Iman adalah pecahan dari kata Aman lawan dari kata ketakutan (Al-Khauf). Iman secara mutlak adalah percaya. Iman Kepada Allah Ta’ala berarti “Menetapkan dan mengakui akan keberadaan Allah. Keimanan terhadap Allah berarti menerima-Nya dan taat kepada-Nya. Iman kepada Nabi Shailallahu Alaihi wa Sallam berarti menetapkannya dan mengakui kenabiannya. Iman terhadap Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah mengikutinya, menyesuaikannya dan menaatinya. Iman itu terbagi menjadi dua bagian iman yang samar (Khafi) dan iman yang tampak (Jali). Iman yang samar seperti yang berkaitan dengan niat, keinginan yang tidak boleh melakukan sebuah ibadah kecuali dengannya, sedangkan iman yang tampak adalah segala sesuatu yang dikerjakan oleh anggota tubuh secara lahir, seperti bacaan, shalat, puasa, zakat, haji, jihad di jalan Allah dan lain-lainnya. Dalam semua itu ada keimanan dan keislaman juga taat kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu Alaihi wa Sallam. Iman kepada Allah berarti ibadah kepada-Nya sedang iman kepada Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam berarti menerimanya bukan menyembahnya, karena ibadah tidaklah ditujukan kepada siapa pun kecuali hanya kepada Allah.

 

Allah Ta’ala telah berfirman,

 

“Demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah: 285)

 

Dan firman-Nya,

 

“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah.” (QS. An Nisaa’: 136)

 

Kemudian hal ini dianjurkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah! Radhiyallahu Anhu yang telah disepakati sahihnya dan disebutkan dalam dua kitab sahih (Bukhari dan Muslim),

 

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan, “La ilaha Illallah” (Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah), barang siapa yang mengucapkan la ilaha illallah, maka jiwanya dan hartanya terjaga dariku kecuali dengan haknya dan atas Allah lah perhitungannya.”?

 

(Kecuali dengan haknya, dengan kata ganti mudzakar): yang dimaksud dengan haknya adalah hak keislamannya yaitu yang dipahami dari ucapannya, “La ilaha Illallah”. Sedang menurut riwayat Muslim   (kecuali dengan haknya. Dengan kata ganti muannats) maksudnya adalah kecuali dengan hak (ucapan) syahadat.

 

Sabda beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam (Atas Allah lah perhitungannya) yaitu dalam hal kekafiran dan kemaksiatan (apakah ia mengucapkan kalimat syahadat itu hanya untuk mengelabui orang muslim, atau tidak. Sesungguhnya kita hanya melihat tampak lahirnya saja, dan Allah lah yang mengetahui keadaannya dan Dialah yang akan memperhitungkannya.

 

Dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Utsman bin Affan Radhiyallahu Anhu dalam kitab Sahih Muslim disebutkan,

 

“Barang siapa yang meninggal sedang ia mengetahui “La ilaha Illallah” maka ia masuk surga.”

 

Iman kepada para Rasul Allah adalah membenarkan segala apa yang datang dari mereka bahwa semuanya dari Allah Ta’ala.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 285)

 

Hadits Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu Anhu dalam “Ash-Sahihain”, yaitu riwayat tentang pertanyaan Jibril Alaihissalam

 

“Iman itu adalah engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan Rasul-rasul-Nya…” (Al Hadits).‘

 

Malaikat adalah makhluk Allah yang diciptakan dari cahaya sebagaimana jin diciptakan dari api dan manusia diciptakan dari sesuatu yang Allah sifati dalam firman-Nya dengan, turab (tanah), thiin (tanah liat), dan shalshalin kalfakhar (tanah yang terbakar). Keimanan terhadap para Malaikat ini sebagaimana ayat dan hadits yang disebutkan sebelumnya.

 

Sebelumnya Sesungguhnya Al-Qur’an menjadi Nasikh (penghapus) bagi semua kitab sebelumnya, dan layak bagi setiap zaman dan tempat sampai hari kiamat. Allah Ta’ala berfirman,

 

“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya.” (QS. An-Nisaa’: 136)

 

Dan hadits yang telah disebutkan sebelumnya.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Katakanlah, “Semuanya (datang) dari sisi Allah.” (QS. AnNisaa’: 78)

 

Dan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dalam “Ash-Sahihain,”

 

“Telah terjadi perdebatan antara Adam dan Musa, Musa berkata, “Wahai Adam engkau adalah bapak kami, namun engkau menjatuhkan kami dalam kesulitan, engkau mengeluarkan kami dari Surga,” Adam pun menjawab, “Wahai Musa Allah telah memilih engkau dengan firman-Nya, dan memberikan engkau bagian dari kitab At-Taurat dengan Tangan-Nya, apakah engkau mempermasalahkanku atas perkara yang telah Allah takdirkan atasku sebelum Dia menciptakanku selama empat puluh tahun?, Rasulullah bersabda, “Maka Adam memberikan hujjah yang kuat kepada Musa.”

 

Dengan sanad yang telah disebutkan (dalam pendahuluan) Al-Imam Abu Bakar Al-Baihaqi telah memperdengarkan syair, ia berkata, “Abu Al-Firasy Junaidi bin Ahmad At-Thabari telah memperdengarkan syair kepadaku,

 

“Hamba memiliki kegelisahan dan Tuhan memiliki takdir, Masa ( waktu ) memiliki wilayah sedang rezeki telah terbagi, Kebaikan terkumpul pada hal yang telah dipilihkan Tuhan kita, Maka memilih selain-Nya merupakan ketercelaan dan kepesimisan.”

 

Termasuk beriman dengan hari akhir adalah beriman kepada hisab, mizan, shirath, surga, neraka, dan lain-lainnya sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur‘an dan riwayat yang sahih dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian.” (QS. At-Taubah: 29)

 

Berkata Al-Halimi, “Makna beriman dengan hari akhir adalah membenarkan bahwa sesungguhnya bagi hari-hari di dunia ini ada akhirnya, dan sesungguhnya hal itu pasti terjadi, alam dunia ini akan berakhir pada suatu hari, maka harus ada pengakuan akan kefanaanya sebagaimana ada pengakuan akan permulaannya, karenanya mustahil sesuatu yang lampau itu tidak fana dan tidak berubah.”

 

Terdapat sebuah riwayat di dalam “Ash-Sahihain” dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu,

 

“Demi jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, sesungguhnya kiamat itu pasti terjadi sehingga ada baju di antara kedua (penjual dan pembeli) tidak sempat dijualbelikan oleh keduanya, dan tidak sempat mereka selesaikan, sesungguhnya kiamat itu akan datang sehingga seorang lelaki lari dari susu untanya (memerasnya) yang ada dibawahnya sedang ia sudah mau mengangkat ke mulutnya untuk diminum namun tak terminum…” (Al-Hadits)

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Orang-orang yang kafir mengatakan, bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah, “Tidak demikian, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan.” (QS. At-Taghabun: 7)

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Katakanlah: “Allahlah yang menghidupkan kamu kemudian mematikan kamu, setelah itu mengumpulkan kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan padanya.” (QS. Al-Jatsiyah: 26)

 

Dan hadits Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu Anhu dalam As-Sahih dalam hadits iman,

 

“Iman itu adalah engkau beriman kepada Allah, malaikat. malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, kebangkitan setelah kematian, dan dengan qadar semuanya.”

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Tidaklah orang-orang itu yakin, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan. Pada suatu hari yang besar. (Yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?” (QS. Al-Muthaffifin: 4-6)

 

Dan hadits Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhuma dalam Sahih Muslim,

 

“Manusia berdiri menghadap kepada Tuhan semesta alam sampai hilanglah salah seorang di antara mereka karena keringatnya (membanjirinya) sampai telinganya.”

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“(Bukan demikian), yang benar, barang siapa berbuat dosa dan ia telah diliputi oleh dosanya, mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Dan orang-orang yang beriman serta beramal shalih, mereka itu penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 81-82)

 

Dan hadits Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma dalam Ash-Sahihain,

 

 “Sesungguhnya salah seorang dari kalian jika telah meninggal maka akan ditampakkan kepadanya tempat duduknya pada pagi dan petang harinya, jika ia termasuk penduduk surga maka ia akan menjadi penduduk surga, dan jika ia dari penduduk neraka maka ia akan menjadi penduduk neraka, dikatakan kepadanya, “Inilah tempat dudukmu sampai Allah membangkitkanmu pada hari kiamat.”

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah: 165)

 

Dan hadits Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu dalam Al-Sahihain, .

 

“Tiga perkara yang apabila terdapat dalam diri seseorang maka ia akan merasakan manisnya iman; hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya, ia mencintai seseorang, yang mana ia tidak mencintainya kecuali karena Allah, dan ia membenci kembali dalam kekafiran -setelah Allah menyelamatkannya darinya sebagaimana ia membenci untuk disiapkan tempat di neraka dan dilemparkan ke dalamnya.”

 

Dalam permasalahan ini telah mengabarkan kepada kami Al-Baihaqi, ia berkata, “Aku mendengar Abu Abdurrahman As-Sulami” mengatakan, “Aku mendengar Abu Nadhr At-Tushi berkata, “Aku mendengar Jakfar Al-Khuldi berkata, “Aku mendengar Al-Junaidi berkata, “Seorang lelaki berkata kepada Sarri As-Saqathi, “Bagaimana keadaan anda? Maka orang itu mendendangkan syairnya dan berkata,

 

Barang siapa yang tidak tidur sedang hatinya dipenuhi rasa cinta,

Maka ia tidak tahu bagaimana berpalingnya jiwa-jiwa.

 

Dalam masalah ini Abu Abdurrahman As-Sulamy men. ceritakan kepada kami, ia berkata, “Aku mendengar Aby Nashr Muhammad bin Muhammad bin Ismail berkata, “Aky mendengar Abu Al-Qasim Ar-Razi seorang pemberi nasehat berkata, “Aku mendengar Abu Dujanah berkata, “Adalah Rabi’ah jika dikalahkan perasaan cintanya ia berkata, “Engkau bermaksiat kepada Tuhan, sedang engkau memperlihatkan cinta-Nya, . Ini adalah suatu yang aneh dalam pandangan perbuatan yang indah.

 

Jika cintamu benar maka engkau akan menaati-Nya, Sesungguhnya orang yang mencintai terhadap yang dicintainya menaati.”

 

Firman Allah Ta’ala,

 

“Karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS. Ali Imran: 175)

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku.” (QS. Al-Maidah: 44)

 

“Dan hanya kepada-Kulah kamu harus takut (tunduk).” (QS. Al-Baqarah: 40)

 

“Dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya.” (QS. Al-Anbiya’: 28)

 

“Dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” (QS. Al-Anbiya’: 90)

 

“Dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.” (QS. Ar-Ra’d: 21)

 

“Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua surga.” (QS. Ar-Rahman: 46)

 

“Yang demikian itu (adalah untuk) orang-orang yang takut (akan menghadap) kehadirat-Ku dan yang takut kepada ancaman-Ku.” (QS. Ibrahim: 14)

 

Dan hadits Adi bin Hatim Radhiyallahu Anhu dalam Ash-Sahihain,

 

“Takutlah kalian pada neraka walau dengan sebutir kurma.,”

 

Dan hadits Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu juga dalam Al-Sahihain,

 

“Sekiranya kalian mengetahui apa yang aku ketahui maka kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.”

 

Seseorang lelaki menegur sebagian saudaranya karena banyak menangis, maka ia pun tambah menangis dan berkata,

 

“Aku menangis karena banyaknya kesalahanku, Dan adalah hak bagi seorang yang berdosa untuk menangis, Andaikata menangis itu menghilangkan kegundahanku,

 

Maka alangkah bahagianya jika air mata bersama darah.

 

Adalah Umar bin Abdul Aziz tidaklah kering mulutnya dari syair ini:

 

“Tidak ada kebaikan di kehidupan seseorang yang tidak ada rasa takut (pada Allah Ta‘ala), Sehingga tidak ada bagian (balasan) dari Allah Ta’ala di kehidupan akhirat nanti.”

 

Abu Al-Fatah Al-Baghdadi mendengar suara yang menggema dari arah Kuburan Syuniziyyah,

 

“Bagaimana bisa kedua mata bisa tidur dalam keadaan tenang, Sementara ia tidak mengetahui dari dua tempat ini mana tempatnya.”

 

Setelah mendengar ini hilanglah keinginan tidurnya.

 

Raja‘ (penuh harap) yaitu menggantungkan harapan pada suatu yang diinginkan tercapainya disertai dengan menempuh sebab-sebab harapan tersebut. Jika hanya harapan tanpa adanya usaha dengan sebab-sebabnya maka itu dinamakan angan-angan yang sangat dicela secara syara’, Al-Hafizh Ibnul Jauzi mengatakan, “Perumpamaan orang yang mengharapkan rahmat Allah dengan tetap bermaksiat kepada-Nya ibarat orang yang mengharapkan hasil panen namun tidak pernah menanam, mengharapkan anak tapi tak mau menikah.”

 

Firman Allah Ta’ala,

 

“Dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.” (QS. Al-Isra: 57)

 

“Dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-A’raf: 56)

 

“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53)

 

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An-Nisa’: 48 dan 116)

 

Dan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dalam Ash-Sahihain,

 

“‘Jika seorang mukmin mengetahui beratnya siksa Allah maka tidak ada seorang pun yang berangan memperoleh surga, dan jika seorang kafir mengetahui luasnya rahmat Allah, maka tak seorang pun pernah merasa putus asa dari mendapatkan surga-Nya.”

 

Dan hadits Jabir Radhiyallahu Anhu dalam Sahih Muslim,

 

‘Janganlah di antara kalian meninggal kecuali ia berbaik sangka terhadap Allah Ta‘ala.”

 

Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dalam Ash Sahihain, Allah Ta’ala berfirman, “Aku beserta persangkaan hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku bersamanya manakala ia mengingat-Ku…” (Al-Hadits)

 

Ketahuilah bahwa zikir tidak terbatas pada zikir lisan Saja, tetapi meliputi juga anggota badan yang lain semuanya, maka zikir lisan adalah dengan memuji, zikir mata adalah dengan menangis, zikir tangan adalah dengan memberi, zikir kedua telinga adalah dengan mendengarkan dengan baik, zikir badan adalah dengan menjalankan perintah, zikir hati adalah dengan perasaan takut dan penuh harap, dan zikir ruh adalah dengan penyerahan diri dan merasa ridha dengan takdir Allah.

 

Abu Utsman Said bin Ismail memperdengarkan nasyidnya,

 

“Apa yang terjadi pada agamamu, engkau ridha ia dikotori, Padahal sesungguhnya bajumu dicuci bila terkena kotoran, Engkau mengharapkan kesuksesan tapi tidak menempuh jalannya, Sesungguhnya kapal tidak akan bisa berjalan di atas tanah.”

 

Ta’ala berfirman,

 

“Dan hendaklah orang-orang mukmin bertawakal kepada Allah saja.” (QS. At-Taghabun: 13)

 

“Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (QS. Ali Imran: 173)

 

“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal Jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS. Al-Maidah: 23)

 

“Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya.” (QS, Ath-Thalaq; 3)

 

Hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma dalam Ash Sahihain,

 

“Tentang pertanyaan sahabat-sahabatnya kepadanya tentang tujuh puluh ribu orang yang masuk surga dan diberi rezeki tanpa dihisab-dalam hadits yang panjang Rasulullah bersabda, “Yaitu mereka yang tidak minta diobati dengan besi kayu, tidak minta diruqyah, dan tidak mengundi nasib, dan kepada Tuhannya lah mereka bertawakal”. Maka berdirilah Ukasyah bin Mihshan Al-Asadi Radhiyallahu Anhu sambil berkata, “Apakah aku termasuk di antara mereka ya Rasulullah? Beliau menjawab, “Kamu di antara mereka”, kemudian berdiri lagi seorang lelaki yang lain dan berkata, “Apakah aku di antara mereka ya Rasulullah”, Maka beliau pun bersabda, “Engkau telah didahului oleh Ukasyah.”?!

 

Tawakal secara menyeluruh artinya adalah menyerahkan perkara kepada Allah Ta’ala dan penuh percaya kepada-Nya disertai dengan apa-apa yang telah Allah takdirkan kepadanya dari sebab-sebab.

 

Dalam Ash-Sahihain, dari hadits Zubair Radhiyallahu Anhu,

 

“Salah seorang di antara kalian mengambil seutas tali kemudian membawanya ke gunung dan mengikatkannya pada setumpuk kayu kemudian menjual kayu tersebut, dan ia merasa cukup dengan hal itu, maka perbuatan itu lebih baik daripada ia meminta-minta kepada manusia, baik mereka memberinya atau menolaknya.’”

 

Dalam Sahih Al-Bukhari dari hadits Al-Miqdam bin Ma’di Karib Radhiyallahu Anhu, “Tidaklah seseorang makan yang lebih baik ketimbang ia makan dari apa yang ig usahakan dengan tangannya.” Kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya Dawud tidaklah makan kecuali dari usaha tangannya.

