Minhah al-Mughith Hafid Hasan al-Masudi

ILMU MUSTHOLAH HADIST

  1. Pembagian Ilmu Hadist

Ilmu Hadist terbagi menjadi 2 bagian, yaitu :

  1. Ilmu Hadist Dirayah
  2. Ilmu Hadist Riwayah

Tiap-tiap dari dua hadist tersebut memiliki dasar-dasar yang harus diketahui dan dikuasai, agar orang yang memulai mempelajarinya, benar-benar mengerti. Marilah kita menguraikannya.

  1. Pokok-pokok Ilmu Hadist Dirayah

Batasan ilmu hadist Dirayah yang lebih dikenal dengan ilmu mustholah hadist adalah suatu disiplin ilmu pengetahuan untuk mengetahui hal ihwal sanad dan materi hadist, cara-cara penerimaan dan penyampaian hadist, serta sifat-sifat para perawi dan lain lainnya.

Objek ilmu hadist dirayah adalah sanad dan matan, sehubungan dengan kesahihan, hasan dan dhaifnya.

Buah atau faedah ilmu hadist dirayah adalah dapat mengetahui hadist yang sahih.

Penyusun pertama ilmu hadist dirayah ialah AL Qadhi Abu Muhammad Al Hasan bin Abdurrahman Ar Ramahurmuz. Beliau memberi judul karya tulisnya itu dengan Al Muhaddits Al Fashil.

Nama disiplin ilmu pengetahuan ini adalah ilmu Hadist Dirayah, disebut juga dengan Ilmu Mustholah Hadist.

Pengambilan Ilmu hadist dirayah adalah hasil penelitian terhadap perilaku dan keadaan para perawi hadist.

Hukum mempelajari ilmu hadist dirayah adalah fardhu ‘ain bagi orang yang sendirian dalam mempelajari fardhu kifayah, apabila jumlah orang yang mempelajarinya banyak.

Perbandingan ilmu hadist dirayah jelas. Ia merupakan ilmu pengetahuan yang paling mulia. Sebab, dengan ilmu pengetahuan ini, hadist yang harus diterima dan yang harus ditolak dapat diketahui.

Persoalan ilmu hadist dirayah adalah persoalan yang berkaitan dengan ucapan. Setiap hadist yang sahih itu dapat digunakan sebagai bukti atau dalil.

 

  1. Pokok-pokok Ilmu Hadist Riwayah

Batasan ilmu hadist Riwayah adalah suatu disiplin ilmu pengetahuan untuk mengetahui cara-cara pengutipan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw., baik berupa perkataan, perbuatan, ikrar (pengakuan) maupun sifat.

Objek ilmu hadist riwayah adalah pribadi Nabi Muhammad saw., yakni sesuatu yang khusus berkaitan dengan beliau.

Buah atau faedah ilmu hadist riwayah adalah untuk menghindari kesalahan mengutip terhadap hal-hal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw.

Perintis pertama ilmu hadist riwayah adalah Imam Muhammad bin Syihab Az Zuhri, pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, atas intruksi beliau sesudah Nabi Muhammad saw, wafat.

Nama ilmu tersebut adalah Ilmu Hadist Riwayah.

Pengambilan ilmu hadist riwayah adalah dari perkataan, perbuatan, dan ikrar atau  pengakuan-pengakuan Nabi Muhammad saw.

Hukum mempelajari ilmu hadist riwayah adalah fardhu ‘ain jika tidak ada orang lain yang mempelajarinya dan fardhu kifayah jika jumlah orang yang mempelajarinya banyak.

Kedudukan ilmu hadist riwayah termasuk ilmu pengetahuan yang paling mulia. Sebab, dengan ilmu pengetahuan ini dapat diketahui cara-cara megikuti dan mematuhi Nabi Muhammad saw.

Persoalan ilmu hadist riwayah itu bersifat juz-iyyah (partial), seperti ucapanmu. Nabi Muhammad saw, bersabda :

“ Orang Islam (muslim) itu adalah orang yang dapat membuat orang-orang lain merasa tidak pernah terganggu atau disakiti oleh ucapan atau perbuatan.”

Sesungguhnya sebagian sabda Nabi saw. tersebut, yang kamu ucapkan itu menjadi inti kekuatan perkataanmu. Sebagian sabda Nabi saw. adalah : “Orang Islam adalah orang yang bisa menjaga….”

 

  1. PENJELASAN TENTANG ISTILAH-ISTILAH AHLI HADIST

Ketahuilah, bahwa istilah-istilah yang biasa digunakan oleh para ulama ahli hadist itu ada 13, yaitu :

  1. Al Hadist, yaitu : Segala yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw., baik berupa ucapan, perbuatan, ikrar (pengakuan) maupun sifat.
  2. Al Khabar. Menurut pendapat yang sahih, Al Khabar itu sama (sinonim) Al Hadist. Ada pendapat lain  mengatakan, bahwa Al Hadist dan Al Khabar itu berbeda. Kalau Al Hadist hanya terbatas pada apa yang  datang dari Nabi Muhammad saw., sedangkan Al Khabar terbatas pada apa yang datang dari selainnya. Pendapat lain mengatakan, bahwa Al Khabar itu lebih luas dan umum daripada Al hadist, sebab Al Khabar mencakup apa yang datang dari Nabi saw. dan selainnya, sedangkan Al Hadist hanya terbatas pada apa yang datang dari Nabi saw.
  3. Al Atsar. Menurut pendapat yang autentik Al atsar itu sama (sinonim) Al Hadist. Ada yang mengatakan, bahwa Al atsar itu adalah Hadist Mauquf, yaitu apa saja yang datang dari sahabat.
  4. As-Sunah. Menurut salah seorang ulama As-sunah itu sama (sinonim) Al Hadist. Di samping itu, ada pendapat yang menyatakan, bahwa Al Hadist itu hanya terbatas pada ucapan dan perbuatan Nabi saw. sedangkan As- sunah lebih umum (mencakup perkataan, perbuatan, pengakuan dan sifat).
  5. Al Matan, adalah pembicaraan (kalam) atau materi berita yang diover oleh sanad yang terakhir.
  6. As Sanad, adalah jalan yang dapat menghubungkan pada matnul hadist.
  7. Al-Isnad, adalah usaha seseorang ahli hadist dalam menerangkan suatu hadist yang diakuinya dengan penjelasan kepada siapa hadist itu disandarkan. Pendapat lain mengatakan, bahwa Al-Isnad itu sama (sinonim) As-Sanad.
  8. Al Musnid, ialah orang yang meriwayatkan hadist dengan menyebutkan sanadnya.
  9. Al Musnad, adalah sebutan untuk kitab kumpulan hadist yang diiriwayatkan oleh seorang sahabat atau lebih, seperti Musnad Imam Ahmad bin Hambal. Kadang-kadang musnad disamakan dengan sanad dan dipakai pula sebagai nama suatu macam hadist, sebagaimana akan diterangkan nanti.
  10. Al Muhaddits, ialah orang yang hafal banyak hadist dan mengetahui keadilan (sisi positif) dan kelemahan (sisi negatif)0 para rawi.
  11. Al Hafidz, ialah orang yang hafal 100.000 hadist dengan sanadnya.
  12. Al Hujjah, ialah orang yang hafal 300.000 hadist dengan sanadnya.
  13. Al Hakim, ialah orang menguasai seluruh sunah (hadist) Nabi Muhammad saw.

 

 

BAB II

KLASIFIKASI HADIST DAN SANAD BERDASARKAN MAQBUL DAN MARDUDNYA

 

Hadist dan isnad dari segi maqbul (diterima) dan mardud (ditolak) sebagai hujjah itu terbagi menjadi 3 bagian, yaitu: Sahih, Hasan, dan Dhaif.

Tiap-tiap dari tiga bagian hadist tersebut memiliki beberapa macam, berdasarkan tingkat kekuasaan atau kelemahannya. Berikut ini akan kami uraikan seluruhnya beserta bagian-bagiannya, insya Allah.

 

  1. Hadist Sahih Lidzati
  2. Definisi

Hadist Sahih Lidzati adalah hadist yang sanadnya bersambung-sambung, diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna hafalannya dari orang yang satu kualitas dengannya hingga akhir sanad, tidak janggal dan tidak mengandung cacat yang parah.

  1. Penjelasan Syarat- Syarat Hadist Sahih
  2. Sanadnya bersambung, maksudnya adalah rawi dalam sanad hadist bertali-temali, tidak ada yang gugur seorang pun. Dengan demikian, berarti tiap-tiap rawi pasti mendengar langsung dari gurunya. Oleh karena itu, hadist Al- Mu’allaq, Al Mu’adhdhal, Al Mursal, dan Al Munqati’ tidak termasuk hadist sahih, sebab sanadnya tidak bersambung.
  3. Perawi adil, artinya adil dalam periwayatan. Maksudnya rawi hadist mesti orang Islam, dewasa, berpikiran sehat, selamat dari perbuatan dosa besar atau dosa-dosa kecil yang terus menerus, bebas dari hal-hal yang menodai kepribadian, misalnya makan di pasar, berjalan tanpa alas kaki atau tidak memakai tutup kepala. Oleh karena itu, riwayat orang yang fasik dan tidak dikenal kepribadian dan tingkah lakunya tidak dapat dikategorikan sahih, karena belum jelas keadilannya.
  4. Dhabith, artinya kuat ingatan. Dhabith ini ada dua macam, yakni:
  5. Dhabithush Shadri, artinya ingatan rawi itu benar-benar kuat menyimpan dalam pikirannya apa yang dia dengar, dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan dan di mana saja dikehendaki.
  6. Dhabithul Kitab, artinya rawi itu kuat ingatannya berdasarkan buku catatannya yang dia tulis sejak dia mendengar atau menerima hadist dan dia mampu menjaga tulisan itu dengan baik dari kelemahan, apabila dia meriwayatkan dari kitabnya. Hal ini berlaku pada zaman pertama periwayatan hadist dimasa lampau. Sedangkan untuk zaman sekarang, cukup berdasarkan pada naskah-naskah yang telah disepakati kesahihannya.

Dhabithul Tam, maksudnya ingatan atau hafalan yang sempurna dan tidak cacat. Karenanya, orang yang kadang-kadang baik ingatannya dan kadang-kadang lupa, tidak dapat dianggap sebagai orang yang sempurna ingatan atau hafalannya. Oleh sebab itu, Hadist Hasan Lidzati tidak termasuk bagian ini, sebab di dalamnya tidak dicantumkan syarat Dhabth yang sempurna.

Perkataan kami tentang: Perawi yang berkualitas sama awal hingga akhir sanad dalam definisi Hadist Sahih Lidzati di atas mencakup Hadist Marfu’, Mauquf, Maqthu’.

  1. Kejanggalan, Maksudnya adalah adanya perlawanan antara suatu hadist yang diriwayatkan oleh rawi yang dapat dipercaya dengan hadist yang diriwayatkan oleh jamaah atau sekelompok orang yang terpercaya pula, disebabkan dengan adanya penambahan atau pengurangan jumlah sanad atau tambahan dan kekurangan dalam materi hadist.
  2. Cacat yang parah, maksudnya cacat yang ada pada hadist dyang dari segi lahir hadist tersebut dapat diterima, tetapi setelah diselidiki dengan seksama jalur periwayatannya ternyata mengandung cacat yang menyebabkan hadist itu ditolak, misalnya hadist mursal atau munqathi’ yang diriwayatkan secara muttashil.
  • Contoh Hadist Sahih Lidzati

Contoh hadist sahih lidzati adalah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari, dari jalur Al-A’raj, dari Abu Hurairah r.a., sesungguhnya Rasulullah saw. Bersabda:

“ Seandainya aku tidak khawtair memberatkan umatku, pasti aku memerintahkan mereka agar bersiwak setiap kali hendak mengerjakan shalat.”

