Dengan nama Allah Yang Maha Pengasith lagt Maha Penyayang

 

SegaIa puji bagi Allah yang telah menganugerahkan segaIa nikmat-Nya, semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan atas Nabi-Nya yang pamungkas, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya yang setia.

 

Sudah sejak lama aku menyempatkan diri untuk mempelajari secara mendalam terhadap dua buku yang ditulis seorang tokoh Islam (Syekh Al Islam) Abu Al-‘Abbas Ahmad bin Abd. Al-Halim Al-Hurrani Al-Dimisqi yang dikenal dengan Ibnu Taimiyyah yang wafat pada tahun 728 H.

 

Dua buku tersebut berjudul Manhaj As-Sunnah Al-Muhammacdiyah fi Naqd Asy-Syi’ah wa Al-Qadariyah dan Muwafaqat Sharih Al-Ma’quli Shahith Al-Manqutl.

 

Setiap hari aku membaca beberapa halaman, dan pada akhir setiap pembahasan aku senantiasa mencatat pandangan-pandangannya yang sangat penting, yang akan kusampaikan kepada para pembaca lainnya. Dan aku pun. senantiasa mendapatkan ilmu yang berlimpah dari penulis buku tersebut, yang telah membahasnya secara luas dan mendalam terhadap segaIa hal yang dikemukakan umat Islam pada waktu itu. .

 

Di samping itu, buku tersebut dipaparkan dengan dialog dan diskusi_ yang panjang lebar, berwawasan pemikiran yang sanggup memiulah berbagai pandangan, disertai puIa dengan kemampuan mempertahankan argumentasinya sehingga membuat keheranan seseorang tak kunjung usai.

 

Namun, pada hari itu pula, kiranya ada suatu hal yang sangat menyita perhatianku, mengapa Syekh Al-Islam (bnu-Taimiyah) tidak henti-hentinya menuturkan periniis aliran Ahlussunnah waal-Jama’ah Abu Ali-Hasan Ali bin Ismail bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa Abdillah bin Qasys Al-Asy’ari, wafat pada awal bulan Rabi’ al-Tsani abad ke-7 H.

 

Berbagai sanjungan ditujukan kepada Al-Asy’ari, karena beliau dianggap lebih condong kepada pandangan tokoh Islam (salaf) waktu itu. Tokoh Islam pada waktu itu tiada lain adalah Ahmad bin Hanbal yang merupakan pengikutnya.

 

Dan mudah-mudahan Allah senantiasa memberkati penulis dan pentakhik pandangan aliran Ahlussunnah wal Jama‘ah ini. Juga diturunkan bahwa penulibuku tersebut seorang yang telah banyak membuat sanjungan dan kebesaran bagi dirinya.

 

Secara umum penghargaan yang tinggi disampaikan kepada Abu Hasan Al-Asy’ari penulis buku Magqaalaat Al-Islamiyyin wa ikhtilaf Al-Mushallin.

 

Aku belum merasa jenuh membaca buku tersebut, sehingga rasanya aku Ingin Sekali terus membaca buku-buku yang ditulisnya, di antaranya, yaitu buku Magalar ini

 

Dan apa yang dikemukakan dalam buku tersebut menjadikan aku mengetahui bahwa pandangan-pandangan Ibnu Taimiyah mengacu dan merujuk kepadanya.

 

Keinginanku senantiasa bergelora untuk menggeluti buku Al-Maqalat, hingga aku mendapat kesempatan untuk menyebarluaskannya sesuai yang dikehendaki para cendekiawan (ulama) dalam bidang ilmu agama ini. Aku pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, dengan bersungguh-sungguh, aku berusaha menahkik naskah aslinya, menerangkan secara jelas dan ringkag dengan merujuk pada buku-buku yang sesuai dengan materi pembahasannya, serta tak lupa mengacu kepada buku-buku sejarah (farikh), karena tidak sedikit para pengikut aliran teologi Islam yang banyak menyimpang jauh dari peristiwa sejarah yang pernah dialaminya, sebagaimana banyaknya kesalahan mereka terhadap suatu peristiwa sejarah dan para tokoh pelakunya.

 

Pada ghalibnya, buku ini secara umum bertujuan menjelaskan dan mendudukkan suatu peristiwa sejarah pada proporsinya. Dan aku pun telah berusaha ke arah itu, yattu tidak kurang dari dua tahun lamanya.

 

Adapun setelah itu semua, aku akan menyempurnakan buku ini dengan mengetengahkan materi pembahasannya secara rinci dan mengemukakan keterangan-keterangan yang benar kepada para pembaca, sehingga timbul keyakinan untuk mempelajarinya.

 

Juga, terhadap pentakhikan buku ini dan kepada orang yang mempelajarinya di setiap saat secara bersungguh-sungguh, disampaikan penghargaan yang Setinggi-tingginya.

 

Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu daripada kami, dan janganlah Engkau biarkan kedengkian bersemayam dalam hati kami terhadap orang yang beriman. Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.

 

Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengetahui apa yang kami sembunyikan dan apa yang kami lahirkan, dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi-Mu, baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit.

 

Ya Tuhan kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakal, dan hanya kepada Engkaulah kami bertobat, dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.

 

Pentahkik Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid

 

Maha terpuji Allah, Tuhan semesta alam. Keselamatan semoga selalu menyertai Rasulullah, keluarga, dan sahabat-sahabatnya.

 

TatkaIa Allah mengutus. rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak, kondisi dunia berada dalam ketidakmenentuan akibat terkungkung oleh kejahiliyahan, kezaliman, taklid, anarkisme moral, dan porakporandanya fondasi kehidupan sesial. Masyarakat Arab pada saat itu merupakan umat yang tenggelam dalam kejahilan dan pemujaan terhadap berhala. Mereka tidak memiliki kemajuan dan keteladanan dalam kehidupan sesial yang sehat; mereka tidak memiliki rasa belas kasihan atau kelembutan jiwa. Tidak ada puIa pembimbing yang memalingkan mereka dari praktek penipuan dan perampokan, tradisi.berperang, merampas hak-hak dan kehormatan, memusnahkan anak-anak perempuan dan perbuatan-perbuatan keji lainnya. Mereka juga tidak memiliki kecermelangan akal, kepekaan penalaran dan cahaya pengetahuan yang lahir di antara mereka dan para penyembah berhala, berusaha mendekatkan diri padanya, senang mendatangi tukang sihir, dukun, dan orang pintar yang diharapkan dapat menyingkap rahasia di balik tabir kehidupan dan dapat memberi jawaban terhadap pertanyaan dan pemecahan.

 

Walaupun di antara mereka ada yang meme luk agama, maka meme luk agama telah berubah dan praktek peribadahannya jun telah diganti oleh bentuk yang ditetapkan oleh pemimpin-pemimpin mereka, baik pemimpin agama maupun pemimpin negara Merea merupakan masyarakat yang selalu membungkus ginal kebaikannya agar terlibat senantiasa cantik; mereka mempereayai akidah trinitas, kesatuan dengan Tuhan (Aulul), adanya perantara antara Khaliq da \Vfakhlug. Mereka mn adalah masyarakat yang meenjauhkan diri dari penggunaan akal sehat untuk kemudian meyakini bid’ah yang dilakukan rahib-rahibnya, seperti keyakinan antrofomor isme dan lainnya yang tidak pantas untuk diatributkan kepada Tuhan yang Maha Esa lagi Maha Perkasa. Mereka merupakan masyarakat yang me yakini jasad yang luhur (halus), me ngatakannya dengan tempat peribadatan (sinagog) dengan mengagungkan dan menyucikannya. Orang-orang non-Arab pun pada waktu itu tidak kalah bobroknya; di antara mereka ada yang menjadi penyembah berhala, api, materialis, mengingkari hal-hal yang metafisis, dan menolak kenabian. Kalaupun ada yang beragama, maka keberagamaannya itu tidaklah lebih baik daripada yang diyakini oleh orang Arab; mereka juga tidak bisa dijadikan sebagai pembimbing ke jalan yang lurus.

 

Di tengah gejolak sesial dan gejolak agama seperti ini, Allah mengutus hamba pilihan-Nya menjadi utusan (Rasul), yakni Muhammad bin Abdullah dengan membawa hidayah dan agama yang hak, untuk menggantikan agama yang lainnya, walaupun ternyata orang-orang kafir tidak menyukainya. Ia membangun argumentasi, membangkitkan kefungsian akal, mengajak manusia untuk memuliakannya, menyandarkan keputusan terhadapnya dan mengajak masyarakat untuk mencampakkan taklid dan tidak mengangkat manusia menjadi Tuhan selain Allah. Untuk menyukseskan (dakwah) dan hal-hal semusalnya, ia menempuh cara yang tidak menyudutkan perasaan dan jangkauan pemahaman masyarakat, dan juga tidak melambung tinggi dari kemampuan sabenarnya tentang hidayah dan agama yang didakwahkan. Begitu ‘terhina dan teringkari. Lihatlah betapa ajakan berikut sangat me muliakan akal dan: ilmu

 

Serta mencgaskan argumentasi dengan cara gamblang dan-etis,. Firman-Nya, “Katakanlah wahai pemegang kitab suci (ahli kitab), marilah berpegang. kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah, kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka, ‘Saksikan, bahwa kami adaiah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)’.

 

Hai ahli kitab, mengapa kamu bantah-membantah tentang hal Ibrahim, padahal Taurat dan Injil tidak diturunkan, melainkan sesudah Ibrahim. Apakah kamu tidak berpikir?

 

Beginilah kamu, kamu ini (sewajarnya) bantah-membantah tentang hal kamu ketahui, mengapa kamu bantah-membantah tentang hal yang kamu tidak ketahui; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, tetapi Dia adalah seorang yang lurus lagi menyerahkan diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia dari golongan orang-orang musyrik. Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad), serta orang-orang yang beriman (kepada Muhammad), dan Allah adalah pelindung semua orang-orang yang beriman.

 

Jika Anda selesai membaca ini, maka renungkanlah betapa mudah dipahami oleh akal. Dengan demikian, tidak perlu memahaminya dengan susah payah. Selanjutnya, bacalah untuk kedua kalinya dan renungkanlah. Apakah pernah didapati ungkapan (perkataan) yang lebih baik dan lebih argumentatif? Adakah ditemukan dalam mata rantai ahli logika yang selalu dibanggakan oleh para peneliti, ungkapan-ungkapan yang lebih baik daripada ayat ini? Jika Anda sudah merasa yakin akan hal ini, maka ketahuilah bahwa Anda akan menemukannya dalam seluruh wahyu Allah yang diterima Nabi Muhammad SAW. dalam seluruh bimbingan Allah, yakni sunah rasul-Nya, dan dalam seluruh kehidupan kesehariannya. Ketahuilah bahwa Anda akan menemukan teladan dan kemuliaan dalam agama ini, sebagaimana telah diisyaratkan (sebagian kekhususannya) di atas kepada kita sekalian.

 

Orang Arab, ketika melihat kehancuran argumentasi mereka dan setelah menentangnya, mereka tidak tinggal diam sampai di situ saja, melainkan memilih dan mengikuti agama ini dengan gembira. Mereka melihat Nabi memberikan atribut kepada Tuhan dengan atribut yang diberikan kepada Tuhannya Yang Mahasuci; sebagaimana yang tertulis dalam Al-Quran dan As-Sunah. Tidak ada seorang pun yang mempertanyakan sesuai dengan kemampuan akalnya dari hal-hal seperti itu. Padahal dalam masalah shalat, puasa, zakat, haji, dan hal-hal lain yang diketahui terkandung periniah dan larangan (kualitas hukum). Begitu juga berkenaan dengan keadaan hari akhirat, surga, dan neraka, kita dapat mengatakan “tak seorang pun bertanya tentang atribut (sifat) Tuhan selain yang telah disifatkan Tuhan bagi diri-Nya”’. Hal itu demikian adanya, karena persealan ini akan menggiring pada pengklaimanpengklaiman. Makanya kita belum pernah menemukan riwayat yang mengatakan bahwa ada di antara mereka yang merasa tidak me mahaminya untuk selanjutnya bertanya guna mengungkapkan keragu-raguan, menghilangkan ketidakuakinan atau menghalau kabut tebal yang menghalangi, sebagaimana yang terjadi dan diambil dalam hadis yang cukup banyak penjelasannya tentang pertanyaan yang diajukan dalam bidang hukum halal dan haram, keadaan pada saat kiamat, dan persealan fitnah (petaka besar) dan semisalnya. Semua ini menjadi bukti bahwa mereka memahami ketuhanan dengan begitu mudah tanpa harus memfilsafatkannya.

 

Di antara yang menyejukkan pandangan dari para pengodifikasi hadis Nabi dan berdasarkan atsar-atsar salafiyah, adalah bahwa tidak pernah sama sekah terjadi “memperdebatkan sifat-sifat Tuhan” dengan cara baik-baik apalagi dengan cara tereeIa dari salah seorang sahabat sekalipun dengan perbedaan tngkat dan jumlahnya. Mereka bertanya kepada Rasulullah tentang makna suatu yang berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan yang diatributkan bagi diri-Nya, Didapatkan dalam Al-Quran melalui lisan Rasulullah, mereka mengetahuj seluruh makna dan memilih diam dalam memperdebatkan sifat-sifat Tuhan. mereka tidak pernah membeda-bedakan sifat-sifat tersebut menjadi sifat dzat, dan sifat fi‘li, melainkan mereka menetapkan sifat-sifat azali bagi Tuhan, sepertj sifat mengetahui (Al-‘Ilm), kuasa (Al-Qudrat), hidup (Al-Hayat) ,. berkehendak (Al-Iradah), melihat (Al-Basar), mendengar (Al-Sama’), berbicara (Al-Kalam) , mulia (Al-Jalal), agung (Al-Ikram), pengasih (Al-Jawad), pemberi nikmat (Al. In’am), perkasa (Al-Izzu) dan luhur (Al-‘Udzmah). Mereka hanya memiliki kalimat sepeti itu. Begitu juga mereka memutlakkan makna yang telah dimutlakan Tuhan sendiri bagi diri-Nya, seperti wajah, tangan, dan sejenisnya, seraya tetap menafikan kesamaan dengan makhluk. Mereka menetapkan tanpa ada keraguan dan menyucikan-Nya tanpa kebatilan. Mereka bersepakat untuk mengakui sifat-sifat-Nya apa adanya sebagaimana diajarkan; tidak ada yang berusaha mengargumentasikan sifat keesaan Allah dan kerasulan Muhammad, selain dengan Al-Quran; tidak ada yang pernah mengambil cara-cara kaum teolog dan tidak juga para filosef. ”

 

Dalam keadaan ini, yakni sebagaimana telah diuraikan di atas, maka berakhirlah kurun awal. Para sahabat Rasulullah dan orang yang mengikutinya secara baik adalah orang yang memahami apa yang diuraikan Rasulullah dari Tuhannya. Mereka tidak memandang perlu untuk berfilsafat, dan tidak juga terhadap metode pembahasan kalami (teologis) yang bertumpu pada filsafat. Terhadap kitab suci yang diwahyukan Allah; berisi hak-hak terhadap-Nya dan terhadap sesama yang harus dipenuhi; sebuah kitab suci berbahasa Arab ynag jelas, mereka telah memahami ungkapan-ungkapannya. Jika mereka merasa perlu untuk mengungkapkan makna yang tidak dipahaminya, maka mereka menanyakannya kepada Rasulullah. Kalaulah tidak demikian, lantas mengapa mereka tidak mau memahami ungkapan-ungkapan yang berbicara kepada mereka dari kitab suci itu? Bagaimana mungkin mereka tidak bertanya, selain bahwa mereka telah memahami maknanya? Lisan Rasul adalah lisan Arab dan permasalahan yang biasa diperbincangkan di antara itulah yang menjadi perbincangan Al-Quran. Mayoritas mereka mereka adalah bangsa Arab yang mampu berbicara dengan bahasanya yang baik dan benar. Serta memahaminya jika ada yang berbicara dengannya. Adapun bagi orang non-Arab, tidaklah perlu memiliki kemahiran sebagaimana yang dimiliki orang Arab asli, melainkan cukuplah mengetahui seluk-beluk bahasa dan kekhusuan-kekhususannya Jika hal itu sudah tereapai, maka jalan akan terbentang baginya untuk mampu memahami sebagaimana orang Arab asl.

 

II

 

Pada masa kurun awal, hiduplah. dua orang tokoh yang. mengajarkan kepada masyarakat tentang sesuatu yang tidak diajarkan oleh Nabi, dan juga tidak diayarkan oleh sahabat-sahabatnya. Mereka juga mempengaruhi sebagian kecil sahabat dan sebagian besar tabi’in, pemangku bendera Islam dan sebagian penduduk Madinah yang merupakan salah satu tempat kelahiran agama Islam, tempat diturunkannya wahyu kepada Rasulullah, tempat berhijrah, dan tempat tumbuhnya pribadi-pribadi suci. Kedua tokoh itu masuk Islam dengan tujuan buruk (niat jahat). Boleh jadi, kemenangan-kemenangan yang diperoleh umat Islam dalam penaklukan berbagai wilayah telah menumbuhkan sifat kecewa dan dendam dalam jiwa mereka yang membuatnya berkeinginan untuk menghancurkan umat Islam dari dalam.

 

Salah seorang di antaranya adalah pemeluk Nasrani bangsa Irak bernama Susan. Ia masuk Islam kemudian bersahabat dengan Ma’bad bin Abdillah Al-Juhani Al-Bisriy. 2) Dalam dirinya terkandung racun yang berbahaya dan mengajarinya tentang Qadar. Hal itu yang mendorong Ma’bad sebagai orang pertama yang membicarakan masalah gadar dalam agama yang dibawa Muhammad. Ia datang ke Madinah untuk menghasut masyarakatnya. Tokohtokoh dan masyarakat pada zaman itu memperingatkan masyarakat untuk menjauhinya. Diriwayatkan bahwa ketika hal itu disampaikan kepada Ibnu Umar, maka ia mengumumkan berlepas diri. Hasan berkata, ’Jauhilah Ma’bad karena ia sesat dan menyesatkan”. Diriwayatkan bahwa tatkaIa Muslim bin Yasar sedang duduk bersandar di sebuah tiang mesjid, ia berkata, ”Sesungguhnya Ma’bad itu berbicara seperti layaknya penganut Kristiani, dan ia tidak berhenti darinya hingga Abdul Malik bin Marwan menangkapnya untuk kemudian dihukum dan disalib di Damaskus pada tahun delapan Hijriah ”.

 

Ma’bad Al-Juhani mengajarkan pahamnya kepada muridnya, Gilan ibnu Marwan (ibnu Muslim) Al-Dimisyqi. Di antaranya ia berpendapat, “Qadar baik dan buruk berasal dari manusia; imamah (kepemimpinan) itu boleh dari selain keturunan Quraisy; setiap orang berhak mencgakkan Al-Quran dan Sunnah, Imamah juga tidak sah, kecuali dengan kesepakatan (konsensus) masyarakat. Hidupnya berakhir setelah ditangkap oleh Hisyam ibnu Malik Ibny Marwan dengan mencincang kaki tangannya.

 

Adapun tokoh satunya lagi adalah seorang Yahudi yang bergaul dengan kaum beriman, lalu ia memeluk Islam dengan menyembunyikan niatnya untuk menyiasati Islam. Ia adalah Abdullah bin Wahab bin Saba yang terkenal dengan panggilan Ibn Sauda’. Kita telah banyak membicarakannya dan dirasa cukup di dalam komentar-komentar pelengkap buku ini. Cukuplah menyebutkan tiga masalah yang dia munculkan yang merupakan petaka yang mengada-ada. Pertama, ia adalah orang yang pertama kali mengada-ada tentang wasiat imamah dari Rasulullah terhadap Ali ibn Abi Thalib r.a. Ia berbicara tentang imamah dan kekhalifahan Ali yang diwasiatkan dengan nash agama. Kedua, Ia adalah orang yang mula-muIa mengemukakan pendapat kembali hidupnya Ali dan juga Rasulullah setelah kewafatannya. Ketiga, ia adalah orang yang mula-muIa mengatakan bahwa Ali tidak mati terbunuh, namun ia tetap hidup; ia berada di awan; petir itu suaranya dan kilat itu merupakan cemetinya dan di dalam diri Ali terdapat bagian dari diri Tuhan. Ia pasti akan datang ke bumi dan mengisinya dengan keadilan, karena sekarang ini telah dipenuhi oleh kejahatan. Hampir keseluruhan keputusan-keputusan logika seperti ini diambil dari umat Yahudi yang diajarkannya ketika itu. Namun, untuk membenarkannya, ia berdalih dengan kisah-kisah tentang keadaan Nabi Musa, tentunya dengan berbagai bumbu dan perubahan.

 

Akibat dari pendapat yang kacau seperti ini, yang merupakan embusan racun Abdullah ibnu Saba’, maka perbedaan pendapat dan kelahiran firqahfirqah tak dapat dihindarkan. Di antara yang paling banyak mendapat penganutnya adalah golongan Raafidah Ekstrem, bukanlah mereka berpendapat bahwa sesungguhnya Jmamah (kepemimpinan) itu terbatas kepada orang-orang tertentu, sebagaimana halnya Syi‘ah Imamah berkata, “Imamah itu terbatas hanya dua belas imam saja”, dan pendapat aliran Syi‘ah Isma’iliyyah bahwa imamah itu terbatas hanya sampai pada keturunan Isma’il ibn Ja’far Al-Shadiq saja.

 

Selanjutnya, bukanlah kebanyakan para pengikut aliran Syi‘ah Imamiyyah meyakini kebangkitan kembali pemimpinnya ke dunia setelah kewafatannya. Dan itulah yang diisyaratkan melalui ungkapan Kutsair Ibnu Abdurrahman yang mashur dengan panggilan Kautsair. Izzah dalam syairnya:

 

Artinya:

“Seseorang penerus (imam) yang mengenyam kematian sampai panji-panji mengiringkannya ketika berkuda. Dia memang gaib, tiada terlihat sampai datang masanya dan kini di Radhwa, madu dan air melimpahinya.”

 

Demikian puIa Al-Sayyid Al-Hamiry bersyair:

 

Artinya:

“Dia gaib dari para pengikutnya hingga mereka pun berkata di kota Taybah, perut bumi mengandungnya.”

 

Selanjutnya, bukanlah puIa di antara aliran Syi’ah Imamiyah ini banyak yang berkeyakinan bahwa unsur ketuhanan (ilaihiyah) menyatu dalam, diri para imam pengganti Ali bin Abi Thalib r.a. Dan yang demikian ini menurut mereka adalah yang berhak memegang Jmamah. Berdasarkan pendapat ini sebagaimana telah dibuktikan oleh sejarah maka Dinasti Fatimiyah berhak memegang penuh kepemimpinan (imamah) di Mesir.

 

Ibnu Saba inilah yang telah memberikan pengaruh terjadinya fitnah terhadap Amirul Mukminin Ustman ibn Affan r.a. dan kobaran apinya terus menyaIa yang kemudian diikuti oleh sejumlah orang sehingga mengakibatkan terbunuhnya khalifah yang dihukumi zalim oleh mereka.

 

Ia memiliki pengikut yang banyak di setiap wilayah Islam. Itulah sebabnya mengapa aliran Syi’ah banyak pengikutnya.

 

Hal demikian terus berlanjut, sehingga kekuatan mereka semakin bertambah seiring dengan makin bertambahnya pengikut mereka.

 

III

 

Pada kurun pertama juga, pengikut-pengikut Ali dari golongan Syi‘ah terpecah-belah, saling bermusuhan, dan masing-masing mereka berusaha meraih pengikut sebanyak-banyaknya sehingga peperangan pun tak terhindarkan. Setelah ditebus dengan jiwa dan harta, juga setelah ketaatannya nampak, kaum Khawarij yang sebelumnya mendukung Ali bin Abu Thalib ra dan pertama kali memerangi Muwawwiyah dan penduduk Syam, maka ketika kemenangan hampir diraihnya, yaitu tinggal dua tumbak Jagi, bahkan lebih pendek, Muawwiyah dan para pendukungnya mengatur siasat. Dan akhirnya Amr bin Ash berhasil membawa Ali dan pendukungnya untuk menerima arhitrase Gahkim) dan agar proses selanjutnya diwakili oleh Abu Musa Al-Asy’ari, Sedangkan kaum Khawarij tidak mau menerima tahkim sebelum dapat mengalahkan penduduk Syam. Mereka juga tidak mau menerima pilihan Ali juga Muawwiyah. Ketika Ali dan pasukannya memenuhi perminiaan Muawwiyah, serta Arbitrase telah berakhir, kaum Khawarij memproklamirkan diri menentang Ali dan seluruh pihak yang menerima arbitrase (tahkim). Pendirian mereka tidak dapat dilunturkan dengan argumentasi dan nasihat. Mereka menolak untuk kembali mendukung Ali, kecuali apabiIa ta mengumumkan penolakannya terhadap hasil arbitrase dan bertobat kepada Allah SWT. Namun, Ali tidak menyetujui hal tersebut, ia tidak memilih arbitrase selain bertujuan untuk membendung revolusi kaum reaksioner dan berkeyakinan bahwa dengan pilihannya itu, maka tidak akan ada pengingkaranpengingkaran, bahkan tidak akan ada maksiat sekalipun.

 

Adalah suatu yang mengganyjal dalam pikiran kita sehingga menimbulkan penasaran, yakni mengapa mereka memisahkan diri dari kelompok Ali secara tiba-tiba dan tanpa didahului perselisihan.. Padahal mereka adalah pengikut yang sangat fanatik.. Mereka keluar dengan alasan memelihara hukum-hukum Tuhan dan ketulusan dalam mengaplikasiannya. Mereka juga dikenal sebagai pemikir Islam yang andal sehingga membuat ragu tiap orang untuk berprasangka terhadap tingkah laku dan tindakannya.

 

Apakah para sejarawan telah mendustakan kita, baik yang Syi’ah maupun non-Syi’ah ketika mereka menceritakan sebuah gambaran yang memunculkan ekstremitas dan kebatilan serta bersikukuh dalam sesuatu yang tidak perlu disikapi seperti itu? Jika semua fakta ini merupakan kebenaran dari para sejarawan pihak Ah, bagaimana bisa dikatakan benar bagi mereka yang terpereaya untuk mengungkapkan kebenaran? Bagaimana hal itu dapat dibenarkan, sedangkan para sejarawan sendiri belum mengimbangi tulisan para sejarawan golongan Ali atau para pembelanya? Hanyalah sedikit orang kita yang menulis tentang kelompok tidak menguraikan masa lalu kelompok Ali. Bagi mereka sama saIa untuk memberikan penilaian tantang masa lalu kelompok Ali, apakah mereka dikategonkan orang-orang yang zalim ataukah yang dizalimi,.

 

Jika memang ternyata para seyarawan tidak mendustai kita dan golongan jtu merupakan kemungkinan terbaik, maka apakah dalam golongan Syi’ah atau orang yang mendukungnya, terdapat orang yang menyembunyikan permusuhannya untul dimunculkan setiap saat ketika keadaan memungkinkan? Atau ia sendiri berusaha menciptakan kesempatan yang mendukungnya? Yang saya maksud adalah, “Apakah Abdullah bin Wahab bin Saba dengan kecerdikan dan kedekatannya terhadap Syi’ah Ali berusaha menarik simpati masyarakat, yakni dengan cara memuliakan Ali dan terkadang juga mempertuhankannya, serta dengan menyebarkan keyakinan bahwa Rasulullah berwasiat tentang kepemimpinan Ali?” Semuanya itu hanyalah tipuan belaka. Suatu tipuan yang diciptakan Abdullah bin Wahab bin Saba dengan maksud agar kelompok pendukung Ali merasa kagum dan salut terhadapnya padahal tujuan sebenarnya adalah menghancurkan semua hubungan Ali dan pendukung-pendukungnya. Ia mengambil sumpah terlebih dahulu untuk berlaku setia terhadap Ali dan dirinya sebelum mengutarakan maksud yang sebenarnya. .

 

Adapun yang sebenarnya terjadi adalah bahwa kaum Khawarij telah memisahkan diri dari kelompok Ali pada perang Shifin, yakni peperangan antara penduduk Syam yang sebagian besar merupakan pendukung Muawwiyah bin Abi Sufyan. Kaum Khawarij ini sangat besar, kemudian menjadi madzhab yang memiliki banyak pengikut. Mereka mencampuradukan antara masalah agama dan masalah negara. Makanya tidak mengherankan jika mereka banyak berbicara tentang agama,.pokok-pokok dan cabangnya, pandangannya tentang kesetiaan terhadap negara dan pemimpinnya atau bahkan sebaliknya, sebagaimana akan ditemukan pembahasannya dalam buku ini.

 

  1.  

 

Pada masa akhir kurun awal atau pada masa awal kurun kedua, muncullah seorang tokoh yang dipanggil Jahm bin Shafwan di daerah Turmudz dan daerah Timur. Ia telah melahirkan dan menularkan sikap skeptis terhadap umat Islam, yaitu suatu sikap yang mempunyai dampak negatif bagi umat Islam yang pada gilirannya melahirkan malapetaka besar. Namun, pengikutnya tidak sedikit.” Menurutnya, iman hanyalah mengetahui Tuhan saja, sedangkan kufur didefinisikan sebagai kejahilan tentang Allah. Tidak ada tindakan manusia sedikit pun, semua gerak atau perbuatan pada hakikatnya adalah tindakan atau pekerjaan Allah semata. Ia adalah pelaku, sedangkan kaitan pekerjaan manusia dengan-Nya adalah kiasan semata, sebagaimana ungkapan, “Pohon bergerak, angkasa berputar, dan matahari lenyap. Dia menafikan adanya atribut sifat-sifat Tuhan. Ia juga mengemukakan bahwa umu (pengetahuan) Tuhan adalah baru. Quran adalah makhluk. Karena pendapat inilah, ada juga yang menghubungkan Jabm dengan Mu‘tazilah, Namun dikatakan, menurut golongan Mu‘tazilah, Janm dalam keburukan tingkah laku dan keenganannya untuk bergabung dengan Mu‘tazilah, tak ubahnya seperti Hisyam bin Hakam, Para pemuka agama telah menghukuminya sebagai pelaku did‘ah terbesar terhadap agama, menggiring penganutnya untuk ingkar dan sesat. Masyarakat menjauhkan diri dari pengaruh Jahm dan memeranginya atas nama Tuhan, Mereka juga menceIa orang yang berguru kepadanya, yang mengutip pendapatnya atau meniru tingkah laku mereka.

 

Rupanya Tuhan hendak menggiring Jahm bin Shafwan menuju kematiannya. Suatu ketika, ia bersama Harits bin Suraij pada tahun 128 H., datang menemui khalifah bani Umayyah yang kaIa itu dipegang oleh Marwan bin Muhammad, akan tetapi Harits bin Suraij menolaknya. Akhinya ia sendirian menemui dan berbincang-bincang dengan Hakam. Ketika itu datanglah Salim bin Ahwas, kepaIa kepolisian beserta para perwira angkatan bersenjata dan para pejabat pemeriniahan (para gubernur). Mereka semuanya meminia agar Jahm bin Shafwan menghentikan perbuatan dan tindakannya dalam menyebarkan fahamnya dan agar tidak memecah belah umat Islam, namun ia menolak. Ketika itu sekelompok masyarakat datang, Jahm bin Shafwan memanggil Nasr bin Sayar, seorang gubernur Khurasan, untuk membeIa apa yang didakwahkannya sebagai ajakan terhadap Al-Quran dan Sunah. Namun, Nasr bin Sayar menolak, akhirnya ia tetap tidak diakui sebagai bagian dari umat Islam, bahkan Nasr bin Sayar menyuruh Jahm Bin Shafwan untuk membacakan buku kepada masyarakat yang di dalamnya berisi biografi Harits bin Surat. Suatu ketika, dalam suatu temu wicaraldiskusi, Nasr bin Sayar berdebat dengan Harits bin Suraij sehingga keduanya mengadakan musyawarah dengan moderator arbiter Muqatil bin Hasan dan Jahm bin Shafwan. Keputusannya adalah membereskan Jahm bin Syafwan dari periniah tersebut. Akan tetapi, Nasr bin Sayar menolak, sehingga Jahm bin Shafwan tetap harus membacakan biografi Harits bin Suraij, di mesjid-mesjid dan di jalanan yang banyak dikerumuni masyarakat. Ketika itu puIa sekelompok tentara merasa leluasa untuk membunuhnya, tentunya atas periniah Nasr bin Sayar. Terjadilah bentrokan. yang cukup dahsyat yang menyebabkan terbunuhnya banyak orang, termasuk Jahm bin Shafwan sendiri. Seorang melukai mulutnya, lalu membunuhnya. Ada juga versi sejarah yang menyatakan bahwa ia ditawan terlebih dahulu, lalu Salim bin Ahwar memeriniahkan untuk membunuhnya. Namun, Jahm bin Shafwan berkata, “Aku memiliki jaminan hidup dari ayahmu’’, Salim menjawab, “Ia tidak pernah menjamin keselamatanmu dan kalaupun ia melakukannya, aku tidak pernah mempereayaimu, kalaupun ruangan ini dipenuhi biniang-biniang angkasa, dan Isa bin Maryam didatangkan, kamu tetap tidak akan selamat. Demi Allah! Andai aku mengandungmu, tentu akan aku gugurkan kandunganku, sehingga kamu mati. Ia akhirnya menyuruh Ibnu Musayar untuk membunuhnya. !

 

Kita ingin sejenak membahas lebih lanjut Jahm bin Shafwan dan Harits bin Suray yang dijadikan Jahm bin Shafwan sebagai tali pegangannnya. Hal jtu karena kita melihat adanya kecurigaan pada keduanya. Kecurigaan tersebut bermuIa ketika kubaca tentang Al-Hafidz bin Katsir berkata, “Tahun 128 H adalah tahun terbunuhnya Harits bin Suraij. Adapun sebabnya adalah Yazid bin Al-Walid mengirim surat jaminan sampai Harits bin Suraij mampu keluar dari Turki dan bergabung dengan kaum Muslimin, kemudian kembali berpihak kepada agama Islam dan kaum muslimin setelah mendukung kaum politeis. Jika demikian keadaannya, maka Harits bin Suraij adalah seorang yang tidak taat dan tidak saleh dalam agama, karena dia telah mendukung kepemimpinan kaum politeis, bergabung dengan mereka, meminia pertolongan untuk mengalahkan kaum muslimin dan ikut mengerahkan pasukannya memerangi umat Islam. Sedangkan Jahm bin Shufiwwan sendiri adalah sekretaris Harits bin Suraij, bahkan lebih dari itu, ia selalu membacakan tulisannya mengenai kelebihan yang dimiliki Harits. Ini artinya bahwa dia adalah penganjur untuk mengikuti ajaran Harits bin Suraij. Jika demikian, berarti tulisan-tulisannya bersumber dari kepentingan-kepentingan yang buruk. Data ini memberikan penjelasan apa yang dikatakan oleh Al-Muqrisy mengenai Jahm bin Shafwan ini, dia mengatakan, “Dia telah membangkitkan upaya tasykik (peraguan) terhadap Islam yang melahirkan dampak negatif dan malapetaka besar dalam agama Islam. Kesemuanya ini semakin memperkuat anggapan kita bahwa sebab utama perpecahan yang terjadi dalam Islam, yang dalam substansinya tidak terdapat hal semacam itu, adalah dikarenakan adanya invansi dari mereka ini, yang motivasi utamanya adalah menghancurkan agama Islam yang oleh Tuhan dikehendaki sebagai agama yang melebihi agama. lainnya. Tuhan Maha Menguasai urusan-Nya dan tidak akan ada seorang pun yang menyerangnya, kecuali dia menghancurkannya.

 

Sejarah telah me ncatat bahwa, dokumentasi berupa dua buku yang ditulis pada permulaan abad kedua Hijriah juga mencatat orang-orang yang menentang pendapat keagamaan yang dipegang oleh mayoritas muslimin pada saat itu. Kedua buku tersebut adalah Ar-Rad’aIa Al-Qadariyyah yang disusun oleh Umar bin Ubaid (80 – 144 H.) seorang tokoh (syaikh) dan zahid muktazilah dan buku Asnaf Al-Murji’ah yang disusun oleh Washil bin ‘Atha (80 – 181 H.) seorang budak bani Dhiyyah, sering juga dikatakan seorang budak bani Makhzum, yang dikenal dengan Ghazal, seorang penggagas dan pemuka madzhab Mukta‘zilah.

 

V

 

Pada permulaan abad kedua Hiyriah, kejelekan madzhab Khawarij telah dapat dirasakan. Mereka memproklamirkan bahwa seseorang yang mengerja. kan dosa besar menjadi kafir dan akan menjadi penghuni ncraka secara abadi, Sedangkan mayoritas umat Islam kaIa itu mengatakan, “Mereka masih seorang mukmin, hanya saIa mukmin yang fasik dikarenakan melakukan dosa besar. Abu Khudaifah Washil bin Atha ketika itu mengikuti pengajian yang diadakan oleh Hasan Al-Basri dan berguru kepadanya. Suatu hari maslah pelaku dosa besar ini menjadi tema pembahasan dan Hasam Al-Basri mengatakan pendapat yang dipegang oleh umat. Akan tetpai, Washil bin Atha mempunyai pendapat lain, dia berkata, “Komentar dan pendapatku mengenai pelaku dosa besar ini adalah bahwa ia bukan seorang mukmin dan bukan puIa seorang kafir, ia berada dalam suatu tempat di antara dua tempat (Al-Manzilah baina Al-Manzilatain), Pendapatnya ini membuat Hasan Al-Basri marah dan mengusimya dari majelis pengajiannya. Kemudian Washil bin Atha mengasingkan diri dan memilih mesjid sebagai tempat pengasingannya. lalu bergabunglah dengannya Umar bin Ubaid dan jamaahnya. Oleh karena itulah, dia dan pengikutnya dijuluki Al-Mu’tazilun atau Mu’tazilah.

 

Washil bin Atha sendiri adalah salah seorang sastrawan terkemuka dari kalangan mutakallimin. Dia selalu menukar huruf ra dengan huruf ghin. Di. dalam Al-Kamil, Abu Al-Abbas Al-Mubarrad berkata, “Washil bin Atha mempunyai satu keanchan, yakni 1a tidak fasih melafalkan huruf ra.” Oleh karena itu, ia selalu berusaha meniadakannya dalam setiap kata pembicaraannya. Hal itu karena susunan kata-katanya rendah. Sebaliknya, seorang penyair mukatazilah, Abu Thurug Ad-Dlabiy, memuji kemampuan memperpanjang khutbah-khutbahnya serta kemampuan menghindarkan diri dari keseringan menggunakan huruf ra dalam pembicaraan sehingga hampir tidak pernah ada dalam kalimat-kalimatnya, sebagaimana dilukiskan dalam syair:

 

Artinya: “Seorang alim yang pandai menukar huruf penakluk setiap rival diskusinya kebatilannya sanggup mengalahkan kebenaran.”

 

Ulama lain mengomentarinya dengan syair:

 

Artinya: “Dia jadikan kebajikan bagi hiasan kehidupannya menghindari hurufrahingga | syair pun tereeIa jadinya, Tidaklah pernah berucap “Mathara” dan semisalnya namun menjadikan “Al-Ghaits” sebagai penggantinya.”

 

Washil ibn Atha sebenarnya bukanlah seorang sastrawan. Ia menjuluki dirinya sebagai sastrawan, hanyalah semata-mata bermaksud agar mempunyai prestise di mata para wanita saleh; sehingga ia dapat menikahinya. Ia banyak meninggalkan karya tulis berupa buku, di antaranya talah: Asnaf Al-Murji‘ah, Al-Taubat, Al-Manzilah Bain Al-Manzilatain, Ma’ani Al-Quran, Al Khitab fi At-Tauhid wa Al-‘Adl. Ma Jara Bainah wa Bain ‘Amr bin Ubaid, As-Sabil iIa ma’rifat Al-Hag, Ad-Da’wah, dan kitab Thabagqat Ahl Al-‘Ilm wa Al-Jahl.

 

Ia dilahirkan di Madinah pada tahun 80 H. dan meninggal dunia pada tahun 181 H.!

 

Sedangkan yang dimaksud ‘Amr bin ‘Ubaid adalah Abu Utsman ‘Amr bin ‘Ubaid bin Bab budak Bani ‘Aqil, yaitu seorang theolog dan zahid. Kakeknya berasal dari Sabi Kabil, salah satu daerah di Shind. .

 

‘Amr bin ‘Ubaid merupakan tokoh Mir’tazilah pada zamannya. Di antara kedua matanya terdapat tanda-tanda bekas sujud. Hasan Al-Bisri pernah diminia komentarnya, seraya berkata, “Aku ditanya tentang seorang tokoh yang seolah-olah dididik oleh malaikat dan dibina oleh Nabi, jika terjadi suatu hal (masalah), ia langsung bertindak menyelesaikannya, jika memeriniahkan sesuatu maka dialah yang paling bertanggung-jawab terhadapnya, dan jika melarang sesuatu maka dialah yang paling gigih menghindarinya, jika berdiri dikarenakan suatu masalah maka ia langsung duduk, jika duduk karena suatu masalah maka ia langsung berdiri. Aku tidak pernah melihat seorang pup selainnya yang keadaan lahirnya selaras dengan keadaan rohaninya dan keadaan rohaninya selaras dengan keadaan lahirnya.”

 

Suatu hari Amr bin Ubaid masuk ke dalam istana Khalifah Abu Ja’fa; Al-Manshur untuk memenui undangannya sebelum menjadi khalifah. Abu Ja’far Al-Manshur adalah sahabat dekatnya. Keduanya mempunyai satu majelig untuk berdiskusi lalu Abu Ja’far Al-Manshur duduk di dekatnya dan berkata kepadanya, “Berilah aku nasihat! lalu ia memberikan nasihat yang diminia oleh khalifah. Di antara isi nasihatnya ia me ngatakan, “Sesungguhnya kekuasaan yang kamu pegang sekarang ini tidak akan pernah kamu peroleh jika orang sebelummu tidak melepaskannya, maka hindarilah untuk menyibukkan malam hari dengan urusan siang hari.” Ketika ia bangkit hendak berdiri untuk pulang, Khalifah berkata,” “Kami menyediakan 10.000 dirham untukmu, ambillah.” Ia menjawab, “Aku tidak membutuhkannya.” Khalifah berkata, “Atas nama Allah, ambillah!” Ia menjawab, “Atas nama Allah aku tidak mau menerimanya.” Ketika itu hadir puIa Mahdi bin Abu Ja’far seraya berkata, “Amirul mukminin bersumpah atas nama Allah dan engkau Juga?” Amr bin Ubaid berpaling kepada Khalifah dan bertanya kepada Khalifah, “Siapakah pemuda ini?” Khalifah menjawab, “Ia adalah calon pewaris mahkota, anak seorang Al-Mahdi.” Amr bin Ubaid berkata, “Demi Allah! kau telah berikan pakaian kepadanya bukan dengan pakaian orang-orang yang saleh, kau namai dia dengan nama yang bukan haknya, kau serahkan kepadanya suatu urusan yang dapat disia-siakan dan membuatnya kewalahan!” Kepada Al-Mahdi ia berkata, “Benar nak! Jika ayahmu bersumpah, itu membuat aku merasa berdosa karena kifarat yang harus ditebusnya lebih besar dibandingkan dengan pamanmu ini.” Al-Manshur berkata kepadanya, “Apakah ada yang diperlukan?” Ia menjawab, “Aku belum menemukannya sampai aku menjumpaimu sekalipun.” Khalifah berkata, “Kalau begitu, jangan temui aku lagi.” Kata Amr bin Ubaid, itulah sebenarnya keperluanku.” Lalu ia pulang dan diantar oleh Al-Manshur dengan dendangan:

 

Artinya: “Semua orang berjalan berbungkuk Mengharap yang diburunya tertangkap Kecuali Amr bin Ubaid”

 

Amr bin Ubaid lahir pada tahun 80 H. dan wafat di Marram, dan dimakamkan di Me kkah pada tahun 144 H, diantar Abu Ja’far Al-Manshur dengan puisinya:

 

Artinya: “Semoga Tuhan memberkatimu selamanya . Penghuni kuburan Harran yang kulewati . Kuburan yang dihuni seorang mukmin hanif Jika zaman ini menjadikan orang saleh abadi Maka hanya Abu Utsman Amr bin Ubaid yang ada Belum pernah seorang yang menyadarkan khalifah . Selainnya

 

Sepeninggal dua tokoh ini, barulah Mu’tazilah menjadi sebuah sekte (madzhab) yang memiliki prinsip-prinsip dasar ajaran yang tersusun secara hierarkis, ditambah lagi Tuhan berkehendak untuk memberikan kepada golongan ini pada setiap zamannya sekelompok manusia yang terpelajar dan menguasai ilmu pengetahuan. Melalui merekalah faham-faham madzhab ini tersebar luas, argumentasi-argumentasinya melampaui argumentasi pendapat lainnya dan mereka juga membuat jaringan relasi dengan pihak penguasa untuk memperoleh kekuatan politik sehingga rakuat mencrima apa yang mereka jadikan sebagai pandangan keagamaan.

 

Basyar ibn Al-Mukhtamar dan Abu Al-Hudzail Muhammad ibn Al Hudzail ibn Abdullah ibn Al-Makhul, yang masyhur dengan panggilan Al‘Alaf . berguru kepada Umar ibn Ubaid dan sahabat-sahabat dekatnya. Kepada Abu Al-Kudzail, bergurulah anak keponakan dari saudara perempuannya, Tbrahin ibu Sayyar yang masyhur dengan panggilan An-Nidlam, Hisyam ibn Umar Asy-Syaibani yang akrab dipanggil Al-fuwathi dan Abu Yusuf ibn Ya’kub ibn Abdullah Asy-Syaham Al-Bisriy. Al-Nidlam mempunyat murid, di antaranya Abu Utsman ibn Bahr ibn Mahbub, Al Kinaniy, Al-Bisrty yang terkenal dengan nama Al-Jahidz dan Qadli Abu Abdullah ibn Farh ibn Jarir Al-lyadiy yang lebih dikenal dengan panggilan ibnu Abu Du’ad ‘, Kepada Abu Yusuf, bergurulah Muhammad ibn Abdul Wahab ibn Salam ibn Khalid ibn Humran ibn Aban, yang dikenal dengan julukan Al-Juba’ir. Kepada Jahidz bergurulah Ja’far ibn Mubasyar dan Ja’far ibn Harb. Kemudian keduanya mempunyal murid yang bernama Muhammad ibn Abdullah Al-Iskafi.

 

Abu Ali-Al-Juba’i menyebarkan ajaran sekte ini melalui murid-muridnya, di antaranya, Abu Hasyim Abdussalam ibn Muhammad ibn Abdul Wahab AlJuba’i dan Abu Hasan Al-Asy’ari yang kemudian menjadi tokoh pendiri madzhab Ahlu Sunnah wal Jama‘ah. Kisah diskusi dan debat antara Al-Juba’i dengan Al-Asy‘ari ini dianggap oleh para ulama sebagai akhir dari bergurunya Al-Asy’ari kepada Al-Juba’i.

 

VI

 

Di antara sekte yang muncul ke permukaan, Miu’tazilah yang paling banyak mendapat tekanan, tetapi mereka tertolong oleh tiga hal dalam menghadapi tekanan-tekanan ini. Ketiga penolong tersebut adalah:

 

Pertama, Tuhan menganugerahkan pemuka-pemuka yang pandai dan ahli debat kepada setiap generasi penganutnya. Washil bin Atha sendiri adalah seorang yang cerdas dan genius, memiliki kemampuan berdebat dan berdiskusi. Dia juga paling cepat mengungkapkan hapalan ayat-ayat Al-Quran, baik makna lahirnya maupun melaui takwil-takwilnya selama mendukung pendapatpendapat madzhabnya. Dalam posisi seperti ini, dia berada pada garda paling depan dalam memahami dan mengetahui arti perkataan-perkataan filosefis madzhab Syi’i dan apa yang dilontarkan olah madzhab Khawarij, perbincangan madzhab Murjiah Zindiq dan Natralis serta dengan penantang-penentang lannya. Dialah yang dapat men-counfer pendapat-pendapat mereka. Adapun Abu Hudzail Al-Allaf adalah satu-satunya orang yang menguasai pemahaman arti kata dan mampu berbicara baik, Dialah yang dimaksud oleh Al-Mubarrad ketika berkata, “Aku belum pernah melihat orang-orang fasih berkomunikasi melebihi kemampuan Abu Hudzail dan Jahidz.” Abu .sudzail sangat baik dan mahir berdiskusi. Kusaksikan hal itu dalam salah satu kuliahnya yang kaIa itu pembicaraannya dust lebih dari tiga ratus bait syair. Hidupnya dipenuhi dengan berdiskusi dan berdebat dengan penganut Zindig, Sefis, Majusi, dan Paganis. Dikatakan bahwa dia telah mengislamkan lebih dari tiga ribu orang. Musuhmusuhnya yang berdiskusi dan berdebat dengannya tidak dapat menggunggulinya padahal ketika itu umurnya baru 15 tahun. Ibrahim bin Syyar adalah guru Abu Utsman Al-Jahidz, seorang pemukaltokoh sastrawan yang paling ceme rlang. Dia dapat menjadi salah satu bukti di antara bukti-bukti kekuasaan Tuhan dalam menyatukan hati, kesucian jiwa, keluasan menelaah dan kedalaman menyelami makna-makna yang dalam dan rumit lalu menyusunnya dalam ungkapan dan penjelasan yang prima dan hal-hal lainnya yang tak terhitung jumlahnya.

 

Kedua, adanya hubungan baik dengan pihak penguasa serta adanya kemampuan mereka dalam melobi dan menanamkan pengaruhnya terhadap penguasa sehingga mereka mampu menjaga rumah-rumah mereka dari tekanan pemeriniah. Bahkan, jika mereka menghendaki, mereka dapat meminia pertolongan kekuatan negara dalam menyerang lawan-lawannya. Amr bin Ubaid, salah satu tokoh madzhab ini adalah penasihat dan teman dekat Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur. Hanya saja, Amr bin Ubaid menolak tawaran Khalifah, dan meminia Khalifah untuk tidak mengundangnya lagi. Walaupun demikian, Ia dengan beraninya telah mengeritik Khalifah berkenaan dengan apa yang telah ditetapkannya tentang Wali Al-Ahad. Andaikan bukan Amr bin Ubaid yang berbicara demikian, tentu khalifah tidak akan membiarkannya begitu saja, tetapi terhadap orang yang satu ini, ia membiasakannya, bahkan menghormatinya, sedangkan Abu Hudzail adalah guru Khalifah Al-Makmun. Mengenai orang ini, Abu Hanifah Ad-Daniri berkata, “Khalifah Al-Makmun menyelenggarakan majelis untuk berdiskusi mengenai permasalahan keagamaan dan per-masalahan-permasalahan lainnya. Yang menjadi guru pembimbingnya adalah Abu Al-Hudzail Al-Allaf. An-Nidlam berhubungan erat dengan Muhammad ibn Ali ibn Sulaiman, salah seorang pejabat dinasti Abasiyah dan Ahmad ibn Abu Dawud, seorang hakim agung Khalifah Al-Mu’tasim dan dialah yang dituju oleh surat Al-Makmum kepada saudaranya, Al Mu’tasim, ketika berwasiat menjelang kematiannya, “Abu Abdullah bin Abu Dawud tidak boleh Anda alpakan dalam setiap musyawarah urusanurusanmu karena di sanalah tempatnya yang sangat tepat.”

 

Ketiga, kerIa sama yang baik antara pengikutnya, kuatnya tali persahabatan yang mereka bangun dan membangun hubungan persahabatannya di atas kasith sayang. Me ngenat gambaran ini, para sastrawan membuat perniusalan untuknya, Abu Muhammad Al-Alwi mengirim surat kepada Abu Bakar Al-IChawarymi yang di antara tstnya dia berkata, “Sungguh kasth sayang mereka bagaikan kasih sayang orang Syi’i terhadap Ali r.a.

 

Akibat dari kesemuanya itu adalah terjalinnya hubungan yang erat antara pengikut madzhab Mu’tazilah dengan khalifah Al-Makmum di setiap daerah kekuasaannya. Selain itu, setiap orang pada zaman kekuasaan khalifah ini menganut faham bahwa Al-Quran itu diciptakan (makhluk). Untuk menyebarkan faham ini, khalifah mengirim surat edaran kepada setiap penguasa daerah untuk menyebarkannya sehingga menjadi faham resmi bagai rakuat. Surat edaran yang dikiramkan ke Mesir sampai pada bulan Jumad AI-Tsani tahun 218 H. Menanggapi surat ini, penguasan Mesir melakukan mihnah (inquisil pengadilan faham yang dianut seseorang) sehingga memahami faham kemakhlukan Al-Quran yang dimulai dari hakim, para saksi, dan para ahli hadis. Malapetaka ini terus berlanjut pada masa kekuasaan Al-Makmum dan khalifah sesudahnya sampai tidak ada yang terlewatkan untuk diadili (mihnah), mulai dari ahli fiqih, ahli hadis, muadzin sampai seluruh tenaga pengajar sehingga banyak orang yang melarikan diri dan penjara penuh dengan orang-orang yang menolak seruan pemeriniah. Ketika itu juga Ibnu Abu AlI-Laits diperiniahkan untuk mengirim surat ke setiap mesjid yang isinya kalimat Ia ilah ilIa Allah Rabb Al-Qur’an Al-Makhiug (tidak ada Tuhan selain Allah, Rabb Al-Quran yang diciptakan) dan ia menulis surat ke mesjid-mesjid Fustat, Mesir. Pada zamam ini puIa para fuqaha yang menganut madzhab Syaf’i dan Maliki dilarang menganut mesjid.

 

Sebelum terjadinya malapetaka ini, Washil ibn Atha mengalamai keberhasilan dalam meraih tokoh yang menjadi pengikutnya lalu mereka dikirim menjadi da’i ke setiap daerah dan negara untuk menyebarkan faham i’tizalinya kepada masyarakat. Abdullah ibn Al-Harits dikirim ke wilayah barat, Hafz ibn Salim ke Khurasan dan Tarmudz, juga diutus untuk berdebat dengan Jahm ibn Shafwan dan berhasil mengalahkan Jahm Al-Qasim ke daerah Yaman, Ayub ke daerah semenanjung Arab, Hasan ibn Dakwan ke Kufah dan mengutus Utsman Ath-Thawil ke Armenia. Seluruh da’i ini sangat bertanggung jawab terhadap keberhasilan misinya masing-masing. Dalam menjalankan tugasnya, mereka banyak mendapat serangan yang sengit, terutama dari para ulama setempat sehingga misi mereka hampir tidak berhasil dan barulah mereka mendapat banyak pengikut setelah memasuki masa inkuisi (dukungan) yang diiniruksikan khalifah Al-Makmun. Pada zaman inilah kekuatan mereka semakin kokoh, kekuasaan mereka semakin meluas sampai Yakut berkata, “Pengikut Washil sangat banyak! Jumlah mereka hampir mencapai 30.000 dalam setiap khalaqahnya”, Hal ini yang senada juga diungkapkan oleh Al-Shatadi seraya berkata, “Barang siapa yang menchusuri rangkaian pengikutnya melalui jalur Abdul Jabbar, maka ia akan mengetahui baliau pengikutnya Sangat banyak.”

 

VII

 

Adalah Mu‘tazilah yang pertama kali menyandarkan kekuatan madzhabnya pada filsafat Yunani. Dengan filsafat, mereka memperkuat argumentasijargumentasinya. Cukup banyak perkataan-perkataan An-Nidlam, Abu Hudzail dan lainnya mengutip ungkapan-ungkapan filosef Yunani, sedangkan tokoh yang lainnya menjadikannya sebagai metode dalam dialog dan memberikan penilaian.

 

Merekalah yang pertama kali memperkenalkan, berinieraksi dan menjadikannya sebagai metode ilmu dan cara dialog mereka dengan rivalnya. Mereka menuduh para teolog, khususnya yang bermadzhab Ahlus sunnah wal jama‘ah, telah bersikap ta’ashub (fanatik), taklid dan memusuhi. Para teolog ini berada dalam piniu kebimbangan, sedangkan piniu keyakinan telah tertutup dari mereka. Bukanlah merupakan takdir Allah, lahirnya seorang tokoh dalam agama ini yang terpereaya, baik dalam keadaan sunyi maupun ramai, yang berpegang teguh terhadap Al-Quran dan sunah Rasul-Nya, sahabat-sahabatnya yang suci dan hal yang menjadi pegangan para pendahulu yang saleh (salafasshaleh), seperti tokoh-tokoh ahli hadis. Dialah yang kemudian menguasai ilmu debat dan diskusi, memahami penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam agama (Islam), mampu melepaskan diri dari cengkeraman dan kungkungan orang-orang yang berada dalam jalur yang batil serta mampu ke luar dari tipu daya mereka. Dialah Abu Hasan Asy’ari yang mereka maksud.

 

Al-Asy’ari tampil di depan publik seraya memperoklamirkan teologi yang ia anut dengan pidatonya, “Sandaran otoritas pendapat kami dan keyakinan keagamaan yang kami anut adalah berpegang teguh kepada Al-Quran, Sunah Rasululh SAW., atsar sahabat, perkataan tabi’in, para pembeIa hadis dan terhadap apa yang dikatakan oleh Ahmad ibn Hanbal, semoga Allah mencerahkan wajahnya, mengangkat derajatnya dan melipat gandakan pahalanya. Barang siapa menyalahi perkataannya, ia berarti jauh dari agama yang benar karena Ahmad ibn Hanbal adalah seorang imam yang paripurna. Melalui dirinya, Allah menampakkan kebenaran di atas kebatilan”. Penegasan lebih lanjut mengenai masalah yang sama dapat kita temukan dalam buku karyanya, Maqalat Al-Islamiyyin, yaitu buku yang ada di tangan pembaca. Setelah ia membahas tentang ahli sunah dan hadis, ia menulis, “Dengan ilmu dari yang pernah disebutkan itulah, kami berkata dan bermadzhab. Tak ada yang memberikan pertolongan kecuali Allah. Cukuplah Ia sebaik-baik penghisab dan sebaik-baik wakil kami; kepada-Nya kami memohon pertolongan, bertawakal dan kembali.”

 

Sebenarnya, Ahlu hadtis pada mulanya tidak mengakui dan menerima usaha Asy’arn untuk momadukan madzhab Ahlusunnah dengan madzhab rasionalis, baik karena alasan prasangka (presudie) bahwa sisa-sisa faham i’tizali belum sirna dalam jiwa Asy’ari maupun penolakan mereka terhadap metode berpikir kalami yang pada gilirannya melahirkan keengganan mereka untuk menggunakan idiom-idiom dan jargon-jargon yang digunakan oleh para teolog (r7utakallimin). Bukti penolakan Ahlul Hadis dapat kita temukan dalam tulisan Ibnu Al-Jauzi, “Asy’‘ari itu hidup dalam faham Mu‘tazilah dalam rentang waktu yang cukup panjang, lalu ia menawarkan faham baru terhadap masyarakat”. Akan tetapi, pada kurun berikutnya, banyak juga yang mencrima paham Asy’‘ari ini dan mereka meyakini bahwa apa yang dilakukan olehnya berdasarkan motif yang baik. Hal itu dapat kita buktikan dart komentar Ibnu Taimtiyyah, dalam buku Muwafaqat Shahih Al-Manqul li As-Sharth Al-Ma ‘qul; Ia berkata, “Ketika Al-Asy’ari melakukan konversi dari madzhab Mu ‘‘tazilah, ia menempuh cara Ibnu Kullab, yaitu membeIa sunah dan hadis serta menyandarkan pendapat-pendapatnya kepada Imam Ahmad ibn Hanbal sebagaimana dikemukakannya sendiri dalam seluruh buku karangannya, seperti dalam Al-lbanah, Al-Mujaz, Al-Maqalat, dan lain-lain. Ia bergaul dengan para pembeIa sunnah dan hadis sebagaimana halnya ia bergaul dengan para teolog (mutakallimin), seperti Ibnu Aqil, seorang ulama mutakhir penganut madzhab Hanbali. Akan tetapi, Asy’ari dan iman-imam sahabatnya mengikuti madzhab Hanbali melalui imam-imam ahli sunah dan hadis, seperti dari Ibnu Aqil dan murid-muridnya, di antaranya Abu Al-Faraj Al~Jauzi. Adanun para pendahulu pengikut Ahmad bin Hanbal, seperti Abu Bakar Abdul Aziz dan Abu Hasan At-Taimiy, dalam karya-karyanya, mereka secara keseluruhan mengungkapkan dalil-dalil yang hanya bersesuaian dengan sunah. Mereka menganggap apa yang, dikatakan oleh Asy‘ari merupakan penentangan seorang iktizali. Lebih lanjut, Ibnu Taimiyyah juga mengungkapkan sebab-sebab berpalingnya sebagian Ahli hadis dari faham Al-Asy’ari. Tentang hal itu, ia mengatakan, “Adapun dalam hal masalah iktiyariah (kebebasan memilih – Free will) maka Ibnu Kullab dan Asy‘ari serta orang-orang yang sependapat dengannya, menafikannya dan ia juga membangun pendapat yang berbeda. dalam menyikapi masalah Al-Quran. Oleh sebab itulah, mereka menjadi bahan perbincangan masyarakat karena bertentangan dengan apa yang mereka dapatkan dalam bukubuku yang mereka pelajari karya ulama pendahulunya”. Tidak hanya sampai di situ, Al-Asy’ari juga dituduh melakukan bid’ah dan masih adanya sisa-sisa kemu’tazilahnnya dan pendapat ini sangat tersebar luas di antara pengikutpengikut madzhab Hanbal sebagaimana dalam madzhab-madzhab lainnya.

 

Jika demikian persealannya, maka perbedaan antara Asy’ari dengan Imam Ahmad bin Hanbal sebagai madzhab anutannya, sebenarnya bukan hanya dilakukan olehnya saIa karena hampir keseluruhan pengikut imam ini mempunyar perbedaan pendapat dengan tokoh pendiri madzhabnya, di antaranya Qadh Abu Ya‘Ia dan pengikut-pengikutnya; Ibnu Aqil, Abu Hasan Azzaguni, dan lainnya. Oleh karena itu, perbedaan pendapat antara Asy’ari bukaniah merupakan bid’ah dan bukan puIa karena adanya sisa-sisa pengaruh i’tizali dalam dirinya. Hal itu semata-mata terdorong oleh keciniaannya yang tulus dan jujur untuk memadukan penganut rasionalis dan penganut Sunnah.

 

Inilah yang menjadi anggapan kita sebelumnya dan juga Orang-orang sebelum kita bahwa setelah terjadinya malapetaka besar yang menimpa umat Islam, dalam suasana yang tenang, mereka dapat mempelajari setiap perbedaan yang terjadi pada mereka. Akan tetapi, malangnya, sejarah tidak mengisahkan harapan ini, yaitu ketika madzhab Asy’ari muncul dan juga sesudahnya karena madzhab ini hampir tidak pernah menyebarkan pendapat-pendapatnya akibat banyaknya penindasan dan represi yang dialaminya. Pengikut madzhab Hanbali membuat peraturan untuk melarang Khatib Al-Baghdadi (w. 463 H.) memasuki untuk mesjid Jami’ Baghdad hanya karena ia merupakan pengikut madzhab Asy’ari. Yang dialami oleh tokoh terkemuka pada zaman tersebut adalah penindasan dan pencereaan. Seorang pejabat pemeriniahan mendatangi seorang tokoh Asy’ariyah, yaitu Al-Qusyairi (w. 514 H.) yang menyebabkan pertarungan fisik di jalanan dan memaksa Al-Qusyairi untuk meninggalkan Baghdad. Peristiwa inilah yang dijadikan oleh seorang sejarawan muslim, ibnu Asakir sebagai permulaan sejarah perpecahan antara pengikut Asy‘ariyah, dengan pengikut Hanaballah. Kejadian lainnya, seorang pemimpin tertinggi Madzhab Hanbali, pada akhir abad keempat hijriah, mencereca Abu Hasan Al-Asy’ari dan menjauhkan diri dari pengikut-pengikutnya. Di sisi lain, pengikut madzhab Karamiah meneror pengikut Asy‘ariyah dan menyerangnya dengan sengit. Mereka juga melaporkan dan mengadukan permasalahan ini kepada RaIa Mahmud bin Sabaktakin dengan tuduhan bahwa pengikut Asy‘ariyah meyakini Nabi Muhammad SAW. bukan Nabi untuk hari ini dan risalahnya tidak berlaku lagi setelah kematiannya, padahal semua ini sama sekali bukanlah merupakan keyakinan Asy’ariyah. ‘”

 

VIII

 

Apapun yang terjadi terhadap Madzhab Asy‘ariyah, Allah SWT. telah menghendakinya untuk tersebarnya di antara umat walaupun dengan penyebaran yang sangat lambat. Di Timur, penyebaran madzhab ini dilakukan oleh madzhab Abu Manshur Al-Maturidi yang faham teologinya memiliki banyak kesamaan dengan madzhab Asy‘ariyah. Pada awal abad ke-5 Hiyriah, pemeriniah mempunyar kebyaksanaan baru yang resmi untuk menyelesaikan masalah pertentangan sektarianisme Pada tahun 408 H. (1017 M.), Khalifah Al-Qadir menerbitkan sebuah buku yang menentang Mu‘tazillah, juga berisi tentang pelarangan memperbincangkan, mempelajari, dan mendiskusikan madzhab ini dan aliran-aliran teologi sesat lainnya. Ia juga memperingatkan kepada masyarakat jika mereka menentang dan menyalaht periniahnya, mereka akan mendapat siksaan dan hukuman. Kebiyaksanaan yang diambil oleh Khalifah Al-Qadir ini juga dilakukan oleh Sultan Mahmud di Ghaznah. Tidak hanya itu, ia pun tidak segan-segan memerangi, membuang, dan memenjarakan orang yang tidak mematuhi periniahnya dan mengecamnya di atas mimbar. Di Bagdad, pada tahun 433 H. (1041 M.), terbit buku yang berjudul Al-i’tiqad AlQadiriy yang dibaca di parlemen dan dewan, dikomentari oleh para ulama dan dipromosikan bahwa isinya merupakan keyakinan seluruh masyarakat muslim. Maka barang siapa menyalahinya, ia dihukumi fasik dan kafir. Dan bisa jadi semua ini merupakan akhir dari semua yang belum dipahami. Tindakan yang dilakukan oleh Khalifah Al-Qadir ini merupakah akhir penyelesaian tindakan Al-Makmum sebelumnya. Dalam surat edaran resmi dikemukakan, “Allah Yang Maha Berkuasa dengan kekuasaan-Nya, Yang Maha Mengetahui dengan Ilmu Azali dan bukan kasabi, Mengetahui dengan pendengaran-Nya dan melihat dengan Penglihatan-Nya, sifat-Nya dapat diketahui dari Diri-Nya, tak seorang pun dari makhluk-Nya yang mengetahui keadaan Hakikat-Nya. Ia Dzat yang berbicara dengan kalam-Nya, bukan dengan alat yang tereipta sebagaimana yang terjadi pada Makhluk-Nya; Ia tidak disifati, kecuali dengan apa yang Ia berikan bagi diri-Nya atau yang diberikan oleh diri-Nya atau oleh Nabi-Nya adalah sifat Hakiki, bukan Majazi. Kalam Allah bukanlah makhluk (tereipta). ia berbicara dengan Kalam-Nya. Ia mewahyukannya kepada Rasul-Nya dengan perantaraan Jibril a.s. sesuai dengan yang ia terima dari-Nya. Nabi Muhammad SAW. membacakannya kepada sahabat-sahabatnya, kemudian sahabatsahabatnya menyampaikan semua itu kepada umat. Walaupun ada peran serta bacaan makhluk, hal itu, tidak menjadikan Kalam-Nya sebagai makhluk, karena apa yang dibaca oleh makhluk itu esensinya merupakan kalam-Nya yang bukan makhluk dan hal apa pun, baik dibaca, dihapal, ditulis dan atau didengar. Baratig siapa yang mengatakan bahwa Kalam-Nya adalah makhluk dengan alasan apapun, maka ia kafir dan darahnya menjadi halal jika tidak mau bertobat.

 

XI

 

Efek dari skisme dan ikhtilaf yang telah kita sebutkan terdahulu ketika diperinci dan dipertimbangkan, pengembalian masalah kepada pokok permasalahannya dan penjelasan terjadinya pengotakkan masyarakat, adalah terpecahnya masyarakat menjadi berbagai aliran teologis. Jika kita telusuri periode ini, maka akan kita temukan karya-karya mereka dalam tiga corak:

 

Pertama, Mengungkapkan satu aliran teolog: yang bertentangan dengan madzhab anutan pengarangnya, mengunggulkan pendapat kelompoknya dan melemahkan pendapat lainnya, serta penggunaan dalil aqli, naqli atau keduanya sekaligus untuk melemahkan lawannya. Sejarah telah banyak mencatat bukupuku jenis ini. Untuk melihat secara terinci, Anda dapat merujuk pada karya Ibnu An-Nadim Al-Fihrits, tentang biografi para teolog yang termasuk tipe ini sekaligus karya-karya mereka yang berisi bantahan terhadap orang yang berbeda faham dengannya. Kedua, mengungkapkan seluruh aliran yang lahir dalam agama Islam dengan disertai penyebutan tokoh-tokoh terkemuka setiap alirannya dan penjelasan mengenai ciri khas yang membedakan suatu aliran dengan lainnya. Serta tidak terlewatkan puIa mengungkapkan perpecahan iniernal dalam suatu aliran. Sejarah telah memelihara buku-buku karangan dalam jenis ini dengan baik dan kita akan membahasnya nanti. Insya Allah. Ketiga, mengungkapkan aliran-aliran di luar agama Islam, seperti aliran dalam filsafat Yunani, Hindu, penyembah berhaIa (paganisme) dan lain-lain, Akan tetapi, kadangkaIa juga seorang pengarang menulis dengan menggabungkan tipe kedua dan ketiga dalam sebuah tulisannya.

 

Adapun buku dalam jenis kedua, buku yang ada di hadapan pembaca kali ini, yaitu Magalat Al-Islamiyyin wa Al-Ikhtilaf Al-Mushallin, karya Abu Hasan Al-Asy’ari (w. 330 H.), seorang tokoh Ahlusunmnah wal Jama’ah, kemudian buku catatan perjalanan seorang sejarawan Islam, Abu Al-Hasan bin Al-Husein Ali Al-Mas’udi (w. 347 H.) yang ia beri judul Muruj Ad-Dzahab wa Ma’‘adin Al-Jauhar. Dalam buku ini, pengarangnya berulang kali menceritakan Asy’ari dan kadang-kadang mengutipnya walaupun secara sekilas, Contoh terakhir tipe ini adalah buku Al-Farg Bain Al-Firag, karya Abu Manshur Abdul Qahir ibn Thahir Al-Baghdadi (w. 429 H.)

 

Kita juga telah mendengar bahwa jenis buku tipe ketiga dapat disebut Magalat Ghair Al-Islamiyyin, karya Al-Asy’ari juga. Syeikh Islam (pemimpin tertinggi Islam), Ibnu Taimiyyah, menyinggung adanya kitab ini dalam bukunya Muwafagat Sharih Al-Manqul Li Shahih Al-Ma‘qul ketika membahas persealan skisme dan pengotak beberapa sekte dan sebenamya mereka yang paling banyak perpecahannya di antara madzhab dalam Islam, Yahudi dan Nasrani. Ia menulis, “Hal ini didukung fakta yang diungkapkan oleh para pemikir sekte dalam aliran matematika dan fisika sebagaimana banyak dikutip oleh Al-Asy’ari dalam bukunya Magalat Al-Islamiyyin ‘. Kita juga dapat menyebut buku lainnya, yakni Tahqiq ma Lilhind min Maqulil, Maqbulat fi Al-Aql aw Mardzulat, karya Abu Raihan Al-Biruni (w. 440 H.).

 

Adapun orang yang mengabungkan tipe kedua dan ketiga dalam sebuah buku, di antaranya adalah Al-Asy’ari, yang dinamainya Jamal Al-Maqalat, kemudian karya Al-Mas’udi (w. 347 H.). Ia menulis buku lainnya yang berjudul Al-Adawalat fi Ushul Ad-Diyanat. Selanjutnya adalah yang isinya banyak dikemukakan dalam Mfurny Ad2z-Dzahab, Al-Baghdadi (w. 429 H.) yang menulis buku Al-Adilal wa An-Nihal, Al-lafidz Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Hazm Ad-Dahiri (w. 456 H.) menulis buku Al-Idshal fi Al-Milal wa An-Nihal, Abu Al-Fatah Muhammad bin Abdul Karim Asy-Syihristani (w. 548 H.) pengarang buku Al-Milal wa An-Nihal dan juga pengarang buku-buku dalam bidang teologi dan yang paling masyhur dibidang ini adalah buku Nihayah Al-Agdam I‘Timi Al-Kalam.

 

X

 

Tidak dapat kita ragukan bahwa buku Magalat Al-Islamiyyin wa AIIktilaf Al-Mushallin yang kita terjemahkan menjadi Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Theologi Islam ini merupakan salah satu tokoh pendiri madzhab Ahlusunnah wal Jama‘ah, Abu Hasan Ali bin Isma’il Al-Asy’ari. Buku ini merupakan salah satu dari tiga buku lainnya dalam tema Al-Maqalat. Buku lainnya adalah Maqgalat Ghair Al-Islamiyyin sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Tauniyyah dan Jumal Al-Magalat yang, di dalamnya membahas tentang aliran-aliran sempalan dan seluruh pendapat penganut ajaran tauhid sebagaimana diisyaratkan dalam pembahasan terdahulu.

 

Sudah menjadi niat kami semuIa untuk menukilkan kutipan Ibnu Taimiyyah berkenaan dengan buku ini dalam dua bukunya, yaitu Minhaj AsSunah Al-Muhammadiyah dan Muwafagat As-Sharih Al-Manqul li Ash-Sharih Al-Ma‘qui dan kutipan muridnya, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam beberapa buku karyanya, yaitu Hadiy Al-Alwah, Ijtima’ Al-Juyus Al-Islamiyyah AIa Ghazwi Al-Mu‘athalah wa Al-Jahamiyyah dan buku Ar-Ruuh serta kutipan yang dilakukan oleh selain kedua tokoh ini. Selanjutnya, kami juga berniat untuk menunjukkan letak kutipan tersebut dalam buku Asy’ari ini. Dengan harapan dapat dijadikan sebagai bukti dan argumentasi kelayakan buku ini sebagai tulisan Asy’ari. Akan tetapi, niat tersebut kami hindari dengan pertimbangan untuk menghindari pembahasan yang bertele-tele. Cukuplah sebagai penggantinya dengan menyebutkan bahwa Abu Hasan Al-Asy’ari sendiri telah menyebutkan nama-nama buku karangannya sampai tahun 320. Sebagaimana dikutipkan oleh seorang sejarawan Islam, Al-Hafidz Abu Qasim Ali bin Al-Hasan bin Hibatullah yang lebih dikenal dengan Ibnu Asakir (w. 571 H.) yang merupakan bukti terbaik dan berharga ketimbang bukti-bukti lainnya, “Aku telah menulis sebuah kitab tentang aliran-aliran teologi Islam yang mengungkapkan skisme dan aliran-alirannya. Aku juga telah menulis sebuah buku yang berkenaan dengan aliran-aliran sempalan dan pendapatpendapat penganut ajaran tauhid yang aku namakan Jumah Al-Magalat.

 

Inilah sebabnya mengapa kita mengharapkan agar buku ini diterima di sisi para pecinia dan penggali ilmu, memenuhi kebutuhan umat dalam mewarisi atsar, dan menjadi motivasi untuk mengambil kebaikan-kebaikan dan pelajaran darinya. Akhirnya, segaIa puji bagi Allah, penolong yang selalu mengabulkan harapan. Tidak ada penolong selain-Nya dan tidak ada tempat menggantungkan harapan selain kepada-Nya.

 

Pentahkik

 

Muhammad Muhyi Ad-Din Abdul Hamid

 

SEKAPUR SIRIH

 

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segenap puji hanya bagi Allah yang mempunyai kemuliaan, keutamaan, kemurahan, dan kedermawanan. Dengan ini, aku memanjatkan puji syukur ke hadirat-Nya, baik yang tertentu atau tidak, dan meminiakan tolong (hanya) kepadanya untuk senantiasa me laksanakan segenap periniahnya. Sungguh kiranya Dia pun senantiasa melimpahkan shalawat kepada rasul-Nya yang terakhir.

 

Ketahuilah, bagi orang yang ingin mengetahui seluk-beluk agama Islam atau pun perbedaan faham di antaranya mengetahut aliran-aliran dan ajaranajaran dari agama (Islam) tersebut.

 

Aku tahu bahwa cukup banyak orang membicarakan agama (Islam) ini dengan mengemukakan ajaran-ajaran-Nya, mengklasifikasikannya macammacam madzhab ataupun alirannya. Akan tetapi di antara mereka, masih juga terdapat orang-orang yang membicarakannya secara sempit dan sepihak. Bahkan, di antara mereka ada yang berani menyalahkan dan menistakan orang yang berbeda anggapan dengannya; dan ada puIa yang membicarakannya dengan penuh kebohongan dan tidak lagi objektif, sehingga (hanya) mempertajam adanya perselisihan di antara aliran-aliran dan ajaran-ajaran yang berbeda itu. Maka dalam usaha mendalami dan menghayati agamanya, caracara tersebut sebanarnya bukan merupakan cara bagi orang-orang beragama, bukan puIa merupakan cara bagi orang-orang arif dan luas pikirannya.

 

Sungguh, hal itulah yang menggerakkan diriku untuk mengemukakan pembahasan ini tanpa menggunakan cara-cara seperti mereka. Di samping itu, Insya Allah, aku pun akan berusaha menjelaskan ajaran-ajaran Islam tersebut secara ringkas dan jelas.

 

Akhinya, dengan pertolongan dan kekuasaan Allah, aku mulai menjelaskan semua ini.

 

Abul Hasan ‘Ali ibn Ismail Al-Asy‘ari

 

Prinsip-prinsip Dasar Aliran Theologi Islam

Buku 301

 

PERSEALAN AKTUAL THEOLOGI ISLAM

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat dalam mendefinisikan Al-Jism (sesuatu yang panjang, luas, dan dalam). Berkenaan dengan hal ini, ada 12 pendapat “, yaitu:

 

  1. Al-Jism adalah sesuatu yang mengandung Al-A’radh (hal-hal yang bersifat temporal). seperti gerak, diam, dan sebagainya. Oleh karena itu, tidak ada Al-Jism, kecuali ia mengandung Al-A’radh, dan tidak ada sesuatu yang memiliki kandungan tersebut yang dapat dimasuki oleh Al-A’radh, kecuali Al-Jism.

 

Mereka berkeyakinan bahwa suatu juz’u (bagian) yang utuh atau yang tidak dapat dibagi-bagi merupakan Al-Jism yang mengandung Al-A’radh. Demikian puIa halnya dengan definisi Al-Makna, ia mengandung Al-A’radh. Ini adalah pendapat Abu Al-Husain Ash-Shalihi. Mereka yang berpendapat seperti ini berkeyakinan bahwa Al-Juz’u (bagian) miengandung berbagai jenis Al-A’radh meskipun kesatuan berbagai jenis Al-A’radh tersebut belum memiliki nama sebelum ada kesatuan yang lain. Akan tetapi, salah satu dari kedua kesatuan tersebut terkadang dapat disebut juz’un, bukan kesatuan (ta’lif) sebagaimana pengertian secara bahasa. Dikatakan demikian karena ahli bahasa tidak memperkenankan untuk mencakupkan atau memasukan sesuatu yang tidak ada. Sebab, sesuatu itu dinamakan pencakupan atau pemasukan apabiIa ada penyatuan satu pemasukkan yang lain ke dalamnya. ApabiIa tidak demikian, maka hendaknya Allah sewaktu-waktu harus mampu untuk mengadakannya di dalam Al-Juz’u tersebut, meskipun sesuatu yang lain itu tidak ada bersamanya, apabiIa benar dia ada dengan sendirinya, bukan karena ada yang lain. Mereka mengumpamakan hal init bagaikan orang yang menggerakkan gigi-piginya ApabiIa di dalam mulutnya terdapat sesuatu, maka gerakannya tersebut dinamakan mengunyah, Dan apabiIa di dalam mulutnya itu tidak terdapat, maka gerakannya itu tidak disebut mengunyah.

 

Dinamakan Al-Jism karena ia merupakan kesatuan dan kumpulan. Mereka berpendapat bahwa Al-Juz’u (suatu bagian) yang utuh dan tidak dapat dibagi-bagi, apabiIa me nyatu dengan bagian lain yang utuh pula, maka masing-masing kedua bagian tersebut ketika menyatu disebut Al-Jism. Sebab, salah satu dari kedua bagian tersebut dipersatukan dengan bagian yang lain. ApbiIa keduanya berpisah, maka kedua bagian atau salah satunya tidak dapat dikatakan Al-Jism. Inilah pendapat sebagian penduduk Bagdad, dan saya kira termasuk di dalamnya Isa Ash-Shufi.

 

Al-Jism adalah suatu yang paling sedikit terdiri atas dua bagian. Mereka yang berpendapat seperti ini mengatakan bahwa apabiIa terdapat dua bagian yang bersatu, maka salah satunya tidak dapat disebut Al-Jism. Sebab, Al-Jism harus terdiri atas keduanya, dan suatu susunan tidak mungkin hanya terdiri atas satu bagian saIa yang mengandung unsur warna, rasa, bau, dan berbagai Al-A’radh. Ini adalah pendapat Al-Iskafi.

 

Mereka yang berpendapat seperti ini mengatakan bahwa pendapat yang mengatakan, “Boleh ada unsur atau bagian yang ketiga untuk digabungkan dengan kedua bagian tersebut”, adalah salah dan mustahil. Sebab, masing-masing kedua bagian tersebut tidak mungkin dapat memberikan kesempatan kepada yang lain. ApabiIa kedua bagian tersebut tidak memberikan kesempatan kepada yang lain, maka hal ini berarti tidak ada tempat bagi yang lain. Sebab, apabiIa kedua Juz’un (bagian) itu tempatnya satu, maka berarti sesuatu itu dapat memuat melebihi dari kapasitasnya. ApabiIa hal ini dapat terjadi, maka dunia dapat masuk ke dalam genggaman tangan. Oleh karena itu, tidak ada sesuatu yang dapat memuat melebihi kapasitasnya. Ini adalah pendapat Abu Basyar Shalihi dan orang-orang yang sependapat dengannya.

 

Abu Al-Khuzail berpendapat bahwa Al-Jism adalah sesuatu yang memiliki (arah) kanan, kiri, punggung, perut, atas, dan bawah. Al-Jisim ini paling sedikit terdiri atas enam bagian, yaitu kanan, kiri, punggung, perut, atas, dan bawah. Masing-masing dari satu Juz’un (bagian) yang utuh memuat enam macam yang serupa. Dia dapat bergerak dan diam, serta menyatu dengan yang lain, Dia boleh atau dapat diam dan menyatu, dan tidak mengandung warna, rasa, bau, Al-A’radh apa pun, berbeda dengan yang telah kita sebutkan, kecuali bersatunya cnam bagian ini, ApabiIa enam bagian ini bersatu, kesatuan itu disebut Al-Jisa Dalam keadaan seperti ini pun mengandung apa yang telah kita diskripsikan,

 

  1. Sebagian ulama Mutakallimin berpendapat bahwa dua Juz ‘un (bagian) yang utuh dapat dipersatukan atau digabungkan. Dengan kata lain, satu kesatuan atau gabungan dapat menduduki dua tempat. Ini adalah pendapat Al-Jubba’t.

 

  1. Mu’amunar berpendapat bahwa Al-Jism adalah (sesuatu yang) panjang, lebar, dan dalam. Komponen yang harus terdapat pada Al-Jism paling sedikit adalah delapan bagian. ApabiIa bagian-bagian tersebut berkumpul atau bergabung, Al-A’radh pun wajib ada. Hal tersebut bisa terjadi karena adanya hukum alam ijab Ath-Thabi’i, dan adanya ketetapan yang menyatakan bahwa setiap Juz’un (bagian) dapat menghasilkan suatu a’radh. Mu’ammar berpendapat bahwa apabiIa satu Juz’un (bagian) digabungkan dengan bagian yang lain, maka panjang pun terjadi. Menurutnya, luas pun dapat terjadi melalui penggabungan dua bagian lain dengan dua bagian yang merupakan hasil dari gabungan yang terdapat pada panjang tadi. Begitu puIa dengan kedalaman, ia dapat terjadi melalui penyesuaian empat bagian dengan empat bagian yang lain sehingga jumlah delapan bagian tersebut menjadi Al-Jism yang berupa lebar, panjang, dan dalam. ‘

 

  1. Hisyam bin Amru Al-Fuwathi mengatakan bahwa Al-Jism mengandung tiga puluh enam bagian yang tidak dapat dipisah-pisahkan satu dan lainnya. Ketiga puluh enam bagian ini dibuat menjadi enam rukun dan masing-masing rukun tersebut terdiri atas enam bagian. Apa yang dikatakan Al-Juz’u (bagian) oleh Abu Khudzail, maka oleh Hisyam dijadikan sebagai rukun. Dia berpendapat bahwa. juz ’un-juz’un tersebut tidak dapat memuat unsur-unsur lain karena hanya rukun-lah yang dapat memiliki muatan atau unsur lain. Dan masing-masing rukun yang memiliki enam bagian (juz’un) tersebut bukanlah juz ’un yang enam yang terperinci itu. Karakteristik seperti itu hanyalah dimiliki oleh rukun. Dengan demikian, Al-Jism mencakup atau memuat semua Al-A’radh yang berupa warna, rasa, bau, kekerasan, kelembutan, dingin, dan sebagainya.