 

Al-Baihaqi menceritakan dari Abu Abdillah Al-Hafizh dari Jakfar bin Muhammad bin Nusair dari Al-Junaid berkata, “Aku mendengar As-Sary tidak suka duduk di masjid jami’ dan berkata, “Mereka menjadikan masjid jami’ sebagai toko-toko yang tidak mempunyai pintu-pintu”.

 

Al-Baihaqi menceritakan dengan sanadnya dari Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu Anhu berkata, “Agamamu adalah untuk akhiratmu, dirhammu untuk kehidupanmu, dan tidak baik seseorang yang hidup tanpa dirham”.

 

Al-Baihaqi menceritakan dari Abu Abdillah Al-Hafizh dari Jakfar bin Muhammad Al-Khawwas dari Ibrahim bin Nashir Al-Mansuri berkata, “Aku mendengar Ibrahim bin Bishar -pelayan Ibrahim bin Adham Berkata, “Aku mendengar Abu Ali Al-Fudhail bin Iyadh berkata kepada Ibnu Al-Mubarak, “Engkau menyuruh kami berzuhud, mengurangi dan hidup biasa dan kami melihat engkau datang dengan dagangan-dagangan dari negeri Khurasan ke negeri haram? Bagaimana ini engkau menyuruh kami sedang engkau sendiri menyelisihinya? Ibnu Al-Mubarak berkata, “Wahai Abu Ali, sesungguhnya aku melakukan ini agar dapat memelihara wajahku, memuliakan harga diriku, dan dengannya memohon pertolongan untuk berbuat taat kepada Tuhanku, aku tidak melihat hak Allah kecuali bergegas untuk melakukannya.” Fudhail berkata, “Wahai Ibnu Al-Mubarak, alangkah baiknya ini jika sempurna.”

 

Al-Qadhi Iyadh berkata, “Ketahuilah sesungguhnya siapa saja yang mencintai sesuatu maka akan mempengaruhinya dan mempengaruhi sikapnya, kalau tidak, maka belum dikatakan orang benar dalam cintanya, tetapi hanya mengaku-ngaku. Jujur dalam mencintai Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam merupakan bukti dari tanda-tanda kejujuran itu. Pertama dari tanda tersebut adalah ia mengikuti beliau dan mengamalkan segala sunah-sunahnya, mengikuti ucapannya dan perbuatannya, melaksanakan perintah-perintahnya dan meninggalkan larangan-larangannya. Ia beradab dengan adab beliau baik dalam keadaan susah maupun dalam keadaan lapang, yang ia sukai maupun yang ia benci.

 

Dalil dari hal tersebut adalah Firman Allah Ta’ala

 

“Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” (QS. Ali Imran: 31)

 

Hadits Anas Radhiyallahu Anhu yang disepakati sahihnya,

 

“Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian sehingga aku lebih dicintainya dari orang tuanya, anaknya dan manusia semuanya.’

 

Hadits Anas Radhiyallahu Anhu dalam Ash-Sahihain;

 

“Tiga perkara yang apabila terdapat dalam diri seseorang ia akan merasakan manisnya iman, yaitu hendaklah Allah dan Rasulnya lebih ia cintai daripada selainnya…” (Al-Hadits).

 

Hadits Anas juga dalam Ash-Sahihain, ia berkata, “Telah datang seorang lelaki kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan berkata, “Ya Rasulullah, kapan hari kiamat? Beliau menjawab, “Apa yang engkau persiapkan untuknya?” la menjawab, “Wahai Rasulullah aku tidak mempersiapkannya dengan memperbanyak puasa tidak pula sedekah kecuali aku mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Beliau menjawab, “Engkau bersama orang yang kau cintai.’”

 

Firman Allah Ta’ala,

 

“Dan kamu menguatkan agama Allah dan membesarkan-Nya.” (QS. Al-Fath: 9)

 

“Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya.” (QS. Al-A’raf: 157)

 

Yang dimaksud dengan At-Ta’zir dalam ayat ini adalah memuliakan tanpa ada perbedaan pendapat. Firman Allah Ta’ala,

 

‘Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain).” (QS. An-Nuur: 63)

 

Yaitu Janganlah kalian mengatakan kepadanya “Ya Muhammad” atau “Ya Abal Qasim” tetapi ucapkanlah “Ya Rasulullah atau Ya Nabiyallah.”

 

Firman Allah Ta’ala,

 

‘Janganlah kamu mendahului Allah dan rasulnya.” (QS. Al-Hujurat: 1)

 

Firman Allah Ta’ala,

 

‘Janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalmu sedangkan kamu tidak menyadari. Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar. Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar (mu) kebanyakan mereka tidak mengerti. Dan kalau sekiranya mereka bersabar sampai kamu keluar menemui mereka sesungguhnya itu adalah lebih baik bagi mereka, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 2-5)

 

Hal ini telah diceritakan kepada kami oleh Al-Baihagqi dan ia berkata, “Inilah kedudukan di atas semua kedudukan cinta, tidak semua yang mencintai itu mengagungkan seperti cinta seorang ayah kepada anaknya atau cinta seorang tuan kepada budaknya, hal itu tidak disertai dengan pengagungan, berbeda dengan sebaliknya.”

 

Hadits Anas Radhiyallahu Anhu yang disepakati sahihnya,

 

“Tiga perkara yang apabila terdapat dalam diri seseorang ia akan merasakan manisnya iman di antaranya… adalah ia dilemparkan ke dalam api lebih ia sukai ketimbang ia kembali dalam kekafiran setelah Allah menyelamatkannya dari kekafiran tersebut.”

 

Hadits Anas juga dalam Sahih Muslim,

 

“Sesungguhnya seseorang lelaki meminta kepada Nabi Shallailahu Alaihi wa Sallam kemudian beliau memberinya rampasan perang sebanyak di antara dua gunung kemudian ia mendatangi kaumnya dan berkata, “Masuk Islamlah kalian, demi Allah sesungguhnya Muhammad telah memberi dengan pemberian yang tidak khawatir akan kekurangan.” Anas berkata, “Walaupun sebenarnya laki-laki itu tidak datang kepada nabi kecuali karena dunia namun kemudian tidak ada yang lebih dicintainya kecuali agamanya dan ia muliakan daripada dunia dan seisinya.”

 

Ilmu yang dimaksud adalah ma’rifatullah (ilmu untuk mengenal Allah), dan segala sesuatu yang datang dari sisi-Nya, ilmu tentang kenabiaan dan apa yang menjadi keistimewaan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam dari selainnya, iimu tentang hukum-hukum Allah dan ketetapan-Nya, dan ilmu untuk mengetahui hal-hal yang bisa melahirkan sebuah produk hukum seperti pengetahuan tentang Al-Qur’an, Al-Hadits, Qiyas, Syarat-syarat Ijtihad.

 

Banyak ayat-ayat dalam Al-Quran dan hadits-hadits yang keduanya memuat keutamaan-keutamaan ilmu dan ulama’, Allah Ta’ala berfirman,

 

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (QS. Faathir: 28)

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu) (juga menyatakan yang demikian itu).” (QS. Ali Imran: 18)

 

“Dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.” (QS. An-Nisa’: 113)

 

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)

 

‘Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az-Zumar: 9)

 

Dalam Ash-Sahihain dari hadits riwayat Abdullah bin Amr bin Ash Radhiyallahu Anhuma,

 

“Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu seketika dari manusia, melainkan mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama, sehingga jika tak tersisa seorang yang alim, manusia menjadikan pemimpin-pemimpin mereka yang bodoh, lalu bertanya kepada mereka, maka mereka pun memberikan fatwa tanpa ilmu maka mereka menjadi sesat dan menyesatkan.”

 

Dalam Sahih Muslim dari Hadits Abu Hurairah Radhiyallah Anhu,

 

“Barang siapa yang melonggarkan seorang mukmin dari satu kesempitan dari kesempitan-kesempitan dunia, maka Allah akan melonggarkan baginya satu kesempitan dari kesempitan pada hari kiamat, barang siapa yang memudahkan (urusan) yang sulit, maka Allah akan memudahkannya di dunia dan akhirat, barang siapa yang menutup aib seorang muslim maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat, sesungguhnya Allah menolong hamba-Nya selama ia menolong yang lainnya. Barang siapa yang berjalan menempuh jalan untuk mencari ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga, dan tidaklah suatu kaum berkumpul di rumah dari rumah-rumah Allah mereka membaca Al-Qur’an, mempelajarinya di antara mereka kecuali Allah menurunkan ketenangan kepada mereka, para malaikat mengelilingi mereka dan Allah akan meliputi mereka dengan rahmat-Nya, Allah akan mengingat mereka termasuk orang yang berada di sisi-Nya, barang siapa yang lambat dalam beramal maka nasabnya tidak dapat menolongnya.”

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia dan jangan kamu menyembunyikannya.” (QS. Ali Imran: 187) >

 

“Dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya.” (QS. At-Taubah: 122)

 

Dan Hadits yang diriwayatkan oleh Abi Bakrah Radhiyallahu Anhu dalam kitab Ash-Sahihain, Sesungguhnya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda dalam khutbahnya di kota Mina,

 

“Hendaklah yang hadir di antara kalian mengabarkan kepada yang tidak hadir, bisa jadi orang yang disampaikan lebih paham dari sebagian orang yang mendengarkan.”

 

Hadits Abu Hurairah dalam kitab Sunan Abi Dawud,

 

“Barang siapa yang ditanya tentang suatu ilmu kemudian ia menyembunyikan ilmu itu maka Allah akan mengikat ia dengan ikatan dari api neraka.”

 

Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanadnya dari AlImam Umar bin Abdul Aziz Al-Umawi Rahimahullah ia berkata, “Barang siapa yang berbicara tidak dilandasi ilmu maka akan banyak salahnya, barang siapa yang berbuat tanpa ilmu maka ia akan lebih banyak merusak ketimbang memperbaiki.”

 

Dari Harits Al-Muhasibi,

 

“ilmu mewariskan rasa khasyah (takut pada Allah), zuhud mewariskan rasa raahah (ketenangan jiwa), dan ma’rifah mewariskan inabah (kembali kepada Allah).”

 

Dari Ibnu Sa’ad, “Sesungguhnya orang yang beramal dengan ilmu riwayat akan mewariskan ilmu dirayat (ilmu pemahaman atsar), dan barang siapa yang mengamalkan ilmu dirayat ia akan mewariskan ilmu ri’ayat (memimpin) dan barang siapa yang beramal dengan ilmu ri’ayat maka ia termasuk orang yang diberi petunjuk ke jalan yang hak.”

 

Dari Malik bin Dinar, “Jika seorang hamba mencari ilmu untuk ia amalkan maka dia akan dilembutkan oleh ilmunya, dan barang siapa yang mencari ilmu bukan untuk diamalkan maka akan bertambah kesombongannya.”

 

Dari Makruf Al-Kurkhi, “Jika Allah menghendaki kebaikan ada pada diri seseorang, maka Dia akan membukakan baginya pintu-pintu amal, dan menutup pintu-pintu perdebatan, sedang jika Allah menghendaki kejelekan pada diri seseorang maka akan ditutupkan pintu-pintu amal dan dibukakannya pintu-pintu perdebatan.”

 

Dari Abu Bakar Al-Warraq,” “Barang siapa yang merasa cukup dengan ilmu kalam tanpa bersikap zuhud dan pengetahuan fikih maka ia akan menjadi zindiq, orang yang merasa cukup dengan sikap zuhud tanpa pengetahuan tentang fikih dan kalam maka akan menjadi seorang mubtadi’ (pelaku bid’ah), dan orang yang merasa cukup dengan fikih tanpa bersikap zuhud dan wara’ maka akan menjadi fasiq, sedang apabila ia terfitnah (tidak memiliki) dengan semuanya maka harus berlepas diri darinya.”

 

Dari Al-Hasan Al-Bashri Rahimahullah melewati seorang lelaki, maka dikatakanlah kepadanya, “Orang ini adalah fakih (ahli ilmu fikih). Kemudian ia berkata, “Tahukah kamu siapa fakih itu? Sesungguhnya yang dikatakan fakih adalah orang yang alim terhadap agamanya, yang bersikap zuhud terhadap dunianya, yang menegakkan penghambaan kepada tuhannya.”

 

Dari Malik bin Dinar, ia berkata, “Aku membaca di kitab Taurat, sesungguhnya orang alim yang tidak beramal dengan ilmunya, maka akan hilang rasa nasehat dan mau’izhah dalam hatinya, seperti hilangnya titisan hujan di atas batu yang licin.”

 

Kemudian ia menyenandungkan syair dari Abu Bakar bin Abu Dawud untuk dirinya:

 

“Siapa yang tersekat dalam kerongkongannya maka obatnya meminum air, Maka apalah yang diperbuat oleh orang yang telah tersekat karena minum air.”

 

Dari Abu Utsman Al-Hiri seorang yang zuhud beliau bersyair: “Orang yang tidak bertakwa memerintahkan orang untuk bertakwa, Seperti seorang dokter yang mengobati sedang dokter itu sakit.”

 

Kita memohon kepada Allah agar selalu diberi taufiq untuk mencari ilmu dan mengamalkannya, serta kita berlindung dengan kemuliaan Wajah-Nya dari hinanya cinta dunia dan panjang angan-angan.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Kalau sekiranya Kami menurunkan Al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah.” (QS. Al-Hasyr: 21)

 

“Sesungguhnya Al-Qur-an ini adalah bacaan yang sangat mulia. Pada kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuzh). Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan. Diturunkan dari tuhan semesta alam.” (QS. Al-Waqi’ah: 77-80)

 

“Dan sekiranya ada suatu bacaan (kitab suci) yang dengan bacaan itu gunung-gunung dapat diguncangkan atau bumi jadi terbelah atau oleh karenanya orang-orang yang sudah mati dapat berbicara, (tentu Al-Quran itulah dia). Sebenarnya segala urusan itu adalah kepunyaan Allah.” (QS. Ar Ra’d: 31)

 

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda dalam riwayat Al-Bukhari, dari Utsman bin Affan Radhiyallahu Anhu, “Sebaik-baiknya kalian adalah orang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.”

 

Beliau bersabda dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim dalam kitab Sahih mereka dari Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu Anhu,

 

“Perkukuhlah dengan Al-Qur’an, demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di Tangan-Nya sesungguhnya Al-Quran lebih cepat lepas ketimbang unta dari ikatannya.”

 

Beliau bersabda dalam riwayat keduanya, dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhuma, “Tidak ada iri hati kecuali pada dua hal; seorang lelaki yang Allah anugerahi Al-Qur‘an kemudian ia shalat dengannya siang dan malam, dan lelaki yang Allah anugerahi harta dan ia bersedekah dengan harta itu siang malam.

 

Beliau bersabda dalam riwayat Muslim dari Umar Radhiyallahu Anhu, “Sesungguhnya Allah mengangkat (derajat) suatu kaum dengan Al-Qur’an dan juga merendahkan dengannya kaum yang lain.”

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.” (QS. Al-Maidah: 6)

 

Dan Hadits Abu Malik Al-Asy’ari Radhiyallahu Anhu dalam Sahih Muslim,

 

“Kesucian itu bagian dari keimanan, dan Alhamdulillah (zikir) yang memenuhi timbangan, dan Subhanallah wal hamdulillah keduanya memenuhi atau memenuhi antara langit dan bumi, shalat itu cahaya, sedekah itu burhan (dalil yang jelas), kesabaran bara cahaya, Al-Qur’an hujah bagi kalian dan atas kalian, setiap manusia akan meninggalkan (dunia), maka orang yang menjual dirinya (kepada Allah) maka ia yang membebaskan jiwanya (dari api neraka), atau menjauhkannya.

 

Dan Hadits Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma juga dalam Sahih Muslim,

 

“Allah Ta’ala tidak akan menerima shalat dengan tidak bersuci, dan juga tidak menerima sedekah dari harta yang dicuri dari rampasan perang.”

 

Dari hadits Hasan dari Abu Kabsyah As-Saluli, dari Tsauban Radhiyallahu Anhu, “Beristiqamahlah kalian dan jangan menghitung-hitung, ketahuilah bahwa sebaik amal kalian adalah shalat, dan tidaklah menjaga wudhu kecuali seorang mukmin.”

 

Al-Halimi dari Yahya bin Adam menjelaskan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Kesucian itu sebagian dari iman,” karena Allah Ta’ala menamakan shalat sebagai iman, Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu.” (QS. Al-Baqarah: 143)

 

Yakni shalat kalian yang menghadap ke Baitul Maqdis, dan tidak boleh shalat kecuali dengan wudhu’, keduanya adalah dua hal yang berbeda, setiap dari keduanya adalah setengah dari yang lainnya.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu.” (QS. Al Baqarah: 143)

 

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat.” (QS. Al-Baqarah: 43)

 

“Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. AnNisa’: 103)

 

Dan Hadits Jabir Radhiyallahu Anhu dalam Sahih Muslim,

 

“Sesungguhnya antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.

 

Dan Hadits Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu dalam Ash-Sahihain, ia berkata,

 

“Aku bertanya kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Amal apakah yang paling disukai oleh Allah Ta’ala?” Beliau menjawab, “Shalat pada waktunya”, kemudian aku bertanya lagi, “Kemudian apa lagi ya Rasulullah?” beliau menjawab, “Berbuat baik kepada kedua orang tua’, aku berkata lagi, “Kemudian apa lagi ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Berjihad di Jalan Allah”, Abdullah bin Mas’ud berkata, “Rasulullah mengatakan kepadaku semuanya dan jika aku menambah pertanyaan maka tentu beliau akan menambahkan jawabannya.”