 

  1. Hadist Hasan Lidzati
  2. Definisi

Hadist hasan lidzati adalah hadist yang diriwayatkan oleh seorang yang adil, yang kuat ingatannya, bersambung-sambung sanadnya, tidak mengandung cacat dan tidak ada kejanggalan.

  1. Contoh Hadist Hasan Lidzati

Contoh Hadist Hasan Lidztai adalah hadist yang diriwayatkan oleh At-turmudzi, dari jalur Muhammad bin Amer, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah r.a., sesungguhnya Rasulullah saw. Bersabda:

“Kalau sekiranya aku tidak khawatir memberatkan umatku, pasti aku perintahkan mereka bersiwak tiap-tiap akan shalat.”

            Dalam sanad hadist riwayat Imam At Turmudzi tersebut tersapat rawi bernama Muhammad bin Amer. Menurut ulama ahli hadist, dia dinilai kurang kuat hafalannya.

  • Hasan Lidzati Menjadi Sahih Lighairih

Hadist Hasan Lidzati bisa menjadi Sahih Lighairih, apabila menjadi kuat dengan adanya hadist yang sama dari jalur lain, yang serupa atau lebih banyak, sekalipun lebih rendah.

Contoh hadist Hasan Lidzati yang naik tingkatannya menjadi hadist sahih lighairih adalah hasit siwak riwayat Imam At-Tirmidzi, menjadi sahih lighairih, karena adanya hadist seperti itu melalu jalur Al-A’raj.

  1. Hadist Hasan Lighairih

Hadist Hasan Lighairih adalah hadist yang sanadnya tidak sepi dari seorang yang tidak jelas perilakunya atau kurang baik hafalannya dan lain-lainnya. Hadist hasan lighairih ini harus memenuhi tiga syarat:

  1. Bukan pelupa yang banyak salahnya dalam hadist yang diriwayatkan.
  2. Tidak tampak ada kefasikan pada diri perawinya.
  3. Hadist yang diriwayatkan benar-benar telah dikenal luas, karena ada periwayatan yang serupa dengannya atau semakna, yang diriwayatkan dari satu jalur lain atau lebih.
  4. Catatan Istilah-Istilah Yang Berkaitan dengan Hadist Sahih dan Hasan
  5. Istilah Jayyid dan Qawiy itu sama dengan istilah sahih. Adapun istilah Tsabit, Mujawwad dan Sahih, diterapkan penggunaannya pada hadist sahih dan hasan. Sedangkan istilah Musyabbih hanya diterapkan pada hadist hasan atau yang mendekati hasan.
  6. Perbedaan tingkat kekuatan hadist sahih itu menurut perbedaan sifat-sifat yang mempengaruhi kesahihan, baik dalam sanad atau matan hadist. Urut-urutan ketinggian hadist sahih adalah sebagai berikut:
  7. Hadist yang paling tinggi sanadnya, yaitu hadist yang sanadnya dikatakan oleh sebagian imam hadist sebagai Ashohhul Asaanid (yang paling baik sanadnya), sebagaimana perkataan Imam Al-Bukhari: Ashahul Asaanid (sanad yang paling baik) adalah riwayat Imam Malik, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, menyusul kemudian riwayat Buraid bin Abdillah bin Abu Burdah, dari ayahya, dari datuknya, dari Abu Musa Al-Asy’ari.
  8. Hadist yang paling tinggi kesahihan matannya adalah :
  • Hadist sahih yang telah disepakati oleh kedua Imam Hadist, yakni Bukhari dan Muslim.
  • Hadist sahih yang hanya diriwayatkan oleh Imam Bukhari sendiri.
  • Hadist yang hanya diriwayatkan oleh Imam Muslin sendiri.
  • Hadist sahih yang diriwayatkan menurut syarat-syarat Imam Bukhari dan Muslim
  • Hadist sahih yang diriwayatkan menurut syarat-syarat Imam Bukhari.
  • Hadist sahih yang diriwayatkan menurut syarat-syarat Imam Muslim
  • Hadist sahih menurut syarat selain Bukhari dan Muslim

Adapun hadist hasan itu sebagaimana hadist sahih, derajat sanad dan matannya juga berbeda. Hadist hasan yang paling tinggi derajat sanadnya adalah hadist hasan yang oleh salah seorang ahli hadist dikatakan sebagai Ahsanul Asanid (bersanad paling hasan) sedangkan yang paling rendah tingkatan sanadnya adalah yang tidak seperti di atas.

Adapun hadist hasan yang paling tinggi derajat matannya adalah hadist yang diperdebatkan antara sahih dan hasannya, sedangkan yang rendah tingkatannya adalah hadist yang diperselisihkan tentang sahih dan dhaifnya.

  1. Kesahihan antara sanad dan matan itu tidak harus sama nilai derajatnya dalam satu hadist sahih. Sebab, satu hadist itu dinyatakan sahih dari segi sanad, karena sudah memenuhi syarat-syaratnya, seperti bersambung terus-menerus dan lainnya, tetapi dari segi matannya tidak sahih, dikarenakan ada kejanggalan. Bisa juga terjadi sebaliknya, yakni sanad tidak sahih, karena tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, tetapi matan hadist sahih berdasarkan jalur lain. Demikian pula halnya hadist hasan, mungkin satu hadist dinilai hasan dari segi sanad, tetapi dari segi matan tidak hasan.
  2. Kadang-kadang para ahli hadist memberi nilai satu hadist dengan dua nilai, dengan istilah hasan sahih. Istilah seperti ini pada dasarnya membingungkan, karena pengertian hasan berbeda dengan pengertian sahih. Menanggapi hal ini, ada jawaban yang simpel, yaitu di antara kata hasan dan sahih itu terdapat huruf Auw artinya “atau” yang dibuang jadi asalnya, hasan atau sahih. Maksudnya hadist tersebut bersifat sahih menurut jalur tertentu dan hasan menurut jalur lainnya.
  3. Penambahan yang dilakukan seorang rawi yang memenuhi syarat sahih dan hasan itu dapat diterima, selama penambahan itu tidak berlawanan dengan riwayat orang yang tidak melakukan penambahan. Apabila ada pertentangan, maka harus di-tarjih (memperbandingkan kekuatan riwayat masing-masing). Jika satu dari riwayat ada yang lebih kuat dari yang lain, maka yang kuat itulah yang diakui, sedangkan satu yang lainnya dianggap syad atau janggal.

 

  1. Hadist Dhaif
  2. Definisi

Hadist Dhaif adalah hadist yang tidak memenuhi satu syarat maqbul (diterima) atau lebih. Hadist dhaif itu banyak cabang dan bagiannya. Tingkat kedhaifan hadist dhaif itu berbeda-beda, menurut bobot, ringan, atau berat kedhaifan sanad dan matannya.

  1. Hukum Hadist Dhaif

Sebenarnya hadist dhaif itu bisa diamalkan, selama kedhaifannya, tidak terlalu parah dengan syarat:

  1. Hadist yang dhaif itu masih di bawah satu hadist yang dapat diamalkan (sahih dan hasan).
  2. Dalam mengamalkan hadist dhaif harus dengan itikad untuk berhati-hati.
  • Sikap Pakar Hadist Terhadap Hadist Dhaif

Kedhaifan satu hadist menurut pakar ilmu Mustholah Hadist tidak pasti, bahwa ia tidak sahih dan tidak hasan. Sebab, boleh jadi hadist yang dhaif itu hakikatnya sahih atau hasan.

Demikian pula hadist sahih atau hasan, menurut mereka tidak pasti, bahwa hakikatnya sahih atau hasan. Sebab, boleh jadi ada kesalahan dan kealpaan pada orang yang adil dari kebenaran ada pula orang yang tidak adil.

  1. Skema Pembagian Hadist Berdasar Maqbul dan Mardudnya
        
  
   
 
 
   
 
   

 

 

 

 

 

 

 

 

 

                                                                                                                                      MAUQUF

    
  
   
 

 

 

                                                                                                                                      MA’TU

 
  

 

 

BAB III

KLASIFIKASI HADIS DARI

SEGI BANYAK DAN SEDIKIT RAWINYA

 

Hadis ditinjau dari segi jumlah orang yang meriwayatkannya

itu ada tiga, yaitu:

  1. Hadis Mutawatir
  2. Pembagian dan Definisi

Hadis Mutawatir itu terdapat dua bagian, yaitu:

  1. Hadis Mutawatir yang memiliki satu tingkatan, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang menurut adat (kebiasaan) mustahil mereka berkumpul dan bersepakat dusta, dan hadis tersebut hasil tanggapan dari pancaindra mereka sendiri.
  2. Hadis Mutawatir yang memiliki lebih dari satu tingkatan, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh segolongan orang dari segolongan orang lain, mulai dari permulaan sanad hingga akhir sanad, yang menurut adat (kebiasaan), mereka tidak mungkin bisa berkumpul dan bersepakat dusta serta hadis tersebut hasil tanggapan dari pancaindra mereka sendiri.

 

  1. Faedah Hadis Mutawatir

Hadis Mutawatir dengan dua bagian tersebut memberi faedah ilmu dharury, bukan nazhary, tidak terbatas pada jumlah tertentu, harus diterima bulat-bulat, karena tidak perlu lagi penelitian terhadap keadaan para rawinya.

Hadis Mutawatir itu ada dan banyak jumlahnya.

Berbeda dengan orang yang tidak mengakui keberadaannya atau mengakui keberadaannya, tetapi jumlahnya hanya terlalu kecil (jarang).

  • Klasifikasi Hadis Mutawatir

Hadis Mutawatir Lafzhi adalah hadis yang diriwayatkan oleh banyak rawi dengan susunan redaksi dan makna yang sama. Contoh Hadis Mutawatir lafzhi adalah:

“Barang siapa yang membuat kebohongan kepadaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempatnya di neraka.”

Hadis Mutawatir Maknawi adalah hadis yang para rawinya berlainan dalam susunan redaksi dan maknanya, tetapi ada pengertian global yang sama, seperti hadis mengangkat kedua tangan ketika berdoa.

Tentang berita mengangkat kedua tangan ketika berdoa ini telah banyak diriwayatkan, bahkan jumlahnya ratusan dalam berbagai persoalan yang tiap-tiap hadis tersebut tidak mutawatir. Kendatipun demikian, tetapi tiap-tiap riwayat tersebut memiliki kadar musytarak (titik persamaan) yang sama, yakni keadaan mengangkat kedua tangan di kala berdoa, telah mencapai derajat mutawatir secara keseluruhan.

 

  1. Hadis Masyhur
  2. Definisi

Hadis Masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, meskipun dalam satu thobaqah (tingkatan) dan belum mencapai derajat mutawatir.

 

 

  1. Klasifikasi Hadis Masyhur

Hadis Masyhur itu ada dua bagian, yaitu:

  1. Masyhur Mutlak, yaitu hadis terkenal di kalangan ulama ahli hadis dan orang umum. Contoh sabda Nabi Muhammad saw.: “Sesungguhnya semua amal perbuatan itu terserah pada niatnya.
  2. Masyhur Muqayyad, adalah hadis terkenal di kalangan ulama ahli hadis saja. Seperti hadis riwayat Anas: “Sesungguhnya Rasulullah saw. qunut sebulan lamanya, setelah rukuk dalam salat, untuk mendoakan keluarga Ri’il dan Dzakwan.”

Adapun istilah Hadis Mustafidh konon sama (sinonim) Hadis Masyhur, ada pula yang berpendapat, bahwa Hadis Mustafidh adalah hadis yang diriwayatkan oleh tiga atau lebih dalam semua tingkatan (thobaqah).

