat wahyu; dan bukannya guru dari golongannya dan golongan lain.
Muhammad s.a.w. tumbuh dan hidup dalam keadaan buta huruf dan tak seorang pun di antara mereka yang membawa simbol ilmu dan pengajaran. Ini adalah kenyataan yang disaksikan oleh sejarah, dan tidak dapat diragukan. Bahwa dia mempunyai guru yang bukan dari masyarakatnya sendiri, dalam sejarah tidak ada kalangan penelit; yang dapat memberikan kata sepakat yang patut dijadikan Saksi, bahwa Muhammad telah menemui seorang ulama yang mengajarkan agama kepadanya sebelum ia menyatakan kenabiannya. Memang benar, bahwa di masa kecil ia pernah bertemu dengan Bahira yang rahih itu di pasar Busra di Syam; dan di Mekah bertemu dengan Waraqah bin Naufal setelah wahyu turun kepadanya; dan setelah hijrah ia ber. temu dengan ulama-ulama Yahudi dan Nasrani. Tetapi yang pasti dia tidak pernah mengadakan pembicaraan dengan mereka, sebelum ia menjadi nabi. Sedang setelah ia menjadi nabi, merekalah yang ber. tanya kepadanya untuk dijadikan bahan perdebatan, sehingga mereka yang mengambil manfaat dan belajar kepadanya. Dan sekiranya Rasulullah s.a.w. yang belajar, sedikit pun dari salah seorang di antara mereka, sejarah tidak akan diam, sebab dia tak ada perangainya yang buruk yang diremehkan orang, terutama oleh mereka yang memang menentang Islam. Dan apa yang disebutkan dalam sejarah mengenai rahib dari Syam atau Waraqah bin Naufal merupakan sambutan gembira tentang kenabiannya atau sebagai pengakuan.
Orang dapat menanyakan kepada mereka yang menyangka bahwa Muhammad s.a.w. diajar oleh seorang manusia: siapa nama gurunya itu? Ketika itu juga kita akan melihat jawaban yang kacau-balau, yang mereka reka-reka, bahwa gurunya itu seorang “pandai besi Rumawi”. Bagaimana dapat diterima akal bila ilmu-ilmu Qur’an itu datangnya dari orang yang tidak dikenal oleh Mekah sebagai orang yang pandai dan mendalami kitab-kitab? Bahkan hanya seorang pandai besi yang sehari-harinya hanya menekuni palu dan landasan besi, orang awam dengan lidah asing, yang dalam bacaannya dalam bahasa Arab pun hanya mericau saja.
“Sesungguhnya Qur’an itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad). Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan bahwa Muhammad belajar kepadanya bahasa asing, sedang Qur’an dalam bahasa Arab yang jelas.” (an-Nahl [16]:103).
Orang-orang Arab sebenarnya ingin sekali menolak Qur’an karena dendam mereka kepada Muhammad, tetapi mereka tidak sanggup, tidak menemukan jalan dan usaha mereka jadi sia-sia. Lalu kenapa orang-orang ateis kini mencari-cari jalan dalam bekas-bekas sejarah, sekalipun kegagalan itu telah berlalu tiga belas abad lebih? Dengan ini, jelaslah bahwa Qur’an tidak mengandung unsur manusia, baik oleh pembawanya atau oleh orang lain. Ia diturunkan oleh Tuhan Yang Mahabijaksana dan Maha Terpuji.
Pertumbuhan Rasulullah s.a.w. di lingkungan yang buta huruf dan jahiliah, dan perilakunya di tengah-tengah kaumnya itu merupakan bukti yang kuat bahwa Allah telah mempersiapkannya untuk membawa risalah-Nya. Allah mewahyukan kepadanya Quran ini untuk menjadi petunjuk bagi umatnya.
”Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu Qur’an dengan perintah Kami. Sebelum itu kamu tidak mengetahui apa al-Kitab (Qur’an) dan tidak pula mengetahui apa iman itu. Tetapi Kami menjadikan Qur’an itu cahaya yang dengannya Kami tunjuki siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus, Jalan Allah yang mempunyai segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa kepada Allah-lah kembali semua urusan.” (asy-Syura [42]:52-53).
Al-Ustaz Muhammad Abduh dalam Risdlatut Tauhid berkata: ”Di antara tradisi yang dikenal adalah bahwa seorang yatim yang fakir dan buta huruf seperti dia, jiwanya akan diwarnai oleh apa yang dilihatnya sejak awal pertumbuhan sampai masa tuanya, serta akalnya pun akan terpengaruh oleh apa yang didengar dari orang-orang yang bergaul dengannya, terutama apabila mereka kerabat dan satu suku. Sementara itu dia tidak memiliki kitab yang dapat memberinya petunjuk, tidak pula guru dan penolong yang akan memberi pelajaran dan melindunginya. Seandainya tradisi berjalan seperti biasa, tentulah dia akan tumbuh dalam kepercayaan mereka dan mengikuti aliran mereka pula hingga mencapai usia dewasa. Setelah itu, barulah dia berpikir dan mempertimbangkan, lalu menentang mereka, bila ada dalil yang menunjukkan kepadanya atas kesesatan mereka. Hal serupa itu juga telah dilakukan oleh beberapa orang yang semasa dengan dia.”
Tetapi keadaannya tidak demikian. Sejak kecil ia sudah amat membenci penyembahan berhala. Dia dibimbing oleh akidah yang bersih dan akhlak yang baik. Firman Allah menyatakan:
“Dia (Allah) mendapati engkau sebagai orang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.” (ad-Duha [93]:7).
Ayat ini tidak mengandung pengertian bahwa dia berada dalam penyembahan berhala sebelum mendapat petunjuk tauhid, atau berada di jalan yang tidak lurus sebelum berakhlak yang agung. Sekali-kali tidak! Semua itu tentu hanya kebohongan yang nyata. Tetapi yang dimaksudkan adalah kebingungan yang mencekam hati orang-orang yang ikhlas, yang mengharapkan keselamatan bagi umat manusia, mencari jalan keluar dari kehancuran dan petunjuk dari kesesatan. Dan Allah telah memberi petunjuk kepada Nabi-Nya atas apa yang dicarinya, dengan dipilihnya dia untuk menyampaikan risalah-Nya serta menentukan syari’at-Nya.
Kesesatan Ahli ilmu Kalam
Para ahli ilmu kalam telah tenggelam dalam cara-cara para filsuf dalam menjelaskan kalam Allah sehingga mereka telah sesat dan menyesatkan orang lain dari jalan yang lurus. Mereka membagi kalam Allah menjadi dua bagian: kalam nafsi yang kekal yang ada pada zat Allah, yang tidak berupa huruf, suara, tertib dan tidak pula bahasa; dan kalam lafzi (verbal), yaitu yang diturunkan kepada para Nabi a:s., yang di antaranya adalah empat buah kitab. Para ahli ilmu Kalam ini semakin terbenam dalam perselisihan skolastik yang mereka adakan: Apakah Qur’an dalam pengertian kalam lafzi, makhluk atau bukan? Mereka memperkuat pendapat bahwa Qur’an dalam pengertian kalam lafzi di atas adalah makhluk. Dengan demikian, mereka telah keluar dari jalan para mujtahid dahulu dalam hal yang tidak ada nasnya dalam Kitab dan Sunah. Mereka juga menggarap sifat-sifat Allah dengan analisis filosofis yang hanya menimbulkan keraguan dalam akidah tauhid.
Sedang mazhab Ahlus Sunnah wal Jama‘ah menentukan nama-nama dan sifat-sifat Allah yang sudah ditetapkan oleh Allah atau ditetapkan oleh Rasulullah s.a.w. dalam hadis sahih yang datang dari Nabi. Bagi kita sudah cukup dengan beriman bahwa kalam itu adalah salah satu sifat di antara sekian sifat Allah. Allah berfirman. ’ Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung.”’ (an-Nisa’ [4]:164). Demikian pula al-Qur’anul Karim wahyu yang diturunkan kepada Muhammad adalah kalamullah, bukan makhluk, sebagaimana tersirat dalam ayat:
“Jika orang di antara orang-orang musyrik itu. meminta perlindungan kepadamu, lindungilah dia, supaya dia sempat mendengar kalam Allah.” (at-Taubah [9]:6).
Penetapan mengenai apa yang dinisbahkan oleh Allah sendiri atau oleh Rasulullah, sekalipun sifat itu juga ditetapkan pada hamba-hamba Allah, tidaklah mengurangi kesempurnaan kesucian-Nya dan tidak membuat-Nya serupa dengan hamba-hamba-Nya. Dengan demikian, kesamaan dalam nama itu tidak mengharuskan kesamaan dalam apa yang dikandung oleh nama itu. Amat berbeda antara Khalik dengan makhluk dalam hal zat, sifat dan perbuatan-Nya. Zat khalik adalah maha sempurna, sifat-Nya paling tinggi dan perbuatan-Nya pun paling sempurna dan tinggi. Apabila kalam itu merupakan sifat kesempurnaan makhluk, bagaimana sifat ini ditiadakan dari Khalik? Kita menerima apa yang diterima oleh para sahabat Rasulullah s.a.w., para ulama tabi‘in, para ahli hadis dan fiqih yang hidup pada masa-masa yang dinyatakan baik, sebelum lahir segala macam bidat (bid‘ah) para ahli ilmu kalam. Kita beriman kepada apa yang datang dari Allah atau sahih dari Rasulullah mengenai sifat-sifat dan perbuatan Allah, baik yang ditetapkan ataupun yang tidak, tanpa dikurangi, diserupakan, dimisalkan ataupun ditakwilkan. Kita tidak berhak menetapkan pendapat kita sendiri mengenai hakikat zat Allah ataupun sifat-sifat-Nya,
”Tiada apa pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat.” (asy-Syura [42]:11).
Semua bangsa berusaha keras untuk melestarikan warisan pemikiran dan sendi-sendi kebudayaannya. Demikian juga umat Islam amat memperhatikan kelestarian risalah Muhammad yang memuliakan semua umat manusia. Itu disebabkan risalah Muhammad bukan sekedar risalah ilmu dan pembaharuan yang hanya diperhatikan sepanjang diterima akal dan mendapat respons manusia; tetapi, di atas itu semua, ia agama yang melekat pada akal dan terpateri dalam hati. Oleh sebab itu kita dapati para pengemban petunjuk yang terdiri atas para sahabat, tabi‘in dan generasi sesudahnya meneliti dengan cermat tempat turunnya Qur’an ayat demi ayat, baik dalam hal waktu ataupun tempatnya. Penelitian ini merupakan pilar kuat dalam sejarah perundang-undangan yang menjadi landasan bagi para peneliti untuk mengetahui metode dakwah, macam-macam seruan, dan pentahapan dalam penetapan hukum dan perintah. Mengenai hal ini antara lain seperti dikatakan oleh Ibn Mas‘ud r.a.:
“Demi Allah yang tiada tuhan selain Dia, setiap surah Qur’an kuketahui di mana surah itu diturunkan; dan tiada satu ayat pun dari Kitab Allah kecuali pasti kuketahui mengenai apa ayat itu diturunkan. Sekiranya aku tahu ada seseorang yang lebih tahu daripadaku mengenai Kitab Allah, dan dapat kujangkau orang itu dengan untaku, pasti aku pacu untaku kepadanya.”!
Dakwah menuju jalan Allah itu memerlukan metode tertentu dalam menghadapi segala kerusakan akidah, perundang-undangan dan perilaku. Beban dakwah itu baru diwajibkan setelah benih subur tersedia baginya dan pondasi kuat telah dipersiapkan untuk membawanya, Dan asas-asas perundang-undangan dan aturan sosialnya juga bar digariskan setelah hati manusia dibersihkan dan tujuannya ditentukan, sehingga kehidupan yang teratur dapat terbentuk atas dasar bimbingan dari Allah.
Orang yang membaca al-Qur’anul Karim akan melihat bahwa ayat-ayat Makkiah mengandung karakteristik yang tidak ada dalam ayat-ayat Madaniah, baik dalam irama maupun maknanya; sekalipun yang kedua ini didasarkan pada yang pertama dalam hukum-hukum dan perundang-undangannya.
Pada zaman jahiliah masyarakat sedang dalam keadaan buta dan tuli, menyembah berhala, mempersekutukan Allah, mengingkari wahyu, mendustakan hari akhir dan mereka mengatakan:
“Apabila kami telah mati dan telah menjadi tanah serta menjadi tulang-belulang, benarkah kami akan dibangkitkan kembali?” (as-Saffat (37]:16).
“Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja kita mati dan kita hidup dan yang akan membinasakan kita hanyalah waktu.” (al Jasiyah [45]:24).
Mereka ahli bertengkar yang sengit sekali, tukang berdebat dengan kata-kata pedas dan retorika luar biasa, sehingga wahyu Makki (yang diturunkan di Mekah) juga berupa goncangan-goncangan yang mencekam, menyala-nyala seperti api yang memberi tanda bahaya disertai argumentasi sangat tegas dan kuat. Semua ini dapat menghancurkan keyakinan mereka pada berhala, kemudian mengajak mereka kepada agama tauhid. Dengan demikian tabir kebobrokan mereka berhasil dirobek-robek, begitu juga segala impian mereka dapat dilenyapkan dengan memberikan contoh-contoh kehidupan akhirat, surga dan neraka yang terdapat di dalamnya. Mereka yang begitu fasih berbahasa dengan kebiasaan retorika tinggi, ditantang agar membuat seperti apa yang ada di dalam Qur’an, dengan mengemukakan kisah-kisah para pendusta terdahulu sebagai pelajaran dan peringatan.
Demikianlah, akan kita lihat Qur’an Surah Makkiah itu penuh dengan ungkapan-ungkapan yang kedengarannya amat keras di telinga, huruf-hurufnya seolah melontarkan api ancaman dan siksaan, masingmasing sebagai penahan dan pencegah, sebagai suara pembawa malapetaka, seperti dalam Surah Qari‘ah, Gasyiah dan Waqi‘ah, dengan huruf-huruf hijatyah pada permulaan Surah, dan ayat-ayat berisi tantangan di dalamnya, nasib umat-umat terdahulu, bukti-bukti alamiah dan yang dapat diterima akal. Semua ini menjadi ciri-ciri Qur’an Surah Makkiah.
Setelah terbentuk jemaah yang beriman kepada Allah, malaikat, kitab dan Rasul-Nya, kepada hari akhir dan qadar, baik dan buruknya, serta akidahnya telah diuji dengan berbagai cobaan dari orang musyrik dan ternyata dapat bertahan, dan dengan agamanya itu mereka berhijrah karena lebih mengutamakan apa yang ada di sisi Allah daripada kesenangan hidup duniawi maka di saat itu kita melihat ayat-ayat Madaniah yang panjang-panjang membicarakan hukum-hukum Islam serta ketentuan-ketentuannya, mengajak berjihad dan berkurban di jalan Allah kemudian menjelaskan dasar-dasar perundang-undangan, meletakkan kaidah-kaidah kemasyarakatan, menentukan hubungan pribadi, hubungan internasional dan antar-bangsa. Juga menyingkapkan aib dan isi hati orang-orang munafik, berdialog dengan Ahli Kitab dan membungkam mulut mereka. Inilah ciri-ciri umum Qur’an yang Madani.
Perhatian Para Ulama terhadap Surah Makki dan Madani
serta Contoh dan Faedahnya
Para ulama begitu tertarik untuk menyelidiki Surah-surah Makki dan Madani. Mereka meneliti Qur’an ayat demi ayat dan surah dem; surah untuk ditertibkan sesuai dengan nuzulnya, dengan memperhatikan waktu, tempat dan pola kalimat. Bahkan lebih dari itu, mereka mengumpulkan antara waktu, tempat dan pola kalimat. Cara demikian merupakan ketentuan cermat yang memberikan kepada peneliti objektif, gambaran mengenai penyelidikan ilmiah tentang ilmu Makki dan Madani. Dan itu pula sikap ulama kita dalam melakukan pembahasan. pembahasan terhadap aspek kajian Qur’an lainnya.
Memang suatu usaha besar bila seorang peneliti menyelidiki turunnya wahyu dalam segala tahapannya, mempelajari ayat-ayat Qur’an sehingga dapat menentukan waktu serta tempat turunnya dan, dengan bantuan tema surah atau ayat, merumuskan kaidah-kaidah analogis untuk menentukan apakah sebuah seruan itu termasuk Makki atau Madani, ataukah ia merupakan tema-tema yang menjadi titik tolak dakwah di Mekah atau di Medinah. Apabila sesuatu masalah masih kurang jelas bagi seorang peneliti karena terlalu banyak alasan yang berbeda-beda, maka ia kumpulkan, perbandingkan dan mengklasifikasikannya mana yang serupa dengan yang turun di Mekah dan mana pula yang serupa dengan yang turun di Medinah.
Apabila ayat-ayat itu turun di suatu tempat, kemudian oleh salah seorang sahabat dibawa segera setelah diturunkan untuk disampaikan di tempat lain, maka para ulama pun akan menetapkan seperti itu. Mereka berkata: ’Ayat yang dibawa dari Mekah ke Medinah, dan ayat yang dibawa dari Medinah ke Mekah.”’
Abul Qasim al-Hasan bin Muhammad bin Habib an-Naisaburi menyebutkan dalam kitabnya at-Tanbih ‘ala fadli ‘Ulaumil Qur’an: ”’Di antara ilmu-ilmu Qur’an yang paling mulia adalah ilmu tentang nuzul Qur’an dan daerahnya, urutan turunnya di Mekah dan Medinah, tentang yang diturunkan di Mekah tetapi hukumnya Madani dan sebaliknya, yang diturunkan di Mekah mengenai penduduk Medinah dan sebaliknya, yang serupa dengan yang diturunkan di Mekah Makkil tetapi termasuk Madani dan sebaliknya, dan tentang yang diturunkap di Juhfah, di Baitul Makdis, di Ta’if atau di Hudaibiyah. Demikian juga tentang yang diturunkan di waktu malam, di waktu siang, diturunkan secara bersama-sama,” atau yang diturunkan secara tersendiri, ayat-ayat Madaniah dari surah-surah Makkiah, ayat-ayat Makkiah dalam surah-surah Madaniah; yang dibawa dari Mekah ke Medinah dan yang dibawa dari Medinah ke Mekah; yang dibawa dari Medinah ke Abisinia, yang diturunkan dalam bentuk global dan yang telah dijelaskan, serta yang diperselisihkan sehingga sebagian orang mengatakan Madani dan sebagian lain mengatakan Makki. Itu semua ada duapuluh lima macam. Orang yang tidak mengetahuinya dan tak dapat membeda-bedakannya, ia tidak berhak berbicara tentang Qur’an.”?
Para ulama sangat memperhatikan Qur’an dengan cermat. Mereka menertibkan surah-surah sesuai dengan tempat turunnya. Mereka mengatakan misalnya: Surah ini diturunkan setelah surah itu.” Dan bahkan lebih cermat lagi sehingga mereka membedakan antara yang diturunkan di malam hari dengan yang diturunkan di siang hari, antara yang diturunkan di musim panas dengan yang diturunkan di musim dingin, dan antara yang diturunkan di waktu sedang berada di rumah dengan yang diturunkan di saat bepergian.
Yang terpenting dipelajari para ulama dalam pembahasan ini ialah: 1) Yang diturunkan di Mekah 2) yang diturunkan di Medinah; 3) yang diperselisihkan; 4) ayat-ayat Makkiah dalam surah-surah Madaniah; 5) ayat-ayat Madaniah dalam surah-surah Makkiah; 6) yang diturunkan di Mekah sedang hukumnya Madani; 7) yang diturunkan di Medinah sedang hukumnya Makki; 8) yang serupa dengan yang diturunkan di Mekah (Makki] dalam kelompok Madani; 9) yang serupa dengan yang diturunkan di Medinah [Madani] dalam kelompok Makki; 10) yang dibawa dari Mekah ke Medinah; 11) yang dibawa dari Medinah ke Mekah 12) yang turun di waktu malam dan di waktu siang; 13) yang turun di musim panas dan di musim dingin; 14) yang turun di waktu menetap dan dalam perjalanan.
Inilah macam-macam ilmu Qur’an yang pokok, berkisar di sekitar Makki dan Madani; oleh karenanya dinamakan ”ilmu Makki dan Madani.”
Beberapa contoh:
1, 2, 3. Pendapat yang paling mendekati kebenaran tentang bilangan surah-surah Makkiah dan Madaniah ialah bahwa Madaniah ada dua puluh surah: 1) al-Baqarah; 2) Ali ‘Imran; 3) an-Nisa’; 4) al. Ma’idah; 5) al-Anfal; 6) at-Taubah; 7) an-Nur; 8) al-Ahzab; 9) Mu, hammad; 10) al-Fath; 11) al-Hujurat; 12) al-Hadid; 13) al-Mujadalah. 14) al-Hasyr; 15) al-Mumtahanah; 16) al-Jumu‘ah; 17) al-Munafiqun; 18) at-Talaq; 19) at-Tahrim; dan 20) an-Nasr.
Sedang yang diperselisihkan ada dua belas surah: 1) al-Fatihah, 2) ar-Ra‘d; 3) ar-Rahman; 4) as-Saff; 5) at-Tagabun; 6) at-Tatfif; 7) al-Qadar; 8) al-Bayyinah; 9) az-Zalzalah; 10) al-Ikhlas; 11) al-Falag: dan 12) an-Nas.
Selain yang disebutkan di atas adalah Makki, yaitu delapan puluh dua surah. Maka jumlah surah-surah Qur’an itu semuanya seratus empat belas surah.
- Ayat-ayat Makkiah dalam = surah-surah Madaniah. Dengan menamakan sebuah surah itu Makkiah atau Madaniah tidak berarti bahwa surah tersebut seluruhnya Makkiah atau Madaniah, sebab di dalam surah Makkiah terkadang terdapat ayat-ayat Madaniah, dan di dalam surah Madaniah pun terkadang terdapat ayat-ayat Makkiah. Dengan demikian, penamaan surah itu Makkiah atau Madaniah adalah menurut sebagian besar ayat-ayat yang terkandung di dalamnya. Karena itu, dalam penamaan surah sering disebutkan bahwa surah itu Makkiah kecuali ayat “anu” adalah Madaniah; dan surah ini Madaniah kecuali ayat “anu” adalah Makkiah. Demikianlah, kita jumpai di dalam mushaf-mushaf Qur’an.
Di antara sekian contoh ayat-ayat Makkiah dalam surah Madaniah ialah surah al-Anfal itu Madaniah, tetapi banyak ulama mengecualikan ayat:
”Dan (ingatlah) ketika orang kafir (Quraisy) membuat makar terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu atau mengusirmu. Mereka membuat makar, tetapi Allah menggagalkan makar mereka. Dan Allah adalah sebaik-baik pembalas makar.”’ (al-Anfal [8]:30).
Mengenai ayat ini Muqatil mengatakan: ’Ayat ini diturunkan di Mekah; dan pada lahirnya memang demikian, sebab ia mengandung apa yang dilakukan orang musyrik di Darun Nadwah ketika mereka merencanakan tipu daya terhadap Rasulullah sebelum hijrah”. Sebagian ulama mengecualikan pula ayat: “Wahai Nabi, cukuplah Allah dan orang-orang mukmin yang mengikutimu menjadi penolongmu.” (al-Anfal [8]:64), mengingat hadis yang dikeluarkan oleh al-Bazzar dari Ibn Abbas, bahwa ayat itu diturunkan ketika Umar bin Khattab masuk Islam.
- Ayat-ayat Madaniah dalam surah Makkiah. Misalnya surah al An’am. Ibn Abbas berkata: Surah ini diturunkan sekaligus di Mekah, maka ia Makkiah, kecuali tiga ayat diturunkan di Medinah, yaitu ayat: ”Katakanlah: Marilah aku bacakan…” sampai dengan ketiga ayat itu selesai (al-An‘am [6]:151-153). Dan surah al-Hajj adalah Makkiah kecuali tiga ayat diturunkau di Medinah, dari awal firman Allah: ”Inilah dua golongan yang bertengkar mengenai Tuhan mereka…” (al Hajj [22]:19-21).
- Ayat yang diturunkan di Mekah sedang hukumnya Madani. Mereka memberi contoh dengan firman Allah:
”Wahai manusia, Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal.” (al-Hujurat [49]:13).
Ayat ini diturunkan di Mekah pada hari penaklukan kota Mekah, tetapi sebenarnya Madaniah karena diturunkan sesudah hijrah; di Samping itu seruannya pun bersifat umum. Ayat seperti ini oleh Para ulama tidak dinamakan Makki dan tidak juga dinamakan Madanj Secara pasti. Tetapi mereka katakan ’’ayat yang diturunkan di Mekah sedang hukumnya Madani.”’
- Ayat yang diturunkan di Medinah sedang hukumnya Makki. Mereka memberi contoh dengan surah al-Mumtahanah. Surah ini dij. turunkan di Medinah dilihat dari segi tempat turunnya; tetapi seruan. nya ditujukan kepada orang musyrik penduduk Mekah. Juga sepertj permulaan surah al-Bara’ah yang diturunkan di Medinah, tetapi se. ruannya ditujukan kepada orang-orang musyrik penduduk Mekah.
- Ayat yang serupa dengan yang diturunkan di Mekah [Makki] dalam Madani. Yang dimaksud oleh para ulama ialah ayat-ayat yang dalam surah Madaniah tetapi mempunyai gaya bahasa dan Ciri-cirj umum surah Makkiah. Contohnya firman Allah dalam surah al-Anfal yang Madaniah:
“Dan (ingatlah) ketika mereka golongan musyrik berkata: Ya Allah, jika benar (Qur’an) ini dari Engkau, hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih.” (al-Anfal [8):32). Ini mengingat permintaan kaum musyrikin untuk disegerakan azab itu adalah di Mekah.
- Yang serupa dengan yang diturunkan di Medinah [Madani] dalam Makki. Yang dimaksud oleh para ulama ialah kebalikan dari yang sebelumnya (no. 8). Mereka memberi contoh dengan firman Allah dalam surah an-Najm:
“(Yaitu) mereka yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil.” (an-Najm [53]:32).
As-Suyuti mengatakan: ”Perbuatan keji ialah setiap dosa yang ada sanksinya. Dosa-dosa besar ialah setiap dosa yang mengakibatkan siksa neraka. Dan kesalahan-kesalahan kecil ialah apa yang terdapat di antara kedua batas dosa-dosa di atas. Sedang di Mekah belum ada sanksi dan yang serupa dengannya.”
- Ayat yang dibawa dari Mekah ke Medinah. Contohnya ialah surah al-A‘la. Diriwayatkan oleh Bukhari dari al-Barra bin ‘Azib yang mengatakan: “Orang yang pertama kali datang kepada kami dari para sahabat Nabi adalah Mus‘ab bin ‘Umair dan Ibn Ummi Maktum. Keduanya membacakan Qur’an kepada kami. Sesudah itu datanglah ‘Amar, Bilal dan Sa‘d. Kemudian datang pula Umar bin Khattab sebagai orang yang kedua puluh. Baru setelah itu datanglah Nabi. Aku melihat penduduk Medinah bergembira setelah aku membacakan Sabbihisma rabbikal a‘la dari antara surah yang semisal dengannya.” Pengertian ini cocok dengan Qur’an yang dibawa oleh golongan Muhajirin, lalu mereka ajarkan kepada kaum Ansar.
- Yang dibawa dari Medinah ke Mekah. Contohnya ialah awal surah al-Bara’ah, yaitu ketika Rasulullah memerintahkan kepada Abu Bakar untuk berhaji pada tahun kesembilan. Ketika awal surah al-Bara’ah turun, Rasul memerintahkan Ali bin Abu Talib untuk membawa ayat tersebut kepada Abu Bakar, agar ia sampaikan kepada kaum musyrikin. Maka Abu Bakar membacakannya kepada mereka dan mengumumkan bahwa setelah tahun ini tidak seorang musyrik pun diperbolehkan berhaji.
- Ayat yang turun pada malam hari dan pada siang hari. Kebanyakan ayat Qur’an itu turun pada siang hari. Mengenai yang diturunkan pada malam hari Abul Qasim al-Hasan bin Muhammad bin Habib an-Naisaburi telah menelitinya. Dia memberikan beberapa contoh, di antaranya: bagian-bagian akhir surah Ali ‘Imran. Ibn Hibban dalam kitab Sahih-nya, Ibnul Munzir, Ibn Mardawaih dan Ibn Abud Dunya, meriwayatkan dari Aisyah r.a.:
Bilal datang kepada Nabi untuk memberitahukan waktu salat subuh; tetapi ia melihat Nabi sedang menangis. Ia bertanya: ”Rasulullah, apakah yang menyebabkan engkau menangis?” Nabi menjawab:
“Bagaimana saya tidak menangis padahal tadi malam diturunkan kepadaku, “Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi serta per. gantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berakal.” (Ali ‘Imran [3]:190). Kemudian katanya: ’Celakalah orang yang membacanya, tetapi tidak memikirkannya.”
Contoh lain ialah ayat mengenai tiga orang yang tidak ikut berperang. Terdapat dalam Sahih Bukhari dan Muslim, hadis Ka‘b: ”Allah menerima taubat kami pada sepertiga malam yang terakhir.”
Contoh lainnya ialah awal surah al-Fath. Terdapat dalam Sahih Bukhari, dari hadis Umar:
”Telah diturunkan kepadaku pada malam ini sebuah surah yang lebih aku sukai daripada apa yang disinari matahari.” Kemudian beliau membacakan: “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.”’
- Yang turun di musim panas dan musim dingin. Para ulama memberi contoh ayat yang turun di musim panas dengan ayat tentang kalalah yang terdapat di akhir surah an-Nisa’. Dalam Sahih Muslim, dari Umar, dikemukakan:
Tidak ada yang sering kutanyakan kepada Rasulullah tentang sesuatu seperti pertanyaanku mengenai kalalah. Dan ia pun tidak pernah bersikap kasar tentang sesuatu urusan seperti sikapnya kepadaku mengenai soal kalalah ini; sampai-sampai ia menekan dadaku dengan jarinya sambil berkata: “Umar, belum cukupkah bagimu satu ayat yang diturunkan pada musim panas yang terdapat di akhir Surah an-Nisa’
Contoh lain ialah ayat-ayat yang turun dalam perang Tabuk. Perang Tabuk itu terjadi pada musim panas yang berat sekali, seperti dinyatakan dalam Qur’an.
Sedang untuk yang turun di musim dingin mereka contohkan dengan ayat-ayat mengenai “tuduhan bohong” yang terdapat dalam surah an-Nur: “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga…” sampai dengan “Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia.” (an-Nur [24]:11-26).
Dalam hadis sahih dari Aisyah disebutkan:
“Ayat-ayat itu turun pada hari yang dingin.” Contoh lain adalah ayat-ayat yang turun mengenai perang Khandaq, dari surah Ahzab Ayat-ayat itu turun pada hari yang amat dingin.
Diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Dala’ilun Nubuwwah, dari Huzaifah yang mengatakan:
“Orang-orang meninggalkan Rasulullah pada malam peristiwa Ahzab, kecuali duabelas orang lelaki. Lalu Rasulullah datang kepadaku, dan berkata: ’Bangkit dan berangkatlah ke medan Perang Ahzab!’ Aku menjawab: ’Ya Rasulullah, demi yang mengutus engkau dengan sebenarnya, aku mematuhi engkau karena malu, sebab hari dingin sekali.’ Lalu turun wahyu Allah: Wahai orang beriman, ingatlah akan nikmat Allah yang telah dikaruniakan kepadamu ketika datang kepadamu tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara yang tidak dapat kamu lihat. Dan Allah Maha Melihat segala yang kamu kerjakan.” (al-Ahzab [33]:9).
- Yang turun di waktu menetap dan yang turun di dalam perjalanan. Kebanyakan dari Qur’an itu turun di waktu menetap. Tetapi peri kehidupan Rasulullah penuh dengan jihad dan peperangan di jalan Allah, sehingga wahyu pun turun juga dalam perjalanan ‘tersebut. Suyuti menyebutkan banyak contoh ayat yang turun dalam perjalanan. Di antaranya ialah awal surah al-Anfal yang turun di Badar setelah selesai perang, sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad melalui Sa‘d bin Abi Waqqas. Dan ayat:
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah…” (at-Taubah [9]:34).
Diriwayatkan oleh Ahmad melalui Sauban, bahwa ayat tersebut turun ketika Rasulullah dalam salah satu perjalanan. Juga awal Surah al-Hajj. Tirmizi dan Hakim meriwayatkan melalui ‘Imran bin Husain yang mengatakan: “Ketika turun kepada Nabi ayat: Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu; sesungguhnya kegoncangan hari kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar… sampai dengan firman-Nya: tetapi azab Allah itu sangat kerasnya. (al-Hajj [22]:12).”
Ayat ini diturunkan kepada Nabi sewaktu dalam perjalanan. Begitu juga surah al-Fath. Diriwayatkan oleh Hakim dan yang lain, melalui al-Miswar bin Makhramah dan Marwan bin al-Hakam, keduanya berkata: ’Surah al-Fath, dari awal sampai akhir, turun di antara Mekah dan Medinah mengenai soal Hudaibiyah.”
Faedah Mengetahui Makki dan Madani
Pengetahuan tentang Makki dan Madani banyak faedahnya, di antaranya:
- Untuk dijadikan alat bantu dalam menafsirkan Qur’an, sebab pengetahuan mengenai tempat turun ayat dapat membantu memahami ayat tersebut dan menafsirkannya dengan tafsiran yang benar, sekalipun yang menjadi pegangan adalah pengertian umum lafaz, bukan sebab yang khusus. Berdasarkan hal itu seorang penafsir dapat membedakan antara ayat yang nasikh dengan yang mansukh bila di antara kedua ayat terdapat makna yang kontradiktif. Yang datang kemudian tentu merupakan nasikh atas yang terdahulu.
- Meresapi gaya bahasa Qur’an dan memanfaatkannya dalam metode berdakwah menuju jalan Allah, sebab setiap situasi mempunyai bahasa tersendiri. Memperhatikan apa yang dikehendaki oleh Situasi, merupakan arti paling khusus dalam ilmu retorika. Karakteristik gaya bahasa Makki dan Madani dalam Qur’an pun memberikan kepada orang yang mempelajarinya sebuah metode dalam penyampaian dakwah ke jalan Allah yang sesuai dengan kejiwaan lawan berbicara dan menguasai pikiran dan perasaannya serta mengatasi apa yang ada dalam dirinya dengan penuh kebijaksanaan. Setiap tahapan dakwah mempunyai topik dan pola penyampaian tersendiri. Pola penyampaian itu. berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan tiia Cara, keyakinan dan kondisi lingkungan. Hal yang demikian nampak jelas dalam berbagai cara Qur’an menyeru berbagai golongan: Orang yang beriman, yang musyrik, yang munafik dan Ahli Kitab.
- Mengetahui sejarah hidup Nabi melalui ayat-ayat Qur’an, sebab turunnya wahyu kepada Rasulullah sejalan dengan sejarah dak. wah dengan segala peristiwanya, baik pada priode Mekah maupun priode Medinah, sejak permulaan turun wahyu hingga ayat terakhir diturunkan. Qur’an adalah sumber pokok bagi peri hidup Rasulullah, Peri hidup beliau yang diriwayatkan ahli sejarah harus sesuai dengan Qur’an; dan Qur’an pun memberikan kata putus terhadap perbedaan riwayat yang mereka riwayatkan.
Pengetahuan tentang Makki dan Madani serta Perbedaannya
Untuk mengetahui dan menentukan Makki dan Madani para ulama bersandar pada dua cara utama: sima‘i naqli (pendengaran seperti apa adanya) dan Qiyasi ijtihadi (kias hasil ihtihad). Cara pertama didasarkan pada riwayat sahih dari para sahabat yang hidup pada saat dan menyaksikan turunnya wahyu; atau dari para tabi‘in yang menerima dan mendengar dari para sahabat bagaimana, di mana dan peristiwa apa yang berkaitan dengan turunnya wahyu itu. Sebagian besar penentuan Makki dan Madani itu didasarkan pada cara pertama ini. Dan contoh-contoh di atas merupakan bukti paling baik baginya. Penjelasan tentang penentuan tersebut telah memenuhi kitab-kitab tafsir bil-ma’sar, kitab-kitab asbabun nuzul dan pembahasan-pembahasan mengenai ilmu-ilmu Qur’an. Namun demikian, tentang hal tersebut tidak terdapat sedikitpun keterangan dari Rasulullah, karena ia tidak termasuk suatu kewajiban, kecuali dalam batas yang dapat membedakan mana yang nasikh dan mana yang mansukh. Qadi Abu Bakar Ibnut Tayyib al-Baqalani dalam al-Intisqr menegaskan: ”Pengetahuan tentang Makki dan Madani itu mengacu pada hafalan para sahabat dan tabi‘in. Tidak ada suatu keterangan pun yang datang dari Rasulullah mengenai hal itu, sebab ia tidak diperintahkan untuk itu, dan Allah tidak menjadikan ilmu pengetahuan mengenai hal itu sebagai kewajiban umat. Bahkan sekalipun sebagian pengetahuannya dan pengetahuan mengenai sejarah nasikh dan mansukh itu wajib bagi ahli ilmu, tetapi pengetahuan tersebut tidak harus diperoleh melalui nas dari Rasulullah.”
Cara qiyasi ijtihadi didasarkan pada ciri-ciri Makki dan Madani. Apabila dalam surah Makki terdapat suatu ayat yang mengandung sifat Madani atau mengandung peristiwa Madani, maka dikatakan bahwa ayat itu Madani. Dan apabila dalam surah Madani terdapat suatu ayat yang mengandung sifat Makki atau mengandung peristiwa Makki, maka ayat tadi dikatakan sebagai ayat Makki. Bila dalam satu surah terdapat ciri-ciri Makki, maka surah itu dinamakan surah Makki. Demikian pula bila dalam satu surah terdapat ciri-ciri Madani, maka surah itu dinamakan surah Madani. Inilah yang disebut qiyas ijtihadi. Oleh karena itu, para ahli mengatakan: ’Setiap surah yang di dalamnya mengandung kisah para nabi dan umat-umat terdahulu, maka surah itu adalah Makki. Dan setiap surah yang di dalamnya mengandung kewajiban atau ketentuan, surah itu adalah Madani. Dan begitu seterusnya.” Ja‘bari mengatakan, “untuk mengetahui Makki dan Madani ada dua cara: sima‘i (pendengaran) dan qiyasi (kias).” Sudah tentu sima‘i pegangannya berita pendengaran, sedang qiyasi berpegang – pada penalaran. Baik berita pendengaran maupun penalaran, keduanya merupakan metoda pengetahuan yang valid dan metoda penelitian ilmiah.
Perbedaan Makki dengan Madani
Untuk membedakan Makki dengan Madani, para ulama mempunyai tiga macam pandangan yang masing-masing mempunyai dasarnya sendiri.
Pertama: Dari segi waktu turunnya. Makki adalah yang diturunkan sebelum hijrah meskipun bukan di Mekah. Madani adalah yang diturunkan sesudah hijrah sekalipun bukan di Medinah. Yang diturunkan sesudah hijrah sekalipun di Mekah atau Arafah, adalah Madani seperti yang diturunkan pada tahun penaklukan kota Mekah, misalnya, firman Allah:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak…” (an-Nisa’ [4]:58).
Ayat ini diturunkan di Mekah, dalam Ka‘bah pada tahun penaklukan Mekah atau yang diturunkan pada haji Wada‘, seperti firman Allah:
“Hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridai Islam menjadi aga. ma bagimu.” (al-Ma’idah [5]:3).
Pendapat ini lebih baik dari kedua pendapat berikut, karena ia lebih memberikan kepastian dan konsisten.
Kedua: Dari segi tempat turunnya. Makki ialah yang turun di Mekah dan sekitarnya, seperti Mina, Arafah dan Hudaibiyah. Dan Madani ialah yang turun di Medinah dan sekitarnya, seperti Uhud, Quba, dan Sil‘. Pendapat ini mengakibatkan tidak adanya pembagian secara konkrit yang mendua, sebab yang turun dalam perjalanan, di Tabuk atau di Baitul Makdis tidak termasuk ke dalam salah satu bagiannya, sehingga ia tidak dinamakan Makki dan tidak juga Madani. Juga mengakibatkan bahwa yang diturunkan di Mekah sesudah hijrah disebut Makki.
Ketiga: Dari segi sasarannya. Makki adalah yang seruannya ditujukan kepada penduduk Mekah dan Madani adalah yang seruannya ditujukan kepada penduduk Medinah. Berdasarkan pendapat ini, para pendukungnya menyatakan bahwa ayat Qur’an yang mengandung seruan ya ayyuhan nas (wahai manusia) adalah Makki sedang ayat yang mengandung seruan yd ayyuhal lazina Gmani (Wahai orang-orang yang beriman) adalah Madani.
Namun melalui pengamatan cermat, nampak bagi kita bahwa kebanyakan surah Qur’an tidak selalu dibuka dengan salah satu seruan itu. Dan ketentuan demikian pun tidak konsisten. Misalnya, surah Baqarah itu Madani, tetapi di dalamnya terdapat ayat:
“Wahai manusia, beribadahlah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.” (al-Baqarah [2]:21), dan firman-Nya:
”Wahai manusia, makanlah makanan yang halal dan baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagimu.” (al-Baqarah [2]:168).
Dan Surah an-Nisa’ itu) Madani, tetapi permulaannya “ya ayyuhan nas.” Surah al-Hajj, Makki, tetapi di dalamnya terdapat juga:
“Wahai orang-orang yang beriman, rukulah kamu, sujudlah kamu dan beribadahlah kepada Tuhanmu serta perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapatkan kemenangan.” (al-Hajj [22]:77).
Al-Qur’anul Karim adalah seruan Ilahi terhadap semua makhluk. la dapat saja menyeru orang’ yang beriman dengan sifat, nama atau jenisnya. Begitu pula orang yang tidak beriman dapat diperintah untuk beribadah, sebagaimana orang yang beriman diperintahkan konsisten dan menambah ibadahnya.
Ciri-ciri Khas Makki dan Madani.
Para ulama telah meneliti surah-surah Makki dan Madani; dan menyimpulkan beberapa ketentuan analogis bagi keduanya, yang menerangkan ciri-ciri khas gaya bahasa dan persoalan-persoalan yang dibicarakannya. Dari situ. mereka dapat menghasilkan kaidah-kaidah dengan ciri-ciri tersebut.
Ketentuan Makki dan Ciri Khas Temanya
- Setiap surah yang didalamnya mengandung ’’sajdah’’ maka surah itu Makki.
- Setiap surah yang .mengandung lafal kalla, berarti Makki. Lafal ini hanya terdapat dalam separuh terakhir dari Qur’an. Dan disebutkan sebanyak tiga puluh tiga kali dalam lima belas surah.
- Setiap surah yang mengandung ya ayyuhan nas dan tidak mengandung yaa ayyuhal lazina Gmanid, berarti Makki, kecuali Surah al-Hajj yang pada akhir surah terdapat ya ayyuhal lazina amanur-ka‘i wasjudu. Namun demikian sebagian besar ulama berpendapat bahwa ayat tersebut adalah ayat Makki.
- Setiap surah yang mengandung kisah para nabi dan umat terdahulu adalah Makki, kecuali surah Baqarah.
- Setiap surah yang mengandung kisah Adam dan Iblis adalah Makki, kecuali surah Baqarah.
- Setiap surah yang dibuka dengan huruf-huruf singkatan, seperti Alif Lam Mim, Alif Lam Raa, Ha Mim dan lain-lainnya, adalah Makki, kecuali surah Baqarah dan Ali ‘Imran. Sedang surah Ra‘d masih diperselisihkan.
Ini adalah dari segi ketentuan, sedang dari segi ciri tema dan gaya bahasa dapatlah diringkas sebagai berikut:
- Ajakan kepada tauhid dan beribadah hanya kepada Allah, pembuktian mengenai risalah, kebangkitan dan hari pembalasan, hari kiamat dan kengeriannya, neraka dan siksaannya, surga dan nikmatnya, argumentasi terhadap orang musyrik dengan menggunakan bukti-bukti rasional dan ayat-ayat kauniah.
- Peletakan dasar-dasar umum bagi perundang-undangan dan akhlak mulia yang menjadi dasar terbentuknya suatu masyarakat; dan penyingkapan dosa orang musyrik dalam penumpahan darah, memakan harta anak yatim secara zalim, penguburan hidup-hidup bayi perempuan dan tradisi buruk lainnya.
- Menyebutkan kisah para nabi dan umat-umat terdahulu sebagai pelajaran bagi mereka sehingga mengetahui nasib orang yang mendustakan sebelum mereka; dan sebagai hiburan buat Rasulullah sehingga ia tabah dalam menghadapi gangguan mereka dan yakin akan menang.
- Suku Katanya pendek-pendek disertai kata-kata yang mengesankan sekali, pernyataannya singkat, di telinga terasa menembus dan terdengar sangat keras, menggetarkan hati, dan maknanya pun meyakinkan dengan diperkuat lafal-lafal sumpah; seperti surah-surah yang pendek-pendek. Dan perkecualiannya hanya sedikit.
Ketentuan Madani dan Ciri Khas Temanya
- Setiap surah yang berisi kewajiban atau had (sanksi) adalah Madani.
- Setiap surah yang didalamnya disebutkan orang-orang munafik adalah Madani, kecuali surah al-‘Ankabut adalah Makki.
- Setiap surah yang di dalamnya terdapat dialog dengan Ahli Kitab adalah Madani.
Ini dari segi ketentuan, sedang dari segi ciri khas tema dan gaya bahasa dapatlah diringkaskan sebagai berikut:
- Menjelaskan ibadah, muamalah, had, kekeluargaan, warisan, jihad, hubungan sosial, hubungan internasional, baik di waktu damai maupun perang, kaidah hukum dan masalah perundang-undangan.
- Seruan terhadap Ahli Kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani, dan ajakan kepada mereka untuk masuk Islam, penjelasan mengenai penyimpangan mereka terhadap kitab-kitab Allah, permusuhan mereka terhadap kebenaran dan perselisihan mereka setelah ilmu datang kepada mereka karena rasa dengki di antara sesama mereka.
- Menyingkap perilaku orang munafik, menganalisis Kejiwaanya, membuka kedoknya dan menjelaskan bahwa ia berbahaya bas agama.
- Suku kata dan ayatnya panjang-panjang dan dengan gaya bahasa yang memantapkan syariat serta menjelaskan tujuan dan Sasaran, nya.
Ungkapan bahwa Rasulullah s.a.w. menerima Qur’an yang diturunkan kepadanya itu mengesankan suatu kekuatan yang dipegang seseorang dalam menggambarkan segala yang turun dari tempat yang lebih tinggi. Hal itu karena tingginya kedudukan Qur’an dan agungnya ajaran-ajarannya yang dapat mengubah perjalanan hidup umat manusia, menghubungkan langit dengan bumi, dan dunia dengan akhirat. Pengetahuan mengenai sejarah perundang-undangan Islam dari sumber pertama dan pokok yaitu Qur’an akan memberikan kepada kita gambaran mengenai pentahapan hukum dan penyesuaiannya dengan keadaan tempat hukum itu diturunkan, tanpa adanya kontradiksi antara yang lalu dengan yang akan datang. Hal demikian memerlukan pembahasan mengenai apa yang pertama kali turun dan apa yang terakhir kali. Demikian pula pembicaraan mengenai apa yang pertama kali dan yang terakhir kali turun itu memerlukan pembahasan mengenai segala perundang-undangan ajaran-ajaran Islam, seperti makanan, minuman, peperangan, dan lain sebagainya.
Dalam hal apa yang pertama kali diturunkan dan apa yang terakhir kali, para ulama mempunyai banyak pendapat, yang akan kami ringkaskan dan pertimbangkan di dalam pembahasan berikut ini.
Yang Turun Pertama Kali
- Pendapat yang paling sahih mengenai yang pertama kali turun ialah firman Allah:
“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu lebih Pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (al-‘Alaq [96]:1-5).
Pendapat ini didasarkan pada suatu hadis yang diriwayatkan oleh dua syaikh ahli hadis dan yang lain, dari Aisyah r.a. yang mengatakan: ’Sesungguhnya apa yang mula-mula terjadi bagi Rasulullah s.a.w. adalah mimpi yang benar di waktu tidur. Dia melihat dalam mimpi itu datangnya bagaikan terangnya pagi hari. Kemudian dia suka menyendiri. Dia pergi ke gua Hira untuk beribadah beberapa malam. Untuk itu ia membawa bekal. Kemudian ia pulang kepada Khadijah r.a., maka Khadijah pun membekalinya seperti bekal terdahulu. Di gua Hira dia dikejutkan oleh suatu kebenaran. Seorang malaikat datang kepadanya dan mengatakan: ’Bacalah!’ Rasulullah menceritakan, maka aku pun menjawab: ’Aku tidak pandai membaca.’ Malaikat tersebut kemudian memelukku sehingga aku merasa amat payah. Lalu aku dilepaskan, dan dia berkata lagi: ’Bacalah!” Maka aku pun menjawab: Aku tidak pandai membaca. Lalu dia merangkulku yang kedua kali sampai aku kepayahan. Kemudian dia lepaskan lagi dan dia berkata: *Bacalah!’ Aku menjawab: ’Aku tidak pandai membaca.’ Maka dia merangkulku yang ketiga kalinya sehingga aku kepayahan, kemudian dia berkata: “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan…’ sampai dengan ’…apa yang tidak diketahuinya’, (Hadis).
- Dikatakan pula, bahwa yang pertama kali turun adalah firman Allah: Ya ayyuhal muddassir (wahai orang yang berselimut). In didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh dua syaikh ahli hadis:
Dari Abu Salamah bin Abdurrahman; dia berkata: Aku telah bertanya kepada Jabir bin Abdullah: Yang manakah di antara Qur’an itu yang turun pertama kali? Dia menjawab: Ya ayyuhal muddassir. Aku bertanya lagi: Ataukah iqra’ bismi rabbik? Dia menjawab: “Aku katakan kepadamu apa yang dikatakan Rasulullah s.a.w. kepada kami:
” Sesungguhnya aku berdiam diri di gua Hira. Maka ketika habis masa diamku, aku turun lalu aku telusuri lembah. Aku lihat ke muka, ke belakang, ke kanan dan ke kiri. Lalu aku lihat ke langit, tiba-tiba aku melihat Jibril yang amat menakutkan. Maka aku pulang ke Khadijah. Khadijah memerintahkan mereka untuk menyelimuti aku. Mereka pun menyelimuti aku. Lalu Allah menurunkan: ‘Wahai orang yang berselimut; bangkitlah, lalu berilah peringatan.’’
Mengenai hadis Jabir ini, dapatlah dijelaskan bahwa pertanyaan itu mengenai surah yang diturunkan secara penuh. Jabir menjelaskan bahwa surah Muddassir-lah yang turun secara penuh sebelum surah Iqra’ selesai diturunkan, karena yang turun pertama sekali dari surah Iqra’ itu hanyalah permulaannya saja. Hal yang demikian ini juga diperkuat oleh hadis Abu Salamah dari Jabir yang terdapat dalam Sahih Bukhari dan Muslim. Jabir berkata:
“Aku telah mendengar Rasulullah s.a.w. ketika ia berbicara mengenai terputusnya wahyu, maka katanya dalam pembicaraan itu: ’Ketika aku berjalan, aku mendengar suara dari langit. Lalu aku angkat kepalaku, tiba-tiba aku melihat malaikat yang mendatangi aku di gua Hira itu duduk di atas kursi antara langit dan bumi, lalu aku pulang dan aku katakan: Selimuti aku! Mereka pun menyelimuti aku. Lalu Allah menurunkan: Ya ayyuhal muddaSsir.”
Hadis ini menunjukkan bahwa kisah tersebut lebih kemudian daripada kisah gua Hira, atau Muddassir itu adalah surah pertama yang diturunkan setelah terhentinya wahyu. Jabir telah mengeluarkan yang demikian ini dengan ijtihadnya, akan tetapi riwayat Aisyah lebih mendahuluinya. Dengan demikian, maka ayat Qur’an yang pertama kali turun secara mutlak ialah iqra’ dan surah yang pertama diturunkan secara lengkap dan pertama diturunkan setelah terhentinya wahyu ialah Ya ayyuhal muddaSssir, dan surah yang pertama turun untuk risalah ialah Yd ayyuhal muddassir dan untuk kenabiannya adalah Iqra’.
- Dikatakan pula, bahwa yang pertama kali turun adalah surah Fatihah. Mungkin yang dimaksudkan adalah surah yang pertama kali turun secara lengkap.
- Disebutkan juga bahwa yang pertama kali turun adalah Bismillahirrahmanirrahim, karena basmalah itu turun mendahului setiap surah. Dalil-dalil kedua pendapat di atas hadis-hadis mursal. Pendapat pertama yang didukung oleh hadis Aisyah itulah pendapat yang kuat dan masyhur.
Az-Zarkasyi telah menyebutkan di dalam kitabnya al-Burhdn, hadis Aisyah yang menegaskan bahwa yang pertama kali turun adalah Iqra’ bismi rabbikal lazi khalaq dan hadis Jabir yang menegaskan bahwa yang pertama kali turun ialah Ya ayyuhal muddassir; qum fa anzir. Kemudian dia berkata: ”Sebagian besar ulama menyatukan keduanya yaitu, bahwa Jabir mendengar Nabi menyebutkan kisah per mulaan wahyu dan dia mendengar bagian akhirnya, sedang bagian pertamanya dia tidak mendengar. Maka dia (Jabir) menyangka bahwa surah yang didengarnya itu adalah yang pertama kali diturunkan, padahal bukan. Memang surah Muddassir itu adalah surah pertama yang diturunkan setelah surah Iqra’ dan setelah terhentinya wahyu. Hal itu juga termuat dalam Sahih Bukhari dan Muslim dari Jabir r.a., bahwa Rasulullah s.a.w. di kala itu sedang membicarakan masalah terhentinya wahyu. Di dalam hadis itu dia berkata:
“Ketika aku berjalan, aku mendengar suara dari Jangit. Lalu kuangkat kepalaku, tiba-tiba yang datang kepadaku malaikat yang kulihat ketika aku di gua Hira duduk di atas kursi yang terletak di antara langit dan bumi, sehingga aku pun merasa ketakutan sekali. Kemudian aku pulang dan aku berkata: ’Selimuti aku; selimuti aku.’ Lalu Allah menurunkan: Wahai orang yang berselimut; bangkitlah, lalu berilah peringatan.”
Dalam hadis ini ia memberitahukan tentang malaikat yang datang kepadanya di gua Hira sebelum saat itu. Di dalam hadis Aisyah ia memberitahukan bahwa turunnya Iqra’ itu di gua Hira, dan bahwa Iqra’ itulah wahyu pertama yang turun. Kemudian setelah itu wahyu terhenti. Sedang dalam hadis Jabir ia memberitahukan bahwa wahyu berlangsung kembali setelah turunnya Ya ayyuhal muddassir.
Dengan demikian dapatlah diketahui bahwa “Iqra’” adalah wahyu yang pertama sekali diturunkan secara mutlak, dan bahwa ’Muddassir” diturunkan sesudah Iqra’.
Demikian juga Ibn Hibban mengatakan dalam Sahih-nya:
Di antara kedua hadis itu tidak ada pertentangan. Sebab yang pertama kali diturunkan adalah iqra’ bismi rabbikal lazi khalag di gua Hira. Ketika kembali kepada Khadijah r.a. dan Khadijah menyiramkan air dingin kepadanya, Allah menurunkan kepadanya di rumah Khadijah ini: Ya ayyuhal muddassir. Maka jelaslah bahwa ketika turun kepada beliau Iqra’, ia pulang lalu berselimut; kemudian Allah menurunkan Ya ayyuhal muddassir.”
Juga ada dikatakan bahwa yang pertama kali turun ialah surah Fatihah. Hadis yang menunjukkan hal ini diriwayatkan melalui Abu Ishaq dari Abu Maisarah; dia berkata:
“Rasulullah s.a.w. mendengar suara, ia berlari. Ia menyebutkan turunnya malaikat kepadanya serta kata-kata malaikat itu: ’Katakanlah: Alhamdu lillahi rabbil ‘alamin’… dan seterusnya.”
Qadi Abu Bakar dalam kitabnya al-Intisaér mengatakan, bahwa hadis ini munqati‘. Maka tetap kuatlah pendapat yang mengatakan bahwa yang pertama kali turun ialah iqra’ bismi rabbik, dan sesudah itu pendapat yang menyatakan bahwa yang pertama kali turun itu adalah Ya ayyuhal muddassir. Cara menyatukan pendapat-pendapat di atas bahwa ayat yang pertama kali turun itu iqra’ bismi rabbik, dan ayat mengenai perintah tablig (untuk menyampaikan) yang pertama kali turun ialah Ya ayyuhal muddassir, sedang surah yang pertama kali turun ialah Fatihah. Hal yang demikian ini seperti apa yang termuat di dalam hadis:
“Yang pertama kali dihisab dari seorang hamba ialah salat.”! dan “Yang pertama kali diputuskan mengenai seorang hamba adalah urusan darah.””
Penyatuan kedua hadis itu ialah: “Yang pertama kali seorang hamba diadili dalam hal kezaliman yang terjadi sesama hamba adalah urusan darah, sedang yang pertama kali dihisab dari seorang hamba dalam hal kewajiban-kewajiban badaniah adalah salat.”
Juga dikatakan bahwa yang pertama kali turun mengenai kerasulan adalah Ya ayyuhal muddassir, dan yang pertama kali turun mengenai kenabian adalah /iqra’ bismi rabbik. Hal itu disebabkan para ulama mengatakan bahwa firman Allah Iqra’ bismi rabbik itu menunjukkan kenabian Muhammad s.a.w. sebab kenabian itu adalah wahyu kepada seseorang melalui perantaraan malaikat dengan penugasan khusus. Sedang firman Allah Ya ayyuhal muddassir; qum fa anzir itu menunjukkan kerasulannya, sebab kerasulan itu adalah wahyu kepada seseorang dengan perantaraan malaikat dengan penugasan umum.
Yang Terakhir Kali Diturunkan
- Dikatakan bahwa ayat terakhir yang diturunkan itu adalah ayat mengenai riba. Ini didasarkan pada hadis yang dikeluarkan oleh Bukhari dari Ibn Abbas, yang mengatakan:
”Ayat terakhir yang diturunkan adalah ayat mengenai riba.” Yang dimaksudkan ialah firman Allah:
”Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba yang belum dipungut.” (al-Baqarah [2]:278).
- Dan dikatakan pula bahwa ayat Qur’an yang terakhir diturunkan ialah firman Allah :
“Dan peliharalah dirimu dari azab yang terjadi pada suatu hari yang pada waktu ttu kamu semua dikembalikan kepada Allah…”’ (al-Bagarah [2]:281).
Ini didasarkan pada hadis, yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i dan lain-lain, dari Ibn Abbas dan Sa‘id bin Jubair: ’Ayat Qur’an terakhir kali turun ialah: Dan peliharalah dirimu dari azab yang terjadi pada suatu hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah…” (al-Baqarah [2]:281).
- Juga dikatakan bahwa yang terakhir kali turun itu ayat mengenai utang; berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Sa‘id bin al-Musayyab: ’’Telah sampai kepadanya bahwa ayat Qur’an yang paling muda di ‘Arsy ialah ayat mengenai utang.” Yang dimaksudkan adalah ayat:
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya…” (alBaqarah [2):282).
Ketiga riwayat itu dapat dipadukan, yaitu bahwa ketiga ayat tersebut di atas diturunkan sekaligus seperti tertib urutannya di dalam Mushaf. Ayat mengenai riba, ayat pelihara dirimu dari azab yang terjadi pada suatu hari kemudian ayat mengenai utang, karena ayat-ayat itu masih satu kisah. Setiap perawi mengabarkan bahwa sebagian dari yang diturunkan itu sebagai yang terakhir kali. Dan itu memang benar.
Dengan demikian, maka ketiga ayat itu tidak saling bertentangan.
- Dikatakan pula bahwa yang terakhir kali diturunkan adalah ayat mengenai kalalah. Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Barra’ bin ‘Azib; dia berkata: ’Ayat yang terakhir kali turun adalah:
“Mereka meminta fatwa kepadamu mengenai kaldlah, katakanlah: ’Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah.’’’ (an-Nisa’ (4):176).
Ayat yang turun terakhir menurut hadis Barra’ ini adalah berhubungan dengan masalah warisan.
- Pendapat lain menyatakan bahwa yang terakhir turun adalah firman Allah:
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri…” sampai dengan akhir surah.
Dalam al-Mustadrak disebutkan, dari Ubai bin Ka‘b yang mengatakan: “Ayat terakhir kali diturunkan: Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri…” (at-Taubah [9]:1289) sampai akhir surah. Mungkin yang dimaksudkan adalah ayat terakhir yang diturunkan dari Surah at-Taubah. Muslim meriwayatkan dari Ibn Abbas, bahwa hadis ini memberitahukan bahwa surah ini ialah surah yang diturunkan terakhir kali, karena ayat ini mengisyaratkan wafatnya Nabi s.a.w. sebagaimana dipahami oleh sebagian sahabat. Atau mungkin surah ini adalah surah yang terakhir kali diturunkan.
- Dikatakan pula bahwa yang terakhir kali turun adalah Surah al-Ma’idah. Ini didasarkan pada riwayat Tirmizi dan Hakim, dari Aisyah r.a. Tetapi menurut pendapat kami, surah itu surah yang terakhir kali turun dalam hal halal dan haram, sehingga tak satu hukum pun yang dinasikh di dalamnya.
- Juga dikatakan bahwa yang terakhir kali turun adalah firman Allah:
“Maka Tuhan memperkenankan permohonan mereka: ’Aku tidak menyiakan-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki ataupun perempuan, karena sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.’” (Ali ‘Imran [3]:195).
Ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Mardawaih melalui Mujahid, dari Ummu Salamah; dia berkata: ”Ayat yang terakhir kali turun adalah ayat ini: “Maka Tuhan memperkenankan permohonan mereka: ’Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kaummu…” sampai akhir ayat tersebut.
Hal itu disebabkan dia (Ummu Salamah) bertanya: Wahai Rasulullah, aku melihat Allah menyebutkan kaum lelaki akan tetapi tidak menyebutkan kaum perempuan. Maka turunlah ayat: “Dan janganlah kamu iri terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak daripada sebagian yang lain.” (an-Nisa’ [4]:32) dan turun pula: “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang Muslim.” (ail-Ahzab [33]:35). serta ayat ini: “Maka Tuhan mereka…” Ayat ini adalah yang terakhir diturunkan dari ketiga ayat di atas. Ia ayat terakhir yang diturunkan yang didalamnya tidak hanya disebutkan kaum lelaki secara khusus.
Dari riwayat itu jelaslah bahwa ayat tersebut yang terakhir turun di antara ketiga ayat di atas, dan yang terakhir yang turun dari ayat-ayat yang di dalamnya disebutkan kaum perempuan.
- Ada juga dikatakan bahwa ayat terakhir yang turun talah ayat:
Barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahanam, kekal dia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (an-Nisa [4]:93).
Ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan Bukhari dan yang lain dari Ibn Abbas yang mengatakan:
“Ayat ini (Barangsiapa membunuh seorang mukmin dengan Sengaja maka balasannya ialah Jahanam) adalah ayat yang terakhir diturunkan dan tidak dinasikh oleh apapun.”
Ungkapan “ia tidak dinasikh oleh apa pun” itu menunjukkan bahwa ayat itu ayat yang terakhir turun dalam hal hukum membunuh seorang mukmin dengan sengaja.”
- Dari Ibn Abbas dikatakan: “Surah terakhir yang diturunkan ialah:
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan.”
Pendapat-pendapat ini semua tidak mengandung sesuatu yang disandarkan kepada Nabi s.a.w., masing-masing merupakan ijtihad dan dugaan. Mungkin pula bahwa masing-masing mereka itu. memberitahukan mengenai apa yang terakhir didengarnya dari Rasulullah. Atau mungkin juga masing-masing mengatakan hal itu berdasarkan apa yang terakhir diturunkan dalam hal perundang-undangan tertentu, atau dalam hal surah terakhir yang diturunkan secara lengkap seperti setiap pendapat yang telah kami kemukakan di atas. Adapun firman Allah:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam jadi agama bagimu.” (al-Ma’idah [5]:3), maka ia diturunkan di Arafah tahun Haji Perpisahan (Wada’‘).
Pada lahirnya, ia menunjukkan penyempurnaan kewajiban dan hukum. Telah pula diisyaratkan di atas, bahwa riwayat mengenai turunnya ayat riba, ayat utang-piutang, ayat kalalah dan yang lain itu setelah ayat ketiga Surah al-Ma’idah. Oleh karena itu, para ulama menyatakan kesempurnaan agama di dalam ayat ini. Allah telah mencukupkan nikmat-Nya kepada mereka dengan menempatkan mereka di negeri suci dan membersihkan orang-orang musyrik daripadanya serta menghajikan mereka di rumah suci tanpa disertai oleh seorang musyrik pun; padahal sebelumnya orang-orang musyrik berhaji pula dengan mereka. Yang demikian itu termasuk nikmat yang sempurna, “dan telah kucukupkan kepadamu nikmat-Ku.”
Qadi Abu Bakar al-Baqalani dalam al-intisar ketika mengomentari berbagai riwayat mengenai yang terakhir kali diturunkan menyebutkan: ’Pendapat-pendapat ini sama sekali tidak disandarkan kepada Nabi s.a.w. Boleh jadi pendapat itu diucapkan orang karena ijtihad atau dugaan saja. Mungkin masing-masing memberitahukan mengenai apa yang terakhir kali didengarnya dari Nabi s.a.w. pada saat ia wafat atau tak seberapa lama sebelum ia sakit. Sedang yang lain mungkin tidak secara langsung mendengar dari Nabi. Mungkin juga ayat itu yang dibaca terakhir kali oleh Rasulullah s.a.w. bersama-sama dengan ayat-ayat yang turun di waktu itu, sehingga disuruh untuk dituliskan sesudahnya, lalu dikiranya ayat itulah yang terakhir diturunkan menurut tertib urutannya.”
Yang Mula-Mula Diturunkan Menurut Persoalannya
Para ulama juga membicarakan ayat-ayat yang mula-mula diturunkan berdasarkan persoalan-persoalan tertentu. Di antaranya:
- Yang pertama kali turun mengenai makanan.
Ayat pertama yang diturunkan di Mekah adalah satu ayat dalam Surah al-An‘am:
“Katakanlah: ’Dalam wahyu yang disampaikan kepadaku aku tidak mendapatkan sesuatu makanan yang diharamkan buat seseorang, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi — karena sesungguhnya semua itu kotor — atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka Tuhanmu Maha Pengampun dan Maha Penyayang.’” (al-An‘am [6]:145).
Kemudian satu ayat dalam Surah Nahl:
“Maka makanlah yang halal dan baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja beribadah. Allah hanya mengharamkan atasmu memakan bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain nama Allah; tetapit barang siapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (an-Nahl [16]:114-115).
Lalu satu ayat dalam Surah al-Baqarah:
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang ketika disembelih disebut nama Selain nama Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa memakannya sedang dia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” (al-Baqarah [2]:173).
Selanjutnya satu ayat dalam surah al-Ma’idah:
“Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, daging babi, daging hewan yang disembelih selain atas nama Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan diharamkan bagimu yang disembelih untuk berhala. Dan diharamkan pula mengundi nasib dengan anak panah, sebab mengundi nasib dengan anak panah itu adalah suatu kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk mengalahkan agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.”’ (al-Ma’idah [5]:3).
- Yang pertama kali diturunkan dalam hal minuman.
Ayat yang pertama kali diturunkan mengenai khamar ialah satu ayat dalam surah al-Baqarah:
”Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: ’Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.’” (al-Baqarah [2]:219).
Kemudian satu ayat dalam Surah an-Nisa’:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melakukan salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, supaya kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (an-Nisa’ [4]:43).
Lalu satu ayat dalam Surah al-Ma’idah:
”Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum khamar, berjudi, berkorban untuk berhala dan mengundi nasib dengan anak panah itu adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu dengan meminum khamar dan berjudi itu, dan mengalangi kamu dari mengingat Allah dan salat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (al-Ma’idah [5]:90-91).
Dari Ibn Umar; dia berkata: ’’Telah diturunkan tiga ayat mengenai khamar. Yang pertama Mereka bertanya kepadamu tentang khamar… Dikatakan kepada mereka: Khamar itu diharamkan. Maka mereka bertanya: ’Wahai Rasulullah, biarkan kami memanfaatkannya seperti dikatakan Allah.’ Rasulullah diam. Lalu turun ayat ini Janganlah kamu salat sedang kamu dalam keadaan mabuk. Maka dikatakan kepada mereka bahwa khamar itu diharamkan. Tetapi mereka berkata: ‘Wahai Rasulullah, kami tidak akan meminumnya menjelang waktu salat.’ Maka Rasulullah pun diam pula. Lalu turunlah ayat ini Wahai Orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum khamar dan berjudi, maka kata Rasulullah kepada mereka: ’Khamar sudah diharamkan.’”
- Yang pertama kali diturunkan mengenai perang.
Dari Ibn Abbas dikatakan: ’Ayat yang pertama kali diturunkan mengenai perang ialah: Telah diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi, karena mereka telah dianiaya. Dan Allah benar-benar Mahakuasa menolong mereka.” (al-Hajj [22}:39).°
Faedah Pembahasan Ini
Pengetahuan mengenai ayat-ayat yang pertama kali dan terakhir kali diturunkan itu mempunyai banyak faedah, yang terpenting diantaranya adalah:
- Menjelaskan perhatian yang diperoleh Qur’an guna menjaganya dan menentukan ayat-ayatnya. Para sahabat telah menghayati Qur’an ini ayat demi ayat, sehingga mereka mengerti kapan dan dimana ayat itu diturunkan. Mereka telah menerima dari Rasulullah ayat-ayat Qur’an yang diturunkan kepadanya dengan sepenuh hati, hati-hati dan percaya bahwa Qur’an adalah dasar agama, penggerak iman dan sumber kemuliaan serta kehormatannya. Dan ini membawa akibat positif yaitu bahwa Qur’an selamat dari perubahan dan kekacaubalauan. “Sesungguhnya Kamilah yang telah menurunkan Qur’an, dan Kami pulalah yang akan menjaganya.” (al-Hijr [15]:9).
- Mengetahui rahasia perundang-undangan Islam menurut sejarah sumbernya yang pokok. Ayat-ayat Qur’an dapat mengatasi persoalan kejiwaan manusia dengan petunjuk ilahi, dan mengantarkannya dengan cara-cara yang bijaksana dan menempatkan mereka ke tingkat kesempurnaan. Ia dapat bertahan dalam menetapkan hukum-hukum, sehingga dengan demikian cara hidup mereka menjadi benar dan urusan masyarakat berada pada jalan yang lurus.
- Membedakan yang nasikh dengan yang mansukh. Kadang terdapat dua ayat atau lebih dalam satu masalah, tetapi ketentuan hukum dalam satu ayat berbeda dengan ayat lain. Apabila diketahui mana yang pertama diturunkan dan mana yang kemudian, maka ketentuan hukum dalam ayat yang diturunkan kemudian menasakh (menghapus) ketentuan ayat yang diturunkan sebelumnya.
Qur’an diturunkan untuk memberi petunjuk kepada manusia ke arah tujuan yang terang dan jalan yang lurus dengan menegakkan asas kehidupan yang didasarkan pada keimanan kepada Allah dan risalahNya. Juga memberitahukan hal yang telah lalu, kejadian-kejadian yang sekarang serta berita-berita yang akan datang.
Sebagian besar Qur’an pada mulanya diturunkan untuk tujuan umum ini, tetapi kehidupan para sahabat bersama Rasulullah telah menyaksikan banyak peristiwa sejarah, bahkan kadang terjadi di antara mereka peristiwa khusus yang memerlukan penjelasan hukum Allah atau masih kabur bagi mereka. Kemudian mereka bertanya kepada Rasulullah untuk mengetahui hukum Islam mengenai hal itu. Maka Qur’an turun untuk peristiwa khusus tadi atau untuk pertanyaan yang muncul itu. Hal seperti itulah yang dinamakan Asbabun Nuzul.
Perhatian Para Ulama terhadap Asbabun Nuzul
Para penyelidik ilmu-ilmu Qur’an menaruh perhatian besar terhadap pengetahuan tentang Asbabun Nuzul. Untuk menafsirkan Qur’an ilmu ini diperlukan sekali, sehingga ada pihak yang mengkhususkan diri dalam pembahasan mengenai bidang itu. Yang terkenal di antaranya ialah Ali bin Madini, guru Bukhari, kemudian al-Wahidi!
dalam kitabnya Asbabun Nuzul, kemudian al-Ja‘bari yang meringkaskan kitab al-Wahidi dengan menghilangkan isnad-isnadnya, tanpa menambahkan sesuatu. Menyusul Syaikhul Islam Ibn Hajar yang mengarang satu kitab mengenai asbabun nuzul, satu juz dari naskah kitab ini didapatkan oleh as-Suyuti, tetapi ia tidak dapat menemukan seluruhnya, kemudian as-Suyuti yang mengatakan tentang dirinya: Dalam hal ini, aku telah mengarang satu kitab lengkap, singkat dan sangat baik serta dalam bidang ilmu ini belum ada satu kitab pun dapat menyamainya. Kitab itu aku namakan Lubabul Manqul fi Asbabin Nuzul.
Pedoman Mengetahui Asbabun Nuzul
Pedoman dasar para ulama dalam mengetahui asbabun nuzul ialah riwayat sahih yang berasal dari Rasulullah atau dari sahabat. Itu disebabkan pemberitahuan seorang sahabat mengenai hal seperti ini, bila jelas, maka hal itu bukan sekadar pendapat (ra’y), tetapi ia mempunyai hukum marfu‘ (disandarkan pada Rasulullah). Al-Wahidi mengatakan: ’’Tidak halal berpendapat mengenai asbabun nuzul Kitab kecuali dengan berdasarkan pada riwayat atau mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya, mengetahui sebab-sebabnya dan membahas tentang pengertiannya serta bersungguh-sungguh dalam mencarinya.”
Inilah jalan yang ditempuh oleh ulama salaf. Mereka amat berhati-hati untuk mengatakan sesuatu mengenai asbabun nuzul tanpa pengetahuan yang jelas. Muhammad bin Sirin mengatakan: ”Ketika kutanyakan kepada ‘Ubaidah mengenai satu ayat Qur’an, dijawabnya:
Bertakwalah kepada Allah dan berkatalah yang benar. Orang-orang yang Mengetahui mengenai apa Qur’an itu diturunkan telah meninggal.”
Maksudnya, para sahabat. Apabila seorang tokoh ulama semacam lbn Sirin, yang termasuk tokoh tabi‘in terkemuka sudah demikian berhati-hati dan cermat mengenai riwayat dan kata-kata yang menentukan, maka hal itu menunjukkan, orang harus mengetahui benar-benar asbabun nuzul. Oleh karena itu, yang dapat dijadikan pegangan dalam asbabun nuzul adalah riwayat ucapan-ucapan sahabat yang bentuknya seperti musnad, yang secara pasti menunjukkan asbabun nuzul. AsSuyuti berpendapat bahwa bila ucapan seorang tabi‘in secara jelas menunjukkan asbabun nuzul, maka ucapan itu dapat diterima. Dan mempunyai kedudukan mursal bila penyandaran kepada tabi‘in itu benar dan ia termasuk salah seorang imam tafsir yang mengambil ilmunya dari para sahabat, seperti Mujahid, ‘Ikrimah dan Sa‘id bin Jubair serta didukung oleh hadis mursal yang lain.’
Al-Wahidi telah menentang ulama-ulama zamannya atas kecerobohan mereka terhadap riwayat asbabun nuzul. Bahkan ia menuduh mereka pendusta dan mengingatkan mereka akan ancaman berat, dengan mengatakan: ’Sekarang, setiap orang suka mengada-ada dan berbuat dusta; ia menempatkan kedudukannya dalam kebodohan, tanpa memikirkan ancaman berat bagi orang yang tidak mengetahui sebab turunnya ayat.”
Definisi Sebab Nuzul
Setelah diselidiki, sebab turunnya sesuatu ayat itu berkisar pada dua hal:
- Bila terjadi suatu peristiwa, maka turunlah ayat Qur’an mengenai peristiwa itu. Hal itu seperti diriwayatkan dari Ibn Abbas, yang mengatakan: ;
”’Ketika turun: Dan peringatkanlah kerabat-kerabatmu yang terdekat, Nabi pergi dan naik ke bukit Safa, lalu berseru: ’Wahai kaumku!’ Maka mereka berkumpul ke dekat Nabi. Ia berkata lagi: ’Bagaimana pendapatmu bila aku beritahukan kepadamu bahwa di balik gunung ini ada sepasukan berkuda yang hendak menyerangmu, percayakah kamu apa yang kukatakan?’ Mereka menjawab: ’Kami belum pernah melihat engkau berdusta.” Dan Nabi melanjutkan: ’Aku memperingatkan kamu tentang siksa yang pedih.’ Ketika itu: Abu Lahab lalu berkata:? ’Celakalah engkau; apakah engkau mengumpulkan kami hanya untuk urusan ini?’ Lalu ia berdiri. Maka turunlah surah ini Celakalah kedua tangan Abu Lahab.
- Bila Rasulullah ditanya tentang sesuatu hal, maka turunlah ayat Qur’an menerangkan hukumnya. Hal itu seperti ketika Khaulah binti Sa‘labah dikenakan zihdr’! oleh suaminya, Aus bin Samit. Lalu ia datang kepada Rasulullah mengadukan hal itu. Aisyah berkata: “Mahasuci Allah yang pendengaran-Nya meliputi segalanya. Aku mendengar ucapan Khaulah binti Sa‘labah itu, sekalipun tidak seluruhnya. Ia mengadukan suaminya kepada Rasulullah. Katanya: ’Rasulullah, suamiku telah menghabiskan masa mudaku dan sudah beberapa kali aku mengandung karenanya, sekarang, setelah aku menjadi tua dan tidak beranak lagi, ia menjatuhkan zihar kepadaku! Ya Allah sesungguhnya aku mengadu kepada-Mu.” Aisyah berkata: ’Tiba-tiba Jibril turun membawa ayat-ayat ini: Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan perempuan yang mengadu kepadamu tentang suaminya, yakni Aus bin Samit.”
Tetapi hal ini tidak berarti bahwa setiap orang harus mencari sebab turun setiap ayat, karena tidak semua ayat Qur’an diturunkan karena timbul suatu peristiwa dan kejadian, atau karena suatu pertanyaan. Tetapi ada di antara ayat Qur’an yang diturunkan sebagai permulaan, tanpa sebab, mengenai akidah iman, kewajiban Islam dan syariat Allah dalam kehidupan pribadi dan sosial. Al-Ja‘bari menyebutkan: ’Qur’an diturunkan dalam dua kategori: yang turun tanpa sebab, dan yang turun karena suatu peristiwa atau pertanyaan.”
Oleh sebab itu, maka asbabun nuzul didefinisikan sebagai ”Sesuatu hal yang karenanya Qur’an diturunkan untuk menerangkan status (hukum)nya, pada masa hal itu terjadi, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan.”
Rasanya suatu hal yang berlebihan bila kita memperluas pengertian asbabun nuzul dengan membentuknya dari berita-berita tentang generasi terdahulu dan peristiwa-peristiwa masa lalu. As-Suyuti dan orang-orang yang banyak memperhatikan asbabun nuzul mengatakan bahwa ayat itu tidak turun di saat-saat terjadinya sebab. la mengatakan demikian itu karena hendak mengkritik atau membatalkan apa yang dikatakan oleh al-Wahidi dalam menafsirkan surah al-Fil, bahwa sebab turun surah tersebut adalah kisah datangnya orang-orang Habsyah. Kisah ini sebenarnya sedikit pun tidak termasuk ke dalam asbabun nuzul. Melainkan termasuk kategori berita peristiwa masa lalu, seperti halnya kisah kaum Nabi Nuh, kaum ‘Ad, kaum Samud, pembangunan Ka‘bah dan lain-lain yang serupa itu. Demikian pula mengenai ayat Dan Allah telah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya asbabun nuzulnya adalah karena Ibrahim dijadikan kesayangan Allah. Seperti sudah diketahui, hal itu sedikit pun tidak termasuk ke dalam asbabun nuzul.
Perlunya Mengetahui Asbabun Nuzul
Pengetahuan mengenai asbabun nuzul mempunyai banyak faedah, yang terpenting di antaranya:
- Mengetahui hikmah diundangkannya suatu hukum dan perhatian syara‘ terhadap kepentingan umum dalam menghadapi segala peristiwa, karena sayangnya kepada umat.
- Mengkhususkan (membatasi) hukum yang diturunkan dengan sebab yang terjadi, bila hukum itu dinyatakan dalam bentuk umum. Ini bagi mereka yang berpendapat bahwa “yang menjadi pegangan adalah sebab yang khusus dan bukannya lafal yang umum’’. Masalah ini sebenarnya merupakan masalah khilafiah, yang akan kami jelaskan nanti. Sebagai contoh dapat dikemukakan di sini firman Allah:
“Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka untuk dipuji dengan perbuatan yang belum mereka kerjakan, janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa; dan bagi mereka siksa yang pedih.” (Ali ‘Imran [3]:188).
Diriwayatkan bahwa Marwan berkata kepada penjaga pintunya: “Pergilah, hai Rafi‘, kepada Ibn Abbas dan katakan kepadanya: Sekiranya setiap orang di antara kita yang bergembira dengan apa yang telah dikerjakan dan ingin dipuji dengan perbuatan yang belum dikerjakannya itu akan disiksa, tentulah kita semua akan disiksa.” Ibn Abbas menjawab: ’Mengapa kamu berpendapat demikian mengenai ayat ini? Ayat ini turun berkenaan dengan Ahli Kitab.” Kemudian ia membaca ayat: Dan ingatlah ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi Kitab… (Ali ‘Imran [3):187).” Kata Ibn Abbas: ’Rasulullah menanyakan kepada mereka tentang sesuatu, mereka menyembunyikannya, lalu mengambil persoalan Jain dan itu yang mereka tunjukkan kepadanya. Setelah itu mereka pergi, dan menganggap bahwa mereka telah memberitahukan kepada Rasulullah apa yang ditanyakannya kepada mereka. Dengan perbuatan itu mereka ingin dipuji oleh Rasulullah dan mereka bergembira dengan apa yang telah mereka kerjakan, yaitu menyembunyikan apa yang ditanyakan kepada mereka itu.”
- Apabila lafal yang diturunkan itu lafal yang umum dan terdapat dalil atas pengkhususannya, maka pengetahuan mengenai asbabun nuzul membatasi pengkhususan itu hanya terhadap yang selain bentuk sebab. Dan bentuk sebab ini tidak dapat dikeluarkan (dari cakupan lafal yang umum itu), karena masuknya bentuk sebab ke dalam lafal yang umum itu bersifat gat‘i (pasti). Maka ia tidak boleh dikeluarkan melalui ijtihad, karena ijtihad itu bersifat zanni (dugaan). Pendapat ini dijadikan pegangan oleh ulama umumnya. Contoh yang demikian digambarkan dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya orang yang menuduh (berzina) perempuan baik-baik yang tidak tahu-menahu dan beriman, mereka kena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar, pada hari (ketika) lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka mengenal apa yang telah mereka kerjakan dulu. Pada hari itu Allah akan memberi mereka balasan setimpal menurut yang semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allah-lah Yang Benar, lagi Yang menjelaskan (segala sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya).” (an-Nur [24}:2325).
Ayat ini turun berkenaan dengan Aisyah secara khusus; atau de. ngan Aisyah dan istri-istri Nabi lainnya. Diriwayatkan dari Ibn Abbas, firman Allah ’Sesungguhnya orang yang menuduh perempuan-perem. puan yang baik-baik” itu turun berkenaan dengan Aisyah secara khusus.!” Dari Ibn Abbas pula dan masih mengenai ayat tersebut: “Ayat itu berkenaan dengan Aisyah dan istri-istri Nabi. Allah tidak menerima tobat orang yang melakukan hal itu (menuduh mereka berzina), dan menerima tobat orang yang menuduh seorang perempuan dj antara perempuan-perempuan beriman selain istri-istri Nabi.” Kemudian Ibn Abbas membacakan: ’Dan orang-orang yang menuduh perempuan baik-baik…” sampai dengan ”…kecuali orang-orang yang bertobat.” (an-Nur [24]:4-5).
Atas dasar ini, maka penerimaan tobat orang yang menuduh zina (sebagaimana dinyatakan dalam Surah an-Nur [24]:4-5) ini, sekalipun merupakan pengkhususan dari keumuman firman Allah ’Sesungguhnya orang-orang yang menuduh perempuan baik-baik yang lengah lagi beriman”, tidaklah mencakup dengan pengkhususan ini orang yang menuduh Aisyah atau istri-istri Nabi yang lain. Karena yang terakhir ini tidak ada-tobatnya, mengingat masuknya sebab (yakni, orang menuduh Aisyah atau istri-istri Nabi) ke dalam cakupan makna lafal yang umum itu bersifat gat‘i (pasti).
- Mengetahui sebab nuzul adalah cara terbaik untuk memahami makna Qur’an dan menyingkap kesamaran yang tersembunyi dalam ayat-ayat yang tidak dapat ditafsirkan tanpa mengetahui sebab nuzulnya. Al-Wahidi menjelaskan: ’Tidaklah mungkin mengetahui tafsir ayat tanpa mengetahui sejarah dan penjelasan sebab turunnya.” Ibn Daqiqil ‘Id berpendapat, ’Keterangan tentang sebab nuzul adalah cara yang kuat (tepat) untuk memahami makna Qur’an. Ibn Taimiyah mengatakan: ’Mengetahui sebab nuzul akan membantu dalam memahami ayat, karena mengetahui sebab menimbulkan pengetahuan mengenai musabab (akibat).”
Contohnya, antara Jain, kesulitan Marwan bin al-Hakam dalam memahami ayat yang baru disebutkan tadi, “Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka untuk dipuji dengan perbuatan yang belum mereka kerjakan — janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa — dan bagi mereka siksa yang pedih.” (Ali ‘Imran [3]:187), sampai Ibn Abbas menjelaskan kepadanya sebab nuzul ayat itu.
Contoh lain ialah ayat:
“Sesungguhnya Safa dan Marwa adalah sebagian dari syi‘ar Allah. Maka barang siapa beribadah haji ke Baitullah tau berumrah, maka tidak ada dosa baginya untuk mengerjakan sa‘i di antara keduanya. Dan barangsiapa mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan dan Maha Mengetahui.” (al-Baqarah [2]:158).
Lafal ayat ini secara tekstual tidak menunjukkan bahwa sa‘i itu wajib, sebab ketiadaan dosa untuk mengerjakannya itu menunjukkan “kebolehan” dan bukannya “kewajiban.” Sebagian ulama juga berpendapat demikian, karena berpegang pada arti tekstual ayat itu.” Aisyah telah menolak pemahaman ‘Urwah ibnuz Zubair seperti itu, dengan sebab nuzul ayat tersebut, yaitu bahwa para sahabat merasa keberatan bersa‘i antara Safa dan Marwa karena perbuatan itu berasal dari perbuatan jahiliah. Di Safa terdapat “Isaf’ dan di Marwa terdapat “Na’ilah”. Keduanya adalah berhala yang biasa diusap orang jahiliah ketika mengerjakan sa‘i. Sumber dari Aisyah menyebutkan bahwa ‘Urwah berkata kepadanya: ’’Bagaimana pendapatmu mengenai firman Allah ‘Sesungguhnya Safa dan Marwa adalah sebagian dari syi‘ar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa baginya untuk mengerjakan sa‘i di antara keduanya?’ Aku sendiri tidak berpendapat bahwa seseorang itu berdosa bila ia tidak melakukan sa‘i itu! Aisyah menjawab: ’Alangkah buruknya pendapatmu itu, wahai anak saudaraku. Sekiranya maksud ayat itu seperti yang engkau takwilkan, niscaya ayat itu’ berbunyi ‘tidak ada dosa bagi orang yang tidak melakukan sa‘i.’ Tetapi ayat itu turun karena orang-orang Ansar sebelum masuk Islam biasa mendatangi “Manat” yang zalim itu dan menyembahnya. Orang yang dulu menyembahnya tentu keberatan untuk bersa‘i di antara Safa dan Marwa. Maka Allah menurunkan ’Sesungguhnya Safa dan Marwa…”’, kata Aisyah: ’Selain itu, Rasulullah pun telah menjelaskan sa‘i di antara keduanya. Maka tak seorang pun dapat meninggalkan sa‘i di antara keduanya.””
- Sebab nuzul dapat menerangkan tentang siapa ayat itu diturunkan sehingga ayat tersebut tidak diterapkan kepada orang lain karena dorongan permusuhan dan perselisihan. Seperti disebutkan mengenai firman Allah:
“Dan orang yang berkata kepada kedua ibu-bapaknya: ’Cis bagi kamu berdua, apakah kamu berdua memperingatkan aku bahwa aku akan dibangkitkan, padahal sungguh telah berlalu beberapa umat sebelumku?’ Lalu kedua ibu-bapaknya itu memohon pertolongan kepada Allah seraya berkata: ’Celaka kamu, berimanlah! Sesungguhnya janji Allah adalah benar’, lalu ia berkata: ‘Ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu belaka.’” (al-Ahqaf [46]:17).
Mu‘awiyah bermaksud mengangkat Yazid menjadi khalifah, dan ia mengirim surat kepada Marwan, gubernurnya di Medinah, mengenai hal itu. Karena itu Marwan lalu mengumpulkan rakyat kemudian berpidato dan mengajak mereka membaiat Yazid. Tetapi Abdurrahman bin Abu Bakar tidak mau membaiatnya. Maka hampir saja Marwan melakukan hal tidak terpuji kepada Abdurrahman bin Abu Bakar sekiranya ia tidak segera masuk ke rumah Aisyah. Marwan berkata: ”Orang inilah yang dimaksud ayat: ’Dan orang yang berkata kepada ibu-bapaknya: ’Cis bagi kamu berdua, apakah kamu berdua memperingatkan aku bahwa aku akan dibangkitkan, padahal sungguh telah berlalu beberapa umat sebelumku?’” Aisyah menolak/membantah pendapat Marwan tersebut dan menjelaskan sebab turunnya.
Riwayat Yusuf bin Mahik, menyebutkan: ‘Marwan berada di Hijaz. Ia telah diangkat menjadi gubernur oleh Mu‘awiyah bin Abu Sufyan, lalu berpidatolah ia. Dalam pidatonya itu ia menyebutkan nama Yazid bin Mu‘awiyah agar dibaiat sesudah ayahnya. Ketika itu Abdurrahman bin Abu Bakar mengatakan sesuatu. Lalu kata Marwan: ’Tangkaplah dia.” Kemudian Abdurrahman masuk ke rumah Aisyah sehingga mereka tidak bisa menangkapnya. Kata Marwan: ‘Itulah orang yang menjadi kasus sehingga Allah menurunkan ayat: (Dan orang yang berkata kepada ibu-bapaknya: Cis bagi kamu berdua).’ Maka kata Aisyah: ’Allah tidak pernah menurunkan sesuatu ayat Qur’an mengenai kasus seseorang di antara kami kecuali ayat yang melepaskan aku dari tuduhan berbuat jahat.’?? Dan dalam beberapa riwayat dinyatakan: “Bahwa ketika Marwan meminta agar Yazid dibaiat, ia berkata: ‘(Pembaiatan init adalah) tradisi Abu Bakar dan Umar.” Abdurrahman berkata: “Tradisi Hercules dan Kaisar.” Maka kata Marwan: ‘Inilah orang yang dikatakan Allah di dalam Qur’an, Dan orang yang berkata kepada ibu-bapaknya: Cis bagi kamu_ berdua… Kemudian perkataan Marwan demikian itu sampai kepada Aisyah, maka kata Aisyah: “Marwan telah berdusta. Demi Allah, maksud ayat ttu tidaklah demikian. Sekiranya aku mau menyebutkan mengenai siapa ayat itu turun, tentulah aku sudah menyebutkannya.”
Yang Menjadi Pegangan Adalah Lafal yang Umum, bukan Sebab yang Khusus
Apabila ayat yang diturunkan sesuai dengan sebab secara umum, atau sesuai dengan sebab secara khusus, maka yang umum (‘amm) diterapkan pada keumumannya dan yang khusus (khass) pada kekhususannya. Contoh yang pertama ialah firman Allah:
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: ’Haid adalah suatu kotoran.’ Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (al-Baqarah [2]:222).
Anas berkata: ’Bila istri orang-orang Yahudi haid, mereka dikeluarkan dari rumah, tidak diberi makan dan minum, dan di dalam rumah tidak boleh bersama-sama. Lalu Rasulullah ditanya tentang hal itu, maka Allah menurunkan: Mereka bertanya kepadamu tentang haid… Kemudian kata Rasulullah:
”Bersama-samalah dengan mereka di rumah, dan perbuatlah segala sesuatu kecuali menggaulinya.”
Contoh kedua ialah firman-Nya:
“Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa itu dari neraka; yang menafkahkan hartanya di jalan Allah untuk membersihkannya; padahal tidak ada seorang pun yang memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya; tetapi ia memberikan itu semua semata-mata karena mencari keridaan Allah, Tuhannya Yang Mahatinggi. Dan kelak ia benar-benar mendapatkan kepuasan.” (al Lail [92]:17-21).
Ayat-ayat di atas diturunkan mengenai Abu Bakar. Kata al-atqa (orang yang paling takwa) menurut tasrif berbentuk af‘al untuk menunjukkan arti superlatif, tafdil yang disertai al-‘adiyah (kata sandang yang menunjukkan bahwa kata yang dimasukinya itu telah diketahui maksudnya), sehingga ia dikhususkan bagi orang yang karenanya ayat itu diturunkan. Kata sandang a/ menunjukkan arti umum bila ia berfungsi sebagai kata ganti penghubung (isim mausul) atau mu‘arrifah (berfungsi memakrifatkan) bagi kata jamak, menurut pendapat yang kuat. Sedang al dalam kata al-atqa bukan kata ganti penghubung, sebab kata ganti penghubung tidak dirangkaikan dengan bentuk superlatif; lagi pula al-atqa bukan kata jamak, melainkan kata tunggal. Al-‘ahdu atau apa yang telah diketahui itu sendiri sudah ada, di samping bentuk superlatif af‘al itu khusus menunjukkan yang membedakan. Dengan demikian, hal ini telah cukup untuk membatasi makna ayat pada orang yang karenanya ayat itu diturunkan. Oleh sebab itu, al-Wahidi berkata: ’Al-atqa adalah Abu Bakar as-Siddiq menurut pendapat para ahli tafsir.”
Menurut ‘Urwah, Abu Bakar telah memerdekakan tujuh orang budak yang disiksa karena membela agama Allah: Bilal, ‘Amir bin Fuhairah, Nahdiyah dan anak perempuannya, Umm ‘Isa dan budak perempuan Bani Mau’il. Untuk itu turunlah ayat ’“Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa itu dari neraka” sampai dengan akhir surah.
Hal yang serupa diriwayatkan dari ‘Amir bin Abdullah bin Zubair, yang menambahkan: ’Maka berkenaan dengan Abu Bakar tersebut turunlah ayat ini (Adapun orang yang memberikan hartanya di jalan Allah dan bertakwa) sampai dengan (padahal tidak ada seorang pun yang memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya; tetapi ia memberikan itu semua semata-mata karena mencari keridaan Tuhannya Yang Mahatinggi; dan kelak benar-benar ia mendapatkan kepuasan).
Jika sebab itu khusus, sedang ayat yang turun berbentuk umum, maka para ahli usu! berselisih pendapat: yang dijadikan pegangan itu lafal yang umum ataukah sebab yang khusus?
- Jumhur ulama berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah lafal yang umum dan bukan sebab yang khusus. Hukum yang diambil dari lafal yang umum itu melampaui bentuk sebab yang khusus sampai pada hal-hal yang serupa dengan itu. Misalnya ayat li’an yang turun mengenai tuduhan Hilal bin Umayah kepada istrinya,
’Dari Ibn Abbas, Hilal bin Umayah menuduh istrinya telah berbuat zina dengan Syuraik bin Sahma’ di hadapan Nabi. Maka Nabi berkata: ’Harus ada bukti, bila tidak maka punggungmu yang didera.”’ Hilal berkata: ’Wahai Rasulullah, apabila salah seorang di antara kami melihat seorang laki-laki mendatangi istrinya; apakah ia harus mencari bukti?’ Rasulullah menjawab: ’Harus ada bukti, bila tidak maka punggungmu yang didera.’ Hilal berkata: “Demi Yang mengutus engkau dengan kebenaran, sesungguhnyalah perkataanku itu benar dan Allah benar-benar akan menurunkan apa yang membebaskan punggungku dari dera.’ Maka turunlah Jibril dan menurunkan kepada Nabi: (Dan orang-orang yang menuduh istrinya) sampai dengan (jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar) (an-Nur [24]:6-9).
Hukum yang diambil dari lafal umum ini (Dan orang-orang yang menuduh istrinya) tidak hanya mengenai peristiwa Hilal, tetapi diterapkan pula pada kasus serupa lainnya tanpa memerlukan dalil lain.
Inilah pendapat yang kuat dan paling sahih. Pendapat ini sesuai dengan keumuman (universalitas) hukum-hukum syariat. Dan ini pulalah jalan yang ditempuh para sahabat dan para mujtahid umat ini. Mereka menerapkan hukum ayat-ayat tertentu kepada peristiwa-peristiwa lain yang bukan merupakan sebab turunnya ayat-ayat tersebut. Misalnya ayat zihar dalam kasus Aus bin Samit, atau Salamah bin Sakhr sesuai dengan riwayat mengenai hal itu yang berbeda-beda. Berdalil dengan keumuman redaksi ayat-ayat yang diturunkan untuk sebab-sebab khusus sudah populer di kalangan para ahli. Ibn Taimiyah mengatakan: ’’Hal yang demikian ini sering kali terjadi. Dan termasuk ke dalam bab ini adalah ucapan mereka: Ayat ini diturunkan dalam _ hal seperti ini; khususnya apabila yang disebutkan itu orang tertentu. Seperti ucapan mereka: Ayat zihar itu turun mengenai istri Aus bin Samit, dan ayat kalalah turun mengenai Jabir bin Abdullah; dan firman-Nya (dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka. (al-Ma’idah [5]:49) turun mengenai Bani Quraizah dan Bani Nadir.
Begitu pula mereka menyebutkan bahwa ayat ini turun mengenai kaum musyrikin Mekah, atau kaum Yahudi dan Nasrani, atau kaum yang beriman. Pernyataan ini tidak dimaksudkan bahwa hukum ayat, ayat tersebut hanya berlaku khusus bagi orang-orang itu dan tidak berlaku bagi orang lain. Hal sedemikian sama sekali tidak akan dikatakan oleh seorang Muslim atau orang yang berakal. Sebab, sekalipun mereka (para ulama) berselisih pendapat tentang lafal umum yang turun berdasarkan sesuatu sebab, adakah lafal umum itu hanya berlaku khusus bagi sebab turunnya itu? Tetapi tak seorang pun di antara mereka yang mengatakan bahwa keumuman Kitab dan Sunnah itu di. khususkan kepada orang-orang tertentu. Yang mereka katakan ialah: Ayat yang umum itu khusus mengenai ”jenis” perkara orang tersebut, sehingga berlaku umum bagi kasus yang serupa dengannya. Keumuman ayat tidak hanya didasarkan pada keumuman lafal. Ayat yang mempunyai sebab tertentu, bila berupa perintah atau larangan, berlaku bagi orang (sebab) itu dan orang lain yang kedudukannya sama dengannya. Apabila ayat itu berisi pujian atau celaan, maka pujian dan celaan itu ditujukan kepada orang tersebut dan orang lain yang sama kedudukannya.”
- Segolongan ulama berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang khusus, bukan lafal yang umum; karena lafal yang umum itu menunjukkan bentuk sebab yang khusus. Oleh karena itu untuk dapat diberlakukan kepada kasus selain sebab diperlukan dalil lain seperti kias dan sebagainya, sehingga pemindahan riwayat sebab yang khusus itu mengandung faedah; dan sebab tersebut sesuai dengan musababnya seperti halnya pertanyaan dengan jawabannya.