 

Hadits Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma di dalam AshSahihain,

 

“Shalat berjamaah lebih utama dari shalat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat.”

 

Dan Hadits Utsman Radhiyallahu Anhu dalam Sahih Muslim,

 

“Tidaklah ada dari seorang muslim yang menghadiri shalat fardhu, kemudian memperbaiki wudhunya, menjaga kekhusuannya, ruku’nya, kecuali baginya penghapus bagi dosa-dosanya sebelumnya, selagi ia tidak melakukan dosa besar yang demikian itu sepanjang masa.”

 

Dengan hadits ini Al-Baihaqi mengatakan, “Tidak ada dalam sebuah ibadah setelah keimanan kepada Allah yang dapat mengangkat kekufuran, yang dinamakan oleh Allah Ta’ala dengan keimanan, yang dinamakan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan meninggalkannya menjadikannya kafir, kecuali shalat.”

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

 

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahanam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.” (QS. At-Taubah: 34-35)

 

“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat.” (QS. Ali Imran: 180)

 

Hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma dalam AshSahihain,

 

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ketika mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau bersabda kepadanya, “Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum Ahlul Kitab maka ajaklah mereka kepada syahadat La ilaha Illallah (tidak ada tuhan yang hak untuk disembah kecuali Allah) dan Aku adalah utusan Allah, jika mereka menjawab dakwahmu tentang itu maka ajarkanlah mereka bahwa Allah memfardukan atas mereka shalat lima waktu siang dan malam, jika mereka menjawab dakwahmu tentang itu maka ajarkanlah mereka bahwa Allah memfardukan atas mereka untuk mengeluarkan zakat dari harta-harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya dan diberikan kepada orang-orang fakir mereka, dan jika mereka menjawab dakwahmu tentang itu maka hendaklah engkau menghindar dari mengambil harta-harta (terbaik atau dicintai) mereka, hindarilah doa-doa orang yang dizalimi, karena sesungguhnya tidak ada antara dia dan Allah hijab penghalang.”

 

Hadits Abu Hurairah dalam Sahih Al-Bukhari, “Barang siapa yang Allah anugerahi harta dan tidak menunaikan zakatnya maka hartanya akan dibentuk pada hari kiamat dalam bentuk ular besar yang memiliki taring-taring yang akan mencaploknya, dan mengeluarkan bisanya, ular itu berkata kepadanya, “Aku adalah hartamu, aku adalah pembendaharaanmu.” Kemudian beliau membaca ayat,

 

“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat.” (QS. Ali Imran: 180)

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu.” (QS. Al-Baqarah: 183)

 

Hadits Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhuma dalam Ash-Sahihain, “Islam dibangun di atas lima rukun; Syahadat tidak ada tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, dan haji ke Baitullah.”

 

Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dalam Ash Sahihain,

 

“Setiap amal anak Adam dilipatgandakan, kebaikan dengan sepuluh semisalnya sampai tujuh ratus lipat, Allah Ta’ala berfirman, “kecuali shaum (puasa), sesungguhnya ia bagiku dan Aku yang mengganjarnya, ia meninggalkan makanannya dan minumannya karena-Ku, bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika berjumpa tuhannya, dan sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih utama di sisi Allah ketimbang bau minyak misik, puasa itu sebagai benteng.”

 

Allah Ta‘ala berfirman,

 

“Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang Itikaf, yang ruku’ dan yang sujud.” (QS. Al-Baqarah: 125)

 

Hadits Aisyah dalam Ash-Sahihain,

 

“Sesungguhnya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam selalu beritikaf pada sepuluh terakhir dari bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkannya, kemudian istri-istri beliau juga beritikaf setelah itu.’

 

Dan Hadits yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Barang siapa yang beritikaf dalam waktu antara memeras susu, maka seakan-seakan ia membebaskan seorang tawanan atau budak perempuan.”

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran: 97)

 

“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 27)

 

“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah.” (QS. Al-Baqarah)

 

Hadits Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma dalam Ash Sahihain, “Islam dibangun di atas lima rukun; Syahadat tidak ada tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, dan haji ke Baitullah.”

 

Hadits Umar Radhiyallahu Anhu dalam Sahih Muslim, ia berkata, “Ketika kami sedang duduk di sisi Rasulullah tiba-tiba datanglah seorang lelaki dan berkata, “Wahai Rasulullah apakah Islam itu?” Beliau menjawab, “Engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak untuk disembah kecuali Allah dan Muhammad itu adalah utusan Allah dan engkau mendirikan shalat, membayar zakat, haji ke Baitullah dan engkau berumrah, mandi dari janabat, menyempurnakan wudhu, puasa pada bulan Ramadhan.” Kemudian orang tersebut berkata, “Jika aku lakukan ini, apakah aku seorang muslim?” Rasulullah menjawab, “Benar.” Orang tersebut pun berkata, “Benar engkau…” Hadits.

 

Diriwayatkan dari Abu Umamah AlI-Bakhili Radhiyallahu Anhu, sesungguhnya Nabi Shallallhu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Barang siapa yang tidak tertahan (berhalangan) karena sebab sakit atau tidak ada suatu keperluan yang jelas atau karena adanya pemerintah yang diktator dan ia tidak berhaji juga kemudian ia mati, maka ia mati bisa dalam keadaan Yahudi dan bisa juga Nasrani.”

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.” (QS. Al-Hajj: 78)

 

“Yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.” (QS. Al-Maidah: 54)

 

“Perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan darimu.” (QS. AtTaubah: 123)

 

“Hai Nabi, kobarkanlah semangat orang-orang mukmin itu untuk berperang.” (QS. Al-Anfal: 65)

 

Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dalam Ash Sahihain,

 

“Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ditanya, “Perbuatan apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Kemudian ditanya, “Apa lagi?” Beliau menjawab, “Jihad di jalan Allah.” Kemudian ditanya, “Apa lagi?” Beliau menjawab, “Haji yang mabrur.’

 

Hadits Abdullah bin Abi Aufa Radhiyallahu Anhuma dalam Sahih Al-Bukhari, “Janganlah engkau mengharapkan untuk bertemu musuh, mintalah kepada Allah keselamatan dan jika engkau bertemu dengan mereka maka bersabarlah, ketahuilah bahwa sesungguhnya surga itu di bawah naungan pedang.”

 

Yang dimaksud dengan memperkuat ikatan adalah mengantisipasi dari kemunculan musuh dan menjaga kemuliaan Islam dari masuknya musuh ke negeri-negeri Islam.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetap bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.” (QS. Ali Imran: 200)

 

Hadits Sahl bin Sa’ad As-Saidi Radhiyallahu Anhu dalam Sahih Al-Bukhari,

 

“Mengukuhkan barisan satu hari di jalan Allah Ta’ala itu lebih baik dari dunia dan seisinya. Tempat cambuk salah seorang dari kalian dari surga itu lebih baik daripada dunia dan apa-apa yang di atasnya.”

 

“Memperkukuh barisan di dalam medan jihad dan pertempuran itu sama dengan kedudukan itikaf di dalam masjid untuk shalat karena memperkukuh barisan dengan menghadapkan wajahnya ke musuh seperti berdirinya ia dengan kewibawaan dan persiapan untuk jihad.”

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu.” (QS. Al-Anfal: 45)

 

“Apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barang siapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka jahanam. Dan amat buruklah tempat kembali mereka.” (QS. Al-Anfal: 15-16)

 

“Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh.” (QS. Al-Anfal: 65)

 

Hadits Abdullah bin Abu Aufa’ Radhiyallahu Anhuma dalam Sahih Al-Bukhari,

 

“Janganlah engkau mengharapkan untuk bertemu musuh, mintalah kepada Allah keselamatan dan jika engkau bertemu dengan mereka maka bersabarlah, ketahuilah bahwa sesungguhnya surga itu di bawah naungan pedang.”

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan.” (QS. Al-Anfal: 41)

 

“Tidak mungkin seorang nabi berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang) Barang siapa yang berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang itu) maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu.” (QS. Ali Imran: 161)

 

Hadits ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma dalam Ash Sahihain tentang utusan Abdul Qais,

 

“Aku memerintahkan kalian dengan empat dan melarang kalian dengan empat, aku memerintahkan kalian untuk beriman kepada Allah saja, apakah kalian tahu arti beriman kepada Allah saja itu?” mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nyalah yang lebih tahu.” Beliau menjawab, “Syahadat tidak ada tuhan yang berhak untuk disembah kecuali Allah dan sesungguhnya Muhammad itu adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan memberikan dari harta rampasan seperlima’ dan aku melarang kalian dari upah mengangkut guci tempat arak, mengundi nasib, kurma yang dibuat arak, tempat yang ditambal dengan aspal kemudian dengannya dibuat minuman keras.” Beliau berkata, “Jagalah empat perkara ini, dan kabarkanlah berita ini kepada orang-orang setelah kalian,”

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan.” (QS. Al Balad: 11-13)

 

Hadits Abu Hurairah dalam Ash-Sahihain,

 

 “Barang siapa yang memerdekakan budak maka Allah akan memerdekakan dari setiap anggota dari budak tersebut anggota-anggota badannya dari api neraka sampai kemaluannya (terbebaskan).’”

 

Kafarat adalah bagian yang dengannya terhapuslah kesalahan atau ia menutupi dan menghilangkan kesalahan itu. Kafarat itu berbeda-beda sesuai dengan perilaku dosa yang dilakukan.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman dan mengerjakan amal shalih: maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Furqan: 70)

 

Kafarat dalam Al-Qur’an dan As-Sunah itu ada empat: kafarat pembunuhan, kafarat dzihar, kafarat sumpah, kafarat jima’ di (siang) bulan Ramadhan. Dan yang mendekati makna kafarat yaitu apa yang diwajibkan yang disebut fidyah karena kafarat itu bisa jadi karena dosa yang diperbuat sebelumnya atau kafarat itu dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan sesuatu, yakni setelah perkara yang telah terjadi baik itu dosa maupun tidak.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Penuhilah akad-akad itu.” (QS. Al-Maidah: 1)

 

Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma berkata, “Yaitu apa yang Allah halalkan, yang diharamkan, yang difardhukan dan apa-apa yang dibatasi oleh Allah dalam Al-Qur’an semuanya.”

 

Allah Ta‘ala berfirman,

 

“Mereka menunaikan nazar.” (QS. Al-Insan: 7)

 

“Dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka.” (QS. Al-Hajj: 29)

 

“Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah.” (QS. At-Taubah: 75)

 

“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah – (mu) itu, sesudah meneguhkannya.” (QS. An-Nahl: 91)

 

Hadits Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu dalam Sahih Al-Bukhari,

 

“Setiap orang yang mengingkari janji ada bendera pada hari kiamat. Dikatakan inilah pengkhianatan si fulan.”

 

Hadits Abdullah bin Amr Radhiyallahu Anhuma dalam Ash-Sahihain,

 

“Empat perkara yang terdapat dalam diri seseorang maka ia menjadi munafik murni, dan apabila terdapat salah satunya dalam diri seseorang maka terdapat bagian kenifakan itu dalam dirinya sampai ia meninggalkannya; jika ia berbicara ia berdusta, jika ia diberi amanah ia khianat, dan jika ia berjanji ia memungkirinya, dan jika ia berperkara ia berbuat curang.”

 

Hadits Uqbah bin Amir Al-Juhani Radhiyallahu Anhu dalam Sahih Muslim,

 

“Sesungguhnya syarat yang paling hak untuk dipenuhi adalah syarat yang dengannya engkau halalkan farji.”

 

Firman Allah Ta’ala,

 

“Dan katakanlah: “Segala puji bagi Allah.” (QS. Al-Isra’; Lil)

 

“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya.” (QS. An-Nahl: 18)

 

“Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).” (QS. Adh-Dhuha: 11)

 

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 152)

 

Dan banyak lagi ayat-ayat yang menjelaskan anugerah Allah kepada hamba-Nya dan mengingatkan mereka terhadap hal itu.

 

Dan juga hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzar Radhiyallahu Anhu dalam Sahih Al-Bukhari, ia berkata,

 

“Adalah Rasulullah jika hendak membaringkan sisinya di tempat tidur beliau mengucapkan, “Dengan nama-Mu aku wafat dan hidup”, dan jika beliau bangun dari tidur beliau mengucapkan, “Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkanku setelah mewafatkanku, dan kepada-Nya tempat kembali.”

 

Dan hadits Shuhaib Radhiyallahu Anhu dalam Sahih Muslim,

 

“Sungguh indah perkara seorang mukmin sesungguhnya semua perkaranya baik, dan tidak ada yang seperti itu kecuali seorang mukmin, jika ia ditimpa kegembiraan ia bersyukur dan itu baik baginya, dan jika ia ditimpa kesulitan ia sabar maka itupun baik baginya.”

 

Dengan hal ini Al-Baihaqi berkata, “Aku Al-Hafizh Abu Abdillah berkata, “Telah melantunkan syair kepadaku Abu Abdillah bin Ubay Dzuhli, ia berkata, “Abu Al-Hasan Al. Kindy Al-Qadhi melantunkan syair ini kepadaku,

 

‘Jika engkau dalam kenikmatan maka jagalah ia, Karena sesungguhnya kemaksiatan menghilangkan kenikmatan.” ;

 

Berkata Al-Baihaqi, “Telah mengabarkan kepada kami Abu Abdirrahman As-Sulami, ia berkata, “Aku mendengar Al.Husain bin Yusuf Al-Qazwaini, ia berkata, “Aku mendengar Abu Bakar Ahmad bin Ishak, ia berkata “Al-Junaidi berkata, “Aku mendengar As-Sirry berkata, “Syukur itu adalah kenikmatan, syukur atas nikmat adalah kenikmatan, sampai berakhir kesyukuran ke tempat terakhirnya (kematian).”

 

Al-Imam Asy-Syafi’i telah berkata di awal kitab risalahnya, “Segala puji bagi Allah yang tidak akan menunaikan rasa syukur nikmat dari nikmat-nikmat-Nya kecuali dengan kenikmatan rasa syukur itu. Diwajibkan atas orang yang menunaikan hal tersebut untuk bersyukur.”

 

Dengan hal ini juga Al-Baihaqi berkata, “Telah menceritakan kepada kami Abu Al-Qasim telah menceritakan Ahmad bin Salman, Saya Ibnu Abi Ad-Dunya …

 

Ia berkata, “Telah menyenandungkan syairnya Al Warraaq, Jika syukurku atas nikmat Allah adalah nikmat, Atasku dari-Nya dalam semisalnya wajib syukur. Maka bagaimanakah syukur itu bisa benar kecuali dengan keutamaan-Nya, Walau panjangnya hari-hari dan bersambungnya umur. Jika ditempa kegembiraan maka syukurnya meluas, Dan jika ditimpa kesulitan maka setelah itu ada pahala.

 

Dan tidaklah ada dari kedua itu kecuali baginya dalam hal itu anugerah, Yang anugerah tersebut mempersempit setiap angan, daratan dan lautan.

 

Telah meriwayatkan selain Al-Baihaqi sekelompok ulama dengan hanya dua bait syair,

 

Jika syukurku atas nikmat Allah adalah nikmat, Atasku dari-Nya dalam semisalnya wajib syukur. Maka tidak ada alasan bagiku kecuali karena kemalasanku, Alasanku adalah pengakuanku bahwa tidak ada alasanku.

 

Termasuk yang tidak bermanfaat adalah kedustaan, ghibah, mengadu domba, dan kata-kata kotor, karena Al-Qur’an dan As-Sunah telah mencaci perbuatan ini, Allah Ta’ala berfirman,

 

“Laki-laki dan perempuan yang benar.” (QS. Al-Ahzab: 35)

 

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. At-Taubah: 119)

 

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (QS. Al-Isra’: 36)

 

“Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah dan mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya.” (QS. Az-Zumar: 32)

 

“Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” (QS. An-Nahl: 116)

 

Hadits Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu dalam Ash-Sahihain,

 

“Sesungguhnya kejujuran menunjukkan pada kebaikan, dan sesungguhnya kebaikan menunjukkan pada surga, dan seseorang berusaha untuk jujur sampai ia ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur, dan sesungguhnya kedustaan itu menunjukkan pada kejahatan dan kejahatan menunjukkan pada neraka, dan sesungguhnya seseorang itu berdusta sampai Allah menulis di sisinya sebagai pendusta.”

 

Dan Hadits Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu Anhu dalam Sahih Muslim,

 

“Barang siapa yang bisa menjamin bagiku apa yang ada di antara dua lisan dan apa yang ada di antara dua pahanya maka aku jamin baginya surga.”

 

Kata jamin (adh-dhaman) yang dimaksud adalah memenuhi janji untuk meninggalkan maksiat, dan melaksanakan segala sesuatu yang menjadi haknya, berkata AIlHafizh dalam Al-Fath, “Melaksanakan hak dari lisan dengan mengucapkan sesuatu yang menjadi kewajibannya, atau diam dengan sesuatu yang tidak memberikan faidah kepadanya, dan melaksanakan hak bagi kemaluan adalah dengan meletakkannya pada tempat yang halal dan menahannya dari sesuatu yang diharamkan.”