 

  1. Hadis Aziz

Hadis Aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang. walaupun dua orang rawi tersebut terdapat pada satu thobaqah. Contoh Hadis Aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam

Bukhari dan Muslim, dari Anas:

“Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: Tidak sempurna iman seseorang di antara kaum, sehingga aku lebih dicintainya daripada orang tua dan anaknya serta seluruh manusia”.”

Hadis tersebut diriwayatkan Qatadah dan Abdul Aziz bin Shuhaib, dari sahabat Anas. Kemudian Syu’bah dan Said meriwayatkannya dari Qatadah. Lalu Ismail dan Ulaiyyah, meriwayatkan dari Abdul Aziz. Sesudah itu banyak orang meriwayatkannya dari masing-masing.

 

  1. Hadis Gharib
  2. Definisi

Hadis Gharib adalah hadis yang dalam sanadnya terdapat seorang rawi yang menyendiri.

Penyendirian (gharib) itu adakalanya terjadi dalam sanad saja. Artinya, bahwa matan hadis itu sudah diriwayatkan oleh banyak sahabat, tetapi ada seorang yang meriwayatkannya dari salah seorang sahabat yang lain. Misalnya hadis niat Hadis tersebut diriwayatkan oleh Abdul Majid bin Abdul Aziz, dari Abu Rawad, dari Malik, dari Zaid bin Aslam, dari Atha’ bin Yasar, dari Abu Sa’id Al-Khudry r.a., dari Nabi Muhammad saw.

Abu Ya’la Al-Khalily berkata: Abdul Majid melakukan kekeliruan dan dia yang meriwayatkan dari Zaid bin Aslam itu tidak Mahfuzh dalam segi sanadnya, sebab sanad Abdul Majid itu seluruhnya gharib.

Gharib (penyendirian) dalam sanad dan Matan, seperti hadis larangan menjual wala’ atau menghibahkannya. Hadisnya sebagai berikut:

“Wala’ adalah kerabat, seperti kerabat orang yang mati sendiri, yang tidak boleh dijual, dihibahkan dan tidak boleh diwariskan.”

Dalam sanad hadis di atas terjadi tafarrud (penyendirian) oleh Abdullah bin Dinar. Dialah satu-satunya rawi yang menerima dari Ibnu Umar.

Gharib (penyendirian) pada sebagian sanad, seperti hadis Ummu Zar’in. Karena sesungguhnya Imam Thabrani meriwayatkan dari Abdul Aziz, dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah.

Yang populer di kalangan ahli hadis adalah hadis tersebut dari Isa bin Hisyam, dari saudaranya, Abdullah bin Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah. Dengan demikian berarti Abdul Aziz sendiri yang menuturkan sanad tersebut.

Gharib (penyendirian) pada sebagian matan, seperti hadis tentang zakat fitrah, yaitu: “Rasulullah saw. telah mewajibkan zakat fitrah satu sha’ kurma atau gandum kepada hamba sahaya, orang merdeka, orang laki-laki, perempuan, anak-anak dan orang-orang dewasa golongan muslimin.”

Imam Malik meriwayatkan hadis tersebut menyendiri (berbeda) dengan periwayatan rawi-rawi lain, yaitu dengan menambah kalimat  من المسلمين

  1. Klasifikasi Hadis Gharib

Hadis gharib itu ada dua bagian, yaitu:

  1. Gharib Mutlak, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh satu orang sahabat atau tabiin secara sendirian.
  2. Gharib Nisby, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seseorang selain sahabat dan tabiin secara sendirian.

 

BAB IV

KLASIFIKASI HADIS BERDASARKAN

ASAL ATAU SUMBERNYA

 

  1. Hadis Musnad

Hadis Musnad, adalah hadis yang disandarkan kepada Nabi saw. dengan sanad yang bersambung-sambung, dari perawinya hingga Nabi saw.

Gambaran contoh hadis musnad adalah ucapan Imam Malik:

“Nafi’ bercerita kepada kami, dia berkata: ‘Ibnu Umar bercerita kepada kami, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda:…. “

Imam Al-Khatib Al-Baghdady berkata: “Hadis Musnad adalah hadis yang sanadnya bersambung, dari awal rawi hingga akhir. Istilah Musnad lebih banyak digunakan untuk hadis yang datang dari Nabi saw. saja, bukan untuk hadis yang datang dari selain Nabi saw., misalnya sahabat atau tabiin.

  1. Hadis Marfu’
  2. Definisi

Hadis Marfu’ adalah perkataan, perbuatan atau sifat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. secara hakiki atau Hukmi, baik sanadnya bersambung atau tidak, dan baik yang menyandarkan itu seorang sahabat, tabiin atau lainnya.

  1. Klasifikasi Hadis Marfu
  2. Marfu’ Qauly Hakiki, seperti ucapan perawi yang dikatakan dengan tegas, Nabi saw. bersabda demikian…….
  3. Marfu’ Qauly Hukmi, seperti ucapan sahabat yang berkaitan dengan persoalan-persoalan masa lampau, sebagaimana awal penciptaan makhluk atau masalah yang akan terjadi, sebagaimana tanda-tanda hari Kiamat. Karena pembicaraan peristiwa di atas, tidak mungkin dikatakan oleh seorang sahabat, kecuali mendapat penjelasan dari Nabi saw.
  4. Marfu’ Fi’ly Hakiki, seperti adanya ucapan sahabat yang dinyatakan dengan tegas, Nabi saw. telah berbuat demikian….
  5. Marfu’ Fi’ly Hukmi, adalah perbuatan sahabat yang tidak mungkin hal itu dari pendapat atau pemikirannya sendiri.
  6. Marfu’ Taqriry Haqiqi, adalah tindakan sahabat di hadapan Nabi Muhammad saw. dan beliau tidak mengingkarinya.
  7. Marfu’ Taqriry Hukmi, adalah sebagaimana hadis riwayat Al-Mughirah bin Syu’bah: “Sahabat-sahabat Nabi saw. biasa mengetuk pintu rumah Nabi saw. dengan kuku.”

Perbuatan sahabat tersebut pasti diketahui oleh Rasulullah saw. dan beliau mengakui atau diam.

  1. Marfu’ Sifat Haqiqy, adalah perkataan sahabat yang menerangkan sifat kepribadian Rasulullah saw., misalnya ucapan: “Rasulullah itu putih bersih kulitnya dan perawakannya sedang.”
  2. Marfu’ Sifat Hukmi, ucapan sahabat yang menggunakan kata-kata أمرنا / نهينا (kami diperintah atau kami dilarang).

Dengan ini, jelas bahwa Rasulullah saw., telah mengerjakannya, dan pekerjaan itu merupakan sifat bagi yang mengerjakannya.

 

  1. Hadis Mauquf

Hadis mauquf adalah perkataan, perbuatan atau pengakuan yang disandarkan kepada sahabat, baik sanadnya bersambung atau terputus, dengan syarat tidak ada tanda-tanda marfu’. Apabila ada tanda-tanda marfu’, maka dihukumi marfu’. Sebagaimana hadis riwayat Imam Al-Bukhari:

“Sahabat Ibnu Umar dan Ibnu Abbas berbuka (tidak puasa) dan mengqashar salat dalam bepergian yang berjarak 12 mil. “

 

  1. Hadis Maqthu’

Hadis maqthu’ adalah perkataan, perbuatan atau pengakuan yang disandarkan kepada orang dari generasi tabiin dan orang generasi sesudahnya, baik sanadnya bersambung maupun tidak.

Syarat hadis Maqthu’ harus sepi dari tanda marfu’ dan mauquf. Gambaran contoh hadis maqthu’ adalah ucapan tabiin: “kami melakukan demikian…. “

Contoh hadis maqthu’ adalah perkataan Haram bin Jubair, seorang tabiin besar, dia berkata:  “Orang mukmin itu apabila telah mengenak Tuhannya Azza wa Jalla, niscaya dia mencintai-Nya, dan apabila dia mencintai-Nya, niscaya Allah menerimanya. “

Contoh lain seperti perkataan Sufyan Ats Tsaury, seorang tabiin, yang mengatakan: “Termasuk sunah, adalah mengerjakan salat 12 rakaat setelah salat idul fitri, dan 6 rakaat setelah salat idul adha. “

 

  1. Hadis Muttashil

Hadis Muttashil adalah hadis yang sanadnya bersambung kepada Nabi saw. atau sahabat, dengan cara setiap rawi mendengar dari atas (guru) nya. Gambaran contoh hadis muttashil adalah ucapan Imam Malik: “saya mendengar dari Nafi’, dia berkata: saya mendengar Nabi saw. bersabda:…. “

 

 

 

 

 

 

BAB V

KLASIFIKASI HADIS BERDASARKAN KATA DALAM MERIWAYATKANNYA

 

  1. Hadis Mu’an’an

Hadis mu’an’an adalah hadis yang diriwayatkan dengan menggunakan lafal ‘an. Seperti perkataan ahli hadis: “dari Malik, dari Nafi’, dari Ibnu Umar r.a.  dari Rasulullah saw., beliau bersabda:…… “

Syarat hadis mu’an’an dapat digolongkan Muttashil (bersambung) sanadnya adalah rawi yang menggunakan kata ‘an, itu bebas dari kebiasaan menggelapkan (tadlis) dan dia harus pernah bertemu langsung dengan orang yang memberi riwayat kepadanya.

  1. Hadis Muannan

Hadis muannan adalah hadis yang diriwayatkan dengan menggunakan lafal anna, sebagaimana ucapan rawi hadis: “Fulan menceritakan kepada kami, sesungguhnya Fulan berkata: ‘sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda:…. “

Hadis muannan itu seperti halnya hadis mu’an’an. Bisa dihukumi muttashil dengan syarat-syarat sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

Contoh hadis mu’an’an lengkap adalah:

” Telah menceritakan kepadaku Malik, dari Ibnu Syihab, dari Humaid bin Abdur Rahman, dari Abu Hurairah r.a., sesungguhnya Rasulullah saw. telah bersabda :’Barang siapa yang beribadah puasa Ramadhan karena iman dan mengharap ridho Allah, maka dosa-dosanya yang telah lewat diampuni’. “

 

BAB VI

KLASIFIKASI HADIS BERDASARKAN JUMLAH RAWI DALAM SATU SANAD

 

  1. Hadis ‘Aly
  2. Definisi

Hadis ‘aly adalah hadis yang jumlah rawinya dalam sanad itu sedikit, dibandingkan jumlah rawi yang ada pada sanad lain yang menyebut hadis yang sama.

  1. Macam-macam Hadis ‘aly

Hadis ‘Aly itu ada 5 macam, yakni:

  1. Aly Mutlak, merupakan bagian hadis ‘Aly yang paling penting dan paling dekat dengan Rasulullah saw. dengan sanad yang bersih, tidak dhaif. Dinamakan ‘Aly mutlak, karena tidak terikat oleh seorang imam atau kitab.
  2. Aly Nisby, yaitu adanya kedekatan (rawi yang sedikit jumlahnya) kepada seorang imam hadis, misalnya Imam Al-Auza’i dan Imam Malik, meskipun rawi sesudah imam tersebut sampai Rasulullah saw. berjumlah banyak.
  3. Aly Tanzil, yaitu bila kedekatan (rawi yang sedikit jumlahnya) itu pada kitab Bukhari-Muslim, salah satunya atau kitab-kitab lain yang muktamad.
  4. Aly bisagdimil wafat, yaitu unggul karena lebih dulu wafat rawi yang meriwayatkan dari seorang guru, daripada wafat rawi lain yang juga meriwayatkan hadis dari guru tersebut, meskipun jumlah rawi dalam masing-masing sanad sama.
  5. Aly bitagaddumis sama, yaitu unggul karena lebih dahulu mendengar dari seorang guru, dibandingkan mendengarnya rawi lain dari guru tersebut.