 

  1. Pendapat lain mengatakan bahwa Al-Jism yang, dikemukakan oleh ahlu lughah sebagai sesuatu yang mempunyai panjang, lebar, dan dalam, tidak diberikan batas jumlah Juz’u-nya, meskipun masing-masing Juz‘un yang terkandung dalam Al-Jism tersebut memibki jumlah tertentu.

 

  1. Hisyam bin Hakam mengatakan bahwa arti Al-Jisim adalah ada (maujud) Menurutnya, ada (maujud) tersebut adalah suatu (sya’i) yang berdiri sendiri.

 

  1. An-Nazhzham mengatakan bahwa Al-Jism adalah (sesuatu) yang mempunyai panjang, lebar, dan dalam. Masing-masing bagiannya tidak memiliki jumlah tertentu yang dapat diketahui. Dia bukan setengah, tetapi ia memiliki setengah. Dia bukan Juz’un, tetapi ia memuliki Juz ‘un. Abhi filsafat menjadikan ukuran luas atau lebar dan dalam sebagai batasan Al-Jisi.

 

  1. ‘Abbad bin Sulaiman mengatakan bahwa Al-Jism merupakan sesuatu yang melekat pada jauhar (sesuatu yang berdiri sendiri dan merupakan kebalikan atau lawan dari Al-A’radhi. ApabiIa terlepas darinya, ia bukan termasuk bagian dari Al-Jism, bahkan ia bukan Al-Jism. Dia mengatakan bahwa Al-Jism adalah tempat (Ai-Makan). Dia berargumentasi dengan keberadaan Allah Ta’ala, bahwa Dia bukan Al-Jism. ApabiIa Dia adalah Al-Jism, Dia adalah tempat. ‘Abbad juga berargumentasi bahwa seandainya Dia itu Al-Jism, maka Dia memiliki ukuran setengah.

 

  1. Dhirar bin Amru berpendapat bahwa Al-Jism adalah Al-A’radh yang – tersusun dan terkumpul, kemudian menetap sehingga menjadi Al-Jism yang mengandung Al-A’radh ketika terjadi perubahan dari suatu kondisi ke kondisi yang lain. Al-Jism tidak dapat melepaskan diri dari Al-A’radh yang telah tersusun dan terkumpul tersebut atau dari lawannya, seperti hidup dan mati. Selain itu, Al-jism tidak mungkin dapat melepaskan diri dari salah satunya; atau memisahkan diri dari salah satu jenis warna dan rasa. Demikian puIa dari timbangan atau ukuran, seperti berat dan ringan, keras dan lembut, panas dan dingin, serta basah dan kering, sebagaimana halnya juga dari tempat sandaran.

 

ApabiIa sesuatu itu dapat dipisahkan dari salah satu Al-A’radh atau lawannya, maka menurutnya ia bukan termasuk bagian dari Aljism, seperti kemampuan, rasa sakit, pengetahuan, dan ketidaktahuan. Menurut Dhirar, Al-A’radh ini tidak dapat berkumpul dan berakumulasi menjadi beberapa jasad (bentuk) setelah keberadaannya yang pertama, dan tidak mungkin dilakukan penyatuannya, kecuali pada tahap penyatuan yang pertama. Sebab Al-A’radh yang telah terkumpul dan tersusun tidak akan keluar menjadi sebuah eksistensi, kecuali keluarnya itu bersama-sama atau secara keseluruhan. Mecnurutnya, Al-A’radh tersebut bisa saIa keluar dan berakumulasi secara keseluruhan untuk membuat sebuah eksistensi, tetapi keluarnya tidak secara terpisah-pisah untuk membentul sebuah eksistensi yang lain, sedangkan eksistensi yang pertama masih diakut keberadaannya. Seandainya Al-A‘radh itu keluar secara terpisah-pisah dan membentuk sebuah cksistensi di atas cksistensi, maka warna itu bisa ada tanpa harus ada yang diwarnainya,; kehidupan itu ada, tanpa harus ada yang hidup atau yang dihidupkan. ApabiIa ditanyakan kepadanya, “Bukankah pemisahan itu bisa terjadi berdasarkan analogi?” Dia sesekali akan menjawab, “Ya, tetapi, keterpisahannya itu adalah ketiadaannya”. Dan sesekali ia akan menjawab, “Keterpisahan itu bisa terjadi pada dua Jism. Adapun keterpisahan yang parsial dari Jism beserta eksistensi yang lain, hal tersebut adalah mustahil.

 

Menurut Dhirar, sebagian Jism terkadang bisa sirna atau raib, padahal sebenarnya ia tetap ada, yakni dengan menempatkan kebalikannya. ApabiIa keduanya tidak bertentangan, maka ia akan sirna beserta sebagiannya. Menurutnya berdasarkan teori ini, bagian yang sirna itu tidak boleh dalam jumlah yang lebih banyak atau setengahnya. Aturan ini berlaku bagi mayoritas. ApabiIa mayoritas ini ada, identitas Al-Jism itu masih ada. ApabiIa mayoritas ini hilang, identitasnya pun hilang.

 

Dia juga berpendapat bahwa Allah bisa saIa menghilangkan sebagian Al-Jism ini, kemudian membuat lawannya, dan Al-Jism itu bergerak sehingga bagian yang dibuat itu pun menjadi bergerak. Demikian puIa dalam kondisi diam.

 

Menurutnya, tidak mungkin terjadi gerakan pada bagian Al-A’radh, kecuali gerakan tersebut terjadi pada Al-Jism yang merupakan kumpulan Al-A’rafh.

 

  1. Sulaiman bin Jarir berpendapat bahwa kemampuan salah satu bagian dari Al-Jism, sebagaimana halnya warna. Dan dia merupakan isi Al-Jism.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat dalam mendefinisikan Al-.Jauhar. Dalam hal ini, ada empat, yaitu: :

 

  1. An-Nashara berpendapat bahwa Al-Jauhar adalah sesuatu yang dapat berdiri sendiri. Dengan demikian, setiap yang dapat berdiri sendiri, disebut Jauhar, dan setiap Jauhar itu dapat berdiri sendiri.

 

  1. Sebagian para pengikut filosef berpendapat bahwa Al-Jauhar adalah sesuatu yang dapat berdiri sendiri dan menerima berbagai hal yang berpasang-pasangan.

 

3, Sebagian Ulama Mutakallimin berpendapat bahwa Jauhar adalah segaIa sesuatu yang eksistensinya mengandung Al-A’radh. Orang yang berpendapat seperti ini mengzatakan bahwa Al-Jauhar itu adalah Al Jauhar dengan sendirinya, dan dia dapat diketahut sebagai Al-Jauhar sebelum keberadaannya Orang yang berpendapat seperti ini adalah Al-Jubba’i

 

  1. Ash-Shalihi mengatakan bahwa Al-Jauhar adalah sesuatu yang mengandung Al-A’radh. ia mengatakan balwa Al-Jauhar bisa eksis tanpa Allah harus menciptakan Al- A‘radh di dalamnya dan tidak harus menjadi tempat Al-A’radh, meskipun ia dapat me ngandung AI-A‘radh.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai Al-Jauhar ini, apakah semua Jauhar itu Jism atau bolehkah sewaktu-waktu keberadaan Jauhar ini tidak berbentuk jism? Dalam hal ini ada tiga pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian ulama Mutakallimin berpendapat bahwa tidak setiap Jauhar itu Jism dan satu Jauhar yang utuh atau yang tidak dapat dipisah-pisahkan tidak mungkin dapat menjadi Jism.Sebab Al-Jism adalah (sesuatu yang mempunyai) panjang, lebar, dan dalam, sedangkan satu Jauhar tidak demikian. Ini adalah pendapat Abu Al-Hudzail dan Mu’ammar. AlJubba’l pun berpendapat demikian.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat bahwa tidak ada AlJauhar, kecuali Al-Jism dan ini adalah pendapat Ash-Shalihi.

 

  1. Dan sebagian lagi berpendapat bahwa Al-Jauhar itu ada dua macam, yaitu Jauhar Murakkabah (tersusun) dan Jauhar Basithah Ghair Murakkabah (sederhana tidak tersusun). ApabiIa Al-Jawahir itu tidak Murakkabah, maka ia bukan Al-Jism dan apabiIa Al-Jawahir itu Murakkabah, maka ia adalah AlJism.

 

‘Ulama Mutakallimin berbeda pendapat berkenaan dengan apakah Jawahir itu satu jenis, dan apakah Jauhar alam ini satu? Dalam hal ini terdapat tujuh pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa Jauhar alam ini adalah satu. Hanya saja, Jawahir ini dapat berpisah-pisah dan menyatu sesuai dengan A’radh yang ada di dalamnya. Namun demikian, perubahannya bersama A’radh bisa menyebabkan hilangnya Jawahir tersebut. Dengan demikian, Jawahir itu adalah satu. Ini adalah pendapat para pengikut Aristoteles.

 

Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa Al-Jawahir itu adalah satu jenis, dan dengan sendirinya ia menjadi Jawahir. Dia berubah dan menetap atau menyatu dengan sendirinya. Ia tidak pernah berubah. Murtakallimin yang berpendpadat seperti ini adalah Al-Juba’i.

 

  1. Secbagian Murakallimin berpendapat bahwa Al-Jauhar itu terdiri atas dua jenis yang berlawanan, yaitu salah satunya adalah cahaya, dan yang lainnya adalah segelapan. Keduanya saling berlawanan. Semua cahaya itu adalah satu jenis dan semua kegelapan juga satu jenis. Mereka yang berpendapat seperti ini adalah kelompok dualisme. Sebagian kelompok ni mengatakan bahwa masing-masing dari kedua jenis ini terdiri atas lima jenis, yaitu hitam, putih, merah, kuning, dan hijau.

 

  1. Sebagian Adutakallimin berpendapat bahwa AlJawahir itu, terdiri atas tiga jenis yang berbeda-beda. Ini adalah pendapat para pengikut Marqun (Marquniyyahy .

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa Al-Jawahir terdiri atas empat jenis yang saling berlawanan, yaitu panas, dingin, basah, dan kering. Me ereka yang berpendapat seperti ini adalah para tokoh ilmu alam (Ashab Ath-Thaba’i).

 

  1. Sebagian Mutakallimin mengatakan bahwa Al-Jawahir terdiri atas lima jenis yang saling berlawanan (berpasangan), yaitu empat jenis yang bersifat alamiah dan satu jenis yang lain adalah ruh.

 

  1. Sebagian Mutakallimin lagi berpendapat bahwa Jawahir adalah jenisjenis yang berpasangan atau berlawanan, di antaranya adalah putih, hitam, kuning, merah, dan hijau; panas dan-dingin; manis dan pahit; bebauan; rasa; basah dan kering; jasmani dan rohani. Sebagai contoh bahwa semua binatang itu satu jenis. Ini adalah pendapat An-Nazhzham.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai Al-Jawahir, sebagai berikut; Apakah aturan yang berlaku bagi keseluruhan Jawahir berlaku juga bagi sebagiannya? Apakah satu Jauhar dapat menduduki atau menempati sesuatu yang dapat diduduki atau ditempati oleh AlJawahir secara keseluruhan? Apakah Jawahir itu bisa eksis tanpa ada A’radh di dalamnya atau hal tersebut tidak mungkin terjadi? .

 

  1. Sebagian Mutakallimin mengatakan bahwa (aturan yang berlaku) bagi keseluruhan A’radh dapat (berlaku juga) bagi satu Jauhar, seperti hidup, kemampuan, pengetahuan, pendengaran, dan penglihatan. Mereka membolehkan penempatan semua itu pada Juz’un yang tidak terpisahpisah apabiIa dalam keadaan menyendiri. Mereka mecmbolehkan penempatan kemampuan atau kekuasaan, pengetahuan, pendengaran, dan penglihatan beserta kematian. Akan tetapi, mereka melarang menempatkan kehidupan beserta kematian dalam satu waktu yang bersamnaan Menurut mereka, keehidupan itu merupakan lawan atau kKebalikan dari kematian, sedangkan kemampuan atau kekuasaan tidak bertentangan dengan kematian. Seandainya kekuasaan itu: merupakan kebalikan atau lawan dari kematian, maka kelemahan merupakan lawan dari kematian. Menurut mereka, sesuatu yang menjadi lawan atau kebalikan dari sesuatu, maka lawannya itu me rupakan kebalikan. Mereka berpendapat bahwa pengetahuan (Al-A ’raclh) bisa eksis beserta kebutaan (Al-Urmyu). Seme ntara itu, mereka melarang keberadaan penghhatan (Al-Bashar) beserta kebutaan sebab penglihatan itu merupakan lawan dari kebutaan. Mereka juga berpendapat bahwa kehidupan (Al-Hayat), bukan lawan dari benda-benda padat (Al-Jamadiyyah). Dan sesungguhnya Allah bisa menciptakan kehidupan beserta benda-benda padat tersebut. Mereka juga memperbolehkan bagi Allah untuk mengosengkan atau meniadakan Al-Jawahir dari Al-A’radh, dan menciptakan Al-Jawahir tanpa ada A’radh di dalamnya. Orang-orang yang berpendapat seperti ini adalah Abu Husain Ash-Shalihi dan para pengikutnya.

 

Abu Al-Husain Ash-Shalihi menyatakan bahwa Allah dapat menyatukan batu yang berat dengan angkasa atau udara, yakni menjadikannya melayang-layang di udara tanpa penyangga dalam jangka waktu yang lama. Dia tidak menciptakan unsur jatuh yang dapat menyjatuhkan batu tersebut atau kebalikannya. Allah juga dapat mempersatukan antara kapas dan api tanpa menimbulkan apa-apa pada keduanya itu. Dia tidak menciptakan unsur bakar sehingga kapas itu terbakar atau sebaliknya. Allah dapat menyatukan antara orang yang mempunyai penglihatan yang sehat dengan orang yang penglihatannya tidak sehat atau buta tanpa menimbulkan penyakit. Dan tidak menciptakan penglihatan atau sebaliknya. Akan tetapi, mereka mengatakan bahwa tidak mungkin bagi Allah untuk menyatukan hal-hal yang berlawanan.

 

Namun demikian, mereka membolehkan bagi Allah untuk meniadakan kekuatan mantuisia, tetapi kehidupan tetap eksis pada dirinya sehingga ia hidup walaupun tanpa kekuatan. Dia juga dapat menghilangkan kehidupannya (nati), tetapi kekuatan dan ilmunya tetap ada sehingga Ia termasuk orang yang pandai dan kuat atau kuasa, walaupun ia telah mati. Mereka juga menyatakan kemungkinan bagi Allah untuk mengangkat unsur berat yang ada pada langit dan bumi tanpa mengurangi bagian-bagiannya sedikitpun sehingga keduanya menjadi lebih ringan daripada bulu ayam. Akan tetapi, mereka juga menyangkal bagi Allah untuk mengadakan A’radh tanpa tempat. Mereka juga menyangkal bagi Allah untuk menghilangkan kekuatan manusia, sementara tindakannya ada sehingga ta menjadi pelaku tanpa kekuatan.

 

  1. Pendapat lam mengatakan bahwa ketetapan yang berlaku bagi beberapa Jism tidak dapat diberlakukan bagi satu Jauhar utuh yang tidak dapat dibagi-bagi. Satu Jauhar tidak boleh bergerak dan tidak puIa diam; tidak boleh menyendiri dan tidak puIa memuat yang lain; tidak boleh menyatu dan tidak puIa memisahkan diri. Ini adalah pendapat Hisyam dan Ibad., Ibad menyangkal adanya kehidupan tanpa kekuatan, dan adanya Jism tanpa ada seluruh 4 ’radh-nya. Dia juga menyangkal adanya tindakan atau perbuatan manusia tanpa ada kekuatan.

 

3, Sebagian Mutakallimin membolehkannya satu Jauhar yang utuh dan tidak terpisahkan dalam keadaan menyendiri untuk bergerak dan diam sebagaimana yang terjadi pada Ajsam. Selain itu, juga membolehkan apa-apa yang dapat ditimbulkan dari gerak dan diam tersebut yang berupa penyatuan dan pemisahan serta berbagai hal yang timbul dari keduanya yang berupa aktivitas adami sebagaimana layaknya keberadaan seorang Bani Adam. Adapun mengenai warna-wami, berbagai rasa, bebauan, -kehidupan, kematian, dan hal-hal lain yang serupa, semua itu tidak dapat ditempatkan pada Jauhar, kecuali Ajsam, sebab ketika Jism bergerak, dalam seluruh bagiannya terdapat satu gerak yang dapat dibagi-bagi ke seluruh bagian-bagian tersebut. Orang-orang yang berpendapat seperti ini menyangkal bagi Allah untuk mengosengkan Al-Jauhar dari AlA’radh. Ini adalah pendapat Abu Hudzail. Ia mengatakan bahwa daya tangkap (Al-Idrak) mengambil tempat di dalam hati, bukan pada mata sebab ia merupakan ilmu sandaran.

 

4, Pendapat lain membolehkan satu Jawhar yang utuh dan tidak terpisahkan untuk bergerak, diam, (memiliki) warna, rasa, dan bau apabiIa ia menyendiri. Akan tetapi, mereka menyangkal penempatan kekuatan, pengetahuan, dan kehidupan di dalam Jauhar tersebut apabiIa ia menyendiri. Namun demikian, mereka membolehkan bagi Allah untuk menciptakan kehidupan tanpa kekuatan di dalamnya. Mereka juga menyangkal kekosengan Jauhar dari A’radh. Pendapat ini dikemukakan oleh Muhammad bin Abdu Al-Wahhab Al-Jubba’i.

 

  1. Seluruh ulama Mutakallimin, kecuali Shalih dan Ash-Shalihi, menyangkal pendapat yang menyatakan bahwa Allah boleh menyatukan antara pengetahuan dan kekuatan, kematian dan benda-benda keras (Al-Jamadiyyat) serta kehidupan dan kekuatan.

 

Adapun penyatuan batu berat dengan udara (mang angkasa) dalam jangka waktu yang lama tanpa menjatuhkannya atau sebaliknya dan penyatuan antara api dan kapas tanpa terjadi kebakaran atau sebaliknya, maka Abu Hudzail, Al-Jubba’i, dan mayoritas ahli kalam membolehkan hal tersebut. Bahkan, Abu Hudzail sangat berlebihan dalam masalah ini, sehingga me embolehkan penyatuan antara aktivitas spontan atau gerak refleks dengan kematian; penyatuan antara daya tangkap (Al-idrak) dengan kebutaan; dan penyatuan antara ketidakmampuan untuk berbicara (Al-Kharas) dengan pembicaraan, Akan tetapi, mereka membolehkan adanya sedikit kemampuan berjalan dalam ketiadaan sebagian anggota badan, sebagaimana halnya mereka membolehkan adanya sedikit kemampuan berbicara atau me nyampaikan ungkapan dalam Al-Kharas. Meskipun mereka tidak me mbolehkan adanya penyatuan anatara pengetahuan dengan kematian, kekuatan dengan kematian, serta daya tangkap dengan kematian.

 

Adapun mengenai penyatuan antara daya tangkap dengan kebutaan, maka sebagian Mutakallimin membolehkan hal tersebut. Di dalam sebuah kisah dinyatakan bahwa Abu Hudzail mengingkari keberadaan kehendak tanpa kekuatan sehingga kelemahan atau ketidakmampuan dapat menyatu dengan kehendak tersebut. Sementara itu, Al-Iskafi mengingkari setiap perbuatan spontan atau gerak refleks (Al-Fi’l Al-Mubasyir) yang terjadi pada manusia tanpa dibarengi dengan kekuatan dan menyatu dengan kelemahan manusia, tetapi ia, membolehkan penyatuan antara gerak produktif (Al-Fi’] AlMutawallid) dengan kelemahan dan kematian; membolehkan penyatuan antara api dan kayu bakar dalam beberapa saat tanpa terjadi kebakaran; menetapkan batu (di angkasa) dalam jangka waktu yang lama tanpa jatuh; mengingkari penyatuan antara daya tangkap dan kebutaan, antara pembicaraan dan ketidakmampuannya (Al-Kharas), antara kemampuan berjalan dan ketiadaan sebagian anggota badan, antara ilmu dan kematian, antara kekuatan dan kematian; dan menyangkal kemungkinan bagi Allah untuk memisahkan kehidupan dari kekuatan sehingga manusia dapat hidup, walaupun tanpa kekuatan.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai apakah ilmu pengetahuan dan daya tangkap dapat menduduki atau menempati kekuatan, dan begitu puIa sebaliknya apakah kekuatan dapat menempati ilmu pengetahuan, atau tidak?

 

  1. Sebagian Mutakallimin, di antaranya Al-Iskafi dan lainnya, membolehkan penempatan atau pendudukan tersebut. Sementara itu, sebagian yang lain tidak membolehkannya. Mereka menyangkal penempatan atau pendudukan tersebut, kecuali biIa kadar atau susunan kekuatan tersebut menjadi berkurang dan berubah dati keadaan semula, Di antara orang yang berpendapat seperti mi adalah Al-Jubba’i.

 

2 Mayoritas ulama Mutakallimin, sebagaimana yang telah kita jelaskan, menyangkal penyatuan antara batu dan ruang angkasa atau udara dalam jangka waktu yang lama tanpa jatuh, Mereka juga menyangkal penyatuan antara api dan kayu bakar dalam beberapa saat tanpa terjadi kebakaran 4) Mereka pun menyangkal keberadaan daya tangkap (Al-Idrak) yang menyatu dengan kebutaan, kemampuan berbicara (Al-Kalam) dengan kebisuan (Al-Kharas), tindakan tanpa kekuatan, ketiadaan sebagian anggota badan dengan perjalanan, dan pengetahuan dengan kematian. Mereka juga me nyangkal kemungkinan terjadinya pemisahan antara kehidupan dari kekuatan sehingga manusia dapat hidup tanpa kekuatan. Ini adalah pendapat sebagian ulama kalam Bagdad, seperti Al-Khayyath, dan lain-lain.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai Al-Jism, apakah ia dapat memisahkan diri dan membatalkan penyatuan yang telah ada di dalamnya sehingga ia menjadi satu Juz’un (bagian) untuk yang tidak terpisahkan atau tidak? Mereka juga berbeda pendapat mengenai sesuatu yang dapat menduduki atau menempati Al-Jism. Dalam hal ini terdapat empat belas pendapat, yaitu:

 

  1. Abu Al-Hudzail berpendapat bahwa Allah dapat memisah-misahkan Al-Jism dan membatalkan penyatuan yang telah ada di dalam Al-Jism tersebut sehingga Ia menjadi bagian utuh yang tidak terpisahkan. Menurutnya, bagian yang tidak terpisahkan tersebut tidak memiliki panjang, lebar, dan dalam; serta tidak ada penyatuan dan pemisahan di dalamnya. Akan tetapi, ia sewaktu-waktu dapat menyatu dengan yang lain atau memisahkan diri darinya. Sebagai contoh adalah biji sawi, ia dapat terbagi menjadi dua bagian, kemudian empat bagian, dan kemudian menjadi delapan sehingga masing-masing bagian tersebut tidak dapat dibagi lagi.

 

Abu Hudzail menyatakan kebolehannya bagi satu bagian yang utuh untuk bergerak, diam, dan menyendiri. Bagian yang utuh tersebut juga dapat memuat enam macam yang serupa dengannya. Ia dapat menyatu dengan yang lain dan dapat puIa memisahkan diri darinya, serta ia juga dapat diptsahkan sehingga dapat dilihat mata dan diketahui atau ditangkap oleh kita. Akan tetapi, ia tidak membolehkan adanya warna, rasa, bau, kehidupan, kekuatan, dan pengetahuan padanya. Menurutnya, unsur-unsur tersebut hanyalah dimiliki oleh Al-jism, dan juga oleh sebagian A’radh, sebagaimana yang telah kita jclaskan.

 

Al-Jubba’i me mbenarkan adanya bagian utuh yang tidak terpisahkan. Bagian utuh tersebut dapat memproduk enam (bagian) lain yang, serupa dengannya. Dia dapat bergerak, diam, memiliki warna, rasa, dan bau, berwujud, dan dapat memuat sesuatu pada saat ia menyendiri. Akan tetapi Al-Jubba’i menyangkal pendudukan atau pencmpatan panjang, kesatuan, kekuatan, dan kehidupan terhadap bagian utuh tersebut ketika ia berada dalam keadaan menyendiri.

 

Abu Hudzail menyangkal pendapat yang mengatakan bahwa Al-Jism itu adalah sesuatu yang panjang, Iebar, dalam, dan tersusun. Jika demikian, menurutnya, maka Al-Jism itu merupakan kumpulan dua hal yang masing-masing keduanya bukan panjang, kemudian ia menjadi satu panjang.

 

  1. Hisyam Al-Fuwathi membenarkan adanya Al-Juz’u atau bagian utuh yang tidak dapat terpisahkan. Namun demikian, ia tidak mengakui keberadaan bagian utuh yang dapat memuat sesuatu, memisahkan diri, dan dapat dilihat, kecuali bagi rukun Al-Jism, hal tersebut dapat terjadi. Menurutnya, rukun tersebut ada enam bagian, dan Al-Jism itu terdiri atas enam rukun. Hal ini telah dipaparkan sebelumnya ketika mendiskripsikan pendapat-pendapat para ulama Mutakallimin mengenai AlJism,

 

  1. Al-Nazhzham telah memaparkan di dalam kitabnya Al-Juz’u tentang orang-orang yang beranggapan bahwa Al-Juz’u atau bagian yang tak terpisahkan itu adalah sesuatu yang tidak memiliki panjang, lebar, dan dalam; tidak memiliki arah; tidak mengambil tempat; tidak diam dan tidak puIa bergerak; serta tidak boleh menyendiri. Ini adalah pendapat Ibad bin Sulaiman. Dia mengatakan bahwa Al-Juz’u atau bagian itu tidak bisa bergerak, dan tidak puIa diam, tidak berwujud dan tidak puIa menyendiri. Ia mengatakan bahwa Al-Juz‘u memiliki setengah, dan setengah itu memiliki setengah pula.

 

  1. An-Nazhzham mengemukakan bahwa orang berkata, “Sesungguhnya Al-Juz’u itu memiliki satu arah, sebagaimana halnya arah sesuatu yang dapat dilihat, yaitu permukaannya ada di hadapan Anda.”

 

  1. An-Nazhzham mengemukakan bahwa orang mengatakan Al-Juz’u itu memiliki enam arah. Di dalamnya terdapat A’radh yang merupakan sesuatu yang lain. Al-Juz’u tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan, berlainan dengan A’radh-nya, Al-Juz itn terkena bilangan. Akan tetapi, ia tidak terpisahkan oleh arah-arabnya, baik arah alas, bawah, kanan, kiri, depan, maupun belakang.

 

  1. An-Nazhzham juga mengemukakan sebagian pendapat yang menyatakan, bahwa Al-Juz ‘u itu dapat berdiri (melakukan sesuatu), tetapi Ia tidak dapat me lakukan sendiri. Paling tidak, ada delapan bagian kesatuan utuh yang dapat membuat Al-Juz’u itu berdiri (melakukan sesuatu). Barang siapa yang menanyakan salah satu dari bagiannya, berarti ia menanyakan masing-masing bagian tersebut. Padahal ia tidak dapat menyendiri, tetapi ia dapat diketahui. Berkenaan dengan ke delapan bagian tadi, sesungguhnya ia memiliki panjang, lebar, dan dalam. Panjang itu terdiri atas dua bagian, yaitu basith yang memiliki panjang dan lebar, dan jihat yang memiliki panjang, lebar, dan kedalaman.

 

  1. Pendapat lain mengatakan bahwa Al-Ajza’u (bentuk jamak dari Juz’un) itu terbagi-bagi hingga akhirnya menjadi dua bagian saja. ApabiIa Anda hendak memenggalnya, maka penggalan tersebut akan menghilangkannya. Dan apabiIa Anda membayangkan salah satunya, maka yang satu itu tidak akan hadir dalam bayangan Anda. Ketika Anda membayangkan keterpisahan antara keduanya, maka ketiadaannyalah yang akan Anda peroleh. Inilah akhir dari apa yang yang dipaparkan oleh An-Nazhzham.

 

  1. Shalih Qubbah juga membenarkan adanya Al-Juz’u yang tidak terpisahkan. Akan tetapi, ia menyangkal keberadaan Al-Juz’u yang dapat memproduk enam atau dua Juz’un yang serupa dengannya. Lebih lanjut lagi ia mengatakan bahwa satu Juz’un itu tidak mungkin dapat memproduk dua Juz‘un yang serupa dengannya. Akan tetapi, ia membolehkan pendudukan semua A’radh terhadap Juz’u tersebut, kecuali susunannya sendiri.

 

  1. Abu Al-Husain Ash-Shalihi membolehkan adanya Al-Juz’u yang tidak dapat dipisah-pisahkan seluruh A‘radh-nya. Hanya saja, kadang-kadang terdapat pengertian dapat yang mendudukinya ketika ma’na tersebut menyatu dengan Jainnya yang menyebabkan ma‘na itu disebut susunan. Akan tetapi, kita tidak menamakannya sebagai susunan seperti apa yang dikatakan oleh ahli bahasa.

 

  1. Dhihar, Hafash Al-Fard, dan Al-Husain An-Najjar beranggapan bahwa Al-Azja’u atau bagian-bagian itu adalah warna, rasa, panas, dingin, keras, dan lembut. Kumpulan semua unsur itu adalah Al-Jism, dan Al-Azja’u (bagian-bagian) itu tidak memiliki pengertian, selain dari unsur-unsur tersebut. Kuantitas yang harus ada dalam Azja’u tersebut adalah sepuluh bagian, dan itu adalah batas minimal Al-Jism. Unsur-unsur tersebut saling berdekatan satu sama lain, tetapi tidak saling tumpah tindih.

 

  1. Mu’ammar berpendapat bahwa manusia merupakan Juz ‘un yang, tidak dapat dipisah-pisabkan. Menurutnya, manusia itu dapat ditempat ilmu pengetahuan, kekuatan, kehidupan, kehendak atau keinginan, dan kebencian atau ketidaksenangan, tetapi ia tidak dapat diduduki atau ditempati oleh pencakupan, pemisahan, gerak, diam, warna, rasa, dan bau.

 

  1. An-Nazhzham berkata, “Tidak ada bagian (Juz’un), kecualit ia memiliki bagian (Juz’un) pula; tidak ada sebagian (Ba’dh), kecuali ia memiliki sebagian (Ba’dh) pula; Tidak ada setengah, kecuali ia memiuliki setengah pula; Dan tidak ada batas akhir dalam masalah pembagian.”

 

  1. Sebagian para pengikut filosef berpendapat bahwa Al-Juz’u itu terbagi-bagi dan pembagiannya itu sebenarnya memiliki batas akhir. Ada pun dalam kekuatan dan kemungkinan, maka pembagiannya tidak memiliki batas akhir.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang ragu, berkata, “Kami tidak mengetahui, apakah Juz’un itu terbagi-bagi atau tidak?”

 

  1. Ulama Mutakallimin yang membenarkan Juz ’un yang tidak terpisahkan mengatakan bahwa Al-Juz’u itu memiliki ukuran panjang di dalam dirinya. Kalau tidak demikian, maka Al-Jism tidak boleh panjang selamanya. Sebab, apabiIa sesuatu yang tidak memiliki panjang dipersatukan dengan sesuatu yang tidak memiliki panjang, maka panjang itu tidak mungkin terjadi selamanya.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai satu Juz’un itu, apakah ia dapat diduduki atau ditempati oleh gerakan, atau tidak? Dan apakah ia dapat ditempati oleh dua warna dan dua kekuatan atau tidak?

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa dua gerakan itu tidak dapat menempati atau menduduki satu Juz’un. Ini adalah pendapat Abu Al-Hudzail dan dia termasuk orang yang paling banyak membenarkan adanya Juz ‘un utuh yang tidak terpisahkan.

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa satu Juz’un itu terkadang dapat ditempati oleh dua gerakan. Hal ini dapat terjadi apabiIa ada dua pendukung yang dapat menolak penempatan kedua gerakan secara bersama-sama terhadap masing-masing Juz’un yang ada pada Juz’un yang satu. Mutakallimin yang berpendapat seperti ini adalah Al-Jubba’i.

 

  1. Abu Hudzail berpendapat bahwa satu gerakan dapat dibagi untuk beberapa pelaku. Dari sini dapat dipahami bahwa satu gerakan yang berlaku atau yang dimiliki oleh beberapa bagian merupakan dua tindakan yang berbeda. Dia betanggapan bahwa Al-A’radh dapat terbagi oleh tempat. waktu, atau beberapa pelaku. Gerakan Al-Jism dapat dibagi berdasarkan jumlah bagian-bagiannya. Begitu puIa warnanya. Dengan demikian, gerakan yang dapat menduduki Juz’un tertentu berbeda dengan gerakan yang menduduki Juz’un yang lain. Gerakan itu dapat terbagi oleh waktu sehingga gerakan yang terdapat di dalam waktu tertentu berbeda dengan gerakan yang terdapat di dalam waktu yang lain. Selain itu, gerakan gerakan itu dapat terbagi oleh beberapa pelaku sehingya tindakan pelaku tertentu berbeda dengan tindakan pelaku yang lain.

 

  1. Al-Jubba’i dan para analis lainnya menyangkal keberadaan satu gerakan yang terbagi-bagi atau terkelompok-kelompok, serta keberadaan gerakan, warma dan kekuatan yang dimiliki oleh salah satu unsur (Al-Asyya). Ia mengatakan bahwa apabiIa Al-Jism bergerak, maka di dalamnya terdapat gerakan yang sesuai dengan jumlah bagian-bagian yang bergerak. Di dalam setiap bagian (Juz’un) terdapat gerakan. Begitu pula, pendapatnya tentang warna dan berbagai A ‘rach.

 

  1. Sebagian ulama Mutakallimin menyangkal keberadaan dua gerakan dan dua panjang yang dapat menempati satu Juz’un. Akan tetapi, mereka membolehkan pendudukan dua warna terhadap satu Juz’un. Di antara ahli Kalam yang berpendapat demikian adalah Al-Isykafi. Dia membolehkan dua warna dan dua kekuatan menduduki satu Juz ‘un yang tidak terpisah-pisahkan. Bahkan, ia membolehkan warna langit seluruhnya untuk menduduki satu Juz’un yang tidak terpisah-pisahkan.

 

  1. Sebagian ahli kalam mengatakan bahwa antara dua warna dan dua kekuatan dapat menduduki satu Juz’un, sesuai dengan muatannya. Adapun warna langit, maka ia tidak dapat memuatnya.

 

  1. Sebagian ahli kalam mengatakan bahwa tidak mungkin ada dua A’radh yang berada pada satu tempat. Akan tetapi, di dalam Al-jism, keduanya dapat berdampingan. Mereka beranggapan bahwa kekuatan dan gerakan merupakan dua A’radh dalam satu tempat.

 

  1. Sebagian ulama Mutakallimin berpendapat bahwa dua gerakan tidak dapat menduduki satu Juz’un yang tidak dapat terpisahkan, dan tidak puIa dapat diduduki oleh dua warna. Demikian puIa halnya dengan seluruh Al-A’radh, Dua A’radh tidak dapat menduduki satu Juz ‘un yang tidak terpisahkan dari satu jenis.

 

  1. Sebagian ulama Mutakallimin mengatakan bahwa dua kekuatan yang berkapasitas satu dapat menduduki satu Juz’un, sedangkan sebagian ulama Mutakallimin lainnya menentang pendapat tersebut.

 

  1. Ibad bin Sulaiman berpendapat bahwa dua rasa sakit dan dua kenikmatan sewaktu-waktu dapat berkumpul di dalam Al-Jism. Demikian puIa halnya dengan dua susunan, pun dapat menduduki Al-Jism, bahkan Iebih dari itu. Dengan demikian, ia dengan salah satu dari kedua susunan tersebut dapat membentuk sebuah susunan tertentu, dan dari yang lainnya pun ia dapat membentuk susunan yang lain pula.

 

  1. Sebagian ulama Mutakallimin menyangkal keberadaan dua A’radh yang dapat menduduki satu Juz ‘un.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai lompatan, yaitu:

 

  1. An-Nazhzham beranggapan bahwa satu Jism bisa berada di suatu tempat kemudian ia berpindah ke tempat yang ketiga tanpa melewati tempat yang kedua dengan melompat.

 

Mereka berargumentasi dengan berbagai hal, di antaranya adalah Ad-Duwwamah (suatu permainan anak seperti gangsing). Bagian atas gangsing tersebut dapat bergerak lebih banyak daripada gerakan bagian bawahnya, dan bagian atas gangsing itu juga menggunakan waktu lebih

 

. banyak daripada bagian bawah dan kutubnya. Ia mengatakan bahwa hal tersebut dapat terjadi. karena bagian atas gangsing dapat memuat berbagai hal yang tidak dicakup oleh selainnya.

 

  1. Mayoritas ahli kalam menyangkal pendapat An-Nazhzham tersebut. Di antaranya adalah Abu Hudzail, dan lain-lain. Mereka menyangkal keberadaan Jism yang berpindah ke suatu tempat tanpa melalui tempat sebelumnya. Mereka mengatakan bahwa hal tersebut adalah mustahil dan tidak benar. Menurut mereka, kadang-kadang sebagian Al-Jism diam, tetapi kebanyakannya bergerak. Seekor kuda, ketika melangkahkan kakinya, ia memiliki jeda-jeda pemberhentian yang tersembunyi (tidak terlihat oleh mata), dan begitu puIa di dalam kecepatan lompatannya, ketika meletakkan kaki dan mengangkatnya terdapat jeda-jeda pemberhentian yang tidak terlihat mata. Oleh karena itu, salah satu dari dua ekor kuda bisa nampak lebih lambat daripada yang lainnya. Begitu puIa bebatuan ketika jatuh, ia memiliki jeda-jeda pemberhentian yang tidak nampak. Oleh karena itu, ketika dilemparkan bersama-sama, ada batu yang lebih lambat jatuhnya daripada batu lainnya yang lebih berat.

 

Mayoritas kelompok analis, di antaranya para Filosuf, dan lain-lain menyangkal keberadaan bebatuan yang memilki jedah-jedah pemberhentian ketika jatuh. Mereka berpendapat bahwa ketika dua batu dilemparkan, batu yang lebih berat Icbih ccpat jatuh. Batu yang lebih ringan memperoleh gangguan lebih banyak daripada batu yang lebih perat sehingga batu yang Iebih ringan itu bergerak ke kanan dan ke kiri, ke depan dan ke belakang. Sementara itu, batu yang Icbih berat, ia dapat menembus berbagai riniangan yang ditemuainya ketika jatuh sehingga ia Iebih cepat.

 

  1. Al-Jubba’i berpendapat bahwa bebatuan, ketika jatuh, memiliki jedajeda pemberhentian. Dia juga mengatakan bahwa di dalam busur yang terikat terdapat gerakan-gerakan yang tidak nampak. Begitu puIa dinding yang diam atau menetap. Hal ini disebabkan bahwa gerakan-gerakan jtulah yang menyebabkan terjadinya dinding. Dan gerakan-gerakan yang ada dalam busur dan tali itulah yang menimbulkan terputusnya tali.

 

Para ahli kalam berbeda pendapat mengenai Al-Jism yang menetap di suatu tempat dan tempat tersebut selalu berjalan dan bergerak. Apakah Al-Jism yang menyertai atau menetap itu bergerak atau tidak?

 

Dalam hal ini terdapat dua pendapat, yaitu:

 

  1. Mayoritas ahli kalam, di antaranya Al-Jubba’i dan lain-lain beranggapan bahwa, apabiIa tempat Al-Jism itu bergerak, maka Al-Jism pun bergerak pula. Gerakan ini bukan karena sesuatu. Mereka membolehkan sesuatu yang bergerak, tetapi gerakannya itu bukan karena sesuatu dan bukan untuk sesuatu. Dan Allah dapat menggerakkan alam bukan di dalam sesuatu.

 

Abu Hudzail berpendapat bahwa Al-Jism dapat bergerak bukan dari sesuatu dan bukan untuk sesuatu.

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa apabiIa tempat sesuatu itu bergerak dan sesuatu itu hanya menetap di satu tempat, maka sesuatu itu diam, tidak bergerak. Mereka membantah pendapat yang mengatakan bahwa sesuatu itu bergerak bukan karena sesuatu dan bukan untuk sesuatu. An-Nazhzham termasuk orang yang membantah pendapat tersebut.

 

Ulama Mutakkalimin berbeda pendapat mengenai apakah sesuatu itu dapat bergerak dalam keadaan tempat yang bergerak puIa sehingga ia menembus tempat dan bergerak ke tempat lain, padahal tempat itu bergerak?

 

Dalam hal ini terdapat dua pendapat, yaitu:

 

  1. Ulama Mutakallimin berpendapat bahwa hal tersebut tidak mungkin terjadi Sebab, apabiIa tempatnya bergerak ke arah Bagdad, kemudian pada waktu yang sama sesuatu itu bergerak ke arah Bashrah, berarti ia dapat berperak dalam dua arah pada satu waktu. Ha ini adalah mustahil, Ini adalah pendapat sebagian ahli Kalam yang mengatakan bahwa apabiIa tempat sesuatu itu bergerak, maka ia pun ikut bergerak.

 

  1. Sebagian ahli Kalam yang lain berpendapat bahwa hal tersebut bisa saIa terjadi. Sebab, apabiIa tempat sesuatu itu bergerak, maka dia sendiri (sesuatu itu) tidak bergerak, melainkan tempatnya saIa yang bergeerak, sedangkan sesuatu itu tetap diam.

 

Para ahli Kalam berbeda pendapat mengenai apakah sesuatu yang diam itu melakukan suatu gerak dalam kediamannya itu?

 

  1. Sebagian ulama ahli Kalam berpendapat bawa hal tersebut tidak mungkin terjadi?

 

2.. Sebagian ulama ahli Kalam lain mengatakan bahwa hal tersebut bisa saIa terjadi. Alasannya bahwa permukaan bagian atas dari kepaIa seseorang ketika ia membenamkan Kkepalanya dari udara yang me muatnya dan memuat yang lain, maka ia bergerak karena muatannya terhadap udara, tetapi mereka diam pada permukaan kedua yang ada di bawahnya. Dengan demikian, ia dapat dikatakan bergerak dar: satu sisi dan dapat dikatakan diam dari sisi yang lain. Anggapan ini tidak kontradiktif, sebagaimana tidak kontradiktifnya anggapan yang menyatakan tentang sesuatu yang dapat memuat sesuatu dan memisahkan sesuatu yang lain pada waktu yang bersamaan. Yang kontradiktif adalah pendapat yang menyatakan bahwa sesuatu itu diam pada suatu tempat, tetapi juga bergerak dari tempat itu pada waktu yang bersamaan, sebagaimana kontradiktifnya pendapat yang menyatakan bahwa sesuatu itu dapat mencakup sesuatu dan sekaligus dapat me misahkannya pada waktu yang bersamaan.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai apakah seluruh Al-Ajsam itu bergerak, ataukah diam seluruhnya, atau bagaimana pendapat mengenai hal ini?

 

Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat, yaitu:

 

  1. An-Nazhzham berpendapat bahwa semua Al-Ajsam itu bergerak, dan gerakannya terdiri atas dua macam gerakan, yaitu: Pertama, adalah gerak sandaran (i’timad), dan kedua, adalah gerak pindahan (nuglah). Pada hakikatnya, semua itu bergerak meskipun ia diam secara bahasa. Dan gerakan-gerakan itu adalah wujud bukan yang lain.

 

Berkenaan dengan hal ini, saya membaca sebuah buku bahwa pengarang buku itu berkata, “Yang saya ketahut, ‘diam’ itu adalah ada”, dalam pengertian adanya sesuatu di suatu tempat selama beberapa saat, yakni ia bergerak di dalam tempat tersebut selama beberapa saat. Mereka beranggapan bahwa ketika diciptakan oleh Allah Al-Ajsam itu, bergerak dengan gerakan sandaran (i’timad).

 

  1. Sebagian para pengikut ahli filsafat berpendapat bahwa Al-Jism ketika diciptakan oleh Allah, ia bergerak, yakni keluar dari ketiadaan menjadi ada.

 

  1. Mu’amar berpendapat bahwa pada hakikatnya semua Al-Ajsam itu diam, meskipun secara bahasa, mereka bergerak. Dimaksudkan dengan diam di sini adalah ada, bukan yang lain. Ketika diciptakan oleh Allah, AlJism itu diam.

 

  1. Abu Al-Hudzail berpendapat bahwa, pada hakikatnya All-Ajsam itu bergerak sewaktu-waktu dan diam sewaktu-waktu. Gerak dan diam itu berbeda dengan ada. Dan ketika diciptakan oleh Allah, Al-Jism itu diam, tidak bergerak.

 

  1. Al-Jubba’i berpendapat bahwa gerak dan diam itu merupakan wujudwujud Al-Jism. Dan ketika diciptakan oleh Allah, Al-Jism itu diam.

 

  1. Ibad berpendapat bahwa gerak dan diam itu merupakan muatan. Dan ketika diciptakan oleh Allah, Al-Jism itu diam.

 

Mayoritas para analis atau pemerhati menyangkal keberadaan wujudwujud itu sebagai muatan. Mereka berpendapat bahwa wujud-wujud itu bukan muatan. .

 

Berkenaan dengan terminal bumi ini, para ulama ahli Kalam berbeda pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian dari ahli Tauhid, di antaranya Abu Al-Hudzail dan lain-lain berpendapat bahwa Allah-lah yang mendiamkan atau menghent’kan bumi itu. Dia-lah yang mendiamkan alam dan menjadikannya berhenti (dan penghentiannya) bukan karena sesuatu.

 

  1. Sebagian Mutakallimin mengatakan bahwa di bawah alam, Allah telah menciptakan suatu Jism yang dapat mengudara yang karakteristiknya adalah mengapung atau menembus udara. Tindakan Jism ketika menembus udara bagaikan tindakan alam ketika me luncur turun, Ketika keadaan berimbang, maka alam dan bumi pun berhenti.

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa setiap saat Allah menciptakan Jism di bawah bumi, kemudian Dia menghilangkan atau meniadakannya, Dalam ketiadaan tersebut, Allah menciptakan Jism yang lain sehingga bumi berhenti pada Jism tersebut. Jisim yang sedang diciptakan itu tidak boleh jatuh, dan ia tidak membutuhkan tempat yang me ngangkatnya. Sebab, sesuatu itu tidak mungkin bergerak dan diam ketika diciptakan.

 

  1. Pendapat lain mengatakan bahwa Allah SWT. menciptakan bumi ini dari dua Jism, yaitu salah satunya berat dan yang lainnya ringan. Perbandingan antara berat dan ringan sangat berimbang, sehingga bumi dapat berhenti karenanya.

 

Pendapat para, Mutagaddimin mengenai hal ini telah kita sebutkan di dalam judul pendapat para ahli mengenai tata surya (Al-Falaq) dan mengenai terminal bumi dalam kitab Magalat Al-Mulhidin.

 

Ulama Mutakallimin berpendapat mengenai gerak, apakah diam atau tidak, sebagai berikut:

 

  1. Mayoritas dari para pemerhati atau analis berpendapat bahwa gerak itu tidak mungkin diam:

 

  1. Pendapat yang lain mengatakan bahwa apabiIa suatu Jism berpindah ke suatu tempat, kemudian dia menetap di dalamnya beberapa saat, maka geraknya menjadi diam.

 

Para ahli Kalam berbeda pendapat mengenai batasan teori tumpang tindih, ketereakupan (persenyawaan), dan berdampingan, sebagai berikut:

 

  1. Ibrahim An-Nazhzham berpendapat bahwa segaIa sesuatu terkadang dapat masuk dan bereampur dengan Jawan (Adh-Dhidd) dan yang berbeda dengannya (Al-Khilaf). Adapun definisi Adh-Dhidd adalah sesuatu yang merusak atau membinasakan yang’ lain, seperti manis dan pahit, panas dan dingin. Sedangkan Al-Khilaf adalah seperti manis dan dingin atau pahit dan dingin.

 

Ibrahim An-Nazhzham beranggapan bahwa sesuatu yang ringan sewaktu-waktu dapat masuk dan bereampur dengan yang berat. Ada banyak sesuatu yang ringan itu lebih sedikit ukurannya daripada sesuatu yang berat, tetapi kekuatannya lebih besar daripada yang berat. ApabiIa yang nngan tersebut masulk atan menyampur dengan berat, maka Ia akan mengambil tempat di dalamnya. Sesuatu yang sedikit atau kecil ukurannya, telapi banyak atau Icbih besar kekuatannya, maka ia akan memperbesar ukuran dan menambah kekuatan.,

 

Ibrahim An-Nazhzham juga beranggapan bahwa warna dapat masuk ke dalam rasa dan bau sebab ia adalah Ajsam.

 

Pengertian tumpang tindih (Al-Mudakhalah) menganggap ruang lingkup atau tempat milik salah satu dari kedua Jism sebagai tempat milik yang lainnya, dan menjadikan salah satu dari dua hal berada di tempat yang lain. Pendapat An-Nazhzham ini akan kita paparkan dalam pembahasan tentang manusia.

 

  1. Semua orang menyangkal bahwa Jism berada dalam satu tempat dan satu waktu. .

 

  1. Kelompok dualisme berpendapat bahwa pereampuran antara cahaya dan gelap didasarkan pada teori tumpang tindih (Al-Mudakhalah) yang dinyatakan oleh Ibrahim tersebut.

 

  1. Dhirar berpendapat bahwa Al-Jisny termasuk hasil akumulasi dari berbagai hal yang didasarkan pada teori berdampingan (Al-Mujawarah). Dia menyangkal teori tumpang tindih yang menyatakan bahwa dua hal dapat berada di satu tempat, baik A‘radh maupun Jism.

 

  1. Mayoritas dari para pemerhati atau analis berpendapat bahwa sewaktuwaktu dua arah dapat berada di satu tempat, tetapi dua Jism tidak boleh berada di satu tempat. Di antara yang berpendapat seperti ini Abu AlHudzail, dan lain-lain.

 

  1. Zarqan mengatakan bahwa Dhirar bin Amru mengatakan -bahwa segaIa sesuatu itu terdiri atas hal-hal yang senyawa dan hal-hal yang bukan senyawa. Adapun hal-hal yang senyawa, seperti minyak di dalam buah zaitun, minyak dalam biji-bijian, dan perasan anggur. Semua itu tidak didasarkan pada teori pereampuran seperti yang dinyatakan oleh Ibrahim di atas. Adapun hal-hal yang tidak senyawa adalah seperti api dalam batu dan yang sejenisnya. Dan mustahil api yang ada di dalam batu itu tidak membakar. Ketika tidak membakar, maka kita mengetahui bahwa di dalamnya tidak ada api.

 

  1. Mayoritas dari para pemerhati atau analis berpendapat bahwa api yang ada di dalam batu itu merupakan persenyawaan, sehingga Al-Iskafi dan lain-lain beranggapan bahwa api yang ada di dalam kayu bakar pun merupakan persenyawaan.

 

  1. Zarqan menceritakan bahwa Abu Bakar Al-Asham berpendapat bahwa di alam ini tidak ada persenyawaan di dalam benda-benda yang telah mereka katakan itu.

 

  1. Abu Al-Hudzail, Ibrahim, Muammar, Hisyam bin Hikam, dan Basyar bin Mu‘tamir berpendapat bahwa minyak bersenyawa di dalam buah zaitun, minyak bersenyawa di dalam biji-bijian, dan api bersenyawa di dalam batu.

 

  1. Mayoritas kelompok muthidin berpendapat bahwa warna, rasa, perasan itu bersenyawa di dalam tanah, air, dan udara. Kemudian semuanya nampak di dalam buah kurma atau buah-buahan yang lainnya melalui perpindahan dan pemaduan berbagai macam unsur. Mereka memberi contoh dengan biji za’uran (kunyit) yang dimasukkan ke dalam kendi air. Kemudian diperas selurubnya sehingga keluar persenyawaan.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai apa manusia itu, sebagai berikut:

 

  1. Abu Al-Hudzail berpendapat bahwa manusia adalah sesek benda yang nampak dan dapat dilihat serta memiliki dua tangan dan dua kaki. Dikatakan bahwa Abu Al-Hudzail tidak menjadikan rambut dan kukukuku manusia sebagai identitas manusia.

 

  1. Sekelompok Mutakallimin berpendapat bahwa badan (tubuh) merupakan identitas manusia, bukan A’radh nya, meskipun A’radh tersebut berada di dalam diri manusia.

 

  1. Basyar bin Mu’tamar berpendapat bahwa manusia itu terdiri atas jasad dan ruh. Keduanya merupakan identitas manusia. Dan Al-Fa’al (motivator atau pemberi pengaruh) itu sendiri adalah manusia yang berupa jasad dan ruh.

 

4, Abu Al-Hudzail tidak berpendapat bahwa masing-masing bagian dari jasad itu sebagai pelaku yang dapat melakukan sesuatu secara sendirian, dan tidak puIa bekerIa sama dengan yang lain. Ia berpendapat bahwa pelaku sesuatu itu adalah bagian-bagian itu sendiri.

 

  1. Dhirar bin Amru berpendapat bahwa manusia itu terdiri atas berbagai unsur, seperti warna, rasa, bau, kekuatan, dan lain-lain. ApabiIa semua unsur itu berkumpul, maka dinamakan manusia dan di sini tidak ada Jauhar yang, lain.

 

6, Husain An-Najjar menyangkal keberadaan kekuatan sebagai bagian dari manusia. Demikian puIa mayoritas dari para pemerhati. Mereka menyangkal pernyataan tersebut.

 

  1. Abbad bin Sulaiman berpendapat bahwa definisi manusia adalah Al Basyar. Dengan demikian, pengertian manusia (Al-Jnsan) identik dengan pengertian Al-Basyar, Dia beranggapan bahwa manusia itu Jawahir dan Arad.

 

  1. Burgus berpendapat bahwa manusia itu menipakan campuran yang terdiri atas warna, rasa, bau, dan lain-lain. Menurutnya, apabiIa sebagian komponen manusia itu bergerak dan sebagiannya lagi diam, maka bagian yang diam itu pun melakukan gerakan yang berbeda dengan gerakan yang dilakukan oleh bagian yang bergerak. Dan bagian yang bergerak itu pun melakukan diam yang berbeda dengan diam yang dilakukan oleh bagian lain yang diam.

 

  1. Zarqan menyatakan bahwa Hisyam bin Hakam mengatakan bahwa manusia itu adalah suatu nama untuk dua pengertian, yaitu badan dan ruh, Badan termasuk benda mati, sedangkan ruh adalah sesuatu yang dapat melakukan, merasa, dan menangkap yang berbeda dengan jasad dan dia temasuk cahaya.

 

  1. Abu Bakar Al-Asham berpendapat bahwa manusia adalah sesuatu yang dapat dilihat. Dia tidak memiliki roh dan dia adalah satu Jauhar serta dapat ditangkap indera.

 

  1. An-Nazhzham berpendapat bahwa manusia adalah roh, tetapi ia masuk dan bereampur dengan badan sehingga badan tersebut menjadi bencana, mengekang, dan mempersempit ruang lingkupnya.

 

Zarqan menyatakan bahwa An-Nazhzham berpendapat bahwa roh itu sesuatu yang dapat merasa dan menangkap. Roh itu merupakan satu Juz’un dan bukan termasuk cahaya atau kegelapan.

 

  1. Mu’ammar berpendapat bahwa manusia merupakan Juz’un yang tidak terpisahkan..Manusia itu pengatur alam, dan tubuh yang tampak itu merupakan alat untuk mengaturnya. Manusia tidak berada pada suatu tempat tertentu. Dia tidak dapat bersenyawa dan tidak puIa dapat dipersenyawai. Menurutnya, manusia itu tidak bergerak dan tidak puIa diam, tidak berwarna dan tidak puIa memiliki rasa. Tetapi, ia dapat memiliki ilmu, kekuatan, kehidupan, keinginan, dan keengganan atau kebancian. Manusia menggerakkan badan dan memberdayakannya sesuai dengan kehendaknya, tetapi dia tidak memuat sesuatu atau bersenyawa dengannya.

 

  1. Sebagian ahli Kalam mengatakan bahwa manusia merupakan Juz’un yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Akan tetapi, manusia dapat bersenyawa atau memuat sesuatu dan memisahkan diri darinya, serta memiliki gerak dan diam. Manusia termasuk Juz’un yang dapat memasuki atau menempati sehapian badan, dan tempatnya adalah hati. Pendapat ini juga membolehkan adanya semua A’radh di dalam manusia, Ini adalah pendapat Ash-Shalihi,

 

  1. Ibnu Ar-Rawandi berpendapat bahwa manusia berada di dalam hati. Manusia bukan roh, sebab roh bertempat di dalam badan.

 

  1. Sebagian ahli Kalam mengatakan bahwa manusia adalah indera yang lima, dan dia termasuk Ajsam. Mereka yang berpendapat seperti ini adalah kelompok Al-Munaniyyah. Mereka menegaskan lagi bahwa manusia tiada lain hanyalah indera yang lima itu.

 

  1. Sebagian ahli Kalam yang lain berpendapat bahwa manusia adalah roh, dan indera yang lima termasuk bagian-bagiannya. Manusia itu adalah satu jenis, dan tidak bermacam-macam. Akan tetapi, daya tangkapnya berbeda-beda. Oleh karena itu, seorang manusia dapat mengetahui sesuatu dengan berbagai aspeknya, tetapi ia tidak dapat mengetahui sesuatu yang lain dengan berbagai aspeknya. Hal ini disebabkan manusia sering mengalami gangguan yang berbeda-beda. Dengan demikian, daya tangkapnya pun berbeda-beda sesuai dengan gangguan atau iniervensj yang datang kepadanya. Mereka yang berpendapat seperti ini adalah kelompok Ad-Daishaniyah.

 

  1. Kelompok Marqun berpendapat bahwa di dalam badan terdapat lima indera dan roh. Roh itu termasuk manusia, sedangkan indera-indera itu bukan termasuk manusia, melainkan merupakan kehendak-kehendak yang menyebabkan adanya manusia, dan ia bukan badan. Menurut mereka, manusia itu merupakan jenis ketiga yang bukan cahaya dan bukan puIa kegelapan.

 

  1. Para ahli kealaman berpendapat bahwa manusia itu merupakan campuran panas, dingin, kering, dan basah. Demikian pula, pendengaran dan seluruh inderanya, badan, daging, dan darahnya, semuanya itu adalah manusia.

 

  1. Kelompok HayuIa berbeda pendapat. Sebagian mereka ada yang berpendapat bahwa manusia itu adalah Jauhar, hidup, berbicara, dan dapat mati. Ketika berbicara dan hidup, ia disebut manusia. Mereka mengatakan bahwa manusia dapat kehilangan kehidupannya. Sebelum memiliki karakteristik, ia tidak dapat dikatakan sebagai manusia. Sebagian yang lain berpendapat bahwa manusia itu hidup dan berbicara. Dia adalah Jauhar dan A’radh-nya. Sebagian yang lain lagi berpendapat bahwa di dalam Jauhar itu, ada sesuatu yang tidak dapat me muat sesuatu dan memisahkan diri darinya atau melakukan campuran antara keduanya. Di dalam Jauhar itu, manusialah yang menjadi pengaturnya.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai roh, jiwa dan kehidupan. Apakah roh itu kehidupan atau bukan? Apakah roh itu Jism atau bukan? Berkenaan dengan hal ini ada beberapa pendapat, yaitu:

 

  1. An-Nazhzham berpeendapat bahwa roh adalah Jism dan jiwa. Dia beranggapan bahwa roh itu hidup dengan sendirinya. Akan tetapi, AnNazhzham menyangkal kehidupan dan kekuatan sebagai makna yang tidak hidup dan kuat. Keberadaan roh dalam badan adalah untuk mengahadapi kebinasaan badan dan menjadi pendorong bagi badan untuk memilih. Seandainya roh itu lepas dari badan, maka semua aktivitas badan hanyalah bersifat eksidental dan terpaksa. Pendapat An-Nazhzham mengenai manusia ini telah kita paparkan sebelumnya di dalam buku kita ini.

 

  1. Sebagian pendapat mengatakan bahwa roh itu A‘radh.

 

  1. Sekelompok ‘orang, di antaranya adalah Ja’far bin Harb, mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui apakah roh itu Jauhar atau A’radh? Dalam hal ini, mereka berargumentasi dengan firman Allah yang berbunyi, sebagai berikut.

 

Artinya: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah, ‘Roh itu termasuk urusan Tuhanku.” . (QS. Al-Isra : 85)

 

Ayat tersebut tidak memberitahukan hakikat roh secara jelas. Dia bukan Jauhar. dan bukan puIa A’radh. Saya kira Ja’far menyatakan bahwa kehidupan bukanlah roh, melainkan A’radh.

 

4, Al-Jubba’i berpendapat bahwa roh adalah Jism, dan roh itu bukan kehidupan. Sebab, kehidupan adalah A’radh. Ia berargumentasi dengan pernyataan ahli bahasa, sebagai berikut, “Roh keluar dari manusia”. AlJubba’i beranggapan bahwa roh tidak bisa ditempati oleh A‘radh.

 

  1. Sebagian ahli Kalam berkata bahwa roh itu tidak lebih dari keseimbangan empat (karakreristik) alam. Ungkapan mereka mengenai keseimbangan itu merujuk kepada subjck yang memiliki keseimbangan tersebut Al-mu’tadil, Mereka tidak mengakut adanya sesuatu yang lain di dunia mu, kecuah cmpat alam tersebut, yaitu panas, dingin, basah, dan kering

 

  1. Pendapat lain mengatakan bahwa roh adalah definisi yang kelima selain empat alam tadi. Di dunia im hanya ada empat alam, yakni panas, dingin, basah, dan kering, kemudian ditambah dengan roh. Mereka berbeda pendapat mengenai aktivitas roh. Sebagian mereka berpendapat bahwa aktivitas roh itu bersifat alami, dan sebagian yang lain mengatakan bah. wa aktivitas roh itu bersifat ikhtiyari.

 

  1. Sebagian orang berpendapat bahwa roh adalah darah yang bersih dan bebas dari kotoran dan noda, Mereka juga. berpendapat demikian ten. tang kekuatan. 

 

  1. Sebagian orang bespendapat bahwa kehidupan itu adalah panas yang alami (Al-Ghariziyyah).

 

Orang-orang yang telah kita sebutkan, pendapatnya mengenai roh itu adalah termasuk kelompok ahli kealaman. yang menyatakan bahwa kehidupan itu adalah roh.

 

  1. Al-Ashlam tidak membenarkan pendapat “yang ‘menyatakan bahwa kehidupan dan roh itu berbeda dengan jasad. Dia mengatakan bahwa jasad yang panjang, lebar, dan dalam, itu adalah sesuatu yang dapat dilihat dan disaksikan

 

Selanjutnya ia mengatakan bahwa jiwa adalah badan itu sendiri, bukan sesuatu yang lain. Hanya saIa pernyataan-pemyataan tersebut dikemukakan untuk memperjclas dan memperkuat tentang hakikat sesuatu, bukan untuk menyatakan bahwa jiwa berbeda dengan badan.

 

  1. Aristoteles menyatakan bahwa jiwa adalah suatu definisi yang tetap eksis walaupun terdapat pengaturan, penambahan, dan bencana yang menyebabkannya simanya sesuatu. Jiwa adalah Jauhar yang terhampar dan tersebar di seluruh alam dengan tujuan untuk merekayasa dan mengatur kehidupan. Jiwa itu tidak terkena oleh kualifikasi sedikit atau banyak. Jiwa itu, sebagaimana telah saya gambarkan, ketersebarannya di seluruh alam ini tidak menyebabkannya terbagi-bagi, baik dzat maupun fisiknya. Dan di dalam berbagai kehidupan di alam ini, jiwa itu hanya memiliki satu makna atau definisi.

 

  1. Pendapat lain mengatakan bahwa jiwa adalah suatu definisi konkret yang memiliki batasan, sandaran, panjang, lebar, dan dalam. Di alam ini, jiwa itu tidak dapat dipisah-pisahkan dan menyatu dengan yang lainnya, sebagaimana halnya ketetapan yang berlaku bagi panjang, lebar, dan dalam sehingga keduanya dapat dipersatukan oleh batas. Ini adalah pendapat kelompok Tsanawiyyah yang disebut Al-Munaniyyah.

 

  1. Kelompok lain berpendapat bahwa jiwa digambarkan sebagaimana yang telah digambarkan oleh orang-orang yang telah kita sebutkan, yakni bahwa jiwa memiliki batas akhir. Hanya saja, jiwa itu tidak bisa disifati dengan sifat kehidupan. Yang berpendapat seperti ini adalah kelompok Ad-Daishaniyyah.,

 

  1. Al-Jariri menyatakan bahwa Ja’far bin Mubasysyir berpendapat bahwa jiwa itu adalah Jauhar dan bukan Jism. Akan tetapi, ia merupakan sebuah definisi yang berada di antara Al-Jauhar dan Al-Jism.

 

  1. Pendapat lain mengatakan bahwa jiwa itu adalah sebuah definisi yang berbeda dengan roh dan roh pun berbeda dengan kehidupan. Menurut pendapat ini, kehidupan itu adalah A’radh. Orang yang berpendapat seperti ini adalah Abu Al-Hudzail.

 

  1. Abu Al-Hudzail beranggapan bahwa ketika tidur, kadang-kadang manusia itu kehilangan jiwa dan rohnya, tetapi kehidupannya tetap ada. Dia berargumentasi dengan firman Allah Azza wa Jalla, yang berbunyi:

 

Artinya: “Allah memegang jiwa orang ketika ia mati dan memegang Jiwa orang yang belum mati ketika ia tidur.” (QS. Az-Zumar : 42)

 

  1. Ja’far bin Harb berpendapat bahwa jiwa itu merupakan salah satu A’radh yang terdapat di dalam Jism. Jiwa itu merupakan sarana yang dapat membantu manusia dalam melakukan aktivitas, seperti kesehatan, keselamatan, dan Jain-lain. Dia tidak bisa disifati dengan sifat-sifat Jauhar atau Al-Ajsam.

 

Berkenaan dengan indera ini, para ahli berbeda pendapat sebagai berikut:

 

  1. Al-Munaniyah berpendapat bahwa manusia adalah indera yang lima dan kelima indera tersebut adalah Ajsam. Tidak ada ‘sesuatu, kecuali indera sebab, menurut mereka, segaIa sesuatu yang ada hanyalah terdiri atas dua unsur, yaitu cahaya dan gelap. Cahaya dan gelap ini terdiri atas lima indera yaitu pendengaran, penglihatan, indera perasa, pencium, dan peraba.

 

  1. Ad-Daishaniyyah berpendapat bahwa gelap itu adalah bangkai, bodoh, dan tidak memiliki indera sedangkan cahaya itu adalah penglihatannya, Penghhatan itulah yang menjadi alat perasa dan penciumannya. Namun demikian, daya tangkap manusia itu berbeda-beda sehingga melalui inderanya tersebut, manusia dapat mengetahui sesuatu tanpa mengetahui sesuatu yang lain. Hal itu karena, gangguannya bisa datang dari berbagai arah yang berbeda-beda. Dengan demikian, daya tangkapnya menjadi berbeda-beda sesuat dengan perbedaan A’radh-nya.

 

Ad-Daishaniyyah ini beranggapan bahwa cahaya itu semuanya putih, sedangkan gelap itu semuanya hitam. Akan tetapi, warnanya berbeda-beda. Ia bisa menjadi kuning, hijau, dan sebagainya sesuai dengan perbedaan campuran kedua warna tersebut. Kelompok ini beranggapan bahwa warna itu adalah rasa.

 

  1. Al-Marquniyyah beranggapan bahwa di dalam badan itu terdapat roh dan lima indera (pancaindera). Dan roh itu bukan indera dan bukan puIa badan..

 

4, Kebanyakan orang me nyangkal keberadaan indera dan mereka pun tidak mengakui keberadaan A’radh. Mereka beranggapan bahwa yang ada hanyalah pendengar, penglihat, peraba, pencium, dan peraba selain jasad. Mereka menolak indera dan mengingkari keberadaannya.

 

  1. Zarqan mengatakan bahwa Abu Al-Hudzail dan Mu’ammar membenarkan keberadaan pancaindera itu sebagai A’radh, bukan badan. Keduanya juga menyatakan bahwa jiwa itu A’radh, bukan badan.

 

  1. Ibad bin Sulaiman menyatakan bahwa manusia terdiri atas enam indera, yaitu pendengaran, penglihatan, indera perasa, indera pencium, indera peraba, dan Al-Farj sebagai indera yang keenam. Al-Jahizh menceritakan bahwa menurut An-Nazhzham, jiwa dapat mengetahui hal-hal yang dapat diindera di luar kebiasaan yang terjadi pada telinga, mulut, hidung, dan mata. Hal ini tidak berarti bahwa manusia memiliki pendengaran yang lain atau penglihatan yang lain, melainkan manusia itu sendiri dapat mendengar. Sebab, kadang-kadang manusia tuli karena ada bencana yang menimpanya. Begitu pula, manusia dengan sendirinya dapat melihat. Sebab, kadang-kadang manusia bisu karena bencana yang menimpa kepadanya.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai apakah Allah mampu menciptakan indera keenam yang dapat mengindera hal-hal selain yang telah ada atau tidak? Dan apakah Allah mampu meneiptakan kekuatan bagi sebagian hamba-Nya sehingga dapat menciptakan Aysan atau tidak? Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat, yaitu

 

  1. Sebagian ahli kalam, seperti Dhnrar bin Amru, Hafsh Al-Fard, dan Sufyan bin Subhan beranggapan balhwa Allah mampu menciptakan indera keenam yang dapat mengindera hal-hal selain yang, telah ada. Sebagaimana yang terjadi pada Mari Kebangkitan bahwa Allah menciptakan indera keenam bagi hamba-Nya sehingga mereka mampu mengetahui keberadaannya.

 

  1. Mayoritas ahli kalam dari kelompok Mu’tazilah dan Al-Khawarij, mayoritas kelompok Syi’ah dan Murji’ah menolak hal tersebut.

 

  1. Sebagian orang berpendapat bahwa Allah mampu untuk memberikan kekuatan kepada hamba-Nya sehingga mereka mampu menciptakan Ajsam.

 

  1. Kebanyakan ulama ahli kalam mengingkari hal tersebut.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai pancaindera, apakah indera tersebut satu jenis atau bermacam-macam? Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian ahli kalam berpendapat bahwa indera itu terdiri atas berbagai jenis. Jenis pendengaran berbeda dengan jenis penglihatan. Begitu puIa dengan ketetapan masing-masing inderanya. Jenis masing-masing indera tersebut berbeda dengan keseluruhan jenis-jenis indera. Berdasarkan perbedaan ini, maka A’radh itu berbeda dengan indera. Ini adalah pendapat mayoritas kelompok Mu‘tazilah, di antaranya Al-Jubba’i dan lain-lain.

 

  1. Pendapat lain mengatakan bahwa setiap indera merupakan lawan dari indera yang lain. Kita tidak mengatakannya ‘bertentangan’. Sebab sesuatu yang bertentangan itu disebabkan adanya perbedaan. Ini adalah pendapat Abu Al-Hudzail.

 

  1. Amru bin Bahr Al-Jahizh berpendapat bahwa indera-indera itu adalah satu jenis sebab indera penglihatan itu berasal dari jenis indera pendengaran yang berasal dart seluruh indera. Perbedaannya hanyalah terjadi di dalam jenis objek yang diindera dan dalam faktor-faktor yang menghambat indera. Sesungguhnya jiwalah yang dapat menangkap atau merespon segaIa sesuatu itu. Seandainya terjadi perbedaan sehingga yang satu menjadi pendengaran dan yang lain menjadi penglihatan, atau penciuman, maka hal tersebut disebabkan kadar penghambat yang mencampurnya, Adapun Jauhar inderanya itu sendiri tidak berbeda. Seandanya Jauhar indera itu berbeda, maka ia akan saling, menghambat dan saling, merusak satu dan lainnya, sebagaimana halnya sesuatu yang bericntangan yang saling me rusak satu dan lainnya.

 

Amru bin Bahr Al-Jahizh beranggapan bahwa perbedaan objck yang dindera, baik warna maupun suara, terjadi di dalam jenis dan diri dari kedua warna dan suara tersebut. seandainya perbedaan tesebut terjadi pada jenis penglihatan dan pendengarannya, maka hal itu akan lebih menyebabkan terjadinya perbedaan antara pendengaran dan penglihatan yang dimiliki oleh sebagian orang. Misalnya, warna hitam akan terlihat lebih kontras terhdap jenis warna putih daripada jenis masam terhadap warna hitam. Dengan demikian, menurutnya, apabiIa hal tersebur diangap kacau, maka tidaklah perlu adanya perbedaan indera karena adanya perbedaa objck yang diindera.

 

Al-Jahizh berkomentar, jika demikian, maka indera itu hanyalah satu macam. Sedangkan, objek yang diindera ada tiga macam, yaitu: Pertama, objek diindera yang berlainan (Mukhitalif), seperti rasa dan warmia.

 

Kedua, objek indera yang sama (Muttafaq), seperti … Ketiga, objek indera yang berlawanan (Mutaahad), seperti hitam dan putih.

 

Berdasarkan pendapat yang menyatakan ketidakmungkinan untuk mengetahui bagaimana tata cara Allah menciptakan indera yang keenam dan objcknya, maka hal tersebut membuktikan bahwa penciptaan tersebut hanyalah dapat diketahui melalui teori berdampingan (Mujawarah), pereampuran (Mudakhalah), atau teori inieraksi atau persenyawaan (Ittishal). Dari sini dapat dipastikan bahwa indera tersebut merupakan bagian jenis yang lima (pancaindera), sebagaimana halnya indera penglihatan merupakan bagian dari jenis indera pendengaran.

 

Al-Jahizh beranggapan bahwa para pengikutnya berbeda pendapat mengenai perjalanan indera, pencemaran, dan berbagai faktor penghambatnya. ;

 

Sekelompok Mutakallimin berpendapat bahwa faktor penghambat pendengaran dari warna adalah sejenis kegelapan yang menolak dasar atau sumber warna, tetapi ia tidak menolak dasar atau sumber suara; sedangkan faktor yang menghambat penglihatan dari suara adalah sejenis kaca yang menolak dasar atau sumber suara, tetapi ia tidak menolak dasar atau sumber warna.

 

Selanjutnya, Al-Jahizh mengatakan bahwa berdasarkan hal tersebut, maka para pengikutnya menyusun atau mengklasifikasikan faktorfaktor penghambat indera dan pencemaran perjalanannya.

 

Al-Jahizh mengatakan bahwa sebagian yang lain beranggapan bahwa mulut dapat memperoleh rasa, bukan bau, suara, dan warna, sebab mayoritas penccmamya adalah rasa, bukan yang lain. Demikian puIa bahwa mayoritas pencemar pendengaran adalah suara, dan mayoritas pencemar hidung adalah bau.

 

Al-Jahizh juga mengatakan bahwa sebagian pengikutnya yang lain beranggapan bahwa penglihatan (mata) itu dapat menangkap warna, bukan rasa, bau, dan suara dikarenakan sedikitnya warna. Seandainya warna itu banyak, maka penglihatan itu akan menolaknyd. Bahkan, seandainya warna-warna itu berlebihan atau melampaui batas, maka penglihatan tidak akan mendapatkan warna sama sekali. Sebab, warnawarna itu sendiri akan mencegah adanya warna-warna pula. Dengan demikian, karena sedikitnya warna, maka penglihatan dapat menangkap warna. Begitu puIa halnya dengan alat perasa, pencium, dan pendengaran.

 

Al-Jahizh berpendapat bahwa pernyataan tersebut merupakan analogi terhadap teori-teori An-Nazhzham. Sebab, An-Nazhzham telah mendebat dua pendapat sebelumnya.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai apakah mencium, merasa atau mengecap, dan meraba merupakan sarana untuk menangkap sesuatu atau bukan? Dalam hal ini ada dua pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian mereka beranggapan bahwa mencium, mengecap, dan meraba merupakan sarana atau cara untuk menangkap sesuatu.

 

  1. Sebagian yang lain berpendapat bahwa mencium, mengecap, dan meraba bukan merupakan sarana atau cara untuk menangkap sesuatu. Sebab, sarana untuk menangkap hal-hal yang dapat diraba, dikecap, dan dicium berbeda dengan kecapan, rabaan, dan ciuman. Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Al-Jubba’i dan lain-lain.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai gerak, diam, dan perbuatan. Berkenaan dengen hal ini terdapat beberapa pendapat, yaitu:

 

  1. Al-Ansham membenarkan keberadaan Jism yang mempunyai panjang, Iebar, dan dalam. Akan tetapa, ia tidak membenarkan keberadaan gerak, diam, tindakan, berdiri, duduk, perpisahan, pertemuan, warna, suara, rasa, dan bau selain Al-Jisym .

 

Adapun adanya sebagian para pemerhati atan kelompok analis yang beranggapan bahwa Al-Ansham hanya mengetahui gerak, diam, dan warna secara sederhana atau sebatas kebutuhan, dan ta tidak mengetahuinya selain Al-Jisi, maka sebagaimna yany ia katakan bahwa ia tidak incmbenarkan adanya gerak, diam, dan seluruh perbuatan selain Al-Jism. Ia tidak mengatakan bahwa ia tidak membenarkan adanya gerak, diam, berdiri, duduk, dan perbuatan.

 

Adapun orang yang berpendapat bahwa Al-Ansham tidak mengetahui Al-A’radh sama sekali, maka sebagaimana yang ia katakan bahwa ia tidak membenarkan adanya gerak, diam, berdiri, duduk, pertemuan, dan perpisahan. Demikian puIa hanya yang ta katakan mengenai seluruh A’radh.

 

  1. Hisyam bin Hakam mengatakan bahwa gerak dan seluruh perbuatan yang berupa berdiri, duduk, keinginan, keengganan, ketaatan, kemaksiatan, dan semua yang dinamakan A’radh oleh para penganutnya adalah A’radh yang merupakan sifat-sifat Al-Ajsam, bukan Ajsam-nya sendiri atau yang lainnya. Oleh karena itu, ada perbedaan antara Ajsam dengan sifat-sifatnya.

 

Sebagian Mutagqaddimin sepakat dengan apa yang dikatakan oleh Hisyam bahwa mereka tidak membenarkan keberadaan A’radh, selain Al-Ajsam. .

 

Hisyam menyatakan, ia tidak berahggapan bahwa sifat-sifat manusia itu macam-macam sesifatu (Al-Asya’) sebab, segaIa sesuatu itu, menurutnya termasuk Ajsam. Hisyam beranggapan ‘bahwa sifat-sifat  manusia adalah makna-makna (ma’anin), bukan macam-macam sesuatu (Al-Asyya’).

 

Menurut Zarqan, Hisyam bin Hakam beranggapan bahwa gerak itu makna, sedangkan diam itu bukan makna. ApabiIa yang dikatakannya itu tidak benar, maka sebagian Mutaqaddimin beranggapan bahwa alam ini diam dan bergerak. Dan gerak itu adalah makna, sedangkan diam itu bukan makna, Menurut Abu Isa, pendapat tersebut dipegang oleh kelompok ahli kealaman.

 

  1. Sekelompok ulama kalam, di antaranya Abu Al-Hudzail, Hisyam, Basyar bin Mu’tamar, Ja’ far bin Al-Harb, dan lain-lain berpendapat bahwa gerak,

 

diam, berdiri, duduk, pertemuan, perpisahan, panjang, lebar, warna, rasa, bau, suara, berbicara, diam (tidak bicara), ketaatan, kemaksiatan, kekafiran, keimanan, seluruh aktivitas manusia, panas, dingin, basah, kering, lembut, dan keras merupakan Al-A’radh bukan Ajsam.

 

  1. Dhirar bin Amru bahwa warna, rasa, bau, panas, dingin, basah, kering, dan kadar timbangan merupakan sebapian dari Al-sam. Semuanya saling berdampingan., Demikian puIa halnya dengan kemampuan dan kehidupan.

 

Dhirar beranggapan bahwa gerak, diam, dan seluruh aktivitas yang berasal dari Ajsam adalah A’radh bukan Ajsam. Dia juga menyatakan bahwa susunan (At-Ta’if) merupakan bagian dari Jism.

 

Adapun pendapat lain mengatakan bahwa susunan,, pertemuan, perpisahan, dan kemampuan tidak termasuk Ajsam. ,

 

  1. Sebagian ahli kalam berkata bahwa warna hitam (As-Sawad) berbeda dengan sesuatu yang memiliki atau disifati warna hitam. Demikian puIa rasa manis berbeda dengan sesuatu yang memilki atau disifati dengan rasa manis. Begitu pula, rasa masam (Al-Hamudhah) berbeda dengan sesuatu yang disifatinya (Al-Hamidh); Tetapi, mereka tidak menyatkan bahwa warna berbeda dengan sesuatu yang diwarnainya. Begitu puIa dengan rasa.

 

  1. Menurut Zarqam, Jahm bin Shafwan beranggapan bahwa gerak itu adalah Jism dan mustahil ia berbeda dengan Jism. Sebab, menurutnya, selain Jism itu adalah Allah SWT. dan tidak ada sesuatu yang dapat menyerupaiNya.

 

  1. Kelompok Al-Jawaligiyyah dan Syaithan Ath-Thaqg menyatakan bahwa gerak merupakan aktivitas makhluk. Sebab, Allaah SWT. menyuruh mereka untuk berbuat. Dan tidak ada sesuatu yang dikerjakan (Al-Maf’ul) selain keadaannya panjang, Iebar, dan dalam. Dan sesuatu yang tidak panjang, lebar, dan dalam, bukanlah-sesuatu yang dikerjakan.

 

  1. Ibrahim An-Nazhzham berpendapat bahwa seluruh aktivitas manusia itu adalah gerak dan dia adalah A’radh. Seandainya gerak itu disebut ‘diam’ menurut bahasa, yaitu ketika Al-Jism bersandar pada suatu tempat selama beberapa saat sehingga dikatakan ‘diam di tempat’, maka hal tersebut tidak berarti bahwa pengertian ‘diam’ itu berbeda dengan’ penyandarannya. Ubrahim An-Nazhzham beranggapan bahwa penyandaran dan keberadaan adalah gerak. Me nurutnya, gerak itu ada dua macam, yaitu gerak penyandaran pada suatu tempat, dan geerak perpindahan dari suatu tempat. Selanjutnya, dia mengatakan bahwa seluruh gerak itu adalah satu jenis. Dan mustahil satu dzat dapat meJakukan dua pekerjaan yang berbeda.

 

An-Nazhzham beranggapan bahwa sifat panjang (Ath-Thul) sama dengan sesuatu yang disifati dengan panjang (Ath-Thawil) dan sifat lebar itu sama dengan sesuatu yang disifati dengan lebar (Al-’Aridh). Lebih lanjut, ia menetapkan bahwa warna, rasa, bau, suara, sakit, panas, dingin, basah, dan kering merupakan Ajsam Laththaf (halus). Dia juga beranggapan bahwa ruang lingkup atau batasan warna sama dengan batasan rasa dan bau. Dan kadang-kadang Ajsam Laththa itu mengambil tempat dalam satu ruang lingkup Dia menyatakan bahwa A’radh ity adalah gerak.

 

  1. Mu’tamar berpendapat bahwa semua yang ada ini dalam keadaan diam. Meskipun dikatakan bahwa sebagian dari yang ada ini adalah bergerak menurut bahasa, fetapi sebenarnya semua itu adalah diam. Mu’ammar menyatakan bahwa warna, rasa, bau, suara, panas, dingin, basah, dan kering itu bukan Ajsam.

 

  1. ‘Abbad bin Sulaiman menyatakan bahwa A’radh itu bukan Ajsam. ApabiIa ditanyakan kepadanya tentang pernyataannya bahwa gerak (AlHarakah) itu berbeda dengan sesuatu yang bergerak (Al-Mutaharrik) dan warna hitam (As-Sawad) berbeda dengan sesuatu yang disifati dengan warna hitam (As-Sawad)? Maka ia menolak pernyataan tersebut. Dia mengatakan bahwa pendapatnya mengenai Al-Jism yang bergerak sebenamya me rupakan pemberitahuan mengenai Jism dan gerak. Dengan deinikian, tidak mungkin biIa saya berpendapat bahwa gerak berbeda dengan sesuatu yang disifati dengan gerak. Sebab, ketika saya mengatakan ‘sesuatu yang disifati dengan gerak (Al-Mutaharrik)’ hal tersebut merupakan pemberitahuan tentang Jism dan gerak. Bahkan saya berpendapat bahwa gerak berbeda dengan Jism.

 

  1. Sebagian dari kelompok ahli kealaman berpendapat bahwa seluruh Ajsam terdiri atas empat macam alam, yaitu panas, dingin, basah, dan kering sebab alam yang empat itu adalam Ajsam. Mereka tidak membenarkan adanya sesuatu, kecuali alam yang empat ini. Mereka menyangkal adanya berbegai gerak. Mereka pun beranggapan bahwa warna, rasa, dan bau termasuk alam yang empat ini.