 

Hadits ini menunjukkan bahwa bala yang paling besar yang terjadi pada seseorang di dunia adalah pada lisan dan kemaluannya, barang siapa yang bisa menjaganya untuk tidak jatuh dalam kejelekan maka ia akan terhindar dari keburukan yang besar.

 

Hadits Abu Syuraih Al-Khaza’i juga dalam Sahih Muslim, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”

 

Allah Ta‘ala berfirman,

 

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (QS. An-Nisa’: 58)

 

“Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya).” (QS. Al-Baqarah: 283)

 

Hadits Abu Hurairah “Tunaikanlah amanah kepada orang yang menjadi kepercayaanmu, janganlah berkhianat pada orang yang mengkhianatimu.”

 

Dan hadits dalam Ash-Sahihain,

 

“Tiga perkara yang ada dalam diri seseorang maka ia menjadi seorang munafik walaupun ia berpuasa dan shalat dan ia menyangka bahwa ia seorang muslim, jika ia berbicara ia berdusta, jika ia berjanji ia mengingkari dan jika ia diberi amanah ia berkhianat.”

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah jahanam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya.” (QS. An-Nisa’: 93)

 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu: Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barang siapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga). Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nisa’: 29-32)

 

Hadits Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu dalam Ash-Sahihain, “Membunuh orang muslim adalah kekafiran dan mencacinya adalah kefasikan.”

 

Mencaci di sini adalah penghinaan dan pembicaraan tentang harga diri seorang muslim dengan mengungkapkan aibnya. Kefasikan adalah perbuatan yang tercela dan keluar dari kebenaran, serta meninggalkan perintah Allah Ta’ala. Sedang yang dimaksud kekafiran dalam hadits ini adalah kekafiran terhadap nikmat Allah Ta’ala, bukan kafir yang mengeluarkan seseorang dari agamanya, karena ijma dari ahlus sunah telah tercapai bahwa seorang muslim tidak dikafirkan dalam arti keluar dari agamanya dengan sebab membunuh dan tidak karena maksiat yang lainnya selain syirik dan menghalalkan sesuatu yang diharamkan secara tegas dalam agama. Bahasa kafir dalam kasus ini adalah ungkapan ancaman yang keras.

 

Hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu dalam Sahih Al-Bukhari,

 

“Perkara yang pertama kali dilaksanakan pada hari kiamat adalah perkara tentang darah (pembunuhan).”

 

Hadits ini tidak bertentangan dengan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu secara marfu’ “Sesungguhnya awal yang dihisab pada seorang hamba pada hari kiamat adalah shalatnya,” karena kata-kata “pertama” dipahami dalam hal yang berhubungan dengan muamalah di antara makhluk sedangkan hadits yang kedua dipahami dalam hal yang berkaitan dengan ibadah seorang hamba kepada Khalik. Hadits ini memberikan pelajaran pentingnya perkara darah karena permusuhan terjadi karena adanya prasangka dan dosa menjadi besar berdasarkan besarnya kerusakan dan hilangnya kemaslahatan, merobohkan bangunan kemanusiaan merupakan kerusakan yang paling besar.

 

Hadits Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma dalam Ash Sahihain,

 

“Tidaklah henti seorang muslim beristirahat di masalah agamanya selagi ia belum menumpahkan darah (membunuh) yang diharamkan.’”

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Hendaklah mereka memelihara kemaluannya.” (QS. An Nur: 30)

 

“Dan hendaklah mereka memelihara kemaluannya.” (QS. An-Nur: 31)

 

“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya.” (QS. Al Mukminun: 5, Al-Ma’arij: 29)

 

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’ : 32)

 

Hadits abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dalam AshSahihain;

 

“Tidaklah berzina seorang penzina ketika ia berzina dalam keadaan beriman, tidaklah mencuri seorang pencuri ketika ia mencuri dalam keadaan beriman, tidaklah meminum arak peminum arak sedang ia dalam keadaan beriman dan tidaklah seseorang merampas kehormatan seorang perempuan yang mulia yang terangkatlah pandangan seorang mukmin kepadanya, ketika merampas ia dalam keadaan beriman.”

 

Termasuk di dalamnya adalah pengharaman mencuri, merampok, memakan suap, memakan sesuatu yang tidak hak secara syar’i. Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil.” (QS. Al-Baqarah: 188)

 

“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang dari padanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil.” (QS. An-Nisa’: 160-161)

 

“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang.” (QS. Al-Muthaffifin: 1)

 

“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar.” (QS. Al-Isra’: 35)

 

Hadits Abdurrahman bin Abu Bakrah dalam Ash-Sahihain, dari bapaknya Radhiyallahu Anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berkhotbah kepada kami di Mina dan beliau berkata,

 

“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian dan harga diri kalian diharamkan atas kalian…” (Al-Hadits)

 

Allah Ta’ala berfirman, 

 

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al-Maidah: 3)

 

“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau  makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi — karena sesungguhnya semua itu kotor — atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al-An’am: 145)

 

“Sesungguhnya (meminum) arak (arak), berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) arak (arak) dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada rasul-(Nya) dan berhati-hatilah. Jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kewajiban Rasul Kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (QS. Al-Maidah: 90-92)

 

“Mereka bertanya kepadamu tentang arak dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar.” (QS. Al-Baqarah: 219)

 

“Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar.” (QS. Al-A’raf: 33)

 

Dikatakan bahwa yang dimaksud dengan itsmu adalah salah satu nama arak sebagaimana ungkapan syair: “Aku meminum arak (arak) sampai tersesatlah akalku, Demikianlah arak menghilangkan setiap akal.”

 

Hadits Aisyah Radhiyallahu Anha dalam Ash-Sahihain, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ditanya tentang anggur yang didiamkan lama, beliau menjawab,

 

“Setiap minuman yang memabukkan hukumnya haram.”

 

Hadits Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma dalam Sahih Muslim, “Setiap yang memabukkan adalah arak dan setiap arak adalah haram.”

 

Hadits Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma dalam Ash Sahihain,

 

“Barang siapa meminum arak di dunia kemudian ia tidak bertobat darinya, maka arak akan menjadi haram baginya di akhirat.”

 

Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dalam AshSahihain, “Didatangkan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pada malam Isra’ di Baitul Maqdis dengan dua buah cangkir yang berisi arak dan susu kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melihat kepada keduanya dan mengambil susu kemudian Jibril Alaihissalam berkata kepadanya, “Segala puji bagi Allah yang menunjukkan engkau kepada fitrah, jikalau engkau mengambil arak maka umatmu akan tersia-sia.”

 

Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dalam Ash Sahihain, “Tidaklah meminum arak seorang peminum ketika ia meminumnya ia dalam keadaan beriman…” Al-Hadits. .

 

Dengan hal ini Al-Baihaqi menyampaikan sanadnya sampai Al-Hasan, ia berkata, “Telah datang seorang laki-laki dengan anggur yang paling dicintainya dari makhluk-makhluk Allah sampai anggur itu kemudian menghancurkan akalnya.”

 

Dikatakan kepada sebagian orang Arab, kenapa anda tidak meminum anggur? Maka ia berkata, “Alangkah ridhanya aku jika akalku sehat, bagaimana mungkin aku memasukkan sesuatu padanya yang dapat merusaknya.”

 

Dari Al-Hakam bin Hisyam sesungguhnya ia berkata kepada anaknya, “Wahai anakku hendaklah engkau menjauhi anggur, karena anggur adalah muntahan mulutmu, kotoran duburnya, memotong punggungmu, menjadi bahan tertawaan anak kecil, dan menjadi tawanan bagi agama.”

 

Dari sebagian ahli hikmah sesungguhnya ia berkata kepada anaknya, “Wahai anakku apa yang mengajakmu untuk meminum arak? Ia menjawab, “Arak menjadi pencerna makananku.” Ayahnya menjawab, “Demi Allah wahai anakku sesungguhnya ia menyerang agamamu.

 

Dari Abdullah bin Idris,

 

“Setiap minuman yang memabukkan banyaknya, dari perahan kurma atau anggur. Maka sesungguhnya diharamkan sedikitnya, Dan sesungguhnya aku memperingatkan kalian dari bahayanya.” Dari Abu Bakar bin Abi Dunya, sesungguhnya ayahnya membacakan kepadanya sebuah syair,

 

“Ketika anggur di atas anggur yang kau minum, Akan menanggalkan agamamu disertai dengan hilangnya dirhammu.”

 

Al-Husain bin Abdirrahman bersenandung, “Aku melihat setiap kaum memelihara istri mereka, Maka tidaklah ada bagi peminum seorang istri.”

 

Jika engkau mendatangi mereka maka mereka akan menghormatimu dengan seribu penghormatan dan sambutan, Jika engkau menghilang dari mereka sesaat maka akan dicela.

 

Saudara mereka jika telah beredar gelas di antara mereka , Setiap mereka telah usang hubungannya terburai. Maka ini adalah pujianku yang tidak aku ucapkan dengan kebodohan, Tapi justru dengan keadaan orang yang fasik sangat diketahui.”

 

Dan di dalam Sahih Muslim dan lainnya dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, “Wahai manusia sesungguhnya Allah itu baik tidak menerima kecuali yang baik, dan sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan orang-orang mukmin dengan apa yang diperintahkan kepada Rasul-rasul-Nya, Allah Ta’ala berfirman,

 

“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mukminun: 51)

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah.” (QS. Al-Baqarah: 172)

 

Kemudian beliau bersabda, “Seorang yang sedang dalam perjalanan yang panjang, acak-acakan rambutnya, mengangkat tangannya ke atas langit sambil mengucap, Ya Rabb! Ya Rabb! Sedang makanannya haram, pakaiannya haram, minumannya haram, dan diberi makan dengan sesuatu yang haram, maka bagaimana akan dikabulkan doanya?

 

Dalam Ash-Sahihain dari hadits An-Nu’man bin Basyir Radhiyallahu Anhu, “Sesungguhnya perkara halal itu jelas, dan sesungguhnya yang haram pun telah jelas, di antara keduanya adalah perkara mutasyabihat yang tidak banyak diketahui manusia, barang siapa yang menghindari perkara syubuhat maka ia akan membebaskan harga dirinya dan agamanya, barang siapa yang jatuh pada perkara syubuhat maka berarti ia telah jatuh pada haram, seperti penggembala yang menggembala di sekitar pagar yang hampir saja ia memasukinya, ketahuilah bagi setiap pemilik ada pembatasnya, dan batasan Allah di bumi adalah apa yang diharamkannya.’”

 

Dalam Ash-Sahihain, dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, “Sesungguhnya aku pulang ke keluargaku, kemudian aku menemukan sebutir kurma jatuh di tempat tidurku atau rumahku maka aku angkatlah kurma itu untuk aku makan kemudian aku khawatir kurma ini dari se. dekah maka aku muntahkan kurma tersebut.”

 

Dalam Sahih Al-Bukhari, dari Aisyah Radhiyallahu Anha, ia berkata, “Abu Bakar mempunyai seorang pembantu yang biasa mengeluarkan baginya satu tempat makanan dan biasa Abu Bakar memakan dari tempat tersebut, kemudian pada suatu hari pembantu tersebut membawa sesuatu dan Abu Bakar memakannya kemudian pembantu tersebut berkata kepadanya, “Apakah kamu tahu apa ini?” Maka Abu Bakar bertanya, “Apa ini?” Pembantu tersebut menjawab, “Dulu aku menjadi dukun di masa jahiliyah dan aku mahir dalam perdukunan tersebut kecuali sesungguhnya aku telah menipu seseorang kemudian ia bertemu denganku dan memberikan aku dengan ini yaitu yang telah engkau makan tadi.” Kemudian Aisyah berkata, “Maka Abu Bakar memasukkan tangannya ke dalam mulutnya sehingga ia memuntahkan semua yang ada diperutnya.”

 

Dari Zaid bin Aslam, “Sesungguhnya Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu meminum susu yang menarik perhatiannya, kemudian Umar berkata kepada orang yang menuangkan susu tersebut, “Dari mana engkau mendapatkan susu ini?” Maka orang itu menceritakan kepadanya bahwa sesungguhnya ia sampai di sebuah mata air yang telah dinamai, ternyata di sana terdapat unta-unta sedekah dan mereka memberinya minum kemudian mereka memeras susunya dan memberikannya kepadaku kemudian aku menjadikan ini minumanku dan yang engkau minum tadi. Kemudian Umar memasukkan tangannya ke mulutnya dan memuntahkan susu tersebut.”

 

Dari Ali Radhiyallahu Anhu tentang baiknya makanannya, pernah suatu ketika ia didatangkan dengan roti yang terdapat dalam kantong dari Madinah.

 

Telah menceritakan kepada kami Al-Baihaqi dengan sanadnya dari Bisyr bin Al-Harits, ia berkata, “Telah berkata Yusuf bin Asbath, “Jika seorang pemuda beribadah maka iblis akan berkata, “Lihatlah dari mana makannya dan jika makannya dari hal-hal yang jelek maka iblis akan berkata, “Tinggalkanlah ia jangan engkau ganggu, tinggalkanlah ia bersungguh-sungguh dalam ibadahnya karena sesungguhnya ia telah mencukupkan kalian dengan nafsunya.”

 

Dari Hudzaifah Al Mar’asy, “Sesungguhnya ia melihat manusia bersegera menuju shaf awal kemudian ia berkata, “Seyogyanya mereka juga bersegera untuk memakan roti yang halal.”

 

Dari Fudhail bin Iyadh, ia berkata, “Sufyan Ats-Tsauri pernah ditanya tentang keutamaan shaf awal maka beliau menjawab, “Lihatlah pecahan makanan yang ia makan, dari mana ia dapatkan, baru kemudian shalat di shaf akhir.”

 

Dan darinya juga, “Lihatlah dirham kamu dari mana ia dan shalatlah dishaf akhir.”

 

Dari Sari As-Tsaqathi,” “Sesungguhnya ia tidak pernah makan dari kacang hitam dan tidak dari buahnya juga dan tidak juga dari sesuatu yang ia tidak ketahui asalnya.” Dan ia sangat menekankan hal tersebut dan orang yang sangat wara’ sekali, walaupun demikian ia berkata, “Aku pernah berada di Tarasus dan bersamaku di dalam rumah ada beberapa pemuda yang sedang beribadah dan di rumah itu ada kompor orang-orang yang membuat roti maka pecahlah kompor itu maka aku menggantinya dari hartaku dan mereka bersikap wara’ untuk membuat roti dengan kompor tersebut.”

 

Dan dari Sari Ats-Tsaqathi juga, ia berkata, “Adalah Abu Yusuf Al-Ghasuli, ia selalu tetap di pengintaian musuh dan sering berperang, jika ia berjihad bersama orang-orang dan memasuki kota Romawi, sahabat-sahabatnya selalu memakan sembelihan dan buah-buahan mereka, sedangkan ia tidak memakannya, maka dikatakan kepadanya, “Wahai Abu Yusuf, apakah engkau ragu akan kehalalannya?” Ia menjawab, “Tidak.” Maka dikatakanlah kepadanya, “Makanlah dari yang halal.” Kemudian ia berkata, “Sesungguhnya zuhud adalah menahan dari yang halal.”

 

Dari Sari juga, ia berkata, “Aku pulang dari beberapa peperangan maka aku melihat di jalanku ada air yang menyegarkan dan di sekitarnya ada tetumbuhan dari rumput-rumput yang telah tumbuh maka aku berkata kepada jiwaku, “Ya Sari, jika ada engkau pada hari-harimu memakan makanan yang halal dan meminum minuman yang halal maka pada hari ini?” Kemudian aku turun dari kendaraanku maka aku makan dari rumput-rumput ini maka aku minum dari air ini kemudian aku mendengar suara yang aku tidak melihat orang yang mengucapkannya, berkata, “Ya Sari bin Mughlis, nafkah yang engkau dapatkan sehingga engkau mencapai tempat ini, dari mana?” maka hal ini membuat hatiku sangat bergetar.

 

Diriwayatkan dari sebagian mereka, sesungguhnya mereka selalu mencari yang halal maka ingin ditunjukkan kepada yang halal tersebut, lantas ditunjukkan kepada Al Hasan Al-Basri di Basrah, maka orang itu berangkatlah ke Basrah menujunya dari negeri yang sangat jauh. Al-Hasan Al-Basri berkata kepadanya, “Sesungguhnya aku ini seseorang yang memberi nasehat, aku makan dari hadiah manusia dan jamuan sebagai tamu mereka, akan tetapi aku tunjukkan kepada engkau seseorang dari negeri Sijistan, engkau akan melihatnya di pertaniannya, ia mempunyai seekor sapi, dan ia membuat salah satu jalan sapinya dari jerami dan gandum sedangkan jalan lainnya berair. Jika sapi itu sampai pada jalan yang berjerami dan gandum maka ia akan menawarkan jerami dan gandum pada sapinya dan jika ia sampai ke jalan yang berair maka ia juga menawarkannya. Maka pergilah engkau menuju orang tersebut. Maka ia menemukan orang tersebut sebagaimana yang diceritakan, kemudian ia memberi salam kepadanya dan menceritakan kepadanya, akhirnya petani itu menangis dan berkata, “Telah jujur kepada engkau Imam Abu Said (Al-Hasan Al-Basri). Akan tetapi hilang dari semua cerita itu dariku karena suatu hari sapiku melewati tanah tetanggaku sedangkan aku sibuk dengan shalatku dan aku melihat kembali ke tanahku seakan kaki-kakinya telah terbalut dengan tanah tetanggaku dan bercampur dengan tanahku maka jadilah hal ini syubhat maka kembalilah engkau kepadanya agar ia (Al-Hasan Al-Basri) menunjukkan seseorang selainku.” kemudian ia menangis.