Redaksi Sebab Nuzul
Bentuk redaksi yang menerangkan sebab nuzul itu terkadang berupa pernyataan tegas mengenai sebab dan terkadang pula berupa pernyataan yang hanya mengandung kemungkinan mengenainya. Bentuk pertama ialah jika perawi mengatakan: ’Sebab nuzul ayat ini adalah begini”, atau menggunakan fa ta‘qibiyah (kira-kira seperti ’maka”, yang menunjukkan urutan peristiwa) yang dirangkaikan dengan kata “turunlah ayat”, sesudah ia menyebutkan peristiwa atau pertanyaan. Misalnya, ia mengatakan: *Telah terjadi peristiwa begini”, atau “Rasulullah ditanya tentang hal begini, maka turunlah ayat ini.” Dengan demikian, kedua bentuk di atas merupakan pernyataan yang jelas tentang sebab. Contoh-contoh untuk kedua hal ini akan kami jelaskan lebih lanjut.
Bentuk kedua, yaitu redaksi yang bolehjadi menerangkan sebab nuzul atau hanya sekedar menjelaskan kandungan hukum ayat ialah pila perawi mengatakan: “Ayat ini turun mengenai ini.’ Yang dimaksud dengan ungkapan (redaksi) ini terkadang sebab nuzul ayat dan terkadang pula kandungan hukum ayat tersebut.
Demikian juga bila ia mengatakan: “Aku mengira ayat ini turun mengenai soal begini’” atau ” Aku tidak mengira ayat ini turun kecuali mengenai hal yang begini.” Dengan bentuk redaksi demikian ini, perawi tidak memastikan sebab nuzul. Kedua bentuk redaksi tersebut mungkin menunjukkan sebab nuzul dan mungkin pula menunjukkan lain. Contoh pertama ialah apa yang diriwayatkan dari Ibn Umar, yang mengatakan:
“Ayat Istri-istri kamu adalah ibarat tanah tempat kamu bercocok tanam (al-Baqarah (2]:223) turun berhubungan dengan masalah menggauli istri dari belakang.”
Contoh kedua ialah apa yang diriwayatkan dari Abdullah bin Zubair, bahwa Zubair mengajukan gugatan kepada seorang laki-laki dari kaum Ansar yang pernah ikut dalam Perang Badar bersama Nabi, di hadapan Rasulullah tentang saluran air yang mengalir dari tempat yang tinggi; keduanya mengairi kebun kurma masing-masing dari situ. Orang Ansar berkata: ”Biarkan airnya mengalir.’ Tetapi Zubair menolak. Maka kata Rasulullah: ’Airi kebunmu itu Zubair, kemudian biarkan air itu mengalir ke kebun tetanggamu.” Orang Ansar itu marah, katanya: ”Rasulullah, apa sudah waktunya anak bibimu itu ber. buat demikian?” Wajah Rasulullah menjadi merah. Kemudian ia ber. kata: ’Airi kebunmu Zubair, kemudian tahanlah air itu hingga memenuhi pematang; lalu biarkan ia mengalir ke kebun tetanggamu.” Rasulullah dengan keputusan ini telah memenuhi hak Zubair, padahal sebelum itu ia mengisyaratkan keputusan yang memberikan kelonggaran kepadanya dan kepada orang Ansar itu. Ketika Rasulullah marah kepada orang Ansar, ia memenuhi hak Zubair secara nyata. Maka kata Zubair: ”’Aku tidak mengira ayat berikut ini turun kecuali mengenai urusan tersebut: Maka demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan.” (an-Nisa’ [4]:65).
Ibn Taimiyah mengatakan: ’Ucapan mereka bahwa ’ayat inj turun mengenai urusan ini’, terkadang dimaksudkan sebagai penjelasan mengenai sebab nuzul, dan terkadang dimaksudkan bahwa urusan itu termasuk ke dalam cakupan ayat walaupun tidak ada sebab nuzulnya. Para ulama berselisih pendapat mengenai ucapan sahabat: “Ayat ini turun mengenai urusan ini’; apakah ucapan seperti ini berlaku sebagai hadis musnad seperti kalau dia menyebutkan sesuatu sebab yang karenanya ayat diturunkan ataukah berlaku sebagai tafsir dari sahabat itu. sendiri dan bukan musnad? Bukhari memasukkannya ke dalam kategori hadis musnad, sedang yang lain tidak memasukkannya. Dan sebagian besar hadis musnad itu menurut istilah atau pengertian ini, seperti Musnad Ahmad dan lain-lain. Berbeda halnya bila sahabat menyebutkan sesuatu sebab yang sesudahnya diturunkan ayat. Bila demikian, maka mereka semua memasukkan pernyataan seperti ini ke dalam hadis musnad.” Zarkasyi dalam al-Burhadn menyebutkan: ”Telah diketahui dari kebiasaan para sahabat dan tabi‘in bahwa apabila salah seorang dari mereka berkata: “Ayat ini turun mengenai
HALAMAN 123
datangi istri dari belakang.” Bentuk redaksi riwayat dari Ibn Umar ini tidak dengan tegas menunjukkan sebab nuzul. Sementara itu terdapat riwayat yang secara tegas menyebutkan sebab nuzul yang bertentangan dengan riwayat tersebut. Melalui Jabir dikatakan: ”Orang-orang Yahudi berkata: ’Apabila seorang laki-laki mendatangi istrinya dari belakang, maka anaknya nanti akan bermata juling.” Maka turunlah ayat Istri-istrimu itu adalah ibarat tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki)”, Maka Jabir inilah yang dijadikan pegangan, karena ucapannya merupakan pernyataan tegas tentang sebab nuzul. Sedang ucapan Ibn Umar, tidaklah demikian; karena itulah ia dipandang sebagai kesimpulan atau penafsiran.
- Apabila riwayat itu banyak dan semuanya menegaskan sebab nuzul, sedang salah satu riwayat di antaranya itu sahih, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang sahih. Misalnya, apa yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan ahli hadis lainnya, dari Jundub al-Bajali:
“Nabi menderita sakit, hingga dua atau tiga malam tidak bangun malam. Kemudian datanglah seorang perempuan kepadanya dan berkata: “Muhammad, kurasa setanmu sudah meninggalkanmu; selama dua tiga malam ini sudah tidak mendekatimu lagi.” Maka Allah menurunkan firman ini (Demi waktu duha; dan demi malam apabila telah sunyi; Tuhanmu tiada meninggalkanmu dan tidaklah benci kepadamu).”
Sementara itu Tabarani dan Ibn Abi Syaibah meriwayatkan, dari Hafs bin Maisarah, dari ibunya, dari budak perempuannya pembantu Rasulullah:
“Bahwa seekor anak anjing telah masuk ke dalam rumah Nabi, lalu masuk ke kolong tempat tidur dan mati. Karenanya selama empat hari tidak turun wahyu kepadanya. Nabi berkata: ’Khaulah, apa yang telah terjadi di rumah Rasulullah ini? Sehingga Jibril tidak datang kepadaku!’ Dalam hati aku berkata: ’Alangkah baiknya andai aku membenahi rumah ini dan menyapunya.’ Lalu aku menyapu kolong tempat tidurnya, maka kukeluarkan seekor anak anjing. Lalu datanglah Nabi sedang janggutnya tergetar. Apabila turun wahyu kepadanya ia tergetar. Maka Allah menurunkan (Demi waktu duha) sampai dengan (lalu hatimu menjadi puas).”
Ibn Hajar dalam Syarah Bukhari berkata: ”Kisah terlambatnya Jibril karena adanya anak anjing itu cukup masyhur. Tetapi bahwa kisah itu dijadikan sebagai sebab turun ayat adalah suatu hal yang ganjil (garib). Dalam isnad hadis itu terdapat orang yang tidak dikenal. Maka yang menjadi pegangan ialah riwayat dalam Sahih Bukhari dan Muslim.”
- Apabila riwayat-riwayat itu sama-sama sahih namun terdapat segi yang memperkuat salah satunya, seperti kehadiran perawi dalam kisah tersebut, atau salah satu dari riwayat-riwayat itu lebih sahih, maka riwayat yang lebih kuat itulah yang didahulukan. Contohnya ialah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibn Mas‘ud yang mengatakan:
”Aku berjalan dengan Nabi di Medinah. Ia berpegang pada tongkat dari pelepah pohon kurma. Dan ketika melewati serombongan orang-orang Yahudi, seseorang di antara mereka berkata: “Coba kamu tanyakan sesuatu kepadanya.’ Lalu mereka menanyakan: ’Ceritakan kepada kami tentang roh,’ Nabi berdiri sejenak dan mengangkat kepala. Aku tahu bahwa wahyu tengah turun kepadanya. Wahyu itu turun hingga selesai. Kemudian ia berkata: (”Katakanlah: Roh itu termasuk urusan Tuhanku; dan kamu tidak diberi pengetahuan metainkan sedikit).” (al-Isra’ [17]:85).
Diriwayatkan dan disahihkan oleh Tirmizi, dari Ibn Abbas yang mengatakan:
”Orang Quraisy berkata kepada orang Yahudi: ’Berilah kami suatu persoalan untuk kami tanyakan kepada orang ini (Muhammad).’ Mereka menjawab: ’Tanyakan kepadanya tentang roh.’ Lalu mereka tanyakan kepada Nabi. Maka Allah menurunkan: (Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah Roh itu termasuk urusan Tuhanku).”
Riwayat ini memberi kesan bahwa ayat itu turun di Mekah, tempat adanya kaum Quraisy. Sedang riwayat pertama memberi kesan turun di Medinah. Riwayat pertama dikukuhkan karena Ibn Mas‘ud hadir dalam atau menyaksikan kisah tersebut. Di samping itu umat juga telah terbiasa untuk lebih menerima hadis Sahih Bukhari dan memandangnya lebih kuat dari hadis Sahih yang dinyatakan oleh lainnya.
Zarkasyi berpendapat, contoh seperti ini termasuk ke dalam bab “banyak dan berulangnya nuzul.” Dengan demikian, ayat di atas turun dua kali, sekali di Mekah dan sekali lagi di Medinah. Dan yang menjadi sandaran untuk hal itu ialah bahwa surah ’Subhana’ atau alIsra’ adalah Makki menurut kesepakatan.
Kami sendiri berpendapat, kalaupun surah itu Makki sifatnya, namun tidak dapat ditolak apabila satu ayat atau lebih dari surat tersebut itu Madani. Apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibn Mas‘ud di atas menunjukkan bahwa ayat ini (Katakanlah: Roh itu termasuk urusan Tuhanku; dan kamu tidak diberi pengetahuan melainkan sedikit) adalah Madani. Karena itu pendapat yang kami pilih, yaitu menguatkan (tarjih) riwayat Ibn Mas‘ud atas riwayat Tirmizi dan Ibn Abbas, lebih baik daripada memvonis ayat tersebut dengan banyak dan berulangnya nuzul. Sekiranya benar bahwa ayat tersebut Makki dan diturunkan sebagai jawaban atas suatu pertanyaan, maka pengulangan pertanyaan yang sama di Medinah tidak menuntut penurunan wahyu dengan jawaban yang sama pula, sekali lagi. Tetapi yang dituntut adalah agar Rasulullah menjawabnya dengan jawaban yang telah turun sebelumnya.
- Apabila riwayat-riwayat tersebut sama kuat, maka riwayat. riwayat itu. dipadukan atau dikompromikan bila mungkin; hingga dinyatakan bahwa ayat tersebut turun sesudah terjadi dua buah sebab atau lebih karena jarak waktu di antara sebab-sebab itu berdekatan, Misalnya, ayat li‘an “Dan orang yang menuduh istrinya berbuat zina…” (an-Nur [24]:6-9). Bukhari, Tirmizi dan Ibn Majah meriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa ayat tersebut turun mengenai Hilal bin Umayah yang menuduh istrinya telah berbuat serong dengan Syuraik bin Sahma’, di hadapan Nabi, seperti telah kami sebutkan di atas.?
Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan yang lain, dari Sahl bin Sa‘d: ”Uwaimir datang kepada ‘Asim bin ‘Adi, lalu_berkata: “Tanyakan kepada Rasulullah tentang seorang laki-laki yang mendapati istrinya bersama-sama dengan laki-laki lain; apakah ia harus membunuhnya sehingga ia diqisas atau apakah yang harus ia lakukan…?” Kedua riwayat ini dapat dipadukan, yaitu bahwa peristiwa Hilal terjadi lebih dahulu, dan kebetulan pula ‘Uwaimir mengalami kejadian serupa; maka turunlah ayat yang berkenaan dengan urusan kedua orang itu sesudah terjadi kedua peristiwa tadi. Ibn Hajar berkata: ”Banyaknya sebab nuzul itu tidak menjadi soal.”
- Bila riwayat-riwayat itu tidak bisa dikompromikan karena jarak waktu antara sebab-sebab tersebut berjauhan, maka hal yang demikian dibawa kepada atau dipandang sebagai banyak dan berulangnya nuzul. Misalnya, apa yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dari alMusayyab, ia berkata:
“Ketika Abu Talib dalam keadaan sekarat, Rasulullah menemuinya. Dan di sebelahnya (Abu Talib) ada Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah. Maka kata Nabi: ’Pamanda, ucapkanlah la ilaha illallah. Karena dengan kalimat itu kelak aku dapat memintakan keringanan bagi paman di sisi Allah.’ Abu Jahal dan Abdullah berkata: ’Abu Talib, apakah engkau sudah tidak menyukai agama Abdul Muttalib?’ Kedua orang itu terus berbicara kepada Abu Talib sehingga masing-masing mengatakan bahwa ia tetap dalam agama Abdul Muttalib. Maka kata Nabi: ’Aku akan tetap memintakan ampunan bagimu selama aku tidak dilarang berbuat demikian.’ Maka turunlah ayat: Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang yang beriman memintakan ampun kepada Allah bagi orang musyrik… (at-Taubah [9]:113).”
Tirmizi meriwayatkan dari Ali yang mengatakan: ’Aku mendengar seorang laki-laki meminta ampunan untuk kedua orang tuanya, sedang keduanya itu musyrik. Lalu aku katakan kepadanya: ’Apakah engkau memintakan ampunan untuk kedua orang tuamu, sedang mereka itu musyrik?’ Ia menjawab, ‘Ibrahim telah memintakan ampunan untuk ayahnya, sedang ayahnya juga musyrik.’ Lalu aku menceritakan hal itu kepada Rasulullah, maka turunlah ayat tadi. Diriwayatkan oleh Hakim dan yang lain, dari Ibn Mas‘ud, yang mengatakan: Pada suatu hari Rasulullah pergi ke kuburan, lalu duduk di dekat salah satu makam. Ia bermunajat cukup lama, lalu menangis. Katanya:
“Makam di mana aku duduk di sisinya adalah makam_ ibuku. Aku telah meminta izin kepada Tuhanku untuk mendoakannya, tetapj Dia tidak mengizinkan, lalu diturunkan wahyu kepadaku: (Tidak se. patutnya bagi Nabi dan orang yang beriman memintakan ampun kepada Allah bagi orang musyrik).”
Riwayat-riwayat ini dapat dikompromikan dengan (dinyatakan sebagai) berulang kalinya nuzul (maksudnya, kita memandang bahwa ayat itu, Qur’an [9]:113, diturunkan berulang kali, peny.).
Contoh lain ialah apa yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi berdiri di sisi jenazah Hamzah yang mati syahid dengan dianiaya. Maka kata Nabi:
”Akan kuaniaya tujuh puluh orang dari mereka sebagai balasan untukmu.”
Maka Jibril turun dengan membawa akhir surah an-Nahl kepada Nabi, sementara ia dalam keadaan berdiri: (Jika kamu mengadakan pembalasan, maka balaslah dengan pembalasan yang sama dengan siksaan yang ditimpahkan kepadamu…) (an-Nahl [16]:126-128) sampai akhir surah. Riwayat ini menunjukkan bahwa ayat-ayat di atas turun pada waktu perang Uhud.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ayat-ayat tersebut turun pada waktu penaklukan kota Mekah.” Padahal surah tersebut adalah Makki. Maka pengompromian antara riwayat-riwayat itu ialah dengan menyatakan bahwa ayat-ayat tersebut turun di Mekah sebelum hijrah, lalu di Uhud dan kemudian turun lagi saat penaklukan Mekah. Tidak ada salahnya bagi hal yang demikian mengingat dalam ayat-ayat tersebut terdapat peringatan akan nikmat Allah kepada hamba-hambaNya dengan adanya syariat. Az-Zarkasyi dalam al-Burhan mengatakan: ’Terkadang sesuatu ayat turun dua kali sebagai penghormatan kepada kebesaran dan peringatan akan peristiwa yang menyebabkannya, khawatir terlupakan. Sebagaimana terjadi pada surah Fatihah yang turun dua kali: sekali di Mekah dan sekali lagi di Medinah.”
Demikianlah sikap dan pendapat para ulama ahli dalam bidang ini mengenai riwayat-riwayat sebab nuzul] sesuatu ayat, bahwa ayat itu diturunkan beberapa kali. Tetapi menurut hemat kami pendapat tersebut tidak atau kurang memiliki nilai positif mengingat hikmah berulang kalinya turun sesuatu ayat itu tidak begitu nampak dengan jelas. Pendapat kami mengenai permasalahan ini ialah bahwa riwayat yang bermacam-macam mengenai sebab nuzul dan tidak mungkin dipadukan itu sebenarnya dapat ditarjihkan (dikuatkan) salah satunya. Misalnya, riwayat-riwayat yang berkenaan dengan sebab nuzul firman Allah: Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun kepada Allah bagi orang-orang musyrik… (atTaubah [9]:113).
Riwayat pertama dinilai lebih kuat dari kedua riwayat lainnya; sebab ia terdapat dalam kitab Sahih Bukhari-Muslim, sedang kedua riwayat lainnya tidak. Dan periwayatan kedua tokoh hadis ini cukup kuat untuk dijadikan pegangan. Maka pendapat yang kuat ialah bahwa ayat itu turun berkenaan dengan Abu Talib. Begitu pula halnya dengan riwayat-riwayat sebab nuzul akhir surah an-Nahl. Riwayat-riwayat itu tidak sama derajatnya. Maka mengambil riwayat paling kuat adalah lebih baik daripada menyatakan, ayat itu diturunkan berulang kali.
Ringkasnya, bila sebab nuzul sesuatu ayat itu banyak, maka terkadang semuanya tidak tegas, terkadang pula semuanya tegas dan terkadang sebagiannya tidak tegas sedang sebagian lainnya tegas dalam menunjukkan sebab.
A). Apabila semuanya tidak tegas dalam menunjukkan sebab, maka tidak ada salahnya untuk membawanya kepada atau dipandang sebagai tafsir dan kandungan ayat.
B). Apabila sebagian tidak tegas dan sebagian lain tegas maka yang menjadi pegangan adalah yang tegas.
C). Apabila semuanya tegas, maka tidak terlepas dari kemungkinan bahwa salah satunya sahih atau semuanya sahih. Apabila salah satunya sahih sedang yang lain tidak, maka yang sahih itulah yang menjadi pegangan.
- D) Apabila semuanya sahih, maka dilakukan pentarjihan bila mungkin.
- E) Bila tidak mungkin dengan pilihan demikian, maka dipadukan bila mungkin.
- F) Bila tidak mungkin dipadukan, maka dipandanglah ayat itu diturunkan beberapa kali dan berulang.
Dalam bagian yang terakhir ini terdapat pembahasan; karena dalam setiap riwayat terdapat keterangan.
Banyaknya Nuzul dengan Satu Sebab
Terkadang banyak ayat yang turun, sedang sebabnya hanya satu. Dalam hal ini tidak ada permasalahan yang cukup penting, karena itu banyak ayat yang turun di dalam berbagai surah berkenaan dengan satu peristiwa. Contohnya ialah apa yang diriwayatkan oleh Sa‘id bin Mansur, ‘Abdurrazzaq, Tirmizi, Ibn Jarir, Ibnul Munzir, Ibn Abi Hatim, Tabarani dan Hakim yang mengatakan sahih, dari Ummu Salamah, ia berkata:
“Rasulullah, aku tidak mendengar Allah menyebutkan kaum perempuan sedikit pun mengenai hijrah. Maka Allah menurunkan: Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): ”Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan; (karena) sebagian kamu. adalah turunan dari sebagian yang lain….” (Ali ‘Imran [3]:195).
Diriwayatkan pula oleh Ahmad, Nasa’i, Ibn Jarir, Ibnul Munzir, Tabarani dan Ibn Mardawaih dari Ummu Salamah yang mengatakan:
”Aku telah bertanya: Rasulullah, mengapa kami tidak disebutkan dalam Qur’an seperti kaum laki-laki? Maka pada suatu hari aku dikejutkan oleh seruan Rasulullah di atas mimbar. Ia membacakan: Sesungguhnya laki-laki dan perempuan Muslim… sampai akhir ayat 35 Surah al-Ahzab [33].”
Diriwayatkan pula oleh Hakim dari Ummu Salamah yang mengatakan:
“Kaum laki-laki berperang sedang perempuan tidak. Di samping itu kami hanya memperoleh warisan setengah bagian? Maka Allah menurunkan ayat: Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain; karena bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan pula… (an-Nisa’ [4]:32) dan ayat: Sesungguhnya: laki-laki dan perempuan yang muslim…”
Ketiga ayat tersebut turun karena satu sebab.
Penurunan Ayat Lebih Dahulu daripada Hukumnya
Az-Zarkasyi mengemukakan satu macam pembahasan yang berhubungan dengan sebab nuzul yang dinamakan ”Penurunan ayat lebih dahulu daripada hukum (maksud)nya.“? Contoh yang diberikannya dalam hal ini tidaklah menunjukkan bahwa ayat itu turun mengenai hukum tertentu, kemudian pengamalannya datang sesudahnya. Tetapi hal tersebut menunjukkan bahwa ayat itu diturunkan dengan lafal mujmal (global), yang mengandung arti lebih dari satu, kemudian penafSirannya dihubungkan dengan salah satu arti-arti tersebut, sehingga ayat tadi mengacu kepada hukum yang datang kemudian. Di dalam alBurhan disebutkan: “Ketahuilah bahwa nuzul atau penurunan sesuatu ayat itu terkadang mendahului hukum. Misalnya firman Allah, Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman). (al-A‘la [87}:14). Ayat tersebut dijadikan dalil untuk zakat fitrah. Diriwayatkan oleh Baihaqi dengan diisnadkan kepada Ibn Umar, bahwa ayat itu turun berkenaan dengan zakat Ramadan (zakat fitrah); kemudian dengan isnad yang marfu‘ Baihaqi meriwayatkan pula keterangan yang sama. Sebagian dari mereka berkata: Aku tidak mengerti maksud pentakwilan yang seperti ini, sebab surah itu Makki, sedang di Mekah belum ada Idul Fitri dan zakat.”
Di dalam menafsirkan ayat tersebut, Baqawi‘! menjawab bahwa nuzul itu boleh saja mendahului hukumnya, seperti firman Allah: Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini; dan kamu (Muhammad) bertempat di kota ini (al-Balad [90]:1-2). Surah ini Makki, dan bertempatnya di Mekah ini baru terealisir sesudah penaklukan kota Mekah, sehingga Rasulullah berkata: “Aku menempatinya pada siang hari.”
Demikian pula ayat yang turun di Mekah, yakni: Golongan itu pasti akan dikalahkan dan akan mundur ke belakang (al-Qamar [54]:45). Umar bin Khattab mengatakan: “Aku tidak mengerti golongan mana yang akan dikalahkan itu. Namun ketika terjadi perang Badar, aku melihat Rasulullah berkata: Golongan itu pasti akan dikalahkan dan akan mundur ke belakang.”
Kita melihat pada apa yang dikemukakan pengarang al-Burhdn bahwa bentuk redaksi sebab nuzul itu mungkin menunjukkan sebab dan mungkin pula menunjukkan hukum-hukum yang dikandung oleh ayat: ’Telah diriwayatkan oleh Baihaqi dengan diisnadkan kepada Ibn Umar bahwa ayat di atas tadi turun mengenai zakat Ramadan.” Dan ayat-ayat yang disebutkannya itu bersifat mujmal, mengandung lebih dari satu makna, atau dengan bentuk bahasa pemberitahuan tentang apa yang akan terjadi di masa datang, Golongan itu pasti akan dikalahkan dan akan mundur kebelakang.
Beberapa Ayat Turun Mengenai Satu Orang
Terkadang seorang sahabat mengalami peristiwa lebih dari satu kali, dan Qur’an pun turun mengenai setiap peristiwanya. Karena itu banyak ayat yang turun mengenainya sesuai dengan banyaknya peristiwa yang terjadi. Misalnya, apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab “al-Adabul Mufrad” tentang berbakti kepada kedua orang tua. Dari Sa‘d bin Abi Waqqas yang mengatakan: ”Ada empat ayat Qur’an turun berkenaan denganku. Pertama, ketika ibuku bersumpah bahwa ia tidak akan makan dan minum sebelum aku meninggalkan Muhammad; lalu Allah menurunkan: Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik (Luqman [[31]:15). Kedua, ketika aku mengambil sebilah pedang dan mengaguminya; maka aku berkata kepada Rasulullah: ’Rasulullah, berikanlah kepadaku pedang ini.” Maka turunlah: Mereka bertanya kepadamu tentang pembagian harta rampasan perang (al-Anfal [8]:1). Ketiga, ketika aku sedang sakit Rasulullah mengunjungiku, aku bertanya kepadanya: ’Rasullullah, aku ingin membagikan hartaku, bolehkah aku mewasiatkan separuhnya?’ Ja menjawab: ’Tidak.’ Aku bertanya: ’”Bagaimana kalau sepertiga?’ Rasulullah diam. Maka wasiat dengan sepertiga harta itu diperbolehkan.*° Keempat, ketika aku sedang minum minuman keras (khamr) bersama kaum Ansar, seorang dari mereka memukul hidungku dengan tulang rahang unta. Lalu aku datang kepada Rasulullah, maka Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan larangan minum khamar.” Dan termasuk ke dalam kategori ini yakni, banyaknya ayat yang turun mengenai satu orang ialah muwafagah atau kebersesuaian kehendak/sikap Umar dengan wahyu. Dalam hal ini telah turun wahyy yang sesuai dengan pendapatnya dalam banyak ayat.
Faedah Mengetahui Asbabun Nuzul dalam Lapangan Pendidikan dan Pengajaran.
Dalam dunia pendidikan, para pendidik mengalami banyak ke. sulitan dalam penggunaan media pendidikan yang dapat membangkitkan perhatian anak didik supaya jiwa mereka siap menerima pelajaran dengan penuh minat dan seluruh potensi intelektualnya terdorong untuk mendengarkan dan mengikuti pelajaran. Tahap pendahuluan darj suatu pelajaran memerlukan kecerdasan brilian, yang dapat menolong guru dalam menarik minat anak didik terhadap pelajarannya dengan berbagai media yang sesuai; serta memerlukan latihan dan pengalaman cukup lama yang dapat memberinya kebijakan dalam memilih metode pengajaran yang efektif dan sejalan dengan tingkat pengetahuan anak didik tanpa kekerasan atau dipaksakan. Di samping tahap pendahuluan itu bertujuan membangkitkan perhatian dan menarik minat, juga bertujuan memberikan konsepsi menyeluruh mengenai tema _ pelajaran, agar guru dapat dengan mudah membawa anak didiknya dari hal-hal yang sifatnya umum kepada yang khusus, sehingga semua materi pelajaran yang telah ditargetkan dapat dikuasai dengan mendetail sesudah anak didik itu memahaminya secara umum (garis besarnya). Dan pengetahuan tentang asbabun nuzal merupakan media paling baik untuk mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan di atas dalam mempelajari al-Qur’anul Karim baik bacaan maupun tafsirnya.
Asbabun Nuziil ada kalanya berupa kisah tentang peristiwa yang terjadi, atau berupa pertanyaan yang disampaikan kepada Rasullullah untuk mengetahui hukum suatu masalah, sehingga Qur’an pun turun sesudah terjadi peristiwa atau pertanyaan tersebut. Seorang guru sebenarnya tidak perlu membuat pengantar pelajaran dengan sesuatu yang baru dan dipilihnya; sebab bila ia menyampaikan sebab nuzul, maka kisahnya itu sudah cukup untuk membangkitkan perhatian, menarik minat, memusatkan potensi intelektual dan menyiapkan jiwa anak didik untuk menerima pelajaran, serta mendorong mereka untuk mendengarkan dan memperhatikannya.
Mereka segera dapat memahami pelajaran itu secara umum dengan mengetahui asbabun nuzul karena di dalamnya terdapat unsur-unsur kisah yang menarik. Dengan demikian, jiwa mereka terdorong untuk mengetahui ayat apa yang diturunkan sesuai dengan sebab nuzul itu serta rahasia-rahasia perundangan dan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya, yang kesemua ini memberi petunjuk kepada manusia ke jalan kehidupan lurus, jalan menuju kekuatan, kemuliaan dan kebahagiaan.
Para pendidik dalam dunia pendidikan dan pengajaran di bangku-bangku sekolah ataupun pendidikan umum, dalam memberikan bimbingan dan penyuluhan nya perlu memanfaatkan konteks asbabun Nuzul untuk memberikan rangsangan kepada anak didik yang tengah belajar dan masyarakat umum yang dibimbing. Cara demikian merupakan cara paling bermanfaat dan efektif untuk mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan tersebut dengan mempergunakan metode pemberian pengertian paling menarik dan bentuk paling tinggi.
Korelasi antara Ayat dengan Ayat dan Surah dengan Surah
Seperti halnya pengetahuan tentang asbabun nuzul yang mempunyai pengaruh dalam memahami makna dan menafsirkan ayat, maka pengetahuan tentang munasabah atau korelasi antara ayat dengan ayat dan surah dengan surah juga membantu dalam pentakwilan dan pemahaman ayat dengan batk dan cermat. Oleh sebab itu sebagian ulama mengkhususkan diri untuk menulis buku mengenai pembahasan ini.
Munasabah (korelasi) dalam pengertian bahasa berarti kedekatan. Dikatakan, “si anu munasabah deigan si fulan’” berarti ia mendekati dan menyerupai si fuian itu. Dan di antara pengertian ini ialah munasabah ‘illat hukum dalam bab kias, yakni sifat yang berdekatan dengan hukum.
Yang dimaksud dengan munasabah di sini ialah segi-segi hubungan antara satu kalimat dengan kalimat lain dalam satu ayat, antara satu ayat dengan ayat lain dalam banyak ayat, atau antara satu surah dengan surah yang lain. Pengetahuan tentang munasabah ini sangat bermanfaat dalam memahami keserasian antar makna, mukjizat Qur’an secara retorik, kejelasan keterangannya, keteraturan susunan kalimatnya dan keindahan gaya bahasanya.
“Kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terinci, diturunkan dari sisi Allah Yang Mahabijaksana dan Mahatahu.” (Hud [11]:1).
Az-Zarkasyi menyebutkan: “Manfaatnya ialah menjadikan sebagian pembicaraan berkaitan dengan sebagian lainnya, sehingga hubungannya menjadi kuat, bentuk susunannya kukuh dan bersesuaian bagian-bagiannya laksana sebuah bangunan yang amat kokoh.” Qadi Abu Bakar Ibnul ‘Arabi menjelaskan: ’Mengetahui seyauh mana hubungan antara ayat-ayat satu dengan yang lain sehingga semuanya menjadi seperti satu kata, yang maknanya serasi dan susunannya teratur merupakan ilmu yang besar.”
Pengetahuan mengenai korelasi dan hubungan antara ayat-ayat itu bukanlah hal yang tauqifi (tak dapat diganggu gugat karena telah ditetapkan Rasul); tetapi didasarkan pada ijtihad seorang mufasir dan tingkat penghayatannya terhadap kemukjizatan Qur’an, rahasia retorika, dan segi keterangannya yang mandiri. Apabila korelasi itu halus maknanya, harmonis konteksnya dan sesuai dengan asas-asas_ kebahasaan dalam ilmu-ilmu bahasa Arab, maka korelasi tersebut dapat diterima.
Hal yang demikian ini tidak berarti bahwa seorang mufasir harus mencari kesesuaian bagi setiap ayat, karena al-Qur’anul Karim turun secara bertahap sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Seorang mufasir terkadang dapat menemukan hubungan antara ayat-ayat dan terkadang pula tidak. Oleh sebab itu, ia tidak perlu memaksakan diri untuk menemukan kesesuaian itu, sebab kalau memaksakannya juga maka kesesuaian itu hanyalah dibuat-buat dan hal ini tidak disukai. Syaikh ‘Izz bin ‘Abdus Salam mengatakan: ”*Munasabah (korelasi) adalah ilmu yang baik; tetapi dalam menetapkan keterkaitan antar kata-kata secara baik itu disyaratkan hanya dalam hal yang awal dengan akhirnya memang bersatu dan berkaitan. Sedang dalam hal yang mempunyai beberapa sebab berlainan, tidak disyaratkan adanya hubungan antara yang satu dengan yang lain.” Selanjutnya ia mengatakan: “Orang yang menghubung-hubungkan hal demikian berarti ia telah memaksakan diri dalam hal yang sebenarnya tidak dapat dihubung-hubungkan kecuali dengan cara sangat lemah yang tidak dapat diterapkan pada kata-kata yang baik, apalagi yang lebih baik. Jtu semua mengingat Qur’an diturunkan dalam waktu lebih dari dua puluh tahun, mengenai berbagai hukum dan karena sebab yang berbeda-beda. Oleh karena itu tidak mudah menghubungkan sebagiannya dengan sebagian yang lain.”
Sebagian mufasir telah menaruh perhatian besar untuk menjelaskan korelasi antara kalimat dengan kalimat, ayat dengan ayat atau surah dengan surah dan mereka telah menyimpulkan segi-segi kesesualan yang cermat. Hal itu disebabkan karena sebuah kalimat terkadang merupakan penguat terhadap kalimat sebelumnya, sebagai penjelasan, tafsiran atau sebagai komentar akhir. Yang demikian ini banyak contohnya.
Setiap ayat mempunyai aspek hubungan dengan ayat sebelumnya dalam arti hubungan yang menyatukan, seperti perbandingan atau perimbangan antara sifat orang mukmin dengan sifat orang musyrik, antara ancaman dengan janji untuk mereka, penyebutan ayat-ayat rahmat sesudah ayat-ayat azab, ayat-ayat berisi anjuran sesudah ayat-ayat berisi ancaman, ayat-ayat tauhid dan kemahasucian Tuhan sesudah ayat-ayat tentang alam… dst.
Terkadang munasabah itu terletak pada perhatiannya terhadap keadaan lawan bicara, seperti firman Allah:
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana ia diciptakan; dan langit bagaimana ia ditinggikan; dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan; dan bumi bagaimana ia dihamparkan?”’ (alGasiyah [88]:17-20).
Penggabungan antara unta, langit dan gunung-gunung ini karena memperhatikan adat dan kebiasaan yang berlaku di kalangan lawan bicara yang tinggal di padang pasir, di mana kehidupan mereka bergantung pada unta sehingga mereka amat memperhatikannya. Namun keadaan demikian pun tidak mungkin berlangsung kecuali bila ada air yang dapat menumbuhkan rumput di tempat gembalaan dan diminum unta. Keadaan ini terjadi bila hujan turun. Dan inilah yang menjadi sebab mengapa wajah mereka selalu menengadah ke langit. Kemudian mereka juga memerlukan tempat berlindung, dan tidak ada tempat berlindung yang lebih baik daripada gunung-gunung. Mereka memerlukan rerumputan dan air, sehingga meninggalkan suatu daerah dan turun di daerah lain, dan berpindah dari tempat gembala yang tandus menuju tempat gembala yang subur. Maka apabila penghuni padang pasir mendengar ayat-ayat di atas, hati mereka merasa menyatu dengan apa yang mereka saksikan sendiri yang senantiasa tidak lepas dari benak mereka.
Terkadang munasabah itu terjadi antara satu surah dengan surah yang lain, misalnya pembukaan surah al-An‘am dengan al-hamdu.
”Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan mengadakan gelap dan terang.” (al-An‘am [6]:1).
Ini sesuai dengan penutup surah al-Ma’idah yang menerangkan keputusan di antara para hamba berikut balasannya:
“Jika Engkau menyiksa mereka, sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa dan Mahabijaksana…” (al-Ma’idah [5):118-120).
Hal ini seperti difirmankan Allah:
”Dan diberi putusan di antara hamba-hamba Allah dengan adil dan diucapkan: ’Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.’” (azZumar [39]:75).
Demikian pula pembukaan surah al-Hadid yang dibuka dengan tasbih:
“Semua yang berada di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah. Dan Dialah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (al-Hadid [57]:1).
Pembukaan ini sesuai dengan akhir surah al-Waqi‘ah yang memerintahkan bertasbih:
”Maka bertasbihlah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang Mahabesar.” (al-Wagqi‘ah [56]:96).
Begitu juga hubungan antara surah Li ilafi Quraisy dengan surah al-Fil, Ini karena kebinasaan “tentara gajah” mengakibatkan orang Quraisy dapat mengadakan perjalanan pada musim dingin dan Musim panas; sehingga al-Akhfasy menyatakan bahwa hubungan antara kedua surah ini termasuk hubungan sebab-akibat seperti dalam firman Allah: .
”Maka dipungut lah ia (Musa) oleh keluarga Firaun yang akibatnya ia menjadi musuh dan kesedihan bagi.mereka.” (al-Qasas [28]:8).
Munasabah terjadi pula antara awal surah dengan akhir surah, Contohnya ialah apa yang terdapat dalam Surah Qasas. Surah ini dimulai dengan menceritakan Musa, menjelaskan langkah awal dan pertolongan yang diperolehnya; kemudian menceritakan perlakuannya ketika ia mendapatkan dua orang laki-laki sedang berkelahi.
Allah mengisahkan doa Musa:
“Musa berkata: “Ya Tuhanku, demi nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, aku sekali-kali tidak akan menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa.’” (al-Qasas (28]:17).
Kemudian surah ini diakhiri dengan menghibur Rasul kita Muhammad bahwa ia akan keluar dari Mekah dan dijanjikan akan kembali lagi ke Mekah serta melarangnya menjadi penolong bagi orang-orang yang kafir:
“Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (untuk melaksanakan hukum-hukum) Qur’an, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali (yaitu kota Mekah). Katakanlah: ‘Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang dalam kesesatan yang nyata.’ Dan kamu tidak pernah mengharap agar Qur’an diturunkan kepadamu, akan tetapi ia (diturunkan) karena suatu rahmat besar dari Tuhanmu, oleh sebab itu janganlah sekali-kali menjadi penolong bagi orang kafir.” (al-Qasas [28]:85-86).
Orang yang membaca secara cermat kitab-kitab tafsir tentu akan menemukan berbagai segi kesesuaian (munasabah) tersebut.
Allah menurunkan Qur’an kepada Rasul kita Muhammad untuk memberi petunjuk kepada manusia. Turunnya Qur’an merupakan peristiwa besar yang sekaligus menyatakan kedudukannya bagi penghuni langit dan penghuni bumi. Turunnya Qur’an yang pertama kali pada malam lailatul qadar merupakan pemberitahuan kepada alam tingkat tinggi yang terdiri dari malaikat-malaikat akan kemuliaan umat Muhammad. Umat ini telah dimuliakan oleh Allah dengan risalah baru agar menjadi umat paling baik yang dikeluarkan bagi manusia. Turunnya Qur’an yang kedua kali secara bertahap, berbeda dengan kitab-kitab yang turun sebelumnya, sangat mengagetkan orang dan menimbulkan keraguan terhadapnya sebelum jelas bagi mereka rahasia hikmah ilahi yang ada di balik itu. Rasulullah tidak menerima risalah agung ini sekaligus, dan kaumnya pun tidak pula puas dengan risalah tersebut karena kesombongan dan permusuhan mereka. Oleh karena itu wahyu pun turun berangsur-angsur untuk menguatkan hati Rasul dan menghiburnya serta mengikuti peristiwa dan kejadian-kejadian sampai Allah menyempurnakan agama ini dan mencukupkan nikmat-Nya.
Turunnya Qur’an Sekaligus
Allah berfirman dalam Kitab-Nya yang mulia:
“Bulan Ramadan, bulan yang didalamnya diturunkan Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang hak dengan yang batil.” (Al-Baqarah [2]:185).
Dan firman-Nya:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Qur’an) pada malam lailatul qadar.” (al-Qadr [97]:1).
Dan firman-Nya pula:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Qur’an) pada suatu malam yang diberkahi.” (ad-Dukhan [44]:3).
Ketiga ayat di atas itu tidak bertentangan, karena malam yang diberkahi adalah malam lailatul qadar dalam bulan Ramadan. Tetapi lahir (zahir) ayat-ayat itu bertentangan dengan kejadian nyata dalam kehidupan Rasulullah, di mana Qur’an turun kepadanya selama dua puluh tiga tahun. Dalam hal ini, para ulama mempunyai dua mazhab pokok:
- Mazhab pertama, yaitu pendapat Ibn Abbas dan sejumlah ulama serta yang dijadikan pegangan oleh umumnya ulama. Yang dimaksud dengan turunnya Qur’an dalam ketiga ayat di atas ialah turunnya Qur’an sekaligus ke Baitul ‘Izzah di langit dunia agar para malaikat menghormati kebesarannya. Kemudian sesudah itu Qur’an diturunkan kepada Rasul kita Muhammad s.a.w. secara bertahap selama dua puluh tiga tahun! sesuai dengan peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian sejak ia diutus sampai wafatnya. Ia tinggal di Mekah sesudah diutus selama tiga belas tahun dan sesudah hijrah tinggal di Medinah selama sepuluh tahun. Ibn Abbas berkata: ’Rasulullah s.a.w. diutus pada usia empat puluh tahun. ia tinggal di Mekah selama tiga belas tahun dan selama itu wahyu turun kepadanya. Kemudian ia diperintahkan berhijrah selama sepuluh tahun. Ia wafat dalam usia enam puluh tiga tahun.” Pendapat ini didasarkan pada berita-berita yang sahih dari Ibn Abbas dalam beberapa riwayat. Antara lain:
- Ibn Abbas berkata: ’Qur’an diturunkan sekaligus ke langit dunia pada malam lailatul qadar. Kemudian setelah itu, ia diturunkan selama dua puluh tahun.” Lalu dia membacakan:
“Dan tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu membawa Sesuatu yang ganjil, melainkan Kami mendatangkan kepadamu sesuatu yang benar dan paling baik penjelasannya.” (al-Furqan [25]:33).
“Dan Qur’an telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (al-Isra’ [17]:106).
- Ibn Abbas r.a. berkata:
“Qur’an itu dipisahkan dari az-Zikr, lalu diletakkan di Baitul ‘Izzah di langit dunia. Maka Jibril mulai menurunkannya kepada Nabi s.a.w.
- Ibn Abbas r.a. mengatakan:
”Allah menurunkan Qur’an sekaligus ke langit dunia, tempat turunnya secara berangsur-angsur. Lalu Dia menurunkannya kepada Rasul-Nya s.a.w. bagian demi bagian.”
- Ibn Abbas r.a. berkata:
“Qur’an diturunkan pada malam lailatul qadar pada bulan Ramadan ke langit dunia sekaligus; lalu ia diturunkan secara berangsur-angsur.”
- Mazhab kedua, yaitu yang diriwayatkan oleh asy-Sya‘bil bahwa yang dimaksud dengan turunnya Qur’an dalam ketiga ayat di atas ialah permulaan turunnya Qur’an kepada Rasulullah s.a.w. Permulaan turunnya Qur’an itu dimulai pada malam lailatul qadar di bulan Ramadan, yang merupakan malam yang diberkahi.
Kemudian turunnya itu berlanjut sesudah itu secara bertahap sesuai dengan kejadian dan peristiwa-peristiwa selama kurang lebih dua puluh tiga tahun. Dengan demikian, Qur’an hanya satu macam cara turun, Yaitu turun secara bertahap kepada Rasulullah s.a.w., sebab yang demikian inilah yang dinyatakan oleh Qur’an:
“Dan Qur’an telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (al-Isra’ [17]:106).
Orang-orang musyrik yang diberi tahu bahwa kitab-kitab samawi terdahulu turun sekaligus, menginginkan agar Qur’an juga diturunkan sekaligus:
“Dan berkatalah orang-orang yang kafir: ‘Mengapa Qur’an tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?’, demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya kelompok demi kelompok. Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu membawa sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” (al-Furqan [25]:32-33).
Dan keistimewaan bulan Ramadan dan lailatul qadar yang merupakan malam yang diberkahi itu tidak akan kelihatan oleh manusia kecuali apabila yang dimaksudkan dari ketiga ayat di atas adalah turunnya Qur’an kepada Rasulullah s.a.w. Yang demikian ini sesuai dengan apa yang terdapat di dalam firman Allah mengenai perang Badar:
“,.dan (beriman kepada) apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (al-Anfal [8:41).
Perang Badar terjadi dalam bulan Ramadan. Dan yang demikian ini diperkuat pula oleh hadis yang dijadikan pegangan para penyelidik hadis permulaan wahyu. Aisyah berkata:
“Wahyu yang mula-mula diturunkan kepada Rasulullah s.a.w. ialah mimpi yang benar di waktu tidur. Setiap kali bermimpi ia melihat ada yang datang bagaikan cahaya terang di pagi hari. Kemudian ia lebih suka menyendiri. la pergi ke gua Hira untuk bertahannus beberapa malam; dan untuk itu ia membawa bekal. Kemudian ia kembali ke rumah Khadijah r.a., dan Khadijah pun membekalinya seperti itu biasanya. Sehingga datanglah “kebenaran” kepadanya sewaktu ia berada di gua Hira. Malaikat datang kepadanya dan berkata: “Bacalah.’ Rasulullah s.a.w. berkata: Aku berkata kepadanya: ’Aku tidak pandai membaca.” Lalu dia memegang dan merangkulku sampai aku kepayahan, kemudian dia melepaskan aku, lalu katanya: “Bacalah.” Aku menjawab: ’Aku tidak pandai membaca.’ Lalu dia merangkulku untuk yang kedua kalinya sampai aku kepayahan, laly dia lepaskan aku, lalu katanya: ’Bacalah.’ Aku menjawab: ’Aku tidak pandai membaca.’ Lalu dia merangkulku untuk yang ketiga kalinya sampai aku kepayahan, kemudian dia lepaskan aku, lalu katanya: Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan sampai dengan apa yang belum diketahuinya.”
Para penyelidik menjelaskan bahwa Rasulullah s.a.w. pada mulanya diberi tahu dengan mimpi pada bulan kelahirannya, yaitu bulan Rabi’ul Awwal. Pemberitahuan dengan mimpi itu lamanya enam bulan. Kemudian ia diberi wahyu dalam keadaan sadar (tidak dalam keadaan sedang tidur) pada bulan Ramadan dengan Iqra’. Dengan demikian, maka nas-nas yang terdahulu itu menunjukkan kepada satu pengertian.
- Mazhab ketiga, berpendapat bahwa Qur’an diturunkan ke langit dunia selama dua puluh tiga malam lailatul qadar,” yang pada setiap malamnya selama malam-malam lailatul qadar itu ada yang ditentukan Allah untuk diturunkan pada setiap tahunnya. Dan jumlah wahyu yang diturunkan ke langit dunia di malam Lailatul Qadar, untuk masa satu tahun penuh itu kemudian diturunkan secara berangsur-angsur kepada Rasulullah s.a.w. sepanjang tahun. Mazhab ini adalah hasil ijtihad sebagian mufasir. Pendapat ini tidak mempunyai dalil.
Adapun mazhab kedua yang diriwayatkan dari asy-Sya‘bi, dengan dalil-dalil yang sahih dan dapat diterima, tidaklah bertentangan dengan mazhab yang pertama yang diriwayatkan dari Ibn Abbas.
Dengan demikian maka pendapat yang kuat ialah bahwa alQur’anul Karim itu dua kali diturunkan:
Pertama: Diturunkan secara sekaligus pada malam lailatul qadar ke Baitul ‘Izzah di langit dunia.
Kedua: Diturunkan dari langit dunia ke bumi secara berangsur-angsur selama dua puluh tiga tahun.
Al-Qurtubi telah menukil dari Muqatil bin Hayyan riwayat tentang kesepakatan (ijma‘) bahwa turunnya Qur’an sekaligus dari Lauhul Mahfuz ke Baitul ‘Izzah di langit dunia. Ibn Abbas memandang tidak ada pertentangan antara ketiga ayat di atas yang berkenaan dengan turunnya Qur’an dengan kejadian nyata dalam kehidupan Rasulullah s.a.w. bahwa Qur’an itu turun selama dua puluh tiga tahun yang bukan bulan Ramadan. Dari Ibn Abbas disebutkan bahwa dia ditanya oleh ‘Atiyah bin al-Aswad, katanya: “Dalam hatiku terjadi keraguan tentang firman Allah, Bulan Ramadan itulah bulan yang didalamnya diturunkan Qur’an, dan firman Allah, Sesungguhnya Kami menurunkannya pada malam lailatul qadar. Padahal Qur’an itu ada yang diturunkan pada bulan Syawal, Zul Kaidah, Zul Hijjah, Muharram, Safar dan Rabi’ul Awwal.” Ibn Abbas menjawab: ’Qur’an diturunkan pada malam Lailatul qadar sekaligus. Kemudian diturunkan secara berangsur-angsur, sedikit demi sedikit dan terpisah-pisah serta perlahan-lahan di sepanjang bulan dan hari.”
Para ulama mengisyaratkan bahwa hikmah dari hal itu ialah menyatakan kebesaran Qur’an dan kemuliaan orang yang kepadanya Qur’an diturunkan. As-Suyuti mengatakan: ’Dikatakan bahwa rahasia diturunkannya Qur’an sekaligus ke langit dunia adalah untuk memuliakannya dan memuliakan orang yang kepadanya Qur’an diturunkan, yaitu dengan memberitahukan kepada penghuni tujuh langit bahwa Qur’an adalah kitab terakhir yang diturunkan kepada Rasul terakhir dan umat yang paling mulia. Kitab itu kini telah di ambang pintu dan akan segera diturunkan kepada mereka. Seandainya tidak ada hikmah Ilahi yang menghendaki disampaikannya Qur’an kepada mereka secara bertahap sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi, tentulah ia diturunkan ke bumi sekaligus seperti halnya kitab-kitab yang diturun. kan sebelumnya. Tetapi Allah membedakannya dari kitab-kitab yang sebelumnya. Maka dijadikan-Nyalah dua ciri tersendiri: diturunkan secara sekaligus, kemudian diturunkan secara bertahap, untuk meng. hormati orang yang menerimanya.” As-Sakhawi mengatakan dalam Jamalul Qurra’: “Turunnya Qur’an ke langit dunia sekaligus itu menunjukkan suatu penghormatan kepada keturunan Adam di hadapan para malaikat, serta pemberitahuan kepada para malaikat akan perhatian Allah dan rahmat-Nya kepada mereka. Dan dalam pengertian inilah Allah memerintahkan tujuh puluh ribu malaikat untuk mengawal surah al-An‘am, dan dalam pengertian ini pula Allah memerintahkan Jibril agar mengimlakannya kepada para malaikat pencatat yang mulia, menuliskan dan membacakannya kepadanya.”
Turunnya Qur’an Secara Bertahap Allah berfirman dalam Qur’an:
”Dan Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam; dia dibawa turun oleh ar-Ruhul Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang diantara orang-orang yang memberi peringatan; dengan bahasa Arab yang jelas.” (asy-Syu‘ara’ [26]:192-195). Dan firman-Nya:
“Katakanlah: Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Qur’an itu dari Tuhanmu dengan benar, untuk meneguhkan hati orang-orang yang telah beriman dan menjadi petunjuk serta khabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri kepada Allah.” (an-Nahl [16]:102).
Dan firman-Nya:
“Kitab ini diturunkan dari Allah Yang Mahaperkasa dan Mahabijaksana.” (al-Jasiyah [45]:2).
Dan firman-Nya:
“Dan jika kamu tetap dalam keraguan tentang Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surah saja yang semisal Qur’an itu.” (al-Baqarah [2]:23).
Dan firman-Nya:
”Katakanlah: ’Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Qur’an) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman.’” (al Baqarah [2]:97).
Ayat-ayat diatas menyatakan bahwa al-Qur’anul Karim adalah kalam Allah dengan lafalnya yang berbahasa Arab; dan bahwa Jibril telah menurunkannya ke dalam hati Rasulullah s.a.w.; dan bahwa turunnya ini bukanlah turunnya yang pertama kali ke langit dunia, Tetapi yang dimaksudkan adalah turunnya Qur’an secara bertahap. Ungkapan (untuk arti menurunkan) dalam ayat-ayat di atas menggunakan kata tanzil bukannya inzal. Ini menunjukkan bahwa turunnya itu secara bertahap dan berangsur-angsur. Ulama bahasa membedakan antara inzal dengan tanzil. Tanzil berarti turun secara berangsur-angsur sedang inzal hanya menunjukkan turun atau menurunkan dalam arti umum.
Qur’an turun secara berangsur-angsur selama dua puluh tiga tahun: tiga belas tahun di Mekah menurut pendapat yang kuat, dan sepuluh tahun di Medinah. Penjelasan tentang turunnya secara berangsur itu terdapat dalam firman Allah:
“Dan Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (al-Isra’ [17]:106).
Maksudnya: Kami telah menjadikan turunnya Qur’an itu secara berangsur agar kamu membacakannya kepada manusia secara perlahan dan teliti dan Kami menurunkannya bagian demi bagian sesuai dengan peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian.
Adapun kitab-kitab samawi yang lain, seperti Taurat, Injil dan Zabur, turunnya sekaligus, tidak turun secara berangsur-angsur. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh firman-Nya:
“Dan berkatalah orang-orang yang kafir: ’Mengapa Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?’ Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya kelompok demi kelompok.” (al-Furqan [25):32).
Ayat ini menunjukkan bahwa kitab-kitab samawi yang terdahulu itu turun sekaligus. Dan inilah pendapat yang dijadikan pegangan oleh jumhur ulama. Seandainya kitab-kitab yang terdahulu itu turun secara berangsur-angsur, tentulah orang-orang kafir tidak akan merasa heran terhadap Qur’an yang turun secara berangsur-angsur. Makna kata-kata mereka, ’Mengapa Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja’ seperti halnya kitab-kitab yang lain. Mengapa ia diturunkan secara bertahap? Mengapa ia diturunkan secara berangsur-angsur? Allah tidak menjawab mereka bahwa ini adalah Sunnah-Nya di dalam menurunkan semua kitab samawi sebagaimana Dia menjawab kata-kata mereka:
“Dan mereka berkata: Mengapa rasul int memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar?” (al-Furqan [25]:7) dengan jawaban:
“Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar.” (al-Furqan (25]:20), dan seperti Dia menjawab ucapan mereka:
“Adakah Allah mengutus seorang manusia menjadi rasul?” (al-Isra’ [17]:94) dengan jawaban:
*Katakanlah: ‘Kalau Seandainya ada malaikat-malaikat Yang berjalan-jalan sebagai penghuni di bumi, niscaya Kami turunkan dari langit kepada mereka seorang malaikat menjadi rasul.’” (al-Isra’ [17]:95) dan dengan firman-Nya:
“Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka. (alAnbiya’ [21]:7).
Tetapi Allah menjawab mereka dengan menjelaskan hikmah mengapa Qur’an diturunkan secara bertahap dengan firman-Nya: ”Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu”, maksudnya: Demikianlah Kami menurunkan Qur’an secara bertahap dan terpisah-pisah karena suatu hikmah, yaitu untuk memperkuat hati Rasulullah. “Dan Kami membacakannya kelompok demi kelompok”, maksudnya: Kami menentukannya seayat demi seayat atau bagian demi bagian, atau Kami menjelaskannya dengan sejelas-jelasnya, karena turunnya yang bertahap sesuai dengan peristiwa-peristiwa itu lebih dapat memudahkan hafalan dan pemahaman yang merupakan salah satu penyebab kemantapan (di dalam hati).
Penelitian terhadap hadis-hadis sahih menyatakan bahwa Qur’an turun menurut keperluan, terkadang turun lima ayat, terkadang sepuluh ayat, terkadang lebih banyak dari itu atau lebih sedikit. Terdapat hadis sahih yang menjelaskan sepuluh ayat telah turun sekaligus berkenaan dengan berita bohong tentang Aisyah. Dan telah turun pula sepuluh ayat dalam permulaan Surah Mukminun secara sekaligus. Dan telah turun pula, …yang tidak mempunyai alasan (gaira ulid darari) saja yang merupakan bagian dari suatu ayat.
Hikmah Turunnya Qur’an Secara Bertahap
Kita dapat menyimpulkan hikmah turunnya Qur’an secara bertahap dari nas-nas yang berkenaan dengan hal itu. Dan kami meringkaskannya sebagai berikut:
- Hikmah pertama: Menguatkan atau meneguhkan hati Rasulullah s.a.w.
Rasulullah s.a.w. telah menyampaikan dakwahnya kepada manusia, tetapi ia menghadapi sikap mereka yang membangkang dan watak yang begitu keras. Ja ditantang oleh orang-orang yang berhati batu, berperangai kasar dan keras kepala. Mereka senantiasa melemparkan berbagai macam gangguan dan ancaman kepada Rasul. Padahal dengan hati tulus ia ingin menyampaikan segala yang baik kepada mereka, sehingga dalam hal ini Allah mengatakan:
”Maka barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati sesudah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan int (Qur’an).” (al-Kahfi [18]:6).
Wahyu turun kepada Rasulullah s.a.w. dari waktu ke waktu sehingga dapat meneguhkan hatinya atas dasar kebenaran dan memperkuat kemauannya untuk tetap melangkahkan kaki di jalan dakwah tanpa menghiraukan perlakuan jahil yang hadapinya dari masyarakatnya sendiri, karena yang demikian itu hanyalah kabut di musim panas yang segera akan berakhir.
Allah menjelaskan kepada Rasul akan Sunnah-sunnah-Nya yang berkenaan dengan para nabi terdahulu yang didustakan dan dianiaya oleh kaum mereka; tetapi mereka tetap bersabar sehingga datang pertolongan dari Allah. Dijelaskan pula bahwa kaum Rasulullah itu mendustakannya hanya karena kecongkakan dan kesombongan mereka, sehingga ia akan menemukan “sunnah ilahi’” dalam iring-iringan para nabi sepanjang sejarah. Yang demikian ini dapat menjadi hiburan dan penerang baginya dalam menghadapi gangguan dan cobaan dari kaumnya dan dalam menghadapi sikap mereka yang selalu mendustakan dan menolaknya.
“Sesungguhnya Kami telah mengetahui bahwasanya apa yang mereka katakan itu. menyedihkan hatimu. Janganlah bersedih hati, karena sebenarnya mereka bukan mendustakan kamu, tetapi orang. orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah. Dan telah didustakan pula rasul-rasul sebelum kamu, tetapi mereka bersabar terhadap pendustaan dan penganiayaan yang dilakukan terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami kepada mereka.” (al-An‘am [6]:33-34).
“Jika mereka mendustakan kamu, maka sesungguhnya rasul-rasul sebelum kamu pun telah didustakan pula, mereka membawa mukjizat mukjizat yang nyata, Zabur dan kitab yang memberi penjelasan yang sempurna.” (Ali ‘Imran [3]:184).
Qur’an juga memerintahkan Rasul bersabar sebagaimana rasul-rasul sebelumnya:
“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari para rasul telah bersabar.” (al-Ahqaf [46]:35).
Jiwa Rasul menjadi tenang karena Allah menjamin akan melindunginya dari gangguan orang-orang yang mendustakan firman-Nya:
“Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik. Dan biarkanlah Aku saja bertindak terhadap orang-orang yang mendustakan itu, orang-orang yang mempunyai kemewahan, dan beri tangguhlah mereka barang sebentar.” (al-Muzzammil [73]:10-11).
Demikianlah hikmah yang terkandung dalam kisah para nabi yang terdapat di dalam Qur’an:
“Dan kisah rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu.” (Hud [11]:120).
Setiap kali penderitaan Rasulullah s.a.w. bertambah karena didustakan oleh kaumnya dan merasa sedih karena penganiayaan mereka, maka Qur’an turun untuk melepaskan derita dan menghiburnya serta mengancam orang-orang yang mendustakan bahwa Allah mengetahui hal-ihwal mereka dan akan membalas apa yang mereka Lakukan itu.
“Maka janganlah ucapan mereka menyedihkan kamu. Sesungguhnya Kami mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka nyatakan.” (Yasin [36]:76).
“Dan janganlah kamu sedih oleh perkataan mereka. Sesungguhnya kekuasaan itu seluruhnya adalah kepunyaan Allah. Dialah Yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (Yunus [10)]:65).
Demikian pula Allah menyampaikan berita gembira kepadanya dengan ayat-ayat (yang isinya menjanjikan) perlindungan, kemenangan dan pertolongan:
“Allah memelihara kamu dari gangguan mereka.” (al-Ma’idah [5]:67).
“Dan supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang kuat.” (al-Fath [48]:3).
“Allah telah menetapkan: ’Aku dan rasul-Ku pasti menang. Sesungguhnya Allah Mahakuat dan Mahaperkasa.” (al-Mujadalah [58]:21).
Demikianlah, ayat-ayat Qur’an itu turun kepada Rasulullah secara berkesinambungan sebagai penghibur dan pendukung sehingga ia tidak dirundung kesedihan dan dihinggapi rasa putus asa. Di dalam kisah para nabi itu terdapat teladan baginya. Dalam nasib yang akan menimpa orang-orang yang mendustakan terdapat hiburan baginya. Dan dalam janji akan memperoleh pertolongan Allah terdapat berita gembira baginya. Setiap kali ia merasa sedih sesuai dengan fitrahnya sebagai manusia ayat-ayat penghibur pun datang berulang kali sehingga ia berketetapan hati untuk melanjutkan dakwah dan merasa tenteram dengan pertolongan Allah.
Dengan hikmah yang demikianlah Allah menjawab pertanyaan orang-orang kafir mengapa Qur’an diturunkan secara bertahap, dengan firman-Nya:
”Demikianlah, supaya Kami memperkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya kelompok demi kelompok.” (al-Furqan [25]:32).
Abi Syamah berkata: ’Apabila ditanya: Apakah rahasia Qur’an diturunkan secara bertahap dan mengapakah ia tidak diturunkan sekaligus seperti halnya kitab-kitab yang lain? Kami menjawab: Pertanyaan yang demikian ini sudah dijawab oleh Allah. Allah berfirman: “Dan orang-orang yang kafir berkata: Mengapa Qur’an tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?). Mereka bermaksud, mengapa Qur’an tidak diturunkan kepadanya seperti halnya kitab-kitab lain yang diturunkan kepada para rasul sebelum dia. Maka Allah menjawab pertanyaan mereka dengan firman-Nya: “Demikianlah, (Kami menurunkannya secara berangsur) untuk memperkuat hatimu dengannya). Sebab apabila wahyu selalu baharu dalam setiap peristiwa, maka pengaruhnya dalam hati menjadi kuat dan orang yang menerimanya mendapat perhatian. Hal yang demikian ini menghendaki seringnya malaikat turun kepadanya, kebaharuan situasi dan risalah yang dibawanya dari sisi Allah Yang Mahaperkasa. Hal ini menimbulkan kegembiraan di hati Rasul s.a.w. yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Itulah sebabnya, Rasulullah sangat bermurah hati di bulan-bulan Ramadan karena dalam bulan ini Jibril sering menemuinya.”
- Hikmah kedua: Tantangan dan mukjizat.
Orang-orang musyrik senantiasa berkubang dalam kesesatan dan kesombongan hingga melampaui batas. Mereka sering mengajukan pertanyaan-pertanyaan dengan maksud melemahkan dan menantang, untuk menguji kenabian Rasulullah. Mereka juga sering menyampaikan kepadanya hal-hal batil yang tak masuk akal, seperti menanyakan tentang hari kiamat: Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat (al-A‘raf [7]:187), dan) minta disegerakannya azab: Dan mereka meminta kepadamu agar azab itu disegerakan. (al-Hajj {22]:47). Maka turunlah Qur’an dengan ayat yang menjelaskan kepada mereka Sepi kebenaran dan memberikan jawaban yang amat jelas atas pertanyaan mereka, misalnya firman Allah:
“Dan tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu dengan membawa sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” (al-Furqan [25]:33).
Maksud ayat tersebut ialah ”Setiap mereka datang kepadamu dengan pertanyaan yang aneh-aneh dari sekian pertanyaan yang sia-sia, Kami datangkan kepadamu jawaban yang benar dan sesuatu yang lebih baik maknanya daripada pertanyaan-pertanyaan yang hanya merupakan contoh kesia-siaan saja.”
Di saat mereka keheranan terhadap turunnya Qur’an secara berangsur-angsur, maka Allah menjelaskan kepada mereka kebenaran hal itu; sebab tantangan kepada mereka dengan Qur’an yang diturunkan secara berangsur sedang mereka tidak sanggup untuk membuat yang serupa dengannya, akan lebih memperlihatkan kemukjizatannya dan lebih efektif pembuktiannya daripada kalau Qur’an diturunkan sekaligus lalu mereka diminta membuat yang serupa dengannya itu. Oleh sebab itu, ayat di atas datang sesudah pertanyaan mereka, Mengapa Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja? Maksudnya ialah: Setiap mereka datang kepadamu dengan membawa sesuatu yang ganjil yang mereka minta seperti turunnya Qur’an sekaligus, Kami berikan kepadamu apa yang menurut kebijaksanaan Kami membenarkanmu dan apa yang lebih jelas maknanya dalam melemahkan mereka, yaitu dengan turunnya Qur’an secara berangsur-angsur. Hikmah yang demikian juga telah diisyaratkan oleh keterangan yang terdapat dalam beberapa riwayat dalam hadis Ibn Abbas mengenai turunnya Qur’an: “Apabila orang-orang musyrik mengadakan sesuatu, maka Allah pun mengadakan jawabannya atas mereka.”
- Hikmah ketiga: Mempermudah Hafalan dan Pemahamannya.
Al-Qur’anul Karim turun di tengah-tengah umat yang ummi, yang tidak pandai membaca dan menulis. Catatan mereka adalah hafalan dan daya ingatan. Mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang tata cara penulisan dan pembukuan yang dapat memungkinkan mereka menuliskan dan membukukannya, kemudian menghafal dan memahaminya.
“Dialah yang mengutus kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (al-Jumu’ah [62):2).
Juga firman-Nya:
“(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi…” (al-A‘raf [7]:157).
Umat yang buta huruf itu tidaklah mudah untuk menghafal seluruh Qur’an seandainya Qur’an diturunkan sekaligus, dan tidak mudah pula bagi mereka untuk memahami maknanya dan memikirkan ayat-ayatnya. Jelasnya bahwa turunnya Qur’an secara berangsur-angsur itu merupakan bantuan terbaik bagi mereka untuk menghafal dan memahami ayat-ayatnya. Setiap kali turun satu atau beberapa ayat,
para sahabat segera menghafalnya, memikirkan maknanya dan mempelajari hukum-hukumnya. Tradisi demikian ini menjadi suatu metode pengajaran dalam kehidupan para tabi ‘in. Abu Nadrah berkata:
“Abu Sa‘id al-Khudri mengajarkan Qur’an kepada kami, lima ayat di waktu pagi dan lima ayat di waktu petang. Dia memberitahukan bahwa Jibril menurunkan Qur’an lima ayat lima ayat.”
Dari Khalid bin Dinar dikatakan:
“Abul ‘Aliyah berkata kepada kami: ’Pelajarilah Qur’an itu lima ayat demi lima ayat; karena Nabi s.a.w. mengambilnya dari Jibril lima ayat demi lima ayat.’
Umar berkata:
’Pelajarilah Qur’an itu lima ayat demi lima ayat, karena Jibril menurunkan Qur’an kepada Nabi s.a.w. lima ayat demi lima ayat.’
- Hikmah keempat: Kesesuaian dengan Peristiwa-peristiwa dan Pentahapan dalam Penetapan Hukum.
Manusia tidak akan mudah mengikuti dan tunduk kepada agama yang baru ini seandainya Qur’an tidak menghadapi mereka dengan cara yang bijaksana dan memberikan kepada mereka beberapa obat penawar yang ampuh yang dapat menyembuhkan mereka dari kerusakan dan kerendahan martabat. Setiap kali terjadi suatu peristiwa di antara mereka, maka turunlah hukum mengenai peristiwa itu yang memberikan kejelasan statusnya dan petunjuk serta meletakkan dasar-dasar perundang-undangan bagi mereka, sesuai dengan situasi dan kondisi, satu demi satu. Dan cara demikian ini menjadi obat bagi hati mereka.
Pada mulanya, Qur’an meletakkan dasar-dasar keimanan kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kiamat serta apa yang ada pada hari kiamat itu seperti kebangkitan, hisab, balasan, surga dan neraka. Untuk itu, Qur’an menegakkan bukti-bukti dan alasan sehingga kepercayaan kepada berhala tercabut dari jiwa orang-orang musyrik dan tumbuh sebagai gantinya akidah Islam.
Qur’an mengajarkan akhlak mulia yang dapat membersihkan jiwa dan meluruskan kebengkokannya dan mencegah perbuatan yang keji dan mungkar, sehingga dapat terkikir habis akar kejahatan dan keburukan. Ia menjelaskan kaidah-kaidah halal dan haram yang menjadi dasar agama dan menancapkan tiang-tiangnya dalam hal makanan, minuman, harta benda, kehormatan dan nyawa.
Kemudian penetapan hukum bagi umat ini meningkat kepada penanganan penyakit-penyakit sosial yang sudah mendarah daging dalam jiwa mereka sesudah digariskan kepada mereka kewajiban-kewajiban agama dan rukun-rukun Islam yang menjadikan hati mereka penuh dengan iman, ikhlas kepada Allah dan hanya menyembah kepada-Nya serta tidak mempersekutukan-Nya.
Demikian pula Qur’an turun sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi bagi kaum Muslimin dalam perjuangan mereka yang panjang untuk meninggikan kalimah Allah. Hal-hal tersebut di atas, semuanya mempunyai dalil-dalil berupa nas-nas al-Qur’anul Karim bila kita meneliti ayat-ayat Makki dan Madani-nya serta kaidah-kaidah perundang-undangannya. Sebagai contoh di Mekah disyariatkan salat; dan prinsip umum mengenai zakat yang diperbandingkan dengan riba:
“Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, (demikian pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridaan Allah; dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan sesuatu riba yang kamu berikan agar ia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak bertambah di sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka yang berbuat demikian itulah orang-orang yang melipat-gandakan (pahalanya).” (ar-Rum [30]:38-39).
Surah An‘am yang Makki itu turun untuk menjelaskan pokok-pokok keimanan dan dalil-dalil tauhid, menghancurkan kemusryikan, menerangkan tentang makanan yang halal dan yang haram serta ajakan untuk menjaga kemuliaan harta benda, darah dan kehormatan. Allah berfirman:
’’Katakanlah: ‘’Marilah aku bacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu-bapak, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.’ Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahaminya. Dan janganlah kamu dekati harta yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, sampai dia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabatmu, dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.” (al-An‘am [6]:51-52).
Kemudian setelah itu turunlah perincian hukum-hukum ini. Pokok-pokok hukum perdata (terutama hukum benda) turun di Mekah tetapi perincian hukumnya turun di Medinah, seperti ayat tentang utang-piutang dan ayat-ayat yang mengharamkan riba. Asas-asas hubungan kekeluargaan itu turun di Mekah; tetapi penjelasan mengenai hak suami-istri dan kewajiban hidup berumah tangga serta hal-hal yang bertalian dengannya seperti keberlangsungan terus rumah tangga tadi atau keterputusannya dengan perceraian atau dengan kematian, kemudian bagaimana warisannya, maka penjelasan mengenai hal itu semua diterangkan dalam perundang-undangan yang Madani. Sedang mengenai zina dasarnya sudah diharamkan di Mekah:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; zina itu suatu perbuatan keji dan jalan yang buruk.” (al-Isra’ [17]:32).
Tetapi hukuman-hukuman yang diakibatkan oleh zina itu turun di Medinah. Adapun mengenai pembunuhan dasarnya juga sudah turun di Mekah:
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar.” (al-Isra’ [17]:33).
Tetapi perincian hukuman tentang pelanggaran terhadap jiwa dan anggota badan itu turun di Medinah.
Contoh yang paling jelas mengenai penetapan hukum yang berangsur-angsur itu ialah diharamkannya minuman keras. Mengenai hal ini pertama-tama Allah berfirman:
“Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sesungguhnya pada yang demikian itu. benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang memikirkan.” (an-Nahl [16]:67).
Ayat ini menyebutkan tentang nikmat atau karunia Allah. Apabila yang dimaksud dengan “sakar” ialah khamr atau minuman yang memabukkan dan yang dimaksud dengan “rezeki” ialah segala yang dimakan dari kedua pohon tersebut seperti kurma dan kismis – dan inilah pendapat jumhur ulama -, maka pemberian predikat “baik” kepada rezeki sementara sakar tidak diberinya, merupakan indikasi bahwa dalam hal ini pujian Allah hanya ditujukan kepada rezeki dan bukan kepada sakar. Kemudian turun firman Allah:
”Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia; tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.’” (al-Baqarah [2]:219).
Ayat ini membandingkan antara manfaat minuman keras (khamr) yang timbul sesudah meminumnya seperti kesenangan dan kegairahan atau keuntungan karena memperdagangkannya, dengan bahaya yang diakibatkannya seperti dosa, bahaya bagi kesehatan tubuh, merusak akal, menghabiskan harta dan membangkitkan dorongan-dorongan untuk berbuat kenistaan dan durhaka. Ayat tersebut menjauhkan khamr dengan cara menonjolkan segi bahayanya daripada manfaatnya. Kemudian turun firman Allah:
”Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat sedang kamu dalam keadaan mabuk.” (an-Nisa’ [4]:43).
Ayat ini menunjukkan larangan meminum khamr pada waktu-waktu tertentu bila pengaruh minuman itu akan sampai ke waktu salat. Ini mengingat adanya larangan mendekati salat dalam keadaan mabuk, sampai pengaruh minuman itu hilang dan mereka mengetahui apa yang mereka baca dalam salatnya. Selanjutnya turun firman Allah:
”’Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum khamr, berjudi, berkorban untuk berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji yang termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran meminum khamp dan berjudi itu, dan mengalangi kamu dari mengingat Allah dan salat. Maka berhentilah kamu dari mengerjakan pekerjaan itu.” (al. Ma’ idah [5]:90-91).
Ini merupakan pengharaman secara pasti dan tegas terhadap minuman keras dalam segala waktu. Hikmah penetapan hukum dengan sistem bertahap ini lebih Janjut diungkapkan dalam hadis yang diriwayatkan dari Aisyah r.a. ketika mengatakan:
“Sesungguhnya yang pertama kali turun dari Qur’an ialah Surah Mufassal yang didalamnya disebutkan surga dan neraka, sehingga ketika manusia telah berlari kepada Islam, maka turunlah hukum halal dan haram. Kalau sekiranya yang turun pertama kali adalah: “Janganlah kamu meminum khamr’, tentu mereka akan menjawab, “Kami tidak akan meninggalkan khamr selamanya.” Dan kalau sekiranya yang pertama kali turun adalah: “Janganlah kamu berzina’, tentu mereka akan menjawab: ’Kami tidak akan meninggalkan zina selamanya.”
Demikianlah, pentahapan dalam mendidik umat ini sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang dialami oleh umat tersebut. Rasulullah s.a.w. pernah meminta pertimbangan para sababatnya mengenai tawanan perang Badar. Maka Umar berkata: ”Potong saja leher mereka.” Sedang Abu Bakar berkata: “Menurut pandangan kami, sebaiknya Anda memaafkan mereka dan menerima tebusan dari mereka.” Dan Rasulullah s.a.w. pun mengambil pendapat Abu Bakar. Maka turunlah firman Allah:
“Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tahanan sebelum dia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki pahala akhirat untukmu. Dan Allah Mahaperkasa dan Mahabijaksana. Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari sisi Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil.” (al-Anfal [8]:67-68).
Kaum Muslimin merasa kagum atas besarnya jumlah pasukan mereka pada perang Hunain, sehingga seseorang di antara mereka berkata: “Kami pasti tidak akan dikalahkan oleh pasukan yang kecil.” Maka mereka pun menerima pelajaran yang berat dalam hal itu, dan turunlah firman Allah:
“Sesungguhnya Allah telah menolong kamu di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di Waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikit pun, dan bumi yang luas itu terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dun kepada orang-orang yang beriman, dan Allah menurunkan bala tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menimpakan bencana kepada orang-orang yang kafir, dan demikianlah pembalasan kepada orang-orang yang kafir. Sesudah ity Allah menerima tobat dari orang-orang yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” (at-Taubah [9]:25-27)
Ketika Abdullah bin Ubai pemimpin orang-orang munafik meninggal dunia, Rasulullah s.a.w. diundang untuk menyembahyangkannya. Ia pun memenuhinya. Namun ketika ia berdiri, Umar berkata: “Apakah engkau hendak melakukan salat atas Abdullah bin Ubai, musuh Allah yang mengatakan begini dan begitu?” Umar menyebutkan peristiwa-peristiwa yang dilakukan Abdullah; sedang Rasulullah S.a.w. tersenyum saja. Kemudian ia berkata kepada Umar: “Sebenarnya dalam hal ini saya sudah diberi kebebasan untuk memilih. Sebab telah dikatakan kepadaku, Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja), Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampun kepada mereka. (at-Taubah [9]:80). Sekiranya aku tahu bahwa jika aku memohonkan ampun lebih dari tujuh puluh kali dia diampuni, tentu aku akan memohonkan ampun lebih dari tujuh puluh kali.” Kemudian Rasulullah s.a.w. menyembahyangkannya juga; dan berjalan bersama Umar dan ia berdiri di atas kuburannya hingga selesai penguburan. Umar berkata: Aku heran terhadap diriku dan keberanianku kepada Rasulullah s.a.w., padahal Allah dan Rasul-Nya lebih tahu. Demi Allah, tidak lama kemudian turunlah kedua ayat ini: ”Janganlah sekali-kali kamu melakukan salat atas jenazah siapapun yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri di atas kuburannya….” (at-Taubah (9]:84-85). Maka sejak itu Rasulullah s.a.w. tidak lagi melakukan salat atas seorang munafik pun sampai ia dipanggil Allah ‘Azza wa Jalla.”
Ketika beberapa orang di antara kaum mukminin yang sejati tidak ikut dalam perang Tabuk dan mereka tetap tinggal di Medinah, sedang Rasulullah s.a.w. tidak mendapatkan alasan bagi ketidakikutan mereka, beliau menjauhi dan mengucilkan mereka sehingga mereka merasa hidupnya jadi sempit. Kemudian turunlah ayat-ayat Qur’an untuk menerima tobat mereka:
“Sesungguhnya Allah telah menerima tobat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Ansar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima tobat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang kepada mereka dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan tobat mereka), hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas, dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya. Kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima tobat dan Maha Penyayang.” (at-Taubah [9]:117-1 18).
Yang demikian ini juga diisyaratkan oleh keterangan yang diriwayatkan dari Ibn Abbas mengenai turunnya Qur’an: ”Qur’an diturun. kan oleh Jibril dengan membawa jawaban atas pertanyaan para hamba dan perbuatan mereka.”
- Hikmah kelima: Bukti yang pasti bahwa al-Qur’anul Karim diturunkan dari sisi Yang Mahabijaksana dan Maha Terpuji.
Qur’an yang turun secara berangsur-angsur kepada Rasulullah s.a.w. dalam waktu lebih dari dua puluh tahun ini ayatnya atau ayat. ayatnya turun dalam selang waktu tertentu, dan selama itu orang membacanya dan mengkajinya surah demi surah. Ketika itu ia melihat rangkaiannya begitu padat, tersusun cermat sekali dengan makna yang saling bertaut, dengan gaya yang begitu kuat, serta ayat demi ayat dan surah demi surah saling terjalin bagaikan untaian mutiara yang indah yang belum pernah ada bandingannya dalam perkataan manusia:
“Inilah suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi Allah Yang Mahabijaksana dan Mahatahu.” (Hud [11]:1).
Seandainya Qur’an ini perkataan manusia yang disampaikan dalam berbagai situasi, peristiwa dan kejadian, tentulah di dalamnya terjadi ketidakserasian dan saling bertentangan satu dengan yang lain, serta sulit terjadi keseimbangan.
“Kalau sekiranya Qur’an itu. bukan dari sisi Allah, tentulah mereka dapati banyak saling pertentangan di dalamnya.” (an-Nisa’ [4]:82).
Hadis-hadis Rasulullah s.a.w. sendiri yang merupakan puncak kefasihan dan paling bersastra sesudah Qur’an, tidaklah tersusun dalam bentuk sebuah buku dengan ungkapan yang lancar serta satu dengan yang lain saling berkait dalam suatu kesatuan dan ikatan seperti halnya al-Qur’anul Karim atau dalam bentuk susunan yang serasi dan harmoni yang mendekatinya sekalipun, apalagi ucapan dan perkataan manusia lainnya.
”Katakanlah: Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa dengan Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.” (al-Isra’ [17]:88).27
Faedah Turunnya Qur’an Secara Berangsur-angsur dalam
Pendidikan dan Pengajaran
Proses belajar-mengajar itu berlandaskan dua asas: perhatian terhadap tingkat pemikiran siswa dan pengembangan potensi akal, jiwa dan jasmaninya dengan apa yang dapat membawanya ke arah kebaikan dan kebenaran.
Dalam hikmah turunnya Qur’an secara bertahap itu kita melihat adanya suatu metode yang berfaedah bagi kita dalam mengaplikasikan kedua asas tersebut seperti yang kami sebutkan tadi. Sebab turunnya Qur’an itu telah meningkatkan pendidikan umat Islam secara bertahap dan bersifat alami untuk memperbaiki jiwa manusia, meluruskan peri, lakunya, membentuk kepribadian dan menyempurnakan eksistensinyg sehingga jiwa itu tumbuh dengan tegak di atas pilar-pilar yang kokoh dan mendatangkan buah yang baik bagi kebaikan umat manusia seluruhnya dengan izin Tuhan.
Pentahapan turunnya Qur’an itu merupakan bantuan yang paling baik bagi jiwa manusia dalam upaya menghafal Qur’an, memahami, mempelajari, memikirkan makna-maknanya dan mengamalkan apa yang dikandungnya.
Di antara celah-celah turunnya Qur’an yang pertama kali didapat. kan perintah untuk membaca dan belajar dengan alat tulis: ”Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan; Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah; Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah; Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam.” (al-‘Alaq [96]:1-5). Demikian pula dalam turunnya ayat-ayat tentang riba dan warisan dalam sistem harta kekayaan, atau turunnya ayat-ayat tentang peperangan untuk membedakan secara tegas antara Islam dengan kemusyrikan. Diantara itu semua, terdapat tahapan-tahapan pendidikan yang mempunyai berbagai cara dan sesuai dengan tingkat perkembangan masyarakat Islam yang sedang dan senantiasa berkembang, dari lemah menjadi kuat dan tangguh.
Sistem belajar-mengajar yang tidak memperhatikan tingkat pemikiran siswa dalam tahap-tahap pengajaran, bentuk bagian-bagian ilmu di atas yang bersifat menyeluruh serta perpindahannya dari yang umum menjadi lebih khusus; atau tidak memperhatikan pertumbuhan aspek-aspek kepribadian yang bersifat intelektual, rohani dan jasmani,. maka ia adalah sistem pendidikan yang gagal dan tidak akan memberi hasil ilmu pengetahuan kepada umat, selain hanya menambah kebekuan dan kemunduran.
Guru yang tidak memberikan kepada para siswanya porsi materi ilmiah yang sesuai, dan hanya menambah beban kepada mereka di luar kesanggupannya untuk menghafal dan memahami, atau berbicara kepada mereka dengan sesuatu yang tidak dapat mereka jangkau, atau tidak memperhatikan keadaan mereka dalam menghadapi keganjilan perilaku atau kebiasaan buruk mereka sehingga dia berlaku kasar dan keras, serta menangani urusan tersebut dengan tergesa-gesa dan gugup, tidak bertahap dan tidak bijaksana maka guru yang berlaku demikian ini adalah guru yang gagal pula. Dia telah mengubah proses belajar-mengajar menjadi kesesatan-kesesatan yang mengerikan dan menjadikan ruang belajar sebagai ruang yang tidak disenangi.
Begitu pula halnya dengan buku pelajaran. Buku yang tidak tersusun judul-judul dan fasal-fasalnya serta tidak bertahap penyajian pengetahuannya dari yang mudah kepada yang lebih sukar, juga bagian-bagiannya tidak disusun secara baik dan serasi, dan gaya bahasanya pun tidak jelas dalam menyampaikan apa yang dimaksud maka buku yang demikian ini tidak akan dibaca dan dimanfaatkan oleh siswa.
Petunjuk Ilahi tentang hikmah turunnya Qur’an secara bertahap merupakan contoh yang baik dalam menyusun kurikulum pengajaran, memilih metode yang baik dan menyusun buku pelajaran.
Yang dimaksud dengan pengumpulan Qur’an (jam‘ul Qur’an) oleh para ulama adalah salah satu dari dua pengertian berikut:
Pertama: pengumpulan dalam arti hifguhu (menghafalnya dalam hati). Jummda‘ul Qur’an artinya huffazuhu (penghafal-penghafalnya, orang yang menghafalkannya di dalam hati). Inilah makna yang dimaksudkan dalam firman Allah kepada Nabi-Nabi senantiasa menggerak-gerakkan kedua bibir dan lidahnya untuk membaca Qur’an ketika Qur’an itu turun kepadanya sebelum Jibril selesai membacakannya, karena ingin menghafalnya:
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk membaca Qur’an karena hendak cepat-cepat menguasainya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, atas tanggungan Kamilah penjelasannya.” (al-Qiyamah [75]:16-19).
Ibn Abbas mengatakan: ”Rasulullah sangat ingin segera menguasai Qur’an yang diturunkan. Ia menggerakkan lidah dan kedua bibirnya karena takut apa yang turun itu akan terlewatkan. Ta ingin segera menghafalnya. Maka Allah menutunkan: Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk membaca Qur’an karena hendak cepat-cepat menguasainya, Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya dan membacanya, maksudnya, ’Kami yang mengumpulkannya di dadamu, kemudian Kami membacakannya.’ Apabila Kami telah selesai membacakannya, maksudnya, ’apabila Kami telah menurunkannya kepadamu’ maka tkutilah bacaannya itu; maksudnya, ’dengarkan dan perhatikanlah ta.’ Kemudian, atas tanggungan Kamilah penjelasannya, yakni ‘menjelaskannya dengan lidahmu.’ Dalam lafal yang lain dikatakan: ’Atas tanggungan Kamilah membacakannya.’ Maka setelah ayat ini turun bila Jibril datang, Rasulullah diam. Dalam lafal lain: ’ia mendengarkan.’ Dan bila Jibril telah pergi, barulah ia membacanya sebagaimana diperintahkan Allah.”
Kedua: pengumpulan dalam arti kitabatuhu kullihi (penulisan Qur’an semuanya) baik dengan memisah-misahkan ayat-ayat dan surah-surahnya, atau menertibkan ayat-ayat semata dan setiap surah ditulis dalam satu lembaran secara terpisah, ataupun menertibkan ayat-ayat dan surah-surahya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul yang menghimpun semua surah, sebagiannya ditulis sesudah bagian yang lain.
Pengumpulan Qur’an dalam Arti Menghafalnya pada Masa Nabi
Rasulullah amat menyukai wahyu, ia senantiasa menunggu penurunan wahyu dengan rasa rindu, lalu menghafal dan memahaminya, persis seperti dijanjikan Allah: Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya (al-Qiyamah [75]:17). Oleh sebab itu, ia adalah hafiz (penghafal) Qur’an pertama dan merupakan contoh paling baik bagi para sahabat dalam menghafalnya, sebagai realisasi kecintaan mereka kepada pokok agama dan sumber risalah. Qur’an diturunkan selama dua puluh tahun lebih. Proses penurunannya terkadang hanya turun satu ayat dan terkadang turun sampai sepuluh ayat. Setiap kali sebuah ayat turun, dihafal dalam dada dan ditempatkan dalam hati, sebab bangsa Arab secara kodrati memang mempunyai daya hafal yang kuat. Haj itu karena umumnya mereka buta huruf, sehingga dalam penulisan berita-berita, syair-syair dan silsilah mereka dilakukan dengan catatan di hati mereka.
Dalam kitab Sahih-nya Bukhari telah mengemukakan tentang adanya tujuh Aafiz, melalui tiga riwayat. Mereka adalah Abdullah bin Mas‘ud, Salim bin Ma‘qal bekas budak Abu Huzaifah, Mu‘az bin Jabal, Ubai bin Ka‘b, Zaid bin Sabit, Abu Zaid bin Sakan dan Aby Darda’.
- Dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘As dikatakan:
“Aku telah mendengar Rasulullah berkata: ’Ambillah Qur’an dari empat orang: Abdullah bin Mas‘ud, Salim, Mu‘az dan Ubai bin Ka‘b.” Keempat orang tersebut dua orang dari Muhajirin, yaitu Abdullah bin Mas‘ud dan Salim; dan dua orang dari Ansar, yaitu Mu‘az dan Ubai.
- Dari Qatadah dikatakan:
”Aku telah bertanya kepada Anas bin Malik: Siapakah orang yang hafal Qur’an di masa Rasulullah? Dia menjawab: “Empat orang. Semuanya dari kaum Ansar; Ubai bin Ka‘b, Mu‘az bin Jabal, Zaid bin Sabit dan Abu Zaid.’ Aku bertanya kepadanya: ’Siapakah Abu Zaid itu?’, ia menjawab: ’Salah seorang pamanku.”?
- Dan diriwayatkan pula melalui Sabit, dari Anas yang mengatakan:
“Rasulullah wafat sedang Qur’an belum dihafal kecuali oleh empat orang: Abu Darda’, Mu‘az bin Jabal, Zaid bin Sabit dan Abu Zaid.”
Abu Zaid yang disebutkan dalam hadis-hadis di atas penjelasannya terdapat dalam riwayat yang dinukil oleh Ibn Hajar dengan isnad yang memenuhi persyaratan Bukhari. Menurut Anas, Abu Zaid yang hafal Qur’an itu namanya Qais bin Sakan. Kata Anas: “Ia adalah seorang laki-laki dari suku kami Bani ‘Adi ibnun Najjar dan termasuk salah seorang paman kami. Ia meninggal dunia tanpa meninggalkan anak, dan kamilah yang mewarisinya.”
Ibn Hajar ketika menuliskan biografi Sa‘id bin ‘Ubaid menjelaskan bahwa ia termasuk seorang hafiz dan dijuluki pula dengan alQari’ (pembaca Qur’an).
Penyebutan para hafiz yang tujuh atau delapan ini tidak berarti pembatasan, karena beberapa keterangan dalam kitab-kitab sejarah dan Sunan menunjukkan bahwa para sahabat berlomba menghafalkan Qur’an dan mereka memerintahkan anak-anak dan istri-istri mereka untuk menghafalkannya. Mereka membacanya dalam salat di tengah malam, sehingga alunan suara mereka terdengar bagai suara lebah. Rasulullah pun sering melewati rumah-rumah orang Ansar dan berhenti untuk mendengarkan alunan suara mereka yang membaca Qur’an di rumah-rumah.
Dari Abu Musa al-Asy’ari:
” Bahwa Rasulullah berkata kepadanya: ’Tidakkah engkau melihat aku tadi malam, di waktu aku mendengarkan engkau membaca Qur’an? Sungguh kau telah diberi satu seruling dari seruling Nabi Daud.
Diriwayatkan Abdullah bin ‘Amr berkata:
”Aku telah menghafal Qur’an dan aku menamatkannya pada setiap malam. Hal ini sampai kepada Nabi, maka katanya: ’Tamatkanlah dalam waktu satu bulan.”
Abu Musa al-Asy‘ari berkata:
”Rasulullah berkata: ’Sesungguhnya aku mengenal kelembutan alunan suara keturunan Asy‘ari di waktu malam ketika mereka berada dalam rumah. Aku mengenal rumah-rumah mereka dari suara bacaan Qur’an mereka di waktu malam, sekalipun aku belum pernah melihat rumah mereka di waktu siang.’
Di samping antusiasisme para sahabat untuk mempelajari dan menghafal Qur’an, Rasulullah pun mendorong mereka ke arah itu dan memilih orang tertentu yang akan mengajarkan Qur’an kepada mereka. ‘Ubadah bin Samit berkata:
“Apabila ada seseorang yang hijrah (masuk Islam) Nabi menyerahkannya kepada salah seorang di antara kami untuk mengajarinya Qur’an. Dan di masjid Rasulullah sering terdengar gemuruh suara orang membaca Qur’an, sehingga Rasulullah memerintahkan mereka agar merendahkan suara sehingga tidak saling mengganggu.”
Pembatasan tujuh orang sebagaimana disebutkan Bukhari dengan: tiga riwayat di atas, diartikan bahwa mereka itulah yang hafal seluruh isi Qur’an di luar kepala dan telah menunjukkan hafalannya di hadapan Nabi, serta isnad-isnadnya sampai kepada kita. Sedang para hafiz Qur’an lainnya — yang berjumlah banyak tidak memenuhi hal-hal tersebut; terutama karena para sahabat telah tersebar di pelbagai wilayah dan sebagian mereka menghafal dari yang lain. Cukuplah sebagai bukti tentang hal ini bahwa para sahabat yang terbunuh dalam pertempuran di sumur ”Ma‘inah,” semuanya disebut qurra’, sebanyak tujuh puluh orang sebagaimana disebutkan dalam hadis sahih. Al Qurthubi mengatakan: ”Telah terbunuh tujuh puluh orang qari’ pada perang Yamamah; dan terbunuh pula pada masa Nabi sejumlah itu dalam pertempuran di sumur Ma‘inah.”
Inilah pemahaman para ulama dan pentakwilan mereka terhadap hadis-hadis sahih yang menunjukkan terbatasnya jumlah para hafiz Qur’an yaitu hanya tujuh orang seperti telah dikemukakan. Dalam mengomentari riwayat Anas yang menyatakan “Tak ada yang hafal Qur’an kecuali empat orang”, al-Mawardi!? berkata: ”Ucapan Anas yang menyatakan bahwa tidak ada yang hafal Qur’an selain empat orang itu tidak dapat diartikan bahwa kenyataannya memang demikian. Sebab mungkin saja Anas tidak mengetahui ada orang lain yang menghafalnya. Bila tidak, maka bagaimana ia mengetahui secara persis orang-orang yang hafal Qur’an sedangkan para sahabat amat banyak jumlahnya dan tersebar di pelbagai wilayah? Pengetahuan Anas tentang orang-orang yang hafal Qur’an itu tidak dapat diterima kecuali kalau ia bertemu dengan setiap orang yang menghafalnya dan orang itu menyatakan kepadanya bahwa ia belum sempurna hafalannya di masa Nabi. Yang demikian ini amat tidak mungkin terjadi menurut kebiasaan. Karena itu bila yang dijadikan rujukan oleh Anas hanya pengetahuannya sendiri maka hal ini tidak berarti bahwa kenyataannya memang demikian. Di samping itu syarat kemutawatiran juga tidak menghendaki agar semua pribadi hafal, bahkan bila kolektifitas sahabat telah hafal – sekalipun secara distributif maka itu sudah cukup.”!!
Dengan penjelasan ini al-Mawardi telah menghilangkan keraguan yang mengesankan sedikitnya jumlah huffaz (para penghafal Qur’an) dengan cara meyakinkan dan menjelaskan kemungkinan-kemungkinan yang kuat mengenai pembatasan jumlah hafiz dalam hadis Anas dengan penjelasan memuaskan.
Abu ‘Ubaid!? telah menyebutkan dalam kitab al-Qird’dt sejumlah gari dari kalangan sahabat. Dari kaum Muhajirin, ia menyebutkan: empat orang. khalifah, ‘Talhah, Sa‘d, Ibn Mas‘ud, Huzaifah, Salim, Abu Hurairah, Abdullah as-Sa’ib, empat orang bernama Abdullah, Aisyah, Hafsah dan Ummu Salamah; dan dari kaum Ansar: ‘Ubadah bin Samit, Mu‘az, yang dijuluki Abu Halimah, Majma‘ bin Jariyah, Fudalah bin ‘Ubaid dan Maslamah bin Mukhallad. Ditegaskannya bahwa sebagian mercka itu menyempurnakan hafalannya sepeninggal Nabi.
Al-Hafiz az-Zahabi menyebutkan dalam Tabagdtul Qurrad’ bahwa jumlah qari tersebut adalah jumlah mereka yang menunjukkan hafalannya di hadapan Nabi dan sanad-sanadnya sampai kepada kita secara bersambung. Sedangkan sahabat yang hafal Qur’an namun sanadnya tidak sampai kepada kita, jumlah mereka itu banyak.
Dari keterangan-keterangan ini jelaslah bagi kita bahwa para hafiz Qur’an di masa Rasulullah amat banyak jumlahnya, dan bahwa berpegang pada hafalan dalam penukilan di masa itu termasuk ciri khas umat ini. Ibn Jazari,’ guru para qari pada masanya menyebutkan: ’Penukilan Qur’an dengan berpegang pada hafalan bukannya pada mushaf-mushaf dan kitab-kitab merupakan salah satu keistimewaan yang diberikan Allah kepada umat ini.”
Pengumpulan Qur’an dalam Arti Penulisannya pada Masa Nabi.
Rasulullah telah mengangkat para penulis wahyu Qur’an dari sahabat-sahabat terkemuka, seperti Ali, Mu‘awiyah, ‘Ubai bin Ka‘b dan Zaid bin Sabit. Bila ayat turun, ia memerintahkan mereka menuliskannya dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam surah, sehingga penulisan pada lembaran itu membantu penghafalan di dalam hati. Di samping itu sebagian sahabat pun menuliskan Qur’an yang turun itu atas kemauan mereka sendiri, tanpa diperintah oleh Nabi. mereka menuliskannya pada pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang-belulang bi. natang. Zaid bin Sabit berkata: “Kami menyusun Qur’an di hadapan Rasulullah pada kulit binatang.”
Ini menunjukkan betapa besar kesulitan yang dipikul para sahabat dalam menuliskan Qur’an. Alat-alat tulis tidak cukup tersedia bagi mereka, selain sarana-sarana tersebut. Dan dengan demikian, penulisan Qur’an ini semakin menambah hafalan mereka.
Jibril membacakan Qur’an kepada Rasulullah pada malam-malam bulan Ramadan setiap tahunnya. Abdullah bin Abbas berkata:
“Rasulullah adalah orang paling pemurah, dan puncak kemurahannya pada bulan Ramadan ketika ia ditemui oleh Jibril. Ia ditemui Jibril pada setiap malam bulan Ramadan; Jibril membacakan Qur’an kepadanya, dan ketika Rasulullah ditemui oleh Jibril itu ia sangat pemurah sekali.”
Para sahabat senantiasa menyodorkan Qur’an kepada Rasulullah baik dalam bentuk hafalan maupun tulisan.
Tulisan tulisan Qur’an pada masa Nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf, yang ada pada seseorang belum tentu dimiliki oleh yang Jain. Para ulama telah menyampaikan bahwa segolongan dari mereka, diantaranya Ali bin Abi Talib, Mu‘az, bin Jabal, Ubai bin Ka‘b, Zaid bin Sabit dan Abdullah bin Mas‘ud telah menghafal seluruh isi Qur‘an di masa Rasulullah. Dan mereka menyebutkan pula bahwa Zaid bin Sabit adalah orang yang terakhir kali membacakan Qur’an di hadapan Nabi di antara mereka yang disebutkan di atas.
Rasulullah berpulang ke rahmatullah di saat Qur’an telah dihafal dan tertulis dalam mushaf dengan susunan seperti disebutkan di atas, ayat-ayat dan surah-surah dipisah-pisahkan, atau ditertibkan ayat-ayatnya saja dan setiap surah berada dalam satu lembaran secara terpisah dan dalam tujuh huruf, tetapi Qur’an belum dikumpulkan dalam satu mushaf yang menyeluruh (lengkap). Bila wahyu turun segeralah dihafal oleh para qurra dan ditulis oleh para penulis; tetapi pada saat itu belum diperlukan membukukannya dalam satu mushaf, sebab Nabi masih selalu menanti turunnya wahyu dari waktu ke waktu. Di samping itu terkadang pula terdapat ayat yang me-nasikh (menghapuskan) sesuatu yang turun sebelumnya. Susunan atau tertib penulisan Qur’an itu tidak menurut tertib nuzulnya, tetapi setiap ayat yang turun dituliskan di tempat penulisan sesuai dengan petunjuk Nabi ia menjelaskan bahwa ayat anu harus diletakkan dalam surah anu. Andaikata (pada masa Nabi) Qur’an itu seluruhnya dikumpulkan di antara dua sampul dalam satu mushaf, hal yang demikian tentu akan membawa perubahan bila wahyu turun lagi. Az-Zarkasyi berkata: ’Qur’an tidak dituliskan dalam satu Mushaf pada zaman Nabi agar ia tidak berubah pada setiap waktu. Oleh sebab itu, penulisannya dilakukan kemudian sesudah Qur’an selesai turun semua, yaitu dengan wafatnya Rasulullah.”