 

  1. Sebagian yang lain berpendapat bahwa Ajsam iu terdiri atas empat alam. Kelompok ini membenarkan adanya gerak, dan tidak membenarkan adanya A‘radh selain gerak. Mereka menyatakan bahwa warna dan bau termasuk bagian dari alam-alam tersebut.

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa Ajsam termasuk bagian dari alam yang empat ini dan roh berada (sabihah) di dalamnya. Menurut kelompok ini, tidak ada Jism, kecuali hal yang lima ini (empat alam dan satu ruh). Mereka menyatakan bahwa gerak itu adalah A‘rach.

 

  1. Sebagian Mutakallimin menolak keberadaan arah, gerak, dan diam. Mereka meyatakan bahwa warna hitam (As-Sawad) adalah sesuatu yang disifati dengan warna hitam itu sendiri (As-Sawad). Begitu puIa warna putih dan warna-warna yang lainnya, manis, masam dan seluruh rasa lainnya, bau, panas, basah, dingin, kering, dan kehidupan. Di antara kelompok ini yang berpendapat bahwa gerakan Jism itu berbeda dengan perbuatannya. Sebagian dari mereka ada yang tidak mengakui sama sekah tentang keberadaan A’radh selain Al-Jisn.

 

  1. Sebagian dari kelompok dualisine; di antaranya Al-Munaniyyah beranggapan bahwa Al-Ajsam terdiri atas dua sumber dasar (Al-Ashl) dan masing-masing sumber tersebut terdiri atas lima jenis, yaitu warna hitam, putih, kuning, hijau, dan me rah. Mereka tidak mengakui keberadaan Jism, kecuali yang telah disebutkan tadi. Mereka menyangkal keberadaan A’radh.

 

  1. Sebagian kelompok dualisme, di antaranya Ad-Daishaniyyah menyatakan bahwa Ajsam terdiri‘atas dua sumber dasar (Al-Ashl). Mereka menyatakan bahwa salah satu sttmber dasar tersebut adalah warna hitam dan lainnya adalah warna putih. Sebab, cahaya termasuk warna putih, dan gelap termasuk warna hitam. Bahkan semua warna itu berasal dari dua warna tersebut. Adapun terjadinya perbedaan warna tersebut sehingga merijadi kuning, merah, dan hijau, maka hal tersebut disebabkan adanya perbedaan campuran dari kedua warna tersebut. Mereka menyangkal keberadaan A‘rach. .

 

  1. Abu Isa Al-Warraq mengatakan bahwa sebagian dari kelompok dualisme ada yang menyatakan bahwa A’radh merupakan bagian dari gerak dan diam, sedangkan seluruh perbuatan itu bukan Ajsam. Menurut sebagian mereka, A‘radh itu merupakan sifat Ajsam, bukan Ajsam itu sendiri atau yang lainnya. Sebagian mereka ada yang menafikan A’radh dan mengingkari keberadaannya. Abu Isa Al-Warraq beranggapan bahwa sesungguhnya tidak ada gerak, diam, dan perbuatan atau aktivitas selain dua sumber dasar tersebut.

 

Para ahli kalam berbeda pendapat mengenai warna, apakah ia termasuk rasa atau sesuatu yang lain? Dan apakah rasa itu termasuk bau atau sesuatu yang, lain? Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat, yaitu:

 

1, Sebagian mereka berpendapat bahwa warna itu adalah rasa dan rasa itu adalah bau, suara, udara (angkasa). Begitu puIa mereka berbeda pendapat tentang pendengaran, penglihatan, alat perasa, dan alat penciuman. Mereka yang berpendapat seperti ini adalah kelompok Ad-Daishaniyyah.

 

  1. Sebagian ahli Kalam yang lain berpendapat bahwa wama itu berbeda dengan rasa dan rasa bukan ban dan bau itu bukan udara dan udara itu bukan suara Ini adalah pendapat mayoritas kelompok para pemerhati.

 

Ulama Mutakallimin yang menyatakan bahwa gerak itu A’radh, bukan Ajsam, berbeda pendapat mengenat gerak, apakah ia serupa (satu macam) atay tidak? Apakah gerak itu satu jcnis atau bermacam-macam jenis, atau bahkan bukan termasuk Ajnas?

 

Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat, yaitu:

 

  1. Abu Al-Hudzail berpendapat bahwa suatu gerak tidak boleh menyerupai gerak yang lain. Begitu puIa A‘radh, ia tidak boleh menyerupai A’radh yang lain. Sebab, dua hal yang serupa dapat menjadi sama karena adanya keserupaan. Akan tetapi, kadang-kadang dikatakan bahwa gerak itu serupa. Dia beranggapan bahwa manusia mampu bergerak dan diam, Maka apabiIa ia melakukan gerak pada waktu yang lain dengan jangka waktu yang bersamaan, sedangkan dia berada di posisi kanan, maka hal itu disebut gerakan kanan. ApabiIa dia berada di posisi kiri, maka hal itu disebut gerakan kiri, Begitu puIa pendapatnya tentang arah-arah yang lain. Sebab, ketika kita katakan sebagai gerakan kanan maka kita telah menamakannya sebagai posisi kanan. Begitu puIa ketika kita katakan gerakan kiri sebenarnya kita telah mengatakan gerakan tersebut sebagai posisi kiri.

 

Menurut Abul Hudzail, gerakan itu bukan wujud dan bukan puIa muatan. Begitu puIa halnya dengan diam, ia bukan wujud dan bukan puIa muatan. Abul Hudzail tidak beranggapan bahwa manusia mampu untuk bertindak dan bergerak pada waktu yang sama. Manusia hanya mampu bergerak dan diam. Dengan demikian, kondisi apa pun yang dia lakukan berikutnya, maka gerakan dan diam tersebut hanyalah terjadi di tempat yang bersangkutan. Dia tidak menganggap gerakan tersebut berbeda dengan gerakan yang lain dan tidak puIa beranggapan bahwa A’radh itu tidak berbeda-beda. Menurutnya, sesuatu yang berbeda itu dapat berbeda karena perbedaannya. Dia tidak beranggapan bahwa perbedaan itu terjadi karena ada dua hal yang berbeda. Begitu puIa kesamaan itu terjadi pada dua hal yang sama. Dia beranggapan bahwa sesuatu itu berbeda dari yang lain dengan sendirinya atau serupa dan sama dengan sendirinya. Dia tidak beranggapan bahwa Allah itu berbeda dengan alam.

 

  1. Ibrahim An-Nazhzham ” berpendapat bahwa seluruh gerakan manusia dan perbuatannya merupakan satin jenis. Sebab, gerakan itu me rupakan wujud dan jenis yang satu tidak bisa melakukan dua hal yang pertentangan. Sebagaimana api tidak mungkin bisa mendinginkan dan memanaskan, Ibrahim An-Nadham beranggapan bahwa tindakan mengudara termasuk jenis tindakan menurun, bergerak ke kanan termasuk puIa bergerak ke kiri dan ketaatan termasuk jenis kemaksitan, kekafiran termasuk jenis keimanan, dan kejujuran termasuk jenis kebohongan.

 

  1. Sebagian orang berpendapat bahwa gerakan itu merupakan Ajnas dan saling berlawanan. Gerakan kanan lawannya adalah gerakan kiri, berdiri Jawannya duduk, maju lawannya mundur, naik lawannya turun. Hal-hal yang berlawanan ini berbeda dengan A’radh. Di antaranya ada yang berbeda dengan sendirinya, seperti warna hitam dan warna putih. Dan ada puIa yang berbeda karena sesuatu yang lain. Dan ada puIa yang berbeda bukan karena sendirinya dan bukan karena sesuatu yang lain. Seperti bergerak ke kanan, bergerak ke kiri dan lain-lain. Sebab, gerakan dan diam itu adalah kondisi. Dan sesungguhnya manusia pada waktu yang sama dapat melakukan diam sebagai pengganti dari gerakan yang berbeda dan berlawanan.

 

Menurut kelompok ini, ketaatan dapat merupakan bagian dari jenis kemaksiatan, seperti dua gerakan yang searah, yang salah satunya disuruh untuk dikerjakan sehingga terjadi ketaatan dan lainnya dilarang untuk dikerjakan sehingga terjadi kemaksiatan atau sebabnya seperti dua gerakan yang terjadi pada dua arah yang berbeda. Dalam hal ini, seorang subjek kadang-kadang melakukan perbuatan-perbuatan yang berlawanan, seperti gerak dan diam.

 

Orang yang berpendapat seperti ini beranggapan bahwa A’radh itu serupa dengan sendirinya, seperti dua warna hitam dan dua warna putih. Dan bahwa A’radh itu sesuai dengan sendirinya. Pendapat ini juga mengatakan bahwa Al-Jawahir serupa dengan sendirinya. Begitu puIa Al-A’radh yang berbeda-beda, mereka berbeda dengan sendirinya, seperti warna hitam dan warna putih.

 

Dalam kesempatan yang lain, kelompok ini juga mengatakan bahwa pergi ke arah kanan termasuk jenis ke arah kanan. Dan kelompok ini juga beranggapan bahwa pergi ke arah kanan ketika berada di suatu tempat, maka hal itu merupakan kebalikan dari pergi ke arah kanan di tempat yang berbeda. Sebab, keberadaan di satu tempat merupakan lawan keberadaan di tempat yang lain. Kelompok ini tidak membenarkan dua hal yang sama dan serupa menjadi sama karena ada sesuatu yang lain, melainkan keduanya itu menjadi sama dengan sendirinya. Begitu puIa dua hal yang serupa. Ini adalah pendapat Muhammad ibn Abdul Wahhab Al-Juba’i

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa A’radh serupa dengan yang lainnya sebab A’radh bermacam-macain dengan sendirinya. Sementara itu, Al-Ajsam berbeda karena sesuatu yang lain. Ini adalah pendapat ulama Mutakallimin Bagdad, di antaranya Al-Khayyath, dan lain-lain.

 

Kelompok Mu’tazilah Bagdad berpendapat bahwa ketaatan bukan termasuk jenis kemaksiatan, kekufuran bukan termasuk jcnis keimanan dan gerakan bukan termasuk jenis diam

 

  1. Husain An-Nadzar dan orang-orang yang sependapat dengannya mengatakan bahwa semua yang diciptakan adalah serupa dalam hal kebaharuannya, tetapi Jism dan A‘radh-nya sama. Sebab, tidak ada yang menyerupai makhluk kecuali makhluk. Seandainya makhluk bisa menyerupai sesuatu yang bukan makhluk, niseaya Allah (Khaliq) dapat menyerupai sesuatu yang bukan khaliq.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai definisi gerak dan diam, serta posisinya dalam Jism. Apakah dia berada di posisi pertama atau kedua? Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian orang berpendapat bahwa definisi gerak sama dengan definisi wujud, dan semua gerak itu merupakan sandaran di antaranya berupa pindahan, dan sebagian yang lain bukan pindahan. Orang yang berpendapat seperti ini adalah An-Nadham. Dia beranggapan bahwa apabiIa Jism bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain, maka gerakannya terjadi di tempat yang pertama. Gerakan itu merupakan sandarannya yang mewajibkan adanya wujud di tempat yang kedua. Wuyud yang berada di tempat kedua ini merupakan gerak Jism di tempat yang kedua.

 

  1. Muhammad ibn Syabib membenarkan adanya gerak dan diam. Dia beranggapan bahwa gerak dan diam itu adalah suatu kondisi dan di antara kondisi itu, ada yang berupa gerak dan ada puIa yang berupa diam. Ketika manusia bergerak ke tempat kedua, maka sandarannya di tempat kedua mengharuskan adanya wujud di tempat kedua yang merupakan (gerakan) pemindahan, dan penghilangan ketika Jism berada di tempat kedua.

 

Ahli bahasa tidak menyebut Jism itu hilang, pindah, dan bergerak dari tempat yang pertama kecuali Jism tersebut menjadi berada di tempat kedua. Pengertian gerak terjadi di tempat pertama dan disebut hilang di tempat kedua karena luasnya pemahaman bahasa, Dan kita mengungkapkan hal ini sesuai dengan apa yang orang dikatakan. Kadang-kadang wujud yang ada di tempat kedua disebut gerak dan kadang-kadang disebut diam. ApabiIa wujud di tempat kedua tersebut dikatakan gerak, maka hal tersebut mengharuskan adanya wujud di tempat ketiga dan diam di tempat kedua.

 

  1. Mu’ammar berpendapat bahwa definisi diam adalah wujud. Tidak ada diam, kecuali wujud, dan tidak ada wuud kecuali diam.

 

  1. Abu Hudzail berpendapat bahwa gerak dan diam itu bukan wujud dan bukan muatan. Gerakan Jism dari tempat pertama ke tempat kedua, terjadi di tempat kedua ketika Jism tersebut berada di tempat kedua, yaitu perpindahan Jism tersebut dari tempat pertama dan keluar dari tempat tersebut. Diamnya Jism di suatu tempat menetapkan Jism di tempat tersebut beberapa saat. Dengan demikian, gerak dari suatu tempat itu harus terjadi pada dua tempat dan beberapa saat, sedangkan diam harus terjadi dalam beberapa saat.

 

  1. ‘Abbab bin Sulaiman berpendapat bahwa gerak dan diam adalah muatan. Dia beranggapan bahwa definisi gerak itu sama dengan definisi hilang.

 

  1. Basyar ibn Mu’tamar berpendapat bahwa gerak itu tidak terjadi di tempat yang pertama dan tidak puIa terjadi di tempat kedua, melainkan Jism yang bergerak dari tempat pertama ke tempat kedua.

 

  1. Al-Juba’i beranggapan bahwa gerak dan diam adalah kondisi, sedangkan definisi gerak sama dengan definisi hilang. Oleh karena itu, tidak ada gerak, kecuali dia sendiri hilang. Dan pengertian gerak tidak sama dengan pengertian perpeindahan. Ketiadaan gerak disebut hilang sebelum terjadinya gerak tersebut dan tidak disebut perpindahan.

 

Saya tanyakan kepadanya, “Mengapa engkau tidak menyatakan bahwa setiap gerak itu perpindahan, sebagaimana engkau menyatakan bahwa setiap gerak itu hilang.” Maka ia menjawab, “Semula, tambang bergantung di atap, kemudian digerakkan oleh orang, maka kita akan mengatakan bahwa tambang itu hilang atau terombang-ambing atau bergerak, dan bukan berpindah.”

 

Ketika saya bertanya kepadanya, mengapa tambang tersebut tidak dikatakan berpindah di udara, sebagaimana engkau mengatakan bahwa tambang itu bergerak, hilang dan terombang-ambing? Maka ia tidak dapat memberikan perbedaannya.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai sifat sesuatu; apakah ia dapat mensifati dirinya sendiri atau karena sesuatu yang lain? Dan mereka berbeda pendapat puIa tentang ketaatan; apakah kebaikan taat itu karena dirjnya atau karena yang lain? Dalam hal ini, ada beberapa pendapat, yaitu:

 

  1. 1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa setiap maksiat yang mungkin dibolehkan oleh Allah, maka maksiat itu jelek karena ada larangan. Dan setiap maksiat yang tidak mungkin dibolehkan oleh Allah, maka maksiat itu jelek karena dirinya. Seperti ketidaktahuan terhadap maksiat dan meyakini kebalikannya. Begitu puIa segaIa sesuatu yang mungkin periniahkan Allah, maka sesuatu itu menjadi baik karena adanya periniah. Dan segaIa sesuatu yang tidak mungkin Allah periniahkan, maka hal itu baik dirinya sendiri. Ini adalah pendapat An-Nidham.

 

  1. Al-Isykafy berpendapat mengenai kebaikan ketaatan bahwa ta baik karena dirinya sendiri. Begitu puIa halnya dengan kejelekan. Ia jelek karena dirinya sendiri, bukan karena sesuatu yang lain.

 

Saya kira pendapat tentang taat adalah taat dengan sendirinya, dan maksiat dengan sendirinya.

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat, “Dikatakan taat kepada Allah sebab Allah memeriniahnya, bukan karena dirinya sendiri,”

 

4, Sebagian Mutakallimin berpendapat, dikatakan taat kepada Allah karena Allah menghendakinya, dan dikatakan maksiat kepada Allah karena AlJah membencinya.

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat, segaIa sesuatu disifati karena ia memiliki sifat itu. Mereka menyangkal A’radh dan sifat.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, segaIa sesuatu disifati karena ada definisi yang merupakan sifat baginya. Ini adalah pendapat Ibnu Killab. Dia berpendapat setiap definisi yang diberikan kepada sesuatu, maka ia merupakan sifat baginya.

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa, sifat sesuatu kadang-kadang karena dirinya sendiri, bukan karena.adanya definisi yang disifatikan kepadanya, seperti warna hitam,.warna putih, terdahulu, mengetahui. Kadang-kadang karena sesuatu yang lain, seporti kata bergerak dan diam, di mana gerak dan diam itu bukan merupakan sifat baginya. Mereka mengatakan bahwa sifat itu adalah pengakuan, seperti ungkapan yang merupakan sifat dan nama, dan pada ungkapan adalah sifat bukan nama, dan panda ungkapan adalah nama bukan sifat.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lainnya berpendapat, kadang-kadang sesuatu disifati karena sifat yang ada dalam dirinya sendiri, seperti kata

 

dan kadang-kadang sesuatu itu disifati karena itu yang lain seperti   sesuatu yang lain, seperti kata  kadang-kadang tidak karena sifat dirinya dan tidak puIa karena sesuatu yang lain, seperti kata muhdats.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai A‘radh, apakah kekal atau tidak?’ Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian ahli kalam berpendapat bahwa semua Q‘radh tidak dapat bertahan lama (kekal). Sesuatu itu dikatakan kekal karena kekal dengan sendirinya atau karena ada unsur kekal di dalamnya. Oleh karena itu, A’radh tidak dapat kekal dengan sendirinya. Sesuatu itu dikatakan kekal biIa ada kekekalan dalam dirinya semenjak diciptakan. Adapun A’radh tidak bisa dikatakan kekal karena adanya kekekalan yang baru masuk ke dalamnya. Sebab, pada dasarnya, kekekalan tersebut tidak dikandung A’radh. Orang yang berpendapat seperti ini adalah Ahmad bin Ali Asy-Syatwi, Abu Qasim Al-Balkhi, dan Muhammad bin Abdullah bin Mumallik Al-Asbahani.

 

Mereka beranggapan bahwa warna, rasa, bau, kehidupan, kekuatan, kelemahan, kematian, pembicaraan atau ungkapan, dan suara adalah A’radh dan dia tidak bertahan lama atau kekal. Mereka membenarkan adanya semua A’radh, dan mereka beranggapan bahwa A’radh tersebut tidak kekal.

 

  1. Sebagian mereka berpendapat bahwa sesungguhnya tidak ada A’radh selain gerak, dan A’radh tidak dapat kekal. Orang yang berpendapat seperti ini adalah An-Nazhzham.

 

  1. Abu Al-Hudzail berpendapat bahwa di antara A’radh, ada yang kekal dan ada yang tidak kekal. Semua gerak itu kekal, sedangkan diam itu di antaranya ada yang kekal dan ada yany tidak kekal. Abu Al-Hudzail beranggapan bahwa diamnya ahli surga adalah diam yang kekal. Begitu puIa wujyud mereka. Abu Hudzail beranggapan bahwa warna itu kekal. Begitu puIa rasa, bau, kehidupan, dan kekuatan, semuanya kekal karena kekekalannya, bukan karena tempatnya. Abu Al-Hudzail beranggapan bahwa kekekalan itu adalah ‘firman Allah terhadap sesuatu, “Kekal-lah ia”. Begitu puIa halnya dengan kekekalan Jism: dan A’radh. Dia juga beranggapan bahwa sakit itu kekal, sebagaimana kekalnya kelezatan. Oleh karena itu, sakitnya ahli neraka kekal di dalam dirinya, dan kelezatan surga juga kekal di dalam dirinya.

 

  1. Muhammad bin Syabib beranggapan bahwa gerak itu tidak kekal. Begitu puIa diam.

 

  1. Muhammad bin Abd. Al-Wahhab Al-Jubba’i mengatakan bahwa semua gerak itu tidak kekal. Sedangkan diam itu ada dua macam, yaitu diamnya benda-benda padat, dan diamnya binatang, (benda-benda hidup). Diam spontan makhluk hidup yang terjadi dengan sendirinya itu tidak kekal. Sedangkan diamnya benda-benda mati itu kekal. Al-Jubba’i berpendapat bahwa warna, rasa, bau, kehidupan, kekuatan, dan kesehatan itu kekal. Dia juga berpendapat bahwa kekekalan sebagian besar A’radh. Berikutnya, ia mengatakan bahwa setiap A’radh yang dilakukan oleh makhluk hidup dengan sendirinya (secara spontan) itu tidak kekal. Dia juga mengatakan bahwa seandainya di antara A’radh itu ada yang kekal, maka pada Ajsam, ia kekal bukan karena sifatnya yang kekal. Namun demikian, ia membolehkan: kekekalan ungkapan (Al-Kalam).

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa gerak itu tidak boleh kekal, dan juga tidak boleh banyak jumlahnya.

 

  1. Dhirar bin Amru dan Husain bin Muhammad An-Najjar berpendapat bahwa yang bukan Ajsam tidak mungkin kekal. Berikutnya, keduanya mengatakan bahwa kekekalan yang dimiliki oleh Jism adalah sebagiannya begini dan sebagian lagi begitu.

 

An-Najjar sendiri menyangkal kemampuan sebab kemampuan tidak termasuk Jism. Kemampuan berbeda dengan Jism dan tidak mungkin kekekalan kemampuan itu berada di luar dirinya. Sebab, sesuatu tidak dapat dikatakan kekal karena yang ada di luar dirinya.

 

  1. Basyar bin Mu’tamir berpendapat bahwa diam itu kekal. Kekekalan ini akan tetap, kecuali biIa pelaku itu keluar dari kekekalan tersebut kemudian ia bergerak. Demikian puIa halnya dengan warna hitam, selama pemilik warnahitam itu (Al-Aswad) tidak keluar‘menuju warna lawannya, seperti putih atau warna lainnya. Begitu puIa keadaan semua A’radh.

 

Para ahli kalam berbeda pendapat mengenai apakah A’radh itu memiliki kekekalan atau tidak? Dalam hal ini ada terdapat beberapa pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian ahli kalam berpendapat bahwa tidak semua Q’radh itu dapat sirna. Sebab, sesuatu yang binasa atau sima, berarti ia dapat kekal.

 

  1. Sebagian ahli kalam yang lain berpendapat bahwa A‘radh itu sirna dengan pengertian dihilangkan (ta‘addun).

 

  1. Sebagian ahli kalam yang lain lagi berpendapat bahwa sesuatu yang dapat kekal, maka ia pun dapat sirna, dan sesuatu yang tidak dapat kekal, maka ia pun tidak dapat sirna.

 

Para ahli kalam berbeda pendapat mengenai A’radh, apakah ia memiliki kekekalanan atau tidak?

 

Dalam hal ini ada beberapa pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa A’radh itu kekal dengan kekalnya Jism.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat bahwa A’radh itu kekal, tetapi bukan karena sifat kekekalannya.

 

3, Sebagian Mutakallimin lagi berpendapat bahwa A’radh itu kekal, tetapi bukan pada suatu tempat.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai simanya A’radh, sebagai berikut:

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa A’radh itu sirna, tetapi bukan pada suatu tempat.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain mengatakan bahwa A’radh itu dapat sima, tetapi sima di luar dirinya. Seperti warna hitam, ia dapat sirna menghadapi warna putih, apabiIa warna hitam tersebut masuk atau datang sesudah warna putih.

 

  1. Pendapat lain mengatakan bahwa A’radh itu dapat sirna, tetapi bukan karena sifatnya.

 

Ulama Mutakalhmin berbeda pendapat mengenai penglihatan terhadap A’radh dan Ajsam, sebagai berikut

 

  1. Abu Al-Hudzail berpendapat bahwa Ajsam dapat dilihat. Demikian puIa dengan gerak, diam, warna, pertemuan, perpisahan, berdiri, duduk, dan berbaring. Sebab, manusia dapat me lihat diam ketika ia melihat sesuaty yang bergerak. Manusia dapat melihat gerak ketika ia melihat sesuaty yang diam melalui pandangannya bahwa sesuatu itu diam. Demikian puIa pendapat mengenai warna, pertemuan, perpisahan, berdiri, duduk, berbaring dan segaIa sesuatu lainnya, apabiIa terlihat Jism-nya, maka orang yang melihatnya akan dapat membedakan satu atau dari yang lainnya. Dari sini dapat dipahami bahwa manusia dapat melihat sesuatu.

 

Abu Al-Hudzail beranggapan bahwa manusia dapat meraba atay menyentuh gerakan dan diam melalui sentuhannya terhadap sesuatu yang bergerak atau sesuatu yang diam. Sebab, manusia dapat membedakan antara sesuatu yang diam dan yang bergerak melalui sentuhannya sebagaimna halnya ia dapat membedakan antara sesuatu yang diam dan bergerak melalui penglihatannya. Begitu puIa terhadap semua Jism, apabiIa manusia menyentuhnya, maka melalui sentuhannya itu, ia dapat membedakan antara satu Jism dari lainnya. Dengan demikian, manusia dapat menyentuh A’radh tersebut.

 

Akan tetapi, Abu Al-Hudzail berpendapat bahwa warna tidak dapat disentuh. Sebab, manusia tidak dapat membendakan antara warna hitam dan warna putih melalui sentuhan.

 

  1. Al-Jubba’i sependapat dengan Abu Al-Hudzail mengenai penglihatan terhadap Ajsam dan A’radh. Akan tetapi, ia berbeda pendapat mengenai dengannya mengenai sentuhan terhadap A’radh.

 

3, Sebagian ahli kalam menyangkal bahwa manusia dapat menyantuh panas dan dingin. Mereka: beranggapan bahwa yang benar adalah manusia dapat memperoleh atau merasakan panas dan dingin, bukan menyentuhnya.

 

  1. An-Nazhzham berpendapat bahwa A’radh tidak mungkin dapat dilihat. Sebab, Aradh adalah gerak. Manusia hanya dapat melihat warna dan warna adalah Ajsam. Kemudian, tidak ada Jism yang dapat dilihat, kecuali wana.

 

  1. ‘Abbad bin Sulaiman berpendapat bahwa A’radh tidak dapat dilihat dan manusia hanya dapat melihat Ajsam. Kemudian Ajsam itu tidak akan dapat dilihat, kecuali yang memiliki arah. ‘Abbad bin Sulaiman menyangkal bahwa seseorang yang dapat melihat warna, gerak, diam, atau A‘radh.

 

6 Sebagian ahli kalam berpendapat bahwa Ajsam tidak dapat dilihat. Yang dapat dilihat hanyalah warna, dan warna adalah A‘radh. Orang yang berpendapat seperti ini adalah Abu Al-Husain Ash-Shalihi dan para pengikutnya.

 

  1. Sebagian yang lain berpendapat bahwa warna dan sesuatu yang diwamai dapat dilihat. Sedangkan gerakan, diam, dan seluruh A’radh tidak dapat dilihat.

 

  1. Mu’ammar berpendapat bahwa yang dapat dilihat hanyalah A‘radh. Sdangkan Jism itu sendiri tidak dapat dilihat.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai penciptaan sesuatu, apakah penciptaan itu dari sesuatu menjadi sesuatu itu sendiri atau menjadi sesuatu yang lain? Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat, yaitu:

 

  1. Abu Al-Hudzail berpendapat bahwa penciptaan sesuatu sebagai pembentukan dari sesuatu yang belum ada sebelumnya merupakan pengadaan sesuatu yang lain. Penciptaan tersebut merupakan kehendak-Nya melalui firman-Nya yang berbunyi “Kun”. Penciptaan dan sesuatu yang diciptakan memiliki kedudukan yang sama. Allah tidak mungkin menciptakan sesuatu yang tidak IIa kehendaki, dan Allah tidak akan mengatakan “Kun” kepadanya. Abu Al-Hudzail membenarkan penciptaan A‘radh menjadi sesuatu yang lain. Begitu puIa dengan penciptaan Jauhar. Abu Al-Hudzail beranggapan bahwa penciptaan yang merupakan kehendak dan disertai dengan ungkapan “Kun” tidak berada di suatu tempat tertentu. Dia beranggapan bahwa penyusunan adalah menciptakan sesuatu menjadi tersusun, pemanjangan adalah menciptakan sesuatu menjadi panjang, pewarnaan adalah menciptakan sesuatu menjadi berwarna. Pengadaan Allah terhadap sesuatu yang tidak ada sebelumnya merupakan pencipta-Nya terhadap sesuatu itu. Penciptaan itu adalah dari sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Dan pengulangan penciptaan-Nya pun menjadi sesuatu yang lain, yakni penciptaan Allah terhadap sesuatu sesudah ketiadaannya dan kehendak-Nya terhadap sesuatu yang lain. Kehendak Allah terhadap keimanan berbeda dengan periniah-Nya terhadap keimanan. Abu Hudzail membenarkan pengadaan awal yang berbeda dengan yang diadakannya dan pengulangan berbeda dengan sesuatu yang diulangnya. Pengadaan pertama adalah penciptaan sesuatu pertama kali, sedangkan pengulangan adalah penciptaan sesuatu yang kedua kalinya.

 

  1. Hisyam bin Amru Al-Fuwathi berpendapat bahwa apabiIa pengadaan sesuatu yang pertama kalt dapat diulangi penciptaannya, maka penciptaan yang kedua dapat menjadi sesuatu yang lain. Dan apabiIa pengadaan sesuatu yang pertama kali tidak dapat diulangi penciptaannya, maka penciptaan yang kedua tidak dapat menjadikan sesuatu yang lain. Dan kehendak adalah sesuatu yang dikehendaki.

 

3, “Abbad bin Sulaiman ketika ditanya, “Apakah cngkau berpendapat bahwa ciptaan itu berbeda dengan sesuatu yang diciptakan?”’ Ia menjawab bahwa pemyataan tersebut salah sebab sesuatu yang diciptakan (makhluq) merupakan ungkapan atau ekspresi dari sesuatu dan juga merupakan ekspresi penciptaan. Selajutnya, ia berpendapat bahwa penciptaan sesuatu itu berbeda dengan sesuatu itu sendiri. Dia tidak berpendapat bahwa penciptaan berbeda dengan yang diciptakan. Ia berpendapat bahwa, penciptaan adalah kata-kata atau ungkapan (yang dilontarkan kepada sesuatu itu), sebagai yang diungkapkan oleh Abu Al-Hudzail. Akan tetapi, Abbad tidak mengatakan bahwa Allah berfirman kepadanya dengan ungkapan, “Kun”, sebagaimna yang dikatakan oleh Abu AlHudzail.

 

  1. Zarqan mengatakan bahwa Mu’ammar beranggapan, “Penciptaan sesuatu adalah sesuatu yang lain. Penciptaan itu memiliki ciptaan, sampai sesuatu yang tidak ada batasnya. Penciptaan tersebut terjadi pada satu waktu yang bersamaan.”

 

  1. Hisyam ibn’ Hakam menyatakan bahwa penciptaan sesuatu merupakan sifat baginya, bukan sesuatu itu sendiri dan bukan puIa sesuatu yang lain.

 

  1. Basyar ibn Mu’tamar berpendapat bahwa penciptaan sesuatu adalah sesuatu yang lain. Penciptaan itu terjadi sebelum sesuatu yang diciptakan. Penciptaan itu adalah kehendak Allah terhadap sesuatu.

 

  1. Ibrahim An-Nadham berpendapat bahwa penciptaan Allah terhadap sesuatu sebagai pembentukannya adalah sesuatu yang dibentuk, yaitu sesuatu yang diciptakan. Begitu puIa halnya pengadaan pertama kali merupakan sesuatu yang diadakan pertama kali. Pengulangan terhadap sesuatu adalah sesuatu yang diulang. Kehendak Allah sebagai pengadaan terhadap sesuatu merupakan sesuatu itu sendiri. Dan kehendak Allah sebagai periniah menjadi sesuatu yang berbeda dari sesuatu yang dikehendaki, seperti kehendak Allah terhadap keimanan merupakan periniah-Nya terhadap keimanan tersebut, dan kehendak Allah sebagai ketetapan dan pemberitahuan menjadi sesuatu yang ditetapkan dan yang diberitahukan, seperli kehendak Allah untuk me lakukan sesuatu, yakni menjadi penctap dan pemberitahu terhadap sesuatu, Pengadaan terhadap sesuatu pertama kali adalah sesuatu yang diadakan pertama kali pula, dan pengulangannya adalah sesuatu yang diulang itu sendiri, yakni penciptaan sesuatu sesudah ketiadaannya.

 

8 Al-Jubba‘i berpendapat bahwa penciptaan adalah sesuatu yang diciptakan. Namun, kehendak Allah berbeda dengan sesuatu yang dikehendala, sebagaimana halnya perbuatan manusia adalah sesuatu yang diperbuatnya. Sedangkan kehendak manusia berbeda dengan yang dikehendaki-Nya.

 

Al-Jubba’i beranggapan bahwa kehendak Allah terhadap keimanan berbeda dengan periniah-Nya, dan berbeda puIa dengan keimanan itu sendiri. Kehendak Allah untuk membentuk sesuatu berbeda dengan sesuatu itu sendiri.

 

  1. Menurut pendapat saya penciptaan itu adalah sesuatu yang diciptakan dan pengulangan itu berbeda dengan sesuatu vang diulang.

 

Para ahli kalam yang berpendapat bahwa penciptaan sesuatu berbeda dengan sesuatu itu sendiri, mereka berbeda pendapat mengenai penciptaan; apakah ia makhluk atau bukan. Dalam hal in, terdapat beberapa pendapat, yaitu:

 

  1. Abu Musa Al-Mirdar berpendapat bahwa ciptaan berbeda dengan sesuatu yang diciptakan (makhluq), tetapi sebenarnya ciptaan itu makhluq dan makhluq itu tidak dapat menciptakan.

 

  1. Abu Hudzail berpendapat bahwa ciptaan yang terdiri atas susunan, warna, panjang, dan lain-lain. Semua itu pada dasarnya adalah makhluq ciptaan yang merupakan ekspresi dari ucapan dan kehendak, bukan makhluq. Seandainya ciptaan itu disebut makhluq, maka hal tersebut hanyalah kiasan (majaz).

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa ciptaan itu tidak dapat disebut makhluq sama sekali.

 

  1. Zuhair Al-Atsary berpendapat bahwa ciptaan itu bukan makhluq. Ciptaan itu adalah kehendak dan ucapan. Ia merupakan sesuatu yang diadakan (muhdats), tetapi bukan makhluq.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai kekekalan (Al-Baqa’) dan kebinasaan (Al-fana), sebagai berikut:

 

  1. Mutakallimin yang me embenarkan ciptaan sesuatu berbeda dengan sesuatu itu sendirt mengatakan bahwa sesuatu itu kekal karena sifat kekekalannya

 

  1. Sebagian ahli kalam yang menyatakan ciptaan itu adalah sesuatu yang diciptakan. Mereka beranggapan bahwa sesuatu itu kekal karena sifat kekekalannya.

 

3, Abu Al-Hudzail berpendapat bahwa ciptaan sesuatu itu berbeda dengan sesuatu itu sendiri, dan kekekalan itu berbeda dengan sesuatu yang kekal, sebagaimana halnya kebinasaan berbeda dengan sesuatu yang binasa. Kekakalan itu adalah firman Allah terhadap sesuatu yang berbunyi: Al. Baqa’ dan kebinasaan itu adalah firman-Nya yang berbunyi: Al-Fana.,

 

  1. Sebagian ulama Bagdad berpendapat bahwa kekekalan sesuatu berbeda dengan sesuatu itu sendiri, dan sesuatu yang fana itu tidak memiliki kefana-an. Sesuatu itu bisa fana bukan karena sifat ke-fana-annya.

 

  1. Sebagian Mutakallilmin di antaranya Al-Jubba’i dan lain-lain, mengatakan bahwa sesuatu itu kekal bukan karena sifat kekekalannya dan sesuatu itu binasa bukan karena ke-fana-an yang lainnya.

 

  1. Mu’ammar berpendapat bahwa sesuatu yang binasa (Al-Faniy) itu memiliki ke-fana-an. Dan sesuatu yang fana itu memiliki ke-fana-an tanpa batas. Allah tidak mungkin membuat segaIa sesuatu menjadi fana.

 

  1. An-Nazhzham berpendapat bahwa sesuatu itu kekal bukan karena kekekalan sifatnya dan sesuatu itu binasa (fana) bukan karena ke-fanaan sifatnya.

 

  1. Zarqan menyatakan bahwa Hisyam bin Hakam berpendapat bahwa kekekalan itu merupakan sifat bagi sesuatu yang kekal, bukan dirinya sendiri dan bukan sesuatu yang lain. Begitu puIa Al-Fana atau kebinasaan.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai posisi kekekalan dan kebinasaan apakah keduanya berada pada satu waktu yang bersamaan, atau dapat dalam beberapa kesempatan?

 

Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat, yaitu:

 

  1. Abu Hudzail berpendapat bahwa kekekalan dan kebinasaan tidak terdapat di suatu tempat tertentu. Begitu puIa dalam ciptaan dan begitu puIa halnya dengan waktu, ia tidak berada pada suatu tempat tertentu dan tidak boleh ada Iebih dari satu waktu.

 

  1. Sebagian ahli kalam berpendapat bahwa kekekalan sesuatu berada bersama sesuatu itu, tetapi kekekalan tersebut bukan sesuatu yang ada bersamanya. Kekekalan itu bisa diperoleh pada sesuatu selama masih ada.

 

  1. Muhammad ibn Syabib berpendapat bahwa definisi fana yang menyebabkan hilangnya Jism tidak disebut fana, sebelum hilangnya Jism tersebut. Sebab fana itu hanya dapat berdomisili di dalam Jism ketika ia berada dalam Jism tersebut. Kemudian ia hilang sesudah keberadaannya.

 

  1. Al-Jubba’i berpendapat bahwa ke-fana-an Jism tidak terdapat pada suatu tempat tertentu sebab ke-fana-an bertentangan dengan keberadaannya di suatu tempat tertentu dan bertentangan puIa dengan berbagai jenisnya. Al-Jubba’i beranggapan bahwa warna hitam yang datang sesudah warna putih, maka hal tersebut menjadi sebuah ke-fana-an bagi warna putih. Begitu puIa halnya dengan segaIa sesuatu yang dapat menghilangkan sesuatu maka keberadaannya akan menyebabkan hilangnya sesuatu yang lain. Ke-fana-an Ar ’radh mengambil tempat di dalam Jism, sedangkan ke-fana-an itu sendiri tidak hilang atau binasa.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai definisi kekal, sebagai berikut:

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa definisi sesuatu yang kekal adalah sesuatu yang memiliki kekekalanan. Begitu puIa pendapat mereka mengenai sesuatu yang terdahulu (Al-Qadim) dan yang baru (Al-Muhdats). Ini adalah pendapat Abdullah ibn Kullab.

 

  1. Sebagian Mutakallimin lain berpendapat bahwa Al-Qadim itu kekal dengan sendirinya, tetapi tidak kekal karena kekekalan sifatnya. Pengertian Al-Muhdats adalah kekal karena ia memiliki kekekalan. Sebab ada juga sesuatu yang tidak kekal.

 

  1. Di antara ahli kalam, ada yang berpendapat bahwa segaIa sesuatu yang kekal adalah kekal bukan karena kekekalan sifatnya. Ada puIa yang berpendapat bahwa pengertian sesuatu yang kekal adalah karena keeksisannya, dan tidak karena diadakan. Sesuatu yang terdahulu itu masih tetap kekal sebab masih tetap eksis dan tidak karena diadakan. Sebaliknya sesuatu yang diadakan, maka pada waktu diadakan, ia tidak kekal, tetapi pada waktu berikutnya, ia menjadi kekal sebab ia eksis pada waktu berikutnya dan tidak karena diadakan.

 

4, Sebagian mereka, di antaranya Al-Isykafy, berpendapat bahwa. pengertian muhdats adalah sesuatu yang kekal dan tetap dalam berbagai keadaan dan kesempatan. Adapun tentang suatu yang terdahulu (qadim), dak ada yang memberi pengertian bahwa qadim kekal sebab masih tetap ada

 

Para ahli kalam berbeda pendapat mengenai penyertian yang ada pada Ajsam, seperti gerakan, diam, dan lain-lain, apakah termasuk A’radh atau sifat. Dalam hal ini, ada beberapa pendapat sebagai berikut termasuk:

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa pengertian yang berada dalam Ajsam itu adalah sifat bukan A’radh. Kita mengatakannya makna bukan Ajsam atau yang lainnya sebab perbedaan yang terjadi di antara Al-Ajsam. Ini adalah pendapat Hisyam ibn Ahkamm.

 

  1. Sebagian ahli kalam yang lain berpendapat bahwa pengertian-pengertian yang ada di dalam Ajsam adalah A’radh bukan sifat, sebab sifat merupakan keterangan, yakni pandangan dan ungkapan, seperti ungkapan “Zaid yang pandai, mampu dan hidup”. Adapun ilmu, kemampuan, dan kehidupan bukan termasuk sifat. Begitu puIa gerakan dan diam pun bukan sifat.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat tentang mengapa definisi-definisi yang ada di dalam Ajsam disebut A’radh. Dalam hal ini, ada beberapa pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian ulama ahli kalam berpendapat bahwa definisi-definisi yang ada dindalam Ajsam itu disebut A’radh sebab dia datang ke Ajsam dan menetap di dalamnya. Sebagian lain menyangkal keberadaan A’radh bukan pada suatu tempat, atau terjadinya A’radh bukan pada Jism. Ini adalah pendapat An-Nazhzham dan mayoritas para pemerhati.

 

  1. Sebagian ahli kalam berpendapat bahwa definisi tersebut dikatakan A’radh sebab dia ada atau muncul di dalam Ajsam. Hal tersebut disebutkan adanya kebolehan keberadaan A’radh bukan dalam Jism, dan kebolehan adanya kejadian-kejadian bukan pada satu tempat tertentu. Seperti waktu, kehendak ucapan dan kehendak Allah. Ini adalah pendapat Abu Al-Hudzail.

 

  1. Sebagian orang berpendapat bahwa defisi tersebut dikatakan A‘radh sebab dia tidak memiliki durasi waktu untuk menentap. Penamaan ini dinmbil dart firman Allah SWT‘, yang berbunyi:

 

Artinya: “Mereka berkata, “Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami.” (QS. Al-Ahqaf : 24)

 

Mereka menyebutnya A ‘vadh, sebab ia tidak memiliki durasi waktu untuk menetap. Dan firman Allah SWT yang berbunyi:

 

Artinya: “Kamu menghendaki harta benda duniawiah.” (QS. Al-Anfal : 67)

 

Mereka menyebut harta sebagai A’radh, sebab ia bisa hilang.

 

  1. Sebagian ahli kalarn, berpendapat bahwa definisi tersebut dikatakan A’radh, sebab dia tidak dapat berdiri sendiri dan tidak ada satu jenis pun yang dapat berdiri sendiri.

 

  1. Sebagian ahli kalam yang lain berpendapat bahwa definisi-definisi yang ada dalam Ajsam disebut A’radh, sebab mereka berpijak pada istilah yang dipakai oleh Mutakallimun. Seandainya penamaan ini ditolak, maka kita tidak akan memperoleh alasan, baik dari Al-Quran, Sunah, atau konversi umat dan ahli bahasa. Ini adalah pendapat sekelompok para pemerhati, di antaranya adalah Ja’far ibn Harb.

 

  1. Abdullah ibn Kullah menyebut definisi yang ada di dalam Jism sebagai A’radh kemudian menamakannya Asyya’ dan kemudian menamakannya sifat.

 

sebagai Ajsam, dan Ajsam sebagai A’radh. Dalam hal ini, ada beberapa pendapat, sebagai berikut:

 

  1. Sebagian ahli kalam, di antaranya Hafs Al-Fard dan lain-lain, berpendapat bahwa Allah boleh memutarbalikkan A’radh sebagai Ajsam dan Ajsam sebagat A radh, sebab, Dia-lah yang menciptakan Jism sebagai Jism, dan A’radh sebagai A’radh. Dinamakan A’radh sebab Allah menciptakannya sebagai A’radh, dan dinamakan Jism, sebab Allah menciptakannya sebagai Jism. Oleh karena itu, A’radh yang diciptakan oleh Allah bisa dyadikan Jism, begitu puIa sebaliknya.

 

Hafsh Al-Fard juga beranggapan bahwa Allah menciptakan warna sebagai warna, dan rasa sebagai rasa, begitu puIa pendapatnya mengenai semua Ajnas . Sesunggulnya segaIa sesuatu diciptakan sebagaimana adanya dan manusia pun tidak me lakukan sesuatu berdasarkan apa adanya.

 

  1. Mayoritas para pemerhati menyangkal pemutarbalikan A’radh sebagai Ajsam dan Ajsam sebagai A’radh. Mereka mengatakan bahwa hal tersebut mustahil terjadi. Sebab, yang dimaksud dengan pemutarbalikan adalah menghilangkan A’radh dan mengadakan A’radh, sedangkan A’radh tidak memuat A’radh. Mereka mengemukakan berbagai macam arguimentasi.

 

  1. Mayoritas ulama Mutakallimin yang tidak berpendapat tentang bolehnya pemutarbalikan A’radh, di antaranya Al-Jubba’i, berpendapat bahwa kita tidak mengatakan bahwa Allah menciptakan Jauhar sebagai Jauhar, warna sebagai warna, sesuatu sebagai sesuatu, dan A’radh sebagai A’radh, sebab Allah mengetahuinya sebagai Jauhar sebelum ia menciptakannya. Begitu puIa halnya dengan warna, Ia telah mengetahuinya sebagai warna sebelum ia menciptakan warna tersebut. Begitu puIa pendapatnya mengenai sesuatu sebelum terjadinya sesuatu itu.

 

  1. Sebagian dari kelompok Mu ’tazilah dan lain-lain berpendapat bahwa Allah menciptakan Jauhar sebagai Jauhar, warna sebagai warna, sesuatu sebagai sesuatu, dan gerak sebagai gerak. Seandainya tidak demikian, pastilah Jauhar itu qadim. Ketika hal itu tidak mungkin terjadi, maka benarlah bahwa ia menciptakannya sebagai Jauhar. Seandainya ia tidak menciptakannya sebagai Jauhar, maka tidak akan ada Jauhar sebagai Jauhar menurut Allah.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai definisi (ma’ani) sebagai berikut:

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa Jism dalam keadaan diam disebabkan adanya definisi atau makna, yaitu gerak. Seandainya tidak ada gerak, tidak mungkin yang bergerak itu lebih utama daripada yang lainnya, dan tidak mungkin yang lebih utama dapat bergerak melalui gerakan sebelumnya,

 

Selanjutnya, kelompok ini berkata, “ApabiIa demikian keadaannya, maka begitu puIa dengan gerakan, Seandainya gerakan tersebut tidak meniliki sebuah makna, maka gerakan yang dimiliki oleh sesuatu yang bergerak itu tidak Icbih utama daripada gerakan yang yang dimiliki oleh yang lain. Hal tersebut menjadi makna sebab gerak yang dimiliki oleh sesuatu yang bergerak itu diperuntukkan bagi makna yang fain karena makna tidak bersifat parsial dan general. Ia terjadi dalam satu waktu yang bersamaan.” Begitu puIa pendapat mengenat warna hitam dan warna putih, dan mengenai hitamnya Jism, bukan yang lain dan mengenai putihnya Jism, bukan yang lain. Begitu puIa pendapat mengenai perbedaan warna hitam dan warna putih dan seluruh jenis serta A’radh, Sesunggunya apabiIa ada dua A’radh yang berbeda atau sama, maka hendaklah ada penetapan definisi yang menyeluruh.

 

Mereka beranggapan bahwa ma’ani yang tidak menyeluruh memiliki tindakan atau efek bagi tempat yang didudukinya. Begitu puIa pandangan mengenai hidup dan mati. ApabiIa kita menetapkan makna sebagai sesuatu yang hidup dan yang mati, maka hendaknya ada penetapan makna yang menduduki tempat tanpa batas. Sebab, kehidupan itu hanyalah diperuntukkan bagi makna, bukan bagi yang lainnya. Makna tersebut untuk makna, begitu puIa seterusnya. Ini adalah pendapat Mu’ammar.

 

  1. Saya mendengar sebagian Mutakallimin, yaitu Ahmad Al-Faraty, ia beranggapan bahwa gerakan itu adalah gerakan Jism untuk makna. Makna yang memiliki gerakan adalah gerakan Jism yang terjadi bukan untuk makna.

 

  1. Mayoritas para pemerhati, berpendapat, apabiIa kita tetapkan bahwa Jism itu bergerak setelah diam, maka pastilah gerakan Jism bergerak dan gerakan itu adalah gerakan Jism bukan karena adanya makna yang menyebabkannya bergerak. Begitu puIa pandangan mengenai semua A’radh.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai gerakan biIa gerakan itu kepunyaan Jism bukan kepunyaan makna, apakah gerakan Jism itu untuk dirinya atau untuk makna?

 

Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat, sebagai berikut:

 

  1. Al-Jubba‘i berpendapat bahwa gerakan itu bukan untuk dirinya dan bukan puIa untuk makna.

 

  1. Sebagian ahli kalam yang lain berpendapat bahwa gerakan itu untuk dirinya.

 

Mutakallimin berbeda pendapat mengenai A’radh, apakah boleh pengulangan A‘radh atau tidak?

 

Dalam hal ini, ada beberapa pendapat ge. bagai berikut:

 

  1. Mayoritas Mutakallimin di antaranya Muhammad ibn Syabib ber. pendapat bahwa gerak itu dapat diulang.

 

  1. Zarqan mengatakan bahwa sebagian Mutakallimin berpendapat, gerakan pada waktu yang kedua merupakan gerakan ulang dari gerakan yang pertama.

 

  1. Sebagian pendapat mengatakan bahwa semua A’radh tidak dapat diulang,

 

  1. Sebagian ahlikalam, di antaranya Al-Isykafy, berpendapat bahwa A’radh yang kekal dapat diulang, sedangkan A’radh yang tidak kekal tidak dapat diulang.

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa sesuatu yang tidak dapat diketahui ukurannya, seperti warna, rasa, bau, kekuatan, pendengaran, penglihatan dan lain-lain, maka. semuanya dapat diulang. Dan sesuatu yang diketahui ukurannya, seperti gerak, diam, dan berbagai hal yang ditimbulkannya, seperti penyusunan, pemisahan, suara, dan semua yang diketahui ukurannya, maka hal tersebut tidak dapat diulang. Ini adalah pendapat Abu Al-Hudzail.

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa sesuatu yang dapat diketahui ukurannya oleh manusia, atau mereka mampu mengukur jenisnya, atau yang tidak dapat kekal, maka hal tersebut tidak dapat diulang. Adapun A’radh selain itu dapat diulang. Ini adalah pendapat Al-Jubba’i.

 

Al-Jubba’i beranggapan bahwa sesuatu yang dapat diulang, dapat didahulukan atau diakhirkan keberadaannya. Sedangkan gerak dan lain-lain yang tidak dapat diulang, seandainya diulang niseaya ia dapat didahulukan dan diakhirkan keberadaannya. Seandainya gerakan itu dapat diulang, maka sesuatu yang dapat dikerjakan lebih dari sepuluh jam, dapat didahulukan, atau sesuatu yang dapat dikerjakan pada waktu yang kedua, dapat dikerjakan ulang pada waktu yang kesepuluh. Seandainya hal tersebut dapat dilakukan dan Allah tidak menentukan batas akhir gerakan Ajsam maka hal tersebut boleh dilakukan pada masa kita sekarang ini. Seandainya hal tersebut diperbolehkan, niseaya manusia akan mendahulukan sesuatu yang dikerjakannya pada waktu yang tidak ada batasnya, dan melakukannya pada waktu sekarang. Seandainya hal tersebut diperbolehkan, niseaya manusia, meskipun dia tidak melakukannya sekarang, ia dapat meninggalkan sebagiannya, maka hal tersebut tidak dapat diakui (fasid). Jika hal itu tidak dapat diakui maka pengulangan gerakan pun tidak dapat diakui pula. Al-Jubba’i berargumentasi dengan ini ketika ia beranggapan bahwa meninggalkan sesuatu tidak berarti meninggalkan sesuatu yang lainnnya, dan bahwa satu kali peninggalan berlaku bagi dua hal.

 

Mutakallimin yang mengatakan bahwa Ajsam dapat diulang di hari akhirat, mereka berbeda pendapat mengenai apakah sesuatu yang diciptakan pertama kali di dunia itu akan diulang kembali di hari ahirat atau tidak? Berkenaan dengan hal ini, ada beberapa pendapat sebagai berikut:

 

  1. Mayoritas kaum Muslimin berpendapat bahwa sesuatu yang diciptakan pertama kali di dunia akan diulang kembali di akhirat.

 

  1. ‘Abbad bin Sulaiman tidak berpendapat bahwa sesuatu yang diulang itu adalah sesuatu yang telah diciptakan pertama kali dan bahwa sesuatu yang diulang itu berbeda dengan sesuatu yang diciptakan pertama kali. Begitu puIa dia tidak berpendapat bahwa sesuatu yang bergerak itu adalah sesuatu yang diam, dan bahwa sesuatu yang bergerak itu berbeda dengan sesuatu yang diam ketika sesuatu itu bergerak, kemudian dia diam. Dia juga tidak berpendapat bahwa sesuatu yang baru adalah sesuatu yang belum ada sebelumnya, sebagaimana halnya ia juga tidak berpendapat bahwa sesuatu yang ada itu adalah sesuatu yang tidak ada.

 

Mutakallimin berbeda pendapat mengenai lawan sesuatu, sebagai benkut:

 

  1. Abu Hidzail berpendapat bahwa lawan atau kebalikan sesuatu itu adalah sesuatu yang apabiIa ia tidak ada, maka sesuatu yang lain menjadi ada. Dan apabiIa sesuatu (lawan) itu ada, maka sesuatu yang lain menjadi tidak ada. Abu Al-Hudzail bahwa Ajsam tidak saling berlawanan satu sama lain, dan mustahil Asam itu saling berlawanan satu sama lain.

 

  1. Sebagian ahli kalam berpendapat bahwa dua hal yang berlawanan adalah dua hal yang saling me niadakan satu sama lain.

 

Abu Hudzail me nyangkal pendapat ini sebab, ada dua huruf yang saling meniadakan, tetapi keduanya saling bertentangan.

 

  1. An-Nazhzham becrpendapat bahwa ‘Aradh tidak saling bertentangan. Pertentangan hanyalah terjadi antar Ajsam, seperti panas, dingin, hitam, putih, manis, dan masam. Semua itu adalah Ajsam yang saling merusakkan satu sama lain. Begitu puIa bahwa dua Jism yang saling merusakkan satu sama lain, keduanya bahwa disebut berlawanan.

 

  1. Sebagian ahli kalam berpendapat bahwa dua hal yang berlawanan adalah dua hal yang tidak bersepakat (tidak dapat dipersatukan) satu sama lain. Dari sini dapat dipahami, apabiIa ada dua hal berlawanan, maka keduanya tidak akan bersepakat. Ini adalah pendapat Abbad bin Sulaiman.

 

  1. Sebagian Mutakalimin beranggapan bahwa kadang-kadang dug hal itu dapat bertentangan di dalam satu tempat, seperti gerak dan diam, berdiri dan duduk, panas dan dingin, dan pertemuan dan perpisahan; Kadangkadang dua hal itu bertentangan dalam waktu, seperti sirna (Al-fana) yang tidak boleh bersamaan keberadaannya dengan sesuatu yang disirnakan (Al-Mujfna) di dalam satu waktu. Kadang-kadang dua hal itu: bertentangan dalam sifat, seperti kehendak terdahulu (Iradat Al-Qadim) terhadap sesuatu dan keengganannya. .

 

Menurut pendapat ini, pengertian saling berlawanan adalah saling meniadakan. ApabiIa ada sesuatu yang dapat menempati beberapa tempat, maka perlawanan atau perselisihan dua hal di dalam satu tempat akan meniadakan keberadaaan keduanya di tempat tersebut. Perselisihan dua hal dalam satu waktu akan meniadakan keberadaan keduanya di dalam waktu tersebut; dan perselisihan dua hal dalam sifat akan meniadakan sifat tersebut dari keduanya.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain beranggapan bahwa pengertian lawan adalah meninggalkan. Dengan demikian, pengertian dari lawan sesuatu adalah meninggalkannya.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai apakah Allah dapat disifati dengan sifat At-Tarku (tidak melakukan sesuatu)?

 

Dalam hal ini ada dua pendapat:

 

  1. Sebagian ahli kalam berpendapat bahwa Allah ‘Azza wa JalIa dapat saIa disifati dengan sifat At-Tarku (tidak melakukan sesuatu). Dan tindakan-Nya untuk betperale di dalam Jism merupakan penginggatanNya terhadap tindakan diam di dalam Jism tersebut. ,

 

2, Sebagian ahli katam yang lain berpendapat bahwa Allah tidak boleh sama sekali disifati dengan silat At-tarku (tidak melakukan sesuatu),

 

CIPTAAN-NYA UNTUK HIDUP DAN MATI

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai apakah Allah mampu memberikan kekuatan kepada ciptan-Nya untuk hidup dan mati, dan melakukan atau menghasilkan Ajsam atau tidak?

 

Dalam hal ini ada beberapa pendapat, sebagai berikut:

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa Allah Mahakuasa untuk memberikan kemampuan ‘kepada hamba-Nya untuk melakukan atau menghasilkan Ajsam, warna, rasa, bau, dan tindakan-tindakan lainnya. Ini adalah pendapat kelompok Rafidhah yang berlebihan.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat bahwa Allah tidak dapat disifati dengan kekuasaan untuk menjadikan hamba-Nya mampu untuk melakukan atau menghasilkan Ajsam. Akan tetapi, Dia berkuasa untuk menjadikan mereka mampu me lakukan atau menghasilkan semua A’radh dan semua yang berupa kehidupan, kematian, ilmu pengetahuan, kekuatan, dan seluruh jenis A’radh. Ini adalah pendapat AshShalihi. 

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat bahwa Allah berkuasa untuk memberikan kemampuan kepada hamba-Nya untuk’ me lakukan atau menghasilkan warna, rasa, bau, panas, dan basah, dan kering. Adapun mengenai kemampuan untuk hidup dan mati, maka bagi Allah tidak akan memberikan kemampuan tersebut kepada mereka. Ini adalah pendapat Basyar bin Mu’tamar.

 

4, Pendapat Mutakallimin yang lain adalah tidak ada A’radh, kecuali Allah dapat memberikan kemampuan kepadanya untuk’ menghasilkan yang: sejenis dengannya. Menurut pendapat ini, tidak ada A’radh kecuali gerak. Adapun mengenai warna, bau, panas, dan suara, mereka menyatakan ketidakmungkinannya bagi Allah untuk memberikan kemampuan kepada hamba-Nya untuk melakukan hal-hal tersebut. Menurut mereka, semua itu adalah Ajsam, sedangkan makhluq (ciptaan) tidak mungkin mampu melakukannya, kecuali melakukan gerak. Ini adalah pendapat AnNazhzham. .

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat bahwa Allah ‘dapat memberikan kemampuan kepada hamba-Nya untuk bergerak, diam bersuara, merasakan rasa sakit, dan semua hal yang dapat diketahy; kadarnya. Adapun A’radh yang udak dapat diketahut kadarnya, seperti warna, rasa, bau, kehidupan, kematian, kelemahan, dan kekuasaan_ maka Allah tidak akan memberikan kekuatan kepada hamba-Nya untuk mampu melakukan hal-hal tersebut. Ini adalah pendapat Abu Al. Hudzail.

 

Mutakallimin berbeda pendapat mengenai At-tarku atau tidak melakukan sesuatu dan Al-Kaffu atau keengganan untuk melakukan sesuatu, apakah pengertiannya berbeda dengan sesuatu yang meninggalkan (At-tarik)? Dalam hal ini, ada empat pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa tidak melakukan sesuatu (At-Tarku) berbeda dengan sesuatu yang meninggalkan (At -Tarik), sebab, tidak melakukan sesuatu merupakan keengganan diri terhadap sesuatu,

 

  1. Sebagian Mutakallimin tidak mengakui keberadaan At-Tarku (tidak melakukan sesuatu). Yang ada hanyalah sesuatu yang meninggalkan (At-Tarik), dan dia tidak memiliki peninggalan (At-Tarku).

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat bahwa keengganan manusia terhadap sesuatu adalah definisi atau makna, bukan manusia itu sendiri dan bukan puIa sesuatu yang lain.

 

4, Abbad bin Sulaiman berpendapat bahwa peninggalan atau. ketidakmelakukan manusia terhadap sesuatu berbeda dengan manusia itu sendiri. Dia tidak berpendapat bahwa meninggalkan sesuatu (At-Tarku) berbeda dengan sesuatu yang meningalkan (At-Tarik). Sebab, apabiIa dia berpendapat bahwa manusia adalah sesuatu yang meninggalkan atau tidak melakukan sesuatu, maka berarti dia telah memberitahukan tentang manusia dan peninggalan.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai At-Tarku (meninggalkan sesuatu), apakah meninggalkan sesuatu itu berarti melakukan kebalikannya atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat, yaitu:

 

1, Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa meninggalkan sesuatu tidak berarti melakukan kebalikannya. Sebab menmngyalkan diam berarti maju untuk bergerak,

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa meninggalkan sesuatu berarti melakukan kebalikannya.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai apakah satu peninggalan dapat berlaku bagi dua hal yang ditinggalkan atau tidak? Dalam hal ini, ada dua pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian mereka berpendapat bahwa satu peninggalan dapat berlaku bagi dua hal yang ditinggalkan. Dengan kata lain, dua hal yang ditinggalkan dapat dilakukan dengan satu peninggalan. Mereka beranggapan bahwa meninggalkan sesuatu tidak berarti melakukan kebalikannya.

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa meninggalkan sesuatu berarti melakukan sesuatu yang berbeda dengan sesuatu yang ditinggalkannya, sebagaimana halnya mendahulukan sesuatu berbeda dengan mendahulukan sesuatu yang lainnya. Mayoritas Mutakallimin yang berpendapat seperti ini adalah mereka yang berpendapat bahwa meninggalkan sesuatu berarti melakukan kebalikannya. Sebagian Mutakallimin yang berpendapat seperti ini beranggapan bahwa beberapa perbuatan dapat dilakukan dengan satu peninggalan.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai tindakan-tindakan spontan (Al-Af’al Al-Mutawallidah), apakah tindakan-tindakan tersebut dapat ditinggalkan atau dihindari oleh manusia atau tidak, seperti rasa sakit yang timbul akibat pukulan, dan lepasnya batu dari ketepel? Dalam hal ini ada dua pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat, bahwa tindakan-tindakan spontan tidak dapat ditinggalkan atau dihindari. Ini adalah pendapat ‘Abbad dan Al-Jubba’i.

 

  1. Sebagian yang lain berpendapat bahwa tindakan-tindakan spontan dapat dihindari sebab manusia kadang-kadang menghindari -berbagai tindakan.

 

Dari sudut pandang yang lain, Ulama Mutakallinin berbeda pendapat mengenal peninggalan (At-Tarku), apakah manusia dapat menghindar! sesuaty yang tidak terdetik di dalam hatinya, atau tidak? Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian Mutakallimin beranggapan bahwa sesuatu yang tidak terdetik di dalam hati terkadang dapat ditinggalkan.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain mengatakan, “Saya tidak meninggalkan sesuatu, kecuali setelah adanya sebab, dan saya tidak puIa mengemukakan sesuatu, kecuali setelah adanya sebab.”

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat bahwa sebagian darj perbuatan yang dikemukakan, ada yang membutuhkan pemikiran, yaitu perbuatan yang refleks dan spontan. Mayoritas tindakan-tindakan spontan tidak membutuhkan pemikiran, tetapi kadang-kadang saya meninggalkan suatu perbuatan tanpa pemikiran. Mereka beranggapan juga bahwa mereka meninggalkan sesuatu yang mereka ketahui dan tidak mereka ingat.

 

4, Sebagian Mutakallimin yang lain beranggapan bahwa kehendak terjadi tanpa pemikiran dan tidak ada sesuatu yang dapat menyebabkkan terjadinya kehendak.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai peninggalan, apakah ia merupakan tindakan hati? Dalam hal ini ada dua pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian Mutakallimin beranggapan bahwa semua peninggalan termasuk aktivitas hati.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain beranggapan hal serupa dalam melakukan sesuatu. Sebagian yang lain beranggapan bahwa meninggalkan sesuatu dan melakukannya dapat terjadi tanpa hati. Sebagian lainnya lagi beranggapan bahwa keduanya dapat terjadi dengan hati.

 

Dari segi lain ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai peninggalan sesuatu, sebagai berikut:

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa melakukan secsuatu membutuhkan kehendak, sedangkan meninggalkan sesuatu tidak membutuhkafl kehendak. Akan tetapi, pendapat ini ditentang oleh kebanyakan Mutakallimin:

 

2 Sekelompok Mutakallimin beranggapan bahwa kebanyakan dari realisasi tindakan tidak membutuhkan kehendak, tetapi mereka menyangkal keberadaan peninggalan sesuatu yang tidak membutuhkan kehendak.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat tentang, apakah meninggalkan sesuatu itu kekal atau tidak? Dalam hal ini, ada tiga pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa peninggalan terhadap sesuatu itu tidak kekal. Akan tetapi, kadang-kadang kekekalan dapat terjadi pada A’radh yang tidak ditinggalkan.

 

  1. Sebagian Mutakalliniin yang, lain berpendapat bahwa semua A’radh itu tidak kekal, bukan peninggalannya, atau sesuatu yang lain.

 

  1. Sebagian Mutakallimin lagi beranggapan bahwa peninggalan itu terkadang kekal sebab mayoritas perbuatan yang dilakukan bersifat kekal.

 

 

Dari sisi lain, ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai kemungkinan melakukan sesuatu yang telah ditinggalkan. Dalam hal ini, ada dua pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa mereka dapat melakukan . sesuatu yang telah mereka tinggalkan.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat bahwa melakukan sesuatu yang telah ditinggalkan adalah mustahil.

 

Dari sisi lairi, ulama Mutakallimin berbeda pendapat, sebagai berikut:

 

  1. Sebagian mereka berpendapat bahwa kadang-kadang mereka meninggalkan sesuatu di tempat yang kesepuluh bersamaan dengan meninggalkan perbuatan yang spontan.

 

  1. Orang-orang cerdik pandai dari me reka mengingkari pendapat itu.

 

Mutakallimin berbeda pendapat mengenai fungsi dan kedudukan alatalat indera (Al-Hawas) dalam menangkap hal-hal yang dapat diindera.

 

Berkenaan dengan hal ini, ada beberapa pendapat, sebagai berikut:

 

1, Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa apabiIa sebab-sebab daya tangkapnya berasal dari alat-alat indera, maka hal tersebut menjadi miliknya. ApabiIa sebab-sebab daya tangkapnya berasal dani Allah, maka daya tangkap itu merupakan milik-Nya. Dan apabiIa daya tangkap itu bukan berasal dari Allah dan bukan puIa dari alat-alat indera, maka daya tangkap tersebut adalah miliknya.

 

Dan barang siapa yang mengakui perbuatannya dari salah satu yang telah kita sebutkan tadi, maka perbuatannya itu tiada lain hanyalah merupakan puihan dari kesimpulan pendapat yang menyatakan bahwa daya tangkap itu sesuai dengan sebab-sebabnya.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat bahwa daya tangkap itu berasal dari alat-alat indera dan merupakan miliknya. Hanya saIa daya tangkap tersebut bukan merupakan pilihannya, melainkan merupakan perbuatan alamiah dan realisasi atau bukti pendapat ahli kealaman yang menyatakan bahwa daya tangkap merupakan perbuatan tempat di mana ia berada. Mereka yang berpendapat seperti ini adalah para pengikut Mu’ammar.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat bahwa daya tangkap adalah milik Allah, bukan milik yang lain, disebabkan adanya kewajiban bagi Allah untuk menciptakan indera. Dan tidak boleh ada perbuatan yang disandarkan kepada-Nya, kecuali seperti itu. Ini adalah pendapat Ibrahim An-Nazhzham.

 

4, Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat bahwa daya tangkap tersebut milik Allah karena Ia telah menciptakan alam dalam bentuk indera cerminan keberadaan-Nya. Ini adalah pendapat Muhammad bin Harb Ash-Shairafi dan mayoritas kelompok kebenaran.

 

  1. Sebagian mutakallimin yang lain berpendapat bahwa Allah-lah yang mengadakan dan menciptakannya pertama kali. ApabiIa berkehendak, maka Dia dapat mengangkat atau menghilangkan daya tangkap tersebut, meskipun keadaan mata seseorang hamba itu sehat dan terbuka, dan sinar pun cukup. Dan apabiIa Ia menghendaki untuk menciptakan daya tangkap tersebut pada benda-benda mati, maka Ia pun dapat melakukannya. Ini adalah pendapat Shalih Qubbah.

 

  1. Pendapat lain bahwa daya tangkap adalah perbuatan Allah yang diciptakan oleh-Nya dan manusia tidak mungkin dapat melakukannya. Dan mustahil terjadi, apabiIa keadaan mata sehat dan sinar pun tetap menyala, tetapi Allah tidak memberikan daya tangkap. Juga tidak mungkin bagi Allah membuat daya tangkap bersamaan dengan kebutaan, sebagaimana halnya tidak mungkin. bagi Allah untuk menciptakan daya tangkap bersamaan dengan kematian.

 

  1. Dhirar berpendapat bahwa daya tangkap merupakan usaha manusia dan ciptaan Allah.

 

  1. Sebagian penduduk Bagdad berpendapat bahwa daya tangkap merupakan perbuatan hamba, dan mustahil merupakan tindakah Allah “Azza wea Jalla.

 

Para ahli kalam yang mengatakan bahwa kadang-kadang manusia itu menggunakan daya tangkap berdasarkan pilihannya sendiri, mereka berbeda pendapat sebagai berikut:

 

1, Sebagian mereka berpendapat bahwa faktor penyebab dava tangkap adalah sesuatu yang datang sebelumnya dan menjadi pembukanya, yakni keinginan yang mengharuskan adanya pembukaan, dan pembukaan serta daya tangkap itu terjadi bersamaan.

 

  1. Sebagian ahli kalam berpendapat bahwa pembukaan merupakan faktor penyebab daya tangkap; dan daya tangkap itu tidak mungkin terjadi kecuali setelah membuka mata. Begitu puIa halnya dengan pembakaran, ia akan terjadi setelah api menyentuh sesuatu.

 

  1. Sebagian yang lain berpendapat bahwa mungkin saIa terjadi penyandaran pelupuk mata yang atas kepada pelupuk mata yang bawah karena ketinggian yang lainnya. Hal tersebut dapat menimbulkan daya tangkap, dan tidak menyebabkan terjadinya pembukaan sebelumnya sehingga tidak terjadi pembukaan mata.

 

  1. Kelompok yang lain berpendapat bahwa pembukaan merupakan penyebab tangkap, kemudian keduanya menyatu untuk melakukan penangkapan bersama-ama, tidak sebelum atau sesudahnya.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai bagaimana seseorang dapat menangkap sesuatu melalui penglihatannya?

 

Dalam hal ini ada beberapa pendapat, sebagai berikut:

 

1, Sebagianulama Mufakallimin berpendapat bahwa seseorang tidak dapat menangkap sesuatu melalui penglihatannya, kecuali penglihatannya itu dapat me njangkau sesuatu yang ditangkapnya dan masuk ke dalamnya.

 

Mutakallimin yang berpendapat seperti di atas beranggapan bahwa manusia tidak mungkin dapat menangkap sesuatu‘melalui inderanya, kecuali biIa menyatu dan berdampingan dengan sesuatu yang diinderanya. Ini adalah pendapat An-Nazhzham,

 

Zarqan menceritakan bahwa An-Nazhzham berpendapat, manusia dapat menangkap suara dan warna dengan cara menyatu dan masuk ke dalamnya. An-Nazhzham beranggapan bahwa manusia tidak akan menangkap suara, kecuali dengan menutup suara tersebut dan memindahkannya ke dalam pendengarannya sehingga ia dapat mendengarnya. Begitu puIa pendapatnya mengenai sesuatu yang dapat dicium dan dirasa.

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa alat-alat indera itu tidak. mungkin dapat masuk, menyatu, dan berdampingan sebab alat-alat indera tersebut adalah A‘radh.‘Mereka beranggapan bahwa penglihatan (mata) tidak mungkin dapat menjangkau. Begitu puIa indera-indera yang lain. Akan tetapi, seseorang dapat melihat sesuatu dengan cara menyatukan diri atau berhubungan dengan cahaya atau sinar. Seseorang tidak akan dapat mencium sesuatu dan mengecap atau merasakan sesuatu sebelum bagian-bagian yang dapat menduduki rasa dan bau itu berpindah kepada orang yang mengecap atau merasakan makanan dan mencium bebauan tersebut. ApabiIa seseorang mendengar sesuatu, maka mustahil pendengarannya akan berpindah kepadanya atau ia berpindah kepada pendengarannya, atau. bahkan menyatu antara dirinya dengan pendengarannya, tanpa ia menjangkau dan mencampur dengan sesuatu itu. Begitu puIa mendengar sesuatu tanpa ia berpindah kepada sesuatu itu atau pendengarannya yang berpindah kepadanya. Sebab, sesuatu yang didengar itu adalah A’radh yang, tidak boleh berpindah-pindah. Begitu puIa penciuman seseorang terhadap bebauan dan pengecapannya terhadap makanan, tanpa makanan dan bebauan itu berpindah kepadanya.

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa tidak mungkin A’radh dapat ditangkap melalyi penyatuan, didengar me lalui telinga, dicium, diraga, dan disentuh. Sebab, menurut pendapat ini, tidak ada sesuatu yang dapat dilihat, kecuali Jism dan tidak ada sesuatu yang dapat didengar, kecuali Jism. Sebab menurut pendapat ini, suara adalah Jism. Begitu pula, tidak ada sesuatu yang dapat dirasa, dicium, dan disentuh, kecuali Jism. Orang yang berpendapat seperti ini adalah An-Nazhzham.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat bahwa tidak ada sesuatu yang dapat dirasa atau dikecap, dilihat, dictum, dan disentuh, kecuali Jism. Adapun sesuatu yang bukan Jism, maka terkadang ia dapat didengar. Mereka yang berpendapat seperti ini adalah sebagian para pemerhati atau analis.

 

  1. Sebagian Mutakallimin lainnya lagi berpendapat bahwa A’radh kadangkadang dapat dilihat, didengar, dicium, dirasa, dan disentuh.

 

Ulama Mutakkalimin berbeda pendapat mengenai daya tangkap ini sebagai berikut?

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa lokasi daya tangkap itu adalah hati (Al-Qalb), yaitu pengetahuan tentang sesuatu yang dapat ditangkap. Adapun boIa (mata) hanyalah memfokuskan mata pada sesuatu yang ditangkap ketika seseorang nsenemukan sesuatu yang ditangkap dengan boIa matanya, atau sebaliknya, yakni ketika ia mempertemukan boIa mata dengan sesuatu yang ditangkap. Sebagian orang menyebut perbuatan itu sebagai penglihatan.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat bahwa penglihatan dan daya tangkap adalah sama. Tempatnya adalah mata, bukan pengetahuan. Begitu puIa halnya dengan indera lainnya.

 

  1. Sebagian Mutakallimin lainnya lagi berpendapat bahwa daya tangkap ‘terletak pada bagian boIa mata yang merupakan jenis, sedangkan pengetahuan terletak dihati, bukan yang lain. Begitu puIa halnya dengan seluruh jenis lainnya.

 

Ulama Mutakalhmin berbeda pendapat mengenai daya tangkap, apakah ia merupakan perbuatan pelaku penangkapan atau bukan? Dalam hal ini ada dua pendapat, yaitu:

 

  1. Mayoritas Mutakallimin berpendapat bahwa daya tangkap bukan merupakan perbuatan pelaku penangkapan. ;

 

  1. Sebagian Mutakallimin yany lain berpendapat bahwa daya tangkap kadang-kadang merupakan perbuatan pelaku penangkapan, seperti seseorang yang membuka matanya, kemudian nampak sesuatu di hadapannya sehingga ia melihatnya. Dalam keadaan seperti ini, penglihatan merupakan perbuatan sesuatu yang nampak tadi.

 

Sebagian Mutakallimin lainnya lagi memiliki pendapat yang berbeda, yaitu bahwa penglihatan itu menetap dalam manusia meskipun berhubungan dengan pelupuk mata. -Hal ini karena manusia tetap dapat melihat meskipun kedaaannya demikian. ApabiIa seseorang memperoleh penglihatannya tanpa adanya hambatan-hambatan maka terjadilah penglihatan dan pengetahuan. Menurut pendapat ini, pengetahuan telah ada sebelum di dalam hati, meskipun tertutup keberadaannya untuk bersama-sama dengan sesuatu yang nyata (Al-Ma‘lum). Apabilahambatan itu hilang, penglihatan pun terjadi, tetapi pengetahuan tidak terjadi sebab pengetahuan telah ada sebelumnya, sebagaimana yang telah kita gambarkan di atas. Demikianlah pendapatnya mengenai penglihatan.

 

Mutakallimin berbeda pendapat mengenai Al-Muhal (kemustahilan).

 

Dalam hal ini ada beberapa pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa Al-Muhal adalah sebuah definisi yang tidak mungkin ada. Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. Sebagian mereka berpendapat bahwa AlMuhal (kemustahilan) adalah pertemuan dua hal yang berlawanan dan masing-masing menyebutkan ketidaksiapannya untuk berada bersamasama. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat bahwa Al-Muhal (kemustahilan) adalah dua hal berlawanan yang bersepakat.

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa Al-Muhal adalah ungkapan yang berlawanan atau bertentangan. Kemudian, mereka berbeda pendapat tentang ungkapan yang bertentangan itu. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa ungkapan yang bertentangan itu adalah seperti ungkapan, “Si fulan itu berdiri (dan) duduk”. Dan ungkapan yang serupa dengannya. Sebagian yang lain berpendapat bahwa pemahaman seperti itu adalah salah. Sebab, orang yang duduk itu benar dan realistis, dan orang yang berdiri pun benar dan realistis. Kedua kebenaran itu tidak bertentangan meskipun keduanya atau salah satunya tidak diakui. Pertentangan atau saling meniadakan itu akan terjadi di dalam ungkapan, “Si fulan itu berdiri dan tidak berdiri”. Sebab, berdasarkan ungkapan tersebut, orang tersebut tidak berdiri, padahal ia berdiri. Hal ini dipahami demikian, sebab pernyataan yang kedua meniadakan pengertian yang pertama. .

 

  1. Kelompok Mutakallimin yang lain berpendapat bahwa setiap ungkapan yang tidak bermakna dinamakan muhal.

 

  1. Kelompok Mutakallimin lainya berpendapat bahwa setiap ungkapan yang jauh dari metode atau aturan dar keluar dari jalur dan arahnya, disatukan dengan sesuatu yang membinasakan atau membatalkan dan dihubungkan dengan sesuatu yang kontradiktif dengannya sehingga dapat mengubah, merusak, dan membatasi kedudukan dan pemahaman maknanya, maka hal tersebut adalah muhal. Contohnya ungkapan orang, ” Saya telah datang besek, dan saya akan datang kemarin” Ini adalah pendapat Ibnu Ar-Rawandi.

 

Di sisi yang lain, ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini, sebagai berikut:

 

  1. Sebagian Mutakallimin berbeda pendapat bahwa muhal (kemustahilan) Itu bukan kebohongan dan kebohongan bukanlah muhal (kemustahilan).

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa setiap kebohongan ini kemustahilan dan setiap komustahilan adalah kebohongan.

 

3, Sebagian Mutakallimin lain berpendapat bahwa di antara kebohongan itu ada yang bukan merupakan kemustahil sedangkan semua kemustahilan adalah kebohongan. Di antara kelompok ini, ada yang mengatakan bahwa apabiIa dikatakan, “Orang lemah itu kuasa (mampu), maka pernyataan tersebut tidaklah mustahil. Akan tetapi, ia bohong, kecuali biIa sesuatu yang tidak mampu itu disifati dengan sifat kemampuan. Begitu puIa ungkapan, “Orang tidak ada (Al-Ghaib) itu hadir”. Kadang-kadang terjadi bahwa orang yang lemah itu kuasa (mampu), dan orang yang ghaih itu had, ApabiIa dikatakan, “Yang terdahulu itu barn, maka hal tersebut mestahil sebab hal ini tidak boleh terjadi.

 

Berkenaan dengan alasan (Al-Illat) terdapat sepuluh pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa alasan itu ada dua, yaitu: Pertama, alasan karena ada sesuatu yang dijadikan sandaran alasan (Al-Ma’lul) dan alasan yang terjadi sebelum ada sesuatu yang dijadikan sandaran alasan. Kedua, alasan kemestian (keharusan) karena ada sesuatu yang dijadikan alasan, dan alasan pilihan yang terjadi sebelum ada sesuatu yang dijadikan sandaran alasan. Adapun yang termasuk alasan kemestian (keharusan) misalnya pukulan dan rasa sakit. ApabiIa Anda memukul seseorang, maka ia akan merasa sakit. Maka keberadaan rasa sakit karena adanya pukulan merupakan suatu keharusan atau kemestian (Al-Idhthirar). Demikian puIa halnya, apabjIa Anda mendorong batu, maka ia akan pergi. Maka dorongan batu merupakan alasan kepergian. Dalam hal ini, kepergian merupakan kemestian karena ada dorongan. Kelompok ini berpendapat bahwa periniah (Al-Amr) merupakan alasan pemilihan yang terjadi sebelum ada sesuatu yang dijadikan sandaran alasan, dan kemampuan merupakan alasan untuk berbuat sesuatu yang terjadi sebelum ada sesuatu yang dijadikan sandaran alasan Ini adalah pendapt Al-Isykafy.

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa alasan segaIa sesuatu itu terjadi sebelumnya. Tidaklah mungkin alasan sesuatu terjadi bersamaan dengannya. Mereka berpendapat bahwa ketika seseorang membawa sesuatu, maka ia mengetahui bahwa dirinya membawa sesuatu itu setelah sesuatu itu dibawa.olehnya, tanpa ada jangka atau durasi waktu. Begitu puIa halnya dengan permpsuhan Allah terhadap orang-orang kafir. Permusuhan tersebut teryadi sesudah ada kekafiran, tanpa ada durasi waktu. Ini adalah pendapat Basyar bin Mu’tamir.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat bahwa alasan itu terjadi sebelum sesuatu dijadikan sandaran alasan. Menurut pendapat ini, alasan itu ada dua macam, yaitu: Pertama, alasan yang mengharuskan (Mujibah) yang terjadi sebelum sesuatu yang dijadikan sandaran kewajiban (Mujid). Dalam hal ini, pelaku alasan tersebut tidak bisa merekayasa pengertiannya, dan ia tidak boleh meninggalkan atau menghindart apa yang dikehendaki olehnya setelah alasan ituada. Kecua, alasan yang terjadi sebelum ada sesuatu yang dijadikan sandaran alasan, Dalam hal ini, pelaku alasan dapat merekayasa dan memilih sesuatu atau sebaliknya. kelompok imi berpendapat bahwa kadang-kadang mereka menaati Allah karena Allah memeriniahkannya. Dengan demikian, mereka melakukan ketaatan tersebut karena ada periniah. Dan saya, kata mereka, ingin sekali me lakukan ketataan kepda Allah dan mendahulukannya dari yang lain. Dan kadang-kadang saya dapat mengingkari periniah itu dan kadangkadang saya dapat mengingkari periniah itu dan meninggalkan apa-apa yang diperiniahkan-Nya. Hal ini terjadi di kalangan mayoritas manusia. Perumpamaan yang serupa adalah ungkapan yang menyatakan, “Sesungguhnya kami datang karena Anda mengundang kami, dan Anda datang karena Anda diutus kepada saya”.

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa alasan itu ada dua macam, yaitu: Pertama, alasan yang terjadi sebelum ada sesuatu yang dijadikan sandaran alasan (Al-Ma ‘lul). Alasan yang pertama ini datang Icbih dahulu dari suatu yang dijadikan sandaran alsan (Al-Ma’lul). Menurut pendapat ini segaIa sesuatu yang datang lebih dahulu dengan durasi waktu yang agak lama, maka ia tidak disebut alasan bagi sesuatu yang dijadikan sandaran alasan (Al-Ma ‘lul), dan tidak boleh menjadi alasan baginya. Kedua, alasan yang terjadi bersamaan dengan sesuatu yang diyadikan sandaran alasan (Al-Ma’lul), seperti pukulan dan rasa sakit, dan lain-lain. Ini adalah pendapat Al-Jubba’i.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat bahwa alasan terjadi bersama dengan sesuatu yang dijadikan sandaran alasan (Al-Ma’lul). Dengan demikian, sesuatu yang keberadaannya mendahului keberadaan yang lain, maka ta tidak dapat disebut alasan. Mereka beranggapan bahwa kemampuan merupakan alasan terjadinya suatu perbuatan sebab kemampuan terjadi bersamaan dengan perbuatan tersebut.