 

Dari Abu Abdillah Ibnu Al-Jalla, ia berkata, “Aku mengenal seseorang yang tinggal di Mekah selama tiga puluh tahun ia tidak minum air zamzam kecuali yang diberikan kepadanya di ceretnya dan talinya, dan ia tidak mengambil makanan Jalab dari Mesir sedikit pun.”

 

Dari Bisyr bin Al-Harits Al-Hafi bin Abdurrahman, ia berkata, “Saya mendengar Al-Muafi bin Imran berkata, “Adalah sepuluh dari orang-orang terdahulu dari kaum terpelajar, mereka senantiasa memperhatikan masalah kehalalan, tidaklah masuk ke dalam perut mereka kecuali apa yang mereka ketahui kehalalannya, dan jika tidak diketahui kehalalannya mereka mencukupkan memakan tanah, kemudian Bisyr menyebutkan kesepuluh orang tersebut; Ibrahim bin Adham, Sulaiman Al-Khawwash, Ali bin Fudhail bin Iyadh, Abu Muawiyah Al-Aswad, Yusuf bin Asbath, Wuhaib bin Al-Ward, Hudzaifah syaikh penduduk Harran, Dawud Ath-Tha’i, dan Bisyr menghitungnya sepuluh.

 

Dari Yahya bin Mai’in Al-Muhaddits, “Pada suatu hari harta akan hilang yang halal maupun yang haram, Yang tertinggal di kemudian hari hanyalah dosa-dosanya Bukanlah ketakwaan itu takwa kepada Tuhannya, Sampai ia bisa memperbaiki minuman dan makanannya. Memperbaiki apa yang ia usahakan dan menahan diri (dari yang haram), Dan jadilah di setiap ucapan terbaiknya hadits-hadits. Yang diucapkan oleh nabi kita dari Tuhannya, Maka atas nabilah shalawat dan salamnya.”

 

Sufyan At-Tsauri pernah ditanya tentang wara’ maka ia mendendangkan sebuah syair, “Sesungguhnya aku menemukan sesuatu yang tidak disangka orang lain, Inilah sifat wara’ ketika dirham ada di sisi. Yang engkau mampu meraihnya kemudian kamu tinggalkan, Ketahuilah di sanalah letak ketakwaan seorang muslim.”

 

Dan Muhammad bin Abdul Karim Al-Marwazi ketika ia melantik Yahya bin Aktsam menjadi qadhi, ia dikirimi surat Oleh saudaranya Abdullah bin Aktsam dari Marw, ia adalah seorang yang zuhud. Ia menulis,

 

“Sesuap dari tumbukan garam yang dimakan, Itu lebih lezat dari kurma yang dicampur dengan buah zanbur. Makanan yang mendekatkan seseorang kepada kehancuran, y Itu seperti buah jerat yang akan mengikat leher burung pipit.”

 

Dari Ibrahim bin Husyaim bahwa ia pernah dimintai nasehat oleh temannya sebelum melepas kepergiannya, maka ia berkata, “Saya berwasiat kepadamu agar menjadikan perbuatanmu baik dan hendaklah memakan dari yang halal.”

 

Hadits Anas bin Malik dalam Ash-Sahihain,

 

“Barang siapa yang memakai sutera di dunia maka ia tidak akan memakainya di akhirat.”

 

Hadits Hudzaifah Radhiyallahu Anhu,

 

“Janganlah kalian memakai sutera, dan sutera dari jenis yang paling baik, jangan minum dari wadah yang terbuat dari emas dan perak, dan jangan makan di piring-piringnya, sesungguhnya itu bagi mereka (orang-orang kafir) di dunia dan bagi kalian di akhirat.”

 

Hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu dalam Sahih Muslim “Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan, sombong itu adalah menolak kebenaran, dan meremehkan manusia.”

 

Hadits Abu Burdah Radhiyallahu Anhu dalam Ash-Sahihain ia berkata, “Aisyah mengeluarkan kepada kami kain selimut yang telah usang dan sebuah sarung yang kasar, kemudian beliau berkata, dengan kedua inilah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam diselimuti (pada hari meninggalnya).”

 

Hadits Abdullah bin Umar juga dalam Ash-Sahihain “Allah tidak akan memandang kepada orang yang memanjangkan kainnya karena sombong.”

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Katakanlah, “Apa yang di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaan.” (QS. Al-Jum’ah: 11)

 

Hadits Sulaiman bin Buraidah dalam Sahih Muslim, dari ayahnya Buraidah bin Al-Hushaib Radhiyallahu Anhu,

 

“Barang siapa yang bermain permainan dadu maka seakan-akan ia memasukkan tangannya ke daging babi dan darahnya.”

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS. Al-Isra’: 29)

 

“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqan: 67)

 

Hadits Al-Mughirah bin Syu’bah Radhiyallahu Anhu dalam Sahih Muslim,

 

“Rasulullah melarang tiga perkara yaitu banyak bicara, berlebih-lebihan dalam membelanjakan harta, dan banyak bertanya,”

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki.” (QS. Al-Falaq: 5)

 

“Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya?” (QS. An-Nisa’: 54)

 

Hadits Anas Radhiyallahu Anhu dalam Sahih Muslim,

 

“Janganlah kalian saling hasad, saling membenci, saling memutuskan silaturahmi tapi jadilah kalian sebagai hamba Allah yang bersaudara.”

 

Hadits Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu dalam Sahih Al-Bukhari, .

 

‘Jangan kalian saling benci, jangan saling hasad, jangan saling memusuhi, jadilah hamba Allah bersaudara, tidak halal bagi seorang muslim untuk mendiamkan saudaranya – lebih dari tiga malam, saling bertemu tetapi saling memalingkan wajah, sebaik-baiknya mereka berdua adalah yang memulai mengucapkan salam.”

 

Dari masalah ini Al-Baihaqi menceritakan kepada kami dengan sanadnya sampai Al-Hasan dalam menjelaskan Firman Allah Ta’ala

 

“Dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki.”

 

Beliau mengatakan, “Hasad adalah dosa pertama yang terjadi di bawah langit.”

 

Dari Ahnaf bin Qais, “Lima perkara aku ucapkan tidak ada ketenangan bagi orang yang dengki dan tidak ada harga diri bagi orang yang mendusta dan tidak ada menepati janji bagi orang yang mengambil bagian orang lain, tidak ada jalan keluar bagi orang yang bakhil dan tidak menjadi pemimpin bagi orang yang jelek akhlaknya.”

 

Dari Al-Khalil bin Ahmad, “Saya tidak pernah melihat orang yang zalim yang menyerupai orang yang terzalimi daripada orang yang hasad yang mempunyai jiwa yang iri, akal yang licik dan sedih yang terus menerus.”

 

Dari Bishr bin Al-Harits Al-Hafi, “Permusuhan dalam kerabat, kebencian dalam tetangga dan manfaat ada dalam persaudaraan.”

 

Dari Mubarrid, dia bersyair:

 

“Pandangan orang dengki yang buruk kepadamu, membuat masa menjagamu, Mengungkapkan kejelekan-kejelekan sedang kebaikan-kebaikan menyembunyikannya. la menemuimu dengan riang gembira penuh tawa, Hati tersembunyi dengan apa yang ada di dalam lubuknya Sesungguhnya orang yang dengki tanpa berdosa permusuhannya, Tidak bisa menerima alasan di dalam penuaiannya.”

 

Allah Ta‘ala berfirman,

 

“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat.” (QS. An-Nur: 19)

 

“Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat.” (QS. An-Nur: 23) dan lain-lain.

 

Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dalam Sahih Muslim,

 

“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, janganlah menyerahkannya (kepada musuh), jangan merendahkannya, jangan mencacinya, ketakwaan itu ada di sini beliau mengarahkan telunjuknya ke dadanya sampai tiga kali cukuplah bagi seorang kejelekan orang yang mencaci saudaranya sesama muslim, setiap muslim dengan muslim yang lain, haram hartanya, darahnya dan harga dirinya.”

 

Hadits Abu Dzar Radhiyallahu Anhu dalam Ash-Sahih, “Janganlah seseorang menuduh saudaranya dengan kefasikan dan jangan pula menuduhnya dengan kekafiran kecuali itu akan berbalik kepadanya jika saudaranya tidak seperti yang ia tuduhkan.”

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

 

“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bagian pun di akhirat.” (QS. Asy-Syura: 20)

 

“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Huud: 1516)

 

“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia menyekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi: 110)

 

Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dalam Sahih Muslim, Allah Ta’ala berfirman,

 

“Aku tidak membutuhkan sekutu dan kesyirikan, barang siapa yang beramal untukku kemudian mencampurkan di dalamnya kesyirikan dengan selain-Ku maka Aku akan melepaskan diri darinya dan amalnya bagi yang dia sekutui.”

 

Hadits Jundub Radhiyallahu Anhu dalam Ash-Sahihain,

 

“Barang siapa yang sum’ah maka Allah Akan bersifat sum‘ah kepadanya dan barang siapa yang riya’ maka Allah akan bersifat riya’ kepadanya.”

 

Makna hadits ini adalah barang siapa yang beramal tanpa ikhlas, menginginkan agar ia dilihat oleh manusia atau didengar oleh manusia maka ia akan dibalas pada hari kiamat dengan bentuk yang seperti itu juga yaitu dengan Allah menjadikan ia terkenal dan terkuak apa yang disimpan dalam hatinya sehingga orang-orang dapat menyaksikan kedustaannya dalam beribadah, semoga Allah menyelamatkan kita dari sifat ini.

 

Al-Baihaqi menceritakan kepadaku dengan sanadnya, “Sesungguhnya Abu Hamzah, ditanya tentang ikhlas maka ia menjawab, “Seorang yang tidak menyukai ia dipuji kecuali Allah yang memujinya.”

 

Dari Sahl bin Abdullah, “Tidaklah mengetahui yang riya itu kecuali orang yang ikhlas dan tidaklah mengetahui kemunafikan itu kecuali orang yang mukmin dan tidaklah mengetahui kebodohan itu kecuali orang mengerti dan tidaklah mengetahui kemaksiatan itu kecuali orang yang taat.”

 

Dari Rabi’ bin Hutsaim,’ “Setiap sesuatu yang tidak mengharapkan wajah Allah maka akan tersia-sia.”

 

Dari Al-Junaid “Jika ada seorang itu seumpama wibawa Nabi Adam, sezuhud Nabi Isa, sesabar Nabi Ayyub, setaat Nabi Yahya, seistiqamah Nabi Idris, selembut Al-Halil (Nabi Ibrahim), seakhlak Rasulullah tetapi di dalam hatinya ada segelintir selain Allah, maka tidak ada bagi Allah hajat terhadapnya.

 

Dari Zubaid bin Al-Harits Al-Yami, “Aku selalu menginginkan untukku pada setiap sesuatu yang kulakukan ada niat sampai pada makan, minum dan tidur.”

 

Bentuk dari hal ini adalah bahwa makan dan minum adalah sesuatu yang dibolehkan, jika seseorang berniat dengan makanan dan minuman itu untuk memperkuat jasmaninya untuk melaksanakan apa yang diminta oleh syar’i seperti shalat, puasa, dan lain sebagainya, maka hal tersebut akan mendapatkan ganjaran dan menjadi suatu perkara yang bernilai sunah, demikianlah hal ini biasa dilakukan oleh salafus-shalih.

 

Dari Sufyan tentang Firman Allah Ta’ala,

 

“Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajah-Nya (Allah).” (QS. Al-Qashash: 88)

 

Beliau berkata, “Apa-apa yang diingankannya adalah wajah-Nya.”

 

Dari Hilal bin Yasaf, ia berkata, “Isa bin Maryam Alaihissalam berkata, “Jika seorang berpuasa maka hendaklah ia membasahi jenggotnya, mengusap kedua bibirnya, ia keluar Menemui manusia seakan-akan ia tidak berpuasa. Dan jika ia memberikan dengan tangan kanannya maka hendaknya ia menyembunyikannya dari tangan kirinya, dan jika seseorang dari kalian shalat maka hendaknya ia menutupi pintu rumahnya, sesungguhnya Allah Ta’ala telah membagikan pujian sebagaimana Dia membagi rezeki.”

 

Dari Dzun Nun Al-Mishri berkata, “Telah berkata sebagian ulama, “Tidaklah seorang hamba berbuat ikhlas kepada Allah kecuali bila ia suka jika cintanya tidak diketahui.” .

 

Dari Bisyr bin Al-Harits, dari Al-Fudhail bin Iyadh, “Aku makan dari dunia ini dengan bergendang, dan meniup seruling lebih aku sukai ketimbang aku makan dari menjual agama.”

 

Dari Malik bin Anas, telah berkata kepadaku, “Guruku Rabi’ah Ar-Ra’yu, “Wahai Malik siapakah orang rendah itu?” Maka aku menjawab, “Orang yang makan dari agamanya.” Dia berkata lagi, “Siapakah orang rendah paling rendah?” Dia berkata, “Seseorang yang memperbaiki kehidupan dunia orang lain dengan merusak agamanya.” Maka Imam Malik berkata, “Dia membenarkanku.”

 

Dari Ibnu Al-A’rabi, “Serugi-ruginya seseorang adalah orang yang menampakkan amal-amalnya, dan menampakkan kejelekan kepada orang yang dekat dari hubungan yang kokoh.”

 

Dari Sufyan, “Wahai para ahli giraah, tegakkan kepala kalian, janganlah kalian tambah-tambahkan kekhusuan dengan apa yang ada di hati, sesungguhnya jalan telah jelas, bertakwalah kepada Allah, indahkanlah mata pencaharian kalian, dan janganlah menjadi beban atas orang-orang muslim.

 

Dan Dari sebagian ulama, “Bangkitkanlah rasa takut kepada seorang mukmin dari Allah, seorang munafik dari penguasa, dan orang yang gemar berbuat riya’ dari manusia.”

 

Bahagia adalah lawan kata dari kesedihan, yaitu kelezatan yang terletak dalam hati ketika mendapati sesuatu yang dicintai dan yang diinginkan, yang kemudian melahirkan suatu keadaan yang dinamakan bahagia, sebagaimana seseorang yang kehilangan yang dicintai melahirkan suatu keadaan yang dinamakan kesedihan. Kebahagiaan seseorang dengan sesuatu tergantung pada kadar hubungan dan keinginannya terhadap sesuatu tersebut, maka kebahagiaan seseorang dengan ilmu dan keimanan, amal —amal kebaikan, mengamalkan Al-Qur‘an, As-Sunah, dan ijma para ulama membuktikan pengagungan kepadanya, keinginan dan kecintaan kepadanya. Dan pengunggulannya dari yang lainnya, serta keinginan kuatnya menolak lawan dari sesuatu tersebut merupakan sebuah bukti kuatnya keimanan, keyakinan, dan berpegang teguh terhadap agamanya.

 

Hadits Jabir bin Samurah, dari Umar bin Al-Khaththab, Radhiyallahu Anhu, dalam Sunan Abi Dawud,

 

“Barang siapa yang merasa bahagia dengan kebaikan dan merasa sedih dengan perbuatan yang jelek maka ia seorang mukmin.”

 

Tobat adalah kembalinya seorang hamba kepada Tuhannya, dan menempuh jalan-Nya jalan yang lurus, dan menjauhi semua jalan-jalan orang-orang yang dibenciNya, dan orang-orang yang tersesat. Tobat memiliki tiga syarat: menyesal atas apa yang telah berlalu, meninggalkan hal tersebut pada masa sekarang, dan bertekad untuk tidak kembali melakukannya pada masa yang akan datang. Tobat yang benar memiliki tanda-tanda, di antaranya adalah, senantiasa merasa takut dan tidak aman walau sekejap mata pun, setelah tobat ia melakukan kebaikan lebih baik dari sebelumnya, hatinya dipenuhi dengan perasaan penyesalan yang sangat baik terhadap dosa yang kecil maupun yang besar.”

 

Firman Allah Ta’ala,

 

“Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An-Nur: 31)

 

“Bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya.” (QS. At-Tahriim: 8)

 

“Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi). Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya. Supaya jangan ada orang yang mengatakan: “Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah, sedang aku sesungguhnya termasuk orang-orang yang mengolok-olok (agama Allah). Atau supaya jangan ada yang berkata: “Kalau sekiranya Allah memberi petunjuk kepadaku tentulah aku termasuk orang-orang yang bertakwa. Atau supaya jangan ada yang berkata ketika melihat azab, kalau sekiranya aku dapat kembali (ke dunia), niscaya aku akan termasuk orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Az-Zumar: 54-58)

 

Hadits Abu Burdah bin Abu Musa Al-Asy’ari, dari Al-Aghar Al-Muzanni dalam Sahih Muslim dan Sunan Abi Dawud dan selain keduanya,

 

“Sesungguhnya selalu menggelisahkan hatiku dan sesungguhnya aku beristighfar kepada Allah dalam satu hari sebanyak seratus kali.”