Dengan pengertian inilah ditafsirkan apa yang diriwayatkan dari Zaid bin Sabit yang mengatakan: ”Rasulullah telah wafat, sedang Qur’an belum dikumpulkan sama sekali.” Maksudnya ayat-ayat dan surah-surahnya belum dikumpulkan secara tertib dalam satu mushaf. Al-Khattabi berkata: ’Rasulullah tidak mengumpulkan Qur’an dalam satu mushaf itu karena ia senantiasa menunggu ayat nasikh terhadap sebagian hukum-hukum atau bacaannya. Sesudah berakhir masa turunnya dengan wafatnya Rasulullah, maka Allah mengilhamkan penulisan mushaf secara lengkap kepada para Khulafa’ur Rasyidin sesuai dengan janji-Nya yang benar kepada umat ini tentang jaminan pemeliharaannya.” Dan hal ini terjadi pertama kalinya pada masa Abu Bakar atas pertimbangan usulan Umar.”
Pengumpulan Qur’an di masa Nabi ini dinamakan: a) penghafalan; dan b) pembukuan yang pertama.
Pengumpulan Qur’an pada Masa Abu Bakar
Abu Bakar menjalankan urusan Islam sesudah Rasulullah. Ig dihadapkan kepada peristiwa-peristiwa besar berkenaan dengan kemurtadan sebagian orang Arab. Karena itu ia segera menyiapkan pasukan dan mengirimkannya untuk memerangi orang-orang yang murtad itu. Peperangan Yamamah yang terjadi pada tahun dua belas Hijri melibatkan sejumlah besar sahabat yang hafal Qur’an. Dalam peperangan ini tujuh puluh qari dari para sahabat gugur. Umar bin Khattab merasa sangat khawatir melihat kenyataan ini, lalu ia menghadap Abu Bakar dan mengajukan usul kepadanya agar mengumpulkan dan membukukan Qur’an karena dikhawatirkan akan musnah, sebab peperangan Yamamah telah banyak membunuh para qari.
Di segi lain Umar merasa khawatir juga kalau-kalau peperangan di tempat-tempat lain akan membunuh banyak qari pula sehingga Qur’an akan hilang dan musnah. Abu Bakar menolak usulan ini dan berkeberatan melakukan apa yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Tetapi Umar tetap membujuknya, sehingga Allah membukakan hati Abu Bakar untuk menerima usulan Umar tersebut. Kemudian Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Sabit, mengingat kedudukannya dalam qira’at, penulisan, pemahaman dan kecerdasannya serta kehadirannya pada pembacaan yang terakhir kali. Abu Bakar menceritakan kepadanya kekhawatiran dan usulan Umar. Pada mulanya Zaid menolak seperti halnya Abu Bakar sebelum itu. Keduanya lalu bertukar pendapat, sampai akhirnya Zaid dapat menerima dengan lapang dada perintah penulisan Qur’an itu. Zaid bin Sabit memulai tugasnya yang berat ini dengan bersandar pada hafalan yang ada dalam hati para qurra dan catatan yang ada pada para penulis. Kemudian lembaran-lembaran (kumpulan) itu disimpan di tangan Abu Bakar. Setelah ia wafat pada tahun tiga belas Hijri, lembaran-lembaran itu berpindah ke tangan Umar dan tetap berada di tangannya hingga ia wafat. Kemudian mushaf itu berpindah ke tangan Hafsah, putri Umar. Pada permulaan kekhalifahan Usman, Usman memintanya dari tangan Hafsah.
Zaid bin Sabit berkata: “Abu Bakar memanggilku untuk menyampaikan berita mengenai korban perang Yamamah. Ternyata Umar sudah ada di sana. Abu Bakar berkata: “Umar telah datang kepadaku dan mengatakan, bahwa perang di Yamamah telah menelan banyak korban dari kalangan qurra; dan ia khawatir kalau-kalau terbunuhnya para qurra itu juga akan terjadi di tempat-tempat lain, sehingga sebagian besar Qur’an akan musnah. Ia menganjurkan agar aku memerintahkan seseorang untuk mengumpulkan Qur’an. Maka aku katakan kepadanya, bagaimana mungkin kita akan melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah? Tetapi Umar menjawab dan bersumpah, Demi Allah, perbuatan tersebut baik. Ia terus menerus membujukku sehingga Allah membukakan hatiku untuk menerima usulnya, dan akhirnya aku sependapat dengan Umar.’” Zaid berkata lagi: “Abu Bakar berkata kepadaku: ’Engkau seorang pemuda yang cerdas dan kami tidak meragukan kemampuanmu. Engkau telah menuliskan wahyu untuk Rasulullah. Oleh karena itu carilah Qur’an dan kumpulkanlah.” ”Demi Allah”, kata Zaid lebih lanjut, ’sekiranya mereka memintaku untuk memindahkan gunung, rasanya tidak lebih berat bagiku daripada perintah mengumpulkan Qur’an. Karena itu aku menjawab: ’Mengapa Anda berdua ingin melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulullah?’ Abu Bakar menjawab: ’Demi Allah, itu baik.” Abu Bakar tetap membujukku sehingga Allah membukakan hatiku sebagaimana Ia telah membukakan hati Abu Bakar dan Umar. Maka aku pun mulai mencari Qur’an. Kukumpulkan ia dari pelepah kurma, kepingan-kepingan batu dan dari hapalan para penghapal, sampai akhirnya aku mendapatkan akhir surah Taubah berada pada Abu Khuzaimah al-Ansari, yang tidak kudapatkan pada orang lain, Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu Sendiri… hingga akhir surah. Lembaran-lembaran (hasil kerjaku) tersebut kemudian disimpan di tangan Abu Bakar hingga wafatnya, Sesudah itu berpindah ke tangan Umar sewaktu masih hidup, dan selanjutnya berada di tangan Hafsah binti Umar.”
Zaid bin Sabit bertindak sangat teliti, hati-hati. Ia tidak mencukupkan pada hafalan semata tanpa disertai dengan tulisan. Kata-kata Zaid dalam keterangan di atas: “Dan aku dapatkan akhir surah Taubah pada Abu Khuzaimah al-Ansari, yang tidak aku dapatkan pada orang lain” tidak menghilangkan arti keberhati-hatian tersebut dan tidak pula berarti bahwa akhir surah Taubah itu tidak mutawatir. Tetapi yang dimaksud ialah bahwa ia tidak mendapatkan akhir surah Taubah tersebut dalam keadaan tertulis selain pada Abu Khuzaimah. Zaid sendiri hafal dan demikian pula banyak di antara para sahabat yang meng. hafalnya. Perkataan itu lahir karena Zaid berpegang pada hafalan dan tulisan. Jadi, ayat akhir surah Taubah itu telah dihafal oleh banyak sahabat; dan mereka menyaksikan ayat tersebut dicatat. Tetapi catatannya hanya terdapat pada Abu Khuzaimah al-Ansari.
Ibn Abu Daud meriwayatkan melalui Yahya bin Abdurrahman bin Hatib, yang mengatakan: “Umar datang lalu berkata: ’Barang Siapa menerima dari Rasulullah sesuatu dari Qur’an, hendaklah ia menyampaikannya.’ Mereka menuliskan Qur’an itu pada lembaran kertas, papan kayu dan pelepah kurma, dan Zaid tidak mau menerima dari seseorang mengenai Qur’an sebelum disaksikan oleh dua orang saksi.” Ini menunjukkan bahwa Zaid tidak merasa puas hanya dengan adanya tulisan semata sebelum tulisan itu disaksikan oleh orang yang menerimanya secara pendengaran (langsung dari Rasul), sekalipun Zaid sendiri hafal. Ya bersikap demikian ini karena sangat berhati-hati. Dan diriwayatkan pula oleh Ibn Abu Daud melalui Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya, bahwa Abu Bakar berkata kepada Umar dan Zaid: “Duduklah kamu berdua di pintu masjid. Bila ada yang datang kepadamu membawa dua orang saksi atas sesuatu dari Kitab Allah, maka tulislah.” Para perawi hadis ini orang-orang terpercaya, sekalipun hadis tersebut munqati‘ (terputus). Ibn Hajar mengatakan: “Yang dimaksudkan dengan dua orang saksi adalah hafalan dan catatan.”
As-Sakhawi? menyebutkan dalam Jamalul Qurrd’, yang dimaksudkan ialah kedua saksi itu menyaksikan bahwa catatan itu ditulis di hadapan Rasulullah; atau dua orang saksi itu menyaksikan bahwa catatan tadi sesuai dengan salah satu cara yang dengan itu Qur’an diturunkan. Abu Syamah berkata: “Maksud mereka ialah agar Zaid tidak menuliskan Qur’an kecuali diambil dari sumber asli yang dicatat di hadapan Nabi, bukan semata-mata dari hafalan. Oleh sebab itu Zaid berkata tentang akhir surah Taubah, ’Aku tidak mendapatkannya pada orang lain’ maksudnya ’aku tidak mendapatnya dalam keadaan tertulis pada orang lain,’ sebab ia tidak menganggap cukup hanya didasarkan pada hafalan tanpa adanya catatan.”
Kita sudah mengetahui bahwa Qur’an sudah tercatat sebelum masa itu, yaitu pada masa Nabi; tetapi masih berserakan pada kulit-kulit, tulang dan pelepah kurma. Kemudian Abu Bakar memerintahkan agar Catatan-catatan tersebut dikumpulkan dalam satu mushaf, dengan ayat-ayat dan surah-surah yang tersusun serta dituliskan dengan sangat berhati-hati dan mencakup tujuh huruf yang dengan itu Qur’an diturunkan. Dengan demikian, Abu Bakar adalah orang pertama yang mengumpulkan Qur’an dalam satu mushaf dengan cara seperti ini, di samping terdapat juga mushaf-mushaf pribadi pada sebagian sahabat, seperti mushaf Ali, mushaf Ubai dan mushaf Ibn Mas‘ud. Tetapi mushaf-mushaf itu tidak ditulis dengan cara seperti di atas dan tidak pula dikerjakan dengan penuh ketelitian dan kecermatan, juga tidak dihimpun secara tertib yang hanya memuat ayat-ayat yang bacaannya tidak dimansukh dan secara ijma‘ sebagaimana mushaf Abu Bakar. Keistimewaan-keistimewaan seperti ini hanya ada pada himpunan Qur’an yang dikerjakan oleh Abu Bakar. Para ulama berpendapat bahwa penamaan Qur’an dengan ”mushaf” itu baru muncul sejak saat itu, dj saat Abu Bakar mengumpulkan Qur’an. Ali berkata: “Orang yang paling besar pahalanya dalam hal mushaf ialah Abu Bakar. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Abu Bakar. Dialah orang pertama yang mengumpulkan Kitab Allah.”
Pengumpulan ini dinamakan pengumpulan kedua.
Pengumpulan Qur’an pada Masa Usman
Penyebaran Islam bertambah luas dan para qurra pun tersebar dj pelbagai wilayah, dan penduduk di setiap wilayah itu mempelajari qira’at (bacaan) dari qari yang dikirim kepada mereka. Cara-cara pembacaan (qira’at) Qur’an yang mereka bawakan berbeda-beda sejalan dengan perbedaan “huruf” yang dengannya Qur’an diturunkan. Apabila mereka berkumpul di suatu pertemuan atau di suatu medan peperangan, sebagian mereka merasa heran akan adanya perbedaan qira’at ini. Terkadang sebagian dari mereka merasa puas karena mengetahui bahwa perbedaan-perbedaan itu semuanya disandarkan kepada Rasulullah. Tetapi keadaan demikian bukan berarti tidak akan menyusupkan keraguan kepada generasi baru yang tidak melihat Rasulullah, sehingga terjadilah pembicaraan tentang bacaan mana yang baku dan mana yang lebih baku. Dan pada gilirannya akan menimbulkan saling pertentangan bila terus tersiar, bahkan akan menimbulkan permusuhan dan perbuatan dosa. Fitnah yang demikian ini harus segera diselesaikan.
Ketika terjadi perang Armenia dan Azarbaijan dengan penduduk Trak, di antara orang yang ikut menyerbu kedua tempat itu ialah Huzaifah bin al-Yaman. Ia melihat banyak perbedaan dalam cara-cara membaca Qur’an. Sebagian bacaan itu bercampur dengan kesalahan; tetapi masing-masing mempertahankan dan berpegang pada bacaannya, serta menentang setiap orang yang menyalahi bacaannya dan bahkan . mereka saling mengkafirkan. Melihat kenyataan demikian Huzaifah segera menghadap Usman dan melaporkan kepadanya apa yang telah dilihatnya, Usman juga memberitahukan kepada Huzaifah bahwa sebagian perbedaan itu pun akan terjadi pada orang-orang yang mengajarkan qiraat kepada anak-anak. Anak-anak itu akan tumbuh sedang di antara mereka terdapat perbedaan dalam qiraat. Para sahabat amal memprihatinkan kenyataan ini karena takut kalau kalau perbedaan itu akan menimbulkan penyimpangan dan perubahan. Mereka bersepakat untuk menyalin lembaran-lembaran pertama yang ada pada Abu Bakar dan menyatukan umat Islam pada lembaran-lembaran itu dengan bacaan yang tetap pada satu huruf.
Usman kemudian mengirimkan utusan kepada Hafsah (untuk meminjamkan mushaf Abu Bakar yang ada padanya) dan Hafsah pun mengirimkan lembaran-lembaran itu kepadanya. Kemudian Usman memanggil Zaid bin Sabit al-Ansari, Abdullah bin Zubair, Sa‘id bin ‘As, dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam, ketiga orang terakhir ini adalah suku Quraisy; lalu memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf, serta memerintahkan pula agar apa yang diperselisihkan Zaid dengan ketiga orang Quraisy itu ditulis dalam bahasa Quraisy, karena Qur’an turun dalam logat mereka.
Dari Anas: ”Bahwa Huzaifah bin al-Yaman datang kepada Usman. Ia pernah ikut berperang melawan penduduk Syam bagian Armenia dan Azarbaijan bersama dengan penduduk Irak. Huzaifah amat terkejut oleh perbedaan mereka dalam bacaan. Lalu ia berkata kepada Usman: ’Selamatkanlah umat ini sebelum mereka terlibat dalam perselisihan (dalam masalah Kitab) sebagaimana perselisihan orang-orang Yahudi dan Nasrani.’ Usman kemudian mengirim surat kepada Hafsah yang isinya: ’Sudilah kiranya Anda kirimkan kepada kami lembaran-lembaran yang bertuliskan Qur’an itu, kami akan menyalinnya menjadi beberapa mushaf, setelah itu kami akan mengembalikannya.’ Hafsah mengirimkannya kepada Usman, dan Usman memerintahkan Zaid bin Sabit, Abdullah bin Zubair, Sa‘id bin ‘As dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam untuk menyalinnya. Mereka pun menyalinnya menjadi beberapa mushaf. Usman berkata kepada ketiga orang Quraisy itu:
’Bila kamu berselisih pendapat dengan Zaid bin Sabit tentang sesuatu dari Qur’an, maka tulislah dengan logat Quraisy, karena Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy.’
Mereka melaksanakan perintah itu. Setelah mereka selesai _ nyalinnya menjadi beberapa mushaf, Usman mengembalikan lembaran. lembaran asli itu kepada Hafsah. Selanjutnya Usman mengirimkan ke setiap wilayah mushaf baru tersebut dan memerintahkan agar semua Qur’an atau mushaf lainnya dibakar. Zaid berkata: ’Ketika kami menyalin mushaf, saya teringat akan satu ayat dari surah Ahzab yang pernah aku dengar dibacakan oleh Rasulullah,; maka kami mencarinya, dan kami dapatkan pada Khuzaimah bin Sabit al-Ansari. Ayat ity lalah,
Di antara orang-orang Mukmin itu ada orang-orang yang menepat; apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. (al-Ahzab [33]:23), laly kami tempatkan ayat ini pada surah tersebut dalam mushaf,”
Berbagai ’Asar atau keterangan para sahabat menunjukkan bahwa perbedaan cara membaca itu tidak saja mengejutkan Huzaifah bin al Yaman, tetapi juga mengejutkan para sahabat yang lain. Dikatakan oleh Ibn Jarir: “Ya‘qub bin Ibrahim bercerita kepadaku: Ibn ‘Ulyah menceritakan kepadaku: Ayyub mengatakan kepadaku, bahwa Abu Qalabah berkata: ’Pada masa kekhalifahan Usman telah terjadi seorang’ guru qiraat mengajarkan qiraat seseorang, dan guru lain juga mengajarkan qiraat orang lain. Dua kelompok anak-anak yang belajar qiraat itu pada suatu ketika bertemu dan mereka berselisih, dan hal yang demikian ini menjalar juga kepada guru-guru tersebut.’ Kata Ayyub: Aku tidak mengetahui kecuali ia berkata: “Sehingga mereka saling mengkafirkan satu sama lain karena perbedaan qiraat itu.’ Dan hal itu akhirnya sampai juga kepada Khalifah Usman, maka ia berpidato: ’Kalian yang ada di hadapanku telah berselisih paham dan salah dalam membaca Qur’an. Penduduk daerah yang jauh dari kami tentu lebih besar lagi perselisihan dan kesalahannya. Bersatulah wahai sahabat-sahabat Muhammad, tulislah untuk semua orang satu imam [mushaf Qur’an pedoman] saja!’ Abu Qalabah berkata: Anas bin Malik bercerita kepadaku, katanya: “Aku adalah salah seorang di antara mereka yang disuruh menuliskan.’ Kata Abu Qalabah: Terkadang mereka berselisih tentang satu ayat, maka mereka menanyakan kepada seseorang yang télah menerimanya dari Rasulullah, akan tetapi orang tadi mungkin tengah berada di luar kota, sehingga mereka hanya menuliskan apa yang sebelum dan yang sesudah serta membiarkan tempat letaknya, sampai orang itu datang atau dipanggil. Ketika penulisan mushaf telah selesai, Khalifah Usman menulis surat kepada semua penduduk daerah yang isinya: “Aku telah melakukan yang demikian dan demikian. Aku telah menghapuskan apa yang ada padaku, maka hapuskanlah apa yang ada padamu.”
Ibn Asytah meriwayatkan melalui Ayyub dari Abu Qalabah, keterangan yang sama. Dan Ibn Hajar menyebutkan dalam al-Fath bahwa Ibn Abu Daud telah meriwayatkannya pula melalui Abu Qalabah dalam al-Masahif.
Suwaid bin Gaflah berkata: ’Ali mengatakan: ’Katakanlah segala yang baik tentang Usman. Demi Allah, apa yang telah dilakukannya mengenai mushaf-mushaf Qur’an sudah atas persetujuan kami. Usman berkata: Bagaimana pendapatmu tentang qiraat ini? Saya mendapat berita bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa giraatnya lebih baik dari giraat orang Jain. Ini telah mendekati kekafiran. Kami berkata: Bagaimana pendapatmu? la menjawab: Aku berpendapat agar manusia bersatu pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi lagi perpecahan dan perselisihan. Kami berkata: Baik sekali pendapatmu itu.”
Keterangan ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Usman itu telah disepakati oleh para sahabat. Mushaf-mushaf itu ditulis dengan satu huruf (dialek) dari tujuh huruf Qur’an seperti yang diturunkan agar orang bersatu dalam satu qiraat. Dan Usman telah mengembalikan lembaran-lembaran yang asli kepada Hafsah, lalu dikirimkannya pula ke setiap wilayah masing-masing satu mushaf, dan ditahannya satu mushaf untuk di Medinah, yaitu mushafnya sendiri yang kemudian dikenal dengan nama “Mushaf Imam”. Penamaan mushaf imam itu sesuai dengan apa yang terdapat dalam riwayat-riwayat terdahulu di mana ia mengatakan: ”Bersatulah wahai sahabat-sahabat Muhammad, dan tulislah untuk semua orang satu imam [mushaf Qur’an pedoman].” Kemudian ia memerintahkan membakar semua bentuk lembaran atau mushaf yang selain itu. Umat pun menerima perintah itu dengan patuh, sedang qiraat dengan enam huruf lainnya ditinggalkan. Keputusan ini tidak salah, sebab qiraat dengan tujuh huruf itu tidak wajib. Seandainya Rasulullah mewajibkan qiraat dengan tujuh huruf itu semua, tentu setiap huruf harus disampaikan secara mutawatir sehingga menjadi hujjah. Tetapi mereka tidak melakukannya. Ini menunjukkan bahwa qiraat dengan tujuh huruf itu termasuk dalam kategori keringanan. Dan bahwa yang wajib ialah menyampaikan sebagian dari ketujuh huruf tersebut secara mutawatir. Dan inilah yang terjadi.
Ibn Jarir mengatakan berkenaan dengan apa yang telah dilakukan oleh Usman: ”Ia menyatukan umat Islam dalam satu mushaf dan satu huruf, sedang mushaf yang lain disobek. Ia memerintahkan dengan tegas agar setiap orang yang mempunyai mushaf yang berlainan’ dengan mushaf yang disepakati itu membakar mushaf tersebut. Umat pun mendukungnya dengan taat, dan mereka melihat bahwa dengan begitu Usman telah bertindak sesuai dengan petunjuk dan sangat bijaksana. Maka umat meninggalkan qiraat dengan enam huruf lainnya, sesuai dengan permintaan pemimpinnya yang adil itu; sebagai bukti ketaatan umat kepadanya dan karena pertimbangan demi kebaikan mereka dan generasi sesudahnya. Dengan demikian segala qiraat yang lain sudah dimusnahkan dan bekas-bekasnya juga sudah tak ada. Sekarang sudah tidak ada jalan bagi orang yang ingin membaca dengan ketujuh huruf itu dan kaum Muslimin juga telah menolak giraat dengan huruf-huruf yang lain tanpa mengingkari kebenarannya atau sebagian daripadanya. Tetapi hal itu demi kebaikan kaum Muslimin sendiri. Dan sekarang ini tidak ada lagi qiraat bagi kaum Muslimin selain qiraat dengan satu huruf yang telah dipilih oleh imam mereka yang bijaksana dan tulus hati itu. Tidak ada lagi qiraat dengan enam huruf lainnya.
Apabila sebagian orang yang lemah pengetahuan berkata: Bagaimana mereka boleh meninggalkan qiraat yang telah dibacakan oleh Rasulullah dan diperintahkan pula membaca dengan cara itu? Maka jawabnya ialah: Sesungguhnya perintah Rasulullah kepada mereka untuk membacanya itu bukanlah perintah yang menunjukkan wajib dan fardu, tetapi menunjukkan kebolehan dan keringanan (rukhsah). Sebab andaikata qiraat dengan tujuh huruf itu diwajibkan kepada mereka, tentulah pengetahuan tentang setiap huruf dari ketujuh huruf itu wajib pula bagi orang yang mempunyai hujjah untuk menyampaikannya, beritanya harus pasti dan keraguan harus dihilangkan dari para qari. Dan karena mereka tidak menyampaikan hal tersebut, maka ini merupakan bukti bahwa dalam masalah qiraat mereka boleh memilih, sesudah adanya orang yang menyampaikan Qur’an di kalangan umat yang penyampaiannya menjadi hujjah bagi sebagian ketujuh huruf itu.
Jika memang demikian halnya, maka mereka tidak dipandang telah meninggalkan tugas menyampaikan semua qiraat yang tujuh tersebut, yang. menjadi kewajiban mereka untuk menyampaikannya. Kewajiban mereka ialah apa yang sudah mereka kerjakan itu. Karena apa yang telah mereka lakukan tersebut ternyata sangat berguna bagi Islam dan kaum Muslimin. Oleh karena itu menjalankan apa yang menjadi kewajiban mereka sendiri lebih utama daripada melakukan Sesuatu yang malah akan lebih merupakan bencana terhadap Islam dan pemeluknya daripada menyelamatkannya.”
Perbedaan antara Pengumpulan Abu Bakar dengan Usman
Dari teks-teks diatas dijelaskan bahwa pengumpulan (mushaf oleh) Abu Bakar berbeda dengan pengumpulan yang dilakukan Usman dalam motif dan caranya. Motif Abu Bakar adalah kekhawatiran beliau akan hilangnya Qur’an karena banyaknya para huffaz yang gugur dalam peperangan yang banyak menelan korban dari para qari, Sedang motif Usman untuk mengumpulkan Qur’an adalah karena banyaknya perbedaan dalam cara-cara membaca Qur’an yang disaksikannya sendiri di daerah-daerah dan mereka saling menyalahkan satu terhadap yang lain.
Pengumpulan Qur’an yang dilakukan Abu Bakar ialah memindahkan semua tulisan atau catatan Qur’an yang semula bertebaran dj kulit-kulit binatang, tulang belulang dan pelepah kurma, kemudian dikumpulkan dalam satu mushaf, dengan ayat-ayat dan surah-surahnya yang tersusun serta terbatas pada bacaan yang tidak dimansukh dan mencakup ketujuh huruf sebagaimana ketika Qur’an itu diturunkan.
Sedangkan pengumpulan yang dilakukan Usman adalah menyalinnya dalam satu huruf di antara ketujuh huruf itu, untuk mempersatukan kaum Muslimin dalam satu mushaf dan satu huruf yang mereka baca tanpa keenam huruf lainnya. Ibnut Tin dan yang lain mengatakan: ”Perbedaan antara pengumpulan Abu Bakar dengan pengumpulan Usman ialah bahwa pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar disebabkan oleh kekhawatiran akan hilangnya sebagian Qur’an karena kematian para penghafalnya, sebab ketika itu Qur’an belum terkumpul di satu tempat. Lalu Abu Bakar mengumpulkannya dalam lembaran-lembaran dengan menertibkan ayat-ayat dan surahnya, sesuai dengan petunjuk Rasulullah kepada mereka. Sedang pengumpulan Usman disebabkan banyaknya perbedaan dalam hal qiraat, sehingga mereka membacanya menurut logat mereka masing-masing dengan bebas dan ini menyebabkan timbulnya sikap saling menyalahkan. Karena khawatir akan timbul ’bencana’, Usman segera memerintahkan menyalin lembaran-lembaran itu ke dalam satu mushaf dengan menertibkan/menyusun surah-surahnya dan membatasinya hanya pada bahasa Quraisy saja dengan alasan bahwa Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka (Quraisy), sekalipun pada mulanya memang diizinkan -membacanya dengan bahasa selain Quraisy guna menghindari kesulitan. Dan menurutnya keperluan demikian ini sudah berakhir, karena itulah ja membatasinya hanya pada satu logat saja.” Al-Haris al-Muhasibi mengatakan: ”Yang masyhur di kalangan orang banyak ialah bahwa pengumpul Qur’an itu Usman. Padahal sebenarnya tidak demikian;
Usman hanyalah berusaha menyatukan umat pada satu macam (wajah) qiraat. Ita pun atas dasar kesepakatan antara dia dengan kaum Muhajirin dan Ansar yang hadir di hadapannya, serta setelah ada kekhawatiran timbulnya kemelut karena perbedaan yang terjadi antara penduduk Irak dengan Syam dalam cara qiraat. Sebelum itu mushaf-mushaf tersebut dibaca dengan berbagai macam qiraat yang didasarkan pada tujuh huruf dengan mana Qur’an diturunkan. Sedang yang lebih dahulu mengumpulkan Qur’an secara keseluruhan (lengkap) adalah Abu Bakar as-Siddiq.”
Dengan usahanya itu Usman telah berhasil menghindarkan timbulnya fitnah dan mengikis sumber perselisihan serta menjaga Qur’an dari penambahan dan penyimpangan sepanjang zaman.
Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah mushaf yang dikirimkan Usman ke pe!bagai daerah:
- Ada yang mengatakan bahwa jumlahnya tujuh buah mushaf yang dikirimkan ke Mekah, Syam, Basrah, Kufah, Yaman, Bahrain dan Medinah. Ibn Abu Daud mengatakan: “Aku mendengar Abu Hatim as-Sijistani berkata: ’Telah ditulis tujuh buah mushaf, lalu dikirimkan ke Mekah, Syam, Yaman, Bahrain, Basrah, Kufah dan
sebuah ditahan di Medinah.’”
- Dikatakan pula bahwa jumlahnya ada empat buah, masing-masing dikirimkan ke Irak, Syam, Mesir dan Mushaf Imam; atau dikirimkan ke Kufah, Basrah, Syam dan Mushaf Imam. Berkata Abu ‘Amr ad-Dani dalam al-Mugni‘: ”Sebagian besar ulama berpendapat bahwa ketika Usman menulis mushaf, ia membuatnya sebanyak empat buah salinan dan ia kirimkan ke setiap daerah masing-masing satu buah: ke Kufah, Basrah, Syam dan ditinggalkan satu buah untuk dirinya sendiri.”
- Ada juga yang mengatakan bahwa jumlahnya ada lima. AsSuyuti berkata bahwa pendapat inilah yang masyhur.
Adapun lembaran-lembaran yang dikembalikan kepada Hafsap, tetap berada di tangannya hingga ia wafat. Setelah itu lembaran-lembaran tersebut dimusnahkan, dan dikatakan pula bahwa lembarap. lembaran tersebut diambil oleh Marwan bin Hakam lalu dibakar.
Mushaf-mushaf yang ditulis oleh Usman itu sekarang hampir tidak ditemukan sebuah pun juga. Keterangan yang diriwayatkan oleh Ibn Kasir dalam kitabnya Fada’ilul Qur’an menyatakan bahwa jg menemukan satu buah di antaranya di masjid Damsyik di Syam, Mushaf itu ditulis pada lembaran yang menurutnya terbuat dari kulit unta. Dan diriwayatkannya pula mushaf Syam ini dibawa ke Ing. gris setelah beberapa lama berada di tangan kaisar Rusia di perpustakaan Leningrad. Juga dikatakan bahwa mushaf itu terbakar dalam masjid Damsyik pada tahun 1310 H.
Pengumpulan Qur’an oleh Usman ini disebut dengan pengumpulan ketiga yang dilaksanakan pada 25 H.
Keraguan yang Harus Ditolak
Ada beberapa keraguan yang ditiupkan oleh para pengumbar hawa nafsu untuk melemahkan kepercayaan terhadap Qur’an dan kecermatan pengumpulannya. Di sini kami akan kemukakan beberapa hal yang penting di antaranya dan kemudian menjawabnya.
- Mereka berkata, sumber-sumber lama (484r) menunjukkan bahwa ada beberapa bagian Qur’an yang tidak dituliskan dalam mushaf-mushaf yang ada di tangan kita ini. Sebagai bukti (dalil) dikemukakannya:
- “Aisyah berkata: ’Rasulullah pernah mendengar seseorang membaca Qur’an di Masjid, lalu katanya: ’Semoga Allah mengasihinya. Ia telah mengingatkan aku akan ayat anu dan ayat anu dari surah anu.’ Dalam riwayat lain dikatakan: ’Aku telah menggugurkannya dari ayat ini dan ini.’ Dan ada lagi riwayat yang mengatakan ’Aku telah dibuat lupa terhadapnya.’”
Argumen ini dapat dijawab bahwa teringatnya Rasulullah akan satu atau beberapa ayat yang ia lupa atau ia gugurkan karena lupa itu hendaknya tidak menimbulkan keraguan dalam hal pengumpulan Qur’an karena riwayat yang mengandung ungkapan “menggugurkan” jtu telah ditafsirkan oleh riwayat lain, “aku telah dibuat lupa terhadapnya” (kuntu unsitua). Ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan ”menggugurkannya” adalah “lupa”, sebagaimana ditunjukkan pula oleh kata-kata “telah mengingatkan aku”. Kelupaan atau lupa bisa saja terjadi pada Rasulullah dalam hal yang tidak merusak tablig. Di samping itu ayat-ayat tersebut telah dihafal oleh Rasulullah, dicatat oleh para penulis wahyu serta dihafal oleh para sahabat. Hafalan dan pencatatannya pun telah mencapai tingkat mutawatir. Dengan demikian lupa yang dialami Rasulullah sesudah itu tidak mempengaruhi kecermatan (ketelitian) dalam pengumpulan Qur’an. Inilah maksud hadis di atas. Oleh sebab itu bacaan orang ini yang hanya merupakan salah seorang di antara para penghafal yang jumlahnya mencapai tingkat mutawatir mengingatkan Rasulullah, “Ia telah mengingatkan aku akan ayat anu dan ayat anu.”
- Allah berfirman dalam Surah A‘la:
“Kami akan membacakan (Qur’an) kepadamu (Muhammad), maka kamu tidak akan lupa, kecuali kalau Allah menghendaki.” (al-A‘la [87]:6-7). Pengecualian dalam ayat ini menunjukkan bahwa ada beberapa ayat yang terlupakan oleh Rasulullah.
Mengenai hal ini dapatlah dijawab bahwa Allah telah berjanji kepada Rasul-Nya untuk membacakan Qur’an dan memeliharanya serta mengamankannya dari kelupaan, sebagaimana ditegaskan dalam firmanNya: “Kami akan membacakan (Qur’an) kepadamu (Muhammad), maka kamu tidak akan lupa.” Namun karena ayat ini mengesankan seakan. akan hal itu merupakan suatu keharusan, padahal Allah berbuat menurut kehendak-Nya secara bebas, ”Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai” (al-Anbiya’ [21]:23), maka ayat itu segera disusul dengan pengecualian, “kecuali kalau Allah meng. hendaki”, untuk menunjukkan bahwa pemberitahuan mengenai pembacaan Qur’an kepada Rasul dan pengamanannya dari kelupaan itu tidak keluar dari kehendak-Nya pula, sebab, bagi Allah tak ada yang tak dapat dilakukan. Syaikh Muhammad Abduh mengemukakan dalam menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut: ”Oleh karena janji itu dituangkan dalam ungkapan yang menunjukkan keharusan dan kekal, sehingga terkadang memberi kesan bahwa kekuasaan Allah tidak meliputi yang selain itu, dan bahwa yang demikian dipandang telah keluar dari kehendak-Nya, maka didatangkanlah pengecualian dengan firman-Nya, Kecuali kalau Allah menghendaki. Sebab, jika Dia berkehendak membuatmu (Muhammad) lupa terhadap sesuatu, tak ada sesuatu pun yang dapat mengalahkan kehendak-Nya.
Dengan demikian, maka yang dimaksudkan di sini adalah ’peniadaan kelupaan secara total.’ Mereka mengatakan: Pengertian demikian seperti halnya perkataan seseorang kepada sahabatnya: ’Engkau berbagi denganku dalam apa yang aku miliki, kecuali kalau Allah menghendaki.” Dengan perkataan ini ia tidak bermaksud mengecualikan sesuatu, karena ungkapan demikian sedikit sekali atau jarang dipergunakan untuk menunjukkan arti nafi (negatif). Dan seperti ini pulalah maksud pengecualian dalam firman-Nya pada Surah Hud: Adapun orang-orang yang berbahagia, tempat mereka dalam surga, mereka kekal didalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya (Hud [11]:108). Pengecualian seperti ini untuk menunjukkan bahwa pengabadian dan pengekalan itu semata-mata karena kemurahan dan keluasan karunia Allah, bukan keharusan dan kewajiban bagi-Nya.
dan bila ia berkehendak untuk mencabutnya, maka tidak ada seorang pun dapat merintangi.
Mengenai riwayat, bahwa Nabi telah melupakan sesuatu sehingga perlu diingatkan, maka seandainya hal itu benar, tetapi ini tidaklah menyangkut Kitab dan hukum-hukum Allah yang diturunkan kepada Nabi agar disampaikan kepada umat. Dengan demikian segala pendapat yang dilontarkan orang selain dari yang telah kami kemukakan ini merupakan penyusupan dari orang-orang ateis yang merasuki pikiran orang-orang yang lalai, untuk menodai apa yang sudah disucikan oleh Allah. Karena tidak pantas bagi orang yang mengenal kedudukan Rasulullah dan beriman kepada Kitabullah berpegang pada pendapat semacam itu sedikit pun juga.”
- Mereka mengatakan, dalam Qur’an terdapat sesuatu yang bukan Qur’an. Untuk pendapatnya ini mereka berdalil dengan riwayat yang menyatakan bahwa Ibn Mas‘ud mengingkari Surah an-Nas dan al-Falaq termasuk bagian dari Qur’an. Terhadap pendapat ini dapat diajukan jawaban sebagai berikut, yaitu bahwa riwayat yang diterima dari Ibn Mas‘ud itu tidak benar, karena bertentangan dengan kesepakatan umat. An-Nawawi mengatakan dalam Syarh al-Muhazzab: “Kaum Muslimin sepakat bahwa kedua surah (an-Nas dan al-Falaq) itu dan surah Fatihah termasuk Qur’an. Dan siapa saja yang mengingkarinya, sedikit pun, ia adalah kafir. Sedangkan riwayat yang diterima dari Ibn Mas‘ud adalah batil, tidak sahih.” Ibn Hazm berpendapat, riwayat tersebut merupakan pendustaan dan pemalsuan atas nama (terhadap) Ibn Mas‘ud.
Seandainya riwayat itu benar, maka yang dapat dipahami ialah bahwa Ibn Mas‘ud tidak pernah mendengar kedua surah mu‘awwizatain, yakni surah an-Nas dan surah al-Falaq itu secara langsung dari Nabi, sehingga ia berhenti, tidak memberikan komentar mengenainya. Selain itu pengingkaran Ibn Mas‘ud tersebut tidak dapat membatalkan kosensus (ijma‘) kaum Muslimin bahwa kedua Surah itu merupakan bagian Qur’an -yang mutawatir. Argumentasi ini dapat pula dipergunakan untuk menjawab isyu yang menyatakan bahwa mushaf Ibn Mas‘ud tidak memuat surah Fatihah sebab Fatihah adalah Ummul Qur’an, induk Qur’an, yang status qur’aniah-nya tak seorang pun meragukannya.
III. Segolongan Syi‘ah ekstrim menuduh bahwa Abu Bakar, Umar dan Usman telah mengubah Qur’an serta menggugurkan beberapa ayat dan surahnya. Mereka (Abu Bakar cs.) telah mengganti dengan lafal Ummatun hiya arba min ummatin “Satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain” (an-Nahl [16]:92), yang asalnya adalah: A’immatun hiya azka min a’immatikum “Imam. imam yang lebih suci daripada imam-imam kamu’, mereka juga menggugurkan dari surah Ahzab ayat-ayat mengenai keutamaan ” Ahlul Bait” yang panjangnya sama dengan surah al-An‘am, dan menggu. gurkan pula surah mengenai kekuasaan (al-wilayah) secara total dari Qur’an.
Terhadap golongan ini dapat dikemukakan bahwa tuduhan tersebut adalah batil, omong kosong yang tanpa dasar dan tuduhan yang tanpa bukti. Bahkan membicarakannnya merupakan suatu kebodohan. Selain itu, sebagian ulama Syi‘ah sendiri cuci tangan dari anggapan bodoh semacam ini. Dan apa yang diterima dari Ali, orang yang mereka jadikan tumpuan (tasyayyu‘) bertentangan dengan hal tersebut dan bahkan menunjukkan terjadinya kesepakatan (ijma‘) mengenai kemutawatiran Qur’an yang tertulis dalam mushaf. Diriwayatkan bahwa Ali mengatakan mengenai pengumpulan Qur’an oleh Abu Bakar: “Manusia yang paling berjasa bagi mushaf-mushaf Qur’an adalah Abu Bakar, semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya, karena dialah Orang pertama yang mengumpulkan Kitabullah.” Ali juga mengatakan berkenaan dengan pengumpulan Qur’an oleh Usman: ”Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Allah. Jauhilah sikap berlebihan (bermusuhan) terhadap Usman dan perkataanmu bahwa dialah yang membakar mushaf. Demi Allah, ia membakarnya berdasarkan persetujuan kami, sahabat-sahabat Rasulullah.” Lebih lanjut ia mengatakan: ”Seandainya yang menjadi penguasa pada masa Usman adalah aku, tentu aku pun akan berbuat terhadap mushaf-mushaf itu seperti yang dilakukan Usman.”
Apa yang diriwayatkan dari Ali sendiri ini telah membungkam para pendusta yang mengira bahwa mereka adalah para pembela Ali, sehingga mereka berani berperang untuk sesuatu yang tidak mereka ketahui karena kefanatikannya yang membuta kepada Ali, sedang Ali sendiri lepas tangan dari mereka.
TERTIB AYAT DAN SURAH
Tertib Ayat
Qur’an terdiri atas surah-surah dan ayat-ayat, baik yang pendek maupun yang panjang. Ayat adalah sejumlah kalam Allah yang terdapat dalam sebuah surah dari Qur’an. Surah adalah sejumlah ayat Qur’an yang mempunya! permulaan dan kesudahan. Tertib atau urutan ayat-ayat Qur’an ini adalah tauqifi, ketentuan dari Rasulullah. Sebagian ulama meriwayatkan bahwa pendapat ini adalah iyma‘, di antaranya az-Zarkasyi dalam al-Burhan dan Abu Ja‘far ibnuz Zubair dalam Munasabah-nya, di mana ia mengatakan: ”Tertib ayat-ayat di dalam surah-surah itu berdasarkan tauqifi dari Rasulullah dan atas perintahnya, tanpa diperselisihkan kaum Muslimin.” As-Suyuti telah memastikan hal itu, ia berkata: ’Ijma‘ dan nas-nas yang serupa menegaskan, tertib ayat-ayat itu adalah taufiqi, tanpa diragukan lagi.” Jibril menurunkan beberapa ayat kepada Rasulullah dan menunjukkan kepadanya tempat di mana ayat-ayat itu harus diletakkan dalam surah atau ayat ayat yang turun sebelumnya. Lalu Rasulullah memerintahkan kepada para penulis wahyu untuk menuliskannya di tempat tersebut. Ia mengatakan kepada mereka: ’Letakkanlah ayat-ayat ini pada surah yang didalamnya disebutkan begini dan begini,” atau ’Letakkanlah ayat ini di tempat anu.” Susunan dan penempatan ayat tersebut sebagaimana ‘ yang disampaikan para sahabat kepada kita. Usman bin Abil ‘As berkata:
“Aku tengah duduk di samping Rasulullah, tiba-tiba pandangan. nya menjadi tajam lalu kembali seperti semula. Kemudian katanya, ‘Jibril telah datang kepadaku dan memerintahkan agar aku meletakkan ayat ini di tempat anu dari surah ini: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan serta memberi kepada kaum kerabat…’” (an-Nahl [16]:90).
Usman berhenti ketika mengumpulkan Qur’an pada tempat setiap ayat dari sebuah surah dalam Qur’an dan, sekalipun ayat itu telah di. mansukh hukumnya, tanpa mengubahnya. Ini menunjukkan bahwa penulisan ayat dengan tertib seperti ini adalah tauqifi.
Ibnuz Zubair berkata: “Aku mengatakan kepada Usman bahwa ayat: Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dengan meninggalkan istri-istri… (al-Baqarah [2]:234) telah dimansukh oleh ayat lain. Tetapi, mengapa anda menuliskannya atau membiarkannya dituliskan? Ia menjawab: ’Kemenakanku, aku tidak mengubah sesuatu pun dari tempatnya.’
Terdapat sejumlah hadis yang menunjukkan keutamaan beberapa ayat dari surah-surah tertentu. Ini menunjukkan bahwa tertib ayat-ayat bersifat tauqifi. Sebab jika tertibnya dapat diubah, tentulah ayat-ayat itu tidak akan didukung oleh hadis-hadis tersebut.
Diriwayatkan dari Abu Darda’ dalam hadis marfu‘: ”Barang siapa hafal sepuluh ayat dari awal surah Kahfi, Allah akan melindunginya dari Dajjal.” Dan dalam redaksi lain dikatakan: ” membaca sepuluh ayat terakhir dari surah Kahfi…” Juga terdapat hadis-hadis lain yang menunjukkan letak ayat tertentu pada tempatnya. Umar berkata: “Aku tidak menanyakan kepada Nabi tentang sesuatu lebih banyak dari yang aku tanyakan kepadanya tentang kalalah, sampai-sampai Nabi menekankan jarinya ke dadaku dan mengatakan: ’Tidak cukupkah bagimu ayat yang diturunkan pada musim panas, yang terdapat di akhir surah Nisa’?
Di samping itu diterima pula bahwa Rasulullah telah membaca sejumlah surah dengan tertib ayat-ayatnya dalam salat atau dalam khutbah Jumat, seperti surah Baqarah, Ali ‘Imran dan Nisa.’ Juga hadis sahih menyatakan bahwa Rasulullah membaca surah Al‘raf dalam salat Magrib dan dalam salat Subuh hari Jum‘at membaca surah Alif Lam Mim. Tanzilul kitabi la raiba fihi” (as-Sajdah), dan Hal ata ‘alal insani (ad-Dahr); juga membaca surah Qaf pada waktu khutbah; surah Jumu‘ah dan surah Munafiqun dalam salat Jumat.
Jibril senantiasa mengulangi dan memeriksa Qur’an yang telah disampaikannya kepada Rasulullah sekali setiap tahun, pada bulan Ramadan dan pada tahun terakhir kehidupannya sebanyak dua kali. Dan Pengulangan Jibril terakhir ini seperti tertib yang dikenal sekarang ini.
Dengan demikian, tertib ayat-ayat Qur’an seperti yang ada dalam mushaf yang beredar di antara kita adalah tauqifi, tanpa diragukan Jagi. As-Suyuti, setelah menyebutkan hadis-hadis berkenaan dengan surah-surah tertentu mengemukakan: ”Pembacaan surah-surah yang dijakukan Nabi di hadapan para sahabat itu menunjukkan bahwa tertib atau susunan ayat-ayatnya adalah tauqifi. Sebab, para sahabat tidak akan menyusunnya dengan tertib yang berbeda dengan yang mereka dengar dari bacaan Nabi. Maka sampailah tertib ayat seperti demikian kepada tingkat mutawatir.”
Tertib Surah
Para ulama berbeda pendapat tentang tertib surah-surah Qur’an.
- Dikatakan bahwa tertib surah itu fauqifi dan ditangani langsung oleh Nabi sebagaimana diberitahukan Jibril kepadanya atas perintah Tuhan. Dengan demikian, Qur’an pada masa Nabi telah tersusun surah-surahnya secara tertib sebagaimana tertib ayat-ayatnya, seperti yang ada di tangan kita sekarang ini, yaitu tertib mushaf Usman yang tak ada seorang sahabat pun menentangnya. Ini menunjukkan telah terjadi kesepakatan (ijma‘) atas tertib surah, tanpa suatu perselisihan apa pun.
Yang mendukung pendapat ini ialah, bahwa Rasulullah telah membaca beberapa surah secara tertib di dalam salatnya. Ibn Abi Syaibah meriwayatkan bahwa Nabi pernah membaca beberapa surah mufassal [surah-surah pendek] dalam satu rakaat. Bukhari meriwayat. kan dari Ibn Mas‘ud, bahwa ia mengatakan tentang surah Bani Isra’il, Kahfi, Maryam, Taha dan Anbiya’: ’Surah-surah itu termasuk yang diturunkan di Mekah dan yang pertama-tama aku pelajari.”” Kemudian ia menyebutkan surah-surah itu secara berurutan sebagaimana tertib susunan seperti sekarang ini.
Telah diriwayatkan melalui Ibn Wahb, dari Sulaiman bin Bilal, ia berkata: “Aku mendengar Rabi‘ah ditanya orang, ‘mengapa surah Baqarah dan Ali ‘Imran didahulukan, padahal sebelum kedua surah itu telah diturunkan delapan puluh sekian surah Makki, sedang keduanya diturunkan di Medinah?’ Ia menjawab: ’Kedua surah itu memang didahulukan dan Qur’an dikumpulkan menurut pengetahuan dari orang yang mengumpulkannya.’ Kemudian katanya: “Ini adalah sesuatu yang mesti terjadi dan tidak perlu dipertanyakan.”
Ibnul Hisér mengatakan: ”Tertib surah dan letak ayat-ayat pada tempat-tempatnya itu berdasarkan wahyu. Rasulullah mengatakan: ‘Letakkanlah ayat ini di tempat ini.’ Hal tersebut telah diperkuat pula oleh nukilan atau riwayat yang mutawatir dengan tertib seperti ini, dari bacaan Rasulullah dan ijma‘ para sahabat untuk meletakkan atau menyusunnya seperti ini di dalam mushaf.”
- Dikatakan bahwa tertib surah itu berdasarkan ijtihad para sahabat, mengingat adanya perbedaan tertib di dalam mushaf-mushaf mereka. Misalnya mushaf Ali disusun menurut tertib nuzul, yakni dimulai dengan Iqra’, kemudian Muddassir, lalu Nun, Qalam, kemudian Muzzammil, dan seterusnya hingga akhir surah Makki dan Madani.
Dalam mushaf Ibn Mas‘ud yang pertama ditulis adalah surah Baqarah, kemudian Nisa’ dan kemudian Ali ‘Imran.
Dalam mushaf Ubai yang pertama ditulis ialah Fatihah, Bagarah, kemudian Nisa’ dan kemudian Ali ‘Imran.
Diriwayatkan, Ibn Abbas berkata: ’Aku bertanya kepada Usman: Apakah yang mendorongmu mengambil Anfal yang termasuk kategori masdnitdan Bara’ah yang termasuk mi’in’ untuk kamu gabungkan keduanya menjadi satu tanpa kamu tuliskan di antara keduanya Bismillahir rahmanir rahim, dan kamu pun meletakkannya pada as-sah‘ut giwal [tujuh surah panjang]? Usman menjawab: Telah turun kepada Rasulullah surah-surah yang mempunyai bilangan ayat. Apabila ada ayat turun kepadanya, ia panggil beberapa orang penulis wahyu dan mengatakan: ’Letakkanlah ayat ini pada surah yang di dalamnya terdapat ayat anu dan anu.’ Surah Anfal termasuk surah pertama yang turun di Medinah sedang surah Bara’ah termasuk yang terakhir diturunkan. Kisah dalam surah Anfal serupa dengan kisah dalam surah Bara’ah, sehingga aku mengira bahwa surah Bara’ah adalah bagian dari surah Anfal. Dan sampai wafatnya Rasulullah tidak menjelaskan kepada kami bahwa surah Bara’ah merupakan bagian dari surah Anfal. Oleh karena itu, kedua surah tersebut aku gabungkan dan di antara keduanya tidak aku tuliskan Bismillahir rahmanir rahim serta aku meletakkannya pula pada as-sab‘ut tiwal.”
- Dikatakan bahwa sebagian surah itu tertibnya tauqifi dan sebagian lainnya berdasarkan ijtihad para sahabat, hal ini karena terdapat dalil yang menunjukkan tertib sebagian surah pada masa Nabi. Misalnya, keterangan yang menunjukkan tertib as-sab‘ut tiwal, al-hawamim dan al-mufassal pada masa hidup Rasulullah.
Diriwayatkan,
“Bahwa jika hendak pergi ke tempat tidur, Rasulullah mengumpulkan kedua telapak tangannya kemudian meniupnya lalu membaca Qul huwallahu ahad dan mu’awwidzatain.”
Ibn Hajar mengatakan: ”Tertib sebagian surah-surah atau sebagian besarnya itu tidak dapat ditolak sebagai bersifat tauqifi.” Untuk mendukung pendapatnya ini ia kemukakan hadis Huzaifah as-Saqafi yang di dalamnya antara lain termuat:
“Rasulullah berkata kepada kami, ’telah datang kepadaku waktu untuk membaca hizb (bagian) dari Qur’an, maka aku tidak ingin keluar sebelum selesai.’ Lalu kami tanyakan kepada sahabat-sahabat Rasulullah: Bagaimana kalian membuat pembagian Qur’an? Mereka menjawab: Kami membaginya menjadi tiga surah, lima surah, tujuh surah, sembilan surah, sebelas surah, tiga belas surah, dan bagian almufassal dari Qaf sampai kami khatam.”
Kata Ibn Hajar lebih lanjut: “Ini menunjukkan bahwa tertib surah-surah seperti terdapat dalam mushaf sekarang adalah tertib surah pada masa Rasulullah.” Dan katanya: “Namun mungkin juga bahwa yang telah tertib pada waktu itu hanyalah bagian mufassal, bukan yang lain.”
Apabila membicarakan ketiga pendapat ini, jelaslah bagi kita bahwa pendapat kedua, yang menyatakan tertib surah-surah itu. berdasarkan ijtihad para sahabat, tidak bersandar dan berdasar pada suatu dalil. Sebab, ijtihad sebagian sahabat mengenai tertib mushaf mereka yang khusus, merupakan ikhtiar mereka sebelum Qur’an dikumpulkan secara tertib. Ketika pada masa Usman Qur’an dikumpulkan, ditertibkan ayat-ayat dan surah-surahnya pada satu huruf (logat) dan umat pun menyepakatinya, maka mushaf-mushaf yang ada pada mereka ditinggalkan. Seandainya tertib itu merupakan hasil ijtihad, tentu mereka tetap berpegang pada mushafnya masing-masing.
Mengenai hadis tentang surah Anfal dan Taubah yang diriwayatkan dari Ibn Abbas di atas, isnadnya dalam setiap riwayat berkisar pada Yazid al-Farisi yang oleh Bukhari dikategorikan dalam kelompok du‘afa’. Di samping itu dalam hadis ini pun terdapat kerancuan mengenai penempatan Basmalah pada permulaan surah, yang mengesankan seakan-akan Usman menetapkannya menurut pendapat sendiri dan meniadakannya juga menurut pendapatnya sendiri. Oleh karena itu, dalam komentarnya terhadap hadis tersebut pada Musnad Imam Ahmad, Syaikh Ahmad Syakir menyebutkan: ”Hadis itu tak ada asal mulanya.” Paling jauh hadis itu hanya menunjukkan ketidaktertiban kedua surah tersebut.
Sementara itu pendapat ketiga, yang menyatakan sebagian surah itu tertibnya tauqifi dan sebagian lainnnya bersifat ijtihadi, dalil-dalilnya hanya berpusat pada nas-nas yang menunjukkan tertib tauqifi. Adapun bagian yang ijtihadi tidak bersandar pada dalil yang menunjukkan tertib ijtihadi. Sebab, ketetapan yang tauqifi dengan dalil-dalilnya tidak berarti bahwa yang selain itu adalah hasil ijtihad. Di samping itu, yang bersifat demikian pun hanya sedikit sekali.
Dengan demikian, tetaplah bahwa tertib surah-surah itu bersifat tauqifi, seperti halnya tertib ayat-ayat. Abu Bakar ibnul Anbari menyebutkan: “Allah telah menurunkan Qur’an seluruhnya ke langit dunia. Kemudian Ia menurunkannya secara berangsur-angsur selama dua puluh sekian tahun. Sebuah surah turun karena suatu urusan yang terjadi dan ayat pun turun sebagai jawaban bagi orang yang bertanya, sedangkan Jibril senantiasa memberitahukan kepada Nabi di mana surah dan ayat tersebut harus ditempatkan. Dengan demikian susunan surah-surah, seperti halnya susunan ayat-ayat dan logat-logat Qur’an, seluruhnya berasal dari Nabi. Oleh karena itu, barang siapa mendahulukan sesuatu surah atau mengakhirkannya, ia telah merusak tatanan Qur’an.”
Al-Kirmani dalam al-Burhan mengatakan: ’’Tertib surah seperti kita kenal sekarang ini adalah menurut Allah pada Lauh Mahfiz, Qur’an sudah menurut tertib ini. Dan menurut tertib ini pula Nabi membacakan di hadapan Jibril setiap tahun apa yang dikumpulkannya dari Jibril itu. Nabi membacakan di hadapan Jibril menurut tertib inj pada tahun kewafatannya sebanyak dua kali. Dan ayat yang terakhir kali turun ialah: Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. (al-Baqarah [2]:281). Lalu Jibril memerintahkan kepadanya untuk meletakkan ayat ini di antara ayat riba dan ayat tentang utang-piutang.”
As-Suyuti cenderung kepada pendapat Baihaqi yang mengatakan: “Qur’an pada masa Nabi surah-surah dan ayat-ayatnya telah tersusun menurut tertib ini kecuali Anfal dan Bara’ah, karena hadis Usman.”
Surah-surah dan Ayat-ayat Qur’an
Surah-surah Qur’an itu ada empat bagian: 1) at-Tiwal, 2) al Mi’un, 3) al-Masani, dan 4) al-Mufassal. Berikut ini kita kemukakan secara singkat pendapat terkuat mengenai keempat bagian itu:
1) At-Tiwal ada tujuh surah, yaitu Baqarah, Ali “Imran, Nisa’, Ma’idah, An‘am, A‘raf dan yang ketujuh ada yang mengatakan – Anfal dan Bara’ah sekaligus karena tidak dipisah dengan basmalah di antara keduanya. Dan dikatakan pula bahwa yang ketujuh adalah surah Yunus.
2) Al-Mi’un, yaitu surah-surah yang ayat-ayatnya lebih dari seratus atau sekitar itu.
3) Al-Masani, yaitu surah-surah yang jumlah ayatnya di bawah al-Mi’un. Dinamakan Masani, karena surah itu diulang-ulang bacaannya lebih banyak dari at-Tiwal dan al-Mi’un.
4) Al-Mufassal, dikatakan bahwa surah-surah ini dimulai dari surah Qaf, ada pula yang mengatakan dimulai dari surah Hujurat, juga ada mengatakan dimulai dari surah yang lain. Mufassal dibagi menjadi tiga: Tiwal, ausat dan qisar. Mufassal tiwal dimulai dari surah Qaf atau Hujurat sampai dengan ‘Amma atau Buruj. Mufassal ausat dimulai dari surah ‘Amma atau Buruj sampai dengan Duha atau Lam Yakun, dan mufassal qisar dimulai dari Duha atau Lam Yakun sampai dengan surah Qur’an terakhir.
Dinamakan mufassal, karena banyaknya fasl (pemisahan) diantaraq.
surah-surah tersebut dengan basmalah.
Jumlah surah Qur’an ada seratus empat belas surah. Dan dikatakan pula ada seratus tiga belas surah, karena surah Anfal dan Bara’ah dianggap satu surah. Adapun jumlah ayatnya sebanyak 6.200 lebih namun “kelebihan” ini masih diperselisihkan. Ayat terpanjang adalah ayat tentang utang-piutang, sedang surah terpanjang adalah surah Baqarah. Pembagian seperti ini dapat mempermudah orang menghafalnya, mendorong mereka untuk mengkaji dan mengingatkan pembaca surah bahwa ia telah mengambil bagian yang cukup dan jumlah yang memadai dari pokok-pokok agama dan hukum-hukum syari‘at.
Ar-Rasmul Usmani
Kita telah membicarakan pengumpulan Qur’an pada masa Usman. Zaid bin Sabit bersama tiga orang Quraisy telah menempuh suatu metode khusus dalam penulisan Qur’an yang disetujui oleh Usman. Para ulama menamakan metode tersebut dengan ar-Rasmul ‘Usmant lil Mushaf, yaitu dengan dinisbahkan kepada Usman. Tetapi kemudian mereka berbeda pendapat tentang status hukumnya.
- Sebagian dari mereka berpendapat bahwa Rasam Usmani buat Qur’an ini bersifat taugifi yang wajib dipakai dalam penulisan Qur’an, dan harus sungguh-sungguh disucikan. Mereka menisbahkan tauqifi dalam penulisan Qur’an ini kepada Nabi.
“Mereka menyebutkan bahwa Nabi pernah mengatakan kepada Mu‘awiyah, salah seorang penulis wahyu: ”Letakkanlah tinta, pergunakan pena, tegakkan ya”, bedakan ”sin”, jangan kamu miringkan “mim”, baguskan tulisan lafal ’Allah”’, panjangkan ”Ar-Rahman”, baguskan ’Ar-Rahim” dan letakkanlah penamu pada telinga kirimu; karena yang demikian akan lebih dapat mengingatkan kamu.”
Ibnul Mubarak mengutip gurunya, Abdul Aziz ad-Dabbag, yang mengatakan kepadanya bahwa, ”Para sahabat dan orang lain tidak campur tangan seujung rambut pun dalam penulisan Qur’an Karena penulisan Qur’an adalah tauqifi, ketentuan dari Nabi. Dialah yang memerintahkan kepada mereka untuk menuliskannya dalam bentuk seperti yang dikenal sekarang, dengan menambahkan alif atau menguranginya karena ada rahasia-rahasia yang tidak dapat terjangkau oleh akal. Itulah salah satu rahasia Allah yang diberikan kepada kitabNya yang mulia, yang tidak Dia berikan kepada kitab-kitab samawi lainnya. Sebagaimana susunan Qur’an adalah mukjizat, maka penulisannya pun mukjizat pula.”
Mereka mencari dalam rasm (ragam tulis) itu rahasia-rahasia yang menyebabkan rasam Usmani merupakan petunjuk untuk beberapa makna yang tersembunyi dan halus, seperti penambahan ”ya” dalam penulisan kata “aydin” cash yang terdapat dalam firman-Nya :. (Dan langit itu Kami bangun dengan tangan Kami) (az-Zariyat [51]:47); di mana kata itu dituliskan seperti ini Penulisan ini merupakan isyarat bagi kehebatan kekuatan Allah yang dengannya Dia membangun langit dan bahwa kekuatan-Nya itu tidak dapat disamai, ditandingi oleh kekuatan yang mana pun. Ini berdasarkan kaidah yang masyhur: “Penambahan huruf dalam bentuk kalimat menunjukkan penambahan makna.””
Pendapat int sama sekali tidak bersumber dari Rasulullah, yang membuktikan bahwa rasm itu tauqifi. Tetapi sebenarnya para penulislah yang mempergunakan istilah dan cara tersebut pada masa Usman atas izinnya, dan bahkan Usman telah memberikan pedoman kepada mereka, dengan kata-katanya kepada tiga orang Quraisy: “Jika kalian (bertiga) berselisih pendapat dengan Zaid bin Sabit mengenai penulisan sebuah lafal Qur’an, maka tulislah menurut logat Quraisy, karena ia diturunkan dalam logat mereka.” Ketika mereka berselisih pendapat dalam penulisan “rabir’ul, Zaid mengatakan: “tabuh” tetapi beberapa orang dari kalangan Quraisy mengatakan “tabuh‘, kemudian mereka mengadukan hal itu kepada Usman, Usman mengatakan: ”Tulislah ’tabut’, karena Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy.”
- Banyak ulama berpendapat bahwa rasm Usmani bukan taudifi dari Nabi, tetapi hanya merupakan satu cara penulisan yang disetuji Usman dan diterima umat dengan baik, sehingga menjadi suatu keharusan yang wajib dijadikan pegangan dan tidak boleh dilanggar. Asyhab berkata: Malik ditanya: Apakah Mushaf boleh ditulis menurut ejaan (kaidah penulisan) yang diadakan orang? Malik menjawab: Tidak, kecuali menurut tata-cara penulisan yang pertama.” (riwayat Abu ‘Amr ad-Dani dalam al-Mugqni‘). Kemudian kata Asyhab pula: “Dan tidak ada orang yang menyalahi rasm itu di antara ulama umat Islam.” Di tempat lain Asyhab mengatakan: ’Malik ditanya tentang huruf-huruf dalam Qur’an seperti “wawu” dan ”alif’, bolehkah mengubah kedua huruf itu dari Mushaf apabila di dalam Mushaf terdapat hal seperti itu? Malik menjawab: Tidak.” Abu ‘Amr mengatakan, yang dimaksudkan di sini adalah wawu dan alif tambahan dalam rasm, tetapi tidak nampak dalam ucapan seperti ”ula’’ . Dan Imam Ahmad berpendapat: “Haram hukumnya menyalahi tulisan Mushaf Usman dalam hal wawu, ya’, alif atau yang lain.
- Segolongan orang berpendapat bahwa rasm Usmani itu hanyalah sebuah istilah, tatacara, dan tidak ada salahnya jika menyalahi bila orang telah mempergunakan satu rasm tertentu untuk imla dan rasm itu tersiar luas di antara mereka.
Abu Bakar al-Baqalani menyebutkan dalam kitabnya al-Intisar. ”Tak ada yang diwajibkan oleh Allah mengenai (cara atau bentuk) penulisan mushaf. Karena itu para penulis Qur’an dan Mushaf tidak diharuskan menggunakan rasm tertentu yang diwajibkan kepada me. reka sehingga tidak boleh cara lain, hal ini mengingat kewajiban semacam ini hanya dapat diketahui melalui pendengaran (dalil sam‘iy) dan tauqifi. Dan dalam nas-nas dan konsep Qur’an tidak dijelaskan bahwa rasm atau penulisan Qur’an itu hanya dibolehkan menurut cara khusus dan batas tertentu yang tidak boleh dilanggar. Dalam nas Sunnah juga tidak terdapat satu keterangan pun yang mewajibkan dan menunjukkan hal tersebut. Dalam kesepakatan umat tidak terdapat pula pendapat yang mewajibkannya. Juga tidak ditunjukkan oleh kias berdasarkan syariat, qiyas syar‘i. Bahkan, Sunnah menunjukkan dibolehkannya cara penulisan Qur’an menurut cara yang mudah sebab Rasulullah menyuruh untuk menuliskannya, tetapi tidak menjelaskan kepada mereka atau melarang seseorang menuliskannya dengan cara tertentu. Sehingga berbeda-bedalah tulisan Mushaf. Di antara mereka ada yang menuliskan kata menurut pengucapan lafal, dan ada pula yang menambah atau mengurangi, karena ia tahu bahwa yang demikian itu hanyalah sebuah cara. Dan orang pun mengetahui keadaan yang sebenarnya. Oleh karena itulah diperbolehkan menuliskannya dengan huruf-huruf Kufi dan bentuk tulisan pertama dan boleh pula menjadikan kata ”kalam” dalam bentuk kaf, membengkokkan semua alif dan boleh juga menuliskannya tanpa mengikuti cara ini semua. Juga diperbolehkan menulis Mushaf dengan tulisan dan ejaan kuno, dengan tulisan dan ejaan baru, dan dengan tulisan’ dan ejaan pertengahan. Apabila tulisan-tulisan Mushaf dan kebanyakan huruf-hurufnya berbeda dan beragam bentuknya, sedang setiap orang diperbolehkan menuliskan menurut kebiasaannya, menurut apa yang lebih mudah, populer dan utama, tanpa dianggap dosa atau melanggar, maka diketahuilah bahwa mereka tidak diwajibkan menuliskan menurut cara tertentu, seperti dalam qiraat. Hal tersebut karena tulisan-tulisan itu hanyalah tanda-tanda dan rasm yang berfungsi sebagai isyarat, lambang dan rumus. Setiap rasm yang menunjukkan kata dan menentukan cara pembacaannya haruslah dibenarkan dan harus dibenarkan pula penulis rasm itu dalam bentuk bagaimanapun juga. Ringkasnya, setiap orang yang mengatakan bahwa manusia harus mengikuti rasm tertentu yang wajib diikuti, ia harus menunjukkan alasan (hujjah) atas kebenaran pendapatnya itu. Dan tentu saja ia tidak akan dapat menunjukkannya.”
Bertitik tolak dari pendapat ini sebagian orang sekarang menyerukan untuk menuliskan al-Qur’anul Karim dengan kaidah-kaidah imla’ yang sudah tersiar luas dan diakui, sehingga akan memudahkan para pembaca yang sedang belajar untuk membacanya. Dan di saat membaca Qur’an ta tidak merasakan adanya perbedaan rasm Qur’an dengan rasm imla’ istilahi yang diakui dan dipelajarinya itu.
Saya menilai pendapat kedua itulah yang kuat, yakni Qur’an harus ditulis dengan rasm Usmani yang sudah dikenal dalam penulisan Mushaf.
Rasm Usmani adalah rasm (bentuk ragam tulis) yang telah diakui dan diwarisi oleh umat Islam sejak masa Usman. Dan pemeliharaan rasm Usmani merupakan jaminan kuat bagi penjagaan Qur’an dari perubahan dan penggantian huruf-hurufnya. Seandainya diperbolehkan menuliskannya menurut istilah imla’ di setiap masa, maka hal ini akan mengakibatkan perubahan Mushaf dari masa ke masa. Bahkan kaidah-kaidah imla itu sendiri berbeda-beda kecenderungannya pada masa yang sama, dan bervariasi pula dalam beberapa kata di antara satu negeri dengan negeri lain.
Perbedaan bentuk tulisan yang disebutkan oleh Abu Bakar al-Baqalani adalah satu hal, dan rasm ilma’ adalah hal lain sebab perbedaan bentuk tulisan adalah perubahan dalam bentuk huruf, bukan dalam rasm kata. Mengenai alasan kemudahan membaca bagi para siswa dan pelajar dengan meniadakan pertentangan antara rasm Qur’an dengan rasm imla’ istilahi, tidaklah dapat menghindarkan perubahan tersebut yang akan mengakibatkan kekurangcermatan dalam penulisan Qur’an.
Orang yang sudah terbiasa membaca Mushaf akan mengetahui hal itu. dan memahami perbedaan-perbedaan imla’ dengan adanya tanda-tanda yang terdapat pada kata-kata, sedang mereka yang mem. biasakan diri akan hal ini pada waktu mengajar atau bersama dengan anak-anak mereka akan mengetahui bahwa kesulitan yang terdapat dalam bacaan Mushaf pada permulaannya itu akan segera berubah melalui latihan dalam waktu yang relatif singkat menjadi mudah sekali.
Dalam Syu‘abul imam Baihaqi mengatakan: ”Barang siapa menulis Mushaf, hendaknya ia memperhatikan ejaan (kaidah imla’) yang mereka pakai dalam penulisan mushaf-mushaf dahulu, janganlah menyalahi mereka dalam hal itu dan jangan pula mengubah apa yang telah mereka tulis sedikit pun. IImu mereka lebih banyak, lebih jujur hati dan lisannya, serta lebih dapat dipercaya daripada kita. Maka bagi kita tidak pantas menyangka bahwa diri kita lebih tahu dari mereka.”
Perbaikan Rasam Usmani
Mushaf Usmani tidak memakai tanda baca titik dan syakal, karena semata-mata didasarkan pada watak pembawaan orang-orang Arab yang masih murni, sehingga mereka tidak memerlukan syakal dengan harakat dan pemberian titik. Ketika bahasa Arab mulai mengalami kerusakan karena banyaknya percampuran (dengan bahasa nonArab), maka para penguasa merasa pentingnya ada perbaikan penulisan Mushaf dengan syakal, titik dan lain-lain yang dapat membantu pembacaan yang benar. Para ulama berbeda pendapat tentang usaha pertama yang dicurahkan untuk hal itu. Banyak ulama berpendapat bahwa orang pertama yang melakukan hal itu adalah Abul Aswad ad-Du’ali, peletak pertama dasar-dasar kaidah bahasa Arab, atas permintaan Ali bin Abi Talib.
Diriwayatkan, konon Abul Aswad pernah mendengar seorang qari membaca firman Allah (at-Taubah [9]:3).
Kesalahan -qari itu pada pembacaan kasrah lam” dalam kata . Hal ini mengejutkan Abul Aswad dan katanya: “Mahatinggi Allah untuk meninggalkan Rasul-Nya.” Kemudian ia pergi menghadap Ziyad, Gubernur Basrah, dan katanya: “Kini aku akan penuhi apa yang pernah anda minta kepadaku.” Ziyad pernah memintanya untuk membuatkan tanda-tanda baca supaya orang lebih dapat memahami Qur’an. Tetapi Abul Aswad tidak segera memenuhi permintaan itu; baru setelah dikejutkan oleh peristiwa tersebut ia memenuhinya. Di sini ia mulai bekerja keras, dan hasilnya sampai pada pembuatan tanda fathah berupa satu titik di atas huruf, tanda kasrah berupa satu titik di bawah huruf, tanda dammah berupa satu titik di sela-sela huruf dan tanda sukun berupa dua titik.
As-Suyuti menyebutkan dalam al-Itqin bahwa Abul Aswad ad-Du’ali adalah orang pertama yang melakukan usaha itu atas perintah Abdul Malik bin Marwan, bukan atas perintah Ziyad. Ketika itu orang telah membaca Mushaf Usman selama lebih dari empat puluh tahun hingga masa kekhalifahan Abdul Malik. Tetapi masih juga banyak orang yang membuat kesalahan dan kesalahan itu merajalela di Irak. Maka para penguasa memikirkan pembuatan tanda baca, titik dan syakal.
Dalam pada itu ada beberapa riwayat lain yang menisbahkan pekerjaan ini kepada orang lain, di antaranya kepada Hasan al-Basri, Yahya bin Ya‘mar dan Nasr bin ‘Asim al-Laisi. Tetapi Abul AswadJah yang terkenal dalam hal ini. Nampaknya orang-orang lain yang disebutkan itu mempunyai upaya-upaya lain yang dicurahkan dalam perbaikan dan pemudahan rasm tersebut.
Perbaikan rasm Mushaf itu berjalan secara bertahap. Pada mulanya syakal berupa titik: fathah berupa satu titik di atas awal huruf, dammah berupa satu titik di atas akhir huruf dan kasrah berupa satu titik di bawah awal huruf. Kemudian terjadi perubahan penentuan harakat yang berasal dari huruf, dan itulah yang dilakukan oleh alKhalil. Perubahan itu ialah fathah adalah dengan tanda sempang di atas huruf, kasrah berupa tanda sempang di bawah huruf, dammah dengan wawu kecil di atas huruf dan tanwin dengan tambahan tanda serupa. Alif yang dihilangkan dan diganti, pada tempatnya dituliskan dengan warna merah. Hamzah. yang dihilangkan dituliskan berupa hamzah dengan warna merah tanpa huruf. Pada nun” dan ”tanwin” sebelum huruf ”ba’” diberi tanda iglab berwarna merah. Sedang nun dan tanwin sebelum huruf tekak (halaq) diberi tanda sukun dengan warna merah. Nun dan tanwin tidak diberi tanda apa-apa ketika idgdm dan ikhfa’. Setiap huruf yang harus dibaca sukun (mati) diberi tanda Sukun dan huruf yang di-idgam-kan tidak diberi tanda sukun tetapi huruf yang sesudahnya diberi tanda syaddah; kecuali huruf “ta” sebelum “ta’”, maka sukun tetap dituliskan, misalnya ?
Kemudian pada abad ketiga Hijri terjadi perbaikan dan penyem. purnaan rasm Mushaf. Dan orang pun berlomba-lomba memilih ben. tuk tulisan yang baik dan menemukan tanda-tanda yang khas. Mereka memberikan untuk huruf yang disyaddah sebuah tanda seperti busur, Sedang untuk alif wasal diberi lekuk di atasnya, di bawahnya atau di te. ngahnya sesuai dengan harakat sebelumnya: fathah, kasrah atau dammah.
Kemudian secara bertahap pula orang-orang mulai meletakkan nama-nama surah dan bilangan ayat, dan rumus-rumus yang menunjukkan kepala ayat dan tanda-tanda waqaf. Tanda waqaf idzim adalah , waqaf mamnii‘ ( ), waqaf ja’iz yang boleh waqaf atau tidak ( ), waqaf ja’iz tetapi wasalnya lebih utama ( ), waqaf ja’iz tetapi waqafnya lebih utama ( ), waqaf Mu‘anaqah yang bila telah waqaf pada satu tempat tidak dibenarkan waqaf di tempat yang lain diberi tanda ”.. ..”, selanjutnya pembuatan tanda juz, tanda hizb. dan penyempurnaan-penyempurnaan lainnya.
Para ulama pada mulanya tidak menyukai usaha perbaikan tersebut karena khawatir akan terjadi penambahan dalam Qur’an, berdasarkan ucapan Ibn Mas‘ud: ’Bersihkanlah Qur’an dan jangan dicampuradukkan dengan apa pun.” Dan sebagian dari mereka membedakan antara pemberian titik yang diperbolehkan dengan pembuatan perpuluhan (al-a‘syar) dan pembukaan-pembukaan yang tidak diperbolehkan. Al-Halimi mengatakan: “Makruh menuliskan perpuluhan, perlimaan (al-akhmasy), nama-nama surah dan bilangan ayat dalam Mushaf, berdasarkan ucapan Ibn Mas‘ud: ’Bersihkanlah Qur’an.” Sedang pemberian titik diperbolehkan karena titik tidak mempunyai bentuk yang mengacaukan antara yang Qur’an dengan yang bukan Qur’an. Titik merupakan petunjuk atas keadaan sebuah huruf yang dibaca sehingga dibolehkan untuk orang yang memerlukannya.”
Kemudian akhirnya hal itu sampai kepada hukum boleh dan bahkan anjuran. Diriwayatkan oleh Ibn Abu Daud dari al-Hasan dan Ibn Sirin bahwa keduanya mengatakan: Tidak ada salahnya memberikan titik pada Mushaf.” Dan diriwayatkan pula Rabi‘ah bin Abi Abdurrahman mengatakan: “Tidak mengapa memberi syakal pada Mushaf.” AnNawawi mengatakan: ’Pemberian titik dan pensyakalan Mushaf itu dianjurkan (mustahab), karena ia dapat menjaga Mushaf dari kesalahan dan penyimpangan.”
Perhatian untuk menyempurnakan rasm Mushaf kini telah mencapai puncaknya dalam bentuk tulisan Arab (al-khattul ‘arabiy).
Fasilah dan Ra’sul Ayat
Al-Qur’anul Karim mempunyai sistem yang unik baik dalam fasilah maupun ra‘sul ayatnya. Yang kita maksudkan dengan fasilah jalah kalam (pembicaraan) yang terputus dengan kalam sesudahnya. Fasilah itu terkadang berupa ra’sul ayat dan terkadang bukan ra’sul ayat, dan fasilah ini terjadi pada akhir penggalan pembicaraan. Dinamakan fdsilah, karena pembicaraan terputus (berakhir) di tempat itu.
Yang kita maksudkan dengan ra’sul ayat ialah akhir ayat yang padanya diletakkan tanda fas! (pemisah) antara satu ayat dengan ayat lain. Oleh karena itu, mereka mengatakan ’Setiap ra’sul ayat adalah fasilah, tetapi tidak setiap fdsilah itu ra’sul ayat, sebab fasilah meliputi dan mengumpulkan keduanya itu.” Itu disebabkan ra’sul ayat memutuskan ayat dengan ayat sesudahnya.
Hal semacam ini dalam perkataan orang terkadang disebut sajak, seperti yang dikenal dalam ilmu Badi‘ (stilistik). Tetapi banyak ulama yang tidak menggunakan istilah ini (sajak) pada al-Qur’anul Karim karena nilai Qur’an memang lebih tinggi dari perkataan kalangan sastrawan atau ungkapan para nabi dan gaya bahasa para puJangga. Mereka membedakan antara fasilah dengan sajak; bahwa fasilah dalam Qur’an ialah meruntutkan makna dan bukan fasilah itu sendiri yang dimaksud.
Adapun Sajak maka sajak itu sendirilah yang dimaksudkan (dalam suatu perkataan) dan baru kemudian arti perkataan itu dialihkan, diarahkan, kepadanya, sebab hakikat sajak ialah menguntaikan kalimat dalam satu irama. Abu Bakar al-Baqalani menjawab orang yang mengatakan adanya unsur sajak dalam Qur’an, dengan mengatakan: “Anggapan mereka ini tidak benar. Seandainya Qur’an itu sajak, tentu ia tidak akan berada di luar (berbeda dengan) gaya bahasa mereka, dan seandainya Qur’an termasuk dalam gaya bahasa mereka, tentu .mukjizatnya tidak ada. Seandainya dapat dikatakan bahwa Qur’an adalah sajak yang mengandung mukjizat, tentu boleh pula mereka mengatakan: ia adalah syair mukjizat. Tetapi, bagaimana… Sajak ialah salah satu tradisi yang biasa dipraktekkan oleh para kahin (tukang ramal), dan peniadaan unsur ini dalam Qur’an, lebih tepar untuk dijadikan bukti daripada peniadaan unsur syair, karena perdukunan (ramalan) itu berlawanan dengan sifat-sifat kenabian; dan tidak demikian halnya dengan syair. Apa yang mereka duga bahwa Qur’an itu sajak adalah batil. Karena datangnya Qur’an dalam bentuk sajak tidaklah mengharuskan bahwa Qur’an itu sajak, sebab dalam kalimat yang bersajak makna senantiasa mengikuti lafal yang disampaikan dengan sajak. Tidak demikian halnya bagian Qur’an yang secara kebetulan sama bentuknya dengan sajak; lafal yang ada dalam Qur’an mengikuti makna. Di samping itu terdapat pula perbedaan antara kalimat yang tersusun lafal-lafalnya dan mengandung makna dimaksud, dengan makna yang tersusun namun lafalnya tidak.”
Pada hemat saya, jika yang dimaksud dengan sajak itu menjaga kesinambungan kalimat menurut satu irama tanpa memperhatikan makna, maka yang demikian merupakan pemaksaan yang dibenci dalam kata-kata manusia, apalagi dalam kalam Allah. Namun bila yang diperhatikan itu makna dan terjadi pula kesesuaian dalam irama yang mengikutinya, tanpa dipaksakan, maka yang demikian termasuk salah satu macam retorika (Balagah) yang terkadang ada dalam Qur’an dan ada pula pada selain Qur’an. Bila kita menamakan yang demikian ini dalam Qur’an dengan nama fasilah, bukan sajak, maka hal itu untuk menghindarkan pemakaian kata “sajak” dalam pengertian pertama pada Qur’an.
Di dalam Qur’an fasilah itu bermacam-macam, di antaranya:
- Fasilah mutamasilah, seperti firman-Nya: (at-Tur [52]:1-4); firman-Nya: (al-Fajr [89]:1-4); dan firman-Nya: (at-Takwir[81]: 15-18).
- Fasilah mutaqaribah fil huruf, seperti firman-Nya: (al-Fatihah [1]:3-4), karena dekatnya huruf mim dengan nun dalam akhir kata; dan firman-Nya: (Qaf [50]:1-3), karena suku kata dal dengan ba’ berdekatan.
- Fasilah mutawaziyah, yaitu bila dua kata sama dalam irama dan huruf-huruf sajaknya, seperti firman-Nya: (al-Gasyiyah [88]:13-14).
- Fasilah mutdwazin, yaitu bila hanya irama yang diperhatikan dalam penggalan kalimat, seperti firman-Nya: (al-Gasyiyah [88]:15-16).
Dalam fasilah terkadang diperhatikan tambahan huruf, seperti firman-Nya (al-Ahzab [33]:10) dengan menambahkan alif; sebab akhir kata fasilah dalam surah ini adalah alif yang berasal dari tanwin karena waqf, maka ditambahkanlah alif pada nun untuk menyamakan akhir kata dan menyesuaikan akhir fasilah. Terkadang pula diperhatikan pembuangan huruf, seperti firman-Nya: (al-Fajr [89]:4), yakni dengan membuang ya’ karena suku kata fasilah yang terdahulu dan yang kemudian menggunakan ra’. Atau dengan mengakhirkan apa yang seharusnya didahulukan karena adanya nilai retorika tersendiri seperti untuk merangsang jiwa agar ia merindukan pelaku, subyek, seperti dalam firman-Nya: (Ta Ha [20]:67), sehab pada dasarnya kata kerja itu harus bertemu secara langsung dengan subyek dan obyeknya diakhirkan. Tetapi, di sini sub. yek diakhirkan, yaitu Musa, karena adanya nilai retorika yang harus lebih dipentingkan terlebih dahulu daripada menjaga fasilah.
Orang Arab mempunyai aneka ragam lahjah (dialek) yang timbul dari fitrah mereka dalam langgam, suara dan huruf-huruf sebagaimana diterangkan secara komprehensip dalam kitab-kitab sastra. Setiap kabilah mempunyai irama tersendiri dalam mengucapkan kata-kata yang tidak dimiliki oleh kabilah-kabilah lain. Namun kaum Quraisy mempunyai faktor-faktor yang menyebabkan bahasa mereka lebih unggul di antara cabang-cabang bahasa Arab lainnya, yang antara lain karena tugas mereka menjaga Baitullah, menjamu para jemaah haji, memakmurkan Masjidil Haram dan menguasai perdagangan. Oleh sebab itu, semua suku bangsa Arab menjadikan bahasa Quraisy sebagai bahasa induk bagi bahasa-bahasa mereka karena adanya karakteristik karakteristik tersebut. Dengan demikian, wajarlah jika Qur’an diturunkan dalam logat Quraisy, kepada Rasul yang Quraisy pula untuk mempersatukan bangsa Arab dan mewujudkan kemukjizatan Qur’an ketika mereka gagal mendatangkan satu surah yang seperti Qur’an.
Apabila orang Arab berbeda lahjah dalam pengungkapan sesuatu makna dengan beberapa perbedaan tertentu, maka Qur’an yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya, Muhammad, menyempurnakan makna kemukjizatannya karena ia mencakup semua huruf dan wajah qiraah pilihan di antara lahjah-lahjah itu. Dan ini merupakan salah satu sebab yang memudahkan mereka untuk membaca, menghafal dan memahaminya.
Nas-nas Sunah cukup banyak mengemukakan hadis mengenai turunnya Qur’an dengan tujuh huruf. Di antaranya: Dari Ibn Abbas, ia berkata:
“Rasulullah berkata: ’Jibril membacakan (Qur’an) kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulang kali aku mendesak dan meminta agar huruf itu ditambah, dan ia pun menambahnya kepadaku sampai dengan tujuh huruf.”
Dari Ubai bin Ka‘b:
“Ketika Nabi berada di dekat parit Bani Gafar, ia didatangi Jibril seraya mengatakan: ’Allah memerintahkanmu agar membacakan Qur’an kepada umatmu dengan satu huruf.’ Ia menjawab: Aku memohon kepada Allah ampunan dan magfirah-Nya, karena umatku tidak dapat melaksanakan perintah itu.’ Kemudian Jibril datang lagi untuk yang kedua kalinya dan berkata: ’Allah memerintahkanmu agar membacakan Qur’an kepada umatmu dengan dua huruf.’ Nabi menjawab: *Aku memohon kepada Allah ampunan dan magfirah-Nya, umatku tidak kuat melaksanakannya.’ Jibril datang lagi untuk yang ketiga kalinya, lalu mengatakan: ’Allah memerintahkanmu agar membacakan Qur’an kepada umatmu dengan tiga huruf.’ Nabi menjawab: ’Aku memohon kepada Allah ampunan dan magfirah-Nya, sebab umatku tidak dapat melaksanakannya.” Kemudian Jibril datang lagi untuk yang keempat kalinya seraya berkata: “Allah memerintahkan kepadamu agar membacakan Qur’an kepada umatmu dengan tujuh huruf, dengan huruf mana saja mereka membaca, mereka tetap benar.’”
Dari Umar bin Khattab, ia berkata:
Aku mendengar Hisyam bin Hakim membaca surah al-Furqan di masa hidup Rasulullah. Aku perhatikan bacaannya. Tiba-tiba ia membacanya dengan banyak huruf yang belum pernah dibacakan Rasulullah kepadaku, sehingga hampir saja aku melabraknya di saat ia salat, tetapi aku berusaha sabar menunggunya sampai salam. Begitu salam aku tarik selendangnya dan bertanya: ’Siapakah yang membacakan (mengajarkan bacaan) surah itu kepadamu?” ia menjawab: ’Rasulullah yang membacakannya kepadaku.’ Lalu aku katakan kepadanya: ’Dusta kau! Demi Allah, Rasulullah telah membacakan juga kepadaku sural yang aku dengar tadi engkau membacanya (tapi tidak seperti bacaanmu).’ Kemudian aku bawa dia menghadap Rasulullah, dan aku ceritakan kepadanya bahwa ‘aku telah mendengar orang ini membaca surah al-Furqan dengan huruf-huruf yang tidak pernah engkau bacakan kepadaku, padahal engkau sendiri telah membacakan surah al-Furqan kepadaku.’ Maka Rasulullah berkata: “Lepaskan dia, wahai Umar. Bacalah surah tadi, wahai Hisyam!’ Hisyam pun kemudian membacanya dengan bacaan seperti kudengar tadi. Maka kata Rasulullah: ‘Begitulah surah itu diturunkan.’ Ia berkata lagi: “Bacalah, wahai Umar!’ Lalu aku membacanya dengan bacaan sebagaimana diajarkan Rasulullah kepadaku. Maka kata Rasulullah: “Begitulah surah itu diturunkan.’ Dan katanya lagi: “Sesungguhnya Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah dengan huruf yang mudah bagimu di antaranya.”
Hadis-hadis yang berkenaan dengan ha! itu amat banyak jumlahnya dan sebagian besar telah diselidiki oleh Ibn Jarir di dalam Pengantar Tafsir-nya. As-Suyuti menyebutkan bahwa hadis-hadis tersebut diriwayatkan dari dua puluh orang sahabat. Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam menetapkan kemutawatiran hadis mengenai turunnya Qur’an dengan tujuh huruf.
Perbedaan Pendapat tentang Pengertian Tujuh Huruf
Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan tujuh huruf ini dengan perbedaan yang bermacam-macam. Sehingga Ibn Hayyan mengatakan: “Ahli ilmu berbeda pendapat tetang arti kata tujuh huruf menjadi tiga puluh lima pendapat.” Namun kebanyakan pendapat-pendapat itu bertumpang tindih. Disini kami akan mengemukakan beberapa pendapat diantaranya yang dianggap paling mendekati kebenaran.
- Sebagian besar ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna; dengan pengertian jika bahasa mereka berbeda-beda dalam mengungkapkan satu makna, maka Qur’an pun diturunkan dengan sejumlah lafaz sesuai dengan ragam bahasa tersebut tentang makna yang satu itu. Dan jika tidak terdapat perbedaan, maka Qur’an hanya mendatangkan satu lafaz atau lebih saja.
Kemudian mereka berbeda pendapat juga dalam menentukan ketujuh bahasa itu.
Dikatakan bahwa ketujuh bahasa itu adalah bahasa Quraisy Huzail, Saqif, Hawazin, Kinanah, Tamim dan Yaman.
Menurut Abu Hatim as-Sijistani, Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy, Huzail, Tamim, Azad, Rabi‘ah, Hawazin dan Sa‘d bin Bakar,
Dan diritwayatkan pula pendapat yang lain
- Suatu kaum berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab de. ngan mana Qur’an diturunkan, dengan pengertian bahwa kata-kata dalam Qur’an secara keseluruhan tidak keluar dari ketujuh macam bahasa tadi, yaitu bahasa paling fasih di kalangan bangsa Arab, mes. kipun sebagian besarnya dalam bahasa Quraisy. Sedang sebagian yang lain dalam bahasa Huzail, Saqif, Hawazin, Kinanah, Tamim atau Ya. man; karena itu maka secara keseluruhan Qur’an mencakup ketujuh bahasa tersebut.
Pendapat ini berbeda dengan pendapat sebelumnya; karena yang dimaksud dengan tujuh huruf dalam pendapat ini adalah tujuh huruf yang bertebaran di berbagai surah Qur’an, bukan tujuh bahasa yang berbeda dalam kata tetapi sama dalam makna.
Berkata Abu ‘Ubaid: ”Yang dimaksud bukanlah setiap kata boleh dibaca dengan tujuh bahasa, tetapi tujuh bahasa yang bertebaran dalam Qur’an. Sebagiannya bahasa Quraisy, sebagian yang lain bahasa Huzail, Hawazin, Yaman, dan lain-lain.” Dan katanya pula: “Sebagian bahasa-bahasa itu lebih beruntung karena dominan dalam Qur’an.”
- Sebagian ulama menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh wajah, yaitu: amr (perintah), nahyu (larangan), wa‘d (janji), wa‘id (ancaman), jadal (perdebatan), qasas (cerita) dan masal (perumpamaan). Atau amr, nahyu, halal, haram, muhkam, mutasyabih dan amsal.
“Dari Ibn Mas‘ud, Nabi berkata: ’Kitab umat terdahulu diturunkan dari satu pintu dan dengan satu huruf. Sedang Qur’an diturunkan melalui tujuh pintu dan dengan tujuh huruf, yaitu: zajr (larangan), amr, halal, haram, muhkam, mutasyabih dan amsal.”
- Segolongan ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam hal yang di dalamnya terjadi ikhtilaf (perbedaan), yaitu:
- Ikhtilaful asma’ (perbedaan kata benda): dalam bentuk mufrad, muzakkar dan cabang-cabangnya, seperti tasniyah, jamak dan ta’nis. Misalnya firman Allah: (al-Mukminun [23]:8), dibaca dengan bentuk mufrad dan dibaca pula dengan bentuk jamak. Sedangkan rasamnya dalam Mushaf adalah yang memungkinkan kedua qiraat itu karena tidak adanya alif yang disukun. Tetapi kesimpulan akhir dari kedua macam qiraat itu adalah sama. Sebab bacaan dengan bentuk jamak dimaksudkan untuk arti istiqraq (keseluruhan) yang menunjukkan jenis-jenisnya, sedang bacaan dengan bentuk mufrad dimaksudkan untuk jenis yang menunjukkan makna banyak, yaitu semua jenis amanat yang mengandung bermacam-macam amanat yang banyak jumlahnya.
- Perbedaan dalam segi i’rab (harakat akhir kata), seperti firman Allah: (Yusuf [12]:31). Jumhur membacanya dengan nasab (accusative), dengan alasan berfungsi seperti dan ini adalah bahasa penduduk Hijaz yang dalam bahasa inilah Qur’an diturunkan, Sedang Ibn Mas‘ud membacanya dengan rafa‘ (nominative) sesuai dengan bahasa Bani Tamim, karena mereka tidak memfungsikan seperti Juga seperti firman-Nya: (al. Baqarah [2]:37). Ayat ini dibaca dengan menasabkan dan merafatkan
- Perbedaan dalam tasrif, seperti firman-Nya: (Saba [34]:19), dibaca dengan menasabkan karena menjadi munada mudaf dan is dibaca dengan bentuk perintah (fi‘il amar). Lafaz dibaca pula dengan rafa‘ sebagai mubtada’ dan dengan membaca fatah huruf ‘ain sebagai fi‘il madi yang kedudukannya men. jadi khabar atau sebutan. Juga dibaca dengan membaca fatah mentasydidkan huruf ‘ain dan merafa‘kan lafaz
Termasuk kelompok ini ialah perbedaan karena perubahan huruf, seperti dan , dengan ya dan dengan ta dan lafaz dan dalam firman-Nya (al-Fatihah [1]:6).
- Perbedaan dalam taqdim (mendahulukan) dan ta’khir (mengakhirkan), baik terjadi pada huruf seperti firman-Nya (ar-Ra‘d [13]:31) yang dibaca juga maupun di dalam kata seperti firmanNya (at-Taubah (9]:111) di mana yang pertama dimabni-fa‘ilkan (dibaca dalam bentuk aktif) dan yang kedua dimabni-maf‘ilkan (dibaca dalam bentuk pasif) di samping dibaca pula dengan sebaliknya, yaitu yang pertama dimabni-maf‘dlkan dan yang kedua dimabni-fa‘ilkan.
Adapun (Qaf [5]:19) sebagai ganti dari firman-Nya adalah qiraat ahad dan syaz yang tidak mencapai derajat mutawatir.
- Perbedaan dalam segi ibdal (penggantian), baik penggantian huruf dengan huruf, seperti (al-Baqarah (2): 259) yang dibaca dengan huruf za dan mendamahkan nun, di samping dibaca pula dengan huruf ra dan memfatahkan nun, maupun penggantian lafaz dengan lafaz, seperti firman-Nya (al-Qari‘ah [101]:5) yang dibaca oleh Ibn Mas‘ud dan lain-lain dengan Terkadang pula penggantian ini terjadi pada sedikit perbedaan makhraj atau tempat keluar huruf, seperti firmanNya (al-Waqi‘ah [56]:29) yang dibaca dengan gli karena makhraj ha’ dan ‘ain itu sama dan keduanya termasuk huruf halaq.
- Perbedaan karena ada penambahan dan pengurangan. Ikhtilaf dengan penambahan (ziyadah) misalnya firman Allah (at-Taubah [9]:100) yang dibaca juga dengan tambahan keduanya merupakan qiraat yang mutawatir. Mengenai perbedaan karena adanya pengurangan (naqs), seperti dalam firmanNya (al-Baqarah [2]:116), tanpa huruf wawu, sedang jumhur ulama membacanya dengan wawu. Perbedaan dengan adanya penambahan dalam qiraat ahad (orang perorangan) dapat diwakili dengan qiraat Ibn Abbas (al-Kahfi [18]:79), dengan penambahan dan penggantian kata dari kata , sedang qiraat jumhur ialah Demikian pula perbedaan karena pengurangan dapat diberi contoh dengan qiraat sebagai ganti dari ayat yang lazim dibaca (al-Lail [92]:3).
- Perbedaan lahjah seperti bacaan tafkhim (menebalkan) dan tarqiq (menipiskan), fatah dan imalah, izhar dan idgam, hamzah dan tashil, isymam, dan lain-lain. Seperti membaca imalah dan tidak imalah dalam firman-Nya : (Ta Ha [20]:9), yang dibaca dengan mengimalahkan kata dan membaca tariq ra dalam firman-Nya mentafkhimkan huruf lam dalam kata , mentashilkan hamzah dalam firman-Nya (al-Mukminun [23]: 1) dan mengisymamkan huruf gin dengan didamahkan bersama kasrah dalam firman-Nya (Hud [11]:44). Dan seterusnya.
- Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa bilangan tujuh itu tidak diartikan secara harfiah (maksudnya, bukan bilangan antara enam dan delapan), tetapi bilangan tersebut hanya sebagai lambang kesempurnaan menurut kebiasaan orang Arab. Dengan demikian, maka kata tujuh adalah isyarat bahwa bahasa dan susunan Qur’an merupakan batas dan sumber utama bagi perkataan semua orang Arab yang telah mencapai puncak kesempurnaan tertinggi. Sebab, lafaz sab‘ah (tujuh) dipergunakan pula untuk menunjukkan jumlah banyak dan sempurna dalam bilangan satuan, seperti “tujuh puluh” dalam bilangan puluhan, dan “tujuh ratus” dalam ratusan. Tetapi kata-kata itu tidak dimaksudkan untuk menunjukkan bilangan tertentu.”
- Segolongan ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf tersebut adalah qiraat tujuh.
Tarjih dan Analisis
Pendapat terkuat dari semua pendapat tersebut adalah pendapat pertama (A), yaitu bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab dalam mengungkapkan Satu makna yang sama. Misalnya: aqbil, ta‘ala, halumma, ‘ajal dan asra‘. Lafaz-lafaz yang berbeda ini digunakan untuk menunjukkan satu makna yaitu perintah untuk menghadap. Pendapat ini dipilih oleh Sufyan bin ‘Uyainah, Ibn Jarir, Ibn Wahb dan lainnya. Ibn ‘Abdil Barr menisbahkan pendapat ini kepada sebagian besar ulama dan dalil bagi pendapat ini ialah apa yang terdapat dalam hadis Abu Bakrah berikut:
“Jibril mengatakan: ’Wahai Muhammad, bacalah Qur’an dengan satu huruf.’ Lalu Mika’il mengatakan: ’Tambahkanlah.’ Jibril berkata lagi: “Dengan dua huruf!’ Jibril terus menambahnya hingga sampai dengan enam atau tujuh huruf. Lalu ia berkata: ’Semua itu obat penawar yang memadai, selama ayat azab tidak ditutup dengan ayat sahmat, dan ayat rahmat tidak ditutup dengan ayat azab. Seperti katakata: halumma, ta‘ala, aqbil, izhab, asra‘ dan ‘aja’!
Berkata Ibn ‘Abdil Barr: ’Maksud hadis ini hanyalah sebagai contoh bagi huruf-huruf yang dengannya Qur’an diturunkan. Ketujuh huruf itu mempunyai makna yang sama pengertiannya, tetapi berbeda bunyi ucapannya. Dan tidak satu pun di antaranya yang mempunyai makna yang saling berlawanan atau satu segi yang berbeda makna dengan segi lain secara kontradiktif dan berlawanan, seperti rahmat yang merupakan lawan dari azab.”