 

  1. Di dalam kelompok ini juga terjadi perbedaan pendapat. Di antara mereka, ada yang beranggapan bahwa kelemahan merupakan alasan yang menyebabkan kemestian (Adh-dharurah), sebagaimana halnya kemampuan menyebabkan pilihan. Ini adalah pendapat An-Najjari.

 

  1. Di antara Mutakallimin, ada yang beranggapan bahwa kelemahan tidak menyebabkan kemestian (Adh-Dharurah), meskipun kemampuan menyebabkan pilihan.

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa di dalam diri orang yang dapat menangkap seesuatu terdapat msting untuk menghasilkan daya tangkap, Akan tetapi, sebagian dari mereka membantah pendapat ini.

 

  1. Ahli kalam yang lain berpendapat bahwa alasan (Al-ilah) terjadi bersamaan dengan sesuatu yang dijadikan sandaran alasan (Al-Ma’lul), Me reka menyangkal keberadaan kemampuan sebagai illah (alasan). Ini adalah pendapat Abbad bin Sulaiman.

 

  1. Ahli kalam lainnya lagi berpendapat bahwa di antara Illah ada yang mendahului Ma ‘lui, seperti kehendak atau keinginan yang menyebabkan kemestian, dan hal-hal lain yang mendahului ma ‘lul. Dan ada Illah yang terjadi bersamaan dengan ma ‘lul-nya, seperti gerakan kedua betis saya yang menjadi tempat pijakan gerakan saya. Dan ada puIa illah yang terjadi sesudah ma ‘lui, yaitu tujuan. Seperti ungkapan orang, “Sesungguhnya saya membangun atap ini untuk berlindung di bawahnya”. Dalam hal im, perlindungan (yang merupakan ‘illah) terjadi sesudah pembangunan atap (yang merupakan ma Tul). Ini adalah pendapat An-Nazhzham.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai secsuatu yang dapat diketahui (Al-Ma ‘lum) dan sesuatu yang tidak dapat diketahui (Al-Majhul). Dalam hal ini, ada beberapa pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpeadipat bahwa manusia ketika mengetahui sesuatu, baik sesuatu yang terdahulu maupun yang baru, maka ia tidak dibolehkan untuk menyatakan ketidak-mampuannya terhadap sesuatu itu.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat bahwa segaIa sesuatu yang telah diketahui oleh manusia, sewaktu-waktu ia boleh tidak diketahuinya.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat bahwa segaIa sesuatu yang telah diketahui oleh manusia, sewaktu-waktu boleh tidak diketahui sisi Jainnya seperti seseorang yang mengetahui gerakan, tetapi ia tidak mengetahui bahwa gerakannya itu tidak kekal, dan ia pun boleh tidak mengetahui bahwa gerak itu termasuk perbuatan pilihan yang dapat terjadi di tempat yang kedua (tempat lain). Seperti, seseorang yang mengetahui Ajsam, tetapi ia tidak mengetahui bahwa Ajsam itu baru (sesuatu yang diadakan).

 

Mereka berpendapat bahwa mustahil bagi manusia yang mengetahui keberadaan Jism, tetapi ia tidak mengetahui bahwa Jism itu ada. Dan mustahil puIa bagi manusia yang mengetahui bahwa gerak itu tidak kekal, tetapi ia tidak mengetahui bahwa gerak itu tidak kekal. Akan, tetapi, tidak mustahil baginya untuk mengetahui bahwa gerak itu dapat diadakan di tempat yang lain, dan tidak mengetahui bahwa gerak itu ada, tetapi ia tidak me ngetahui bahwa gerak itu dapat diadakan di tempat Jain dan tidak mengetahui bahwa gerak itu merupakan perbuatan Allah, atau dari sesuatu yang diberi kekuatan untuk hidup. Ini adalah pendapat Abu Al-Hudzail dan Basyar bin Mu’tamar.

 

  1. An-Najjar dan para pengikutnya berpendapat bahwa sesuatu yang baru (Al-Muhdatsat) kadang-kadang tidak dapat diketahui dan kadang-kadang dapat diketahui dalam waktu yang sama. Adapun sesuatu yang terdahulu atau kekal (qadim), tidak boleh diketahui oleh orang yang tidak mengetahuinya.

 

Hal ini karena mereka beranggapan bahwa sesuatu yang baru (AlMuhdatsat) memiliki perumpamaan-perumpamaan dan bandinganbandingan yang serupa dengannya. Mereka beranggapan puIa bahwa Al-Muhdatsat terdiri atas jenis, macam (nau ’’) dan arah yang bermacammacam. Seperti warna putih yang merupakan salah satu dari macammacam warna dan memiliki bandingan-bandingannya. Dalam hal ini, seseorang dapat mengetahuinya sebagai warna, meskipun ia tidak mengetahui macamnya.

 

Mereka berpendapat bahwa seseorang dapat mengetahui warna putih tersebut secara umum, tetapi ia tidak mengetahuinya secara detail dan alat indera apa yang dipergunakan untuk mengetahuinya. Seseorang dapat mengetahui warna putih tersebut dari informasi orang yang tidak mengetahui indera apa yang dipergunakan untuk mengetahuinya, atau dari informasi,umum, yakni sabda Nabi SAW. yang berbunyi:

 

Artinya: “Ketahuilah warna yang terjadi di zaman kita sekarang ini. ”’ (Al-Hadis)

 

Artinya: : “Ketahuilah bahwa warna tersebut adalah warna putih.” (Al-Hadis)

 

Ini adalah pendapat yang dipegang oleh kelompok selain An-Najjar dan para pengikutnya.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat tentang mengetahui sesuatu berdasarkan indera. Dalam hal ini, ada beberapa pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa ketika seseorang melihat sesuatu yang berwarna putih, maka ia akan mengetahui bahwa di dalam warna putih itu terdapat sesuatu yang lain. Hal ini disebabkan warna putih tidak dapat diindera sama sekali.

 

  1. Sebagian Mutakallimin lain berpendapat bahwa warna putih dan sesuaty yang putih sewaktu-waktu dapat diindera secara bersamaan dalam satu kesempatan. Dan tidak mungkin atau mustahil balwa seseorang dapat melihat salah satunya, tanpa melihat yang lainnya.

 

Adapun para ahli kalam yang beranggapan bahwa yang dapat dilihat adalah warna, bukan sesuatu yang berwarna, maka sesungguhnya mereka telah menyangkal dan mengingkari keberadaan sesuatu yang majhul dan yang ma’lum, Ini adalah pendapat An-Nazhzham.

 

  1. Sebagian ahli kalam yang lain beranggapan bahwa sesuatu itu tidak dapat diketahui dengan dua ilmu dalam satu kesempatan. Menurut mereka, sesuatu yang dapat diketahui secara pasti (idhthirar), maka mustahil ia dapat diketahui berdasarkan kemungkinan-kemungkinan (ikhtiyar). Begitu puIa sebaliknya, sesuatu yang dapat diketahui berdasarkan kemungkinan-kemungkinan (ikhtiyar), maka mustahil ia dapat diketahui secara pasti (idhthirar).

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat bahwa sesuatu itu kadangkadang dpat diketahui melalui dua ilmu dalam satu kesempatan. Dan kedua ilmu itu dapat bersifat pasti (idhthirar), dan dapat puIa bersifat kemungkinan atau pilihan (ikhityar).

 

Mereka mengatakan, apabiIa sesuatu yang diketahui itu berupa Jism, maka ia dapat diketahui dengan berbagai ilmu yang sebagiannya bersifat pasti dan sebagiannya lagi bersifat pilihan. Dan apabiIa sesuatu yang diketahui itu berupa A’radh, maka ia hanya dapat diketahui berdasarkan kemungkinan atau pilihan. Akan tetapi, kadang-kadang ia dapat puIa diketahui melalui berbagai imu. Ini adalah pendapat Basyar bin Mu’tamar.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain lagi beranggapan bahwa kadangkadang A’radh itu dapat diketahui secara pasti, sebagaimana halnya ia dapat puIa diketahui berdasarkan kemungkinan atau pilihan. Sebab, dua ilmu dapat bersatu dalam satu kesempatan.

 

  1. Sebagian yang lain beranggapan bahwa sesuatu yang terdahulu (AL Qadim) tidak dapat diketahui hanya dengan satu ilmu, melainkan melalui beberapa ilmu, dan tidak boleh secara terpisah-pisah. Orang yang berpendapat seperti ini beranggapan bahwa seseorang dapat saIa tidak mengetahui keberadaan Allah dan tidak mengetahut bahwa Dia mengeetahui segaIa sesuatu sebelum terjadi. Sebab, Allah tidak dapat dilihat dan ia tidak bergrak. Dia dapat menciptakan rasa semangka gula-guIa atau manisan. Ini adalah pendapat An-Nazhzhain.

 

An-Nazhzham mengatakan, barang siapa yang mengetahui bahwa Allah-lah yang telah menciptakannya, maka ia mengetahui bahwa Pia bukan termasuk Jism. Dia tidak memiliki mata, dan Dia-lah yang menciptakan rasa semangka dan baunya. Barang siapa yang tidak mengetahui hal tersebut, maka ia telah terlepas dari pengetahuan bahwa dia memiliki Pencipta dan ia adalah ciptaan-Nya. Dia yang diatur, dan dia memiliki Sang Pengatur. Menurutnya, seseorang dapat mengetahui gerak, meskipun ia tidak mengetahui bahwa gerak itu kekal dan tidak mungkin dapat diulangi.

 

Mutakallimin yang berpendapat seperti ini telah menunjukkan dengan bangga hal-hal lainnya kepada orang yang mengingkari keberadaan sesuatu yang dapat diketahui (Al-Ma’lum) dan sesuatu yang tidak dapat diketahui (Al-Majhul). Mereka mengingkari …  Mereka mengafirkan orang-orang yang mengadakan ta’wil dan mereka anggap bodoh semua. Ini adalah pendapat mayoritas ulama Bagdad

 

  1. Sebagian ahli Kalam yang menyangkal keberadaan ma‘lum dan majhul beranggapan bahwa kadang-kadang orang mengetahui Allah meskipun ia tidak mengetahui bahwa Dia-lah yang menciptakan sesuatu. Dia berkeyakinan bahwa Jism merupakan hasil pekerjaan selain Allah yang dapat dilihat dengan dan berada di satu tempat saja.

 

Mereka berpendapat, dari dalil yang menunjukkan bahwa Allah itu ada, maka sebenarnya dalil itu dapat menunjukkan bahwa Dia tidak dapat dilihat dengan mata. Dia berada di segaIa tempat. Berdasarkan pengetahuannya terhadap keberadaan Allah, maka sebenarnya dia dapat mengetahui bahwa sebenarnya Allah itu tidak karena ruang lingkup. Dan berdasarkan pengetahuannya bahwa Allah itu. yang menciptakan satu Jism, maka sebenarnya dia dapat mengetahui bahwa Allah-lah yang menciptakan semua Jism. Ini adalah pendapat ulama Bagdad.

 

  1. Al-Isykafy beranggapan bahwa seorang yang telah mengetahui bahwa Allah itu Kuasa untuk berbuat adil, maka sebenarnya ia mengetahul bahwa Dia pun mampu untuk berbuat aniaya. Dan dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah sama.

 

Semua ahli kalam yang berpendapat seperti di atas beranggapan bahwa dahl yang menunjukkan keberadaan Allah sebagai Pencipta sebagai salah satu kekuatan, salah satu warna, maka sebenarnya dalil tersebut dapat menunjukkan bahwa Allah-lah yang menciptakan seluruh kekuatan dan seluruh warna itu. Al-Iskafy juga berpendapat bahwa seseorang dapat mengetahut bahwa Allah itu mampu: berbuat adil, meskipun ta tidak mengetahui bahwa Dia juga mampu untuk berbuat aniaya.

 

Semua kelompok tersebut di atas juga beranggapan bahwa seseorang dapat mengetahui bahwa Allah yang menciptakan warna racun tikus, meskipun ta tidak mengetahui bahwa Allah puIa yang menciptakan warna semangka dan gula-guIa atau manisan.

 

  1. Mayoritas Mutakallimin yang berpendapat seperti di atas beranggapan bahwa Allah tidak berkuasa untuk berbuat iman dan kufur, kecuali ciptaan-Nya. Dan Dia tidak dapat dilihat, kecuali ciptaan-Nya.

 

Selanjutnya, mereka beranggapan bahwa seseorang dapat mengetahui Allah dan berkeyakinan bahwa Dia mampu untuk berbuat iman dan kufur, meskipun Dia tidak mampu melakukan keduanya, kecuali ciptaan-Nya. Akan tetapi, mustahil bagi seseorang untuk mengetahui Allah dan berkeyakinan bahwa Dia dapat dilthat, padahal penglihatan itu hanya terjadi bagi ciptaan-Nya.

 

Dia berpendapat bahwa barang siapa yang beranggapan bahwa Allah itu mampu bergerak, maka sebenarnya ia tidak mengetahui keberadaan-Nya. Sebab, Dia tidak mampu bergerak kecuali ciptaan-Nya. Dan seseorang dapat mengetahui Allah apabiIa ia meyakini bahwa Dia mampu berkomunikasi dengan makhluk (ciptaan-Nya) dan segaIa sesuatu yang menyebabkan berbagai perbuatannya. Meskipun tidak ada yang mampu melakukannya, kecuali ciptaan-Nya.

 

  1. Abu Al-Husain beranggapan bahwa pengetahuan tentang keberadaan Jism dapat dijadikan sebagai dasar pengetahuan terhadap penciptaannya, apabiIa manusia mengetahui Sesuatu yang mengadakan Jism tersebut, Jadi, pengetahuannya itu bukan didasarkan pada pengertian selain ilmu, melainkan didasarkan pada pengetahuan terhadap Sesuatu yang menciptakan. Seperti seseorang yang tidak memiliki saudara, kemudian Ia memilikinya, maka terjadinya persaudaraan itu karena adanya saudara, bukan didasarkan pada pengertian yang ada di dalam saudara itu sendiri. Sebab, pengetahuan terhadap Allah hanyalah satu. Pengetahuan tentang keberadaan Allah yang berbeda dengan keberadaan-keberadaan lainnya merupakan dasar pengetahuan bahwa Allah itu sesuatu yang berbeda dengan sesuatu lainnya. Dia yang Maha Mengetahui, tetapi berbeda dengan suatu hal lain yang memiliki pengetahuan. Dia hidup, tetapi berbeda dengan suatu hal lam yang memiliki kehidupan, Dia Mahakuasa, tetapi berbeda dengan suatu hal lain yang meniliki kekuasaan. Dari sin; dapat dipahami bahwa Dia adalah sesuatu yang berbeda dari sesuatu yang lain,

 

Abu Al-Husain Ash-Shalihi beranggapan bahwa Allah tidak diketahui melalui dua ilmu. Sebab Allah harus mengetahui orang yang mengetahui-Nya ketika Dia mengetahui orang tersebut. Dan sesuatu itu dapat diketahui atau tidak dapat diketahui dari dua segi, yakni apakah ia terdahulu atau baru?

 

11, Mutakallimin yang menyangkal keberadaan ma‘lum dan majhul beranggapan bahwa pengetahuan terhadap keberadaan Jism merupakan dasar pengetahuan terhadap keberadaan Yang mengadakannya. Begitu puIa halnya dengan ketidaktahuan terhadap keberadaannya merupakan dasar ketidaktahuan terhadap Yang mengadakannya.

 

  1. Sebagian ahli ada yang berpendapat bahwa sesuatu dapat diketahui dan tidak dapat diketahui dari dua sisi, yaitu pengetahuan terhadap keberadaan (barunya) Jism berarti pengetahuan terhadap Jism itu, dan ketidaktahuan terhadap keberadaan (barunya) Jism berarti ketidaktahuan terhadap Jism itu sendiri.

 

  1. Sebagian dari pemerhati atau analis menyebutkan bahwa sesuatu itu dapat diketahui keberadaannya dari satu segi oleh orang yang tidak mengetahut keberadaannya dari segi yang lain. Seperti seseorang yang mengetahui sesuatu berdasarkan informasi, tetapi ia tidak mengetahuinya berdasarkan indera. Adapun para pemerhati, mereka semua membolehkan sesuatu yang dapat diketahui (ma’lum) dan sesuatu vang dapat diketahui (majhul). Akan tetapi, mereka mengatakan bahwa keberadaan sesuatu tidak dapat diketahui oleh orang yang tidak mengetahui keberadaannya, sebagaimana kebaruan sesuatu tidak dapat diketahui oleh orang yang tidak mengetahui kebaruannya. Ini adalah hal-hal yang tidak boleh terjadi.?

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengetahui apakah dua hal dapat diketahui melalui satu pengetahuan atau tidak?Yaitu:

 

  1. Sebagian Mutakallimin menyangkal hal tersebut.

 

  1. Sebagian lagi membolehkannya.

 

Sebagian Mutakallimin membolehkan bahwa dua hal dapat diketahi melalui satu pengetahuan, asalkan pengetahunnya tidak bersifat detail, sebagai. mana kita ketahui bahwa pengetahuan Allah tidak bersifat deetial, me lainkay bersifat general (umum).

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai peniadaan (An-Nafyu) dan penetapan (Al-Itsbat), serIa mengenai periniah (Al-Amr) apakah ta sebenarnya ia merupakan larangan (An-Nahyu), atau keinginan (Al-Iradah), apakah ta sebenarnya merupakan keengganan (Al-Karahah) dan pengambilan (Al-Akhdzu) apakah ia sebenarnya merupakan peninggalan (Al-Tarku)?

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai peniadaan (An-Nafyu) penetapan (Al-itsbat), dan apakah sesuatu yang ditetapkan (Al-Mutsabbat) adalah sesuatu yang ditiadakan (manjiy). Dalam hal ini, ada dua pendapat, sebagai berikut:

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa sesuatu itu biIa dilihat dari satu segi, ia dapat ditetapkan dan dari segi yang lain, ia dapat ditiadakan, Seperti Jism, 1a berwujud, tetapi tidak bergerak. Dengan demikian, manusia pun dapat ditetapkan keberadaannya, tetapi 1a ditiadakan gerakannya. Dan peniadaan serta penetapan itu sama-sama terjadi.

 

Di dalam kelompok ini sendiri terjadi perbedaan pendapat. Di antara mereka, ada yang membolehkan bahwa sesuatu itu dapat bersifat majhul dan dapat bersifat ma’lum dari dua segi. Dan di antara mereka, ada yang berpendapat bahwa sesuatu itu tidak dapat bersifat ma’hul dan bersifat ma‘lum dari dua segi, Tetapi, mereka menetapkan bahwa sesuatu itu dapat bersifat mustbat dan manfiy dari dua segi.

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa sesuatu yang mutsbat itu mustahil manjiy, dan sesuatu yang manjiy itu mustahil mutsbat. Sebab, sesuatu yang mutsbat itu berwujiid dan menetap, sedangkan sesuatu yang manfiy itu tidak berwujud dan tidak ada. Oleh karena itu, mustahil sesuatu itu dapat berwujud dan tidak berwuyjud dalam waktu yang sama.

 

Kelompok imi beranggapan bahwa penctapan Jism sebagai suatu yang bergerak merupakan penetapan geraknya. Begitu pula, penetapan Jism sebagai sesuatu yang diam merupakan penetapan diamnya. Sedangkan peniadaan Jism sebagai sesuatu yang bergerak merupakan peniadaan geraknya, sebagaimana halnya peniadaan Jism sebagai sesuatu yang diam merupakan peniadaan terhadap kediamannya. Begitu puIa penetapan seseorang sebagai seseorang yang pandai me rupakan penetapan terhadap kepandaiannya; penetapan seorang sebagai seorang yang bodoh merupakan penetapan terhadap kebodohannya; penetapan seseorang sebagai seseorang pekerIa merupakan penctapan terhadap pekerjaannya Dan sebaliknya, peniadaan seseorang sebagai seorang pekerIa merupakan peniadaan terhadap pekerjaannya, dan begitu seterusnya.

 

Di dalam kelompok ini sendiri terjadi perbedaan pendapat. Di antara mereka, ada yang mengingkari keberadaan sesuatu yang bersifat ma‘lum dan bersifat mayhul dari dua segi sebagaimana halnya mereka menyangkal keberadaan sesuatu yang bersifat mutsbat dan manfiy dari dua segi. Dan di antara mereka ada yang membolehkan sesuatu yang bersifat ma‘lum dan majhul dari dua segi, tetapi mereka menyangkal sesuatu yang bersifat mutsbat dan manfiy dari dua segi. Ini adalah pendapat Al-Jubba’i dan yang sependapat dengannya.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai periniah bergerak dan larangan bergerak. Berkenaan dengan hal ini, ada tiga pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa apabiIa seseorang diperiniahkan untuk bergerak, maka ia juga diperiniahkan untuk melakukan yang lainnya, yakni gerakannya itu sendiri.

 

Di antara orang yang berpendapat di atas, ada yang beranggapan bahwa penetapan untuk bergerak merupakan penetapan terhadap gerakannya, sebagaimana periniah untuk bergerak merupakan periniah terhadap gerakannya itu sendiri. –

 

  1. Sebagian Mutakallimin \ain berpendapat bahwa periniah untuk bergerak adalah periniah untuk bergerak itu sendiri, dan larangan untuk bergerak adalah larangan untuk bergerak itu sendiri, tidak untuk yang lainnya. Begitu puIa periniah untuk bekerja.

 

Orang yang berpendapat di atas berkomentar, “Saya tidak mengatakan, ‘Periniah itu sendiri, kemudian saya diam’. Hal ini saya tegaskan agar tidak terjadi kesalahan pemahaman bahwa periniah itu sendiri yang ada, melainkan saya mengatakan, ‘Periniah untuk bergerak itu sendiri.”

 

  1. Sebagian Mutakallimin lainnya lagi mengatakan, “Saya tidak mengatakan bahwa manusia diperiniahkan untuk bergerak berdasarkan kebenaran, melainkan saya mengatakan, ‘Pada dasarnya merupakan periniah gerakan.” Begitu puIa pendapatnya tentang diam dan semua yang terkena periniah. Ini adalah pendapat sebagian kelompok Hawadiits.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai periniah untuk melakukan sesuatu. Apakah periniah itu sebenarnya merupakan larangan? Dalam hal ini, ada dua pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa periniah untuk melakukan sesuatu merupakan larangan untuk me ninggalkannya. Begitu puIa dengan iradah (keinginan) untuk melakukan sesuatu me rupakan karahah (keengganan) untuk meninggalkannya. Kelompok ini menyangkal keberadaan pengetahuan terhadap sesuatu sebagai kebodohan atau ketidaktahuan terhadap sesuatu yang lainnya; dan kemampuan untuk melakukan sesuatu sebagai kelemahan untuk meninggalkannya.

 

  1. Sebagian yang lain berpendapat bahwa periniah untuk melakukan sesuatu, bukan merupakan larangan untuk meninggalkan yang lainnya. Begitu puIa keinginan untuk malakukan sesuatu, bukan merupakan keenganan untuk meninggalkannya.

 

Adapun mengenai perbedaan pendapat mereka mengenai pengambilan sesuatu, apakah merupakan peninggalan terhadap sesuatu yang lainnya, hal tersebut telah kita kemukakan ketika kita mengemukakan perbedaan pendapat mereka mengenai At-tarku.

 

Mutakallimun berbeda pendapat mengenai A’radh, apakah A’radh tersebut lemah, bodoh, dan mati, atau tidak? Dalam hal ini, ada dua pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa A’radh itu bodoh, dengan pengertian bahwa A‘radh tersebut tidak mengetahui sesuatu. Dan A‘radh juga lemah, dengan pengertian bahwa A’radh tersebut tidak kuasa melakukan sesuatu. Dan A‘radh juga mati, dengan pengertian bahwa A’radh tersebut tidak hidup. Hal ini diungkapkan oleh Al-Athawi,

 

  1. Mayoritas kelompok kalam menyangkal pendapat tersebut dan mereka enggan untuk memberikan pendapatnya:

 

Mutakallimun berbeda pendapat mengenai perbuatan kausalitas ”, yang timbul akibat sesuatu, seperti lepasnya batu dari ketepel dan jatubnya batu akibat lemparan, rasa sakit akibat pukulan, keluar roh ketika jatuh, warna yang timbul akibat pukulan atau sebab-sebhab lain, rasa, dan bau yang timbul, dan lain-lain.

 

Dalam hal ini, ada beberapa pendapat, sebagai berikut:

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa segaIa sesuatu yang terjadi secara spontan dari perbuatan kita, seperti Al-Ahar yang timbul dari wama putih dan merah, rasa manis dari campuran perasan gandum dan guIa yang dimasak, bau yang timbul dari sesuatu, rasa sakit dari pukulan, kelezatan atau kenikmatan dari makan sesuatu, keluar roh ketika jatuh, keluar air mani ketika bergerak, lepasnya batu dari ketepel, lepasnya busur ketika dibentangkan, daya tangkap yang terjadi ketika membuka mata, semua itu merupakan akibat perbuatan yang terjadi karena sebabseban dari kita. Begitu puIa halnya dengan patah tangan dan kaki karena jatuh merupakan akibat perbuatan orang yang melakukan sebabsebabnya. Begitu puIa dengan kesehatan tangan dan kaki melalui pembalutan merupakan perbuatan manusia; kecacatan kaki karena dipukul orang atau dilumpuhkan orang; dan daya tangkap seluruh indera merupakan perbuatan atau tindakan manusia.

 

Para ahli kalam yang berpendapat seperti di atas beranggapan bahwa apabiIa seseorang memukul yang lain, kemudian ia mengetahui pukulannya itu, maka pengetahuan tersebut merupakan tindakan orang yang, memukul. Sebab, kadang-kadang pengetahuan itu dapat dihasilkan dalam perbuatan lain. ApabiIa seseorang membuka mata orang lain dengan tangannya, kemudian orang tersebut dapat menangkap sesuatu, maka daya tangkap tersebut merupakan tindakan orang yang membuka mata. Begitu puIa halnya dengan seseorang yang membutakan mata orang Jain, maka kebutaan itu merupakan tindakan orang yang membutakan pada orang yang dibutakan.

 

Para ahli kalam yang memegang pendapat ini juga beranggapan bahwa seseorang berbuat sesuatu pada orang lain karena ada sebab yang timbul dalam dirinya, dan menghasilkan berbagai tindakah spontan atau bukan spontan di dalam dirinya.

 

Lebih lanjut, para ahli kalam yang berpendapat seperti di atas juga beranggapan bahwa manusia dapat menghasilkan warna An-Nathif dan warna putihnya, rasa manis dalam gula-guIa dan baunya, rasa sakit, kelezatan, kesehatan, kecacatan, dan keinginan. Ini adalah pendapat Basyar bin Mu’ammar, seorang pemuka ulama Bagdad dan kelompok Mu ’tazilah.

 

  1. Abu Al-Hudzail dan orang-orang yang sependapat dengannya mengatakan bahwa segaIa sesuatu yang timbul dari perbuatan yang diketahui kadamva, merupakan hasil dari perbuatannva Yang demikian itu, seperti rasa sakit yang timbul akibat pukulan batu yang terlepas dari ketepel, begitu puIa naik dan jatuhnya batu dari tangan orang yang melempamya, suara yang timbul akibat benturan dua benda, keluarnya roh ketika roh itu sebagai Jism dan kerusakannya ketika roh itu A‘radh, maka semuanya itu merupakan hasil perbuatannya.

 

Abu Al-Hudzail berpendapat bahwa suatu perbuatan itu kadangkadang dihasiikan di dalam diri seseorang dan diri orang lain karena ada sebab yang timbul di dalam diri orang yang bersangkutan. Adapun kelezatan atau kenikmatan, warna, rasa, bau, panas, dingin, basah, kering, rasa takut (pengecut), keberanian, rasa lapar, kenyang, daya tangkap dan pengetahuan yang terjadi pada orang lain akibat perbuatannya, maka semuanya itu, menurut Abu Al-Hudzail merupakan perbuatan Allah SWT.

 

Namun demikian, Basyar bin Mu’tamar menjadikan semua yang disebutkan di atas sebagai tindakan manusia, apabiIa sebabnya datang dari manusia itu sendiri.

 

Abu Al-Hudzail beranggapan bahwa semua itu tidak timbul akibat perbuatan manusia dan tidak diketahui kadarnya. Adapun yang termasuk perbuatan manusia hanyalah gerak, diam, keinginan, pengetahuan, sesuatu yang diketahui kadarnya, sesuatu yang timbul akibat gerak dan diam pada dirinya-atau orang lain, sesuatu yang timbul akibat pukulannya, dan benturan antara dua benda yang dilakukan olehnya.

 

Abu Hudzail beranggapan bahwa manusia dapat melakukan berbagai tindakan pada diri orang lain karena sebab-sebab yang ia timbulkan dalam dirinya. Sebab, apabiIa seseorang memanah orang lain, kemudian orang yang memanah tersebut mati sebelum panahnya mencapai orang yang dipanah. Kemudian, panah tersebut sampai kepada orang yang dipanah dan menyebabkannya sakit dan terbunuh, maka orang yang memanah tersebut telah menciptakan rasa sakit dan pembunuhan yang ia ciptakan ketika masih hidup. Begitu puIa sebaliknya, seandainya rasa sakat itu tidak ada pada diri orang lain, maka ketiadaannya itu disebabkan oleh perbuatannya ketika ia masih hidup. Menurut Abu AlHudzail dan juga Basyar bin Mu’tamar, manusia tidak dapat menghasilkan kekuatan, kehidupan, dan Jism.

 

  1. Ibrahim An-Nazhzham berpendapat bahwa manusia tidak memiliki perbuatan dan tidak puIa memiliki gerak, sebab manusia tidak dapat menghasilkan gerak, kecuali dalam dirinya. Dan sesungguhnya shalat, puasa, keinginan, keengganan, pengetahuan, kebodohan, kejujuran, kebohongan, ucapan manusia dan diamnya, dan seluruh perbuatan-perbuatannya merupakan gerak, Begitu puIa dengan diamnya seseorang di suatu tempat, pengettiannya adalah bahwa ia berada di tempat tersebut beberapa saat, yakni bergerak di dalam tempat tersebut beberapa saat.

 

Ibrahim An-Nazhzham beranggapan bahwa warna, rasa, bau, panas, dingin, suara, dan rasa sakit adalah Ajsam Lathifah (Jism halus) Manusia tidak dapat menghasilkan Ajsam, dan menurutnya, kelezatan pun bukan merupakan perbuatan manusia.

 

Lebih lanjut, Ibrahim An-Nazhzham pun berpendapat bahwa segaIa sesuatu yang timbul di luar ruang lingkup manusia, merupakan perbuatan Allah SWT., karena adanya kewajiban bagi-Nya untuk menciptakannya. Seperti batu yang lepas dari ketepel dan naik serta jatuhnya batu ketika dilemparkan. Demikian puIa dengan daya tangkap merupakan perbuatan Allah, sebab ada kewajiban bagi-Nya untuk mencipta. Dengan kata lain, sesungguhnya Allah-lah yang memberi karakteristik kepada batu untuk lepas ketika ia dilemparkan. Begitu puIa halnya dengan semua hal yang timbul secara kausalitas.

 

An-Nazhzhan berpendapat bahwa Allah SWT. menciptakan Ajsam sekali saja. Akan tetapi, Jism diciptakan dalam berbagai kesempatan setiap waktu.

 

Dia beranggapan bahwa manusia adalah roh dan ia menghasilkan dirinya sendiri. Kemudian diperselisihkan, apakah ia menghasilkan atau membuat bentuk dan bangunannya sendiri? Menurut kisah yang benar adalah bahwa ia hanya menghasilkan bentuk saja. Namun, di antara mereka ada yang menyatakan bahwa manusia membuat bentuk dan bangunan.

 

  1. Sebagaian Mutakallimin berpendapat bahwa keinginan, keengganan, pengetahuan, kebodohan, kejujuran, kebohongan, ungkapan, dan diam itu berbeda dengan gerak dan diam. Ini adalah pendapat Abu Al-Hudzail.

 

  1. Mu’ammar berpendapat bahwa manusia tidak menghasilkan. sendiri gerak dan diam. Manusia hanya dapat menghasilkan dalam dirinya keinginan, pengetahuan, keengganan, penglihatan, dan pengumpamaan. Dia tidak dapat menghasilkan sesuatu bagi yang lain. Sebab, ia merupakan Juz ’un yang tidak dapat dipisah-pisah dan makna yang tidak dapat dibagi-bagi lagi. Dia hanya dapat mengatur badan, tetapi tidak dapat membuat sesuatu atau menduduki sesuatu.

 

Mu’ammar beranggapan bahwa hal-hal yang bersifat kausalitas dan hal-hal yang dapat mengambil tempat pada Jism yang berupa gerak, diam, warna, rasa, bau, panas, dingin, basah, dan kering, maka semuanya itu adalah perbuatan Jism yang merupakan karakteristiknya. Hal-hal yang tidak memiliki roh menghasilkan A’radh yang merupakan karakteristiknya pula. Kehidupan adalah perbuatan sesuatu yang hidup.

 

Begitu puIa kekuatan atau kemampuan, ia merupakan perbuatan atay hasil dari sesuatu yang kuat dan mampu, sebagaimana halnya kematian me rupakan perbuatan sesuatu yang mati.

 

Muammar beranggapan bahwa Allah SWT. tidak menghasilkan A’radh dab A’radh tidak dapat disifati dengan kekuatan, sebagaimana halnya kehidupan, kematian, pendengaran, dan penglihatan, Sebab, pendengaran merupakan perbuatan yang mendengar (As-Sami’) sebagaimna halnya penglihatan merupakan perbuatan yang me lihat, daya tangkap merupakan perbuatan yang menangkap, penggunaan alat indera merupakan perbuatan yang mengindera, dan bacaan merupakan perbuatan sesuatu yang dapat memperdengarkan yang berupa malaikat, pepohonan, dan bebatuan. Sebab, Allah sebenarnya tidak memiliki ungkapan oral, Tuhan kita Mahatinggi sebagaimana firman-Nya

 

” Mu’ammar beranggapan bahwa Allah SWT. hanyalah melakukan penawaran (mewarnai), menghidupkan, dan mematikan, dan itu bukan A’radh. Sebab, Allah Azza wa JalIa ketika mewarnai suatu Jism, menghendaki Jism itu berwarna atau tidak. ApabiIa keadaannya berwarna, maka hendaklah warna itu sesuai dengan karakteristiknya. ApabiIa warna itu sesuai dengan karakteristik Jism, maka warna tersebut merupakan hasil perbuatanya. Dan tidak boleh karakteristiknya mengikuti yang lain, sebagaimana halnya tidak boleh usaha sesuatu diklaim sebagai ciptaan yang lain. Sebab, apabiIa karakteristik Jism itu tidak berwana, maka bolehlah bagi Allah untuk mewarnainya, tetapi ia tetap tidak berwarna.

 

  1. Shalih Qubbah berpendapat bahwa manusia hanyalah berbuat dalam dirinya. Sebab sesuatu yang timbul dari perbuatannya, batu yang lepas dari ketepel, kayu yang terbakar ketika bertemu api, rasa sakit akibat pukulan, sesungguhnya diciptakan dan diadakan Allah. Dia dapat menyatukan batu yang berat dengan ruang angkasa (udara) yang ringan selama seribu tahun tanpa menjatuhkannya, melainkan diam. Dia juga dapat menyatukan api dan kayu bakar dalam durasi waktu yang lama dan tidak terjadi kebakaran; membebankan gunung kepada manusia tanpa merasa berat memikulnya; mendiamkan batu kecil di ketepel dan tidak terlepas meskipun semua penghuni bumi mendorongnya. Dia dapat membakar manusia dengan api tanpa merasakan sakit, bahkan Dia menciptakan kenikmatan di dalamnya. Dia dapat mengadakan daya tangkap beserta kebuatan dan pengetahuan beserta kematian. Allah juga dapat menghilangkan berat langit dan bumi sehingga menjadi lebih ringan daripada bulu ayam, tanpa mengurangi bagianbagiannya sedikit pun.

 

Dikisahkan bahwa Shalih Qubbah ditanya, apakah Anda menyangkal atau mengingkari seandainya Anda berada sekarang di Me eckkah yang duduk di dalam kubah, sedangkan Anda tidak mengetahuinya karena Allah tidak menciptakan pengetahuan dalam diri Anda, padahal, Anda sehat dan tidak terserang sesuatu apapun. Dia menjawab, “Saya tidak menyangkal hal itu”. Maka ia pun digelari Qubbah karenanya.

 

Lebih lanjut dikisahkan puIa bahwa Shalih Qubbah ditanya lagi mengenai mimpi ketika berada di Basrah. Kemudian ia bermimpi seakanakan berada di Cina. Maka ia menjawab, “Saya berada di Cina, ketika bermimpi saya berada di Cina”. Kemudian ia ditanya lagi. Seandainya kaki Anda diikat dengan kaki seseorang yang berada di Iraq. kemudian Anda bermimpi seakan-akan berada di Cina. Dia menjawab, “Saya berada di Cina, meskipun kaki saya terikat dengan kaki seseorang yang berada di Iraq.”

 

  1. Tsumamah berpendapat bahwa manusia tidak memiliki perbuatan, kecuali kehendak. Seandainya timbul sesuatu selain kehendak, maka hal yang timbul kemudian itu bukanlah merupakan perbuatan orang yang menimbulkannya, seperti batu yang terlepas dari ketepel dan lain-lain. Tsumamah beranggapan bahwa peristiwa tersebut disandarkan kepada manusia secara kiasan.

 

  1. Al-Jahizh berpendapat bahwa sesuatu yang timbul setelah kehendak, maka dengan sendirinya merupakan milik manusia, dan bukan kareena pilihannya. Dan tidak pernah terjadi perbuatan melalui pilihan, kecuali kehendak.

 

  1. Dhirar dan Hafsh Al-Fard berpendapat bahwa kausalitas yang timbul akibat perbuatan manusia yang mungkin dapat dicegah atau dikendalikan ketika mereka menghendakinya, maka hal tersebut termasuk perbuatannya, dan tidak ada sebab, kecuali perbuatannya.

 

Dhirar bin Amru beranggapan bahwa manusia dapat melakukan sesuatu di luar lingkupnya dan bahwa sesuatu yang timbul secara spontan dari perbuatannya dalam diri orang lain yang berupa gerak dan diam, maka hal itu merupakan usaha dan ciptaan Tuhannya.

 

  1. Semua kelompok kebenaran ‘(Ahlal-Itsbat), selain Dhirar berpendapat bahwa manusia tidak memiliki perbuatan terhadap orang lain. Berkenaan dengan hal ini, mereka menyatakan kemustahilannya.

 

Kelompok Mu’tazilah berbeda pendapat mengenai orang yang terbunuh, apakah mati atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian kelompok Mu’tazilah berpendapat bahwa sesuatu yang terbunuh adalah mati, dan setiap jiwa (yang bernyawa) akan merasakan nati.

 

  1. Sebagian kelompok Mu’tazilah yang lain berpendapat bahwa sesuatu yang terbunuh itu tidak mati.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai tempat terjadinya tindakan pembunuhan. Dalam hal ini ada dua pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa tindakan pembunuhan berada di pihak terbunuh.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain lagi berpendapat bahwa tindakan pembunuhan berada di.pihak terbunuh.

 

Kelompok Mu ‘tazilah berbeda pendapat mengenai tindakan kausalitas.

 

Dalam hal ini ada beberapa pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa tindakan kausalitas adalah perbuatan yang terjadi akibat tindakan saya dan mengambil tempat pada orang lain.

 

  1. Sebagian Mu‘tazilah yang lain berpendapat bahwa tindakan kausalias adalah tindakan yang penyebabnya saya ciptakan, tetapi saya tidak dapat menghindar untuk meninggalkannya. Kadang-kadang tindakan tersebut saya perbuat dalam diri saya sendiri dan kadang-kadang saya perbuat pada orang. lain. .

 

  1. Sebagian Mu’tazilah yang lain lagi berpendapat bahwa tindakan kausalitas adalah tindakan ketika yang terjadi setelah kehendak saya. Seperti rasa sakit yang terjadi setelah ada pukulan dan lepasnya sesuatu setelah ada dorongan.

 

  1. Al-Iskafi berpendapat bahwa setiap tindakan yang memiliki kemungkinan untuk tidak sesuai terjadinya dengan apa yang dikehendaki disebut tindakan kausalitas. Dan setiap tindakan yang sesuai dengan yang dikehendaki dan setiap bagiannya membutuhkan pembaharuan, niat, dan tujuan, maka tindakan tersebut bukan termasuk kausalitas, me lainkan termasuk tindakan spontanitas.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai gerak ganda (sesuatu yang pergerak melalui dua gerakan), Dalam hal ini, terdapat dua pendapat, yaitu:

 

1 Sebhagian Mutakallimin yang menafikan gerak kausalitas berpendapat bahwa dalam sesuatu yang bergerak terdapat satu gerak, dan Allah-lah pelakunya. Akan tetapi, Mu’ammar beranggapan bahwa sesuatu yang bergerak dapat menghasilkan gerak dalam dirinya.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang membenarkan keberadaan perbuatan kausalitas terbagi dalam dua kelompok. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa di dalam perbuatan kausalitas terdapat gerak yang dilakukan oleh dua pelaku, yakni satu gerak bagi dua pelaku yang berbeda. Dan sebagian lagi berpendapat bahwa perbuatan kausalitas adalah dua gerakan dari dua pelaku gerak terhadap susuatu yang digerakkan.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat apakah boleh meninggalkan perbuatan kausalitas ketika sebabnya ditinggalkan atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa yang boleh ditinggalkan hanyalah sebab perbuatan, sedangkan: musabab-nya tidak mungkin dapat ditinggalkan. Ini adalah pendapat Abbad dan Al-Jubba’i.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat bahwa kadang-kadang kita meninggalkan musabbab karena sebab yang ditinggalkan.

 

Sebagian Mutakallimin yang membenarkan keberadaan perbuatan kausalitas berbeda pendapat dalam hal.apakah seseorang dapat menghasilkan pengetahuan pada orang lain atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa manusia tidak dapat menghasilkan pengetahuan pada orang lain, dan tidak dapat menghasilkan daya tangkap di dalam dirinya. Orang tersebut juga tidak dapat menghasilkan daya tangkap pada orang lain. Ini adalah pendapat Abu Al-Hudzail dan Al-Jubba’i.

 

  1. Sebagian yang lain lagi berpendapat bahwa manusia kadang-kadang yang dapat menghasilkan pengetahuan pada orang lain. Sebab, ketika aku memukul hamba sahayaku, maka pengetahuanku tentang pemukulanky padanya merupakan pengetahuan terhadap rasa sakit, dan pengetahuan hamba sahaya tentang rasa sakit merupakan perbuatanku, sebagaimana halnya rasa sakit merupakan perbuatanku.

 

Ulama Mutakailimin berbeda pendapat mengenai apakah manusia dapat berbuat sesuatu tanpa menyentuhnya atau menyentuh sesuatu yang menyentuhnya? Dalam hal ini terdapat dua pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa manusia tidak dapat berbuat sesuatu, kecuali biIa ia menyentuhnya atau menyentuh sesuatu yang menyentuhnya.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat bahwa manusia dapat menghasilkan perbuatan kausalitas dalam Jism tanpa harus menyentuhnya atau menyentuh sesuatu yang menyentuhnya. Misalnya seseorang yang menyerang orang yang membuka matanya, maka daya tangkapnya merupakan perbuatan si penyerang.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai perbuatan kausalitas yang jauh dari sebab, apakah ia merupakan penyebab pertama, seperti seseorang yang melemparkan dirinya kedalam api yang dinyalakan oleh orang lain; membenturkan diri pada potongan besi yang dipasang oleh orang lain; atau menahan anak panah yang diarahkan orang kepada anak kecil sehingga anak panah itu tidak menembus anak kecil tersebut.

 

Berkenaan dengan hal ini, ada beberapa pendapat, yaitu:

 

  1. Mayoritas Mutakallimin yang membenarkan keberadaan perbuatan kausalitas berpendapat bahwa pembakaran merupakan perbuatan orang yang melemparkan dirinya ke dalam api; pembunuhan merupakan perbuatan orang yang. membenturkan dirinya pada besi yang terpancang; dan pembunuhan merupakan perbuatan orang yang menghalangi anak kecil dari serangan anak panah.

 

Sebagian Mutakallimin mengumpamakan masuknya anak panah ke dalam badan seseorang sebagai berikut. Gerakan anak panah yang menembus dirinya merupakan perbuatan orang yang melempar. Robekan yang terjadi pada anak kecil merupakan perbuatan orang yang menghalangi anak kecil dari serangan anak panah itu, kecuali orang yang menghalangi tersebut menepis anak panah dari arahnya sehingga mengenai anak kecil itu, maka hal itu termasuk perbuatan anak. ApabiIa perbuatan tersebut bukan berasal darinya, melainkan anak tersebut telah berada di tempat kejadian, maka gerakan anak panah merupakan perbuatan yang memanah,

 

Berikutnya, mereka mengatakan, apabiIa anak panah tersebut menembus anak kecil, kemudian mengenai sesuatu yang lain, maka kisah sesuatu yang lain itu sama seperti kisah anak kecil yang terkeena anak panah oleh si pemanah tanpa sengaja, dan hukumnya pun sama. ApabiIa anak panah yang menembus itu mengenai sesuatu yang telah ada di tempat itu sebelum anak panah dilepaskan, maka gerak anak panah itu merupakan perbuatan si pemanah. Ini adalah pendapat Al-Iskafi.

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa kejadian-kejadian di atas merupakan perbuatan pemanah, orang yang menyalakan api, dan pemasang besi.

 

Sebagian dari mereka, ada yang berpendapat ekstrim mengenai peristiwa ini. Mereka beranggapan bahwa seseorang yang terkena serangan orang lain ketika membuka matanya kemudian menangkap sesuatu, maka daya tangkap tersebut merupakan perbuatan orang yang menyerang, bukan perbuatan orang yang membuka matanya.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat bahwa masuknya anak panah ke dalam badan orang yang menahannya merupakan perbuatan orang yang memanah. Adapun mengenai kebakaran, maka hal itu merupakan perbuatan orang yang melempar dirinya ke dalam api, dan pembunuhan merupakan perbuatan orang yang membenturkan dirinya kepada besi yang terpencang.

 

Kelompok Mu’tazilah yang membenarkan keberadaan perbuatan kausalitas berbeda pendapat mengenai subjek penyebab (Al-Asbab) yang menimbulkan objek penyebab (Al-Musabbabat), apakah asbab itu datang lebih dahulu daripada musabbabat atau bersamaan keberadaannya? Dalam hal ini ada beberapa pendapat, sebagai berikut:

 

  1. Sebagian Mu’tazilah berpendapat bahwa sabab datang bersama musabbab, dan tidak boleh saling mendahului.

 

  1. Sebagian Mu’tazilah yang jain berpendapat bahwa sebab yang menyebabkan timbulnya musabbab datang lebih dahulu.

 

  1. Sebagian Mu’tazilah yang lain lagi berpendapat bahwa di antara asbab, ada yang datang bersama-sama musabbab, dan ada puIa yang mendahului musabbab Adapun ashah yang datang sebelum musabbah dengan durasi waktu yang lama, maka musabbab itu bukan termasuk objck kausalitas asbab

 

  1. Sebagian dani mereka membolehkan ashbab mendahului musabbab dalam durasi waktu yang lama,

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai sabab, apakah ia mengharuskan musabbab atau tidak?

 

Dalam hal ini, ada dua pendapat, yaitu:

 

  1. Mayoritas kelompok Mu’tazilah yang membenarkan keberadan perbuatan kausalitas berpendapat bahwa asbab mengharuskan musabbabat.

 

  1. Al-Jubba’i berpendapat bahwa sabab tidak mengharuskan musabbab. Sebab, tidak ada yang mewajibkan sesuatu, kecuali yang mengadakannya.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai apakah arah kausalitas perbuatan harus terjadi ketika sabab perbuatan tersebut terjadi, tetapi perbuatan yang ditimbulkannya tidak terjadi, sebagai berikut:

 

  1. Sekelompok Mutakallimin mengharuskannya.

 

  1. Sebagian yang lain menafikannya.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai kausalitas gerak terhadap diam dan ketaatan terhadap kemaksiatan, sebagai berikut:

 

  1. Sebagian Mutakallimin menafikan kausalitas gerak terhadap diam dan diam terhadap gerak. Berkenaan dengan kemaksiatan, mereka berpendapat bahwa kemaksiatan dapat menjadi kausalitas terhadap sesuatu yang bukan termasuk ketaatan dan bukan puIa termasuk kemaksiatan. Dan kemaksiatan tidak menjadi kausalitas terhadap ketaatan. Ini adalah pendapat (ulama) penduduk Bagdad.

 

  1. Al-Jubba’i berpendapat bahwa diam tidak dapat mejadi kausalitas terhadap sesuatu. Gerak kadang-kadang menjadi kausalitas terhadap gerak yang lain dan kadang-kadang menjadi kausalitas. Dia beranggapan bahwa di dalam batu yang berhenti di udara terdapat gerak ringan yang menyebabkan batu itu jatuh, dan di dalam busur yang dipentangkan terhdapat gerakan ringan yang menyebhabkan busur itu patah, dan di dalam dinding itu ada gerakan ringan yang menyebabkannya jatuh.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai semua perbuatan, seelain kehendak, yaitu apakah semua perbuatan dapat menjadi kausalitas?

 

Meskipun mereka bersepakat bahwa kehendak tidak dapat menjadi kausalitas, mereka berbeda pendapat mengenai sesuatu yang terjadi sesudah iradah itu.

 

Dalam hal ini, ada beberapa pendapat, yaitu:

 

  1. Sekelompok ahli kalam yang lain berpendapat bahwa semua perbuatan dapat menjadi kausalitas.

 

  1. Kelompok ahli kalam berpendapat bahwa di antara perbuatan kausalitas ada yang terjadi pada pelaku perbuatan. Adapun perbuatan yang terjadi di dalam dirinya bukanlah termasuk perbuatan kausalitas.

 

  1. Kelompok ahli kalam lain berpendapat bahwa perbuatan kausalitas adalah perbuatan yang dapat terkena lupa dan salah. Selain itu, bukan termasuk perbuatan kausalitas.

 

  1. Kelompok ahli kalam yang lain lagi berpendapat bahwa pada seseorang dapat terjadi perbuatan-perbuatan kausalitas, selain kehendak, dan dapat puIa terjadi perbuatan-perbuatan bukan kausalitas.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai perbuatan Sesuatu Yang Terdahulu (Al-Qadim), apakah perbuatan-Nya bersifat kausalitas dari sebuah sebab? Dalam hal ini ada dua pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa perbuatan Yang Qadim tidak bersifat kausalitas dan tidak terjadi karena sebab, melainkan bersifat penciptaan (Al-lkhtira’).

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat bahwa perbuatan yang Qadim kadang-kadang bersifat kausalitas. Adapun dalam Ajsam, tidak terjadi perbuatan kausalitas.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai sesuatu yang terjadi dari perbuatan kausalitas. Dalam hal ini, ada dua pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa sesuatu yang timbul darj perbuatan kausalitas adalah pelaku sabab (Al-la’il Lil Asbab).

 

  1. Sebagian Adutakallimin yang lain bes pendapat baliwa sesuatu yang timbul dari perbuatan kausalitas adalah sabab (Al-Asbab), bukan pelaku (Al-Fail).

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai kemampuan untuk melakukan perbuatan kausalitas. Berkenaan dengan hal ini, ada dua pendapat, yaitu: :

 

  1. Mayoritas kelompok pemerhati berpendapat bahwa perbuatan kausalitas dapat dilakukan selama, tidak ada sabab-nya. ApabiIa ada sabab-nya, perbuatan kausalitas tidak dapat dilakukan.

 

  1. Sebagian yang lain berpedapat bahwa perbuatan kausalitas dapat dilakukan bersama adanya sabab.

 

Kelompok Mu‘tazilah berbeda pendapat mengenai kehendak (Al-Iradah),

 

apakah ia mengharuskan adanya sesuatu yang dikehendaki atau tidak? Dalam

 

hal ini, ada beberapa pendapat, yaitu:

 

  1. Abu Al-Hudzail, Ibrahim An-Nazhzham, Mu’ammar, Ja’far bin Harb, Al-Iskafi, Al-Adami, Asy-Syaham, dan Isa Ash-Shufi berpendapat bahwa kehendak yang dapat mendatangkan sesuatu yang dikehendaki secara langsung mengharuskan adanya sesuatu yang dikehendakinya.

 

Al-Iskafi beranggapan balwa kadang-kadang kehendak itu tidak mengharuskan adanya sesuatu yang dikehendakinya secara langsung. Akan tetapi, sesuatu yang dikehendaki itu akan terjadi selanjutnya (pada urutan ketiga).

 

  1. Basyar bin Mu’tamar, Hisyam bin Amru Al-Fuwathi, Abbad bin Sulaiman, Ja’far bin Mubasysyir, dan Muhammad bin Abd. Al-Wahhab Al-Jubba’i berpendapat bahwa kehendak itu tidak mengharuskan adanya sesuatu yang dikehendaki.

 

  1. Mayoritas ahli kalam berpendapat bahwa kehendak itu mengharuskan adanya sesuatu yang dikehendakinya mengatakan bahwa manusia dapat dicegah dari sesuatu yang dikehendaki oleh kehendak.

 

  1. Al-Husain bin Muhammad An-Najjar menceritakan bahwa kelompok yang berpendapat adanya kehendak yang mengharuskan adanya sesuatu yang dikehendakinya mengatakan balwa Allah tidak boleh sama sekali mencegah manusia dari sesuatu yang dikehcendakinya. Hal ini disebabkan bahwa kematian tidak mungkin terjadi, kecuali berdasarkan penentuan. ApabiIa manusia menghendaki untuk mempereepat kematian, ia tidak boleh menghendaki lagi kematian pada waktu yang lain. Sebab, manusia tidak akan mati, kecuali berdasarkan penentuan. Pada waktu penentuan tersebut, ia tidak boleh menghendaki untuk melakukannya lagi pada waktu yang lain. Sebab, pada kesempatan penentuan kematian itu tidak ada lagi harapan untuk tetap hidup sehingga dia dapat mengadakan kehendak untuk berbuat sesuatu pada waktu yang lain.

 

An-Najjar mengatakan bahwa kelompok tersebut tidak membolehkan adanya kebinasaan anggota badan (Fana’al-Jawairih) pada waktu yang, lain apabiIa dia telah mengadakan kehendak pada kesempatan yang pertama. ,

 

Kelompok Mu ’tazilah berbeda pendapat mengenai diri manusia ketika dia menghendaki perbuatan yang mengharuskan terjadinya sesuatu yang dikehendaki, apakah ia mampu melakukan kebalikan dari sesuatu yang dikehendaki atau tidak? Dalam hal ini, ada lima pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian kelompok Mu’tazilah berpendapat bahwa manusia mampu melakukan kebalikan dari sesuatu yang dikehendaki, tetapi ia hanya melakukan yang dikehendakinya saja. Mereka mengumpamakan dengan perbuatan hamba sahaya yang telah ditentukan yang sebenamya ia ada dan mampu melakukan kebalikan dari perbuatan tersebut. Akan tetapi, ia hanya melakukan perbuatan yang telah ditentukan saIa sebab dia tidak dapat memiliki yang lainnya.

 

Kelompok ini berpendapat bahwa bukanlah sesuatu yang mustahil apabiIa manusia menghendaki untuk bergerak pada kesempatan berikutnya, tetapi kenyataannya dia diam. Diamnya itu pada kesempatan berikutnya disebabkan adanya kehendak sebelumnya. Mereka mengumpamakan dengan suatu perbuatan yang telah diketahui sebelumnya. Seandainya ia tidak mengetahui bahwa perbuatan tersebut terjadi dari sesuatu yang tidak ada, maka pengetahuan tersebut akan terjadi sebelumnya. Hal ini berarti bahwa pengetahuan itu tidak ada sebelumnya.

 

  1. Sebagian kelompok Mu ‘tazilah yang lain berpendapat bahwa seseorang apabiIa menghendaki untuk bergerak lebih dini, ia mampu bergerak atau diam. ApabiIa ia diam berikutnya, maka diamnya itu terjadi setelah ada kehendak.

 

  1. Sebagian kelompok Mu’tazilah yang lainnya lagi berpendapat bahwa manusia ketika mengadakan kehendak untuk bergerak Icbih dini, maka ia dapat saIa diam pada waktu bertkutnya. Diamnya itu bukan merupakan perbuatan yang diusahakan atau yang ditinggalkan terhadap gerak yang dikehendaki sebelumnya, me lainkan me rupakan perbuatan yang ditinggalkan untuk bergerak pada waktu yang ketiga.

 

Mereka menjadikan diam yang kedua sebagai diam bawaan, seperti halnya membakar yang merupakan pembawaan api.

 

Mereka beranggapan bahwa perbuatan-perbuatan yang berupa pembawaan bukan termasuk ciptaan Allah ‘Azza wa Jalla. Ini adalah pendapat Mu’anunar.

 

  1. Sebagian dari mereka, ada yang berpendapat bahwa ketika manusia mengadakan kehendak yang mengharuskan adanya sesuatu, ia berarti memperkecil atau mengurangi perbuatan. Menurut mereka, hal itu Iebih sedikit dari seperseribu dari satu kata. Sebab, satu kata itu dapat terjadi dengan kehendak yang: banyak. Satu langkah dapat terjadi dengan kehendak yang banyak. Manusia menghendaki kumpulan kehendak ini menghilang atau menfokus ke suatu tempat, kemudian ia mendatangkan bagian yang telah terfokus, lalu menanggalkan kehendaknya sehingga terputuslah apa yang. dikehendaki. ApabiIa ia mengekalkan atau menetapkan semua yang dikehendaki itu, berarti ia mengekalkan atau menetapkan kehendaknya tersebut.

 

Alasan penyangkalan mereka terhadap pendapat yang mengatakan bahwa manusia mampu melakukan kebalikan dari sesuatu yang dikehendaki, adalah manusia itu mampu untuk melakukan sesuatu yang dikehendaki biIa ia berkehendak.

 

  1. Sebagian kelompok Mu’tazilah yang lain lagi berpendapat bahwa penyangkalan mereka terhadap pendapat yang mengatakan kemampuan manusia untuk melakukan kebalikan dari sesuatu yang dikehendaki adalah keberadaan manusia itu bagaikan seseorang yang melemparkan dirinya dari ketinggian udara. Dengan demikian tidak dapat dikatakan bahwa ia mampu untuk melakukan pelepasan diri atau menghentikannya. Meskipun ada kekuatan di dalam dirin’ya. Kekuatan tersebut adalah milik selain perbuatan yang mengharuskan adanya-sesuatu yang dikehendaki.

 

Kelompok Mu’tazilah selain Al-Jubba’i bersepakat bahwa manusia bersedia untuk berbuat dan menghendaki perbuatan. Keinginannya untuk berbuat tidak bersamaan terjadinya dengan sesuatu yang dikehendakinya.

 

Karena kehendak itu datang sebelum adanya sesuatu yang dikehendaki.

 

  1. Al-Jubba’i beranggapan bahwa manusia menghendaki perbuatan ketika perbuatan itu ada. Kehendak berbuat ini tidak mendahulut perbuatan dan manusia, sebenarnya, tidak dapat disifati sebagai orang yang menghendaki untuk berbuat. Al-Jubba’i beranggapan bahwa kehendak dan sesuatu yang dikehendak itu berada di sisi Tuhan.

 

  1. Abu Al-Hudzail berpendapat bahwa kehendak Allah terjadi bersamaan dengan sesuatu yang dikehendaki-Nya. Mustahil biIa kehendak manusia untuk berbuat itu bersamaan terjadinya dengan perbuatannya.

 

Ulama Mutakallimin yang mengingkari iradah mujibah berbeda pendapat mengenai kehendak untuk berbuat, apakah kehendak itu berbarengan waktunya dengan sesuatu yang dikehendaki atau tidak? Dalam hal ini, ada dua pendapat, yaitu:

 

  1. Di antara mereka, ada yang beranggapan bahwa kehendak yang tidak mengharuskan adanya sesuatu yang dikehendakinya itu datang atau terjadi sebelum sesuatu yang dikehendaki.

 

  1. Al-Jubba’i beranggapan bahwa kehendak yang merupakah tujuan perbuatan terjadi.bersamaan dengan. pebuatan, bukan sebelumnya.

 

Kelompok Mu ’tazilah berbeda pendapat mengenai kehendak yang berhubungan dekat dengan suatu perbuatan, apakah kehendak tersebut terjadi sebelum perbuatan atau bersamaan dengannya?

 

Dalam hal ini, ada dua pendapat, sebagai berikut:

 

  1. Di antara mereka, ada yang beranggapan bahwa kehendak tersebut terjadi sebelum perbuatan, sebagaimana halnya kehendak untuk melakukan perbuatan yang terjadi sebelumnya.

 

  1. Al-Iskafi berpendapat bahwa kehendak seperti itu kadang-kadang bisa terjadi bersamaan dengan perbuatan.

 

Kelompok Mu ’tazilah berbeda pendapat mengenai kehendak beribadah, apakah kehendak beibadah tersebut memiliki kehendak? Dalam hal ini, ada dua pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian mereka berpendapat bahwa suatu kehendak tidak boleh memiliki kehendak, sebab kehcndak adalah awal perbuatan.

 

  1. Al-Jubba’i membolehkan manusia menentukan kehcndaknya. Dalam ha] ini, terjadi perbedaan antara saya (Al-Asy’ari) dan dia (Al-Jubba’i).

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai apakah jiwa dan pemikiran menyerukan atau mendorong kehendak? Dalam hal ini, ada dua pendapat, yaitu:

 

  1. Sekelompok Mutakallimin berpendapat bahwa jiwa dan pemikiran dapat menyeru atau mendorong kehendak.

 

  1. Sekelompok Mutakallimin yang lain berpendapat bahwa Jiwa dan pemikiran tidak dapat menyeru atau mendorong kehendak

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai kehendak ini, apakah ia merupakan sesuatu yang terpilih atau pilihan yang tidak terpilih? Dalam hal ini, ada dua pendapat, yattu:

 

  1. Sebagian kelompok ahli kalam berpendapat bahwa kehendak itu merupakan sesuatu yang terpilih sebagaimana halnya ia juga merupakan pilihan. Akan tetapi, ia bukan sesuatu yang dikehendaki, sebagaimana halnya ia juga bukan sesuatu yang dipilih.

 

  1. Sebagian ahli kalam lain berpendapat bahwa kehendak itu,merupakan pilihan, tetapi bukan merupakan sesuatu yang terpilih.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai perbuatan-perbuatan Allah ‘Azza wa Jalla, apakah semua perbuatan Allah itu terpilih atau tidak? Dalam hal ini, ada empat pendapat, sebagai berikut

 

1, Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa di antara perbuatan Allah itu ada yang merupakan pilihan dan ada puIa yang terpilih.

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa semua perbuatan Allah itu terpilih, tetapi bukan melalui pilihan dari sesuatu yang lain, melainkan merupakan pilihan itu sendiri, sebagaimana halnya perbuatan Allah itu dikehendaki yang tidak melalui kehendak lainnya. Ini adalah pendapat ulama penduduk Badgad.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat ‘bahwa perbuatan-perbuatan Allah yang dapat ditinggalkan, seperti A‘radh, maka iatermasuk kehendak terpilbh. Sedangkan perbuatan yang tidak dapat ditinggalkan seperti Aysam, maka ia bukan termasuk kehendak terpilih,

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain lagi berpendapat bahwa tidak setiap perbuatan hamba itu terpilih, melainkan di antaranya ada yang tidak disebut terpiulih. Semua perbuatan hamba tidak disebut pilihan.

 

Ulama Mutakallimin berpendapat mengenai pengajuan, sebagai berikut:

 

  1. Sekelompok Mutakallimin berbeda pendapat bahwa pengajuan (Al-Itsar) adalah pilihan dan kehendak. Sesuatu yang dikehendaki itu bukan merupakan pengajuan dan pilihan.

 

  1. Kelompok yang lain berpendapat bahwa pengajuan merupakan kehendak. Dan pilihan dapat termasuk kehendak dan dapat puIa termasuk sesuatu yang dikehendaki.

 

Kelompok Mu’tazilah berbeda pendapat mengenai berat dan ringan, apakah keduanya itu sesuatu (yang memiliki berat dan ringan) itu sendiri atau sesuatu yang lain?

 

Daiam hal ini, ada dua pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian ahli kalam berpendapat bahwa timbangan berat itu adalah sesuatu yang memiliki berat itu sendiri: Begitu puIa dengan timbangan ringan adalah sesuatu yang memiuliki timbangan ringan itu sendiri. Seandainya terjadi sesuatu lebih berat daripada yang lain, maka hal itu disebabkan adanya tambahan bagian atau kadar. Ini adalah pendapat jumhur kelompok Mu ’tazilah dan juga pendapat Al-Jubba’i.

 

  1. Sebagian ahli kalam berpendapat, di antaranya adalah Ash-Shalih bahwa timbangan berat berbeda dengan sesuatu yang memiliki berat dan timbangan ringan itu berbeda dengan sesuatu yang memiliki timbangan ringan.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai apakah Allah dapat menghilangkan berat langit dan bumi sehingga menjadi lebih ringan dari bulu ayam? Dalam hal ini, ada dua pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa Allah dapat menghilangkan berat langit dan bumi sehingga menjadi Icbih ringan daripada bulu ayan,

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain menyangkal pendapat yang menyatakan bahwa Allah dapat menghilangkan berat langit dan bumi sehingga menjadi lebih ringan daripada bulu ayam

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai bayangan sesuatu, apakah ia merupakan sesuatu yang memiliki bayangan itu sendiri atau sesuatu yang lain? Dalam hal ini, ada dua pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa bayangan sesuatu itu berbeda dengan sesuatu itu sendiri.

 

  1. Al-Jubba’i beranggapan bahwa bayangan itu bukan merupakan sebuah makna. Ia dapat menjadi bermakna apabiIa ada sesuatu yang menghalangi, bukan bayangan itu sendiri yang bermakna.

 

Ulama ahli Kalam berbenda pendapat mengenai pembunuhan. Berkenaan dengan pembunuhan ini, ada beberapa pendapat, sebagai berikut:

 

1, Sebagian ahli kalam berpendapat bahwa pembunuhan adalah gerakan atau tindakan yang terjadi dari seseorang pemukul, seperti pelemparan dan lain-lain yang menyebabkan keluarnya roh. Oleh karena itu, suatu gerakan tidak disebut-pembunuhan tidak menyebabkan keluarnya roh. Kelompok ini berpendapat bahwa hal ini seperti seseorang yang bersumpah yang mengatakan, “ApabiIa Zaid datang, maka istriku lepas (cerai)”. ApabiIa Zaid datang, maka ucapannya tadi merupakan pereeraian. Mereka beranggapan bahwa tindakan membunuh terjadi pada subjck tindakan dan: keterbunuhan terjadi pada objek yang terbunuh. Sebagaimana halnya pendapatnya tentang membunuh dan keterbunuhan, mereka juga mengatakan bahwa melukai terjadi pada subjek tindakan dan keterlukaan terjadi pada objek tindakan. Begitu puIa menyembelih terjadi pada subjek tindakan dan ketersembelihan terjadi pada objck tindakan. Orang yang berpendapat seperti ini adalah Ibrahim An-Nazhzham.

 

  1. Sebagian ahli kalam berpendapat bahwa tindakan yang menyebabkan keluarnya roh di sisi Allah merupakan pembunuhan. Sebab, Dia-lah yang mengentahui bahwa roh itu keluar akibat tindakan tersebut. Dan itulah pembunuhan yang sebenarnya. Akan tetapi, pembunuhan itu sukar diketahui dengan keluarnya roh. Pendapat ini dibantah kelompok pertama.,

 

Kedua kelompok ini (pertama dan kedua) beranggapan bahwa tindakan pembunuhan berada pada subjck pembunuhan, sedangkan orang yang dibunuh (objck pembunuhan) itu terbunuh melalui pembunuhan oleh orang lain.

 

  1. Sebagian kelompok Mu ’tazilah berpendapat bahwa pembunuhan adalah keluarnya roh karena adanya sebab yang datang dari manusia. Adapun keluarnya roh yang bukan karena sebab dari manusia, hal itu disebut mati, bukan pembunuhan.

 

Kelompok ini beranggapan bahwa pembunuhan terjadi pada orang yang dibunuh (objek), bukan orang yang membunuh (subjek).

 

  1. Sebagian ahli kalam yang lain berpendapat, pembunuhan me rupakan penghapusan pembawaan atau peniadaan anggota badan, yakni setiap tindakan yang menyebabkan hilangnya kehidupan dalam Jism. Seperti pemotongan kepala, pembelahan kerongkongan, dan setiap tindakan yang menyebabkan kematian manusia. Tindakan pembunuhan ini terjadi pada orang yang dibunuh (objek pembunuhan).

 

  1. Ibnu Ar-Rawandi berpendapat bahwa pelaku pembunuhan orang pembunuhan yang ketika melakukan tindakannya menggunakan pedang (senjata tajam) untuk membunuh orang lain sehingga menyebabkan keluarnya roh.

 

Ibnu Ar-Rawandi berpendapat bahwa sebenarnya bahwa sebenarnya seseorang tidak dapat dikatakan pembunuh, kecuali bagi orang yang menyebabkan keluarnya roh bersamaan dengan terjadinya pukulan yang dikenakan kepadanya. Dalam kondisi seperti itu, dapat diketahui bahwa dia-lah yang menyebabkan keluarnya roh melalui pukulannya itu. Dan roh tidak dapat keluar tanpa dipaksa oleh si pemukul dengan pedangnya. Selain itu, kita tidak mengetahui sesuatu yang terjadi ketika keluarnya roh kecuali pukulan. Aturan ditegakkan berdasarkan hal-hal yang konkret dan berbagai kebiasaan yang berlaku bagi aturan-aturan perbuatan dan para pelakunya. Adapun orang yang tidak seketika keluar rohnya, maka si pemukul tidak dapat disebut sebagai pembunuhnya, kecuali ada rekayasa yang menghambat keluarnya roh.

 

Ar-Rawandi berkata, “ApabiIa kita ditanya, ‘BiIa demikian, siapakah pembunuhnya?’ Maka kita jawab, ‘Sebenarnya ia tidak membunuh hingga ada pembunuh yang sebenarnya. Dan pembunuhan tersebut tidak dapat disandarkan, kecuali kepada pelakunya’.”

 

Berikutnya ia berkomentar, ‘ApabiIa ada orang yang mengatakan bahwa musuh telah membunuhnya, sebagaimana halnya racun yang membunuhnya”, maka hal tersebut dapat diterima.

 

Ar-Ruwandi beranggapan bahwa Allah SWT. telah memberikan istilah khusus terhadap pengeluaran roh makhluk-Nya, yaitu dengan nama matt.

 

Menurut Ar-Ruwandi, hal itu perlu dikatakan, yaitu bahwa si pemukul adalah pembunuh melalui rekayasanya, tetapi musuh adalah pembunuh yang sebenarnya.

 

Ibnu Ar-Ruwandi memberikan gambaran mengenai pembunuhan, Ia meninjau pembunuhan dari segi alat yang dipakai oleh pelaku yang dikenakan terhadap jasad penderita sehingga alat tersebut menjadi musuh roh dan menyebabkan kematian, Seandainya tidak ada tempat yang menjadi musuh, maka alat tersebut tidak akan mencapai sasaran. Dengan kata lain, seandainya roh dapat mengalahkan musuh, maka tidak akan terjadi pembunuhan. Akan tetapi, musuh dapat mengalahkan roh, maka terjadilah apa yang dikenal dengan istilah pembunuhan. Ini adalah pendapat kelompok yang mengakui keberadaan kausalitas dan juga kita,

 

Selanjutnya Ar-Ruwandi mengatakan bahwa kelompok yang mengakui keberadaan perbuatan kausalitas beranggapan bahwa pukulan di badan dapat menimbulkan rasa sakit dan mernyebabkan pembunuhan. Menurut mereka kejadian tersebut bersifat independen. Akan tetapi, bagi kita, kejadian tersebut merupakan perbuatan musuh dan roh sebab keduanya dapat menunjukkan karakteristiknya masing-masing.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai pembunuhan, apakah ia bertentangan dengan kehidupan atau tidak? Dalam hal ini, ada dua pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian Mutakillimin beranggapan bahwa pembunuhan bertentangan dengan kehidupan

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain mengatakan bahwa pembunuhan tidak bertentangan dengan kehidupan.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai kehidupan (Al-Hayat).

 

Dalam hal ini, ada dua pendapat, sebagai berikut:

 

  1. Di antara Mutakallimin ada yang menyatakan bahwa kehidupan dan kematian adalah A’radh.

 

  1. Sebagian Mutakallimin, beranggapan bahwa pembunuhan adalah A’radh yang berdomisili pada si pembunuh. Sedangkan kehidupan adalah Jism yang halus yang berdomisili di dalam jasad si terbunuh. Kalaupun kematian yang merupakan Jism dan karakteristiknya tidak dapat diindera itu bertentangan dengan kehidupan, maka itulah sebabnya ia disebut kematian, Begitu puIa sebaliknya dengan kehidupan.

 

Keelompok ini beranggapan bahwa proses kematian adalah tindakan Allah untuk me masukkan Jism ke dalam sesuatu yang bertentangan dengannya sehingga menimbulkan kematian, tetapi jnderanya tetap ada. Begitu puIa halnya dengan pembunuhan yang merupakan tindakan Allah untuk memasukkan Jism ke dalam sesuatu yang bertentangan dengannya sehingga menimbulkan pembunuhan, tetapi inderanya tetap ada.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai ungkapan manusia, apakah ungkapan tersebut merupakan suara atau bukan? Dan apakah suara itu Jism atau A’radh?

 

Dalam hal ini, ada beberapa pendapat, sebagai berikut:

 

  1. Ungkapan manusia adalah suara dan ungkapan tersebut adalah A’radh. Kadang-kadang ungkapan tersebut terjadi melalui lisan sehingga dapat didengar, kadang-kadang terjadi dalam kertas sehingga ia dapat ditulis, dan kdang-kadang terjadi dalam hati sehingga ia dapat dihapal. Hal init , dapat terjadi di tempat-tempat tersebut melalui tulisan, hafalan, dan bacaan.

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa ungkapan manusia itu bukan merupakan suara dan ungkapan tersebut adalah A’radh. Adapun suara itu adalah A’radh dan A’radh tersebut hanya terjadi melalui lisan.

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa suara adalah Jism yang halus, dan ungkapan manusia adalah potongan-potongan suara yang merupakan A’radh. Ini adalah pendapat An-Nazhzham.

 

4, Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat bahwa ungkapan adalah sebuah definisi atau makna yang berdiri sendiri dan tidak mengambil tempat pada lisan. Dia termasuk A’radh, tetapi bukan suara.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai ungkapan, apakah ia tersusun atau tidak? Dalam hal ini, ada dua pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa ungkapan itu sebenarnya tersusun.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat bahwa ungkapan itu tidak tersusun. Barang siapa yang mengatakan bahwa ungkapan itu tersusun, maka sebenarnya ia ingin mengatakannya sebagai sesuatu yang diperlnas

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai suara, bagaimana ia dapat didengar, dan apakah ia dapat berpindah atau tidak? Dalam hal ini ada beberapa pendapat, sebagai berikut:

 

  1. Sebagian ahli kalam berpendapat bahwa suara itu dapat berpindah dj udara sehingga ia dapat membuat sakit telinga. Suara itu tidak dapat didengar, kecuali biIa menghubungkannya dengan pendengaran atau mencampurkan kepadanya. Ini adalah pendapat An-Nazhzhzam.

 

  1. Sebagian ahli kalam berpendapat bahwa suara tidak dapat berpindah, tetapi ia dapat didengar di tempatnya oleh seribu orang atau lebih.

 

  1. Sebagian ahli kalam yang lain berpendapat bahwa suara tidak dapat didengar apabiIa tempatnya jauh dari pendengaran manusia. Suara hanya dapat didengar oleh manusia apabiIa dapat ditangkap oleh telinganya.

 

Mereka berpendapat mengenai pantulan suara bahwa ketika manusia membuka mulutnya dan berteriak, dapat mendorong udara, sehingga terjadilah suara di tempat yang didudukinya berdasarkan teori kausalitas.

 

4, Sebagian ahli kalam yang lainnya menyangkal pendapat di atas. Kelompok ini berpendapat bahwa suara itu ada sehingga ia dapat ketahui dengan jelas. Akan tetapi, ia tidak diciptakan

 

5, Sebagian ahli kalam lagi lainnya berpendapat bahwa suara tidak dapat didengar. Begitu puIa halnya dengan ungkapan. Yang dapat didengar adalah Jism yang bersuara dan Jism yang berbicara.

 

Ulama ahli Kalam berbeda pendapat mengenai suara, apakah ia kekal atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat, yaitu:

 

  1. Sekelompok ahli kalam berpendapat bahwa suara itu kekal.

 

  1. Kelompok lain berpendapat bahwa suara itu tidak kekal. Di antara kelompok ini, ada yang berpendapat bahwa suara itu ada yang kekal dan ada puIa yang tidak kekal.

 

Ulama ahli kalam berbeda pendapat menyena1 apakah suara dapat berada di dua tempat, sebaygai berikut:

 

1 Sebagian ahh kalam menyangkal keberadaan satu suara yang dapat berada di dua tempat.

 

  1. Sebagian yang lain membolehkan keberadaan satu suara yang dapat berada di dua tempat.

 

Ulama ahli kalam berbeda pendapat mengenai suara, apakah suara itu Jism? Dalam hal mi, ada empat pendapat, yaitu:

 

  1. An-Nazhzham berpendapat bahwa suara itu Jisim

 

  1. Sebagian ahli kalam yang lain berpendapat bahwa suara itu A’radh.

 

  1. Sebagian ahli kalam yang lain lagi berpendapat bahwa suara itu bukan Jauhar dan bukan puIa A’radh.

 

4, Ulama ahli kalam yang mengingkari keberadaan suara berpendapat bahwa di dunia ini tidak ada suara. Yang ada hanyalah sesuatu yang bersuara..’

 

Ulama ahli kalam berbeda pendapat mengenai, apakah suara itu milik selain sesuatu yang bersuara? Dalam hal ini, ada dua pendapat, yaitu:

 

  1. Di antara mereka, ada yang berpendapat bahwa suara hanyalah milik sesuatu yang bersuara.

 

  1. Ada juga yang berpendapat bahwa suara itu bukan hanya milik sesuatu yang bersuara.

 

Kelompok Mu’tazilah berbeda pendapat mengenai sekelompok orang yang mengatakan, “Wahai Zaid!” Salah seorang di antara mereka mengungkapkannya dengan “Ya” dan ada puIa yang mengungkapkannya dengan alif. Ada mengungkapkannya dengan zay, dan ada puIa yang mengungkapkannya dengan dai. Dalam hal ini, ada dua pendapat, yaitu:

 

  1. Muhammad bin Abd. Al-Wahhab Al-Jubba’i berpendapat bahwa setiap hurufnya adalah kata-kata yang dipakai untuk berbicara oleh orang yang memilikinya. Kata-kata tersebut merupakan khabar yang diberitahukan oleh pemiliknya. Dengan demikian, huruf adalah khabar dan kata-kata.

 

2 Ahmad bin Alt Asy-Syathawi yang dikenal dengan Naufah berpendapat bahwa setiap huruf adalah kata-kata dan bukan puIa ungkapan, berita, dan pemberitahuan.

 

Kelompok Mu’tazilah berbeda pendapat me ngenat buah pemikiran.

 

Dalam hal ini, ada beberapa pendapat, sebagai berikut:

 

  1. Ibrahim An-Nazhzham berpendapat bahwa harus ada dua pemikiran yang salah satunya menyuruh untuk mengajukan atau me lakukan sesuatu dan yang lainnya menyuruh untuk menghentikan sesuatu agar pitlihan menjadi benar.

 

Dikisahkan bahwa Ar-Rawandi berpendapat, “Dua buah pemikiran tentang kemaksiatan itu datang dari Allah. Hanya saIa Dia membuatanya untuk keadilan, bukan untuk kemaksiatan,

 

Dikisahkan puIa bahwa Ar-Rawandiy mengatakan, “Dua buah pemikiran itu adalah Jism”. Saya kira (kata pengarang) Ar-Rawandiy telah melakukan kesalahan mmengenai kisah yang teralahir.

 

  1. Basyar bin Mu’tamar berpendapat bahwa kadang-kadang orang yang memilih tidak memerlukan pemikiran dalam melakukan perbuatan dan memilth perbuatannya. Berkenaan dengan hal ini, ia berargumentasi dengan syetan pertama yang diciptakan oleh Allah bahwa setan tidak diciptakan untuk berpikir. .

 

  1. Sekelompok Mutakallimin berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan yang dikerjakan sesuai dengan kehendak, kecenderungan, dan keciniaan jiwanya sendiri, tidak membutuhkan pemikiran yang dapat memberikan motivasi kepada jiwa untuk melakukannya. Adapun perbuatan-perbuatan yang dibenci oleh. jiwa, ketika Allah memeriniahkan untuk melakukannya, Dia menciptakan rangsangan-rangsangan yang sebanding dengan kebencian dan keengganannya untuk melakukan perbuatan tersebut. Ketika setan menyuruhnya untuk berpaling kepadanya dan menciniainya, maka Allah menambahkan rangsangan-rangsangan dan kecenderungan yang dapat mengimbangi seruan setan dan memenangkannya. ApabiIa Allah menghendaki jiwa untuk melakukan perbuatan yang dibencinya, maka Allah menjadikan rangsangan-rangsangan, kecenderungan-kecenderungan, peringatan-peringatan yang dapat mengungguli kebenciannya sehingga jiwa cenderung kepada sesuatu yang diserukannya dan diciniainya sesuai dengan karakteristiknya. ArRawandi menyatakan bahwa ini adalah pendapatnya.

 

  1. Abu Al-Hudzail dan seluruh kelompok Mu ‘teztlah berpendapat bahwa pemikiran yang mendorong kepada ketaatan beragal dari Allah, dan pemikiran yang mendorong kepada kemaksiatan berasal dari setan. Mereka menyatakan bahwa pemikiran adalah A’radh, kecuali Abu AlHudzail, ia berpendapat bahwa kadang-kadang alasan rasional tidak memerlukan pemikiran. Tetapi, menurut Ibrahim dan Ja’far bahwa alasan rasional membutuhkan pemikiran.

 

  1. Mutakallimin yang mengingkari keberadaan pemikiran berpendapat bahwa pemikiran itu tidak ada.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai orang awam dan wanita yang menurut semua agama memiliki keserupaan ketika teerlinias sebuah pemikiran di hati mereka, Dalam hal ini, ada dua pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian Muiakallimin berpendapat bahwa mereka harus merenungkan buah pikiran tersebut dan harus mendatangkan atau menyertakan argumetasinya.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat bahwa mereka tidak perlu merenungkan buah pikiran tersebut dan mendatangkan atau menyertakan argumentasinya. Menurut pendapat ini, orang awam dan wanita dapat menolak liniasan buah pikiran tersebut dan tidak berkeyakinan apa pun mengenai buah pikiran tersebut. Akan tetapi, apabiIa buah pikiran tersebut bertentangan dengan agama yang mereka perangi, maka hendaknya mereka berkeyakinan bahwa buah pikiran tersebut batil.

 

Kelompok Mu’tazilah berbeda pendapat mengenai ketaatan yang tidak diperuntukkan bagi Allah. Dalam hal ini, ada tiga pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa tidak boleh menaati Allah bagi orang yang tidak memperuntukkan ketaatannya tersebut bagi-Nya. Dia tidak perlu mendekatkan diri kepada-Nya melalui ketaatannya. Kelompok ini menyangkal keberadaan ketaatan kepada Allah atau pengetahuan terhadap suatu periniah di dalam kelompok Ad-Dahriyyah. Kelompok Qadariyyah menceIa orang-orang yang tidak sependapat dengan mereka mengenai gadar. Kelompok kebenaran menyebut mereka sebagai kelompok Qadariyyah, dan menyebut kelompok Dahriyyah sebagai kelompok Mujbirah. Dan kelompok Mu’tazilah yang berpendapat seperti ini Iebih tepat disebut Qadariyyah daripada kelompok kebenaran.

 

  1. Sebagian ahli kalam yang mengingkari pendapat tentang ketaatan yang tidak diperuntukan bagi Allah, berpendapat bahwa di dalam kelompok Musyabbihah, tidak ada pengetahuan terhadap Allah, dan mereka tidak termasuk orang-orang yang taat kepada-Nya. Akan tetapi, di dalam VQadariyyah terdapat pengetahuan terhadap Allah, apabiIa terbukti kelompok tni ada. Dalam kelompok im, terdapat ketaatan kepada Allah.

 

  1. Sebagian ahli kalam lain yang mengingkari pendapat tentang ketaatan yang tidak diperuntukkan bagi Allah, berpendapat bahwa semua perbuatan orang yang tidak mengetahui Allah, merupakan ketidaktahuan kepada Allah dan tidak ada seorang pun di antara orang-orang bodoh yang taat kepada Allah. Ini adalah pendapat Abbad.