Dalam bagian hadis ‘Aly yang ketiga (Aly Tanzil) terjadi Muwafaqah, Badal, Musawat dan Mushafahah.

Muwafaqah adalah sampai kepada guru salah seorang imam hadis melalui suatu jalur sanad yang jumlah rawinya lebih sedikit di bandingkan jalur sanad imam hadis tersebut.

Badal adalah sampai kepada gurunya guru pengarang kitab hadis muktamad, melalui jalur sanad yang lebih sedikit rawinya daripada jalur sanad perawi kitab tersebut.

Musawat adalah kesamaan jumlah rawi dalam sanad sampai akhir dengan sanad salah seorang penyusun kitab hadis.

Mushafahah adalah kesamaan dengan murid penyusun kitab hadis.

 

  1. Hadis Nazil

Hadis Nazil adalah hadis yang jumlah rawi dalam sanadnya banyak.

Pembagian hadis nazil ada lima. Untuk mengetahuinya, cukup memahami kebalikan pembagian hadis ‘Aly. Aly Mutlak lawan Nazil Mutlak.

Contoh hadis ‘Aly dan Nazil.

Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam Al-Bukhari dengan sanad berbeda. Berikut perbandingannya.

Sanad Muslim adalah Harmalah bin Yahya, Ibnu Wahb, Yunus, Ibnu Syihab, Abu Salamah dan Abu Hurairah (6 orang), adalah hadis nazil.

Sedangkan riwayat Bukhari bersanad Qutaibah bin Sa’ad, Abul Akhwash, Abu Hashin, Abu Shalih dan Abu Hurairah (5 orang) adalah hadis ‘aly, karena sanadnya lebih sedikit.

BAB VII

KLASIFIKASI HADIS BERDASARKAN SIFAT DAN KEADAAN RAWI KETIKA MERIWAYATKAN

 

  1. Hadis Musalsal

Hadis Musalsal, adalah hadis yang rawi-rawi dalam sanad atau periwayatannya saling mengikuti seorang demi seorang pada satu sifat.

Saling mengikutinya rawi-rawi seorang demi seorang pada suatu sifat itu lebih umum, dan mencakup perkataan, perbuatan atau perkataan dan perbuatan sekaligus.

Misal pertama, yakni Musalsal Qauli adalah sabda Rasulullah saw. kepada Mu’adz r.a.: “Hai, Mu’adz, sesungguhnya aku mencintaimu, maka ucapkanlah setiap selesai mengerjakan salat: ‘Ya, Allah, bantulah aku, agar aku dapat zikir kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu dan beribadah kepada-Mu dengan baik”

Hadis tersebut disebut Musalsal Qauly, sebab setiap rawi selalu berkata: “Saya mencintaimu” kepada orang yang di beri riwayat (hadis).

Misal kedua, yakni Musalsal Fi’ly, adalah hadis Abu Hurairah r.a. :

” Abu Al-Qasim saw. menjalinkan tangannya dengan tanganku dan bersabda: ‘Allah telah menciptakan bumi pada hari Sabtu, gunung pada hari ahad, pohon pada hari Senin, perkara yang tidak disukai pada hari Selasa, cahaya pada hari rabu, binatang pada hari kamis dan Adam pada hari Jumat. “

Hadis tersebut disebut Musalsal Fi’ly, sebab setiap rawi bila meriwayatkan hadis tersebut, selalu menjalinkan tangannya kepada tangan orang yang diberi riwayat.

Misal ketiga, yakni hadis Musalsal Qauly dan Fi’ly adalah hadis Anas r.a.:

” Seorang hamba tidak akan menemukan kelezatan iman hingga beriman pada takdir, baik dan buruknya, manis dan pahitnya. “

Beliau setelah menyampaikan hadis tersebut menggenggam jenggotnya dan bersabda :  “Aku beriman pada takdir, baik maupun buruk, manis maupun pahit. ”

Anas melakukan dan mengatakan seperti apa yang dilakukan dan diucapkan Rasulullah sesudah memberi hadis tersebut kepada orang lain. Begitu pula seterusnya.  

Kadang-kadang tasalasul itu terjadi ada sebagian besar sanad, sebagaimana hadis Awwaliyah (yang dimulai dengan kalimat permulaan) sanadnya akan berakhir kepada Sufyan Ats-Tsaury.

Adapun susul – menyusul periwayatan hadis dengan mengikuti satu sifat tertentu, maka sifat itu bisa berupa shighat meriwayatkan hadis, zaman meriwayatkan, tempat meriwayatkan atau tanggal meriwayatkan.

Misal pertama yang berkaitan dengan shighat meriwayatkan adalah bila setiap rawi dalam meriwayatkan hadis menggunakan shighat أنبأني”    , “حدثني” ” atau lainnya.

Misal kedua, yakni sifat musalsal yang berkaitan dengan zaman adalah sabda Nabi saw.: ” Mengerat kuku, mencabut bulu ketiak dan mencukur bulu kemaluan itu pada hari kamis, sedangkan mandi, memakai parfum dan ganti pakaian pada hari jum’at. “

Misal ketiga, yakni sifat musalsal yang berkaitan dengan tempat meriwayatkan adalah hadis musalaal tentang doa yang diijabahi di tempat yang bernama multazam.

Misal keempat, yakni musalsal yang berkaitan dengan tarikh (tanggal) adalah musalsal dengan kalimat akhir, sebagai mana keberadaan rawi selaku perawi paling akhir yang meriwayatkan dari gurunnya, dan ketika meriwayatkan rawi selalu mengucapkan kata ( Fulan memberi tahu aku, dan aku orang yang paling terakhir meriwayatkan hadis darinya).

BAB VIII

MACAM-MACAM RIWAYAT

 

  1. Al-Mudabbaj

Al-Mudabbaj adalah macam riwayat yang dilakukan oleh masing-masing dua kawan yang saling meriwayatkan dari satu dengan lainnya.

Riwayat Mudabbaj ini kadang terjadi di antara sahabat, seperti Aisyah r.a. dengan Abu Hurairah r.a., masing-masing sama meriwayatkan dari pihak yang lain. Kadang-kadang terjadi di antara tabiin, seperti periwayatan Az-Zuhri dengan Ibnu Zubair. Az-Zuhri meriwayatkan dari Ibnu Zubair dan sebaliknya. Kadang terjadi di antara tabiit-tabiin, seperti Malik dan Al-Auza’i, Ahmad bin Hambal dan Ali bin Al-Madiniy, dari generasi sesudah tabiit-tabiin.

Masing-masing dua orang yang sekawan tersebut, saling meriwayatkan dari pihak yang lain tanpa perantaraan. Ada pula yang dengan perantara, seperti Malik dan Al-Laits, masing-masing saling meriwayatkan dari yang lain dengan perantara Yazid bin Al-Hadi.

 

  1. Ghairu Mudabbaj

Riwayat Ghairu Mudabbaj adalah macam riwayat yang dilakukan oleh salah satu dari dua orang yang berkawan, dari lainnya, tetapi teman yang lain ini tidak meriwayatkan dari temannya tersebut. Sebagaimana riwayat Al-A’masy dan At-Taimi.

 

 

 

 

Syarat dalam Riwayat Al-Mudabbaj

Di dalam riwayat Al-Mudabbaj disyaratkan ada kesamaan usia dan sama-sama mengambil dari guru-guru. Sedangkan dalam riwayat Ghairu Mudabbaj, cukup disyaratkan harus sama dalam salah satu dari dua syarat riwayat mudabbaj.

 

 

  1. Riwayatul Aqran

Riwayatul Aqran ialah perawi yang memiliki kesamaan dengan orang yang memberi riwayat kepadanya dalam usia atau guru-guru hadis, sebagaimana riwayat Al-A’masy dari At-Taimi. Riwayatul

Aqran ini sinonim dengan Ghairu Mudabbaj.

 

  1. Riwayatul Akabir ‘Anil Ashaghir

Riwayatul Akabir ‘Anil Ashaghir adalah periwayatan hadis seorang rawi yang lebih tua usianya dari rawi yang lebih muda usianya, yang diperoleh dari seorang guru, seperti riwayat Az – Zuhri dan Malik. Az – Zuhri lebih tua usianya dan lebih dulu generasinya daripada Malik.

Termasuk dalam pengertian riwayatul Akabir ‘Anil Ashaghir adalah:

  1. Riwayat sahabat dari tabiin.
  2. Riwayat tabiin dari tabiit-tabiin.
  3. Riwayat bapak dari anak, sebagaimana riwayat Al-‘Abbas bin Abdul Muttalib, dari putranya, Al-Fadhlu tentang hadis: “Sesungguhnya Rasulullah saw. menjamak antara dua salat di Muzdalifah.”

 

Faedah Mengetahui Riwayatul Akabir ‘Anil Ashaghir

Faedah mengetahui riwayatul akabir ‘anil ashaghir ini, adalah untuk menghindari persangkaan bahwa pada sanadnya terjadi pemutarbalikan dan menjauhkan persangkaan kebanyakan orang, bahwa perawi yang menceritakan hadis (guru), tentu lebih tua dan lebih mulia.

 

  1. Riwayatul Ashaghir ‘Anil Akabir

Riwayatul Ashaghir ‘Anil Akabir adalah periwayatan hadis seseorang dari orang yang lebih tua dan diperoleh dari para guru.

Termasuk dalam pengertian Riwayatul Ashaghir ‘Anil Akabir adalah riwayat anak dari bapaknya, seperti riwayat Ad-Darimi dari ayahnya, dari Rasulullah saw.

 

 

BAB IX

KLASIFIKASI HADIS BERDASARKAN KESAMARAN RAWINYA

 

  1. Al – Muttafiq dan Al – Muftariq

Hadis Al – Muttafiq dan Al – Muftariq, adalah hadis yang di dalam sanadnya terdapat suatu persamaan antara rawi yang satu dengan yang lain dalam hal nama asli. Laqab atau nama samaran, keturunan dan sebagainya dalam ucapan dan bentuk tulisannya, tetapi berlainan orang yang dimaksud dengan nama tersebut, misalnya Kholil bin Ahmad, sebuah nama untuk enam orang laki-laki.

Faedah mengetahui Muttafiq ini, adalah untuk menghindari prasangka nama banyak itu untuk satu orang saja.

 

  1. Al-Mu’talif dan Al-Mukhtalif

Hadis Al-Mu’talif dan Al-Mukhtalif, adalah hadis yang di dalam sanadnya terdapat persamaan nama rawi, laqab atau nama samaran dan lainnya, pada bentuk tulisan (khat) saja, sedang pada lafal (ucapannya) berbeda, misalnya nama سلام . Umumnya tulisan itu dibaca sallam (dengan 1 rangkap), tetapi ada juga yang dibaca salam, sebuah nama sebagian perawi. Ada lagi seperti itu, yaitu عثام dan غنام

Yang diperhitungkan dalam masalah di atas adalah persamaan tulisan hurufnya, tanpa memandang titik dan syakal.23 Dengan demikian, antara عثام dan غنام tertulis sama, yakni عىام

Pengetahuan tentang Mu’talif dan Mukhtalif itu sangat penting artinya. Bagi penuntut ilmu, lebih-lebih ulama ahli hadis, sangat tercela bila tidak mengetahui hal ini, sebab barang siapa yang tidak mengetahuinya, maka tentu banyak kesalahannya.

 

  1. Al-Mutasyabih

Hadis Mutasyabih adalah hadis yang dalam sanadnya terdapat nama-nama yang sama, tetapi berbeda-beda nama ayahnya, atau sebaliknya, misalnya Muhammad bin ‘Aqil  dan Muhammad bin Uqail

Orang yang pertama, yakni Muhammad bin Aqil adalah seorang tabiin yang meriwayatkan hadis dari Ali r.a.