Pendapat pertama ini didukung pula oleh banyak hadis, antara Lain:
“Seorang telaki membaca Qur’an di dekat Umar bin Khattab. Umar marah kepadanya, Orang itu berkata: ‘Sungguh aku telah membacanya di hadapan Rasulullah, tetapi ia tidak marah kepadaku.” Kata perawi: Maka keduanya berselisih di hadapan Nabi. Orang itu berkata: “Wahai Rasulullah, bukankah engkau membacakan kepadaku ayat itu begini dan begini?’ Nabi menjawab: “Ya!’ Perawi menjelaskan:. Dengan jawaban ini timbullah ketidakpuasan dalam hati Umar, dan Nabi mengetahui hal itu di wajahnya. Lalu beliau menepuk-nepuk dada Umar seraya mengatakan: ‘Jauhilah setan.’ Ucapan ini diulanginya sampai tiga kali. Kemudian katanya pula: “Wahai Umar, Qur’an itu seluruhnya adalah benar, selama ayat rahmat tidak dijadikan ayat azab atau ayat azab dijadikan ayat rahmat.’”!?
Dari Busr bin Sa‘id:
”Abu Juhaim al-Ansari mendapat berita bahwa dua orang lelaki berselisih tentang sesuatu ayat Qur’an. Yang satu mengatakan, ayat itu diterima dari Rasulullah, dan yang lain pun mengatakan demikian. Lalu keduanya menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah. Maka kata Rasulullah: “Sesungguhnya Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka janganlah kamu saling berdebat tentang Qur’an karena perdebatan mengenainya merupakan suatu kekafiran.’ Sesungguhnya Allah telah menyuruh aku agar membaca Qur’an atas tujuh huruf’
Dari A‘masy, ia berkata: “Anas membaca ayat ini (al-Muzzammil [73]:6). Maka orang-orang pun mengatakan kepadanya: “Wahai Abu Hamzah, kalimat itu adalah la menjawab: , dan itu sama saja.”
Dari Muhammad bin Sirin, ia berkata: “Saya mendapat berita bahwa Jibril dan Mika’il datang kepada Nabi. Jibril berkata: ’Bacalah Qur’an dengan dua huruf!’ Lalu Mika’il berkata kepadanya: ’Tambahlah.” Kata perawi: Permintaan ini terus diulangi hingga Qur’an boleh dibaca dengan tujuh huruf. Muhammad berkata: “Ketujuh huruf jtu tidak berselisih mengenai yang halal dengan yang haram, dan tidak pula tentang perintah dengan larangan. Tetapi ia hanya seperti katakatamu: Ta‘ala, halumma dan aqbil.’ Selanjutnya ia menjelaskan, menurut qiraat kami ayat berikut ini dibaca: (Ya Sin [36]:29, 53), tetapi dalam qiraat Ibn Mas‘ud dibaca:
Pendapat kedua (B) – yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab dengan mana Qur’an diturunkan; dengan pengertian bahwa kalimat-kalimatnya secara keseluruhan tidak keluar dari ketujuh bahasa tadi, karena itu maka himpunan Qur’an telah mencakupnya dapat dijawab bahwa bahasa Arab itu lebih banyak dari tujuh macam, di samping itu Umar bin Khattab dan Hisyam bin Hakim kedua-keduanya adalah orang Quraisy yang mempunyai bahasa yang sama dan kabilah yang sama pula, tetapi qiraat (bacaan) kedua orang itu berbeda, dan mustahi! Umar mengingkari bahasa Hisyam (namun ternyata Umar mengingkarinya). Semua itu menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf bukanlah apa yang mereka kemukakan, tetapi hanyalah perbedaan lafaz-lafaz mengenai makna yang sama. Dan itulah pendapat yang kita kukuhkan.
Setelah mengemukakan dalil-dalil untuk membatalkan pendapat kedua ini, Ibn Jarir at-Tabari mengatakan: “Tujuh huruf yang dengan, nya Qur’an diturunkan adalah tujuh dialek bahasa dalam satu huruf dan satu kata karena perbedaan lafaz tetapi sama maknanya. Misalnya. dan lain sebagainya yang lafaz, lafaznya berbeda karena perbedaan ucapan tetapi maknanya sama, meskipun lisan berlainan dalam menjelaskannya. Hal ini seperti yang kita riwayatkan tadi, dari Rasulullah dan dari sahabat, bahwa yang demikian itu seperti kata-kata: , dan atau seperti kata-kata:
Tabari menjawab pertanyaan yang mungkin akan muncul, “Di manakah kita jumpai di dalam Kitab Allah satu huruf yang dibaca dengan tujuh bahasa yang berbeda-beda lafaznya, tetapi sama makna. nya?” dengan mengatakan: “Kami tidak mendakwakan hal itu masih ada sekarang ini.” Ia juga menjawab pertanyaan yang diandaikan lain. nya, “Mengapa pula huruf-huruf yang enam itu tidak ada?” Ia menerangkan: “Umat Islam disuruh untuk menghafalkan Qur’an, dan diberi kebebasan untuk memilih dalam bacaan dan hafalannya salah satu dari ketujuh huruf itu sesuai dengan keinginannya sebagaimana diperintahkan. Namun pada masa Usman keadaan menuntut agar ba. caan itu ditetapkan dengan satu huruf saja karena dikhawatirkan akan timbul fitnah (bencana). Kemudian hal ini diterima secara bulat umat Islam, suatu umat yang dijamin bebas dari kesesatan.”
Pendapat ketiga (C) yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam hal (makna), yaitu: amr, nahyu, halal, haram, muhkam, mutasyabih dan masal dijawab, bahwa zahir hadis-hadis tersebut menunjukkan tujuh huruf itu adalah suatu kata yang dapat dibaca dengan dua atau tiga hingga tujuh macam sebagai keleluasaan bagi umat, padahal sesuatu yang satu tidak mungkin dinyatakan halal dan haram di dalam satu ayat, dan keleluasan pun tidak dapat direfleksikan dengan pengharaman yang halal, penghalalan yang haram atau pengubahan sesuatu makna dari makna-makna tersebut.
Dalam hadis-hadis terdahulu ditegaskan bahwa para sahabat yang berbeda bacaan itu meminta keputusan kepada Nabi, lalu setiap orang diminta menyampaikan bacaannya masing-masing, kemudian Nabi membenarkan semua bacaan mereka meskipun bacaan-bacaan itu berbeda satu dengan yang lain, sehingga keputusan Nabi ini menimbulkan keraguan di sebagian mereka. Maka kepada mereka yang masih ragu terhadap keputusan itu Rasulullah berkata: ’’Sesungguhnya Allah memerintahkanku untuk membaca Qur’an dengan tujuh huruf.’’
Kita maklum, jika perselisihan dan sikap saling meragukan itu menyangkut tentang penghalalan, pengharaman, janji, ancaman dan lain sebagainya yang ditunjuk oleh bacaan mereka, maka mustahil Rasulullah akan membenarkan semuanya dan memerintahkan setiap orang untuk tetap pada bacaannya masing-masing, sesuai dengan qiraat yang mereka bacakan itu. Sebab, jika hal demikian dapat dibenarkan, berarti Allah Yang Maha Terpuji telah memerintahkan dan memfardukan untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu dalam bacaan orang yang bacaannya menunjukkan kefarduannya; melarang dan mencegah untuk melakukan sesuatu itu, dalam bacaan orang yang bacaannya menunjukkan larangan dan cegahan; serta membolehkan secara mutlak untuk melakukannya, dalam arti memberikan keleluasan bagi siapa saja di antara hamba-hamba-Nya untuk melakukan atau meninggalkannya di dalam bacaan orang yang bacaannya menunjukkan pilihan.
Pendapat demikian, jika memang ada, berarti menetapkan apa yang telah ditiadakan Allah Yang Maha Terpuji dari Qur’an dan hukum Kitab-Nya. Allah berfirman:
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Qur’an? Kalau seKiranya Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapati pertentangan yang banyak di dalamnya.” (an-Nisa’ [4]:82).
Peniadaan hal tersebut (kontradiksi dalam Qur’an) oleh Allah Yang Maha Terpuji dari Kitab-Nya yang muhkam merupakan bukt; paling jelas bahwa Dia tidak menurunkan Kitab-Nya melalui lisan Muhammad kecuali dengan satu hukum yang sama bagi semua makhluk-Nya, bukan dengan hukum-hukum yang berbeda bagi mereka.!’
Pendapat keempat (D) yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam hal yang di dalamnya terjadi ikhtilaf. dijawab, bahwa pendapat ini meskipun telah populer dan diterima, tetapi ia tidak dapat tegak di hadapan bukti-bukti dan argumentasi pendapat pertama yang menyatakan dengan tegas sebagai perbedaan dalam beberapa lafaz yang mempunyai makna sama. Di samping itu sebagian dari perubahan atau perbedaan yang mereka kemukakan pun hanya terdapat dalam qiraat-qiraat ahad. Padahal, tidak diperselisinkan lagi, bahwa segala sesuatu yang berupa Qur’an itu haruslah mutawatir. Begitu juga sebagian besar dari perbedaan-perbedaan itu hanya mengacu kepada bentuk kata atau cara pengucapannya yang tidak menimbulkan perbedaan lafaz, seperti perbedaan dalam segi i‘rab, tasrif, tafkhim, tarqiq, fathah, imalah, izhar, idgam dan isymam. Perbedaan semacam ini tidak termasuk perbedaan yang bermacam-macam dalam lafaz dan makna; sebab cara-cara yang berbeda dalam pengucapan sesuatu lafaz tidak mengeluarkannya dari statusnya sebagai lafaz yang satu.
Para pendukung pendapat keempat memandang bahwa Mushaf Mushaf Usmani mencakup ketujuh huruf tersebut seluruhnya, dengan pengertian bahwa mushaf-mushaf itu mengandung huruf-huruf yang dimungkinkan oleh bentuk tulisannya. Misalnya ayat (al-Mukminun (23]:8), ayat ini dapat dibaca dengan bentuk jamak dan mufrad. Dalam rasam Usmani ditulis secara bersambung tetapi dengan mempergunakan alif kecil (harakat berdiri). Begitu juga ayat (Saba [34]:19), dalam rasam Usmani tertulis secara bersambung dengan alif kecil di atasnya pula. Dan begitu seterusnya…
Apa yang mereka kemukakan sebagai salah satu macam ikhulaf ini tidak dapat dibenarkan.
Perbedaan karena penambahan dan pengurangan, misalnya diam firman-Nya (at-Taubah [9]:100), yang dibaca pula dengan tambahan . Dan firman-Nya (al-Lail [92]:3), yang juga dibaca dengan pengurangan kata .
Perbedaan karena terdapat taqdim dan ta’khir, misalnya dalam firman-Nya (Qaf [50]:19), yang dibaca juga dengan Sedang perbedaan dengan sebab ibdal (penggantian) seperti dalam firman-Nya yang dibaca
Andaikata huruf-huruf itu masih terdapat dalam Mushaf-mushaf Usmani, tentulah Mushaf tersebut tidak dapat meredam pertikaian dalam hal perbedaan bacaan. Sebab, meredam pertikaian hanya dapat tercapai dengan cara mempersatukan umat pada satu huruf dari ketujuh huruf yang dengannya Qur’an diturunkan. Kalaulah tidak demikian, tentu perbedaan bacaan akan tetap ada dan juga tidak akan ada perbedaan antara motiv pengumpulan mushaf yang dilakukan Usman dengan pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar. Akan tetapi berbagai sumber menunjukkan bahwa pengumpulan Qur’an yang dilakukan Usman adalah penyalinan kembali Qur’an menurut satu huruf di antara ketujuh huruf itu untuk menyeragamkan kaum Muslimin pada satu Mushaf. Usman berpendapat bahwa membaca Qur’an dengan ketujuh huruf itu hanyalah untuk menghilangkan kesempitan dan kesulitan di masa-masa awal, dan kebutuhan akan hal itu pun sudah berakhir. Maka kuatlah motivnya untuk menghilangkan segala unsur yang menjadi faktor perbedaan bacaan, dengan mengumpulkan dan menyeragamkan umat pada satu huruf saja. Dan kebijaksanaan Usman ini kemudian disepakati oleh para sahabat. Maka dengan adanya kesepakatan ini terjadilah ijma‘. Pada masa Abu Bakar dan Umar, para sahabat tidak memerlukan pembukuan Qur’an seperti yang dibukukan Usman, sebab pada masa keduanya tidak terjadi perselisihan tentang Qur’an seperti yang terjadi pada masa Usman. Dengan demikian maka Usman telah melakukan suatu) kebijaksanaan — besar,; menghilangkan perselisihan, mempersatukan dan menentramkan umat.
Pendapat kelima ( E ) yang menyatakan bilangan tujuh itu tidak diartikan secara harfiah, dapat dijawab, bahwa nas-nas hadis menun. jukkan hakikat bilangan tersebut secara tegas; seperti “Jibril membacakan (Qur’an) kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulangkali aku mendesaknya agar huruf itu ditambah, dan ia pun menambahkan. nya kepadaku sampai tujuh huruf.’!? “Dan sesungguhnya Tuhanku mengutusku untuk membaca Qur’an dengan satu huruf. Lalu berulang. ulang aku meminta kepada-Nya untuk memberi kemudahan kepada umatku. Maka Ia mengutusku agar membaca Qur’an dengan tujuh huruf.” Jelaslah hadis-hadis ini menunjukkan hakikat bilangan tertentu yang terbatas pada tujuh.
Pendapat keenam (F) yang menyatakan maksud tujuh huruf adalah tujuh qiraat, dapat dijawab, bahwa Qur’an itu bukanlah qiraat. Qur’an adalah wahyu yang diturunkan kepada Muhammad sebagai bukti risalah dan mukjizat. Sedang qiraat adalah perbedaan dalam cara mengucapkan lafaz-lafaz wahyu tersebut, seperti meringankan (takhfif), memberatkan (taSqil), membaca panjang dan sebagainya. Berkata Abu Syamah: ”Suatu kaum mengira bahwa qiraat tujuh yang ada sekarang ini itulah yang dimaksudkan dengan tujuh huruf dalam hadis. Asumsi ini sangat bertentangan dengan kesepakatan ahli ilmu, dan yang beranggapan seperti itu hanyalah sebagian orang-orang bodoh saja.”
Lebih lanjut at-Tabari mengatakan: ”Adapun perbedaan bacaan seperti merafa‘kan sesuatu huruf, menjarkan, menasabkan, mensukunkan, mengharakatkan dan memindahkannya ke tempat lain dalam bentuk yang sama; semua itu tidak termasuk dalam pengertian ucapan Nabi, “Aku diperintah untuk membaca Qur’an dengan tujuh huruf’; sebab sebagaimana diketahui, tidak ada satu huruf pun dari huruf-huruf Qur’an yang perbedaan bacaannya, menurut pengertian ini, menyebabkan seseorang dipandang telah kafir karena meragukannya, berdasarkan pendapat salah seorang ulama padahal Nabi mensinyalir keraguan tentang huruf itu sebagai suatu kekafiran itu termasuk salah satu segi yang dipertentangkan oleh mereka yang berselisih seperti yang dijelaskan dalam banyak riwayat.”
Nampaknya, apa yang menyebabkan mereka terperosok ke dalam kesalahan ini ialah adanya kesamaan “bilangan tujuh” (dalam hadis ini dengan qiraat yang populer), sehingga permasalahannya menjadi kabur bagi mereka. Ibn ‘Imar berkata: ”Orang yang menginterpretasikan qiraat tujuh terhadap kata ”Sab‘ah” dalam hadis ini telah melakukan apa yang tidak sepantasnya dilakukan dan membuat kesulitan bagi orang awam dengan mengesankan kepada setiap orang yang berwawasan sempit bahwa qiraat-qiraat itulah yang dimaksudkan oleh hadis. Alangkah baiknya andaikata qiraat yang masyhur itu kurang dari tujuh atau lebih, tentu kekaburan dan kesalahan ini tidak perlu terjadi.”
Dengan pembicaraan ini, jelaslah bagi kita bahwa pendapat pertama (A) yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh bahasa dari bahasa orang Arab mengenai satu makna yang sama adalah pendapat yang sesuai dengan zahir nas-nas dan didukung oleh bukti-bukti pane sahih.
“Dari Ubai bin Ka‘b, ia berkata: Rasulullah berkata kepadaku: “Sesungguhnya Allah memerintahkan aku agar membaca Qur’an dengan satu huruf.’ Lalu aku berkata: ’Wahai Tuhanku, berilah keringan kepada umatku.” Kemudian Ia memerintahkan kepadaku dengan fir. man-Nya: Bacalah dengan dua huruf. Kemudian aku berkata lagi. “Wahai Tuhanku, ringankanlah umatku. Maka Ia pun memerintahkan kepadaku agar membacanya dengan tujuh huruf dari tujuh pintu surga. Semuanya obat penawar dan memadai.”
At-Tabari berkata: “Yang dimaksud dengan tujuh huruf ialah tujuh macam bahasa, seperti yang telah kita katakan, dan tujuh pintu surga adalah makna-makna yang terkandung di dalamnya, yaitu: amr, nahyu, targib, tarhib, kisah dan masal, yang jika seseorang mengamalkannya sampai dengan batas-batasnya yang telah ditentukan, maka jg berhak masuk surga. Alhamdulillah, tidak ada satu pendapat pun dari orang-orang terdahulu yang bertentangan dengan apa yang kita kata. kan ini, sedikit pun juga. Sedangkan makna ’semuanya syafin (obat penawar) dan kafin (memadai)’ adalah sebagaimana difirmankan Allah Yang Maha Terpuji tentang sifat-sifat Qur’an:
“Wahai manusia, sungguh telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.’ (Yunus [10]:57). Jadi, Qur’an dijadikan oleh Allah sebagai obat penawar bagi orang-orang mukmin, yang dengan nasihat-nasihatnya mereka sembuhkan segala penyakit yang menimpa hati mereka yaitu bisikan setan dan getaran-getarannya. Karena itulah maka Qur’an telah memadai dan mereka tidak memerlukan lagi nasihat yang lain, dengan penjelasan ayat-ayat-Nya itu.”
Hikmah Turunnya Qur’an dengan Tujuh Huruf
Hikmah diturunkannya Qur’an dengan tujuh huruf dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Untuk memudahkan bacaan dan hafalan bagi bangsa yang ummi, tidak bisa baca tulis, yang setiap kabilahnya mempunyai dialek masing-masing, namun belum terbiasa menghafal syari‘at, apalagi mentradisikannya. Hikmah ini ditegaskan oleh beberapa hadis antara jain dalam ungkapan berikut:
Ubai berkata:
“Rasulullah bertemu dengan Jibril di Ahjarul Mira’, sebuah tempat di Kuba, lalu berkata: “Aku ini diutus kepada umat yang ummi. di antara mereka ada anak-anak, pembantu, kakek-kakek tua dan nenek-nenek jompo.’ Maka kata Jibril: “Hendaklah mereka membaca Qur’an dengan tujuh huruf.”
”Allah memerintahkan aku untuk membacakan Qur’an bagi umatmu dengan satu huruf. Lalu aku mengatakan: ’Wahai Tuhanku, berilah keringanan bagi umatku.”
“Allah memerintahkan engkau untuk membacakan Qur’an kepada umatmu dengan satu huruf. Nabi menjawab: “Aku memohon kepada Allah ampunan dan magfirah-Nya, Umatku tidak akan sanggup melakukan perintah itu.”
- Bukti kemukjizatan Qur’an bagi naluri atau watak dasar ke. bahasaan orang Arab. Qur’an mempunyai banyak pola susunan buny;j yang sebanding dengan segala macam cabang dialck bahasa yang telah menjadi naluri bahasa orang-orang Arab, sehingga setiap orang Arab dapat mengalunkan huruf-huruf dan kata-katanya sesuai dengan irama yang telah menjadi watak dasar mereka dan lahjah kaumnya, dengan tetap keberadaan Qur’an sebagai mukjizat yang ditantangkan Rasulullah kepada mereka. Dan mereka tidak mampu menghadapi tantangan tersebut. Sekalipun demikian, kemukjizatan itu bukan terhadap bahasa melainkan terhadap naluri kebahasaan mereka itu sendiri.
- Kemukjizatan Qur’an dalam aspek makna dan hukum-hukum. nya. Sebab perubahan-perubahan bentuk lafaz pada sebagian huruf dan kata-kata memberikan peluang luas untuk dapat disimpulkan daripadanya berbagai hukum. Hal inilah yang menyebabkan Qur’an relevan untuk setiap masa. Oleh karena itu, para fuqaha dalam istinbat (penyimpulan hukum) dan ijtihad berhujjah dengan qiraat bagi ketujuh huruf ini.
Qiraat adalah jamak dari qira’ah, yang berarti ‘bacaan’, dan ia adalah masdar (verbal noun) dari qara’a. Menurut istilah ilmiah, qiraat adalah salah satu mazhab (aliran) pengucapan Qur’an yang dipilih oleh salah seorang imam qurra’ sebagai suatu mazhab yang berbeda dengan mazhab lainnya.
Qiraat ini ditetapkan berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada Rasulullah. Periode qurra’ (ahli atau imam qiraat) yang mengajarkan bacaan Qur’an kepada orang-orang menurut cara mereka masing-masing adalah dengan berpedoman kepada masa para sahabat. Di antara para sahabat yang terkenal mengajarkan qiraat ialah Ubai, Ali, Zaid bin Sabit, Ibn Mas‘ud, Abu Musa al-Asy‘ari dan lain-lain. Dari mereka itulah sebagian besar sahabat dan tabi‘in di berbagai negeri belajar qiraat. Mereka itu semuanya bersandar kepada Rasulullah.
Az-Zahabi menyebutkan di dalam Tabaqatul Qurra’, bahwa sahabat yang terkenal sebagai guru dan ahli qiraat Qur’an ada tujuh orang, yaitu: Usman, Ali, Ubai, Zaid bin Sabit, Abu Darda’ dan Abu Musa al-Asy‘ari. Lebih lanjut ia menjelaskan, segolongan besar sahabat mempelajari qiraat dari Ubai, di antaranya Abu Hurairah, Ibn Abbas dan Abdullah bin Sa’ib. Ibn Abbas belajar pula kepada Zaid.
Kemudian kepada para sahabat itulah sejumlah besar tabi‘in di setiap neger! mempelajari qiraat.
Di antara para tabi‘in tersebut ada yang tinggal di Medinah yaitu Ibnul Musayyab, ‘Urwah, Salim, Umar bin Abdul Aziz, Sulaiman dan “Ata’ keduanya putra Yasar —, Mu‘az bin Haris yang terkenal dengan Mu‘az al-Qari’, Abdurrahman bin Hurmuz al-A‘raj, Ibn Syihab az-Zuhri, Muslim bin Jundab dan Zaid bin Aslam.
Yang tinggal di Mekah ialah, ‘Ubaid bin ‘Umair, ‘Ata’ bin Abu Rabah, Tawus, Mujahid, ‘Ikrimah dan Ibn Abu Malikah.
Tabi‘in yang tinggal di Kufah ialah ‘Alqamah, al-Aswad, Masrug, ‘Ubaidah, ‘Amr bin Syurahbil, al-Haris bin Qais, ‘Amr _ bin Maimun, Abu Abdurrahman as-Sulami, Sa‘id bin Jabir, an-Nakha‘i dan asy-Sya‘bi.
Yang tinggal di Basrah ialah Abu ‘Aliyah, Abu Raja’, Nasr bin ‘Asim, Yahya bin Ya‘mar, al-Hasan, Ibn Sirin dan Qatadah.
Sedang yang tinggal di Syam ialah al-Mugirah bin Abu Syihab al-Makhzumi, — murid Usman, dan Khalifah bin Sa‘d — sahabat Abu Darda’.
Pada permulaan abad pertama Hijrah di masa tabi‘in, tampillah sejumlah ulama yang membulatkan tenaga dan perhatiannya terhadap masalah qiraat secara sempurna karena keadaan menuntut demikian, dan menjadikannya sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri sebagaimana mereka lakukan terhadap ilmu-ilmu syari‘at lainnya, sehingga mereka menjadi imam dan ahli qiraat yang diitkuti dan dipercaya. Bahkan dari generasi ini dan generasi sesudahnya terdapat tujuh orang terkenal sebagai imam yang kepada mereka dihubungkanlah (dinisbahkanlah) qiraat hingga sekarang ini. Para ahli qiraat tersebut di Medinah ialah: Abu Ja‘far Yazid bin Qa‘qa‘, kemudian Nafi’ bin Abdurrahman. Ahli qiraat di Mekah ialah: Abdullah bin Kasir dan Humaid bin Qais al-A‘raj. Di Kufah ialah: ‘Asim bin Abun Najud, Sulaiman al-A‘masy, kemudian Hamzah dan kemudian al-Kisa’i. Di Basrah ialah: Abdullah bin Abu Ishaq, Isa Ibn ‘Amr, Abu ‘Amr ‘Ala’, ‘Asim al-Jahdari dan Ya‘qub al-Hadrami, dan di Syam ialah Abdullah bin ‘Amir, Isma‘il bin Abdullah bin Muhajir, kemudian Yahya bin Haris dan kemudian Syuraih bin Yazid al-Hadrami.
Ketujuh orang imam yang terkenal sebagai ahli qiraat di seluruh dunia di antara nama-nama tersebut ialah Abu ‘Amr, Nafi‘, ‘Asim, Hamzah, al-Kisa’i, Ibn ‘Amir dan Ibn Kasir.’
Qiraat-qiraat itu bukanlah tujuh huruf — sebagaimana yang dimaksudkan dalam hadis pada bab di atas — menurut pendapat yang paling kuat, meskipun kesamaan bilangan di antara keduanya mengesankan demikian. Sebab qiraat-qiraat hanya merupakan mazhab bacaan Qur’an para imam, yang secara ijma‘ masih tetap eksis dan digunakan umat hingga kini, dan sumbernya adalah perbedaan langgam, cara pengucapan dan sifatnya, seperti tafkhim, tarqiq, imalah, idgdm, izhar, isyba‘, madd, qasr, tasydid, takhfif dan lain sebagainya. Namun semuanya itu hanya berkisar dalam satu huruf, yaitu huruf Quraisy.
Sedangkan maksud tujuh huruf adalah berbeda dengan giraat, seperti yang telah kita jelaskan. Dan persoalannya sudah berakhir sampai pada pembacaan terakhir (al-‘Urdah al-Akhirah), yaitu ketika wilayah ekspansi bertambah luas dan ikhtilaf tentang huruf-huruf itu menjadi kekhawatiran bagi timbulnya fitnah dan kerusakan, sehingga para sahabat pada masa Usman terdorong untuk mempersatukan umat Islam pada satu huruf, yaitu huruf Quraisy, dan menuliskan Mushaf-mushaf dengan huruf tersebut sebagaimana telah kita jelaskan.
Popularitas Tujuh Imam Qiraat
Imam atau guru qiraat itu cukup banyak jumlahnya, namun yang populer hanya tujuh orang. Qiraat tujuh orang imam ini adalah qiraat yang telah disepakati. Akan tetapi di samping itu para ulama memilih pula tiga orang imam qiraat yang qiraatnya dipandang sahih dan mutawatir. Mereka adalah Abu Ja‘far Yazin bin Qa‘qa‘ al-Madani, Ya‘qub bin Ishaq al-Hadrami dan Khalaf bin Hisyam. Ketiga imam terakhir ini dan tujuh imam di atas dikenal dengan imam qiraat. Dan qiraat di luar yang sepuluh ini dipandang qiraat syaz, seperti qiraat Yazidi, Hasan, A‘masy, Ibn Jubair dan lain-lain. Meskipun demikian, bukan berarti tidak satu pun dari qiraat sepuluh dan bahkan qiraat tujuh yang masyhur itu terlepas dari kesyazan, sebab di dalam qiraat qiraat tersebut masih terdapat juga beberapa kesyazan sekalipun hanya sedikit.
Pemilihan qurra’ (ahli qiraat) yang tujuh itu dilakukan oleh para ulama terkemudian pada abad ketiga Hijri. Bila tidak demikian, maka sebenarnya para imam yang dapat dipertanggungjawabkan ilmunya itu cukup banyak jumlahnya. Pada permulaan abad kedua umat Islam di Basrah memilih qiraat Ibn ‘Amr dan Ya‘qub; di Kufah orang-orang memilih giraat Hamzah dan ‘Asim; di Syam mereka memilih diraat Ibn ‘Amir, dit Mekah mereka memilih qiraat Ibn Kasir; dan di Me. dinah memilih qiraat Nafi’. Mereka itulah tujuh orang qari’, Tetapi pada permulaan abad ketiga Abu Bakar bin Mujahid menetapkan nama al-Kisa’i dan membuang nama Ya‘qub dari kelompok tujuh qari‘ tersebut.
Berkata as-Suyuti: “Orang pertama yang menyusun kitab tentang qiraat adalah Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam, kemudian Ahmad bin Jubair al-Kufi, kemudian Isma‘il bin Ishaq al-Maliki murid Qalun, kemudian Abu Ja‘far bin Jarir at-Tabari, selanjutnya Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin Umar ad-Dajuni, kemudian Abu Bakar bin Mujahid. Kemudian pada masa Ibn Mujahid ini dan sesudahnya, tampillah para ahli yang menyusun buku mengenai berbagai macam giraat, baik yang mencakup semua qiraat maupun tidak, secara singkat maupun secara panjang lebar. Imam-imam qiraat itu sebenarnya tidak terhitung jumlahnya. Hafizul Islam Abu Abdullah az-Zahabi telah menyusun fabagdt (sejarah hidup) mereka, kemudian diikuti pula oleh Hafizul Qurra’ Abul Khair bin Jaziri.”
Imam Ibn Jaziri di dalam an-Nasyr mengemukakan, Imam pertama yang dipandang telah menghimpun bermacam-macam qiraat dalam satu kitab adalah Abu ‘Ubaid al-Qasim ibn Salam. Menurut perhitunganku, ia mengumpulkan duapuluh lima orang ulama ahli qiraat Selain dari imam yang tujuh itu. la wafat pada 224. Kemudian al Jaziri mengatakan pula, sesudah itu, Abu Bakar Ahmad bin Musa bin ‘Abbas bin Mujahid merupakan orang pertama yang membatasi hanya pada qiraat tujuh orang imam saja. Ia wafat pada 324. Selanjutnya ia mengatakan, kami mendapat berita dari sebagian orang yang tidak berpengetahuan bahwa qiraat yang benar hanyalah qiraat-qiraat yang berasa] dari ketujuh imam. Bahkan dalam pandangan sebagian besar orang yang jahil, qiraat-qiraat yang benar itu hanyalah yang terdapat di dalam asy-Syatibiyyah dan at-Taisir.
Sebab sebab mengapa hanya tujuh imam qiraat saja yang masyhur padahal masih banyak imam imam qiraat lain’ yang lebih tinggi kedudukannya atau setingkat dengan mercka dan jumlahnya pun lebih dari tujuh, ialah kareena sangat banyaknya periwayat qiraat’ mereka. Ketika semangat dan perhatian generasi sesudahnya menurun, mereka lalu berupaya untuk membatasi hanya pada qiraat yang sesuai dengan khat Mushaf serta dapat mempermudah penghafalan dan pen-dabit-an qiraatnya. Langkah yang ditempuh generasi penerus ini ialah memperhatikan siapa di antara ahli qiraat itu yang Iebih populer kredibilitas dan amanahnya, lamanya waktu dalam menekuni qiraat dan adanya kesepakatan untuk diambil serta dikembangkan qiraatnya. Kemudian dari setiap negeri dipilihlah seorang imam, tetapi tanpa mengabaikan penukilan qiraat imam di luar yang tujuh orang itu, seperti qiraat Ya‘qub alHadrami, Abu Ja‘far al-Madani, Syaibah bin Nassa‘ dan sebagainya.
Para penulis kitab tentang qiraat telah memberikan andil besar dalam membatasi giraat pada jumlah tertentu; sebab pembatasannya pada sejumlah imam qiraat tertentu tersebut, merupakan faktor bagi popularitas mereka padahal masih banyak qari’-qari’ lain yang Iebih tinggi kedudukannya dari mereka. Dan ini menyebabkan orang menyangka bahwa para qari’ yang qiraat-qiraatnya dituliskan itulah imam-imam qiraat yang terpercaya. Ibn Jabr al-Makki telah menyusun sebuah kitab tentang qiraat, yang hanya membatasi pada lima orang qari’ saja. Ia memilih seorang imam dari setiap negeri, dengan pertimbangan bahwa mushaf yang dikirimkan Usman ke negeri-negeri itu hanya lima buah. Sementara itu sebuah pendapat mengatakan bahwa Usman mengirimkan tujuh buah mushaf; lima buah seperti ditulis oleh al-Makki ditambah satu mushaf ke Yaman dan satu mushaf lagi ke Bahrain. Akan tetapi kedua mushaf terakhir ini tidak terdengar kabar beritanya. Kemudian Ibn Mujahid dan lainnya berusaha untuk menjaga bilangan mushaf yang disebarkan Usman tersebut, maka dari mushaf Bahrain dan mushaf Yaman itu mereka mencantumkan pula ahli qiraatnya untuk menyempurnakan jumlah bilangan (tujuh). Oleh karena itu, para ulama berpendapat bahwa berpegang pada qiraat tujuh ahli qiraat (qari’) itu, tanpa yang lain, tidaklah berdasarkan pada asar maupun sunah. Sebab jumlah itu hanyalah hasil usaha pengumpulan oleh beberapa orang terkemudian, yang kemudian kumpulan tersebut tersebar luas. Seandainya Ibn Mujahid menuliskan pula qari’ lain selain yang tujuh lalu digabungkan dengan mereka tentulah para qari’ ‘itu pun akan terkenal pula. Abu Bakar ibnul ‘Arabi berkata: ’Penentuan ketujuh orang qari’ ini tidak dimaksudkan bahwa giraat yang boleh dibaca itu hanya terbatas tujuh sehingga giraat yang lainnya tidak boleh dipakai, seperti qiraat Abu Ja‘fa, Syaibah, al-A‘masy dan lain-lain; karena para qari’ ini pun kedudukannya sama dengan yang tujuh atau bahkan lebih tinggi.’ Pendapat ini dikatakan pula oleh banyak ahli giraat lainnya.
Abu Hayyan berkata: ”Dalam kitab karya Ibn Mujahid dan orang yang mengikutinya sebenarnya tidak terdapat giraat yang masyhur, kecuali sedikit sekali. Sebagai misal Abu ‘Amr ibnul ‘Ala’, ia terkenal mempunyai tujuh belas orang perawi kemudian disebutkanlah nama-nama mereka itu. Tetapi dalam kitab Ibn Mujahid hanya disebutkan al-Yazidi, dan dart al-Yazidi ini pun diriwayatkan oleh sepuluh orang perawi. Maka bagaimana ia:dapat merasa cukup dengan hanya menyebutkan as-Susi dan ad-Dauri, padahal keduanya tidak mempunyai kelebihan apa-apa dari yang lain? Sedang semua perawi itu sama dalam tingkat ke-dabit-an, keahlian dan kesetaraannya untuk diambil.” Dan katanya pula: ’’Aku tidak mengetahui alasan sikap Ibn Muhajid ini selain dari kurangnya ilmu pengetahuan yang dimilikinya.”
Macam-macam Qiraat, Hukum dan Kaidahnya
Sebagian ulama menyebutkan bahwa qiraat itu ada yang mutawatir, ahad dan syaz. Menurut mereka, qiraat mutawatir ialah qiraat yang tujuh, sedang qiraat had ialah tiga qiraat yang menggenapkannya menjadi sepuluh qiraat ditambah qiraat para sahabat, dan selain itu adalah qiraat syaz. Dikatakan, bahwa qiraat yang sepuluh adalah mutawatir. Kemudian dikatakan pula bahwa yang menjadi pegangan dalam hal ini baik dalam qiraat yang termasuk qiraat tujuh, qiraat sepuluh maupun lainnya adalah dabit atau kaidah tentang qiraat yang sahih. Abu Syamah dalam al-Mursyidul Wajiz mengungkapkan, tidak sepantasnya kita tertipu oleh setiap qiraat yang disandarkan kepada salah satu ahli qiraat tujuh dengan menyatakannya sebagai qiraat yang sahih (benar) dan seperti itulah giraat tersebut diturunkan kecuali bila qiraat itu telah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam dabit. Dengan begitu, maka seorang penyusun tidak seyogyanya hanya memindahkan (menukil) qiraat yang dikatakannya berasal dari seorang imam tersebut tanpa menukil giraat dari yang lain, atau khusus hanya menukilkan qiraat dari imam tujuh saja. Tetapi hendaknya ia menukilkan semua qiraat berasal dari qurra’ lain. Cara demikian ini tidak mengeluarkan sesuatu qiraat dari kesahihannya. Sebab, yang menjadi pedoman adalah terpenuhinya sifat-sifat atau syarat-syarat, bukan siapa yang kepadanya qiraat itu dihubungkan. Hal ini karena qiraat yang dihubungkan kepada setiap qari’ yang tujuh atau yang lain itu, ada yang disepakati (mujma‘ ‘alaih) dan ada pula yang syadz. Hanya saja, karena popularitas qari’ yang tujuh dan banyaknya qiraat mereka yang telah disepakati kesahihannya maka jiwa merasa lebih tenteram dan cenderung menerima qiraat yang berasal dari mereka melebihi qiraat yang bersumber dari qari’-qari’ lainnya.
Menurut mereka, dabit atau kaidah qiraat yang sahih adalah sebagai berikut:
- Kesesuaian qiraat tersebut sesuai dengan kaidah bahasa Arab sekalipun dalam satu segi, baik segi itu fasih maupun lebih fasih, sebab qiraat adalah sunah yang harus diikuti, diterima apa adanya dan menjadi rujukan dengan berdasarkan pada isnad, bukan ra‘ynu (penalaran).
- Qiraat sesuai dengan salah satu mushaf Usmani, meskipun hanya sekedar mendekati saja. Sebab, dalam penulisan Mushaf-mushaf itu para sahabat telah bersungguh-sungguh dalam membuat rasm (cara penulisan mushaf) sesuai dengan bermacam-macam dialek qiraat yang mereka ketahui. Misalnya, mereka akan menuliskan dalam ayat (al-Fatihah [1]:6), dengan sad sebagai ganti dari sin. Mereka tidak menuliskan sin yang merupakan asal ini agar lafaz tersebut dapat pula dibaca dengan sin yakni Meskipun dalam satu segi berbeda dengan rasam, namun qiraat dengan sin pun telah memenuhi atau sesuai dengan bahasa asli lafaz tersebut yang dikenal, sehingga kedua bacaan itu dianggap sebanding. Dan bacaan isymam untuk itu pun dimungkinkan pula.
Yang dimaksud dengan sesuai yang hanya sekadar mendekati saja (muwafagah ihtimaliyah) adalah seperti contoh di atas. Misal yang lainnya seperti (al-Fatihah [1]:4). Lafaz dituliskan dalam semua mushaf dengan membuang alif, sehingga dibaca
sesuai dengan rasm secara tahqiq (jelas) dan dibaca pula. sesuai dengan rasm secara ihtimal (kemungkinan). Dan demikian pula contoh-contoh yang lainnya
Contoh qiraat-qiraat yang berbeda tetapi sesuai dengan rasm secara tahqiq adalah OLS , dengan ta dan ya. Juga dengan ya dan nun, dan lain-lain. Kekosongan rasm dari titik dan syakal baik ketika dihilangkan maupun ketika ditetapkan merupakan bukti betapa tingginya para sahabat dalam ilmu ejaan khususnya dan dalam pemahaman yang cemerlang terhadap kajian setiap ilmu.
Dalam menentukan gqiraat yang sahih tidak disyaratkan qiraat itu harus sesuai dengan semua mushaf, cukup dengan apa yang terdapat dalam sebagian mushaf saja. Misalnya qiraat Ibn ‘Amr (Ali-‘Imran [3]:184), dengan menetapkan ba pada kedua lafaz itu, qiraat ini dipandang sahih karena yang demikian ditetapkan pula dalam Mushaf Syami.
- Qiraat itu harus sahih isnadnya, sebab qiraat merupakah sunah yang diikuti yang didasarkan pada keselamatan penukilan dan kesahihan riwayat. Seringkali ahli bahasa Arab mengingkari sesuatu qiraat hanya karena qiraat itu tidak sejalan dengan aturan atau lemah menurut kaidah’ bahasa, namun demikian para imam qiraat tidak menanggung beban apa pun atas keingkaran mereka itu.
Itulah syarat-syarat yang ditentukan dalam dabit bagi qiraat yang sahih. Apabila ketiga syarat ini telah terpenuhi, yaitu 1) sesuai dengan bahasa Arab, 2) sesuai dengan rasam Mushaf dan 3) sahih sanadnya, maka qiraat tersebut adalah qiraat yang sahih. Dan bila salah satu syarat atau lebih tidak terpenuhi maka qiraat itu dinamakan qiraat yang lemah, syaz atau batil.
Yang mengherankan ialah bahwa sebagian ahli Nahwu masih juga menyalahkan qiraat sahih yang telah memenuhi syarat-syarat tersebut hanya semata-mata qiraat tersebut bertentangan dengan kaidahkaidah ilmu Nahwu yang mereka jadikan tolok ukur bagi kesahihan bahasa. Seharusnya qiraat yang sahih itu dijadikan sebagai hakim atau pedoman bagi kaidah-kaidah nahwu dan kebahasaan, bukan sebaliknya, menjadikan kaidah ini sebagai pedoman bagi Qur’an. Hal ini karena Qur’an adalah sumber pertama dan pokok bagi pengambilan kaidah-kaidah bahasa, sedang Qur’an sendiri didasarkan pada kesahihan penukilan dan riwayat yang menjadi landasan para qari’, bagaimanapun juga adanya. Ibn Jaziri ketika memberikan komentar terhadap syarat pertama kaidah qiraat yang sahih ini menegaskan, *Kata-kata dalam kaidah di atas meskipun hanya dalam satu segi, yang kami maksudkan adalah satu segi dari ilmu nahwu, baik segi itu fasih maupun lebih fasih, disepakati maupun diperselisihkan. Sedikit berlawanan dengan kaidah Nahwu tidaklah mengurangi kesahihan sesuatu giraat jika qiraat tersebut telah tersebar luas, populer dan diterima para imam berdasarkan isnad yang sahih, sebab hal terakhir inilah yang inenjadi dasar terpenting dan sendi paling utama. Memang, tidak sedikit qiraat yang diingkari oleh ahli Nahwu atau sebagian besar mereka, tetapi keingkaran mereka itu tidak perlu dihiraukan, seperti mensukunkan dan , mengkhafadkan , menasabkan , dan memisah antara mudaf dengan mudaf ilaih, seperti dalam ayat, dan sebagainya.”
Berkata Abu ‘Amr ad-Dani, “Para imam qiraat tidak memper. lakukan sedikit pun huruf-huruf Qur’an menurut aturan yang paling populer dalam dunia kebahasaan dan paling sesuai dengan kaidah bahasa Arab, tetapi menurut yang paling mantap (tegas) dan sahih dalam riwayat dan penukilan. Karena itu bila riwayat itu mantap, maka aturan kebahasaan dan popularitas bahasa tidak bisa menolak atau mengingkarinya, sebab qiraat adalah sunah yang harus diikuti dan Wajib diterima seutuhnya serta dijadikan sumber acuan.” Zaid bin Sabit berkata, ’Qiraat adalah sunah muttaba‘ah, sunah yang harus diikuti.”
Baihagi menjelaskan, maksud perkataan tersebut ialah bahwa mengikuti orang-orang sebelum kita dalam hal qiraat Qur’an merupakan sunah atau tradisi yang harus diikuti, tidak boleh menyalahi Mushaf yang merupakan imam dan tidak pula menyalahi qiraat-qiraat yang masyhur meskipun tidak berlaku dalam bahasa Arab.”
Sebagian ulama menyimpulkan macam-macam qiraat menjadi enam macam:
Pertama: Mutawatir, yaitu giraat yang dinukil oleh sejumlah besar periwayat yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, dari sejumlah orang yang seperti itu dan sanadnya bersambung hingga penghabisannya, yakni Rasulullah. Dan inilah yang umum dalam hal qiraat.
Kedua: Masyhur, yaitu qiraat yang sahih sanadnya tetapi tidak mencapai derajat mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan rasam Usmani serta terkenal pula di kalangan para ahli qiraat sehingga karenanya tidak dikategorikan qiraat yang salah atau syaz. Para ulama menyebutkan bahwa gqiraat macam ini termasuk qiraat yang dapat dipakai atau digunakan.
Ketiga: Ahad, yaitu qiraat yang sahih sanadnya tetapi menyalahi rasam Usmani, menyalahi kaidah bahasa Arab atau tidak terkenal seperti halnya qiraat masyhur yang telah disebutkan. Qiraat macam ini tidak termasuk qiraat yang dapat diamalkan bacaannya.
Di antara contohnya ialah seperti yang diriwayatkan dari Abu Bakrah, bahwa Nabi membaca (ar Rahman [55]:76) dan yang diriwayatkan dari Ibn ‘Abbas bahwa ia membaca (at-Taubah [9]:128), dengan membaca fatah huruf fa.’°
Keempat: Syaz, yaitu qiraat yang tidak sahih sanadnya, seperti giraat (al-Fatihah [1]:4), dengan bentuk fi‘l madi dan menasabkan
Kelima: Maud‘, yaitu giraat yang tidak ada asalnya.
Keenam: Mudraj, yaitu yang ditambahkan ke dalam qiraat sebagai penafsiran, seperti qiraat Ibn ‘Abbas: (al-Bagarah (2):198), kalimat adalah penafsiran yang disisipkan ke dalam ayat.
Keempat macam terakhir ini tidak boleh diamalkan bacaannya.
Jumhur berpendapat bahwa qiraat yang tujuh itu mutawatir. Dan yang tidak mutawatir, seperti masyhur, tidak boleh dibaca di dalam maupun di luar salat.
Nawawi dalam Syarh al-Muhazzab berkata, “Qiraat yang syaz tidak boleh dibaca baik di dalam maupun di luar salat, karena ta bukan Qur’an. Qur’an hanya ditetapkan dengan sanad yang mutawatir, sedang giraat yang syaz tidak mutawatir. Orang yang berpendapat selain ini adalah salah atau jahil. Seandainya seseorang menyalahi pendapat ini dan membaca dengan qiraat yang syaz, maka ia harus diingkari baik bacaan itu di dalam maupun di luar salat. Para fuqaha Bagdad sepakat bahwa orang yang membaca Qur’an dengan qiraat yang syaz harus disuruh bertobat. Ibn ‘Abdil Barr menukilkan ijma‘ kaum muslimin bahwa Qur’an tidak boleh dibaca dengan qiraat yang syaz dan juga tidak sah salat di belakang orang yang membaca Qur’an dengan qiraat-qiraat syaz itu.”
Faedah Beraneka Ragamnya Qiraat yang Sahih
Bervariasinya qiraat yang sahih ini mengandung banyak faedah dan fungsi, di antaranya:
- Menunjukkan betapa terjaga dan terpeliharanya Kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan padahal kitab ini mempunyai sekian banyak segi bacaan yang berbeda-beda.
- Meringankan umat Islam dan memudahkan mereka untuk membaca Qur’an.
- Bukti kemukjizatan Qur’an dari segi kepadatan makna (ijaz)nya, karena setiap qiraat menunjukkan sesuatu hukum syara‘ tertenty tanpa perlu pengulangan lafaz. Misalnya ayat (al-Ma’idah [5]:6), dengan menasabkan dan mengkhafadkan kata Dalam qiraat yang menasabkannya terdapat penjelasan tentang hukum membasuh kaki, karena ia di‘atafkan kepada ma‘mul fi‘l (obyek kata kerja) gasala . Sedang qiraat dengan jar (khafad) menjelaskan hukum menyapu sepatu ketika terdapat keadaanyang menuntut demikian, dengan alasan lafaz itu di‘atafkan kepada ma‘mul fi‘l masaha Dengan demikian, maka kita dapat menyimpulkan dua hukum tanpa berpanjang lebar kata. Inilah sebagian makna kemukjizatan Qur’an dari segi kepadatan maknanya.
- Penjelasan terhadap apa yang mungkin masih global dalam giraat lain. Misalnya, lafaz dalam ayat (Al-Baqarah [2]:222), yang dibaca dengan tasydid dan takhfif . Qiraat dengan tasydid menjelaskan makna qiraat dengan takhfif, sesuai dengan pendapat jumhur ulama. Karena itu istri yang haid tidak halal dicampuri oleh suaminya karena telah suci dari haid, yaitu terhentinya darah haid, sebelum istri tersebut bersuci dengan air. Dan qiraat menjelaskan arti yang dimaksud qiraat itu pergi, bukan berjalan cepat dalam firman-Nya (al-Jumu‘ah [62]:9). Qiraat (al-Ma’idah [5]:38) sebagai ganti kata juga menjelaskan tangan mana yang harus dipotong. Demikian pula qiraat (an-Nisa’ [4]:12) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan saudara dalam ayat tersebut adalah saudara laki-laki seibu. Oleh karena itu’ para ulama mengatakan: “Dengan adanya perbedaan qiraat, maka timbullah perbedaan dalam hukumnya.”
Berkata Abu ‘Ubaidah dalam Fada’ilul Qur’an, “Maksud qiraat yang syaz ialah menafsirkan qiraat yang masyhur dan menjelaskan makna-maknanya. Misalnya qiraat Aisyah dan Hafsah (al Baqgarah [2]:238), qiraat Ibn Mas‘ud (al-Ma’idah [5]:38), dan qiraat Jabir (an-Nur [24]: 33). Katanya pula: Huruf-huruf (qiraat) ini dan yang serupa dengannya telah menjadi penafsir Qur’an. Qiraat atau penafsiran ini telah diriwayatkan dari tabi‘in dan kemudian dianggap baik. Maka bagaimana pula bila yang demikian itu diriwayatkan dari tokoh-tokoh sahabat dan bahkan kemudian menjadi bagian dari suatu giraat Tentu hal ini lebih baik dan lebih kuat daripada sekedar tafsir. Setidaktidaknya, manfaat yang dapat dipetik dari huruf-huruf ini ialah pengetahuan tentang takwil yang benar (sahih).
Ketujuh imam giraat yang masyhur dan disebutkan secara khusus oleh Abu Bakar bin Mujahid karena menurutnya, mereka adalah ulama yang terkenal hafalan, ketelitian dan cukup lama menekuni dunia qgiraat serta telah disepakati untuk diambil dan dikembangkan qiraatnya, adalah:
- Abu ‘Amr bin ‘Ala’. Seorang guru besar para perawi. Nama lengkapnya adalah Zabban bin ‘Ala’ bin ‘Ammar al-Mazini al-Basri. Ada yang mengatakan bahwa namanya adalah Yahya. Juga dikatakan bahwa nama aslinya adalah kunyah-nya itu. Ia wafat di Kufah pada 154 H. Dan dua orang perawinya adalah ad-Dauri dan as-Susi.
Ad-Dauri adalah Abu ‘Umar Hafs bin ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz adDauri an-Nahwi. Ad-Daur nama tempat di Bagdad. Ia wafat pada 246 H.
As-Susi adalah Abu Syu‘aib Salih bin Ziyad bin ‘Abdullah asSusi. Ia wafat pada 261 H.
- Ibn Kasir. Nama lengkapnya ‘Abdullah bin Kasir al-Makki. Ia termasuk seorang tabi‘in, dan wafat di Mekah pada 120 H.
Dua orang perawinya ialah al-Bazi dan Qunbul.
Al-Bazi adalah Ahmad bin Muhammad bin ‘Abdullah bin Abu Bazah, muazzin di Mekah. Ia diberi kunyah Abu Hasan. Dan wafat di Mekah pada 250 H.
Sedang Qunbul adalah Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Mu. hammad bin Khalid bin Sa‘id al-Makki al-Makhzumi. Ia diberi kunyah Abu ‘Amr dan diberi julukan (panggilan) Qunbul. Dikatakan bahwa ahlul bait di Mekah ada yang dikenal dengan nama Qanabilah. Ia wafat di Mekah pada 291 H.
- Nafi‘ al-Madani. Nama lengkapnya adalah Abu Ruwaim Nafi‘ bin ‘Abdurrahman bin Abu Nu‘aim al-Laisi, berasal dari Isfahan, dan wafat di Medinah pada 169 H.
Dua orang perawinya adalah Qalun dan Warasy.
Qalun adalah ‘Isa bin Munya al-Madani. Ia adalah seorang guru bahasa Arab yang mempunyai kunyah Abu Musa dan julukan Qalun. Diriwayatkan bahwa Nafi‘ memberinya nama panggilan Qalun karena keindahan suaranya, sebab kata galun dalam bahasa Rumawi berarti baik. Ia wafat di Medinah pada 220 H.
Sedang Warasy adalah ‘Usman bin Sat‘id al-Misri. Ia diberi kunyah Abu Sa‘id dan diberi julukan Warasy karena teramat putihnya. Ila wafat di Mesir pada 198 H.
- Ibn ‘Amir asy-Syami. Nama lengkapnya adalah ‘Abdullah bin ‘Amir al-Yahsubi, seorang qadi (Chakim) di Damaskus pada masa pemerintahan Walid bin ‘Abdul Malik. Nama panggilannya adalah Abu ‘Imran, ia termasuk seorang tabi‘in. Wafat di Damaskus pada 118 H.
Dua orang perawinya adalah Hisyam dan Ibn Zakwan.
Hisyam adalah Hisyam bin ‘Imar bin Nusair, qadi Damaskus. Ia diberi kunyah Abul Walid, dan wafat pada 245 H.
Sedang Ibn Zakwan adalah ‘Abdullah bin Ahmad bin Basyir bin Zakwan al-Qurasyi ad-Dimasyqi. Ia diberi kunyah Abu ‘Amr. Dilahirkan pada 173 H., dan wafat di Damaskus pada 242 H.
- ‘Asim al-Kufi. Ia adalah ‘Asim bin Abun Najud, dan dinamakan pula Ibn Bahdalah, Abu Bakar. Ia termasuk seorang tabi‘in, dan wafat di Kufah pada 128 H.
Dua orang perawinya adalah Syu‘bah dan Hafs.
Syu‘bah adalah Abu Bakar Syu‘bah bin ‘Abbas bin Salim alKufi. Wafat pada 193 H.
Sedang Hafs adalah Hafs bin Sulaiman bin Mugirah al-Bazzaz al-Kufi. Nama panggilannya adalah Abu ‘Amr. Ia adalah orang terpercaya. Menurut Ibn Mu‘in, ia lebih pandai qiraatnya daripada Abu Bakar. Ia watat pada 180 H.
- Hamzah al-Kufi. Ia adalah Hamzah bin Habib bin ‘Imarah azZayyat al-Farci at-Taimi. la diberi kunyah Abu ‘Imarah, dan wafat di Halwan pada masa pemerintahan Abu Ja‘far al-Mansur tahun 156 H.
Dua orang perawinya adalah Khalaf dan Khalad.
Khalaf adalah Khalaf bin Hisyam al-Bazzaz. Ia diberi kunyah Abu Muhammad, dan wafat di Bagdad pada 229 H.
Sedang Khalad adalah Khalad bin Khalid, dan dikatakan pula Ibn Khalid as-Sairafi al-Kufi. Ia diberi kunyah Abu ‘Isa, wafat pada 220 H.
- Al-Kisa’i al-Kufi. [a adalah ‘Ali bin Hamzah, seorang imam ilmu Nahwu di Kufah. Ia diberi kunyah Abul Hasan. Dinamakan dengan al-Kisa’i karena ia memakai “kisa” di saat ihram. Ia wafat di Barnabawaih, sebuah perkampungan di Ray, dalam perjalanan menuju Khurasan bersama ar-Rasyid pada 189 H.
Dua orang perawinya adalah Abul Haris dan Hafs ad-Dauri.
Abul Haris adalah al-Lais bin Khalid al-Bagdadi, wafat pada 240 H.
Sedang Hafs ad-Dauri adalah juga perawi Abu ‘Amr, yang telah disebutkan terdahulu. .
Adapun ketiga imam qiraat yang menyempurnakan imam qiraat tujuh, menjadi sepuluh adalah:
- Abu Ja‘far al-Madani. Ia adalah Yazid bin Qa‘qa‘, wafat di Medinah pada 128 H., dan dikatakan pula 132 H.
Dua orang perawinya adalah Ibn Wardan dan Ibn Jimaz.
Ibn Wardan adalah Abul Haris ‘Isa bin Wardan al-Madani, wafat di Medinah pada awal 160 H.
Sedang Ibn Jimaz adalah Abur Rabi‘ Sulaiman bin Muslim bin Jimaz al-Madani, dan wafat pada akhir 170 H.
- Ya‘qub al-Basri. la adalah Abu Muhammad Ya‘gub bin Ishaq bin Zaid al-Hadrami, wafat di Basrah pada 205 H., tetapi dikatakan pula pada 185 H.
Dua orang perawinya adalah Ruwais dan Rauh.
Ruwais adalah Abu ‘Abdullah Muhammad bin Mutawakkil alLw’lu’i al-Basri. Ruwais adalah julukannya, wafat di Basrah pada 238 H.
Sedang Rauh adalah Abul Hasan Rauh bin ‘Abdul Mu’min alBasri an-Nahwi. Ia wafat pada 234 H. atau 235 H.
- Khalaf. Ia adalah Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam bin Sa‘lab al-Bazar al-Bagdadi. Ia wafat pada 229 H., tetapi dikatakan pula bahwa tahun kewafatannya tidak diketahui.
Dua orang perawinya adalah Ishaq dan Idris. Ishaq adalah Abu Ya‘qub Ishaq bin Ibrahim bin ‘Usman al-War. raq al-Marwazi kemudian al-Bagdadi. la wafat pada 286 H.
Sedang Idris adalah Abul Hasan Idris bin ‘Abdul Karim al-Bag. dadi al-Haddad. la wafat pada hari ‘Idul Adha 292 H.
Sebagian ulama menambahkan pula empat qiraat kepada yang ~ sepuluh itu. Keempat qiraat itu adalah:
- Qiraat al-Hasanul Basri, maula (mantan sahaya) kaum Ansar dan salah seorang tabi‘in besar yang terkenal dengan kezuhudannya. la wafat pada 110 H.
- Qiraat Muhammad bin ‘Abdurrahman yang dikenal dengan Ibn Muhaisin. Ia wafat pada 123 H., dan ia adalah syaikh, guru Abu ‘Amr.
- Qiraat Yahya bin Mubarak al-Yazidi an-Nahwi dari Bagdad. Ya mengambil giraat dari Abu ‘Amr dan Hamzah, dan ia adalah syaikh
atau guru ad-Dauri dan as-Susi. Ia wafat pada 202 H. 4. Qiraat Abul Faraj Muhammad bin Ahmad asy-Syanbuzi. Ia wafat pada 388 H.
Al-Waqfu dan Al-Ibtida’
Pengetahuan tentang al-waqfu dan al-ibtida’’* mempunyai peranan penting dalam cara pengucapan Qur’an untuk menjaga keselamatan makna ayat, menjauhkan kekaburan dan menghindari kesalahan. Pengetahuan ini memerlukan pemahaman mendalam tentang berbagai ilmu kebahasaan, qiraat dan tafsir Qur’an, sehingga arti sesuatu ayat tidak menjadi rusak. Di bawah ini kami kemukakan beberapa contohnya: ,
Wajib waqf, misalnya, pada ayat (al-Kahfi [18]: 1). Kemudian ibtida’ (memulai) dengan (al-Kahfi [18]:2), hal ini agar tidak mengesankan bahwa lafaz adalah sifat bagi lafaz sebab al-‘iwai (kebengkokan) itu tidaklah qayyiman (lurus). Wajib waqaf pada lafaz yang di akhirnya terdapat “ha” sakat, misalnya pada ayat (al-Haqqah [69]: 25-26), dan pada ayat (al-Haqqah [69]: 98-29). Sebab, pada selain Qur’an ha sakat ini ditetapkan atau dibaca di saat waqaf dan dibuang ketika dibaca wasal (bersambung). Tetapi karena di dalam Mushaf ”ha’’ tersebut dituliskan, maka lafaz yang ada ha-nya itu tidak boleh diwasalkan, sebab sebagaimana ditetapkan dalam kaidah bahasa Arab, ha sakat itu harus dibuang ketika wasal. Dengan demikian, menetapkan ha pada waktu wasal bertentangan dengan kaidah bahasa Arab; namun membuangnya pun bertentangan dengan Mushaf. Sedang di dalam mewaqafkannya berarti telah mengikuti Mushaf dan mengikuti pula kaidah bahasa Arab. Dan bolehnya wasal dengan menetapkan ha itu sebenarnya dengan niat waqaf.
Wajib waqaf pula, misalnya, pada ayat (Yunus [10]:65). Kemudian memulai dengan hal ini guna mejuruskan maknanya. Sebab, bila diwasalkan akan menimbulkan kesan bahwa ucapan (qaul) yang menyebabkannya sedih adalah perkataan mereka Padahal tidak demikian halnya.
Tidak dapat diragukan bahwa pengetahuan tentang waqaf dan ibtida’ sangat berfaedah dalam memahami makna dan menganalisis hukum-hukum yang terkandung dalam Qur’an.
Diriwayatkan dari Ibn ‘Umar, ia berkata: “Kami pernah hidup pada suatu masa di mana salah seorang di antara kami diberi iman sebelum (membaca) Qur’an. Tetapi sekarang, kami melihat banyak orang yang salah satu di antara mereka telah diberi Qur’an namun belum juga beriman. Ia membaca Qur’an dari awal sampai tamat hamun tanpa mengetahui apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang serta di mana seharusnya ia berhenti (waqaf). Padahal setiap huruf Qur’an menyerukan: ’Aku adalah utusan Allah kepadamu agar engkau mengamalkan aku dan mengikuti nasihat-nasihatku.”
Macam-macam waqaf
Para ulama berbeda pendapat tentang pembagian waqaf:
Dikatakan bahwa waqaf terbagi menjadi delapan macam, yaitu: tamm, syabfhun bi tamm, naqis, syabihun bi naqis, hasan, syabihun bi hasan, qabih dan syabihun bi qabih. Dikatakan pula bahwa terbagi menjadi tiga, yaitu: tamm, jaiz dan qabih. Juga dikatakan terbagi menjadi dua, yaitu: tamm dan qabih.
Menurut pendapat yang masyhur, waqaf terbagi empat macam, yaitu: tamm-mukhtar, kafin-ja’iz, hasan-mafhum dan qabib-matruk.
- Tamm ialah waqaf pada lafaz yang tidak berhubungan sedikit pun dengan lafaz scsudahnya. Waqaf tamm banyak terdapat pada ra’sul ayat (penghujung ayat), seperti pada firman-Nya (al-Baqarah [2]:5). Kemudian dilanjutkan dengan (Al-Baqarah [2]:6). Namun terkadang pula waqaf ini terjadi sebelum berakhirnya fasilah, seperti waqaf pada firman-Nya (an-Naml [27]:34), Karena perkataan Bilkis berakhir sampai di sini. Kemudian Allah berfirman (an-Naml [27)]:34), firman inj merupakan ra’sul ayat.
- Kafin-ja’iz. Yaitu waqaf pada sesuatu lafaz yang dari segi lafaz telah terputus dari lafaz sesudahnya, tetapi maknanya masih tetap bersambung. Di antara contohnya ialah setiap ra’sul ayat yang pada lafaz sesudahnya terdapat lam kai, misalnya pada firman “
- Hasan. Yaitu waqaf pada lafaz yang dipandang baik pada lafaz itu tetapi tidak baik memulai dengan lafaz yang sesudahnya karena masih berhubungan dengannya dalam lafaz dan maknanya. Misalnya, ayat (al-Fatihah [1]:2-3).
- Qabih. “Yaitu waqaf pada lafaz yang tidak dapat dipahami maksud sebenarnya, seperti waqaf pada firman (al-Ma’idah [5]:17), dan memulai dengan 42% 23)” (al-Ma’idah [5]:17), sebab makna yang dapat dipahami bila dimulai dengan kalimat ita menunjukkan kekafiran. Begitu pula firman (al-Ma’idah [5]:73). Maka waqaf pada lafaz tidak dibenarkan. Dan seterusnya…
Tajwid dan Adab Tilawah
Abdullah bin Mas‘ud adalah seorang qari’ yang memiliki suara merdu dan pandai membaca Qur’an. Bacaan (tilawah) yang baik mempunyai pengaruh tersendiri bagi pembaca dan pendengar dalam memahami makna-makna Qur’an dan menangkap rahasia kemukjizatannya, dengan khusyuk dan rendah diri. Nabi pernah mengatakan:
“Barang siapa ingin membaca Qur’an dengan merdu seperti ketika diturunkan, hendaklah ia membacanya menurut bacaan Ibn Ummi ‘Abd,” yakni Ibn Mas‘ud.
Demikian itu disebabkan Ibn Mas‘ud dikaruniai suara yang bagus dan tajwid Qur’an.
Para ulama, dahulu dan sekarang, menaruh perhatian besar terhadap tilawah (cara membaca) Qur’an sehingga pengucapan lafaz-lafaz Qur’an menjadi baik dan benar. Cara membaca ini, di kalangan mereka dikenal dengan Tajwidul Qur’an. Ilmu tentang Tajwidul Qur’Gn ini telah dibahas oleh segolongan ulama secara khusus dalam karya tersendiri, baik berupa nazam maupun prosa. Kemudian mereka mendefinisikan tajwid sebagai “memberikan kepada huruf akan hak-hak dan tertibnya, mengembalikan huruf kepada makhraj dan asalnya, serta menghaluskan pengucapannya dengan cara yang sempurna tanpa berlebihan, kasar, tergesa-gesa dan dipaksa-paksakan.”
Tajwid sebagai suatu disiplin ilmu mempunyai kaidah-kaidah tertentu yang harus dipedomani dalam pengucapan huruf-huruf dari makhrajnya di samping harus pula diperhatikan hubungan setiap huruf dengan yang sebelum dan sesudahnya dalam cara pengucapannya. Oleh karena itu ia tidak dapat diperoleh hanya sekedar dipelajari namun juga harus melalui latihan, praktek dan menirukan orang yang baik bacaannya. Sehubungan dengan ini Ibn Jaziri menyatakan: ’Aku tidak mengetahui jalan paling efektif untuk mencapai puncak tajwid selain dari latihan lisan dan mengulang-ulang lafaz yang diterima dari mulut orang yang baik bacaannya. Dan kaidah tajwid itu berkisar pada cara waqaf, imalah, idgam, penguasaan hamzah, tarqiq, tafkhim dan makharijul huruf.”
Para ulama mengangygap qiraat Qur’an tanpa tajwid sebagai suatu lahn. Lahn adalah kerusakan atau kesalahan yang menimpa lafaz, baik secara jaliy maupun secara khafiy. Lahn jaliy adalah kerusakan pada lafaz secara nyata sehingga dapat diketahui oleh ulama qiraat maupun lainnya, misalnya kesalahan i‘rab atau saraf. Lahn khafiy adalah kerusakan pada lafaz yang hanya dapat diketahui oleh ulama gqiraat dan para pengajar Qur’an yang cara bacanya diterima langsung darj mulut para ulama qiraat dan kemudian dihafalnya dengan teliti berikut keterangan tentang lafaz-lafaz yang salah itu.
Berlebihan di dalam tajwid sampai kelewat batas dan terjadi pemaksaan tidak lebih kecil bahayanya dari fahn, sebab hal itu merupakan penambahan huruf-huruf bukan pada tempatnya, misalnya seperti dilakukan orang-orang yang membaca Qur’an dewasa ini dengan irama melankolis dan suara yang diulang-ulang seperti halnya nyanyian yang diiringi alunan musik dan petikan alat-alat hiburan. Para ulama telah mensinyalir perbuatan tersebut sebagai suatu bid‘ah dan menyebutnya dengan “lar‘id, tarqis, tatrib, tahzin atau tardid.” Hal ini sebagaimana telah dinukil oleh as-Suyuti dalam al-itqan, dan diungkapkan kembali oleh ar-Rafi‘i dalam i‘jazul Qur’adn dengan mengatakan: ’’Di antara perbuatan bid‘ah dalam gqiraat dan ada’ adalah talhin atau melagukan bacaan yang hingga sekarang ini masih ada dan disebar-luaskan oleh orang-orang yang hatinya telah terpikat dan terlanjur mengagumi. Mereka membaca Qur’an sedemikian rupa layaknya sebuah irama atau nyanyian. Dan di antara macam-macam talhin yang mereka kemukakan sesuai dengan pembagian irama lagu adalah:
- a) tar‘id, yaitu bila qari’ menggeletarkan suaranya, laksana suara yang menggeletar karena kedinginan atau kesakitan.
- b) tarqis, yaitu sengaja berhenti pada huruf mati namun kemudian dihentakkannya secara tiba-tiba disertai gerakan tubuh, seakanakan sedang melompat atau berjalan cepat.
- c) tatrib, yaitu mendendangkan dan melagukan Qur’an sehingga membaca panjang (mad) bukan pada tempatnya atau menambahnya bila kebetulan tepat pada tempatnya.
- d) tahzin, yaitu membaca Qur’an dengan nada memelas seperti orang yang bersedih sampai hampir menangis disertai kekhusyukan dan suara lembut.
- e) tardad, yaitu bila sekelompok orang menirukan seorang qari’ pada akhir bacaannya dengan satu gaya dari cara cara di atas.
Qiraat itu sebenarnya ada yang bersifat tahqiq, yaitu dengan cara memberikan kepada setiap huruf akan haknya sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan para ulama dan disertai tartil yaitu dengan bacaan yang pelan-pelan dan tenang serta suara lembuh, bersifat hadar, yaitu membaca cepat dengan tetap memperhatikan syarat syarat pengucapan yang benar, dan ada pula yang bersifat tadwir yaitu pertengahan antara kedua sifat dan cara tadi.”
Membaca Qur’an adalah salah satu sunah dalam Islam, dan dianjurkan memperbanyaknya agar setiap Muslim hidup kalbunya dan cemerlang akalnya karena mendapat siraman cahaya Kitab Allah yang dibacanya. Tentang hal ini Ibn ‘Umar telah meriwayatkan sebuah hadis Rasulullah:
”Tidak diperbolehkan iri (kepada seseorang) kecuali dalam dua hal, yaitu orang yang dianugerahi Allah kekayaan harta lalu digunakannya (di jalan yang diridai Allah) di waktu malam dan siang, dan orang yang diberi Allah Kitab Suci lalu ia membacanya di waktu malam dan siang.”
Membaca Qur’an dengan niat ikhlas dan maksud baik adalah suatu ibadah yang karenanya seorang Muslim mendapatkan pahala. Ibn Mas‘ud meriwayatkan:
“Bahwa Rasulullah bersabda: ’Barang siapa membaca satu huruf dari Kitab Allah, maka ia akan mendapatkan satu kebaikan dan setiap kebaikan itu akan dibalas dengan sepuluh kali lipat.”!
Dalam sebuah hadis Abu Umamah, ditegaskan:
“Bacalah’ Qur’an! Karena pada hari kiamat ia akan datang sebagai penolong bagi pembacanya.”
Para ulama salaf (yang terdahulu), selalu memelihara bacaan Qur’an. Di antara mereka ada yang membacanya sampai khatam da
lam sehari semalam, bahkan ada yang khatam lebih dari itu. Dalam sebuah hadis ditegaskan:
“Dari Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah berkata kepadaku: ’Bacalah Qur’an satu kali khatam dalam satu bulan.’ Ia menjawab: ’Saya mampu untuk membacanya lebih dari itu.’ Beliau berkata lagi: ’Kalau begitu, bacalah dalam sepuluh hari.’ Ia pun menjawab lagi: ’Saya masih sanggup membacanya lebih dari itu.’ Kemudian beliau berkata lagi: ’Bacalah ia dalam seminggu dan jangan lebih dari itu”?
Rasulullah memperingatkan agar Qur’an tidak dilupakan. Beliau bersabda:
“Biasakanlah membaca Qur’an. Demi Zat Yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, sungguh Qur’an itu lebih mudah lepas daripada unta yang lepas dari tali kekangnya.”
Perintah memperbanyak bacaan dan mengkhatamkan Qur’an itu berbeda-beda sesuai dengan keadaan individu karena masing-masing mempunyai kemampuan yang berbeda dan tingkatan kepentingan umum yang berlainan pula.
Nawawi dalam al-Azkdr-nya berkata: ”’Yang benar ialah bahwa perintah membaca Qur’an itu berbeda-beda karena perbedaan keadaan individu masing-masing. Barang siapa yang karena ketajaman pikirannya mampu mengungkapkan rahasia-rahasia dan berbagai pengetahuan yang terkandung di dalamnya, hendaklah ia membatasi (bacaannya) pada kadar yang dapat membantunya memahami dengan sempurna apa yang dibacanya itu. Begitu pula orang yang sibuk menyebarkan ilmu, memutuskan perkara (perselisihan) atau menangani kepentingan agama dan maslahat umum lainnya, cukuplah ia membacanya dalam kadar yang tidak menyebabkan tugasnya terbengkalai atau kurang sempurna. Tetapi jika tidak termasuk golongan tersebut, hendaklah 1a membacanya sebanyak mungkin sepanjang tidak menimbulkan kebosanan atau kacau dalam pembacaannya.”
Adab Membaca Qur’an
Di anjurkan bagi orang yang membaca Qur’an memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
- Membaca Qur’an sesudah berwudu karena ia termasuk zikir yang paling utama, meskipun boleh membacanya bagi orang yang berhadas.
- Membacanya di tempat yang bersih dan suci, untuk menjaga, keagungan membaca Qur’an.
- Membacanya dengan khusyuk, tenang dan penuh hormat.
- Bersiwak (membersihkan mulut) sebelum mulai membaca.
- Membaca ta‘awwuz (“A‘azu billahi minasy syaitanir rajim”) pada permulaannya, berdasarkan firman Allah: “Apabila kamu mem. baca Qur’an hendaklah meminta perlindungan kepada Allah dari syaj. tan yang terkutuk.” (an-Nahl [16]:98). Bahkan sebagian ulama me. wajibkan membaca ta‘awwuz ini.
- Membaca basmalah pada permulaan setiap surah, kecualj surah al-Bara’ah, sebab basmalah termasuk salah satu ayat Qur’an menurut pendapat yang kuat.
- Membacanya dengan tartil yaitu dengan bacaan yang pelan-pelan dan terang serta memberikan kepada setiap huruf akan haknya seperti membaca panjang dan idgam. Allah berfirman: “Dan bacalah Qur’an itu dengan perlahan-lahan.” (al-Muzzammil [73]:4).
Dari Anas, bahwa ia ditanya tentang qiraat Rasulullah. Ia menjawab: ’Qiraat beliau itu panjang. Kemudian ia membaca Bismillahir rahmanir rahim, dengan memanjangkan Allah, memanjangkan Rahman dan memanjangkan Rahim.”?
Dari Ibn Mas‘ud, bahwa seorang lelaki berkata kepadanya: ’’Sesungguhnya aku biasa membaca al-Mufassal dalam satu rakaat.” Maka Ibn Mas‘ud bertanya: ”Demikian cepatkah engkau membaca Qur’an seperti layaknya membaca syair saja? Sesungguhnya akan ada suatu kaum yang membaca Qur’an, namun Qur’an itu tidak sampai melewati kerongkongan mereka. Padahal kalau bacaan itu sampai meresap dalam hati tentu sangat bermanfaat.”
Berkata az-Zarkasyi dalam al-Burhan: ’’Kesempurnaan tartil adalah mentafkhimkan lafaz-lafaznya, dibaca dengan jelas huruf-hurufnya dan tidak mengidgamkan satu huruf dengan huruf lain. Dikatakan bahwa hal ini adalah minimal tartil. Sedang maksimalnya ialah membaca Qur’an sesuai dengan fungsi dan maknanya. Bila membaca ayat tentang ancaman hendaklah dibacanya dengan nada ancaman pula, dan bila membaca ayat yang berisi penghormatan (kepada Allah) maka hendaklah membacanya dengan sikap penuh hormat pula.”
- Memikirkan ayat-ayat yang dibacanya. Cara pembacaan seperti jnilah yang sangat dikehendaki dan dianjurkan, yaitu dengan mengkonsentrasikan hati untuk memikirkan makna yang terkandung dalam ayat-ayat yang dibacanya dan berinteraksi kepada setiap ayat dengan segenap perasaan dan kesadarannya baik ayat itu berisikan doa, istigfar, rahmat maupun azab.
Allah berfirman:
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu yang penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya.” (Sad [38]:29).
“Diriwayatkan dari Huzaifah, ia berkata: ’Pada suatu malam saya melakukan salat bersama Nabi. Beliau membaca surat al-Baqarah, diteruskan dengan surah an-Nisa’ lalu disambung dengan surah Ali ‘Imran, semuanya dibaca dengan tartil, jelas dan perlahan. Apabila beliau menemui ayat yang mengandung tasbih, maka beliau bertasbih, bila melewati ayat yang mengandung permohonan, beliau memohon, dan bila melewati ayat yang mengandung perlindungan (ta‘awwuz), maka beliau pun memohon perlindungan.”
- Meresapi makna dan maksud ayat-ayat Qur’an, yang berhubungan dengan janji maupun ancaman, sehingga merasa sedih dan menangis ketika membaca ayat-ayat yang berkenaan dengan ancaman karena takut dan ngeri. Allah berfirman:
“Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk.” (al-Isra’ [17]:109).
Dalam sebuah hadis Ibn Mas‘ud disebutkan bahwa ia berkata:
“Rasulullah berkata kepadaku: ’Bacakanlah Qur’an kepadaku.’ Aku menjawab: ’Wahai Rasulullah, haruskah aku membacakannya kepadamu, sedang Qur’an itu diturunkan kepadamu?’ Beliau menjawab: “Ya, aku senang mendengarkan bacaan Qur’an itu dari orang lain.’ Lalu aku membacakan surah an-Nisa’ dan ketika sampai kepada ayat ini Maka bagaimanakah (halnya orang-orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu)? (ayat 41), beliau berkata: ’Cukup sampai di sini saja… Kemudian aku berpaling kepada beliau, maka kulihat kedua mata Beliau mencucurkan air mata.”
Dalam Syarh al-Muhazzab disebutkan: Cara untuk bisa menangis di saat membaca Qur’an ialah dengan memikirkan dan meresapi makna ayat-ayat yang dibaca seperti yang berkenaan dengan ancaman berat, siksa yang pedih, perjanjian dan anjuran (perintah), kemudian merenungkan betapa dirinya telah melalaikannya. Apabila cara ini tidak dapat membangkitkan perasaan sedih, penyesalan dan tangis, maka keadaan demikian harus disesali pula dengan menangis karena hal jni adalah suatu musibah.”
Ibn Majah meriwayatkan dari Anas, ia berkata:
“Rasulullah bersabda: ’Di akhir zaman — atau pada umat ini — akan lahir sekelompok orang yang membaca Qur’an, namun Qur’an jtu tidak sampai melewati tenggorokan mereka, atau leher mereka. Apabila kamu melihat atau bertemu dengan mereka, maka bunuhlah!”
- Membaguskan suara dengan membaca Qur’an, karena Qur’an adalah hiasan bagi suara dan suara yang bagus lagi merdu akan lebih berpengaruh dan meresap dalam jiwa. Dalam sebuah hadis dinyatakan:
“Hiasilah Qur’an dengan suaramu yang merdu.”
- Mengeraskan bacaan Qur’an karena membacanya dengan suara jahar lebih utama. Di samping itu, juga dapat membangkitkan semangat dan gelora jiwa untuk lebih banyak beraktivitas, memalingkan pendengaran kepada bacaan Qur’an, dan membawa manfaat bagi para pendengar serta mengkonsentrasikan segenap perasaan untuk lebih jauh memikirkan, memperhatikan dan merenungkan ayat-ayat yang dibaca itu. Tetapi bila dengan suara jahar itu dikhawatirkan timbul rasa riya, atau akan mengganggu crang lain, seperti mengganggu orang yang sedang salat, maka membaca Qur’an dengan suara rendah adalah lebih utama.
Berkata Rasulullah: ”Allah tidak mendengarkan sesuatu selain Suara merdu Nabi yang membacakan Qur’an dengan suara jahar.”2?
- Para ulama berbeda pendapat tentang membaca Qur’an de. ngan melihat langsung pada Mushaf dan membacanya dengan hafalan, manakah yang lebih utama? Dalam hal ini mereka terdapat tiga pen. dapat.7®
Pertama, membaca langsung dari Mushaf adalah lebih utama, sebab melihat kepada Mushaf pun merupakan ibadah. Oleh karenanya membaca dengan melihat itu mencakup dua ibadah, yakni membaca dan melihat.
Kedua, membaca di luar kepada adalah lebih utama, karena hal ini akan lebih mendorong kepada perenungan dan pemikiran makna dengan baik. Pendapat ini dipilih oleh al-‘Izz bin ‘Abdus Salam. Lebih lanjut ia mengatakan: ’’Ada yang berpendapat bahwa membaca Qur’an secara langsung dari Mushaf itu lebih utama, karena hal ini mencakup perbuatan dua anggota yaitu lisan dan penglihatan, sedang pahala itu sesuai dengan kadar kesulitan. Pendapat demikian ini tidak benar, karena tujuan utama membaca Qur’an adalah tadabbur (memikirkan, merenungkan), berdasarkan firman Allah:
”Supaya mereka memperhatikan (tadabbur) ayat-ayatnya.” (Sad [38]:29). Dan menurut kebiasaan, melihat kepada Mushaf itu akan mengganggu maksud tersebut. Oleh karena itu, maka pendapat di atas dipandang lemah, tidak kuat.”
Ketiga, bergantung pada situasi dan kondisi individu masing-masing. Apabila membaca dengan hafalan lebih dapat menimbulkan perasaan khusyuk, pemikiran, perenungan dan konsentrasi terhadap ayat-ayat yang dibacanya daripada membacanya melalui Mushaf, maka membaca dengan hafalan lebih utama. Tetapi bila keduanya sama maka membaca dari Mushaf adalah lebih utama.
Mengajarkan Qur’an dan Menerima Upah (Bayaran) Atasnya
Mengajarkan Qur’an ‘adalah fardu kifayah, dan menghafalnya merupakan suatu kewajiban bagi umat Islam agar dengan demikian tidak terputus jumlah kemutawatiran para penghafal Qur’an di samping untuk menghindari timbulnya pembiasan makna dan penyimpangan arti. Bila tugas ini telah dilakukan oleh sebagian orang, maka guguriah kewajiban itu dari yang lain. Bila tidak ada satu pun yang melakukannya, maka semuanya berdosa. Di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Usman dinyatakan:
“Sebaik-baiknya kamu adalah orang yang belajar Qur’an dan mengajarkannya.”
Cara mempelajari Qur’an ialah dengan menghafalnya ayat demi ayat. Cara inilah yang dewasa ini dipakai dalam media pendidikan modern, yakni setiap pelajar diharuskan menghafal sedikit demi sedikit, kemudian ditambah lagi dengan pelajaran berikutnya, dan begitu seterusnya. Dari Abu ‘Aliyah, ia berkata:
“Pelajarilah Qur’an lima ayat-lima ayat, karena Nabi mengambilnya dari Jibril a.s. lima ayat-lima ayat.”
Para ulama berbeda pendapat tentang boleh atau tidaknya menerima upah mengajar Qur’an. Para penyelidik (Ahlut tahqiq) menguatkan pendapat yang membolehkannya, berdasarkan sabda Nabi:
“Pekerjaan yang paling berhak kamu ambil upahnya ialah (mengajarkan) Kitab Allah. dan sabdanya:
“Aku nikahkan engkau kepadanya dengan (maskawin) Qur’an yang ada padamu.”
Sebagian ulama telah membagi tipe pengajaran Qur’an dengan baiknya menjadi beberapa macam dan menjelaskan hukumnya masingmasing, sebagaimana ditegaskan oleh Abu Lais dalam kitabnya al-Bustan: ’Pengajaran Qur’an itu ada tiga macam. Pertama, pengajaran yang karena Allah semata dan tidak mengambil upah; kedua, pengajaran dengar memungut upah; dan ketiga, pengajaran tanpa syarat, namun bila diberi hadiah, maka diterimanya.
Pengajar tipe pertama mendapatkan pahala, dan itu merupakan tugas para nabi a.s.
Tipe kedua diperselisihkan. Ada yang mengatakan tidak boleh dilakukan berdasarkan ucapan Nabi:
”Sampaikanlah dariku, meskipun hanya satu ayat.”
Tetapi ada pula yang membolehkannya. Yang lebih baik ditempuh oleh pengajar Qur’an ialah membuat perjanjian untuk hanya menerima bayaran bagi pekerjaan membimbing hafalan dan mengajar tulis-menulis saja. Tetapi bila ia menetapkan pula bayaran mengajar Qur’an, aku kira tidak ada halangannya, karena kaum muslimin telah mewarisi tradisi demikian sejak dulu dan membutuhkannya.
Macam ketiga adalah boleh menurut semua pendapat ulama, sebab Nabi sendiri adalah pengajar semua orang dan beliau juga menerima hadiah. Selain itu, juga berdasarkan hadis tentang orang yang disengat kalajengking di mana para sahabat mengobati orang tersebut dengan bacaan surah al-Fatihah dan mereka meminta imbalan, kemudian Nabi bersabda:
“Berilah satu bagian dari imbalan yang kamu terima itu.”
Untuk menerjuni sesuatu ilmu apa pun seseorang perlu mengetahui dasar-dasar umum dan ciri-ciri khasnya. Ia terlebih dahulu harus mempunyai pengetahuan yang cukup tentang ilmu tersebut dan ilmu-ilmu lain sebagai penunjang yang diperlukan dalam kadar yang dapat membantunya mencapai tingkat ahli dalam disiplin ilmu tersebut, sehingga di saat memasuki detail permasalahannya ia telah memiliki dengan lengkap kunci pemecahannya. Oleh karena Qur’an al-Karim diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas, “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Qur’an dengan bahasa Arab agar kamu memahaminya” (Yusuf [12]:2), maka kaidah-kaidah yang diperlukan para mufasir dalam memahami Qur’an terpusat pada kaidah-kaidah bahasa, pemahaman asas-asasnya, penghayatan uslub-uslubnya dan penguasaan rahasia-rahasianya. Dan untuk hal ini semua telah tersedia banyak pembahasan secara rinci dan kajian yang lengkap yang bertebaran dalam berbagai cabang ilmu bahasa Arab. Namun di sini kami hanya akan mengemukakan secara singkat beberapa hal penting yang harus diketahui lebih dahulu.
Damir (Kata Ganti)
Damir mempunyai kaidah-kaidah kebahasaan tersendiri yang disimpulkan oleh para ahli bahasa dari Qur’an al-Karim, sumber-sumber asli bahasa Arab, hadis nabawi dan dari perkataan orang-orang arab yang kata-katanya dapat dijadikan pedoman (hujjah), baik yang berupa puisi (nazam) maupun prosa (nasar). Ibn al-Anbari telah menyusun sebuah kitab terdiri 12 jilid yang khusus membahas damir-damir yang terdapat dalam Qur’an.
Pada dasarnya, damir diletakkan untuk mempersingkat perkataan, ia berfungsi untuk menggantikan penyebutan kata-kata yang banyak dan menempati kata-kata itu secara sempurna, tanpa merubah makna yang dimaksud dan tanpa pengulangan. Sebagai contoh, damir “hum” pada ayat: telah menggantikan dua puluh kata, jika kata-kata itu diungkapkan bukan dalam bentuk damir, yaitu katakata yang terdapat pada permulaan ayat:
Setiap damir ga’ib (kata ganti orang pertama) memerlukan tempat kembali atau penjelas, yaitu kata-kata yang digantikannya, dan menurut kaidah bahasa tempat kembali itu harus mendahuluinya. Ahli Nahwu memberikan alasan bagi ketentuan ini, bahwa damir mutakallim (orang pertama) dan damir mukhdtab (orang kedua) telah dapat diketahui maksudnya secara jelas melalui keadaan yang melingkupinya, tidak demikian halnya dengan damir ga’ib. Karena itu menurut kaidah ini tempat kembali damir tersebut harus mendahuluinya agar apa yang dimaksud dengannya dapat diketahui lebih dahulu. Itulah sebabnya para ahli Nahwu menetapkan, “Damir gd’ib tidak boleh kembali kepada lafaz yang terkemudian dalam pengucapan dan kedudukannya.” Dari kaidah ini dikecualikan beberapa hal yang di dalamnya damir kembali kepada tempat kembali yang tidak disebutkan karena apa yang dimaksudnya telah ditunjukkan oleh sebuah qarinah (indikasi) yang ada pada lafaz yang mendahuluinya atau oleh keadaan lain yang melingkupi suasana pembicaraan.
Ibn Malik dalam kitabnya at-Tashil menyatakan, “Kaidah menetapkan, tempat kembali (marji‘) damir ga’ib itu harus didahulukan, Marji‘ ialah lafaz yang terdekat dengannya kecuali bila ada dalil yang menunjukkan lain. Terkadang marji‘ itu dijelaskan lafaznya dan terkadang pula tidak dijelaskan karena adanya indikator, baik yang indrawi maupun yang diketahui melalui penalaran (‘ilmi), yang menunjuk kepada damir, atau karena telah disebutkannya sesuatu yang merupakan bagian marji‘, keseluruhannya, imbangannya atau yang menyertainya, dalam bentuk apapun jua.”
Dengan demikian, marji‘ damir ga’ib adalah lafaz yang telah disebutkan sebelumnya dan harus sesuai dengannya. Inilah yang banyak dan umum, seperti dalam firman-Nya: (Hud (11):42). Atau yang mendahuluinya itu mengandung apa yang dimaksud oleh damir, seperti dalam firman-Nya: (al-Maidah [5]8). Damir “huwa” di sini kembali kepada keadilan, al-‘adlu yang terkandung dalam lafaz i‘dilu. Jadi arti selengkapnya, keadilan itu lebih dekat kepada ketakwaan. Atau lafaz yang mendahuluinya itu) menunjuk kepada damir berdasarkan kelaziman, keniscayaan (iltizam) seperti: (al-Baqarah [2]:178). Damir pada kata “ilaihi” kembali kepada lafaz al-‘afi (orang yang memaafkan) yang harus ada karena adanya lafaz ’’‘ufiya’”’ (dimaafkan).
Marji‘ damir kadang-kadang terletak sesudah damir itu sendiri, namun hal ini hanya dalam pengucapannya, tidak dalam kedudukan (jabatan kata)-nya, seperti dalam: (Ta Ha [20]: 67). Tetapi ada juga yang terletak kemudian dalam pengucapan maupun kedudukannya sebagaimana terdapat pada damir sya’n, damir qisgah, ni‘ma dan bi’sa. Misalnya firman Allah: ayat (al-Ikhlas [112]:1), (al-Anbiya’ [21]:97), (al-Kahfi [18]:5O), dan opal QS (al-A‘raf [7]:177). Selain itu ada pula lafaz yang datang sesudah damir menunjukkan marji‘ damir itu, seperti pada firman-Nya: (al-Waqi‘ah [56]:83). Damir rafa‘ yang tersimpan di sini ‘ditunjukkan oleh lafaz ”’al-hulqum”, yang jika dinyatakan dengan lengkap akan berbunyi:
Marji‘ adakalanya dapat dipahami dari konteks kalimat, seperti pada: (ar-Rahman [55]:26), maksud lafaz ”alaiha” ialah (al-Qadar [97}:1), yakni ”anzalna al-qur’an’’; (‘Abasa [80]:1) yakni “Nabi s.a.w.”’; dan (Hud [11]:13), damir “wawu” pada lafaz ”“yaqulun” kembali kepada ’orang-orang musyrik’ dan damir fa‘il lafaz ”iftara” kembali kepada ”Nabi’’, sedang damir maf‘ulnya kembali kepada “al-Qur’an.”
Damir terkadang kembali kepada lafaz, bukan kepada makna, seperti dalam firman-Nya: (Fatir {35}:11), damir pada ”umurihi” ‘kembali kepada lafaz ’’mu‘ammar” namun yang dimaksud adalah “mu‘ammar” yang lain. Berkata al-Farra’: yang dimaksud ialah mu‘ammar yang lain, bukan mu‘ammar yang pertama, tetapi ia di kinayah kan dengan damir seakan akan ia adalah mu‘ammar yang pertama. Hal ini karena jika lafaz itu ditampakkan maka sama persis dengan lafaz pertama, sehingga akan berbunyi “wa la yunqasu min ‘umuri mu‘ammar’”. Jadi jelaslah bahwa damir pada “min ‘umurihi” kembali kepada lafaz “mu‘ammar” yang lain, bukan mu‘ammar pertama. Ini tidak ubahnya dengan perkataan ‘indi dirhamun wa nisfuhu” (aku mempunyai satu dirham dan separohnya), maksudnya separoh dirham yang lain.
Damir terkadang kembali kepada makna saja, seperti pada ayat: (an-Nisa’ [4]:176). Damir pada “kanata”’ tidak didahului oleh lafaz tasniyah sebagai marji‘nya, hal itu karena kata “kalalah’’ dapat dipakai untuk mufrad, tasniyah atau jamak. Jadi pen-tasniyah-an damir yang kembali kepada kalalah itu didasarkan pada maknanya. Juga seperti: (an-Nisa’ [4]:4). Damir pada kata “minhu” kembali kepada makna ”as-saduqat” sebab lafaz ini semakna dengan ’’as-sidaq” atau “ma usdiqa” (sesuatu yang dijadikan mahar). Ayat itu seakan-akan berbunyi: (Berikanlah mahar kepada para wanita atau apa yang kamu jadikan sebagai mahar bagi mereka).
Terkadang damir itu disebutkan terlebih dahulu dan kemudian diberi predikat (khabar) dengan lafaz yang menjelaskannya, seperti: (al-An‘am [6}:29). Juga terkadang ia di-tasniyah-kan padahal ia “kembali kepada salah satu dari dua hal yang telah disebutkan, misalnya: (ar-Rahman [55]:22). Mutiara dan marjan keluar dari salah satu dua laut, yaitu laut yang asin, bukan laut yang tawar. Keluarnya mutiara dan marjan dari salah satu laut dua ini dipandang keluar dari keduanya. Inilah pendapat az-Zujaj dan yang lain.
Damir terkadang juga kembali kepada sesuatu yang ada hubungan erat dengannya, seperti pada ayat: (an-Nazi‘at [79]:46). Yang dimaksud dengan damir ”ha’’ pada lafaz “duhaha” ialah “duha yaumiha” (waktu duha hari itu), bukan “duha al ‘asyiyyah”’ (waktu duha sore itu), karena waktu sore tidak mempunyai waktu duha.
Selain itu, dalam penggunaan damir mula mula yang diperhatikan adalah segi lafaz, namun kemudian segi maknalah yang diperhatikan. Ini seperti terlihat pada: (al-Baqarah {2}:8). Damir pada “yaqulu” dimufradkan berdasarkan pada lafaz man’, kemudian pada lafaz “wa ma hum” dijamakkan didasarkan pada maknanya.
Ta‘rif dan Tankir (Isim Ma‘rifah dan Nakirah)
- Penggunaan isim nakirah
Penggunaan isim nakirah ini mempunyai beberapa fungsi, di antaranya:
- Untuk menunjukkan satu, seperti pada: (Ya Sin [36]:20). ’’Rajulun” maksudnya adalah seorang laki-laki.
- Untuk menunjukkan macam, seperti: (al-Baqarah [2]:96), yakni sesuatu macam dari kehidupan, yaitu mencari tambahan untuk masa depan, sebab keinginan itu bukan terhadap masa lalu atau masa sekarang.
- Untuk menunjukkan ’’satu” dan “macam”’ sekaligus. Misalnya pada: (an-Nur [24]:45). Maksudnya, setiap macam dari segala macam binatang itu berasal dari suatu macam air dan setiap individu (satu) binatang itu berasal dari satu nutfah.
- Untuk membesarkan (memuliakan) keadaan, seperti: (al-Baqarah [2]:279). Maksud “harbin” ialah peperangan yang besar atau dahsyat. .
- Untuk menunjukkan arti banyak, seperti pada ayat: (asy-Syu‘ara’ [26]:42). Maksud “ajran” ialah pahala yang banyak.
- Untuk membesarkan dan menunjukkan banyak (gabungan no.4 dan 5) Misalnya: (Fatir [35]:4). Maksudnya, rasul-rasul yang mulia dan banyak jumlahnya.
- Untuk meremehkan, misalnya: (‘Abasa [80]:18). Yakni, dari sesuatu yang hina, rendah dan teramat remeh.
. 8. Untuk menyatakan sedikit, seperti dalam ayat: (Bara’ah [9]:72). Maksudnya, keridaan yang sedikit dari Allah itu lebih besar daripada surga, karena keridaan itu pangkal segala kebahagiaan.
- Penggunaan isim ma‘rifah
Penggunaan isim ma‘rifah (ta‘rif) mempunyai beberapa fungsi yang berbeda sesuai dengan macamnya.
- Ta‘rif dengan isim damir (kata ganti) kerena keadaan menghendaki demikian, baik damir mutakallim, mukhatab ataupun ga’ib.
- Ta‘rif dengan ‘alamiyah (nama) berfungsi untuk:
- a) menghadirkan pemilik nama itu dalam hati pendengar dengan cara menyebutkan namanya yang khas.
- b) memuliakan, seperti pada ayat: (al-Fath [48]:29).
- c) menghinakan, seperti pada ayat: (al-Lahab (111):1).
- Ta‘rif dengan isim isyarah (kata tunjuk) berfungsi untuk:
- a) menjelaskan bahwa sesuatu yang ditunjuk itu dekat, seperti: (Luqman [31]:11).
- b) menjelaskan keadaannya dengan menggunakan ’’kata tunjuk jauh’’, seperti: (al-Baqarah [2]:5).
- c) menghinakan dengan memakai kata tunjuk dekat, seperti: (al-‘Ankabut (29]:64).
- d) memuliakan dengan memakai kata tunjuk jauh, seperti pada: (al-Baqarah [2):2).
- e) mengingatkan (tanbih) bahwa sesuatu yang ditunjuk (musyar ilaih) yang diberi beberapa sifat itu sangat layak dengan sifat yang disebutkan sesudah isim isyarah tersebut. Misalnya: (Al-Bagarah[2]:2-5).
- Ta‘rif dengan isim mausul (kata ganti penghubung) berfungsi:
- a) karena tidak disukainya menyebutkan nama sebenarnya untuk menutupinya atau disebabkan hal lain, seperti pada firman Allah:
(al-Ahqaf [46]:17) dan firman-Nya: (Yusuf [12]:23).
- b) untuk menunjukkan arti umum, seperti: (al-‘Ankabut (29}:69).
- c) untuk meringkas kalimat, seperti: (al-Ahzab [33]:69). Andaikata nama-nama orang yang mengatakan itu disebutkan tentulah pembicaraan (kalimat) itu menjadi panjang.
- Ta‘rif dengan alif-lam (al) berfungsi:
- a) untuk menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui karena telah disebutkan (ma‘hid zikri), seperti: (an-Nur [24]:35).
- b) untuk menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui bagi pendengar seperti: (al-Fath [48]:18).
- c) sesuatu yang sudah diketahui Karena ia hadir pada saat itu seperti: (al-Ma’idah [5]:3).
- d) untuk mencakup semua satuannya (istigraqul-afrad), seperti: (al-‘Asr [103]:2). Ini diketahui karena ada pengecualian sesudahnya.
- e) untuk menghabiskan segala karakteristik jenis, seperti: (al-Baqarah [2]:2). Maksudnya, kitab yang sempurna petunjuknya dan mencakup semua isi kitab yang diturunkan dengan segala karakteristiknya.
- f) untuk menerangkan esensi, hakikat dan jenis, seperti dalam ayat: (al-Anbiya’ (21]:30).
Pengulangan Kata Benda (Isim)
Apabila sebuah isim disebutkan dua kali maka dalam hal ini ada empat kemungkinan; kedua-duanya ma‘rifah, kedua-duanya nakirah, yang pertama nakirah sedang yang kedua ma‘rifah, dan yang pertama ma‘rifah sedang yang kedua nakirah.
1). Apabila kedua-duanya ma‘rifah maka pada umumnya yang kedua adalah hakikat yang pertama. Misalnya: (al-Fatihah [1]:6-7). “
2). Jika kedua-duanya nakirah, maka yang kedua biasanya bukan yang pertama. Misalnya: (ar-Rum [30]:54). “Du‘f’ pertama adalah nutfah (sperma), ’’du‘f’ kedua tufuliyah (masa bayi), sedang “’du‘f” yang ketiga adalah syaikhukhah (masa lanjut usia).