 

Ulama ahli kalam berbeda pendapat mengenai siksa kubur, sebagai berikut:

 

  1. Di antara kelompok Mu’tazilah dan Khawarij, ada yang menafikan siksa kubur ini.

 

  1. Mayoritas kelompok Islam menyatakan keberadaan siksa kubur.

 

  1. Sebagian ahli kalam. beranggapan bahwa Allah SWT. memberikan kenikmatan dan kesakitan kepada roh. Adapun jasad yang berada di kubur, maka ia tidak terkena kenikmatan dan kesakitan.

 

Ulama ahli kalam berbeda pendapat mengenai apakah alam dapat tereipta bukan pada suatu tempat atau berada bukan pada suatu tempat?

 

Dalam hal ini, ada dua pendapat, yaitu: .

 

1, Sebagian ahli kalam berpendapat bahwa Allah dapat menciptakan alam bukan pada suatu tempat dan mengadakannya bukan pada suatu tempat, atau bukan pada sesuatu.

 

  1. Sebagian ahli kalam menyangkal pendapat seperti ini. Mereka beranggapan bahwa tidak mungkin keberadaan alam itu bukan pada suatu tempat dan penciptaannya bukan pada sesuatu.

 

Ulama ahli kalam berbeda pendapat mengenai apakah Jism mati dapat bergerak tanpa pendorong ketika ia diam? Dalam hal ini, ada dua pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian ahli kalam berpendapat bahwa Allah dapat menggerakkan gesuatu tanpa pendorong.

 

  1. Sebagian lagi berpendapat bahwa sesuatu tidak dapat bergerak, kecuali ada yang mendorongnya. Ini adalah pendapat kelompok ahli kealaman.

 

Ulama ahli kalam berbeda pendapat menganai apakah gerakan yang terjadi arah kanan adalah gerakan yang terjadi arah kiri atau bukan? Dalam hal ini, ada dua pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian ahli kalam berpendapat bahwa manusia mampu melakukan gerak dan diam. ApabiIa manusia, bersamaan dengan geraknya itu, menghasilkan wujud kanan, maka gerakannya itu disebut gerakan kanan. Dan apabiIa manusia, bersamaan dengan geraknya itu menghasilkan wujud kiri, maka gerakannya itu disebut gerakan kiri. Ini adalah pendapat Abu Al-Hudzail.

 

  1. Sebagian ahli Kalam yang lain berpendapat bahwa gerakan kanan berbeda dengan gerakan kiri.

 

Ulama ahli kalam berbeda pendapat mengenai apakah suatu gerakan lebih ringan daripada gerakan yang lain? Dalam hal ini, ada dua pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian ahli kalam menyatakan bahwa suatu gerakan dapat lebih ringan daripada gerakan yang lain.

 

  1. Sebagian ahli kalam yang lain menyatakan bahwa suatu gerakan tidak lebih ringan daripada gerakan yang lain.

 

Ulama ahli kalam berbeda pendapat mengenai perbuatan hati yang berupa keinginan, keengganan, pengetahuan, penalaran, pemikiran dan lain-lain.

 

Apakah perbuatan-perbuatan hati tersebut merupakan gerak atau bukan? Dalam hal ini, ada tiga pendapat, sebagai berikut:

 

  1. Sebagian ahli kalam berpendapat balwa semua perbuatan hati tersebut adalah gerakan.,

 

  1. Sebagian ahli kalam yang lain bet pendapat baliwa semua perbuatan hati adalah diam.

 

3, Sebagian ahli kalam yang Jain lagi berpeendapat bahwa perbuatan-perbuatan ahli tersebut bukan gerakan dan bukan puIa diam,

 

Ulama ahli kalam berbeda pendapat mengenai apakah alam diciptakan berwarna di dalam hati yang buta atau tidak? Dalam hal ini, ada dua pendapat, yaltu:

 

  1. Sebagian pendapat menyatakan kemungkinannya bahwa alam dapat diciptakan berwama di dalam hati yang buta.

 

  1. Sebagian pendapat lain menyatakan ketidakmungkinannya, bahwa alam tidak diciptakan berwarna di dalam hati yang buta.

 

Ulama ahli kalam berbeda pendapat mengenai ungkapan hamba, apakah ia kekal atau tidak? Dalam hal ini, ada dua pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian hali kalam berpendapat bahwa ungkapan hamba tidak kekal.

 

  1. Sebagian ahli kalam yang lain lagi berpendapat bahwa ungkapan hamba itu terkadang kekal dan terkadang tidak. Ini adalah pendapat Abu Al Hudzail, dan lain-lain.

 

Ulama ahli kalam berbeda pendapat mengenai apakah ungkapan dapat dilakukan selain dengan lisan? Dalam hal ini, ada dua pendpat, yaitu:

 

  1. Sebagian pendapat menyatakan bahwa ungkapan dapat dilakukan selain dengan lisan.

 

  1. Sebagian pendapat yang lain menyatakan bahwa ungkapan tidak dapat dilakukan selain dengan lisan.

 

Ulama ahli kalam berbeda pendapat mengenai udara, apakah ia merupakan suatu makna? Dalam hal ini, ada dua pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian ahli kalam berpendapat bahwa udara itu bukan Jism.

 

  1. Pendapat abli kalam yang lain mengatakan bahwa udara adalah Jism tipis.

 

Ulama ahli Kalam berbeda pendapat mengenai udara, apakah ia dapat naik dari ruang lingkup Jism sehingga menghilang? Dalam hal ini, ada dua pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian ahli kalam berpendapat bahwa udara dapat naik dari ruang lingkup Jism sehingga menghilang.

 

  1. Sebagian ahli kalam yang lain mengingkari keberadaan udara yang dapat naik dari ruang lingkup Jism sehingga menghilang. Kelompok ini berpendapat bahwa seandainya udara yang ada di antara dua dinding dapat naik, maka dinding akan bertemu dan berdempetan atau menempel.

 

Ulama ahli kalam berbeda pendapat mengenai orang yang mengulurkan atau memanjangkan tangannya di balik alam. Dalam hal ini ada dua pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian ahli Kalam berpendapat bahwa alam mémanjang bersamaan dengan tangannya sehingga alam menjadi tempat bagi tangan. Sesuatu yang bergerak tidak akan bergerak, kecuali pada sesuatu.

 

  1. Sebagian ahli kalam yang lain berpendapat bahwa orang tersebut memanjang atau mengulurkan tangannya dan tangan pun bergerak, tetapi bukan pada sesuatu.

 

Ulama ahli kalam berbeda pendapat mengenai mimpi. Berkenaan dengan mimpi ini, ada enam pendapat sebagai berikut:

 

  1. An-Nazhzham dan orang yang sependapat dengan beranggapan, sebagaimana yang dinyatakan oleh Zarqan, bahwa mimpi merupakan liniasan-liniasan pikiran sebagaimana halnya liniasan mata dan lain-lain sehingga ia menjelma dan dapat dilihat.

 

  1. Mu’amar berpendapat bahwa mimpi termasuk perbuatan alamiah, dan bukan berasal dari Allah.

 

3, Kelompok As-Sufasthaiyah berpendapat bahwa proses yang dialam; oleh orang yang, bermimpi adalah sebapaimana proses yang dialami oleh oleh yang terjaga. Semua itu berdasarkan khayalan dan perkiraan atau asumsi.

 

  1. Shalih Qubbah dan orang yang sependapat dengannya berpendapat bah. wa mimpi itu benar adanya. Apa yang dimimpikan oleh orang yang bermimpi itu adalah benar, sebagaimana benarnya apa yang dialami oleh orang yang terjaga. ApabiIa seseotrang bermimpi di Afrika dan dia berada di Bagdad, maka Allah telah membuatnya berada di Afrika pada waktu itu.

 

  1. Sebagian kelompok Mu’tazilah berpendapat bahwa mimpi itu berdasarkan tiga aspek, yaitu Pertama, mimpi yang berasal dart Allah, seperti penghilangan atau penurunan kejahatan manusia oleh Allah di dalam mimpi seseorang sehingga ia menjadi cenderung kepada perbuatan baik. Kedua, mimpi yang berasal dari manusia. Ketiga, mimpi yang berasal dari bisikan jiwa dan pikiran yang ada ketika seseorang hendak tidur, bepikir kemudian ketika sadar ia memikirkannya sehingga seakan-akan ia telah me lihatnya.

 

  1. Ahlu Al-Hadis berpendapat bahwa mimpi yang benar (Ar-Ru’yahash Ash-Shadiqah) diakui keberadaannya. Dan di antara mimpi itu ada yang kacau-balau dan tidak dapat dipereayai keberadaannya.

 

Ulama ahli kalam berbeda pendapat mengenai sesuatu yang dilihat di dalam kaca. Dalam hal ini, ada beberapa pendapat, sebagai berikut:

 

  1. Sebagian ahli kalam bahwa sesuatu yang dilihat seseorang di dalam kaca sebenarnya adalah orang yang diciptakan serupa dengannya oleh Allah. Ini adalah pendapat Shalih.

 

  1. Abu Al-Hasan Ash-Shalihi berpendapat bahwa tidak ada yang dapat dilihat, kecuali warna dan bahwa cahaya atau sinar itu terpisah dari wajah manusia, Sinar tersebut memiliki warna sebagaimana halnya warna manusia. Kemudian manusia itu melihat warna sinar yang terpancarkan dari wajahnya ketika berhubungan dengan kaca dan warna sinar itu seperti warna wajahnya.

 

  1. As-Safathaiyyah berpendapat, sesuai dengan pandangan dasarnya bahwa sesungguhnya apa yang dilihat seseorang di dalam kaca hanyalah perkiraan (asumsi).

 

  1. Sebagian ahli kalam berpendapat bahwa sesungguhnya manusia dapat melihat wajahnya karena ada pantulan sinar dari arah kaca kepadanya.

 

  1. Sebagian ahli kalam berpendapat bahwa sesuatu yang dilihat oleh seseorang, di dalam kaca adalah bayangan wayahnya.

 

6 Phirar bin Amru berpendapat bahwa manusia dapat melihat yang serupa dengannya dan yang serupa dengan lainnya.

 

Ulama ahli Kalam berbeda pendapat mengenai jin, apakah mereka dapat masuk ke dalam manusia? Berkenaan dengan hal, ini ada dua pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian ahli kalam berpendapat bahwa mustahil jin itu dapat masuk ke dalam manusia.

 

  1. Sebagian ahli kalam berpendapat bahwa jin dapat masuk ke dalam manusia sebab Ajsam jin itu lembut. Oleh karena itu, tidak mustahil mereka dapat masuk ke dalam manusia melalui lubang-lubangnya, sebagaimana halnya air dan makanan yang masuk ke dalam perut manusia padahal ia lebih kasar daripada Ajsam jin. Apalagi janin yang ada di perut ibunya, dia jauh lebih kasar daripada setan. Oleh karena itu, ‘tidaklah mustahil apabiIa setan masuk ke dalam tubuh manusia.

 

Mereka berbeda pendapat mengenai apakah orang yang terkena serangan penyakit dapat melihat setan atau tidak? Dalam hal ini, ada tiga pendapat, yaitu: ‘

 

  1. Sebagian ahli kalam berpendapat bahwa jin tidak dapat memukul manusia dan tidak puIa dapat membinasakannya. Penyakit tersebut timbul akibat aspek inieraksi alamiah dan kelebihan sebagian campuran, seperti kekuningan dan lendir atau dahak.

 

  1. Sebagian ahli kalam berpendapat bahwa setan dapat menyerang manusia dan membinasakannya. Setan dapat dilihat oleh manusia dan ungkapannya pun dapat didengar

 

  1. Sebagian ahli kalam yang lainnya lagi berpendapat bahwa setan dapat memukul, menyerang, dan me ngganggu manusia, sementara itu manusia tidak dapat melihatnya. Dan ungkapan yang didengar ketika terjadi serangan dan pukulan, bukanlah berasal dari setan.

 

Ulama ahli kalam berbeda pendapat mengenai kejelekan gangguan setan dan bagaimana cara mereka mengganggu.

 

Dalam hal ini ada tiga pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian ahh kalam berpendapat bahwa setan itu selelu mengganggu manusia dan boleh jadi, Allah menciptakan udara atau lainnya sebagai alat yang dipeergunakan oleh mereka, Sebab, udara itu berhubungan dengan hati, kemudian setan menggerakkan alat tersebut dari sebagian lubang-lubang yang ada pada manusia sehingga mereka dapat menyambungkan gangguan tersebut ke dalam hati melalui alat-alat tadi. Hal yang serupa adalah umpamanya Anda mengambil tombak dan jarak antara Anda dan orang Jain adalah sepuluh hasta. Kemudian, Anda berbicara melalui tombak itu sehingga orang tersebut dapat mendengarnya. Hal itu dapat terjadi apabiIa tombak itu kering dan bersambung dengan pendengarannya (telinga).

 

  1. Sebagian ahli kalam berbeda pendapat bahwa Jism setan lebih lembut dari pada Jism kita dan ungkapannya pun lebih tersembunyi daripada ungkapan kita. Oleh karena itu, ungkapannya itu dapat sampai kepada telinga seseorang, dengan cara membisikkan sesuatu sehingga bisikan tersebut menjadi gangguan.

 

  1. Sebagian ahli kalam yang lain berpendapat bahwa setan dapat masuk ke hati manusia itu sendiri sehingga ia dapat membisikannya langsung ke dalam hati manusia.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai apakah setan itu dapat mengetahui sesuatu yang ada di dalam hati atau tidak? Dalam hal ini, ada tiga pendapat, yaitu:

 

  1. Ibrahim Mu’ammar, Hisyam, dan para pengikut mereka berpendapat bahwa setan me ngetahui sesuatu yang ada di dalam hati. Dan hal tersebut bukanlah sesuatu yang mengherankan. Sebab, Allah SWT. telah menjadikan tanda atau bukti yang menunjukkan ke arah terhadap kenyataaan itu. Akan tetapi, mustahil setan dapat masuk ke dalam hati manusia. Sebagai contoh adalah penunjukkan kepada seseorang, datang atau kembalilah! Sehingga diketahui apa yang Anda kehendaki. Begitu pula, ketika seseorang melakukan perbuatan, maka setan mengetahui bagaimana cara me lakukan perbuatan tersebut. ApabiIa seseorang membisikkan dirinya untuk berbuat keyujuran dan kebaikan, maka setan mengetahuinya dan melarang orang tersebut untuk melakukan perbuatan tadi. Demikianlah menurut Zarqan.

 

  1. Sekelompok Mu ‘tazilah dan lain-lain berpendapat bahwa setan tidak mengetahui sesuatu yang ada di dalam hati manusia. ApabiIa seseorang membisikkan dirinya untuk berbuat kejujuran atau perbuatan-perbuatan paik lainnya, maka setan me larangnya untuk melakukan perbuatan tersebut berdasarkan perkiraan dan taksiran belaka.

 

  1. Sebagian orang berpendapat bahwa setan masuk ke dalam hati manusia sehingga mengetahui sesuatu yang dikehcndaki oleh hatinya.

 

Ulama ahli kalam berbeda pendapat mengenai apakah jin dapat memberitahukan sesuatu kepada manusia atau menjadi pembantunya? Dalam hal ini, ada dua pendapat, yaitu:

 

  1. An-Nazhzham dan mayoritas kelompok Mu’tazilah serta kelompok kalam berpendapat bahwa jin tidak dapat memberitahukan sesuatu kepada manusia atau menjadi pembantunya. Sebab, hal tersebut dapat merusak tanda-tanda kenabian karena para nabi itu memiliki tanda untuk memberitahukan apa yang harus kita makan dan apa yang harus kita simpan.

 

  1. Sebagian ahli kalam berpendapat bahwa jin dapat menjadi pembantu bagi manusia dan memberitahukan sesuatu yang tidak diketahui oleh manusia.

 

Ulama ahli kalam berbeda pendapat me ngenai apakah setan mampu membawa sesuatu yang tidak mampu dibawa oleh manusia? Dalam hal ini, ada dua pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian ahli kalam berpendapat bahwa setan mampu melakukan hal tersebut sebab setan mampu membawa banyak hal.

 

  1. Sebagian ahli kalam menyangkal pendapat tersebut. Menurut mereka di dalam pendapat tersebut terdapat perusakan tanda-tanda kerasulan. Ini adalah pendapat Al-Jubba’i.

Ulama ahli kalam berbeda pendapat mengenai apakah setan dapat mengubah bentuk dari aslinya? Berkenaan dengan hal ini, ada dua pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagin kelompok ahli kalam menyatakan bahwa setan dapat mengubah bantuk dari aslinya.

 

  1. Sebagian ahli kalam lagi menyangkal bahwa setan dapat mengubah bentuk dari aslinya.

 

Ulama ahli kalam berbeda pendapat mengenai apakah tanda-tanda yang dapat menjadi petunjuk (Al-i’lam) dapat terjadi pada selain para nabi? Berkenaan dengan hal ini, ada beberapa pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian ahli kalam berpendapat bahwa tanda-tanda kemujizatan tidak boleh terjadi pada selain nabi.

 

  1. Sebagian ahli kalam yang lain berpendapat bahwa tanda-tanda kemukjizatan dapat terjadi pada para imam. Para Malaikat menurunkannya kepada mereka. Ini adalah pendapat kelompok Rafidah.

 

Sebagian mereka bericbih-lebihan dalam berpendapat sehingga beranggapan bahwa iman dapat menghapus syari’at. Kelompok lain dari Al-Khurmadiniyyah juga berlebih-lebihan dalam berpendapat sehingga mereka beranggapan bahwa para rasul akan datang berturut-turut setelah Rasulullah SAW. tanpa ada keterputusan satu dan lainnya.

 

3, Sebagian ahli kalam yang lain lagi berpendapat bahwa kemukjizatan dapat terjadi pada orang-orang yang saleh yang tidak mengaku dirinya sebagai nabi. Kemukyjizatan tidak dapat terjadi para orang-orang yang suka berbuat kerusakan.

 

  1. Sebagian ahli kalam lagi berpendapat bahwa kemukjizatan dapat terjadi pada orang-orang yang suka berbuat kebohongan yang mengaku dirinya sebagai tuhan. Akan tetapi kemukjizatan tersebut tidak dapat terjadi pada orang-orang yang suka berbuat kebohongan yang mengaku sebagai nabi.

 

Sebab, menurut pendapat ini, bahwa orang yang mengaku dirinya sebagai Tuhan, di dalam dirinya terdapat sesuatu yang mengingkari pengakuannya, sedangkan pada orang yang mengaku dirinya sebagai nabi di dalam dirinya tidak ada sesuatu yang dapat mengingkari bahwa dirinya nabi. Ini adalah pendapat Husain Najjar.

 

5, Kelompok Shufi membolehkan terjadinya kemukjizatan pada orang-orang saleh. Mereka dapat didatangi buah-buahan dari surga ke alam dunia ini sehingga mereka dapat memakannya. Me reka dapat memperoleh para bidadari di dunia, dan para malaikat dapat menampakkan diri kepada mereka. Begitu puIa halnya dengan setan, sehingga mereka dapat memeranginya. Akan tetapi, mereka tidak boleh me lihat Allah di dunia dan beranggapan bahwa semua itu merupakan pusuka warisan Perbuatan (Mawaris Al-A’mal) yang diperoleh orang-orang yang, saleh.

 

Sebagian ahli kalam membolehkan semua yang telah kita sebutkan di atas,

 

  1. Bahkan, mereka mmbolehkan orang-orang yang saleh untuk melihat Allah di dunia dan bergaul dengan-Nya.

 

  1. Sebagian lagi berpendapat bahwa kemukjizatan dapat terjadi pada orang-orang saleh dan pusaka warisan perbuatan dapat sampai kepada mereka sehingga terlepas dari kewajiban untuk menjalankan ibadah. Dunia dan semua yang ada di dalammya adalah boleh bagi mereka. Bagi mereka tidak ada larangan. Wanita dan segaIa yang ada halal bagi mereka. Ini adalah pendapat kelompok ibahah.

 

Kelompok ini beranggapan bahwa peribadatan telah sampai atau selesai bagi mereka sechingga mereka tidak perlu lagi me lakukan sesuatu, kecuali apa yang mereka kehendaki. ApabiIa mereka menghendaki uang (dinar), maka terjadilah apa yang mereka kehendaki itu. SegaIa sesuatu yang diinginkan mereka tidak sulit untuk memperolehnya.

 

Sebagian kelompok ini beranggapan bahwa peribadatan telah sampai atau selesai bagi mereka sehingga keberadaan mereka lebih utama daripada para nabi dan para malaikat yang selalu dekat kepada Allah.

 

Ulama ahli kalam berbeda pendapat mengenai apakah para malaikat lebih utama daripada para nabi? Dalam hal ini, ada dua pendapat, yaitu:,

 

  1. Sebagian ahli kalam berpendapat bahwa para malaikat lebih utama dari para nabi.

 

  1. Sebagian ahli kalam yang lain berpendapat sebaliknya bahwa para nabi lebih utama daripada para malaikat dan imam juga lebih utama dari pada para malaikat. Ini adalah pendapat kelompok Rafidah.

 

Kelompok Mutanassikin (ahli ibadah) berpendapat bahwa manusia selain-para nabi dan para imam, ada yang lebih utama daripada para malaikat.

 

Ulama ahli kalam berbeda pendapat me ngenai jin , apakah ia terkenan beban syari’at (mukallafun) atau dipaksa untuk melakukan syari’at? Dalam . hal ini, ada dua pandapat kelompok, yaitu:

 

  1. Sebagian kelompok Mu‘tazilah dan yang lain berpendapat bahwa jin itu terkena periniah dan larangan dan bebas untuk memilih. Sebab, Allah Azza wa JalIa berfirman, sebagai berikut:

 

Artinya: “Hai jama‘ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (meliniasi) penjuru langit dan bumi …” (QS. Ar-Rahman (55) : 33)

 

  1. Sebagian ahli kalam beranggapan bahwa jin itu dipaksa dan diperiniah, Begitu puIa mereka berbeda pendapat mengenai para malaikat apakah mereka diperiniah atau bebas untuk memilih, sebagaimana perbedaan pendapat mereka tentang jin.

 

Ulama ahli kalam berbeda pendapat mengenai setan, apakah mereka dapat dilihat di dunia atau tidak? Dalam hal ini, ada beberapa pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian ahli kalam berpendapat bahwa setan tidak dapat dilihat di dunia, kecuali och para nabi karena Allah memperlihatkan mereka kepadanya atau Allah memperlihatkan setan kepada para nabi sebagai pengetahuan dan bukti terhadap kenabian dan Allah mampu untuk memperlihatkan para malaikat dan syetan kepada hamba-Nya tanpa mengubah ciptaanNya. Allah telah memperlihatkan para malaikat kepada manusia sebagaimana adanya.

 

  1. Sebagian ahli kalam berpendapat bahwa syetan tidak dapat dilihat sama sekali, kecuali biIa Allah mengubah ciptaannya dan mengeluarkan mereka dari keberadaan yang sebenarnya.

 

  1. Sebagian ahli kalam berpendapat bahwa setan dapat dilihat di dunia tanpa Allah harus mengubah ciptaan-Nya, dan tidak harus menjadikannya se0bagai bukti kenabian.

 

4, Sebagian ahli kalam mengingkari keberadaan jin dan setan. Kelompok imi beranggapan bahwa di dunia ini tidak ada setan ataupun jin, selain manusia yang kita lihat.

 

Ulama ahli kalam berbeda pendapat mengenai apakah setan dapat perubah menjadi bentuk manusia atau bentuk-bentuk yang lainnya ketika setan tersebut menghendakinya atau tidak? Dalam hal ini, ada dua pendapat, yaitu:

 

  1. Sebhagian ahli kalam berpendapat bahwa setan dapat berubah menjadi bentuk apa saIa yang mereka kehendaki sehingga sewaktuewaktu mereka berbentuk manusia dan sewaktu-waktu mereka berbentuk ular.

 

  1. Sebagian kelompok Mu’tazilah dan lainnya berpendapat bahwa setan tidak dapat berubah menjadi bentuk apa saIa yang mereka kehendaki dan Allah tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk me ngubah bentuk ketika mereka me nghcndaki perubahan tersebut.

 

Ulama ahli kalam berbeda pendapat, apakah iblis termasuk malaikat atau bukan? Dalam hal ini, ada dua pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian Murakallimin berpendapat bahwa iblis termasuk malaikat. Akan tetapi, Allah mengeluarkan mereka dari kelompok malaikat karena mereka telah menyombongkan dirinya kepada Allah SWT.

 

  1. Sebagian yang lain berpendapat bahwa iblis bukan termasuk malaikat.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat, apakah para malaikat itu jin atau bukan? Dalam hal ini, ada dua pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian ulama Mutakallimin berpendapat bahwa para malaikat itu jin, sebab, mereka dapat dilihat. Oleh karena itu, janin disebut janin karena tidak terlihat mata.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat bahwa para malaikat itu bukan jin.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat mengenai sihir, sebagai berikut:

 

  1. Sebagian Mu’tazilah dan kelompok Islam lainnya berpendapat bahwa sihir adalah tipuan dan khayalan. Seorang pelaku sihir tidak dapat mengubah atau memutarbalikkan mata melalui sihirnya, dan tidak dapat mengadakan sesuatu yang tidak dapat diadakan oleh orang lain.

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat bahwa seorang pelaku shir dapat mengubah manusia menjadi keledai. Dan Marradah peergi ke Hindia pada suatu malam dan kembali.

 

3, Sebagian Matakallimin yang lain berpendapat bahwa sihir itu bukan pemutarbalikkan mata, melainkan pengendalian penglihatan, sepeti se. suatu yang dilakukan manusia yang terlihat oleh orang lain berbeda dar; keberadaan yang sebenarnya,

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat tentang hakikat tempat.

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa tempat sesuatu berarti yang dijadikan sandaran untuk tinggal di dalamnya.

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa tempat sesuatu berarti apa yang bersentuhan dengannya. TatkaIa dua hal saling bersentuhan, maka keduanya menjadi tempat bagi masing-masing.

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa tempat sesuatu berarti apa yang menahannya jatuh, baik ia bersandar kepadanya ataupun tidak

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa tempat sesuatu berarti udara karena segaIa sesuatu berada di dalamnya.

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa tempat sesuatu berarti terminal baginya. SengaIa kami menuturkan pandangan-pandangan tokoh yang berpegang teguh pada Islam saja, tidak tokoh-tokoh lain dari gencrasi awal.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang: hakikat waktu.

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa waktu adalah pemisah berbagai aktivitas, yakni jarak antara satu ke aletivitas ke ativitas lainnya. Setiap aktivitas muncul bersama waktu. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Hudzail.

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa waktu adalah saat yang engkau tentukan bagi sesuatu. Jika mengatakan, “Ia datang seiring dengan kedatangan Zaid”, maka Anda menentapkan kedatangan Zaid sebagai saat bagi kedatangannya.

 

Mereka beranggapan bahwa waktu itu adalah perakan karena Allah memberi waktu pada setiap sesuatu (untuk bergerak). Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Juba’i.

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa kami tidak membicarakan apa sebenarnya hakikat waktu. Namun, yang jelas waktu itu adalah aksiden.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat tentang satu waktu, dapatkah dipakai oleh dua hal?

 

  1. Sebagian dari mereka membolehkannya

 

  1. Sebagian dari mereka melarangnya.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat tentang boleh tidaknya sesuatu menempatl waktu.

 

1 Sebagian dari mereka membolehkannya.

 

2 Sebagian dari mereka melarangnya.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat tentang hakikat dunia.

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa dunia adalah hawa dan udara. Pendapat ini dikemukakan oleh Zuhair Al-Atsari.

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa dunia adalah tempat makhlukmakhluk Allah berada sebelum datangnya hari Akhirat, yakni substansisubstansi dan aksiden-aksiden serta makhluk Allah lainnya.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang hakikat berita.

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa berita adalah setiap informasi yang mungkirt benar atau dusta. Ada beberapa bentuk berita. Di antaranya adalah berita negatif, positif, pujian, celaan, dan kekaguman. Adapun pertanyaan, periniah, larangan, dan pengharapan tidak tergolong dalam berita sebab orang yang mengucapkannya tidak dapat dikatakan benar atau salah.

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa berita adalah perkataan yang disampaikan oleh pembawa berita. Dikatakan berita jika dinisbatkan kepada orang yang menyampaikannya. ApabiIa perkataan itu tidak disampaikan, maka ia bukanlah berita. Namun, pendapat ini dibantah oleh kelompok pertama di atas:

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat tentang hakikat kalam.

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa kalam adalah yang tidak keluar dan salah satu bentuk-bentuk berikut: periniah, larangan, pemberitaan, meminia berita, pengharapan, kekaguman, pertanyaan., Pertanyaan sebenarnya sama dengan periniah, Flanya saIa biIa periniah itu datang dari bawahan, dinamakan pertanyaan,

 

  1. Sebagian dari mereka berpeendapat bahwa kalarn itu adalah ucapan. Terkadang, kalam tidak tergolong dalam satu bentuk yang telah disebutkan di atas. Suatu ucapan dinamakan periniah biIa di dalamnya ada unsur memeriniah. Demikian puIa halnya larangan, pemberitaan, dan pengharapan. Adapun kalam itu tidak memiliki alasan-alasan tertentu. Pendapat ini dikemukanan oleh Ibn Kullab.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang kebenaran dan dusta.

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa kebenaran adalah memberitakan sesuatu yang sebenarnya, sedangkan dusta adalah memberitakan sesuatu yang bukan sebenarnya, baik yang memberitakannya itu mengetahui hakikat yang diberitakannya atau tidak.

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa kebenaran adalah memberitahukan sesuatu yang sebenarnya, sementara yang memberitakannya itu sendiri mengetahui hakikat yang diberitakannya. Namun, mereka berbeda pendapat dalam menjelaskan dusta. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa dusta adalah memberitakan sesuatu yang bukan sebenarmya. Sebagian yang lain mengatakan bahwa dusta adalah memberitakan sesuatu yang bukan sebenarnya, sementara itu yang memberitahukannya sendiri mengetahui hakikat yang diberitakannya. Mereka mengatakan bahwa kebenaran dan dusta memiliki banyak persyaratan, di antaranya adalah hakikat yang sah, pengetahuan hakikat yang diberitakan dan merupakan periniah Allah. Sedangkan di antara persyaratan dusta adalah mengetahui hakikat yang diberitakannya, mengetahui cara dan menghindarinya dan mérupakan larangan Allah. Adapun pemberitaan sesuatu tanpa dilandasi pengetahuan terhadapnya, tidak dapat dikatakan benar atau dusta.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang apakah sebuah benta dapat dikatakan benar sebelum disampaikan?

 

Sebagian dari mereka membolehkannya. Sebagian lain menolaknya.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang khusus dan umum. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa berita itu terkadang bersifat khusus, seperi me mberitakan satu macam yang namanya dimuat di dalam keseluruhan berita atau sebagiannya. Berita itu menjadi bersifat umum jika berlaku bagi dua orang atau lebih. Berita pun dapat bersifat umum-khusus, yaitu apabiIa isinya me nyangkut dua macam atau lebih yang namanya dicantumkan pada keseluruhan atau sebagian berita, tetapi kedua macam itu tidak bersifat universal (tidak berlaku umum). Pendapat jni disampaikan oleh Ibn Ar-Rawandi dan kelompok Murji’ah.

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa berita khusus bukanlah berita umum, demikian puIa sebaliknya. Berita khusus adalah yang berlaku bagi satu (objek pemberitaan), sedangkan berita umum berlaku bagi dua atau lebih (objek pemberitaan). Pendapat ini dikemukakan oleh “Abbad bin Sulaiman.

 

  1. PERINTAH

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang firman Allah “if alu” (laksanakanlah!), apakah sudah dinamakan periniah walaupun tidak ada larangan untuk mengerjakan kebalikannya?

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa ia merupakan periniah walaupun tidak ada larangan untuk mengerjakan kebalikannya.

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa ia dapat dikatakan periniah ada larangan untuk mengerjakan kebalikannya. Dinamakan periniah kalau yang menyampaikannya adalah atasan kepada bawahan. Sebaliknya, dinamakan pertanyaan, apabiIa disampaikan oleh bawahan kepada atasannya. .

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang hakikat berita positif dan negatif.

 

1, Sebagian dari mereka berpendapat bahwa berita positif dan negatif sebenarnya dapat dikerjakan oleh akal sehat. Jika Anda tidak menegasikan sesuatu, berarti Anda menctapkannya. Umpamanya, tatkalg mengatakan “Zaid ‘Tidak Bergerak”, berarti Anda menetapkan bahwa Zaid bergerak.,. Penggagas pendapat ini inengemukakan bahwa hanya sesuatu yang adalah yang dinafikan.

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa berita ncgatif adalah ucapan atau keyakinan yang menunjukkan tidak adanya sesuatu atau pemberitaan tentang ketidakadaannya. Yang ada itu tidak dapat dikatakan tidak ada dari sudut mana saIa memandangnya, demikian puIa sebaliknya. Adapun berita positif adalah setiap ucapan atau keyakinan yang me nunjukkan adanya sesuatu atau memberitakan keberadaannya. Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Juba’i.

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa berita positif terkadang juga berarti negatif dilihat dari salah satu -sudutnya, dan sebaliknya. Contohnya, Anda memberitakan bahwa Zaid ada, tetapi Anda pun me mberitakan bahwa ia tidak bergerak. Bukankah merupakan sesuatu mustahil menafikan sesuatu yang tidak ada wujudnya?

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang boleh-tidaknya perbuatan manusia dikatakan sebagai ketaatan atau kemasiatan.

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat ‘bahwa perbuatan-perbuatan yang di-lakukan oleh seseorang yang baligh tidak terlepas dari maksiat dan taat.

 

  1. Sebagian dari mereka bérpendapat bahwa sebagian dari perbuatan manusia, ada yang masuk kategori taat, maksiat, dan mubah yang tidak diperiniahkan Allah. Yang terakhir ini tidaklah dinamakan ketaatan atau kemaksiatan.

 

Para Mutakallimin berbe da pendapat tentang apakah Allah dapat dinyatakan senantiasa mencipta?

 

  1. Sebagian dari mereka membolehkannya.

 

  1. Sebagian lain menolaknya.

 

Kelompok ulama yang menolak menyatakan lam yazal Allah khalig pun berbeda pendapat tentang boleh tidaknya menyatakan lam yazal Allah Al-Khaliq (ada alif-lam-nya).

 

1, Sebagian dari mereka berpendapat bahwa kami hanya mengatakan lam yazal Allah Al-Khaliq, dan tidak mengatakan lam yazal Allah Khaliq.

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa dapat saIa dinyatakan lam yazal Allah (al) (?)-Khaliq, wahid, alim, tetapi dapat dinyatakam lam yazal Allah Al-Khalig. Sebab, menyatakan lam yazal Allah Al-Khaliq sama saIa dengan menyatakan lam yazal Allah Khaliq. Pernyataan Al-Khaliq lam yazal sama saIa dengan menyatakan khaliq lam yazal. Pendapat im dikemukakan oleh ‘Abbad bin Sulaiman.

 

Para Mutakaliimin berbeda pendapat tentang kenabian, apakah merupakan balsan pahaIa atau awal karir?

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa kenabian adalah awal karir.

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa kenabian adalah balasan atas perbuatan para nabi. Pendapat ini dikemukakan oleh ‘Abbad.

 

  1. Al-Juba’i berpendapat, boleh saIa kenabian ity merupakan awal karir.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang boleh tidaknya mengatakan bahwa di dalam tubuh manusia ditemukan quwwah (kekuatan), bukan gawwy (yang kuat).

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa jika kekuatan (quwwah) itu berada pada sebagian tubuh manusia, maka ia dinamai Al-gawwy (yang kuat), tetapi tidak boleh dinyatakan guwwah atau gawwy.

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa walaupun kekuatan (alquwwah) ada pada sebagian tubuh manusia, kami tidak menyatakan ia orang kuat, kecuali apabiIa kekuatan (al-qawwah) itu menyertai periniah, larangan, kebolehan, sugesti, atau kemutlakan. Periniah, larangan, kebolehan, dan sugesti berlaku bagi orang-orang balig, sedangkan kemutlakan berlaku bagi anak-anak kecil, binatang dan orang-orang gila.

 

Setiap orang yang memiliki kekuatan untuk menjalankan hal-hal di ataa, maka kami katakan orang kuat (al-gawwy). Pendapat ini dikemukakan oleh ‘Abbad bin Sulaiman,

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang, maqthu’ dan maushul

 

  1. ‘Abbad berpendapat bahwa maushul adalah setiap amalan tbadah, baik berupa kefarduan maupun kesunahan yang tidak dikerjakan separohnya demi mengerjakan sesuatu lain yang, wajib. Jika seseorang menghadapi kasus seperti imi, hendaklah ia tidak mengerjakan amalan ibadahnya separoh-separoh. Tidak boleh ia mengerjakan separoh ibadah dan meninggalkan separoh yang lain, atau mengerjakan sepertiganya dan meninggalkan dua pertiganya.

 

Ia berpendapat, seandainya seseorang baru mengerjakan salat Zhuhur dua rakaat, lalu melihat anak kecil tenggelam, maka ia wajib menolong anak itu dan memutuskan salatnya. Dua rakaat yang dikerjakannya tidaklah dapat dinilai sebagai ketaatan shalat Zhuhur. Pada kasus, ia haram meneruskan shalatnya. Jadi, ia diharamkan. untuk meneruskan ketaatannya (berupa shalat, tetapi beralih kepada ketaatan menyelamatkan anak kecil).

 

Ia pun berpendapat, seandainya seseorang berpuasa pada bulan Ramadhan setengah hari, lalu berbuka, maka puasanya pada setengah hati itu dinilai sebagai ketaatan, tetapi puasanya tidak sah (untuk hari itu).

 

Ia pun berpendapat, jika seseorang yang sedang menunaikan thram menggauli istrinya sebelum hajinya selesai, maka ihramnya tetap dinilai sebagai ketaatan kepada Allah. Wukufnya pun dinilai sebagai ketaatan atas kewajiban. Setelah itu ia tetap diperkenankan mengerjakan wukuf pada waktunya sampai pelaksanaan ibadah hajinya selesai, Namun, ia tetap wajib menunaikan ibadah haji pada tahun berikutnya.

 

  1. Kebanyakan tokoh Mutakallimin berpendapat bahwa orang yang sudah menunaikan dua rakaat shalat Zhuhur, lalu melihat anak kecil yang jika tidak ditolongnya pasti akan tenggelam, dan ia pun memutuskan shalat, maka dua rakaat sebelumnya dinilai sebagai. ketaatan menunaikan kewajiban. Dua rakaat yang sudah dikerjakannya pun diperhitungkan. Ia telah mengerjakan separoh shalat Zhuhur. Demikian puIa kasus orang yang berpuasa dan menunaikan ibadah haji.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang shalat pada tempat yang digasa?

 

1 Sebagian dari me reka berpendapat bahwa shalatnya sah, tidak perlu diulangi lagi.

 

2 Abu Syamr berpendapat, ia wajib me ngulangi shalatnya. Seseorang dapat dikatakan telah menunaikan shalat, jika dilakukannya dalam rangka ketaatannya. Karena keberadaan, gerakan, gerakan, berdiri, dan duduknya di témpat yang digasab merupakan maksiat, shalatnya pun tidak diperhitungkan. Pendapat ini dikemukakan puIa oleh Al-Juba’i.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang bermakmum kepada imam fasik.

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa shalatnya harus diulangi. pendapat ini dikemukakan oleh sebagian besar tokoh Mu’tazilah.

 

  1. Sebagian besar tokoh Mu ‘tazilah berpendapat, boleh saIa bermakmum kepada orang fasik dan shalatnya pun tidak perlu diulangi lagi.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang menggunakan pedang. Ada empat pendapat tentang ini:

 

  1. Tokoh-tokoh Mu ’tazilah, Zaidiyyah, Khawarij, dan kebanyakan tokoh Murji’ah berpendapat, BiIa memungkinkan, kita wajib menggunakan pedang untuk menegakkan keadilan dan menghancurkan kebatilan. Mereka berargumentasi dengan firman Allah SWT.

 

Artinya: “Dan hendaklah kamu bertolong-tolongan untuk membuat kebajikan dan bertakwa.”’ (QS. Al-Ma’idah (5) : 2)

 

Artinya: “Allah berfirman, ‘(Permohonanmu diterima, tetapi) janji-Ku ini tidak akan didapati oleh orang-orang yang zalim’.” (QS. Al-Baqarah (2) : 124)

 

Artinya: “Maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga ia kembali mematuhi periniah Allah.”  (QS. Al-Hujurat (49) : 9)

 

  1. Kelompok Rafidah melarang menggunakan pedang walaupun kita harus terbunuh, kecuali jika imam menyuruhnya.

 

  1. Abu Bakar Al-’ Ashamm berpendapat, boleh saIa menggunakan pedang jika atas periniah imam yang adil dan demi menghancurkan kebatilan.”

 

4, Sebagian dari mereka berpendapat, penggunaan pedang itu batil walaupun terjadi pembunuhan dan penawanan bagi pihak kita. Imam itu terkadang adil, terkadang puIa tidak. Maka, kita tidak boleh menumbangkannya walaupun ia seorang fasik. Mereka pun menolak memberontak sultan. Pendapat im dikemukakan oleh ahli hadis.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang amr ma’ruf dan nahy munkar tanpa menggunakan pedang.

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat , “Ubahlah dengan hati Anda, namun jika memungkinkan, ubahlah dengan lidah dan tanganmu. Namun, tidak diperkenankan mengubahnya dengan pedang.

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat, boleh saIa mengubahnya dengan lisan dan hati, sedangkan dengan tangan tidak boleh.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang status kedua juru runding, Kelompok Khawari; berpedapat, “Kedua juru runding itu kafir. Ali sengiri telah kafir ketika mencrima fahkim.” Mereka berargumentasi dengan firman Allah:

 

Artinya: “Barang siapa yang tidak menghukum dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah (karena mengingkarinya), maka mereka itulah orang-orang kafir.” (QS. Al-Ma’idah (5) : 47)

 

Artinya: “Maka perangilah yang zalim itu sehingga ia kembali mematuhi periniah Allah.” (QS. Al-Hujurat (49) : 9)

 

Merecka berpendapat, Allah telah memeriniahkan Ali untuk memerangi pemberontak, tetap: Ali meninggalkan periniah itu dengan cara menerima tahkim. Ya telah meninggalkan hukum Allah seningga termasuk dalam firman Allah:

 

Artinya: “Barang siapa tidak menghukum dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah (karena mengingkarinya), maka mereka itulah orang-orang kafir.”” (QS. Al-Ma’idah (5) : 47)

 

Kelompok Khawarij sendiri berbeda dalam menentukan status Ali dan kedua juru runding.

 

  1. Di antara mereka, ada yang berpendapat, Ali telah melakukan perbuatan kufur-syirik. Mereka adalah kelompok Azariqah.

 

  1. Di antara mereka, ada yang berpendapat, Ali hanya melakukan perbuatan kufur-nikmat saja, bukan kufur-syirik. Mereka adalah kelompok Ibadiyyah.

 

  1. Kelompok Rafidhah berpendapat, kedua juru runding itu telah berbuat kekeliruan, tetapi Ali tidak dapat dikatakan telah berbuat kekeliruan. Alasannya, ia menerima tahkim dalam rangka taqiyyah bagi dirinya sendiri.

 

4, Sebagian dari kelompok Rafidah berpendapat, tahkim Ali bukan dalam rangka taqivyyah. Namun demikian, ia tetap tidak dapat dipersalahkan.

 

  1. Kelompok Zaidiyyah, kebanyakan tokoh dari kelompok Murji’ah, ibrahim An-Nazhzham dan Basyir bin’Al-Mu’tamir berpendapat, tindakan Ali-ridhwanullah ‘alaih-tidak dapat dipersalahkan ketika menerima tahkim. Alasannya, tindakannya itu bertolak dari kekhawatirannya terhadap kehancuran yang akan menimpa pasukannya.

 

Baginya, persealannya sudah sedemikian jelas, yaitu memihak kepentingan orang-orang Islam. Ia sendiri telah memeriniahkan kedua juru runding untuk mengambil keputusan berdasarkan kitab Allah, tetapi mereka membangkangnya. Kedua juru rimding itu telah melakukan kekeliruan, sedangkan Ali sendiri dalam posisi yang benar. Sebagian Mutakallimin berdiam diri dalam persealan ini. Mereka berkata, “Kami tidak akan memperbincangkan dan akan menyerahkan urusan mereka kepada Allah. Allah lebih mengetahui apakah mereka benar atau keliru.” .

 

  1. Al-Ashamm berpendapat, jika tindakan Ali ketika menerima tahkim bertujuan mengurtungkan dirinya sendiii, ia telah berbuat kekeliman. Namun, jika tujuannya untuk menyatukan umat Islam di bawah satu komando satu iman, maka ia benar. Abu Musa pun benar ketika mencopot Ali sehingga umat Islam merapatkan diri hanya pada satu iman saIa (yaitu Mua’wiyyah).

 

  1. Sebagian Adutakallimin membenarkan tindakan Ali. Alasannya, karena ia sedang melakukan ijtihad.

 

  1. Sebagian Mutakallimin membenarkan tindakan kedua juru runding, Ali dan Mu‘amiyyah. Alasannya mereka semuanya sedang berijtihad.

 

  1. Abbad bin Sulaiman berpendapat bahwa sebenarnya Ali-ridhwanullah ‘alaih-tidak pernah menerima tahkim.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat tentang keimaman Utsman:

 

  1. Ahlu Al-Jama’ah berpendapat, Abu Bakar dan Umar adalah imam. Demikian puIa Utsman rahmatullah ‘alaih wa ridhwanuhusampai ia terbunuh secara zalim.

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat, Utsman bukanlah seorang imam semenjak diangkat sampai peristiwa pembunuhan. Mereka adalah kelompok Rafidhah. Mereka pun menolak keimaman Abu Bakar dan Umar.

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat, Utsman telah berbuat benar pada separoh awal kekhilafannya. Setelah itu, ia telah mengeluarkan keputusan-keputusan yang mewajibkan ia dicopot dan dikafirkan. Mereka adalah kelompok Khawarij. Di antara mereka, ada yang berpendapat, ia hanya melakukan Aufur-musyrik. Di antara mereka pun ada yang berpendapat, ia hanya melakukan kufur nikmat saja, tetapi mereka mengakui keimaman Abu Bakar dan Umar.

 

4, Sebagian Mutakallimin berpendapat, Utsman adalah seorang imam sampai saat ketika 1a memunculkan keputusan-keputusan yang mengharuskannya dicopot dari keimamahannya. Ia fasik dan batallah keimamahannya karena keputusan-keputusanya itu. Ini adalah pendapat kebanyakan tokoh kalangan Zaidiyyah.

 

Di dalam kitab syarah, kami telah membicarakan pendapat kelompok Zaidiyyah tentang keimanan Abu Bakar dan Umar. Ternyata, mereka tidak menganggap keliru kedua khalifah tersebut dan tidak puIa melaknatnya.

 

5, Abu Hudzail berpendapat, kami tidak tahu persis apakah Utsman dibunuh dalam keadaan zhalim atau dizhalimi.

 

Para Mutakallinun berbeda pendapat tentang keimaman Ali:

 

  1. Sehagian Mutakallimin berpendapat, Ali adalah imam yang sah pada masa pemeriniahan Abu Bakar dan Umar. Keimaman Ali ditetapkan berdasarkan nash Nabi SAW. Umat Islam pada saat itu telah tersesat ketika membaiat selain Ali.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, pada masa-masa peme eriniahan Abu Bakar dan Umar, keimaman sebenarnya adalah milik Ali. Kedua orang itu sendiri telah berbuat kekeliruan ketika mencrima baiat.

 

3, Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, Abu Bakar adalah imam yang sah setelah Nabi, lalu Umar, Utsman, dan Ali. Dan bahwa kekhilafan setelah nabi hanya terjadi selama 30 tahun. Pendapat ini dikemukakan oleh kelompok Ahlussunah wal-istigamah.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang cara pengangkatan Abu Bakar menjadi Imam:

 

1, Sebagian Mutakallimin berpendapat, keimanan Abu Bakar ditetapkan oleh Nash Nabi SAW.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, bukan dengam cara di atas Abu Bakar diangkat menjadi iman, tetapi diperlihatkan ketika ia diperiniahkan Nabi untuk memimpin shalat. Nabi bersabda kepadanya,

 

Artinya: “Periniahkanlah Abu Bakar untuk menjadi imam shalat.”

 

Artinya: “Ikutilah dua orang sesudahku, yaitu Abu Bakar dan Umar.”

 

Mereka mengatakan bahwa keimaman Abu Bakar telah diisyaratkan oleh Allah dalam firman-Nya:

 

Artinya: “Kamu akan diajak untuk (memerangi) kaum yang mempunyai kekuatan yang besar, kamu akan memerangi mereka atau mereka menyerah (masuk Islam)…” (QS. Al-Fath (48) : 16)

 

Tobatnya kaum yang sangat gagah di atas diawali dengan ajakan seseorang untuk memerangi mereka. Kelompok yang memerangi mereka adalah penduduk Yamamah, sedangkan Abu Bakar atau Faris atau Umarlah yang mengajak mereka. Pengukuhan terhadap keimaman Umar juga berarti pengukuhan terhadap keimaman Abu Bakar.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, keimaman Abu Bakar ditetapkan atas kesepakatan dan pilihan orang-orang Islam, sedangkan keimaman Umar ditetapkan atas nash dari Abu Bakar dan keimaman Utsman ditetapkan oleh hasil musyawarah Ahlulhilli wal-aqdi di Madinah.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, Abu Bakar, Umar, dan Utsman adalah imam. Adapun Ali bukanlah imam karena orang-orang Islam tidak sepakat atas kermamannya, sedangkan Mu ‘awiyyah adalah imam setelah Ali karena saat itu orang-orang Islam sepakat atas keimamannya. Ini adalah pendapat Al-Ashamm.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali adalah Imam, sedangkan Mu’awiyyah bukan imam.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang peperangan antara Ali dengan Thalhah dan Ali dengan Mu‘awiyyah “

 

1, Kelompok Rafidhah, Zardtyyah, sebagian tokoh Mu‘tazilah (brahim An-Nazhzham), Basyr Al-Mu’tamar dan sebagian tokoh Murji‘ah berpendapat, di dalam peperangan tersebut, Ali berada di pihak yang benar, sedangkan orang-orang yang memerangi Ali berada di pihak yang keliru. Oleh sebab itu, mereka menyalahkan Thalhah, Zubair, Aisyah, dan Mu’awiyyah.

 

  1. Dhirar, Abu Hudzail dan Mu’ammar berpendapat, kita semua maklum bahwa salah satu pihak pasti benar, sedangkan pihak yang lain keliru, Kami tidak kepada salah seorang pun dari mereka. Kami menilai mereka sebagai pihak yang saling melaknat, yang mengetahui bahwa di antara mereka pasti ada yang salah, tetapi tidak tahu mana yang salah. Penilaian ini cocok untuk kasus Ali, Thalhah, Zubair, dan Aisyah, sedangkan Mu’awiyyah, kami nilai berbuat keliru. ia bukanlah imam.

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat, yang dilakukan Ali, Thalhah, Zubair, dan Aisyah dalam peperangan mereka adalah dalam rangka berijtihad. Karenanya, mereka tidak dapat disalahkan. Demikian puIa peperangan antara Ali dan Mu’awiyyah. Pendapat ini berasal dari Husain Al-Kurabisi. .

 

  1. Bakr bin Ukht Abd Al-Wahid bin Zaid berpendapat, Ali, Thalhah, dan Zubair adalah muSyrik dan munafik. Namun, mereka tetap akan berada di surga berdasarkan sabda Nabi:

 

Artinya: “Sesungguhnya Allah memperlihatkan diri kepada para pahlawan Badar dan ber‘irman, ‘Lakukanlah sekehendak kalian, Aku akan mengampunimu.”

 

Kelompok Khawariy membenarkan Ali ketika memerangi Thalhah, Zubair, dan Mu‘awiyyah.

 

Al-Ashamm berpendapat, jika peperangan yang dilakukan oleh Ali,

 

  1. Thalhah, dan Zubair bertujuan untuk merapatkan kaum muslimin pada komando satu iman, maka mereka benar. Jika motivas! peperangan yang dilakukan Mu’awiyyah adalah untuk kepentingannya seendiri, maka ia telah berbuat zhalim. Namun, jika peperangan yang dilakukannya bertujuan untuk merapatkan kaum muslimin pada komando satu imam, maka ia benar.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, kami mengira bahwa Ali, Thalhah, dan Zubair bukanlah pihak yang benar. Yang benar adalah mereka yang tidak mau melibatkan diri dalam peprangan mereka. Kami berpaling dari mereka dan tidak mau memberi penilaian terhadap peperangan mereka. Kami serahkan urusan mereka kepada Allah.

 

  1. Abbad berpendapat, sebenarnya tidak pernah terjadi peperangan antara Thalhah, Zubair, dan Ali.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat, tentang orang yang paling mulia setelah Rasulullah SAW. :

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat, orang yang paling utama setelah Rasulullah SAW. adalah Abu Bakar lalu Umar lalu Utsman lalu Ali..

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, orang yang paling utama setelah Rasulullah SAW. adalah Abu Bakar, lalu Umar, lalu Ali, lalu Utsman.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, orang-orang yang paling utama setelah Rasulullah SAW. adalah Abu Bakar, lalu Umar, lalu Utsman. Setelah itu kami tidak tahu.

 

4, Sebagian Mutakallimin yang \ain berpendapat, orang yang paling utama setelah Rasulullah SAW. adalah Ali, lalu Abu Bakar. Kelompok yang menetapkan keutamaan Abu Bakar dan Umar bersepakat bahwa Abu Bakar lebih utama daripada Umar. Dan kelompok yang menetapkan keutamaan Umar dan Utsman bersepakat bahwa Umar lebth utama daripada Utsman.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, kami tidak mengetahui apakah orang yang paling utama setelah Rasulullah SAW. itu adalah Abu Bakar atau Ali? Seandainya yang paling utama adalah Abu Bakar, maka boleh jadi Umar icbih utama dari Ali Boleh jadi puIa Ali lebih utama daripada Umar. Seandainya Ali lebih utama daripada Umar, maka Ali lebih utama daripada Utsman. Boleh jadi puIa Utsman Icbih utama daripada Ali. Ini adalah pendapat Al-Juba’i.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang cara menetapkan keimanan, apakah harus melalui nash atau boleh juga tanpa melalui nash?

 

1, Sebagian Mutakallimin berpendapat, keimanan harus ditetapkan melalui nash dari Allh SWT. Demikian pula, setiap imam harus memberikan nash keimaman dari Allah kepada imam sesudahnya.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, terkadang imam ditetapkan puIa tanpa melalui nash, tetapi dapat puIa berdasarkan keputusan Ahlul aqli. .

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang apakah setelah Ali masih ada imam?

 

  1. Kebanyakan tokoh Mutakallimin berpendapat, setelah Ali dapat saIa terdapat imam.

 

  1. Abbad bin Sulaiman berpendapat, setelah Alitidak ada imam. Alasannya, kaum muslimin pada masa Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali bersepakat tentang ke1manan keempat orang itu. Namun, mereka berbeda pendapat tentang keabsahan imam setelah Ali. Seandainya setelah Ali masih boleh – terdapat imam, tentunya mereka tidak akan berbeda pendapat tentang imam sesudah Ali sebagaimana mereka sepakat tentang keimaman empat tekoh pada masanya. Sebab, umat ini tidak mungkin akan sepakat terhadap sesuatu yang diperselisihkan.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat tentang jumlah pengakuan orang agar keimaman menjadi sah.

 

  1. Sebagian ulama Mutakallimin berpendapat, keimaman sah walaupun

 

hanya diakui oleh seorang ahli ilmu dan ma’rifah.

 

2 Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, keimaman belum sah biIa tidak diakui oleh minimal dua orang.

 

3 Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, kemaman belum sah ‘piIa diakui minimal empat orang.

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat, keimaman belum sah biIa tidak diakui oleh minimal lima orang.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, keimaman belum sah biIa tidak diakui oleh sekelompok orang yang tidak biasa berdusta dan tidak suka berburuk sangka.

 

  1. Al-Ashamm berpendapat, keimaman belum sah biIa tidak diakui oleh kesepakatan kaum muslimin.

 

Ulama Mutakkalimin berbeda pendapat tentang kewajiban menegakkan keimaman:

 

  1. Seluruh tokoh Mutakallimin, selain Ashamm berpendapat, menegakkan imam hukumnya adalah wajib.

 

  1. Al-Ashamm berpendapat, seandainya manusia dapat menahan diri untuk tidak saling menzalimi, mereka tidak membutuhkan imam lagi.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat tentang boleh atau tidaknya terdapat imam lebih dari satu pada waktu yang bersamaan:

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat, dalam satu waktu, tidak boleh ada imam lebih dari satu.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, boleh saIa ada dua imam pada waktu yang bersamaan. Salah satu diam (shamit), sedangkan yang lainnya aktif (nathiq). Jika yang aktif wafat, maka yang diam menggantikannya. Pendapat ini dikemukakan oleh kelompok Rafidah.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, dalam waktu yang bersamaan, bahkan boleh ada tiga imam yang satu aktif, sedangkan yang lainnya diam semua. Namun, kebanyakan Mutakallimin menolak pendapat ini.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang boleh-tidaknya umat manusia tidak memiliki imam.

 

  1. Kelompok Zaidiyyah berpendapat, ymat manusia harus memiliki imam,

 

  1. Tokoh-tokoh Mutakallimin lainnya bersepakat, boleh saIa umat manusig pada suatu waktu tidak memiliki imam.

 

  1. Kelommpok Zaidiyyan dan kebanyakan ‘tokoh Mu’tazilah berperidapat, boleh saIa imam dijabat oleh orang yang tidak diunggulkan (mafdhul), sebagaimana halnya seorang amir.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, imam harus dyabat oleh orang yang paling baik (fadhil).

 

Para Mutakallimin. berbeda pendapat tentang boleh tidaknya imam berasal dari luar suku-Quraisy

 

  1. Sekelompok tokoh dari kelompok Mii? tazilah dan Khawarij berpendapat, boleh saIa imam tidak -berasal dari-suku Quraisy.

 

  1. Sekelompok tokoh lainiiya piga dari kelommpok Mu‘tazilah dan yang lainnya berpendapat, imam harus berasal dari suku Quraisy.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang suku Quraisy yang berhak menyandang gelar imam?

 

  1. Kelompok Rafidah.berpendapat, hanya Bani Hasyimlah yang dapat dijadikan imam.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, imam dapat saIa berasal dari Bani Hasyim atau di luar Bani Hasyim asalkan bersuku Quraisy.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang keluarga mana dari kalangan bani Hasyim yang berhak menyandang gelar keimaman:

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat, hanya keluarga Al-Abbas bin Abd. Al-Muthalib dan keturunannya.

 

2, Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, hanya keluarga Ali dan keturunannya. .

 

Para Mutakallimin ‘berbeda pendapat tentang apakah orang Arab lebih utama daripada orang ajam ‘untuk menjadi imam?

 

  1. Dhirar bin Amr berpendapat, orang Ajam lebih utama menjadi imam karena kabilahlsukunya lebih sedikit daripada orang Arab.

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat,’ orang Quraisy lebih utama menjadi imam.

 

Jika imam meninggal dunia di negaranya, lalu ‘sekelompok orang di sekelilingnya memberikan bai‘at kepada seseorang, sementara sekelompok lainnya di luar tempat (negara) iman yang me hinggal dunia sebelum ‘atau saat kematiannya memberikan bai ‘at kepada seseorang yang lain, manakah yang harus diikuti? Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang persealan ini

 

  1. Sebagian Mutakallimin: berpendapat,yang harus diikuti adalah imam yang. diangkat di negara imam yang menjnggal dumia, sedangkan yang Jainnya tidak perlu diikuti.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, yang harus diikuti adalah imam yang Icbih dulu diangkat, baik dari dalam atau dari luar negara imam yang meninggal itu.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat tentang keimaman dua orang yang dibai’at pada waktu yang bersamaan.

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat, keduanya harus diundi. Siapa yang keluar namanya, itulah imam yang sah, sedangkan yang lainnya tidak sah.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, keduanya diturunkan terlebih dahulu. Setelah itu keimanan diberikan kepada salah seorang dj antara mereka atau kepada selain kedua orang itu.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain lagi berpendapat, siapa di antara keduanya yang menolak untuk diturunkan, ia bukanlah imam. Jika dikatakan kepada salah seorang di antara mereka “turuniah!”, lalu orang itu menolaknya, ia bukanlah imam. Imam yang sah adalah yang tidak menolak untuk turun ketika diperiniahkan turun.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat tentang keimaman, apakah dapat diwariskan?

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat, keimaman dapat diwariskan

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, keimaman tidak dapat diwariskan.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang boleh-tidaknya imam mewasiatkan keimaman kepada orang lain?

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat, boleh saja.

 

  1. -Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, tidak boleh.

 

Para Mutakallimun berbeda pendapat tentang maksud “dar”

 

  1. Kebanyakan tokoh Mu ‘tazilah dan Murji ah berpendapat, yang dimaksud dengan “dar” adalah “dar imam”.

 

  1. Kelompok Khawarij dari aliran Azariqah dan Shafriyyah berpendapat, yang dimaksud dengan “dar” adalah “dar kufur dan syirik”.

 

  1. Kelompok Zaidiyyah berpendapat, yang dimaksud dengan ” dar” adalah “dar kufur nikmat”. .

 

  1. Ja’far bin Mubasysyar dan yang mengikutinya berpendapat, yang dimaksud dengan “dar” adalah “dar fasik”.

 

  1. Al-Juba’i berpendapat, setiap “dar” yang tidak dapat dihuni, kecuali dengan memperlihatkan unsur kekafiran atau dengan meninggalkan pengingkaran terhadap kekafiran, dinamakan ‘dar kufur”.

 

Sebaliknya, setiap “dar” yang dapat dihuni tanpa harus memperhhatkan unsur kekafiran atau tanpa meninggalkan pengingkaran terhadap kekafiran, dinamakan “dar iman”. Bagdad , dalam analogi AlJuba’i umpamanya, adalah “dar kufur” karena tidak dihuni, kecuali dengan memperlhhatkan atau reIa terhadap unsur kekafiran seperti pendapat yang mengatakan bahwa “Al-Quran bukanlah makhluk”, “Allah senantiasa berfirman dengan sifat kalam-Nya”, dan “Allah menghendaki dan menciptakan kemaksiatan”. Bagi Al-Juba’i, pendapat semacam itu merupakan kekafiran. Negara yang sama dalam pendapatnya adalah Mesir dan negara muslim lainnya. Inilah pendapat yang mengatakan bahwa yang selama ini disebut “dar islam” sebenarnya adalah “dar kufur”. Kami berlindung dari pendapat semacam ini.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang Jain berpendapat, yang dimaksud dengan “dar” adalah “dar hudnah” (dgsa perdamaian untuk sementara). Mereka tidak mengatakan bahwa yarig ‘dimaksud “dar” adalah “dar kufur”. Pendapat ini dikemukakan oleh sebagian tokoh kelompok Rafidah.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang status keputusan yang dikeluarkan oleh imam yang menyimpang:

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat, kalau keputusannya benar, dapat saIa diterima walaupun yang memutuskannya seorang yang menyimpang.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang, lain berpendapat, keputusannya tidak sah dan tidak perlu diperhatikan.

 

Ulama Mutrakallimin berbeda pendapat tentang imam yang keliru memutuskan perkara:

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat, keputusannya dianulir.
  2. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, keputusannya ditanggapi dan diluruskan.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang teknis memerangi para pemberontak:

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat, pemberontak yang kabur tidak perlu dikejar, harta mereka tidak menjadi ghanimah, dan mereka yang terluka tidak boleh dibunuh.,

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, pemberontak yang kabur harus dikejar, harta mereka menjadi ghanimah, dan mereka yang terluka boleh dibunuh.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, harta yang berada di markas pasukan pemberontak menajdi ghanimah, sedangkan selainnya tidak menjadi ghanimah.

 

Para. Mutakallimin berbeda pendapat tentang sikap yang harus diambil terhadap pemberontak yang tewas dalam perlawanannya:

 

  1. Sebagian. Mutakallimin berbeda pendapat, ia harus dikafani, dishalati, dan dikuburkan. Dan keluarganya tidak boleh ditawan.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, ia tidak perlu dikafani, dishalati, dan dikuburkan. Dan keluarganya harus ditawan. Pendapat ini dimunculkan oleh Khawarij dan. yang lainnya.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang boleh-tidaknya membunuh para pemberontak dengan cara dikhianati:

 

  1. Di antara tokoh Mutakallimin, ada yang memperbolehkan.
  2. Sebagian yang lain melarangnya.
  3. Di kalangan Mu’tazilah ada tokoh bernama Abbad bin Sulaiman yang memperbolehkan. membunuh, orang yang, menentangnya dengan cara dikhianati jika orang tersebut tidak takutlagi terhadap ancaman.

 

Pendapat seperti ini dikemukakan puIa oleh sebagian tokoh Khawarij dan Rafidhah ekstrem (ghulat). Bahkam, mereka menghalalkan menjerat leher para pemberontak, .mengambil ‘hartafiya,” mendatangkan saksi-palsu dan berzina dengan istrinya,

 

Para Mutrakallimin berbeda pendapat tentang batasan jumlah ofang yang dibolehkan memberontak sultan (yang zalim) dan memerangi “orang-orang Islam” (yang mendukung sultan yang zalim).

 

  1. Tokoh-tokoh Mu‘tazilah berpendapat, yang biasa terjadi dalam kebiasaan kann adalah apabiIa sudah menjadi satu jamaah, kami mulai me lakukan pemberontakan dengan cara mengangkat imam. Kami bangkit dan membunuh sultan serta menghilangkan sisa-sisa kekuasaannya, Kami memaksa Orang-orang agar tunduk kepada ajaran kami, yakni tentang tauhid dan gadar. Jika menolak, kami akan membunuh mereka. Tokoh-tokoh Mu’tazilah bahkan mewajibkan rakuat untuk memberontak sultan apabiIa mampu dan memungkinkan.. ;

 

  1. Sebagian Mutakallimin dari kelompok Zaidiyyah berpendapat jumlah minimal bolehnya sekelompok orang memberontak sultan adalah sejumlah sahabat yang ikut Perang Badar. Setelah jumlah itu terkumpul, mereka harus mengangkat imam terlebih dahulu. Beserta imam yang diangkat, mereka baru memberontaK sultan,

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, berapapun. jumlahnya asal terdiri atas ahli berbuat kebaikan. Memberontak bahkan wajib bagi mereka;

 

4, Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, apabiIa jumlah orang-orang yang benar separoh jumlah orang-orang zalim yang harus diperangi.

 

Ini berdasarkan firman Aah SWT.

 

Artinya: “Sekarang Allah telah meringankan bebanmu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan; Maka jika ada di antara‘kamu seratus orang yang sabar, niseaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika ada di antaramu seribu orang, niseaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan izin Allah. Dan (ingatlah) Allah beserta orang-orang yang sabar,” (QS. Al-Anfal (8) : 66)

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat tentang teknis melakukan pemberontakan, memotong tangan pencuri, mengqisas, dan menegakkan hukum-hukum Islam, haruslah melibatkan Imam?

 

  1. Abbad bin Sulaiman berpendapa, setelah Ali tidak boleh ada imam lagi. Karenanya, biIa memungkinkan, boleh saIa orang-orang Islam memberontak (tanpa ada yang harus iman yang memimpinnya). Mereka menegakkan hukum, memotong tangan pencuri, menegakkan qisas, dan melakukan sendiri apa-apa yang harus dilakukan oleh seorang imam.

 

  1. Al-Ashamm dan Ibn Uliyyah berpendapat, biIa terdapat satu jama’ah yang tidak dimungkinkan bersepakat melakukan kejahatan, karena banyaknya, maka boleh saIa menegakkan hukum-hukum Allah (tanpa melibatkan imam).

 

  1. Sebagian besar tokoh Mu’tazilah berpendapat, pemberontakan harus dilakukan beserta imam yang adil atau beserta orang yang diberi periniah oleh yang adil. Demikian puIa dalam menegakkan hukum Islam, memotong tangan pencuri, dan menegakkan qisas.

 

  1. Kelompok Rafidah berpendapat, semuanya tidak dapat dilaksanakan kecuali beserta imam atau orang-orang yang diberi periniah oleh imam.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang boleh-tidaknya mencari nafkah (kasab):

 

Berkenaan dengan hal ini ada beberapa pendapat, yaitu:

 

  1. Sebagian Mutakallimin mengharamkan mencari nafkah dan melakukan transaksi permagaan. Mereka berkata, tidak boleh memperjual-belikan barang-barang yang berada di suatu negara (dar) sampai imam muncul dan membagi-bagikan barang tersebut kepada rakuat. Alasannya, rakuat tidak memiliki hak milik atas barang-barang tersebut karena mengandung kerusakan, gashab, dan kezhaliman di dalamnya. Rakuat boleh meminianya sekadar untuk mempertahankan kekuatan tubuhnya, tetapi lebih dari itu tetap tidak dinilai sebagai mencuri. Mereka tidak bertanya kepada orang lain apakah memiliki harta atau tidak. Namun, tatkaIa tahu bahwa akan terjadi kerusakan pada dirinya apabiIa tidak makan, mereka meminia kepada orang lain sekadar untuk dimakan. Makanan yang mereka minia diibaratkan bangkai bagi orang yang benar-benar sedang kelaparan (mudhthirr). Pendapat ini dimunculkan oleh sekelompok tokoh Mu ‘tazilah yang malas melakukan pemiagaan. Hal seperti ini dilakukan puIa oleh sebagaian ahli tawakal. Mereka tinggalkan segaIa aktivitas dan malas beraktivitas. Mereka bahkan berkata, jika kita bertawakal dengan sebenar-benarnya, tentu rezeki kita akan datang dengan sendirinya.

 

  1. Kebanyakan Mutakallimin berpendapat, pada dasarnya mencari nafkah (kasab), menjual, dan membali adalah boleh dilakukan, kecuali terhadap sesuatu barang yang kita ketahui keharamannya. Adapun terhadap barang yang tidak kita ketahui keharamannya, kita boleh membelinya dari tangan orang lain. Kita boleh menjualnya kembali. Penilaian terhadap segaIa sesuatu pada dasarnya bergantung pada sifatnya yang nampak (zhahir). Yang dinamakan dar pada dasarnya adalah dar iman yang tidak diharamkan beraktivitas di dalamnya, kecuali yang kita ketahui keharamannya.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang boleh-tidaknya melakukan transaksi jual-beli dengan para pemberontak.

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat, boleh saIa kita melakukan transaksi jual-beli dengan para pemberontak, kecuali alat-lalat perang.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, tidak boleh kita melakukan transaksi jual-beli dengan para pemberontak, kecuali setelah mereka benar-benar telah meninggalkan pemberontakannya.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat tentang hukum membeli budak perempuan dengan harta yang esensinya haram.

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat, jika yang digunakan untuk membeli budak perempuan itu adalah harta yang esensinya haram, maka batallah transaksi jual-beli itu.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, boleh saIa menggunakan harta yang esensinya haram untuk memberli budak perempuan.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat tentang hukum menunaikan haji atau menunaikan kewajiban-kewajiban lainnya dengan harta haram:

 

  1. Sebagian Adutakallimin berpendapat, ibadah haji atau kewajiban lain-nya yang ditunaikan dengan harta haram, hukumnya tidak sah,

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, ibadah haji dan kewajibannya sah, sedangkan harta haram yang digunakannya berada di bawah tanggungannya.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang hukum menyembelih binatang dengan pisau hasil gashab.

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat, sembelihan itu-tidak sah.

 

  1. Sebagian Mutakallimin-yang lain berpendapat, sembelihan itu sah.

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat tentang talak tanpa iddah:

 

  1. Kebanyakan tokoh Islam berpendapat, orang yang melakukannya berarti telah berbuat maksiat kepada Tuhannya. Di samping itu, talak yang jatuh kepada istrinya adalah talak ba’in. Demikian pula, jika seseorang menalak istrinya dengan talak tiga, ‘talaka jatuh pula-talak tiga.

 

  1. Sebagian tokoh Islam berpendapat.batallah talak yang dijatohkan tanpa iddah. ‘Talak ‘tiga yang dijatuhkan sekaligus bukanlah apa-apa dan talaknya batal sebelum si.suami menjatuhkar talak satu dengan iddah, sementara si istri harus ‘dalam keadan suci dan belum disetubuhi, disaksikan oleh dua orang saksi, si suarnr tidak sedang. dalam keadaan marah ketika menjatuhkan talak, bertujuan menjatuhkan talak, dan reIa terhadapnya.

 

  1. Sebagian tokoh Islam berpendapat, jika seorang suami menj atuhkan talak ‘ ‘tiga sekaligus, maka yang jatuh adalah talak satu

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang-mengusap khuf:

 

  1. Sebagian besar tokoh Islam berpendapat, boleh saIa mengusap Ahuf

 

  1. Sedangkan kelompok Islam Rafidah dan Khawarij menolaknya:

 

Para Mutakallimin berpendapat tentang kewajiban-kewajiban yang ditetapkan Allah, apakah ada alasan-alasan tertentu yang me latarbelakangi atau tidak:

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat, Allah menctapkan kewajiban-kewajiban dan menctapkan syri’at tidak dilatarbelakangi oleh alasan-alasan tertentu. Sesuatu adalah haram karena Allah telah mengharamkannya. Sesuatu adalah halal katena Allah telah menghalalkannya, bukan karena alasan-alasan lain. Karenanya, mereka menolak qiyas dalam penetapan hukum.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, Allali mengharamkan sesuau sebagai sarana ibadah hamba-hamba-Nya (dengan cara menjauhinya). Juga, karena alasan-alasan,.tertentu yang dapat diqiyaskan. Alasannya, tidak ada qiyas, kecuali terhadap. pokok. persealan (ashal) yang jelas alasannya dan harus dipertimbangan puIa pada persealan cabang (Far).

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, Allah mengharamkan atau menghalalkan sesuatu karena alasan kemaslahatan semata, tidak yang lain Qiyas terjadi apabiIa ada dua hal yang maknanya serupa.

 

Ulama Mutakallimin beybeda pendapat tentang taqiyyah.

 

1, Kelompok: Rafidah berpendapat, dalam. rangka taqiyyah, imam boleh memperlihatkan atau menampakkan kerelaan.terhadap kekafiran. Mereka bahkan membolehkan Rasulullah SAW. melakukan taqiyyah.

 

  1. Sebagian Mutakallimin’ yang lain berpendapat, taqiyyah tidak boleh dilakukan, baik oleh Rasulullah SAW. ataupun oleh imam.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat tentang keimanan Yazid:

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat ia adalah imam berdasarkan kesepakatan kaum muslimin atas keimamannya dan bai ‘at yang diberikan mereka kepadanya. Hanya sqIa Husain menolak keimamannya.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain menilai Yazid sebagai imam dan menyalahkan Husein: yang menolak keimamannya.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, dipandang dari aspek mana saja, Yazid bukanlah imam.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang sabda nabi yang berbunyi:

Artinya: “Ada sepuluh orang (yang dipastikan) masuk surga.”’

 

  1. Sebagian Mutakallimin menolak dan membatalkan berita (hadis) itu. Mereka adalah kelompok Rafidah.

 

  1. Sebagian Mutakalllimin berpendapat, hadis itu memang memberi kabar gembira kepada sepuluh orang itu dengan syarat tidak ada perubahan (keimanan) dalam diri mereka sampai wafatnya, yakni wafat dalam kead iman.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain, yakni Ahlussunah wal-jama ‘ah, berpendapat, memang ada hadis yang memberikan kabar gembira masuk surga kepada sepuluh sahabat. Mereka memang pasti masuk surga.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang pengetahuan, apakah hakikatnya adalah orang yang berpengetahuan itu sendiri, atau yang lainnya.

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat, pengetahuan kita hakikatnya bukanlah kita sendiri.

 

  1. Sebagian Mutakallimin meniadakan keberadaan pengetahuan, yang ada adalah orang yang berpengetahuan.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, sifat-sifat orang berpengetahuan adalah berasal dari kita sendiri, bukan dari pengetahuan . itu sendiri, bukan puIa yang lain.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang shirath:

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat, yang dimaksud dengan shirath adalah jalan menuju surga dan neraka. Ketebalannya lebih tipis daripada rambut dan lebih tajam dari pedang. Allah menyelamatkan siapa saIa yang dikehendaki-Nya darinya:

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, memang yang dimaksud dengan shirath adalah jalan, tetapi tidak seperti yang digambarkan di atas, sebab akan sulit dilaluinya.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat tentang mizan:

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat, Mizan memiliki petunjuk keseimbangan dan dua tempat, yang satu untuk menaruh kebaikan, sedangkan yang satunya lagi untuk menaruh kejelekan. Barang siapa yang kebaikannya lebih berat daripada kejelekannya, ia masuk surga. Sebaliknya, barang siapa yang kejelekannya lebih berat daripada kebaikanya, ia masuk neraka. Barang siapa yang berat kebaikannya seimbang dengan berat kejelekannya, ia akan masuk surga atas karunia Allah.

 

  1. Ahli Bada’ menafikan gambaran mizan secara fisikal. Dalam pendapat mereka, mizan tidak harus dimaknai dengan timbangan dalam bentuk fisik, tetapi yang dimaksud adalah balasan. Allah membalas perbuatan hamba-Nya sesuai dengan apa yang dilakukannya. Alasan lainnya, kebaikan dan kejelekan bersifat non-materi (A’radhlaksiden) yang tidak memiliki berat, karena tidak dapat diukur oleh timbangan fisikal.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain menerima mizan dalam gambaran fisik dan membolehkan sesuatu yang non-materi untuk ditimbang. TatkaIa kebaikan seseorang lebih berat daripada kejelekannya, maka tempat diletakkan kebaikan dalam mizan akan turun ke bawah. Ini menunjukkan bahwa orang itu termasuk ahli surga, begitu puIa sebaliknya.

 

4, Ini pendapat kelompok Mu’tazilah dalam masalah ini adalah bahwa kebaikan itu dapat menghapuskan kejelekan dengan syarat kebaikannya lebih banyak daripada kejelekannya, begitu puIa sebaliknya.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang telaga Nabi:

 

  1. Kelompok Ahlussunah wal-istiqamah berpendapat, sesungguhnya Nabi memiliki telaga yang akan menyirami orang-orang mukmin dan tidak bagi orang-orang kafir.

 

  1. Sekelompok Mutakallimin lainnya menolak keheradaan telaga Nabi.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang malaikat Munkar dan Nakir, apakah kedunya akan mendatangi manusia di dalam kuburan?

 

  1. Kebanyakan pengumbar hawa nafsu menolak keberadaan kedua malaikat

 

  1. Sedangkan kelompok Ahlul Istiqamah menerimq keberadaannya.

 

Ulama Mutakallimin. berbeda pendapat tentang syafaat RasulullahSAW.,

 

  1. Kelompok. Mu ‘tazilah-menolak:keberadaan syafa’at Nabi:

 

  1. Sebagian:Mutakallimin. yang: lain berpendapat, ‘syafaat Nabi diberikan yang, diterima-oleh: orang-orang mukmjn dari-Nabi merupakan karunia Allah.

 

  1. Kelompok Ahlussunah-wal Istiqamah berpendapat ‘syafa’at Nabi diberikan (pula) kepada pelaku dosa besar

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat tentang keberadaan orang-orang fasik di neraka, akankah abadi di dalamnya?

 

  1. Kelompok Mu‘tazilah dan, Khawarij berpendapat, orang-orang fasik itu abadi di dalam neraka. Orang yang, masuk. neraka tidak pernah akan keluar lagi darinya.

 

  1. “Kelompok Ahlussunah wal Istiqamah berpendapat, Allah akan mengeluarkan ahli kiblat yang mengesakan-Nya dari neraka. Me reka tidak abadi di dalamnya.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat tentang keabadian nikmat surga dan siksa neraka:

 

  1. Semua tokoh Islam, kecuali Jahm bin Shafwan, berpendapat bahwa kenikmatan ahli surga bersifat abadi dan tidak pernah akan putus. Demikian puIa siksaan ahli neraka.

 

  1. Jahm bin Shafwan berpendapat, surga dan ncraka beserta penghuninya akan punah sehingga yang ada hanya Allah, sebagaimana pada mulanya.

 

3, Abu Hudzail berpendapat balhwa kenikmatan surga dan siksaan neraka ada batasnya, tetapi mereka abadi di dalamnya. .

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, penghuni surga akan menikmati kenikmatan dunia, begitu puIa penghuni neraka, sebagaimana ulat madu yang merasakan nikmatnya madu, Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Bathikhiyyah.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat tentang, surga dan neraka, apakah keduanya diciptakan atau tidak?

 

  1. Kelompok ‘Ahlussunnah wal Istiqamah berpendapat, surga. dan ncraka adalah makhluk,

 

  1. Kebanyakan ahli bida mengatakan bahwa, surga dan neraka tidak diciptakan (bukan makhluk).

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang surga dan neraka, apakah keduanya bersifat fana?. Apakah Allah menghancurkan segaIa yang ada:

 

  1. Sebagian Mutakallimin menyepakatina.

 

2, Sebagian Mutakallimin yang lain menolaknya.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang harapan, apakah boleh beribadah kepada Allah karena mengharapkan sesuatu?

 

  1. Sebagian Mutakallimin membolehkannya.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain melarangnya.

 

Para Mutakallimin berboda pendapat tentang dosa kecil, apakah akan disiksa karenanya?

 

  1. Abu Hudzail dan yang lainnya membolehkannya.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, dosa kecil tidak menyebabkan pelakunya disiksa dan pelakunya akan diampuni apabiIa ia menjauhi dosa-dosa besar.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang status dosa besar, apakah akan diampuni seandainya tidak datang berita dari Allah?

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat, mungkin saja.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, tidak mungkin.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang dosa kecil, dengan apa supaya diampuni?

 

  1. Sebagian Mutakillimin berpendapat, tanpa bertobat pun, Allah mengampuninya atas karunia-Nya.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, dosa kecil layak diampuni jika pelakunya menjauhi dosa-dosa besar.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, dosa kecil dapat diampuni melalui tobat.

 

Permasalahan ini pemah kami bicarakan dalam pembahasan hakikat dosa kecil.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang sesuatu yang dilakukan karena lupa atau keliru, apakah merupakan maksiat?

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat, terkadang merupakan maksiat.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, bukan maksiat, karena apabiIa kelupaan atau kekeliruannya itu disengaja.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang kewajiban bertobat:

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat, tobat dari perbuatan maksiat merupakan kewajiban,

 

  1. Sebagian Mutakallinin yang lain me nolak pendapat di atas.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang mengafirkan dan menganggap fasik orang yang suka menakwil:

 

  1. Zarqan menceritakan bahwa seluruh tokoh kelompok Murji’ah tidak menganggap fasik terhadap orang yang suka menakwil. Alasannya, mereka hanya keliru saIa ketika me lakukan penakwilan. Ini merupakan cerita yang keliru karena kebanyakan tokoh Murji’ah berpendapat bahwa setiap maksiat adalah kefasikan. Mereka pun menilai fasik orang-orang Khawarij ketika menumpahkan daralh sesama muslim, menawan istri-istrinya, dan me rampas hartanya. Walaupun tindakan mereka itu berdasarkan penakwilannya. lalu, bagaimana mungkin tokoh-tokoh Murji’ah tidak menganggap fasik orang-orang yang suka melakukan penakwilan.

 

  1. Kebanyakan tokoh Murji‘ah tidak mengafirkan seorang pun yang suka melakukan penakwilan. Dan mereka tidak pernah menjatuhkan vonis kafir, kecuali terhadap seseorang yang kekafirannya telah disepakati oleh umat.

 

  1. Jahm bin Shafwan berpandapat bahwa kekafiran muncul karena kebodohan. Orang kafir itu sebenarnya orang yang bodoh tentang Allah. Dan bahwa perkataan orang “ketiga dari yang tiga” (tsalits tsalatsah) bukanlah kekafiran. Padahal, ucapan itu muncul dari orang kafir. Karenanya, kami beranggapan bahwa orang yang mengatakan kalimat itu adalah kafir.

 

  1. Kebanyakan tokoh Murji ‘ah berpendapat, setiap orang yang me lakukan maksiat, baik melalui penakwilan atau bukan adalah fasik.

 

  1. Abu Syamr berpendapat, pengenalan terhadap Allah, apa-apa yang datang dari-Nya, kecsaan-nya, keadilan-Nya yakni pendapatnya tentang gadar, karena ta sendiri seorang Qadari-dan apa-apa yang digariskan oleh Allah SWT. dalam Al-Quran atau dihasilkan melalui perenungan akal yang iniinya menetapkan keadilan Allah dan menatikan penyeruan Allah . dengan makhluk-Nya, serta ikrar terhadap kesemuanya merupakan manifcstasi. Siapa saIa yang meragukannya berarti telah kafir.

 

  1. Abu Hudzail berpendapat, barang siapa menyerupakan Allah dengan Makhluk-Nya, meremehkan hukum-hukum-Nya, dan mendustakan firman-firman-Nya, maka ia telah kafir.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang status orang yang menentang orang yang menyalahi hukum-hukum Allah, Apakah disebut pembangkang?:

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat, ya.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, bukan

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang apa yang harus diperbuat apabiIa pada suatu waktu umat berselisih pendapat dalam satu hal, kemudian setelah itu bersepakat.