Orang yang kedua, yakni Muhammad bin Uqail adalah salah seorang guru Imam Al-Bukhari.

Adapun tentang orang yang berbeda nama, tetapi nama ayahnya sama, misalnya Syuraih bin An-Nu’man dan Suraij bin An-Nu’man. Yang pertama adalah berkebangsaan Naisabur, sedangkan yang kedua adalah berkebangsaan Firyab, Turki.

Imam Al-Khatib Al-Baghdadi telah menyusun sebuah kitab yang menjelaskan hadis Mutasyabih, beliau memberinya judul Talkhishul Mutasyabih. Kitab ini besar faedahnya.

 

  1. Hadis Al – Mubham

Hadis Al – Mubham adalah hadis yang di dalam matan atau sanadnya terdapat seorang rawi ( laki-laki atau perempuan) yang tidak disebutkan namanya dengan jelas.  

Misal pertama, yakni Mubhan dalam matan hadis Aisyah r.a. :  ” Sesungguhnya seorang perempuan dari sahabat Anshar bertanya kepada Nabi saw. : ‘ Bagaimana caranya aku mandi setelah haid? ‘ Rasulullah saw. menjawab : ‘ Ambillah sepotong kain (kapas) yang diolesi minyak misik dan bersihkanlah dengannya tiga kali’. “

Misal kedua, yakni Mubham dalam sanad, adalah sebagaimana ucapan rawi: “Seorang laki laki memberi tahu aku… “

Ketidakjelasan nama orang dalam matan hadis itu tidak berbahaya. Adapun ketidakjelasan nama rawi dalam sanad, maka diterimanya hadis dan tidaknya itu ada beberapa pendapat.

Sebagian ulama Madzab Hanafi berpendapat : ” Seyogianya madzab kamu menerima hadis Mubhan, sebab sudah diketahui, bahwa rawi hadis tidak akan meriwayatkan  hadis, kecuali dari orang yang terpercaya. “

Nama orang yang tidak disebutkan dengan jelas dalam matan atau sanad itu dapat diketahui, melalui sebagian riwayat – riwayat lain yang menyebutkan orang yang punya nama.

BAB X

KLASIFIKASI HADIS BERDASARKAN GUGUR RAWI

 

  1. Al – Mu’allaq

Hadis Mu’allaq adalah hadis hadis yang gugur rawinya, seorang atau lebih, dari permulaan sanad, baik perawi perawi lainnya gugur atau tidak.

Contoh hadis mu’allaq, sebagaimana ucapan Asy-Syafi’i : Nafi’ berkata :….. , dan ucapan Malik : Ibnu Umar berkata:…. atau Nabi saw. bersabda: ….

Hukum hadis Mu’allaq adalah dhaif, kecuali jika terdapat dalam kitab yang terjamin kesahihannya, maka dihukumi sahih.

Contoh hadis Mua’allaq.

Nabi saw. bersabda : ” Allah itu lebih berhak untuk dijadikan tempat menampakkan sifat malu daripada manusia. “

Lebih jelasnya, lihat paradigma sanad dalam skema berikut ini.

Nyatalah sekarang, apabila kita diperbandingkan sanad-sanad dari 3 iman pentakrij hadis tersebut, bahwa imam Bukhari menggugurkan sanad, sekurang kurangnya seorang, sebelum Bahz bin Hakim.

 

  1. Al – Mursal

Hadis mursal adalah hadis yang diangkat langsung oleh tabiin kepada Nabi saw.  walaupun hanya secara hukum.

Perkataan kami : ” Meskipun secara hukmi” , agar mencakup sahabat yang tidak mendengar langsung dari Nabi saw. tetapi dia mendengar dari sahabat (yang lain) sedangkan ucapan kami : “tabi’y “, supaya mencakup tabiin yang besar dan tabiin yang kecil.

Pertama, yakni tabiin besar, ialah orang yang pernah bertemu banyak sahabat, dan dia sering meriwayatkan hadis mereka, misalnya Sa’id bin Al Musaiyab.

Kedua, yakni tabiin kecil, ialah orang yang hanya pernah berteman satu orang sahabat, misalnya Az Zhuri.

 

Berhujah dengan Hadis Mursal

Adapun mengenai berhujah dengan hadis Mursal, terdapat beberapa pendapat yang berbeda, antara lain:

Menurut pendapat yang terpilih, hadis mursal shahaby daat diterima secara bulat, sebab kemungkinan besar mereka memang mendengar hadis yang diriwayatkan itu. Menurut pendapat Imam Abu Hanifah dan Malik, hadis Mursal dari generasi kedua ( generasi tabiin) dan generasi ketiga (generasi tabiit-tabiin) itu dapat diterima sebagai hujah secara mutlak.

Adapun tentang boleh diterima hadis mursal generasi kedua (generasi tabiin), karena mereka yang terpercaya (tsiqah), misalnya Sa’id bin Al Musaiyyab, Amir Asy Sya’by dan Al Hasan Al Bashry, semuanya telah meriwayatkan hadis mursal dan diterima secara bulat oleh ahli hadis.

Adapun mengenai diterimanya hadis mursal generasi ketiga ( generasi tabiit tabiin), karena tindakan mereka berupa tidak menyebut orang yang memberi riwayat (gurunya) itu. Anda kata (guru tersebut) tidak adil, tentu hal itu merupakan tindakan memutus sanad yang menimbulkan dugaan, bahwa dia hanya mendengar dari orang yang adil, sebagai upaya pengelabuan, padahal generasi ketiga itu sama sekali tidak dapat dituduh melakukan tindakan pengelabuan.

Menurut Imam Asy Syafi’i, bahwa hadis mursal itu bisa diterima sebagai hujah, jika memenuhi salah satu dari lima perkara, yaitu :

  1. Ada rawi lain yang meriwayatkan secara bersambung ( dikuatkan hadis musnad)
  2. Ada rawi lain yang meriwayatkan hadis mursal juga, guru mereka berbeda (hadis mursal dikuatkan hadis mursal yang lain).
  3. Dikuatkan oleh ucapan seorang sahabat.
  4. Dikuatkan oleh pendapat mayoritas ulama
  5. Ada pengakuan, bahwa rawi yang meriwayatkan hadis mursal itu pada umumnya tidak meriwayatkan, selain dari orang yang adil.

 

  1. Al Mudallas

Hadis mudallas itu ada dua macam, yaitu Mudallas Isnad dan Mudallas Syuyukh.

  1. Mudallas Isnad adalah hadis yang diriwayatkan oleh rawi dari orang yang pernah bertemu dengannya dan rawi tersebut tidak pernah menerima riwayat dari padanya, tetapi dia (rawi tersebut) merekayasa seolah dia mendengar (menerima riwayat) dari padanya. Disebutkan juga, bahwa Mudallas isnad adalah periwayatan seorang rawi terhadap hadis yang tidak pernah dia dengar dari gurunya dengan rekayasa seolah olah dia mendengar tersebut dari gurunya.
  2. Mudallas Syuyukh adalah tindakan rawi hadis yang tidak menyebut dengan jelas nama gurunya, tetapi dia menyebut dengan sebutan yang tidak terkenal, baik berupa nama, kunyah, laqab, kabilah, negeri atau profesi dengan tujuan agar tidak diketahui.

 

  1. Al Munqathi’

Hadis Munqathi’ adalah hadus yang sanadnya terdapat seorang rawi sebelum sahabat gugur di satu tempat mana pun. Sekalipun di beberapa tempat, dengan syarat yang gugur itu tidak lebih dari satu rawi secara berturut turut.

Ada pula yang mengatakan hadis munqathi’ adalah hadis yang sanadnya tidak bersambung dengan cara bagaimanapun.

Contoh hadis munqathi’ : ” Rasulullah saw. apabila masuk masjid, memanjatkan doa ( seperti dalam hadis) yang artinya : ‘Dengan nama Allah, selawat dan salam semiga tetap terlimpahkan kepada Rasulullah; Ya Allah, ampunilah dosa dosaku dan bukakankah pintu-pintu rahmat-Mu untukku’. “

Contoh hadis munqathi’ yang gugur rawinya dalam (sanadnya) seorang sebelum sahabat, misalnya hadis yang ditakhrijkan oleh ibnu Majah dan At Turmudzi dengan matan dan sanad sebagai berikut.

  1. Al Mu’dhal

Hadis Mu’dhal adalah hadis yang di dalam sanadnya terdapat dua rawi atau lebih, yang gugur secara berturut turut, baik gugurnya itu di permulaan, tengah atau akhir sanad.

Contoh hadis mu’dhal, hadis yang diriwayatkan Imam Malik:  ” Bagi si budak mempunyai hak, berupa makanan dan pakaian ”

Lebih jelasnya lihat pada skema berikut ini : Imam Malik di dalam kitab tersebut meriwayatkannya langsung dari Abu Hurairah r.a. padahal dia seorang tabiit-tabiin, sudah barang tentu tidak mungkin dapat bertemu dan mendengar sendiri hadis tersebut dari Abu Hurairah r.a. Dengan demikian, pasti ada seorang atau dua orang rawi yang digugurkan. Rawi-rawi yang digugurkan itu dapat kita ketahui, setelah kita mengadakan penelitian dalam kitab lain. Dari hasil penyelidikan menunjukkan, bahwa Imam Muslim meriwayatkan hadus tersebut melalui sanad-sanad : Ibnu Wahbin, Amru bin Al Harits, Bukair bin Asyja, Muhammad bin Ajlan, ayah Ajlan dan Abu Hurairah r.a. Dengan demikian, rawi-rawi yang digugurkan oleh Imam Malik ialah Muhammad bin Ajlan dan ayahnya (dua orang).

 

 

BAB XI

KLASIFIKASI HADIS BERDASARKAN KECACATAN RAWINYA

(DALAM KEADILAN DAN KEDHABITAN)

 

  1. Al – Mudhtharib

Hadis Mudhtharib adalah hadis yang mengandung pertentang di dalam sanad, matan atau sanadnya, sebab ada penambahan atau pengurangan, yang tidak mungkin dapat dikompromikan atau ditarjihkan.

Apabila perbedaan atau pertentangan tersebut dapat dikompromikan, maka hadis tersebut dapat diamalkan dan tidak lagi disebut hadis mudhtharib.

 

Contoh Hadis Mudhtharib dalam matan:

“ Dari Anas r.a. mengabarkan, bahwa Rasulullah saw., Abu Bakar dan Umar r.a.. konon sama memulai bacaan salat dengan bacaan Al-Hamdullillahi Rabbil ‘Alamiin.”

            Menurut Al-Hafidz Ibnu Abdil Barr, bahwa hadis basmalah tersebut banyak, dengan lafal yang berbeda-beda dan saling dapat bertahan, yakni tidak dapat ditarjihkan maupun dikompromikan. Antara lain hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, An-Nasai dan Ibnu Huzaimah, yang juga bersumber kepada Anas r.a., dengan rangkaian kalimat: “ Mereka tidak mengeraskan bacaan Basmillahir rahmaanir rahiim.”

            Di samping itu, ada juga beberapa rawi yang meriwayatkan, bahwa para sahabat sama membaca basmalah dengan keras, ujarnya: “ Mereka sama mengeraskan bacaan Bismillaahir rahmaanir rahiim.”

            Contoh hadis mudhtharib pada sanad, adalah hadis Abu Bakar r.a. yang menanyakan kepada Rasulullah saw., apa yang menyebabkan beliau beruban? Katanya:

“ Wahai, Rasulullah, aku perhatikan Anda telah beruban!” Jawab Rasulullah saw.: “(yang) menyebabkan aku beruban adalah surah Hud dan saudara – saudaranya (surah Al-Waqi’ah, Al-Haqqah, At- Taqwir dan Al Ma’arij).”