Kedua macam ini telah terkumpul pada ayat: (al-Insyirah [94]:5-6). Oleh karena itu dalam sebuah riwayat Ibn “Abbas berkata: “Satu ‘usr (kesulitan) tidak akan mengalahkan dua yusr (kemudahan). Hal ini Karena kata ’‘usr’ yang kedua diulangi dengan al (ma‘rifah), maka ia adalah ‘usr yang pertama, sedang kata ‘yusr’ yang kedua bukKan ’yusr’ yang pertama karena ia diulangi tanpa al.”
3). Jika yang pertama nakirah dan yang kedua ma‘rifah maka yang kedua adalah hakikat yang pertama, karena itulah yang sudah diketahui. Misalnya dalam ayat: (al-Muzzammil [73]:15-16). °
4). Jika yang pertama ma‘rifah sedang yang kedua nakirah, maka apa yang dimaksudkan bergantung pada qarinah. Terkadang qarinah menunjukkan bahwa keduanya itu berbeda, seperti pada firman-Nya: (ar-Rum [30]:55). Terkadang pula ia menunjukkan bahwa keduanya sama, seperti: (az-Zumar [39]:27-28).
Mufrad dan Jamak
Sebagian lafaz dalam Qur’an dimufradkan untuk sesuatu makna tertentu dan dijamakkan untuk sesuatu isyarat khusus, lebih diutamakan jamak dari mufrad atau sebaliknya. Oleh karena itu dalam Qur’an sering dijumpai sebagian lafaz yang hanya dalam bentuk jamaknya dan ketika diperlukan bentuk mufradnya maka yang digunakan adalah kata sinonim (murddif)-nya. Misalnya kata ”’al-lubb” (Zin) yang selalu disebutkan dalam bentuk jamak, albab, seperti terdapat pada ayat: (az-Zumar [39]:21). Kata ini tidak pernah dipergunakan dalam Qur’an bentuk mufradnya, namun muradifnya disebutkan, yaitu lafaz ”al-qalb” seperti: (Qaf [50]:37). Dan kata ”al-kub” ( ) tidak pernah dipakai bentuk mufradnya, tetapi selalu bentuk jamaknya, “al akwab”. Misalnya: (al-Gasyiyah [88]: 14).
Sebaliknya ada sejumlah lafaz yang hanya datang dalam bentuk mufradnya di setiap tempat dalam Qur’an. Dan ketika hendak dijamakkan maka ia dijamakkan dalam bentuk yang menarik yang tiada bandingannya, seperti terdapat pada ayat: (at-Talaq [65]:12). Allah tidak berfirman karena yang demikian adalah kasar dan merusak keteraturan susunan kalimat.
Termasuk kelompok ini ialah lafaz (. ), ia terkadang disebutkan dalam bentuk jamak dan terkadang dalam bentuk mufrad, sesuai dengan keperluan. Jika yang dimaksudkan adalah “bilangan” maka ia didatangkan dalam bentuk jamak yang menunjukkan betapa sangat besar dan luasnya, seperti terdapat dalam ayat: (al-Hasyr [59]:1). Dan jika yang dimaksud adalah ”arah”, maka ia didatangkan dalam bentuk mufrad, seperti: . (al-Mulk [67]:16).
Lafaz ”ar-rth” ( ) juga termasuk kategori ini, ia disebutkan dalam bentuk jamak dan mufrad. Pemakaian bentuk jamak dalam konteks rahmat sedang bentuk mufrad dalam konteks ‘uzab. Disebutkan, hikmahnya ialah bahwa atau angin rahmat itu bermacam-macam sifat dan manfaatnya dan terkadang sebagiannya berhadapan dengan sebagian yang lain — di antaranya ada angin semilir yang bermanfaat bagi hewan dan tumbuh-tumbuhan. Oleh karena itu dalam konteks rahmat ini ia dijamakkan, Sedang dalam konteks ‘azab “rih” atau angin itu datang dari satu arah, tanpa ada yang menentang atau menolaknya.
Ibn Abi Hatim dan yang lain meriwayatkan, Abu Ka‘b berkata: “Segala sesuatu yang disebut dengan ar-riyah dalam Qu’an adalah rahmat, sedang yang disebut dengan ar-rih adalah azab. Oleh karena itu tersebutlah dalam sebuh hadis Allahumma ij‘alha riyahan wa la taj‘alha rihan. Jika tidak demikian maka hal itu karena ada hikmah lain.”
Termasuk kelompok ini adalah lafaz ”an-nur’’ yang senantiasa dimufradkan dan lafaz ”az-zulumat” yang senantiasa jamak. Juga lafaz “sabil al-haqq” yang selalu dimufradkan dan “sabil al-batil” yang selalu dijamakkan. Ini karena jalan (sabil) menuju kebenaran itu hanya satu sedang jalan menuju kebatilan banyak sekali dan bercabang cabang. Dengan alasan seperti ini lafaz “waliyyul-mu’minin” dimufradkan dan “auliya’ul-kafirin” dijamakkan. Seperti terlihat dalam (al-Bagarah [2]:257) dan ayat: (al-An‘am [6]:153).
Lafaz ”al-masyriq” dan ”al-magrib” juga termasuk kelompok ini. Keduanya disebutkan dengan bentuk mufrad, tasniyah dan jamak, Pemakaian bentuk mufrad karena mengingat arahnya dan untuk mengisyaratkan ke arah timur dan barat, seperti dalam ayat: (al-Muzzammil [73]:9). Bentuk tasniyah, karena keduanya adalah dua tempat terbit dan dua tempat terbenam di musim dingin dan musim panas, seperti dalam ayat: (ar-Rahman [55]:17). Sedang bentuk jamak digunakan mengingat keduanya adalah tempat terbit dan tempat terbenam setiap hari, atau tempat terbit dan tempat terbenam setiap musim, seperti dalam ayat: (al-Ma‘arij [70]:40).° ;
Mengimbangi Jamak dengan Jamak atau dengan Mufrad
Mengimbangi jamak dengan jamak terkadang dimaksudkan bahwa Setiap satuan dari jamak yang satu diimbangi dengan satuan jamak yang lain. Misalnya dalam ayat: (Nuh [71]:7). Maksudnya, setiap orang dari mereka menutupi badannya dengan bajunya masing-masing. Dan seperti: (al-Baqarah [2]:233). Maksudnya, masing-masing jbu menyusui anaknya sendiri.
Terkadang dimaksudkan pula bahwa isi jamak itu ditetapkan atau diberlakukan bagi setiap individu yang terkena hukuman, seperti: (an-Nur [24]; 4). Maksudnya, deralah setiap orang dari mereka sebanyak bilangan tersebut. Di samping itu terkadang kedua maksud tersebut dapat diterima, namun dalam hal ini perlu ada dalil yang menentukan salah satunya.
Adapun mengimbangi jamak dengan mufrad maka pada umumnya tidak dimaksudkan untuk menunjukkan keumuman mufrad tersebut, tetapi kadang-kadang hal demikian dapat saja terjadi. Misalnya: ey (al-Bagarah [2]:184). Maksudnya, setiap orang yang tidak sanggup berpuasa wajib memberikan makanan kepada seorang miskin pada setiap hari.
Kata-kata yang Dikira Mutaradif (sinonim), tetapi Bukan
Di antaranya adalah ”al-khauf’ ( ) dan “al-khasyyah” ( ). Makna ”al-khasyyah” lebih tinggi dari ’al-khauf’, karena al-khasyyah terambil dari kata-kata ’syajarah khasyyah” artinya pohon yang kering. Jadi arti al-khasyyah ialah totalitas rasa takut. Sedangkan ”alkhauf’ terambil dari kata-kata ””naqah khaufa” artinya unta betina yang berpenyakit, yakni mengandung kekurangan, bukan berarti sirna samasekali. Di samping itu, ’al-khasyyah” ialah rasa takut yang timbul karena agungnya pihak yang ditakuti meskipun pihak yang mengalami takut itu seorang kuat. Dengan demikian, al-khasyyah adalah alkhauf aiau rasa takut yang disertai rasa hormat (ta‘zim),; sedang al-khauf adalah rasa takut yang timbul karena lemahnya pihak yang merasa takut kendatipun pihak yang ditakuti itu hal yang kecil. Dilihat dari akar katanya, al-khasyyah terdiri atas kha’, syin dan ya’ yang di dalam tasrifnya menunjukkan sifat keagungan dan kebesaran, seperti “asy-syaikh” , berarti pemimpin besar, dan ”al-khaisy” ( )
berarti pakaian yang tebal. Oleh karena itu, kata ’’al-khasyyah” Sering dipergunakan berkenaan dengan hak Allah, seperti dalam ayat: (Fatir [35]:28) dan (al-Ahzab [33]:39). Adapun “al-khauf” dalam ayat. (an-Nahl [16]:50) digunakan untuk mensifati Para malaikat sesudah menyebutkan kekuatan dan kehebatan mereka. Maka pemakaian kata al-khauf di sini untuk menjelaskan bahwa sekalipun para malaikat itu besar-besar dan kuat tetapi di hadapan Allah mereka lemah. Ungkapan itu kemudian disambung dengan ”fauqahum” yang berarti Allah itu di atas mereka, hal ini menunjukkan akan kebesaran. Nya. Dengan demikian terkumpullah dua unsur makna yang terkan. dung oleh ”al-khasyyah” tanpa merusak arti kehebatan para malaikat, yaitu “khauf” dan penghormatan mereka kepada Tuhan.
Di antaranya pula adalah ’’asy-syuhhb” (. ) dan ’’al-bukhl” (jadi, Arti lafaz pertama lebih intens dari arti lafaz kedua, karena pada umumnya asy-syuhh adalah al-bukhl atau kikir yang disertai ketamak. an.
Demikian pula ”’as-sabil’” dan ’’at-tariq’” (. ). Yang pertama banyak dipakai pada kebaikan sedang yang kedua hampir tidak pernah dipakai pada kebaikan kecuali bila disertai sifat atau idafah yang menunjukkan makna dimaksud. Misalnya dalam ayat: (al-Ahqaf [46]:30). Menurut ar-Ragib dalam Mufradat-nya, -as-sabil” adalah at-tariq atau jalan yang di dalamnya terdapat kemudahan. Jadi lebih khusus dari ”at-tariq’’.
Demikian pula ’’madda” (34) dan ’”’amadda’”’ (aah. Ar-Ragib dalam menjelaskan, kata ”imdad’’ — bentuk masdar dari amadda — banyak dipakai pada hal-hal yang disenangi, seperti pada ayat: mau saat, ag ay (at-Tur [52]:22), sedang “madda” dipergunakan pada _ sesuatu yang tidak disenangi. Misalnya pada: (Maryam [19]:79).
Pertanyaan dan Jawaban
Pada dasarnya jawaban itu harus sesuai dengan pertanyaan. Namun terkadang ia menyimpang dari apa yang dikehendaki pertanyaan. Hal ini untuk mengingatkan bahwa jawaban itulah yang seharusnya ditanyakan. Jawaban seperti ini disebut uslub al-hakim. Sebagai contoh firman Allah: (Al-Baqarah [2]:189). Mereka menanyakan kepada Rasulullah tentang bujan, mengapa pada mulanya ia tampak kecil seperti benang, kemudian bertambah sedikit demi sedikit hingga purnama, kemudian menyusut lagi terus-menerus sampai kembali seperti semula. Jawaban yang diberikan kepada mereka berupa penjelasan mengenai hikmahnya, untuk mengingatkan mereka bahwa yang lebih penting ditanyakan ialah hal tersebut, bukan apa yang mereka tanyakan itu. Terkadang sebuah jawaban lebih umum dari apa yang ditanyakan, karena memang hal jtu dianggap perlu. Misalnya ayat: (alAn‘am (6]:64) sebagai jawaban bagi pertanyaan: (al-An‘am [6]:63). Terkadang pula lebih sempit dari pertanyaan karena keadaan menghendaki demikian, seperti ayat: (Yunus [10]:15) sebagai jawaban bagi hal ini mengingatkan bahwa mengganti lebih mudah daripada menciptakan. Jika mengganti saja tidak mampu tentulah menciptakan lebih tidak mampu lagi.
Kata “su’al” bila dipakai untuk meminta sesuatu pengertian, maka terkadang ber-muta‘addi kepada maf‘ul kedua secara langsung dan terkadang dengan menggunakan kata bantu ”an” ( ). Misalnya: (al-Baqarah [2]:85). Dan bila dipergunakan untuk meminta sesuatu benda atau yang serupa, ia muta‘addi kepada maf‘ul kedua itu secara langsung atau dengan kata bantu ”min” ( ), namun cara pertama lebih banyak berlaku. Misalnya. Misalnya: (al-Mumtahanah [60]:10) dan (an-Nisa’ [4]:32).
Jumlah Ismiyah dan Jumlah Fi‘liyah
Jumlah ismiyah atau kalimat nominal menunjukkan arti subut (tetap) dan istimrdr (terus-menurus), sedang jumlah fi‘liyah atau kalimat verbal mennnjukkan arti tajaddud (timbulnya sesuatu) dan hudus (temporal). Masing-masing kalimat ini mempunyai tempat tersendiri yang tidak bisa ditempai oleh yang lain. Misalnya tentang infaq yang diungkapkan dengan kalimat verbal, seperti dalam ayat: (Ali “Imran [3]:134).
Di sini tidak digunakan kalimat nominal. Namun dalam masalah keimanan digunakanlah kalimat nominal, seperti dalam: oat (al-Hujurat [49]:15). Hal ini karena infaq merupakan suatu perbuatan yang bersifat temporal yang terkadang ada dan terkadang tidak ada. Lain halnya dengan keimanan. Ia memipunyai hakikat yang tetap berlangsung selama hal-hal yang menghendakinya masih ada.
Yang dimaksud tajaddud dalam fi‘il madi (kata kerja masa lam. pau) ialah perbuatan itu timbul-tenggelam, kadang ada dan terkadang tidak ada. Sedang dalam fi‘il mudari‘ (kata kerja masa kini atau masa akan datang, perbuatan itu terjadi berulang-ulang. Fi‘il atau kata kerja yang tidak dinyatakan secara jelas dalam hal ini sama halnya dengan fi‘il yang dinyatakan secara jelas. Karena itu para ulama berpendapat, salam yang disampaikan oleh Ibrahim a.s. lebih berbobot (ablag) daripada yang disampaikan para malaikat kepada Ibrahim, seperti yang tersurat dalam ayat: (az-Zariyat (51:25). Kata “salaman” ( ) di-nasab-kan karena ia masdar yang menggantikan fi‘il. Asalnya: Ungkapan ini menunjukkan bahwa pemberian salam dari mereka baru terjadi saat itu. Berbeda dengan jawabannya, “qala sal4amun ‘alaikum” Lafaz “salamun”’ dirafa‘-kan karena menjadi mubtada’ (subyek) yang khabar (predikat)-nya tidak disebutkan. Kalimat itu lengkapnya adalah , yang menunjukkan tetapnya salam. Di sini nampaknya Ibrahim bermaksud membalas salam mereka dengan cara yang lebih baik dari yang mereka sampaikan kepadanya, demi melaksanakan etika yang diajarkan Allah s.w.t.,’ di samping juga merupakan penghormatan Ibrahim kepada mereka.
‘Ataf
“Ataf terbagi atas tiga macam:
- ‘Ataf kepada lafaz, dan inilah yang pokok bagi ‘ataf.
- ‘Ataf kepada mahall (kedudukan kata). Misalnya dalam ayat: (al-Ma’idah [5]:69). Menurut al-Kisa’i, jafaz “as-sAbi’dn” di‘atafkan kepada mahall inna dan isim-nya yang kedudukannya adalah marfu’ karena permulaan kalimat.
- ‘Ataf kepada makna. Misalnya dalam ayat: (al-Munafiqun [63]:10). Dalam qira’ah selain Abu ‘Amr Jafaz “akun” di-jazm-kan. Menurut al-Khalil dan Sibawaih lafaz tersebut di‘atafkan kepada sesuatu yang dianggap ada (tawahhum) Karena makna “lau 14 akhhartani…. fa assaddaqa” sama dengan *Akhkhirni… assaddaq” (tangguhkanlah aku…, tentu aku akan bersedekah). Seakan-akan dikatakan: “in akhkhartani… assaddaq wa akun…” (jika Engkau menangguhkan aku… tentu aku akan bersedekah dan termasuk…). Demikian pula al-Farisi menyatakan sebagai qira’ah Qubul: (Yusuf [12]:90), dengan membaca sukun ”ra’”, sebab ”man” mausul mengandung makna syarat.
Para ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya meng‘atafkan khabar (kalimat berita) kepada insyd’ (bukan kalimat berita). Sebagian besar mereka tidak membolehkan, sedang golongan lain membolehkannya, dengan mengambil contoh ayat (as-Saff {61}:13) yang di‘atafkan pada yang terdapat dalam ayat: (as-Saff [61]: 10-11). Golongan yang tidak membolehkan mengatakan, lafaz sama maknanya dengan Dengan demikian, ia adalah kalimat khabar yang bermakna insya’. Maka sah-lah meng‘atafkan kalimat insya’ kepadanya, seakan-akan dikatakan: (Beriman dan berjihadlah, pasti Allah akan memantapkan dan menolongmu. Dan berilah kabar gembira, wahai Rasulullah, orang-orang beriman dengan hal itu), Faedah penggunaan kalimat kabar di tempat kalimat perintah (amr, insya’) ini untuk memberi pengertian tentang kewajiban mentaati perintah itu, seakan-akan kalimat tersebut berbentuk perintah, yakni “taatilah”. Karena itu ia memberitahukan tentang keimanan dan jihad yang sudah ada.
Para ulama berbeda pendapat pula tentang meng‘atafkan kepada dua ma‘mal dari dua ‘amil. Golongan yang membolehkan berdatil dengan firman Allah: (Al-Jasiyah [47]:2-5) Lafaz. di‘atafkan kepada dua ma‘mul dari dua ‘amil, baik ketika di-nasab-kan maupun ketika di-rafa‘-kan. Ketika dinasabkan kedua ‘amil itu inna” dan ”fi” yang kedua-duanya digantikan oleh ”wawu’. Jadi, “wawu” ini me-jarr-kan lafaz dan me-nasab-kan Dan ketika di rafa‘kan kedua ‘amil itu adalah ibtida’ (permulaan kalimat) dan ”fi”. Maka ”wawu” dalam hal ini merafa‘kan lafaz dan menjarrkan Pendapat ini dikemukakan oleh az-Zamakhsyari.”
Demikian pula, mereka berbeda pendapat tentang meng‘atafkan kepada damir yang majriir tanpa mengulangi huruf jarr. Golongan yang membolehkan mengajukan argumentasi dengan qira’ah Hamzah: (an-Nisa’ [4]:1) yang men-jarr-kan lafaz *al-arham” karena di‘atafkan kepada damir. Mereka juga berhujjah dengan firman-Nya: (al-Baqarah {2}:217) dimana lafaz ”al-masjid” majrur karena di‘atafkan kepada damir pada lafaz ’bihi”.
Perbedaan antara al-Ita’ dengan al-I‘ta’
Terdapat perbedaan antara al-ita’ dengan al-i‘ta’ di dalam Qur’an. Al-Juwaini menjelaskan, lafaz ”al-ita” lebih kuat dari ”al-i‘ta” dalam menetapkan maf‘ulnya, karena ”al-i‘ta” mempunyai pola kata mutawa‘ah. Dikatakan: (ia memberikan [sesuatu] kepadaku maka aku pun menerimanya). Sedang tentang ”al-ita” tidak dapat dikatakan: karena kalimat ini akan perarti: “ia memberikan (sesuatu) kepadaku maka aku pun memberikannya”, tetapi hendaklah dikatakan: (ia memberikan [sesuatu] kepadaku maka aku pun menerimanya).
Fi‘l atau kata kerja-yang mempunyai pola mutawa‘ah lebih lemah pengaruh maknanya terhadap maf‘ul (obyek) daripada fi‘l yang tidak mempunyainya. Dalam hal yang pertama dapat kita katakan: (aku memotongnya maka ia pun terpotong). Di sini nampak jelas bahwa perbuatan pelaku, berhasil tidaknya, bergantung pada keadaan obyeknya; terpengaruh atau tidak. Jika tidak terpengaruh maka ia dipandang tidak ada. Oleh karena itu maka sah dikatakan: (aku memotongnya tetapi ia tidak terpotong). Sedang dalam fi‘l yang tidak mempunyai pola mutawa‘ah tidak sah kita menyatakan demikian. Karena itu tidak boleh dikatakan: (aku pukul dia maka ia pun terpukul, atau tidak terpukul), juga tidak boleh dikatakan: (aku membunuhnya maka ia pun terbunuh atau tidak terbunuh), sebab fi‘l atau perbuatan seperti ini bila telah dilakukan pelaku maka pasti.ada pengaruh konkrit terhadap obyeknya, mengingat bahwa perbutan pelaku dalam hal fi‘l yang tak mempunyai pola mutawa‘ah ini tidak bergantung pada keadaan obyeknya. Dengan demikian maka ”’al-ita’” lebih kuat (intens) dari ”’al-i‘ta’”’.
Mengenai hal di atas terdapat bukti-bukti konkrit dalam Qu’an. Di antaranya:
(al-Baqarah [2):269). Penggunaan kata ”al-ita” (yu’ti, yu’ta, utiya) dalam ayat ini mengingat bahwa bila hikmah telah tetap pada tempatnya, maka ia akan menetap di situ selamanya.
(al-Hijr [15]:87).
(al-Kausar [108]:1). Penggunaan kata ”al-i‘ta’” (a‘taindka) dalam ayat ini karena sesudah al-kaugar masih terdapat banyak tempat lain yang lebih tinggi mengingat bahwa perpindahan dj dalam surga itu hanya kepada yang lebih besar. Demikian pula firman Allah: (at-Taubah [9]:29). Penggunaan kata “al-i‘ta” (yu‘ta) di sini karena jizyah itu bergantung pada sikap kita (kaum Muslimin), menerima atau tidak, selain mereka (non-Muslim) pun tidak membayarkannya dengan hati rela melainkan karena terpaksa. Dalam kaitannya dengan kaum Muslimin tentang zakat digunakarlah kata “al-ita’”. Ini mengandung isyarat bahwa_ seorang Mukmin seharusnya membayar zakat itu dengan kesadaran sendirj secara ikhlas, tidak seperti pembayaran jizyah.
Lafaz Fa‘ala
Lafaz Fa‘ala digunakan untuk menunjukkan beberapa jenis perbuatan, buka satu perbuatan saja. Jadi pemakaian lafaz ini untuk meringkas kalimat. Misalnya ayat: (al-Mai’idah [5): 79). Arti lafaz ’fa‘ala” (yaf‘alun) dalam ayat ini mencakup segala kemungkaran yang mereka lakukan. Dan ayat: (alBaqarah (2]:24). Maksudnya, jika kamu tidak dapat mendatangkan sebuah surah pun yang sama dengan Qur’an dan kamu tidak akan dapat mendatangkannya… Apabila lafaz fa‘ala itu digunakan dalam firman Allah maka ia menunjukkan “ancaman keras’. Misalnya: (al-Fil [105]:1), dan (Ibrahim [14]:45).
Lafaz Kana
Seringkali lafaz kana dalam Qur’an digunakan berkenaan dengan Zat Allah dan sifat-sifat-Nya. Para ahli Nahwu dan yang lain berbeda pendapat tentang lafaz tersebut; apakah ia menunjukkan arti ingita‘ (terputus), sebagai berikut:
Pertama, kana” menunjukkan arti ingit@‘ sebab ia adalah fi’‘l atau kata kerja yang memberikan arti tajaddud, temporal.
Kedua, kana” tidak menunjukkan arti inqita‘ melainkan arti dawam (kekal, abadi). Ini pendapat yang dipilih oleh Ibn Mu’ti yang mengatakan dalam Alfiyah-nya: (“kana” menunjukkan peristiwa masa lampau yang tidak terputus).
Mengenai firman Allah: (al-Isra’ [17]:27) arRagib menyatakan, lafaz “kana” di sini menunjukkan bahwa setan sejak diciptakan senantiasa tetap berada dalam kekafiran.
Ketiga, kana” adalah suatu kata yang menunjukkan “adanya sesuatu pada masa lampau secara samar-samar, yang di dalamnya tidak ada petunjuk mengenai ketiadaan yang mendahuluinya atau keterputusannya yang datang kemudian.” Misalnya firman Allah: (al-Ahzab [33]:50). Pendapat ini dikemukakan oleh Zamakhsyari ketika menafsirkan firman-Nya: (Ali ‘Imran {3}: 110) dalam al-Kasysyaf.
Ibn ‘Atiyah menyebutkan dalam tafsir surah al-Fatihah, apabila “kana” digunakan berkenaan dengan sifat-sifat Allah, maka ia tidak mengandung unsur waktu.
Di antara pendapat-pendapat tersebut, yang benar ialah pendapat Zamakhsyari. Yaitu bahwa “kana” menunjukkan arti betapa eratnya hubungan makna kalimat yang mengikutinya dengan masa lampau, bukan arti yang lain, dan lafaz “kana” sendiri tidak menunjukkan terputus atau kekalnya makna tersebut. Dan jika menunjukkan makna demikian maka hal itu disebabkan ada “dalil” lain. Dengan makna inilah semua firman Allah yang menggunakan lafaz “kana” dalam Qur’an baik tentang sifat-sifat-Nya atau lainnya, harus diartikan. Misalnya:
(an-Nisa’ [4]:148),
(an-Nisa’ [4]:130),
(al-Ahzab [33]:59),
(al-Anbiya’ [21]:81) dan
(al-Anbiya’ [21]:78).
Apabila firman Allah berbicara tentang sifat-sifat manusia dengan lafaz “kana’’, maka yang dimaksud adalah menerangkan bahwa sifat-sifat tersebut bagi mereka sudah merupakan garizah (naluri) dan tabiat yang tertanam dalam jiwa. Misalnya firman Allah (al-Isra’ [17]:11); dan firman-Nya (al-Ahzab [33: 72). “
Abu Bakar ar-Razi telah mengkaji dengan seksama penggunaan “kana” dalam Qur’an dan menyimpulkan makna-makna yang terkandung dalam penggunaannya itu. Ila menjelaskan, di dalam Qur’an terdapat lima macam ’’kana”:
- Dengan makna azali dan abadi, misalnya firman Allah (an-Nisa’ [4]:170).
- Dengan makna terputus (terhenti), misalnya firman Allah: (an-Naml [27]:48). Inilah makna yang asli di antara makna-makna ”kana”’. Hal itu sebagaimana perkataan: (Adalah si Zaid itu seorang saleh, seorang fakir, seorang yang sakit, atau lainnya).
- Dengan makna masa sekarang, seperti dalam ayat: (Ali‘Imran [3]:110) dan (an-Nisa’ [4]:103).
- Dengan makna masa akan datang, seperti dalam ayat: (ad-Dahr [76]:7).
- Dengan makna sara (menjadi), seperti dalam ayat: (al-Baqarah (2):34).
”Kana” jika terdapat dalam kalimat negatif, maka maksudnya adalah untuk membantah atau menafikan kebenaran berita, bukan menafikan terjadinya berita itu sendiri. Oleh karenanya ia ditafsirkan dengan ” ” (tidak sah dan tidak benar), seperti dalam ayat:
(al-Anfal [8]:67),
(at-Taubah [9]:17) dan
(an-Nur [24]:16).
Lafaz Kada
Para ulama mempunyai beberapa pendapat tentang lafaz kada:
- “Kada”’ sama dengan fi‘l lainnya baik dalam hal nafi (negatif, meniadakan) maupun dalam hal isbat (positif, menetapkan). Positifnya adalah positif dan negatifnya adalah negatif, sebab maknanya adalah mugrabah (hampir, nyaris). Jadi makna kalimat adalah (ia menghampiri pekerjaan itu, hampir mengerjakan), dan makna kalimat ‘ adalah (ia tidak menghampiri pekerjaan itu, hampir tidak mengerjakannya). Predikat (khabar) “kada” selalu negatif, tetapi dalam kalimat positif kenegatifannya itu dipahami dari makna “kada” itu sendiri. Sebab berita tentang “hampirnya sesuatu’’, menurut kebiasaannya, berarti sesuatu tersebut tidak terjadi. Jika tidak demikian tentu tidak akan diberitakan ’’kehampirannya’’. Apabila ’’kada” itu dinegatifkan maka ketidakhampiran berbuat menghendaki, secara akal, bahwa perbuatan itu tidak terjadi. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh ayat: (anNur [24]:40). Karena itu ayat ini lebih intens dari kalimat (ia tidak melihatnya), sebab orang yang tidak melihat mungkin ia telah hampir melihatnya.
- “Kada’’ berbeda dengan fi‘l-fi‘l lainnya baik dalam hal positif maupun negatif. Positifnya adalah negatif dan negatifnya adalah posiuf. Atas dasar ini mereka berkata, ’’Kada” jika dipositifkan maka sebenarnya menunjukkan negatif, dan jika dinegatifkan maka ia menunjukkan positif. Jika dikatakan: maka artinya “ia tidak melakukan’’, berdasarkan firman Allah: (Dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu… — al-Isra’ [17]:73), sebab pada kenyataannya mereka tidak memalingkan Muhammad. Dan jika dikatakan: , maka artinya ”ia melakukan’’, berdasarkan ayat: (Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir Saja mereka tidak melakukannya. al-Baqarah [2]:71), sebab mereka melakukan penyembelihan itu.
- “Kada” yang dinegatifkan menunjukkan terjadinya sesuatu dengan susah payah dan sulit, seperti dalam surah al-Baqarah [2]:71 di atas.
- Dibedakan antara yang berbentuk muddri‘, ’’yakadu’’ dengan yang berbentuk madi, “kada’’. Menegatifkan bentuk mudari‘ menunjukkan arti negatif, namun menegatifkan yang berbentuk madi menunjukkan arti positif. Yang pertama dapat dilihat dalam ayat: mengingat ia tidak melihatnya sedikitpun. Sedang yang kedua didasarkan pada ayat: hal int karena mereka melakukan penyembelihan tersebut.
- “Kada” yang dinegatifkan adalah untuk menunjukkan arti positif jika lafaz yang sesudahnya berhubungan dan berkaitan dengan lafaz yang sebelumnya. Misalnya perkataan: (hampir aku tidak sampai ke Mekah sampai aku tawaf di Baitul Haram). Termasuk di antaranya adalah al-Baqarah [2]:71 di atas.
Lafaz Ja‘ala
“Ja‘ala” digunakan dalam Qur’an untuk beberapa makna:
- Dengan makna samma (menamakan), seperti dalam ayat: (al-Hijr [15]:91). Maksudnya, mereka menamakan Qur’an sebagai suatu kedustaan. Dan ayat: (az-Zukhruf [43]:19). Makna ini dibuktikan dengan ayat: (an-Najm [53]:27).
- Dengan makna aujada (menjadikan, mewujudkan) yang mempunyai satu maf‘ul (obyek). Perbedaan antara ’’khalaqa” (menciptakan) dengan “ja‘ala” yang bermakna aujada ini ialah bahwa ’’khalaqa” bermakna menciptakan yang mengandung arti taqdir (penentuan) serta tanpa ada contoh sebelumnya dan tidak didahului oleh materi atau sebab indrawi. Ini berbeda dengan ”ja‘ala’’. Allah berfirman: (al-An‘am [6]:1). Penggunaan kata ’ja‘ala” di sini Karena az-zulumat (kegelapan-kegelapan) dan annur (cahaya) berasal dari benda-benda. Keduanya ada karena adanya benda-benda itu, dan tiada karena tiadanya benda-benda tersebut.
- Dengan makna perpindahan dari satu keadaan ke keadaan lain dan makna tasyir (menjadikan), karenanya ia mempunyai dua maf‘dl. Perpindahan itu ada yang bersifat indrawi, seperti dalam ayat: (al-Baqarah [2}:22) dan ada pula yang bersifat aqli, seperti dalam ayat: (Sad [38]:5).
- Dengan makna i‘tiqad (beritikad, meyakini), seperti pada ayat: (al-An‘am [6]:100).
- Dengan makna menetapkan sesuatu atas sesuatu yang lain, baik benar maupun batil. Yang benar misalnya: (al-Qasas [28]:7). Dan yang batil misalnya dalam ayat: (al-An‘am [6]:136).
Lafaz La‘alla dan ‘Asa
“La‘alla” dan ‘Asa” digunakan untuk makna ar-raja’ (harapan) tama‘ (keinginan) dalam perkataan sesama manusia jika mereka meragukan beberapa hal yang mungkin tetapi tidak dapat memastikan mana yang terjadi di antaranya. Dan jika dihubungkan dengan atau digunakan dalam firman Allah, maka dalam hal ini ada beberapa pendapat:
- Menunjukkan sesuatu hal yang sudah dan pasti terjadi, sebab penisbahan segala sesuatu kepada Allah adalah penisbahan yang mengandung kepastian dan keyakinan.
- Menunjukkan makna harapan sebagaimana arti aslinya, tetapi hal ini jika dilihat dari sudut “mukhatab” (lawan bicara, dalam hal ini manusia).
- Di banyak tempat kedua lafaz itu menunjukkan ta‘lil (alasan), seperti dalam ayat: (al-Isra’ [17]:79) dan (al-Ma’ idah [5]:100).
Allah menurunkan Qur’an kepada hamba-Nya agar ia menjadj pemberi peringatan bagi semesta alam. Ia menggariskan bagi makhluk. Nya itu akidah yang benar dan prinsip-prinsip yang lurus dalam ayat. ayat yang tegas keterangannya dan jelas ciri-cirinya. Itu semua merupakan karunia-Nya kepada umat manusia, di mana Ia menetapkan bagi mereka pokok-pokok agama untuk menyelamatkan akidah mereka dan menerangkan jalan lurus yang harus mereka tempuh. Ayat-ayat tersebut adalah Ummul Kitab yang tidak diperselisihkan lagi pemahamannya demi menyelamatkan umat Islam dan menjaga eksistensinya. Firman-Nya:
”Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui.” (Fussilat [41]:3).
Pokok-pokok agama tersebut di beberapa tempat dalam Qur’an terkadang datang dengan lafaz, ungkapan dan uslub (gaya bahasa) yang berbeda-beda tetapi maknanya tetap satu. Maka sebagiannya serupa dengan sebagian yang lain tetapi maknanya cocok dan serasi.
Tak ada kontradiktif di dalamnya. Adapun mengenai masalah cabang (furu‘) agama yang bukan masalah pokok, ayat-ayatnya ada yang bersifat umum dan samar-samar (mutasyabih) yang memberikan peluang bagi para mujtahid yang handal ilmunya untuk dapat mengembalikannya kepada yang tegas maksudnya (muhkam) dengan cara mengempalikan masalah cabang kepada masalah pokok, dan yang bersifat partikal (juz’i) kepada yang bersifat universal (kulli). Sementara itu beberapa hati yang memperturutkan hawa nafsu tersesat dengan ayat yang mutasyabih ini. Dengan ketegasan dan kejelasan dalam masalah pokok dan keumuman dalam masalah cabang tersebut, maka Islam menjadi agama abadi bagi umat manusia yang menjamin baginya kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat, di sepanjang masa dan waktu.
Muhkam dan Mutasyabih dalam Arti Umum
Menurut bahasa muhkam berasal dari kata-kata: yang artinya saya menahan binatang itu. Kata al-hukm berarti memutuskan antara dua hal atau perkara. Maka hakim adalah orang yang mencegah yang zalim dan memisahkan antara dua pihak yang bersengketa, serta memisahkan antara yang hak dengan yang batil dan antara kebenaran dan kebohongan. Dikatakan: artinya saya memegang kedua tangan orang dungu. Juga dikatakan: artinya saya memasang “hikmah” pada binatang itu. Hikmah dalam ungkapan ini berarti kendali yang dipasang pada leher, ini mengingat bahwa ia berfungsi untuk mencegahnya agar tidak bergerak secara liar. Dari pengertian inilah lahir kata hikmah, karena ia dapat mencegah pemiliknya dari hal-hal yang tidak pantas.
Muhkam berarti (sesuatu) yang dikokohkan. Ihkam al-kalam berarti mengokohkan perkataan dengan memisahkan berita yang benar dari yang salah, dan urusan yang lurus dari yang sesat. Jadi, kalam muhkam adalah perkataan yang seperti itu sifatnya.
Dengan pengertian inilah Allah mensifati Qur’an bahwa seluruhnya adalah muhkam sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:
“Alif Lam Ra’. (Inilah) sebuah kitab yang ayat-ayatnya di-muhkam-kan, dikokohkan serta dijelaskan secara rinci, diturunkan dari sisi (Allah) Yang Mahabijaksana lagi Mahatahu.’’ (Hud [11]:1).
“Alif Lam Ra’. Inilah ayat-ayat Qur’an yang mengandung hikmah. (Yunus [10]:1).
“Qur’an itu seluruhnya muhkam’’, maksudnya Qur’an itu Katakatanya kokoh, fasih (indah dan jelas) dan membedakan antara yang hak dengan yang batil dan antara yang benar dengan yang dusta. Inilah yang dimaksud dengan al-ihkam al-‘amm atau muhkam dalam arti umum.
Mutasyabih secara bahasa berarti tasyabuh, yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Dan syubhah ialah keadaan di mana salah satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya kemiripan di antara keduanya secara konkrit maupun abstrak. Allah berfirman: (al-Baqarah [2]:25). Maksudnya, sebagian buah-buahan surga itu serupa dengan sebagian yang lain dalam hal warna, tidak dalam hal rasa dan hakikat. Dikatakan pula mutasyabih adalah mutamaSil (sama) dalam perkataan dan keindahan. Jadi, tasyabuh al-kalam adalah kesamaan dan kKesesuaian perkataan, karena sebagiannya membetulkan sebagian yang lain.
Dengan pengertian inilah Allah mensifati Qur’an bahwa seluruhnya adalah mutasyabih, sebagaimana ditegaskan dalam ayat: (az-Zumar [39]:23).
Dengan demikian, maka ”Qur’an itu’ seluruhnya mutasyabih’’, maksudnya Qur’an itu sebagian kandungannya serupa dengan sebagian yang lain dalam kesempurnaan dan keindahannya, dan sebagiannya membenarkan sebagian yang lain serta sesuai pula maknanya. Inilah yang dimaksud dengan at-tasyabuh al-‘amm atau mutasyabih dalam arti umum.
Masing-masing muhkam dan mutasyabih dengan pengertian secara mutlak atau umum sebagaimana di atas ini tidak menafikan atau kontradiksi satu dengan yang lain. Jadi, pernyataan ”Qur’an itu seluruhnya muhkam” adalah dengan pengertian itgan (kokoh, indah), yakni ayat-ayatnya serupa dan sebagiannya membenarkan sebagian yang lain. Hal ini karena “kalam yang muhkam dan mutqan” berarti makna-maknanya sesuai sekalipun lafaz-lafaznya berbeda-beda. Jika Qur’an memerintahkan sesuatu hal maka ia tidak akan memerintahkan kebalikannya di tempat lain, tetapi ia akan memerintahkannya pula atau yang serupa dengannya. Demikian pula dalam hal larang dan berita. Tidak ada pertentangan dan perselisihan dalam Qur’an. FirmanNya:
“Dan seandainya Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka akan mendapatkan banyak pertentangan di dalamnya.”’ (anNisa’ [4]:82).
Muhkam dan Mutasyabih dalam Arti Khusus
Dalam Qur’an terdapat ayat-ayat yang muhkam dan mutasyabih dalam arti Khusus, sebagaimana disinyalir dalam firman Allah:
“Dialah yang menurunkan al-Kitab (Qur’an) kepadamu. Di antara (isi)-nya ada ayat-ayat muhkamat, itulah pokok-pokok isi Qur’an dan yang (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat daripadanya untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: Kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat. Semuanya itu dari sisi Tuhan kami…” (Ahi ‘Imran [3]:7).
Mengenai pengertian mubkam dan mutasyabih terdapat banyak perbedaan pendapat. Yang terpenting di antaranya sebagai berikut:
- Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, sedang mutasyabih hanyalah diketahui maksudnya oleh Allah sendiri.
- Muhkam adalah ayat yang hanya mengandung Satu wajah, sedang mutasyabih mengandung banyak wajah.
- Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung, tanpa memerlukan keterangan lain, sedang mutasyabih tidak demikian; ia memerlukan penjelasan dengan merujuk kepada ayat-ayat lain.
Para Ulama memberikan contoh ayat-ayat muhkam dalam Qur’an dengan ayat-ayat nasikh, ayat-ayat tentang halal, haram, hudud (hukuman), kewajiban, janji dan ancaman. Sementara untuk ayat-ayat mutasyabih mereka mencontohkan dengan ayat-ayat mansukh dan ayat-ayat tentang Asma’ Allah dan sifat-sifat-Nya, antara lain:
“Ar-Rahman bersemayam di atas ‘Arsy.” (Ta Ha [20]:5).
“Segala sesuatu. pasti binasa kecuali wajah-Nya.”’ (al-Qasas [28]:88),
“Tangan Allah di atas tangan mereka.” (al-Fath [48]:10),
“dan Dialah yang berkuasa di atas hamba-hamba-Nya.” (al-An‘an, [6]:18).
“dan datanglah Tuhanmu.” (al-Fajr [89]:22),
“Ayah memarahi mereka.” (al-Fath [48]:6).
“Allah rida terhadap mereka.” (al-Bayyinah (98]:8) dan
“Maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu.” (Ali ‘Imran (3]:31).
Dan masih banyak lagi ayat lainnya. Termasuk di dalamnya permulaan beberapa surah yang dimulai dengan huruf-huruf Hija’iyah dan hakikat hari kemudian serta ‘ilmus-sa‘ah.
Perbedaan Pendapat tentang Kemungkinan Mengetahui Mutasyabih
Sebagaimana terjadi perbedaan pendapat tentang pengertian muhkam dan mutasyabih dalam arti khusus, perbedaan pendapat mengenai kemungkinan maksud ayat yang mutasyabih pun tidak dapat dihindarkan. Sumber perbedaan pendapat ini berpangkal pada masalah waqaf dalam ayat: Apakah kedudukan lafaz ini sebagai mubtada’ yang khabarnya adalah dengan “wawu’’ diperlakukan sebagai huruf isti’naf (permulaan) dan wagqaf dilakukan pada lafaz , Ataukah ia ma‘tuf, sedang lafaz menjadi hal dan waqafnya pada lafaz
Pendapat pertama diikuti oleh sejumlah ulama. Di antaranya Ubai bin Ka‘b, Ibn Mas‘ud, Ibn Abbas, sejumlah sahabat, tabi‘in dan lainnya. Mereka beralasan, antara lain, dengan keterangan yang diriwayatkan oleh al-Hakim dalam Mustadrak-nya, bersumber dari Ibn Abbas, bahwa ia membaca:
Dan dengan qiraah Ibn Mas‘ud: Juga dengan ayat itu sendiri yang menyatakan celaan terhadap orang-orang yang mengikuti mutasyabih dan menyifatinya sebagai orang-orang yang hatinya “condong kepada kesesatan dan berusaha menimbulkan fitnah.”
*Dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah membaca ayat ini acgf coal m eS Nile sampai dengan ae)” If. Kemudian berkata: ’Apabila ka. mu melihat orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat mereka itulah yang disinyalir Allah. Maka waspadalah terhadap mereka.”
Pendapat kedua (yang menyatakan “wawu” sebagai huruf ‘ataf) dipilih oleh segolongan ulama lain yang dipelopori oleh Mujahid.
Diriwayatkan dari Mujahid, ia berkata: Saya telah membacakan mushaf kepada Ibn Abbas mulai dari Fatihah sampai tamat. Saya pelajari sampai paham setiap ayatnya dan saya tanyakan kepadanya tentang tafsirannya.
Pendapat ini dipilih juga oleh an-Nawawi. Dalam Syarah Muslim-nya ia menegaskan, inilah pendapat yang paling sahih, karena tidak mungkin Allah menyeru hamba-hamba-Nya dengan sesuatu yang tidak dapat diketahui maksudnya oleh mereka.
Kompromi antara Dua Pendapat dengan Memahami Makna Takwil
Dengan merujuk kepada makna takwil (at-ta’wil) maka akan jelaslah bahwa antara kedua pendapat di atas itu tidak terdapat pertentangan, karena lafaz “takwil” digunakan untuk menunjukkan tiga makna:
- Memalingkan sebuah lafaz dari makna yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjih) karena ada suatu dalil yang menghendakinya. Inilah pengertian takwil yang dimaksudkan oleh mayoritas ulama muta’akhkhirin.
- Takwil dengan makna tafsir (menerangkan, menjelaskan), yaitu pembicaraan untuk menafsirkan lafaz-lafaz agar maknanya dapat dipahami.
- Takwil adalah hakikat (substansi) yang kepadanya pembicaraan dikembalikan. Maka, takwil dari apa yang diberitakan Allah tentang gat dan sifat-sifat-Nya ialah hakikat zat-Nya itu sendiri yang kudus dan hakikat sifat-sifat-Nya. Dan takwil dari apa yang diberitakan Allah tentang hari kemudian adalah substansi yang ada pada _ hari kemudian itu sendiri. Dengan makna inilah diartikan ucapan Aisyah:
”Rasulullah mengucapkan di dalam ruku‘ dan sujudnya, “Subhanaka Allahumma rabbana wa bi hamdika. Allahumagfir.” Bacaan ini sebagai takwil beliau terhadap Qur’an, yakni firman Allah, ”Fa sabbih bi hamdi rabbika wastagfirhu, innahu kana tawwaba.” (an-Nasr (110]:3).° Golongan yang mengatakan bahwa waqaf dilakukan pada lafaz dan menjadikan sebagai isti’naf (permulaan kalimat) mengatakan, “takwil” dalam ayat ini ialah takwil dengan pengertian yang ketiga, yakni hakikat yang dimaksud dari sesuatu perkataan. Karena itu hakikat zat Allah, esensi-Nya, kaifiyat nama dan sifat-Nya serta hakikat hari kemudian, semua itu tidak ada yang mengetahuinya selain Allah sendiri.
Sebaliknya, golongan yang mengatakan “waqaf’ pada lafaz dengan menjadikan ’wawu” sebagai huruf ’ataf, bukan isti’naf, mengartikan kata takwil tersebut dengan arti kedua, yaitu tafsir, sebagaimana dikemukakan Mujahid, seorang tokoh ahli tafsir terkemuka. Mengenai Mujahid ini as-Sauri berkata: “Jika datang kepadamu tafsir dari Mujahid, maka cukuplah tafsir itu bagimu.” Jika dikatakan, ia mengetahui yang mutasyabih, maka maksudnya ialah bahwa ia mengetahui tafsirannya.
Dengan pembahasan ini jelaslah bahwa pada hakikatnya tidak ada pertentangan antara kedua pendapat tersebut. Dan masalahnya ini hanya berkisar pada perbedaan arti takwil.
Dalam Qur’an terdapat lafaz-lafaz mutasyabih yang makna-maknanya serupa dengan makna yang kita Ketahui di dunia, akan tetapi hakikatnya tidaklah sama. Misalnya asma Allah dan sifat-sifat-Nya; meskipun serupa dengan nama-nama hamba dan sifat-sifatnya dalam hal lafaz dan makna kulli (universal)-nya akan tetapi hakikat Khalik dan sifat-sifat-Nya itu sama sekali tidak sama dengan hakikat makhluk dan sifat-sifatnya. Para ulama peneliti memahami betul makna lafazlafaz tersebut dan dapat membeda-bedakannya. Namun hakikat sebenarnya merupakan takwil yang hanya diketahui Allah. Oleh Karena itu ketika ditanyakan kepada Malik dan ulama_ salaf lainnya_ tentang makna istiwa’ dalam firman Allah: mereka menjawab: ’Maksud istiwa’ (bersemayam) telah kita ketahui, namun mengenai bagaimana caranya kita tidak mengetahuinya. Iman kepadanya adalah wajib dan menanyakannya adalah bid‘ah.” Rabi‘ah bin Abdurrahman, guru Malik, jauh sebelumnya pernah berkata: ’Arti istiwa’ sudah kita ketahui, tetapi bagaimana caranya tidak diketahui. Hanya Allahlah yang mengetahui apa sebenarnya. Rasul pun hanya menyampaikan, sedang kita wajib mengimaninya.” Jadi, jelaslah bahwa arti istiwa” itu sendiri sudah diketahui tetapi caranyalah yang tidak diketahul.
Demikian juga halnya berita-berita dari Allah tentang hari kemudian. Di dalamnya terdapat lafaz-lafaz yang makna-maknanya serupa dengan apa yang kita kenal, akan tetapi hakikatnya tidaklah sama. Misalnya, di akhirat terdapat mizan (timbangan), jannah (taman) dan nur (api). Dan di dalam taman itu terdapat ’’sungai-sungai air yang tidak berubah rasa dan baunya, sungai-sungai air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai khamar yang lezat rasanya bagi para peminumnya dan sungai-sungai madu yang disaring.” (al-Qital [47]:15). “Di dalamnya ada tahta-tahta yang ditinggikan, dan gelasgelas yang terletak (di dekatnya) dan bantal-bantal sandaran yang tersusun dan permadani-permadani yang terhampar.”’ (al-Gasyiyah [88]: 13-16).
Berita-berita itu harus kita yakini dan imani, di samping juga harus diyakini bahwa yang gaib itu lebih besar daripada yang nyata, dan segala apa yang ada di akhirat adalah berbeda dengan apa yang ada di dunia. Namun hakikat perbedaan ini tidak kita ketahui karena termasuk “takwil” yang hanya diketahui oleh Allah.
Takwil yang Tercela
Takwil yang tercela adalah takwil dengan pengertian pertama, memalingkan lafaz dari makna rajih kepada makna marjuh karena ada dalil yang menyertainya. Takwil semacam ini banyak dipergunakan oleh sebagian besar ulama muta’akhkhirin, dengan tujuan untuk lebih memahasucikan Allah s.w.t. dari keserupaan-Nya dengan makhluk seperti yang mereka sangka. Dugaan ini sungguh batil karena dapat menjatuhkan mereka ke dalam kekhawatiran yang sama dengan apa yang mereka takuti, atau bahkan lebih dari itu. Misalnya, ketika mentakwilkan “’tangan” (al-yad) dengan kekuasaan (al-qudrah). Maksud mereka adalah untuk menghindarkan penetapan ’’tangan” bagi Khalik mengingat makhluk pun memiliki tangan. Oleh karena lafaz al-Yad) ini bagi mereka menimbulkan kekaburan maka ditakwlikanlah dengan al-qudrah. Hal semacam ini mengandung kontradikuf, karena memaksa mereka untuk menetapkan sesuatu makna yang serupa dengan makna yang mereka sangka harus ditiadakan, mengingat makhluk pun mempunyai kekuasaan, al-qudrah, pula. Apabila qudrah yang mereka tetapkan itu hak dan mungkin, maka penetapan tangan bagi Allah pun hak dan mungkin. Sebaliknya, jika penetapan ’’tangan” dianggap batil dan terlarang karena menimbulkan keserupaan menurut dugaan mereka, maka penetapan “kekuasaan” juga batil dan terlarang. Dengan demikian, maka tidak dapat dikatakan bahwa lafaz ini ditakwilkan, dalam arti dipalingkan dari makna yang rajih kepada makna yang marjuh.
Celaan terhadap para penakwil yang datang dari para ulama salaf dan lainnya itu ditujukan kepada mereka yang menakwilkan lafazlafaz yang kabur maknanya bagi mereka, tetapi tidak menurut takwil yang sebenarnya, sekalipun yang demikian tidak kabur bagi orang lain.
Sistem tasyri‘ (penetapan perundang-undangan) dan hukum agama mempunyai sasaran tertentu, kepada siapa hukum itu ditujukan. Terkadang suatu hukum perundang-undangan mengandung sejumlah karakteristik yang menjadikannya bersifat umum dan meliputi setiap individu dan atau cocok bagi semua keadaan. Dan terkadang pula Sasaran itu terbatas dan khusus. Maka diktum hukum kategori kedua ini tetap bersifat umum namun kemudian diikuti diktum lain yang menjelaskan keterbatasannya atau mempersempit cakupannya. Keindahan retorika bahasa Arab dan kemampuannya dalam memvariasikan seruan serta menjelaskan sasaran dan tujuan, merupakan salah satu manifestasi kekuatan bahasa tersebut dan kekayaan khazanahnya. Apabila hal demikian dihubungkan dengan kalam Allah yang mukjizat, maka pengaruhnya dalam jiwa merupakan tanda kemukjizatan tersendiri, yakni kemukjizatan tasyri‘i di samping kemukjizatan dari segi bahasa.
Pengertian ‘Amm dan Sigat Umum
‘Amm adalah lafaz yang menghabiskan atau mencakup segala apa yang pantas baginya tanpa ada pembatasan.
Para ulama berbeda pendapat tentang “makna umum”, apakah dj dalam bahasa ia mempunyai sigat (bentuk lafaz) khusus untuk menunjukkannya atau tidak?
Sebagian besar ulama berpendapat, di dalam bahasa terdapat sigat-sigat tertentu yang secara hakiki dibuat untuk menunjukkan makng ymum dan dipergunakan secara majaz pada selainnya. Untuk mendukung pendapatnya ini mereka mengajukan sejumlah argumen dari dalil-dalil nassiyah, ijma‘iyah dan ma‘nawiyah.
- Di antara dalil-dalil nassiyah ialah firman Allah:
“Dan Nuh berseru kepada Tuhannya seraya berkata: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim paling adil.’ Allah berfirman: ‘Hai Nuh, sesungguhnya ia tidak termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan).’” (Hud [11]:45-46).
Aspek yang dijadikan dalil dari ayat ini ialah bahwa Nuh menghadap kepada Allah dengan permohonan tersebut karena ia berpegang pada firman-Nya:
“Sesungguhnya Kami akan menyelamatkan kamu dan keluargamu.” (al-‘Ankabut (29]:33). Allah membenarkan apa yang dikatakan Nuh. Karena itu la menjawab dengan pernyataan yang menunjukkan bahwa anaknya itu tidak termasuk keluarga. Seandainya iddfah (penyandaran) kata “keluarga” kepada “Nuh” (keluargaku, keluarga Nuh) tidak menunjukkan makna umum, maka jawaban Allah tersebut tidak benar.
Juga firman-Nya:
“Dan tatkala utusan Kami (para malaikat) datang kepada Ibrahim membawa kabar gembira, mereka mengatakan: ’Sesungguhnyag kami akan menghancurkan negeri (Sodom) ini. Sungguh penduduknya adalah orang-orang zalim.’ Berkata Ibrahim: ‘Sesungguhnya di kota itu ada Lut.’ Para malaikat itu berkata: ’Kami lebih mengetahui siapa yang ada di kota itu. Kami sungguh akan menyelamatkan dia dan keluarganya kecuali istrinya. la adalah termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan).’” (al-‘Ankabut [29]:31-32).
Segi yang dijadikan dalil ialah bahwa Ibrahim memahami ucapan para malaikat, ahlu hdzihil-qgaryah (penduduk negeri ini), adalah umum, di mana ia menyebutkan Lut. Para malaikat pun mengakui pemahaman demikian dan menjawab bahwa mereka akan memperlakukan secara khusus Lut dan keluarganya, dengan mengecualikannya dari golongan yang akan dihancurkan dan mengecualikan istri Lut dari orang-orang yang diselamatkan. Ini semua menunjukkan makna umum.
- Di antara dalil-dalil ijma‘iyah ialah ijma‘ (konsensus) sahabat bahwa firman Allah:
”Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.” (an-Nur [24]:2), dan firman-Nya:
a). Kull, seperti firman Allah: (Ali ‘Imran [3]: 185) dan (al-An‘am (6]:102). Searti dengan “kull” adalah jami‘.
b). Lafaz-lafaz yang di-ma‘rifah-kan dengan al yang bukan al ‘ahdiyah, Misalnya: (al-“Asr [103]:1-2). Maksudnya, setiap manusia, berdasarkan ayat selanjutnya: (al ‘Asr (103]:3). Juga seperti: (al-Bagarah [2}:275) dan (al-Ma’idah (5]:38).
c). Isim nakirah dalam konteks nafy dan nahi, seperti: (al-Bagarah (2]:197), (al Isra’ [17}:23). Atau dalam konteks syarat, seperti: (al-Bara’ah [9]:6).
d). Al-Lati ( ) dan al-lazi ( ) serta cabang-cabangnya. Misalnya: (al-Ahqaf [46]:17). Maksudnya, setiap orang yang mengatakan seperti itu, berdasarkan firman sesudahnya dalam sigat jamak, yaitu: (al-Ahqaf [46]:18), (an-Nisa” [4]:16), dan (at-Tala [65]:4).
e). Semua isim syarat. Misalnya: Ini untuk menunjukkan umum bagi semua yang berakal. Dan (al-Baqarah [2]:197). Ini untuk menunjukkan umum bagi yang tidak berakal. Juga firmanNya: (al-Baqarah [2]:150). Ini untuk menunjukkan umum bagi tempat. Dan: (alIsra’ [17]:110).
f). Ismul-Jins (kata jenis) yang di-idafat-kan kepada isim ma‘rifah. Misalnya: (an-Nur [24]:63). Maksudnya, segala perintah Allah. Dan: (an-Nisa’ [4]:11).
Macam-macam ‘Amm
‘Amm terbagi atas tiga macam:
- ‘Amm yang tetap dalam keumumannya (al ‘Amm al-baqi ‘ald ‘umamih). Qadi Jalaluddin: al Balqini mengatakan, ‘Amin seperti ini jarang ditemukan, scbab tidak ada satu pun lafaz ‘amm_ kecuali di dalamnya terdapat takhsis (pengkhususan). Tetapi Zarkasyi dalam alBurhan mengemukakan, ‘Amm demikian banyak terdapat dalam Qur’an. la mengajukan beberapa contoh, antara lain: (an-Nisa’ [4]:176), (al-Kahfi [18]:49) dan (an-Nisa’ [4]:23). ‘Amm dalam ayat-ayat ini tidak mengandung kekhususan.
- ‘Amm yang dimaksud khusus (al-‘amm al-murad bihi al Khusus). Misalnya firman Allah: (Ali ‘Imran [3]:173). Yang dimaksud dengan ”an-nas” yang pertama adalah Nu‘aim bin Mas‘ud, sedang ”an-nas” kedua adalah Abu Sufyan. Kedua lafaz tersebut tidak dimaksudkan untuk makna umum. Kesimpulan ini ditunjukkan lanjutan ayat sesudahnya, sebab isyarah dengan Zalikum ( ) hanya menunjuk kepada satu orang tertentu. Seandainya yang dimaksud adalah banyak, jamak, tentulah akan dikatakan Demikian juga: (Ali ‘Imran [3]:39). Yang memanggil Maryam di sini adalah Jibril sebagaimana terlihat dalam qira’ah Ibn Mas‘ud. Juga ayat: (al-Baqarah [2]:199). Sebab, yang dimaksud dengan “an-nas” adalah Ibrahim atau orang Arab selain Quraisy.
- ‘Amm yang dikhususkan (al-‘amm al-makhsas). ‘Amm macam ini banyak ditemukan dalam Qur’an sebagaimana akan dikemukakan nanti. Di antaranya adalah: (al-Bagarah [2]:187), dan (Ali ‘Imran [3]:97).
Perbedaan antara al-‘Amm al-murdd bihil-khustis dengan al‘Amm al-makhsiis
Perbedaan antara al-‘dmm al-murdd bihil-khusus dengan al-‘amm al-makhsiis dapat dilihat dari beberapa segi. Antara lain:
a). Yang pertama tidak dimaksudkan untuk mencakup semua satuan atau individu yang dicakupnya sejak semula, baik dari segi cakupan makna lafaz maupun dari hukumnya. Lafaz tersebut memang mempunyal individu-individu namun ia digunakan hanya untuk satu atau lebih individu. Sedang yang kedua dimaksudkan untuk menunjukkan makna umum, meliputi semua individunya, dari segi cakupan makna lafaz, tidak dari segi hukumnya. Maka lafaz ”an-nas” dalam firman Allah: , meskipun bermakna umum tetapi tidak dimaksudkan, baik secara lafaz maupun secara hukum, kecuali hanya seorang saja. Lain halnya dengan lafaz “an-nas” dalam ayat , maka ia adalah lafaz umum yang dimaksudkan untuk mencakup satuan-satuan yang terjangkau olehnya, meskipun kewajiban haji hanya meliputi orang yang mampu di antara mereka secara khusus.
b). Yang pertama adalah majdz secara pasti, karena ia telah beralin dari makna aslinya dan dipergunakan untuk sebagian satuan-satuannya saja. Sedang yang kedua, menurut pendapat yang lebih sahih, adalah hakikat. Inilah pendapat sebagian besar ulama Syafi‘l, mayoritas ulama Hanafi dan semua ulama Hanbali. Pendapat ini dinukil pula oleh Imam Haramain dari semua Fuqaha’. Menurut Abu Hamid al-Gazali, pendapat tersebut adalah pendapat mazhab Syafi‘i dan murid-muridnya, dan dinilai sahih oleh as-Subki. Hal ini dikarenakan Jangkauan lafaz kepada sebagian maknanya yang tersisa, sesudah dikhususkan, sama dengan jangkauannya terhadap sebagian makna tersebut tanpa pengkhususan. Oleh karena jangkauan Jafaz seperti ini bersifat hakiki menurut konsensus ulama, maka jangkauan seperti itu pun hendaknya dipandang hakiki pula.
c). Qarinah bagi yang pertama pada umumnya bersifat ‘aqliyah dan tidak pernah terpisah, sedang qarinah bagi yang kedua bersifat lafziyah dan terkadang terpisah.
Pengertian Khass dan Mukhassis
Khass adalah lawan kata ‘amm, karena ia tidak menghabiskan semua apa yang pantas baginya tanpa pembatasan. Takhsis adalah mengeluarkan sebagian apa yang dicakup lafaz ‘amm. Dan mukhassis (yang mengkhusiskan) adakalanya muttasil, yaitu yang antara ‘amm dengan mukhassis tidak dipisah oleh sesuatu hal, dan adakalanya munfasil, yaiy kebalikan dari muttasil.
Mukhassis muttasil ada lima macam:
a). Istisna’ (pengecualian), seperti firman Allah: (an-Nur (24]:4-5), dan (al-Ma’idah [5]:33-34).
b). Sifat, misalnya: (an-Nisa’ [4]:23). Lafaz “al-lati dakhaltum bihinna” adalah sifat bagi lafaz “nisa’ikum”. Maksudnya, anak perempuan istri yang telah digauli itu haram dinikahi oleh suami, dan halal bila belum menggaulinya.
c). Syarat Misalnya: (al-Bagarah [2]:180). Lafaz “in taraka khairan” (jika ia meninggalkan harta) adalah syarat dalam wasiat Dan (anNur [24]:33), yakni mengetahui adanya kesanggupan untuk membayar atau kejujuran dan penghasilan.
d). Gayah (batas sesuatu), seperti dalam: (al-Bagarah [2]:196) dan (al-Baqarah [2]:222).
e). Badal ba‘d min kull (sebagian yang menggantikan keseluruhan). Misalnya: (Ali ‘Imran (3): 97). Lafaz man istata‘a” adalah badal dari an-nas”. Maka kewajiban haji hanya khusus bagi mereka yang mampu.
Mukhassis munfasil adalah mukhassis yang terdapat di tempat lain, baik ayat, hadis, ijma‘ ataupun qiyas. Contoh yang ditakhsis oleh Qur’an ialah: (al-Bagarah [2]:228), Ayat ini adalah “amm, mencakup setiap istri yang dicerai baik dalam keadaan hamil maupun tidak, sudah digauli maupun belum. Tetapj keumuman ini ditakhsis oleh ayat: (at. Talaq [65}:4), dan firman-Nya:
Contoh yang ditakhsis oleh hadis ialah ayat: (al-Baqarah [2]:275). Ayat ini ditakhsis oleh jual beli yang fasid sebagaimana disebutkan dalam sejumlah hadis. Antara lain disebutkan dalam kitab Sahih Bukhari, dari Ibn Umar, ia berkata: ’Rasulullah melarang mengambil upah dari air mani kuda jantan.”
Dalam Sahihain diriwayatkan dari Ibn Umar bahwa Rasulullah melarang jual beli kandungan binatang yang mengandung, jual beli yang biasa dilakukan orang jahiliah. Biasanya seseorang membeli seekor unta sampai unta itu melahirkan, kemudian anaknya itu beranak pula. (Redaksi hadis ini adalah redaksi Bukhari). Dan hadis-hadis lainnya.
Dan dari jenis riba (yang secara umum diharamkan dalam ayat di atas – peny.) didispensasikanlah jual beli ‘ariyah, yakni menjual kurma basah yang masih di pohon dengan kurma kering. Jual beli ini diperkenankan (mubah) oleh sunnah.
“Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah memberi keringanan untuk jual ‘ariyah dengan ukuran yang sama jika kurang dari lima wasaq.”” (Muttafaq ‘alaih).
Contoh ‘amm yang ditakhsis oleh ijma‘ adalah ayat kewarisan, (an-Nisa’ [4]:11). Berdasarkan ijma’, budak tidak mendapat warisan karena sifat budak merupakan faktor penghalang hak waris.
Sedang yang ditakhsis oleh qiyas adalah ayat tentang zina: (an-Nur [24]:2). Budak laki-laki ditakhsis (dikeluarkan dari ketentuan umum ayat ini) karena diqiyaskan kepada budak perempuam yang pentakhsisannya ditegaskan dalam ayat: (an-Nisa’ [4]:25).
Takhsis Sunnah dengan Qur’an
Terkadang ayat Qur’an mentakhsis, membatasi, keumuman sunnah. Para ulama mengemukakan contoh dengan hadis riwayat Abu Wagid al-Laisi. Ia menjelaskan: Nabi berkata:
“Bagian apa saja yang dipotong dari hewan ternak hidup maka ia adalah bangkai.”
Hadis ini ditakhsis oleh ayat:
“Dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu unta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu).” (an-Nahl [16]:80).
Sah Berhujjah dengan ‘Amm Sesudah Ditakhsis terhadap Sisanya
Para ulama berbeda pendapat tentang sah-tidaknya berhujjah dengan lafaz ‘amm sesudah ditakhsis, terhadap sisanya. Pendapat yang dipilih para ahli ilmu menyatakan, sah berhujjah dengan ‘amm terhadap apa (makna yang termasuk dalam ruang lingkupnya) yang di luar kategori yang dikhususkan. Mereka mengajukan argumentasi be. rupa ijma‘ dan dalil ‘aqli.
- Salah satu dalil ijma‘ ialah bahwa Fatimah r.a. menuntut ke. pada Abu Bakar hak waris dari ayahnya berdasarkan keumuman (an-Nisa’ [4]:11). Makna ayat inj telah ditakhsis dengan orang kafir dan orang yang membunuh. Namun tidak seorang sahabat pun mengingkari keabsahan hujjah Fatimah, padahal apa yang dilakukan Fatimah ini cukup jelas dan masyhur, karenanya hal demikian dipandang sebagai ijma‘. Oleh karena itu dalam berhujah bagi ketidakberolehnya Fatimah akan hak waris Aby Bakar beralih hujjah kepada sabda Nabi s.a.w.:
“Kami para nabi, tidak mewariskan. Apa yang kami tinggalkan menjadi sedekah.”
- Di antara dalil ‘aqli ialah bahwa lafaz ‘amm _ sebelum ditakhsis merupakan hujjah bagi setiap satuan (makna yang tercakup dalam ruang lingkup)-nya menurut ijma‘ ulama. Dan pada dasarnya, keadaan sebelum takhsis tetap berlaku setelah ada takhsis, kecuali jika ada dalil yang menyatakan kebalikannya. Dan dalam hal ini tidak ada dalil demikian. Kerena itu, ‘amm sesudah ditakhsis tetap menjadi hujjah bagi sisanya.
Cakupan Khitab
Para ulama berbeda pendapat tentang khitab (seruan) yang ditujukan secara khusus kepada Nabi s.a.w., seperti: (al-Ahzab (33]:1) dan (al-Ma’idah [5]:41); apakah khitab ini mencakup seluruh umat ataukah tidak?
- Segolongan ulama berpendapat, mencakup seluruh umat karena Rasulullah adalah panutan (qudwah) mereka.
- Golongan lain berpendapat, tidak mencakup mereka, karena sigat-nya menunjukkan kekhususannya bagi Rasulullah.
Di samping itu, mereka juga tidak sependapat mengenai khitab Allah dengan “YA ayyuhan-nas”, misalnya: (an-Nisa’ [4]:1); apakah ia mencakup Rasulullah atau tidak? Menurut pendapat sahih, khitab tersebut mencakup Rasulullah juga mengingat maknanya yang umum, meskipun khitab itu sendiri datang melalui lisannya untuk disampaikan kepada orang lain (umat).
Sementara itu ulama yang lain memberikan garis pemisah; jika disertai kata “qul (katakanlah)” maka ia tidak mencakup Rasul, karena secara lahir khitab tersebut untuk disampaikan. Misalnya: (al-A‘raf [7]:158). Dan jika tidak disertai dengan “qul” maka ia mencakup Rasulullah.
Demikian juga terjadi silang pendapat tentang khitab yang ditujukan kepada “manusia” atau kepada “orang-orang mukmin”. Misalnya: (al-Hujurat (49): 13) dan (al-Ma’idah [5]:90). Menurut pendapat terpilih, kitab jenis pertama mencakup pula (di samping orang Mukmin) orang kafir, hamba sahaya dan perempuan, sedang khitab jenis kedua hanya mencakup dua golongan terakhir di samping orang mukmin laki-laki tentunya. Hal ini mengingat bahwa hukum (Islam itu dibebankan kepada semua orang mukmin, sedang keluarnya hamba sahaya dari sebagian hukum seperti kewajiban haji dan jihad disebabkan hal lain yang bersifat relatif, seperti kemiskinan dan kesibukannya melayani majikan.
Jika pada obyek khitab terkumpul laki-laki (muzakkar) dan perempuan (mu’annas), maka pada biasanya khitab itu menggunakan bentuk muzakkar. Dan kebanyakan khitab Allah dalam Qur’an memang dengan bentuk lafaz muzakkar, namun demikian perempuan pun termasuk di dalamnya. Selain itu, terkadang pula “perempuan” disebutkan secara khusus untuk maksud lebih memperjelas dan terang, Namun hal ini tidak menghalangi masuknya perempuan dalam cakupan lafaz umum yang pantas bagi mereka. Misalnya firman Allah: (an-Nisa’ (4):124)
Tasyri‘ samawi diturunkan dari Allah kepada para rasul-Nya untuk memperbaiki umat di bidang akidah, ibadah dan mu‘amalah. Oleh karena akidah semua ajaran samawi itu satu dan tidak mengalami perubahan karena ditegakkan atas tauhid ulfihiyah dan rubabiyah maka dakwah atau seruan para rasul kepada akidah yang satu itu semuanya sama. Allah berfirman:
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘’bahwa tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahiah olehmu sekalian akan Aku.’” (al-Anbiya’ [21]: 25).
Mengenai bidang ibadah dan mu‘amalah maka prinsip dasar umumnya adalah sama, yaitu bertujuan membersihkan jiwa dan memelihara keselamatan masyarakat serta mengikatnya dengan ikatan kerjasama dan persaudaraan. Walaupun demikian, tuntutan kebutuhan setiap umat terkadang berbeda satu dengan yang lain. Apa yang cocok untuk satu kaum pada suatu masa mungkin tidak cocok lagi pada masa yang.lain. Di samping itu, perjalanan dakwah pada taraf pertumbuhan dan pembentukan tidak sama dengan perjalanannya sesudah memasuki era perkembangan dan pembangunan. Demikian juga hikmah tasyri‘ pada suatu periode akan berbeda dengan hikmah tasyri‘ pada periode yang lain. Tetapi tidak diragukan lagi bahwa Pembuat syari‘at (Musyarri‘), yaitu Allah, rahmat dan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, dan otoritas memerintah dan melarang pun hanya milik-Nya.
”Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai.” (al-Anbiya’ [21]:23).
Oleh karena itu wajarlah jika Allah menghapuskan suatu tasyri‘ dengan tasyri‘ lain untuk menjaga kepentingan para hamba berdasarkan pengetahuan-Nya yang azali tentang yang pertama dan yang terkemudian.
Pengertian Naskh dan Syarat-syaratnya
Naskh menurut bahasa dipergunakan untuk arti izalah (menghilangkan). Misalnya: artinya, matahari menghilangkan bayang-bayang; dan , artinya, angin menghapuskan jejak perjalanan. Kata naskh juga dipergunakan untuk makna memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain. Misalnya: artinya, saya memindahkan (menyalin) apa yang ada dalam buku. Di dalam Qur’an dinyatakan: (al-Jasiyah [45]:29). Maksudnya, kami memindahkan (mencatat) amal perbuatan ke dalam lembaran (catatan amal).
Menurut istilah naskh ialah mengangkat (menghapuskan) hukum syara‘ dengan dalil hukum (khitab) syara‘ yang lain. Dengan perkataan “hukum’”, maka tidak termasuk dalam pengertian naskh menghapuskan ”kebolehan” yang bersifat asal (al-bara’ah al-agliyah). Dan kata-kata “dengan khitab syara” mengecualikan pengangkatan (penghapusan) hukum disebabkan mati atau gila, atau penghapusan dengan ijma‘ atau qiyas.
Kata ndasikh (yang menghapus) dapat diartikan dengan ’’Allah”, seperti terlihat dalam: (al-Baqarah [2]:106); dengan “ayat” atau sesuatu yang dengannya naskh diketahui, seperti dikatakan: (ayat ini menghapus ayat anu); dan juga dengan “hukum yang menghapuskan” hukum yang lain.
Mansukh adalah hukum yang diangkat atau dihapuskan. Maka ayat mawdris atau hukum yang terkandung di dalamnya, misalnya, adalah menghapuskan (nasikh) hukum wasiat kepada kedua orang tua atau kerabat (mansukh) sebagaimana akan dijelaskan. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam naskh diperlukan syarat-syarat berikut:
- Hukum yang mansukh adalah hukum syara‘.
- Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar‘i yang datang lebih kemudian dari khitab yang hukumnya mansukh.
- Khitab yang mansukh hukumnya tidak terikat (dibatasi) dengan waktu tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut. Dan yang demikian tidak dinamakan naskh.
Makki berkata:” Segolongan ulama menegaskan bahwa khitab yang mengisyaratkan waktu dan batas tertentu, seperti firman Allah: (Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka ‘sampai Allah mendatangkan perintah-Nya) (al-Baqarah [2]:109), adalah muhkam, tidak mansukh, sebab ia dikaitkan dengan batas waktu. Sedang apa yang dikaitkan dengan batas waktu, tidak ada naskh di dalamnya.
Ruang Lingkup Naskh
Dari uraian di atas diketahui bahwa naskh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan dengan tegas dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita (khabar) yang bermakna amar (perintah) atau nahy (larangan), jika hal tersebut tidak berhubungan dengan persoalan akidah, yang berfokus kepada Zat Allah, sifat-sifat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya dan hari kemudian, serta tidak berkaitan pula dengan etika dan akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan mu‘amalah. Hal ini karena semua syari‘at ilahi tidak lepas dari pokok-pokok tersebut. Sedang dalam masalah pokok (usul) semua syari‘at adalah sama. Allah berfirman:
“Dia telah mensyari‘atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah tentangnya.” (asy-Syura [42}:13).
“Wahai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu.” (al-Baqarah [2]:183).
“Dan serulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki…” (al-Hajj (22): 27).
Dalam hal qisas Ia berfirman:
“Dan telah Kami tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan Juka pun ada qisasnya.” (al-Ma’idah [5]:45).
Dalam hal jihad, Ia berfirman:
”Dan betapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa.” (Ali ‘Imran [3]:146).
Dan mengenai akhlak, Ia berfirman:
”Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan. janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.” (Luqman [31]:18).
Naskh tidak terjadi dalam berita, khabar, yang jelas-jelas tidak bermakna talab (tuntutan; perintah atau larangan), seperti janji (alwa‘d) dan ancaman (al-wa‘id).
Pedoman Mengetahui Naskh dan Manfaatnya
Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh mempunyai fungsi dan manfaat besar bagi para ahli ilmu, terutama fuqaha, mufasir dan ahli usul, agar pengetahuan tentang hukum tidak menjadi kacau dan kabur. Oleh sebab itu, terdapat banyak aSar (perkataan sahabat dan atau tabi‘in) yang mendorong agar mengetahui masalah ini.
Diriwayatkan, Ali pada suatu hari melewati seorang hakim lalu bertanya: “Apakah kamu mengetahui yang nasikh dari yang mansukh?” ”Tidak”, jawab hakim itu. Maka kata Ali: ”Celakalah kamu dan mencelakakan orang lain.”
Dari Ibn Abbas, bahwa ia berkata tentang firman Allah, “Dan barang siapa yang diberi hikmah, sesungguhnya ia telah diberi kebajikan yang banyak.” (al-Baqarah [2]:269), “yang dimaksud ialah nasikh dan mansukhnya, muhkam dan mutasyabihnya, muqaddam dan mu’akhkharnya, serta halal dan haramnya.”
Untuk mengetahui nasikh dan mansukh terdapat beberapa cara:
- Keterangan tegas dari Nabi atau sahabat, seperti hadis:
“Aku (dulu) pernah melarangmu berziarah kubur, maka (kini) berziarah kuburlah.” (Hadis Hakim).
Juga seperti perkataan Anas mengenai kisah orang yang dibunuh di dekat sumur Ma’unah, sebagaimana akan dijelaskan nanti, “berkenaan dengan mereka turunlah ayat Qur’an yang pernah kami baca Sampai kemudian ia diangkat kembali.”
- Kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan yang itu mansukh.
- Mengetahui mana yang terlebih dahulu dan mana yang kemudian dalam perspektif sejarah.
Naskh tidak dapat ditetapkan berdasarkan pada ijtihad, pendapat mufasir atau keadaan dalil-dalil yang secara lahir nampak kontradiktif, atau terlambatnya keislaman salah seorang dari dua perawi.
Pendapat tentang Naskh dan Dalil Ketetapannya
Dalam masalah naskh, para ulama terbagi atas empat golongan:
- Orang Yahudi. Mereka tidak mengakui adanya naskh, karena menurutnya, naskh mengandung konsep al-bada’, yakni nampak jelas setelah kabur (tidak jelas). Yang dimaksud mereka ialah, naskh itu adakalanya tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi Allah. Dan adakalanya karena sesuatu hikmah yang sebelumnya tidak nampak. Ini berarti terdapat suatu kejelasan yang didahului oleh ketidakjelasan. Dan ini pun mustahil pula bagi-Nya.
Cara berdalil mereka ini tidak dapat dibenarkan, sebab masingmasing hikmah nasikh dan mansukh telah diketahui Allah lebih dahulu. Jadi pengetahuan-Nya tentang hikmah tersebut bukan hal yang paru muncul. Ia membawa hamba-hamba-Nya dari satu hukum ke hukum lain adalah karena sesuatu maslahat yang telah diketahui-Nya jauh sebelum itu, sesuai dengan hikmah dan kekuasaan-Nya yang absolut terhadap segala milik-Nya.
Orang Yahudi sendiri mengakui bahwa syari‘at Musa menghapuskan syari‘at sebelumnya. Dan dalam nas-nas Taurat pun terdapat naskh, seperti pengharaman sebagian besar binatang atas Bani Israil, yang semula dihalalkan. Berkenaan dengan mereka Allah berfirman:
”Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya‘kub) untuk dirinya sendiri.” (Ali ‘Imran [3]:93). Dan firman-Nya:
”Dan kepada orang-orang Yahudi Kami haramkan segala binatang yang berkuku.” (al-An‘am [6]:146).
Ditegaskan dalam Taurat, bahwa Adam menikah dengan saudara perempuannya. Tetapi kemudian Allah mengharamkan pernikahan demikian atas Musa, dan Musa memerintahkan Bani Israil agar membunuh siapa saja di antara mereka yang menyembah patung anak sapi namun kemudian perintah ini dicabut kembali.
- Orang Syi‘ah Rafidah. Mereka sangat berlebihan dalam menetapkan naskh dan meluaskannya. Mereka memandang konsep albadd’ sebagai suatu hal yang mungkin terjadi bagi Allah. Dengan demikian, maka posisi mereka sangat kontradiksi dengan orang Yahudi. Untuk mendukung pendapatnya itu mereka mengajukan argumentasi dengan ucapan-ucapan yang mereka nisbahkan kepada Ali r.a. secara dusta dan palsu. Juga dengan firman Allah:
“Allah menghapuskan apa yang la kehendaki dan menetapkan (apa yang la kehendaki).” (ar-Ra‘d [13]:39), dengan pengertian bahwa Allah siap untuk menghapuskan dan menetapkan.
Paham demikian merupakan kesesatan yang dalam dan penyelewengan terhadap Qur’an. Sebab makna ayat tersebut adalah: Allah menghapuskan sesuatu yang dipandang perlu dihapuskan dan menetapkan penggantinya jika penetapannya mengandung masilahat. Di samping itu penghapusan dan penetapan terjadi dalam banyak hal, misalnya menghapuskan keburukan dengan kebaikan:
“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu. menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (Hud [11]:114). Juga penghapusan kekafiran dan kemaksiatan orang-orang yang bertaubat dengan taubatnya, serta penetapan iman dan ketaatan mereka. Hal demikian ini tidak menuntut adanya kejelasan yang didahului kekaburan bagi Allah. Tetapi Ia melakukan itu semua berdasarkan pengetahuanNya tentang sesuatu sebelum sesuatu itu terjadi.
- Abu Muslim al-Asfahani. Menurutnya, secara logika naskh dapat saja terjadi, tetapi tidak mungkin terjadi menurut syara‘. Dikatakan pula bahwa ia menolak sepenuhnya terjadi naskh dalam Qur’an berdasarkan firman-Nya:
“Yang tidak datang kepadanya (Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari sisi Tuhan Yang Mahabijaksana lagi Maha Terpuji.” (Fussilat (41):42), dengan pengertian bahwa hukum-hukum Qur’an tidak akan dibatalkan untuk selamanya. Dan mengenai ayat-ayat tentang naskh, semuanya ia takhsiskan.
Pendapat Abu Muslim ini tidak dapat diterima, karena makna ayat tersebut ialah, bahwa Qur’an tidak didahului oleh kitab-kitab yang membatalkannya dan tidak datang pula sesudahnya sesuatu yang membatalkannya.
- Jumhur ulama. Mereka berpendapat, naskh adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum syara’, berdasarkan dalil-dalil:
- Perbuatan-perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Ia boleh saja memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu yang lain. Karena hanya Dialah yang lebih mengetahui kepentingan hamba-hamba-Nya.
- Nas-nas Kitab dan Sunnah menunjukkan kebolehan naskh dan terjadinya, antara lain:
a). Firman Allah:
“Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang lain…” (an-Nahl [16]:101); dan firman-Nya:
“Apa saja ayat yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya.” (al-Baqarah [2]:106).
- b) Dalam sebuah hadis sahih, dari Ibn Abbas r.a., Umar r.a. berkata: “Yang paling paham dan paling menguasai Qur’an di antara kami adalah Ubai. Namun demikian kami pun meninggalkan sebagian perkataannya, karena ia mengatakan: Aku tidak akan meninggalkan sedikit pun segala apa yang pernah aku dengar dari Rasulullah s.a.w.’,
padahal Allah telah berfirman: Apa saja ayat yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya…” (al-Baqarah [2]:106).
Pembagian Naskh
Naskh ada empat bagian:
Pertama, naskh Qur’an dengan Qur’an. Bagian ini disepakati kebolehannya dan telah terjadi dalam pandangan mereka yang mengatakan adanya naskh. Misalnya, ayat tentang idah empat bulan sepuluh hari, sebagaimana akan dijelaskan contohnya.
Kedua, naskh Qur’an dengan Sunnah. Naskh ini ada dua macam:
- Naskh Qur’an dengan hadis ahad. Jumhur berpendapat, Qur’an tidak boleh dinasakh oleh hadis ahad, sebab Qur’an adalah mutawatir dan menunjukkan yakin, sedang hadis ahad zanni, bersifat dugaan, di samping tidak sah pula menghapuskan sesuatu yang ma‘liim (jelas diketahui) dengan yang mazniin (diduga).
- Naskh Qur’an dengan hadis mutawatir. Naskh demikian dibolehkan oleh Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. Allah berfirman:
“Dan tiadalah yang diucapkannnya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (an-Najm [53]:3-4), dan firman-Nya pula:
“Dan Kami turunkan kepadamu Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” (an-Nahl [16]:44). Dan naskh itu sendiri merupakan salah satu penjelasan.
Dalam pada itu asy-Syafi‘i, Ahli Zahir dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain menolak naskh seperti ini, berdasarkan firman Allah:
“Apa saja ayat yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik atau yang sepanding dengannya.” (al-Baqarah (2]:106). Sedang hadis tidak lebib paik dari atau sebanding dengan Qur’an.
Ketiga, naskh sunnah dengan Qur’an. Ini dibolehkan oleh jumpur. Sebagai contoh ialah masalah menghadap ke Baitul Makdis yang ditetapkan dengan sunnah dan di dalam Qur’an tidak terdapat dalil yang menunjukkannya. Ketetapan itu dinasakhkan oleh Qur’an dengan firman-Nya:
“Maka palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.” (al-Bagarah [2]:144).
Kewajiban puasa pada hari ‘Asyura yang ditetapkan berdasarkan sunnah, juga dinasakh oleh firman Allah:
“Maka barang siapa menyaksikan bulan Ramadan, hendaklah ia berpuasa…” (al-Baqarah (2]:185).
Tetapi naskh versi ini pun ditolak oleh Syafi‘i dalam salah satu riwayat. Menurutnya, apa saja yang ditetapkan sunnah tentu didukung oleh Qur’an, dan apa saja yang ditetapkan Qur’an tentu didukung pula oleh sunnah. Hal ini karena antara Kitab dengan sunnah harus senantiasa sejalan dan tidak bertentangan.’
Keempat, naskh sunnah dengan sunnah. Dalam kategori ini terdapat empat bentuk: 1) naskh mutawatir dengan mutawatir, 2) naskh ahad dengan 4had, 3) naskh ahad dengan mutawatir, dan 4) naskh mutawatir dengan ahad. Tiga bentuk pertama dibolehkan, sedang pada bentuk keempat terjadi silang pendapat seperti halnya naskh Qur’an dengan hadis ahad, yang tidak dibolehkan oleh jumhur.
Adapun menasakh ijma‘ dengan ijma‘ dan qiyas dengan qiyas atau menasakh dengan keduanya, maka pendapat yang sahih tidak membolehkannya.
Macam-macam Naskh dalam Qur’an
Naskh dalam Qur’an ada tiga macam:
Pertama, naskh tilawah dan hukum. Misalnya apa yang diriwayatkan oleh Muslim dan yang lain, dari Aisyah, ia berkata:
“Di antara yang diturunkan kepada beliau adalah ‘sepuluh susuan yang maklum itu menyebabkan muhrim’, kemudian (ketentuan) ini dinasakh oleh ‘lima susuan yang maklum’. Maka ketika Rasulullah wafat ‘lima susuan’ ini termasuk ayat Qur’an yang dibaca (matlu).”
Kata-kata Aisyah, “lima susuan ini termasuk ayat Qur’an yang dibaca”, pada lahirnya menunjukkan bahwa tilawah-nya masih tetap.
Tetapi tidak demikian halnya, karena ta tidak terdapat dalam mushaf Usmani. Kesimpulan demikian dijawab, bahwa yang dimaksud dengan perkataan Aisyah tersebut ialah ketika beliau menjelang wafat.
Yang jelas ialah bahwa tildwah-nya itu telah dinasakh (dihapuskan) tetapi penghapusan ini tidak sampai kepada semua orang kecuali sesudah Rasulullah wafat. Oleh karena itu ketika beliau wafat, sebagian orang masih tetap membacanya.
Qadi Abu Bakar menceritakan dalam al-Intisar tentang suatu kaum yang mengingkari naskh macam ini, sebab khabar yang berkaitan dengannya adalah khabar ahad. Padahal tidak boleh memastikan sesuatu itu adalah Qur’an atau menasakh Qur’an dengan khabar ahad.
Khabar ahad tidak dapat dijadikan hujjah karena ia tidak menunjukkan kepastian, tetapi yang ditunjukkannya hanya bersifat dugaan.
Pendapat ini dijawab, bahwa penetapan naskh adalah suatu hal sedang penetapan sesuatu sebagai Qur’an adalah hal lain. Penetapan naskh cukup dengan khabar ahad yang zanni, tetapi penetapan sesuatu sebagai Qur’an harus dengan dalil gat‘i, yakni khabar mutawatir. Pempicaraan kita di sini adalah mengenai penetapan naskh, bukan penetapan Qur’an, sehingga cukuplah dengan khabar ahad. Dan andaikata dikatakan bahwa gira‘ah ini tidak ditetapkan dengan khabar mutawatir, maka hal ini adalah benar.
Kedua, naskh hukum, sedang tilawah-nya tetap. Misalnya naskh hukum ayat idah selama satu tahun, sedang tilawahnya tetap. Mengenai naskh macam ini banyak dikarang kitab-kitab yang di dalamnya para pengarang menyebutkan bermacam-macam ayat. Padahal setelah diteliti, ayat-ayat seperti itu hanya sedikit jumlahnya, sebagaimana dijelaskan Qadi Abu Bakar ibnul-‘Arabi.
Dalam hal ini mungkin timbul pertanyaan, apakah hikmah penghapusan hukum sedang tilawahnya tetapi
Jawabannya ada dua segi:
1). Qur’an, di samping dibaca untuk diketahui dan diamalkan hukumnya, juga ia dibaca karena ia adalah Kalamullah yang membacanya mendapat pahala. Maka ditetapkanlah tilawah karena hikmah ini.
2). Pada umumnya naskh itu untuk meringankan. Maka ditetapkanlah tilawah untuk mengingatkan akan nikmat dihapuskannya kesulitan (masyaqqah).
Ketiga, naskh tilawah sedang hukumnya tetap. Untuk macam ini mereka mengemukakan sejumlah contoh. Di antaranya ayat rejam:
(Orang tua lakilaki dan perempuan apabila keduanya berzina, maka rejamlah keduanya itu dengan pasti sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana).
Dan antaranya pula ialah apa yang diriwayatkan dalam as. Sahihain, dari Anas tentang kisah orang-orang yang dibunuh di dekat sumur Ma‘finah, sehingga Rasulullah ber-gunut untuk mendoakan para pembunuh mereka. Anas mengatakan: ’Dan berkenaan dengan mereka turunlah (ayat) Qur’an yang kami baca sampai ia diangkat kembali, yaitu: (Sampaikanlah dari kami kepada kaum kami bahwa kami telah bertemu Tuhan kami, maka Ia rida kepada kami dan menyenangkan kami). Ayat ini kemudian dinasakh tilawatnya..
Sementara itu sebagian Ahli Ilmu tidak mengakui naskh semacam ini, sebab khabarnya adalah khabar ahad. Padahal tidak dibenarkan memastikan turunnya Qur’an dan naskhnya dengan khabar ahad. Ibnul-Hassar menjelaskan, naskh itu sebenarnya kembali ke nukilan (kutipan keterangan) yang jelas dari Rasulullah, atau dari sahabat, seperti perkataan ’’Ayat ini menasakh ayat anu”. Naskh, jelasnya lebih lanjut, dapat ditetapkan pula ketika terdapat pertentangan pasti (tidak dapat dipertemukan) serta diketahui sejarahnya, untuk mengetahui mana yang terdahulu dan mana pula yang datang kemudian. Di samping itu, naskh tidak dapat didasarkan pada pendapat para mufasir yang awam. Bahkan tidak pula pada ijtihad para mujtahid, tanpa ada nukilan yang benar dan tanpa ada pertentangan pasti. Sebab naskh mengandung arti penghapusan dan penetapan sesuatu hukum yang telah tetap pada masa Nabi. Jadi, yang menjadi pegangan dalam hal ini hanyalah nukilan dan sejarah, bukan ra’y dan ijtihad. Lebih lanjut ia menjelaskan, manusia dalam hal ini berada di antara dua sisi yang saling bertentangan. Ada yang berpendapat bahwa khabar ahad yang diriwayatkan para perawi adil tidak dapat diterima dalam hal naskh. Dan ada pula yang menganggap enteng sehingga mencukupkan dengan pendapat seorang mufasir atau mujtahid. Dan yang benar ialah kebalikan dari kedua pendapat ini.
Mungkin akan dikatakan, sesungguhnya ayat dan hukum yang ditunjukkannya adalah dua hal yang saling. berkaitan, sebab ayat.merupakan dalil bagi hukum. Dengan demikian, jika ayat dinasakh maka secara otomatis hukumnya pun dinasakh pula. Jika tidak demikian, hal tersebut akan menimbulkan kekaburan.
Pendapat demikian dijawab, bahwa keterkaitan antara ayat dengan hukum tersebut dapat diterima jika Sydari‘ (Allah, Rasul) tidak menegakkan dalil atas naskh tilawat dan ketetapan hukumnya. Tetapi jika Syari‘ telah menegakkan dalil bahwa sesuatu tilawah telah dipapuskan sedang hukumnya tetap berlaku, maka keterkaitan itu pun patil. Dan kekaburan pun akan sirna dengan dalil syar‘i yang menunjukkan naskh tilawah sedang hukumnya tetap.
Hikmah Naskh
- Memelihara kepentingan hamba.
- Perkembangan tasyri‘ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia.
- Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.
4, Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika nasakh itu beralih ke hal yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.
Naskh Berpengganti dan Tidak Berpengganti
Naskh itu adakalanya dengan badal (pengganti) dan ada pula yang tanpa badal. Naskh dengan badal terkadang badalnya itu lebih ringan (akhaff), sebanding (mumasiil) dan terkadang pula lebih berat (asqal).
1). Naskh tanpa badal. Misalnya penghapusan keharusan bersedekah sebelum berbicara dengan Rasulullah sebagaimana diperintahkan dalam firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu.” (al-Mujadalah [58]:12).
Ketentuan ini dinasakh dengan firman-Nya:
“Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tidak memperbuatnya – dan Allah telah memberi taubat kepadamu ~ maka dirikanlah salat, tunaikan zakat…” (al-Mujadalah [58]:13).
Sebagian golongan Mu’‘tazilah dan Zahiriyah mengingkari naskh macam ini. Menurut mereka, naskh tanpa badal tidak dapat terjadi secara syara‘, karena Allah berfirman:
“Apa saja ayat yang Kami nasakhkan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.” (al-Bagarah [2]:106).
Ayat ini menunjukkan keharusan didatangkannya, sebagai pengganti hukum yang mansukh, hukum lain yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. Pendapat ini dapat dijawab, bahwa jika Allah menghapuskan hukum suatu ayat tanpa badal, hal itu sesuai dengan tuntutan hikmahNya dalam memelihara kepentingan hamba-hamba-Nya. Maka dengan demikian, ketiadaan hukum adalah lebih baik daripada eksistensi hukum yang dihapuskan tersebut dari segi kemanfaatannya bagi manusia. Dan dalam keadaan demikian dapatlah dikatakan, bahwa Allah telah menghapuskan hukum ayat terdahulu dengan sesuatu yang lebih baik darinya, mengingat ketiadaan hukum tersebut merupakan hal yang lebih baik bagi umat manusia.
2). Naskh dengan badal akhaff. Misalnya firman Allah:
“Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan jstri-istri kamu…” (al-Baqarah [2]:187).
Ayat ini menaskh firman-Nya:
”…sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu…” Karena maksud ayat 183 ini adalah agar puasa kita sesuai dengan ketentuan puasa orang-orang terdahulu; yaitu diharamkan makan, minum dan bercampur dengan istri apabila mereka telah mengerjakan salat petang atau telah tidur, sampai dengan malam berikutnya, sebagaimana disebutkan oleh para ahli.
Ibn Abi Hatim meriwayatkan dari Umar, katanya: ”Telah diturunkan ayat:
“Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu…” Telah ditetapkan atas mereka, apabila salah seorang dari mereka telah mengerjakan salat petang atau telah tidur, maka haram baginya makan, minum dan bercampur dengan istri hingga malam berikutnya.” Keterangan serupa diriwayatkan pula oleh Ahmad, Hakim dan lain-lain. Dalam riwayat ini antara lain disebutkan, maka Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan:
“Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kamu…” (al-Baqarah [2]:187).
3) Naskh dengan badal mumdsil. Misalnya penghapusan menghadap ke Baitul Makdis (dalam salat) dengan menghadap ke Ka‘bah, dalam firman Allah:
”Maka palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram..” (al-Baqarah {2}:144).
4) Naskh dengan badal asgal. Seperti penghapusan hukuman penahanan di rumah, dalam ayat:
“Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji datangkanlah empat orang saksi dari pihak kamu (untuk menjadi saksi). Kemudian apabila mereka telah memberi kesaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah.” (an-Nisa’ [4}:15) dengan hukuman dera, dalam ayat:
”Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina…” (an-Nur [24]:2), atau dengan hukuman rejam sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
“Orang tua laki-laki dan perempuan, apabila keduanya berzina maka rejamlah mereka dengan pasti…
Kekaburan Naskh
Nasikh dan mansukh mempunyai sejumlah contoh cukup banyak, namun sikap para ulama dalam hal ini:
- Ada yang berlebih-lebihan karena masalah ini kabur baginya, sehingga ia memasukkan ke dalam kelompok naskh sesuatu yang sepenarnya tidak termasuk,
- Ada yang berhati-hati, dengan mendasarkan masalah naskh ini hanya pada penukilan yang sahih semata.
Sumber kekaburan tersebut bagi mereka yang berlebih-lebihan, cukup banyak. Yang terpenting di antaranya ialah:
- Menganggap takhsis (pengkhususan) sebagai naskh. (Lihat bab ‘Amm dan Khass).
- Menganggap baydn (penjelasan) sebagai naskh. (Lihat bab Mutlaq dan Muqayyad, dalam bab yang akan datang).
- Menganggap suatu ketentuan yang disyari‘atkan karena sesuatu sebab yang kemudian sebab itu hilang (dan secara otomatis ketentuan itu pun menjadi hilang), sebagai mansukh. Misalnya, perintah bersabar dan tabah terhadap gangguan orang kafir pada masa awal dakwah ketika umat Islam masih lemah dan minoritas. Menurut mereka, perintah itu dihapuskan dengan ayat-ayat perang. Padahal sebenarnya yang pertama, yakni kewajiban bersabar dan tabah terhadap gangguan, berlaku di saat umat Islam dalam keadaan lemah dan minoritas. Sedang dalam keadaan mayoritas dan kuat, umat Islam wajib mempertahankan akidah melalui perang (jika perlu). Dan itulah hukum yang kedua.
- Menganggap tradisi jahiliyah atau syari‘at umat terdahulu yang dibatalkan Islam, sebagai naskh. Misalnya, pembatasan jumlah istri dengan empat dan legalisasi hukum kisas dan diyat, sedang bagi Bani Israil hanya berlaku hukum kisas saja, sebagaimana dikatakan Ibn Abbas yang diriwayatkan oleh Bukhari.
Hal seperti ini bukanlah naskh, melainkan pembatalan al-bard’ah al-asliyah.
Contoh-contoh Naskh
As-Suyuti menyebutkan dalam al-itgan sebanyak dua puluh satu ayat yang dipandangnya sebagai ayat-ayat mansukh. Berikut ini kami kemukakan sebagiannya untuk kemudian kami komentari:
- Firman Allah:
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah.” (al-Baqarah [2]:115) dinasakh oleh:
”Maka palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.” (alBaqarah [2]:144). Telah dikatakan, dan inilah yang benar, bahwa ayat pertama tidak dinasakh sebab ia berkenaan dengan salat sunnah saat dalam perjalanan yang dilakukan di atas kendaraan, juga dalam keadaan takut dan darurat. Dengan demikian, hukum ayat ini tetap berlaku, sebagaimana dijelaskan dalam as-Sahihain. Sedang ayat kedua berkenaan dengan salat fardu lima waktu. Dan yang benar, ayat kedua ini menasakh perintah menghadap ke Baitul Makdis yang ditetapkan dalam sunnah.
- Firman Allah:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, perwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya…” (al-Baqarah [2): 480). Dikatakan, ayat ini mansukh oleh ayat tentang kewarisan dan gleh hadis, “Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang mempunyai hak akan haknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.”