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat, boleh merujuk keputusan yang pertama apabiIa dikembalikan kepada persealan pokok. Namun, boleh puIa merujuk kepada apa yang telah disepakati.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, kita harus merujuk apa yang disepakati umat.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang boleh-tidaknya umat melakukan kesepakatan terhadap satu persealan ketika yang menyerupakan pun diperselisihkan?

 

  1. Kebanyakan tokoh Mutakallimin membolehkannya.

 

  1. Abbad bin Sulaiman berpendapat, umat dilarang melakukan kesepakatan terhadap satu persealan ketika yang menyerupainya pun diperselisihkan, sebagaunana dilarang melakukan kesepakatan terhadap sesuatu yang diperselisihkan.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang nasikh-mansukh, apakah terjadi puIa pada berita-berita vang datang dari Allah?

 

  1. Sebagian Mutakallimin berbeda pendapat, nasikh-mansukh hanya terjadi pada periniah dan larangan Allah.

 

  1. Kelompok Rafidhah ckstrem berpendapat, Allah boleh saIa mengganti (me-nasakh) apa yang telah disampaikan-Nya, karena ada kepentingan yang baru muncul bagi-Nya. Mahasuci Allah dari apa yang dikatakan oleh pendapat itu.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang boleh-tidaknya Al-Quran di-nasakh oleh As-Sunah:

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat, Al-Quran hanya dapat di-nasakh oleh Al-Quran, tidak mungkin di-nasakh oleh As-Sunah.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, As-Sunah dapat menasakh Al-Quran, sedangkan Al-Quran tidak dapat me-nasakh As-Sunah.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, As-Sunah dapat menasakh Al-Quran, demikian puIa Al-Quran dapat me-nasakh As-Sunah.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang apakah ungkapan “if‘alu” (kerjakanlah!) dengan sendirinya menunjukkan periniah yang wajib dikerjakan?

 

  1. Sebagian Mutakallimin menyepakatinya.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain mengatakan tidak, kecuali ada petunjuk lain yang menunjukkan bahwa Allah memang telah mewajibkannya.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang siapakah yang boleh melakukah ijtihad:

 

  1. Kalangan ahli ijtihad berpendapat, ijtihad hanya diperbolehkan bagi orang yang mengetahui hukum-hukum yang diturunkan Allah dalam kitabNya, sunah-sunah Nabi, dan apa yang telah disepakati oleh kaum muslimin, sehingga ia mengetahui banyak hal dan teori, dan ia pun mampu mengembalikan persealan cabang kepada persealan pokok.

 

Tentang orang yang meminia fatwa, mereka berpendapat bahwa ia harus bertaklid saIa kepada orang yang memberi fatwa.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, orang yang meminia fatwa tidak boleh mentaklid, tetapi harus merenungkan fatwa yang diterima dan menanyakan argumentasi dan alasannya sehingga jelaslah kebenaran baginya.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang apa yang dihasilkan melalui ijtihad, apakah merupakan bagian dari agama?:

 

  1. Sebhagian Mutakallimin berpendapat, ia termasuk bagian agama.

 

  1. Sebagian Afutakallimin yang lain berpendapat, ia tidak termasuk bagian ayama.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang batasan akil balig:

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat, akil balig hanya diperolich melalui kesempurnaan akal. Dalam menggambarkan akal, mereka berkata, darinya akan muncul pengetahuan yang sangat mendesak (idhthirar) yang akan membedakan antara dirinya dengan himar, antara langit dan bumi, dan yang lainnya. Termasuk bagian dari akal adalah kekuatan untuk mencari pengetahuan. Mereka menganggap bahwa akal itu adalah perasaan (Al-Hass). Kami, kata Abu Hudzail, menamai akal dengan konotasi sa’qul (orang dapat dipikirkanlrasional).

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, akil balig pada dasarnya merupakan cerminan kesempurnaan akal. Akal bagi mereka adalah pengetahuan karena dengan akal-lah, manusia dapat menahan diri dari sesuatu yang tidak dapat ditahan oleh orang gila. Kata akal memang diambil dari ungkapan ‘iqal ba‘ir (tali kendali onta)”

 

Mereka yang memiliki pendapat ini berpendapat bahwa pengetahuan itu banyak ragamnya, di antaranya adalah pengetahuan yang sangat mendesak (dhthirar). Pengetahuan ini, ada yang sudah dapat dicapai manusia sebelum akalnya sempurna, umpamanya dengan jalan mencoba dan merasakannya, Sedangkan sebagian lainnya hanya dapat diperoleh dengan akal yang sempurna. Umpamanya, pemikiran manusia ketika menyaksikan seekor onta yang tidak masuk ke dalam lubang jarum yang ada di hadapannya. Ia lalu merenung dan berpikir tentangnya hingga sampai pada suatu kesimpulan bahwa mustahil onta itu masuk ke dalam lubang jarum sekalipun tidak berada di hadapannya. Jika seseorang sudah mencapai taraf pemikiran seperti itu, maka ia sudah akil balig dan sudah terkena beban taklif (mukallaf).

 

Kelompok ini menolak pendapat yang mengatakan bahwa kekuatan untuk memperoleh pengetahuan disebut akal. Sebelum seseorang memiliki akal sempurna, maka Allah tidak boleh membecbankan taklif kepadanya. Bersamaan dengan kesempurnaan akal seseorang, muncullah kekuatan untuk memperoleh peengetahuan.

 

Kelompok ini pun berpendapat bahwa pada dasarnya manusia belum terkena beban taklif, belum sempurna akalnya, dan belum akil baligh sebelum ia memperoleh pengetahuan melalui perenungan yang baik, Taklif pun belum dibebankan sebelum dalam diri seseorang terlinias pikiran bahwa segaIa sesuatu yang ada, pasti memiliki Pencipta yang akan menyiksanya apabiIa ia tidak memikirkannya atau pikiran dan ungkapan serupa, Pendapat ini dikemukakan oleh Muhammad bin Abd. Al-Wahhab Al-Juba‘i.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, seseorang belum mencapai akil balig dengan sempurna atau masuk ke dalam batas taklif, kecuali setelah muncul pemikiran dan kesadaran diri (yang matang). Pengetahuan yang berada pada diri seseorang dan kekuatan akalnya untuk memperoleh pengetahuan harus muncul dari pemikiran dan kesadaran dirinya walaupun ia tidak dapat menghasilkan pengetahuan melalui perenungan yang baik. Pendapat ini dikemukakan oleh sebagian tokoh-tokoh Bagdadiyyin.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, seseorang belum akil balig sebelum membutuhkan pengetahuan-pengetahuan agama. Barang siapa membutuhkan pengetahuan tentang Allah, rasul, dan kitab-Nya, maka wajib taklif baginya. Dan barang siapa belum membutuhkan pengetahuan tentang Allah, rasul, dan kitab-nya, maka taklif tidak wajib baginya. Ia disamakan dengan anak kecil. Pendapat ini dikemukakan oleh Tsanamah bin Asyras An-Numairi.

 

  1. Kebanyakan tokoh Mutakallimin sepakat bahwa bahwa akil balig ditandai oleh kesempurnaan akal.

 

  1. Kebanyakan tokoh fiqih berpendapat, akil balig ditandai oleh dua hal, adakalanya ditandai oleh usia dewasg dan memiliki akal sehat atau sudah mencapai usia 15 tahun. Sebagian ulama ada yang mengatakan apabiIa sudah mencapai usia 17 tahun.

 

  1. Di antara kelompok yang keluar dari kebenaran berpendapat, seseorang belum mencapai akil balig sebelum ihtilam (keluar:air sperma karena mimpi bersetubuh) walaupun usianya sudah menginjak 30 tahun atau lebih dan mempunyai akal yang sehat..

 

Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah

 

SegaIa puji bagi Allah yang telah memperlihatkan. kepada kami kekeliruan.orang-orang yang berbuat kekeliruan, kebutaan orang-orang buta, dan kebingungan orang-orang bingung yang-menafikan sifat-sifat Dzat Yang memeliliara alam semesta. Mereka berpendapat sesungguhnya Allah Jalla. tsana’uh wa tagaddasat asma’uh tidak memiliki sifat.

 

Ia tidak menulikt pengetahuan, kekuatan, kehidupan, pendengaran, penghihatan, keagungan, kemuliaan, kesembongan. Bepitu puIa pendapat mereka terhadap sifat-sifat di mana Allah sendiri memakainya untuk menvifati diri-Nya sendiri. Pendapat semacam ini mereka ambil dari saudara-saudaranya di kalangan para filsuf yang beranggapan bahwa alam ini memiliki pencipta yang senantiasa bukan “Yang” Maha Tahu, Bukan “Yang” Mahakuasa, bukan “Yang” Hidup, bukan “Yang” Mendengar, bukan “Yang” Melihat, dan bukan “Yang ” Qadim. Keelompok yang menafikan sifat-sifat Allah itu, yakni Mu’tazilah, sebenarnya bertujuan mengemukakan pendapat para filosef itu. Hanya saja, mereka tidak berani mengemukakan yang sebenarnya. Yang mereka kemukakan kemudian hanya. menafikan pengetahuan, kekuasaan, keperikehidupan, pendengaran, dan penglihatan dari Allah. Seandainya tidak karena rasa takut, sebenarnya mereka akan mengemukakan apa sebenarmya yang dikemukakan oleh para filsuf tersebut, bahkan akan lebih fasih. Namun, rasa takut terhadap tebasan pedang menghalangi mereka untuk mengemukakannya.

 

Namun, di antara kalangan Mu‘tazilah ternyata ada seseorang yang lebih daripada filsuf sendiri. Ia: adalah Ibn Al-Iyadi. Ia berpendapat, “Sesungeguhnya Allah adalah Dzat “Yang” Tahu, “Yang” Berkuasa, “Yang” Mendengar, dan “Yang” Melihat, hanya saIa dalam pengertian majaz bukan hakikat.”

 

Di antara mereka juga terdapat seseorang yang dikenal dengan nama Abbad bin Sulaiman. Ia berpendapat, “Sesungguhnya Allah adalah Dzat “Yang” Tahu, “Yang” Berkuasa, “Yang” Mendengar, “Yang” Melihat, “Yang” Bijaksana, dan “Yang” Mulia dalam artian hakikat kias.

 

Di kalangan Mutakallimin sendiri terdapat banyak perbendaan tntang persealan apakah esensi sifat-sifat adalah Allah sendiri?

 

  1. Abu Hudzail Al-’Allaf Menurut pendapat Abu Hudzail, esensi pengetahuan Allah adalah – Allah sendiri. Demikian puIa kekuasaan, pendengaran, penglihatan, dan kebijaksanaan, dan sifat-Nya yang lain. Ia berkata, ‘‘Kalau aku nyatakan Allah “bersifat” tahu, maka artinya aku pun’ menyatakan bahwa padanya terdapat pengetahuan, dan pengetahuan itu adalah Dzat-Nya sendin. Maka aku tegas-tegas menolak anggapan bahwa Allah itu bodoh terhadap sesuatu yang sudah atau akan terjadi. Kalau kunyatakan bahwa Allah “bersifat” kuasa, maka artinya aku pun menyatakan bahwa pada-Nya terdapat kekuasaan, dan kekuasaan itu adalah Dzat-Nya sendiri. Maka aku tegas-tegas menolak anggapan bahwa Allah itu lemah terhadap suatu sesuatu yang sudah atau akan terjadi.” Demikian puIa kata Abu Hudzail, “sifat-sifat” Dzat Allah yang lain.

 

Ketika Abu Hudzail ditanya, “Kami mendengar bahwa pengetahuan Allah adalah Allah sendiri, apakah Anda juga berpendapat bahwa pengetahuan Allah adalah kekuasaan-Nya?” Ia menolaknya. Ketika ditanya lagi, “Bukan kekuasaan-Nya?” Ia pun menolaknya. Atas jawaban Abu Hudzail yang kontradiktif ini, lawan-lawannya sering mengibaratkan pendapat Abu Hudzail tentang persealan ini dengan ungkapan:

 

Artinya: “Sesungguhnya pengetahuan Allah bukanlah Allah sendiri, tetapi bukan puIa yang lain.”

 

Ketika dikatakan kepadanya, “Anda mengatakan bahwa pengetahuan Allah pada esensinya adalah Allah sendiri. Maka, Anda pun harus mengatakan bahwa Allah adalah pengetahuan.” Ternyata, ia tidak mau mengataka&nya padahal ia sendiri mengatakan bahwa pengetahuan Allah adalah Allah sendiri.

 

Penganut faham dualisme bertanya kepada para tokoh Mu’tazilah, “Jika kalian mengatakan bahwa esensi terpisahnya antara terang dan gelap adalah terang dan gelap itu sendiri. Dan bahwa esensi bersatunya antara terang dan gelap adalah terang dan gelap itu sendiri, maka katakanlah bahwa esensi keterpisahan adalah kebersatuan.” “Kalau esensi panjang suatu barang adalah barang itu sendiri, dan kalau esensi lebar suatu barang adalah barang itu sendiri, maka apakah esensi panjang dan lebar?” Kalau esensi pengetahuan Allah adalah Allah sendiri, dan kalau esensi kekuasaan Allah adalah Allah sendiri, maka logikanya pengetahuan Allah adalah kekuasaan Allah. Jika tidak demikian, maka akan muncul kontradiksi sebagaimana ditanyakan oleh penganut dualisme di atas.

 

Dalam pendapatnya tentang sifat Allah, Abu Hudzail sebenarnya mengambil dari pendapat Aristoteles. ia pernah menulis dalam sebagian bukunya, Allah adalah pengetahuan universal, kekuasaan universal, perikehidupan universal, pendengaran universal, dan penglihatan universal. Ungkapan Aristoteles itu kemudian cdiubah oleh Abu Hudzail dengan ungkapan, pengetahuan Allah adalah Allah sendiri dan kekuasaan Allah adalah kekuasaan itu sendiri.

 

Aristoteles pun berpendapat bahwa ketentuan dan pengetahuan Allah terhadap sesuatu yang ada, tiada, dan bakal ada bersifat universal, finis, dan komprehensif. Gerakan penghuni surga akan ada alkhirnya. Mereka diam tidak bergerak selamanya di surga.

 

Ketika Abu Hudzail ditanya, “Apakah Anda mempunyai pendapat bahwa Allah mempunyai pengetahuan?” ia menjawab, “Allah mempunyai pengetahuan yang sensinya adalah Allah itu sendiri. Ia tahu dengan pengetahuan di mana “ia” adalah “Ta” sendiri. Demikian puIa “sifat-sifat” Allah yang lain.” Ia menafikan pengetahuan bagi Allah, tectapi ia menganggapnya tidak menafikannya. Karena ia hanya menetapkan Allah semata.

 

Jika Abu Hudzail ditanya, “Mengapa sifat Allah berbeda (kalau pada esensinya adalah Allah juga)?” Ia menjawab, .“Karena perbedaan yang diketahui dan yang ditentukan-Nya.”

 

Ja’far bin Harb menccritakan bahwa Abu Hudzail tidak mengatakan bahwa Allah senantiasa mendengar dan melihat, juga tidak dapat dikatakan sedang mendengar atau melihat, karena hal itu menuntut adanya yang didengar dan yang dilihat.

 

  1. An-Nazhzham

 

An-Nazhzham menafikan pengetahuan, kekuasaan, pendengaran, pengilihatan, dan sifat-sifat.Dzat Allah yang Jain. Allah, dalam pendapatnya, senantiasa tahu, hidup, kuasa,, mendengar, melihat, dan qadim dengan diri-Nya sendiri, bukan dengan pengetahuan, kekuasaan, perikehidupan, pendengaran, penglihatan,dan keqadiman. ‘Demikian pula, sifat-sifat Allah yang lain Ia mengatakan bahwa jika ditetapkan bahwa Allah itu adalah Dzat yang tahu, bekuasa, hidup, mendengar, melihat, dan qadim, maka yang ditetapkan sebenarnya adalah Dzat-Nya (bukan sifat-Nya). Dinafikan puIa dari-Nya kebodohan, kelemahan, kematian, tuli, dan buta. Demikian puIa sifat-sifat Allah yang lain.

 

TatkaIa An-Nazhzham ditanya, “Mengapa Anda menyebut nama yang, beragam untuk Dzat Allah, “Yang” Tahu, “Yang” Berkuasa, “Yang” Hidup, dan lain-lain. Me ngapa Anda tidak menyebut Dzat saja? Mengapa puIa Anda menolak pemaknaan “Yang” Tahu dengan pemaknaan “Yang” Berkuasa dan “Yang” Hidup?” Ia menjawab, “Karena beragamnya puIa Jawan sifat-sifat itu yang harus dinafikan dari-Nya, seperti bodoh, lemah, dan mati.” Namun, ia tidak menjawab pertanyaan yang terakhir,

 

An-Nazhzham berpendapat, “Perkataanku yang menyebutkan bahwa Allah “bersifat” tahu, berkuasa, me endengar, dan melihat merupakan penamaan Allah yang bersifat positif dan meniadakan Jawannya.” Ketika ditanya, “Apakah Anda mengatakan bahwa Allah memiliki pengetahuan?” Ia menjawab, “Aku mengatakannya karena keluasan bahasa saIa dan mengembalikannya kepada pencgasan bahwa ia adalah Dzat “Yang” Mahatahu. Demikian puIa perkataanku yang menyatakan bahwa Allah memiliki kekuasaan.”

 

An-Nazhzham tidak mengatakan bahwa Allah memiliki perikehidupan, atau pendengaran, atau penglihatan karena katanya yang disebut Allah di dalam Al-Quran berkenaan dengan diri-Nya hanyalah pengetahuan dan kekuatan, sedangkan perikehidupan, pendengaran, dan penglihatan tidak disebut-sebut:

 

Artinya: “Allah menurunkannya dengan pengetahuan-Nya:”’ . (QS. An-Nisa’ (4) : 166)

 

Artinya : “Allah yang menciptakan mereka ( dari tiada kepaida ada) adalah lebih besar kekuatan-Nya daripada mereka.” (QS. Fushshilat (41) : 15)

 

An-Nazhzham berpendapat bahwa manusia hidup dan berkuasa lantaran dirinya sendiri, bukan lantaran perikehidupan dan kekuatan. Begitu puIa Allah SWT. Manusia bersifat tahu dengan pengetahuannya. Pada diri manusia terkadang masuk penyakit yang menyebabkan ia sakit dan terkadang puIa masuk penyakit lain yang-‘menyebabkannya mati.

 

  1. Dhirar bin ‘Amr

 

Dhirar berpendapat bahwa arti pernyataan Allah bersifat tahu itu adalah bahwa Ia tidak bodoh. Begitu puIa dengan pernyataan Allah bersifat kuasa itu adalah bahwa Dia tidak lemah; Allah bersifat hidup artinya adalah Dia tidak mati. Pendapat ini dikemukakan puIa oleh kebanyakan Mutakallimin yang menetapkan sifat-sifat Allah.

 

  1. Mu’ammar

 

Sebagaimana diceritakan Muhammad bin Isa As-Sayyarafi, Mu’ammar berpendapat bahwa pernyataan Allah bersifat tahu dengan pengetahuan semata-mata untuk suatu makna, bukan untuk suatu tujuan. Begitu puIa pendapatnya tentang sifat-sifat Allah yang lain. Ia menggambarkan sifat-sifat Allah dengan makna. Allah bersifat tahu karena makna-makna tertentu, dan pengetahuannya itu tidak terbatas, Ia mendengar dan melihat karena makna-makna tertentu, pendengaran, dan penglihatan-Nya tidak puIa terbatas. Yang terakhir ini diceritakan oleh Muhammad bin Isa dan Abi ‘Umar Al-Furati.

 

  1. Hisyam bin Amr Al-Fuwaithi

 

Al-Fuwaithi berpendapat bahwa Allah senantiasa bersifat tahu, kuasa, dan hidup. Namun kalau ditanyakan apakah Allah pun senantiasa. bersifat tahu terhadap segaIa sesuatu? Ia menjawab, “Allah senantiasa bersifat tahu yang berarti Dia itu Esa. Saya tidak mengatakan bahwa Allah senantiasa bersifat tahu terhadap segaIa sesuatu. Alasannya, jika ‘ kukatakan itu berarti aku mengatakan bahwa segaIa sesuatu itu tidak akan rusak.” Lalu kalau ditanyakan kepadanya, apakah Anda pun menganggap Allah SWT. itu selalu bersifat tahu terhadap sesuatu yang akan terjadi? Ia hanya menjawab, “ Kalau aku katakan bahwa Allah pun bersifat tahu terhadap segaIa sesuatu yang akan terjadi, maka hal ini berarti mengisyaratkan kepastian akan terjadinya sesuatu. Padahal, seseorang tidak: dibolehkan mengisyaratkan kepastian terhadap sesuatu, kecuali sesuatu itu memang ada wujudnya. Ia tidak mengatakan:

 

Artinya: “Cukuplah Allah sebagai wakil kita yang terbaik.” Ia pun tidak mengatakan bahwa Allah menyiksa dengan neraka.

 

Alasan yang dikemukakan Al-Fuwaithi untuk menjelaskan pengetahuan Allah sebenarnya dalam rangka menanggapi pendapat sebagian tokoh kelompok Azaliyyah. Sebhab, mereka menctapkan ke-qadim-an segaIa sesuatu dan yang menciptakan (Allah). Mereka berkata, “Perkataan kami bahwa Allah senantiasa bersifat tahu segaIa sesuatu mengonsekucnsikan bahwa segaIa sesuatu itu tidak rusak. Karenanya, kami mengatakan bahwa segaIa sesuatu itu qadim.”

 

Al-Fuwaithi mengatakan bahwa ketika segaIa sesuatu itu tidak mungkin qadim, maka tidak boleh dikatakan bahwa Allah senantiasa bersifat tahu terhadap segaIa sesuatu.

 

Al-Fuwaithi meniadakan pengetahuan, kekuasaan, perikehidupan, pendengaran, dan sifat-sifat Dzat lainnya dari Allah.

 

  1. Rafidah

 

Sebagian besar tokoh Rafidah menolak bahwa Allah senantiasa bersifat tahu. Pendapat ini lebih keras daripada pendapat Al-Fuwaithi. Mereka menilai bahwa pengetahuan itu bersifat baharu, tidak bersifat qadim. .

 

Sebagian besar tokoh Rafidah berpendapat bahwa Allah tidak tahu terhadap sesuatu sebelum kemunculynnya.

 

Sebagian dari mereka berpendapat bahwa Allah tidak bersifat tahu terhadap sesuatu sebelum Ia menghendakinya. TatkaIa Ia menghendaki sesuatu, maka Ia pun bersifat tahu; Jika tidak menghendakinya, Ia tidak bersifat tahu. Makna Allah berkehendak menurut mereka adalah bahwa Allah mengeluarkan gerakan (taharraka harkah). Ketika gerakan itu muncul, Ia bersifat tahu terhadap sesuatu. TatkaIa IIa berkehendak agar sesuatu itu ada, maka Ia tahu bahwa sesuatu itu ada; TatkaIa tidak ada gerakan, tidak dapat dikatakan bahwa Ia bersifat tahu terhadap sesuatu itu. Mereka berpendapat puIa bahwa Allah tidak bersifat tahu terhadap sesuatu yang tidak ada

 

Sebagian dari mereka berpendapat bahwa Allah tidak bersifat’tahu terhadap seuatu sebelum Ia berkehendak. TatkaIa Ia berkehendak agar sesuatu itu tidak ada, maka Ia pun tahu bahwa sesuatu itu tidak ada; TatkaIa Ia tidak berkehendak agar sesuatu itu ada ata tidak ada, maka Ia pun tidak tahu bahwa sesuatu itu ada atau tidak ada.

 

Sebagian dari mereka berpendapat bahwa makna Allah bersifat tahu adalah Ia berbuat. TatkaIa ditanya apakah Allah senantiasa bersifat tahu terhadap diri-Nya, maka jawaban mereka beragam. Sebagian menyawab bahwa Allah tidak bersifat tahu diri-Nya sendiri sebelum menciptakan pengetahuan. Sebab, Ia memang ada tetapi belum berbuat,. Sebhagian lagi menjawab bahwa Allah seenantiasa tahu diri-Nya sendiri, Jika ditanya apakah Allah senantiasa berbuat, mereka menjawab, “Ya, tetapi kami tidak mengatakan bahwa perbuatan-Nya juga qadim.”

 

Sebagian dari merecka berpendapat baliwa pengetahuan merupakan sifat Dzat Allah dan bahwa Allah tahu tentang diri-Nya sendiri, hanya saIa Ia tidak dapat disifati tahu terhadap sesuatu sebelum sesuatu itu ada. Jika sesuatu tidak ada, maka tidak dapat dikatakan bahwa Ia bersifat tahu. Sebab tidak mungkin bersifat tahu.terhadap sesuatu yang tidak ada wujudnya. Pendapat ini diceritakan oleh kelompok As-Sakkakiyah.

 

Sebagian dari mereka berpendapat bahwa Allah senantiasa mengetahui dan pengetahuan-Nya itu merupakan sifat Dzat-nya. Ia tidak dapat disifati bersifat tahu terhadap sesuatu sebelum sesuatu itu ada, sebagaimana manusia tidak dapat disifati melihat dan mendengar sesuatu sebelum bértemu dengan sesuatu itu sendiri. .

 

Mayoritas tokoh Rafidah menyifati Tuhannya dengan bada’ (perubahan). Mereka beranggapan bahwa Tuhan mengalami banyak perubahan. Sebagian mereka mengatakan .bahwa Allah terkadang memeriniahkan sesuatu lalu mengubahnya. Terkadang puIa Ia menghendaki melakukan sesuatu pada sesuatu waktu lalu mengurungkannya karena ada perubahan di dalam diri-Nya. Perubahan ini bukan dalam artian nasakh, tetapi dalam artian bahwa, pada waktu yang pertama Ia tidak tahu apa yang bakal terjadi pada waktu yang kedua.

 

  1. Hisyam bin Al-Hakam

 

Menurut penuturan Al-Jahihz, Ibn Al-Hakam berpendapat bahwa sesungguhnya Allah SWT. mengetahui apa yang berada di bawah bumi melalui sinar-sinar di dasar bumi. Seandainya apa yang ada di sana tidak bersinar. Maka Ia pun tidak akan tahu apa yang ada di sana. Mereka beranggapan bahwa sebagian apa yang di sana terkena bersinar, pada bagian lainnya tidak bersinar, Abu Qasim Al-Bulkhi pernah menceritakan bahwa Hisyam bin Al-Hakain berpendapat; Mustahil Allah senantiasa bersifat tahu terhadap diri-Nya sendiri. Dan bahwasanya Ia tahu sesuatu itu setelah sebelumnya Ia tidak mengetahuinya. Ia mengetahui sesuatu dengan pengetahuan yang mierupakan sifat Allah, bukan merupakan Diri (Dzat)-Nya bukan puIa ‘ selain-Nya. Bahkan tidak boleh dinyatakan bahwa sifat-Nya tersebut baru ataupun kekal, karena sifat itu tidak dapat disifati.

 

Hisyam berpendapat, seandainya (dikatakan) bahwa Allah senantiasa bersifat tahu, tentunya yang diketahui-Nya pun senantiasa diketahui (berarti qadim pula), Dan bahwasanya tidak syak ia mengetahui kecuali terhdap sesuatu yang sudah ada (meujud). Ia pun berpendapat bahwa seandainya Allah bersifat tahu terhadap apa yang sedang dan akan dilakukan hamba-hamba-Nya, maka tidak sah-lah adanya mihnah (ujian) dan cobaan.

 

Pendapat Hisyam tentang kekuasaan dan perikehidupan Allah berbeda dengan pendapatnya tentang pengetahuan Allah. Hanya saIa ia tidak mengatakan bahwa kekuasaan dan perikehidupan Allah bersifat baru, tetapi ia beranggapan bahwa keduanya merupakan sifat Allah. Keduanya bukan Diri (Dzat)-Nya, bukan puIa yang lain, bukan puIa sebagian-Nya. Namun, ada puIa yang menceritakan bahwa pendapat Hisyam tentang kekuasaan Allah sama saIa dengan pendapatnya tentang pengetahuan Allah.

 

8, Sekelompok Mutakallimin

 

Sekelompok Mutakallimin berpendapat bahwa Dzat yang disembahnya tidak disifati senantiasa berkuasa, Tuhan, pemelihara alam, tahu, mendengar, dan melihat sebelum menciptakan sesuatu. Alasannya, sesuatu yang belum ada tidaklah dikatakan sesuatu. Allah pun tidak disifati kuasa atas “bukan sesuatu” (sesuatu yang tidak ada).

 

Sekelompok Mutakallimin lain berpendapat bahwa Allah bersifat tahu terhadap sesuatu sebelum kemunculannya, kecuali terhadap perbuatan-perbuatan hamba-Nya yang diketahui-Nya ketika muncul. Alasannya, seandainya Allah mengetahui perbuatan maksiat hamba-Nya yang taat sebelum perbuatan itu muncul, maka akan terhalanglah antara maksiat dengan pelaku maksiat sendiri.

 

9, Kelompok Musyabihah

 

Seseorang menccritakan bahwa sebagian tokoh kelompok Musyabbihah berpendapat bahwa pada mulanya Allah SWT. senantiasa “tidak hidup” kemudian menjadi senantiasa hidup.

 

  1. Kelompok Mu’tazilah

 

Sekelompok tokoh Mu ‘tazilah berpendapat bahwa sifat Allah, Yang mendengar, termasuk salah satu dari sifat Dzat-Nya. Hanya saIa tidak dapat dikatakan bahwa Ia mendengar sesuatu ketika terjadi. Pendapat ini dikemukakan oleh Abd. Al-Wahhab Al-Juba’i. Ia beranggapan bahwa Allah senantiasa mendengar (lam yazal sami ‘an), tetapi tidak dapat dikatakan senantiasa “mendengar”’ (lam yazal yasma’u). Jika dikatakan deniuiian, itu artinya ia pun dengan sendirimnya menyatakan bahwa Allah senantiasa tidak mendeengar. Demikian pula, tatkaIa ia mengatakan bahwa Allah senantiasa “melihat’? (lam yazal mubshiran, berbeda dengan lam yazal bashiran), sama saIa ia mengatakan bahwa Allah tidak mengatakan melihat. Sebagaimana puIa bahwa orang yang tidak mengatakan bahwa Allah tidak senantiasa bersifat “‘tahu”’ (lam yazal aliman, berbeda dengan lqm yazal ‘alima), sama saIa dengan mengatakan bahwa Allah tidak senantiasa bersifat tahu.

 

Sebagaimana puIa ketika ‘Abbad bin Sulaiman menolak mengatakan bahwa Allah senantiasa bersifat mendengar dan melihat dam yazal samian bashiran), sama saIa dengan mengatakan bahwa Allah tidak bersifat mendengar dan melihat. Sebagaimana halnya puIa bahwa orang, yang tidak mengatakan bahwa Allah senantiasa bersifat “tahu” (lam yazil aliman) dan “kuasa” (lam yazal qadiran), berbeda dengan lam yazal gadiran, sama saIa dengan mengatakan bahwa Allah senantiasa tidak bersifat tahu dan kuasa.

 

‘Abbad bin Sulaiman pernah ditanya, “Bukankah Anda tidak mengatakan bahwa Allah senantiasa bersifat mendengar. Lalu mengapa tidak sekalian saja, Anda katakan bahwa Allah memiliki pendengaran yang baru (bukan qadim)? Lalu, apa yang membedakan Anda dengan “lawan-lawanmu” yang menolak mengatakan bahwa Dzat Yang qadim senantiasa bersifat tahu, tetapi menolak mengatakan bahwa ia memiliki ilmu yang baru (bukan qadim)? –

 

  1. Syaithan Ath-Thaq dan Kebanyakan Tokoh Rafidhah

 

Syaithan Ath-Taq dan kebanyakan tokoh Rafidhah berpendapat, Sesungguhnya Allah bersifat tahu tentang diri-Nya sendiri, tidak bodoh. Hanya saja, Ia mengetahui sesuatu itu tatkaIa menakdirkan sesuatu dan menghendakinya. Adapun tatkaIa sesuatu itu belum ditakdirkan dan dikehendaki, maka mustahil Ia mengetahuinya. Bukan karena Ia tidak bersifat tahu, tetapi karena bahwa sesuatu itu bukanlah sesuatu sebelum Ia menakdirkan dan menghendakinya. Takdir dalam pandangan mereka adalah kehendak.

 

  1. Jahm bin Shafwan

 

Jahm berpendapat, Sesungguhnya pengetahuan Allah bersifat baru (muhdats). ketika pengetahuan itu muncul, maka Allah pun bersifat tahu. Pengetahuan itu bukanlah Diri (Dzat)-Nya sendiri. Boleh saja, menurutnya, Allah bersifat tahu teerhadap sesuatu (seluruhnya) sebelum ada atau terjadi dengan ilmu yang dimunculkan sebelumnya. Namun, ada iniormasi lain yang menyatakan bahwa pendapat Jahm tentang persealan di atas adalah bahwa Allah mengetahui sesuatu ketika ada atau terjadi dan mustahil Ia mengetahui sesuatu yang tidak ada. Sebab, yang dinamakan sesuatu baginya adalah Jism yang diwujudkan. Apa yang tidak diwujudkan bukanlah sesuatu. Atas pendapatnya itu, lawan-lawan Jahm menuduhnya berpendapat bahwa Allah memiliki pengetahuan yang baru karena ia beranggapan bahwa Allah bersifat tahu setelah sebelumnya tidak bersifat tahu. Berdasarkan pendangan dasar Jahm di atas, maka begitu puIa pendapatnya tentang kekuasaan dan perikehidupan Allah.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang pengetahuan Allah dari sisi-sisi yang lain:

 

  1. Kebanyakan tokoh Mutakallimin berpendapat, sesungguhnya Allah senantiasa bersifat tahu bahwa Ia akan menyiksa orang kafir jika tidak bertobat, dan bahwasanya Ia tidak akan menyiksa orang kafir biIa bertobat.

 

  1. Pendapat di atas dibantah oleh Hisyam Al-Fuwaithi, para pengikut madzhab ‘Abbad bin Sulaiman, dan yang sependapat dengan mereka. Alasannya, karena di dalamnya ada unsur persyaratan, sedangkan Allah tidak dapat disifati tahu dengan syarat-syarat tertentu. Syarat itu hanya terdapat pada yang diketahui (ma’lum), bukan pada yang mengetahui (alim).

 

  1. ‘Abbad bin Sulaiman, rekan Al-Fuwaithi, berpendapat, sesungguhnya Allah senantiasa tahu, kuasa, dan hidup. Dan bahwasanya Ia senantiasa tahu dan kuasa atas segaIa sesuatu, substansi (Jauhar), aksiden (A‘radh), dan perbuatan (Afal).

 

Ketika ditanya apakah ia pun berpendapat bahwa Allah senantiasi tahu terhadap semua makhluk, Jism dan yang diciptakan (mu’allafat)? Maka, ia pun menolaknya.

 

Ia pun berpendapat bahwa segaIa sesuatu (asyya’), substansi (Jauhar), dan aksiden (A’radh) sudah dinamakan sesuatu, substansi, dan aksiden sebelum kemunculannya. Dan bahwasanya makhluk itu ada setelah sebelumnya tidak ada (?). Tetapi bukan bahwa hakikat Allah sebelumnya tiada lalu ada. Ia pun berpendapat bahwa hakikat muhdats (yang dimunculkan) adalah yang diperbuat (maf‘ul).

 

TatkaIa ditanya apakah Allah tahu dengan seebab diri-Nya sendiri atau dengan pengetahuan? Maka ia menolak kedua pilihan itu. Ia berkata. “Ucapan khahan bahwa Allah tabu adalah benar, tetapi ucapan kalian bahwa Allah tahu dengan sebab diri-Nya sendiri adalah keliru; Keliru puIa ucapan khalian bahwa Allah tahu dengan pengeetahuan atau dengan Dzat-Nya sendiri.

 

Ia membantah pendapat orang yang mengatakan bahwa Allah memiliki wajah. Ia pun menolak ungkapan ‘‘wajah Allah’’, “diri Allah’’, dan “Dzat Allah”. Ia me nolak anggapan bahwa Allah memiliki mata dan tangan.

 

Ia berpendapat bahwa Allah itu tidak sama dengan yany lain Cmakhluk-Nya). Dan ia tidak mengatakan bahwa itu bukan semata-mata sebuah makna saja.

 

Jika ditanya apakah Allah tahu, kuasa, hidup, mendengar, melihat, muha, dan agung dalam hakikat kiasan? Ia menolaknya dan tidak sependapat dengannya.

 

Ia tidak mengatakan bahwa Allah (ada) sebalum sesuatu; tidak puIa mengatakan bahwa Ia merupakan awal dari segaIa sesuatu (yang ada); tidak puIa mengatakan bahwa sesuatu menjadi ada sesudah (keberadaan)-Nya.

 

Ia tidak mengatakan bahwa Allah lembut..Namun, informasi lain menytakan bahwa penolakannya itu apabiIa nama itu disebut secara mutiak. Karenanya, ia katakan “Allah lembut terhadap hamiba-hambaNya’’.

 

Jika ditanya apakah Allah mempunyai pengetahuan? Ia menjawab, “Kekeliruan pendapat bahwa Allah memiliki pengetahuan dan bahwa Ia tahu dengan pengetahuan.” Jika ditanya, “Apakah Anda berpendapat bahwa Allah tidak memiliki pengetahuan? Ia menjawab, “Kelirulah pendapat bahwa Allah tidak memiliki pengetahuan. Demikian puIa nama Allah yang lain.”

 

IIa berpendapat, tidak boleh menyatakan bahwa Allah tahu dan kuasa dalam artian kiasan, karena dengan menyatakan begitu, niseaya tidaklah ada lagi yang tahu selain Dia. Tetapi ia juga justru menganggap Allah qadim secara kiasan. Alasannya, setiap sesuatu yang senantiasa pastilah qadim, karena hakikat qadim adalah senantiasa.

 

Ia tidak berpendapat bahwa Allah “‘senantiasa’’? mendengar dan melihat. Ia hanya mengatakan Allah mendengar dan melihat.

 

TatkaIa ditanya tentang makna Allah tahu, ia menjawab, “Menctapkan nama beserta pengetahuan terhadap sesuatu bagi Allah.” Demikian pula, makna Allah kuasa artinya adalah menetapkan nama Allah beserta kekuasaan atas sesuatu; Makna Allah mendengar adalah menetapkan nama Allah beserta pendengaran atas sesuatu; Makna Allah melihat adalah menctapkan nama Allah beserta penglihatannya atas sesuatu.

 

Ia tidak berpendapat balwva Allah memiliki pendengaran, juga tidak pendengaran yang qadim, dan juga tidak pendengaran yang baru. Itu puIa jawabannya ketika ditanya tentang sifat melihat. Makna Allah hidup, menurutnya adalah menetapkan nama Allah dan makna Allah qadim adalah bahwa Ia senantiasa qadim.

 

Ia berpendapat bahwa makna Allah hidup adalah Allah kuasa, tetapi makna Allah tahu bukanlah kuasa. Ia tidak berpendapat bahwa makna Allah mendengar dan melihat adalah Allah tahu akan apa-apa yang didengar dan dilihat. Pendapat ini diutarakan puIa oleh kelompok Bagdadiyyun.

 

Ia berpendapat bahwa sifat-sifat Allah, seperti mengetahui (ya‘lam) , berkuasa (yagdir) , mendengar (yasma’) dan melihat (yabshur), sedangkan nama-nama-Nya adalah seperti Yang mengetahui (‘alim), Yang berkuasa (gadir), Yang mendengar (sami’), dan Yang melihat (bashir) . Ya pun berpendapat bahwa nama-nama Allah adalah nama yang menyebabkan umat sepakat menyalahkan orang yang meniadakannya. Setiap nama yang menyebabkan umat sepakat menyalahkan orang yang meniadakannya adalah nama-nama Allah. Contohnya, nama Allah Yang mengetahui. Umat ini sepakat untuk menyalahkan orang yang berpendapat bahwa Allah bukanlah Yang mengetahui. Demikian puIa nama Allah Yang Berkuasa, umat ini sepakat untuk menyalahkan orang yang berpendapat bahwa Allah bukanlah Yang berkuasa. Demikian juga nama-nama Allah yang lain. Setiap nama yang menyebabkan umat tidak sepakat menyalahkan orang yang meniadakannya bukanlah termasuk nama-nama Allah.

 

Untuk menyebut nama Allah Yang berfirman, ia tidak mengatakan mutakallimin, tetapi mukallim,

 

Ia tidak berpendapat bahwa Allah senantiasa Yang Kuasa untuk menciptakan, senantiasa Yang kuasa atas Jism dan makhluk, senantiasa Yang pemurah, senantiasa Yang berbuat baik, senantiasa Yang Adil, senantiasa Yang mengutamakan (sebagian hamba-Nya), senantiasa Yang memusuhi (sebagian hamba-Nya), senantiasa Yang berfirman, senantiasa Yang benar, senantiasa Yang berkehendak, senantiasa Yang rida, senantiasa Yang Murka, senantiasa Yang menguasai, dan senantiasa Yang menjauhi (sebagian hamba-Nya). Ia berpendapat bahwa namanama di atas merupakan nama-nama perbuatan Allah.

 

Ia pun berpendapat bahwa nama-nama Allah dapat dilihat dari beberapa sisi, di antaranya adalah nama-nama yang dipakai-Nya bukan karena perbuatan-Nya, juga bukan karena perbuatan selain-Nya, seperti Yang tahu, Yang kuasa, Yang hidup, Yang mendengar, Yang melihat, Yang qadim, dan Tuhan; Di antaranya adalah nama-nama yang dipakaiNva karena perbuatan-Nya, seperti Yang mencipta, Yang memberi rezcki, Yang memunculkan pertama kali, yang berbuat baik, dan yang memberi nikmati Di antara adalah nama-nama yang dipakai-Nya karena perbuatan selain-Nya, seperti Yang diketahui dan Yang, diundang. Ketika ditanya, bukanlah Anda mengatakan bahwa Allah tidak senantiasa Yang mencipta, Yang memberi rezcki, Yang memberi nikmat, dan Yang mengutamakan (sebagian hamba-Nya)? Ia menolaknya. Ia tidak berpendapat bahwa Allah senantiasa Yang mencipta, dan juga tidak berpendapat bahwa Allah senantiasa tidak mencipta. Nemun, ada informasi yang menyebutkan ia berpendapat bahwa Allah senantiasa Yang Maha Pengasih.

 

Ia tidak berargumentasi dengan yang ferlihat untuk menunjukkan yang gaib (tidak terlihat). Ia pun tidak berargumentasi dengan perbuatanperbuatan Allah untuk menunjukkan bahwa Allah tahu, hidup, dan kuasa. Ia menolak argumentasi berupa pohon dapat berjalan, serigaIa dapat berbicara, dan aksiden lainnya untuk menunjukkan kenabian Rasullah SAW. Ia mengatakan, “Saya tidak mengatakan bahwa hal itu sebagai bukti, tetapi tidak puIa mengatakan bahwa hal itu bukan bukti. Tidak boleh me nunjukkan keberadaan Allah dengan sesuatu yang aksiden.”

 

Ia tidak berpendapat bahwa Allah itu menyendiri (fard) dan menolak pendapat seperti itu. Ia berpendapat, sebagaimana telah diutarakan, bahwa tidak boleh menggambarkan Allah dengan sesuatu yang, aksidental.

 

Jika ditanya dari mana kebenaran diketahui, ia menjawab, “Dari kitab Allah, yma, kaum muslimin, dan argumentasi akal.” Jawabannya itu bertentangan dengan pendapatnya bahwa aksiden tidak dapat dijadikan sebagai argumentasi untuk menunjukkan kebenaran.

 

  1. An-Nasyi

 

Tidak menjadikan perbuatan-perbuatan Allah yang mengandung hikmah sebagai bukti bahwa pelakunya bersifat tahu dan bersifat kuasa, sebab terkadang perbuatan semacam itu muncul puIa dari manusia, padahal ia bukaniah yang tahu dan yang kuasa dalam artian sebenarnya.

 

Ia beranggapan bahwa Allah bersifat tahu, kuasa, mendengar, melihat, bijak, agung, mulia, dan dalam artian yang sebenarnya (hagigah). Sedangkan penamaan manusia dengan nama-di atas hanya dalam arti kiasan (majaz).

 

Ia berpendapat bahwa apabiIa satu nama dinisbatkan pada dua yang diberi nama (musamma), maka artinya ada empat kemungkinan:

 

  1. Karena adanya persamaan esensi (Dzat) di antara keduanya, musalnya keduanya dinamai substansi karena esensi keduanya sama,

 

  1. Karena adanya kandungan makna di antara keduanya, misalnya keduanya dinamati yang bergerak dan yang hitam karena di dalamnya ada unsur bergerak dan hitam;

 

  1. Karena adanya saling ketergantungan antara keduanya, misalnya keduanya dinamai yang terasa (mahsus) karena antara keduanya ada saling ketergantungan;

 

  1. Karena yang satu dalam artian sebenarnya, sedangkan yang kedua dalam arti kiasan. Misalnya, sandal sebagai nama benda dengan sandal sebagai nama orang.

 

Maka, pernyataan bahwa Allah adalah Yang tahu, Yang kuasa, dan Yang hidup; serta manusia pun yang tahu, yang kuasa, dan yang hidup bukan dalam arti bahwa esensi Allah dan manusia itu sama, juga bukan dalam artian persamaan makna, juga bukan dalam artian keduanya saling bergantung, tetapi dalam artian bahwa bagi Allah nama itu dalam artian sebenarnya, sedangkan bagi manusia hanyalah dalam artian kiasan.

 

Ia berpendapat bahwa pernyataan Allah bukanlah Dzat yang baru adalah adalah artian sebenarya, sedangkan bagi manusia adalah hanya dalam artian kiasan.

 

Ia tidak berpendapat bahwa manusia berbuat dalam artian sebenarnya. Ia pun tidak berpendapat bahwa Allah memunculkan kasab dan berbuatan manusia dan perbuatan manusia.

 

  1. Abu Al-Husain Muhammad bin Muslim

 

Yang dikenal dengan Ash-Shalihi berpendapat, sesungguhnya Allah senantiasa bersifat tahu terhadap segaIa sesuatu, Jism dan segenap makhluk yang sedang terjadi dan akan terjadi. Ia pun beranggapan bahwa tidaklah Allah itu tahu terhadap sesuatu, kecuali sesuatu itu memang ada wujudnya (maujud) , karena mustahil sesuatu yang tidak adawujudnya itu diketahui Allah. Bahkan, sesuatu itu tidaklah dikatakan sesuatu kalau tidak ada atau terjadi.

 

Ia menafikan pengetahuan, kekuasaan, dan sifat-sifat Allah yang lain. IIa berpendapat bahwa pernyataan bahwa Allah itu sesuatz, maknanya adalah tidak seperti sesuatu yang lain; pernyataan bahwa Allah bersifat kuasa maknanya tidak seperti yang berkuasa lainnya; Pernyataan bahwa Allah bersifat hidup, maknanya adalah tidak seperti yang hidup lainnya; pernyataan Allah bersifat tahu adalah tidak seperti yang tahu lainnya Pernyataan Allah bersifat tahu tidak seperti tahu lainnya, Demikian puIa nama dan sifat Dzat Allah yang lainnya. Ini sama saIa dengan perkataan orang aqil, halumma, dan ta‘al, yaitu kata-katanya berbeda, tetapi maknanya sama,

 

  1. Thn Najrani

 

Ia berpendapat, tidak ada sesuatu pun yang diketahui, keecuali sesuatu itu ada. Ketika ditanya tentang sesuatu yang ditakdirkan (ada), ia menjawab, “Saya tidak mengatakan sesuatu yang ditakdirldikuasakan (ada) dalam artian sebenarnya. Sebab, mustahil adanya kekuasaan pada yang ada.”

 

Ash-Shalihi berpendapat bahwa sifat kuasa Allah terhadap sesuatu adalah ketika sesuatu itu belum, sedang, dan setelah muncul. Ia menctapkan adanya magdur (yang ditakdirkan ada) dan maujud (yang diwujudkan) secara bersamaan ketika sesuatu itu muncul.

 

  1. Ibn Rawandi

 

Berpendapat, Allah bersifat tahu terhadap segaIa sesuatu sebelum kemunculannya. Dan sesuatu itu dikatakan sesuatu ketika ia ada. Adanya sesuatu yang diperiniahkan itu karena adanya periniah, dan adanya sesuatu yang dilarang itu karena adanya larangan. Demikian puIa sesuatu yang berhubungan dengan selain-Nya.

 

Ash-Shalihi menyalahkan orang yang berpendapat, tatkaIa Allah ditetapkan sebagai Dzat Yang Tahu, maka berarti ditiadakan kebodohan dari-Nya; tatkaIa Allah ditetapkan sebagai Dzat YAng kuasa, maka ditiadakan kelemahan dari-Nya.

 

Ash-Shaliht memperbolehkan Allah menakdirkan jenazah dapat bergerak. Karenanya, batallah menjadikan perbuatan-perbuatan Allah sebagai argumentasi bahwa Ia bersifat hidup. Batal pulalah menjadikan sifat hidup Allah sebagai argumentasi bahwa Ia bersifat kuasa.

 

Sampai kepadaku bahwa suatu ketika seseorang bertenya kepadanya, dari mana Anda tahu bahwa Allah bersifat hidup? Ash-Shalihi mrmberikan jawaban, tetapi tidak memberikan jawaban yang memuaskan. Ia pun ditanya, jika makna nama-nama Dzat Allah itu adalah bahwasanya Ia merupakan sesuatu yang berbeda dengan sesuatu yang Jain, maka bolehkah Allah menamai diri-Nya sendiri dengan Yang bodoh sebagai pengganti nama-Nya Yang tahu? Ia ternyata memperbolehkannya. Ia ditanya lagi, apakah boleh puIa Allah menamai diri-Nya dengan Yang lemah, Yang mati, manusia, himar, dan kuda, dalam artian bahwa nama-nama itu berbeda dengan yang lain? Ternyata ia pun memperbolehkannya. Kami berlindung kepada Atah dari tipu daya yang menyesatkan dan dan kekufuran setelah keimanan.

 

Ash-Shalihi pun pernah ditanya, jika Anda berpendapat bahwa Allah bersifat bicara dengan pembicaraan selain-Nya, apakah Ia pun diam dengan diam selain-Nya? Ia me enjawab, “itulah pendapatku.”’ Ternyata ia menyifati Allah dengan diam.

 

  1. Kelompok Bagdadiyyun

 

Berpendapat, sesungguhnya Allah senantiasa bersifat tahu, besar, kuasa, hidup, mendengar, melihat, qadim, Tuhan, mulia, agung, kaya, satu, esa, menyendiri, memimpin, memiliki, memelihara, memaksa, luhur, ada, pertama, baqa’, melihat, dan mendengar dengan sebab diri-Nya sendiri, bukan dengan sebab pengetahuan, kekuasaan, pendengaran, penglihatan, ketuhanan, keqadiman, kemuliaan, keagungan, kebesaran, kekayaan, pemaksaan, pemeliharaan, dan kebaqa’an. Demikian puIa sifat-sifat-Nya yang lain.

 

Mereka menafikan seluruh sifat-sifat Dzat Allah. Mereka pun berpendapat, Allah adalah sesuatu yang berbeda dengan sesuatu yang lain, dan bahwasanya Ia senantiasa bersifat tahu terhadap sesuatu, Jism dan aksiden sebelum kemunculannya, dan bahwasanya Jism itu adalah Jism sekalipun ia belum muncul.

 

  1. Sebagian kalangan Mutakallimin bahkan ada yang ekstrem dengan mengatakan bahwa seseorang sudah disifati mukmin atau kafir sebelum kemunculannya. Dan bahwa seseorang sudah disifati dilaknat atau diben pahaIa atau disiksa sebelum kemunculannya. Bahkan sebagian mereka mengatakan bahwa makhluk itu dinamai makhluk sebelum kemunculannya. Ini merupakan kebodohan yang sangat aneh.

 

  1. Sebagian dari kalangan Mutakallimin berpendapat, sesuatu yang diketahui atau ditentukan dapat diketahui dan ditentukan Allah sebelum kemunculannya. Demikian puIa setiap sesuatu yang berhubungan dengan selain-Nya, seperti apa-apa yang dilarang dan yang diperiniahkan. Dan bahwasanya sesuatu dinamai sesuatu kalau ia ada. Begitu pula, sesuatu disebut Jism kalau ia ada.

 

  1. Di antara Mutakallimin dari kalangan penduduk Bagdad (Bagdadiyyun) ada yang berpendapat, sesuatu diketahui Allah sebelum kemunculannya, dan bahwa sesuatu itu dinamai sesuatu sebelum kemunculannya. Namun, ketentuan itu, menurutnya tidak berlaku bagi Jism, substansi (Jauhar) dan aksiden (A’radh).

 

  1. Sebagian Mutakallimin dari kalangan penduduk Basrah, yaitu Asy, Syahham dan sekelompok Mutakallimin dari kalangan penduduk Basrah berpendapat, tidak mustahi menyifati sesuatu ketika kemunculannya, tetapi mustahil menyifatinva sebelum kemunculannya, seperti sifat ber. gerak, mukmin, atau kafir. Adapun Jism yang dibentuk dapat diberi sifat ketika kemunculannya, Atas pendapatnya di atlas, mereka sama saIa dengan mengatakan bahwa sesuatu itu ada sebelum kemunculannya, Namun, ternyata mereka menolak kesimpulan itu.

 

Mereka menolak pendapat bahwa Allah senantiasa bersifat berkehendak, berfirman, rida, murka, menguasai, pemurah, byaksana, adil, berbuat baik, jujur, mencipta, dan memberi rezeki. Mereka beranggapan bahwa yang disebutkan di atas merupakan sifat-sifat perbuatan Tuhan. Mereka pun beranggapan bahwa sifat-sifat Allah terbagi ke dalam tiga kelompok:

 

  1. Sifat-sifat yang merupakan esensi Tuhan (sifat Dzatiyyah), seperti sifat tahu, kuasa, mendengar, dan melihat.
  2. Sifat-sifat yang merupakan perbuatan-perbuatan Tuhan (sifar fi liyyah), seperti sifat menciptakan, memberi rezeki, berbuat baik, memberi nikmat, adil, pemurah, byaksana, berfirman, jujur, memeriniah, melarang, memuji, mencela, menghidupkan, mematikan, memberi penyakit, menyembuhkan, dan lainnya.
  3. Sifat yang terkadang merupakan sifat Dzatiyyah, tetapi terkadang puIa merupakan sifat fi ‘liyyah, seperti sifat bijaksana (Al-Hakim), jika diartikan Yang tahu, maka merupakan sifat Dzatiyyah, tetapi jika diartikan bahwa dari perbuatan-Nya lalu muncul kikmah. .hikmah tertentu, maka masuk ke dalam sifat fi’liyyah, Contoh lain adalah sifat Ash-Shamad, jika diartikan penguasa (sayyid), maka merupakan sifat Dzatiyyah, tetapi jika diartikan mashmud (yang dijadikan sandaran),maka masuk ke dalam sifat fi‘liyyah.

 

Maksud Allah bersifat tahu dalam pandangan mereka adalah bahwa Ia dapat menangkap segaIa sesuatu.dan tidak ada yang samar sedikit pun bagi-Nya, Dan maksud Allah bersifat kuasa adalah bahwa Ia memungkinkan untuk melakukan perbuatan.

 

Sebagian besar mereka beranggapan bahwa maksud Allah bersifat hidup adalah bahwa Ia bersifat kuasa. Maksud Allah bersifat mendengar adalah bahwa tidak ada suara dan pembicaraan apapun yang tidak diketahui-Nya; Maksud Allah bersifat melihat adalah bahwa tidak ada objek penglihatan apa pun yang tidak dapat dilihat-Nya. Dan maksud Allah bersifat melihat (ra ‘in). adalah bahwa Ia bersifat tahu.

 

  1. Al Iskafi Berpendapat, sesungsyubnya Allah seenantiasa bersifat mendengar dan meclihat dengan pendengaran dan penglihatan. Dan bahwasanya Ia senantiasa bersifat tahu.

 

Para Mutakallimin dari kalangan penduduk Baghdad berbeda pendapat tentang penyataan, “Allah bersifat mulia”’, apakah termasuk sifat Dzatiyyah atau Fi‘liyyalh?

 

  1. Isa Ash-Shufi berpendapat, Al-Karim merupakan sifat Fi‘liyyah. Yang dimaksud dengan Al-Karim, me nurutnya adalah bersifat pemurah.

 

Ketika ditanya apakah yang qadim senantiasa tidak bersifat mulial pemurah? Ash-Shufi menjawab, “Saya tidak mengatakan demikian. Sebagaimana puIa jika mengatakan bahwa sifat Allah “berbuat baik” dan “adil”? merupakan sifat Fi‘liyyah, maka maksudnya bukan berarti saya mengatakan bahwa Allah senantiasa tidak bersifat berbuat baik dan adil. Sebab, perkataan seperti ini tentu saIa tereela. Juga, seandainya sifat Allah “pemurahlmulia” merupakan sifat Fi ‘liyyah, ini bukan bearti bahwa Allah senantiasa tidak pemurahlmulia.

 

  1. Al-Iskafi berpendapat, sifat Allah “Yang MulialPemurah” memberikan dua kemungkinan penamaan, Pertama, merupakan sifat fi’liyyeah biIa Al-Karam bermakna kemurahan. Kedua, merupakan sifat Dzatiyyah biIa yang dimaksud adalah yang Juhur atas segaIa sesuatu. Argumentasinya ungkapan ardh karimah. Maksudnya adalah bahwa bumi itu me nempati posisi teratas di antara bumi-bumi yang lain. Contoh lainnya adalah ungkapan fars raft’ karim (kuda yang tinggi).

 

  1. Al-Juba’i berpendapat, Al-Karim dalam arti yang mulia merupakan sifat Dzatiyyah Allah, sedangkan dalam arti Yang pemurah merupakan sifat Fi‘liyyah-nya.

 

Ketika ditanya, Jika Anda me ngatakan bahwa berbuat baik-Nya Allah merupakan perbuatan-Nya, maka katakanlah bahwa Allah senantiasa tidak berbuat baik, Al-Juba’i menjawab, “Saya akan tenulis mengatakan bahwa Allah tidak berbuat baik dan tidak puIa berbuat jelek sampai hilang kesalahpahaman tentang persealan ini. Saya pun mengatakan bahwa Allah senantiasa. tidak bersifat adil, senantiasa tidak bersifat lalim, senantiasa tidak bersifat jujur, senantiasa tidak bersifat dusta, senantiasa tidak bersifat murah hati, senantiasa tidak bersifat bodoh, senantiasa tidak bersifat mencipta, dan senantiasa tidak bersifat. memberi rezeki.”

 

  1. Sehirah tokoh Mu’tazilah kecuali, ‘Abbad bin Sulaiman berpendapat, sifat Allah pengasih dan penyayang merupakan sifat fi’liyyah. Sedangkan ‘Abbad berpendapat bahwa Allah senantiasa bersifat pengasih.

 

  1. Husein An-Najjar beranggapan bahwa pernyataan Allah senantiasa bersifat pemurah adalah menafikan kebakhilan dari-Nya, bukan menctapkan kemurahan bagi-Nya.

 

  1. Seluruh tokoh Mu‘tazilah berpandapat bahwa Yang pemurah hati, Yang pemurah, Yang mulia, Yang berbuat baik, Yang benar, Yang menciptakan, dan Yang memberi rezcki merupakan sifat fi’liyyah Allah.

 

Menurut tokoh Mutakallinin dari kalangan penduduk Baghdad, makna Allah bersifat maurah hati adalah bahwa Ia melarang dan membenci kebodohan.

 

  1. Kebanyakan tokoh Mutakallimin dari kalangan penduduk Bagdad memberikan ta’bir (penjelasan).terhadap sifat-sifat Allah. Me nurut mereka, makna tahu dan kuasa. bagi sifat Allah adalah tahu dan kuasa dengan ibarat (penjelasan) tertentu. Pendapat ini dikemukakan puIa oleh An-Nazhzham.

 

  1. Di antara tokoh Mutakallimin dari kalangan penduduk Bagdad, ada yang berpendapat, makna Allah memiliki pengetahuan dan kekuasaan adalah bahwa Ia bersifat tahu dan kuasa. Namun, mereka tidak berpendapat bahwa makna Allah: memiliki pendengaran adalah bahwa Ia bersifat mendengar. Alasannya, Allah me nyebut-nyebut pengetahuan dan kekuasaan sebagai sifat-Nya di dalam Al-Quran, sedangkan keperikehidupan dan pendengaran tidak pernah disebut-sebut-Nya.

 

  1. Di antara tokoh Mutokallimin kalangan penduduk Bagdad ada yang berpendapat bahwa makna “pengetahuan bagi Allah adalah yang diketahui,” secbagaimana firman-Nya:

 

Artinya:

“.. Sedang mereka tidak mengzetahui sesuatu pun dari (kandungan) ilmu Allah, melainkan apa yag Allah kehendaki (memberitahu kepadanya).” (QS. Al-Baqarah-(2) : 255)

 

Ilmu (pengetahuan) yang dimaksiud pada ayat di atas adalah yang diketahui. Demikian pula, maksud “kekuwasaan’’ yang dimiliki Allah adalah “yang dikuasai-Nya”’ sebagaimana ungkapan yang cdikeimukakan oleh orang-orang Islam ketika melihat hujan turan: hadzihi qadratullah (Inilah yang telah dikuasai (ditakdirkan) Allah).

 

Sifat Dzatiyyah dan Sifat Fi’liyyan

 

Kelompok Mu‘tazilah membecdakan antara sifat JIzativyah dengan sifat fi’liyyah. Sifat Dzatiyyah adalah sifat-sifat di mana Allah tidak boleh disifati dengan kebalikannya dan tidak berkuasa meclakukan keebalikannya. Contohnya adalah sifat Yang mengetahui. Allah tidak dapat disifati dengan yang bocdloh dan tidak kuasa untulk melakukannya. Sedangkan sifat fi’liyyah adalah sifat-sifat di mana Allah boleh sifat dengan kebalikannya dan berkuasa untuk me lakukannya. Contohnya adalah kehendak. Allah, dapat puIa disifati dengan yang tidak berkehendak dan berkuasa puIa untuk me lakukan ketidakberkehendakan-Nya. Contoh lain adalah cinia. Allah dapat puIa disifati dengan lawannya, yaitu benci, dan berkuasa untuk melakukannnya. Demikian puIa rida-murka, memeriniah-melarang, dan jujur-dusta. Boleh saIa Allah disifati dengan dusta walaupun Ia tidak disifati dengannya.

 

Setiap sifat yang menunjukkan perbuatan Allah, seperti yang mengutamakan, Yang memberi nikmat, Yang berbuat batk, Yang menciptakan, Yang memberi rezcki, Yang adil, Yang pemurah, dan Yang serupa, maka termasuk sifat fi’liyyah Allah. Setiap sifat Allah yang menunjukkan perbuatan selain-Nya bukanlah termasuk sifat Dzativvas. Contohnya adalah yang disembah dan yang diminiai doa. Dan setiap sifat yang boleh saIa Allah menyeenanginya bukanlah termasuk sifat Dzatiyyal.

 

Seluruh tokoh Mu‘tazilah, kecuali Basyr bin Al-Mu’tamar, berpendapat, sifat Allah Yang berkehendak menipakan sifat fi‘liyyah, sedangkan Basyr beranggapan bahwa Allah senantiasa berkehendak untuk ditaati, bukan dimaksiati.

 

Sekelompok Mu’trazilah dari kalangan penduduk Bagdad berpendapat, makna Allah Yang berkehcendak terkadang maksudnya adalah Allah menjadikan sesziat. Kehendak untuk mencntukan sesuceu adalah sesuatuw. Terkadang puIa maksudnya adalah memeriniahkan Sesuaiu, seperti (?) pernyataan bahwa Allah berkehcndak hari kiamat terjadi pada waktunya. Maksud pernyataan itu adalah bahwa Ia memeriniahkan dan memberitakan tentang hari kiamat. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibrahim An-Nazhzham.

 

Abu Hudzail berpendapat, kehendak Allah menjadikan seszecttue bukanlah sesuat: yang diadakan itu. Kehcndak tersebut ditemukan bukan pada dimensi tempat. Dan bahwa kehendak Allah untuk menjadikan (seseorang) beriman bukanlah keimanan itu sendiri, tetapi yang lainnya. Kehendak Allah diciptakan (?). Abu Hudzail tidak menganggap Kehcendak Allah sebagai periniah dan pemberitaan Allah.

 

Pendapat di atas diketnukakan oleh Muhammad bin Abd Al. Wahhab Al-Juba‘i. Hanya saja, Abu Hudzail beranggapan, maksud pernyataan bahwa Allah berkehendak untuk menjadikan sesuatu dan perkataan-Nya “Jadilah” adalah menciptakan sesuatu.

 

Al-Juba‘i berpendapat, kehendak Allah untuk menjadikan sesuatu, bukanlah sesuatu itu, tetapi yang lain bukan puIa yang telah cliciptakanNva. Dan tidak boleh Allah berbicara kepada sesuatiu “jadilah’’. Ia beranggapan bahwa perbuatan Allah menciptakan sesuatu adalah makhluk. Sedangkan Abu Hudzail tidak sependapat dengan dalam persealan ini.

 

Basyr Al-Mu‘tamar berpendapat, perbuatan Allah menciptakan sesuatu bukanlah sesuatu itu, tetapi yang lainnya. Ia menganggap bahwa kehendak itu diciptakan Allah. Ia menolak pendapat Abu Hudzail yang me nyatakan bahwa perbuatan Allah menciptakan sestae merupakan kehendak dan titah (firman) Allah.

 

Abu-Hudzail berpendapat, perbuatan Allah menciptakan sesuatu yang pada esensinya adalah kehendak dan titah (firman)-Nya tidaklah disebut makhluk, kecuali dalam pengertian kiasan semata. Allah menciptakan bagi sesuatu itu rangkaian, warna, dan panajang yang ketiganya merupakan makhluk dalam pengertian yang sebenarnya (haqiqah). .

 

Abu Musa Al-Mirdar berpendapat, perbuatan Allah menciptakan sestuat bukanlah sesutu itu sendiri, tetapi yang lainnya. Perbuatan Allah smenciptakan sesuaie itu sendiri merupakan makhluk.

 

Zurqan menccritakan bahwa Basyr bin Al-Mu‘tamar berpendapat, perbuatan Allah menciptakan sesuatu bukanlah sesuatu itu sendiri, tetapi yang lainnya. Perbuatan itu ada sebelum kemunculan sesuatu.

 

Muvammar berpendapat, perbuatan Allah menciptakan sesuatu bukanlah sesuafz itu sendiri, tetapi yang lainnya. Perbuatan itu ada sebelum kemunculan seszatie, Seetiap sesuatu yang diciptakan pasti memerlukan yang menciptakannya. Keduanya terus bersamaan. Ketentuan -semacam ini terus berlaku sampai waktu yany tidak ada batasnya.

 

Hisyam bin Al-Hakam berpendapat, perbuatan Alah menciptakan sesuate merupakan sifat-Nya, bukan sesuatu itu sendiri, bukan puIa yang lainnya.

 

Al-Fuwaitht berpendapat, perbuatan Allah memulai sesuatu yang boleh diulangi bukanlah sesuatu itu sendiri, tetapi yang lainnya Dan perbuatan Allah memulai sesuatu yang, tidak boleh diulangi merupakan sesuatu itu sendiri.

 

Abbad bin Sulaiman berpendapat, perbuatan Allah menciptakan sesuatu bukanlah sesuatu itu sendiri, tetapi yang lainnya, tetap: keduanya (datang) berbarengan. Kelirulah orang yang berpendapat bahwa perbuatan Allah menciptakan sesuatu bukanlah makhluk dan bukan puIa selain sesuatu itu sendiri. Menurutnya, menyatakan bahwa perbuatan itu sebagai makhluk (hanyalah) sekadar menginformasikan tentang sesuctu dan perbuatan menciptakan sesuatu itu. Jika Anda mengatakan bahwa perbuatan Allah menciptakan sesuatu bukanlah selain sesuatu itu sendiri, maka sama saIa Anda mengatakan bahwa perbuatan itu bukanlah Dzat Allah sendiri.

 

Tidak ada yang berpendapat bahwa perbuatan Allah menciptakan sesuatu merupakan kehendak dan titah (firman)-Nya, selain Abu Hudzail.

 

Abdullah bin Kullab berpendapat, Allah tidak akan menciptakan sesuatu sebelum berbicara kepadanya “jadilah”. Perbuatan Allah menciptakan sesuatu itu sendiri bukanlah titah (firman)-Nya.

 

Semua tokoh Mu’tazilah, selain Abu Musa Al-Mirdar, .berpendapat, tidak boleh dikatakan bahwa Allah berkehendak terhadap (adanya) kemaksiatan dari sisi mana pun melihatnya; Tidak boleh puIa mengatakan bahwa Ia meme riniahkan sesuatu yang tidak dikehendaki kemunculannya, atau melarang sesuatu yang dikehendaki kemunculannya. Allah terkadang berkehendak terhadap seswatu yang tidak ada (belum terjadi). Dan bahwasannya Ia berkuasa untuk menahan (kemunculan) suatu yang tidak dikehendaki-Nya dan kembali kepada sesuatu yang dikehendaki kemunculan-Nya.

 

Abu Hudzail, menurut penuturan Abu Musa, berpendapat, sesungguhnya Allah berkehendak terhadap (adanya) kemaksiatan, dalam arti Ia “memberi cobaan” kepada hamba-Nya berupa maksiat.

 

Seluruh tokoh Mu’tazilah selain Basyr dan Abbad berpendapat, sesungguhnya Allah senantiasa tidak berkehendak terhadap sesuatu yang Ia sendiri tahu bahwa ia akan muncul dan kebetulan dkehendaki-Nya. Sedangkan Abbad sendiri berpendapat, tidak: boleh dikatakan bahwa Allah senantiasa berkehendak, tidak boleh puIa dikatakan bahwa Allah senantiasa tidak berkehcndak. Penyifatan-Nya dengan Yang (tanpa senantiasa, pen.) berkehendak me rupakan salah satu sifat fi’liyyah-Nya.

 

Basyr bin Al-Mu’tamar dan tokoh lain yang sependapat dengannya berpendapat, kehendak Allah bukanlah Allah sendiri. Kehendak-Nya itu sendiri dapat dipilah ke dalam dua macam kehencak untuk menyifati perbuatan-Nya da kehendak untuk menyifati Dzat-nya. Kehendak macam kedua tidak berhubungan dengan maksiat hamba-Nya, tetapi boleh saIa berhubungan dengan selainnya.

 

Kelompok Al-Fadhalliyah, yaitu para pengikut Fadhl Ar-Rafasyi, berpendapat, tidak boleh dikatakan bahwa Allah berkendak atau tidak berkendak terhadap perbuatan-perbuatan hamba-Nya. Sebab, jika diperbolehkan, maka terhadap ketaatan hamba-Nya akan dikatakan bahwa Allah menghendakinya ketika perbuatan itu muncul. Sebaliknya terhadap kemaksiatan hamba-Nya, akan dikatakan bahwa Allah tidak mengendakinya.

 

Gailan memberikan ungkapan bahwa sesuatu tidak muncul walaupun Allah menghendakinya atau sesuatu muncul walaupun Ia tidak menhendakinya. Namun, ia me nolak mengatakan bahwa Allah berkehendak untuk ditaati makhluk-Nya sebelum mereka melakukannya atau menghendaki tidak dimaksiati sebelum mereka melakukannya. Setiap perbuatan Allah pasti akan memunculkan sesuatu biIa Ia me onghendakinya, dan sebaliknya. Ia membolehkan Allah melakukan berbagai hal walaupun tidak menghcendakinya.

 

Tokoh-tokoh Mu ‘tazilah telah berbeda pendapat dalam beberapa persealan di bawah ini. Ja’far bin Harb, di antaranya, berpendapat, boleh saIa mengatakan bahwa Allah menghendaki kekufuran sebagai lawan keimanan atau menghendaki kekufuran sebagai lawan keimanan; atau mengshendaki keburukan sebgai lawan kebaikan. Maknanya adalah bahwa Allah menetapkannya, sebagaimana Anda mengatakan bahwasanya IIa menjadikan kekufuran sebagai lawan keimanan dan menjadikan kekufuran sebagai sesuatu yang tereela.

 

Namun, tokoh Mu’tazilah lainnya menolak peridapat di atas. Mereka berpendapat, kami tidak mengatakan bahwa Allah menjadikan kekufuran sebagai lawan keimanan dengan jalan analogi (qiyas), tetapi dengan jalan mengikutkannya (i ’tfiba). Kamii tidak harus menganalogikannya. Pendapat yang mengatakan, “Allah menghendaki kekufuran sebagal sesucfu yang téreeIa dan berlawanan dengan keimanan” hanya terjadi pada kekufuran, (tidak terjadi pada keimanan). Sebab, tidak ada perlawanan dan ketereelaan pada. keimanan. Jika pembatasan itu tidak dilakukan, maka pengucapnya memastikan bahwa Allah menghendaki kekufuran dari mana saIa memandangnya.

 

Setiap tokoh Mu’tazilah, kecuali kelompok Al-ladhliyyah, berpendapat, sesungguhnya Allah terkadang menghendaki sesuatu yang tidak ada, atau sesuatu itu ada padahal tidak dikehendaki-Nya.

 

Mu’ammir berpendapat, kehendak Allah bukan Allah sendiri, bukan puIa makhluk-Nya, bukan puIa periniah-Nya, bukan puIa pemberitaan-Nya, dan bukan puIa keeputusan-Nya.

 

Husein An-Najjar berpendapat, sesungguhnya Allah senantiasa berkehendak teerhadap apa yang diketahuinya bakal ada (terjadi) dan apa yang diketahui-Nya bakal tidak acdlaa dengan sebab diri-Nya, bukan dengan sebab kehcndak-Nya. Maksud pernyataan di atas adalah bahwa Allah senatiasa tidak menolak dan tidak memaksa.

 

Sulaiman bin Jarir dan Abdullah bin Kullab berpendapat, sesungguhnya AlHah senantiasa berkehendak dengan sebab kehendak yang sustahil dikatakan sebagai Allah sendiri atau yang lainnya.

 

Dhirar bin “Amr berpendapat, kehendak Allah ada dua macam, yaitu kehendak yang becrarti apa yang dikehendaki (muradh)-Nya dan kehendak yang berarti periniah terhadap satu pekerjaan. Ia berpendapat bahwa esensi kehendak Allah melakukan pekerjaan menciptakan adalah pekerjaan menciptakan itu sendiri; esensi kehendak-Nya me lakukan pekerjaan menciptakan hamba adalah pekerjaan menciptakan hamba itu sendiri; esensi kehendak-Nya melakukan pekerjaan menciptakan perbuatan hamba adalah pekerjacan menciptakan perhuatan hamba. ini sefalan dengan anggapannyva hahwa perbuatan Allah menciptakan sesuatu adalah sesuatu itu sendiri.

 

Basyr Al-Murisi, Hafsh Al-Fard, dan tokoh Mutakallim yang sealiran dengan merecka berpendapat, kehendak Allah ada dua macam, kehendak yang merupakan sifat Dzatiyyah Allah dan kehendak yang merupakan sifat fi’liyyah bahwa ia bukanlah Allah sendiri. Yang dimaksud kehendak jenis kedua adalah periniah-Nya untuk melakukan ketaatan. Sedangkan kehendak jenis pertama terdapat puIa pada selainNya, yakni pada perbuatan-Nya dan perbuatan makhluk-Nya.

 

Hisyam bin Al-Hakam, Hisyam Al-Juwaliqi, dan tokoh-tokoh Mutakallimin dari kalangan Rafidah berpendapat, kehendak Allah adalah gerakan (harakah). Kehendak-Nya itu bukanlah Allah sendiri bukan puIa selain-Nya. Ia merupakan sifat Allah. Mereka beranggapan bahwa apabiIa berkehbendak, Allah bergerak. Maka, terjadilah apa yang, dikehcndakiNya. Maha hihur Allah dari pendapat itu.

 

Kebanykan tokoh Rafidah menyifati Tuhannya dengan bada’ (perubahan. (Gambarannya), Allah menghendaki sesuatu lalu terjadi perubahan di dalam diri-nya (karena ada sesutu) yang sebalumnya tidak diketahui-Nya). Maka, ia pun lalu menghendaki sebatiknya. Ia bergerak untuk menciptakan sesuatu, kKomudian bergerak dengan gerakan yang bertolak belakang dengan yang pertama.

 

Abu Malik Al-Hadhrami dan Ali bin Maitsam berpendapat, kehendak Allah bukanlah Allah sendin, Ia adalah gerakan Allah. Maha luhur Allah dan apa yang mereka katakan.

 

Kalangan Mutakallim Mu‘tazilah berbeda pendapat tentang pernyataan bahwa Allah bersifat bicara:

 

  1. Abbad bin Sulaiman berpendapat, untuk menyebut nama Allah yang bersifat berbicara, tidak digunakan kata mutakallim, tetapi mukallim. Pendapatnya itu bertentangan dengan kesepakatan kaum muslimin. Ia beranggapan bahwa mengatakan Allah berbicara dengan menggunakan kata mutakallim (mengikuti poIa mutafa‘i), sama saIa dengan mengatakan bahwa Allah tidak memberi keutamaan (mutafaddil, sama-sama menggunakan poIa mutafa ‘il, penj.) dan tidak bersifat berdiri dengan sendiri-Nya (gayyum), karena gayyum menggunakan poIa faz ‘ulun.

 

  1. Kebanyakan tokoh Mu‘tazilah berpendapat, sesungguhnya kalam Allah merupakan perbuatan-Nya. Allah memiliki kalam yang diperbuat-Nya. Dan mustahil Allah senantiasa bersifat bicara. .

 

3, Sebagian tokoh Mutakallimin Mu’tazilah berpendapat, sesungguhnya Allah tidak menciptakan kalam, kecuali atas dasar makna bahwa Ia menciptakan sesuatu yang telah diwajibkan-Nya. Pada hakikatnya, Allah tidak berdialog dengan siapa pun. Ia tidak membuat kalam. Dan bahwasanya kalam itu adalah Jism. Inii pendapat mereka adalah bahwa Allah pada hakikatnya tidak memiliki kalam, dan pada hakikatnya Allah bukanlah yang berbicara (mutakallim), bukan puIa “yang mengajak berdialog” (mukallim). Pendapat ini dikemukakan oleh Mu’ammar dan Ashab Ath-Thaba’:

 

4, Sebagian kecil tokoh Mu’tazilah berpendapat, sesungguhnya Allah senantiasa bersifat berbicara (mutakallim) dalam arti senantiasa menakdirkan kalam. Kalam Allah sendiri bersifat baru (muhdats). Sebagian mereka berpendapat bahwa kalam Allah adalah makhluk, sedangkan yang lainnya menolaknya (bukan makhluk).

 

  1. Ibn Kullab berpendapat, sesungguhnya Allah senantiasa bersifat berbicara. Kalam Allah termasuk sifat Dzatiyyah sebagaimana pengetahuan dan kekuasaan Allah. Kami akan menuturkan perbedaan pendapat di kalangan Mutakallim seputar Al-Quran setelah pembahsan ini berakhir.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang makna Allah bersifat qadim:

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat, makna Allah bersifat qadim adalah Ia senantiasa ada tanpa awal dan tanpa akhir dan yang mendahului seluruh makhluk Pendapat ini dikemukakam oleh Al-Juba‘i.

 

2 Abba bin Sulaiman berpendapat, makna Allah bersifat qadim adalah senantiasa qadim adalah makna senantiasa qadim adalah qadim.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, makna Allah bersifat qadim adalah Tuhan.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, makna Allah bersifat qadim adalah menetapkan ke-qadim-an Allah; makna Allah bersifat mengetahui adalah menetapkan pengetahuan Allah. Begitu puIa sifatsifat Allah yang lain.

 

  1. Dituturkan bahwa sebagian filosef berpendapat bahwa Allah tidaklah bersifat qadim.

 

  1. Dituturkan bahwa Mu’ammar berpendapat bahwa Allah tidak bersifat qadim, kecuali ketika mewujudkan makhluk (muhdats).

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang apakah Allah boleh dinamai sesuatu atau tidak:

 

  1. Jahm bin Shafwan berpendapat, sesungguhnya Allah tidak dapat dikatakan sesuatu, karena sesuatu itu menurut pandangannya adalah makhluk yang memiliki kesamaan dengan yang lainnya.

 

  1. Kebanyakan ahli shalat berpendapat, Allah itu adalah sesuatu.

 

Golongan yang mengatakan bahwa Allah itu adalah sesuatu juga berbeda pendapat tentang ini:

 

  1. Golongan Musyeabbihah berpendapat, makna Allah itu sesuatu, yaitu Ia adalah Jism.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, makna Allah itu sesuatu adalah bahwa Ia ada. Pendapat ini dikemukakan oleh mereka yang berpendapat bahwa sesuatu itu mestilah berwujud.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, makna Allah itu sesutu ‘adalah menetapkan (keberadaan)-Nya. Pendapat ini dikemukakan oleh mereka yang berpendapat bahwa sesuatu itu sudah dinamakan sesuaru sebelum kemunculannya dan bahwa sesuatu itu ada (mutsbit) sebelum keberadaannya (wujud). Pendapat yang terakhir nampak kontradiktif karena tidak ada perbedaan antara ada (mutsbit) dengan keberadaay (wujud) Pendapat ini dikemukakan olah Abu Husem Al-khayyath,

 

4 Abbad bin Sulaiman berpendapat, makna Allah itu sesuatu adalah bahwa Ia adalah yang lain, Tidak ada sesuatu kecuali, yang lain, dan tidak ada yang lain kecualt sesuatu

 

5, Ash-Shalili berpedapat, makna Allah itu sesuatu adalah tidak seperti segaIa sesuatu. Makuna Allah bersifat tahu adalah tidak seperti makhluk-Nya yang tahu, demikian puIa sifat kuasa Allah. Tidak ada yang memunculkan pendapat seperti ini selainnya.

 

  1. Al-Juba’i berpendapat, makna sesuatu dalam me lambangkan segaIa yang diketahui dan yang memungkinkan dituturkan dan diinformasikan dari Allah. TatkaIa Allah merupakan Dzat yang diketahut dan dimungkinkan untuk dituturkan dan dunformasikan dari-Nya, maka wajiblah bahwa Ia adalah sesuatu.

 

Makna Allah Bukanlah Sesuatu

 

  1. Al-Juba’i berpendapat, sesungguhnya Allah bukanlah sesacte yang Ia sendiri tahu bahwa sesuatu itu bakal terjadi atau bakal tidak terjadi. Ia mengetahui apa-apa selain-Nya sebelum kemunculannya. Dan bahwa dua hal yang selain-Nya merupakan dua hal yang lain ite sendirt. Makna “Allah itu bukan sesuatu” adalah membedakan antara Allah dengan selain-Nya (semua yang diketahui), Ia bukanlah bagian sesuaiz itu, dan sesuatu itu bukan puIa merupakan bagian-Nya.

 

  1. Abbad bin Sulaiman berpendapat. keberadaan Allah hanya dapat dikatakan “sebelum ’, tidak boleh dikatakan “‘sebelum segaIa sesuatu’’. Tidak boleh (?) puIa dikatakan bahwa Ia “awal segale sesuatu”, atau sesuatu itu “ada setelah-Nya” , Tidak boleh dikatakan puIa bahwa “Allah itu menyencdiri.

 

  1. Ash-Shalihi berpendapat, sesungguhnya Allah senantiasa ada sebelum sesuatu (lam yazal qablu al-asyya’) Qablu-nya dtharakati dhammah. Bukan lam yazal qabIa Al-asyva, Qabla-nya di-nasakhkan dengan dikarakati fathah. Alasannya, biIa gabla-nya diharakati fathah, berarti menunjukkan zharaf (mengandung pengertian dimensi waktu).

 

4, Di antara Mutakallimin, ada yang tidak berpendapat bahwa Allah bukanlah sesuatu sebelum sesuatu itu ada. Sebab, pendapat ini akan mengonsekuensikan baIa sesuatu itu bukanlah Allah sebelum sesuatu itu ada. Dan ini wustahil bagi-Nya. Orang yang berpendapat semacam ini beranggapan bahwa yang lain bukanlah yang lain itu sendiri, kecuali biIa ada sesuatu yang lain.

 

  1. Al-Juba’i tidak membenarkan seorang mengatakan, “Allah senantiasa” (lam yazalIa yazdl al-bari) tanpa disambung dengan kata lain, contoh Allah senantiasa bersifat tahu. Sebab, apabiIa perkataan itu disambung dengan kata lain, maka perkataan itu merupakan berita bagi-Nya, dan hal itu diperbolehkan.

 

  1. Al-Juba‘i berpendapat. ungkapan “Allah ada” terkadang mempunyai makna “Ia adalah yang diketahui”, Makna “Allah senantiasa mewujudkan sesuatu” adalah “Ia senantiasa bersifat tahu” Makna “segaIa sesuatu yang diketahui senantiasa diwujudkan Allah” adalah “Ia senantiasa mengetahuinya” Terkadang puIa ungkapan “Allah ada” mempunyai makna “ Ia senantiasa diketahui dan senantiasa ada” (lam yazal ma‘luman, Ia yazal ka‘inan).