            Menurut Ad-Daraquthni, bahwa hadis tersebut adalah mudhtharib, sebab hadis itu hanya melalui jalan (sanad) dari Ibnu Ishaq, dan dari jalan itu juga banyak terdapat perbedaan sampai kurang-lebih sepuluh macam perbedaan. Antara lain, hadis itu diriwayatkan secara mursal, sementara ada yang meriwayatkannya dengan muttasil.

            Para ulama juga ada yang mempertengkarkan sanadnya. Sebagian mengatakan, bahwa hadis  itu bersumber dari Ikrimah, dari Abu Bakar. Sebagian mengatakan dari Ibnu Juhaifah, dari  Abu Bakar. Sebagian lagi mendakwahkan dari Al-Barra’, dari Abu Bakar. Sebagian lagi mengatakan dari Abu Maisarh, dari Abu Bakar, dan ada pula yang meriwayatkan dari Alqamah, dari Abu Bakar. Rawi-rawi itu menurut Ibnu Hajar, adalah orang-orang yang tsiqah, yang tidak mungkin ditarjihkan salah satunya.  

 

  1. Al – Mu’allal

Hadis Mua’allal adalah hadis yang secara lahiriah selamat (dari cacat), tetapi setelah diadakan penelitian pada sanad-sanadnya, ternyata mengandung cacat berat dalam sanad atau matannya, seperti menyambung (memuttasilkan) hadis mursal, Munqathi’, atau memasukkan satu hadis ke hadis lain lainnya.

Cacat yang terdapat pada matan itu bisa menodai sanad. Berbeda dengan cacat pada sanad, yang hanya menodai sanad itu sendiri.

 

 

  1. Asy – Syadz dan Al – Munkar

Hadis Syadz adalah hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah (terpercaya), yang berlawanan dengan rawi yang lebih (terpercaya), disebabkan kelebihan hafalan atau banyaknya jumlah sanad atau lainnya, berupa segi – segi pentarjihan.

Hadis Munkar adalah hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang dhaif (lemah), yang berlawanan dengan rasi yang tingkat kelemahannya lebih rendah.

Hadis At-Turmudzi , yang bersanad Ibnu Uyainah, Amr bin Dinar, Ausajah dan Ibnu Abbas r.a., adalah hadis mahfuzh. Sebab hadis tersebut, di samping mempunyai rawi-rawi yang terdiri dari orang-orang tsiqah, juga mempunyai mutabi’, yaitu Ibnu Juraij  dan lainnya.

Hadis Ashhabus Sunan, yang bersanad Hammad bin Zaid, Amr bin Dinar dan Ausajah, adalh hadis mursal. Sebab, Ausajah meriwayatkan hadis tersebut tanpa melalui sahabat Ibnu Abbas r.a., padahal dia adalah seorang tabiin. Hammad bin Zaid itu termasuk rawi yang tsiqah, karenannya dia tergolong rawi yang diterima (maqbul) periwayatannya. Akan tetapi, karena periwayatan Hammadbin Zaid itu berlawanan dengan periwayatan Ibnu Uyainah yang lebih rajih, karena sanadnya muttashil dan ada mutabi’nya. Maka, hadis At-Turmudzi yang memalui sanad Ibnu Uyainah-lah yang rajih dan disebut hadis mahfuzh, sedangkan hadis Ashhabus Sunan yang bersanad Hammad bin Zaid adalah marjuh dan disebut dengan hadis syadz.

Hadis Abu Dawud yang bersanad Abul Wahib bin Ziyad, Al-A’masy, Abu Shalih, dan Abu Hurairah r.a., yang diriwayatkan secara marfu’ itu adalah hadis syadz pada matan. Hal itu dapat kita ketahui setelah meninjau hadis Bukhari yang bersanad Abdullah bin Yazid, Sa’id bin Abi Ayyub, Abul Aswad, Urwah bin Zubair r.a., dan riwayat dari rawi-rawi lain yang lebih tsiqah, yang meriwayatkan atas dasar fiil (perbuatan Nabi). Sedangkan hadis Abu Dawud, diriwayatkan atas dasar qaul (perkataan) Nabi.

Oleh karena menyalahi hadis Abu Dawud dengan hadis Bukhari (yang lebih tsiqah) tersebut terjadi pada matannya, bukan pada sanadnya, maka hadis Abu Dawud tersebut dinamakan hadis syadz pada matannya, sedangkan hadis Bukhari dan lainnya disebut hadis mahfudz (pada matannya).

Contoh hadis Munkar:

“ siapa yang mengerjakan salat, membayar zakat, menunaikan haji, berpuasa, dan menghormat tamu, maka masuk surga.”

Menurut Abu Hatim, hadis tersebut diriwayatkan Ibnu Abi Hatim yang bersanad Hubayyib bin Habib, Abu Ishaq, Al-Izar bin Harits, Ibnu Abbas r.a., dari Nabi Muhammad saw., adalah mungkar. Sebab, Hubayyib bin Habib, salah seorang sanadnya adalah rawi yang waham dan matruk, di samping itu ia meriwayatkan hadis tersebut secara marfu’. Padahal menurut rawi-rawi yang tsiqah meriwayatkannya dari Abu Ishaq, dari Ibnu Abbas secara mauquf. Inilah yang ma’ruf.

 

  1. Al – Maqlub

Hadis Maqlub adalah hadis yang dikenal dari seorang rawi tertentu, lalu diganti dengan rawi lain yang segenerasi dengan rawi tersebut, atau sanad suatu matan hadis tertentu ditukar dengan sanad matan hadis lain dan sebaliknya.

Ada kisah menarik yang menjadi bukti kehebatan hafalan dan perhatian Al – Bukhari terhadap hadis – hadis Rasulullah saw., yaitu: Ketika beliau datang di kota Baghdad (Irak), banyak orang ahli hadis berkumpul, lalu mengambil seratus hadis dan mereka acak – acak atau putar balikkan sanad dan matannya, sehingga sanad satu tertukar hadis lain.

Para ahli Irak itu menghadiri majelis pengajian Imam Al – Bukhari dan menyodorkan seratus hadis Maqlub tersebut kepadanya.

Setelah mereka selesai mengutarakan hal  tersebut kepadanya, maka Imam Al – Bukhari menoleh kepada mereka dan menjelaskan dengan cara mengembalikan setiap matan hadis pada sanad aslinya. Mereka merasa kagum dan akhirnya mengakui kehebatan Al-Bukhari  dibidang hadis.

 

  1. Al – Mudraj

Hadis Mudraj itu terbagi menjadi dua bagian, yaitu : Mudrajul Matni dan Mudrajus Sanad.

  1. Mudrajul Matni adalah suatu kalimat yang disebutkan rawi di permulaan, tengah-tengah atau akhir ha suatu hadis, sehingga orang yang tidak mengetahui keadaan sebenarnya, menganggap kalimat tersebut bagian dari hadis, padahal tidak.

Contoh Mudrajul Matni:

  1. Idraj diawal hadis.

عن ابي هريرة رضي الله عنه عن رسول الله صلّى الله عليه ؤسلّم : اَسْبِغُؤْا الوُضُؤَ وَيْلٌ للاَعْقَابِ مِنَ النَّارِ.

Kata اَسْبِغُؤْا الوُضُؤَ adalah tambahan Abu Hurairah.

  1. Idraj ditengah hadis.

عن عائشة رضي الله عنها كان النَّبي صلّى الله عليه ؤسلّم : يَتَحَنَّثُ فِي غَارِ ؤَهُؤَ التَّعَبُّدُ اللّيالِيَ ذَؤَاتِ العَدَدِ.

Kata ؤَهُؤَ التَّعَبُّدُ adalah perkataan rawi.

  1. Idraj diakhir hadis.

عن ابي هريرة لِلْعَبْدِ الْمَمْلُؤْكِ اَجْرَانِ ؤَالَّذِى نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَؤْلاَ الْجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ الله ؤَالحَجِّ ؤَبِرُّ اُمِّي لاَحَبَبْتُ اَنْ اَمُؤتَ ؤَاَناَ مَمْلُؤْكٌ

                        Kalimat yang bergaris dalam hadis di atas adalah ucapan rawi.

  1. Mudrajus Sanad itu ada empat macam, yaitu :
  2. Ada suatu kelompok ahli hadis meriwayatkan suatu hadis dengan banyak sanad yang berlainan, lalu ada seorang rawi lain meriwayatkan dari mereka dengan menggunakan salah satu sanad tanpa memberikan penjelasan tentang berbeda-beda sanadnya.
  3. Ada hadis yang diriwayatkan secara sempurna oleh seorang rawi dengan suatu sanad, kecuali sebagian yang dia riwayatkan melalui sanad lain. Kemudian ada salah seorang rawi yang meriwayatkan hadis tersebut secara lengkap dengan sanad yang pertama.
  4. Ada dua matan hadis yang berbeda diriwayatkan oleh rawi dengan sanad yang berlainan juga. Lalu ada rawi meriwayatkan dua hadis tersebut dengan menggunakan salah satu sanad, dari dua sanad tersebut. Atau meriwayatkan salah satu hadis dengan sanadnya yang asli dan menambahkan matan yang lain ke dalamnya, yang tidak menggunakan sanad itu.
  5. Perawi tengah menggunakan sanad, lalu datang seseorang kepadanya, dan rawi itu mengucapkan perkataan dari dirinya sendiri, kemudian orang tersebut meriwayatkan hadis dari padanya.

 

Mudrajul Matni dapat diketahui sebab ada hadis dalam riwayat lain, yang tidak memuat perkataan tersebut, ada keterangan dari rawi yang membuat tambahan tersebut, pengkajian imam-imam ahli hadis atau adanya kemustahilan perkataan tersebut keluar dari Rasulullah saw.

Sedangkan untuk mengetahui Mudrajus Sanad, cukup dengan keberadaan riwayat lain yang berbeda dengan riwayat yang telah dimasuki tambahan, yang bisa diterima dengan memangkas sebagian rawi yang disisipkan ke dalamnya.

 

  1. Matruk

Hadis Matruk adalah hadis yang perawi-perawinya secara jelas dalam periwayatan dikenal kebohongannya, karena hadis yang mereka riwayatkan itu bertentangan dengan kaidah-kaidah agama dan hadisnya tidak dijumpai dalam riwayat-riwayat lain. Atau perawinya terkenal dengan kebohongannya di kalangan masyarakat, meskipun kebohongan rawi tersebut tidak terlihat dalam hadis riwayatnya, ini lebih ringan daripada yang pertama tadi. Atau perawi itu diduga sering melakukan kesalahan, kealpaan atau kefasikan dengan tidak melakukan kebohongan.

Contoh hadis Matruk : “ Telah bercerita kepadaku Ya’qub bin Sufyan bin Ashim, katanya : Telah bercerita kepadaku Isa bin Ziyad, katanya; Telah bercerita kepadaku Abdur Rahim bin Zaid, dari ayahnya, dari Said Ibnul Musaiyyah, dari Umar bin Al-Khattab r.a., katanya: Rasulullah saw., bersabda: Andai (didunia ini) tidak ada wanita, tentu Allah itu disembah dengan sesungguhnya.”

Ibnu Ady menjelaskan, bahwa dalam sanad hadis tersebut terdapat 2 orang rawi yang matrukul hadis, yaitu Abdur Rahim dan ayahnya.

 

  1. Maudhu’
  1. Definisi

Hadis Maudhu’ adalah perkataan, perbuatan, penetapan, atau lainnya, yang secara bohong disandarkan kepada Nabi saw. dengan sengaja.