 

Terkadang dalam bentuk hewan korban yang disembelih berkenaan dengan ibadah haji (Al-Hadyu), hewan yang disembelih pada hari Idul Adha (Al-Udhiyah) dan hewan yang disembelih berkenaan dengan hari kelahiran (Aqiqah).

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu.” (QS. Al-Kautsar: 2)

 

“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya.” (QS. Al-Hajj: 36)

 

“Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati. Bagi kamu pada binatang-binatang hadyu, itu ada beberapa manfaat, sampai kepada waktu yang ditentukan, kemudian tempat wajib (serta akhir masa) menyembelihnya ialah setelah sampai ke Baitul Atiq (Baitullah). Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah). (Yaitu) orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang mendirikan sembahyang dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami rezekikan kepada mereka. Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari syiar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur. Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Hajj: 32-37)

 

Hadits Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu dalam kitab Ash-Sahihain,

 

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah berkorban dengan dua ekor domba yang bertanduk yang berwarna putih bersih, aku telah melihat beliau meletakkan kaki beliau di antara kedua lambung domba tersebut kemudian beliau membaca Bismillah dan bertakbir.”

 

Dalam riwayat yang lain, “Betul aku melihat beliau menyembelih keduanya dengan tangannya.”!

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An-Nisa’: 59)

 

Ulil Amri adalah para pemimpin peperangan, juga dikatakan mereka adalah para ulama, dapat dipahami secara ) umum mencakup keduanya dan jika dipahami secara khusus maka yang dimaksud dengan ulil amri adalah para pemimpin peperangan. Hadits Abu Hurairah dalam Ash-Sahihain,

 

“Barang siapa yang menaatiku maka sesungguhnya ia telah menaati Allah dan barang siapa yang bermaksiat kepadaku maka ia telah bermaksiat kepada Allah dan barang siapa yang telah menaati pemerintah maka sesungguhnya mereka telah menaatiku dan barang siapa menentang pemerintah maka ia telah menentangku.”

 

Hadits Abu Dzar dalam Ash-Sahihain, “Wahai Abu Dzar dengarkanlah dan taatilah walau seorang budak habasyi, dan terpotong anggota tubuhnya.”

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (QS. Ali Imran: 103)

 

Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dalam Sahih Muslim,

 

“Siapa yang keluar dari ketaatan dan memisahkan diri dari jamaah, kemudian ia meninggal maka meninggal dalam keadaan jahiliyah.”

 

Hadits Arfajah bin Syuraih Al-Asyjai Radhiyallahu Anhu dalam Sahih Muslim,

 

“Akan ada setelahku fitnah dan fitnah barang siapa di antara kalian melihatnya memecah belah urusan umat Muhammad sedang mereka berkelompok maka bunuhlah mereka di manapun mereka berada.”

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” (QS. An-Nisa’: 58)

 

“Dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang berkhianat.” (QS. An-Nisa’: 105)

 

“Dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Hujurat: 9)

 

Hadits Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu dalam Ash-Sahihain,

 

“Tidak ada iri hati kecuali pada dua keadaan; seseorang yang Allah anugerahi harta kemudian ia habiskan untuk kebenaran, dan yang lainnya lagi seseorang yang Allah anugerahi hikmah ia memutuskan perkara dan mengajarkannya.”

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan hendaklah ada di antara kamu sekelompok umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)

 

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 110)

 

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur‘an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar. Mereka itu adalah orang-orang yang bertobat, yang beribadat, yang memuji (Allah), yang melawat, yang ruku’, yang sujud, yang menyuruh berbuat makruf dan mencegah berbuat mungkar, dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu.” (QS. At-Taubah: 111-112)

 

“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan ‘Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu, melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (QS. Al-Maidah: 78-79) dan banyak lagi ayat yang memerintahkan dua hal ini.

 

Hadits Abu Said Radhiyallahu Anhu dalam Sahih Muslim,

 

“Barang siapa yang melihat kemungkaran maka hendaklah ia rubah dengan tangannya, jika ia tidak mampu maka dengan lisannya dan jika tidak mampu maka dengan hatinya dan yang demikian itu selemah-lemahnya iman.”

 

Hadits Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu juga dalam Sahih Muslim,

 

“Tidaklah ada seorang nabi yang diutus oleh Allah kecuali bagi mereka dari umatnya ada sekelompok hawariyuun (penolong) dan para sahabat yang menerapkan sunah-sunah mereka, mengikuti dengan perintah-perintahnya, kemudian setelah itu mereka berselisih, mengatakan sesuatu yang tidak dilakukan, berbuat sesuatu yang tidak diperintahkan, barang siapa yang mengingkari mereka dengan tangannya maka ia orang yang beriman, barang siapa yang mengingkari mereka dengan lisannya maka ia orang yang beriman, dan barang siapa yang menentang mereka dengan hatinya maka ia beriman, dan tidaklah dibalik hal ini kecuali keimanan seberat biji sawi.”

 

Dalam Ash-Sahihain dari hadits Sufyan bin Uyainah dari Zuhri dari Urwah dari Zainab binti Abi Salamah dari Habibah, dari Ibunya Ummu Habibah, dari Zainab istri Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, Ia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bangun dari tidurnya sedang wajahnya memerah, beliau berkata, “Tidak ada tuhan yang berhak untuk disembah kecuali Allah sebanyak tiga kali, celakalah bagi bangsa Arab dari fitnah yang semakin mendekat dibuka pada hari itu tembok penghalang Ya’juj dan Majuj sebesar ini.”

 

Beliau membentangkan ibu jarinya dan yang selanjutnya. Zaenab berkata, Aku berkata, “Ya Rasulullah, akan terjadi bencana sedangkan di antara kita ada orang-orang yang shalih?” Beliau menjawab, “Betul, jika keburukan telah meluas.”

 

Dengan hal ini Al-Baihaqi menceritakan dengan sanadnya, dari Malik bin Dinar, beliau membaca Firman Allah Ta’ala yang berbunyi,

 

“Dan adalah dai kota itu, sembilan orang laki-laki yang membuat kerusakan di muka bumi, dan mereka tidak berbuat kebaikan.” (QS. An-Naml: 48)

 

Adapun hari ini maka di dalam setiap kabilah dan perkumpulan ada orang-orang yang berbuat kerusakan dan meninggalkan perbuatan baik.

 

Dari beliau juga, “Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan untuk mengazab sebuah kampung maka terkejutlah para malaikat dan mereka berkata, “Sesungguhnya dikampung itu ada hamba-Mu si Fulan.” Allah Ta’ala berfirman, “Kalian telah mendengar dari-Ku, sesungguhnya dia pernah berteriak sedangkan wajahnya tidak berubah menjadi marah ketika keharaman-Ku dilanggar.”

 

Diriwayatkan juga secara marfu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan sanad yang dhaif.

 

Dari Al-Baihaqi juga, ia membiarkan kami untuk mencintai dunia, tidak memerintahkan dan tidak melarang kami dengan sebagian yang lain. Dia juga tidak memberikan peringatan apa-apa yang telah Allah larang maka apa yang dapat mencegah azab untuk turun?

 

Dari Umar bin Abdul Aziz, ia berkata, “Pernah dikatakan bahwa sesungguhnya Allah Ta’ala tidak mengazab sebuah kaum disebabkan oleh dosa yang khusus tetapi jika kemungkaran dilakukan dengan terang-terangan dan tidak ada yang mengingkarinya maka azab adalah hak untuk mereka semua.”

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Maidah: 2)

 

Hadits Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu dalam AshSahihain,

 

“Tolonglah saudaramu baik ia zalim maupun dizalimi.” Maka berkatalah seseorang, “Ya Rasulullah, aku menolong saudaraku yang dizalimi, lalu bagaimana menolong saudara kita yang zalim?” Beliau menjawab, “Mencegah ia dari kezaliman maka itulah cara menolongnya.

 

Malu adalah akhlak yang tumbuh untuk meninggalkan hal-hal yang jelek, mencegah dari berlebih-lebihan dari mengambil haknya. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah menyempurnakan makna malu ini dalam hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi secara marfu.

 

Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Malulah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu.” Mereka berkata, “Sesungguhnya kami malu wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Bukan demikian, tetapi orang yang benar-benar malu kepada Allah adalah orang yang menjaga kepalanya dan apa-apa yang memenuhinya dan menjaga perutnya dan apa-apa yang memenuhinya dan mengingat kematian dan hal-hal yang akan binasa. Barang siapa yang menginginkan akhirat maka hendaklah meninggalkan perhiasan dunia. Barang siapa yang melakukan semua ini maka ia telah benar-benar malu terhadap Allah.”

 

Para ulama berbeda pendapat tentang kuat dan lemahnya malu berdasarkan hidup dan matinya hati. Jika hati hidup maka sempurnalah malunya begitu pun sebaliknya.

 

Hadits Salim bin Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhuma dalam Ash-Sahihain, dari bapaknya dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, sesungguhnya ia mendengar seorang lelaki memberi nasihat kepada saudaranya tentang malu, ia berkata,

 

“Tinggalkanlah itu, karena sesungguhnya malu itu bagian dari keimanan.”

 

Hadits Imran bin Husain Radhiyallahu Anhu dalam keduanya, “Sesungguhnya malu itu tidak mendatangkan kecuali kebaikan.”

 

Hadits Said Al-Khudri Radhiyallahu Anhu juga dalam keduanya,

 

“Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah orang yang paling malu daripada perawan dalam pingitannya. Jika beliau membenci sesuatu maka hal itu kita ketahui dari wajahnya.”

 

Hadits Abu Mas’ud Al-Anshari Radhiyallahu Anhu dalam Shahhih Bukhari, “Sesungguhnya sesuatu yang dikenal oleh orang dari ucapan para nabi sejak awal adalah jika engkau tidak malu maka berbuatlah sesukamu.”

 

Ucapan berbuatlah sekehendakmu merupakan ancaman yaitu maksudnya adalah sesungguhnya orang yang tidak merasa malu maka ia akan berbuat sekehendaknya maka malulah yang mencegah seorang untuk melakukan sebuah pekerjaan yang menjatuhkan kemuliaan dan harga dirinya.

 

Allah Ta‘ala berfirman,

 

“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang ibu bapaknya.” (QS. Al-Ahgaf)

 

“Dan tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”. Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu; jika kamu orang-orang yang baik, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertobat.” (QS. Al-Isra’: 23-25)

 

Hadits Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu dalam Ash-Sahihain. Ia berkata,

 

“Aku bertanya kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Amal apakah yang paling dicintai Allah Ta’ala?” Beliau menjawab, “Shalat pada waktunya.” Kemudian aku bertanya, “Apa lagi?” Beliau menjawab, “Berbuat baik kepada kedua orang tua.” Aku berkata, “Kemudian apa lagi”, Beliau menjawab, “Jihad di jalan Allah”, Abdullah bin Mas’ud berkata, beliau selalu menjawab dan jika aku menambah pertanyaan tentu beliau akan menambah jawaban.”

 

Silaturahmi adalah jika antara kamu dengan dia ada hubungan nasab, apakah ia termasuk Dzawil Arham dalam warisan ataupun tidak. Al-Qadhi Iyyadh mengatakan, “Tidak ada perbedaan pendapat secara menyeluruh bahwa menyambung silaturahmi adalah kewajiban, sedang memutusnya adalah sebuah kemaksiatan yang besar. Menyambung silaturahmi memiliki tingkatan-tingkatan; yang paling rendah adalah meninggalkan untuk tidak bertegur sapa, menyambungnya adalah dengan berbicara walau dengan ucapan salam. Tingkatan-tingkatan ini berbeda-beda sesuai dengan kemampuan dan hajat, di antaranya wajib, dan sunat, jika ia menyambung sebagian dan meninggalkan sebagian tidak dinamakan memutus silaturahmi.

 

Allah Ta‘ala berfirman,

 

“Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.” (QS. Muhammad: 22-23)

 

“Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (jahanam).” (QS. Ar-Ra’ad: 25)

 

Dan hadits Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu dalam Ash-Sahihain,

 

“Barang siapa yang menginginkan diberi keluasan dalam rezekinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaklah ta menyambung silaturahmi.’

 

Hadits Muhammad bin Jubair bin Math’am Radhiyallahu Anhu juga dalam Ash-Sahihain, dari ayahnya,

 

“Tidaklah masuk surga pemutus.” Yaitu pemutus silaturahmi.

 

Aku mengatakan tidak ada perbedaan apakah pemutus silaturahmi ini orang yang baik atau buruk.

 

Akhlak adalah berusaha untuk bermurah hati, menahan diri dari menyakiti (orang lain), selalu memilih keutamaan keutamaan dan meninggalkan perbuatan rendah. Akhlak adalah sifat para Nabi Shalawatullah Ajmain dan para wali Allah. Termasuk ke dalam akhlak yang mulia adalah menahan kemarahan, lembut jiwa, dan rendah hati. Allah Ta’ala berfirman, ”

 

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4)

 

“Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran: 134)

 

Dan hadits Abdullah bin Amr Radhiyallahu Anhuma dalam Ash-Sahihain,

 

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bukanlah orang yang buruk perangainya, tidak juga berlebihan dalam keburukan.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya orang yang terbaik di antara kalian adalah orang yang paling baik akhlaknya.” Menurut riwayat yang lain “Sesungguhnya orang paling aku cintai adalah orang yang paling baik akhlaknya.”

 

Hadits Aisyah Radhiyallahu Anha dalam Ash-Sahihain, ia berkata,

 

“Tidak pernah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memilih dua perkara kecuali beliau mengambil yang paling gampang selagi tidak merupakan dosa, jika dosa maka beliau orang yang paling menjauhinya, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak pernah merasa dendam karena urusan pribadinya, kecuali jika kehormatan Allah dinodai, maka beliau akan membalas untuk Allah.)

 

Pada masalah ini Abu Bakar Al-Baihaqi menjelaskan, ia berkata,

 

“Makna akhlak yang mulia adalah selamatnya jiwa dengan melakukan perbuatan yang lembut dan terpuji. Terkadang itu terhadap Dzat Allah Ta’ala, terkadang terhadap sesama manusia. Adapun akhlak yang berkenaan dengan Dzat Allah Ta’ala adalah hendaknya seorang hamba terbuka hatinya untuk menerima perintah-perintah Allah dan larangan-Nya, yaitu dengan melaksanakan apa yang telah Dia fardhukan, dengan jiwa yang baik, selalu berharap dengannya, melarang apa yang telah Dia larang dengan penuh keridhaan, tidak merasa terpaksa, selalu ingin melaksanakan hal-hal yang disunahkan-Nya, banyak meninggalkan perkara mubah karena mengharap wajah Allah dan menyucikan-Nya, ketika ia melihat bahwa meninggalkannya lebih dekat kepada ibadah daripada mengerjakannya. Semua hal itu dilakukannya dengan perasaan gembira tanpa ada tekanan dan tidak pula mempersulit diri. Sedangkan yang berhubungan dengan muamalah di antara manusia adalah ia selalu tidak mempermasalahkan tentang haknya, tidak meminta orang berlebihan dalam menunaikan haknya, memenuhi hak orang yang ada pada dirinya, jika ia sakit ia tidak minta dikunjungi, jika datang dari perjalanan ia tidak minta dikunjungi, jika mengucapkan salam tidak minta dijawab, jika bertamu tidak minta dihormati, atau jika ia memberikan pertolongan tidak ingin dibalas, jika berbuat baik tidak ingin disyukuri, jika masuk ke sebuah kaum ia tidak memonopoli, jika berbicara tidak berlebihan, begitu pula apabila memohon izin kepada teman kemudian tidak diberi izin dan bila melamar untuk menikah kemudian ditolak, memberikan keluasan untuk membayar hutang dan tidak menunda membayar hutang, atau mengurangi jumlah piutang, tidak minta dikurangi hutangnya dan lain sebagainya. Orang yang berakhlak juga berarti ia tidak suka marah, tidak suka membalas, tidak mencaci keadaan, tidak merasa dalam hatinya bahwa ia telah dikasari atau disikapi dengan tidak baik, ia tidak membalas hal tersebut jika ia menemukan kesempatan seperti itu, bahkan ia menyimpannya seakan tidak pernah terjadi sesuatu, tetapi ia membalasnya dengan sesuatu yang lebih baik dan lebih utama serta lebih dekat pada kebaikan dan ketakwaan dan lain sebagainya dari perbuatan yang dipuji dan diridhai. Kemudian juga orang yang berakhlak adalah orang yang memenuhi apa yang menjadi tanggung jawabannya, sebagaimana ia menjaga apa yang diamanahkan kepadanya. Jika ada saudaranya sesama muslim sakit ia mengunjunginya, dan jika memohon pertolongan maka ia tolong, jika saudaranya itu minta ditunda pembayaran utang ia memberikan masa tunda tersebut, Jika membutuhkan pertolongannya maka ia siap memberikan pertolongan, jika ia minta keluasan harga dalam jual beli maka ia memberikannya, ia tidak melihat bagaimana orang memperlakukannya, dan memperlakukan orang lain, tetapi ia menjadikan setiap kebaikan menjadi imam bagi jiwanya, maka ia berjalan kearahnya dan tidak menyimpang darinya.