 

  1. Hisyam bin Al-Hakam berpendapat, makna “Allah aca” adalah “Ia merupakan Jism” karena Ia-lah yang mengadakan segaIa sesuatu.

 

  1. Abbad bin Sulaiman menolak ungkapan “Allah adalah yang ada” (ka ‘in).

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, makna “Allah ada” adalah “Ia merupakan sesuatu”’.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, makna “Allah ada” adalah “Ia merupakan Dzat yang diberi batasan (mahdud)” . Pendapat ini dikemukakan oleh kelompok Musyabbihah.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, makna “Allah ada dengan sebab diri-Nya sendiri” adalah “Ia berdiri dengan cliri-Nya sendiri.”

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, makna “Allah senantiasa mewujudkan substansi (‘ayn)” adalah “Ia senantiasa menetapkan substansi”. Pendapat ini bertujuan menctapkan keberadaan Allah

 

  1. Abbad bin Sulaiman berpendapat, makna “Allah ada” adalah “menetapkan nama Allah”. Abbad menolak mengatakan “Allah senantiasa berdiri dengan diri-Nya sendiri”, Ia adalah substansi (‘ayn)”, “Ia adalah Diri”, “Ia mempunyai tangan,dan bahwa wajahnya itu adalah Allah sendiri”, dan “Ia mempunyai dua tangan, dua mata, dan sisi”. Abbad pun menolak mengatakan “hasbunallah wa ni’malwakil” kecuali ketika membaca Al-Quran. Ia melakukan penakwilan terhadap firman Allah:

 

Artinya: “Engkau telah mengetahui apa yang ada pada diriku. secdang aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri-Mu. ” (QS. Al-Ma‘idah (5): 16) 

 

“Engkau mengetahui apa yang aku ketahui, sedangkan aku tidak mengetahui apa yang Engkau ketahnmui”’. Abbad pun tidak mengatakan “Allah adalah yang menanggung (kafil).”’.

 

  1. Tokoh Mu ‘tazilah selain Abbad berpendapat, sesungguhnya wajah dan diri Allah itu adalah Allah sendiri. Allah adalah yang lain, tetapi tidak sama dengan yang lain. Ia memiliki beberapa tangan dalam arti nikmat. Ungkapan “Allah memiliki beberapa.mata dan bahwa segaIa sesuatu berada dalam penglihatannya” adalah “Ia mengetahui segaIa sesuatu yang juga berada dalam pengetahuan-Nya. Mereka menakwilkan ungkapan “segaIa sesuatu berada dalam genggaman Allah” dengan “kekuasaan-Nya’’. Mereka pun menakwilkan firman Allah:

 

Artinya:  “Niseaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya.” (QS. Al-Haqqah (69) : 45)

 

Yang dimaksud tangan kanan pada ayat di atas menurut mereka, adalah kekuasaan Allah. .

 

  1. Sulaiman bin Jarir berpendapat, wajah Allah adalah Allah sendiri.

 

4, Abdullah bin Kullab berpendapat, wajah Allah adalah bukan Allah sendiri, bukan puIa selain-Nya. wajah Allah merupakan sifat-Nya. Demikian puIa kedua tangan dan matanya.

 

  1. Al-Juba’i berpendapat, Allah senantiasa bersifat tahu dan kuasa terhadap segaIa sesuatu sebelum mewujudkannya oleh diri-Nya sendiri, Kelitulah biIa mengatakan sesuatu sebelum kemunculannya, sebab keberadaan sesuatu adalah sesuatu itu sendin, Ia menolak mengatakan sesuatu sebelum kemunculannya, sekalipun sudah dapat diketahui sebelum kemunculannya. Sesuatu sudah diberi nama sebelum kemunculannya. Demikian pula, substansi dan warna sudah dinamat substansi dan warna sebelum kemunculannya. Namun, ia menolak menamas bentuklrupa (hay’ah). Jism, dan perbuatan dengan bentuklrupa. Jism, dan perbuatan sebelum kemunculannya.

 

Al-Juba‘i beranggapan bahwa penyebutan sesuam hanya untuk menunjukkan segaIa hal yang diketahui. TatkaIa sesuatu itu diketahui sebelum kemunculannya, maka ia dinamai sesuatu. SegaIa sesuatu yang dinamai dengan sebuah nama yang menunjukkan esensi dirinya, wayib dinamai sebelum kemunculannya, seperti substansi, hitam, putih, dan yang menyerupainya. SegaIa sesuatu yang dinamai dengan sebuah nama yang tidak menunjukkan esensi dirinya, telapi menunjukkan csensi di luar dirinya, maka boleh saIa dibert nama sebelum kemunculannya beserta ketidakadaannya, seperti penamaan sesuvatu dengan “yang diminiai doa (mad ‘uwwun)” dan “yang dikabarkan (mukhbar)” ketika ada perbuatan di luar dirinya yang meminia doa dan mengabarkannya. Demikian pula, sesuatu boleh dinamai fana’ beserta ketidakadaannya. .

 

Al-Juba’i berpendapat, segaIa sesuatu yang dinamai karena adanya illat pada dirinya, tidak boleh diberi nama sesuatu kalau hal itu tidak ada atau belum muncul, seperti menamai sesuatu dengan “yang bergerak”, “yang hitam”, dan yang menyerupainya. SegaIa sesuatu yang dinamai karena ia merupakan objek perbuatan dan bersifat baru, seperti nama “yang diperbuat” dan “yang baru”, tidak boleh dinamai dengan nama itu sebelum kemunculannya. SegaIa sesuatu yang dinamai dengan nama yang membedakan dengan jenis lainnya, maka dinamai dengan nama itu sebelum kemunculannya. Setiap sesuatu yang dinamai dengan nama yang berfungsi untuk memberitakan atau menunjukkan keberadaannya, seperti nama “yang ada” dan “yang tetap”, maka boleh dinamai dengan nama itu sebelum kemunculannya. ilmu tidak dinamai ifm sebelum kemunculannya. Alasannya, ilmu ditetapkan sebagai ilmu jika ia dibutuhkan atau dibuktikan dengan argumentasi (dan keduanya tidak dapat diperoleh sebelum ilmu itu muncul), Juga, periniah tidak dinamai periniah sebelum kemunculannya. Alasannya, periniah dinamai periniah apabiIa pengucapnya memang memaksudkan sebagai periniah. Terkadang ada ungkapan yang mirip sebagai periniah, tetapi pengucapnya tidak memaksudkan sebagai periniah, (karenanya, periniah baru diamai periniah setelah ia muncul dengan cara memastikan apakah pengucapnva memaksudkannya sebagai periniah, penj.)

 

Al-Juba‘i berpendapat, sesungguhnya segaIa yang ada (menjudat) pada dasarnya tidak ada sebelum ada kemunculannya. fa tidak menolak pendapat bahwa Allah senantiasa bersifat tahu terhadap semua Jism dan makhluk bukan atas dasar Ia menamai keduanya dengan Jism dan makhluk sebelum kemunculannya, tetapi atas dasar bahwa Ia senantiasa bersifat tahu bahwa keduanya bakal menjadi jism dan mahkluk.

 

Al-Juba‘i tidak menctapkan pengetahuan bagi Allah walaupun pada hakikatnya Ia bersifat tahu. Ia juga tidak menctapkan kekuasaan bagi-Nya walaupun pada hakikatnya Allah bersifat tahu. Itu puIa jawaban yang diberikannya ketika ditanya tentang, sifat-sifat Allah.

 

Al-Juba‘i membedakan antara sifat Dzatiyyah dan sifat fi liyyah dengan gambaran sebagaimana telah kami uratkan sebelum pembahasan ini.

 

Al-Juba’i beranggapan, makna “Allah bersifat tahu” adalah menetapkan bahwa Allah bersifat tahu kecuali terhadap sesuatu yang tidak boleh diketahui dan menunjukkan bahwa Ia mengetahui apa saIa yang diketahui. Kelirulah orang yang mengatakan bahwa Ia bodoh: Makna “Allah bersifat kuasa” adalah menctapkan bahwa Allah bersifat kuasa kecuali terhadap sesuatu yang tidak boleh ditakdirkan (magdur) — dan menunjukkan bahwa Ia menguasai apa saIa yang ditakdirkan. Kelirulah orang yang mengatakan balwa ia bersifat lemah. Makna “Allah bersifat hidup” adalah menetapkan Keesaannya. Kelirulah orang yang mengatakan bahwa Ia mati. Makna Allah bersifat mendengar kecuali terhadap sesuatu yang tidak boleh didengar-Nya dan menunjukkan bahwa ia mendengar setiap objek pendengaran. Kelirulah orang yang mengatakan bahwa Ia tuli. Maka Allah bersifat melihat menctapkan bahwa Ia bersifat melihat kecuali terhadap sesuatu yang tidak boleh dilihat dan menunjukkannbahwa Ia melihat setiap objek penglihatan biIa Ia melihat-Nya. Kelirulah orang yang mengatakan bahwa Ia buta. Kami telah jelaskan pendapatnya tentang permasalahan bahwa Allah adalah sesautu yang ada dan qadim, tetapi berbeda dengan selain-Nya.

 

Al-Juba’i beranggapan, jika akal dapat membuktikan dan menerima bahwa Allah bersifat tahu, maka kita wajib menamai-Nya dengan Yang bersifat tahu walaupun Ia tidak menamai diri-Nya dengan nama itu. Demikian puIa nama-nama yang lain. Dan tidak boleh menamai Allah dengan julukan.

 

  1. Tokoh Mu’tazilah dari kalangan penduduk Baghdad berpendapat, kita tidak boleh menamai Allah dengan nama yang maknanya dibenarkan akal, kecuali biIa nama itu digunakan Allah sendiri sebagai nama-Nya.

 

Mereka berpendapat, makna “Allah alim” adalah “Ia bersifat tahu (arif, ‘aqil). Kami menamat-Nya dengan “alim” sebab Ia pun menamai diri-Nya dengan nama itu, karenanya kami tidak menamai-Nya “arif”’ atau “aqil”. Qadim dengan atig maknanya sama, tetapi kami menamainya dengan qadim dan bukan atiq, karena yang pertamalah yang digunakan Allah sebagai nama-Nya.

 

  1. Ash-Shalihi berpendapat, boleh saIa Allah me namai-Nya dengan yang bodoh, jenazah, manusia, himar, dan bahasa-bahasa lain. Boleh puIa nama-nama di atas dijadikan sebagai julukan-Nya. Namun, semua orang menolak pendapat seperti ini.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang boleh-tidaknya Allah membalikkan pengertian bahasa sehingga Ia me namai diri-Nya dengan yang bodoh sebagai pengganti nama Yang tahu.

 

  1. Sebagian Mutakallimin membolehkannya.,

 

  1. Abbad bin Sulaiman berpendapat, Allah tidak boleh membalikkan pengertian bahasa (nama-Nya). ‘Tidak boleh Allah me namai diri-Nya dengan selain nama-nama-Nya yang telah Ia tetapkan sendiri sebagai nama-Nya.

 

  1. Al-Juba’i berpendapat, makna “Allah alim” adalah Ya tahu (arif) dan mengetahui segaIa sesuatu. Al-Juba’i menamai Allah dengan alim, arif, dan dariyan, tetapi tidak menamai Allah dengan fahim, fagih, (aqil). muqim, mustabshir, dan mustabin. Alasannya, al-fahm dan al-figh adalah memperoleh pengetahuan setelah manusia tidak mengetahuinya sebelumnya, Demikian puIa ungkapan “ahsastu bi asy-syay’ wafthantu lah, wa sya‘artu bih” maknanya sama dengan kedua kata di atas. Yaqin adalah mengetahui sesuatu yang sehclumnya sempat diragukan. Aql maknanya adalah mengendalikan karena diambil dari ungkapan igal ba‘ir (kendali onta). Karenanya, ia menamai ilmu dengan akal dari pomaknaan seperti ini. TatkaIa Allah tidak boleh dikendalikan, maka tidak boleh menamai-Nya dengan aqil, Makna alim, dalam pandangannya, bukanlah aqil. Sedangkan istibshar dan fahqiq adalah mengetahui sesuatu yang sebelumnya sempat diragukan.

 

Al-Juba’i berpendapat, makna ‘Allah menemukan (yajid) sesuatu” adalah “Ia mengetahuinya”,

 

Al-Juba’i mengatakan, Allah senantiasa bersifat tahu (alim), kuasa (gadir), hidup (hayy), mendengar (sami’), dan melihat (bashir), tetapi ia tidak mengatakannya: lam yazal sami dan mubshir, tidak puIa mengatakan lam yazal yasina’, yubshir, dan yudrik, Sebab perkataaan yang terakhir ini mengonsekuensikan bahwa Allah sangat bergantung pada objck pendengaran, penglihatan, dan pengetahuan.

 

Al-Juba’i berpendapat, penyifatan Allah dengan sami’ (mendengar) (berbeda dengan sami, penj.) dan mubshir (mehihat) termasuk sifat Dzatiyyah walaupun tidak dikenal ungkapan “lam yazal sami mubshir”. Sebagaimana kita menyifati-Nya dengan “Ia bersifat tahu bahwa Zaid adalah makhluk” (lam yazal alim bi anna Zaid makhluq) yang merupakan sifat Dzativyah, walapun tidak diungkapkan “lam yazal alim bi annah yukhlaq”.

 

Al-Juba’i berpendapat, terkadang kami mengatakan bahwa makna “Allah mendengar” adalah mendengar dan mengabulkan doa, ia termasuk sifar fi‘liyyah.

 

Al-Juba’i berpendapat, sesungguhnya Allah senantiasa bersifat melihat (raiy) dalam arti Ia senantiasa bersifat tahu. Ia melihat diri-Nya sendiri dalam arti mengetahui-Nya.

 

Al-Juba’i berpendapat, sesungguhnya Allah bersifat tahu (alim). tetapi tidak dapat dikatakan Allah senantiasa ra iy dalam arti melihat. Bagi-Nya, kata ra’iy terkadang mempunyai makna “Yang tahu”, terkadang bermakna “yang melihat”. Demikian pula, kata bashir juga mempunyai makna “yang lahu”, seperti ungkapan fulan bashir bin shina‘atih (Fulan mengetahui hasil perbuatannya). Maka, makna “Allah senantiasa bersifat me lihat adalah Allah senantiasa bersifat tahu”. Makna “Allah senantiasa bersifat melihat” adalah “Allah senantiasa bersifat tahu” . Maka “Allah senantiasa melihat juga terkadang maknanya adalah “Ia melihat diri-Nya sendiri”. Kami menganggap keliru orang yang mengatakan bahwa Ia buta. Berdasarkan hal ini, kami berpendapat bahwa sesuatu menjadi objck penglihatan Allah biIa melihatnya. Makna inilah yang dimaksud dari ungkapan “Allah senantiasa melihat (mudrik)”.

 

Al-Juba’i berpendapat, sesungguhnya Allah senantiasa bersifat kuat, tahu, menguasai, memiliki, dan luhur (dalam arti disucikan). Sebagaimana firman Allah:

 

Artinya: “Mahasuci Allah dari apa yung mereka sekutukan.” (QS. At-Taubah (9) : 190)

 

Allah senantiasa pemilik, pemimpin, dan menjadi Tuhan dalam arti “senantiasa bersifat kuasa”, Namun, Al-Juba’i tidak mengatakan, Allah adalah yang luhur (rafi, ‘al) dan yang mulia (syarif) dalam arti yang sebenar-benar (haqiqah). Karena ketiga kata itu digunakan puIa untuk menunjukkan dimensi tempat.

 

Al-Juba’i berpendapat, makna “Allah bersifat agung, besar, dan mulia” adalah “Ia memimpin (sayyid) dan yang menentukan (segaIa hal)” Makna “Allah bersifat memaksa” adalah “Ia tidak dapat dipaksa, dihinakan, atau dikalahkan”. Makna ini lebih dekat daripada memaknainya dengan yang mulia. Sifat-sifat yang telah disebutkan di atas, menurutnya, termasuk sifat Dzatiyyahlsifat na siyyah.

 

Pendapat Al-Juba’i tentang makna “Allah bersifat mulialpemurah (karim)” sudah dijelaskan sebelum pembahasan ini. Makna “Allah Majid” adalah “Ia bersifat mulia”. Allah senantiasa kaya dengan diriNya sendiri. Mengenai sifat karim, maka termasuk sifat Dzatiyyah biIa yang dimaksud adalah “yang mulia”, dan termasuk sifat fi‘liyyah jika yang dimaksud adalah yang pemurah”. Hakim dalam pengertian “yang tahu” termasuk sifat Dzatiyyah, sedangkan dalam pengertian “hikmah yang terdapat dalam perbuatan-Nya” termasuk sifat fi ‘liyyah. Shamad dalam pengertian “penguasa”’ termasuk sifat Dzatiyyah sedangkan dalam pengertian “yang dijadikan sandaran” termasuk sifat fi‘liyyah. Terkadang puIa dalam pengertian “substansi yang tidak dapat dibagibagi lagi”. Makna “Allah Esa” adalah “tidak ada yang serupa denganNya” dan “Tidak ada yang menemani dalam keqadiman dan ketuhanannya” . Pendapat ini dikemukakan puIa oleh An-Najjar. Makna “Allah Tuhan” merupakan sifat fi ‘liyyah – adalah “tidak ada yang berhak disembah selain-Nya”’. Kata “Allah” berasal dari kata “al-ilah”’. Hamzah kedua dari kata al-ilah dibuang, lalu kedua lam-nya di-idhghamkan sehingga menjadi kata “Allah”. Namun, yang harus dikatakan adalah bahwa Ia Allah.

 

Al-Juba’i tidak mengatakan bahwa Allah adalah sebuah makna sebab pemaknaan hanya dapat diberikan dalam pembicaraan. Ia mengatakan bahwa Allah senantiasa bersifat kekal dalam arti sebenarnya (haqigah) dengan sebab diri-Nya sendiri, bukan dengan sebab kekekalan. Makna “Allah bersifat kekal” adalah “Ia ada bukan oleh sebab yang baru”. Allah tidak disifati “senantiasa abadi dan tidak fana” (lam yazal de’im Ia yafna), tetapi disifati “Ia yazalu da’im”. Sebab, yang terakhir

 

ini menunjukkan penyifatan-Nya untuk masa yang akan datang. Ia pun disifati “serantiasa bersifat abadi yang wujudnya tidak bermula”. Makna “Allah bersifat berdiri” termasuk sifat Dzatiyyah adalah “Ia bersifat abadi”’.

 

Al-Juba‘i menolak pendapat yang mengatakan bahwa makna “Allah bersifat qadim” adalah “Ia bersifat hidup dan kuasa’’, bahwa makna “Allah bersifat mendengar” adalah “Ia mengetahui suara dan pembicaraan”, dan bahwa makna “Allah bersifat tahu” adalah “Ia mengetahui setiap objek penglihatan”’.

 

Al-Juba’i berpendapat, Allah senantiasa qadim yang tidak berawal dan berakhir.

 

Al-Juba’i berpendapat, pemberian sifat adalah sifat itu sendiri; pemberian nama adalah nama itu sendiri. Inilah maksud perkataan kami bahwa Allah bersifat tahu dan kuasa. BiIa ditanya apakah pengetahuan dan kekuasaan itu me rupakan sifat, Ia menjawab, “Kami tidak menctapkan adanya pengetahuan Allah, karenanya tidak perlu berbicara apakah ia sifat atau bukan. Kami pun tidak menetapkan adanya pengetahuan Allah dalam arti sebenarnya (hagigah), karenanya tidak perlu berbicara apakah ta qadim atau baru; apakah pengetahuan itu Allah sendiri atau selain-Nya.” Ketika ditanya apakah qadim merupakan sifat, Al-Juba’i menjawab, “Kelirulah pendapat yang mengatakan bahwa qadim adalah sifat, ia adalah yang disifati, sedangkan sifatnya itu sendiri adalah perkataan kami “Allah” dan “qadim” (?).

 

Al-Juba’i berpendapat, sifat Allah Yang berkehendak, Yang menciniai, Yang lembut, Yang rida, Yang murka, Yang marah, Yang menguasai, Yang me musuhi, Yang sabar, Yang pengasih, Yang penyayang, Yang menciptakan, Yang memberi rezeki, Yang memunculkan, Yang membentuk, Yang menghidupkan, dan Yang mematikan termasuk ke dalam sifat fi’liyyah.

 

Al-Juba’i berpendapat, makna “Allah bersifat bicara” artinya melakukan pembicaraan.

 

Al-Juba’i berpendapat, makna kehendak Allah sama dengan makna kehendak kita, yakni keciniaan-Nya terhadap sesuatu. Demikian puIa Karahah-Nya, yaitu kebencian terhadap sesuatu. Makna rida-Nya sama puIa dengan makna rida kita. Kebencian-Nya adalah kemurkaanNya. Al-Juba’i membedakan antara kehendak dengan svahwat. Yang kedua tidak layak bagi Allah.

 

Al-Juba’i berpendaapt, makna “Allah bersifat murah hatilsabar (halim)” adalah “tidak segera menyiksa hamba-Nya yang maksiat, bahkan memberinya kenikmatan.” Jika Allah langsung menyiksa hambaNya yang maksiat, Ia tidak disifati dengan murah hatilsabar. Al-Juba‘i tidak menyifati Allah dengan sabar, tenang (waqqar), dan menccIa (zirayah), Al-Juba’i tidak berpendapat bahwa Allah adalah jiwa (jannan), karena kata itu diambil dari kata janin (embrio).

 

Al-Juba’i berpendapat, Allah adalah yang membuat hamil. Pada hakikatnya, tidak ada yang dapat membuat wanita hamil, kecuali Allah. Karenanya, pada hakikatnya, Ia adalah “yang melahirkan” manusia. Dan di dunia ini tidak ada “yang me lahirkan anak”, kecuali Allah.

 

Al-Juba’i berpendapat, sesungguhnya Allah senantisa bersifat kekal (Ia yazalu khalid). Al-Juba’i tidak mengatakan lam yazal khalid. Sifat itu masuk ke dalam sifat Dzatiyyah. Pada satu kesempatan ia berkata, “ApabiIa wujud Jism mendahului (kemunculan wujud yang lain), maka itulah yang disebut qadim dalam pengertian yang sebenarnya (haqiqah).” Ia lalu mengulang perkataannya itu.

 

Al-Jubba’i tidak me ngatakan bahwa manusia bersifat abadi dalam pengertian yang sebenar-benarnya (haqiqah). Sebab, yang dapat disifati abadi hanyalah yang tidak muncul dari tiada, sedangkan manusia muncul dari tiada.

 

Ketika ditanya Mengapa nama Allah banyak, mengapa puIa makna “Yang tahu” bukan makna “Yang kuasa”, Al-Juba’i menjawab, “Karena berbeda-bedanya objek yang diketahui dan yang ditentukan. Juga, di antara objek yang diketahui, ada ci antaranya di mana Allah Yang kuasa tidak dapat disifati kuasa terhadapnya. Demikian puIa sifat Allah “Yang mendengar” dan “Yang melihat’’, karena berbeda-bedanya objek yang didengar dan yang dilihat. Ia pun menjawab bahwa nama dan sifat itu berbeda seiring dengan perbedaan fungsi masing-masing. Jika aku katakan bahwa Allah bersifat tahu, itu artinya aku me mberi tahu Anda tentang pengetahuan-Nya, menunjukkan kepada Anda bahwa Ia mengetahui (segaIa objek yang diketahui) dan menunjukkan kekeliruan orang yang mengatakan bahwa Allah bodoh, dan menunjukkan bahwa pengetahuan-Nya berbeda dengan apa-apa yang tidak boleh diketahui (oleh-Nya). Demikian puIa sifat Allah Yang kuasa. Perbedaan sifat dan nama Allah dikarenakan perbedaan pengetahuan yang aku ajarkan kepada Anda ketika aku mengatakan Ia bersifat tahu, hidup, mendengar, dan melihat.

 

Al-Juba’i berpendapat, sifat Allah Subbuh dan Qudus termasuk sifat Dzatiyyah. Artinya, me nyucikan Allah dari apa-apa yang boleh ada pada lhamba-hamba-nya, seperti me nggauli wanita, metmilki teman dan anak, serta apa-apa yang tidak layak, bagi-Nya.

 

Al-Juba’i berpendapat, makna “Allah bersifat Esa” adalah ” Dialah yang Esa (satu-satunya)” Demikian puIa sifat-Nya Yang Perkasa (jabbar) dan Yang satu-satunya bersifat perkasa (mutajabbir), Yang besar (kabir) dan yang satu-rsatunya bersifat besar (imutakabbir). Ia beranggapan, Allah tidak boleh disifnti dengan di atas hamba-hambaNya” dalam pengertian yang sebenarnya (haqiqah). Jika kita menemukan sifat itu di dalam Al-Quran, maka hal itu dalam penygertian kiasan semata (majaz). Umpamanya, Allah berfirman:

 

Artinya: “Dan Dia-lah yang berknasa (makna aslinya adalah di atas) atas sekalian hamba-Nya.” (QS. Al-An’am (6) : 18)

 

Al-Juba’i berkata, terkadang puIa aku mengatakan bahwa pengetahuan dan kekuasaan Allah dai atas pengetahuan dan kekuasaan hamba-hambaNya. Yakni, Ia cbih mengetahui dan menguasai daripada hamba-hambaNya. Namun, perkataanku itu hanya semata-mata keluasan bahasa. Karena keluasan bahasa pula, aku terkadang menyifati Allah “Yang dekat dengan hamba-Nya”’, artinya Ia mengetahui perbuatan-perbuatan kita, “Yang mendengar perkataan hamba”, artinya Ia melihat perbuatan-perbuatan hamba. Juga, pernyataan bahwa hamba dekat dengan Allah melalui ketaatannya, yang merupakan pengertian kiasan.

 

Al-Juba’i berpendapat, Aliah tidak .disifati dengan yang kokoh (al-matin) karena hakikat makna kata itu adalah yang tebal (at-taskin). Kalau aku mengatakan Allah bersifat kokoh, itu semata-mata perluasan bahasa. Tujuannya adalah untuk menguatkan sifat kekuatan Allah.

 

Al-Juba’i berpendapat, Allah tidak disifati dengan “Yang sangat” (syahid) dalam pengertian “Yang kuat” dalam arti yang sebenarnya (hagiqah). Kita hanya dapat menyifati-Nya dengan sifat itu karena perluasan bahasa semata. Alasannya, kata syiddah dan jalid maknanya adalah keras (shalabah), sedangkan Allah tidak boleh disifati dengannya. Jika kita menemukanrya sebagai sifat Allah, maka hal itu dalam pengertian kiasan semata (majas).

 

Tidak boleh puIa Allah disifati ‘“Yang amat berat siksaan-Nya”’ (syadid cal-’igab) dan sifat fi’li syrah lain yang menyerupainya. Alasannya, “sifat keras perbuatan” tiada lain, kecuali perbuatan itu sendiri. Kareranya, firman Allah yang berbunyi:

 

Artinya: ‘Allah yang menciptakan mereka (dari tiada kepada ada) adalah lebih besar kekuatan-Nya daripada mereka.” (QS. Fushshilat (41) : 15)

 

harus diberi pengertian kiasan, yakni Allah lebih berkuasa daripada makhluk-Nya. Jika tidak diberi pengertian seperti itu, maka berarti kekuatan Allah memang sangat dahsyat dalam pengertian yang sebenamya (haqiqah). Padahal, kekuatan Allah dalam pengertian yang sebenarnya tidak dapat disifati dengan dahsyat.

 

Al-Juba’i berpendapat, makna “Allah menyaksikan segala” adalah “Ia me lihat dan mendengarnya”’. Ia pernah ditanya, “Apa maksud (Anda) bahwa makna penglihatan dan pendengaran adalah bahwa Ia menyaksikannya berdasarkan keluasan bahasa semata. Alasannya, biIa kita menyaksikan sesuatu, mestilah kita mendengar dan melihatnya. BiIa tidak mendengar dan melihatnya, tidaklah dapat dikatakan bahwa kita menyaksikannya.

 

Al-Juba’i menyifati Allah dengan “Yang melihat (suththali’) amal-amal hamba-Nya” atas dasar keluasan bahasa semata. Maknanya, Ta bersifat tahu terhadap hamba dan amal-amalnya.

 

Al-Juba’i berpendapat, makna “Allah bersifat kaya” adalah Ia tidak terpengaruh oleh manfaat dan madarat (yang muncul! dari makhluk-Nya) dan tidak boleh merasakan lezat, bahagia, sakit, dan pusing serta tidak membutuhkan selain-Nya.

 

Al-Juba’i berpendapat, pernyataan Allah sebagai cahaya langit dan bumi hanyalah karena keluasan bahasa. Maknanya, Ia memberi petunjuk kepada penghuni langit dan bumi, dan bahwasanya dengan petunjuk itulah, mereka memperoleh petunjuk sebagaimana halnya mereka memperoleh “petunjuk” dalam kegelapan dengan cahaya. Tidak boleh kita menamai Allah dengan cahaya dalam pengertian yang sebenamya (haqiqah). Alasannya Ia bukan sejenis cahaya. Kalau kita tetap menamai-Nya dengan cahaya, padahal Ia bukanlah sejenis cahaya, maka penamaan-Nya dengan cahaya hanyalah sebagai julukan. Lagi pula, Allah tidak berhak dinamai dengan nama yang kepantasannya sematamata ditetapkan oleh pengertian bahasa dan akal, sementara Ia sendiri tidak menggunakan nama itu sebagai nama-Nya. Kalau aturan itu dilanggar, maka boleh saIa Ia diberi nama Jism, yang baru atau manusia sekalipun. ApabiIa Allah tidak boleh dinamai dengan cara di atas, Allah pun tidak boleh dinamai dengan julukan.

 

Al-Juba’i An-Najjar berpendapat, makna “Allah adalah cahaya Jangit dan bumi” adalah Ia pemberi petunjuk kepada penghuni langit dan bumi.

 

Al-Juba’i berpendapat, makna “Allah bersifat selamat sejahtera (As-salam) sebagaimana disebutkan oleh Allah sendiri dalam Al-Quran suarat Al-Hasyr (23) 59 adalah Ia yang diselamatkan dengan keselamatan yang diperoleh dari diri-Nya sendiri, Demikian puIa peryataan “Ia yang berhak” adalah Ia yang berhak diibadahi.

 

Terkadang boleh puIa memaknai firman Allah:

 

(QS. An-Nur (24) : 25) dengan Yang kekal, Yang menghidupkan, Yang memastikan, dan Yang menyiksa, Makna bahwa sesembahan selain Allah batil adanya adalah sesembahan itu batil, sia-sia, dan tidak dapat mendatangkan pahaIa dan siksa kepada yang menyembahnya.

 

Al-Juba’i berpendapat, makna “Allah al-Mu’min” adalah fa yang mengamankan hamba-Nya dari kejahatan hamba-Nya yang lain. Makna “al-muhaimin” adalah Dia-lah yang mengamankan segaIa hal, dan bahwa ha’ yang berada pada kata al-muhaimin sebenarnya pengganti hamzah yang berada pada kata al-amin. Inilah makna firman Allah:

 

(QS. Al-Ma’idah (5) : 48), yakni ‘yang mengamankannya”.

 

Al-Juba’i menyifati Allah dengan jawwad (Yang pemurah), tetapi tidak mengatakan Asy-Syakhi (juga artinya Yang pemurah). Alasannya, kata Asy-Syakhi diambil dari ungkapan ‘Ardh sakhawiyyah”’ (tanah yang Iembek).

 

Al-Juba’i berpendapat, sifat Allah “Yang Mengalahkan” termasuk sifat Dzatiyyah, Maknanya, Ia bersifat memaksa dan menentukan. Sifat Allah “Yang menuntut” termasuk sifat fi’liyyah. Maknanya, Ia me nuntut hak orang yang teraniaya dari orang yang menganiayanya. Sifat “Allah yang menyayangi” termasuk sifat fi’liyyah. Maknanya, Ia yang memberi nikmat, melihat, dan berbuat baik.

 

Al-Juba’i berpendapat, makna “Allah bersifat lembut” terkadang bermakna Yang memberi nikmat, terkadang puIa bermakna Yang memelihara dan menciptakan.

 

Al-Juba’i tidak menyifati Tuhan dengan “yang haluslramah (rafiq)”. Alasannya, di antara makna ar-raflg adalah rekayasa yang mengandung unsur tipu daya sebagaimana terdapat pada frase “ar-rajiq fi al-umur”. Al-Juba’i berpendapat, makna “Allah bersifat bazhir terhadap hamba-Nya”’ adalah Ia yang memberi nikmat kepada mereka Kata nazhir tidak dipahami dengan melihat. Alasanya, me-nazhir terhadap sesuatu artinya tidaklah semata-mata melihat (dengan mata), tetapi disertai dengan pandangan yang tajam terhadap obyek penglihatan. Demikian pula, makna istima’ bukanlah hanya semata-mata mendengar dengan telinga, tetapi disertai dengan pendengaran yang tajam terhadap objek pendengaran. Namun, Allah tidak boleh disifati dengan istima’. Kata nazhr berarti berpikir untuk menentukan apakah sesautu itu benar atau salah. Namun, berpikir tidak boleh dinisbatkan kepada Allah. Makna “Allah pengampun (ghufran)” adalah Ia banyak memberi ampunan (ghafur) dan me nghapus siksaan atas dosa-dosa hamba-Nya. Ada alat perang namanya mighfar karena alat itu digunakan untuk menutupi kepaIa dan wajah tentara.

 

Al-Juba’i berpendapat, penyifatan Allah dengan “Yang banyak bersyukur (syakur)” adalah dalam kiasan (majaz). Alasannya, hakikat syakur adalah menyukuri nikmat yang dilakukan hamba (sebagai penerima nikmat) terhadap Allah (yang memberi nikmat). TatkaIa Allah membalas hamba-Nya yang taat, maka balasan-Nya itu dikatakan dengan pertimbangan perluasan bahasa sebagai ungkapan syukur Allah kepada hamba-Nya. Sebab, syukur pada dasarnya adalah pengakuan atas nikmat yang telah diberikan Allah. Pujian bagi Allah bukanlah syukur. Sebab pujian itu lawan celaan, sedangkan syukur itu lawan kufur.

 

Al-Juba’i berpendapat, makna “Allah hamid” adalah Ia yang dipuji atas nikmat-nikmat-Nya. TatkaIa Allah melakukan kebaikan, maka Allah tidak dapat dikatakan “Yang saleh (shalih)” sebab, makna Yang saleh sebenarnya adalah balas budi terhadap kebaikan yang telah diterima. Pendapat ini didukung puIa oleh Mutakallim yang lain.

 

Al-Juba’i tidak menami Allah dengan “Yang utama (al-fadhil)” atas keutamaan yang dilakukan-Nya. Alasannya, nama itu mengonsekuensikan Ia utama karena selain-Nya, sedangkan Ia tidak membutuhkan selain-Nya. Ia adalah dipandang utama dan terhormat karena diri-Nya sendiri. Pendapat ini dikemukakan oleh Mutakallim selain-Nya.

 

Al-Juba’i berpendapat, Allah disifati dengan “Yang baik (khair) alas kebaikan yang dilakukan-Nya. Alasannya orang yang banyak melakukan kejelekan pun di namai “yang jelek” (asy-syarir). Ia berpendapat bahwa sakit dan penyakit bukanlah sesuatu yang jelek dalam arti yang sebenarnya (haqiqah). Keduanya jelek dalam arti kiasan (majaz). Demikian puIa ncraka Jahannam. Ia berpendapat bahwa bentuk jamak kata asy-syarir (kejelekan) adalah asyrar. Ia pun berpendapat bahwa siksaan neraka Jahannam pada hakikatnya bukanlah sesuatu yang baik atau yang jelek. Sebab, yang dinamakan kebaikan adalah nikmat, sedangkan manusia tidak memperoleh kenikmatan darinya. Kejclekan adalah permainan dan kerusakan, sedangkan siksaan neraka Jahannam tidaklah mengandung kerusakan, rahmat, dan manfaat, tetapi mengandung makna keadilan dan hikmah.

 

Pendapat Al-Juba’i ini ditentang oleh Al-Iskafi dan Mictakallimin lainnya. Me nurutnya, siksaan neraka Jahannan itu pada hakikatnya baik, bermanfaat, serta mengandung kemaslahatan dan rahmat. Artinya seandainya hamba mengetahui tentang siksa ncraka Jahannam, ia akan menghindar kekufuran.

 

Sedangkan ahli itsbat berpendapat, siksaan neraka itu pada hakikatnya kerusakan, bencana, dan kejelekan. Sebaliknya, ia bukanlah kebaikan serta tidak mengandung kebaikan, kemaslahatan, manfaat, dan bahan perenungan.

 

Abbad bin Sulaiman. berpendapat, sesungguhnya Allah tidak dapat dikatakan telah berbuat kebaikan dari sisi mana saja. Ia tidak me ngatakan bahwa siksaan neraka Jahannam jelek atau baik dalam arti yang sebenamya atau dalam arti kiasan (majaz). Itu puIa pendapatnya tentang sakit dan wabah penyakit. Ia menolak pandangan Mu ’tazilah dengan mengatakan, “Jika kalian mengatakan bahwa Allah berbuat kejelekan dari sisi mana saja, maka mengapa kalian menolak mengatakan ANah “Yang berbuat kejelekan (syarir)?”

 

Para Mautakallimin berbeda pendapat tentang bolehkah Allah dikatakan memberikan memudaratan?

 

  1. Ahli itsbat berpendapat, pada hakikatnya, Allah memberikan manfaat kepada orang-orang mukmin dan memberikan kemudaratan kepada orang-orang kafir, baik di dunia atau di akhiratnya. Setiap perlakuan Allah terhadap orang-orang kafir me rupakan mudarat bagi mereka di dalam urusan agamanya. Allah melakukan hal itu karena mereka telah berbuat kekafiran. Mengenai permasalahan ini, pendapat Ali itsbat terbagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok yang berpendapat bahwa sesungguhnya Allah berbuat kebaikan kepada orang-orang kafr di dunia, seperti memberikan harta, kesehatan badan, dan lainnya kelompok lain menolak pendapat itu.

 

  1. Al-Juba’i berpendapat, sesungguhnya Allah tidak memberikan kemudaratan kepada siapapun dalam urusan agama, tetapi Ia memberikan kemudaratan kepada badan-badan orang kafir berupa siksaan neraka Jahannam dan siksaan lain yang mereka alami di sana.

 

  1. Kebanykan tokoh Mu’tazilah menolak pendapat di atas. Mereka berpendapat, pada hakikatnya, Allah tidak memberikan kemudaratan kepada siapapun. Sebagaimana Ia pun pada hakikatnya tidak boleh memperdayakan siapa pun.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang makna Allah “Yang mencipta”

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat, makna “Allah yang mencipta” adalah bahwa perbuatan mencipta muncul dari-Nya dengan sebab daya (gudrah) yang qadim. Tidak ada yang berbuat dengan sebab daya yang qadim, kecuali Pencipta. Makna kasab (acquisition, perolehan) adalah bahwa perbuatan itu muncul dengan sebab daya yang baru. Setiap “orang” yang berbuat dengan sebab daya yang qadim, maka “ia” pencipta. Setiap orang yang berbuat dengan sebab daya yang baru, maka ia hanya sekadar muktasib (acquirer, yang memperoleh). Inilah pendapat ahli kebenaran.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, makna “Allah yang mencipta” adalah bahwa Ia berbuat tanpa menggunakan alat dan anggota badan sehingga Ia dinamai Pencipta. Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Iskafi dan sekelompok tokoh Mu‘tazilah.

 

  1. Muhammad bin Abd. Al-Wahhab Al-Juba’i berpendapat, makna “Allah yang mencipta” adalah Ia telah berbuat berdasarkan ukuran-ukuran yang telah diatur-Nya. Demikian pula, manusia disebut pencipta (?) apabiIa ia memunculkan perbuatan-perbuatan yang telah ditakdirkan. Seluruh tokoh Mu’tazilah selainnya menolak pendapat ini.

 

  1. Abbad berpendapat, makna “Allah yang mencipta” adalah Ia yang memunculkan (bari’), makna makhluk adalah yang dimunculkan.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang bolehkah dikatakan bahwa manusia telah menciptakan perbuatannya sendiri?

 

  1. Seluruh tokoh Mu ’tazilah, kecuali An-Nasyi berpendapat, manusia pada hakikatnya adalah yang menciptakan perbuatannya sendiri, bukan dalam arti kiasan (majaz).

 

  1. An-Nasyi berpendapat, manusia pada hakikatnya tidaklah menciptakan perbuatannya sendiri. Ia pun tidak mengatakan bahwa Allah memunculkan kasab (acquisition, perolehan) manusia, Konsekucnsinya, manusialah yang menciptakan perbuatan itu, tetapi bukan dalam arti yang sebenarnya (hagigah).

 

  1. Kebanyakan tokoh Mutakallimin dari golongan AAli Itsbat berpendapat, sesungguhnya manusialah yang menciptakan perbuatan dalam arti yang sebenamya (hagigah). Artinya, ia adalah muktasib (acquirer, yang memperoleh perbuatan). Akan tetapi, mereka menolak mengatakan manusia sebagai muhdits (yang memunculkan perbuatan).

 

4, Ada informasi yang sampai kepadaku bahwa tokoh Mutakallimin pun mengatakan bahwa manusia mukhdits, tetapi dalam pengertian mukhtasib (acquirer, yang memperoleh perbuatan).

 

  1. Ketika ditanya apakah manusia yang menciptakan perbuatannya dalam arti yang sebenarnya, di antara mereka ada yang menjawab: Ada dua alternatif jawaban. BiIa yang kalian maksudkan dengan mencipta itu dalam arti yang sebenarnya (haqiqah), maka kalian keliru. Jika yang kalian maksudkan dengannya adalah muktasib (acquirer, yang memperoleh perbuatan), maka kalian benar. Ketika ditanya, Anda mengatakan bahwa manusialah yang menciptakan perbuatannya dalam arti ia sebagai muktasib? Ia menjawab, biIa yang ingin kalian katakan bahwa manusia sebagai muktasib, maka kalian benar. Ketika ditanya tentang arti kata mencipta (yaf’al), ia memberikan dua alternatif jawaban sebagaimana telah dikemukakan di atas. Pendapat ini berasal dari AlKausyani.

 

  1. Yahya bin Abi Kamil berpendapat, saya tidak mengatakan bahwa Allah mencipta kecuali, dalam pengertian kiasan (majaz), begitu puIa arti manusia mencipta. Pada hakikatnya, manusia hanyalah muktasib (acquirer, yang memperoleh perbuatan), sedangkan Allah adalah Khaliq (pencipta).

 

7, Ketika Burguts ditanya tentang maksud Allah sebagai yang berbuat (fa’il), ia menjawab, saya tidak mengatakan demikian karena kata “yaf’alu” terkadang menunjukkan sesuatu yang jelek. Umpamanya ungkapan “bi‘sa ma fo’alta” (alangkah jeleknya perbuatanmu)! Allah pun tidak mesti dinamai “yang mencipta (Khaliq) karena di dalam Al-Quran kata “yakhlug” digunakan untuk sesuatu yang tereela. Umpamanya firman Allah:

 

Artinya: “… dan kamu membuat dusta” (QS. Al-Ankabut (29) : 17)

 

Karena Al-Quran menggunakan kata itu untuk menunjukkan sesuatu yang tereela, kita dilarang menggunakannya.

 

  1. Ahmad bin Salmah Al-Kusini, pengikut Al-Husein An-Najjar, berkata, saya tidak berpendapat bahwa Allah melakukan kezhaliman sebab pendapat ini mengonsekuensikan bahwa Allah adalah Yang zhalim. Karenanya, pendapat ini keliru.

 

9, . Dari kalangan Ahli itsbat, ada yang berpendapat, pada hakikatnya Allah-lah yang melakukan (peerbuatan manusia), dalam arti Dia-lah yang menciptakannya, Dan pada hakikatnya manusia tidak melakukan (perbuatannya). Sebenarnya, ia hanyalah muktasib (acquirer, yang memperoleh perbuatan). Sebab, yang dapat dikatakan pelakulpembuat hanyaJah yang menciptakan perbuatan itu. Sebab makna fa ‘il dalam pengertian bahasa adalah makna khaliq (pencipta). Seandainya Allah dikatakan telah menciptakan sebagian kasab-Nya maka boleh puIa dikatakan ia menciptakan seluruh kasab-Nya; Sebagaimana tatkaIa yang qadim menciptakan sebagian ciptaan-Nya, maka Ia pun menciptakan seluruh ciptaan-Nya.

 

  1. Ahli itsbat sepakat bahwa yang dimaksud dengan makhluk adalah mukdats (yang, diciptakan, baru). Inilah pendapat ahli kebenaran. Aku sendiri (Al-Asy’ari, penj.) berpendapat demikian.

 

  1. Zuhair Al-Atsari dan Abu Mu’adz At-Taumini berpendapat, makna makhluk adalah bahwa ia terjadi atas kehendak Allah dan atas sabdaNya “jadilah”, Pendapat ini dikemukakan puIa oleh kebanyakan tokoh Mu‘tazilah, selain Abu Hudzail.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, makna makhluk adalah bahwa baginya ada daya “mencipta”. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Musa dan Basy bin Mu’tamar.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang makna muktasib:

 

  1. Sekelompok tokoh Mu ‘tazilah berpendapat, makna muktasib adalah bahwa pelaku pekerjaan melakukannya dengan bantuan alat, anggota tubuh, dan kekuatan (daya) yang diciptakan.

 

  1. Al-Juba’i berpendapat, makna muk,asib adalah orang yang menerima manfaat, mudarat, kebaikan, kejelekan, atau kebaikan (dan pekerjaannya, penj.) Atau kasab-nya digunakan memperoleh sesuatu, seperti mem. peroleh harta dan yang lainnya. Harta itulah yang sebenarnya kasab (perolehan)-nya walaupun harta itu sendiri tidak berbuat sesuatu.

 

  1. Yang benar, dalam pandanganku, makna iktisab adalah bahwa sesuaty itu terjadi dengan sebab daya yang diciptakan, karenanya ia menjadi kasab (perolehan) bagi yang-mempunyai daya.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang makna firman Allah:

 

Artinya: “Dialah yang pertama dan yang akhir.” (QS. Al-Hadid (57) : 3)

 

  1. Kebanyakan Mutakallimin berpendapat, makna “Allah yang akhir” adalah Ia (tetap) ada setelah kehancuran dunia, bahwa setelah menciptakan makhluk. Ia memasukkan ahli surga ke surga dan ahli neraka ke neraka, dan bahwa ahli surga akan senantiasa memperoleh pahala, begitu puIa ahli ncraka yang senantiasa akan memperoleh siksaan.

 

  1. Jaham ibn Sufyan berpendapat, makna “Allah yang akhir” adalah bahwa Ia senantiasa ada, tidak ada sesuatu selain-Nya, tidak ada wujud selainNya, surga, neraka, dan penghuninya akan rusak dan fana’.

 

  1. Al-Bathikhiyyah berpendapat, Penghuni surga akan memperoleh kenikmatan di surga. Mereka akan memperoleh nikmat sebagaimana ulat madu yang menikmati madu.

 

  1. Abu Hudzail berpendapat, pendapatnya.ini pernah kami Kemukakan sebelum pembahasan ini, sesungguhnya gerakan penghuni surga pada akhirnya nanti akan berhenti. Setelah itu, mereka diam untuk selamanya. Namun, dalam keadaan diamnya, mereka merasakan kenikmatan surga yang abadi pula,

 

  1. Sebagian tokoh Mu’tazilah berpendapat, makna “Allah yang akhir” adalah Ia yang kekal (abadi).

 

  1. Mutakallimin yang mengatakan bahwa tidak ada sesuatu kecuali sesuatu itu ada, berpendapat bahwa makna “Allah yang awal” adalah Ia senantiasa ada dan tidak ada sesuatu selain-Nya. Seandainya segaIa sesuatu sudah diketahui sebagai segaIa sesuatu sebelum kemunculannya, maka tidak sah Allah dikatakan sebagat “yang awal”, kecuali ia bersifat tahu bahwa segaIa sesuatu itu tidak ada

 

  1. Tokoh Afutakallimin yang menolak pendapat di atas berkata, hakikat “Allah yang awal” adalah Ia senantiasa ada, tidak ada sesuatu pun yang ada selain-Nya walaupun Ia tahu segaIa sesuatu sebagai seygaIa sesuatu yang tidak ada.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang makna “Allah yang sempurna” :

 

Al-Juba’i tidak berpendapat bahwa Allah disifati dengan “Yang sempurna”. Alasannya, orang yang sempurna berarti tuyuan dan partikularpartikularnya tereapai. Badan yang sempurna berarti yang partikular-partikular tubuhnya sehat. Demikian puIa arti sempurna dalam urusan-urusan kita lainnya, seperti seseorang yang sempurna ilmu, akal, perkataan,dan kefasihannya. TatkaIa Allah tidak disifati dengan partikulasi, maka tidak boleh menyifatiNya dengan’’Yang sempurna” dan “Yang kurang”; TatkaIa tidak diperbolehkan mengatakan “Allah mulia dengan kesempurnaan atas dasar perbuatan-Nya, maka tidak boleh puIa Dzat-Nya disifati dengan kesempurnaan atas dasar perbuatan-Nya. Ia pun tidak disifati dengan “wafir” dan “tamm”, sebab maknanya sama dengan “kamil (yang sempurna)”.

 

Al-Juba’i berpendapat, Allah tidak boleh disifati dengan kebenaran (syuja’ah) sebab kata itu mengesankan pemaksaan dan sesuatu yang ditakuti.

 

Al-Juba’i berpendapat, makna “Allah bersifat memilih (mukhtar)” adalah “Ta yang berkehendak”. Sebab, tidak ada yang dapat memaksa dan menahan kehendak-Nya. Dengan demikian, kehendak-Nya adalah pilihan-Nya. Demikian puIa pernyataan “manusia pilihan”, Hakikat pilihan (ikhtiyar) bukanlah yang dipilih (al-mukhtar), sebagaimana hakikat kehendak (iradah) bukanlah yang’ dikehendaki (murad). Pilihan Allah yang jatuh kepada para nabi artinya dalah pilihan-Nya untuk mengutus: mereka sebagai rasul. Demikian puIa kehendakNya untuk itu.

 

Al-Juba’i berpendapat, makna “pilihan (ishthifa’) Allah yang jatuh kepada para nabi untuk menjadi utusan-Nya” adalah pengkhususan-Nya yang diberikan kepada mereka untuk me ngeemban tugas kerasulan. Makna pillihan yang diterjemahakan dari ikhtiyar. Sebab yang dimaksud dengan pilihan yang diterjemahkan dari ikhtiyar adalah pilihan yang diambil bukan dalam suasana keterpaksaan, seperti pilihan untuk minum dan makan. Sedangkan yang diterjemahkan dari ishthifa’ tidaklah demikian.

 

Al-Juba’i berpendapat, kehendak itu bukanlah hati (dhamir). Hati adalah tempat kehendak.

 

Al-Juba’i berpendapat, makna “Allah memberi cobaan terhadap hamba-Nya” adalah Ia membebani mereka untuk menaati-Nya. Penyebutan itu hanya atas dasar keluasan bahasa. Karenanya, tidak boleh dikatakan bahwa Allah menjerumuskan mereka.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang boleh-tidaknya Allah meninggalkan pekerjaan-Nya:

 

  1. Sebagian Mutakallimin membolehkan Allah meninggalkan pekerjaanNya. BiIa Ia mengerjakan satu pekerjaan, maka sama saIa Ia meninggalkan pekerjaan yang sebaliknya.

 

  1. Al-Husein bahkan mengatakan bahwa Allah senantiasa bersifat meninggalkan,

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, tidak boleh Allah disifati “Yang meninggalkan”, Tidak mengandung makna apa-apa kalau sifat itu dinisbatkan kepada-Nya. Sebagaimana tidak boleh puIa Ia menahan dan melarang diri-Nya sendiri (untuk berbuat).

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang makna Allah senantiasa yang mencipta.

 

  1. Kebanyakan Mutakallimin berpendapat, tidak boleh mengatakan “Allah senantiasa mencipta”

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, terkadang boleh mengatakan “Allah senantiasa yang mencipta” dalam pengertian akan menciptakan.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, makna “Allah senantiasa yang menciptakan dalain arti yang sebenarnya (hagigah). Pendapat ini dikemukakan oleh sebagian tokoh rafidhah.

 

  1. Abduitah bin Kullab berpendapat, Allah bersifat qacdim dengan sebab nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Ia senantiasa bersifat tahu, kuasa, hidup, mendengar, melihat, agung, mulia, besar, pemurah, sembong, satu, esa, tempat bergantung, menyendiri, kekal, menguasai, Tuhan, menyayangi, berkehendak, me maksa, menciniai, marah, rela, murka, memimpin, memusuhi, dan berfirman dengan sebab pengetahuan, kekuasaan, perikehidupan, pendengaran, penglihatan, keagungan, kemuliaan, kebesaran, kemurahan, kesembongan, kesatuan, kecsaan, kebergantungan, kesendirian, kekekalan, kekuasaan (fanullipyah), ketuhanan, kesayangan, kehendak, paksaan, keciniaan, kemarahan, kerelaan, murka, kepemimpinan, permusuhan, dan firman-Nya. Semuanya termasuk sifat Dezatiyvah. Sifat-sifat Allah berarti juga nama-nama-Nya. Tidak boleh sifat-sifat di atas disifati dengan sifat lagi. kesemuanya tidak dapat berdiri dengan sendiri-Nya, tetapi dengan sebab Allah sendiri

 

Ibn Kullab berpendapat, Allah ada bukan oleh sebab ada itu sendiri. Ia adalah sesuatu. Sifat-sifat-Nya bukanlah Allah, bukan puIa selainNya. Sifat tahu bukanlah sifat kuasa, bukan puIa selain-Nya. Begitu puIa sifat-sifat Allah yang lainnya.

 

  1. Sebagian pengikut Al-Kullab berpendapat, sifat Allah bukanlah Allah sendiri, bukan puIa selain-Nya. Demikian puIa sifat Allah yang satu bukanlah sifat Allah yang lainnya, tetapi bukan puIa yang lainnya.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, sesungguhnya Allah bukanlah selain sifat-sifat-Nya. Dan bahwa sifat-sifat-Nya saling berbeda satu dengan yang lainnya,

 

Para pengikut Al-Kullab berbeda pendat tentang sifat Allah qadim:

 

  1. Sebagian mereka berpendapat, Allah bersifat gadinz dengan sebab keqadim-an.

 

  1. Sebagian lainnya berpendapat, Allah bersifat qadim bukan dengan sebab ke-qadim-an, sebagaimana yang bar tidak menjadi baru oleh sebab kebaharuan. ,

 

Para pengikut Ibn Kullab berbeda pendapat tentang sifat-sifat Allah, apakah merupakan sesuatu atau bukan?

 

  1. Sebagian sahabatnya berpendapat, sifat-sifat Allah adalah sesuatu.

 

  1. Sebagian sahabatnya yang lain menolak pendapat di atas.

 

  1. Sebagain sahabat lainnya lagi berpendapat, seluruh sifat-sifat Allah bersifat qadim.

 

  1. Sebagian sahabatnya yang lainnya lagi menolak mengatakan apakah sifat-sifat Allah qadim atau baru.

 

  1. Ibn Kullab berpendapat, sesunhguhnya Allah senantiasa rida terhadap orang yang diketahui-Nya bakal mati dalam keadaan membawa kheimanan walaupun sebagian besar umurniya berada dalam kekafiran, Sebaliknya, Ia senantiasa murka terhadap orang yang diketahui-Nya bakal mati dalam keadaan kekufuran walaupun sebagian besar umurnya berada dalam keimanan. Kehendak-Nya untuk mengadakan sesuatu berarti kebencian-Nya terhadap ketidakadaannya.

 

  1. Sulaimana bin Jarir berpendapat, pengetahuan Allah bukanlah Allah sendiri, bukan puIa selain-Nya. Wajah Allah adalah Allah sendiri .Pengetahuan dan kekuasaan-Nya adalah sesuatu, tetapi saya tidak mengatakan bahwa sifat-sifat-Nya adalah sesuatu.

 

  1. Ibnu Kullab berpendapat, wajah, mata, dan kedua tangan adalah sifatsifat Allah. Sifat-sifat itu bukanlah Allah, bukan puIa selain-Nya. Begitu puIa pendapatnya tentang pengetahuan dan kekuasaan Allah.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang apakah Allah disifati kuasa terhadap aksiden?

 

1, Seluruh orang Islam, kecuali Mu’ammar, berpendapat, sesungguhnya Allah bersifat kuasa atas aksiden, gerakan, diam, warna, kehidupan, kematian, kesehatan, sakit, kuasa, lemah, dan aksiden lainnya.

 

  1. Mu’ammar berpendapat, Allah hanya dapat disifati kuasa terhadap substansi saja, tidak terhadap aksiden. Ia tidak menciptakan kehidupan, kematian, kesehatan, wabah, kekuatan, kelemahan, warna, bau, dan rasa. Semua itu dimunculkan oleh tabiat substansi. Orang yang mampu memunculkan gerak, berarti mampu puIa untuk bergerak. Orang yang mampu memunculkan keadaan diam, berarti mampu puIa untuk berdiam diri. Orang yang mampu memunculkan kehendak, berarti mampu puIa berkehendak. Sesungguhnya Allah terkadang berkehendak, terkadang puIa tidak berkehendak. Itu semua muncul dengan diri-Nya sendiri dan bukan pada dimensi tempat. Demikian puIa perbuatan-Nya berupa menggerakkan dan mendiamkan (sesuatu) yang muncul dengan sebab diri-Nva sendiri, yakm merupakan kehendak-Nya. Pernah ada orang yang membantah pendapat Mu’tamar di atas dengan mengatakan, “Anda mengatakan bahwa Allah kuasa menggerakkan dan mendiamkan (sesuatu) yang (kekuasaan itu) muncul dengan sebab diri-Nya sendiri, yakni kehendak-Nya, maka katakanlah bahwa Ia pun mampu bergerak dan diam?” (Pendapat Anda keliru, alasannya) ApabiIa orang yang mampu menggerakkan dan mendiamkan sesuatu tidak dapat disifati dengan kuasa untuk bergerak, maka demikian puIa orang yang disifati

 

Mampu menggerakkan sesuatu pun tidak dapat disifati dengan mampu bergerak.

 

3, Pendapat Mu’ammar dan Ahl Al-Qadar di atas ditolak oleh ahli kebenaran (ahl al-Haqq). Mereka berpendapat, Allah yang qadim disifati mampu memunculkan gerakan, tetapi tidak disifati dengan mampu bergerak.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat tentang apakah Allah berkuasa puIa atas sesuatu yang telah diusahakan hamba-Nya.

 

  1. Ibrahim Abu Hudzail, tokoh-tokoh Mu’tazilah lainnya, dan golongan Qadariyyah berpendapat, Allah tidak disifati kuasa atas usaha hambaNya. Sebab, mustahil satu usaha dikuasai oleh Allah dan hamba-Nya secara bersamaan.

 

  1. Asy-Syahham berpendapat, Allah disifati puIa kuasa atas usaha hambahamba-Nya. Boleh saIa satu usaha dikuasai oleh Allah dan hamba-Nya secara berbarengan. BiIa yang melakukannya Allah yang qadim, maka usaha itu bersifat paksaan (idhthirarlcompulsion). Namun, biIa yang melakukannya manusia, maka kekuasaan itu bersifat perolehan (iktisab). Atas dasar itu, keduanya disifati kuasa atas usaha masing-masing. Gerakan Allah tidak dinisbatkan secara berbarengan kepada-Nya dan manusia. Demikian pula, gerakan manusia tidak dinisbatkan secara bersamaan kepadanya dan Allah. Dengan demikian, Allah disifati kuasa untuk menciptakan gerakan, sedangkan manusia disifati mampu untuk menerima perolehan (atas gerakan yang diciptakan Allah).

 

  1. Ahli Haq dan Itsbat berpendapat, tidak ada satu usaha pun kecuali Allah bersifat kuasa terhadapnya, sebagaimana tidak ada objek pengetahuan pun kecuali Allah mengetahuinya.

 

Tokoh-tokoh Mu’tazillah berbeda pendapat tentang, apakah Allah berkuasa atas jenis (pekerjaan) yang telah diusahakan hamba-Nya?

 

  1. Tokoh-tokoh Mu’tazillah dari kalangan penduduk Bagdad berpendapat, Allah tidak disifati kuasa atas pekerjaan hamba-Nya, juga atas jenis (apa saja) yang telah diusahakan hamba-Nya. Ia pun tidak disifati kuasa menciptakan keimanan, kekufuran, kemaksiatan, dan kasab hambahamba-Nya yang menggolongkan mereka menjadi mukmuin, kafir, pemaksiat, dan penerima kasab. Namun, tokoh-tokoh Mu ’tazilah ini membolehkan Allah disifati kuasa menciptakan gerakan, kehendak dan hasrat hamba-hamba-Nya sehingga mereka dapat bergerak, berkehendak, dan berhbasrat.

 

Mereka berpendapat, gerakan yang diciptakan Allah berbeda dengan gerakan yang dibuat manusia. Karenanya, tidak dapat dikatakan bahwa manusia menyerupai Allah.

 

Sebagian besar mereka tidak menyifati Allah kuasa menciptakan ma’rifat yang mengharuskan hamba-hamba-Nya terpaksa mencrimanya.

 

  1. Muhammad bin Abd Al-Wahhab Al-Juba’i dan sebagian besar tokoh Mu tazilah lainya berpendapat, sesungguhnya Allah kuasa atas jenis sesuatu yang diusahakan hamba-hamba-Nya, seperti gerak, diam, dan yang lainnya. Ia pun mampu memaksa mereka membutuhkan apa-apa yang mereka usahakan dan ma’rifat kepada-Nya.

 

Al-Juba’i tidak menyifati Allah kuasa menciptakan keimanan, kekafiran, keadilan, kezaliman, dan kalam yang menyebabkan hambahamba-Nya menjadi mukmin, kafir, adil, zalim, dan berbicara. Karena yang dinamakan berbicara, menurutnya adalah melakukan pembicaraan. Mustahil puIa ia bersifat kuasa menciptakan apa+apa yang disifati manusia. Tegasnya, Ia (hanya) bersifat kuasa menciptakan apa-apa yang ia disifati.

 

3 Abu Hudzail berpendapat, perbuatan manusia tidak saling. menyerupai dengan perbuatan Allah dari sisi mana saIa melihatnya. Abu Hudzail tidak menyebutkan bahwa aksiden-aksiden pun menyerupai (Allah).

 

  1. Ahl al-haqq wa al-itsbat menyifati ANah kuasa menciptakan keimanan, kekufuran, kemaksiatan, dan kasab hamba-hamba-Nya sehingga mereka mejadi mukmin, kafir, pemaksiat, dan penerima kasab.

 

  1. Sebagian besar ahl al-haqgq menolak menyifati Allah kuasa me maksa hamba-hamba-Nya membutuhkan terhadap keimanan, kekufuran, keadilan, dan kezaliman yang karenanya menjadi mukmin, kafir, adil, dan zalim.

 

  1. Abu Hudzail berpendapat, Allah bersifat kuasa memaksa hamba-hambaNya di akhirat menjadi orang jujur dan yang berbicara. Konsekuensinya, Ia pun bersifat kuasa memaksa mereka (di dunia) menjadi orang kafir dan zalim. Jika tidak demikian, maka ada kontradiksi di sana.

 

  1. Saya sendiri (Al-Asy’ari) berpendapat, apabiIa Allah disifati kuasa menciptakan kasab bagi hamba-hamba-Nya, maka Ia pun berkuasa untuk memaksanya, termasuk memaksa mereka berbuat zalim.

 

  1. Tokoh-tokoh Maza ‘tazilah menyifati Allah kuasa memaksa hamba-hamba-Nya melakukan apa yang dikehendaki-Nya.

 

  1. Namun, pendapat di atas ditolak oleh Muhammad bin Isa. Ia berkata, kalau Allah memaksa hamba-hamba-Nya, tentunya mereka tidak dapat dikatakan sebagai orang-orang yang beriman atau orang-orang yang berbuat adil atau orang-orang kafir. Alasannya, seseorang dapat dikatakan mukmin atau kafir biIa melakukannya dengan kesadaran, bukan pemaksaan.

 

Ia pun berpendapat, apabiIa Allah disifati dengan perbuatan-perbuatan-Nya maka selain-Nya disifati demikian. Umpamanya, tatkaIa Ia disifati tahu, ingin, dan adil, maka yang lain-Nya pun disifati dengan sifat-sifat itu. Allah tidak disifati mampu menciptakan kezaliman bagi selain-Nya. Terhadap ungkapan “Allah bersifat kuasa atas kezaliman, keimanan,dan kekufuran selain-Nya”, ia berkata, “ungkapan” Allah bersifat kuasa adalah benar, tetapi ungkapan “atas kezaliman, keimanan, dan kekufuran” adalah keliru”.

 

Tidak boleh puIa dikatakan bahwa Allah bersifat kuasa menciptakan kasab selain-Nya. Terhadap ungkapan di atas, ia berkata, “ungkapan” Allah bersifat kuasa adalah benar, tetapi ungkapan “menciptakan kasab selain-Nya adalah salah.

 

Ia pun berpendapat, sesungguhnya Allah senantiasa kuasa atas kezaliman, tetapi saya tidak mengatakan bahwa Ia bersifat kuasa melakukan kezaliman. Allah bersifat kuasa atas perbuatan, tetapi saya tidak mengatakan “Ia senantiasa kuasa untuk berbuat”. Sebab, ungkapan mampu untuk berbuat, merupakan informasi bahwa Ia mampu untuk berbuat, sebagaimana ungkapan Ia tahu bahwa Ia akan berbuat.

 

Ia berpendapat, keadilan adalah yang diperbuat Allah, sedangkan kezaliman tidak diperbuat-Nya. Ia tidak disifati mampu atas keadilan yang tidak diperbuat-Nya. Alasannya, jika dikatakan bahwa ia bersifat kuasa atas keadilan yang tidak diperbuat-Nya, maka Ia pun bersifat kuasa atas kezhaliman yang tidak diperbuat-Nya.

 

Pendapatnya di atas bertentangan dengan pendapat yang mengatakan bahwa siapa saIa yang mampu atas perbuatan berarti mampu puIa melakukannya.

 

  1. Mu’ammar berpendapat, sesungguhnya siapa saIa yang mampu atas gerakan berarti mampu puIa bergerak. Ia berkata, ketika Anda mengatakan yang kuasa atau kehamilan (hamba-Nya) kepada Allah yang tidak kuasa hamil, maka (saya) pun mengatakan yang kuasa atas kezaliman kepada Allah yang tidak kuasa berbuat kezaliman.

 

Ia tidak sependapat dengan Abu Hudzail. Menurutnya, ketika Allah kuasa atas kejujuran, maka Ia pun wajib kuasa berbuat kejujuran. Konsekuensinya, Ia pun wajib melakukan kejujuran kepada penghuni surga.

 

  1. Muammar berpendapat, setiap tokoh Mu’tazillah yang mengatakan bahwa Allah berstfat kuasa atas kezaliman berpendapat bahwa Ia pun bersifat kuasa untuk berbuat kezaliman.

 

  1. Ahli isbat berpendapat, sesungguhnya Allah senantiasa kuasa atas kezaliman, keimanan, dan kasab selain-Nya, tetapi ia tidak disifati kuasa berbuat zalim dan menjalankan kasab. Ia pun tidak disifati kuasa atas kezaliman yang tidak diperbuat hamba-Nya. Sebagian kecil mereka berpendapat, sesungguhnya Allah bersifat kuasa memaksa hamba-Nya berbuat kezaliman. Tidak ada kezaliman apa pun di dunia ini, kecuali Allah-lah yang me lakukannya.

 

  1. An-Nazhzham, para pengikutnya, Ali Al-Aswari, dan Jahizh berpendapat, Allah tidak disifati kuasa atas kezaliman dan dusta. Tidak puIa disifati kuasa meninggalkan sesuatu yang paling baik dilakukanNya (ashiah). Namun, terkadang Ia pun kuasa meninggalkan yang ashlah dan beralih kepada yang sebanding dengannya.

 

Mereka membolehkan Allah disifati degan kuasa menyiksa orang-orang mukmin dan anak kecil serta memasukkannya ke dalam neraka Jahannam.

 

  1. Abu Hudzail berpendapat, sesungguhnya Allah bersifat kuasa atas kezaliman dan dusta, serta me lakukan keduanya. Namun, ternyata Ia tidak melakukannya karena rahmat dan kebijakan-Nya, bahkan, mustahil ia melakukannya.

 

  1. Abu Musa dan sebagian besar tokoh Mu’tazilah berpendapat, sesungguhnya Allah mampu melakukan kezaliman dan dusta, tetapi Ia tidak melakukannya. Ketika ditanya, kalau temyata Allah melakukannya? Ia menjawab, Allah tidak akan pernah melakukannya. Perbuatanperbuatan itu tidak pantas dilakukan orang Islam yang saleh, tidak puIa oleh Allah. Siapa pun tidak boleh bertanya, seandainya Abu Bakar berbuata zina dan Ali melakukan kekufuran, apa yang akan dikatakan  tentang mereka? Kita sudah tahu bahwa berdasarkan argumentasiargumentasi yang ada, Allah tidak mungkin melakukan kezaliman. Karenanya, tereclalah orang yang berandai-andai Allah melakukannya.

 

Ketika perselan di atas kerap diajukan kepadanya, Abu Musa berkata, seandainya Allah melakukan kezhaliman, padahal (sebelumnya) ada argumentasi yang menunjukkan Ia tidak melakukannya, maka kezaliman yang dilakukannya itu merupakan argumentasi baru bahwa Ia melakukannya. Ia pun kemudian disifati Tuhan yang kuasa dan yang berbuat kezaliman.

 

Ketika ditanya tentang kebodohan (yang dinisbatkan kepada Allah), mereka menjawab, jika kebodohan yang dimaksud berkaitan dengan perbuatan Allah, maka perbincangan tentang hal ini pun sama saIa ketika memperbincangkan kezaliman dan dusta, telapi jika yang dimaksud berkaitan dengan Dzat-Nya, dalam arti Ia tidak tahu terhadap sesuatu, maka kami tidak mengatakan bahwa Ia kuasa me lakukan kebodohan.

 

  1. Ketika ditanya, “Apakah Allah berkuasa menyiksa anak kecil?” Basyr Al-Mu’tamar menjawab, “Ya, dan tidak semata-mata Allah menyiksanya, kecuali ta adalah kafir, telah mencapai aki! balig, dan pantas mendapatkan siksa.”

 

  1. Ketika ditanya kezaliman, Abu Fludzail menjawab, mustahil Allah melakukan kezaliman.

 

  1. Muhammad bin Syabib berpendapat, Allah berkuasa melakukan kezaliman dan dusta. Namun, kezaliman dan dusta hanyalah muncul dari orang yang berpenyakit (hati). Dengan demikian, Anda pun tahu bahwa tidak mungkin Allah melakukannya. Seandainya Allah mengabarkan baliwa hanya himarlah yang akan masuk rumah imi. Lalu, ada manusia yang mampu memasukinya. Maka kemampuannya memasuki rumah tidak secara otomatis merupakan kemampuannya menjadi himar. Demikian pula, kezalimanhanyalah muncul dari orang yang kurang (keimanannya). Kekuasaan Allah atas kezaliman bukanlah kekuasaan-Nya berbuat kezaliman.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, Allah berkuasa melakukan kezaliman beserta kebalikannya dan kejujuran beserta kebalikannya. Ketika mereka ditanya tentang kemungkinan Allah melakukan kezaliman dan dusta, mereka menjawab, kami yakin Allah tidak melakukannya. Hal itu diperlihatkan oleh dalil-dalil dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Ketika ditanya, “Apakah kekuasaan Allah melakukan kezaliman dan dusta ditopang oleh dalil-dalil?” Mereka menjawab, “Ya, kami me yakini bahwa Ia berkuasa me lakukan kezaliman hanya semata-mata dengan melihat dalil-dalil. Untuk membuktikan kekuasaan-Nya berbuat kezaliman, kami tidak mengada-ada dalil dan membayangkan Allah benar-benar melakukannya. Upaya mengada-ada dalil justru merupakan bukti bahwa memang Allah tidak melakukannya. Jika mengatakan “Allah berbuat kezaliman”, berarti Anda menyangka bahwa Allah benar-benar telah melakukannya, padahal Anda meyakini bahwa Ia tidak pernah melakukannya, Maka, tidak mungkin sangkaan dan keyakinan terhadap kemungkinan Allah benar-benar melakukan atau tidak melakukannya berkumpul pada saat yang bersamaan. Tidak mungkin keduanya berkumpul secara bersamaan pada hati seseorang, Analoginya begini, kalau ada seseorang mengatakan “Orang-orang yang dikabarkan Allah (sebenarnya) mainpu mecngimani-Nya, maka hanya denpan berita itu, kita dapat mengatakan bahwa orang itu mampu mengimanti Allah, tanpa harus menunggu orang itu benar-benar mengimani-Nya. Pendapat ini dikemukakan oleh Ja’far bin Harb.

 

Pendapat di atas dikemukakan puIa oleh Al-Bulkhi. Ia beranggapan bahwa seandainya kezaliman itu benar-benar dilakukan Allah, maka tentu saIa akal akan mencrima kenyataan itu. Hanya saja, sesuatu yang diadikan dalil pada saat ini berbeda dengan pada saat yang lain. Keduanya serupa, tetapi tidak sama.

 

  1. Al-Iskafi berpendapat, Allah kuasa berbuat kezaliman, tetapi tidak pernah Allah menggsunakan kekuasaannya itu. Alasannya, Jism-Jism, akal dan nikmat yang telah Allah berikan kepada makhluk-Nya akan membuktikan bahwa Allah tidak berbuat kezaliman. Akal sendiri akan membuktikan bahwa Allah tidaklah bersifat zalim, sehingga tidak boleh menyatakan kezaliman datang dari-Nya.

 

  1. Ketika ditanya, “Seandainya Allah berbuat kezaliman, maka apa yang akan Anda katakan?” Hisyam Al-Fuwaithi dan Abbad bin Sulaiman menjawab, “Kalau yang dikehendaki dengan kata “‘seandainya”’ adalah keraguan, maka kami tidak pernah meragukan bahwa Allah tidak akan berbuat kezaliman, tetapi jika yang dikehendaki.dengan kata “seandainya” adalah penolakan, maka kami katakan sekalh lagi bahwa Allah tidak berbuat kezaliman.”

 

  1. Para Mutakallimin penganut aliran tawhid berpendapat, sesungguhnya Allah bersifat kuasa atas sesuatu yang diketahui-Nya tidak akan ada, dan Ia sendiri memberitakan hal itu. Ketika ditanya, “Bagaimana seandainya Allah lalu mengadakannya?” Mereka mengemukakan jawaban yang berbeda-beda. Sebagian besar menjawab, “Seandainya Allah mengadakannya, maka Ia sebenarnya tahu bahwa sesuatu itu akan ada. Dengan demikian, berita yang disampaikan Allah bahwa Ia tidak akan mengadakan sesuatu dihapus oleh berita-Nya yang mengatakan bahwa Ia akan me ngadakannya.”

 

  1. Ali Al-Aswari berpendapat, mustahil menggandengkan pernyataan bahwa Allah kuasa berbuat sesuatu dengan penyataan bahwa Ia bersifat tahu terhadap sesuatu yang tidak akan ada yang telah gambarkan. Kalau salah satu dari keduanya dipisahkan, benarlah pernyataan mu, yakni ungkapan yang menyatakan bahwa Allah itu kuasa untuk berbuat sesuatu,

 

3 Sulaiman bin Jarir berpendapat, jika salah seorang bertanya, “Apakah Anda mengatakan bahwa Allah bersifat kuasa me lakukan sesuatu yang diketahui-Nya tidak akan diciptakan? Maka kami menjawab, ada dua alternatif untuk menjawab pertanyaan itu. Jika portanyaan kalian didahului oleh pengetahuan, Allah telah mengabarkan bahwa sesuatu itu tidak akan diciptakan, maka tidak boleh dikatakan bahwa Ia kuasa terhadapnya, tidak boleh puIa dikatakan bahwa Allah tidak kuasa terhadapnya. Jika ternyata Allah memang tidak pernah mengabarkannya, sedangkan akal menyatakan mustahil Allah disifati dengannya dan bahwa orang yang menyifati-Nya dengannya dinilat mengada-acda, maka jawabannya adalah tidak boleh mengatakan bahwa Allah kuasa terhadapnya, tidak boleh puIa mengatakan bahwa Allah tidak kuasa terhadapnya. Jika ternyata Allah me mang tidak pernah mengabarkannya, tetapi akal tidak menyatakan mustahil Allah disifati dengannya dan bahwa orang yang menyifati-Nya dengannya tidak dinilai me engada-ada, maka jawabannya adalah boleh saIa Allah disifati dengannya. Sebab, hal itu menyangkut ketidaktahuan kita terhadap sesuatu yang gaib. Lagi puIa akal kita pun tidak dapat menolaknya.

 

Jika muncul pertanyaan, “Apakah Allah sendiri tahu bahwa Ia kuasa menciptakan sesuatu yang diketahui-Nya tidak akan diciptakan?”’ Maka jawabannya pun ada dua alternatif. Jika yang dimaksud oleh pertanyaan itu bahwa Ia tahu tidak akan menciptakan sesuatu, tetapi Ia kuasa menciptakannya, sementara pengetahuan:‘yang kita miliks menyatakan bahwa Ia tidak menciptakannya, maka pertanyaan itu mustahil (dapat diterima). Jika yang dimaksud oleh pertanyaan itu adalah bahwa Ia kuasa menciptakan sesuatu yang diketahui-Nya tidak akan diciptakan, dalam arti kalau Ia menciptakannya, berarti sesuatu itu tetap diketahui-Nya dan Ia pun kuasa menciptakannya kalau sesuatu itu (diketahui-Nya) akan ada, maka kami katakan bahwa Ia kuasa menciptakan sesuatu yang diketahui-Nya tidak akan diciptakan dalam pengertian seperti ini.

 

  1. Abbad bin Sulaiman berpendapat, terhadap pernyataan Allah tahu terhadap sesuatu yang diketahui-Nya tidak akan ada, saya tidak mengatakan bahwa kuasa terhadap sesuatu yang diketahui-Nya tidak akan ada. Saya hanya mengatakan bahwa Ia kuasa terhadap sesuatu (tanpa embel-embel pertanyaan “‘sesuatu yang diketahui-Nya akan ada’’), sebagaimana saya katakan bahwa Allah bersifat tahu teerhadapnya. Saya pun tidak mengatakan bahwa Allah bersifat tahu terhadap sesuatu (yang diketahui-Nya tidak akan ada), padahal dalam kenyataannya terjadi. Alasannya, pemberitaan yang menyatakan Ia berkuasa untuk menciptakan sesuaty yang diketahui-Nya tidak akan ada justru memberitakan bahwa Ia kuasa terhadapnya dan bahwa sesuatu itu benar-benar akan ada. Begitu puIa jawabannya ketika dilanya tentang sesuatu yang dikabarkan Allah tidak akan ada. Ketika ditanyakan, “Seandainya Allah menciptakan sesuatu yang diketahui-Nya tidak akan diciptakan? Ia menjawab, mustahil sekali hal itu akan terjadi.

 

  1. Ketika ditanya, “Seandainya Allah menciptakan sesuatu yang diketahuiNya tidak akan ada dan Ia sendiri me ngabarkannya lalu bagaimana terjadi pertentangan antara pengetahuan dan pemberitaan-Nya?” Muhammad bin Abd Al-Wahhab menjawab bahwa hal itu mustahil terjadi. Namun, ia mengatakan bahwa seandainya seseorang yang diketahui Allah tidak mengimani-Nya ternyata (pada kenyataannya) mengimani-Nya, Allah tetap akan memasukkannya ke dalam surga.

 

Al-Juba’i berpendapat, seandainya satu ketentuan Allah digandengkan dengan ketentuan Allah yang lain dalam satu ungkapan, maka absahlah ungkapan itu. Umpamanya ungkapan “Seandainya seseorang beriman kepada Allah, niseaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga. “Keimanan itu sendiri baik baginya. Sebagaimana puIa firman Allah yang berbunyi:

 

Artinya: “… dan kalau mereka dikembalikan ke dunia sekalipun, tentulah mereka akan mengulangi lagi apa yang mereka dilarang melakukannya.”’ (QS. Al-An-am (6) : 28)

 

Mengembalikan mereka ke dunia merupakan salah satu ketentuan Allah. Seandainya ketentuan itu benar-benar dilakukan Allah, tentu mereka pun memiltki ketentuan Allah lainnya untuk kembali ke dunia.

 

Al-Juba’i berpendapat, seandainya sesuatu yang mustahil keberadaannya digandengkan dengan sesuatu yang Jain yang mustahil keberadaannya dalam sebuah ungkapan, maka ungkapan yang itu pun tetap absah. Contohnya adalah ungkapan “Seandainya suatu Jism bergerak dan diam pada suatu waktu, maka ia adalah yang hidup dan mati pada waktu itu’? dan ungkapan sejenisnya, Namun, apabiIa suatu ketentuan Allah digandengkan dengan sesuatu yang mustahil keberadaannya dalam sebuah ungkapan, maka ungkapan itu tidak absah. Umpamanya adalah ungkapan seseorang penanya, “Seandainya orang yang diketahui dan dikabarkan Allah tidak mengimani-Nya ternyata (yang terjadi) mengimani-Nya, lalu bagaimana mungkin pengetahuan dan kabar dapat bertentangan?” (Jika pertanyaan itu hendak dijawab), maka perlu ada konfirmasi terlebih dahulu. Jika penanya memaksudkan bahwa kabar yang menyatakan “orang itu beriman’” mendahului kabar yang menyatakan “orang itu tidak beriman dan Allah pun tahu tentangnya’’, maka pertanyaan di atas tidak realistis. Alasannya, mustahil sesuatu yang ada (orang itu beriman) dinyatakan tidak ada (orang itu tidak beriman). Mustahil puIa Allah senantiasa bersifat tahu terhadap sesuatu yang diketahui-Nya tidak ada. Kalau dinyatakan kepadanya bahwa pengabaran dan pengetahuan Allah itu menyatakan bahwa sesuatu tidak akan ada, tetapi pada kenyataannya ada. Maka ia menjawab bahwa hal itu mustahil terjadi. Seperti halmya pernyataan benar dinyatakan bohong atau tahu dinyatakan bodoh. Apa pun jawaban yang diberikan kepada pertanyaan yang mustahil adanya, maka yang ada hanyalah petunjuk akan kemustahilan pertanyaan itu.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang kekuasaan manusia terhadap Ssesuatu yang diketahuai Allah tidak akan ada.

 

  1. Kalangan Mu’tazilah membolehkan hal itu terjadi.

 

  1. Ahli itsbat menolak pendapat di atas. .

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat tentang terjadinya sesuatu yang diketahui Allah tidak akan ada.

 

  1. Sebagian besar tokoh Miu’tazilah berpendapat, sesuatu yang diketahui Allah tidak akan ada, baik karena mustahil Allah mengadakannya atau Ia lemah mengadakannya, maka mustahil sesuatu itu ada dilihat dari kemustahilannya, bukan kelemahan Allah darinya.

 

  1. Benarlah orang yang mengatakan bahwa sesuatu yang Allah lemah mengadakannya boleh saIa muncul (pada satu ketika), yakni ketika kelemahan Allah hilang dan muncul kekuatan untuk mengadakannya karena Allah disifati tahu bahwa sesuatu itu akan ada. Dengan ungkapan “boleh saja’, orang yang mengatakan ungkapan di atas memaksudkany bahwa Allah berkuasa atasnya. Benar puIa orang yang mengatakan bahwa sesuatiu yang Allah ketahui tidak akan ada karena Ia menghindarj untuk menciptakannya dan beralih me nciptakan sesuatu yany lain sebagai penggantinya boleh saIa ada (pada suatu waktu) karena Allah disifati tahu bahwa Ta akan mengadakannya, Dengan ungkapan “boleh saja’’, orang yang me ngatakan ungkapan di atas memaksudkan bahwa Allah itu berkuasa atasnya.

 

  1. Al-Aswari, sebagaimana yang telah kami kemukakan, me nolak me ngatakan bahwa Allah bersifat kuasa menciptakan sesuatu yang Ia sendiri tahu bahwa sesuatu itu tidak akan ada.

 

  1. Abbad bin Sulaiman berpendapat, orang yang mengatakan bahwa sesuatu yang diketahui Allah tidak akan ada boleh saIa ada, sama saIa dengan mengatakan bahwa sesuatu yang diketahui Allah tidak akan ada pada suatu waktu akan ada. IIa me nganggap mustahil pernyataan “sesuatu yang diketahui Allah tidak akan ada itu boleh saIa ada”. Sebab, ungkapan “‘boleh saja”’, me nurutnya, memastikan bahwa sesuatu itu benar-benar ada. ;

 

  1. Muhamamd bin Abd. Al-Wahhab Al-Juba’i berpendapat, sesuatu yang diketahui dan dikabarkan Allah tidak akan ada, tidak boleh ada bagi orang-orang yang membenarkan kabar yang datang dari Allah. Sesuatu yang, diketahui Allah tidak akan ada, tetapi Ia tidak mengabarkannya, maka boleh saIa ada. Ke-bdleh-saja-annya yang kami maksudkan adalah keragu-raguan apakah ia akan ada atau tidak akan ada. Ungkapan “boleh saja” me nurutnya adalah keraguan dan kewenangan.