  1. Mengetahui Hadis Maudhu’

Hadis Maudhu’atau palsu itu dapat diketahui dengan pengakuan dari si pembuat sendiri dan dengan qarimah (tanda) yang tercermin pada keadan rawi, seperti mematuhi kehendak sebagian penguasa.

Dapat juga hadis Maudhu’ itu diketahui dari keadaan hadis yang dipalsukan, seperti kekakuan kalimat dan maknanya, bertentangan dengan sebagian ayat al-qur’an atau hadis mutawatir berlawanan dengan ijmak  Qat’iy atau bahkan bertentangan dengan akal sehat.

  • Motif yang mendorong pemalsuan hadis.

Tidak ada bedanya (sanksi pemalsu hadis) antara rawi yang membuat hadis maudhu’ dengan yang mengutip perkataan orang lain, baik untuk menyesatkan, mencari keuntungan dan kedudukan. Fanatisme mazhab atau mencari muka di hadapan para penguasa dan mengikuti kemauan mereka, misalnya Khalifah atau Gubernur.

  1. Hukum meriwayatkan Hadis Maudhu’

Hukum meriwayatkan hadis Maudhu’ itu haram mutlak bagi orang yang mengetahui atau menduga, bahwa hadis yang hendak diceritakan itu maudhu’, kecuali disertai penjelasan. Tetapi, apabila tidak mengerti, bahwa hadis yang hendak diceritakannya itu Maudhu’, lalu meriwayatkannya, maka dia tidak berdosa.

  1. Contoh hadis Maudhu’ antara lain:

“ Anak zina itu, tidak dapat masuk surga, sampai tujuh keturunan.”

Makna hadis ini bertentangan dengan kandungan surah Al-An’am ayat 164, yakni:

“dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.”

“Bahwa setiap orang dinamakan dengan nama-nama (Muhammad, Ahmad, dan semisalnya) ini, tidak akan dimasukkan ke neraka.”

Hadis tersebut adalah bertentangan dengan sunah-sunah Rasulullah saw. yang menerangkan, bahwa neraka itu tidak dapat ditebus dengan nama-nama tersebut, akan tetapi keselamatan dari mereka itu karena keimanan dan amal saleh.

“Bahwa Rasulullah saw. memegang tangan Ali bin Abu Thalib r.a. di hadapan para sahabat seluruhnya, yang baru kembali dari haji wada’. Kemudian Rasulullah saw. membangkitkan Ali, sehingga para sahabat mengetahui semuanya. Lalu beliau bersabda: ‘Ini adalah wasiatku (orang yang saya beri warisan) dan saudaraku, serta khalifah setelah aku nanti. Oleh karena itu, dengarlah dan taatilah dia’.”

 

  1. Al – Muhmal

Hadis Muhmal adalah hadis yang diriwayatkan salah satu dari dua orang yang sama dalam nama, laqab dn kunyahnya, atau nama-namanya dan nama ayahnya sama, atau juga salah satu dari yang tersebut(nama, laqab, dan kunyah) dengan nama datuknya sama, atau semua ang tersebut ditambah nisbatnya juga sama dengan pernyataan rawi itu sendiri dan tidak ada hal yang membedakan.

Apabila rawi mengatakan, bahwa dia tidak mengambil, kecuali dari salah satu mereka yang sama ini, maka hilanglah ihmalnya, meskipun tidak jelas kekhususan riwayat rawi dengan salah satu dari dua orang yang sama tersebut. Apabila kedua orang yang sama tersebut sama tsiqahnya, maka hadis tersebut bisa diamalkan, tetapi jika keduanya tidak tsiqah, maka hadisnya tidak boleh diamalkan.

 

  1. Al Mazid fi Muttashil Asanid

Hadis Al-Mazid fi Muttashil Asanid adalah suatu hadis yang rawinya menambahkan seorang rawi atau lebih ditengah-tengah sanadnya, yang berlawanan dengan rawi yang lebih kuat, yang telah menyatakan mendengar  (dari gurunya) atau memberi kesan bahwa dia mendengar di tempat tambahan, sebagaimana riwayat rawi dengan menggunakan kata “”حَدَّثَنا.

Misalnya : حَدَّثَنَا شَقِيْقٌ قَالَ حَدَّثَنَا عَمْرٌؤ قَالَ حَدَّثَنَا ابنُ مَسْعُؤْدٍ  

Apabila rawi yang menambah atau menyisipkan rawi lain dalam sanadnya tersebut tidak menyatakan mendengar atau tidak mengesankan, bahwa dia mendengar, sebagaimana dia meriwayatkan dengan menggunakan kata “عن”, maka riwayat yang terdapat sisipan dalam sanadnya itulah yang lebih rajih (yang diterima).

 

  1. Al-Mushohhaf

Hadis mushohhaf adalah hadis yang di dalam matan atau sanadnya terdapat perubahan titik-titik hurufnya.

Misalnya hadis mushohhaf dalam matan adalah: “Barang siapa puasa dibulan ramadhan, lalu menyusulnya dengan enam hari dibulan syawal maka dia seperti puasa satu tahun”

Kata “سِتًّا”   dalam hadist di atas oleh Abu Bakar Ash-Shuly diriwayatkan dengan kata “شَيْئًا”.

Contoh hadis mushohhaf dalam sanad adalah hadis syu’ban: “ Dari Al-‘Awwam bin Marajim, dari Abu Usman An-Nahdy, dari Usman bin Affan r.a., dia berkata: Rasulullah saw. bersabda: ‘Penuhilah hak-hak kepada yang mempunyai hak’.”

                        Yahya bin Ma’in mem-tashhif-kan “”مَرَاجِمْ menjadi “”مَزَاحِمْ.

 

  1. Al-Muharraf

Hadis Al-Muharraf adalah hadis yang mengalami perubahan dalam syakkal hurufnya. Yang dimaksud dengan syakal adalah harakat (tanda hidup) dan sakanat (tanda mati), seperti hadis Jabir r.a :

“Ubaiyi telah dihujani panah pada perang ahzab mengenai lengannya, lalu Rasulullah mengobatinya dengan besi  panas.”

Ghundur melakukan takrif (perubahan pada kata “اُبَيٌّ” menjadi “”اَبِي sehingga susunan hadis menjadi: “ Ayahku dihujani panah pada perang ahzab mengenai lengannya, lalu Rasulullah mengobatinya dengan besi  panas.”

Padahal yang kena panah adalah Ubaiyi bin Ka’ab. Ghundur mengubah menjadi “”اَبِي sehingga memberi kesan yang terkena panah adalah Ubaiyi, ayah Jabir. Padahal Ubaiyi ayah jabir telah meninggal sebelum perang ahzab.

 

  1. Al-Ma’ruf dan Al-Mahfuzh

Hadis Ma’ruf adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang yang dho’if (lemah) berlawanan dengan hadis yang diriwayatkan oleh orang yang lebih dho’if (sangat lemah). (bandingan hadis ma’ruf adalah hadis munkar).

Hadis Mahfuzh adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang yang tsiqah (terpercaya), berlawanan dengan orang yang kualitas tsiqah nya lebih rendah. (bandingan hadis mahfuzh adalah hadis syadz).

 

 

BAB XII

KESAMAAN ATAU MUSYAROKAH DALAM PERIWAYATAN

 

  1. Al – Mutabi’

Hadis Al – Mutabi’ adalah hadis yang rawinya mengikuti rawi lain dalam periwayatan hadis, sejak dari gurunya atau dari gurunya guru dan menyamai pula dalam susunan redaksi.

Mutaba’ah (perbuatan mengikuti periwayatan orang lain) itu ada dua macam, yaitu: Mutaba’ah Tammah dan Mutaba’ah Qashirah.

Mutaba’ah Tammah adalah periwayatan si Mutabi’ (yang mengikuti periwayatan seorang guru atau gurunya guru dari rawi lain) itu mengikuti periwayatan guru Mutaba’ (Orang yang diikuti).

Mutaba’ah Qashirah adalah periwayatan si Mutabi’ mengikuti periwayatan rawi yang di atas gurunya secara mutlak.

 

  1. Asy – Syahid

Hadis Syahid adalah hadis yang (diriwayatkan rawi dari sahabat lain) menyamai hadis (yang diriwayatkan seorang rawi dari sahabat) yang lain dalam maknanya, bukan dalam redaksi kalimatnya.

Contoh hadis Mutabi’ dan Syahid:

 

الشَّهْرُ تِسْعٌ ؤَعِشْرُوْنَ فَلاَ تَصُوْموْا حَتَّى تَرَوْا الهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوْا تَرَوْهُ فَاِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاكْمِلُوْا العِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا. وَفِيْ لَفْظِ ابْنِ خُزَيْمَةَ: فَكَمِّلُوْا ثَلاَثِيْنَ , وَفِيْ لَفْظِ مُسْلِمٍ فَا قْدُرُوْا لَهُ ثَلاَثِيْنَ, وَفِيْ لَفْظِ الْبُخَارِيْ فَاكْمِلُوْاعِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ .

 

Dalam contoh di atas misalkan, yang akan dicari mutabi’ dan syahidnya adalah hadis Asy-Syafi’i (nomor I) yang bersanad Malik, Ibnu Dinar dan sahabat Ibnu Umar r.a. Maka kita dapatkan bahwa:

  1. Hadis Al-Qa’nabi (nomor II) adalah mutabi’ tamm terhadap hadis Asy-Syafi’i, sebab Al-Qa’nabi mengikuti periwayatan guru Asy-Syafi’i sejak dari guru yang terdekat, yaitu Malik sampai kepada guru yang agak jauh, yaitu Ibnu Dinar dan hingga gurunya yang paling jauh, yaitu sahabat Ibnu Umar r.a. jadi, seluruh guru Asy-Syafi’i diambil dan diikutinya.
  2. Hadis Ibnu Huzaimah (nomor III) bersanad Ashim bin Muhammad, Muhammad bIn Zaid dan Ibnu Umar r.a. dan hadis Muslim (nomor IV) yang bersanad Ubaidillah, Nafi’ dan Ibnu Umar r.a., keduanya adalah mutabi’ qashir terhadap hadis Asy-Syafi’i. karena keduanya mengikuti guru asy-Syafi’i terjauh, yaitu Ibnu Umar r.a. atau dengan perkataan lain ketiga rawi hadis tersebut bersumber dari seorang sahabat yang sama. dikatakan dengan qashir (kurang sempurna), karena hanya mengikuti pada seorang guru saja, tidak semua guru-guru Asy-Syafi’i.

Baik hadis Ibnu Huzaimah, maupun Muslim, mempunya lafal yang berbeda-beda. Pada hadis Ibnu Huzaimah tertulis: fakammilu tsalatsina dan pada hadis Muslim, tertulis: faqdurulahu tsalatsina. Kendatipun ketiga hadis tersebut berbeda-beda lafalnya, namun maknanya tetap tidak berbeda.

  1. Hadis An-Nasai (nomor V) yang bersanadkan Muhammad Ibnu Hunain dan Ibnu Abbas r.a. menjadi syahid terhadap hadis Asy-Syafi’i, karena sumbernya, yakni Ibnu Abbas r.a., berbeda dengan sumber hadis Asy-Syafi’i. Oleh karena lafal yang dibawakan oleh An-Nasai tidak berbeda dengan lafal hadis Asy-Syafi’i yang sekaligus maknanya pun tidak berbeda, maka hadis An-Nasai ini dikatakan hadis syahid bil lafzhy terhadap hadis Asy-Syafi’i.
  2. Hadis Al-Bukhari (nomor VI) yang bersanadkan Syu’bah, Muhammad bin Ziyad dan Abu Hurairah r.a., juga sebagai syahid terhadap hadis Asy-Syafi’i, karena Al-Bukhari mengambil sumber periwayatannya, tidak sama dengan Asy-Syafi’i,, yaitu sahabat Abu Hurairah r.a. lafal yang dibawakan oleh Al- Bukhari, berbeda dengan lafal yang dibawakan Asty-Syafi’i. Perbedaan itu terletak pada kalimat: fa-akmilu ‘iddata sya’bana tsalatsina. Karena perbedaan lafal ini tidak membawa perbedaan arti, maka syahid yang demikian disebut syahid bil ma’na.