 

Akhlak yang mulia terkadang itu adalah sesuatu yang tumbuh menjadi kebiasaan, terkadang juga sesuatu yang diusahakan. Dari semua itu yang mendekati kebenaran adalah akhlak yang mulia tumbuh karena diusahakan yang menjadi kebiasaan dan bersatulah antara upaya dan kebiasaan ini menjadi menyempurna akhlak ini.

 

Sebagaimana kita ketahui bahwa seseorang yang cerdas akan bertambah pandangannya jika ia duduk di majelis orang-orang yang memiliki kecerdasan dan pandangan yang bijak, atau seorang yang alim akan bertambah ilmunya jika ia berkumpul dengan orang-orang alim, begitu juga orang yang baik dan berakal maka akan bertambah kebaikan dan akalnya jika ia berkumpul dengan orang yang juga baik dan shalih. Kita pun tidak memungkiri bahwa orang yang berakhlak baik akan bertambah kebaikan akhlaknya dengan berkumpul bersama orang-orang yang baik akhlaknya, hanya Allah lah yang memberi taufiq.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu menyekutukan-Nya dengan apa pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu.” (QS. AnNisa’: 36)

 

Hadits Al-Ma’rur bin Suwaid Radhiyallahu Anhu dalam Ash-Sahihain, ia berkata,

 

“Aku melihat Abu Dzar Al-Ghifari Radhiyallahu Anhu padanya ada sebuah baju, dan pada budak beliau juga baju seperti miliknya, maka kami bertanya kepadanya tentang hal tersebut, beliau berkata, “Sesungguhnya aku pernah mencaci seseorang, kemudian orang itu melaporkanku kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata kepadaku, “Apakah engkau mencacinya dengan ibunya? Sesungguhnya engkau dan orang-orang semacammu masih berada dalam kejahiliyahan”, kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya saudara kalian adalah milik kalian yang Allah jadikan di bawah tangan-tangan kalian, karena itu jika ada saudaranya berada dalam tangannya maka hendaknya ia memberi makan sebagaimana yang ia makan, dan memberinya pakaian sebagaimana yang ia pakai, dan janganlah memaksakan kepadanya pekerjaan yang melebihi kemampuannya, dan jika kalian membebaninya dengan pekerjaan yang melebihi kemampuannya maka bantulah ia.”

 

Yaitu ketika budaknya dan pembantunya melayani tuannya, mengerjakan sesuai dengan yang ia inginkan, ketika diperintah ia menurutinya, menaatinya pada hal yang ia mampu lakukan.

 

Dalam Ash-Sahihain, dari hadits Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhuma, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

“Sesungguhnya seorang budak jika ia tulus kepada tuannya dan ia memperbaiki ibadah kepada tuhannya, maka baginya pahala dua kali.”

 

Sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam “Jika ia tu. lus kepada tuannya,” maknanya ia menjaga harta tuannya, menjaga kehormatannya, menjaganya dari aib dan tipu daya dan menjaga ketenangan ibadah tuannya dan selalu berbuat demikian. Sabda beliau, “Baginya pahala dua kali,” yaitu pahala di dalam ibadah kepada tuhannya dan pahala satunya ketika ia tulus ikhlas bersama tuannya, dan sesungguhnya kedua pahala tersebut berbeda, karena ketaatan kepada Rabb Ta’ala lebih wajib dan utama dibanding ketaatan kepada tuannya dan perbedaan inilah yang paling pokok.

 

Dalam Sahih Muslim dari hadits Jarir bin Abdullah Radhiyallahu Anhu,

 

“Siapa saja dari budak melarikan diri maka terlepaslah tanggung jawab tuannya.”

 

Dalam Sunan Abi Dawud, juga dari hadits jarir, “Budak jika melarikan diri maka Allah tidak akan menerima shalatnya sampai ia kembali kepada tuannya.”

 

Yaitu seorang lelaki menunaikan kewajibannya terhadap anak-anak dan istrinya, pengajarannya kepada mereka tentang urusan agama mereka dan apa-apa yang dibutuhkan mereka.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahrim: 6)

 

Berkata Al-Hasan, “Yakni perintahkan mereka untuk menaati Allah dan mengajarkan mereka kebaikan.” Berkata Ali Radhiyallahu Anhu, “Ajarkan mereka, yaitu perbaikilah adabnya.”

 

Hadits Anas dalam Sahih Muslim,

 

“Barang siapa yang memelihara (dengan baik) dua orang anak gadis sampai mereka baligh (dewasa) maka ia akan datang pada hari kiamat sedang aku dan dia seperti ini,” Rasulullah mengumpulkan dua jarinya.”

 

Dan lain sebagainya dari sebab-sebab yang menjadikan penguat rasa cinta. Allah Ta’ala berfirman,

 

“Janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.” (QS. An-Nur: 27)

 

Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dalam Sahih Muslim,

 

“Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya tidaklah masuk surga sampai kalian beriman, dan tidaklah beriman sehingga kalian saling mencintai, apakah kalian mau aku tunjukkan pada sesuatu yang jika kalian lakukan maka kalian akan saling mencintai, sebarkanlah salam di antara kalian.”

 

Imam An-Nawawi mengatakan, “Salam merupakan sebab kasih sayang, pintu pembuka kecintaan, dalam menyebarkannya memantapkan kasih sayang di antara mukmin satu dengan yang lainnya, dan menampakkan perasaan mereka yang mempunyai ciri khas bagi mereka yang membedakan dari penganut agama yang lainnya disertai dengan adanya latihan jiwa untuk selalu rendah hati dan menghormati kehormatan seorang muslim.

 

Hadits Qatadah dalam Sahih Al-Bukhari, ia berkata, “Aku berkata kepada Anas Radhiyallahu Anhu, “Apakah ada jabat tangan di antara para sahabat Rasulullah? Ia menjawab, “Ya.”

 

Hadits Abu Hurairah dalam Sahih Muslim, “Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman pada hari kiamat, “Dimanakah orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku? Pada hari ini aku memberikan naungan dalam naungan-Ku pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Ku.”!

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik atau balaslah dengan yang serupa.” (QS. An-Nisa’: 76)

 

Hadits Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu Anhu,

 

“Janganlah kalian duduk-duduk di jalanan, mereka berkata, “Wahai Rasulullah! Bagaimana jika kami terpaksa harus duduk di jalanan? Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Jika kalian harus membuat pertemuan di jalan maka hendaklah kalian memberikan hak jalan, mereka bertanya, “Apakah hak jalan?” Beliau menjawab, “Menundukkan pandangan menyingkirkan rintangan, menjawab salam, memerintahkan pada kebaikan, dan melarang pada kemungkaran.”

 

Hadits Ibnu Azib Radhiyallahu Anhu’ dalam Ash Sahihain, dan Sunan Abi Dawud, dan lain-lainnya,

 

“Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan kami dengan tujuh, dan melarang kami dengan tujuh. Beliau memerintahkan kami untuk mengunjungi orang-orang yang sakit, mengiringi jenazah, menjawab salam, mendoakan orang yang bersin, berbuat baik dengan sumpah, menolong orang yang di zalimi, menjawab panggilan. Beliau melarang kami dengan; memakai emas, atau Beliau berkata, “Cincin emas, tempat dari emas dan perak, maistarah (sutera kasar yang dijadikan bantalan), Al-Kasyyi (Sutera kasar), Istabraq (sutera tebal), dibaaj (sutera halus).”

 

Perintah dalam hadits ini mencakup dua maknanya yaitu wajib atau sunah, adapun mengunjungi orang yang sakit adalah sunah menurut mayoritas ulama. Sama saja apakah ia orang dekat kita atau orang asing, yang dikenal atau tidak, kecuali yang dekat dan dikenal lebih dianjurkan dan lebih utama dari yang lain, karena keumuman hadits. Adapun mengiringi jenazah juga sunah menurut mayoritas ulama. Menjawab salam hukumnya wajib, dan telah dijelaskan sebelumnya, adapun menjawab doa orang yang bersin akan dibicarakan pada tempatnya insya Allah. Berbuat baik dengan sumpah juga sunah dalam hal yang tidak menimbulkan bencana, atau dikhawatirkan adanya bahaya yang datang kemudian, sebagaimana riwayat Abu Bakar Radhiyallahu Anhu ketika ia menceritakan mimpinya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam maka beliau pun berkata: Sebagian engkau benar sebagian tidak,” Kemudian Abu Bakar berkata, “Aku bersumpah kepadamu Ya Rasulullah engkau akan mengkhabarkanku, maka beliau berkata, “Jangan bersumpah,” dan beliau tidak mengkhabarkannya. Adapun menolong orang yang dizalimi maka bagian dari fardhu kifayah, sedang untuk menjawab undangan maka hukumnya tergantung kepada Siapa yang memanggil.

 

Adapun larangan maka larangan ini bersifat haram untuk semua. Adapun cincin emas maka ia terlarang bagi laki-laki. Tempat dari emas dan perak, maka cukuplah hukum haramnya hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ummu Salamah ia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Orang yang meminum dari bejana terbuat dari emas dan perak, sebenarnya ia telah mengisi di dalam perutnya kepulan api neraka”. Di dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim yang lain berbunyi “Janganlah kalian minum dari tempat yang terbuat dari emas, dan perak, dan jangan makan dari piring-piringnya… Memakai sutera, Al-Qassyi, Ad-Dibaaj, Al-Maitsarah, dan Al-Istibraq, Imam An-Nawawi mengatakan, “Semuanya adalah haram, apakah memakainya untuk kesombongan atau lainnya, dan mayoritas ulama membolehkannya untuk perempuan dan mengharamkannya untuk laki-laki.”

 

Perkataan Imam Nawawi “Semuanya haram,” kembali pada pemakain sutera dan apa-apa yang digabungkan kepadanya, karena sutera adalah nama jenis yang diucapkan untuk segala jenis sutera secara adat berarti mencakup semua bajunya, inilah yang ditegaskan oleh hadits.

 

Hadits Tsauban Radhiyallahu Anhu’™ dalam Sahih Muslim, “Orang yang menjenguk orang yang sakit berada di taman-taman surga sampai ia pulang.”

 

Aku berkata, “Dan tidak ada perbedaan antara apakah ia orang yang baik atau jahat, akan tetapi ia akan dimudahkan untuk menuju kebaikan dan ditahan dari kejahatan.

 

Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dalam Ash Sahihain,

 

“Hak seorang muslim lima; menjawab salam, menjenguk orang yang sakit, menjawab orang yang bersin, mengiringi jenazah, memenuhi undangan.”

 

Hadits Tsauban dalam Sahih Muslim,

 

“Barang siapa yang menyalati jenazah maka baginya satu qirath, dan barang siapa yang menyaksikan pemakamannya maka baginya dua qirath, satu qirath itu sama dengan gunung uhud.”

 

Hadits Abu Burdah dalam Sahih Muslim, dari Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu Anhu, ia berkata,

 

“Aku mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian bersin kemudian ia memuji Allah (membaca Alhamdulillah), maka jawablah doanya, jika ia tidak membaca Alhamdulillah maka tidak ada tasymit (balasan doa) baginya.”

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

‘Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka.” (QS. Ali-Imran: 28)

 

“Hai nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka.” (QS. At-Taubah: 73)

 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk .berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (Janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang.” (QS. Al-Mumtahanah: 1)

 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpinmu, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. At-Taubah: 23)

 

Sampai akhir ayat dan ayat sesudahnya dan ayat yang lainnya.

 

Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dalam Sahih Muslim, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 

‘Jika kalian bertemu dengan orang-orang musyrik di jalan maka jangan mulai dengan salam dan pepetlah mereka ke jalan yang lebih sempit.”

 

Hadits Abu Said Radhiyallahu Anhu dalam Sunan Abi Dawud, “Janganlah kalian bersahabat kecuali dengan seorang mukmin, dan janganlah makan makananmu kecuali orang yang bertakwa.”

 

Dan tidak bicaranya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada tiga orang yang absen dari perang selama lima puluh hari sampai mereka bertobat kepada Allah dan Allah menerima tobat mereka. Mereka itu adalah; Ka’ab bin Malik, Murarah bin Ar-Rabi’ dan Hilal bin Umayyah Radhiyallahu Anhum.

 

Menghormati tetangga dan berbuat baik kepadanya serta menolongnya ketika mereka mempunyai hajat adalah perkara yang sangat disukai dan diperintahkan oleh syariat. Al-Qur’an telah menjelaskan demikian dan telah banyak hadits-hadits yang menjelaskan perbuatan baik terhadap tetangga dan menjauhi perbuatan yang menyakiti mereka. Tetangga umum mencakup orang muslim, orang kafir, yang bertakwa maupun yang jahat, apakah ia teman atau musuh, orang asing atau orang dekat, namun ada perbedaan di antara mereka dalam penghormatan. Apabila di antara mereka terdapat sifat-sifat yang terpuji dan perilaku yang baik maka mereka lebih baik untuk dihormati dan barang siapa yang lebih dari itu lagi maka tentunya ia lebih layak lagi untuk dihormati, hendaklah memberikan sesuatu berdasarkan haknya, berdasarkan keadaannya dan berdasarkan kedudukannya.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapa, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat.” (QS. An-Nisa’: 36)

 

Dikatakan makna Al-Jaari Dzil Qurba adalah tetangga yang bersebelahan dengan kita, sedangkan yang dimaksud dengan Al-Jaaril Junubi yaitu tetangga jauh tidak bersebelahan, sedangkan yang dimaksud dengan As-Shaahibi bil Jambi adalah teman seperjalanan.

 

Dari Ibnu Abbas, Mujahid, Qatadah, Al-Kalbi, Muqatil bin Hayyan dan Muaqatil bin Sulaiman yang dimaksud dengan Al-Jaari Dzil Qurba adalah orang yang antara kamu dengannya ada hubungan kerabat, Wal Jaaril Junubi adalah Orang asing bagimu, Was Shaahibi bil Jambi adalah teman dalam perjalanan, Muaqatil bin Sulaiman menambahkan adalah teman dalam perjalanan maupun tidak.

 

Dari Ali dan Abdullah bin Mas’ud, Ibrahim dan lain-lainnya Radhiyallahu Anhu yang dimaksud dengan Shaahibi bil Jambi adalah istri.

 

Dari Said bin Zubair meriwayatkan juga demikian dan menurut sebuah riwayat darinya yaitu teman yang shalih.

 

Hadsits Aisyah Radhiyallahu Anha dalam Ash-Sahihain,

 

“Sesungguhnya ia mendengar Rasulullah Shallallahu wa Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidak henti-hentinya Jibril berwasiat kepadaku untuk berbuat baik kepada tetangga sampai aku menyangka ia akan menjadi ahli warisku.”

 

Dengan hal ini Al-Baihaqi menceritakan kepada kami, ia berkata telah mengabarkan kepada kami Abu Abdillah Al-Hafizh dalam hal menjaga hak teman, telah menceritakan kepada kami Abu Al-Abbas Al-Asam; dari Syu’bah dari Usman At-Tanukhi dari Muhammad bin Syamal dari Abdurrazaq dari Ma’mar dari Zuhri, ia berkata, “Telah berkata Abdullah bin Abbas Radhiyallahu Anhuma, “Tiga orang yang tidak akan mencukupi mereka itu dariku kecuali Tuhan penguasa alam semesta, lelaki yang meluaskan dalam majelisnya, seseorang yang menyela-nyela barisan dan orang-orang yang duduk sehingga ia duduk di sampingku, seseorang yang berzikir pada malam hari memohon hajatnya kemudian ia melihatku pantas untuk itu demikian juga ia tidak dapat memenuhi dariku kecuali Tuhan yang menguasai alam semesta.”

 

Para ulama berbeda pendapat tentang hal menghormati tamu, mayoritas mereka mengatakan bahwa itu adalah sebuah sunah; karena hal tersebut termasuk dari akhlak yang baik, adab Islam, akhlak para nabi dan orang-orang shalih. Mereka berdalilkan pada hadits, “Hendaklah ia menghormati tetangganya maka ia akan mendapatkan hadiah,” mereka mentakwil hadits ini yang zhahirnya adalah wajib karena hal tersebut ada pada awal-awal Islam. Al-Laits dan Imam Ahmad berpendapat bahwa menghormati tamu itu wajib sehari semalam. Mereka berhujjah dengan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,

 

“Malam pertama bagi tamu adalah hak wajib bagi setiap muslim.”

 

Dan hadits Uqbah, “Jika kalian mendatangi sebuah kaum kemudian mereka memerintahkan kepadamu untuk mendapat hak tamu maka terimalah dan jika mereka tidak melakukan itu maka ambillah dari mereka hak ketamuanmu yang pantas dari mereka.”

 

Mereka berbeda pendapat dalam hal wajib ini apakah atas tamu yang berada disekitar kita ataukah tamu jauh atau hanya bagi tamu jauh saja? Tetapi zhahir hadits bermakna umum. Wallahu A’lam.