 

  1. Setiap tokoh Mu’tazilah tidak memperbolehkan adanya sesuatu pada saat yang berlawanarninya.

 

  1. Pendapat di atas dibantah oleh tokoh-tokoh Mutakallimin ahli itsbat. Sebagian besar mereka berpendapat, boleh saIa sesuatu yang dikabarkan Allah tidak akan ada itu (pada suau ketika) ada. Namun, bukan berarti mereka menggandengkan dua hal yang bertentangan pada saat yang bersamaan.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang apakah Allah kuasa memberi kemampuan seseorang untuk membuat Jisi? Apakah Allah kuasa puIa memberi kemampuan seseorang membuat hidup atau mati? Apakah Allah kuasa puIa menciptakan kemampuan bagi seseorang untuk melakukan sesuatu?

 

  1. Muammar berpendapat, Allah tidak disifati kuasa menciptakan kemampuan bagi siapa saja. Ia tidak menciptakan kemampuan bagi siapa saIa untuk membuat hidup dan mati. Hal itu tidak boleh baginya. 

 

  1. An-Nazhzham dan Al-Asahanun berpendipat Allah tidak disifati kuasa menciptakan kemampuan orang yang (pada hakiknya) tidak mampu dan kehidupan orang yang (pada hakikatnya) tidak hidup. Hal itu mustahil dilakukan-Nya

 

3 Sebagian besar tokoh Islam berpendapat. sesungguhnya Allah ber asa menciptakan kemampuan bagi hamba-hamba-Nya Namun, tidak ada seorang pun yang mampu (melakukan sesuatu). kecual Allah telah menciptakan kemampuan baginya. Tidak ada seorang pun yang hidup. kecuah Allah telah menciptakan kehidupan baginya.

 

4 Sebagian tokoh golongan Musyabbihah berpendapat, sesungguhnya Allah telah memberikan kemampuan kepada hamba-Nya untuk membuat Jism, Namun, mereka hanya mampu membuat Jism (yakni sesuatu yang memiliki panjang, lebar, dan dalam).

 

  1. Sekelompok tokoh Mutakallimin ckstrim berpendapat, sesungguhnya Allah telah memberikan kemampuan kepada Ali bin Abi Thalib ridhwanullah alaih untuk membuat Ajsam dan menyerahkan kepadanya urusan-urusan dan pemeliharaan (alam).

 

  1. Sekelompok Mutakallimin ekstrim lain berpendapat, sesungguhnya Allah telah memberikan kemampuan kepada nabi-Nya untuk membtiat Ajsam dan binatang ternak. Pendapat ini mirip dengan ungkapan salah seorang umat Nasrani, sesungguhnya Allah telah memberi kekhususan kepada Isa sehingga dapat membuat tubuh dan Jism. Juga mimp dengan ungkapan salah seorang umat Yahudi, sesungeuhnya Allah telah menciptakan dunia. Malaikat inilah yang menciptakan “seorang” malaikat yang diberi kemampuan menciptakan dunia. Malaikat inilah yang menciptakan dan memunculkan bumi, mengutus para rasul dan menurunkan kitab. Pendapat ini dikemukakan salah seorang pengikut Ibn Yasin yang diadopsi dari para ahli astronomi yang mengatakan bahwa Allah telah menciptakan orbit (falaq) yang menciptakan Ajsam dan memunculkan alam yang di dalamnya muncul kerusakan-kerusakan. Sedangkan alam yang diciptakan Allah, tidak ditemui kerusakan-kerusakan di dalamnya.

 

  1. Sebagian orang-orang awam berpendapat, para nabi-lah yang membuat mu‘zijat dan tanda-tanda kenabian.

 

  1. Sebagian besar tokoh Islam berpendapat, Allah tidak boleh me mberi kemampuan kepada makhluk-Nya untuk menciptakan Asam. Ia pun tidak disifati kuasa memberi kemampuan kepada makhluk-Nya untuk menciptakan Ajsam. ApabiIa hal itu dibolehkan, maka pada segaIa sesuatu yang ada, tidak ditemukan petunjuk bahwa yang menciptakan bukanlah pembuat yang mempunyai Jism.

 

9 Sebagian besar abli berpikir menolak menyifati Allah kuasa menciptakan kemampuan bagi hamba-Nya untuk membuat hidup, matt, dan aksidenaksiden (A’radh) lainnya, Bahkan, mereka pun menolak menyifati-Nya kuasa membenkan kemampuan kepada seseorang untuk membuat warna, bau, dingin, dan panas. Setiap aksiden tidak boleh dikatakan sebagai buatan manusia. Pandapat ini dikemukakan oleh Abu Fludzail dan Al-Juba‘i.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, boleh saIa Allah distfati kuasa memberikan kemampuan kepada hamba-hamba-Nya untuk membuat warna, bau, dan rasa. Bahkan, mereka benar-benar mampu melakukannya. Akan tetapi, Ia tidak boleh memberi kemampuan kepada mereka untuk membuat hidup dan mati. Pendapat ini dikemukakan oleh Basyr bin Al-Mu’tamar.

 

  1. Abu Al-Husein Ash-Shalihi berpendapat, Allah bersifat kuasa memberikan kemampuan kepada hamba-hamba-Nya untuk me mbuat aksiden, hidup, mati, dan yang lainnya. Akan tetapi, ia me nolak menyifati-Nya kuasa memberikan kemampuan bagi mereka untuk me mbuat substansi (Jawahir).

 

  1. An-Nazhzham berpendapat, tidak boleh Allah memberikan kemampuan kepada hamba-Nya, kecuali untuk melakukan gerakan. Sebab, tidak ada aksiden, kecuali berupa gerakan-gerakan, sedangkan gerakan-gerakan itu jcnisnya satu. Mereka tidak boleh diberi kemampuan untuk membuat substansi Gawahir) dan hidup.

 

  1. Sebagian besar tokoh Mu ‘tazilah berpendapat, sesungguhnya Allah telah memberikan kemampuan kepada hamba-hamba-Nya untuk membuat sesuatu di luar daerahnya (haizihim) (?).

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, hamba-hamba telah dipericmah oleh Allah untuk menciptakan substansi bagi dirinya.

 

1S. Sebagian Mutakallimin yang lainnya lagi berpendapat, mereka tidak disifati mampu atau lemah menciptakan substansi karena hal itu mustahil bagi mereka.

 

  1. An-Najjar berpendapat, sesungguhnya manusia mampu menjalankan kasab, tetapi tidak mampu menciptakannya. Apa-apa yang dilakukannya merupakan hasil kasabnya, bukan hasil ciptaannya.

 

  1. Pendapat di atas dibantah oleh tokoh Mutakallimin selainnya. Mereka berpendapat, “Kami tidak mengatakan bahwa Allah memperlemah kami untuk mecncipta, tidak puIa mengatakan memberi kemampuan untuk mencipta karena hal itu mustahil adanya walaupun kita mampu menjalankan kasab. Sebagaimana gerakan yang mampu dilakukan Allah, pada saat Allah tidak disifati mampu atau lemah melakukannya.”

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat tentang apakah Allah kuasa mengubah aksiden (A’radh) menjadi Jism atau sebhaliknya?

 

  1. Sebagian Mlutakallimin berpendapat, pada dasarnya segaIa sesuatu itu akan tetap pada esensinya sebagaimana ketika diciptakan. Namun, Allah dapat saIa (kuasa) mecngubah Jism menjadi aksiden atau sebaliknya. Mereka pun berpendapat bahwa Jism itu pada esensinya merupakan kombinasi dari bau, warna, dingin, basah, kering, dan sebayainya.

 

  1. Sebagaian Mutakallimin yang lain berpendapat, penyifatan Allah kuasa mengubah aksiden (A’racdh) menjadi Jism atau sebaliknya me rupakan sesuatu yang mustahil. Sebab, perubahan berarti membatalkan aksiden yang, ada pada sesuatu dan menggantinya dengan aksiden baru. Alasannya, setiap aksiden memiliki kekhasan masing-masing, sehingga tatkaIa satu aksiden diambil dari sesuatu, maka tidak serta merta aksiden lain dapat menggantikannya sehingga aksiden tersebut berubah menjadi Jism. Mereka pun mengajukan alasan selain yang dikemukakan di atas.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang apakah Allah kuasa membuat Jism menjadi satu bagian yang tidak dibagi-bagi lagi?

 

Hal itu ditolak oleh An-Nazhzham dan orang-orang yang menolak adanya bagian yang tidak dapat terbagi-bagi lagi.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang apakah Allah kuasa menyatukan pengetahuan, kuasa, dan mati? Kebanyakan tokoh Miutakallimin berpendapat, mustahil Allah me nyatukan kekuasaan, pengetahuan, kehendak, dan mati, sebagaimana mustahil puIa

 

Ia menyatukan antara mati dan hidup. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Hudail, Mu’ammar, Hisyam, Basyr Al-Mu’tamar, dan tokoh-tokoh Mu tazilah lainnya.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang boleh-tidaknya perikehidupan dipisahkan dari kekuasaan (qudrah):

 

  1. Abu-Hudzail membolehkan hal itu terjadi.

 

  1. Abbad bin Sulannan menolak poendapat di atas.

 

  1. Shalih dan Abu Flasan yang dikenal dengan sebutan Ash-Shalihi berpendapat, sesungrguhnya Allah bersifat kuasa menyatukan ilmu, kekuasaan, dan kematian, sebagaimana ia menyatukan perikehidupan, kebodohan, kelemahan, dan keterpaksaan. Alasannya, ketika aksidenaksiden menyatu, mungkin saIa kebalikan dari aksiden-aksiden itu pun menyatu. Ketika satu aksiden berlawanan dengan aksiden yang lain, maka kebalikan aksiden yang satu itu pun berlawanan dengan kebalikan aksiden yang lain. Umpamanya, seandainya pengetahuan becrlawanan dengan kematian, maka perikehidupan berlawanan dengan kebodohan. Seandainya kekuasaan dan kehendak berlawanan dengan kematian, maka keterpaksaan dan kelemahan berlawanan dengan kehidupan. ApabiIa kebodohan, kelemahan, dan keterpaksaan. dibolehkan menyatu. dengan perikehidupan, maka pengetahuan, kekuasaan, dan kehendak pun diperbolehkan ményatu dengan kematian. Mereka me omperbolehkan Allah disifati kuasa menyatukan perikehidupan dengan kematian dan menusahkan perikehidupan dari kekuasaan.

 

  1. Abu Al-Husein, Abu Al-Hudzail dan tokoh-tokoh yang sependapat dengan mereka menetapkan kekuasaan Allah menciptakan penglihatan hati Gidrak) bersama kebutaan. Abu Hudzail berpendapat bahwa yang dimaksud dengan idrak adalah penglihatan hati. Sedangkan Ash-Shalihi berpendapat bahwa antara idrak dan kebutaan dapat ditempatkan pada satu tempat. Alasannya, kalau kebutaan merupakan idrak, maka Ia pun merupakan kebalikan dari penglihatan mata (6ashar). Akan tetapi pendapat di atas dibantah oleh tokoh-tokoh Mu’tazillah yang lain. Abu Hudzail dan Ash-Shalihi mhenyifati Tuhannya mampu menyatukan kapas dengan api tanpa adanya proses pembakaran, juga antara batu dan udara tanpa adanya proses gravitasi. Akan tetapi, pendapat ini ditolak oleh tokoh Mutakallimin lainnya.

 

  1. Muhammad Abd Al-Wahhab Al-Juba’i menolak menyifati Tubannya kuasa menciptakan penglihatan hati (idrak) bersama kebutaan. Sebab, kebutaan, menurutnya, merupakan kebalikan idrak. Namun, ia tetap menyifati Tuhannya kuasa menyatukan api dan kapas tanpa terjadi proses pembakaran dan me nempatkan batu di udara tanpa penyangga. TatkaIa kapas dan api menyatu, Allah menjadikan api tidak membakar sechingga proses pembakaran itu tidak terjadi.

 

  1. Shalih dan Abu Hasan menyifati Tuhannya kuasa menyatukan penglihatan yang sehat dengan objek penglihatan, tetapi mata tidak dapat menangkap objek itu. Seandainya di hadapan seseorang terdapat seckor gajah yang Ictaknya dekat dengannya dan biji sawi yang Ictaknya jauh darinya, maka Allah kuasa menjadikan orang itu menangkap objek biji sawi, tetapi tidak dapat menangkap objck gajah

 

Mereka pun membolehkan Allah menciptakan substansi (jauhar) tanpa aksiden atau meniadakan aksiden dari substansi. Karenanya, substansi itu tidak bergerak dan tidak puIa diam, tidak menyatu dan tidak puIa berpisah, tidak panas dan tidak puIa dingin, tidak kering dan tidak puIa basah, tidak berwarna dan tidak puIa berasa. Yakni, substansi itu tidak menerima bentuk aksiden.

 

  1. Kebanyakan pemikir menolak pendapat di atas. Menurut kebanyakan ahh shalat, tidak mungkin ditemukan substansi tanpa aksiden. Mereka pun menilai kelitunya pandangan yang menyatakan Tuhan kuasa menyatukan penglihatan yang sehat dengan objek penglihatan, tetapi mata tidak dapat menangkap objck itu. Sebab, ketika tidak menciptakan suatu aksiden, Allah pasti menciptakan kebalikannya. BiIa tidak demikian, maka substansi pun boleh saIa tidak memiliki kebalikan dan aksiden.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang persealan letak bumi.

 

  1. Keumuman ahli tauhid berpendapat, sesungguhnya Allah bersifat kuasa meletakkan bumi tidak di atas sesuatu. Kenyataannya, memang Allah tidak meletakkannya di atas sesuatu. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Hudzail dan yang lainnya. .

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain menolak menyifati Allah kuasa meletakkan bumi tidak di atas sesuatu atau menggerakkannya tidak di dalam sesuatu. Menurut mereka, pada setiap saat Allah menciptakan suatu Jism di bawah bumi (sehingga bumi diletakkan di atasnya) yang pada suatu saat nanti (ketika Jism itu sudah rusak) Allah menggantinya dengan Jism yang lain. Begitulah seterusnya yang terjadi pada bumi. Menurut mereka, suatu Jism bergerak kalau kalau tidak diam atau sebailiknya. Mustahil puIa sesuatu bergerak bukan karena sesuatu atau tidak di atas sesuatu.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain menolak menyifati Allah kuasa meletakkan bumi di atas sesuatu. Bahwa Allah menciptakan suatu Jism di bawab bumi yang selalu berkecenderungan menanjak. Gerakannya ketika menanjak sama seperti gerakan bumi ketika turun. Ketika dua kekuatan itu menyatu, bumi berdiam pada porosnya.

 

4, Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, tidak demikian adanya, tetapi Allah menciptakan bumi dari dua jenis; jenis yang berat dan jenis yang ringan. Kedua jenis itu berada dalam keseimbangan sehingga bumi menctap pada porosnya.

 

  1. Ibn Ar-Rawandt dan sekelompok Mutakallimin yang berpeegang tepguh men-tauhid-kan Allah berpendapat, belumlah sempurna kesaan Allah itu sebelum Ia disifati kuasa menyatukan perikehidupan bersama kematian; gerakan beserta diam; mencmpatkan satu Jism pada dua tempat dalam waktu yang bersamaan; menjadikan satu benda yang tidak dapat dibagi menjadi seratus ribu bagian tanpa ada penambahan, dan menjadikan seratus ribu bagian menjadi satu benda tanpa ada pengurangan sedikit pun. Mereka menyifati Tuhannya kuasa menempatkan dunia di dalam sebutir telur tanpa mengubah Iebih dahulu ukuran telur dan bumi. Allah pun kuasa menciptakan yang serupa dengan-Nya, menciptakan diri-Nya sendiri, dan menjadikan suatu yang baru menjadi qadim dan sebaliknya. Kami sebelumnya tidak pernah mendengar pendapat seperti ini. Dan tidak ada seorang pun mengemukakannya selain mereka. Hanya saja, pendapat seperti ini telah dimanfaatkan oleh setan yang dilaknat agar diyakini oleh orang yang tidak memiliki ma’rifat dan pengetahuan.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang apakah Allah kuasa menciptakan substansi tanpa aksiden?

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat, Allah disifati puIa kuasa menciptakan substansi tanpa aksiden.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang, lain berpendapat, mustahil Allah menciptakan substansi tanpa aksiden. Ia pun tidak disifati kuasa untuk melakukannya.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat tentang apakah Allah kuasa menciptakan luthf bagi orang yang diketahui-Nya tidak beriman agar ia menjadi beriman?

 

  1. Seluruh abli itsbat, Basyr Al-Mu’tamar, dan Ja’far bin Harb berpendapat, sesungguhnya Allah kuasa menciptakan luthf yang, apabiIa Allah memberikannya kepada orang yang diketahui-Nya tidak beriman, niseaya orang itu akan beriman. Hanya saIa Ja’far bin Harb berkata, “Orang itu tidak berhak memperoleh pahaIa ats keimanannya, sebagaimana yang kan ia akan peroleh apabiIa Allah tidak memberikan luthf kepadanya. Allah melakukannya demi kebaikan dan ashilah (hal yang paling baik dilakukan) yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya.”’ Sedangkan Basyr tidak sependapat dengan perkataan Ja’far tersebut.

 

  1. Basyr berpendapat, luthf yang telah Allah tentukan tidak memiliki batas dan akhir. Allah memiliki luthf yang paling baik (ashlah) daripada yang telah diberikan (kepada hamba-Nya). Seandainya yang paling baik itu diserahkan kepada makhluk-Nya, pasti mereka semuanya beriman kepada Allah secara suka rela, bukan paksaan. Namun, Allah telah memberikan luthf kepada mereka sebanding yang mereka butuhkan untuk menjalankan beban taklif yang telah diterimanya.

 

  1. Seluruh tokoh Mu tazilah selain Basyr Al-Mu’tamar berpendapat, sesungguhnya Allah tidak memiliki luthf yang apabiIa diberikan kepada orang yang tidak beriman, maka ia menjadi beriman. Seandainya Allah benar-benar memilikinya dan memberikannya kepada orang-orang kafir, pasti mereka semuanya beriman. Namun, Allah tidak melakukannya, berarti Ia tidak menghendaki untuk memberi manfaat kepada mereka. Karenanya, mereka tidak menyifati-Nya dengan hal di atas. Mahasuci Allah dari apa yang mereka katakan.

 

  1. Ketika ditanya, “Apakah Allah disifati kuasa memberikan sesuatu yang lebih baik (ashlah) daripada yang selama ini diberikan kepada hamba-hamba-Nya? Mereka tokoh-tokoh Mu’tazilah menjawab, “Jika yang kalian maksudkan adalah bahwa Allah kuasa memberikan sesuatu yang lebih baik (ashlah) daripada yang selama ini diberikan kepada hambahamba-Nya, maka memang Allah kuasa memberikannya tanpa dibatasi oleh ujung. Jika yang kalian maksudkan adalah Allah kuasa memberikan sesuatu yang lebih baik kepada hamba-hamba-Nya, tetapi Ia ternyata menyimpannya padahal Ia mengetahui kebutuhan hamba-hamba-Nya terhadapnya untuk merealisasikan beban taklif yang telah diterimanya, maka Ia kuasa (?) atau lemah melakukan-Nya. Sebab, yang selama ini Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya adalah sesuatu yang kebaikannya sudah berada di titik penghujung. Menurut mereka, sesuatu yang paling baik (ashlah) adalah yang berada di titik penghujung. Tidak ada yang lebih baik lagi setelah titik penghujung itu. Tidak ada yang lebih baik setelah titik penghujung itu. Jawaban yang mereka kemukakan ini mirip dengan pendapat orang yang yang berpendapat bahwa Allah kuasa menciptakan sesuatu yang lebih kecil daripada sesuatu yang tidak dapat terbagi-bagi lagi.

 

Jawaban Tain yang mereka kemukakan adalah ketika selama ini ANah memberikan kebaikan kepada Abdullah, maka Ia kuasa memberikan sesuatu yang Iebih baik daripada yang telah cdiberikan kepada Abdullah kepada Zaid, ketika selama ini Allah membecrikan kebaikan kepada Zaid, maka ia kuasa memberikan sesuatu yang Icbth baik daripada yang telah diberikan kepada Zaid kepada Muhammad. Begitulah seterusnya.

 

Mereka berpendapat, Allah tidak boleh menyimpan sesuatu yang Icbih baik (ashlah) daripada yang selama ini diberikan kepada hambahamba-Nya. Mereka pun berpendapat bahwa kualitas minimun kebaikan yang diberikan Allah kepada mereka berada di luar ruang lingkup sesuatu yang lebih. baik (ashlah). Tidaklah ada suatu kebaikan pun yang telah Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya, kecuali Ia mampu memberikan yang sebanding atau yang lebih baik (ashlah) darinya tanpa dibatasi oleh ujung. Allah pun berkuasa memberikan kebaikan lain selain kebaikan yang selama ini diberikan kepada hamba-hamba-Nya bahkan memberikan kebaikannya, yakni kerusakan-kerusakan. .

 

  1. Sebagian tokoh Mutakallimin yang tidak: menyifati Allah kuasa memberikan luthf yang menyebabkan orang-orang kafir akan beriman berpendapat, dalam persealan derajat, Allah disifati kuasa memberikan pahaIa yang lebih banyak (aktsar) daripada yang selama ini diberikan kepada hamba-hamba-Nya. TatkaIa Allah memberikan derajat yang lebih tingsi kepada seseorang, tentunya ketaatannya pun akan semakin bertambah sehingga pahalanya pun akan bertambah. Namun, Allah tidak disifati kuasa memberikan sesuatuyang lebih baik (ashlah) daripada yang selama ini diberikan-kepada hamba-hamba-Nya, yang dengannya orang kafir akan beriman dan orang beriman akan menjalani beban laklifnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Juba’i.

 

Tokoh Mutakallimin yang mendukung teori al-ashiah di atas tidak menyifati Allah kuasa menciptakan suatu kedudukan yang apabiIa Ia berikan kepada seseorang, lalu setelah itu mengambilnya kembali, maka pahalanya akan semakin bertambah.

 

  1. Abbad bin Sulaiman menolak menyifati Allah kuasa memberikan sesuatu yang Icbih baik (ashlah) daripada yang selama ini diberikan kepada hamba-hamba-Nya. Padahal Allah sendiri mengetahui tentang itu, tetapi tidak memberikannya. Alasannya biIa demikian halnya, berarti Allah telah melakukan kelaliman.

 

  1. Ibrahim An-Nazhzham berpendapat, luthf yang telah diciptakan Allah memiliki penghujung (ghaya) dan totalitas (kull). Tidak ada yang Icbih baik daripada luthf yang telah diciptakan-Nya. Hanya saja, ia memiliki yang serupa dengannya. An-Nazhzham pun meonolak menyifati Allah kuasa melakukan sesuatu yang lebih baik (asia) daripada yang selama ini ia lakukan, Alasannya, seandainya ia mampu meclakukan-Nya, tetapi tidak melakukannya, maka fa disifati kikir, An-Nazhzham pun me nolak menyifati Allah kuasa melakukan sesuatu yang Iebih jelek daripada yang selama ini dilakukan-Nya, yang karenanya berarti Ia telah melakukan kekurangan, sedangkan ia dak boleh me lakukan kekurangan.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, luthf yang telah diciptakan Allah memiliki penghujung (ghayah) dan totalitas (jami’). Tidak ada yang lebih baik daripada yang selama ini dilakukan Allah. Allah kuasa menciptakan sesuatu yang sebanding atau lebih rendah daripada yang selama ini diciptakan.

 

Mereka pun berpendapat, jika Allah mampu melakukan sesuatu yang paling baik (ashlah), tetapi Ia tidak me lakukannya maka seluruh ciptaan-Nya akan rusak. Mereka pun menolak mengatakan bahwa Allah kuasa melakukan sesuatu yang lebih baik (ashlah) daripada yang selama ini Ia lakukan. Alasannya, seandainya Ia mampu melakukan, maka yang paling baik bagi-Nya adalah melakukannya. (Pada kenyataannya) apa yang dilakukan Allah memang selalu yang baik. Lagi puIa Allah menciptakan makhluk bukan karena Ia membutuhkan mereka, tetapi semata-mata mengandung hikmah-hikmah tertentu di dalamnya. Allah selalu memberikan sesuatu yang bermanfaat kepada mereka. Allah Mahasuci untuk disebut yang bakhil. Allah yang Maha Sempurna tidak boleh mengabaikan sesuatu yang terbaik dan beralih untuk me lakukan sesuatu yang lain. Hanya saIa Ia kuasa menciptakan sesuatu yang sebanding atau lebih rendah daripada yang selama ini Ia ciptakan.

 

Alasannya, ia bukan Dzat yang lemah. Lagi pula, kalau ia tidak dikatakan kuasa melakukannya, tentunya Ia akan disifati lemah. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Hudzail.

 

  1. Ahli itsbat berpendapat, Juthf yang telah diciptakan Allah tidak memiliki penghujunglakhir (ghayahlnihayah). Tidak ada suatu luthf pun, kecuali Allah kuasa menciptakan stsuatu yang lebih baik atau Icbih jelek dari padanya. Tidaklah setiap orang yang dibebant taklif diberi luthf. Hal ini karena Luthf diberikan kepada orang-orang yang beriman. TatkaIa seseorang memperoleh luthf, ia akan beriman. Sebab, tidak semata-mata Allah memberikan sesuatu kepada hamba-Nya, kecuali sesuatu itu bermanfaat.

 

Mereka berpendapat, sesungguhnya Allah dapat saIa membebankan taklif kopada sebuah kaum yang tidak diberi luthf

 

Mereka berpendapat, kemampuan melakukan ketaatan kepada Allah merupakan luthf ketaatan itu sendiri merupakan luthf Al-Quran dan petunjuk-petunjuknya semuanya merupakan luthf dan kebaikan bagi orang-orang yang beriman, tetapi bencana dan penghinaan bagi orang-orang kafir. Mereka berargumentasi dengan firman-firman Allah berikut

 

Artinya: “Dan artinya Al-Quran itu Kami jadikan (bacaan) dalam bahasa asing, tentulah mereka akan berkata, “Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya (dalam bahasa yang kami pahami)? Patutkah Kitab itu berbahasa asing, sedangkan Rasul yang membawanya berbangsa Arab?” Katakanlah (wahai Muhammad), “Al-Quran itu, menjadi (cahaya) petunjuk serta penawar bagi orang-orang yang beriman; dan sebaliknya orang-orang yang tidak beriman, (Al-Quran itu) menjadi sebagai satu penyakit yang menyumbat telinga mereka (bukan penawar); dan ia juga merupakan gelap-gulita yang menimpa (pandangan) mereka (bukan cahaya yang menerangi). Mereka itu (dengan perbuatan melarikan cdiri dari ajaran Al-Quran, tidak ubahnya seperti) orang-orang yang diseru dari tempat yang jauh (mereka tidak dapat mendengar dengan betul atau melihat dengan nyata).” (QS. Fushshilat (41) : 44)

 

Artinya: “Dan kalaulah tidak karena manusia akan menjadi umat yang satu (dalam kekufuran), niseaya Kami jadikan bagi orang-orang yang kufur ingkar kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, bumbung rumahrumah mereka dari perak, dan tangga-tangga yang mereka naik turun di atasnya (dari perak juga).”’ (QS. Az-Zukhruf (43) : 33)

 

Artinya: “Kemudian sesudah itu kamu membelakangkan perjanjian setia kamu itu (tidak menyempurnakannya); maka kalau tidaklah karena limpah kurnia Allah dan belas kasihan-Nya kepada kamu (dengan membuka piniu tobat), niseaya menjadilah kamu dari golongan orang-orang yang rugi.” (QS. Al-Baqarah (2) : 64)

 

Artinya: “.. dan jika tdak karena limpahan karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti setan kecuali sebagian kecil saIa di antara kamu.” (QS. An-Nisa’ (4) : 83)

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, luthf yang telah diciptakan Allah memiliki penghujung (ghayah) dan totalitas (kull), Tidak ada yang Icbih baik (ashlah) daripada yang selama ini dilakukan Allah. Allah kuasa menciptakan sesuatu yang lebih rendah daripada yang selama ini diciptakan, tetapi tidak kuasa menciptakan sesuatu yang sebanding dengan-Nya. Alasannya, jika ia kuasa melakukannya, maka yang selama ini dilakukannya bukanlah sesuatu yang terbaik (ashlah). Mereka berpendapat, jika Allah kuasa melakukan sesuatu yang lebih baik (ashlah) daripada yang selama ini dilakukannya-Nya, lalu Ia tidak me lakukannya, maka ia bakhil.

 

Mereka pun berpendapat, Allah tidak boleh memeriniahkan hambaNya melakukan sesuatu yang berbeda dengan sesuatu yang sebelumnya pernah diperiniahkan.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, luthf yang telah diciptakan Allah memiliki penghujung (ghayah) dan totalitas Gari). Tidak ada yang Icbih batk (ashlah)daripada yang selama ini atau akan dilakukan Allah. Mereka menolak menyifati Allah kuasa melakukan sesuatu yang Icbih baik (ashlah), yang sebanding, dan yang lebih jelek daripada yang selama ini Ia lakukan. Alasannya, Allah selalu memberikan yang terbaik kepada hamba-Nya. Allah bukanlah Dzat yang bakhil dengan cara menimbun nikmat dan keutamaan. Bahkan, tatkaIa seorang hamba mendekati kematiannya, pasti Allah me mberikan kebaikan yang tersisa baginya. :

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat, Allah senantiasa berbuat baik, dalam arti Ia senantisa tahu bagaimana Ia berbuat, bukan dalam arti Ia senantiasa berbuat baik dengan (sebab) kebaikan itu; bukan puIa dalam arti menjadikan kebaikan senantiasa ada.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, Allah senantiasa berbuat baik dalam arti yang sebenarnya (haqiqah).

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain lagi berpendapat, berbuat baik itu merupakan salah satu perbuatan (Allah), (bukan namalsifat Allah, penj.). Karenanya, tidak boleh dinyatakan “Allah senantiasa berbuat baik”’, kecuali dalam arti Ia senantiasa berbuat baik kepada makhluk-Nya semecnjak ia menciptakannya. Kebaikan yang dilakukaninya memiliki permulaan (awwal) dan akhir (ghayah) (seiring dengan konseekucnsi suatu pekerjaan. penj.).

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, Allah senantiasa berbuat baik dalam arti akan berbuat baik.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat tentang boleh-tidaknya menyatakan Allah senantiasa tidak berbuat baik.

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat, tidak boleh memutlakkan hal itu kepada Allah walapun berbuat baik itu sendiri merupakan suatu perbuatan (Allah).

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, Allah senantiasa tidak berbuat baik.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang boleh-tidaknya menyatakan Allah senantiasa bersifat adil dengan menafikan kelaliman dari-Nya.

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat, Allah senantiasa bersifat adil, dalam arti menetapkan keadilan-Nya. Dan pada hakikatnya Allah senantiasa bersifat adil.

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat, tidak dapat dinyatakan “Allah senantiasa adil” karena berbuat adil bagi-Nya merupakan salah satu pekerjaan-Nya (bukan narna atau sifat-Nya).

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang boleh-tidaknya menyatakan Allah senantiasa tidak berbuat adil.

 

  1. Sebagian Mutakallimin berbeda pendapat, tidak boleh menyatakan demikian.

 

  1. Sebagian Afitakaliiniun yang lain berpendapat, tidak boleh menyatakan Allah senantiasa berbuat adil, juga tidak boleh menyatakan Allah senantiasa berbuat lalim.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang boleh-tidaknya menyatakan Allah senantiasa penyabar (lalim)?

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat, Allah senantiasa penyabar, dalam arti menafikan kepandiran dari-Nya.

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat, makna ungkapan “Allah senantiasa penyabar” adalah menetapkan Allah senantiasa penyabar, bukan dalam arti menafikan kepandiran dari-Nya.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, tidak dapat dinyatakan Allah senantiasa penyabar, karena penyabar itu merupakan salah satu perbuatan Allah (bukan sifatlnama-Nya)

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang boleh-tidaknya menyatakan Allah senantiasa tidak penyabar (Halim)?

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat,Allah tidak dapat dinyatakan senantiasa penyabar, tidak puIa dapat dinyatakan senantiasa pandir.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpéndapat, tidak boleh menyatakan Allah senantiasa tidak penyabar. :

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, Allah senantiasa mencipta, berbuat keadilan, sabar, dan berbuat kebaikan, dalam arti Ia senantiasa kuasa melakukan semuanya.

 

  1. Tokoh-tokoh Mu tazilah dan kebanyakan tokoh Mutakallimin berpendapat, sifat jujur termasuk salah satu sifat fi ’liyyah Allah. Tidak boleh menyatakan Allah senantiasa tidak bersifat jujur.

 

  1. Ja’far bin Muhammad bin Ali ridhwanullah alaihim berpendapat, Allah senantiasa bersifat jujur dalam arti menafikan kedustaan dari-Nya.

 

  1. An-Najjar berpendapat, Allah senantiasa bersifat jujur, dalam arti ia senantiasa bersifat kuasa melakukan kejujuran.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, pada hakikatnya, Allah senantiasa bersifat jujur, yakni menctapkan kejujuran sebagai salah satu sifat-Nya.

 

  1. Sehagian Mutakallimin yang lain lagi berpeendapat, Allah senantiasa bersifat Yang bersabda (mutakallim). Sabda-Nya tidak dinamai khabar kecuali karena alasan-alasan tertentu. Kejujuran me rupakan bagian dari proses pemberitaan (pengabaran). Karenanya, saya tidak menyatakan Allah senantiasa bersifat jujur.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat tentang boleh-tidaknya menyatakan Allah senantiasa tidak bersifat jujur.

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat, tidak boleh menyatakan demikian.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, Allah senantiasa bersifat tidak jujur dan tidak dusta.

 

Ulama Mutakallimin berbeda pendapat tentang sifat pengasih Allah:

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat Allah senantiasa bersifat Pengasih.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, mengasihi merupakan salah satu perbuatan (Allah), karenanya tidak dapat dinyatakan bahwa Allah senantiasa bersifat pengasih. .

 

Tokoh-tokoh Mutakallimin berbeda pendapat bahwa rahmat merupakan perbuatan Allah. Mereka berbeda pendapat tentang boleh-tidaknya menyatakan Allah senantiasa tidak bersifat pengasih. Sebagian mereka me embolehkannya.

 

  1. Sebhagian Mutakallimin berpendapat, malik termasuk salah satu sifat Dezatiyyah Allah.

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat, makna malik adalah yang kuasa (qadir),

 

1, Tokoh-tokoh Mu tazilah berpendapat, wilayah, permusuhan, kerelaan, dan kemurkaan Allah termasuk sifat fi ’liyyah-Nya.

 

  1. Sulaiman bin Jarir dan Abdullah bin Kullab berpendapat, wilayah, permusuhan, kerelaan, dan komurkaan Allah termasuk sifat Dzatiyyah-Nya

 

  1. Tokoh-tokoh Mu’tazillah, Khawarij, dan sebagian besar Zaidiyyah, Murjivah dan Rafidah berpendapat, Al-Quran adalah sahbda dan makhluk Allah, ia ada setelah tidak ada sebelumnya.

 

  1. Hisyam bin Al-liakam berpendapat, Al-Quran adalah sifat Allah. Ia bukan makhluk (yang, diciptakan), tetapi bukan puIa pencipta (Khaliq).

 

  1. Al-Bulkhi me nambahkan bahwa Ibn Hakam pun berpendapat, Al-Quran bukanlah makhluk, bukan puIa selain-makhluk. Sebab, sifat-sifat Allah tidak dapat disifati lagi. ia dalam penuturan Zurqan me mbagi AlQuran ke dalam dua bagian: Jika yang Anda maksud dengan Al-Quran adalah yang dapat didengar, maka Allah telah menciptakan suara yang terpotong-potong, (Ais-Shaut Al-Mugaththa), yakni Al-Quran dalam bentuk rasim Utsinani. Sika yang Anda maksud dengan Al-Quran adalah perbuatan dan gerakan Allah, maka ia bukanlah Allah, tetapi bukan puIa selain-Nya.

 

  1. Muhammad bin SyujIa Ats-Tsalji dan para pengikutnya berpendapat, AlQuran adalah sabda Allah. Ia dimunculkan dari-tiada, dan Allah-lah yang memunculkannya. Mereka menolak mengatakannya sebagai makhluk atau bukan makhluk

 

  1. Zuhair Al-Atsari berpeendapat, AL Quran adalah sabda Allah yang bersifat baru Griuhdais). ta bukan makhluk Allah. Pada waktu yang bersamaan, ia akan ditemukan di beberapa tempat.

 

  1. Ada informasi yang sampai kepadaku bahwa sebagian ahli fiqih ada yang berpendapat bahwa Allah senantiasa bersabda, dalam arti Ia senantiasa kuasa bersabda. Sabda Allah itu baru dan bukan makhluk. Pendapat ini dikemukakan oleh Dawud Al-Ashbahani.

 

  1. Abu Mu’adz At-Taumini berpendapat, Al-Quran adalah sabda Allah. Ia baru, tetapi tidak dimunculkan dari tiada (muhdats). Kemunculannya disebabkan oleh Allah. ia merupakan perbuatan (Allah), tetapi bukan objck perbuatan. At-Taumini menolak mengatakan Al-Quran sebagai penciptaan (khalg) dan yang diciptakan (makhluq). Mustahil Allah berbicara dengan sabda yang muncul oleh sebab selain-Nya, sebagimana halnya mustahil Ia bergerak dengan gerakan yang muncul oleh sebab selain-Nya.

 

At-Taumini pun berpendapat bahwa kehendak, keciniaan, dan kebencian Allah muncul oleh sebab selain-Nya.

 

At-Taumini pun berpendapat bahwa sebagian Al-Quran berisi periniah, yakni kehendak-Nya atas keimanan, karena makna kehendakNya itu adalah periniah-Nya.

 

  1. Muammar menurut penuturan Zurqan berpendapat, sesungguhnya Allah telah menciptakan substansi (jauhar), sedangkan aksiden yang berada di dalamnya diproduksi oleh dirinya sendiri. Al-Quran pun sebenarmya merupakan produk substansi. Dengan demikian, Al-Quran bukanlah pencipta, tetapi bukan puIa yang diciptakan (makhluq). Ia kmuncul karena yang inheren di dalam substansi.

 

  1. Tsamamah bin Asyras An-Numairi berpendapat, boleh saIa dikatakan Al-Quran muncul secara naluriltabi’at dari substansi. Karena itu, AlQuran tidak dapat dikatakan pencipta dan yang diciptakan. Boleh puIa dikatakan Allah-lah yang mecmunculkannya sehingga 1a dinamakan makhluk Allah. Pendapat ini pun dikemukakan oleh AbduHah bin Kullab.

 

  1. Sabdullah bin Kullab berpendapat, Allah senantiasa bersifat bersabda. Sabda-Nya itu merupakan sifat Allah yang berdiri dengan sebab Allah sendiri. Allah bersifat qadim dengan (sebab) sabda-Nya. Sabda-Nya itu berdiri dengan sebab-Nya sendiri. Sebagaimana puIa halnya pengetahuan, kekuasaan, dan ke-qadim-an-Nya. Sabdanya bukan huruf dan suara,; tidak terbagi, tidak bersegmen (yutazza), dan tidak berubah. Al-Quran merupakan kesatuan makna, sedangkan rasm (tulisannya) terdiri dari huruf-huruf yang berubah-ubah, yakni bacaan Al-Quran. Kelirulah orang yang mengatakan bahwa Al-Quran merupakan sabda Allah di mana ia adalah Allah sendiri atau sebagian Allah atau selain-Nya. Asumsi terhadap sabda Allah akan berbeda-beda dan berubah-ubah, sedangkan sabdaNya sendiri tidak berbeda-beda dan tidak puIa berubah-ubah. Bandingannya, bentuk dzikir kita kepada Allah (mungkin) akan berbeda-beda dan tidak puIa berubah-ubah, Al-Quran dinamai dengan Arabiyyan karena bahasa yang digunakan untuk menulis dan membacanya adalah bahasa Arab. Terkadang puIa Al-Quran dinamai dengan Ibraniyyah, periniah, larangan, atau berita karena alasan serupa, Allah sendiri ; senantiasa bersifat bersabda sebelum menamai sabda-Nya dengan periniah, atau larangan, atau berita dan sebelum muncul alasan yang melatarbelakangi penamaan sabda-Nya dengan periniah atau larangan, dan berita. Ibn Kullab menolak menyatakan bahwa Allah senantiasa bersifat memberi berita dan senantiasa bersifat melarang. ia berpendapat bahwa setiap menciptakan sesuatu Allah mengatakan “‘jadilah” (kun). Mustahil perkataan-Nya itu berbunyi “Jadilah engkau sebagai makhluk” (kun makhluq) . Ibn Kullab pun berpendapat, apa yang kita dengan dari orang-orang yang sdang membaca Al-Quran merupakan ckspresi (ibarat) sabda Allah. Musa A.s. mendengar Allah bersabda dengan sabda-Nya, Dan bahwa makna firman Alloh:

 

(QS. At-Taubah (9) : 6) adalah, sampai ia (salah seorang musyrikin) mendengar sabda Allah atau “sampai ia mendengar orang membacakan sabda Allah’’.

 

  1. Sebagian tokoh Mutakallimin yang menolak kemakhlukan Al-Quran berpendapat, sesungguhnya Al-Quran itu dapat didengar dan ditulis. Ia berubah-ubah dan bukan makhluk. Demikian pula, pengetahuan Allah bukanlah kekuasaan-Nya, begitu puIa sebaliknya. Tidak boleh Allah itu dikatakan bukan sifat-sifat-Nya, walaupun Sifat-sifat-Nya itu berubahubah, sedangkan Allah sendiri tidak pernah berubah

 

Pencetus pendapat di atas pun mengatakan bahwa sebagian Al-Quran adalah makhluk, sedangkan sebagian lainnya bukan makhluk. Bagian Al-Quran yang berupa makhluk sama dengan sifat-sifat makhluk Allah lain-Nya, seperti nama-nama dan peekerjaan mereka.

 

Mereka berpendapat bahwa sabda (Allah) bukanlah baru (muhdats). Dan bahwa Allah senantiasa bersifat bicara dengan sabda-Nya. Sabdasabda-Nya itu terdiri atas huruf-huruf dan suara. Dengan sabda semacam inilah Allah senantiasa bersifat bicara.

 

  1. Ibn Al-Majisyun berpendapat, setengah Al-Quran merupakan makhluk, sedangkan setengah lainnya bukan makhluk.

 

  1. Sebagian ahli hadits berpendapat, pengetahuan Allah yang berada di dalam Al-Quran tidak kami katakan makhluk atau bukan selain Allah. Sedangkan periniah dan larangan yang ada di dalamnya merupakan makhluk. Penisbatan pendapat ini kepada Sulaiman bin Jarir menurutku merupakan kekeliruan.

 

  1. Muhammad bin Syuja’ menceritakan, ada sekelompok orang Mutakallimin berpendapat Al-Quran adalah pencipta. Tetapi sebagian mereka mengatakan sebagian saIa yang menjadi pencipta. Zurqan menceritakan baiwa orang yang memunculkan pendapat ini adalah Waki bin Al-Jarrah. Sebagian mereka mengatakan bahwa Allah itu merupakan sebagian Al-Quran. Mereka mengatakan bahwa Allah diberi nama di sana. TatkaIa nama-Nya ada di dalam Al-Quran, maka Allah pun ada di dalamnya. Sebagian mereka mengatakan bahwa Al-Quran itu azali, berdiri dengan sebab Allah, dan tidak pernah ada wujud yang mendahuluinya.

 

Setiap tokoh Mutakallim yang mengatakan Al-Quran bukan makhluk adalah seirama dengan pendapat Abdullah bin Kullab, yang berpendapat bahwa Al-Quran yang dimunculkan dari tiada (muhdats), juga seirama dengan pendapat Zuhair dan yang berpendapat bahwa AlQuran baru, dan juga seirama dengan pendapat Abu Mu’adz At-Taumini yang mengatakan bahwa Al-Quran bukanlah Jism, bukan puIa aksiden.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang sabda Allah, apakah dapat didengar?

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, sabda Allah tidak dapat didengar, kecuali dalam pengertian kita memahaminya. Kita hanya mendengar sabda Allah yang dibacakan. Namun, Nabi Musa a.s. mendengarnya langsung dari Allah.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, kita tidak dapat mendengar sabda Allah dengan (alat) pendengaran. Bahkan, kita pun tidak dapat mendengar perkataan manusia dengan (alat) pendengaran. Yang kita dengar pada hakikatnya adalah pembicara yang sedang melafalkan perkataannya (bukan perkataannya sendiri). Yang didengar Nabi Musa a.s. adalah Allah yang sedang bersabda. Ia pada hakikatnya tidak mendengar sabda Allah. Alasannya, mustahil kita dapat mendengar sesuatu yang tidak ada dengan sendirinya.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, objek pendengaran adaJah perkataan dan suara. Pada hakikatnya, perkataan manusia dapat didengar. Demikian puIa sabda Allah ketika dibacakan. Huruf-huruf yang dibacakanlah yang kita dengar. Karenanya, kita tidak dapat mendengar sabda Allah dalam bentuk tulisan atau hafalan.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, yang dapat didengar hanyalah suara. Karena sabda Allah pun suara, maka ia pun dapat didengar.

 

Sedangkan pembicaraan manusia tidak dapat didengar karena bukan suara, kecuali dalam pengertian indikasi-indikasjnyalah, yakni suara yang terpotong-potong, yang dapat didengar.

 

Para Mutakallimin yang mengatakan bahwa Al-Quran adalah makhluk, berbeda pendapat tentang hakikat Al-Quran dan cara memperolehnya.

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat, Al-Quran adalah salah satu Jism dari jism-jism yang ada. Mustabhil ia me rupakan aksiden. Sebab, mereka mecnolak kemungkinan Allah atau salah seorang hamba-Nya mecmbuat aksiden. Yang dibuat Allah hanyalah sesuatu yang berbentuk jism. Allah sendiri, dalam pandangan mereka, bukanlah jism, bukan puIa aksiden. Pendapat imi, Katanya, berasal dari Ja’far bin Mubasysyar, tetapi saya menduga pendapat ini berasal dari Al-Ashamni.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain lagi berpendapat pembicaraan manusia adalah aksiden, yakni gerakan, sedangkan sabda Allah adalah jism. Jism tersebut adalah suara terputus-putus, terangkai, dan terdengar, yakni pekerjaan Allah. Adapun bacaanku, yakni gerakanku, bukanlah Al-Quran.

 

  1. Ibn Rawandi dihikayatkan mendengar para pencetus pendapat di atas yang mengatakan bahwa Al-Quran itu berada di udara (sehingga tidak dapat didengar). Namun, tatkaIa dibaca, ia dapat didengar. Dugaanku mengatakan dengan kuat bahwa pendapat ini berasal dari Ibrahim An-Nazhzham.

 

  1. Ada yang beranggapan bahwa sabda Allah itu kekal. Kekekalan dapat puIa terjadi pada jism-jism. Sedangkan perkataan makhiuk tidaklah kekal.

 

  1. Jaham bin Shafwan, dalam penuturan Zarqan, berpendapat, Al-Quran yang, merupakan pekerjaan. Allah itu adalah jism. Ia pun mengatakan bahwa gerakan-gerakan pun merupakan jis. Dan ‘tidak ada pelaku, kecuali Allah.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, Al-Quran itu merupakan salah satu aksiden dari aksiden-aksiden yang ada. Di antaranya ada yang dapat ditangkap oleh penghhatan, pendengaran, dan pancaindera lainnya. Mereka menolak Al-Quran sebagai Jism sebagaimana mereka menolak Alah sebagai Jism

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, Al-Quran itu merupakan satu makna dari makna-makna yang ada, dan meéerupakan satu esensi dari esensi-csensi yang ada. Allah-lah yang menciptakan Al-Quran. AlQuran itu sendiri bukanlah jisim, bukan puIa aksiden. Pendapat ini berasal dari Ibn Rawandi.

 

  1. Sebagian Mutakallimin menetapkan Allah sebagai jism, bukan aksiden. Dan mustahil Allah mewujudkan sesuatu dari tiada, kecuali sesuatu yang berbentuk jism.

 

Ja’far bin Mubasysyar menceritakan perbedaan pendapat di kalangan tokoh Mutakallimin yang me ngatakan bahwa sabda Allah itu merupakan jism.

 

  1. Sebayian dari mereka berpendapat, Al-Quran itu me rupakan Jism yang diciptakan Allah di lauh mahfiuzh. Setelah itu, ia berada bersama orang-orang yang membaca, menulis, dan menghapalnya. Mereka berarti telah memindahkan Al-Quran ke dalam bacaan, tulisan, dan hapalan. Begitulah seterusnya, Al-Quran dipindahkan oleh orang-orang yang berurusan dengannya. Al-Quran menipakan satu jism yang ada bersama salah seorang dari mereka di tempatnya masing-masing. Namun, bentuk pemindahannya tidak sama dengan pemindahan rasional yang dilakukan terhadap jism-jism selain Al-Quran. Al-Quran dapat dilihat dan ditangkap oleh pandangan mata. Demikianlah ketentuan sabda Allah menurut mereka. Al-Quran, juga me nurut pandangan mereka, merupakan satu jism yang keluar dari ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi jism-jism selainnya. Tidak ada satu jism pun yang menyerupainya. Bahkan, tidak ada sesuatu pun yang menyerupainya. Jika esensi Al-Quran itu seperti yang telah digambarkan di atas, maka Al-Quran bukanlah makhluk dan ia tidak dapat didengar.

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat, Al-Quran merupakan salah satu jism dari jism-jism yang ada. ia ada disebabkan oleh Allah bukan pada tempat tertentu. Mustahil esensinya dapat berpindah dan dipindahkan. Sebab, proses pemindahan pasti melibatkan tempat tertentu. TatkaIa Al-Quran ada disebabkan oleh Allah bukan pada tempat tertentu, maka mustahil Al-Quran dapat dipindahkan oleh siapa pun termasuk Allah sendiri. Ketika seseorang membaca, menulis, menghapal Al-Quran, Allah menciptakannya beserta bacaan, tulisan, dan hapalan mereka. TatkaIa seseorang membaca Al-Quran, pada saat itu, akan terdengar sesuatu yang diciptakan Allah pada, saat itu pula. TatkaIa seseorang menulisnya, maka pandangan akan menangkap suatu jism yang diciptakan Allah pada saat itu juga TatkaIa seseorang menghapalnya, maka ia akan menyimpan di dalam ingatannya sesuatu yang Allah ciptakan saat itu juga. Karena merupakan sabda Allah-lah, Al-Quran mempunyai gambaran seperti di atas.

 

Esensi Al-Quran diciptakan Allah dalam keadaan tertentu dan setelah keadaan tertentu. Al-Quran diciptakan beserta bacaan orang yang membacanya dan tulisan orang yang menulisnya sehingga ia dapat didengar dan dilihat. Ia ada disebabkan oleh Allah, bukan disebabkan orang yang membacanya dan orang yang menulisnya, juga bukan karena selain mereka.

 

Dalam pandangan mereka, Allah berada di setiap tempat, tetapi keberadaannya tidak seperti keberadaan jism pada tempat. Begitu puIa sabda-Nya. Sebab, Al-Quran ada disebabkan oleh sebab Allah, sedangkan Ia (tidak) berada pada tempat tertentu. Seandainya Al-Quran tidak demikian. ia bukan makbhik dan tidak dapat didengar sehagaimana firman Allah:

 

Artinya: “… maka berilah perlindungan kepadanya sehingga ia sempat mendengar keterangan-keterangan Allah (tentang hakikat Taslam itu).’’ (QS. Al-Taubah (9) : 6)

 

Takwilnya, maka berilah perlindungan kepadanya sehingga ia sempat mendengar sabda Allah dari Allah, bukan dari yang lain-Nya dan bukan oleh sebab selain-Nya.

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat sebagaimana pendapat kelompok di atas, yakni Al-Quran berupa jism yang keberadaannya disebabkan oleh Allah. Ia berada di setiap tempat dan diciptakan Allah. Hanya saIa mereka menganggap mustahil biIa Allah menciptakan esensi Al-Quran pada setiap ‘ keadaan. Allah menciptakan Al-Quran hanya pada saat seseorang membaca, menulis, atau menghapalnya. Yang dibaca, ditulis, dan dihapal itu adalah Al-Quran (dalam bentuk bacaan, tulisan, dan hafalan), atau (?) yang serupa dengannya, bukan. diri Al-Quran itu sendiri. Mereka menganggap mustahil Al-Quran dapat dilihat atau didengar, kecuali (angsung) dari Allah sendiri, bukan dari makhluk-Nya. Sebab, mustahil seseorang dapat mendengar dan melihat-Nya, kecuali sesuatu itu berupa makhluk dan jism.

 

Itulah pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh kelompok Mutakallimin yang beranggapan bahwa Al-Quran itu merupakan jism

 

Adapun kelompok yang berpandangan bahwa Al-Quran bukanlah jismdan bukan puIa aksiden terbagi kepada dua kelompok.

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat, Al-Quran adalah salah satu esensi dari esensi-csensi yang ada. Ia bukan Jism, bukan puIa aksiden. Ia ada oleh Allah, tetapi ia bukanlah Allah. Mustahil Ia ada disebabkan oleh selain Allah. Ketika seseorang membaca, menulis, dan meng-hafalnya, maka Allah menciptakan Al-Quran lain yang semisal dengan Al-Quran yang ada disebabkan oleh Allah sendiri, bukan disebabkan oleh pembaca, penulis, dan penghapalnya.

 

  1. Sebagian dari mereka, yakni kelompok yang menyatakan Allah sehagal jism tetapi tidak sama dengan jism-jism yang ada, berpendapat, Al-Quran itu bukanlah jism, bukan puIa aksiden karena ta merupakan sifat Allah, sedangkan sifat-sifat Allah itu sendiri mustahil merupakan Allah. Mereka me nganggap mustahil sesuatu selain Allah yang tidak berupa jism. Karenanya, mereka berkata, Al Quran itu merupaka aksiden (?). Seandainya Al-Quran merupakan jism selain Allah, tentunya ia hanya ditemukan pada satu tempat saja, tidak pada beberapa tempat. Sebab, mustahil satu jism (secara serempak) berada di tempat yang berbedabeda. Mereka berpandangan bahwa Al-Quran terdapat di berbagai tempat. Alasannya, Al-Quran itu merupakan sifat Allah dan sifat Allah boleh saIa terdapat di beberapa tempat karena aturan yang dimilikinya berbeda dengan aturan yang dimiliki jism dan aksiden.

 

  1. Zuhair Al-Atsari berpendapat, sesungguhnya sabda Allah. itu bukanlah jism, bukan puIa aksiden, bukan puIa makhluk. Ia diciptakan (muhdats) dan terletak di beberapa tempat pada waktu yang berbarengan.

 

  1. Abu Mu’adz At-Taumini berpendapat, sesungguhnya sabda Allah itu bukanlah jism bukan puIa aksiden. ia ada disebabkan oleh Allah sendiri. Mustahil ia ada disebabkan oleh selain Allah sebagaimana puIa kehendak, keciniaan, dan kemarahan-Nya.

 

Adapun tokoh-tokoh Mutakallimin yang berpendapat, Al-Quran merupakan aksiden menolak Pendapat.bahwa Al-Quran itu ada disebabkan oleh Allah. Terdapat perbedaan pendapat di antara tokoh-tokoh Mutakallimin yang menyatakan bahwa Al-Quran itu aksiden.

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat, Al-Quran adalah aksiden dan makhluk (yang terdapat) di lauwh mahfuzh. Mustahil ia beralih (hilang) dari sana. Namun, tatkaIa seseorang membaca, menulis, atau menghapalnya, maka pada saat itu puIa Allah menciptakan Al-Quran (yang serupa, penj.) Al-Quran yang ada di lauh mahfuzh mustahil dapat diperoleh (ukhtisab) oleh siapa pun. Namun, tatkaIa seseorang membaca, menulis, atau menghafalnya, maka bacaan, tulisan, dan hapalannya itu telah Allah ciptakan untuk diperoleh (ikhtisab) si pelaku. Pada saat itu Al-Quran merupakan makhluk Allah yang diciptakan untuk kedua kalinya. Yang merupakan ciptaan Allah pada saat itu adalah perolehan (ikhtisab) mereka. Yang meruapkan ciptaan Allah dan perolehan (ikhtisab) mereka pada saat itu adalah Al-Quran yang diciptakan di lauh mahfuzh sebelum mereka diciptakan.

 

  1. Dhirah, dalam penuturan Zurqan, berpendapat, dart ANah Al-Quran merupakan penciptaan, sedangkan dari saya ia merupakan bacaan dan perbuatan kareena saya membacanya. Yang didengar adalah Al-Quran dan Allah memberi saya pahaIa karena mendengarnya. Saya adalah yang berbuat, sedangkan Allah yang mencipta.

 

  1. Zurqan berkata, kebanyakan tokoh Mutakallimin yang berpendapat manusia meniuliki daya (isfithia’ah) untuk berbuat me nyatakan, Al-Quran adalah makhluk keberadaannya disebabkan oleh sebab Allah. Allah-lah yang telah menciptakannya. Bacaan merupakan gerakan lidah. Al-Quran merupakan suara yang terputus-putus. Al-Quran dan membacanya yang merupakan perbuatan kita adalah ciptaan Allah semata.

 

  1. Ja’far menceritakan kelompok lain dari me reka yang berpendapat, Al-Quran adalah aksiden yang berada di lauh mahfuzh. Mustahil Allah menciptakannya untuk kedua kalinya. Bacaan, tulisan, dan hapalan Al-Quran diciptakan Allah dan diperoleh orang yang membaca, menulis, dan menghapalnya. Yang menjadi makhluk Allah dan perolehan (iktissab) pelaku adalah semisal Al-Quran yang berada di lauh mahfuzh, tetapi ia bukan Al-Quran yang ada di sana… Mereka tidak menganggap mustahil Allah menciptakan kembali apa yang telah diciptakan dan telah ada (selain Al-Quran, penj.) .

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat, Al-Quran merupakan aksiden yang telah Allah ciptakan di lauh mahfuzh. Mustahil Al-Quran dapat dipindahkan atau dihilangkan dari sana. TatkaIa seseorang membaca, menulis, dan menghapalnya, maka Allah pada saat itu menciptakan bacaan, tulisan, dan hapalannya yang kemudian dinamai Al-Quran. Penyebutan bacaan dan tulisan seseorang hanya dalam arti kiasan (majaz) karena pada hakikatnya, tidak ada seorang pun yang dapat melakukan sesuatu. Pada hakikatnya, Allah-lah yang menciptakan semua itu. IIa kemudian dinamai AlQuran yang ditulis dan Al-Quran yang dibaca. .

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat, Al-Quran merupakan aksiden, berupa gerakan-gerakan, yang Allah ciptakan di dunia. Gerakangerakan, dalam pandangan mereka, mustahil dapat dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, atau ditangkap oleh salah satu pancaindera yang lain. Dalam pandangan mereka, hanya sesuatu berwujud jismlah yang dapat dilihat dan didengar. Sdangkan Al-Quran, dalam pandangan mereka, adalah gerakan karena ia me rupakan aksiden.

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat, Al-Quran merupakan aksiden. Aksiden terbagi ke dalam dua bagian: aksiden dilakukan oleh orang hidup (ahya’) dan aksiden yang pada hakikatnya dilakukan oleh orang mati (amwat). Mustahil apa yang dilakukan orang, hidup merupakan perbuatan orang mati, begitu pun sebaliknya. Al-Quran, dalam pandangan mereka, adalah objek perbuatannya (maful) yang merupakan aksiden. Mustahil Allah telah menciptakannya dalam artian yang sebenarnya (haqiqah). Sebab, mereka berpendapat bahwa jism-lah yang membuat aksicleen. Mustahil aksiden itu merupakan ciptaan Allah dalam arti yang sebanrnya (haqiqah). Lalu, bagaimana Al-Quran?

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat, Al-Quran merupakan aksiden. ia merupakan huruf-huruf yang dirangkai dan didengar. Mustahil Ia ada disebabkan oleh Allah karena keberadaannya itu disebabkan oleh jism yang telah diciptakan Allah. Karenanya Al-Quran, dalam pandangan mereka, merupakan makhluk Allah yang berada di lauh mahfuzh. TatkaIa seseorang membaca, menulis, dan menghapalnya, berarti mereka telah memindahkan Al-Quran karena bacaan, tulisan, dan hapalan mereka. Jika yang membaca, menulis, dan menghafalnya berada pada setiap tempat, mulai dari langit yang tertinggi sampai bumi yang terendah, sehingga jumlah mereka diperkirakan sejumlah biniang dan kerikil yang ada, maka kesemuanya telah memindahkan esensi Al-Quran dari lauh mahfuzh ke tempat mereka-berada. Sementara Al-Quran sendiri, pada saat itu tetap diam di lauh mahfuzh. Pada saat yang sama, ia telah dipindahkan oleh makhluk di beberapa tempat dan dalam keadaan mereka masing-masing yang jumlahnya hanya dapat diketahui Allah. Aturan yang berlaku bagi Al-Quran berbeda dengan aturan-aturan yang berlaku bagi aksiden-aksiden yang ada. Aturan yang berlaku baginya tidak dapat dicerna oleh akal karena ia merupakan sabda Allah, sehingga puIa aturannya berbeda dengan aturan yang berlaku bagi makhluk-makhluk-Nya. Jika Al-Quran tidak demikian, teentunya tidak ada seorang pun yang pada hakikatnya dapat mendengar sabda Allah.

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat, sebagaimana pendapat yang telah dikemukakan di atas. Nanya saja, mereka berpendapat bahwa Al-Quran itu merupakan huruf-huruf, yakni susunan huruf-huruf.

 

Lalu mereka pun berbeda pendapat tentang hakikat Al-Quran dari sisi lain.

 

Sebagian dari mereka berpendapat, tatkaIa Al-Quran merupakan aksiden, yakni huruf-huruf, maka mustahil siapa pun dapat me mbuat huruf-huruf itu atau menghikayatkannya untuk selamanya.

 

Namun, huruf-huruf itu dapat dipindahkan seseorang ketika membaca, menulis, dan menghapalnya, Oleh karena itu, huruf-huruf itu berada bersama orang yang membaca, menulis, dan menghapalnya. Dengan demikian, huruf-huruf itu ada di dalam Al-Quran sendiri dan dalam perkatan manusia.

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat, ketentuan di atas berlaku bagi bacaan Al-Quran. Namun, kita dapat menghikayatkan huruf-huruf itu dari perkataan manusia yang bukan merupakan bacaan AlQuran. Perkataan manusia itu dapat dihikayatkan, sedangkan sabda Allah mustahil dapat dihikayatkan. Ia hanya dapat dibaca dan dipindahkan huruf-hurufnya melalui bacaan seseorang.

 

Selesailah perbincangan yang telah disampaikan oleh Ja’far. Adapun informasi tentang tokoh Mutakallimin yang berpendapat bahwa Al-Quran itu dapat dipindahkan yang (katanya) disampaikannya darinya, me nurut saya, informasi itu bukan berasal darinya.

 

Abu Hudzail berpendapat, sesungguhnya Allah telah menciptakan AlQuran di lauh mahfuzh. Al-Quran merupakan-aksidén dan dapat ditemukan di tiga tempat, yaitu tempat Al-Quran disimpan, tempat di AlQuran ditulis, dan tempat Al-Quran dibaca dan didengar. Berdasarkan hal itu, maka sesungguhnya Al-Quran dapat ditemukan di banyak tempat tanpa harus ada proses perhindahan atau Al-Quran sendiri yang bergerak dan pergi dalam pengertian yang sebenarnya (hagigah). Yang ditemukan di tempat-tempat itu adalah Al-Quran yang ditulis, dibaca, dan dihapal. Jika Al-Quran batal ditulis, dibaca, dan dihapal pada suatu tempat, AlQuran pun tidak ada di sana tanpa harus ada kesan bahwa Al-Quran ditiadakan dari sana. Akan tetapi, biIa tulisan Al-Quran ditemukan pada suatu tempat karena tulisan, bacaan, dan hapalan, maka Al-Quran pun ditemukan di sana tanpa melalui proses pemindahan (dari tempat penyimpanan Al-Quran). ApabiIa Allah menghancurkan tempat-tempat Al-Quran ditulis, dibaca, dan dihafal, maka Al-Quran yang ada di sana pun menjadi tidak ada. Abu Hudzail pun berpendapat bahwa perkataan manusia pun dapat ditemukan di banyak tempat dalam keadaan disimpan dan dihikayatkan.

 

Pendapat init dikemukakan puIa oleh Muhammad bin Abd AI-Wahhab Al-Juba’i, Al-Juba’i menambahkan, sabda Allah itu tidak dapat dihikayatkan. Sebab, penghikayatan sesuatu berarti mendatangkan sesuatu yang menyerupainya, sedangkan seorang pun tidak mungkin dapat mendatangkan sesuatu yang serupa dengan sabda Allah Namun, sabda Allah tetap dapat dibaca, dihapal, dan ditulis. ia pun berpendapat, sesungguhnya sabda Allah dapat didengar, tetapi mustahil dapat dilihat.

 

  1. Al-Iskafi berpendapat, sesungeuhnya sabda Allah itu ditemukan di banyak tempat pada saat yang bersamaan dalam keadaan dijaga, didengar, dan ditulus, Hal seperti itu mustahil terjadi pada perkataaan manusia. Di sinilah perbedaan antara sabda Allah dengan perkataan manusia.

 

  1. Ja‘far bin Harb dan Basyr bin Mubasysyar berpendapat, sesungguhnya Al-Quran itu diciptakan Allah di awh mahfuzh, Ia tidak dapat dipindahkan. Juga tidak mungkin ditemukan di banyak tempat pada saat yang berbarengan. Sebab keberadaan satu wujud di dua tempat pada saat yang bersamaan tidak mungkin dan mustahil terjadi.

 

Mereka berpendapat, Al-Quran itu ditulis pada mushaf-mushaf dan tersimpan dalam dada orang-orang yang beriman. Apa yang didengar dari orang yang membacanya adalah Al-Quran. Ini berdasarkan kesepakatan kebanyakan umat. Hanya saIa mereka mengatakan bahwa maksud “Al-Quran dapat dideengar, dihapal, dan ditulis” adalah menghikayatkan Al-Quran tanpa meninggalkan sedikit pun darinya. Itu merupakan perbuatan penulis, pembaca,dan penghapal Al-Quran. Sedangkan Al-Quran yang dihikayatkannya itu sendiri telah Allah ciptakan bagi mereka.

 

Mereka berkata, terkadang tatkaIa mendengar kalam yang sama dengan sabda Allah, manusia mengatakan bahwa itulah esensi Al-Quran. Perkataan itu memang benar. Kami pun suka mengatakan bahwa apa yang kita dengar, tulis, dan hapalkan merupakan esensi Al-Quran yang ada di lauh mahfuzh, hanya saIa ia merupakan penghikayatan dan yang menyerupai saja.

 

Ja’far bin Mubasysyar bersepakat, sesungguhnya sabda Allah terlihat dalam keadaan tertulis.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang sabda Allah, apakah akan kekal?

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat, sesungguhnya Allah qadim dengan sifat-sifat-Nya. Dengan proposisi itu, kami sudah menjelaskan tentang, sabda Allah. Tokoh-tokoh Mutakallimin yang mencetuskan pendapat di atas pun terbagi dalam dua kelompok. Di antara mereka, ada yang berkata, Al-Quran itu suatu jism yang kekal. Kekekalan boleh juga terjadi pada jism-jism yang lain, sedangkan perkataan makhluk tidaklah kekal.

 

  1. Diantara mereka berkata, sabda Allah itu aksiden dan kekal sedangkan perkataan selain-Nya tidak kekal.

 

  1. Diantara mereka berkata, sabda Allah itu kekal, demikian puIa perkataan makhluk.

 

Para Mautakallimin berbeda pendapat tentang bacaan Al-Quran apakah ini adalah Al-Quran sendiri?

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat, bersama bacaan seseorang yang sedang membaca perkataan sendiri atau perkataaan selainnya, terdapat perkataan selain kedua perkataan itu.

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat, bacaan Al-Quran adalah Al-Quran itu sendiri.

 

Tokoh-tokoh Mautakallimin, yang me ngatakan bahwa bacaan AI-Quran adalah Al-Quran itu sendiri pun, telah berbeda pendapat.

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat, bacaan Al-Quran adalah Al-Quran itu sendiri karena pembacanya itu melagukannya. Melagukan bacaan hanya berlaku bagi Al-Quran. ia pun disebut Mutakallim walaupun yang dibacanya sabda Allah. Tetapi ia mustahil dikatakan Mutakallimin kalau membaca selain sabda Allah. Sebagian dari mereka berpendapat, sabda Allah adalah huruf. Bacaan adalah suara, sedangkan suara bukanlah huruf. Pendapat ini dibantah oleh sekelompok pemikir. Mereka berpendapat bahwa sabda Allah bukanlah huruf.

 

  1. Abdullah bin Kullab berpendapat, bacaan bukanlah yang dibaca. Yang dibaca itu ada disebabkani oleh Allah. Sebagaimana puIa bahwa mengingat Allah (dzikrullah) bukanlah Allah sendiri. Yang diingat adalah qadim dan senantiasa ada , sedangkan mengingat-Nya bersifat baru. Allah senantiasa menyabdakan Al-Quran, sedangkan bacaan sendiri merupakan makhluk, yakni hasil dari pérolehan (Kasab) manusia.

 

  1. Tokoh-tokoh Miu tazilah berpendapat, bacaan bukanlah yang dibaca, ia adalah perbuatan kita, sedangkan yang dibaca merupakan perbuatan Allah.

 

  1. Al-Bulkhi menginformasikan bahwa sekelompok Mutakallimin berpendapat, bacaan adalah yang dibaca, sebagaimana halnya “‘mengatakan” adalah perkataan itu sendiri’’.

 

  1. Al-Husein Al-Kurabisi berpendapat, Al-Quran bukanlah makhluk, sedangkan melafalkan dan membacanya merupakan makhluk.

 

  1. Sekelompok Ahli Hadits, yang mengatakan Al-Quran bukan makhluk berpendapat, me mbaca dan melafalkan Al-Quran bukanlah makhluk. Mereka mengafirkan kelompok yang menolak mengatakan Al-Quran bukan makhluk, mereka yang me ragukan Al-Quran bukan makhluk dan yang mengatakan bahwa me lafalkan Al-Quran adalah makhluk.

 

  1. Sebagian Mutakalimin yang lain berpendapat, Al-Quran tidak dapat dilatatkan. Di antara orang yang mengatakan pendapat ini adalah AlIskafi dan yang lainnya. Mereka berkata, seandainya kita boleh me lafalkan Al-Quran, maka kita pun boleh berbicara dengannya.

 

  1. Sebagian Mutakallimin yang lain berpendapat, bacaan Al-Quran tidak dapat dikatakan makhluk dan tidak puIa dapat dikatakan bukan makhluk.

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat, Al-Quran berada bersama tulisannya pada tempatnya. Sebagaimana ia ada bersama bacaannya.

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat, tulisan Al-Quran merupakan sesuatu yang menunjukkan Al-Quran. Ia tidak berwujud bersama tulisannya, tetap! ia bersama bacaannya.

 

  1. Al-Juba’i berpendapat, seandainya seseorang yang bisu menulis sabda Allah, maka sabda. itu ada bersama tulisan orang itu. Ia pun disebut mutakallim sebab yang ditulisnyaadalah sabda Allah. Sekalipun ia seorang yang bisu. Namun, pendapat di atas dibantah oleh tokoh Mutakallimin selainnya. Alasannya, seseorang disebut Mutakallim jika mengucapkan perkataan yang dapat didengarnya.

 

Tokoh-tokoh Mutakallimin berpendapat bahwa yang didengar adalah suara, bukan sabda Allah yang ditunjukkan oleh suara, berbeda pendapat:

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat, perkataan makhluk membutuhkan suara. Kebutuhan manusia terhadap suara merupakan gerakan.

 

  1. Sebagin dari mereka berpendapat, manusia memang membutuhkan suara untuk berkata, tetapi kebutuhannya itu bukanlah gerakan.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang perkataan manusia apakah merupakan huruf?

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat, perkataan manusia bukanlah huruf sebagaimana yang telah kami kemukakan. Selain mereka pun, berkata demikian.

 

  1. Abdullah bin Kullab berpendapat, makna ga‘im bi an-nafsi adalah bahwa manusia membutuhkan huruf untuk mengekspresikan perkataan-nya. Ibn Kullab mengatakan bahwa perkataan manusia itu huruf.

 

  1. Sehagian tokoh Matakallimin generasi awal berpendapat, mengucapkan perkataan berarti mengeeluarkan apa yang tersimpan di dalam hati manusia untuk didengar oleh sesamanya.

 

  1. Sebagian besar tokoh Mfu tazilah berpendapat, perkataan manusia itu huruf, demikian puIa sabda Allah.

 

  1. Aliran An-Nazhzhamiyyah berpendapat, sabda Allah adalah suara yang terpotong-potong. Ia adalah huruf, sedangkan perkataan manusia bukanlah huruf.

 

Tokoh-tokoh Mutakallimin yang berpendapat bahwa perkataan manusia merupaka huruf telah berbeda pendapat tentang batas minimal huruf yang dibutuhkan oleh sebuah kalimat.

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat, kalimat yang paling pendek minimal terdiri atas dua huruf, seperti perkataan la.

 

  1. Sebagian dari mereka berpeendapat, satu huruf sudah dapat dinyatakan sebagai kalimat. Pendapat ini-dikemukakan oleh Al-Juba’i. Ia beralasan dengan pendapat ahli bahasa yang mengatakan bahwa kalimat itu adalah isim, fi il dan huruf yang mendatangkan makna.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat téntang perkataan manusia, apakah merupakan keterpaksaan (idhthirar)?

 

  1. Sebagian Mutakallimin berpendapat, terkadang perkataan manusia merupakan keterpaksaan, terkadang merupakan usahanya. Pendapat ini dikemukakan oelh Abu Hudzail. Ia berpendapat bahwa perkataan ahli surga merupakan keterpaksaan yang diciptakan Allah.

 

  1. Abdullah bin Kullab berpendapat, sesungguhnya perkataan manusia terkadang merupakan keterpaksaan, terkadang puIa merupakan perolehan (ikhtisab) manusia.

 

  1. Pendapat di atas dibantah oleh sekelompok tokoh Mutakallimin. Mereka berpendapat bahwa perkataan manusia merupakan perbuatan bagi yang mengatakannnya.

 

  1. Sebagian besar dari mereka berpendapat, walaupun perkataan manusia pada iniinya bukan keterpaksaan, tetapi terkadang merupakan keterpaksaan bagi orang tertentu, yaitu ketika ada yang memaksanya.

 

Sebab, dharurat itu, dalam pandangan mereka, adalah yang dipaksakan kepada seseorang, sedangkan perbuatan meomaksa itu sendiri muncul dari orang fain.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat dalam penafsiran firman Allah:

 

Artinya: “Pada hari lidah mereka dan tangan mereka serta kaki mereka menjadi saksi terhadap diri mereka sendiri, tentang segaIa sesuatu yang mereka lakukan.”  (QS. An-Nur (24) : 24)

 

Juga mengenai perkataan kedua tangan.

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat, perkataan tangan adalah keterpaksaan yang diciptakan Allah. Demikian puIa halnya penyaksian yang diberikan oleh lisan, tangan, dan kaki.

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat tentang perktaan tangan sesungguhnya Allah telah menciptakannya perkataan bagi kedua tangan yang di dalamnya mengandung kemampuan dan kehidupan. Allah pun menciptakan kekuasaan bagi tangan sehingga dapat berbicara atas kehendaknya sendiri, Itulah yang mereka katakan ketika menafsirkan firman Allah:

 

Artinya: “Pada hari lidah mereka dan tangan mereka serta kaki mereka menjadi saksi terhadap diri mereka sendiri, tentang segaIa sesuatu yang mereka lakukan., (QS. An-Nur (24) : 24)

 

Allah telah menjadikan tangan hidup dan mampu bersaksi.

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat, Nabi telah bersabda:

 

Artinya: “Tangan-tangan itu mengabarkanku bahwa merekalah yang memberi racun.”

 

Maknanya, “Jangan-tangan itu telah mernunjukkan kepadakn’” tanpa harus mereka berbicara dalam pengertian yang sebenarnya. Sebagaimana orang yang berkata, ““Tangan-tangan ini mengabarkan tentang peniuliknya’’, yakni menunjukkan pemiliknya.

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat, makna firman Allah di atas adalah bahwa mereka bersaksi atas dirinya sendiri dengan menggunakan lidahnya. Sebagaimana orang berkata, kakiku telah memukulnya, yakni aku telah memukulnya dengan menggunakan kak. .

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang kemungkinan manusia mengatakan perkataan yang tidak dapat didengar? Atau mungkinkah ia mengatakan sesuatu melalui mulut orang lain?

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat, mustahil manusia mengatakan sesuatu yang tidak dapat didengar, sebagaimana ia pun mustahil mengatakan sesuatu dalam bentuk tulisan atau hapalan. Mustahil puIa ia mengatakan sesuatu melalui mulut orang lain.

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat, terkadang manusia mengatakan sesuatu yang tidak dapat didengar serta dalam bentuk tulisan dan hapalan. Sebagian dari mereka berpendapat, mustahil perkataan itu dapat didengar. Seseorang dikatakan yang berkata apabiIa ia mengatakan perkataan melalui mulutinya sendiri.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang vasikh-mansukh dalam beberapa segi. Di antaranya tentang nasikh-mansukh di dalam Al-Quran.

 

Ada empat pendapat tentang ini:

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat, mansukh itu adalah bacaan Al-Quran dan pengamalannya yang dihapus.

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat, nasakh tidak terjadi pada Al-Quran yang telah diturunkan dan dibacakan kepada Nabi dan Nabi sendiri telah smenjelaskan maksudnya. Yang dimaksud dengan nasakh adalah aturanaturan baru yang diturunkan kepada umat Muhammad yang menghapus aturan-aturan yang berlaku bagi umat sebelumnya.

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat, makna nasikh-mansukh adalah Allah menghapus sebagian isi Al-Quran dari lauh mahfuzh yang merupakan ummul kitab yang diturunkan kepada Muhammad. Sebab sumber AlQuran yang sebenarnya adalah wmnul kitab. Dan nasakh itu hanya terjadi pada sumber Al-Quran.

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat, nasikh-mansukh puIa terjadi puIa pada Al-Quran yang telah diturunkan dan dibacakan kepada Nabi dan Nabi sendiri pernah mengamalkan kandungan. Setelah itu, Allah menghapusnya. Akan tetapi, proses penghapusan itu tidak sama dengan bada’ atau kekeliruan Allah. Kalau Allah berkehendak, Ia dapat saIa menghapus kandungan-kandungan hukum Al-Quran, sementara AlQurannya sendiri tetap dibaca, Bahkan dapat saya Allah me nghapus bacaan Al-Quran sehingga tidak lagi dibaca dan dituturkan.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang Al-Quran, apakah hanya dapat dihapus oleh Al-Quran? Apakah Sunah dapat dihapus oleh Al-Quran? Ada tiga pendapat tentang ini:

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat, Al-Quran hanya dapat dihapus oleh Al-Quran sendiri. Tidak boleh Al-Quran itu dihapus oleh sunah Nabi.

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat, sunah pun dapat menghapus Al-Quran, sedangkan Al-Quran tidak dapat menghapus sunah.

 

  1. Sebagian dari mereka berpeendapat, Al-Quran dapat me ngapus sunah, sedangkan sunah tidak dapat menghapus Al-Quran.

 

  1. Sebagian dari mereka berpendapat, Al-Quran dan sunah merupakan dua ketentuan hukum yang datang dari Allah. Mengetahui dan mengamalkannya merupakan kewajiban bagi setiap makhluk. Maka boleh saIa AlQuran dihapus oleh sunnah atau sebaliknya karena kedua-nya merupakan ketentuan hukum yang datang dari Allah, Allah dapat menghapus sebagian ketentuan hukum-Nya dengan ketentuan hukum-Nya yang lain sekehendaknya.

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang dua ayat yang kandunganaya nampak saling bertentangan. Keduanya terkadang dapat diterapkan bagi dua orang yang berbeda-beda, tetapi terkadang tidak dapat diterapkan sama sekali. Contohnya adalah firman Allah SWT.

 

Artinya:  “Kamu diwajibkan, apabiIa seseorang dari kamu hampir mati, jika ia ada meninggalkan harta, (hendaklah ia) membuat wasiat untuk ibu, bapak, dan kaum kerabat dengan cara yang baik (menurut perdturan agama), sebagai suatu kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah (2) : 180)

 

Ayat ini menyuruh orang yang hendak meninggal dunia untuk mewasiatkan hartanya bagi kedua orang tua dan kerabatnya. Tetapi pada ayat lain, Allah justru menyuruh melaksanakan aturan warisan. Firman Allah:

 

Artinya; sesndah ditunaikan wasiat yang mereka wasiatkan dan sesudah dibayarnya hutang”(QS. An-Nisa’ (4): 11)

 

Sebagian dari mereka berpendapat, ayat tentang warisan me nghapus ayat tentang wasiat. Mereka adalah yang berpendapat bahwa hanya AlQuran-lah yang dapat menghapud Al-Quran.

 

  1. Sebagian lain me nolak pendapat di atas. Mereka berpendapat, yang terjadi bukanlah ayat tentang warisan menghapus ayat tentang wasiat, tetapi sunah Nabi-lah yang menghapus ayat tentang hal itu. Sunah Nabi yang dimaksud adalah:

 

Artinya: “Tidak ada wasiat bagi orang yang mewasiatkan (harta).”’

 

Seandainya tidak ada hadis ini, tentu aturan yang ada pada ayat di atas tetap berjalan sebagaimana mestinya. Sebab, aturan warisan tetap dapat dilaksanakan setelah wasiat atau utang ditunaikan. Seandainya tidak ada hadis di atas, apabiIa kematian hendak menjemput seseorang, maka ia boleh mewasiatkan harta kepada kedua orang tuanya.

 

Pencetus pendapat di atas mengemukakan bahwa nasikhmansukh terjadi ketika hukum pada mansukh dihapus oleh hukum yang terdapat pada nasikh karena keduanya tidak dapat diterapkan pada satu objek dalam satu keadaaan atau dua keadaan. Contohnya adalah firmanfirman Allah berikut ini:

 

Artinya: “Dan istri-istri yang diceraikan itu hendaknya menunggu dengan menahan diri mereka selama tiga kali suci (dari haid).’ (QS. Al-Baqarah (2) : 228)

 

Artinya: “Dan perempuan-perempuan dari kalangan kamu yang putus asa dari kedatangqn haid, jika kamu menaruh syak (terhadap masa iddah mereka), maka iddahnya ialah tiga bulan.” (QS. Ath-Thalaq (65) : 4)

 

Iddah wanita yang masih kedatangan hadis adalah suci, sedangkan iddah wanita yang sudah putus dart haid, karena ketuaannya atau kekanak-kanakannya, adalah tiga bulan. Kemudian aturan-aturan di atas dihapus bagi wanita yang diceraikan, tetapi belum disetubuhi suaminya. Allah berfirman:

 

Artinya: “wahai orang-orang yangberiman, apabiIa kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu menyentuhnya, inaka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minia menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya. ” (QS. Al-Ahzab (33) : 49)

 

Para Mutakallimin berbeda pendapat tentang nasikh-mansukh pada sisi lain, yaitu tentang nama-nama, pujian, dan berita-berita Allah, apakah dalam semua itu boleh berlaku aturan nasikh-manskh?

 

  1. Sebagian ahli atsar membolehkan hal itu. Mereka beranggapan bahwa ayat yang turun kemudian dapat menghapus ayat yang turun lebih dahulu. Ayat-ayat Madaniyyah (yang diturunkan di Madinah) dapat saIa menghapus ayat-ayat Makkiyyah (yang diturunkan di Mekkah), baik ayat itu berkaitan dengan berita atau pujian-pujian bagi Allah.

 

  1. Sebagian besar ulama menolak hal itu.

 

  1. Kelompok Rafidah ekstrim berpendapat, yang berhak melakukan penghapusan Al-Quran adalah para imam. Mereka diberi kewenangan oleh Allah untuk menghapus dan mengganti ayat-ayat Al-Quran. Me reka pun mewajibkan umat Islam menerima keputusan para imam tesebut Orang-orang yang pendapatnya dikemukakan di atas pun terbagi ke dalam dua bagian. Di antara mereka, ada yang berpendapat bahwa aturan nasikhmansukh bukan berarti Allah dikenakan aturan bada’. Sedangkan yang lainnya berpendapat bahwa Allah tidak tahu apa yang bakal terjadi. Karenanya, berdasarkan pengetahuan-Nya, Ia menghapus aturan yang sudah diturunkan sebelumnya kepada hamba-hamba-Nya dengan aturan baru. Ia mengubah aturan-aturan yang berlaku sebelumnya melalui perangkat nasikh-mansukh seiring dengan pengetahuan-Nya terhadap kejadian pada hamba-hamba-Nya.

 

TatkaIa mengetahui sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui-Nya, Ia kemudian menurunkan aturan baru. Mahasuci Allah dari apa yang mereka katakan.