- Firman Allah:
“Dan wajib bagi mereka yang kuat menjalankan puasa (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah…” (al-Baqarah [2]:184). Ayat ini dinasakh oleh:
“Maka barang siapa yang menyaksikan bulan Ramadan, hendaklah ia berpuasa…” (al-Bagarah ([2]:185). Hal ini berdasarkan keterangan dalam as-Sahthain, berasal dari Salamah bin Akwa‘, ’’Ketika turun Surah al-Baqarah [2]:184, maka orang yang ingin tidak berpuasa, ia membayar fidyah, sechingga turunlah ayat sesudahnya yang menasakhkannya”.
Ibn Abbas berpendapat, ayat pertama adalah muhkam, tidak mansukh. Bukhari meriwayatkan dari ‘A{a’, bahwa ia mendengar Ibn Abbas membaca: “Dan bagi mereka yang kuat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, memberi makan seorang miskin.” Ibn Abbas mengatakan, ayat ini tidak dimansukh, tetapi tetap berlaku bagi mereka yang telah lanjut usia yang tidak lagi sanggup berpuasa. Mereka boleh tidak berpuasa dengan memberikan makanan kepada seorang miskin pada setiap harinya. Dengan demikian, maka makna bukanlah … (sanggup menjalankannya). Tetapi maknanya ialah mereka sanggup menjalankannya dengan sangat susah payah dan memaksakan diri”.
Sebagian ulama berpendapat, ayat tersebut mengandung (huruf yang menyatakan tidak’) sehingga artinya ialah: (Dan wajib bagi orang-orang yang tidak sanggup berpuasa…).
- Firman Allah:
”Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: Berperang pada bulan itu adalah dosa besar.” (al-Baqarah [2]:217). Ayat ini dinasakh oleh ayat:
Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya.” (at-Taubah [9]:36). Ada yang
berpendapat, keumuman perintah berperang dalam ayat ini harus diartikan sebagai perintah berperang di luar bulan-bulan haram. Karena itu dalam hal ini tidak ada naskh.
- Firman Allah:
“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya)…” (al-Baqarah (2]:240).
Ayat ini dinasakh oleh:
“Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan diriaya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari.” (al-Bagarah [2]:234).
Ada yang berpendapat, ayat pertama muhkam, sebab ia berkaitan dengan pemberian wasiat bagi istri jika istri itu tidak keluar dari pumah suami dan tidak kawin lagi. Sedang ayat kedua berkenaan deagan masalah ‘iddah. Dengan demikian maka tak ada pertentangan antara kedua ayat itu.
- Firman Allah:
“Jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu…” (al-Baqarah [2]:284). Ayat ini dinasakh oleh firman-Nya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (al-Baqarah [2]:286).
- Firman Allah:
“Dan apabila sewaktu pembagian pusaka itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya)…” (an-Nisa’ [4]:8). Ayat ini dinasakh oleh ayat mawaris. Namun ada yang berpendapat, dan inilah yang benar, ayat tersebut tidak mansukh, dan hukumnya tetap berlaku sebagai anjuran.
- Firman-Nya:
“Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, datangkanlah empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi kesaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya. Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri maka biarkanlah mereka.” (an-Nisa’ [4]:15-16). Kedua ayat ini dinasakh oleh ayat dera bagi yang belum nikah sebagaimana dijelaskan dalam ayat:
”Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.” (an-Nur [24]:2), dan oleh hukuman dera bagi yang belum nikah dan hukuman rejam bagi yang telah nikah seperti ditetapkan dalam sunnah, ”’Perzinahan antara bujang dengan perawan itu didera seratus kali dan diasingkan selama satu tahun. Sedang perzinahan antara duda dengan janda didera seratus kali dan direjam.”
- Firman Allah:
“Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh…” (al-Anfal [8]: 65). Ayat ini dinasakh oleh ayat berikutnya:
“Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan la mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada di antara kamu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang.” (al-Anfal [8]:66).
- Firman Allah:
”Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun merasa berat…” (at-Taubah [9]:41). Ayat ini dinasakh oleh firmanNya: ”Tidak ada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah dan atas orang-orang yang sakit…” (at-Taubah [9]: 91), dan oleh firman-Nya: Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang)… (at-Taubah [9]:122).
Dalam hal ini ada yang berpendapat, ayat tersebut termasuk kategori takhsis, bukan naskh. Dan contoh-contoh lainnya telah dikemukakan pada bagian muka.
Sebagian hukum tasyri‘ terkadang datang dengan bentuk mutlag yang menunjuk kepada satu individu (satu benda) yang umum, tanpa dibatasi oleh sifat atau syarat. Dan terkadang pula dibatasi oleh sifat atau syarat namun hakikat individu itu tetap bersifat umum serta meliputi segala jenisnya. Pemakaian lafaz dengan kapasitas mutlak dan atau terbatas (muqayyad) merupakan salah satu keindahan retorika bahasa Arab. Dan dalam Kitabullah yang tidak tertandingi itu, ia dikenal dengan mutlaqul-Qur’an wa muqayyaduh atau kemutlakan Qur’an dan keterbatasannya.
Definisi Mutlaq dan Muqayyad
Mutlaq adalah lafaz yang menunjukkan suatu hakikat tanpa sesuatu gayid (pembatas). Jadi ia hanya menunjuk kepada satu individu tidak tertentu dari hakikat tersebut. Lafaz mutlaq ini pada umumnya berbentuk lafaz nakirah dalam konteks kalimat positif. Misalnya lafaz , (seorang budak) dalam ayat: (maka [wajib atasnya] memerdekakan seorang budak)… (al-Mujadalah [58]:3). Pernyataan ini meliputi pembebasan seorang budak yang mencakup segala jenis budak, baik yang mukmin maupun yang kafir. Lafaz *raqabah” adalah nakirah dalam konteks positif. Karena itu pengertian ayat ini ialah, wajib atasnya memerdekakan seorang budak dengan jenis apa pun juga. Juga seperti ucapan Nabi: ”Tak ada pernikahan tanpa seorang wali.” (Hadis Ahmad dan empat imam). ‘Wali’ di sini gdalah mutlak, meliputi segala jenis wali baik yang berakal sehat maupun tidak, Oleh karena itu sebagian Ulama Usul mendefinisikan mutlag dengan suatu ungkapan tentang isim nakirah dalam konteks positif ’ Kata-kata “nakirah” mengecualikan isim ma‘rifah dan semua jafaz yang menunjukkan sesuatu yang tertentu. Dan kata-kata “dalam konteks positif” mengecualikan isim nakirah dalam konteks negatif (nafy’), karena nakirah dalam konteks negatif mempunyai arti umum, meliputi semua individu yang termasuk jenisnya.
Muqayyad adalah lafaz yang menunjukkan suatu hakikat dengan gayid (batasan), seperti kata-kata “raqabah” (budak) yang dibatasi dengan “iman” dalam ayat: (maka [hendaklah pembunub itu] memerdekakan budak yang beriman). (an-Nisa’ [4]:92).
Macam-macam Mutlaq dan Muqayyad dan Status Hukum Masing-masing
Mutlaq dan Muqayyad mempunyai bentuk-bentuk ‘aqliyah, dan sebagian realitas bentuknya kami kemukakan berikut ini:
- Sebab dan hukumnya sama, seperti “puasa” untuk kafarah sumpah. Lafaz itu dalam qira’ah mutawatir yang terdapat dalam mushaf diungkapkan secara mutlak: (Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kafarahnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kafarah sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah [dan kamu langgar]…) (alMa’idah [5}:89). Dan ia muqayyad atau dibatasi dengan “tatabu‘ (berturut-turut)” dalam qira’ah Ibn Mas‘ud: (Maka kafarahnya puasa selama tiga hari berturut-turut). Dalam hal seperti ini, pengertian lafaz yang mutlaq dibawa kepada yang muqayyad (dengan arti, bahwa yang dimaksud oleh lafaz mutlaq adalah sama dengan yang dimaksud oleh lafaz muqayyad, peny.), karena ’sebab” yang satu tidak akan menghendaki dua hal yang bertentangan. Oleh karena itu Segolongan berpendapat bahwa puasa tiga hari tersebut harus dilakukan berturut-turut. Dalam pada itu golongan yang memandang qira’ah tidak mutawatir, sekalipun masyhur, tidak dapat dijadikan hujjah, tidak sependapat dengan golongan pertama. Maka dalam kasus inj dipandang tidak ada muqayad yang karenanya lJafaz mutlaq dibawa kepadanya.
- Sebab sama namum hukum berbeda, seperti kata “tangan” dalam wudu dan tayamum. Membasuh tangan dalam berwudu dibatasi sampai dengan siku. Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjJakan salat, basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku…” (al-Ma’idah [5]:6). Sedang menyapu tangan dalam bertayamum tidak dibatasi, mutlak, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya:
”…Maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih), sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu…” (al-Ma’idah [5]:6).
Dalam hal ini ada yang berpendapat, lafaz yang mutlak tidak dibawa kepada yang muqayyad karena berlainan hukumnya. Namun alGazali menukil dari mayoritas ulama Syafi‘i bahwa mutlak di sini dibawa kepada muqayyad mengingat ’’sebab’’nya sama sekalipun berbeda hukumnya.
- Sebab berbeda tetapi hukumnya sama. Dalam hal ini ada dua bentuk:
Pertama, taqyid atau batasannya hanya satu. Misalnya pembebasan budak dalam hal kafarah. Budak yang dibebaskan disyaratkan harus budak ”beriman” dalam kafarah pembunuhan tak sengaja. Allah berfirman:
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain) kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman…” (an-Nisa’ [4]:92), Sedang dalam kafarah zihar ia diungkapkan secara mutlaq:
“Dan orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atas mereka) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur…”. (al-Mujadalah [58]:3). Demikian juga dalam kafarah sumpah:
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi la menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kafarah (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak…” (al-Ma’idah [5]:89).
Dalam hal ini segolongan ulama, di antaranya ulama Maliki dan sebagian besar ulama Syafi‘i, berpendapat, lafaz yang mutlaq harus dibawa kepada yang muqayyad tanpa memerlukan dalil lain. Oleh karena itu tidak cukup (sah) memerdekakan budak yang kafir dalam kafarah zihar dan melanggar sumpah. Sementara itu golongan lain, yaitu ulama mazhab Hanafi, berpendapat, lafaz yang mutlaq tidak dapat dibawa kepada yang muqayyad kecuali berdasarkan dalil. Maka dipandang telah cukup memerdekakan budak yang kafir dalam kafarah zihar dan melanggar sumpah.
Argumentasi pendukung pendapat pertama ialah bahwa Kalamullah itu satu zatnya, tidak berbilang. Maka jika Ia telah menentukan budak yang beriman dalam kafarah pembunuhan, ketentuan ini pun berlaku pula bagi kafarah zihar. Oleh karena itu, pengertian firmanNya: dibawa kepada firman-Nya di awal ayat: (al-Ahzab [33]:35), tanpa memerlukan dalil lain yang datang dari luar. Jadi maksudnya ialah Di samping alasan di atas, juga mengingat bahwa orang Arab itu lebih menyukai penggunaan katakata yang mutlak bila telah ada yang muqayyad (dibatasi) karena cara demikian dipandang telah memadai di samping agar perkataan itu padat dan ringkas. Allah berfirman: (Seorang duduk di sebelah kanan dan di sebelah ‘kiri) (Qaf [50]:17) Maksudnya ialah: Akan tetapi “qa‘id” yang pertama tidak disebutkan karena sudah ditunjukkan oleh yang kedua.”
Adapun hujjah ulama mazhab Hanafi, maka mereka mengatakan, membawa pengertian lafaz “az-zakirat” ( ) kepada ”az-zakirin Allaha kasiran” ( ) itu berdasarkan dalil. Dalilnya, ialah bahwa lafaz “az-zakirat” itu di‘ataf-kan pada ”az-zakirin Allaha kaSiran” di samping ia tidak bisa berdiri sendiri. Oleh karena itu ia harus dikembalikan kepada lafaz pertama (ma‘if ‘alaih) dan dipandang mempunyai “hukum” yang sama dengannya. Demikian juga ‘ataf dalam ayat:’ Apabila pembatasan lafaz mutlaq tanpa dalil tersebut tidak dapat ‘dilakukan, maka harus dicarikan dalil yang lain, akan tetapi baik dalam Kitab ataupun dalam sunnah tidak terdapat nas yang menunjukkan demikian. Dan qiyas mengharuskan terhapus (terpenuhi)-nya apa yang dikehendaki oleh lafaz mutlaq, yaitu bebas dari tuntutan, dengan (melakukan) sesuatu yang termasuk dalam ruang lingkup lafaz mutlaq. Dan yang demikian adalah Naskh, Sedangkan nasg tidak dapat dinaskh oleh qiyas (analogi).
Argumentasi golongan kedua ini dijawab oleh para pendukung pendapat pertama. Mereka menyatakan, kami tidak menerima kesimpulan pendapat bahwa penganalogian mutlaq kepada muqayyad adalah me-naskh nass yang mutlaq, tetapi itu hanya membatasinya dengan salah satu makna-maknanya. Misalnya “budak” dibatasi dengan “yang periman”, sehingga keimanan budak yang dimerdekakan menjadi syasat bagi terpenuhinya tuntutan lafaz mutlaq. Hal ini sebagaimana Anda mempersyaratkan keselamatan budak tersebut padahal persyaratan demikian tidak ditunjukkan baik oleh nas Kitab maupun sunnah.
Kedua, taqyidnya berbeda-beda. Misalnya ”puasa kafarah”; ia ditaqyidkan dengan berturut-turut dalam kafarah pembunuhan. Firman Allah:
“Barang siapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (st pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari Allah…” (an-Nisa’ [4]:92). Demikian juga dalam kafah zihar, sebagaimana dijelaskan dalam ayat:
“Barang siapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur…” (al-Mujadalah [58]:4).
Dalam pada itu puasa kafarah bagi orang yang mengerjakan haji tamattu‘ ditaqyidkan (dibatasi) dengan terpisah-pisah (maksudnya, puasa itu tidak boleh dilakukan secara berturut-turut). Allah berfirman:
“Tetapi jika ia tidak mendapatkan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali…” (al-Baqarah [2]. 196). Kemudian datang pula ketentuan puasa secara mutlaq, tidak ditaqyidkan dengan berturut-turut atau terpisah-pisah, dalam kafarah Sumpah:
“Barang siapa yang tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kafarahnya puasa selama tiga hari.” (al-Ma’idah [5]:89). Juga dalam qada’ puasa Ramadan:
“Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau. dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain.” (al-Baqarah [2}:184). Maka lafaz yang mutlaq dalam hal ini tidak boleh dibawa kepada yang muqayyad, sebab gayid (pembatas)-nya berbeda-beda. Dan membawa mutlaq kepada salah satu dari dua muqayyad itu merupakan tarjih atau menguatkan sesuatu tanpa ada penguat.
- Sebab berbeda dan hukum pun berlainan, seperti ”tangan” dalam berwudu’ dan dalam pencurian. Dalam berwudu’, ia dibatasi sampai dengan siku, sedang dalam pencurian dimutlaqkan, tidak dibatasi. Firman Allah:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya…” (al-Ma’idah [5]:38). Dalam keadaan seperti ini, mutlaq tidak boleh dibawa kepada muqayyad karena ’’sebab’’ dan “hukum’’-nya berlainan. Dan dalam hal ini tidak ada kontradiksi (ta‘arud) sedikit pun.
Berkata penulis al-Burhdn:° Jika terdapat dalil bahwa mutlaq telah dibatasi, maka yang mutlaq dibawa kepada muqayyad. Namun jika tidak terdapat dalil, maka mutlaq tidak boleh dibawa kepada muqayyad; ia tetap dalam kemutlakannya dan yang muqayad pun tetap dalam keterbatasannya. Sebab Allah berbicara kepada kita dengan bahasa Arab. Konkritnya ialah, apabila Allah telah menetapkan sesuatu (hukum) dengan sifat atau syarat kemudian terdapat pula ketetapan lain yang bersifat mutlak, maka mengenai yang mutlaq itu harus dipertimbangkan. Jika ia tidak mempunyai hukum pokok, yang kepadanya ia dikembalikan, selain dari hukum yang muqayyad, maka ia wajib ditaqyidkan dengannya. Tetapi jika mempunyai hukum pokok yang lain selain muqayyad, maka mengembalikannya kepada salah satu dari keduanya tidak lebih baik daripada mengembalikan kepada yang lain.
Petunjuk (dalalah) lafaz kepada makna adakalanya berdasarkan pada bunyi (mantuq, arti tersurat) perkataan yang diucapkan itu, baik secara tegas maupun mengandung kemungkinan makna lain, dengan taqdir maupun tanpa taqdir. Dan adakalanya pula berdasarkan pada pemahaman (mafhim, arti tersirat)-nya, baik hukumnya sesuai dengan hukum mantuq ataupun bertentangan. Inilah yang dinamakan dengan mantiiq dan mafhim
Definisi Mantiq dan Macam-macamnya
Mantuq adalah sesuatu (makna) yang ditunjukkan oleh lafaz menurut ucapannya, yakni penunjukan makna berdasarkan materi huruf-huruf yang diucapkan.
Mantiiq itu ada yang berupa nass, zahir dan mu’awwal.
Nass ialah lafaz yang bentuknya sendiri telah dapat menunjukkan makna yang dimaksud secara tegas (sarih), tidak mengandung kemungkinan makna lain. Misalnya firman Allah:
”*Maka (wajib) berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna…”’ (al-Baqarah [2]:196). Penyipatan ”’’sepuluh’’ dengan “sempurna”’ telah mematahkan kemungkinan ’’sepuluh” ini diartikan jain secara majaz (metafora). Inilah yang dimaksud dengan nass. Telah dinukil dari suatu kaum yang mengatakan, jarang sekali terdapat mantuq mass dalam Kitab dan sunnah. Akan tetapi Imam Haramain secara berlebihan menyanggah pendapat mereka tersebut. Ia berkata: “Tujuan utama dari mantuq nass ialah kemandirian dalam menunjukkan makna secara pasti dengan mematahkan segala ta’wil dan kemungkinan. Yang demikian ini sekalipun jarang terjadi bila dilihat dari bentuk lafaz yang mengacu kepada bahasa, akan tetapi betapa panyak lafaz tersebut karena ia disertai qarinah haliyah dan maqaliyah.
Zahir ialah lafaz yang menunjukkan sesuatu makna yang segera dipahami ketika ia diucapkan tetapi disertai kemungkinan makna lain yang lemah (marjaih). Jadi, zahir itu sama dengan dengan nass dalam hal penunjukannya kepada makna yang berdasarkan pada ucapan. Namun dari segi lain ia berbeda dengannya karena nass hanya menunjukkan satu makna secara tegas dan tidak mengandung kemungkinan menerima makna lain, sedang zahir di samping menunjukkan satu makna ketika diucapkan juga disertai kemungkinan menerima makna Jain meskipun lemah. Misalnya firman Allah: (al-Baqarah [2]:173). Lafaz “al-bag ” digunakan untuk makna “al-jahil” (bodoh, tidak tahu) dan ”az-zalim’’ (melampaui batas, Zalim). Tetapi pemakaian untuk makna kedua lebih tegas dan populer sehingga makna inilah yang kuat (rajih), sedang makna yang pertama lemah (marjah). Juga seperti firman-Nya:
“Dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka berSuci…” (al-Baqarah [2]:222). Berhenti haid dinamakan ’’suci’’ (tuhr), berwudu dan mandi pun disebut “tuhr”. Namun penunjukan kata “tuhr” kepada makna kedua lebih konkrit, jelas (zahir) sehingga itulah makna yang rajih, sedang penunjukan kepada makna yang pertama adalah marjih.
Mu’awwal adalah lataz yang diartikan dengan makna marjuh karena ada sesuatu dalil yang menghalangi dimaksudkannya makna yang rajih. Mu’awwal berbeda dengan zahir; zahir diartikan dengan makna yang rajih sebab tidak ada dalil yang memalingkannya kepada yang marjuh, sedang mu’awwal diartikan dengan makna marjuh karena ada dalil yang memalingkannya dari makna rajih. Akan tetapi masingmasing kedua makna itu ditunjukkan oleh lafaz menurut bunyi ucapnya. Misalnya firman Allah: (al-Isra’ [17]:24). Lafaz “janah az-zulli ( ) diartikan dengan “tunduk, tawadu” dan bergaul secara baik’’ dengan kedua orang tua, tidak diartikan ”sayap”, karena mustahil manusia mempunyai sayap.
Dalalah Iqtida’ dan Dalalah Isyarah
Kebenaran petunjuk (dalalah) sebuah lafaz kepada makna terkadang bergantung pada sesuatu yang tidak disebutkan. Dalalah demikian disebut dalalah iqtidad’. Dan terkadang tidak bergantung pada hal tersebut tetapi lafaz itu. menunjukkan makna yang tidak dimaksud pada mulanya. Yang demikian disebut dalalah isyarah.
Yang pertama, misalnya firman Allah: (Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan, maka (wajiblah berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain). (al-Baqarah [2]:184). Ayat ini memerlukan sesuatu lafaz yang tidak disebutkan, yaitu (lalu ia berbuka maka….), sebab kewajiban qada puasa bagi musafir itu hanya apabila ia berbuka dalam perjalanannya itu. Sedang jika ia tetap berpuasa maka baginya tidak ada kewajiban qada. Ini berbeda dengan pendirian golongan Zahiri. Contoh lain ialah: (Diharamkan atas kamu ibu-ibumu). (an-Nisa’ [4]:23). Ayat ini memerlukan adanya kata-kata yang tidak disebutkan, yaitu kata ’’al-wat’u” atau bersenggama, sehingga ia diartikan ”diharamkan atas kamu bersenggama dengan ibu-ibumu’’, sebab pengharaman itu tidak disandarkan pada benda. Oleh karena itu ayat ini memerlukan adanya “suatu perbuatan” (yang tidak disebutkan) yang berkenaan dengan pengharaman tersebut, yaitu bersenggama. Dalalah macam ini hampir sama dengan teori “membuang mudaf dan menempatkan mudaf ilaih pada tempatnya’”. Dan di dalam ilmu Balagah (retorika) hal demikan termasuk ijazul-qasr (pemadatan kalimat untuk meringkas). Dinamakan iqtida’ karena perkataan tersebut menuntut sesuatu tambahan lafaz (lain) atas lafaz yang ada.
Yang kedua, dalalah isyarah, misalnya firman Allah:
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kamu, mereka adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga jelas bagi kamu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar…”” (al-Baqarah [2]:187). Ayat ini menunjukkan sahnya puasa bagi orang yang pagi-pagi masih dalam keadaan junub, sebab ayat ini membolehkan bercampur sampai dengan terbit fajar sehingga tidak ada kesempatan untyk mandi. Keadaan demikian menuntut atau memaksa kita berpagi dalam keadaan junub. Membolehkan melakukan penyebab sesuatu berarti membolehkan pula melakukan sesuatu itu. Maka membolehkan ”bercampur’ sampai pada bagian waktu terakhir dari malam yang tidak ada lagi kesempatan untuk mandi sebelum terbit fajar, berarti membolehkan pula berpagi dalam keadaan junub.
Kedua dalalah ini, iqtida’ dan isyarah, juga didasarkan pada manfaq, maka keduanya termasuk bagian dari mantuq. Dengan demikian, mantug meliputi a) naqas, b) zahir, c) mu’awwal, d) iqtida’, dan e) isyrah.
Definisi Mafhum dan Macam-macamnya
Mafhum adalah makna yang ditunjukkan oleh lafaz tidak berdasarkan pada bunyi ucapan. Ia terbagi menjadi dua, mafhim muwafaqah dan mafhum mukhalafah.
- Mafhum muwafaqah ialah makna yang hukumnya sesuai dengan mantuq. Mafhum ini ada dua macam:
- Fahwal Khitab, yaitu apabila makna yang dipahami itu lebih harus diambil hukumnya daripada mantuq. Misalnya keharaman men. caci-maki dan memukul kedua orang tua yang dipahami dari ayat:
Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanyq perkataan ’ah’…” (al-Isra’ [17]:23). Mantug ayat ini adalah haramnya mengatakan ’’ah’’, oleh karena itu keharaman mencaci maki dan memukul lebih pantas diambil karena keduanya lebih berat.
- Lahnul Khitab, yaitu apabila hukum mafhum sama nilainya dengan hukum mantuq. Misalnya dalalah firman Allah:
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya…” (an-Nisa’ [4]:10). Ayat ini menunjukkan pula keharaman membakar harta anak yatim atau menyia-nyiakannya dengan cara pengrusakan yang bagaimanapun juga. Dalalah demikian disebut lahnul Khitab, karena ia sama nilainya dengan memakannya sampai habis.
Kedua mafhim ini disebut mafhim muwafaqah karena makna yang tidak disebutkan itu hukumnya sesuai dengan hukum yang diucapkan, meskipun hukum itu memiliki nilai tambah pada yang pertama dan sama pada yang kedua. Dalalah dalam mafhim muwafaqah itu termasuk dalam kategori ’’mengingatkan kepada yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah atau kepada yang lebih rendah dengan yang lebih tinggi.” Kedua macam ini terkumpul dalam firman Allah:
“Dan di antara ahli kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepada satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu…” (Ali ‘Imran [3]:75). Kalimat pertama, “dan di antara ahli kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembajikannya kepadamu”, termasuk peringatan bahwa ia akan mengempalikan amanat kepadamu sekalipun hanya satu dinar atau kurang. Sedang kalimat kedua, “dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu”, termasuk peringatan bahwa kamu tidak dapat mempercayakan kepadanya harta yang banyak.
- Mafhim mukhdlafah, ialah makna yang berbeda hukumnya dengan mantiq. Mafhim ini ada empat macam:
- Mafhum sifat. Yang dimaksud ialah sifat ma‘nawi, seperti: 1) musytaq (kata turunan) dalam ayat:
“Hai orang-orang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti…” (al-Hujurat [49]:6). Pengertian yang dipahami dari ungkapan kata ”fasiq” (orang fasik) ialah bahwa orang yang tidak fasik tidak wajib diteliti beritanya. Ini berarti bahwa berita yang disampaikan oleh seorang yang adil wajib diterima.
Dan seperti hal (keterangan keadaan), misalnya firman Allah:
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan ketika kamu sedang berihram. Dan barang siapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya..” (al-Ma’idah [5}:95). Ayat ini menunjukkan tiadanya hukum bagi orang yang membunuhnya karena tak sengaja. Sebab penentuan ”sengaja” dengan kewajiban membayar denda menunjukkan tiadanya kewajiban membayar denda dalam pembunuhan binatang buruan tidak sengaja.
Juga seperti ‘adad (bilangan), misalnya:
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi.” (alBaqarah [2]:197). Mafhumnya ialah bahwa melakukan ihram untuk haji di luar bulan-bulan itu tidak syah. Dan:
”Maka deralah mereka (yang menuduh zina itu) delapan puluh kali dera..” (an-Nur [24]:4). Mafhumnya ialah mereka tidak boleh didera kurang atau lebih dari delapan puluh kali.
- Mafhiim syarat, seperti firman Allah:
“Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya.” (at-Talaq [65]:6). Makna atau mafhumnya ialah istri yang dicerai tetapi tidak sedang hamil, tidak wajib diberi nafkah.
- Mafhum gayah (maksimalitas). Misalnya:
“Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga ia kawin dengan suami yang lain…” (al-Baqarah [2]:230). Mafhumnya ialah, istri tersebut hal-hal bagi suami pertama sesudah ia nikah dengan suami yang lain, dengan memenuhi syarat-syarat pernikahan.
- Mafhum Hasr (pembatasan, hanya). Misalnya:
“Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.’ (al-Fatihah [1]:5). Mafhumnya jalah bahwa selain Allah tidak disembah dan tidak dimintai pertolongan. Oleh Karena itu, ayat tersebut menunjukkan bahwa hanya Dia-lab yang berhak disembah dan dimintai pertolongan.
Berhujjah dengan Mafhum
Berhujjah dengan mafhum masih diperselisihkan. Menurut pendapat paling sahith, mafhum-mafhum tersebut boleh dijadikan hujjah (dalil, argumentasi) dengan beberapa syarat, antara lain:
- Apa yang disebutkan bukan dalam kerangka ’’kebiasaan’’ yang umum. Maka kata-Kata ’’yang ada dalam pemeliharaanmu” dalam ayat:
“…dan anak-anak perempuan dari istri-istrimu yang ada dalam pemeliharaanmu…” (an-Nisa’ [4]:23), tidak ada mafhumnya, (maksudnya, ayat ini tidak dapat dipahami bahwa anak tiri yang tidak dalam pemeliharaan ayah tirinya boleh dinikahi peny.), sebab pada umumnya anak-anak perempuan istri itu berada dalam pemeliharaan suami.
- Apa yang disebutkan itu tidak untuk menjelaskan suatu realita. Maka tidak ada mafhum bagi firman Allah:
“Dan barang siapa menyembah tuhan yang lain di samping Allah, padahal tidak ada satu dalil pun baginya tentang itu..” (alMukminun [23]:117). Sebab dalam kenyataannya tuhan mana pun selain dari Allah tidak ada dalilnya. Jadi kata-kata “padahal tidak ada Satu dalil pun baginya tentang itu” adalah suatu sifat yang pasti yang didatangkan untuk memperkuat realita dan untuk menghinakan orang yang menyembah tuhan di samping Allah, bukan untuk pengertian bahwa menyembah tuhan-tuhan itu boleh asal dapat ditegakkan dalilnya.
Contoh lainnya ialah:
”Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, jika mereka sendiri menginginkan kesucian.” (anNur [24]:33). Ini tidak mengandung pengertian bahwa majikan boleh memaksa budak wanitanya untuk melacur bila budak itu tidak menginginkan kesucian. Akan tetapi Allah berfirman: ’jika mereka sendiri menginginkan kesucian”, karena pemaksaan itu tidak akan terjadi kecuali dengan adanya keinginan akan kesucian.
Dari Jabir bin Abdullah diriwayatkan: Abdullah bin Ubai pernah berkata kepada budak perempuannya, ’’Pergilah kau dan carilah sesuatu untuk kami!’’, sedang budak itu tidak menyukainya. Maka Allah menurunkan: ”’Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barang siapa memaksa mereka, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu).” (an-Nur [24]:33).
Diterima dari Jabir pula, bahwa Abdullah bin Ubai mempunyai dua orang budak wanita; yang satu bernama Musaikah dan yang lain bernama Umaimah. Ja menginginkan agar keduanya melakukan zina. Mereka kemudian mengadukan hal tersebut kepada Nabi, maka Allah menurunkan: ’Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu…”
Mengenai berhujjah dengan mafhum muwafaqah masalahnya lebih ringan, karena para ulama telah sepakat atas keabsahan berhujjah dengannya, kecuali golongan Zahiri. Sedangkan berhujjah dengan mafhum mukhalafah hanya dibenarkan, diakui oleh Malik, Syafi‘i dan Ahmad. Sementara Abu Hanifah dan para sahabatnya menolaknya.
Golongan yang mengakui mafhum mukhalafa sebagai hujjah Mengajukan sejumiah argumen (dalil) nagli dan di antara dalil naqli ialah:
Riwayat yang menyatakan bahwa ketika diturunkan ayat:
“Kamu memohon ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampunan bagi mereka (adalah sama saja). Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampun kepada mereka.” (at-Taubah [9]:80), Nabi berkata: ’Tuhanku telah memberikan pilihan kepadaku. Demi Allah, aku akan menambah permohonan ampunan itu lebih dari tujuh puluh kali.” Nabi memahami bahwa jumlah yang lebih dari tujuh puluh kali itu berbeda dengan tujuh puluh kali.”
Pendapat Ibn Abbas yang menyatakan bahwa kewarisan saudara perempuan ketika ada anak perempuan, terhalang berdasarkan:
“Jika seseorang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya.” (an-Nisa’ [4]:176). Dari ketentuan ayat mengenai kewarisan saudara perempuan ketika tidak ada anak ini Ibn Abbas memahami bahwa kewarisannya itu terhalang ketika ada anak perempuan, sebab anak perempuan pun adalah anak juga. Padahal Ibn Abbas termasuk tokoh retorika Arab dan turjuman Qur’an.
— Riwayat, bahwa Ya‘la bin Umaiyah berkata kepada Umar: ”*Mengapa kita mengqasar salat padahal kita telah berada dalam suasana aman, sedang Allah berfirman: Maka tidaklah mengapa kamu mengqasar salat jika kamu takut… (an-Nisa’ [4]:101)?” Segi kehujjahan riwayat ini ialah, Ya‘la memahami ayat tersebut, yakni kebolehan mengqasar Salat itu hanya dalam keadaan takut, bahwa dalam keadaan aman qasar tidak diperbolehkan. Umar pun tidak menyalahkan pemahaman Ya‘la, bahkan ia berkata: ’”Sungguh aku pun pernah merasa heran seperti yang kamu rasakan. Maka aku tanyakan hal itu kepada Nabi, dan ia menjawab: “Itu adalah sedekah yang diberikan Allah kepadamu, maka terimalah sedekah itu.” Ya‘la bin Umaiyah dan Umar adalah orang-orang yang fasih, retorik, tetapi mereka memahami ayat tersebut sedemikian rupa dan bahkan Nabi pun mengakuinya.
Dan di antara dalil ‘aqli ialah, andaikata kedudukan hukum orang fasik sama dengan orang yang tidak fasik, dalam firman-Nya: “Hai orang-orang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti.” (al-Hujurat [49]:6), yang kedua-duanya wajib diteliti beritanya, tentulah pengungkapan orang fasik secara khusus pada ayat ini tidak ada gunanya.
Dan begitu pula contoh-contoh lainnya.
Pendahuluan
Alam yang luas dan dipenuhi makhluk-makhluk Allah ini, gunung-gunungnya yang menjulang tinggi, samuderanya yang melimpah, dan daratannya yang menghampar luas, menjadi kecil di hadapan makhluk lemah, yaitu manusia. Itu semua disebabkan Allah telah menganugerahkan kepada makhluk manusia ini berbagai keistimewaan dan kelebihan serta memberinya kekuatan berpikir cemerlang yang dapat menembus segala medan untuk menundukkan unsur-unsur kekuatan alam tersebut dan menjadikannya sebagai pelayan bagi kepentingan kemanusiaan.
Allah sama sekali tidak akan menelantarkan manusia, tanpa memberikan kepadanya sebersit wahyu, dari waktu ke waktu, yang membimbingnya ke jalan petunjuk sehingga mereka dapat menempuh liku-liku hidup dan kehidupan ini atas dasar keterangan dan pengetahuan. Namun watak manusia yang sombong dan angkuh terkadang menolak untuk tunduk kepada manusia lain yang serupa dengannya selama manusia lain itu tidak membawa kepadanya sesuatu yang tidak disanggupinya hingga ia mengakui, tunduk dan percaya akan kemampuan manusia lain itu yang tinggi dan berada di atas kemampuannya sendiri. Oleh karena itu rasul-rasul Allah di samping diberi wahyu, juga mereka dibekali kekuatan dengan hal-hal luar biasa yang dapat menegakkan hujjah atas manusia sehingga mereka mengakui kelemahannya di hadapan hal-hal luar biasa tersebut serta tunduk dan taat kepadanya.
Namun mengingat akal manusia pada awal fase perkembangannya tidak melihat sesuatu yang lebih dapat menarik hati selain mukjizat-mukjizat alamiah yang hissi (indrawi) karena akal mereka belum mencapai puncak ketinggian dalam bidang pengetahuan dan pemikiran, maka yang paling relevan ialah jika setiap rasul itu hanya diutus kepada kaumnya secara khusus dan mukjizatnya pun hanya berupa sesuatu hal luar biasa yang sejenis dengan apa yang mereka kenal selama itu.
Hal demikian agar di saat tidak mampu menandinginya, mereka segera tunduk dan percaya bahwa hal luar biasa itu datang dari “kekuatan langit”. Dan ketika akal mereka telah mencapai taraf sempurna maka Allah mengumandangkan kedatangan risalah Muhammad yang abadi kepada seluruh umat manusia. Serta mukjizat bagi risalahnya juga berupa mukjizat yang ditujukan kepada akal manusia yang telah berada dalam tingkat kematangan dan perkembangannya yang paling tinggi.
Bila dukungan Allah kepada Rasul-rasul terdahulu berbentuk ayat-ayat kauniyah yang memukau mata, dan tidak ada jalan bagi akal untuk menentangnya, seperti mukjizat tangan dan tongkat bagi Nabi Musa, dan penyembuhan orang buta dan orang sakit sopak serta menghidupkan orang mati dengan izin Allah bagi Nabi Isa, maka mukjizat Nabi Muhammad, pada masa kejayaan ilmu pengetahuan ini, berbentuk mukjizat ‘agliyah, mukjizat bersifat rasional, yang berdialog dengan akal manusia dan menantangnya untuk selamanya. Mukjizat tersebut adalah Qur’an dengan segala ilmu dan pengetahuan yang dikandungnya serta segala beritanya tentang masa lalu dan masa akan datang. Akal manusia, betapapun majunya, tidak akan sanggup menandingi Qur’an karena Qur’an adalah ayat kauniyah yang tiada bandingnya. Kelemahan akal yang bersifat kekurangan substantif ini merupakan pengakuan akal itu sendiri bahwa Qur’an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya dan sangat diperlukan untuk dijadikan pedoman dan pembimbing. Itulah makna yang diisyaratkan oleh Rasulullah dengan sabdanya:
“Tiada seorang nabi pun kecuali diberi mukjizat yang dapat membuat manusia beriman kepadanya. Namun apa yang diberikan kepadaku adalah wahyu yang diwahyukan Allah kepadaku. Karena itu aku berharap semoga kiranya aku menjadi Nabi paling banyak pengikutnya.
Demikianlah. Allah telah menentukan keabadian mukjizat Islam sehingga kemampuan manusia menjadi tak berdaya menandinginya, padahal waktu yang tersedia cukup panjang dan ilmu pengetahuan pun telah maju pesat.
Pembicaraan tentang kemukjizatan Qur’an juga merupakan satu macam mukjizat tersendiri, yang di dalamnya para penyelidik tidak bisa mencapai rahasia satu sisi daripadanya sampai ia mendapatkan di balik sisi itu sisi-sisi lain yang akan disingkapkan rahasia kemukjizatannya oleh zaman. Demikianlah, persis sebagaimana dikatakan oleh ar-Rafi‘i: ”Betapa serupa (bentuk pembicaraan) Qur’an, dalam susunan kemukjizatannya dan kemukjizatan susunannya dengan sistem alam, yang dikerumuni oleh para ulama dari segala arah serta diliputi dari segala sisinya. Segala sisi itu mereka jadikan obyek kajian dan penyelidikan, namun bagi mereka ia senantiasa tetap menjadi makhluk baru dan tempat tujuan yang jauh.”
Definisi Kemukjizatan dan Ketetapannya
I’jaz (kemukjizatan) adalah menetapkan kelemahan. Kelemahan menurut pengertian umum ialah ketidakmampuan mengerjakan sesuatu, lawan dari kemampuan. Apabila kemukjizatan telah terbukt, maka nampaklah kemampuan mu‘jiz (sesuatu yang melemahkan). Yang dimaksud dengan i‘jaz dalam pembicaraan ini ialah menampakkan kebenaran Nabi dalam pengakuannya sebagai seorang Rasul dengan menampakkan kelemahan orang Arab untuk menghadapi mukjizatnya yang abadi, yaitu Qur’an, dan kelemahan generasi-generasi sesudah mereka. Dan mu‘jizat (mukjizat) adalah sesuatu hal luar biasa yang disertai tantangan dan selamat dari perlawanan.
Qur’an al-Karim digunakan Nabi untuk menantang orang-orang Arab tetapi mereka tidak sanggup menghadapinya, padahal mereka sedemikian tinggi tingkat fasahah dan balagah-nya. Hal ini tiada lain Karena Qur’an adalah mukjizat.
Rasulullah telah meminta orang Arab menandingi Qur’an dalam tiga tahapan:
1). Menantang mereka dengan seluruh Qur’an dalam uslub umum yang meliputi orang Arab sendiri dan orang lain, manusia dan jin, dengan tantangan yang mengalahkan kemampuan mereka secara padu melalui firman-Nya:
”Katakanlah: Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.” (al-Isra’ [17]:88)
2). Menantang mereka dengan sepuluh surah saja dari Qur’an, dalam firman-Nya:
“Ataukah mereka mengatakan: ’Muhammad telah membuat-buat Qur’an itu.’ Katakanlah: ’(Jika demikian), maka datangkanlah sepuluh surah yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar.’ Jika mereka (yang kamu seru itu) tidak menerima seruanmu itu, ketahuilah, sesungguhnya Qur’an itu diturunkan dengan ilmu Allah.” (Hud [11]:13-14).
3). Menantang mereka dengan satu surah saja dari Qur’an, dalam firman-Nya:
“Atau (patutkah) mereka mengatakan, ’Muhammad membuat-buatnya.’ Katakanlah: ’(Kalau benar yang kamu katakan itu), cobalah datangkan sebuah surah seumpamanya.’” (Yunus [10]:38). Tantangan ini diulang lagi dalam firman-Nya:
“Dan jika kamu (tetap) dalam keadaan ragu tentang Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surah (saja) yang semisal Qur’an itu…” (al-Baqarah [2]:23).
Orang yang mempunyai sedikit saja pengetahuan tentang sejarah bangsa Arab dan sastra bahasanya, tentu akan mengetahui faktor-faktor bagi diutusnya Rasulullah yang meninggikan bahasa Arab, menghaluskan tutur-katanya dan mengumpulkan ragam dialeknya yang paling baik dari pasar-pasar sastra dan perlombaan puisi dan prosa. Sehingga muara selokan-selokan fasahah dan peredaran kalam yang setorik berakhir pada bahasa Quraisy, dengan bahasa mana Qur’an diturunkan. Selain itu bangsa Arab mempunyai kebanggaan diri yang mereka unggul-unggulkan atas bangsa-bangsa lain dengan congkak dan sombong, sehingga menjadi perumpamaan di dalam sejarah yang mencatat “kejayaan” mereka karena pertempuran dan peperangan hebat yang dinyalakan oleh api kesombongan dan kecongkakan.
Bangsa seperti mereka, dengan terpenuhinya potensi kebahasaan dan kekuatan retorika yang dinyalakan oleh semangat kesukuan dan dikobarkan oleh tungku fanatisme, andaikata telah dapat menandingi Qur’an tentu hal demikian akan menjadi buah bibir dan beritanya akan tersiar di setiap generasi. Sebenarnya mereka telah menelaah ayat-ayat Kitab, membolak baliknya dan mengujinya dengan metode yang mereka gunakan untuk menguntai puisi dan prosa, namun mereka tidak mendapatkan jalan untuk menirunya atau celah-celah untuk menghadapinya. Sebaliknya, yang meluncur dari mulut mereka adalah kebenaran yang membuat mereka bisu secara spontan ketika ayat-ayat Qur’an menggoncangkan hati mereka, seperti yang terjadi pada Walid bin Mugirah. Dan di saat sudah tidak sanggup lagi berdaya upaya, mereka melemparkan kepada Qur’an itu Kata-kata yang membingungkan. Mereka mengatakan, ”Qur’an adalah sihir yang dipelajari, karya penyair gila atau dongengan bangsa purbakala.’ Mereka tidak dapat menghindar lagi di hadapan kelemahan dan kesombongannya selain harus menyerahkan leher kepada pedang; seakan-akan keputusasaan yang mematikan telah memindahkan para penderitanya dari pandangan mereka terhadap kehidupan panjang dan umur panjang ke saat kematian, sampai akhirnya mereka menyerah kepada kematian yang mendadak. Dengan demikian terbuktilah sudah kemukjizatan Qur’an, tanpa diragukan lagi.
Mendengarkan Qur’an juga merupakan hujjah yang pasti:
“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrik meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah.” (at-Taubah (9]:6). Aspek-aspek mukjizat yang dijkandungnya pun melebihi segala mukjizat Aauniyah terdahulu dan tidak membutuhkan semua itu:
Dan orang-orang kafir Mekah berkata: ’Mengapa tidak diturunkan kepadanya mukjizat-mukjizat dari Tuhannya?’ Katakanlah: ‘Sesungguhnya mukjizat-mukjizat itu terserah kepada Allah. Dan sesungguhnya aku hanya seorang pemberi peringatan yang nyata.’ Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu al-Kitab (Qur’an) sedang ia dibacakan kepada mereka?” (al-‘Ankabut [29]:50-51).
Kelemahan orang Arab untuk menandingi Qur’an padahal mereka memiliki faktor-faktor dan potensi untuk itu, merupakan bukti tersendiri bagi kelemahan bahasa Arab di masa bahasa ini berada pada puncak keremajaan dan kejayaannya.
Kemukjizatan Qur’an bagi bangsa-bangsa lain tetap berlaku di sepanjang zaman dan akan selalu ada dalam posisi tantangan yang tegar. Misteri-misteri alam yang disingkap oleh ilmu pengetahuan modern hanyalah sebagian dari fenomena hakikat-hakikat tinggi yang terkandung dalam misteri alam wujud yang merupakan bukti bagi ekSistensi Pencipta dan Perencananya. Dan inilah apa yang dikemukakan secara global atau diisyaratkan oleh Qur’an. Dengan demikian, Qur’an tetap merupakan mukjizat bagi seluruh umat manusia.
Aspek-aspek Kemukjizatan Qur’an
Kelahiran ilmu kalam di dalam Islam mempunyai implikasi yang lebih tepat untuk dikatakan sebagai kalam di dalam kalam. Percikan pemikiran yang ada di dalamnya menarik pengikutnya ke dalam kerancuan pembicaraan yang bertumpang tidih, sebagiannya berada di atas sebagian yang lain. Tragedi tokoh-tokoh ilmu kalam ini mulai tampak ketika membicaraan kemakhlukan Qur’an. Maka pendapat dan pandangan mereka tentang kemukjizatan Qur’an pun berbeda-beda dan beragam.
1). Abu Ishaq Ibrahim an-Nizam* dan pengikutnya dari kaum Syi‘ah seperti al-Murtada berpendapat, kemukjizatan Qur’an adalah dengan cara sirfah (pemalingan). Arti sirfah dalam pandangan anNizam ialah, bahwa Allah memalingkan orang-orang Arab untuk menantang Qur’an padahal, sebenarnya, mereka mampu menghadapinya. Maka -pemalingan inilah yang luar biasa (mukjizat). Sedang sirfah menurut pandangan al-Murtada ialah, bahwa Allah telah mencabut dari mereka ilmu-ilmu yang diperlukan untuk menghadapi Qur’an agar meseka tidak mampu membuat yang seperti Qur’an. Pendapat ini menunjukkan kelemahan pemiliknya itu sendiri. Sebab tidak akan dikatakan terhadap orang yang dicabut kemampuannya untuk berbuat sesuatu, bahwa sesuatu itu telah membuatnya Iemah selama ia masih mempunyai kesanggupan untuk melakukannya pada suatu waktu. Akan tetapi yang melemahkan (mu‘jiz) adalah kekuasaan Allah, dan dengan demikian Qur’an bukanlah mukjizat. Padahal pembicaraan kita tentang kemukjizatan Qur’an, bukan kemukjizatan Allah, akan tetap ada sepanjang masa.
Berkata Qadi Abu Bakar al-Baqalani: “Salah satu hal yang membatalkan pendapat sirfah ialah, kalaulah menandingi Qur’an itu mungkin tetapi mereka dihalangi oleh sirfah, maka kalam Allah itu tidak mukjizat, melainkan sirfah itulah yang mukjizat. Dengan demikian, kalam tersebut tidak mempunyai kelebihan apa pun atas kalam yang lain.”
Pendapat tentang sirfah ini batil dan ditolak oleh Qur’an sendiri dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.” (al-Isra’ [17]:88).
Ayat ini menunjukkan kelemahan mereka meskipun mereka masih mempunyai kemampuan. Dan seandainya kemampuan mereka telah dicabut, maka berkumpulnya jin dan manusia tidak lagi berguna karena perkumpulan itu sama halnya dengan perkumpulan orang-orang mati. Sedang kelemahan orang mati bukanlah sesuatu yang patut disebut-sebut.
2). Satu golongan ulama berpendapat, Qur’an itu mukjizat dengan balagah-nya yang mencapai tingkat tinggi dan tidak ada bandingnya. Ini adalah pendapat ahli bahasa Arab yang gemar akan bentuk-bentuk makna yang hidup dalam untaian kata-kata yang terjalin kokoh dan retorika yang menarik.
3) Sebagian mereka berpendapat, segi kemukjizatan Qur’an itu ialah karena ia mengandung badi‘ yang sangat unik dan berbeda dengan apa yang telah dikenal dalam perkataan orang Arab, seperti Jasilah dan maqta‘.
4). Golongan Jain berpendapat, kemukjizatan Qur’an itu terletak pada pemberitaannya tentang hal-hal gaib yang akan datang yang tak dapat diketahui kecuali dengan wahyu, dan pada pemberitaannya tentang hal-hal yang sudah terjadi sejak masa penciptaan makhluk, yang tidak mungkin dapat diterangkan oleh seorang ummi yang tidak pernah berhubungan dengan ahli kitab. Misalnya firman Allah tentang penduduk Badar:
“Golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang.” (al-Qamar (54}:45),
“Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya.” (al-Fath [48]:27),
”Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal saleh bahwa la sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi.” (an-Nur [24]:55),
“Alif Lam Mim. Telah dikalahkan bangsa Romawi. Di negeri yang terdekat, dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang.” (arRum [30]:1-3),
“Itu adalah di antara berita-berita penting tentang yang gaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini.” (Hud {11]:49), dan kisah orang-orang terdahulu lainnya.
Pendapat golongan ini tidak dapat diterima (mardud), sebab ia penuntut ayat-ayat yang tidak mengandung berita tentang hal-hal gaib yang akan datang dan yang telah lalu, tidak mengandung mukjizat. Dan ini adalah batil, sebab Allah telah menjadikan setiap surah sebagai mukjizat tersendiri.
5). Satu golongan berpendapat, Qur’an itu mukjizat karena ia mengandung bermacam-macam ilmu dan hikmah yang sangat dalam. Pan masih banyak lagi aspek-aspek kemukjizatan lainnya yang berkisar pada sekitar tema-tema di atas, sebagaimana telah dihimpun oleh sebagian ulama, mencapai sepuluh aspek atau lebih.
Pada hakikatnya, Qur’an itu mukjizat dengan segala makna yang dibawakan dan dikandung oleh lafaz-lafaznya.
Ia mukjizat dalam lafaz-lafaz dan uslubnya. Satu huruf daripadanya yang berada di tempatnya merupakan suatu mukjizat yang diperlukan oleh lainnya dalam ikatan kata, satu kata yang berada di tempatnya juga merupakan mukjizat dalam ikatan kalimat, dan satu kalimat yang ada di tempatnya pun merupakan mukjizat dalam jalinan surah.
Ia mukjizat dalam hal bayan (penjelasan, retorika) dan nazam (jalinan)-nya. Di dalamnya seorang pembaca akan menemukan gambaran hidup bagi kehidupan, alam dan manusia. Ia adalah mukjizat dalam makna-maknanya yang telah menyingkapkan tabir hakikat kemanusiaan dan misinya di dalam kosmos ini.
Ja mukjizat dengan segala ilmu dan pengetahuan yang sebagian besar hakikatnya yang gaib telah diakui dan dibuktikan oleh ilmu pengetahuan modern.
la adalah mukjizat dalam tasyri‘ dan pemeliharaannya terhadap hak-hak asasi manusia serta dalam pembentukan masyarakat teladan yang di tangannya dunia akan berbahagia.
Qur’an, seluruhnya, itulah yang membuat orang Arab yang semula hanya penggembala domba dan kambing, menjadi pemimpin bangsa-bangsa dan panutan umat. Dan ini saja sudah cukup menjadi bukti mukjizat.
Berkata al-Khattabi dalam kitabnya:
Maka dapat disimpulkan dari keterangan tersebut bahwa Qur’an itu mukjizat karena ia datang dengan lafaz-lafaz yang paling fasih, dalam susunan yang paling indah dan mengandung makna-makna yang paling valid, sahih, seperti peng-Esa-an Allah, penyucian sifat-sifat-Nya, ajakan taat kepada-Nya, penjelasan cara beribadah kepada-Nya, dengan menerangkan hal yang dihalalkan dan diharamkan, dilarang dan dibolehkan; juga seperti nasihat dan bimbingan, amar makruf, nahi munkar, serta bimbingan akhlak yang baik dan larangan dari akhlak buruk. Semua hal-hal di atas diletakkannya pada tempatnya masing-masing sehingga tidak tampak ada sesuatu lain yang lebih baik daripadanya, dan tidak bisa dibayangkan dalam imajinasi akal ada sesuatu lain yang lebih pantas daripadanya. Di samping itu, ia juga memuat berita tentang sejarah manusia di abad-abad silam dan azab yang diturunkan Allah kepada orang yang durhaka dan menentangNya di antara mereka. Juga ia menceritakan tentang realitas-realitas yang akan terjadi jauh sebelum terjadi, mengemukakan secara lengkap argumentasi dan hal yang diberi argumentasi, dalil atau bukti dan hal yang dibuktikannya, agar dengan demikian ia lebih kuat, mantap, dalam menetapkan kewajiban yang diperintahkannya dan larangan yang dicegahnya, sebagaimana diserukan dan diberitakannya.
Jelaslah bahwa mendatangkan hal-hal seperti itu lengkap dengan berbagai ragamnya hingga tersusun rapi dan teratur, merupakan sesuatu yang tidak disanggupi kekuatan manusia dan di luar jangkauan kemampuannya. Dengan demikian, sia-sialah makhluk di hadapannya dan menjadi lemah, tidak mampu, untuk mendatangkan sesuatu yang serupa dengannya.
Kadar Kemukjizatan Qur’an
1). Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa kemukjizatan itu berkaitan dengan keselurahan Qur’an, bukan dengan sebagiannya, atau dengan setiap surahnya secara lengkap.
2). Sebagian ulama berpendapat, sebagian kecil atau sebagian besar dari Qur’an, tanpa harus satu surah penuh, juga merupakan mukjizat, berdasarkan firman Allah:
*Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Qur’an…”” (at-Tur [52]:34).
3). Ulama yang lain berpendapat, kemukjizatan itu cukup hanya dengan satu surah lengkap sekalipun pendek, atau dengan ukuran satu surah, baik satu ayat atau beberapa ayat.
Memang, Qur’an telah mengajukan tantangan agar didatangkan sesuatu yang sama persis dengan Qur’an; dengan keseluruhannya (Al-isra’ {17]:88), dengan sepuluh surah (Hud [11]:13), dengan satu surah (Yunus [10]:38), dan dengan suatu pembicaraan seperti Qur’an (at-Tur [52]:34).
Namun demikian, kita tidak berpendapat, kemukjizatan itu hanya terdapat pada kadar tertentu, sebab kita dapat menemukannya pula pada bunyi huruf-hurufnya dan alunan kata-katanya, sebagaimana kita mendapatkannya pada ayat-ayat dan surah-surahnya. Qur’an adalah Kalamullah. Ini saja sudah cukup.
Adapun mengenai segi atau kadar manakah yang mukjizat itu, maka jika seorang penyelidik yang obyektif dan mencari kebenaran memperhatikan Qur’an dari aspek mana pun yang ia sukai, segi uslubnya, segi ilmu pengetahuannya, segi pengaruh yang ditimbulkannya di dalam dunia dan wajah sejarah yang diubahnya, atau semua segi tersebut, tentu kemukjizatan itu ia dapatkan dengan jelas dan terang.
Dan sudah sepantasnya bila di bawah ini kami membicarakan tiga macam aspek kemukjizatan Qur’an, aspek bahasa, aspek ilmiah dan aspek tasyri‘i (penetapan hukum).
Kemukjizatan Bahasa
Para ahli bahasa Arab telah menekuni ilmu bahasa ini dengan segala variasinya sejak bahasa itu tumbuh sampai remaja dan mekar dan menjadi raksasa perkasa yang tegar dalam masa kemudaannya. Mereka menggubah puisi dan prosa, Kata-kata bijak dan masal yang tunduk pada aturan bayan dan diekspresikan dalam uslub-uslubnya yang memukau, dalam gaya hakiki dan majazi (metafora), itndb dan ijaz, serta tutur dan ucapnya. Meskipun bahasa itu telah meningkat dan tinggi tetapi di hadapan Qur’an, dengan kemukjizatan bahasanya, ia menjadi pecahan-pecahan kecil yang tunduk menghormat dan takut terhadap uslub Qur’an. Sejarah bahasa Arab tidak pernah mengenal suatu masa di mana bahasa berkembang sedemikian pesatnya melainkan tokoh-tokoh dan guru-gurunya bertekuk lutut di hadapan baydn qur’Ani, sebagai manifestasi pengakuan akan ketinggiannya dan mengenali misteri-misterinya. Hal ini tidaklah mengherankan, sebab “itulah sunnah Allah dalam ayat-ayat yang dibuat dengan kedua tangan-Nya. Semakin Anda mengenali dan mengetahui rahasia-rahasianya, akan semakin tunduk pula kepada kebesarannya dan semakin yakin akan kemukjizatannya. Ini sangat berbeda dengan karya-karya makhluk. Pengetahuan tentang rahasia-rahasianya akan menjadikan Anda menguasainya dan membukakan bagi Anda jalan untuk menambahnya. Atas dasar itulah tukang-tukang sihir Firaun adalah orang yang pertama-tama beriman kepada Tuhan Musa dan Harun.”
Dalam pada itu mereka yang dirasuki ketertipuan dan ditimpa noda kesombongan serta berusaha menandingi uslub Qur’an, menirunya dengan bualan kosong yang lebih menyerupai kata-kata hina, rendah, igauan dan kesia-siaan. Dan akhirnya mereka kembali dalam keadaan rugi, seperti mereka yang mengaku menjadi nabi, para dajjal, pendusta, dan sebangsanya.
Sejarah inenyaksikan, ahli-ahli bahasa telah terjun ke dalam medan festifal bahasa dan mereka memperoleh kemenangan. Tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang berani memproklamirkan dirinya menantang Qur’an, melainkan ia hanya mendapat kehinaan dan kekalahan. Bahkan sejarah mencatat, kelemahan bahasa ini terjadi justru pada masa kejayaan dan kemajuannya ketika Qur’an diturunkan. Saat itu bahasa Arab telah mencapai puncaknya dan memiliki unsur-unsur kesempurnaan dan kehalusan di lembaga-lembaga dan pasar bahasa. Dan Qur’an berdiri tegak di hadapan para ahli bahasa dengan sikap menantang, dengan berbagai bentuk tantangan. Volume tantangan ini kemudian secara berangsur-angsur diturunkan menjadi lebih ringan, dari sepuluh surah menjadi satu surah, dan bahkan menjadi satu pembicaraan yang serupa dengannya. Namun demikian, tak seorang pun dari mereka sanggup menandingi atau mengimbanginya, padahal mereka adalah orang-orang yang sombong, tinggi hati dan pantang dikalahkan. Seandainya mereka punya kemampuan untuk meniru sedikit saja daripadanya atau mendapatkan celah-celah kelemahan di dalam berbagai macam bayannya, baik dalam jumlah ismiah dan fi‘liah-nya, dalam nafi dan isbat-nya, dalam zkr dan hazf-nya, dalam tankir dan ta‘rif-nya, dalam taqdim dan ta’khir-nya, dalam itnab dan ijaz-nya, dalam umum dan khususnya, dalam mutlaq dan muqayyad-nya, dalam nass dan fahwa-nya, maupun dalam hal lainnya. Dalam hal-hal tersebut dan yang serupa Qur’an telah mencapai puncak tertinggi yang tidak sanggup kemampuan bahasa manusia untuk menghadapinya.
Diriwayatkan dari Ibn Abbas, Walid bin Mugirah datang kepada Nabi lalu Nabi membacakan Qur’an kepadanya, maka hati Walid menjadi lunak karenanya. Berita ini sampai ke telinga Abu Jahal. Lalu ia mendatanginya seraya berkata: ”Wahai pamanku, Walid, sesungguhnya kaummu hendak mengumpulkan harta benda untuk diberikan kepadamu, tetapi kamu malah datang kepada Muhammad untuk mendapatkan anugerahnya.” Walid menjawab: ’Sungguh kaum Quraisy telah mengetahui bahwa aku adalah orang paling banyak hartanya.” Abu Jahal berkata: ’Kalau begitu, katakanlah tentang dia, kata-kata yang akan kau sampaikan kepada kaummu bahwa kamu mengingkari dan membenci Muhammad.” Walid menjawab: ”Apa yang harus kukatakan? Demi Allah, di antara kamu tak ada seorang pun yang lebih tahu dari aku tentang syair, rajaz dan qasidah-nya dan tentang syair-syair jin. Demi Allah, apa yang dikatakan Muhammad itu sedikit pun tidak serupa dengan syair-syair tersebut. Demi Allah, kata-kata yang diucapkannya sungguh manis; bagian atasnya berbuah dan bagian bawahnya mengalirkan air segar. Ucapannya itu sungguh tinggi, tak dapat diungguli, bahkan dapat menghancurkan apa yang ada di bawahnya.” Abu Jahal menimpali: “Demi Allah, kaummu tidak akan senang sampai kamu mengatakan sesuatu tentang dia.” Walid menjawab: ’’Biarkan aku berpikir sebentar.” Maka setelah berpikir, ia berkata: “Ini adalah sihir yang dipelajari. Ia mempelajarinya dari orang lain.” Lalu turunlah firman Allah: Biarkanlah Aku bertindak terhadap orang yang Aku telah menciptakannya sendirian. (al-Muddassir [74}:11)
Setiap manusia memusatkan perhatiannya pada Qur’an, ia tentu akan mendapatkan rahasia-rahasia kemukjizatan aspek bahasanya tersebut. la dapatkan kemukjizatan itu dalam keteraturan bunyinya yang indah melalui nada huruf-hurufnya ketika ia mendengar harakat dan sukun-nya, madd dan gunnah-nya, fasilah dan maqta‘-nya, sehingga telinga tidak pernah merasa bosan, bahkan ingin senantiasa terus mendengarnya.
Kemukjizatan itu pun dapat ia temukan dalam lafaz-lafaznya yang memenuhi hak setiap makna pada tempatnya. Tidak satu pun di antara lafaz-lafaz itu yang dikatakan sebagai kelebihan. Juga tak ada seseorang peneliti terhadap suatu tempat (dalam Qur’an) menyatakan bahwa pada tempat itu perlu ditambahkan sesuatu lafaz karena ada kekurangan.
Kemukjizatan didapatkan pula dalam macam-macam khitab di mana berbagai golongan manusia yang berbeda tingkat intelektualitas dapat memahami khitab itu sesuai dengan tingkatan akalnya, sehingga masing-masing dari mereka memandangnya cocok dengan tingkatan akalnya dan sesuai dengan keperluannya, baik mereka orang awam maupun kalangan ahli. Dan sesungguhnya Kami telah memudahkan Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran? (al-Qamar [54]:17).
Demikian pula kemukjizatan ditemukan dalam sifatnya yang dapat memuaskan akal dan menyenangkan perasaan. Qur’an dapat memenuhi kebutuhan jiwa manusia, pemikiran maupun perasaan, secara sama dan berimbang. Kekuatan pikir tidak akan menindas kekuatan rasa dan kekuatan rasa pun tidak pula akan menindas kekuatan pikir.
Demikianlah. Setiap perhatian difokuskan maka akan tegaklah di hadapannya hujjah-hujjah Qur’an dalam sikap menantang dan memperlihatkan kemukjizatan.”
Qadi Abu Bakar al-Bagalani berkata:
Keindahan susunan Qur’an mengandung beberapa aspek kemukjizatan. Di antaranya ada yang kembali kepada kalimat, yaitu bahwa susunan Qur’an, dengan berbagai wajah dan mazhabnya berbeda deNgan sistem dan tata urutan yang telah umum dan dikenal luas dalam perkataan mereka. Ia mempunyai uslub yang khas dan berbeda dengan uslub-uslub kalam biasa. Dalam hubungan ini perlu dijelaskan, caracara membuat dan menentukan kalam yang indah dan teratur terbagi atas ‘arud-‘arud syair dengan berbagai macamnya; terbagi lagi atas macam-macam kalam ber-wazan tanpa memperhatikan qafiyah (kata terakhir dalam bait); kemudian atas macam-macam kalam yang berimbangan dan bersajak; kalam berimbangan dan berwazan tanpa sajak; prosa yang di dalamnya dituntut ketepatan, kemanfaatan dan pemberian makna yang dikemukakan dengan bentuk yang indah dan susunan yang halus sekalipun wazan-nya tidak seimbang. Dan itu serupa dengan sejumlah kalam yang direka-reka tanpa fungsi. Kita tahu bahwa Qur’an berlainan dengan cara-cara seperti itu dan berbeda dengan semua ragamnya. Qur’an tidak termasuk sajak dan tidak pula tergolong syair. Oleh karena berbeda dengan semua macam kalam dan uslub khitab mereka jelaslah bahwa Qur’an keluar dari kebiasaan dan ia adalah mukjizat. Inilah sifat-sifat khas yang kembali kepada Qur’an secara global dan berbeda dengan semuanya itu…
Orang Arab tidak mempunyai kalam yang mencakup fasahah, garabah (keanehan), rekayasa yang indah, makna yang halus faedah yang melimpah, hikmah yang meruah, keserasian balagah dan ketrampilan bard‘ah sebanyak dan dalam kadar seperti itu. Kata-kata hikmah (bijak) mereka hanyalah beberapa patah kata dan sejumlah lafaz. Dan para penyairnya pun hanya mampu menggubah beberapa buah qasidah. Itu pun mengandung kerancuan dan kontradiksi serta pemaksaan dan kekaburan. Sedangkan Qur’an, yang sedemikian banyak dan panjang, ke-fasGhah-annya senantiasa indah dan serasi, sesuai dengan apa yang digambarkan Allah:
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah.” (az-Zumar [39]:23), dan:
“Dan sekiranya Qur’an itu bukan dari sisi Allah tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya.” (an-Nisa’ [4]: 82). Dalam ayat ini Allah memberitahukan bahwa perkataan manusia itu jika banyak, maka akan terjadi kontradiktif di dalamnya dan akan nampak pula kekacauannya.
Betapa menakjubkan rangkaian Qur’an dan betapa indah susunannya. Tak ada kontradiksi dan perbedaan di dalamnya, padahal ia membeberkan banyak segi yang dicakupnya, seperti kisah dan nasihat, argumentasi, hikmah dan hukum, tuntutan dan peringatan, janji dan ancaman, kabar gembira dan berita duka, serta akhlak mulia, pekerti tinggi, prilaku baik dan.lain sebagainya. Sementara itu kita dapatkan kalam pujangga pentolan, penyair ulung dan orator agitator akan berbeda-beda dan berlainan sesuai dengan perbedaan hal-hal tersebut. Di antara penyair ada yang hanya pandai memuji tetapi tidak pandai mencaci. Ada yang unggul dalam kelalaian tetapi tidak pandai dalam peringatan. Ada pula yang hanya pandai melukiskan unta dan kuda, memerikan perjalanan malam, menggambarkan peperangan, taman, khamar, senda gurau, cumbuan dan lain-lainnya yang dapat dicakup dalam syair dan dituangkan dalam kalam. Oleh karena itu maka dijadikanlah Umru’ul Qais sebagai contoh dalam berkendaraan, anNabigah sebagai contoh dalam mengancam dan Zuhair dalam membujuk. Dan yang demikian ini pun akan berbeda-beda pula dalam hal pidato, surat menyurat dan jenis-jenis kalam lainnya…
Setelah merenungkan sistem jalinan dan susunan Qur’an, kita akan mendapatkan bahwa semua aspek dan segi yang ditangani dan dikandungnya, sebagaimana telah kita sebutkan, berada dalam satu batas keindahan sistem dan keelokan susunan dan pemerian, tanpa perbedaan dan penurunan dari tingkat yang tinggi. Dan dengan demikian kita yakin, Qur’an adalah sesuatu hal di luar kemampuan manusia…
Kemukjizatan Ilmiah
Banyak orang terjebak dalam kesalahan ketika mereka menginginkan agar Qur’an mengandung segala teori ilmah. Setiap Jahir teori baru mereka mencarikan untuknya kemungkinannya dalam ayat, lalu ayat ini mereka takwilkan sesuai dengan teori ilmiah tersebut.
Sumber kesalahan tersebut ialah bahwa teori-teori ilmu pengetahuan itu selalu baru dan timbul sejalan dengan hukum kemajuan., Dengan demikian, ilmu pengetahuan selalu berada dalam kekurangan abadi, terkadang diliputi kekaburan dan di saat lain diliputi kesalahan. Ia akan senantiasa demikian sampai ia mendekati kebenaran dan mencapai tingkat keyakinan. Semua teori ilmu pengetahuan dimulai dengan asumsi dan hipotesis serta tunduk pada eksperimen sampai terbukti keyakinannya atau nampak jelas kepalsuan dan kesalahannya. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan selalu terancam perubahan. Cukup banyak kaidah-kaidah ilmiah yang disangka orang sebagai hal yang diterima sebagai kebenaran menjadi goncang setelah mapan dan runtuh setelah mantap. Kemudian para peneliti memulai kembali percobaan ulang mereka.
Orang yang menafsirkan Qur’an dengan hal-hal yang sesuai dengan masalah ilmu pengetahuan dan berusaha keras menyimpulkan daripadanya segala persoalan yang muncul dalam ufuk kehidupan ilmiah, sebenarnya telah berbuat jahat terhadap Qur’an meskipun mereka sendiri mengiranya sebagai telah berbuat kebaikan. Sebab, masalah ilmu pengetahuan itu tunduk pada hukum kemajuan yang senantiasa berubah. Bahkan terkadang runtuh dari asas-asasnya. Jika kita menafsirkan Qur’an dengan ilmu pengetahuan maka kita menghadapkan penafsirannya kepada kebatilan jika kaidah-kaidah ilmiah itu berubah dan penemuan-penemuan baru membatalkan hasil penemuan lama, atau jika suatu keyakinan membatalkan hipotesa.
Qur’an adalah kitab akidah dan hidayah. la menyeru hati nurani untuk menghidupkan di dalamnya faktor-faktor perkembangan dan kemajuan serta dorongan kebaikan dan keutamaan.
Kemukjizatan ilmiah Qur’an bukanlah terletak pada pencakupannya akan teori-teor! ilmiah yang selalu baru dan berubah serta merupakan hasil usaha manusia dalam penelitian dan pengamatan. Tetapi ia terletak pada dorongannya untuk berpikir dan menggunakan akal. Qur’an mendorong manusia agar memperhatikan dan memikirkan alam. Ia tidak mengebiri aktivitas dan kreatifitas akal dalam memikirkan alam semesta, atau menghalanginya dari penambahan ilmu pengetahuan yang dapat dicapainya. Dan tidak ada sebuah pun dari kitab-kitab agama terdahulu memberikan jaminan demikian seperti yang diberikan oleh Qur’an.
Semua persoalan atau kaidah ilmu pengetahuan yang telah mantap dan meyakinkan, merupakan manifestasi dari pemikiran valid yang dianjurkan Qur’an, tidak ada pertentangan sedikit pun dengannya Ilmu pengetahuan telah maju dan telah banyak pula masalah-masalahnya, namun apa yang telah tetap dan mantap daripadanya tidak bertentangan sedikit pun dengan salah satu ayat-ayat Qur’an. Ini saja sudah merupakan kemukjizatan.
Qur’an menjadikan pemikiran yang lurus dan perhatian yang tepat terhadap alam dan segala apa yang ada di dalamnya sebagai sarana terbesar untuk beriman kepada Allah.
Ia mendorong kaum Muslimin agar memikirkan makhluk-makhluk Allah yang ada di langit dan di bumi:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) mereka yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Ali Imran [3]:190-191).
Qur’an mendorong umat Islam agar memikirkan dirinya sendiri, bumi yang ditempatinya dan alam yang mengitarinya:
“Dan mengapakah mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan.”’ (ar-Rum [30]:8),
“Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan juga pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (az-Zariyat [51]:20-21),
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana ia diciptakan? Dan langit bagaimana ia ditinggikan? Dan gunuang-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?” (al-Gasyiyah [88]:17-20),
Qur’an membangkitkan pada diri setiap Muslim kesadaran ilmiah untuk memikirkan, memahami dan menggunakan akal:
“Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir.” (al-Baqarah [2]:219),
“Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kamit buat untuk manusia supaya mereka berpikir.” (al-Hasyr [59]:21),
“Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang berpikir.”’ (Yunus [10]:24),
“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.”’ (ar-Ra‘d [13]:3),
“Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.” (al-A‘raf [7}:32),
“Sungguh Kami telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran (kami) kepada kaum yang mengetahui.” (al-An‘am [6]:97),
“Perhatikanlah betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahami(nya). (al-An‘am [6]: 65) dan
“Sungguh Kami telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran Kami kepada orang-orang yang memahami.” (al-An‘am [6]:98).
Qur’an mengangkat kedudukan orang Muslim karena ilmu:
“Allah meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…” (al-Mujadalah [58]:11).
Qur’an tidak menyamakan antara orang berilmu dengan orang tak berilmu, jahil:
”.,.Katakanlah: Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (az-Zumar [39]:9).
Qur’an memerintahkan umat Islam agar meminta nikmat ilmu pengetahuan kepada Tuhannya:
“Dan katakanlah: Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” (Taha [20]:114).
Allah dalam ayat berikut mengumpulkan ilmu falak, botani, geologi dan zologi, dan menjadikan semuanya sebagai pendorong rasa takut kepada-Nya:
“Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit, lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka ragam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya, dan ada (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatangbinatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.” (Fatir [35]:27-28).
Demikianlah. Kemukjizatan Qur’an secara ilmiah ini terletak pada dorongannya kepada umat Islam untuk berpikir di samping membukakan bagi mereka pintu-pintu pengetahuan dan mengajak mereka memasukinya, maju di dalamnya dan menerima segala ilmu pengetahuan baru yang mantap, stabil.
Di samping hal-hal di atas di dalam Qur’an terdapat isyaratisyarat ilmiah yang diungkapkan dalam konteks hidayah. Misalnya, perkawinan tumbuh-tumbuhan itu ada yang 2dti dan ada yang khallti. Yang pertama, ialah tumbuh-tumbuhan yang bunganya telah mengandung organ jantan dam betina. Dan yang kedua ialah tumbuh-tumbuhan yang organ jantannya terpisah dari organ betina, seperti nohon kurma, sehingga perkawinannya melalui perpindahan. Dan di antara sarana pemindahnya adalan angin. Penjelasan demikian terdapat dalam firman-Nya:
”Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan)…” (al-Hijr [15]:22).
Oksigen sangat penting bagi pernafasan manusia, dan ia berkurang pada lapisan-lapisan udara yang tinggi. Semakin tinggi manusia berada di lapisan udara, maka ia akan merasakan sesak dada dan sulit bernafas. Allah berfirman:
“Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya la melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah la sedang mendaki ke langit.” (al-An‘am [6]:125).
Sudah menjadi kepercayaan yang telah berurat berakar bahwa atom adalah bagian yang tidak dapat dibagi-bagi. Sedang dalam Qur’an dinyatakan:
“Dan tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun seberat zarrah (atom) di bumi atau pun di langit. Dan tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari. itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuz).” (Yunus (10):61). Dan tidak ada yang lebih kecil dari atom selain pecahan atom itu sendiri (maksudnya, ayat ini menunjukkan bahwa atom bukan merupakan benda terkecil yang tidak dapat dibagi lagi).
Berkenaan dengan embriologi datanglah firman Allah:
“Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah ia diciptakan? la diciptakan dari air yang terpancar, yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.” (at-Tariq [86]:57), firman-Nya:
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.” (al‘Alaq [96]:2), dan firman-Nya:
”Wahai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepadamu dan Kami tetapkan dalam. rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu_ sebagai bayi.” (al-Hajj [22]:5).
Tentang kesatuan kosmos dan butuhnya kehidupan akan air Allah berfirman:
”Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah sesuatu yang padu; kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan daripada air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tidak juga beriman?” (al-Anbiya’ [21]:30).
Isyarat-isyarat ilmiah dan yang serupa dengannya yang terdapat dalam Qur’an itu datang dalam konteks petunjuk ilahi, hidayah ilahiah. Dan akal manusia boleh mengkaji dan memikirkannya.
Dalam menafsirkan firman Allah:
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: Bulan sabit itu. adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.”’ (al-Baqarah [2]:189), Prof. Sayid Qutub menjelaskan, jawaban dalam ayat ini diarahkan kepada realita kehidupan praktis mereka, tidak kepada ilmu teoritis semata. Qur’an menceritakan kepada mereka fungsi bulan sabit dalam realita dan bagi kehidupan me – reka, tidak membicarakan tentang peredaran falakiyah bulan dan bagaimana proses perjalanannya, padahal hal ini terkandung dalam pertanyaan mereka. Qur’an telah datang dengan membawa sesuatu yang lebih besar dari pengetahuan-pengetahuan yang bersifat partial, ia tidak datang untuk menjadi kitab ilmu falak, ilmu kimia atau ilmu kedokteran, sebagaimana diupayakan oleh mereka yang terlampau fanatik kepadanya dengan mencari-cari di dalamnya ilmu-ilmu tersebut, atau seperti perlakuan mereka yang membencinya dengan mencari-cari di dalamnya hal-hal yang bertentangan dengan ilmu-ilmu tersebut.
Kedua perlakuan itu) merupakan indikasi bagi kesalahpahaman mereka terhadap watak, fungsi dan medan kerja Kitab Suci ini. Medan kerjanya adalah jiwa manusia dan kehidupannya, sedang fungsinya adalah untuk membangun konsep umum tentang kosmos (wujud) serta hubungannya dengan Penciptanya, juga tentang eksistensi manusia di dalam kosmos ini serta kaitannya dengan Tuhannya, di samping untuk mendirikan atas dasar konsep ini suatu sistem kehidupan yang memungkinkan manusia mempergunakan segala potensi yang dimilikinya, termasuk potensi intelektual, yang dapat berdiri tegak sesudah dibentuk, dan memberikan kepadanya kesempatan untuk bekerja, melalui pengkajian ilmiah, dalam batas-batas yang mungkin bagi manusia dan melalui percobaan dan praktek, sehingga sampailah kepada hasil-hasil yang dicapainya yang tentu saja tidak final dan mutlak.
Sungguh saya merasa heran terhadap kenaifan mereka yang terlalu fanatik kepada Qur’an. Mereka menambahkan kepadanya apa yang tidak termasuk di dalamnya, membawa kepadanya sesuatu yang tidak dimaksudkan olehnya dan menyimpulkan daripadanya rincian-rincian mengenai ilmu kedokteran, kimia, astronomi dan lain-lain, seakan-akan dengan usahanya ini mereka telah mengagungkan dan membesarkan Qur’an.
Sesungguhnya hakikat Qur’ani adalah hakikat yang final, pasti dan mutlak. Sedang apa yang dicapai penyelidikan manusia, betapapun canggih alat-alat yang dipergunakannya, adalah hakikat yang tidak final dan tidak pasti. Sebab hakikat-hakikat tersebut terikat dengan aturan-aturan eksperimentasi dan kondisi yang melingkupi serta peralatannya. Adalah merupakan kesalahan metodologis, berdasarkan metodologi ilmiah manusia itu sendiri, menghubungkan hakikat-hakikat final Qur’ani dengan hakikat-hakikat yang tidak final, yakni segala apa yang dicapai ilmu pengetahuan manusia.
Ini jika dihubungkan dengan hakikat-hakikat ilmiah. Dan persoalannya akan semakin jelas jika dihubungkan dengan teori-teori hipotesis yang dinamakan ilmiah, mengingat teori-teori itu senantiasa dapat berubah, berganti, berkurang dan bertambah, dan bahkan berubah seratus delapan puluh derajat dengan munculnya penemuan baru atau penafsiran baru bagi sejumlah hasil pengamatan lama.
Segala upaya untuk menghubungkan isyarat-isyarat umum Qur’an dengan teori-teori yang selalu baharu dan berubah-ubah yang telah dicapai ilmu pengetahuan, atau bahkan dengan hakikat-hakikat ilmiah itu sendiri yang tidak mutlak sebagaimana telah kita kemukakan, akan mengandung, pertama-tama, kelemahan metodologis yang prinsipil di samping mengandung pula tiga makna yang kesemuanya tidak pantas bagi keagungan Qur’an:
Pertama, kekalahan intern yang menyebabkan sebagian orang memandang ilmu pengetahuan sebagai batu uji yang diikuti, sedang Qur’an harus mengikuti. Oleh karena itu mereka berusaha memantapkan Qur’an dengan ilmu pengetahuan atau membuktikan kebenarannya berdasarkan ilmu pengetahuan, padahal Qur’an adalah Kitab Suci yang sempurna isinya dan final hakikat-hakikatnya. Sedang ilmu pengetahuan yang sekarang selalu membatalkan apa yang telah ditetapkan kemarin. Segala apa yang dicapainya tidak mutlak dan tidak final, karena ia terikat dengan Sarana yang berupa manusia, akal dan alatnya yang kesemuanya itu pada hakikatnya tidak memberikan hakikat yang satu, final dan mutlak.
Kedua, kesalahpahaman terhadap watak dan fungsi Qur’an. Yaitu bahwa Qur’an adalah sebuah hakikat yang final dan mutlak, menangani pembangunan manusia dengan cara yang sesuai, menurut kadar tabiat manusia yang nisbi, dengan tabiat alam dan hukum ilahinya, sehingga manusia tidak akan berbenturan dengan alam sekelilingnya. Tetapi agar ia sejalan dengan alam dan mengenali sebagian misterinya serta dapat memanfaatkan beberapa hukumnya untuk kekhalifahannya..
Hukum-hukum yang disingkapnya melalui pengamatan, penyelidikan, percobaan dan penerapan, sesuai dengan petunjuk akal yang dikaruniakan kepadanya untuk bekerja, bukan hanya untuk menerima pengetahuan-pengetahuan material yang telah siap.
Ketiga, pentakwilan terus-menerus, dengan pemaksaan dan pemerkosaan, terhadap nas-nas Qur’an agar dapat dibawa dan diselaraskan dengan asumsi-asumsi dan teori-teori yang tidak tetap dan labil, padahal setiap hari selalu muncul teori baru.
Kemukjizatan Tasyri‘
Allah meletakkan dalam diri manusia banyak garizah (naluri, instinct) yang bekerja di dalam jiwa dan mempengaruhi kecendrungankecendrungan hidupnya. Jika akal sehat dapat menjaga pemiliknya dari ketergelinciran, maka arus kejiwaan yang menyimpang akan mengalahkan kekuasaan akal, sehingga akal bagaimanapun tidak akan sanggup menahan luapannya. Oleh karena itu maka untuk meluruskan manusia diperlukan pendidikan khusus bagi garizah-garizah-nya, yang dapat mendidik, mengembangkan serta membimbingnya ke arah kebaikan dan keberuntungan.
Manusia, pada dasarnya, adalah makhluk sosial. Dalam memenuhi kebutuhannya ia memerlukan orang lain dan orang lain pun memerlukannya. Kerjasama antarsesama manusia merupakan tuntutan sosial yang diharuskan oleh peradaban manusia. Akan tetapi seringkali manusia berlaku zalim terhadap sesamanya, terdorong oleh kecintaan diri dan rasa ingin berkuasa. Maka jika mereka dibiarkan tanpa kendali yang membatasi pergaulannya, mengatur hal ihwal kehidupannya, menjaga hak-hak dan memelihara kehormatannya, tentu urusan mereka akan menjadi kacau. Dengan demikian maka setiap masyarakat manusia harus mempunyai sistem yang mengatur kendalinya dan dapat mewujudkan keadilan di antara individu-individunya.
Antara pendidikan individu dengan kebaikan kelompok terdapat hubungan kuat yang tidak dapat dipisahkan, karena keduanya saling berkaitan. Kebaikan individu tercapai karena kebaikan kelompok dan kebaikan kelompok pun terpenuhi disebabkan kebaikan individu.
Umat manusia telah mengenal, di sepanjang masa sejarah, berbagai macam doktrin, pandangan, sistem dan tasyri‘ (perundang-undangan) yang bertujuan tercapainya kebahagiaan individu di dalam masyarakat yang utama. Namun tidak satu pun daripadanya yang mencapai keindahan dan kebesaran seperti yang dicapai Qur’an dalam kemukjizan tasyri‘-nya.
Qur’an memulai dengan pendidikan individu, karena individu merupakan batu-bata masyarakat, dan menegakkan pendidikan individu itu di atas penyucian jiwa dan rasa pemikulan tanggung jawab.
Qur’an menyucikan jiwa seorang Muslim dengan akidah tauhid yang menyelamatkannya dari kekuasaan khurafat dan waham, dan memecahkan belenggu perbudakan hawa nafsu dan syahwat, agar ia menjadi hamba Allah yang ikhlas yang hanya tunduk kepada Tuhan, Pencipta yang Disembah. Qur’an juga menanamkan rasa tinggi hati kepada selain Dia, sehingga tidak membutuhkan makhluk, melainkan Khalik yang mempunyai kesempurnaan mutlak dan telah memberikan kebaikan kepada seluruh makhluk-Nya. Dialah Khalik Yang Tunggal, Tuhan Yang Esa, Yang Pertama dan Yang Terakhir, Mahakuasa atas segala sesuatu, Mahatahu dan Meliputi segalanya, serta tidak ada sesuatu pun serupa dengan-Nya.
Alam adalah makhluk yang diciptakan Allah, akan kembali kepada-Nya dan akan hancur, sebagaimana ia ada, menurut kehendak-Nya. Inilah akidah paling sempurna bagi akal dan paling sempurna pula dalam ajaran agama. ;
”Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.” (al-Ikhlas [112]:1-4),
”Dialah yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zahir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”’ (al-Hadid [57):3),
“Segala sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-Nyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (al-Qasas [28]:88),
“(Yang memiliki sifat-sifat) demikian itu adalah Allah Tuhan kamu; tidak adu tuhan selain Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia.” (al-An‘am [6]:102),
“Dan adalah Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. ” (al-Ahzab {33}:27),
“Dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (alBaqarah {2}:96),
“Ingatlah bahwa sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu.” (Fussilat [41]:54),
“Tidak ada sesuatu pun serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (asy-Syura [42}:11),
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Mahahalus lagi Maha Mengetahui.” (al-An‘am [6]:103).
Qur’anul Karim memperkuat keesaan Allah dengan hujjah dan argumentasi pasti yang didasarkan pada logika akal sehat, sehingga tidak dapat dibantah atau diragukan lagi. Firman Allah:
“Sekiranya ada di langit dan bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa.” (al-Anbiya’ [21]:22),
“Katakanlah: Jikalau ada tuhan-tuhan di samping-Nya, sebagaimana yang mereka katakan, niscaya tuhan-tuhan itu mencari jalan kepada Tuhan yang mempunyai ‘Arasy.” (al-Isra’ [17]:42).
Apabila akidah seorang Muslim telah benar, maka ia wajib menerima segala syari‘at Qur’an baik menyangkut kewajiban maupun ibadah. Setiap ibadah yang difardukan dimaksudkan untuk kebaikan individu, dan di samping itu ibadah pun erat kaitannya dengan kebaikan kelompok (masyarakat).
Salat, misalnya, mencegah dari perbuatan keji dan munkar. Dan berjama‘ah adalah wajib menurut pendapat yang kuat kecuali karena uzur; bahkan ia merupakan syarat sah dalam salat Jumat dan salat ‘idain. Orang yang salat seorang diri juga tidak akan terlepas dari perasaan adanya ikatan dekat antara dirinya dengan jama‘ah Islam di Segala penjuru bumi, dari utara sampai selatan, dan dari barat sampai dengan timur; sebab ia tahu bahwa pada saat itu ia sedang menghadap ke satu arah bersama seluruh Muslim di muka bumi, menunaikan kewajiban salat, menghadap ke satu kiblat dan berdoa dengan satu macam doa, sekalipun tempat tinggal mereka berjauhan.
Cukuplah sebagai pendidikan seorang Muslim, bahwa ia berdiri di hadapan Tuhan sebanyak lima kali dalam sehari semalam, sehingga dengan demikian kehidupannya berpadu dengan syari‘at Allah dan sadar bahwa Pengontrol Tertinggi senantiasa memperhatikan dengan kedua mata-Nya akan segala apa yang terjadi di antara satu salat dengam salat yang. lain. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar. (al-‘Ankabut [29]:45).
Zakat mencabut dari dalam jiwa akar-akar kekikiran, pemujaan harta dan keserakahan akan dunia. Dengan demikian, ia merupakan kemaslahatan bagi jama‘ah, karena ia menegakkan pilar-pilar kerjasama di antara orang kaya dengan orang miskin dan menyadarkan jiwa akan pentingnya solidaritas sosial yang mengeluarkan jiwa dari kesempitan rasa cinta diri dan kesendirian.
Haji adalah perjalanan yang dapat menghibur jiwa dari kesulitan dan membukakan mata hati terhadap rahasia-rahasia Allah dalam makhluk-Nya. Haji merupakan muktamar internasional yang di dalamnya kaum Muslimin bertemu dalam satu tempat, sehingga mereka dapat saling mengenal, bermusyawarah dan bertukar. pikiran.
Puasa adalah pengekang jiwa, penguat tekad, pengokoh kehendak dan penahan syahwat. Ia merupakan fenomena sosial yang di dalamnya kaum Muslimin hidup sebulan penuh dengan satu sistem dalam (waktu) makan mereka, sebagaimana satu keluarga hidup dalam satu rumah.
Penunaian ibadah-ibadah fardu ini akan mendidik orang Islam untuk menyadari tanggung jawab individual sebagaimana ditetapkan Qur’an dan untuk memikul semua beban agama dan akhlak mulia.
’*Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” (al-Muddassir [74]:38),
”Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.”’ (atTur [52]:21),
“Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan mendapat siksa (dari kKejahatan) yang dikerjakannya.” (al-Baqarah [2]: 286).
Qur’an menganjurkan semua sifat keutamaan ideal yang melatih jiwa dengan pengontrol agama, seperti sabar, jujur, adil, berbuat baik, santun, maaf dan tawadu‘.
Dari pendidikan individu, Islam berpindah ke pembangunan keluarga karena keluarga adalah benih masyarakat. Maka disyari‘atkanJah perkawinan untuk memenuhi garizah seksual dan kelangsungan jenis manusia dalam keturunan yang suci dan bersih.
Ikatan keluarga dalam perkawinan ditegakkan atas dasar cinta kasih, ketentraman jiwa, dan pergaulan yang baik serta memelihara karakteristik suami dan karakteristik istri, tugas dan fungsi yang sesuai dengan masing-masing. Allah berfirman:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cendrung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan sayang.” (ar-Rum [30]:21),
“Dan bergaullah dengan mereka (istri-istrimu) secara ma’‘ruf.” (an-Nisa’ [4]:19).
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka.” (an-Nisa’ [4]:34).
Kemudian datanglah sistem pemerintahan yang mengatur masyarakat Islam. Dan Qur’an telah menetapkan kaidah-kaidah pemerintahan Islam ini dalam bentuk yang paling ideal dan baik. Yaitu suatu pemerintahan yang didasarkan pada musyawarah, persamaan dan Jarangan kekuasaan individual.
“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (Alt Imran [3]:159),
“Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka.” (asy-Syura [42]:38),
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara.” (al-Hujurat [49]:38).
“Katakanlah: Wahai Ahli Kitab, marilah kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dengan kamu, bahwa kita tidak menyembah kecuali Allah dan kita tidak memperSekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan-tuhan selain daripada Allah.” (Ali ‘Imran [3]:64).
Ja adalah pemerintahan yang ditegakkan atas keadilan mutlak yang tidak dipengaruhi rasa cinta diri, cinta kerabat atau faktor-faktor sosial yang berhubungan dengan kekayaan dan kemiskinan.
“Wahai orang-orang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (an-Nisa’ [4]:135).
Demikian pula, keadilan tidak boleh dipengaruhi rasa dendam terhadap musuh yang dibenci:
””Wahai orang-orang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (al-Ma’idah [4]:8).
*Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila memutuskan suatu hukum di antara manusia supaya kamu memutuskan dengan adil.” (an-Nisa’ [4]:58).
Otorita legislatif dalam pemerintahan Islam tidak diberikan atau diserahkan kepada manusia, melainkan kepada Qur’an; dan keluar (menyimpang) daripadanya berarti kafir, zalim dan fasik.
“Dan barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (al-Ma’idah [5]:44).
”Dan barang: siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (al-Ma’idah [5]:45).
”Dan barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (al-Ma’idah {5}:47).
“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?” (al-Ma’idah [5]:50).
Qur’an juga telah menetapkan perlindungan terhadap lima macam kebutuhan primer bagi kehidupan manusia; jiwa, kehormatan, harta benda dan akal; dan menerapkan padanya hukuman-hukuman yang pasti yang dalam Fikih Islam dikenal dengan jinayat dan hudud.
“Dan dalam gqisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal.” (al-Baqarah [2]:179).
”Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya itu seratus kali dera.” (an-Nur {24]:2).
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera.” (an-Nur [24]:4).
”Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya.” (al-Ma’idah [5}:38).
Qur’an menetapkan juga hukum mengenai hubungan internasional, dalam masa perang maupun damai, antara kaum Muslimin dengan tetangga atau dengan mereka yang mengadakan perjanjian damai (mu‘ahad). Dan apa yang ditetapkan Qur’an ini merupakan sistem hubungan, mu‘amalah, paling tinggi yang dikenal pada masa peradaban umat manusia.
Ringkasnya, Qur’an merupakan Dustur Tasyri paripurna yang menegakkan kehidupan manusia di atas dasar konsep yang paling utama. Dan kemukjizatan Tasyri-nya ini bersama dengan kemukjizatan ilmiah dan kemukjizatan bahasanya akan senantiasa eksis untuk selamanya. Dan tidak seorang pun dapat mengingkari bahwa Qur’an telah memberikan pengaruh besar yang dapat mengubah wajah sejarah dunia.
Pendahuluan
Hakikat-hakikat yang tinggi makna dan tujuannya akan lebih menarik jika dituangkan dalam kerangka ucapan yang baik dan mendekatkan kepada pemahaman, melalui analogi dengan sesuatu yang telah diketahui secara yakin. Tamsil (membuat permisalan, perumpamaan) merupakan kerangka yang dapat menampilkan makna-makna dalam bentuk yang hidup dan mantap di dalam pikiran, dengan cara menyerupakan sesuatu yang gaib dengan yang hadir, yang abstrak dengan yang konkrit, dan dengan menganalogikan sesuatu dengan hal yang serupa. Betapa banyak makna yang baik, dijadikan lebih indah, menarik dan mempesona oleh tamsil. Karena itulah maka tamsil lebih dapat mendorong jiwa untuk menerima makna yang dimaksudkan dan membuat akal merasa puas dengannya. Dan tamsil adalah salah satu uslub Qur’an dalam mengungkapkan berbagai penjelasan dan segi-segi kemukjizatannya.
Di antara para ulama ada sejumlah orang menulis sebuah kitab yang secara khusus membahas perumpamaan-perumpamaan (amsal) dalam Qur’an, dan ada pula yang hanya membuat satu bab mengenainya dalam salah satu kitab-kitabnya. Kelompok pertama, misalnya, Abul Hasan al-Mawardi.’ Sedang kelompok kedua, antara lain, asSuyuti dalam al-Itqan” dan Ibnul Qayyim daiam A‘lamul-Muwaqqi‘n.
Bila kita meneliti amsal dalam Qur’an yang mengandung penyerupaan (tasybih) sesuatu dengan hal serupa lainnya dan penyamaan antara keduanya dalam hukum, maka amsal demikian mencapai jumlah lebih dari empat puluh buah.
Allah mengemukakan dalam Kitab-Nya yang mulia bahwa Ia membuat sejumlah amsal:
“Dan perumpamaan-perumpamaan itu dibuat-Nya untuk manusia supaya mereka berpikir.” (al-Hasyr [59]:21).
“Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia; dan tidak ada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (al-‘Ankabut [29]:43),
“Dan sungguh Kami telah membuat bagi manusia di dalam Qur’an ini setiap macam perumpamaan supaya mereka mendapat pelajaran.” (az-Zumar [39]:27).
Dari Ali diriwayatkan, Rasulullah berkata:
“Sesungguhnya Allah menurunkan Qur’an sebagai perintah dan larangan, tradisi yang telah lalu dan perumpamaan yang dibuat.”?
Sebagaimana para ulama menaruh perhatian besar terhadap amsal Qur’an, mereka menaruh perhatian pula terhadap amsal yang dibuat oleh Nabi. Abu ‘Isa at-Tirmizi telah membuat satu bab berisi amsal Nabi dalam kitab Jami‘-nya, yang memuat empat puluh buah hadis. Qadi Abu Bakar ibnul ‘Arabi berkata: Aku tidak melihat di antara para ahli hadis, seseorang yang menulis satu bab khusus tentang amsal Nabi selain Abu ‘Isa. Sungguh sangat mengagumkan ia! Ia telah membuka sebuah pintu dan membangun sebuah istana atau rumah. Sekalipun ia menulisnya hanya sedikit, namun kita merasa puas dan patut berterima kasih kepadanya.”
Definisi Amsal
Amsal adalah bentuk jamak dari masal. Kata masal, misl dan masil adalah sama dengan syabah, syibh dan syabih, baik lafaz maupun maknanya.
Dalam sastra masal adalah suatu ungkapan perkataan yang dihikayatkan dan sudah populer dengan maksud menyerupakan keadaan yang terdapat dalam perkataan itu dengan keadaan sesuatu yang karenanya perkataan itu diucapkan. Maksudnya, menyerupakan sesuatu (seseorang, keadaan) dengan apa yang terkandung dalam perkataan itu. Misalnya, (Betapa banyak lemparan panah yang mengena tanpa sengaja). Artinya, betapa banyak lemparan panah yang mengenai sasaran itu dilakukan seorang pelempar yang biasanya tidak tepat lemparannya. Orang pertama yang mengucapkan masal ini adalah al-Hakam bin Yagus an-Nagri. Masal ini ia katakan kepada orang yang biasanya berbuat salah yang kadang-kadang ia berbuat benar. Atas dasar ini, masal harus harus mempunyai maurid (sumber) yang kepadanya sesuatu yang lain diserupakan.
Kata masal digunakan pula untuk menunjukkan arti ’keadaan” dan ”kisah yang menakjubkan”. Dengan pengertian inilah ditafsirkan kata-kata ’’masal” dalam sejumlah besar ayat. Misalnya firman Allah:
*(Apakah) masal surga yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya…” (Muhammad [47]:15).4 Maksudnya, kisah dan sifat surga yang sangat mengagumkan.
Zamakhsyari telah mengisyaratkan akan ketiga arti ini dalam kitabnya, al-Kasysyaf. Ia berkata: Masal menurut asal perkataan mereka berarti al-mis! dan an-nazqir (yang serupa, yang sebanding). Kemvdian setiap perkataan yang berlaku, populer, yang menyerupakan sesuatu (orang, keadaan dan sebagainya) dengan ’’maurid” (atau apa yang terkandung dalam) perkataan itu disebut masal. Mereka tidak menjadikan sebagai masal dan tidak memandang pantas untuk dijadikan masal yang layak diterima dan’ dipopulerkan kecuali perkataan yang mengandung keanehan dari beberapa segi. Dan, katanya lebih lanjut, “masal’” dipinjam (dipakai secara pinjaman) untuk menunjukkan keadaan, sifat atau kisah jika ketiganya dianggap penting dan mempunyai keanehan.
Masih terdapat makna lain, yakni makna keempat, dari masal menurut ulama Bayan. Menurut mereka, masal adalah majaz murakkab yang ‘alagah-nya musydbahah jika penggunaannya telah populer. Majaz‘ ini pada asalnya adalah isti‘drah tamSiliyah, seperti kata-kata yang diucapkan terhadap orang yang ragu-ragu dalam melakukan suatu urusan: (Mengapa aku lihat engkau meJangkahkan satu kaki dan mengundurkan kaki yang lain?)
Dikatakan pula, definisi masal ialah menonjolkan sesuatu makna (yang abstrak) dalam bentuk yang indrawi agar menjadi indah dan menarik. Dengan pengertian ini maka masal tidak disyaratkan harus mempunyai maurid sebagaimana tidak disyaratkan pula harus berupa majaz murakkab.