 

  1. As – Sabiq dan Al – Lahiq

Hadis As – Sabiq dan Al – Lahiq adalah adanya musyarakah (kesamaan) dua orang rawi dalam meriwayatkan hadis dari seorang guru dan salah seorang dari mereka berdua mati lebih dahulu.

Di antara faedah mengetahui riwayat As – Sabiq dan Al – Lahiq adalah untuk menetapkan ketinggian sanad suatu hadis yang dapat mengesankan dalam hati.

Misalnya, Al Bukhari meriwayatkan hadis dari Abul Abbas As-Siraj dan Al Bukhari meninggal dunia pada tahun 256 H. Kemudian ada rawi yang paling akhir meriwayatkan dari Abul Abbas As-Siraj, yaitu Ahmad bin Muhammad An-Naisabury yang meninggal pada tahun 393 H. Jarak meninggal antara Al Bukhari dam An-Naisabury adalah 137 tahun. Dengan demikian, hadis riwayat Al Bukhari disebut As-Sabiq dan riwayat An-Naisabury disebut Al-Lahiq. Imam Ibnu Hajar membatasi jarak kematian antara dua orang rawi, maksimal 150 tahun.

 

  1. Al – I’tibar

Al – I’tibar adalah penyelidikan beberapa jalur atau sanad hadis yang diduga sebagai hadis fard (diriwayatkan sendirian), untuk mengetahui apakah ia mempunyai mutabi’ (hadis yang sama, yang diriwayatkan melalui jalur lain), syahid (hadis semakna, yang diriwayatkan melalui jalur lain) atau tidak memiliki mutabi’ dan tidak memiliki syahid.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB XIII

NASIKH DAN MANSUKH

 

Nasakh adalah pembatalan yang dilakukan oleh pembuat hukum terhadap suatu hukum yang telah ditentukan, karena keluar suatu hukum yang baru. (yang baru disebut nasikh dan hukum lama disebut mansukh).

 

Mengetahui Hadis Nasikh dan Mansukh

Nasikh dan Mansukh itu di antaranya dapat diketahui dengan:

  1. Penjelasan dari nas Rasulullah saw. Sendiri, sebagaimana hadis beliau:

“Dulu aku melarang kamu semua menziarahi kuburan, tetapi (sekarang) berziarahlah kamu semua ke kuburan.”

  1. Perkataan sahabat, seperti perkataan Jabir:

“Ada dua perkara yang terakhir dari Rasulullah saw., yaitu meninggalkan wudhu’, sebab memakan makanan yang dimasak dengan api (dipanggang atau direbus).”

  1. Sejarah, seperti hadis riwayat Syaddad bin Aus :

“ Orang yang membekam dan orang yang dibekam itu, puasa keduanya batal.”

 

Hadis tersebut menurut penjelasan As-Syafi’i dimansukh dengan hadis Ibnu Abbas berikut ini :

“ Sesungguhnya Nabi saw., bekam dalam keadaan ihram dan puasa.”

Hadis riwayat Syaddad bin Aus itu terjadi pada waktu pembebasan kota Makkah, yakni tahun ke delapan hijriah, sedangkan hadis riwayat Ibnu Abbas itu terjadi pada waktu haji wada’, yakni tahun kesepuluh hijriah.

 

BAB XIV

PENUTUP

 

  1. Penerimaan Riwayat

Cara-cara penerimaan (tahammul) hadis itu ada delapan. Berikut ini penjelasannya beserta shighat (bentuk kata) penyampaiannya :

  1. Mendengar langsung lafal hadis dari guru yang mendiktenya, ketika dia menyampaikan hadis tersebut menggunakan bentuk kata:

سَمِعتُ  (aku telah mendengar)

حَدَّثَنِي   (dia telah menceritakan kepadaku)

أَخْبَرَنِيْ  (dia telah memberi tahu aku)

  1. Membaca di hadapan guru, baik dia sendiri yang membaca atau orang lain, sedangkan dia ikut mendengarkan. Orang yang membaca langsung di hadapan guru itu, kalau meriwayatkan menggunakan bentuk kata:

قَرَأْتُ عَلَيْهِ  (aku telah membacakan di hadapannya)

أَخْبَرَنِيْ قِرَأَةً عَلَيْهِ (telah menceritakan kepadaku, secara pembacaan di hadapannya)

أَنْبَاَنِيْ قِرَأَةً عَلَيْهِ (telah memberitakan kepadaku, secara pembacaan di hadapannya)

      Sedangkan orang yang mendengar bacaan orang lain di depan guru itu, kalau meriwayatkan menggunakan bentuk kata:

قُرِئَ عَلَيهِ وَاَنَا أَسْمَعُ  (telah dibacakan oleh seseorang, di hadapannya, sedangkan aku mendengarkannya).

  1. Ijazah secara khusus. Syarat-syaratnya adalah orang yang memberi ijazah harus benar mengerti isi kitab atau tulisan dan orang yang diberi ijazah harus faham isi kitab atau tulisan secara tepat atau benar. Apabila tidak demikian, maka tidak sah ijazah orang yang diberi ijazah melalui lafal ini ketika meriwayatkan menggunakan bentuk kata:

شَافَهَنِيْ (dia telah berbicara langsung kepadaku)

  1. Munawalah, dengan syarat dibarengi ijazah. Gambaran munawalah adalah seorang guru menyerahkan naskah asli atau salinan (fotokopi), untuk diberikan atau dipinjamkan kepada muridnya. Atau seorang murid membacakan naskah asli atau salinannya di hadapan sang guru, sedangkan sang guru memperhatikannya, kemudian guru berkata: “Ini riwayat saya, dari Fulan, maka riwayatkanlah dari saya”. Murid (rawi) ini ketika meriwayatkan hadis itu menggunakan bentuk kata:  نَاوَلَنِيْ (seseorang telah memberikan kepadaku)
  2. Al – Muhatabah, ialah seorang guru yang menulis sendiri atau menyuruh orang lain menulis beberapa hadis kepada orang di tempat lain atau yang ada di hadapannya. Menurut pendapat yang sahih, cara seperti ini tidak perlu disyaratkan ada izin. Rawi (murid) ketika meriwayatkan hadis yang dia dapat melalui ini menggunakan bentuk kata: كَتَبَ اِلَىَّ (telah menulis kepadaku)
  3. Al – Wijadah adalah memperoleh atau menemukan tulisan hadis orang lain yang telah dikenalnya, yang dia tidak pernah menerima (hadis yang ditemukan), baik dengan mendengar sendiri atau membacanya di hadapan orang yang memiliki tulisan itu atau dengan cara lainnya. Orang yang demikian ini ketika meriwayatkan hadis tersebut menggunakan:

وَجَدْتُ بِخَطِّ فُلاَنٍ (saya telah menemukan tulisan fulan), lalu orang (rawi) menyebutkan sanad dan matan, seperti yang terdapat dalam tulisan.

  1. Al –Washiyyah bil Kitab adalah pesan seseorang dikala akan mati atau bepergian, dengan sebuah kitab asli supaya diriwayatkan. Rawi yang meriwayatkan hadis yang dia peroleh berdasarkan wasiat ini:

اَوْ صَى اِلَيَّ فُلاَنٌ بِكِتَابٍ قَالَ فِيْهِ حَدَّثَنَا ….

“Seseorang telah berwasiat kepadaku dengan sebuah kitab yang dia berkarya dalam kitab itu: ‘Telah bercerita kepadaku Fulan….’.”

  1. Al – I’lam adalah pemberitahuan guru kepada salah seorang murid, bahwa saya meriwayatkan kitab dari Fulan… meriwayatkan hadis yang diperoleh berdasar Al-I’lam ini disyarahkan ada izin meriwayatkan. Begitu pula meriwayatkan hadis yang diperoleh berdasar wasiat, menurut pendapat yang sahih. Rawi yang meriwayatkan hadis yang dia peroleh berdasar I’lam menggunakan bentuk kalimat:

اَعْلَمَنِى فُلاَنٌ ….. قَالَ : حَدَّثَنَا

“Seseorang (…) telah memberitahukan kepadaku, dia berkata : telah menceritakan kepadaku…”

 

Catatan:

Periwayatan dengan kata اَنْبَاَنِيْ atau عَنْ itu pada dasarnya termasuk kalimat yang mengandung pengertian mendengar dan tidak, melalui ijazah dan mungkin tidak, seperti kata قَالَ. Kata ذَكَرَ dan رَوَى itu semisal شَافَهَنِيْ dan كَتَبَ اِلَيَّ menurut ulama mutaakhirin. Adapun generasi pertengahan antara generasi dahulu dan muta’akhirin itu menggunakan bentuk kata penyampaian “اَنْبَاَنِيْ” hanya untuk yang berijazah.

 

 

 

  1. Meriwayatkan Hadis dengan Maknanya

Meriwayatkan hadis dengan makna adalah perbuatan rawi mengubah susunan redaksi lafal hadis dengan berbagi segi, tetapi kandungan maknanya tetap tidak berubah. Menurut pendapat yang sahih meriwayatkan hadis dengan makna itu boleh bagi orang yang alim, yang tidak menyimpang sedikit pun dari maksud hadis, karena kepandaiannya dan kemampuannya mengolah perkataan.

 

  1. Adab Guru dan Murid

Adab yang harus diperhatikan secara bersama oleh guru dan murid, di antaranya adalah: meluruskan niat, memperbaiki akhlak, dan menjauhkan diri dari maksud-maksud keduniaan.

Adab khusus yang harus diperhatikan oleh guru adalah:

  1. Menyampaikan hadis yang ada padanya, jika dibutuhkan (oleh orang lain).
  2. Hendaknya tidak meriwayatkan hadis di suatu negeri (kota) yang di situ terdapat orang yang lebih berhak meriwayatkan dari padanya, bahkan dia harus menyarankan orang lain agar pergi kepada orang tersebut.
  3. Tidak boleh meninggalkan tugas menyampaikan kepada seseorang, karena niat yang keliru.
  4. Hendaknya selalu suci (mempunyai wudu)
  5. Hendaknya tidak menyampaikan hadis dengan berdiri dan tergesa-gesa.
  6. Tidak menyampaikan hadis di tengah jalan, kecuali terpaksa.
  7. Hendaknya berhenti (tidak melanjutkan) dari menyampaikan hadis, jika merasa khawatir berubah hafalannya, lupa akibat sakit atau tua.
  8. Hendaknya mempunyai seorang penulis yang cermat, apabila dia membuka suatu majelis untuk mendiktekan hadis.

 

Sedangkan adab yang khusus, yang harus diperhatikan oleh murid adalah:

  1. Hendaknya selalu menghormati guru
  2. Tidak boleh meninggalkan mencari ilmu, karena malu atau sombong.
  3. Hendaknya mencatat secara sempurna apa yang ia dengar.
  4. Hendaknya memperhatikan pembatasan dan kesaksamaan.
  5. Hendaknya selalu mengingat hafalannya.
  6. Hendaknya memberitahukan kepada orang lain apa yang telah didengarnya.
  7. Hendaknya berhenti pada batas kemampuannya (tidak membicarakan apa yang belum diketahuinya).

 

Penulisan kitab ini selesai pada malam Kamis

Tanggal 06 Jumadil Akhir 1338 H.