 

Hadits Abu Syuraih Al-Adawi Radhiyallahu Anhu dalam Ash-Sahihain, ia berkata, aku mendengar dengan kedua telingaku dan aku melihat dengan kedua mataku ketika ‘Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berbicara, beliau bersabda,

 

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat hendaklah ia menghormati tamu dengan memberi mereka.” Para sahabat bertanya kepada beliau, “Apakah pemberiannya?” Beliau menjawab, “Sehari semalamnya, dan bertamu itu tiga hari dan yang lebih dari itu adalah sedekah”. Beliau bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia berkata yang baik atau diam,” dan ditambahkan dalam riwayat yang lain, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia menghormati tetangganya.

 

Allah Ta‘ala berfirman,

 

“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersebar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan akhirat.” (QS. An-Nur: 19)

 

Hadits Salim bin Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhuma dalam Ash-Sahihain dari ayahnya,

 

“Seorang muslim adalah saudara orang muslim yang lainnya, tidak boleh menzaliminya dan tidak boleh menyerahkannya, barang siapa yang memenuhi hajat saudaranya maka Allah akan memenuhi hajatnya, barang siapa yang melapangkan dari saudaranya kesusahannya maka Allah akan melapangkan kesusahannya pada hari kaimat, barang siapa yang menutup aib seorang muslim maka Allah akan menutup aibnya pada hari kiamat.”

 

Hakikat sabar adalah menahan jiwa dan menjaganya dari kedukaan, kebencian dan dari keluh kesah lidah dengan kokoh terhadap hukum-hukum Al-Qur’an dan sunah. Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu berkata, “Kesabaran adalah bagian dari keimanan yaitu menduduki posisi kepada dari badan barang siapa yang tidak sabar maka tidak ada iman baginya seperti jasad yang tidak memiliki kepala. Sabar merupakan perkara yang besar dan sangat bermanfaat karenanya Allah menjelaskan di dalam Al-Qur’an dalam ayat yang sangat banyak. Hukum sabar adalah wajib menurut kesepakatan para ulama. Semoga Allah memberikan kita kesabaran terhadap segala hal yang kita benci.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.” (QS. Al. Baqarah: 45)

 

Dari Mujahid dan lain-lain, “Sesungguhnya yang dimaksud dengan sabar adalah puasa.” Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji‘uun.” Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 155-157)

 

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10)

 

Hadits Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu Anhu, dalam Ash-Sahihain ia berkata,

 

“Telah datang beberapa orang dari Anshar, mereka meminta kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan keluarganya, kemudian beliau memberi mereka sehingga tidak satu pun dari mereka yang meminta itu kecuali Rasulullah memberikannya sehingga tuntaslah apa yang dimilikinya. Kemudian beliau berkata kepada mereka ketika beliau telah menginfakkan semua yang dimilikinya, “Tidak ada lagi yang kami miliki dari sesuatu yang baik, kami tidak akan menyimpannya dari kalian karena sesungguhnya barang siapa yang menjaga kesucian dirinya maka Allah akan menjaga kesuciannya, barang siapa yang merasa kaya maka Allah akan mengayakannya, barang siapa yang sabar Allah akan menyabarkannya dan kalian tidaklah diberikan sesuatu yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.’”

 

Hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu, ia berkata,

 

“Aku masuk menemui Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sedangkan beliau sedang dalam keadaan sakit panas sekali kemudian aku berkata kepada beliau, “Sesungguhnya engkau ditimpa sakit panas yang seharusnya bagi dua orang.” Beliau mengatakan, “Betul, sesungguhnya aku sakit panas yang menyamai sakit panasnya dua orang di antara kalian.” Aku berkata, “Berarti anda mendapatkan dua pahala.” Beliau mengatakan, “Betul, tidaklah ada seorang muslim yang ditimpa penyakit dan lain-lainnya kecuali Allah akan menggugurkan kesalahan darinya sebagaimana gugurnya daun dari pohon.”

 

Ketahuilah, semoga Allah memberi taufik kepada Anda, sesungguhnya manusia telah banyak berbicara tentang zuhud dan kami mengingatkan kepada Anda tentang pentingnya masalah zuhud ini. Al-Imam Ahmad berkata, “Zuhud di dunia adalah tidak terlalu bergembira dengan datangnya dunia dan tidak terlalu sedih ketika ditinggalkan dunia.”

 

Imam Ahmad telah membagi zuhud ke dalam tiga bagian:

 

  1. Meninggalkan hal yang diharamkan, ini adalah zuhudnya orang awam. ,

 

  1. Meninggalkan sesuatu yang berlebihan dari sesuatu yang halal, ini adalah zuhudnya orang yang khawash (Khusus).

 

  1. Meninggalkan sesuatu yang menyibukkan dari Allah Ta‘ala dan ini adalah zuhudnya orang yang arifin (orang yang mengenal tuhannya).

 

Allah telah memberikan isyarat untuk memuji perbuatan zuhud ini di dalam Al-Qur’an di beberapa tempat, di mana Allah Ta’ala juga mencaci dunia dan memerintahkan untuk berpaling darinya. Allah Ta’ala berfirman,

 

“Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang di sisi Allah adalah kekal.” (QS. An-Nahl: 96) .

 

“Katakanlah, “Kesenangan di dunia ini hanya sebentar.” (QS. An-Nisa’: 77)

 

“Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia.” (QS. Thaha: 131)

 

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbanggabanggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid: 20)

 

Dan hadits-hadits yang banyak, bukanlah yang dimaksud dengan zuhud adalah menolak dunia dan mengeluarkannya dari kepemilikan. Zuhud di dunia bukan berarti mengharamkan yang halal dan bukan pula menyia-nyiakan harta tetapi zuhud di dunia adalah engkau dapat memastikan bahwa apa yang ada ditanganmu dari Allah Ta‘ala, Dan dalam pahala musibah ketika engkau ditimpa musibah engkau menginginkan pahala musibah itu terus bagimu. Inilah keterangan-keterangan yang terbaik dalam masalah zuhud.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Maka tidaklah yang mereka tunggu-tunggu melainkan hari kiamat (yaitu) kedatangannya kepada mereka dengan tiba-tiba, karena sesungguhnya telah datang tanda-tandanya.” (QS. Muhammad: 18)

 

Hadits Anas bin Malik dan Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu Anhuma dalam Ash-Sahihain,

 

“Aku diutus dan hari kiamat seperti dua jari ini.” Beliau memberikan isyarat dengan kedua jarinya yaitu jari tengah dan jari telunjuk.

 

Hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma dalam Sahih Al-Bukhari,

 

“Dua nikmat yang selalu menipu banyak manusia adalah nikmat sehat dan waktu luang.”

 

Dalam hal ini Al-Baihaqi menceritakan kepada kami, ia berkata, “Telah melantunkan syairnya Abu Ismah Muhammad bin Ahmad As-Sijistani di Basrah untuk dirinya, inilah maknanya:

 

Telah menceritakan kepada kami orang yang terbaik dari keturunan bani Adam, Tidaklah ada bagi Muhammad kecuali menyampaikan. Manusia tertipu dalam dua nikmat, Sehatnya badan mereka dan waktu luang.

 

Hadits Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu Anhu dalam Sahih Muslim, “Sesungguhnya dunia itu adalah manis lagi hijau dan Allah Ta’ala telah menjadikan kamu khalifah di dalamnya maka Allah melihat bagaimana kamu berbuat, takutlah kamu terhadap dunia dan takutlah kamu terhadap perempuan, sesungguhnya fitnah pertama yang terjadi di Bani Israil adalah permasalahan perempuan.”

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahrim: 6)

 

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya.” (QS. An-Nur: 31)

 

Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dalam Sahih Al-Bukhari,

 

“Sesungguhnya Allah Ta’ala itu sangat pencemburu dan sesungguhnya orang mukmin itu pencemburu. Cemburunya Allah adalah ketika seorang mukmin mendatangi apa yang telah Dia haramkan.”

 

Hadits Ummu Salamah Radhiyallahu Anha dalam

 

Ash-Sahihain “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ada di samping Ummu Salamah dan seorang banci yang berada di rumahnya, lalu banci itu berkata kepada Abdullah bin Abi Umayyah — Saudara laki-laki Ummu Salamah, “Wahai Abdullah, jika Allah telah membuka bagian kalian di daerah Thaif besok, maka aku akan menunjukkan kalian pada anak perempuan Ghailan, sesungguhnya mereka dari depan mirip angka empat dan dari belakang mirip angka delapan, maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Jangan kalian masukkan mereka (para banci) ke rumah-rumah kalian.”

 

Banci atau dalam istilah fikih dinamakan Al-Muhannats, yaitu lelaki yang meniru-niru gaya perempuan dalam ucapan dan perbuatannya, terkadang hal ini terjadi karena memang penciptaannya, terkadang juga karena memang dibuat-buat. Jenis yang kedua dibenci dan dilaknat pelakunya. Istilah dari depan mirip angka empat dan dari belakang mirip angka delapan adalah sifat perempuan yang menunjukkan bahwa ia gemuk perutnya besar karena lemak, dari dua sisi lambungnya, yang jika dari belakang mirip dengan sisi-sisi angka delapan. Nama banci ini adalah Hita, dan anak gadis Ghailan adalah Badiyah, juga ada yang mengatakan Badinah, di antara dua kakinya seperti wadah yang tertutup. Jelaslah dari sikap Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam perasaan cemburu dan marah beliau ketika mendengar ucapan banci ini dan memerintahkan untuk tidak memasukkannya ke Madinah supaya tidak tersebar penyakit otot-otot ini di antara umat dan berjalan seperti anjing yang berjalan bersama pemiliknya.

 

Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, sesungguhnya beliau bersabda,

 

“Kecemburuan itu bagian dari keimanan, dan sesungguhnya ketidaksetiaan itu merupakan sifat kemunafikan.”

 

Berkata Al-Halimi, “Al-Midza adalah berkumpulnya laki-laki dengan perempuan kemudian mereka bersepi-sepi dengan hal tersebut dan saling bercengkerama di antara mereka.” Dikatakan juga Al-Midza adalah bercengkeramanya laki-laki dengan perempuan lain.

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.” (QS. Al-Mukminun: 1-3)

 

“Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al-Furqan: 72)

 

“Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya.” (QS. Al-Qashash: 55)

 

Al-Laghwu adalah perbuatan bathil yang sia-sia, dan tidak berhubungan dengan tujuan yang benar, dan tidak ada faidah bagi orang yang mengucapkannya, hanya sekedar bualan kosong.

 

Dari hadits Abu Salamah dari Abu Hurairah, dan Ali bin Al-Husain dari ayahnya dari Ali Radhiyallahu Anhum,

 

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, berkata, “Di antara keindahan Islam seseorang adalah ia meninggalkan sesuatu yang tidak memberinya manfaat.”

 

Hadits ini merupakan dasar yang terbesar dari fondasi adab, maknanya adalah di antara sikap seorang muslim yang baik adalah ia meninggalkan segala sesuatu yang tidak berkaitan dengan manfaat yang ada padanya, yang menjadi maksud dari ucapan dan perbuatan tersebut. Melakukan sesuatu berarti perhatian terhadapnya, ia tidak meninggalkan sesuatu itu karena tuntutan hawa nafsunya, tetapi karena ingin berhukum kepada Syariah Islamiyah, karenanya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjadikannya bagian dari sikap baik seorang muslim. Jika seorang muslim sudah baik maka ia akan meninggalkan hal-hal yang tidak berfaedah dari hal-hal yang dimakruhkan, dan berlebih-lebihan dari hal-hal yang dibolehkan yang semua ini tidak membawa manfaat bagi pribadi seorang muslim. Hendaklah bagi seorang muslim yang cerdas untuk tidak melakukan sesuatu kecuali tiga; berbekal untuk hari kemudian, pekerjaan untuk menunjang penghidupan, atau kelezatan yang tidak diharamkan. Hendaklah semua itu dilakukannya dengan pandangan yang menyeluruh terhadap zamannya, berkonsentrasi pada pekerjaannya, menjaga lisannya, menjadi pelayan bagi umat dan agamanya, menjaga hak-hak tuhannya, menerima dengan lapang dada terhadap nasehat-nasehat dan faedah-faedah, bekerja untuk ; membangkitkan umat, dan lain sebagainya dari sifat-sifat yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim.

 

Dalam hal ini Al-Baihaqi menceritakan kepada kami, ia berkata, menceritakan kepada kami Abu Abdillah Al-Hafizh, menceritakan kepadaku Al-Hasan bin Muhammad bin Ishaq, ia berkata, “Aku mendengar Abu Utsman Al-Hannath, ia berkata, Aku mendengar Dzun-Nun berkata, “Barang siapa yang mencintai Allah maka ia akan hidup, barang siapa yang berpaling dari-Nya maka akan binasa, orang yang bodoh adalah orang yang pergi dan berjuang dalam hal yang tidak berfaidah, dan orang yang cerdas adalah orang yang terhadap apa-apa yang terbesit dalam hatinya selalu berpikir.”

 

Al-Juud, As-Sakha’, Al-Karam adalah satu makna, yaitu menafkahkan harta yang banyak dengan gampang dari jiwanya untuk hal-hal yang mulia banyak manfaatnya sebagaimana mestinya. Allah Ta’ala berfirman,

 

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit.” (QS. Ali Imran: 133-134)

 

“(Yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan.” (QS. An-Nisa’: 37)

 

“Dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya.” (QS. Muhammad: 38)

 

“Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 9)

 

Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dalam Ash Sahihain,

 

“Tidak ada satu hari pada hari-hari seorang hamba kecuali dua malaikat turun salah satunya berdoa, “Ya Allah berikanlah kepada hamba-Mu yang berinfak penggantinya,” dan yang lainnya berdoa, “Ya Allah berikanlah kepada orang yang tidak berinfak kerugian.”

 

Rahmah (kasih sayang) adalah lembutnya hati dalam melaksanakan keutamaan dan perbuatan baik, tempatnya ada dalam hati seorang mukmin yang bertakwa, yang tidak akan diangkat kecuali dari hati orang yang kasar, sebagian ulama mengatakan, “Di antara tanda-tanda kedermawanan adalah sifat kasih sayang, dan di antara tanda-tanda sifat buruk adalah keras hati.”

 

Hadits Jarir bin Abdullah dalam Sahih Muslim,

 

“Siapa yang tidak mengasih sayangi manusia maka tidak akan mendapatkan kasih sayang dari Allah Ta’ala.”

 

Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dalam Ash Sahihain,

 

“Allah telah menjadikan Rahmat (kasih sayang) itu sebanyak seratus bagian, kemudian ia memegang sembilan puluh sembilan bagian dan menurunkan di bumi satu bagian, di antara bagian itu adalah berkasih sayangnya makhluk-makhluk sampai-sampai seekor kuda mengangkat derap langkah kakinya dari anaknya khawatir menimpa anaknya.’”

 

Hadits Abdullah bin Amr Radhiyallahu Anhuma dalam Sunan Abi Dawud, dan Muslim,

 

“Barang siapa yang tidak mengasih sayangi anak kecil kami, dan tidak mengenal hak orang tua kami maka ia bukan dari kami.”

 

Kami riwayatkan dalam Ash-Shahhah dalam hadits Al-Qasamah, “Posisikanlah yang tua adalah untuk yang tua, atau yang besar yang besar, atau hendaklah yang berbicara yang paling tua di antara kalian.”

 

Dan hadits tentang imam shalat, “Hendaklah yang mengimami kalian yang tertua di antara kalian.”

 

Allah Ta’ala berfirman,

 

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat makruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keredhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (QS. An-Nisa’: 114)

 

“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu.” (QS. Al-Hujurat: 10)

 

Hadits Ummu Kultsum binti Uqbah bin Abi Muith Radhiyallahu Anha dalam Ash-Sahihain,

 

“Bukanlah pembohong orang yang berbohong untuk memperbaiki dua orang yang berselisih, ia berkata kebaikan dan bernamimah dengan kebaikan.” Ummu kaltsum berkata, Aku tidak pernah mendengar Rasulullah memberikan keringanan dalam berbohong kecuali pada tiga tempat, “Dalam peperangan, memperbaiki dua orang yang berselisih, ucapan suami kepada istrinya dan ucapan istri terhadap suaminya.”

 

Termasuk di antaranya adalah menyingkirkan sesuatu yang berbahaya dari jalanan, sebagaimana yang diisyaratkan oleh hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dalam Ash-Sahihain,

 

 

“Iman itu lebih dari enam puluh atau lebih dari tujuh puluh cabang, yang paling tinggi adalah Ucapan La ilaha Illallah (tidak ada yang hak untuk disembah kecuali Allah), dan paling rendah adalah menyingkirkan bahaya dari jalanan, malu merupakan bagian dari bagian-bagian keimanan.”

 

Hadits Anas dalam Sahih Al-Bukhari,

 

“Tidaklah beriman salah seorang di antaramu sehingga ia mencintai bagi saudaranya sebagaimana ia mencintai itu bagi dirinya.”

 

Hadits Jarir bin Abdullah dalam Ash-Sahihain, “Aku berbaiat kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk mendirikan shalat, membayar zakat, dan menasehati setiap muslim.”