Apabila memperhatikan masal-masal Qur’an yang disebutkan oleh para pengarang, kita dapatkan bahwa mereka mengemukakan ayat-ayat yang berisi penggambaran keadaan suatu hal dengan keadaan hal lain, baik penggambaran itu dengan cara isti‘arah maupun dengan tasybih garth (penyerupaan yang jelas); atau ayat-ayat yang menunjukkan makna yang menarik dengan redaksi ringkas dan padat; atau ayat-ayat yang dapat dipergunakan bagi sesuatu yang menyerupai dengan apa yang berkenaan dengan ayat itu. Sebab, Allah mengungkapkan ayatayat itu secara langsung, tanpa sumber yang mendahuluinya.
Dengan demikian, maka amsal Qur’an tidak dapat diartikan dengan arti etimologis, asy-syabih dan an-nazir. Juga tidak tepat diartikan dengan pengertian yang disebutkan dalam kitab-kitab kebahasaan yang dipakai oleh para penggubah masal-masal, sebab amsal Qur’an bukanlah perkataan-perkataan yang dipergunakan untuk menyerupakan sesuatu dengan isi perkataan itu. Juga tidak tepat diartikan dengan arti masal menurut ulama Bayan, karena di antara amsal Qur’an ada yang bukan isti‘arah dan penggunaannya pun tidak begitu populer. Oleh karena itu maka definisi terakhir lebih cocok dengan pengertian amsal dalam Qur’an. Yaitu, menonjolkan makna dalam bentuk (perkataan) yang menarik dan padat serta mempunyai pengaruh mendalam terhadap jiwa, baik berupa tasybih ataupun perkataan bebas (lepas, bukan tasybih).
Ibnul Qayyim mendefinisikan amsal Qur’an dengan ’menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hal hukumnya, dan mendekatkan sesuatu yang abstrak (ma‘qul) dengan yang indrawi (konkrit, mahs(is), atau mendekatkan salah satu dari dua mahsus dengan yang lain dan menganggap salah satunya itu sebagai yang lain.”
Lebih lanjut ia mengemukakan sejumlah contoh. Contoh-contoh tersebut sebagian besar berupa penggunaan tasybih sarih, seperti firman Allah:
“Sesungguhnya masal kehidupan duniawi itu adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit.” (Yunus [10]:24). Sebagian lagi berupa penggunaan tasybih dimni (penyerupaan secara tidak tegas, tidak langsung), misalnya:
“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang dari kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” (al-Hujurat {49]:12). Dikatakan dimni karena dalam ayat ini tidak terdapat tasybth sarih. Dan ada pula yang tidak mengandung tasybih maupun isti‘arah, seperti firman-Nya:
”Wahai manusia, telah dibuat sebuah perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tidaklah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah.” (al-Hajj [22]:73). Firman-Nya, ”sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun” oleh Allah disebut dengan masal padahal di dalamnya tidak terdapat isti‘arah maupun tasybih.
Macam-macam Amsal dalam Qur’an
Amsal di dalam Qur’an ada tiga macam; amsdl musarrahah, amsal kaminah dan amsal mursalah.
1). Amsal musarrahah, ialah yang di dalamnya dijelaskan dengan lafaz masal atau sesuatu yang menunjukkan tasybih. Amsal seperti ini banyak ditemukan dalam Qur’an dan berikut ini beberapa di antaranya:
a). Firman Allah mengenai orang munafik:
”Perumpamaan (masal) mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya, Allah menghilangkan cahaya (yang menyinari) mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar) Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat…” sampai dengan “Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.” (al-Baqarah [2]:17-20).
Di dalam ayat-ayat ini Allah membuat dua perumpamaan (masal) bagi orang munafik; masal yang berkenaan dengan api (nari) dalam firman-Nya, “adalah seperti orang yang menyalakan api..”, karena di dalam api terdapat ufsur cahaya; dan masal yang berkenaan dengan air (ma’i), “atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit…”, karena di dalam air terdapat materi kehidupan. Dan wahyu yang turun dari langit pun bermaksud untuk menerangi hati dan menghidupkannya. Allah menyebutkan juga kedudukan dan fasilitas orang munafik dalam dua keadaan. Di satu sisi mereka bagaikan orang yang menyalakan api untuk penerangan dan kemanfaatan; mengingat mereka memperoleh kemanfataan materi dengan sebab masuk Islam. Namun di sisi lain Islam tidak memberikan pengaruh “nur’-nya terhadap hati mereka karena Allah menghilangkan cahaya (nur) yang ada dalam api itu, ’Allah menghilangkan cahaya (yang menyinari) mereka”, dan membiarkan unsur ”membakar” yang ada padanya. Inilah perumpamaan mereka yang berkenaan dengan api.
Mengenai masal mereka yang berkenaan dengan air (ma’i), Allah menyerupakan mereka dengan keadaan orang ditimpa hujan lebat yang disertai gelap gulita, guruh dan kilat, sehingga terkoyaklah kekuatan orang itu dan ia meletakkan jari jemari untuk menyumbat telinga serta memejamkan mata karena takut petir menimpanya. Ini mengingat bahwa Qur’an dengan segala peringatan, perintah, larangan dan khitabnya bagi mereka tidak ubahnya dengan petir yang turun sambar-menyambar.
b). Allah menyebutkan pula dua macam masal, ma’i dan nari, dalam surat ar-Ra‘d, bagi yang hak dan yang batil:
“Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu. membawa buih yang mengambang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan, masal, (bagi) yang benar dan yang batil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tidak ada harganya; adapun yang membert manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.”’ (ar-Ra‘d [13]:17).
Wahyu yang diturunkan Allah dari langit untuk kehidupan hati diserupakan dengan air hujan yang diturunkan-Nya untuk kehidupan bumi dengan tumbuh-tumbuhan. Dan hati diserupakan dengan lembah. Arus air yang mengalir di lembah, membawa buih dan sampah. Begitu pula hidayah dan ilmu bila mengalir di hati akan berpengaruh terhadap nafsu syahwat, dengan menghilangkannya. Inilah masal ma’i dalam firman-Nya, “Dia telah menurunkan air (hujan) dari langit….” Demikianlah Allah membuat masal bagi yang hak dan yang batil.
Mengenai masal ndri, dikemukakan dalam firman-Nya, ’’Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api…” Logam, baik emas, perak, tembaga maupun besi, ketika dituangkan ke dalam api, maka api akan menghilangkar kotoran, karat, yang melekat padanya, dan memisahkannya dari substansi yang dapat dimanfaatkan, sehingga hilanglah karat itu dengan sia-sia, Begitu pula, syahwat akan dilemparkan dan dibuang dengan sia-sia oleh hati orang mukmin sebagaimana arus air menghanyutkan sampah atau api melemparkan karat logam.
2). Amsal kaminah, yaitu yang di dalamnya tidak disebutkan dengan jelas lafaz tamsil (pemisalan) tetapi ia menunjukkan makna-makna yang indah, menarik, dalam kepadatan redaksinya, dan mempunyai pengaruh tersendiri bila dipindahkan kepada yang serupa dengannya. Untuk masal ini mereka mengajukan sejumlah contoh, di antaranya:
- Ayat-ayat yang senada dengan perkataan: (Sebaik-baik urusan adalah pertengahannya), yaitu:
- a) firman Allah mengenai sapi betina:
“Sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan di antara itu…” (al-Bagarah {2]:68),
- b) firman-Nya tentang nafkah:
”Dan mereka yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (al-Furqan [25]:67),
- c) firman-Nya mengenai salat:
“Dan janganiah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu dan jangan pula mer endahkannya, dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.” (al-Isra’ [17}:110),
- d) firman-Nya mengenai infaq:
“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan (pula) terlalu mengulurkannya.” (al-Isra’ [17]:29).
- Ayat yang senada dengan perkataan: (Kabar jtu tidak sama dengan menyaksikan sendiri). Misalnya firman Allah tentang Ibrahim:
“Allah berfirman: ‘Apakah kamu belum percaya?” Ibrahim menjawab: ‘Saya telah percaya, akan tetapi agar bertambah tetap hati saya.’” (al-Baqarah [2):260).
- Ayat yang senada dengan perkataan: (Sebagaimana kamu telah menghutangkan, maka kamu akan dibayar). Misalnya:
“Barangsiapa mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pempalasan dengan kejahatan itu.” (an-Nisa’ [4):123).
- Ayat yang senada dengan perkataan: (Orang mukmin tidak akan disengat dua kali dari lubang yang sama). Misalnya firman melalui lisan Ya‘kub:
“Bagaimana aku mempercayakannya (Bunyamin) kepadamu, kecuali seperti aku telah mempercayakan saudaranya (Yusuf) kepadamu dahulu.” (Yusuf [12]:64).
3). Amsal mursalah, yaitu kalimat-kalimat bebas yang tidak menggunakan lafaz tasybih secara jelas. Tetapi kalimat-kalimat itu berlaku sebagai masal.
Berikut ini contoh-contohnya:
a). “Sekarang ini jelaslah kebenaran itu.” (Yusuf [12]:51),
b). “Tidak ada yang akan menyatakan terjadinya hari itu selain dari Allah.” (an-Najm [53]:58),
c). “Telah diputuskan perkara yang kamu berdua menanyakannya (kepadaku).” (Yusuf {12}:41),
d). “Bukankah subuh itu sudah dekat?” (Hud [11]:81),
e). “Untuk tiap-tiap berita (yang dibawa oleh rasul-rasul) ada (waktu) terjadinya.” (al-An‘am [6]:67),
f). “Dan rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya sendiri.” (Fatir [35]:43),
g). ’Katakanlah: ’Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing.’” (al-Isra’ [17]:84),
h). ‘Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu.” (al-Baqarah [2]:216),
i). ’Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.”’ (al-Muddassir [74]:38),
j). “Adakah balasan kebaikan selain dari kebaikan (pula)?” (arRahman [55]:60),
k). ”Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).”’ (al-Mu’minun [23]:53),
L). ”’Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah.”’ (al-Hajj [22]:73),
m). “Untuk kemenangan serupa ini hendaklah berusaha orang-orang yang bekerja!” (as-Saffat [37]:61),
n). “Tidak sama yang buruk dengan yang baik.”’ (al-Ma’idah [5]: 100),
o). “Betapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah.”’ (al-Baqarah [2]:249),
p). “Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah.” (al-Hasyr [59]:14).
Para ulama berbeda pendapat tentang ayat-ayat yang mereka namakan amsal mursalah ini, apa atau bagaimana hukum mempergunakannya sebagai masal?
Sebagian ahli ilmu memandang hal demikian sebagai telah keluar dari adab Qur’an. Berkata ar-Razi ketika menafsirkan ayat, “Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku.” (al-Kafirun [109]:6): “Sudah menjadi tradisi orang, menjadikan ayat ini sebagai masal (untuk membela, membenarkan perbuatannya — peny.) ketika ia meninggalkan agama, padahal hal demikian tidak dibenarkan. Sebab Allah menurunkan Qur’an bukan untuk dijadikan masal, tetapi untuk direnungkan dan kemudian diamalkan isi kandungannya.”
Golongan lain berpendapat, tak ada halangan bila seseorang mempergunakan Qur’an sebagai masal dalam keadaan sungguhsungguh. Misalnya, ia sangat merasa sedih dan berduka karena tertimpa bencana, sedangkan sebab-sebab tersingkapnya bencana itu telah terputus dari manusia, lalu ia mengatakan, “Tidak ada yang menyingkapkannya selain dari Allah.” (an-Najm [53}:58). Atau ia diajak bicara oleh penganut ajaran sesat yang berusaha membujuknya agar mengjkuti ajarannya itu, maka ia menjawab: “Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku.” (al-Kafirun (109]:6). Tetapi berdosa besarlah seseorang yang dengan sengaja berpura-pura pandai lalu ia menggunakan Qur’an sebagai masal, sampai-sampai ia terlihat bagai sedang bersenda-gurau.
Faedah-faedah Amsal
1). Menonjolkan sesuatu ma‘qul (yang hanya bisa dijangkau akal, abstrak) dalam bentuk konkrit yang dapat dirasakan indra manusia, sehingga akal mudah menerimanya,; sebab pengertian-pengertian abstrak tidak akan tertanam dalam benak kecuali jika ia dituangkan dalam bentuk indrawi yang dekat dengan pemahaman. Misalnya Allah membuat masal bagi keadaan orang yang menafkahkan harta dengan riya’, di mana ia tidak akan mendapatkan pahala sedikit pun dari perbuatannya itu,
“Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah ia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan.” (al-Baqarah [2]:264).
2). Menyingkapkan hakikat-hakikat dan mengemukakan sesuatu yang tidak tampak seakan-akan sesuatu yang tampak. Misalnya:
“Mereka yang memakan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (al-Baqarah [2]:275).
3). Mengumpulkan makna yang menarik lagi indah dalam ungkapan yang padat, seperti amsal kaminah dan amsal mursalah dalam ayat-ayat di atas.
4). Mendorong orang yang diberi masal untuk berbuat sesuai dengan isi masal, jika ia merupakan sesuatu yang disenangi jiwa. Misalnya Allah membuat masal bagi keadaan orang yang menafkahkan harta di jalan Allah, di mana hal itu akan memberikan kepadanya kebaikan yang banyak. Allah berfirman:
”Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan harta mereka di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang la kehendaki. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (al-Baqarah [2]:261).
5). Menjauhkan (tanfir, kebalikan no.4), jika isi masal berupa sesuatu yang dibenci jiwa. Misalnya firman Allah tentang larangan bergunjing:
“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentu kamu merasa jijik kepadanya.” (alHujurat {49}:12).
6). Untuk memuji orang yang diberi masal. Seperti firman-Nya tentang para sahabat:
”Demikianlah perumpamaan (masal) mereka dalam Taurat dan perumpamaan (masal) mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah ia dan tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu. menyenangkan hati penanam-penanamnya, karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin).” (al-Fath [48]:29). Demikianlah keadaan para sahabat. Pada mulanya mereka hanya golongan minoritas, kemudian tumbuh berkembang hingga keadaannya semakin kuat dan mengagumkan hati karena kebesaran mereka.
7). Untuk menggambarkan (dengan masal itu) sesuatu yang mempunyai sifat yang dipandang buruk oleh orang banyak. Misalnya masal tentang keadaan orang yang dikaruniai Kitabullah tetapi ia tersesat jalan hingga tidak mengamalkannya, dalam ayat:
“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi al-Kitab), kemudian ita melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu ia diikuti oleh syaitan (sampai ia tergoda), maka jadilah ia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi ia cenderung kepada dunia dan memperturutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaan (masal)-nya seperti anjing jika kamu menghalaunya dijulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya ia menjulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan (masal) orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir.” (al-A‘raf [7]:175-176).
8). Amsal lebih berpengaruh pada jiwa, lebih efektif dalam memberikan nasihat, lebih kuat dalam memberikan peringatan, dan lebih dapat memuaskan hati. Allah banyak menyebut amsal di dalam Qur’an untuk peringatan dan pelajaran. Ia berfirman:
“Dan sungguh Kami telah membuat bagi manusia di dalam Qur’an ini setiap macam perumpamaan (masal) supaya mereka mendapat pelajaran.” (az-Zumar [39]:27),
”Dan perumpamaan-perumpamaan (amsal) itu Kami buat untuk manusia; dan tidak ada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (al-‘Ankabut [29]:43).
Nabi juga membuat masal dalam hadisnya. Demikian juga pada da‘i yang menyeru manusia kepada Allah mempergunakannya di setiap masa untuk menolong kebenaran dan menegakkan hujjah. Para pendidik pun menggunakannya dan menjadikannya sebagai media untuk menjelaskan dan membangkitkan semangat, serta sebagai media untuk membujuk dan melarang, memuji dan mencaci.
Membuat Masal dengan Qur’an
Telah menjadi tradisi para sastrawan, menggunakan amsal di tempat-tempat yang kondisinya serupa atau sesuai dengan isi amsal tersebut. Jika hal demikian dibenarkan dalam ucapan-ucapan manusia yang telah berlaku sebagai masal, maka para ulama tidak menyukai penggunaan ayat-ayat Qur’an sebagai masal. Mereka tidak memandang perlu bahwa orang harus membacakan sesuatu ayat amsal dalam Kitabullah ketika ia menghadapi suatu urusan duniawi. Hal ini demi menjaga keagungan Qur’an dan kedudukannya dalam jiwa orang-orang mukmin.
Abu ‘Ubaid berkata, “Demikianlah, seseorang yang ingin bertemu dengan sahabatnya atau ada kepentingan dengannya, tiba-tiba sahabat itu datang tanpa diminta, maka ia berkata kepadanya secara humor: “Kamu datang menurut waktu yang ditetapkan wahai Musa’ (Ta Ha [20]:40). Perbuatan demikian merupakan penghinaan terhadap Qur’an.” Ibn Syihab az-Zuhri berkata, ’Janganiah kamu menyerupakan (sesuatu) dengan Kitabullah dan sunnah Rasulullah.” Maksudnya, kata Abu ‘Ubaid, janganlah kamu. menjadikan bagi keduanya sesuatu perumpamaan, baik berupa ucapan maupun perbuatan.
Kesiapan jiwa setiap individu dalam menerima kebenaran dan tunduk terhadap cahayanya itu berbeda-beda. Jiwa yang jernih yang fitrahnya tidak ternoda kejahatan akan segera menyambut petunjuk dan membukakan pintu hati bagi sinarnya serta berusaha mengikutinya sekalipun petunjuk itu sampai kepadanya hanya sepintas kilas. Sedang jiwa yang tertutup awan kejahilan dan diliputi gelapnya kebatilan tidak akan tergoncang hatinya kecuali dengan pukulan peringatan dan bentuk kalimat yang kuat lagi kokoh, sehingga dengan demikian barulah tergoncang keingkarannya itu. Qasam (sumpah) dalam pembicaraan, termasuk salah satu uslub pengukuhan kalimat yang diselingi dengan bukti konkrit dan dapat menyeret lawan untuk mengakui apa yang diingkarinya.
Definisi dan Sigat Qasam
Aqsam adalah bentuk jamak dari gasam yang berarti al-hilf dan al-yamin, yakni sumpah. Sigat asli qasam ialah fi‘il atau kata kerja “aqsama” atau “ahlafa” yang di-muta‘addi(transitif)-kan dengan ”ba” untuk sampai kepada muqsam bih (sesuatu yang digunakan untuk bersumpah), lalu disusul dengan muqsam ‘alaih (sesuatu yang karena sumpah diucapkan) yang dinamakan dengan jawab qasam. Misalnya firman Allah: “Mereka bersumpah dengan nama Allah, dengan sumpah yang sungguh-sungguh, bahwasanya Allah tidak akan membangkitkan orang yang mati.” (an-Nahl [16]:38).
Dengan demikian, ada tiga unsur dalam sigat qasam: fi‘il yang ditransitifkan dengan ba’, muqsam bih dan muqsam ‘alaih.
Oleh karena qasam itu sering dipergunakan dalam percakapan maka ia diringkas, yaitu fi‘il qasam dihilangkan dan dicukupkan dengan *ba”.? Kemudian ”ba” pun diganti dengan “wawu” pada isim zahir, seperti: (Demi malam, bila menutupi [cahaya siang]) (al-Lail [92]:1), dan diganti dengan ta” pada lafaz jalalah, misalnya: (Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu.) (al-Anbiya’ [21]:57). Namun qasam dengan “ta” ini jarang dipergunakan, sedang yang banyak ialah dengan “’wawu”.
Qasam dan yamin adalah dua kata sinonim, mempunyal makna yang sama. Qasam didefinisikan sebagai “mengikat jiwa (hati) agar tidak melakukan atau melakukan sesuatu, dengan ’suatu makna’ yang dipandang besar, agung, baik secara hakiki maupun secara i‘tiqadi, oleh orang yang bersumpah itu.” Bersumpah dinamakan juga dengan yamin (tangan kanan), karena orang Arab ketika sedang bersumpah memegang tangan kanan sahabatnya.
Faedah Qasam dalam Qur’an
Bahasa Arab mempunyai keistimewaan tersendiri berupa kelembutan ungkapan dan beraneka ragam uslubnya sesuai dengan berbagai tujuannya. Lawan bicara (mukhatab) mempunyai beberapa keadaan yang dalam ilmu Ma‘ani disebut adrubul khabar as-salasah atau tiga macam pola penggunaan kalimat berita; ibtida’i, talabi dan inkari.
Mukhatab terkadang seorang berhati kosong (khaliyuz zihni), sama sekali tidak mempunyai persepsi akan pernyataan (hukum) yang diterangkan kepadanya, maka perkataan yang disampaikan kepadanya tidak perlu memakai penguat (ta’kid). Penggunaan perkataan demikian dinamakan ibtida’i.
Terkadang pula ia ragu-ragu terhadap kebenaran pernyataan yang disampaikan kepadanya. Maka perkataan untuk orang semacam ini sebaiknya diperkuat dengan suatu penguat guna menghilangkan keraguannya. Perkataan demikian dinamakan falabi.
Dan terkadang ia inkar atau menolak isi pernyataan. Maka pembicaraan untuknya harus disertai penguat sesuai kadar keingkarannya, kuat atau lemah. Pembicaraan demikian dinamakan inkari.
Qasam merupakan salah satu penguat perkataan yang masyhur untuk memantapkan dan memperkuat kebenaran sesuatu di dalam jiwa. Qur’an al-Karim diturunkan untuk seluruh manusia, dan manusia mempunyai sikap yang bermacam-macam terhadapnya. Di antaranya ada yang meragukan, ada yang mengingkari dan ada pula yang amat memusuhi. Karena itu dipakailah qasam dalam Kalamullah, guna menghilangkan keraguan, melenyapkan kesalahpahaman, menegakkan hujjah, menguatkan khabar dan menetapkan hukum dengan cara paling sempurna.
Muqsam Bih dalam Qur’an
Allah bersumpah dengan Zat-Nya yang kudus dan mempunyai sifatsifat khusus, atau dengan ayat-ayat-Nya yang memantapkan eksistensi dan sifat-sifat-Nya. Dan sumpah-Nya dengan sebagian makhluk menunjukkan bahwa makhluk itu termasuk salah satu ayat-Nya yang besar.
Allah telah bersumpah dengan Zat-Nya sendiri dalam Qur’an pada tujuh tempat:
1) ”Orang-orang kafir menyangka bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: Tidak demikian, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan.” (at-Taqabun [64]:7),
2) ”Dan orang-orang kafir berkata: Hari berbangkit itu tidak akan datang kepada kami. Katakanlah: Pasti datang, demi Tuhanku, sungguh kiamat itu pasti akan datang kepadamu.” (Saba’ [34]:3),
3) ”Dan mereka menanyakan kepadamu: Benarkah (azab yang dijanjikan) itu? Katakanlah: Ya, demi Tuhanku, sesungguhnya azab itu benar.” (Yunus [10]:53),
Dalam ketiga ayat ini Allah memerintahkan Nabi agar bersumpah dengan zat-Nya.
4). “Demi Tuhanmu, sungguh Kami akan membangkitkan mereka bersama syaitan.” (Maryam [19}:68),
“Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua!” (al-Hijr (15]:92),
6) “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan.” (an-Nisa’ [4]:65) dan
7) “Maka Aku bersumpah dengan Tuhan yang memiliki timur dan barat.” (al-Ma‘arij {70]:40).
Selain ketujuh tempat ini semua sumpah dalam Qur’an adalah dengan makhluk-Nya. Misalnya:
“Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan bulan apabila mengiringinya…”. (asy-Syams [91]:1-7),
”Demi malam apabila menutupi (cahaya siang), dan siang apabila terang benderang, dan penciptaan laki-laki dan perempuan.” (at-Lail (92}:1-3),.
“Demi fajar, dan malam yang sepuluh…” (al-Fajr [89]:1-4),
“Sungguh, Aku bersumpah dengan bintang-bintang.” (at-Takwir (81]:15) dan
“Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun, dan demi bukit Sinai.” (at-Tin [95]:1-2).
Sumpah dengan makhluk-Nya inilah yang paling banyak dalam Qur’an.
Allah dapat saja bersumpah dengan apa yang dikehendaki-Nya. Akan tetapi sumpah manusia dengan selain Allah merupakan salah satu bentuk kemusyrikan. Dari Umar bin Khattab r.a. diceritakan, Rasulullah berkata:
“Barang siapa bersumpah dengan selain (nama) Allah, maka ia telah kafir atau telah mempersekutukan (Allah).”
Allah bersumpah dengan makhluk-Nya, karena makhluk itu menunjukkan Penciptanya, yaitu Allah, di samping menunjukkan pula akan keutamaan dan kemanfaatan makhluk tersebut, agar dijadikan pelajaran bagi manusia. Dari al-Hasan diriwayatkan, ia berkata:
”Allah boleh bersumpah dengan makhluk yang dikehendaki-Nya. Namun tidak boleh bagi seorang pun bersumpah kecuali dengan (nama) Allah.”
Macam-macam Qasam
Qasam itu adakalanya zdhir (jelas, tegas) dan adakalanya mudmar (tidak jelas, tersirat).
1). Zahir, ialah sumpah yang di dalamnya disebutkan fi‘il qasam dan muqsam bih. Dan di antaranya ada yang dihilangkan fi‘il qasamnya, sebagaimana pada umumnya, karena dicukupkan dengan huruf jarr berupa ba’, ”wawu” dan ”ta”.
Di beberapa tempat, fi‘il qasam terkadang didahului (dimasuki) “LA” nafy, seperti: (Tidak, Aku bersumpah dengan hari kiamat. Dan tidak, Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).) (al-Qiyamah [75]:1-2).
Dikatakan, ”LA” di dua tempat ini adalah “LA” nafy yang berarti “tidak”, untuk menafikan sesuatu yang tidak disebutkan yang sesuai dengan konteks sumpah. Dan taqdir (perkiraan arti)-nya adalah: ”Tidak benar apa yang kamu sangka, bahwa hisab dan siksa itu tidak ada.” Kemudian baru dilanjutkan dengan kalimat berikutnya: ’”Aku bersumpah dengan hari kiamat dan dengan nafsu lawwamah, bahwa kamu kelak akan dibangkitkan.” Dikatakan pula bahwa ”LA” tersebut untuk menafikan qasam, seakan-akan Ia mengatakan: ”Aku tidak berSumpah kepadamu dengan hari itu dan nafsu itu. Tetapi Aku bertanya kepadamu tanpa sumpah, apakah kamu mengira bahwa Kami tidak akan mengumpulkan tulang belulangmu setelah hancur berantakan karena kematian? Sungguh masalahnya teramat jelas, sehingga tidak lagi memerlukan sumpah.” Tetapi dikatakan pula, ”LA” tersebut za’idah (tambahan). Pernyataan jawab qasam dalam ayat di atas tidak disebutkan tetapi telah ditunjukkan oleh perkataan sesudahnya, ’Apakah manusia mengira…” (al-Qiyamah [75]:3). Taqdirnya ialah: ’”Sungguh kamu akan dibangkitkan dan akan dihisab.”
2). Mudmar, yaitu yang di dalamnya tidak dijelaskan fi‘il qasam dan tidak pula muqsam bih, tetapi ia ditunjukkan oleh “Lam taukid” yang masuk ke dalam jawab qasam, seperti firman Allah: (Kamu sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu.) (Ali ‘Imran [3]:186). Maksudnya, Demi Allah, kamu sungguh-sungguh akan diuji…
Hal Ihwal Muqsam ‘Alaih
1). Tujuan qasam adalah untuk mengukuhkan dan mewujudkan muqsam ‘alaih (jawab qasam, pernyataan yang karenanya qasam diucapkan). Karena itu, muqsam ‘alaih haruslah berupa hal-hal yang layak didatangkan qasam baginya, seperti hal-hal gaib dan tersembunyi jika qasam itu dimaksudkan untuk menetapkan keberadaannya.
2). Jawab qasam itu pada umumnya disebutkan. Namun terkadang ada juga yang dihilangkan, sebagaimana jawab ”LAU” (jika) sering dibuang, seperti firman Allah: (Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan “pengetahuan yang yakin.) (atTakasur [102]:5). Penghilangan seperti ini merupakan salah satu uslub paling baik, sebab menunjukkan kebesaran dan keagungan. Dan taqdir ayat ini ialah: ’Seandainya kamu mengetahui apa yang akan kamu hadapi secara yakin, tentulah kamu akan melakukan kebaikan yang tidak terlukiskan banyaknya.”
Penghilangan jawab qasam, misalnya: (Demi fajar, dan malam yang ‘Sepuluh, dan yang genap dan yang ganjil, dan malam bila berlalu. Pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang dapat diterima) oleh orang-orang yang berakal. Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum ‘Ad?) (al-Fajr [89]:1-6). Yang dimaksud dengan qasam di sini ialah, waktu yang mengandung amal amal seperti ini pantas untuk dijadikan oleh Allah sebagai muqsam bih. Karena itu ia tidak memerlukan jawaban lagi. Namun demikian, ada sementara pendapat mengatakan, jawab gasam itu dihilangkan, yakni: “Kamu pasti akan disiksa wahai orang kafir Mekah.” Juga ada pendapat lain mengatakan, jawab itu disebutkan, yaitu firmanNya: (Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi.) (al-Fajr [89]:14). Pendapat yang benar dan sesuai dalam hal jni adalah bahwa qasam tidak memerlukan jawaban.
Jawab qasam terkadang dihilangkan karena sudah ditunjukkan oleh perkataan yang disebutkan sesudahnya, seperti: (Aku bersumpah dengan hari kiamat dan Aku bersumpah dengan jiwa yang banyak mencela.) (al-Qiyamah [75]:1-2). Jawab qasam di sini dihilangkan karena sudah ditunjukkan oleh firman sesudahnya, yaitu: (Apakah manusia mengira bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang belulangnya?) (al-Qiyamah [75]:3). Taqdirnya ialah: Sungguh kamu akan dibangkitkan dan dihisab.
3). Fi‘l madi musbat mutasarrif yang tidak didahului ma‘mul-nya apabila menjadi jawab qasam, harus disertai dengan “lam” dan ”qad”. Dan salah satu keduanya ini tidak boleh dihilangkan kecuali jika kalimat terlalu panjang, seperti: (Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan bulan apabila mengiringinya, dan siang apabila menampakkannya, dan malam apabila menutupinya, dan langit serta pembinaannya, dan bumi serta penghamparannya, dan jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu.) (asy-Syams [91]:1-9). Jawab qasamnya ialah (ayat ke-9). “Lam” pada ayat ini dihilangkan karena kalam terlalu panjang.
Atas dasar itu para ulama berpendapat tentang firman Allah: (Demi lahgit yang mempunyai gugusan bintang, dan hari yang dijanjikan, dan yang menyaksikan dan yang disaksikan. Telah dibinasakan orang-orang yang membuat parit.) (al-Buruj [85]:1-4): Yang paling baik ialah qasam di sini tidak memerlukan jawab, sebab maksudnya adalah mengingatkan akan muqsam bih karena ia termasuk ayat-ayat Tuhan yang besar. Dalam pada itu ada yang berpendapat, jawab qasam tersebut dihilangkan dan ditunjukkan oleh ayat keempat. Maksudnya, mereka itu — yakni orang kafir Mekah — terkutuk sebagaimana ashébul ukhdiid terkutuk. Juga ada yang mengatakan, yang dihilangkan itu hanyalah permulaannya saja, dan taqdirnya ialah: sebab fi‘il madi jika menjadi jawab qasam harus disertai ”lam’’ dan ”qad’’, dan tidak boleh dihilangkan salah satunya kecuali jika kalam telalu panjang sebagaimana telah dikemukakan di atas, berkenaan dengan firman-Nya Q.S. 91:1-9.
4). Allah bersumpah atas (untuk menetapkan) pokok-pokok keimanan yang wajib diketahui makhluk. Dalam hal ini terkadang Ia bersumpah untuk menjelaskan tauhid, seperti firman-Nya:
“Demi (rombongan) yang bersaf-saf dengan sebenar-benarnya, dan demi (rombongan) yang melarang dengan sebenar-benarnya (dari perbuatan-perbuatan maksiat), dan demi (rombongan) yang membacakan pelajaran, sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Esa.” (as-Saffat [37]:1-4).
Terkadang untuk menegaskan bahwa Qur’an itu hak, seperti firman-Nya:
”Maka Aku bersumpah dengan masa turunnya bagian-bagian Qur’an. Sesungguhnya sumpah itu adalah sumpah yang besar kalau kamu mengetahut. Sesungguhnya Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia.”’ (al-Wagqi‘ah [56]:75-77).
Terkadang untuk menjelaskan bahwa Rasul itu benar, seperti dalam:
“Ya sin. Demi Qur’an yang penuh hikmah, sesungguhnya kamu adalah salah seorang dari rasul-rasul.”’ (Ya Sin [36]:1-3).
Terkadang untuk menjelaskan balasan, janji dan ancaman, seperti:
”Demi (angin) yang menebarkan debu dengan sekuat-kuatnya, dan awan yang mengandung hujan, dan kapal-kapal yang berlayar dengan mudah, dan (malaikat-malaikat) yang membagi-bagi urusan, Sesungguhnya apa yang dijanjikan kepadamu pasti benar, dan sesungguhnya (hari) pembalasan pasti terjadi.” (az-Zariyat [51}:1-6).
Dan terkadang juga untuk menerangkan keadaan manusia, seperti dalam:
“Demi malam apabila menutupi (cahaya siang), dan siang apabila terang benderang, dan penciptaan laki-laki dan perempuan, sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda.” (al-Lail [92]:1-4).
Siapa saja yang meneliti dengan cermat qasam-qasam dalam Qur’an, tentu ia akan memperoleh berbagai macam pengetahuan yang tidak sedikit.
5). Qasam itu adakalanya atas jumlah khabariyah, dan inilah yang paling banyak, seperti firman-Nya:
”Maka demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi).” (az-Zariyat [51]:23). Dan adakalanya dengan jumlah talabiyah secara maknawi, seperti:
“Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu.” (al-Hijr (15): 92-93). Yang dimaksud dengan ayat ini ialah ancaman dan peringatan.
Qasam dan Syarat
Apabila gasam dan syarat berkumpul dalam suatu kalimat, sehingga yang satu masuk ke dalam yang lain, maka unsur kalimat yang menjadi jawab adalah bagi yang terletak lebih dahulu dari keduanya, baik qasam maupun syarat, sedang jawab dari yang terletak kemudian tidak diperlukan.
Apabila qasam mendahului syarat, maka unsur yang menjadi jawab adalah bagi qasam, dan jawab syarat tidak diperlukan lagi. Misalnya: “Jika kamu tidak berhenti, pasti kamu akan kurejam.” (Maryam [19]:46). Dalam ayat ini berkumpul qasam dan syarat, sebab taqdirnya ialah: ’Demi Allah, jika kamu tidak berhenti…”
Tam’ yang masuk ke dalam syarat itu bukanlah ”lam” jawab qasam sebagaimana yang terdapat dalam firman-Nya:
“Demi Allah, sungguh aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu.” (al-Anbiya’ [21]:57). Tetapi ia adalah ”lam” yang masuk ke dalam ad@tusy syarat yang berfungsi sebagai indikator bahwa pernyataan jawab yang sesudahnya adalah bagi qasam yang sebelumnya, bukan bagi syarat. ’Lam’’ demikian dinamakan lam mu’zinah (indikator) dan juga dinamakan lam mauti’ah (pengantar), karena ia mengantarkan atau merintis jawaban: bagi qasam. Misalnya:
’Sesungguhnya jika mereka diusir, orang-orang munaftk itu tidak akan keluar bersama mereka, dan sesungguhnya jika mereka diperangi, niscaya mereka tidak akan menolongnya; sesungguhnya jika mereka menolongnya, niscaya mereka akan berpaling ke belakang, kemudian mereka tidak akan mendapat pertolongan.” (al-Hasyr [59]: 12).
Lam mauti’ah ini pada umumnya masuk ke dalam ”in syartiyah’, tetapi terkadang pula masuk ke dalam yang lain.
Tidak dapat dikatakan, kalimat ”syarat’’ itu adalah jawab bagi qasam yang dikira-kirakan, karena ’’syarat’’ tidak dapat menjadi jawab. Ini mengingat jawab haruslah berupa kalimat berita. Sedangkan “syarat” adalah insy@’, bukan kalimat berita. Dengan demikian, firman. Allah pada contoh pertama, Oran. adalah jawab bagi qasam yang. dikira-kirakan dan tidak diperlukan lagi jawab syarat.
Masuknya ”lam mauti’ah” qasam ke dalam syarat tidaklah wajib. Sebab ”lam” itu terkadang dihilangkan adahal qasam tetap diperkirakan sebelum syarat. Misalnya firman Allah: (Dan jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksa yang pedih.) (al-Ma’idah [5]:73).
Bukti bahwa jawab itu bagi qasam, bukan bagi syarat, adalab masuknya ”lam” ke dalamnya di samping lafaz yang menjadi jawab tersebut tidak majzum. Ini dapat dilihat, misalnya, pada ayat: (al-Isra’ [17]:88). Seandaiaya lafaz adalah jawab bagi syarat, tentu ia majzum.
Adapun firman-Nya: (Ali ‘Imran (3]: 158), maka “lam” pada adalah mauti’ah bagi qasam; sedang “lam” pada adalah “lam” qasam, yaitu lam yang terletak pada jawab qasam. Dan “nun taukid” (nun penguat) tidak dimasukkan ke dalam fi‘il (yang menjadi jawab)’ karena antara lam qasam dengan fi‘il tersebut terpisah oleh jar majrur. Asalnya ialah
Beberapa Fi‘il yang Berfungsi sebagai Qasam
Apabila qasam berfungsi memperkuat muqsam‘alaih, maka beberapa fi‘il dapat difungsikan sebagai qasam jika konteks kalimatnya menunjukkan makna qasam. Misalnya: (Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): Hendaklah kamu menerangkan ist kitab itu kepada manusia…) (Ali ‘Imran [3]:187). ”Lam” pada adalah lam qasam, dan kalimat sesudahnya adalah jawab qasam, sebab ”akhzul misaq” (mengambil janji) artinya adalah “istihlaf’ (mengambil sumpah).
Atas dasar ini para mufasir memfungsikan sebagai qasam firman Allah berikut:
(Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah…) (al-Baqarah [2]:83),
(Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari kamu (yaitu): Kamu tidak akan menumpahkan darahmu (membunuh orang)…) (al-Baqarah [2]:84), dan
(Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa…) (an-Nur [24]:55).
Hakikat-hakikat yang sudah jelas nampak dan nyata telah dapat disentuh manusia, dibeberkan oleh bukti-bukti alam dan tidak memerjukan lagi argumentasi lain untuk menetapkannya dalil atas kebenarannya. Namun demikian, kesombongan seringkali mendorong seseorang untuk membangkitkan keraguan dan mengacaukan hakikat-hakikat tersebut dengan berbagai kerancuan yang dibungkus baju kebenaran serta dihiasinya dalam cermin akal. Usaha demikian ini perlu dihadapi dengan hujjah agar hakikat-hakikat tersebut mendapat pengakuan yang semestinya, dipercayai atau malah diingkari. Qur’an al-Karim, seruan Allah kepada seluruh umat manusia, berdiri tegak di hadapan berbagai macam arus yang mengupayakan kebatilan untuk mengingkari hakikathakikatnya dan memperdebatkan pokok-pokoknya. Karenanya ia perlu membungkam intrik-intrik mereka secara konkrit dan realistis serta menghadapi mereka dengan uslub bahasa yang memuaskan, argumentasi yang pasti dan bantahan yang tegar.
Definisi Jadal
Jadal dan jidal adalah bertukar pikiran dengan cara bersaing dan berlomba untuk mengalahkan lawan. Pengertian ini berasal dari kata-kata: yakni (aku kokohkan jalinan tali itu), mengingat kedua belah pihak yang berdebat itu mengokohkan pendapatnya masing-masing dan berusaha menjatuhkan lawan dari pendirian yang dipeganginya.
Allah menyatakan dalam Qur’an bahwa jadal atau berdebat merupakan salah satu tabiat manusia:
“Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak debatannya.” (al-Kahfi [18]:54), yakni paling banyak bermusuhan dan bersaing.
Rasulullah juga diperintahkan agar berdebat dengan kaum musyrik dengan cara yang baik yang dapat meredakan keberingasan mereka. Firman-Nya:
“Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan debatlah mereka dengan cara yang paling baik.” (an-Nahl [16]:125).
Di samping itu, Allah memperbolehkan juga ber-munazarah (berdiskusi) dengan Ahli Kitab dengan cara yang baik. Firman-Nya:
”Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab melainkan dengan cara yang paling baik.” (al-‘Ankabut [29]:46).
Mundazarah demikian bertujuan untuk menampakkan hak (kebenaran sejati) dan menegakkan hujjah atas validitasnya. Itulah esensi metoda jadal Qur’an dalam memberi petunjuk kepada orang kafir dan mengalahkan para penentang Qur’an. Ini berbeda dengan perdebatan Orang yang memperturutkan hawa nafsu, di mana perdebatannya hanya merupakan persaingan yang batil. Allah berfirman:
”…Tetapi orang-orang kafir membantah dengan yang batil…” (al-Kahfi [18]:56).
Metode Berdebat yang Ditempuh Qur’an
Qur’an al-Karim dalam berdebat dengan para penantangnya banyak mengemukakan dalil dan bukti kuat serta jelas yang dapat dimengerti kalangan awam dan orang ahli. la membatalkan setiap kerancuan vulgar dan mematahkannya dengan perlawanan dan pertahanan dalam uslub yang konkrit hasilnya, indah susunannya dan tidak memerlukan pemerasan akal atau banyak penyelidikan.
Qur’an tidak menempuh metode yang dipegang teguh oleh para ahli kalam yang memerlukan adanya mugaddimah (premis) dan natijah (konklusi), seperti dengan cara ber-istidlal (inferensi) dengan sesuatu yang bersifat kulliy (universal) atas yang juz’iy (partial) dalam qiyas syumul, beristidlal dengan salah satu dua juz’iy atas yang lain dalam qiyds tamsil, atau beristidlal dengan juz’iy atas kulliy dalam qiyas istiqra’. Hal itu disebabkan:
- Qur’an datang dalam bahasa Arab dan menyeru mereka dengan bahasa yang mereka ketahui.
- Bersandar pada fitrah jiwa, yang percaya kepada apa yang disaksikan dan dirasakan, tanpa perlu penggunaan pemikiran mendalam dalam beristidlal adalah lebih kuat pengaruhnya dan lebih efektif hujjahnya.
- Meninggalkan pembicaraan yang jelas, dan mempergunakan tutur kata yang jlimet dan pelik, merupakan kerancuan dan teka-teki yang hanya dapat dimengerti kalangan ahli (khas). Cara demikian yang biasa ditempuh para ahli Mantiq (logika) ini tidak sepenuhnya benar. Karena itu dalil-dalil tentang tauhid dan hidup kembali di akhirat yang diungkapkan dalam Qur’an merupakan daldlah tertentu yang dapat memberikan makna yang ditunjukkannya secara otomatis tanpa harus memasukkannya ke dalam qadiyah kulliyah (universal proposition).
Berkata Syaikhul Islam Ibn Taimiyah dalam kitabnya, ar-Raddu ‘alal Mantiqiyyin:
“Dalil-dalil analogi yang dikemukakan para ahli debat, yang mereka namakan ‘bukti-bukti’ (bardhin) untuk menetapkan adanya Tuhan, Sang Pencipta, Yang Mahasuci dan Mahatinggi itu, sedikit pun tidak dapat menunjukkan esensi Zat-Nya. Tetapi hanya menunjukkan sesuatu yang mutlak dan universal yang konsepnya itu sendiri tidak bebas dari kemusyrikan. Sebab jika kita mengatakan, “Ini adalah muhda$ (baharu) dan setiap yang muhdas pasti mempunyai muhdiss (pencipta)’; atau ’ini adalah sesuatu yang mungkin dan setiap yang mungkin harus mempunyai yang wajib’, pernyataan seperti ini hanya menunjukkan muhdis mutlak atau wajib mutlak… Konsepnya tidak bebas dari kemusyrikan”… Selanjutnya ia mengatakan: ’Argumentasi mereka ini tidak menunjuk kepada sesuatu tertentu secara pasti dan spesifik, tidak menunjukkan wdjibul wujdd atau yang lain. Tetapi ia hanya menunjuk kepada sesuatu yang kulliy, padahal sesuatu yang kulliy itu konsepnya tidak terlepas dari kemusyrikan. Sedang wdjibul wujid, pengetahuan mengenainya, dapat menghindarkan dari kemusyrikan. Dan barang siapa tidak mempunyai konsep tentang sesuatu yang bebas dari kemusyrikan, maka ia belum berarti telah mengenal Allah…” “Ini berbeda”, lanjutnya “dengan ayat-ayat yang disebutkan Allah dalam Kitab-Nya, seperti firman-Nya:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu la hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan la sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh terdapat tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (al-Baqarah [2]:164), dan firman-Nya:
”Sesungguhnya pada apa yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal, bagi kaum yang berpikir” dan lain sebagainya; menunjukkan sesuatu yang tertentu, seperti matahari yang merupakan tanda bagi siang hari… Dan firman-Nya:
“Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari karunia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan.” (al-Isra’ [17]:12).
Ayat-ayat tersebut menunjukkan esensi Pencipta Yang Tunggal, Allah s.w.t., tanpa serikat antara Dia dengan yang lain. Segala sesuatu selain Dia selalu membutuhkan Dia, karena itu eksistensi segala sesuatu itu menuntut secara pasti eksistensi Pencipta itu sendiri’.
Dalil-dalil Allah atas ketauhidan-Nya, ma‘ad (hidup kembali di akhirat) yang diberitakan-Nya dan bukti-bukti yang ditegakkan-Nya bagi kebenaran rasul-rasul-Nya, tidak memerlukan qiyas syumil atau qiyas tamsil. Akan tetapi dalil-dalil tersebut benar-benar menunjukkan maknanya secara nyata. Pengetahuan tentang itu menuntut pengetahuan tentang makna yang ditunjukkannya; dan proses perpindahan pikiran dari dalil tersebut kepada madlulnya pun sangat jelas bagai proses perpindahan pikiran dari melihat sinar matahari ke pengetahuan tentang terbitnya matahari itu. Inferensi semacam ini bersifat aksiomatik (badihi) dan dapat dipahami oleh semua akal.
Berkata az-Zarkasyi:” Ketahuilah bahwa Qur’an telah mencakup segala macam dalil dan bukti. Tidak ada satu dalil pun, satu bukti atau definisi-definisi mengenai sesuatu, baik berupa persepsi akal maupun dalil naqli yang universal, kecuali telah dibicarakan oleh Kitabullah. Tetapi Allah mengemukakannya sejalan dengan kebiasaankebiasaan bangsa Arab; tidak menggunakan metode-metode berpikir jlmu kalam yang rumit, karena dua hal:
Pertama, mengingat firman-Nya: “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun melainkan dengan bahasa kaumnya.” (Ibrahim [14}]:4).
Kedua, bahwa orang yang cendrung menggunakan argumentasi pelik dan rumit itu sebenarnya ia tidak sanggup menegakkan hujjah dengan kalam agung. Sebab, orang yang mampu memberikan pengertian (persepsi) tentang sesuatu dengan cara lebih jelas yang bisa dipahami sebagian besar orang, tentu tidak perlu melangkah ke cara yang lebih kabur, rancu dan berupa teka teki yang hanya dipahami oleh segelintir orang. Oleh karena itu Allah memaparkan seruan-Nya dalam berargumentasi dengan makhluk-Nya dalam bentuk argumentasi paling agung yang meliputi juga bentuk paling pelik, agar orang awam dapat memahami dari yang agung itu apa yang dapat memuaskan dan mengharuskan mereka menerima hujjah, dan dari celah-celah keagungannya kalangan ahli dapat memahami juga apa yang sesuai dengan tingkat pemahaman para sastrawan.
Dengan pengertian itulah hadis: “Sesungguhnya setiap ayat itu mempunyai lahir dan batin, dan setiap huruf mempunyai sesuatu hadd dan matla” diartikan, tidak dengan pendapat kaum Batiniyah. Dari sisi ini maka setiap orang yang mempunyai ilmu pengetahuan lebih banyak, tentu akan lebih banyak pula pengetahuannya tentang ilmu Qur’an. Itulah sebabnya apabila Allah menyebutkan hujjah atas rubabiyah (ketuhanan) dan wahdaniyah (keesaan)-Nya selalu dihubungkan, kadang-kadang, dengan “mereka yang berakal’’, dengan “mereka yang mendengar”, dengan ’mereka yang berpikir’, dan terkadang dengan “mereka yang mau menerima pelajaran”. Hal ini untuk mengingatkan, setiap potensi dari potensi-potensi tersebut dapat digunakan untuk memahami hakikat hujjah-Nya itu. Misalnya firman Allah:
“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berakal.” (ar-Ra‘d [13]:4) dan sebagainya.
Ketahuilah bahwa terkadang nampak dari ayat-ayat Qur’an, melalui kelembutan pemikiran, penggalian dan penggunaan bukti-bukti rasional menurut metode ilmu kalam… Di antaranya ialah pembuktian tentang Pencipta alam ini hanya satu, berdasarkan induksi yang diisyaratkan dalam firman-Nya:
“Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah hancur binasa.” (al-Anbiya’ [21]:22). Sebab, seandainya alam ini mempunyai dua pencipta, tentu pengendalian dan pengaturan keduanya tidak akan berjalan secara teratur dan kokoh, dan bahkan sebaliknya, kelemahan akan menimpa mereka atau salah seorang dari keduanya. Itu disebabkan, andaikata salah seorang dari keduanya ingin menghidupkan suatu jisim, sedang yang lain ingin mematikannya maka dalam hal ini tidak terlepas dari tiga kemungkinan; a) keinginan keduanya dilaksanakan maka hal ini akan menimbulkan kontradiksi, karena mustahil terjadi pemilahan kerja andai terjadi kesepakatan di antara mereka berdua, dan tidak mungkin dua hal yang bertentangan dapat berkumpul jika tidak terjadi kesepakatan; b) keinginan mereka tidak terlaksana, maka yang demikian menyebabkan kelemahan mereka; dan c) keinginan salah satunya tidak terlaksana, dan ini menyebabkan kelemahannya, padahal Tuhan tidaklah lemah.
Macam-macam Perdebatan dalam Qur’an dan Dalilnya
1). Menyebutkan ayat-ayat kauniyah yang disertai perintah melakukan perhatian dan pemikiran untuk dijadikan dalil bagi penetapan dasar-dasar akidah, seperti ketauhidan Allah dalam uluhiyah-nya dan keimanan kepada malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian. Perdebatan macam ini banyak diungkap dalam Qur’an.
Misalnya firman Allah:
”Wahai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (al-Baqarah [2]:21-22), dan firman-Nya:
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada tuhan melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang” sampai dengan “sungguh terdapat tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kKaum yang memikirkan.”’ (al-Baqarah [2]:163-164).
2). Membantah pendapat para penantang dan lawan, serta mematahkan argumentasi mereka. Perdebatan macam ini mempunyai beberapa bentuk:
- Membungkam lawan bicara dengan mengajukan pertanyaan tentang hal-hal yang telah diakui dan diterima baik oleh akal, agar ia mengakui apa yang tadinya diingkari, seperti penggunaan dalil dengan makhluk untuk menetapkan adanya Khalik. Misalnya ayat:
“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan). Ataukah di sisi mereka ada perbendaharaan Tuhanmu ataukah mereka yang berkuasa? Ataukah mereka mempunyai tangga (ke langit) untuk mendengarkan pada tangga itu (hal-hal yang gaib)? Maka hendaklah orang yang mendengarkan di antara mereka mendatangkan suatu keterangan yang nyata. Ataukah untuk Allah anak-anak perempuan dan untuk kamu anak-anak laki-laki? Ataukah kamu meminta upah kepada mereka sehingga mereka dibebani dengan utang? Apakah ada pada sisi mereka pengetahuan tentang yang lalu mereka menuliskannya? Ataukah mereka hendak melakukan tipu daya? Maka orang-orang kafir itu merekalah yang kena tipu daya. Ataukah mereka mempunyai tuhan selain Allah? Mahasuci Allah dari apa yang mereka sekutukan.” (at-Tur [52}:35-43).
- Mengambil dalil dengan mabda’ (asal mula kejadian) untuk menetapkan ma‘ad (hari kebangkitan). Misalnya firman-Nya:
“Maka apakah Kami letih dengan penciptaan yang pertama? Sebenarnya mereka dalam keadaan ragu-ragu tentang penciptaan yang baru.” (Qaf [50}:15), firman-Nya:
*Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungan jawab)? Bukankah ia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim)? Kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya dan menyempurnakannya. Lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang laki-laki dan perempuan. Bukankah (Allah yang berbuat demikian) berkuasa (pula) menghidupkan orang mati?” (al-Qiyamah [75]:36-40); dan ayat:
’”Maka khendaklah manusia memperhatikan dari apakah ia diciptakan? Ia diciptakan dari air yang terpancar. Yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan. Sesungguhnya Allah benar-benar berkuasa untuk mengembalikannya (hidup sesudah mati).”’ (at-Tariq [86]:5-8).
Termasuk di antaranya beristidlal dengan kehidupan bumi sesudah matinya (kering) untuk menetapkan kehidupan sesudah mati untuk dihisab. Misalnya:
“Dan sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan)-Nya ialah bahwa kamu melihat bumi itu kering tandus, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan yang menghidupkannya tentu dapat menghidupkan yang mati.” (FusSilat [41]:39).
- Membatalkan pendapat lawan dengan membuktikan (kebenaran) kebalikannya, seperti:
“Katakanlah: Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sébagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu Jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kamu perlihatkan sebagiannya dan kamu sembunyikan sebagian besarnya; padahal telah diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapak kamu tidak mengetahui(nya)? Katakanlah: Allah-lah (yang menurunkannya), kemudian (sesudah kamu menyampaikan Qur’an kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatan mereka.” (al-An‘am [6]:91).
Ayat ini merupakan bantahan terhadap pendirian orang Yahudi, sebagaimana diceritakan Allah dalam firman-Nya:
“Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya di kala mereka mengatakan: Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada manusia.” (al-An‘am [6]:91).
- Menghimpun dan memerinci (as-sabr wat taqsim), yakni menghimpun beberapa sifat dan menerangkan bahwa sifat-sifat tersebut bukanlah ‘illah, alasan hukum, seperti firman-Nya:
“Delapan binatang yang berpasangan, sepasang dari domba dan sepasang dari kambing. Katakanlah: Apakah dua yang jantan yang diharamkan Allah ataukah dua betina, ataukah yang ada dalam kandungan dua betinanya? Terangkanlah kepadaku dengan berdasar pengetahuan jika kamu memang orang-orang yang benar. Dan sepasang dari unta dan sepasang dari lembu. Katakanlah: Apakah dua yang jantan yang diharamkan ataukah dua yang betina, ataukah yang ada dalam kandungan dua betinanya? Apakah kamu menyaksikan di waktu Allah menetapkan ini bagimu? Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan? Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (al-An‘am [6]: 143-144).
- Membungkam lawan dan mematahkan hujjahnya dengan menjelaskan bahwa pendapat yang dikemukakannya itu menimbulkan suatu pendapat yang tidak diakui oleh siapa pun. Misalnya :
“Dan mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu sekutu bagi Allah, padahal Allah-lah yang menciptakan jin-jin itu, dan mereka membohong (dengan mengatakan): Bahwasanya Allah mempunyai anak laki-laki dan perempuan, tanpa berdasar ilmu pengetahuan. Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari sifat-sifat yang mereka berikan. Dia Pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai istri? Dia menciptakan segala sesuatu dan Dia mengetahui segala sesuatu.” (al-An‘am [6]:100-101).
Dalam ayat ini ditegaskan bahwa Allah tidak mempunyai anak, hal ini karena proses kelahiran anak tidak mungkin terjadi dari sesuatu yang satu. Proses tersebut hanya bisa terjadi dari dua pribadi. Padahal Allah tidak mempunyai istri. Di samping itu Dia menciptakan segala Sesuatu dan penciptaan-Nya terhadap segala sesuatu ini sungguh kontradiktif bila dinyatakan bahwa Dia melahirkan sesuatu. Dia Maha Mengetahui segala sesuatu, dan pengetahuan-Nya ini membawa konklusi pasti bahwa Dia berbuat atas dasar kehendak-Nya sendiri. Perasaan pun dapat membedakan antara yang berbuat menurut kehendak sendiri dengan yang berbuat karena hukum alam. Dengan kemahatahuan-Nya akan segala sesuatu itu, maka mustahil jika Dia sama dengan benda-benda fisik alami yang melahirkan sesuatu tanpa disadari, seperti panas dan dingin. Dengan demikian maka tidak benar menisbahkan anak kepada-Nya.
Masih banyak lagi macam-macam jadal dalam Qur’an, misalnya argumentasi para nabi dengan umatnya, argumentasi orang mukmin dengan orang munafik dan lain sebagainya.
Suatu peristiwa yang berhubungan dengan sebab dan akibat dapat menarik perhatian para pendengar. Apabila dalam peristiwa itu terselip pesan-pesan dan pelajaran mengenai berita-berita bangsa terdahulu, rasa ingin tahu merupakan faktor paling kuat yang dapat menanamkan kesan peristiwa tersebut ke dalam hati. Dan nasihat dengan tutur kata yang disampaikan tanpa variasi tidak mampu menarik perhatian akal, bahkan semya isinya pun tidak akan bisa dipahami. Akan tetapi bila nasihat itu dituangkan dalam bentuk kisah yang menggambarkan peristiwa dalam realita kehidupan maka akan terwujudlah dengan jelas tujuannya. Orang pun akan merasa senang mendengarkannya, memperhatikannya dengan penuh kerinduan dan rasa ingin tahu, dan pada gilirannya ia akan terpengaruh dengan nasihat dan pelajaran yang terkandung di dalamnya. Kesusastraan kisah dewasa ini telah menjadi seni yang khas di antara seni-seni bahasa dan kesusastraan. Dan “kisah yang benar” telah membuktikan kondisi ini dalam uslub arabi secara jelas dan menggambarkannya dalam bentuk yang paling tinggi, yaitu kisah-kisah Qur’an.
Pengertian Kisah
Kisah berasal dari kata al-qassu yang berarti mencari atau mengikuti jejak. Dikatakan: artinya, “saya mengikuti atau mencari jejaknya”. Kata al-gasas adalah bentuk masdar. Firman Allah: (al-Kahfi (18]:64). Maksudnya, kedua orang itu kembali lagi untuk mengikuti jejak dari mana keduanya itu datang. Dan firman-Nya melalui lisan ibu Musa: (Dan berkatalah ibu Musa kepada saudaranya yang perempuan: Ikutilah dia.) (al-Qasas [28]:11). Maksudnya, ikutilah jejaknya sampai kamu melihat Siapa yang mengambilnya.
Qasas berarti berita yang berurutan. Firman Allah: (Sesungguhnya ini adalah berita yang benar.) (Ali ‘Imran [3]:62). Dan firman-Nya: (Sesungguhnya pada berita mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal.) (Yusuf [12]:111). Sedang al-qissah berarti urusan, berita, perkara dan keadaan.
Qasas al-Qur’an adalah pemberitaan Qur’an tentang hal ihwal umat yang telah lalu, nubuwat (kenabian) yang terdahulu dan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. Qur’an banyak mengandung keterangan tentang kejadian pada masa lalu, sejarah bangsa-bangsa, keadaan negeri-negeri dan peninggalan atau jejak setiap umat. Ia menceritakan semua keadaan mereka dengan cara yang menarik dan mempesona.
Macam-macam Kisah dalam Qur’an
1) Kisah para nabi. Kisah ini mengandung dakwah mereka kepada kaumnya, mukjizat-mukjizat yang memperkuat dakwahnya, sikap orang-orang yang memusuhinya, tahapan-tahapan dakwah dan perkembangannya serta akibat-akibat yang diterima oleh mereka yang mempercayai dan golongan yang mendustakan. Misalnya kisah Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, Isa, Muhammad dan nabi-nabi serta rasul lainnya.
2) Kisah-kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa Jalu dan orang-orang yang tidak dipastikan kenabiannya. Misalnya kisah orang yang keluar dari kampung halaman, yang beribu-ribu jumlahnya karena takut mati, kisah Talut dan Jalut, dua orang putra Adam, penghuni gua, Zulkarnain, Karun, orang-orang yang menangkap ikan pada hari Sabtu (ashabus sabti), Maryam, Ashabul Ukhdiid, Ashabul Fil dan lain-lain.
3) Kisah-kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah, seperti perang Badar dan perang Uhud dalarn surah Ali Imran, perang Hunain dan Tabuk dalam surah atTaubah, perang Ahzab dalam surah al-Ahzab, hijrah, isra, dan lain-lain.
Faedah Kisah-kisah Qur’an
Kisah-kisah dalam Qur’an mempunyai banyak faedah. Berikut inj beberapa faedah terpenting di antaranya:
1) Menjelaskan asas-asas dakwah menuju Allah dan menjelaskan pokok-pokok syari’at yang dibawa oleh para nabi:
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelurn kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.”’ (al-Anbiya’ [21]: 25).
2) Meneguhkan hati Rasulullah dan hati umat Muhammad atas agama Allah, memperkuat kepercayaan orang mukmin tentang menangnya kebenaran dan para pendukungnya serta hancurnya kebatilan dan para pembelanya.
“Dan semua kisah rasul-rasul yang Kami ceritakan kepadamu, adalah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surah ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.” (Hud [11]:120).
3) Membenarkan para nabi terdahulu, menghidupkan Kenangan terhadap mereka serta mengabadikan jejak dan peninggalannya.
4) Menampakkan kebenaran Muhammad dalam dakwahnya dengan apa yang diberitakannya tentang hal ihwal orang-orang terdahulu di sepanjang kurun dan generasi.
5) Menyibak kebohongan ahli kitab dengan hujjah yang membeberkan keterangan dan petunjuk yang mereka sembunyikan, dan menantang mereka dengan isi kitab mereka sendiri sebelum kitab itu diubah dan diganti. Misalnya firman Allah:
“Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya‘kub) untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan. Katakanlah: (Jika kamu mengatakan ada makanan yang diharamkan sebelurn Taurat), maka bawalah Taurat itu, lalu bacalah ia jika kamu orang-orang yang benar.”’ (Ali ‘Imran [3]:93).
6) Kisah termasuk salah satu bentuk sastra yang dapat menarik perhatian para pendengar dan memantapkan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya ke dalam jiwa. Firman Allah:
““Sesungguhnya pada kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi Orang-orang yang berakal.” (Yusuf [12]:111).
Pengulangan Kisah dan Hikmahnya
Qur’an banyak mengandung berbagai kisah yang diungkapkan berulang-ulang di beberapa tempat. Sebuah kisah terkadang berulang kali disebutkan dalam Qur’an dan dikemukakan dalam berbagai bentuk yang berbeda. Di satu tempat ada bagian-bagian yang didahulukan, sedang di tempat lain diakhirkan. Demikian pula terkadang dikemukakan secara ringkas dan kadang-kadang secara panjang lebar, dan sebagainya. Di antara hikmahnya ialah:
1) Menjelaskan ke-balagah-an Qur’an dalam tingkat paling tinggi. Sebab di antara keistimewaan balagah adalah mengungkapkan sebuah makna dalam berbagai macam bentuk yang berbeda. Dan kisah yang berulang itu dikemukakan di setiap tempat dengan uslub yang berbeda satu dengan yang lain serta dituangkan dalam pola yang berlainan pula, sehingga tidak membuat orang merasa bosan karenanya, bahkan dapat menambah ke dalam jiwanya makna-makna baru yang tidak didapatkan di saat membacanya di tempat yang lain.
2) Menunjukkan kehebatan mukjizat Qur’an. Sebab mengemukakan sesuatu makna dalam berbagai bentuk susunan kalimat di mana salah satu bentuk pun tidak dapat ditandingi oleh sastrawan Arab, merupakan tantangan dahsyat dan bukti bahwa Qur’an itu datang dari Allah.
3) Memberikan perhatian besar terhadap kisah tersebut agar pesan-pesannya lebih mantap dan melekat dalam jiwa. Hal ini karena pengulangan merupakan salah satu cara pengukuhan dan indikasi betapa besarnya perhatian. Misalnya kisah Musa dengan Firaun. Kisah ini menggambarkan secara sempurna pergulatan sengit antara kebenaran dengan kebatilan. Dan sekalipun kisah itu sering diulang-ulang, tetapi pengulangannya tidak pernah terjadi dalam sebuah surah.
4) Perbedaan tujuan yang karenanya kisah itu diungkapkan. Maka sebagian dari makna-maknanya diterangkan di satu tempat, karena hanya itulah yang diperlukan, sedang makna-makna lainnya dikemukakan di tempat yang lain, sesuai dengan tuntutan keadaan.
Kisah-kisah dalam Qur’an adalah Kenyataan, bukan Khayalan
Adalah pantas dikemukakan di sini, bahwa seorang mahasiswa di Mesir mengajukan disertasi untuk memperoleh gelar doktor dengan judul al-Fannul Qasasiy fil Qur’an.’ Disertasi tersebut telah menimbulkan perdebatan panjang pada tahun 1367 H. Salah seorang anggota tim penguji disertasi, Prof. Ahmad Amin, menulis nota yang ditujukan kepada Dekan Fakultas Adab, yang kemudian dipublikasikan dalam majalah ar-Risdlah. Nota itu berisi kritik pedas terhadap apa yang ditulis mahasiswa_ tersebut, meskipun profesor promotornya telah membelanya. Ahmad Amin dalam notanya itu mengeluarkan pernyataan sebagai berikut:
Saya mendapatkan disertasi itu tidak wajar, bahkan sangat berbahaya. Pada prinsipnya disertasi itu menyatakan, kisah-kisah dalam Qur’an merupakan karya seni yang tunduk kepada daya cipta dan kreatifitas yang dipatuhi oleh seni, tanpa harus memegangi kebenaran sejarah. Dan kenyataannya Muhammad adalah seorang seniman dalam pengertian ini.”
“Atas dasar dan persepsi inilah”, jelasnya lebih lanjut, ’mahasiswa itu menulis disertasinya, dari awal sampai akhir. Saya perlu mengemukakan sejumlah contoh yang dapat memperjelas tujuan penulis disertasi tersebut dan bagaimana cara menyusunnya.” Ahmad Amin kemudian mengemukakan sejumlah contoh dari disertasi itu yang membuktikan apa yang dilukiskannya dalam nota singkatnya itu. Misalnya, persepsi penulis disertasi bahwa kisah dalam Qur’an tidak memegangi kebenaran sejarah, tetapi ia sejalan dengan pemerian seorang sastrawan yang memerikan suatu peristiwa secara artistik. Contoh lainnya ialah pandangannya bahwa Qur’an telah menciptakan beberapa kisah, dan bahwa ulama-ulama terdahulu telah berbuat salah dengan menganggap kisah qur’ani sebagai sejarah yang dapat dipegangi.
Seorang Muslim sejati adalah orang yang beriman bahwa Qur’an adalah Kalamullah dan suci dari pemerian artistik yang tidak memperhatikan realita sejarah. Kisah Qur’ani tidak lain adalah hakikat dan fakta sejarah yang dituangkan dalam untaian kata-kata indah dan pilihan serta dalam uslub yang mempesona.
Nampaknya penulis disertasi telah mempelajari seni-seni kisah dalam kesusastraan dan ia mendapatkan bahwa di antara unsur pokoknya ialah khayalan yang bertumpu pada konsep. Semakin tinggi unsur khayalnya dan jauh dari realita, maka kisah itu semakin digandrungi, memikat jiwa dan nikmat dibaca. Kemudian ia menganalogikan kisah qur’ani dengan kisah sastrawi.
Qur’an tidaklah demikian halnya. Ia diturunkan dari sisi Yang Mahapandai, Mahabijaksana. Dalam berita-berita-Nya tidak ada kecuali yang sesuai dengan kenyataan. Apabila orang-orang terhormat di kalangan masyarakat enggan berkata dusta dan menganggapnya sebagai perbuatan hina paling buruk yang dapat merendahkan martabat kemanusiaan, maka bagaimana seorang yang berakal dapat menghubungkan kedustaan kepada kalam Yang Mahamulia dan Mahaagung?
Allah adalah Tuhan Yang Hak:
“Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Hak dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Dia, itulah yang batil.” (al-Hajj [22]:62).
Dia mengutus Rasul-Nya dengan hak pula:
“Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran (hak) sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan.” (Fatir [35]:24),
“Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu Kitab (Qur’an) itulah yang benar (hak).”’ (Fatir [35]:31),
“Wahai manusia, sungguh telah datang Rasul (Muhammad) itu kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Tuhanmu.” (an-Nisa’ [4]:170),
“Dan Kami telah menurunkan kepadamu Qur’an dengan membawa kebenaran (hak).”’ (al-Ma’idah [5]:48), dan
“Dan Kitab yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu adalah benar.” (ar-Ra‘d [13]:1).
Dan semua apa yang dikisahkan Allah dalam Qur’an adalah hak pula:
“Kami ceritakan kisah mereka kepadamu (Muhammad) dengan sebenarnya.”’ (al-Kahfi [18]:13) dan
“Kami membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan Firaun dengan benar (hak).” (al-Qasas [28]:3).
Pengaruh Kisah-kisah Qur’an dalam Pendidikan dan Pengajaran
Tidak diragukan lagi bahwa kisah yang baik dan cermat akan digemari dan menembus relung jiwa manusia dengan mudah. Segenap perasaan mengikuti alur kisah tersebut tanpa merasa jemu atau kesal, serta unsur-unsurnya dapat dijelajahi akal sehingga ia dapat memetik dari keindahan tamannya aneka ragam bunga dan buah-buahan.
Pelajaran yang disampaikan dengan metode talqin dan ceramah akan menimbulkan kebosanan, bahkan tidak dapat diikuti sepenuhnya oleh generasi muda kecuali dengan sulit dan berat serta memerlukan waktu yang cukup lama pula. Oleh karena itu, maka uslub gasasi (narasi) sangat bermanfaat dan mengandung banyak faedah. Pada umumnya, anak-anak suka mendengarkan cerita-cerita, memperhatikan riwayat kisah, dan ingatannya segera menampung apa yang diriwayatkan kepadanya, kemudian ia menirukan dan mengisahkannya.
Fenomena fitrah kejiwaan ini sudah seharusnya dimanfaatkan oleh para pendidik dalam lapangan pendidikan, khususnya pendidikan agama yang merupakan inti pengajaran dan soko guru pendidikan.
Dalam kisah-kisah qur’ani terdapat lahan subur yang dapat membantu kesuksesan para pendidik dalam melaksanakan tugasnya dan membekali mereka dengan bekal kependidikan berupa peri hidup para nabi, berita-berita tentang umat dahulu, sunnatullah dalam kehidupan masyarakat dan hal ihwal bangsa-bangsa. Dan semua itu dikatakan dengan benar dan jujur. Para pendidik hendaknya mampu menyuguhkan kisah-kisah qur’ani itu dengan uslub bahasa yang sesuai dengan tingkat nalar pelajar dalam segala tingkatan. Sejumlah kisah keagamaan yang disusun oleh Ustaz Sayid Qutub dan Ustaz as-Sahhar telah berhasil memberikan bekal bermanfaat dan berguna bagi anak-anak kita, dengan keberhasilan yang tiada bandingnya. Demikian pula aiJarim telah menyajikan kisah-kisah qur’ani dengan gaya sastra yang indah dan tinggi, serta lebih banyak analisis mendalam. Alangkah baiknya andaikata orang lain pun mengikuti dan meneruskan metode pendidikan baik ini.
Keberhasilan dakwah sangat bergantung pada kedekatan juru dakwah dengan umatnya. Juru dakwah yang lahir dari suatu lingkungan tentu akan memahami dengan sempurna lorong-lorong kesesatan dan liku-liku kebodohan yang membungkus kaumnya. Ia mengenali jiwa mereka dan pintu-pintu yang harus dilaluinya. Hal ini dapat membuka jiwa mereka untuk menerima ajaran-ajaran dakwah dan mengambil petunjuknya. Komunikasi di antara kedua belah pihak dengan satu bahasa merupakan lambang bagi kesamaan komunitas sosia] dalam segala bentuknya. Dalam hal ini Allah berfirman:
”Kami tidak mengutus seorang rasul pun melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberikan penjelasan dengan terang kepada mereka.” (Ibrahim [14]:4).
Qur’an mulia diturunkan kepada Rasul berbangsa Arab dengan bahasa Arab yang jelas. Fenomena ini merupakan tuntutan sosial bagi keberhasilan risalah Islam. Dan sejak saat itu bahasa Arab menjadi satu bagian dari eksistensi Islam dan asas komunikasi penyampaian dakwahnya. Misi Rasul kita adalah kepada umat manusia seluruhnya. Hal ini telah dinyatakan Qur’an tidak hanya pada satu tempat, antara lain:
”Katakanlah: ’Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua.’” (al-A‘raf [7]:158); dan
“Dan Kami tidak mengutus kamu melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan.” (Saba’ [34]:28),
Benih-benih negara Islam pun tumbuh di jazirah Arab. Tidak diragukan lagi bahwa sebuah bahasa itu hidup dengan kehidupan umat (pemakai)-nya dan mati dengan kematian umatnya juga. Dengan demikian, maka kelahiran negara Islam seperti ini merupakan kehidupan pula bagi bahasa Arab. Qur’an adalah wahyu Islam dan Islam adalah agama Allah yang difardukan. Pengetahuan tentang pokok-pokok dan dasar-dasar Islam tidak akan tercapai kecuali jika Qur’an itu dipahami dengan bahasanya. Maka arus penaklukan Islam pun mengembang kepada bahasa-bahasa lain non Arab, sehingga bahasa-bahasa itu diarabkan dengan Islam. Adalah suatu kewajiban bagi setiap orang yang masuk ke dalam naungan agama baru ini, untuk menyambutnya dalam bahasa kitabnya secara lahir dan batin sehingga ia dapat menjalankan kewajiban-kewajibannya, dan terjemahan Qur’an tidak diperlukan lagi baginya selama Qur’an itu telah diterjemahkan bahasa dan kearabannya menjadi keimanan dan keislaman.
Pengertian Terjemah
Kata “’terjemah” dapat dipergunakan pada dua arti:
1). Terjemah harfiyah, yaitu mengalihkan lafaz-lafaz dari satu bahasa ke dalam lafaz-lafaz yang serupa dari bahasa lain sedemikian rupa sehingga susunan dan tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama.
2). Terjemah tafsiriyah atau terjemah maknawiyah, yaitu: menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat dengan tertib kata-kata bahasa asal atau memperhatikan susunan kalimatnya.
Mereka yang mempunyai pengetahuan tentang bahasa-bahasa tentu mengetahui bahwa terjemah harfiyah dengan pengertian sebagaimana di atas tidak mungkin dapat dicapai dengan baik jika konteks bahasa asli dan cakupan semua maknanya tetap dipertahankan. Sebab karakteristik setiap bahasa berbeda satu dengan yang lain dalam hal tertib bagian-bagian kalimatnya. Sebagai contoh, jumlah fi‘liyah (kalimat verbal) dalam bahasa Arab dimulai dengan “’fi‘il” (kata kerja yang berfungsi sebagai predikat) kemudian fa‘il (subyek), baik dalam kalimat tanya (istifham) maupun lainnya; mudaf didahulukan atas mudaf ilaih; dan mausuf atas sifat, kecuali dalam idafah tasybih (susunan mudaf dan mudaf ilaih yang mengandung arti menyerupakan), seperti (perak air, maksudnya air yang bagaikan perak) dan dalam kalimat yang disusun dengan meng-idafah-kan kata sifat kepada ma‘mil-nya, seperti (besar cita-cita). Sedang dalam bahasa lain tidak demikian halnya.
Selain itu, bahasa Arab dicelah-celahnya mengandung rahasia-rahasia bahasa yang tidak mungkin dapat digantikan oleh ungkapan lain dalam bahasa non Arab. Sebab, lafaz-lafaz dalam terjemahan itu tidak akan sama maknanya dalam segala aspeknya, terlebih lagi dalam susunannya.
Dalam pada itu Qur’an berada pada puncak fasahadh dan balagah bahasa Arab. Ia mempunyai karakteristik susunan, rahasia uslub, pelikpelik makna dan ayat-ayat kemukjizatan lainnya yang semua itu tidak dapat diberikan oleh bahasa apa dan mana pun juga.
Hukum Terjemah Harfiyah
Atas dasar pertimbangan di atas maka tidak seorang pun merasa ragu tentang haramnya menerjemahkan Qur’an dengan terjemah harfiyah. Sebab Qur’an adalah Kalamullah yang diturunkan kepada RasulNya, merupakan mukjizat dengan lafaz dan maknanya, serta membacanya dipandang sebagai suatu ibadah. Di samping itu, tidak seorang manusia pun berpendapat, kalimat-kalimat Qur’an itu jika diterjemahkan, dinamakan pula Kalamullah. Sebab Allah tidak berfirman kecuali dengan Qur’an yang kita baca dalam bahasa Arab, dan kemukjizatan pun tidak akan terjadi dengan terjemahan, karena kemukjizatan hanya khusus bagi Qur’an yang diturunkan dalam bahasa Arab. Kemudian yang dipandang sebagai ibadah dengan membacanya ialah Qur’an berbahasa Arab yang jelas, berikut lafaz-lafaz, huruf-huruf dan tertib kata-katanya.
Dengan demikian, penerjemahan Qur’an dengan terjemah harfiyah, betapapun penerjemah memahami betul bahasa, uslub-uslub dan susunan kalimatnya, dipandang telah mengeluarkan Qur’an dari keadaannya sebagai Qur’an.
Terjemah Maknawiyah
Qur’an al-Karim, demikian juga semua kalam Arab yang balig, mempunyai makna-makna asli (pokok, utama) dan makna-makna sanawi (sekunder). Yang dimaksud dengan makna asli ialah makna yang dipahami secara sama oleh setiap orang yang mengetahul pengertian lafaz secara mufrad (berdiri sendiri) dan mengetahui pula segi-segi susunannya secara global. Sedang yang dimaksud makna sanawi ialah karakteristik (keistimewaan) susunan kalimat yang menyebabkan suatu perkataan berkualitas tinggi. Dan dengan makna inilah Qur’an dinilai sebagai mukjizat.
Makna asli sebagian ayat terkadang sejalan dengan prosa dan puisi kalam Arab. Tetapi kesejalanan ini tidak menyentuh, mempengaruhi kemukjizatan Qur’an, karena kemukjizatannya terletak pada keindahan susunan dan penjelasannya yang sangat mempesona, yaitu dengan makna sanawi. Itulah yang dimaksud dengan pernyataan Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf-nya, ’’sesungguhnya di dalam kalam Arab, terutama Qur’an, terdapat kepelikan dan kelembutan makna yang tidak dapat diberikan oleh bahasa mana pun juga.”
Hukum Terjemah Maknawiyah
Menerjemahkan makna-makna sanawi Qur’an bukanlah hal mudah, sebab tidak terdapat satu bahasa pun yang sesuai dengan bahasa Arab dalam dalalah (petunjuk) lafaz-lafaznya terhadap makna-makna yang oleh ahli ilmu Bayan dinamakan khawassut-tarkib (karakteristikkarakteristik susunan). Hal demikian tidak mudah didakwakan seseorang. Dan itulah yang dimaksudkan Zamakhsyari dalam pernyataan di atas. Segi-segi balagah Qur’an dalam lafaz atau susunan, baik nakirah dan ma‘rifah-nya, taqdim dan ta’khir-nya, disebutkan dan dihilangkannya maupun hal-hal lainnya adalah yang menjadi keunggulan bahasa Qur’an, dan ini mempunyai pengaruh tersendiri terhadap jiwa. Segi-segi kebalagahan Qur’an ini tidak mungkin terpenuhi jika makna-makna tersebut dituangkan dalam bahasa lain, Karena bahasa mana pun tidak mempunyai khawas tersebut.
Adapun makna-makna asli, dapat dipindahkan ke dalam bahasa lain. Dalam al-Muwaffaqat, Syatibi menyebutkan makna-makna asli dan makna-makna sanawi. Kemudian ia menjelaskan, menerjemahkan Qur’an dengan cara pertama, yakni dengan memperhatikan makna asli adalah mungkin. Dari segi inilah dibenarkan menafsirkan Qur’an dan menjelaskan makna-maknanya kepada kalangan awam dan mereka yang tidak mempunyai pemahaman kuat untuk mengetahui makna-maknanya. Cara demikian diperbolehkan berdasarkan konsensus ulama Islam. Dan konsensus ini menjadi hujjah bagi dibenarkanpya penerjemahan makna asli Qur’an.
Namun demikian, terjemahan makna-makna asli itu tidak terlepas dari kerusakan karena satu buah lafaz di dalam Qur’an terkadang mempunyai dua makna atau lebih yang diberikan oleh ayat. Maka dalam keadaan demikian biasanya penerjemah hanya meletakkan satu lafaz yang hanya menunjukkan satu makna, karena ia tidak mendapatkan lafaz serupa dengan lafaz Arab yang dapat memberikan lebih dari satu makna itu.
Terkadang Qur’an menggunakan sebuah lafaz dalam pengertian majaz (kiasan), maka dalam hal demikian penerjemah hanya mendatangkan satu lafaz yang sama dengan lafaz Arab dimaksud dalam pengertiannya yang hakiki. Karena hal ini dan hal lain maka terjadilah banyak kesalahan dalam penerjemahan makna-makna Qur’an.
Pendapat yang dipilih oleh Syatibi di atas yang dianggapnya sebagai hujjah tentang kebolehan menerjemahkan makna asli Qur’an tidaklah mutlak. Sebab sebagian ulama membatasi kebolehan penerjemahan seperti itu dengan kadar darurat dalam menyampaikan dakwah. Yaitu yang berkenaan dengan tauhid dan rukun-rukun ibadah, tidak lebih dari itu. Sedang bagi mereka yang ingin menambah pengetahuannya, diperintahkan untuk mempelajari bahasa Arab.
Terjemah Tafsiriyah
Dapatlah kami katakan, apabila para ulama Islam melakukan penafsiran Qur’an, dengan cara mendatangkan makna yang dekat, mudah dan kuat; kemudian penafsiran ini diterjemahkan dengan penuh kejujuran dan kecermatan, maka cara demikian dinamakan terjemah tafsir Qur’an atau terjeman tafsiriyah, dalam arti mensyarahi (mengomentar!) perkataan dan menjelaskan maknanya dengan bahasa lain. Usaha seperti ini tidak ada halangannya, karena Allah mengutus Muhammad untuk menyampaikan risalah Islam kepada seluruh umat manusia, dengan segala bangsa dan ras yang berbeda-beda. Nabi menjelaskan:
”Setiap nabi hanya diutus kepada kaumnya secara khusus, sedang aku diutus kepada manusia seluruhnya.”
Dalam pada itu salah satu syarat risalah ialah balag (sampai kepada umat rasul bersangkutan, pent.). Dan Qur’an yang diturunkan dalam bahasa Arab itu penyampaiannya kepada umat Arab merupakan suatu keharusan. Akan tetapi umat-umat lain yang tidak pandai bahasa Arab atau tidak mengerti sama sekali, penyampaian dakwah kepada mereka bergantung pada penerjemahan dakwah itu ke dalam bahasa mereka. Padahal kita telah mengetahui, sebagaimana uraian di atas, kemustahilan terjemah harfiyah dan keharamannya. Juga kemustahilan terjemah makna sanawi, sulitnya terjemah makna asli dan bahaya yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu jalan satu-satunya yang dapat ditempuh ialah menerjemahkan tafsir Qur’an yang mengandung asasasas dakwah dengan cara yang sesuai dengan nas-nas Kitab dan sunnah, ke dalam bahasa setiap suku bangsa. Maka dengan cara ini sampailah dakwah kepada mereka dan tegaklah hujjah.
Terjemah tafsir Qur’an seperti telah kita sebutkan itu dapat kita namakan terjemah tafsiriyah. Corak terjemah ini berbeda dengan terjemah maknawiyah, sekalipun para peneliti tidak membedakan antara keduanya. Sebab dalam terjemah maknawiyah terkesan seakan-akan penerjemah telah mengambil makna-makna Qur’an dengan berbagai aspeknya dan memindahkannya ke dalam bahasa asing, non Arab, sebagaimana dalam terjemahan selain Qur’an yang biasa disebut ”terjemah yang sesuai dengan bahasa aslinya.” Penafsir berbicara dengan gaya seorang pemberi penjelasan terhadap makna kalam sesuai dengan pemahamannya, seakan-akan ia berkata kepada manusia, “Ini adalah apa yang saya pahami dari ayat anu.” Sedang penerjemah berbicara dengan gaya seorang yang mengetahui makna kalam secara sempurna dan menuangkannya ke dalam lafaz-lafaz bahasa lain. Kedua hal ini jauh berbeda. Sebab penafsir akan mengatakan dalam menafsirkan ayat: ’Maksudnya begini…”, Jalu ia mengemukakan pemahamannya yang terbatas itu. Sedang penerjemah mengatakan: ”Makna perkataan ini adalah makna ayat itu sendiri.” Dan kita telah mengetahui apa (bahaya, kemustahilan) yang terkandung di dalam penerjemahan maknawi ini.
Berkenaan dengan terjemah tafsiriyah ini perlu ditegaskan bahwa ia adalah terjemanan bagi pemahaman pribadi yang terbatas. Ia tidak mengandung semua aspek pentakwilan yang dapat diterapkan pada maknamakna Qur’an, tetapi hanya mengandung sebagian takwil yang dapat dipahami penafsir tersebut. Dengan cara inilah akidah Islam dan dasardasar syari‘atnya diterjemahkan sebagaimana dipahamkan dari Qur’an.
Apabila penyampaian dakwah merupakan salah satu kewajiban Islam, maka segala usaha yang dapat merealisasikan penyampaian ini, seperti pengkajian bahasa dan pemindahan dasar-dasar Islam ke dalamnya, adalah wajib pula, sebagaimana pengetahuan akan _ bahasa-bahasa menurut kadar keperluan dapat memungkinkan kita mengkaji kitab-kitab berbahasa tersebut untuk menyanggah para missionaris dan _ orientalis yang berusaha menekan tiang Islam dar jauh ataupun dari dekat. Inilah maksud Syaikhul Islam, Ibn Taimiyah dalam kitabnya al-‘Aql wan Naal, di mana ia berkata: ’Adapun menyeru ahli istilah dengan istilah dan bahasa mereka tidaklah makruh apabila cara demikian diperlukan, dan makna-makna (seruan) yang disampaikan tetap benar. Misalnya menyeru bangsa asing seperti bangsa Romawi, Persia dan Turki dengan bahasa dan adat kebiasaan mereka. Hal demikian boleh dan baik, karena memang diperlukan. Tetapi para imam memandangnya makruh jika tidak diperlukan.” Kemudian katanya: “Oleh karena itu, Qur’an dan hadis diterjemahkan bagi mereka yang hanya dalam memahami keduanya memerlukan terjemahan. Begitu pula seorang Muslim boleh membaca kitabkitab umat lain yang diperlukan, berbicara dengan bahasa mereka, dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab, sebagaimana Nabi s.a.w. telah memerintahkan Zaid bin Sabit agar mempelajari kitab orang Yahudi Supaya ia dapat membacakan dan menuliskannya untuk beliau karena orang-orang Yahudi sendiri tidak dapat dipercaya.”’
Apabila penerjemahan dengan pengertian hakiki, meskipun hanya penerjemahan makna-makna asal, tidak mungkin dilakukan terhadap semua ayat Qur’an, tetapi yang mungkin dilakukan adalah terjemahan dengan pengertian tafsir (terjemah tafsiriyah), maka perlulah mengingatkan para pembaca (terjemahan Qur’an) terhadap hal demikian. Di antara caranya ialah menuliskan catatan-catatan di bagian tepi lembaran terjemahan yang menjelaskan bahwa terjemahan itu hanya merupakan salah satu segi atau segi paling kuat di antara sekian banyak segi yang dibawa ayat. ’Seandainya ada sebuah tim berniat baik dan berakal cemerlang menangani penerjemahan tafsir Qur’an ke dalam bebcrapa bahasa asing, dan mereka memaham! benar maksud-maksudnya serta mempunyai pengetahuan mantap tentang bahasa-bahasa asing itu di samping menghindari segi-segi yang membuat kerancuan dalam terjemahan-terjemahan yang kini beredar di Eropa; tentulah usaha ini akan membuka bagi dakwah hak ini sebuah jalan yang semula masih tertutup, dan akan semakin tersebar pula agama yang suci dan mudah ini di negeri-negeri yang penuh dan kelam dengan kesesatan.”
Membaca Qur’an dalam Salat dengan Selain Bahasa Arab
Pendirian para ulama dalam hal pembacaan Qur’an dalam salat dengan selain bahasa Arab, terbagi atas dua mazhab.
1) Boleh secara mutlak, atau di saat tidak sanggup mengucapkan dengan bahasa Arab.
2) Haram, dan salat dengan bacaan seperti ini tidak sah.
Pendapat pertama adalah pendapat ulama mazhab Hanafi. Diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa ia berpendapat, boleh dan sah membaca Qur’an dalam salat dengan bahasa Persia. Dan atas dasar ini, sebagian sahabat (murid)nya memperbolehkan pula membacanya dengan bahasa Turki, India dan bahasa-bahasa lainnya. Nampaknya mereka memandang, dalam hal ini, Qur’an adalah nama bagi makna-makna (substansi, hakikat) yang ditunjukkan oleh lafaz-lafaz Arab. Sedangkan makna-makna itu tidaklah berbeda-beda karena perbedaan lafaz dan bahasa.
Dua orang murid Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad bin Husain, membatasi hal tersebut dengan “dalam keadaan darurat’’. Mereka membolehkan bagi yang tidak mampu mengucapkan bahasa Arab, membaca Qur’an dalam salat dengan bahasa asing, tetapi tidak bagi yang sanggup membacanya dengan bahasa Arab. Dalam Mi’rajud Dirdayah dikemukakan, kami memperbolehkan membaca terjemah Qur’an (dalam salat) bagi yang tidak mampu jika hal itu tidak termasuk makna, sebab terjemahan tersebut adalah Qur’an juga dilihat dari segi cakupannya terhadap makna. Oleh karena itu maka membacanya lebih baik daripada meninggalkannya samasekali karena pembebanan (taklif) itu sesuai dengan kemampuan.
Diriwayatkan, Abu Hanifah telah mencabut kembali “kebolehan secara mutlak” yang dinukil dari beliau tersebut.
Pendapat kedua adalah pendapat jumhur. Ulama mazhab Hanafi, Syafi‘i dan Hanbali tidak memperbolehkan bacaan terjemah Qur’an dalam salat, baik ia mampu membaca bahasa Arab ataupun tidak, sebab terjemah Qur’an bukanlah Qur’an. Qur’an adalah susunan perkataan mukjizat, yaitu kalamullah yang menurut-Nya sendiri, ber-’’bahasa Arab”. Dan dengan menterjemahkannya hilanglah kemukjizatannya dan terjemahannya itu bukan kalamullah.
Berkata Qadi Abu Bakar ibnul ‘Arabi, salah seorang fuqaha’ Maliki, ketika menafsirkan firman Allah:
“Dan jikalau Kami jadikan Qur’an itu suatu bacaan dalam bahasa selain bahasa Arab, tentulah mereka mengatakan: ’Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?’ Apakah (patut Qur’an itu) dalam bahasa asing sedang (Rasul adalah orang) Arab?” (Fussilat [41}:44), sebagai berikut: “Para ulama kita mengatakan, ayat ini membatalkan pendapat Abu Hanifah yang menyatakan bahwa menerjemahkan Qur’an dengan menggantikan bahasa Arabnya dengan bahasa Persia itu boleh. Sebab, Allah telah berfirman dalam surah Fussilat [41]:44. Dalam ayat ini Allah menafikan jalan bagi bahasa asing untuk dapat masuk ke dalam Qur’an, tetapi mengapakah Abu Hanifah malah membawanya kepada apa yang dinafikan Allah tersebut?” Lebih lanjut Ibnul ‘Arabi mengatakan, Bayan dan kemukjizatan hanya bisa direalisasikan dengan bahasa Arab. Karena itu seandainya Qur’an diganti dengan bahasa selain Arab tentulah penggantinya itu tidak dinamakan Qur’an dan bayan, juga tidak menimbulkan kemukjizatan.”
Al-Hafiz Ibn Hajar, salah seorang fuqaha’ Syafi‘i, dalam Fathul Bari berkata: “Jika seseorang sanggup membacanya dalam bahasa Arab, maka ia tidak boleh beralih darinya, dan salatnya tidak sah, dengan membaca terjemahan tersebut, walaupun ia tidak sanggup membacanya dengan bahasa Arab.” Kemudian ia menyebutkan, Syari (Allah, Rasul) telah membuat bagi mereka yang tidak sanggup membaca dengan bahasa Arab, penggantinya, yaitu zikir.
Berkata Syaikhul Islam Ibn Taimiyah, salah seorang fuqaha’ Hanbali, sekalipun ia mempunyai ijtihad-ijtihad sendiri: “Adapun mendatangkan lafaz untuk menjelaskan makna seperti penjelasan lafazlafaz Qur’an maka hal ini tidak mungkin samasekali. Oleh karena itu para pemimpin agama berpendapat, tidak boleh membaca Qur’an dengan selain bahasa Arab, baik bagi mereka yang mampu membaca dengan bahasa Arab maupun bagi yang tidak mampu, sebab yang demikian akan mengeluarkan Qur’an dari statusnya sebagai Qur’an yang diturunkan Allah.”
Ibn Taimiyah dalam kitabnya Iqtida’us Siratil Mustaqim, ketika membicarakan perbedaan pendapat para fuqaha’ tentang bacaan-bacaan salat, bolehkah diucapkan dalam bahasa selain Arab, berkata: ”Adapun Qur’an, tidak ‘boleh dibaca dengan selain bahasa Arab, baik bagi orang yang mampu maupun bagi yang tidak mampu, menurut jumhur. [nilah pendapat yang benar dan tidak mengandung keraguan. Bahkan tidak hanya seorang yang berpendapat, tidak boleh menerjemahkan sesuatu surah atau bagian-bagian Qur’an yang dapat mewujudkan kemukjizatan.” Ibn Taimiyah menentukan satu surah atau bagian-bagian yang dapat mewujudkan kemukjizatan itu sebagai isyarat terhadap tantangan Qur’an yang paling sedikit.
Agama mewajibkan kepada para pemeluknya agar mempelajari bahasa Arab, karena bahasa ini adalah bahasa Qur’an dan kunci untuk memahaminya. “Juga’” kata Ibn Taimiyah dalam al-Iqtida’, “karena bahasa Arab itu sendiri termasuk agama. Dan mengetahuinya adalah fardu yang wajib, karena memahami Kitab dan sunnah adalah fardu. Keduanya tidak dapat dipahami kecuali dengan memahami bahasa Arab. Sesuatu, yang kewajiban tidak dapat dijalankan secara sempurna kecuali dengannya, maka ia adalah wajib.”
Adapun pendapat ulama mazhab Hanafi mengenai kebolehan saJat dengan terjemahan Qur’an, maka mereka yang membolehkan memandang kebolehan ini hanya sebagai rukhsah (dispensasi) bagi orang yang tidak mampu. Namun mereka tetap sependapat bahwa terjemahan Qur’an tidaklah dinamakan Qur’an. Terjemahan itu dibolehkan sematamata agar salat menjadi sah. Dan status terjemahan ini sama dengan status zikir kepada Allah dalam pendapat ulama di luar mazhab Hanafi.
Mengenai penerjemahan zikir (bacaan) dalam salat, baik yang wajib seperti takbiratul ihram maupun bukan, masih diperselisihkan. Zikir yang wajib tidak boleh diterjemahkan menurut Malik, Ishak dan Ahmad dalam satu riwayatnya yang paling sahih, tetapi boleh menurut Abu Yusuf, Muhammad dan Syafi‘i. Sedang zikir-zikir lainnya tidak boleh diterjemahkan menurut Malik, Ishak dan sebagian murid-murid Syafi‘i. Dan bila zikir-zikir itu diselang-selingi terjemahan maka batallah salat. Sementara itu Imam Syafi‘i sendiri menegaskan, bahwa hal demikian adalah makruh Jjika tidak dapat membaca bahasa Arab. Pendapat ini adalah juga pendapat murid-murid Ahmad.
Urgensi Kekuatan Umat Islam dalam Menegakkan Islam dan Bahasa Qur’an
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Qur’an tidak mungkin dan tidak boleh diterjemahkan secara harfiyah; dan terjemah makna-makna asli sekalipun dapat dilakukan pada beberapa ayat yang jelas maknanya, tetapi ia tidak terlepas dari kerusakan. Sedang terjemah makna-makna sanawi tidaklah mungkin, karena aspek-aspek balagah Qur’an tidak dapat ditunaikan dengan lafaz-lafaz bahasa lain mana pun juga.
Kini tinggallah menafsirkan Qur’an dan menerjemahkan tafsirannya untuk menyampaikan dakwah. Qaffal, seorang tokoh besar ulama Syafi‘i berkata: ”Saya berpendapat, tidak ada seorang pun sanggup mendatangkan Qur’an dengan bahasa Persia. Lalu dikatakan kepadanya, “Kalau begitu berarti tidak seorang pun sanggup menafsirkan Qur’an?” ’Bukan begitu maksudnya”, jelasnya, “sebab masih mungkin seseorang dapat mendatangkan sebagian maksud Allah tetapi maksudmaksud lainnya tidak dapat ia datangkan. Adapun jika ia hendak membacanya dengan bahasa Persia, maka tidak mungkin dapat mendatangkan semua apa yang dimaksud Allah.”
Terjemahan tafsir itu diperkenankan menurut kadar kebutuhan dalam menyampaikan dakwah Islam kepada bangsa-bangsa non-Islam. Al-Hafiz Ibn Hajar menjelaskan, ”Barang siapa masuk agama Islam atau ingin masuk Islam lalu dibacakan Qur’an kepadanya tetapi ia tidak memahaminya, maka tidak ada halangan bila Qur’an diterangkan kepadanya untuk memperkenalkan hukum-hukumnya atau agar tegaklah huyjah baginya, sebab hal itu dapat menyebabkannya masuk Islam.”
Kaum Muslimin terdahulu berani menempuh segala kesulitan demi kejayaan Islam, dan menghadapi segala bahaya demi tersebarnya agama Allah. Mereka memakai baju kepahlawanan, keadilan dan kemuliaan akhlak yang menyilaukan mata pihak lawan dengan kewibawaan dan kebesarannya. Sementara itu bahasa Arab berjalan di belakang mereka ke mana pun mereka pergi mengibarkan panji-panji mereka dan bertebaran di setiap lembah yang diinjak kaki mereka. Palam dakwah Islam ini mereka tidak merasa perlu mengalihbahasakan makna-makna Qur’an ke dalam bahasa asing. Hal demikian, dengan keadaan mereka tetap pada kedudukan mulia dan berkuasa, tidak jarang merupakan salah satu faktor pendorong non-Arab untuk mengetahui dan mempelajari bahasa Arab, sehingga negeri-negeri asing itu berbicara dengan bahasa Arab.
Fenomena yang kita saksikan dewasa ini tentang pentingnya mempelajari bahasa-bahasa asing bagi bangsa Arab, sehingga bangsa jni dapat mengirimkan misi-misi ilmiah ke berbagai universitas negara-negara lain atau dapat mengkaji buku-buku induk ilmu pengetahuan alam di unversitas-universitasnya, mengingat buku-buku tersebut ditulis dalam bahasa asing dan oleh pengarang asing pula, merupakan tuntutan logis dari kebutuhan akan ilmu dan peradaban. Kita melihat buku-buku asing tersebut telah menyebarkan pengaruhnya dalam pemikiran sebagian besar orang, menentukan kecenderungan-kecenderungan mereka dalam pola kehidupan, dan bahkan sampai pada tingkat kecintaan dan kegemaran terhadapnya serta ekspansi seni-seninya. Buku-buku itu telah membawa pengaruh besar terhadap moral, kebiasaan dan tradisi yang menyebabkan kehidupan kita pada umumnya dan dalam berbagai coraknya keluar dari ciri-ciri Islam dan nilai-nilai positifnya. Padahal bangsa-bangsa lain tidak merasa perlu menerjemahkan buku-buku mereka ke dalam bahasa Arab, mengingat status ilmiahnya. Seandainya negeri-negeri Islam konsisten pada jalan kebangkitannya yang pertama, baik dari segi ilmu, peradaban, politik, etika, kekuasaan maupun kewibawaannya, tentulah segala penjuru dunia akan menghormati mereka dan berkeinginan untuk mempelajari bahasa Arab agar dapat menimba secara langsung dari sumbernya produk pemikiran Islam, untuk menyirami kehausannya akan ilmu_ pengetahuan, bernaung di bawah kekuasaan mereka dan berlindung di bawah kedaulatannya. Dan tentu pula dunia akan melihat kebutuhan seperti yang kita rasakan dewasa ini, yakni kebutuhan kita terhadap bahasa dunia.
Oleh karena itu berbicara tentang terjemah Qur’an ini merupakan fenomena kelemahan kedaulatannya. Sudah sepantasnyalah kita mengarahkan pandangan untuk mencurahkan kesungguhan kita dalam membentuk kedaulatan Qur’an dan mengokohkan pilar-pilar kebangkitannya atas dasar iman, ilmu dan pengetahuan. Sebab, hanya itu sajalah yang dapat menjamin kekuasaan spiritual atas berbagai bangsa dan juga dapat meng-arab-kan bahasa mereka. Apabila Islam merupakan agama umat manusia seluruhnya maka bahasanya pun hendaknya demikian adanya, jika kita berusaha mewujudkan kemuliaan yang ditentukan Allah bagi Islam dan umatnya.
Qur’anul Karim adalah sumber tasyri‘ pertama bagi umat Muhammad. Dan kebahagiaan mereka bergantung pada pemahaman maknanya, pengetahuan rahasia-rahasianya dan pengamalan apa yang terkandung di dalamnya. Kemampuan setiap orang dalam memahami Jafaz dan ungkapan Qur’an tidaklah. sama, padahal penjelasannya sedemikian gamblang dan ayat-ayatnya pun sedemikian rinci. Perbedaan daya nalar di antara mereka ini adalah suatu hal yang tidak dipertentangkan lagi. Kalangan awam hanya dapat memahami makna-maknanya yang zahir dan pengertian ayat-ayatnya secara global. Sedang kaJangan cerdik cendikia dan terpelajar akan dapat menyimpulkan pula daripadanya makna-makna yang menarik. Dan di antara kedua kelompok ini terdapat aneka ragam dan tingkat pemahaman. Maka tidaklah mengherankan jika Qur’an mendapatkan perhatian besar dari umatnya melalui pengkajian intensif terutama dalam rangka menafsirkan katakata garib (aneh, ganjil) atau menta’wilkan tarkib (susunan kalimat).
Pengertian Tafsir dan Ta’wil
Tafsir secara bahasa mengikuti wazan “taf‘il”, berasal dari akar kata al-fasr (f, s, r) yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Kata kerjanya mengikuti wazan ”daraba — yaaribu” dan ’nasara — yansuru”. Dikatakan: “fasara (asy-syai’a) yafsiru” dan ”yafsuru, fasran”, dan ”fassarahu”, artinya “abanahu” (menjelaskannya). Kata at-tafsir dan al-fasr Mempunyai arti menjelaskan dan menyingkap yang tertutup. Dalam Lisa@nul ‘Arab dinyatakan: Kata ’’al-fasr’’ berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedang kata ’’at-tafsir’? berarti menyingkapkan maksud sesuatu lafaz yang musykil, pelik. Dalam Qur’an dinyatakan: (Tidaklah mereka datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu Sesuatu. yang benar dan paling baik tafsir-nya.) (al-Furqan [25]:33). Maksudnya, ’’paling baik penjelasan dan perinciannya.”’ Di antara kedua bentuk kata itu, al-fasr dan at-tafsir, kata at-tafsir (tafsir)-lah yang paling banyak dipergunakan.
Berkata Ibn Abbas tentang firman Allah: artinya, lebih baik perinciannya.
Sebagian ulama berpendapat, kata ”’tafsir’” (fasara) adalah kata kerja yang terbalik, berasal dari kata ’’safara’’ (s, f, r) yang juga berarti menyingkapkan (al-kasyf). Kata-kata: berarti, perempuan itu menanggalkan kerudung dari mukanya. Ia adalah ’’safirah’? (perempuan yang membuka muka). Kata-Kata: , artinya waktu subuh telah terang. Pembentukan kata ”’al-fasr’’ menjadi bentuk “taf‘il’’ (yakni, tafsir) untuk menunjukkan arti taksir (banyak, sering berbuat). Misalnya firman Allah: (Mereka banyak menyembelih anak laki-laki kamu.) (al-Baqarah [2]:49) dan firman-Nya: sering menutup pintu-pintu.) (Yusuf [12]:23). Jadi seakan-akan “tafsir’” terus mengikuti dan berjalan surah demi surah dan ayat demi ayat.
Menurut ar-Ragib, kata ”al-fasr’’ dan ”’as-safr’ adalah dua kata yang berdekatan makna dan lafaznya. Tetapi yang pertama untuk (menunjukkan arti) menampakkan (menzahirkan) makna yang ma‘qul (abstrak), sedang yang kedua untuk menampakkan benda Kepada penglihatan mata. Maka dikatakanlah: (Perempuan itu menampakkan mukanya) dan (Waktu subuh telah terang).
Tafsir menurut istilah, sebagaimana didefinisikan Abu Hayyan ialah: ’Ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafaz-lafaz Qur’an, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya.”’
Kemudian Abu Hayyan menjelaskan secara rinci unsur-unsur definis; tersebut sebagai berikut:
Kata-kata “ilmu” adalah kata jenis yang meliputi segala macam imu. “Yang membahas cara mengucapkan lafaz-lafaz Qur’an”, mengacu kepada ilmu qira’at. “Petunjuk-petunjuknya” adalah pengertianpengertian yang ditunjukkan oleh lafaz-lafaz itu. Ini mengacu kepada ilmu bahasa yang diperlukan dalam ilmu (tafsir) ini. Kata-kata “hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun”, meliputi ilmu Saraf, ilmu I‘rab, ilmu Bayan dan ilmu Badi’. Kata-kata “makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun”, meliputi pengertiannya yang hakiki dan majazi; sebab suatu susunan kalimat (tarkib) terkadang menurut lahirnya menghendaki sesuatu makna tetapi untuk membawanya ke makna lahir itu terdapat penghalang sehingga tarkib tersebut mesti dibawa ke makna yang bukan makna lahir, yaitu majaz. Dan kata-kata “hal-hal yang melengkapinya”, mencakup pengetahuan tentang naskh, sebab nuzul, kisah-kisah yang dapat menjelaskan sesuatu yang kurang jelas dalam Qur’an, dan lain sebagainya.
Menurut az-Zarkasyi: Tafsir adalah ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Muhammad, menjelaskan maknamaknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya.”
Ta’wil secara bahasa berasal dari kata aul’, yang berarti kembali ke asal. Dikatakan: “. ” artinya, kembali kepadanya. artinya, memikirkan, memperkirakan dan menafsirkannya. Atas dasar ini maka ta’wil kalam dalam istilah mempunyai dua makna:
Pertama, ta’wil kalam dengan pengertian sesuatu makna yang kepadanya mutakallim (pembicara, orang pertama) mengembalikan perkataannya, atau sesuatu makna yang kepadanya suatu kalam dikembalikan. Dan kalam itu kembali dan merujuk kepada makna hakikinya yang merupakan esensi sebenarnya yang dimaksud. Kalam ada dua macam, insya’ dan ikhbdar. Salah satu yang termasuk insya’ adalah amr (kalimat perintah).
Maka ta’wilul amr ialah esensi perbuatan yang diperintahkan. Misalnya hadis yang diriwayatkan dari Aisyah r.a., ia berkata: ’’Adalah Rasulullah membaca di dalam ruku‘ dan sujudnya subhanallah wa bi hamdika Allahummagfir li. Beliau men-ta’wil-kan (menjalankan perintah) Qur’an.”” Maksudnya firman Allah: Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima tobat. (an-Nasr [110]:3).
Sedang ta’wilul ikhbar ialah esensi dari apa yang diberitakan itu sendiri yang benar-benar terjadi. Misalnya firman Allah:
”Dan sungguh Kami telah mendatangkan Kitab (Qur’an) kepada mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami; menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali ta’wil-nya. Pada hari ta’wil-nya itu datang, berkatalah orang-orang yang melupakannya sebelum itu: ‘Sungguh telah datang rasul-rasul Tuhan kami membawa yang hak, maka adakah bagi kami pemberi syafa‘at yang akan memberikan syafa‘at kepada kami, atau dapatkah kami dikembalikan (ke dunia) sehingga kami dapat beramal yang lain dari yang pernah kami amalkan?’” (al-A‘raf [7]:52-53).
Dalam ayat ini Allah menceritakan bahwa Dia telah menjelaskan Kitab, dan mereka tidak menunggu-nunggu kecuali ta’wil-nya yaitu datangnya apa yang diberitakan Qur’an akan terjadi, seperti hari kiamat dan tanda-tandanya serta segala apa yang ada di akhirat berupa buku catatan amal (suhuf), neraca amal (mizan), surga, neraka dan lain sebagainya. Maka pada saat itulah mereka mengatakan: ’Sungguh telah datang rasul-rasul Tuhan kami membawa yang hak, maka adakah bagi kami pemberi syafa‘at yang akan memberikan syafa‘at kepada kami, atau dapatkah kami dikembalikan (ke dunia) sehingga kami dapat beramal yang lain dari yang pernah kami amalkan?”
Kedua, ta’wilul kalam dalam arti menafsirkan dan menjelaskan maknanya. Pengertian inilah yang dimaksudkan Ibn Jarir at-Tabari dalam Tafsir-nya dengan kata-kata: ’Pendapat tentang ‘ta’wil’ firman Allah ini …begini dan begitu..” dan kata-kata: ’Ahli ‘ta’wil’ berbeda pendapat tentang ayat ini.” Jadi yang dimaksud dengan kata ”ta’wil” di sini adalah tafsir.
Demikianlah makna ta’wil menurut golongan salaf.
Ta’ wil dalam tradisi muta’akhkhirin adalah:
“Memalingkan makna lafaz yang kuat (rajih) kepada makna yang jemah (marjh) karena ada dalil yang menyertainya.”
Definisi ini tidak sesuai dengan apa yang dimaksud dengan lafaz “ta’wil’ dalam Qur’an menurut versi Salaf.
Di antara para ulama ada yang membedakan antara makna, tafsir dan ta’wil mengingat ketiga kata ini, dari segi bahasa, mempunyai perbedaan arti, sekalipun agak berdekatan. Mengenai hal ini Zarkasyi telah menukil sebagai berikut:
Ibn Faris menjelaskan, makna-makna ungkapan yang menggambarkan sesuatu itu kembali kepada tiga kata; makna, tafsir dan ta’wil. Ketiga kata ini, sekalipun berbeda tetapi maksudnya berdekatan. ””Makna” adalah apa yang dimaksud dan dituju. Misalnya perkataan: maksudnya “yang aku maksud dan aku tuju dengan perkataan ini adalah begini.” Kata ini terambil dari kata izhar (menampakkan). Seperti kata-kata: artinya wadah itu tidak dapat menampung air tetapi malah menampakkannya. Dan dari sinilah asalnya ‘unwanul kitab (judul kitab).
”Tafsir” menurut bahasa mengacu kepada arti “menampakkan dan menyingkap.” Ibn al-Anbari menjelaskan, orang Arab mengatakan: atau , maksudnya, aku memacu binatang itu dalam keadaan terikat agar lepas ikatannya. Kata “tafsir” ini mengacu juga kepada arti menyingkap (al-kasyf). Dengan demikian, tafsir berarti menyingkap apa yang dimaksudkan oleh lafaz dan melepaskan apa yang tertahan dari pemahaman.
Adapun ”’ta’wil’” maka menurut bahasa berasal dari kata aul’. Perkataan mereka, ”apa ta’wil perkataan ini?’ artinya ialah ’sampai ke manakah akibat yang dimaksud oleh perkataan itu?” Misalnya firman Allah: (al-A‘raf [7]:53), maksudnya ialah “di saat akibat (kesudahan)-nya tersingkap.” Dan dikatakan: maksudhya, urusannya menjadi begini. Firman-Nya:
(al-Kahfi [18]:82). ”Ta’wil” berasal dari ma’al, yaitu akibat dan kesudahan. Kata-kata maksudnya: aku palingkan ia maka ia pun berpaling. Dengan demikian, ta’wil seakan-akan memalingkan ayat kepada makna-makna yang dapat diterimanya. Kata ”ta’wil” dibentuk dengan pola ”taf‘il” adalah untuk menunjukkan arti banyak.
Perbedaan antara Tafsir dengan Ta’wil
Para ulama berbeda pendapat tentang perbedaan antara kedua kata tersebut. Berdasarkan pada pembahasan di atas tentang makna tafsir dan ta’wil, kita dapat menyimpulkan pendapat terpenting di antaranya sebagai berikut:
1). Apabila kita berpendapat, ta’wil adalah menafsirkan perkataan dan menjelaskan maknanya, maka ”ta’wil” dan “tafsir’ adalah dua kata yang berdekatan atau sama maknanya. Termasuk pengertian ini ialah doa Rasulullah untuk Ibn Abbas: ”Ya Allah, berikanlah kepadanya kemampuan untuk memahami agama dan ajarkanlah kepadanya ta’wil.
2). Apabila kita berpendapat, ta’wil adalah esensi yang dimaksud dari suatu perkataan, maka ta’wil dari talab (tuntutan) adalah esensi perbuatan yang dituntut itu sendiri dan ta’wil dari khabar adalah esensi sesuatu yang diberitakan. Atas dasar ini maka perbedaan antara tafsir dengan ta’wil cukup besar; sebab tafsir merupakan syarah dan penjelasan bagi suatu perkataan dan penjelasan ini berada dalam pikiran dengan cara memahaminya dan dalam lisan dengan ungkapan yang menunjukkannya. Sedang ta’wil ialah esensi sesuatu yang berada dalam realita (bukan dalam pikiran). Sebagai contoh, jika dikatakan: “Matahari telah terbit’, maka ta’wil ucapan ini ialah terbitnya matahari itu sendiri. Inilah pengertian ta’wil yang lazim dalam bahasa Qur’an sebagaimana telah dikemukakan. Allah berfirman:
”Atau (patutkah) mereka mengatakan: ’Muhammad membuatbuatnya.’ Katakanlah: ’(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surah seumpamanya dan panggillah siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.’ Tetapi sebenarnya mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna padahal belum datang kepada mereka ta’wil-nya.” (Yunus (10):38-39). Yang dimaksud dengan ta’wil di sini ialah terjadinya sesuatu yang diberitakan.
3). Dikatakan, tafsir adalah apa yang telah jelas di dalam Kitabullah atau tertentu (pasti) dalam sunnah yang sahih karena maknanya tclah jelas dan gamblang. Sedang ta’wil adalah apa yang disimpulkan para ulama. Karena itu sebagian ulama mengatakan, “Tafsir adalah apa yang berhubungan dengan riwayat sedang ta’wil adalah apa yang berhubungan dengan dirayah.
4). Dikatakan pula, tafsir lebih banyak dipergunakan dalam (menerangkan) lafaz dan mufradat (kosa kata), sedang ta’wil lebih banyak dipakai dalam (menjelaskan) makna dan susunan kalimat. Dan masih panyak lagi pendapat-pendapat yang lain.
Keutamaan Tafsir
Tafsir adalah ilmu syari‘at paling agung dan paling tinggi kedudukannya. Ia merupakan ilmu yang paling mulia obyek pembahasan dan tujuannya serta dibutuhkan. Obyek pembahasannya adalah KaJamullah yang merupakan sumber segala hikmah dan ’tambang” segaja keutamaan. Tujuan utamanya untuk dapat berpegang pada tali yang kokoh dan mencapai kebahagiaan hakiki. Dan kebutuhan terhadapnya sangat mendesak karena segala kesempurnaan agamawi dan duniawi haruslah sejalan dengan syara‘ sedang kesejalanan ini sangat berganfung pada pengetahuan tentang Kitab Allah.
Kajian ilmiah yang obyektif merupakan asas utama bagi pengetahuan yang valid yang memberikan kemanfaatan bagi para pencarinya, dan buahnya merupakan makanan paling lezat bagi santapan pikiran dan perkembangan akal. Oleh karena itu tersedianya sarana dan prasarana yang memadai bagi seorang pengkaji merupakan hal yang mempunyai nilai tersendiri bagi kematangan buah kajiannya dan kemudahan pemetikannya. Kajian ilmu-ilmu syari‘at pada umumnya dan ilmu tafsir khususnya merupakan aktifitas yang harus memperhatikan dan mengetahui sejumlah syarat dan adab agar, dengan demikian, jernihlah salurannya serta terpelihara keindahan wahyu dan keagungannya.
Syarat-syarat bagi Mufasir
Para ulama telah menyebutkan syarat-syarat yang harus dimiliki setiap mufasir yang dapat kami ringkaskan sebagai berikut:
1). Akidah yang benar, sebab akidah sangat berpengaruh terhadap jiwa pemiliknya dan seringkali mendorongnya untuk mengubah nasnas dan berkhianat dalam penyampaian berita. Apabila seseorang menyusun sebuah kitab tafsir, maka dita’wilkannya ayat-ayat yang bertentangan dengan akidahnya dan membawanya kepada mazhabnya yang batil guna memalingkan manusia dari mengikuti golongan salaf dan dari jalan petunjuk.
2). Bersih dari hawa nafsu, sebab hawa nafsu akan mendorong pemiliknya untuk membela kepentingan mazhabnya sehingga ia menipu manusia dengan kata-kata halus dan keterangan menarik seperti dilakukan golongan Qadariah, Syi‘ah Rafidah, Mu‘tazilah dan para pendukung fanatik mazhab sejenis lainnya.
3). Menafsirkan, lebih dahulu, Qur’an dengan Qur’an, Karena sesuatu yang masih global pada satu tempat telah diperinci di tempat jain dan sesuatu yang dikemukakan secara ringkas di suatu tempat telah diuraikan di tempat Jain.
4). Mencari penafsiran dari sunnah, karena sunnah berfungsi sebagai pensyarah Qur’an dan penjelasnya. Qur’an telah menyebutkan bahwa semua hukum (ketetapan) Rasulullah berasal dari Allah.
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran supaya kamu mengadili di antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu.” (an-Nisa [4]:105).
Allah menyebutkan bahwa sunnah merupakan penjelas bagi Kitab.
“Dan Kami turunkan kepadamu ai-Zikr (Qur’an) agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”’ (an-Nahl [16]:44).
Oleh karena itu Rasulullah mengatakan:
“Ketahuilah bahwa telah diberikan kepadaku Qur’an dan bersamanya pula sesuatu yang serupa dengannya’’, yakni sunnah.
Berkenaan dengan ini Syafi‘i berkata: “Segala sesuatu yang diputuskan Rasulullah adalah hasil pemahamannya terhadap Qur’an.” Contoh-contoh penafsiran Qur’an dengan sunnah ini cukup banyak jumlahnya dan telah didokumentasikan secara tertib bersama surah-surah yang ditafsirkannya oleh penulis al-Itgan dalam pasal terakhir kitabnya. Misalnya penafsiran as-sabil dengan az-zad war rahilah (bekal dan kendaraan), az-zulm (kezaliman) dengan asy-syirk (kemusyrikan) dan al-hisab al-yasitr. (hisab, perhitungan yang ringan) dengan al-‘ard (penampakkan sekilas).
5). Apabila tidak didapatkan penafsiran dalam sunnah, hendaklah meninjau pendapat para sahabat karena mereka lebih mengetahui tentang tafsir Qur’an; mengingat merekalah yang menyaksikan qarinah dan kondisi ketika Qur’an diturunkan di samping mereka mempunyai pemahaman (penalaran) sempurna, ilmu yang sahih dan amal yang saleh.
6). Apabila tidak ditemukan juga penafsiran dalam Qur’an, sunnah maupun dalam pendapat para sahabat maka sebagian besar ulama, dalam hal ini, memeriksa pendapat tabi‘in (generasi setelah sahabat), seperti Mujahid bin Jabr, Sa‘id bin Jubair, ‘Ikrimah maula (sahaya yang dibebaskan oleh) Ibn Abbas, ‘Ata’ bin Abi Rabah, Hasan alBasri, Masruq bin Ajda‘, Sa‘id bin al-Musayyab, ar-Rabi‘ bin Anas, Qatadah, Dahhak bin Muzahim dan tabi‘in lainnya. Di antara tabi‘in ada yang menerima seluruh penafsiran dari sahabat, namun tidak jarang mereka juga berbicara tentang tafsir ini dengan istinbat (penyimpulan) dan istialal (penalaran dalil) sendiri. Tetapi yang (harus) menjadi pegangan dalam hal ini adalah penukilan yang sahih. Berkenaan dengan hal ini Ahmad berkata:
“Tiga kitab tidak mempunyai dasar; magdzi (tempat-tempat terjadinya suatu pertempuran atau sanjungan dan pujian terhadap perbuatan baik seorang tokoh), maladhim (kisah peperangan) dan tafsir (penafsiran).” Maksudnya, tafsir yang tidak bersandar pada riwayatriwayat sahih dalam penukilannya.
7). Pengetahuan bahasa Arab dengan segala cabangnya, karena Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab dan pemahaman tentangnya amat bergantung pada penguraian mufraddt (kosa kata) lafaz-lafaz dan pengertian-pengertian yang ditunjukkannya menurut letak kata-kata dalam rangkaian kalimat. Tentang syarat ini Mujahid berkata: ’’Tidak diperkenankan bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berbicara tentang Kitabullah apabila ia tidak mengetahui berbagai dialek bahasa Arab.”
Makna (suatu kata dalam bahasa Arab itu) berbeda-beda disebabkan perbedaan i‘rdb (fungsi kata dalam kalimat). Maka atas dasar ini sangat diperlukan pengetahuan tentang ilmu nahwu (gramatika) dan ilmu tasrif (konyugasi) yang dengan ilmu ini akan diketahui bentukbentuk kata. Sebuah kata yang masih samar-samar maknanya akan segera jelas dengan mengetahui kata dasar (masdar) dan bentuk-bentuk kata turunan (musytaq)-nya. Demikian juga pengetahuan tentang keistimewaan suatu susunan kalimat dilihat dari segi penunjukkannya kepada makna, dari segi perbedaan maksudnya sesuai dengan kejelasan atau kesamaran penunjukkan makna, kemudian dari segi keindahan susunan kalimat yakni tiga cabang ilmu balagah (retorika); ma‘fni, bayfin dan badi‘. Semua itu merupakan syarat sangat penting yang harus dimiliki scorang mufasir mengingat bahwa ia pun harus memperhatikan atau menyelami maksud-maksud kemukjizatan Qur’an. Sedang kemukjizatan tersebut hanya dapat diketahui dengan ilmu-ilmu ini.
8). Pengetahuan tentang pokok-pokok ilmu yang berkaitan dengan Qur’an, seperti ilmu qira’ah karena dengan ilmu ini diketahui bagaimana cara mengucapkan (lafaz-lafaz) Qur’an dan dapat memilih mana yang lebih kuat di antara berbagai ragam bacaan yang diperkenankan, ilmu tauhid dengan ilmu ini diharapkan mufasir tidak menta’wilkan ayatayat berkenaan dengan hak Allah dan sifat-sifat-Nya secara melampaui batas hak-Nya, dan ilmu usul terutama usulut tafsir dengan mendalami masalah-masalah (kaidah-kaidah) yang dapat memperjelas sesuatu makna dan meluruskan maksud-maksud Qur’an, seperti pengetahuan tentang asbabun nuzul, nasikh-mansukh dan lain sebagainya.
9). Pemahaman yang cermat sehingga mufasir dapat mengukuhkan sesuatu makna atas yang lain atau menyimpulkan makna yang sejalan dengan nas-nas syari‘at.
Adab Mufasir
1). Berniat baik dan bertujuan benar; sebab amal perbuatan itu bergantung pada niat. Orang yang mempunyai (berkecimpung dalam) ilmu-ilmu syari‘at hendaknya mempunyai tujuan dan tekad membangun kebaikan umum, berbuat baik kepada Islam dan membersihkan diri dari tujuan-tujuan duniawi agar Allah meluruskan langkahnya dan memanfaatkan ilmunya sebagai buah keikhlasannya.
2). Berakhlak baik; karena mufasir bagai seorang pendidik yang didikannya itu tidak akan berpengaruh ke dalam jiwa tanpa ia menjadi panutan yang diikuti dalam hal akhlak dan perbuatan mulia. Kata-kata yang kurang baik terkadang menyebabkan siswa enggan memetik manfaat dari apa yang didengar dan dibacanya, bahkan terkadang dapat mematahkan jalan pikirannya.
3). Taat dan beramal. Ilmu akan lebih dapat diterima (oleh khalayak) melalui orang yang mengamalkannya ketimbang dari mereka yang hanya memiliki ketinggian pengetahuan dan kecermatan kajiannya. Dan perilaku mulia akan menjadikan mufasir sebagai panutan yang baik bagi (pelaksanaan) masalah-masalah agama yang ditetapkannya. Seringkali manusia menolak untuk menerima ilmu dari orang yang luas pengetahuannya hanya karena orang tersebut berperilaku buruk dan tidak mengamalkan ilmunya.
4). Berlaku jujur dan teliti dalam penukilan, sehingga mufasir tidak berbicara atau menulis kecuah setelah menyelidiki apa yang dirtwayatkannya. Dengan cara ini ia akan terhindar dari kesalahan dan kekeliruan.
5). Tawadu‘ dan lemah lembut, karena kesombongan ilmiah merupakan dinding kokoh yang menghalangi antara seorang alim dengan kemanfaatan ilmunya.
6). Berjiwa mulia. Seharusnyalah seorang alim menjauhkan diri dari hal-hal yang remeh serta tidak mengelilingi pintu-pintu kebesaran dan penguasa bagai peminta-minta yang buta.
7). Vokal dalam menyampaikan kebenaran, karena jihad paling utama adalah menyampaikan kalimat yang hak di hadapan penguasa zalim.
8). Berpenampilan baik yang dapat menjadikan mufasir berwibawa dan terhormat dalam semua penampilannya secara umum, juga dalam cara duduk, berdiri dan berjalan, namun sikap ini hendaknya tidak dipaksa-paksakan.
9). Bersikap tenang dan mantap. Mufasir hendaknya tidak tergesa-gesa dalam berbicara tetapi hendaknya ia berbicara dengan tenang, mantap dan jelas, kata demi Kata.
10). Mendahulukan orang yang lebih utama daripada dirinya. Seorang mufasir hendaknya tidak gegabah untuk menafsirkan di hadapan orang yang lebih pandai pada waktu mereka masih hidup dan tidak pula merendahkan mereka sesudah mereka wafat. Tetapi hendaknya ia menganjurkan belajar dari mereka dan membaca kitab-kitabnya.
11). Mempersiapkan dan menempuh langkah-langkah penafsiran secara baik, seperti memulai dengan menyebutkan asbabun nuzul, arti kosa kata, menerangkan susunan kalimat, menjelaskan segi-segi baldagah dan i‘rab yang padanya bergantung penentuan makna. Kemudian menjelaskan makna umum dan menghubungkannya dengan kehidupan umum yang sedang dialami umat manusia pada masa itu dan kemudian mengambil kesimpulan dan hukum.
Adapun mengemukakan korelasi dan pertautan di antara ayat-ayat maka yang demikian bergantung pada susunan kalimat dan konteks.
Telah menjadi sunnatullah bahwa ia mengutus setiap rasa dengan menggunakan bahasa kaumnya. Hal ini agar komunikasi antara mereka berjalan dengan sempurna. Allah berfirman:
”Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.” (Ibrahim [14):4).
Kitab yang diturunkan kepadanya juga dengan bahasanya dan bahasa kaumnya. Apabila bahasa Muhammad adalah bahasa Arab, maka kitab yang diturunkan kepadanya juga dalam bahasa Arab. DemikianJah penjelasan ayat muhkam berikut:
”Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Qur’an dengan berbahasa Arab agar kamu memahaminya.” (Yusuf {12}:2).
“Dan sesungguhnya Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, ia dibawa oleh ar-Ribul Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara para pemberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.” (asy-Syu‘ara’ [26]:192-195).
Dengan demikian, lafaz-lafaz Qur’an adalah bahasa Arab. Dan aspek-aspek makna yang terkandung di dalamnya pun sesuai dengan aspek-aspek makna yang dikenal di kalangan bangsa Arab. Apabila terdapat sedikit lafaz yang diperselisihkan dalam pandangan para ulama, apakah ia berasal dari bahasa lain yang kemudian diarabkan ataukah ia bahasa Arab asli tetapi terdapat pula dalam bahasa lain? Maka yang demikian ini tidak mengeluarkan Qur’an dari statusnya sebagai kitab berbahasa Arab.
Pendapat yang dipegangi para penyelidik adalah bahwa lafaz-lafaz tersebut merupakan kata-kata yang ada kesamaannya antara bahasa Arab dengan bahasa bangsa lain. Dan inilah pendapat yang dipilih oleh tokoh besar mufasir, Ibn Jarir at-Tabari.”
Contoh konkrit bagi masalah ini ialah pendapat yang diriwayatkan mengenai firman Allah: (Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian. — al-Hadid [57]:28). Dikatakan bahwa makna al-kiflain adalah di‘fani (dua kali lipat pahala) menurut bahasa Habasyah.
Firman-Nya: (Sesungguhnya bangun di waktu malam… — al-Muzammil [73]:6 adalah bahasa Habasyah, sebab jika seseorang bangun di waktu malam, mereka mengatakan nasya’a (ia bangun malam).
Firman-Nya: (Wahai gunung-gunung, bertasbihlah bersama dia. — Saba [34]:10). Dikatakan, awwibi bermakna sabbihi (bertasbihlah) dalam bahasa Habasyah.
Firman-Nya: (Lari dari singa. — al-Muddassir [74]: 51). Dikatakan, gaswarah adalah bahasa Habasyabh, artinya ”asad” atau singa. Dan firman-Nya: (batu dari tanah yang keras.. Hud [11]:82, dan al-Hijr (15]:74). Dikatakan, adalah bahasa Persia yang diarabkan.
Berkenaan dengan riwayat itu semua at-Tabari menjelaskan, tidak seorang pun mengatakan bahwa kata-kata tersebut dan yang serupa adengannya bukan bahasa Arab. Namun sebagian mereka mengatakan, “kata ini dalam bahasa Habasyah artinya begini, dan kata anu dalam bahasa non Arab artinya begitu.” Selain itu, telah jelas pula bahwa terdapat sejumlah lafaz yang persis sama dalam berbagai bahasa, misalnya kata “dirham’’, ‘dinar’, ’dawat’’, “qalam’”’ dan “qirtas (kertas)”. Jika demikian, alasan apakah yang menjadikan lafaz-lafaz tersebut merupakan bahasa tertentu yang kemudian dialihkan ke dalam bahasa lain? Tak satu pun dari dua bangsa yang lebih berhak mengklaim sebagai pemilik asalnya. Dan yang mengklaim demikian berarti ia mengklaim sesuatu tanpa dalil dan alasan.
Tafsir pada Masa Nabi dan Sahabat
Allah memberikan jaminan kepada Rasul-Nya bahwa Ia akan memelihara Qur’an dan menjelaskannya:
“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah menghimpunnya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.” (al-Qiyamah [75]:17-19).
Nabi memahami Qur’an secara global dan terperinci. Dan adalah kewajibannya menjelaskannya kepada para sahabatnya:
“Dan Kami turunkan kepadamu az-Zikr, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan.” (an-Nahl [16]:44).
Para sahabat juga memahami Qur’an karena Qur’an diturunkan dalam bahasa mereka, sekalipun mereka tidak memahami detail-detailnya. Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya menjelaskan: ’’Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab dan menurut uslub-uslub balagahnya. Karena itu semua orang Arab memahaminya dan mengetahui maknamaknanya baik kosa kata maupun susunan kalimatnya.” Namun demikian mereka berbeda-beda tingkat pemahamannya, sehingga apa yang tidak diketahui oleh seseorang di antara mereka bolehjadi diketahui Oleh yang lain.
Diriwayatkan oleh Abu ‘Ubaidah dalam al-Fadda’il dari Anas, Umar bin Khattab pernah membaca di atas mimbar ayat: (‘Abasa [80]:31) lalu ia berkata: ’’Arti kata fakihah (buah) telah kita ketahui, tetapi apakah arti kata abb?” Kemudian ia menyesali diri sendiri dan berkata: “Ini suatu pemaksaan diri, takalluf, wahai Umar.”
Abu ‘Ubaidah meriwayatkan pula melalui Mujahid dari Ibn Abbas, ia berkata: “Dulu saya tidak tahu apa makna /fatirus samawati wal ard sampai datang kepadaku dua orang dusun yang bertengkar tentang sumur. Salah seorang mereka berkata: “Ana fatartuhad”, maksudnya “ana ibtada’tuha”’ (akulah yang membuatnya pertama kali).
Atas dasar itu Ibn Qutaibah berkata: Orang Arab itu tidak sama pengetahuannya tentang kata-kata garib dan mutasydbih dalam Qur’an. Tetapi dalam hal ini sebagian mereka mempunyai kelebihan atas yang lain.”
Para sahabat dalam menafsirkan Qur’an pada masa ini berpegang pada:
1). Qur’anul Karim, sebab apa yang dikemukakan secara global di satu tempat dijelaskan secara terperinci di tempat yang lain. Terkadang pula sebuah ayat datang dalam bentuk mutlaq atau umum namun kemudian disusul oleh ayat Jain yang membatasi atau mengkhususkannya. Inilah yang dinamakan ”Tafsir Qur’an dengan Qur’an”. Penafsiran seperti ini cukup banyak contohnya. Misalnya, kisah-kisah dalam Qur’an yang ditampilkan secara ringkas (miijaz) di beberapa tempat, kemudian di tempat lain datang uraiannya panjang lebar (mushab). Contoh lainnya, firman Allah:
“Dihalalkan bagimu binatang ternak kecuali yang akan dibacakan kepadamu…” (al-Ma’idah [5]:1), ditafsirkan oleh ayat:
”Diharamkan bagimu (memakan) bangkai…” (al-Ma’idah [5]:3). Dan firman-Nya:
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan…” (al-An‘am [6]:103), ditafsirkan oleh ayat: “Kepada Tuhannyalah mereka melihat.” (al-Qiyamah [75]:23).
2). Nabi s.a.w., mengingat beliaulah yang bertugas untuk menjelaskan Qur’an. Karena itu wajarlah kalau para sahabat bertanya kepadanya ketika mendapatkan kesulitan dalam memahami sesuatu ayat.
Dari Ibn Mas‘ud diriwayatkan, ia berkata:
Ketika turun ayat ini, ’Orang-orang yang beriman dan – tidak mencampuradukkan imannya dengan kezaliman…” (al-An‘am [(6]:82), hal ini sangat meresahkan hati para sahabat. Mareka bertanya, ”Ya Rasulullah, siapakah di antara kita yang tidak berbuat zalim terhadap dirinya?” Beliau menjawab: ”Kezaliman di sini bukanlah seperti yang kamu pahami. Tidakkah kamu mendengar apa yang dikatakan hamba yang saleh (Luqman), Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah kezaliman yang besar (Luqman [31}:13). Kezaliman di sini sesungguhnya adalah syirik.”
Demikian juga Rasulullah menjelaskan kepada mereka apa yang ja kehendaki ketika diperlukan. Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, ia berkata: ”Saya pernah mendengar Rasulullah mengatakan di atas mimbar ketika membaca ayat Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi (al-Anfal [8]:60). Ketahuilah, “kekuatan’ di sini adalah memanah.””
Dari Anas, ia berkata:
Rasulullah berkata: ’Al-Kausar adalah sungai yang diberikan Tuhan kepadaku di surga.”
Kitab-kitab himpunan sunnah telah menyajikan satu bab khusus memuat tafsir bil-ma’sar (penafsiran berdasarkan riwayat/asar) dari Rasulullah. Dalam hal ini Allah berfirman:
“Dan Kami tidaklah menurunkan kepadamu Kitab, melainkan agar kamu menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (anNahl [16]:64).
Di antara kandungan Qur’an terdapat ayat-ayat yang tidak dapat diketahui ta’wilnya kecuali melalui penjelasan Rasulullah. Misalnya, rincian tentang perintah dan larangan-Nya serta ketentuan mengenai hukum-hukum yang difardukan-Nya. Inilah yang dimaksud dengan perkataan Rasulullah: ’Ketahuilah, sungguh telah diturunkan kepadaku Qur’an dan bersamanya pula sesuatu yang serupa dengannya…’’
3). Pemahaman dan ijtihad. Apabila para sahabat tidak mendapatkan tafsiran dalam Qur’an dan tidak pula mendapatkan sesuatu pun yang berhubungan dengan hal itu dari Rasulullah, mereka melakukan ijtihad dengan mengerahkan segenap kemampuan nalar. Ini mengingat mereka adalah orang-orang Arab asli yang sangat menguasai bahasa Arab, memahaminya dengan baik dan mengetahui aspek-aspek kebalagah-an yang ada di dalamnya.
Di antara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan Qur’an adalah empat khalifah, Ibn Mas‘ud, Ibn Abbas, Ubai bin Ka‘b, Zaid bin Sabit, Abu Musa al-Asy‘ari, Abdullah bin Zubair, Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdullah, Abdullah bin ‘Amr bin ‘As dan Aisyah, dengan terdapat perbedaan sedikit atau banyaknya penafsiran mereka. Cukup banyak riwayat-riwayat.yang dinisbahkan kepada mereka dan kepada sahabat yang lain di berbagai tempat tafsir bilma’sir yang tentu saja berbeda-beda derajat ke-sahih-an dan ke-da‘ifannya dilihat dari sudut sanad (mata rantai periwayatan).
Tidak diragukan lagi, tafsir bil-ma’sur yang berasal dari sahabat mempunyai nilai tersendiri. Jumhur ulama berpendapat, tafsir sahabat mempunyai status hukum marfii‘ (disandarkan kepada Rasulullah, pent.) bila berkenaan dengan asbabun nuzul dan semua hal yang tidak mungkin dimasuki ra’y. Sedang hal yang memungkinkan dimasuki ra’y maka statusnya adalah mauqif (terhenti) pada sahabat selama tidak disandarkan kepada Rasulullah.
Sebagian ulama mewajibkan untuk mengambil tafsir yang mauquf pada sahabat, karena merekalah yang paling ahli bahasa Arab dan menyaksikan langsung konteks dan situasi serta kondisi yang hanya diketahui mereka, di samping mereka mempunyai daya pemahaman yang sahih. Zarkasyi dalam kitabnya al-Burhan berkata:
Ketahuilah, Qur’an itu ada dua bagian. Satu bagian penafsirannya datang berdasarkan naql (riwayat) dan bagian yang lain tidak dengan nagl. Yang pertama, penafsiran itu adakalanya dari Nabi, sahabat atau tokoh tabi‘in. Jika berasal dari Nabi, hanya perlu dicari kesahihan sanadnya. Jika berasal dari sahabat, perlu diperhatikan apakah mereka menafsirkan dari segi bahasa? Jika ternyata demikian maka mereka adalah yang paling mengerti tentang bahasa Arab, karena itu pendapatnya dapat dijadikan pegangan, tanpa diragukan lagi. Atau jika mereka menafsirkan berdasarkan asbab nuzul atau situasi dan kondisi yang mereka saksikan, maka hal ini pun tidak diragukan lagi.”
Berkata al-Hafiz Ibn Kasir dalam Mugaddimah Tafsir-nya:
Dengan demikian jika kita tidak mendapatkan tafsiran dalam Qur’an dan tidak pula dalam sunnah, hendaknya kita kembali, dalam hal ini, ke pendapat sahabat; sebab mereka lebih mengetahui mengenai tafsir Qur’an. Hal ini karena merekalah yang menyaksikan konteks dan situasi serta kondisi yang hanya diketahui mereka sendiri. Juga karena mereka mempunyai pemahaman sempurna, ilmu yang sahih dan amal yang saleh, terutama para ulama dan tokoh besarnya, seperti empat Khulafa’ur Rasyidin, para imam yang mendapat petunjuk dan Ibn Mas‘ud.
Pada masa ini tidak ada sedikit pun tafsir yang dibukukan, sebab pembukuan baru dilakukan pada abad kedua. Di samping itu tafsir hanya merupakan cabang dari hadis, dan belum mempunyai bentuk yang teratur. Ia diriwayatkan secara bertebaran mengikuti ayat-ayat yang berserakan, tidak tertib atau berurutan sesuai sistimatika ayatayat Qur’an dan surah-surahnya di samping juga tidak mencakup keseluruhannya.
Tafsir pada Masa Tabi‘in
Sebagaimana tokoh-tokoh sahabat banyak dikenal dalam tafsir, maka sebagian tokoh tabi‘in yang menjadi murid dan belajar kepada mereka pun terkenal di bidang tafsir. Dalam hal sumber tafsir, para tabi‘in berpegang pada sumber-sumber yang ada pada masa para pendahulunya di samping ijtihad dan pertimbangan nalar mereka sendiri.
Berkata Ustaz Muhammad Husain Zahabi: Dalam memahami Kitabullah, para mufasir tabiin berpegang pada yang ada dalam Qur’an itu sendiri, keterangan yang mereka riwayatkan dari para sahabat dari Rasulullah, penafsiran yang mereka terima dari para sahabat berupa penafsiran mereka sendiri, keterangan yang mereka terima dari Ahli Kitab yang bersumber dari isi kitab mereka, dan ijtihad serta pertimbangan nalar mereka terhadap Kitabullah sebagaimana yang telah dianugerahkan Allah kepada mereka.
Kitab-kitab tafsir menginformasikan kepada kita pendapat-pendapat tabi‘in tentang tafsir yang mereka hasilkan melalui ra’y dan ijtihad. Dan penafsiran mereka ini sedikit pun bukan berasal dari Rasulullah atau dari sahabat.
Pada uraian di muka telah dikemukakan, tafsir yang dinukil dari Rasulullah dan para sahabat tidak mencakup semua ayat Qur’an. Mereka hanya menafsirkan bagian-bagian yang sulit dipahami bagi orang-orang yang semasa dengan mereka. Kemudian kesulitan ini semakin meningkat secara bertahap di saat manusia bertambah jauh dari masa Nabi dan sahabat. Maka para tabi‘in yang menekuni bidang tafsir merasa perlu untuk menyempurnakan sebagian kekurangan ini. Karenanya mereka pun menambahkan ke dalam tafsir keterangan-keterangan yang dapat menghilangkan kekurangan tersebut. Setelah itu muncullah generasi sesudah tabi‘in. Generasi ini pun berusaha menyempurnakan tafsir Qur’an secara terus menerus dengan berdasarkan pada pengetahuan mereka atas bahasa Arab dan cara bertutur kata, peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa turunnya Qur’an yang mereka pandang valid dan pada alat-alat pemahaman serta sarana pengkajian lainnya.!
Penaklukan Islam semakin luas. Hal ini mendorong tokoh-tokoh sahabat berpindah ke daerah-daerah taklukan dan masing-masing mereka membawa ilmu. Dari tangan mereka inilah para tabi‘in, murid mereka itu, belajar dan menimba ilmu, sehingga selanjutnya tumbuhlah berbagai mazhab dan perguruan tafsir.
Di Mekah, misalnya, berdiri perguruan Ibn Abbas. Di antara muridnya yang terkenal adalah Sa‘id bin Jubair, Mujahid, ‘Ikrimah maula Ibn Abbas, Tawus bin Kaisan al-Yamani dan ‘Até’ bin Abi Rabah. Mereka ini semuanya dari golongan mauld (sahaya yang telah dibebaskan). Dalam hal periwayatan tafsir dari Ibn Abbas, mereka tidaklah setingkat; ada yang sedikit dan ada pula yang banyak, sebagaimana para ulama pun berbeda pendapat mengenai kadar ”keterpercayaan” dan kredibilitas mereka. Dan yang mempunyai kelebihan di antara mercka tetapi mendapat sorotan adalah ‘Ikrimah. Para ulama berbeda pandangan di sekitar penilaian terhadap kredibilitasnya meskipun mereka mengakui keilmuan dan keutamaannya.
Di Medinah, Ubai bin Ka‘b lebih terkenal di bidang tafsir dari orang lain. Pendapat-pendapatnya tentang tafsir banyak dinukilkan generasi sesudahnya. Di antara muridnya dari kalangan tabi‘in, yang bejajar kepadanya secara langsung atau tidak, yang terkenal ialah Zaid bin Aslam, Abu ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka‘b al-Qurazi.
Di Irak berdiri perguruan Ibn Mas‘ud yang dipandang oleh para ulama sebagai cikal bakal mazhab ahli ra’y. Dan banyak pula tabi‘in di Irak dikenal dalam bidang tafsir. Yang masyhur di antaranya ialah ‘Alqamah bin Qais, Masruq, al-Aswad bin Yazid, Murrah al-Hamazani, ‘Amir asy-Sya‘bi, Hasan al-Basri dan Qatadah bin Di‘amah as-Sadusi.
Merekalah mufasir-mufasir terkenal dari kalangan tabi‘in di berbagai wilayah Islam, dan dari mereka pulalah tabi‘it tabi‘in (generasi setelah tabi‘in) belajar. Mereka telah menciptakan untuk kita warisan ilmiah yang abadi.
Para ulama berbeda pendapat tentang tafsir yang berasal dari tabi‘in jika tafsir tersebut tidak diriwayatkan sedikit pun dari Rasulullah atau para sahabat; apakah pendapat mereka itu dapat dipegangi atau tidak?
Segolongan ulama berpendapat, tafsir mereka tidak (harus) dijadikan pegangan, sebab mereka tidak menyaksikan peristiwa-peristiwa atau situasi dan kondisi yang berkenaan dengan turunnya ayat-ayat Qur’an, sehingga mereka dapat saja berbuat salah dalam memahami apa yang dimaksud. Sebaliknya, banyak mufasir berpendapat, tafsir mereka dapat dipegangi, sebab pada umumnya mereka menerimanya dari para sahabat.
Pendapat yang kuat ialah jika para tabi‘in sepakat atas sesuatu pendapat, maka bagi kita wajib menerimanya, tidak boleh meninggalkannya untuk mengambil yang lain.
Ibn Taimiyah berkata:
Syu‘bah bin Hajjaj dan lainnya berpendapat, ’’Pendapat para tabi‘in itu. bukan hujjah.” Maka bagaimana pula pendapat-pendapat tersebut dapat menjadi hujjah di bidang tafsir? Maksudnya, pendapatPendapat itu tidak menjadi hujjah bagi orang lain yang tidak sependapat dengan mereka. Inilah pendapat yang benar. Namun jika mereka sepakat atas sesuatu maka tidak diragukan lagi bahwa kesepakatan itu merupakan hujjah. Sebaliknya, jika mereka berbeda pendapat maka pendapat sebagian mereka tidak menjadi hujjah, baik bagi kalangan sendiri (tabi‘in) maupun bagi generasi sesudahnya. Dalam keadaan demikian, persoalannya dikembalikan kepada bahasa Qur’an, sunnah, keumuman bahasa Arab dan pendapat para sahabat tentang hal tersebut.
Pada masa ini, tafsir tetap konsisten dengan cara khas, penerimaan dan periwayatan (talagqgi wa talqin). Akan tetapi setelah banyak Ahli Kitab masuk Islam, para tabi‘in banyak menukil dari mereka cerita-cerita isra’iliyat yang kemudian dimasukkan ke dalam tafsir. Misalnya, yang diriwayatkan dari Abdullah bin Salam, Ka‘bul Ahbar, Wahb bin Munabbih dan Abdul Malik bin Abdul ‘Aziz bin Juraij. Di samping itu, pada masa ini, mulai timbul silang pendapat mengenai Status tafsir yang diriwayatkan dari mereka karena banyaknya pendapat-pendapat mereka. Namun demikian pendapat-pendapat tersebut sebenarnya berdekatan satu dengan yang lain atau hanya merupakan sinonim semata. Dengan demikian perbedaan itu hanya dari segi redaksional, bukan perbedaan yang saling bertentangan dan kontradiktif.
Tafsir pada Masa Pembukuan
Masa pembukuan dimulai pada akhir dinasti Bani Umayah dan awal dinasti Abbasiyah. Dalam hal ini hadis mendapat prioritas utama dan pembukuannya meliputi berbagai bab, sedang tafsir hanya merupakan salah satu bab dari sekian banyak bab yang dicakupnya. Pada masa ini penulisan tafsir belum dipisahkan secara khusus yang hanya memuat tafsir Qur’an, surah demi surah dan ayat demi ayat, dari awal Qur’an sampai akhir.
Perhatian segolongan ulama terhadap periwayatan tafsir yang dinisbahkan kepada Nabi, sahabat atau tabi‘in sangat besar di samping perhatian terhadap pengumpulan hadis. Tokoh terkemuka di antara mereka dalam bidang ini ialah Yazid bin Harun as-Sulami (w. 117 H.), Syu‘bah bin al-Hajjaj (w. 160 H.), Waki‘ bin Jarrah (w. 197 H.), Sufyan bin “Uyainah (w, 198 H.), Rauh bin ‘Ubadah al-Basri (w. 205 H.), Abdurrazzaq bin Hammam (w. 211 H.), Adam bin Abu lyas (w. 220 H.) dan ‘Abd bin Humaid (w. 249 H.). Tafsir golongan ini sedikit pun tidak ada yang sampai kepada kita. Yang kita terima hanyalah nukilan-nukilan yang dinisbahkan kepada mereka sebagaimana termuat dalam kitab-kitab tafsir bil-ma’sur.
Sesudah golongan ini datanglah generasi berikutnya yang menulis tafsir secara khusus dan independen serta menjadikannya sebagai itmu yang berdiri sendiri dan terpisah dari hadis. Qur’an mereka tafsirkan secara sistematis sesuai dengan tertib Mushaf. Di antara mereka adalah Ibn Majah (w. 273 H.), Ibn Jarir at-Tabari (w. 310 H.), Abu Bakar bin al-Munzir an-Naisaburi (w. 318 H.), Ibn Abi Hatim (w. 327 H.), Abusy Syaikh bin Hibban (w. 369 H.), al-Hakim (w. 405 H.) dan Abu Bakar bin Mardawaih (w. 410 H.).
Tafsir generasi ini memuat riwayat-riwayat yang disandarkan kepada Rasulullah, sahabat, tabi‘in dan tabi‘it tabi‘in, dan terkadang disertai pen-tarjih-an terhadap pendapat-pendapat yang diriwayatkan dan penyimpulan (istinbat) sejumlah hukum serta penjelasan kedudukan kata (i‘rab) jika diperlukan, sebagaimana dilakukan Ibn Jarir atTabari.
Kemudian muncul sejumlah mufasir yang (aktifitasnya) tidak lebih dari batas-batas tafsir bil-ma’sur, tetapi dengan meringkas sanad-sanad dan menghimpun berbagai pendapat tanpa menyebutkan pemijiknya. Karena itu persoalannya menjadi kabur dan riwayat-riwayat yang sahih bercampur dengan yang tidak sahih.
Ilmu semakin berkembang pesat, pembukuannya mencapai kesempurnaan, cabang-cabangnya bermunculan, perbedaan pendapat terus meningkat, masalah-masalah ”Kalam” semakin berkobar, fanatisme mazhab menjadi serius dan ilmu-ilmu filsafat bercorak rasional bercampur baur dengan ilmu-ilmu naqli serta setiap golongan berupaya mendukung mazhab masing-masing. Ini semua menyebabkan tafsir ternoda polusi udara tidak sehat tersebut. Sehingga para mufasir dalam menafsirkan Qur’an berpegang pada pemahaman pribadi dan mengarah ke berbagai kecendrungan. Pada diri mereka melekat istilah-istilah ilmiah, akidah mazhabi dan pengetahuan falsafi. Masing-masing mufasir memenuhi tafsirnya hanya dengar ilmu yang paling dikuasainya tanpa memperhatikan ilmu-ilmu yang lain. Ahli ilmu rasional hanya memperhatikan dalam tafsirnya kata-kata pujangga dan filosof, seperti Fakhruddin ar-Razi. Ahli fikih hanya membahas soal-soal fikih, seperti al-Jassas dan al-Qurtubi. Sejarawan hanya mementingkan kisah dan berita-berita, seperti as-Sa‘labi dan al-Khazin. Demikian pula golongan ahli bid‘ah berupaya menta’wilkan Kalamullah menurut selera mazhabnya yang rusak itu, seperti ar-Rummani, al-Juba’i, al-Qadi Abdul Jabbar dan Zamakhsyari dari kaum Mu‘tazilah, Mala Muhsin al-Kasyi dari golongan Syi‘ah Imamiah al-Isna ‘Asyriyah, dan golongan ahli tasawwuf hanya mengemukakan makna-makna isyari (tersirat) seperti Ibn ‘Arabi.
Di samping tafsir dengan corak tersebut juga banyak tafsir yang menitikberatkan pada pembahasan ilmu nahwu, saraf dan balagah. Demikianlah, kitab-kitab tafsir menjadi kitab-kitab yang di dalamnya bercampur baur antara debu dengan samin, yang berguna dengan yang berbahaya, dan yang baik dengan yang buruk. Masing-masing golongan menafsirkan ayat-ayat Qur’an dengan penafsiran yang tidak dapat diterima oleh ayat itu sendiri demi mendukung kepentingan mazhabnya atau menolak pihak lawan, sehingga tafsir kehilangan fungsi utamanya sebagai sarana petunjuk, pembimbing dan pengetahuan mengenai hukum agama. Dengan demikian, tafsir bir-ra’yi menang atas tafsir bil-ma’Str.
Pada masa-masa selanjutnya, penulisan tafsir mengikuti pola di atas melalui upaya golongan muta’akhkhirin yang mengambil begitu saja penafsiran golongan mutaqaddimin, tetapi dengan cara meringkasnya di satu saat dan memberinya komentar di saat lain. Keadaan demikian terus berlanjut sampai lahirnya pola baru dalam tafsir mu ‘dsir (modern), di mana sebagian mufasir memperhatikan kebutuhan-kebutuhan kontemporer di samping upaya penyingkapan asas-asas kehidupan sosial, prinsip-prinsip tasyri‘ dan teori-teori ilmu pengetahuan dari kandungan Qur’an sebagaimana terlihat dalam tafsir al-Jawahir, al-Mandar dan az-Zilal.
Tafsir tematik (maudi‘i)
Pada masa pembukuan di samping tafsir bercorak biasa atau umum, tafsir tematik yang mengkaji masalah-masalah khusus berjalan beriringan dengannya. Misalnya, Ibnul Qayyim menulis kitab atTibyan fi Aqsamil Qur’an, Abu ‘Ubaidah menulis sebuah kitab tetang Majazul Qur’An, ar-Ragib al-Asfahani menyusun Mufrddatul Qur’an, Abu Ja‘far an-Nahas menulis an-Nasikh wal Mansikh, Abul Hasan al-Wahidi menulis Asbabun Nuzul dan al-Jassas menulis Ahkkamul Qur’an. Pan kajian-kajian Qur’ani pada masa modern, tidak satu pun yang terlepas dari penafsiran sebagian ayat-ayat Qur’an untuk salah satu aspek dari aspek-aspek tersebut.
Tabaqat (Kelompok) Mufasir
Berdasarkan uraian di atas kita dapat mengelompokkan mutasir sebagai berikut:
1). Mufasir dari kalangan sahabat. Di antara mereka yang paling terkenal adalah empat Khalifah, Ibn Mas‘ud, Ibn Abbas, Ubai bin Ka‘b, Zaid bin Sabit, Abu Musa al-Asy‘ari, Abdullah bin az-Zubair, Anas bin Malik, Abu Hurairah, Jabir dan Abdullah bin ‘Amr bin ‘As. Di antara empat Khalifah yang paling banyak diriwayatkan tafsimya adalah Ali bin Abi Talib, sedang periwayatan dari tiga Khalifah lainnya jarang sekali. Hal ini karena mereka meninggal lebih dahulu, sebagaimana terjadi pada Abu Bakar. Ma‘mar meriwayatkan dari Wahb bin Abdullah, dari Abut Tufail, ia berkata: Saya pernah menyaksikan Ali berkhutbah, mengatakan, ’’Bertanyalah kepadaku karena, demi Allah, kamu tidak menanyakan sesuatu kepadaku melainkan aku akan menjawabnya. Bertanyalah kepadaku tentang Kitabullah karena, demi Allah, tidak satu ayat pun yang tidak aku ketahui apakah ia diturunkan pada waktu malam ataukah pada waktu siang, di lembah ataukah di gunung.”
Sementara itu Ibn Mas‘ud lebih banyak diriwayatkan tafsirnya daripada Ali. Ibn Jarir dan yang lain meriwayatkan dari Ibn Mas‘ud, ja berkata: “Demi Allah, tiada tuhan selain Dia, tidaklah diturunkan satu ayat pun dari Kitabullah kecuali aku tahu berkenaan dengan siapa dan di manakah ia diturunkan. Andaikata aku mengetahui tempat seseorang yang lebih tahu dari aku tentang Kitabullah sedang ia dapat dicapai kendaraan, pasti aku datangi.”
Mengenai Ibn Abbas, insya’ Allah akan kami kemukakan riwayat hidupnya.
2). Mufasir dari kalangan tabi‘in. Ibn Taimiyah menjelaskan, orang yang paling mengetahui tentang tafsir adalah penduduk Mekah, karena mereka adalah murid-murid Ibn Abbas, seperti Mujahid, ‘Ata’ bin Abi Rabah, ‘Ikrimah maula (sahaya yang dimerdekakan oleh) Ibn Abbas, Sa‘id bin Jubair, Tawus dan lain-lain. Di Kufah adalah murid-murid Ibn Mas‘ud dan di Medinah adalah Zaid bin Aslam yang tafsirnya diriwayatkan oleh putranya sendiri Abdurrahman bin Zaid, dan Malik bin Anas. Di antara murid Ibn Mas‘ud adalah ‘Alqamah, al-Aswad bin Yazid, Ibrahim an-Nakha‘i dan asy-Sya‘bi. Termasuk mufasir kelompok ini adalah al-Hasan al-Basri, ‘Ata’ bin Abi Muslim al-Khurrasani, Muhammad bin Ka‘b al-Qarazi, Abul ‘Aliyah Rafi‘ bin Mahran arRayahi, Dahhak bin Muzahim, ‘Atiyah bin Sa‘d al-‘Aufi, Qatadah bin Di‘amah as-Sadusi, ar-Rabi‘ bin Anas dan as-Sadi. Mereka adalah para mufasir pendahulu dari kalangan tabi‘in, dan pada umumnya pendapat mereka diterima dari para sahabat.
3). Kemudian lahirlah generasi berikutnya. Sebagian besar mereka berusaha menyusun kitab-kitab tafsir yang menghimpun pendapat-pendapat para sahabat dan tabi‘in, seperti Sufyan bin ‘Uyainah, Waki‘ bin al-Jarrah, Syu‘bah bin al-Hajjaj, Yazid bin Harun, Abdurrazzaq, Adam bin Abi Ilyas, Ishaq bin Rahawaih, ‘Abd bin Humaid, Rauh bin ‘Ubadah, Abu Bakar bin Abi Syaibah dan lain-lain.
4). Sesudah generasi ini muncullah angkatan berikutnya. Di antaranya adalah Ali bin Abi Talhah, Ibn Jarir at-Tabari, [bn Abi Hatim, Ibn Majah, al-Hakim, Ibn Mardawaih, Abusy-Syaikh bin Hibban, Ibnul Munzir dan lain-lain. Tafsir-tafsir mereka memuat riwayatriwayat yang disandarkan kepada para sahabat, tabi‘in dan tabi‘it tabi‘in. Semuanya sama, kecuali yang disusun oleh Ibn Jarir at-Tabari, di mana ia mengemukakan berbagai pendapat dan mentarjihkan salah satu atas yang lain, serta menerangkan i‘rab dan istinbat (penyimpulan hukum). Karena itu tafsir ini lebih unggul dari lainnya.
5). Generasi berikutnya menyusun kitab-kitab tafsir yang dipenuhi oleh keterangan-keterangan berguna yang dinukil dari para pendahulunya. Pola demikian terus berlangsung sampai datang masa kebangkitan modern. Maka sebagian besar mufasir menempuh pola baru dengan memperhatikan pada kelembutan uslub, keindahan ungkapan dan penekanan pada aspek-aspek sosial dan pemikiran kontemporer. Sehingga lahirlah tafsir bercorak ”sastra-sosial” yang tidak menyebutkan sanad-sanad, ditambah sedikit pendapat para penulisnya. Misalnya karya Abu Ishaq az-Zujaj, Abu Ali al-Farisi, Abu Bakar an-Naqqasy, Abu Ja‘far an-Nahhas dan Abul Abbas al-Mahdawi.
6). Kemudian golongan muta’akhkhirin menulis pula kitab-kitab tafsir. Mereka meringkas sanad-sanad riwayat dan mengutip pendapatpendapat secara terputus. Karenanya masuklah ke dalam tafsir sesuatu yang asing dan riwayat yang sahih bercampurbaur dengan yang -tidak sahih.
7). Selanjutnya, setiap mufasir memasukkan begitu saja ke dalam tafsir pendapat yang diterima dan apa saja yang terlintas dalam pikiran dipercayainya. Kemudian generasi sesudahnya mengutip apa adanya semua yang tercantum di sana dengan anggapan bahwa hal itu mempuyai dasar, tanpa meneliti lagi tulisan yang datang dari ulama Salaf yang saleh dan mereka yang menjadi panutan dalam hal ini. Akibatnya masuklah ke dalam tafsir segala macam pendapat. Sampaisampai as-Suyuti mengatakan, penafsiran firman Allah, gairil magdabi ‘alathim wa la ad-dallin, ada sepuluh pendapat. Padahal penafsiran yang berasal dari Nabi, semua sahabat dan tabi‘in hanya satu, yaitu “orang Yahudi dan Nasrani.” Oleh karena itu, Ibn Abi Hatim berkata, “Saya tidak mengetahui adanya perselisihan pendapat di antara para mufasir mengenai hal itu.”’
8). Sesudah itu, banyak mufasir yang mempunyai keahlian dalam berbagai disiplin ilmu mulai menulis tafsir. Mereka memenuhi kitabnya dengan cabang ilmu tertentu dan hanya membatasi pada bidang yang dikuasainya, seakan-akan Qur’an hanya diturunkan untuk ilmu tersebut, bukan untuk yang lain, padahal Qur’an memuat penjelasan mengenai Segala sesuatu.
Misalnya, kita lihat ahli nahwu. Ia tidak mempunyai perhatian lain kecuali hanya membeberkan panjang lebar persoalan i‘rab dan wajah-wajah yang dimungkinkannya, sekalipun telah menyimpang terjlalu jauh. Dan untuk itu ia kemukakan kaidah-kaidah nahwu, masalahmasalahnya, cabang-cabangnya dan bermacam pendapat mengenainya, seperti dilakukan Abu Hayyan dalam al-Bahr dan an-Nahr.
Mufasir ahli berita hanya memikirkan kisah-kisah yang dibeberkannya secara tuntas serta menyuguhkan sejumlah riwayat yang diterima dari orang dulu, sahih maupun batil, seperti as-Sa‘labi. Sedang ahli fikih menumpahkan semua permasalahan fikih dalam tafsirnya, dan bahkan terkadang ia mengemukakan dalil-dalil fiqih yang samasekali tidak ada hubungannya dengan ayat, serta menolak dalil-dalil pihak lawan, seperti dilakukan oleh Qurtubi.
Demikian pula ahli ilmu-ilmu rasional, ‘aqli, terutama Imam Fakhruddin ar-Razi. Ia penuhi tafsirnya dengan kata-kata ahli hikmah dan filosof, dan ia keluar dari suatu pembahasan ke pembahasan lain, sehingga orang yang memperhatikan merasa heran akan ketidak sesuaiannya dengan ayat yang ditafsirkan. Dalam al-Bahr Abu Hayyan mengatakan, ’Imam ar-Razi telah menghimpun dalam tafsirnya segala hal secara panjang lebar yang sebenarnya tidak diperlukan bagi ilmu tafsir. Oleh karena itu sebagian ulama berkata, di dalam tafsirnya terdapat segala sesuatu kecuali tafsir itu sendiri.”
Tidak terkecuali juga dengan ahli bid‘ah. Ia tidak mempunyai maksud lain kecuali menyelewengkan ayat-ayat dan menafsirkannya dengan selera mazhabnya yang rusak, sehingga kalau tampak baginya sesuatu hal aneh dari jauh, dikejarnya, atau jika mendapatkan suatu kesempatan (untuk mendukung pendiriannya) ia segera memanfaatkannya. Keterangan dari Bulqinit membuktikan hal tersebut. Ia mengatakan, ’Saya mengutip dari al-Kasysyaf sejumlah faham Mu’tazilah untuk didiskusikan. Antara lain mengenai firman Allah, Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh ia telah beruntung (Ali ‘Imran [3]:185) disebutkan: ‘Keuntungan manakah yang lebih besar bagi orang itu daripada masuk surga?’ Penafsiran ini mengisyaratkan tentang tiadanya melihat Tuhan.”’
Demikian pula halnya kaum ateis dan golongan sesat lainnya.
9). Kemudian datanglah masa kebangkitan modern. Pada masa ini para mufasir menempuh langkah dan pola baru dengan memperhatikan keindahan uslub dan kehalusan ungkapan serta dengan menitikberatkan pada aspek-aspek sosial, pemikiran kontemporer dan aliran-aliran modern, sehingga lahirlah tafsir bercorak ”’sastra-sosial.”” Di antara mufasir kelompok ini ialah Muhammad Abduh, Sayid Muhammad Rasyid Rida, Muhammad Mustafa al-Maragi, Sayid Qutub dan Muhammad ‘Izzah Darwazah.
Tafsir bil-Ma’sur dan Tafsir bir-Ra’yi
A. Tafsir bil-ma’siar
Tafsir bil-ma’siar ialah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang sahih menurut urutan yang telah disebutkan di muka dalam syarat-syarat mufasir. Yaitu menafsirkan Qur’an dengan Qur’an, dengan sunnah karena ia berfungsi menjelaskan Kitabullah, dengan perkataan sahabat karena merekalah yang paling mengetahui Kitabullah, atau dengan apa yang dikatakan tokoh-tokoh besar tabi‘in karena pada umumnya mereka menerimanya dari para sahabat.
Mufasir yang menempuh cara seperti ini hendaknya menelusuri lebih dahulu asar-asar yang ada mengenai makna ayat kemudian asar tersebut dikemukakan sebagai tafsir ayat bersangkutan. Dalam hal ini ia tidak boleh melakukan ijtihad untuk menjelaskan sesuatu makna tanpa ada dasar, juga hendaknya ia meninggalkan hal-hal yang , tidak berguna atau bermanfaat untuk diketahui selama tidak ada riwayat sahih mengenainya.
Ibn Taimiyah berkata:
Kita wajib yakin bahwa Nabi telah menjelaskan kepada para sahabat makna-makna Qur’an sebagaimana telah menjelaskan kepada mereka lafaz-lafaznya. Firman Allah: Agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka (an-Nahl [16]:44) mencakup kedua penjelasan itu. Abu Abdurrahman as-Sulamil? menyatakan, orang yang mengajarkan Qur’an kepada kami seperti Usman bin ‘Affan, Abdullah bin Mas‘ud dan lain-lain bercerita kepada kami bahwa bila belajar dari Nabi sepuluh ayat, mereka tidak meneruskannya sampai mereka mengetahui semua ilmu dan amal yang terkandung di dalamnya. ’Jadi,” kata mereka “kami mempelajari Qur’an itu berikut ilmu dan pengamalannya sekaligus.” Oleh karena itu untuk menghafal satu surah pun mereka memerlukan waktu cukup lama. Anas berkata, ’Jika seseorang telah membaca surah al-Baqarah dan Ali ‘Imran, ia menjadi mulia dalam pandangan kami.” (Hadis Ahmad dalam Musnad-nya). Ibn Umar memerlukan waktu delapan tahun untuk menghafal surah al-Baqarah. (Riwayat Malik dalam al-Muwatta’). Itu semua karena Allah telah berfirman: (Ini adalah) sebuah Kitab yang Kami turunkan kepadamu, penuh berkah, supaya mereka mentadabbur ayat-ayatnya (Sad [38]:29) dan Maka apakah mereka tidak men-tadabbur Qur’an? (an-Nisa’ [4]:82). Dan tadabbur (memperhatikan, memikirkan) kalam tanpa memahami maknanya adalah tidak mungkin. Selain itu, menurut kebiasaan tidak mungkin suatu kaum membaca sebuah buku tentang ilmu pengetahuan seperti kedokteran dan matematika tanpa mereka pahami atau meminta penjelasannya. Maka bagaimana dengan Kalamullah yang merupakan pelindung mereka, kunci keselamatan dan kebahagiaan serta pondasi bagi tegaknya agama dan dunia mereka?
Di antara tabi‘in ada yang mengambil seluruh tafsir dari sahabat. Mujahid menceritakan, ’Saya membacakan Mushaf kepada Ibn Abbas sebanyak tiga kali, dari pembukaan (Fatihah) sampai dengan penutupan. Saya berhenti pada setiap ayat untuk menanyakan kepadanya halhal yang berkaitan dengannya.”
B. Silang pendapat sekitar tafsir bil-ma’sir
Tafsir bil-ma’sir berkisar pada riwayat-riwayat yang dinukil dari pendahulu umat ini. Perbedaan pendapat di antara mereka sedikit sekali jumlahnya dibanding dengan yang terjadi di antara generasi sesudahnya. Itupun sebagian besar perbedaan tersebut hanya terletak pada aspek redaksional sedang maknanya tetap sama, atau hanya berupa penafsiran kata-kata umum dengan salah satu makna yang dicakupnya sebagai contoh.
Berkata Ibn Taimiyah:
Perbedaan pendapat dalam tafsir di kalangan salaf sedikit sekali jumlahnya. Dan pada umumnya perbedaan itu hanya berkonotasi variatif, bukan kontradiktif. Perbedaan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua macam:
Pertama, seorang mufasir di antara mereka mengungkapkan maksud sebuah kata dengan redaksi yang berbeda dengan redaksi mufasir lain dan masing-masing redaksi itu menunjuk makna yang berbeda pula tetapi maksud semuanya adalah sama. Misalnya penafsiran kata as-sirat al-mustaqim. Sebagian menafsirkannya dengan ”Qur’an”, maksudnya mengikuti Qur’an, sedang yang lain dengan “Islam”. Kedua tafsiran ini sama, sebab Islam ialah mengikuti Qur’an. Hanya saja masing-masing penafsiran itu menggunakan sifat yang tidak digunakan oleh yang lain.
Kedua, masing-masing mufasir menafsirkan kata-kata yang bersifat umum dengan menyebutkan sebagian makna dari sekian banyak macamnya sebagai contoh dan untuk mengingatkan pendengar bahwa «ata terscbut mengandung bermacam-macam makna. Misalnya penafsiran tentang firman Allah:
”*Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih dj antara hamba-hamba. Kami. Namun di antara mereka ada yang berbuat aniaya (zalim) terhadap diri sendiri, ada pula yang bersikap moderat (muqtasid) dan ada pula yang terdepan (sabiq) dalam berbuat kebajikan.”. (Fatir [35]:32). Dikatakan, ”Sabiq” ialah orang yang menunaikan salat di awal waktu, ’mugqtasid’” adalah yang meJakukan salat di tengah waktu, sedang ”zalim” adalah orang yang mengakhirkan salat Asar sampai saat langit berwarna kekuning-kuningan. Mufasir lain mengatakan, ’’sabiq’ adalah orang yang berbuat baik dengan bersedekah di samping zakat, ’’muqtasid”’ adalah orang yang hanya menunaikan zakat wajib saja, dan ”zalim” adalah orang yang enggan membayar zakat.
Perbedaan pendapat terkadang disebabkan sebuah lafaz mengandung dua makna, seperti lafaz ‘as‘as mempunyai arti datangnya waktu malam dan kepergiannya. Atau karena beberapa lafaz yang dipakai mengungkapkan makna-makna saling berdekatan. Misalnya kata tubsal, sebagian menafsirkannya dengan tuhbas (ditahan) dan sebagian yang lain dengan turhan (digadaikan, dijadikan jaminan). Masingmasing penafsiran ini berdekatan satu dengan yang lain.
C. Menghindari cerita-cerita Isra’iliyat
Perbedaan pendapat di kalangan mufasir terkadang terjadi pada halhal yang tidak berguna dan tidak perlu diketahui, yaitu tindakan sebagian mufasir yang menukil cerita-cerita isra’iliyat dari Ahli Kitab. Misalnya perbedaan mereka tentang nama-nama penghuni gua, warna anjing dan jumlah mereka. Padahal mengenai hal ini Allah telah berfirman:
”’Katakanlah: ’Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada orang yang mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit.’” (alKahfi [18]:22).
Juga seperti perselisihan mereka tentang ukuran kapal Nuh dan jenis kayunya, tentang nama anak yang dibunuh Khidir, nama-nama burung yang dihidupkan Allah bagi Ibrahim, jenis kayu tongkat Musa dan lain sebagainya. Hal-hal seperti ini hanya diketahui melalui penukilan. Karena itu apa yang dinukil dengan riwayat sahih dari Nabi boleh diterima, dan jika tidak ada nukilan sahih hendaknya kita diam (tawaqquf) meskipun hati kita merasa cendrung untuk menerima apa yang dinukil dari para sahabat, karena penukilan mereka dari Ahli Kitab relatif lebih sedikit dibanding penukilan tabi‘in.
D. Status tafsir bil-ma’sir
Tafsir bil-ma’sir adalah tafsir yang harus diikuti dan dipedomani karena ia adalah jalan pengetahuan yang benar dan merupakan jalan paling aman untuk menjaga diri dari ketergelinciran dan kesesatan dalam memahami Kitabullah. Diriwayatkan dari Ibn Abbas, ia berkata: Tafsir itu ada empat macam; tafsir yang dapat diketahui oleh orang Arab melalui bahasa mereka, tafsir yang harus diketahui oleh setiap orang, tafsir yang hanya bisa diketahui para ulama dan tafsir yang samasekali tidak mungkin diketahui oleh siapa pun selain Allah.”
Pertama adalah tafsir yang merujuk kepada tutur kata mereka melalui penjelasan bahasa. Macam kedua ialah tafsir mengenai ayat yang maknanya mudah dimengerti, yaitu penafsiran nas-nas yang mengandung hukum-hukum syari‘at dan dalil-dalil tauhid secara tegas. Misalnya, setiap orang pasti mengetahui makna tauhid dari ayat: Maka ketahuilah, sesungguhnya tiada tuhan selain Allah (al-Qital [47]:19), sekalipun ia tidak tahu bahwa kalimat ini dikemukakan dengan pola “nafy” dan “istisna’” yang menunjukkan arti hasr (pembatasan, penghanyaan).
Macam ketiga ialah tafsir yang merujuk kepada ijtihad yang didasarkan pada bukti-bukti dan dalil-dalil, tidak hanya pada ra’y semata, seperti penjelasan ayat atau kata yang mujmal, pengkhususan ayat-ayat yang umum dan sebagainya. Sedang macam keempat ialah tafsir yang berkisar pada hal-hal gaib, seperti kapan terjadinya kiamat dan hakikat roh.
Ibn Jarir at-Tabari juga mengemukakan hal yang sama. la berkata:
Berdasarkan penjelasan Allah Yang Mahaagung, nyatalah bahwa di antara kandungan Qur’an yang diturunkan Allah kepada Nabi-Nya terdapat ayat-ayat yang tidak dapat diketahui ta’wilnya kecuali dengan penjelasan Rasulullah. Misalnya ta’wil tentang semua ayat yang mengandung macam-macam perintah wajib, anjuran (nadb) dan himbauan (irsyad) — larangan, fungsi-fungsi hak, hukum-hukum, batas-batas kewajiban, kadar keharusan bagi sebagian makhluk terhadap sebagian lain dan hukum-hukum lain yang terkandung dalam ayat-ayat Qur’an yang tidak dapat diketahui kecuali dengan penjelasan Rasulullah kepada umatnya. Hal-hal seperti ini tidak seorang pun boleh menafsirkannya tanpa ada penjelasan resmi dari Rasulullah, baik secara tegas atau dengan dalil-dalil yang dapat dijadikan pedoman oleh umat untuk menafsirkan.
Di antaranya ada pula hal-hal yang tidak diketahui ta’wilnya kecuali oleh Allah Yang Maha Esa dan Mahaperkasa. Misalnya berita-berita tentang terjadinya suatu peristiwa dan waktu-waktu akan datang, seperti waktu terjadinya hari kiamat, tiupan sangkala, turunnya Isa putra Maryam dan hal serupa lainnya…
“Mereka bertanya kepadamu tentang hari kiamat, ’Bilakah terjadinya?’ Katakanlah: ’Sesungguhnya pengetahuan tentang itu ada pada sisi Tuhanku; tidak seorang pun dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu sangat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang ada di langit dan di bumi. la tidak datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba.’ Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah-: ’Sesungguhnya pengetahuan tentangnya ada pada sisi Allah, tetapi kebanyakan manustia tidak mengetanui.” (al-A‘raf [7]:187)…
Demikian juga di antara isi kandungan Qur’an itu ada yang ta’wilnya dapat diketahui oleh setiap orang yang mempunyai pengetahuan tentang bahasa yang dengannya Qur’an diturunkan. Ini dapat dicontohkan dengan keterangan sekitar masalah i‘rab, pengetahuan tentang musammad (arti) melalui nama-nama (kata-kata)-nya yang pasti dan tidak memiliki arti ganda dan pengetahuan tentang sesuatu subyek melalui sifat-sifat khususnya yang tidak dimiliki subyek lain. Hal-hal demikian tentu diketahui oleh setiap orang yang ahli bahasa Arab. Sebagai contoh, jika seseorang mendengar orang lain membaca, ’Dan jika dikatakan kepada mereka: ‘Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,’ mereka menjawab: ’Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.’ Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.” (al-Baqarah [2]: 11-12), tentu ia mengetahui, makna ifsdd (membuat kerusakan) ialah hal-hal yang harus ditinggalkan karena dapat membahayakan, dan islah (perbaikan) ialah perbuatan yang seharusnya dikerjakan karena akan membawa manfaat, sekalipun ia tidak memahami benar esensi makna-makna yang digolongkan Allah ke dalam “irsad” dan yang digolongkan ke dalam “islah”
E. Tafsir bir-ra’yi
Tafsir bir-ra’yi ialah tafsir yang di dalam menjelaskan maknanya mufasir hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulan (istinbat) yang didasarkan pada ra’yu semata. Tidak termasuk kategori ini pemahaman (terhadap Qur’an) yang sesuai dengan roh syari‘at dan didasarkan pada nas-nasnya. Ra’yu semata yang tidak disertai bukti-bukti akan membawa penyimpangan terhadap Kitabullah. Dan kebanyakan orang yang melakukan penafsiran dengan semangat demikian adalah ahli bid‘ah, penganut mazhab batil. Mereka mempergunakan Qur’an untuk dita’wilkan menurut pendapat pribadi yang tidak mempunyai dasar pijakan berupa pendapat atau penafsiran ulama salaf, sahabat dan tabi‘in. Golongan ini telah menulis sejumlah kitab tafsir menurut pokok-pokok mazhab mereka, seperti tafsir (karya) Abdurrahman bin Kaisan al-Asam, al-Juba’i, ‘Abdul Jabbar, ar-Rummani, Zamakhsyari dan lain sebagainya.
Di antara mereka ada yang menulis tafsirnya dengan ungkapan yang indah dan menyusupkan mazhabnya ke dalam untaian kalimat yang dapat memperdaya banyak orang sebagaimana dilakukan penulis Tafsir al-Kasysyéf dalam menyisipkan paham ke-mu ‘tazilah-annya, sekalipun ada juga yang menggunakan kata-kata yang lebih ringan dari yang lain. Di antara mereka terdapat juga Ahli Kalam yang menta’wilkan “ayat-ayat sifat’” dengan selera mazhabnya. Golongan ini lebih dekat ke mazhab Ahlus Sunnah daripada ke Mu‘tazilah. Tetapi jika mereka membawakan penafsiran yang bertentangan dengan mazhab sahabat dan tabi‘in, maka sebenarnya mereka tidak ada bedanya dengan Mu‘tazilah dan ahli bid‘ah lainnya.
F. Status tafsir bir-ra’yi
Menafsirkan Qur’an dengan ra’yu dan ijtihad semata tanpa ada dasar yang sahih adalah haram, tidak boleh dilakukan. Allah berfirman:
“Dan janganiah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (al-Isra’ [17}:36). Rasulullah bersabda:
“Barang siapa berkata tentang Qur’an menurut pendapatnya sendiri atau Menurut apa yang tidak diketahuinya, hendaklah ia menempati tempat duduknya di dalam neraka.” Dalam redaksi lain dinyatakan, “Barangsiapa berkata tentang Qur’an dengan ra’yunya, walaupun ternyata benar, ia telah melakukan kesalahan.”
Oleh karena itu, golongan salaf berkeberatan, enggan, untuk menafsirkan Qur’an dengan sesuatu yang tidak mereka ketahui. Dari Yahya bin Sa‘id diriwayatkan, dari Sa‘id bin al-Musayyab, apabila ia ditanya tentang tafsir sesuatu ayat Qur’an maka ia menjawab: “Kami tidak akan mengatakan sesuatu pun tentang Qur’an.”
Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam meriwayatkan, Abu Bakar Siddiq pernah ditanya tentang maksud kata al-abb dalam firman Allah, wa fakihatan wa abban (‘Abasa [80]:31). la menjawab, “Langit manakah yang akan menaungiku dan bumi manakah yang akan menyanggaku, jika aku mengatakan tentang Kalamullah sesuatu yang tidak aku ketahui?”
At-Tabari menjelaskan:
Semua riwayat di atas menjadi bukti bagi kebenaran pendapat kami, bahwa menafsirkan ayat-ayat Qur’an yang tidak diketahui maknanya kecuali dengan penjelasan Rasulullah secara tegas atau dengan dalil yang didirikannya untuk itu, tidak seorang pun diperbolehkan menafsirkannya menurut pendapatnya sendiri. Bahkan bila melakukannya, sekalipun tepat dan benar, ia tetap dipandang telah melakukan kesalahan karena ia berkata (tentang Qur’an) dengan pendapat sendiri. Hal ini mengingat, ketepatan dan kebenaran pendapatnya itu tidak meyakinkan, melainkan hanya bersifat dugaan dan perkiraan semata. Dan orang yang mengatakan sesuatu tentang agama Allah menurut dugaan semata berarti ia telah mengatakan terhadap Allah sesuatu yang tidak ia ketahui. Padahal dalam Kitab-Nya Allah telah mengharamkan perbuatan demikian atas hamba-Nya:
”Katakanlah: ’Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan keji, baik yang tampak maupun tersembunyi, perbuatan dosa dan melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar; (mengharamkan) kamu mempersekutukan dengan Allah sesuatu yang tidak la turunkan hujjah mengenainya dan (mengharamkan) kamu mengatakan terhadap Allah sesuatu yang tidak kamu ketahui.’” (al-A‘raf (7]:33).7!
Riwayat-riwayat ini dan yang serupa dengannya yang berasal dari tokoh-tokoh salaf diartikan sebagai keengganan mereka untuk berbicara tentang tafsir dengan sesuatu yang mereka tidak ketahui. Tetapi jika sampai pada hal-hal yang mereka ketahui, baik berkenaan dengan bahasa maupun syara‘, mereka melakukannya tanpa merasa bersalah. Karena itu cukup banyak diriwayatkan dari mereka dan yang lain sejumlah pendapat tentang tafsir. Hal demikian tidak dipandang kontradiktif karena mereka berbicara tentang sesuatu yang sudah mereka ketahui dan berdiam diri dari hal-hal yang tidak mereka ketahui. Itulah yang wajib bagi setiap manusia. Akan tetapi, jika tafsir bilma’sur yang sahih ditinggalkan dan beralih ke pendapat yang berdasarkan pada ra’yu semata, maka hal ini merupakan perbuatan munkar. Berkenaan dengan ini Ibn Taimiyah menegaskan, ”Tegasnya, siapa pun yang beralih dari mazhab sahabat dan tabi‘in serta penafSiran mereka ke sesuatu hal yang menyalahinya, ia telah melakukan perbuatan salah dan bahkan bid‘ah, sebab merekalah yang paling mengetahui tentang tafsir Qur’an dan makna-maknanya sebagaimana mereka pulalah yang lebih mengerti akan kebenaran yang dibawa oleh misi Rasulullah.”
At-Tabari lebih lajut menegaskan:
Mufasir yang paling berhak atas kebenaran dalam menafsirkan Qur’an yang penafsirannya dapat diketahui oleh manusia adalah mufasir yang paling tegas hujjahnya mengenai apa yang ditafsirkan dan dita’wilkannya, karena penafsirannya disandarkan kepada Rasulullah, bukan kepada yang lain. Yaitu berdasarkan kabar-kabar yang dipastikan berasal dari Rasulullah, baik melalui penukilan paripurna (mustafid) bila ada, penukilan oleh orang-orang yang teguh lagi terpercaya bila tidak terdapat penukilan paripurna, ataupun dengan dalil-dalil yang menjamin kesahihan penukilan tersebut. Selanjutnya, adalah mufasir paling sahih bukti dan argumentasinya, dalam hal yang diterjemahkah dan dijelaskannya, yaitu mufasir yang menafsirkan Qur’an menurut kaidah-kaidah bahasa, baik dengan bertendensi pada syair-syair Arab baku maupun dengan memperhatikan tutur kata dan bahasa mereka yang sempurna dan terkenal. Ini berlaku bagi semua penta’ wil dan mufasir selama penta’wilan dan penafsirannya tidak keluar dari pendapat-pendapat salaf; sahabat dan para imam, serta tidak menyimpang dari penafsiran golongan khalaf; tabi‘in dan ulama umat.
Isra’iliyat
Orang Yahudi mempunyai pengetahuan keagamaan yang bersumber dari Taurat dan orang Nasrani pun mempunyai pengetahuan keagamaan yang bersumber dari Injil. Cukup banyak orang Yahudi dan Nasrani bernaung di bawah panji-panji Islam sejak Islam lahir, sedang mereka tetap memelihara baik pengetahuan keagamaannya itu.
Sementara itu Qur’an banyak mencakup hal-hal yang terdapat dalam Taurat dan Injil, khususnya yang berhubungan dengan kisah para Nabi dan berita umat terdahulu. Namun dalam Qur’an kisah-kisah itu hanya dikemukakan secara singkat dengan menitikberatkan pada aspek-aspek nasihat dan pelajaran, tidak mengungkapkannya secara rinci dan mendetail seperti titimangsa peristiwa, nama-nama negeri dan nama-nama pribadi. Sedang Taurat dan Injil mengemukakannya secara panjang lebar dengan menjelaskan rincian dan bagian-bagiannya.
Ketika Ahli Kitab masuk Islam, mereka membawa pula pengetahuan keagamaan mereka berupa cerita dan kisah-kisah keagamaan. Dan di saat membaca kisah-kisah dalam Qur’an terkadang mereka paparkan rincian kisah itu yang terdapat dalam Kitab-kitab mereka. Adalah para sahabat menaruh atensi terhadap kisah-kisah yang mereka bawakan, sesuai pesan Rasulullah:
“Janganlah kamu membenarkan (keterangan) Ahli Kitab dan jangan pula mendustakannya, tetapi katakanlah, ‘Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami’…” (Hadis Bukhari).
Lebih jauh, terkadang terjadi dialog antara mereka dengan Ahli Kitab mengenai sesuatu rincian kisah-kisah tersebut. Dan para sahabat menerima sebagian rincian itu selama tidak berhubungan dengan akidah dan tidak pula berkaitan dengan hukum. Kemudian mereka menceritakannya pula karena pada hemat mereka hal tersebut diperkenankan berdasarkan sabda Rasul:
“Sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat. Dan ceritakanlah dari Bani Israil karena yang demikian tidak dilarang. Tetapi barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, bersiap-siaplah menempati tempatnya di neraka!” (Hadis Bukhari).
Maksudnya, ceritakanlah dari Bani Israil sesuatu yang tidak kamu ketahui kedustaannya. Sedang pengertian hadis pertama, ”Janganlah kamu membenarkan Ahli Kitab dan jangan pula mendustakannya…”, diterapkan pada hal-hal yang diceritakan mereka itu mungkin benar dan mungkin pula dusta. Dengan demikian, tidak ada pertentangan antara kedua hadis tersebut.
Berita-berita yang diceritakan Ahli Kitab yang masuk Islam italah yang dinamakan Isra’iliyat, mengingat bahwa yang paling dominan adalah pihak Yahudi (Bani Israil), bukan pihak Nasrani. Sebab penukilan dari orang Yahudi lebih banyak jumlahnya karena percampuran mereka dengan kaum Muslimin telah dimulai semenjak kelahiran Islam di samping hijrah pun ke Medinah (tempat di mana orang Yahudi banyak menetap).
Sebenarnya para sahabat tidak mengambil dari Ahli Kitab beritaberita yang terperinci untuk menafsirkan Qur’an kecuali dalam jumlah sangat sedikit. Akan tetapi ketika tiba masa tabi‘in dan banyak pula Ahli Kitab memeluk Islam, maka tabi‘in banyak mengambil berita’ berita dari mereka. Kemudian perhatian dan atensi para mufasir sesudah tabi‘in terhadap Isra’iliyat semakin besar. Mengenai ini Ibn Khaldun menggambarkan sebagai berikut: ’Apabila mereka ingin mengetahui sesuatu yang dirindukan jiwa manusia, yaitu mengenai hukum kausalitas kosmos, permulaan makhluk dan misteri alam wujud, mereka menanyakannya kepada Ahli Kitab sebelum mereka; orang Yahudi penganut kitab Taurat dan orang Nasrani yang mengikuti agama mereka… Dengan demikian, kitab tafsir penuh dengan nukilan-nukilan dari mereka…”
Para mufasir tidak mengoreksi lebih dahulu kutipan cerita-cerita isra’iliyat yang mereka ambil, padahal di antaranya terdapat yang tidak benar dan batil. Karena itu, orang yang membaca kitab-kitab tafsir mereka hendaknya meninggalkan apa yang tidak berguna serta tidak mengutip kembali kecuali hal-hal yang memang sangat diperjukan dan telah terbukti kesahihan penukilan dan kebenaran beritanya.
Cerita Isra’iliyat ini sebagian besar diriwayatkan dari empat orang; Abdullah bin Salam, Ka‘bul Ahbar, Wahb bin Munabbih dan Abdul Malik bin Abdul ‘Aziz bin Juraij. Para ulama berbeda pendapat dalam mengakui dan mempercayai Ahli Kitab tersebut; ada yang mencela (mencacatkan, menolak) dan ada pula yang mempercayai (menerima). Perbedaan pendapat paling besar ialah mengenai Ka‘bul Ahbar. Sedang Abdullah bin Salam adalah orang yang paling pandai dan paling tinggi kedudukannya. Karena itu Bukhari dan ahli hadits lainnya memegangi, mempercayainya. Di samping itu, kepadanya tidak dituduhkan hal-hal buruk seperti yang dituduhkan kepada Ka‘bul Ahbar dan Wahb bin Munabbih.
Tafsir Sufi
Apabila yang dimaksud dengan tasawwuf adalah perilaku ritual yang dilakukan untuk menjernihkan jiwa dan menjauhkan diri dari kemegahan duniawi melalui zuhud, kesederhanaan dan ibadah, maka yang demikian merupakan hal yang tidak diragukan lagi, jika tidak dikatakan sangat disukai. Akan tetapi dewasa ini “tasawwuf” telah menjadi filsafat teoritis khusus yang tidak ada hubungannya dengan wara‘, takwa dan kesederhanaan, serta filsafatnya pun telah mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan dengan Islam dan akidahnya. Inilah yang kami maksudkan dengan tasawwuf dalam pembahasan ini, dan ini pula yang mempunyai pengaruh terhadap tafsir Qur’an.
Ibn ‘Arabi dipandang sebagai tokoh besar tasawwuf falsafi teoritis. Ia menafsirkan ayat-ayat Qur’an dengan penafsiran yang disesuaikan dengan teori-teori tasawwufnya, baik di dalam kitab tafsirnya yang populer maupun di dalam kitab-kitab lain yang dinisbahkan kepadanya, seperti kitab al-Fusus. Dan ia adalah salah seorang penganut paham wihdatul wujud.
Sebagai contoh, dalam menafsirkan firman Allah berkenaan dengan Idris a.s.:
“Dan Kami telah mengangkatnya ke tempat paling tinggi.” (Maryam [19]:57), ia berkata, ’Tempat paling tinggi adalah tempat yang diputari oleh rotasi alam raya, yaitu orbit matahari. Di situlah maqam (tempat tinggal) rohani Idris…’ Kemudian ia berkata lebih lanjut: “Adapun kedudukan (bukan tempat) paling tinggi adalah untuk kita, umat Muhammad, sebagaimana telah dijelaskan-Nya: Kalian adalah orang-orang yang paling tinggi dan Allah (pun) senantiasa bersama kalian (Muhammad [47]:35). Jadi ketinggian yang dimaksudkan (berkenaan dengan Idris) ini adalah ketinggian tempat, bukan ketinggian kedudukan.”
Dalam menafsirkan firman Allah:
”Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri…” (an-Nisa’ [4]:1), ia mengatakan, maksud “bertakwalah kepada Tuhanmu” ialah: Jadikanlah bagian yang tampak dari dirimu sebagai penjagaan bagi Tuhanmu, dan jadikanlah pula apa yang tidak nampak dari kamu, yaitu Tuhanmu, sebagai penjagaan bagi dirimu. Ini mengingat persoalan itu hanya (terdiri atas) celaan dan pujian. Karena itu, jadilah kamu sebagai penjagaan dalam celaan dan jadikanlah Ia sebagai penjagamu dalam pujian, niscaya kamu menjadi orang paling beradab di seluruh alam.”
Penafsiran seperti ini dan yang serupa berusaha untuk membawa nas-nas ayat kepada arti yang tidak sejalan dengan arti lahirnya, dan tenggelam dalam ta’wil-ta’wil batil yang jauh serta menyeret kepada kesesatan-kesesatan seperti ilhad (ateisme) dan penyimpangan.
Tafsir Isyari
Di antara kelompok sufi ada yang mendakwakan bahwa riyadah (latihan) rohani yang dilakukan seorang sufi bagi dirinya akan menyampaikannya ke suatu tingkatan di mana ia dapat menyingkapkan isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Qur’an, dan akan tercurah pula ke dalam hatinya, dari limpahan gaib, pengetahuan subhani yang dibawa ayat-ayat. Itulah yang disebut Tafsir Isyari. Setiap ayat mempunyai makna zadhir dan makna batin. Yang zahir ialah apa yang segera mudah dipahami akal pikiran sebelum yang lain, sedang yang batin ialah isyarat-isyarat tersembunyi di balik itu yang hanya nampak bagi ahli suluk. Tafsir isyari ini jika memasuki isyarat-isyarat yang samar akan menjadi suatu kesesatan, tetapi selama ia merupakan istinbat yang baik dan sesuai dengan apa yang ditunjukkan oleh zahir bahasa Arab serta didukung oleh bukti kesahihannya, tanpa pertentangan, maka ia dapat diterima.
Contoh tafsir isyari ialah apa yang diriwayatkan dari Ibn Abbas, ja berkata:
Umar memasukkan aku bergabung dengan tokoh-tokoh tua veteran perang Badar. Nampaknya sebagian mereka tidak suka dengan kehadiranku dan berkata, ’”Mengapa Anda memasukkan anak kecil ini bergabung bersama kami padahal kami pun mempunyai anak-anak sepadan dengannya Umar menjawab, “Ia memang seperti yang kamu ketahui.’ Pada suatu hari Umar memanggilku dan memasukkan ke dalam kelompok mereka. Aku yakin bahwa Umar memanggilku semata-mata hanya untuk ’’memamerkan” aku kepada mereka. Lalu ia berkata, ’”Bagaimana pendapat kalian tentang firman Allah, Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan… (an-Nasr [110]:1)?” Di antara mereka ada yang menjawab, ’’Kami diperintah agar memuji Allah dan memohon ampunan kepada-Nya ketika kita memperoleh pertolongan dan kemenangan.” Sedang sebagian yang lain bungkam, tidak berkata apa-apa. Umar kemudian bertanya kepadaku, ’’Begitukah Pendapatmu, wahai Ibn Abbas?” ”’Bukan’, jawabku. ’Lalu bagaimanakah pendapatmu?” tanyanya lebih lanjut. Aku menjawab: “Ayat itu menunjukkan tentang ajal Rasulullah yang diberitahukan Allah kepadanya. Ia berfirman: Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan itu adalah tanda-tanda datangnya,ajalmu (Muhammad), maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sesungguhnya Ia Maha Penerima taubat.” Maka kata Umar, Aku tidak mengetahui maksud ayat itu kecuali apa yang kamu katakan itu.” (Hadis Bukhari).
Berkata Ibnul Qayyim:
Penafsiran (yang dilakukan) orang berkisar pada tiga hal pokok; tafsir mengenai lafaz, yaitu yang ditempuh oleh golongan muta’akhkhirin; tafsir tentang makna, yaitu yang dikemukakan oleh kaum Salaf; dan tafsir tentang isyarat yaitu yang ditempuh oleh mayoritas ahli Sufi dan lain-lain. Tafsir terakhir ini tidak dilarang asalkan memenuhi empat syarat;
1) tidak bertentangan dengan makna (zahir) ayat,
2) maknanya itu sendiri sahih,
3) pada lafaz yang ditafsirkan terdapat indikasi bagi (makna isyari) tersebut, dan
4) antara makna isyari dengan makna ayat terdapat hubungan yang erat.
Apabila keempat syarat ini terpenuhi maka tafsir mengenai isyarat itu (tafsir isyari) merupakan istinbat yang baik.
Gara’ibut Tafsir (Tafsir yang Janggal)
Di antara mufasir ada yang sangat suka mengemukakan kata-kata yang asing atau janggal dalam menafsirkan Qur’an sekalipun ia menyimpang dari jalan lurus dan menempuh jalan berbahaya. Mereka membebani diri sendiri dengan hal-hal yang tidak mampu dikerjakan dan memeras pikiran untuk sesuatu yang tidak dapat diketahui kecuali melalui tauqifi (penjelasan dari Nabi). Maka mereka tampil dengan membawa kedunguan dan kesesatan yang dipandang hina oleh akal mereka sendiri. Berikut ini kita hanya akan mengemukakan sejumlah keanehan-keanehan tersebut:
1). Pendapat orang yang mengatakan tentang Alif lam mim . Makna “Alif” ialah: Allah sangat menyayangi (allafa) Muhammad karena itu la mengutusnya sebagai Nabi. Makna ””Lam” adalah: Muhammad dicela (lama) dan diingkari oleh orang-orang yang menentang. Dan makna “Mim” adalah: orang-orang yang menentang dan ingkar itu mengigau karena sakit (mima). ’Mim” berasal dari kata ’mim” yang berarti birsam (radang selaput dada), suatu penyakit yang menyebabkan penderitanya mengigau.
2). Pendapat orang tentang Ha mim ‘ain sin gaf ( ). “Ha’” adalah harb (pertempuran) antara Ali dengan Mu‘awiyah. “Mim” adalah Marwdaniyah, yakni kekuasaan Marwan dari Bani Umayah. ”Ain” adalah kekuasaan ‘Abbasiyah. Sin”: kekuasaan golongan Sufyaniyah. Dan “Qaf’ adalah qudwah (kepemimpinan) Mahdi.
3). Pendapat yang dikemukakan Ibn Faurak tentang penafsiran firman Allah, wa lakin li-yatma’inna qalbi (al-Baqarah [2]:260): Ibrahim mempunyai seorang teman yang digambarkan olehnya bahwa teman itu adalah hatinya. Jadi pengertian ayat ini ialah, “Agar temannya itu merasa tenteram dengan ‘pemandangan’ seperti ini jika ia menyaksikannya dengan mata kepala sendiri.”
4). Pendapat Abu Mu‘az an-Nahwi tentang firman Allah: Allazi ja‘ala lakum minasy syajaril akhdari ndran (Yasin [36]:80). Ia menafsirkan kata-kata asy-syajar al-akhdar dengan Ibrahim” dan ndran dengan nur” atau cahaya, maksudnya adalah Muhammad. Sedang fa iza antum minhu tuqidun ditafsirkannya dengan: maka kamu mengambil agama daripadanya.